Dewa Arak 79 - Iblis Buta


Seorang pemuda tampan bermuka persegi me- 
langkah setengah berlari. Ia menghampiri pondok se- 
derhana yang berada belasan tombak di depannya. Pe- 
muda itu terlihat gagah. Tubuhnya tinggi besar dan 
otot-ototnya bersembulan keluar. Pemuda berwajah 
persegi itu hanya mengenakan rompi dari kulit hari- 
mau. Pondok yang dituju pemuda berompi kulit hari- 
mau tidak dapat dikatakan bagus. Sekelilingnya di pa- 
gari potongan-potongan bambu setinggi pinggang. Ru- 
mah itu sendiri terletak di tengah-tengah. Kelihatan ke- 
cil dan ringkih karena berada di hamparan tanah luas 
yang ditumbuhi rumput-rumput liar. 

Pemuda berwajah persegi menghentikan lang- 
kahnya tepat di ambang pintu pagar bambu. Daun pin- 
tunya sendiri sudah tidak menempel lagi, tapi tergolek 
di bagian dalam. 

Pemuda berompi kulit harimau itu memperhati- 
kan sekeliling dengan wajah berduka. Sudut demi sudut 
tempat itu dirayapi dengan sepasang matanya yang 
mencorong tajam. Sorot sepasang mata yang terlindung 
alis tebal berbentuk golok itu menyiratkan ketidakper- 
cayaan. 

"Ibu...!" desis pemuda berompi kulit harimau. 
Suaranya agak tersendat "Apa yang telah terjadi pada- 
mu?" 

Pandangan pemuda itu berhenti pada tanaman 
bunga yang berada di sisi kanan dan kiri rumah. Bun- 
ga-bunga itu layu, bahkan beberapa di antaranya mati. 
Padahal, ibunya amat sayang pada tanaman-tanaman 
itu. Ibunyalah yang menanam dan merawatnya. Menga- 
pa sekarang bunga-bunga itu sampai tidak terurus? 

Perasaan khawatir terbit di hati pemuda berwa- 
jah persegi. Setelah berhasil mengatasi sergapan rasa 
harunya, pemuda itu bergegas melangkah memasuki 
halaman. 

Blosss! 

"Hey!" 

Pemuda berwajah persegi menjerit kaget. Tanah 
berumput yang diinjaknya amblas ke bawah membawa 
tubuhnya. Tanah yang dipijaknya ternyata tidak padat, 
hanya berupa lapisan saja. Di bawahnya tampak tom- 
bak-tombak berujung runcing siap menyate tubuh pe- 
muda itu! 

Meski kaget, pemuda berwajah persegi tidak ke- 
hilangan kepandaian. Sebelum menimpa ujung-ujung 
tombak yang runcing, ilmu meringankan tubuhnya se- 
gera dikerahkan untuk membuat kecepatan luncuran 
tubuhnya melambat. Kedua tangannya digerak- 
gerakkan seperti seekor burung yang mengepakkan 
sayap. 

Ringan dan perlahan kedua kaki pemuda berwa- 
jah persegi menjejak ujung-ujung tombak. Bahkan, alas 
kakinya tidak tergores sedikit pun. 

Pemuda berompi kulit harimau ini menghela na- 
pas lega seraya menghapus keringat yang membasahi 
dahinya. Perasaan kaget dan tegangnya sedikit berku- 
rang. Kemudian ia mendongakkan kepala untuk melihat 
permukaan lubang. Dalam lubang ini tak kurang dari 
empat tombak. Jarak yang cukup tinggi. Bahkan, terla- 
lu jauh untuk dapat di lompati. 

Pemuda ini tidak terlalu lama berdiri di atas 
ujung-ujung tombak. Seperti orang yang berjalan di 
tempat datar, ia mengayunkan kaki mendekati sisi lu- 
bang. Sejenak pemuda itu terdiam sebelum menempel- 
kan kedua telapak tangannya yang terbuka ke dinding 
lubang. Lalu, bagai seekor cecak pemuda berwajah per- 
segi merayap naik ke atas! 

Dalam waktu singkat saja pemuda berwajah 
persegi telah mencapai mulut lubang dan keluar dari 
dalamnya. Tampaknya sedikit peluh membasahi wajah- 
nya. 

"Ha ha ha...!" 

Gemuruh suara tawa membuat pemuda berwa- 
jah persegi menolehkan kepala ke belakang. Tawa men- 
gejek itu pastilah ditujukan padanya. 

Di luar pagar bambu berdiri sesosok tubuh yang 
membuat mata pemuda berompi kulit harimau itu ter- 
belalak lebar. Sosok itu kelihatan aneh. Bertubuh amat 
pendek seperti anak berusia sepuluh tahun. Pendek dan 
gemuk! Kepalanya tidak ditumbuhi rambut sehelai pun. 
Wajahnya yang kelimis tampak seperti orang yang sela- 
lu bergembira. Semua anggota tubuh sosok ini serba 
bulat! Perutnya yang gendut terlihat jelas karena tidak 
tertutup rompi merah yang dikenakannya. 

"Aku tidak pernah mimpi melihat seekor monyet 
cilik yang dungu terjeblos ke dalam sebuah lubang! Lu- 
cu sekali! Ha ha ha...!" 

Wajah pemuda berompi kulit harimau merah 
padam. Ia merasa malu dan tersinggung. Pemuda itu 
menduga sosok pendek gemuk yang meski bentuk tu- 
buhnya kecil, tapi usianya tak kurang dari lima puluh 
tahun. Pemuda berwajah persegi ini tidak tahu kalau 
sosok pendek gemuk itu telah berusia delapan puluh 
tahun lebih! 

Pemuda berwajah persegi tidak berani lancang 
menurutkan perasaan hatinya untuk balas memaki. 
Kakek pendek gemuk itu bukan orang sembarangan. 
Tawa yang dikeluarkan kakek itu membuat dadanya 
bergetar hebat. 

Setelah menatap kakek pendek gemuk sekilas, 
pemuda berwajah persegi membalikkan tubuh dan 
mengayunkan kaki menuju pondok sederhana. Kakek 
pendek gemuk tidak menghalangi maksud pemuda be- 
rompi kulit harimau. Bahkan, dia mengiringi ayunan 
kaki pemuda berwajah persegi dengan tawa mengejek. 

"Ibu...!" 

Pemuda berompi kulit harimau berteriak me- 
manggil ketika telah berada di depan pintu pondok. 

"Ibu...! Ini aku anakmu pulang...!" 

Tidak terdengar sahutan meski pemuda itu me- 
nunggu beberapa saat lamanya. Kesabaran pemuda itu 
habis. Dengan kedua tangan didorongnya daun pintu. 
Ternyata tidak terkunci. Namun ketika daun pintu ter- 
kuak sedikit, terdengar bunyi nyaring di susul dengan 
desingan tajam. "Ah...!" 

Pemuda berwajah persegi berseru kaget melihat 
beberapa anak panah meluncur deras ke arahnya. Den- 
gan sigap tubuhnya dilempar ke belakang sehingga 
anak panah meluncur lewat tanpa mendapat hasil. 

"Ha ha ha...!" 

Kakek pendek gemuk yang masih berada di luar 
pagar kembali tertawa bergelak. Menertawakan pemuda 
berompi kulit harimau yang dua kali hampir mati. 

"Lucu sekali...! Hampir saja monyet dungu ini 
menjadi sate monyet. Ha ha ha...! Lucu...! Lucu seka- 
li...!" 

Kali ini pemuda berompi kulit harimau tidak bi- 
sa menahan sabar lagi. 

"Siapa kau, Kakek? Mengapa memperhatikan 
gerak-gerikku? Tinggalkan tempat ini sebelum kesaba- 
ranku habis! Aku tidak ingin menghajarmu. Tapi, bila 
kau terus seperti ini jangan salahkan kalau aku yang 
muda bertindak kasar terhadapmu!" tegur pemuda ber- 
wajah persegi. 

"Ha ha ha...!" 

Sambutan kakek pendek gemuk malah tawa 
bergelak. Sepasang matanya sejenak berkilat mengeri- 
kan memancarkan hawa maut. 

"Seekor monyet muda yang telah dua kali ham- 
pir mati berani mengancamku? Ha ha ha...! Dunia be- 
nar-benar sudah gila. Rupanya kau memiliki nyali ma- 
can, Monyet Dungu! Aku jadi ingin melihat kesabaran 
mu habis. Tapi, sebelum itu aku ingin mempertunjuk- 
kan sebuah permainan yang menarik untukmu!" 

Kakek pendek gemuk meletakkan ujung jari te- 
lunjuknya di bawah pagar bambu yang malang. Pagar 
itu memang terbuat dari belahan-belahan bambu yang 
disusun malang melintang. Ada dua deretan bambu 
yang malang. Kakek pendek gemuk meletakkan telun- 
juknya pada bagian bambu yang di atas. 

Kakek itu menggetarkan tangannya sejenak. Ti- 
ba-tiba sebagian pagar bambu tercabut dari dalam ta- 
nah. Panjang pagar bambu yang terpisah dari deretan 
pagar kira-kira dua tombak. Kakek pendek gemuk lalu 
menggerakkan jari telunjuknya ke atas. Pagar bambu 
itu pun melayang ke atas bagai dilontarkan tenaga rak- 
sasa. 

Di saat pagar bambu kehabisan daya luncuran, 
kakek pendek gemuk menjulurkan tangannya ke arah 
pagar bambu itu. Terdengar bunyi berderak ketika ka- 
wat yang mengikat batang-batang bambu tercerai-berai 
dan melayang turun. 

Kali ini kakek pendek gemuk menjulurkan tan- 
gan kiri seraya memekik pelan. Bagai digerakkan orang, 
bambu-bambu itu meluncur ke depan dan menancap 
rapi di pinggir lubang tempat pemuda berwajah persegi 
terperangkap! 

Wajah pemuda berompi kulit harimau berubah 
hebat. Pertunjukkan kakek pendek gemuk jelas meru- 
pakan hal yang luar biasa. Kakek itu mempunyai tenaga 
dalam yang sangat tinggi sehingga mampu memper- 
mainkan batang-batang bambu itu sekehendak hatinya. 

Tenaga dalam itu jadi bagai tangan tak nampak! 

"Kau memang hebat, Kek." Pemuda berwajah 
persegi menelan ludah untuk membasahi tenggorokan- 
nya yang mendadak kering. "Tapi, bukan berarti kau bi- 
sa seenaknya saja menghina diriku. Aku bukan orang 
yang takut menghadapi kematian!" 

"Bagus. Bagus. Kau menyenangkan hatiku. 
Anak Muda. Kau tidak pantas lagi kupanggil monyet 
dungu. Aku suka dengan orang-orang yang berjiwa 
pemberani! Tidak mau merengek-rengek. Aku jadi lebih 
ingin mengenalmu lebih jauh. Apa hubunganmu dengan 
pemilik rumah itu?" 

"Aku anaknya!" tandas pemuda berwajah perse- 
gi- 

"Ah...! Begitukah?" 

Pemuda berwajah persegi diam-diam memperha- 
tikan suatu keanehan pada diri kakek pendek gemuk. 
Dalam keadaan apa pun wajah kakek itu tetap cerah 
dan penuh senyum, seperti orang yang memiliki hati 
welas asih. Mungkin dalam keadaan marah sekalipun 
wajah kakek itu tetap penuh dengan senyum. 

"Menurut berita yang kudengar rumah itu milik 
istri Iblis Buta. Apakah kau anak dari tokoh yang ter- 
kenal itu?" tanya kakek pendek gemuk dengan senyum 
menghias bibir. 

"Tak salah!" Pemuda berwajah persegi mengang- 
guk. "Aku adalah anak Iblis Buta. Namaku Dirgantara!" 

"Kalau begitu, sungguh merupakan hal yang 
menguntungkan. Tidak mendapatkan ayahnya, anak- 
nya pun jadi. Setidak-tidaknya, andaikata Iblis Buta 
demikian pengecut dan tetap tidak berani memuncul- 
kan diri, kau akan menjadi gantinya!" 

"Apa maksudmu, Kek?" tanya Dirgantara dengan 
perasaan tidak enak. Dia melihat adanya permusuhan 
antara kakek pendek gemuk dengan ayahnya, Iblis Buta. 

"Masih kurang jelaskah bagimu, Monyet Dungu? 
Ayahmu telah melakukan sebuah kesalahan terha- 
dapku. Dia telah lancang tangan membunuh muridku. 
Jadi, tidak ada pilihan lain bagiku kecuali turun gu- 
nung dan membalaskan sakit hati ini. Karena kau orang 
yang mempunyai hubungan darah dengan Iblis Buta, 
kau harus menanggung akibat perbuatan ayahmu. Ha 
ha ha...!" 

Dirgantara mengepalkan kedua tinjunya yang kekar. 

"Tidak semudah itu kau melakukannya, Kek!" 

"Ha Ha ha...! Kau terlalu besar kepala, Monyet 
Dungu! Jangankan kau, gurumu sendiri tidak akan 
mampu melawanku. Pernahkah gurumu bercerita ten- 
tang datuk sesat dunia persilatan yang sekitar tiga pu- 
luh tahun lalu mengasingkan diri?" 

Wajah Dirgantara berubah. Gurunya memang 
pernah bercerita tentang hal itu. "Jadi..., kau.... Setan 
Gila?!" 

"Ha ha ha...! Benar sekali...!" Kakek pendek ge- 
muk tertawa bergelak. "Mungkin sekarang kegilaan ku 
telah jauh berkurang. Sudah hampir empat puluh ta- 
hun aku mengasingkan diri, hingga banyak hal yang 
kulupakan. Bahkan, kebiasaan-kebiasaan ku!" 

Dirgantara memang telah mendengar mengenai 
kakek pendek gemuk ini dari gurunya. Setan Gila yang 
terkenal karena ketinggian ilmu dan kekejamannya. 
Tanpa membuang-buang waktu, segera Dirgantara 
mencabut tongkat bambu yang sejak tadi tersampir di 
punggung sebagaimana pedang. 

"Ha ha ha...!" Setan Gila tertawa melihat Dirgan- 
tara mencabut senjatanya. "Jadi gurumu si Petani Be- 
rambut Putih? Ha ha ha...! Bukankah dugaanku benar, 
Monyet Dungu? Sejak kulihat bambu kuning itu di 
punggungmu aku sudah bisa menduga siapa gurumu. 
Asal kau tahu saja, Monyet Dungu, gurumu apabila 
bertemu denganku akan berlutut dan meminta ampu- 
nan. Dan...." 

"Tutup mulutmu dan lihat senjata...!" 

Dirgantara yang tidak senang mendengar gu- 
runya dihina segera memutar bambu kuning sepanjang 
pedang di tangannya. Bambu kuning itu lenyap menjadi 
segulungan sinar kekuningan yang mengeluarkan bunyi 
mengaung keras seperti sekelompok lebah murka. 

Kakek pendek gemuk hanya tersenyum lebar. 
Dia tidak melakukan tindakan apa pun. Baru ketika 
Dirgantara telah berada dekat dengannya dan serangan 
bambu pemuda itu hampir mengenai tubuhnya, kakek 
pendek gemuk bertepuk tangan sekali. 

Glarrr! 

Dirgantara yang tengah melayang di udara dan 
siap menusukkan bambu kuningnya merasakan ada 
halilintar menyambar dekat telinga. Keras bukan main 
sehingga tidak hanya telinganya saja yang mendadak 
tuli, tapi juga dadanya bergetar hebat. Tenaga yang ter- 
kumpul buyar seketika karena tubuhnya mendadak le- 
mas. Bahkan, tubuh pemuda ini sampai terhuyung- 
huyung dan hampir jatuh ketika berhasil menjejak ta- 
nah. 

Kakek pendek gemuk membuka mulutnya dan 
meniup. Angin luar biasa keras berhembus sehingga 
Dirgantara yang masih dalam pengaruh tepukan itu ti- 
dak kuat bertahan. Tubuh pemuda itu terjengkang ke 
belakang dan jatuh bergulingan di tanah. 

Sambil tertawa bergelak, kakek Setan Gila me- 
nudingkan jari telunjuknya. Dirgantara menyeringai ke- 
tika merasakan sekujur tubuhnya lemas ketika bahu 
kanannya terkena totokan. Setan Gila telah menotoknya 
dari jauh, Bagi orang yang memiliki tingkat tenaga da- 
lam seperti Setan Gila merupakan sesuatu yang mudah 
untuk melakukan hal itu. 

Setan Gila terkekeh girang. Kakinya yang pen- 
dek dan bulat seperti kaki gajah dihentakkan ke tanah 
sekali. Tubuh Dirgantara pun melayang ke arah kakek 
pendek gemuk itu. 

Setan Gila yang sudah mengembangkan kedua 
tangan untuk menangkap tubuh Dirgantara terpaksa 
menarik kembali ketika terdengar bunyi berdesing nyar- 
ing. Kakek itu melihat benda-benda halus berwarna pu- 
tih meluncur ke arahnya. Semula meluncur ke arah da- 
da, tapi di tengah jalan berpencar. Masing-masing ben- 
da halus yang diketahui Setan Gila sebagai rambut ma- 
nusia itu meluncur ke berbagai jalan darah mematikan 
di tubuhnya. 

Setan Gila mundur selangkah seraya memper- 
dengarkan tawa keras hingga perutnya berguncang. 
Rambut-rambut yang semula menegang kaku bagai ja- 
rum-jarum panjang itu melemas. Dan, ketika kakek 
pendek gemuk meniupnya rambut-rambut itu runtuh 
ke tanah. 

Pada saat yang bersamaan tubuh Dirgantara 
pun jatuh ke tanah dengan keras karena tidak ada yang 
menyambutinya. 

"Ha ha ha...! Kiranya kau penyabotnya. Pan 
tas...! Apa gerangan yang membuatmu turun dari per- 
tapaan, Jerangkong Penjagal Nyawa?!" seru Setan Gila 
dengan senyum lebar, kendati hatinya terkejut bukan 
main. Kaget dan dongkol karena tahu akan menghadapi 
saingan berat. Jerangkong Penjagal Nyawa adalah salah 
satu dari dua datuk tua yang telah puluhan tahun 
mengundurkan diri. 

Jerangkong Penjagal Nyawa seorang kakek yang 
berusia tak kurang dari seratus tahun. Ia mendengus 
mendengar ucapan Setan Gila. Wajahnya yang berben- 
tuk tirus dan selalu tampak muram bertambah keruh. 
Wajah Jerangkong Penjagal Nyawa dan bentuk tubuh- 
nya memang merupakan kebalikan dari Setan Gila. Je- 
rangkong Penjagal Nyawa bertubuh tinggi kurus. Ting- 
ginya hampir satu setengah kali tinggi manusia normal. 
Ia kurus bukan main seperti tulang dibungkus kulit. 
Pakaian yang dikenakannya putih bersih namun kebe- 
saran hingga senantiasa berkibaran ketika tertiup an- 
gin. 

"Kau sendiri mengapa keluar dari tempat penga- 
singanmu, Gendut?" Sambil berkata demikian, Jerang- 
kong Penjagal Nyawa melirik tubuh Dirgantara yang ter- 
golek di tanah. Tubuh pemuda berompi kulit harimau 
itu tergolek tepat di antara kedua kakek ini. 

Dirgantara yang mendengarkan adu mulut itu 
hanya bisa mengeluh dalam hati. Dia tahu keadaannya 
amat berbahaya. Jerangkong Penjagal Nyawa adalah 
saingan berat Setan Gila. Setan Gila saja sudah tidak 
bisa ditanggulangi. Maka, kedatangan Jerangkong Pen- 
jagal Nyawa semakin memperburuk keadaan. Tubuhnya 
yang lemas karena tertotok membuatnya hanya bisa 
berdiam diri dan pasrah pada keadaan. Yang dapat di- 
lakukan Dirgantara hanya mendengarkan pertengkaran 
Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila serta berha- 
rap agar di antara mereka timbul pertarungan yang 
akan membuatnya mendapat kesempatan untuk mela- 
rikan diri. 

Sementara, Setan Gila yang mendapat perta- 
nyaan dari Jerangkong Penjagal Nyawa malah tertawa 
bergelak. 

