Dewa Arak 84 - Nyawa Kedua dari Langit



Seorang lelaki gagah berkumis tipis dan beralis 
tebal tengah duduk sambil memeluk lutut di pinggir 
Sungai Serayu yang cukup lebar ini. Tubuhnya yang 
kekar, terbungkus pakaian putih. Usianya sekitar lima 
puluh lima tahun. Sejak matahari muncul dia bersikap 
seperti itu. Sepasang matanya tertuju ke permukaan 
air. Tapi, bola matanya tidak bergerak-gerak sama se- 
kali. 

Lelaki ini tetap tidak bergeming dari tempatnya, 
kendati pendengarannya menangkap adanya suara 
langkah kaki mendekati. Bahkan, ketika langkah di be- 
lakangnya telah berhenti, tubuhnya masih belum ber- 
geming. 

"Kak Gandrung...." Terdengar suara panggilan 
dari belakang laki-laki itu. Asalnya, dan mulut seorang 
wanita muda berusia sekitar dua puluh lima tahun. 
Wajahnya cantik manis dengan tubuh sintal. Penampi- 
lannya begitu menarik! 

"Hmmm...!" 

Lelaki berkumis tipis hanya menggumam pelan, 
tanpa menoleh sama sekali. Apalagi sampai mengge- 
mingkan tubuhnya. Dia tak ubahnya patung batu! 

"Kucari kemana-mana, kiranya ada di sini. Ma- 
ri, Kak. Kita pulang. Makan siang telah kusiapkan. Ka- 
lau keburu dingin, tidak enak menikmatinya," ajak 
wanita berpakaian serba hijau itu. Sedikit pun tidak 
merasa tersinggung atau kecil hati melihat tanggapan 
laki-laki berkumis tipis yang dipanggil Gandrung, atau 
bernama lengkap Kebo Gandrung. 

"Aku belum lapar, Cempaka. Kalau kau sudah 
lapar, makan duluan saja," tukas Kebo Gandrung, te- 
tap tidak menoleh. Nada suaranya masih tetap seperti 
semula. Datar, dan tidak bersemangat 

Wajah wanita berpakaian serba hijau yang di- 
panggil Cempaka sejak datang memang tidak kelihatan 
berseri-seri. Dan kini dia semakin gelap. Meski demi- 
kian, kecantikannya sama sekali tidak berkurang. Apa- 
lagi ketika mengukir senyum di bibirnya, walau terasa 
dipaksakan. 

"Mungkin kau tidak tahu, Kak Gandrung. Aku 
telah membuat masakan kegemaranmu. Ikan mujair 
panggang. Aku yakin kau pasti akan ketagihan karena 
bumbunya pun istimewa. Mari, Kak. Bukankah kau 
sudah lama tidak menikmati masakan kegemaran- 
mu?!" Cempaka masih berusaha membujuk. 

"Pulanglah, Cempaka. Makan saja duluan. Saat 
ini aku tengah tidak ingin makan. Aku ingin sendi- 
rian...," desah Kebo Gandrung. 

"Kalau begitu, aku juga tidak ingin makan!" 
sentak Cempaka, agak keras. "Aku pun ingin di sini! 
Barangkali enak memandang permukaan Sungai Se- 
rayu sambil melarikan diri dari kenyataan!" 

Tanpa menunggu tanggapan Kebo Gandrung, 
wanita cantik ini duduk memeluk lutut di sebelah Ke- 
bo Gandrung, terpaut jarak sekitar dua tombak. 

Kebo Gandrung hanya menghela napas berat. 
Namun, tetap tidak berkutik dari tempatnya. 

Sementara Cempaka, hanya sebentar dapat 
bertahan duduk memeluk lutut. Dia segera bangkit 
dan pindah, lalu duduk di sebuah batu sebesar kamb- 
ing yang ada di situ. Tanpa menoleh pada Kebo Gan- 
drung, dipungutnya batu sebesar kepalan bayi yang 
berserakan di tepian Sungai Serayu ini. Lalu, dilempar - 
lemparkannya ke dalam sungai. 

Plung! 

Mula-mula Kebo Gandrung tidak peduli. Tapi, 
ketika batu-batu itu terus saja menghunjam ke per- 
mukaan sungai, hatinya mulai merasa tidak nyaman. 
Padahal saat ini hatinya ingin suasana tenang dan 
hening. Tak heran kalau bunyi-bunyi itu benar-benar 
mengganggunya. 

"Bisakah kau biarkan pikiranku tenang seben- 
tar, Cempaka?!" tegur Kebo Gandrung. Kali ini kepa- 
lanya menoleh, menatap Cempaka yang berada di se- 
belahnya. 

"Kau tidak adil, Kak Gandrung!" sambut Cem- 
paka, agak keras. "Kau pikir hanya kau saja yang 
membutuhkan ketenangan?! Aku pun demikian!" 

"Tapi, tidak harus dengan menggangguku, 
Cempaka," bantah Kebo Gandrung. 

"Aku tidak bermaksud mengganggumu. Tapi, 
memang beginilah caraku mencari ketenangan." 

Kebo Gandrung tidak menanggapi lagi. Dia ma- 
lah berdiri, kemudian melangkah meninggalkan tempat 
ini. 

Cempaka ikut bangkit, tapi tidak bergerak 
mengejar. 

"Kau mengecewakanku, Kak Gandrung! Kau 
bukan seperti Kebo Gandrung yang dulu! Kau lemah! 
Cengeng! Pengecut!" sembur Cempaka berapi-api. 

Langkah Kebo Gandrung kontan terhenti. Tu- 
buh kekarnya berbalik. Sepasang matanya yang tajam, 
menatap Cempaka. 

"Bukankah sudah kukatakan sejak dulu, sebe- 
lum kita memutuskan untuk menjadi suami istri, 
Cempaka?! Sudah kukatakan, akhirnya kau akan ke- 
cewa. Tapi kau keras kepala! Sekarang, kekhawatiran- 
ku terbukti, bukan?" 

"Masalah ini tidak ada hubungannya dengan 
hal-hal di waktu dulu, Kak Gandrung! Aku yakin, pan- 
danganmu tidak picik untuk mengetahuinya. Dan...." 

"Aku memang picik pandangan, Cempaka!" po- 
tong Kebo Gandrung. "Aku tua bangka tak tahu diri! 
Pengecut! Lemah! Cengeng! Orang sepertiku, mana 
pantas menjadi suami dari wanita muda dan cantik 
sepertimu...!" 

"Kak...! Kak Gandrung...!" 

Cempaka memanggil-manggil, ketika melihat 
Kebo Gandrung berlari cepat meninggalkan tempat itu. 
Dia cepat mengejar, tapi tak sampai lima puluh tom- 
bak segera dihentikan. Lari Kebo Gandrung terlalu ce- 
pat untuk dapat disusulnya. 

Wanita itu hanya bisa berdiri memandangi, 
hingga tubuh Kebo Gandrung lenyap di kejauhan. Be- 
berapa saat dia bersikap seperti itu, lalu dengan lang- 
kah gontai kakinya melangkah meninggalkan tempat 
ini. Dia segera kembali ke pondoknya, yang selama ini 
menjadi tempat tinggal bersama Kebo Gandrung, sua- 
minya. 

Bunyi berderit terdengar, ketika Cempaka men- 
dorong daun pintu pondoknya yang tertutup tapi tidak 
terkunci. Wajahnya menunduk menekuri tanah. 

Namun mendadak saja, wanita ini baru terjing- 
kat ke belakang, begitu mengangkat wajah seiring 
ayunan kakinya saat memasuki ambang pintu. Sepa- 
sang matanya terbelalak lebar, seperti melihat hantu 
siang bolong. 

"Kau...?!" seru Cempaka dengan suara tercekat. 
Tenggorokannya mendadak kering, melihat sosok di 
hadapannya. 

Di mangan tengah duduk seorang pemuda ber- 
pakaian serba hitam di sebuah kursi. Kaki kanannya 
ditumpangkan pada paha kirinya. Pemuda ini me- 
nyunggingkan senyum lebar sambil mengunyah. 

Semula, Cempaka tidak begitu mengetahui apa 
yang dikunyah pemuda ini. Tapi ketika pandangannya 
beralih pada seekor dari dua ekor ikan panggang di 
atas meja yang sisinya telah koyak-koyak, Cempaka 
langsung tahu. Jelas, yang dikunyah pemuda ini ada- 
lah ikan panggang mujair yang semula disediakan un- 
tuk suaminya! 

"Untuk apa kau kemari, Jahanam...?! Dan, 
mengapa berani lancang mengambil masakan itu?! 
Masakan itu kusediakan untuk suamiku, tahu?!" 

"Untuk si tua bangka yang tidak punya malu 
itu...?!" ejek pemuda berpakaian hitam sambil mengu- 
nyah potongan ikan yang baru saja diambilnya lagi. 

"Keluar kau, Jahanam...! Tinggalkan tempat 
ini...! Cepat...! Jangan tunggu kesabaranku habis. 
Atau, nyawamu kulenyapkan...!" ancam Cempaka, ke- 
ras. Wanita ini begitu marah mendengar hinaan yang 
ditujukan pada suaminya. 

Pemuda berpakaian hitam ini hanya tertawa si- 
nis. Dia tidak merasa gentar sedikit pun, meski men- 
dapat ancaman yang jelas bukan ancaman kosong be- 
laka. 

"Sama sekali tidak kusangka kalau kau akan 
betah hidup dengan tua bangka bau tanah, Cempaka. 
Apa yang kau harapkan dari tubuh renta itu?! Kau ti- 
dak usah berpura-pura, Cempaka. Kau rindu belaian 
bukan? Katakan saja. Aku tidak akan sungkan- 
sungkan memberikannya padamu. Dan..." 

"Tutup mulutmu yang kotor itu, Jagalpati...!" 
potong Cempaka marah bukan main. 

Cempaka cepat mengambil jarum-jarum yang 
tersimpan di buntalan kain kecilnya. 

Wrettt! 

Set! Set! 

Sekali Cempaka mengibaskan lengannya, maka 
meluncurlah jarum-jarum itu ke arah pemuda berpa- 
kaian hitam yang ternyata bernama Jagalpati. 

Sementara Jagalpati hanya tersenyum menge- 
jek. Ditunggunya hingga jarum-jarum itu menyambar 
dekat. Kemudian.... 

"Phuhhh!" 

Sekali Jagalpati meniup, deru angin keras lang- 
sung menyambar. Maka jarum-jarum itu berguguran 
ke tanah, seperti membentur dinding tidak nampak 

Melihat hat ini Cempaka menggertakkan gigi. 
Hatinya geram melihat serangannya berhasil dikan- 
daskan. Seketika dicabutnya kipas baja hitam yang 
terselip di pinggang. Sebuah kipas yang ujungnya ter- 
buat dari baja runcing. Dan bila dikebutkan, baja-baja 
runcing itu akan melesat ke arah sasaran. 

Hnging! Hnging! 

Maka ketika Cempaka mengebutkannya, seke- 
tika terdengar bunyi berdesing nyaring dari baja-baja 
runcing meluncur mengancam keselamatan Jagalpati. 

Namun, pemuda itu seperti tak peduli sama se- 
kali. Padahal, baja-baja runcing itu meluncur menuju 
bagian-bagian yang berbahaya, terutama leher dan da- 
da. Sehingga.... 

Tap! Tap! 

Cempaka sudah tersenyum lebar ketika baja- 
baja runcing itu mendarat telak di sasaran. Tapi, se- 
nyumnya langsung lenyap ketika Jagalpati malah bi- 
asa-biasa saja. Sepertinya tak ada sesuatu yang terjadi 
pada di dirinya, 

"He he he...!" 

Pemuda berpakaian hitam ini malah tertawa 
gembira yang terdengar aneh di telinga. Mungkin kare- 
na leher dan dadanya yang tertembus baja-baja runc- 
ing, sehingga kemungkinan besar menghalangi sua- 
ranya yang keluar. 

Namun yang membuat Cempaka lebih terbela- 
lak, tidak setetes pun darah yang mengalir dari tubuh 
Jagalpati. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Apakah 
Jagalpati tidak memiliki darah dalam tubuhnya? 

"Kaget, Cempaka?!" ejek Jagalpati, penuh ke- 
menangan. "Ini belum seberapa. Masih banyak ke- 
mampuan dahsyat lain yang kumiliki. Dan dengan se- 
mua itu, akan kutebus penghinaan yang diberikan Ke- 
bo Gandrung padaku!" 

"Kau datang dengan maksud keji itu?!" tanya 
Cempaka, terbata-bata. 

"Tentu saja!" tandas Jagalpati, mantap. "Kau 
pikir untuk apa aku kemari? Tentu saja tidak lain un- 
tuk menghukum tua bangka yang berkhianat itu!" 

"Untuk itu kau harus melangkahi mayatku, Ja- 
galpati...!" tandas Cempaka, gagah. 

"Tentu saja, Cempaka. Tapi perlu kutambahkan 
sedikit kata-katamu. Mayatmu akan kulangkahi, tapi 
setelah tubuhmu kugerayangi. Apakah kau tidak rindu 
untuk mengulang kemesraan yang dulu kuberikan?!" 

"Keparat!" 

Sekujur tubuh Cempaka kontan menggigil ke- 
ras bersama keluarnya ucapan itu. Dia kelihatan be- 
rang, mendengar kata-kata Jagalpati. 

Kata-kata Jagalpati mengingatkan Cempaka 
saat dirinya hampir digauli secara paksa oleh pemuda 
itu. Tepatnya, lima tahun lalu. Untungnya Kebo Gan- 
drung yang sebenarnya masih satu komplotan dengan 
Jagalpati, sadar dari kesesatannya. Cempaka segera 
dibawanya kabur sebelum kegadisannya hilang. 

Lelaki gagah berkumis tipis yang waktu itu be- 
rusia lima puluh tahun, tidak sampai hati melihat na- 
sib yang diderita Cempaka, sehingga segera membe- 
baskannya. Kebo Gandrung membuat kekacauan di 
saat Jagalpati tengah berusaha memperkosa Cempaka. 
Dia membakari bangunan markas dan membunuhi 
anak buahnya sendiri. Usaha Kebo Gandrung menarik 
perhatian Jagalpati, sehingga usahanya untuk mem- 
perkosa Cempaka tertunda dan dia segera keluar un- 
tuk melihat kekacauan. Maka kesempatan itu diguna- 
kan Kebo Gandrung untuk menolong Cempaka dan 
membawanya kabur. 

Sayang, usaha Kebo Gandrung tidak berhasil 
mulus ketika Jagalpati memergokinya. Maka pertarun- 
gan antar dua tokoh sesat yang semula kawan itu pun 
terjadi. 

Kebo Gandrung memang bukan tandingan Ja- 
galpati. Untung baginya saat itu Cempaka ikut turun 
tangan. Jagalpati yang tidak sanggup melawan dua 
orang, berhasil kabur meski menderita luka-luka cu- 
kup parah. 

Karena terharu melihat pengorbanan dan ketu- 
lusan cinta kasih Kebo Gandrung, Cempaka menerima 
sebagai suaminya. Pasangan yang mempunyai perbe- 
daan usia menyolok ini pun menikah dan tinggal di le- 
reng Gunung Karang. Sebuah tempat terpencil yang 
panas. Tak heran kalau orang jarang menyukainya. 

"Aku yakin, permainan asmara yang kuberikan 
jauh tebih nikmat daripada yang diberikan si tua 
bangka Kebo Goblok itu!" sambung Jagalpati, mengu- 
sir lamunan Cempaka akan masa lalunya. 

Sambil berkata demikian, dengan tenang Jagal- 
pati mencabut baja-baja runcing yang menghunjam 
leher dan dadanya. Tampak garis tipis bekas hunja- 
man baja-baja runcing. Tapi anehnya, tidak ada setitik 
darah pun yang keluar. Luar biasa! 

Pemandangan itu saja sudah membuat Cempa- 
ka terkejut bukan main. Tapi lebih terkejut lagi ketika 
melihat tanda hunjaman pada leher dan dada lang- 
sung lenyap, ketika Jagalpati mengusapnya. 

Jagalpati terkekeh penuh rasa puas melihat si- 
kap Cempaka. Dia tahu, wanita muda ini merasa tak- 
jub dan ngeri melihat keanehan-keanehan yang diper- 
lihatkannya. Dan masih dengan kekeh yang terus ber- 
hambur, pemuda ini bangkit berdiri. 

"Oh...!" 

Cempaka tak kuasa untuk menahan jeritan ka- 
get, melihat meja di depannya terangkat pelan-pelan 
begitu Jagalpati bangkit. Bahkan ketika, Jagalpati te- 
lah berdiri tegak, meja itu masih terus bergerak naik! 

Gerakan meja itu baru berhenti, ketika telah 
mencapai jarak satu tombak dari lantai. 

Dengan sikap tidak peduli melihat keterkejutan 
Cempaka, Jagalpati bergerak menghampiri. Pemuda 
itu berjalan melalui bawah meja yang tetap melayang. 
Baru ketika telah tidak berada di bawahnya, meja itu 
bergerak turun pelan-pelan. Bahkan ketika keempat 
kakinya menyentuh tanah, sedikit pun tidak menim- 
bulkan bunyi. 

Tepat ketika meja itu mendarat di lantai, Cem- 
paka sadar dari terkesimanya. Seketika langsung dike- 
luarkannya kipas berujung baja runcing lainnya yang 
berwarna merah darah! 

"Hiaaat...!" 

Sambil mengeluarkan pekikan nyaring me- 
lengking, Cempaka menerjang Jagalpati! 

Jagalpati sebenarnya memang memiliki watak 
keji. Ketika di atas angin saat berhadapan dengan la- 
wan, dia tak pernah buru-buru membunuh. Sang la- 
wan dipermainkan dulu, seperti halnya seekor kucing 
yang mempermainkan dulu tikus sebelum dimakan. 
Tindakan itu pula yang dilakukan Jagalpati terhadap 
Cempaka. 

Sebenarnya bisa saja Jagalpati bertindak cepat 
dengan mengandalkan tubuhnya yang tidak bisa dilu- 
kai senjata, untuk merobohkan Cempaka. Tapi, itu ti- 
dak dilakukannya. Seolah-olah yang dihadapinya ada- 
lah lawan tangguh. 

Pemuda ini cepat mengelakkan setiap serangan 
Cempaka, namun cepat pula membalasnya. Dan tin- 
dakannya tidak pantas disebut serangan, karena tidak 
membuat lawan terluka atau terbunuh. Serangan- 
serangan aneh Jagalpati ini ditujukan pada bagian- 
bagian tertentu di tubuh Cempaka, seperti payudara 
atau bawah pusar. 

Karuan saja Cempaka menjadi berang bukan 
main. Beberapa kali makiannya terlontar, ketika jari- 
jari tangan Jagalpati meremas dua bukit indahnya 
atau mengusap bagian selangkangannya. 

Ingin rasanya Cempaka menjerit-jerit dan me- 
nangis. Dia telah berusaha sedapat mungkin agar da- 
pat mengelakkan dari serangan cabul Jagalpati, tapi 
tetap saja selalu gagal. 

Jagalpati terkekeh-kekeh gembira dengan per- 
mainannya. Tapi kian lama, kekehnya diiringi deru na- 
pas memburu. Birahinya telah terangsang oleh per- 
mainan yang dibuatnya sendiri. 

Ketika pertarungan telah berlangsung dua pu- 
luh jurus, Jagalpati mendengus. 

"Kurasa permainan ini harus segera diakhiri, 
Cempaka. Aku yakin kau sudah merindukan belaian- 
ku...!" Ujar Jagalpati, dengan napas memburu. 

Berbareng keluarnya ucapan itu, ia tiba-tiba 
menjulurkan tangannya, merenggut pakaian Cempaka 
di bagian dada. 

Brett! 

"Aaaww!" 

Tanpa dapat dicegah lagi, Cempaka memekik 
kaget bercampur malu dan marah ketika pakaiannya 
di bagian dada koyak. Seketika bukit kembarnya yang 
indah berkulit putih mulus, mencuat seperti hendak 
melompat keluar. 

Jagalpati langsung menelan ludahnya dengan 
susah payah. Jakunnya bergerak turun naik dengan 
cepat. Napasnya memburu. Sepasang matanya terbela- 
lak. Biji matanya seperti hendak keluar dari rong- 
ganya. 

"Keparat! Cabul!" 

Cempaka melompat mundur disertai makian 
tak karuan. Dengan sebisa-bisanya payudaranya beru- 
saha ditutupi agar tidak menjadi santapan mata Ja- 
galpati yang liar. 

"Hih...!" 

Bret! Brettt! 

Tapi hanya sebentar saja hal itu bisa dilaku- 
kan, karena Jagalpati telah kembali melancarkan se- 
rangan berupa renggutan-renggutan. Cempaka beru- 
saha keras menangkal, tapi tetap sia-sia belaka. 

Tak sampai sepuluh jurus pertarungan ber- 
langsung, Cempaka telah berdiri di hadapan Jagalpati 
dalam keadaan tanpa benang sehelai pun! Jagalpati 
beberapa kali menelan ludah. 

Sekarang Cempaka kebingungan, berusaha 
menutupi tubuhnya yang terlarang dengan kedua tan- 
gannya. Namun tetap saja keadaan ini membuat Ja- 
galpati berkali-kali menelan ludahnya dengan tatapan 
liar. 

Jagalpati kembali terkekeh. Tiba-tiba ujung ka- 
ki kanannya dibenturkan ke lantai. Pelan saja, seperti 
tidak mengandung arti. Tapi, tidak demikian halnya 
yang dirasakan Cempaka. Mendadak saja tubuhnya te- 
rasa mendapatkan daya tarik luar biasa. Tarikan yang 
membawa tubuhnya meluncur ke arah Jagalpati. 

Cempaka tidak tinggal diam. Dicobanya untuk 
bertahan, tapi sia-sia belaka. Karena di samping tari- 
kan Itu amat kuat, kedua tangannya yang berada da- 
lam sikap melindungi bagian tubuhnya yang terlarang, 
membuat segi-segi yang menguntungkan Jagalpati se- 
makin besar. 

"Aaah...!" 

Cempaka menjerit tertahan ketika tubuhnya 
sudah hampir jatuh ke pelukan Jagalpati. Tapi, pemu- 
da itu rupanya tidak menginginkan hal demikian. Tan- 
gan kirinya cepat dikibaskan maka tubuh Cempaka 
kembali melayang. 

Saat tubuhnya melayang untuk kedua kali ini, 
Cempaka berusaha mempergunakan sebaik-baiknya. 
Wanita itu melihat arah jatuh tubuhnya adalah di atas 
meja, di mana masih terdapat ikan-ikan panggang. 

Cempaka berpikir cepat. Dia telah memutuskan 
untuk menggulingkan tubuh bila jatuh di meja, kemu- 
dian melesat cepat meninggalkan tempat ini. Disadari, 
menentang Jagalpati hanya akan merugikan diri sendi- 
ri. 

Tapi harapan hanya jatuh di angan-angan. Be- 
berapa saat sebelum tubuh Cempaka jatuh di atas me- 
ja, Jagalpati meniup. 

"Fhuhh...!" 

Cempaka tidak melihat apa pun, kecuali sesua- 
tu yang menyentuh salah satu tubuhnya. Saat itu juga 
sekujur tubuhnya langsung lemas. Meski belum per- 
nah menemukan sendiri, tapi disadari kalau Jagalpati 
telah menotoknya dari jarak jauh dengan mempergu- 
nakan tiupan. 

Begitu selesai meniup, Jagalpati mengejangkan 
sekujur tubuhnya. Sementara Cempaka yang sempat 
melihat, merasa ngeri bukan main. Karena begitu se- 
kujur tubuh Jagalpati kembali melemas, tak sehelai 
pakaian pun yang melekat. Semuanya tergolek di lan- 
tai! 

Tanpa menjejakkan kaki atau menekuk lutut, 
tubuh Jagalpati melayang bagai seekor burung me- 
nyusul tubuh Cempaka yang sudah hampir menimpa 
meja. Sedangkan di atas meja masih tergolek ikan-ikan 
panggang di baki. 

Dalam keadaan masih melayang di udara, Ja- 
galpati mengibaskan tangan. 

Wutt! 

Prang! 

Seketika baki yang berisi ikan-ikan panggang 
pun melayang jauh, membentur dinding. Sekejap ke- 
mudian, tubuh Cempaka tiba di atas meja. 

Bruk! 

Disusul tubuh Jagalpati yang tepat di atasnya, 
menindih. 

"Oh...!" 

Jagalpati benar-benar ingin menikmati permai- 
nannya. Begitu menindih, totokan pada Cempaka di- 
bebaskannya. Karuan saja hal ini membuat wanita itu 
meronta-ronta. Akibatnya, dua tubuh tanpa busana 
pun bergulat di atas meja. 

"Lepaskan aku, Bangsat Terkutuk! Bunuh saja 
aku!" teriak Cempaka. 

Wanita ini berjuang keras untuk memperta- 
hankan kehormatannya. Di lain pihak, Jagalpati beru- 
saha keras merenggutnya. Perlawanan mati-matian 
Cempaka membuat usaha pemuda itu mengalami 
hambatan. 

Cukup lama hal itu berlangsung, sebelum ak- 
hirnya Cempaka kehabisan tenaga. Jagalpati terlalu 
kuat untuk ditahan. Apalagi dalam keadaan diamuk 
nafsu yang membuat kekuatannya seperti berlipat 
ganda. 

Jagalpati tersenyum penuh kemenangan, ketika 
Cempaka tidak mengadakan perlawanan lagi. Disertai 
nafsu birahi yang bergolak semakin hebat, dipermain- 
kannya gadis itu dengan buas. 

Cempaka hanya bisa merintih dalam hati ketika 
Jagalpati mulai menjarah sekujur tubuhnya. Jagalpati 
benar-benar telah kerasukan setan. Tidak hanya ke- 
dua tangannya yang bergerak liar menjarah tapi juga 
mulutnya. 

Dengan nafsu menggebu-gebu dan napas men- 
deru-deru, Jagalpati menciumi sekujur wajah Cempa- 
ka. 

Tidak puas hanya dengan menciumi, tangannya 
meremas-remas ke sana kemari. 

Jagalpati tidak mempedulikan sama sekali rin- 
tihan Cempaka yang memohon agar Jagalpati tidak 
menyetubuhinya. Tapi, justru hal itu semakin menam- 
bah semangat pemuda ini. Bagi Jagalpati, rintihan 
Cempaka, bagaikan yang menambah besar nafsu bira- 
hinya yang meletup-letup menuntut pelampiasan. 

