Dewa Arak 88 - Putri Teratai Merah


Bunyi kukuk burung hantu terdengar memecah 
kesunyian malam. Langit tampak bersih. Hanya ada 
sedikit awan yang menggantung di sana. Itu pun tipis 
saja. Hingga, meskipun bulan hanya sepotong namun 
suasana terlihat cukup terang. 

Dalam suasana seperti itulah tampak sesosok 
bayangan berkelebat cepat. Karena suasana cukup te- 
rang, sosok bayangan itu terlihat agak jelas. Sosok itu 
bertubuh tinggi kurus dan berpakaian serba hitam. 
Wajahnya putih pucat seperti orang berpenyakitan se- 
pasang matanya yang besar berwarna merah. 

Lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun ini 
berlari cepat menuju sebuah bangunan besar yang ter- 
lihat menjulang kokoh di kejauhan. Larinya cepat bu- 
kan main hingga dua kakinya bagai tak menginjak ta- 
nah! 

Berkat ilmu larinya yang luar biasa, lelaki berpa- 
kaian serba hitam ini dalam waktu yang tidak terlalu 
lama tiba di tempat yang dituju. Tanpa mengendurkan 
kecepatan larinya, lelaki ini melompat ke atas pagar 
tembok yang mengurung bangunan-bangunan di da- 
lamnya. Tinggi pagar ini tidak kurang dari tiga tombak! 

"Hey! Siapa kau...?!" 

Teguran keras terdengar tiba-tiba menyambut je- 
jak kedua lelaki tinggi kurus itu di atas pagar tembok. 

Lelaki tinggi kurus hanya mendengus. Dia tidak 
kaget mendengar teguran yang ditujukan terhadapnya. 
Teguran yang dikeluarkan seorang lelaki berpakaian 
seragam kerajaan. Tembok tempat lelaki berpakaian 
hitam menjejakkan kaki memang tembok yang menge- 
lilingi istana kerajaan. 

Nampak dua prajurit kerajaan menjadi marah ke- 
tika lelaki berpakaian hitam tidak memberikan jawa- 
ban. Hampir berbarengan kedua prajurit yang berada 
di bagian dalam tembok itu mengayunkan tombaknya. 

Suasana malam yang hening langsung dipecahkan 
oleh bunyi mendesing dua batang tombak yang melun- 
cur ke arah lelaki tinggi kurus. Tapi lelaki ini hanya 
mendengus penuh ejekan. Tidak terlihat kakinya diin- 
jakkan, tubuhnya sudah melayang ke atas hingga dua 
batang tombak itu meluncur di bawahnya! 

Kedua prajurit kerajaan terkejut bukan main me- 
lihat lelaki berpakaian hitam menjejakkan kaki di ke- 
dua batang tombak. Keterkejutan mereka semakin ber- 
tambah ketika tombak-tombak berbalik dan meluncur 
kembali ke arah pemiliknya dengan membawa tubuh 
lelaki itu di atasnya. Tombak-tombak itu meluncur 
mengancam dada! Bergegas keduanya merendahkan 
diri. Tapi tombak-tombak itu ikut menukik ke bawah. 

Dua jeritan menyayat hati pun dikeluarkan kedua 
prajurit yang malang itu. Tombak-tombak menembus 
hingga ke punggung! Darah muncrat-muncrat. Se- 
dangkan lelaki tinggi kurus melompat melewati kepala 
mereka di saat tombak-tombak mendarat di sasaran. 
Tanpa mengeluarkan bunyi lelaki itu menjejakkan ta- 
nah 

Keributan yang timbul membuat belasan prajurit 
berlarian menuju tempat itu. Lelaki berpakaian hitam 
langsung dikepung rapat-rapat. Namun dia tetap terli- 
hat tenang, meski belasan prajurit yang mengurung- 
nya telah menghunus senjata dengan sikap mengan- 
cam. Mereka tidak segera menyerang karena menyem- 
patkan diri melihat rekan-rekan mereka yang tergolek 
di tanah bermandikan darah. 

Sesaat kemudian, hujan senjata meluruk ke ber- 
bagai bagian tubuh lelaki tinggi kurus! Kembali dia 
mendengus pelan. Kedua tangannya bergerak cepat 
menangkis serangan-serangan yang datang. 

Tak tak...! 

Bunyi berdentang keras seperti beradunya logam- 
logam keras terdengar ketika tangan lelaki tinggi kurus 
berbenturan dengan senjata para pengeroyoknya. Se- 
ketika terdengar seruan keterkejutan. Mereka merasa- 
kan tangan-tangannya bagai lumpuh. Apalagi ketika 
melihat senjata-senjata mereka berpatahan! 

Belum sempat para prajurit itu berbuat sesuatu. 
Tangan lelaki tinggi kurus bergerak mengibas cepat 
bukan main. Para prajurit pun berpentalan ke sana ke 
mari susul-menyusul dengan jerit kematian yang men- 
dirikan bulu roma. 

Meskipun tahu betapa lihainya lawan. Namun pa- 
ra prajurit lain tak menjadi gentar karenanya. Mereka 
melakukan perlawanan dengan semangat tinggi! Gugur 
satu kembali datang penggantinya. Keributan yang ter- 
jadi memang telah menarik perhatian para prajurit 
lainnya untuk datang. Pembantaian besar-besaran pun 
terjadi. Para prajurit ini seperti semut-semut yang me- 
nerjang api. Mereka berguguran sebelum sempat me- 
lukai sang pengacau yang luar biasa ini! 

"Mundur semua...!" 

Bentakan keras mengatasi riuh rendahnya perta- 
rungan. Disusul dengan munculnya dua sosok tubuh 
berpakaian panglima. 

Mendengar bentakan keras menggelegar itu, ber- 
gegas belasan orang prajurit yang tersisa berlompatan 
mundur. Mereka mengenali pemilik suara itu. Lelaki 
berpakaian hitam tidak berusaha mengejar. Dia hanya 
berdiri menanti. Tatapannya ditujukan pada dua orang 
panglima yang tengah melangkah menghampirinya 
dengan tatapan penuh selidik, 

"Kau... Panglima Nambi?!" seru dua panglima ke- 
rajaan itu kemudian, kaget dan tidak percaya. Seruan 
ini mereka keluarkan hampir berbarengan. 

"Syukurlah, kalian masih ingat padaku!" dengus 
lelaki tinggi kurus penuh ejekan. Meski demikian, raut 
wajahnya tetap dingin. "Bukankah kalian berdua Sora 
dan Wardana? Dua di antara anak-anak buahku yang 
berkhianat. Nasib kalian rupanya sungguh baik. Ka- 
lian telah menjadi panglima-panglima kerajaan. Waktu 
dua puluh tahun lebih rupanya telah membuat nasib 
kalian lebih beruntung!" 

"Mau apa kau kemari, Nambi?!" sentak Panglima 
Sora, yang bertubuh tinggi besar dan kekar laksana 
batu karang. Panglima ini tidak tampak terkejut lagi. 
Guncangan perasaan itu telah berhasil diredamnya. 

"Benar. Mau apa kau kemari? Kau bukan pangli- 
ma kerajaan ini lagi. Kau tak lebih dari seorang 
pengkhianat kerajaan!" sambung Panglima Wardana 
yang bertubuh sedang tapi tegap. 

Para prajurit kerajaan yang mendengarkan perca- 
kapan itu berdebar tegang. Mereka adalah prajurit ba- 
ru yang belum dua puluh tahun mengabdi di kerajaan. 
Sehingga, mereka tak mengenal Panglima Nambi. Ken- 
dati demikian, cerita-cerita mengenai tokoh itu telah 
mereka dengar. Dengan perasaan tertarik mereka 
mengikuti percakapan yang terjadi di depan mata. Sen- 
jata-senjata di tangan tetap terhunus agar dapat diper- 
gunakan secara cepat apabila Panglima Sora dan Pan- 
glima Wardana terancam. 

Nambi terdengar mendengus keras. Sikapnya te- 
tap kelihatan tenang 

"Meski menjadi panglima, otak kalian berdua ru- 
panya masih otak tamtama! Tidak bisakah kalian men- 
gira-ngira maksud kedatanganku kemari? Tentu saja 
untuk merampungkan maksudku yang dulu belum 
terlaksana. Bukankah Putri Teratai Putih masih sendi- 
ri? Cepat panggil dia! Katakan, Nambi telah datang un- 
tuk mempersuntingnya!" 

"Keparat!" Panglima Sora yang berwatak beranga- 
san, menggeram. "Sungguh lancang kau berani me- 
nyebut Yang Mulia Gusti Ratu Teratai Putih begitu sa- 
ja. Nyawamu tak cukup untuk kelancangan yang kau 
lakukan itu, Nambi!" 

Panglima yang tidak bisa menahan kemarahannya 
ini segera melompat menerjang. Jari-jari tangannya 
mengembang membentuk cakar. Yang kanan menga- 
rah ubun-ubun, sedangkan yang kiri mengancam peli- 
pis. 

Prattt! 

Tubuh Panglima Sora terpental balik ke alas kem- 
bali begitu Nambi memapaki serangannya. Sekujur 
tangannya terasa sakit bukan main. Dadanya pun 
sangat sesak. 

"Jadi..., Putri Teratai Putih sekarang telah menjadi 
ratu!?" ujar Nambi selesai menangkis serangan. "Sung- 
guh kebetulan sekali! Berarti aku sekarang bisa men- 
jadi raja!" 

"Hal itu tak akan terjadi selama kami mash hidup, 
Keparat!" Panglima Wardana menyambuti. 

Kemudian, panglima ini menerjang Nambi. Pan- 
glima Sora segera membantu. Lelaki tinggi besar ini 
tahu kalau Panglima Wardana bukan tandingan Nambi 
yang sekarang telah memiliki kepandaian mengiriskan. 

Dalam sekejap saja Nambi dikeroyok Panglima So- 
ra dan Panglima Wardana. Tapi, bekas panglima kera- 
jaan ini memang luar biasa. Dia tidak terdesak sama 
sekali. Malah, dua lawannya yang kewalahan. 

Panglima Sora dan Panglima Wardana penasaran 
bukan main. Nambi tidak mampu mereka desak. Pa- 
dahal, dulu bekas panglima itu dilatih oleh mereka! 
Jangankan menghadapi pengeroyokan, seorang di an- 
tara mereka saja telah cukup untuk membuat Nambi 
roboh dengan mudah. Sekarang keadaannya telah jauh 
berbalik! Nambi menghadapi mereka tanpa bergeming 
sedikit pun dari tempatnya. 

"Kurasa sudah saatnya kalian pergi ke neraka...!" 

Setelah berkata demikian, Nambi menjulurkan 
kedua tangannya. Jari-jarinya ditujukan lurus ke de- 
pan. Dari ujung-ujung jari itu melesat sepuluh larik 
sinar kemerahan yang meluncur deras ke arah Pangli- 
ma Sora dan Panglima Wardana. 

Dua panglima gagah berani ini tidak sempat men- 
gelak. Keduanya menjerit ketika sinar-sinar merah 
mengenai tubuh mereka. Bagian yang terkena lang- 
sung hangus. Dagingnya gosong dengan disertai asap 
mengepul. Yang lebih mengerikan lagi, luka yang se- 
mula kecil itu membesar dengan cepat, membawa ke- 
hancuran daging seperti lilin terkena api! 

Para prajurit kerajaan menatap dengan ngeri. Bu- 
lu kuduk mereka berdiri. Lidahnya terasa kelu tidak 
bisa digerakkan. Kejadian yang terpampang terlalu 
mengejutkan sehingga mereka terkesima. Yang dilaku- 
kan hanya menatap Panglima Sora dan Panglima War- 
dana. Mereka meregang maut tanpa sanggup bertindak 
apa-apa! 

Geliatan tubuh kedua panglima kerajaan itu ter- 
henti ketika nyawa mereka melayang. Raungan kesaki- 
tan mereka pun tidak terdengar lagi. Nambi yang sejak 
tadi memperhatikan semuanya dengan wajah dingin 
sekarang mengalihkan perhatian pada para prajurit. 
Wajah mereka tampak memucat. Ngeri membayangkan 
kematian yang akan mereka alami! 

"Kalau kalian tidak ingin mengalami nasib yang 
sama, cepat bawa aku menghadap Putri Teratai Putih!" 
hardik Nambi 

Belasan prajurit itu saling berpandangan satu sa- 
ma lain. Mereka tampak bingung. Keberanian mereka 
mencair seperti es yang disorot sinar matahari. Kema- 
tian Panglima Sora dan Panglima Wardana secara 
mengerikan telah membuat nyali mereka ciut! 

"Maafkan kami, Tuan," ujar seorang prajurit yang 
masih memiliki keberanian untuk berbicara. "Gusti Ra- 
tu tengah tidak berada di istana...." 

"Apa katamu...?!" dengus Nambi marah. Telunjuk- 
nya segera ditudingkan. Selarik sinar merah menyam- 
bar. Dan, prajurit yang malang itu pun mengunjungi 
akhirat dengan cara yang sama seperti Panglima Sora 
dan Panglima Wardana. 

Prajurit-prajurit yang tersisa semakin ngeri. Mere- 
ka tanpa sadar melangkah mundur. Semangat mereka 
melayang entah ke mana melihat rekannya mengalami 
nasib yang sial. 

"Mengapa itu bisa terjadi, hah?!" tanya Nambi lagi. 

Tapi, tak ada yang berani menjawab. Bagaikan te- 
lah disepakati sebelumnya, semua prajurit itu menun- 
dukkan wajah. Nambi semakin murka. Telunjuknya 
kembali ditudingkan. Kali ini malah berkali-kali. Jeri- 
tan-jeritan menyayat hati disertai geliatan tubuh yang 
merasakan siksaan menjelang ajal pun terjadi saling 
susul-menyusul. 

Prajurit-prajurit yang tersisa semakin terpuruk 
dalam ketakutan. Jangankan mengangkat wajah, ber- 
napas pun hampir-hampir ditahan! 

"Barang siapa yang tidak memberikan jawaban, 
akan menjadi korban selanjutnya!" desis Nambi "Kata- 
kan cepat di mana Putri Teratai Putih?!" 

Peringatan Nambi membuat para prajurit yang 
tersisa berlomba-lomba memberikan jawaban. Riuh 
rendah kedengarannya. Tapi, Nambi dapat mendengar 
jelas. Lelaki ini baru percaya ketika mendengar adanya 
kesamaan dalam jawaban mereka. 

"Gusti Ratu tengah mengunjungi makam ayahnya. 
Telah dua hari beliau pergi. Rencananya, seminggu 
kemudian baru kembali." 

Nambi tidak puas mendengar jawaban itu. Dia ti- 
dak tahan lagi untuk bertemu dengan pimpinan ter- 
tinggi kerajaan itu. Tapi, disadarinya kalau sekarang 
hal itu tidak mungkin. 

"Apakah Putri Teratai Putih pergi bersama Pende- 
kar Naga Emas?!" tanya Nambi lagi 

"Tidak, Tuan. Pendekar Naga Emas sudah lama ti- 
dak terdengar beritanya. Bahkan, Gusti Ratu telah 
mengirim banyak prajurit untuk mencarinya. Tapi 
usahanya sia-sia." 

Nambi tersenyum puas. Senyum yang mengeri- 
kan. Lebih mirip seringai karena wajah dan matanya 
tidak ikut tersenyum. 

"Ini hadiahku untuk kalian...!" 

Nambi menudingkan telunjuknya berkali-kali, 
mengirimkan sinar-sinar merah pada prajurit-prajurit 
yang tersisa. Jerit kematian kembali berkumandang. 
Kali ini lebih gaduh dari sebelumnya. 


*** 


Sang surya telah bergeser jauh dari tempat terbit- 
nya. Meskipun demikian, belum mencapai titik tengah 
ketika iring-iringan sebuah kereta kuda memasuki hu- 
tan kecil di lereng gunung. 

Iring-iringan itu terdiri dari sebuah kereta dan de- 
lapan ekor kuda. Kedudukan binatang yang berpe- 
nunggang sosok-sosok gagah itu melindungi kereta. 
Tiga di bagian belakang dan depan, serta satu pada 
masing-masing sisi kereta. 

Seperti juga binatang tunggangannya yang semua 
berwarna hitam, sosok-sosok gagah di atas punggung 
kuda itu pun mengenakan pakaian yang sama. Sera- 
gam pasukan kerajaan. 

Menilik sikap sosok-sosok berpakaian seragam ke- 
rajaan itu, bisa diperkirakan kalau yang berada di da- 
lam kereta adalah orang penting. Kereta itu sendiri be- 
gitu indah dan mewah! 

"Hooop...!" 

Tiba-tiba salah satu dari tiga penunggang kuda 
terdepan mengangkat tangannya ke atas seraya mena- 
rik tali kekang binatang tunggangannya. 

Seketika itu pula rombongan yang berada di bela- 
kang ketiga prajurit itu menghentikan langkah kuda 
mereka. Seiring dengan itu masing-masing prajurit 
bersikap waspada. Mereka melihat ada sosok tubuh 
berpakaian kulit harimau terbaring dengan posisi me- 
nutupi jalan. Sosok itu tidur telentang di atas sehelai 
tambang yang direntangkan pada dua batang pohon 
yang mengapit jalan selebar empat tombak. Tinggi 
tambang itu satu tombak dari atas tanah. 

"Harap kalian semua berwaspada. Aku yakin hal- 
hal yang tidak kita inginkan kemungkinan besar akan 
terjadi. Perketat penjagaan terhadap kereta," beritahu 
salah seorang dari tiga prajurit penunggang kuda ter- 
depan. 

Prajurit berkumis tebal itu lalu melompat turun. 
Ringan sekali gerakannya. Ketika kedua kakinya men- 
jejak tanah, tidak terdengar bunyi sedikit pun. Dengan 
sikap tenang prajurit berkumis tebal menghampiri 
tempat sosok berpakaian kulit harimau terbaring. Tin- 
dakan prajurit yang menjadi pimpinan iring-iringan itu 
tidak luput dari perhatian rekannya. 

Baru saja prajurit itu melangkah tiga tindak, pa- 
dahal jarak sosok berpakaian kulit harimau sekitar li- 
ma tombak, terdengar bunyi yang cukup keras. Bunyi 
dengkur orang tidur. Hanya saja bunyinya tak pantas 
keluar dari manusia karena lebih mirip dengan deng- 
kur seekor babi! 

Bukan dengkur itu yang menyebabkan prajurit 
berkumis tebal terperanjat lalu menghentikan langkah. 
Tapi, tarikan napas sosok berpakaian kulit harimau 
membuat cabang-cabang pohon seperti ditarik dan di- 
lepaskan! Saat sosok berkulit harimau itu menarik na- 
fas, cabang-cabang pohon tertarik ke bawah. Sedang- 
kan di saat napasnya dihembuskan, cabang pohon itu 
tersentak ke atas dengan memperdengarkan bunyi 
berkerosokan nyaring! 

Prajurit berkumis tebal tahu kalau hal demikian 
hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tena- 
ga dalam amat kuat! Prajurit itu lalu memberi isyarat 
pada ketujuh rekannya untuk lebih meningkatkan ke- 
waspadaan. Dia sendiri segera melanjutkan langkah- 
nya dengan sekujur urat-urat syaraf menegang. Praju- 
rit ini telah bersiap siaga untuk menghadapi segala 
kemungkinan yang tidak diharapkan. 

Begitu berada dekat diperhatikannya sosok berpa- 
kaian kulit harimau lebih jelas. Dia ternyata seorang 
kakek kecil kurus bermuka merah. Kumis dan jeng- 
gotnya pendek serta kasar. Sepasang mata kakek ini 
terpejam. 

"Maafkan kalau aku mengganggu istirahatmu, 
Kek," ucap prajurit itu kemudian dengan sopan. "Tapi, 
aku dan kawan-kawanku hendak lewat Bisakah kau 
menyingkir sebentar?" 

Si kakek menggeliat dan menggulingkan tubuhnya 
ke kiri. Tindakan ini membuat tubuhnya tidak berada 
di atas tambang lagi. Kendati demikian, tubuhnya te- 
tap mengambang di udara seakan-akan tidur di tanah 
biasa! 

"Demi segala setan penghuni neraka!" tanpa 
membuka mata, si kakek mengomel, "Baru saja meme- 
jamkan mata sudah didatangi seekor anjing buduk 
yang tak henti-hentinya menggonggong. Nasibku me- 
mang benar-benar jelek!" 

Wajah prajurit berkumis tebal langsung berubah 
merah padam. Dia tahu kalau dirinya yang dimaksud 
dengan seekor anjing. Penghinaan itu membuat ama- 
rahnya bergolak. Dan, kemarahan membuat prajurit 
itu melupakan kalau kakek bermuka merah memiliki 
kepandaian tinggi. 

"Keparat! Rupanya kau memang hendak mengha- 
langi perjalanan kami, Kakek Iblis! Ingin kulihat apa- 
kah kau mampu melaksanakan maksud jahatmu itu!" 

Prajurit berkumis tebal yang telah murka menca- 
but pedang yang tergantung di pinggang. Kemudian, 
secepat kilat dibabatkannya ke tubuh si kakek 

"Anjing buduk ini benar-benar tidak tahu diri. Ki- 
ranya tak puas hanya menggangguku dengan hanya 
menggonggong. Sekarang dia malah hendak menggigit. 
Sungguh celaka!" 

Sambil mengomel panjang pendek, kakek bermu- 
ka merah menggulingkan tubuh kembali ke tempat 
semula. Sehingga, tubuhnya kembali terbaring di atas 
tambang. Berbarengan dengan itu dia mendengus. Cai- 
ran kental tampak meluncur keluar dari salah satu lu- 
bang hidungnya. Cairan menjijikkan itu meluncur 
dengan mengeluarkan bunyi berdesing nyaring mema- 
paki pedang si prajurit! 

Trakkk! 

Tubuh prajurit berkumis tebal terjengkang ke be- 
lakang. Pedangnya hampir terlepas dari pegangan. Be- 
gitu berhasil memperbaiki kedudukan dan memperha- 
tikan senjatanya, wajahnya langsung memucat. Batang 
pedangnya berlubang! 

"Setan penggoda seisi bumi, kali ini nasibku sung- 
guh mujur. Tak perlu bercapek lelah mencari telah ber- 
temu sendiri!" ujar kakek bermuka merah tiba-tiba 
dengan gembira. 

Kakek ini sekarang telah berdiri tegak di tanah. 
Sepasang matanya yang hampir berupa satu garis me- 
natap pedang yang tergenggam di tangan prajurit ber- 
kumis tebal. 

"Kiranya kau mempunyai hubungan dengan Per- 
kumpulan Sepasang Malaikat, Anjing Buduk? Kulihat 
balang pedangmu berwarna merah dan putih. Senjata 
berciri demikian hanya dimiliki Perkumpulan Sepasang 
Malaikat!" 

"Kalau kau telah tahu mengapa tidak buru-buru 
menyingkir, Kakek Iblis? Apakah kau menunggu kami 
mengusir dengan kekerasan?!" prajurit berkumis tebal 
mempunyai alasan untuk menggertak 

"Setan belang! Kau kira aku takut pada Perkum- 
pulan Sepasang Malaikat?! Andaikata dua kakek jom- 
po itu masih hidup pun aku tidak takut! Akan kubuk- 
tikan pada dunia persilatan kalau aku lebih lihai dari 
mereka!" sambut kakek bermuka merah, tak mau ka- 
lah mengeluarkan ancaman. 

Jawaban kakek bermuka merah membuat amarah 
prajurit berkumis tebal meluap. Dia kembali menye- 
rang. Tiga orang rekannya meninggalkan kereta dan 
membantu prajurit itu menghadapi kakek bermuka 
merah. 

Pertarungan yang kelihatannya tidak adilpun ber- 
langsung. Seorang kakek yang bertubuh kecil dike- 
royok oleh empat lelaki gagah dan kekar. Sang kakek 
tidak bersenjata, sedangkan lawan-lawannya semua 
menggunakan pedang. 

Meski demikian, kakek bermuka merah tetap be- 
rada di atas angin. Dua tangan telanjangnya enak saja 
menyampoki setiap serangan yang meluncur. Padahal 
setiap serangan pedang prajurit-prajurit itu mengelua- 
rkan bunyi mendesing nyaring pertanda ditopang oleh 
tenaga dalam yang amat kuat! 

Tak sampai tiga jurus empat prajurit itu jatuh sa- 
tu persatu. Mereka semua terbanting keras di tanah 
setelah terjengkang. Empat prajurit itu pun tidak 
bangkit lagi. Bahkan, tidak sempat berteriak sama se- 
kali. Di dada mereka tampak tertera telapak tangan 
berwarna merah! 

"Demi segala Iblis! Hanya sampai di sini sajakah 
kemampuan orang-orang Perkumpulan Sepasang Ma- 
laikat? Tidakkah ada yang sedikit lebih pandai?!" 

