Dewa Arak 77 - Sengketa Guci Pusaka


Seorang kakek berpakaian longgar kuning 
membuka sepasang matanya yang semula terpe- 
jam. Kemudian, tubuhnya yang kecil kurus bang- 
kit berdiri dari sikapnya yang tadi bersemadi. Ka- 
kek yang wajahnya dipenuhi bulu-bulu kumis, 
jenggot, dan cambang putih lebat itu berusia tak 
kurang dari seratus tahun. Ketika berdiri tegak, 
tampak kalau tangan kirinya buntung. Sehingga 
lengan baju yang kosong tersampir lemas di sisi 
pinggang. 

"Aneh...!" gumam kakek berbaju kuning he- 
ran dengan berkerut. 

Sambil berjalan mondar-mandir di dalam 
sebuah ruangan gua tempatnya berlindung, dia 
menggumamkan kata-kata bernada heran. Ruan- 
gan yang tidak terlalu luas, membuat kakinya ti- 
dak sampai melangkah banyak ketika sampai di 
bagian sisi salah satu dinding gua. 

"Mengapa batin ku tak tenang?! Mengapa 
aku sulit memusatkan pikiran untuk bersemadi?! 
Ada firasat apa, ya?!" 

Dahi kakek berpakaian kuning ini berker- 
nyit Ditatapnya langit-langit ruangan beberapa 
saat. 

Perasaannya saat ini benar-benar gelisah. 
Karena tidak mampu mengusir rasa gelisah 
di hatinya, kakek itu pun mengayunkan kakinya 
ke mulut lorong yang hanya satu-satunya. Setelah 
melalui lorong yang berliku-liku dia tiba di luar 
gua. 

Setelah matanya beredar ke sekeliling, ka- 
kek kecil kurus ini menghembuskan napas pan- 
jang-panjang. Seakan-akan dia hendak membuang 
kegelisahan yang menjumpai di dalam dada. Angin 
sejuk silir-silir membuat dahinya nyaman. Tapi 
kegalauan hatinya tak juga lenyap. 

Disertai tanda tanya dalam hati kakek itu 
mengarahkan pandangan ke depan. Yang terlihat 
hanya pepohonan dan sedikit tanah yang ditum- 
buhi rumput hijau menghampar di kejauhan. Tapi 
tak lama dia menikmati pemandangan itu di ke- 
jauhan mulai tampak satu sosok berlari secepat 
kilat ke arahnya. 

Kakek berpakaian kuning menyipitkan ma- 
tanya untuk lebih memperjelas pandangan. Sepa- 
sang matanya tampak mencorong laksana mata 
kucing di kegelapan. Ketika jarak sosok itu tinggal 
belasan tombak, dia tersenyum lebar. Memang, dia 
kenal dengan sosok yang tak lain wanita muda 
berpakaian merah yang tengah menuju ke arah- 
nya. 

Tapi ketika wanita muda berusia lebih dari 
dua puluh tahun itu tiba, senyum kakek kecil ku- 
rus itu lenyap. 

"Aku datang untuk pamit padamu, Eyang 
Sangga Langit," ujar gadis berpakaian merah den- 
gan suara manja. Kepalanya menunduk menunggu 
jawaban. Padahal laki-laki tua yang dipanggil 
Eyang Sangga Langit sebenarnya hendak menga- 
jukan pertanyaan lebih dulu. 

"Kau..., ingin pergi sekarang, Witari?!" tanya 
kakek berpakaian kuning. Seketika, entah bagai- 
mana perasaannya jadi berguncang. Sebuah pera- 
saan aneh yang membuat suaranya seperti terce- 
kat di tenggorokan. Buru-buru dia menekan pera- 
saannya. 

Witari agaknya tidak tahu kegalauan hati 
gurunya. Gadis ini lebih banyak menundukkan 
kepala, sehingga tak tahu kalau mata kakek di ha- 
dapannya mulai berubah. Bahkan kini merayapi 
sekujur tubuh Witari yang montok penuh minat. 

Eyang Sangga Langit sebenarnya tahu ten- 
tang ketidakberesan sikapnya. Bahkan samar- 
samar tahu kalau ada sebuah keanehan yang me- 
lingkupi. Dia telah sering melihat muridnya itu 
yang bukan saja bertubuh montok menggiurkan, 
tapi juga berwajah cantik. Dan selama ini sedikit 
pun tidak pernah timbul perasaan aneh di hatinya. 

Sekarang, begitu melihat Witari, kenapa pe- 
rasaan aneh yang menjerat kelaki-lakiannya tim- 
bul? Witari saat ini terlihat demikian menarik. 
Bentuk tubuh, wajah, rambut, pakaian, bahkan 
suaranya membuat hasrat kejantanan Eyang 
Sangga Langit tergoda. Bahkan sampai-sampai 
melenyapkan akal sehatnya. Yang dipikirkan 
hanya satu, bagaimana caranya agar dapat me- 
lampiaskan hasrat yang mendadak berkobar-kobar 
pada Witari. 

"Benar, Eyang," jawab Witari sambil men- 
gangkat kepala. Dan, segera kepalanya ditunduk- 
kan kembali ketika beradu pandang dengan mata 
gurunya yang juga tengah menatap dengan sinar 
mata mengundang. Seakan-akan Witari hendak di- 
telanjangi bulat-bulat 

Witari sendiri adalah gadis hijau. Tapi, na- 
lurinya membisikkan adanya keganjilan dalam si- 
kap Eyang Sangga Langit. 

Perasaan aneh ini membuat Witari kelim- 
pungan sendiri. Gadis ini hendak meninggalkan 
tempat ini secepatnya. Namun sebelum niatnya 
terlaksana, tiba-tiba jantungnya berdetak jauh le- 
bih kencang. Malah tanpa sadar, matanya balas 
menatap Eyang Sangga Langit dengan sorot me- 
nantang! "Kurasa...!" 

Suara Eyang Sangga Langit bergetar hebat 
karena cekaman perasaan aneh yang semakin 
menguat. Napasnya memburu hebat seperti habis 
berlari jauh. 

"Tundalah dulu kepergianmu, Witari. Ada 
sesuatu yang ingin kuwariskan padamu. Aku ya- 
kin kau..., pantas memiliki ilmu 'Urai Raga' milik- 
ku.... 

Maka lebih baik masuklah dulu ke dalam 
gua. Aku ingin mewariskannya padamu.... Bagai- 
mana?!" lanjut Eyang Sangga Langit. 

Witari semakin dirasuki perasaan aneh da- 
lam dirinya. Bahkan tiba-tiba di hatinya timbul ge- 
jolak ingin bercinta. Begitu kuat perasaan itu men- 
jeratnya, sehingga akal sehatnya pun sirna. Dia 
berusaha menepis, tapi tak kuasa. Dalam benak- 
nya hanya ada satu pikiran bagaimana menyalur- 
kan hasrat aneh yang melonjak-lonjak tanpa ken- 
dali. 

Itulah sebabnya, tanpa ragu-ragu lagi Witari 
mengangguk. 

"Ah...!" 

Terdengar seruan kaget hampir berbareng 
dari mulut Witari dan Eyang Sangga Langit. Masih 
dengan raut wajah kaget dan tidak percaya, mere- 
ka bagai saling berlomba menyambar pakaian 
masing-masing dan beringsut ke sisi dinding yang 
berlainan. 

"Oh.... A... apa yang telah terjadi pada- 
ku...?!" rintih Witari. 

Gadis itu mendekap mulutnya sendiri sam- 
bil memandang Eyang Sangga Langit, kemudian 
beralih ke tubuhnya sendiri. Seperti hampir tak 
percaya, dia mendapati dirinya dalam keadaan ti- 
dak tertutup sehelai benang pun bersama gurunya 
yang seharusnya sangat pantas bila menjadi kakek 
buyutnya. Tersirat nada kengerian dan kehancu- 
ran hati dalam gadis itu. Apalagi ketika melihat 
cairan merah di tempat tubuhnya tadi tergolek. 
Witari tahu, apa artinya ini. Darah keperawanan! 

Pikiran Witari mulai jernih. Samar-samar 
baru disadari, kalau dirinya telah melakukan per- 
buatan terkutuk tanpa disadarinya. Saat itu juga, 
hancur luluhlah hatinya. Tanpa dapat dicegah lagi, 
air matanya bergulir deras di pipinya. Tubuhnya 
sampai terguncang-guncang karena isak tangis. 
Kesedihan yang mendalam membuat Witari tidak 
ingat lagi untuk berpakaian. 

Sementara itu, Eyang Sangga Langit hanya 
terpaku memandangi Witari. Dia juga seperti tak 
percaya dengan apa yang telah diperbuatnya. Sete- 
lah gejolak perasaan aneh itu terlampiaskan, akal 
sehatnya baru timbul secara penuh! Bahwa dia se- 
sungguhnya telah melakukan perbuatan hina ber- 
sama muridnya. Dan yang merayapi pikiran dan 
hatinya kini hanyalah penyesalan seumur hidup! 

"Witari...! Mengapa kita sampai berbuat se- 
perti ini?! Ah...! Betapa terkutuknya aku!" sesal 
Eyang Sangga Langit, memaki-maki dirinya sendi- 
ri. Nada suaranya sarat penyesalan yang meng- 
gumpal. 

Kata-kata kakek itu membuat tangis Witari 
berhenti. Sepasang matanya memancarkan keben- 
cian, ketika menatap wajah gurunya. "Manusia 
terkutuk! Sampai hati kau nodai muridmu sendiri! 
Aku yakin kau menggunakan ilmu siluman untuk 
memperdaya diriku, tubuhku dapat kau nikmati! 
Manusia biadab! Terkutuk! Jahanam!" maki Wita- 
ri. Suaranya serak karena isak tangis. 

Entah mendapat keberanian dari mana, ga- 
dis itu menatap penuh kebencian pada Eyang 
Sangga Langit Lalu dia segera mengenakan pa- 
kaian. 

"Aku tidak akan melupakan peristiwa ini!" 
ancam Witari. 

Tanpa memberi kesempatan pada Eyang 
Sangga Langit untuk menjelaskan, gadis itu mele- 
sat cepat keluar gua. 

"Witari...! Tunggu...!" seru Eyang Sangga 
Langit, berusaha mencegah. 

Tetapi Witari tidak mempedulikan seruan 
gurunya lagi. Bahkan larinya dipercepat. 

Kakek kurus bertangan buntung ini sama 
sekali tidak berusaha mengejar. Meskipun dengan 
kepandaian amat mudah menyusul Witari, namun 
apa gunanya? Toh, gadis itu tengah terguncang 
batinnya. Dia tidak akan bisa dibujuk. Mungkin 
dengan membiarkannya dulu, gadis itu punya ke- 
sempatan untuk berpikir dan mengerti kalau per- 
buatan terkutuk tadi terjadi tanpa disadari. 

Eyang Sangga Langit menghela napas berat. 

Batinnya terpukul atas kejadian yang di- 
alami tadi. Wajahnya terlihat layu tidak berseri! 
Hanya sepasang matanya yang mencorong tajam, 
menerawang ke dinding gua. 

Peristiwa tadi memang membuat hati Eyang 
Sangga Langit terguncang. Dan ini juga membuat 
nya termenung. Ketermenungan lelaki tua bertan- 
gan buntung itu baru lenyap ketika terdengar 
bunyi langkah kaki dari mulut lorong ruangan. Dia 
berharap, sosok yang datang itu Witari. Siapa tahu 
gadis itu mengerti, apa yang sebenarnya terjadi. 

"Eyang...," panggil orang yang baru datang. 

Harapan Eyang Sangga Langit terkabul. Di 
mulut lorong ruangan berdiri tubuh ramping ber- 
pakaian merah, berwajah cantik manis. Hanya sa- 
ja wajahnya muram. Sedangkan sepasang ma- 
tanya sembab karena tangis. 

"Witari...," sambut Eyang Sangga Langit, se- 
rak penuh rasa iba dan ham mengingat nasib yang 
menimpa gadis muridnya. 

Witari menghambur. Langsung dia berlutut 
di bawah kaki kakek berpakaian kuning itu. Tan- 
gisnya kontan bagai bendungan jebol. 

Sementara itu, Eyang Sangga Langit segera 
mengulurkan tangan, membelai rambut Witari pe- 
nuh rasa haru dan sayang. 

Tangis Witari semakin menjadi-jadi. Tubuh- 
nya yang berlutut tampak terguncang-guncang ke- 
ras. 

"Semua ini salahku, Witari! Aku pasrah dan 
rela atas keputusanmu. Aku maklum bila kau 
membenci ku. Bahkan bila kau ingin membunuh- 
ku pun, aku siap," tandas Eyang Sangga Langit 
bergetar. 

"Tidak, Eyang. Semua ini bukan salahmu. 
Aku yakin ada pihak ketiga yang sengaja menda- 
langi terjadinya peristiwa ini. Dan kita tidak tahu, 
dengan cara apa dia melakukannya. Hhh...! Aku 
akan cari orang itu, Eyang. Aku ingin membalas 
tindakannya, sehingga membuat kita terperosok ke 
dalam jurang kehinaan. Sekarang juga, aku ingin 
mohon diri, Eyang," ujar Witari terbata-bata. 

Eyang Sangga Langit tersenyum, walau se- 
perti dipaksakan. Hatinya memang lega melihat 
Witari menyadari kekeliruannya. Tapi perasaan 
sedih dan terguncang akibat perbuatan itu, mem- 
buat senyumnya tampak yang keluar dari hati lu- 
ka. 

"Syukurlah kalau kau menyadarinya, Wita- 
ri. Kalau saja tubuhku tidak sereot ini, aku pun 
akan ikut mencari pelakunya. Sayang, tubuh renta 
ini tidak bisa lagi diajak bepergian jauh," keluh 
Eyang Sangga Langit. 

"Eyang tidak perlu turun tangan! Cukup 
aku sendiri yang akan mencari penjahat keji itu 
dan akan menghukumnya!" tandas Witari. 

"Itu bagus!" puji Eyang Sangga Langit. "Kau 
berhak dan wajib untuk melakukannya!" 

"Tapi, Eyang...," tukas Witari ragu-ragu. 
"Aku merasa kepandaian yang kumiliki masih ren- 
dah. Tenaga dalamku juga tak begitu kuat Aku ya- 
kin, akan dapat mengalahkan penjahat cabul itu 
bila berhasil kutemukan! Dan dia tentu memiliki 
kemampuan tinggi, karena telah berhasil memper- 
daya kita!" 

"Kau terlalu merendahkan kepandaian yang 
telah kau miliki, Witari," tegur Eyang Sangga Lan- 
git. "Jangan dikira kepandaianmu rendah. Perlu 
diketahui, kau adalah murid terpandai di antara 
murid-muridku pendahulu. Kaulah satu-satunya 
yang mewarisi sebagian besar ilmuku. Karena, aku 
tidak ingin malu terhadap ayahmu yang telah me- 
nitipkan mu untuk ku didik. Bukannya sombong, 
hanya bisa dihitung dengan jari tokoh persilatan 
yang mampu bertahan lima puluh jurus bila berta- 
rung denganku! Oleh karena itu, kepandaian yang 
kau miliki tak akan kalah dengan pendekar mana 
pun, Witari! Namun, biarlah. Agar kau lebih per- 
caya diri, ilmu 'Urai Raga' ku yang semula tak 
akan kuturunkan pada orang lain, akan kuberikan 
padamu. Bahkan aku berkenan untuk menambah 
tenaga dalammu! Sekarang duduklah bersila di 
hadapanku pada jarak tiga tombak!" 

Witari cepat melaksanakan perintah gu- 
runya. 

"Ingat, Witari. Apa pun yang kau rasakan, 
jangan melakukan tindakan apa pun! Mengerti?!" 

Witari mengangguk. 

Eyang Sangga Langit duduk bersila. Sepa- 
sang matanya dipejamkan. Jari-jari tangannya 
yang terbuka lurus, dirangkapkan di depan dada. 
Sesaat kemudian sekujur tubuhnya menggigil se- 
perti terkena demam tinggi. Dan perlahan-lahan, 
sinar kebiruan melingkupi tubuhnya. 

Getaran di tubuh Eyang Sangga Langit se- 
makin menghebat membuat tubuhnya terlonjak- 
lonjak ke atas seperti hendak melayang ke udara. 
Kemudian dengan gerak menghentak, kedua ja- 
rinya yang masih dirangkapkan ditusukkan ke de- 
pan. 

Saat itu juga, selarik sinar kebiruan melun- 
cur ke arah tubuh Witari. Ketika mengenai tubuh- 
nya, gadis itu merasakan bagian pusarnya bergo- 
lak. Terasa ada sesuatu yang berputar keras di 
bawah pusarnya! Sehingga membuat tubuh Witari 
terguncang-guncang. 

Di lain pihak, Eyang Sangga Langit dengan 
gerakan cepat menarik kembali kedua tangannya 
ke depan dada. Berbareng dengan itu, kakek ini 
segera meniup! 

Untuk kedua kalinya Witari terperanjat Se- 
mua bulu tubuhnya mendadak meremang, ketika 
gurunya meniupkan angin dari mulutnya. Aneh- 
nya, guncangan pada tubuhnya segera terhenti. 
Namun, putaran keras di bawah pusarnya tetap 
berlanjut. 

"Sekarang kau telah memiliki ilmu 'Urai Ra- 
ga', Witari. Dengan demikian aku tidak memiliki 
ilmu itu lagi, setelah kuberikan padamu. Sebenar- 
nya, ilmu itu harus kau dapatkan sendiri melalui 
perjuangan panjang. Bertahun-tahun, bahkan 
mungkin belasan tahun! Itu pun belum tentu ber- 
hasil! Namun karena kau membutuhkannya seca- 
ra mendesak, tak ada jalan lain kecuali memberi- 
kan ilmu itu dengan jalan singkat. Dan untuk 
memilikinya lagi, aku harus belajar dari awal," je- 
las Eyang Sangga Langit sambil mengusap peluh 
yang membasahi dahinya dengan punggung tan- 
gan. 

Witari tidak menanggapi. Dia masih takjub 
merasakan pergolakan aneh di bawah pusar ba- 
gian dalam. 

"Sekarang, aku akan mengoperkan tenaga 
dalam yang kumiliki agar tenaga dalammu ber- 
tambah tinggi!" 

Tanpa banyak cakap, Witari mendekati gu- 
runya, duduk bersila membelakangi. 

"Buka semua jalan darahmu. Jangan men- 
gadakan perlawanan," tambah kakek kecil kurus 
itu, sebelum menempelkan kedua telapak tangan- 
nya pada punggung Witari. 

Mula-mula, Witari merasakan hawa hangat 
mengalir dari kedua telapak tangan gurunya. Te- 
tapi semakin lama, semakin panas. Sehingga, 
membuat keringat sebesar butir-butir jagung 
menghias wajah dan sekujur tubuhnya. 

Setelah cukup lama, akhirnya Eyang Sang- 
ga Langit melepaskan tangannya dari punggung 
Witari. Dan, dia langsung duduk bersemadi untuk 
memulihkan tenaganya yang terkuras. Namun, ba- 
ru beberapa kali Eyang Sangga Langit memulihkan 
pernapasannya, mendadak terdengar gelak tawa 
yang keras di dekatnya. Tawa gembira bernada pe- 
nuh kepuasan. 

Seketika, Eyang Sangga Langit membuka 
matanya. Wajahnya langsung pias ketika melihat 
sosok di depannya. Kini, Witari telah berdiri berka- 
cak pinggang sambil tertawa! Sikapnya sungguh 
mengejutkan! Dan lebih terkejut lagi ketika men- 
dengar jenis suara itu. Karena suara itu bukan da- 
ri mulut wanita. Tapi dari seorang lelaki! 

"Siapa kau...?! Jangan katakan kalau kau 
Witari!" seru Eyang Sangga Langit, terkejut. Na- 
mun sebagai tokoh dunia persilatan yang sudah 
banyak pengalaman, dia langsung tahu kalau so- 
sok yang berdiri di hadapannya pasti bukan Wita- 
ri. 

"Kau cukup cerdik, Tua Bangka Bau Ta- 
nah!" maki Witari palsu dengan sombong. Sikap- 
nya terlihat memandang rendah sekali. "Aku me- 
mang bukan Witari! Tapi, kecerdikan mu terlam- 
bat! Bersiaplah untuk mati, Tua Bangka! Ingin ku- 
lihat, pentolan-pentolan dunia persilatan meman- 
dang Eyang Sangga Langit yang terkenal sakti tan- 
pa tanding, akhirnya tewas secara menyedihkan! 
Tewas karena tertipu! Apalagi bila mereka tahu ka- 
lau sebelumnya Eyang Sangga Langit telah berzi- 
nah dengan muridnya sendiri! Ha ha ha...!" 

"Keparat!" umpat Eyang Sangga Langit pe- 
nuh kegeraman. 

Kini lelaki tua berbaju kuning ini menyada- 
ri, pasti Witari palsu inilah yang menyebabkan ter- 
jadinya hubungan perzinahan itu. 

"Kau boleh mati penasaran, Kakek Peot! Ka- 
rena sekarang juga, kau akan mati di tanganku!" 

Eyang Sangga Langit bukan orang bodoh! 
Dia tahu, saat ini keadaannya tidak menguntung- 
kan. Ilmu andalannya kini telah dimiliki Witari 
palsu. Bahkan, sebagian besar tenaga dalamnya 
telah terkuras! Sehingga, sekarang tenaganya jauh 
berkurang! Di lain pihak, Witari palsu telah memi- 
liki tenaga dalam sangat tinggi. Apabila melakukan 
perlawanan, tentu akan membuang nyawa sia-sia. 
Dan, Eyang Sangga Langit tidak ingin hal itu terja- 
di. 

Maka sebelum orang yang menyamar seba- 
gai Witari itu membunuhnya, Eyang Sangga Langit 
lebih dulu melempar tubuhnya ke belakang, ber- 
gulingan mendekati dinding ruangan. 

Sementara Witari palsu yang melihat gelagat 
tidak sewajarnya, segera mengejar. Langsung di 
siapkan serangannya. 

Tetapi, tindakan Witari palsu terlambat. Ke- 
tika tangan Eyang Sangga Langit menyentuh salah 
satu tonjolan batu, dinding itu terkuak sedikit, 
membelah celah. Dan itu cukup untuk tubuh 
Eyang Sangga Langit masuk ke dalam ruangan di 
sebelahnya. 

Ketika Witari palsu hendak menyusul ma- 
suk, dinding itu segera tertutup kembali. 

Lelaki yang menyamar sebagai Witari ini 
mencoba mendorong tonjolan batu yang tadi dige- 
rakkan Eyang Sangga Langit. Namun dinding itu 
tidak bergeming sedikit pun. 

Witari palsu tahu, tidak ada gunanya lagi 
berusaha. Pasti Eyang Sangga Langit telah menu- 
tup dinding gua dengan alat rahasia dari ruangan 
sebelah. Kalau menuruti perasaan, lelaki yang me- 
nyamar sebagai Witari ini dapat memukul hancur 
dinding itu. Tetapi karena khawatir atap gua akan 
runtuh dan dapat menyebabkan tubuhnya terku- 
bur hidup-hidup, maka maksudnya diurungkan. 
Dan dengan perasaan dongkol, dia segera melesat 
keluar gua. 




