Dewa Arak 83 - Irama Maut



Seorang pemuda berpakaian ungu dengan tenang menggeragoti 
potongan daging panggang di tangannya. Kelihatannya nikmat sekali. 
Beberapa batang ranting bekas tusukan daging panggang berserakan di 
sekitar tempatnya duduk. 

"Sedap sekali baunya...!" 

Ucapan nyaring yang diiringi dengusan bunyi hidung membuat 
pemuda berpakaian ungu menghentikan makannya. Dengan tangan masih 
menggenggam ranting tempat daging panggang, kepalanya ditolehkan ke 
arah asal suara. 

Sayang, pemilik suara itu tidak terlihat. Kerimbunan semak-semak 
yang lebat menghalangi pandangan pemuda berpakaian ungu. 

"Kau lapar. Sahabat?!" 

Suara yang sama dengan sebelumnya kembali terdengar. Kali ini 
nadanya seperti tengah bertanya pada seseorang. 

"Ternyata kita sama. Aku pun lapar. Sayang aku tidak punya 
sesuatu yang bisa dimakan. Tahan sebentar laparmu. Atau, kau ingin daging 
panggang yang berbau enak itu? Oh, tidak. Jadi apa yang kau mau? Buah- 
buahan? Baik. Akan kucarikan untukmu" 

Suara itu tidak terdengar lagi. Yang ada hanya bunyi senandung 
tanpa kata. 

Pemuda berpakaian ungu mengernyitkan dahi. Meski belum bisa 
melihat, dia bisa memperkirakan pemilik suara itu orang yang telah bemsia 
lanjut. Tepatnya lagi salah satu di antaranya. Pemilik suara itu tengah 
bercakap-cakap. Berarti dia tidak sendirian. Pemuda berpakaian ungu yang 
memiliki wajah tampan tapi berambut putih keperakan itu bangkit dari 
duduknya. Dia adalah Arya Buana atau yang beijuluk Dewa Arak. 

"Aha...! Lihat, Sahabat. Rupanya peruntungan kita baik sekali hari 
ini. Jambu-jambu air telah matang. Mari, Sahabat. Kita sikat sampai 
tuntas!" 

Pemuda berambut putih keperakan tersenyum. Geli mendengar 
perkataan itu. Didengarnya jelas langkah-langkah kaki yang menghantam 
bumi. Agaknya pemilik suara tengah berlari. Kendati perasaan geli melanda 
hati, dia tidak mampu mengusir perasaan herannya. Langkah-langkah yang 
terdengar hanya sepasang! Lalu, orang yang diajak bicara itu? 

Rasa heran menumbuhkan rasa ingin tahu. Arya mengayunkan 
kaki menuju tempat pemilik suara. Mungkinkah orang yang diajak bicara 
memiliki ilmu meringankan tubuh yang demikian tinggi sehingga bunyi 
langkahnya tidak terdengar? 

Begitu menerobos kerimbunan semak, pemuda itu telah bisa 
melihat apa yang terjadi. Sepasang alisnya berkemt menyaksikan 
pemandangan yang terpampang di depan matanya. Di hadapan pemuda 
berpakaian ungu, sampai jarak belasan tombak, tidak terhalang apa pun. 
Tanah di situ hanya ditumbuhi rerumputan pendek dan kering. 

Sepasang mata Aiya yang mencorong tajam hanya melihat sesosok 
tubuh. Bukan dua seperti yang diduganya semula. Seorang kakek bertubuh 
bungkuk berjalan dibantu tongkat butut. Pakaiannya penuh tambalan. Ia 
kelihatan ringkih dan miskin! 

Pemuda berambut putih keperakan menggelengkan kepala seraya 
mengembangkan senyum di bibir ketika melihat tingkah kakek bungkuk. 

"Sabar, Sahabat. Biar kuambilkan buah-buah itu untukmu," ucap 
kakek itu sambil menoleh ke sebelah kiri. 

Kakek bungkuk lalu mendongak. Buah yang dimaksudnya 
memang banyak bergantungan di dahan. Daun pohon yang lebat tidak 
terlihat karena banyaknya buah jambu berwarna merah segar. 

Senyuman geli Arya buyar ketika kakek bungkuk tidak segera 
mengambil buah-buah segar itu. Ia hanya mendongak ke atas, 
memperhatikan buah-buah yang letaknya tak kurang tiga tombak dari tanah. 
Apakah kakek bungkuk itu kebingungan untuk mengambilnya? 

Kakek bungkuk lalu mengalihkan pandangannya ke bawah. 
Tingkahnya menunjukkan ada sesuatu yang tengah dicarinya. Pemuda 
berambut putih keperakan mengurut dada melihat kakek itu memungut 
sebongkah batu sebesar kepalan bayi. Rasa iba menyergap harinya, dia bisa 
mengira tindakan yang akan dilakukan kakek bungkuk. Kakek itu agaknya 
tidak memiliki ilmu silat. 

Kakek bungkuk melemparkan batu ke arah buah-buah jambu 
bergantungan. Bunyi berkerosakan terdengar ketika batu menerobos 
dedaunan dan jatuh kembali ke tanah. Beberapa helai daun berhamburan. 
Namun, tak satu pun buah jambu yang jatuh. Kakek bungkuk mengulangi 
tindakannya sampai beberapa kali. Hasilnya tetap nihil. Kendati demikian 
dia tidak putus asa. Batu itu tetap dipungutnya kembali. 

"Sabar, Sahabat. Percayalah. Tak lama lagi buah-buah itu akan 
jatuh. Kita akan menikmatinya sampai puas...!" 

Terdengar agak membum napas kakek bungkuk. Rupanya 
perbuatan yang dilakukannya cukup melelahkan. 

Pemuda berambut putih keperakan tak kuat lagi menahan rasa 
kasihan. Dia segera melesat menghampiri kakek bungkuk. 

"Istirahatlah, Sobat. Biar kucoba mengambilkannya untukmu," ujar 
Arya seraya menyentuh bahu kakek bungkuk. 

Kakek bungkuk itu tersenyum melihat keberadaan pemuda 
berpakaian ungu di belakangnya. 

"Terima kasih. T erima kasih atas bantuan yang kau berikan padaku 
dan sahabatku," kakek bungkuk menoleh ke sebelahnya seakan-akan di situ 
ada seseorang yang disebutnya sebagai sahabat. 

Arya tidak merasa heran lagi melihat kelakuan kakek bungkuk. 
Kakek itu berwajah kehijauan. Sepasang matanya selalu berputar liar seperti 
mata orang tak waras. Arya menolehkan kepala ke tempat kakek berwajah 
kehijauan itu menoleh. 

"Boleh kutahu siapa kau dan..., sahabatmu ini, Kek?" Pemuda 
berpakaian ungu mengulurkan tangan. "Namaku Arya. Arya Buana. 
Seorang pengelana." 

Kakek bungkuk terkekeh memperlihatkan gigi-giginya yang 
kuning dan sebagian menghitam 

"Namaku? Aku sudah tidak ingat lagi. Anak Muda. Atau, jangan- 
jangan orang tuaku tak memberikan nama padaku. Tapi, panggil saja aku 
Muka Hijau. Ya, si Muka Hijau! Adapun sahabatku ini.., panggil saja si Tak 
Punya Bentuk. Tapi...." Kakek bermuka hijau tercenung bingung. 
"Sepertinya terlalu panjang nama-nama yang kuberikan." 

Arya tersenyum. 

"Kalau begitu panggil saja aku. Hijau. Dan kawanku ini. Sahabat. 
Lebih pendek dan enak diucapkan." 

Arya mengangguk. Lalu katanya, "Sekarang bagaimana. Hijau. 
Dan juga kau. Sahabat? Bolehkah aku membantu kalian. Kebetulan aku pun 
hendak menikmati jambu-jambu yang kelihatannya enak itu." 

"Tentu saja!" Hijau mengangguk "Bukankah demikian. Sahabat? 
Tidak usah ragu-ragu. Anak Muda. Ambilkan jambu-jambu itu untuk 
kami." 

"Gunakan bajumu untuk menadahi jatuhnya jambu-jambu. Hijau." 

Tanpa banyak cakap, si kakek segera melakukan perintah Arya. 
Pemuda berambut putih keperakan itu menjulurkan tangannya ke arah 
batang pohon jambu 

Si kakek terjingkat ke belakang sambil menjulurkan tangan ke 
sebelahnya, seperti layaknya tengah membawa seseorang untuk melompat 
ke belakang. Kelihatan jelas Hijau terkejut 

Sepasang mata Hijau membelalak lebar memperhatikan pohon 
jambu yang bergetar keras bagai diguncang-guncangkan tenaga raksasa. 
Guncangan itu demikian keras sehingga jambu-jambu beijatuhan dari 
tangkainya. Buah-buhan berguguran ke bawah. Tidak hanya pada bagian di 
mana Hijau dan Arya berada, tapi juga di bagian lain. 

Kendati demikian, semua jambu yang jatuh meluncur ke tempat 
Hijau berdiri dengan baju dikembangkan. Pemandangan yang menakjubkan. 
Buah-buahan merah menggiurkan itu meluncur menyerong, seakan baju 
Hijau mempunyai daya tarik yang amat kuat. 

"Luar biasa...! Tidak salahkah yang kita lihat ini. Sahabat? Jambu- 
jambu itu semuanya menuju kita. Luar biasa...! Kita akan kenyang. Sahabat. 
Kita akan kenyang...!" seru Hijau sambil tertawa kegirang an. 

Arya tersenyum melihat tingkah Hijau. Kakek itu tertawa-tawa 
gembira sebagaimana seorang anak kecil yang menemukan mainan. Dia 
berkali-kali menoleh ke sebelahnya. "Cukupkah itu, untuk kau. Sahabat, dan 
aku?" tanya Arya. 

"Cukup. Cukup, Anak Muda. Bukankah demikian. Sahabat?" Lagi- 
lagi kakek bungkuk itu menoleh ke sebelahnya. "Anak muda. Sahabat 
mengatakan sudah cukup. O ya, bisa kau beritahu bagaimana cara 
melakukan keajaiban seperti itu?" 

Arya tercenung sesaat. "Sulit untuk mengatakannya. Hijau," 
katanya kemudian. 

"Katakan saja. Anak Muda. Aku ingin memiliki kemampuan 
seperti itu. Ah, betapa senangnya. Aku tidak perlu takut kelaparan lagi. 
Katakan saja, Arya," desak Hijau. 

Arya membisu. Bagaimana mungkin kakek itu bisa 
mempelajarinya. Yang dilakukannya tadi membutuhkan tenaga dalam amat 
kuat. Tidak sembarang tokoh persilatan mampu melakukan hal itu. Tenaga 
dalam sekuat dirinya membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dipelajari. 
Apalagi orang se-emah Hijau yang tidak memiliki tenaga dalam sama 
sekali. 

"Ayolah, Arya. Jangan pelit padaku. Kalau kau tidak mau 
mengajarinya, pandanglah Sahabat, pandanglah muka kawanku ini. 
Kuharap kau bersedia mengajariku, Aiya. Aku ingin memiliki kemampuan 
seperti yang kau lakukan agar Sahabat tidak kelaparan." 

Arya tidak punya pilihan lagi untuk mengelak. 

"Baiklah, Hijau. Aku akan memberitahu caranya. Tapi, bagaimana 
kalau kau tidak bisa melakukannya? Kau membutuhkan tenaga dalam untuk 
melakukan hal seperti yang kulakukan." 

"Tenaga dalam?!" Hijau menyelak "Apa itu, Arya?" 

"Sesuatu yang tersimpan di pusar. Seperti angin, berputaran di 
sana," jelas Arya. "Tenaga dalam ini dengan kekuatan pikiran kita arahkan 
ke mana yang kita mau. Tangan, kaki, atau apa saja yang diingini. Karena 
memiliki tenaga dalam kupusatkan perhatian pada tangan kananku yang 
kujulurkan ke pohon. Dan, itulah hasilnya. Hijau." 

Hijau membisu. Sepasang matanya berputaran liar. Dahinya yang 
berkemyit dalam menjadi pertanda kakek ini tengah berpikir. 

"Jadi, semuanya berpokok pada sesuatu yang berputaran di pusar?" 
Hijau meminta penjelasan. 

Arya mengangkat bahu. 

"Di pusarku tidak ada sesuatu yang kau maksudkan itu, Arya. 
Tidak ada yang berputaran. Bagaimana aku bisa mengarahkannya ke tangan 
atau kaki?" tanya Hijau lagi sambil menatap Arya penuh rasa ingin tahu. 

Arya tidak merasa heran mendengar pertanyaan itu. Ia telah 
menduga sebelumnya. Orang seaneh Hijau sulit untuk diberi pengertian. 

"Pusatkan pikiranmu pada pusar. Bayangkan seakan-akan di 
dalamnya ada tali. Lalu tali di pusar itu berputar. Kalau tidak timbul putaran 
sesuatu, berarti kau tidak bisa melakukan seperti yang aku lakukan tadi," 
jelas Arya. 

Hijau tertegun. Ia mengangguk-anggukkan kepala seperti mengerti 
apa yang disampaikan Aiya. Sepasang matanya lalu dipejamkan. Wajahnya 
ditundukkan. Agaknya dia tengah memusatkan pikiran untuk melaksanakan 
anjuran Aiya. 

Arya menggeleng-gelengkan kepala. Timbul rasa kasihan dalam 
hatinya. Bagaimana mungkin akan ada putaran di pusarnya kalau tenaga 
dalam saja tidak dimiliki? 

"Ah...!" 

Jeritan kaget Hijau mengejutkan Arya. Pandangannya segera 
dialihkan pada Hijau yang tampak bingung bercampur gembira. Matanya 
yang berputaran liar terlihat berbinar-binar. 

"Apa yang terjadi. Hijau?!" tanya Arya. Khawatir terjadi sesuatu 
yang tidak diharapkan. 

Hijau tidak mempedulikan pertanyaan Arya. Dia malah menoleh 
ke sebelahnya, tempat Sahabat berada. Sepasang mata kakek bungkuk ini 
berbinar-binar. Suaranya sarat dengan kegembiraan. 

"Sahabat, kau tahu apa yang kualami? Di dalam pusarku tengah 
berputaran. Ah, tidak tepat. Maksudku bergejolak sesuatu yang amat 
dahsyat. Aku dan kau tidak akan kelaparan lagi. Menyenangkan bukan? 
Kau setuju? Bagus!" 

"Benarkah yang kau katakan itu. Hijau?" tanya Arya, buru-buru 

"Tentu saja, Aiya! Untuk apa aku berbohong?!" tandas Hijau. 
"Bagaimana caraku untuk membuktikannya?" 

Arya berpikir sejenak. 

"Pusatkan pikiranmu untuk mengarahkan tenaga dalam pada 
tangan kanan. Aku akan melemparkan batu kepadamu. Kau harus 
menerimanya. Setelah itu, pusatkan pikiranmu ke jari-jari untuk meremas. 
Jelas?!" 

Hijau mengiyakan. 

Arya mengibaskan tangan kanannya. Batu sebesar kepatan yang 
ada di tanah meluncur ke arah Hijau. Aiya tentu saja tidak bertindak 
gegabah. Tenaga yang dikerahkan hanya untuk membuat batu mempunyai 
bobot seekor kambing. 

Pemuda ini baru merasa yakin dengan ucapan Hijau ketika melihat 
dia dengan enak saja menerima batu. Seakan batu itu tak ubahnya daun 
kering, ketika jari-jari Hijau digerakkan untuk meremas, batu pun hancur 
berantakan! 

Wajah Arya berubah hebat. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? 
Bukankah tadi telah dilihatnya sendiri Hijau tidak memiliki tenaga dalam. 

Hijau seperti tidak mengetahui keterkejutan Arya. Dia terlalu 
gembira dengan hasil yang dicapainya. Kakek ini terkekeh-kekeh sambil 
sesekali berbicara pada Sahabat. 

Arya menatap wajah Hijau lekat-lekat. Untuk kedua kalinya dia 
terperanjat. Sepasang mata Hijau tajam mencorong dan bersinar kehijauan. 
Demikian tajamnya sehingga Arya kaget sekali. Sorot seperti itu hanya 
keluar dari orang yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi. 

Hijau tems tertawa-tawa dengan biji mata berputaran liar. Ia lalu 
menjulurkan tangannya ke batang pohon jambu. Pohon itu terguncang- 
guncang hebat dan menjatuhkan buah-buahnya, seperti yang Arya lakukan 
tadi. Buah-buah itu semua meluncur ke arah si kakek. 

Arya terbengong-bengong. Dia belum bisa berkata-kata ketika 
Hijau sibuk menyantapi buah-buah merah segar itu. Sesekali Hijau 
memberikannya pada Sahabat. Bertindak seakan-akan Sahabat menerima 
dan memakannya. Padahal, dia sendiri yang menyantap buah-buah itu. Tak 
sedikit pun keluar kata-kata yang ditujukan pada Arya. Baik itu berupa 
tawaran maupun basa-basi karena makan sendirian. 

Cukup lama Aiya menunggu Hijau selesai dengan santapannya. 
Sambil berdesah-desah kekenyangan dan mengusap-usap perutnya, kakek 
itu kemudian mengalihkan perhatiannya pada Aiya. 

"Terima kasih atas pelajaran yang kau berikan, Arya. Kemampuan 
yang kumiliki ini akan membuatku tidak kelaparan lagi. Begitu juga 
Sahabat. Terima kasih, Arya. Dan..., tunggu sebentar." 

Tanpa peduli pada keheranan Aiya melihatnya menghentikan 
ucapan. Hijau memejamkan mata. Arya yang telah tertarik dengan kakek ini 
jadi memperhatikan gerak-gerik Hijau. Hanya sebentar saja Hijau 
memejamkan mata. Lalu dengan biji mata berputaran ditatapnya wajah 
pemuda berpakaian ungu lekat-lekat 

"Kau harus berhati-hati, Arya. Aku melihat bahaya akan 
menimpamu. Maut berkeliling di sekitarmu. Hanya yang mengherankan, 
asal bahaya itu datang dari orang-orang yang kau kenal. Berhati-hatilah." 

"Aku tidak mengerti maksudmu. Hijau? Bahaya apa? Mengapa kau 
bisa mengetahuinya?" tanya Arya kebingungan. 

Hijau tidak segera menjawab. Dia tercenung beberapa saat. 

"Aku juga semula tidak mengetahuinya, Arya. Mungkin inilah 
keanehanku. Setiap kali akan teijadi bahaya baik padaku atau orang di 
dekatku, telinga sebelah kananku akan berdenging nyaring. Maka 
kupejamkan. Dan aku mencoba bercakap-cakap dengan Sahabat. Dari 
Sahabatlah aku mengetahuinya. Katanya, ada bahay a yang mengancammu. 
Berhati-hatilah, Arya. Maalj aku tidak bisa menemanimu lama-lama. Aku 
mempunyai urusan yang sangat penting. Sekali lagi terima kasih atas 
pelajaranmu. Apabila ada kesempatan pasti kita akan bertemu lagi. Selamat 
tinggal! Mari, Sahabat...!" 

Tanpa memberi kesempatan pada Arya untuk memberikan 
tanggapan, kakek bungkuk melesat meninggalkan tempat itu. Ucapannya 
masih bergema, tapi tubuhnya sudah berada jauh. 

Arya menghela napas berat sebelum meng-yunkan kaki, pergi. 
Tubuh Hijau sudah tidak terlihat lagi. Tapi, benak Arya masih dipenuhi 
pikiran mengenai Hijau yang penuh rahasia. 




Arya menghentikan langkahnya. Pemuda itu tengah berlari cepat 
melintasi hamparan pasir. Se-auh mata memandang yang kelihatan hanya 
pasir belaka. 

Tapi, ada sesuatu di sana. Sesosok tubuh berpakaian serba hitam. 
Seluruh tubuhnya terbungkus. Mulai dari kepala sampai ujung kaki. Yang 
terlihat oleh Arya hanya bagian belakang tubuhnya. Sosok jangkung ini 
yang menyebabkan pemuda berpakaian ungu itu menghentikan langkah. 

Arya mengerutkan sepasang alisnya. Dia mengenai bentuk tubuh 
sosok serba hitam ini. Sosok ini meninggalkan kenangan yang mendalam. 
Pertemuannya dengan sosok serba hitam amat membekas dalam jiwanya. Di 
tangan sosok inilah nyawanya pernah hampir melayang. 

"Iblis Hitam...!" desis Arya, agak keras. 

Sosok serba hitam seperti mendengar ucapan Arya. Tubuhnya 
dibalikkan. Sosok ini terlihat teijingkat kaget melihat keberadaan Dewa 
Arak delapan tombak di depannya. 

Sosok ini angker bukan main. Sekujur tubuhnya terlihat hitam. 
Ada dua lubang tepat di bagian mata untuk melihat. Tangannya terbungkus 
sarung tangan hitam. Kakinya juga tertutup sepatu hitam. Julukan Iblis 
Hitam memang sesuai untuknya. 

"Dewa Arak...!" 

Iblis Hitam berseru. Terasa jelas nada kegembiraan dan 
keterkejutan di dalamnya. 

Arya tersenyum lebar. Dia ikut melesat ketika Iblis Hitam 
menghambur ke arahnya (Untuk jelasnya mengenai tokoh yang beijuluk 
Iblis Hitam ini, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Peninggalan 
Iblis Hitam"). 