"Keluarnya aku dari pertapaan mempunyai tu- 
juan yang jelas, Kurus!" Setan Gila tak mau kalah ger- 
tak. "Muridku tewas di tangan Iblis Buta. Mau tidak 
mau terpaksa aku harus turun tangan untuk memba- 
laskan kematiannya. Betapapun juga dengan tewasnya 
muridku, Iblis Buta telah berani menantangku!" 

"Alasan yang dibuat-buat!" tandas Jerangkong 
Penjagal Nyawa, tajam. "Lalu, apa hubungannya dengan 
pemuda ini? Aku tahu murid Petani Berambut Putih ini 
anak Iblis Buta. Tapi, mengapa kau mempermainkan- 
nya dan berusaha menjadikannya sandera agar Iblis 
Buta tidak melakukan perlawanan?" 

"Kau keliru, Kurus! Sama sekali tidak kusangka 
kepalamu yang kecil itu sejak dulu tetap mempunyai 
otak yang kecil pula. Setelah membunuh muridku, Iblis 
Buta menyembunyikan diri karena takut pembalasan- 
ku. Untuk memancing kedatangannya, aku terpaksa 
menyandera anaknya!" 

Cuhhh! 

Dengan kasar Jerangkong Penjagal Nyawa melu- 
dah ke tanah begitu Setan Gila menyelesaikan ucapan- 
nya. 

"Orang lain bisa kau bohongi, Gendut! Tapi, aku 
tidak akan bisa kau tipu! Aku tahu betul maksudmu 
menyandera anjing kecil ini untuk memaksa Iblis Buta 
memberitahukan di mana benda yang kau idam- 
idamkan." 

"Apa maksudmu, Kurus?" tanya Setan Gila den- 
gan tersenyum. 

"Masih juga tidak mengaku. Aku tahu alasan- 
mu mencari Iblis Buta untuk mendapatkan Telur Elang 
Perak. Kau ingin kembali muda seperti dulu. Itulah se- 
babnya kau mencari Iblis Buta. Telur Elang Perak me- 
mang mampu membuat orang kembali muda!" 

"Jadi kau pun menghendaki benda itu, Kurus? 
Kalau begitu, kau yang lebih dulu akan kusingkirkan!" 

"Kaulah yang akan mampus di tanganku, Gen- 
dut! Kali ini kau tidak akan seberuntung dulu!" Jerang- 
kong Penjagal Nyawa tidak mau kalah gertak 
Setan Gila maupun Jerangkong Penjagal Nyawa 
tidak ada yang mendahului menyerang. Kedua belah 
pihak sama-sama tahu lawan yang dihadapi amat berat. 
Mereka tidak yakin akan dapat saling mengungguli. 
Empat puluh tahun yang lalu ketika mereka bertarung 
pun tidak bisa ditentukan siapa yang menang. Kepan- 
daian mereka berimbang. Pertarungan baru berakhir 
ketika mereka sama-sama terluka parah. Kalau saja 
tempat mereka bertarung tidak terpencil dan kebetulan 
ada musuh mereka yang lewat, nyawa kedua datuk se- 
sat ini pasti akan melayang. 

Luka-luka parah memaksa Jerangkong Penjagal 
Nyawa dan Setan Gila menyembunyikan diri untuk me- 
nyembuhkan lukanya. Luka yang amat parah itu mem- 
butuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengobatinya. 

Ketika akhirnya luka-luka itu sembuh, Jerang- 
kong Penjagal Nyawa maupun Setan Gila tidak berminat 
lagi terjun ke dunia persilatan. Mereka memusatkan 
perhatian untuk menciptakan ilmu-ilmu baru. 

Sepuluh tahun setelah luka-luka itu sembuh Se- 
tan Gila pergi menyatroni Jerangkong Penjagal Nyawa 
untuk menantang pertarungan ulang. Pada saat yang 
sama, Jerangkong Penjagal Nyawa juga mendatangi 
tempat Setan Gila dengan tujuan yang sama. Jalan 
yang mereka tempuh berlainan. Mereka tidak bertemu, 
dan pertarungan pun tidak terjadi. Akhirnya, mereka 
kembali ke tempat tinggal masing-masing dan terus 
memperdalam ilmu. 

Usia tua dan tidak adanya lawan yang seimbang 
membuat Jerangkong Penjagal Nyawa dan 
Setan Gila malas untuk terjun ke dunia persila- 
tan lagi. Mereka menghabiskan usia di tempat penga- 
singan. Sampai akhirnya mendengar kabar tentang Te- 
lur Elang Perak! 

Kini Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila 
kembali saling berhadapan. Mereka tahu kalau perta- 
rungan dilakukan seperti dulu keduanya akan tewas 
dengan napas putus. Mereka sudah terlalu tua. 

"Aku mempunyai sebuah usul untuk pertarun- 
gan kita kali ini, Kurus. Aku bosan bertarung sebagai- 
mana tukang-tukang pukul. Taruhan dari pertarungan 
ini adalah pemuda itu!" Setan Gila menawarkan seraya 
menuding tubuh Dirgantara yang tergolek. 

"Tidak usah banyak bicara, Gendut! Kemukakan 
saja usulmu itu. Apa pun pertarungan yang kau ajukan 
akan kuterima!" tandas Jerangkong Penjagal Nyawa. Di- 
am-diam dia merasa gembira mendengar saran Setan 
Gila. Kakek jangkung ini pun khawatir apabila perta- 
rungan dilakukan dengan bertempur. Tapi, kegembi- 
raan itu tidak terlihat pada wajahnya yang muram. 

"Kita bermain tarik tambang!" seru Setan Gila 
lantang. "Pada bagian tengahnya kita beri tanda. 

Siapa yang tertarik terus hingga tanda itu tiba di 
garis lawan, dinyatakan kalah. Dan, tentu saja tidak 
berhak atas diri Monyet Dungu itu!" 

"Setuju!" jawab Jerangkong Penjagal Nyawa tak 
kalah lantang. 

Jawaban Jerangkong Penjagal Nyawa membuat 
Setan Gila sibuk membuat garis pada tanah. Sebuah 
garis tengah di mana tanda tengah pada tambang bera- 
da di atasnya, serta dua buah garis yang berada sejeng- 
kal di kanan dan kiri garis tengah. Garis-garis tamba- 
han ini yang akan menentukan siapa yang akan keluar 
sebagai pemenang. 

Tanpa banyak cakap Jerangkong Penjagal Nya- 
wa segera memberikan rantai baja yang menjadi senjata 
andalannya untuk dijadikan tambang. Setan Gila me- 
lengkungkan sebatang pedang dan di taruh di tengah- 
tengah rantai. Pedang yang dilengkungkan dan membe- 
lit rantai itu berada tepat di tengah rantai. Kedua kakek 
itu kemudian mengambil kedudukan yang menurut me- 
reka menguntungkan. 

Dada Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila 
berdebar tegang ketika mereka mulai menggenggam 
ujung-ujung rantai. Rantai tampak menegang. Ketika 
Setan Gila memberi aba-aba, kedua kakek ini menge- 
rahkan tenaga dalamnya untuk menarik. 

Jerangkong Penjagal Nyawa maupun Setan Gila 
langsung mengerahkan seluruh tenaga dalamnya agar 
segera dapat memperoleh kemenangan. Kekhawatiran 
mereka memang beralasan. Pihak lawan ternyata tetap 
tangguh seperti dulu. Kedua belah pihak telah menge- 
rahkan seluruh tenaga dalam, tapi tanda pada rantai te- 
tap tidak bergeser. 

Setelah beberapa saat lamanya keadaan tidak 
berubah, Jerangkong Penjagal Nyawa jadi kehilangan 
kesabaran. Tenaga dalam andalannya yang berhawa 
panas segera dikerahkan. Hawa panas pun merayap 
melalui rantai baja dan tiba di ujung rantai yang di- 
genggam Setan Gila! 

Sepasang mata Setan Gila tampak terkejut ken- 
dati senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Kakek pen- 
dek gemuk ini sampai tersentak ketika merasakan hawa 
panas menyengat telapak tangannya. Kekagetan ini 
membuat pengerahan tenaga dalamnya mengendur. 
Dan, Jerangkong Penjagal Nyawa yang sudah memper- 
hitungkan hal itu segera menariknya dengan keras. 

Kedudukan kaki Setan Gila tidak berubah. Tapi, 
tubuhnya terseret ke arah Jerangkong Penjagal Nyawa 
hampir setengah jengkal. Sebelum keadaan bertambah 
buruk, Setan Gila segera mengerahkan tenaga dalam 
berhawa dingin yang menjadi andalannya. 

Kalau dari Jerangkong Penjagal Nyawa menge- 
pul asap tipis saat tenaga berhawa panas dikerahkan. 
Pada pengerahan tenaga dalam Setan Gila, muncul uap 
tebal. Terdengar bunyi berdesis nyaring seperti besi pa- 
nas dicelupkan ke dalam air ketika Setan Gila menge- 
rahkan tenaga andalannya. 

Seperti juga pertarungan tenaga dalam sebe- 
lumnya, pertarungan antara dua tenaga dalam yang sal- 
ing berlawanan ini pun seimbang. Kedudukan tetap ti- 
dak berubah, kendati Setan Gila telah berada dalam 
keadaan kritis. Jerangkong Penjagal Nyawa unggul se- 
dikit di atasnya. 

Setan Gila pun menyadari hal itu. Diam-diam 
dia merasa dongkol karena berhasil dipencundangi Je- 
rangkong Penjagal Nyawa. Kalau tidak kaget, lawan be- 
lum tentu bisa menariknya. "Auuumm...!" 

Tiba-tiba, bagai seekor singa Setan Gila men- 
gaum keras. Akibatnya sungguh luar biasa! Jerangkong 
Penjagal Nyawa merasakan tenaganya membuyar kare- 
na rasa sakit pada telinga dan dadanya! 

Auman Setan Gila memang mengandung tenaga 
dalam luar biasa. 

Keadaan yang dialami Jerangkong Penjagal 
Nyawa sudah dapat diduga Setan Gila. Maka, saat itu 
juga kakek pendek gemuk ini menarik rantai dengan 
kuat. 

Jerangkong Penjagal Nyawa tidak mampu berta- 
han. Tubuhnya pun tertarik deras ke depan dan me- 
layang ke arah Setan Gila. 

Jerangkong Penjagal Nyawa tahu Setan Gila te- 
lah keluar sebagai pemenang. Namun, dia tidak ingin 
kalah mutlak. Maka, di saat tubuhnya melayang kakek 
jangkung ini mengirimkan serangan melalui mulutnya. 
Jerangkong Penjagal Nyawa meludah berkali-kali. 

Ludah yang dikeluarkan tokoh ini bukan semba- 
rang ludah. Ludah kental itu mampu melubangi baja 
yang paling kuat. Itu diketahui dengan pasti oleh Setan 
Gila. Kini ludah-ludah itu meluncur ke kepalanya. Ka- 
kek pendek gemuk ini segera merundukkan tubuh. 

Saat itu Jerangkong Penjagal Nyawa menghen- 
tak rantai dengan keras. Tubuh Setan Gila melayang 
keras ke depan seperti menyambuti tubuh kakek jang- 
kung itu. Seperti telah disepakati sebelumnya, Jerang- 
kong Penjagal Nyawa maupun Setan Gila melancarkan 
pukulan telapak tangan terbuka ke arah dada. Plak, 
plakkk! 

Kedua telapak tangan itu berbenturan dan sal- 
ing menempel. Bahkan ketika tubuh keduanya sudah 
melayang turun. Sekarang terjadi pertarungan jarak de- 
kat. 

Sesaat kemudian, dari atas kepala kedua kakek 
ini mengepul uap putih yang kian lama kian tebal. 
Tampaknya mereka sudah mengeluarkan tenaga yang 
melampaui batas. Ini berarti nyawa Jerangkong Penjag- 
al Nyawa dan Setan Gila berada di ujung maut. Baik 
yang kalah maupun yang menang akan sulit lolos dari 
kematian, karena selisih tenaga dalam mereka hanya 
sedikit. 

Sebelum keadaan Jerangkong Penjagal Nyawa 
dan Setan Gila semakin gawat keduanya melihat 
adanya kejanggalan. Dirgantara yang semula tergolek 
tak berapa jauh dari pinggir arena pertarungan kini ti- 
dak ada! Padahal, tadi Setan Gila yang memindahkan- 
nya ke sana agar tidak mengganggu jalannya pertarun- 
gan. 

Hilangnya tubuh Dirgantara membuat kedua 
kakek ini menarik tenaga dalamnya. Dirgantara jauh le- 
bih penting daripada pertarungan! Tindakan menarik 
tenaga dalam yang bersamaan membuat Jerangkong 
Penjagal Nyawa dan Setan Gila tidak mengalami luka 
dalam akibat tenaga yang membalik. 

"Keparat!" 

Jerangkong Penjagal Nyawa memaki. Sepasang 
matanya yang sipit dibelalakkan lebar-lebar mencari 
Dirgantara. Barangkali saja pemuda berompi kulit ha- 
rimau itu masih berada di sekitar itu. 

Tindakan serupa pun dilakukan Setan Gila. 
Dengan senyum mengembang di bibir, kakek pendek 
gemuk itu mencari-cari dengan sepasang matanya yang 
bulat besar. 

"Ha ha ha...! Lucu...! Lucu sekali...! Dua ekor 
anjing saling cakar-cakaran untuk memperebutkan tu- 
lang. Tak tahunya tulang itu dibawa kabur anjing lain. 
Ha ha ha...!" 

"Tutup mulutmu, Gendut! Kau ingin perutmu ku 
beset dan isinya ku sebar di sepanjang jalan?!" sergah 
Jerangkong Penjagal Nyawa, dengan suara keras. 

Setan Gila yang sebenarnya tak kalah kece- 
wanya dengan Jerangkong Penjagal Nyawa, namun 

mampu menyembunyikannya dalam sikapnya 
yang gembira, semakin tertawa keras. 

"Aku sudah bosan melayanimu, Anjing Kurus! 
Apa artinya perkelahian denganmu. Nanti kalau uru- 
sanku sudah selesai akan kucari kau dan ku patah- 
patahkan tulangmu lalu kuberikan pada anjing-anjing 
kelaparan untuk disantap!" 

Jerangkong Penjagal Nyawa tidak berkata apa- 
apa. Dia tahu ucapan Setan Gila benar. Tidak ada gu- 
nanya pertarungan dilanjutkan. Dia sendiri pun lelah 
bukan main. Tantangannya tadi hanya karena kemara- 
han hatinya akibat ucapan kakek pendek gemuk. Me- 
lanjutkan pertarungan sama saja dengan membunuh 
diri. 

Sambil tertawa lepas, Setan Gila melesat me- 
ninggalkan tempat itu. Tidak kelihatan kakek pendek 
gemuk ini berlari. Ia seperti menggelinding bagai bola. 
Dalam waktu singkat saja tubuhnya telah lenyap di ke- 
jauhan. 

Jerangkong Penjagal Nyawa mendengus. Dia 
pun berlari meninggalkan tempat itu. Kakek jangkung 
bagai galah ini lebih aneh lagi. Dia berlari dengan mem- 
pergunakan kaki-kakinya yang panjang. Tapi, tak ja- 
rang Jerangkong Penjagal Nyawa menggunakan kedua 
tangannya sebagai pengganti kaki. 

Penggunaan tangan ini tidak memperlambat la- 
rinya, malah menambah kecepatannya. 

"Tolong turunkan aku, Sobat. Aku mampu berlari 
sendiri. Tidak enak rasanya kau terus-terusan me- 
manggul ku seperti itu. Bebaskan totokan pada tubuh- 
ku biar aku berlari sendiri." 

Ucapan itu keluar dari mulut Dirgantara. Pemu- 
da berwajah persegi ini berada di atas bahu seorang 
pemuda berpakaian kuning. 

Pemuda berpakaian kuning menghentikan la- 
rinya. Kemudian, diturunkannya tubuh Dirgantara dari 
pondongan. Dengan sebuah tepukan pelan pada tubuh 
Dirgantara dia berhasil membebaskan pemuda berompi 
kulit harimau itu dari totokan. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat," ujar 
Dirgantara setelah berdiri tegak di tanah. Sepasang ma- 
tanya merayapi pemuda di hadapannya. Dirgantara lalu 
merangkapkan kedua tangan di depan dada dan mem- 
bungkukkan sedikit tubuhnya. 

"Pertolongan apa?" pemuda berpakaian kuning 
yang memiliki wajah tampan dan berkulit putih terse- 
nyum malu. "Yang kulakukan hanya melarikanmu di 
saat kedua kakek itu tengah terlibat pertarungan." 

"Itu pun namanya pertolongan, Sobat. Aku tidak 
bisa mengharapkan bantuan lebih dari itu. Kedua ka- 
kek yang tengah bertarung memperebutkan diriku itu 
memiliki kepandaian sangat tinggi. Bahkan, aku yakin 
guruku sendiri tidak akan mampu menandingi salah 
seorang di antara mereka. Bayangkan saja, hanya da- 
lam segebrakan aku dibuat tidak berdaya oleh kakek 
pendek gemuk," cerita Dirgantara. Ia langsung akrab 
dengan pemuda berpakaian kuning. Dirgantara tidak 
segan-segan untuk berterus terang. 

"Ah...! Benarkah?" Sepasang mata pemuda ber- 
pakaian kuning membelalak. "Siapakah kedua kakek 
yang demikian lihai itu? Dan, kau sendiri siapa? Nama- 
ku Jumpena." 

"Aku Dirgantara, murid seorang kakek yang ber- 
juluk Petani Berambut Putih. Sedangkan kedua kakek 
itu adalah Jerangkong Penjagal Nyawa dan Setan Gila," 
urai Dirgantara. 

Sepasang mata Jumpena yang memang sudah 
membelalak semakin melotot lebar. 

"Luar biasa! Aku tidak pernah mimpi akan ber- 
temu dengan tokoh-tokoh sakti yang sering diceritakan 
ayahku. Ayah sering bercerita tentang Petani Berambut 
Putih, demikian pula dengan dua datuk sesat itu. Jadi, 
kau murid Petani Berambut Putih, Dirga?" 

Dirgantara mengangguk. 

"Kau sendiri, boleh ku tahu siapa ayahmu, 
Jumpena?" 

"Tentu saja," sahut Jumpena, cepat "Ayahku 
kenal baik dengan gurumu. Beliau dikenal orang den- 
gan julukan Pendekar Jari Maut!" 

"Ah...!" 

Kali ini Dirgantara yang terkejut. Menurut cerita 
gurunya, Pendekar Jari Maut merupakan tokoh tingkat 
tinggi golongan putih. Bahkan, Petani Berambut Putih, 
kendati belum pernah bertarung dengan Pendekar Jari 
Maut, mengatakan kepada Dirgantara kalau tingkat ke- 
pandaian Pendekar Jari Maut berada di atasnya. 

"Sungguh tidak disangka aku akan berjumpa 
dengan putra seorang tokoh besar kaum putih yang ser- 
ing diceritakan guruku dengan penuh kekaguman. Be- 
liau pasti akan bangga bila tahu aku berjumpa den- 
ganmu, Jumpena. Apalagi bila kuceritakan kalau kau 
yang telah menolong nyawaku dari kematian." 

Jumpena tersenyum, membuat sebaris kumis 
melintang yang cukup lebat di atas bibirnya yang merah 
bergerak-gerak lucu. Keadaan tubuh Jumpena memang 
bertolak belakang dengan Dirgantara. Jumpena memili- 
ki tubuh kecil, tapi tidak kurus. Berkulit putih dan keli- 
hatan lemah lembut. Wajahnya tampak terlalu tampan. 
Sedangkan Dirgantara memiliki tubuh tinggi besar. Ku- 
litnya hitam kecoklatan. Sayang, ia tidak mempunyai 
kumis. Berbeda dengan Jumpena yang meskipun keli- 
hatan lemah lembut tapi berkumis cukup lebat. 