Seorang lelaki tinggi besar, berotot dan ber- 
wajah kasar tengah melangkah lebar melintasi 
hamparan tanah yang penuh daun kering dan 
ranting kering bertebaran. Demikian banyaknya, 
sehingga permukaan tanah hampir tidak terlihat 
Setiap kaki besar dan kokoh itu menjejak, selalu 
menginjak daun serta ranting kering. Anehnya se- 
dikit pun tidak terdengar bunyi yang ditimbulkan- 
nya. Ini pertanda kalau lelaki ini memiliki ilmu me- 
ringankan tubuh yang hebat. 

Lelaki itu berusia sekitar enam puluh ta- 
hun. Tubuhnya hanya tertutup selembar celana 
sebatas lutut. Bulu-bulu hitam dan lebat menghia- 
si bagian dadanya yang telanjang. Di bahunya, 
terpanggul sebatang kapak bermata tumpul dan 
bertangkai panjang. 

Dengan langkah-langkah agak bergegas, le- 
laki tinggi besar ini seperti tak mempedulikan me- 
dan yang ditempuhnya. Ayunan kakinya baru ber- 
henti, ketika sampai di hadapan sebatang pohon 
besar berukuran empat kali pelukan orang dewa- 
sa! Ditatapnya pohon itu sejenak. Lalu, kapaknya 
segera diayunkan. Cras! 

Hanya sekali tebas, pohon itu terpapas! Ba- 
gian yang terkena babatan kapak tumpul seperti 
tertebas senjata amat tajam. 

Sebelum pohon yang tumbang menghantam 
tanah, lelaki tinggi besar itu kembali mengayun- 
kan kapaknya. 

Cras! Cras! Cras! 

Tidak hanya sekali. Hampir bersamaan ter- 
dengar bunyi menderu disusul bunyi riuh. 

Ketika lelaki ini meletakkan kapaknya kem- 
bali di tempat semula, di depannya telah tertum- 
puk. potongan kayu sebesar lengan sepanjang tiga 
kaki. Beberapa kayu itu pun licin, seakan telah 
diserut lebih dulu oleh mata ketam. 

Ada beberapa tumpukan kayu di sebelah 
kanan. Sementara agak jauh di sebelah kiri, berse- 
rakan daun-daun ranting yang berkelompok, bagai 
ditata tangan terlatih yang tidak tampak. 

"Tidak jelek..., tidak jelek...!" 

Mendadak terdengar suara lantang dan 
nyaring begitu lelaki tinggi besar itu menyelesaikan 
pekerjaannya. Tapi dia tetap diam di tempatnya. 
Tidak merasa terkejut, bahkan tak menoleh ke 
arah asal suara. 

"Seperti lima tahun yang lalu, permainan 
kapak pemenggal ayam masih tetap lumayan! Ti- 
dak percuma kau berjuluk Raksasa Kapak Maut!" 
lanjut seorang lelaki tua bertubuh kecil kurus, 
yang tahu-tahu sudah berada di depan lelaki tinggi 
besar yang ternyata berjuluk Raksasa Kapak Maut. 

"Tidak usah banyak bicara, Manusia Kerdil! 
Sejak dulu mulutmu selalu usil! Dasar bawel!" sa- 
hut Raksasa Kapak Maut dengan suara menggun- 
tur sambil berbalik. 

"Ha ha ha...! Kau makin jadi pemarah saja, 
Manusia Kerbau!" ledek kakek kecil kurus. Demi- 
kian kecil dan kurus tubuhnya, lebih mirip bocah 
berusia sembilan tahun yang kelaparan. "Kau ta- 
hu, orang pemarah cepat tua. Sebaliknya jika kita 
sering tertawa, akan awet muda. Apalagi bila ser- 
ing bermain tebak-tebakan! Kau tahu, tebak- 
tebakan itu menunjukkan kepintaran seseorang! 
Biar kecil begini, aku yakin lebih pandai dibanding 
otakmu, Manusia Kerbau! Kalau kau ingin bukti, 
mari kita bermain tebak-tebakan! Tapi, tentu saja 
kalau kau berani...." 

"Mengapa tidak, Tuyul Bertenaga Raksa- 
sa?!" sahut Raksasa Kapak Maut cepat, terbakar 
amarahnya karena tantangan kakek kecil kurus 
yang telah meremehkannya. "Ayo, keluarkan teba- 
kan mu!" 

Kakek kecil kurus berjuluk Tuyul Bertenaga 
Raksasa tersenyum. Sikapnya kelihatan 
meremehkan sekali. Dia yakin akan kemampuan- 
nya. 

"Ada seorang ibu, memiliki tubuh yang be- 
sar dan gemuk. Bahkan lebih besar daripada tu- 
buhnya. Karena suatu keperluan, dia bertandang 
ke rumah saudaranya. Karena satu hal, dia ter- 
paksa menginap di rumah saudaranya itu. Sialnya, 
saudaranya orang yang miskin hingga hanya 
mempunyai satu tempat tidur. Itu pun berukuran 
kecil, karena memang untuk anaknya yang beru- 
mur delapan tahun. Demi rasa hormat maka sau- 
daranya memberi tempat tidur itu untuknya. Se- 
dangkan anaknya di suruh tidur di lantai. Tentu 
saja, ibu yang gemuk itu kebingungan. Bagaimana 
caranya dia bisa tidur di tempat yang sekecil itu? 
Nah! Pertanyaannya, bagaimana ibu yang gemuk 
itu tidur?!" ujar Tuyul Bertenaga Raksasa. 

Alis Raksasa Kapak Maut berkernyit. Dia 
berpikir keras untuk bisa menjawab. Namun sam- 
pai dahinya berkeringat, belum ditemukan jawa- 
bannya. 

"Bagaimana, Manusia Kerbau?! Sudah.... 
Lebih baik menyerah saja?!" ejek Tuyul Bertenaga 
Raksasa memanas-manasi. 

"Menyerah?!" ulang Raksasa Kapak Maut 
keras dengan sepasang mata dibelalakkan. "Tidak 
akan! Pertanyaan itu demikian mudah untuk ku- 
jawab. Mengapa mesti menyerah?! Jawabannya, 
ibu itu harus meringkuk untuk bisa tidur! Betul, 
kan?!" 

"Salah!" sanggah Tuyul Bertenaga Raksasa 
sambil melompat-lompat kegirangan, seperti anak 
kecil mendapat mainan. 

"Tidak mungkin!" tukas Raksasa Kapak 
Maut, berkeras dengan jawabannya. "Mengapa ti- 
dak?! Hanya itu jalan satu-satunya untuk bisa ti- 
dur! Sebab, tak mungkin tubuhnya terbujur di 
tempat sekecil itu?" 

"Apa pun alasannya, yang jelas itu bukan 
jawabannya, Manusia Kerbau!" 

"Kalau begitu..., apa jawabannya, Kerdil Li- 
cik?! Aku yakin kau hanya mengakaliku saja!" ser- 
gah Raksasa Kapak Maut, tidak mau kalah. 

"Meram!" jawab Tuyul Bertenaga Raksasa, 
tersenyum atas kemenangan. 

"Lho...?!" Raksasa Kapak Maut melongo. 
"Jawabanmu tak masuk akal, Manusia Kerdil!" 

"Apa yang tidak masuk akal?! Bukankah 
yang kutanyakan, bagaimana tidur ibu gemuk itu? 
Tentu saja jawabannya meram. Mana mungkin 
orang tidur matanya tidak meram?! Satu-kosong!" 
jawab Tuyul Bertenaga Raksasa mempertahankan 
jawabannya. 

"Baik. Aku mengaku kalah. Dan, sekarang 
giliranku mengajukan pertanyaan. Karena kau 
mengajukan pertanyaan yang bersifat akal-akalan, 
maka 

aku pun akan meladeni mu!" kata Raksasa 
Kapak Maut penasaran. "Nah, sekarang jawab per- 
tanyaanku. Ayam apa yang keluar pada malam ha- 
ri?! Ayo, tebak!" 

"Ayam yang ada keperluan! Ha ha ha...! Be- 
tul kan...?!" jawab kakek Tuyul Bertenaga Raksasa 
cepat, disertai tawa bergelak. Menertawakan lelaki 
tinggi besar yang terdiam begitu pertanyaannya 
terjawab. "Apa pun pertanyaan yang kau ajukan, 
akan bisa kujawab, Manusia Kerbau! Kau tahu, 
aku paling pandai bermain tebak-tebakan!" 

"Peduli amat! Itu bukan urusanku!" dengus 
Raksasa Kapak Maut, ketus. "Sekarang apa mak- 
sudmu mengintai pekerjaanku?" 

"Ha ha ha...! Rupanya kau telah merasa pal- 
ing sakti setelah bisa menebang pohon seperti itu?! 
Apa maumu, Raksasa Jelek?! Bertarung?!" tandas 
Tuyul Bertenaga Raksasa. 

Tuyul Bertenaga Raksasa lalu melangkah 
mendekati Raksasa Kapak Maut. Mereka kini ber- 
diri berhadapan dalam jarak sekitar delapan tom- 
bak. Tempat mereka berada, memang cukup aneh. 
Di belakang Raksasa Kapak Maut adalah hutan 
belantara yang tanahnya tertutupi daun dan rant- 
ing yang berserakan. Sementara sekitar satu tom- 
bak di belakang Tuyul Bertenaga Raksasa terdiri 
dari batu padas yang amat keras. Tampak lubang 
sedalam betis, setiap kali kakek kecil kurus itu 
melangkah! Padahal kakinya tidak menjejak sama 
sekali. 

"Ooo, kau ingin memamerkan julukan Tuyul 
Bertenaga Raksasa rupanya," ejek Raksasa Kapak 
Maut disertai senyum mengejek. 

"Ha ha ha...!" 

Tuyul Bertenaga Raksasa tertawa renyah. 
Baginya tidak ada hal yang terlalu dipusingkan. 
Sebab, setiap masalah selalu membuat hatinya 
gembira. Sesuai dengan wataknya yang selalu ber- 
gembira dalam menghadapi persoalan. Menurut- 
nya, hidup di dunia ini hanya sebentar. Lantas bila 
tidak diisi hal-hal yang menggembirakan, untuk 
apa? 

Begitu saling berhadapan dalam jarak seki- 
tar satu tombak, baru terlihat perbedaan mencolok 
antara Raksasa Kapak Maut dengan Tuyul Berte- 
naga Raksasa. 

Di hadapan Raksasa Kapak Maut, Tuyul 
Bertenaga Raksasa terlihat begitu ringkih dan le- 
mah. Yang jelas, bagaikan seekor ayam berdiri di 
depan seekor gajah! Rasanya, hanya dengan ti- 
upan pun Tuyul Bertenaga Raksasa akan roboh ke 
tanah. 

Kedua tokoh sakti ini telah saling berpan- 
dangan, laksana sepasang dua ekor ayam jago 
yang siap tarung. Sepasang mata mereka telah sal- 
ing menyorot, sama-sama tajam dan menggiriskan. 

Tapi sebelum saling gebrak, pendengaran 
dua tokoh yang sama-sama luar biasa tajam itu 
menangkap adanya gerakan langkah kaki yang 
menuju ke tempat ini. Perhatian Raksasa Kapak 
Maut langsung di arahkan ke depan. Sedangkan 
Tuyul Bertenaga Raksasa berbalik arah. Pandan- 
gannya langsung di layangkan ke belakang. 

"Celaka...!" seru Raksasa Kapak Maut Sua- 
ranya keras bercampur kaget dan geram. Sepasang 
matanya mendelik pada Tuyul Bertenaga Raksasa. 

"Mengapa kau tinggalkan pos penjagaan 
mu, Kerdil?! Tidakkah kau lihat ada orang yang 
menuju ke tempat ini?! Bila Tuan Besar tahu, ma- 
ka kau akan digencet! Sehingga kau jadi lebih kecil 
dan kurus daripada sekarang!" 

Wajah Tuyul Bertenaga Raksasa terlihat pu- 
cat-pasi. Sebentar saja, karena kakek kecil kurus 
ini tahu-tahu tertawa. Tapi, nadanya jelas jauh 
berbeda daripada sebelumnya. Kendati tertawa, si- 
nar matanya menyiratkan ketakutan dan kecema- 
san. Rupanya, ancaman Raksasa Kapak Maut 
mempunyai pengaruh besar! 

"Kurasa bukan hanya aku saja yang mene- 
rima hukuman Tuan Besar! Kau pun juga akan 
mendapat hukuman, Kerbau! Lihat dirimu! Kau 
pun meninggalkan pos penjagaan mu. Jadi, kita 
sama-sama bersalah! Bahkan aku yakin kesalahan 
yang kau perbuat jauh lebih besar! Kaulah yang 
lebih dulu meninggalkan pos penjagaan, hingga 
aku terpengaruh. Toh, kupikir keadaan akan 
aman-aman saja!" Tuyul Bertenaga Raksasa tak 
mau kalah gertak. "Ha ha ha...!" 

Raksasa Kapak Maut tertawa bergelak, 
sampai-sampai tubuhnya berguncang-guncang. 
Kelihatan gembira sekali. 

"Kau mau mengakali ku, Kerdil?! Tak bisa! 
Lihatlah perbedaan kita! Meskipun aku mening- 
galkan pos penjagaan, namun tidak ke arah da- 
lam. Sehingga bila ada orang yang masuk, akan 
bertemu lebih dulu denganku! Sedangkan kau, ju- 
stru sebaliknya. Dan sekarang ada orang yang 
mampu melewati pos mu. Bahkan sekarang ham- 
pir tiba di batas penjagaan ku!" 

Tuyul Bertenaga Raksasa tidak menyahuti. 
Disadari kalau dirinya salah dan hanya ingin men- 
gakali Raksasa Kapak Maut. Namun tak disangka, 
lelaki bertubuh tinggi besar ini mampu balik me- 
ngakalinya. 

Maka tanpa banyak cakap lagi Tuyul Berte- 
naga Raksasa melesat ke arah tempatnya menjaga. 
Dan sebentar saja, dia sudah bertemu seseorang 
tengah melewati pos penjagaan yang berupa dua 
batu sebesar rumah yang diletakkan bersebelahan, 
dengan celah selebar dua setengah tombak. 

"Tahan langkahmu, Nona Cantik...!" 

Tuyul Bertenaga Raksasa langsung meng- 
hadang sosok yang telah belasan tombak, melewati 
pos yang dijaganya. 

Sosok itu ternyata seorang gadis berpakaian 
kuning cerah. Usianya sekitar dua puluh tahun. 
Langkahnya terpaksa dihentikan, karena jalannya 
terhalang. Gadis berwajah cantik dan berkulit pu- 
tih mulus ini cemberut, menandakan ketidakse- 
nangan hatinya. 

Namun, sesaat kemudian, kemuraman ga- 
dis itu sirna. Sepasang matanya bersinar-sinar. 
Senyumnya tersungging, memperlihatkan lesung 
pipit di kedua pipinya. 

Tuyul Bertenaga Raksasa adalah orang yang 
memiliki watak periang dan senang menggoda 
orang. Dan sesuai pengalamannya, dia tahu kalau 
gadis di hadapannya ini memiliki watak sama den- 
gannya. Sinar mata gadis itu adalah sinar mata 
orang yang gemar menggoda orang lain. 

"Hey...! Siapa kau, Adik Kecil?! Mengapa be- 
rada di sini?! Enak-enakan kau bermain di sini! 
Tak tahukah, kalau sekarang orangtua mu sedang 
gelisah mencarimu?! Lekas pulang!" seru gadis 
berbaju kuning dengan sikap memarahi. Lagaknya 
seperti orang dewasa tengah menasihati seorang 
anak kecil yang nakal. 

Wajah Tuyul Bertenaga Raksasa langsung 
merah padam. Memang, meski pandai berdebat, 
dia mempunyai kelemahan juga. Dia paling tidak 
suka kalau kekurangannya diungkit-ungkit orang 
lain. 

Ejekan yang dianggap kelewatan itu mem- 
buat Tuyul Bertenaga Raksasa berniat untuk 
membalas. Sebagai tukang mengejek, lelaki tua 
bertubuh kecil ini tentu saja tidak ingin mengalah 
begitu saja! Akan jatuh nama besarnya sebagai ja- 
go ejek! 

"Memang kuakui, tubuhku seperti anak ke- 
cil! Tapi menurutku, ini justru menguntungkan. 
Karena, senantiasa aku terlihat awet muda. Dan 
yang lebih penting, hampir tidak pernah terserang 
penyakit Sedangkan kau, cantik-cantik tapi mem- 
punyai penyakit bisul!" 

Gadis berpakaian kuning tertawa mengejek. 

"Kalau memang benar aku terkena penyakit 
bisul, coba tunjukkan!" tantang gadis itu, dia yakin 
Tuyul Bertenaga Raksasa hanya sekadar berbo- 
hong. 

"Ah...!" seru Tuyul Bertenaga Raksasa, ber- 
pura-pura kaget. "Semuda ini sudah pikun?! Bi- 
sulmu rupanya sudah amat parah, Nona Cantik. 
Karena telah demikian besar. Yang lebih gawat lagi 
bisulnya ada dua! Aku tak habis pikir, mengapa 
kau tak berusaha mengobatinya? Bahkan malah 
disembunyikan. Kau pikir orang tidak tahu?" 

"Kakek gila!" bentak gadis berpakaian kun- 
ing tidak bisa menahan kemarahannya lagi. Ru- 
panya kendati suka menggoda orang lain, dia tidak 
suka digoda. "Buktikan kebenaran mulutmu yang 
busuk itu! Tunjukkan, di mana adanya bisul itu!" 

"He he he...!" 

Tawa kakek kecil kurus mulai terdengar la- 
gi. Dia yakin, ejekan terakhirnya yang dilancarkan 
telah memancing amarah gadis itu. 

"Masihkah kau tidak bisa melihatnya, Nona 
Cantik?! Itu yang menggantung di bagian dadamu 
itu. Apa lagi kalau bukan bisul?!" 

"Keparat!" 

Gadis berpakaian kuning itu menggeram 
marah. Ejekan tadi sudah cukup membuatnya 
murka karena malu, tersinggung, dan marah. Dan 
kini kakek itu masih menambahi dengan tudin- 
gannya. Yang mengarah ke arah buah dada gadis 
itu! 

"Kuhancurkan mulutmu yang bau busuk itu!" 

Disertai amarah menggelegak, gadis berpa- 
kaian kuning itu melepaskan tendangan kaki ka- 
nannya lurus ke arah mulut Tuyul Bertenaga Rak- 
sasa. Namun, hanya menggeser kakinya ke bela- 
kang, kakek itu telah berhasil mengelakkan seran- 
gan. 

"Eit! Sayang tak kena...! Kakimu kurang 
panjang, Nona Cantik Berbisul Besar! Ha ha ha...! 
Sekarang kau harus mengakui kelebihanku dalam 
hal mengejek! Ha ha ha.... Tidak ada seorang pun 
yang mampu menang bermain ejek-ejekan dengan 
ku!" kata Tuyul Bertenaga Raksasa, pongah. "Am- 
brol perutmu...!" 

Kata-kata Tuyul Bertenaga Raksasa dijawab 
gadis itu dengan serangan susulan lewat kaki ka- 
nan ke arah perut. Namun, lagi-lagi hanya berge- 
rak sembarangan, Tuyul Bertenaga Raksasa ber- 
hasil menangkap pergelangan kaki gadis itu. Bah- 
kan begitu disentakkan, tubuh gadis berpakaian 
kuning terlempar jauh ke belakang! 

Untung saja, gadis berpakaian kuning itu 
cepat bersalto beberapa kali di udara. Begitu ka- 
kinya menjejak tanah, diterjangnya Tuyul Bertena- 
ga Raksasa kembali dengan tendangan berantai. 

"Hukh... uh... ukh...!" 

Tuyul Bertenaga Raksasa batuk-batuk sebe- 
lum serangan gadis berpakaian kuning tiba. Tam- 
paknya batuk yang berat, sampai-sampai tubuh- 
nya terbungkuk-bungkuk. 

Sementara saat itu, tendangan berantai ga- 
dis berpakaian kuning tengah meluncur. Kepala 
Tuyul Bertenaga Raksasa yang menunduk ke de- 
pan akibat batuk hebat tampaknya akan menjadi 
sasaran empuk. 

Tapi, sebelum kepala Tuyul Bertenaga Rak- 
sasa terhantam, gadis berpakaian kuning merasa- 
kan ada getaran keras pada bagian dalam da- 
danya! Getaran yang mampu membuat tubuhnya 
lemas, karena tenaganya lenyap begitu saja! Bah- 
kan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. 

Tuyul Bertenaga Raksasa berdiri tegak se- 
perti semula. Batuk hebat yang menyerangnya 
berhenti. Batuk itu memang bukan batuk penya- 
kit, melainkan batuk yang sengaja dibuat untuk 
melancarkan serangan tenaga dalam. 

Bagi orang sesakti Tuyul Bertenaga Raksa- 
sa, batuk buatannya tak kalah geraman seekor ha- 
rimau yang paling perkasa sekalipun! Padahal, ge- 
raman harimau saja sudah cukup melumpuhkan 
nyali manusia atau binatang mangsanya. 

Di lain pihak, gadis berpakaian kuning jadi 
geram. Tenaga dalamnya berusaha keras untuk 
disalurkan kembali. Setelah berhasil, dia bersiap 
melancarkan serangan. 

Gadis yang memiliki watak keras hati ini 
sama sekali tidak merasa takut, meskipun tahu 
kalau kakek di hadapannya ini memiliki kepan- 
daian yang luar biasa! 

"Cukup, Nona Cantik!" seru Tuyul Bertena- 
ga Raksasa penuh wibawa, tidak berguyon seperti 
sebelumnya. 

"Siapakah kau sebenarnya...? Apa maksud 
mu datang kemari?! Apa hubunganmu dengan 
Janggara, pemilik ilmu 'Tendangan Angin Puyuh'?" 

"Apa urusanmu?!" sambut gadis berpakaian 
kuning, kasar tidak terlihat rasa takut sedikit pun. 

"Tentu saja ada urusannya denganku, Nona 

Cantik! jawab Tuyul Bertenaga Raksasa, 
berkilah. 


Tuyul Bertenaga Raksasa menatap wajah 
gadis berpakaian kuning di hadapannya penuh se- 
lidik. Sedikit pun tidak terlihat adanya senyum. 
Apalagi bercanda. 

"Pertama, kau telah lancang memasuki wi- 
layahku. Maka aku berhak tahu maksud kedatan- 
gan mu kemari. Kedua, kau menggunakan ilmu 

Tendangan Angin Puyuh' untuk menyerangku. 
Padahal, aku tahu pasti pemiliknya. Karena jan- 
gan-jangan kau mencuri ilmu itu!" 

Merah padam wajah gadis berpakaian kun- 
ing itu. 

"Apa boleh buat," desah gadis berpakaian 
kuning itu. "Aku Anjani. Kedatanganku kemari 
atas permintaan guruku. Dengan petunjuknyalah 
aku bisa berada di tempat ini." 