"Apa yang teijadi. Iblis Hitam? Mengapa kau bisa berada di tempat 
ini? Tempat yang amat jauh dari asalmu. Apakah ada keperluan penting? 
Kau seperti tengah menungguku. Kau tahu aku lewat tempat ini dan sengaja 
hendak memberikan kejutan?" tanya Arya bertubi-tubi setelah berjabatan 
tangan dengan Iblis Hitam. 

Iblis Hitam menghela napas berat. Tindakannya membuat Arya 
menjadi heran. Perasaan tidak enak mulai muncul dalam hatinya. 
Mungkinkah ini ada hubungannya dengan Pendekar Golok Baja yang 
menjadi kakak kandung Iblis Hitam? Apakah telah terjadi sesuatu terhadap 
Pendekar Golok Baja?" tanya Arya dalam hati. 

"Kalau kukatakan hal yang sebenarnya mungkin kau tidak percaya, 
Arya," ucap Iblis Hitam hampir berupa keluhan. "Aku merasa seperti orang 
bodoh." 

"Tidak ada salahnya kau menceritakan. Iblis Hitam," ujar Arya 
memberi semangat. "Apakah ini ada hubungannya dengan kakakmu?" 

Iblis Hitam menggeleng. 

"kii menyangkut diriku sendiri. Aku merasa aneh mengapa bisa 
berada di tempat ini. Bahkan, berdiri saja di tempat ini. Seperti ada yang 
kutunggu. Padahal, tidak tahu apa yang tengah kutunggu-tunggu. Dan...." 

Arya heran melihat Iblis Hitam menghentikan ucapannya. Tokoh 
angker ini seperti terkesima. Kekagetan Arya berganti kecurigaan melihat 
kilatan maut dalam pandangan Iblis Hitam. 

Kecurigaan inilah yang menyelamatkan Dewa Arak dari maut. 
Dengan kecepatan yang menakjubkan Iblis Hitam telah mencabut sepasang 
kapaknya dan mengayunkan ke leher Dewa Arak. Yang kiri menyambar 
dari kanan, sedangkan yang di tangan kanan membabat dari kiri, saling 
bersilang! 

Untung Arya telah lebih dulu melompat sebelum sepasang kapak 
Iblis Hitam yang berwarna hitam pekat dan mengeluarkan hawa dingin me¬ 
nyambar. Kalau tidak, pemuda berambut putih keperakan itu telah ambruk 
tak bernyawa. 

"Iblis Hitam! Apa artinya ini?!" 

Dewa Arak berseru kaget ketika berhasil menjejak tanah. Sikap 
Iblis Hitam bisa berubah demikian cepat. 

Tapi, pertanyaan Dewa Arak dijawab oleh Iblis Hitam dengan 
serangan sepasang kapaknya. Susul-menyusul dengan diiringi bunyi 
kesiutan angin menderu-dem. Mengerikan! 

Hal ini menyadarkan Dewa Arak kalau ucapannya tidak akan 
berguna. Kalau dia masih sayang nyawa, memberikan perlawananlah yang 
harus dilakukan. Kalau tidak dia akan mati konyol. Pemuda berambut putih 
keperakan ini segera meraih guci arak dan menenggak isinya. 

Dewa Arak tahu betapa besar pengaruh sepasang kapak hitam di 
tangan lawan Kapak itu mengeluarkan hawa dingin yang dapat 
membekukan otot-otot. Arya pernah mengalaminya dulu. Maka, dia tidak 
berani bertindak gegabah. Pemuda ini bertarung dengan membuat jarak, 
tidak berani terlalu dekat. Arya terpaksa menggunakan pukulan-pukulan 
jarak jauh. 

Iblis Hitam mengetahui siasat yang dipergunakan Dewa Arak. Dia 
pun berusaha sedapat mungkin memperpendek jarak. Pertarungan jadi 
terlihat aneh, seperti orang yang tengah berkejaran. Dewa Arak bertarung 
secara mundur, sedangkan lawannya tems mendesak maju. Jalannya 
pertarungan membuat tempat berlaga bergeser jauh. 

Buk! 

Des! 

Hampir berbarengan dua serangan yang dilancarkan kedua 
petarung itu bersarang di sasaran. Guci Dewa Arak menghantam dada Iblis 
Hitam dengan telak. Sebaliknya, tendangan Iblis Hitam mengenai pangkal 
lengan kiri pemuda berambut putih keperakan. 

Tubuh keduanya terlempar ke belakang. Iblis Hitam mampu 
bangkit dengan cepat setelah bergulingan di tanah. Namun, Dewa Ar ak tak 
mampu bangkit lagi. Tubuh pemuda itu tergolek diam tidak bergerak-gerak. 

Iblis Hitam yang semula sudah bersiap melancarkan serangan 
kembali segera mengurungkannya. Sepasang matanya menatap penuh 
selidik pada Dewa Arak yang tergolek di tanah. Hanya sebentar Iblis Hitam 
bersikap seperti itu. Sesaat kemudian, dengan diawali teriakan melengking 
nyaring, tokoh angker itu melompat. Sepasang kapaknya diayunkan. 

Hal ini sudah diperhitungkan Arya. Pemuda berambut putih 
keperakan ini tiba-tiba menghentakkan kedua tangannya secara bergantian. 
Dewa Arak melancarkan pukulan jarak jauh dengan jums 'Pukulan 
Belalang' 

Iblis Hitam menggeram penuh perasaan kaget dan marah. Ia 
merasakan sambaran hawa panas menyengat. Tapi, tokoh ini memang 
memiliki kemampuan luar biasa. Sambaran angin berhawa panas 
dipapakinya dengan kedua kapak Iblis Hitam memang luar biasa! Tenaga 
benturan itu digunakan untuk salto ke depan. Setelah beberapa kali ber¬ 
putaran di udara, tubuhnya menukik tumn ke arah Arya dengan sambaran 
sepasang kapaknya. 

Dewa Arak menggulingkan tubuh untuk menyelamatkan diri. Iblis 
Hitam yang rupanya sudah bertekad membunuh pemuda berambut putih 
keperakan itu memburunya dengan serangan kapak Cepat dan bertubi-tubi. 
Ini membuat Aiya tidak mempunyai kesempatan untuk bertindak apa pun 
selain bergulingan di tanah. 

"Uhhh...!" 

Dewa Arak mengeluarkan keluhan tertahan. Gulingan tubuhnya 
terhenti. Ada sebuah benda yang tertabrak sehingga gulingannya tertahan. 
Pemuda ini mengerling. Sebatang pohon besar. Sekejap pemuda itu 
memutar benaknya mencari jalan untuk menyelamarkan diri. 

Arya ternyata tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Sepasang 
kapak Iblis Hitam telah lebih dulu meluruk ke arahnya. Pemuda berpakaian 
ungu itu belum mau mati. Dewa Arak memutuskan untuk menangkis 
dengan menghantam pergelangan tangan Iblis Hitam. Sebuah tindakan yang 
amat berbahaya. Bagi seorang ahli kapak seperti Iblis Hitam mudah saja 
menggerakkan kapak, meski hanya dengan berporos pada pergelangan 
tangan. Kedua tangan Arya bisa teipapas buntung! 


Trang, trang! 

Terdengar bunyi nyaring dibarengi berpercikannya bunga api. Itu 
terjadi setelah ada bunyi berdesing yang mengiringi melesatnya sinar-sinar 
gelap memapaki sepasang kapak Iblis Hitam. 

Benda-benda berwarna gelap yang ternyata dua butir kerikil itu 
langsung hancur, begitu berbenturan dengan sepasang kapak. Tubuh Iblis 
Hitam tampak terhuyung-huyung ke belakang. Iblis Hitam meraung seperti 
binatang terluka. Tokoh angker ini marah bercampur kaget merasakan 
getaran kuat pada tangannya. 

Dengan kilatan maut pada sepasang matanya. Iblis Hitam 
mengarahkan pandangan ke arah belakang Arya. Dalam jarak sekitar tiga 
tombak dari pemuda berambut putih keperakan berdiri seorang kakek 
berpakaian penuh tambalan. Anehnya, sobekan pakaian yang ditempelkan 
masih baru! Dalam model pakaian aneh itu terbungkus tubuh tua renta. 
Kelihatan ringkih dan lemah. Tidak hanya rambutnya yang telah memutih, 
tapi juga kumis, jenggot, dan alisnya. Tubuh kakek itu pun agak bungkuk. 

"Tua bangka gila! Rupanya kau sudah ingin mati. Mampuslah!" 

Iblis Hitam tidak terlihat menjejakkan kaki untuk melakukan 
lompatan. Tubuhnya melayang cepat ke arah kakek berpakaian tambalan. 
Dalam keadaan tubuhnya di udara, lelaki itu menyelipkan kedua kapaknya 
di pinggang. Rupanya, meski amat geram dan bermaksud membunuh. Iblis 
Hitam masih memiliki rasa malu untuk menyerang lawan tak bersenjata 
dengan pusaka andalannya. 

Iblis Hitam melancarkan serangan dengan dorongan kedua telapak 
tangan terbuka. Si kakek tidak menunjukkan gambaran perasaan apa pun 
pada wajahnya. Tidak kelihatan kaget atau gentar meski dorongan kedua 
tangan Iblis Hitam menimbulkan bunyi seperti suara geledek. 

Malah, si kakek memberikan tanggapan menakjubkan. Dia ikut 
melompat dan melakukan gerakan yang sama. Tak pelak lagi, benturan dua 
pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi tidak bisa 
dihindarkan lagi. Tubuh keduanya lalu teijengkang ke belakang. 

Iblis Hitam maupun si kakek seperti telah bersepakat sebelumnya. 
Mereka bersalto di udara kemudian kembali melakukan serangan seperti 
sebelumnya. Benturan kembali teijadi. Kali ini mereka melakukan dengan 
cara lain. 

Iblis Hitam dan si kakek mengerahkan tenaga dalam menarik. Iblis 
Hitam yang melakukan pertama kali. Si kakek hanya mengikuti. Akibatnya, 
tangan mereka saling melekat satu sama lain. Dalam keadaan seperti itu, 
tubuh keduanya melayang turun hingga menjejak tanah. 

Di sini pertarungan yang lebih menegangkan teijadi. Masing- 
masing berusaha sekuat tenaga memenangkan tarik-menarik itu. Yang kalah 
kuat akan mati lemas kehabisan tenaga karena tersedot lawan. 

Beberapa saat lamanya tidak terlihat siapa yang berada di atas 
angin. Tapi kemudian kedua kaki dan tangan Iblis Hitam menggigil. 
Semakin lama semakin keras. Si kakek masih belum menampakkan gejala 
seperti Iblis Hitam, meski wajahnya telah memerah. 

Dewa Arak yang memperhatikan serangan Iblis Hitam pertama 
kali terhadap si kakek sudah tahu keadaan tokoh itu kurang 
menguntungkan. Apabila pertempuran terus berlangsung, nyawa Iblis 
Hitam bisa melayang. Arya bergegas menghampiri tempat pertarungan. 
Melalui ilmu mengirim suara dari jauh, dilontarkan pemberitahuan pada 
kakek berpakaian tambalan. 

"Maalkan aku, Kek. Bukannya tidak menghargai pertolonganmu. 
Tapi, kuharap kau bersedia mengampuni lawanmu. Dia kawanku. Aku 
sendiri tidak mengera mengapa tiba-tiba dia hendak membunuhku. Aku 
yakin ada hal yang tidak wajar di sini. Maka, kuharap kau menyudahi 
persoalan ini. Sekali lagi aku minta maaf atas kelancanganku ini. Tak lupa 
kuucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas pertolongan yang kau 
berikan." 

Si kakek menatap wajah Arya. Arya tersenyum sambil 
menganggukkan kepala. Kakek itu tidak memberikan tanggapan sama 
sekali. Tapi, hal ini tidak membuat Arya berkecil hati. Pemuda berambut 
putih keperakan ini merasakan kakek berpakaian tambalan menyetujui 
permintaannya. 

Tanpa ragu-ragu Dewa Arak menghampiri Iblis Hitam. Hanya 
dengan sekali menggerakkan jari menotok bahu kanan, pemuda ini berhasil 
membuat Iblis Hitam lemas. Tak ubahnya sehelai kain basah tubuh Iblis 
Hitam terkulai ke tanah. 

Pada saat yang bersamaan dengan tertotoknya Iblis Hitam si kakek 
menghentikan aliran tenaga dalamnya. Kalau itu tidak dilakukan nyawa 
Iblis Hitam akan melayang! 

Dewa Arak membiarkan tubuh Iblis Hitam ambruk ke tanah. Ia 
buru-buru melompat ke samping ketika mendengar bisikan yang jelas di 
telinganya. Bisikan yang dikirim melalui ilmu mengirim suara dari j auh. 
Bisikan yang berupa perintah. 

Baru saja Dewa Arak melompat si kakek telah memutar rambutnya 
yang panjang. Itu terjadi hanya dengan sedikit menggerakkan leher. Dari 
putaran rambut putih itu meluncur angin keras. Demikian kerasnya angin 
yang timbul sehingga tubuh Iblis Hitam sampai terguling-guling ke 
belakang. Cukup jauh. Tak kurang dari sepuluh tombak. 

Arya memperhatikan saja tindakan kakek itu. Si kakek tidak 
hendak mencelakai Iblis Hitam. Hanya membuat tubuh Iblis Hitam 
terpental. Dugaan Arya tidak keliru. Begitu kekuatan yang menggulingkan 
tubuh Iblis Hitam telah habis, tokoh itu mampu bangkit berdiri. 

Dewa Arak terkejut bukan main. Bukan karena Iblis Hitam yang 
menatap kakek berpakaian tambalan dengan sorot penuh ancaman. Tapi, 
karena Iblis Hitam telah berhasil bebas dari pengaruh totokan. Iblis Hitam 
tidak akan mampu bebas dari totokan secepat itu. Berarti si kakek yang 
membebaskanny a. 

Kenyataan ini menyadarkan Dewa Arak akan ketinggian ilmu si 
kakek. Dalam putaran rambut untuk melemparkan Iblis Hitam, dia bisa 
membebaskan totokannya. Arya sendiri tidak yakin akan dapat melakukan 
hal itu. 

Iblis Hitam rupanya menyadari keadaannya yang tidak 
menguntungkan. Setelah melempar pandang penuh kebencian pada kakek 
berpakaian tambalan dan melayangkan tatapan penuh ancaman pada Dewa 
Arak, dia membalikkan tubuh lalu melesat cepat meninggalkan tempat itu. 

Arya diam saja. Begitu juga si kakek. Hanya kalau saja Dewa Arak 
menatap hingga tubuh Iblis Hitam lenyap di kejauhan, si kakek tidak 
mempedulikannya sama sekali. Wajahnya ditundukkan menekuri tanah. 
Beberapa kali helaan napas berat keluar dari mulutnya. 

Dewa Arak yang tidak ingin menggangu keasyikan si kakek 
membiarkan saj a. Arya hanya memperhatikan tanpa berani mengusik. Baru 
ketika si kakek mengangkat wajah dan menatap ke arahnya. Dewa Arak 
menyunggingkan senyum lebar. Kembali si kakek tidak memberikan 
tanggapan. Wajahnya tetap dingin. Sinar matanya pun tidak terlihat beriak. 
Arya tidak merasa tersinggung. Pemuda ini malah memakluminya. Banyak 
tokoh persilatan yang memiliki watak aneh. Terutama yang telah memiliki 
kepandaian sukar diukur dan bemsia lanjut. Meski Arya tidak mengerti 
mengapa seperti itu, tapi dia bisa memahaminya. 

"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas pertolongan yang kau 
berikan, Kek. Kalau tidak ada kau mungkin aku sudah tidak ada di dunia 
ini," Arya membuka pembicaraan dengan wajah penuh persahabatan. 

"Kau Dewa Arak, bukan?" tanya kakek itu tanpa mempedulikan 
ucapan terima kasih Arya. 

"Begitulah orang-orang persilatan menjulukiku, Kek," Arya 
mengangguk. "Tapi, aku lebih suka dipanggil dengan namaku. Arya Buana 
namaku, Kek. Orang biasa menyapaku Arya." 

"Apalah artinya panggilan nama atau julukan?" si kakek 
menggumam sendiri. Tapi, Arya yang memiliki pendengaran tajam dapat 
menangkapny a. 

Kakek berpakaian tambalan lalu menatap ke langit. 

"Aku sendiri sudah lupa namaku. Malah, aku merasa benci dengan 
diriku sendiri. Yang kutahu, aku adalah ketua perkumpulan yang 
menjijikkan. Perkumpulan yang telah dibawa oleh orang-orang asuhanku ke 
jalan sesat Ahhh...! Betapa memalukan bila mengingatnya...." 

Kembali Dewa Arak tidak mengusik keasyikan si kakek. Arya 
malah menggunakan kesempatan itu untuk memperhatikan keadaan 
penolongnya. Hati pemuda ini tercekat ketika melihat tangan si kakek yang 
berwarna merah darah. Merah sampai sebatas pergelangan tangan! 

Tanda ini membuat Arya yang semula tidak bisa menduga siapa 
kakek itu kini mempunyai gambaran sedikit. Dia telah mendengar kabar 
yang te-siar di dunia persilatan mengenai perkumpulan pengemis yang 
memiliki ciri-ciri demikian pada setiap anggotanya. Perkumpulan Pengemis 
Tangan Merah demikian namanya. 

"Apakah kau ketua perkumpulan Pengemis Tangan Merah, Kek?" 
tanya Arya ketika si kakek mengalihkan pandangan ke arahnya. 

Kakek berpakaian tambalan mengangguk sambil menghela napas 
berat setelah beberapa saat menatap Dewa Arak lekat-lekat. 

"Mungkin pertanyaanmu perlu sedikit kuperbaiki. Anak Muda. 
Aku bukan lagi seorang ketua, melainkan orang buangan. Semua ini 
memang kesalahanku. Aku telah membuat perkumpulan itu jatuh ke dalam 
lumpur kehinaan. Entah bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan 
semua ini pada saudara seperguruanku...." 

Kakek itu menggantung perkataannya. Wajahnya yang dingin 
terhias kabut kedukaan. T ampaknya kakek itu menderita tekanan batin. 

"Mengapa kau tidak berusaha meluruskan kembali perkumpulan 
itu, Kek? Aku yakin dengan kemampuanmu tidak sulit melakukannya," 
Arya mengajukan saran. 

"Apa yang kau ketahui tentang perkumpulan kami. Anak Muda?" 
tanya si kakek, dingin 

"Maaf Kek. Bukannya maksudku untuk menggurui. Tentu saja 
bila dibandingkan denganmu sebagai tokoh puncak perkumpulan itu, 
pengetahuan yang kumiliki mengenai perkumpulanmu amatlah sedikit," 
kilah Arya buru-buru untuk meredakan suasana yang mulai memanas. 
Kakek berpakaian tambalan ini kelihatannya terlalu pemarah. 

"Syukurlah kalau kau menyadari hal itu," suara si kakek melunak. 
"Tapi karena kau telah telanjur bicara dan membuat rasa ingin tahuku 
muncul, aku ingin kau kemukakan hal-hal yang kau ketahui tentang 
Perkumpulan Pengemis T angan Merah." 

Arya tidak punya pilihan lain kecuali menuruti kehendak si kakek. 
Dia merasakan adanya tekanan yang tidak menghendaki bantahan dalam 
ucapan kakek itu. 

"Yang kuketahui tidak banyak, Kek. Kalau kau bersikeras 
memaksa, aku tidak punya pilihan lain. Kuharap apabila yang kukemukakan 
ini berlainan dengan kenyataan kau tidak menjadi gusar karenanya. Dan...." 

"Lupakan basa-basi itu! Aku bukan anak kecil yang mudah marah 
oleh hal-hal yang tidak berarti. Katakan saja apa yang kau ingin 
sampaikan!" potong si kakek tidak sabar. 




"Sepanjang pengetahuanku. Perkumpulan Pengemis Tangan Merah 
beijalan di jalur sesat. Telah banyak kudengar perbuatan tidak patut yang 
dilakukan anggota-anggotanya. Di samping banyak melakukan tindak 
kejahatan, perkumpulan itu pun telah banyak menewaskan para pendekar. 
Karena hendak mencegah merajalelanya Perkumpulan Pengemis Tangan 
Merah itulah aku berada di sini." 

Arya menghentikan ucapannya. Dengan penuh selidik pemuda 
berambut putih keperakan ini mengawasi wajah kakek di depannya. Arya 
berusaha membaca perasaan yang tersirat di wajah si kakek 

Tapi, Aiya tidak bisa menyimpulkan apa pun. Wajah kakek itu 
tidak berubah sedikit pun. Tetap dingin bagai tertutup topeng. 

"Dan...," Arya melanjutkan ucapannya. "Menurut berita yang 
kudapat. Ketua Perkumpulan Pengemis Tangan Merah adalah tokoh yang 
beijuluk Pengemis Tua Berbulu Putih. Itulah yang bisakukatakan padamu." 

"Semua yang kau katakan itu benar. Anak Muda," lesu ucapan 
kakek berpakaian tambalan. Selesu sinar matanya yang kuyu. "Memang 
demikianlah keadaan Perkumpulan Pengemis Tangan Merah, mengacau 
dunia persilatan. Patut kuacungi jempol pengetahuanmu mengenai 
perkumpulan itu. Kau tahu pula mengenai tokoh yang beijuluk Pengemis 
Tua Berbulu Putih. Apakah kau tidak bisa mengira-ngira siapa tokoh yang 
kau sebutkan itu?" 