Tak lama kemudian, Jagalpati terperanjat, keti- 
ka merasakan adanya sesuatu yang lain. Sesuatu yang 
sama sekali tidak diduganya, tapi jelas dirasakannya. 

Pemuda berpakaian hitam ini bergegas bangkit 
dari tubuh Cempaka yang ditindihnya. Dengan penuh 
rasa penasaran, dipandangnya bagian bawah tubuh 
wanita itu. Dan, dia langung terkejut ketika melihat je- 
las pada daun meja cairan merah segar. Darah. Dan, 
darah itu berasal dari celah-celah paha Cempaka! 

Jagalpati terkesima. Apa yang tadi dirasakan 
sebelum mencapai puncak pelampiasan nafsunya, ter- 
nyata tidak salah. Bukti jelasnya telah disaksikannya 
sendiri. Cempaka masih perawan! Dan dialah yang te- 
lah merobek selaput dara Cempaka pertama kali! Di- 
alah yang merampas kegadisan Cempaka! 

Di saat Jagalpati terkesima menerima kenya- 
taan yang tidak disangka-sangkanya, Cempaka tengge- 
lam dalam alun kesedihannya. Wajahnya basah oleh 
air mata bening yang mengalir deras. 

"Ha ha ha...!" 

Jagalpati tertawa bergelak. Kelihatan gembira 
sekali. Dia tertawa dalam keadaan berdiri mempergu- 
nakan kedua lututnya di atas meja. 

"Kiranya tua bangka itu banci, Cempaka?! Ka- 
sihan sekali! Pasti selama ini kau kesepian...! Kau pas- 
ti sangat kehausan...! Mari kita ulangi kenikmatan 
itu...!" 


*** 




Kebo Gandrung berdiri di pinggir sungai, yang 
masih satu aliran dengan Sungai Serayu tempatnya 
duduk termenung. Hanya saja, jaraknya telah ribuan 
tombak dari tempat semula. Di tempat ini beberapa 
kali, lelaki yang masih kelihatan gagah dan tampan ini 
menarik dan menghembuskan napas. Tingkahnya sea- 
kan-akan tengah membuang ganjalan dalam dadanya. 

"Istriku benar...!" desis Kebo Gandrung, terden- 
gar tajam. Ucapan yang ditujukan untuk dirinya sendi- 
ri. "Aku tidak hanya cengeng, pengecut, dan lemah! 
Aku juga bodoh! Ah...! Semua ucapanmu benar sekali, 
Cempaka. Aku memang picik! Aku hanya mementing- 
kan diriku sendiri. Tidak pernah kupikirkan kalau kau 
juga menanggung perasaan sama. Ah..., aku tua bang- 
ka yang tidak punya pikiran! Hih!" 

Kebo Gandrung baru saja hendak mengelua- 
rkan uneg-unegnya lagi, tiba-tiba terdengar bunyi 
langkah-langkah kaki. Cepat kepalanya menoleh. Wa- 
jahnya seketika berseri, ketika melihat seorang kakek 
cebol berkepala besar. Sehingga, yang terlihat hanya 
kepalanya saja. 

"Bagaimana, Tunggul?! Apakah kau berhasil 
memenuhi permintaanku...?! Apakah bahan-bahan 
untuk ramuan telah berhasil kau temukan?!" tanya 
Kebo Gandrung pada lelaki cebol yang dipanggil Tung- 
gul. 

Kakek cebol itu tersenyum lebar, merasakan 
adanya harapan besar dalam pertanyaan Kebo Gan- 
drung. Buktinya langkah kaki lelaki gagah itu lebar- 
lebar ketika menghampirinya. 

"Ucapkan syukur pada Tuhan, Gandrung," ujar 
kakek cebol bernada menggurui. "Bahan-bahan yang 
aku inginkan, berhasil kutemukan. Dan dengan demi- 
kian, aku pun berhasil meramunya!" 

"Apakah sekarang kau membawanya, Tung- 
gul?!" desak Kebo Gandrung, penuh harap. 

Kakek cebol itu mengangguk, kemudian men- 
gambil sebuah kendi kecil dari selipan pinggangnya. 
Tanpa basa-basi sama sekali dilemparkannya pada 
Kebo Gandrung. 

"Selamat bermalam pengantin, Gandrung. In- 
gat! Jangan terlalu rakus. Nanti kau dan istrimu tidak 
bisa bangun" gurau Aki Tunggul sambil berbalik dan 
meninggalkan tempat itu. Tawanya yang bernada can- 
da terdengar terus sepanjang ayunan kakinya mening- 
galkan tempat ini. 

Kebo Gandrung merasakan selebar wajahnya 
panas. Tapi untungnya, Aki Tunggul tidak memperha- 
tikannya lebih lanjut. Meskipun demikian, rasa ma- 
lunya tidak sebesar perasaan gembiranya melihat 
pemberian Aki Tunggul. 

Dengan wajah berseri-seri dan khayalan tinggi, 
Kebo Gandrung berlari meninggalkan tempat itu. Dia 
ingin segera tiba menjumpai Cempaka, istrinya. Akan 
ditunjukkan pada istrinya kalau dirinya adalah seo- 
rang lelaki sebagaimana lelaki lainnya. 

"Cempaka...!" 

Dua tombak sebelum mencapai pintu pondok, 
Kebo Gandrung telah memanggil-manggil istrinya. 
Lembut dan sarat kasih sayang yang besar. Di dalam- 
nya pun telah tersirat permintaan maaf. 

Ketika tidak ada sahutan sama sekali, Kebo 
Gandrung tidak kecil hati. Dugaannya, mungkin Cem- 
paka masih marah atas kejadian yang belum lama ber- 
langsung. 

Kebo Gandrung menghentikan larinya. Kini dia 
berjalan pelan-pelan mendekati daun pintu. 

"Cempaka.... Istriku sayang. Ini aku datang...! 

Aku...." 

Kata-kata itu dikeluarkan Kebo Gandrung 
sambil mendorong daun pintu. Kakinya terayun masuk 
ke dalam, namun langsung tertahan di tengah jalan. 

Mendadak saja, kedua kaki Kebo Gandrung 
menggigil keras. Sepasang matanya terbelalak lebar 
begitu melihat pemandangan yang terpampang di de- 
pannya. 

Di ruang tengah, di atas meja tergolek sesosok 
tubuh mulus dan putih milik Cempaka dalam keadaan 
tanpa busana, tak bergerak sedikit pun. 

Saat itu juga Kebo Gandrung merasakan tu- 
buhnya limbung. Terpaksa tangannya berpegangan 
pada ambang pintu agar bisa berdiri tegak. Wajahnya 
pucat laksana mayat. Mulutnya mengeluarkan rinti- 
han-rintihan tak jelas, walau sebenarnya berusaha 
menggulirkan nama istrinya. 

Kebo Gandrung tahu kalau Cempaka telah me- 
ninggal dunia. Pergi meninggalkan secara amat menge- 
rikan! Sebagai tokoh yang telah kenyang pengalaman 
dia tahu kalau Cempaka telah diperkosa sebelum di- 
bunuh secara amat mengerikan. 

Beberapa saat, setelah berhasil mengusir gun- 
cangan perasaannya, Kebo Gandrung menghampiri 
mayat Cempaka. Rasa sesal dan dendam bercampur 
jadi satu. Dia merasa malapetaka itu terjadi karena si- 
kapnya. Itu yang membuatnya menyesal. Sedangkan 
rasa dendam terhadap pelakunya, karena istrinya di- 
perkosa dan dibantai demikian keji. 

Sepasang mata Kebo Gandrung seperti meman- 
carkan api ketika melihat pisau berbatang merah dan 
bergagang ukiran tengkorak manusia! 

"Jahanam...! Akan kubalaskan kekejian ini...! 
Tunggulah kedatanganku, Keparat...!" desis Kebo Gan- 
drung penuh dendam dan sakit hati. 

Lelaki gagah ini amat mengenal benda itu yang 
merupakan senjata rahasia khas milik Pimpinan Ge- 
rombolan Setan Merah. Kelompok kaum sesat yang 
hancur lima tahun lalu, karena serbuan para pende- 
kar. 

Perlahan sekali lelaki ini menutupi tubuh Cem- 
paka yang bugil. Dengan hati-hati seakan memegang 
benda dari bahan yang mudah hancur, Kebo Gandrung 
mengangkat tubuh wanita ini. 

Kebo Gandrung mencium kening Cempaka. 
"Maafkan aku, Cempaka. Kalau tidak karena sikapku, 
peristiwa ini tak akan terjadi. Tapi, percayalah. Ke ma- 
na pun pelaku ini lari, akan kucari! Hanya ada satu pi- 
lihan, kalau tidak penjahat itu, aku yang mati," janji 
lelaki gagah ini di tetinga istrinya, nadanya tajam pe- 
nuh dendam. 

Kebo Gandrung melangkah hati-hati mening- 
galkan pondoknya. Setibanya di luar, tubuh itu digele- 
takkan di tanah. Lalu digalinya sebuah lubang kubu- 
ran untuk tempat peristirahatan istrinya yang terakhir. 
Di tempat yang jauh lebih tinggi dari sekitarnya. 

"Tenanglah kau di alam baka, Cempaka. Aku 
yang akan membalaskan semua sakit hatimu," tandas 
Kebo Gandrung, tanpa menghentikan kesibukannya 
membuat lubang kuburan. 

Bunyi kecipak air mengiringi langkah kaki seo- 
rang gadis berpakaian kuning dengan dua buah tong 
dari kayu pada bahunya. Rasanya tidak tepat bila dis- 
ebut langkah, karena kaki-kakinya yang mungil men- 
darat pada ranting-ranting sebesar ibu jari tangan 
yang ditancapkan secara teratur di tanah. 

Tong-tong yang mempunyai pegangan itu terus 
berkecipak saat gadis ini melangkah. Karena, tong- 
tong yang cukup besar itu dipikul hanya dengan rant- 
ing sebesar ibu jari kaki. 

Ranting yang dipijak dan yang dijadikan piku- 
lan langsung melengkung, setiap kali kaki mungil ga- 
dis ini menjejak. Meski demikian, tak setetes air pun 
yang memercik dari tong-tong kayu yang penuh terisi 
air itu. 

Setelah menempuh perjalanan sejauh tiga pu- 
luh tombak, di kanan kiti gadis itu terhampar tanaman 
cabai yang tingginya tak sampai seperempat tombak! 
Pohon-pohon cabai telah berbuah. Namun anehnya 
cabai itu sebagian berwarna putih dan sebagian lagi hi- 
tam! 

Ranting-ranting yang ditancapkan di tanah itu 
ternyata berakhir pada tanaman cabai yang terakhir. 
Dan begitu tiba, gadis ini menyiramkan air dari tong- 
tong kayu itu. Dan baru sebagian tanaman cabai dis- 
iram, mendadak.... 

"Rajin sekali...." 

Terdengar sebuah ucapan pelan, namun mem- 
buat gadis ini terjingkat ke belakang bagai disengat ka- 
lajengking. Kepalanya langsung menolehkan ke sebe- 
lah kanan, tempat asal suara yang bernada ejekan. 
Ternyata di samping kanannya telah berdiri seorang 
pemuda berpakaian serba hitam. 

"Sayang, kerajinan ini tidak menghasilkan apa- 
apa, kecuali kelelahan dan onggokan sampah tidak 
berguna...," sambung pemuda itu. 

Sepasang mata gadis berpakaian kuning ini 
kontan berkilatan. Dirasakan adanya ancaman dari 
mulut pemuda itu. 

"Siapa kau, Manusia lancang...?! Apa maksud- 
mu datang kemari? Hm.... Kau tahu, tempat ini bukan 
untuk bersenang-senang?!" tegur gadis itu dengan na- 
da tinggi, tanpa ada keramahan sedikit pun. 

Tapi pemuda yang tak lain Jagalpati hanya ter- 
senyum. Tidak kelihatan tersinggung sama sekali. 

"Siapa bilang bukan tempat untuk bersenang- 
senang?!" kilah Jagalpati kalem. "Kedatanganku kema- 
ri justru untuk bersenang-senang. Semula..., yahhh.... 
Hanya bersenang-senang dengan tanaman- 
tanamanmu. Tapi sekarang? Malah bertambah senang 
bila kau terus di sini. Aku yakin gadis cantik dan sintal 
sepertimu memiliki kenikmatan tersendiri untuk dija- 
dikan kawan bermain asmara. Ha ha ha...!" 

"Manusia berotak kotor...!" bentak si gadis. 

Selebar wajah gadis ini merah padam karena 
malu dan marah mendengar ucapan dan sikap Jagal- 
pati yang jelas-jelas menyiratkan otaknya yang kotor. 

"Orang sepertimu yang hanya akan mengotori 
dunia, tidak patut dibiarkan hidup lama! Biarlah aku 
yang akan turun tangan melenyapkanmu!" 

Seketika gadis ini mengayunkan pukulannya. 

Wuttt! 

Tong yang berada di salah satu ujungnya me- 
layang deras ke arah kepala Jagalpati. Namun pemuda 
cabul ini hanya tertawa. Sekali lututnya ditekuk, se- 
rangan itu hanya lewat di atas kepalanya. 

Si gadis semakin kalap melihat serangannya 
gagal. Apalagi secara demikian mudah dan penuh hi- 
naan sehingga, dia merasa diremehkan. Kini pikulan 
sederhana yang ditangannya bisa menjadi senjata ber- 
bahaya, digerakkan kalang-kabut 

Wutt! Wutt! 

Bunyi menderu-deru terdengar ketika tong itu 
lenyap dari pandangan saking cepatnya berputar. He- 
batnya, tong-tong itu tidak terlempar. Padahal hanya 
ditempelkan begitu saja! 

"Aih.,.! Kiranya kau galak juga, Nona Manis. In- 
gin kurasakan kegalakanmu ini dalam permainan cinta 
kita. Pasti menyenangkan sekali...!" leceh Jagalpati. 

Kata-kata ini membuat amarah si gadis sema- 
kin berkobar-kobar. Serangan-serangannya semakin 
dahsyat. Tapi, Jagalpati tetap dapat menanggulan- 
ginya. Beberapa kali serangan gadis ini dielakkan. Na- 
mun, tak jarang dibiarkan saja mengenai tubuhnya. 

Jagalpati yang memiliki watak keji dan gemar 
mempermainkan orang, kembali menunjukkan kepan- 
daiannya. Kalau dia mau, tong itu bisa dihancurkan. 
Namun ketika mengenai tubuhnya, dia segera mem- 
pergunakan tenaga lembut. Sehingga, tong itu seperti 
bertemu kapas saja layaknya tanpa pengaruh apa-apa 
terhadap tubuh Jagalpati. 

Seperti korban-korban lainnya, si gadis ini pun 
diperlakukan sama oleh Jagalpati. Wataknya yang ca- 
bul dan gemar mempermainkan orang, membuatnya 
bertindak demikian. Beperapa kali, gadis berpakaian 
kuning terpekik karena kaget dan marah, ketika tan- 
gan-tangan Jagalpati hinggap di bagian-bagian tubuh- 
nya yang terlarang. 

Jari-jari tangan Jagalpati mencolek dan mere- 
mas buah dada gadis itu dengan gerakan yang sulit 
tertangkap mata. Tak luput, selangkangannya pun 
mendapat bagian. Jari-jari tangan pemuda cabul itu 
mengusapnya. Tindakan-tindakan ini menimbulkan 
rasa marah dan malu! 

Karena beberapa kali kecolongan, gadis ini me- 
lompat ke belakang. Tubuhnya bersalto beberapa kali, 
sebelum menjejak tanah. Dia hinggap sekitar lima 
tombak di depan Jagalpati. 

Bukannya mengejar, Jagalpati malah terkekeh- 
kekeh penuh ejekan. Dibalasnya tatapan penuh kema- 
rahan dan kebencian gadis itu dengan mencium-cium 
jari-jari tangannya sendiri yang tadi menjarah bagian- 
bagian rawan yang dimiliki seorang wanita. 

Seketika gadis itu mengeluarkan sapu tangan 
dari balik bajunya yang berbau harum. Gerakannya di- 
lakukan seperti sengaja, agar Jagalpati mengikuti ge- 
rak-geriknya tanpa berkedip. 

Gadis itu mengebutkan sapu tangannya. 

Pletar! 

Mendadak terdengar bunyi nyaring seperti ada 
ledakan, ketika sapu tangan itu terlecut. 

Disertai senyum mengejek yang tidak lepas dari 
mulut, Jagalpati memperhatikan semua gerak-gerik si 
gadis. Dia masih tidak mengerti, apa yang dilakukan 
gadis itu. 

Ctar! Pletaar! 

Pemuda cabul ini baru merasa terkejut, ketika 
letupan yang terdengar kian lama kian terasa nyaring. 
Seakan-akan di dalam telinganya terdengar ledakan- 
ledakan keras bagai halilintar. Bahkan rasa pusing 
mulai mendera. 

Jagalpati bukan orang bodoh. Sebaliknya, pe- 
muda ini telah kenyang pengalaman dan memiliki ke- 
cerdikan matang. Maka langsung disadari kalau bunyi 
letupan itu bukan sembarangan. 

Jagalpati tahu ada pengaruh gaib yang mem- 
pengaruhi dalam letupan sapu tangan tadi. Maka sege- 
ra dikerahkannya kekuatan batin untuk melawannya. 
Kendati demikian Jagalpati tidak berani bertindak ge- 
gabah. 

Usaha Jagalpati tidak sia-sia. Sedikit demi se- 
dikit, pengaruh ledakan itu mulai berkurang. Bahkan 
akhirnya, terusir sama sekali. Pemuda cabul ini mem- 
buka matanya yang tadi terpejam. Dia langsung meng- 
geram ketika gadis berbaju kuning tidak berada di de- 
pannya lagi. 

Kini baru disadari Jagalpati kalau gadis yang 
hampir menjadi korbannya telah kabur meninggalkan 
tempat itu. Sungguh gadis yang cerdik! Jagalpati me- 
muji dalam hati, kendati bercampur rasa geram. Dag- 
ing yang telah berada di mulut dan tinggal dikunyah, 
ternyata harus lepas dari cengkeraman! 

Jagalpati mengedarkan pandangan berkeliling! 
Kesibukannya untuk melawan pengaruh sapu tangan 
tadi, membuatnya tidak bisa mengetahui arah yang di- 
tempuh gadis itu saat kabur. 

Tapi, Jagalpati ternyata tidak bisa menentukan 
sama sekali ke arah mana gadis itu pergi. Untuk per- 
tama kalinya, wajah yang biasanya dihiasi senyum 
mengejek, terlihat masam. Terlihat jelas kalau hatinya 
tengah jengkel. 

"Biarlah untuk kali ini kau lolos, Betina Jalang. 
Tapi lain kali, jangan harap akan seberuntung ini," de- 
sis Jagalpati penuh ancaman. 

Sekarang, pemuda cabul ini mengarahkan pan- 
dangan ke arah deretan tanaman cabai. 

"Untuk kali ini, tak kudapatkan apa yang kutu- 
ju sejak semula," gumam Jagalpati lagi, sendirian. 

Kemudian sambil menatap ke satu arah, pemu- 
da ini mengeraskan suaranya. Tidak terlihat bibirnya 
berkemik. Namun, bunyi yang terdengar keras bukan 
main. Hingga sampai ke tempat amat jauh. 

"Tua Bangka Gila! Guru dungu! Saksikanlah 
sendiri.... Benda-benda yang akan membuat ilmuku 
punah, menghancurkan keistimewaan ilmuku, akan 
ku musnahkan! Dan aku tidak akan mempunyai lawan 
lagi di dunia ini. Ha ha ha...!" 

Jagalpati tertawa-tawa gembira. Kedua tangan- 
nya disangga di pinggang. Wajahnya mendongak ke 
langit, terlihat angkuh! 

"Kau saksikanlah ini, Tua bangka bau tanah...! 

Hih!" 

Begitu selesai kata-katanya, Jagalpati memu- 
tar-mutarkan kedua tangannya di depan dada. Tangan 
kiri di bawah tangan kanan dengan arah putaran dari 
luar ke dalam. 

Tidak terdengar deru angin sama sekali. Tapi 
sesaat kemudian, tanaman cabai di kedua sisi ranting- 
ranting yang menancap berputaran keras seperti di- 
hempas angin badai. Dimulai dari tanaman yang pal- 
ing dekat. Sesaat kemudian, tanaman itu tumbang be- 
rikut akar-akarnya saling susul hingga berserakan. 

Jagalpati tertawa bergelak. Dan masih dengan 
tawanya yang menggiriskan- tubuhnya melesat pergi. 




Seorang pemuda berpakaian ungu duduk di se- 
buah batang pohon sebesar pelukan orang dewasa 
yang tengah mengapung di permukaan sungai berarus 
deras. Namun batang pohon tempat pemuda itu bera- 
da meluncur berlawanan dengan arus sungai. 

Si pemuda berambut putih keperakan itu 
menggunakan kedua kakinya untuk mengayuh. Dan 
nyatanya, batang pohon itu melaju cepat membelah 
permukaan air seperti anak panah lepas dari busur. 

Pemuda yang tak lain dari Arya Buana alis si 
Dewa Arak ini mengarahkan pandangannya ke depan. 
Namun pikirannya menerawang jauh. 

Kali ini Arya agaknya ingin menikmati. Memang 
melakukan perjalanan melalui sungai yang penuh ti- 
upan angin sepoi-sepoi. Mungkin saja, otaknya ingin 
disegarkan lewat hawa sungai. 

Namun baru saja Arya melewati sungai yang 
membelok, alisnya berkerut. Ternyata di permukaan 
air sungai tampak mengapung sesuatu. Pandangan 
matanya yang tajam, segera dapat mengenali kalau 
yang tengah mengapung adalah manusia. Arus air 
yang deras membuat tubuh yang mengapung itu me- 
luncur cepat. Maka hanya dalam sekejapan, tubuh itu 
mulai mendekati tempat Dewa Arak berada. 

Begitu berpapasan, bagaikan memungut sehelai 
kain basah, Dewa Arak mengangkat tubuh yang tera- 
pung itu. Lalu, cepat diletakkannya secara metintang 
pada batang pohon yang diduduki. 

Sekali menyentuh tubuh di depannya, Arya 
langsung tahu kalau sosok yang malang ini masih hi- 
dup. Detak jantungnya memang sudah tidak terdengar 
lagi, tapi denyut nadinya masih ada. Meskipun, lemah. 

Sambil tetap mengayuhkan kedua kakinya, 
Dewa Arak memberi pertolongan. Disadari kalau sosok 
yang ternyata seorang kakek kecil kurus ini terluka da- 
lam amat parah. Tapi pemuda berambut keperakan ini 
yakin, nyawa si kakek masih bisa ditolong. 

Diam-diam Arya bersyukur, karena si kakek 
sebelum tak sadarkan diri masih sempat meraih ba- 
tang pisang yang hanyut di air. Benda itulah yang 
membuatnya tidak cepat mati. 

Tuk! Tuk! 

"Ahhh...!" 

Hanya beberapa kali totokan dan urutan, si ka- 
kek telah mengeluarkan keluhan. Bulu matanya berge- 
rak-gerak, disusul gerakan kelopak mata. 

Si kakek bergerak hendak bangkit, tapi cepat 
dihentikan. Saat itu dadanya terasa sakit bukan main. 
Mulutnya menyeringai. 

"Jangan banyak bergerak dulu, Kek," ujar Arya, 
lembut "Luka-lukamu amat parah. Kau pun baru saja 
sembuh. Banyak-banyaklah istirahat." 

Si kakek menatap wajah Arya. Ada sorot kehe- 
ranan dan kebingungan pada sinar matanya. Kemu- 
dian pandangannya beredar ke sekeliling, menatap 
permukaan air sekilas. Dan kini perhatiannya dialih- 
kan lagi pada Arya. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Pemuda Ga- 
gah. Aku sekarang telah ingat akan apa yang telah ter- 
jadi. Kalau tidak karena pertolonganmu, mungkin saat 
ini aku telah menghadap malaikat maut," ucap kakek 
kecil kurus ini 

"Allah-lah yang membimbing langkahku kemari 
Kek. Kalau tidak karena kehendak-Nya, mana mung- 
kin aku bisa memberikan sedikit pertolongan?" elak 
Dewa Arak, halus. 

Si kakek tersenyum. Sorot matanya memancar- 
kan perasaan suka terhadap pemuda ini. Rupanya, si- 
kap Arya yang rendah hati dan tidak menonjolkan per- 
tolongan, sangat menarik hatinya, 

"Apa yang kau katakan itu benar, Cah Bagus. 
Sayangnya, jarang orang yang bisa berkata seperti itu. 

Orang-orang cenderung lebih menonjolkan diri sendiri, 
setiap kali membuat jasa," urai si kakek panjang lebar, 
bernada menggurui. 

Dewa Arak menganggukkan kepala. Dia tahu 
kalau yang dikatakan kakek ini sebagian besar benar. 

"Namaku Dipangga. Kalau boleh tahu namamu, 
Anak Baik?! Aku yakin, kau tidak seperti muridku 
yang murtad!" 

"Namaku Arya Buana, Kek," jawab Arya, sopan. 
"Maaf. Kalau boleh kutahu, mengapa Kakek menyama- 
kan aku dengan muridmu?" 

Kakek yang mengaku bernama Dipangga ini ti- 
dak langsung memberi jawaban. Dia malah menghela 
napas berat, seperti membuang ganjalan dalam batin- 
nya. 

"Kau benar-benar ingin mendengarkan cerita- 
ku, Cah Bagus? Apakah kau tidak akan bosan nan- 
tinya?!" Kakek Dipangga malah balas bertanya. 
"Mungkin kuberitahukan padamu kalau cerita ini tidak 
menarik. Lagi pula cukup panjang. Tapi kalau kau be- 
nar-benar ingin mendengarnya, akan kucoba untuk 
menyingkatnya." 

Sebentar kakek ini tercenung. Agaknya tengah 
berpikir untuk memulai ceritanya. 

"Sejak puluhan tahun yang lalu, sejak masih 
remaja aku telah gemar menyepi. Aku memang me- 
nyukai keheningan. Kendati demikian, aku juga suka 
kesaktian. Maka selama puluhan tahun, hidupku kuisi 
dengan kesaktian dan bertapa. Entah berapa banyak 
guru yang kumiliki. Aku tidak ingat lagi," Kakek Di- 
pangga mulai dengan kisahnya. 

Arya diam. Di dalam hati, dia merasa kagum 
terhadap kakek kecil kurus ini. Bisa dibayangkan be- 
tapa tinggi ilmu yang dimilikinya. Dan bukti yang pal- 
ing jelas telah dirasakannya. 

