Dewa Arak 91 - Sapu Jagat


Sebuah rakit melaju cepat membel ah permukaan ai r sungai. Pemuda berpakaian 
kuning yang berada di atas rakit itu mengayuhkan bambu sepanj ang satu tombak. 
Tidak terlihat pemuda itu mengerahkan tenaga, tapi rakitnya melaju kencang bak anak 
panah lepas dari busur! 

Pemuda itu bertubuh tegap dan kekar. Wajahnya yang tampan semakin menarik 
dengan adanya sebaris kumis tipis. Sepasang matanya bersinar lembut. Terkadang 
mencorong kehijauan seperti mat a seekor macan dalam gelap. 

Pemuda yang duduk s eenaknya di t engah rakit selebar empat kaki itu tampak 
mengerutkan sepasang alisnya. Pandangannya ditujukan lurus ke depan. Terlihat 
sesosok manusia tengah berenang menentang arus sungai. 

Sosok berpakaian putih itu berenang menuju ke arah si pemuda. Pemuda berpakaian 
kuning semakin mengerutkan sepasang alisnya, ketika melihat rona merah membasahi 
sekujur pakaian sosok itu. Rona merah tersebutadalah darah! Rasa ingin tahu 
mendorong si pemuda untuk mempercepat laju rakitnya. 

Ketika jarak antara keduanya tjnggal dua tombak, sosok berpakaian putih tak 
mengayuhkan kedua tangannya lagi. Arus sungai yang cukup deras membuat 
tubuhnya terbawa kembali ke arah datangnya. 

Pemuda berpakaian kuning bertindak cepat. Bambu di tangannya dipukulkan pada 
permukaan sungai. Seketika, timbul gelombang di tempat pukulan bambu itu dan terus 
menuju ke depan, ke arah sosok berpakaian putih berada. 

Begitu gelombang air menghantam, tubuhnya terlempar ke atas dan melambung ke 
arah si pemuda. Pemuda berpakaian kuning cepat mengulurkan tangan dan menerima 
tubuh itu dengan kedua tangan. Pemuda berpakaian kuning lalu merebahkan tubuh 
sosok itu di atas rakit. Sementara rakit dibiarkannya melaju sendiri dibawa arus sungai. 

Sosok berpakaian putih ternyara s eorang kakek. Tubuhnya jangkung kurus. Tidak ada 
jenggot yang menghi as dagunya. Yang ada hanya sebaris kumis putih menjuntai 
hingga ke bawah bibir. 

Kakek berusia tujuh puluh tahun itu terluka parah. Meski tak terlihat adanya bekas luka 
akibat senjata tajam, tapi dari mulut, hidung, dan telinga terdapat bercak-bercak darah 
yang telah mengering. Agaknya kakek ini terluka akibat pukulan atau s erangan yang 
mengandung tenaga dalam dahsyat! 

Pemuda berpakaian kuning segera menempelkan kedua t elapak tangannya di dada 
kakek itu. Dia hendak menyalurkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dai am 
yang diderita si kakek. Cukup lama pemuda itu sibuk dengan usahanya. Wajahnya 
sampai memerah dan peluh membasahi dahi. Sampai di sini dirasakan adanya 
gerakan dari tubuh si kakek. Pemuda berpakaian kuning menghentikan penyaluran 
tenaganya dan menarik pulang kedua tangannya. 

Pemuda ini kemudian memperhatikan arus sungai dan keadaan di sekitar tepi sungai. 
Setelah dirasakannya tak ada gangguan, dia duduk bersila untuk bersemadi 
menghimpun kembali t enaga dalamnya yang telah terkuras. Sebentar kemudian 
pemuda berpakaian kuning telah tenggelam dalam semadinya. Sementara rakit melaju 
terbawa arus air sungai. Bunyi rakit yang membelah permukaan air s eperti 
mengimbangi desah napas si pemuda. Suara napasnya yang tetap dan berirama 
teratur. 

Ketika diras akan s emedinya sudah cukup, pemuda berpakaian kuning membuka 
matanya. Dilihatnya kakek berpakaian putih sudah duduk bersila di depannya. Si kakek 
tengah memperhatikannya dengan senyum mengembang di bibir. 

"Kau sudah sadar, Kek? Bagaimana dengan lukamu?" tanya pemuda berpakaian 
kuning. Kemudian diambilnya bambu yang tadi digeletakkan di pinggir rakit. Bambu itu 
dipergunakan lagi untuk mengayuh. Rakit pun melaju dengan kecepatan penuh. 

"Jauh lebih baik dari sebelumnya, Anak Muda. Terima kasih atas pertolongan yang kau 
berikan. Boleh aku tahu siapa nama atau julukanmu?" 

"Namaku Antareja, Kek. Aku belum punya julukan apa pun," 
jawab pemuda berpakaian kuning, jujur. 

"Berarti kau belum I ama terjun ke dalam kancah dunia persilatan, Reja," sambut si 
kakek. "Tapi dengan kepandaian yang kau miliki dunia persilatan akan gempar. 
Setelah itu julukan akan segera kau dapat." 

"Kau teri alu memuji, Kek," timpal Antareja, malu. Wajah pemuda ini terlihat memerah. 
"Memang aku belum lama keluar dari tempat tinggalku. Kendati demikian tak menjadi 
penyebab aku belum memperoleh julukan. Menurut guruku, di dunia persilatan banyak 
sekali orang sakti." 

"Kau percaya?" desak si kakek. 

Antareja mengangguk. 

"Syukur kalau demikian," ujar kakek berpakaian putih. "Gurumu benar. Dan kau pun 
luar bi asa, Reja. Tak banyak orang seusia kau yang berpendiri an demikian. Biasanya, 
begitu memiliki sedikit kepandaian telah merasa menjadi tokoh tak terkalahkan. 
Bersyukurlah kau tak memiliki sifat seperti itu." 

"Wah, wah...! Lama-lama kepal aku bisa pecah karena terusmenerus mendapat pujian 
darimu, Kek," kilah Antarej a dengan wajah semakin memerah. 

"Aku senang berkenalan denganmu, Reja. Namaku Sukra Dilaga. 

Orang-orang lebih s ering memanggilku Sukra," beri tahu kakek berpakaian putih. "O 
ya, boleh kutahu ke mana tujuanmu? Apakah hanya sekadar turun gunung setelah kau 
s elesai berguru, atau mempunyai urusan lain? Mungkin kau hendak mengamalkan 
ilmu-ilmu yang kau miliki untuk membela kebenaran?" 

Antareja tak segera menjawab pertanyaan itu. Yang dilakukannya malah mengarahkan 
pandangan ke angkasa, seakan jawaban yang akan diberikannya berada di sana. 
Sukra Dilaga tak mengganggunya. Dengan sabar kakek itu menunggu jawaban 
Antareja. Sementara itu rakit terus melaju dengan kecepatan tinggi. 

"Aku memang mempunyai urusan, Kek." 

Jawaban itu diberikan Antareja s eraya mengalihkan pandangannya pada Sukra 
Dilaga. Sukra Dilaga mendengarkan dengan penuh minat. 

"Beberapa tahun yang lalu kakakku meninggalkan perguruan. Dia pergi tanpa pamit, 
baik pada guru maupun padaku. Aku dan kakakku memang berguru pada orang yang 
sama. Kepergi annya yang tanpa izin itu membawa sert a pusaka milik guru. Kalau 
menuruti perasaan, waktu itu juga akan kususul dia dan kuajak pulang. Tapi guru 
melarangku. Kata beliau, aku belum saatnya terjun ke kancah dunia persilatan yang 
keras. Itulah sebabnya baru sekarang ini aku mencarinya setelah seluruh kepandaian 
guru diwariskannya padaku." 

Sukra Dilaga menghembuskan napas berat. Kakek itu merasa ikut prihatin dengan 
masalah yang menimpa Antareja. 

"Apakah kakakmu mempunyai si fat yang berbeda denganmu?" 
tanya Sukra Dilaga ingin tahu. "Ataukah, ada masalah di antara kalian? 
Barangkali saja gurumu bersikap tak adil, misalnya." 

"Sama sekali tidak," j awab Antareja cepat seraya menggel eng. 

"Guru tak membeda-bedakan antara kami. Hanya saja kakakku memang mempunyai 
watak yang keras. Apa yang diinginkannya harus didapatkan, walau apa yang akan 
terjadi." 

"Aku turut prihatin dengan masalahmu itu, Reja. Percayai ah, aku tak akan tinggal diam 
Akan kubantu kau untuk menemukan kakakmu itu. O ya, siapa namanya?" 

"Terima kasih atas maksud baikmu, Kek. Tapi aku tak ingin merepotkanmu. Biarlah 
aku sendiri yang akan mencarinya," tolak Antareja. 

"Siapa bilang hal itu akan merepotkanku, Reja? Sama sekali tidak! 

Aku justru merasa senang jika bisa menolongmu. Kau sendiri telah menolongku. 
Meskipun belum lama mengenalmu, aku merasa kau telah menjadi sahabatku. Dan di 
antara sahabat tak ada istilah merepotkan, bukan?" kilah Sukra Dilaga tak kurang akal 
untuk memaksa. 

Antareja menghel a napas berat. Pemuda ini akhirnya menganggukkkan kepala. 

"Nama kakakku itu Bogadenta, Kek. Dia gemar berpakaian yang indah-indah dan bias 
anya berwarna merah. Celananya hitam," beri tahu Antareja. 

"Hanya itu?" Sukra Dilaga tampaknya kurang puas dengan petunjuk yang diberikan 
Antareja. "Tidak ada ciri-ciri lainnya yang menonjol?" 

Antareja kelihatan ragu. Sorot sepasang matanya memancarkan kebimbangan. Sukra 
Dilaga melihat hal itu. 

"Kalau kau merasa berat mengat akannya, tak perlu kau utarakan, Reja. Kurasa 
dengan petunjuk itu sudah cukup. Mudah-mudahan aku bisa menemukan Bogadenta." 

Tanggapan Sukra Dilaga membuat Antareja merasa tak enak. 

Kakek itu telah dengan tulus hati menawarkan bantuan, tapi malah kecurigaan yang 
mencuat di hatinya. Benar-benar keterlaluan! Antareja memaki dirinya sendiri. 

"Maafkan aku yang telalu curiga, Kek. Memang masih ada ciri lainnya. Di tangannya, 
maksudku di pergelangan tangannya, terbelit gelang dari akar bahar," tambah Antareja 
untuk menghilangkan rasa tak enak di hatinya. 

Sukra Dilaga mengangguk-anggukkan kepala. Matanya mengerling pada pergelangan 
tangan Antarej a. Di sana dijumpainya akar bahar pula. Hanya pada tangan kirinya. 

Antareja s empat melihat kerling mata si kakek. Dan dia tahu tak ada gunanya 
menyembunyikan hal itu. Tangan kirinya malah diangsurkan. 

"Padaku juga terdapat gelang akar bahar yang sama dengan kepunyaan kakakku. 
Guru memberikan pada kami sepasang akar bahar. 
Aku mengenakannya di kiri, sedangkan kakakku di pergelangan tangan kanan," jelas 
Antareja tanpa diminta. 

"Mengapa demikian? Apakah hanya kebetulan saja kau mengenakannya di kiri dan 
kakakmu di kanan, atau karena perintah gurumu?" 

"Bukan hanya kebetulan, Kek," jawab Antareja. "Guru yang menyuruhnya. Hanya saja 
beliau tak menjel askan apa al asan beliau. Tapi aku yakin ada sebuah rahasia yang 
disembunyikan." 

"Aku sependapat denganmu, Reja," Sukra Dilaga memberikan dukungan. "Ada rahasia 
yang t erkandung dalam gelang akar bahar itu. 
Apakah kau tak pernah menanyakan keanehan itu?" 

Antareja menggeleng. 

Sukra Dilaga tak mengajukan pertanyaan lagi. Suasana menjadi hening ketika mereka 
saling berdiam diri. Belasan tombak rakit meluncur dalam keheningan yang melingkupi, 
yang terdengar hanya riak air dan bunyi laju rakit membelah permukaan sungai. 

"Kau sendiri..., apa yang terjadi denganmu Kek sehingga kau menderita luka cukup 
parah?" 

Antareja memecahkan keheningan. Sebenarnya sejak tadi dia ingin menanyakan hal 
itu. Tapi karena merasa tak enak dan takut dianggap terlalu mau tahu urusan orang, 
ditahannya rasa ingin tahunya. 

Wajah Sukra Dilaga kelihatan berubah muram. Melihat itu Antareja s emakin meras a 
tak enak. Tanggapan yang diberikan Sukra Dilaga menjadi pertanda kalau 
pertanyaannya tak menyenangkan hati kakek itu. 

"Maafkan aku Kek, kalau pertanyaan yang kuajukan tak berkenan di hatimu. Aku 
benar-benar tak tahu dan tak menginginkan hal ini," ucap Antareja penuh rasa bers 
alah. 

Sukra Dilaga menggelengkan kepala dan tersenyum. Tapi hanya mulutnya yang 
tersenyum. Sorot wajahnya tetap menyiratkan kegundahan. 

"Kau tak perlu meras a bersalah, Reja. Aku memang harus menceritakannya padamu. 
Kau harus tahu mengapa aku sampai t erluka hingga kau terpaksa menolongku," 
Sukra Dilaga menghel a napas sebelum melanjutkan ucapannya "Seperti juga kau, aku 
jarang sekali keluar dari tempat tinggalku. Kalau sekarang aku keluar, karena aku 
mendapat tugas dari majikan sekaligus guruku sebelum beliau meninggalkan dunia 
ramai." 

'"Ah...! Jadi guru sekaligus majikanmu itu telah meninggal dunia?" cetus Antareja. 

Sukra Dilaga menggeleng. 

"Aku tak berani memastikan hal itu, Reja. Beliau hanya menutup hubungan dari dunia 
ramai dengan menyepi di sebuah tempat yang sangat terpencil. Dan beliau 
menyuruhku menunggu seseorang di sebuah tempat yang telah ditentukannya." 

"Siapakah orang yang harus kau tunggu kedatangannya itu, Kek?" tanya Antareja I agi, 
tak sabar menunggu Sukra Dilaga melanjutkan ceritanya. 

"Aku sendiri tak tahu, Reja. Majikanku tak memberitahu siapa orang itu dan kapan di a 
akan muncul. Aku hanya diperintahkan untuk menunggunya." 

Antareja mengernyitkan dahi. "Bagaimana kalau orang yang kau tunggu-tunggu itu tak 
pernah muncul, Kek?" 

"Majikanku mengatakan orang itu akan muncul. Dan aku yakin beliau tak salah!" 
tandas Sukra Dilaga penuh keyakinan. 

"Sudah berapa lama kau menunggunya?" kejar Antareja. "Sebulan? Dua bulan?" 

Sukra Dilaga terkekeh. Kakek itu kelihatan geli bukan main. Sesaat kemuraman dan 
kegundahan hatinya lenyap. 

"Aku yakin kau tak akan mampu menebaknya, Reja!" tandas Sukra Dilaga kemudian. 
"Ketahuilah, aku telah menunggu orang yang dimaksud majikanku itu selama dua 
puluh lima tahun!" 

"Gila!" tanpa sadar Antareja berseru s aking kagetnya. "Dan kau masih tetap  
melaksanakan perintah majikanmu itu, Kek? Bagaimana kalau dia keliru?!" 

"Aku yakin tidak, Reja! Meski kutahu setiap manusia bagaimanapun tinggi 
kepandaiannya tak akan luput dari kekeliruan, tapi aku yakin ucapan majikanku ini tak 
keliru." 

"Tapi kau telah menunggu selama dua puluh lima tahun, Kek. 
Kurasa telah cukup untuk membuktikan kalau ucapan majikanmu itu salah!" bantah 
Antarej a tak mau kalah. 

"Belum bisa dipastikan demikian, Reja," 

"Mengapa Kek?" 

"Karena belum melewati batas waktu yang ditetapkannya," jawab Sukra dilaga, tenang. 
"Beliau mengatakan kalau selama tiga puluh tahun orang tersebut tak kunjung datang, 
aku baru bebas dari tugas yang diberikannya." 

Antareja terdiam. Benak pemuda ini berpikir keras. Kalau tak ada 
masalah besar t ak mungkin majikan Sukra Dilaga demikian mementingkan 
orang itu, pikir Antareja. 

"Lalu..., bagaimana kau bisa t ahu kalau orang yang nanti datang 
adalah yang kau tunggu-tunggu, Kek? Apakah ada ciri-ciri tertentu dari 
orang tersebut?" tanya Antareja lagi. 

Sukra Dilaga mengangguk 

"Sayang, aku tak bisa memberitahukannya, Reja. Majikanku 
berpesan keras agar aku merahasiakannya" 

"Aku bisa mengerti, Kek," Antareja berusaha untuk memaklumi." 
Tapi bagaimana kau bisa terluka dan berada di sini?" 

"Itulah yang membuatku berduka, Reja," keluh Sukra Dilaga 
setelah menghembuskan napas berat. "Yang datang ternyata bukan orang 
yang kutunggu-tunggu. Malaikat yang kuharap, tapi iblis yang datang. 
Seorang tokoh muda berkepandaian tinggi yang ingin mengambil pusaka 
milik majikanku." 

"Apakah dia seorang pemuda yang usianya kira-kira beberapa 
tahun di atasku, Kek?" kejar Antareja. Dia merasa khawatir kalau tokoh 
muda itu adalah kakak kandungnya. 

Sukra Dilaga tersenyum, Kekek itu mengerti apa yang dipikirkan 
Antareja. 

"Kau tak usah khawatir, Reja," hibur Sukra Di laga, "Tokoh muda 
yang datang untuk merampas pusaka majikanku itu bukan kakakmu. Tokoh 
muda itu seorang wanita. Gadis yang amat cantik, tapi berwatak keji. 
Mungkin lebih tepat kalau gadis itu mendapat julukan Iblis Berwajah 
Bidadari!"Wajah Antareja yang semula menegang kini tenang kembali. 
Jawaban Sukra Dilaga benar-benar melegakan hatinya. 

"Perempuan berwatak keji itu memaksaku untuk memberikan 
pusaka milik majikanku. Tentu saja aku tak memberikannya. Pertarungan 
antara kami pun terjadi. Dia ternyata lihai bukan main. Aku berhasil 
dikalahkannya. Beruntung sebelum nyawaku melayang di tangannya, aku 
berhasil melarikan diri. Untuk membuatnya kehilangan jejak aku terjun ke 
dalam sungai. Dan kesudahannya kau yang Iebih tahu Reja. Kau telah 
menolongku." 

"Bagaimana dengan orang yang tengah kau tunggu-tunggu, Kek? 
Dan bagaimana pula dengan pusaka milik majikanmu? Apakah kau biarkan 
gadis jahat itu mengambilnya?" 

"Justru karena memikirkan orang yang kutunggu-tunggu itulah aku 
memutuskan untuk melarikan diri. Kalau tidak, aku lebih rela mati dari pada 
melarikan diri s eperti anjing hendak dipukul!" tandas Sukra Dilaga dengan 
penasaran. 

Kakek berpakaian putih ini teringat kembali akan pengalamannya 
yang lalu. Dia berlari t erpontang-panting agar bisa sel amat dari maut. Jika 
mengingat itu semua, rasa malu pun menyeruak hatinya. 

"Mengenai pusaka milik majikanku, aku tak khawatir gadis jahat 
itu akan mampu mengambilnya," sambung Sukra Dilaga dengan suara 
penuh keyakinan. "Majikanku tak akan menyimpan pusakanya secara 
sembarangan. Jadi, aku yakin tak seorang tokoh pun bisa mendapatkannya. 
Apalagi hanya seorang wanita mudai", 

Antareja mengangguk-anggukkan kepala. Alasan yang 
dikemukakan Sukra Dilaga memang dapat diterima akal. 

"Kurasa sudah waktunya kita berpisah, Reja," ucap Sukra Dilaga, 
pelan. 

"Mengapa demikian terburu-buru, Kek? Kau belum sembuh benar. 
Lagi pula, kita baru berbincang-bincang sebentar. Tidakkah kau bisa tinggal 
lebih lama lagi?" Antareja kelihatan kecewa dengan keputusan Sukra 
Dilaga. 

"Terima kasih atas tawaranmu, Reja. Sayang sekali aku tak bisa 
memenuhinya. Aku harus kembali ke tempatku. Mudah-mudahan gadis 
jahat itu sudah tak ada Iagi. Dan siapa tahu orang yang kutunggu-tunggu 
telah datang. Tak mengapa tubuh tua yang sudah reot ini kupaksa berjalan 
jauh. Hanya inilah yang bisa kulakukan di sisa umurku, Reja." 

Antareja bisa menerima jawaban Sukra Dilaga. Tapi, rasa sukanya 
untuk melakukan perjalanan bersama kakek itu mendorongnya mencari 
jalan agar si kakek bisa tinggal lebih lama. 

"Aku bisa memaklumi tugasmu, Kek. Tapi tidak bisakah kau 
memberikan sedikit waktu lagi?" 

Sukra Dilaga menggeleng. 

"Di kelokan sungai nanti aku harus turun, Reja. Dari tempat itu aku 
bisa segera tiba di tempatku dengan cepat. Bila kupaksakan turun jauh dari 
kelokan, perjalanan yang kutempuh akan jauh lebih lama. Aku tak berani 
bermain-main dengan waktu, Reja. Jadi dengan berat hati terpaksa 
permohonanmu kutolak." 

"Bagaimana kalau aku ikut denganmu?" Antareja mengajukan usul 
setelah tercenung sebentar. 

"Itu berarti kau akan mengetahui tempat yang kujaga," keluh Sukra 
Dilaga, "Padahal majikanku telah berpesan agar selain orang yang 
kutunggu-tunggu, tak boleh ada seorang pun menginjakkan kaki di tempat 
itu." 

"Termasuk aku?" 

Sukra Dilaga mengangguk pasti. 

"Percayalah, Reja. Aku berjanji apabila tugasku telah selesai dan 
kita bersua lagi, dengan senang hati aku akan memenuhi permintaanmu. 
Kita akan merantau bersama, mengarungi kerasnya kancah dunia 
persilatan," janji Sukra Dilaga. 