Wajah Tuyul Bertenaga Raksasa terperan- 
gah. Kelihatan tegang bukan kepalang. 

"Berarti..., kau murid Janggara! Hanya dia 
yang memiliki ilmu 'Tendangan Angin Puyuh'. La- 
lu, apakah kedatanganmu kemari ingin mencuri 
pusaka lainnya dan tempat suci yang kami jaga, 
seperti yang pernah dilakukan gurumu?!" 

"Tutup mulutmu yang busuk itu, Kerdil!" 
bentak gadis berpakaian kuning yang mengaku 
bernama Anjani, murid Janggara marah. "Guruku 
tidak sejahat itu!" 

"Ho ho ho...! Lucu.... Lucu sekali! Seorang 
yang paling goblok pun tak akan mempercayai ka- 
ta-katamu. Dengarkan baik-baik, Nona Manis Be- 
rotak Udang?! Dulu gurumu tengah sekarat, ketika 
ditemukan Tuan Besar kami. Kemudian dia dira- 
wat sampai sembuh. Malah juga diajarkan ilmu si- 
lat. Namun sebagai balasannya.... apa yang kau 
tahu, Anak Manis?!" 

"Aku tahu," Anjani mengangguk. "Beliau te- 
lah menceritakan semuanya padaku. Waktu kabur 
dari tempat ini, beliau mencuri sebuah pusaka. 
Sebuah guci perak murni luar biasa, yang mampu 
membuat arak yang paling lemah, menjadi arak 
keras. Bahkan mampu membuat arak ataupun air 
yang berada di dalamnya, menjadi penawar racun 
yang ampuh!" 

"Nah! Kau tahu sendiri kebusukan gurumu! 
Namun, masih tak senang, kalau kukatakan dia 
jahat! Bagaimana ini?!" Tuyul Bertenaga Raksasa 
heran. 

"Karena tuduhan jelek mu, atas niat baik- 
nya. Kedatanganku kemari dengan susah payah 
sekadar untuk memenuhi amanat guruku! Beliau 
memintaku untuk mengembalikan kitab-kitab 
yang pernah dicurinya, dari tempat ini. Dan seka- 
ligus, akan memberitahukan tempat guci pusaka 
itu berada," jelas Anjani penuh semangat. 

Tuyul Bertenaga Raksasa mengangguk- 
anggukkan kepalanya setelah tercenung sejenak. 

"Aku tak bisa memberi keputusan. Lebih 
baik sampaikan sendiri pada Tuan Besar. Silakan, 
kau berjalan lurus. Nanti Raksasa Jelek yang ada 
di sana, akan mengantarmu sampai menemui 
Tuan Besar," jelas Tuyul Bertenaga Raksasa. 

Dengan sikap gagah, Anjani melangkah me- 
nuju tempat Raksasa Kapak Maut berada. Gadis 
cantik ini sadar, dirinya telah masuk ke tempat 
yang berbahaya. Tempat yang dijaga manusia ker- 
dil berjuluk Tuyul Bertenaga Raksasa saja sudah 
menjalani kesulitan. Apalagi harus menghadapi le- 
laki yang berjuluk Raksasa Kapak Maut. Pikiran- 
pikiran mengerikan, mendadak menghantui hati 
Anjani. 

Namun, gadis berpakaian kuning yakin, 
bahwa Janggara gurunya tidak akan bertindak 
sembrono. Tentu dia telah memperhitungkan sega- 
la kemungkinan yang muncul. 

"Celaka...!" 

Satu seruan kaget, mendadak meluncur da- 
ri mulut seorang kakek tinggi kurus berwajah ti- 
rus, ketika melihat permukaan air berada dalam 
sebuah bak kayu, bergelombang keras. Daun sirih 
di atasnya tampak terombang-ambing. Padahal, ti- 
dak ada seorang pun yang mengguncang- 
guncangkannya. Permukaan air yang bergolak he- 
bat itu terjadi dengan sendirinya, seperti diaduk- 
aduk tangan tak nampak! 

"Anjani.... Apa yang terjadi padamu, 
Nak...?!" 

Kakek berwajah tirus berusia enam puluh 
tahun ini bergegas bangkit dengan sikap gelisah. 
Pakaian longgarnya berwarna coklat diketatkan la- 
gi dengan mengencangkan sabuknya. Tindakan itu 
dilakukannya dengan pandangan masih tertuju 
pada bak kayu yang airnya semakin bergolak. 

Kemudian, kakek ini bergegas melangkah 
keluar. Hanya sekali ayunan kaki, dia telah berada 
di luar halaman gubuknya. Sebuah gubuk yang le- 
taknya tersembunyi, tertutup pohon-pohon besar 
di sekelilingnya. 

Kakek ini menatap ke arah gubuknya. Ke- 
mudian tubuhnya berbalik bersiap meninggalkan 
tempat itu. Namun, mendadak maksudnya di- 
urungkan. Sebab, pendengarannya yang tajam 
menangkap suara mencurigakan. Segera saja pan- 
dangannya beredar ke sekeliling. Kini, pandangan- 
nya terpatri pada jajaran pohon dan semak-semak 
rimbun di depannya. 

"Kalian yang berada di persembunyian, ha- 
rap keluar! Kalau ada urusan denganku, mari kita 
selesaikan! Sebab aku sedang ada urusan lain!" 
bentak kakek itu lantang. 

Tak lama kemudian, semak-semak di seki- 
tarnya terkuak, diiringi bunyi gemerasak. Dan dari 
sekeliling tempat itu, muncul beberapa sosok den- 
gan sikap mengancam! Di tangan masing-masing 
tampak tergenggam senjata terhunus. 

"Setelah bertahun-tahun, akhirnya persem- 
bunyian mu dapat kami temukan juga, Janggara!" 
seru seorang lelaki berkepala botak yang muncul 
dari sebelah kiri. Wajahnya bercambang bauk le- 
bat. Sepasang gada berduri yang tergenggam di 
tangannya diayun-ayunkan secara menggiriskan. 

"Kami datang ingin membuat perhitungan. 
Karena, kau telah membunuh sahabatku yang ber- 
juluk Banteng Gila!" sambung seorang lelaki ber- 
tubuh kurus seperti singa kelaparan. Dia muncul 
dari depan. Ganco di tangan kanannya, dituding- 
kan ke wajah kakek berwajah tirus yang ternyata 
bernama Janggara. 

"Demikian pula denganku, Janggara," selak 
seorang yang bertubuh pendek kekar dengan rom- 
pi merah. Kulitnya pun merah. Sekujur tubuhnya 
dipenuhi bulu-bulu halus. Dia muncul dari sebe- 
lah kanan. Senjata cluritnya diacung-acungkan. 

Tatapan Janggara beralih pada lelaki be- 
rompi merah. 

"Kurasa kau masih ingat padaku. Saudara- 
ku mati di tanganmu, Janggara!" tambah lelaki 
bersenjata clurit ini. 

Janggara tetap tenang. Dia tidak bergeming 
dari tempatnya, kendati tiga orang sangar itu 
mendekatinya. Dan memang sudah mengenal to- 
koh berompi merah yang terakhir bicara. Dia ada- 
lah Singa Berbulu Merah. Sedangkan saudaranya 
yang tewas di tangan Janggara berjuluk Singa 
Berbulu Putih. 

"Aku memaklumi alasan kalian mencariku. 
Percayalah, aku tidak akan menghindar. Tapi se- 
perti yang kukatakan tadi, saat ini aku sedang ada 
urusan lain yang lebih penting. Jadi kuminta pen- 
gertian kalian untuk menunda masalah ini, sam- 
pai urusanku selesai!" ujar Janggara. 

"Ha ha ha...!" 

Lelaki botak bersenjata sepasang gada yang 
sebenarnya berjuluk Setan Botak, tertawa berge- 
lak. Nadanya terdengar menghina sekali. 

"Kau kira kami ini sekumpulan bocah bo- 
doh, yang begitu saja dapat dikelabui? Aku tahu. 
Urusan yang kau maksudkan itu tentu untuk me- 
loloskan diri lagi dari kejaran kami!" ejek Setan Bo- 
tak. 

"Lucunya lagi," sambung lelaki bersenjata 
ganco yang berjuluk Pengais Nyawa! Suaranya me- 
ringkik, seperti kuda. "Dia meminta pengertian ki- 
ta. Padahal sewaktu membunuh sahabatku, Ban- 
teng Gila, tidak pernah meminta pengertian terle- 
bih dulu. Dasar licik!" 

"Kurasa ada baiknya, kita dengar dulu apa 
kemauannya. Aku ingin tahu, akal bulus apa lagi 
yang akan digunakan untuk meloloskan diri dari 
tangan kita," usul Singa Berbulu Merah. 

"Aku tidak bermaksud licik dengan melari- 
kan diri dari kalian. Urusan yang ku maksud ada- 
lah mengenai muridku. Saat ini, dia tengah dalam 
bahaya. Kalau aku tidak cepat menolongnya, 
mungkin akan mati. Maka kuminta kalian mem- 
biarkanku pergi untuk menyelamatkan nyawanya. 
Percayalah! Setelah itu, aku bersedia menerima 
semua hukuman dari kalian tanpa melawan sedi- 
kit pun. Anggap saja, ini balas budi atas kebaikan 
kalian yang mau memenuhi permintaanku!" 

"Apa urusannya dengan kami...?!" selak Se- 
tan Botak tak sabaran. "Mau muridmu itu mati, 
kek. Celaka, kek! Tidak ada hubungannya dengan 
kami! Bahkan kalau perlu, sebelum membunuh- 
mu, muridmu dulu yang akan kami siksa! Biar ta- 
hu rasa, sakitnya hati akibat kehilangan orang 
yang dicintai karena dibunuh orang!" 

"Kalau begitu..., kalian lebih dulu yang akan 
kusingkirkan!" 

Janggara sadar, tidak ada gunanya lagi ber- 
bicara panjang lebar dengan tokoh-tokoh sesat ini. 
Dan dia tidak mau membuang-buang waktu lagi. 
Maka dengan lompatan yang sempurna, tubuhnya 
melesat menerjang lelaki berjuluk Pengais Nyawa! 

Sementara, sejak tadi lelaki kurus kering itu 
rupanya telah bersiap diri. Datangnya serangan ini 
tidak membuatnya gugup. Matanya sempat meli- 
hat sekelebatan sinar menyilaukan dari golok pan- 
jang di tangan Janggara, yang membabat ke arah 
leher. Maka, segera ganconya diangkat untuk me- 
nangkis sekaligus membelit Wut..! Trak! 

Tubuh Pengais Nyawa terjajar beberapa 
langkah ke belakang, karena kuatnya tenaga da- 
lam Janggara. Kendati demikian, golok kakek ber- 
wajah tirus itu berhasil dijepit ganconya. 

Janggara tidak sudi membiarkan senjatanya 
terjepit. Maka segera dilancarkan serangan susu- 
lan berupa tendangan kaki kanan ke arah dada, 
sehingga memaksa Pengais Nyawa membebaskan 
jepitannya. 

Deb! 

Pengais Nyawa cepat melompat ke belakang, 
langsung melepaskan jepitannya. 

Dan sebelum Janggara sempat melancarkan 
serangannya lagi, Setan Botak dan Singa Berbulu 

Merah tidak tinggal diam. Mereka tahu, 
Janggara terlalu kuat jika dihadapi seorang diri. 
Maka hampir berbareng, kedua tokoh sesat itu 
mengeroyok. "Hiyaaa...!" 

Serbuan ini memaksa Janggara untuk 
membatalkan serangan terhadap Pengais Nyawa. 
Sesaat kemudian, dia sudah sibuk meladeni pen- 
geroyokan tiga orang tokoh sesat ini. 

Janggara memang luar biasa! Meskipun pa- 
ra pengeroyok berkepandaian tinggi, namun mam- 
pu dihadapinya seorang diri. Bahkan sempat me- 
lancarkan serangan batasan yang tak kalah dah- 
syat! 

Setelah tiga puluh jurus kemudian, Jangga- 
ra baru mulai terdesak. Sinar goloknya yang semu- 
la bergulung membentuk lingkaran sinar yang le- 
bar, mulai menyempit Serangan-serangannya yang 
semula gencar semakin berkurang. Hanya menge- 
lak dan menangkis yang dapat dilakukannya. 

Janggara sadar kalau keadaan seperti ini 
dibiarkan, tidak menutup kemungkinan dia akan 
kalah. Bahkan akan tewas di tangan lawan- 
lawannya. Bila hal ini terjadi, berarti keselamatan 
Anjani terancam. Maka, ketika ada kesempatan, 
kakek berwajah tirus ini melompat ke belakang 
menyelamatkan diri. 

Setan Botak, Pengais Nyawa, dan Singa 
Berbulu Merah yang merasa berada -di atas angin, 
tidak ingin kehilangan mangsanya. Saat itu juga 
mereka mengejar Janggara. 

Sementara, kakek berwajah tirus itu sudah 
memperhitungkannya. Maka, begitu kedua ka- 
kinya menjejak tanah, seluruh tenaga dalamnya 
dikumpulkan. Dan seketika itu pula gerengan ke- 
ras seperti harimau menggeram! 

"Hhhmrrr....!" 

Mendadak, tubuh tiga tokoh sesat yang ten- 
gah meluruk ke arah Janggara jatuh di tanah. 
Bahkan tenaga dalam mereka mendadak lenyap! 
Gerengan Janggara membuat sekujur tubuh me- 
reka lemas! 

Melihat ke tiga lawannya tampak kepaya- 
han, Janggara segera mengeluarkan lengkingan 
tinggi mengandung tenaga dalam sempurna. Begi- 
tu dahsyat, hingga waktu Janggara mencoba pada 
sebuah batu sebesar kerbau, langsung hancur be- 
rantakan! Dan kali ini, Janggara menunjukkan 
lengkingannya pada tiga lawannya. 

Setan Botak, Pengais Nyawa, Singa Berbulu 
Merah sadar bahwa lengkingan Janggara akan da- 
pat menghancurkan isi dada. Buktinya, sekarang 
telinga mereka terasa sakit bukan kepalang, ba- 
gaikan ditusuk-tusuk pisau amat tajam. Jantung 
mereka pun perih seperti teriris. 

Bagai seperti diberi aba-aba, ketiga tokoh 
sesat ini segera bergerak saling mendekat Kemu- 
dian mereka duduk bersila, berderet ke belakang. 
Setan Botak di depan, Singa Berbulu Merah di 
tengah, dan Pengais Nyawa paling belakang. Dua 
orang yang berada di belakang menempelkan ke- 
dua telapak tangan pada orang di depannya. Me- 
mang, baik Pengais Nyawa maupun Singa Berbulu 
Merah tengah menyalurkan tenaga dalam pada Se- 
tan Botak! 

Sementara dari Setan Botak yang berada 
paling depan, tenaga dalam yang disalurkan kedua 
tokoh itu di belakangnya dikeluarkan lewat satu 
lengkingan tinggi. Bersamaan dengan itu Janggara 
pun telah menyiapkan tenaga dalamnya. 

"Hiyaaa...!" 

"Eyaaa...!" 

Dua jenis lengkingan tinggi yang merupa- 
kan tangan-tangan maut saling adu kuat satu sa- 
ma lain. 

Untuk kedua kalinya, setelah saling menga- 
du tenaga dalam lewat suara, Janggara harus 
mengakui keunggulan pihak tiga lawannya. Ga- 
bungan tenaga dalam mereka terlalu kuat untuk 
ditandingi. Sekujur tubuhnya mulai menggigil. Wa- 
jahnya di banjiri peluh sebesar biji jagung. Dari 
ubun-ubunnya tampak uap putih mengepul, per- 
tanda telah mengeluarkan tenaga dalam yang me- 
lewati batas. 

Di saat-saat menegangkan seperti ini, tiba- 
tiba terdengar bunyi mendesau. Rupanya beberapa 
tombak dari tempat pertarungan ganjil ini telah 
hadir seorang pemuda berpakaian ungu yang ten- 
gah menyapu tanah dengan ranting berdaun lebat 
Gesekan yang ditimbulkan itulah yang menimbul- 
kan bunyi mendesau. 

Seperti tidak tahu kalau tengah terjadi per- 
tarungan tingkat tinggi, pemuda ini terus saja me- 
nyapu tanah dengan sapunya yang sederhana. 

Bunyi desau itu ternyata mengandung tena- 
ga dalam tinggi, sehingga tampaknya berpengaruh 
dalam menekan lengkingan ketiga tokoh sesat itu. 
Sementara keadaan Janggara tidak mengkhawa- 
tirkan lagi. Kepulan uap putih di atas kepalanya 
semakin menipis, sebagai pertanda kalau kea- 
daannya semakin membaik. 

Sebaliknya, Setan Botak, Pengais Nyawa, 
dan Singa Berbulu Merah tampak kepayahan. Wa- 
jah mereka penuh peluh sebesar biji jagung. Uap 
putih yang mengepul dari atas kepala mereka se- 
makin menebal. Kelihatan mereka sudah tidak 
kuat lagi menahan serangan yang datang. Dan ak- 
hirnya. .. 

"Huakh...!" 

Dalam keadaan duduk bersila, hampir ber- 
barengan dari mulut Setan Botak, Pengais Nyawa, 
dan Singa Berbulu Merah, keluar muntahan darah 
segar! Tubuh mereka seperti terlipat ke depan. Se- 
ketika pertarungan yang seru usai! 

"Kali ini, kami mengaku kalah, Janggara! 
Namun suatu saat, kami akan datang lagi mem- 
buat perhitungan denganmu!" 

Dengan terbata-bata karena luka dalam 
yang diderita, Setan Botak mewakili kawan- 
kawannya menantang Janggara. Lalu, tanpa me- 
nunggu jawaban Janggara, mereka melangkah ter- 
tatih-tatih meninggalkan tempat itu. Namun sebe- 
lumnya mereka sempat memperhatikan pemuda 
berpakaian ungu yang telah berhenti menyapu. 

Sorot mata Setan Botak, Pengais Nyawa, 
dan Singa Berbulu Merah, menyiratkan sakit hati 
yang mendalam. Sebagai tokoh golongan sesat 
tingkat tinggi, mereka tahu kalau pemuda berpa- 
kaian ungu telah membantu Janggara. Sebab ka- 
lau tidak, Janggara tentu berhasil dibinasakan! 

Sementara Janggara juga merasa sangat le- 
lah setelah pertarungan yang menguras tenaga da- 
lam itu. Dia hanya menatap kepergian ke tiga la- 
wannya dan tanpa sedikit pun berniat mengejar- 
nya. Kakek berwajah tirus ini yakin, ketiga tokoh 
sesat itu tak akan selamat dari maut, karena luka 
dalam yang diderita terlalu parah. 

Kini Janggara mengalihkan perhatian pada 
pemuda berpakaian ungu yang masih berdiri sam- 
bil memegang sapu sederhananya. Dia tahu, nya- 
wanya telah diselamatkan pemuda itu. Maka, den- 
gan senyum penuh rasa terima kasih, dihampi- 
rinya pemuda berpakaian ungu itu. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak 
Muda," ucap Janggara, sambil merangkapkan ke- 
dua tangannya di depan dada. 

Dalam hati, kakek ini terkejut. Ternyata 
orang yang menolongnya masih muda. Semula, dia 
mengira seorang kakek. Terutama menilik kepan- 
daian dan rambutnya yang putih! Untungnya 
sambil menghampiri tadi, Janggara sempat mem- 
perhatikan wajah sosok berpakaian ungu itu. 

"Kalau tidak ada pertolonganmu, mungkin 
dua buah nyawa telah melayang," lanjut Janggara. 

Pemuda berpakaian ungu berambut putih 
keperakan dan panjang terurai hingga ke pung- 
gung, hanya tersenyum lebar sambil mengangguk- 
kan kepalanya. 

"Lupakanlah, Kek. Bukankah sudah kewaji- 
ban kita sebagai manusia untuk saling tolong- 
menolong. Apalagi, aku sudah lama mendengar 
kekejaman sepak terjang tokoh berjuluk Pengais 
Nyawa dan Singa Berbulu Merah. Jadi, tindakanku 
ini ku anggap sebagai usaha menentang keangka- 
ramurkaan. Aku yakin, setiap orang yang dimusu- 
hi tokoh sesat seperti mereka, kemungkinan besar 
berdiri di jalan yang lurus. Makanya, aku tidak se- 
gan-segan lagi untuk membantumu. Apalagi kuli- 
hat tadi kau agak terdesak. Maaf, bukannya mak- 
sudku merendahkan kemampuanmu, Kek. O ya. 
Tadi kau katakan, aku telah menyelamatkan dua 
nyawa? Padahal, kenyataannya hanya ada kau sa- 
ja Kek? Lantas, yang satu lagi nyawa siapa?" 

"Begini, Anak Muda. Sebelum aku berta- 
rung dengan tiga tokoh sesat tadi, aku tengah be- 
rusaha menolong muridku yang terancam bahaya. 
Bahkan kemungkinan akan tewas, kalau tidak se- 
gera ditolong. Lantas, kau menyelamatkan aku. 
Bukankah itu berarti kau telah menyelamatkan 
dua nyawa?!" jelas Janggara. "Ah! Hampir lupa. 
Namaku Janggara. Sedangkan muridku bernama 
Anjani. Memang, aku dulu..., yahhh... seperti kau- 
lah, Anak Muda. Suka ikut campur bila melihat 
ada tindak kejahatan di hadapan mata. Dan kebe- 
tulan, sebagian dari tokoh sesat yang tewas di tan- 
ganku adalah kawan-kawan mereka. Jadi, mereka 
datang untuk membalas dendam." 

"Aku Aiya, Kek. Arya Buana," kata pemuda 
berambut putih keperakan itu balas memperke- 
nalkan diri. 

"Aiya Buana. Hm.... Sebuah nama yang ba- 
gus. Kalau tidak mempunyai keperluan penting, 
ingin rasanya kita bisa berbincang panjang lebar 
denganmu, Aiya. Namun, sayang sekali...." 

"Oh..., tak mengapa, Kek. Aku bisa menger- 
ti. Dan kalau kau setuju, aku bersedia memban- 
tumu. Maaf, bukannya ingin menyombongkan ke- 
pandaianku. Tapi...," kata pemuda yang tak lain 
memang Arya Buana alias Dewa Arak. 

"Aku mengerti, Aiya. Tapi, kurasa saat ini 
aku mampu melakukannya sendiri. Mungkin kelak 
bila tak sanggup, aku akan meminta bantuanmu. 
Aku tak ingin merepotkan mu," tolak Janggara, 
halus. 

"Kalau begitu, selamat tinggal, Kek. Kudoa- 
kan kau berhasil. Juga muridmu kembali dengan 
selamat," harap Aiya, sambil melangkah pergi. 

"Terima kasih atas bantuan doamu, Aiya. 
Selamat jalan, pula!" sambut Janggara. 

Kakek ini tidak langsung melangkah me- 
ninggalkan tempat itu. Ditatapnya Aiya Buana 
alias Dewa Arak! 

Janggara kontan terperangah ketika melihat 
guci arak yang menggantung di punggung Aiya. 
Tadi, benda itu tidak kelihatan. Karena, pemuda 
itu berdiri berhadapan dengannya. 

