Pendekar Pulau Neraka - Selir Raja(1)

SATU
Siang itu keadaan di Kotaraja Balungan tampak lain dari biasanya. Hampir semua orang berbondong-bondong datang ke sebuah lapangan di depan Istana Balungan. Lapangan luas yang disebut alun-alun itu seakan-akan tidak mampu menampung orang yang terus berdatangan memadatinya. Kedatangan mereka adalah untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman bakar yang akan dilakukan siang ini di sana. 

Dan memang, di tengah-tengah lapangan luas itu terlihat sebatang tonggak kayu yang berdiri tegak di tengah-tengah tumpukan kayu bakar. Pada tonggak kayu, tampak terikat seorang wanita cantik mengenakan baju hitam ketat, dari bahan sutra halus.

Begitu ketatnya, sehingga tubuhnya yang indah dan ramping membentuk lekuk-lekuk yang menggairahkan. Dia terikat di tonggak dengan tangan ke belakang. Sekitar tiga puluh prajurit bersenjata lengkap mengelilingi tonggak kayu itu. Tampak seorang laki-laki bertubuh tegap berada di atas punggung kuda hitam. 

Sedangkan enam orang berpakaian prajurit tengah memegang obor menyala di kanan kirinya. Mata laki-laki itu menatap tajam wanita berbaju hitam yang terikat di tonggak. Sedangkan yang ditatap malah mengarahkan pandangannya ke bangunan istana yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan kokoh.

"Sebelum hukuman ini dilaksanakan, apa permintaanmu yang terakhir, Nini Anjar?" terdengar lantang suara laki-laki di atas punggung kuda hitam yang mengenakan pakaian panglima itu.

Perempuan berbaju hitam yang dipanggil Nini Anjar hanya menyunggingkan senyuman saja, seakan-akan tidak peduli kalau sebentar lagi akan mati dibakar. Di-balasnya tatapan panglima itu dengan tajam pula.

"Gusti Prabu Wijaya akan mengabulkan permintaan terakhirmu, Nini Anjar," tegas panglima itu lagi.

"Terima kasih. Sebaiknya sampaikan saja pada Gusti Prabu untuk memperhatikan kata-kataku, Panglima Pangkar," lembut sekali suara Nini Anjar, namun terasa hambar dan datar.

Laki-laki di atas punggung kuda hitam yang bernama Panglima Pangkar itu hanya tersenyum saja. Ketika tangannya memberikan isyarat, maka enam orang yang membawa obor bergerak maju. Mereka mengelilingi wanita berbaju hitam yang terikat di tonggak kayu.

"Dengar, Nini Anjar. Kau akan diampuni jika mencabut kembali kata-katamu itu. Tidak ada seorang pun yang sudi mempercayainya. Bahkan kau telah membuat Gusti Prabu Wijaya murka. Jika kata-katamu tidak mau dicabut, maka kau harus rela menerima hukuman ini," tegas Panglima Pangkar, bernada membujuk.

"Kalian akan menyesal. Percayalah...," kata Nini Anjar datar.

"Bakar...!" perintah Panglima Pangkar lantang.

Tanpa diperintah dua kali, enam orang yang memegang obor langsung melemparkan obornya ke tumpukan kayu itu. Seketika api berkobar membesar, melahap kayu bakar. Lidah-lidah api mulai menjilati tubuh wanita itu. Namun Nini Anjar tetap tersenyum dingin, disertai sorot mata tajam. Api terus berkobar semakin besar. Dan tubuh Nini Anjar benar benar tertutup api. Namun, tak sedikit pun terdengar keluhan. Apalagi jeritan kesakitan. Hal ini membuat Panglima Pangkar dan semua orang yang menyaksikan jadi keheranan. Pada saat seluruh kayu-kayu terbakar, mendadak saja....

Glarrr!

Satu ledakan keras tiba-tiba terdengar bagai letusan gunung berapi. Dan itu jelas berasal dari api yang berkobar semakin besar. Bunga-bunga api memercik, membumbung tinggi ke angkasa. Semua orang yang memadati alun-alun terbengong kaget. Dan sebelum hilang keterkejutan mereka....

"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja terdengar tawa terbahak-bahak.

Bagaikan ada yang memberi perintah, semua orang yang memadati alun-alun berserabutan pergi. Jerit ketakutan terdengar membahana. Akibatnya suasana yang semula sunyi, mendadak jadi gaduh. Bahkan para prajurit mulai kelihatan gelisah. Mereka mulai bergerak mundur perlahan-lahan. Saat itu semua orang sudah meninggalkan lapangan luas ini. Tinggal Panglima Pakar dan para prajuritnya yang masih bertahan pada tempatnya.

Glarrr?.!

Satu ledakan keras kembali terdengar menggelegar, membuat Panglima Pangkar dan para prajuritnya terperanjat kaget. Mereka semakin terkejut, begitu tiba-tiba kobaran api mendadak padam. Tonggak kayu yang menghitam hangus masih tetap terpancang tegak. Namun, disana tidak ada lagi Nini Anjar.

"ehh! Ke mana dia?" desis Panglima Pangkar keheranan. Dan sebelum panglima itu memperoleh jawaban, mendadak saja berkelebat cepat sebuah bayangan hitam. Panglima Pangkar cepat melompat dari punggung kuda, maka terjangan bayangan hitam tidak sampai menghantamnya. Namun pada saat yang sama, terdengar jeritan melengking tinggi saling sambut. Itu pun masih di susul bergelimpangannnya para prajurit yang belum bisa menyadari, apa yang terjadi. Bayangan hitam itu terus berkelebat cepat, menghajar para prajurit, tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk bisa melakukan sesuatu.

"Celaka...," desis Panglima Pangkar.

Bagaikan kilat, Panglima Pangkar melompat keatas punggung kudanya. Dan secepat itu pula kudanya digebah menuju pintu gerbang istana.

"Aku harus melaporkan kejadian ini pada Gusti Prabu. Hiya! Hiyaaa...!"

Sementara bayangan hitam itu masih saja berkelebat menghajar para prajurit. Jeritan dan pekikan menyayat terus terdengar saling sambut. Dalam waktu sebentar saja, lebih dari separuh prajurit sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Darah mengucur deras di tubuh-tubuh yang koyak, seperti terkena cakaran binatang buas.

"Hiya! Buka pintu..,! Yeaaah...!" teriak Panglima Pangkar keras menggelegar.

Pintu gerbang yang sejak tadi tertutup, perlahan-lahan terbuka. Tanpa memperlambat lari kudanya, panglima itu terus menerobos masuk. Pintu gerbang yang terbuat dari kayu jati tebal kembali bergerak menutup begitu Panglima Pangkar melewatinya. Tepat pada saat itu, semua prajurit yang berada dialun-alun sudah tewas bersimbah darah. 

Tak ada seorang pun yang tersisa. Sedangkan bayangan hitam itu juga lenyap, entah ke mana. Tak ada seorang pun yang mengetahui kepergiannya. Suasana di alun-alun depan istana kini mendadak jadi sunyi senyap. Hanya desir angin saja yang terdengar mempermainkan dedaunan. Tak ada seorang pun terlihat di sana.

Sementara Panglima Pangkar sudah mendekati bagian depan istana. Dia langsung melompat turun dari punggung kuda, begitu sampai di depan tangga istana. Gerakannya sangat ringan,.pertanda kepandaiannya cukup tinggi. Begitu kakinya menjejak undakan pertama, panglima itu langsung berlari cepat menaiki anak-anak tangga yang berjumlah dua puluh. 

Dua orang prajurit yang menjaga pintu depan segera membungkuk memberi hormat. Namun Panglima Pangkar tidak mempedulikan sama sekali, dan malah terus melangkah cepat setengah berlari menerobos masuk. Dia langsung menuju Balai Sema Agung, tempat Prabu Wijaya tengah berbincang-bincang bersama pembesar-pembesarnya.

Mereka semua terkejut melihat kedatangan Panglima Pangkar yang begitu tergesa-gesa. Terlebih lagi, seluruh wajahnya terlihat pucat bersimbah keringat. Panglima Pangkar cepat berlutut di depan Prabu Wijaya yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun.

"Ada apa, Panglima Pangkar? Kenapa kelihatan begitu tergesa-gesa?" tanya Prabu Wijaya langsung.

"Ampun, Gusti Prabu. Hamba... hamba...," jawab Panglima Pangkar terbata-bata.

"Ada apa?! Bukankah kau bertugas melaksanakan hukuman mati bagi Nini Anjar?" agak keras suara Prabu Wijaya.

Sebentar Panglima Pangkar terdiam, lalu menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan dirinya. Sedangkan Prabu Wijaya kelihatan tidak sabar menunggu. Dari raut wajah dan sorot matanya, sudah bisa diduga-duga, apa yang akan dikatakan panglimanya ini.

"Hamba memang bertugas untuk melakukan hukuman bagi Nini Anjar, Gusti Prabu. Semua sudah dilaksanakan sesuai perintah. Tapi...," laporan Panglima Pangkar terputus.

"Tapi kenapa, Panglima? Teruskan...," desak Prabu Wijaya semakin terlihat gelisah.

"Nini Anjar, Gusti Prabu. Dia..., dia bisa lolos sewaktu api membakar tubuhnya," dengan suara perlahan dan terputus-putus, Panglima Pangkar melaporkan kejadian sebenarnya di alun-alun istana tadi.

"Apa...?!" sentak Prabu Wijaya terkejut. "Mustahil.... Tidak Mungkin...!"

Begitu terkejutnya, sampai-sampai Prabu Wijaya terlonjak berdiri dari singgasana. Wajahnya seketika memerah. Meskipun sejak semula sudah menduga akan menerima laporan kegagalan pelaksanaan hukuman mati, tapi saat mendengar laporan itu tetap saja Raja Kerajaan Balungan ini terkejut. Bukan hanya Prabu Wijaya yang terperanjat. Bahkan semua orang yang berada di dalam Balai Sema Agung ini juga tersentak kaget begitu menerima laporan Panglima Pangkar. Mereka memandangi panglima itu, seakan-akan ingin mendengar lagi laporan yang sangat mengejutkan tadi.

"Panglima! Jelaskan semua kejadiannya," pinta Prabu Wijaya setelah duduk kembali di singgasananya.

Tanpa diminta dua kali, Panglima Pangkar menjelaskan semua peristiwa yang terjadi di alun-alun tadi dengan hati-hati dan suara pelan. Sedapat mungkin Panglima Pangkar mencoba untuk tetap tenang saat memberikan penjelasan. Semua yang ada di dalam Balai Sema Agung ini mendengarkan penuh perhatian. Tak seorang pun membuka suara, sampai Panglima Pangkar menyelesaikan laporannya. Untuk beberapa saat, keadaan jadi sunyi senyap. Tak seorang pun yang membuka mulut. Semua kepala tertunduk dengan kening berkerut.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hukumlah hamba, karena telah gagal melaksanakan titah," ucap Panglima Pangkar seraya memberi sembah.