Empat prajurit yang tersisa tersinggung menden- 
gar ucapan penuh ejekan itu. Mereka juga sakit hati 
melihat kematian rekan-rekannya secara menge- 
naskan. Kalau saja tak mengingat penumpang di da- 
lam kereta, sudah mereka terjang kakek bermuka me- 
rah itu walau nyawa taruhannya. 

Empat prajurit itu hanya menggertakkan gigi pe- 
nuh kegeraman. Mereka ingin menyambuti ucapan ka- 
kek bermuka merah, tapi tak tahu harus berkata apa. 
Dan rupanya mereka memang tak perlu memberikan 
tanggapan. Karena sesaat kemudian, terdengar sambu- 
tan atas ucapan kakek bermuka merah dengan nada 
dingin dan penuh ancaman! 

"Orang gila dari mana yang berani mati menghina 
Perkumpulan Sepasang Malaikat?!" 




Brakkk! 

Atap kereta yang indah dan mewah itu hancur be- 
rantakan menimbulkan bunyi gaduh ketika sesosok 
bayangan putih melesat dari dalam kereta. Di udara 
sosok ini bersalto beberapa kali sebelum menjejak ta- 
nah dengan ringannya. Tiga tombak dari kakek ber- 
muka merah berdiri. 

"Demi segala roh jahat yang bergentayangan! Ak- 
hirnya, muncul juga tokoh Perkumpulan Sepasang Ma- 
laikat yang memiliki sedikit kepandaian!" seru kakek 
bermuka merah, gembira. 

Empat prajurit yang sejak tadi menjaga kereta se- 
gera memberi hormat kepada sosok berpakaian putih. 
Meski sosok itu tidak melihat karena ia berdiri membe- 
lakangi. Setelah itu, empat prajurit ini bergegas meng- 
hampiri sosok berpakaian putih. 

Sosok itu ternyata seorang wanita berusia sekitar 
empat puluh lima tahun, Wajahnya yang masih terlihat 
cantik tampak agung berwibawa. Rambutnya digelung 
ke atas. Sorot wajah dan sinar matanya yang dingin 
memperlihatkan keangkeran! 

"Siapa kau, Kek? Sungguh berani membunuh 
anggota Perkumpulan Sepasang Malaikat yang juga 
menjadi prajurit kerajaan. Untuk kesalahan itu saja 
kau sudah patut dihukum mati! Apalagi setelah berani 
menghina Perkumpulan Sepasang Malaikat. Andaikata 
kau mempunyai nyawa sepuluh pun tidak cukup un- 
tuk menebus kesalahan itu!" Datar dan dingin, tapi 
penuh ancaman kata-kata yang keluar dari mulut wa- 
nita berpakaian putih. 

"Kau sendiri siapa, Wanita Galak? Mengapa kau 
yang marah? Aku tidak menyinggung mu! Aku sedang 
membicarakan tentang Perkumpulan Sepasang Malai- 
kat!" Kakek bermuka merah berpura-pura tak menger- 
ti. Kendati dia sudah bisa menduga kalau wanita itu 
mempunyai hubungan dengan Perkumpulan Sepasang 
Malaikat "Aku tengah menyepi untuk memperdalam 
kepandaian ketika kudengar bekas kakak sepergurua- 
nku tewas di tangan tokoh Perkumpulan Sepasang Ma- 
laikat. Mengenai siapa aku, sayang aku tidak ingat 
namaku. Julukan pun aku tak punya. Tapi, tak ada 
salahnya kalau ku perkenalkan julukan baruku. Den- 
gar baik-baik, Wanita Liar! Julukanku adalah Dewa 
Tapak Darah!" 

Wajah wanita berpakaian putih tetap dingin. Tidak 
tampak beriak sedikit pun. Tapi, sepasang matanya 
yang menyambar ke arah Dewa Tapak Darah sarat 
dengan ancaman! 

"Dengar baik-baik, Dewa Tapak Darah! Pasang 
kuping tuamu itu dengan benar. Aku adalah ahli waris 
tunggal Perkumpulan Sepasang Malaikat. Salah seo- 
rang dari Sepasang Malaikat itu adalah ayahku. Aku 
masih ingat namaku, tidak pikun seperti kau. Namaku 
adalah Teratai Putih?" 

"Kebetulan sekali kalau begitu. Kudengar, pimpi- 
nan-pimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat sudah 
pergi ke akhirat, Biarlah kau yang menjadi pengganti 
nyawa kakak seperguruanku yang tewas!" 

"Siapa kakak seperguruanmu itu, Kakek Lanc- 
ing?!" kejar Putri Teratai Putih. 

"Pengemis Iblis Tanpa Tanding julukannya sebe- 
lum tewas!" jawab Dewa Tapak Darah, mantap. "Berkat 
bantuan Pendekar Naga Emas, ayah dan pamanmu itu 
berhasil membunuh kakak seperguruanku pada dua 
puluh tahun yang lalu. Pendekar keparat itu pun akan 
menerima balasannya dariku!" 

"Kau boleh bawa dendammu itu ke neraka, Dewa 
Tapak Darah!" sentak Putri Teratai Putih keras. "Kare- 
na, kau akan mati di tanganku sebelum maksudmu itu 
terlaksana!" 

Putri Teratai Putih menutup ucapannya dengan 
tendangan bertubi-tubi yang dahsyat. Sekali menye- 
rang, ahli waris Perkumpulan Sepasang Malaikat yang 
sekaligus ratu kerajaan ini menyerang tiga anggota tu- 
buh berbahaya. Pusar, ulu hati, dan leher! 

Dewa Tapak Darah mendengus penuh ejekan. Da- 
ri deru serangan bisa diperkirakannya kekuatan tena- 
ga dalam Putri Teratai Putih. Maka, tanpa ragu-ragu 
lagi serangan beruntun itu ditangkisnya dengan kedua 
tangan. 

Plakkk, plakkk! 

Tubuh Putri Teratai Putih terjengkang ke belakang 
akibat benturan itu. Sedangkan Dewa Tapak Darah 
hanya terhuyung selangkah! Dengan demikian, kakek 
ini memiliki kesempatan lebih dulu untuk mengirim- 
kan serangan. Putri Teratai Putih tidak berani me- 
nangkis setelah mengetahui tenaga lawan ternyata le- 
bih kuat. Wanita ini mengelak kemudian mengirimkan 
serangan balasan. Pertarungan pun tak bisa dihindar- 
kan lagi! 

Pertarungan berjalan cepat. Hanya dalam waktu 
sebentar saja tujuh belas jurus telah terlewatkan. Putri 
Teratai Putih terus didesak! Wanita ini yang semula 
gencar melakukan penyerangan sekarang lebih banyak 
mengelak. Padahal, Putri Teratai Putih telah mengelua- 
rkan senjata andalannya. Kipas Baja Putih! 

Sementara Dewa Tapak Darah masih bertangan 
kosong. Malah, kakek itu belum menggunakan ilmu 
andalannya! 

Desss! 

Sebuah tendangan Dewa Tapak Darah yang men- 
genai sambungan lutut Putri Teratai Putih membuat 
Wanita itu terjengkang ke belakang dan terguling- 
guling di tanah. Sambungan tulang lututnya langsung 
lepas! 

Si Dewa Tapak Darah benar-benar memenuhi jan- 
jinya untuk membunuh Putri Teratai Putih. Dia melu- 
ruk mengejar Putri Teratai Putih untuk mengirimkan 
serangan mematikan. Empat prajurit yang melihat 
adanya ancaman maut atas ratu mereka secepat kilat 
melompat memapaki dengan tusukan-tusukan pedang. 
Dewa Tapak Darah tampak marah mendapat serangan 
ini. Dia mendengus seraya mengibaskan kedua tan- 
gannya. Angin keras langsung berhembus ke arah em- 
pat prajurit yang setia itu. Mereka kaget bukan main! 
Angin yang luar biasa itu hanya menyerbu tangan me- 
reka yang menggenggam pedang. 

Serbuan angin itu demikian dahsyatnya. Sehing- 
ga, mampu membuat mata pedang empat prajurit itu 
berbalik arah. Lalu dengan derasnya menghunjam pe- 
rut mereka sampai tembus ke punggung. Empat pa- 
sang mata prajurit itu membelalak lebar seakan tak 
percaya akan apa yang mereka alami. Tubuh mereka 
ambruk di tanah dan menggelepar-gelepar sebentar 
sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi. 

Putri Teratai Putih meraung penuh kemarahan 
melihat nasib keempat prajuritnya. Dia menerjang 
dengan kedua tangan terkembang membentuk cakar. 
Kipasnya tidak dipergunakan lagi karena telah terlem- 
par jauh begitu tubuhnya terguling-guling tadi. 

Sayang, maksud Putri Teratai Putih untuk mem- 
balaskan kematian keempat prajuritnya tidak berhasil. 
Dengan kibasan kedua tangannya, Dewa Tapak Darah 
membuat tubuh lawan terlempar deras ke belakang 
dan menubruk kereta hingga dindingnya jebol! Putri 
Teratai Putih tidak mampu menahan serangan lawan 
karena keadaannya yang sudah tidak sekuat semula. 

Benturan kali ini rupanya lebih dahsyat. Bukan 
karena berbenturan dengan kereta. Tapi karena sam- 
baran angin kibasan Dewa Tapak Darah. Putri Teratai 
Putih tidak dapat segera bangkit. Dia tergolek di tanah 
telentang tak berdaya. Benturan yang luar biasa keras 
membuat tubuh Putri Teratai Putih menjebol dua dind- 
ing kereta dengan melewati bagian dalamnya! 

Dewa Tapak Darah menyeringai puas. Dengan 
langkah lambat-lambat dihampirinya Putri Teratai Pu- 
tih. Kakek ini tidak buru-buru melancarkan serangan 
susulan karena tahu luka yang diderita Putri Teratai 
Putih cukup parah. 

Putri Teratai Putih menyadari akan adanya anca- 
man maut. Dia belum ingin mati. Maka dicobanya se- 
kuat tenaga untuk bangkit berdiri. Tapi hanya keingi- 
nan saja yang besar, sedangkan kemampuannya tidak 
menunjang. Putri Teratai Putih tidak berhasil bangkit. 
Tubuhnya terkulai kembali ke tanah setelah menegang 
beberapa saat lamanya. 

Putri Teratai Putih pun pasrah. Disadarinya kalau 
dirinya memang tidak berdaya lagi. Kendati demikian, 
dengan berani ditatapnya Dewa Tapak Darah yang te- 
lah bersiap untuk mengirimkan serangan mematikan. 

"Hanya seorang pengecut dan tidak mempunyai 
rasa malu akan membunuh lawan yang telah tidak 
berdaya! Apalagi jika lawan itu seorang wanita!" 

Suara itu tidak keras. Tapi anehnya, bergema ke 
sekitar tempat itu dan mampu menggetarkan semua 
benda yang ada di situ. Seakan-akan ada gempa kecil. 
Putri Teratai Putih dan Dewa Tapak Darah pun mera- 
sakan dada mereka bergetar. 

Dewa Tapak Darah tahu kalau pemilik suara itu 
seorang tokoh berkepandaian tinggi. Setidak-tidaknya 
memiliki tenaga dalam yang amat kuat. Maka, dia ti- 
dak berani memandang rendah. Buru-buru tubuhnya 
dibalikkan karena dari arah belakang seruan itu be- 
rasal. 

Dewa Tapak Darah kecelik! Tak ada seorang pun 
di belakangnya. Kecurigaan membuatnya cepat mem- 
balikkan tubuh lagi. Dan.... Kejadian itu berlangsung 
demikian cepat. Kakek ini hanya sempat melihat ber- 
kelebatnya sesosok bayangan ungu berhenti di antara 
dia dan Putri Teratai Putih. Sosok ungu itu berdiri 
membelakangi ahli waris Perkumpulan Sepasang Ma- 
laikat! 

Dewa Tapak Darah memperhatikan sosok ungu 
itu dengan hati panas. Kakek ini merasa dipermain- 
kan. Tamu tak diundang itu rupanya telah mengguna- 
kan ilmu memindahkan suara untuk mengecohnya. 
Sehingga, meski sebenarnya berada di depan namun 
sosok ungu itu mampu membuat suaranya seperti be- 
rasal dari belakang. 

Tapi, kejadian itu tidak membuat Dewa Tapak Da- 
rah menjadi gentar. Menurutnya, hal ini tidak mengi- 
syaratkan kepandaian sosok berpakaian ungu berada 
di atasnya. Kalau saja suara itu tidak terdengar sekali 
saja dan Dewa Tapak Darah memperhatikan dengan 
seksama, tak mungkin sosok ungu itu berhasil menge- 
cohnya! Begitu kata hati Dewa Tapak Darah. 

Sosok ungu itu bertubuh tegap dan kekar ter- 
bungkus pakaian serba ungu. Wajahnya tampan, terli- 
hat tenang dan matang. Rambutnya yang putih terge- 
rai panjang hingga ke punggung. Sosok yang berusia 
dua puluh tahun lebih itu tampak kelihatan lebih tua 
dari usia sebenarnya. Meskipun demikian, Dewa Tapak 
Darah tetap tidak percaya kalau orang semuda itu 
memiliki kepandaian tinggi. 

Dewa Tapak Darah memang baru keluar dari tem- 
pat pertapaannya. Dia tidak tahu kalau di dunia persi- 
latan telah muncul seorang pendekar muda bernama 
Arya Buana yang berjuluk Dewa Arak. Dan, pemuda 
yang tengah berdiri dihadapannya itu tidak lain dari 
Dewa Arak 

"Sungguh besar nyalimu, Bocah! Berani-beraninya 
kau mencampuri urusanku. Tahukah kau siapa aku? 
Aku adalah tokoh yang akan menggantikan kedudukan 
Pengemis Iblis Tanpa Tanding untuk menjadi tokoh 
nomor satu dalam rimba persilatan! Aku adik sepergu- 
ruan Pengemis Iblis Tanpa Tanding. Julukanku adalah 
Dewa Tapak Darah! Atas kelancanganmu mencampuri 
urusanku ini kau akan mendapat hukuman yang se- 
timpal, Bocah!" Dewa Tapak Darah menyapa Arya den- 
gan panggilan yang merendahkan. 

"Sayang sekali aku tidak takut dengan ancaman - 
mu, Kek! Aku lebih suka mati daripada membiarkan 
adanya ketidakadilan di depanku!" tandas Arya man- 
tap tanpa bermaksud menyombongkan diri. 

"Sombong!" Dewa Tapak Darah setengah menjerit 
karena murkanya. "Orang seperti kau kalau tidak se- 
gera diberikan pelajaran akan semakin kurang ajar. 
Bocah! Sekarang, terimalah hukumanmu!" 

Belum lagi gema teriakan itu hilang, Dewa Tapak 
Darah telah melesat ke arah Dewa Arak. Kedua tan- 
gannya yang mengepal dihantamkan ke arah Arya da- 
lam sebuah pukulan lurus ke dada. Bunyi meledak- 
ledak seperti suara petir menggelegar terdengar mengi- 
ringi serangan itu. Hawa panas terasa menyambar se- 
belum pukulan itu sendiri tiba dekat. 

Dewa Arak tidak terkejut. Dia sudah menyangka 
Dewa Tapak Darah memiliki kepandaian tinggi. Tak 
aneh kalau kakek itu memiliki pukulan yang demikian 
mengerikan! Jangankan terkena langsung, angin se- 
rangannya saja sudah, cukup untuk membuat seba- 
tang pohon besar hancur lebur. 

Dewa Arak yang selalu bersikap hati-hati dan ti- 
dak pernah memandang rendah lawan segera saja 
mengeluarkan 'Delapan Langkah Belalang'nya. 

Brakkk! 

Sebatang pohon sebesar pelukan dua orang dewa- 
sa hancur terkena angin pukulan yang tidak mengenai 
sasaran. Tubuh Dewa Arak sudah melesat dari tem- 
patnya. 

"Demi segala setan penghuni neraka!" maki Dewa 
Tapak Darah melihat lawannya tiba-tiba lenyap dari 
hadapan. Untuk sesaat dia kebingungan. Tapi begitu 
merasa ada angin mendesir di belakangnya, segera sa- 
ja diketahui kalau lawan ada di sana. 

Lawannya ternyata memiliki ilmu langkah ajaib 
yang dapat membuat pemuda itu mengelakkan seran- 
gan tanpa diketahui kapan bergerak dan ke mana arah 
gerakannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, ka- 
kek ini melempar tubuhnya ke depan kemudian bergu- 
lingan di tanah. 

Dewa Arak tidak memberi kesempatan pada kakek 
bermuka merah untuk memperbaiki kedudukan. Sege- 
ra diburunya tubuh yang tengah bergulingan itu. Se- 
rangan dahsyat langsung dikirimkannya. Tapi, Dewa 
Tapak Darah mampu menangkalnya. Bahkan mengi- 
rimkan serangan yang tak kalah dahsyat! 

Pertarungan pun berlangsung mengiriskan hati 
Putri Teratai Putih sebagai penonton satu-satunya. 
Agaknya tokoh-tokoh yang bertarung memiliki tingkat 
kepandaian di atasnya. Kenyataan ini membuat pera- 
saan kagumnya timbul pada Aiya. Pemuda itu masih 
amat muda tapi telah memiliki kepandaian tinggi. 

Di samping perasaan kagum, rupanya timbul pula 
rasa khawatir terhadap keselamatan Dewa Arak. Me- 
mang julukan Dewa Arak telah sampai ke telinga Putri 
Teratai Putih. Pemuda itu hampir belum pernah gagal 
menumpas angkara murka yang ditimbulkan tokoh- 
tokoh sesat dunia persilatan. Tapi melihat betapa be- 
lianya Dewa Arak, perasaan tidak yakin mulai bergayut 
di hati wanita ini. 

Dewa Arak sendiri harus mengakui kalau Dewa 
Tapak Darah memiliki kepandaian dahsyat! Seluruh 
kemampuannya telah dikerahkan. Namun belum juga 
mampu mendesak lawannya. Pertarungan masih ber- 
langsung seimbang! 

Pertarungan yang berlangsung alot membuat dua 
tokoh yang tengah bertarung kehilangan kesabaran. 
Ketika Dewa Tapak Darah menerjang ke arahnya den- 
gan menghentakkan kedua tangan, Dewa Arak tak ra- 
gu-ragu untuk memapakinya! 

Blarrr! 

Dua pasang tangan yang sama-sama mengandung 
kekuatan dahsyat bertemu di udara. Ledakan keras 
luar biasa terjadi bagaikan gunung runtuh! Keadaan di 
sekitar tempat itu bergetar hebat. Pepohonan tampak 
bergoyangan keras. 

Tapi yang lebih hebat lagi adalah apa yang dialami 
kedua tokoh yang tengah bertarung. Dewa Arak mau- 
pun Dewa Tapak Darah terjengkang ke belakang. Se- 
rentetan hawa panas merayap di sekujur tubuh mere- 
ka. Keduanya segera menyadari kalau diri mereka te- 
lah terluka dalam yang cukup parah. Apabila perta- 
rungan diteruskan, bukan tidak mungkin mereka akan 
mati bersama-sama. Sesaat kedua tokoh ini saling ber- 
tatapan. 

"Kalau saja aku tidak mempunyai urusan lain 
yang lebih penting daripada mengurusi bocah macam 
kau, sudah kuselesaikan riwayat hidupmu sampai di 
sini! Kelak apabila urusanku telah selesai, akan kucari 
kau, Bocah! Kita tentukan siapa yang lebih unggul di 
antara kita berdua!" 

Usai berkata demikian, Dewa Tapak Darah mem- 
balikkan tubuh dan melangkah terhuyung-huyung 
meninggalkan tempat itu. Dewa Arak tak berusaha 
mengejar. Pemuda ini hanya menatap kepergian la- 
wannya. 

Setelah tubuh Dewa Tapak Darah semakin men- 
gecil di kejauhan, Arya menghela napas berat. Dia te- 
lah menanam bibit permusuhan dengan seorang tokoh 
yang amat tangguh. Kemudian, Arya membalikkan tu- 
buh dan menghampiri Putri Teratai Putih. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Arya," ucap 
Putri Teratai Putih seraya menatap pemuda berambut 
putih keperakan itu dengan penuh rasa kagum. "Telah 
lama kudengar nama besarmu. Tapi aku tidak pernah 
bermimpi bisa bertemu. Aku, Teratai Putih, tidak akan 
melupakan pertolongan yang kau berikan. Suatu saat 
kelak aku ingin membalas budi ini." 

"Teratai Putih?!" ulang Arya agak kaget. Dia per- 
nah mendengar nama itu. "Jadi.., kau kiranya tokoh 
yang menggemparkan dunia persilatan sekitar dua pu- 
luh tahun lalu? Berita mengenai dirimu banyak ku- 
dengar. Kau, Putri Teratai Putih, putri dari pimpinan 
Perkumpulan Sepasang Malaikat?" 

"Sebuah julukan yang tidak berisi sama sekali," 
timpal Putri Teratai Putih seraya tersenyum pahit. Ia 
tidak tampak gembira mendengar pujian Dewa Arak. 
"Kenyataannya hanya menghadapi Dewa Tapak Darah 
aku hampir melawat ke akhirat kalau kau tidak segera 
datang, Dewa Arak!" 

"Kakek itu memang memiliki kepandaian luar bi- 
asa, Putri," ujar Arya menghibur. "Kurasa tidak perlu 
berkecil hati kalah di tangan Dewa Tapak Darah. Apa- 
lagi kudengar dia kakak seperguruan Pengemis Iblis 
Tanpa Tanding." 

Putri Teratai Putih menatap Arya lekat-lekat "Ki- 
ranya kau mengetahui tentang datuk sesat itu, Arya?" 

"Hanya mendengar sedikit tentangnya, Putri. Ten- 
tu saja tidak setahu kau yang telah mengalaminya 
sendiri," jawab Arya merendah. 

"Seberapa banyak pengetahuan yang kau dapat?" 
tanya Putri Teratai Putih ingin tahu. 

"Kudengar sekitar dua puluh tahun lalu di dunia 
persilatan terdapat empat datuk kaum sesat. Mereka 
memiliki kepandaian luar biasa tinggi. Di samping itu 
juga berwatak kejam. Salah satu di antara mereka ada- 
lah Pengemis Iblis Tanpa Tanding. Datuk-datuk sesat 
itu tewas di tangan Pimpinan Perguruan Sepasang Ma- 
laikat yang dibantu oleh seorang pendekar sakti yang 
berjuluk Pendekar Naga Emas. Setelah itu Perguruan 
Sepasang Malaikat lenyap dari dunia persilatan. Demi- 
kian pula dengan Pendekar Naga Emas." 

"Aku, Ayah, dan seluruh murid Perkumpulan Se- 
pasang Malaikat memutuskan untuk mengabdi pada 
kerajaan di mana salah seorang adik seperguruan 
Ayah menjadi raja," Putri Teratai Putih memberikan 
jawaban. 

"Lalu, Pendekar Naga Emas?" 

"Entahlah," Putri Teratai Putih menggelengkan ke- 
pala seraya menghela napas berat. Dia kelihatan sedih 
sekali. Wajahnya semakin bertambah suram. 

Arya tidak berani mengajukan pertanyaan lagi. 
Melihat sikap Putri Teratai Putih, dia yakin ada sesua- 
tu di antara Pendekar Naga Emas dengan wanita itu. 

"Ayahku kemudian meninggalkan istana setelah 
adik seperguruannya meninggal karena sakit. Sebelum 
wafat adik seperguruan Ayah mengangkat ku menjadi 
penggantinya. Sampai sekarang aku menjadi ratu di 
kerajaan itu," lanjut Putri Teratai Putih, mengalihkan 
perbincangan mengenai Pendekar Naga Emas. 

"Maaf, bukan bermaksud untuk mengguruimu, 
Putri. Adalah lebih tepat kalau kau memberitahukan 
ayahmu mengenai munculnya Dewa Tapak Darah. Aku 
yakin kakak seperguruan Pengemis Iblis Tanpa Tand- 
ing itu akan membalaskan sakit hatinya terhadap 
ayahmu. Bukankah beliau ikut andil dalam tewasnya 
Pengemis Iblis Tanpa Tanding?" ujar Arya hati-hati. 

"Aku pun berpikir demikian, Arya," sahut Putri Te- 
ratai Putih. "Aku sendiri sebenarnya tengah bermak- 
sud untuk mengunjungi ayahku. Dengan kejadian ini, 
aku harus lebih cepat tiba di sana sebelum hal-hal 
yang lebih buruk terjadi" 

"Boleh aku menyertai perjalananmu, Putri?" Arya 
mengajukan diri. "Kurasa dengan keadaanmu seka- 
rang ini kau tidak akan dapat membela diri dengan 
baik. Lagi pula aku tidak yakin Dewa Tapak Darah 
akan berdiam diri saja. Kakek itu pasti menunggu ke- 
sempatan untuk melenyapkanmu." 