"Kau terlalu memuji, Dirgantara," ujar Jumpena 
dengan tersenyum, membuat Dirgantara semakin betah 
berbincang-bincang dengan pemuda itu. Apalagi se- 
nyumannya enak dilihat. 

"Kau sebenarnya hendak ke mana, Jumpena?" 

"Mengantarkan surat dari ayahku untuk Naga 
Sakti Berwajah Hitam," jawab Jumpena. Ia mengambil 
segulung surat dari balik bajunya, kemudian mema- 
sukkannya kembali. 

Dirgantara hanya mengangguk-angguk. Pemuda 
berwajah persegi ini tidak tertarik untuk bertanya men- 
genai isi surat. Dirgantara tahu kalau tidak merupakan 
rahasia, Jumpena yang memiliki sifat terbuka pasti 
akan memberitahukannya. Kemungkinan lain, pemuda 
berkumis tebal itu tidak tahu isi surat ayahnya. Bukan- 
kah surat itu ditujukan pada Naga Sakti Berwajah Hi- 
tam? 

"Kau sendiri hendak ke mana, Dirga?" 

Dirgantara yang tidak menyangka akan menda- 
pat pertanyaan seperti itu hanya membisu. Semula tu- 
juannya pulang setelah berguru selama belasan tahun 
adalah untuk menemui ibunya. Tapi, ibunya ternyata 
tidak ada di rumah. Dia tidak tahu ke mana ibunya per- 
gi- 

"Aku tidak tahu, Jumpena. Tujuanku semula in- 
gin menemui ibuku setelah selesai berguru pada Petani 
Berambut Putih. Tapi, ternyata beliau tidak ada. Bagai- 
mana kalau aku ikut denganmu sekalian mencari cerita 
mengenai ibuku? Apakah kau tidak merasa keberatan?" 
tanya Dirgantara penuh harap. 

"Tentu saja. Mengapa tidak?" sambut Jumpena 
setelah tercenung sejenak. "Bukankah kalau ada kawan 
perjalanan jadi lebih enak." 

Dirgantara menyembunyikan kegembiraan yang 
melanda hatinya dengan tersenyum. Entah mengapa, 
pemuda berompi kulit harimau itu merasa gembira ber- 
sama Jumpena. Ada sesuatu dalam diri pemuda berpa- 
kaian kuning itu yang membuat nya tertarik. 

"Terima kasih atas kesediaanmu, Jumpena. Kau 
mengajakku menemui Naga Sakti Berwajah Hitam. Gu- 
ruku banyak bercerita mengenai tokoh itu. Katanya ia 
memiliki ilmu silat tangan kosong yang luar biasa." 

Jumpena hanya mengangguk untuk membenarkan. 

"Kurasa percakapan ini bisa kita lakukan den- 
gan melakukan perjalanan, Dirga. Aku khawatir akan 
terlambat tiba di tempat Naga Sakti Berwajah Hitam. 
Ayahku berpesan agar surat ini segera tiba di tangan 
tokoh itu." "Kalau begitu mari kita bergegas." 

"Tunggu dulu, Dirga." Jumpena mencegah keti- 
ka melihat Dirgantara mengayunkan kaki. 

Dirgantara menoleh, heran. Mengapa sekarang 
Jumpena malah mencegahnya, bukankah tadi pemuda 
berpakaian kuning itu yang mengajaknya bergegas? 

"Kau lihat tanda itu. Apakah sejak tadi sudah 
berada di sini?" Jumpena menudingkan jari telunjuknya 
ke sebelah kanan. 

Dirgantara mengarahkan pandangan ke sana. 
Pemuda berwajah persegi itu kelihatan terkejut. Di 
tempat yang ditunjuk Jumpena tertancap seba- 
tang tongkat yang pada bagian ujungnya terikat sehelai 
kain berwarna merah dan bergambar tengkorak manu- 
sia! 

"Aku yakin tongkat berbendera itu tadi tidak ada 
di sana, Jumpena," desis Dirgantara dengan perasaan 
tegang. 

"Berarti tongkat itu ditancapkan saat kita tengah 
bercakap-cakap," bisik Jumpena, tak kalah tegang. 

Dirgantara dan Jumpena saling berpandangan. 
Dalam adu pandang itu keduanya memahami isi hati 
masing-masing. Orang yang telah menancapkan tongkat 
tanpa sepengetahuan mereka menunjukkan kalau pela- 
kunya memiliki kepandaian tinggi! 

"Rasanya aku pernah mendengar cerita menge- 
nai tokoh yang memiliki tanda seperti ini," Dirgantara 
mengernyitkan kening. Ia mencoba mengingat-ingat. 

"Aku ingat...!" 

Hampir bersamaan perkataan itu keluar dari 
mulut Dirgantara dan Jumpena. Sepasang mata itu 
memancarkan kekhawatiran. Jumpena dan Dirgantara 
saling berpandangan dengan wajah tegang. 

"Siapa tokoh yang kau maksudkan itu, Jumpe- 
na?" Dirgantara memberi kesempatan pada pemuda 
berpakaian kuning untuk memberikan jawaban lebih 
dulu. 




"Tengkorak Darah...," Jumpena berbisik seperti 
khawatir ucapannya terdengar tokoh yang dimaksud. 

"Kak kak kak...!" 

Bagai menyambuti ucapan Jumpena, terdengar 
suara tawa berkakakan. Nadanya tidak pantas keluar 
dari mulut seorang manusia, melainkan burung gagak. 

Jumpena dan Dirgantara sampai melangkah 
mundur karena terkejut. Dua orang muda yang sama- 
sama mendapat gemblengan tokoh golongan putih ini 
kebingungan. Mereka mengedarkan pandangan berkelil- 
ing mencari-cari pemilik tawa. Suara tawa itu seperti 
berasal dari segala penjuru. 

Kenyataan ini menyadarkan Jumpena dan Dir- 
gantara kalau pemilik suara tawa memiliki tenaga da- 
lam yang sangat tinggi. Hanya orang bertenaga dalam 
tinggi saja serta memiliki ilmu memecah suara yang da- 
pat melakukan hal ini. Baik Jumpena maupun Dirgan- 
tara tidak akan mampu melakukannya. 

"Kalian mencari aku...?" 

Kali ini ucapan bernada aneh itu dapat diketa- 
hui datangnya secara pasti oleh Jumpena dan Dirganta- 
ra. Sosok yang mereka duga sebagai Tengkorak Darah 
tidak mempergunakan tenaga dalam istimewanya lagi. 

Bagai berlomba Jumpena dan Dirgantara mem- 
balikkan tubuh. Kemudian, melompat ke belakang un- 
tuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan. 

Tapi ternyata tindakan mereka tidak beralasan. 
Sosok yang mengeluarkan pertanyaan itu sama sekali 
tidak melancarkan serangan. Wajahnya tertutup kedok 
dari tengkorak manusia asli! Pakaian yang dikenakan- 
nya merah dan serba longgar sehingga berkibaran di- 
tiup angin. Pada bagian dadanya tersulam gambar 
tengkorak manusia dengan benang emas. Terlihat me- 
nyolok sekali dengan warna pakaiannya yang merah. 

"Tengkorak Darah...?" desis Jumpena dan Dir- 
gantara dengan suara tercekat di tenggorokan, karena 
perasaan tegang. Apalagi ketika mereka mencium bau 
kemenyan yang keras menusuk hidung. Perasaan te- 
gang itu semakin besar. 

"Rupanya kalian telah mengenaliku, heh...?" 

Kembali suara yang tidak enak didengar berku- 
mandang. Tidak terlihat kalau sosok bertopeng tengko- 
rak manusia yang mengucapkannya. Tapi, cukup untuk 
membuat Jumpena tahu kalau Tengkorak Darah itulah 
yang berbicara. Dirgantara pun yakin akan hal itu. 

"Bukan sesuatu yang aneh." Jumpena mengusik 
ketegangan dengan suaranya yang lantang dan keras. 
"Julukanmu amat terkenal. Bahkan kabarnya kau telah 
berani menantang Iblis Buta untuk bertarung. Setelah 
itu kabar mengenai dirimu tidak terdengar lagi. Kau hi- 
lang ditelan bumi. Lenyap tanpa ketahuan di mana rim- 
banya!" 

"Tutup mulutmu, Bocah Lancang! Kau ingin aku 
menelanjangi mu di depan kawanmu...?" "Keparat!" 

Jumpena memekik penuh kemarahan. 

"Kau kira karena kau berjuluk Tengkorak Darah 
aku akan takut terhadapmu? Kali ini kau akan kujadi- 
kan tengkorak sungguhan!" 

Jumpena yang rupanya jengkel mendengar ma- 
kian Tengkorak Darah segera menggerakkan kedua tan- 
gannya. Seketika itu pula benda-benda kecil bersinar 
meluncur ke arah Tengkorak Darah. 

"Permainan anak-anak seperti ini dipertunjuk- 
kan padaku?!" dengus Tengkorak Darah dengan suara 
mengejek. Dia tidak mengelak sedikit pun sehingga 
benda-benda kecil yang adalah jarum-jarum itu menan- 
cap di sasaran. 

Tengkorak Darah mendengus dengan kasar ke- 
tika Jumpena menunggu hasil serangan jarumnya. Ja- 
rum-jarum itu telah dibaluri racun, yang meskipun ti- 
dak mematikan tapi cukup untuk membuat orang yang 
tertusuk pingsan. Bersamaan dengan dengusan itu pa- 
kaian Tengkorak Darah bergelombang keras seperti ter- 
tiup hembusan angin. Jarum-jarum beracun itu runtuh 
ke tanah. Kiranya, jarum-jarum beracun itu tidak me- 
nembus kulit, hanya pakaiannya saja. 

Wajah Jumpena berubah. Pemuda berpakaian 
kuning ini sadar tidak ada gunanya lagi mengirimkan 
serangan susulan. Tengkorak Darah mampu membuat 
kulit tubuhnya tidak bisa ditembus benda tajam. 

Seakan tidak peduli pada keterkejutan Jumpe- 
na, Tengkorak Darah menjulurkan tangannya. Jari- 
jarinya tidak terlihat karena terbungkus sarung tangan 
merah. Sosok berpakaian merah ini menggerakkan tan- 
gan sebentar seperti menyentak. Dan, sebatang ranting 
yang tergolek di tanah melayang ke arahnya. Ranting itu 
panjangnya tak kurang dari tiga jengkal. 

Sebelum ranting itu berada dekat dan masih me- 
layang-layang di udara, Tengkorak Darah menjejakkan 
kaki. Tubuhnya melayang ke atas menyambut luncuran 
ranting. Tapi, ternyata tidak. Tengkorak Darah menje- 
jakkan kaki di atas ranting yang tengah melayang! 

Dengan sekali menggoyangkan kaki, Tengkorak 
Darah membuat arah luncuran ranting berbalik menuju 
Jumpena! Karena sosok bertopeng tengkorak manusia 
ini berada di atasnya, luncuran itu membawa tubuh 
Tengkorak Darah meluncur pula. 

Jumpena melempar tubuhnya ke belakang dan 
bersalto beberapa kali di udara untuk menggagalkan se- 
rangan Tengkorak Darah. Dan, ia berhasil. Sebelum 
Tengkorak Darah mengirimkan serangan susulan, Dir- 
gantara yang khawatir teman barunya terluka segera 
melompat ke atas mengirimkan serangan dengan bam- 
bunya yang berputar cepat hingga bentuknya lenyap 
menjadi segundukan sinar kehijauan! 

Tengkorak Darah menjejakkan kaki. Ranting 
yang berada di kakinya tertekan ke bawah. Tubuhnya 
melayang ke atas melewati kepala Dirgantara kemudian 
hinggap pada sebatang bambu sepanjang tiga kaki yang 
meluncur ke depan. Ternyata sebelum melompat tokoh 
yang memiliki wajah penuh rahasia ini telah melempar- 
kan sebatang kayu untuk tempat mendarat. 

Dirgantara tidak melanjutkan serangannya. 
Jumpena pun demikian. Keduanya membiarkan saja 
Tengkorak Darah meluncur. Bahkan mereka mendiam- 
kan ketika Tengkorak Darah berputar-putar mengelilin- 
gi kepala mereka dengan berdiri di atas bambu. 

Pertunjukan Tengkorak Darah berakhir, dengan 
mengarahkan luncuran bambunya pada sebatang po- 
hon. Bambu itu menembus batang pohon. Karena bam- 
bu tidak panjang ketika menembus pohon, maka ber- 
goyang-goyang seperti akan terlepas menahan berat tu- 
buh Tengkorak Darah. 

Dirgantara dan Jumpena yang sejak tadi mem- 
perhatikan tingkah laku Tengkorak Darah hanya ber- 
diam diri memperhatikan tindakan apa yang akan dila- 
kukan Tengkorak Darah selanjutnya. 

Tengkorak Darah sendiri bersikap tidak peduli. 

Dengan tenang dikeluarkannya dua buah bone- 
ka yang terbuat dari ranting kecil dan jerami. Kemu- 
dian, dengan hati-hati pada bagian kepala yang mem- 
punyai muka sekadarnya ditempelkan masing-masing 
sehelai rambut. Jumpena maupun Dirgantara tidak ta- 
hu kalau rambut yang ditempelkan pada dahi boneka 
adalah rambut mereka! Tanpa setahu kedua orang mu- 
da itu, Tengkorak Darah dengan mempergunakan keli- 
hatannya mengambil rambut mereka. 

Karena membuat boneka sederhana itulah 
Tengkorak Darah baru muncul setelah Jumpena dan 
Dirgantara meributkannya tadi, setelah melihat adanya 
tanda yang ditancapkan. Memang, setelah menan- 
capkan tanda keberadaan dirinya Tengkorak Darah per- 
gi mencari ranting dan jerami untuk membuat boneka. 
Boneka-boneka itu mewakili Jumpena dan Dirgantara. 

Sementara itu Dirgantara dan Jumpena saling 
berpandangan. Sinar mata mereka tampak bertanya- 
tanya. Meskipun demikian, kedua pemuda itu bisa 
memperkirakan Tengkorak Darah tengah merencana- 
kan sesuatu yang tidak baik! Setidak-tidaknya akan 
merugikan mereka. Jumpena maupun Dirgantara men- 
getahui Tengkorak Darah ahli bermain sihir! 

Keyakinan akan dugaan itu menyebabkan Dir- 
gantara dan Jumpena menghunus senjata yang tadi te- 
lah disimpan. Kemudian, sambil mengeluarkan teriakan 
melengking nyaring mereka melesat ke arah Tengkorak 
Darah dengan senjata di tangan. 

Dirgantara memutar bambu kuningnya hingga 
bentuknya lenyap menjadi segundukan sinar yang mu- 
la-mula kecil kemudian melebar. Jumpena mengelua- 
rkan sepasang pisau yang putih berkilat. Dengan senja- 
ta itu ia bersiap untuk membunuh Tengkorak Darah. 

Tengkorak Darah tentu saja melihat tindakan 
kedua pemuda itu. Tapi, dia bersikap tidak peduli. Se- 
perti tidak mengetahui adanya serangan ia tetap memu- 
satkan perhatian pada boneka yang berada di tangan- 
nya. Di saat Dirgantara dan Jumpena melalui setengah 
jarak antara mereka, baru Tengkorak Darah dengan 
mempergunakan jari telunjuknya menotok bagian bahu 
kanan boneka-boneka itu. 

Pada saat yang bersamaan dengan totokan yang 
mengenai bahu kanan boneka-boneka, Jumpena dan 
Dirgantara merasakan tubuh mereka tiba-tiba lumpuh. 
Tanpa mampu berbuat apa pun lagi, luncuran tubuh 
kedua pemuda itu terhenti di tengah jalan. Kemudian, 
ambruk ke tanah bagaikan sehelai karung basah. 

"Hak hak hak..!" 

Tengkorak Darah tertawa berkakakan. Kemu- 
dian, dengan gerakan kaki sederhana sosok berpakaian 
serba merah itu melepaskan bambu yang menancap di 
batang pohon. Dengan sekali sentak bambu itu me- 
layang membawa tubuhnya menuju tempat Jumpena 
dan Dirgantara berada. Tepat di depan kedua orang 
muda itu luncuran bambu terhenti. Kemudian, menda- 
rat turun perlahan-lahan seperti diatur oleh tangan ti- 
dak nampak. 

Tengkorak Darah menatap wajah Jumpena dan 
Dirgantara berganti-ganti. Sorot sepasang matanya 
memancarkan kesan menyeramkan, membuat kedua 
pemuda yang sebenarnya memiliki nyali besar itu mera- 
sa ngeri. Keduanya sadar kalau keadaan mereka amat 
berbahaya. Kematian telah berada di depan mata. Wa- 
laupun Jumpena dan Dirgantara bukan orang-orang 
yang takut kematian, tapi tewas secara mengerikan bu- 
kan persoalan main-main. Bagi orang seperti Tengkorak 
Darah kematian lawan secara mengerikan merupakan 
hal menyenangkan! Ini yang membuat kedua orang 
muda itu ngeri. Meski demikian, keduanya tidak me- 
nunjukkan perasaan gentar. Malah, dengan berani 
Jumpena dan Dirgantara membalas tatapan Tengkorak 
Darah dengan sorot mata penuh tantangan. 

"Aku tahu kalian orang-orang muda yang berani 
mati." Tengkorak Darah berkata dengan suara anehnya 
setelah terlebih dulu melepas tawa mengerikan. Tawa 
yang bukan timbul karena perasaan gembira. Jumpena 
maupun Dirgantara merasakan kepedihan dalam tawa 
itu. Ini membuat keduanya merasa heran. "Aku yakin 
kalian tidak akan bertindak seberani itu, mengajukan 
tantangan terhadapku dengan sinar mata, kalau tahu 
kematian yang akan kalian terima!" 

"Kau boleh mengajukan ancaman apa pun. Tapi 
jangan harap aku akan gentar! Aku tak akan minta am- 
punanmu, Manusia Iblis! Silakan lakukan sekehendak 
hatimu!" sambut Jumpena yang ternyata memiliki wa- 
tak pemberani dan tidak takut menghadapi ancaman. 

"Apa yang dikatakan kawanku memang benar, 
Tengkorak Darah!" Dirgantara ikut berbicara untuk me- 
nyejukkan suasana tegang yang melanda. Dirgantara 
lebih bisa mengendalikan diri untuk tidak memancing 
kemarahan Tengkorak Darah. Dilihatnya kilatan kema- 
rahan pada sepasang mata Tengkorak Darah begitu 
mendengar ucapan Jumpena. Dirgantara memiliki wa- 
tak lebih tenang. Yang lebih penting adalah mencari ja- 
lan untuk menyelamatkan diri. "Kami bukan orang- 
orang yang takut mati. Tapi kalau boleh kami tahu, ada 
urusan apa di antara kita hingga kau berniat menja- 
tuhkan tangan jahat terhadap kami. Sepanjang ingatan 
kami tidak ada urusan di antara kita." 

Tengkorak Darah menatap wajah Dirgantara sejenak. 

"Kau lebih memiliki otak daripada kawanmu. 
Memang, di antara kita tidak ada permusuhan. Tapi itu 
tidak menjadi alasan bagiku! Kalau kau meminta ala- 
san, sesalilah kenapa kalian berada di sini pada saat 
aku berada di sini! Kalau aku ingin membunuh orang, 
kubunuh saja, habis perkara. Tanpa perlu alasan apa 
pun. Kebetulan saat ini aku tengah ingin menyiksa 
orang!" 

"Mengapa bertele-tele, Tengkorak Darah!" Jum- 
pena tidak senang melihat sikap Dirgantara, ia mengira 
pemuda berompi kulit harimau itu merasa gentar, se- 
hingga langsung menyela. Suara dan nadanya lebih ke- 
ras dari semula. "Kalau kau ingin bunuh, silakan bu- 
nuh! Ingin menyiksa, siksa saja! Tidak perlu bertele-tele 
dan berbicara panjang lebar seperti nenek-nenek ba- 
wel!" 

Tidak hanya Tengkorak Darah, Dirgantara pun 
kaget mendengar perkataan Jumpena. 

"Jumpena benar-benar seorang yang nekat!" de- 
sis hati Dirgantara. Nekat dan tidak mengenai gelagat. 