Arya membisu. Pemuda ini memperhatikan sekujur tubuh si kakek. 
Tatapannya beberapa kali berhenti pada rambut, kumis, alis, dan jenggot ka¬ 
kek berpakaian tambalan yang putih bersih. 

"Benar, Anak Muda," seperti mengetahui dugaan dalam benak 
Dewa Arak, si kakek mengangguk. "Akulah orang yang kau sebutkan itu. 
Akulah Pengemis Tua Berbulu Putih. Ketua Perkumpulan Pengemis Tangan 
Merah. Tapi itu dulu. Sudah lama jabatan itu kuserahkan pada orang yang 
kupercaya. Sungguh tidak kusangka kalau akhirnya akan seperti ini." 

Arya tidak merasa kaget mendengar penjelasan kakek itu. Dia 
sudah menduga sebelumnya. Perasaan iba menyemak di hati Dewa Arak. 
Dia bisa merasakan kehancuran hati Pengemis Tua Berbulu Putih. 

"Maaf Kek. Bukannya aku lancang atau menggumi. Tapi seperti 
yang kukatakan tadi, mengapa kau tidak berusaha meluruskan jalan 
perkumpulan itu? Aku yakin kau mampu. Apalagi mengingat jabatan yang 
dulu kau sandang." 

Pengemis Tua Berbulu Putih mengumt dada dengan sikap prihatin. 
Dia tidak kelihatan gembira mendengar usul Arya. 

"Seperti juga yang kukatakan tadi. Anak Muda. Kau hanya tahu 
kulitnya saja mengenai perkumpulan kami. Mungkin perlu kujelaskan kalau 
Perkumpulan Pengemis Tangan Merah mempunyai aturan yang amat keras. 
Setiap anggotanya harus taat sepenuhnya pada orang yang memegang 
pusaka lambang perkumpulan. Pusaka itu dipegang oleh sang ketua. Baik 
bumknya perkumpulan ditentukan oleh dia. Apabila sang ketua telah 
bertitah dengan mengangkat tongkat lambang perkumpulan, tidak boleh ada 
bantahan apa pun dari para anggota. Itu sudah merupakan aturan mati. 
Anggota yang membantah akan dihukum dengan jalan bunuh diri di 
hadapan semua anggota perkumpulan!" 

"Tidak terkecuali kau, Kek?" tanya Arya, ingin tahu. 

"Tidak ada kecualinya. Anak Muda!" tandas Pengemis Tua 
Berbulu Putih. "Karena tidak tahan melihat kesesatan yang terjadi, aku 
memilih pergi meninggalkan perkumpulan. Aku hanya bisa mendengar dan 
menyaksikan semuanya dengan batin merintih sedih." 

"Yang kuherankan, mengapa kau bisa salah memilih orang untuk 
menjadi ketua? Dan, mengapa kau mengundurkan diri dari jabatan itu kalau 
kau tahu malapetaka akan teijadi? Menumtku kau belum terlalu tua untuk 
menjabat pimpinan perkumpulan." 

"Mungkin menurut penilaianmu belum terlalu tua. Anak Muda. 
Tapi, aku merasa sebaliknya. Aku sudah jenuh mengurus perkumpulan. Aku 
ingin menyepi dan bebas dari urusan. Kupilih muridku yang terbaik. Aku 
tidak salah memilih orang. Tapi karena ada orang yang berhati keji, semua 
ini teijadi. Ketua yang kuangkat terpengaruh ilmu hitam yang dilancarkan 
seseorang. Dia lalu bertindak bukan dari hatinya sendiri," jelas Pengemis 
Tua Berbulu Putih 

Arya mengeluarkan seman kaget mendengarnya. Dia sungguh 
tidak menyangka hal itu. Meski demikian, dia tidak merasa heran. Banyak 
ilmu-ilmu aneh di dunia ini. Hal yang wajar jika Ketua Perkumpulan 
Pengemis Tangan Merah terkena pengamh ilmu hitam seseorang. 

"Apakah kau tahu siapa orangnya, Kek?" desak Aiya penuh rasa 
ingin tahu. 

Pengemis Tua Berbulu Putih mengangguk pelan 

"Seorang musuh besarku. Ia dendam padaku karena pemah 
kukalahkan belasan tahun yang lalu. Seorang tokoh sesat yang beijuluk 
Penunggu Alam Kubur." 

"Penunggu Alam Kubur?!" ulang Arya dengan alis berkerut. 

"Kau mengenalnya. Anak Muda?" tanya Pengemis Tua Berbulu 
Putih penuh gairah, berbeda dengan sebelumnya yang dingin dan tak acuh. 

Arya menggeleng. 

"Aku hanya mendengar beritanya saja, Kek. Kudengar dia seorang 
tokoh sesat yang amat sakti. Kabarnya dia telah mengundurkan diri dari 
dunia persilatan. Lenyap begitu saja tanpa ada yang tahu ke mana. Tokoh 
itu tidak pernah terlihat wajah maupun tubuhnya karena selalu berada di 
dalam peti mati. Ketika bertarung pun dia tetap tidak keluar dari tempatnya. 
Apa benar demikian, Kek?" 

"Benar, Anak Muda. Tapi ketika bentrok denganku, peti matinya 
berhasil kuhancurkan! Dia dapat lolos dengan menyebarkan uap beracun. 
Karena kekalahannya itu dia tidak pernah muncul lagi ke dunia persilatan. 
Kendati demikian, aku kenal semua ilmu-ilmunya. Karena itu aku yakin 
kejadian yang menimpa perkumpulanku adalah ulahnya" 

Suasana hening ketika Pengemis Tua Berbulu Putih menyelesaikan 
ceritanya. Kedua orang itu tenggelam dalam alun pikiran sendiri-sendiri. 

"Lalu, apa tindakan yang akan kau lakukan, Kek?" 

"Mencari dan membunuhnya. Anak Muda. Hanya itulah satu- 
satunya jalan agar Perkumpulan Pengemis Tangan Merah berhenti 
melakukan tindak kekejian!" jawab Pengemis Tua Berbulu Putih. Tegas dan 
mantap suaranya. 

"Kau mempunyai dugaan di mana Penunggu Alam Kubur itu 
berada?" 

Sorot mata yang semula berbinar-binar penuh semangat itu kini 
redup. Aiya segera tahu jawaban yang akan didapatkannya. Kakek 
berpakaian tambalan menggelengkan kepala. 

Arya menghembuskan napas berat. Bagaimana mungkin mencari 
seseorang di dunia yang begini luas? Tanpa ada perkiraan sama sekali! 
Kapan akan bisa ditemukan? Sebulan? Setahun? Selama itu Perkumpulan 
Pengemis Tangan Merah akan merajalela tanpa dapat dicegah. 

"Aku mempunyai seorang kenalan, Kek. Seorang tokoh aneh yang 
dapat meramalkan keberadaan seseorang hanya dengan kita menyebutkan 
ciri-cirinya. Dia beijuluk Peramal Gendeng. Sayang, tokoh itu sudah 
meninggalkan tempat kediamannya. Mengungsi ke tempat lain, karena 
tempat pengasingannya sudah diketahui orang," beritahu Arya setengah 
mengeluh (Untuk jelasnya mengenai tokoh aneh itu silakan baca episode: 
"Iblis Buta". Setelah bertempur dengan Jerangkong Penjagal Nyawa yang 
berakibat tokoh aneh itu celaka kalau tidak ditolong Dewa Arak, Peramal 
Gendeng pergi meninggalkan tempatnya). 

Pengemis Tua Berbulu Putih tidak memberikan tanggapan. 

"Meski demikian, bukan berarti aku tinggal diam, Kek. Aku akan 
berusaha menemukan Penunggu Alam Kubur," janji Arya. 

Bekas Ketua Perkumpulan Pengemis Tangan Merah menatap 
wajah Aiya lekat-lekat. 

"Benarkah kau ingin membantu kami. Anak Muda?" 

"Tentu saja, Kek!" tandas Arya. 

"Mungkin kau tidak perlu bersusah-susah mencarinya. Meski tidak 
berani mengaku pandai dalam hal ilmu gaib, aku mampu merasakan 
getaran-getaran bila seseorang memiliki ilmu gaib. Kemampuan yang 
kumiliki hanya sampai di situ. T api itu kurasa lebih dari cukup. Perlu kau 
ketahui, Anak Muda. Pada dirimu kurasakan getaran-getaran itu. Kau 
memiliki ilmu gaib. Apakah dugaanku ini benar?" 

"Maaf Kek. Kurasa kau salah alamat. Aku tidak memiliki ilmu 
gaib!" bantah Aiya. 

"Benarkah demikian. Anak Muda?" Pengemis Tua Berbulu Putin 
tidak percaya. "Kurasakan getaran-getaran itu. Kuat bukan main. Ingat- 
ingatlah. Mungkin kau tidak menyadarinya. Andaikata benar kau tidak 
memiliki ilmu gaib, tak mungkin getarannya kurasakan. Apalagi demikian 
kuat!" 

Keyakinan yang sangat dalam pernyataan Pengemis Tua Berbulu 
Putih membuat Arya merenung. Pemuda berambut putih keperakan ini 
kemudian teringat sesuatu. Dia memang tidak memiliki ilmu gaib. Tapi, 
pemah berhubungan dengan hal-hal gaib. Lebih tepatnya lagi dengan 
makhluk dari alam gaib. Beberapa kali makhluk yang berupa belalang 
raksasa itu masuk ke dalam tubuhnya. 

"Mungkinkah yang kau maksudkan itu pernah masuknya makhluk 
dari alam gaib ke dalam tubuhku, Kek?" tanya Arya, meminta kepastian. 

"Makhluk alam gaib masuk ke dalam tubuhmu. Anak Muda? 
Mungkinkah itu?! Kalau benar demikian tidak aneh getaran-getaran yang 
kualami demikian besar. Ini benar-benar luar biasa! Bisa kau ceritakan 
mengapa makhluk alam gaib itu bisa masuk ke dalam dirimu? Boleh kutahu 
berbentuk apakah makhluk itu? Jin, raksasa, binatang, atau roh orang yang 
meninggal?" 

Arya menghembuskan napas berat. Suaranya terdengar penuh 
penyesalan ketika berbicara. 

"Sayang sekali, Kek. Aku tidak bisa menceritakannya. Ini 
merupakan rahasia diriku. Maaikan aku. Bukannya aku tidak percaya 
padamu. Aku tidak bisa menceritakannya pada orang lain..." 

"Aku bisa mengerti. Anak Muda. Kau tidak usah khawatir aku 
akan tersinggung. Kau tidak perlu meminta maaf Itu hakmu!" sambut 
Pengemis Tua Berbulu Putih dengan nada datar. "Tapi, boleh aku 
mengajukan pertanyaan padamu?" 

"Kemukakan saja, Kek. Barangkali aku bisa menjawabnya," jawab 
Arya, hah hati. Pemuda berambut putih keperakan ini tidak berani langsung 
menyanggupi. 

"Makhluk alam gaib itu masuk ke dalam dirimu sekehendak 
hatinya atau karena kau inginkan? Misalnya, kau panggil begitu?" 

"Dia masuk apabila kupanggil." 

"Sudah cukup. Anak Muda! Hanya itu pertanyaanku! Kalau kau 
benar-benar hendak membantuku, kuharap kau mau memanggil makhluk 
itu. Dari jawaban makhluk alam gaib itu kita bisa tahu di mana Penunggu 
Alam Kubur." 

Arya termenung. Tidak langsung mengiyakan atau menolak. 

"Bagaimana, Anak Muda? Kalau kau setuju cepat berikan jawaban. 
Aku bukan termasuk orang yang sabar. Jika tidak, aku akan pergi dan 
mencarinya sendiri," desak si kakek. 

"Aku setuju, Kek." Aiya segera mengambil keputusan. "Tapi, aku 
masih tidak tahu rencanamu." 

"Sederhana saja," timpal Pengemis Tua Berbulu Putih. "Kau 
panggil makhluk itu dan perintahkan masuk ke dalam batu ini. Setelah itu 
tanyakan di mana Penunggu Alam Kubur. Nanti makhluk itu akan 
memberikan jawaban berupa tulisan di tanah!" 

Tanpa menunggu jawaban Arya, si kakek menaruh sebuah batu 
yang tadi dipungutnya dari tanah. Sebutir batu sebesar kepalan tangan yang 
berujung runcing. 

Arya masih bingung. Pemuda ini tidak yakin akan keberhasilan 
rencana Pengemis Tua Berbulu Putih. Memang diakui dia beberapa kali 
pemah memanggil belalang raksasa. Tapi untuk masuk ke dalam dirinya. 
Bukan ke dalam batu seperti yang dipinta si kakek 

Namun Arya sudah menyanggupi. Segera dipusatkan pikirannya 
dan memanggil belalang raksasa di alam gaib agar masuk ke dalam batu. 
Beberapa saat kemudian angin berhembus. Pelan tapi dingin. Perasaan 
gembira bercampur lega muncul di hati Arya ketika melihat batu yang 
semula diam kini bergerak-gerak. Gerakan itu terhenti ketika batu berdiri 
dengan ujungnya yang runcing menempel di tanah. 

"Sekarang perintahkan padanya untuk memberitahukan di mana 
Penunggu Alam Kubur, Anak Muda." Pengemis Tua Berbulu Putih segera 
berkata. 

Kembali, Dewa Arak memusatkan pikiran. Dia berbicara di dalam 
hati untuk memerintahkan belalang raksasa yang telah berada di dalam batu. 
Begitu Aiya selesai berbicara, batu itu bergerak-gerak. Ujungnya yang 
runcing menggurat-gurat tanah seperti ada tangan tak nampak yang 
menggerakk annya. 

Arya dan Pengemis Tua Berbulu Putih memperhatikannya dengan 
penuh minat. Mata mereka seperti menempel pada gerakan batu. Ketika 
gerakan batu berhenti, di tanah terdapat sebaris tulisan. Arya dan Pengemis 
Tua Berbulu Putih membacanya cukup keras. 

"Penunggu Alam Kubur berada di pegunungan kapur. Di salah satu 
gua yang dindingnya berupa tebing berbentuk gambar kepala harimau!" 

Hampir berbarengan Arya dan si kakek menyelesaikan ucapannya. 
Arya menatap bekas pemimpin Perkumpulan Pengemis Tangan Merah. 
Tapi, si kakek tak mempedulikan. Dia malah mengeluarkan sehelai kain 
hitam sepanjang duajengkal. Cepat batu runcing diikat dengan kain hitam. 

Arya mengernyitkan alisnya. Tidak mengerti dengan tindakan 
Pengemis Tua Berbulu Putih. "Apa yang hendak kau lakukan, Kek?" tanya 
Arya. 

"Membawa batu ini. Anak Muda. Batu bekas tempat makhluk 
gaibmu akan menuntunku ke tempat yang benar. Apabila aku salah jalan, 
dengan adanya batu ini aku bisa merasakan getaran-getaran yang 
menunjukkan kesalahanku," beritahu Pengemis Tua Berbulu Putih 

"Apakah keterangan itu sudah cukup, Kek?" tanya Arya setelah 
mengangguk-anggukkan kepala memahami penjelasan si kakek. 

"Petunjuk itu cukup jelas. Anak Muda." 

"Kalau begitu, sudah saatnya makhluk gaib itu kuminta pergi." 

Arya segera memejamkan mata untuk memusatkan perhatian. T api, 
segera dibukanya lagi ketika mendengar ucapan Pengemis Tua Berbulu 
Putih. 

"Kau benar-benar buta dengan ilmu-ilmu gaib. Anak Muda?!" 

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kek?" jawab Arya. 

"Makhluk gaib itu sudah pergi!" tegas Pengemis Tua Berbulu 
Putih. "Makhluk itu pergi begitu selesai menuliskan petunjuk Kukira kau 
mengetahuinya...." 

"Aku tidak mengetahuinya, Kek. Aku tidak tahu makhluk itu telah 
pergi. Aku tahu kepergiannya kalau makhluk itu masuk ke dalam tubuhku." 

Pengemis Tua Berbulu Putih menatap Arya lekat-lekat. Dia tengah 
mencari kesungguhan ucapan Arya dalam wajahnya. 

"Kalau tidak mendengar sendiri, aku tidak akan percaya orang 
yang buta ilmu gaib sepertimu bisa memanggil makhluk dari alam gaib. 
Sulit untuk dipercaya," ujar si kakek kemudian. 

Arya tersenyum simpul. Dia tidak memberikan jawaban. Di 
samping memang tidak perlu, pemuda berambut putih keperakan ini pun 
tidak tahu apa yang harus dikatakannya. 

"Sekarang apa yang akan kau lakukan, Kek? Mengejar Penunggu 
Alam Kubur?" 

"Begitulah, Anak Muda. Tapi sebelum itu aku ingin menengok 
perkumpulanku!" ujar si kekek. 

"Aku ikut, Kek!" Arya mengajukan diri. "Barangkali tenagaku 
yang kurang berarti ini dapat kusumbangkan untuk membantumu." 

Pengemis Tua Berbulu Putih tidak memberikan jawaban. Yang 
dilakukan kakek berpakaian tambalan itu malah melesat pergi. Arya 
mengangkat kedua bahunya kemudian melesat menyusul si kakek. Meski 
tidak ada jawaban sedikit pun, menurut perkiraan Arya, kakek itu tidak 
keberatan dia ikut serta. 

Dewa Arak merasakan kehebatan Pengemis Tua Berbulu Putih 
Betapapun Arya telah mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya, jarak antara 
dia dan kakek itu tidak berubah. Sekitar delapan tombak. Arya yang terus 
menujukan pandangan ke depan jadi mengerutkan sepasang alisnya ketika 
melihat di kejauhan tampak beberapa orang tengah terlibat pertarungan 

Seorang kakek yang tidak terlihat jelas ciri-cirinya karena cukup 
jauh tengah menghadapi lima orang lelaki berpakaian penuh tambalan. 
Tangan kelima lelaki yang merah menunjukkan kalau mereka anggota 
Perkumpulan Pengemis Tangan Merah. Arya bertambah heran melihat 
gerakan ilmu golok lawan kelompok pengemis. Ilmu golok kakek itu tidak 
asing bagi Arya. 

Ternyata bukan hanya Arya yang tertarik dengan pertarungan itu. 
Pengemis Tua Berbulu Putih pun demikian. Kakek itu menghentikan larinya 
ketika jarak dengan kancah pertarungan tinggal lima tombak. 

Arya menghentikan langkah di sebelah kiri kakek berpakaian 
tambalan itu. Dikerlingnya sejenak Pengemis Tua Berbulu Putih sebelum 
mengarahkan perhatian pada pertarungan. Dilihatnya wajah bekas Ketua 
Perkumpulan Pengemis Tangan Merah itu biasa saja. Napasnya pun tidak 
memburu walau ada sedikit keringat di keningnya. Sementara Aiya 
wajahnya agak memerah. Keringat pun tidak hanya di dahi, melainkan juga 
di leher dan di bawah hidung! 

Ketika Arya mengalihkan perhatian pada kakek yang tengah 
bertarung, dia bertambah heran. Tidak salah dugaannya. Ilmu golok itu 
pernah dikenalnya. Kakek itu pun dikenalnya dengan cukup baik. Kakek 
yang wajahnya berbintik-bintik putih itu tidak lain Pandora. Pelayan 
kepercayaan Pendekar Golok Baja yang menjadi kakek kandung Iblis Hitam 
alias Kala Sunggi! 

Yang menjadi pertanyaan Aiya, mengapa Pandora berada di 
tempat ini? Adakah hubungannya dengan keberadaan Iblis Hitam? Padahal 
tempat tinggal kedua orang itu cukup jauh dari sini! 

Meski tengah memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh 
minat. Pengemis Tua Berbulu Putih sempat melihat ke arah Arya. Kakek itu 
menolehkan kepala menatap wajah Dewa Arak penuh selidik. 

"Kau kenal kakek bergolok itu. Anak Muda?" 

"Benar, Kek," Arya mengangguk. "Dia kawan baikku" 

Pengemis Tua Berbulu Putih tidak mengajukan pertanyaan lagi. 
Dia segera mengalihkan perhatian pada jalannya pertarungan. Arya pun 
demikian. 




Arya mengerutkan alis. Pemuda ini khawatir dengan keselamatan 
Pandora. Jika pertarungan ini tems berlangsung, keselamatan pelayan 
Pendekar Golok Baja itu terancam. 

Terlihat jelas oleh Arya gulungan sinar golok Pandora semakin 
menyempit, terdesak oleh gulungan sinar tongkat lawan-lawannya. Memang 
kepandaian Pandora berada di atas lawan-lawannya, tapi lima orang terlalu 
berat bagi Pandora. Apalagi kelima lawannya itu mampu bekeija sama 
dengan baik 

Kekhawatiran Dewa Arak beralasan. Dengan sebuah gerak tipu 
yang baik dua orang anggota Pengemis Tangan Merah berhasil menjepit 
golok Pandora. Sebelum kakek berwajah bintik-bintik putih itu sempat 
berbuat sesuatu, tiga batang tongkat lawannya telah meluruk datang. 

Pandora tidak punya pilihan lain. Jika dia bersikeras 
mempertahankan golok, nyawanya akan melayang. Maka meski dengan 
berat hati senjata andalannya itu dilepaskan. Kakek ini lalu melempar 
tubuhnya ke belakang. 