Putri Teratai Putih terdiam. Wanita ini tidak lang- 
sung segera memberikan jawaban. 

"Sebuah usul yang baik, Arya," jawab Putri Teratai 
Putih kemudian setelah termenung sebentar. "Kau baik 
sekali. Sikap dan tindak-tandukmu mengingatkan ku 
akan Pendekar Naga Emas. Dia seorang pendekar yang 
luar biasa." 

"Aku yakin betul akan hal itu, Putri. Karena itu, 
aku ingin sekali berkenalan dengannya. Tidak hanya 
dengannya, tapi juga dengan ayahmu, Putri. Barangka- 
li saja banyak petunjuk yang berharga yang akan dibe- 
rikannya padaku nanti." 

Putri Teratai Putih tersenyum. Sejenak senyuman 
itu mengusir kabut kedukaan yang melapisi wajah dan 
sepasang matanya 

"Kau pandai merendah, Arya. Dengan kepandaian 
yang kau miliki sekarang, bagaimana mungkin ayahku 
bisa memberi petunjuk? Malah, bisa jadi kaulah yang 
akan memberi petunjuk pada ayahku." 

"Kau terlalu tinggi memujiku, Putri," Arya terse- 
nyum malu. "Jangankan menghadapi ayahmu, ber- 
tempur dengan Dewa Tapak Darah saja nyawaku 
hampir melayang...." 

"Kau melupakan satu hal, Arya. Dewa Tapak Da- 
rah adalah kakak seperguruan Pengemis Iblis Tanding. 
Sebagai kakak seperguruan kepandaiannya tentu lebih 
tinggi dari si pengemis jahat itu. Padahal, menghadapi 
Pengemis Iblis Tanpa Tanding saja ayahku harus dira- 
wat berminggu-minggu karena luka berat yang dideri- 
tanya. " 

"Kau sudah cukup kuat untuk melakukan perja- 
lanan, Putri?" Arya segera mengalihkan pembicaraan. 

Putri Teratai Putih mengangguk Pembicaraan 
mengenai hal itu pun dihentikan. Wanita ini tahu Arya 
merasa risih mendengar pujian yang dilontarkan ter- 
hadapnya. Sikap Arya itu menimbulkan kekaguman 
besar dalam hati Putri Teratai Putih. 




Bunyi kecapi dilantunkan dalam nada sedih dan 
memilukan hati berkumandang mengiringi langkah 
kaki kuda coklat. Langkah binatang kurus itu pun lesu 
seperti nada yang keluar dari kecapi. 

Keadaan pemetik kecapi tak kalah lesunya. Dia 
duduk di atas punggung kuda dengan wajah ditun- 
dukkan. Wajahnya kumal penuh debu. Kumis, jenggot, 
dan cambangnya tak terurus menghias wajah. Pakaian 
lelaki ini kotor serta lusuh. 

Tiba-tiba saja lelaki kumal ini menghentikan per- 
mainan kecapinya. Sesaat kemudian mulutnya berde- 
cak pelan. Dan, kuda coklat pun melesat ke depan ba- 
gai anak panah lepas dari busur. Kelihatan tak sesuai 
sekali dengan tubuhnya yang kurus. 

Hanya dalam waktu sebentar saja kuda coklat itu 
telah melampaui ratusan tombak. Medan yang semula 
berupa tanah gersang ditumbuhi sedikit rumput kering 
kini berganti dengan tanah berbatu-batu. 

Kuda coklat itu baru menghentikan larinya ketika 
mendengar bunyi decak dari mulut penunggangnya. 
Binatang itu telah berada di pinggir tebing. Di depan- 
nya terdapat medan menurun yang terjal. Di bagian 
yang rata tampak lima sosok tubuh tengah terlibat da- 
lam pertarungan. 

Lelaki kumal yang berusia sekitar lima puluh ta- 
hun ini mengarahkan pandangan ke bawah, ke tempat 
pertarungan tengah berlangsung sengit 

"Ti... tidak mungkin..." desis lelaki itu terbata- 
bata. 

Wajah lelaki kumal ini terlihat tegang bukan main. 
Sepasang matanya membelalak lebar seperti orang me- 
lihat hantu. Mulutnya pun terbuka. Hingga, andal kata 
ada lalat masuk mungkin lelaki ini tidak mengeta- 
huinya. 

Sepasang mata lelaki kumal yang mencorong kehi- 
jauan bak mata seekor harimau dalam gelap menatap 
hampir tak berkedip. Bukan pada jalannya pertarun- 
gan, melainkan pada salah satu dari orang-orang yang 
tengah bertarung. 

Di kancah pertarungan, dalam jarak sekitar sepu- 
luh tombak, seorang wanita muda berpakaian merah 
menyala tengah berhadapan dengan empat orang lelaki 
kasar bersenjata golok. Wanita itu sendiri hanya ber- 
senjatakan sebatang pedang pendek. 

Yang menjadi pusat perhatian lelaki kumal adalah 
si wanita muda. Lelaki ini memperhatikan bagai orang 
terkena sihir! 

"Ya Tuhan...! Apakah aku tengah bermimpi?! Bu- 
kankah gerakan yang dimainkan oleh wanita itu ada- 
lah ilmu Pedang Sepasang Malaikat? Ilmu yang menja- 
di andalan pimpinan-pimpinan Perkumpulan Sepasang 
Malaikat. Dan, wajah itu... benarkah dia Putri Teratai 
Putih? kalau benar dia, mengapa pakaiannya merah?!" 
gumam lelaki kumal dengan bibir bergetar. 

Sementara di kancah pertarungan pertempuran 
terjadi semakin sengit. Wanita berpakaian merah keli- 
hatan terdesak. Lawan-lawannya terlalu lihai dan ba- 
nyak. Andaikata seorang demi seorang mungkin dia 
akan keluar sebagai pemenang. Kemampuan wanita 
itu di atas kepandaian lawan-lawannya. 

"Haaat..!" 

Salah seorang pengeroyok yang bertubuh tinggi 
kurus berteriak nyaring sambil melompat menerjang 
lawannya. Golok di tangannya dibabatkan ke arah leh- 
er. 

Wanita muda berpakaian merah menarik tubuh- 
nya ke belakang sehingga serangan itu kandas. Na- 
mun, pengeroyok yang bertubuh pendek menusukkan 
golok dari samping kanan. Sementara dari sebelah kiri 
pengeroyok lainnya membabatkan golok ke arah teng- 
kuk. Dan, golok yang meluncur dari sebelah kanan 
mengancam pelipis! 

Wanita perkasa itu bertindak cepat dengan me- 
rendahkan tubuhnya. Sehingga, semua serangan itu 
meluncur di atas kepala. Berbarengan dengan itu pe- 
dang pendeknya ditusukkan ke arah pengeroyok yang 
berada di kanan. 

Crasss...! 

Ujung pedang si wanita berhasil menyerempet pe- 
rut lelaki berkulit hitam yang menjadi sasaran seran- 
gan. Padahal lelaki itu telah berusaha sebisa-bisanya 
untuk mengelak 

Tapi sebelum si wanita sempat melancarkan se- 
rangan susulan pada lelaki hitam yang tengah ter- 
huyung-huyung, lelaki tinggi besar telah mengguling- 
kan tubuh. Kaki kanannya diayunkan menyapu kaki 
wanita berpakaian merah. 

Bukkk! 

Telak dan keras sekali sapuan lelaki itu menghan- 
tam sasaran. Seketika itu juga tubuh wanita berpa- 
kaian merah terpelanting jatuh. 

Melihat kesempatan yang menguntungkan itu, pa- 
ra pengeroyoknya tidak mau membiarkan. Bagai ber- 
lomba mereka saling mendahului melancarkan seran- 
gan. 

Wanita berpakaian merah mengeluh di dalam hati. 
Jalan untuk mengelak sudah tidak ada lagi. Maka, dia 
hanya mampu berdiam diri menanti datangnya maut. 

Bahaya yang mengancam keselamatan wanita 
muda itu tak luput dari perhatian lelaki kumal yang 
sejak tadi menyaksikan jalannya pertarungan. Jari-jari 
tangannya dengan tangkas memetik dawai-dawai ke- 
capi. 

Tung, tung, tung..! 

Bunyi-bunyi yang nikmat untuk didengar telinga 
pun terdengar menghentak. Akibatnya sungguh mengi- 
riskan hati! Empat lelaki kasar yang tengah melancar- 
kan serangan bagai ditubruk gajah liar! Tubuh mereka 
terpental balik ke belakang dan melayang di udara 
dengan derasnya. 

Wanita muda berpakaian merah tampak terkejut 
melihat keadaan keempat lawannya. Tapi, wanita itu 
tidak merasa heran. Kejadian yang menimpa lawan- 
lawannya terjadi karena bunyi kecapi. Wanita itu meli- 
hat keberadaan lelaki kumal yang duduk di atas pung- 
gung kuda ketika mengedarkan pandangan. Dia segera 
tahu kalau lelaki kumal itu memiliki kepandaian ting- 
gi. Hanya orang yang bertenaga dalam luar biasa kuat 
saja yang mampu melakukan hal seperti tadi. 

Lelaki kumal itu sendiri bergegas melompat dari 
punggung binatang tunggangannya dan melesat ke 
arah wanita berpakaian merah berada. Wanita itu 
membelalakkan mata melihat tindakan lelaki kumal. 
Jelas-jelas dilihatnya lelaki itu tidak menggerakkan tu- 
buh bagian bawah. Tubuhnya tampak melayang! Ter- 
nyata kepandaian lelaki itu tidak hanya tenaga dalam- 
nya saja tetapi juga ilmu meringankan tubuhnya! 

"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya lelaki kumal ke- 
tika telah berada di depan wanita berpakaian merah 
yang telah berdiri. Sementara keempat lawannya su- 
dah melesat meninggalkan tempat itu dengan langkah 
terhuyung-huyung. Mereka kabur karena tahu lawan- 
nya mendapat pertolongan. 

"Tidak apa-apa, Paman," jawab wanita itu sambil 
tersenyum. "Terima kasih atas pertolongan yang kau 
berikan. Kalau tidak ada kau mungkin nyawaku telah 
melayang ke alam baka!" 

"Syukurlah kalau demikian," sambut lelaki kumal, 
gembira. Lelaki ini telah berhasil menekan guncangan 
perasaan yang tadi melanda sehingga wajah maupun 
sikapnya terlihat biasa. "Boleh ku tahu mengapa kau 
bentrok dengan mereka. Nona? Maaf, bukan maksud- 
ku untuk mengetahui urusanmu. Tapi, gerakan- 
gerakanmu mengingatkan ku pada seorang tokoh. 
Bahkan wajahmu pun mirip dengan orang yang pernah 
kukenal itu," lanjutnya kemudian. 

Wanita muda itu menatap wajah lelaki kumal pe- 
nuh selidik. Rupanya, dia tidak mau percaya saja pada 
ucapan penolongnya. 

"Boleh ku tahu tokoh yang kau maksudkan itu 
Paman? Bukannya aku tak mempercayaimu, tapi keja- 
dian yang ku alami membuatku tidak berani memper- 
kenalkan diri pada sembarang orang. Bahkan, aku di- 
beritahu kalau sembarangan membuka mulut akan 
membahayakan diriku. Banyak musuh yang akan 
mencelakai ku. Sekali lagi maafkan aku, Paman." 

"Suatu tindakan yang bagus sekali, Nona," lelaki 
kumal malah memuji. Ia tidak tersinggung atas tang- 
gapan yang diperolehnya. "Kau tak perlu meminta 
maaf. Memang seharusnya demikian tindakan yang 
kau lakukan. Tokoh yang kumaksudkan itu adalah 
pimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat. Aku yakin 
kau mempunyai hubungan dengannya, Nona. Kulihat 
kau menggunakan senjata berciri khas perkumpulan 
itu." 

"Ini tidak menjadi jaminan untuk mempercayai 
kalau kau bukan termasuk musuh, Paman," kilah wa- 
nita muda itu belum mau percaya. "Memang kuakui 
kalau aku mempunyai hubungan dengan orang yang 
kau maksudkan. Tapi, seorang musuh bisa saja men- 
genal setiap anggota Perkumpulan Sepasang Malaikat 
dengan hanya melihat gerakan-gerakannya. Ada hal 
lebih penting yang hanya diketahui oleh sahabat- 
sahabat tokoh yang kau maksudkan itu. Sekali lagi 
maaf, bukannya aku tak mau memperkenalkan diri. 
Aku hanya khawatir kalau-kalau kejadian yang sama 
terulang. Aku banyak dipesan agar berhati-hati terha- 
dap orang yang tidak kukenal. Kendati orang itu telah 
menolongku siapa tahu ia mempunyai maksud- 
maksud tertentu" 

Lelaki kumal tertawa terbahak-bahak. Di dalam 
hatinya lelaki ini merasa heran. Telah bertahun-tahun 
lamanya dia tidak tersenyum. Namun, sekarang dia 
tertawa! Wanita di hadapannya ini rupanya telah me- 
nimbulkan rasa gembira yang besar di hatinya. 

"Kau seorang gadis yang cantik sekali, Nona. Me- 
mang apa yang kau katakan itu benar. Tidak semba- 
rang orang mengenal secara dekat pimpinan-pimpinan 
Perkumpulan Sepasang Malaikat. Mereka amat mera- 
hasiakan nama! Hanya sahabat-sahabat yang diper- 
caya saja mendapat kehormatan untuk mengetahui 
nama mereka. Itu pun dengan pesan keras agar tidak 
memberitahukannya pada orang lain. Dan, sahabat- 
sahabat baik itu pun berjanji memenuhinya. Sebagai 
seseorang yang mendapat kehormatan untuk bersaha- 
bat dengan mereka, tentu saja aku tahu nama-nama 
pemimpin Perkumpulan Sepasang Malaikat itu!" tan- 
das lelaki kumal. 

Wanita muda berpakaian merah membisu me- 
nunggu kelanjutan ucapan lelaki kumal. Sorot kecuri- 
gaan pada sepasang matanya tampak sudah jauh ber- 
kurang. Apa yang dikatakan lelaki itu diakui kebena- 
rannya. Pimpinan-pimpinan Perkumpulan Sepasang 
Malaikat memang amat merahasiakan nama mereka. 

"Dengar baik-baik, Nona. Katakan kalau aku tidak 
benar menyebutkan nama mereka. Orang yang tertua 
bernama Banyak Ngampar. Sedangkan yang lebih mu- 
da bernama Banyak Catra. Ada satu lagi adik sepergu- 
ruan mereka yang tidak ikut dalam kepengurusan per- 
guruan. Jarang orang yang tahu karena tokoh ini men- 
jadi raja pada sebuah kerajaan. Nama tokoh ini adalah 
Banyak Santang. Sedangkan wajahmu yang kukatakan 
tadi mirip seseorang adalah putri dari Banyak Catra. 
Namanya Teratai Putih. Orang-orang lebih mengenal- 
nya sebagai Putri Teratai Putih," jelas lelaki kumal 
panjang lebar. 

Wanita berpakaian merah tersenyum. Lelaki kum- 
al harus mengakui kalau senyum itu membuat wajah- 
nya menjadi berlipat kali lebih cantik. 

"Kau benar-benar salah seorang sahabat, Paman," 
ujar wanita itu dengan penuh perasaan lega. "Bahkan, 
lebih dari seorang sahabat. Apa yang kau ketahui de- 
mikian banyak. Namaku Teratai Merah, Putri Teratai 
Merah. Memang mirip dengan nama Putri Teratai Pu- 
tih. Tapi, tidak berarti ada hubungan antara aku den- 
gan Putri Teratai Putih. Hubungan yang ada hanyalah 
karena aku menjadi murid ayahnya." 

"Sudah kuduga kalau kau murid dari Banyak Ca- 
tra, Teratai Merah," ujar lelaki kumal menyebut wanita 
itu dengan namanya. 

"Kau sendiri siapa, Paman? Mendengar pengeta- 
huanmu yang banyak itu aku yakin kau merupakan 
sahabat yang paling dipercaya. Siapakah kau Paman?" 

Tanggapan dari pertanyaan Putri Teratai Merah 
adalah tundukan kepala lelaki kumal. Terdengar he- 
laan napas berat dari mulutnya. Kentara jelas kalau 
pertanyaan itu menimbulkan kenangan yang tak 
menggembirakan hatinya. 

Putri Teratai Merah yang tak menyangka hal itu 
menjadi tidak enak karenanya. 

"Maafkan kalau pertanyaanku menyusahkan ha- 
timu, Paman. Kurasa lebih baik kau tidak usah men- 
jawabnya. Lagipula, aku sudah merasa yakin kalau 
kau adalah salah seorang sahabat terbaik guruku." 

Lelaki kumal itu tersenyum. Sikap Putri Teratai 
Merah yang tahu diri amat menyenangkan hatinya. Di- 
akuinya kalau dekat dengan wanita muda yang umur- 
nya tak lebih dari dua puluh tahun itu susah untuk 
berlama-lama sedih. Tentu saja ini juga karena ke- 
mampuannya mengendalikan perasaan. 

"Tidak apa-apa, Teratai Merah. Aku tidak apa-apa. 
Hanya..., memang ada sesuatu yang mengganggu piki- 
ranku. Tapi itu tak berarti harus merahasiakan hal ini 
terhadapmu. Namaku Kamandaka. Aku hanya seorang 
pengelana yang mengikuti ke mana kakiku ini melang- 
kah." 

"Kasihan sekali kau, Paman," desah Putri Teratai 
Merah. Sepasang matanya yang bening indah mem- 
perhatikan sekujur tubuh lelaki kumal "Kau tidak 
mengurus dirimu sehingga seperti... maaf, Paman se- 
perti gembel. Apakah kau tidak mempunyai keluarga? 
Aku yakin kau dulunya seorang pemuda yang gagah 
dan tampan. Rasanya tidak mungkin kalau tidak ada 
wanita yang tertarik padamu...." 

Putri Teratai Merah menghentikan ucapannya di 
tengah jalan. Dia sadar telah keterlepasan bicara. Per- 
cakapan itu membawa mereka ke masa silam lelaki 
kumal yang tidak menggembirakan. Dan, dia merasa 
menyesal telah kembali menyinggungnya. 

Tapi, penyesalan itu pupus ketika dilihatnya tang- 
gapan Kamandaka. Lelaki kumal ini tertawa geli. Dia 
tidak tampak bersedih seperti perkiraan Putri Teratai 
Merah. 

"Kau ini bisa saja, Teratai Merah. Kalau ada wani- 
ta yang menyukaiku, mana mungkin sampai sekarang 
aku masih sendiri? Aku tak menarik wanita mana pun 
Teratai. Mana ada wanita yang tertarik pada gembel 
sepertiku?" ujar Kamandaka. 

Putri Teratai Merah ikut tertawa. Kamandaka ha- 
rus mengakui kalau gadis ini benar-benar mirip den- 
gan Putri Teratai Putih yang dikenalnya. Tidak hanya 
wajah, tapi juga caranya tertawa! Putri Teratai Merah 
pun memiliki kecantikan yang tak kalah dengan Putri 
Teratai Putih. Kecantikan kedua wanita, itu hampir 
sama! 

Putri Teratai Merah memang memiliki kecantikan 
luar biasa. Kulitnya putih halus. Hidungnya yang 
mancung serta sepasang bibir merah tipisnya men- 
gundang orang untuk menciumnya. Kecantikan itu 
masih ditunjang lagi dengan bentuk tubuhnya yang 
indah dan padat berisi. 

"Kau hendak ke mana, Teratai?" tanya Kamanda- 
ka setelah tawa mereka reda. "Bukankah tempat ting- 
gal gurumu jauh dari sini? Kudengar mereka semua 
tinggal di istana kerajaan." 

Putri Teratai Merah menghela napas berat "Aku 
sendiri tidak tahu mengapa, Paman. Guru pindah dari 
istana dengan membawaku setahun setelah tinggal di 
sana. Paman Guru Banyak Santang telah meninggal 
dunia karena sakit-sakitan. Aku sekarang tinggal ber- 
sama kakek guru." 

"Lalu, Putri Teratai Putih?" desak Kamandaka in- 
gin tahu. 

"Putri Teratai Putih tetap tinggal di istana. Tapi, 
setahun sekali beliau berkunjung ke tempat kami. Be- 
liau amat baik hati. Dia sangat memperhatikan ku, 
Paman. Malah, sejak sepuluh tahun lalu setiap tiga 
purnama sekali beliau datang berkunjung. Putri Tera- 
tai Putih cantik sekali, Paman," tutur Putri Teratai Me- 
rah. 

"Dia memang cantik sekali, Teratai," jawab Ka- 
mandaka. "Tapi, kau pun tidak kalah cantiknya. Kau 
memiliki wajah dan potongan tubuh yang mirip sekali 
dengannya. Di waktu muda dulu aku pernah melihat- 
nya. Tidak ada bedanya sedikit pun denganmu! Hanya 
warna pakaian saja kalian berdua memiliki perbedaan 
yang menyolok! Putri Teratai Putih menyukai warna- 
warna putih. Sedangkan kau warna merah. Sepertinya 
kalian berdua hampir tidak mempunyai perbedaan 
sama sekali. Malah, aku menduga kau adalah pu- 
trinya!" 

"Hi hi hi...!" Putri Teratai Merah tertawa geli sea- 
kan-akan ada sesuatu yang lucu. 

"Mengapa kau tertawa, Teratai? Ada yang lucu?" 
tanya Kamandaka dengan mulut menyunggingkan se- 
nyum. Tawa geli Putri Teratai Merah mendorongnya 
untuk ikut merasa geli. 

"Bagaimana aku tidak tertawa, Paman," celetuk 
Putri Teratai Merah dengan setengah tertawa. "Kau 
menyangka aku putri dari orang yang belum menikah. 
Bagaimana Putri Teratai Putih bisa mempunyai anak 
kalau suami saja dia tidak punya?" 

"Jadi..., Putri Teratai Putih belum bersuami sam- 
pai sekarang?!" tanya Kamandaka terkejut dan seten- 
gah tak percaya. 

Putri Teratai Merah mengangguk. "Aku pun mera- 
sa heran, Paman," gadis cantik ini mendesah. "Orang 
secantik beliau mana mungkin tidak disukai laki-laki? 
Bahkan, semasa dia menjadi putri angkat Paman Ba- 
nyak Santang tak terhitung pangeran-pangeran dan 
raja-raja yang melamarnya. Aneh memang!" 

"Sama sekali tidak kusangka," gumam Kamanda- 
ka pelan seperti pada dirinya sendiri. 

"Apa yang tidak Paman sangka?" 

"Putri Teratai Putih..." jawab Kamandaka. "Menga- 
pa tidak bersuami?" 

"Menurut cerita Guru..., Putri Teratai Putih tidak 
bisa menerima orang lain untuk menjadi suaminya ke- 
cuali Pendekar Naga Emas. Mengingat pendekar itu 
aku menjadi gemas, Paman. Ingin ku jewer telinganya. 
Bahkan, ingin sekali ku tuding-tuding dia. Sungguh 
tak pantas perbuatannya meninggalkan Putri Teratai 
Putih yang demikian cantik dan berbudi. Wanita ba- 
gaimana lagi yang ingin dicarinya? Betapa pun Guru 
memuji-mujinya setinggi langit, aku tidak kagum pa- 
danya. Lelaki macam apa dia? Kudengar dia dan Putri 
Teratai telah saling mencinta, tapi mengapa dia pergi 
begitu saja?" 

Putri Teratai Merah berbicara dengan penuh se- 
mangat. Wanita itu kelihatan penasaran sekali. Wa- 
jahnya merah padam. Kedua tangannya yang berjari- 
jari lunak serta halus dikepalkan. Andaikata Pendekar 
Naga Emas ada di depannya, mungkin saat itu juga 
akan terjangnya! 

Kamandaka hanya membisu. Putri Teratai Merah 
tak berbicara lagi. Keheningan pun tercipta. 

"Jadi..., kau meninggalkan gurumu untuk mencari 
Pendekar Naga Emas, Teratai?" Kamandaka memecah- 
kan keheningan. 

"Sekalian, Paman. Aku bermaksud hendak men- 
gunjungi Putri Teratai Putih. Tentu saja mengenai niat 
untuk membuat perhitungan dengan pendekar penge- 
cut itu tidak kukatakan pada Guru. Aku bisa dimara- 
hinya habis-habisan. Entah apa yang membuat Guru 
demikian menghormati pendekar pengecut itu. Apakah 
karena pertolongannya di waktu menghadapi penyer- 
buan iblis-iblis yang merajai kaum sesat?" 