Tadi, sewaktu memberi urutan dan beberapa 
totokan, Dewa Arak hampir gagal dengan usahanya. 
Arya merasakan ada getaran-getaran hawa di balik ku- 
lit Kakek Dipangga yang memberi perlawanan. Demi- 
kian kuatnya, sehingga hanya dengan memaksakan di- 
ri Dewa Arak berhasil melakukan tugasnya. 

Arya bisa memperkirakan, betapa kuatnya te- 
naga dalam kakek ini. Bila dalam keadaan tidak sadar 
saja tenaga dalamnya demikian kuat, bagaimana pula 
jika dalam keadaan sadar? 

"Tapi, mungkin memang sudah garis nasibku 
untuk tidak bisa lepas sepenuhnya dari dunia," lanjut 
Kakek Dipangga dengan suara mengandung keluhan. 
"Di waktu tengah mencari makanan, kutemukan seo- 
rang pemuda tergolek dalam keadaan luka parah. Ka- 
rena kasihan, kubawa dia ke tempatku dan kuobati 
sampai sembuh." 

Arya merasa kasihan terhadap Kakek Dipangga. 
Sudah bisa diperkirakan kalau awal malapetaka yang 
menimpa kakek itu, bermula dari pemuda yang dito- 
longnya. Padahal, di usia yang uzur seperti itu, Kakek 
Dipangga seharusnya dapat hidup tenang. 

"Pemuda yang kuangkat murid itu mengaku 
bernama Jagalpati. Menurut ceritanya, dia terluka ka- 
rena dikeroyok dua tokoh sesat angkara murka yang 
hendak dibasminya, karena telah membantai semua 
keluarganya," lanjut si kakek dengan kepahitan yang 
terasa jelas dalam suaranya. "Tapi ternyata, hanya ke- 
licikan yang kudapatkan." 

"Apakah Jagalpati itu jahat, Kek?!" Arya mem- 
beri tanggapan, merasa tidak enak karena sejak tadi 
hanya berdiam diri saja. 

"Itu sudah pasti, Cah Bagus!" sahut Kakek Di- 
pangga, cepat "Aku saja yang bodoh, sehingga dapat 
ditipu pemuda kemarin sore. Jagalpati ternyata tak le- 
bih dari serigala berbulu domba. Di usiaku yang telah 
mendekati lubang kubur, terpikir olehku untuk mewa- 
riskan ilmu-ilmuku pada seseorang agar tidak ter- 
buang percuma. Menurut pikiranku, Jagalpati adalah 
pemuda baik-baik. Maka kemampuanku kuwariskan 
padanya." 

"Dan balasannya adalah perlakuannya yang 
membuatmu hampir menemui malakaikat maut, 
Kek?!" 

Kakek Dipangga mengangguk. 

"Selama lima tahun dia menuntut ilmu. Bala- 
sannya yang diberikan adalah kelicikannya. Aku dira- 
cuni dan dianiaya dengan hajaran-hajaran untuk 
membinasakanku. Untungnya aku hanya terluka pa- 
rah, namun masih mampu terjun ke sungai. Dan 
keuntungan yang kedua, aku bisa bertemu denganmu, 
Cah Bagus. Hhh...! Aku menyesal sekali. Aku tidak 
akan tenang dl alam kubur, karena yakin kalau ilmu- 
ilmu yang kuwariskan dipergunakan murid murtad itu 
untuk mengacaukan dunia persilatan...." 

"Tenangkanlah hatimu, Kek," hibur Arya. "Per- 
cayalah. Aku akan berusaha untuk mencegah sepak 
terjang Jagalpati dengan seluruh kemampuanku." 

"Aku percaya akan janjimu, Nak. Bahkan aku 
yakin, nyawamu akan kau pertaruhkan untuk meme- 
nuhi janjimu. Aku bisa merasakan kesungguhan uca- 
panmu. Tapi, mungkin perlu kuberitahukan. Kuharap 
kau tidak salah mengerti dan menganggapku menga- 
gungkan kemampuanku." 

"Sama sekali tidak, Kek. Justru aku merasa 
berterima kasih sekali kalau kau mau memberi petun- 
juk untuk mengalahkan Jagalpati," jawab Arya, bijak- 
sana. 


"Syukurlah kalau demikian, Nak," desah Kakek 
Dipangga lega. "Ketahuilah. Jagalpati telah menerima 
Ilmu mengerikan yang kuciptakan, namun belum sem- 
pat kuberi nama! Ilmu itu membuatnya tidak bisa di- 
lukai lawan." 

"Mungkin seperti ilmu.'Tameng Waja' Kek?!" 
duga Arya. 

"Mirip itu, Nak. Tapi, ini lebih mengerikan," sa- 
hut Kakek Dipangga. "Kelemahan ilmunya adalah, ra- 
muan campuran antara tanaman cabai hitam dan ca- 
bai putih. Kudengar tanaman aneh ditanam seorang 
nenek aneh. Entah, untuk apa aku tidak tahu. Mung- 
kin, dia mendapat petunjuk Allah, agar murid murtad 
itu bisa dibinasakan." 

Kening Arya berkernyit. Telinganya baru men- 
dengar ada cabai yang memiliki warna seperti itu. Tapi 
dia tahu, kakek ini tidak berbohong. Apalagi, Dewa 
Arak sendiri juga banyak menyaksikan tanaman dan 
hewan-hewan aneh di dunia ini. 

"Di mana aku bisa menemukan tanaman itu, 
Kek?!" 

Kakek Dipangga menggeleng. 

"Sayang sekali, Cah Bagus. Aku tidak mengeta- 
huinya. Yang kutahu, nenek itu tinggal di sekitar Gu- 
nung Karang. Hanya itulah yang bisa kuberitahukan 
padamu." 

"Itupun sudah cukup, Kek," hibur Arya, untuk 
menenangkan keresahan hati kakek kecil kurus ini. 
"Akan kuusahakan semampuku untuk menemukan- 
nya." 

Kakek Dipangga tersenyum. 

"Mungkin bisa sedikit kutambahkan, Nak. Ja- 
galpati juga telah kuwariskan pula ilmu yang mem- 
buatnya dapat mengetahui apa-apa yang mengancam 
dirinya. Aku yakin, dia telah mengetahui akan tana- 
man-tanaman yang kumaksudkan. Dan lebih cela- 
kanya lagi berkat ilmunya itu, dia seperti mempunyai 
pelacak yang menunjukkan keberadaan hal-hal yang 
membahayakan dirinya. Aku khawatir, tanaman- 
tanaman itu telah dimusnahkannya." 

Kali ini Arya diam. Dewa Arak tahu tidak ada 
lagi kata-kata yang bisa diberikannya untuk mene- 
nangkan hati Kakek Dipangga. 

"Tapi aku tahu, Anak Baik. Allah itu Maha Adil. 
Setiap ilmu pasti ada penangkalnya. Dan bukan tidak 
mungkin, kalau pada dirinya ada sesuatu yang mem- 
buat keistimewaannya pupus. Selamat tinggal, Cah 
Bagus. Selamat bertugas. Semoga kau berhasil." 

Kakek kecil kurus itu bangkit dari duduknya 
lalu melangkah. Arya hampir berseru untuk mengin- 
gatkan Kakek Dipangga kalau tempat kakinya berpijak 
adalah permukaan air. Tapi seruan itu cepat ditelan 
lagi ketika melihat kedua kaki kakek ini tidak tengge- 
lam. 

Sepasang telapak kaki Kakek Dipangga seperti 
mendarat di tanah. Dan dengan sikap seperti berjalan 
biasa, kakinya terus melangkah meninggalkan Arya. 

Dewa Arak hanya melongo. Kekagumannya ter- 
hadap kakek itu semakin bertambah. Kakek Dipangga 
benar-benar memiliki kepandaian sukar diukur. Arya 
jadi khawatir bila mengingat Jagalpati. Pemuda yang 
telah mewarisi kepandaian kakek itu pun, pasti memi- 
liki kepandaian menggiriskan. 

Sambil terus melajukan perahu sederhananya, 
Arya menatap Kakek Dipangga sampai tubuhnya le- 
nyap di kejauhan. Pemuda berambut putih keperakan 
ini menghela napas berat. Disadari kalau untuk kese- 
kian kalinya dia akan menghadapi lawan amat berat. 


***


"Bagaimana, Taruna?! Kau sudah siap?!" Se- 
buah suara bernada pertanyaan keluar dari mulut seo- 
rang lelaki berkumis tebal bertubuh pendek kekar. Di 
pinggangnya melilit rantai baja yang pada ujungnya 
terdapat bola berduri sebesar kepalan. 

Sementara itu sosok yang dipanggil Taruna 
adalah seorang pemuda tampan berpakaian kuning. 
Kepalanya mengangguk, tapi sinar kegelisahan tampak 
di wajah dan sorot matanya. 

"Ha ha ha...!" 

Lelaki pendek kekar berusia sekitar lima puluh 
tahun itu tertawa bergelak. Dia tahu, jawaban yang di- 
berikan tidak sesuai kenyataannya. 

"Kau tahu, ke mana arah pertanyaanku, Taru- 
na?!" 

Taruna lagi-lagi mengangguk. 

"Tentu saja berkenaan dengan urusan yang 
akan kita tuju ini, Ayah. Bukankah demikian?!" tanya 
Taruna. 

"Benar," jawab lelaki pendek kekar dengan se- 
nyum geli menghias bibir. "Bagaimana? Kau siap? 
Maksudku, bukan siap untuk berangkat. Tapi, kekua- 
tan hatimu menghadapi urusan ini." 

"Aku siap, Ayah," sahut Taruna, cepat. 

"Kalau memberikan jawaban, jawablah seba- 
gaimana seorang lelaki, Taruna!" ujar lelaki pendek ke- 
kar dengan suara keras. "Jawabanmu ini tidak sesuai 
dengan kedudukanmu sebagai putra tunggalku, si 
Rantai Penggulung Jagad yang disegani kawan dan di- 
takuti lawan! Jawaban dengan suara seperti itu, ha- 
rusnya keluar dari mulut seorang perawan yang di- 
tanya pelamar!" 

Kali ini, lelaki kekar berjuluk si Rantai Penggu- 
lung Jagad bersikap sungguh-sungguh. Gurauan dan 
senyuman yang menghias mendadak lenyap. 

"Maafkan aku, Ayah," ucap Taruna. Mukanya 
memerah karena malu mendapat teguran. Kemudian 
dadanya dibusungkan. Rahangnya mengembung. "Aku 
siap, Ayah!" 

Wajah si Rantai Penggulung Jagad berseri-seri. 
Senyuman pun timbul lagi. 

"Ini baru jawaban putra si Rantai Penggulung 
Jagad!" ujar lelaki itu sambil menepuk-nepuk bahu Ta- 
runa. 

Kelihatan pelan saja tepukan si Rantai Penggu- 
lung Jagad, tapi lain lagi yang dirasakan Taruna. Tu- 
buhnya seakan-akan dijatuhi seekor gajah besar. Te- 
naganya cepat dikerahkan untuk melindungi tubuhnya 
agar tulang-tulangnya tidak remuk. Dia berhasil. Tapi, 
tanah yang dipijak amblas hingga semata kaki! 

Si Rantai Penggulung Jagad tertawa gembira. 
Dia sengaja menguji putranya, dan hasilnya cukup 
menggembirakan dan memuaskan hatinya. 

"Yang perlu kau ingat, Taruna," lagi-lagi si Ran- 
tai Penggulung Jagad bersikap sungguh-sungguh. 
"Jangan sampai kau memalukanku di depan si Ular 
Angkasa. Tunjukkan kalau kau lebih dari pantas un- 
tuk menjadi muridnya!" 

"Akan kuingat nasihatmu ini, Ayah!" sahut Ta- 
runa mantap. 

"Bagus!" seru si Rantai Penggulung Jagad, 
gembira, "Aku yakin! Dengan memandang mukaku, 
Ular Angkasa pasti akan menerimamu! Mari berang- 
kat!" 

Si Rantai Penggulung Jagad melompat ke atas, 
lalu hinggap mantap di punggung kudanya. Sekali le- 
laki ini menggeprakkan tali kekang, kuda coklat itu 
melesat ke depan laksana anak panah lepas dari bu- 
sur. Taruna tidak ingin tertinggal. Pemuda ini pun me- 
lompat ke atas kuda putihnya. Seketika binatang itu 
pun berlari cepat menyusul kuda si Rantai Penggulung 
Jagad. 

Si Rantai Penggulung Jagad benar-benar tidak 
khawatir kalau putranya tertinggal jauh. Binatang 
tunggangannya terus dipacu. Bahkan ketika ada po- 
hon besar melintang di tengah jalan, kecepatan lari 
kudanya tidak dikurangi. Justru cambuknya terus me- 
lecut-lecut, agar kudanya berlari semakin cepat dan 
melompati rintangan itu. 

Seperti yang diharapkan si Rantai Penggulung 
Jagad, kuda coklat itu sama sekali tak mengalami ke- 
sulitan saat melompati pohon yang melintang. Tapi ke- 
tika berada di udara, si Rantai Penggulung Jagad yang 
kenyang pengalaman, merasakan adanya kelainan. La- 
lu.... 

"Uts...!" 

Lelaki pendek kekar ini melompat dari pung- 
gung kuda coklatnya. Setelah berputaran beberapa 
kali, kakinya menjejak tanah secara mantap. Sedang- 
kan kudanya kontan ambruk ke tanah dan bergulin- 
gan. 

Taruna yang melihat kejadian itu segera meng- 
hentikan lari tunggangannya. Kuda putih itu berhenti 
tepat di depan pohon yang melintang jalan. 

"Hati-hati, Taruna...!" 

Si Rantai Penggulung Jagad berteriak mempe- 
ringatkan pada putranya sebelum pemuda itu menga- 
jukan pertanyaan. Sikap lelaki itu kelihatan hati-hati 
sekali. Pandangannya beredar ke sekeliling tempat itu. 

"Pengecut Hina...! Keluar kau...! Jangan hanya 
berani bertindak curang menyerang binatang. Keluar 
dan hadapi aku! Aku, si Rantai Penggulung Jagad, ti- 
dak menerima perlakuan ini! Keluar atau semua se- 
mak-semak yang ada di sini kuporak-porandakan,..!" 
teriak si Rantai Penggulung Jagad. 

Taruna segera melompat dari punggung kuda 
lambil mengedarkan pandangan. Sekarang dia tahu, 
kuda tunggangan ayahnya diserang orang. Pantas saja 
kuda itu tidak mampu mendarat dengan baik. Pemuda 
ini merasakan jantungnya berdebar kencang. Dia tahu, 
penyerang gelap itu memiliki kepandaian tinggi. Tidak 
adanya senjata rahasia pada tubuh kuda coklat ini, 
menjadi pertanda kalau penyerang gelap itu menggu- 
nakan pukulan atau totokan jarak jauh. Padahal, urat- 
urat kuda berbeda dengan manusia! Keberhasilannya 
merobohkan kuda dengan sekali serang, telah mem- 
buktikan kelihaiannya. 

"Kau masih saja seperti dulu, Rantai Rapuh! 
Besar mulut dan sombong! Tapi, semua lagakmu ini 
akan berakhir di sini! Niatmu tidak akan pernah ter- 
sampaikan! Justru aku yang akan menikmati tubuh 
Putri Ular Angkasa yang denok itu. Ha ha ha...!" 

Sekarang, tidak hanya si Rantai Penggulung 
Jagad yang mengedarkan pandangan ke sana kemari. 
Taruna pun demikian. Ayah dan anak itu mencari-cari 
asal suara yang tidak ketahuan dari mana. 

Jantung Taruna berdetak lebih cepat. Meski 
menjadi putra si Rantai Penggulung Jagad, sifatnya 
memang tidak menuruti ayahnya. Pemuda ini memiliki 
hati kecil. Pemalu dan mudah gentar. 

Sementara si Rantai Penggulung Jagad tidak 
merasa gentar sama sekali. Meski tahu kalau penye- 
rang gelap itu memiliki kepandaian tinggi. Yang timbul 
di hatinya malah perasaan marah, karena tersinggung 
telah dipermainkan. 

"Pengecut Hina...! Aku tahu kau seorang lelaki! 
Tapi aku tidak yakin, apakah kau lelaki sungguhan! 
Mungkinkah kau takut menunjukkan diri karena kau 
banci?!" tantang lelaki pendek kekar ini 

Si Rantai Penggulung Jagad sengaja memanasi 
hati pemilik suara tanpa wujud itu, agar mau keluar 
dari tempat persembunyiannya. Disadari kalau ma- 
kiannya yang pertama tidak membuahkan hasil sama 
sekali. 

"Keparat kau, Rantai Karatan! Kau akan me- 
nyesal seumur hidupmu, karena berani mengucapkan 
kata-kata demikian terhadapku!" geram pemilik suara 
tanpa wujud. 

Si Rantai Penggulung Jagad tahu kalau pemilik 
suara akan keluar dari persembunyiannya. Buktinya 
makiannya mengenai sasaran. Maka, rantai bajanya 
segera diloloskan. Lelaki kekar ini sadar kalau lawan 
yang akan dihadapi tangguh bukan main! 

Sementara, Taruna pun menghunus senjatanya 
berupa pedang berbentuk indah. Pemuda ini memang 
tidak suka bersenjata rantai. Maka, si Rantai Penggu- 
lung Jagad terpaksa menurunkan ilmu-ilmu pedang 
yang digubahnya dari ilmu rantainya. 

Waktu berlalu demikian lambat bagi Taruna 
dan ayahnya. Mereka, terutama sekali Taruna, telah 
berkeringat dingin. Keduanya menunggu ketuarnya 
pemilik suara tanpa wujud dengan hati tegang. 

Sambil mengedarkan pandangan ke kanan dan 
kiri, si Rantai Penggulung Jagad memaki-maki di da- 
lam hati. Dia tahu, pemilik suara itu sengaja memper- 
lambat kemunculannya untuk menimbulkan ketegan- 
gan. Dan mendadak.... 

Brolll! 

"Heh?" 

Si Rantai Penggulung Jagad terkejut bukan 
main, hingga sampai terlonjak ke belakang ketika ta- 
nah di depannya yang berjarak satu tombak berham- 
buran ke atas. Sebuah kejadian yang sama sekali tidak 
disangka-sangka! Kalau si Rantai Penggulung Jagad 
saja terkejut, apalagi Taruna yang memiliki watak pen- 
gecut. Wajahnya kontan pucat seperti tidak berdarah. 
Bahkan pedangnya sampai diputar-putar kalang kabut 
di depan dada, seperti layaknya orang yang tengah 
menghadapi serangan gencar. 

Kini si Rantai Penggulung Jagad dan Taruna 
menatap dengan mata terbelalak pada gumpalan- 
gumpalan tanah yang berhamburan ke atas. Bukan 
hamburan tanah itu yang menjadi perhatian mereka, 
tapi kemunculan sebuah kepala milik seorang pemuda. 
Sebentar kamudian pemuda itu telah mencelat ke 
permukaan tanah dengan pakaiannya yang hitam. Ja- 
galpati. 

"Kiranya kau...!" desis si Rantai Penggulung Ja- 
gad, kaget tapi tidak kelihatan gentar. 

"Hmh...." 

Jagalpati yang sekarang telah berdiri tegak di 
tanah mengeluarkan deheman, membuat tanah dan 
debu-debu yang menempel terusir dari sekujur tubuh- 
nya. Sama sekali tidak dipedulikan ucapan lelaki pen- 
dek kekar di hadapannya. 

Rantai Penggulung Jagad menggeram keras. 
Hatinya benar-benar tersinggung melihat sikap Jagal- 
pati yang meremehkannya. Dia tahu, Jagalpati adalah 
lawan tangguh. Kira-kira lima tahun lalu, dia pernah 
bertarung melawan Jagalpati. Dan penyebabnya, pe- 
muda itu dipergoki tengah menculik seorang gadis. 
Sayang, pemuda itu terlalu lihai untuknya. Jagalpati 
berhasil lolos setelah melukainya. 

Si Rantai Penggulung Jagad harus bersyukur 
bisa selamat, karena Jagalpati tengah tidak berselera 
untuk bertarung. Pemuda itu ingin segera bermain- 
main dengan gadis yang diculiknya. Sedangkan waktu 
itu Rantai Penggulung Jagad segera kembali ke tempat 
tinggalnya dengan membawa dendam. 

Dan sekarang, si Rantai Penggulung Jagad ber- 
temu lagi dengan Jagalpati. Dendam lamanya pun ber- 
kobar kembali. Dia bertekad untuk mengirim pemuda 
berpakaian serba hitam ini ke alam baka. 


"Kukira Kau sudah mampus ditelan setan ne- 
raka, Pemuda Iblis! Aku mencari-carimu untuk mene- 
bus kekalahanku. Tapi, tak kutemukan! Di mana kau 
bersembunyi setelah gerombolanmu dihancurkan 
kaum pendekar di bawah pimpinan Ular Angkasa?" 

Jagalpati tersenyum mengejek. 

"Kau sudah tahu, tapi masih berpura-pura bo- 
doh, Rantai Karatan! Kalau aku ada di tempat, mana 
mungkin Gerombolan Setan Merah dapat dihancur- 
kan?! Keberhasilan Ular Angkasa dan para pendekar 
keparat itu karena aku tidak ada! Aku mempunyai 
urusan lebih penting saat itu! Sekarang, urusanku te- 
lah selesai. Dan orang-orang yang telah bertindak lan- 
cang itu akan menerima balasannya. Beberapa dari 
mereka telah kukirim ke neraka! Dan sekarang, kau 
pun akan pergi ke sana pula!" kilah Jagalpati. 

"Jangan mimpi, Pemuda Sombong!" bentak si 
Rantai Penggulung Jagad, keras. "Kaulah yang akan 
binasa di tanganku! Hiyaaat...!" 

Begitu selesai kata-katanya, si Rantai Penggu- 
lung Jagad memutar-mutar rantai bajanya di atas ke- 
pala hingga mengeluarkan bunyi menderu-deru keras. 

Wuttt! 

Ketika senjatanya itu terayun, bola berduri se- 
besar kapalan tangan meluncur ke arah kepala Jagal- 
pati! 

Namun Jagalpati tersenyum mengejek tanpa 
bergerak sama sekali dari tempatnya. Bahkan keliha- 
tannya tak ingin mengelak atau menangkis. 

Si Rantai Penggulung Jagad merasakan jan- 
tungnya berdetak lebih cepat, melihat tindakan Jagal- 
pati. Benarkah pemuda itu membiarkan serangannya 
mengenai sasaran? 

Sementara Taruna merasa gembira melihat Ja- 
galpati diam saja. Menurut pikirannya, ayahnya telah 
bertindak demikian cepat, sehingga Jagalpati tidak 
memiliki kesempatan untuk mengelak. 

Werrr...! 

"Heh?" 

Dan Taruna baru melongo ketika melihat bola 
berduri milik ayahnya yang jelas sekali menghantam 
kepala Jagalpati. Tapi, anehnya bola berduri itu lewat 
begitu saja tanpa terdengar adanya benturan, seperti 
menghantam asap! 

Si Rantai Penggulung Jagad yang sempat terpe- 
rangah menarik kembali senjatanya, tanpa melancar- 
kan serangan susulan. Dia memang masih terperanjat 
melihat kenyataan ini. 

Perasaan yang mencekam itu baru menguap, 
ketika Jagalpati mengeluarkan tawa mengejek 

"Kaget, Rantai Karatan? Kalau kurang puas, si- 
lakan pilih bagian yang kau sukai! Agar kau tidak mati 
penasaran, kini kuberi kau kesempatan menyerang se- 
puas hati!" 

Geraham si Rantai Penggulung Jagad berkerut- 
kerut geram, mendengar ejekan dan sikap jumawa Ja- 
galpati. 

Lelaki kekar ini kembali memutar-mutar senja- 
ta andalannya, kemudian melontarkannya ke arah Ja- 
galpati. 

Wuttt! 

Kali ini benturan bandul berduri itu lebih dah- 
syat. Seperti juga serangan pertama, serangan- 
serangan si Rantai Penggulung Jagad kali ini pun tidak 
berarti sama sekali! Lelaki pendek kekar ini seperti 
menyerang bayangan. 

"Ha ha ha...!" Di lain pihak Jagalpati terus 
mengumandangkan tawa mengejek. 

Setelah sepuluh jurus menyerang tanpa hasil 
sama sekali, si Rantai Penggulung Jagad pun tahu ka- 
lau Jagalpati tak akan bisa dirobohkan. Kemungkinan 
besar malah dirinya yang akan tewas. 

Bagi orang persilatan macam si Rantai Penggu- 
lung Jagad, mati dalam pertarungan adalah suatu ke- 
banggaan. Tapi, ada sesuatu yang memberatkan ha- 
tinya. Taruna! Dia tidak ingin, putranya yang masih 
muda itu mati, sebelum cita-citanya tercapai. 

"Taruna...! Cepat pergi dari sini...! Cepat, sebe- 
lum terlambat..!" ujar Rantai Penggulung Jagad, penuh 
tekanan melalui ilmu pengirim suara dari jauh. 

Lelaki kekar ini sebenarnya lebih suka berteriak 
biasa. Tapi menyadari watak tokoh seperti Jagalpati 
yang telengas dan suka kesengsaraan orang lain, ter- 
paksa dia menggunakan ilmu itu. 

Sayangnya maksud si Rantai Penggulung Jagad 
ini tidak berjalan mulus. Taruna yang memang men- 
dengar pemberitahuan tadi, bukannya melarikan diri 
tapi malah ikut terjun bertarung membantu ayahnya. 
Taruna memang pengecut. Tapi, hatinya tidak tega 
membiarkan ayahnya menentang maut sendirian. 
Tampak jelas, ayahnya tidak berdaya dalam menekan 
Jagalpati! 

Si Rantai Penggulung Jagad hanya bisa mengu- 
rut dada dalam hati melihat akibat nasihatnya. Kenda- 
ti demikian, di lubuk hatinya timbul perasaan bangga. 
Putranya yang memiliki sifat agak bodoh ini ternyata 
berani ikut bertarung membelanya. 

"Aku tidak mau pergi, Ayah. Biarlah kita mati 
atau hidup bersama!" kata Taruna gagah, sambil me- 
nusukkan pedangnya ke ulu hati Jagalpati. 

Seperti juga ayahnya, hasil yang didapat Taru- 
na hanya seperti menusuk asap! 

kkk 


Jagalpati tersenyum keji. Sekarang pemuda ini 
tahu kalau tadi secara diam-diam, si Rantai Penggu- 
lung Jagad telah memerintahkan Taruna pergi. Berarti 
lelaki kekar ini mengkhawatirkan keselamatan pu- 
tranya. 

