Pendekar Pulau Neraka - Rahasia Dara Ayu(1)

SATU
Udara pagi ini begitu sejuk, setelah semalaman bumi diguyur hujan lebat dari langit. Angin berhembus lembut mempermainkan dedaunan basah oleh sisa air hujan. Di antara pepohonan dan rerumputan liar, terlihat seorang pemuda berbaju kulit harimau sedang berjalan-jalan menikmati kesegaran udara pagi ini. Sesekali tangannya meraih bunga yang tumbuh liar, lalu mencampakkannya ke udara. Angin yang bertiup basah menghempaskan bunga itu sebelum jatuh ke tanah.


Pemuda berbaju kulit harimau itu menghentikan ayunan kakinya begitu tiba di depan sebuah gubuk kecil yang ringkih bagai hendak rubuh. Pandangan matanya begitu nanar, menatap lurus gubuk kecil reyot di depannya. Pintu gubuk yang tertutup rapat, tiba-tiba terkuak memperdengarkan suara bergerit nyaring menyakitkan telinga.

Dari dalam gubuk itu keluar seorang perempuan tua mengenakan baju panjang yang lusuh dan kumal. Warnanya hampir pudar ditelan usia. Begitu pula perempuan tua itu. Entah sudah berapa tahun usianya. Tapi yang jelas lebih dari tujuh puluh tahun. Tubuhnya yang bungkuk disangga sebuah tongkat kayu berwarna coklat kehitaman Perempuan tua itu melangkah menghampiri pemuda berbaju kulit harimau yang memandanginya dengan sinar mata sayu.

"Bagaimana keadaannya, Nyi Rampik?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Yaaah.... Meskipun sulit, tapi masih bisa kuhambat sedikit Berdoalah, Nak Bayu," sahut perempuan tua yang dipanggil Nyi Rampik itu sedikit mendesah.

"Apakah ada harapan sembuh?" tanya pemuda berbaju kulit harimau yang ternyata memang Bayu atau si Pendekar Pulau Neraka.

"Mudah-mudahan Hanya saja...," Nyi Rampik tidak melanjutkan ucapannya.

"Hanya apa?"

"Mungkin hanya mampu bertahan beberapa hari saja, tapi mungkin juga bisa lebih. Tapi asal dia tidak banyak menggunakan kekuatan tenaga dalam yang akan membuka saluran jalan darahnya."

Bayu terdiam membisu. Matanya menerobos ke dalam gubuk kecil reyot di depannya, melalui pundak Nyi Rampik. Tampak di sebuah dipan kayu beralaskan daun tikar pandan, tergolek seorang wanita muda berbaju hijau muda. Tarikan napasnya kelihatan begitu lemah meskipun teratur lembut.

Sampai saat ini Pendekar Pulau Neraka tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya. Pertarungan gadis Itu melawan Seruni berakibat sangat parah. Entah ilmu apa yang digunakan Seruni, sehingga membuat Rampita semakin lemah. Tenaganya keluar tak terkontrol. Bahkan setiap kali menggunakan tenaga dalam, selalu memuntahkan darah. Tak ada tanda-tanda kalau gadis itu terluka. Tapi menurut Nyi Rampik, Rampita mengalami luka dalam yang sangat parah, dan kemungkinan merenggut nyawanya. Nyi Rampik sendiri tidak tahu, luka apa sebenarnya yang diderita Rampita.

"Mungkin hanya ada satu cara yang dapat menyembuhkan lukanya, Nak Bayu," ujar Nyi Rampik.

"Segala kemungkinan harus kita coba, Nyi," tegas Bayu.

"Hm..., kau tahu Bunga Cubung Biru?"

Bayu tersentak mendengar Nyi Rampik menyebut Bunga Cubung Biru. Ditatapnya dalam-dalam perempuan tua itu. Tapi kemudian Pendekar Pulau Neraka mendesah panjang, menghembuskan napas berat Rampita bisa terluka begitu karena persoalan Bunga Cubung Biru yang belum terselesaikan sampai sekarang (Baca Serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah: "Rahasia Bunga Cubung Biru").

"Ada apa, Nak Bayu?" tanya Nyi Rampik.

"Hhh...!" Bayu menghembuskan napas panjang dan berat. Meskipun baru kemarin Bayu mengenal perempuan tua ini, tapi sudah bisa dipercayainya. Nyi Rampik seorang perempuan tua yang dikenal karena ahli dalam ilmu pengobatan. Hampir semua orang di bagian Barat Kaki Gunung Cakal ini mengenal betul tabib itu. Dan Bayu mengetahui tentang perempuan tua ini juga dari para penghuni sebuah desa di Kaki Gunung Cakal sebelah Barat ini.

Biasanya seorang tabib tidak akan berpihak pada siapa pun. Dia akan mengobati siapa saja yang datang meminta pertolongan kepadanya. Malah akan melindungi dengan taruhan nyawa sekali pun. Karena itu Bayu tidak segan-segan lagi menceritakan semua yang terjadi pada diri Rampita sehingga mengalami luka yang sangat parah ini (Baca serial Pendekar Pulau Neraka, dalam kisah: "Rahasia Bunga Cubung Biru"). Sedangkan Nyi Rampik mendengarkan penuh perhatian.

"Hm..., jadi gadis itu pewaris tunggal Bunga Cubung Biru?" ujar Nyi Rampik seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Benar, Nyi. Tapi dia sendiri tidak tahu, di mana Bunga Cubung Biru itu. Bahkan amanat yang diberikan ayahnya menjelang ajal telah menimbulkan malapetaka," sahut Bayu agak mendesah.

"Bunga itu memang langka dan sangat berkhasiat Tidak banyak orang yang beruntung sehingga bisa memilikinya. Memang setiap keberadaannya selalu menimbulkan bencana besar. Banyak orang yang ingin memilikinya, bahkan sampai berani mempertaruhkan nyawa," agak bergumam nada suara Nyi Rampik, seakan berkata pada dirinya sendiri.

Bayu hanya diam saja.

"Memang banyak penyakit yang bisa kuobati. Tapi untuk penyakit dalam akibat pertarungan seperti ini..., rasanya sukar sekali. Aku harus tahu dulu ilmu apa yang digunakan," lanjut Nyi Rampik.

"Mungkin Rampita sendiri tahu, Nyi," kata Bayu.

"Kau sendiri?"

'Tidak."

Nyi Rampik memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu. Jelas sekali kalau sorot mata perempuan tua itu tidak mempercayai jawaban Bayu. Padahal Pendekar Pulau Neraka itu menjawab sejujurnya. Bayu memang tidak tahu ilmu apa yang digunakan Seruni Yang diketahuinya adalah, Seruni memiliki sebuah ilmu aneh yang bisa membuat badai salju.


***

Sudah tiga hari ini Bayu terpaksa tinggal di gubuk Nyi Rampik. Rampita memang sudah bisa bangun, tapi keadaannya masih terlalu lemah. Nyi Rampik tidak mengijinkan gadis itu pergi sebelum sembuh benar. Perempuan tua itu masih terus mencoba menyembuhkan luka yang diderita Rampita.

Malam itu Pendekar Pulau Neraka masih belum bisa memejamkan mata. Sementara malam terus merayap semakin tinggi. Angin berhembus kencang menebarkan udara dingin menusuk tulang. Pemuda berbaju kulit harimau itu menoleh ketika mendengar langkah kaki menghampiri. Bibirnya tersenyum melihat Rampita menghampiri. Gadis itu duduk disampingnya, sementara wajahnya masih kelihatan lemah dan agak pucat

"Belum tidur, Rampita?" pelan suara Bayu.

"Tidak bisa tidur," sahut Rampita juga pelan suaranya.

"Seharusnya kau tidur. Tidak baik angin malam bagi kesembuhanmu."

Rampita tersenyum tipis, namun tidak bersuara seraya matanya menerawang jauh. Sementara Bayu merayapi wajah cantik di sampingnya. Pandangan pemuda itu beralih ke arah gubuk kecil yang hanya diterangi pelita minyak jarak. Sunyi sekali tempat ini. Sangat terpencil, jauh dari jingkungan pemukiman penduduk

"Kakang...," Rampita berpaling menatap Bayu.

"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.

Sesaat mereka hanya saling tatap dalam kebisuan.

"Ada apa, Rampita?" tanya Bayu.

"Kau jadi pergi, besok?" tanya Rampita.

'Tentu. Aku akan mencari Bunga Cubung Biru untukmu," sahut Bayu setengah mendesah.

"Sia-sia saja, Kakang," lirih sekali suara Rampita.

"Aku yakin, ayahmu pasti menyimpan bunga itu di suatu tempat yang sangat rahasia. Malah sampai-sampai kau sendiri tidak mengetahuinya."

Rampita terdiam, wajahnya tertunduk merayapi tanah diujung kakinya. Gadis itu memungut sepotong ranting kering dan menggores-goreskannya di tanah. Sedangkan Bayu hanya memperhatikan tanpa membuka mulutnya yang terkunci rapat.

"Kotak kayu itu sudah kau serahkan pada Seruni. Ayah tidak pernah mengeluarkan Bunga Cubung Biru dari dalam kotak itu," tegas Rampita masih terdengar pelan suaranya.

'Tapi Seruni bilang kotak itu sudah kosong. Bahkan menuduhku sudah mengambil bunga itu, Rampita. Aku yakin kalau ayahmu sudah memindahkannya ke lain tempat" sangkal Bayu.

"Kau belum tahu siapa sebenarnya Seruni itu, Kakang. Dia sangat.licik. Segala cara selalu dilakukannya demi mencapai segala keinginannya. Aku merasa...," kata-kata Rampita terputus.

"Kenapa, Rampita?" desak Bayu.

Rampita tidak langsung menjawab. Diangkat kepalanya, langsung menatap pemuda di sampingnya. Agak dalam juga gadis itu merayapi wajah Pendekar Pulau Neraka. Seakan-akan ingin di yakini kalau yang duduk di sampingnya ini seorang pemuda berwajah tampan dan berkepandaian sangat tinggi. Sedangkan Bayu membiarkan saja gadis itu menatapi wajahnya.

"Kau tampan sekali, Kakang. Hati-hatilah terhadap Seruni," desah Rampita kembali menunduk

Bayu jadi mengerutkan keningnya. Sungguh sulit dimengerti ucapan Rampita barusan. Namun di balik suaranya, Pendekar Pulau Neraka itu menangkap sesuatu yang sukar diartikan. Hanya Rampita sendiri yang bisa memastikan ucapannya tadi.

"Tampaknya kau kenal sekali dengan Seruni, Rampita," pancing Bayu.

Rampita mengangkat kepalanya lalu tersenyum tipis. Kembali pandangannya menerawang jauh ke depan. Tatapan matanya begitu kosong, lurus tak berkedip. Gadis itu seperti tengah mengingat sesuatu, atau tengah terbayang-bayang masa lalunya. Bibirnya yang kecil memerah itu tak lepas mengembangkan senyuman tipis hampir tak terlihat. Tapi senyum itu mendadak lenyap bersamaan dengan redupnya cahaya matanya.

"Siapa sebenarnya Seruni itu, Rampita?" tanya Bayu.

Pendekar Pulau Neraka itu semakin ingin tahu saja, karena dirasakan adanya sesuatu yang tersembunyi di antara kedua gadis ini. Dugaan kalau antara Rampita dan Seruni memiliki hubungan darah, tak pernah lenyap dari benak Bayu. Walaupun Rampita sendiri belum memberi jawaban yang diharapkan. Satu teka-teki besar masih menyelimuti diri gadis itu.