"Mungkin sekali, Teratai," sahut Kamandaka me- 
nanggapi dugaan Putri Teratai Merah, "Padahal, kalau 
menurut pendapatku orang yang berjuluk Pendekar 
Naga Emas itu memang tidak patut mendapatkan 
penghormatan demikian besar." 

"Bagus sekali, Paman. Kalau demikian kita sepa- 
ham. Dengan adanya dirimu mungkin aku bisa meme- 
nuhi keinginanku itu. Masalahnya, menurut Guru, ke- 
pandaian Pendekar Naga Emas itu amat tinggi! Bah- 
kan, katanya lebih tinggi dari kepandaian Guru. Ba- 
gaimana mungkin aku bisa menjewer telinganya? Tapi 
dengan adanya kau, Guru tidak akan berani memara- 
hiku. Tentu saja kalau kau membelaku, Paman. Bu- 
kankah kau sahabat baik Guru? Bagaimana, Paman. 
Apakah kau mau membantuku?" 

"Dengan segala senang hati, Teratai!" Kamanda 
mengangguk, mantap. 

"Ah...! Terima kasih, Paman. Kau baik sekali! Aku 
yakin Paman akan memenuhi permintaanku. Bahkan 
aku yakin Paman akan membuat pendekar pengecut 
itu terkentut-kentut melarikan diri. Paman kan mem- 
punyai kepandaian tinggi!" seru Putri Teratai Merah, 
gembira. 

Kamandaka tak tahan untuk tidak tertawa men- 
dengar perkataan terakhir Putri Teratai Merah. Perka- 
taan gadis itu memang lucu untuk didengar. Membuat 
Pendekar Naga Emas jadi terkentut-kentut. 

Gelak tawa kembali terdengar. Kamandaka dan 
Putri Teratai Merah tertawa geli. 

"Kau bilang tadi semasa Putri Teratai Putih men- 
jadi putri angkat Prabu Banyak Santang dia mendapat 
banyak lamaran, Teratai?" tanya Kamandaka ketika te- 
ringat ucapan Putri Teratai Merah tadi. "Lalu, sekarang 
Putri Teratai Putih menjadi apa di istana?" 

"Beliau menjadi ratu, Paman! Sebelum meninggal 
Paman Banyak Santang mengangkat Putri Teratai Pu- 
tih menjadi penggantinya memimpin kerajaan." 

"Ah...! Kiranya demikian?" Kamandaka mengang- 
guk-anggukkan kepala. 

"Kau kelihatannya tertarik sekali dengan keadaan 
Putri Teratai Putih, Paman. Apakah kau mempunyai 
maksud-maksud tertentu terhadapnya?" tanya Putri 
Teratai Merah seraya menatap Kamandaka penuh seli- 
dik. 

"Tidak ada maksud apa-apa, Teratai," jawab Ka- 
mandaka sedikit kikuk melihat sikap Putri Teratai Me- 
rah yang menyelidikinya. "Aku hanya merasa heran sa- 
ja. Tapi, aku pun kagum atas keteguhan cinta kasih- 
nya pada Pendekar Naga Emas." 

"Apakah kau termasuk orang yang menyukai Putri 
Teratai Putih, Paman?" desak Putri Teratai Merah, tak 
puas dengan jawaban yang diberikan Kamandaka. 

Kamandaka lebih dulu menghela napas berat se- 
belum menganggukkan kepala. 

"Tapi, aku bagaikan pungguk merindukan bulan, 
Teratai. Mana mungkin Putri Teratai Putih yang memi- 
liki kedudukan demikian tinggi akan sudi berjodoh 
denganku?" 

Putri Teratai Merah dapat menangkap kepedihan 
dalam keluhan Kamandaka. Rasa iba tiba-tiba terpatri 
di hatinya. 

"Apakah penyebab kau tidak mengurus dirimu 
adalah Putri Teratai Putih yang tidak bisa kau persunt- 
ing. Paman?" 

Kamandaka tidak segera menjawab pertanyaan 
itu. Ditatapnya wajah Putri Teratai Merah lekat-lekat. 
Bulu kuduk gadis itu jadi merinding melihat sepasang 
mata yang mencorong kehijauan tertuju lurus ke 
arahnya. Sinar mata yang seakan mampu membaca isi 
hati dan pikirannya. 

"Hanya kepadamu aku membuka rahasia ini, Te- 
ratai. Mungkin karena sikapmu dan keberadaanmu 
yang mengingatkan aku akan dia, aku sendiri tidak 
tahu pasti. Yang jelas, sejujurnya kukatakan, iya!" 

Putri Teratai Merah serta Kamandaka lalu membi- 
su. Suasana menjadi hening. Tapi, keheningan itu ti- 
dak berlangsung lama. Kamandaka segera memecah- 
kannya. 

"Mengapa kita menjadi cengeng begini, Teratai. 
Kalau terus menuruti perasaan, kapan urusan yang 
ingin kita selesaikan bisa beres?" 

"Kau benar, Paman!" Putri Teratai Merah bagai di- 
gugah dari lamunannya. "Aku memang sudah tidak 
sabar untuk berjumpa dengan pendekar pengecut itu!" 

"Kalau demikian, mari kita berangkat!" ajak Ka- 
mandaka. 

Putri Teratai Merah segera menganggukkan kepa- 
la. Mereka berdua pun kemudian bergegas mengayuh- 
kan langkah meninggalkan tempat itu. 




"Ha ha ha...!" 

Terdengar suara tawa keras memecah kesunyian. 
Tampak sesosok tubuh berpakaian serba merah yang 
tengah bersemadi membuka matanya dan memandang 
ke arah asal suara tawa menggelegar yang membuat isi 
dadanya tergetar. Enam tombak di hadapan kakek 
berpakaian merah itu terlihat berdiri seorang pemuda 
berwajah tampan. Bibirnya tersenyum sinis. Dan, se- 
pasang matanya berkilat-kilat tajam! 

Pemuda itu berusia sekitar dua puluh tahun. Ku- 
litnya kekuningan seperti juga warna pakaiannya. Di 
kiri pinggangnya terselip sebatang pedang 

"Kaget, Malaikat Merah?!" tanya pemuda itu men- 
gejek. Sikapnya terlihat memandang rendah kepada 
orang di depannya. 

Kakek yang berjuluk Malaikat Merah adalah salah 
seorang dari pimpinan Perkumpulan Sepasang Malai- 
kat. Kakek itu kini bangkit berdiri dengan sikap was- 
pada. Pameran tenaga dalam yang disalurkan lewat 
suara tadi menyebabkannya berhati-hati. 

"Siapa kau, Anak Muda?}" tanya Malaikat Merah 
tanpa mempedulikan pertanyaan pemuda itu. Sepa- 
sang mata kakek ini menelusuri sekujur tubuh pemu- 
da di depannya dengan perasaan kaget yang tidak da- 
pat disembunyikan. 

"Kau kenal Hantu Rambut Emas?" tanya pemuda 
itu. Terdengar dingin dan datar suaranya. 

"Apa hubunganmu dengannya?" 

Malaikat Merah malah balas mengajukan perta- 
nyaan. Ia merasakan tiba-tiba jantungnya berdebar- 
debar keras. Wajah kakek berpakaian merah ini seke- 
tika berubah. Dia kenal betul siapa Hantu Rambut 
Emas. Tokoh itu adalah salah satu dari tiga datuk 
kaum sesat yang tewas di tangannya. 

"Aku masih terhitung adik seperguruannya...," 
lanjut pemuda itu. 

"Apa?!" Sepasang mata Malaikat Merah terbelalak 
bagaikan melihat hantu. 

"Kau terkejut, Malaikat Merah? Sekarang kau ten- 
tu sudah tahu maksud kedatanganku kemari, bukan?" 

Belum juga gema ucapannya habis, adik sepergu- 
ruan Hantu Rambut Emas telah melesat menerjang 
Malaikat Merah. Jari-jari kedua tangannya terbentang 
lurus. Tangan kanannya ditusukkan ke arah leher, se- 
dangkan tangan kiri terpalang di depan dada. 

Angin berdesir tajam, seakan-akan yang meluncur 
sebatang pedang yang amat tajam. Malaikat Merah 
mengenal serangan berbahaya. Maka, buru-buru di 
geser kakinya ke samping sehingga serangan itu mele- 
set beberapa jari di samping tubuhnya. 

Brettt! 

Malaikat Merah terkejut bukan main. Pakaian pa- 
da bahu bagian kanan robek memanjang seperti ter- 
sayat pedang! 

Malaikat Merah yang telah kenyang pengalaman 
segera tahu kalau hal itu terjadi akibat angin serangan 
lawan yang menyerempet pakaiannya. 

"Ilmu Tangan Sakti Pedang Dan Golok?!" kakek 
berpakaian merah itu tampak terkejut bukan main. 

Ilmu Tangan Sakti Pedang Dan Golok amat diken- 
al oleh Malaikat Merah. Karena, kakek itu pernah me- 
lihat seorang tokoh menggunakannya. Sebuah ilmu 
yang mempunyai keistimewaan membuat tangan pemi- 
liknya tak ubahnya pedang dan golok. Malah bagi yang 
memiliki tenaga dalam amat kuat, angin serangannya 
saja tak kalah dahsyatnya dengan tusukan atau baba- 
tan pedang! Ilmu itu diketahui secara pasti oleh Malai- 
kat Merah, dan dimiliki oleh seseorang yang amat di- 
kaguminya. Pendekar Naga Emas! Tapi, mengapa pe- 
muda berpakaian kuning ini memilikinya? Dari mana 
ilmu itu didapatkannya? 

Malaikat Merah menggeram. Terdengar bunyi ber- 
kerotokan keras dari sekujur tubuhnya seakan tulang 
belulangnya berpatahan. Padahal, kakek ini tidak 
menggerakkan tangan atau kaki. Uap tipis tampak 
mengepul dari sekujur tubuhnya. 

Diawali teriakan melengking nyaring, Malaikat Me- 
rah menerjang pemuda berpakaian kuning. Pemuda itu 
tidak tinggal diam. Langsung dibalasnya serangan itu 
dengan tak kalah dahsyat 

Dalam waktu sebentar saja pertarungan telah ber- 
langsung puluhan jurus. Selama itu Malaikat Merah 
senantiasa berada di pihak yang terdesak. Malah, ser- 
ing kakek ini hanya mampu bermain mundur. 

Malaikat Merah sadar kalau pemuda yang menga- 
ku adik seperguruan Hantu Rambut Emas ini tak akan 
mungkin dikalahkannya. Ingin rasanya mengadu nya- 
wa. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya tidak ingin 
melakukan hal itu. Kakek ini tidak ingin pemuda yang 
menjadi lawannya itu mati konyol! 

"Ayah...!" 

Sesosok tubuh berpakaian putih yang melesat dari 
arah lereng berteriak keras. Nada suaranya menyi- 
ratkan keterkejutan dan kekhawatiran. 

"Akh!" 

Malaikat Merah tak kuasa untuk menahan jeritan. 
Jari-jari tangan lawan menusuk bahu kanannya hing- 
ga tembus. Darah muncrat-muncrat. Untungnya kakek 
ini masih sempat melempar tubuhnya ke belakang. 
Hanya saja, karena keadaannya yang tidak mengun- 
tungkan, tubuhnya jatuh terguling-guling. 

Malaikat Merah benar-benar memiliki kekerasan 
hati yang luar biasa. Dengan sigap dia kembali bangkit 
dan bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan 
yang terjadi. 

Keadaan kakek ini benar-benar mengenaskan! Se- 
luruh pakaiannya koyak-koyak bagai tersayat-sayat 
senjata tajam. Bahkan, pada beberapa bagian tubuh- 
nya terdapat garis kemerahan memanjang. Meskipun 
demikian, teriakan yang amat dikenalnya membuat 
Malaikat Merah menyempatkan diri untuk mengalih- 
kan perhatian ke arah asal suara. 

"Putih! Cepat pergi dari sini! Cepat!" teriak Malai- 
kat Merah, kalap. 

Tapi sosok yang dipanggil Malaikat Merah dengan 
nama Putih, yang bukan lain adalah Putri Teratai Pu- 
tih, tidak memenuhi perintah itu. Dia malah mene- 
ruskan langkahnya dan berhenti di sebelah kakek ber- 
pakaian merah. 

Sementara itu pemuda berpakaian kuning ru- 
panya yakin sekali akan kemenangannya. Dia tidak se- 
gera melancarkan serangan. Yang dilakukannya ada- 
lah berdiri tegak dengan kedua tangan di depan dada. 
Sepasang matanya menatap Putri Teratai Putih dengan 
sorot meremehkan! 

Di saat yang bersamaan Putri Teratai Putih pun 
menatap si pemuda. Dan, wanita ini langsung melon- 
go. Sepasang matanya membelalak lebar bagaikan me- 
lihat hantu. Mulutnya ternganga. Wajah wanita ini pu- 
cat pasi dan kedua kakinya menggigil. 

"Ayah...," rintih Putri Teratai Putih dengan suara 
pelan. "Apakah aku tidak tengah bermimpi? Katakan 
kalau aku tengah bermimpi. Ayah. Katakan!" 

Malaikat Merah menggenggam tangan Putri Tera- 
tai Putih. Kakek ini tahu perasaan yang tengah bergo- 
lak di hati putri satu-satunya itu. Hal ini membuatnya 
merasa terharu. 

"Tidak, Putih," Malaikat Merah menggeleng. "Kau 
tidak tengah bermimpi. Apa yang kau lihat ini adalah 
kenyataan sesungguhnya!" 

Kedua kaki Putri Teratai Putih semakin menggigil. 
Kalau saja Malaikat Merah tidak memegang tangannya 
dan mengerahkan tenaga untuk membantu, mungkin 
wanita itu telah jatuh di tanah. Putri Teratai Putih 
akan berdiri dengan mempergunakan lututnya. 

"Apakah ini akhir dari penantianku. Ayah?" keluh 
Putri Teratai Putih lagi. Suaranya gemetar hendak me- 
nangis. Kelihatan jelas kalau wanita ini menderita 
guncangan batin yang hebat "Mungkinkah pemuda itu 
putra dia. Ayah?" 

Malaikat Merah mengepalkan tangan kirinya. Ka- 
kek ini kelihatan geram. Putrinya tengah menderita te- 
kanan batin yang hebat. Tapi, rasa iba yang besar juga 
melanda hati kakek ini. Malaikat Merah tiba-tiba me- 
rasa marah sekali. Entah kepada siapa kemarahan itu 
di tujukannya. 

"Aku yakin demikian, Putih," jawab Malaikat Me- 
rah sejujurnya. Untuk mengatakan pendapat yang di- 
yakininya menghancurkan hati Putri Teratai Putih 

Malaikat Merah beberapa kali menelan ludah 
membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. 
"Kalau tidak demikian, mana mungkin ada seorang 
pemuda yang demikian mirip dengannya, bak pinang 
dibelah dua? Melihat pemuda itu tak ubahnya meli- 
hat... kekasihmu itu di waktu muda. Tidak ada be- 
danya sekali pun!" 

"Ayah...," keluh Putri Teratai Putih tertahan, sebe- 
lum akhirnya roboh pingsan. Rupanya, guncangan ba- 
tin yang diterimanya terlampau besar. 

"Putih?" seru Malaikat Merah dengan suara berge- 
tar karena rasa iba dan haru yang melanda. 

Kakek ini bertindak cepat sehingga tubuh Teratai 
Putih tidak merosot jatuh. Dengan hati-hati Malaikat 
Merah menggeletakkan tubuh putrinya di tanah. 

"Kurasa aku sudah cukup berbuat baik, Malaikat 
Merah! Sekarang saatnya bagimu untuk menerima 
kematian!" Pemuda berpakaian kuning tiba-tiba berka- 
ta setelah sejak tadi berdiam diri memperhatikan ayah 
dan anak di depannya. "Sebelum kau tewas di tangan- 
ku, kuberikan padamu kesempatan untuk mengenali- 
ku. Namaku adalah Reksanata! Jelas?!" 

Malaikat Merah tersenyum getir. Disadarinya ka- 
lau tak mungkin lolos dari tangan Reksanata. Hal ini 
menyebabkan hatinya gundah. Kakek ini benar-benar 
rela mati di tangan pemuda tangguh itu. 

"Tunggu dulu, Anak Muda!" selak Malaikat Merah, 
sebelum Reksanata melancarkan serangan. 

"Ada apa lagi, Malaikat Merah?!" Reksanata meng- 
hentikan gerakannya. "Kesempatan yang kuberikan 
untukmu bukan berarti kau bisa memohon ampunan!" 

"Aku tidak ingin meminta ampunan darimu, Rek- 
sanata!" sentak Malaikat Merah. Kakek ini merasa ter- 
singgung dengan ucapan lawannya. "Aku bukan orang 
yang takut menghadapi kematian! Aku hanya ingin ta- 
hu dari mana kau dapatkan ilmu Tangan Sakti Pedang 
dan Golok. Setahuku ilmu itu hanya dimiliki oleh seo- 
rang kawan baikku. Pendekar Naga Emas julukannya. 
Apakah kau menerima ilmu itu darinya?!" 

"Kau ngawur, Malaikat Merah!" Reksanata berseru 
keras. "Ilmu ini tidak kudapatkan dari sahabatmu. 
Bahkan, aku sama sekali tak mengenalnya. Aku men- 
dapatkannya dari guruku sendiri. Orang yang pernah 
menjadi guru dari Hantu Rambut Emas!" 

Malaikat Merah mengernyitkan kening. "Kau tidak 
mengenal tokoh yang kusebutkan tadi?" 

"Mendengar namanya aku pernah. Guruku sering 
menyebutkannya dan menyuruhku untuk membina- 
sakannya. Tapi, melihatnya aku belum. Apalagi sampai 
mengenal dan menerima ilmu darinya. Pendekar Naga 
Emas adalah termasuk musuhku! Aku akan membuat 
perhitungan dengannya!" 

Malaikat Merah semakin bingung. Kalau tidak ada 
hubungan antara Reksanata dengan Pendekar Naga 
Emas, mengapa mereka berdua mempunyai cirri-ciri 
yang demikian serupa? 

"Tak usah mengulur waktu lebih lama, Malaikat 
Merah! Kurasa sudah tiba saatnya bagimu untuk me- 
nemui malaikat dalam kubur!" potong Raksanata tak 
sabar. 

Malaikat Merah menghembuskan napas berat. 
Kakek ii tampaknya sudah pasrah. Meski demikian, 
melihat sekujur tubuhnya yang menegang, Malaikat 
Merah rupanya termasuk orang yang tak akan mem- 
biarkan nyawanya dicabut orang begitu saja. 

"Hanya seorang berwatak pengecut saja yang akan 
membunuh lawan yang sudah tak berdaya...!" 

Seruan yang diucapkan tidak terlalu keras tapi 
bernada tajam itu membuat Malaikat Merah, terutama 
sekali Reksanata, menoleh ke arah asal suara. Reksa- 
nata merasa geram bukan main mendengar makian 
itu. Ia adalah seorang yang berwatak sombong. Tidak 
ada hal yang paling menyakitkan hatinya kecuali ang- 
gapan kalau dirinya seorang pengecut! 

Reksanata dan Malaikat Merah agak terperanjat 
ketika melihat seorang pemuda berambut putih kepe- 
rakan melangkah tenang mendekati tempat mereka 
berdua. Pemuda yang bukan lain Aiya Buana atau 
yang lebih dikenal dengan julukan Dewa Arak! 

Kedua tokoh ini sempat merasa heran melihat 
rambut Arya. Melihat dari rambutnya, menurut kedua 
orang itu pemiliknya seharusnya seorang yang telah 
berusia lanjut. Tapi kenyataannya rambut itu berada 
di kepala seorang pemuda berusia dua puluhan tahun. 

"Siapa kau, Rambut Putih?!" bentak Reksanata 
keras setelah berhasil menguasai perasaan kagetnya. 
"Sungguh lancang kau bersikap seperti itu padaku! 
Apakah kau hendak buru-buru pergi ke alam kubur? 
Kalau kau tidak segera minta ampun dan meninggal- 
kan tempat ini, rambut setanmu itu akan ku babat 
habis!" 

"Aku hanya akan pergi dari tempat ini apabila kau 
sudah pergi dan tidak melanjutkan tindakan pengecut 
mu terhadap orang tua yang sudah tidak berdaya itu," 
jawab Arya seraya menunjukkan jarinya ke arah Ma- 
laikat Merah. 

"Keparat! Rupanya kau ingin berlagak menjadi 
pendekar sejati, Rambut Aneh! Cepat pergi sebelum 
kesabaranku hilang dan kujatuhkan hukuman terha- 
dapmu. Kau harus menjilat telapak kakiku tujuh kali, 
dan nyawamu yang tidak berharga itu kuampuni. Pan- 
tang bagiku Reksanata, tokoh yang akan menggem- 
parkan dunia persilatan, bertarung dengan orang tidak 
wajar seperti kau!" 

"Benar, Anak Muda," Malaikat Merah yang tidak 
ingin ada orang lain terluka atau mati karena membe- 
lanya, ikut memberi nasihat pada Arya. 

Malaikat Merah bukannya tidak tahu kalau Arya 
mempunyai kepandaian tinggi. Sikap pemuda itu yang 
tenang dan sorot sepasang matanya yang tajam men- 
corong kehijauan telah menjadi bukti nyata. Kendati 
demikian, Malaikat Merah tidak yakin Arya akan 
mampu menandingi Reksanata. Pemuda berpakaian 
kuning itu memiliki kepandaian yang demikian dah- 
syat. Bahkan, mungkin tidak kalah dengan Pendekar 
Naga Emas! Padahal, pendekar itu merupakan jago 
nomor satu pada masanya. 

Arya sendiri hanya tersenyum dan mengangguk- 
kan kepala sedikit pada Malaikat Merah. Pemuda itu 
tahu kakek itu tidak bermaksud meremehkannya. 
Hanya khawatir kalau dia akan mengalami celaka di 
tangan Reksanata. 

"Sayang sekali, Reksanata," ujar Arya tenang se- 
raya menatap pemuda sombong itu tepat pada bola 
matanya. "Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu! 
Aku bukan seorang pengecut. Dan...." 

Arya terpaksa menghentikan ucapannya. Reksa- 
nata telah menerjangnya lebih dulu. Teriakan keras 
menggelegar yang mampu menggetarkan sekitar tem- 
pat itu dikeluarkan Reksanata bersamaan dengan me- 
lesatnya tubuh pemuda itu ke arah Dewa Arak. 

Reksanata mengawali serangannya dengan sebuah 
tendangan kaki kanan ke pelipis. Angin menderu keras 
mengiringi meluncurnya serangan itu. Sungguh dah- 
syat serangan Reksanata. Batu karang yang paling ke- 
ras pun akan hancur lebur jika terhantam. Maka, bu- 
ru-buru Arya menarik kaki kanannya ke belakang se- 
raya mencondongkan tubuh ke belakang. Serangan 
Reksanata pun kandas! 

Melihat serangan pertamanya mengalami kegaga- 
lan dengan cara yang demikian mudah, Reksanata 
menjadi penasaran bukan main. Rasa penasaran yang 
bercampur kegeraman. Serangan susulan yang tidak 
kalah dahsyatnya pun segera dilancarkan. Sesaat ke- 
mudian, kedua jago muda itu telah terlibat dalam per- 
tarungan sengit! Reksanata benar-benar sudah kehi- 
langan kesabaran. Serangan-serangan yang dilancar- 
kannya selalu mengarah bagian-bagian yang memati- 
kan. Pemuda itu agaknya mengerahkan seluruh ke- 
mampuan yang dimilikinya. Sehingga, tiap kali seran- 
gannya meluncur datang maut pun siap merenggut 
nyawa Dewa Arak! 

Prat, prat, pratt! 

Untuk pertama kalinya benturan keras dan bertu- 
bi-tubi terjadi. Dua pasang lengan yang mengandung 
tenaga dalam kuat saling beradu. Akibatnya, Dewa 
Arak dan Reksanata terhuyung-huyung empat langkah 
ke belakang. 

Reksanata kelihatan terkejut. Semula pemuda 
sombong ini menyangka kalau di dunia persilatan 
hanya dirinya saja yang memiliki kepandaian tinggi, te- 
rutama di kalangan tokoh-tokoh muda. Dia mengang- 
gap dirinya tak terlawan lagi. Tapi, kenyataan yang 
menjadi membuatnya sangat terpukul dan kecewa. Se- 
rangan-serangannya kemudian pun dilancarkan sema- 
kin dahsyat. Jurus demi jurus berlangsung cepat. Se- 
bentar saja lima puluh jurus telah terlewat. Keadaan 
masih berimbang. Kenyataan ini semakin membuat 
Reksanata murka. Serangan-serangannya kini lebih 
banyak ditujukan pada penyerangan, dan hampir- 
hampir tidak mempedulikan pertahanan sama sekali. 
Rasa kecewa dan terpukul mengingat ada pemuda lain 
yang memiliki kepandaian tak kalah dengannya mem- 
buat Reksanata nekat! Yang ada di benak pemuda ini 
adalah mengalahkan Dewa Arak! Akibat apa pun tidak 
dipikirkannya sama sekali. 