Antareja tak mempunyai alasan lagi untuk menahan kakek itu lebih 
lama. Pemuda ini mengembangkan senyum di bibir. 

"Selamat jalan, Kek. Semoga kau berhasil menyelesaikan tugasmu 
dengan baik." 

"Selamat tinggal, Reja. Kau pemuda yang baik. Mudah-mudahan 
kita bisa berjumpa lagi," balas Sukra Dilaga seraya tersenyum. 

Kakek berpakaian putih ini melompat ke pinggir sungai di saat 
rakit membelok. Laju rakit tetap tinggi. Tapi Sukra Dilaga tak mengalami 
kesulitan. Laksana seekor burung, tubuh kakek ini melayang meninggalkan 
rakit dan menjejak tanah berbatu di pinggir sungai. 

Sukra Dilaga langsung berlari cepat meninggalkan tempat itu, 
tanpa menoleh-noleh lagi. Sementara Antareja tetap duduk di rakitnya dan 
mengayuhnya cepat mengikuti arus sungai. 


Sukra Dilaga melakukan perjalanan dengan cepat Seluruh ilmu lari 
cepatnya dikeluarkan agar bisa segera tiba di tempat tinggalnya. Tindakan 
ini membuat kedua kakinya bagai tak menginjak tanah karena saking 
cepatnya digerakkan. 

Tak lama kemudian, kakek ini berada di hamparan padang rumput 
yang luas membentang. Tinggi tanaman sekitar dua tombak. Jarak tanaman 
yang begitu rapat membuat pemandangan di seberang padang rumput ini tak 
terlihat. 

Sukra Dilaga kelihatan bimbang. Semula karena keinginannya 
untuk segera tiba membuatnya mengambil jalan pintas ini. Tapi ketika 
berhadapan dengan hamparan padang rumput keraguan merayapi hatinya. 
Tempat yang dituju Sukra Dilaga memang harus melalui padang rumput 
dan rawa-rawa. Setelah itu, jalan yang ditempuhnya akan menanjak. Di 
balik bukit yang dipisahkan oleh sungai itulah tempat tinggalnya berada. 
Meski Sukra Dilaga hampir tak pernah turun gunung, namun 
majikannya banyak bercerita tentang segala sesuatu yang terjadi di dunia 
persilatan. 

Termasuk tokoh-tokohnya. Dan, salah satu tokoh yang diceritakan 
majikannya adalah tokoh yang bertempat tinggal di padang rumput dan 
rawa-rawa. Majikan Sukra Dilaga telah berpesan agar dia jangan sampai 
memasuki tempat itu. Maut mengintai di sana. Maut yang diciptakan 
pemilik tempat itu! 

Sekarang, begitu berhadapan dengan tempat ini, Sukra Dilaga baru 
teringat kembali akan cerita majikannya. Tokoh penghuni rawa-rawa dan 
padang rumput ini menyimpan dendam pada majikan Sukra Dilaga karena 
dulu pernah dikalahkan. Telah dua kali tokoh aliran sesat itu bentrok dengan 
majikan Sukra Dilaga. Beruntung dia selalu berhasil menyelamatkan diri 
sebelum maut yang datang dari tangan majikan Sukra Dilaga 
menjemputnya. 

"Ha ha ha...!" 

Sebuah tawa bergel ak membuat Sukra Dilaga membalikkan tubuh. 
Wajah kakek ini terlihat menegang. 

Pemilik tawa itu ternyata s eorang pemuda berusia dua puluh lima 
tahun. Wajahnya tampan. Tapi, sorot matanya liar. Tubuhnya yang cukup 
kekar dibungkus pakaian tanpa lengan yang terbuat dari kulit buaya. 

Sukra Dilaga tak merasa ngeri melihat pemuda itu. Yang membuat 
bulu kuduknya meremang adalah makhluk-mahkluk yang berada di depan si 
pemuda. Makhluk-makhluk yang jumlahnya puluhan itu tengah menatap 
Sukra Dilaga dengan sinar mata buas. Buaya! 

"Peruntungan kalian rupanya sedang baik Anak-anak!" seru 
pemuda berompi kulit buaya sambil melecutkan cambuk untuk menggiring 
buaya-buaya itu. "Tanpa dicari santapan telah datang sendiri. Walaupun 
mungkin agak alot, tapi kurasa cukup untuk mengenyangkan perut kalian 
semua!" 

Sukra Dilaga melangkah mundur dengan hati ngeri. Kakek ini 
memang memiliki kepandaian tinggi. Tapi, rasa ngeri membuatnya agak 
gentar juga. Kendati demikian akal sehatnya masih mampu bekerja. Cepat 
diloloskannya sabuk untuk dipakai sebagai senjat a menghadapi serbuan 
puluhan buaya. 

Sementara itu, buaya-buaya yang panjangnya hampir lima tombak 
itu mulai membuka moncongnya lebar-lebar. Tampak deretan gigi-gigi 
yang tajam. Buaya-buaya itu agaknya sudah tak sabar untuk menyerang 
Sukra Dilaga. Mereka tengah menunggu perintah dari pemuda berompi kulit 
buaya. 

Sukra Dilaga memperhatikan buaya-buaya dengan seksama. Ingin 
diketahuinya kelemahan binatang melat a itu. Dia tak yakin hantaman 
sabuknya akan berpengaruh bila mengenai punggung buaya-buaya tersebut. 
Kulit mereka kelihatan demikian keras. Punggungnya pun bergerigi. Dan 
semakin mendekati ekor, geriginya itu semakin panjang. 

Ekor binatang itu amat berbahaya karena merupakan alat 
penyerangan yang dahsyat! 

"Rupanya kalian sudah tak sabar lagi untuk mencabik-cabik daging 
tua bangka yang alot itu, Anak-anak? Kalau begitu, nikmatilah hidangan kalian!" 
Pemuda berompi kulit buaya melecutkan cambuknya. Bunyi aneh 
terdengar ketika cambuk itu melecut. Berbeda jauh dengan bunyi I ecutan 
yang pertama kali tadi. Puluhan buaya langsung meluruk ke arah Sukra 
Dilaga. Binatang-binatang yang memiliki indra tajam ini seperti berlomba 
untuk lebih dulu menikmati daging alot Sukra Dilaga! 

Pertarungan unik pun terjadi. Sukra Dilaga tak ingin dagingnya 
direncah-rencah segera menggerakkan sabuknya. Senjata lemas itu 
meluncur ke arah buaya-buaya kelaparan. 

Dengan tenaga dalamnya yang kuat, Sukra Dilaga mampu 
membuat sabuk menegang kaku laksana sebatang tombak. Dalam keadaan 
seperti itu tusukan dan babatannya tak ubahnya senjata taj am! Tidak hanya 
itu saja. Kakek berpakaian putih ini pun mampu membuat sabuk mematuk-
matuk laksana seekor ular. 

Ctar, ctar, ctarrr! 

Empat ekor buaya langsung terlecut punggungnya! Tapi, binatang 
itu memang memiliki kekebalan luar biasa. Serangan Sukra Dilaga tak 
sedikit pun mempengaruhi gerakan mereka. 

Sukra Dilaga tak terkejut melihat kenyataan ini. Dia memang telah 
menduga sebelumnya. Maka, kegagalan tersebut tak membuatnya gugup. 
Sabuknya kembali dilecutkan. Kali ini bagian yang diserangnya adalah 
sepasang mata buaya-buaya itu. Sukra Dilaga yakin penglihatan binatang 
yang mampu hidup di dua alam ini tak sekuat anggota tubuh lainnya. 

Dan seperti juga sebelumnya, Sukra Dilaga menunjukkan serangan 
sabuknya sekaligus pada empat ekor buaya. Sabuk itu meluncur dengan 
diawali bunyi ledakan nyaring. Ternyata buaya-buaya itu mengetahui 
adanya bahaya mengancam. Serangan Sukra Dilaga kali ini tak dibiarkan 
mereka. Ujung sabuk yang mengancam mata dipapaki binatang-binatang itu 
dengan sabetan ekor! 

Prattt! 

Sabetan ekor buaya-buaya ternyata kuat bukan main. Serangan 
Sukra Dilaga sampai terpental balik ke belakang! Untungnya, berkat tenaga 
dalam kakek itu s abuk tak koyak-koyak akibat papakan ekor yang mampu 
menghancurkan sebatang pohon besar. 

Sukra Dilaga hampir tak percaya akan kenyataan yang dial aminya. 
Buaya-buaya yang dihadapinya bukan binat ang sembarangan, melainkan 
telah dilatih ilmu silat. Terbukti, binatang itu mampu menangkis serangan! 
Kegagalan serangannya membuat Sukra Dilaga semakin didekati 
rombongan buaya. Kakek yang tak ingin mati secara menyedihkan itu 
berjuang keras menghalau penyerbunya. Tak hanya sabuk yang 
dipergunakan, tapi juga tangan dan kakinya. Tangan-tangannya 
dipergunakan untuk mengirimkan dorongan-dorongan yang mengandung 
tenaga dalam tinggi dan hembusan angin keras. 

Sukra Dilaga berharap hembusan angin akan melemparkan buaya 
itu. Tapi, binatang bermoncong panjang ini seperti melekat dengan tanah! 
Tak seekor pun di antara puluhan ekor binatang itu yang terlempar. Padahal, 
angin yang, berhembus membuat batu-batu besar kecil yang ada di tempat 
itu melayang! 

Buaya-buaya itu terus merangsek maju. Mereka mengirimkan 
serangan dengan gigitan dan lecutan ekornya. Pertarungan ganjil yang 
terjadi disaksikan oleh penonton yang amat bersemangat. Pemuda 
berpakaian rompi kulit buaya tak henti-hentinya dia bersorak memberikan 
semangat pada binatang-binatang peliharaannya. 

Kedudukan Sukra Dilaga memang tak menguntungkan. Buayabuaya 
yang dihadapinya selain berjumlah banyak juga cukup mengerti ilmu 
silat. Hal ini membuat serangan-serangan kakek itu senantiasa kandas. 

Sabuk si kakek selalu berben turan dengan ekor buaya di saat meluncur ke 
arah mata.Sukra Dilaga terpaksa bermain kucing-kucingan. Dengan 
mengandalkan kecepatan gerak dan ilmu meringankan tubuhnya, kakek ini 
berhasil menyelamatkan selembar nyawanya. Dia berlompatan dari 
punggung satu ekor buaya ke punggung buaya lainnya. Begitu seterusnya. 

Tapi baru beberapa belas jurus pertarungan unik itu berlangsung, 

Sukra Dilaga merasakan pusing pada kepalanya. Perutnya pun terasa mual. 
Tenaganya menyusut secara cepat. Sukra Dilaga yang telah cukup lama 
hidup di dunia bisa memperkirakan apa yang terjadi. Dia pasti keracunan. 

Dilihatnya dari mulut buaya-buaya keluar asap tipis, yang terlihat oleh 
Sukra Dilaga setelah memperhatikannya baik-baik. 

Di saat keadaan Sukra Dilaga semakin mengkhawatirkan, 
melesatlah sesosok bayangan serba hijau. Sosok bayangan ini langsung 
menyambar tubuh Sukra Dilaga. Dibawanya tubuh kakek itu meninggalkan 
buaya-buaya yang telah yakin mangsa mereka akan berhasil direncahrencah 
dagingnya. 

Pemuda berompi kulit buaya menggertakkan gigi. Kelihatan dia 
geram bukan main. Matanya yang mempunyai sorot aneh mengikuti gerak 
lesatan sosok serba hijau. 

Ctar, ctarrr, ctarrr! 

Pemuda berompi kulit buaya kemudian melecutkan cambuknya. 

Lagi-lagi bunyi yang aneh terdengar. Akibatnya, buaya-buaya mengejar 
sosok serba hijau dengan cara yang luar biasa. Binatang-binatang berkaki 
pendek itu melesat bagai terbang! 

Begitu sosok serba hijau menjejakkan kaki di tanah, buaya-buaya 
itu telah meluncur dengan moncong-moncong terbuka lebar, siap merencahrencah! 
Sosok serba hijau yang memanggul tubuh Sukra Dilaga ternyata 
seorang gadis berwajah cantik luar biasa. Kulitnya putih halus. Tubuhnya 
yang dibungkus pakaian serba hijau terlihat begitu menawan. Si gadis yang 
berusia sekitar dua puluh dua tahun itu tak terlihat cemas melihat ancaman 
maut dari mulut-mulut buaya beracun. Bahkan ketika bi natang-binatang 
buas itu telah menjejak tanah dan beramai-ramai menghampirinya! 

"Permainan anak-anak seperti ini kau pamerkan padaku, 
Bonggala?!" dengus si gadis sambil mencibirkan bibir, membentuk senyum 
sinis. 

Gadis berpakaian hijau kemudian membentak nyaring. Dari balik 
punggungnya dikeluarkan sebatang pedang. Badan pedang tampak 
mengeluarkan sinar terang yang menyilaukan mata. Gerakan buaya-buaya 
langsung terhenti ketika melihat pedang bersinar kehijauan itu. Mereka 
kelihatan gentar! Hal ini membuat Bonggala menjadi geram. Sambil 
menggertakkan gigi, cambuknya dilecutkan lagi. Pengaruh perintah yang 
terkandung di dalamnya lebih kuat dari sebelumnya. 

Gerombolan buaya itu kelihatan gelisah bukan main. Binatangbinatang 
itu tahu kalau majikan mereka memerintahkan untuk menyerang. 

Tapi, keberadaan pedang bersinar kehijauan di tangan si gadis membuat 
gerombolan buaya tak berani bertindak. 

Bonggala menggertakkan gigi. Sepasang matanya seperti 
mengeluarkan api karena amarah yang melanda. Di a tahu binatang 
peliharaannya tak mau mematuhi perintahnya karena takut dengan pedang 
si gadis.Tapi amarah yang bergolak membuat Bonggala tak ambil peduli. 
Bonggala melecutkan cambuknya. Bunyi riuh rendah terdengar 
ketika puluhan ekor buaya saling serang satu sama lain. Lecutan cambuk itu 
ternyata mengandung perintah penyerangan. Buaya-buaya menjadi buas dan 
liar karena urat-urat syarafnya terangsang oleh bunyi lecutan. Kebuasan dan 
keliaran itu sebenarnya tertuju pada gadis berpakaian hijau. Tapi karena si 
gadis mempunyai benda yang ditakuti gerombolan buaya, maka binatangbinatang 
itu tak berani melakukan penyerangan. Akibatnya, pertempuran 
antara masing-masing buaya pun tak bisa dihindarkan. 

Bonggala kebingungan melihat akibat tindakannya. Amarahnya 
yang tadi menggelegak segera susut. Buaya-buaya yang tel ah terlibat 
perkelahi an tak mau mendengarkan perintahnya lagi. Bunyi cambuk yang 
berkali-kali dilecutkannya sama sekali tak dipedulikan. Padahal, bunyi 
cambuk mengandung perintah agar binatang-binatang melata tersebut 
menghentikan perkel ahiannya. 

Gadis berpakaian hijau tertawa bergelak melihat pemandangan di 
hadapannya. Bibirnya yang tipis dan merah, dicibirkan ketika menatap 
Bonggala yang kebingungan. 

Saat pertarungan antar binatang mel ata itu semakin sengit, 
terdengar suara bentakan keras menggel egar. Bentakan yang disusul dengan 
gumaman-gumaman tak jel as. Bunyi perkataannya sulit ditangkap. Dan 
ketika gumaman itu selesai diucapkan, bentakan keras menggel egar kembali 
terdengar. Buaya-buaya yang tengah berkelahi langsung berhenti! Mereka 
masing-masing menjauhi lawan tarungnya. Sikap buaya-buaya itu kelihatan 
ketakutan bukan main. 

Bonggaladan gadis berpakaian hijau mengarahkan pandangan ke 
tempat suara keras itu terdengar. Dua sosok bayangan berkelebat dan 
mendarat tidak j auh dari mereka. Dua sosok bayangan itu mengenakan 
pakaian yang berbeda dari orang kebanyakan. Yang mengeluarkan bentakan 
tadi adalah seorang kakek berusia enam puluh lima tahun. Matanya yang 
sebelah kiri membelalak I ebar, tapi yang kanan seperti terpejam. Kepalanya 
botak. Bagian yang ditumbuhi rambut hanya pada bagian kanan dan kiri 
saja. Itu pun hanya beberapa helai saja. 

Kakek bermata picak ini mengenakan pakaian coklat. Tapi bukan 
warnanya yang menjadikan pakaian itu aneh. Baik baju maupun celana 
yang dikenakan si kakek tak s ama panjangnya. Lengan baju dan celananya 
antara yang kanan dan kiri tak sama panjang! 

Sosok yang satu lagi tak kalah anehnya. Pakaian yang 
dikenakannya bermodel biasa. Tapi, baik baju maupun celanannya tersusun 
dari bahan yang berbeda warnanya. Baju sebelah kanan berwarna putih, 
sedangkan bagian kiri berwarna hitam. Warna yang sama menghias 
celananya. Hanya saja dengan susunan sebaliknya. 

Sosok yang kedua ini seorang nenek. Usianya tak kurang dari 
tujuh puluh tahun. Sebagian besar kulitnya telah keriput. 
Sungguh pun demikian nenek ini kelihatan genit. Wajahnya dilapisi 
pupur tebal, sehingga kelihatan seperti memakai topeng. 

Dua sosok yang kelihatan aneh ini bukan orang-orang yang dapat 
membuat orang tertawa. Malah sebaliknya jika orang telah mengetahui 
siapa mereka. Kakek dan nenek ini merupakan tokoh-tokoh kawakan 
beraliran hitam. Mereka mampu membunuh orang secara keji sambil 
tertawa-tawa gembira. 

Kakek picak itu berjuluk Buaya Gila Bermata Tunggal! Dedengkot 
kaum sesat yang telah menggegerkan dunia persilatan dengan tindakannya 
keji dan kepandaiannya yang amat tinggi. Sejak tiga puluh tahun yang lalu 
kakek ini merajalela tanpa ada seorang tokoh pun mampu menandinginya. 

Namun tak seorang tohoh pun yang t ahu kalau Buaya Gila Bermata 
Tunggal memendam perasaan gent ar terhadap seorang tokoh. Majikan dari 
Sukra Dilaga! 

Buaya Gila Bermata Tunggal datang dari wilayah timur. Satu demi 
satu tokoh-tokoh persilatan di wilayah itu dirobohkannya. Bagi tokoh aliran 
putih tak ada ampun sedikit pun. Sedangkan bagi tokoh aliran hitam yang 
mau tunduk di bawah kekuasaannya akan diampuni. Bagi yang tak mau tunduk, 
dibasmi oleh Buaya Gila Bermata Tunggal.
 
Tak terhitung sudah tokoh-tokoh persilatan yang tewas di 
tangannya.Buaya Gila Bermata Tunggal tak hanya mengobrak-abrik wilayah 
timur, selatan dan utara. Barat pun menjadi incarannya. Kakek ini 
bermaksud menjadikan dirinya datuk nomor satu untuk golongan hitam! 

Berkat kepandaiannya yang tinggi, Buaya Gila Bermata Tunggal 
tak mengalami hambatan yang berarti. Timur, selatan, dan utara berhasil 
dikuasainya. Tapi usahanya untuk menguasai daerah barat kandas 
Di wilayah ini Buaya Gila Bermata Tunggal bertemu dengan tokoh 
aliran putih yang terkenal. Pertarungan antara mereka pun terjadi. Kali ini 
Buaya Gila Bermata Tunggal haais menelan kenyataan pahit. Tokoh aliran 
putih yang dihadapinya itu tak mampu dikalahkan. Hasil pertarungan 
mereka adalah seri. Tak ada yang menang atau yang kal ah. Peristiwa itu 
terjadi sepuluh tahun yang lalu. 

Buaya Gila Bermata Tunggal tak bisa menerima kegagalannya. Dia 
berlatih lebih keras selama lima tahun. Kemudian, tokoh aliran putih itu 
disatroninya kembali. Tapi maksud hatinya t ak kesampaian. Tokoh yang 
diincarnya itu telah tak ada di tempatnya. Dia sudah pergi entah ke mana. 

Buaya Gila Bermata Tunggal merasa tak puas. Anak buahnya 
disebar untuk mencari tahu di mana tokoh itu berada. Tapi hasilnya sia-sia. 
Jejaknya bagai lenyap ditelan bumi! 

Buaya Gila Bermata Tunggal kembali ke tempat tinggalnya. 
Bertahun-tahun kemudian dia berhasil menemukan jejak tokoh yang pernah 
mengalahkannya. Yakin kalau kepandaiannya telah meningkat pesat. 

Majikan Sukra Dilaga pun ditemuinya lagi. Mereka bertarung. Tapi seperti 
juga pertemuan pertama, dalam perkelahian kali ini pun kakek picak ini 
menderita kekalahan. Untung nyawanya masih bisa selamat. Kekalahan 
kedua kali Buaya Gila Bermata Tunggal terjadi tiga tahun yang lalu. 

Nenek berpakaian hitam putih yang berdiri di sebelahnya juga 
bukan orang sembarangan. Nenek ini dulunya termasuk sal ah satu pentolan 
kaum hitam. Waktu itu belum ada seorang tokoh pun yang berminat 
mengangkat diri s ebagai datuk. Nenek ini dikal ahkan oleh Buaya Gila 
Bermata Tunggal. Berbeda dengan pentolan-pentolan kaum hitam lainnya, 
nenek ini bersedia takluk sehingga nyawanya selamat. Nenek ini dikenal 
dengan julukan Dewi Pesolek! 

"Guru...!" 

"Nenek...!" 

Seruan itu keluar hampir berbarengan. Bonggala yang lebih dulu 
berseru dan berhambur ke arah kakek picak. Sekejapan kemudian, gadis 
berpakaian hijau berlari ke arah Dewi Pesolek sambil memanggul tubuh 
Sukra Dilaga. 

Buaya Gila Bermat a Tunggal dan Dewi Pesolek t ak membalas 
seruan sepasang muda-mudi itu. Wajah kedua tokoh sesat ini terlihat tidak 
senang. 