Janggara ingin berseru memanggil Arya, 
namun ditahannya. Dia hanya menatap tubuh 
pemuda berambut putih keperakan itu hingga hi- 
lang dari pandangannya. 

Kemudian setelah menghela napas berat, 
Janggara berbalik dan melesat meninggalkan tem- 
pat itu untuk menolong Anjani, muridnya! 



Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh 
lima tahun, melangkah tenang menghampiri seke- 
lompok bangunan yang terkurung pagar tembok 
tinggi. Pintu gerbangnya terlihat kokoh kuat, kare- 
na terbuat dari kayu tebal. Dan di atasnya, tertulis 
huruf-huruf tebal dan jelas pada selembar papan 
tebal dan lebar berukir. Papan itu bertuliskan Per- 
guruan Golok Malaikat! 

Pemuda bertubuh tegap terbungkus pa- 
kaian coklat ini tersenyum mengejek. Bahkan 


membuang ludah dengan sikap menghina sekali, 
ketika melihat papan nama perguruan itu. 

"Rupanya tua bangka itu mengalami kema- 
juan pesat! Makmur tampaknya, sehingga pergu- 
ruannya yang dulu kecil sekarang telah menjadi 
demikian mewah! Tapi tunggu sebentar lagi, Tua 
Bangka! Aku, Samukti! Akan membuat semua 
hancur berantakan!" ancam pemuda berpakaian 
coklat ini. 

Dengan wajah beringas, pemuda bernama 
Samukti melangkah lebar menghampiri daun pin- 
tu gerbang yang tertutup rapat. Sesampainya di 
depan pintu, Samukti segera menempelkan salah 
satu telapak tangannya. Tampak sembarangan sa- 
ja, seperti layaknya orang yang bersandar dengan 
satu tangan. Tapi mendadak.... Krakkk...! 

Terdengar bunyi berderak keras, ketika pa- 
lang pintu gerbang yang terbuat dari balok kayu 
tebal dan berat patah! Seketika, daun pintu ger- 
bang itu pun terpental ke kakan-kiri. Tampak ha- 
laman luas dari kelompok bangunan membentang 
di depan mata. 

Bunyi yang cukup keras tadi, membuat be- 
lasan pemuda bertelanjang dada yang tengah ber- 
latih, mengalihkan pandangan ke arah pintu ger- 
bang. Kebetulan, mereka menghadap ke sana. 

Tidak demikian halnya seorang lelaki beru- 
sia tiga puluh tahun yang menjadi pengajar bela- 
san anak muda itu. Pengajar dengan wajah dihiasi 
cambang bauk lebat itu berdiri membelakangi pin- 
tu gerbang, menghadap ke arah belasan pemuda 
asuhannya. Dan dia segera membalikkan tubuh, 
untuk melihat penyebab bunyi gaduh tadi. 

Pemuda bercambang lebat itu menger- 
nyitkan alis. Hatinya dongkol melihat daun pintu 
gerbang telah ambruk. Dan pandangannya lang- 
sung terpatri pada Samukti yang melangkah te- 
nang, menuju salah satu bangunan perguruan. 
Sikapnya layaknya orang yang tidak bersalah sedi- 
kit pun. 

Pemuda bercambang lebat itu sebenarnya 
murid kepala perguruan ini. Namanya, Badra. Se- 
gera disadari kalau kedatangan pemuda berpa- 
kaian coklat ini tidak dengan maksud baik. Maka 
setelah memberi isyarat pada adik-adik sepergu- 
ruannya untuk meneruskan latihan, Badra meng- 
hampiri Samukti. 

Bila Badra memusatkan perhatian ke arah 
pemuda berpakaian coklat ini, maka lain halnya 
Samukti. Kakinya terus melangkah tanpa mempe- 
dulikan murid kepala Perguruan Golok Malaikat 
yang menuju ke arahnya. 

Karena masing-masing tidak mau menying- 
kir dari jalannya, tubrukan antara mereka tidak 
mungkin bisa dihindari lagi. Apalagi karena jarak 
keduanya tak lebih dari dua tombak lagi. 

Namun, ketika jarak tinggal satu tombak la- 
gi, ada kekuatan tak nampak yang menyeruak. 
Sehingga, memaksa Badra untuk menyingkir dari 
jalan yang ditempuh Samukti. Kekuatan dahsyat 
yang membuat tubuhnya tertolak ke samping. Pa- 
dahal, Samukti tidak melakukan gerakan apa pun! 
Kecuali, melangkahkan kaki. 

Tanpa menghiraukan pemuda bercambang 
lebat yang tertegun bingung, Samukti terus saja 
melangkah dengan sikap tak peduli. Arah yang di- 
tuju adalah bangunan paling besar, tempat tinggal 
Ketua Perguruan Golok Malaikat. 

Ketika Samukti telah melaluinya sejauh sa- 
tu tombak, Badra baru bisa menguasai diri. 
"Tunggu!" 

Disertai teriakannya, Badra melompat dan 
bersalto beberapa kali di udara untuk menghadang 
Samukti. Tapi, ketika kedua kakinya telah menje- 
jak tanah, dia hanya bisa melongo! 

Badra ternyata tidak mendarat di depan 
Samukti. Maka dengan hati kaget campur heran, 
kepalanya cepat menoleh ke belakang. Tampak 
Samukti tengah melangkah seenaknya seperti se- 
mula, manis dalam jarak satu tombak darinya! 

Badra bingung. Padahal, semula diyakini 
betul kalau akan menjejak tanah di hadapan pe- 
muda berpakaian coklat. Lompatannya berjarak ti- 
ga tombak dari tempatnya semula berdiri. Dan se- 
harusnya, mendaratnya dua tombak di depan pe- 
muda itu. Tapi, mengapa jarak antara mereka te- 
tap tidak berubah?! Apakah dia salah mengukur 
jarak?! Tidak mungkin! Ataukah, diam-diam pe- 
muda berpakaian coklat itu ikut melesat untuk 
melaluinya?! Tapi, mengapa gerakannya tidak ter- 
lihat. 

Sementara itu Samukti tetap bersikap tak 
peduli seperti sebelumnya. Dia seperti tidak tahu 
kalau tindakannya membuat murid kepala Pergu- 
ruan Golok Malaikat kebingungan! 

Sebenarnya murid-murid Perguruan Golok 
Malaikat lainnya melihat kejadian itu, walau tidak 
terlalu jelas. Tadi sebelum Badra menjejak tanah, 
tubuh Samukti telah berada beberapa tombak di 
depan hanya sekali langkah. Tidak begitu jelas, 
apakah pemuda itu melesat atau berlari! "Tunggu, 
Pengecut!" 

Terdengar bentakan keras menggelegar, 
membuat Samukti menghentikan langkahnya. Ke- 
sempatan itu dipergunakan Badra untuk bersalto 
kembali. Dan kali ini, dia berhasil menghadang di 
depan Samukti. 

"Mulutmu terlalu lancang, Monyet! Semula 
aku tidak ingin mencari keributan dengan cecun- 
guk sepertimu! Tapi karena telah menghinaku, kau 
pun akan mendapat bagiannya! Cuh! Cuh! Cuh!" 

Samukti tiga kali meludah, melepaskan tiga 
gumpal cairan kental yang mengeluarkan bunyi 
berdesing nyaring. Arah yang dituju adalah kening, 
leher, dan dada Badra. 

Murid kepala Perguruan Golok Malaikat ta- 
hu, semburan ludah itu tidak bisa dipandang rin- 
gan. Cepat bagai kilat, dia melompat ke belakang 
sambil mencabut golok. 

"Hup! 

Srang! 

Begitu golok tercabut, Badra cepat mengi- 
baskannya, memapak luncuran cairan kental dari 
mulut Samukti. 

Trang! Trang! 

Ketika gumpalan-gumpalan ludah itu ber- 
temu batang golok, terdengar bunyi berdentang 
beberapa kali. 

Badra terkejut bukan kepalang, ketika me- 
rasakan tangannya tergetar hebat Wajahnya pias, 
ketika melihat goloknya berlubang di tiga tempat! 
Akibat terkena gumpalan ludah yang disemburkan 
Samukti. 

"Kaget, Monyet?!" ejek Samukti tersenyum 
sinis. "Itu hanya sekadar perkenalan saja. Kini te- 
rimalah ludahku yang akan mengirim nyawamu ke 
neraka!" 

"Cuh!" 

Samukti kembali meludah, melepaskan cai- 
ran kental yang meluncur ke arah pemuda ber- 
cambang lebat itu. Dan tentu saja, Badra tidak in- 
gin mengulangi peristiwa serupa. Maka segera dia 
melompat ke belakang dan bersalto beberapa kali 
di udara. 

Tapi, ketika Badra menjejakkan kakinya di 
tanah, ternyata cairan menjijikkan itu masih men- 
gejarnya! Berbeda dengan sebelumnya, gumpalan 
ludah itu meluncur tanpa bunyi sama sekali! 

Pemuda bercambang lebat kaget bercampur 
heran. Menurut perkiraannya, ludah itu telah ke- 
habisan daya luncur. Namun kenyataannya, ludah 
itu masih meluncur cepat laksana anak panah 
yang bam saja dijepretkan. 

Perasaan heran dan ingin tahu membuat 
Badra melempar tubuhnya ke samping, langsung 
bergulingan ke tanah. Namun, ketika bangkit 
kembali, ludah itu masih mengejarnya! 

Sekarang, murid kepala Perguruan Golok 
Malaikat ini pun tahu kalau serangan itu berbeda 
dengan serangan pada umumnya. Ludah itu seper- 
ti hidup! Bagaikan bermata, ludah itu terus mem- 
buru ke mana saja Badra mengelak. 

Badra kehilangan akal, bagaimana caranya 
meloloskan diri dari serangan ludah yang terus 
memburunya. Maka dengan tekad baja dia ber- 
diam diri menanti. Dan ketika ludah itu meluncur 
dekat, disambutnya dengan babatan golok. 

Wusss! 

Kembali Badra terperanjat, begitu babatan 
goloknya hanya mengenai angin. Bagaikan hidup 
ludah itu bisa mengelak. Masih terbengong, pemu- 
da bercambang bauk ini belum menyadari bahaya 
mengancam. Gumpalan ludah yang tadi mengelak, 
terus berputaran kemudian terus melesat meng- 
hantam dahi Badra hingga tembus ke belakang 
kepala. 

Crok! 

"Aaa...!" 

Darah bercampur otak menyembur, diba- 
rengi teriakan menyayat hati dari mulut Badra. 
Tubuhnya ambruk, dan nyawanya melayang saat 
itu juga! 

Tewasnya Badra, membuat belasan orang 
murid Perguruan Golok Malaikat tersadar dari rasa 
terpukaunya. Sejak tadi, mereka seperti terkena 
sihir. Bengong, memperhatikan tingkah pengejar 
mereka dan gumpalan ludah yang terus-menerus 
mengejar. 

Kesadaran yang timbul menyebabkan ke- 
marahan hebat. Bagai diberi perintah, mereka ber- 
gerak menyerbu. Golok-golok berkelebat ke arah 
berbagai bagian tubuh Samukti. 

Sementara, Samukti tetap diam di tempat 
dengan sikap tenang! Baru ketika mata-mata golok 
nyaris menyentuh tubuh, Samukti bersin. 

"Haaashiii...!" 

Keras suara Samukti. Akibatnya, serangan 
golok-golok yang siap mencincang tubuhnya jatuh 
ke tanah. Saat itu juga para pengeroyok merasa- 
kan sekujur tubuh mereka lemas. Bunyi bersin 
Samukti membuat tenaga mereka terasa lenyap 
begitu saja. Bahkan seluruh urat mereka terasa 
lumpuh! 

Samukti tertawa mengejek. Dan saat itu ju- 
ga, kedua tangannya dikibaskan bagaikan orang 
mengusir nyamuk. Hebatnya tubuh murid-murid 
Perguruan Golok Malaikat, berpentalan tak tentu 
arah bagaikan daun-daun kering diterbangkan an- 
gin keras. 

"Setan! Siapa yang telah berani mengacau 
Perguruan Golok Malaikat?!" 

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari 
belakang, begitu Samukti menyelesaikan sepak 
terjangnya. Pemuda itu segera berbalik. Dan sepa- 
sang matanya langsung terbelalak, seperti melihat 
hantu di tengah hari bolong. 

Ketika sama-sama menatap, sosok yang 
mengeluarkan bentakan terperanjat. Bahkan sam- 
pai melangkah mundur. Raut wajahnya menun- 
jukkan keterkejutannya yang tidak bisa disembu- 
nyikan. 

"Kau..., kau..., Samukti...?!" tanya sosok 
yang ternyata gadis berpakaian biru. Tangannya 
yang berjari lentik serta halus ditudingkan ke de- 
pan. 

Samukti tersenyum lebar, setelah berhasil 
meredam rasa kagetnya. 

"Syukurlah kalau kau masih ingat padaku. 
Bukankah kau, Sunti Ranti?! Tak kusangka, kau 
masih seperti dulu. Cantik manis. Bahkan jauh le- 
bih cantik." 

Gadis bernama Sunti Rani berwajah cantik 
manis dengan bentuk tubuh menantang. Wajah- 
nya memerah seketika mendengar pujian yang je- 
las mengandung kekurangajaran itu. 

"Mau apa kau kemari, Samukti?! Kini, kau 
bukan murid Perguruan Golok Malaikat lagi?! In- 
gat! Ayah telah mengusirmu dan tidak mengakui- 
mu sebagai murid! Atau kedatanganmu hendak 
minta dihajar?!, Biar aku saja yang mewakili Ayah 
untuk memberi pelajaran padamu!" 

"Ha ha ha...!" 

Samukti tertawa bergelak. Sikapnya terlihat 
merendahkan sekali. Sementara sepasang ma- 
tanya yang nakal menatap penuh minat sekujur 
tubuh dan wajah Sunti Rani. 

"Kau keliru, Sunti! Aku datang bukan ingin 
kembali menjadi murid di sini. Aku tak mengang- 
gap Perguruan Golok Malaikat sebagai pergurua- 
nku lagi. Bahkan kuanggap sebagai musuh! Begitu 
pula dengan ayahmu yang kejam itu!" 

"Ayah tidak kejam! Justru kaulah yang ma- 
nusia tak tahu budi. Hampir tujuh tahun kau di- 
didik, namun kepandaianmu dipergunakan untuk 
mencoreng muka Ayah dengan perbuatan nistamu! 
Dan kalau Ayah tidak keburu datang, anak pera- 
wan orang sudah kau garap habis-habisan!" 

"Apa salahnya, Sunti?!" kilah Samukti. "Se- 
harusnya Ayahmu membelaku. Bayangkan, aku 
mengutarakan cinta dan kekagumanku secara 
baik-baik, tapi gadis liar justru mencaci makiku! 
Siapa yang tidak kalap?! Untuk membalas sakit 
hatiku, ku perkosa saja dia! Sayang, Ayahmu yang 
tak tahu diri itu mencegahku!" 

"Tutup mulutmu yang busuk itu, Samukti! 
Manusia bejat sepertimu seharusnya berterima 
kasih telah tercegah dari perbuatan keji! Kau be- 
nar-benar orang yang berwatak kotor! Kalau kau 
berbuat sopan dan tak mengajak yang tidak-tidak, 
kurasa gadis itu tak akan marah!" 

"Sudahlah, Sunti. Lupakan saja masalah 
itu! Aku tak begitu minat dengan gadis terkutuk 
itu. Keberadaanmu di sini membuat mata hatiku 
tak tertarik lagi dengan gadis-gadis lain yang ba- 
henol sekalipun. Ketika kulihat wajah dan bentuk 
tubuhmu, sudah bisa ku perkirakan betapa nik- 
matnya bermain cinta denganmu, Sunti. Dan...," 
Samukti makin ngawur. 

"Tutup mulutmu yang kotor, Samukti!" 

Sunti Ranti yang sudah tidak bisa menahan 
kesabarannya lagi langsung melompat menerjang 
Samukti. Tangan kanannya dihantamkan ke arah 
kepala pemuda berpakaian coklat itu. 

Tapi tanpa menggeser tubuhnya sedikit 
pun, Samukti mengibaskan tangannya, menangkis 
serangan. 

Plak! 

"Aaakh!" 

Sunti Ranti memekik tertahan, ketika tan- 
gannya berbenturan dengan tangan Samukti. Ke- 
mudian dengan sekali sentak Samukti telah mem- 
buat tubuh Sunti Ranti terhuyung ke depan. Dan 
kesempatan itu digunakan Samukti untuk meno- 
tok. 

Tuk! Tuk! 

Sunti Ranti merasakan tubuhnya lemas. 
Dan sebelum tubuh gadis itu ambruk, saat itu ju- 
ga dengan buas Samukti menyambutnya. Direng- 
kuhnya tubuh gadis itu dalam sebuah dekapan 
erat penuh nafsu. Kemudian dengan ganasnya, di- 
ciuminya wajah gadis itu. 

Sunti Ranti ingin menjerit, namun tidak ada 
suara yang keluar. Dua buah totokan, membuat 
urat suara dan tubuhnya tak berguna sama sekali. 
Dia hanya bisa pasrah atas semua tindakan Sa- 
mukti terhadapnya. Dibiarkannya saja sekujur tu- 
buhnya dihajar tangan Samukti. 

"Manusia terkutuk! Lepaskan dia...!" 

Mendadak terdengar teriakan menggeledek 
begitu kuat tenaga dalam yang terkandung, mem- 
buat tempat sekitarnya bergetar hebat. Saat itu ju- 
ga Samukti menghentikan tindakannya. Matanya 
tampak merah karena merasa terganggu keasyi- 
kannya. Seketika perhatiannya beralih pada sosok 
yang mengeluarkan bentakan. Seorang kakek be- 
ralis merah yang wajahnya tampak merah padam. 
Marah! 

Samukti tersenyum sinis. Tanpa mengenal 
kasihan tubuh Sunti Ranti yang tengah dipeluknya 
di dorong begitu saja hingga jatuh keras ke tanah. 

"Akhirnya kau muncul juga, Golok Malaikat! 
Kukira kau terus bersembunyi di kandang mu!" 
ejek 

Samukti sambil menatap mata kakek bera- 
lis merah yang dipanggil Golok Malaikat 
"Erghhh...!" 

Golok Malaikat menggeram. Sepasang ma- 
tanya membelalak hendak menelan pemuda di ha- 
dapannya bulat-bulat 

"Oh! Ternyata kau, Murid Murtad! Manusia 
tak kenal budi! Menyesal, kenapa dulu tak kuha- 
bisi saja nyawamu agar tidak menimbulkan buntut 
tak baik seperti ini!" geram Golok Malaikat dengan 
suara bergetar penuh kemarahan. 

"Sayang sekali, Tua Bangka Bau Tanah! 
Kau tak melakukannya. Dan kau pantas menyesa- 
linya seumur hidup. Sekarang kedatanganku ke- 
mari untuk membalas sakit hatiku karena kau 
menggagalkan rencanaku!" 

"Kau bebas bertindak bila sanggup membu- 
atku menjadi mayat, Biadab!" 

"Sama sekali tidak, Tua Bangka!" Samukti 
menggeleng. "Aku justru menginginkan kau tewas 
belakangan. Terlebih dulu, semua muridmu akan 
kubantai. Kemudian putri mu si montok Sunti 
Ranti akan ku perkosa sampai mati di depanmu. 
Agar kau merasakan sakit hati yang mendalam. 
Dan kau, akan ku tinggalkan hidup-hidup, dalam 
keadaan tak berguna seumur hidupmu! Bagaima- 
na, Tua Bangka! Asyik, bukan?" 

"Kaulah yang akan kubunuh lebih dulu se- 
belum maksudmu terlaksana, Biadab!" 

Golok Malaikat langsung mencabut senjata 
andalannya yang telah menggemparkan dunia per- 
silatan. Dia menjadi pentolan golongan putih yang 
ditakuti kawan maupun lawan, karena kehebatan 
goloknya. Dan kali ini golok itu disiapkan untuk 
menghadapi Samukti yang disadari bukan lagi la- 
wan ringan. 

Golok Malaikat telah bisa menduga kalau 
Samukti telah memiliki kepandaian tinggi. Ini ter- 
lihat hanya dengan segebrakan saja, Sunti Ranti 
yang telah mewarisi hampir seluruh kepandaian- 
nya, di buat tak berdaya. 

Maka dibarengi teriakan melengking keras, 
Golok Malaikat menyerang Samukti. 

Golok sakti Golok Malaikat tak terlihat ben- 
tuknya. Yang tampak hanya seleret bayangan 
mengurung seluruh jalan lolos Samukti. Bunyi 
nyaring yang terjadi akibat putaran golok merobek 
udara, memaksa murid-murid Perguruan Golok 
Malaikat yang telah siuman menutup telinganya 
karena merasakan sakit seperti ditusuk jarum. 

Tetapi, kelihatan Samukti benar-benar luar 
biasa! Meski hanya bertangan kosong, amukan Go- 
lok Malaikat mampu dihadapi. Tanpa menemui 
kesulitan sedikit pun, setiap serangan kakek itu 
dikandaskan. Tak jarang pemuda ini menangkis 
dengan tangan telanjang. Dan setiap tangkisan 
Samukti, membuat tubuh Golok Malaikat ter- 
huyung-huyung ke belakang dengan tangan terge- 
tar hebat. 

Golok Malaikat tampak kelabakan, ketika 
Samukti melancarkan serangan balasan. Dan ken- 
dati bertangan kosong, serangan-serangan Samuk- 
ti tidak kalah berbahaya! 

Golok Malaikat sadar, bahaya telah men- 
gancam keselamatan murid-murid dan juga pu- 
trinya. Maka sambil terus mengadakan perlawa- 
nan sengit, dia menyempatkan diri untuk menyu- 
ruh murid-muridnya kabur. Sementara putrinya 
tidak diperintahkan untuk pergi karena tahu kalau 
Sunti Ranti dalam keadaan tertotok! 

Entah karena patuh terhadap perintah ke- 
tua mereka, atau karena takut dan gentar melihat 
kesaktian Samukti, belasan murid Perguruan Go- 
lok Malaikat segera kabur meninggalkan tempat 
itu. Mereka sadar, Samukti tidak akan dapat di- 
tandingi! Hanya beberapa orang yang tidak kabur, 
karena merasa tak tega untuk meninggalkan guru 
mereka yang tengah sendirian menghadapi maut. 


Samukti, memang berwatak keji. Melihat 
belasan murid Perguruan Golok Malaikat berlarian 
meninggalkan tempat itu, cepat bagai kilat dia me- 
runduk meraih beberapa kerikil di tanah. Lalu se- 
ketika itu pula dilemparkannya kerikil-kerikil itu 
ke arah murid-murid Perguruan Golok Malaikat 
"Aaa...! Aaakh...!" 


Jeritan-jeritan menyayat hati terdengar ke- 
tika kerikil-kerikil yang dilemparkan Samukti, 
memecahkan kepala belasan murid perguruan 
yang tidak berdosa. 