Dukkk, plakkk. 

Desss! 

Tubuh Dewa Arak dan Reksanata sama-sama ter- 
jengkang ke belakang. Dewa Arak masih sanggup men- 
jejak tanah dengan kedua kakinya kendati terhuyung- 
huyung. Reksanata mengalami nasib yang lebih buruk. 
Pemuda ini terbanting keras di tanah. Memang dia ma- 
sih mampu bangkit, tapi dari sudut mulutnya mengalir 
cairan merah kental. 

Reksanata terluka dalam yang cukup parah kare- 
na tamparan Arya mengenai pangkal tangan kanan- 
nya. Sedangkan Arya sendiri hanya terkena sapuan 
pada kakinya. Pertarungan langsung terhenti. Reksa- 
nata menatap Dewa Arak dengan sinar merah penuh 
dendam. 

"Kali ini aku mengaku kalah, Rambut Setan! Tapi 
ingat, kekalahan ini tidak untuk selamanya. Kelak aku 
akan datang untuk menebusnya kembali. Ingat baik- 
baik kataku ini!" 

Usai berkata demikian, dengan dada dibusungkan 
dan dagu diangkat tinggi-tinggi Reksanata membalik- 
kan tubuh. Kemudian, dengan agak terhuyung-huyung 
ia berlari meninggalkan tempat itu. 

Arya tidak mengejar. Pemuda ini malah memper- 
hatikan kepergian pemuda berpakaian kuning itu. Ke- 
mudian napas berat keluar dari mulutnya. Dia kembali 
telah menanamkan bibit permusuhan dengan lawan 
yang teramat tangguh. Kalau Reksanata saja sudah 
memiliki kepandaian demikian tinggi, bagaimana pula 
orang yang menjadi gurunya? Batin Dewa Arak 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda. 
Kalau tidak ada kau mungkin aku dan anakku hanya 
tinggal nama sekarang." 

Lamunan Arya buyar oleh suara itu. Pemuda be- 
rambut putih keperakan ini membalikkan tubuh untuk 
menghadap Malaikat Merah. 

"Tak ada yang perlu diucapkan mengenai perto- 
longanku ini, Kek. Hanya suatu kebetulan aku berada 
di sini. Maaf, apakah Putri Teratai Putih telah menceri- 
takan pada Kakek mengenai diriku?" 

"Tidak, Anak Muda!" Malaikat Merah menggeleng. 
Meski sebenarnya merasa kaget mendengar Arya men- 
genal Putri Teratai Putih, kakek ini dengan pandai me- 
nyembunyikan perasaan itu. "Jadi, kau telah mengenal 
anakku, Anak Muda?" 

"Kami bertemu di perjalanan secara tidak sengaja. 
Dan begitu mendengar tentang dirimu, aku meminta 
pada Putri Teratai Putih untuk bisa bertemu dengan- 
mu. Aku sudah lama mengagumimu." 

"Kau bercanda, Anak Muda," Malaikat Merah ter- 
senyum getir, "Apa yang bisa dibanggakan dari orang 
tua sepertiku? Menghadapi seorang pemuda saja aku 
hampir tewas kalau kau tidak segera datang menolong. 
Boleh ku tahu bagaimana kau bisa bertemu dan ber- 
kenalan dengan putri ku?" 

Sebelum Arya sempat memberikan jawaban, ter- 
dengar Putri Teratai Putih mengeluh. Rupanya, wanita 
ini telah tersadar dari pingsannya. 

Arya dan Malaikat Merah segera mengalihkan 
perhatiannya pada Putri Teratai Putih. Wanita itu sen- 
diri tidak mempedulikan pandangan mereka. Tatapan- 
nya diedarkan ke sekitar tempat itu. Terutama ke tem- 
pat di mana Reksanata tadi berada. 

Malaikat Merah mengeluh dalam hati melihat ke- 
lakuan putrinya. Sedangkan Arya yang tidak tahu po- 
kok permasalahannya berdiam diri saja, 

"Mana dia, Ayah?" tanya Putri Teratai Putih sete- 
lah tak menemukan orang yang dicarinya. 

"Dia telah pergi, Putih," jawab Malaikat Merah 
dengan hati berat. "Kawan seperjalanan mu yang telah 
mengusirnya sebelum dia berhasil membunuhku." 

"Oooh..." keluh Putri Teratai Putih. Lalu, dia 
bangkit berdiri. Kelihatan sekali wanita ini merasa ke- 
cewa. 

"Hentikan kecengenganmu, Putih! Tidak pantas 
orang keturunan Perkumpulan Sepasang Malaikat ber- 
sikap lemah seperti itu! Tak malu terhadap kawan se- 
perjalanan mu yang melihat tingkahmu ini?!" tegur 
Malaikat Merah, karena tidak senang melihat sikap Pu- 
tri Teratai Putih! 

Kakek ini sebenarnya tidak sampai hati berkata 
seperti itu. Dia tahu mengapa putrinya demikian ter- 
pukul. Tapi, keberadaan Dewa Arak membuatnya malu 
atas sikap yang diperlihatkan putrinya. 

Teguran Malaikat Merah membuat Putri Teratai 
Putih tersadar. Meski rasa kecewa dan terpukul masih 
melanda hati, dia mampu menekannya dengan meng- 
gertakkan gigi. Disadarinya kebenaran ucapan ayah- 
nya. Seorang pendekar tidak pantas untuk menuruti 
kelemahan hati! 

"Maafkan atas sikapku yang tak pantas, Arya," 
ujar Putri Teratai Putih dengan suara serak. "Aku ter- 
lalu terbawa perasaan. O ya, ini ayahku, Arya. Malai- 
kat Merah, pimpinan kedua Perkumpulan Sepasang 
Malaikat yang ingin kau temui. Ayah, ini kawan seper- 
jalanan ku yang telah menyelamatkan diriku dari 
maut. Namanya Arya." 

Arya dan Malaikat Merah saling menganggukkan 
kepala seraya tersenyum lebar. Putri Teratai Putih lalu 
menceritakan semua kejadian yang dialaminya sampai 
bertemu Dewa Arak. Malaikat Merah mendengarkan 
dengan penuh perhatian. Beberapa kali kakek ini men- 
geluarkan seruan kaget. 

"Sungguh tak kusangka kalau Pengemis Iblis Tan- 
pa Tanding mempunyai seorang kakak seperguruan. 
Dewa Tapak Darah julukannya. Sebagai seorang kakak 
seperguruan, Dewa Tapak Darah pasti tak kalah lihai 
dengan Pengemis Iblis Tanpa Tanding. Sungguh ber- 
bahaya!" Malaikat Merah menggeleng-geleng dengan 
sikap prihatin. 

"Itulah sebabnya aku datang kemari untuk mem- 
beritahukan mu, Ayah. Aku yakin cepat atau lambat 
Dewa Tapak Darah akan menyatroni tempat ini. Meski 
letaknya tersembunyi, tapi dia pasti akan dapat me- 
nemukannya," ujar Putri Teratai Putih. 

Malaikat Merah mengangguk-angukkan kepala 
menanggapi ucapan putrinya. 

"Sebenarnya aku sangat senang dengan kedatan- 
ganmu kemari, Putih. Apalagi dengan membawa kawan 
perjalanan yang memiliki kepandaian demikian tinggi. 
Sayang, kau datang terlambat" 

Putri Teratai Putih mengernyitkan kening. Dia 
berpikir sejenak untuk mencerna kata-kata ayahnya. 
Sebentar kemudian, wanita ini merasakan ada sesuatu 
yang tak beres telah terjadi. 




"Sejak tadi aku tidak melihat Teratai Merah. Ke 
mana dia. Ayah?" tanya Putri Teratai Putih. Dia baru 
menyadari keanehan ini karena kesibukannya meng- 
hadapi Reksanata. 

Biasanya, setiap kali Putri Teratai Putih datang, 
Putri Teratai Merah yang paling gembira menyambut- 
nya. Gadis yang menjadi murid Malaikat Merah itu 
memang telah menganggap Putri Teratai Putih sebagai 
Ibunya sendiri. 

"Itulah sebabnya kukatakan kalau kedatanganmu 
terlambat, Putih. Teratai Merah telah lebih dulu pergi 
sebelum kau tiba. Apakah kau tak menjumpainya di- 
perjalanan?" Malaikat Merah balas mengajukan perta- 
nyaan. 

"Jadi... Teratai Merah telah pergi, Ayah?" Terasa 
jelas nada kekecewaan yang besar dalam suara Putri 
Teratai Putih. "Mengapa dia pergi? Dan, hendak ke 
mana? Aku tidak menjumpainya di perjalanan." 

Malaikat Merah menghela napas berat "Berarti Te- 
ratai Merah mengambil jalan memutar, Putih. Sayang 
sekali! Padahal, dia ingin menjumpai mu di istana. Dia 
ingin sekali-kali memberi kejutan. Karena sebelum kau 
datang dia berangkat lebih dulu. Katanya, sekalian me- 
lihat-lihat pemandangan dijalan." 

"Oooh...!" Putri Teratai Putih mengeluh kecewa. 

Wajahnya ditekapkan dengan kedua tangan. Ke- 
palanya pun ditundukkan dalam-dalam. "Kalau ku ta- 
hu akan begini, pasti jauh-jauh hari aku telah pergi ke 
mari Ayah. Aku khawatir dia mendapat bahaya di ja- 
lan. Dunia persilatan amat keras. Teratai Merah terlalu 
polos. Aku khawatir terjadi apa-apa terhadapnya." 

"Jangan khawatir, Putih," hibur Malaikat Merah. 
"Sebelum Teratai Merah pergi, telah kuberikan nasihat 
padanya. Bahkan kuberitahukan padanya untuk ber- 
sikap hati-hati meski menghadapi orang yang keliha- 
tannya baik." 

"Aku mengerti. Ayah. Tapi, tipu daya orang persi- 
latan terlalu banyak." 

"Aku bisa memaklumi kekhawatiranmu," timpal 
Malaikat Merah bijaksana, karena mengetahui alasan 
yang menyebabkan Putri Teratai Putih demikian kha- 
watir. "Tapi cobalah kau bertindak sedikit bijaksana. 
Bukankah kau dulu pun begitu? Betapa pun keras kau 
buang keinginan hatimu tetap tidak bisa ku bendung. 
Kenyataannya, kau selamat sampai hari ini. Lagipula 
mana mungkin Teratai Merah akan mendapat penga- 
laman kalau terus-menerus tinggal di tempat ini?" 

Putri Teratai Putih pun terdiam. Disadari ada ke- 
benaran yang tak bisa dibantah dalam penjelasan 
ayahnya. Kendati demikian, perasaan khawatir yang 
melanda tetap tak mau sirna. 

"Aku masih belum bisa mengerti dengan mak- 
sudmu, Putih," kali ini Malaikat Merah yang mengaju- 
kan keheranan. "Mengapa kau mesti menyuruh Arya 
menunggu dan tidak langsung menemui Ayah di sini. 
Kalau saja Arya terus menuruti permintaanmu, mung- 
kin kau dan Ayah telah tewas di tangan Reksanata." 

"Aku khawatir Ayah akan marah. Biar bagaimana 
pun Arya orang luar. Padahal Ayah tidak suka jika 
tempat tinggal Ayah diketahui orang. Karena itu, ku 
putuskan untuk menyuruh Arya menunggu sedangkan 
aku memberitahukan hal ini pada Ayah. Bukankah 
pengawal-pengawalku pun demikian jika aku tengah 
menemui Ayah?" jawab Putri Teratai Putih memberikan 
alasan. 

Permintaan Putri Teratai Putih ini yang menye- 
babkan Arya datang lebih lambat. Arya menunggu 
sampai Putri Teratai Putih kembali dan memberikan 
jawaban. Tapi ketika pemuda ini mendengar bunyi- 
bunyi gaduh, dengan perasaan tak enak diputuskan- 
nya untuk meninggalkan tempat persembunyian di ba- 
lik dinding batu yang menjulang tinggi, lima puluh 
tombak dari tempat tinggal Malaikat Merah. 

Tindakan yang diambil Arya ternyata tepat. Keda- 
tangannya menyebabkan bahaya maut yang mengan- 
cam Malaikat Merah dan juga Putri Teratai Putih ber- 
hasil dihindarkan. 

"Itu memang benar, Putih. Tapi Arya kan lain. Dia 
seorang penolongmu. Jadi merupakan tamu kehorma- 
tan. Mana mungkin aku tidak menyukai nya?" bantah 
Malaikat Merah membela diri. 

Putri Teratai Putih ingin mengajukan bantahan la- 
gi. Wanita yang ternyata berhati keras ini tidak mau 
dipersalahkan. Tapi sebelum hal itu dilakukannya, 
Arya telah buru-buru menengahi. Rupanya ia merasa 
bertanggung jawab atas terjadinya perdebatan antara 
ayah dan anak itu 

"Maafkan kalau aku bertindak lancang, Kek, Putri. 
Tapi menurut hematku sebaiknya masalah ini disele- 
saikan saja. Bagiku hal ini tidak merupakan masalah. 
Tindakan yang diambil Putri tidak salah, dan peratu- 
ran Kakek juga benar. Aku bisa memakluminya." 

"Syukurlah kalau kau berpikir demikian, Arya" 
timpal Malaikat Merah dengan hati lega. "Aku memang 
khawatir kau merasa dicurigai. Sekarang dengan 
adanya jawabanmu seperti itu, aku merasa lega. Sekali 
lagi kuucapkan banyak-banyak terima kasih atas per- 
tolonganmu." 

"Bukankah itu merupakan kewajiban kita selaku 
pembela-pembela keadilan, Kek?" kilah Arya setengah 
mengingatkan. 

Malaikat Merah tidak memberikan tanggapan. Ja- 
waban Arya mengingatkannya kalau pertolongan yang 
diberikan pemuda itu bukan merupakan hal yang luar 
biasa. Menolong orang yang tertindas memang sudah 
merupakan kewajiban setiap tokoh golongan putih! 

"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Putih?" 
tanya Malaikat Merah pada putrinya. 

"Aku akan kembali ke dunia persilatan, Ayah! Ha- 
tiku tidak merasa tenang kalau belum melihat Teratai 
Merah selamat. Peristiwa seperti dua puluh tahun lalu 
aku yakin akan terulang kembali. Bukan tidak mung- 
kin tokoh-tokoh golongan hitam selihai datuk-datuk 
sesat dulu akan keluar lagi. Kenyataannya, Dewa Ta- 
pak Darah telah muncul." 

Malaikat Merah menghela napas berat. Kakek ini 
terlihat begitu gusar. 

"Aku pun tidak mungkin tenang lagi tinggal di si- 
ni, Putih. Munculnya tokoh seperti Dewa Tapak Darah, 
apalagi Reksanata yang menyimpan rahasia besar den- 
gan kesamaan ilmunya seperti Pendekar Naga Emas, 
membuatku ingin segera tahu keanehan ini" 

"Kalau begitu, kita bersama-sama menyingkapkan 
rahasia itu. Ayah?" Putri Teratai Putih mengajukan 
usul. 

"Mungkin sebaiknya kita berpisah, Putih. Kau 
bersama Aiya dan aku akan menyusul belakangan. 
Butuh waktu beberapa hari bagiku untuk meninggal- 
kan tempat yang kucintai ini." 

"Kalau demikian, biar aku berangkat lebih dulu," 
ujar Putri Teratai Putih. 

"Begitu pun bagus!" sahut Malaikat Merah me- 
nyambuti usul putrinya. 


■k-k-k 


Sesosok bayangan hitam berkelebat di bawah te- 
rangnya cahaya bulan purnama. Gerakannya cepat 
bukan main sehingga yang terlihat hanya kelebatan 
bayangan hitam saja. Sosok bayangan ini ternyata 
Nambi yang dulu menjabat sebagai panglima kerajaan. 

Nambi terus berlari cepat. Langkahnya baru diper- 
lambat ketika mendekati bangunan besar berhalaman 
luas. Sebuah bangunan megah yang dikelilingi pagar 
kayu bulat tinggi. Sepasang mata Nambi berbinar- 
binar begitu menatap bagian atas pintu gerbang utama 
tergantung sebuah papan tebal berukir yang tuliskan 
huruf-huruf indah berbunyi 'Perkumpulan Pengemis 
Baju Merah'. 

Sekali melompat tubuh lelaki itu telah berada te- 
pat di depan pintu gerbang Perkumpulan Pengemis Ba- 
ju Merah. Kemudian, Nambi menghantamkan kedua 
tangannya ke daun pintu. 

Brakkk! 

Daun pintu gerbang hancur berkeping-keping. 
Bunyi gaduh yang timbul mengejutkan orang-orang 
yang berada di bagian dalam pintu gerbang. 

"Ha ha ha....'" 

Nambi memperdengarkan tawa aneh. Suaranya 
pelan dan berat, tapi bergaung. Tawa yang tidak pan- 
tas keluar dari mulut manusia. Lelaki ini menatap pu- 
luhan sosok berpakaian merah yang berdiri sekitar li- 
ma tombak di depannya. 

"Rupanya kalian sudah siap menyambut kedatan- 
ganku," dengus Nambi tanpa rasa gentar sedikit pun, 
kendati di tangan sosok-sosok berpakaian merah pe- 
nuh tambalan tergenggam tongkat berujung runcing. 
Sikap sosok-sosok yang bukan lain anggota Perkumpu- 
lan Pengemis Baju Merah tampaknya sudah siap ta- 
rung. 

"Tidak usah banyak basa-basi, Nambi! Telah ku 
dengar kalau kau membasmi seluruh isi Perguruan 
Hutan Larangan dengan kejam! Kami, Perkumpulan 
Pengemis Baju Merah, akan membalaskan kematian 
mereka!" bentak seorang pengemis kurus kering yang 
berdiri paling depan. Pengemis yang telah berusia lan- 
jut ini adalah pimpinan Perkumpulan Pengemis Baju 
Merah. Pengemis Tongkat Badai, julukannya! 

"Aku memang tak ingin berbasa-basi," rungut 
Nambi tak senang. "Kedatanganku kemari adalah un- 
tuk membasmi kalian semua seperti halnya Perkum- 
pulan Hutan Larangan! Kalian yang telah menyebab- 
kan usahaku untuk menjadi raja dan mempersunting 
Putri Teratai Putih gagal. Bersiaplah untuk menghadap 
Malaikat maut!" 

Nambi melesat menerjang Pengemis Tongkat Ba- 
dai. Kedua tangannya secara berbarengan disampok- 
kan ke arah dada dan ulu hati lawan. Bunyi berkero- 
takan nyaring terdengar sebelum serangan bekas pan- 
glima kerajaan itu tiba. 

Pengemis Tongkat Badai tidak berani bersikap 
main-main. Segera saja tongkatnya diputar bagal kiti- 
ran. Kemudian, dikelebatkan menangkis serangan 

yang mengancam dada dan ulu hatinya. 

Brakkk! 

Benturan antara tongkat dan sepasang tangan 
pun tak terelakkan lagi. Tubuh Pengemis Tongkat Ba- 
dai terhuyung-huyung empat langkah ke belakang. Se- 
kujur tangannya yang memegang tongkat dirasakan 
lumpuh seketika. Bahkan, dadanya pun terasa sesak 
bukan main! 

Nambi yang sedikit pun tidak terpengaruh oleh 
tangkisan tongkat Pengemis Tongkat Badai kembali 
mendengus. Kini dia sudah memburu tubuh yang ten- 
gah terhuyung-huyung itu. 

Melihat nyawa Pengemis Tongkat Badai terancam, 
murid-muridnya tak tinggal diam. Mereka bergegas 
melompat menjegal serangan Nambi. Seketika ujung 
belasan tongkat mengarah ke berbagai bagian tubuh 
bekas panglima kerajaan itu. 

Bukkk! Takk! Dukk! 

Telak dan keras bukan main belasan tongkat itu 
menghantam sasaran. Tapi Nambi tidak terpengaruh 
sama sekali. Memang, sebelum membiarkan serangan- 
serangan itu mengancam tubuhnya, Nambi telah men- 
gerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuhnya. 

Nambi tidak bertindak lembut. Segera dicabutnya 
senjata andalannya. Serangan balasan berupa samba- 
ran sepasang senjatanya pun meluncur ke arah para 
pengeroyok itu. Seketika tubuh murid-murid Perkum- 
pulan Pengemis Baju Merah berpentalan bak dilanda 
angin topan! Setiap kali tangan Nambi bergerak, satu 
tubuh terbanting di tanah dan tak bangkit lagi untuk 
selamanya. 

Tapi, pengemis-pengemis baju merah bukan orang 
yang berwatak pengecut. Meski hanya dalam waktu 
singkat kawan-kawan mereka telah tewas, tapi dengan 
semangat tinggi di bawah pimpinan Pengemis Tongkat 
Badai mereka melakukan perlawanan mati-matian! 

Pertarungan seru pun terjadi. Nambi mengamuk. 
Jerit kematian terdengar silih berganti setiap kali tan- 
gan Nambi bergerak. Hanya dalam beberapa gebrakan 
saja halaman markas Perkumpulan Pengemis Baju Me- 
rah telah dipenuhi oleh mayat-mayat yang bergelim- 
pangan. Darah tampak membanjiri tempat itu. 

"Ha ha ha...!" 

Nambi kembali tertawa terbahak-bahak. Lelaki itu 
kelihatan gembira bukan main. 

"Kematianmu sudah di ambang pintu, Pengemis 
busuk! Setelah kau, baru giliran Pendekar Naga Emas. 
Pendekar yang terkenal itu akan tewas di tanganku. 
Dan aku, Nambi, akan menjadi tokoh tak terkalahkan 
dunia persilatan! Ha ha ha...!" 

Pengemis Tongkat Badai hanya dapat mengger- 
takkan gigi untuk mengusir kegeraman hatinya. Seka- 
rang dia tinggal sendiri. Disadarinya tak akan mungkin 
dapat mengalahkan Nambi. Tadi saja sewaktu anak 
buahnya masih ada tokoh itu tak bisa dikalahkannya, 
apalagi sekarang? 

Hampir berbarengan dengan usainya gelak tawa 
Nambi, terdengar suara tawa nyaring yang menggetar- 
kan sekitar tempat itu! Pengemis Tongkat Badai sam- 
pai mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk me- 
lawan pengaruh suara tawa yang membuat isi dadanya 
bergetar hebat! 

"Besar sekali sesumbar mu, Sobat! Kau kira hanya 
dirimu seorang yang memiliki kepandaian? Selama ada 
aku jangan harap maksudmu itu akan terlaksana! 
Akulah yang akan menjadi jago tak terkalahkan di du- 
nia persilatan!" 

Nambi mendengus marah mendengar ucapan itu 
ditujukan terhadapnya. Tubuhnya lalu dibalikkan 
dengan cepat. Dia tahu pemilik suara itu ada di bela- 
kangnya. 

Dugaan Nambi memang tidak keliru. Dari balik 
pintu gerbang yang sudah tak berdaun lagi melesat se- 
sosok bayangan yang tak terlihat jelas bentuknya ka- 
rena cepatnya gerakan yang dilakukannya. Sosok itu 
berhenti melesat pada jarak tiga tombak dari Nambi. 

"Siapa kau, Mulut Lancang?!" tanya Nambi keras. 
Setelah memperhatikan beberapa saat lamanya dia tak 
juga mengenal siapa pendatang baru ini 

Dia adalah seorang kakek bermuka merah. Sepa- 
sang matanya hampir tak terlihat karena hanya beru- 
pa garis memanjang. 

"Kau benar-benar memiliki keberanian dan ke- 
sombongan yang melewati batas. Sobat! Rupanya kau 
belum mengenal siapa adanya aku?!" gertak kakek 
bermuka merah. "Pernahkah kau mendengar julukan 
Pengemis Iblis Tanpa Tanding?" 

"Tentu saja." dengus Nambi penuh ejekan. "Seo- 
rang tokoh yang katanya memiliki kepandaian amat 
tinggi sehingga mampu menjadi salah seorang datuk 
persilatan. Tapi kenyataannya? Tak lebih dari seorang 
jago di kalangan sendiri. Bayangkan, menghadapi Pen- 
dekar Naga Emas saja kalah dan akhirnya tewas! Da- 
tuk macam apa itu? Sungguh menyesal sekali aku be- 
kerja sama dengannya. Kalau tidak, mungkin sekarang 
aku telah menjadi raja!" 