Jagalpati memaki dalam hati. Mengapa begitu 
pelupa? Mengapa repot-repot membunuh si Rantai 
Penggulung Jagad, meski dengan menyiksanya habis- 
habisan? Ada hal yang lebih menarik! Menyiksa pera- 
saan lelaki kekar itu dengan mempermainkan Taruna 
habis-habisan. 

Kalau saja Jagalpati tidak terlalu memusatkan 
perhatian pada si Rantai Penggulung Jagad, pasti Ta- 
runa juga akan terpikirkan. Dan akan ditemukannya 
cara nikmat dengan membuat permainan menarik. 

Hanya sekali pikir, Jagalpati telah menemukan 
permainan menarik. 

Tappp! 

Si Rantai Penggulung Jagad telah lebih dulu 
menangkap pergelangan tangan kiri Taruna. Sekali 
disentakkan, tubuh pemuda itu terjengkang ke bela- 
kang. 

"Cepat pergi, Taruna! Jangan bertindak bodoh! 
Penjahat keji ini tak akan bisa kita kalahkan!" ujar si 
Rantai Penggulung Jagad tanpa menoleh di depan pu- 
tranya. 

Lelaki kekar ini berdiri berhadapan dengan Ja- 
galpati yang sejak tadi berdiam diri. Pemuda ini me- 
mang belum memberi serangan balasan! 

"Tapi, Ayah...." 

"Tidak ada bantahan!" potong si Rantai Penggu- 
lung Jagad tanpa menoleh. "Kalau kau masih ingin 
kuanggap anak, cepat tinggalkan tempat ini!" 

Taruna jadi melongo. Sungguh tak terduga 
ucapan ayahnya. Otaknya yang kurang, tidak bisa me- 
nangkap maksud yang terkandung dalam ancaman 
itu. Pemuda ini merasa terpukul bukan main! Dan, pe- 
rasaan ini yang membuat tubuhnya berbalik dan mele- 
sat meninggalkan tempat itu. 

Si Rantai Penggulung Jagad bukannya tidak 
tahu, tapi mencoba untuk tidak peduli! Dia lebih suka 
dibenci putranya daripada membiarkannya mati ko- 
nyol di tangan Jagalpati yang menggiriskan! 

Sementara kening Jagalpati mengernyit, meli- 
hat kepergian Taruna. Dan dia mengambil keputusan 
untuk membuat hati si Rantai Penggulung Jagad ter- 
siksa melalui Taruna. Seketika itu juga pemuda berpa- 
kaian hitam ini melesat mengejar. 

Si Rantai Penggulung Jagad tidak tinggal diam. 
Dengan berani, dihadangnya lesatan Jagalpati Rantai 
bajanya diayunkan laksana baling-baling di sekitar tu- 
buhnya. 

Jagalpati murka bukan kepalang karena tinda- 
kannya dihalangi. Dengan berani, disampoknya bola 
berduri yang berputaran itu dengan tangannya. 

"Hih!" 

Prak! 

Si Rantai Penggulung Jagad kontan melotot ke- 
tika bola berduri yang tersampok, balik berputaran ke 
arahnya. Dicobanya untuk mempertahankan, tapi te- 
tap tidak mampu! Sampokan itu kuat bukan main 
Tanpa ampun lagi, tubuh si Rantai Penggulung Jaga 
terlilit rantai bajanya sendiri, mulai dari betis sampai 
ke dada. Bahkan kedua tangannya pun ikut terlilit. 

"Aaah...!" 

Seringai kesakitan muncul di bibir si Rantai 
Penggulung jagad ketika rantai berhenti melilit, begitu 
bola berdurinya menghantam punggung. 

Belum juga si Rantai Penggulung. Jagad ber- 
buat sesuatu, Jagalpati terus melesat ke depan. Arah- 
nya lurus! Padahal, si Rantai Penggulung Jagad berada 
tepat di depannya, sehingga besar kemungkinan akan 
tertabrak! 

Tapi sebelum terjadi benturan, tubuh si Rantai 
Penggulung Jagad terjengkang ke belakang. 

Buk! 

Kecuali melesat, Jagalpati tidak bertindak apa- 
apa! Seakan-akan dari tubuhnya keluar kekuatan 
dahsyat yang melontarkan si Rantai Penggulung Ja- 
gad! 

Jagalpati tidak mempedulikan keadaan lelaki 
kekar itu sama sekali. Tubuhnya terus melesat, men- 
gejar Taruna yang terus berlari meneruskan perjala- 
nannya. Kuda putihnya tidak teringat lagi! 

"Taruna...! Awas di belakangmu...!" Si Rantai 
Penggulung Jagad yang masih terperangkap senja- 
tanya sendiri masih sempat memberi peringatan den- 
gan suara keras. Sehingga Taruna mendengarnya. 

Taruna menoleh. Wajahnya langsung pias, ke- 
tika melihat Jagalpati mengejarnya. Perasaan takut 
membuat kecepatan larinya bertambah. 

Jagalpati jengkel bukan main melihat jarak 
yang semula sudah semakin dekat tidak berubah sama 
sekali. Padahal menurut perkiraannya Taruna akan bi- 
sa disusulnya. Rasa takut rupanya, membuat kecepa- 
tan lari Taruna bertambah! 

Kejengkelan membuat Jagalpati tidak sabar la- 
gi. Cepat sabuk yang melilit pinggang diloloskan dan 
dilemparkannya. Sabuk itu bagaikan hidup, melayang- 
layang mengejar Taruna dan berusaha membelit! 

Jagalpati mengembangkan senyum ketika 
ujung sabuknya telah hampir melilit pinggang Taruna. 
Dia yakin akan berhasil menangkap putra si Rantai 
Penggulung Jagad. 

"Heh?" 

Namun senyum Jagalpati lenyap dan berubah 
keterkejutan ketika dari arah samping kanan depan 
melesat cepat sebuah benda berwarna hijau yang lang- 
sung membentur ujung sabuknya. 

Splash! 

Bunyi benturan sabuk dengan benda hijau ke- 
ras. Dan sabuk itu pun gagal melilit sasaran, karena 
ujungnya terpental balik akibat benturan barusan. 

"Keparat...!" 

Jagalpati menggeram, seperti binatang buas 
kehilangan buruan. Pemuda ini marah bukan main 
melihat usahanya yang telah hampir berhasil digagal- 
kan. 

Jagalpati tidak perlu menunggu lama untuk 
mengetahui orang yang berani bertindak usil. Dari 
tempat sinar hijau berasal kini melesat sesosok bayan- 
gan ungu, yang kemudian menjejak tanah tempat Ta- 
runa tadi hampir terbelit sabuk. 

Taruna sendiri sudah jauh meninggalkan tem- 
pat itu. Sedangkan Jagalpati tidak mengejarnya, kare- 
na telah memutuskan untuk memberi hajaran terha- 
dap sosok yang usilan di depannya. Sebentar matanya 
melirik ke arah benda hijau yang telah membuat ujung 
sabuknya terpental. 

Hati Jagalpati agak bergetar ketika melihat 
benda hijau itu ternyata adalah sehelai daun. Luar bi- 
asa! Lontaran sehelai daun telah membuat ujung sa- 
buknya terpental. Dan bahkan tangannya bergetar he- 
bat! Jagalpati tahu kalau sosok yang usilan itu memi- 
liki tenaga dalam amat kuat. 

kkk 


Sosok berpakaian ungu yang telah menyela- 
matkan Taruna tak lain dari Arya Buana alias Dewa 
Arak 

Dan agaknya dia tidak mau kalah gertak. Lang- 
sung dibalasnya pandangan penuh selidik dari Jagal- 
pati. Dua tokoh muda yang sama-sama memiliki ke- 
pandaian tinggi ini saling pandang, seperti dua ekor 
ayam jago hendak bertarung. 

"Sungguh berani kau mencampuri urusanku, 
Anjing Kecil?! Akan kau rasakan akibat perbuaranmu 
itu!" desis Jagalpati penuh hawa amarah. 

"Kau Jagalpati, bukan?!" 

Arya mengajukan pertanyaan setengah mene- 
bak, setelah memperhatikan sekujur tubuh Jagalpati. 
Kakek Dipangga yang ditemukannya dalam keadaan 
terluka di sungai, telah memberikan ciri-ciri jelas men- 
genai pemuda berpakaian serba hitam ini. 

"Kau telah mengenalku. Tapi, masih berani 
mencampuri urusanku?! Sungguh berani kau, Anjing! 
Sedikit perlu kutambahkan, aku dulu bekas pimpinan 
Gerombolan Setan Merah. Mungkin kau pernah men- 
dengarnya." 

"Sedikit," jawab Arya, kalem. Tapi, dalam ha- 
tinya kaget. "Jadi kau pemimpin gerombolan sesat 
yang telah dihancurkan kaum pendekar lima tahun 
yang lalu?!" 

Sekarang Arya telah jelas dengan masalah yang 
melibat Kakek Dipangga. Benar. Ternyata kakek itu te- 
lah salah mengambil murid. Pemuda yang dididiknya 
mati-matian, ternyata memang bejat! Bukan lagi seri- 
gala berbulu domba, tapi iblis! 

Dewa Arak bisa menduga kalau terlukanya Ja- 
galpati bukan karena dikeroyok orang jahat seperti ce- 
ritanya, tapi pasti sebaliknya. Jagalpatilah yang jahat! 

"Benar. Tapi perlu kau tahu, Anjing! Jika saat 
penyerbuan itu aku ada di tempat, jangan harap anak 
buahku dapat dihancurkan! Mereka licik! Saat aku ti- 
dak ada, baru melakukan penyerbuan!" kutuk Jagal- 
pati, berapi-api. 

"Tidak usah menyembunyikan kejadian sebe- 
narnya, Jagalpati. Aku tahu, kaulah yang pengecut! 
Kau justru melarikan diri, saat gerombolanmu mende- 
kati kehancuran. Kuakui, kau hebat. Meski terluka pa- 
rah tapi masih sanggup melarikan diri!" 

"Dari mana kau mendapatkan cerita keliru itu, 
Anjing Goblok?!" bentak Jagalpati, geram. 

"Tidak dari siapa-siapa. Hanya perkiraanku sa- 
ja! Bukankah kau mengaku, kalau luka-luka yang kau 
derita karena keroyokan dua tokoh sesat?! Karena kau 
sendiri sesat, aku yakin tokoh yang kau anggap sesat 
adalah para pendekar! Kapan lagi kau dikeroyok dua 
pendekar kalau tidak saat terjadi penyerbuan terhadap 
kelompokmu?! Sederhana bukan?! Mudah sajakan un- 
tuk menerkanya?" urai Arya panjang lebar. 

Wajah Jagalpati menegang. Jelas, uraian Aiya 
mengena tepat di hatinya. Suaranya terdengar penuh 
ancaman ketika dikeluarkan. 

"Dari mana kau tahu aku pernah terluka?!" 

"Dari seorang kakek yang telah kau perlakukan 
secara keji. Padahal, beliau telah mewariskan seluruh 
ilmunya padamu, Babi Buduk!" tandas Arya, mantap. 

"Kiranya tua bangka bau tanah itu belum ma- 
ti?!" gumam Jagalpati, pelan. Seperti bicara pada diri 
sendiri. Kepalanya mengangguk-angguk. 

"Benar, Babi Busuk! Bahkan seekor babi masih 
bisa membalas budi! Tapi kau lebih busuk daripada 
seekor babi yang paling busuk dan kotor!" maki Arya, 
tak sanggup menekan kemarahan yang sejak tadi dita- 
han-tahan. "Allah belum mengizinkan beliau mati! Aku 
menemukan dan menolongnya. Dari beliaulah aku ta- 
hu tentang kau, Jagalpati. Dan, beliau telah memberi 
amanat padaku untuk membunuhmu!" jelas Dewa 
Arak. 

"Ha ha ha...!" 

Jagalpati tertawa bergelak. Kelihatan geli sekali. 

"Membunuhku? Jangan mimpi kau, Anjing Ku- 
rap! Tidak ada satu orang pun yang akan mampu 
membunuhku! Apalagi orang sepertimu. Tua bangka 
bau tanah itu sendiri, tidak mampu membunuhku! 
Aku tidak akan bisa dibunuh! Kau hanya akan men- 
gantarkan nyawa percuma, Anjing! Ha ha ha...!" 

"Mungkin kau benar, Babi Sombong!" sahut 
Arya kalem. "Tapi, aku tetap tidak akan mundur! Aku 
tidak takut mati, apalagi untuk menentang angkara 
murka!" balas Arya mantap. 

Tawa Jagalpati semakin keras. Ucapan-ucapan 
Arya yang dikeluarkan secara mantap dan penuh ke- 
gagahan sepertinya dianggap sesuatu yang menggeli- 
kan! 

"Apakah tua bangka itu tidak memberitahukan 
padamu mengenai ilmu-ilmu yang kumiliki? Ilmu-ilmu 
dahsyat yang membuatku tidak bisa dilukai atau di- 
bunuh?!" kilah Jagalpati, setelah menutup tawanya se- 
cara mendadak. Dan kini berganti dengan dengus pe- 
nuh ejekan. "Aku yakin sudah!" 

Arya diam, tidak memberikan tanggapan sama 
sekali. Jagalpati sedikit kecewa melihatnya. Tapi, dia 
memiliki kartu mati untuk Arya. 

"Kau masih mencoba menyimpan rahasia ter- 
hadapku, Anjing?! Sayang sekali! Mungkin, kau kira 
aku akan mengorek rahasia dirimu? Tidak! Tidakkah 
tua bangka itu bercerita, kalau aku memiliki kemam- 
puan untuk mengetahui adanya bahaya yang mengan- 
cam keselamatanku?! Apakah kau tidak diberitahu, 
kalau aku memiliki pelacak untuk mengetahui di mana 
adanya bahaya itu, kemudian menangkalnya?! Kau ti- 
dak diberitahu?!" 

Arya tetap diam. Dia tidak mau terpancing un- 
tuk membuka rahasia. Kendati menilik sikapnya, keli- 
hatannya Jagalpati tidak tengah mengorek rahasia. 
Tapi, Arya tetap tidak berani gegabah! 

"Baiklah, Anjing!" 

Jagalpati yang terpaksa mengalah. Dia tidak 
marah melihat sikap diam Arya, karena memang tidak 
membutuhkan jawaban dari pemuda berambut putih 
keperakan ini. 

"Karena kau tidak mau bicara, biar aku yang 
bicara! Tua bangka itu pasti menyuruhmu untuk men- 
cari tanaman cabai hitam dan putih, bukan?! Aku ta- 
hu! Karena, naluriku membisikkan adanya ancaman 
dari tanaman itu. Ayo kalau kau bukan pengecut, ka- 
takan benar tidak jawabanku?!" 

Arya tetap berdiam diri sambil berpikir. Ternya- 
ta kekhawatiran Kakek Dipangga benar! Jagalpati tahu 
tentang ancaman terhadap dirinya. 

Jagalpati tertawa bergelak 

"Kau boleh cari sampai ke ujung dunia, Anjing. 
Pphon-pohon terkutuk itu sudah kumusnahkan sebe- 
lum sempat menjadi cabai beberapa hari lagi. Kalau ti- 
dak percaya, silakan kau cari sebuah dataran yang 
bernama Lembah Api Abadi! Di sana, kau akan jumpai 
kebenaran ucapanku! Tapi, dengan syarat. Beritahu- 
kan dulu arah yang dituju tua bangka itu, ketika pergi. 
Dan, di mana kau menemukannya. Kalau tidak, jan- 
gan harap kau bisa menuju tempat yang kumaksud! 
Bagaimana, Anjing?!" 

"Aku tidak sudi membuat perjanjian dengan ib- 
lis macam kau, Jagalpati!" tandas Arya. "Bersiaplah! 
Aku akan berusaha mengirim nyawamu ke akhirat!" 

"Dasar, Anjing Buduk! Dikasih tulang, malah 
minta tai! Kupenuhi permintaanmu! Ayo, tunggu apa 
lagi?! Serang aku! Ingin kulihat, apakah kau pantas 
mendapatkan perlawanan dariku," balas Jagalpati 
dengan sikap memandang rendah. 

Sementara, Arya tidak berani memandang re- 
meh. Tantangan Jagalpati yang bernada meremehkan, 
pembuatnya mengambil keputusan untuk sekali me- 
nyerang dengan mempergunakan seluruh kemam- 
puannya. 

Dep! 

Arya menghentakkan kedua tangannya ke de- 
pan. Seluruh tenaganya, 'Tenaga Dalam Inti Matahari' 
dikerahkan untuk melancarkan pukulan jarak jauh 
mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang'! 

Wusss! 

Saat itu juga angin keras berhawa panas me- 
nyengat, meluruk ke arah Jagalpati. Tapi, pemuda be- 
rilmu menggiriskan ini tidak bergeming dari tempat- 
nya. Bahkan kelihatan mudah saja menerima serangan 
yang dilancarkan Dewa Arak. Meski demikian, mulut- 
nya berkeming mengeluarkan pujian. 

"Sebuah serangan hebat! Rupanya kau memiliki 
kepandaian boleh juga, Anjing! Pantas, tua bangka itu 
mempercayakan padamu untuk menumpasku!" 

Hampir berbareng dengan selesainya ucapan 
Jagalpati, pukulan jarak jauh Arya menghantam tu- 
buhnya. Namun, ternyata hasilnya membuat Dewa 
Arak tercengang. 

Brakk! 

Justru, pohon besar di belakang Jagalpati yang 
berjarak sekitar dua tombak yang hancur berantakan, 
tumbang mengeluarkan bunyi hiruk-pikuk! Daun- 
daunnya kering, hangus bagai tersambar petir! 

Dewa Arak hampir tidak percaya. Mengapa pu- 
kulan jarak jauhnya seperti menembus asap? Apakah 
yang diserangnya hanya berupa hasil sihir Jagalpati? 

Arya mengerahkan kekuatan batinnya untuk 
memunahkan pengaruh sihir, jika Jagalpati benar 
mempergunakan sihir. Tapi, tetap saja Jagalpati masih 
ada. Kini Dewa Arak baru yakin, Jagalpati tidak mem- 
pergunakan sihir. 

Dugaan kedua muncul di benak Dewa Arak. 

Mungkinkah Jagalpati menggunakan sejenis ilmu se- 
perti 'Pecah Raga' yang dimiliki Kuntilanak Alam Ku- 
bur? (Untuk jelasnya silakan baca episode: "Prahara 
Hutan Bandan".) 

Tapi, dugaan itu pun pupus. Karena di samping 
Jagalpati yang ada hanya seorang, Jagalpati yang dis- 
erang pun bukan bayangan belaka. Terlihat jelas, so- 
sok Jagalpati mempunyai bayangan di tanah. Saat ini, 
hari sudah agak siang. Matahari telah naik cukup 
tinggi, memancarkan sinarnya yang terik ke bumi. 

Arya menjadi bingung mendapati kenyataan ini. 
Ilmu apakah yang dipergunakan Jagalpati?! Pantas sa- 
ja Kakek Dipangga demikian khawatir! 



"Bingung, Anjing?!" ejek Jagalpati yang menge- 
tahui perasaan yang berkecamuk di hati Dewa Arak. 
"Kalau mau, dengan cara ini aku bisa mengalahkanmu 
tanpa membuang tenaga sama sekali. Kubiarkan saja 
kau menghabiskan tenagamu melancarkan serangan- 
serangan terhadapku! Setelah kau kehabisan tenaga 
aku yang ganti menyerang. Mudah saja bagiku untuk 
membunuhmu, bukan?" 

Arya diam saja, tanpa memberi tanggapan. Di- 
akui ada benarnya ucapan Jagalpati. Tapi dia yakin, 
tak akan mudah bagi Jagalpati untuk membunuhnya. 
Dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya, Dewa Arak masih 
mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan nya- 
wanya. 

"Tapi seperti yang telah kukatakan tadi," lanjut 
Jagalpati. "Aku tidak mau menjilat ludahku sendiri. 
Karena kau memiliki kepandaian, aku akan memberi 
perlawanan agar pertarungan berlangsung adil!" 

Sementara itu angin dingin berhembus ketika 
Jagalpati baru saja menyelesaikan ucapannya. Di lan- 
git awan hitam dan tebal tampak bergumpal-gumpal 
menutupi sang surya. Agaknya hujan tak akan lama 
lagi segera turun. 

Tapi, keadaan alam seperti itu tidak membuat 
Jagalpati dan Dewa Arak urung untuk meneruskan 
maksud! Kedua tokoh sakti berusia muda ini saling 
melangkah mendekati. Sikap masing-masing penuh 
kewaspadaan. 

"Heaaat...!" 

Dewa Arak memulai serangan disertai bentakan 
keras. Guci arak di tangannya, diayunkan ke arah ke- 
pala Jagalpati. 

Namun pemuda berwatak cabul ini dengan be- 
rani memapak! 

Prattt! 

Guci arak milik Dewa Arak kontan terpental ba- 
lik ke arah semula. Tubuh pemuda berambut putih 
keperakan itu pun terhuyung-huyung agak terputar, 
terbawa kekuatan sampokan tangan Jagalpati. 

"Chia...!" 

Namun Jagalpati tidak memberikan kesempa- 
tan lama sekali. Pemuda ini segera lompat menyerang 
dengan dahsyat! 

Dewa Arak meski dalam keadaan kurang men- 
guntungkan, masih mampu membuktikan kalau di- 
rinya bukan tokoh yang mudah dipecundangi. Dengan 
jurus 'Delapan Langkah Belalang' serangan Jagalpati 
dielakkan. 

Pertarungan sengit antara kedua tokoh muda 
ini pun berlangsung. Dewa Arak harus mengakui, ka- 
lau tenaga dalam pemuda berbaju serba hitam itu be- 
rada di atasnya. Namun berkat keajaiban ilmu 
'Belalang Sakti'nya, keunggulan Jagalpati dalam ilmu 
meringankan tubuh pun dapat ditanggulanginya. 

Jagalpati yang semula sudah merasa gembira 
dengan beberapa keunggulannya mulai kehilangan ra- 
sa sabar ketika Dewa Arak tetap mampu menangkal- 
nya. 

Sampai dua puluh jurus bertarung, dia belum 
mampu mendesak. Apalagi merobohkan pemuda be- 
rambut putih keperakan ini. 

Jagalpati mulai naik darah ketika menginjak 
jurus kedua puluh lima, pertarungan belum mengala- 
mi perubahan. Dia dan Dewa Arak masih saling ber- 
gantian melancarkan serangan. Kemarahan yang men- 
guasai hati, membuatnya memutuskan untuk meng- 
gunakan ilmu-ilmu yang menggiriskan! 

"Uh...!" 

Sebuah keluhan keluar dari mulut Dewa Arak, 
ketika Jagalpati tidak berusaha mengelak dari seran- 
gan yang dilancarkannya. Pemuda berpakaian hitam 
itu malah balas melancarkan serangan. 

Sikap waspada membuat Dewa Arak memu- 
tuskan untuk membatalkan serangan. Sebelumnya te- 
lah disaksikan kalau Jagalpati memiliki ilmu-ilmu 
aneh. Siapa tahu, kali ini pemuda itu menggunakan 
ilmunya, yang menggiriskan. 

Jagalpati memaki dengan kata-kata kotor meli- 
hat Dewa Arak menarik kembali serangannya. Tinda- 
kan pemuda berambut putih keperakan itu membuat 
serangan yang dilancarkannya hanya menyambar 
tempat kosong! Kemarahan yang melanda Jagalpati 
pun bergolak semakin hebat! 

"Hiaaa...!" 

Jagalpati semakin memperhebat serangannya. 

Bahkan pertahanannya tidak dipedulikan sama sekali. 
Yang ada dalam pikirannya adalah menyerang terus! 

Arya dibuat kelabakan. Serangan Jagalpati 
yang bertubi-tubi, membuatnya tidak mempunyai ke- 
sempatan balas menyerang. Beberapa belas jurus, De- 
wa Arak hanya mengelak. Terlihat olehnya banyak ce- 
lah pada pertahanan Jagalpati yang rapuh. Tapi gen- 
carnya serangan, membuat Arya tidak mempunyai ke- 
sempatan untuk memasukkan serangan. 

Namun Dewa Arak tidak hilang kesabarannya. 
Ditunggunya hingga keadaan menguntungkan. Dan 
ketika Arya melihat celah kosong saat Jagalpati me- 
nyerang, tubuhnya cepat bergeser ke kanan. Kemudian 
dengan kecepatan dahsyat, guci araknya dikibaskan. 
Dan... 

Desss! 

Hantaman guci arak yang sebenarnya mampu 
menghancurkan batu karang yang paling keras, den- 
gan telak menghantam dada Jagalpati. Tubuh pemuda 
ini terjengkang ke belakang dan terguling-guling, hing- 
ga beberapa tombak. 

Dewa Arak telah menghembuskan napas lega. 
Bisa diperkirakan kalau hantaman serangannya paling 
tidak akan membuat Jagalpati tidak berdaya. Jika ti- 
dak tewas, dia akan tergeletak dengan luka parah! 

Namun Arya jadi melongo, kaget dan heran. 
Ternyata tubuh Jagalpati mampu melenting, sebelum 
gulingannya berakhir. Lalu mantap sekali kedua ka- 
kinya menjejak tanah. Tidak terlihat adanya tanda- 
tanda kalau serangan Dewa Arak berpengaruh terha- 
dap dirinya! 

"Jangan harap akan mampu membunuhku, 
Anjing kecil! Kaulah yang akan mati di tanganku seca- 
ra mengerikan! Seluruh anggota tubuhmu kuceraibe- 
raikan dan kuberikan pada anjing kurap!" desis Jagal- 
pati, penuh geram. 

"Heaaat...!" 


-k-k-k 


Dan seperti hendak membuktikan ancaman- 
nya, disertai teriakan keras Jagalpati melompat mener- 
jang Dewa Arak. Serangannya dahsyat dan menggi- 
riskan. Dewa Arak tidak mempunyai pilihan lain, ke- 
cuali meladeninya. Kini pertarungan sengit pun ber- 
langsung kembali, 

Dewa Arak benar-benar dipaksa untuk menge- 
rahkan seluruh cara, guna mengalahkan Jagalpati 
yang berkepandaian luar biasa. Sampai saat ini semua 
cara yang dipakai Dewa Arak selalu gagal. 