Golok Malaikat marah bukan main melihat 
kematian murid-muridnya, secara mengiriskan! 
Maka seluruh kemampuannya dikerahkan untuk 
bisa membunuh, atau paling tidak mati bersama. 
Namun, niatnya hanya sia-sia. Kemampuannya 
kini memang berada cukup jauh di bawah Samuk- 
ti. 

Malah pada satu kesempatan, gedoran tan- 
gan pemuda itu kontan membuat tubuh Golok Ma- 
laikat terjengkang ke belakang. Darah segar kon- 
tan tersembur dari mulutnya. Dan begitu jatuh di 
tanah, kakek ini tidak mampu bangkit lagi. Tergo- 
lek tanpa daya. 

Samukti kini tertawa keji. Dipungutnya go- 
lok milik Ketua Perguruan Golok Malaikat yang 
terjatuh di tanah. Dan dengan dua jarinya, golok 
itu dilengkungkan seperti bumerang. Kemudian 
masih dengan senyum keji, golok itu dilemparkan 
ke arah sisa murid perguruan Golok Malaikat yang 
masih setia menunggu ketuanya. 

"Keji!" 

Golok Malaikat memaki dengan hati pilu, 
ketika melihat golok itu melayang, langsung me- 
menggal kepala murid-muridnya. Tidak terdengar 
jeritan apa pun dari mulut mereka. Sementara go- 
lok itu kemudian melayang kembali ke tangan Sa- 
mukti yang tampak tersenyum puas. 

"Bagaimana, Golok Malaikat?! Nikmat bu- 
kan, sebuah pembalasan dendam?!" tanya Samuk- 
ti penuh ejekan. 

"Terkutuk kau, Samukti!" maki Golok Ma- 
laikat! Bunuhlah aku!" "He he he...!" 

Samukti tertawa terkekeh. Kemudian di- 
hampirinya tubuh Sunti Ranti yang tergolek. Seke- 
tika, wajah Golok Malaikat pias. Demikian juga 
Sunti Ranti. Mereka tahu, Samukti akan membuk- 
tikan ancamannya. 

"Seperti telah kukatakan tadi, urusan den- 
gan mu belakangan, Golok Malaikat! Kau kujadi- 
kan saksi mata, hasil pembalasan dendam yang 
berkarat sejak lima tahun yang lalu!" Bret! 

Baju di bagian dada Sunti Ranti langsung 
robek lebar, ketika jari-jari tangan Samukti me- 
renggutnya. Saat itu juga dua buah bukit kembar 
milik Sunti Ranti mencuat hendak melompat ke- 
luar. 

Golok Malaikat hanya bisa memaki kalang 
kabut. Sedang Sunti Ranti merintih dalam hati. 
Sementara itu Samukti menatap dua bukit kembar 
yang berkulit putih mulus dengan buas seperti se- 
pasang mata harimau lapar yang melihat kambing 
gemuk! 

Sunti Ranti menjerit tertahan dalam hati, 
ketika Samukti bersiap menerkam tubuhnya. Ta- 
pi.... 

"Hanya manusia berhati binatang yang me- 
lakukan kekejian seperti ini...!" 

Belum sempat Samukti melampiaskan ha- 
sratnya, mendadak terdengar suara teguran yang 
tidak begitu lantang, namun terasa jelas ada nada 
kemarahan di dalamnya. 

Samukti geram bukan kepalang. Dia tahu, 
ada orang yang hendak mencampuri urusannya. 
Dengan perasaan geram kepalanya ditolehkan ke 
belakang. 

Di pintu gerbang, telah berdiri tenang seo- 
rang pemuda berpakaian ungu berambut putih 
keperakan. Siapa lagi kalau bukan Arya Buana 
alias Dewa Arak! Meski tenang, sepasang matanya 
yang tajam mencorong sarat ancaman. Memang, 
Dewa Arak paling benci bila melihat tindakan tak 
senonoh terhadap wanita! 

Samukti yang sudah murka, kembali meng- 
geram. Tangannya segera dijulurkan ke arah Golok 
Malaikat yang tengah tergolek. Sedangkan kakek 
itu hanya bisa memejamkan mata, pasrah me- 
nunggu datangnya maut! 

Tapi maut yang ditunggu tidak kunjung da- 
tang. Kakek ini merasakan adanya angin keras 
menghamburkan rambutnya. Dan ketika matanya 
terbuka, di tangan Samukti telah tergenggam se- 
gumpal rambut miliknya! 

Mendapat perlawanan demikian, Golok Ma- 
laikat tersinggung bukan main. Bagaimanapun ju- 
ga, dia adalah bekas guru Samukti yang wajib di- 
hormati. Namun tindakan pemuda bejat ini justru 
sebaliknya, menghina! 

Di lain pihak, Samukti tidak peduli. Begitu 
rambut Golok Malaikat berhasil diraihnya, lang- 
sung dibawanya ke depan mulut. Lalu, segera di- 
tiupnya. Maka puluhan helai rambut itu meluncur 
ke arah Dewa Arak laksana jarum-jarum panjang. 

Dewa Arak mengibaskan tangannya, men- 
ciptakan angin besar yang meluruk ke arah ram- 
but-rambut itu. Akibatnya laju rambut itu terta- 
han, bahkan lemas seperti semula dan jatuh ke 
tanah. 

Kegagalan serangan ini membuat Samukti, 
gelap mata! Maka segera dilontarkannya pukulan 
bertubi-tubi ke arah Dewa Arak. Padahal, jarak 
mereka terpisah sekitar delapan tombak! 

Dewa Arak yang tengah murka, karena me- 
lihat tindakan pemuda berbaju coklat itu terhadap 
Sunti Rani, kini bertindak tak tanggung-tanggung 
lagi. Serangan-serangan Samukti langsung disam- 
butnya dengan cepat. 

Bunyi berdesing dan berkesiutan nyaring 
terdengar, ketika dua tokoh sakti yang sama-sama 
muda saling memukulkan tangan masing-masing. 

Pletar! Tar! 

Terdengar letupan-letupan keras ketika pu- 
kulan-pukulan jarak jauh itu berbenturan di ten- 
gah jalan. Dan setiap kali terjadi benturan, tubuh 
keduanya sama-sama terhuyung-huyung ke bela- 
kang. 

Serangan yang gagal ini rupanya tidak me- 
muaskan Samukti. Pemuda ini tampak marah bu- 
kan main dengan wajah merah padam. Sepasang 
matanya terbelalak, seperti hendak menelan bulat- 
bulat Dewa Arak. Kemudian dia berdiri diam, den- 
gan kedua tangan dirangkapkan di depan dada. 

Lalu, matanya terpejam. 

Dewa Arak terdiam sejenak mengamati tin- 
dakan lawannya, meski tak menghilangkan ke- 
waspadaannya. 

"Urai Raga...!" 

Samukti membentak keras begitu mata ter- 
buka. Sesaat kemudian, Dewa Arak tertegun. Se- 
dangkan Golok Malaikat dan Sunti Ranti terpaksa 
mengucak-ucak mata masing-masing karena tidak 
percaya dengan apa yang terlihat 

Tampak, tubuh Samukti perlahan-lahan 
meninggi dan membesar. Dewa Arak dan Golok 
Malaikat yang telah kenyang pengalaman langsung 
menduga kalau hal seperti itu tidak mungkin bisa 
dilakukan manusia. Maka, kedua tokoh ini sece- 
patnya mengerahkan kekuatan batin untuk mene- 
kan alam bawah sadarnya, kalau apa yang terlihat 
adalah tipuan belaka. 

Tapi betapa kagetnya hati Dewa Arak dan 
Golok Malaikat, ketika melihat pemandangan yang 
terlihat tidak berubah sama sekali. Bahkan, tubuh 
Samukti semakin tinggi dan membesar! 

Sementara Dewa Arak mengerahkan selu- 
ruh kekuatan batinnya. Kemudian dengan penge- 
rahan seluruh tenaga dalamnya, pemuda beram- 
but putih keperakan ini membentak keras. 

"Asal kecil, kembali kecil!" 

Berkali-kali Dewa Arak mengeluarkan teria- 
kan keras, yang membuat suasana sekitarnya ber- 
getar seperti ada halilintar yang menyambar. Na- 
mun, penglihatan yang tertangkap mata pemuda 
itu tetap saja tidak berubah. Malah, tubuh Samuk- 
ti semakin membesar dan meninggi. 

Melihat kenyataan ini, Dewa Arak pun sadar 
kalau pemandangan yang tampak adalah kenya- 
taan sesungguhnya. Meskipun diliputi rasa keti- 
dakpercayaan, pemuda berambut putih keperakan 
ini terpaksa harus mengakuinya. 

Dan yang dapat dilakukan Dewa Arak 
hanya menunggu sampai perkembangan tubuh 
Samukti berhenti. Kini jantung Arya mendadak 
berdetak keras. 

Akhirnya penantian Aiya berakhir. Perkem- 
bangan tubuh Samukti terhenti, ketika tubuhnya 
mencapai tinggi satu setengah tombak! Tidak 
hanya tinggi, tapi juga besar! Sehingga Samukti 
sekarang kelihatan seperti bukit kecil. 

"Ha ha ha...!" 

Samukti tertawa bergelak, penuh kegembi- 
raan dan rasa bangga. 

"Sekarang kau akan kuhancurkan orang 
usil!" 

Dewa Arak terhuyung-huyung sambil men- 
dekap kedua telinga. Untuk pertama kalinya, dia 
tidak mampu melawan pengaruh tawa yang me- 
nyerang telinga dan menekan jantungnya dengan 
tenaga dalamnya. Tawa itu demikian keras, tak 
ubahnya halilintar! Bahkan jantungnya bagai me- 
lompat-lompat dengan kepala terasa pening! 

Samukti rupanya tahu kejadian yang ten- 
gah dialami Dewa Arak. Maka, tawanya segera di- 
lanjutkan. Tindakannya membuat Dewa Arak se- 
makin kelabakan bak cacing kepanasan. Tubuh 
Dewa Arak terus menggeliat-geliat. 

Keadaan Dewa Arak mengkhawatirkan se- 
kali. Tubuhnya sempoyongan bagai orang mabuk 
berat. Kedua tangan didekapkan erat-erat pada 
kedua telinga. Wajahnya pun tampak memerah 
bagai kepiting rebus. 

Sementara, daun-daun berguguran dari po- 
hon. Bangunan-bangunan yang terbuat dari kayu 
berderak-derak keras seperti hendak roboh. Malah 
beberapa saat kemudian, bagian demi bagian ban- 
gunan terlepas. 

Golok Malaikat dan Sunti Ranti sudah ping- 
san sejak tadi akibat pengaruh tawa itu. Padahal 
mereka tidak terlalu mendapatkan pengaruh tawa 
Samukti. Karena tawa itu ditujukan jelas untuk 
Dewa Arak. 

"Aaa...!" 

Dalam upaya untuk menangkal pengaruh 
tawa, Dewa Arak menjerit sekeras-kerasnya. Da- 
lam cekaman rasa sakit yang menggelegak, pemu- 
da itu berusaha terus melawan pengaruh tawa 
yang menyakitkan itu. 

Ranting-ranting langsung jatuh dari dahan 
pohon. Angin bertiup tak tentu arah, akibat perta- 
rungan aneh antar tenaga dalam. 

Ternyata jeritan itu tidak terlalu banyak 
menolong Dewa Arak. Maka sambil tetap menjerit 
keras, Aiya melompat menerjang Samukti. Guci 
araknya diayunkan deras ke arah kepala Samukti. 
Dewa Arak memang bermaksud secepatnya mero- 
bohkan lawan yang amat berbahaya ini! 

"Hukh...!" 

Keluhan tertahan keluar dari mulut Dewa 


Arak. Tubuhnya bagaikan menabrak sebuah dind- 
ing yang tidak tampak, begitu berjarak setengah 
tombak dari Samukti. Kekuatan dahsyat, mem- 
buat tubuhnya terjengkang deras ke belakang. 

Begitu tubuh Aiya jatuh ke tanah, Samukti 
mengirimkan dorongan pukulan jarak jauh dengan 
tangan kanan-kiri secara bergantian. 

Untung, Dewa Arak sempat berkelit dengan 
menggulingkan diri. Kalau tidak, nasibnya sama 
dengan tanah tempatnya tergolek tadi, yang lang- 
sung berlubang sedalam kuburan gajah! 

Dewa Arak bergidik! Selama petualangan- 
nya, belum pernah dia bertemu tokoh yang mem- 
punyai kekuatan tenaga dalam seperti ini! Hanya 
dorongan tangan saja mampu menimbulkan lu- 
bang besar pada tanah! Samukti yang sebesar rak- 
sasa ini, bahkan memiliki kekuatan lebih dahsyat 
daripada Raga Pitu (Untuk mengetahui lebih jelas 
tentang tokoh Raga Pitu, silahkan baca serial Dewa 
Arak dalam episode: 'Panggilan ke Alam Roh"). 

Samukti menggeram laksana harimau mur- 
ka melihat serangannya gagal. Kemudian dengan 
kedua tangannya dilakukannya gerakan menarik. 

Dewa Arak terperanjat bukan kepalang ke- 
tika merasakan ada kekuatan dahsyat yang mena- 
rik tubuhnya ke arah Samukti! Meski dalam kea- 
daan tergolek di tanah, Arya masih mampu untuk 
bertahan. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan 
untuk menolak tarikan lawannya. Kendati demi- 
kian, tubuhnya tetap terseret juga. 

Begitu telah dekat, Samukti yang tengah ka- 
lap itu cepat menggerakkan kakinya menjejak pe- 
rut Dewa Arak. Tentu saja, Arya tidak ingin tubuh 
dan seluruh isi bagian dalam dadanya hancur be- 
rantakan. Maka tangannya segera diulurkan un- 
tuk menangkap kaki itu dengan pengerahan selu- 
ruh tenaga dalamnya. 

Tetapi, ternyata Arya hanya mampu berta- 
han sebentar. Disadari apabila memaksakan diri 
terus, tulang-tulang tangannya akan patah. Bah- 
kan kaki yang luar biasa besar itu akan berhasil 
menjejak dadanya. Maka sambil melepaskan tan- 
gan, tubuhnya digulingkan. 

Dewa Arak bermaksud menjauhkan diri. 
Namun, ternyata pemuda berambut putih kepera- 
kan ini tengah tidak mujur. Tangan Samukti yang 
besar dan kekar telah berhasil mencekal tengkuk- 
nya. 

Samukti mengerahkan tenaga untuk meng- 
hancurkan tulang leher Arya. Sebaliknya, Dewa 
Arak mengerahkan seluruh tenaga dalam, untuk 
bertahan. Dia tidak ingin tulangnya hancur hingga 
tewas mengenaskan. 

Dewa Arak tahu, bila keadaan seperti ini te- 
rus berlangsung tak lama lagi, dia akan tewas 
dengan tulang leher hancur. Jepitan tangan Sa- 
mukti benar-benar luar biasa. Dan Arya merasa ti- 
dak mampu bertahan lebih lama lagi. 

Untungnya, kekhawatiran Dewa Arak tidak 
terbukti. Setelah beberapa saat tidak berhasil 
menghancurkan tulang leher Dewa Arak, Samukti 
kehilangan kesabaran. Maka dengan gemas tan- 
gannya diayunkan. Seketika, tubuh Dewa Arak 
pun melayang jauh dengan cepat. Begitu cepatnya, 
hingga melewati pagar tembok yang mengelilingi 
bangunan di dalam rumah Perguruan Golok Ma- 
laikat. 

Samukti yang masih belum puas mengum- 
bar amarah, mengedarkan pandangannya. Tampak 
tubuh Golok Malaikat tergolek pingsan. Hanya dua 
langkah, pemuda ini berada di dekat tubuh itu. 
Dan tanpa mengenal belas kasihan lagi, segera di- 
injaknya dada Golok Malaikat 

Terdengar bunyi berderak keras dari tulang- 
tulang yang hancur. Darah mengalir keluar dari 
hidung, mata, mulut, dan telinga Ketua Perguruan 
Golok Malaikat. Maka seketika nyawanya copot da- 
ri raga. 

Korban satu nyawa belum membuat puas 
Samukti. Pandangannya kembali beredar. Kali ini 
matanya tertumbuk pada tubuh Sunti Ranti. Pe- 
muda berpakaian coklat ini bergegas menghampiri. 
Namun baru setindak, tiba-tiba langkahnya ter- 
henti. Tangan kanannya seketika memegangi ke- 
pala. Wajahnya menyeringai kesakitan. Tak lama 
kemudian, tubuhnya terhuyung-huyung. 

Demikian hebat, rasa sakit yang diderita 
Samukti, hingga tubuhnya membungkuk ke de- 
pan. Kali ini dua tangannya memegang kepala. Se- 
dangkan seringai kesakitan yang terdengar sema- 
kin keras. 

"Aduuuh...!" 

Samukti tak tahan untuk tidak mengelua- 
rkan keluhan. Kemudian tubuhnya berbalik, dan 
berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bumi tera- 
sa bergetar, ketika kaki Samukti yang besar-besar 
menginjak tanah berkali-kali. 

Tapi, rasa sakit yang mendera membuat lari 
Samukti tidak tetap. Tubuhnya terhuyung ke sana 
kemari. 

"Panas...! Panas...! Air...! Air?..!" 

Di antara derap langkah kakinya, Samukti 
berteriak seperti itu. Memang, pemuda berpakaian 
coklat ini merasakan bagian dalam kepalanya te- 
rasa panas bukan kepalang seperti ada api di da- 
lamnya. Itulah sebabnya, yang dibutuhkan Sa- 
mukti adalah air untuk merendam kepalanya. 

Ketika tubuh Samukti lenyap dari pandan- 
gan mata, Sunti Ranti telah sadarkan diri. Semula, 
gadis ini kebingungan ketika melihat suasana seki- 
tar sepi! Tidak terlihat adanya pertarungan lagi. 
Namun ketika matanya menatap mayat di depan- 
nya, seketika Sunti Ranti menjerit. Mayat yang 
terbujur remuk itu tak lain dari Golok Malaikat, 
ayahnya! 

Namun, jeritan Sunti Ranti hanya tertahan 
di tenggorokan. Karena, dia masih dalam pengaruh 
totokan. Namun karena sebuah totokan memiliki 
batas waktu, maka lama kelamaan pengaruh toto- 
kan di tubuh Sunti Ranti sirna. 

Bergegas Sunti Ranti menghampiri mayat 
ayahnya. Dan gadis itu segera bersimpuh di hada- 
pan Golok Malaikat, kemudian menangis sejadi- 
jadinya. 

"Keparat kau, Samukti! Apa pun yang terja- 
di, aku akan mencarimu! Akan kubalas semua sa- 
kit hatiku!" desis Sunti Ranti penuh ancaman. 




Byurrr! 

Luncuran tubuh Dewa Arak berakhir di 
sungai. Tubuhnya terus saja tenggelam ke dalam 
air. Sisa-sisa tenaganya dikerahkan untuk menca- 
pai ke permukaan sungai. 

Begitu muncul di permukaan sungai, pe- 
muda berambut putih keperakan ini benar-benar 
tidak mampu berbuat banyak. Karena, arus sungai 
yang membuat tubuhnya meluncur cepat terbawa 
arus yang makin lama makin deras. 

Berdasarkan pengalaman, Dewa Arak tahu 
kalau aliran sungai yang makin deras pertanda te- 
lah dekat air terjun. Berarti, sebentar lagi, tubuh- 
nya akan dihempaskan ke bawah. Padahal, bi- 
asanya di sana batu-batu telah siap melahapnya. 

Sementara, tubuh Aiya terus meluncur ter- 
bawa arus sungai. Sesaat kemudian, telinganya 
mendengar bunyi air terjun yang menderu-deru. 
Dalam keadaan seperti ini, untuk melawan arus 
sungai pun tidak ada gunanya. 

Arya hanya mampu memejamkan mata ke- 
tika tubuhnya melayang dari atas puncak air ter- 
jun. 

Sudah terbayang di benaknya, kalau tu- 
buhnya akan jatuh terhujam batu-batu karang 
yang bertebaran di tempat tumpahan air terjun. 

Tapi di saat tubuh Dewa Arak melayang ja- 
tuh, satu sosok yang tengah duduk di bongkahan 
batu di pinggir tempat jatuhnya air terjun melihat- 
nya. Sikapnya tampak murung. Dan kebetulan, 
saat tubuh Arya melayang jatuh, kepalanya tengah 
mendongak ke atas. 

Tanpa menunggu lebih lama, sosok itu me- 
lolos sabuk dan melemparkannya. Bagaikan hi- 
dup, sabuk itu meliuk-liuk, langsung melingkari 
pinggangnya membentuk simpulan erat. Selanjut- 
nya, sosok itu bergerak menyentak. 

Arya mendarat di batu datar dan luas di de- 
pan sosok itu, bagaikan diletakkan oleh tangan 
yang tidak tampak. Meski masih lemah, Arya be- 
rusaha untuk tersenyum dan mengangguk. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek," 
ujar Arya penuh rasa syukur. Pada sosok yang 
ternyata seorang kakek bertangan satu. 

Dewa Arak mencoba duduk bersila berha- 
dapan dengan kakek penolongnya. Kebetulan batu 
itu cukup luas. 

"Berterima kasihlah pada Tuhan," jawab 
kakek bertangan satu. "Tanpa perkenannya, se- 
muanya tak berarti apa-apa. Aku yakin, semua ini 
telah di atur Yang Maha Kuasa. Dan aku hanya 
sebagai perantara saja, agar dapat menolong orang 
yang berjiwa bersih sepertimu, Anak Muda." 

"Terima kasih atas pujian mu, Kek. Aku tak 
berani menganggap diriku sebagai orang yang ber- 
jiwa bersih. Namun, aku akan berusaha untuk 
menjadi seperti itu. O, ya. Namaku Arya Buana, 
Kek. Dan, orang-orang biasa memanggilku, Aiya!" 

Kakek bertangan satu itu tercenung seje- 
nak, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu. 

"Meski telah cukup lama mengasingkan diri, 
aku juga dengar tentang munculnya seorang pen- 
dekar muda sakti yang berjuluk Dewa Arak! Apa- 
kah kau sendiri yang dimaksudkan?! Kulihat, 
rambutmu putih keperakan. Pakaianmu ungu. Di 
punggungmu, ada guci arak. Dan yang lebih pent- 
ing lagi, sepasang matamu mencorong tajam pe- 
nuh kekuatan tenaga dalam. Aku yakin, tokoh 
sakti setenar Dewa Arak pasti memiliki mata se- 
perti itu," ungkap kakek bertangan satu. 

"Begitulah orang menjuluki aku, Kek. Na- 
mun, aku yakin tidak ada artinya bila dibanding- 
kan dengan nama besarmu. Boleh ku tahu, siapa 
kau sebenarnya, Kek?!" tanya Aiya hati-hati. 

Kakek bertangan satu tidak langsung men- 
jawab pertanyaan itu. Dia malah tercenung seje- 
nak. 

"Sebenarnya, aku bermaksud untuk mem- 
bawa mati rahasia busuk mengenai perbuatan ter- 
kutuk yang kulakukan di akhir hidupku!" jelas, 
kakek itu, bernada mengeluh. 