"Hantu Belang! Jin Hutan! Kau benar-benar me- 
miliki mulut yang besar, Anjing Hitam! Aku Dewa Ta- 
pak Darah, selaku orang yang pernah menjadi kakak 
seperguruan Pengemis Iblis Tanpa Tanding, takkan 
membiarkan mu seenaknya saja membuka mulut! 
Akan kubuktikan kalau akulah yang lebih pantas men- 
jadi tokoh tak terkalahkan dunia persilatan!" tandas 
Dewa Tapak Darah, mantap. 

"Keparat!" 

Nambi berteriak marah mendengar makian yang 
ditujukan kepadanya. Berbarengan dengan dikelua- 
rkannya teriakan, bekas panglima kerajaan ini melu- 
ruk ke arah Dewa Tapak Darah. Serangan bertubi-tubi 
berupa tendangan kaki kanan menuju ulu hati, dada 
dan leher dikirimkannya. 

Meski terkejut melihat kedahsyatan serangan 
Nambi, Dewa Tapak Darah mengeluarkan dengusan 
mengejek. Perasaan tak mau kalah mendorongnya un- 
tuk memapaki serangan-serangan itu. 

Plak, plak, plak! 

Dewa Tapak Darah terperanjat ketika mendapati 
kedua tangannya terasa sakit. Tubuhnya terhuyung- 
huyung dua langkah ke belakang. Sementara Nambi 
hanya terhuyung satu langkah! 

Nambi tertawa mengejek melihat keterkejutan la- 
wannya. Sambil mengeluarkan tawa tak putus, diki- 
rimkannya serangan susulan. Dewa Tapak Darah me- 
nyambutinya. Pertarungan sengit pun berlangsung. 

Di jurus-jurus awal pertarungan kelihatan seim- 
bang. Tapi begitu memasuki jurus kedua puluh lima, 
Dewa Tapak Darah mulai kewalahan. Kakek bermuka 
merah ini lebih banyak mengelak dan menangkis dari- 
pada menyerang. 

kkk 

"Mengapa kita harus berdiam diri saja di sini Pa- 
man?" 

Ucapan itu keluar dari mulut seorang gadis ber- 
pakaian merah. Sepasang matanya yang bening indah 
menatap lelaki kumal di sebelahnya dengan tanpa me- 
nyembunyikan rasa penasaran. Saat itu dua sosok 
yang bukan lain Kamandaka dan Putri Teratai Merah 
itu memang tengah berada di atas genteng salah ban- 
gunan. 

"Maksudmu bagaimana, Teratai?" Kamanda malah 
balas bertanya. Seperti juga Putri Teratai Merah. Ka- 
mandaka berbicara hampir berbisik karena tak ingin 
ucapannya didengar oleh kedua tokoh sesat yang ten- 
gah bertarung. 

"Kita turun dan memberikan hajaran pada mereka 
yang telah begitu kejam membasmi orang-orang Per- 
kumpulan Pengemis Baju Merah. Menurut Guru, Per- 
kumpulan Pengemis Baju Merah mempunyai hubun- 
gan yang baik dengan Perkumpulan Sepasang Malai- 
kat. Berarti sudah kewajibanku dan juga kau untuk 
membalaskan kekejian ini. Bukankah kau termasuk 
sahabat Guru, Paman? Aku yakin kau pun merupakan 

sahabat orang-orang Perkumpulan Pengemis Baju Me- 
rah. Benarkah dugaanku ini?" 

Kamandaka menganggukkan kepala. 

"Apa yang kau katakan itu benar, Teratai. Tapi ki- 
ta pun harus menggunakan akal jika hendak melaku- 
kan suatu tindakan. Dua tokoh sesat yang sedang ber- 
tarung itu memiliki kepandaian amat tinggi. Mungkin 
kalau hanya salah seorang dari mereka, aku bisa 
menghadapinya. Tapi dua orang? Hal lain yang mem- 
beratkan ku untuk bertindak adalah ketidaktahuan ki- 
ta mengenai orang yang melakukan pembantaian itu. 
Bukankah kita datang saat mereka berdua tengah ber- 
tarung? Barangkali saja bukan mereka yang melaku- 
kannya," Kamandaka mengajukan alasan. 

"Kau mengenal mereka, Paman?" Putri Teratai Me- 
rah mengajukan permasalahan lain. 

"Salah satu dari mereka, Teratai. Kakek yang ber- 
pakaian hitam," terdengar nada keluhan dalam ucapan 
Kamandaka. "Sungguh tidak kusangka kalau waktu 
dua puluh tahun telah mengubahnya menjadi seorang 
tokoh yang memiliki kepandaian demikian tinggi. Mes- 
tinya kepandaian yang dimilikinya biasa saja. Dia ada- 
lah seorang panglima kerajaan dulunya, di masa kera- 
jaan masih dipimpin oleh Prabu Banyak Santang. 
Mungkin kau bisa menduganya sekarang, Teratai. Se- 
tidak-tidaknya gurumu pernah bercerita tentang seo- 
rang panglima kerajaan yang berkhianat dan membe- 
rontak. Dedengkot-dedengkot dunia persilatan dari 
kaum sesat berdiri di belakangnya. Untung Pendekar 
Naga Emas cepat datang. Karena bantuannya kerajaan 
dapat diselamatkan...." 

"Jangan sebut-sebut tentang pendekar pengecut 
itu lagi, Paman." sentak Putri Teratai Merah, tak se- 
nang. 

"Sekarang aku tahu siapa adanya kakek itu, Pan- 
glima Nambi bukan?" Kamandaka mengangguk. 

"Kakek yang satu lagi kau tidak bisa menduganya, 
Paman?" 

"Memang ada sedikit dugaan muncul dalam piki- 
ranku," Kamandaka mengakui. "Beberapa gerakan ka- 
kek itu mirip dengan gerakan-gerakan Pengemis Iblis 
Tanpa Tanding. Mungkinkah ada hubungannya antara 
mereka berdua?" 

"Datuk sesat itu, Paman?" 

Kamandaka kembali mengangguk. Entah untuk 
ke berapa kalinya lelaki kumal itu berlaku demikian. 

Kali ini Putri Teratai Merah tak mengajukan per- 
tanyaan lagi. Kamandaka pun tidak. Mereka berdua 
memusatkan seluruh perhatian ke arah pertarungan 
yang tengah berlangsung 

"Ih..!" 

Putri Teratai Merah tak kuasa untuk menahan 
pekikan kagetnya. Tampak di arena pertarungan Nam- 
bi melancarkan serangan yang menimbulkan bola-bola 
api bernyala meluncur ke arah Dewa Tapak Darah! 

Kamandaka kaget bukan main. Dia tahu dua to- 
koh yang tengah bertarung itu akan segera menyadari 
adanya pengintai-pengintai setelah mendengar teria- 
kan kaget Putri Teratai Merah. Maka, tanpa mem- 
buang-buang waktu lebih lama, dicekalnya pergelan- 
gan tangan Putri Teratai Merah. Gadis itu kelihatan 
kaget dan berusaha meronta. Tapi, Kamandaka telah 
lebih dulu bertindak. Dia melesat meninggalkan tem- 
pat itu sambil membawa tubuh Putri Teratai Merah! 

Tindakan Kamandaka memang tidak keliru! Begi- 
tu mendengar suara jeritan, Nambi dan Dewa Tapak 
Darah segera tahu kalau mereka tengah diintai orang. 
Bagai telah disepakati sebelumnya, keduanya melan- 
carkan pukulan jarak jauh ke arah suara jeritan be- 
rasal! 

Brakkk! 

Atap tempat Kamandaka dan Putri Teratai merah 
tadi berada hancur berantakan. Tapi, Kamandaka dan 
Putri Teratai Merah berhasil selamat karena saat itu 
telah berada di udara. Putri Teratai Merah yang meli- 
hat kejadian ini baru mengerti dengan tindakan yang 
diambil Kamandaka. 

Nambi dan Dewa Tapak Darah menggeram melihat 
pengintai-pengintai itu lolos dari serangan. Seakan 
tengah berlomba keduanya bergegas melesat mengejar. 
Dan ketika Kamandaka menjejakkan kedua kakinya di 
tanah, Nambi yang didampingi Dewa Tapak Darah te- 
lah berada di depannya. Jarak antara mereka terpisah 
tiga tombak. Bagaikan telah diatur sebelumnya, Nambi 
berada di kanan dan di kiri berdiri Dewa Tapak Darah! 

Kamandaka langsung menyadari kalau melarikan 
diri merupakan tindakan yang sulit dilakukan. Karena 
apabila jalan itu yang diambilnya, Putri Teratai Merah 
harus dibopongnya. Kalau tidak, Nambi dan Dewa Ta- 
pak Darah akan dengan mudah menangkapnya. Pa- 
dahal, jika Putri Teratai Merah dipanggulnya akan 
mengurangi kecepatan larinya. Di pihak lain Nambi 
dan Dewa Tapak Darah memiliki kepandaian luar bi- 
asa. Bukan tak mungkin mereka akan mampu menyu- 
sulnya! 

"Menyingkirlah, Teratai," ujar Kamandaka seraya 
melangkah maju, sehingga Putri Teratai Merah yang 
semula berada di sisinya jadi berada di belakang. Putri 
Teratai Merah tak berani membantah sedikit pun. Ga- 
dis ini tahu kalau dua kakek yang berada depannya 
memiliki kepandaian jauh di atasnya. Tanpa bicara 
apa pun dilangkahkan kakinya untuk menyingkir dari 
situ. 

"Teratai,..?!" Nambi mengulang nama itu dengan 
mata membelalak lebar. 

Lelaki berpakaian hitam ini memang sudah terke- 
jut ketika melihat wajah dan perawakan tubuh Putri 
Teratai Merah. Semula dikiranya sosok itu adalah Putri 
Teratai Putih. Tapi, dugaan ini langsung pupus ketika 
melihat pakaiannya yang merah. Sekarang keterkeju- 
tan Nambi semakin bertambah saat mendengar sapaan 
yang diberikan Kamandaka. 

"Apa hubunganmu dengan Putri Teratai Putih?" 
tanya Nambi seraya melangkah untuk menghampiri 
Putri Teratai Merah. Tapi, maksudnya terhalang den- 
gan keberadaan Kamandaka. Lelaki kumal itu melang- 
kah menghadang jalan Nambi. 

"Keparat!" 

Nambi menggeram marah sambil melotot. Tapi 
pandang matanya yang semula penuh kemarahan tiba- 
tiba meredup berganti dengan keheranan. 

"Siapa kau, Monyet Jelek?! Rasa-rasanya aku 
mengenalmu." 

"Untuk apa banyak berbasa-basi, Nambi! Serang 
saja! Aku tak suka dengan tindakanmu yang berbelit!" 
cela Dewa Tapak Darah tak sabar. 

"Tutup mulutmu, Monyet Merah!" sentak Nambi. 

Rupanya dia merasa terhina mendengar ocehan 
Dewa Tapak Darah. "Atau, kau ingin kubereskan lebih 
dulu?!" 

"Ho ho ho...! Setan Belang! Kau sombong sekali, 
Nambi. Kau belum tentu menang menghadapiku. Apa- 
lagi kalau aku bersekutu dengan orang yang kau maki- 
maki itu. Kau akan menderita rugi besar. Ho ho ho...!" 

Nambi tidak berani menanggapi lagi. Meski ha- 
tinya menuntutnya untuk mencerca, tapi hal itu dita- 
hannya. Nambi tahu ancaman Dewa Tapak Darah bu- 
kan omongan kosong belaka. Bagi tokoh seperti kakek 
bermuka merah itu yang diperhitungkan adalah keun- 
tungan bagi dirinya sendiri. Karena itu, Nambi tidak 
berani bicara sembarangan lagi. 

Sementara itu Kamandaka menatap lekat-tekat 
wajah Nambi. Tindakannya menunjukkan kalau dia 
pun tengah memperhatikan bekas panglima kerajaan 
itu. 

"Kau tanya siapa aku, Sobat? Rasanya biar kuse- 
butkan pun kau tidak akan mengenalku. Aku bukan 
orang yang terkenal atau patut dikenal. Aku tak men- 
genalmu. Maka, aku yakin kau pun tak mengenal diri- 
ku," sahut Kamandaka kemudian dengan tenangnya. 

"Kalau begitu, kau harus menebus kelancangan- 
mu mengintai pertarungan kami! Kau harus mati di 
tanganku, Gembel Busuk!" bentak Nambi keras "Tapi 
sebelum itu aku ingin tahu gadis yang bersamamu itu. 
Siapa dia?!" 

*** 




Kamandaka tersenyum tenang. 

"Sayang sekali, Sobat. Aku tidak bisa memenuhi 
permintaanmu. Aku bukan orang yang senang mem- 
perkenalkan diri orang lain. Jadi, sekali lagi maaf," 

Nambi menggeram. Lelaki ini tidak bisa lagi me- 
nahan sabar mendengar jawaban Kamandaka. Diang- 
gapnya tindakan Kamandaka itu suatu tantangan. 
Maka, dia pun menerjang Kamandaka! 

Nambi membuka serangannya dengan sampokan 
tangan kanan ke arah pelipis. Tangan kirinya disilang- 
kan di dada untuk berjaga-jaga terhadap serangan la- 
wan. 

Kamandaka bertindak cepat dengan menarik tu- 
buhnya ke belakang. Pada saat yang bersamaan, kaki 
kanannya diluncurkan ke arah perut lawan. Nambi 
tentu saja tidak ingin perutnya tertendang. Dia pun 
tak mau mengelak. Lelaki ini terlalu percaya dengan 
kepandaiannya sendiri Kendati dari bunyi serangan 
Kamandaka bisa diketahui besarnya kekuatan tenaga 
dalam yang terkandung dalam serangan itu. 

Karena kepercayaannya yang besar akan kepan- 
daiannya, Nambi meletakkan tangan kirinya yang dis- 
ilangkan di depan dada. 

Takkk! 

Benturan antara tangan dan kaki yang sama- 
sama mengandung tenaga dalam tinggi tak bisa di- 
elakkan lagi. Tubuh Kamandaka dan Nambi sama- 
sama terhuyung satu langkah ke belakang. Mereka ke- 
lihatan terkejut melihat hasil benturan yang terjadi. 
Sungguh tidak disangka kalau lawan ternyata memiliki 
tenaga dalam yang demikian kuat. Tapi kalau Kaman- 
daka hanya kaget, Nambi yang terlalu percaya akan 
kemampuannya sendiri tampak kaget bercampur ge- 
ram! Nambi menggeram keras bak seekor binatang 
buas terluka. Sepasang tangannya dibentuk cakar ke- 
mudian digerakkan dengan cepat menyambar-nyambar 
mencari sasaran. 

Kamandaka tak mempunyai pilihan lain kecuali 
bertarung dengan mengerahkan seluruh kemampuan- 
nya. Disadarinya lawan yang akan dihadapi tidak 
hanya seorang. Masih ada seorang lawan lagi yang tak 
kalah tangguh menunggunya. Kalau mengulur-ulur 
waktu, dia khawatir Dewa Tapak Darah akan keburu 
turun tangan. Dan bila itu terjadi keadaannya akan 
sangat berbahaya! Di luar kancah pertarungan, Putri 
Teratai Merah dan Dewa Tapak Darah menyaksikan ja- 
lannya pertempuran dengan masing-masing kepala di- 
belit pertanyaan yang tidak terjawab! Putri Teratai Me- 
rah dipusingkan oleh ucapan Kamandaka yang menga- 
takan kalau lelaki kumal itu tak mengenal Nambi. Pa- 
dahal, tadi Kamandaka yang memberitahukan pada di- 
rinya mengenai tokoh itu. Mengapa Kamandaka bersi- 
kap demikian? Tanya Putri Teratai Merah dalam hati. 
Lelaki kumal itu kelihatannya takut dikenali Nambi 

Sedangkan Dewa Tapak Darah direpotkan dengan 
masalah Putri Teratai Merah. Kakek bermuka merah 
ini telah melihat Putri Teratai Putih. Kini gadis yang 
sekarang ditemuinya ini amat mirip segala-galanya 
dengan ratu kerajaan itu. Apa hubungan antara mere- 
ka? 

Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut di benak 
kendati pandangan mereka tak melewatkan pertarun- 
gan yang berlangsung di depan mata. 

"Hey...!" 

Terdengar seruan kaget Nambi. Lelaki itu melem- 
par tubuhnya ke belakang dan bersalto beberapa un- 
tuk menjauh, membuat Putri Teratai Merah dan Dewa 
Tapak Darah merasa heran. Mereka merasa ada nya 
keterkejutan dalam seruan Nambi 

"Tahan...!" seru Nambi ketika kakinya menjejak 
tanah dan dilihatnya Kamandaka terus meluncur ke 
arahnya dengan serangan yang siap untuk disarang- 
kan. 

Seruan Nambi membuat Kamandaka menghenti- 
kan tindakannya. Sebagai seorang gagah lelaki kumal 
ini tak mau menyerang lawan yang tak siap untuk me- 
nerima serangannya. 

"Ada apa, Sobat?" tanya Kamandaka tenang. Tapi, 
sepasang matanya menyorotkan kegelisahan berusaha 
untuk disembunyikan. "Apakah kau berubah pikiran 
dan membiarkan kami pergi dari sini dengan aman?" 

Nambi tertawa mengejek. 

"Kau tidak bisa mengakaliku lagi, Pendekar Naga 
Emas! Kau boleh menyembunyikan wajah dan ciri- 
cirimu dengan menyamar sebagai gembel. Tapi aku 
bukan anak kecil yang bisa kau kelabui, meski sama- 
ran mu hampir-hampir saja membuatku terkecoh. Kau 
tak bisa menyembunyikan ilmu-ilmu khasmu. Kalau 
kau bukan seorang pengecut hina, pasti kau akan 
membenarkan dugaanku! Ayo, kalau kau ingin menja- 
di seorang pengecut hina, katakan kau bukan Pende- 
kar Naga Emas!" Kamandaka terdiam. Dia tidak mem- 
berikan jawaban kecuali menundukkan kepala. Sesaat 
kemudian dia mengangkatnya lagi dan menghela na- 
pas berat. 

Putri Teratai Merah dan Dewa Tapak Darah terke- 
jut bukan main mendengar ucapan Nambi. Mata kedua 
orang ini tertuju pada Kamandaka. Telinganya dipa- 
sang setajam mungkin. Napas mereka bahkan hampir 
ditahan karena khawatir jawaban yang diberikan Ka- 
mandaka tak terdengar. 

"Kau keliru, Nambi!" Putri Teratai Merah akhirnya 
yang tak tahan karena Kamandaka tidak juga membe- 
rikan jawaban. "Dia bukan pendekar pengecut itu! Ma- 
lahan, dia dan aku hendak mencari pendekar pengecut 
itu untuk membuat perhitungan!" 

"Benarkah demikian, Nona Cantik?!" ejek Nambi 
sambil tersenyum sinis. "Sekarang kita tunggu saja ja- 
waban dari orang yang ingin membantumu mencari 
pendekar pengecut itu." 

"Ayo, Paman Kamandaka! Katakan kalau kau bu- 
kan Pendekar Naga Emas si pengecut itu!" seru Putri 
Teratai Merah tak sabar. 

Suara gadis berpakaian merah ini terdengar berge- 
tar karena menahan guncangan perasaan. Putri Tera- 
tai Merah merasa tegang menanti jawaban Kamanda- 
ka. Malah, karena tak sabarnya gadis ini melangkah 
menghampiri Kamandaka. Sementara tawa Nambi me- 
ledak mendengar ucapan Putri Teratai Merah. 

"Kau benar-benar dibohongi habis-habisan, Nona 
Dungu! Kau tahu nama asli pendekar pengecut yang 
berjuluk Pendekar Naga Emas itu? Aku yakin kau ti- 
dak tahu! Karena itu akan kuberitahukan padamu! 
Dengan baik-baik, Nona cantik yang dungu...." 

"Cukup, Nambi!" potong Kamandaka dengan suara 
keras dan sikap garang. "Kuakui kalau aku adalah 
Pendekar Naga Emas!" 

"Kau dengar itu, Nona yang goblok?!" ejek Nambi. 
"Kamandaka adalah nama asli dari pendekar pengecut 
itu. Kau ditipunya mentah-mentah! Ha ha ha...!" 

Putri Teratai Merah terdiam bagai patung. Gadis 
ini terpukul bukan main mengetahui kenyataan itu. 
Apalagi karena hal itu dia menjadi korban ejekan 
Nambi. 

Kamandaka alias Pendekar Naga Emas mengeta- 
hui perasaan yang berkecamuk di hati Putri Teratai 
Merah. Dia merasa menyesal sekali. Lelaki kumal ini 
merasa bersalah karena telah menyimpan rahasia. Ta- 
pi, apa boleh buat? Kamandaka mempunyai alasan 
yang amat kuat untuk itu. 

"Maafkan aku, Teratai. Bukan maksudku untuk 
menipumu. Aku...." 

"Diam kau...!" potong Putri Teratai Merah dengan 
penuh kemarahan. Gadis ini menatap Pendekar Naga 
Emas dan Nambi berganti-ganti, sebelum akhirnya 
berhenti pada Kamandaka. "Aku benci kau! Kau tidak 
hanya pengecut, tapi juga penipu. Aku benci kau! Ben- 
ci...!" 

"Teratai,.!" panggil Kamandaka ketika melihat Pu- 
tri Teratai Merah membalikkan tubuh dan berlari me- 
ninggalkan tempat itu. 

Tapi, Putri Teratai Merah tidak mempedulikan 
panggilan Kamandaka. Dia terus berlari cepat tanpa 
menoleh lagi. Kamandaka hanya bisa menghela napas 
berat. Sedangkan Nambi tertawa bergelak-gelak meli- 
hat hasil ucapannya. 

Kamandaka mengalihkan perhatiannya dari Putri 
Teratai Merah ketika tubuh gadis itu lenyap ditelan ke- 
gelapan malam. Pandangannya kini beralih pada Nam- 
bi. 

"Kau boleh tertawa sepuasmu, Nambi. Sebentar 
lagi nyawamu akan kukirim ke neraka. Orang seperti 
kau tak layak dibiarkan hidup terus. Dunia akan men- 
jadi kacau balau!" 

Nambi menghentikan tawanya. Dia mendengus 
keras. Pandangan matanya seakan hendak menelan 
Pendekar Naga Emas bulat-bulat. 

"Kau keliru, Pendekar Pengecut. Kaulah yang akan 
kukirim ke neraka. Dirimulah yang menjadi penyebab 
berantakannya semua cita-citaku. Kau akan mem- 
bayar mahal semuanya malam ini!" 

Pendekar Naga Emas melangkah maju. Nambi pun 
demikian. Mata mereka saling memperhatikan calon 
lawannya. Pertarungan yang sempat terhenti tampak- 
nya beberapa saat lagi akan pecah kembali. 

"Demi segala roh penasaran! Kau jangan serakah 
Nambi. Pendekar Naga Emas bukan hanya mempunyai 
hutang padamu. Dia pun harus membayar atas keke- 
jian yang dilakukannya terhadap adik seperguruanku!" 

Seman yang diikuti dengan melangkah majunya 
Dewa Tapak Darah membuat Pendekar Naga Emas dan 
Nambi yang telah siap untuk saling gebrak menunda 
maksud mereka. 

"Siapa kau, Kakek Aneh? Dan, siapa pula adik se- 
perguruanmu yang kau katakan tewas di tanganku 
ku?" tanya Pendekar Naga Emas tanpa mengalihkan 
perhatian dari sosok Nambi. 

Pendekar Naga Emas tahu pasti betapa liciknya 
bekas panglima kerajaan itu. Maka, dia tak mau me- 
ninggalkan kewaspadaan sedikit pun. Karena bagi 
Nambi cara apa pun akan dipergunakan asalkan sakit 
hatinya terbalaskan. Membokong pun tak menjadi per- 
soalan baginya! 

"Buka telingamu lebar-lebar, Naga Emas!" teriak 
Dewa Tapak Darah. "Aku Dewa Tapak Darah. Dan adik 
sepergumanku yang kau bunuh secara kejam itu ber- 
juluk Pengemis Iblis Tanpa Tanding!" 

"Adik seperguruannya bejat, kakak seperguruan- 
nya pun pasti bukan orang baik-baik! Kalian berdua 
memang sangat layak dikirim ke akhirat untuk menja- 
di teman setan-setan penghuni neraka!" sahut Pende- 
kar Naga Emas dengan suara lantang. 

"Kaulah yang akan menjadi penghuni neraka, Ke- 
parat!" bentak Dewa Tapak Darah yang sudah tidak bi- 
sa mengekang kemarahannya. 

Kakek bermuka merah ini tanpa tanggung- 
tanggung lagi mengeluarkan ilmu andalan. Kedua tan- 
gannya jadi merah laksana besi dibakar! Hawa panas 
pun menyebar dari kedua tangannya! 

Pendekar Naga Emas bergegas melompat ke bela- 
kang untuk mengelakkan serangan itu. Nambi tidak 
tinggal diam. Lelaki berpakaian hitam ini pun ikut me- 
lancarkan serangan. Pertarungan satu melawan dua 
pun langsung pecah! 