"Untuk apa kau selalu menanyakan itu, Kakang?" Rampita balik bertanya.

Bayu tidak bisa menjawab. Keingintahuannya hanya karena didorong rasa penasaran terhadap sikap Rampita pada Seruni. Gadis ini selalu saja mengalah, bahkan sampai-sampai rela mengalami luka dalam begitu parah. Bayu yakin, ada sesuatu antara Rampita dan Seruni. Sesuatu yang selalu ditutupi dan dirahasiakan gadis ini.

"Sudah malam. Aku tidur dulu, Kakang," ujar Rampita seraya bangkit berdiri.

Sebelum Bayu sempat membuka suara, gadis itu sudah melangkah menuju gubuk kecil. Pendekar Pulau Neraka terus memandangi gadis itu sampai lenyap di dalam gubuk kecil itu. Pemuda berbaju kulit harimau itu masih duduk di bangku dibawah pohon, dan pandangannya tak beralih dari gubuk kecil yang hanya diterangi sebuah pelita minyak jarak

Sementara malam terus merambat semakin larut Udara pun semakin dingin. Namun Pendekar Pulau Neraka tetap bertahan duduk di bawah pohon. Otaknya terus berputar, untuk bisa menemukan jawaban dari teka-teki gadis itu. Begitu sulitnya teka-teki itu, sehingga sukar dipecahkan.

"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.

Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri, lalu berjalan gontai menuju gubuk kecil yang berdinding bilik bambu. Terlalu banyak lubang pada dinding gubuk itu, sehingga cahaya pelita mampu menerobos keluar. Bayu menghempaskan tubuhnya di balai bambu, kemudian merebahkan diri. Kedua tangannya terlipat untuk membantali kepalanya.

"Hhh...! Kenapa aku begitu memikirkannya...?" diasah Bayu diiringi hembusan napas panjang.

***

Pagi-pagi sekali Bayu sudah bersiap-siap meninggalkan tempat sunyi dan terpencil ini. Hatinya sudah bertekad hendak mencari Bunga Cubung Biru. Sekuntum bunga langka yang hanya tumbuh satu kali dalam seratus tahun. Nyi Rampik sudah mengatakan kalau hanya bunga itu yang dapat menyembuhkan luka dalam Rampita.

Bayu memandangi Rampita yang mengantarkan sampai kepinggir sungai di belakang gubuk Nyi Rampik. Pendekar Pulau Neraka itu memandangi wajah cantik yang sedikit tertunduk. Entah kenapa, pemuda tampan ini seperti berat berpisah dengan Rampita. Dia.sendiri tidak tahu tentang perasaannya ini. Belum pernah dirasakan hal seperti ini pada seorang gadis.

"Aku harap bisa secepatnya kembali ke sini dengan Bunga Cubung Biru," kata Bayu pelan.

"Mengapa kau ingin sekali mendapatkan bunga itu, Kakang?" tanya Rampita seraya mengangkat kepadanya memandang Pendekar Pulau Neraka itu.

"Bunga itu sangat berarti bagimu, Rampita. Hanya dengan bunga itulah kau bisa sembuh, pulih seperti semula."

"Tapi kau akan mendapatkan kesulitan besar, Kakang."

"Apa pun namanya, aku selalu bergelimang segala macam kesulitan. Percayalah. Semuanya pasti bisa kuatasi dan kembali membawa Bunga Cubung Biru," Bayu meyakinkan gadis ini.

"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa, Kakang. Hati-hatilah. Aku akan menunggumu di sini," ucap Rampita pelan.

Bayu menggamit pundak gadis itu. Ditatapnya dalam-dalam wajah cantik itu. Untuk beberapa saat lamanya mereka saling bertatapan tanpa bicara separah kata pun. Pelahan telunjuk Bayu menyentuh dagu gadis itu, lalu mengangkatnya hingga terdongak. Rampita memejamkan matanya pelahan ketika Bayu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu. Semakin dekat, semakin terasa desahan napasnya yang menerpa kulit wajah kemerahan.

Bayu memandangi bibir mungil yang setengah terbuka. Bibir indah yang selalu merah basah dan menantang. Lembut sekali Pendekar Pulau Neraka mengecup bibir yang agak bergetar itu. Hanya sekali kecupan lembut, namun sudah membuat seluruh tubuh Rampita bergetar bagai tersengat ribuan lebah beracun. Gadis itu masih memejamkan matanya meskipun kecupan itu telah hilang dari bibirnya.

Pelahan Rampita membuka mata, dan langsung menundukkan kepalanya. Sekilas terbersit rona merah pada wajahnya. Entah kenapa, tiba-tiba saja gadis itu jadi gugup, dan tidak sanggup memandang sorot mata pemuda tampan ini.

"Aku pergi dulu, Rampita," pamit Bayu.

"Ya...," hanya itu yang keluar dari bibir mungil Rampita.

Bayu menepuk pundak gadis itu, kemudian melangkah meninggalkannya. Rampita baru mengangkat kepalanya setelah pemuda itu pergi cukup jauh. Gadis itu berdiri mematung memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka itu. Pelahan diusap bibirnya dengan jari-jarinya yang bergetar.

"Kakang...," desah Rampita lirih.

Rampita masih berdiri mematung meskipun bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka sudah tidak terlihat lagi. Gadis itu baru membalikkan tubuhnya, tapi tidak jadi melangkah. Ternyata tiba-tiba saja di depannya sudah berdiri Nyi Rampik yang langsung tersenyum. Seketika wajah Rampita memerah, lalu buru-buru menundukkan kepalanya.

'Pemuda yang gagah sekali," gumam Nyi Rampik seraya melangkah menghampiri Rampita.

Rampita hanya diam saja. Pelahan diangkat kepalanya, tapi tak sanggup memandang bola mata perempuan tua di depannya. Entah kenapa, ada rasa malu menyelinap di hati gadis ini. Kalau saja bisa, mungkin sudah disimpan bibirnya. Kecupan lembut Pendekar Pulau Neraka begitu membekas, tak akan terlupakan sepanjang hidupnya. Kecupan pertama seorang pemuda yang telah menggetarkan relung hatinya.

"Kau sudah mengatakannya, Rampita?" tanya Nyi Rampik seraya memandangi gadis itu dalam-dalam. Rampita menggelengkan kepalanya pelahan.

"Kenapa?"

"Aku.... Aku tidak sanggup mengatakannya, Nyi. Dia sudah berkorban banyak untukku. Rasanya tidak sanggup untuk melukai hatinya," lirih sekali suara Rampita.

"Aku bisa memahami perasaanmu, Rampita. Yaaah...,memang sukar mengatakannya. Tapi aku percaya, Bayu seorang pemuda yang tegar. Dia pasti bisa menerima semuanya dengan lapang dada dan besar hati, meskipun pahit"

"Itulah yang membuatku tidak bisa, Nyi."

"Aku tidak menyalahkanmu, Rampita. Semuanya memang sudah digariskan Hyang Widi. Kira hanya sebuah pelakon yang memainkan peranan di atas panggung luas ini. Serahkan saja segalanya pada Yang Kuasa," lembut sekali suara Nyi Rampik.

"Nyi...."

Rampita tak kuasa lagi membendung perasaannya. Gadis itu menghambur, menjatuhkan diri dalam pelukan perempuan tua ini. Sedangkan Nyi Rampik hanya menepuk-nepuk punggung gadis itu, dan mengelus rambutnya yang hitam berbau harum.

"Sudahlah, Rampita. Doakan saja agar Bayu bisa membawa Bunga Cubung Biru. Bagaimanapun juga, kau sendirilah yang harus menyelesaikan semua ini. Bukan Bayu, atau siapa saja!" tegas Nyi Rampik seraya melepaskan pelukan gadis itu.

"Benar. Memang hanya aku yang bisa, Nyi. Bukan orang lain, atau pun Kakang Bayu," desah Rampita lirih.

Nyi Rampik merengkuh pundak gadis itu, lalu membawanya melangkah meninggalkan tepian sungai kecil ini. Mereka berjalan pelahan dengan pikiran masing-masing.

"Nyi...."

"Ada apa?"

"Apakah tidak sebaiknya aku sendiri yang mencari bunga itu, Nyi?" Rampita memandangi wajah perempuan tua yang berjalan dengan bantuan sebatang tongkat di sampingnya.

"Jangan menyiksa dirimu, Rampita. Kau belum pulih benar," sahut Nyi Rampik agak terkejut.

'Tapi, Nyi...."

"Kau sendiri tidak tahu di mana bunga itu, bukan?" potong Nyi Rampik cepat.

Rampita terdiam. Kakinya terus terayun pelahan. Kepalanya tertunduk dalam memperhatikan ujung-ujung kakinya yang menapak pelahan di samping perempuan tua ahli pengobatan ini.

"Nyi, boleh menanyakan sesuatu padamu?" pinta Rampita setelah lama berdiam diri.

"Katakan, apa yang ingin kau tanyakan."

"Kenapa Nyi Rampik berpura-pura tidak mengenalku didepan Kakang Bayu?" tanya Rampita.

Nyi Rampik tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat Sementara Rampita memandangi, menunggu jawaban perempuan tua itu. Tapi yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Nyi Rampik masih berdiam diri tanpa menghentikan ayunan kakinya.

Sampai mereka tiba di pondok, Nyi Rampik belum juga memberi jawaban dari pertanyaan Rampita. Meskipun berharap, namun gadis itu tidak ingin mendesak, dan hanya diam saja. Mereka kemudian duduk berdampingan di samping pondok, di atas tumpukan kayu bakar yang belum semuanya terbelah.

"Ayo, Rampita. Tenaga dalammu harus bisa kau latih kembali. Mudah-mudahan kau masih menyimpan sedikit kekuatan," kata Nyi Rampik setelah cukup lama berdiam diri membisu.

"Baiklah," sahut Rampita setengah mendesah.

"Kalau masih memiliki sedikit tenaga dalam, aku yakin kau akan pulih. Aku akan membantumu dengan penyaluran hawa murni ke dalam tubuhmu." ,

"Nyi, bukankah itu berbahaya?" sentak Rampita terkejut

"Demi kau, Rampita. Ayo, jangan membantah!"

"Baik, Nyi."

***
DUA
Desa Temanggal adalah satu-satunya desa yang berada di Kaki Gunung Cakal sebelah Timur. Sebenarnya tidak lagi cocok disebut desa, karena begitu besar dan penduduknya begitu rapat. Desa itu lebih tepat disebut kota kadipaten. Tapi rupanya penduduk di sini lebih senang menyebutnya sebuah desa, daripada sebuah kota.

Saat menjelang senja, Bayu sudah tiba di desa itu. Tidak mungkin lagi perjalanannya diteruskan, karena sebentar lagi malam tiba. Untuk mencapai Lembah Bunga, masih diperlukan tiga hari perjalanan lagi dari desa ini. Pendekar Pulau Neraka itu memasuki sebuah kedai yang tidak terlalu padat pengunjungnya.

Seorang pelayan atau mungkin juga pemilik kedai menghampiri, menyambut ramah disertai senyum mengumbar lebar. Laki-laki tua bertubuh gemuk ini membawa Bayu ke meja kosong. Sungguh beruntung, karena meja ini bersebelahan langsung dengan jendela yang menghadap keluar. Jadi pemuda berbaju kulit harimau ini bisa langsung memandang keadaan luar.