Gerakan Pandora ternyata kurang cepat! Salah satu tongkat lawan 
tetap bersarang di tubuhnya. Pangkal lengan kanan Pandora kena gebuk. 
Telak dan keras. Tubuh Pandora terjengkang dan terbanting di tanah. Kakek 
ini memuntahkan darah segar dari mulutnya. Sebelum sempat bangkit, lima 
lawannya telah meluruk maju dengan tongkat diayunkan. Pandora hanya 
bisa membelalakkan mata untuk menghadapi maut 

Pada kejadian ini, Arya tidak bisa tinggal diam lagi. Betapapun 
tidak diketahui penyebab pertarungan itu, tapi sudah jelas pihak yang 
diketahui Dewa Arak berada di jalan benar tengah terancam. Laksana 
seekor burung, pemuda berambut putih keperakan ini melayang ke dalam 
kancah pertarungan. Tubuhnya menyelinap di antara lima orang pengemis 
dan Pandora. 

Bunyi berdentang nyaring beberapa kali terdengar ketika guci 
Dewa Arak berbenturan dengan tongkat para pengemis. Tongkat-tongkat itu 
langsung berlepasan dari pegangan. Tubuh pemiliknya teijengkang ke 
belakang. 

Tanpa mempedulikan lawan-lawannya, Arya segera membalikkan 
tubuh dan berjongkok memeriksa keadaan Pandora. Terlihat wajah kakek 
itu berseri-seri gembira. Bibirnya berkemik menyebut satu nama. 

"Dewa Arak! Tidak kusangka bisa beijumpa di sini...." 

"Selamat bertemu lagi, Pandora. Aku pun tidak menyangka akan 
bertemu denganmu. Biar kuperiksa dulu lukamu." 

Cepat Arya memeriksa bagian tangan yang terkena pukulan 
tongkat. Ternyata tidak terlalu parah. Dengan beberapa totokan napas sesak 
Pandora pulih kembali. Bahkan, rasa sakit di dadanya pun langsung lenyap. 

Walau sibuk mengurusi Pandora, Arya tidak meninggalkan 
kewaspadaannya. Pendengarannya dipertajam untuk mengetahui gerak- 
gerik lima pengemis di belakangnya. Karena itulah dia tahu mereka telah 
menggenggam tongkat masing-masing dan siap melancarkan serangan. 

"Dewa Arak! Awas di belakangmu...!" sem Pandora ketika 
Pengemis-pengemis Tangan Merah menerjang Dewa Arak dengan ayunan 
tongkat. 

Sebenarnya, Pandora tidak perlu memberi peringatan. Arya telah 
mengetahuinya. Pemuda berambut putih keperakan ini segera membalikkan 
tubuh seraya mengembangkan kedua tangannya. Akibatnya benar-benar 
menakjubkan. Kelima Pengemis Tangan Merah tak ubahnya terhantam 
angin badai. Tubuh mereka beipentalan ke sana kemari seperti daun-daun 
kering. 

Bemntung Dewa Arak masih memandang Pengemis Tua Berbulu 
Putih. Betapapun telah didengarnya tindak-tanduk anggota Perkumpulan 
Pengemis Tangan Merah yang keji, namun dengan adanya Pengemis Tua 
Berbulu Putih di situ kakek inilah yang lebih berhak untuk bertindak. Biar 
bagaimanapun kakek ini sesepuh perkumpulan pengemis itu Memberikan 
hajaran terhadap mereka dengan adanya Pengemis Tua Berbulu Putih sama 
artinya tidak menganggap keberadaan beliau. 

Seperti yang diduga Dewa Arak, lima Pengemis Tangan Merah 
tidak mempunyai pikiran sama sekali. Mereka tidak tahu Arya telah berlaku 
sangat mengalah. Begitu berhasil bangkit dari bergulingannya, mereka 
langsung bersiap untuk menerjang kembali. 

Arya memutar benaknya. Pemuda ini jadi serba salah. Pengemis 
Tua Berbulu Putih belum juga melakukan tindakan. 

Di saat Arya telah mengambil keputusan untuk memberikan 
hajaran lebih keras, pendengarannya menangkap kesiuran angin dingin. 
Arya merasa lega. Pengemis Tua Berbulu Putih telah siap untuk bertindak. 

Sekejap kemudian, di antara lima pengemis dan Arya, berdiri 
Pengemis Tua Berbulu Putih dengan kedua tangan di pinggang. Sikapnya 
kelihatan penuh wibawa. 

Lima Pengemis Tangan Merah terperanjat kaget. Tangan-tangan 
yang semula menegang siap melancarkan serangan, melemas kembali. 
Mereka saling berpandangan satu sama lain dengan sikap serba salah. 

"Pengemis Tua, mengapa menghalangi maksud kami? Dia telah 
lancang mencampuri urusan kami?" tanya pengemis yang berhidung besar, 
suaranya terdengar pelan. 

"Siapa yang hendak menghalangi maksud kalian? Aku malah 
menawarkan diri untuk kalian serang. Tidak usah tanggung-tanggung kalau 
bertindak. Ayo! Sekalian serang aku!" 

Tongkat-tongkat yang tergenggam di tangan dijatuhkan ke tanah. 
Salah satu ujungnya menyentuh tanah, sedangkan ujung lainnya tetap 
berada di cekalan. Terlihat jelas kelima pengemis itu tidak berani meladeni 
tantangan Pengemis Tua Berbulu Putih 

"Mana kami berani?" lagi-lagi pengemis berhidung besar yang 
memberikan jawaban. Rupanya, kawan-kawannya telah memilihnya sebagai 
juru bicara mereka. 

"Kalau begitu lekas kalian pergi dari sini. Sampaikan pada murid 
durhaka itu kalau aku akan mengunjunginya dan mencabut nyawanya! 
Cepat! Jangan tunggu kesabaranku hilang dan kalian kubunuh!" teriak 
Pengemis Tua Berbulu Putih dengan suara menggeledek. 

Lima pengemis itu kembali saling berpandangan. Dalam adu 
pandang itu satu kesepakatan telah mereka capai. Setelah mengangguk 
hormat pada Pengemis Tua Berbulu Putih, mereka membalikkan tubuh dan 
berlari meninggalkan tempat itu. Tak lupa sebelum melesat pandangan 
penuh kebencian dan ancaman dilayangkan pada Dewa Arak dan Pandora. 
T api, kedua orang itu tidak mempedulikannya. 

Arya mengalihkan perhatian pada Pandora. Kakek itu telah berdiri 
tegak. Goloknya yang tergeletak di tanah telah disarungkan kembali dan 
diletakkan di belakang punggungnya. 

Pengemis Tua Berbulu Putih tidak mempedulikan Arya dan 
Pandora. Dia masih terpaku menatap kepergian lima Pengemis Tangan 
Merah. 


*** 

"Mengapa kau bisa berada di sini, Kek? Apa pula masalahnya 
sehingga kau bentrok dengan para Pengemis Tangan Merah itu?" tanya 
Arya. 

"Panjang sekali ceritanya. Dewa Arak," jawab Pandora. Dihelanya 
napas berat. Kakek itu lalu menengadahkan wajah menatap angkasa. Kemu¬ 
dian katanya setelah menatap Arya sejenak, "Beberapa waktu yang lalu 
Tuan Prajasena mendapat kiriman surat melalui seekor bumng. Surat itu 
berisikan pesan agar Tuan Praj asena segera datang ke sebuah tempat. Ada 
masalah penting yang harus dibicarakan segera. Tuan Prajasena pun pergi. 
Dia berpesan agar aku menyampaikan berita kepergiannya pada Tuan Kala 
Sunggi. Katakan saja ada masalah penting dengan kawan lama, pesan Tuan 
Prajasena padaku untuk disampaikan pada Tuan Kala Sunggi." 

"Kau tidak tahu di mana tempat yang dimaksud kawan lama Tuan 
Prajasena itu, Kek?" Pandora menggeleng. "Barangkali kau tahu orang yang 
akan ditemuinya?" tanya Arya lagi. 

"Sayang sekali. Dewa Arak," keluh Pandora "Tuan Prajasena tidak 
memberitahuku. Mungkin masalah yang tengah dihadapinya amat rahasia. 
Kalau tidak pasti akan diceritakannya pad aku." 

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Sekarang, dia sudah bisa 
mengira-ngira apa yang tengah leijadi. Pandora dan Iblis Hitam berada di 
tempat ini ada hubungannya dengan Prajasena alias Pendekar Golok Baja. 

"Setelah batas waktu yang ditentukan Tuan Prajasena terlewat, 
kutemui Tuan Kala Sunggi yang tengah menyepi untuk mengasah batin. 
Kusampaikan surat Tuan Prajasena padanya. Tuan Kala Sunggi segera pergi 
menyusul." 

Arya bertambah yakin kini. Sesuatu telah menimpa Iblis Hitam. 
Telah dilihatnya sendiri keanehan sikap Iblis Hitam. Berarti, sesuatu telah 
terjadi pula atas diri Pendekar Golok Baja. 

"Tuan Kala Sunggi pergi," lanjut Pandora. "Beberapa hari 
kemudian dia kembali. Sikapnya berbeda sekali. Dewa Arak. Aku jadi 
khawatir dan cem as." 

"Berubah bagaimana, Kek? Apakah dia menjadi jahat?" Arya 
teringat percobaan pembunuhan yang dilakukan Iblis Hitam terhadapnya. 

"Tidak sampai separah itu," Pandora menggelengkan kepala. "Dia 
jadi sering termenung. Ketika kutanyakan mengenai nasib Tuan Prajasena, 
dijawabnya dia tidak pernah bertemu. Tempat yang dimaksud dalam surat 
ternyata kosong. Beberapa hari kemudian dia pergi. Tuan Kala Sunggi 
pamit padaku. Aku yang khawatir dengan keadaan Tuan Kala Sunggi serta 
mencemaskan keselamatan Tuan Prajasena, memutuskan untuk pergi. 
Niatku hanya satu. Dewa Arak. Mencarimu dan meminta bantuanmu untuk 
menyelamatkan nasib tuan-tuanku itu." 

Arya tercenung sebentar. "Ada rahasia besar di sini, Kek. Semua 
itu aku yakin berawal dari surat yang datang. Apakah kau sempat 
membacany a?" 

"Tidak, Dewa Arak. Aku tidak berani bertindak selancang itu. 
Kalau tuan-tuanku memberi izin, mungkin keadaannya akan menjadi lain. 
Tapi ini tidak," keluh Pandora. Terasa benar nada penyesalan dalam 
suarany a. 

"Aku telah beijumpa dengan Kala Sunggi, Kek," beritahu Arya 
dengan suara pelan, takut memberi kejutan. 

"Benarkah?!" Pandora setengah terpekik. Dia kelihatan kaget dan 
gembira. "Lalu..., bagaimana. Dewa Arak?" 

"Seperti yang kau ceritakan padaku. Kala Sunggi menjadi manusia 
baru." 

Dengan singkat. Dewa Arak menceritakan pengalamannya 
beijumpa dengan Iblis Hitam. Pandora menarik napas berulang-ulang 
dengan sikap prihatin yang tidak bisa disembunyikan. Di dekat mereka. 
Pengemis Tua Berbulu Putih masih menatap ke tempat lima Pengemis 
Tangan Merah pergi. 

"Hampir aku lupa, Kek," ucap Aiya setelah menyelesaikan 
ceritanya. "Mengapa kau bentrok dengan Pengemis-pengemis Tangan 
Merah?" 

"Mana mungkin aku berdiam diri melihat mereka membawa 
seorang wanita muda. Dewa Arak?" ujar Pandora dengan geram. "Meski 
nyawaku hampir melayang, tapi wanita muda itu bisa kuselamatkan. Dia 
telah pulang ke tempat tinggalnya." 

"Hm.„!" 

Arya dan Pandora menoleh menatap Pengemis Tua Berbulu Putih. 
Kakek ini baru menggumam ketika mendengar percakapan Pandora dan 
Arya sampai pada permasalahan Perkumpulan Pengemis Tangan Merah. 
Kakek ini merasa terusik. 

Pandora mengernyitkan alis, tak senang melihat pakaian Pengemis 
Tua Berbulu Putih. Dia baru menyadari kakek yang datang bersama Aiya 
mengenakan pakaian sama dengan lawan-lawannya tadi. 

Pandora meraba hulu goloknya ketika tatapannya sampai pada 
tangan Pengemis Tua Berbulu Putih yang berwarna merah. Tidak keliru 
lagi, kakek ini pasti ada hubungannya dengan Perkumpulan Pengemis 
Tangan Merah, pikir Pandora. 

Arya buru-buru menyentuh pergelangan tangan Pandora yang 
menggenggam golok. Kepalanya digelengkan memberi isyarat untuk tidak 
meneruskan maksud Pandora. 

"Jangan samakan dia dengan para pengeroyokmu, Kek. Dia 
berbeda. Aku dan dia akan pergi ke perkumpulan itu untuk mencegah 
terjadinya kejahatan baru," jelas Arya. 

Pandora menurunkan tangannya. Sekujur urat-urat syaraf yang 
menegang kaku melemas kembali. Dia percaya penuh pada kejujuran Dewa 
Arak. 

"Apakah kau akan ikut bersama kami?" Arya menawarkan. 

"Sayang sekali. Dewa Arak. Aku lebih suka mencari Tuan 
Prajasena. Mudah-mudahan dia belum pergi jauh. Syukur kalau beliau mau 
mendengar ucapanku," tolak Pandora. 

"Mungkin lebih baik demikian, Kek," timpal Arya setel ah berpikir 
sebentar. "Kita berpencar untuk memecahkan masalah mi. Aku yakin. 
semua ini ada hubungannya dengan Perkumpulan Pengemis Tangan 
Merah." 

"Terima kasih atas bantuanmu. Dewa Arak. Kalau ada umur pasti 
kita bertemu lagi. Selamat tinggal!" 

Pandora lalu melesat meninggalkan tempat itu. Sebelumnya 
dianggukkan kepalanya sedikit, meski dengan kaku, ke arah Pengemis Tua 
Berbulu Putih Rasa kurang senang Pandora semakin menjadi ketika melihat 
anggukannya tidak mendapat balasan. Kejengkelan itu dilampiaskan dengan 
mempercepat larinya. Di dalam hati kakek berwajah bintik-bintik putih ini 
memaki-maki 


*** 

"Sehabis hutan kecil ini beberapa ratus tombak di depan, di balik 
sebuah bukit kecil, tempat yang menjadi markas Perkumpulan Pengemis 
Tangan Merah," beritahu Pengemis Tua Berbulu Putih, tanpa menoleh. 

Saat itu Pengemis Tua Berbulu Putih dan Dewa Arak tengah 
berlari cepat agar bisa sesegera mungkin tiba di Perkumpulan Pengemis 
T angan Merah. 

"Tak lama lagi kita harus bekerja keras. Bukankah demikian, 
Kek?" timpal Aiya. 

Pengemis Tua Berbulu Putih tidak memberi jawaban. Tapi 
sebentar kemudian, ketika pandangannya membentur sesuatu di depan, 
mulutnya bergerak membuka. 

"Tak perlu nanti. Sekarang juga kurasa kita sudah harus bekerja 

keras!" 

Di mulut hutan sana berdiri tiga sosok tubuh. Sikap mereka 
kelihatan penuh ancaman. Jantung Aiya berdetak lebih cepat ketika 
mengenali salah satu di antara mereka adalah Iblis Hitam! Dua sosok 
lainnya tidak dikenalnya. Melihat sorot mata mereka yang mencorong 
tajam. Dewa Arak tahu sosok-sosok yang berdiri di kanan-kiri Iblis Hitam 
memiliki kepandaian tinggi. 

"Kau mengenail mereka, Kek? Salah satu dari mereka, yang 
berpakaian serba hitam, kukenal. Entah yang dua lagi," ujar Aiya sambil 
terus berlari di sebelah Pengemis Tua Berbulu Putih. Jarak mereka dengan 
para penghadang masih berkisar lima belas tombak. 

"Mereka bukan tokoh-tokoh sembarangan. Dewa Arak. Yang 
bertangan sebelah beijuluk Naga Berekor Tiga. Sedangkan yang berkulit 
hitam Macan Kumbang Maut!" 

Arya kaget juga mendengar keterangan itu. Pengemis Tua Berbulu 
Putih memang tidak berlebih-lebihan. Dua tokoh di sebelah Iblis Hitam 
memang tokoh-tokoh besar. 

Naga Berekor Tiga merupakan datuk golongan putih. Dia amat 
terkenal. Nama besarnya tidak kalah tenar dengan julukan Iblis Hitam yang 
telah melegenda. Telah puluhan tokoh hitam roboh di tangan Naga Berekor 
Tiga. 

Tokoh yang berjuluk Macan Kumbang Maut tak kalah hebat. 
Kalau Naga Berekor Tiga merupakan pentolan kaum putih. Macan 
Kumbang Maut merupakan dedengkot kaum sesat. Tak terhitung tokoh- 
tokoh golongan putih yang dibantainya. Bahkan, pentolan-pentolan kaum 
hitam yang menentangnya pun banyak yang tewas di tangannya. Menurut 
kabar yang tersiar di rimba persilatan. Naga Berekor Tiga dan Macan 
Kumbang Maut telah bentrok. Namun tidak ada yang kalah ataupun yang 
menang. Keduanya sama-sama menderita luka berat 

Sekarang, tiga tokoh besar itu bergabung menghadang peijalanan 
Dewa Arak dan Pengemis Tua Berbulu Putih 

Arya menghentikan larinya ketika Pengemis Tua Berbulu Putih 
berhenti, larak mereka delapan tombak dengan para penghadang. Mengapa 
Naga Berekor Tiga dan Macan Kumbang Maut bergabung? Bukankah dua 
tokoh itu saling bertentangan? Tanya Arya dalam hati. Tidak pernah 
terdengar mereka bisa bersatu. Dua tokoh itu bagai minyak dan air. 

Teka-teki itu semakin besar ketika melihat para penghadang tidak 
bertindak apapun. Merekaberdiri saja seperti orang kebingungan. 

"Dewa Arak...!" 

Seman penuh kegembiraan Iblis Hitam membuat Arya heran 
bukan main. Sebagai orang yang telah kenyang makan asam garam dunia 
persilatan, Arya tahu panggilan penuh kegembiraan itu keluar dari lubuk 
hati yang tulus. Bukan tipuan. 

Bersamaan dengan dikeluarkannya panggilan itu. Iblis Hitam 
menghambur ke arah Dewa Arak. Tingkahnya seperti kawan lama yang tak 
menyangka akan dapat beijumpa. Aiya terkesima. Dia bingung hendak 
bertindak bagaimana. Pemuda ini diam di tempatnya seperti orang dungu. 

"Dewa Arak..?!" 

Ucapan penuh keheranan itu dikeluarkan Naga Berekor Tiga. 
Sepasang mata tokoh ini yang bersinar kehijauan menatap Arya penuh 
selidik. 

"Inikah tokoh yang menggemparkan dunia persilatan itu? Masih 
begini muda. Luar biasa! Semuda ini sudah membuat nama besar...!" 

Lain lagi sikap Macan Kumbang Maut. Dia tidak mempedulikan 
Dewa Arak. Pandangannya tertuju pada Pengemis Tua Berbulu Putih Sinar 
matanya kelihatan garang. 

"Kiranya kau di sini. Gembel Busuk? Sekaranglah saatnya bagiku 
untuk membuat perhitungan!" geram Macan Kumbang Maut seraya 
melangkah mendekati Pengemis Tua Berbulu Putih 

Baru beberapa tindak, langkah Iblis Hitam dan Macan Kumbang 
Maut terhenti. Tiba-tiba mereka terpaku. Lalu, kilatan hawa maut memancar 
pada sepasang mata mereka. 

Arya yang sudah waspada sejak tadi langsung melompat ke 
belakang melihat keanehan pada Iblis Hitam. Tindakan ini membuat Dewa 
Arak lolos dan maut. Pada saat yang bersamaan dengan melompatnya dia ke 
belakang. Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut melancarkan serangan 
terhadapny a. 

Iblis Hitam yang lebih dulu menyerang. Tokoh berpakaian serba 
gelap ini menggulingkan tubuh dan begitu bangkit berdiri langsung 
mengirimkan pukulan kedua tangan ke arah pusar Aiya. 

Tindak Macan Kumbang Maut lebih menakjubkan lagi. Tokoh 
sesat berkulit hitam legam ini mengeluarkan geraman keras seperti harimau 
murka. Sesaat kemudian, dia melompat dan mengirimkan sampokan tangan 
ke arah pelipis Dewa Arak. 




Arya menghembuskan napas lega. Bersyukur karena tidak 
meninggalkan kewaspadaan. Kalau tidak nyawanya pasti sudah melayang 
ke alam baka. Serangan mendadak tokoh-tokoh seperti Iblis Hitam dan 
Macan Kumbang Maut tidak bisa dibuat main-main! 

Dewa Arak segera menenggak araknya. Sesaat kemudian tubuhnya 
mulai limbung. Kedua kakinya tidak menapak tanah dengan tetap. Pertanda 
ilmu Belalang Sakti'telah siap untuk dipergunakan. 

Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut tidak tinggal diam. 
Keduanya langsung meneijang Dewa Arak. Iblis Hitam dengan sepasang 
kapak, sedangkan Macan Kumbang Maut mempergunakan sepasang cakar 
baja yang mempunyai pegangan. Pertarungan sengit pun segera pecah. 