"Padmini, bagus sekali kelakuanmu! Ataukah kau ingin menjadi 
tamu yang kurang ajar! Tamu yang tak menghargai tuan rumahnya?! Cepat 
kau minta maaf pada Bonggala atas kelancanganmu!" cetus Dewi Pesolek. 
"Tapi, Nek...," gadis berpakaian hijau ingin membantah. 

"Tidak ada tapi-tapian kalau kau masih menganggapku sebagai 
nenek!" bantah Dewi Pesolek tak kalah keras. 

Sikap Dewi Pesolek ini mengherankan hati Padmini. Mana pernah 
nenek itu mempedulikan s egala sopan santun lagi? Pula tak biasanya dia 
berkeras dengan pendapatnya yang sudah-sudah yaitu si nenek selalu 
mengalah terhadap Padmini. 

Dari rasa heran otak Padmini yang cerdas segera dapat menduga 
hal-hal lain yang tersembunyi di balik sikap aneh itu. Setelah lebih dulu 
menindas rasa tak senangnya, pandangannya diarahkan pada Buaya Gila 
Bermata Tunggal. Rasa tak mau mengalah terhadap Bonggala membuat 
Padmini memutuskan untuk bicara dengan kakek picak itu dari pada dengan 
muridnya. 

"Maafkan atas kelancanganku, Kek. Sikapku tel ah membuat 
banyak binatang peliharaanmu tewas," ujar Padmini lirih. Tapi nada 
ucapannya tak seperti orang yang menyes al, melainkan seperti orang 
terpaksa. "Meskipun sebenarnya aku tak tahu mengapa harus meminta 
maaf, tapi karena nenekku memaksa, aku tak mempunyai pilihan lain..." 
Dewi pesolek menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan 
Padmini. Ucapan yang menunjukkan sikap keras gadis berpakaian hijau itu. 
Dewi Pesolek sebenarnya mempunyai alasan kuat menyuruh 
Padmini meminta maaf. Sekali lihat saja nenek ini telah bisa 
memperkirakan apa yang terjadi. Dan Dewi Pesolek tahu bet apa sayangnya 
Buaya Gila Bermata Tunggal pada binatang-binatang peliharaannya. Kakek 
itu bisameledak amarahnya melihat buayanya tewas atau terluka. 

Apabila tokoh seperti Buaya Gila Bermata Tunggal murka tak ada 
istilah teman atau rekan lagi baginya. Siapa pun yang telah menyulut 
amarahnya akan diberinya hajaran keras. Dan itu bisa berarti maut! 

Dewi Pesolek tentu saja tak menginginkan Padmini celaka. Karena 
itu, meski terpaksa dan berlawanan dengan suara hati, dipaksakannya 
bersikap keras t erhadap Padmini. Untungnya gadis itu mau mendengar dan 
mematuhi perintahnya. 

"Ha ha ha...!" 

Buaya Gila Bermata Tunggal tertawa bergelak. Tawa yang bebas 
bagai orang yang tengah gembira. 

"Kau tak perlu meminta maaf padaku atau pada muridku, Cah 
Ayu!" lanjut kakek picak setelah puas tertawa "Justru aku seharusnya 
berterima kasih padamu. Kau tahu mengapa?" 

Padmini menggeleng. Gadis ini memang t ak tahu mengapa Buaya 
Gila Bermata Tunggal malah mengucapkan terima kasih atas tindakannya. 
Dewi Pesolek merasa gembira sekali melihat t anggapan Buaya 
Gila Bermata Tunggal. Apa pun penyebab kegembiraan kakek picak itu dia 
tak peduli. Yang penting dedengkot kaum sesat itu tak marah atas kematian 
binatang peliharaannya. 

"Memang sudah kuduga kau tak akan mengetahui jawabannya, 

Cah Bagus! Jangankan kau, muridku itu pun tak akan mengetahui 
jawabannya. Maka, agar kau dan muridku yang goblok itu tak berlama-lama 
kebingungan, lebih baik jawaban pertanyaan itu segera kuberikan!" 

Buaya Gila Bermata Tunggal menghentikan ucapannya. Kakek 
picak ini malah menatap lekat-lekat pada tiga sosok yang ada di dekatnya 
satu per satu. 

Padmini yang memiliki hati besar dan ketabahan cukup merasakan 
kengerian ketika pandangannya beradu dengan kakek picak. Sinar mata kakek 
itu demikian tajam, seperti mampu membaca apa yang berkecamuk di 
hati dan pikirannya. Mata Ruaya Gila Bermata Tunggal ini jauh lebih tajam 
dan mengerikan dari pada mata Dewi Pesolek, gurunya. 

"Karena, muridku yang goblok tapi tinggi hati ini jadi tahu dengan 
dangkalnya ilmu yang dimilikinya!" 

Akhirnya, keluar juga jawaban yang dimaksud Buaya Gila 
Bermata Tunggal. 

"Padahal telah berkali-kali kukatakan tentang kedangkalan ilmunya 
itu. Tapi murid goblok ini tetap tak mau mengerti. Sekarang aku yakin dia 
telah tahu dengan kemampuannya yang tidak seberapa itu. Dan aku yakin, 
murid goblok ini akan segera meminta petunjuk padaku!" 

Padmini mendapat kesempatan lagi untuk mengejek Bonggala. 
Seulas senyum sinis yang ditutup dengan cibiran bibirnya dilontarkan pada 
pemuda itu. 

Tentu saja tidak hanya Bonggala yang melihatnya. Dewi Pesolek 
dan Buaya Gila Bermata Tunggal pun melihat. Dewi Pesolek mengeluh 
dalam hati melihat tingkah muridnya. Nenek ini tahu tokoh seperti Buaya 
Gila Bermata Tunggal, seperti juga dirinya, memiliki watak aneh yang 
sukar untuk diterka. Bukan tak mungkin keinginan untuk membunuh 
mendadak muncul karena sikap Padmini. 

Lagi-lagi kekhawatiran Dewi Pesolek tak berai asan. Buaya Gila 
Bermata Tunggal tak marah s ama sekali. Jangankan murka, mempedulikan 
hal itu saja tidak. Hanya Bonggala yang terlihat menampakkan kemarahan 
dan kegeramannya. Pemuda ini memang dongkol bukan main. Setelah dicerca 
gurunya kemudian diledek oleh Padmini. 

Keadaan yang t ak memungkinkan untuk membalas perlakuan 
Padmini membuat Bonggala menyimpan rasa sakit hatinya. Hanya sorot 
matanya yang menyiratkan ras a dendam dan sakit hati. Bukan hanya 
Padmini saja yang mengetahui perasaan dalam sorot mata Bonggala. Buaya 
Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek pun melihatnya. Hanya, kalau 
kakek picak bersikap t ak peduli dan Padmini menganggap ancaman itu 
secara s epele, tak demikian halnya dengan Dewi Pesolek. Si nenek merasa 
khawatir bukan main! 

"Berhati-hatilah, Padmini. Aku yakin Bonggala tak akan 
menyudahi urusan ini begitu saja. Bukan t ak mungkin kau akan 
dicelakainya secara licik," beritahu Dewi Pesolek melalui ilmu 
mengirimkan suara dari jauh, hingga yang mendengar ucapannya hanya 
Padmini seorang. 

Padmini menatap wajah Dewi Pesolek lekat-l ekat. Ingin dilihatnya 
tanggapan yang lebih jelas dari nenek itu. 

"Bersikaplah biasa, Padmini. Jangan tunjukkan sikap yang 
mencurigakan. Kau harus waspada penuh terut ama terhadap Bonggala. Si 
picak ini pun meski kelihatannya baik hati, tapi di dalam lubuk hatinya 
tersembunyi kekejian yang tak terbayangkan pikiranmu. Aku menyesal 
membawamu kemari, Padmini." 

Hati Padmini tercekat. Gadis yang telah lama tinggal dengan Dewi 
Pesolek itu bisa merasakan kalau si nenek khawatir sekali. Dan 
kekhawatiran si nenek membuat Padmini menjadi tegang. Belum pernah 
dilihatnya Dewi Pesolek kelihatan demikian bingung. 

"Kurasa...," Buaya Gila Bermata Tunggal membuka pembicaraan, 
memecahkan keheningan yang melingkupi tempat itu. "Lebih baik kita ke 
istanaku, Dewi. Di sana kita bisa berbincang-bincang secara leluasa, guna 
merundingkan rencana kita selanjutnya. Bagaimana, Dewi?" 

"Aku setuju saja, Buaya," jawab Dewi Pesolek tanpa berpikir 
panjang lagi. Dan saat itu juga dia menyambung ucapannya dengan 
mengirimkan suara dari jauh pada Padmini. "Kau ikut dengan aku, Padmini. 
Cepat kau ajukan diri padaku agar aku mempunyai alasan untuk 
membawamu..." 

Pada saat yang bers amaan, Buaya Gila Bermata Tunggal pun 
mengirimkan suara pula pada Bonggala. 

"Pergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk membalas sakit 
hatimu, Murid Dungu! Terserah apa hukuman yang hendak kau timpakan 
pada gadis montok itu. Aku tak peduli. Tapi ingat, hal itu baru boleh kau 
lakukan apabila aku sudah membawa gurunya ke dalam. Bukannya aku 
takut terhadapnya. Tapi saat ini tenaganya kuperlukan untuk menghadapi 
musuh besarku. Pergunakan ke sempatan ini sebaik-baiknya, Bonggala!" 
"Aku ikut, Nek," ujar Padmini, bertepatan dengan selesainya 
Buaya Gila Bermata Tunggal mengirim pemberitahuan pada muridnya. 
Sambil berkata demikian, Padmini mengayunkan kaki mendekati gurunya. 
Tubuh Sukra Dilaga yang berada di bahunya tak dilepaskan. 

"Ha ha ha...!" 

Tawa Bonggala yang nadanya sarat dengan ejekan lebih dulu 
menyambuti ucapan Padmini, sebelum Dewi Pesolek memberikan 
tanggapan. 

Wajah Padmini langsung merah padam karena malu dan 
tersinggung. Wajah Dewi Pesolek pun berubah. Nenek ini merasakan 
jantungnya berdetak lebih cepat. Padmini yang berwatak keras pasti akan 
terkena pancingan Bonggala. 

Dewi Pesolek mengerling ke arah Buaya Gila Bermata Tunggal. 
Hendak dilihatnya tanggapan kakek itu atas sikap muridnya. Tapi kakek 
picak itu bersikap tak peduli. 

Melihat hal ini semakin tak enak rasa hati Dewi Pesolek. Segumpal 
pertanyaan bergayut di benaknya. Apakah kejadian ini telah direncanakan 
oleh Buaya Gila Bermata Tunggal? Bukan tak mungkin kakek picak itu 
yang mengatur semuanya. 




"Sungguh tak kusangka betina bermulut tajam ini ternyata 
memiliki hati yang kecil! Rupanya kau masih belum lepas menetek dengan 
nenekmu, Wanita Liar?!" 

Ejekan itu dikeluarkan Bonggala sebagai lanjutan atas gelak 
tawanya. Kelicikannya membuat pemuda ini bersikap seperti orang bingung 
dan tidak percaya. Kepal anya digeleng-gelengkan. Dari mulutnya 
dikeluarkan sebaris kalimat yang diulang-ulang. 

"Tak kusangka.... Tak kusangka...." 

Seperti yang dikhawatirkan Dewi Pesolek, tanggapan Padmini 
memang sesuai dengan harapan Bonggala. 

"Tutup mulutmu, Pemuda Iblis! Siapa bilang hatiku kecil? 

Melawan kau pun aku tak takut. Ataukah kau ingin melihat buktinya? 
Majulah! Akan kuhadapi kau sampai salah seorang di antara kita 
menggeletak t ak bernyawa!" sembur Padmini berapi-api, penuh dengan 
semangat yang meluap-luap. 

Dewi Pesolek hanya bisa menghela napas berat. Kenyataan yang 
dikhawatirkannya tak bisa dihindarkan I agi. Keributan antara Padmini 
dengan Bonggala pasti akan terjadi. 

Kegelisahan Dewi Pesolek s emakin bertambah-tambah ketika 
Buaya Gila Bermat a Tunggal malah mengayunkan kaki meninggalkan 
tempat itu. Si kakek picak ini menuju istananya. Rasa gelisah yang besar 
membuat Dewi Pesolek kebingungan di tempatnya. 

"Sudahlah, Dewi, segala urusan anak-anak tak usah direpotkan. 
Nanti pun mereka akan baik kembali," ucap Buaya Gila Bermata Tunggal 
dengan sikap tak peduli. Dewi Pesolek tak bisa berbuat apa-apa lagi. 

Ucapan Buaya Gila Bermata Tunggal merupakan sindiran tajam. Kalau dia 
bersikeras untuk bertahan di tempat itu, sama saja dengan tak mempercayai 
si kakek picak. Dan Dewi Pesolek tahu, akibatnya akan sangat gawat bagi 
dirinya. 

Dengan hati gelisah kakinya diayunkan mengikuti langkah Buaya 
Gila Bermata Tunggal. Si kakek itu sendiri yang berada beberapa langkah di 
depan Dewi Pesolek, tiba-tiba membalikkan tubuh. Dewi Pesolek sampai 
terkesiap karenanya. Perasaan geli sah membuatnya mudah menaruh curiga. 
Buaya Gila Bermata Tunggal, ternyata tak hendak menyerangnya. 

Kakek picak itu menatap Sukra Dilaga yang berada di bahu Padmini. 

"Aku sampai lupa dengan orang itu...," ucap Buaya Gila Bermata 
Tunggal. "Aku ingin tahu siapa yang telah berani mati mengunjungi 
tempatku." 

Buaya Gila Bermata Tunggal kemudian melambaikan tangan, 
kelihatan seperti tengah memanggil seseorang. Gerakannya pun tak terlihat 
mengerahkan tenaga. Padmini terkejut bukan main ketika merasakan ada 
kekuatan dahsyat berusaha merebut tubuh Sukra Dilaga. Gadis ini tak mau 
membiarkan tubuh itu terampas. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk 
mempertahankan Sukra Dilaga. 

Padmini tahu kalau kekuatan dahsyat itu berasal dari tangan Buaya 
Gila Bermata Tunggal. Tokoh itu sendiri berjarak beberapa tombak darinya. 
Tapi, lambaian tangannya dirasakan bagai tangan raksasa tak nampak. 
Urat-urat Padmini terlihat seperti akar pohon. Semuanya 
bertonjolan keluar s aking kerasnya gadis ini berusaha mempertahankan 
tubuh Sukra Dilaga. Hanya sekejapan saja pert arungan tenaga dalam itu 
terjadi. Begitu jari-jari Buaya Gila Bermat a Tunggal dijentikkan, Padmini 
merasakan sekujur tubuhnya lemas. Gadis ini terkena totokan jarak jauh. 

Totokan yang membuat aliran tenaga dalamnya terhenti. Dengan 
terhentinya aliran tenaga Padmini, Buaya Gila Bermata Tunggal tak 
mendapatkan perlawanan lagi. Tubuh Sukra Dilaga langsung melayang ke 
arahnya. Padmini yang mendapatkan kembali tenaga dai amnya sesaat 
kemudian, hanya bisa mengepalkan tinju melihat tubuh Sukra Dilaga telah 
tergolek di tanah, di depan Buaya Gila Bermat a Tunggal. Kakek itu 
membolak-balikkan tubuh Sukra Dilaga dengan mempergunakan kakinya. 
"Binatang tak tahu diri ini adalah pelayan dari Empu Sapu Jagad, 
Dewi," ujar Buaya Gila Bermata Tunggal. "Entah ada urusan apa pelayan 
goblok ini bisa berada di sini. Kurasa lebih baik kal au Sapu Jagad 
mengetahui pelayannya menjadi umpan buaya." 



Usai berkata demikian, dengan tingkah orang yang merasa jijik, 

Buaya Gila Bermat a Tunggal mengibaskan tangan ki ri ke arah tubuh Sukra 
Dilaga. Tubuh kakek yang malang itu meluncur ke arah gerombolan buaya. 
Padmini yang gemar mencampuri urusan orang I ain tak bisa 
tinggal diam. Dia hendak menyambar tubuh Sukra Dilaga sebelum jatuh ke 
tempat kerumunan buaya kelaparan. Tapi, sebelum itu terlaksana Buaya 
Gila Bermata Tunggal telah membentak keras. 

"Diam kau...!" 

Kalau menuruti perasaan, Padmini tak ingin mengikuti perintah itu. 
Tapi pengaruh yang terkandung dalam bentakan itu memang luar biasa. Sekujur 
tubuh Padmini lemas t ak berdaya. Buaya Gila Bermata Tunggal 
kemudian kembali mengibaskan tangan. Kakek pi cak berwatak kej am ini 
tak mau membiarkan Sukra Dilaga di rencah-rencah buaya dalam keadaan 
pingsan. Kibasan itu dilakukan untuk menyadarkan Sukra Dilaga. 

Maksud Buaya Gila Bermata Tunggal memang terlaksana. Sukra 
Dilaga langsung tersadar. Dan, kakek itu terkejut ketika mengetahui 
tubuhnya melayang. Kekagetannya semakin menjadi-jadi ketika melihat 
tempat yang akan dijatuhi tubuhnya adalah kerumunan buaya-buaya lapar! 
Sukra Dilaga tak ingin mati percuma. Tenaga dalamnya dikerahkan 
untuk menyelewengkan arah luncuran tubuhnya. Sukra Dilaga menjadi 
panik ketika tak meras akan putaran tenaga dalam di pusarnya. Buaya Gila 
Bermata Tunggal memang telah menghilangkan tenaga dalamnya, meski 
hanya untuk sementara. 

Buaya Gila Bermata Tunggal tersenyum puas ketika melihat nasib 
yang menimpa Sukra Dilaga. Bonggala sendiri tertawa-tawa gembira. Dewi 
Pesolek yang sejak tadi berdiam diri tetap membisu. Sebaliknya, Padmini 
merasa muak melihatnya. Bahkan, gadis ini hampir muntah-muntah melihat 
Sukra Dilaga yang malang jadi rebutan buaya-buaya kelaparan!. 

Buaya Gila Bermata Tunggal baru mengayunkan kaki 
meninggalkan tempat setelah sekujur tubuh Sukra Dilaga tak berbentuk lagi. 
Dewi Pesolek tanpa banyak kata mengikutinya. Sebelum hal itu dilakukan, 
masih sempat dilontarkan kerlingan pada muridnya. Kerlingan yang 
mengandung arti agar muridnya berhati-hati. Dan, Padmini tahu hal itu. 

Padmini ikut meninggalkan tempat itu ketika Buaya Gila Bermata Tunggal 
dan Dewi Pesolek baru melangkah beberapa tindak. Padmini menempuh 
arah yang beri ainan dengan mereka. 

Semula Padmini mengayunkan langkah seenaknya. Sikapnya 
menunjukkan kes an tak peduli. Padahal sebenarnya tak demikian. Padmini 
memasang kewaspadaan penuh terhadap gerak-gerik Bonggala! 

Gadis ini tahu kalau Bonggala mengikutinya. Pemuda bermata liar 
itu juga mengayunkan langkah seenaknya. Padmini yang teringat pesan 
gurunya berusaha untuk menahan diri. Gadis ini malah berlari 
mempergunakan seluruh ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. 

Tindakan itu dilakukan Padmini secara tiba-tiba. Karuan saja hal 
ini mengejutkan Bonggala. Kaburnya gadis itu memaksa Bonggala berlari 
dan mengejar Padmini secara terang-terangan. 

Kejar-mengejar pun terjadi. Masing-masing mengerahkan seluruh 
kemampuannya. Seketika tubuh keduanya lenyap. Yang terlihat hanya dua 
kelebatan bayangan kuning dan kehijauan melayang-layang bagai tak 
menyentuh permukaan tanah. 

Gerakan kedua orang muda itu cepat bukan main. Dalam waktu 
sebentar saja tempat mereka s emula berada tel ah jauh ditinggalkan. Dan 
ketika jarak yang ditempuh telah lebih dari seribu tombak, Bonggala yang 
sejak tadi menyusul sedikit demi sedikit bergegas melompat, melewati atas 
kepala Padmini. Pemuda ini bersalto beberapa kali dan menjejak tanah di 
depan Padmini. Hanya berjarak empat tombak! 

Padmini tak mempunyai pilihan lain kecuaii menghentikan I arinya 
dan menatap Bonggala dengan sengit. 

"Mau apa kau mengejar-ngejarku terus, Pemuda ceriwis?! Kalau 
tak mengingat larangan guruku, sudah kuterjang kau dan kucincang 
dagingmu!" tandas Padmini penuh kemarahan. 

Bonggala malah tertawa-tawa. Hal ini membuat kemarahan 
Padmini semakin memuncak. Sepasang mata gadis itu mencorong tajam 
yang ditujukan pada murid Buaya GilaBermata Tunggal. 

"Aku tak akan mengejarmu apabila kau tak mencari-cari urusan 
denganku, Wanita Liar!" tandas Bonggala sambil tersenyum aneh. "Tanpa 
kuperkenankan sama sekali, kau mencampuri urusanku dengan pelayan 
Sapu Jagad. Kau pula yang membuat guru menegurku. Kau telah membuat 
aku terhina dua kali. Maka, sudah selayaknya kalau aku memberi hukuman 
padamu!" 

Tanpa Bonggala menjelaskan keluhan yang dimaksudnya, dengan 
naluri kewanitaannya Padmini bisa memperki rakan. Sikap Bonggala ketika 
menutup ucapannya tel ah memberitahukan gadis itu. Sepasang mata 
Bonggala menjilati sekujur tubuh Padmini penuh gejolak nafsu birahi! 

Tahu kalau Bonggala mengincar kemolekan tubuhnya, Padmini 
jadi berang. Gadis ini marah bukan main. Dengan diawali teriakan keras 
yang mengget arkan jantung, Padmini meluruk ke arah Bonggala. Tinju 
kanan dan kirinya diluncurkan berganti-ganti. 