Prabu Wijaya hanya diam merenung saja. Keningnya terlihat berkerut semakin dalam. Kepalanya tertunduk, menekuri ujung jari kakinya. Entah, apa yang ada dalam pikiran dan hatinya saat ini. Yang jelas, Prabu Wijaya kelihatan begitu gelisah.

"Hm.... Perempuan itu harus ditangkap hidup atau mati. Dia bisa menjadi ancaman terbesar bagi seluruh rakyat negeri ini," tegas Prabu Wijaya. Suaranya terdengar bergumam, seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri.

"Apa yang harus hamba lakukan, Gusti Prabu?" tanya Panglima Pangkar.

"Tidak ada," sahut Prabu Wijaya pelan.

Panglima Pangkar memandangi Prabu Wijaya, seakan-akan tidak mempercayai jawaban yang didengarnya barusan. Persoalan ini memang tidak seperti biasanya. Walaupun hanya seorang wanita yang harus mereka hadapi, tapi dia bisa menghancurkan seluruh negeri ini. Kata-kata yang diucapkannya begitu berbisa, dan berbahaya sekali.

"Ampun, Gusti Prabu...," tiba-tiba seorang laki-laki tua berjubah kuning, dan berkepala gundul menyelak.

Laki-laki tua berjubah kuning yang selalu menggenggam tasbih batu hitam itu membungkuk memberi hormat Prabu Wijaya dan semua orang yang berada diruangan Balai Sema Agung memandang ke arah laki-laki tua berjubah kuning ini. Sedangkan yang dipandangi tampak tidak peduli. Bahkan malah bangkit dari duduknya, lalu melangkah ke depan. Setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah di depan Prabu Wijaya, dia berhenti. Kembali tubuhnya membungkuk memberi hormat.

"Ada apa, Paman Suratmaja?" tanya Prabu Wijaya.

"Ampun, Gusti Prabu. Menurut hamba, pencegahan lebih baik daripada harus menghadapi kenyataan yang bakal terjadi nanti. Hamba merasa yakin, peristi-wa ini akan berbuntut panjang. Dan sudah pasti akan merugikan sekali. Kita tidak boleh menganggap remeh Nini Anjar, Gusti Prabu. Dia bukan wanita sembarangan. Di samping kutukannya yang terkenal, kepandaiannya pun sangat tinggi. Sukar untuk dicari tandingannya."

"Hm...," Prabu Wijaya menggumam sambil mengelus-elus janggutnya yang hanya sedikit ditumbuhi rambut halus.

Agak lama juga Prabu Wijaya terdiam, memikirkan saran yang diajukan Pendeta Suratmaja. Memang dalam keadaan seperti ini, Nini Anjar tidak bisa dipandang remeh. Tapi bukan watak Prabu Wijaya yang begitu saja mudah menyerah. Terlebih lagi, mereka hanya menghadapi seorang wanita berkepandaian tinggi. Sedangkan ratusan prajurit asing saja sanggup mereka hadapi.

"Akan ku pikirkan saran mu, Paman Pendeta," ujar Prabu Wijaya, tidak ingin mengecewakan Pendeta Suratmaja.

"Hamba, Gusti Prabu," ucap Pendeta Suratmaja seraya memberi hormat.

Laki-laki tua berjubah kuning dan berkepala gundul itu kembali ke tempat semula. Sementara suasana kembali menjadi sunyi. Tanpa berbicara lagi, Prabu Wijaya bangkit berdiri dari singgasana, kemudian melangkah perlahan meninggalkan ruangan Balai Sema Agung ini. Semua orang yang berada di ruangan itu bergegas berdiri, dan membungkuk memberi hormat. 

Sepeninggal Prabu Wijaya, ruangan besar dan indah itu bagaikan dipenuhi lebah. Suara-suara menggumam terdengar memenuhi ruangan Balai Sema Agung. Pendeta Suratmaja mendekati Panglima Pangkar. Sementara satu persatu orang-orang yang berada di ruangan itu beranjak pergi.

"Kau bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya secara jelas padaku, Panglima Pangkar?" pinta Pendeta Suratmaja.

Panglima Pangkar tidak langsung menjawab. Dipandanginya laki-laki tua berkepala gundul itu, seakan-kan sedang mempertimbangkan permintaan Pendeta Suratmaja barusan.

"Aku rasa, persoalan ini bukan urusan para panglima saja, Panglima Pangkar. Biar bagaimanapun, aku juga merasa bertanggung jawab atas keselamatan kerajaan ini," tegas Pendeta Suratmaja lagi.

"Aku sudah jelas menceritakannya, Paman Pendeta," ujar Panglima Pangkar.

"Aku yakin ada yang kau sembunyikan, Panglima Pangkar," Pendeta Suratmaja tidak mau percaya. Memang tadi Panglima Pangkar sudah mengatakan semua peristiwa di alun-alun. Dan semua orang sudah mendengarnya. Demikian pula Pendeta Suratmaja. Panglima Pangkar semakin dalam memandangi pendeta gundul berjubah kuning ini. Ada terselip sedikit kecurigaan atas desakan Pendeta Suratmaja. Tapi dia tidak tahu, apa yang membuatnya mempunyai perasaan curiga.

"Baiklah, bila kau tidak ingin mengatakannya padaku, Panglima Pangkar. Tapi aku yakin, kau menyembunyikan sesuatu. Dan yang pasti, aku bisa mengetahuinya," kata Pendeta Suratmaja, bernada seolah-olah menyerah.

Tidak ada yang bisa ku sembunyikan, Paman Pendeta," tegas Panglima Pangkar.

"Mungkin kau bisa memberikan kepercayaan pada orang lain. Bahkan mungkin Prabu Wijaya sendiri mempercayaimu. Tapi, kulihat ada sesuatu yang kau sembunyikan, Panglima Pangkar. Dan itu menjadi rahasiamu sendiri," Pendeta Suratmaja tetap tidak percaya.

"Apa maksudmu berkata demikian, Paman Pendeta?" Panglima Pangkar mulai tidak senang.

Pendeta Suratmaja hanya tersenyum saja, kemudian melangkah meninggalkan ruangan Balai Sema Agung ini. Sementara Panglima Pangkar masih berdiri tegak memandangi kepergian laki-laki tua gundul berjubah kuning itu. Ruangan ini kembali sepi, tidak ada seorang pun yang terlihat. Perlahan-lahan Panglima Pangkar mengayunkan kakinya, meninggalkan ruangan besar yang indah ini. Hatinya masih tidak mengerti akan sikap Pendeta Suratmaja barusan.

"Apa sebenarnya keinginan Pendeta Suratmaja? Aku tidak menyembunyikan apa-apa, tapi kenapa dia terus mendesak ku...?"

Panglima Pangkar berbicara sendiri dalam hati. Memang dalam keadaan seperti ini, kecurigaan seseorang cepat sekali timbul. Dan itu kini disadari oleh Panglima Pangkar. Namun dalam hati, Panglima Pangkar bertekad untuk membuktikan kalau dirinya tidak terlibat dalam kemelut ini.
***
DUA
Malam sudah demikian larut. Sejak siang tadi setelah pertemuan di Balai Sema Agung, Prabu Wijaya mengurung diri dalam kamar pribadinya. Tidak ada seorang pun di dalam kamar ini, kecuali dirinya sendi-ri. Laki-laki setengah baya itu berdiri mematung di depan jendela. Matanya lurus tidak berkedip memandangi sang rembulan yang bersinar penuh. Begitu cantik dan indah. Namun semua kecantikan dan keindahan malam ini tidak dapat dirasakan Prabu Wijaya. 

Hati dan pikirannya begitu kacau, setelah mendengar laporan kegagalan pelaksanaan hukuman mati Nini Anjar. Terlebih lagi, seluruh prajurit yang mengawal pelaksanaan hukuman itu tewas. Tak seorang pun yang diberi kesempatan hidup. Hanya Panglima Pangkar saja yang berhasil lolos dari maut. Prabu Wijaya sendiri hampir tidak percaya, kalau seseorang yang sudah terbakar masih bisa lolos. Bahkan sempat membunuh puluhan prajurit sebelum menghilang.

"Heh...! Uts!"

Prabu Wijaya tersentak kaget, ketika tiba-tiba melihat sebuah benda berwarna kuning keemasan tiba-tiba meluruk deras ke arahnya. Cepat tubuhnya ditarik ke kanan, maka benda berwarna kuning keemasan itu lewat sedikit saja di samping tubuhnya dan langsung menancap di dinding. Prabu Wijaya cepat melompat, menjauhi jendela.

"Keris emas...," desis Prabu Wijaya begitu melirik ke arah benda kuning keemasan yang menancap didinding. Benda itu memang berbentuk keris kecil berwarna kuning keemasan. Hanya ujungnya saja yang menancap di dinding, tapi kelihatannya begitu kuat. Prabu Wijaya menjulurkan tangan, untuk meraih keris kecil itu. Dicobanya mencabut benda berwarna kuning keemasan itu, tapi sia-sia. Bahkan bergerak saja tidak sama sekali.

"Hih...!"

Prabu Wijaya terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk mencabut keris kecil keemasan itu. Baru setelah tenaga dalamnya dikerahkan, benda berkeluk tujuh itu bisa tercabut Prabu Wijaya mengamati sebentar, kemudian memandang ke arah jendela yang masih terbuka lebar.

"Nyai Legok..? Tidak mungkin...!" desis Prabu Wijaya.
"Apa yang tidak mungkin bisa saja terjadi, Prabu Wijaya...!"

"Heh...?!"

Prabu Wijaya tersentak kaget. Dan belum lagi keterkejutannya hilang, mendadak dari jendela meluncur masuk sebuah bayangan hitam. Begitu cepatnya, sehingga tahu-tahu di depan laki-laki setengah baya itu telah berdiri seseorang mengenakan baju hitam longgar dan panjang. Rambutnya yang panjang, meriap tidak teratur. 

Sebagian wajahnya tertutup rambut. Prabu Wijaya sedikit bergidik begitu melihat wajah orang itu. Begitu mengerikan Karena, sebelah pipinya terkelupas, sehingga menampakkan tulang pipinya yang dihiasi tulang gigi. Dan pipi sebelahnya lagi berwarna hitam bagai terbakar hangus. Tidak ada sebuah benda pun yang tergenggam di tangannya. Juga tidak ada satu senjata melekat di tubuhnya.

"Siapa kau?" tanya Prabu Wijaya setelah dapat menguasai diri.