Begitu tahu kalau gucinya tidak berguna 
menghantam dada, Dewa Arak menyarangkannya ke 
arah kepala. Tapi tetap saja kepala Jagalpati tetap 
utuh. Perasaan penasaran membuat Arya mencoba 
menghantam bagian tubuh Jagalpati dengan bacokan 
sisi tangannya. 

Dalam pengerahan tenaga dalam tinggi Dewa 
Arak mampu membuat sisi tangannya tak kalah tajam 
bagai pedang. Memang bacokan sisi tangannya mampu 
mendarat di bagian yang dipapas. Tapi bagian tubuh 
itu tidak terpisah! Padahal, Dewa Arak merasa yakin 
kalau sisi tangannya berhasil menebas, tapi rasanya 
hanya seperti menebas asap saja. Tidak ada anggota 
tubuh Jagalpati yang terpisah! 

Dewa Arak terkejut bukan main melihatnya. Il- 
mu apakah yang dimiliki Jagalpati, sehingga tidak ter- 
pengaruh sama sekali oleh serangan-serangannya. 

Tak sampai dua puluh lima jurus pertarungan 
berlangsung, Dewa Arak telah dibuat kelabakan dan 
terdesak hebat! Serangan-serangan Jagalpati mem- 
buatnya terpontang-panting. Kini pemuda berambut 
putih keperakan ini seperti terjepit dan terhimpit! 

Tap! 

Sukma Dewa Arak bagaikan melayang ke alam 
baka, ketika tangan jagalpati berhasil menangkap per- 
gelangan tangannya. Dalam waktu yang demikian 
singkat, benaknya segera berputar mencari jalan un- 
tuk meloloskan diri. Disadari betul kalau keadaannya 
amat berbahaya! 

"Hiahhh...!" 

Klak! 

Tiba-tiba Dewa Arak menarik sambil memutar 
tangannya dengan pergelangan sebagai porosnya. Ja- 
galpati sendiri sebenarnya kuat mencekal dengan jari- 
jari tangannya. Tapi cara yang dilakukan Arya benar- 
benar mengagumkan. Pemuda berambut putih kepera- 
kan itu berhasil menarik tangannya lepas dari cekalan. 
Sungguh pun demikian usahanya tidak terlalu mulus, 
karena disadari kalau sambungan tulangnya lepas! 

Bibir Arya menyeringai menahan rasa nyeri 
yang mendera tangannya. Tindakan itu bahkan mem- 
buat tubuhnya terhuyung-huyung. Di lain pihak, Ja- 
galpati menggeram. Dia bukan tidak tahu kalau Dewa 
Arak telah cedera. Tapi hatinya tidak puas. 

"Sekarang, terimalah akibat kelancanganmu, 
Anjing Dungu!" Begitu selesai kata-katanya, Jagalpati 
bergerak menerjang. 

Dewa Arak terkesiap. Kedudukannya saat ini 
memang tidak menguntungkan. Dan dia telah bersiap 
untuk mengadu nyawa kalau saat itu memang harus 
terjadi. Seluruh kekuatannya dikumpulkan pada ke- 
dua tangan 

Tapi, ternyata serangan Jagalpati tidak kunjung 
datang. Pemuda yang memiliki ilmu menggiriskan hati 
ini malah menghentikan serangan secara tiba-tiba. 

Aiya jadi heran. Dan keheranannya kian ber- 
tambah ketika melihat sikap Jagalpati yang tampak ge- 
lisah! Seakan-akan ada sesuatu yang ditakutinya! 

Dewa Arak sekilas merayapi keadaan sekeli- 
lingnya, mencoba mencari sesuatu yang ditakuti Ja- 
galpati. Tapi sekitar tempat itu kelihatannya sepi saja. 
Hujan memang telah turun dengan deras, tepat ketika 
Jagalpati bersiap mengirimkan serangan susulan. 

Hujan lebat yang diikuti deru angin kencang 
turun mengguyur bumi. Halilintar pun tak ketingga- 
tan, beberapa kali menyalak ke bumi! 

Persada kembali bergetar ketika halilintar kem- 
bali menyalak, setelah terlebih dulu diawali sinar te- 
rang dari langit. Arya melihat jelas tubuh Jagalpati 
menggigil keras. Dan dia yakin, bukan air hujan yang 
dingin, atau hembusan angin yang membuat Jagalpati 
bersikap seperti dilanda takut yang hebat! 

Sebuah dugaan langsung berkelebat di benak 
Arya. Jagalpati yang seperti terkesima membuat Dewa 
Arak mempunyai kesempatan berpikir. 

Halilintarkah yang membuat Jagalpati ketaku- 
tan? Tapi, rasanya tidak mungkin juga! Bukankah se- 
jak sebelum hujan turun, halilintar telah menyalak be- 
berapa kali. Buktinya pemuda itu tidak terlihat terpen- 
garuh sama sekali! Apalagi ketakutan! Jadi, rasanya 
tidak mungkin halilintar! Lalu, apa? 

Di saat pertanyaan yang belum terjawab itu 
bergayut di benak, Jagalpati terlihat sadar dari terke- 
sima dan perasaan gelisahnya. Sedangkan Arya bersi- 
kap waspada. Bukan tidak mungkin kalau Jagalpati 
sekarang, akan melanjutkan serangan. 

Tapi kekhawatiran Dewa Arak ternyata keliru, 
Jagalpati tidak melanjutkan serangan. Pemuda ini ma- 
lah berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat 
itu. 

Melihat hal ini, Dewa Arak heran bukan main! 
Jagalpati kelihatan ketakutan sekali! Apa yang ditaku- 
tinya? 

Menyadari tidak ada gunanya memikirkan ja- 
waban itu, Dewa Arak cepat menepisnya. Ditatapnya 
tubuh Jagalpati hingga lenyap di kejauhan. Arya tahu, 
tak ada gunanya mengejar. Apalagi dia tak akan mam- 
pu berbuat banyak untuk menangkal serangan Jagal- 
pati! Dalam keadaan biasa saja, pemuda berpakaian 
serba hitam itu tidak mampu ditandingi. Apalagi, tan- 
gannya yang sebelah tidak berguna! 

"Ehemm...!" 

Bunyi deheman membuat Aiya sadar dari ter- 
kesimanya. Begitu perhatiannya beralih, tampak seo- 
rang lelaki pendek kekar berdiri bersandar pada seba- 
tang pohon. 


kkk 


"Kau hebat, Anak Muda." 

Lelaki pendek kekar yang tak lain si Rantai 
Penggulung Jagad memuji penuh kagum sambil men- 
gayunkan kaki menghampiri Dewa Arak. "Kau mampu 
menanggulangi iblis keji itu!" 

"Apanya yang hebat, Paman?" sahut Arya ber- 
nada tidak setuju. "Nyawaku hampir saja melayang di 
tangannya. Untungnya saja, sebelum itu terjadi ada 
sesuatu yang membuatnya gelisah dan ketakutan! 
Mungkinkah kau yang menyebabkannya, Paman?" 

"Ha ha ha...!" 

Si Rantai Penggulung Jagad malah tertawa, tapi 
bukan karena gembira. Terasa ada nada kepahitan di 
sana. 

"Aku membuatnya takut, Anak Muda?! Kau 
bercanda! Kau tahu, baru saja Jagalpati si iblis keji itu 
mencundangiku dengan mudah! Kalau saja karena ti- 
dak ingin menyelamatkan putraku, mungkin saat ini 
aku hanya tinggal nama saja!" 

"Jadi..., pemuda berpakaian coklat yang dikejar 
Jagalpati tadi putramu, Paman?!" 

Si Rantai Penggulung Jagad mengangguk. "Oleh 
karena itu, Anak Muda. Aku amat berterima kasih pa- 
damu. Kalau tidak karena pertolonganmu, entah apa 
yang akan terjadi pada kami. Kau benar-benar luar bi- 
asa, Anak Muda! Boleh kutahu, julukanmu di dunia 
persilatan? Melihat sikapmu yang tenang dan matang, 
aku yakin kau telah cukup lama berkecimpung di du- 
nia persilatan!" 

"Dunia persilatan menjulukiku Dewa Arak, Pa- 
man. Tapi nama asli pemberian orangtuaku adalah 
Arya Buana," jelas Arya. 

Sepasang mata si Rantai Penggulung Jagad ter- 
belalak lebar. 

"Jadi, kau tokoh yang mempunyai julukan itu, 
Anak Muda?! Sayang sekali, aku telah mengundurkan 
diri, dari dunia persilatan. Sehingga aku banyak ter- 
tinggal dengan berita mengenai perkembangan dunia 
persilatan. Tapi, julukanmu sempat mampir ke telin- 
gaku. Kau mengagumkan, Anak Muda. Semuda ini te- 
lah mengukir nama besar! Aku yang tua ini pantas me- 
rasa malu padamu...." 

Wajah Arya kontan merah. "Apalah artinya di- 
bandingkan dirimu, Paman?!" tukas Arya untuk meng- 
hilangkan rasa risih akibat pujian si Rantai Penggu- 
lung Jagad. "Pengalamanmu di dunia persilatan jauh 
lebih matang dibandingkan denganku. Dan aku yakin, 
sebelum mengasingkan diri, kau merupakan tokoh 
persilatan golongan putih yang amat terkenal! Dan aku 
yakin akan pernah mendengar julukanmu, apabila kau 
sudi memperkenalkannya padaku, Paman." 

Si Rantai Penggulung Jagad tersenyum pahit 
meski memang sebelumnya ada kilatan rasa bangga 
dari sepasang matanya. "Sebelum mendapat malu ka- 
rena dirobohkan Jagalpati, aku memang mempunyai 
kedudukan lumayan di persilatan, Dewa Arak. Tokoh- 
tokoh persilatan menjuluki aku, si Rantai Penggulung 
Jagad. Sebuah julukan yang berlebihan, karena Jagal- 
pati berhasil membuktikan kalau rantaiku tumpul, ka- 
ratan, dan rapuh!" Jelas si Rantai Penggulung Jagad, 
dengan sikap merendah. 

"Kau terlalu merendahkan diri, Paman. Aku 
ternyata tidak keliru. Kau memang seorang tokoh be- 
sar. Aku telah mendengar berita mengenai tokoh-tokoh 
terkenal belasan tahun lalu. Di antaranya adalah kau 
dan Ular Angkasa. Dan aku tidak menganggap kau ka- 
lah terhadap Jagalpati. Karena, pemuda itu menggu- 
nakan ilmu iblis!" hibur Arya, sekenanya. 

"Apa yang kau katakan itu sebagian benar, De- 
wa Arak," si Rantai Penggulung Jagad mengganti sa- 
paannya. "Dulu, aku dan Ular Angkasa memang cukup 
terkenal. Tapi mungkin perlu kau tahu, Jagalpati me- 
mang terlalu kuat untukku. Tidak hanya sekarang. 
Tapi juga bertahun-tahun yang lalu, sebelum iblis itu 
mendapatkan ilmu luar biasa...." 

Arya pun diam. Pemuda ini tidak mempunyai 
kata-kata untuk menghibur hati si Rantai Penggulung 
Jagad yang tengah terpukul. 

"Kau hendak pergi ke mana, Dewa Arak?!" 
tanya si Rantai Penggulung Jagad, ingin tahu. 

"Entahlah, Paman," desah Arya. "Kalau menu- 
ruti keinginan, aku ingin segera memburu Jagalpati. 
Aku ingin melenyapkannya, sebelum malapetaka baru 
dibuatnya. Tapi..., kemampuanku tidak berarti ba- 
ginya...." 

Si Rantai Penggulung Jagad tahu Arya tidak 
berkata bohong. Telah dilihatnya sendiri kalau Dewa 
Arak tengah cedera. 

"Lalu..., keputusanmu bagaimana, Dewa 
Arak?!" kejar si Rantai Penggulung Jagad. 

"Mencari sesuatu yang dapat digunakan untuk 
memunahkan ilmu Jagalpati, Paman. Tapi..., rasanya 
harapan ini kecil sekali. Aku tidak yakin berhasil," ja- 
wab Arya, ragu-ragu. 

"Dari mana kau tahu kalau ilmu Jagalpati me- 
miliki kelemahan, Dewa Arak?! Dan lagi, apakah kau 
tahu sesuatu yang dapat membuat kedahsyatan ilmu 
iblis keji itu hilang?" 

Si Rantai Penggulung Jagad kelihatan tertarik 
sekali. Pertanyaan-pertanyaan yang dikeluarkannya 
bertubi-tubi penuh semangat. 

Tanpa ragu-ragu, Arya menceritakan ikhwal 
pertemuannya dengan Kakek Dipangga yang menjadi 
guru Jagalpati. Semuanya diceritakan, tak ada yang 
disembunyikannya sedikit pun. 

"Aku yakin, ilmu Jagalpati mempunyai penang- 
kal, Paman. Karena menurut guruku, Allah mencipta- 
kan untuk alam ini berpasang-pasangan. Ada jahat, 
ada baik. Ada penjahat, ada pendekar. Ada racun, ada 
obat. Ada kelebihan dan ada kekurangan. Maka, aku 
yakin ilmu Jagalpati pun ada penangkalnya," ujar Arya 
menutup kisahnya. 

Si Rantai Penggulung Jagad mengangguk- 
angguk menyatakan persetujuannya. 

"Apa yang kau katakan itu memang benar, De- 
wa Arak. Allah Maha Adil! Aku yakin penangkal ilmu 
milik Jagalpati ada. Tapi, bukankah penangkalnya te- 
lah dimusnahkan Jagalpati sendiri? Berarti pemunah 
ilmunya sudah lenyap! Kudengar, cabai hitam dan pu- 
tih itu tumbuh tiap dua belas purnama sekali. Berarti 
kau mesti menunggunya, apabila ingin melenyapkan 
Jagalpati, Dewa Arak!" kata lelaki pendek kekar ini 
dengan kening berkerut 

"Mungkinkah ucapan Jagalpati tentang telah 
dimusnahkannya tanaman itu hanya bualan belaka, 
Paman?!" Arya mengajukan pendapatnya. 

"Jadi, kau ingin melihat tanaman itu, Dewa 
Arak?" tanya si Rantai Penggulung Jagad. Arya men- 
gangguk. 

"Lebih baik urungkan niatmu, Dewa Arak!" ujar 
si Rantai Penggulung Jagad, memberi nasihat. "Kalau 
aku menjadi Jagalpati pun, hal pertama yang akan ku- 
lakukan adalah memusnahkan tanaman-tanaman itu. 
Jadi, aku yakin tanaman-tanaman itu telah punah! 
Dan andaikata hal itu belum dilakukannya, tak akan 
mungkin diberitahukannya tempat tanaman itu pada- 
mu, Dewa Arak!" 

"Aku pun berpikir demikian, Paman. Hanya sa- 
ja, aku tidak mempunyai pilihan lain! Menunggu dua 
belas purnama, akan menimbulkan banyak korban di 
tangan Jagalpati! Sementara menghadapi tanpa per- 
siapan, sama saja bunuh diri! Dan aku yakin, itu bu- 
kan tindakan tepat!" sanggah Dewa Arak, halus. 

Suasana menjadi hening ketika Arya selesai 
berbicara. Kini mereka sama-sama diam. Masing- 
masing merenung, seakan-akan tengah memikirkan ja- 
lan untuk memecahkan masalah rumit ini. 

"Aku mempunyai saran, Dewa Arak," cetus si 
Rantai Penggulung Jagad memecahkan keheningan. 
"Kurasa tidak ada salahnya kalau kau mencobanya." 

"Apa saranmu itu, Paman?!" 

"Kau tadi menceritakan tentang nenek yang 
menanam cabai-cabai ajaib itu, bukan?!" 

"Benar, Paman. Guru Jagalpatilah yang mence- 
ritakannya padaku," sahut Arya, setengah memperbai- 
ki ucapan lelaki pendek kekar itu. 

"Ya. Tapi tahukah kau, siapa nenek yang di- 
maksudkan guru Jagalpati itu?!" 

Arya menggeleng. 

"Nenek itu, sebelumnya merupakan tokoh ra- 
hasia. Tidak ada yang tahu namanya. Tapi menurut 
kabar, hampir seratus tahun yang lalu, nenek itu ting- 
gal di sebuah tempat bernama Istana Iblis. Sejak ma- 
sih kecil, dia tinggal di sana." 

Si Rantai Penggulung Jagad memulai ceritanya. 
Sementara Dewa Arak ganti mendengarkan penuh 
perhatian. 

"Istana Iblis itu sering didatangi orang-orang 
persilatan tingkat atas. Mereka tertarik untuk men- 
gungkap tempat yang penuh rahasia itu. Tapi tak seo- 
rang pun ada yang kembali. Karena hal tersebut sering 
terjadi, Istana Iblis menjadi tempat yang ditakuti. Me- 
nurut kabar, istana itu dihuni sepasang suami istri 
yang sama-sama berwatak aneh. Dan nenek yang di- 
maksud guru Jagalpati, menurut berita adalah ketu- 
runan terakhir dari Istana Iblis." 

Rantai Penggulung Jagad menghentikan ceri- 
tanya. Sedangkan Dewa Arak dengan sabar menunggu 
kelanjutannya. 

"Berbeda dengan orangtuanya, nenek itu tidak 
betah tinggal di Istana Iblis yang sepi. Dia sering ke- 
luar. Kepandaiannya memang luar biasa. Hanya saja, 
dia tidak suka mencampuri urusan orang lain. Kege- 
marannya adalah menanam. Dan anehnya tanaman- 
nya selalu aneh-aneh, seperti cabai-cabai tak lumrah 
itu. Kau boleh percaya boleh tidak, Dewa Arak. Aku 
pernah berjumpa dengannya. Nenek itu ternyata amat 
menyukai bayi-bayi mungil. Namun bukan untuk dija- 
hati. Dia sering mendatangi kampung-kampung hanya 
untuk memandangi bayi yang tidur di samping ibunya. 
Anakku sendiri, Taruna, mendapat giliran. Karena 
mengalami sendirilah aku tahu kegemarannya. Dia da- 
tang ke rumahku, langsung mengawasi Taruna yang 
tidur di samping ibunya. Karena asyiknya mengintai 
Taruna, nenek itu tidak tahu kalau aku memperhati- 
kannya. Sampai menjelang subuh, nenek itu pergi. 
Hanya itulah yang bisa kuceritakan padamu, Dewa 
Arak." 

"Apakah nenek itu masih tinggal di istananya, 
Paman?!" kejar Dewa Arak. 

"Benar. Padahal, bangunan itu sudah tidak pa- 
tut lagi dinamakan istana. Yang tinggal hanya puing- 
puing, sedikit tembok yang mengelilingi dari reruntu- 
han bangunan. Apakah kau ingin ke sana, Dewa 
Arak?!" sahut si Rantai Penggulung Jagad. 

Arya mengangguk mantap. 

"Barangkali saja nenek itu punya cadangan ta- 
naman cabai hitam dan putih, Kek," desah Dewa Arak. 

"Aku bangga padamu, Dewa Arak!" ucap si Ran- 
tai Penggulung Jagad. "Kau benar-benar seorang pen- 
dekar tulen! Hanya pesanku, hati-hatilah. Meski sudah 
berupa puing, Istana Iblis bukan tempat sembarangan! 
Menurut berita, jalan menuju Istana Iblis itu dikelilingi 
maut. Lumpur hidup, rawa beracun, tanaman- 
tanaman beracun dan binatang-binatang berbisa. 
Bahkan ada taman yang membuatmu tidak bisa keluar 
lagi setelah memasukinya. Camkan itu baik-baik, De- 
wa Arak" 

"Terima kasih atas nasihat yang kau berikan, 
Paman. Apakah Paman tidak ingin ikut pergi bersama- 
ku?!" 

"Sayang sekali, Dewa Arak," desah si Rantai 
Penggulung Jagad, disertai helaan napas berat. "Aku 
mempunyai urusan lain yang cukup penting. Aku 
mengkhawatirkan keselamatan Taruna, anakku. Aku 
cemas, kalau-kalau Jagalpati mengejarnya dan mem- 
bunuhnya." 

"Tak apa, Paman. Dan lagi urusan kita sama- 
sama penting," timpal Arya. "O, ya. Boleh kutahu, 
mengapa kau yang telah mengasingkan diri, sampai 
keluar kembali ke dunia persilatan, Paman?!" 

Si Rantai Penggulung Jagad tersenyum simpul. 
"Urusan anak dan tanggung jawab orangtua, Dewa 
Arak." 

Arya mengernyitkan kening. Kelihatan bingung. 
"Taruna akan kukawinkan dengan Putri Ular Angkasa, 
Dewa Arak! Setelah itu, aku dapat tenang di pengasin- 
gan!" 

"Ah...!" 

Arya berseru gembira. 

"Kalau begitu, selamat, Paman. Percayalah. Bila 
sempat, aku akan datang untuk menghadiri pernika- 
han itu," janji Dewa Arak, tulus. 

"Terima kasih, Dewa Arak. Selamat tinggal. 
Dan, selamat bertugas!" 

Si Rantai Penggulung Jagad seketika melesat. 
Sementara Arya menunggu hingga tubuh itu mengecil 
di kejauhan. Kemudian, dia sendiri melesat menempuh 
arah yang berlainan. 




"Bagaimana, Ular?" 

Pertanyaan itu datangnya dari mulut si Rantai 
Penggulung Jagad, yang ditujukan pada seorang lelaki 
berusia sekitar lima puluh lima tahun di depannya. 
Sedangkan lelaki bertubuh tinggi kurus yang menda- 
pat pertanyaan hanya tercenung. Sinar mata dan raut 
wajahnya menyiratkan berbagai macam perasaan. Ada 
penyesalan dan kedukaan yang sarat di sana. 

Si Rantai Penggulung Jagad tampak dudul geli- 
sah, seperti tidak sabar. Duduk di sebelahnya adalah 
Taruna. Pemuda ini duduk bagaikan patung batu. Wa- 
jahnya menunduk dalam-dalam ke lantai, seakan-akan 
di sana ada yang menarik perhatiannya. 

Lelaki bermuka kuning yang dipanggil Ular 
memang berjuluk Ular Angkasa. Dia bukannya mem- 
beri jawaban, tapi malah menghela napas berat. 

Sikap Ular Angkasa membuat kesabaran si 
Rantai Penggulung Jagad jadi hilang. Wajahnya agak 
menegang. Suaranya bergetar menahan perasaan ter- 
singgung ketika berkata lagi. 

"Kalau menolak tawaranku, katakan saja, Ular. 
Wajar saja bila kau menolak tawaranku. Aku tidak 
akan marah. Tapi bila kau bersikap seperti ini, kesaba- 
ranku bisa hilang! Bila menerima, katakan. Dan bila 
tidak, kemukakan saja. Aku lebih menyukai keterus- 
terangan! Dan aku yakin, kau tahu hal itu!" 

Ular Angkasa tidak langsung memberi jawaban. 
Ditatapnya wajah si Rantai Penggulung Jagad lekat- 
lekat. Sementara itu seorang wanita berusia tiga pulu- 
han tahun yang duduk di sebelah Ular Angkasa tam- 
pak merah padam wajahnya. Wanita itu kelihatan can- 
tik. Apalagi dengan bentuk tubuh yang padat menggi- 
urkan dan kelihatan matang. Mendengar kata-kata si 
Rantai Penggulung Jagad, dia bangkit dari kursinya. 
Ditudingnya wajah lelaki pendek kekar itu. 

"Kau hendak meminang atau hendak mengajak 
bertarung?!" sembur wanita berpakaian biru langit itu, 
keras. 

Si Rantai Penggulung Jagad sampai memun- 
durkan tubuhnya karena khawatir wajahnya terkena 
tudingan jari telunjuk yang runcing dan lentik itu. "Ka- 
lau ingin putramu menjadi menantu di sini, bersikap- 
lah sopan! Kalau tidak suka dengan cara kami, silakan 
angkat kaki! Kami pun tidak butuh kehadiranmu!" 

Wajah si Rantai Penggulung Jagad kontan me- 
negang. Ucapan wanita itu dinilainya keterlaluan. Tapi 
mengingat orang yang memakinya ini seorang wanita 
yang diyakini mempunyai hubungan erat dengan Ular 
Angkasa, kemarahannya ditahan. Juga diyakini, Ular 
Angkasa tidak akan tinggal diam. 

Dugaan si Rantai Penggulung Jagad memang 
tidak meleset. Wajah Ular Angkasa berubah hebat. Ke- 
lihatan jelas kalau ia merasa tidak enak hati melihat 
sikap wanita berpakaian biru langit 

"Harap jangan dimasukkan dalam hati ucapan 
istriku ini, Rantai. Maklumlah...," ujar Ular Angkasa 
buru-buru. 

Ketegangan di wajah si Rantai Penggulung Ja- 
gad seketika mengendur. Kemarahannya pun pupus. 

Namun tidak demikian halnya wanita berpa- 
kaian biru langit. Dengan sinar mata memancarkan 
kemarahan besar, ditatapnya Ular Angkasa. 

"Kalian berdua memang tua-tua bangka tidak 
tahu diri!" 

Kemudian wanita itu bangkit dari kursinya. 
Kakinya dibanting dengan perasaan kesal, kemudian 
berjalan cepat meninggalkan ruang tengah di salah sa- 
tu bangunan dari sekian banyaknya bangunan yang 
ada. Tempat ini memang sebuah perguruan bernama 
Perguruan Ular Sakti. Ular Angkasa sendiri adalah ke- 
tua perguruan itu. 

Ular Angkasa hanya mengangkat kedua ba- 
hunya; Dia tidak berkata apa pun. Sementara si Rantai 
Penggulung Jagad mengawasi wajah ketua perguruan 
itu lekat-lekat. 

"Istrimu, Ular...?!" tanya si Rantai Penggulung 
Jagad, hati-hati. 

Ular Angkasa menghela napas berat lebih dulu 
sebelum memberikan jawaban. Kepalanya mengangguk 
pertanda membenarkan pertanyaan lelaki pendek ke- 
kar yang telah sangat dikenalnya. 

"Sekitar enam tahun yang lalu dia kunikahi. 
Mulanya, sifatnya tidak seperti ini. Tapi.... Sudahlah, 
Rantai. Kurasa sebaiknya kita tidak membahas masa- 
lah yang bukan menjadi tujuanmu." 

"Kau benar, Ular!" sambut si Rantai Penggulung 
Jagad, tersentak. "Hampir saja aku lupa dengan tuju- 
anku semula. Syukur kau mengingatkan!" 

"Begini, Rantai," Ular Angkasa memulai. "Sebe- 
narnya aku gembira mendapat tawaran dari seorang 
sepertimu. Aku menerima putramu. Tapi sayang. Aku 
tidak bisa melakukannya..." 