Tengkorak Darah menggeram keras. Terasa be- 
tul nada kemarahan di dalamnya. Tapi, sebentar kemu- 
dian berganti dengan tawa bergelak. 

"Kau kelihatannya memiliki hati baja, Bocah Ba- 
gus! Aku jadi ingin membuktikan kebenaran ucapanmu. 
Apakah kau benar-benar memiliki hati keras dan tahan 
uji, atau hanya sesumbar belaka?!" 

Tengkorak Darah menutup ucapannya dengan 
mengeluarkan sebatang jarum panjang dari balik baju. 
Setelah mengerling ke arah Jumpena dari balik topeng- 
nya jarum itu diacungkan tinggi-tinggi. Kemudian, ditu- 
runkan perlahan-lahan dengan sikap seperti akan me- 
nusuk boneka sederhana yang ditempeli rambut Jum- 
pena. 

"Hentikan! Hentikan tindakan itu, Tengkorak Darah!" 

Dirgantara yang meskipun tidak tahu pasti apa 
yang akan terjadi, namun sedikit banyak ia bisa mem- 
perkirakan. Pemuda itu berseru mencegah dengan nada 
menyiratkan kekhawatiran. 

Tengkorak Darah memalingkan kepala menatap 
Dirgantara. Jumpena pun demikian. Tapi sebelum ke- 
dua orang itu membuka mulut, Dirgantara telah lebih 
dulu berseru. 

"Kalau kau masih ingin menyiksa, siksalah aku! 
Akulah yang lebih berhak untuk kau siksa. Bebaskan 
dia, Tengkorak Darah! Biar aku yang menanggung se- 
muanya. Aku rela kau siksa, bahkan kau bunuh sekali- 
pun asal kau biarkan dia bebas!" 

"Dirga!" Jumpena berseru kaget mendengar uca- 
pan Dirgantara. Suara pemuda berpakaian kuning ini 
agak serak karena rasa haru yang menyeruak menden- 
gar pembelaan Dirgantara. 

"Kau tenang-tenang saja, Jumpena. Bukankah 
kau telah menolongku? Sekarang berikan aku kesempa- 
tan untuk menolongmu." 

"Tapi...." 

"Bagaimana, Tengkorak Darah?" Dirgantara bu- 
ru-buru memutus ucapan Jumpena. "Kau mau mene- 
rima usulku...?" 

Tengkorak Darah mendengus setelah tertegun 
mendengar usul tidak masuk akalnya itu. Sungguh ti- 
dak pernah terpikir olehnya ada orang yang mau meng- 
gantikan untuk menerima hukuman. Sepengetahuan- 
nya, orang lebih suka mengorbankan orang lain asal di- 
rinya selamat. 

"Usulmu gila!" tajam ucapan Tengkorak Darah. 
"Aku tidak bisa menerimanya. SebaLiknya, aku maLah 
akan membebaskan mu dan menyiksa sampai mati 
orang yang bermulut lancang itu!" 

"Kau mengambil keputusan yang tepat, Tengko- 
rak Darah!" Jumpena mempunyai kesempatan untuk 
berbicara. "Memang aku seharusnya orang yang kau 
hukum. Akulah yang bersalah! Bisa juga kau mengam- 
bil keputusan lain. Tapi bila hal itu kau lakukan, berarti 
kau tidak memiliki otak yang baik. Otakmu telah ru- 
sak!" 

Dirgantara mengeluh dalam hati. Harus diakui 
kalau dalam kepintaran berbicara Jumpena memang 
luar biasa. Mungkin tidak kalah dengan perempuan! 
Kata-katanya selalu tepat menyinggung perasaan orang 
yang memojokkannya, sehingga orang yang diajak bica- 
ra tidak bisa mengambil keputusan lain. 

"Kau boleh rasakan sendiri keputusan yang te- 
lah kau pilih, Bocah Liar!" 

Dengan gemas Tengkorak Darah menusukkan 
jarumnya pada kepala boneka yang ditempeli rambut 
Jumpena. Dan, membiarkan jarum itu di sana. 

Dirgantara sampai membelalakkan mata ketika 
melihat pemandangan yang mustahil dan sangat men- 
gerikan! Begitu Tengkorak Darah menusukkan jarum 
pada kepala boneka, tubuh Jumpena kemudian meng- 
gelepar-gelepar. Seringai kesakitan tampak jelas pada 
wajahnya. Pemuda berpakaian kuning itu sampai mam- 
pu memegangi kepalanya. Padahal saat itu Jumpena, 
seperti juga dirinya, tengah berada dalam keadaan le- 
mas terkena totokan! Rangsangan sakit yang demikian 
kuat menjadikan Jumpena mampu bergerak tanpa sa- 
dar. Tapi hanya sebatas tenaga kasar. Ia tidak mampu 
mengerahkan tenaga dalam. 




Dirgantara merasa bulu tengkuknya meremang. 
Rasa sakit yang diderita Jumpena karena kepala bone- 
ka yang ditempeli rambut Jumpena ditusuk jarum. 
Meski tidak terlampau cerdik, pemuda berompi kulit 
harimau itu tahu ada hubungan erat antara boneka 
dengan diri Jumpena. Boneka itu merupakan cerminan 
tubuh Jumpena. Dirgantara sebelumnya tidak pernah 
menyaksikan ilmu keji seperti ini! Dirgantara tidak be- 
rani membayangkan betapa mudahnya Tengkorak Darah 
membunuh siapa saja yang diinginkannya lewat 
boneka buatannya. 

"Hentikan! Hentikan itu, Tengkorak Darah! 
Kau... keji...!" Dirgantara berteriak-teriak begitu sadar 
dari keterkejutannya. Suaranya keras dan lantang ka- 
rena didorong perasaan khawatir dan ngeri. Ia tak tega 
melihat Jumpena menggelepar-gelepar di tanah. Kedua 
tangannya didekapkan ke kepala. 

"Hak hak hak...!" 

Tengkorak Darah malah tertawa terbahak- 
bahak. Ia kelihatan gembira sekali melihat pemandan- 
gan yang terpampang di depan matanya. 

"Sekarang kau buktikan kehebatan ilmu dan 
siksaanku, Bocah Lancang! Inilah ilmuku yang terbaru. 
Dengan ilmu ini aku dapat membunuh siapa pun yang 
ku mau. Hak hak hak...!" 

"Hentikan, Tengkorak Darah!" Dirgantara sema- 
kin kalap melihat sosok berpakaian merah itu tidak 
mempedulikan teriakannya. "Kalau kau teruskan tinda- 
kanmu ini, kau akan mendapat kesulitan besar. Be- 
baskan dia, Tengkorak Darah!" 

Tengkorak Darah menghentikan tawanya dan 
menatap wajah Dirgantara lekat-lekat. 

"Kalau tidak mengingat wajahmu yang mengin- 
gatkan aku pada seseorang, sudah kuhancurkan mu- 
lutmu karena berani mengancamku, Bocah Liar! Kau 
kira Tengkorak Darah takut akan ancamanmu! Aku ju- 
stru ingin mencari permusuhan dengan guru bocah 
lancang itu, agar bisa terjadi pertempuran antara kami 
dan aku bisa membunuhnya!" 

"Tapi..., ayahnya adalah Pendekar Jari Maut! 
Kau akan celaka di tangannya, Tengkorak Darah. 
Dan...." 

"Apa...?!" 

Tengkorak Darah tersentak kaget mendengar 
ucapan Dirgantara. Kenyataan ini membuat pemuda be- 
rompi kulit harimau itu merasa gembira. Ia mengira ge- 
rakannya berhasil. Tengkorak Darah akan merasa se- 
gan bermusuhan dengan lawan berat seperti Pendekar 
Jari Maut. 

"Jadi..., bocah lancang itu anak dari Pendekar 
Jari Maut? Manusia terkutuk itu? Kalau begitu aku 
sangat beruntung. Untuk sementara aku bisa memba- 
laskan sakit hatiku sebelum ayahnya sendiri menerima 
ganjaran atas kekejian yang dilakukannya terhadapku!" 

Dirgantara melongo. Dia tidak menyangka akibat 
gertakannya akan begini. Tengkorak Darah ternyata 
memiliki dendam pada Pendekar Jari Maut. Keadaan 
Jumpena justru semakin gawat! 

Sebelum Dirgantara berbuat sesuatu, Tengkorak 
Darah telah lebih dulu bertindak. Boneka yang semula 
dibiarkan dengan jarum menancap di kepala kini diam- 
bilnya. Jarum panjang itu dicabut. Dan, dengan bertu- 
bi-tubi jarum ditusukkan ke berbagai bagian tubuh bo- 
neka! Jumpena semakin menggelepar-gelepar. Kendati 
demikian, tak sedikit pun keluar keluhan dari mulut- 
nya. Keringat dingin sebesar-besar biji jagung dan se- 
ringai kesakitan di wajah menunjukkan kalau pemuda 
berpakaian kuning ini tengah menderita hebat! 

"Rasakan wahai Pendekar Jari Maut..,! Lihatlah 
anakmu kusiksa...! Datanglah kemari.... Biar kau sendi- 
ri yang menerima siksaan dariku!" seru Tengkorak Da- 
rah dengan mengerahkan tenaga dalam. Tangannya 
masih terus menusuk-nusuk berbagai bagian tubuh 
boneka. 

"Hentikan...! Hentikan, Keparat! Tengkorak Da- 
rah...! Hentikan...! Keparat kau...! Aku bersumpah akan 
membuat perhitungan denganmu. Aku akan membu- 
nuhmu!" Dirgantara yang tidak menderita apa pun ber- 
teriak-teriak bagai cacing kepanasan. 


Teriakan Dirgantara ternyata manjur. Tengkorak 
Darah menghentikan siksaannya. Kepalanya di toleh- 
kan ke arah Dirgantara. Sepasang mata tajam berkilat- 
kilat menatap Dirgantara dari ujung rambut sampai 
ujung kaki. Bulu kuduk Dirgantara sampai berdiri. Ta- 
pi, Dirgantara menguatkan hati. Dia membalas tatapan 
itu meski tidak dengan sorot menantang. 

Dirgantara tiba-tiba melihat Tengkorak Darah 
yang telah memperhatikannya terhuyung ke belakang. 
Sepasang mata tajam di balik topeng itu terpejam seper- 
ti tengah memusatkan perhatian pada sesuatu. 

Dirgantara tidak tahu tubuh Tengkorak Darah 
terhuyung karena ada serangan. Serangan dari jauh 
yang hanya didengar Tengkorak Darah. Serangan itu 
berupa bunyi dentang nyaring seperti logam kosong di- 
pukul besi! Bunyinya menyakitkan telinga dan mem- 
buat isi dada tergetar hebat 

Tengkorak Darah yang mengetahui seseorang te- 
lah menyerangnya tidak tinggal diam. Dia mengumpul- 
kan hawa murni dan memusatkan perhatian. Sesaat 
kemudian dari mulutnya terdengar siulan. Siulan me- 
lengking yang tidak tertangkap telinga biasa, tapi lang- 
sung melawan pengaruh bunyi yang menyerangnya! 

Dirgantara yang semula keheranan semakin ber- 
tambah heran melihat tokoh itu duduk bersila. Dia ti- 
dak tahu apa yang tengah terjadi. Pemuda berompi kulit 
harimau itu tidak tahu kalau saat ini telah terjadi perta- 
rungan dahsyat tenaga dalam. 

Dirgantara mulai dapat menduga apa yang ten- 
gah terjadi ketika melihat uap tipis mengepul dari kepa- 
la Tengkorak Darah. Uap itu hanya akan muncul apabi- 
la seseorang mengerahkan tenaga dalam sampai mele- 
wati kemampuan. Berarti Tengkorak Darah tengah ter- 
libat pertarungan! Tapi, dengan siapa? 

Pertanyaan yang bergayut memaksa Dirgantara 
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pemuda berwa- 
jah persegi ini pun melihatnya. Belasan tombak dari 
tempatnya, berdiri seorang pemuda tampan berpakaian 
ungu dan berambut putih keperakan. Pemuda berpa- 
kaian ungu ini duduk bersandar pada sebatang pohon 
besar. Kelihatan santai, tapi tangan kanannya tak hen- 
ti-hentinya menyentili badan guci. Begitu cepat jari- 
jarinya bergerak hingga yang terlihat hanya bayangan 
tak jelas. Anehnya, betapapun Dirgantara mengerahkan 
tenaga dalam untuk mempertajam pendengaran namun 
tidak terdengar bunyi guci yang disentil. Padahal, meli- 
hat kecepatan jari itu bisa diperkirakan kerasnya bunyi 
yang terdengar. 

Dirgantara tidak tahu bunyi itu hanya ditujukan 
pada Tengkorak Darah. Hanya orang-orang yang memi- 
liki tenaga dalam tinggi saja yang bisa mendengarnya. 
Dirgantara mengalihkan perhatian pada Tengkorak Da- 
rah. Pemuda berompi kulit harimau ini bisa memperki- 
rakan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Kea- 
daan Tengkorak Darah demikian mengkhawatirkan. 
Uap yang mengepul dari atas kepalanya semakin tebal 
dan berwarna putih. Pakaiannya yang terlalu besar itu 
telah melekat dengan tubuh karena banyaknya peluh. 
Bahkan, dari balik topeng mengalir keringat. "Hukh!" 

Tubuh Tengkorak Darah terdorong agak ke be- 
lakang kemudian tertunduk ke depan. Tengkorak Darah 
terluka dalam. Ia memuntahkan darah segar. Topeng 
yang menutupi wajah dan mulutnya membuat darah itu 
tidak terlihat. Tengkorak Darah telah kalah! 

Tengkorak Darah mengerling ke arah pemuda 
berambut putih keperakan dari balik lubang topengnya. 
Kemudian, ia bangkit dengan terhuyung-huyung dan 
melesat meninggalkan tempat itu. 

Pemuda berpakaian ungu tidak mengejarnya. 
Dia menghela napas berat, lalu menyimpan guci ke 
punggungnya dan mengusap peluh yang membasahi 
sekujur wajah dengan punggung tangan. Baru setelah 
itu ia mengalihkan perhatian pada tubuh Jumpena dan 
Dirgantara. 

Pemuda berpakaian ungu mengambil sebutir 
buah ceremai yang banyak berserakan di dekatnya. Po- 
hon di mana tubuhnya bersandar memang pohon cere- 
mai. Dengan sembarangan disentilnya buah yang terse- 
lip di antara jari-jari kanannya. 

Dirgantara kagum bukan main merasakan aliran 
darahnya kembali lancar ketika buah ceremai yang dis- 
entil pemuda berpakaian ungu mengenai tubuhnya. To- 
tokannya telah terbebas. Perbuatan yang dilakukan 
pemuda berambut putih keperakan itu cukup sulit. 
Membebaskan totokan dari jarak jauh dengan butiran 
buah ceremai. Dia sendiri belum tentu mampu melaku- 
kannya! 

Sebelum pemuda berompi kulit harimau bangkit 
berdiri dan membebaskan totokan Jumpena, pemuda 
berpakaian ungu melakukan gerakan seperti menotok 
dengan dua jari. Dirgantara melihat jelas arah yang di- 
tuju jari-jari itu ke tubuh Jumpena. 

Dirgantara hanya mendengar bunyi bercicitan 
pelan. Sesaat kemudian, begitu pemuda berpakaian un- 
gu menurunkan tangannya, Jumpena bergerak bangkit. 
Dirgantara melongo. Pemuda berambut putih keperakan 
itu mampu membebaskan totokan, dari jarak jauh! 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat. Kalau 
tidak ada kau mungkin aku, Dirgantara, dan kawanku 
ini, Jumpena, tidak akan berada di dunia ini. Boleh aku 
mengenai nama atau julukanmu, Sobat?" tanya Dirgan- 
tara setelah berada di depan pemuda berambut putih 
keperakan. Dirgantara dengan tergopoh-gopoh berlari 
menghampiri karena perasaan kagum. 

"Benar, Sobat. Aku pun sangat berterima kasih. 
Tengkorak Darah memang ganas dan keji. Benar seperti 
yang dikabarkan orang!" Jumpena yang telah berada di 
sebelah Dirgantara menambahkan. 

Pemuda berpakaian ungu menatap wajah Dir- 
gantara dan Jumpena berganti-ganti. Senyuman lebar 
tersungging di bibirnya. 

"Tidak usah banyak berterima kasih, Dirga, 
Jumpena, hanya suatu kebetulan aku lewat tempat ini. 
Itu pun karena mendengar seruan orang itu yang me- 
nyebut-nyebut nama Pendekar Jari Maut. Kalau tidak 
karena teriakan itu tak mungkin aku sampai di sini. 
Jadi, orang itu yang berjuluk Tengkorak Darah? O ya, 
namaku Arya. Tapi, dunia persilatan memberikan julu- 
kan Dewa Arak kepadaku." 

"Benar, Arya." Jumpena yang pintar berbicara 
memberikan jawaban. "Orang itu yang berjuluk Tengko- 
rak Darah." 

Pemuda berpakaian ungu yang memang Arya 
Buana alias Dewa Arak mengangguk-anggukkan kepala. 
Diam-diam ia merasa heran melihat sikap kedua orang 
muda di hadapannya. Mereka tidak terkejut mendengar 
julukannya. Apakah julukannya belum sampai ke dae- 
rah ini? 

Arya tidak tahu kalau tidak kenalnya Jumpena 
dan Dirgantara dengan julukan Dewa Arak karena me- 
reka baru terjun ke dunia persilatan. Jadi, belum men- 
dengar julukan Dewa Arak yang menggemparkan. 
Guru-guru mereka pun tidak menceritakannya karena 
terlalu lama menyembunyikan diri sehingga tidak per- 
nah mendengar julukan itu. 

"Kau hendak ke mana, Arya?" tanya Jumpena. 

"Aku tidak punya tujuan. Hanya mengikuti ke 
mana kaki ini melangkah, Jumpena," jawab Arya seraya 
tersenyum. 

"Mengapa kalian bisa bentrok dengan Tengkorak 
Darah?" 

"Tidak ada masalah apa-apa sebenarnya, Arya, 
Tengkorak Darah saja yang terlalu usilan," jelas Jum- 
pena sekenanya. 

Arya sampai tersenyum mendengar jawaban 
yang sembarangan itu. 

"Tapi, tadi kudengar Tengkorak Darah menye- 
but-nyebut Pendekar Jari Maut." 

"Beliau adalah ayahku, Arya," jawab Jumpena, 

cepat. 

"Ah...! Begitukah...?!" Arya kelihatan terkejut 
"Benar!" Dirgantara yang menyahuti. "Jumpena itu 
anak Pendekar Jari Maut Sedangkan aku murid Petani 
Berambut Putih." 

"Murid tokoh-tokoh terkenal rupanya," sambut 
Arya yang telah mendengar nama besar Pendekar Jari 
Maut dan Petani Berambut Putih sebagai tokoh-tokoh 
besar golongan putih. Julukan Pendekar Jari Maut lebih 
tenar daripada Petani Berambut Putih. 

"Kami tengah dalam tugas untuk mengunjungi 
Naga Sakti Berwajah Hitam," tambah Jumpena untuk 
menambah kepercayaan Dewa Arak. 

"Kalau begitu, silakan kalian berangkat. Mung- 
kin kalian sudah ditunggu. Aku pergi dulu...." 

Dirgantara dan Jumpena menggeleng-gelengkan 
kepala ketika melihat tubuh pemuda berambut putih 
keperakan sudah tidak terlihat lagi. Padahal, suaranya 
masih bergema di sekitar tempat itu. 

"Hebat sekali Dewa Arak itu!" Dirgantara mem- 
buka percakapan. "Tidak kusangka seorang tokoh muda 
telah memiliki kepandaian luar biasa. Dibandingkan 
dengannya kepandaian yang kumiliki tidak berarti apa- 
apa." 