"Pesan apa, Den?" tanya laki-laki tua gemuk itu ramah.

" Apa saja yang bisa membuat perutku kenyang," sahut Bayu seenaknya.

"Wah! Makanan di sini lengkap, Den. Kalau dibawa semua, meja ini tentu tidak muat," seloroh laki-laki gemuk itu.

"Kalau begitu, sediakan saja arak dan makanan secukupnya. Apa saja yang disediakan tidak akan kutolak, asal enak."

"Baik, Den"

Laki-laki gemuk itu bergegas ke belakang. Sementara Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kedai ini. Tidak begitu banyak pengunjung, dan hanya beberapa meja saja yang terisi. Dari tampang, pakaian, serta senjata yang disandang, Bayu dapat memastikan kalau mereka rata-rata dari kalangan persilatan Tapi ada juga beberapa orang yang kelihatannya dari kalangan biasa.

Pendekar Pulau Neraka itu mengalihkan perhatiannya keluar melalui jendela di sampingnya. Kening pemuda berbaju kulit harimau itu menjadi berkerut, karena hampir semua orang yang lewat di jalan menyandang senjata berbagai macam bentuk dan ukuran. Kembali diedarkan pandangannya ke sekeliling kedai ini. Pada saat itu pemilik kedai menghampiri sambil membawa baki cukup besar, penuh berisi makanan dan seguci arak.

"Silakan dinikmati, Den," ucap laki-laki gemuk itu setelah meletakkan semua pesanan Bayu di meja.

'Terima kasih," sambut Bayu seraya tersenyum.

Laki-laki tua gemuk itu bergegas meninggalkan tamunya, dan kembali sibuk melayani tamu-tamu lainnya. Sementara Bayu menikmati santapannya. Agak geli juga hatinya melihat hampir seluruh meja di hadapannya penuh piring makanan. Memang tidak akan mungkin dihabiskan semuanya. Beginilah jadinya kalau memesan makanan asal memesan saja.

"He! Pergi sana! Tidak ada makanan sisa buatmu!" tiba-tiba terdengar bentakan keras mengejutkan.

Bayu yang baru saja akan menenggak araknya, jadi tertahan. Dilayangkan pandangannya ke arah suara bentakan tadi. Tampak laki-laki tua gemuk pemilik kedai ini berkacak pinggang di depan pintu. Seorang laki-laki tua kurus kering dan berpakaian compang camping berdiri terbungkuk di depannya. Seluruh tubuh dan pakaiannya kotor berdebu. Tubuhnya disangga sebatang tongkat kayu bercabang dua pada bagian ujung atas.

"Biarkan dia makan bersamaku, Ki!" teriak Bayu.

Laki-laki gemuk pemilik kedai itu terkejut. Dipandanginya Bayu setengah tidak percaya. Bahkan hampir semua pengunjung kedai ini juga mengalihkan pandangannya ke arah Pendekar Pulau Neraka itu. Namun pemuda berbaju kulit harimau itu tidak peduli, lalu bangkit berdiri dan menghampiri pengemis tua itu. Dibawanya orang itu ke mejanya.

"Duduk di sini, Kisanak," kata Bayu.

"Oh, terima kasih. Terima kasih, Den Biar di bawah saja," ujar pengemis tua itu.

"Duduklah di bangku, Ki," Bayu memaksa.

Dengan sikap penuh hormat pengemis tua itu duduk di depan Bayu. Sementara pemuda berbaju kulit harimau itu meminta satu piring lagi. Maka pemilik kedai bertubuh gemuk itu memberi sebuah piring. Namun pandangan matanya masih tidak bisa mempercayai sikap tamunya ini.

"Makanlah sepuasmu. Kalau perlu, bungkus yang tersisa untuk keluargamu," kata Bayu.

'Terima kasih, Den," ucap pengemis tua itu.

Bayu tersenyum, lalu segera menenggak araknya yang tadi belum sempat menyentuh bibirnya. Pendekar Pulau Neraka itu tersenyum-senyum melihat pengemis tua ini melahap makanan yang terhidang disertai napsu besar. Mungkin sudah beberapa hari dia tidak bertemu, makanan. Sedangkan Bayu hanya makan sedikit saja.

"Raden tidak makan?" tanya pengemis tua itu melihat Bayu tidak meneruskan makannya.

"Aku sudah kenyang. Habiskan saja, Ki," sahut Bayu ramah.

"Ah! Kalau saja semua orang sebaik Raden, tentu tidak akan banyak pengemis yang mati kelaparan," desah pengemis tua itu.

"Tidak selamanya aku berbuat begini, Ki," jelas Bayu terus terang diiringi senyum tipis.

"Oh, kenapa Raden berbuat baik padaku?"

Bayu tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja. Kemudian dipanggilnya pemilik kedai bertubuh gemuk itu, untuk membayar semua makanan dan minuman yang telah dipesan. Pemilik kedai itu menyebutkan harganya, dan Bayu membayarnya semua. Bahkan juga meminta untuk membungkus sisa makanannya untuk dibawa pengemis tua itu.

"Makanlah yang enak. Semua sudah kubayar," ucap Bayu seraya mengayunkan kakinya meninggalkan kedai itu.

Tinggal pengemis tua itu terbengong dengan mulut penuh makanan. Demikian juga laki-laki gemuk pemilik kedai ini. Belum pernah dilihatnya ada orang begitu berbaik hati, mengajak seorang pengemis tua makan satu meja bersamanya. Bahkan membayar semua makanan dengan uang berlebih. Tidak ada yang tahu, kenapa pemuda berbaju kulit harimau itu berbuat demikian. M emang, yang diinginkannya hanyalah agar makanan yang dipesan tidak terbuang percuma. Kebetulan sekali ada pengemis, maka semua makanannya bisa diberikan kepada pengemis tua itu.

***

Tepat ketika matahari baru saja berada di atas kepala, Bayu melewati perbatasan Desa Temanggal. Namun ayunan langkah kaki Pendekar Pulau Neraka itu terhenti tiba-tiba, ketika mendengar suara orang mengaduh disertai bentakan-bentakan keras. Suara itu datang dari balik sebuah bukit batu yang tidak terlalu tinggi, dan berada di sebelah kanan.
"Hup !"

Sekali lompatan saja, Pendekar Pulau Neraka sudah berada di atas bukit batu kecil itu. Seketika matanya terbeliak begitu melihat tiga orang laki-laki bertubuh kekar dan bertampang kasar tengah menganiaya seorang laki-laki tua bertubuh kurus, berpakaian compang camping.

"Huh! Rupanya kau memilih mampus daripada menunjukkan di mana Rampita berada, heh...?!" bentak salah seorang seraya memberi satu pukulan keras ke wajah laki-laki tua itu.

Des!

"Akh...!" laki-laki tua berpakaian pengemis itu terpekik.

Tubuh yang kurus kering itu tersungkur jatuh ke tanah. Darah mengalir keluar dari mulutnya. Dan sebelum pengemis tua itu bisa bangkit berdiri, kembali datang satu tendangan keras mendarat di tubuhnya. Tak pelak lagi, dia terguling beberapa kali sambil merintih kesakitan.

"Katakan! Di mana Rampita!" bentak seorang yang mengenakan baju biru tua.

"Sungguh, aku tidak tahu di mana gadis itu berada," sahut pengemis tua itu.

"Phuih!"
Dug!
"Akh...!"

Kembali terdengar pekikan keras ketika satu pukulan keras bersarang lagi di tubuh kurus tua itu. Belum lagi hilang pekikan itu, kembali salah seorang yang mengenakan baju merah melayangkan pukulannya. Tapi mendadak saja....

Tap !

"Heh...!" laki-laki kekar berbaju merah itu terkejut.

Dan sebelum ada yang menyadari apa yang terjadi, mendadak saja laki-laki berbaju merah itu terpekik. Seketika tubuhnya terpental ke atas, namun masih bisa bersalto sebelum mendarat lunak di tanah. Sedangkan dua orang lainnya menjadi terpana begitu di dekat pengemis tua sudah berdiri seorang pemuda berbaju kulit harimau.

Pemuda yang tak lain adalah Pendekar Pulau Neraka itu membantu pengemis tua berdiri, kemudian merayapi tiga laki-laki berwajah kasar di depannya. Pandangan mata Bayu begitu tajam menusuk.

"Memalukan! Menganiaya orang tua tak berdaya...!" dengus Bayu dingin.

"He, Kisanak! Jangan ikut campur urusanku!" bentak orang berbaju biru geram.

"Kalian mencari Rampita, maka harus berurusan dulu denganku!" dingin sekali suara Bayu.

Ketiga laki-laki bertubuh kekar itu terperanjat kaget, sehingga sampai terlompat mundur dua langkah dan saling berpandangan satu sama lain. Sedangkan Bayu dengan halus mendorong pengemis tua ke belakang. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. Dilangkahkan kakinya tiga tindak ke depan. Kedua tangannya terlibat di depan dada.

"Kalian jangan hanya bisa mengeroyok orang tua. Hayo, hadapi aku!" tantang Bayu lantang.

"Siapa kau, Kisanak!" bentak laki-laki berbaju merah.

'Tidak perlu kalian tahu siapa aku! Pergi dari sini, atau ingin merasakan kepalan tanganku!" Bayu memberikan dua pilihan.

"Beludak! Hajar bocah kurang ajar ini!" geram laki-laki yang berbaju merah kembali membentak, karena merasa diremehkan.

Seketika itu juga ketiga orang bertubuh kekar itu berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka. Meskipun diserang secara bersamaan, namun Pendekar Pulau Neraka hanya mengegoskan tubuhnya sedikit Dan tanpa diduga sama sekali tangannya berkelebat cepat bagai kilat.

Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu ketiga orang itu berpentalan diiringi pekikan keras. Mereka bergelimpangan ditanah, namun cepat bangkit Sesaat ketiga orang itu saling berpandangan, lalu masing-masing mencabut golok yang terselip di pinggang.

"Mampus kau keparat! Hiyaaa...!"

"Yeaaah...!"

"Hih!"

Bayu langsung merentangkan kakinya ke samping, kemudian dengan cepat memiringkan tubuhnya ketika sebuah golok berkelebat mengarah ke dada. Dan sebelum golok itu tertarik pulang, secepat kilat Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangannya.

Digh!

"Akh...!" laki-laki berbaju merah yang mengibaskan golok itu menjerit keras.

Dan sebelum lawan terpental, kembali Bayu melayangkan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tak pelak lagi, laki-laki bertubuh kekar mengenakan baju merah itu terpental deras ke belakang. Tubuhnya keras sekali menghantam dinding batu. Dia mengerang sambil menggeliat lalu diam tak berkutik lagi. Dari mulut dan hidungnya mengucurkan darah. Sedangkan dadanya tampak melesak masuk ke dalam.

Dua orang lainnya menjadi geram bukan main melihat seorang temannya tewas dengan dada remuk. Mereka langsung berlompatan menyerang dengan permainan golok yang cepat dan dahsyat. Namun Bayu bukanlah lawan enteng. Akibatnya, mudah sekali Pendekar Pulau Neraka membuat senjata lawan-lawannya terpental. Sebelum mereka bisa berbuat sesuatu, Bayu sudah melancarkan beberapa pukulan yang tak satu pun luput dari sasaran. Jeritan-jeritan melengking terdengar saling sambut, kemudian dua sosok tubuh kekar itu menggelepar ditanah.