Bukan hanya Dewa Arak yang mendapat serangan. Pengemis Tua 
Berbulu Putih pun demikian. Naga Berekor Tiga meluruk ke arahnya 
dengan totokan bertubi-tubi. Tokoh bertangan satu ini mempergunakan 
lengan bajunya yang kosong. Mematuk-matuk bak seekor ular! 

Pengemis Tua Berbulu Putih melompat jauh ke belakang dan 
bersalto beberapa kali di udara. Di samping untuk mengelakkan serangan 
juga untuk membentuk kancah pertarungan lain yang tidak terlalu dekat 
dengan pertarungan Dewa Arak. 

Dalam sekejap hutan yang semula hening berubah hingar-bingar. 
Bunyi berdesing, dan mengaung serta teriakan menyentakkan kesunyian. 

Kelompok penghadang memang memiliki kemampuan 
menggiriskan. Pengemis Tua Berbulu Putih, terutama Dewa Arak, dibuat 
kewalahan. 

Merupakan hal yang wajar kalau Dewa Arak terdesak hebat. 
Kedua lawannya memiliki kepandaian yang dibilang sejajar dengannya. 
Sepasang kapak Iblis Hitam yang mengeluarkan hawa dingin benar-benar 
membuatnya kerepotan. Hawa yang mampu membekukan otot-otot itu 
anehnya tidak berpengaruh terhadap Iblis Hitam dan Macan Kumbang 
Maut. Mungkin karena dirinya yang diserang, duga Arya. 

Sergapan hawa dingin dan serangan lawan-lawannya membuat 
Arya bertarung mundur. Dalam waktu singkat kancah pertarungan bergeser 
jauh Beruntung Dewa Arak memiliki langkah ajaib jurus 'Delapan Langkah 
Belalang'. 

Sambil tems mengadakan perlawanan, lebih tepatnya bertahan, 
serangan Dewa Arak semakin lama semakin berkurang. Ia kini lebih sering 
mengelak atau menangkis, kalau dia nekat mau mengadu nyawa, bisa 
membawa salah satu lawannya ke akherat. Tapi Arya tidak mau melakukan 
hal itu. Mereka tidak ada urusan sama sekali. Jadi, tidak perlu 
membahayakan nyawa. Apalagi terhadap Iblis Hitam. Tokoh ini tidak 
membencinya. Iblis Hitam terlihat gembira dengan pertemuan mereka. 

Sebelum mengambil keputusan yang diyakininya benar. Dewa 
Arak mengerling ke tempat pertarungan Pengemis Tua Berbulu Putih dan 
Naga Berekor Tiga. Kedua tokoh itu sudah tidak berada di situ lagi. 
Jalannya pertarungan telah membawa mereka terpisah dengan pertarungan 
Dewa Arak. 

Arya menemukan akal yang bagus ketika pertarungan bergeser ke 
lapangan mmput yang luas. Lapangan yang ditumbuhi rumput setinggi 
pinggang. Pemuda ini menggulingkan tubuh setelah terlebih dulu 
membanting diri ke tanah mengelakkan serangan lawan. 

Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut tems membum. Tapi, 
sambil mengeluarkan keluhan kaget, mendadak keduanya melempar tubuh 
ke belakang. Gulingan tubuh Dewa Arak di mmput membuat tanaman itu 
meluncur ke arah mereka. 

Bresss...! 

Meski hanya mmput dan serangan itu tercipta berkat kemampuan 
Dewa Arak yang luar biasa. Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut tidak 
berani memandang remeh. Rumput-rumput itu mampu menembus dinding 
karang yang paling keras sekali pun. 

Karena menangkis serbuan mmput yang demikian banyak bisa 
berakibat fatal, mengelaklah yang mereka pilih. Tindakan yang sudah 
diduga Dewa Arak itu segera dimanfaatkan sebaik-baiknya Pemuda itu 
melesat meninggalkan lawan-lawannya. Arya mengerahkan kemampuan 
larinya yang tertinggi. Hanya dalam beberapa lesatan tubuhnya telah berada 
belasan tombak di depan. 

Iblis Hitam dan Macan Kumbang Maut tidak tinggal diam. Sambil 
menggeram marah mereka melesat, mengejar. Dewa Arak tidak mau 
menanggung akibat buruk. Dicarinya tempat-tempat yang penuh ditumbuhi 
pepohonan dan semak-semak agar para pengejarnya kehilangan jejak. Dia 
memang yakin ilmu larinya tidak kalah dari lawan-lawannya. Tapi, kalau 
diikuti tems membuatnya tidak nyaman. 

Meski telah yakin Macan Kumbang Maut dan Iblis Hitam sudah 
tidak mengejar lagi. Dewa Arak tidak mengurangi kecepatan larinya. 
Kerimbunan semak-semak diterobos. Kerimbunan semak menguak 
membuat jalan setapak ketika Dewa Arak telah berjarak dua tombak. 
Semak-semak itu rebah ke kanan dan kiri. 

Sambil tems berlari. Dewa Arak menyayangkan terjadinya 
penghadang itu. Ini membuatnya gagal untuk mengunjungi Perkumpulan 
Pengemis Tangan Merah. Sekarang dia telah kehilangan arah menuju 
tempat itu. 

Krusak...! 

Arya memperlambat lari. Perhatiannya dipusatkan pada 
pendengaran. Telinganya menangkap bunyi bergemerisik. Ada seseorang di 
tempat ini! 

Arya meningkatkan kewaspadaan. Siapa tahu Iblis Hitam atau 
Macan Kumbang Maut. Dugaan itu membuat Arya menghentikan lari dan 
melangkah hati-hati mendekati sumber suara. Arya tahu betapa lihainya dua 
pengeroyoknya. Bunyi yang lirih pun telah cukup untuk membuat mereka 
mendengar. 

Arya mengernyitkan alis ketika mendengar bunyi itu semakin 
jelas. Pendengarannya yang amat peka bisa memperkirakan bunyi yang 
timbul, bukan dari langkah kaki, melainkan bunyi yang tercipta bila 
seseorang memetik buah atau daun! 

Arya terus bergerak. Bunyi itu berasal dari balik kerimbunan 
semak. Melalui celah-celah semak pemuda ini mengintai. 

Tampak sosok ramping terbungkus pakaian serba merah. Sosok 
yang diyakini Arya milik seorang wanita muda berwajah cantik jelita. Tidak 
mungkin rasanya seorang yang memiliki bentuk tubuh seindah itu terdapat 
pada orang yang tidak berwajah cantik 

Sosok berpakaian merah yang berdiri membelakangi itu tengah 
memetik daun-daun. Arya tidak tahu nama daunnya, tapi biasa 
dipergunakan untuk pengobatan. Jari-jari lentik serta halus itu meletakkan 
daun-daun yang telah dipetiknya ke dalam keranj ang rotan yang terjinjing di 
tangan kiri. Keranjang itu hampir penuh oleh berbagai macam akar-akaran, 
daun-daunan, serta biji-bijian. 

"Ehem...!" 

Arya berdehem pelan untuk memberitahukan keberadaannya di 
tempat itu. Tapi, pemuda ini tidak menyangka sosok itu demikian terkejut. 
Dia sampai kaget dan bergegas beijingkat membalikkan tubuh. 

"Maaikan kalau aku telah mengejutkanmu. Nona. Tapi, 
percayalah. Aku bukan orang jahat," ujar Arya buru-buru sambil menyibak 
semak dan memunculkan diri. 

Sosok berpakaian merah memperbaiki sikapnya yang telah siap 
tarung. Kendati demikian, sinar kecurigaan tidak hilang dari sepasang 
matanya yang bening indah. 

"Apa maksudmu datang ke tempat ini? Apakah kau tidak tahu 
kalau di sini jarang didatangi orang? Tempat ini terpencil dan j arang orang 
tahu." 

Suara itu demikian lembut dan merdu. Seindah bentuk tubuhnya. 
Sayang, wajahnya tidak demikian. Wajah itu buruk. Penuh totol-totol hitam. 
Bopeng! 

"Tidak ada maksud apa pun. Nona," jawab Arya. Di dalam hatinya 
pemuda ini merasa kasihan dengan wanita muda berpakaian merah. 
Wajahnya itu pasti yang menyebabkan dia menyepi. "Aku hanya kebetulan 
lewat di sini. Aku dikejar-kejar orang jahat. Namaku Arya " 

Sepasang mata bening indah itu membelalak kaget. "Arya?! Arya 
Buanakah namamu?" tanya gadis berpakaian merah. 

"Benar, Nona. Apakah Nona pernah mengenalku? Atau, barangkali 
kita pernah bertemu?" 

"Tidak!" Gadis bopeng itu menggelengkan kepala. "Kita tidak 
pernah bertemu. Aku pun belum pernah mengenalmu. Kau berjuluk Dewa 
Arak, bukan?" 

Arya tersenyum seraya menganggukkan kepala. 

"Kalau begitu cepat ikuti aku. Dewa Arak!" Seperti terhadap 
kenalan lama, gadis bopeng itu mengajak Arya. Dia berlari lebih dulu. 
Kelihatan terburu-bum. 

Meski tidak mengerti dengan tindakan si gadis, tapi melihat 
sikapnya yang bersungguh-sungguh, Arya jadi tertarik. Dia ingin tahu apa 
yang akan ditunjukkan gadis itu 

"Kau hebat, Dewa Arak!" puji gadis berpakaian merah ketika 
dengan sekali lesatan Aiya berhasil mensejaj arinya. Padahal, pemuda ini 
telah ketinggalan sepuluh tombak. 'Tidak aneh kakek yang tengah terluka 
itu menyebut-nyebut dirimu terus." 

"Kakek?! Tengah terluka?" Arya mengernyitkan alisnya. 
Sekelebatan dia teringat pada Pengemis Tua Berbulu Putih. Mungkinkah 
kakek itu terluka? Bukankah Naga Berekor Tiga terkenal memiliki 
kepandaian yang amat tinggi. Lagi pula, siapa lagi kalau bukan kakek itu 

"Apakah dia mengenakan pakaian penuh tambalan yang bahannya 
masih baru...?" 

Si gadis cepat berpaling menatap Arya tajam-tajam dan penuh 
selidik. 

"Kakek yang kau sebutkan itu sahabatmu?!" tanyanya kemudian. 

"Bisa dikatakan begitu." 

"Kalau begitu, kau harus mampus!" 

Bersamaan dengan keluarnya ucapan penuh kebencian itu, si gadis 
melompat menerjang Dewa Arak. Sekali menyerang gadis itu telah 
mengirimkan serangan mematikan. Tusukan tangan bertubi-tubi dilancarkan 
ke ulu hati Dewa Arak 

Arya memuji dalam hati begitu merasakan kekuatan serangan. 
Diakui kecepatan dan kekuatan tenaga dalam gadis bopeng itu 
mengagumkan. Tidak berada di bawah kepandaian Melati. 

Walaupun begitu, Arya tidak menemui kesulitan untuk 
menangkalnya. Dikerahkannya tenaga dalam seraya menarik tubuhnya ke 
belakang se-hingga serangan mengenai perut. Akibatnya, sangat 
mengejutkan si gadis. Jari-jari tangannya seperti bukan membentur kulit 
manusia, melainkan besi baja yang sangat keras. Meski sakit si gadis 
ternyata memiliki kekerasan hati. Dia tidak mengeluh. Hanya seringai 
kesakitan menghiasi wajahnya. 

"Kau benar-benar hebat, Penjahat Keji! Tapi jangan kira aku, 
Suliasih, akan gentar karenanya. Aku akan mengadu nyawa denganmu!" 
geram gadis bopeng sambil menghunus pedangnya yang tersampir di 
pinggang. 

"Hiaaat...!" 

Diawali teriakan melengking nyaring gadis itu membabatkan 
pedangnya ke leher Arya. Sebuah serangan yang terlalu sadis untuk 
dilakukan seorang wanita. Apabila mengenai sasaran, kepala Dewa Arak 
akan terlepas dari tubuhnya! 

Arya menggeleng-gelengkan kepala melihat serangan si gadis. 
Bisa diperkirakan besarnya kebencian gadis itu pada Perkumpulan 
Pengemis Tangan Merah. Apa yang telah dilakukan mereka terhadap gadis 
ini? Tanya Arya dalam hati. 

Seperti juga terhadap serangan sebelumnya, menghadapi serangan 
kali ini pun Dewa Arak bersikap tenang. Pemuda itu menunggu datangnya 
serangan. Ketika serangan menyambar dekat. Dewa Arak menggerakkan 
kepalanya. Rambutnya yang putih keperakan dan panjang melayang ke 
depan, menegang kaku bagai sebatang tongkat. 

Prat! 

Begitu mata pedang si gadis bertemu rambut Dewa Arak, rambut 
itu melemas kembali. Kemudian, melilit batang pedang. 

Gadis bopeng tidak tinggal diam. Dikerahkannya tenaga untuk 
menarik agar rambut Dewa Arak putus terbabat mata pedang. Tapi, 
usahanya sia-sia. Jangankan memutuskan rambut, membuat pedang itu 
bergeming saja tidak mampu! 

Rasa penasaran membuat gadis itu bersikeras untuk menarik. Dewa 
Arak mengeluh dalam hati melihat sikap keras kepala si gadis. Lillian 
rambutnya dikendurkan. Tak pelak lagi, tubuh gadis bopeng terjengkang ke 
belakang terbawa tenaga tarikannya. 

Di saat tubuh si gadis melayang, dengan kemampuannya yang luar 
biasa Dewa Arak melecutkan ujung rambutnya tiga kali. 

Tuk! Tuk! Tuk! 

Terdengar bunyi ketukan cukup keras. Si gadis mengeluh tertahan. 
Bahu kanannya bagai ditotok jari tangan. Padahal, Dewa Arak mengirimkan 
totokan jarak jauh dengan mempergunakan ujung rambutnya. 

Akibat totokan itu sekujur tubuh si gadis langsung lemas. 
Tenaganya lenyap entah ke mana. Dia tidak bisa berbuat apa pun untuk 
mengatur jatuh tubuhnya. Gadis itu terjengkang dan jatuh terbanting keras 
di tanah. Gadis bopeng menyeringai kesakitan. 

Arya mengembangkan senyum persahabatan. Dengan langkah 
lebar diayunkan kaki mendekati si gadis. Gadis bopeng memasang wajah 
perang! Sinar matanya menyambar waj ah Arya dengan kebencian. 

"Maalkan kalau tindakanku agak kasar. Nona." Arya berkata 
dengan suara lunak. "Aku terpaksa melakukan hal ini. Hanya dengan cara 
inilah aku bisa menjelaskan duduk permasalahannya padamu." 

Gadis bopeng tidak memberikan tanggapan yang mengenakkan 
hati. Pandangan dan biasan wajahnya tetap seperti semula, penuh 
permusuhan. 

"Kuakui aku telah bersahabat dengan kakek itu. Tapi perlu kau 
ketahui, Nona, sahabatku itu tidak bisa disamakan dengan orang-orang 
Perkumpulan Pengemis Tangan Merah lainnya. Dia berbeda dengan yang 
lain." 

"Belum pemah kudengar ada anggota Perkumpulan Pengemis 
Tangan Merah memiliki watak lain. Mereka semuanya bajingan! Penjahat- 
penjahat berkedok pengemis!" tandas gadis bopeng 

"Mungkin kau benar. Tapi, aku juga yakin kalau diriku tidak salah 
menilai. Telah kusaksikan sendiri sepak terjangnya Kakek itu bekas 
pimpinan Perkumpulan Pengemis Tangan Merah. Dia mengundurkan diri 
karena sudah merasa tua..." 

Wajah gadis bopeng beriak. Terlihat jelas pemberitahuan Aiya 
mempunyai pengaruh. "Apakah aku tidak salah dengar?" katanya. 

"Tidak!" tegas Arya. "Kau tahu Ketua Perkumpulan Pengemis 
Tangan Merah yang dulu?" 

"Tentu saja!" tandas si gadis. "Beliau seorang yang memiliki watak 
mulia. Di bawah pimpinannya. Perkumpulan Pengemis Tangan Merah 
berada di jalan lurus. Beliau beijulukPengemis Tua...." 

"Berbulu Putih," sambung Arya, cepat. "Nah! Beliaulah kakek 
yang kumaksudkan!" 

"Bohong! Kau bohong. Dewa Arak! Kau penipu...!" geram gadis 
bopeng "Beliau telah lenyap dari dunia persilatan. Menurut kabar, beliau 
tewas di tangan Penunggu Alam Kubur!" 

"Lalu, siapa yang kujumpai. Nona?" tanya Arya. "Mungkinkah ada 
orang yang iseng mengaku-aku sebagai Pengemis Tua Berbulu Putih? 
Kulihat sendiri pengemis-pengemis tersesat itu gentar ketika bertemu 
dengan beliau." 

Arya lalu menceritakan semua yang dialaminya dengan Pengemis 
Tua Berbulu Putih sampai akhirnya bertemu Pandora. Gadis bopeng 
mengernyitkan alis ketika Arya menyelesaikan ceritanya. Dia kelihatan 
takjub. 

"Seorang kakek bersenjatakan golok. Dewa Arak?" tanya si gadis, 
meminta penegasan. 

"Benar!" 

"Wajahnya penuh bintik-bintik putih?" 

"Kau mengenalnya. Nona? Asal kau tahu saja, dia adalah 
kenalanku," beritahu Arya. Kemudian, menyambung ucapannya dengan 
gurauan. "Mudah-mudahan kau tidak menyerangku lagi karena tahu kakek 
itu adalah kawanku" 

Gadis bopeng tersenyum. Arya harus mengakui senyum itu manis 
sekali. 

"Bagaimana mungkin aku bisa menyerangmu dengan keadaan 
seperti ini. Dewa Arak? Lagi pula andaikata bisa pun tak akan kulakukan. 
Mana mungkin aku menyerang kenalan baik penolongku." 

Arya membelalakkan mata. Pemuda ini kaget mendapat jawaban 
yang tidak disangka-sangka itu. 

"Kalau begitu...," Arya menggantung ucapannya. "Kurasa sudah 
saatnya kau menanggalkan penyamaranmu. Nona. Tidak sepantasnya 
menyembunyikan wajah yang cantik di balik wajah menyeramkan itu." 

Gadis bopeng kelihatan gelagapan. Wajahnya merah padam. Malu. 
Bukannya memberikan jawaban atau melaksanakan permintaan Arya, dia 
malah terdiam. 

"Dari mana kau bisa menduga wajah burukku ini hanya samaran. 
Dewa Arak? Kau sudah menduganya sejak tadi?" ujar gadis itu kemudian. 
Suaranya agak terbata. 

"Tidak, Nona. Aku tidak tahu kalau wajahmu hanya bikinan. 
Samaranmu baik sekali sehingga mampu mengecohku. Aku dapat menduga 
demikian karena ket erang anmu." 

"Keteranganku?" si gadis mengerutkan alisnya. 

"Benar. Keteranganmu yang mengatakan kalau kau adalah gadis 
yang ditolong Kakek Pandora. Yakin Pengemis-pengemis Tangan Merah 
tak akan mau mengganggumu kalau wajahmu buruk!" jelas Arya. 

Gadis bopeng mengangguk-anggukkan kepala. Dia kelihatan puas 
mendengar jawaban Arya. 

"Kurasa sudah saatnya aku membebaskanmu. Nona. Aku yakin 
kau tidak akan menyerangku lagi." 

Arya menutup ucapannya dengan senyum. Si gadis ikut tersenyum 
Arya menjentikkan jari. Gadis bopeng merasakan sesuatu menyentuh 
bagian tubuhnya. Aliran darahnya yang semula tertahan mulai mengalir 
lancar. 

Si gadis mengerahkan tenaga dalam untuk membantu mempercepat 
aliran jalan darahnya. Sekarang, dengan wajah berseri-seri dan penuh 
persahabatan dia bangkit berdiri. "Maalkan tindakanku yang tidak patut. 
Dewa Arak!" ujarnya. 




"Lupakanlah, Nona. Aku justru kagum melihat sikapmu. Kau 
seorang pendekar wanita yang lihai!" 

Kembali wajah gadis bopeng menyemburat merah. 

"Kau memang pandai memuji. Dewa Arak. Apalah artinya 
kemampuan yang kumiliki bila dibandingkan denganmu. Tidak ada apa- 
apanya. O ya, hampir lupa. Namaku Suliasih. Kau boleh memanggilku Suli 
atau Asih." 

"Kuharap kau memanggilku dengan nama pula. Asih," ujar Arya 
tidak mau ketinggalan. 

"Baiklah kalau begitu. Mari, De..., eh. Buana. Kita temui kakek 
yang selalu menyebut-nyebut namamu." 

Suliasih melesat, mendahului. Arya menyusul setelah tersenyum 
geli mendengar sapaan Suliasih. Sapaan itu mengingatkannya pada 
Targoutai, tokoh Mongol yang amat sakti. 

Dewa Arak agaknya harus mengakui kebenaran ucapan Suliasih. 
Tempat ini memang tersembunyi dan jarang didatangi orang. Dia melihat 
sendiri buktinya. Suliasih berlari tidak menuruti jalan yang ada. Terkadang 
dia menerobos kerimbunan tanaman berduri. Gadis itu berlari melalui 
bawah tebing sungai. Sungguh sebuah tempat persembunyian yang amat 
bagus! 

Setelah melalui jalan yang berliku-liku, akhirnya Arya melihat 
sebuah pondok sederhana. 

"Paman...! Aku datang!" 

Suliasih berseru nyaring begitu tiba di depan pondok. Suliasih 
mendorong pintu pondok. Kemudian melangkah masuk, diikuti Arya. 