"Lebih baik, kau tidak usah menceritakan- 
nya daripada menjadi beban batinmu, Kek. 
Dan...." 

"Tidak perlu sungkan atau merasa kecil ha- 
ti, Dewa Arak! Justru aku ingin menceritakannya. 
Dan kebetulan kau, sepertinya layak dipercaya. 
Aku tidak ingin perbuatan terkutuk yang kulaku- 
kan, membuat hatiku gelisah dan selalu dikejar- 
kejar perasaan bersalah. Dengan menceritakan 
pada orang lain, beban batin ku akan berkurang." 

Dewa Arak diam, tidak memberi tanggapan 
sama sekali. 

"Namaku, Sangga Langit! Tapi, orang lebih 
suka memanggilku Eyang Sangga Langit," kakek 
bertangan satu memulai keterangannya. "Aku 
mempunyai.... Yahhh, katakanlah sebuah pergu- 
ruan. Hanya saja, jumlah muridku tidak banyak. 
Hanya beberapa orang. Di antara mereka, yang 
paling menonjol adalah putri seorang sahabat yang 
sengaja dititipkan padaku. Seorang gadis cantik 
bernama Witari, yang memiliki kemampuan di atas 
kawan-kawannya. Ini karena ketekunannya dan 
juga bakatnya." 

Arya diam-diam terkejut ketika mengetahui 
kakek di hadapannya adalah Eyang Sangga Langit. 
Nama kakek itu telah lama dikenal sebagai seo- 
rang tokoh sakti yang memiliki kepandaian yang 
luar biasa! Bahkan banyak memiliki ilmu gaib 
yang aneh-aneh dan tidak masuk akal. Hanya sa- 
ja, jarang ada orang yang tahu tempat tinggalnya. 

"Setelah mengajarkan semua kemampuan 
yang kumiliki kepada murid-muridku, aku lalu 
mengasingkan diri. Pekerjaanku, setiap hari ada- 
lah bersemadi dan memusatkan perhatian untuk 
menciptakan ilmu-ilmu lainnya," lanjut Eyang 
Sangga Langit setelah terdiam sejenak untuk men- 
gambil napas. "Tapi baru beberapa bulan, Witari 
muncul. Tepat pada saat yang bersamaan, aku 
terserang rasa gelisah yang begitu mendadak dan 
aneh. Rasa gelisah ini timbul karena alam bawah 
sadarku yang sering kuasah menjadi tajam, mera- 
sakan adanya hal mengerikan yang bakal terjadi. 
Tapi sayangnya, aku tidak sadar dengan firasat 
yang kuterima. Dan ternyata, malapetaka besar 
yang mampu membuat alam bawah sadar ku itu 
demikian gelisah berasa! dari muridku." 

"Apakah dia berkhianat?!" tanya Arya tidak 
sabar, karena rasa ingin tahunya. 

"Tidak! Sama sekali tidak!" Eyang Sangga 
Langit menggeleng. 

Kemudian lelaki tua ini menceritakan se- 
muanya secara lengkap. Beberapa kali, Aiya sam- 
pai mengeluarkan seruan-seruan kaget mendengar 
semua cerita yang disampaikan kakek bertangan 
satu itu. 

"Kalau begitu..., aku telah bertarung mela- 
wan Witari palsu yang kau maksudkan, Eyang," 
ujar Aiya, ketika Eyang Sangga Langit menyelesai- 
kan ceritanya. 

"Ahhh...! Benarkah demikian, Aiya?! Mak- 
sud ku..., kau telah berhadapan dengan orang 
yang telah menipuku untuk mendapatkan ilmu 
'Urai Raga'?!" 

Kata-kata Eyang Sangga Langit terdengar 
bergetar. Wajahnya diliputi rasa kaget dan tidak 
percaya. 

"Sebenarnya aku tidak yakin, Eyang. Tapi 
mungkin saja kalau orang yang kuhadapi adalah 
orang yang menyamar sebagai Witari. Masalahnya, 
sewaktu bertarung beberapa kali dan tidak mampu 
mengalahkanku, dia kelihatan mulai penasaran. 


Lalu disebutnya satu ilmu yang bernama 'Urai Ra- 
ga'! Sesaat kemudian...." 

"Tubuhnya membesar dan meninggi...?!" se- 
lak Eyang Sangga Langit tidak sabar menunggu 
kelanjutannya. 

"Benar...!" jawab Arya cepat. 

"Itulah ilmu 'Urai Raga' milikku!" pekik 
Eyang Sangga Langit setengah mengeluh. 

"Sebuah ilmu yang mengerikan!" 

Tanpa sadar Aiya mengeluarkan kata-kata 
seperti itu karena masih terkenang akan kedah- 
syatan ilmu yang dipergunakan Samukti, sehingga 
membuatnya tidak berdaya sama sekali. 

"Memang," kata Eyang Sangga Langit mem- 
beri persetujuan atas pendapat Arya. "Ilmu itu 
memang mengerikan dan akan menyebarkan 
maut, apabila berada di tangan orang yang berwa- 
tak angkara murka. Ilmu 'Urai Raga' membuat 
kemampuan seseorang berlipat ganda! Tenaga da- 
lamnya menjadi sangat kuat. Sekujur tubuhnya 
seperti terlindung satu dinding kasatmata, sehing- 
ga tak satu pun serangan yang mampu menem- 
busnya." 

Aiya mengangguk-anggukkan kepala, kare- 
na telah merasakan sendiri kebenaran cerita 
Eyang Sangga Langit. 

"Lalu..., bagaimana cara mengalahkan ilmu 
itu, Eyang? Sepengetahuanku, tidak ada ilmu yang 
tidak punya kelemahan dan pantangan. Bisakah 
kau beritahukan padaku kelemahan ilmu itu, 
hingga keangkaramurkaan orang itu bisa ku ce- 
gah?" tanya Arya hati-hati, khawatir salah bicara. 

Eyang Sangga Langit tidak langsung men- 
jawab, tapi malah tercenung. Pandangannya di- 
arahkan ke langit pada gumpalan awan yang ten- 
gah berarak. 

"Aku sendiri belum pernah mempergunakan 
ilmu itu, karena memang belum lama kudapatkan. 
Jadi, bagaimana ku tahu kelemahannya. Tapi yang 
jelas, ada sebuah kelemahan besar dalam ilmu 
'Urai Raga' yang dimiliki oleh Witari palsu itu!" 

"Aku belum mengerti maksudmu, Eyang?!" 
desah Arya, tidak segan untuk mengutarakan ke- 
tidaktahuannya. 

Eyang Sangga Langit tersenyum getir, seba- 
gaimana halnya orang-orang yang tidak memiliki 
beban batin dalam hatinya. Kakek ini rupanya ma- 
sih teringat akan perbuatan terkutuknya yang di- 
lakukan bersama Witari. Perbuatan terkutuk yang 
membuat batinnya terguncang hebat. 

"Mungkin perlu sedikit kuberitahukan, De- 
wa Arak. Dunia ini dihuni oleh tidak hanya manu- 
sia saja. Namun, masih ada makhluk-makhluk 
lain yang tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba, 
ataupun dirasa. Tapi, mereka ada. Makhluk- 
makhluk ini di namakan makhluk gaib yang ka- 
satmata. Tinggalnya pun di alam gaib. Tempat 
yang bagi sebagian orang sulit diterima akal se- 
hat," Eyang Sangga Langit mulai dengan penjela- 
sannya. 

Arya terdiam. Dewa Arak juga percaya 
adanya makhluk-makhluk gaib beserta alamnya. 
Bahkan pemuda berambut putih keperakan itu 
mempunyai sesuatu dari alam gaib. Apabila diper- 
lukan Belalang Raksasa-nya sewaktu-waktu bisa 
dipanggil untuk membantu (Mengenai belalang 
raksasa ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam 
episode: "Dalam Cengkeraman Biang Iblis"). 

Makhluk-makhluk gaib itu ada yang berupa 
binatang, ilmu jin, setan, genderuwo, kuntilanak, 
tuyul, buto ijo dan lain-lain sebagainya. Nah! Ilmu 
'Urai Raga' itu kudapatkan, karena hubunganku 
yang erat dengan buto ijo. Namanya Tagula! Jadi, 
apabila kata 'Urai Raga’ disebut, maka tubuh 
orang yang menyebutnya menjadi besar. Memang, 
tidak sebesar dan setinggi raksasa di alam gaib. 
Tapi paling tidak, dua kali lipat lebih tinggi dan le- 
bih besar dibanding ukuran orang pada umum- 
nya." 

"Jelasnya ilmu 'Urai Raga' mempunyai ke- 
lemahan, Eyang?" desak Aiya meminta penegasan. 

"Tidak!" sahut Eyang Sangga Langit lantang. 
"Sepengetahuanku, tidak! Tapi, ilmu 'Urai Raga' 
yang dimiliki Witari palsu itu ada kelemahannya!" 

"Bisa kau beritahukan, mengapa dan ba- 
gaimana aku bisa mengalahkannya melalui kele- 
mahan yang dimilikinya?!" 

"Tentu saja!" sahut Eyang Sangga Langit 
dengan suara dan sikap mantap. Tapi sebelumnya, 
maukah kau memenuhi permintaanku? Sebenar- 
nya memang ini urusanku. Tapi karena aku sudah 
sangat tua dan tak mungkin lagi menempuh perja- 
lanan jauh, maka kuminta tolong padamu, Dewa 
Arak. Maukah kau?!" 

"Bersedia, Eyang. Tentu saja dengan syarat, 
tidak menyeleweng dari kebenaran!" jawab Arya 
mengajukan syarat. 

"Tentu saja tidak, Dewa Arak!" timpal Eyang 
Sangga Langit cepat. Kau hanya kuminta mencari 
Witari, dan melindunginya kalau terjadi apa-apa. 
Aku tidak tahu, dia pergi ke mana. Mungkin kem- 
bali ke rumah orang tuanya. Aku benar-benar 
mengkhawatirkannya." 

"Akan kuperhatikan semua kata-katamu, 
Eyang. Sekarang, beritahukanlah padaku. Apa ke- 
lemahan ilmu 'Urai Raga' yang dimiliki Witari palsu 
itu dan bagaimana aku bisa mengalahkannya!" 

Kemudian Eyang Sangga Langit menje- 
laskan tentang kelemahan ilmu 'Urai Raga'. Se- 
mentara, Arya mendengarkan penuh minat. 

"Satu pertanyaan lagi, Eyang. Tapi kalau 
kau tidak mau menjawabnya, aku tidak akan me- 
maksa," ujar Arya ketika Eyang Sangga Langit te- 
lah memberitahukan kelemahan ilmu 'Urai Raga' 
yang dimiliki Samukti. 

"Hm....!" gumam Eyang Sangga Langit, pe- 
lan. 

"Apakah tempat ini berhubungan dengan 
ruangan di mana kau dulu hampir dibunuh Witari 
palsu?!" 

Eyang Sangga Langit mengangguk. 

"Ada sedikit tambahan lagi, Eyang!" tambah 
Aiya, agak terburu-buru karena pertanyaan itu 
muncul secara tiba-tiba. "Apakah kau tahu, kalau 
pengaruh aneh yang melanda perasaanmu dan pe- 
rasaan Witari tidak sewajarnya?! Kalau benar, be- 
rarti ada orang yang sengaja menginginkan terjadi. 
Untuk apa?! Dan apakah kau bisa menduga, siapa 
orang itu?!" 

Eyang Sangga Langit menautkan alisnya. 

"Memang agaknya ada pihak ketiga yang te- 
lah mempengaruhiku. Dengan menggunakan ilmu 
gaib yang menjijikkan, dia berhasil menjeru- 
muskanku ke lembah kehinaan! Sayang, aku tak 
tahu siapa orang itu. Kalau tidak, sudah kuhan- 
curkan kepalanya!" 

Aiya tidak menanggapi lagi. Dia tahu, Eyang 
Sangga Langit bersungguh-sungguh dengan an- 
camannya. Kakek itu terlihat demikian terpukul 
akibat perbuatan terkutuk yang pernah dilaku- 
kannya. 

"Kurasa sudah waktunya aku hams pergi, 
Eyang. Akan kucari Witari palsu itu. Dan, akan ku 
lenyapkan angkaramurkanya. Selamat tinggal, 
Eyang!" ucap Aiya Buana sembari berpamitan. 

"Selamat jalan, Dewa Arak! Selamat bertu- 
gas, semoga kau berhasil!" 

Dewa Arak mengernyitkan alis dengan mata 
menyipit untuk lebih memperjelas pandangan. Di 
kejauhan tampak ada sesosok tubuh tengah berla- 
ri cepat menuju ke arahnya. Padahal, dia sendiri 
tengah berlari cepat menuju ke arah sosok itu. 

Arya merasakan jantungnya berdetak lebih 
cepat. Setitik harapan tumbuh di hatinya. Siapa 
tahu sosok, yang tengah melesat cepat ke arahnya 
itu Samukti! 

Tapi seiring semakin dekatnya jarak, Aiya 
mulai bisa menduga kalau sosok di depannya bu- 
kan Samukti. Pakaian sosok itu merah! Lagi pula, 
tubuhnya kecil dan ramping! Jelas, seorang wani- 
ta! 

Jantung dalam dada Arya berdetak jauh le- 
bih cepat, ketika menduga kalau sosok di depan- 
nya orang yang dimaksud Eyang Sangga Langit. 
Witari! 

"Ah...!" 

Aiya berseru kaget, ketika wanita berpa- 
kaian merah terhuyung-huyung kemudian jatuh 
ke tanah. Semula hatinya heran. Tetapi ketika me- 
lihat ada sosok lain yang melesat cepat memburu 
ke arah gadis itu, Arya segera tahu apa yang telah 
terjadi. Sosok yang melesat belakangan itu, tengah 
mengejar-ngejar sosok yang diduga Witari! Dan 
bukan tak mungkin, sosok yang baru datang bela- 
kangan ini telah membuat Witari roboh! Entah 
dengan pukulan jarak jauh, atau serangan senjata 
rahasia! 

"Tahan...!" 

Aiya mengeluarkan seruan keras, ketika 
melihat sosok itu menghampiri tubuh gadis berpa- 
kaian merah. Pemuda itu khawatir, sosok itu akan 
mengirimkan serangan maut. 

Berbareng dengan teriakan itu, Dewa Arak 
mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya. Dan 
saat itu juga tubuhnya melesat cepat ke depan. 

"Ah! Kiranya kau, Kek," desah Aiya dengan 
suara lega, ketika melihat jelas siapa sosok yang 
tengah berdiri di dekat gadis berpakaian merah. 
Orang itu ternyata Janggara! 

"Kita berjumpa lagi, Dewa Arak...!" Janggara 
juga berseru. 

Dan Arya merasakan adanya nada gembira 
dalam suara Janggara. Wajah kakek itu pun ber- 
seri-seri. 

"Dunia memang tidak terlalu luas, Kek," ki- 
lah Arya sekenanya, sambil menyempatkan diri 
untuk memperhatikan gadis berpakaian merah 
yang tergolek di tanah. 

Meski sekelebatan, pemuda ini sempat me- 
lihat adanya tahi lalat di pipi kanannya. Tidak sa- 
lah lagi, gadis ini adalah Witari! 

Janggara melihat lirikan Arya. 

"Kau kenal gadis ini, Arya?!" 

"Ya, kira-kira begitu," sahut Aiya, mengang- 
guk. "Guru gadis ini pernah menyelamatkan nya- 
waku!" 

Janggara terdiam. Kepalanya hanya men- 
gangguk-angguk. Entah, apa arti anggukannya. 

"Kelihatannya kau ada persoalan dengan- 
nya, Kek?!" pancing Arya ingin tahu. 



Janggara menghela napas berat. 

"Sebenarnya sih, tak ada masalah yang be- 
rarti. Kami secara kebetulan bertemu di jalan. Dia 
kutanya baik-baik, eh..., malah marah-marah dan 
menyerangku. Terpaksa aku melawan. Rupanya, 


dia tak kuat melawanku, dan melarikan diri. Kare- 
na aku telanjur penasaran, dia kukejar. Dan..., 
kurasa kejadian selanjutnya kau telah tahu sendi- 
ri, Arya," jelas Janggara. 

Aiya mengangguk. 

"Aku bisa memaklumi, mengapa dia marah- 
marah padamu, Kek?! Gadis ini memang tengah 
mendapat masalah. Jadi, mungkin saja menjadi 
gampang tersinggung. Tapi, dia sebenarnya tidak 
jahat. Maka ku mohon, kau sudi mengampuninya. 
Aku akan membawanya kembali pada gurunya. 
Karena, guru gadis itu sendiri yang telah memin- 
taku untuk mencarinya. Apakah kau bersedia 
memaafkan kelancangannya, Kek?!" 

"Karena kau yang meminta, aku tidak 
punya pilihan lain, Aiya. Aku percaya padamu. 
Dan ku putuskan masalah ku dengannya selesai!" 

"Terima kasih, Kek. Sudah kuduga kau pas- 
ti akan bertindak bijaksana." 

Janggara tertawa terkekeh. 

"Ah...! Hampir aku lupa! Bagaimana nasib 
muridmu itu, Kek? Sudah berhasil kau sela- 
matkan?!" 

Wajah Janggara muram seketika itu juga. 

Tentu saja Arya kaget, melihat kenyataan 
yang sama sekali tidak diduga. Meski kakek ber- 
wajah tirus itu tidak memberi jawaban, namun da- 
ri sorot matanya menyiratkan kegagalan. 

"Hhh...!" 

Janggara terlebih dulu menghembuskan 
napas berat, seperti hendak membuang ganjalan 
dalam dadanya. 

"Kurasa tidak akan ada seorang pun yang 
sanggup menyelamatkan nyawa muridku itu, 
Aiya." 

"Lho mengapa, Kek?!" tanya Aiya kaget 
campur heran. 

Dewa Arak tahu, siapa Janggara. Kakek 
berwajah tirus yang memiliki kepandaian amat 
tinggi. Bahkan Aiya tak berani menganggap kalau 
kepandaian kakek ini berada di bawah tingkatnya. 
Kalau Janggara saja sudah demikian putus asa 
untuk bisa berbuat sesuatu, bisa dibayangkan se- 
berapa kuat kesaktian lawan yang dihadapinya! 

"Muridku menjadi tawanan seorang tokoh 
sakti, di sebuah tempat yang bernama Puncak 
Nirwana. Jangankan untuk bisa masuk ke dalam 
sana. Menghadapi dua penjaga di tiap-tiap pos 
pun, aku sudah tak mampu. Kalau hanya meng- 
hadapi seorang di antara mereka aku akan sang- 
gup. Tapi, dua orang sekaligus?! Padahal, tingkat 
kepandaian mereka hanya berbeda sedikit den- 
ganku!" 

"Puncak Nirwana?!" Aiya mengulang nama 
tempat itu dalam hati sambil mengernyitkan alis. 

Dewa Arak memang pernah mendengar na- 
ma Puncak Nirwana. Tapi, tempat itu lebih menye- 
rupai dongeng. Menurut berita yang tersebar, letak 
Puncak Nirwana teramat rahasia. Tidak ada seo- 
rang pun tokoh persilatan tahu, di mana tempat- 
nya. Sehingga, mereka hanya menganggap tempat 
itu sebagai dongeng semata! 

"Benar. Mengapa?!" Janggara balas menga- 
jukan pertanyaan. 

"Tidak apa-apa, Kek. Kukira tempat itu 
hanya ada dalam dongeng. Masalahnya, belum 
pernah ada orang yang dapat menemukan tempat 
itu," jawab Aiya jujur. 

"Tempat itu memang benar-benar ada, 
Arya," jelas Janggara sungguh-sungguh. "Di sana 
tinggal keluarga yang amat sakti dan berkepan- 
daian sangat tinggi! Jangankan majikannya. Baru 
para penjaganya saja, sudah jarang dapat tertan- 
dingi tokoh persilatan tingkat atas!" 

"Benarkah demikian, Kek?!" tanya Aiya se- 
tengah tak percaya. 

"Benar, Arya," tegas Janggara mengangguk, 
mantap. "Kau kira, dari mana aku bisa memiliki 
kepandaian setinggi ini?!" 

Wajah Arya berubah. 

"Jadi..., kau penghuni Puncak Nirwana, 

Kek?!" 

"Bukan. Aku orang luar. Hanya kebetulan, 
mendapat pertolongan dan dijadikan sebagai pe- 
waris ilmu-ilmu mereka. Tapi hanya sebagian kecil 
saja yang diturunkan padaku. Lainnya, tidak ditu- 
runkan karena merupakan ilmu keluarga! Jadi, 
hanya anggota keluarga saja yang bisa mempelaja- 
rinya!" 

Dewa Arak terkejut bukan kepalang men- 
dengar keterangan ini. Kalau penuturan Janggara 
benar, sulit dibayangkan betapa tingginya kepan- 
daian keluarga di Puncak Nirwana. Dan andaikata 
mereka turun ke dunia persilatan dan membuat 
onar, siapa yang akan sanggup mengalahkannya? 

"Mungkin kau pernah mendengar julukan 
Raksasa Kapak Maut dan Tuyul Bertenaga Raksa- 
sa?! Kalau tidak salah, sekitar lima belas tahun 
yang lalu?!" tanya Janggara. 

Aiya mengangguk, karena memang pernah 
mendengarnya. Kedua tokoh yang disebutkan tadi 
memang memiliki kepandaian dahsyat. Begitu me- 
nurut berita yang tersebar di dunia persilatan. Se 

hingga tokoh sakti pentolan dunia pendekar 
seperti Golok Malaikat harus menelan kenyataan 
pahit, dicundangi mereka dalam pertarungan satu 
lawan satu! 

"Nah! Mereka adalah penjaga-penjaga jalan 
menuju Puncak Nirwana! Di tempat asal mereka 
tidak ada julukan apa pun. Tapi begitu turun gu- 
nung, muncul julukan atas mereka karena tinda- 
kan-tindakan mereka yang menggemparkan!" 

"Kudengar mereka tidak jahat!" selak Aiya 
mengajukan pendapatnya. 

"Memang tidak! Mereka turun gunung kare- 
na mencariku. Aku kabur dari Puncak Nirwana, 
karena tidak tahan berdiam di sana terus mene- 
rus. Aku ingin langsung membalas sakit hatiku 
pada tokoh-tokoh hitam yang menyebabkan ke- 
luargaku tewas. Ayah, ibu, dan adik-adikku tewas 
oleh gerombolan perampok. Maka setiap tokoh go- 
longan hitam adalah musuh besarku. Yang hams 
ku basmi! 

"Pantas, kemarin dulu waktu didatangi ke- 
lompok tokoh-tokoh hitam, tindakanmu terlalu ke- 
ras!" kata Aiya mengangguk-angguk maklum. 

"Yahhh...! Kira-kira demikian, Arya." 

Suasana hening ketika Janggara menghen- 
tikan cerita. Saat itu, baru Aiya teringat pada Wi- 
tari. Gadis ini ternyata tidak mampu bergerak sa- 
ma sekali dalam keadaan rebah miring. Rupanya, 
dia tertotok sehingga lumpuh. 

"Ah...! Hampir aku lupa...?!" 