"Wajahku memang sudah berubah, Prabu Wijaya. Tapi aku yakin kau masih dapat mengenali suaraku, sahut orang itu. Dari nada suaranya, jelas kalau dia adalah wanita. Suaranya begitu lembut dan halus, tidak sesuai dengan raut wajahnya yang mengerikan bagai sosok mayat hidup. Prabu Wijaya tertegun beberapa saat. Suara wanita berwajah bagai mayat hidup itu memang di kenalinya. Tapi...

"Tidak...! Tidak Mungkin...!" desis Prabu Wijaya dalam hati. Kepala Prabu Wijaya bergerak menggeleng perlahan beberapa kali. Tatapan matanya begitu tajam menyelidik sosok tubuh di depannya. Meskipun wajah wanita itu rusak bagai mayat hidup, tapi kulit tangan dan kakinya nampak putih mulus bagai kulit putrid bangsawan.

"Kau pasti bukan Nyai Legok! Siapa kau sebenarnya...?!" agak bergetar suara Prabu Wijaya.

"Dua puluh tahun lebih kita tidak berjumpa lagi, Prabu Wijaya. Tidak heran jika kau tidak lagi mengenaliku. Apalagi sekarang wajahku sudah demikian rusak. Apa kau masih ingat, siapa yang membuat wajahku seperti ini, Prabu Wijaya...?" tetap terdengar lembut suara wanita itu. Kembali Prabu Wijaya tertegun. 

Ingatannya kembali ke masa silam, saat dia masih muda dan gagah. Tapi ingatan itu cepat dihilangkannya. Dia masih belum yakin kalau wanita berwajah bagai mayat hidup ini adalah Nyai Legok, yang juga pernah mengisi kehidupannya. Wanita yang wajahnya pernah dirusak, dan pernah dihanyutkan ke sungai setelah diyakini sudah tidak bernyawa lagi.

"Aku tidak percaya kalau Nyai Legok masih bisa hidup," desis Prabu Wijaya perlahan, seakan-akan berbicara sendiri.

"Tapi kenyataannya demikian, Prabu Wijaya,? wanita berwajah bagai mayat hidup itu menyahuti. "Dan keris itulah yang kau gunakan untuk menyayat wajahku, dan menikam dadaku. Kau bakar wajahku hingga hangus, lalu kau buang aku ke dalam sungai. Tapi, rupanya Dewata belum berkenan memanggilku, Prabu Wijaya. Maka hingga sampai sekarang aku masih tetap hidup."

'Tidak..! Kau bukan Nyai Legok..!" bentak Prabu Wijaya.

"Aku Nyai Legok, Prabu Wijaya. Dan sekarang datang hendak menuntut balas atas perbuatanmu padaku!" kali ini nada suara wanita itu terdengar dingin.

Prabu Wijaya melangkah mundur sejauh empat tindak. Sedangkan kedua tangan wanita yang mengaku bernama Nyai Legok sudah terkepal erat. Mereka.tidak berbicara lagi, dan saling menatap tajam.

"Bersiaplah menerima pembalasanku, Prabu Wijaya...!"
***

Prabu Wijaya terperangah sesaat ketika tiba-tiba saja Nyai Legok melompat menerjang dengan ganas sekali. Kedua tangannya terentang lurus ke depan, dan jari-jari tangannya terkembang kaku bagai sepasang cakar burung elang.

"Uts...!"

Namun sebelum jari-jari tangan yang menegang kaku itu sempat menyentuh wajah, Prabu Wijaya cepat mengegoskan kepala ke kanan. Maka terkaman Nyai Legok lewat sedikit saja di samping kepala Prabu Wijaya. Bergegas laki-laki setengah baya itu melompat ke samping beberapa tindak. Dan sebelum sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, Nyai Legok sudah cepat berbalik. Langsung dilakukannya serangan berikut.

"Hiyaaat..!"
"Hup! Yeaaah...!"

Tak ada lagi kesempatan bagi Prabu Wijaya untuk berkelit menghindar. Cepat kedua tangannya dihentakkan ke depan, untuk menyambut uluran tangan Nyai Legok yang meregang kaku. Tak pelak lagi, satu benturan dua pasang telapak tangan pun terjadi.

"Akh...!" Prabu Wijaya terpekik.

Laki-laki setengah baya itu keras sekali terlempar kebelakang. Punggungnya menghantam dinding sangat keras, sehingga bergetar bagai diguncang gempa. Belum lagi dia sempat berbuat banyak, Nyai Legok sudah kembali melompat menerjang.

"Hiyaaat?!"

Prabu Wijaya cepat membanting tubuh ke lantai, lalu bergulingan beberapa kali. Hasilnya, jari-jari tangan Nyai Legok menghantam dinding hingga melesak masuk. Wanita berwajah buruk bagai mayat hidup itu menggeram sambil mencabut jari tangannya yang menembus dinding. Tubuhnya berputar, menatap tajam Prabu Wijaya yang kini sudah bersiap. Sebilah pedang sudah tergenggam di tangan laki-laki setengah baya itu.

"Dulu kau boleh mencampakkan aku seperti binatang, Prabu Wijaya. Tapi sekarang..., kau akan merasakan bagaimana terhinanya mati seperti binatang!" dingin sekali suara Nyai Legok.

"Majulah, jika ingin mati dua kali!" dengus Prabu Wijaya.

Wanita berwajah buruk itu menyeringai sinis. Tatapan matanya begitu tajam menusuk. Kakinya bergeser perlahan ke kanan. Jari-jari tangannya tetap meregang kaku, dengan kuku-kukunya yang panjang berwarna hitam. Perlahan sekali kedua tangannya digerakkan, membuat lingkaran di depan dada. Tampak dari kuku-kuku yang panjang hitam itu mengepulkan asap tipis berwarna hitam.

"Aku ingin tahu, sampai di mana kau mampu bertahan menghadapi jurus 'Cakar Beracun," sindir Nyi Legok dingin.

"Hm...," Prabu Wijaya hanya menggumam kecil.

Pedangnya dilintangkan di depan dada. Pandangannya semakin tajam, mengamati gerakan-gerakan perlahan tangan Nyai Legok. Untuk beberapa saat mereka saling menatap tajam, seakan-akan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

"Hiyaaat?!"
"Yeaaah...!"

Hampir bersamaan, mereka sama-sama melompat menyerang. Prabu Wijaya cepat mengibaskan pedangnya secara beruntun. Sedangkan tangan Nyai Legok bergerak-gerak cepat, diimbangi liukan tubuh yang indah mengagumkan. Serangan yang mereka lakukan secara bersamaan demikian cepat, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa.

"Ah...!"

Tiba-tiba saja terdengar pekikan tertahan. Tampak tubuh Prabu Wijaya deras sekali terpental ke belakang. Punggungnya menghantam dinding, hingga seluruh kamar ini bergetar bagai terguncang gempa. Dan sebelum Prabu Wijaya sempat melakukan sesuatu, Nyai Legok sudah melompat disertai rentangan tangan kanan yang lurus ke depan.

"Hiyaaat..!"
Bres!
"Aaa...!"

Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar menyayat memecah kesunyian malam ini. Prabu Wijaya terbeliak, seakan akan tidak percaya melihat tangan Nyai Legok menembus dadanya. Tubuh laki-laki setengah baya itu langsung jatuh tersungkur begitu Nyi Legok menarik tangannya. Dalam genggaman tangan wanita berwajah buruk bagai mayat hidup itu terdapat jantung yang berlumuran darah. 

Nyai Legok melompat mundur. Matanya berbinar memandangi jantung yang berhasil dikeluarkan dari dalam dada Prabu Wijaya. Sedangkan laki-laki setengah baya itu sudah tidak berkutik lagi. Darah langsung mengucur deras dari dada yang berlubang cukup besar.

Brakkk..!

Baru saja Nyai Legok hendak melompat dari kamar ini, mendadak pintu kamar yang tertutup rapat terdobrak dari luar. Beberapa orang berpakaian prajurit berhamburan masuk, mengikuti Pendeta Suratmaja, Panglima Pangkar, serta beberapa orang patih dan panglima lainnya.

Mereka memang datang terlambat, setelah mendengar suara ribut-ribut seperti orang bertempur. Sebenarnya hal ini memang kesalahan Prabu Wijaya sendiri yang tidak menempatkan beberapa prajurit depan pintu kamarnya. Tapi, dia memang punya alasan tersendiri. Dia berpikir kalau kamar pribadinya tak perlu dijaga, karena selama ini aman-aman saja. Mereka terkejut setengah mati melihat Prabu Wijaya tergeletak berlumuran darah, dan seorang wanita berwajah buruk bagai mayat hidup yang sudah bersiap hendak pergi.

"Hup...?"

Dan sebelum ada yang menyadari lebih lanjut Nyai Legok sudah melesat pergi cepat sekali. Panglima Pangkar yang lebih dahulu tersadar, langsung berteriak memerintahkan para prajurit untuk mengejar. Dia sendiri cepat melompat menerobos jendela, mengejar wanita berbaju hitam dan berwajah buruk bagai mayat hidup. Sedangkan Pendeta Suratmaja dan beberapa orang pembesar kerajaan ini mendekati Prabu Wijaya.

"Cakar Beracun...," desis Pendeta Suratmaja setelah memeriksa luka di dada Prabu Wijaya. Laki-laki tua berjubah kuning dan berkepala gundul itu mendesah panjang. Kepalanya terangkat, menatap ke luar melalui jendela yang terbuka lebar. Perlahan kakinya melangkah mendekati jendela itu. Sementara beberapa orang mulai memberesi mayat Prabu Wijaya.

"Apakah mungkin dia masih hidup...?" Pendeta Suratmaja bergumam perlahan, bertanya pada dirinya sendiri.
***

Seluruh rakyat Kerajaan Balungan berselimut duka atas kematian Prabu Wijaya. Mereka semua marah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Karena, pembunuh raja mereka tidak ketahuan di mana rimbanya. Suasana duka lebih tersirat di dalam Istana Kerajaan Balungan. Sejak kematian Prabu Wijaya, Permaisuri Ratna Nawangsih selalu saja mengurung diri dalam kamar. Bahkan sama sekali tidak ingin ditemui kedua putranya, Raden Prayoga dan Putri Dian Lestari. Hal ini membuat kedua putra Prabu Wijaya itu semakin di-rundung duka.

Dan setelah tiga hari lewat setelah kematian Prabu Wijaya, Raden Prayoga berhasil membujuk ibunya untuk bicara. Mereka bicara di dalam kamar semalaman penuh. Baru pada pagi harinya, terlihat Raden Prayoga keluar dari kamar ibunya. Pemuda berusia sekitar dua puluh tahun itu tidak langsung menuju kamarnya sendiri, tapi menuju ke kaputren, begitu melihat sekilas adiknya berada di sana.