Bayu menghampiri pengemis tua begitu melihat lawannya sudah tak berkutik, tanpa nyawa lagi. Pengemis tua itu hanya memandangi Bayu. Mereka memang sudah pernah bertemu sebelumnya di sebuah kedai

"Kenapa mereka mencari Rampita, Ki?" tanya Bayu langsung.

"Aku tidak tahu," sahut pengemis tua itu.

"Hm..., mereka memaksamu," gumam Bayu dengan kening berkerut "Siapa mereka, dan apa hubunganmu dengan Rampita?"

Pengemis tua itu tidak langsung menjawab. Dia hanya memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu dalam-dalam, kemudian tanpa berkata sedikit pun, melangkah pergi.

"Hey...! Tunggu!" seru Bayu seraya mengejar.

"Pergilah, Anak Muda. Jangan ganggu aku. Aku yakin, kau pasti sama seperti yang lain. Berpura-pura baik dan menolongku, padahal hatimu busuk!" agak ketus nada suara pengemis tua itu.

Bukan main terkejutnya Bayu mendengar kata-kata ketus itu. Pendekar Pulau Neraka tadi bertindak cepat dengan membunuh ketiga laki-laki itu, karena mendadak hatinya panas mendengar nama Rampita disebut-sebut. Dan lagi pula, Bayu memang tengah menyelidiki, siapa sebenarnya Rampita itu. Seorang Dara Ayu penuh misteri. Bayu sendiri tidak mengerti kenapa begitu memperhatikan gadis itu Padahal mereka kenal belum begitu lama.

***

Karena Bayu terus mengikuti, pengemis tua itu menghentikan langkahnya. Laki-laki tua itu lalu memandang tajam pemuda berbaju kulit harimau itu. Sungguh berbeda sekali sikapnya ketika mereka bertemu pertama kali di kedai. Tatapan mata pengemis tua itu kini tidak lagi terlihat sayu, tapi begitu tajam menusuk. Bahkan berdirinya tegak, tidak membungkuk seperti orang kelaparan yang meminta belas kasihan hanya untuk sesuap makanan.

"Kenapa kau mengikutiku terus, Anak Muda?" dengus pengemis tua itu dingin.

"Jawab dulu pertanyaanku, Ki," sahut Bayu kalem.

Pengemis tua itu menatap Bayu tajam.

"Aku yakin, kau sendiri tidak tahu di mana Rampita kini berada. Lagi pula, apa hubunganmu dengan Rampita?" agak dingin nada suara pengemis tua itu.

"Justru karena mereka menghubung-hubungkan dirimu dengan Rampita, maka itu jadi urusanku!" sentak Bayu ketus.

"Heh?! Apa urusanmu dengan Rampita?" sekarang pengemis tua itu yang terperanjat.

Bayu hanya tersenyum-senyum kecil. Disandarkan punggungnya di sebuah pohon yang cukup rindang, menaungi dirinya dari sengatan sinar matahari Sedangkan pengemis tua memandangi dengan kening yang semakin berkerut dalam.

"Anak Muda, siapa kau sebenarnya?" tanya pengemis tua.

"Kau sendiri, siapa?" Bayu malah balik bertanya, dan bersikap seenaknya.

"Anak Muda, kau memang telah menolongku dari kelaparan. Tapi itu bukan berarti aku berhutang budi padamu!" desis pengemis tua itu dingin.

"Aku tidak pernah membicarakan balas budi, dan tidak akan pernah!" tegas kata-kata Bayu. "Aku hanya ingin mengingatkan kalau di antara kita berada dalam situasi sama. Tapi tampaknya kau tidak menginginkan. Baik..., aku akan pergi. Dan selamanya kau tidak akan bisa bertemu Rampita!"

Setelah berkata demikian, Bayu langsung memutar tubuhnya dan melangkah pergi.

'Tunggu...!" cegah pengemis tua cepat-cepat.

Bayu menghentikan ayunan kakinya, kembali berbalik menghadap pengemis tua kurus kering itu.

"Ada apa lagi? Bukankah tadi menyuruhku pergi?"

"Aku mengaku kalah padamu, Anak M uda," ujar pengemis tua itu pelan.

"Hah...?! Bertarung juga belum, kenapa mengaku kalah?"

"Pertarungan bukan hanya adu kekuatan, Anak Muda. Kita tadi sudah melakukan satu pertarungan, berupa pertarungan mental! Dan aku mengakui kekalahanku. "

Bayu mengangkat bahunya. Kepalanya menoleh ke kiri, kemudian menghampiri sebongkah batu yang tidak begitu besar, tidak jauh di sebelah kirinya. Pendekar Pulau Neraka itu duduk mencangkung di situ Sedangkan pengemis tua itu seenaknya duduk di tanah, bernaung di bawah pohon tidak jauh di depan Bayu.

"Sebaiknya kita mulai dengan memperkenalkan diri masing-masing, Anak Muda," usul pengemis tua itu memulai.

"Kau bisa memanggilku Dewa Pengemis."

"Kau tentu punya nama lahir, bukan?" Bayu tidak puas.

"Aku tidak tahu lagi namaku yang sebenarnya." "Baiklah kalau begitu."

"Siapa namamu, Anak Muda?"

"Bayu"

"Siapa yang lebih dulu menceritakan hubungan kita dengan Rampita?"

"Kau dulu."

Laki-laki tua kurus berpakaian compang-camping yang mengenalkan diri sebagai Dewa Pengemis itu tersenyum kecut. Kepalanya tergeleng beberapa kali. Secara jujur, dalam hati diakui keteguhan pemuda berbaju kulit harimau ini. Meskipun kata-katanya selalu terdengar tegas, bahkan menjurus kasar, tapi Dewa Pengemis masih menangkap adanya kelembutan pada sorot mata Bayu.

"Sebenarnya aku bukanlah orang lain bagi Rampita. Karena, aku adalah kakak kandung ayahnya," Dewa Pengemis memulai menjelaskan di hadapan Pendekar Pulau Neraka.
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu, Dewa Pengemis?" sergah Bayu.

"Itu urusanmu, Bayu. Yang jelas, jauh-jauh aku datang dari Selatan ingin bertemu adik dan keponakanku. Tapi ternyata adikku sudah tewas, dan padepokan yang didirikan dengan susah payah telah hancur. Tapi aku tetap berusaha untuk bertemu keponakanku di Gunung Cakal. Tapi ternyata Rampita juga sudah tidak ada lagi di sana. Sungguh tidak kumengerti, karena selama berada di sini, sudah tiga kali aku bentrok dengan orang-orang yang tidak bisa kumengerti apa maksud mereka mencari Rampita. Aku benar-benar tidak tahu."

Bayu terdiam, tapi pandangannya agak dalam ke mata Dewa Pengemis. Memang sudah disaksikannya, begitu banyak orang dari kalangan rimba persilatan tumpah di selatar Kaki Gunung Cakal. Bahkan sampai ke Lembah Bunga. Tapi Pendekar Pulau Neraka itu belum mau percaya begitu saja pada laki-laki tua pengemis ini.

"Kau sudah pernah bertemu Rampita sebelumnya?" tanya Bayu menguji.

"Beberapa kali," sahut Dewa Pengemis.

Di mana biasanya kau bertemu Rampita?"

"Di Puncak Gunung Cakal. Tepatnya di sebuah gua yang menjadi tempat tinggalnya. Semula keponakanku itu tinggal bersama Paman dan Bibi dari ibunya. Tapi setelah paman dan bibinya meninggal, tidak pernah kujumpainya lagi sampai sekarang. Entah sudah berapa tahun tidak kulihat," jelas Dewa Pengemis.

Bayu semakin dalam memandangi laki-laki tua pengemis itu. Pendekar Pulau Neraka memang pernah ke Puncak Gunung Cakal, menemui Rampita. Tapi ternyata bukan gadis itu yang tinggal di sana. Melainkan seorang yang hampir mirip dengan Rampita. Gadis cantik yang hidupnya bersama seekor binatang beruang putih raksasa, dan juga penuh misteri!

Sebenarnya Bayu ingin mengatakan kalau di Puncak Gunung Cakal sekarang bukan lagi menjadi tempat tinggal Rampita, tapi seorang gadis penuh misteri bernama Seruni. Namun saat mendengar cerita Dewa Pengemis, pikiran Bayu langsung berubah. Pendekar Pulau Neraka itu langsung bisa mengetahui kalau Seruni telah meninggalkan Puncak Gunung Cakal. Juga, Bayu sudah bisa menebak untuk apa gadis itu pergi.

"Dewa Pengemis, boleh aku tahu. Apakah paman dan bibi Rampita tidak mempunyai anak? tanya Bayu yang tiba-tiba mendapat pemikiran yang mungkin bisa mengungkap tabir misteri ini.

"Kenapa kau tanyakan itu, Bayu?" tanya Dewa Pengemis tanpa menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka tadi.

"Maaf. Dalam saat seperti ini, aku tidak bisa begitu saja mempercayai setiap orang. Apalagi yang berhubungan dengan Rampita. Masalahnya, hampir semua orang mengetahui seluk-beluk keluarga gadis itu," jelas Bayu.

Dewa Pengemis mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti ucapan Pendekar Pulau Neraka itu, kemudian tersenyum. Entah apa arti senyumnya itu. Bayu sendiri sukar untuk memahaminya.

"Aku senang kalau Rampita berada di tempat yang aman dalam keadaan selamat. Tapi...," kata-kata Dewa Pengemis terputus.

'Tapi, kenapa...?"

Belum lagi Dewa Pengemis melanjutkan kata-katanya, mendadak saja sebuah bayangan hijau berkelebat Dan tahu-tahu di antara kedua orang itu berdiri gadis cantik mengenakan baju warna hijau muda. Baik Bayu maupun Dewa Pengemis terbeliak kaget. Mereka sampai terlonjak berdiri, dan mata terbuka lebar seolah-olah tidak mempercayai apa yang dilihat kini.

***
TIGA
Bayu tidak bisa berkata apa-apa. Baginya sulit dimengerti kenapa tiba-tiba saja Rampita muncul di tempat ini. Sementara Dewa Pengemis sudah menghampiri gadis itu dan berdiri di sampingnya. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau itu masih terdiam mengamati gadis cantik yang berdiri di depannya. Seakan-akan ingin dipastikan kalau gadis itu memang benar Rampita.

"Hh! Tidak kusangka kau begitu licik, Kakang. Kau hendak memperdaya pamanku!" dingin sekali nada suara Rampita.

"Rampita, apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau..," suara Bayu terputus.

"Sikap dan kata-katamu memang manis, Kakang. Sayang sekali, maksud burukmu bisa kutangkap, walaupun tersembunyi di balik sikap dan kata-kata manismu," desis Rampita ketus.

"Rampita, kenapa kau...? Apa yang kau katakan?" Bayu jadi tidak mengerti pada sikap Rampita.

"Kau memang pandai berpura-pura, Kakang. Tapi semua akal licikmu sudah kuketahui! Kau harus mati, Kakang!

Hiyaaa...!"

"He! Tunggu...!"sentak Bayu.