"Mengapa, Ular?!" desak Rantai Penggulung Ja- 
gad, tak menyembunyikan keheranannya. Senyumnya 
mendadak lenyap. "Apakah karena putraku tidak pan- 
tas?" 

"Bukan karena itu, Rantai," kilah Ular Angkasa 
menggoyang-goyangkan tangannya. "Putramu lebih da- 
ri pantas dan patut untuk menjadi menantuku. Aku 
justru bangga! Dan, aku merasa lebih berhahagia dan 
bangga apabila Arimbi menjadi menantumu." 

"Lalu..., mengapa kau tidak menerimanya, 
Ular?! Kuharap kau tidak menyimpan laki-laki lagi! 
Apakah putrimu itu sudah menjadi murid orang lain?!" 

"Tidak, Rantai. Dugaanmu keliru," sahut Ular 
Angkasa dengan wajah muram. "Aku tidak bisa mene- 
rima tawaranmu, karena Arimbi tidak berada di sini." 

Wajah si Rantai Penggulung Jagad kembali ce- 
rah. Bila itu masalahnya, berarti masih ada harapan 
baginya. 

"Kalau hanya itu masalahnya, tidak mengapa, 
Ular. Wajar saja toh, seorang wanita dewasa berilmu 
tinggi seperti putrimu itu pergi mengembara. Biar pen- 
galamannya luas! Sekarang, bisa saja kau putuskan, 
bagaimana tanggapanmu atas tawaranku. Nanti, sete- 
lah Arimbi kembali, kau beritahukan masalah ini. 
Gampang, kan?" usul si Rantai Penggulung Jagad. 

"Tidak gampang, Rantai," bantah Ular Angkasa. 
"Aku tidak berani memutuskan tawaranmu karena aku 
tidak yakin, apakah Arimbi akan kembali. Hampir 
enam tahun dia pergi meninggalkan tempat ini. Entah 
dia mau kembali atau tidak. Aku ragu. Aku malah ya- 
kin, dia tidak ingin kembali lagi!" 

Rantai Penggulung Jagad tercenung. Dirasaka 
adanya nada kedukaan dan penyesalan yang besar da- 
lam ucapan Ular Angkasa. Sikap lelaki ini seperti ten- 
gah menanggung beban batin berat, karena merasa 
bersalah! 

"Sekarang begini saja, Rantai," ujar Ular Angka- 
sa hati-hati seperti khawatir Rantai Penggulung Jagad 
akan tersinggung. "Putramu tinggal saja dulu di sini. 
Mudah-mudahan Arimbi cepat kembali. Bagaimana 
Rantai? Kau setuju?!" 

Rantai Penggulung Jagad dengan tegas mengge- 
leng. Lelaki ini memang memiliki harga diri tinggi. Pan- 
tang baginya menunggu tanpa kejelasan. 

"Apakah Arimbi minggat dari rumah ini..?!" 
tanya Rantai Penggulung Jagad hampir tidak terdengar 
mengalihkan masalah. 

Ular Angkasa mengangguk sambil menghela 
napas berat. 

"Kepergiannya mengapa seperti itu, Ular?! Maaf, 
bila aku terlalu lancang." 

"Tidak, Rantai. Kau sahabatku. Tidak ada sa- 
lahnya kau tahu masalah ini. Mungkin kau bisa mem- 
beri pertimbangan, apakah aku salah atau benar da- 
lam hal ini," tukas Ular Angkasa. 

"Kalau kau tidak keberatan, apa boleh buat?!" 

Rantai Penggulung Jagad mengangkat bahu. 
"Dia pergi karena aku yang mengusirnya, Rantai," ke- 
luh Ular Angkasa. "Tapi, aku tidak punya pilihan lain. 
Keputusan itu kuberikan, karena rasa sayangku pa- 
danya. Dia telah melanggar peraturan berat, karena 
memasuki tempat larangan di perguruan ini! Padahal, 
jauh sebelum itu, telah kuberitahukan pada semua 
murid perguruan ini. Tak seorang pun boleh memasuki 
ruang larangan. Apabila kedapatan ada di sana, siapa 
pun akan mendapatkan hukuman berat! Sama sekali 
tidak kusangka kalau Arimbi yang melanggarnya. Rasa 
sayang, membuatku memilih mengusirnya di hadapan 
murid-murid perguruan. Daripada, dia kuhukum ma- 
ti!" 

Rantai Penggulung Jagad menghela napas be- 
rat. Keputusan Ular Angkasa memang tidak bisa dis- 
alahkan. Lelaki itu telah bertindak adil! Seorang ksa- 
tria lebih mementingkan ucapan dan kehormatan dari- 
pada hal lainnya. Dan tindakan Ular Angkasa benar. 

Taruna yang sejak tadi menunduk, mengangkat 
wajah. Sinar matanya berbalur kekecewaan. Sama se- 
kali tidak disangka kalau Arimbi bernasib demikian 
menyedihkan. 

'Apakah kau tahu penyebab Arimbi bertindak 
demikian, Ular?! Aku yakin ada yang mendorongnya, 
sehingga berani melanggar laranganmu. Padahal, hu- 
kumannya berat!" kata si Rantai Penggulung Jagad, 
hati-hati. 

"Memang dia mengatakannya. Dan hal inilah 
yang sejak dulu mengganggu pikiranku, Rantai," kata 
Ular Angkasa. Semakin terasa nada kekecewaan besar 
dalam ucapannya. "Menurutnya, dia berani melanggar 
larangan karena hendak menyelamatkan pusaka- 
pusaka perguruan. Memang, sudah menjadi rahasia 
perguruan, kalau di tempat larangan itu terdapat ba- 
nyak harta, senjata-senjata pusaka, dan kitab-kitab 
ilmu kesaktian! Dan menurut Arimbi, orang yang hen- 
da mengambilnya adalah istriku yang tadi! Ibu tirinya! 
Aku, jadi bingung. Tapi, kemarahan dan kekecewaan 
karena keberanian Arimbi melanggar larangan, tamba- 
han lagi berani menyalahkan ibu tirinya, dia kujatuh 
hukuman! Aku bahkan tidak mengakuinya sebagal 
anak! Arimbi tidak kuperbolehkan menginjak halaman 
perguruan!" 

Rantai Penggulung Jagad terdiam. 

"Jadi..., minggatnya putrimu setelah adanya is- 
trimu yang baru itu, Ular?" tanya si Rantai Penggulung 
Jagad, tetap berhati-hati. 

Ular Angkasa hanya menghela napas. Dia tidak 
memberi jawaban sedikit pun. Tapi Rantai Penggulung 
Jagad tahu, lelaki bermuka kuning itu mengakuinya. 

Rantai Penggulung Jagad mengernyitkan ken- 
ing. Nalurinya mulai membaui adanya hal-hal yang 
mencurigakan di sini. Dugaannya ingin diutarakan, 
tapi khawatir kalau Ular Angkasa salah terima. 

"Mengapa, Ular?!" tanya Rantai Penggulung Ja- 
gad ketika melihat Ular Angkasa menyeringai sambil 
memegangi dadanya. 

"Tidak apa-apa," jawab Ular Angkasa, berbo- 
hong. "Hanya sakit sedikit." 

"Boleh kuperiksa?!" Rantai Penggulung Jagad 
menawarkan. "Barangkali saja kau menderita luka da- 
lam." 

Ular Angkasa tertawa yang tampak paksaan. 
Mulutnya tertawa, tapi wajahnya tidak. Bahkan sinar 
sepasang matanya, berbalur kekecewaan dan kedu- 
kaan besar. 

"Luka dalam?! Ada-ada saja dugaanmu, Rantai! 
Bagaimana mungkin aku terluka, kalau tidak pernah 
bertarung?! Asal kau tahu saja, selama lima tahun le- 
bih ini aku tidak pernah berlatih! Bahkan tidak pernah 
bersemadi sama sekali. Hati dan pikiranku risau jika 
mengingat Arimbi. Aku merasa bersalah padanya. Kau 
tahu, Rantai. Setahun setelah Arimbi kuusir, kuha- 
biskan waktu dua tahun lebih untuk mencarinya. Tapi, 
hasilnya sia-sia. Bocah itu lenyap begitu saja, bagaikan 
ditelan bumi!" 

Kembali Ular Angkasa menyeringai. Kali ini ke- 
lihatan lebih parah daripada sebelumnya. Dia keliha- 
tan tersiksa sekali. Wajahnya menegang, merah pa- 
dam. Kemudian, batuk-batuk kecil keluar dari mulut- 
nya. 

Ular Angkasa menutupi mulutnya dengan ke- 
dua tangan, demi kesopanan. Baru setelah batuknya 
reda, kedua tangannya diturunkan kembali. 
Wajah Ular Angkasa bembah, ketika melihat 
cairan merah kehitaman pada kedua telapak tangan- 
nya. Parah! Tapi, lelaki ini tidak ingin Rantai Penggu- 
lung Jagad tahu penderitaannya. Maka buru-buru 
tangannya disembunyikan di bawah meja. 

"Kau tidak bisa menipuku lagi, Ular," desah 
Rantai Penggulung Jagad, tenang. "Tanganmu bisa kau 
sembunyikan. Tapi darah di pinggir mulutmu, telah 
menceritakan semuanya. Kau terluka, Ular. Tidak 
hanya luka dalam, tapi juga luka karena keracunan. 
Darahmu tidak merah segar, tapi merah kehitaman. 
Darah yang tercipta karena luka beracun!" 

Ular Angkasa tidak bisa mengelak lagi. Dengan 
punggung tangan, dicobanya membersihkan luka-luka 
pada pinggir mulutnya. 

"Masih mencoba menyembunyikan peristiwa 
yang terjadi pada dirimu, Ular?!" desak Rantai Penggu- 
lung Jagad lagi. 

"Terserah kau mau bilang apa, Rantai. Kau 
mau percaya atau tidak. Aku tak pernah bertarung 
denga siapa pun! Apalagi sampai terkena pukulan be- 
racun. Juga aku sudah tidak peduli lagi akan kesela- 
matanku. Perasaan bersalahku pada Arimbi, telah 
membuatku tidak betah hidup lebih lama! Aku me- 
mang tidak pernah mengurus diri lagi! Entah bagai- 
mana aku memperi tanggungjawabkan masalah ini 
pada mendiang ibu Arimbi!" tukas Ular Angkasa. 

Rantai Penggulung Jagad memegang kedua ba- 
hu Ular Angkasa, seraya mengguncangkannya sediki 
keras. 

"Kau boleh tidak peduli pada dirimu, Ular. Tapi 
kau harus ingat! Keadaan yang kau derita sekarang 
ini, berarti disebabkan perbuatan seseorang yang telah 
meracunimu tanpa kau tahu! Apakah kau tidak ingin 
mencari tahu pelakunya?!" 

Ular Angkasa menggeleng. Lemah dan tanpa 
semangat. 

"Kau tidak boleh bersikap seperti itu, Ular!" ser- 
gah Rantai Penggulung Jagad, keras. "Kalau kau se- 
perti aku, boleh saja bersikap seperti itu! Tapi, kau 
lain! Nasib puluhan orang berada di tanganmu! Apa 
jadinya kalau kau mati nanti?!" 

"Aku tidak khawatirkan hal itu, Rantai! Aku ya- 
kin, sepeninggalku keadaan akan aman-anan saja! 
Perguruan Ular Sakti yang kupimpin mempunyai mu- 
rid-murid kepala. Merekalah yang akan mengganti- 
kanku sebagai pimpinan! Lagi pula, masih ada istriku. 
Dia memiliki kepandaian tidak rendah! Selama menjadi 
istriku, dia giat berlatih. Malah, tingkat kepandaiannya 
tak akan kalah dengan muridku yang terlihai!" sang- 
gah Ular Angkasa. 

"Kalau begitu, celakalah Perguruan Ular Sakti, 
Ular! Tidakkah kau bisa berpikir jernih?! Apakah kau 
tidak bisa menduga orang yang telah meracunimu?!" 

Wajah Ular Angkasa berubah hebat 

"Jadi..., kau menuduh istriku yang membuatku 
seperti ini?! Kau gila bila berpikir demikian, Rantai! 
Hati-hati ucapanmu! Atau..., kau akan berhadapan 
denganku sebagai lawan!" desis Ular Angkasa tidak se- 
nang. 

"Aku yakin, istrimulah pelakunya, Ular! Aku 
yakin betul. Percayalah, Ular! Ingat, baik-baik! Bukan- 
kah kau tahu, kalau aku memiliki naluri tajam?! Juga 
kalau kau amati, bisa ditemukan hal-hal yang janggal! 
Nasib yang menimpa putrimu, aku yakin sudah diren- 
canakan istrimu! Dia ingin menyingkirkan Arimbi, agar 
bisa menguasai perguruan ini! Aku yakin, racun yang 
mengalir di tubuhmu hasil perbuatannya. Mungkin 
yang digunakan racun tidak berwarna, berasa, atau 
berbau. Racun itu dicampurkan dalam minumanmu. 
Dan..." 

Brakkk! 

Pembicaraan si Rantai Penggulung Jagad kon- 
tan terhenti, ketika Ular Angkasa menggebrak meja 
dengan keras. Meja itu bergetar, tapi tidak hancur sa- 
ma sekali. Retak pun tidak! 

"Tutup mulutmu, Rantai!" bentak Ular Angkasa 
keras dibarengi hantaman pada daun meja. "Atau, aku 
terpaksa akan menyerangmu! Ucapanmu sudah keter- 
laluan!" 

"Kau yang buta karena cinta tuamu itu, Ular!" 
bentak Rantai Penggulung Jagad, tak kalah keras. "Ti- 
dakkah kau sadar, kalau kau tengah dibunuh pelan- 
pelan. Asal tahu saja, sekarang kau tidak lebih dari 
seorang kakek-kakek jompo! Tenaga dalammu telah 
lenyap! Tidakkah kau sadari meja yang kau hantam, 
jangankan hancur, retak pun tidak! Lihat baik-baik! 
Buang dulu perasaan cintamu yang berlebih-lebihan 
itu!" 

Ular Angkasa terdiam. Baru disadari kalau me- 
ja yang digebrak tidak hancur sebagaimana biasanya. 
Kata Rantai Penggulung Jagad rupanya masuk akal- 
nya. Kembali dicobanya untuk mengerahkan tenaga 
dalam. Tapi, tidak dirasakan adanya putaran tenaga 
dalam di pusarnya. 

Ular Angkasa merasa penasaran. Dicobanya 
untuk mengalirkan ke tangan. Tapi seperti hasil sebe- 
lumnya kali ini pun kekecewaan yang didapat. Benar 
perkataan Rantai Penggulung Jagad! Tenaga dalamnya 
telah lenyap! 

"Bagaimana?! Benar kan ucapanku, Ular?!" 
tanya Rantai Penggulung Jagad dengan suara lebih pe- 
lan. 

"Mungkinkah itu, Rantai?! Mungkinkah istriku 
bertindak demikian keji?!" 

Seperti layaknya seorang anak kecil, Ular Ang- 
kasa mengajukan pertanyaan terbata-bata. 

"Mungkinkah racun dibubuhkan dalam maka- 
nan dan minumanku?!" 

"Mungkin saja, Ular," sahut Rantai Penggulung 
Jagad mengangguk, mantap. Tapi, ketika pandangan- 
nya berbentur pada makanan dan minuman di meja 
yang telah disantapnya bersama Taruna dan Ular Ang- 
kasa, wajah lelaki pendek kekar ini memucat! 

Ular Angkasa melihat arah pandangan Rantai 
Penggulung Jagad. Dan wajahnya pun berubah hebat. 

Meja empat persegi panjang kini menjadi sasa- 
ran pandangan dua lelaki setengah baya yang terkenal 
sebagai pendekar besar. Meja berwarna coklat itu, pa- 
da beberapa bagian tampak hangus! Dan bagian yang 
hangus adalah bagian di mana percikan-percikan mi- 
numan terdapat! Tanpa berpikir lebih lama lagi, Rantai 
Penggulung agad dan Ular Angkasa tahu penyebab me- 
ja itu bernasib demikian mengerikan! Apalagi kalau 
bukan racun yang amat ganas? 

"Apakah istrimu yang menyediakan makanan 
dan minuman ini, Ular?!" tanya Rantai Penggulung Ja- 
gad dengan suara seperti tercekik di tenggorokan. 

Ular Angkasa tidak memberi jawaban, Rahang- 
nya menggembung. Wajahnya pun menegang penuh 
kemarahan, ketika mengeluarkan kata-kata yang be- 
rupa desisan! 

"Wanita iblis!" 

"Hi... hi... hi...!" 

Seperti menyambut makian Ular Angkasa, ter- 
dengar tawa mengikik. Nadanya mengejek dan mere- 
mehkan. Kemudian disusul tawa bergelak. Nadanya 
sama, mengejek dan penuh kemenangan. 

Serentak Ular Angkasa, Rantai Penggulung Ja- 
gad, dan Taruna menoleh ke arah pintu yang menghu- 
bungkan ruangan tempat mereka berada dengan ruang 
dalam. Tak lama dari ruang dalam muncul dua sosok 

"Kau...!?" 

Mata Ular Angkasa kontan terbelalak lebar, se- 
perti tengah melihat hantu. Sosok yang berada di sebe- 
lah istrinyalah yang membuatnya terperanjat kaget. 
Sosok itu adalah seorang lelaki kurus dengan kumis 
tipis dan mata sipit. 

"Kaget, Tua Bangka Jompo?!" 

Lelaki bermata sipit itu tersenyum mengejek. 
Kemudian tangan kirinya dilingkarkan ke leher istri 
muda Ular Angkasa. Bahkan jari-jari tangannya tanpa 
tahu malu mengusap-usap pipi dan tengkuk wanita 
itu. Sedangkan istri muda Ular Angkasa menggeliat- 
geliat keenakan seperti seekor kucing dibelai! 

Sepasang mata Ular Angkasa bagaikan hendak 
melompat keluar dari rongganya ketika melihat pe- 
mandangan itu. Hatinya mendidih oleh amarah me- 
luap-luap! 

"Murid murtad! Jahanam! Mau apa kau kemari 

heh?!" 

Dalam cekaman amarah yang menggelegak, Ular 
Angkasa bangkit dari kursinya. Hendak menghampiri 
lelaki bermata sipit ini. Sikapnya penuh ancaman. 

Rantai Penggulung Jagad tahu maksud Ular 
Angkasa. Buru-buru dicekalnya pergelangan tangan le- 
laki muka kuning itu, untuk mencegah maksudnya. 
Disadari Ular Angkasa hanya akan mencari penyakit 
bila meneruskan maksudnya. 

"Mau apa aku kemari?!" ulang lelaki bermata 
sipit ini bernada mengejek. "Lucu sekali pertanyaan 
itu. Aku sudah lama di sini, Tua Bangka Jompo! Aku 
sudah hampir enam tahun di sini. Aku tinggal di ruang 
larangan itu. Dan mungkin perlu kutambahkan, wani- 
ta yang kau akui sebagai istrimu ini adalah kekasihku! 
Ha ha ha..,!" 

Andaikata ada petir menyambar di dekatnya, 
Ular Angkasa tidak akan terkejut seperti ini. Tubuhnya 
kontan limbung. Untung, Rantai Penggulung Jagad 
memeganginya. 

"Sebagai tambahan, perlu kukatakan. Semua 
dugaan kawanmu itu benar! Aku yang menyebabkan 
Arimbi minggat dari sini. Akulah yang menjebaknya, 
agar tidak lagi jadi penghalang bagiku! Dan kau pun 
telah kuracuni sejak lama. Sedikit demi sedikit. Hanya 
saja, racun yang kuberikan tidak keras. Karena, aku 
masih butuh bantuanmu. Sedangkan racun yang ka- 
lian tenggak bersama-sama, adalah racun yang memi- 
liki daya kerja cepat. Kalian bertiga akan mati! Hi hi 
hi...!" timpal wanita berpakaian biru langit penuh ke- 
gembiraan. "Dan, aku pula yang menyelundupkan ke- 
kasihku ini ke dalam ruang larangan itu." 




"Jahanam...!" 

Kali ini Rantai Penggulung Jagad yang menge- 
luarkan seruan kemarahan. Saat itu juga lelaki ini me- 
lesat ke depan. Tapi baru juga setindak, langkahnya 
terhenti. Tangannya yang semula siap dilayangkan kini 
dipergunakan untuk mendekap dada yang mendadak 
terasa sakit. 

"Hihihik...!" 

Wanita berpakaian biru langit kembali tertawa 
gembira. 

"Jangan coba-coba mengerahkan tenaga dalam 
kalau masih sayang nyawa, Tua Bangka bau tanah! 
Racun yang mengendap dalam tubuhmu akan menye- 
rang setiap kali kau mengerahkan tenaga dalam! Dan 
itu berarti kau akan mati jauh lebih cepat! Menurutku 
tidak perlu buru-buru menemui malaikat maut. Te- 
nang-tenang saja, Tua Bangka! Nanti pun saat yang 
kau inginkan akan tiba! Hi hi hik...!" 

Rantai Penggulung Jagad mengerti betul uca- 
pan istri muda Ular Angkasa yang bukan sekadar ger- 
takan. Bukti ancaman itu telah dirasakan sendiri. 
Dengan wajah pucat, ditatapnya Ular Angkasa. 

Ketua Perguruan Ular Sakti itu sendiri terdiam 
tempatnya. Lelaki itu tahu, tidak ada hal apa pun yan 
bisa dilakukan! 

"Mengapa kau tega bertindak sekeji ini, Wardi- 
ni?!" tanya Ular Angkasa menyebut nama istrinya, tan- 
pa menyembunyikan keheranan dan penasaran. "Apa- 
kah selama ini aku kurang baik terhadapmu?!" 

Wanita berpakaian biru langit yang bernama 
Wardini tersenyum mengejek. 

"Kau memang cukup baik hati, Tua Bangka! 
Meskipun, permainan cintamu membuatku muak. Dan 
aku tak akan melakukan seperti ini, kalau kau tidak 
bertindak jahat terhadap Salangi kekasihku!" jawab 
Wardini sambil bergelayut manja di pundak laki-laki 
bermata sipit yang dipanggil Salangi. 

"Siapa yang bertindak jahat, Wardini?!" bantah 
Uiar Angkasa, penasaran. "Aku justru masih bertindak 
baik hati. Salangi, kuhukum usir dari perguruan, ka- 
rena kerap mengganggu istri orang! Dia pun tak se- 
gan-segan menggunakan kepandaiannya untuk me- 
nimbulkan kekacauan di kaki gunung. Makanya dia 
kuusir dan tak kuanggap sebagai murid! Tujuh tahun 
lalu hal itu kulakukan! Sebenarnya, hatiku berat me- 
lakukannya. Karena, dia muridku yang paling berba- 
kat. Bahkan kuharapkan menjadi pimpinan perguruan 
ini sepeninggalku!" 

"Saat ini pun, aku bisa menjadi Ketua pergu- 
ruan ini, Tua Bangka!" ejek Salangi penuh perasaan 
menang. "Setahun lebih setelah kau usir, aku dapat 
masuk ke tempat ini dengan perantara kekasihku ini! 
Dia menjadi istrimu, atas siasat kami bersama. Kau 
tahu, Tua Bangka. Saat menjadi istrimu, dia telah 
menjadi kekasihku selama empat bulan. Dia kutemui 
di perjalanan. Dan sifat kami saling cocok satu sama 
lain!" 

Ular Angkasa membisu. Di dalam hatinya, lela- 
ki ini malu bukan main terhadap Rantai Penggulung 
Jagad, karena ditipu mentah-mentah! Ular Angkasa 
marah bukan main! Tapi, apa yang bisa dilakukan- 
nya?! Terbayang kembali di benaknya pertemuannya 
dengan Wardini! Wanita itu ditemukan salah seorang 
muridnya, ketika tergolek di dekat pintu gerbang da- 
lam keadaan terluka! Sama sekali tidak disangka kalau 
luka itu merupakan siasat licik! Siapa lagi yang melu- 
kainya kalau bukan Salangi?! 

"Kurasa semuanya sudah jelas, Tua Bangka! 
Sekarang, sudah tiba saatnya bagiku untuk mengi- 
rimmu ke neraka! Aku akan menjadi Ketua Perguruan 
Ular Sakti, seperti yang selama ini kuimpikan! Dengan 
adanya murid-murid perguruan sebagai anak buahku, 
kedudukanku akan lebih kuat! Ha ha ha...!" 

"Mereka tak akan sudi menjadi anak buahmu, 
Salangi!" desis Ular Angkasa, tajam. 

"Siapa bilang, Tua Bangka?! Aku akan bertin- 
dak tegas! Siapa yang tidak ingin menjadi anak bua- 
hku akan mati mengerikan! Aku yakin, mereka lebih 
tahu cara hidup yang lebih baik! Ha ha ha!" 

Ular Angkasa dan Rantai Penggulung Jagad 
hanya dapat mengeluh dalam hati. Tidak ada yang bisa 
melakukan apa-apa. Taruna sendiri berdiri di belakang 
ayahnya. Mereka bertiga hanya menunggu datangnya 
maut dengan hati berdebar tegang! 

kkk 

"Anjing-anjing rakus seperti kalian, jangan 
mimpi untuk bisa menjadi pemimpin di Perguruan 
Ular Sakti..,!" 

Ular Angkasa, Rantai Penggulung Jagad, Taru- 
na, tak terkecuali Salangi dan Wardini, mengedarkan 
pandangan ke sekitar ruangan itu. Semuanya mencari 
asal suara yang diutarakan secara pelan, tapi mengan- 
dung pengaruh yang membuat bulu kuduk berdiri! 

Wardini yang memiliki watak berangasan kon- 
tan merah padam mukanya. Dia marah bukan main 
mendapat hinaan seperti itu. Dengan mata penuh an- 
caman pandangannya diedarkan ke sekeliling. 

Rantai Penggulung Jagad dan Taruna hanya 
menunggu dengan perasaan ingin tahu. Mereka, seper- 
ti juga yang lain, tidak bisa mengira-ngira dari mana 
asal suara itu yang seperti dari segala arah! Rantai 
Penggulung Jagad tahu, sang pemilik suara memiliki 
tenaga dalam amat kuat! 

Di antara semua orang yang ada di situ, hanya 
Salangi dan Ular Angkasa yang memberikan tanggapan 
lain. Dahi kedua orang ini, terutama sekali Ular Ang- 
kasa, berkernyit dalam. Tindakan mereka ini seperti 
orang yang tengah mengingat-ingat sesuatu. 

"Kalian mencari siapa?! Aku sejak tadi di sini! 
Tidakkah kau melihat?!" 