"Rayi Dian...."
"Oh...!" Dian Lestari tampak terkejut.

Cepat gadis itu memberi senyuman tipis begitu melihat kakaknya tahu-tahu sudah berada dalam taman keputren ini. Sedapat mungkin dukanya berusaha disembunyikan, namun sama sekali tidak bisa lenyap dari wajah dan sinar matanya. Raden Prayoga kemudian duduk di samping gadis ini.

"Sudah lama kau berada di sini, Rayi?" tanya Raden Prayoga lembut.

"Sejak semalam," sahut Dian Lestari pelan. Hampir tidak terdengar suaranya.

"Tidak tidur?"

Dian Lestari menggeleng perlahan. Matanya memandang lurus ke depan, seakan-akan ingin menyembunyikan sesuatu dari pengamatan kakaknya ini.

"Semalaman aku juga tidak tidur," kata Raden Prayoga.

"Aku tahu."
"Kau tahu...?"

Dian Lestari menatap pemuda yang duduk di sampingnya. Beberapa saat mereka saling berpandangan. Perlahan kemudian, gadis itu mengarahkan pandangan ke arah lain.

"Apa saja yang kau bicarakan dengan ibu, Kakang?" tanya Dian Lestari.

"Banyak," sahut Raden Prayoga.
"Ibu pasti masih membenci ku," lirih sekali suara Dian Lestari.

"Tidak. Bahkan ibu ingin berbicara denganmu."

Gadis itu menggelengkan kepala. Sinar matanya terlihat semakin redup.

"Seharusnya aku yang mati, Kakang. Bukan ayah...," terasa sendu nada suara Dian Lestari.

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Rayi. Kalau pembunuh itu sudah tertangkap, pasti semuanya akan jelas," hibur Raden Prayoga.

"Kau tidak tahu, Kakang. Semua ini salahku. Maka sudah sepantasnya kalau aku mendapatkan hukuman. Bahkan seharusnya akulah yang dibunuh. Aku tidak menyalahkan, jika ibu membenci ku seumur hidup."

"Tapi ibu tidak membenci mu, Rayi. Ibu ingin bicara denganmu."

"Kau hanya menghibur ku saja, Kakang."

"Tidak Aku bicara yang sebenarnya. Ibu banyak bertanya tentang keadaanmu. Ibu sangat rindu padamu, Rayi. Temuilah, dan bicara padanya."

Dian Lestari menggelengkan kepala. Bibirnya tersenyum, namun begitu tipis dan hambar. Sama sekali tidak dipercaya kalau ibunya merindukan, dan ingin bicara dengannya. Dia tahu kalau ibunya begitu membenci dan menyalahkan dirinya yang telah menyebabkan ayah mereka dibunuh seseorang yang tidak dikenal.

"Aku akan mengantarkanmu menemui ibu, Rayi!" bujuk Raden Prayoga lagi.

"Untuk apa bersusah payah, Kakang? Tidak ada gunanya," tolak Dian Lestari.

"Percayalah padaku, Rayi."

Dian Lestari terdiam. Kata-kata kakaknya dipertimbangkannya. Meskipun hatinya tetap berpendirian kalau Raden Prayoga hanya menghibur saja tapi melihat kesungguhan itu, dia jadi berpikir juga. Mungkinkah ibunya rindu dan ingin bicara dengannya...? Atau ini hanya rencana Raden Prayoga saja untuk mempertemukannya dengan ibu?

Dian Lestari tidak dapat melupakan. Malam ini saat mereka diberi tahu tentang kematian Prabu Wijaya, Permaisuri Retna Nawangsih langsung memarahi putrinya ini. Dian Lestari langsung dituduh sebagai penyebab kematian Prabu Wijaya. Bahkan Permaisuri Ratna Nawangsih bersumpah, tidak akan mengakui Dian Lestari sebagai putrinya lagi. Pedih hati gadis ini. Tapi, semua itu memang sudah diduga. Dan dia hanya dapat menerima dengan lapang dada.

"Ayo, Rayi. Aku rasa ibu sedang menunggu, desak Raden Prayoga.

"Nanti saja, Kakang," tolak Dian Lestari.

"Tidak perlu kalian repot menemuiku...."

Kakak beradik itu terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar suara lembut dari arah belakang. Mereka sama-sama menoleh, dan langsung beranjak bangkit dari duduk. Sebentar kemudian, mereka berlutut memberi sembah. Di depan mereka kini berdiri seorang wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun. Garis ketuaan memang sudah membayangi wajahnya. Namun dia masih kelihatan cantik dan anggun. Meskipun, sorot matanya nampak mendung terselimut duka.

"Ibu..., terimalah sembah kami," ucap Raden Prayoga.

"Duduklah. Tidak perlu kalian bersikap begitu padaku," kata Permaisuri Retna Nawangsih lembut. Wanita hampir separuh baya yang masih kelihatan cantik dan anggun itu duduk di kursi taman. Sedangkan Raden Prayoga dan adiknya duduk di kursi lain. Tampak Dian Lestari terus menundukkan kepala, seakan-akan tidak sanggup memandang wajah wanita didepannya ini.

"Aku sudah bicara pada Pendeta Suratmaja dan pembesar lainnya, untuk mempersiapkan penobatanmu sebagai raja, Prayoga," jelas Permaisuri Retna Nawangsih.

"Ibu.... Apakah itu tidak terlalu cepat? Belum lagi empat puluh hari Ayahanda Prabu mangkat," Raden Prayoga terkejut mendengar pemberitahuan itu.

"Singgasana tidak baik dibiarkan kosong terlalu lama, Prayoga. Semua sudah ibu atur."

'Tapi...," suara Raden Prayoga tercekat di tenggorokan. Pemuda itu ingin menolak, tapi tidak sanggup mengatakannya. Dia tidak ingin mengecewakan hati wanita ini. Sementara Permaisuri Retna Nawangsih menatap Dian Lestari yang masih tetap tertunduk.

"Dan kau, Dian. Selesai hari penobatan nanti, akan dikirim kepada Eyang Wanari," jelas Permaisuri Retna Nawangsih.

"Nanda bersedia, Ibu," sahut Dian Lestari perlahan. Dia memang sudah tidak bisa lagi berkata apa-apa. Dan baginya, segala keputusan yang telah diambil ibunya harus dituruti tanpa dapat dibantah lagi. halnya Raden Prayoga. Dia seperti tidak senang adiknya harus bersama Eyang Wanari. Dian Lestari harus tinggal di tempat yang sunyi, di puncak gunung. Tanpa ada kawan yang menemani. Hanya seorang pertapa tua yang akan menempa gadis ini dengan keras.

Tapi Raden Prayoga juga tidak bisa membantah. Dia hanya diam saja, sambil memandangi adinya penuh iba. Dia tidak tahu, kenapa semua musibah ini harus dipikul Dian Lestari. Kenapa bukan dirinya saja yang pasti lebih mampu dan kuat menanggungnya? Raden Prayoga merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua peristiwa ini. 

Namun itu tidak bisa dikatakannya sekarang. Masih terlalu gelap, dan sukar diduga-duga. Kakak beradik itu masih tetap duduk di tempatnya meskipun Permaisuri Retna Nawangsih sudah meninggalkan tempat itu. Agak lama juga mereka berdiam sampai Permaisuri Retna Nawangsih sudah tidak terlihat lagi di taman keputren ini.

"Rayi Dian...," panggil Raden Prayoga perlahan. Kepala Dian Lestari terangkat perlahan. Tampak titik air bening menggulir jatuh di pipinya yang halus, putih agak kemerahan. Terasa sesak dada Raden Prayoga melihat air mata menggulir di pipi gadis ini. Ingin dihapus dan diberikannya kata-kata manis untuk menghibur. Tapi semua itu terasa sulit dilakukannya. Hingga mereka hanya bisa diam dan saling pandang.

Dian Lestari bangkit berdiri. Perlahan kakinya diayunkan meninggalkan taman itu. Sedangkan Raden Prayoga hanya dapat memandangi, tanpa mampu melakukan sesuatu. Keputusan yang diambil ibu mereka memang sangat berat, dan sangat tidak adil. Namun itu sudah terjadi, dan mereka tidak dapat berbuat apa-apa untuk membatalkannya. Mungkin sudah takdir kalau mereka harus berpisah untuk jangka waktu yang sulit ditentukan.

"Maafkan aku, Rayi. Tapi aku berjanji, akan sering datang mengunjungimu," ucap Raden Prayoga pelan.
***
TIGA
Mendung yang menyelimuti Kerajaan Balungan, sudah benar-benar terusir. Seluruh rakyat di kerajaan itu kini terlihat cerah dan gembira. Wajah Kotaraja Balungan juga benar-benar cerah, dihiasi umbul-umbul yang menyemaraki di setiap sudut kota. Suasana meriah, sangat terasa di Istana Kerajaan Balungan. Hari ini merupakan hari bersejarah bagi seluruh rakyat Balungan, karena Raden Prayoga akan dinobatkan menjadi raja. 

Pemuda itu menggantikan ayahnya yang sudah meninggal, karena dibunuh seseorang yang tidak dikenal. Semua orang, baik pembesar, prajurit, punggawa, patih, panglima dan kerabat keluarga mendiang Prabu Wijaya sudah berkumpul di Balai Sema Agung. Mereka semua ingin menyaksikan penobatan Raden Prayoga. Namun pemuda itu sendiri masih berada dalam kamarnya, bersama Raden Ayu Dian Lestari.

"Semua sudah menunggu di Balai Sema Agung, Kakang," jelas Dian Lestari.

"Iya, sebentar lagi," sahut Raden Prayoga tanpa membalikkan tubuhnya.

Pemuda itu berdiri di depan jendela, menghadap ke luar. Sejak pagi buta tadi, dia terus berdiri di sana tanpa bergeming sedikit pun. Sedangkan Dian Lestari sudah kelima kalinya memberi tahu kalau semua orang sudah menunggu di Balai Sema Agung. Dan jawaban Raden Prayoga selalu sama. "Sebentar lagi."

"Ada apa, Kakang? Kenapa Kakang tidak mau keluar...?" tanya Dian Lestari.

Gadis ini merasakan ada sesuatu yang sedang dipikirkan kakaknya, sehingga tidak juga mau keluar dari dalam kamarnya. Sedangkan yang ditanya hanya menghembuskan napas panjang saja. Perlahan tubuhnya diputar, lalu menatap adiknya dalam-dalam. Dian Lestari tercenung sesaat mendapat tatapan yang begitu dalam dan penuh arti. Kemudian kepalanya tertunduk tidak sanggup membalas tatapan mata pemuda ini.