Tapi Rampita sudah tidak bisa dicegah lagi. Gadis itu sudah cepat melompat menerjangnya. Terpaksa Bayu harus berkelit menghindari serangan gadis berbaju hijau muda itu. Sementara Dewa Pengemis juga tampak kebingungan, tidak mengerti akan semua ini. Dia hanya dapat diam menyaksikan Rampita yang tengah menyerang Bayu dengan gencar.

Serangan-serangan yang dilancarkan Rampita begitu bertubi-tubi sehingga membuat Bayu harus jumpalitan menghindarinya. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka itu berseru agar Rampita menghentikan serangannya, tapi tidak dipedulikan. Bahkan semakin memperhebat serangan-serangannya.

Menyadari kalau gadis ini tidak mungkin lagi bisa dihentikan, Bayu menjadi gusar juga. Pendekar Pulau Neraka paling tidak suka dengan posisi seperti ini, yang hanya bisa berkelit dan menghindar tanpa dapat membalas sedikit pun. Dan pada saat Rampita mengarahkan satu pukulan keras kearah dada, dengan cepat Bayu menyilangkan tangannya di depan dada. Satu benturan keras pun tak dapat dihindari lagi.

"Akh...!" Rampita terpekik keras ketika pukulannya terhalang tangan Pendekar Pulau Neraka.

Tepat pada saat itu, Bayu menghentakkan tangan kirinya ke arah lambung. Begitu cepat gerakan tangannya, sehingga Rampita tak mungkin mengelak lagi. Sodokan tangan kiri Bayu tepat mendarat di lambung gadis itu. .

Des!

"Ughk...!" Rampita mengeluh panjang.

Selagi tubuh Rampita terbungkuk, Bayu cepat-cepat melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Sementara Rampita terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap lambungnya. Seketika wajah gadis itu memerah bagai terbakar. Seraya menyumpah dan memaki habis-habisan.

"Paman, manusia keparat itulah yang membunuh Ayah! Sudah lama aku mencarinya. Dia harus mati, Paman!" teriak Rampita seraya meringis menahan rasa mual yang mulai menggerogoti perutnya.

"Rampita...," Dewa Pengemis kelihatan ragu-ragu.

'Percayalah padaku, Paman. Aku punya saksi," desak Rampita.

Dewa Pengemis kelihatan ragu-ragu. Sebentar ditatapnya Bayu, sebentar kemudian beralih ke arah Rampita yang tengah berusaha mengatur napasnya untuk mengusir rasa mual dan nyeri pada lambungnya. Sodokan tangan kiri Bayu memang cukup keras, mes kipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam. Namun begitu, sudah membuat Rampita hampir mati tertahan napasnya.

"Kenapa diam saja, Paman. Bunuh dia. Keparat itu membunuh ayahku, menghancurkan Padepokan Tongkat Sakti.

Bahkan juga mencuri Bunga Cubung Biru!" bentak Rampita gusar melihat Dewa Pengemis masih diam saja ragu-ragu.

"Rampita, apa yang kau lakukan ini...?!" sentak Bayu tidak mengerti dengan sikap gadis itu.

"Diam kau, keparat! Pembunuh busuk!" sentak Rampita berang.

"Heh...?!" Bayu tersentak kaget.

Belum pernah Bayu melihat Rampita berkata sekasar itu. Bahkan belum pernah terlihat begitu berang. Namun belum juga Pendekar Pulau Neraka itu bisa berpikir lebih jauh, mendadak saja Dewa Pengemis sudah melompat sambil berteriak keras. Tongkat kayu yang kelihatan rapuh itu diputar kencang, dan dikibaskan ke arah kepala Pendekar Pulau.Neraka.

"Yeaaah...!"

"Uts!"

Buru-buru Bayu merundukkan kepalanya. M aka sabetan tongkat Dewa Pengemis lewat sedikit di atas kepala. Namun demikian, pemuda berbaju kulit harimau itu bisa merasakan angin tebasan tongkat rapuh itu. Sungguh dahsyat dan mengandung hawa panas menyengat Dan sebelum Bayu mengangkat kepalanya, mendadak saja Dewa Pengemis sudah melepaskan satu tendangan menggeledek bertenaga dalam cukup tinggi.

"Jebol! Yeaaah...!"

Bughk!

"Ugh...!"

Bayu terjengkang ke belakang sejauh dua batang tombak Meskipun tidak sampai ambruk ke tanah, namun cukup membuatnya limbung juga. Didekap perutnya yang terasa mual. Tendangan Dewa Pengemis begitu keras dan bertenaga dalam cukup tinggi. Bayu tak bisa lagi bertahan, dan langsung memuntahkan darah agak kental dari mulurnya. Seketika pandangan matanya jadi nanar.

"Hiy aaat ...!"

Dewa Pengemis tidak lagi menunggu lama, langsung melompat sambil cepat memutar tongkatnya. Sementara Bayu masih belum bisa menghilangkan rasa mual pada perutnya.

Tapi mendapat serangan lagi, Pendekar Pulau Neraka bergegas membanting tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali menghindari tebasan dan tusukan tongkat kayu secara beruntun.

"Hup !"

Cepat Bayu melompat bangkit. Pada saat itu Dewa Pengemis sudah kembali bergerak menyerang. Kakinya cepat menyusur tanah, membuat debu berkepul bagai tersepak kak kuda yang dipacu cepat. Ujung tongkatnya lurus ke depan mengarah dada Pendekar Pulau Neraka.

"Hiy aaat ...!"
"Hap! Yeaaah...!"
Tap !

Cepat Bayu menggerakkan tangannya. Dan tepat ketika.ujung tongkat hampir menyentuh dada, Pendekar Pulau Neraka itu merapatkan kedua tangannya di depan dada. Seketika ujung tongkat Dewa Pengemis terjepit di antara telapak tangan Bayu yang menyatu rapat. Tapi Dewa Pengemis rupanya tidak kehilangan akal. Sambil melentingkan tubuh.ke depan, dihentakkan kakinya menendang dada Pendekar Pulau Neraka itu.

"Yeaaah...!"
"Hih!"

Buru-buru Bayu menghentakkan tangannya ke depan seraya melepaskan jepitannya pada tongkat laki-laki tua pengemis itu, dan secepat itu pula melompat mundur sejauh tiga langkah. Pada saat yang sama, Dewa, Pengemis berputaran di udara, kemudian mendarat di tanah dengan manis sekali. Baru saja Bayu hendak membuka mulut untuk bicara, tiba-tiba saja terdengar teriakan keras. Dan seketika Pendekar Pulau Neraka itu terkejut. Ternyata dari arah samping kiri, Rampita sudah melompat sambil menghunus pedang ke arahnya.

Wut! Wuk...!
"Hiy aaat ..!"

Cepat sekali Bayu menarik tubuhnya ke belakang menghindari tebasan pedang gadis berbaju hijau muda itu. Dan secepat itu pula, sambil melentingkan tubuhnya ke belakang secara berputar, dikirimkan satu tendangan keras. Kalau saja Rampita tidak cepat-cepat melangkah mundur,.pasti dadanya terhajar tendangan itu.

Namun sebelum gadis itu sempat melakukan serangan kembali, Bayu sudah memberikan satu pukulan jarak jauh yang keras bertenaga dalam sempurna sekali. Rampita terperanjat Buru-buru dilentingkan tubuhnya, berjumpalitan di udara beberapa kali. Pukulan jarak jauh Pendekar Pulau Neraka hanya mengenai sasaran kosong.

"Rampita, mundur...!" teriak Dewa Pengemis.

"Tidak! Aku harus membalas kematian Ayah!" seru Rampita tidak kalah kerasnya.

Gadis itu tidak mempedulikan peringatan laki-laki tua pengemis itu. Secepat kakinya menjejak tanah, secepat itu pula kembali menyerang Pendekar Pulau Neraka. Dengan pedang di tangan, Rampita bagai dewi maut yang siap mencabut nyawa. Pedangnya berkelebatan cepat mengurung setiap gerak Pendekar Pulau Neraka. Tapi serangan-serangan gadis itu mudah sekali dapat dimentahkan. Bahkan tanpa diduga sama sekali, mendadak saja Bayu berhasil menyarangkan satu tendangan ke dada gadis itu. Rampita terpekik, langsung terlontar cukup jauh ke belakang.

"Rampita...!" seru pengemis tua itu, sambil melompat ke depan mendekati Pendekar Pulau Neraka. Dengan tongkat kayu di tangan, laki-laki tua itu menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan ganas sekali. Serangan-serangan tongkatnya sungguh berbahaya. Bahkan tongkat itu seperti memiliki mata. Ke mana Bayu menghindari, selalu diikuti.

"Huh! Aku bosan dengan permainan ini! Hiyaaa...!" dengus Bayu langsung saja mencelat ke atas.

Dan sebelum Dewa Pengemis bisa menyadari, Pendekar Pulau Neraka sudah menukik deras. Langsung saja dikirimkan satu pukulan keras ke arah dada begitu kakinya menjejak tanah tepat di depan Dewa Pengemis.

Des!
"Aaakh...!"

Dewa Pengemis menjerit keras. Pukulan Bayu telak menghantam dada Dewa Pengemis, membuat laki-laki tua itu terpental dan jatuh tepat di samping Rampita yang sudah bisa bangkit berdiri. Dewa Pengemis berusaha berdiri, tapi mengeluh merasakan nyeri pada dadanya. Sepertinya ada beberapa tulang dadanya yang patah. Dewa Pengemis bisa berdiri juga meskipun harus enahan rasa sakit yang luar biasa.

"Kita pergi saja, Paman," ujar Rampita memberikan saran.

"Baiklah, ayo!" sambut Dewa Pengemis.

Tanpa menunggu waktu lagi, Dewa Pengemis dan Rampita berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bayu hendak mengejar, tapi segera mengurungkan niatnya. Dia hanya berdiri tegak memandangi kedua orang yang semakin jauh.

***

Bayu mengayunkan kakinya pelahan membelah hutan lebat. Begitu lebatnya, sehingga matahari seakan-akan sulit meneroboskan cahayanya. Sekitar hutan ini begitu lembab. Sepanjang jalan yang dilalui hanya tumpukan daun kering dan lumut licin berembun. Jamur sangat subur tumbuh di balik batang dan akar serta pohon-pohon yang sudah mati.

Pendekar Pulau Neraka itu melangkah pelahan sambil memikirkan kemunculan Rampita. Benar-benar tidak dimengerti akan sikap gadis itu yang jauh berubah. Sepertinya Rampita adalah seorang gadis asing. Begitu garang dan liar sekali. Bayu benar-benar tidak mengerti akan perubahan sikap gadis itu yang begitu tiba-tiba. Bahkan menuduhnya sebagai pembunuh ayahnya.

"Hm..., sebaiknya aku kembali ke gubuk Nyi Rampik," gumam Bayu.

Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat ke atas pohon. Bagai seekor burung elang, pemuda berbaju kulit harimau itu berlompatan dari pohon satu ke pohon lainnya, bagai tidak menyentuh daun sedikit pun. Begitu ringan dan sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar Pulau Neraka, sehingga bisa berlompatan di atas pohon seperti berada di atas permukaan tanah saja. Setiap dedaunan atau ranting yang digunakan untuk pijakan, tak ada goyangan sama sekali.

Dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Pulau Neraka itu sudah sampai di depan pondok kecil reyot milik Nyi Rampik. Suasananya begitu sunyi senyap. Pelahan-lahan Bayu menghampiri pondok itu. Ditajamkan mata dan telinganya. Namun yang terdengar hanya desiran angin. Bahkan tidak terlihat adanya tanda-tanda mencurigakan. Suasananya tidak berubah, tetap sunyi seperti hari-hari yang lalu.