"Kau tidak perlu berkecil hati, Dirga," hibur 
Jumpena yang merasakan nada keluhan dalam ucapan 
pemuda berompi kulit harimau itu. "Jangankan kau 
atau aku, Tengkorak Darah yang menggiriskan hati itu 
saja bukan tandingannya. Dewa Arak memang hebat 
bukan main. Entah mana yang lebih lihai bila diban- 
dingkan dengan ayahku atau gurumu." 

Dirgantara tidak memberikan tanggapan. Pemu- 
da berompi kulit harimau ini masih terpukul ketika 
mengingat berturut-turut dirobohkan orang yang memi- 
liki kepandaian di atasnya. Kepandaiannya yang dipela- 
jari dengan susah payah selama belasan tahun ternyata 
tidak berguna! 

Jumpena pun tengah digayut persoalan yang 
sama. Kedua pemuda itu melakukan perjalanan tanpa 
berbincang-bincang lagi. 




"Ayo kejar, Putih...! Cepat! Jangan sampai si hi- 
tam mengalahkanmu...!" 

Seruan-seman lantang bernada gembira itu ke- 
luar dari mulut seorang kakek kurus berambut awut- 
awutan. Usianya sukar untuk ditaksir. Tapi melihat 
rambut yang telah memutih juga jenggot dan kumisnya, 
kakek kecil kurus ini tentu sudah sangat tua. 

Sambil terus berteriak-teriak dengan penuh se- 
mangat, ia mengayun-ayunkan tangan kanannya me- 
nepuki kuda-kudaan dari kayu yang ditungganginya. 
Bagian bawah kuda yang berbentuk melengkung seperti 
busur membuat kuda-kudaan itu bergoyang-goyang ke- 
tika kakek kecil kurus menggoyang-goyangkan tubuh- 
nya. 

Sejajar dengan kuda-kudaan putih yang ditung- 
gangi kakek kecil kurus, sekitar satu tombak di sebe- 
lahnya, terdapat kuda-kudaan kayu berwarna hitam. 
Kuda-kudaan itu tidak bergoyang-goyang sebagaimana 
halnya kuda-kudaan putih, karena tidak ada yang me- 
nungganginya. 

"Ayo, Putih...! Ya, sebentar lagi...! Cepat, kelua- 
rkan seluruh kemampuanmu! Sebentar lagi kau akan 
menang!" 

Kakek kecil kurus yang mengenakan pakaian 
coklat tapi terbalik, bagian dalam berada di luar, sema- 
kin keras menggerak-gerakkan tubuh sehingga goyan- 
gan pada kuda-kudaan putih bertambah keras. 

"Ha ha ha...!" Serentetan tawa bergelak mengi- 
ringi seruan-seruan kakek kecil kurus. Entah dari mana 
datangnya, tahu-tahu di dekat kakek kecil kurus telah 
berdiri sesosok tubuh pendek gemuk! Sosok tubuh yang 
teramat pendek dan kelewat gemuk, persis bola. Perut- 
nya yang tidak tertutup rompi berguncang-guncang ke- 
tika sosok itu tertawa. Tawa yang membuat daun-daun 
bergetaran seperti hendak terlepas dari rantingnya. 

"Peramal Gendeng...! Kau sungguh tidak adil. 
Mana mungkin kuda hitam bisa menang kalau kau ber- 
pihak pada kuda putih dan selalu menambah tenaga 
untuknya? Biarlah aku yang membantu kuda hitam un- 
tuk memperoleh kemenangan!" 

Tanpa menunggu sambutan kakek kecil kurus 
yang dipanggil Peramal Gendeng, sosok pendek 
gemuk bergerak. Tubuhnya tahu-tahu telah be- 
rada di atas punggung kuda-kudaan. 

Sambil tertawa tanpa henti, kakek pendek ge- 
muk ini mencengkeram tali yang dipasangkan pada ba- 
gian leher kuda-kudaan. Ditariknya tali dengan keras. 
Dan... kuda-kudaan itu melayang ke depan, lebih patut 
dikatakan terbang! 

"He he he...!" 

Peramal Gendeng tak mau kalah dalam tawa. 
Bersamaan dengan keluarnya tawa terkekeh itu tan- 
gannya bergerak menyentak. Kuda-kudaan itu pun me- 
lesat ke depan menjajari kuda-kudaan yang ditunggangi 
kakek pendek gemuk. 

"Setan Gila! Kau benar-benar seseorang yang 
menyenangkan. Mari kita berlomba untuk mencapai 
pohon nangka yang ada di sana!" 

Dua kakek yang sama-sama memiliki watak 
aneh itu pun saling berlomba 'terbang' dengan memper- 
gunakan kuda-kudaan. Pohon nangka yang dimaksud 
Peramal Gendeng letaknya tak kurang dari seratus 
tombak! 

Tentu saja karena kuda-kudaan itu tidak bisa 
terbang, baru beberapa tombak melayang dan begitu 
tenaga luncuran habis, kuda-kudaan itu melayang tu- 
run. Tapi, hanya dengan sentakan tangan kiri pada tali 
dan gerakan tangan kanan mengayun ke belakang se- 
perti orang mengayun perahu, Setan Gila maupun Pe- 
ramal Gendeng mampu membuat kuda-kudaan itu me- 
layang kembali! 

Peramal Gendeng ternyata tidak hanya sesum- 
bar dengan berani mengajak Setan Gila berlomba. Ka- 
kek berpakaian terbalik ini mampu mengimbangi luncu- 
ran kuda-kudaan hitam Setan Gila. Bahkan, Peramal 
Gendeng mampu melewati! Padahal, Setan Gila telah 
membawa kuda-kudaannya melesat lebih dulu. 

Betapapun Setan Gila mengerahkan seluruh 
kemampuannya untuk mengalahkan lawan, tetap saja 
laju kuda-kudaan Peramal Gendeng tak terkejar. Sam- 
pai akhirnya Peramal Gendeng mendaratkan kuda- 
kudaannya dengan mantap di tanah! 

"He he he...!" 

Peramal Gendeng menertawakan Setan Gila 
yang mendaratkan kuda-kudaannya belakangan. 

"Bukankah sudah kukatakan, Setan Gendut! 
Kuda putih milikku ini memang luar biasa. Telah bebe- 
rapa kali kuda hitam itu bertarung lari dengan kuda pu- 
tih, tapi tidak pernah menang. Kau membuktikannya 
sekarang, bukan? He he he...!" ejek Peramal Gendeng 
dengan gembira sebagaimana layaknya seorang bocah 
yang memenangkan perlombaan. 

Setan Gila meski merasa penasaran bukan main 
namun mampu menyunggingkan senyum lebar. Malah, 
dia pun kemudian tertawa keras sampai perut gendut- 
nya terguncang-guncang. 

"Kuda putihmu memang hebat, Ulat Kecil!" Se- 
tan Gila tidak mau kalah mengeluarkan makian seraya 
menggaruk-garuk pantatnya yang tidak gatal. "Di samp- 
ing memiliki lari cepat, kekuatan napasnya pun tidak 
bisa ditandingi kudaku. Tapi, rasanya kuda itu sakit 
Aku yakin tubuhnya akan hancur lebur!" 

Setan Gila dalam keadaan masih duduk di atas 
kuda-kudaan hitam mengambil dua batang pisau dari 
balik bajunya. Kemudian, batang-batang pisau itu digo- 
sokkan satu sama lain hingga terdengar bunyi yang 
mengilukan. 

Peramal Gendeng tahu Setan Gila hendak mela- 
kukan sesuatu. Tapi, mengapa bunyi yang mengilukan 
itu tidak mempengaruhinya? Padahal, Setan Gila tengah 
melancarkan serangan dengan mempergunakan tenaga 
dalam tingkat tinggi. 

Keyakinan kalau tindakan Setan Gila tidak di tu- 
jukan padanya, Peramal Gendeng sibuk mengorek- 
ngorek hidungnya untuk mengeluarkan kotoran. Bebe- 
rapa kali gumpalan-gumpalan kecil yang menjijikkan 
terbawa jari-jari tangan yang kumal dan kotor itu ketika 
ditarik keluar dari lubang hidung! 

Tiba-tiba ketika bunyi bergesekan dua batang 
pisau itu semakin meninggi, Peramal Gendeng tersen- 
tak. Dia teringat ucapan kakek pendek itu sebelum 
menggesek-gesekkan pisaunya. 

Tapi kesadaran Peramal Gendeng terlambat! Di 
saat bunyi gesekan mencapai puncaknya terdengar 
bunyi letupan cukup keras. Kuda-kudaan putih yang 
ditungganginya hancur berantakan! Meski kaget, kakek 
berpakaian terbalik ini tidak memperlihatkannya. Bah- 
kan, ketika serpihan-serpihan kuda putih berjatuhan ke 
tanah tubuhnya tidak bergeming! Peramal Gendeng te- 
tap dalam posisi duduk menunggang kuda. Padahal, 
tubuhnya maupun kedua kakinya tidak menyentuh ta- 
nah. Kakek kecil kurus ini duduk di udara! 

Namun itu hanya berlangsung sesaat. Tubuh 
kecil kurus itu kemudian melayang turun. 

"Putih...! Kudaku yang malang. Mengapa kau 
pergi meninggalkan aku? Rupanya benar yang dikata- 
kan gendut brengsek itu. Kau telah sangat tua dan sa- 
kit-sakitan. Biarlah sebagai tanda hormatku kuantar 
kepergianmu dengan lagu perpisahan!" keluh Peramal 
Gendeng dengan suara sedih sebagaimana layaknya di- 
tinggalkan orang yang dicintai. 

Si putih.... 
Itulah namamu.... 
Kau selalu setia menemaniku.... 
Sejak aku muda Sampai tua ini. Sekarang aku 
kesepian.... 
Tapi ada orang lain yang menemaniku sebentar 
Sedangkan engkau sendirian menempuh perjalanan baru 
Perjalanan yang sama sekali tidak pernah kau 
tempuh 
Aku tidak ingin kau takut atau kesepian Kau bu- 
tuh kawan untuk berlomba dan berbincang-bincang 
Biarlah kusuruh si hitam untuk menemanimu 

Bersamaan dengan lenyapnya ucapan terakhir 
dari lagu yang didendangkan Peramal Gendeng terden- 
gar bunyi ledakan cukup keras. Kuda-kudaan hitam 
yang ditunggangi Setan Gila hancur berkeping-keping. 
Tapi seperti juga Peramal Gendeng, Setan Gila mampu 
tetap duduk seperti ketika kuda-kudaan hitam itu ada. 

"Ha ha ha...!" 

Setan Gila yang telah berdiri tegak di tanah ter- 
tawa bergelak untuk menutupi rasa kagetnya melihat 
kekuatan tenaga dalam Peramal Gendeng. Tidak dis- 
angkanya kakek kecil kurus itu mampu menghancur- 
kan kuda-kudaan dengan hanya bernyanyi sembaran- 
gan. Memang, kakek pendek gemuk ini telah merasakan 
getaran-getaran tenaga dalam ketika Peramal Gendeng 
bernyanyi. Getaran kuat yang tidak tertuju padanya, 
tapi untuk menghancurkan kuda-kudaan hitam. 

"Kau semakin lihai saja, Cacing Kurus!" 

"He he he...!" 

Peramal Gendeng terkekeh. Kotoran-kotoran hi- 
dung yang tadi berada di ujung jari dilemparkannya ke 
arah Setan Gila. Gumpalan-gumpalan menjijikkan itu 
melayang dengan menimbulkan bunyi berdesing nyar- 
ing. Tapi Setan Gila tidak mempedulikannya. Bahkan 
ketika mengenai berbagai bagian tubuhnya. Beberapa di 
antaranya mengenai wajah. Setan Gila sama sekali ti- 
dak merasa jijik. Sedangkan rasa sakit tidak dirasakan 
karena kakek pendek gemuk ini telah lebih dulu menge- 
rahkan tenaga dalam. 

"Kau pun masih seperti dulu, Gendut! Babi 
Gendut! Kerbau Bunting! Gajah Bengkak! Bahkan, mu- 
lutmu makin manis saja didengar telinga. Aku yakin 
kedatanganmu kemari bukan untuk bermain-main. Kau 
pasti tengah mencari kotoran ayam! Betulkan?!" 

Setan Gila terkekeh. 

"Kau memang tetap cerdik seperti dulu, Cacing 
Kurus! Malah aku yakin kau telah bertambah pandai. 
Sebagaimana kau memperlihatkan kepadaku betapa si- 
kap jorokmu semakin bertambah!" 

"Tidak usah berputar-putar, Gajah Bengkak! 
Kau hendak memuji atau menghina? Atau, kau ingin 
perutmu yang gendut itu kubuat kempes?!" 

"Karena kau telah menanyakannya lebih dulu, 
baiklah, aku akan memberikan jawaban. Kedatanganku 
kemari hanya ingin menguji kemampuanmu, Cacing 
Kurus! Aku ingin tahu apakah kau masih mempunyai 
kemampuan yang dulu kau bangga-banggakan. Sampai 
kau berani menempelkan gelar peramal di depan kela- 
kuan gendengmu. Jangan-jangan kemampuanmu telah 
lenyap. Sekarang aku membawa sebuah persoalan un- 
tukmu, Cacing Kurus! Aku tak yakin kau mampu me- 
nyelesaikannya. Ini persoalan besar! Beranikah kau 
menerimanya, Cacing Kurus? Ingat, persoalan ini bukan 
persoalan biasa, melainkan menyangkut julukanmu! 
Apabila kau tidak bisa memecahkannya berarti kau ti- 
dak pantas berjuluk Peramal Gendeng!" 

"Kecoak Busuk! Kadal Buntung! Monyet Jelek! 
Kucing Pincang!" Peramal Gendeng memaki-maki den- 
gan kalap. Kakek kurus ini memang mempunyai sifat 
kekanak-kanakan. Tantangan yang dikeluarkan Setan 
Gila telah membuatnya kelabakan bukan main. "Berani 
kau meragukan kemampuanku, Gendut Jelek?! Gajah 
Bengkak! Ayo, katakan masalah mu. Akan kubuktikan 
kalau gelar Peramal Gendeng yang kupakai bukan sem- 
bar angan!" 

"Ah..., begitukah?!" Setan Gila tertawa dengan 
sikap mengejek. "Benar-benarkah kau menantang per- 
soalan yang tengah kuhadapi, Cacing Kurus yang bera- 
ni menggelari diri dengan gelar besar! Apakah nanti se- 
telah ku kemukakan kau tidak akan menciut? Kau ti- 
dak akan malu-malu mengundurkan diri karena tidak 
mampu memberikan jawaban?!" 

"Gendut Gila!" Peramal Gendeng semakin kalap. 
"Bila sekali lagi kau keluarkan perkataan seperti itu, pe- 
rutmu akan kukempesi!" 

"Baik! Baiklah kalau kau telah yakin akan ke- 
mampuanmu. Tapi ingat, apabila kau tidak berhasil 
menyelesaikannya, lebih baik kau copot gelar peramal- 
mu!" Setan Gila melancarkan serangan terakhir. Kakek 
pendek gemuk ini memang sangat licik. Dia tahu Pe- 
ramal Gendeng memiliki ilmu meramal yang luar biasa. 
Tidak ada hal yang sulit bagi Peramal Gendeng. Tapi 
sayang kakek kecil kurus itu memiliki watak aneh. Apa- 
bila dia sedang tidak ingin, biar orang meminta-minta 
sampai menyembah-nyembah dia tidak akan melayani. 
"Saat ini aku tengah mencari seseorang. Dia telah le- 
nyap begitu saja bagai ditelan bumi. Orang ini telah 
sangat berani membunuh muridku!" 

"Katakan saja siapa orangnya? Setidak-tidaknya 
ciri-cirinya. Pakaian atau benda yang biasa di pakainya. 
Akan kuberikan jawaban saat ini juga!" Peramal Gen- 
deng yang berhasil dipanasi hatinya langsung memberi- 
kan tanggapan. 

"Dia seorang lelaki berusia sekitar tujuh puluh 
tahun. Tubuhnya kurus. Sepasang matanya buta. Dan, 
dia memiliki satu lengan. Pakaian yang dikenakannya 
serba hitam. Tapi tongkatnya berwarna putih. Kurasa 
keteranganku sudah cukup. Sekarang tinggal membuk- 
tikan kebenaran sesumbarmu. Benarkah kau berhak 
berjuluk Peramal Gendeng! Atau, lebih baik kau meng- 
ganti julukan dengan Pembohong Gendeng!" 

Peramal Gendeng tidak menyambuti ejekan Se- 
tan Gila. Kakek kecil kurus ini duduk bersila dengan 
kepala ditundukkan. Beberapa saat lamanya dia bersi- 
kap seperti itu. Sementara Setan Gila memperhatikan 
gerak-geriknya dengan sikap tak acuh. 

Waktu berlalu tanpa terasa. Hampir setengah 
hari Peramal Gendeng belum bergerak dari kedudukan- 
nya. Duduk bersila dengan kepala tertunduk. Kedua 
tangannya terbuka di atas paha. Sekujur wajah kakek 
kecil kurus ini penuh dengan keringat. Bahkan, ada 
uap putih mengepul dari kepalanya. 

Ketika akhirnya uap itu semakin tebal tubuh Pe- 
ramal Gendeng bergerak-gerak. Kepalanya didongakkan 
menatap wajah Setan Gila yang sejak tadi memperhati- 
kan gerak-geriknya dengan tidak sabar. 

"Ha ha ha...!" 

Setan Gila tertawa bergelak untuk menutupi ra- 
sa kecewanya. Dia tahu Peramal Gendeng gagal dengan 
usahanya. Meski demikian, kakek pendek gemuk ini ti- 
dak percaya kalau tidak mendengar langsung dari mu- 
lut Peramal Gendeng. 

"Bagaimana, Cacing Kurus? Bukankah persoa- 
lan yang kuberikan padamu amat berat? Katakan kalau 
kau tidak mampu menyelesaikannya. Katakan saja kau 
bersedia menarik kembali gelar peramalmu. Bukankah 
kau tidak mampu menjawab pertanyaanku?!" 

"He he he...!" Peramal Gendeng malah terkekeh. 
"Orang lain mungkin bisa kau tipu dengan akal bulus- 
mu ini, Setan Gila! Tapi, jangan harap kau dapat mela- 
kukannya terhadapku. Aku tak bisa kau kelabui!" 

"Omongan gila macam apa ini?!" Setan Gila 
meski keheranan tetap mampu menyunggingkan se- 
nyum lebar. "Aku tidak mengerti maksudmu, Cacing 
Gendeng!" 

"Sejak dulu kau memang pandai berpura-pura 
untuk menutupi kepahitan mulutmu yang berbau ma- 
nis, Gendut Gila! Permainanmu sama sekali tidak ada 
gunanya. Kau tidak bisa menipuku, Gendut Gila!" 

"Menipumu?! Kau rupanya masih bisa bercanda, 
Cacing Gendeng! Luar biasa! Sifatmu tidak juga beru- 
bah meski telah puluhan tahun kita tidak bertemu!" 

"Sudahlah, Gendut! Lebih baik kau segera 
menggelinding dari sini sebelum perutmu kubikin 
kempes!" 

"Jadi..., kau menyerah, Cacing Kurus yang gen- 
deng! Kau tidak berhasil menemukan orang yang kuca- 
ri? Jadi, benar kau bersedia melepaskan julukan yang 
kau sandang itu?!" Meski kaget bukan main, Setan Gila 
masih mampu tersenyum lebar dengan wajah berseri- 
seri. 

"Menemukan orang? Rupanya kau masih juga 
berpura-pura, Setan Gila! Gendut Air! Apakah perlu ku- 
beritahukan? He he he...! Gendut, aku tidak bisa kau 
tipu! Orang yang kau maksudkan itu tidak pernah ada. 
Mungkin dia sudah mati. Tapi yang jelas, aku tidak me- 
rasakan adanya getaran dari orang itu. Sudahlah, lebih 
baik kau tinggalkan tempat ini!" 

"He he he...!" 

Tawa Setan Gila meledak! Perutnya berguncang- 
guncang. Untuk menutupi guncangan pada perutnya 
kedua tangannya didekapkan. Tapi, justru kedua tan- 
gan itu yang bergerak-gerak terbawa gerakan perut. 