"Apa sebenarnya yang Kakang pikirkan...?" tanya Dian Lestari lagi. Kali ini suaranya terdengar pelan sekali.

"Entahlah, Rayi. Aku merasa seperti akan terjadi sesuatu yang sangat besar. Sesuatu yang tidak pernah dipikirkan semua orang," sahut Raden Prayoga, bernada ragu-ragu.

"Memang akan terjadi sesuatu yang besar dan bersejarah bagi seluruh rakyat Balungan, Kakang. Untuk pertama kalinya mereka akan mendapat seorang raja muda yang belum mempunyai pendamping," sambut Dian Lestari mencoba berseloroh.

"Kau cepat sekali melupakan duka yang belum terhapus, Rayi," pancing Raden Prayoga yang merasa heran atas perubahan sikap adiknya yang begitu cepat.

Dian Lestari tidak lagi kelihatan bersedih. Bahkan tampak riang. Sering dia melontarkan kata-kata yang dapat memancing orang tersenyum geli. Bahkan dalam dua hari ini, Raden Prayoga selalu mengamati kalau adiknya ini sering berpenampilan lain dari biasanya. Suatu perubahan yang sangat menyolok pada diri Dian Lestari. Perubahan itu terlihat sehari setelah Permaisuri Retna Nawangsih menemui mereka di taman keputren.

"Aku tidak ingin memikirkan semua itu, Kakang. Aku sudah mencoba untuk menerima semua kenyataan ini dengan lapang dada dan senyuman di bibir," sahut Dan Lestari kalem.

"Benar begitu?" Raden Prayoga tidak percaya.
"Sumpah...."

Raden Prayoga mengangkat bahunya. Pemuda itu masih belum percaya, tapi tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini. Kembali matanya memandang ke luar melalui jendela.

"Keluar sekarang, Kakang. Mereka sudah menunggu," ajak Dian Lestari setengah merengek manja.

Kemanjaan inilah yang dalam beberapa hari sempat hilang, namun sekarang muncul lagi. Kerinduan Raden Prayoga pada kemanjaan adiknya ini berangsur lenyap. Tapi jika teringat kalau mereka akan berpisah untuk jangka waktu yang lama dan tidak ditentukan, kepedihan terukir di hatinya.

"Kau tampak bingung sekali, Kakang. Apa yang kau pikirkan?" tanya Dian Lestari agak mendesak.

Raden Prayoga tidak segera menjawab. Dia benar-benar tidak tahu, apa yang sedang dirasakan hatinya saat ini. Begitu dekat dan terasa jelas sekali, namun sukar diungkapkan. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa merasa enggan hadir di Balai Sema Agung. Perasaannya mengatakan, kalau sebentar lagi akan terjadi sesuatu yang besar. 

Sesuatu yang tidak akan pernah bisa dilupakan. Hanya saja dia tidak tahu, peristiwa apa yang akan terjadi nanti. Raden Prayoga melangkah menghampiri adiknya. Kedua tangannya dijulurkan, dan diletakkan di bahu gadis itu. Untuk beberapa saat mereka saling bertatapan, dengan sinar mata yang mengandung arti sangat dalam. Dan hanya mereka sendiri yang bisa mengetahui artinya.

"Rayi! Seandainya terjadi sesuatu, kau harus tetap bersamaku. Jangan sekali-sekali terpisah dariku, walau hanya satu langkah," ujar Raden Prayoga.

"Ada apa sebenarnya, Kakang?" tanya Dian Lestari semakin tidak mengerti.

"Terus terang, aku sendiri belum tahu. Tapi perasaanku mengatakan akan terjadi sesuatu, yang mungkin bisa memisahkan kita berdua. Kau dan aku, atau ibu," jelas Raden Prayoga agak mendesah.

"Maksud, Kakang..?" Dian Lestari meminta penjelasan lagi.

"Kau masih ingat kutukan Nini Anjar, Rayi...?" Raden Prayoga seperti mengingatkan.

Dian Lestari terdiam, namun wajahnya mendadak saja memucat. Tidak mungkin kutukan yang dijatuhkan Nini Anjar padanya bisa terlupakan. Dan kabar kutukan itu akhirnya meluas sampai ke seluruh wilayah Kerajaan Balungan ini. Memang dalam hari-hari belakangan ini, tepatnya setelah kematian Prabu Wijaya tidak pernah terjadi sesuatu yang bisa mengingatkan orang akan kutukan Nini Anjar. 

Bahkan tampaknya semua orang sudah melupakan kejadian itu. Dian Lestari sendiri, sebenarnya sudah tidak ingin mengingat-ingat lagi. Bahkan kutukan itu dianggapnya tidak pernah ada, dan tidak akan terjadi pada dirinya. Namun begitu kembali diingatkan kakaknya, wajahnya langsung pucat pasi. Dian Lestari benar-benar tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Lidahnya terasa keluh.

"Kau mau dengar cerita ku, Rayi...?" pelan sekali suara Raden Prayoga, seakan-akan takut ada orang lain yang mendengar.

"Cerita apa?" tanya Dian Lestari.
"Semalam aku seperti didatangi seseorang. Seperti mimpi, tapi yakin kalau aku sadar...," Raden Prayoga memulai ceritanya.

Dian Lestari mendengar penuh perhatian.

"Dia mengenakan pakaian serba hitam. Bahkan wajahnya pun hitam, seperti hangus terbakar...."

"Ah...!" Dian Lestari terpekik kaget.
"Ada apa, Rayi?"

"Tidak..., Tidak apa-apa. Teruskan, Kakang."

"Orang itu mengatakan, kalau bukan aku yang seharusnya jadi raja. Tapi, ada orang lain yang lebih pantas dan berhak menduduki tahta, menggantikan Ayahanda Prabu. Kalau aku menerima dan sampai dinobatkan, maka satu persatu orang-orang yang berhubungan dengan penobatan ini akan mati. Terutama pihak keluarga dan para kerabat," lanjut Raden Prayoga.

Dian Lestari terdiam membisu. Pikirannya jadi kalut. Terlebih lagi setelah mendengar Raden Prayoga mengatakan orang yang datang menemuinya memakai baju hitam, dan berwajah hangus seperti terbakar. Bayangan gadis itu langsung tertuju pada Nini Anjar.

"Kakang.... Apa tidak mungkin kalau orang itu...," Dian Lestari tidak melanjutkan kata-katanya.

"Itulah sebabnya, kenapa aku tadi mengingatkan mu, Rayi," Raden Prayoga sudah bisa mengerti.

Lalu, bagaimana sekarang?"

"Entahlah...," sahut Raden Prayoga mendesah. Aku belum bisa memutuskan. Aku tidak ingin mempercayai mimpi itu. Tapi setiap kali hendak ke Balai Sema Agung, kembali terlintas bayangan orang itu, Rayi. Dan setiap kali itu pula, perasaanku selalu menyatakan kalau akan terjadi sesuatu."

"Apa tidak sebaiknya hal ini dibicarakan pada ibu, Kakang?" saran Dian Lestari.

"Aku tidak ingin membuat hati ibu kecewa."

"Tapi kau harus memutuskan sekarang juga, Kakang. Atau sebaiknya kau tetap dinobatkan menjadi raja. Biarlah semua itu kita hadapi bersama," kembali Dian Lestari memberi saran.

Raden Prayoga terdiam merenung. Agak lama juga saran yang diajukan adiknya ini dipikirkan. Perlahan wajahnya berpaling memandang ke arah pintu. Pada saat itu terdengar ketukan dari luar. Belum juga Raden Prayoga dan Dian Lestari membuka suara, pintu kamar ini sudah terbuka. Dan mendadak saja...

"Heh...?!"
Slap!

Raden Prayoga belum juga bisa melakukan sesuatu, ketika tiba-tiba dari pintu yang terbuka melesat sebuah bayangan hitam. Langsung disambarnya Dian Lestari. Begitu cepatnya bayangan hitam itu bergerak, tahu-tahu sudah kembali berkelebat ke luar melalui jendela sambil membawa gadis itu.

"Kakang, tolooong...!" jerit Dian Lestari.

"Rayi...!" Raden Prayoga tersentak dari keterkejutannya.

Namun begitu tubuhnya diputar ke arah jendela, bayangan hitam itu sudah tidak terlihat lagi. Bergegas Raden Prayoga berlari ke jendela. Bayangan hitam itu benar-benar sudah lenyap tak berbekas sama sekali. Pemuda itu cepat berlari ke pintu, lalu tersentak kaget. Ternyata empat orang prajurit yang bertugas menjaga di depan pintu sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Dari dada dan leher mengucurkan darah segar.

"Pengawal..!" teriak Raden Prayoga sekeras-kerasnya.
***

Upacara penobatan Raden Prayoga terpaksa dibatalkan akibat menghilangnya Raden Ayu Dian Lestari. Separuh prajurit, semua jawara, serta panglima-panglima andalan, langsung menyebar ke seluruh pelosok negeri, untuk mencari Raden Ayu Dian Lestari. Namun hingga siang berganti malam, belum juga ada yang menemukan gadis itu. Sementara Raden Prayoga semakin kelihatan gelisah saja dalam kamarnya.

"Aku tidak bisa diam menunggu saja. Apa pun yang akan terjadi, Dian harus kucari," gumam Raden Prayoga.

Pemuda itu menghampiri lemari yang terbuat dari kayu jati berukir. Perlahan dibukanya pintu lemari yang cukup besar itu. Dari dalam lemari ini, dikeluarkan sebuah pedang bergagang penuh batu-batu mutiara. Pedang peninggalan ayahnya. Sebentar pedang itu diamati kemudian dipasangnya di pinggang. 

Namun belum juga melangkah keluar dari kamar, pintu sudah terbuka. Kini muncul Permaisuri Retna Nawangsih, yang langsung tertegun melihat putranya seperti sudah siap hendak pergi. Lebih tertegun lagi, saat melihat di pinggang pemuda itu sudah tersampir pedang pusaka peninggalan Prabu Wijaya.

"Akan ke mana dengan pedang itu?" Tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Aku harus mencari Rayi Dian, Bu," sahut Raden Prayoga.

"Hampir seluruh prajurit sudah mencarinya, Prayoga. Tunggu saja laporan mereka."

"Tidak, Ibu. Aku tidak bisa diam dan menunggu di sini. Aku harus mencari Rayi Dian," tegas Prayoga menolak.

"Ke mana akan mencarinya?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

Raden Prayoga tidak menjawab. Dia memang tidak tahu, ke mana harus mencari adiknya. Yang ada dalam pikirannya, dia tidak mungkin bisa tinggal di istana ini sambil menunggu laporan saja. Hatinya sudah mantap. Ke manapun, dia harus mencari Dian Lestari. Entah kenapa, hatinya begitu cemas mengkhawatirkan keselamatan gadis itu.