"Rampita...!" seru Bayu keras memanggil.

Sepi. Tak ada sahutan sedikit pun. Bayu jadi curiga dengan keadaan yang sunyi begini. Langkahnya terhenti di depan pintu pondok yang sedikit terbuka. Pelahan didorongnya pintu itu. Bunyi bergerit membuat debaran jantung Pendekar Pulau Neraka itu jadi semakin kencang.

Kosong! Tak ada seorang pun di dalam pondok ini. Tapi begitu Bayu hendak melangkah pergi, mendadak saja matanya menangkap sesuatu yang mencurigakan di kolong balai bambu. Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri, lalu membungkuk melihat ke bawah kolong balai bambu.

"Nyi Rampik...!" desis Bayu terbeliak.

Di dalam kolong balai bambu ini tergeletak seorang perempuan tua yang sangat dikenal Pendekar Pulau Neraka. Buru-buru pemuda berbaju kulit harimau itu menarik keluar Nyi Rampik, dan memindahkannya ke atas balai bambu beralaskan tikar daun pandan.

"Biadab...!" desis Bayu menggeram.

Nyi Rampik dalam keadaan pingsan. Darah di sudut bibirnya hampar mengering. Pertanda cukup lama perempuan tua itu pingsan. Seluruh wajah perempuan tua ini memar membiru. Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kecil ini. Tak ada tanda tanda bekas ada perkelahian disini. Keadaannya cukup rapi. Tapi, di lantai dekat pintu belakang terdapat bercak darah mengering.

Bergegas Bayu menghampiri pintu yang langsung menuju bagian belakang. Pintu itu terbuka lebar, dan Bayu langsung menerobos. Kini Pendekar Pulau Neraka itu sudah berada di bagian halaman belakang. Tampak pepohonan yang sengaja ditanam Nyi Rampik hancur berantakan. Bercak-bercak darah mengering terlihat di mana-mana. Begitu banyak jejak kaki manusia tertera jelas di tanah.

"Hm..., di mana Rampita?" tanya Bayu jadi teringat dengan gadis itu.

"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja terdengar tawa lepas menggelegar.

Bayu langsung memutar tubuhnya. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan. Wajahnya cukup gagah dihiasi kumis tipis. Tubuhnya kekar berotot, dan berdada bidang yang berbulu. Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ketika mendengar suara berkeresek dedaunan kering.

Dan sekitarnya kini bermunculan orang-orang bersenjata tombak. Jumlah mereka begitu banyak, lebih dari lima puluh orang. Semuanya bersenjata tombak yang bagian ujungnya berkeluk seperti mata keris. Mereka semua langsung membuat lingkaran mengepung, sehingga tak ada satu celah sedikit pun.

Pendekar Pulau Neraka kembali mengalihkan pandangannya pada laki-laki setengah baya yang masih gagah di depannya. Dari pakaian yang dikenakan, sepertinya dia bukan dari kalangan persilatan. Demikian pula orang-orang yang mengepungnya. Mereka mengenakan seragam bagai seorang prajurit kerajaan. Tapi, entah dari kerajaan mana. Tak ada lambang yang bisa menyatakan mereka datang dari suatu kerajaan.

***

"Kau yang bernama Bayu?" tanya laki-laki setengah baya itu.

"Benar. Dan kau siapa?"

"Aku Panglima Gajah Sodra. Aku sengaja menunggumu di sini untuk membawamu ke Istana Cagar Angin," tegas laki-laki setengah baya itu yang mengaku bernama Panglima Gajah Sodra.

"Maaf, Gusti Panglima. Sepertinya kita belum pernah bertemu. Kenapa Gusti Panglima ingin membawaku ke istana?" tanya Bayu, sopan.

"Sebaiknya kau jangan banyak tanya, Bayu. Gusti Prabu sendiri yang akan bertemu denganmu."

"Aneh.... Apa urusannya Gusti Prabu ingin bertemu denganku?" gumam Bayu seperti bertanya pada diri sendiri.

"Bayu! Perlu kau ketahui. Aku ditugaskan membawamu ke istana dengan cara apa pun. Kuharap jangan membangkang, agar tidak menyulitkan dirimu sendiri!" tegas Panglima Gajah Sodra lagi.

"Kau mengancamku, Gusti Panglima," desis Bayu kurang senang. 'Terserah apa anggapanmu. Suka atau tidak suka, harus ikut denganku!"

"Kalau aku menolak?"

Panglima Gajah Sodra menggerung pelahan. Tatapan matanya sangat tajam menusuk langsung bola mata Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Diedarkan pandangannya ke sekeliling, seakan-akan tengah mengukur kekuatan para prajurit Kerajaan Cagar Angin ini. Jumlah yang cukup banyak, dan pasti mereka prajurit pilihan dengan tingkat kemampuan rata-rata cukup tinggi.

Selain membawa tombak, mereka juga menyandang pedang di pinggang masing-masing. Sedangkan Panglima Gajah Sodra hanya membawa pedang yang masih tergantung dipinggang. Tapi di pinggangnya juga melilit seutas cambuk hitam yang ujungnya menyerupai bentuk buntut kuda. Bayu bergumam pelahan, entah apa yang digumamkan itu.

"Adya Bala...!" seru Panglima Gajah Sodra lantang.

Satu teriakan menggemuruh terdengar dari para Prajurit itu. Mereka mengangkat tombak ke atas sambil berteriak menyambut seruan Panglima Gajah Sodra. Sementara Bayu sudah menggeser kakinya sedikit ke samping. Sudah bisa diduga, pasti mereka akan memberikan serangan.

"Bayu, jangan paksa aku menggunakan kekerasan," desis Panglima Gajah Sodra memperingatkan sekali lagi.

"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil sambil mengerutkan kening.

Panglima Gajah Sodra mendengus. Diangkat tangannya ke atas, maka seluruh prajuritnya sudah siap dengan tombak terhunus. Ketika Panglima Gajah Sodra menghentakkan tangannya ke depan, mendadak saja....

'Tunggu....'" terdengar bentakan keras dan lantang.

Para prajurit yang sudah siap hendak menyerang Pendekar Pulau Neraka, seketika mengurungkan niatnya. Panglima Gajah Sodra langsung memutar tubuhnya ke kiri. Dan seketika itu juga dijatuhkan dirinya berlutut seraya merapatkan tangan di depan hidung. Namun yang terjadi pada Bayu lain lagi. Pendekar Pulau Neraka itu membeliakkan matanya, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya ini.

"Seruni...," desis Bayu mengenali perempuan muda berbaju putih yang baru datang itu.

Gadis berbaju putih itu melangkah tenang mendekati Panglima Gajah Sodra. Sebentar ditatapnya laki-laki setengah bayu yang bersikap penuh rasa hormat itu. Kemudian pandangannya beralih pada Pendekar Pulau Neraka yang masih belum mempercayai semua yang dihadapinya ini.

"Gusti Ayu, Anak Muda ini mencoba membangkang," lapor Panglima Gajah Sodra.

"Apa Paman sudah mengatakan?" tanya Seruni.

"Sudah, Gusti Ayu. Tapi malah ditantang."

Seruni menatap Pendekar Pulau Neraka, lalu melangkah menghampiri dan berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi. Sedangkan Bayu hanya diam saja, tapi benaknya terus berputar keras. Gadis yang bernama Seruni ini memang sungguh misterius. Pertama mengaku bernama Rampita. Kemudian menjadi gadis liar dengan seekor beruang putih raksasa. Dan kini muncul dalam keadaan lain lagi. Bayu jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya dara ayu ini..?

"Kenapa kau menolak undangan Prabu Nata Kesuma, Bayu?" tanya Seruni agak datar nada suaranya.

"Aku tidak merasa diundang, mereka ingin membawaku secara paksa!" sahut Bayu ketus.

"Mereka tidak akan memaksa jika kau bersedia ke istana,"

Seruni tidak percaya pada jawaban Pendekar Pulau Neraka.

Bayu terdiam beberapa saat. Otaknya menimbang-nimbang undangan yang tidak pernah dimengerti ini. Tapi bagi Pendekar Pulau Neraka itu bukan masalah undangannya, melainkan rasa penasarannya pada diri gadis ini Mungkin jika ikut ke Istana Kerajaan Cagar Angin, bisa mengetahui siapa sebenarnya. Seruni Dara ayu yang penuh misteri.

"Baiklah. Aku penuhi undangan raja kalian," tegas Bayu setelah berpikir cukup lama.

Seruni tersenyum. Kemudian berpaling pada Panglima Gajah Sodra. Diperintahkannya laki laki itu untuk mempersiapkan kuda. Dengan segera Panglima Gajah Sodra kembali memerintahkan para prajuritnya mempersiapkan kuda. Saat itu ketegangan bisa teratasi, namun dalam pikiran Bayu masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan dugaan. Terutama mengenai dara ayu yang bernama Seruni. Rasa ingin tahunya semakin besar melihat sikap Panglima Gajah Sodra dan seluruh prajuritnya begitu hormat pada gadis ini. Bahkan memanggilnya dengan sebutan Gusti Ayu. Suatu sebutan penghormatan bagi seorang wanita.

***
EMPAT
Sama sekali Bayu tidak menyangka kalau di sekitar Gunung Cakal dan Lembah Bunga ada sebuah bangunan megah yang merupakan Istana Kerajaan Cagar Angin. Juga tidak diduga kalau daerah ini merupakan wilayah kerajaan itu. Dan yang lebih mengherankan lagi, Prabu Nata Kesuma ternyata masih begitu muda. Mungkin usianya baru sekitar dua puluh tahun.

Bayu memandangi ruangan besar yang ternyata memang Balai Sema Agung Istana Cagar Angin ini. Cukup banyak orang yang ada di sini, selain Prabu Nata Kesuma yang duduk di singgasana yang didampingi Seruni. Di belakang raja muda itu berdiri beberapa gadis cantik mengenakan baju putih dan memakai selendang wama biru yang membelit pinggang. Bayu pernah bertemu gadis-gadis cantik itu, bahkan dua orang telah tewas di tangannya. Jumlah mereka kini tinggal delapan orang lagi.

Agak ke depan di samping kanan, duduk seorang laki-laki setengah baya, bertampang kasar. Tubuhnya tegap dan terlihat masih gagah. Dialah Panglima Gajah Sodra. Sementara di sebelahnya duduk beberapa orang pembesar lainnya. Sedangkan Bayu hanya berdiri saja di tengah-tengah mereka semua. Di belakang Pendekar Pulau Neraka itu terdapat sekitar dua puluh orang prajurit bersenjata tombak panjang.

"Aku senang kau sudi memenuhi undanganku, Bayu," ujar Prabu Nata Kesuma. Suaranya begitu lembut, bahkan seperti wanita saja. Senyuman di bibir yang merah bagai bibir perempuan selalu terkembang.

"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil.

"Mungkin panglimaku memperlakukanmu kurang mengenakan. Maafkan, tidak seharusnya terjadi adu ketegangan," sambung Prabu Nata Kesuma.

"Langsung saja, Gusti Prabu. Apa maksud Gusti Prabu mengundangku kemari?" celetuk Bayu tanpa memberi sikap hormat sedikit pun.