Pendekar Naga Emas alias Kamandaka mengelua- 
rkan Ilmu Tangan Pedang Dan Golok yang menjadi ciri 
khasnya. Sebuah ilmu tangan kosong yang amat am- 
puh. Tapi, Nambi dan juga Dewa Tapak Darah memili- 
ki ilmu tangan kosong yang tak kalah ampuh pula. Se- 
telah pertarungan berlangsung lima belas jurus, Pen- 
dekar Naga Emas harus mengakui keunggulan lawan- 
lawannya. Pengeroyokan Dewa Tapak Darah dan Nam- 
bi terlalu berat untuknya. Meskipun demikian, Ka- 
mandaka yakin andaikata kedua musuhnya itu meng- 
hadapinya satu persatu, dia akan dapat mengalahkan 
mereka. Kendati memang tidak dengan mudah hal itu 
dilakukan. 

Semakin lama keadaan Pendekar Naga Emas se- 
makin mengkhawatirkan. Serangan-serangannya su- 
dah tidak terlihat lagi. Pendekar ini sekarang lebih ser- 
ing mengelak. Dia tidak sempat mengirimkan serangan 
balasan karena terlalu bertubi-tubinya serangan dari 
kedua lawannya. 

Pendekar Naga Emas bukan orang bodoh. Dia ta- 
hu kalau keadaan seperti ini berlangsung tanpa ada 
perubahan, dia akan roboh di tangan keduanya. Itu 
berarti nyawanya akan melayang ke alam baka! Pa- 
dahal, Kamandaka belum ingin tewas. Lelaki ini masih 
mempunyai ganjalan di hatinya karena permasalahan- 
nya dengan Putri Teratai Merah. 

Di samping itu, ada hal lain yang ingin diketahui 
pendekar Naga Emas. Hal itu adalah mengenai Putri 
Teratai Merah. Adakah hubungan antara gadis berpa- 
kaian merah itu dengan Putri Teratai Putih? Tentu saja 
yang dimaksudkan Pendekar Naga Emas adalah hu- 
bungan keluarga. Rasanya tak mungkin jika ciri dan 
nama mereka yang demikian mirip kalau tidak ada 
hubungan apa-apa 

Dalam suatu kesempatan Pendekar Naga Emas 
membanting tubuhnya ke tanah untuk mengelakkan 
serangan Nambi dan Dewa Tapak Darah bergegas 
memburu untuk melancarkan serangan lanjutan. Ke- 
dua tokoh sesat ini berlomba ingin lebih dulu menya- 
rangkan serangan. 

Brrr! 

Namun, Nambi dan Dewa Tapak Darah secepat ki- 
lat menghentikan serangannya lalu melempar tubuh 
ke belakang. Penyebabnya adalah serangan serangkum 
debu dari Pendekar Naga Emas! Pendekar yang mem- 
punyai kecerdikan cukup itu rupanya telah memperhi- 
tungkan tindakan lawannya. Maka begitu tubuhnya 
menyentuh tanah, tangannya langsung meraup debu 
dan melontarkannya pada kedua lawannya. 

Kesempatan yang tercipta dari urungnya serangan 
Nambi dan Dewa Tapak Darah tidak disia-siakan oleh 
Kamandaka. Lelaki kumal itu melentingkan tubuhnya. 
Dan sesaat setelah kedua kakinya menjejak tanah dia 
langsung melesat cepat dengan pengerahan seluruh 
ilmu larinya. 

"Kamandaka...! Pengecut! Jangan lari kau...!" seru 
Nambi marah bercampur kaget 

"Pendekar Naga Emas...! Ke mana pun kau pergi 
jangan harap dapat lolos dari tanganku!" Dewa Tapak 
Darah pun berseru pula. 

Dua tokoh sesat ini bergegas melesat untuk men- 
gejar. Sayangnya pengejaran yang mereka lakukan 
agak terlambat. Pendekar Naga Emas telah berada be- 
lasan tombak di depan. Namun meski demikian, Nambi 
dan Dewa Tapak Darah tetap melakukan pengejaran. 

Pendekar Naga Emas tentu saja mendengar se- 
ruan kedua lawannya. Tapi, lelaki ini pura-pura tidak 
mendengar dan terus berlari cepat sekali. Sehingga 
Nambi yang telah mengerahkan seluruh kemampuan- 
nya tetap tak mampu menyusul. Malah, untuk sekadar 
memperpendek jarak saja dia tak mampu. 

Dewa Tapak Darah lebih parah lagi. Kakek ber- 
muka merah ini malah tak bisa mempertahankan jarak 
semula. Semakin lama jarak antara dia dan Pendekar 
Naga Emas semakin jauh. Sampai akhirnya kakek itu 
malah kehilangan jejak. 

Nambi pun demikian. Meski jaraknya tak berubah 
tapi kegelapan malam dan dengan adanya semak- 
semak serta pepohonan membuatnya mengalami kesu- 
litan untuk dapat terus melihat buruannya. Apa yang 
dikhawatirkan lelaki ini akhirnya menjadi kenyataan. 
Ketika melewati kerimbunan semak-semak, Pendekar 
Naga Emas lenyap tak berbekas. Nambi mencari den- 
gan sia-sia sambil memaki-maki panjang pendek. 


***


Arya dan Putri Teratai Putih duduk berhadapan 
dalam jarak satu tombak. Kedua orang ini meletak 
pantatnya pada sebatang pohon yang melintang tanah. 

"Sejak kau meninggalkan pertapaan ayahmu keli- 
hatan terus gelisah, Putri. Boleh ku tahu penyebab- 
nya? Apakah karena kepergian Putri Teratai Merah?" 
Arya membuka percakapan dengan pertanyaan yang 
sejak beberapa hari ini selalu menggayuti benaknya. 
Pertanyaan itu dikeluarkan Arya dengan hati-hati sete- 
lah dilihatnya sejak tadi Putri Teratai Putih duduk 
dengan pandangan menerawang ke langit 

Putri Teratai Putih tidak memberikan jawaban se- 
patah pun. Malah, terusik pun tidak Wanita ini tidak, 
dengan keasyikannya sendiri seakan-akan pertanyaan 
Arya tidak didengarnya. 

Aiya menghela napas berat setelah menunggu be- 
rapa saat lamanya tak juga mendapatkan jawaban. 

"Aku sebenarnya tak ingin mencampuri urusan- 
mu, Putri." ujar Arya lagi. "Tapi, sebagai sahabat aku 
tak rela melihat kau senantiasa dilanda kesedihan se- 
perti ini. Aku ingin ikut membantu masalah mu. Tentu 
saja kalau kau tak mau dengan senang hati aku akan 
menutup mulut" 

Lagi-lagi hanya kesunyian yang menyambuti uca- 
pan Arya. Pemuda berambut putih keperakan ini me- 
nunggu beberapa saat sebelum akhirnya bangkit dari 
duduknya. 

"Kalau kau ingin sendiri, aku pergi dulu, Putri. 
Barangkali saja tindakanku ini akan membuatmu lebih 
tenang." 

Arya lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah 
meninggalkan tempat itu. Tapi baru juga beberapa 
langkah, ayunan kakinya dihentikan. Arya mendengar 
Putri Teratai Putih menyerukan namanya. 

"Kau memanggilku, Putri?" tanya Arya setelah 
membalikkan tubuhnya kembali. 

Putri Teratai Putih yang sekarang sudah tak me- 
natap langit lagi tampak menganggukkan kepala. 

"Aku ingin berbincang-bincang denganmu, Arya. 
Kau bersedia?" 

"Dengan segala senang hati, Putri," jawab Arya 
sambil melangkah kembali ke tempat semula dia du- 
duk. 

"Boleh aku mengajukan pertanyaan yang bersifat 
agak pribadi?" 

"Boleh saja, Putri. Tapi aku tak menjamin akan 
menjawabnya. Itu tergantung dari pertanyaan yang 
akan kau ajukan," jawab Arya setelah tercenung se- 
bentar. 

"Jawaban yang bijaksana. Kau benar-benar seo- 
rang pemuda gemblengan, Arya," puji Putri Teratai Pu- 
tih sehingga wajah Arya memerah karena malu. "Kau 
pernah jatuh cinta?" 

Arya kelabakan. Andaikata pertanyaan Putri Tera- 
tai Putih diumpamakan serangan, mungkin perta- 
nyaan itu merupakan serangan maut di saat Dewa 
Arak belum bersiap. Bahkan mungkin lebih dari itu. 
Karena, pertanyaan Putri Teratai Putih membuat Arya 
terdiam dengan wajah berubah-ubah. 

Arya tidak menyangka akan ditanya seperti itu. 
Sebagai seorang pemuda, apalagi yang menanyakan- 
nya adalah wanita, Arya merasa risih. Tapi setelah be- 
berapa saat lamanya kebingungan akhirnya Arya 
mampu berpikir jernih. Putri Teratai Putih rupanya ta- 
hu perasaan yang berkecamuk di hati Arya. Wanita ini 
dengan sabar menunggu. 

"Pernah, Putri," jawab Arya kemudian dengan wa- 
jah memerah. 

Pemuda berambut putih keperakan itu memu- 
tuskan untuk menjawabnya, karena Arya menduga 
masalah yang tengah membelit Putri Teratai Putih ke- 
mungkinan besar adalah masalah asmara. Tak ada sa- 
lahnya malu sedikit tapi dapat memecahkan masalah 
orang lain, pikir Arya. 

"Syukurlah kalau demikian," desah Putri Teratai 
Putih lega. "Sekarang, bagaimana perasaanmu kalau 
orang yang kau cintai itu pergi. Padahal kau dan dia 
sama-sama saling cinta. Bertahun-tahun orang yang 
kau cintai itu pergi dan kau mengharap-harapkan ke- 
pulangannya. Hingga dua puluh tahun lebih keinginan 
hatimu itu tak terwujud. Kemudian, tahu-tahu kau 
bertemu dengan orang yang amat mirip dengannya. 
Anggap saja orang yang mirip itu adalah keturunan 
dari orang yang kau cintai. Bagaimana perasaanmu, 
Arya?" 

"Tentu saja sangat kecewa, Putri. Mungkin ber- 
campur dengan kesal karena merasa ditipu," jawab 
Arya setelah berpikir beberapa saat 

"Nah, perasaan itulah yang tengah melanda ku, 
Arya. Perasaan dikhianati! Padahal..., dengar baik- 
baik, Arya. Hanya kau seoranglah yang akan mengeta- 
hui rahasia ini. Aku tak tahan menyimpannya terus- 
menerus. Kau telah kuanggap sebagai adikku sendiri. 
Maka, padamulah kuberitahukan," ucap Putri Teratai 
Putih dengan suara bergetar karena guncangan pera- 
saan. 

"Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan 
padaku, Putri." 

"Aku dan kekasihku telah mempunyai seorang 
anak perempuan. Tapi sayangnya kekasihku tak men- 
getahui hal ini. Bahkan mungkin tak akan pernah ta- 
hu. Menyedihkan sekali, bukan?" suara Putri Teratai 
Putih tersendat menahan tangis. Sepasang mata wani- 
ta ini tampak berkaca-kaca. 

Arya merasa terharu sekali melihatnya. Pemuda 
ini bisa merasakan kesedihan yang melanda Putri Te- 
ratai Putih. 

"Mengapa itu bisa terjadi, Putri? Maksudku, kena- 
pa kekasihmu tak tahu kalau dia telah meninggalkan 
seorang anak di dalam rahimmu?" 

"Sayang sekali, Arya. Aku tidak bisa menjawab 
pertanyaan itu! Maafkan aku." 

"Tidak apa-apa, Putri," jawab Arya bijaksana. 
"Anakmu itu pasti Putri Teratai Merah, bukan?" tebak 
Arya kemudian. 

Putri Teratai Putih hanya bisa mengangguk. Kese- 
dihan yang melandanya terlalu besar. Kedua bahunya 
tampak sampai terguncang-guncang karena isak tan- 
gis yang ditahan. Agaknya wanita ini benar-benar di- 
landa kekecewaan yang sangat. 


"Kau tahu, Arya," lanjut Putri Teratai Putih setelah 
bisa menguasai perasaannya. "Kelahiran Putri Teratai 
Merah membuat penyesalan yang besar di hatiku." 

"Mengapa demikian, Putri?" 

"Ayah angkatku, Prabu Banyak Santang, sakit- 
sakitan dan akhirnya meninggal karena batinnya ter- 
guncang melihat aku melahirkan anak tanpa suami. 
Aku tak pernah menikah. Aku malu sekali, Arya. Se- 
hingga meski tak ada orang lain yang tahu kecuali 
ayahku dan ayah angkatku, aku didera penyesalan 
yang besar." 

Aiya terdiam. Pemuda ini menunggu cerita Putri 
Teratai Putih selanjutnya. 

"Seperti juga ayah angkatku, ayahku juga merasa 
terpukul sekali. Beliau malu karena aku, keturunan 
satu-satunya dari Sepasang Malaikat, melahirkan anak 
tanpa nikah. Tapi beliau lebih kuat batinnya daripada 
ayah angkatku. Untuk menutupi rasa maluku, beliau 
membawa Putri Teratai Merah ke tempat gurunya. Be- 
liaulah yang mendidiknya di sana. Dan..., sampai Putri 
Teratai Merah besar tak juga rahasia ini dibeberkan. 
Baik aku maupun Ayah tak berani mengutarakannya. 
Kecuali... kalau ayah dari Putri Teratai Merah, Pende- 
kar Naga Emas, kutemukan dan kuceritakan hal yang 
telah terjadi. Tapi sekarang keinginan itu rasanya telah 
tidak ada lagi..." 

Sampai di sini Putri Teratai Putih tak sanggup 
membendung kesedihannya. Dia menangis dengan 
tanpa suara. Air matanya yang sekian puluh tahun di- 
tahannya sekarang mengalir deras bak air sungai. 

Aiya terpaku bagai patung. Rasa iba yang melan- 
da hati pemuda berambut putih keperakan itu. Bisa 
dirasakannya kesedihan yang sangat melanda Putri 
Teratai Putih 

"Sudahlah, Putri," hibur Arya sambil menyentuh 
tangan Putri Teratai Putih. "Percayalah, aku akan 
membantumu untuk mencari Pendekar Naga Emas. 
Akan kuberitahukan semua hal yang telah kau alami 
ini padanya." 

Hiburan Arya membuat guncangan pada kedua 
bahu Putri Teratai Putih semakin menjadi-jadi. Wanita 
ini menjatuhkan kepalanya di dada Aiya yang bidang. 
Hampir saja pemuda berambut putih keperakan ini 
terlonjak. Tapi, untungnya dia segera sadar. Dibiarkan 
saja tingkah Putri Teratai Putih. 

Aiya tetap diam kendati dadanya dirasakan basah 
oleh air mata. Bahkan tanpa sadar tangan kanannya 
mengelus-elus rambut Putri Teratai Putih. Tindakan ini 
membuat kesedihan wanita itu semakin menjadi-jadi. 

Dan... bunyi dengusan keras membuat Arya serta 
Putri Teratai Putih sadar akan adanya orang lain di se- 
keliling mereka. Cepat-cepat kedua orang itu melepas 
pelukannya. Wajah Putri Teratai Putih tampak merah 
seperti udang direbus. 

"Hey...! Berhenti kau, Pengintai Hina...?" seru Arya 
ketika dilihatnya sesosok tubuh berpakaian lusuh 
membalikkan tubuh dan melangkah meninggalkan ke- 
rimbunan semak-semak. Jarak semak-semak itu den- 
gan tempat Arya dan Putri Teratai Putih berada sekitar 
lima tombak. Dan di antara kedua tempat itu tak ada 
apa pun yang menghalangi. 

Seruan Arya terdengar kasar karena pemuda be- 
rambut putih keperakan itu merasa malu mengingat 
perbuatannya bersama Putri Teratai Putih dilihat 
orang. 

Sang pengintai itu tampak menghentikan langkah. 
Kendati demikian, tubuhnya tidak dibalikkan. Sosok 
itu berdiri membelakangi Arya. Arya sendiri berbaren- 
gan dengan seruannya telah melesat ke arah si pengin- 
tai. Dia kemudian bersalto melewati atas kepalanya. 
Dan dengan tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun 
menjejakkan kaki di tanah. Padahal, tanah tempat 
pemuda berambut putih keperakan itu menjejakkan 
kaki dipenuhi dengan semak-semak kering! 

"Sungguh tercela sekali perbuatanmu Sobat, men- 
gintai orang yang tengah membicarakan masalah," te- 
gur Arya seraya mengamati si pengintai yang berjarak 
dua tombak di depannya. 

Sang pengintai, seorang lelaki berusia lima puluh 
lima tahun yang berpakaian lusuh, berkumis, jenggot, 
dan cambang tak teratur terlihat tersenyum mengejek. 
"Membicarakan masalah? Apakah aku tak salah den- 
gar, Sobat? Kau ini tengah membicarakan masalah 
atau berbuat mesum?" sahutnya dengan nada sinis. 

"Mulutmu kotor sekali, Sobat!" sentak Arya den- 
gan wajah memerah karena malu. "Andaikata pun be- 
nar kami tengah melakukan hal yang kau tuduhkan 
itu, tidak pantas kau mengintainya!" 

"Siapa yang mengintai? Kalianlah yang tak tahu 
diri. Mengapa berbuat mesum di tempat seperti ini? 
Aku tidak mengintai! Aku kebetulan lewat dan melihat 
perbuatan kalian yang menjijikkan!" 

"Tarik kembali ucapanmu itu, Sobat!" ujar Arya 
dengan suara semakin meninggi. "Kau telah keliru me- 
nilai orang. Wanita yang kau anggap berbuat mesum 
itu adalah kakakku. Dia tengah mendapat musibah! 
Aku sebagai adiknya berusaha untuk menghiburnya! 
Dan...." 

"Ucapan apa ini?! Tak lebih dari bunyi yang keluar 
dari lubang dubur manusia yang paling kotor! Belum 
pernah kudengar putri dari Banyak Catra, salah seo- 
rang pimpinan Perkumpulan Sepasang Malaikat, 
mempunyai seorang saudara kandung. Sepengetahua- 
nku dia anak tunggal!" dengus lelaki lusuh itu tetap 
dengan nada sinis. 

Kalau saja ada halilintar menggelegar di dekat 
tempat itu, Arya belum tentu sekaget ini. Dari mana le- 
laki lusuh itu tahu rahasia ini? 

"Siapa kau sebenarnya, Sobat?" tanya Arya. Sua- 
ranya mulai melunak 

Lelaki lusuh kembali mendengus penuh ejekan. 
"Betapa enaknya memutar lidah! Tadi seenaknya me- 
maki-makiku dengan segala macam cercaan. Begitu 
melihat gelagat yang kurang menguntungkan, lalu me- 
nanyakan nama. Tak perlu, Sobat. Panggil saja aku 
dengan sebutan yang semula kau berikan padaku" 

Wajah Arya merah padam. Di samping karena pe- 
rasaan tersinggung, dia juga merasa malu. Disadarinya 
kalau tadi dia telah bersikap agak berangasan. Meski 
demikian, Arya tak merasa bersalah. Toh sikap itu 
muncul karena perbuatan lelaki lusuh pula. Kalau 
memang lelaki itu tak mau menimbulkan keributan 
tentu begitu melihat adegan yang terjadi antara Dewa 
Arak dengan Putri Teratai Putih, dia segera meninggal- 
kan tempat itu tanpa perlu mendengus. 

"Lalu... apa kehendakmu sekarang, Sobat?" tanya 
Arya ingin tahu. 

"Tidak ada keinginan apa pun," jawab lelaki lusuh 
dingin. "Tapi perlu kuberitahukan padamu, Anak Mu- 
da. Kalau kau hendak berbuat mesum, pilihlah tempat 
yang sepi. Di sini terhitung ramai. Nanti tak ada orang 
lain lagi yang melihat kemesuman kalian!" 

"Sebenarnya... apa yang kau kehendaki, Sobat? 
Kalau tak ada apa-apa mustahil kau bersikap demi- 
kian sinis. Sepertinya kau benci sekali padaku. Kuberi- 
tahukan sekali lagi, aku bukan orang yang gemar ber- 
buat seperti yang kau tuduhkan. Bahkan, apa yang 
kau tuduhkan pun sama sekali tidak benar! Kuharap 
kau mau mencabut ucapanmu yang kelewatan itu." 

"Kalau aku tidak mau, kau mau apa?" tantang le- 
laki lusuh tanpa merasa gentar sedikit pun. 

"Akan ku paksa agar kau mau melakukan apa 
yang kuinginkan!" tandas Arya, mantap. "Kalau perlu 
dengan memberikan sedikit hajaran pada mulutmu 
yang kotor. Barangkali saja setelah itu kau tak akan 
sembarangan lagi mengeluarkan perkataan." 

"Kau boleh coba laksanakan keinginanmu, Sobat!" 
timpal lelaki lusuh tak mau kalah. "Kebetulan jadi aku 
bisa mengetahui apakah kemampuan bela dirimu se- 
besar kemampuanmu bermain mesum!" 

"Tutup mulutmu yang kotor, Sobat!" 

Arya tak bisa menahan sabar lagi mendengar 
tanggapan lelaki lusuh yang tetap kasar. Pemuda be- 
rambut putih keperakan ini segera menerjang dengan 
pukulan kanan dan kiri lurus ke arah dada. 

Arya sengaja mengirimkan serangan seperti itu 
karena tak ingin membuat lelaki lusuh celaka. Biar ba- 
gaimana pun juga lelaki ini bukan orang jahat. Maka 
serangan yang dilakukan Dewa Arak menggunakan ge- 
rakan yang sederhana dan tenaga dalam yang seka- 
darnya saja. 

Lelaki lusuh mendengus. Dia tidak mengelak se- 
rangan yang dikirimkan Arya. Pemuda berambut putih 
keperakan ini menjadi kaget dan mengurangi lagi tena- 
ganya agar lawan tidak terluka berat. 

Buk, buk, bukkk! 

Benturan yang terjadi antara dada lelaki lusuh 
dengan kepalan-kepalan Arya membuat pemuda be- 
rambut putih keperakan itu menyeringai. Jari-jari tan- 
gannya bagai menumbuk besi baja, bukan tubuh ma- 
nusia yang terdiri dari daging dan tulang! 

"Mengapa kau sungkan-sungkan, Sobat? Tadi ku- 
lihat di waktu berbuat mesum kau tak ragu-ragu. 
Bahkan, segenap kemampuan yang kau miliki dikelua- 
rkan semuanya. Apakah tenagamu telah habis untuk 
bermesum ria?!" sembur lelaki lusuh, tak pernah kehi- 
langan ejekan yang berpokok pangkal dari persoalan 
itu. 

"Kalau itu yang kau inginkan, ku penuhi Sobat!" 
desis Arya sambil menggertakkan gigi. Pemuda itu ge- 
ram bukan main melihat lelaki lusuh semakin keterla- 
luan dengan ejekannya. Rupanya sikap welas asih 
Arya dijadikan bahan untuk membuat ejekan. 

Dewa Arak segera melompat menerjang lawannya. 
Kali ini pemuda berambut putih keperakan itu menge- 
luarkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Bukan 
hanya karena ucapan dan sikap lelaki lusuh yang me- 
lampaui batas, tapi juga karena telah mengetahui ka- 
lau lawannya itu memiliki kepandaian tinggi. 

Dewa Arak mengirimkan tendangan terbang. Kaki 
kanannya meluncur ke arah leher. Sementara kaki ki- 
rinya yang tertekuk, kendati terlihat tenang, menyem- 
bunyikan bahaya yang tak kalah besar. Kaki kiri itu 
bisa menyusul kaki yang kanan dan mengancam kese- 
lamatan lawan! 

Serangan Dewa Arak kali ini berlipat kali lebih 
dahsyat dari sebelumnya. Tapi, lelaki lusuh tetap terli- 
hat tenang. Tak kelihatan kalau dia merasa gelisah. 
Malah lelaki itu berdiri di tempatnya. 

Tappp! Kreppp! 

Tangkisan sekaligus tangkapan tangan lelaki lu- 
suh membuat Dewa Arak terkejut bukan main. Ka- 
kinya dirasakan tergetar hebat. Tapi, hal itu belum ter- 
lalu mengejutkan. Yang membuat jantung pemuda 
berpakaian ungu ini bagai terhenti berdetak adalah 
keberhasilan tangan lelaki lusuh menangkap pergelan- 
gan kakinya 

Meskipun demikian, Dewa Arak mampu bertindak 
cepat. Maka ketika kaki kanannya ditangkap, kaki ki- 
rinya segera disarangkan ke arah dada lelaki lusuh un- 
tuk memaksa dia melepaskan cekalannya. 