Tampak di ruangan tengah sesosok tubuh berpakaian putih 
terbaring di balai-balai bambu. Seorang lelaki gagah bemsia lima puluhan. 
Wajahnya yang keras dihiasi cambang bauk lebat. 

Wajah Arya seketika berubah hebat. Ia mengenali lelaki yang 
tergolek itu. Lelaki gagah itu pun tampak terkejut melihat Arya. Seulas 
senyum lega tersungging di bibirnya. 

Suliasih tersenyum melihat sikap lelaki beipakaian putih. Dia tidak 
merasa kecil hati meski keberadaannya seperti tidak dipedulikan. 

"Dewa Arak, syukurlah kau datang kemari. Aku sudah hampir 
putus asa," ucap lelaki bercambang lebat. 

"Pendekar Golok Baja...!" sahut Arya. Suaranya agak bergetar. 
Rasa haru menguasai perasaannya, membuat Arya tidak mampu 
mengendalikan suara. 

Lelaki gagah yang bukan lain Pendekar Golok Baja, tersenyum 
getir. 

"Mengapa kau seperti ini. Pendekar Golok Baja? Apa yang teijadi 
pada dirimu?" 

"Ceritanya cukup panjang. Dewa Arak," hampir berbisik Pendekar 
Golok Baja yang memiliki nama asli Prajasena itu berkata. 

"Kurasa sebaiknya kau istirahat saja. Pendekar Golok Baja," usul 
Arya ketika melihat Suliasih datang membawa baki berisi godokan akar, 
daun dan biji-bijian. Arya menyingkir dari tepi balai-balai bambu, memberi 
tempat untuk Suliasih. 

Arya sempat tercengang melihat wajah asli Suliasih. Cantik bukan 
main! Totol-totol di wajahnya sudah lenyap. Wajah itu kiri putih dan halus. 
Dugaan Aiya tidak meleset. Sosok yang memiliki bentuk tubuh 
menggiurkan itu memang berwajah jelita. 

Suliasih mengerling ke arah Arya. Sempat ditangkapnya sorot 
kekaguman pemuda itu. Suliasih merasakan jantungnya berdegup kencang. 
Gadis itu segera menghapus bopeng buatannya agar Arya melihat 
kecantikanny a. 

Suliasih telah jatuh hati pada Dewa Arak. Karena itu, dia berusaha 
mengeluarkan seluruh daya tariknya. Suliasih memberikan godokan obat- 
obatan pada Pendekar Golok Baja. Lelaki gagah itu segera meminumnya. 
Dengan langkah gemulai Suliasih lalu membawa bokor yang telah kosong 
ke dalam. Arya sempat melirik pinggul Suliasih yang bergoyang-goyang. 

*** 

"Apa yang diceritakan Pandora memang tidak salah. Dewa Arak." 

Prajasena membuka suara setelah beristirahat cukup lama. Arya 
telah menceritakan semua pengalamannya pada lelaki gagah itu. 

"Mengapa kau bisa jadi seperti ini. Pendekar Golok Baja?" Arya 
mengulang pertanyaannya yang tadi belum mendapat jawaban. 

"Aku tertipu. Dewa Arak." Pendekar Golok Baja mulai bercerita. 
"Seperti yang diceritakan Pandora, aku mendapat kiriman surat. Kukira 
seorang sahabat baik yang mengirimkannya." 

"Jadi..., bukan sahabat baikmu yang mengirim surat itu. Paman?" 
Arya mengubah panggilannya agar lebih akrab. 

"Benar." Pendekar Golok Baja mengangguk. "Di tempat yang 
tersebut dalam surat tidak kujumpai kawanku itu. Yang ada hanya sebuah 
peti mati hitam berukir." 

"Peti mati?!" Arya teringat tokoh yang selalu bersembunyi dalam 
peti mati. Tokoh yang diceritakan Pengemis Tua Berbulu Putih "Tokohitu 
yang berjuluk Penunggu Alam Kubur?" 

"Siapa lagi?!" Pendekar Golok Baja menyambuti. "Dia mempunyai 
maksud buruk terhadapku. Kami terlibat pertarungan. Ternyata dia memang 
lihai. Tanpa menemui kesulitan aku dirobohkannya. Kemudian, dia keluar 
dari peti. Kau tahu, Arya. Tokoh itu ternyata memiliki ciri-ciri yang 
mengerikan. Sekujur tubuhnya dibalut kain kuning sebesar sabuk. Yang 
kelihatan hanya sepasang matanya saja. Matanya hijau dan mencorong 
seperti mata harimau dalam gelap!" 

"Kau beruntung. Paman. Kau bisa melihat Penunggu Alam Kubur 
di luar peti matinya. Menurut berita yang kudengar, dia tidak pernah keluar 
dari tempatnya itu," timpal Arya. 

"Dengan suaranya yang menyeramkan tokoh mengerikan itu 
memintaku menyerahkan titipan yang diberikan sahabat baikku. Tentu saja 
aku merasa heran. Meski bersahabat baik, kawanku itu tidak pemah 
menitipkan apa pun padaku," sambung Pendekar Golok Baja. "Penunggu 
Alam Kubur tidak percaya. Dia menyiksaku sampai hampir mati. Setelah itu 
aku ditinggalkannya." 

"Kau tahu titipan yang dimaksudnya itu. Paman?" 

"Semula tidak. Tapi belakangan, karena dikiranya aku pura-pura 
tidak mengerti, diberitahu oleh Penunggu Alam Kubur. Sebuah ilmu aneh 
yang tertulis dalam lembaran daun lontar. Menurut iblis itu pada lembaran 
daun tertulis pelajaran ilmu 'Perampas Sukma'. Ilmu yang diciptakan 
sahabat baikku. Entah mengapa Penunggu Alam Kubur tidak mencarinya 
langsung pada kawanku. Hhh...! Aku juga tidak mengerti mengapa 
kawanku lenyap." 

"Boleh kutahu siapa kawanmu?" Arya tidak bisa menahan rasa 
ingin tahunya. 

"Pengemis Tua Berbulu Putih." 

"Ah...! Beliaukah orang yang kau maksudkan? Aku belum lama ini 
melakukan peijalanan bersamanya. Pertemuanku dengan pelayan setiamu 
justru di saat aku melakukan perjalanan dengannya!" 

"Begitukah, Arya?!" Pendekar Golok Baja sete-ngah tak percaya. 
"Bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja?" 

"Dia sehat. Paman." 

"Sekarang aku bisa mengira-ngira mengenai ilmu 'Perampas 
Sukma' itu, Arya." 

Pendekar Golok Baja mengelus-elus cambangnya. Arya menatap 
lelaki gagah itu. Sejak tadi dia sebenarnya ingin menanyakan mengenai 
ilmu 'Perampas Sukma'. 

"Bagaimana, Paman?" tanya Aiya kemudian. 

"Kau sendiri bagaimana?" Pendekar Golok Baja balik bertanya. 

Arya tidak segera memberikan jawaban. Dia tercenung sebentar. 

"Sejak semula aku sudah menduga Iblis Hitam menyerangku 
karena dipengaruhi sesuatu, ilmu gaib atau ilmu hitam. Pengemis Tua 
Berbulu Putih pun menduga demikian. Sayang, aku tidak tahu ilmu apa 
yang menyebabkan Iblis Hitam lupa segalanya. Aku hanya menduga 
pikirannya dikuasai seseorang. Itulah pendapatku. Paman." 

"Pendapatku juga demikian, Arya," sahut Pendekar Golok Baja 
sambil tersenyum "lelas sudah kalau penyebab semua itu adalah ilmu 
'Perampas Sukma'. Hanya yang masih menjadi teka-teki, bagaimana hal itu 
bisa terjadi." 

"Itulah yang membingungkan. Paman," sambut Arya, 
membenarkan. "Sebelum menyerangku dengan membabi buta Iblis Hitam 
masih sempat menegurku. Dia kelihatan gembira. Sekejap kemudian dia 
seperti terkesima, setelah itu menyerangku dengan kalap." 

"Berarti..., di saat dia terkesima itu perintah untuk membunuhmu 
datang, Arya." 

"Itu sudah pasti. Paman. Tapi, bagaimana hal itu teijadi? Apakah 
melalui ilmu mengirimkan suara dari jauh?" kilah Arya. 

"Pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab kalau kita hanya 
berdiam diri di sini. Kita harus melakukan sesuatu. Menyelidiki rahasia 
besar ini" 

"Kurasa bukan kita. Paman. Tapi aku!" timpal Arya, memperbaiki 
perkataan Pendekar Golok Baja. "Kau masih perlu beristirahat agar segera 
pulih seperti sedia kala. Biar aku yang menyelidiki masalah itu!" 

"Aku sudah pulih, Arya! Aku telah sehat. Kita pergi bersama!" 
tandas Pendekar Golok Baja. 

"Tapi, Paman...." 

"Tidak ada tapi-tapian! Aku telah sehat. Obat-obatan yang 
diberikan Suliasih benar-benar menakjubkan. Tidak percuma gadis itu 
menjadi keturunan terakhir Malaikat Penyembuh yang terkenal sebagai 
tukang obat jempolan!" 

Arya tidak membantah lagi. 

Pemuda berambut putih keperakan ini lebih memusatkan perhatian 
pada ucapan Pendekar Golok Baja mengenai Suliasih. Gadis itu keturunan 
seorang ahli pengobatan. Pantas demikian ahli mencari dan meramu bahan- 
bahan obat. Sayang, Arya tidak pernah mendengar tokoh yang beijuluk Ma¬ 
laikat Penyembuh. 

"Kau hendak ikut dengan kami atau tinggal di sini saja, Suliasih?" 
tanya Pendekar Golok Baja ketika gadis itu muncul kembali di mang 
tengah. 

"Paman hendak pergi ke mana? Apakah sudah merasa sehat 
kembali?" Suliasih ganti bertanya, bukannya memberikan jawaban atas 
pertanyaan yang diajukan padanya. 

"Berkat kepandaianmu dalam pengobatan aku telah sehat 
kembali!" jawab Pendekar Golok Baja seraya tersenyum lebar. "Mengenai 
kepergian kami, aku sendiri belum tahu. Kau bagaimana, Arya?" 

"Kurasa kita akan pergi ke pegunungan kapur. Mencari sebuah gua 
yang dinding tebingnya berbentuk kepala harimau. Itulah tempat tinggal Pe¬ 
nunggu Alam Kubur," jawab Arya setelah tercenung sebentar. 

"Mengapa menemui Penunggu Alam Kubur?" 

"Karena, tokoh itu yang menjadi kunci rahasia ini, "jelas Arya. 

"Nah! Bagaimana, Suliasih? Kau mau ikut?" tanya Pendekar Golok 
Baja lagi. 

"Sayang sekali. Paman," terdengar penuh penyesalan ucapan 
Suliasih. "Nanti malam aku akan memberikan penghormatan dua belas 
purnama kematian ayahku. Aku tidak bisa ikut. T api, seusai umsanku nanti 
aku akan menyusul ke tempat itu" 

Arya dan Pendekar Golok Baja saling berpandangan. 

"Kalau begitu urusan kami bisa dilakukan belakangan. Biar kami 
ikut menghadiri peringatan itu. Anggaplah sebagai tanda penghormatan 
kami terhadap mendiang ayahmu. Asih. Bagaimana, Paman?" ujar Arya. 

"Sebuah usul yang bagus! Aku setuju sekali! Nah, Suli kepergian 
kami diundur. Kau bisa ikut!" 

"Maafkalau aku harus mengecewakan kau dan Paman. Bukahnya 
aku tidak suka. Tapi, menurut tradisi tumn-temumn peringatan ini hanya 
dihadiri anggota keluarga. Tidak boleh ada orang luar. Aku tidak berani 
merubah tradisi itu. Aku pribadi senang apabila Paman dan Arya mau ikut. 
Tapi bagaimana? Aku khawatir dianggap tidak menghormati tradisi." 

"Kalau begitu lupakan ucapan kami. Anggap saja tidak pernah ada. 
Kami berdua memaklumi alasanmu. Kau tidak perlu merasa bersalah," 
hibur Pendekar Golok Baja. 

"Benar, Asih. Lupakan usulanku tadi. Tidak baik merubah tradisi," 
timpal Arya. 

"Terima kasih atas pengertian Paman dan Arya. Aku hanya bisa 
mendoakan agar urusan kalian lancar." 

Arya dan Pendekar Golok Baja menyunggingkan senyum lebar 

"Di seberang sungai ini tempat yang kau maksudkan itu, Arya. 
Memang, masih harus melalui hamparan padang rumput yang tingginya tak 
kurang dari dua meter. Tapi, tak jauh dari situ akan terlihat dinding kapur 
berbentuk kepala harimau!" jelas Pendekar Golok Baja seraya menudingkan 
jari telunjuknya. 

Arya melayangkan pandangan ke depan. Menatap deretan gunung 
kapur yang membentang. Jantungnya berdebar tegang mengingat di tempat 
itu bercokol tokoh sesat yang menggiriskan hati. 

"Kelihatannya sepi-sepi saja." Lagi-lagi, Pendekar Golok Baja 
yang berbicara. 

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Sekitar tempat itu memang 
tidak terlihat sepotong makhluk hidup pun 

"Siapa sangka kalau di balik kesunyian ini tersembunyi tokoh yang 
luar biasa," gumam Arya, pelan. 

Pendekar Golok Baja menghela napas berat. Ia kelihatan resah. 
Lelaki ini teringat nasib adik kandungnya. Kala Sunggi alias Iblis Hitam 
berada dalam pengaruh Penunggu Alam Kubur. 

"Paman, lihat...! Siapa yang bergerak mendatangi? Bukankah itu 
adik kandungmu?" 

Arya yang tanpa sengaj a menoleh ke belakang, berseru agak keras. 

Laksana disengat ular berbisa Pendekar Golok Baja membalikkan 
tubuh. Apa yang dikatakan Arya memang tidak salah. Sesosok tubuh serba 
hitam melesat ke tempat dia dan Arya berada. Pendekar Golok Baja merasa 
tegang bukan main. Meski jaraknya masih seratus tombak, dia tahu sosok 
yang tengah berlari cepat itu adalah Iblis Hitam alias Kala Sunggi, adik 
kandungnya. 

Seperti juga Pendekar Golok Baja, Arya dililit perasaan yang sama. 
Sebuah pertanyaan bergayut di benaknya. Bagaimana keadaan pikiran Iblis 
Hitam saat ini? 

"Dewa Arak...? Kakang Prajasena...!" Seman yang terdengar keras 
sekali membuat Arya dan Pendekar Golok Baja saling bertukar pandang 
dengan perasaan lega. Iblis Hitam terus berlari mendekati mereka. 

"Kurasa kita tidak boleh membuang-buang waktu. Paman," bisik 
Arya. "Mumpung pikirannya sedang normal. Mungkin kita bisa mencari 
tahu penyebab kejadian yang menimpa dirinya." 

"Aku pun tengah menimbang-nimbang hal itu, Arya. Syukur kalau 
kau berpendapat sama. Aku merasa lebih mantap melakukannya." 

Begitu Pendekar Golok Baja selesai dengan ucapannya. Iblis 
Hitam telah berada di hadapan mereka. Sepasang mata tokoh yang luar 
biasa ini tampak berbinar-binar. 

"Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengan kau dan Dewa 
Arak, Kakang. Adakah urusan yang amat penting sehingga kalian berdua 
bisa melakukan perjalanan bersama?" 

"Mengenai hal itu bisa kuberitahukan belakangan, Sunggi," kilah 
Pendekar Golok Baja, buru-buru. "Sekarang, katakan tujuanmu datang ke 
tempat ini!" 

Iblis Hitam terdiam. Meski wajahnya tidak terlihat, tapi dari 
gerakan dan sinar matanya kelihatan kalau tokoh ini kebingungan. 
"Tujuanku, Kakang?" ulang Iblis Hitam dengan suara mengambang. 
"Aku..., tidak tahu. Yang jelas aku ingin pergi ke deretan pegunungan kapur 
di sana." 

Arya dan Pendekar Golok Baja saling berpandangan sesaat. Jelas, 
pegunungan itu tempat tinggal Penunggu Alam Kubur. Pembahan sikap 
Iblis Hitam bertalian erat deng an Penunggu Alam Kubur. 

"Apakah kau tidak merasakan hal ini sebagai sesuatu keanehan. 
Kala Sunggi?" ujar Arya, cepat. Khawatir tokoh yang dulu menjadi lawan 
beratnya ini keburu lupa ingatan. "Kau menuju ke sana tanpa alasan! Ingat- 
ingatlah. Kala Sunggi. Aku yakin kau mampu mengingatnya." 

Kala Sunggi membisu. Pandang matanya menatap tajam pada satu 
titik. Tokoh ini tampaknya tengah berpikir. 

"Mengapa sejak tadi aku tidak merasakan keanehan ini? Kau 
benar. Dewa Arak. Ini terasa ganjil?" 

"bigat-ingatlah, Sunggi," ucap Pendekar Golok Baja. "Kau pergi 
ke tempat itu atas dasar keinginan hatimu atau bukan?" 

Arya mengangguk-anggukkan kepala mendengar pertanyaan yang 
diajukan lelaki gagah itu. Sebuah pertanyaan yang tepat. 

"Keinginan hati?" gumam Iblis Hitam setelah berdiam cukup lama 
dengan kepala tertunduk. "Rasanya tidak, Kakang. Benar. Tidak! 
Keinginanku pergi ke tempat itu muncul tiba-tiba. Ya, mengapa aku tidak 
memperhatikan keanehan-keanehan ini?" 

"Selama ini pikiranmu tertutup oleh ilmu langka yang dikuasai 
seorang tokoh hitam yang berjuluk Penunggu Alam Kubur!" jelas Pendekar 
Golok Baja. 

"Kau sering bertindak tanpa sadar. Kala Sunggi" Arya 
menambahkan. "Dua kali kau berusaha membunuhku." 

"Ahhh...!" Kala Sunggi berseru kaget. "Benarkah itu , Dewa Arak, 
Kakang Prajasena? Benarkah aku telah menjadi demikian pikun?" 

"Aku sendiri tidak melihatmu melakukan tindakan itu. Tapi 
mungkinkah Dewa Arak berbohong, Sunggi? Lagi pula, kulihat sendiri 
sekarang keanehan sikapmu. Kau pun telah menyadari keanehan itu," urai 
Pendekar Golok Baja. 

Iblis Hitam membisu. Telah dibuktikannya sendiri keanehan 
sikapnya. Sesuatu yang mengerikan telah teijadi pada dirinya. Dia telah 
menjadi budak seseorang! 




"Aku menyesal sekali atas kejadian itu. Dewa Arak," ujar Iblis 
Hitam dengan suara berat. Aku merasa tidak pernah menyerangmu. Aku 
tidak ingat sama sekali kejadian itu" 

"Lupakanlah, Kala Sunggi. Waktu itu kau berada dalam keadaan 
tidak sadar. Kau berada di bawah pengaruh seseorang," sahut Arya, 
bijaksana. 

"Yang penting sekarang," Pendekar Golok Baja menambahi. "Kau 
ingat-ingat semua kejadian yang telah kau alami. Mulailah dengan peristiwa 
yang kau temui setelah Pandora memberitahukan kepergianku." 

"Aku ingat, Kakang!" sentak Iblis Hitam setelah tercenung 
sebentar. "Begitu menerima kab ar d ari Pandora, dengan berbekal surat yang 
dikirimkan Pengemis Tua Berbulu Putih, aku pergi menyusulmu. Ternyata 
di sana tidak kujumpai siapa pun. Tidak sahabatmu juga dirimu, Kakang." 

"Mungkin saat itu aku sudah mendapat pertolongan," jawab 
Pendekar Golok Baja. 

"Setelah mencari sekitar tempat itu, aku berniat kembali. 
Pencarianku gagal. Kupikir kau mungkin telah kembali ke rumah. Mungkin 
saja di tengah jalan berselisihan karena kita berdua menempuh arah yang 
berlainan." 

Iblis Hitam menghentikan ceritanya untuk menelan ludah, 
membasahi tenggorokannya yang kering. Pendekar Golok Baja dan Dewa 
Arak menunggu kelanjutan ceritanya dengan sabar. 

"Tapi, di tengah perjalanan kembali aku dicegat sebuah peti yang 
melayang-layang di udara dan mendarat di depanku," lanjut Iblis Hitam 

Arya dan Pendekar Golok Baja menganggukkan kepala. Dugaan 
mereka ternyata tidak keliru. Penunggu Alam Kubur mempunyai andil besar 
dalam rahasia ini. 

"Aku terlibat pertarungan dengan peti hitam berukir itu. Penghuni 
peti mati itu ternyata lihai bukan main. Ahhh...! Sekarang aku ingat!" 

"Apa yang kau ingat, Sunggi?" tanya Pendekar Golok Baja, penuh 
harap. 

"Aku menangkap bunyi mendenging tinggi yang hampir tidak 
terdengar telingaku. Saat itu aku merasa pusing sekali. Aku berusaha 
melawan dengan mengerahkan tenaga dalam. Usahaku sia-sia." 

"Apa yang teijadi setelah itu. Kala Sunggi?" Arya tidak kuasa 
menahan perasan tertariknya. Iblis Hitam terdiam. Wajahnya yang tertutup 
selubung menekuri tanah. 