Sikap Bayu yang begitu berani membuat para pembesar menjadi memberengut tidak senang. Terlebih lagi Panglima Gajah Sodra yang hampir saja menerjang. Untung Prabu Nata Kesuma lebih dulu memberi isyarat dengan mengangkat tangannya sedikit. Dan Bayu memang tidak peduli, karena sejak semula memang sudah tidak senang terhadap sikap panglima itu. Kalau saja bukan karena rasa ingin tahunya mengenai diri Seruni, tidak mungkin Pendekar Pulau Neraka itu ada di ruangan besar dan megah ini.

"Bayu, kudengar kau sekarang memiliki Bunga Cubung Biru. Benar itu?" ujar Prabu Nata Kesuma lembut.

"Dari mana kau tahu?" tanya Bayu agak kaget juga meskipun sudah menduga pasti ada hubungannya dengan Bunga Cubung Biru yang tengah dihebohkan sekarang ini.

"Kau tentu sudah kenal gadis ini, Bayu?" Prabu Nata Kesuma menoleh pada/ Seruni yang duduk di sampingnya.

Bayu tidak menjawab, tapi hanya memandang Seruni yang tersenyum-senyum membalas pandangannya. Pendekar Pulau Neraka kembali mengalihkan pandangannya ke arah Prabu Nata Kesuma.

"Apa saja yang dikatakannya?" tanya Bayu.

"Tidak banyak Tapi..., ah sudahlah. Mungkin kau lelah. Sebaiknya, beristirahatlah dulu. Kamar untukmu sudah disiapkan," jelas Prabu Nata Kesuma seraya menjentikkan jarinya.

Seruni bangkit berdiri, lalu menghampiri Pendekar Pulau Neraka.

"Mari, kutunjukkan kamar untukmu," ujar Seruni manis.

Sebentar Bayu menatap gadis itu, kemudian berpaling ke arah Prabu Nata Kesuma. Raja muda itu mengangguk sedikit dan tersenyum. Tanpa berkata apa pun, Bayu mengikuti Seruni menuju kamar untuknya.

Sepeninggal Pendekar Pulau Neraka itu, Panglima Gajah Sodra menghampiri Prabu Nata Kesuma. Diberikannya hormat dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung.

"Gusti, kenapa tidak kita paksa saja agar mengaku," kata Panglima Gajah Sodra.

"Aku masih punya rencana yang lebih baik lagi, Paman Gajah Sodra. Kita sudah melakukan banyak kekerasan. Aku khawatir, rakyat akan tahu tentang kita yang sebenarnya, sehingga akan menambah kesulitan kita semua, Paman. Aku tidak ingin semuanya berantakan sebelum berhasil mendapatkan Bunga Cubung Biru itu," jelas Prabu Nata Kesuma lembut. Namun dalam nada suaranya mengandung tekanan yang amat dalam.

"Gusti Prabu, hamba dengar si Dewa Pengemis terlihat di sekitar Desa Temanggal. Bahkan beberapa telik sandi mengatakan melihat Rampita bersama Dewa Pengemis," lapor Panglima Gajah Sodra.

"Jangan hiraukan, Paman. Mereka bukanlah tandinganku. Biarkan saja mereka menjual obat, aku yakin tak akan ada yang mau mempercayainya lagi," sembur Prabu Nata Kesuma.

"Ampun, Gusti Prabu. Hamba hanya merasa khawatir. Sebab anak buah hamba tewas ketika bentrok dengan Dewa Pengemis."

"Sudahlah, aku akan kembali ke bilik semadi," Prabu Nata Kesuma bangkit berdiri dari singgasananya.

Delapan orang gadis cantik yang mendampinginya ikut berjalan di belakang raja muda itu. Sedangkan semua orang yang berada di ruangan Balai Sema Agung itu menundukkan kepala seraya merapatkan tangan di depan hidung. Mereka baru mengangkat kepala kembali setelah Prabu Nata Kesuma keluar dari tempat itu.

***

Malam belum begitu larut Namun Bayu sudah terlelap dialam mimpi. Kamar yang disediakan Prabu Nata Kesuma memang sungguh menyenangkan, sehingga membuatnya lebih cepat jatuh tidur daribiasanya. Suasana begitu sunyi dan gelap. Hanya cahaya bulan yang menerobos masuk menerangi kamar itu. Dalam keremangan cahaya bulan terlihat sesosok tubuh menyelinap di bawah jendela luar kamar yang ditempati Pendekar Pulau Neraka.

Sosok tubuh hitam yang seluruh kepalanya terselubung kain hitam pekat, dan hanya bagian mata saja yang terlihat. Sosok tubuh berbaju hitam itu mencoba mencongkel jendela. Hanya sedikit suara yang terdengar, maka jendela sudah terbuka lebar. Diperhatikannya Bayu yang masih terlelap dalam buaian mimpi.

Slap !

Sungguh ringan gerakan sosok tubuh hitam itu. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia melompat masuk melalui jendela yang sudah terbuka lebar. Sebentar diawasinya Bayu, lalu pelahan-lahan bergerak mendekati pembaringan. Tangannya menggapai-gapai mencari sesuatu di atas meja. Lalu berpindah ke lemari, dinding, dan setiap sudut di kamar ini. Bahkan permadani yang menjadi alas lantai kamar ini pun tak luput dari perhatiannya. Namun yang dicari belum juga ditemukan. Sosok hitam itu kini memusatkan perhatiannya pada Pendekar Pulau Neraka yang tampaknya masih terlelap tidur.

Namun begitu kakinya hendak melangkah menghampiri, tanpa disengaja tangannya menyentuh sebuah jambangan yang berada di pinggir meja. Jambangan dari tanah liat itu jatuh dan pecah di lantai dengan menimbulkan suara berisik.

"Siapa itu...?"

Seketika Bayu menggelinjang bangkit dari pembaringan. Pada saat itu sosok tubuh hitam melesat melalui jendela.

"Hai...?!" seru Bayu keras.

Tapi sebelum sosok tubuh hitam itu keluar, tangannya dikibaskan sambil memutar tubuhnya. Seketika melesat sebuah benda berwarna kemerahan ke arah Pendekar Pulau Neraka. Sebelum Bayu sempat menyadari, orang berbaju hitam itu sudah cepat melesat keluar.

"Uts! Hup...!"

Bayu langsung memiringkan tubuhnya, maka benda bulat kecil kemerahan itu lewat di depan dadanya. Secepat itu pula, Pendekar Pulau Neraka melompat mengejar melalui jendela juga. Sekilas masih terlihat bayangan hitam berkelebat melompati tembok benteng istana bagian belakang. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu mengejar. Gerakannya sungguh cepat dan ringan, sehingga dalam sekejap saja sudah melompati tembok benteng yang tinggi itu.

"Huh!" Bayu mendengus begitu kakinya menjejak tanah di luar tembok benteng.
Sosok tubuh hitam itu lenyap tak terlihat lagi bayangannya.

Bagian belakang istana ini memang seperti hutan saja.

Pohonnya besar-besar dan rapat, sehingga menyulitkan sinar bulan meneranginya. Meskipun Bayu sudah memasang penglihatan tajam, tetap saja tidak bisa menemukan sosok tubuh hitam itu lagi.

"Hm..., siapa dia? Apa maksudnya memasuki kamarku...?"

Bayu jadi bertanya-tanya sendiri.

Pendekar Pulau Neraka itu kembali melompati tembok benteng. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat di bagian dalam belakang istana ini. Namun baru saja hendak melangkah, mendadak pemuda berbaju kulit harimau itu mengurungkan niatnya. Dipandanginya sosok tubuh ramping yang tiba-tiba sudah berdiri dekat di depannya.

"Seruni...," desis Bayu pelahan.

"Tidak ada yang perlu kau selidiki di sini, Bayu," kata Seruni sebelum Bayu membuka mulut

"Hm..., kau sendiri sedang apa di sini?" agak datar suara Bayu.

"Aku bebas melakukan apa saja di tempat ini, Bayu. Lain halnya denganmu. Kau jadi pengawasanku, Pemuda Tampan."

Bayu mendengus berat. Diayunkan kakinya melewati gadis itu. Seruni hanya memandangi sambil menyunggingkan senyuman. Gadis itu mengikuti dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Pulau Neraka. Mereka berhenti setelah sampai di depan jendela kamar yang ditempati Bayu. Jendela itu masih terbuka lebar.

"Kau keluar lewat jendela, Bayu?" nada suara Seruni seperti menyelidik.

"Apa urusanmu?" dengus Bayu. 'Itu menjadi tanggung jawabku, Bayu. Selama berada disini, keselamatanmu di tanganku. Coba kalau ada yang melihat, kau bisa disangka pencuri."

"Kau menganggap diriku seperti anak kecil, Seruni," agak sinis nada suara Bayu.

"Aku ingatkan padamu, Bayu. Kau tamu di sini!" tajam suara Seruni.

Bayu hanya tersenyum sinis lalu enak sekali tubuhnya melompati jendela dan masuk ke dalam kamarnya. Belum juga pemuda berbaju kulit harimau itu menutup jendela, Seruni sudah ikut melompat ikut masuk ke dalam kamar ini. Dihampirinya meja dan dinyalakan pelita, sehingga ruangan yang cukup besar dan indah ini terang benderang.

"He! Kamarmu berantakan...?!" seru Seruni terkejut.

"Ada pencuri yang masuk ke sini!" dengus Bayu.

Seruni memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sedangkan Bayu hanya berdiri saja bersandar di samping jendela. Seruni menghampiri, dan berdiri begitu dekat di depan Bayu. Hampir tak ada jarak di antara mereka.

"Seharusnya kau laporkan hal ini pada penjaga, Bayu," kata Seruni pelan.

"Hh! Aku tidak percaya pada penjaga tolol begitu!" dengus Bayu.

Pendekar Pulau Neraka itu hendak menjauh. Tapi Seruni lebih cepat melingkarkan tangannya ke pinggang. Bayu agak terkejut Dan sebelum hilang keterkejutannya, tahu-tahu gadis itu sudah melumat ganas bibirnya. Hampir saja Bayu kehilangan napas, dan untuk sesaat termangu. Tak tahu, apa yang harus diperbuatnya.

Seruni melepaskan pagutannya. Dilingkarkan tangannya di leher Pendekar Pulau Neraka itu. Dipandanginya wajah pemuda di depannya lekat-lekat. Dan Bayu sendiri juga memandangi wajah yang begitu dekat dengannya, tapi belum memberi tanggapan atas rangsangan yang dilakukan gadis ini.

"Kau tahu, Bayu. Sejak pertama kali melihatmu, aku sudah terpikat denganmu," jelas Seruni pelan agak berbisik.

Pelahan dan halus sekali Bayu melepaskan rangkulan gadis itu. Digeser tubuhnya ke samping, lalu melangkah menghampiri kursi di samping pembaringan. Pendekar Pulau Neraka itu menghenyakkan tubuhnya di kursi itu. Sementara Seruni masih saja berdiri memandanginya. Dua kali Bayu menghembuskan napas panjang. Entah apa yang ada di dalam hati pemuda ini.

"Siapa kau sebenarnya, Seruni?" tanya Bayu sambil menatap tajam ke wajah gadis itu.

Seruni tidak langsung menjawab, tapi malah tersenyum dan menghampiri Pendekar Pulau Neraka itu. Sambil menghembuskan napas panjang, gadis itu menghenyakkan tubuhnya di samping Bayu. Digeser duduknya, dan dirapatkan tubuhnya ke tubuh pemuda itu. Tangannya melingkar dipinggang Bayu, dan kepalanya direbahkan ke pundak.