Bonggala tersenyum mengejek. Sikapnya kelihatan memandang 
remeh s erangan yang dilancarkan Padmini. Padahal, di lubuk hatinya 
pemuda ini terkesiap melihat kedahsyatan serangan itu. Serangan Padmini 
di samping cepat bukan main, sehingga tak terlihat jelas gerakan kedua 
tangannya, juga menimbulkan bunyi berdesing nyaring. 

Bonggala memang seorang pemuda tinggi hati. Dia malah 
menyangka di dunia ini untuk golongan pemuda, hanya di rinya yang 
memiliki tingkat kepandaian tertinggi. Maka meski mengetahui kedahsyatan 
serangan itu, tanpa ragu-ragu lagi dipapakinya dengan sikap tangan yang 
sama. 

Buk, bukkk! 

Benturan bertubi-tubi antara dua pas ang tinju yang mengandung 
tenaga dalam kuat tak bisa di elakkan. Get aran yang tercipta sampai pada 
kedua bel ah pihak. Terutama sekali terhadap Padmini. Tubuh gadis itu 
terhuyung-huyung ke belakang tiga langkah. Roman wajahnya menyi ratkan 
kenyerian. Sakit dan ngilu mendera kedua t angannya yang berbenturan 
dengan tangan Bonggala. 

Di lain pihak, Bonggala hanya t erhuyung dua langkah. Seringai 
kesakitan yang tampak di wajah Padmini tidak terlihat di wajah pemuda ini. 
Padmini geram bukan main melihat hasil benturan itu, sementara 
Bonggala justru tert awa-tawa gembira. Pemuda ini sengaja bersikap 
demikian untuk membuat hati Padmini bertambah kalap. Hasil benturan itu 
saja sudah cukup memukul perasaan Padmini. Apalagi jika ditambah 
dengan ejekan yang diberikannya. 

Dugaan Bonggal a memang tidak keliru. Padmini semakin uringuringan. 
Dengan didahului teriakan melengkingnya nyaring, gadis ini 
menerjang Bonggala dengan serangan-serangan dahsyat. 

Bonggala segera menyambutinya. Dalam sekejapan tubuh 
pasangan muda-mudi yang s aling bermusuhan ini telah lenyap. Yang 
tampak hanya dua kelebat an bayangan kuning dan kehijauan yang saling 
belit. Bunyi mendesing dan mengaung mengiringi gerakan keduanya. 

Tingkat kepandaian Bonggala sebenarnya lebih tinggi. Tapi karena 
pemuda ini bertarung hati-hati agar tak kes alahan tangan membunuh atau 
melukai terlalu berat, kemampuan tertingginya tak dikeluarkan semua. 
Sebaliknya, Padmini bertarung mempert aruhkan nyawa. Serangan-serangan 
gadis ini selalu membawa maut. Bahkan tak jarang serangannya 
mengandung ajakan untuk mengadu nyawa. 

Bonggala sama sekali tak meladeni. Pemuda itu telah terpincuk 
dengan kecantikan Padmini. Dia ingin merobohkan gadis itu tanpa melukai, 
agar dapat menikmati tubuhnya. Sudah terbayang di benak Bonggala 
nikmatnya menggeluti tubuh montok gadis itu. 

Karena teri alu berhati-hati Bonggala jadi mengal ami kesulitan 
untuk membekuk Padmini. Jalannya pertarungan malah berimbang. Bahkan, 
karena terlalu nekatnya Padmini, Bonggala jadi kelihatan terdesak. 
Keadaan tak menguntungkan ini malah dimanfaatkan Bonggala. 

Pemuda yang licik itu mendapat gagasan ketika melihat bersemangatnya 
Padmini untuk merobohkannya. Bonggala kemudian memperlihatkan 
keadaan yang semakin terdesak. 

Seperti yang sudah diduga Bonggala, Padmini memang semakin 
bersemangat melancarkan serangan. Kewaspadaan gadis itu menyusut 
karena terbawa dorongan untuk s egera dapat merobohkan lawannya. Dan 
secara tak terduga-duga, Bonggala mengibaskan tangan kiri, setelah terlebih 
dulu memasukkan t angannya ke balik baju. Tindakan itu dilakukannya 
dengan cepat dan hanya sekejapan saja. 

Padmini kelabakan ketika dari tangan Bonggala tersebar bubukbubuk 
halus. Tidak tercium bau tajam sebagaimana biasanya bubuk racun. 

Rasa gugup dan belum banyaknya pengalaman membuat Padmini 
mengambil tindakan berbahaya. Gadis itu memej amkan mat a agar bubuk 
yang disebarkan t ak mengenai matanya. Pada s aat yang bersamaan, karena 
memang telah dinanti-nantikan Bonggala, segera dikirimkan tendangan kaki 
kanan ke arah perut Padmini. 

Deru angin yang mengiringi meluncurnya serangan tersebut 
terdengar oleh Padmini. Gadis ini menyadari adanya bahaya. Meski tak 
melihat, tapi bisa memperkirakan bagi an mana yang dituju. Dengan 
sepasang mata masih terpejam Padmini melompat ke belakang untuk 
menghindar. 

Bukkk! 

"Hubh.J" 

Keluhan tertahan itu keluar dari mulut Padmini. Tendangan 
Bonggala mendarat secara telak di peutnya. Bonggala tak kalah cerdik. 
Serangan yang dilancarkannya tak hanya dengan kaki kanan. Tapi, 
disusulinya secara cepat dengan kaki kiri. Arah yang ditujunya tetap sama. 
Siasat Bonggala berhasil. Padmini yang tak mengira tindakan ini 
langsung terjengkang ke belakang. Wajah gadis itu menegang karena rasa 
sesak yang mendera perutnya. 

Saat yang baik itu tak disia-siakan Bonggala. Pemuda bermata liar 
ini menerjang maju dengan totokan bertubi-tubi. Sementara Padmini sudah 
membuka matanya kembali. Gadis ini bermaksud mengelakkan serangan. 
Tapi kecepatan serangan Bonggala terlalu luar biasa. Padmini hanya mampu 
mengelakkan beberapa totokannya. Totokan yang ketiga tak dapat 
dielakkan lagi. Padmini roboh ke tanah seperti sehelai kain basah ketika jari 
Bonggala menyentuh bahu kanannya. 

"Ha ha ha...!" 

Tawa bergelak penuh perasaan gembira dikumandangkan 
Bonggala atas keberhasilannya. Sekejap pemuda ini menatap tubuh molek 
yang tergolek di tanah dengan mata berkilat-kilat penuh nafsu. 

Padmini merasakan detak j antungnya berpacu lebih cepat. Gadis 
ini merasakan adanya ancaman yang mengerikan. Padmini hanya dapat 
menatap tingkah Bonggala dengan sorot mata takut dan ngeri! 

Bonggala tentu saja tahu arti sorot mat a Padmini. Kenyataan ini 
membuatnya semakin gembira. Langkah-I angkahnya semakin diperlambat. 
Sepasang matanya yang menatap Padmini semakin diperliar untuk lebih 
menimbulkan rasa takut pada gadis itu. 

Diiringi geraman bagai seekor harimau lapar menerkam mangsa, 

Bonggala menerkam tubuh Padmini. Dengan buas wajah gadis itu 
diciuminya. Padmini hanya bisa memejamkan mata dan merintih di dalam 
hati. 

Tak puas hanya dengan menciumi sel ebar wajah, Bonggala mulai 
menjarah pakai an si gadis. Tangannya yang berj ari-jari kuat dan mampu 
menghancurkan batu karang paling keras bersiap mencabik-cabik pakaian 
Padmini. 

"Kau renggut pakaian gadis itu, akan kuhancurkan batok 
kepalamu, Manusia Jahanam!" 

Bonggala langsung menahan maksudnya. Suara yang t erdengar 
amat dekat itu menghentikan gerakannya. Pemuda ini bergegas bangkit 
berdiri dan bersiap untuk bertarung. 

Bonggala tahu ada seseorang yang melihat perbuatannya. Kendati 
demikian, pemuda ini tak merasa gent ar. Dari suara yang ditangkap 
telinganya agaknya pemilik suara itu masih muda. Sampai di mana sih 
tingginya kepandaian seorang muda! Ucap Bonggala dalam hati dengan 
nada meremehkan. 

Bonggala mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sulit baginya 
memperkirakan di mana pemilik suara itu berada. Di sekitar tempatnya 
berada hanya semak-semak dan pepohonan bes ar. Bonggala dan Padmini 
memang berada di dalam sebuah hutan lebat. 

"Siapa kau, Orang Usilan?! Tunjukkan rupamu kalau kau bukan 
seorang pengecut!" teriak Bonggala lantang, set elah mencari-cari dengan 
penuh perhatian tak juga bisa memperkirakan di mana pemilik suara itu. 

"Aku di sini, Sobat. Dekat denganmu...." 

Bonggala menggertakkan gigi. Pemuda ini merasa dipermainkan. 
Bonggala yang memiliki watak tinggi hati tetap tak mau berpikir jernih. 

Kalau saj a hatinya tak penuh dengan kesombongan, dari tidak dapat 
dilacaknya di mana pemilik suara itu saja telah dapat diketahui ketinggian 
ilmunya. 

Bonggala mengibaskan kedua tangan dengan pengerahan tenaga 
sepenuhnya. Deru angin keras berhembus. Beberapa batang pohon 
berpatahan ketika terlanda angin serangan. Semak-semak pun porakporanda. 
Malah, sebagian besar tercabut sampai ke akarnya. 

Bonggala memperhatikan kembali sekelilingnya yang sebagian 
besar t elah terbuka. Tapi tetap saja pemilik suara yang mengancam dirinya 
tak terlihat. Bersembunyi di mana si keparat sialan itu? Maki Bonggala 
dalam hati. 

"Keluar kau, Pengecut! Jangan hanya bisa bersembunyi saja! 
Kalau memang memiliki keberanian, keluar...!" 

"Sejak tadi pun aku sudah menunjukkan diri, Manusia Tak 
Bermata!" sahut pemilik suara. "Dongakkan kepalamu, dan lihat baik-baik!" 
Bonggala mendongakkan kepalanya dan tanpa sadar pemuda ini 
terjingkat ke belakang. 

Sesosok tubuh terbungkus pakaian ungu tergantung 
di atas kepalanya. Sosok itu tergantung dengan kepala di bawah. 

Rambutnya yang putih keperakan terjurai ke bawah. Sosok yang ternyata 
seorang pemuda tampan itu tergantung pada salah satu cabang pohon yang 
besar bukan main. Letaknya di dekat Bonggala berdiri. 

Bonggala hanya terkejut sebentar. Sesaat kemudian, sifat liciknya 
membuat pemuda itu segera mengambil keputusan. Kedua tangannya 
dihentakkan. Seketika itu juga, serangkum angin berciutan meluruk ke arah 
pemuda berpakaian ungu. Bonggala telah memperhitungkan serangan itu 
akan membuat pemuda usilan ters ebut melompat ke bawah. Dan bila itu 
terjadi, serangan susulannya telah dipersiapkan. 

Tapi, apa yang diperkirakan Bonggala ternyata tak sesuai dengan 
kenyataan. Pemuda berpakaian ungu t ak berusaha melompat untuk 
mengelakkan serangan. Dengan kedua kaki masih terkait pada cabang 
pohon, tubuhnya diayunkan sehingga pukulan jarak jauh Bonggala 
mengenai tempat kosong. 

Kenyataan ini saja sudah mengejutkan Bonggala. Tapi, 
keterkejutan yang lebih bes ar melandanya ketika melihat akibat ayunan 
pemuda berpakaian ungu. Daun-daun pohon berguguran dan meluncur 
turun dengan memperdengarkan bunyi bercicitan nyaring. Bunyi yang 
terdengar seakan-akan timbul dari meluncurnya anak panah! 

Bonggala membentak keras. Kedua tangannya segera dihentakkan 
untuk mengirimkan pukulan jarak jauh. Daun-daun itu bagaikan membentur 
dinding yang tak nampak, roboh sebelum berhasil mengenai tubuh 
Bonggala. Pada saat yang bersamaan pemuda berpakaian ungu berhasil 
menjejak tanah. Bonggala hanya bisa menggert akkan gigi, geram melihat 
keberhasilan orang usilan itu mendarat di tanah tanpa sempat dikirimkan 
serangan. 

Bonggala menatap pemuda berpakai an ungu dengan sinar mata 
penuh hawa pembunuhan. Orang yang ditat apnya terlihat tenang-tenang 
saja. Dibalasnya tatapan bonggala. 

"Siapa kau, Anjing Kurap?!" teriak Bonggala, keras. "Sungguh 
berani kau mencampuri urusanku! Tidakkah kau tahu siapa aku?!" 

Pemuda berpakaian ungu yang bukan lain Arya Buana at au lebih 
dikenal dengan julukan Dewa Arak, tersenyum tenang. Dia tak kelihatan 
marah atau tersinggung. 

"Aku tak ingin tahu siapa kau, Manusia Hina! Tapi yang perlu kau 
tahu, siapa pun adanya asal orang itu kulihat melakukan tindak kejahatan 
akan kutentang. Aku tak peduli siapa pun orang itu. Jelas?!" 

"Kalau begitu, kau ingin mampus 

Bonggala yang telah murka langsung mencabut cambuknya, 
kemudian dilecutkan. Dalam sekali lecut dikirimkannya serangan ke arah 
ubun-ubun Dewa Arak. Dengan kepandaiannya yang tinggi, Bonggala 
mampu membuat senjata lemas itu me-liuk-liuk bagai ular. 

Dewa Arak bersikap tenang. Bonggala tampaknya lawan yang 
amat tangguh. Sungguh pun demikian, ditunggunya hingga dekat serangan 
yang dilancarkan pemuda itu. Baru kemudian kepalanya digoyangkan! 

"Ah...!" 

Seruan kaget tercetus dari mulut Bonggala. Sepasang mata pemuda 
ini membelalak lebar melihat rambut Dewa Arak berpencar menjadi dua 
gumpal. Gumpalan yang pert ama meliuk liuk mengikuti gerak cambuk 
Bonggala. Sedangkan gumpalan yang lain menegang kaku bak tongkat, 
kemudian meluncur ke arah pergelangan t angan Bonggal a yang memegang 
cambuk. Murid Buaya Gila Bermat a Tunggal ini segera tahu rambut Dewa 
Arak bermaksud menotok pergelangan tangannya. 

Bonggala sadar keadaannya tak menguntungkan. Jika serangan 
diteruskan dia malah yang akan mendapat kerugian. Di samping 
serangannya kemungkinan bes ar tertangkis, dia pun akan celaka oleh 
gumpalan rambut Dewa Arak yang satu lagi. 

Tanpa ragu-ragu Bonggala pun melompat mundur sehingga 
serangan Dewa Arak kandas. Bonggala jadi semakin yakin Dewa Arak 
memiliki kepandaian amat tinggi. Kekuatan tenaga dalamnya pasti berada di 
atas dirinya. Bonggala tak s embarangan dalam menilai demikian. Tindakan 
pemuda berambut putih keperakan itu membagi rambutnya menjadi dua 
gumpalan memang tak aneh. Tapi membuat yang satu gumpal menegang, 
dan yang lain meliuk liuk merupakan hal yang teramat sulit. 

Kendati demikian. Bonggala tak menjadi gentar. Begitu selesai 
menghindar pemuda ini kembali melancarkan serangan jauh lebih dahsyat. 
Dewa Arek bergegas menyambutinya. 

Jalannya pert arungan disaksikan oleh satu-satunya penonton, 
Padmini. Gadis ini semula merasa khawatir Dewa Arak tak mampu 
menghadapi Bonggala. Tapi ketika bergebrak beberapa kali, harapan untuk 
mendapatkan pertolongan dari pemuda berambut putih keperakan itu 
membesar. 

Padmini memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh 
minat. Semakin lama kekagumannya terhadap Dewa Arak semakin besar. 
Wajah Arya yang t ampan dan sikapnya yang tenang membuat Padmini 
semakin tertarik. Tanpa dapat dicegahnya lagi, bersemilah perasaan suka 
terhadap penolongnya ini. 

Sementara itu Bonggal a semakin sadar kal au Dewa Arak terlalu 
tangguh. Setelah bergebrak belasan jurus, dia senantiasa didesak dan 
dihimpit. Benturan yang terjadi beberapa kali membuat Bonggala selalu 
terhuyung-huyung dengan langkah lebih banyak dari lawannya. 

Bonggala memang pemuda sombong dan keras hati. Kendati 
demikian, dia cerdik. Karena itu Bonggala tahu kal au melawan terus hanya 
akan mencel akai dirinya s endiri. Bisa-bisa dia akan tewas di tangan Dewa 
Arak. 

Ctarrr! 

Pertemuan antara gumpalan rambut Dewa Arak dan cambuk 
Bonggala membuat pemuda bermata liar itu terhuyung-huyung dua langkah. 
Ini terjadi entah untuk yang ke berapa kalinya. 

"Tahan...!" 

Bonggala berseru keras ketika Dewa Arak hendak menerjangnya 
lagi. 

Dewa Arak memenuhi seruan Bonggala. Bukan karena seruan itu, 
tapi karena Arya seorang berjiwa kesatria. Merupakan pantangan besar bagi 
seorang gagah untuk menyerang lawan yang belum siap. Dewa Arak 
menatap Bonggala lekat -lekat. Dengan s abar Arya menunggu hingga 
Bonggala siap untuk bicara. 

"Kali ini aku mengaku kal ah, Kunyuk Kurap!" ujar Bonggala. 

Sorot matanya memancarkan sakit hati yang besar. "Perkenalkan dirimu 
agar kelak aku dapat mencarimu untuk membalas kekalahanku ini! Tentu 
saja kalau kau tak takut untuk membiarkanku pergi!" 

Arya hanya tersenyum mendengar ucapan Bonggala. Pemuda 
bermata liar itu sengaja menekannya dengan kata-kata yang menyinggung 
harga dirinya sebagai orang gagah. 

"Aku bukan seorang pengecut, Manusia Hina! Kalau kau masih 
merasa penasaran, kelak kau boleh mencariku. Namaku Arya Buana. 
Orang-orang Persilatan memberiku gelar Dewa Arak! Jelas?!" sahut Arya 
tenang. 

Bukan hanya Bonggala s aja yang terkejut mendengar 
pemberitahuan Arya. Padmini pun dilanda perasaan yang sama. Julukan 
Dewa Arak telah lama mereka dengar. Inikah orangnya yang 
menggemparkan dunia persilatan itu? Pikirmereka. 

"Kiranya kau tokoh yang menggemparkan itu? Baik! Akan kucatat 
nama dan julukanmu, Dewa Arak. Kel ak kita akan bertemu I agi. Dan, saat 
itu berarti waktunya kau untuk menghadap malaikat maut I" ancam 
Bonggala dengan suara bergetar. 

"Akan kutunggu pelaksanaan janjimu itu! Tapi perlu kau ingat, 
bukan hanya kau saja yang bisa berjanji, aku pun demikian!" timpal Arya 
penuh tekanan. "Apabila kita bert emu lagi dan kulihat kau masih menyebar 
kekacauan, aku akan membuat perhitungan denganmu. Camkan itu!" 

Bonggala membuang ludah dengan sikap kasar. Tubuhnya 
kemudian dibalikkan dan melangkah meninggalkan tempat itu. Pemuda 
bermata liar itu pergi tanpa menoleh-noleh lagi. 

"Hhh.J" 

Setelah menghela napas berat, Arya memutar-mutar rambutnya di 
atas kepala. Bunyi berdesing disertai angin yang cukup keras pun 
berhembus. 

Padmini semakin kagum ketika merasakan totokan yang 
membelenggunya punah oleh angin putaran rambut Dewa Arak. Gadis itu 
buru-buru mengerahkan tenaga dalam untuk melancarkan aliran darahnya. 
Sekejapan kemudian Padmini telah berdiri tegak di tanah. 

"Terima kasih atas pertolongan yang kau berikan, Dewa Arak. 
Tanpa adanya kau mungkin aku hanya tinggal nama," ucap Padmini penuh 
rasa terima kasih. Ditatapnya Arya tanpa menyembunyikan sorot kagum 
dalam sinar matanya. 

"Lupakanlah, Nona. Sudah selayaknya orang hidup tolong menolong," 
kilah Arya sambil mengulapkan tangan. "Mengapa kau bisa 
bentrok dengan pemuda tadi?" 

"Bonggala maksudmu, Dewa Arak?" tanya Padmini setengah 
memberi tahu nama murid Buaya Gila Bermata Tunggal itu. "Karena aku 
benci dengan kelakuannya!" 

Arya sebenarnya telah berada di atas pohon sebelum Bonggala dan 
Padmini tiba. Pemuda itu tengah beristirahat ketika Padmini dan Bonggala 
ribut mulut. Dewa Arak pun melihat jel as jalannya pertarungan muda-mudi 
itu. Dari gerakan keduanya, Arya bisa t ahu kal au Bonggala dan Padmini 
mempunyai ilmu golongan hitam. Serangan-s erangan mereka yang liar dan 
selalu mengancam kes elamatan nyawa menjadi ciri utama ilmu golongan 
hitam. Maka, pemuda ini tak meras a kaget ketika mendengar Padmini 
mengenal Bonggala. 

"Panggil saja aku Padmini, Dewa Arak." 

"Sebaiknya kau sapa aku dengan namaku saja, Padmini. Arya 
namaku," balas Arya. 

Padmini tersenyum. 

"Kau suka kal au kuceritakan mengapa aku bisa berkenalan dengan 
pemuda ceriwis dan kurang ajar, Arya?" 

"Mengapa tidak, Padmini?" sambut Arya kalem. "Tapi kurasa 
sebaiknya kita bercakap-cakap sambil duduk, akan lebih nyaman." 

Tanpa menunggu tanggapan Padmini, Arya menghampiri sebatang 
pohon yang akarnya menyembul ke tanah. Di situ pemuda ini meletakkan 
pantatnya. Padmini mengikuti tanpa banyak bicara. 

"Aku kenal Bonggala karena guruku, Arya. Guru yang yang telah 
lama kuanggap sebagai nenekku sendiri." 