"Entahlah, Dewa Arak" Tokoh menggiriskan hati ini menggeleng 
kepala. "Aku tidak ingat apa-apa lagi setelah itu." 

Pendekar Golok Baja menatap Arya. Lelaki ini tidak bisa menarik 
kesimpulan apapun. Semuanya masih diliputi rahasia. Iblis Hitam lupa diri 
setelah mendengar lengkingan tinggi. Mungkinkah itu ilmu 'Perampas 
Sukma’? 

"Sekarang aku sedikit mengerti. Paman." Arya membuka suara. 

Pendekar Golok Baja menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu 
"Bagaimana, Arya?" 

"Kemungkinan besar nada yang melengking tinggi itu merupakan 
cara untuk menguasai pikiran Iblis Hitam." 

"Mungkin itu benar, Arya. Tapi bagaimana dengan perintah- 
perintahnya? Tak mungkin bila lengkingan itu mengandung pengertian yang 
beragam. Menyerangmu, pergi ke tempat ini, menunggu di mulut hutan, dan 
sebagainya." Pendekar Golok Baja membantah. Agaknya dia kurang setuju 
dengan pendap at Arya. 

"Apa yang kau kemukakan memang tidak salah. Paman. Namun, 
mungkin perlu kujelaskan sedikit. Lengkingan itu tidak berisikan 
perintah...." 

"Aku mengerti maksudmu, Arya." Pendekar Golok Baja tak sabar 
menunggu Arya selesai dengan ucapannya. "Lengkingan tinggi itu hanya 
untuk menghilangkan kesadaran sebelum orang itu dipengaruhi. 
Perintahnya diberikan kemudian. Dengan demikian, tidak ada hal yang 
diingat oleh Iblis Hitam. Karena, kejadian atau hal-hal yang dilakukannya 
terjadi di saat dia sedang tidak sadar." 

"Begitulah maksudku. Paman," ujar Arya. "Perintah-perintah 
dilakukan dengan cara mengirim suara dari jauh. Atau melalui pikiran. Ini 
bisa terjadi karena sudah ada hubungan sebelumnya antara mereka." 

"Apakah saat diserang Kala Sunggi kau mendengar bunyi 
lengkingan itu, Arya?" tanya Pendekar Golok Baja. 

Arya mengernyitkan kening. Perlahan-lahan kepalanya 
digelengkan. 

"Kurasa setelah berhasil mempengaruhi seseorang dengan 
lengkingan pertama kali bunyi itu tidak diperlukan lagi." 

"Mengapa?" 

"Karena tidak memberikan hasil yang cukup memuaskan!" tandas 
Arya. "Berapa jauh jarak yang bisa dicapai seorang manusia, betapapun 
tinggi kepandaiannya kalau hanya mempergunakan lengkingan?" 

Pendekar Golok Baja merenung. Sesaat kemudian, meski dengan 
kaku dan pelan-pelan, kepalanya dianggukkan. 

"Berarti untuk mencapai hasil yang memuaskan cara yang 
digunakan adalah melalui pikiran." 

"Tepat sekali. Aku pun berpendapat demikian. Seperti yang 
kukatakan tadi, bukankah telah terbentuk semacam hubungan batin antara 
Iblis Hitam dengan pelaku kekejian itu! Jadi, melalui pikiran perintah- 
perintah dapat dengan mudah diberikan." 

"Satu masalah telah teratasi, Arya," ujar Pendekar Golok Baja, 
gembira. "Tinggal masalah yang besarnya. Setelah ini kau akan terbebas 
dari pengaruh tokoh keji itu, Sunggi." 

Senyum yang menghias bibir Pendekar Golok Baja langsung buyar 
ketika menoleh pada Iblis Hitam. Adik kandungnya tengah terkesima 
seperti memikirkan sesuatu. Pendekar Golok Baja segera tahu perintah- 
perintah untuk Ibiis Hitam sedang diberikan. 

Pendekar Golok Baja mengerling pada Dewa Arak. Pemuda itu 
pun tengah memperhatikan Iblis Hitam. Arya lalu menoleh menatap 
Pendekar Golok Baja. Lelaki gagah itu mengerti arti tatapan Dewa Arak. 
Dia pun sadar tidak ada yang bisa dilakukannya, kecuali menunggu 
peristiwa yang akan teijadi. 

"Mau ke mana, Sunggi?" 

Hanya dengan sedikit menggeser kaki. Pendekar Golok Baj a telah 
berdiri di hadapan Iblis Hitam Tokoh berpakaian serba hitam ini hendak 
meninggalkan tempat itu. Pendekar Golok Baja yang memperhatikan gerak- 
geriknya cepat bertindak. 

Arya dan Pendekar Golok Baja melihat sepasang mata Iblis Hitam 
seperti mengeluarkan api. Terlihat sorot tidak senang yang sangat 

"Siapa pun kau, menyingkirlah! Jangan halangi jalanku. Jangan 
tunggu sampai kesabaranku habis!" 

Pendekar Golok Baja menghela napas berat. Resah hatinya melihat 
Iblis Hitam tidak mengenalinya lagi. Perkataan yang ditujukan padanya 
sarat dengan ancaman. 

Pendekar Golok Baja meraba hulu golok. Iblis Hitam mulai 
mencekal gagang sepasang kapaknya. Arya yang melihat ketegangan mulai 
tercipta segera bertindak. Disentuhnya pergelangan tangan Pendekar Golok 
Baja, kemudian digelengkan kepalanya. 

"Kurasa tidak perlu kekerasan seperti ini. Paman," ujar Arya pelan. 
"Bagaimanapun juga dia adikmu, tambahan lagi tengah berada dalam 
pengaruh tokoh jahat. Selama dia tidak menyerang kurasa tidak menjadi 
masalah. Yang penting, kita harus cepat mengirim biang keladi semua ini ke 
alam baka!" 

Otot-otot Pendekar Golok Baja melemas kembali. Disadarinya 
kebenaran ucapan Arya. Memang, yang penting adalah Penunggu Alam 
Kubur. Apa bila tokoh itu telah dilenyapkan dengan sendirinya pengaruh 
ilmu kejinya akan pupus. 

Seperti mengetahui kalau Pendekar Golok Baja menyelesaikan 
persoalan, Iblis Hitam menjauhkan jari-jarinya dari sepasang kapaknya. 
Ketika lelaki bercambang lebat itu menyingkir untuk memberi jalan. Iblis 
Hitam melompat melewati kepala Pendekar Golok Baja! Rupanya dia sudah 
tidak sabar lagi. 

Bagai tengah melompat-lompat di tanah datar yang keras. Iblis 
Hitam menotok permukaan air sungai dengan kakinya. Beberapa kali hal itu 
dilakukan agar bisa sampai di seberang sungai yang cukup lebar. Semua 
tingkah Iblis Hitam hanya bisa dipandang dengan sorot mata duka oleh 
Pendekar Golok Baja dan Arya. 

"Mengapa dia tidak menyerang kita, Arya?" tanya Pendekar Golok 
Baja kemudian setelah Iblis Hitam menjauh. Beberapa kali Iblis Hitam 
hendak membunuh Aiya. Bukankah itu berarti orang yang menguasai Iblis 
Hitam mempunyai dendam terhadap Dewa Arak. Tapi, mengapa kali ini ia 
tidak menyerang pemuda itu? 

"Aku sendiri tidak mengerti. Paman." Arya menggelengkan kepala. 
"Padahal biasanya dia menyerangku. Mungkin karena keberadaanmu di 
sini." 

"Apa hubungannya?" bantah Pendekar Golok Baja. "Aku lebih 
condong dan menduga orang yang menguasai Iblis Hitam mempunyai 
urusan lain yang lebih penting!" 

Wajah Arya beriak. 

"Kurasa kau benar. Paman," timpal Arya dengan bersungguh- 
sungguh. "Mungkin Penunggu Alam Kubur telah menemukan lawan yang 
tangguh." 

"Siapa orang yang kau maksudkan, Arya?" 

"Pengemis Tua Berbulu Putih!" jawab Arya. "Beliau memang 
bermaksud menyatroni Penunggu Alam Kubur untuk membuat anggota- 
anggota Perkumpulan Pengemis Tangan Merah tidak terus melakukan 
kejahatan." 

"Kalau begitu.., mari kita bergegas!" sambut Pendekar Golok Baja 
penuh gairah. "Aku sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengannya. 
Belasan tahun lamanya tidak berjumpa." 

"Aku pun sudah tidak sabar lagi menyaksikan jalannya pertarungan 
mereka. Kabarnya, Penunggu Alam Kubur dan Pengemis Tua Berbulu Putih 
telah terlibat pertarungan beberapa waktu yang lalu." 

"Aku pun mendengar beritanya, Arya. Bahkan menumt kabar yang 
kudengar, karena pertarungan itu Pengemis Tua Berbulu Putih lenyap dari 
dunia persilatan. Banyak suara-suara mengatakan dia tewas di tangan 
Penunggu Alam Kubur. Tapi nyatanya? Kau sendiri melihat Pengemis Tua 
Berbulu Putih sehat walafiat" 

Arya mengangguk. 

"Ada hal yang aneh di sini, Arya," ujar Pendekar Golok Baja 
setelah terdiam sesaat. 

"Apa itu. Paman?" 

"Mengenai Penunggu Alam Kubur. Sepengetahuanku, dia 
memiliki kesombongan luar biasa. Mungkin karena merasa dirinya seorang 
dedengkot kaum hitam. Belum pernah kudengar dia mencari bantuan untuk 
menghadapi lawannya. Keangkuhannya membuat dia lebih rela mati 
daripada mengeroyok lawan. Apalagi dia amat percaya akan kesaktiannya." 

"Mungkin saja dia tahu Pengemis Tua Berbulu Putih seorang 
lawan yang amat tangguh. Karena tidak yakin dapat mengalahkan lawannya 
kali ini, diputuskan memanggil tokoh-tokoh yang telah dikuasai 
pikirannya." Arya memberikan pemikiran lain. 

Pendekar Golok Baja mengangkat kedua bahunya. Ia tidak 
memberikan tanggapan. Alasan yang diajukan Arya agaknya masuk 
pemikirannya juga, meski tidak menggoyahkan pendapatnya. 

"Untuk jelasnya, sebaiknya kita segera ke sana. Benarkah 
Penunggu Alam Kubur melakukan pengeroyokan untuk memperoleh 
kemenangannya?" ujar Arya. 

"Memang itu satu-satunya cara, A iya," jawab Pendekar Golok 
Baja. 


*** 

Arya dan Pendekar Golok Baja memandang dengan tatapan 
membelalak. Sepuluh tombak dari tempat mereka berada terlihat 
pemandangan yang cukup mengejutkan. Mereka segera menghentikan 
ayunan kaki. Dua sosok tubuh tergolek di tanah. Dan, sebuah peti mati 
hitam berukir! 

Berbeda dengan Arya, Pendekar Golok Baja tidak mengenali dua 
sosok tubuh yang tergolek. Lelaki gagah itu hanya menatap sebentar. 
Kemudian perhatiannya lebih ditujukan pada peti mati. Peti yang beberapa 
waktu lalu dijumpainya. Tempat tinggal tokoh menggiriskan yang beijuluk 
Penunggu Alam Kubur. 

Arya mengenai dua sosok yang tergolek di tanah. Naga Berekor 
Tiga dan Macan Kumbang Maut. Menilik keadaannya, mereka berdua telah 
tewas. 

Arya dan Pendekar Golok Baja lalu mengedarkan pandangan 
berkeliling. Mereka mencari Iblis Hitam. Bukankah Iblis Hitam 
bersekongkol dengan Penunggu Alam Kubur? Serta Macan Kumbang Maut 
dan Naga Berekor T iga? 

Perasaan khawatir yang berkecamuk mulai berkurang ketika tidak 
menemukan sosok Iblis Hitam Berarti, tokoh serba hitam itu selamat. 

"Tak kusangka kau akan keluar dari tempat persembunyianmu. 
Penunggu Alam Kubur! Sudah kukatakan tidak ada gunanya mengeluarkan 
segala macam keroco untuk menghadapiku. Mereka semua akan kukirim ke 
neraka!" 

Seman lantang itu mengejutkan Arya dan Pendekar Golok Baja. 
Asalnya dari belakang mereka. Hampir berbarengan Arya dan Pendekar 
Golok Baja menoleh. 

Pada sebuah cabang pohon sebesar paha manusia dewasa, berdiri 
sesosok tubuh ringkih berpakaian putih penuh tambalan bahan yang masih 
baru. Cara berdiri sosok yang tidak lain Pengemis Tua Berbulu Putih sangat 
unik. Kakek berpakaian penuh tambalan ini berdiri di bagian bawah cabang 
pohon. Kedua telapak kaki di atas dan kepala di bawah. Kekek ini berdiri 
bergantung bagai seekar kelelawar. 

Pertunjukan ini tidak terlalu mengherankan bagi tokoh-tokoh 
selihai Dewa Arak atau Pendekar Golok Baja. Dengan pengerahan tenaga 
dalam yang kuat tidak terlalu sulit melakukan hal itu. 

"Pengemis Tua...!" tegur Pendekar Golok Baja, penuh perasaan 
gembira. 

"Selamat berjumpa lagi. Pendekar Golok," balas Pengemis Tua 
Berbulu Putih. Kakek ini kemudian melayang berputaran meninggalkan 
tempat bertenggemya. Dengan kepalanya didaratkan tubuhnya di tanah. 
Tepat di depan peti mati berukir. 

"Tidak usah banyak berbasa-basi! Aku sudah tidak sabar lagi 
bertemu deng anmu. Kita ulangi pertamng an waktu 1 alu. Kupikir kau sudah 
meninggalkan dunia ini. Gembel Tua..!" terdengar gaung ucapan Penunggu 
Alam Kubur dari dalam peti. 

Arya memperhatikan peti mati dengan penuh selidik. Pengemis 
Tua Berbulu Putih segera menggerakkan sedikit kakinya. Tubuhnya 
beijungkir batik. Sekarang dia berdiri tegak di tanah dengan kedua kaki 

Tidak tedihat kakek ini mengayunkan kaki, tapi tubuhnya 
melayang mendekati peti mati bemkir. Arya dan Pendekar Golok Baja 
melangkah mundur Sebentar lagi akan terjadi pertarungan sengit. 

"Apakah tidak sebaiknya kita membantu Pengemis Tua, Arya?" 
tanya Pendekar Golok Baja. 

"Kita lihat saja dulu. Paman. Kalau terbukti Pengemis Tua tidak 
bisa menanggulanginya, mungkin kita harus menghadapinya bersama-sama. 
Demi tenangnya dunia persilatan kurasa tindakan kita tidak terlalu jelek!" 
sahut Arya. 

Pendekar Golok Baja mengiyakan. Dia setuju dengan usul pemuda 
berambut putih keperakan itu. Perhatiannya kini dicurahkan pada 
pertarungan yang akan berlangsung. 

"Uhhh...!" 

Keluhan tertahan Pengemis Tua Berbulu Putih yang diikuti dengan 
limbungnya tubuh kakek itu, membuat Arya dan Pendekar Golok Baja 
terkejut. Apalagi ketika melihat kakek itu mendekapkan kedua tangannya di 
dada. 

"Rupanya kali ini aku tidak bisa bertempur denganmu. Penunggu. 
Dalam keadaan seperti ini kau dengan mudah bisa membantaiku," ujar Pe¬ 
ngemis Tua Berbulu Putih dengan sedikit terbata. 

Arya dan Pendekar Golok Baja bagai berlomba melesat ke depan. 
Mereka keheranan melihat wajah Pengemis Tua Berbulu Putih bersemu 
kehijauan. Wajah orang yang keracunan hebat. Peluh membasahi selebar 
wajahnya yang putih laksana kertas. 

"Kurasa sebaiknya kau mundur, Kek. Biar aku yang menghadapi 
iblis keji ini!" ujar Arya. 

"Kita bersama-sama. Dewa Arak!" 

Tawaran Pendekar Golok Baja yang penuh semangat ditanggapi 
Arya dengan gel engan kepal a. 

"Biar aku menghadapinya sendiri. Paman. Apabila aku sudah tidak 
sanggup, baru kau turun tangan. Kita tumpas bersama-sama pengacau dunia 
persilatan ini. Sekarang, lebih baik kau bawa kawanmu ini ke tempat yang 
aman." 

Pendekar Golok Baja mengalah. Disadari betul seorang tokoh 
besar seperti Dewa Arak tidak mungkin mau melakukan pengeroyokan 
sebelum membuktikan sendiri lawan yang dihadapinya terlalu tangguh. 
Dengan hati-hati, mengingat keadaan Pengemis Tua Berbulu Putih, 
dibawanya kakek itu ke tempat yang sekiranya tak akan teijangkau bahaya 
pertempuran. 

Dewa Arak segera menurunkan guci yang berada di punggungnya. 
Dengan tenang, meski jantungnya berdebar kencang, ditenggaknya arak 
yang menjadi sumber tenaganya. Ketegangan menyelimuti hati pemuda 
berpakaian ungu. Lawan yang akan dihadapi sangat tangguh. Kalau tidak. 
Iblis Hitam tak akan mungkin kena dipecundangi! 




"Tikus-tikus menjemukan! Kalau tidak diberikan hajaran kalian 
akan terus mengganggu ketenteramanku. Perkenalkan dirimu. Pemuda 
Berambut Setan! Aku tidak ingin membunuh orang yang tidak 
memperkenalkan nama atau julukannya!" 

"Kalau itu maumu, kutumti. Namaku Arya Buana. Dunia 
persilatan memberikan julukan Dewa Arak!" jawab Arya. 

"Dewa Arak?!" gaung suara dari dalam peti mati. "Julukan yang 
aneh. Mungkin karena guci murahan yang selalu kau bawa ke mana-mana 
itu." 

"Mungkin," jawab Arya sambil menyembunyikan kekagetan yang 
melilit hatinya. Bagaimana mungkin tokoh dalam peri mati itu bisa 
melihatnya? Lalu cara bertempurnya nanti? 

"Rupanya kau sudah siap masuk liang kubur. Dewa Arak. Berani- 
beraninya kau menantangku bertarung. Sayangilah usiamu yang masih 
muda. Kau bisa pergi dari sini. Kelancanganmu kuampuni. Pergilah 
sebelum kesabaranku habis!" 

"Sayang sekali. Penunggu Alam Kubur. Aku tidak bisa memenuhi 
permintaanmu. Aku lebih suka mati daripada membiarkan kejahatan terus 
berlangsung!" jawab Arya tanpa rasa gentar. 

Dari dalam peti mati terdengar suara tawa, berat dan bergaung. 
Mirip tawa hantu kuburan. 

"Gagah sekali! Ucapanmu mengingatkan aku pada Pengemis Tua. 
Sayang sekali pendirianmu akan membuat kau cepat melihat alam kubur." 

"Kurasa percakapan yang bertele-tele ini telah cukup. Atau, kau 
nenek-nenek bawel yang lebih suka mengoceh daripada berbicara dengan 
tangan atau kaki?" sindir Arya. 

"Kau yang merasa lelaki perkasa, maju dan serang aku! Pantang 
bagiku menyerang lawan lebih dulu. Apalagi terhadap anak yang masih 
belum lepas dari tetek ibunya sepertimu. Dewa Arak!" 

"Jaga setanganku. Penunggu! Heaaat...!" 

Arya mengirimkan serangan pendahuluan berupa pukulan jarak 
jauh dengan jurus 'Pukulan Belalang'. Arah yang ditujunya peti mati 
berukir. 

Brak! 

Tebing batu kapur berguguran ketika pukulan jarak jauh Dewa 
Arak yang panas menyengat menghantamnya. Sebelum pukulan itu 
mengenai sasaran, peti mati berukir telah melayang naik dan mengambang 
di udara satu tombak dari tanah! 

Belum sempat Arya mengirimkan serangan susulan, peti telah 
meluncur dalam kecepatan tinggi ke arahnya. Deru angin keras mengiringi. 
Apabila peti menghantamnya, sekujur tubuh Arya akan hancur luluh. 
Hantaman peti tak ubahnya serudukan sepuluh ekor gajah liar. 

Dewa Arak tidak berani gegabah menyambuti. Dia belum tahu 
kekuatan lawan. Diputuskan untuk melompat ke samping, mengelakkan 
serangan itu. Tapi, betapa kagetnya pemuda ini. Tubuhnya malah tertarik ke 
depan, ke arah peti yang tengah meluncur keras. Saat itu tubuh Aiya 
melayang di udara. 

Arya tidak bisa bertahan. Dia Tidak mempunyai tempat berpijak. 
Tambahan lagi, daya tarik peti demikian kuat. Guci yang tercekal di tangan 
segera dihantamkannya ke arah peti. Dengan cara itu diharapkan tubuh 
Arya T idak akan tertumbuk peti! 

"Ukh...!" 

Arya merasakan dadanya bagai menumbuk dinding kokoh. 
Sebelum mengenai peti, guci yang diayunkan membalik seperti membentur 
dinding tidak nampak. Dinding itu mengeluarkan hawa mendorong yang 
amat kuat. 

Dewa Arak teijengkang ke belakang dan melayang-layang bagai 
daun kering diterbangkan angin. Pemuda ini terkejut bukan main. Dadanya 
dirasakan sesak. Sekujur otot-otot dan urat sarafnya lumpuh. 

Dalam keadaan melayang-layang itu Dewa Arak memutar otak. 
Lawannya memiliki ilmu aneh. Apabila Penunggu Alam Kubur menyerang, 
orang yang menjadi sasaran akan tersedot ke arahnya. Sebaliknya, jika 
Penunggu Alam Kubur yang diserang, muncul kekuatan dahsyat yang 
menolak! Tenaga tolakan itu luar biasa kuat. 