"Lucu sekali! Benar-benar menggelikan. Sung- 
guh tidak kusangka orang yang berjuluk Peramal Gen- 
deng ternyata hanya besar julukannya saja. Setelah ti- 
dak menemukan pesanan yang diberikan orang, enak 
saja mengatakan kalau orang itu telah menipu! Pesanan 
yang dimaksudkan tidak pernah ada dan segudang ala- 
san lainnya!" 

Senyum yang terkembang di mulut Peramal 
Gendeng mulai lenyap. 

"Setan Gila! Rupanya kedatanganmu ke tempat 
ini memang untuk mencari permusuhan denganku! Kau 
sudah bosan hidup, heh?!" 

Tawa Setan Gila semakin membesar mendengar 
ancaman Peramal Gendeng. Kakek pendek gemuk ini ti- 
dak merasa takut atau gentar sedikit pun. 

"Kegilaan yang semakin menjadi! Setelah puas 
menipu dan orang yang ditipu tidak terima, enak saja 
mengusir orang. Ternyata kau benar-benar gendeng! 
Ucapan dan janjimu tidak ubahnya bunyi yang keluar 
dari lubang dubur, Cacing Kurus! Setelah kau buang, 
lalu kau lupakan!" 

"Tutup mulutmu, Gendut Gila!" Peramal Gen- 
deng semakin kalap. Kumisnya bergetar karena gejolak 
amarah. "Kalau kau mengajukan orang yang bukan 
khayalan otak bebalmu, di mana pun dia berada den- 
gan mudah akan dapat kutemukan! Tapi, kau sengaja 
mempermainkan ku. Mana mungkin bisa kutemukan 
orang yang terjadi karena khayalanmu saja?!" 

"Ha ha ha...! Perkataanmu semakin gila, Cacing 
Kurus! Baiklah! Karena kau tidak mampu menemukan, 
orang itu, biar kuberitahukan siapa dia. Orang yang ku- 
cari karena telah berani meremehkanku dengan mem- 
bunuh murid kesayanganku.... Iblis Buta!" 

"Iblis Buta?!" 

Peramal Gendeng mengulang julukan itu dengan 
terkejut. Kakek kecil kurus ini memang telah menden- 
gar julukan Iblis Buta yang menggemparkan dunia per- 
silatan sepeninggal Setan Gila dan Jerangkong Penjagal 
Nyawa. 

Setan Gila hanya terkekeh sebagai tanda men- 
giyakan. Sikapnya terlihat mengejek sekali. 

"Apakah kau masih mau mengatakan kalau 
orang yang kucari itu hanya khayalan belaka? Apakah 
sekarang kau akan mengatakan Iblis Buta khayalanku 
saja? Jangan kau katakan kau belum pernah menden- 
gar julukan si, Peramal Bloon!" 

Peramal Gendeng tidak menanggapi ejekan itu. 
Dia melipat kedua tangan di depan dada dan memejam- 
kan mata. Hanya sebentar saja, sepasang matanya 
kembali dibuka. 

"Mungkin aku harus menanggalkan gelarku, 
Gendut Gila! Aku tidak bisa melacak di mana Iblis Buta 
berada." Terasa jelas nada kegetiran dalam ucapan Pe- 
ramal Gendeng. 

"Mungkin kau benar, Cacing Kurus! Kau sudah 
terlalu tua. Bukan tidak mungkin ilmu meramal yang 
dulu hanya kau miliki sedikit itu telah lenyap bersa- 
maan dengan semakin tuanya dirimu. Jangan kau ka- 
takan kalau Iblis Buta memiliki kekuatan gaib yang 
membuat usahamu mencari dirinya tidak berhasil. Ha 
ha ha...! Betapa akan geger dunia persilatan kalau tahu 
Peramal Gendeng ternyata tidak mampu meramal lagi!" 

"Aku tidak serendah itu, Gendut!" Meski sebe- 
narnya tersinggung, Peramal Gendeng tidak berkata 
dengan nada keras seperti sebelumnya. Kemarahannya 
langsung mengendur seiring dengan ketidak berhasi- 
lannya menemukan Iblis Buta. "Sepanjang pengetahua- 
nku dan memang sebenarnya, Iblis Buta tidak mempu- 
nyai kekuatan gaib yang dapat menggagalkan usahaku. 
Aku tidak menjumpai adanya tabir yang menghalangi. 
Bahkan, aku merasa heran. Tokoh yang kau sebut itu 
seperti tidak pernah ada. Tidak ada getaran-getarannya 
sama sekali. Kalau kau mau bersabar menunggu bebe- 
rapa hari, mungkin aku bisa mencari tahu mengapa hal 
ini bisa terjadi. Dan...." 

"Omongan kentut busuk!" 

Seman tajam yang bernada ketus itu membuat 
Setan dan Peramal Gendeng terperanjat. Serentak me- 
reka menolehkan kepala. Pemilik seruan itu agaknya 
memiliki kepandaian tinggi. Seruannya melengking 
nyaring dan menyakitkan telinga. 




"Kiranya kau, Tengkorak Berjalan...." Peramal 
Gendeng mengangguk maklum mengapa seruan tadi 
demikian menggetarkan hati. Dia tidak merasa heran 
sekarang. Kakek jangkung bagai galah itu memang 
memiliki ilmu amat tinggi. Tidak kalah dengan Setan Gi- 
la. 

"Ha ha ha...! Tulang hidup rupanya yang mem- 
buat ulah!" Setan Gila ikut berbicara. 

Jerangkong Penjagal Nyawa mendengus keras 
menunjukkan ketidaksenangan hatinya. 

"Sungguh tidak kusangka sekarang kau mem- 
punyai otak yang cukup baik, Gendut Gila! Padahal du- 
lu kepalamu hanya berisi kotoran belaka! Sekarang ru- 
panya sebagian kotoran itu telah berubah menjadi otak 
sehingga kau bisa lebih dulu tiba di tempat ini...!" 

"Ha ha ha...! Terima kasih atas pujian mu, Tu- 
lang Hidup! Orang yang paling tolol sekalipun akan ta- 
hu aku akan lebih pintar dari kau! Kepalamu yang kecil 
itu mana mungkin bisa ditempati otak yang besar. Ka- 
lau otaknya saja kecil, tidak mungkin pemiliknya pintar 
dan memiliki pandangan luas. Ha ha ha...!" 

"Lebih baik kau tutup mulutmu yang berbau 
busuk itu, Gendut Liar! Pusatkan perhatianmu pada tu- 
juan semula. Bukankah kau ingin menemukan di mana 
Iblis Buta? Peramal Gendeng yang berotak tak waras ini 
mana mau menunjukkan tempatnya kalau tidak dipak- 
sa!" 

Peramal Gendeng memang tidak waras. Tapi, dia 
tidak mau mengakuinya. Kakek kecil kurus ini malah 
berpendapat orang-orang selain dirinya itulah yang ti- 
dak waras. Peramal Gendeng paling tidak suka kalau 
dikatakan tidak waras. Amarah kakek yang selalu men- 
genakan pakaian terbalik ini langsung meluap. 

"Tengkorak Berjalan! Kalau tidak segera diberi 
hajaran keras kau memang tidak mau pergi. Rontok tu- 
lang-tulangmu!" 

Tidak kelihatan kakek kecil kurus ini mengge- 
rakkan kaki, tapi kedua tangannya telah berada dekat 
dengan dada Jerangkong Penjagal Nyawa. Tentu saja 
untuk mengirimkan serangan ke arah dada Peramal 
Gendeng yang memiliki tubuh separo tinggi tubuh Je- 
rangkong Penjagal Nyawa harus melompat ke atas. 
"Uh...!" 

Wajah Jerangkong Penjagal Nyawa berubah he- 
bat. Kedua tangannya yang panjang dan kurus mirip 
batang bambu segera dijulurkan memapaki serangan 
yang meluncur ke arahnya. 

Pratttt! 

Dua pasang tangan yang mengandung tenaga 
dalam tinggi saling berbenturan dan melekat! Peramal 
Gendeng kaget bukan main. Jerangkong Penjagal Nya- 
wa yang menyebabkan tangan mereka saling melekat. 
Kakek jangkung itu menggunakan tenaga dalam yang 
menyedot. Peramal Gendeng tidak memiliki pilihan lain 
kecuali mengerahkan tenaga dalam untuk menandingi 
serangan lawan. 

Dalam waktu tak lama mulai terlihat keunggu- 
lan berpihak pada Peramal Gendeng. Tangan Jerang- 
kong Penjagal Nyawa yang menjulur turun karena Pe- 
ramal Gendeng bertubuh pendek tampak menggigil ke- 
ras. Dari kepalanya mengepul uap yang semakin lama 
semakin tebal. Keringat laksana aliran anak sungai 
mengucur deras pada wajahnya, membuat wajah yang 
selalu terlihat keruh itu semakin tidak enak dipandang. 

Keadaan Peramal Gendeng tidak separah Je- 
rangkong Penjagal Nyawa. Wajah kakek kecil kurus ini 
pun penuh dengan cucuran peluh dan kedua tangannya 
menggigil, tapi tidak sedikit pun uap mengepul dari ke- 
palanya. 

Setan Gila terkekeh. Keadaan Jerangkong Pen- 
jagal Nyawa amat mengkhawatirkan. Kekalahan sudah 
pasti berada di pihak kakek jangkung itu. Dalam kea- 
daan lain Setan Gila akan merasa gembira jika melihat 
Peramal Gendeng kalah, apalagi bila sampai tewas. 

Setan Gila bukan orang bodoh. Jerangkong Pen- 
jagal Nyawa berani bertindak nekat karena mengandal- 
kan dirinya. Seperti juga Setan Gila, Jerangkong Pen- 
jagal Nyawa telah mengetahui kelihaian Peramal Gen- 
deng karena dulu pernah bertarung dan mengalami ke- 
kalahan. Keberanian kakek jangkung itu karena kebe- 
radaan Setan Gila di tempat ini. 

Setan Gila adalah seorang yang memiliki kelici- 
kan luar biasa. Keanehan wataknya kadang-kadang 
membuatnya bertingkah tak lazim. Kakek pendek ge- 
muk ini tidak ragu-ragu untuk bertindak curang. 

"Peramal Gendeng, kau tahu keadaanmu seka- 
rang. Sekali aku ikut turun tangan, nyawamu akan me- 
layang saat ini juga. Tapi, itu tidak akan kulakukan. 
Kau akan kubiarkan hidup dalam keadaan cacat. Se- 
dangkan monyet peliharaan mu akan ku panggang hi- 
dup-hidup di depan matamu dan ku santap bersama 
Jerangkong Penjagal Nyawa! Kecuali kalau kau mau 
berjanji atas nama besarmu sebagai seorang tokoh per- 
silatan, maka aku akan menarik maksudku itu!" Setan 
Gila memulai ancamannya seraya mengembangkan se- 
nyum. 

"Tidak usah berbelit-belit, Setan Gila!" Peramal 
Gendeng memaki. 

Dari tindakan yang dilakukan Peramal Gendeng 
ini saja bisa diketahui kalau kakek kecil kurus itu me- 
miliki tenaga dalam di atas Jerangkong Penjagal Nyawa. 
Di saat tengah mengadu tenaga dalam merupakan pan- 
tangan besar untuk berbicara! Di samping perhatian 
menjadi terbagi aliran tenaga dalam pun berkurang. Pe- 
ramal Gendeng mampu melakukannya dan tetap men- 
gungguli Jerangkong Penjagal Nyawa. 

"Katakan di mana Iblis Buta, Cacing Kurus!" Se- 
tan Gila cepat menyahut. "Aku yakin kau pasti menda- 
pat sedikit jejaknya." 

Peramal Gendeng tidak segera menjawab." Dia 
tercenung sebentar. 

"Kau memang memiliki otak licin seperti belut, 
Gendut! Memang aku bisa melacak di mana tempat te- 
rakhir Iblis Buta berada. Kau dapat mencarinya di tem- 
pat itu, Perut Gendut!" 

"Ha ha ha...! Kau pintar mengetahui keadaan, 
Cacing Kurus! Peramal Komeng! Begitu keadaan mem- 
buruk kau langsung membuka suara. Ha ha ha...! Ayo, 
katakan di mana tempat terakhir Iblis Buta berada!" Se- 
tan Gila tidak sabar lagi untuk segera mendapat jawa- 
ban. 

"Di Gunung Cikuray!" jawab Peramal Gendeng. 

"Ha ha ha...!" Setan Gila tertawa terbahak- 
bahak. Ia gembira bukan main. "Selamat tinggal, Cacing 
Kurus, Tengkorak Hidup! Aku pergi dulu. Kalian boleh 
meneruskan permainan itu!" 

Jerangkong Penjagal Nyawa yang sedikit pun ti- 
dak menyangka akan terjadi seperti ini hanya bisa me- 
natap penuh perasaan geram pada Setan Gila yang te- 
lah membalikkan tubuh dan siap melesat pergi. Tapi 
baru beberapa langkah tubuhnya kembali dibalikkan. 
Dari jarak sekitar lima belas tombak tangan kanan Se- 
tan Gila dijulurkan ke depan. Pergelangan tangannya 
kemudian digoyang-goyangkan. 

Tidak terdengar hembusan angin. Tapi, Jerang- 
kong Penjagal Nyawa langsung menerima akibatnya. 
Dari balik punggungnya mengalir hawa hangat yang te- 
rus menerobos ke dalam pusar bergabung dengan tena- 
ga dalamnya lalu meluncur lewat kedua tangan. Dengan 
tenaga bantuan itu Jerangkong Penjagal Nyawa berhasil 
menahan tekanan Peramal Gendeng. 

Di lain pihak, Peramal Gendeng merasakan 
adanya tekanan kuat dari kedua tangan Jerangkong 
Penjagal Nyawa. Sebagai tokoh tua yang telah kenyang 
pengalaman dia segera tahu Jerangkong Penjagal Nyawa 
mendapat bantuan dari tangan Setan Gila yang dijulur- 
kan. Hal ini memaksa Peramal Gendeng mengerahkan 
seluruh tenaga dalamnya. 

Setan Gila sendiri sehabis melakukan pertolon- 
gan melesat cepat meninggalkan tempat itu dengan ta- 
wa bergelak. Dalam waktu singkat tubuhnya telah tidak 
nampak lagi. 

Dengan wajah berseri-seri Jumpena dan Dirgan- 
tara mendaki lereng Gunung Cikuray. Medan yang cu- 
kup curam dan dipenuhi batu-batu karang runcing 
yang dapat merusakkan alas kaki dan melukai telapak 
tidak menjadikan hambatan. Mereka tetap dapat berlari 
dengan cepat seperti layaknya di tempat datar. 

Dua orang muda itu berlari berjajar. Dahi dan 
leher Dirgantara telah dibanjiri peluh. Napasnya mulai 
memburu. Sementara Jumpena masih terlihat segar. 
Hanya pada dahinya terlihat sedikit peluh. Napasnya 
biasa saja. 

Tiba-tiba, dengan masih mengayunkan kaki, 
Jumpena dan Dirgantara saling berpandangan. Mereka 
mendengar bunyi bergemuruh dan getaran kuat pada 
tanah yang mereka pijak. 

"Hati-hati, Dirga! Aku yakin di atas sana terjadi 
tanah longsor!" seru Jumpena, memperingatkan. 
Dirgantara mengangguk. Pemuda berompi kulit 
harimau ini memang mempunyai dugaan yang sama. 

Sebentar kemudian, apa yang dikhawatirkan ke- 
dua pemuda ini segera terlihat. Dari atas bergelindingan 
batu-batu besar dan kecil menuju ke arah mereka. Be- 
berapa di antaranya ada yang sebesar gajah bunting! 

Dirgantara dan Jumpena bersikap waspada. Be- 
tapa berbahayanya apabila tertabrak batu-batu itu. Tu- 
buh mereka akan hancur seperti dendeng! Maka, kedua 
pemuda itu melompat tinggi ke atas dan ketika melun- 
cur turun menggunakan ujung kaki untuk menotok ba- 
tu-batu besar yang lewat di bawah mereka. Dengan 
mempergunakan tenaga benturan antara ujung kaki 
dengan batu, mereka melenting ke atas dan hinggap di 
atas batu yang lain. Cara ini membuat Jumpena dan 
Dirgantara tetap dapat melanjutkan perjalanan meski 
jauh lebih lama. 

Ketika akhirnya kedua kaki Jumpena dan Dir- 
gantara menjejak tanah, batu-batu telah berada jauh di 
bawah mereka. Kedua pemuda ini saling berpandangan 
sejenak. Mereka menghapus peluh yang membasahi 
kening. 

"Aku yakin runtuhan batu ini tidak terjadi den- 
gan sewajarnya." Dirgantara memecah kebisuan dengan 
sebuah dugaan. 

Jumpena mengangguk. 

"Aku sependapat denganmu, Dirga. Aku pun 
menduga demikian. Ada orang yang bermaksud meng- 
halangi kepergian kita. Entah apa maksudnya. Yang je- 
las, orang itu berani mati. Kalau Naga Sakti Berwajah 
Hitam sampai tahu, orang jahat itu akan mendapatkan 
hukuman setimpal atas perbuatannya." 

"Kau benar, Jumpena." Dirgantara mendukung 
ucapan Jumpena. "Guru pernah bercerita kalau wilayah 
kekuasaan Naga Sakti Berwajah Hitam meliputi seluruh 
wilayah pegunungan ini!" 

"Ha ha ha...!" 

Suara tawa keras bernada ejekan bergema ke se- 
luruh penjuru tempat itu, menimbulkan gaung panjang 
yang nyaring. Jumpena dan Dirgantara bergegas meno- 
leh. Saat itu mereka telah berada di bagian puncak yang 
datar. Pada beberapa tempat terdapat gundukan- 
gundukan batu sebesar rumah. Dari salah satu gundu- 
kan batu itu keluarnya suara tawa. Kedua orang muda 
ini segera mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi 
bagian dalam tubuhnya. 

"Tidak kusangka hari ini aku akan bertemu den- 
gan dua ekor tikus dungu. Mudah-mudahan saja kedua 
tikus ini mampu memberikan perlawanan yang berarti 
sebelum mati!" 

Jumpena dan Dirgantara saling bertukar pan- 
dangan dengan wajah merah dan sepasang mata berki- 
lat-kilat memancarkan kemarahan. Ucapan itu jelas di- 
tujukan pada mereka. 

Dibandingkan dengan Dirgantara, Jumpena 
memiliki hati yang lebih mudah terbakar emosi. Dengan 
wajah merah padam kakinya diayunkan menuju salah 
satu gundukan batu tempat suara itu berasal. Tapi, 
Dirgantara segera menyentuh bahunya. Sayang, karena 
gerakan Jumpena, jari-jari tangan Dirgantara tidak 
mengenai bahu melainkan dada kanan pemuda berpa- 
kaian kuning itu. 

"Tunggu sebentar, Jumpena. Aku khawatir ini 
merupakan jebakan." 

"Ih...!" 

Dirgantara terperanjat bukan main. Tahu-tahu 
Jumpena membalikkan tubuh dan mengirimkan seran- 
gan maut dengan dua buah jari yang mengeluarkan 
bunyi mencicit nyaring! Tapi, bukan karena itu saja. 
Pemuda berompi kulit harimau ini merasakan jari- 
jarinya menyentuh gumpalan daging kenyal dan lunak, 
sehingga ia segera menarik jari-jarinya dengan terkejut. 
Saat itu pula dengan kecepatan menakjubkan Jumpena 
menyerangnya. Untung saja Dirgantara telah lebih dulu 
melempar tubuhnya ke belakang. 

"Jumpena...! Apa kau sudah tidak waras...? 
Mengapa menyerangku...?!" seru Dirgantara keras pe- 
nuh keheranan. Ia melempar tubuhnya ke sana kemari 
mengelakkan serangan Jumpena. Pemuda berpakaian 
kuning ini menggunakan ilmu 'Jari Maut' yang diwarisi 
Jumpena dari ayahnya, Pendekar Jari Maut. 

Plakkk, plakkk! 