"Aku harus pergi, Bu," pamit Raden Prayoga.

"Tunggu!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih.

Raden Prayoga mengurungkan ayunan kakinya.

"Kau tidak boleh meninggalkan istana ini. Dian Lestari sedang menjalani kutukannya. Kau harus merelakannya pergi," tegas dan mantap sekali suara wanita separuh baya ini.

Raden Prayoga jadi tersentak mendengar kata-kata ibunya. Belum pernah terdengar ibunya berkata macam demikian. Dan sepertinya, Permaisuri Retna Nawangsih tidak peduli atas hilangnya Dian Lestari. Raden Prayoga kini percaya kalau wanita separuh baya ini sama sekali tidak menghiraukan apa yang telah terjadi pada anak gadisnya.

"Kenapa Ibu berkata seperti itu?" tanya Raden Prayoga ingin tahu.
"Adikmu sudah mendapat kutukan. Dan kutukan itu tidak akan bisa dilawan oleh apa pun juga. Tidak ada gunanya kau mencarinya, Prayoga," tetap tegas nada suara Permaisuri Retna Nawangsih.

Tapi, Bu...."
"Cukup!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih cepat, memotong ucapan anaknya.

Raden Prayoga langsung terdiam. Hatinya semakin heran atas sikap ibunya. Sebelum ini, wanita separuh baya itu kelihatan begitu sayang dan mencintai Dian Lestari. Tapi, mengapa tiba-tiba saja jadi berubah tidak peduli? Keheranan Raden Prayoga semakin bertambah, karena memang belakangan ini sikap ibunya selalu berubah-ubah. Bahkan gampang sekali marah. Namun pemuda itu tidak ingin berpikir yang bukan-bukan.

"Aku hanya mengatakan sekali saja, Prayoga. Jika kau tetap tidak mau menuruti kata-kataku, terserah. Segala akibatnya tanggunglah sendiri," tegas Permaisuri Retna Nawangsih. Suaranya tetap tegas. Bahkan terdengar datar, tanpa tekanan sama sekali.

Setelah berkata demikian, Permaisuri Retna Nawangsih berbalik, lalu berjalan keluar dari kamar ini. Tinggal Raden Prayoga yang kelihatan bingung. Benaknya jadi kacau, dan terus bertanya-tanya tentang sikap Ibunya yang dirasakan sangat aneh.

"Kenapa ibu jadi seperti itu...?" Raden Prayoga bertanya-tanya sendiri. Pemuda ini jadi ragu ragu. Kini tubuhnya dihenyakkan di kursi dekat jendela. Keningnya berkerut dalam, pertanda sedang berpikir keras. Sungguh sulit dipahami sikap ibunya yang begitu tidak peduli akan nasib Dian Lestari saat ini.

"Belakangan ini ibu selalu memanjakan Rayi Dian. Segala apa keinginannya selalu dituruti. Tapi, kenapa sekarang jadi berbalik begini...? Aku benar-benar tidak mengerti sikap ibu. Cepat sekali berubah, dan selalu mengambil keputusan tiba-tiba," Raden Prayoga berbicara sendiri.

Pemuda itu terus merenung setelah cukup lama duduk diam sambil berpikir, perlahan dia bangkit berdiri seraya menghembuskan napas panjang. Tangannya menepuk-nepuk gagang pedang yang tersampir dipinggang. Sebentar kemudian kakinya melangkah keluar dari kamar ini dengan hati mantap.

"Tampaknya ada suatu rahasia yang tersembunyi, dan aku harus memecahkannya. Dan yang terpenting, menemukan kembali Rayi Dian. Aku tidak peduli apa-pun yang akan terjadi," tekad hati Raden Prayoga.

Pemuda itu terus mengayunkan kakinya dengan mantap, semakin jauh meninggalkan kamarnya. Dia terus berjalan menuju bagian belakang bangunan istana ini. Beberapa prajurit yang berpapasan, memberi hormat. Tapi dari sorot mata, mereka jelas bertanya-tanya. Karena, tidak biasanya Raden Prayoga menuju istal sambil membawa pedang. Sementara itu tanpa sepengetahuannya, tampak dari balik sebuah jendela seorang perempuan separuh baya memperhatikan Raden Prayoga. Dia terus memperhatikan tanpa tidak berkedip.

"Anak ini benar-benar tidak bisa dipisahkan dari Dian. Aku jadi khawatir...," wanita itu berbicara sendiri. Begitu pelan suaranya, dan hanya dirinya sendiri yang dapat mendengar.

Sementara Raden Prayoga sudah keluar dari bangunan bagian belakang istana, dan terus menuju sebuah bangunan yang cukup besar. Bangunan tempat merawat kuda. Ayunan kakinya begitu mantap, semantap hatinya.
***

Raden Prayoga memacu cepat kudanya, bagaikan dikejar setan saja. Semakin jauh meninggalkan kota, semakin cepat kudanya digebah. Arah yang dituju jelas, ke Gunung Watujajar. Memang hanya ada satu tujuan di kepalanya, yaitu Pertapaan Lebak Garing yang berada di Puncak Gunung Watujajar. Tidak ada lagi tempat untuknya mengadu, selain Eyang Wanari. Laki-laki tua itu berusia sekitar seratus tahun. Dia dulu menjadi guru Prabu Wijaya, juga yang mengajarkan ilmu-ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan pada Raden Prayoga.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Raden Prayoga terus menggebah kudanya agar berlari lebih kencang lagi. Kuda putih tinggi tegap dan berotot itu, mendengus-dengus kelelahan. Namun binatang itu terus berlari kencang.

"Berhenti..!"

Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras menggelegar. Raden Prayoga terkejut mendengarnya. Bentakan itu seakan-akan berada tepat di depan telinganya. Bahkan juga sempat mengejutkan kuda putih yang ditungganginya, sehingga meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Kalau saja Raden Prayoga tidak cepat melompat, pasti sudah terlempar dari punggung kuda putih itu. Dan begitu kaki Raden Prayoga menjejak tanah, kuda putih itu langsung berlari kabur.

"Hei...! Tunggu...!" teriak Raden Prayoga.

Namun kuda putih itu terus berlari kencang, tidak mempedulikan teriakan majikannya. Raden Prayoga hanya berdiri memandangi saja. Kuda putih itu sudah demikian jauh, tak mungkin terkejar lagi. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"Hm..., siapa tadi yang berteriak mengejutkan...? gumam Raden Prayoga, bertanya pada dirinya sendiri.

Belum sempat Raden Prayoga berpikir lebih jauh lagi, mendadak dari arah samping kanannya berkelebat sebuah bayangan hitam. Pemuda itu tersentak kaget, namun cepat melompat ke belakang. Dia berputaran di udara dua kali, sebelum menjejakkan kakinya dengan manis di tanah.

"Siapa kau...?!" bentak Raden Prayoga.
"Ha ha ha...!"

Raden Prayoga terhenyak, begitu tahu-tahu di depannya sudah berdiri seseorang mengenakan baju warna hitam dari kain sutra halus. Matanya lebih terbeliak lebar, saat melihat wajah orang itu bagaikan hangus terbakar. Dari bentuk tubuh dan suara tawanya, jelas kalau orang itu adalah wanita.

"Untuk apa kau meninggalkan istana, Prayoga?" terdengar dingin suara orang serba hitam itu.

"Itu bukan urusanmu!" dengus Raden Prayoga. Pemuda itu langsung meraba gagang pedangnya yang tergantung di pinggang. Dia tahu, kalau kini sedang berhadapan dengan pembunuh ayahnya. Seorang wanita yang diduga sebagai Nini Anjar. Raden Prayoga tidak lagi bersikap hormat. Apalagi bermanis-manis. Dan dia sudah yakin kalau orang ini yang menculik Dian Lestari dari depan hidungnya.

"Di mana kau sembunyikan adikku?" bentak Raden Prayoga.

"Adikmu yang mana, Prayoga?" orang serba hitam itu malah balik bertanya.

"Aku tidak punya waktu bermain-main denganmu, Nini Anjar!" sentak Raden Prayoga, langsung menyebut nama orang itu.

"Ha ha ha...! Kenapa kau berpikir kalau aku ini Nini Anjar Prayoga? Apakah aku mirip gadis itu?"

Raden Prayoga menggeser kakinya sedikit ke kanan. Pandangan matanya begitu tajam menusuk mengamati wajah yang hitam hangus. Kemudian seluruh tubuh wanita itu diamati dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.

"Kau tidak bisa menipuku, Nini Anjar. Katakan di mana kau sembunyikan adikku?!" dengus Raden Prayoga. Sama sekali pemuda itu tidak melihat adanya perbedaan, dan tidak percaya kalau wanita ini bukan Nini Anjar. Bentuk tubuh dan pakaiannya sama persis dengan Nini Anjar. Hanya saja, wajah dan seluruh tangan serta kakinya berwarna hitam pekat seperti arang. Terlebih lagi jika memandang wajahnya. Sungguh tidak sedap sekali. Wajah yang hitam, dengan bintik-bintik seperti bisul, membuat bentuk wajahnya tidak lagi beraturan.

"Kenapa kau menuduhku menculik adikmu, yoga?" wanita itu malah balik bertanya. Namun suaranya masih saja terdengar datar.

"Kau membunuh ayahku! Lalu kau menculik adikku, di depan hidungku sendiri. Sungguh memalukan. Masih juga mau mungkir," dengus Raden Prayoga.

"Ketahuilah, Prayoga. Aku bukan Nini Anjar. Dan aku tidak membunuh ayahmu. Apalagi menculik adikmu. Aku bernama Rara Ireng. Dan biasanya orang selalu memanggilku Gadis Hitam," wanita serba hitam ini memperkenalkan dirinya.

"Kau mau membela diri rupanya, Nisanak," tegas Raden Prayoga sinis.

"Aku mengatakan yang sebenarnya. Dan lebih baik kau kembali lagi ke istana. Kau akan menyesal jika meninggalkan istana, Prayoga," kali ini suara wanita itu terdengar tenang.

Raden Prayoga kembali memandangi wanita itu. Namun bibirnya tersenyum sinis. Sama sekali tidak di-percayainya kata-kata wanita serba hitam ini. Sudah jelas kalau yang membunuh Prabu Wijaya adalah wanita berbaju hitam yang mukanya menghitam hangus. Dan dia sendiri melihat, kalau yang menculik Dian Lestari adalah orang berbaju hitam. Walaupun, hanya bayangannya saja yang terlihat berkelebat cepat.

"Kau pikir aku akan percaya begitu saja, Nisanak," dengus Raden Prayoga dingin.

Sret!