Sambil berkata demikian, Arya mengi- 
baskan tangan kanan ke bawah seperti orang 
mengebut lalat. Gadis berpakaian merah yang 
memang Witari merasakan jalan darahnya kembali 
lancar. Namun, dengan muka merah, dia bangkit 
dan menerjang Janggara. 

Tapi, hal itu sudah diperhitungkan Dewa 
Arak. Sebelum serangan Witari mengenai sasaran- 
nya, di kirimkan totokan dari jauh. Sehingga, tu- 
buh Witari ambruk seperti semula ketika jalan da- 
rahnya di bagian bahu kanan tertotok. 

"Maafkan aku, Witari. Kurasa kau telah 
dengar sendiri. Salah paham telah selesai. Syukur, 
Kakek ini mau memaafkan kesalahanmu. Kalau 
tidak.... Sudahlah. Tak usah kau perpanjang lagi 
masalah ini. Lagi pula aku mendapat tugas dari 
Eyang Sangga Langit untuk menjagamu dari mara 
bahaya. Gurumu khawatir, terjadi sesuatu atas di- 
rimu!" 

Witari diam, tidak menjawab sama sekali. 
Hal ini membuat Aiya agak heran. Dia tahu, urat 
suara gadis ini tidak tertotok. Lalu, mengapa tidak 
mau bicara sama sekali? "Kalau menurut penda- 
patmu..., apa yang seharusnya kulakukan, Arya?!" 

Pertanyaan Janggara membuat Aiya menga- 
lihkan perhatiannya pada kakek itu. 

"Maksudmu untuk menyelamatkan nyawa 
muridmu itu, Kek?!" tanya Aiya meminta kepas- 
tian. 

"Benar, Aiya. Melalui dua penjaga, Raksasa 
Kapak Maut dan Tuyul Bertenaga Raksasa, aku 
tahu Tuan Besar pemilik Puncak Nirwana itu men- 
gajukan persyaratan, kalau aku ingin muridku 
kembali selamat." 

"Apa syaratnya?!" 

"Dia meminta ku untuk memulangkan se- 
mua pusaka yang dulu kubawa sewaktu kabur da- 
ri Puncak Nirwana!" jawab Janggara, malu-malu. 

"Nah! Tunggu apa lagi?! Dia sudah bersikap 
bijaksana dengan memberikan pilihan bagi kese- 
lamatan muridmu, Kek. Bahkan tidak mau meng- 
hukum mu. Dia hanya minta pusaka-pusaka 
kembali! Sekarang, tinggal terserah padamu. Lebih 
berat pada pusaka, atau pada nyawa muridmu?" 

"Itulah sulitnya, Aiya. Pusaka yang dimak- 
sud sudah tak ada lagi di tanganku!" 

"Ah...! Mengapa bisa demikian, Kek?!" tanya 
Aiya, tanpa menyembunyikan rasa penasarannya. 
"Aku menyembunyikannya di suatu tempat. 

Tapi ketika aku bermaksud mengambilnya 
lagi, ternyata telah hilang. Belakangan kuketahui 
kalau pusaka itu telah berada di tangan seorang 
pendekar. Aku ragu, bagaimana cara menda- 
patkannya kembali!" 

"Mungkin kau bisa memintanya secara 
baik-baik, Kek?!" Aiya mengajukan usul. 

"Bagaimana mungkin, Aiya?! Pusaka itu te- 
lah menjadi senjata andalan pendekar itu. Tanpa 
adanya pusaka itu, dia bagai macan yang telah di- 
cabut gigi dan kukunya. Begitu yang kudengar 
menurut berita di dunia persilatan," bantah Jang- 
gara. 

Suasana kembali hening. 

"Kalau seandainya kau orangnya, bagaima- 
na tindakanmu, Arya?! Ini, misalnya," pancing 
Janggara. 

"Mungkin akan kuberikan, Kek. Tapi, 
mungkin pula tidak. Ini bukan masalah semba- 
rangan. Bukankah pusaka tidak lebih berharga 
daripada nyawa. Pusaka masih bisa dicari gan- 
tinya. Sedangkan nyawa? Tidak!" 

"Kalau begitu..., aku mohon kebijaksanaan 
mu untuk memberi pusaka itu padaku untuk me- 
nebus nyawa muridku itu, Arya," ujar Janggara. 

Aiya melompat ke belakang bagai disengat 
kalajengking. Wajahnya kontan berubah hebat. 

"Apa maksudmu, Kek?! Jangan main-main!" 
seru Aiya memperingatkan. 

"Aku tidak main-main, Aiya. Pusaka yang 
ku maksud memang ada padamu. Kaulah pende- 
kar yang kumaksudkan," ungkap Janggara, ber- 
sungguh-sungguh. 

Arya terpaku kaku di tempatnya, bagai 
orang terkena sihir. Pemuda ini kelihatan bingung 
sekali, karena tidak menyangka kalau pusaka yang 
dimaksudkan ada di tangannya. 

"Jadi..., pusaka yang kau maksudkan itu 
adalah..., guci pusakaku ini, Kek?!" tanya Aiya, 
terbata-bata. 

Janggara mengangguk. 

"Guci itulah yang kularikan dari Puncak 
Nirwana, Arya. Karena aku tahu betul khasiatnya. 
Mampu menawarkan racun-racun, mampu mem- 
buat arak yang lemah sekali pun menjadi keras, 
dan dapat dijadikan senjata. Bahkan masih ba- 
nyak lagi kehebatan lainnya. Aku tidak tahu, ba- 
gaimana pusaka itu bisa ada padamu. Tapi, ku 
mohon kesediaanmu untuk memberi guci itu pa- 
daku untuk di tukar nyawa muridku, Arya." 

Arya tidak langsung memberi tanggapan. 
Dia masih berperang melawan batinnya. Dua kein- 
ginan yang berlawanan berkecamuk dalam ha- 
tinya. Satu sisi ingin memberi, di sisi lain menolak. 

"Tidak bisakah yang lainnya, Kek?! Bukan- 
nya aku tidak peduli nasib muridmu atau terlalu 
tamak dengan pusaka. Sama sekali tidak! Tapi..., 
guci ini teramat penting artinya bagiku. Tanpa 
adanya guci ini, bagaimana mungkin aku berjuluk 
Dewa Arak. Bahkan ilmu 'Belalang Sakti' tidak 
akan bisa ku mainkan, tanpa guci ini. Julukan 
Dewa Arak mungkin akan hapus karenanya," kilah 
Dewa Arak, memberi alasan. 

Janggara tersenyum pahit 

"Seperti yang kukatakan tadi, Arya. Guci itu 
amat berarti bagi seorang pendekar. Laksana nya- 
wa kedua baginya. Jadi, yahhh...! Aku tidak bisa 
mengharap terlalu banyak," desah Janggara. 

"Beri aku kesempatan untuk berpikir, Kek," 
pinta Arya. "Ketahuilah. Kalau hanya dua alasan 
itu, aku tidak terlalu berat untuk melepaskannya. 
Meski berat, tapi mungkin aku akan memberikan- 
nya padamu. Betapapun juga, nyawa manusia 
jauh lebih berharga daripada pusaka." 

"Jadi..., masih ada alasan lain yang mem- 
buat mu merasa keberatan, Aiya?!" tanya Jangga- 
ra agak kaget. 

"Benar, Kek. Malah justru ini yang terberat! 
Perlu kau ketahui, guci ini pemberian guruku. Dan 
dia memberikan, untuk menjadi pelengkap ilmu 
andalan yang diwariskannya padaku!" 

"Ah...!" 

Janggara mengeluarkan keluhan tanpa 
sempat ditahan lagi. Sebagai seorang tokoh persi- 
latan yang menghargai hubungan murid dan guru, 
kakek ini tahu betapa pentingnya warisan seorang 
guru. Dan seorang murid wajib menjaga pembe- 
rian gurunya dengan sebaik-baiknya. Karena, itu 
sama dengan amanat Janggara pun tahu, rasa 
bimbang Dewa Arak semakin bertumpuk. 

"Kurasa," Janggara membuka ucapan lagi 
dengan suara kering dan getir. "Aku tidak perlu 
melibatkanmu dalam hal ini, Aiya. Biarlah kucari 
cara lain untuk menyelamatkan muridku." 

Arya tidak memberi tanggapan. Keningnya 
tampak berkernyit, tengah berpikir keras. 

"Aku mempunyai jalan lain, Kek. Bagaima- 
na kalau kita pergi bersama-sama. Kita coba un- 
tuk meminta kebijaksanaan penghuni Puncak 
Nirwana itu. Kalau dia tetap tidak menerima, apa 
boleh buat. Mungkin guci itu terpaksa harus kube- 
rikan. Biar bagaimanapun, benda itu toh asalnya 
dari sana," jelas Dewa Arak. 

"Sebuah usul yang baik, Aiya," sahut Jang- 
gara tidak terlalu gembira. "Tapi terus terang saja, 
aku tidak terlalu yakin kalau Tuan Besar itu mau 
menerima kedatangan kita." 

"Tapi tidak ada salahnya kita mencoba du- 
lu, Kek?!" kilah Aiya memberi semangat. 

"Kau benar, Aiya. Tapi...." 

"Apa yang perlu diragukan lagi, Kek?! Bu- 
kankah menurut pengakuanmu, penghuni Pun- 
cak. Nirwana adalah orang-orang yang berwatak 
bijaksana dan suka menolong. Aku yakin, mereka 
akan memberi keputusan yang adil!" 

Janggara untuk yang ke sekian kalinya 
menghela napas berat. Hal ini membuat Aiya he- 
ran. Karena sebagai pemuda yang kenyang penga- 
laman, dia bisa tahu ada sesuatu yang masih dis- 
embunyikan kakek itu. 

"Dulu penghuni Puncak Nirwana memang 
memiliki watak baik hati dan suka menolong. Tapi 
sekarang, entah mengapa bisa sampai berubah se- 
perti ini. Aku tidak percaya lagi, Arya. Tapi, tidak 
ada jalan lain untuk menyelamatkan nyawa mu- 
ridku. Menurut pendapatmu, pantaskah seorang 
tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, menyande- 
ra seorang gadis muda untuk memaksa gurunya 
memenuhi permintaan itu?! Bukankah ini aneh?! 
Aku yakin, telah terjadi perubahan pada diri peng- 
huni Puncak Nirwana itu." 

Arya diam. Meski demikian, dalam hatinya 
menyetujui pendapat yang dikemukakan Janggara. 

"Bahkan...," sambut Janggara lagi. "Bukan 
hanya kembalinya guci pusaka untuk merebut 
nyawa muridku, tapi juga seorang gadis cantik 
berpakaian merah yang bernama Witari." 

Di luar dugaan Janggara, Arya tidak kaget 
sama sekali. Bahkan seperti telah mengetahui se- 
belumnya. 

"Kau tidak kaget, Aiya?! Apakah kau telah 
menduga sebelumnya?!" Arya mengangguk. 

"Aku merasa curiga, ketika Witari tidak 
mampu bicara. Padahal, aku tahu secara pasti, ka- 
lau tidak ada totokan pada urat suaranya. Berarti 
ada seseorang yang telah melakukan sesuatu 
membuat urat suaranya tidak mampu bekerja. Pa- 
dahal tadi, sewaktu tubuhnya tersungkur aku 
sempat mendengar jeritan kagetnya," jelas Aiya be- 
ralasan. 

Janggara diam, namun wajahnya mendadak 
berubah memerah. Ini menjadi petunjuk kalau ka- 
kek itu merasa malu. 

"Dan setelah tahu semua ini, kau masih 
mau menolongku, Arya?!" tanya Janggara setengah 
tak percaya. 

"Tentu saja, Kek. Aku tahu, kau bukan 
orang jahat. Dan tindakan yang kau lakukan pun 
bukan karena itu. Tapi, karena terdorong keingi- 
nan untuk menolong muridmu. Dan lagi, kalau 
kau memaksa untuk membawa Witari, mana 
mungkin aku mampu menghalangimu?!" 

"Kau memang pintar merendah, Arya. Mana 
mungkin aku yang setua ini dapat mengalahkan 
mu?!" 

Tanpa banyak cakap lagi, Arya segera mem- 
bebaskan totokan yang membelenggu Witari. Se- 
dangkan, Janggara mengeluarkan obat sedot yang 
membuat urat suara gadis itu kembali seperti bi- 


Witari ternyata tidak menyerang Janggara 
lagi. Karena sebelumnya, Aiya telah membujuk- 
nya. Dan gadis itu memang tidak keras kepala. 

Sekarang, ketiga tokoh ini telah melesat 
menuju Puncak Nirwana. Aiya sengaja mengajak 
Witari untuk berjaga-jaga terhadap sesuatu hal 
yang ditakuti. 



"Itulah pintu masuk menuju Puncak Nirwa- 
na, Aiya," jelas Janggara ketika melalui jalan berli- 
ku-liku yang sukar ditemukan orang. 

Tidak hanya Arya yang mengarahkan pan- 
dangan ke arah yang ditunjukkan kakek itu, tapi 
juga Witari. Di depan sana jalan berbatu padas 
membentang. Di kejauhan, dua buah gundukan 
batu sebesar gajah, berjarak sekitar setengah tom- 
bak saling bersebelahan memisahkan jalan. Dan 
tempat ini adalah pos penjagaan Tuyul Bertenaga 
Raksasa. 

"Hey...!" 

Seruan kaget hampir berbareng keluar dan 
mulut mereka bertiga begitu melihat sosok tubuh 
berpakaian biru terlempar keluar dari celah-celah 
batu yang merupakan pintu gerbang. 

"Dia..., gadis itu..., putri Golok Malaikat..!" 
seru Arya. Meskipun jaraknya cukup jauh, namun 
dari pakaiannya yang kuning bisa dikenali kalau 
sosok yang terlempar adalah Sunti Ranti! 

Baru saja seruan pemuda berambut putih 
keperakan itu keluar, dari celah batu yang sama 
melesat sesosok tubuh kecil dan pendek. 

"Itulah Tuyul Bertenaga Raksasa! Penjaga 
pos ini...!" teriak Janggara. 

Melihat keadaan itu, membuat Janggara, 
Dewa Arak, dan Witari semakin mempercepat lari. 
Berada paling depan adalah Dewa Arak. Di bela- 
kangnya, Janggara. Dan terakhir Witari. 

Dewa Arak tiba pada saat yang tepat. Tu- 
buhnya melesat, menyelak di antara kedua tokoh 
yang bertarung tak seimbang. Lalu segera dipa- 
paknya.... 

Plak! 

"Uhhh...!" 

Tuyul Bertenaga Raksasa mengeluh kaget, 
ketika tubuhnya terhuyung ke belakang akibat 
tangkisan Dewa Arak. Di lain pihak, pemuda itu 
pun terhuyung sedikit ke belakang. 

"Menyingkirlah, Nona," ujar Arya tanpa me- 
noleh karena tahu sedang berhadapan dengan seo- 
rang lawan, tangguh. "Dia terlalu tangguh untuk 
mu." 

Sunti Ranti yang menyadari kesaktian 
Tuyul Bertenaga Raksasa tidak banyak memban- 
tah. Kakinya segera melangkah mundur setelah 
terlebih dulu menatap penuh kagum pada Dewa 
Arak. 

Sementara Tuyul Bertenaga Raksasa mena- 
tap Arya penuh selidik dari ujung rambut sampai 
ujung kaki. 

"Kukira hanya aku yang dilahirkan dalam 
keadaan tak wajar. Ternyata, tidak. Hey! Kau ini 
anak muda atau orang tua sih?!" tanya kakek kecil 
kurus itu, seperti bertanya pada seorang anak ke- 
cil. 

"Kalau menurut penglihatanmu, bagaima- 
na?!" balas Arya. Nadanya memberikan pilihan. 

"Tentu saja kakek-kakek! Ha ha ha...!" ja- 
wab Tuyul Bertenaga Raksasa penuh rasa gembira 
karena merasa berhasil mengejek. 

"Kalau begitu, matamu perlu juga diperiksa, 
Kek! Bukan hanya tubuhmu saja yang tidak wajar 
tapi juga matamu!" balas Aiya. 

Kini Tuyul Bertenaga Raksasa yang justru 
mencak-mencak seperti kakek kebakaran jenggot. 

"Kunyuk lapar, Singa ompong! Kuda pin- 
cang! Lalat jelek! Kecoak buduk! Nah! Semua itu- 
lah perkataan yang paling cocok untukmu, Orang 
Aneh! Orang setengah tua setengah muda!" 

"Terserah apa katamu saja, Kek," jawab 
Aiya sambil berusaha menahan perasaan geli. 
Tingkah kakek itu benar-benar membuatnya ham- 
pir tidak bisa menahan tawa. 

"Ah! Jadi kau menantangku rupanya?! Me- 
rasa sakti, setelah menangkis seranganku?! Ru- 
panya kau sok jago, karena ada gadis cantik di be- 
lakangmu, eh?! Sok pahlawan! Cara kuno! Semua 
orang sudah tahu, kau hanya berusaha menarik 
perhatian gadis itu kan?!" celoteh Tuyul Bertenaga 
Raksasa panjang lebar. 

Wajah Arya kontan memerah. Makian itu 
terlalu! Dia khawatir, Sunti Ranti akan salah teri- 

"Kakek aneh! Mulutmu semakin tidak ka- 
ruan! Ketahuilah, aku datang untuk menemui 
Tuan Besarmu! Cepat antarkan aku ke sana!" seru 
Arya. 

"Kau kira mudah untuk bertemu Tuan Be- 
sar?! Langkahi dulu mayatku kalau kau ingin me- 
nemuinya?!" tantang Tuyul Bertenaga Raksasa 
sambil membusungkan dadanya yang tipis seperti 
papan. 

Dan sebelum Arya memberikan tanggapan, 
Tuyul Bertenaga Raksasa telah menyerang. Setiap 
serangannya menimbulkan bunyi bercicitan nyar- 
ing. 

Dan tak punya pilihan lain, kecuali melade- 
ninya. Pertarungan sengit pun tidak bisa dielakkan 
lagi. 

Diam-diam Dewa Arak mengakui kebenaran 
ucapan Janggara. Tuyul Bertenaga Raksasa me- 
mang memiliki kepandaian tinggi. Terutama sekali 
tenaga dalamnya. Beberapa gebrakan dengan tan- 
gan kosong, pemuda berambut putih keperakan ini 
telah bisa melihat sendiri kelihaian lawannya. 

Sementara itu Janggara, Sunti Ranti, dan 
Witari menyaksikan pertarungan dengan hati ter- 
tarik bercampur kagum. Terutama sekali, Jangga- 
ra. Untuk pertama-kalinya, dia berhasil menyaksi- 
kan sendiri kelihaian pemuda berambut putih ke- 
perakan itu. Terlihat jelas kalau Dewa Arak berha- 
sil menekan lawannya. 

Memang, bagi Janggara sendiri, Tuyul Ber- 
tenaga Raksasa masih ada di bawahnya. Tapi ken- 
dati demikian, kakek ini tidak berani memastikan 
kalau menghadapi Dewa Arak akan unggul. 

Sementara itu Sunti Ranti dan Witari tidak 
terlalu terpaku pada pertarungan itu. Gadis-gadis 
manis ini saling lirik satu sama lain. Ada sorot iri 
pada sinar mata mereka, yang timbul karena pera- 
saan cemburu. Beberapa kali mereka saling ben- 
trok pandang, dengan cepat masing-masing pihak 
mengalihkan tatapan ke arah lain. 

Witari merasa iri pada Sunti Ranti. Dia ta- 
hu, putri Golok Malaikat itu cantik jelita. Dan bu- 
kan tidak mungkin Dewa Arak akan jatuh hati pa- 
danya. Memang dalam hati kedua gadis manis ini 
ada rasa tertarik yang besar terhadap Dewa Arak. 
Pemuda itu demikian tampan, lihai, tapi rendah 
hati. Bahkan terlihat matang penuh pengalaman 
hidup. 

Di lain pihak Sunti Ranti, juga tidak senang 
pada Witari. Gadis ini tidak habis pikir, bagaimana 
Dewa Arak bisa berjalan bersama gadis itu. Sama 
sekali tidak disangka kalau Dewa Arak bisa jatuh 
hati pada Witari. Hatinya pun panas, karena cem- 
buru. 


"Akh...!" 

Tuyul Bertenaga Raksasa menjerit kesaki- 
tan ketika tangan Dewa Arak telah menampar 
pundaknya. Tubuhnya kontan terpelanting ke be- 
lakang. Dari mulutnya keluar darah segar! 

Sebelum Tuyul Bertenaga Raksasa berbuat 
sesuatu, Dewa Arak telah melesat cepat. Kakek ini 
tidak bisa berkutik lagi, ketika jari tangan Dewa 
Arak telah menempel pada ubun-ubunnya. 

Tuyul Bertenaga Raksasa tahu, dia telah ka- 
lah. Sedikit saja jari tangan Dewa Arak bergerak 
menekan, nyawanya akan melayang dengan kepala 
pecah! 

"Tunggu apa lagi?! Aku telah kalah! Bunuh- 
lah aku...!" pekik Tuyul Bertenaga Raksasa. Pekik 
yang keluar dari hati yang kecewa, karena gagal 
menunaikan tugas. 

Bukannya memenuhi permintaan itu, Arya 
bahkan menjauhkan jari-jari tangannya dari 
ubun-ubun Tuyul Bertenaga Raksasa. 

"Aku bukan pembunuh berdarah dingin, 
Kek. Lagi pula, aku tidak pernah mau membunuh 
lawan yang tak berdaya. Di samping itu, kedatan- 
ganku kemari bukan untuk mencari permusuhan! 
Kau telah kalah, berarti aku bebas masuk ke da- 
lam!" 

Setelah berkata demikian, tanpa peduli lagi 
Aiya meninggalkan Tuyul Bertenaga Raksasa. Ka- 
kinya cepat terayun menuju ke dalam. Di belakang 
nya, Janggara, dan dua gadis lain yang berjalan 
saling berjauhan ikut masuk pula. 

Tapi sekitar belasan tombak kemudian, ke- 
tika medan yang ditempuh berupa hutan kecil 
dengan hamparan semak-semak dan ranting ker- 
ing di sekitarnya, muncul sesosok tubuh mengha- 
dang. Siapa lagi kalau bukan Raksasa Kapak Maut 

"Biarkan mereka masuk...!" 

Belum juga Raksasa Kapak Maut bertindak, 
terdengar seruan keras. Maka kapak di bahunya 
yang siap digunakan untuk menyerang segera di- 
turunkan. Seruan yang menggema karena dikelua- 
rkan lewat pengerahan ilmu mengirimkan suara 
dari jauh, membuat semua yang ada di tempat ini 
terkejut 

"Ikut aku...!" 

Tiba-tiba Raksasa Kapak Maut berujar 
sambil berbalik. Kakinya lantas melangkah me- 
ninggalkan tempat itu. Lelaki tinggi besar ini tentu 
saja mengenal Janggara yang bersama Dewa Arak. 
Namun sedikit pun tidak ada teguran dari mulut- 
nya. 

"Hik hik hik..!" 