Meski dalam keadaan kurang menguntungkan. Dewa Arak masih 
mampu mempertunjukkan kelihaiannya. Pemuda ini berhasil mendarat di 
tanah dengan kedua kaki. 

Wusss...! 

Penunggu Alam Kubur benar-benar tak kenal ampun. Tanpa 
mendarat di tanah, peti matinya meluncur ke arah Dewa Arak lagi. Arya 
terpaksa menguras seluruh kemampuannya. Segenap ilmu 'Belalang Sakti’ 
dikeluarkannya. 

Pertarungan sengit pun berlangsung, tapi terlihat jelas tidak 
seimbang. Dewa Arak dipaksa berlari ke sana kemari dikejar’ peti mati 
berukir. 

Pendekar Golok Baja meremas-remas jari tangannya karena 
merasa tegang. Dewa Arak tengah terjepit. Tokoh muda perkasa itu 
kemungkinan besar akan tewas di tangan penghuni peti mati. 

Di kancah pertarungan, Dewa Arak mulai menemukan cara untuk 
menghadapi lawannya. Daya tolak dan daya tarik lawan timbul karena 
Penunggu Alam Kubur memiliki ilmu gaib. Bisa pada Penunggu Alam 
Kubur atau pada peti matinya 

Arya teringat ia mempunyai penangkal ilmu-ilmu gaib. Gurunya, 
Ki Gering Langit, memberikan ilmu itu padanya di waktu menghadapi 
lawan yang memiliki ilmu tarik dan tolak raga (Untuk jelasnya, silakan baca 
episode: "Penganut Ilmu Hiram"). 

Dewa Arak memutuskan untuk menggunakannya. Meski tahu akan 
berakibat besar terhadap dirinya, tapi tidak ada jalan lain lagi. 

Ketika peti meluncur ke arahnya, yang mengakibatkan tubuh Dewa 
Arak tertarik, pemuda itu berpura-pura melawan. Sikap pura-pura ini 
sengaja dilakukan. Kalau dia membiarkan saja tubuhnya tertarik ke arah 
lawan, akan menimbulkan kecurigaan Penunggu Alam Kubur. 

Begitu tubuh hampir mencapai peti, Arya langsung mengirimkan 
pukulan keras. Tepat seperti yang diduga Arya, muncul hawa luar biasa 
yang menolak tubuhnya. Pemuda ini segera menahan napas. Kemudian, 
dengan pemusatan pikiran ia membuat garis di depan tubuhnya. 

Hasil yang dicapai Dewa Arak memang tidak mengecewakan. 
Tolakan itu punah! Dati dalam peti keluar lenguhan kaget. 

"Kiranya kau memiliki sedikit kemampuan. Bocah!" 

Bersamaan dengan keluarnya suara bergaung itu, peti bemkir 
melayang ke atas. Serangan Dewa Arak gagal. Arya tidak putus asa. Ia tems 
memburu. 

Pertarungan sekarang kelihatan seimbang. Dewa Arak tidak bisa 
dibuat maju mundur seperti sebelumnya. Pemuda ini telah mampu 
menguasai keadaan. 

Belasan jurus telah berlalu. Arya memang tidak menjadi permainan 
lawan seperti sebelumnya, tap dia terdesak. Tingkat kemampuan Penunggu 
Alam Kubur masih berada di atasnya. Meski demikian, beberapa kali Dewa 
Arak berhasil menyarangkan pukulan dan tendangannya. Namun, jangankan 
peri hancur, retak pun tidak. 

Ada sesuatu yang membuat peti mati jadi kuat. Tenaga dalam yang 
berasal dari Penunggu Alam Kubur. Aliran tenaga dalam Penunggu Alam 
Kubur yang menangkal tenaga dalam Arya lewat pukulan dan 
tendangannya. 

Keadaan ini menyebabkan jalannya pertarungan lebih timpang. 
Penunggu Alam Kubur enak saja membiarkan serangan-serangan Dewa 
Arak menemui sasaran. Di lain pihak. Dewa Arak harus mengelakkan 
serangan-serangan yang dilancarkan lawan. Dewa Arak berkali-kali 
melempar tubuh ke belakang mengelakkan serangan peti. Sampai berapa 
lama dia bisa bertahan? 

Pertarungan bergeser jauh dari tempat semula. Perlahan namun 
pasti Arya terus terhimpit menuju dinding kapur. Pendekar Golok Baja dan 
Pengemis Tua Berbulu Putih mau tidak mau ikut berpindah tempat. Mereka 
tidak ingin kehilangan pertarungan menarik itu. 

Dewa Arak pun menyadari lama-kelamaan dia akan terhimpit. 
Sempat dilihat tebing kapur di belakangnya. Tapi, dia tidak memiliki 
kesempatan untuk melepaskan diri dari cecaran lawan. 

Untuk kesekian kali peti mati meluncur dengan deras ke arah Arya. 
Dewa Arak terpaksa memapaki dengan kedua tangan. 

Bres! 

Tubuh Dewa Arak terpental ke belakang dan terguling-guling 
menabrak tebing kapur. Hantaman peti keras bukan main. Sebelum Arya 
sempat berbuat sesuatu, peti telah kembali meluncur datang. 

Wajah Dewa Arak pucat pasi. Dia tidak mempunyai kesempatan 
untuk mengelak. Menangkis pun tidak menguntungkan. Waktunya 
demikian singkat. Apalagi tulang-tulangnya masih terasa ngilu akibat 
benturan tadi. 

Di saat kritis itu Dewa Arak tiba-tiba merasakan hembusan angin 
dingin. Tubuhnya bergetar sesaat. Kemudian, seraya mengeluarkan geraman 
keras, Aiya mendorong kedua tangannya. 

Pengemis Tua Berbulu Putih dan Pendekar Golok B aja menerima 
akibat geraman Dewa Arak. Tubuh kedua orang itu terhuyung-huyung ke 
belakang. Wajah Pendekar Golok Baja tampak pucat. 

Darrr...! 

Hanya berselisih waktu demikian singkat, terdengar bunyi yang 
tidak kalah keras. Bunyi itu berasal dari benturan tangan Dewa Arak dengan 
peti mati Penunggu Alam Kubur. 

Peti mati yang sejak tadi tidak mampu dihancurkan oleh Arya, kini 
hancur berkeping-keping. Dari dalam peti terpental sesosok tubuh kecil 
seraya memperdengarkan jeritan melengking suara wanita! 

Arya tidak bergeming dari tempatnya. Sesaat kemudian tubuh 
pemuda ini terhuyung ke belakang. Tangan kirinya mendekap dada, 
sedangkan tangan kanan memegangi kepala. Dewa Arak menyeringai 
merasakan sakit di dada dan pusing di kepalanya. 

Dalam keadaan seperti itu, pemuda berambut putih keperakan itu 
merasa heran dan bingung dengan keberadaan belalang raksasa di alam gaib 
di dalam tubuhnya. Dia yakin betul tidak memanggil belalang raksasa itu. 
Tapi, mengapa belalang itu masuk ke dalam tubuhnya? Mungkinkah 
sekarang tanpa dipanggil binatang itu mampu masuk ke dalam dirinya di 
saat dia terancam bahaya? Pertanyaan-pertanyaan itu sempat muncul dalam 
pikirannya. 

Kebingungan lain yang melanda Arya adalah rasa nyeri di dada 
dan pusing di kepala begitu belalang raksasa meninggalkannya! Arya tahu 
betul belalang itu penyebabnya. Bukan akibat benturan dengan peti mati 
Penunggu Alam Kubur. Betapapun kuat lawan apabila belalang raksasa ada 
dalam tubuhnya. Dewa Arak tidak akan merasakan sakit. Belalang akan 
langsung turun tangan! 


*** 

"Kau licik. Dewa Arak. Kau mempergunakan makhluk alam gaib 
untuk memenangkan pertarungan ini!" kecam nenek kurus kering berwajah 
pucat dan berpakaian hitam. Sosok yang tadi terlempar dari dalam peti mati. 

"Aku tidak bermaksud seperti itu. Nek," jawab Arya. "Kuakui 
memang aku memiliki makhluk gaib, aku tidak berniat menggunakannya 
untuk menghadapimu." 

'Tapi kenyataannya?" si nenek menyeringai. "Kau memanggilnya, 

bukan?" 

"Tidak, Nek!" Arya menggelengkan kepala. 

"Aku tidak memanggilnya. Aku sendiri tidak mengerti mengapa 
binatang itu masuk ke dalam diriku tanpa kupanggil. Biasanya aku 
memanggilnya!" 

"Dewa Arak...!" 

Seman keras membuat Arya dan nenek berpakaian hitam menoleh 
ke arah Pendekar Golok Baja. Wajah lelaki ini kelihatan tegang bukan 
main. 

"Dia bukan Penunggu Alam Kubur, Dewa Arak!" 

Arya tersentak. Ini membuat rasa sakit dan nyeri yang diderita 
bertambah parah. Supaya tidak dilihat orang, diusahakan bersikap biasa 
saja. Bahkan kedua tangannya terkulai di kanan dan kiri pinggang. 

"Aku tidak mengerti maksud Paman?" ujar Arya kemudian. 

"Aku yakin ada kesalahpahaman di sini. Mungkin bukan dia yang 
menculik adikku. Penunggu Alam Kubur yang merobohkanku tidak seperti 
ini!" jelas Pendekar Golok Baja. "Tubuhnya dari ujung rambut sampai 
ujung kaki tertutup libatan kain mirip sabuk. Yang terlihat hanya matanya. 
Ah! Kini aku ingat, mengapa kepandaian Penunggu Alam Kubur sekarang 
jauh lebih dahsyat. Kiranya bukan penunggu yang dahulu!" 

Perasaan tidak enak mulai mencekam hati Arya. Dia khawatir 
salah tangan. Sekali lihat saja pemuda ini tahu si nenek terluka cukup parah 

"Ha ha ha...!" 

Pengemis Tua Berbulu Putih tertawa bergelak. Nadanya 
menyiratkan kegembiraan dan kemenangan besar. Arya dan Pendekar 
Golok Baja mengernyitkan alis. Dugaan jelek muncul di benak Aiya. 

"Dugaanmu benar. Pendekar Golok Baja Karatan! Rupanya kau 
punya otak juga. Yang mempengamhi adikmu bukan Penunggu Alam 
Kubur sungguhan. Tapi, Penunggu Alam Kubur tiruan! Akulah yang telah 
menyamar sebagai Penunggu Alam Kubur! Ha ha ha...!" 

Dewa Arak, Pendekar Golok Baja, dan si nenek berpakaian hitam 
geram bukan main. Mereka menggert akkan gigi menahan amarah. 

Sungguh tidak kusangka kau menjadi jahat. Gembel Tua! Kau 
berubah sama sekali! Menyesal aku menjadi kawanmu. Kau kirimi aku 
surat dan menyamar sebagai Penunggu Alam Kubur untuk memfitnahnya. 
Bajingan kau!" maki Pendekar Golok Baja, kalap. 

Pengemis Tua Berbulu Putih hanya tertawa. Dia tidak marah 
dengan makian yang dilontarkan Pendekar Golok Baja. 

"Kau pun buta. Dewa Arak! Kau tidak tahu penghadang- 
penghadang atas dirimu karena ulahku. Tidakkah kau melihat aku 
termenung saat kau bercakap-cakap dengan Pandora? Saat itu melalui 
pikiran kuperintahkan, agar kita tidak sampai di Perkumpulan Pengemis 
Tangan Merah. Kita terpisah. Aku pergi ke sini. Sungguh tidak kusangka 
kau akan demikian cepat tiba di sini. Untung aku masih bisa mengatur 
seakan-akan dua budakku tewas oleh Penunggu Alam Kubur. Kau tertipu 
lagi. Dewa Arak! Ha ha ha...!" 

"Terkutuk kau. Gembel Tua!" maki Pendekar Golok Baja. 

"Aku tidak yakin kau Pengemis Tua Berbulu Putih. Aku lupa kau 
telah menjadi botak akibat bertarung denganku. Dan, botak itu tak akan bisa 
diobati agar bisa ditumbuhi rambut lagi. Kau pasti bukan Pengemis Tua 
Berbulu Putih! Buka topengmu!" sem si nenek yang sejak tadi berdiam diri. 

Pengemis Tua Berbulu Putih kembali terrawa berkakakan. 

"Rupanya kau belum terlalu pikun. Biarlah aku mengaku. Aku 
memang bukan pengemis jelek itu. Aku adalah Iblis Seribu Muka!" ujarnya 
usai tertawa. 

Kakek itu lalu menanggalkan rambut, kumis, kulit wajah, dan yang 
lainnya. Sekarang di hadapan Dewa Arak, Pendekar Golok Baja, dan si 
nenek berpakaian hitam berdiri seorang lelaki berwajah persegi. Codet 
menghias pipinya. Wajahnya kelihatan menyeramkan! 

"Keparat!" Lagi-lagi Pendekar Golok Baja memaki. "Mengapa kau 
menyamar sebagai kawanku. Iblis?!" 

"Karena kawanmu si gembel busuk itu telah membunuh kakak 
kandungku! Iblis Bermuka Dewa telah dibunuhnya. Maka, kurusak 
namanya. Sekalian kupergunakan kesempatan ini untuk membunuh 
Penunggu Alam Kubur. Karena aku tidak mampu melakukannya, kupanas- 
panasi Dewa Arak. Rencanaku pun berlangsung mulus. Sebentar lagi aku 
akan menjadi datuk persilatan! Ha ha ha...! Kalian semua akan kubunuh!" 

Dewa Arak, Pendekar Golok Baja, dan nenek berpakaian hitam 
sadar betul Iblis Seribu Muka akan memenuhi ancamannya. Mereka tidak 
mungkin bisa mencegah. Yang tidak terluka hanya Pendekar Golok Baja. 
Tapi, tingkat kepandaian lelaki ini masih rendah bila dibandingkan dengan 
Iblis Seribu Muka! 

"Sedikit tambahan untukmu. Dewa Arak. Belalang raksasamu ada 
dalam kekuasaanku. Kukumng di dalam batu. Karena akulah belalang itu 
masuk ke dalam tubuhmu. Tapi sebelum kuperintahkan masuk, 
kutempelkan dulu serangan-serangan gaib terhadapmu. Sekarang, 
bersiaplah untuk menerima kematian. Kau mendapat kehormatan mendapat 
giliran lebih dulu!" 

Dewa Arak menggertakkan gigi. Belalang raksasa pasti disiksa 
atau setidak-tidaknya amat tersiksa dalam kurungan Iblis Seribu Muka. 
Kalau tidak, tak akan binatang itu mau diperintah tokoh sesat tersebut 

Iblis Seribu Muka sudah bersiap untuk melancarkan serangan. Saat 
itulah terdengar ucapan seseorang seperti tengah berbincang-bincang de¬ 
ngan rekan sepeijalanannya. Wajah Arya berubah begitu menyimak ucapan 
itu. 

"Bagaimana, Sahabat? Orang yang telah berani memalsukan diriku 
pantasnya dijatuhi hukuman apa? Mati? Pilihan yang tepat. Sahabat. 
Apalagi orang itu hendak membunuh orang yang telah menyelamatkan kita 
dari kelaparan!" 

Semua kepala menoleh. Seketika itu pulamereka termangu-mangu, 
kecuali Dewa Arak. Orang yang mereka kira berdua ternyata hanya 
sendirian. Tapi, tingkahnya seperti tengah beijalan berdua. Seorang kakek 
bungkuk berkepal a botak dan berwajah hijau. Sepasang matanya berputaran 
liar, seperti mata orang kurang waras. 

"Dialah Pengemis Tua Berbulu Putih yang asli," beritahu nenek 
berpakaian hitam pada mereka yang berada di tempat itu. "Karena 
pertarungan kami yang dahsyat, inilah akibatnya. Kepalanya botak, wajah 
menjadi hijau, dan otak kurang waras." 

Iblis Seribu Muka tiba-tiba menggeram. Dia melompat seraya 
mengirimkan serangan maut pada kakek yang baru datang, yang ternyata 
Pengemis Tua Berbulu Putih yang asli. Kakek itu memperkenalkan diri 
sebagai Hijau saat beijumpa dengan Dewa Arak beberapa waktu yang lalu 

"Sekaranglah saatnya pengacau ini kita lenyapkan. Sahabat. 
Kurasa tidak sesulit membereskan kekacauan di perkumpulan!" ujar 
Pengemis Tua Berbulu Putih sebelum menyambuti serangan lawan. 

Pertarungan mati-matian tidak bisa dihindarkan lagi. Tingkat 
kepandaian mereka sama-sama tinggi. Jalannya pertarungan berjalan 
seimbang. Hanya dalam beberapa belas jurus. Pengemis Tua Berbulu Putih 
dengan cepat mendesak lawannya. 

Iblis Seribu Muka tampaknya harus mengerahkan seluruh 
kemampuannya untuk menghadapi Pengemis Tua Berbulu Putih Kakek itu 
tidak bisa dihadapinya dengan setengah hati. Dia tidak diberi kesempatan 
sama sekali untuk melancarkan serangan dengan mempergunakan ilmu 
andalannya. Serangan Pengemis Tua Berbulu Putih begitu beruntun dan 
susul-menyusul. 

Pada satu kesempatan Iblis Seribu Muka mendapat peluang untuk 
melancarkan serangan. Dengan mempergunakan kaki kanannya ia 
memberikan tendangan telak ke kepala Pengemis Tua Berbulu Putih. 
Namun, hanya dengan menarik kepalanya ke belakang dan memiringkan 
tubuhnya ke kiri. Pengemis Tua Berbulu Putih mampu mengelakkan 
serangan itu. Bahkan, kemudian dia menyusulinya dengan pukulan sisi 
telapak tangan kanan yang mengenai kaki kanan Iblis Seribu Muka. 

Tubuh Iblis Seribu Muka langsung berputar. Dan karena kerasnya 
pukulan Pengemis Tua Berbulu Putih, keseimbangan tubuhnya tidak bisa 
dipertahankan. Dia teijengkang ke belakang dan jatuh terguling-guling di 
tanah. 

Pertempuran sengit kembali berlangsung. Iblis Seribu Muka 
semakin terdesak hebat. 

Di jurus kesembilan belas, pukulan Pengemis Tua Berbulu Putih 
mendarat telak di dada Iblis Seribu Muka. Pada saat yang bersamaan, kaki 
kanan kakek bermuka hijau ini mendarat di perut. 

Buk! Des! 

Iblis Seribu Muka mengeluarkan jeritan menyayat. Tubuhnya 
terlempar ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah. Sesaat dia 
menggelepar meregang nyawa, sebelum diam tak bergerak-gerak lagi. 

"Bagaimana, Sahabat?" Kakek bungkuk menoleh ke sebelahnya. Ia 
bersikap seperti tengah bercakap-cakap dengan seseorang. "Bukankah 
masalah ini berhasil kita bereskan? Orang yang menjadi pengacau telah kita 
kirim ke neraka!" 

"Pengemis Tua...," tegur Pendekar Golok Baja penuh haru melihat 
keadaan sahabatnya. 

"Si Badut Golok rupanya! Sahabat, kau lihat. Si Badut Golok telah 
muncul lagi. He he he...!" 

Pendekar Golok Baja sedikit pun tidak marah mendengar ucapan 
Pengemis Tua Berbulu Putih. Keadaan kakek ini telah kurang waras. 

"Kiranya kau masih hidup, Manusia Peti...!" Pengemis Tua 
Berbulu Putih mengalihkan pandangan pada Penunggu Alam Kubur. 

Nenek baru kering berwajah pucat itu tersenyum. Tapi, yang 
terlihat justm seringai. 

"Akulah yang tidak menyangka kalau kau masih hidup. Gembel 
Busuk!" balas Penunggu Alam Kubur seraya bersandar pada sebatang 
pohon. 

Dewa Arak dengan susah payah tersenyum. Pemuda itu merasa 
lega melihat masalah ini telah berhasil diselesaikan. Pengemis Tua Berbulu 
Putih timan dapat dilenyapkan. Sambil mendekap dadanya, pemuda 
berambut putih keperakan itu menggeleng-gelengkan kepala. 

Pengemis Tua Berbulu Putih memandang Dewa Arak dengan 
sepasang matanya yang berputaran liar. 

"Sahabat, masih ingatkah kau pada pemuda berambut aneh itu? 
Ingat? Bagus! Mumpung bertemu lagi dengannya, bagaimana kalau kita 
meminta pelajaran yang lain. Jangan hanya pelajaran untuk merontokkan 
jambu dari pohonnya Kau setuju? Bagus!" 

Arya tersenyum. Dia teringat kembali pertemuannya dengan kakek 
ini. "Tentu saja dengan senang hati aku mau mengajarimu. Hijau. Kau dan 
Sahabat akan kuberi pelajaran baru. Menempelkan kembali jambu-jambu 
itu ke pohonnya. Bagus bukan?" 

"Bagus..., bagus...! Segera ajari aku ilmu itu. Anak Muda." 

Pendekar Golok Baja, Penunggu Alam Kubur, dan yang tidak 
mengerti pertemuan antara Dewa Arak dengan Pengemis Tua Berbulu Putih 
hanya terbengong-bengong keheranan mendengar percakapan mereka. 

SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Nyawa Kedua dari Langit