Dirgantara terpaksa menangkis ketika tidak 
memiliki kesempatan mengelak lagi. Serangan Jumpena 
tidak bisa dibuat main-main. Pemuda berompi kulit ha- 
rimau ini terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dalam- 
nya. Kendati demikian, tubuh Dirgantara tetap ter- 
huyung-huyung ke belakang dua langkah. Sedangkan 
Jumpena terhuyung satu langkah. 

Dirgantara merasakan tangannya yang diguna- 
kan untuk menangkis terasa perih! Ada cairan hangat 
mengalir, tapi itu tidak dipedulikannya. Seluruh perha- 
tiannya dicurahkan pada Jumpena. 

"Apa maksudmu, Jumpena? Mengapa kau me- 
nyerangku seperti ini...?!" tegur Dirgantara, tidak terli- 
hat kemarahan kecuali tekanan yang meminta penjela- 
san. 

Jumpena yang sudah siap kembali melancarkan 
serangan segera menghentikan gerakannya. Ia merasa- 
kan nada kesungguhan dalam ucapan pemuda berompi 
kulit harimau itu. Ditatapnya wajah Dirgantara lekat- 
lekat seakan ingin mencari kebenaran dalam wajah jan- 
tan itu. Dirgantara yang merasa tidak melakukan kesa- 
lahan membalas tatapan itu dengan sinar mata penuh 
pertanyaan. 

Sesaat lamanya dua pasang mata saling berpan- 
dangan. Baru kemudian Jumpena menghela napas be- 
rat. Sorot sepasang matanya melunak. Wajahnya yang 
tegang mulai mencair. 

"Tidak ada apa-apa, Dirga," ucap pemuda berpa- 
kaian kuning itu. Suaranya terdengar kaku, tidak seper- 
ti biasanya. "Lain kali jangan sembarangan menyentuh- 
ku. Aku mudah terkejut. Kalau tidak, akan terjadi hal 
seperti ini lagi. Kau bisa memenuhi permintaanku ini, 
Dirga?" 

Meski sebenarnya merasa heran mendengar 
permintaan Jumpena, Dirgantara mengangguk juga. 
Pemuda berompi kulit harimau ini mengangguk pelan. 

"Aku berjanji, Jumpena. Tapi, harap kau ingat 
aku tidak bermaksud jahat atau hendak mengejutkan- 
mu. Aku hanya khawatir kau mendapat celaka terjebak 
orang yang bersembunyi di balik gundukan batu itu." 




Ucapan Dirgantara membuat Jumpena teringat 
kembali akan persoalan yang tengah dihadapi. Dia me- 
nolehkan kepala ke arah gundukan batu yang menjadi 
sumber suara tawa. 

"Sudahkah urusan kalian beres, Tikus-tikus 
Dungu?!" 

Seperti tahu Jumpena telah mengalihkan perha- 
tian pada dirinya, pemilik suara dari balik gundukan 
batu kembali terdengar. 

"Untuk lebih meyakinkan kalian bahwa aku ti- 
dak memandang tikus-tikus seperti kalian sebagai se- 
suatu yang perlu dikhawatirkan dan untuk menghi- 
langkan kesan aku telah membuat perangkap, maka 
aku akan keluar dari persembunyian ku untuk men- 
jumpai kalian!" 

Begitu ucapan itu selesai, Dirgantara serta Jum- 
pena berdebar tegang. Mereka menduga-duga siapa so- 
sok di balik gundukan batu itu. Meski dari nada sua- 
ranya mereka bisa menebak pemilik suara itu masih 
muda. 

Jumpena dan Dirgantara saling berpandangan 
ketika mendengar langkah-langkah kaki yang tidak rin- 
gan. Terdengar jelas oleh telinga Jumpena dan Dirgan- 
tara yang tajam. Kenyataan ini sangat mengherankan 
mereka. Langkah kaki yang tidak ringan itu menanda- 
kan pemiliknya tidak memiliki ilmu meringankan tubuh 
yang tinggi. Ini berarti kepandaian orang itu tidak ter- 
lampau tinggi. 

Kenyataan itu mengurangi perasaan tegang 
Jumpena dan Dirgantara. Tapi ketika pemilik suara te- 
lah keluar dari balik gundukan batu, wajah Jumpena 
dan Dirgantara kembali tegang. Mata mereka menatap 
dengan terbelalak lebar. 

Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan sosok 
yang keluar dari balik gundukan batu. Seperti yang di- 
perkirakan Jumpena dan Dirgantara, sosok itu memang 
masih berusia muda. Umurnya tak lebih dari dua puluh 
lima tahun. Wajahnya tampan, namun pesolek seperti 
seorang wanita. Pakaiannya indah. Bau harum menye- 
bar dari tubuhnya. Pemuda berpakaian indah ini ter- 
nyata memakai harum-haruman seperti layaknya seo- 
rang perempuan. 

Kalau melihat keadaan demikian saja Jumpena 
dan Dirgantara tidak akan terkejut Tapi, terdapat hal 
lain. Di atas kepala pemuda berpakaian indah berteng- 
ger sebongkah batu sebesar gajah. Pada bagian batu 
yang menempel dengan kepala meruncing sepanjang sa- 
tu jengkal. Pemuda berpakaian indah itu berjalan men- 
dekati Jumpena dan Dirgantara tanpa menggoyangkan 
batu. 

Batu sebesar itu tentu berat bukan main. Mem- 
butuhkan tenaga yang amat besar dan kemampuan 
tinggi untuk bisa menjunjungnya di kepala. Sekarang 
Jumpena dan Dirgantara mengerti mengapa langkah 
kaki pemuda berpakaian indah terdengar jelas. 

"Mengapa kalian bengong seperti sapi ompong, 
Tikus-tikus Dungu!" pemuda pesolek mengeluarkan 
perkataannya dengan penuh ejekan dan kesombongan. 

"Tutup mulutmu, Banci!" Jumpena yang berwa- 
tak berani tidak bisa berdiam diri lagi. Pemuda berpa- 
kaian kuning ini tidak gentar. Meski tahu pemuda ber- 
pakaian indah merupakan lawan yang amat tangguh. 
Kemampuan pemuda itu membawa batu telah menjadi 
bukti. Apalagi dengan masih mampunya ia melontarkan 
kata-kata. Padahal berbicara membutuhkan tenaga da- 
lam, sehingga akan mengurangi pengerahan tenaga 
yang tertumpah pada batu. 

"Mulutmu terlalu tajam! Terima ini kalau bera- 
ni!" Pemuda pesolek menggerakkan lehernya sedemikian 
rupa, seperti seekor banteng hendak menancapkan tan- 
duknya. 

Batu sebesar gajah itu terlempar dari kepala 
pemuda berpakaian indah dengan mengeluarkan angin 
menderu keras. Setelah beberapa tombak terlempar ke 
atas dan tenaga luncurannya habis, batu itu meluncur 
ke bawah. Padahal, tepat di bawahnya berdiri Jumpena. 

Jumpena bersikap tenang. Ketika batu itu me- 
luncur semakin dekat, kedua tangannya diulurkan un- 
tuk menyambut. Pemuda berpakaian kuning itu ternya- 
ta menangkis sambil mengikuti ayunan batu ke bawah 
sehingga tidak mengadu kekuatan keras lawan keras. 

Untuk menunjukkan kalau dia pun mampu me- 
lakukan tindakan yang dilakukan pemuda berpakaian 
indah, Jumpena mengangkat batu tinggi-tinggi di atas 
kepala dengan kedua tangan. Wajah pemuda berpa- 
kaian kuning ini sampai merah padam karena beratnya 
batu. 

Pemuda berpakaian indah tertawa mengejek. Di 
saat Jumpena masih sibuk dengan batunya, dia melesat 
cepat mengirimkan serangan. Kedua kepalannya yang 
terkepal dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, 
dan pusar. 

Jumpena terkejut sekali mendapat serangan itu. 
Saat serangan dilancarkan dia tengah sibuk dengan ba- 
tu. Seluruh tenaganya dikerahkan pada batu itu. Kalau 
dikendurkan, dia akan celaka. Tubuhnya akan luluh 
lantak tertimpa batu! 

"Manusia Curang!" 

Dirgantara yang melihat ancaman maut terha- 
dap Jumpena tidak kuat untuk tidak berteriak memaki. 
Pemuda berwajah persegi ini melompat memapaki se- 
rangan licik pemuda berpakaian indah. 

Plak, plak, plakkk! 

Tubuh pemuda berpakaian indah dan tubuh 
Dirgantara terjengkang ke belakang. Dirgantara lebih 
jauh. Bahkan, ketika menjejakkan kaki di tanah, tu- 
buhnya terhuyung-huyung. Pemuda berompi kulit ha- 
rimau ini merasakan tangannya sakit. 

Sementara itu, sebelum pemuda berpakaian in- 
dah sempat berbuat sesuatu, Jumpena mengerahkan 
seluruh kekuatannya untuk melemparkan batu ke arah 
pemuda pesolek itu. 

Pemuda berpakaian indah tidak tinggal diam. 
Dia tahu bertindak lambat sedikit saja akan mati ter- 
gencet batu. Kedua tangannya yang terkepal di hentak- 
kan ke arah batu. 

Blarrr! 

Bunyi keras langsung terdengar. Batu besar itu 
hancur berkeping-keping terhantam pukulan jarak jauh 
pemuda berpakaian indah. 

Saking kerasnya pukulan dan besarnya batu 
kepingan-kepingan yang terjadi berpentalan ke sana 
kemari. Jumpena, Dirgantara dan pemuda berpakaian 
indah berusaha mengelakkan kepingan-kepingan batu 
yang berpentalan. Tapi karena banyaknya, tetap saja 
mengenai mereka dengan telak. Namun berkat tenaga 
dalam yang mereka miliki hantaman tidak terlalu me- 
nimbulkan masalah. Sedangkan yang menuju ke wajah 
dan anggota-anggota tubuh lemah lainnya dipapaki 
dengan tangan dan kaki. 

Pemuda berpakaian indah berang. Dia semula 
sudah membayangkan Jumpena akan roboh terkena 
pukulan beruntunnya. Siapa kira Dirgantara akan maju 
dan menggagalkannya. 

Rasa berang membuat pemuda berpakaian in- 
dah segera meloloskan sabuk yang melilit pinggang. 

Sabuk berwarna keemasan dan terlihat jelas 
terbuat dari benang-benang emas. Dengan sabuk di 
tangan diterjangnya Dirgantara yang berada lebih dekat 
darinya. 

Jumpena dan Dirgantara memang sudah siap 
tempur. Mereka langsung mencabut senjata masing- 
masing. Dirgantara dengan sepasang bambunya. Se- 
dangkan Jumpena dengan sepasang pisau putih meng- 
kilat. Pertarungan sengit pun tak dapat dihindarkan. 

Bunyi meledak-ledak dari sabuk pemuda berpa- 
kaian indah bercampur bunyi mengaung dari bambu 
Dirgantara yang diselingi dengan bunyi bercuitan nyar- 
ing dari pisau Jumpena meramaikan jalannya pertarun- 
gan. Sabuk pemuda pesolek ternyata hebat bukan 
main. Sabuk itu seakan telah menjelma menjadi seekor 
naga! Naga yang bermain-main di angkasa, meliuk-liuk. 
Terkadang lemas seperti ular. Mematuk dan meluncur 
dalam bentuk patukan-patukan ujung sabuk. Tak ja- 
rang menegang kaku seperti pedang. Bahkan mampu 
mengeluarkan bunyi meledak-ledak nyaring ketika pe- 
muda berpakaian indah memainkannya seperti me- 
mainkan sabuk. Di tangan pemuda pesolek sabuk itu 
dapat dijadikan apa saja. Melibat, melilit untuk men- 
gambil senjata lawan pun mampu! 

Tapi lawan yang dihadapi pemuda berpakaian 
indah bukan orang-orang sembarangan. Jumpena dan 
Dirgantara memiliki kepandaian tinggi. Meskipun kalau 
menghadapi seorang demi seorang mereka bukan tan- 
dingan pemuda pesolek itu. 

Tapi karena mereka maju berdua perlawanan 
yang mereka berikan jauh lebih dahsyat. Meski belum 
pernah bertarung bersama-sama, Dirgantara dan Jum- 
pena mampu melakukan kerja sama yang baik. 

Pemuda pesolek harus menerima kenyataan pa- 
hit. Dia terdesak hebat. Kalau semula gulungan sabuk 
pemuda ini lebar sekarang telah menyempit. Bahkan, 
serangan-serangannya tidak segencar sebelumnya. Dia 
lebih banyak bermain mundur. 

Dirgantara dan Jumpena gembira sekali. Keme- 
nangan telah berada di depan mata. Maka, keduanya 
semakin bersemangat melancarkan serangan. Sudah ti- 
dak sabar lagi mereka untuk meraih kemenangan. 

Meskipun demikian, di dalam hatinya Jumpena 
maupun Dirgantara merasa kagum. Kepandaian pemu- 
da berpakaian indah itu lebih tinggi dari mereka. Diam- 
diam kedua orang muda ini menduga-duga murid atau 
anak siapakah pemuda pesolek itu? 

Tiba-tiba, Dirgantara dan Jumpena terperanjat. 

Pemuda berpakaian indah yang semula sudah terjepit 
dan hanya mampu bermain mundur secara tak terduga 
mampu melancarkan serangan-serangan luar biasa! Se- 
rangan yang mampu membuat Jumpena dan Dirganta- 
ra kelabakan. Bagian yang diserang adalah bagian- 
bagian terlemah pada pertahanan mereka. 

Semula Jumpena dan Dirgantara menduga hal 
itu terjadi secara kebetulan. Tapi, ketika kenyataan itu 
berlangsung terus mereka mulai merasa curiga. Dalam 
keadaan sangat terjepit tak mungkin pemuda pesolek 
bisa memperbaiki keadaan secara tak terduga. Sehingga 
mampu berbalik mengancam dan berada di atas angin. 

Sambil terpontang-panting mengelak, Jumpena 
dan Dirgantara yang menduga ada orang pandai yang 
telah membantu pemuda pesolek, mereka mengedarkan 
pandangan. Dengan ilmu mengirim suara dari jauh 
orang itu dapat memberikan petunjuk-petunjuk kepada 
pemuda pesolek. 

Dugaan Jumpena dan Dirgantara ternyata bera- 
lasan. Beberapa tombak dari tempat pertarungan berdiri 
seorang kakek bertubuh sedang. Wajahnya hitam. Pa- 
kaiannya terbuat dari kulit ular. Kakek berwajah hitam 
ini mengenakan ikat kepala dari bahan kulit ular pula. 

Meski sekilas, Jumpena dan Dirgantara sempat 
melihat mulut kakek berwajah hitam ini terkatup rapat- 
rapat. Tidak terlihat dia tengah mengirimkan bisikan 
dari jauh. 

Tapi, justru hal itu yang sangat mengejutkan 
Jumpena dan Dirgantara. Guru dan ayah mereka telah 
bercerita kalau ilmu mengirim suara dari jauh membu- 
tuhkan kekuatan tenaga dalam yang tinggi. Semakin 
tinggi tenaga dalam pemiliknya semakin tidak terlihat 
cara ia mengirimkan bisikannya. Kakek berwajah hitam 
ini mampu melakukannya tanpa bibirnya berkemik se- 
dikit pun. 

Jumpena dan Dirgantara juga telah mendengar 
tentang ciri-ciri yang dimiliki kakek berwajah hitam. Ci- 
ri-ciri yang ada menunjuk pada Naga Sakti Berwajah Hi- 
tam. Tokoh tingkat tinggi kaum putih yang tengah dica- 
ri-cari Jumpena. 

Yang menjadi pertanyaan, mengapa Naga Sakti 
Berwajah Hitam membantu pemuda berpakaian indah? 
Jangan-jangan ada hubungan antara pemuda berpa- 
kaian indah dengan Naga Sakti Berwajah Hitam? 

Apa yang diduga Dirgantara dan Jumpena me- 
mang tidak keliru. Pemuda berpakaian indah memang 
mendapat bantuan dari kakek berwajah hitam. Dan, 
kakek itu memang Naga Sakti Berwajah Hitam. 

Pemuda berpakaian indah mendengar bisikan- 
bisikan di telinganya. Bisikan yang dikenal betul pemi- 
liknya. Maka, pemuda pesolek ini menuruti. Hasilnya 
ternyata menakjubkan! 

"Akh...!" 

Jumpena memekik kesakitan. Sabuk pemuda 
pesolek dengan gerakan tidak terduga meliuk menotok 
bahunya. Tubuhnya seketika terhuyung. Dirgantara 
yang tidak ingin kawannya celaka langsung melompat 
ingin menolong. Tapi, dengan sebuah tendangan kaki 
kanan pemuda pesolek berhasil melemparkan Dirganta- 
ra ke belakang dan jatuh terguling-guling. 

Kekhawatiran akan keselamatan Jumpena 
membuat Dirgantara buru-buru mematahkan kekuatan 
yang membuat tubuhnya terlempar. Tapi ternyata tin- 
dakannya tetap terlambat. Pemuda pesolek telah lebih 
dulu mengirimkan totokan ke bahu kanan Jumpena 
yang membuat tubuh pemuda berpakaian kuning itu 
roboh terkulai. 

"Dirga! Jangan pedulikan aku. Lari...!" Jumpena 
yang tahu Dirgantara akan terus melanjutkan perlawa- 
nan segera mencegah. Perlawanan Dirgantara tak akan 
berarti. Bahkan akan mengakibatkan pemuda berompi 
kulit harimau itu tertawan. 

Dirgantara ternyata mau menerima saran Jum- 
pena. Dengan terburu-buru tubuhnya dibalikkan. Dia 
melarikan diri meninggalkan tempat itu dengan kaki 
terpincang-pincang. Dirgantara memang memiliki pan- 
dangan cukup luas. Ia tidak hanya mementingkan pera- 
saan. Maka, dia pun bisa menerima saran Jumpena. 
Sebelum kabur pemuda berwajah persegi ini masih 
sempat memungut gulungan surat Jumpena yang terja- 
tuh sewaktu pemuda berpakaian kuning itu didesak 
hebat oleh pemuda pesolek. 

"Tidak usah dikejar, Lanang!" Seruan Naga Sakti 
Berwajah Hitam membuat langkah kaki pemuda pesolek 
yang ternyata bernama Lanang terhenti di tengah jalan. 
Tanpa berkata apa-apa dihampirinya tubuh Jumpena 
yang tergolek di tanah. 

"Hey! Bukankah kau orang yang berjuluk Naga 
Sakti Berwajah Hitam...?!" 

Kakek berpakaian kulit ular yang memang Naga 
Sakti Berwajah Hitam menatap pemuda itu dengan so- 
rot mata menyelidik. 

"Matamu ternyata awas juga, Nona Muda! Aku 
memang orang yang berjuluk Naga Sakti Berwajah Hi- 
tam. Mau apa kau dan kawanmu itu mendaki gunung 
ini?" 

Tidak hanya Jumpena yang terperanjat. Lanang 
pun membelalakkan sepasang matanya. Mereka terke- 
jut mendengar Naga Sakti Berwajah Hitam menyapa 
Jumpena dengan panggilan 'Nona Muda'. 

"Ayah..." Lanang menyapa Naga Sakti Berwajah 
Hitam dengan suara tertahan. "Pemuda ini... seorang 
perempuan...?" 

Naga Sakti Berwajah Hitam mengangguk. 

"Dia memang seorang wanita, Lanang. Dia 
mampu melakukan penyamaran dengan baik. Tapi, te- 
tap tidak bisa menipu sepasang mataku! O ya, Nona 
Muda, sekarang jelaskan maksud kedatanganmu ke 
tempat ini!" 

Jumpena yang terkejut karena tidak menyangka 
Naga Sakti Berwajah Hitam tahu rahasianya menatap 
wajah kakek berpakaian kulit ular itu dengan pandan- 
gan berani. Pemuda ini memang seorang wanita yang 
menyamar sebagai lelaki untuk mencegah banyaknya 
gangguan di perjalanan. Dengan penyamaran seperti itu 
Jumpena merasa lebih bebas. 