Suara dingin tanpa nada apa pun terdengar la- 
gi. Kali ini, rupanya si pemilik suara itu tidak menge- 
luarkan ilmunya yang istimewa. Sehingga, semua 
orang yang berada di situ bisa memperkirakan asal- 
nya. Mereka semuanya mengarahkan pandangan ke 
bawah meja tempat makan dan minuman berada. 

Di bawah meja, duduk bersila sesosok tubuh 
ramping menggiurkan dan enak dipandang. Kepalanya 
bertempelan dengan bawah daun meja. Wajahnya ti- 
dak tampak jelas, karena terhalang kursi-kursi. 

Bulu kuduk semua tokoh yang berada di situ 
terasa meremang! Bagaimana mungkin sosok ramping 
itu bisa berada di bawah meja, tanpa seorang pun yang 
tahu?! Padahal, sewaktu semua masih ada di kursi, 
mereka yakin sosok ramping itu tidak ada di situ. Lalu, 
bagaimana sosok itu bisa berada di bawah meja tanpa 
menimbulkan bunyi sama sekali?! 

Sebelum tokoh-tokoh itu semuanya sadar dari 
perasaan kaget dan bingung, meja itu melayang ke 
atas membawa sosok ramping yang masih duduk ber- 
sila dengan kepala masih menempel pada bawah daun 
meja! 

Semua tokoh terkejut bukan main. Pemandan- 
gan yang disaksikan merupakan pameran tenaga da- 
lam luar biasa. Dengan mata membelalak, kelima 
orang yang semula saling bertentangan, memperhati- 
kan peristiwa yang masih terus berlangsung dengan 
perasaan takjub. 

Sementara itu meja terus melayang naik sam- 
pai setinggi satu tombak lebih. Baru setelah itu me- 
layang ke arah empat orang yang tengah berdiri berha- 
dap-hadapan. 

Di tengah-tengah dua pihak yang berdiri ber- 
hadapan, meja itu melayang turun perlahan-lahan. 
Tanpa bunyi sedikit pun, sosok ramping itu menda- 
ratkan pantatnya pada lantai! Bahkan meja di atas ke- 
palanya tidak bergeming sama sekali! 

Tidak kelihatan tubuh sosok ramping itu berge- 
rak, tapi meja itu melayang naik ke atas dan kembali 
ke tempat semula. Dan semua itu tanpa bunyi sama 
sekali! Seakan-akan, meja itu diangkat, dibawa, dan 
diletakkan seseorang yang tidak tampak. 

Sosok ramping itu kemudian bangkit, berdiri 
tegak. Semua yang melihat terkesima, seakan-akan 
tengah melihat hantu! 

Sosok ramping yang diduga adalah gadis beru- 
sia paling banyak dua puluh lima tahun itu memang 
benar-benar menggiriskan. Sekujur tubuh yang tidak 
tertutup pakaian, ditumbuhi bulu-bulu berdiri mirip 
bulu landak! Rambutnya pun berdiri! Untung saja, 
rambutnya pendek! Wajahnya pun pucat pasi bagaikan 
tak berdarah! Tapi, sepasang matanya lebih mengeri- 
kan! Tidak memiliki biji mata hitam! Bahkan bagian 
mata yang seharusnya berwarna putih pun berwarna 
merah membara! 

"Sss... siapa kau...?!" tanya Ular Angkasa, 
meskipun tidak lancar. "Sepertinya..., aku tidak asing 
denganmu...," 

Sosok ramping bermata merah membara itu 
tersenyum. Tapi hal itu justru membuatnya terlihat 
semakin mengerikan! Senyumnya dingin, tanpa mem- 
beri jawaban sama sekali. 

Sosok bermata merah itu lantas mengalihkan 
perhatian pada Wardini. Matanya yang merah memba- 
ra seperti mengeluarkan api, ketika menatap kekasih 
Salangi. 

Ucapan Ular Angkasa membuat Salangi men- 
gernyitkan alis. Memang, sosok ramping itu wajahnya 
kelihatan mengerikan. Tapi lelaki yang berusia sekitar 
tiga puluh tahun ini yakin, pernah melihat sebelum- 
nya. Baik bentuk wajah, maupun potongan tubuhnya. 

Perasaan ini juga menghantui Rantai Penggu- 
lung Jagad. Lelaki ini merasa pernah melihat sosok 
ramping itu. Hanya saja, dia tidak mengingat lebih 
jauh. 

"Wanita berhati busuk!" desis sosok ramping itu 
tajam, tapi tanpa mengemikkan bibir. "Dulu dengan 
siasat licikmu, kau berhasil membuatku terusir dari 
tempat ini! Tempat di mana aku dibesarkan! Dulu kau 
berhasil lolos dan menang! Tapi sekarang, kau akan 
binasa di tanganku!" 

Meski ucapan itu tidak keras, tapi membuat 
semua yang berada di situ seakan mendengar petir 
menggelegar. Kalau Wardini dan Salangi hanya terke- 
jut bercampur ngeri karena tahu akan adanya anca- 
man, Ular Angkasa merasakan dadanya sesak oleh ra- 
sa haru yang menyeruak. Rasa bersalah pun semakin 
besar. Ucapan itu telah membuatnya langsung bisa 
mengetahui sosok ramping yang menggiriskan hati ini. 

"Ya, Allah...," desis Ular Angkasa dengan suara 
terbata-bata. Bibirnya bergetar hebat. "Kau... Arim- 
bi...?! Kau, Anakku,..?! Apa yang terjadi dengan diri- 
mu, Nak?!" 

Ular Angkasa dengan raut muka sulit dilu- 
kiskan, melangkah mendekati sosok ramping yang ter- 
nyata Arimbi. 

Arimbi sendiri tidak mempedulikan sama sekali 
keadaan Ular Angkasa. Sosok ini berdiri dengan tata- 
pan tajam menusuk pada Wardini. 

Rantai Penggulung Jagad yang juga merasa 
terkejut ketika mengetahui sosok ramping itu adalah 
Arimbi, terkesima di tempatnya. Tapi langsung disadari 
ketika melihat tindakan Ketua Perguruan Ular Sakti 
itu. 

Rantai Penggulung Jagad tahu, Arimbi yang se- 
karang kemungkinan besar berbeda jauh dengan 
Arimbi yang dulu. Bukan tidak mungkin, tindakan 
Ular Angkasa akan membuat sosok yang dulu cantik 
itu akan membunuhnya. Maka lelaki pendek kekar ini 
segera bertindak cepat. Langsung dicekalnya pergelan- 
gan tangan Ular Angkasa. 

Kali ini Ular Angkasa meronta. Lelaki bermuka 
kuning kini tidak ingin dihalangi. 

"Tenangkan hatimu, Ular," ujar Rantai Penggu- 
lung Jagad, memberi nasihat "Lebih baik tunda dulu 
niatmu. Kita belum tahu, bagaimana Arimbi sekarang. 
Biarkan dia melakukan apa yang diinginkannya. Aku 
khawatir, tindakanmu disalahartikan. Bukan tidak 
mungkin dia akan membunuhmu, karena dianggap 
merintangi maksudnya." 

"Tapi dia anakku, Rantai," bantah Ular Angka- 
sa. 

"Itu memang benar. Tapi tidakkah kau lihat, dia 
telah berubah dahsyat! Siapa tahu dia tidak menge- 
nalmu lagi sekarang. Bagaimana?!" 

"Tidak mungkin!" Ular Angkasa masih bersike- 
ras. "Kenyataannya dia masih mengenal Wardini. Pasti, 
dia mengenalku. Aku lebih lama hidup bersamanya...!" 

"Bisa saja dia lupa padamu. Tapi, ingat pada 
Wardini! Bisa jadi karena perasaan dendam, membuat 
dia teringat pada Wardini! Perhatikan baik-baik, Ular. 
Aku tidak yakin, Arimbi masih hidup. Maksudku..., 
aku lebih percaya kalau dia Arimbi yang bangkit kem- 
bali dari kematian! Entah bagaimana itu bisa terjadi, 
tapi aku yakin betul. Tidakkah kau lihat keadaannya?! 
Tidak mungkin seorang manusia memiliki ciri-ciri de- 
mikian mengerikan!" papar si Rantai Penggulung Ja- 
gad. 

Di saat Ular Angkasa dan Rantai Penggulung 
Jagad terlibat pertengkaran, Wardini melompat ke be- 
lakang sejauh dua tombak diikuti Salangi. Sepasang 
kekasih ini sama-sama mencabut senjata masing- 
masing. Salangi menghunus golok besar, sedangkan 
Wardini sepasang tusuk konde bergagang kepala ular 
kobra. Ruangan itu memang luas sekali, sehingga me- 
mungkinkan untuk menggelar pertarungan. 

Berbeda dengan Wardini dan Salangi yang telah 
siap sedia, Arimbi sendiri tidak bergeming dari tempat- 
nya. Tetap diam bak patung batu. 

Dan mendadak Salangi mengirimkan serangan 
dengan tusukan bertubi-tubi! 

Wutt! Wutt! 

Batang golok lelaki itu seperti berjumlah bela- 
san, saking cepatnya digerakkan. Dan semua serangan 
itu tertuju pada Arimbi. 

Namun Arimbi tetap tidak bergeming dari tem- 
patnya. Tidak juga terlihat melakukan gerakan apa- 
apa, kecuali hanya membenturkan telapak tangannya 
satu sama lain! 

Splash...! 

Semua pasang mata terbelalak lebar ketika me- 
lihat kilatan cahaya menyilaukan laksana halilintar 
muncul dari kedua telapak tangannya yang dibentur- 
kan. 

Cahaya menyilaukan itu terus meluncur ke 
arah tubuh Salangi yang masih berada di udara. 

"Heh?!" 

"Akhhh...!" 

Wardini sampai terpekik kaget. Namun lain 
halnya Salangi. Pekikan yang keluar dari mulutnya 
terdengar menyayat hati ketika cahaya menyilaukan 
itu menerpa tubuhnya tanpa sempat dielakkan. 

Tubuh Salangi langsung terlempar laksana 
daun kering dihembus angin. Bau sangit daging yang 
terbakar menyebar di sekitar tempat itu seiring me- 
layangnya tubuh lelaki itu dalam keadaan hangus 
menghitam! 

Semua pasang mata yang berada di situ kontan 
terpaku. Tidak terkecuali Wardini. Baru ketika tubuh 
Salangi menimpa lantai, wanita ini menjerit penuh ke- 
sedihan. 

"Kubunuh kau...!" 

Wardini yang kalap menghambur ke arah 
Arimbi. Tapi langkahnya langsung terhenti, ketika 
Arimbi membenturkan jari tangan kiri dan kanannya. 

Splash! 

"Aakh...!" 

Wanita culas ini kontan terjatuh sambil menje- 
rit kesakitan. Cahaya menyilaukan itu menerpa paha 
kanan dan menghanguskannya. 

Arimbi rupanya benar-benar hendak melam- 
piaskan sakit hatinya. Sasaran yang dituju tidak ba- 
gian yang mematikan. Dan sadar kekuatan sinar me- 
nyilaukannya pun tidak terlalu dahsyat. 

Wardini benar-benar bagaikan ayam disembe- 
lih. Tubuhnya menggeliat-geliat ke sana kemari, ketika 
cahaya menyilaukan dari Arimbi mengenai bagian- 
bagian tubuhnya bertubi-tubi. 

Rantai Penggulung Jagad, Ular Angkasa, dan 
Taruna, bergidik melihat pemandangan ini. Mereka ti- 
dak sampai hati melihat Wardini demikian menderita. 

Menggeliat-geliat sambil merintih-rintih memohon di- 
bunuh! Keringat sebesar biji-biji jagung tampak meng- 
hiasi sekujur wajahnya. 

Arimbi berdiri tegak bagai patung memperhati- 
kan tingkah laku lawannya yang telah sekarat. Selu- 
ruh anggota tubuh Wardini, kecuali wajah dan badan, 
hangus menghitam. Tapi anehnya, wanita itu tidak 
mati. Kecuali merasakan panas luar biasa yang me- 
nyiksa dirinya. 

"Bunuh saja aku, Arimbi. Jangan kau siksa aku 
seperti ini," ratap Wardini lirih. 

Arimbi tidak bergeming. Sementara Ular Angka- 
sa yang sejak tadi seperti terpengaruh sihir sehingga 
membuatnya berdiri diam bagai patung, tersadar. Dia 
tidak sampai hati melihat keadaan Wardini. 

"Lupakan dendammu, Arimbi. Kau telah mem- 
balasnya. Sekarang, penuhilah keinginannya, Nak! 
Bunuhlah dia...! Bukan watak seorang pendekar, me- 
nyiksa lawannya!" ujar Ular Angkasa. 

Arimbi yang sejak tadi membeku, berbalik. 
Dengan sinar mata merah, ditatapnya Ular Angkasa. 
Lelaki gagah yang tidak pernah merasa gentar itu un- 
tuk pertama kalinya mundur selangkah tanpa sadar 
melihat tatapan Arimbi yang benar-benar menggi- 
riskan! 

Setelah melempar tatapan seperti itu, Arimbi 
melesat meninggalkan tempat ini. Ular Angkasa, Ran- 
tai Penggulung Jagad, dan Taruna bergidik ketika me- 
lihat Arimbi tidak menjejakkan kaki atau menekuk lu- 
tut untuk melompat! 

Bertepatan dengan perginya Arimbi, belasan 
murid Perguruan Ular Sakti muncul, setelah menden- 
gar bunyi gaduh. Semula mereka ragu, karena Ular 
Angkasa telah berpesan agar jangan diganggu sedikit 
pun. 

Tapi karena bunyi gaduh itu semakin menjadi- 
jadi, mereka nekat mendatangi tempat ini setelah me- 
rundingkannya lebih dulu. 

Kini mereka terperangah ketika melihat pe- 
mandangan yang terpampang. Apalagi, ketika melihat 
Ular Angkasa membunuh istri mudanya dengan menu- 
suk ulu hatinya. 


Dewa Arak kebingungan sampai-sampai alisnya 
berkernyit. Kakinya yang kokoh kini berdiri di tanah 
berumput hijau segar yang terawat baik. Beberapa 
tombak di depannya terdapat hamparan rumput yang 
juga hijau, tapi tingginya sekitar satu tombak. Sekeli- 
lingnya tanaman bunga. Di antara tanaman-tanaman 
itu, membentang jalan setapak. 

Telah cukup lama pemuda berambut putih ke- 
perakan ini berada di sini. Sekarang ini Dewa Arak 
tengah dalam perjalanan menuju Istana Iblis. Tapi ba- 
ru pada pintu pertamanya di bagian taman ini, dia ti- 
dak bisa berbuat banyak. Pemuda ini hanya berputar- 
putar di tempat yang sama dan kembali di tempat itu 
tanpa tahu lagi jalan kembali. Sedangkan jalan yang 
dicari pun, belum juga didapatkan. 

Arya menghapus peluh yang membasahi ken- 
ing. Perasaan khawatir mulai menyergap hatinya. De- 
wa Arak tahu, bila jalan keluar tetap tidak diketemu- 
kan, bisa mati di tempat ini! Apalagi juga dirasakan 
adanya hawa beracun di sini! Mungkin berasal dari sa- 
lah satu tanaman yang ada. 

Sekarang Arya baru mengerti, mengapa banyak 
tokoh persilatan yang tidak kembali dalam perjalanan 
menuju Istana Iblis. Mungkin, sebagian besar tewas di 
tempat ini. Buktinya, hidungnya masih bisa membaui 
mayat! Tengah Dewa Arak berpikir lebih jauh lagi 
mendadak... 

"Dari tempatmu berdiri, maju ke depan lurus! 
Berdirilah tepat di depan rumput yang pada bagian 
ujungnya menempel belalang kecil. Belalang itu palsu. 
Dari situ melangkah ke kanan tiga tindak..." 

Terdengar suara nyaring merdu khas suara 
seorang wanita muda, merasuk ke dalam telinga Arya. 

Dewa Arak berpikir sejenak, tidak langsung 
menuruti pemberitahuan yang dikirim melalui ilmu 
pengirim suara dari jauh itu. Dia mempertimbangkan- 
nya, sebelum mengambil keputusan. 

Arya yakin, petunjuk itu benar. Kalau tipuan 
dengan maksud untuk membuatnya tewas rasanya ti- 
dak mungkin. Tanpa ditipu pun, dia memang sudah 
tersesat. Hanya kebetulan saja dia belum celaka di 
tempat-tempat salah yang diambilnya. 

Maka Arya mengambil keputusan, mengikuti 
petunjuk itu. Tanpa banyak pertimbangan, diikutinya 
secara membuta. Terkadang menabrak tanaman, ber- 
jalan mundur, melingkar, dan melompat-lompat. Tapi, 
hebatnya, tak lama kemudian dia telah sampai di tem- 
pat kedatangannya semula. 

Dewa Arak tidak kecewa dengan kegagalannya 
menemukan Istana Iblis. Di tempat jalan-jalan aneh 
menuju istana rahasia itu, di luarnya Dewa Arak meli- 
hat dua sosok. Yang seorang gadis muda, sedangkan 
yang lainnya seorang nenek! 

Dua sosok yang berdiri berjarak lima tombak di 
depan Dewa Arak itu mengangguk. Sifat mereka tam- 
pak ramah. Arya balas mengangguk. Sebentar dia ter- 
senyum, lalu menghampiri. 

"Terima kasih atas pertolongan kalian berdua. 
Perkenalkan, namaku Arya. Tanpa kalian, mungkin 
aku telah menjadi mayat," ucap Arya sambil mengem- 
bangkan senyum lebar. 

"Lupakanlah, Arya," ujar gadis berpakaian kun- 
ing. Gadis ini diyakini Arya sebagai orang yang mengi- 
rim petunjuk. Tapi dugaannya tidak dikatakannya. 

"Aku Sumarni. Dan ini guruku," lanjut gadis 
yang mengaku bernama Sumarni. 

"Selamat berjumpa, Nek," tegur Arya, sopan. 

Si nenek bongkok. Dia mengenakan pakaian hi- 
tam dengan jubah putih. Bibirnya yang keriput men- 
gembangkan senyum. Giginya ternyata telah tanggal 
semua. Usianya tentu telah amat tua. 

"Maaf kalau aku berlaku lancang, Nek. Apakah 
Nenek yang disebut-sebut orang sebagai permilik Ista- 
na Iblis?!" ucap Arya sopan. 

Si nenek mengangguk. 

"Benarkah banyak orang yang tewas sebelum 
mencapai Istana Iblis, Nek?!" 

Kali ini si nenek tidak memberi jawaban lang- 
sung. Malah ditatapnya Arya. 

Pemuda ini terkesiap melihat mata nenek itu 
mencorong tajam. Sorotnya lebih terang dibanding to- 
koh mana pun yang pernah dijumpainya! 

Arya sudah merasa khawatir kalau nenek ini 
marah dan menyerangnya. Sementara Sumarni keliha- 
tannya gelisah. Dengan bahasa isyarat, dipintanya 
Arya untuk tidak banyak bertanya. 

Arya menarik napas lega ketika mata nenek itu 
meredup kembali. Dan Sumarni pun tenang. Wajahnya 
bahkan berseri ketika melihat gurunya mengangguk. 

"Kau hendak bertanya lagi kan, Dewa Arak?!" 
tukas nenek itu, tapi tidak terasa adanya nada kema- 
rahan di dalamnya. 

Arya diam sejenak, sebelum akhirnya men- 
gangguk. 

"Bukankah kau hendak mengajukan perta- 
nyaan, mengapa orang-orang itu tidak kutolong?!" 

Untuk kedua kalinya Dewa Arak mengangguk. 
Diam-dilam pemuda ini merasa takjub, menyadari ka- 
lau nenek ini bisa membaca pikirannya. Dugaan yang 
dilontarkannya memang tepat 

"Kau tidak usah merasa takjub, Dewa Arak. 
Aku memang mempunyai kemampuan membaca piki- 
ran orang lain," jelas si nenek lagi. "Ketahuilah. Ada 
dua hal yang membuatku tidak membiarkan kau mati 
di sana, sebagaimana orang lain!" 

Si nenek mengarahkan pandangan ke lereng 
gunung. Sikapnya seperti orang yang tengah menung- 
gu sesuatu. Kesempatan itu dipergunakan Arya untuk 
mengerling ke arah gadis berpakaian kuning yang ber- 
nama Sumarni. 

Arya harus mengakui, Sumarni amat cantik. 
Kulit wajah dan tubuhnya putih, halus, dan mulus. 
Bentuk tubuhnya sintal. Indah dan menggiurkan. 
Sungguh seorang gadis yang amat menarik! 

"Hal pertama," suara si nenek membuat Arya 
mengalihkan perhatian kembali. 

Arya sudah merah wajahnya karena khawatir 
perbuatannya dipergoki. Tapi hatinya lega ketika ne- 
nek itu masih tetap menerawang ke depan. 

"Karena kau adalah tokoh yang berjuluk Dewa 
Arak" 

Arya melongo. Nenek ini tahu tentang Dewa 
Arak?! Berarti dia masih suka terjun ke dunia persila- 
tan! 

"Dari mulut muridku, yang mendengar berita 
mengenaimu di luaran, aku tahu kau terhitung pende- 
kar berhati lurus. Aku tahu kedatanganmu menempuh 
bahaya ke Istana Iblis, tidak untuk nafsu serakah se- 
bagaimana orang lain." 

"Aku datang kemari untuk meminta petunjuk, 
mengenai cara membunuh seorang lawan yang amat 
sakti dan memiliki ilmu aneh, Nek," jelas Arya, buru- 
buru 

"Aku tahu itu, Dewa Arak. Kulihat sendiri di 
benakmu. Bahkan sepotong-potong, kulihat apa yang 
kau lihat mengenai tokoh luar biasa itu. Kedatangan- 
mu hendak meminta cabai putih hitam bukan?! 
Sayang, aku tidak menyimpannya," terabas si nenek. 

Arya menghela napas berat. Harapannya ter- 
nyata pupus. 

"Ada pun hal kedua," sambung si nenek. "Kare- 
na permintaan muridku yang kau anggap amat mena- 
rik hati! Dialah yang memintaku untuk mengampuni 
tindakanmu. Dia melihatmu terancam, dan ingin me- 
nolongmu...!" 

Dua wajah anak muda langsung merah padam, 
Jika Arya merasa rahasianya terbongkar, karena men- 
gerling ke arah Sumarni yang dilakukan diam-diam. 
Sedangkan Sumarni, dibuka isi hatinya! 

"Oleh karena itu, Dewa Arak," si nenek terus 
saja berbicara, tak peduli perasaan sepasang anak 
muda itu. "Kuminta kau membawa Sumarni dari sini. 
Aku tidak ingin dia celaka di tangan tokoh luar biasa 
itu. Syukur-syukur, aku bisa mengalahkannya. Se- 
hingga, kau tidak perlu membawanya kabur. Tapi, in- 
gat. Kalau bisa, sebelum meninggalkan tempat ini, be- 
rikan kesempatan bagiku untuk memberitahukanmu 
mengenai kelemahan tokoh itu." 

"Jadi kau telah mengetahui kelemahan Jagal- 
pati, Nek?!" tanya Arya, mempunyai bahan mengatih- 
kan persoalan. 

"Sekarang belum," jawab si nenek. 

"Nanti, setelah bertarung dengannya dan mem- 
perhatikan ilmunya, mungkin bisa kuketahui kelema- 
hannya. Itu baru kemungkinan. Tapi kemungkinan itu 
besar. Karena aku sudah mempunyai sedikit gambaran 
penangkalnya, berdasarkan gerakan dan pameran ilmu 
yang sempat kulihat di benak Sumarni dan kau! Mu- 
dah-mudahan saja." 

kkk 


"Jadi, Jagalpati akan menuju kemari, Nek?!" 

Lagi-lagi Arya mengajukan pertanyaan, setelah 
membiarkan suasana hening. 

"Begitulah menurut dugaanku, Dewa Arak. Ja- 
galpati ingin bersembunyi. Dan tidak ada tempat yang 
lebih baik, selain Istana Iblis. Bisa kurasakan, kalau 
saat ini dia tengah dilanda ketakutan hebat Dia ber- 
lomba dengan waktu, untuk mencari keselamatan. Aku 
tidak tahu, mengapa dia sampai demikian takut," jelas 
si nenek, mendesah. 

"Jagalpati tengah ketakutan, Nek?!" ulang Arya 
ingin jawaban yang lebih jelas. "Mungkinkah hal yang 
ditakutinya ketika hampir berhasil membunuhku?!" 

Si nenek bagaikan disengat kalajengking hingga 
terjingkat. Suaranya penuh tekanan, ketika berkata 
pada Arya. Sehingga, tidak hanya Arya saja yang kaget 
Sumarni pun demikian. Gadis ini sampai mengangkat 
wajahnya yang sejak tadi ditundukkan. Dia merasa he- 
ran. Biasanya gurunya bersikap tenang, bahkan terke- 
san dingin. Tapi mengapa sekarang demikian kalap?! 

"Coba kau bayangkan wajah Jagalpati ketika 
ketakutan di saat hendak membunuhmu, Dewa Arak!" 
perintah si nenek, setelah lebih dulu menyuruh Arya 
menceritakan pertemuannya dengan Jagalpati. 

Otak Arya yang cerdas dapat menangkap mak- 
sud perintah itu. Keturunan terakhir pemilik Istana Ib- 
lis ini, ingin membaca pikiran Jagalpati saat tengah ke- 
takutan! 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dewa Arak 
memusatkan pikiran untuk membayangkannya. Tidak 
terlalu sukar, karena sikap Jagalpati amat menarik 
perhatiannya sehingga terekam erat di otaknya. 

Si nenek menatap Arya tajam-tajam beberapa 
saat sambil mengernyitkan kening. Membaca pikiran 
orang yang berupa gambaran pikiran seseorang, ter- 
nyata menguras kemampuannya. Jauh lebih sukar da- 
ripada membaca pikiran orang yang ada di hadapan- 
nya. 

"Aneh...," gumam si nenek sambil menghapus 
keringat yang membasahi kening, karena cukup ba- 
nyak mengerahkan kemampuan. 

Saat itu, sebuah pertanyaan sudah berada di 
ujung lidah Dewa Arak dan Sumarni. Namun karena 
perasaan tidak enak, membuat keduanya menekan pe- 
rasaan. Dan pertanyaan itu tidak terlontar keluar. 

Nenek penghuni Istana Iblis itu sendiri seperti 
tidak tahu perasaan yang bergolak di hati Arya dan 
Sumarni. Dia malah mengelus-elus dagu sambil meng- 
geleng-gelengkan kepala. Seakan-akan, jawaban yang 
didapat mengherankan hatinya. 