Raden Prayoga mencabut pedangnya. Wanita serba hitam yang mengaku bernama Rara Ireng langsung melangkah mundur dua tindak. Kedua matanya menyorot tajam melihat pedang yang berada di tangan Raden Prayoga.

"Kau terlalu gegabah menggunakan pedang itu, Prayoga," desis Rara Ireng tajam.

"Ha ha ha.... Rupanya kau sudah gentar hanya melihat pedangku ini, Nisanak."
"Jangan main-main dengan pedang itu, Prayoga. Masukkan kembali ke warangkanya."

"Pedang ini akan masuk kembali ke warangka setelah meminum darahmu."

"Masukkan, kataku!" bentak Rara Ireng keras.

Raden Prayoga malah tersenyum tipis. Pedangnya dimain-mainkan di depan dada. Mata pedang itu berkilat keperakan menyilaukan mata. Rara Ireng kembali menggeser kakinya dua tindak ke belakang. Mulutnya mendesis bagai ular, melihat Raden Prayoga malah melangkah maju dengan pedang direntangkan lurus kedepan.

"Katakan, di mana kau sembunyikan adikku. Atau pedang ini yang akan berbicara," geram Raden Prayoga dingin menggetarkan.

"Sudah kukatakan, aku tidak menculik Dian Lestari!" bentak Rara Ireng.
"Kau menginginkan pedang ini yang bicara, heh! Baik, terimalah seranganku ini. Hiyaaat..!"

Raden Prayoga tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Dia melompat cepat bagai kilat menerjang wani-ta berbaju hitam yang seluruh wajah dan tubuhnya berwarna hitam legam itu.

"Hup! Yeaaah...!"

Rara Ireng bergegas melentingkan tubuh ke udara lalu melesat cepat melewati kepala Raden Prayoga. Namun tanpa diduga sama sekali, Raden Prayoga cepat mengibaskan pedangnya, menebas ke arah perut wanita serba hitam itu.

Bet!
"Uts!"

Cepat Rara Ireng memutar tubuhnya, lalu berjumpalitan di udara untuk menghindari tebasan pedang bergagang penuh batu mutiara itu. Dan setelah berputaran beberapa kali di udara, kakinya mendarat turun ditanah dengan manis sekali.

"Hiyaaa...!"

Tapi sebelum wanita serba hitam itu melakukan sesuatu, Raden Prayoga sudah kembali memberi serangan dengan pedangnya. Terpaksa Rara Ireng harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dengan cepat dan dahsyat. Pedang di tangan Raden Prayoga seperti memiliki mata saja. Kemana pun Rara Ireng berusaha menghindar, selalu diburu dengan cepat. Rara Ireng seperti tidak menyangka kalau jurus-jurus yang dimainkan Raden Prayoga begitu dahsyat dan berbahaya. Beberapa kali matanya terbeliak, karena hampir terbabat oleh pedang itu. Namun karena kelincahan gerak dan ketajaman matanya, dia masih mampu menghindar. Meskipun dengan susah payah.
***
EMPAT
Jurus demi jurus berlalu cepat, dan silih berganti. Tanpa terasa, Raden Prayoga sudah menghabiskan lebih dari dua puluh jurus, namun belum juga mendesak lawan yang mengaku bernama Rara Ireng atau berjuluk Gadis Hitam. Sedangkan sampai sejauh ini, Rara Ireng belum juga memberi serangan berarti. Dia seperti sengaja, tidak menyerang Raden Prayoga.

"Cukup, Prayoga. Tidak ada gunanya menyerangku...!" bentak Rara Ireng.

Tapi peringatan itu tidak dipedulikan Raden Prayoga. Pemuda itu terus menyerang lewat jurus-jurusnya yang cepat dan berbahaya. Sedangkan Rara Ireng masih saja berkelit, menghindari setiap serangan.

"Kau benar-benar keras kepala, Prayoga!" desis Rara Ireng mulai tidak sabar.

Pada saat itu, Raden Prayoga mengibaskan pedang ke arah kepala. Tapi manis sekali, Rara Ireng menarik kepalanya ke belakang. Maka tebasan pedang pemuda itu tidak sampai mengenai kepalanya.

"Maaf, aku harus menghentikan mu!" ujar Rara Ireng agak tersengal.

Setelah berkata demikian, Rara Ireng langsung memberi serangan-serangan tangan kosong yang cepat. Begitu mendapat serangan, Raden Prayoga jadi kewalahan. Tubuhnya berjumpalitan, berusaha menghindari serangan-serangan yang dilancarkan perempuan serba hitam itu. Akibatnya, dia tidak mempunyai kesempatan sedikit pun untuk memberikan serangan kembali.

"Lepas...!" tiba-tiba saja Rara Ireng berseru lantang. Dan seketika itu juga tangan kirinya dihentakkan menyampok pergelangan tangan kanan Raden Prayoga. Begitu cepat sampokan itu, sehingga Raden Prayoga tidak punya kesempatan mengelak lagi.

Plak!
"Akh...!"

Raden Prayoga terpekik tertahan. Cepat pemuda itu menarik tangannya, tapi tidak bisa lagi mempertahankan pedangnya yang langsung mencelat lepas. Pedang itu melayang tinggi ke angkasa. Rara Ireng cepat melompat mengejar pedang itu, sebelum Raden Prayoga bertindak. Namun begitu tangan Rara Ireng hampir saja mencapai pedang yang melayang itu, mendadak saja....

Slap!
"Heh...?!"

Rara Ireng tersentak kaget begitu tiba-tiba sebuah bayangan kuning kehitaman berkelebat cepat menyambar pedang itu. Cepat tubuhnya meluruk turun lalu manis sekali mendarat di tanah. Kedua matanya terbeliak lebar begitu tahu-tahu di depannya berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya dari kulit harimau, dan di tangannya kini terdapat pedang Raden Prayoga yang terpental ke udara tadi.

"Huh!" dengus Rara Ireng.

Cepat dia memutar tubuhnya, dan secepat itu pula melesat pergi. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuh wanita serba hitam itu sudah lenyap dari pandangan. Pemuda berbaju kulit harimau itu menghampiri Raden Prayoga.

"Terima kasih," ucap Raden Prayoga seraya menerima pedangnya yang disodorkan pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Kau terluka?" tanya pemuda itu.
"Hanya nyeri sedikit di pergelangan," sahut Raden Prayoga.

"Hm...," pemuda berbaju kulit harimau itu menggumam kecil, lalu berpaling menatap ke arah Rara Ireng pergi.

"Kalau boleh aku tahu, siapa Kisanak ini?" tanya Raden Prayoga meminta.
"Aku Bayu," sahut pemuda berbaju kulit harimau ini memperkenalkan diri.

Pemuda itu memang bernama Bayu, yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Bayu kembali berpaling, menatap Raden Prayoga. Langsung ditanyakannya nama pemuda putra mahkota ini. Tentu saja Raden Prayoga tidak memperkenalkan siapa dirinya sebenarnya. Dia memang memperkenalkan dirinya dengan nama Prayoga, tapi tidak ditambah raden di depan namanya.

"Bagaimana kau bisa berada di sini, dan membantuku?" tanya Raden Prayoga.

"Kebetulan lewat saja, dan melihatmu tampaknya membutuhkan pertolongan," sahut Bayu.

"Oh, ya, Siapa orang yang bertarung denganmu tadi?"

"Pembunuh ayahku. Dan sekarang dia telah menculik adik perempuanku satu-satunya," sahut Raden Prayoga.

"Hm, jadi kau sedang mencari adikmu?"
"Benar."

"Tampaknya kau tidak akan mampu menandinginya," terdengar pelan suara Bayu, seakan-akan bicara pada dirinya sendiri.

"Kuakui itu. Tapi aku harus menyelamatkan adik-ku," sahut Raden Prayoga berterus terang.

"Bagaimana caranya?"

"Entahlah. Sedangkan...," Raden Prayoga tidak melanjutkan ucapannya.
"Kau tahu, di mana adikmu disembunyikan?" tanya Bayu seakan bisa mengerti arti pandangan Raden Prayoga.

"Itulah sulitnya. Aku tidak tahu, di mana adikku disembunyikan. Sedangkan dia tidak mau mengakui perbuatannya," terdengar lirih suara Raden Prayoga.

"Tidak ada maling teriak maling, Prayoga," Bayu tersenyum.
"Kau benar."

"Hm.... Bagaimana orang itu bisa membunuh ayahmu, dan sekarang menculik adikmu?" Bayu jadi ingin tahu.

Raden Prayoga tidak segera menjawab. Dipandanginya Pendekar Pulau Neraka itu dalam-dalam, seperti menyelidik. Sedangkan yang dipandangi hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau Raden Prayoga memandang curiga. Mereka memang baru kali ini berjumpa, jadi memang tidak salah jika satu sama lain saling curiga. Tapi di hati Bayu, tidak terselip sedikit pun perasaan curiga. Bahkan merasa simpati atas perbuatan Raden Prayoga yang begitu gigih mencari adiknya. Padahal disadari kalau kemampuan yang dimilikinya tidak akan mampu.

"Ceritakan saja padaku kejadiannya. Mungkin aku bisa menolongmu menemukan adikmu," kata Bayu diiringi senyum manis.

"Kau sungguh-sungguh ingin membantuku, Bayu?"

Raden Prayoga masih ragu-ragu.

Saat ini Raden Prayoga memang membutuhkan bantuan seseorang. Itu sebabnya dia berada di sini. Sedangkan tujuannya tadi hendak ke Pertapaan Lebak Garing, untuk minta bantuan Pertapa Eyang Wanari. Dan sekarang, muncul seorang pemuda yang usianya mungkin sebaya dengannya. Dan ternyata dia bersedia membantu. Namun Raden Prayoga tidak ingin terburu-buru. Dia harus tahu dulu, siapa sebenarnya pemuda yang baru saja menolongnya ini.

"Bayu! Apakah kau seorang pendekar kelana tanya Raden Prayoga, bernada menyelidik.

"Aku hanya seorang pengembara yang tidak tentu arah tujuannya," sahut Bayu merendah.

Raden Prayoga mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia tahu, Bayu adalah seorang tokoh rimba persilatan. Dan sudah menjadi watak orang rimba persilatan untuk tidak menyebutkan dirinya pada orang lain yang belum dikenal. Raden Prayoga tidak ingin sembarangan memilih teman perjalanan dari kalangan persilatan. Eyang Wanari seringkali menasihatkan untuk berhati-hati bila bertemu orang kaum persilatan. Karena batas antara golongan hitam dengan golongan putih tipis sekali.

"Apa arti sebuah gelar bagimu, Prayoga?" Bayu malah balik bertanya.
"Penting sekali. Karena sebuah gelar akan menunjukkan, apakah orang itu jahat atau tidak," Raden Prayoga, jujur.