Sementara Bayu hanya diam saja tak menanggapi. Seruni mengangkat kepalanya. Dipandanginya wajah pemuda tampan itu dalam-dalam. Pelahan-lahan didekatkan wajahnya ke wajah Bayu, dan dikecup bibir pemuda itu lembut. Sebentar Seruni melepaskan kecupannya, lalu melumatnya dalam-dalam. Mendapat rangsangan begitu rupa, Bayu jadi gelisah. Kelelakiannya langsung tergugah, tapi masih bisa mengendalikan diri. Dengan halus sekali dilepaskan pelukan Seruni dan bangkit berdiri.

"Kenapa menolak, Bayu?" tanya Seruni memberengut.

Bayu diam saja. Ditariknya napas panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat Ditatapnya Seruni dalam-dalam. Gadis ini memang cantik dan menggairahkan. Tapi Bayu jadi teringat peringatan Rampita sebelum meninggalkan gadis itu dipondok Nyi Rampik.

Namun sebentar kemudian Bayu juga jadi bertanya-tanya tentang diri Rampita. Sewaktu dibawa ke istana ini, dia ada dipondok Nyi Rampik. Sedangkan perempuan tua itu dalam keadaan pingsan dan Rampita sudah tidak ada lagi. Dan sebelumnya Pendekar Pulau Neraka bertemu Rampita. Bahkan gadis itu kini membencinya di depan seorang laki-laki tua yang bernama Dewa Pengemis.

Rampita mengakui kalau Dewa Pengemis adalah pamannya. Demikian juga si Dewa Pengemis, yang mengaku sebagai paman dari gadis itu. Dan sekarang dihadapannya ada seorang gadis yang hampir mirip Rampita. Seorang gadis yang juga penuh terselimut misteri.

"Sudah malam, Seruni. Sebaiknya kembali saja ke kamarmu," kata Bayu lembut

"Aku ingin tidur di sini!" dengus Seruni.

Bayu terhenyak kaget Sungguh tidak disangka gadis ini akan seberani itu. Sementara Seruni sudah berdiri dan menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang tengah diliputi berbagai macam perasaan di dalam dirinya. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu memeluk dan...

"Seruni..," desah Bayu mencoba mengelakkan ciuman gadis itu.

"Huh!" dengus Seruni.

Dengan wajah memberengut kesal, gadis itu melepaskan pelukannya dan melangkah mundur.

"Kau menolakku, Bayu. Ini pasti gara-gara Rampita!" dengus Seruni geram. "Seruni...."

"Baik! Kau akan lihat sendiri, Bayu. Dan jangan harap akan bisa bertemu Rampita lagi. Maka kau tentu tidak akan bisa menolakku lagi! Huh...!"

"Seruni, dengar dulu...!"

Tapi Seruni sudah bergegas meninggalkan kamar itu. Dibukanya pintu dengan kasar dan dihempaskannya dengan kasar pula. Suara pintu terbanting begitu keras, sehingga seluruh dinding ruangan ini sampai bergetar. Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat sikap gadis itu. Seorang gadis yang cantik, liar, berkepandaian cukup tinggi tapi terselimut misteri.

***

Seruni melangkah lebar-lebar disertai wajah memberengut. Dengan sikap kasar, dibukanya satu pintu kamar yang tertutup rapat. Sebuah kamar besar dan indah, namun hanya diterangi satu pelita kecil. Gadis itu semakin memberengut melihat di atas pembaringan dua orang tengah bergumul tak mempedulikan kehadirannya. Dengan kasar dibantingnya pintu itu hingga tertutup. Maka, dua orang di pembaringan itu kontan terkejut

Mereka langsung buru-buru merapikan diri. Tampak yang laki-laki melompat dari pembaringan. Seorang pemuda berwajah tampan yang dikenal bernama Prabu Nata Kesuma. Sedangkan yang wanita berwajah cantik. Sikapnya kelihatan takut-takut ketika turun dari pembaringan. Pakaiannya belum begitu benar, sehingga bagian dadanya masih terbuka.

"Seruni, apa-apaan ini...?!" sentak Prabu Nata Kesuma.

"Suruh gendakmu ini keluar!" rungut Seruni Prabu Nata Kesuma meminta wanita itu keluar. Diberikannya satu kecupan di bibir gendak itu, sementara Seruni memalingkan muka. Dia tidak peduli ketika wanita itu memberi sembah dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung. Dengan sikap hati-hati sekali dibukanya pintu, lalu keluar dan menutup pintu kembali. Prabu Nata Kesuma merapikan pakaiannya, kemudian duduk di tepi pembaringan. Sedangkan Seruni masih saja berdiri dengan wajah kusut.

"Ada apa, Seruni?" tanya Prabu Nata Kesuma lembut

"Huh! Dia menghinaku, Kakang. Dia menolakku!" rungut Seruni seraya menghempaskan tubuhnya di kursi.

"Bayu, maksudmu?"

"Siapa lagi? Dia pasti sudah dipengaruhi Rampita!"

Prabu Nata Kesuma tersenyum, kepalanya menggeleng beberapa kali. Laki-laki itu bangkit dari pembaringan dan melangkah menghampiri gadis itu. Dia duduk di samping Seruni, lalu menggenggam hangat tangan gadis itu. Tapi gadis itu menarik tangannya dengan kasar.

"Seruni, kau adikku satu-satunya. Tidak ada seorang pun yang boleh menghinamu. Akan kujatuhkan hukuman padanya besok," tegas Prabu Nata Kesuma.

"Bukan itu yang kuinginkan, Kakang!"

"Lalu?"

"Kakang, buat dia menurut padaku..."

"Ha ha ha...!" Prabu Nata Kesuma malah tertawa terbahak-bahak.

Dan Seruni semakin memberengut kesal.

"Bagaimana aku bisa membuat ramuan Pelebur Jiwa sekarang ini, Seruni. Kau sendiri kan tahu, tanpa Sari Bunga Cubung Biru tidak ada yang bisa kulakukan. Sedangkan sampai sekarang bunga itu belum berhasil didapatkan," kata Prabu Nata Kesuma setelah reda tawanya.

"Huh! Kakang selalu saja memikirkan Bunga Cubung Biru!" dengus Seruni memberengut.

"Dengar, Seruni. Kelangsungan kehidupan kita terletak pada bunga itu. Aku yakin kekuasaanku tidak akan bertahan lama jika tidak mendapatkan kembali bunga itu. Bunga Cubung Biru sangat penting bagiku, Seruni. Juga untukmu...!"

'Tapi Bayu tidak memilikinya, Kakang. Aku yakin bunga itu tidak ada padanya."

"Kenapa kau begitu yakin, Seruni?" tanya Prabu Nata Kesuma.

'Tadi sudah kucoba memasuki kamarnya. Sudah kucari, kuobrak-abrik seluruh kamarnya, tapi tidak ada. Juga sudah kucoba untuk merayunya, tetap saja tidak ada, Kakang. Bahkan...," suara Seruni terputus.

"Kau terus merayu dan dia menolakmu, begitu? Ha ha ha...!" Prabu Nata Kesuma tertawa terbahak-bahak.

'Tidak lucu!" bentak Seruni memberengut Tapi mukanya memerah juga.

"Sudahlah, Adikku. Bukan hanya dia pemuda tampan di dunia ini. Kau bisa mendapatkan sepuluh yang lebih tampan darinya," Prabu Nata Kesuma mencoba mendinginkan hati adiknya.

"Bayu bukan hanya tampan saja, Kakang. Tapi ilmu kedigdayaannya tinggi sekali. Bahkan dia berhasil membunuh beruang putih piaraan Eyang Banadu." (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah: "Rahasia Bunga Cubung Biru").

"Apa...?!" Prabu Nata Kesuma terperanjat

"Apakah Eyang Banadu tidak menceritakan padamu, Kakang?" tanya Seruni yang juga kaget melihat kakaknya begitu terkejut mendengar beruang putih tewas oleh Pendekar Pulau Neraka.

'Tidak. Kenapa tidak kau ceritakan hal ini padaku, Seruni?" nada suara Prabu Nata Kesuma terdengar menyesal.

"Hh..., aku pikir Eyang Banadu sudah mengatakannya padamu."

"Eyang Banadu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengatakan untuk sementara tidak bisa kembali karena ada urusan. Hanya itu yang dikatakannya."

"Eyang Banadu ingin mencari Bayu. Katanya, ingin menagih hutang beruang putihnya," sambung Seruni,

"Huh! Kalau begitu, Bayu harus dipenjara. Dan aku akan mengutus orang untuk memanggil Eyang Banadu!" tegas kata-kata Prabu Nata Kesuma.

"Kakang...!" Seruni terkejut. Gadis itu menyesal telah memberitahu perihal kematian beruang putih milik guru mereka. Dan sekarang tidak mungkin lagi niat kakaknya untuk memenjarakan Bayu bisa dicegah. Kalau sampai hal itu terjadi, tak mungkin pemuda itu bisa diharapkan lagi. Seruni tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri, kalau sudah begitu terpikat. Bukan saja oleh ketampanan, tapi ilmu kedigdayaan yang dimiliki Bayu yang membuat hatinya semakin terpikat.

Belum pernah Seruni merasakan kecemburuan pada seorang pemuda. Kecemburuan itu datang ketika melihat Bayu berada satu pondok bersama Rampita. Gadis itu tak bisa lagi mengelak kalau benih cinta sudah tumbuh di hatinya. Dia mencintai Pendekar Pulau Neraka, yang seharusnya menjadi musuhnya.

Seruni benar-benar tidak bisa berbuat apa apa lagi ketika Prabu Nata Kesuma memanggil pengawal dan memerintahkan untuk memenjarakan Bayu malam ini juga. Gadis itu hanya bisa diam terpaku di kursi yang didudukinya. Tidak mungkin ucapan kakaknya yang seorang raja di sini bisa ditentangnya.

Dia mencintai Bayu, tapi juga tidak bisa menentang kakaknya.

"Kenapa Kakang memenjarakannya?" tanya Seruni tanpa disadari.

"Kenapa kau tanyakan itu, Seruni?" Prabu Nata Kesuma malah balik bertanya.

Seruni langsung terdiam. Ditundukkan kepalanya, lalu pelahan bangkit berdiri dan melangkah ke pintu.

"Seruni...," panggil Prabu Nata Kesuma.

Seruni tidak jadi keluar, meskipun telah membuka pintu kamar ini. Diputar tubuhnya, menghadap pada kakaknya. Dengan pandangan sayu ditatapnya wajah pemuda tampan itu.

"Tidurlah, kau perlu istirahat" ucap Prabu Nata Kesuma.

Seruni hanya mengangguk, kemudian berbalik dan langsung melangkah keluar. Pintu kembali tertutup begitu Seruni berada di luar kamar. Sementara Prabu Nata Kesuma masih berdiri memandangi pintu yang tertutup. Keningnya agak berkerut, pertanda tengah memikirkan sesuatu. Mungkin tengah memikirkan sikap Seruni yang mendadak berubah ketika dirinya memerintahkan pengawal untuk memenjarakan Bayu.

"Rasanya tidak mungkin kalau Seruni jatuh cinta...," gumam Prabu Nata Kesuma bicara pada dirinya sendiri.

***