"Rasanya tidak masuk akal, Dewa Arak...." 

"Mengapa, Nek?" tanya Arya ketika memperoleh 
kesempatan dan keberanian. 

"Hasil yang kudapat dari hasil pemusatan per- 
hatianmu terhadap wajah Jagalpati, menunjukkan ka- 
lau dia takut pada halilintar!" 

Sumarni melongo. Heran. Sedangkan Arya me- 
longo sebentar, tapi tidak heran. 

"Kurasa itu tidak mungkin, Nek?!" bantah Arya, 
yakin. "Kalau petir yang ditakutinya, mengapa tidak 
sejak sebelumnya! Perlu kau ketahui, Nek. Di saat dia 
hendak menjatuhkan pukulan menentukan padaku, 
petir telah beberapa kali meledak. Sebelum aku diro- 
bohkannya, beberapa kali petir telah menyambar bu- 
mi! Kalau dia memang takut pada petir, kenapa tidak 
sejak pertama kali petir menyalak. Maaf, Nek. Bukan- 
nya tidak percaya. Aku pun semula menduga sama 
denganmu. Tapi sangkalan yang kudapat kemudian 
amat kuat. Bukan petir yang menyebabkannya takut, 
Nek." 

"Tidak kusalahkan kalau kau berpendapat de- 
mikian, Dewa Arak. Tapi, ketahuilah. Jawaban itu sa- 
tu-satunya yang kudapatkan dari bayangan khayal Ja- 
galpati melalui alam pikiranmu! Terlihat jelas! Bahkan 
ketika kuulang untuk lebih meyakinkan, jawaban sa- 
ma yang kuperoleh!" 

Dewa Arak diam. Benaknya diputar keras un- 
tuk mencoba memecahkan masalah yang aneh ini. Se- 
benarnya dia tidak merasa aneh mendengar jawaban 
yang diberikan si nenek. Hanya yang menjadi pikiran- 
nya, hanya sangkalan yang diberikannya! Benarkah 
petir yang ditakuti Jagalpati?! Tapi, mengapa bukan 
petir pertama yang ditakutinya? Ataukah petir yang 
meledak di saat serangan menentukan terhadap Dewa 
Arak dilancarkan, berbeda dengan petir-petir sebelum- 
nya? 

Arya yang hendak membuka mulut untuk men- 
geluarkan buah pikirannya, segera menahan ucapan- 
nya ketika melihat penghuni Istana Iblis itu memper- 
hatikan lereng gunung dengan sikap amat tertarik. 
Pandangannya pun dialihkan. 

Tampak di kejauhan, sesosok tubuh meluncur 
dengan kecepatan menakjubkan ke arah mereka. Na- 
mun, Arya hanya memperhatikannya sebentar. 

. "Aku yakin, dia bukan Jagalpati, Nek!" ujar 
Arya setengah memberitahukan. 

"Hmmm...!" 

Si nenek mengeluarkan gumaman sebagai 
tanggapan. Tapi pandangannya tetap tidak dialihkan 
sama sekali. Hatinya masih belum yakin kalau belum 
membuktikannya sendiri. Sayang, jarak masih terlalu 
jauh untuk bisa melihat sosok itu secara jelas 

"Jagalpati tidak mengenakan pakaian putih, 
Nek. Dia berpakaian serba hitam," tambah Aiya untuk 
menguatkan keterangannya. 

Seperti juga si nenek, Dewa Arak pun belum 
melihat jelas wajah sosok yang bergerak cepat menuju 
tempat mereka. Tapi, dari warna pakaiannya, Arya bisa 
menduga. 

"Kau kenal siapa dia, Dewa Arak?!" 

Arya memperhatikan sosok yang tengah mele- 
sat dengan kecepatan tinggi beberapa saat sampai wa- 
jahnya terlihat cukup jelas. Pelan dan mantap kepa- 
lanya digelengkan. 

"Aku belum pernah melihatnya, Nek" 

Jawaban itu meski agak berputar, tapi telah 
memberi petunjuk pada penghuni Istana Iblis. 

"Mau apa dia kemari?! Apakah ingin menyatro- 
ni Istana Iblis?! Rasanya, tidak mungkin! Sudah bela- 
san tahun Istana Iblis tidak didatangi orang," gumam 
si nenek seperti bicara pada dirinya sendiri. 

"Kau pernah melihatnya, Sumarni?!" 
Sumarni menggeleng. 
"Tidak, Guru." 

kkk 


Sosok yang menarik perhatian penghuni Istana 
Iblis, Dewa Arak, dan Sumarni menghentikan larinya 
berjarak lima tombak. Sosok itu ternyata seorang lelaki 
berusia setengah abad lebih. Kumisnya tipis, dengan 
wajah masih kelihatan tampan. Dia balas memperhati- 
kan sosok-sosok di depannya, karena tahu kalau ke- 
hadirannya sejak tadi telah menarik perhatian mereka. 

Sesaat dua belah pihak saling memperhatikan 
satu sama lain. Tapi, lelaki berpakaian putih yang tak 
lain Kebo Gandrung tersenyum dan menganggukkan 
kepala. Rasa hormat dan sopannya hanya ditujukan 
pada nenek berjubah putih. 

"Namaku Kebo Gandrung. Kalau aku tidak sa- 
lah mengenali orang, Nenek pasti yang dulu disebut- 
sebut sebagai penghuni Istana Iblis itu, kan?!" kata 
Kebo Gandrung membuka percakapan. 

"Untuk apa kau datang kemari, Kebo Gan- 
drung?!" tanya si nenek dingin, tanpa menjawab perta- 
nyaan lelaki yang baru saja ditinggal mati istrinya. 

Kebo Gandrung tidak menjadi tersinggung atau 
kecil hati mendapat tanggapan seperti itu. Senyum 
terkembang masih menghjas bibirnya. 

"Mungkin kedatanganku ini tidak menyenang- 
kan hatimu, Nek. Kedatanganku karena ingin memin- 
tamu untuk mengangkatku sebagai murid. Aku berse- 
dia menjadi budakmu, Nek. Asalkan, kau mau meme- 
nuhi permintaanku ini." 

"Orang setua kau untuk apa belajar kepan- 
daian lagi, Kebo Gandrung?!" tukas penghuni Istana 
Iblis, mulai ramah melihat sikap Kebo Gandrung yang 
merendahkan diri itu. "Kulihat kau telah memiliki ke- 
pandaian cukup! Tak sembarang orang yang mampu 
memiliki tingkat kepandaian sepertimu!" 

"Tapi kepandaian yang kumiliki sekarang tidak 
ada artinya, jika dipergunakan untuk menghadapi mu- 
suh besarku, Nek. Dia memiliki kepandaian tinggi. Dan 
dengan kepandaiannya, dia telah membunuh istriku 
secara kejam!" jelas Kebo Gandrung. 

Si nenek terdiam sebentar, seperti berpikir. Se- 
pasang matanya menatap lekat-lekat wajah Kebo Gan- 
drung. Sesaat kemudian, dia melepaskan napas berat. 

"Aku tidak yakin akan bisa memenuhi permin- 
taanmu, Kebo Gandrung. Musuh yang kau maksud 
memiliki kepandaian teramat tinggi. Jangankan hanya 
kau mempelajari ilmu dariku. Aku sendiri belum tentu 
mampu mengalahkan musuhmu itu!" 

"Kau tahu siapa musuh besarku itu, Nek?!" 
tanya Kebo Gandrung kaget setengah tidak percaya. 

Sementara Arya dan Sumarni segera tahu kalau 
si nenek telah menggunakan ilmunya yang khas. 
Membaca pikiran orang lain! Dan dengan ilmu itu, mu- 
suh besar Kebo Gandrung diketahui. 

Sebuah dugaan muncul di benak Arya dan Su- 
marni begitu mendengar ucapan penghuni Istana Iblis. 
Mungkinkah musuh besar Kebo Gandrung adalah Ja- 
galpati pula?! Rasanya memang tidak salah lagi! 

Si nenek mengangguk, membenarkan perta- 
nyaan Kebo Gandrung. "Musuh besarmu Jagalpati bu- 
kan?!" tebak si nenek, penuh keyakinan. 

Kebo Gandrung melongo mendengar jawaban 
penghuni Istana Iblis yang demikian tepat. Si nenek 
sendiri bersikap tidak peduli. 

"Lebih baik kau tunggu di sini. Aku yakin, mu- 
suh besarmu itu akan tiba di sini tak lama lagi. Pera- 
saanku mengatakan demikian. Dan biasanya, pera- 
saanku tidak salah. Mudah-mudahan saja, ditempat 
ini Jagalpati harus terkubur!" lanjut si nenek penghuni 
Istana Iblis. 

Kebo Gandrung semakin bingung. Ditatapnya 
Arya dan Sumarni. Orang yang ditatap tersenyum. 
Meski masih bingung, lelaki setengah baya yang masih 
ganteng ini ikut tersenyum pula. Senyum yang terhias 
kesan bingungan. 

kkk 


"Aku yakin Jagalpati yang tengah menuju ke- 
mari...," desah si nenek dengan pandangan mata tidak 
berkedip ke depan. 

Arya, Sumarni, dan juga Kebo Gandrung mela 
yangkan tatapan ke bawah lereng. Mereka melihat se- 
sosok hitam tengah melesat cepat. Arah yang dituju 
adalah tempat mereka semua berada. 

"Benar! Dia Jagalpati...." 

Jawaban itu keluar secara bersamaan dari mu- 
lut Arya dan Sumarni. Kebo Gandrung masih memper- 
hatikan penuh perhatian. Sudah cukup lama pemuda 
cabul itu tidak dijumpai. Maka dia cukup menemui ke- 
sulitan untuk segera mengenalnya. 

"Ha ha ha...!" 

Jaraknya masih belasan tombak. Tapi sosok hi- 
tam yang memang Jagalpati itu telah tertawa bergelak. 
Seperti juga keempat orang itu, Jagalpati telah melihat 
keberadaan orang-orang yang memperhatikannya pe- 
nuh minat! 

"Mimpi apa aku semalaman, sehingga orang- 
orang yang kucari semuanya berkumpul di sini! Apa- 
kah kalian semua memang telah bersepakat untuk ma- 
ti bersama-sama di tempat ini?! Ha ha ha...!" 

"Jagalpati...! Manusia berhati binatang...! Syu- 
kur kau datang kemari! Kau harus menebus kematian 
Cempaka, istriku!" dengus Kebo Gandrung, langsung 
melompat menerjang dengan satu tendangan terbang 
ke arah dada. 

Jagalpati yang telah menghentikan larinya ter- 
tawa ganda. Padahal saat itu serangan Kebo Gandrung 
tengah meluncur ke arahnya. 

Begitu serangan Kebo Gandrung tiba, Jagalpati 
mengulurkan tangan. Kelihatan tak bertenaga dan 
sembarangan. Dan.... 

Tap! 

Tapi pergelangan kaki Kebo Gandrung telah 
berhasil dicekal Jagalpati. 

Kebo Gandrung kaget, tapi tidak mempunyai 
banyak waktu lagi. Jagalpati yang berhati keji lang- 
sung melancarkan gerakan lanjutan. Tangannya berge- 
rak menekuk, sehingga... 

Krak! 

"Aaakh...!" 

Seketika tulang kaki Kebo Gandrung pun pa- 
tah! Laki-laki ini meringis kesakitan! 

Sementara Jagalpati tidak peduli. Dengan se- 
nyum kejinya, dibantingnya tubuh Kebo Gandrung ke 
tanah dengan keras. 

Bruk! 

Tubuh Kebo Gandrung kontan menghantam 
tanah. Laki-laki ini menyeringai. Tapi, tidak terdengar 
keluhan sedikit pun dari mulutnya. Tanah yang ter- 
hantam tubuhnya sampai amblas beberapa jari. 

"Orang sepertimu harus mati secara mengeri- 
kan, Kebo!" desis Jagalpati penuh kemarahan sambil 
melayangkan kaki untuk menjejak bahu! 

Kebo Gandrung ingin mengelak, tapi rasa sakit 
dan nyeri yang melanda membuatnya sulit untuk ber- 
gerak. 

Melihat ancaman bahaya terhadap Kebo Gan- 
drung, Dewa Arak tidak bisa berdiam diri lagi. Tubuh- 
nya cepat melompat sambil mengayunkan guci ke arah 
Jagalpati! 

"Huh!" 

Jagalpati mendengus. Serangan Dewa Arak 
membuatnya membatalkan serangan terhadap Kebo 
Gandrung. Secepat kilat tangannya disampokkan un- 
tuk memapak serangan yang mengancam kepala. 

Prang! 

Benturan keras terdengar ketika guci pusaka 
dan tangan berbenturan. Namun tubuh Jagalpati tidak 
bergeming. Sebaliknya, Dewa Arak terlempar dan ter- 
putar. Percikan-percikan arak bertumpahan dari da- 
lam guci. 

Jagalpati tidak mempedulikan Dewa Arak lagi. 
Rupanya, dia amat dendam terhadap Kebo Gandrung. 
Begitu berhasil menyingkirkan Dewa Arak, serangan- 
nya terhadap Kebo Gandrung kembali dilanjutkan! 

"Chiaaat... Heh?" 

Tapi lagi-lagi Jagalpati harus bisa menahan di- 
ri, karena maksudnya tak terlaksana. Tanpa diduga, 
nenek penguni Istana Iblis telah membuat serangan- 
nya gagal. 

Nenek itu menyerang dengan sodokan tongkat 
ke arah ulu hati. Serangannya jauh lebih dahsyat dari- 
pada serangan Dewa Arak. 

Kendati demikian, Jagalpati tidak menjadi gen- 
tar. Segera disambutnya serangan itu dengan cara sa- 
ma. 

Tap! 

Tongkat itu ditangkap Jagalpati. Tangan pemu- 
da ini sampai bergetar ketika maksudnya kesampaian! 

Jagalpati benar-benar yakin akan kemampuan 
diri sendiri. Meski tahu kalau penghuni Istana Iblis 
memiliki tenaga dalam tidak lumrah manusia, tongkat 
yang ditangkap pun ditariknya. 

Sementara nenek berjubah putih tentu saja ti- 
dak menginginkan hal itu terjadi. Dia pun balas mena- 
rik. Sehingga tarik-tarikan tongkat pun tidak bisa di- 
hindari lagi. 

Dewa Arak, Kebo Gandrung, dan Sumarni, 
memperhatikan dengan perasaan tegang. Mereka se- 
mua tahu, pertarungan seperti ini amat berbahaya. Bi- 
la salah satu pihak ada yang kalah, lawan akan mudah 
membunuhnya dengan perantaraan tongkat. 

Tenaga dalam dua tokoh luar biasa sakti yang 
berbeda jauh dalam usia itu ternyata berimbang. Ka- 
rena sampai sekian jauh, adu tarik-tarikan itu masih 
berlangsung sengit. 

Yang kalah kuat adalah tongkat yang tengah 
diperebutkan! Karena.... 

Krakkk! 

Senjata itu patah dua tepat di tengah-tengah. 
Hal ini membuat kedua tokoh yang sama-sama tengah 
mengerahkan seluruh kekuatan menarik, kontan ter- 
jengkang ke belakang terbawa tenaga tarikan sendiri. 

Jagalpati memang pemuda culas yang memiliki 
watak licik. Dalam keadaan terjengkang, dia masih 
sempat melancarkan serangan. Seketika kepalanya di- 
goyangkan. Rambutnya yang panjang sampai ke ping- 
gang putus di tengah-tengah. 

Wess...! Wess...! 

Rambut yang jumlahnya tak terhitung itu me- 
luncur ke arah si nenek. Semula berkelompok, tapi 
kemudian di tengah jalan memecah menjadi beberapa 
bagian. Dan rambut-rambut itu menegang kaku laksa- 
na jarum. 

"Hiaaa...!" 

Penghuni Istana Iblis membentak keras. Aki- 
batnya, rambut-rambut yang menegang kaku itu kem- 
bali melemas seperti semula dan berjatuhan ke tanah, 
seperti membentur dinding tidak tampak. 

Dewa Arak, Sumarni, dan Kebo Gandrung yang 
semula merasa khawatir, menjadi lega bercampur ka- 
gum. Tapi perasaan itu kembali pupus, ketika melihat 
Jagalpati menerkam laksana macan luka ke arah ne- 
nek berjubah putih ini. 

Si nenek yang baru saja memunahkan seran- 
gan rambut, tidak mempunyai kesempatan lagi untuk 
mengelak. Serangan susulan Jagalpati memang berse- 
lisih sebentar dengan serangan rambut, setelah pemu- 
da itu dapat mematahkan kekuatan yang membuat tu- 
buhnya terpental. 

Tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan 
diri, membuat penghuni Istana Iblis ini memutuskan 
untuk memapak serangan Jagalpati! 

Sementara Jagalpati memang luar biasa cerdik. 
Begitu serangan tangannya hampir mencapai sasaran, 
kaki kanannya pun ikut pula dilayangkan! 

Plak, plak, desss, desss! 

Hampir berbarengan dengan benturan dua pa- 
sang tangan, kaki kanan Jagalpati berhasil menghan- 
tam paha kanan si nenek. 

Sementara nenek berjubah putih yang menya- 
dari keadaannya kurang menguntungkan itu memang 
sengaja membiarkan serangan mendarat. Di saat yang 
bersamaan, kaki kirinya dilayangkan ke arah dada. 
Sudah terbayang di benaknya kalau dada Jagalpati 
akan hancur berantakan! 

Akibat masing-masing serangan, membuat tu- 
buh Jagalpati dan penghuni Istana Iblis melayang jauh 
ke belakang. Tapi kalau Jagalpati mampu menjejak ta- 
nah secara mantap, tubuh nenek itu justru terbanting 
keras di tanah dan langsung memuntahkan darah se- 
gar. Penghuni Istana Iblis ini terluka dalam yang amat 
parah! 

"Nenek...!" 

Sumarni langsung meluruk ke arah gurunya. 
Tanpa memikirkan keselamatannya kalau-kalau Ja- 
galpati menyerang lagi, dia duduk bersimpuh di dekat 
si nenek. 

Dewa Arak memperkirakan hal ini. Maka segera 
kakinya melangkah maju dan berdiri di antara Jagal- 
pati dan penghuni Istana Iblis. Sikapnya terlihat penuh 
kewaspadaan. 

Namun, Jagalpati tidak mempedulikannya. Pe- 
muda ini malah bertolak pinggang, seraya memperden- 
garkan tawanya yang sarat kesombongan. 

"Sebentar lagi, kalian semua akan kukirim ke 
neraka! Kau, Dewa Arak! Kalau masih ingin hidup, 
tinggalkan tempat ini! Kau tidak mempunyai urusan 
denganku! Aku tidak terlalu berselera membunuhmu! 
Pergilah cepat!" 

Ucapan Jagalpati memang tidak sepenuhnya 
bualan. Penghuni istana Iblis telah tidak mampu 
memberi perlawanan lagi. Nenek ini tergolek lemah. 
Tak berdaya. 

"Marni, muridku...," ucap nenek berjubah pu- 
tih, terputus-putus, 

"Segeralah pergi tinggalkan tempat ini. Tidak 
ada gunanya, melawan Jagalpati. Iblis itu tidak akan 
bisa dibuhuh, kecuali oleh orang yang ada pertalian 
batin dengannya. Tidak hanya saudara, istri, maupun 
kekasih. Tapi, orang yang telah dicabuli olehnya. Itu 
saja pun tidak cukup. Orang itu harus mempunyai se- 
suatu di dalamnya. Sesuatu dari alam yang akan men- 
jadi kekuatan besar di dalam dirinya. Sesuatu itulah 
yang akan dapat digunakan untuk membunuh Jagal- 
pati. Katakan, hal ini pada Dewa Arak!" 

"Akan kusampaikan, Nek," sahut Sumarni pa- 
tuh, terbata-bata. 

Sebenarnya, Sumarni tidak perlu menyampai- 
kan hal itu. Karena meski diucapkan secara terputus- 
putus dan lemah, telinga Arya masih mampu menang- 
kapnya. Meski saat itu, Dewa Arak sibuk memperhati- 
kan gerak-gerik Jagalpati. 

Karena memperhatikan gerak-gerik Jagalpati 
itu, Dewa Arak segera melihat keanehan sikapnya. Ja- 
galpati yang tadi bersikap pongah, mendadak gelisah. 
Perhatiannya tidak ditujukan lagi pada Arya. 
"Hihihik...!" 

Seperti menyambuti kegelisahan Jagalpati, 
mendadak terdengar tawa mengikik. Tinggi, melengk- 
ing, dan mengerikan. Dan sebelum gema tawa itu le- 
nyap, berkelebat sesosok tubuh ramping dan mendarat 
di situ. Kulit wajahnya yang pucat kelihatan mengeri- 
kan dengan sepasang matanya yang merah membara. 
Bulu-bulu di tubuhnya yang tidak tertutup pakaian 
tampak berdiri! 

Sosok ramping itu tak lain daripada Arimbi! Pu- 
tri Ular Angkasa, Ketua Perguruan Ular Sakti. 

Kehadiran Arimbi yang tertawa-tawa ini menge- 
jutkan semua orang. Hanya saja, ada dua orang yang 
memiliki keterkejutan bercampur perasaan lain. Orang 
pertama adalah Jagalpati! Keterkejutan yang diala- 
minya, bercampur ketakutan dan kegentaran hebat. 
Perasaan itu tampak jelas pada wajah dan sinar ma- 
tanya. 

Orang kedua adalah penghuni Istana Iblis. Ne- 
nek ini dengan kemampuannya membaca pikiran, se- 
gera mengetahui kalau Arimbi adalah orang yang dapat 
membinasakan Jagalpati. Hal inilah yang membuat 
wajahnya berseri-seri. 

Kebo Gandrung adalah orang terakhir. Keterke- 
jutan yang dialaminya bercampur ketegangan. Tegang, 
karena yakin sekali mengenal sosok ramping bermata 
merah darah itu. 

Tapi, Kebo Gandrung tidak yakin. Maka dengan 
jantung memukul keras, ditunggunya kejadian selan- 
jutnya. 

Di lain pihak, Jagalpati berusaha berbalik dan 
berlari. Tapi ketika Arimbi mengaum laksana harimau 
murka, kedua kaki pemuda ini menggigil. Rasanya, 
apabila Arimbi mengaum sekali lagi, Jagalpati akan ja- 
tuh! 

"Manusia berhati binatang!" desis Arimbi, pe- 
nuh kebencian. "Sudah saatnya kau harus menebus 
kekejianmu terhadap diriku! Kau akan menemui rohku 
di alam baka! Ayo, Jagalpati! Ini aku, Cempaka. Wanita 
yang kau gandrungi, peluk aku! Cium aku! Perlakukan 
aku semaumu!" 

"Tidaaak...!" teriak Jagalpati, keras. 

Teriakan itu rupanya membuat tenaganya tim- 
bul kembali. Jagalpati kemudian menghentakkan ke- 
dua tangannya, melakukan pukulan jarak jauh amat 
dahsyat. 

"Hi... hi... hi...!" 

Namun Arimbi tertawa mengikik. Dengan kedua 
tangan terbuka, disambutnya serangan itu. 

Pletak! Tar! 

"Aakh...!" 

"Aakh...!" 

Terdengar bunyi letupan yang aneh ketika dua 
pukulan jarak jauh itu bertemu di udara, disusul dua 
jeritan nyeri pun berkumandang. Jeritan susul- 
menyusul yang keluar dari mulut Jagalpati dan Arim- 
bi. Di saat lengkingan sekarat itu semakin meninggi.... 

Biar r! 

Blarrr! 

Terdengar bunyi ledakan, disusul tubuh Jagal- 
pati dan Arimbi yang langsung hancur. 

Dewa Arak yang berdiri paling dekat, melompat 
mundur agar tidak terkena percikan darah dan caca- 
han-cacahan daging. Pada saat yang hampir bersa- 
maan, Kebo Gandrung menjerit memilukan, langsung 
berhambur ke arah Arimbi yang mengaku bernama 
Cempaka. Keadaannya tidak memungkinkan, mem- 
buat lari lelaki ini terhuyung-huyung. 

"Cempaka...! Istriku...!" 

Kebo Gandrung bersimpuh di tempat Arimbi 
tadi berdiri. Dengan penuh penyesalan, dipukulnya ta- 
nah bertubi-tubi. Mulutnya mengemikkan perkataan 
maaf. 

"Apa yang terjadi, Nek?! Itukah gadis yang me- 
nurut pendapatmu mendapat kekuatan dari alam?!" 
tanya Arya, setengah menebak. 

Penghuni Istana iblis mengangguk. 

"Gadis itu, ternyata istri Kebo Gandrung. Seper- 
ti katanya, istrinya telah mati oleh Jagalpati. Mungkin 
telah dikuburkannya. Tapi entah dengan cara bagai- 
mana, mayat Cempaka yang kemungkinan besar telah 
dikubur Kebo Gandrung tersambar petir. Jelas itu ka- 
rena kuasa Allah. Kalau pada orang lain tidak terjadi 
apa pun, tidak demikian mayat Cempaka. Entah den- 
gan cara bagaimana, petir mampu membuat Cempaka 
hidup kembali. Mungkin karena pengaruh ilmu Jagal- 
pati," jelas si nenek panjang lebar. 

Dugaan si nenek memang benar. Tapi ada sua- 
tu rahasia yang belum diketahui mereka, kecuali Kebo 
Gandrung. Cempaka sebenarnya Arimbi yang terpukul 
akibat sikap ayahnya yang mengusirnya. 

Arya menghela napas berat melihat Kebo Gan- 
drung tetap meratap-ratap dalam dukanya. Tapi per- 
hatiannya terusik, karena merasa ada orang yang 
memperhatikannya. Pemuda ini menoleh. Tampak wa- 
jah manis milik Sumarni menyemburat. Aiya jadi bin- 
gung. Tapi, penghuni Istana Iblis malah terkikik. 

"Mungkin kalian harus diikat tali perkawinan 
agar tidak saling malu-malu lagi! Hi hi hik...!" 

Tawa si nenek mengendur dengan sendirinya. 
Tampak ada seraut wajah jelita di benak Dewa Arak. 
Berarti, pemuda ini telah mempunyai tambatan hati. 
Dan kelanjutannya, Sumarni pasti akan patah hati. 

Arya tersenyum penuh permohonan maaf pada 
penghuni Istana Iblis. Sengaja benaknya membayang- 
kan Melati agar si nenek tahu, kalau dia sudah punya 
kekasih. 

TAMAT
Ikuti episode selanjutnya
GOLOK KILAT