Bayu terdiam. Kali ini dia benar-benar bingung dan merasa terpojok. Karena disadari, gelar yang didapatnya bisa menimbulkan prasangka buruk terhadap dirinya sendiri. Meskipun begitu, Bayu sangat menyukai julukan yang dimilikinya.

"Katakan, Bayu. Apa julukanmu?" desak Raden Prayoga lagi.

"Aku yakin, kau akan menyangka buruk padaku setelah mendengar julukanku, Prayoga," kata Bayu mencoba menjelaskan.

"Tidak sedikit kaum pendekar memiliki julukan yang dapat membuat orang merinding mendengarnya. Julukan memang bisa sebagai cermin watak pemiliknya. Tapi kadangkala bertentangan."

Bayu tersenyum kagum mendengar penuturan Raden Prayoga. Sungguh tidak disangka kalau pemuda ini mempunyai pandangan luas tentang dunia persilatan. Bahkan bisa mengambil hikmah dan tidak memandang dari sebelah mata saja.

"Baiklah," akhirnya Bayu menyerah juga. "Orang-orang sering memanggilku Pendekar Pulau Neraka. Karena, aku memang berasal dari Pulau Neraka, yang berada di dekat Pantai Selatan."

"Pendekar Pulau Neraka...," Raden Prayoga menggumamkan julukan Bayu dengan suara perlahan. Raden Prayoga kembali memandangi Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam, dengan kening berkerut. Dia seperti tengah menyelidiki pemuda berbaju kulit harimau ini. Atau mungkin juga tengah mengingat-ingat sesuatu yang berhubungan dengan Pendekar Pulau Neraka. Dan perlahan kemudian, bibirnya tersenyum. Semakin lama, senyumnya semakin lebar. Melihat perubahan ini, Bayu jadi heran juga.

"Ada apa, Prayoga?" tanya Bayu jadi ingin tahu.

"Aku ingat sekarang. Cerita tentang seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka memang pernah kudengar. Tidak kusangka, ternyata aku akan bertemu seorang pendekar besar yang menjadi buah bibir," ucap Raden Prayoga.

"Ah! Kau jangan terlalu mendengar omongan orang," Bayu merendah agak tersipu.

"Mari. Sebaiknya kita cari tempat yang nyaman, agar enak berbincang-bincang," ajak Raden Prayoga, Bayu tidak bisa lagi menolak. Apalagi Raden Prayoga sudah menggamit lengannya dan mengajak meninggalkan tempat berdebu yang berantakan ini. Mereka terus berjalan, namun tidak menyadari ada sepasang mata mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi.
***

Sementara itu di Istana Balungan. Permaisuri Ret-na Nawangsih tengah duduk sendiri di dalam keputren. Entah sudah berapa lama berada di taman istana itu, sampai-sampai dia tidak tahu kalau seorang penjaga pintu keputren menghampirinya. Dia baru tahu setelah mendengar suara penjaga itu.

"Ada apa?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Ampun, Gusti Permaisuri. Eyang Wanari hendak bertemu," sahut prajurit penjaga itu memberi tahu. Si-kapnya penuh hormat.

"Eyang Wanari...?" Permaisuri Retna Nawangsih tampak terkejut mendengar guru mendiang suaminya hendak bertemu.

"Benar, Gusti Permaisuri"
"Di mana sekarang?"

"Menunggu di depan pintu keputren ini, Gusti."

"Kenapa tidak kau suruh ke sini saja...?"

"Ampun, Gusti Eyang Wanari meminta hamba untuk menanyakan kesediaan Gusti."

"Suruh dia ke sini."
"Hamba laksanakan, Gusti Permaisuri."

Setelah memberikan sembah, prajurit penjaga itu segera berlalu. Namun sepeninggal prajurit itu, Permaisuri Retna Nawangsih jadi tercenung. Sepengetahuannya, Eyang Wanari tengah melakukan semadi. Itulah sebabnya dia tidak datang pada hari penobatan Raden Prayoga. Hari penobatan yang gagal, karena Dian Lestari menghilang diculik di depan hidung kakaknya. 

Permaisuri Retna Nawangsih bangkit berdiri ketika seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan jubah putih panjang, datang menghampiri. Wanita separuh baya itu berlutut dan memberikan hormat. Laki-laki tua berjubah putih itu membangunkannya, dan meminta Permaisuri Retna Nawangsih kembali duduk di kursi taman. Sedangkan dia sendiri duduk di depannya.

"Apakah Eyang sudah selesai bersemadi, sehingga datang ke istana ini?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih. "Terpaksa semadi ku kuhentikan," sahut Eyang Wanari.

"Kenapa?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.

"Anakku, Nawangsih. Kenapa tidak kau ceritakan saja apa yang telah terjadi di sini. Dan kini kau justru menanyakan tentang diriku?" Eyang Wanari malah bertanya.

"Maaf, Eyang," ucap Permaisuri Retna Nawangsih.

"Apa sebenarnya yang sedang terjadi, Anakku?" desak Eyang Wanari.

"Aku tidak tahu, Eyang Semua yang terjadi begitu cepat. Aku sendiri bingung...," sahut Permaisuri Retna Nawangsih pelan.

"Hm..., kau tahu siapa yang menculik Dian?" tanya Eyang Wanari, setengah bergumam suaranya.

"Nini Anjar," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.

"Gadis yang mengutuk Dian?"

Permaisuri Retna Nawangsih mengangguk.

"Aneh.... Untuk apa dia menculik?" Eyang Wanari seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih hanya diam saja.

"Suamimu tidak pernah menceritakan, kenapa Dian sampai kena kutukan begitu? Dan aku sendiri sampai sekarang tidak tahu, kutukan apa yang dijatuhkan pada Dian. Kau bisa menceritakannya padaku?" pinta Eyang Wanari.

"Aku juga tidak tahu, Eyang," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.

"Tidak tahu..? Kau kan, ibunya. Masa tidak tahu?" Eyang Wanari tidak percaya.

"Sungguh! Aku benar-benar tidak tahu, Eyang."

"Lalu, apa saja yang kau ketahui?"

"Yang ku tahu, gadis itu tiba-tiba saja datang menemui Kanda Prabu. Aku sendiri tidak tahu, apa yang dikatakannya. Kanda Prabu kemudian menahannya, dan menuduh gadis itu mengutuk Dian. Entah apa kutukannya. Aku tidak tahu, Eyang. Hanya itu saja yang kuketahui."

"Benar gadis itu dijatuhi hukuman bakar?"

"Benar. Tapi gadis itu menghilang setelah dibakar. Kemudian, muncul seseorang yang tidak dikenal. Orang itu membunuh Kanda Prabu. Semua orang mengira kalau dia adalah Nini Anjar. Dialah yang juga menculik Dian di depan Prayoga."

"Hm, lalu di mana Prayoga sekarang?"

"Pergi."

"Pergi...?"

"Prayoga ingin mencari adiknya sendiri. Aku sudah mencoba melarang, tapi tetap saja dia pergi."

Eyang Wanari menggeleng-gelengkan kepalanya. Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih hanya diam saja.

"Prayoga tidak mengatakan, ke mana dia pergi?" tanya Eyang Wanari lagi.

"Tidak"

Kembali Eyang Wanari terdiam. Kepalanya menggeleng-geleng. Beberapa kali mulutnya mendesah berdecak. Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih juga terdiam membisu. Dia tidak tahu, apa yang sedang dipikirkan laki-laki tua pertapa ini. Tapi dia yakin kalau Eyang Wanari sedang berpikir keras. Atau mungkin juga sedang merangkai semua kejadian dalam istana ini.

"Aneh...," desah Eyang Wanari perlahan.

"Ada apa, Eyang?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih, seraya menatap laki-laki tua pertapa itu dalam-dalam.

"Aku tidak percaya bila seseorang melontarkan kutukan, kemudian melakukan pembunuhan dan penculikan. Lagi pula, tidak ada seorang pun yang bisa selamat jika sudah dibakar. Hm.... Aku merasakan ada yang ganjil...," pelan sekali suara Eyang Wanari.

Sementara Permaisuri Retna Nawangsih masih saja diam.

"Retna, apa ada orang lain yang mendengar gadis itu melontarkan kutukan?" tanya Eyang Wanari.

"Hampir semua pembesar. Bahkan Paman Pendeta Suratmaja juga mendengar," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.

"Kau tahu, apa bunyi kutukannya?"

"Dian akan meruntuhkan Kerajaan Balungan, jika tidak segera dilenyapkan," sahut Permaisuri Retna Nawangsih.

"Dilenyapkan...? Apa maksudnya?"

"Dibunuh."

"Apa...?!"
***

Kalau saja ada guntur di siang bolong begini, mungkin tidak akan mengejutkan bila dibanding jawaban Permaisuri Retna Nawangsih. Eyang Wanari menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan tidak percaya bunyi kutukan yang didengarnya barusan. Laki-laki tua pertapa itu semakin yakin, kalau ada sesuatu yang tidak beres di sini. Jelas sekali, kalau itu bukan kutukan. Tapi, lebih tepat dikatakan sebuah tuntutan. 

Hanya saja dia belum bisa menemukan hubungan antara satu dengan lainnya. Eyang Wanari tidak kenal gadis yang bernama Nini Anjar. Juga tidak tahu, apa hubungannya antara Nini Anjar dengan Dian Lestari, sehingga menjatuhkan satu kutukan. Sedangkan Permaisuri Retna Nawangsih sendiri kelihatannya tidak tahu banyak semua kejadian ini.

Eyang Wanari tidak bisa lagi mendesak Permaisuri Retna Nawangsih untuk membeberkan semuanya. Meskipun didesak dengan cara apa saja, perempuan separuh baya itu kelihatannya memang hanya tahu sedikit peristiwanya. Eyang Wanari menyayangkan sikap Prabu Wijaya yang tidak menceritakan awal peristiwa ini sejak semula, hingga sampai mati terbunuh. Padahal, Eyang Wanari sudah menganggap seperti anak sendiri, walaupun Prabu Wijaya hanya seorang murid yang belajar ilmu olah kanuragan padanya.

Setelah pembicaraannya dengan Permaisuri Retna Nawangsih di keputren, Eyang Wanari menanyai satu-persatu orang-orang yang mengetahui persis semua peristiwa ini. Tapi, kelihatannya semua orang tidak ingin ikut campur. Alasan mereka, takut kutukan Nini Anjar. Nyatanya hal ini telah terbukti. Setelah tiga hari Eyang Wanari berada di istana, jatuh korban dari dua orang patih dan tiga panglima yang telah menceritakan secara gamblang pada Eyang Wanari. Bahkan mereka yang tidak percaya adanya kutukan itu, langsung mati dengan cara mengenaskan sekali.