Sampai di sini Padmini menghentikan ceritanya untuk melihat 
tanggapan Arya. Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu tenang-tenang 
saja. Arya malah menunggu kelanjutan cerita Padmini dengan sabar. 

"Guruku mendapat undangan dari guru Bonggala. Guru pemuda 
ceriwis itu adalah seorang datuk sesat yang amat lihai dan kejam. Wajahnya 
persis sama dengan Bonggala. Julukannya adalah Buaya Gila Bermata 
Satu..." 

"Ah...!" 

Seruan kaget Dewa Arak membuat Padmini menghentikan cerita. 
Ditatapnya wajah Arya penuh selidik 

"Kau mengenalnya, Dewa Arak?" tanya Padmini ingin tahu. Gadis 
ini lupa menyebut Arya dengan julukannya, bukan nama. 

Arya menggelengkan kepala. 

"Aku hanya mengenal julukannya saja. Itu pun dari berita yang 
tersebar di dunia persilatan dan dari seseorang yang dekat hubungannya 
denganku." 

"Apakah orang itu seorang wanita? Gadis, Arya?" desak Padmini. 

Ada rasa panas menjalari hati gadis itu begitu membayangkan seorang gadis 
mempunyai hubungan dekat dengan Dewa Arak. 

Arya melongo. Pemuda ini masih belum mengerti arah pertanyaan 
Padmini. 

"Apa maksudmu, Mini? Aku belum mengerti?" tanya Arya, 
bingung. 

Wajah Padmini memerah. Pert anyaannya terlalu bersifat 
menyelidik pribadi Dewa Arak. Dia malu ketika teringat janggalnya 
pertanyaan itu. Tapi sudah telanjur diucapkan dan tak mungkin ditariknya 
kembali. 

"Kau tadi mengatakan tahu tentang Buaya Gila Bermata Tunggal 
dari seseorang yang hubungannya dekat denganmu, bukan? Yang 
kutanyakan, apakah orang yang kau maksud itu seorang wanita?" 

"Bukan," jawab Arya. "Dia seorang kakek. Mungkin kau tak 
mengenalnya, Padmini. Namanya Jaran Sangkar. Ki Jaran Sangkar," jelas 
Arya. 

Dewa Arak sengaja hanya menyebut nama kakek itu. Jika 
julukannya diberitahukan, pemuda ini khawatir Padmini pernah 
mendengarnya. Julukan Ki Jaran Sangkar adalah Penyair Cengeng (Untuk 
jelasnya, silahkan baca episode "Golok Kilat"). 

Sinar mata Padmini kembali berbinar-binar mendengar jawaban 
Arya. Dengan penuh semangat ceritanya kemudian dilanjutkan. 

"Kuakui guruku bukan termasuk orang baik-baik. Beliau masuk 
golongan sesat, kendati aku sebenarnya menyayangkan hal itu. Tapi aku tak 
berani menasihati guruku. Aku hanya berusaha agar tak tersesat jalan 
sepertinya. Dan guruku t ak keberatan jika aku mengambil jalan yang 
berbeda dengannya. Kau mungkin pernah mendengar julukan guruku, 
Arya." 

"Mungkin, Padmini. Coba kau beritahukan julukan gurumu itu. 
Barangkali saja aku pernah mendengarnya." 

"Julukan beliau adalah Dewi Pesolek." 

Arya mengangguk-anggukkan kepala. 

"Tentu saja aku pernah mendengarnya, Padmini. Menurut berita 
yang sampai telingaku, guru mu itu dikalahkan oleh Buaya Gila Bermata 
Tunggal. Demikian juga pentolan-pentolan kaum sesat lainnya. Apakah 
benar demikian?" 

"Benar," jawab Padmini sambil tersenyum pahit. "Kekalahan yang 
diderita membuat guruku menjadi anak buah Buaya Gila. Dan celakanya, 
guruku menerima saj a perlakuan si kakek picak itu. Bahkan undangan 
kakek itu dipenuhinya. Beliau dimintai bantuannya menghadapi lawan 
tangguh Buaya Gila. Guru mengajakku ke tempat si Buaya Gila. Dan, di 
tempat itulah aku bertemu Bonggala!" 

"Kau tahu tokoh yang akan dilawan oleh Buaya Gila dan gurumu 
itu, Mini?" 

Padmini merasakan adanya rasa ingin tahu yang besar dalam 
pertanyaan Dewa Arak. Gadis ini menjadi gembira karena ceritanya 
membuat Dewa Arak tertarik. 

"Tentu saja, Arya. Aku mendengarnya ketika Buaya Gila 
bercakap-cakap dengan guruku." 

"Siapa dia, Mini?" desak Arya tak sabar. 

"Sapu Jagad! Kau pernah mendengar julukannya, Arya?" 

Arya menggeleng. Wajahnya yang semula menegang dan penuh 
harapan kini mengendur kembali. Tidak terlihat gambaran apa pun pada 
roman mukanya. Melihat sikapnya, Padmini tahu kalau Arya kecewa. 
"Memangnya kau kira siapa tokoh yang menjadi musuh Buaya 
Gila Bermata Tunggal itu Arya?" tanya Padmini ingin tahu. 




Dewa Arak tak segera menjawab pertanyaan Padmini. Kelihatan 
sekali pemuda ini merasa berat untuk mengutarakannya. Padmini pun bisa 
merasakan. Dan, gadis ini merasa kecewa sekali karena Arya tak 
mempercayainya. 

"Kalau hal itu memang rahasia s ekali, kurasa kau tak perlu 
menjawabnya, Arya," ujar Padmini dengan suara sendu. 

Arya tahu perasaan yang bergolak di hati gadis itu. Dia jadi merasa 
tak enak. Dihelanya napas berat beberapa kali sebelum berbicara. 
"Maukah kau berjanji merahasiakan apa yang akan kukatakan, 

Mini? Yang tahu hal ini hanya kau dan aku. Bagaimana, kau bersedia?" 
Seketika wajah Padmini jadi berseri-seri. 

"Tentu saja, Arya," jawab gadis itu, mantap. "Aku berjanji tak 
mengatakannya pada siapa pun. Tak terkecuali pada guruku sendiri." 
"Bagus!" puji Arya. "Kalau demikian, aku merasa lega untuk 
mengatakannya padamu. Dengari ah baik-baik. Kukira orang yang hendak 
ditemui Buaya Gila dan gurumu itu adalah tokoh luar biasa yang amat aneh 
dan penuh rahasia. Tokoh inilah yang tengah kucari -cari, Mini. Menurut 
petunjuk Ki Jaran Sangkar, kalau aku ingin bertemu dengan tokoh itu aku 
harus menemui Buaya Gila Bermata Tunggal." 

"Mengapa harus demikian, Arya?" tanya Padmini. 

"Menurut Ki Jaran Sangkar, Buaya Gila Bermata Tunggal itulah 
dari sekian banyak orang yang mendapat keberuntungan. Buaya Gila itu 
akan bertemu dengan tokoh penuh rahasia tersebut." 

"Siapa tokoh penuh rahasia itu, Arya?" 

"Dewa Berhati Emas," jawab Arya dengan suara lirih seperti takut 
didengar orang lain. Padahal, pemuda ini yakin di sekitar tempat itu tak ada 
orang lain. 

"Dewa Berhati Emas?" ulang Padmini dengan sepasang alis 
berkerut 

"Kau pernah mendengarnya, Mini?" 

Perlahan-lahan Padmini menganggukkan kepala. 

"Guruku pernah menyebut -nyebutnya," j awab gadis itu dengan 
suara mengambang. "Tapi menurut beliau, Dewa Berhati Emas bukan 
manusia, maksudku... tak patut disebut manusia. Kata beliau tokoh itu tak 
pernah mati sejak ratusan tahun lalu. Konon Dewa Berhati Emas selalu 
memberikan ilmu pada orang-orang yang kebetulan bertemu dengannya. 
Tak dipedulikan apakah orang itu berasal dari golongan putih atau hitam." 

"Apa yang dikatakan gurumu itu sama persis dengan yang 
dikatakan Ki Jaran Sangkar, Mini," sambut Arya. "Bedanya, Ki Jaran 
Sangkar mengatakan kalau Dewa Berhati Emas benar-benar ada. Bahkan 
beliau menyuruhku untuk sedapat mungkin bert emu dengan tokoh penuh 
rahasia itu." 

"Kau percaya dengan keterangan Ki Jaran Sangkar, Arya?" 

"Tentu saja, Mini. Beliau tak pernah bicara yang tak benar!" tandas 
Arya. 

"Lalu..., apa lagi dikatakan Ki Jaran Sangkar mengenai Dewa 
Berhati Emas itu, Arya?" desak Padmini setelah terdiam beberapa saat 
lamanya. 

"Menurut Ki Jaran Sangkar, saat-saat ini Dewa Berhati Emas telah 
keluar lagi ke dunia persilatan. Dan biasanya tokoh yang tak ubahnya dewa 
itu berkelana selama tiga purnama. Orang yang kebetulan bertemu 
dengannya di waktu-waktu tertentu akan diturunkannya ilmu. Satu macam 
ilmu.Tapi, luar biasa dahsyatnya!" 

"Berapa hebatnya orang yang hanya mendapat pel ajaran beberapa 
bulan?" timpal Padmini setengah meremehkan. 

"Siapa bilang beberapa bulan, Mini?" sergah Dewa Arak, cepat. 
"Menurut Ki Jaran Sangkar hanya sesaat saja. Jangankan berbulan-bulan, 
sehari pun tidak. Bahkan tak sampai sesiangan! Entah bagaimana caranya 
aku juga tak mengerti. Tapi begitulah cerita Ki Jaran Sangkar!" 

Padmini terdiam. Gadis ini masih belum bisa mencerna keterangan 
Dewa Arak. Bagaimana mungkin orang mempel ajari ilmu hanya sesaat dan 
langsung menjadi orang sakti? 

Arya membiarkan saja tingkah Padmini. Pemuda ini malah 
mempergunakan kesempatan itu untuk mengawang-awangkan alam 
pikirannya. Suasana menjadi hening. Masing-masing tenggelam dalam alun 
pikiran sendiri-sendiri. 

"Kalau aku pribadi, Arya," celetuk Padmini memecahkan 
keheningan. "Tak berminat sama sekali untuk bert emu dengan Dewa 
Berhati Emas, apalagi mendapatkan ilmunya. Menurut pendapatku, semakin 
tinggi dan dahsyat sebuah ilmu semakin sulit untuk mempelajarinya. Kalau 
waktu yang diperlukan hanya sekej ap, ilmu apakah yang akan diberikan?"
 
Arya diam. Bisa diterimanya alasan Padmini. Kendati demikian 
Arya tak membenarkannya pula. Dewa Arak tahu banyak ilmu-ilmu dahsyat 
di dunia ini. Pemuda ini sendiri t elah beberapa kali menghadapi ilmu-ilmu 
seperti itu. Jadi, meski keterangan Ki Jaran Sangkar banyak yang tak masuk 
akal, pemuda ini tak menolak kebenaran ucapan Padmini mentah-mentah. 

"Aku pun bukan karena rakus ilmu mencari tokoh rahasia itu, 
Mini. Tapi, karena ini permintaan kawan dekatku. Biasanya ucapan Ki 
Jaran Sangkar selalu berisi hal-hal yang penting." 

"Jadi kau tetap berminat untuk mencari Dewa Berhati Emas?" 

Arya mengangguk. 

"Pantas kau merasa kecewa ketika tahu Buaya Gila Bermata 
Tunggal bukan hendak menemui Dewa Berhati Emas," ujar Padmini. 

"Tapi sekarang tidak lagi, Mini," kilah Arya. "Pokoknya, kemana 
pun Buaya Gila pergi, aku akan terus mengikutinya. Jadi andaikat a tokoh 
itu bertemu Dewa Berhati Emas, aku pun akan bertemu dengannya pula." 
Padmini hanya bisa mengangguk-anggukkan kepal a. Di dalam hati 
gadis ini membenarkan keputusan yang diambil Dewa Arak. 

"Karena itu aku membutuhkan bantuanmu, Mini. Kaulah orang 
yang tahu ke mana gurumu dibawa pergi Buaya Gila Bermata Tunggal." 

"Kapan kau akan memulai penguntitan ini, Arya?" 

"Lebih cepat lebih baik, Mini!" tandas Arya. 

"Jadi...," Padmini menggantung ucapannya. 

"Kalau kau bersedia, sekarang juga kita akan berangkat! 
Bagaimana?" 

"Tapi aku belum selesai dengan ceritaku?" bantah Padmini. 

"Tinggal sedikit lagi, Arya." 

"Kalau demikian kita lanjutkan cerita itu sambil berjalan!" 

"Terserah kau sajalah, Dewa Arak! Padmini mengangkat kedua 
bahunya. 

Arya tersenyum simpul. Sebentar kemudian sepasang muda-mudi 
ini telah berlari cepat untuk menguntit kepergian Buaya Gila Bermata 
Tunggal. Sambil berlari Padmini menyambung ceritanya. 

*** 

"Itu dia tempatnya, Dewi...!" 

Buaya Gila Bermata Tunggal menudingkan telunjuknya ke sebuah 
gua yang di depannya terhampar hal aman cukup luas. Hal aman itu 
sebenarnya indah. Di sana-sini banyak tumbuh tanaman bunga aneka warna. 
Sayangnya, keadaan taman itu porak-poranda. Taman bunga tak terlihat 
rapih. Tanah gembur berserakan di sana-sini. Beberapa batang pohon bunga 
tercabut bers ama akar-akarnya. 

Dewi Pesolek hanya menggumam tak jelas menyambuti ucapan 
Buaya Gila Bermata Tunggal. Gua ters ebut adalah t empat tinggal Sapu 
Jagad. Tempat yang bernama Gua Api. Dewi Pesolek dan bahkan Buaya 
Gila Bermata Tunggal tak tahu mengapa tempat itu mempunyai nama 
demikian. 

Pikiran nenek ini masih tersangkut pada Padmini. Dia tak sempat 
lagi melihat keadaan muridnya. Karena setel ah diaj ak ke istananya, Buaya 
Gila Bermata Tunggal langsung mengajaknya menemui musuh besar yang 
dicarinya. 

"Apa yang telah terjadi? Mengapa keadaan di sini berantakan 
sekali?" sambung Buaya Gila Bermata Tunggal. Heran melihat keadaan 
tempat itu yang berantakan. 

Rupanya tadi, karena terlalu memusatkan perhatian pada gua, 
kakek picak ini tak melihat keadaan halaman yang porak-poranda. Lagi-lagi 
Dewi Pesolek hanya memberikan gumaman pelan. Buaya Gila Bermata 
Tunggal bergegas mel esat mendekati halaman gua yang berantakan. Hanya 
dengan sekali lesatan kakek ini telah berada di depan gua. 

"Bekas-bekas pertempuran," desis Buaya Gila Bermata Tunggal. 

Dilihatnya halaman gua yang porak-poranda bagai t elah dibaj ak puluhan 
kerbau liar. "Siapa yang telah berani lancang membuat kekacauan di tempat 
ini? Sungguh berani matj orang itu. Berani mendahului si Buaya Gila!" 

Dewi Pesolek yang telah berada di dekat Buaya Gila tak 
memberikan s ambutan. Nenek ini bersikap tak ambil pusing pada kakek 
picak yang tengah mengomel panjang pendek. Buaya Gila Bermata Tunggal 
sendiri sepertinya memang t ak butuh kata sambutan. Dengan wajah berang 
dan sikap penuh ancaman, kakek picak ini mengarahkan pandangan ke arah 
gua. 

Gua itu cukup besar. Garis tengah lingkarannya tak kurang dari 
satu tombak. Sebuah ukuran yang cukup bagi seseorang untuk masuk ke 
dalamnya secara wajar. Keadaan bagian dalam gua tampak hitam pekat. Tak 
terlihat apa pun di sana oleh mata Buaya Gila dan Dewi Pesolek. 

Buaya Gila Bermata Tunggal yang tengah diamuk amarah 
bermaksud untuk masuk ke dalam gua. Tapi baru saja kakinya digerakkan, 
di ambang pintu gua telah muncul sesosok tubuh. 

Sosok itu mengenakan pakaian serba putih. Pakaian itu terlihat 
longgar membungkus tubuhnya yang kecil kurus serta agak bungkuk. 
Kumis, jenggot, jambang, alis, serta rambutnya telah putih semua. 
Seimbang dengan kulit tubuhnya yang keriput. 

Sosok berpakaian serba putih itu memang seorang kakek yang 
usianya seratus tahun lebih. Kulit wajahnya yang keriput terlihat 
memancarkan sesuatu. Wajah kakek ini pun seperti bersinar dan 
menimbulkan kesejukan bagi yang melihatnya. Kakek berpakaian putih ini 
tersenyum lebar. Ditatapnya Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi 
Pesolek bergantian. Tapi, tak satu pun dari kedua tokoh itu yang 
menyambuti keramahtamahannya. 

Terutama sekali Buaya Gila Bermata Tunggal. Kakek yang 
memang tengah dilanda amarah itu justru semakin bergejolak amarahnya 
melihat senyum yang dipamerkan kakek berpakaian putih. Sebuah dugaan 
muncul di benak kakek pi cak itu. Bahwa, kakek berpakaian putih orang 
yang telah membuat kekacauan di depan gua. 

"Siapa kau, Monyet Cilik? Apa kerjamu di tempat ini? Kaukah 
yang telah menimbulkan kekacauan di tempat ini?!" tanya Buaya Gila 
Bermata Tunggal dengan suara keras. 

Kakek berpakai an putih sama sekali tak marah mendengar 
pertanyaan yang dilontarkan dengan nada tinggi itu. Dia malah tersenyum 
lebar. 

"Tua bangka tak tahu diri! Jawab pertanyaanku, atau kau memiliki 
akal yang tak sehat sehingga sejak tadi hanya tersenyum-senyum saja?!" 

"He he he...!" kakek kecil kurus itu malah ter kekeh. "Tahukah kau 
tanda-tanda orang yang berakal itu, Sobat?" si kakek balas bertanya. Wajahnya 
kelihatan gembira bukan main. 

Buaya Gila Bermata Tunggal melongo sebentar. Sekejap 
kemudian, perhatiannya dialihkan pada Dewi Pesolek. Tapi nenek itu malah 
mengangkat bahu. Buaya Gila Bermat a Tunggal terpaksa mengalihkan 
perhatiannya lagi pada kakek kecil kurus. 

"Tentu saja aku tahu, Monyet Goblok! Yang j elas, ciri-ciri 
utamanya adalah tak pernah ters enyum-senyum sendiri, apalagi ketika 
ditanya!" tandas Buaya Gila Bermata Tunggal. 

Sebenarnya di lubuk hatinya tokoh saat itu merasa heran terhadap 
sikapnya. Mengapa dia malah meladeni percapakan kakek kecil kurus ini? 
Bahkan Dewi Pesolek pun tak luput dari perasaan itu. Pertanyaan yang 
diajukan kakek kecil kurus membuatnya memutar ot ak untuk mencari 
jawabnya. Sungguh suatu hal yang mengherankan mereka. 

"Jawaban yang sungguh menyimpang jauh dari pertanyaannya," 
sahut kakek berpakaian putih dengan sikap sabar. "Jawaban itu hanya 
mengenai kulitnya saja. Kalian ingin menget ahui jawaban yang 
sebenarnya?" 

Lagi-lagi, meski merasa heran akan kakek kecil kurus, kedua 
pentolan kaum sesat itu menganggukkan kepala. Buaya Gila Bermata 
Tunggal dan Dewi Pesolek seperti orang terkena pengaruh sihir. Padahal, 
jelas-jelas keduanya merasa yakin saat itu mereka dalam keadaan sadar 
sepenuhnya. 

"Ada beberapa tanda yang menunjukkan seseorang itu berakal," 
ujar kakek berpakaian putih seperti seorang guru memberikan keterangan 
pada murid-muridnya. "Yang pertama, bersikap lemah lembut. Kedua, tahu 
diri. Ketiga, tahu di mana tempat membuka rahasia dan cara membukanya. 
Keempat, pandai berlaku hormat. Kelima, mampu memelihara rahasia diri 
sendiri dan orang lain. Keenam, mampu menguasai lidah dengan tidak mengeluarkan 
kata-kata yang menimbulkan bahaya. Dan yang terakhir, tak 
menjawab Iebih dari yang ditanyakan orang. Itulah tanda-tanda yang harus 
ada pada orang yang berakal. Jelas?!" 

Buaya Gila Bermat a Tunggal dan Dewi Pesolek menganggukanggukkan 
kepala. Entah apa arti anggukan mereka. 

"Sekarang kalian berdua kembalilah. Renungkan tanda-tanda orang 
berakal yang kusebutkan tadi. Apakah kalian berdua termasuk di dalamnya. 
Kalau tidak, berarti kalian belum termasuk orang yang berakal." 

Tanpa banyak bicara dan bagai kerbau dicocok hidungnya, Buaya 
Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek membalikkan tubuh. Mereka 
bergegas mengayunkan kaki meninggalkan tempat itu. Tatapan mata kakek 
berpakaian putih mengiringi kepergian dua dedengkot kaum sesat tersebut. 




"Tak kusangka demikian mudahnya kau mengusir dua dedengkot 
persilatan itu, Dewa Berhati Emas," ujar sebuah suara parau dari dalam gua. 

Kakek berpakaian putih yang berjuluk Dewa Berhati Emas hanya 
terkekeh pelan seraya membalikkan tubuh. Dilihatnya dari dalam gua 
berjalan keluar s esosok tubuh gempal penuh otot. Tubuh kekar itu hanya 
tertutup rompi dan celana pendek hitam. Pada bagian pinggangnya terlilit 
rantai baja yang di ujungnya terdapat bola berduri. 

"Kau terlalu yakin, Sapu J agad. Kurasa dua tokoh itu hanya pergi 
sesaat saja. Tokoh-tokoh tingkat tinggi seperti mereka hanya akan 
terpengaruh sebentar. Tapi waktu yang demikian singkat cukup bagi kita 
untuk berbincang-bincang. Kau tak keberatan bukan! Kita hanya bisa 
bercakap-cakap s ebentar? Padahal penantian yang kau lakukan bertahuntahun," 
"Mengapa harus kecewa, Dewa?" timpal Sapu Jagad. "Waktu yang 
hanya sekej ap pun kurasa cukup. Belum pernah kudengar kau berduaan 
dengan seseorang dalam waktu lebih dari seperempat hari." 