"Aku memang seorang wanita!" tandas Jumpena 
tegas. "Aku menyamar sebagai lelaki karena ingin perja- 
lananku lebih mudah. Dan, kedatanganku kemari di- 
utus oleh ayahku untuk menyampaikan surat untuk- 
mu, Naga Sakti!" 

"Hmh...! Siapa ayahmu...?!" dengus Naga Sakti 
Berwajah Hitam dengan nada meremehkan. 

"Ayahku berjuluk Pendekar Jari Maut!" jawab 
Jumpena lantang. 

"Ha ha ha...!" 

Naga Sakti Berwajah Hitam tertawa bergelak. 
Dia geli mendengar jawaban Jumpena yang penuh ke- 
banggaan ketika menyebut julukan ayahnya. 

"Jadi, kau putri Pendekar Jari Maut...? Ha ha 
ha...! Ada urusan apa ayahmu berani menyuruhmu 
kemari untuk mengantarkan surat. Cepat berikan surat 
itu...!" 

"Bagaimana mungkin aku bisa memberikan su- 
rat kalau keadaanku seperti ini?!" sentak Jumpena kes- 
al. 

"Ooh..., begitu kiranya...?" Naga Sakti Berwajah 
Hitam tertawa. "Biarlah kau kubebaskan. Lagi 

pula kau tidak mungkin bisa berbuat sesuatu 
selama ada aku di sini. Sekalian aku ingin melihat wa- 
jah aslimu!" 

Naga Sakti Berwajah Hitam mengibaskan tangan 
kanannya. Terdengar bunyi angin bertiup pelan. Seketi- 
ka itu pula Jumpena merasakan jalan darahnya kemba- 
li mengalir lancar. Tapi, kibasan tangan Naga Sakti 
Berwajah Hitam membuat dandanan rambutnya beran- 
takan. Rambutnya yang semula digelung ke atas terle- 
pas dari ikatan dan terurai. 

Saat itu pula Lanang termangu-mangu. 

"Kiranya dia seorang gadis yang luar biasa can- 
tiknya...!" seru pemuda pesolek itu dengan suara terta- 
han. 

"Matamu memang tajam, Lanang! Kau tahu ma- 
na wanita cantik dan mana yang tidak. Tapi ingat, wani- 
ta seperti ini tidak menguntungkan apabila dijadikan 
permainan seperti wanita-wanita lain yang biasa kau 
dapatkan. Dia lebih baik kita pergunakan untuk me- 
nambah ilmu." 

Lanang langsung membisu. Kelihatan jelas pe- 
muda pesolek ini amat takut pada ayahnya. 

Tanpa mempedulikan putranya lagi, Naga Sakti 
Berwajah Hitam mengalihkan perhatian pada Jumpena 
yang telah berdiri tegak. 

"Ayo, serahkan surat itu! Jangan coba-coba me- 
nipuku. Kau akan mengalami nasib yang mengerikan!" 

Jumpena yang memang memiliki watak pembe- 
rani hanya tersenyum mengejek. Kemudian perhatian- 
nya dialihkan pada bagian dalam bajunya. Tapi, beta- 
papun dijelajahi seluruh bagian dalam pakaiannya tidak 
ditemukan surat itu. 

"Jangan katakan kau tidak menemukan surat 
itu, Nona Muda. Aku tidak pernah main-main!" Naga 
Sakti Berwajah Hitam membuka ucapannya dengan su- 
ara angker. 

"Barangkali saja terjatuh, Ayah." Lanang yang 
merasa suka dengan Jumpena mengajukan pembelaan. 
"Atau, barangkali kau kurang teliti mencarinya, Nona 
Manis? Mungkin aku perlu turun tangan untuk mem- 
bantumu." 

"Diam kau, Lanang!" bentak Naga Sakti Berwa- 
jah Hitam. 

Seketika pemuda pesolek itu membungkam mu- 
lutnya. Tapi, hanya sebentar saja. Pemuda pesolek itu 
teringat sesuatu. 

"Aku rasa dia berkata benar. Ayah. Tadi kulihat 
kawannya memungut sesuatu di tanah. Pasti itu surat 
yang dimaksudnya!" 

Naga Sakti Berwajah Hitam yang sudah bersikap 
mengancam karena paling tidak suka ditipu mengendur 
kembali urat-urat di tubuhnya. 

"Mungkin kau benar, Lanang. Tapi, biarlah un- 
tuk sementara gadis ini menjadi tawanan kita!" 

Naga Sakti Berwajah Hitam lalu melambaikan 
tangan kanannya. Kelihatan sembarangan, tapi Jumpe- 
na yang mencoba untuk mengelak tidak mampu. Tubuh 
gadis berpakaian kuning ini ambruk ke tanah. Ia terke- 
na totokan jarak jauh Naga Sakti Berwajah Hitam yang 
mengenai bahu kanan. 

"Bawa dia, Lanang!" 

Naga Sakti Berwajah Hitam memberikan perin- 
tah pada putranya. Kemudian, membalikkan tubuh dan 
meninggalkan tempat itu. 

"Tapi ingat, jangan berbuat macam-macam. Atau 
kau akan kehilangan kepalamu!" 

Lanang tidak berani banyak bicara. Tanpa suara 
sedikit pun dari mulutnya dipanggulnya tubuh Jumpe- 
na. Pemuda pesolek ini melangkah mengikuti ayahnya. 




"Jumpena.... Ah... betapa malang nasibmu, Sa- 
habatku...!" Dirgantara mengeluh seraya menyandarkan 
tubuh di sebatang pohon besar. Pemuda berompi kulit 
harimau ini telah berada jauh dari Puncak Gunung Ci- 
kuray. Wajahnya dibanjiri peluh karena terus-menerus 
berlari. 

Dengan napas yang masih memburu Dirgantara 
mengurut kakinya yang tertendang. Pemuda berompi 
kulit harimau ini meringis kesakitan. Tapi terus saja di- 
urutnya. 

Beberapa saat kemudian, Dirgantara menera- 
wang ke angkasa. Tatapannya kosong. Yang teringat 
pemuda berwajah persegi ini hanya Jumpena. Keane- 
han sikap Jumpena membuat Dirgantara tercenung. 

Dirgantara merasa bingung dan bertanya-tanya 
dalam hati. Mengapa dia merasakan ada sesuatu yang 
hilang dari dalam dadanya setelah berpisah dengan 
Jumpena? Mengapa sikap, senyum, dan cara pemuda 
berpakaian kuning itu tertawa terbayang-bayang dalam 
matanya. "Hhh...!" 

Dirgantara menghela napas berat. Ternyata dia 
menyukai Jumpena, bahkan terlalu menyukai, seba- 
gaimana sukanya seseorang terhadap lawan jenisnya. 
Padahal Jumpena seorang lelaki! Kalau pemuda berpa- 
kaian kuning itu tahu tentu Dirgantara akan ditinggal- 
kan setelah terlebih dulu dimaki habis-habisan. 

"Rupanya aku telah gila...!" Dirgantara mengeluh 
dengan suara tertahan. Kedua tangannya mendekap 
wajah. Pemuda berompi kulit harimau ini kelihatan ter- 
pukul sekali menyadari keanehan perasaannya. 

Tiba-tiba Dirgantara teringat surat milik Jumpe- 
na yang tadi berhasil dibawanya kabur. Dipandanginya 
surat yang tergenggam di tangan kanan setelah diambil 
dari selipan pinggangnya. Batin pemuda berwajah per- 
segi ini berperang. Di satu pihak ingin membuka surat 
itu, dan di lain pihak berusaha melarangnya karena hal 
itu bukan urusannya. 

Akhirnya, setelah beberapa saat termangu- 
mangu ragu Dirgantara memutuskan untuk membuka 
gulungan surat Siapa tahu ditemukannya suatu petun- 
juk untuk menemukan Jumpena. Dengan harap harap 
cemas pemuda berompi kulit harimau ini membuka gu- 
lungan surat. 

Sahabatku Naga Sakti Berwajah Hitam. 

Bersamaan suratku ini aku ingin memberitahu- 
kan kepadamu kalau aku berniat mengikat hubungan 
kekeluargaan denganmu. Kebetulan aku mempunyai 
seorang putri, Jumini, namanya. Dialah yang membawa 
suratku ini untuk kuserahkan padamu. Kudengar kau 
memiliki seorang putra. Aku bermaksud menjodohkan- 
nya dengan putramu. Tentu saja sebelumnya kita harus 
mengatur pertemuan agar tidak terjadi salah paham. Bi- 
ar mereka saling mengenai lebih dulu. 

Untuk semua itu kupercayakan padamu, So- 
batku. Aku hanya tahu hasilnya. Tak lama lagi aku akan 
berkunjung ke tempatmu, untuk melihat hasilnya. Sela- 
mat berusaha, Sobatku! Semoga berhasil. 

Kawanmu, Pendekar Jari Maut. 

Sepasang mata Dirgantara membelalak lebar. 
Banyak hal-hal mengejutkan yang diterimanya. Keterke- 
jutan pertama yang bercampur kegembiraan adalah 
Jumpena ternyata seorang wanita! Seorang perempuan 
yang pasti cantik jelita. Ia bernama Jumini. 

Tapi, keterkejutan lain yang menyakitkan hati 
Jumini ternyata telah dijodohkan oleh Pendekar Jari 
Maut, dengan putra Naga Sakti Berwajah Hitam! Ada 
rasa sakit yang menikam hati pemuda berompi kulit ha- 
rimau ini. 

"Jumini...!" 

Bagai orang kurang ingatan, Dirgantara berseru 
keras memanggil nama Jumpena yang sebenarnya Ju- 
mini. Dirgantara mengepalkan kedua tangannya dan 
menengadahkan kepala menatap langit. 

"Aku akan membebaskan mu, Jumini...! Apa 
pun yang akan terjadi kau harus bebas...!" 

Setelah mengeluarkan perkataan keras ini, Dir- 
gantara melesat cepat menuruni lereng gunung. Pemu- 
da ini menyadari benar apabila menolong Jumini sendi- 
rian tidak akan berhasil. Kemungkinan besar ia hanya 
akan menyerahkan nyawa. Maka, cara lain akan ditem- 
puhnya. 

"Tidak kelirukah kau, Dirga?!" Pertanyaan yang 
bernada tidak percaya itu dikeluarkan seorang kakek 
berpakaian sederhana. 

Tubuhnya kekar dan berkulit hitam legam. Kulit 
orang yang terbakar matahari. Usia kakek ini belum ter- 
lalu tua, tapi seluruh rambutnya telah memutih. 

Kakek berambut putih itu berjalan mondar- 
mandir di depan seorang pemuda berompi kulit hari- 
mau yang tengah duduk bersila dengan sikap hormat 
Pemuda ini adalah Dirgantara. 

"Aku yakin sekali, Guru," Dirgantara menyahut 
pelan tapi penuh keyakinan. "Bukan hanya ciri-cirinya 
saja yang sesuai. Kepandaiannya juga tinggi. Dan lagi, 
bukankah tokoh yang memiliki ciri-ciri demikian dan 
tinggal di tempat itu hanya Naga Sakti Berwajah Hitam, 
Guru?" 

Kakek berambut putih yang bukan lain Petani 
Berambut Putih, guru Dirgantara, menghela napas be- 
rat. Dia berdiri di depan muridnya dengan dahi berker- 
nyit dalam. 

"Meskipun demikian, kau tidak boleh bertindak 
gegabah, Dirga. Naga Sakti Berwajah Hitam terkenal se- 
bagai tokoh tingkat tinggi golongan putih. Tak mungkin 
beliau bertindak serendah itu. Menghina dua orang 
muda. Apalagi sampai menahan keturunan Pendekar 
Jari Maut. Kau tahu, pendekar itu adalah sahabat karib 
Naga Sakti Berwajah Hitam. Jadi, rasanya mustahil ka- 
lau dia melakukan hal sekejam itu. Aku yakin ada se- 
suatu yang tidak wajar di balik semua ini." 

"Lalu..., apa yang harus kita lakukan, Guru? 
Mendiamkan saja Jump... Jumini ini dalam bahaya?" 
Dirgantara hampir keseleo lidah menyebut nama Jum- 
pena. 

"Tentu saja tidak!" jawab Petani Berambut Putih 
setelah tercenung sebentar. "Kurasa lebih baik kau 
kembali ke tempat Jumini ditawan. Tapi, jangan bertin- 
dak sembarangan. Aku sendiri yang akan pergi men- 
jumpai Pendekar Jari Maut untuk mengabarkan berita 
ini. Dialah yang paling berkepentingan dalam masalah 
ini. Kau mengerti, Dirga? Ingat, jangan bertindak gega- 
bah. Masalah ini belum jelas. Siapa tahu pelaku semua 
ini bukan Naga Sakti Berwajah Hitam, melainkan 
orang-orang yang sengaja ingin menjatuhkan namanya. 
Kita jangan sampai terkecoh. 

"Aku mengerti. Guru. Tapi..., apakah rencana 
Guru tidak terlalu memakan waktu? Bagaimana kalau 
Jumpena telah lebih dulu dicelakai?" Dirgantara men- 
gutarakan kekhawatirannya. 

"Berdoalah agar hal itu tidak terjadi, Dirga." Pe- 
tani Berambut Putih menyambuti dengan tenang. "Apa- 
bila itu terjadi, anggap saja memang sudah seharusnya 
terjadi. Kewajiban seorang manusia hanya berusaha 
dan berikhtiar, tapi Tuhan-lah yang menentukan. 

Dirgantara tidak berani memberikan bantahan. 
Dia menyadari kebenaran ucapan gurunya. Tambahan 
lagi, dia tidak berani berdebat lagi. Tindakan itu berarti 
tidak mempercayai keputusan yang diambil Petani Be- 
rambut Putih. 

"Agar kau tidak menjadi resah, mungkin perlu 
kuberitahu, Dirga," sambut Petani Berambut Putih yang 
mengetahui keresahan hati muridnya. "Tempat tinggal 
Pendekar Jari Maut berada di tengah perjalanan menu- 
ju tempat tinggal Naga Sakti Berwajah Hitam. Hanya 
menyimpang sedikit. Jadi, tidak terlalu membuang wak- 
tu lama." 

"Terserah Guru saja. Aku percaya Guru men- 
gambil keputusan yang terbaik." Dirgantara pasrah. 

"He he he....!" Petani Berambut Putih tertawa lu- 
nak. "Kau jangan khawatir, Dirga. Percayalah padaku. 
Aku tak akan membiarkan calon mantuku celaka." 

"Apa maksudmu. Guru? Calon mantu?" Dirgan- 
tara tersentak kaget. Ditatapnya wajah Petani Berambut 
Putih dengan mata bertanya-tanya. 

"Tidak usah menyembunyikan rahasia hatimu, 

Dirga. Sejak kau berusia kurang dari sepuluh 
tahun, aku telah mengenai betul watakmu. Aku pun 
pernah muda. Pernah merasakan jatuh cinta. Kau me- 
mang tidak salah pilih. Keturunan Pendekar Jari Maut 
memang pantas untuk menjadi jodohmu. Biar aku yang 
akan membicarakan masalah ini dengan Pendekar Jari 
Maut. He he he...! Aku sudah ingin melihat kau meni- 
kah dan mempunyai anak. Kau sudah cukup umur, 
Dirga." "Guru...! Tapi...." 

"Jangan katakan kau tidak mencintainya, Dir- 
ga!" selak Petani Berambut Putih, tak sabar. "Kekhawa- 
tiranmu yang terlalu berlebihan atas nasib gadis itu te- 
lah menjadi bukti nyata kalau kau mencintainya. 
Atau..., jangan-jangan gadis itu yang tidak mencintai- 
mu? Kalau memang benar demikian, dia tentu seorang 
gadis yang bodoh. Apa lagi yang kurang dari dirimu. 
Tampan, gagah, memiliki kepandaian tinggi." 

"Tapi Guru..., ayahnya...." 

"Jangan kau pikirkan ayahnya!" potong Petani 
Berambut Putih. "Ayahnya biar aku yang urus. Yang 
penting, katakan padaku apakah gadis itu juga mencin- 
taimu? Setidak-tidaknya menunjukkan tanda-tanda 
menyukai. O ya, siapa nama gadis itu, Dirga? Aku lupa 
lagi." 

"Jumini, Guru," jawab Dirgantara dengan hati 
berdebar tegang. Dia ingin mengatakan pada gurunya 
kalau Jumini telah dijodohkan dengan putra Naga Sakti 
Berwajah Hitam. Tapi, Petani Berambut Putih tidak 
memberikan kesempatan. Dirgantara pun memutuskan 
untuk membiarkan saja hal itu. 

"O ya, Dirgantara. Bagaimana tanggapan Jumini 
selama kau melakukan perjalanan bersamanya?" 

"Baik sekali. Guru," kemudian Dirgantara men- 
ceritakan semua kejadian yang dialaminya sehingga 
bertemu dengan Jumini. 

Petani Berambut Putih kelihatan terkejut men- 
dengar pengalaman Dirgantara. Beberapa kali seruan 
kaget keluar dari mulutnya. 

"Tengkorak Darah...," desis Petani Berambut Pu- 
tih hampir tidak percaya. "Sudah lama aku mendengar 
julukannya. Tapi, dia lenyap setelah bertemu dengan Ib- 
lis Buta. Entah apa yang terjadi antara mereka. Iblis 
Buta pun demikian. Julukannya lenyap begitu saja dari 
dunia persilatan. Kabarnya tokoh ini tak pernah kenal 
ampun. Tidak hanya tokoh-tokoh golongan hitam saja 
yang dimusuhi. Tokoh golongan putih pun demikian. 
Banyak tokoh-tokoh golongan hitam yang tewas di tan- 
gannya. 

Mengingat kekejamannya, orang-orang mema- 
sukkannya dalam kelompok golongan hitam. Padahal, 
kebanyakan korbannya adalah orang-orang golongan 
hitam. Entah apa yang dicarinya." 

Dirgantara membiarkan saja gurunya tenggelam 
dalam alun pikirannya. Sampai akhirnya kakek itu te- 
ringat sendiri. 

"Sudahlah, Dirga. Kurasa lebih baik kau cepat 
pergi. Hanya pesanku, jangan bertindak gegabah. Usa- 
hakan jangan turun tangan kecuali terpaksa sekali. 
Tunggu kedatanganku dengan calon mertuamu, Pende- 
kar Jari Maut. Nah, sekarang pergilah...!" 

Setelah berkata demikian, kakek berambut putih 
ini membalikkan tubuh dan masuk ke dalam ruangan 
lain. Ruangan yang dijadikan tempatnya menyepi. 

"Aku pergi dulu, Guru." 

Dirgantara menghormat sekali lagi sebelum me- 
lesat pergi. Dia yakin, gurunya akan pergi juga tak lama 
sepeninggalnya. Ada sedikit perasaan lega dan girang di 
hati Dirgantara. Gurunya akan turun tangan untuk 
menyelamatkan Jumini. Dan, akan berbicara dengan 
Pendekar Jari Maut mengenai perjodohannya dengan 
Jumini. Meski Jumini telah dijodohkan dengan putra 
Naga Sakti Berwajah Hitam, tapi maksud gurunya sedi- 
kit banyak menimbulkan harapan di hati Dirgantara. 
Harapan yang membuatnya selalu menyenangkan Ju- 
mini. Bahkan di sepanjang perjalanan, Dirgantara 
membayangkan bagaimana rupa gadis berpakaian kun- 
ing itu dalam dandanan aslinya. Tidak dalam penyama- 
ran sebagai seorang pemuda. 

Dugaan Dirgantara ternyata tidak keliru. Sepe- 
ninggal dirinya, Petani Berambut Putih melesat mening- 
galkan tempat kediamannya. Ia bermaksud mencari 
Pendekar Jari Maut untuk mengabarkan perihal Jumini.

Berhasilkah Dirgantara membebaskan Jumpena 
yang ternyata seorang gadis bernama Jumini? Benarkah 
seperti yang dikatakan Peramal Gendeng, Iblis Buta se- 
benarnya tidak pernah ada? Siapa pulakah Tengkorak 
Darah? 


SELESAI 
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode: 
Misteri Gadis Gila