Satu tawa mengikik nyaring tiba-tiba me- 
mecahkan ketegangan ketika Dewa Arak dan 
orang-orang yang bersamanya telah berada di tepi 
jurang yang sangat dalam. Mereka menjadi was- 
was, apakah harus menyeberangi jurang yang 
menggunakan seutas tambang ini, atau tidak. Bu- 
kan tidak mungkin kalau mereka semua akan di- 
kandaskan di dasar jurang yang dalam ini. 

"Rupanya, Dewa Arak dan Janggara hanya 
manusia-manusia pengecut yang tak berani 
menghadapi tantangan! Hik hik hik...! Ingin ku- 
dengar bagaimana tanggapan dunia persilatan ka- 
lau mendengar hal ini!" 

"Jangan harap kau bisa memancing kami 
untuk bisa dijebak dengan akal bulus itu, Sobat!" 
sahut Dewa Arak, seperti berbisik. 

Pada saat berkata tadi, wajah Dewa Arak 
tampak merah. Dan semua yang ada di sini tahu, 
pemuda itu memang tengah mengerahkan ilmu 
mengirimkan suara jarak jauh. Buktinya, bunyi 
yang terdengar di seberang jurang keras dan lan- 
tang. 

"Hik hik hik...!" 

Tawa mengikik terdengar lagi, menyambut 
ucapan Dewa Arak. Sebuah tawa yang keluar dari 
mulut seorang nenek-nenek! 

"Kalau kau bersikap jujur, keluarlah! Dan, 
antarkan kami sampai ke seberang. Kalau tidak, 
berarti kau hanya ingin menjebak kami!" teriak Wi- 
tari, memberikan usul. 

Witari memang memiliki watak tenang. Na- 
mun sekali berbicara, tepat pada sasaran. 

Sementara itu Janggara tampak berdiam di- 
ri. Sebenarnya kakek ini pun ingin mengajukan 
ucapan. Namun, sadar kalau dirinya seorang pela- 
rian dari tempat itu, ucapan yang hampir keluar 
dari mulut ditahannya. 

"Hik hik hik...! Usulmu boleh juga, Witari?! 
Mana suami gelap mu, si Tua Bangka Sangga Lan- 
git?! Mengapa tidak kau ajak kemari?! Hik hik 
hik...! Sama sekali tidak kusangka, kalau gadis 
semuda dan secantikmu mau menyerahkan diri 
pada seorang kakek yang sudah bau tanah! Hik 
hik hik...! Permainan cinta kalian luar biasa!" ejek 
suara di seberang tebing. 

Wajah Witari seketika pucat pasi. Sungguh 
tak diduga, kalau suara itu menyerang pribadinya 
habis-habisan. 

Sementara Janggara dan Sunti Ranti yang 
semula tidak tahu-menahu, seketika menoleh ke 
arah gadis berpakaian merah. Mereka sama sekali 
tidak menduga kalau apa yang dikatakan pemilik 
Puncak Nirwana itu benar-benar terjadi! Namun 
tampak kalau Witari sama sekali tidak berusaha 
membantah. Benarkah hal itu terjadi?! 

Dewa Arak tiba-tiba ingat sesuatu. Menurut 
cerita Eyang Sangga Langit, perbuatan terkutuk 
bersama muridnya terjadi karena masing-masing 
seperti orang yang kehilangan ingatan. Sehingga, 
semua tindakannya tidak dapat dikendalikan lagi. 
Peristiwa itu terjadi tanpa ada seorang pun saksi 
yang tahu. Jadi, dari mana pemilik Puncak Nirwa- 
na tahu peristiwa itu? 

Dalam masalah ini, Eyang Sangga Langit 
mencurigai adanya pihak ketiga yang menyebab- 
kan peristiwa itu terjadi. 

Pemuda berambut putih keperakan ini sege- 
ra mencurigai akan adanya hal-hal yang tidak 
beres di sini. Setidak-tidaknya, pemilik Puncak 
Nirwana ini tahu pelaku yang menyebabkan peris- 
tiwa terkutuk itu terjadi. Bahkan bukan tidak 
mungkin kalau penyebab semua itu justru pemilik 
Puncak Nirwana ini! 

"Tidak usah berpura-pura dalam berbicara, 
Nek! Aku tahu, kaulah yang menjadi biang keladi 
terjadinya peristiwa terkutuk itu! Dan kau harus 
membayar semua tindakan kejimu, Nek!" 

Kali ini Dewa Arak tidak sungkan-sungkan 
lagi, karena tahu kalau pemilik itu adalah seorang 
wanita yang telah tua. 

"Hik hik hik...! Kau memang cerdik, Dewa 
Arak! Otakmu encer, sehingga bisa menduga, ka- 
lau orang di balik semua kejadian itu! Aku! Akulah 
yang telah menyebabkan Eyang Sangga Langit 
yang sakti roboh di dalam pelukan nafsu! Hik hik 
hik.... Ingin kulihat sendiri, bagaimana wajah tua 
bangka itu, bila tahu kalau pelaku semua ini ada- 
lah aku! Nah! Karena kalian telah menungguku, 
aku datang untuk mengantarkan ke Puncak Nir- 
wana!" 

Belum juga gema ucapan itu lenyap, semua 
yang ada di tepi jurang melihat sesosok tubuh 
bungkuk memegang tongkat melangkah tertatih- 
tatih meniti tambang dari arah seberang. Sebelah 
kaki sosok bungkuk itu ternyata buntung sebatas 
pangkal paha. Melihat langkahnya benar-benar 
mengundang iba. 

Namun dalam hati Witari, sedikit pun tak 
ada perasaan iba. Gadis yang semula sudah melu- 
pakan luka hatinya, kembali terbangkit amarah- 
nya. Sepasang matanya memancarkan kebencian 
dan nafsu membunuh ketika menatap sosok 
bungkuk berjarak belasan tombak yang diketa- 
huinya, sebagai dalang dari peristiwa terkutuk 
yang menimpa dirinya. 

Maka tanpa peduli lagi, Witari langsung me- 
lesat ke arah pinggir tebing sambil mencabut su- 
lingnya. Lalu dengan cepat ujung sulingnya ditu- 
sukkan ke tambang yang berada di sisi tebing, 
tempat kelompoknya berada. Dan.... 

Trak! 

Ujung suling Witari tidak berhasil menusuk 
tambang, karena Raksasa Kapak Maut lebih dulu 
bertindak dengan memapak ujung suling Witari 
lewat kakinya. Keras! Sehingga membuat tubuh 
gadis berpakaian merah terhuyung-huyung ke be- 
lakang. 

Raksasa Kapak Maut benar-benar tak kenal 
ampun. Rupanya sekali kapaknya keluar, tak akan 
berhenti sebelum mengisap darah korban. Saat itu 
pula kapaknya kembali diayunkan. 

Sementara Dewa Arak tidak bisa tinggal di- 
am melihat Witari terancam bahaya. Maka lang- 
sung tubuhnya berkelebat memapak ayunan ka- 
pak dengan pengerahan seluruh tenaga dalam. 

Klang! 

Bunga api berpijar ke segala arah ketika 
kapak besar Raksasa Kapak Maut berbenturan 
dengan guci Dewa Arak. Bunyi berdentang keras 
mengiringi benturan itu. Tampak tubuh Raksasa 
Kapak Maut terhuyung-huyung ke belakang. 

Kesempatan itu dipergunakan oleh Witari. 
Kembali sulingnya ditusukkan ke arah tambang. 
Melihat hal ini, Janggara tidak bisa tinggal diam. 
Dia tahu, bila tambang itu putus, berarti putus ju- 
ga hubungan menuju Puncak Nirwana. Dan itu be- 
rarti, nyawa muridnya tidak dapat diselamatkan. 
Maka seketika tubuhnya melesat memapak suling 
dengan golok panjangnya. 

Trak! 

Janggara dan Witari sama-sama terhuyung 
ke belakang. Namun terhuyungnya gadis itu lebih 
jauh dua langkah. Pandang matanya tampak be- 
ringas ketika menatap Janggara. Hatinya geram, 
karena maksudnya dihalangi! 

"Tahan Witari!" cegah Dewa Arak sebelum 
keadaan memanas. "Tahan dulu dendammu, Wita- 
ri! Percayalah. Akan ada saatnya untuk memba- 
laskan dendammu. Yang terpenting saat ini, kita 
harus membebaskan murid Kakek Janggara lebih 
dulu, yang disandera Penguasa Puncak Nirwana. 
Dan dia tak lain adalah Samukti, yang telah men- 
curi ilmu 'Urai Raga’ yang seharusnya menjadi mi- 
likmu." 

Dewa Arak memang tahu kalau Samukti te- 
lah berada di Puncak Nirwana, setelah Sunti Ranti 
menceritakan mengapa bisa bertempur dengan 
Tuyul Bertenaga Raksasa. 

Waktu putri Golok Malaikat ini mengejar- 
ngejar Samukti yang masih dalam bentuk raksasa! 
Karena bentuk yang belum kembali ke asal ini, 
Sunti Ranti bisa mengikuti kepergian Samukti me- 
lalui jejak langkahnya. Dan ternyata, jejak itu me- 
nuju ke Puncak Nirwana. 

Sunti Ranti yang tidak tahu kalau tempat 
yang ditujunya adalah Puncak Nirwana, segera sa- 
ja menerobos masuk. Tentu saja Tuyul Bertenaga 
Raksasa tidak membiarkannya! Maka pertarungan 
antara mereka pun terjadi, sampai akhirnya Dewa 
Arak keburu menolong. 

Sementara itu, Witari mulai bisa berpikir 
jernih. Nasihat Dewa Arak memang benar. Dan se- 
telah menghela napas berat, sulingnya disimpan di 
pinggang. 

Pada saat yang bersamaan, sosok bungkuk 
berkaki satu telah tiba di ujung tambang. Kemu- 
dian dengan sekali genjot, tubuhnya berada di de- 
pan Dewa Arak. 

Dewa Arak dan Sunti Ranti menatap tak 
berkedip. Inikah, tokoh pemilik Puncak Nirwana 
yang terkenal amat sakti itu? Dia adalah seorang 
nenek yang berusia sekitar tujuh puluh lima ta- 
hun. Tubuhnya bungkuk, dengan seluruh rambut 
berwarna putih. Telinganya dihiasi sepasang ant- 
ing-anting besar mirip gelang. 

Sementara, Witari menatap dengan sorot 
kebencian. Kalau menuruti perasaan, sudah diter- 
jangnya nenek bungkuk itu. 

Sedangkan Janggara menatap dengan sinar 
mata heran. Lelaki tua ini yakin, kalau pemilik 
Puncak Nirwana bukan nenek berkaki satu ini. 
Yang tidak dikenalnya sama sekali! Mengapa ne- 
nek berkaki satu ini bisa berada di sini? 

"Siapa kau?!" tanya Janggara. "Aku tahu 
kau bukan pemilik Puncak Nirwana. Aku kenal be- 
tul dengan pemiliknya!" 

Pertanyaan kakek berwajah tirus itu, mem- 
buat Dewa Arak, Sunti Ranti, dan Witari terperan- 
jat. Jadi, nenek ini bukan pemilik Puncak Nirwa- 
na? Lalu, di mana pemilik itu sebenarnya? 

"Hik hik hik...! Kau Janggara, bukan?!" 
tanya nenek berkaki satu itu, tidak mempedulikan 
keheranan dan pertanyaan Janggara. "Mana guci 
pusaka yang kuminta?! Cepat serahkan, kalau kau 
ingin muridmu selamat!" 

"Hmh.J" 

Janggara menggeram seperti harimau luka. 

Sama sekali tidak disangka kalau nenek inilah 
yang telah meminta guci pusaka. Bahkan telah 
menyandera muridnya. Memang waktu pergi ke 
Puncak Nirwana, dia tidak bertemu nenek itu. 
Janggara hanya bertemu Raksasa Kapak Maut, 
yang diutus menyampaikan pesan tuannya! 

"Aku tak akan menyerahkan guci pusaka 
padamu!" tegas Janggara, mantap. 

"Hik hik hik...! Kau cerdik, Janggara. 
Meskipun kau serahkan guci itu, muridmu tetap 
akan kubunuh! Biar kau rasakan betapa sakit hati 
melihat ke matian orang yang dicintai!" 

"Apa maksudmu, Nenek Jahanam?!" tanya 
Janggara tidak mengerti. 

"Sederhana saja," jawab nenek berkaki satu 
dengan sorot mata beringas. "Kau telah membu- 
nuh Singa Berbulu Putih. Kau tahu, dia itu sua- 
miku!" 

"Ah...!" 

Seruan tertahan penuh rasa kaget keluar 
hampir bersamaan dari mulut Janggara dan Wita- 
ri. 

"Kiranya kau wanita jalang yang pernah di- 
ceritakan guruku. Kau pasti Nyai Kalangkang!" de- 
sis Witari. "Pantas, kau melakukan kekejian terha- 
dap kami. Kau merasa sakit hati, karena telah di- 
usir guru, setelah berbuat zinah di dalam wilayah 
perguruan. Sebagai hukuman, guru membuntungi 
kakimu sebagai peringatan bagi yang lain. Kau 
memang murid murtad!" 

"Tutup mulutmu...!" bentak nenek berkaki 
satu yang ternyata bernama Nyai Kalangkang. 

"Kubunuh kau." 

"Tidak usah repot-repot. Guru! Biar aku 
yang membinasakannya!" 

Tiba-tiba terdengar seruan keras menggele- 
gar. Dan di tempat itu, tahu-tahu Samukti telah 
berdiri dalam wujud seperti raksasa. 

Samukti menggeram keras! Sehingga, mem- 
buat semua orang yang berada di situ, jatuh berlu- 
tut. Bahkan tubuh mereka menggigil hebat! 

Hanya Nyai Kalangkang dan Raksasa Kapak 
Maut yang tidak terpengaruh. Karena, Samukti ti- 
dak menujukan ke arah mereka. Dengan kekeh 
penuh kemenangan, nenek itu menghampiri Wita- 
ri. Siap memberi hukuman! 

Arya melihat ancaman maut menghantui 
murid Eyang Sangga Langit. Saat itu juga seluruh 
tenaga dalamnya dikerahkan. Lalu tangannya ce- 
pat dihentakkan. Maka saat itu pula serangkum 
angin keras membuat tubuh Witari terlempar ter- 
guling-guling. Akibatnya tongkat Nyai Kalangkang 
hanya menghantam tanah hingga hancur beranta- 
kan! 

"Witari...! Lekas...!" seru Arya, menyuruh 
gadis berpakaian merah itu melakukan petunjuk 
Eyang Sangga Langit. 

Dalam keadaan tubuh bergulingan, Witari 
berseru keras! 

"Urai Raga...!" 

"Aaakh...!" 

Samukti seketika mengeluarkan lengkingan 
panjang bernada kesakitan. Tubuhnya terhuyung- 
huyung. Kemudian tubuhnya ambruk, menggeliat 
geliat laksana cacing kepanasan. Dia menggelepar- 
gelepar, tanpa mempedulikan sekelilingnya. Dan 
tidak terasa tubuhnya telah berada di bibir tebing. 

Selain Dewa Arak dan Witari, semua yang 
melihat kejadian ini merasa heran. Mengapa hal 
seperti itu bisa terjadi terhadap Samukti. Hanya 
kedua anak muda itu yang tahu. Tentu saja, Arya 
tahu atas penjelasan Eyang Sangga Langit tentang 
kelemahan ilmu itu. Maka tak heran bila Aiya 
mengajak Witari ke Puncak Nirwana ini. Karena 
menurut Eyang Sangga Langit gadis itulah yang 
dapat membunuh Samukti. 

Menurut penjelasan Eyang Sangga Langit, 
ilmu 'Urai Raga' hanya bisa diberikan pada orang 
yang berhak. Sehingga bila dipergunakan, tidak 
menimbulkan celaka. Dalam hal ini, hanya Witari- 
lah yang berhak. 

Maka, begitu Witari menyerukannya, maka 
ilmu raksasa yang menitis dalam diri Samukti be- 
rusaha keluar menjumpai pemiliknya yang sah! 
Maka kejadian yang menimpa Samukti pun demi- 
kian. Karena bukan pemilik sah, begitu menggu- 
nakan ilmu itu, Samukti tidak bisa kembali seperti 
sedia kala. Tetap dalam keadaan tubuh tinggi be- 
sar seperti raksasa. 

Samukti terus bergulingan, sehingga... 
"Aaa...!" 

Disertai jeritan panjang, tubuh Samukti ter- 
telan jurang yang siap merancah tubuhnya. 

"Samukti...!" seru Nyai Kalangkang. Dengan 
tindakan cepat, dia melompat untuk menangkap 
tubuh pemuda berpakaian coklat itu. 

Tap! 

Tangan Samukti berhasil ditangkap! Namun 
Nyai Kalangkang tidak mempunyai landasan kuat 
untuk berpijak. Maka, tubuhnya pun ikut terbawa, 
meluncur ke dasar jurang yang tak terukur da- 
lamnya. Jeritan menyayat hati, mengiringi lenyap- 
nya tubuh kedua tokoh sesat itu. 

"Erghhh...!" 

Raksasa Kapak Maut menggeram keras. Dia 
tampak marah sekali. Namun, sebelum kapaknya 
diayunkan.... 

"Apakah kau hendak membela orang jahat 
seperti mereka, Raksasa Kapak Maut?! Ingat! Dia 
bukan tuan besarmu! Bahkan, dia orang luar yang 
jahat. Aku yakin, Tuan Besar telah dipengaruhi 
oleh ilmu sihirnya. Mana Tuan Besar?!" 

Raksasa Kapak Maut menghentikan niat- 
nya, kemudian menggeleng. 

"Tuan Besar sudah lama tidak terlihat, sete- 
lah masuk ruangan semadi. Nyai Kalangkang dan 
Samukti dibawa Tuan Besar ketika pergi keluar 
atas dasar kasihan. Tuan Besar telah terlalu pi- 
kun, sehingga tidak tahu kalau orang-orang yang 
dibawanya jahat. Setelah masuk ruang semadi, be- 
liau tidak tahu kalau wanita tua itu menggerayangi 
ruang perpustakaan dan mempelajari ilmu-ilmu 
hitam yang terlarang. Ilmu itulah yang diperguna- 
kannya untuk bertindak jahat terhadap Eyang 
Sangga Langit!" 

"Apa yang dikatakannya memang benar." 

Mendadak terdengar sebuah suara lain, 
menyambung ucapan Raksasa Kapak Maut. Saat 
itu juga semua yang berada di situ menoleh ke 
arah asal suara. Namun, tak seorang pun yang ter- 
lihat. 

Dewa Arak mengerutkan alisnya. Dia tahu, 
ada orang sakti yang sengaja mempermainkan 
dengan ilmu memindahkan suara. Maka segera di- 
kerahkannya pandangan ke seberang jurang, ke 
arah Puncak Nirwana. Dewa Arak yakin, pemilik 
suara itu akan datang dari sana. Bukan dari bela- 
kang mereka. 

Dugaan Dewa Arak ternyata tepat. Di atas 
tambang, tampak sesosok tubuh kecil dan ringkih 
tengah menyeberangi jurang sambil membopong 
tubuh seorang gadis. Dia tidak sedang berjalan, 
karena kakinya tidak bergerak sama sekali. Tepat- 
nya, sosok itu tengah meluncur. 

Dewa Arak sendiri merasa takjub, meski 
hanya sebentar. Sulit diukur, sampai di mana ke- 
tinggian tenaga dalam dan ilmu meringankan tu- 
buh kakek itu. 

Sementara itu, Sunti Ranti yang belum me- 
rasa puas atas tewasnya Samukti, tiba-tiba mele- 
sat ke arah tambang. Langsung dibabatnya tam- 
bang itu dengan sulingnya. 

"Ranti...! Jangan...!" cegah Dewa Arak, se- 
raya melesat mendekat. 

Namun terlambat! Tambang itu telah lebih 
dulu putus. Semua orang yang ada di sini terkejut 
bukan main. Apalagi ketika melihat tubuh kakek 
itu melayang ke dalam jurang! 

"Tuan Besar...!" 

Raksasa Kapak Maut dan Janggara berlari 
ke tepi tebing dan berseru keras dengan wajah pu- 
cat. 

"Tidak usah menjerit begitu, Raksasa. Juga 
kau, Janggara." 

Entah dari mana, tahu-tahu kembali ter- 
dengar teguran yang membuat terkejut semua 
yang ada di tempat ini. Serentak mereka semua 
menoleh ke belakang. Tahu-tahu di situ berdiri, 
kakek ringkih sambil membopong tubuh gadis 
ramping. 

"Tuan Besar...!" 

Raksasa Kapak Maut dan Janggara meng- 
hambur ke arah kakek ringkih yang dipanggil 
Tuan Besar. 

"Tak usah banyak tingkah, kalian!" tegur 
kakek ringkih itu. "Dan kau, Janggara. Bukankah 
ini muridmu?!" 

Janggara segera menerima tubuh yang di- 
angsurkan kakek ringkih ini, disertai ucapan teri- 
ma kasih. Apalagi, kakek ini merupakan penolong, 
guru, dan juga majikan yang telah mengampuni 
kesalahannya. 

"Kau yang berjuluk Dewa Arak itu, kan?!" 
tanya kakek ringkih itu pada Aiya. 

Dewa Arak mengangguk. 

"Boleh kulihat gucimu?!" 

Kakek ringkih itu mengulurkan tangan. 
Tentu saja Aiya tidak sudi gucinya diambil. Maka 
tubuhnya segera bergerak menghindar. Tapi beta- 
pa kagetnya Aiya, ketika gucinya telah berada di 
tangan si kakek. Aiya jadi bingung. Padahal dia te- 
lah berusaha mengelak. Kenyataannya, gucinya te- 
rambil juga. 

"Dari siapa kau dapatkan guci ini, Dewa 
Arak? Gering Langit?!" 

Arya tersentak mendengar nama gurunya 
disebut-sebut. Dari mana kakek itu tahu? 

"Kau tidak usah heran, Dewa Arak. Aku 
adalah Sukma Palaga. Dan Gering Langit itu terhi- 
tung kawanku. Beberapa kali dia datang ke tempat 
ini. Dialah satu-satunya orang luar yang tahu ten- 
tang hilangnya guci ini. Aku yakin, dia berhasil 
menemukannya, lalu memberikannya padamu. 
Kau tahu kan, mengapa aku tidak celaka di dasar 
jurang?" 

Dewa Arak mengangguk. Apalagi kalau bu- 
kan ilmu gaib seperti yang dimiliki gurunya. Ilmu 
'Ringkas Bumi' (Untuk jelasnya mengenai ilmu ini, 
silahkan baca episode: "Penganut Ilmu Hitam"). 

"Terimalah kembali gucimu, Dewa Arak. 
Kau lebih memerlukannya. Dan kalian semua yang 
berada di sini, kuundang ke tempatku. Jangan 
khawatir, tambang itu tidak hanya sehelai." 

Tidak ada yang keberatan sama sekali den- 
gan tawaran kakek bernama Sukma Palaga. Se- 
mua dengan suka hati beranjak ke Puncak Nirwa- 
na. 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Pembalasan dari Liang Lahat