Dewa Berhati Emas hanya terkekeh. 

"Puluhan tahun aku menanti kedatanganmu, Dewa. Bahkan aku 
sampai berpesan pada seorang yang dekat denganku, yang kini entah ada di 
mana. Maksud penantianku itu hanya untuk meminta pendapatmu," ujar 
Sapu Jagad membuka pembicaraan. 

Dewa Berhati Emas hanya tersenyum. Lembut dan penuh kesabaran. 

"Sejak puluhan tahun lalu di benakku berkecamuk suatu 
pemikiran. Ada beberapa hal bisa menjadi tujuan hidup seseorang. Tiga 
perkara yang kuras a akan menimbulkan kebahagiaan itu adalah: harta, nama 
besar, dan kesenangan." 

Sapu Jagad menghentikan ucapannya s ejenak untuk mengambil 
napas. Dewa Berhati emas menunggu dengan sabar. Tak sedikit pun 
dipotong cerita rekannya. 

"Dengan kepandaian yang kumiliki, aku berhasil mendapatkan 
harta yang berlimpah dan nama besar. Aku hidup dalam kesenangan. Tapi 
itu hanya berlangsung belasan tahun. Semua yang kudapatkan t ernyat a tak 
membuatku bahagia. Kemudian hidupku justru jauh dari bahagia. Aku tak 
bisa hidup tenang. Meski telah menyepi, orang-orang yang pernah 
kurugikan tetap menyatroniku. Padahal aku telah jemu bertarung. Aku ingin 
menghabiskan usia tuaku dengan ketenangan. Aku mohon petunjukmu, 
Dewa." 

"Itu semua terjadi karena nafsu yang kau turutkan, Sapu Jagad. 
Nafsu yang diperturutkan hanya akan menimbulkan ketidaktenangan. 
Alangkah malangnya bila itu terj adi. Padahal duni a ini isinya hanya 
kesusahan semat a-mata. Sejak dari dalam kandungan hingga datang ajal 
manusia berenang dalam lautan kesusahan. Masa kecil kalau lapar tidak 
bisa mencari makan. Kalau haus tak bisa mencari minum, dan kalau sakit 
tak tahu obat." 

Dewa Berhati Emas menatap Sapu Jagad yang mendengarkan 
uraiannya. Kakek berotot itu kelihatan tertarik sekali. 

"Lepas dari asuhan ibu mulai ditimpa keberatan belajar. Macammacam 
penyakit menerpa. Di waktu dewasa sibuk mengurus anak. Dan 
seterusnya. Akibat yang kau terima sekarang adai ah buah dari perbuatanmu. 
Tapi kalau kau memang berkehendak menjauhkan diri dari dunia persilatan, 
kau boleh ikut denganku. Kau bersedia, Sapu Jagad? Syaratnya hanya 
menjauhi kekerasan." 

"Aku bersedia, Dewa!" jawab Sapu Jagad, mantap. 

Dewa Berhati Emas tersenyum. 

"Kau akan mendapat ujian berat, Sapu Jagad." 

Sapu Jagad menyernyitkan alis. Tapi hanya sesaat. 

Pendengarannya yang tajam segera menangkap bunyi langkah-l angkah kaki 
mendekati tempatnya dan Dewa Berhati Emas berada. Langkah-langkah 
yang amat ringan dan halus, pertanda pemiliknya orang-orang yang 
memiliki ilmu meringankan tubuh amat tinggi. 

Sekejapan kemudian, pemilik langkah itu telah muncul di depan 
Dewa Berhati Emas dan Sapu Jagad. Pemilik-pemilik langkah itu adalah 
Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek! 

Perkiraan Dewa Berhati Emas ternyata tak meleset. Buaya Gila 
Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek segera tersadar dari pengaruh aneh 
yang ditimbulkan Dewa Berhati Emas. Kedua dedengkot kaum sesat yang 
menyadari kej anggalan tindakan mereka bergegas kembali. Kali ini 
kekuatan batin mereka dikerahkan agar tak mudah terpengaruh. 

"Sungguh tak kusangka kau t elah menjadi seorang pengecut, Sapu 
Lidi! Sehingga, kau berlindung di belakang punggung orang lain!" dengus 
Buaya Gila Bermata Tunggal. 

Kakek bermata picak ini menatap Sapu Jagad dengan sinar mata 
penuh dendam. Di sebel ah datuk sesat ini Dewi Pesolek berdiri diam tak 
berkata apa pun. 

Sapu Jagad meras akan dadanya panas oleh perasaan hati yang 
terbakar. Hampir saja mulutnya terbuka membalas makian Buaya Gila 
Bermata Tunggal. Untung dia teringat akan janjinya. Sapu Jagad kemudian 
memutuskan untuk berdiam diri. Diserahkannya persoalan itu pada Dewa 
Berhati Emas. 

Dewa Berhati Emas rupanya mengerti keinginan sahabatnya. 

Kakek ini terkekeh lebih dulu sebelum berkata-kata. 

"Kiranya kau, Buaya Gila. Begitu besarkah sakit hatimu sehingga 
terus memburu Sapu Jagad? Tidakkah persoalan lama dihabiskan begitu 
saja? Bukankah banyak jalan lain untuk menyelesaikan persoalan selain 
dengan kekerasan?" 

"Tutup mulutmu, Peot!" bentak Buaya Gila Bermata Tunggal. 

Mata kakek ini yang tinggal sebelah seperti hendak melompat keluar karena 
kemarahannya. 

"Kau tahu apa mengenai urusan kami?!" sentaknya dengan nada 
jengkel. 

"Aku memang t ak tahu pasti mengenai urusan kalian. Tapi bisa 
kuterka. Apalagi kal au bukan urusan dendam?" sahut Dewa Berhati Emas. 
Suaranya t etap lembut, sedikit pun tak t erpengaruh ol eh sikap kasar Buaya 
Gila Bermata Tunggal. 

"Syukur kalau kau telah menget ahuinya. Menyingkirlah kau! 
Urusan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa Sapu Lidi itu!" sergah Buaya 
Gila Bermata Tunggal. 

"Kalau kau melakukan hal itu, sama saja dengan menghendaki 
masalah ini tak pernah s elesai, Buaya," kalem saja ucapan Dewa Berhati 
Emas. "Andaikata kau berhasil membunuh Sapu Jagad, pasti keturunan 
Sapu Jagad atau s ahabat-s ahabatnya tak akan tinggal diam. Mereka akan 
mencarimu untuk menuntut balas. Keturunan atau kawan-kawanmu pun tak 
tinggal diam pula jika kau tewas. Mereka akan menuntut balas juga. Balasmembalas 
ini tak akan pernah selesai...." 

"Aku tak peduli!" sent ak Buaya Gila Bermat a Tunggal. "Yang 
penting, Sapu Lidi itu harus mati di tanganku! Kalau kau masih tak mau 
menyingkir dari tempat ini, kau pun akan kukirim ke neraka!" 

"Lagakmu seperti Tuhan saja, Buaya. Apakah kau menentukan 
usia manusia? Tidakkah kau tahu kalau usia manusia hanya Tuhan yang 
menentukan? Kalau Dia belum menghendaki, biar ada seribu orang 
sepertimu dan ingin membunuhku, tak akan aku terbunuh!" 

"Tak usah mengguruiku, Peot!" 

"Bagaimana kalau kita bertaruh, Buaya?" Dewa Berhati Emas tak 
peduli pada tanggapan kakek bermat a picak itu. "Kau boleh memukulku 
tiga kali. Aku tak akan melawan. Bila aku tewas karena itu, kau boleh 
berbuat apa saja. Tapi jika kau gagal, kau harus pergi dari sini dan 
melupakan urusanmu dengan Sapu Jagad." 

Buaya Gila Bermata Tunggal tak segera memberikan tanggapan. 

Dia malah berpikir. Datuk Sesat ini merasa heran melihat sikap I awan 
bicaranya. Kakek kecil kurus itu sedikit pun tidak teriihat gentar padanya. 

Padahal, hanya mendengar julukannya saja tokoh-tokoh persilat an yang 
lihai pun akan berpikir berkali-kali untuk berhadapan dengannya. 

Apakah kakek ini tokoh yang terkenal bagai dalam dongeng itu? 

Diakah Dewa Berhati Emas?! Benaknya digayuti pertanyaan demikian, tapi 
di mulutnyaBuaya Gila Bermata Tunggal berkata lain. 

"Mengapa kau mencampuri urusanku? Apakah kau mempunyai 
hubungan dengan si Sapu Lidi itu?!" 

Dewa Berhati Emas tertawa lunak. 

"Aku sebenarnya tak berniat untuk ikut campur. Tapi, aku orang 
yang paling tak suka dengan terj adinya tindak kekerasan. Terlepas dari 
masalah siapa yang sal ah atau yang benar. Namun karena kebenaran sulit 
untuk disimpulkan, setiap yang berseteru selalu menganggap dirinya benar. 
Karena itu, aku tak bermaksud memihak salah satu di antara kalian. Yang 
menjadi tujuanku adalah menghindari terjadinya pertarungan." 

"Kau... Dewa Berhati Emas?!" cetus Dewi Pesolek yang sejak tadi 
berdiam diri. Nada ucapan wanita tua ini sarat dengan keterkejutan. 

Dewi Pesolek dan Buaya Gila Bermata Tunggal memang telah 
mendengar berita santer tentang adanya tokoh yang tak menyukai kekerasan 
dalam menyelesaikan suatu masalah. Kesukaan tokoh ini adalah 
memberikan ilmu pada orang yang kebetulan ditemuinya. Tokoh itu 
berjuluk Dewa Berhati Emas. Dijuluki Berhati Emas karena tak pernah ada 
keinginan untuk menjahati orang lain. 

"Sebuah julukan yang t erlalu berlebihan, bukan?" ujar Dewa 
Berhati Emas. "Julukan Dewa saj a sudah terlalu luar biasa. Masih ditambah 
Jagi dengan Berhati Emas. He he he...! Aku merasa geli sendiri mendengar 
julukan yang diberikan orang padaku." 

"Tak usah berbicara panjang I ebar, Dewa Berhati Emas!" tandas 
Buaya Gila Bermata Tunggal. "Aku bersedi a menerima taruhan yang kau 
ajukan. Tapi, aku mempunyai syarat pula. Bagaimana apa kau berani 
menerima syaratku?!" 

"Katakan saja, Buaya. Apa pun syaratmu akan kupenuhi," jawab 
Dewa Berhati Emas, kalem. Tak terlihat nada khawatir dalam ucapan dan 
roman wajahnya. 

Sapu Jagad hampir berseru memperingatkan Dewa Berhati Emas. 
Tapi segera ditahannya ketika teringat akan janjinya terhadap kakek itu. 

Paras Sapu Jagad tampak menegang, menunjukkan perasaan yang 
berkecamuk di hatinya. Mengapa Dewa Berhati Emas menerima saja syarat 
yang diajukan si Buaya Gila? Bagaimana kalau syarat yang diajukan terlalu 
aneh-aneh? Desah hati Sapu Jagad. 

"Syaratku ringan saja, Dewa," ujar Buaya Gila Bermata Tunggal. 

"Pertama, aku akan melancarkan serangan sebanyak tiga kali. Kedua, kau 
tak boleh menangkis atau mengel ak. Jadi kau harus menerima setiap 
serangan yang kulancarkan." 



"Hanya itu saja syarat yang kau ajukan, Buaya?" 

"Untuk sementara, iya," jawab Buaya Gila Bermata Tunggal. 

"Bagaimana, kau bisa menerima usul yang kuajukan?" 

"Mengapa tidak?" Dewa Berhati Emas balas bertanya. "Aku setuju 
sekali dengan syarat tersebut, Buaya. Itu sesuai dengan keinginanku pula." 
"Bagus! Kalau begitu aku akan memulainya, Dewa...." 

Tiga raut wajah tampak menyiratkan ketegangan yang luar biasa. 

Tak hanya Sapu Jagad. Buaya Gila Bermata Tunggal maupun Dewi 
Pesolek. Hanya, ketegangan melingkupi hati mereka agak berbeda. Kalau 
Sapu Jagad tegang karena perasaan khawatir. Sedangkan dua dedengkot 
kaum sesat itu merasa t egang karena ingin cepat mengetahui hasil 
pertaruhan tersebut. 

Sapu Jagad bergerak mundur menjauhi tempat yang akan dijadikan 
arena pert empuran. Sementara Dewa Berhati Emas tetap berdiri dengan 
sikap tenang. Bahkan, senyum lembut tersungging di bibirnya. Di depan 
kakek ini Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek tampak bersiapsiap. 
Memang, kendati kakek picak itu mengatakan akan menyerang sendiri, 
diberikan isyarat juga pada Dewi Pesolek untuk membantunya. Dan, Dewa 
Berhati Emas kelihatan tidak ingin menegur sikap lawannya. 

Buaya Gila Bermat a Tunggal telah bersiap untuk melancarkan 
serangan. Kedua telapak tangannya yang terbuka digosok-gosokkan satu 
sama lain. Semula tak terj adi apa pun. Tapi sesaat kemudian, kedua tangan 
itu tampak merah! Hawa panas mulai menyebar seiring dengan semakin 
merahnya tangan kakek picak itu. Hawa panas menyebar dari sekujur tubuh 
Buaya Gila Bermata Tunggal. Asap tipis pun melingkupi sekitar tempat itu. 

"Hiyaaa...!" Diawali teriakan keras menggeledek yang 
menggetarkan sekitar tempat itu, Buaya Gila Bermata Tunggal 
mengirimkan serangannya. Kakek picak itu mengawali serangan dengan 
sebuah gedoran ke arah dada. Kedua tangan tokoh sesat ini terbuka jarijarinya. 
Angin yang luar biasa panas menderu. Beberapa tanaman yang 
berada di sekitar goa langsung mengering karena tak tahan menahan panas. 
Sapu Jagad sendiri yang berada lima tombak di belakang Dewa Berhati 
Emas merasakan hawa panas menyengat. Hawa yang membuatnya harus 
mengerahkan tenaga dai am untuk melindungi kulit. 

Dewa Berhati Emas tetap tersenyum. Tak kelihatan kakek itu 
mengerahkan tenaga, tapi sekujur tubuhnya mengepulkan uap tebal. Uap 
yang seharusnya terdapat di puncak-puncak gunung yang amat tinggi. Uang 
itu menyebarkan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. 
Pertemuan kedua hawa yang berbeda itu menimbulkan bunyi 
nyaring, seperti besi panas dimasukkan ke dalam air. Bunyi itu terus 
terdengar sebelum terjadi pertemuan antara kedua telapak tangan Buaya 
Gila Bermata Tunggal dengan dada Dewa Berhati Emas. 

Desss! 

Telak dan keras sekali kedua tangan Buaya Gila Bermata Tunggal 
mendarat di sasaran. Bunyi seperti besi panas diceburkan ke dalam air 
dingin terdengar jauh lebih nyaring. Uap berwarna-warni terlihat menyebar 
ke udara. 

Tubuh Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewa Berhati Emas 
terhuyung ke belakang. Dewa Berhati Emas terhuyung lebih jauh karena 
kakek itu hanya bertahan. Kendati demikian, lawannya tetap menerima 
akibat yang cukup berat. Kedua t angannya dirasakan sakit bukan main. 
Dadanya pun terasa sesak. 

Buaya Gila Bermata Tunggal buru-buru mengatur napas. Itu 
dilakukan untuk mencegah terjadinya luka dalam di tubuhnya. Dengan 
geram di lihatnya Dewa Berhati Emas melangkah maju dengan senyum 
terkembang di bibir. Pakaian kakek itu hancur di bagian yang terhantam 
kedua tangannya dengan melukiskan gambar dua tapak tangan. 

"Kau hebat, Dewa. Tapi jangan berbesar hati dulu. Masih ada dua 
serangan lagi. Dan, dua serangan itu yang akan menghantarkan aku pada 
kemenangan." 

Buaya Gila Bermata Tunggal kemudian memberikan isyarat pada 
Dewi Pesolek untuk ikut menyerang. Tanpa banyak cakap nenek itu terlihat 
bersiap-siap. 

Tak cukup hanya dengan tindakan itu, Buaya Gila Bermata 
Tunggal mengirimkan pemberitahuan mengenai siasat yang harus dilakukan 
Dewi Pesolek. Kakek picak itu mempergunakan ilmu mengirim suara dari 
jauh. 

Dewi Pesolek mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti. 
Kakek picak yang melihat hal ini tersenyum puas. Apalagi ketika dilihatnya 
Dewi Pesolek bergerak menjauhi. 

Semua tingkah kedua dedengkot kaum sesat itu dilihat jelas oleh 
Dewa Berhati Emas. Namun kakek ini diam saja. Malah, senyum yang 
terkembang semakin lebar dibibirnya. Tak jauh di belakang kakek ini, Sapu 
Jagad meras akan jantungnya berdet ak lebih cepat karena perasaan tegang. 
Dia tak yakin Dewa Berhati emas bisa seberuntung sebelumnya. 

Penyerangan serent ak dua datuk kaum sesat itu amat berbahaya. Sapu Jagad 
sendiri tak akan berani menerima serangan gabungan itu. 

Penyerangan yang kedua kali terhadap Dewa Berhati Emas pun 
segera terjadi. Buaya Gila Bermata Tunggal menyerang dari sebelah kanan. 
Sedangkan Dewi Pesolek dari sebelah kiri. Kedua dedengkot kaum sesat ini 
menyerang dengan pengerahan tenaga berhawa panas. 

Dewa Berhati Emas segera mengerahkan tenaga berhawa 
dinginnya. Tak tanggung-tanggung dikerahkan, sampai ke puncak. 

Kekuatan tenaga panas yang meluruk ke arahnya memang jauh lebih 
dahsyat dari sebelumnya. 

Kakek ini sama sekali tak tahu kalau Buaya Gila Bermata Tunggal 
memiliki siasat licik. Begitu serangan yang dilancarkan melampaui separuh 
jaraknya dengan Dewa Berhati Emas, tokoh sesat itu memekik keras. Pekik 
yang merupakan isyarat untuk Dewi Pesolek. Guru Padmini ini segera 
mengganti aliran t enaganya. Tak lagi berhawa panas, melainkan dingin 
menggigit tulang. Tenaga ters ebut langsung dikeluarkan sampai ke puncak 
kekuatannya. Sementara itu Buaya Gila Bermata Tunggal tak merubah 
aliran tenaganya. 

Dewa Berhati Emas terkejut bukan main melihat kenyataan ini. 
Bahaya tengah menghadangnya. Serangan dua jenis tenaga yang berlainan 
akan memporak-porandakan isi dadanya kalau di a tak bertindak cepat 
membagi dua macam tenaganya. 

Sayangnya kakek ini telah mengerahkan tenaga dalam sampai ke 
puncak. Membutuhkan waktu yang cukup untuk merubah jenis tenaganya. 
Kendati demikian, Dewa Berhati Emas melakukan pula. Dengan 
kepandai annya yang luar biasa dia berhasil memecah tenaganya untuk 
menghadapi s erangan tenaga dalam yang berlainan itu. Tapi waktu yang 
terlalu sempit membuatnya tak sempat mengerahkan tenaga sampai ke 
puncak. 

Desss, desss! 

Bunyi riuh rendah terdengar ketika dua pasang tangan mendarat di 
tubuh Dewa Berhati Emas. Kakek itu terjengkang ke belakang. Tubuhnya 
melayang-layang bak daun kering dihempaskan angin keras. 

Pada saat yang bersamaan, tubuh Buaya Gila Bermata Tunggal dan 
Dewi Pesolek juga terj engkang. Jarak kedua datuk itu terlempar tak sejauh 
yang dialami Dewa Berhati Emas. Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi 
Pesolek telah menjejak tanah cukup lama ketika Dewa Berhati Emas baru 
mendarat. Kakek itu ternyat a masih mampu mendarat di t anah dengan 
kedua kaki lebih dulu. 

Malah seperti juga sebelumnya, waj ah Dewa Berhati Emas tetap 
berseri -seri. Mulutnya menyunggingkan senyum. Tapi, wajah Dewa Berhati 
Emas tak s esegar s ebelumnya. Bahkan dari sudut bibirnya mengalir cairan 
merah kental. Darah! 




Sapu Jagad merasa cemas bukan main melihat keadaan Dewa 
Berhati Emas. Kalau menuruti keinginan, Sapu Jagad sudah terjun ke dalam 
kancah pertarungan. Dewa Berhati Emas sendiri melempar senyum tenang 
kepada sahabatnya itu. Diayunkannya kaki melewati kakek berotot itu untuk 
mendekati lawan-l awannya lagi. 

Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek yang memiliki 
mata tajam segera menget ahui apa yang tengah dialami Dewa Berhati 
Emas. Keduanya merasa yakin kalau sekali serang lagi kakek itu tidak akan 
mampu bertahan. 

Dugaan ini memang masuk akal, Buaya Gila Bermata Tunggal 
yang memiliki watak licik segera menghitung untung rugi di benaknya. 
Kelicikan membuatnya memutar akal untuk mencari siasat yang 
menguntungkan dirinya. 

"Aku masih mempunyai sebuah serangan lagi, Peot!" seru Buaya 
Gila Bermata Tunggal kemudian dengan senyum tersungging di bibir. 

Kakek picak ini telah berhasil menemukan cara untuk melaksanakan 
rencananya. 

"Tentu, Buaya. Tentu," jawab Dewa Berhati Emas seraya 
mengangguk-anggukkan kepala. "Aku masih belum pikun untuk 
menghitung jumlah dengan benar. Tunggu apa lagi? Lancarkan serangan 
mu yang terakhir, dan kita buktikan siapa yang akan memenangkan taruhan 
ini." 

Buaya Gila Bermat a Tunggal hanya terbahak Dewi Pesolek 
berdiam diri s aja. Dia belum mendengar isyarat untuk menyerang dari 
Buaya Gila Bermata Tunggal. 

"Tidak usah terburu-buru, Dewa! Aku yakin kau masih ingat kalau 
syarat yang kuajukan belum lengkap. Masih ada satu syarat yang belum 
kuajukan. Bukankah demikian?" 

Sapu Jagad mengutuk di dai am hati. Buaya Gila Bermata Tunggal 
mencoba untuk kembali bertindak licik. Tapi seperti juga sebelumnya, apa 
dayanya? Apalagi ketika dilihatnya Dewa Berhati Emas mengiyakan saja 
ucapan datuk sesat itu. 

"Kemukakan saja syaratmu yang terakhir itu, Buaya," ujar Dewa 
Berhati Emas, tenang. 

"Kau berani bersumpah akan menyetujuinya?" desak Buaya Gila 
Bermata Tunggal seraya menatap waj ah Dewa Berhati Emas lekat-lekat. 
Kakek yang licik ini sengaja menampakkan sikap tak percaya akan 
kesediaan lawan bicaranya. 

"Aku tak pernah bersumpah, Buaya. Tapi kau tak perlu khawatir. 
Sekali kukatakan setuju, apa pun syaratmu itu akan kupenuhi!" 

"Bagus!" puji Buaya Gila Bermata Tunggal. Gembira karena 
siasatnya berhasil. Di mulut dia memuji, tapi di hati tidak demikian. "Kau 
boleh menerima kematian yang tak nyaman akibat kesombongan sikapmu, 
Peot!" umpatnya dalam hati. 

"Katakan syarat yang kau maksud Buaya," desak Dewa Berhati 
Emas yang tak tahu perkataan dalam hati kakek licik itu, 

"Biarlah kukemukakan bersama syarat sebelumnya, Peot. Pertama, 
aku melancarkan serangan sebanyak tiga kali. Kedua, kau tak boleh 
menangkis atau mengel ak. Yang terakhir, kau tak boleh mengerahkan 
tenaga dalam ketika aku melancarkan serangan. Jelas, Peot?!" 

Sapu Jagad dan Dewi Pesol ek sampai terkejut mendengar syarat 
yang diajukan Buaya Gila Bermata Tunggal. Sungguh sebuah syarat yang 
gila! 

"Keji...!" pekik Sapu Jagad. Tak kuat menahan luapan perasaan 
yang berkecamuk dalam dadanya. Syarat yang diajukan kakek picak itu 
benar-benar teramat licik. 

Tapi Dewa Berhati Emas sebagai orang yang akan menjadi sasaran 
kelicikan lawan tak kelihatan terkejut sedikit pun. Kakek ini malah 
mengembangkan s enyum di bibir. Anggukan kepalanya menjadi pertanda 
dia menyetujui usul yang dilontarkan Buaya Gila Bermata Tunggal. 

"Ingat, Peot! Kau tak boleh mengerahkan tenaga dalam sama 
sekali. Jika kau langgar itu, akulah yang memenangkan pertaruhan ini!" 
Buaya Gila Bermata Tunggal kembali memperingatkan. 

Dewa Berhati Emas hanya tersenyum. 

Buaya Gila Bermata Tunggal tak menunggu lebih lama. Kakek ini 
kembali mengirimkan serangan kedua tangan dengan jari-j ari terkepal. 
Untuk ke sekian kalinya deru angin panas melanda! 

Desss! 

Tubuh Dewa Berhati Emas bak sehelai daun kering dihembus 
angin keras. Dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah segar. 
Sungguh pun demikian kakek ini tak mengeluh. 

Tiga pasang mata mengikuti ke arah melayangnya tubuh Dewa 
Berhati Emas. Di benak mereka bergayut sebuah pert anyaan besar. Apakah 
Dewa Berhati Emas tewas? 

Cukup lama mata Sapu Jagad, Dewi Pesolek, dan Buaya Gila 
Bermata Tunggal memperhatikan. Tubuh Dewa Berhati Emas memang 
cukup lama melayang-layang di angkas a. Sepanjang tubuhnya melayang 
darah berceceran membas ahi tanah. Ketiga tokoh itu kemudian 
membelalakkan mata ketika melihat kejadi an sel anjutnya. Tubuh Dewa 
Berhati Emas meliuk-liuk, melakukan s alto di udara beberapa kali, 
menjejak tanah dengan kedua kaki. 

Tiga dedengkot dunia persilatan itu bagai terkena sihir melihat 
pemandangan yang terjadi. Sebagai tokoh-tokoh tingkat tinggi, mereka tahu 
apa yang mereka s aksikan ini teri alu luar bi asa. Dewa Berhati Emas masih 
mampu menjejak t anah meski agak limbung. Padahal menurut perhitungan 
akal, jangankan berdiri, bernapas pun kakek itu tak akan mampu. Tapi, 
kenyataan berbicara lain! 

"Bagaimana, Buaya? Aku masih mampu berdiri tegak, bukan? Kau 
kalah bert aruh. Kuras a sudah waktunya kau meninggalkan tempat ini dan 
menuntaskan persoal an dengan Sapu Jagad," lembut ucapan Dewa Berhati 
Emas. Tapi, semua yang berada di situ tahu dalam ucapan itu terkandung 
tekanan yang tak menghendaki bantahan. 

Buaya Gila Bermata Tunggal tak segera menanggapi ucapan Dewa 
Berhati Emas. Kakek bermata picak ini masih terkesima melihat kenyataan 
yang tak diduganya itu. Bagai mimpi rasanya melihat Dewa Berhati Emas 
masih segar bugar, tak kurang suatu apa. 

Dewa Berhati Emas rupanya memahami gejolak perasaan 
lawannya. Dengan sabar dia menanti jawaban. Buaya Gila Bermata Tunggal 
akhirnya mampu menguas ai perasaannya. Beberapa kali dihembuskannya 
napas berat. 

"Kau memang hebat, Dewa," keluh kakek pi cak itu. "Kuakui 
kaulah yang menang. Kau berhasil memenangkan pertaruhan ini. Dengan 
demikian, sesuai perjanjian, aku akan melupakan urusanku dengan Sapu 
Jagad. Tapi, sebelum pergi aku ingin melihat kekuatan tenaga dalammu 
yang luar bias a itu. Tentu saja tak perlu kau tujukan padaku atau kawanku. 
Cukup pada benda-benda yang ada di sekitar sini." 

Di mulutnya Buaya Gila Bermata Tunggal berkata demikian, 
padahal di pikirannya jauh berbeda. Apa yang ada di pikirannya sangat 
bertentangan dengan ucapannya. 

"Ingin kuketahui apakah si Peot ini masih tangguh. Kal au dia 
sudah tak berdaya, betapa bodohnya aku kalau mau meneruskan perjanjian 
itu. Dengan adanya Dewi Pesolek bers amaku, kurasa Sapu Lidi keparat itu 
akan dapat kubinasakan!" 

Sapu Jagad mengernyitkan kening. Kakek berotot ini mendengar 
Buaya Gila Bermata Tunggal mempunyai maksud lain dengan 
pernyataannya. Sayang, dia tak tahu maksud kakek picak itu. 

Dewi Pesolek tentu saja tahu kalau Buaya Gila Bermata Tunggal 
mempunyai maksud lain dengan permintaannya. Tapi seperti juga Sapu 
Jagad, dia tak tahu maksud yang diinginkan kakek licik itu. Yang pasti ini 
merupakan siasat licik. 

Dewa Berhati Emas seperti biasa hanya terkekeh. Pelan dan 
lembut, 

"Kalau menuruti perasaan, aku lebih suka menolaknya, Buaya. 
Tapi biarlah. Hitung-hitung untuk menghilangkan rasa penasaran di hatimu. 
Aku bersedia memenuhi permintaanmu itu." 

Setelah berkata demikian, Dewa Berhati Emas kemudian 
menjulurkan kedua t angannya dengan j ari-jari terbuka ke arah sebatang 
pohon besar yang ada di situ. Jaraknya dari kakek ini sekitar lima tombak. 
Pohon itu besar dan tinggi serta rimbun daunnya. Besar batangnya tak 
kurang dari dua pelukan orang dewasa. 

Semula tak terlihat kejadi an apa pun. Tapi sesaat kemudian pohon 
itu bergetar keras. Dengan diiringi bunyi keras dan berhamburannya tanah 
pohon itu tercabut bersama akar-akarnya! 

Buaya Gila Bermata Tunggal, Dewi Pesolek, dan Sapu Jagad 
sampai tak s adar membuka mulutnya lebar-lebar. Mereka terlalu kaget 
melihat pemandangan yang terpampang di depan mat a. Penglihatan yang 
ada terlalu menakjubkan! 

Dengan perasaan setengah tak percaya, ketiga dedengkot persilatan 
itu memperhatikan pertunjukan yang dilakukan Dewa Berhati Emas. Pohon 
besar yang terangkat bagai dicabut tangan-tangan raksasa t ak tampak itu 
melayang naik sampai seluruh akarnya terlihat! 

Setelah itu, pohon ini melayang sejauh lima tombak sebelum 
akhirnya amblas ke dalam tanah kembali, beberapa tombak dari tempatnya 
semula. Dan sej ak pohon itu tercabut, hingga tertanam kembali, Dewa 
Berhati Emas tidak mel akukan tindakan apa pun. Kakek itu hanya 
menjulurkan kedua tangannya. 

Begitu Dewa Berhati Emas menarik tangannya kembali, baru 
ketiga datuk persilatan yang sejak tadi seperti tersihir sadar dari 
terkesimanya. Sorot kekaguman tak bisa mereka hilangkan dari t atapan 
mata ketiganya. Kekaguman yang bercampur dengan perasaan tak percaya. 
Ketiganya tahu kalau tindakan yang dilakukan Dewa Berhati Emas 
sulit untuk dilakukan. Mereka sendiri yakin tak akan mampu melakukan hal 
demikian. Apalagi dalam keadaan terluka. Tapi, kenyataannya Dewa 
Berhati Emas mampu melakukannya! 

"Bagaimana, Buaya? Kurasa sudah cukup, bukan?" cetus Dewa 
Berhati Emas dengan tetap t enang. Tidak terlihat gambaran perasaan 
bangga atau gembira di wajahnya. 

Buaya Gila Bermata Tunggal tak memberikan t anggapan. Tanpa 
berkata apa-apa kakek picak ini melangkah ke samping, memberikan jalan 
untuk Dewa Berhati Emas dan Sapu Jagad. 

Dewa Berhati Emas melangkah dengan tenang. Kakek itu tak 
kelihatan khawatir sama s ekali. Bahkan ketika lewat di sebelah Buaya Gila 
Bermata Tunggal, dia tak nampak berwaspada. Tak demikian halnya 
dengan Sapu Jagad. Kakek bertubuh penuh otot ini menampakkan 
kewaspadaan bes ar ketika lewat di sebelah Buaya Gila Bermata Tunggal. 
Melihat kawannya t ak bertindak apa-apa, Dewi Pesolek pun tak 
berbuat banyak. Nenek yang berdandan terlalu mencolok ini hanya berdiam 
diri pula. 

Dewa Berhati Emas dan Sapu Jagad meninggalkan tempat itu 
tanpa bicara sama sekali. Baru ketika ratusan tombak ditinggalkannya gua, 
Dewa Berhati Emas membuka pembicaraan. 

"Apakah ada orang yang datang menjumpaimu sebelum aku, Sapu 
Jagad?" 

"Benar, Dewa. Seorang wanita muda. Tapi itu hanya perkiraanku 
saja. Maksudku..., suaranya yang membuatku menduga begitu. Dia merusak 
tempat tinggalku setelah gagal untuk menemukanku. Kalau saja di a tahu 
gua itu mempunyai tempat tersembunyi yang hanya bisa dibuka dengan alat 
rahasia, kejadiannya mungkin akan lain," jelas Sapu Jagad. 

Dewa Berhati Emas hanya tersenyum. 

"Kalau saja kau datang terlambat sedikit saja, kau akan melihat 
Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek kebingungan mencariku. 
Aku yakin mereka tak akan bisa menemukan al at rahasia untuk menuju 
tempat pers embunyianku. Tentu saja semua itu tak ada artinya untukmu, 
Dewa," lanjut Sapu Jagad bernada memuji Dewa Berhati Emas. 

Dewa Berhati Emas tak memberikan sahutan. Kakek ini malah 
terdiam. Wajahnya membesi dan sepas ang bola matanya berputar liar. Sapu 
Jagad meras a heran melihatnya. 

"Apa yang...." 

Ucapan Sapu Jagad hanya s ampai di situ. Dengan kecepatan yang 
menakjubkan Dewa Berhati Emas telah menghantam pelipisnya. Hanya 
sebuah jari Dewa Berhati Emas yang menghantam pelipis Sapu Jagad. Tapi, 
itu telah cukup untuk mengirim nyawa kakek itu ke akhirat. Kakek berotot 
kekar ini tewas seketika dengan tulang pelipis retak! 

Dewa Berhati Emas tertawa. Nadanya terdengar aneh dan ganjil di 
telinga. Apalagi sepasang bola matanya berputaran liar ketika dia tertawa. 
Cukup lama Dewa Berhati Emas bertingkah seperti itu, sebelum 
akhirnya berdiam diri. Wajahnya kembali lembut seperti sediakala. Bibirnya 
mengulum senyum. Serta, sorot keramahan terpancar dari sinar matanya. 
Tanpa mempedulikan mayat Sapu Jagad, Dewa Berhati Emas 
melesat pergi menuju Gua Api. Tempat yang baru saja ditinggalkannya. 

*** 

"Hey...! Siapakah yang tidur di tengah jalan, Arya?!" tanya 
Padmini setengah memberitahukan. Jari-jari gadis itu ditudingkan ke depan. 

"Entahlah, Mini," 

Arya menggelengkan kepala. Pemuda ini pun sejak tadi telah 
melihat keberadaan sosok tubuh yang tergol ek di depan mereka, berjarak 
belasan tombak. Dan sebelum Padmini mengajukan pertanyaan, Arya telah 
memperhatikannya dengan penuh selidik. Sosok itu hanya mengenakan 
rompi dan celana pendek hitam. 

Dengan mata t ertuju pada sosok yang kelihat an tak bergerak-gerak 
lagi, Arya dan Padmini terus melangkah menghampiri. Begitu berada dekat 
sosok itu keduanya duduk bersimpuh hendak memeriksa keadaannya. 

"Hhh.J" 

Seraya mengeluarkan helaan napas berat, Dewa Arak bangkit 
berdiri. Pemuda berambut putih keperakan ini tak membutuhkan waktu 
lama untuk memeriksa. Sekali lihat saja telah diketahuinya kal au sosok 
yang ternyata seorang kakek itu telah tewas. Pelipisnya retak! Darah yang 
telah mengering tampak di sudut-sudut mulut, di bawah hidung, dan telinga. 
"Kau mengenalnya, Mini?" tanya Arya ketika murid Dewi Pesolek 
itu telah bangkit berdiri. 

Padmini menggeleng. Tapi sesaat kemudian dia t ercenung, seperti 
tengah memikirkan sesuatu. Lambat-lambat keluar ucapan dari celah-celah 
bibirnya yang indah dipandang. 

"Mungkinkah dia... Sapu Jagad? Mengingat ciri-ciri yang diberikan 
guruku, rasanya tak salah I agi. Tapi, bukankah tokoh itu terkenal memiliki 
kepandai an amat tinggi dan merupakan salah satu dedengkot persilatan. 
Bagaimana mungkin dia bisa tewas, dan siapa yang telah membunuhnya?" 

"Apakah bukan tak mungkin kalau gurumu dan Buaya Gila 
Bermata Tunggal? Bukankah keduanya telah bersepakat untuk menghadapi 
Sapu Jagad bersama-sama?" pikir Arya di dai am hati. Tapi ucapan yang 
dikeluarkannya berbeda. Pemuda itu khawatir akan menyinggung perasaan 
Padmini. 

"Ilmu yang dipergunakan si pembunuh agaknya merupakan ilmu 
khas. Tak sembarang tokoh persilatan memilikinya. Membutuhkan tenaga 
dalam yang tinggi untuk bisa melakukan serangan seperti ini. Dan, kurasa 
sangat sedikit orang yang mampu melakukannya." 

Padmini hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Luka pada 
pelipis itu memang menunjukkan kalau sosok yang mereka duga sebagai 
Sapu Jagad tewas karena totokan satu jari. Totokan yang hanya dapat 
dilakukan seorang yang amat ahli. Dengan sekali serang mampu 
menjatuhkan sasaran s ecara t epat, dan menewaskan orang yang dijadikan 
sasaran tanpa luka yang berarti. 

"Apakah tempat tinggal Sapu Jagad dekat dari sini, Mini?" tanya 
Arya lagi, mengingatkan Padmini pada gurunya dan Buaya Gila Bermata 
Tunggal yang bermaksud membuat perhitungan dengan Sapu Jagad. 

"Aku kurang pasti, Arya. Tapi kurasa tak akan mel ebihi sepuluh 
ribu tombak. Dan..., mengapa aku bisa lupa, Arya? Mungkinkah Sapu Jagad 
tewas oleh Buaya Gila? Aku yakin bukan guruku yang melakukan 
pembunuhan ini. Beliau tak mempunyai ilmu seperti ini. Aku yakin betul. 
Seluruh ilmunya telah diwariskan kepadaku, dan tak ada yang demikian." 
"Rasanya memang Buaya Gila Bermata Tunggal satu-satunya 
orang yang menjadi tertuduh. Tapi, mengapa Sapu Jagad harus tewas di 
sini? Di tempat yang cukup jauh dari tempat tinggalnya?" 

"Itu keanehan pertama, Arya," timpal Padmini. "Keanehan lainnya 
adalah, tak adanya tanda-tanda pertempuran di tempat ini. "Mungkinkah 
Sapu Jagad dibunuh di tempat tinggalnya kemudian mayatnya dibuang ke 
sini?" 

Arya tak memberikan tanggapan. Pemuda ini sibuk memutar 
benaknya untuk mencari jawaban. Suasana menjadi hening karena Padmini 
pun melakukan hal yang sama. 

"Kehendak Tuhan memang tak sel alu sesuai dengan keinginan 
manusia. Betapapun hebatnya manusia dan kerasnya usaha, kalau Tuhan 
menghendaki lain, maka kejadian yang tak diharapkan akan terj adi." 

Ucapan itu pelan saja dan nadanya lembut. Tapi, Arya dan Padmini 
sampai terjingkat bagai disengat kalajengking. Pasangan muda-mudi ini segera 
membalikkan tubuh dan bersikap siaga untuk menghadapi segala 
kemungkinan. 

Di belakang Arya dan Padmini tampak berdiri dengan sikap tenang 
seorang kakek berpakaian putih bersih. Rambut, kumis dan jenggotnya telah 
memutih. Kendati demikian, pancaran wibawa terpancar jel as pada sorot air 
mukanya. 

Padmini, terutama sekali Arya, tahu kalau kakek berpakaian putih 
ini seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi. Keberadaan si kakek di 
belakang mereka tanpa diketahui telah menunjukkan ketinggian ilmu 
meringankan tubuhnya. 

Padmini memandang dengan sorot curiga dan sikap siap t empur. 
Tak demikian halnya dengan Dewa Arak. Pemuda ini I angsung tahu kalau 
kakek berpakai an putih ini bukan orang yang patut di khawatirkan. Setidak-
tidaknya, kakek ini tak akan bermaksud kurang baik. Kalau tidak, tentu 
sudah sejak tadi dikirimkan serangan tanpa mereka menyadarinya. 




"Maaf, bolehkah kutahu siapa adanya kau, Kek? Dan apakah 
maksud ucapanmu itu?" tanya Arya, sopan. 

Kakek berpakaian putih menatap Arya dengan lembut. Kendati 
demikian, pemuda berambut putih keperakan itu merasakan hatinya 
tergetar. 

"Gila!" desis Arya di dalam hati. "Sepasang mata kakek ini luar 
biasa tajam! Seakan mampu menjenguk sampai ke lubuk hati. Siapa kakek 
ini? Mungkinkah beliau yang dijuluki Dewa Berhati Emas?" 

"Apalah artinya sebuah nama atau julukan, Anak Muda? Hanya 
buatan manusia, bukan? Di setiap waktu dan kesempatan bisa saja 
seseorang mengganti nama dan julukannya. Aku adalah aku. Dan aku 
bukanlah kau atau kalian," jawab si kakek. 

"Lalu..., apa artinya ucapanmu yang tak kami mengerti itu? 
Bahkan sampai membawa-bawa nama Tuhan segala?!" ceteluk Padmini 
yang merasa penasaran dengan jawaban yang diberikan si kakek. 

"Hanya sekadar mengingatkan diriku, bahwa kehendak Tuhan tak 
selalu sama dengan kehendak kita. Betapapun kehendak kita dirasakan baik 
dan benar. Mungkin baik dan benar menurut pendapat ku dan pendapat 
Sapu Jagad, tapi tak benar dan baik menurut pendapat Tuhan." 

Sepasang alis Padmini sampai melengkung mendengar jawaban 
yang lebih tak memuaskan hatinya itu. Perasaan tak sabar semakin terlihat 
di wajahnya. Dan, Arya menget ahuinya. Maka sebelum Padmini semakin 
meluapkan ketidaksabarannya, buru-buru didahuluinya. 

"Maaf Kek, kami belum mengerti dengan ucapanmu itu? 
Barangkali kau bisa menjelaskannya lebih jauh agar kami bisa mengerti?" 

"Kau termasuk pemuda yang luar biasa, Dewa Arak," ujar si 
kakek. Tidak ada nada kekaguman pada ucapannya yang memuji Arya. 
"Semuda ini kau telah memiliki kepandaian tinggi. Bahkan, mampu 
mendapatkan makhluk alam gaib sebagai pelengkap ilmu-ilmu yang kau 
miliki. Kau pun mempunyai kemampuan untuk menahan diri dan tak 
mengikuti luapan hati semat a. Meski demikian, tak ada salahnya kal au aku 
menunjukkan pengertian mengenai jalan hidupmu. Agar kau bisa 
mendengarkan uraianku dengan jel as, maka pert anyaanmu akan lebih dulu 
kujawab." 

Kakek berpakaian putih menghentikan ucapannya sejenak, seperti 
hendak mencari kata-kata yang tepat. 

"Aku selalu berkelana dari satu tempat ke t empat lain. Tapi aku 
selalu mengambil tempat-tempat yang jarang dilalui orang. Terkadang, bila 
menemukan sebuah tempat yang menurutku nyaman untuk ditinggali, aku 
tinggal sampai belasan tahun lamanya. Pada saat-saat tertentu aku 
menurunkan semacam ilmu pada orang yang kutemui dalam 
pengembaraanku. Begitu pula dengan pengembaraanku kali ini, setelah 
meninggalkan tempat yang kutinggali selama hampir dua puluh lima 
tahun." 

Padmini saling berpandangan dengan Arya. Dalam benak kedua 
orang muda itu bergaung satu pertanyaan. Jadi, inikah Dewa Berhati Emas? 
Tokoh yang keberadaannya telah menjadi legenda di kalangan rimba 
persilatan. 

"Aku terpaksa meninggalkan tempat yang kusukai itu karena 
menangkap adanya keinginan hati seseorang untuk mengikuti jalan 
hidupku. Getaran keinginannya sampai padaku sejak puluhan tahun lalu. 
Tapi untuk lebih meyakinkan hatiku akan kesungguhannya, kubiarkan dia 
menunggu. Aku ingin tahu sampai di mana kekerasan tekadnya," lanjut 
kakek berpakaian putih. "Setelah dua puluh lima tahun, baru kutinggalkan 
tempat tinggalku dan menemuinya. Sayang, Tuhan telah berkehendak lain. 
Maut telah lebih dulu menemui Sapu Jagad sebelum aku sempat 
menjumpainya." 

Padmini mengernyitkan alisnya. Ucapan kakek itu dirasakannya 
berbeda dengan kenyataan. Ucapan yang berisi kesedihan, namun tak 
terlihat di wajah maupun nada suara kakek itu. 

"Dalam perj alanan menuju tempat tinggal Sapu Jagad aku bertemu 
dengan dua orang pemuda. Ke-duanya bertemu denganku pada saat yang 
tepat, saat di mana aku membagi-bagikan ilmu yang kumiliki. Dua bulan 
yang lalu aku keluar dari tempat tinggalku yang nyaman dan beberapa hari 
kemudian bertemu dengan seorang pemuda. Belum sehari, aku bertemu lagi 
dengan pemuda lain. Pemuda yang menyamar sebagai wanita. Dan sekarang 
aku bertemu dengan kalian berdua," lanjut kakek berpakaian putih itu. 
"Sekarang, aku mengajakmu untuk mengikuti jalan hidupku, Dewa Arak. 
Menjauhi kekerasan dan berkelana menyebarkan ilmu pada orang-orang 
yang berjodoh denganmu. Tak peduli dia orang jahat atau baik. Pada setiap 
orang kau harus beri aku adil, tak peduli dia dari golongan hitam atau putih. 
Jauhi perasaan peras aan yang t ak baik, s eperti marah, dendam dan sakit 
hati. Jauhkan tindak kekerasan, apalagi sampai menghilangkan nyawa orang 
lain. Isi hatimu dengan kesabaran dan rasa kasih terhadap seluruh manusia. 
Bagaimana, Dewa Arak? Apakah kau bersedi a menempuh jalan ini?" 

"Sebelum kujawab pertanyaanmu, Kek. Bolehkah kutahu siapa 
dirirnu?" ujar Arya untuk meya-kinkan kebenaran dugaannya. "Benarkah 
kau tokoh yang berjuluk Dewa Berhati Emas?" 

"He he he...l" kakek berpakai an putih terkekeh. "Mungkin benar 
itu julukan yang diberikan orang padaku. Tapi, apa artinya sebuah julukan?" 

"Hanya untuk lebih melegakan hatiku, Kek, Dan ternyata 
dugaanku tak keliru. Mengenai tawaran yang kau ajukan padaku, aku belum 
bisa menjawabnya sekarang. Mungkin setelah kupikirkan dan kita bersua 
lagi, dapat kuberikan jawaban." 

"Aku mengerti, Dewa Arak," jawab Dewa Berhati Emas. Yang 
meski selama dua puluh lima tahun tak pernah turun dari tempat tinggalnya, 
tapi bisa menget ahui siapa adanya Arya. Padahal mereka baru kali itu 
bertemu. "Pesanku, berhati-hatilah, Dewa Arak. Aku khawatir kau akan 
keliru mengenali orang." 

"Apa maksudmu, Kek? Aku tidak mengerti," timpal Arya, cepat. 

"Sejak puluhan tahun lalu aku mempunyai seorang pengikut. Dia 
bersedia mengikuti jalan hidupku. Hanya dalam beberapa tahun saja seluruh 
kemampuanku telah diserapnya. Pada das arnya dia berhati baik. Tapi, dia 
belum siap untuk menjadi seseorang yang rela menjauhi gemerl apnya dunia. 
Alam bawah sadarnya menol ak cara hidup yang dijalaninya. Dia berkeras 
untuk bertahan. Peperangan dalam hatinya itu membuatnya tak waras. 

Waktu memutuskan untuk mengikuti jalan hidupku, dia memang tengah 
putus asa. Jadi keputusan itu di anggapnya sebagai pelari an. Sayang, aku tak 
bisa bicara banyak, Dewa Arak. Tapi perlu kuberitahu kalau pengikutku itu 
sering menyamar sebagai diriku. Luka pada pelipis kukenal sekali terjadi 
karena salah satu jenis ilmu yang kumiliki, yang juga dimilikinya. Kematian 
Sapu Jagad sepenuhnya karena tindakannya. Aku yakin, perasaannya telah 
menangkap getaran keinginan yang memancar dari hati Sapu Jagad. Dan dia 
lebih dulu menemuinya sebelum aku. Inilah yang dinamakan kehendak Tuhan, 
Dewa Arak. Kuharap kau berhati-hati kal au bert emu dengannya. 
Sedapat mungkin jauhi dirinya." 

"Bagaimana aku bisa membedakan antara kau dan pengikutmu itu, 
Kek? Bukankah dia dapat menyamar seperti dirirnu?" celetuk Padmini yang 
mendengarkan perbincangan itu. 

"Kalau hanya Dewa Arak sendiri, akan sulit baginya untuk 
mengetahui. Tapi dengan adanya kau, Nona Muda, segalanya akan menjadi 
mudah. Kaulah orang yang dapat menghentikan semua tindakannya." 
"Mengapa bisa demikian, Kek?" kali ini Arya yang mengajukan 
pertanyaan. Karena Padmini merasa jengah mendapat pujian dari Dewa 
Berhati Emas. Padahal, sejak tadi di a bersikap kurang baik terhadap kakek 
itu. 

"Karena wajah Nona Muda ini mirip dengan kekasih pengikutku 
itu. Bersedianya dia mengikuti jalan hidupku pun karena ada hubungannya 
dengan kekasihnya itu. Sayang, ini merupakan rahasia yang tidak bol eh, 
diceritakan pada orang lain " 

Tanpa berbasa-basi lagi kemudian Dewa Berhati Emas 
mengayunkan kaki meninggalkan Dewa Arak dan Padmini. Bagai tak 
memiliki berat, kakek itu melangkah demikian ringan. Sepintas teriihat 
seperti melayang saja. 

Dewa Arak dan Padmini hanya bisa menatap kepergi an Dewa 
Berhati Emas dengan hati takjub. Bahkan, Padmini merasakan tengkuknya 
terasa dingin ketika melihat kepergian kakek itu. 

*** 

"Mau apa kau kemari lagi, Dewa Usilan?!" 

Pertanyaan yang diucapkan dengan penuh nada penasaran itu 
keluar dari mulut Buaya Gila Bermata Tunggal. Kakek yang tengah duduk 
di halaman gua bersama Dewi Pesolek itu segera bangkit berdiri dengan 
paras membesi. 

Kakek yang dipanggil Dewa Usilan terlihat menyeringai. Sepasang 
matanya yang memancarkan sinar tajam berkilat bergerak-gerak liar, seperti 
mata orang yang kurang waras. Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi 
Pesolek merasa heran melihat keanehan ini. 

Dewa Berhati Emas kemudian terkekeh. Nadanya terdengar 
menyeramkan. 

"Kau bertanya mengapa aku kemari? Sungguh aneh! Apakah kau 
tak ingat apa yang telah kau lakukan? Kau telah merampas Suntari dari 
tanganku! Dan, kedatanganku tentu saja untuk memberikan hukuman yang 
setimpal padamu! Juga pada wanita berhati landung itu!" 

Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek saling 
berpandangan dengan rasa heran. Mereka sama sekali tak tahu siapa yang 
dimaksud kakek itu. 

"Apa maksudmu, Tua Bangka? Aku tak mengerti sama sekali 
dengan semua yang kau ucapkan!" rutuk Buaya Gila Bermata Tunggal 
heran bercampur geram. 

"Aku tak peduli kau mengerti atau tidak, Guntara! Yang penting, 
bersiaplah kau untuk menerima pembalasan dendamku yang bertumpuk!" 
Belum lagi gema ucapannya lenyap, tubuh kakek yang bukan lain 
pengikut Dewa Berhati Emas ini telah melesat menerjang Buaya Gila 
Bermata Tunggal. Kecepat an gerakannya benar-benar menakjubkan. 
Bahkan, Buaya Gila Bermata Tunggal s endiri hanya melihat sekel ebatan 
bayangan putih. 

Kakek picak ini merasakan deru angin keras tertuju ke pelipisnya. 
Bagian itu selalu yang diincar Dewa Berhati Emas palsu. Sedapat mungkin, 
Buaya Gila Bermata Tunggal menggerakkan tangan untuk menangkis. 

Prattt! 

Buaya Gila Bermata Tunggal mengeluarkan jeritan tertahan. 
Tubuhnya terjengkang akibat benturan itu. Sekujur tangan yang 
dipergunakan untuk menangkis mendadak lumpuh. 

Dewa Berhati Emas Palsu tak berhenti bertindak sampai di situ. 
Serangan-serangan lanjutan segera dikirimkannya. Dan hanya dalam 
beberapa gebrakan Buaya Gila Bermata Tunggal telah terdesak. Kakek 
picak ini hanya bisa mengelak ke sana kemari untuk menyelamatkan 
selembar nyawanya. 

Dewi Pesolek semula hanya memperhatikan saja. Sampai tiga 
jurus lebih dan keadaan Buaya Gila Bermat a Tunggal semakin 
mengkhawatirkan. Tapi, sesaat kemudian selintasan pikiran bermain di 
benaknya. "Kakek ini sepertinya tak waras. Dia tak hanya membenci Buaya 
Gila Bermata Tunggal yang dianggapnya Gunt ara. Tapi juga aku yang 
dipanggilnya dengan nama Suntari. Jadi, kemungkinan besar setelah 
berhasil membunuh Buaya Gila aku pun akan mendapat giliran. Menilik 
tingkat kepandaiannya, jangankan aku, Buaya Gila Bermata Tunggal pun 
tak akan mampu menghadapinya. Mungkin kalau kakek itu kuhadapi 
bersama-sama dengan si Buaya Gila akan dapat diatasi." 

Dewi Pesolek yang memiliki watak cerdik segera dapat mengambil 
keputusan yang menguntungkan dirinya. 

"Jangan khawatir, Buaya Gila, aku membantumu...!" 

Dewi Pesolek terjun ke dalam kancah pert arungan dengan 
langsung mengirimkan s erangan. Karena serangan itu, terpaksa Dewa 
Berhati Emas Palsu membatalkan serangannya terhadap Buaya Gila 
Bermata Tunggal. 

Masuknya Dewi Pesolek sedikit banyak menguntungkan Buaya 
Gila Bermata Tunggal. Gencarnya s erangan Dewa Berhati Emas palsu jadi 
jauh berkurang. Kenyat aan ini melegakan tokoh sesat itu. 

Dewi Pesolek mengeluarkan senjata andalannya. Sebuah kipas 
indah yang terbuat dari bulu burung merak. Sedangkan Buaya Gila Bermata 
Tunggal telah menggunakan cambuk berekor tiganya. 

Pertarungan berlangsung sengit. Namun, hal itu hanya berlangsung 
beberapa belas jurus. Begitu menginjak jurus kedua puluh Dewa Berhati 
Emas palsu berada di at as angin. Di samping karena kakek ini memiliki 
kepandai an yang jauh lebih tinggi, setiap serangan kedua dedengkot kaum 
sesat itu pun sama sekali tak berarti baginya. 

"Ilmu apa yang dimiliki tua bangka ini?!" cetus Buaya Gila 
Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek dalam hati. 

Kedua dedengkot kaum sesat ini tak tahu kalau Dewa Berhati 
Emas palsu memiliki ilmu "Mengo-songkan diri". Ilmu yang dimiliki 
karena berhasil menekan keinginan duniawi. Ilmu itu membuat pemiliknya 
tak merasakan apa-apa kendati dihujani serangan. 

Di jurus kedua puluh tiga Dewa Berhati Emas palsu mampu 
melakukan tindakan yang menguntungkan dirinya. Kakek ini sengaja 
bergerak I ambat s ehingga s erangan-serangan kedua lawannya mengenai 
sasaran. Dan, pada saat yang bers amaan serangan balasan dikirimkan. 

Desss! Bukkk! 

Hampir berbarengan Dewi Pesolek dan rekannya menjerit kesakitan. Buaya Gila 
Bermata Tunggal terkena tendangan di paha kanan, sedangkan Dewi Pesolek t 
erpukul di bahu kirinya. Tubuh kedua dedengkot kaum sesat ini terjengkang ke 
belakang, kemudian terbanting di tanah dengan keras. Dari mulut keduanya tersembur 
darah kental. 

Dewi Pesolek dan Buaya Gila Bermata Tunggal bukan termasuk orang yang mudah 
menyerah. Karena itu, keduanya berusaha untuk bangkit dan melakukan peri awanan 
kembali. Tapi mereka terkejut ketika mengetahui tak mampu menggerakkan tubuhnya. 
Begitu dahsyatkah akibat serangan kakek itu? 

Dewa Berhati Emas palsu terkekeh menyeramkan. Dengan mata liar kakinya 
diayunkan menghampiri kedua I awannya yang t ergel etak tak berdaya. 

"Rasakan akibat tindakan kalian yang berani menyakiti hati Prajola!" 

Kakek yang ternyata bernama Prajola menghentikan langkahnya dua tombak di depan 
Dewi Pesolek dan Buaya Gila Bermata Tunggal. 

Kedua tangannya digerakkan sejajar dengan bahu. Hendak dilancarkannya serangan 
yang dapat mengakhiri kedua dedengkot kaum sesat itu, yang hanya bisa menatapnya 
dengan pasrah. 

"Tahan...!" 

Bentakan nyaring mengiringi melesatnya sesosok bayangan ke arah Prajola. Sosok 
bayangan yang baru dat ang itu bermaksud menghalangi tindakannya. Maka, 
serangannya dibatalkan dan dialihkan pada sosok bayangan ters ebut. 

Wusss! 

Angin menderu keras ketika Prajola menghentakkan kedua tangannya. Angin itu 
meluncur ke arah sosok bayangan ungu. Pukulan jarak jauh yang amat berbahaya! 
Sosok bayangan yang bukan lain dari Dewa Arak mengetahuinya dengan pasti. 

Pemuda berambut putih keperakan itu tak berani menyambuti. 

Kekuatan s erangan lawan belum diketahuinya. Segera dibantingnya tubuh ke tanah 
dan bergulingan menjauh. Tapi, sebuah kejadian aneh membuatnya terkejut bukan 
main! Angin pukulan itu tidak lewat di atas tubuhnya, melainkan berputar dan berbalik 
arah lalu kembali menyerang Dewa Arak! 

Angin pukulan yang t ak berwujud itu seperti memiliki pikiran. Dia tahu di mana 
sasaran yang harus diserangnya. 

Kenyataan ini membuat Dewa Arak kelabakan. Arya tak mungkin bisa mengelak. 
Serangan itu menutup semua jalannya untuk menyelamatkan diri. Maka, dengan 
pengerahan s eluruh tenaga Dewa Arak mel ancarkan pukulan jarak jauh. Ditangkisnya 
serangan angin pukulan lawan itu. 

Blarrr...! Blaaar.J 

Bunyi keras t erjadi ketika pukul an-pukulan jarak jauh itu berbenturan. Tubuh Dewa 
Arak mel ayang ke belakang dan terbanting keras di tanah. Arya merasakan dadanya 
sesak bukan main. 

Arya berusaha untuk bangkit. Aneh ternyat a dia tak mampu. Dewa Arak tak tahu kalau 
setiap serangan Prajola akan menyebabkan tenaga lawan tersedot. Dan, hal itu 
sekarang yang dialami Arya Buana. 

Prajola tertawa bergelak. 

"Si keparat Guntara dan si pengkhianat Sunlari ternyata mempunyai banyak kawan. 
Biarlah! Atas kelancangan mereka mencampuri urusan ini, akan kuberi hukuman yang 
setimpal!" 

Prajola menggerakkan tangannya hingga sejajar dengan bahu. 
Kakek ini ingin melancarkan s erangan "Dewa Api Membakar Gunung". 
Serangan yang akan membakar hidup-hidup orang yang dijadikan sasaran. 

"Hentikan, Prajola. Hilangkan nafsu amarah dan dendam di hatimu." 

Suara itu terdengar demikian sejuk, bak segayung air es yang diguyurkan ke atas api 
yang tengah membara. Entah darimana datangnya, tahu-tahu di tempat itu telah berdiri 
Dewa Berhati Emas. Kakek ini menatap Prajola dengan penuh kelembutan. 

Prajola mengeluarkan keluhan. Terlihat kakek ini merasa malu 

begitu menyadari tindakannya. Tanpa berkata apa pun tubuhnya segera di balikkan 
dan melesat pergi meninggalkan itu. Dewa Berhati Emas membalikkan tubuh menatap 
tiga sosok yang tergolek di tanah. 

"Maafkanlah muridku. Dia tak sadar dengan apa yang dilakukannya. Hatinya sedang 
terguncang. Selamat tinggal...!" 

Dewa Arak, Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek hanya bisa menatap 
kepergian Dewa Berhati Emas. Mereka tak bisa memberikan tanggapan apa pun. 
Malah, Buaya Gila Bermata Tunggal dan Dewi Pesolek kelihatan bingung melihat ada 
dua orang Dewa Berhati Emas. 

Bunyi langkah-langkah kaki mendekati tempat itu membuat ketiga orang yang masih 
terbaring di tanah mengalihkan perhatian. 

"Nenek...!" seru pemilik langkah yang ternyata Padmini. 

"Padmini...!" 

Dewi Pesolek tak kalah terharu. Suaranya terdengar gemetar. Dia tak menyangka 
muridnya itu bisa selamat Padmini berlari mendekati gurunya. Dipeluknya Dewi 
Pesolek dengan penuh rasa haru dan kegembiraan. 

Dewa Arak gembira melihat pertemuan Padmini dengan gurunya. 

Dengan langkah agak terhuyung ditinggalkannya tempat itu. Sesaat kemudian, hanya 
tinggal Buaya Gila Bermata Tunggal yang masih berada di situ. Meski telah bisa berdiri 
dan bahkan berjalan, kakek itu t ak mau bangkit dari berbaringnya. Tampaknya dia 
masih terpukul dengan kejadiankejadian yang dialami. 

Buaya Gila Bermata Tunggal tetap tak bergeming kendati mendengar suara langkah- 
langkah kaki mendekati tempatnya. 

"Buaya Gila! Aku datang untuk membunktikan padamu kalau Malaikat Tombak Sakti 
lebih unggul dari padamu. Aku, Bogadenta, anak Malaikat Tombak Sakti datang untuk 
membuktikan keunggulan keluarga kami! Bersiaplah kau...!" 

Buaya Gila Bermata Tunggal sama sekali tak memberikan tanggapan. Bahkan, karena 
tak mempedulikan luka-luka yang diderita, kakek ini terbatuk-batuk keras. Darah 
memercik berhamburan dari mulutnya.Sepasang mat a pendatang baru yang t ernyat a 
seorang wanita berpakaian merah dan bercelana hitam memandang dengan penuh 
rasa kecewa. 

"Kiranya kau terluka?! Sayang sekali! Kau beruntung, Buaya Gila! 

Biar lain kali saja kutemui kau lagi," ucap Bogadent a, yang menilik namanya adalah 
seorang lelaki. "Nasibku memang kurang beruntung. Aku tak pernah mempunyai 
kesempat an untuk mencoba kedahsyatan ilmu yang kuterima dari Dewa Berhati 
Emas. Sapu Jagad yang katanya merupakan tokoh amat sakti t ak kutemukan. 
Bahkan, pusaka-pusaka miliknya pun tidak. Sekarang kau pun tengah terluka. Sial!" 



Buaya Gila Bermata Tunggal tetap tak memberikan tanggapan. 
Bahkan ketika Bogadenta mel esat meninggalkan tempat itu, dia tetap tak mengalihkan 
perhatian. 

Sementara itu di tempat yang cukup jauh dari tempat ini dan terpisah satu s ama I ain, 
dua orang pemuda tengah berlari cepat. Yang seorang adalah Antareja. Di a tengah 
berusaha mencari jejak kakaknya. 

Bogadenta yang sebenarnya berjenis kelamin lelaki itu pandai sekali menyamar 
sebagai wanita, hingga banyak orang yang tertipu. 

Pemuda yang satu lagi berlari dengan mulut tak henti-hentinya menggumamkan 
ancaman. 

"Tunggu saja kematianmu, Dewa Arak! Pertemuan antara kita nanti akan mengirim 
nyawamu ke neraka! Aku, Bonggala, akan membunuhmu dengan ilmu-ilmu yang 
kuterima dari Dewa Berhati Emas! 

Tunggu saja saatnya...!" 

Ikuti kelanjutan, kisah ini dalam.episode : 

MEMPEREBUTKAN BATU 
KALIMAYA 

SELESAI