Lelaki lusuh itu mengetahui akan adanya anca- 
man besar. Disadarinya tendangan lawan mampu 
membuat batu karang yang paling keras sekalipun 
hancur berantakan. Maka cekalannya dilepaskan, dan 
bersamaan dengan itu dia melompat jauh ke belakang. 

"Kau hebat, Anak Muda," untuk pertama kalinya 
lelaki lusuh memuji. "Tapi, kehebatanmu ini belum se- 
hebat ilmu mesummu!" 

"Mungkin yang kali ini akan lebih hebat dari gen- 
carnya mulutmu mengeluarkan ucapan kotor!" sahut 
Arya cepat 

Arya yang semakin menjadi-Jadi kemarahannya 
mendengar makian lelaki lusuh lalu secepat kilat me- 
nerjang. Kedua tangannya didorongkan dengan jari-jari 
tangan terkembang. Pemuda berambut putih kepera- 
kan ini dalam cekaman rasa marah yang sangat sete- 
lah mengerahkan tenaga dalam inti matahari yang 
menjadi andalannya. 

Angin yang luar biasa panas berhembus dari ke- 
dua tangan Arya yang didorongkan. Seketika semak- 
semak yang berada di sekitar tempat itu layu! Bebera- 
pa di antaranya langsung rontok ke tanah dalam kea- 
daan gosong! 

"Sebuah Ilmu pukulan yang hebat..!" Lelaki lusuh 
berseru memuji. Kedua tangannya dikembangkan 
membentuk cakar naga lalu ditarik ke depan dada 
dengan cepat. Dan, perlahan kedua tangan itu dihen- 
takkan ke depan. 

Tidak terdengar deru angin sedikit pun. Tapi Dewa 
Arak melihat sekujur tangan, bahkan sebagian besar 
tubuh lelaki lusuh, diselimuti sinar kuning keemasan. 

Bunyi meletup pelan terdengar kemudian. Tubuh 
Dewa Arak dan lelaki lusuh sama-sama terjengkang ke 
belakang. Masing-masing merasakan dadanya sesak 
bukan main. Dan begitu berhasil memperbaiki kedu- 
dukan baik Arya maupun lelaki lusuh saling berpan- 
dangan dengan sinar mata kagum. Mereka tampaknya 
kini lebih yakin akan kelihaian lawan yang dihada- 
pinya 

Dewa Arak mulai menurunkan guci arak dari 
punggungnya. Pemuda berambut putih keperakan itu 
mengambil keputusan demikian karena tahu lawan 
yang akan dihadapinya sangat lihai. 

"Tunggu, Arya...!" 

Guci yang telah diangkat di atas kepala dan siap 
untuk dituangkan ke mulut, urung dilakukan Arya. 
Dengan sinar mata penuh pertanyaan pemuda beram- 
but putih keperakan itu menatap ke arah Putri Teratai 
Putih yang berlari ke tempatnya dan lelaki lusuh bera- 
da. 

Putri Teratai Putih menghentikan larinya ketika 
jarak dengan lelaki lusuh tinggal dua tombak. Pandang 
wanita ini terpaku pada ke arah punggung lelaki lu- 
suh. Arya jadi heran melihatnya. Apalagi ketika meli- 
hat sinar mata Putri Teratai Putih yang demikian pe- 
nuh dengan berbagai perasaan. 

"Siapa kau sebenarnya, Sobat?" tanya Putri Tera- 
tai Putih dengan suara menggigil. "Ilmu yang kau gu- 
nakan ketika menangkis serangan kawanku mengin- 
gatkan aku pada seseorang. Sepengetahuanku hanya 
dialah yang memiliki ilmu seperti itu, Ilmu Emas." 

Lelaki lusuh tetap tak bergeming. Tawa ejekan 
yang didahului dengan dengusan keras segera diper- 
dengarkannya. 

"Hai, Anak Muda! Jawab yang benar siapa di anta- 
ra kalian berdua yang berbohong? Kulihat kau dan 
wanita itu berbuat mesum. Kau katakan padaku wani- 
ta itu adalah kakakmu. Sedangkan wanita itu sendiri 
memberitahukan kalau kau adalah kawannya. Mana di 
antara kalian yang benar?!" 

"Dia yang benar, Sobat," jawab Arya dengan wajah 
merah. "Tapi, aku pun tak salah. Aku memang saha- 
batnya. Tapi...." 

"Karena persahabatan terlalu erat lalu kalian buat 
mesum dengan alasan telah seperti saudara diri. Begi- 
tu bukan?!" potong lelaki lusuh. 

"Kamandaka, kau terlalu?" bentak Putri Teratai 
Putih, keras melengking. 

Lelaki lusuh sedikit pun tidak kelihatan terkejut 
mendengar panggilan itu. Yang kaget justru Arya. Pe- 
muda berambut putih keperakan ini sekarang mengerti 
mengapa lelaki lusuh ini kelihatan demikian memu- 
singkan perbuatannya dengan Putri Teratai Putih. Pan- 
tas. Lelaki ini bukan lain dari Pendekar Naga Emas! 

Sekarang Arya juga mengerti mengapa lelaki itu 
, Teratai? Kau atau aku...?!" ba- 
las lelaki lusuh. Suaranya tidak penuh ejekan dan ke- 
seriusan seperti tadi. Suara Pendekar Naga Emas kali 
ini dikenal baik oleh Putri Teratai Putih sebagai milik 
Pendekar Naga Emas yang dikenalnya dulu. 

"Tentu saja kau!" bentak Putri Teratai Putih sam- 
bil menudingkan tangan. 

Pendekar Naga Emas membalikkan tubuh dengan 
cepat. Kelihatan jelas kalau lelaki ini tak puas dengan 
jawaban yang diberikan Putri Teratai Putih. 

"Tidak salahkah apa yang kudengar ini, Teratai?" 
bantah Pendekar Naga Emas tak mau kalah. "Kaulah 
yang keterlaluan! Kau yang ku pikirkan bertahun- 
tahun dengan hati berdarah ternyata sedang enak- 
enak berbuat mesum." 

Tutup mulutmu, Kamandaka...!" jerit Putri Teratai 
Putih dengan nada suara lebih tinggi. "Berkacalah ada 
dirimu sendiri! Kau yang ku pikirkan siang malam se- 
lama dua puluh tahun lebih dan kucari-cari tanpa ha- 
sil ternyata enak-enakan menikah dengan wanita lain 
dan mempunyai anak!" 

"Apa kau bilang?!" Kamandaka membentak tak 
kalah keras. Tapi, kali ini bercampur dengan rasa ka- 
get yang besar. Sepasang mata pendekar ini membela- 
lak lebar. "Siapa yang menyebar fitnah keji seperti itu 
padamu, Teratai? Pemuda yang menjadi temanmu 
buat mesum inikah?!" 

Arya yang sejak tadi mendengarkan pertengkaran 
antara Kamandaka dengan Putri Teratai Putih sangat 
kaget mendengar tuduhan itu. Arya yang semula ingin 
mencampuri urusan sepasang kekasih itu, setelah di- 
rinya dibawa-bawa merasa tak bisa berdiam diri lagi. 
Meski demikian, pemuda berambut putih keperakan 
ini tak mempunyai kesempatan untuk membela diri, 
Putri Teratai Putih telah mendahuluinya. 

"Kau keliru, Kamandaka! Aku tak mengetahui dari 
siapa pun, melainkan bukti yang kulihat jelas dengan 
mata kepalaku sendiri. Baru beberapa hari lalu hal ini 
kuketahui" 

"Bukti apa?!" Kamandaka menantang. 

"Anakmu datang menyatroni tempat kediaman 
ayahku. Kalau saja tak ada seorang pemuda yang kau 
maki-maki berbuat mesum ini, aku dan ayahku telah 
menjadi mayat di tangannya. Pemuda yang kau anggap 
orang mesum inilah yang telah menolong nyawa aku 
dan ayahku. Pemuda itu adalah seorang pendekar be- 
sar yang memiliki nama tak kalah harum dengan na- 
mamu, Kamandaka! Dia Dewa Arak!" 

"Aku tak peduli siapa adanya dia! Aku memang 
bukan apa-apa. Aku hanya seorang gembel hina. Tapi 
dari mana kau bisa tahu kalau orang yang hendak 
membunuh kau dan ayahmu adalah keturunan ku. 
Perlu kuberitahukan, Teratai, tuduhanmu itu sama 
kali tak benar! Aku tak pernah menikah dengan wanita 
lain. Apalagi sampai mempunyai anak. Aku tak pernah 
berhubungan dengan wanita mana pun. Aku malah 
menyiksa diri setelah pergi jauh darimu. Kau lihat 
keadaanku? Tak terurus, bukan? Itu karena aku selalu 
tak bisa melupakanmu!" 

"Kau kira aku enak-enak saja, Kamandaka?" tim- 
pal Putri Teratai Putih dengan suara yang mulai mele- 
mah. 

Wanita ini sejak tadi sebenarnya telah melihat 
perbedaan yang menyolok dalam diri pendekar di ha- 
dapannya ini. 

Pendekar Naga Emas dulu seorang pemuda tam- 
pan dan selalu rapi. Tapi sekarang? Tak ubahnya gem- 
bel! Pemuda itu kelihatan kotor dan tak terawat. 

"Tapi..., mengapa ada orang yang demikian mirip 
denganmu bagai pinang dibelah dua," semakin mele- 
mah suara Putri Teratai Putih. "Malah pemuda itu pun 
mempunyai ilmu yang sama denganmu. Kalau bukan 
keturunanmu, mengapa dia bisa demikian mirip den- 
ganmu? Lagi pula, dari mana ilmu-ilmu khasmu dida- 
patkannya?" 

Pendekar Naga Emas tercenung. Rupanya kata- 
kata Putri Teratai Putih mulai membuatnya bimbang. 
"Mungkinkah ada orang yang hendak memecah belah 
kita? Hendak mengadu domba antara kita, Teratai?" 
ucap Pendekar Naga Emas setelah berpikir beberapa 
saat lamanya. "Aku pun telah bertemu dengan orang 
wanita muda yang amat mirip denganmu. Bahkan dia 
memiliki ilmu-ilmu khas Perkumpulan Sepasang Ma- 
laikat. Tapi ketika kutanyakan mengenai hubungannya 
denganmu, dia tidak tahu-menahu." 

"Apakah gadis itu memperkenalkan diri padamu? 
Pakaiannya serba merah?" terka Putri Teratai Putih. 
Kamandaka mengangguk. 

"Putri Teratai Merah namanya. Nah, bukankah 
aneh ada seseorang yang bisa mirip segala-galanya 
denganmu tapi tak ada hubungan apa pun? Maksudku 
hubungan keturunan." 

"Siapa bilang tak ada hubungan apa pun, Kaman- 
daka. Gadis itu adalah anakmu. Anak kita!" tandas Pu- 
tri Teratai Putih 

"Apa?!" 

Pendekar Naga Emas terjingkat bagai disengat 
ular berbisa. Kelihatan jelas keterkejutan melandanya. 

"Apakah kamu masih waras, Teratai?! Anak kita? 
Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Kita kan tak per- 
nah... Bagaimana mungkin bisa terjadi seorang anak?!" 

Putri Teratai Putih menghela napas berat. Hal se- 
perti ini sudah diduga sebelumnya. 

"Oleh karena itulah Kak Kamandaka, sejak dua 
puluh tahun lalu aku mencari-carimu. Aku ingin men- 
ceritakan semuanya. Aku juga semula tak mengerti. 
Tapi ketika Paman memberitahukannya, juga Ayah, 
aku mulai mengerti..." 

"Apa yang mereka katakan?" sambut Pendekar 
Naga Emas cepat, penuh rasa ingin tahu. 

Suasana jadi hening. Putri Teratai Putih belum 
memberikan jawaban. Wanita ini tengah mencari kata- 
kata yang tepat untuk memulai ceritanya. 

"Ha ha ha...!" 

Tawa keras menggelegar membuat Putri Teratai 
Putih yang hendak memberikan jawaban jadi urung 
mengatakannya. Wanita ini menolehkan kepala ke 
arah asal suara. 

Hal yang sama dilakukan oleh Dewa Arak dan 
Pendekar Naga Emas. Seketika jantung mereka berde- 
tak jauh lebih cepat. Di tempat itu telah hadir sosok- 
sosok yang sangat mengejutkan mereka. Nambi dan 
Dewa Tapak Darah! 

"Sama sekali tak kusangka kalau di tempat ini 
akan bisa menemukan orang-orang yang kucari sekali- 
gus! Pendekar pengecut yang dulu berjuluk Pendekar 
Naga Emas dan Putri Teratai Putih!" 

Nambi yang pertama kali membuka suara. Lelaki 
ini kelihatan gembira bukan main. 

"Tapi kau harus ingat, Nambi. Pendekar Naga 
Emas adalah bagianku. Akulah yang akan memenggal 
kepalanya!" timpal Dewa Tapak Darah tak mau kalah. 

"Jangan khawatir, Tapak Darah! Setelah kita men- 
jadi sobat baik, aku tak pelit untuk memberikan ke- 
sempatan padamu membalaskan sakit hati. Tapi, kau 
harus ingat kalau Putri Teratai Putih adalah bagian- 
ku!" tandas Nambi 

"Aku tak akan mencampuri urusanmu, Nambi. 
Yang penting bagiku adalah Pendekar Naga Emas. 
Dan, setelah itu semuanya tak akan ku pikirkan lagi!" 

"Ha ha ha...!" Tawa Nambi terdengar semakin ke- 
ras membahana. 




"Bukankah itu si keparat Nambi, Kak," ujar Putri 
Teratai Putih setelah memperhatikan bekas panglima 
kerajaan itu beberapa saat lamanya. 

"Benar, Teratai," Pendekar Naga Emas mengang- 
guk. Dia tidak ingat lagi kalau Putri Teratai Putih telah 
mengubah panggilan terhadap dirinya. 

"Hati-hati terhadap kakek muka merah itu, Kak," 
ucap Putri Teratai Putih lagi. "Dia berjuluk Dewa Ta- 
pak Darah, kakak seperguruan Pengemis Iblis Tanpa 
Tanding. Kepandaiannya luar biasa. Aku saja mungkin 
telah tewas di tangannya kalau tidak keburu ditolong 
Dewa Arak " 

"Aku tahu, Teratai. Aku telah bertarung dengan- 
nya. Dia tidak terlalu berbahaya. Nambi masih lebih li- 
hai dari padanya," jelas Pendekar Naga Emas. 

Putri Teratai Putih melongo. Kalau saja bukan 
Pendekar Naga Emas yang bicara, dia tak akan per- 
caya. Mungkinkah Nambi yang dulu berkepandaian ala 
kadarnya itu sekarang memiliki tingkat kepandaian di 
atas Dewa Tapak Darah? Padahal, kakek bermuka me- 
rah itu saja sudah memiliki kepandaian tak terukur! 

"Menyingkirlah, Teratai," ujar Pendekar Naga 
Emas sambil melangkah maju. 

Pendekar yang pernah menjadi jago nomor satu 
pada jamannya itu tahu kalau Putri Teratai Putih bu- 
kan tandingan dua lawan yang amat tangguh itu. Pe- 
rasaan khawatir pun bersemayam di hati Kamandaka. 

Pendekar Naga Emas tidak mengkhawatirkan ke- 
selamatan dirinya, Yang menjadi pikirannya adalah 
Putri Teratai Putih! Karena, kalau Nambi dan Dewa 
Tapak Darah bisa berlaku cerdik, keadaan akan men- 
guntungkan mereka. 

Apa yang dikhawatirkan Pendekar Naga Emas ter- 
nyata beralasan! Nambi dan Dewa Tapak Darah telah 
cepat membaca kedudukan Pendekar Naga Emas dan 
Putri Teratai Putih. 

"Kau tangkap Putri Teratai Putih, Tapak Darah," 
beritahu Nambi "Sementara aku yang akan mengurus 
pendekar pengecut ini. Tapi ingat, jangan buat putri 
itu terluka berat. Aku masih membutuhkannya. Sete- 
lah kau lumpuhkan dia, kau masih mempunyai ke- 
sempatan membantuku menghadapi Pendekar Naga 
Emas." 

"Aku pun berpikir demikian, Nambi. Sebuah usul 
yang bagus sekali!" sambut Dewa Tapak Darah. 

Pendekar Naga Emas menggertakkan gigi. Di da- 
lam hati dia memaki-maki kelicikan kedua lawannya. 
Tapi menyadari waktu yang amat sempit, lelaki ini se- 
gera mendahului menyerang! 

Pendekar Naga Emas yang telah tahu kalau lawan 
yang lebih ringan adalah Dewa Tapak Darah, segera 
menyerang kakek itu. Tak tanggung-tanggung lagi, II- 
mu Tangan Sakti Pedang Dan Golok yang menjadi an- 
dalannya dipergunakan. 

Bunyi berdesing tajam seakan-akan ada beberapa 
pedang dan golok berkelebatan mencari mangsa ter- 
dengar ketika Pendekar Naga Emas melancarkan se- 
rangan. Sinar kekuningannya menyelimuti sekujur ke- 
dua tangan Kamandaka. 

Dewa Tapak Darah tidak berani menangkis seran- 
gan Pendekar Naga Emas yang berupa tusukan dan 
bacokan. Dia melompat ke belakang untuk mengelak- 
kannya. Kakek ini tahu betul kedahsyatan serangan 
itu. Jangankan terkena langsung, angin serangannya 
saja sudah cukup untuk membuat lawan yang memili- 
ki tenaga dalam kurang kuat putus anggota tubuhnya. 

Pendekar Naga Emas tak tinggal diam. Pendekar 
ini segera memburu untuk melancarkan serangan su- 
sulan. Tapi, Nambi bertindak cepat. Lelaki ini melom- 
pat meniegal gerakan Pendekar Naga Emas! 

Plak, plakkk! 

Bunyi berdetak keras terdengar ketika dua pasang 
tangan berbenturan. Nambi berbeda dengan Dewa Ta- 
pak Darah. Bekas panglima kerajaan ini tak sungkan- 
sungkan memapaki serangan Pendekar Naga Emas. 
Tak ada akibat apa pun atas kedua tangannya, kecuali 
pada lengan-lengan bajunya yang robek memanjang. 
Nambi memang memiliki tangan sekuat baja! 

Saat Pendekar Naga Emas terhuyung ke belakang 
seperti halnya Nambi akibat benturan keras itu, Dewa 
Tapak Darah melompat melewati kepala sang pendekar 
dan menyerang Putri Teratai Putih. 

Pendekar Naga Emas tak ingin hal itu terjadi. Ke- 
dua cakarnya diayunkan memapaki melesatnya tubuh 
Dewa Tapak Darah. Tapi, baru setengah jalan langsung 
diurungkan. Tubuhnya lalu dibanting ke tanah dan di- 
gulingkan menjauh karena Nambi telah mengirimkan 
tendangan bertubi-tubi! 

Nambi benar-benar memenuhi janjinya untuk 
membuat Dewa Tapak Darah bisa berurusan dengan 
Putri Teratai Putih. Bekas panglima kerajaan ini melu- 
ruk menyerbu Pendekar Naga Emas dan menghuja- 
ninya dengan serangan-serangan dahsyat 

Pendekar Naga Emas tak mempunyai pilihan lain 
kecuali memberikan perlawanan. Pertarungan yang 
kedua kali antara kedua musuh bebuyutan itu ber- 
langsung. 

Keberhasilan Nambi membuat Pendekar Naga 
Emas kerepotan hingga Dewa Tapak Darah dapat den- 
gan leluasa berurusan dengan Putri Teratai Putih. 
Sang Putrilah yang kewalahan. Dia pontang-panting ke 
sana kemari untuk menyelamatkan diri. Pertarungan 
tak seimbang pun terpampang di depan mata, 

Ternyata bukan hanya Pendekar Naga Emas dan 
Putri Teratai Putih yang terlibat dalam pertarungan. 
Dewa Arak pun demikian. Malah, pemuda berambut 
putih keperakan itu menghadapi seorang lawan yang 
amat tangguh! 

Lawan Dewa Arak adalah seorang pemuda berpa- 
kaian kuning yang bukan lain Reksanata. Pertarungan 
telah berlangsung sengit. Jarak pertempuran dua 
orang muda ini dengan pertarungan Pendekar Naga 
Emas serta Putri Teratai Putih tak lebih dari lima belas 
tombak 

Pertarungan mereka kini sudah mencapai pun- 
caknya, Dewa Arak menggunakan jurus 'Belalang Sak- 
ti’nya. Sementara Reksanata telah menggunakan ilmu 
Tangan Sakti Pedang Dan Golok serta Naga Emas! 

Di luar kancah pertarungan tampak berdiri seo- 
rang gadis berpakaian merah yang bukan lain dari Pu- 
tri Teratai Merah. Wajah gadis ini kelihatan agak pu- 
cat. 

Terbayang kembali di benak gadis ini kejadian 
yang dialaminya. Putri Teratai Merah tengah tercenung 
dengan pikiran kusut setelah pusing memikirkan ma- 
salah Pendekar Naga Emas. Kenyataan betapa Kaman- 
daka yang dikaguminya dan diharapkan dapat menjadi 
kawan tarung melawan Pendekar Naga Emas ternyata 
si pendekar itu sendiri. 

Berbagai macam perasaan berkecamuk di benak 
Putri Teratai Merah. Rasa marah, malu, dan sedih dan 
merasa dipermainkan. Perasaan-perasaan itu mem- 
buat Putri Teratai Merah terguncang batinnya. Selama 
berhari-hari dia melanjutkan perjalanan dengan benak 
kusut 

Sesampainya di tempat ini Putri Teratai Merah 
bertemu dengan Reksanata. Pemuda sombong ini ru- 
panya tertarik melihat gadis cantik duduk termenung 
seorang diri, Putri Teratai Merah digodanya! 

Putri Teratai Merah yang memang sedang tidak 
tenang hati segera menimpalinya dengan marah. Bah- 
kan, pertarungan antara mereka pun terjadi. 

Tapi, Putri Teratai Merah hanya besar marahnya 
saja. Kemampuan yang dimilikinya tak sebesar kema- 
rahannya. Dengan mudah Reksanata menangkap se- 
tiap serangannya. Serangan-serangan Putri Teratai Me- 
rah tanpa menemui kesulitan sama sekali berhasil di- 
elakkan Reksanata. 

Sebaliknya, setiap serangan sembarangan Reksa- 
nata membuat Putri Teratai Merah pontang-panting 
menyelamatkan diri. Benturan tangan antara mereka 
membuat tubuh gadis itu terhuyung-huyung dengan 
tangan sakit. Malah, beberapa kali tubuh Putri Teratai 
Merah terguling-guling ketika Reksanata mengibaskan 
tangan. 

Di saat itulah Dewa Arak muncul. Tanpa pikir 
panjang lagi pemuda berambut putih keperakan itu 
segera menerjang Reksanata. Telah diketahuinya kalau 
Reksanata, meski tak jahat, tapi tidak berdiri di pihak 
yang benar. Maka, Arya berpihak pada Putri Teratai 
Merah. Arya menduga gadis itu adalah putri dari Putri 
Teratai Putih, kendati dia belum pernah melihatnya. 

Reksanata yang memang mendendam pada Dewa 
Arak menyambutinya dengan penuh semangat. Pemu- 
da sombong yang telah sembuh dari luka parahnya itu 
mengerahkan seluruh kemampuannya. Reksanata be- 
lum yakin kalau dirinya kalah oleh Dewa Arak. Perta- 
rungan pun berlangsung hebat 

Jalannya pertarungan tidak diam di tempat. Sedi- 
kit demi sedikit bergeser ke tempat Pendekar Naga 
Emas dan Putri Teratai Putih. Dilain pihak, pertarun- 
gan Pendekar Naga Emas dan Putri Teratai Putih pun 
bergeser ke tempat di mana Dewa Arak bertarung. 

Putri Teratai Merah yang merasa tertarik dengan 
pertarungan itu tanpa sadar mengikuti bergesernya 
arena pertarungan. Dan gadis ini terkejut bukan main 
ketika melihat Putri Teratai Putih tengah didesak hebat 
oleh Dewa Tapak Darah. 

Kakek bermuka merah ini memang memiliki wa- 
tak licik! Kalau dikerahkan seluruh kemampuannya 
sebenarnya Putri Teratai Putih telah roboh sejak tadi. 
Tapi bila hal itu terjadi Nambi yang akan beruntung. 
Bekas panglima kerajaan itu akan segera terbantu da- 
lam menghadapi Pendekar Naga Emas. 

Dewa Tapak Darah sengaja membiarkan Nambi 
berjuang keras menghadapi Pendekar Naga Emas. 
Nambi yang cerdik tentu saja tahu hal itu. Tapi dia ti- 
dak berkata apa-apa. Di samping karena memang tak 
sempat, dia juga tak mau. 

Meski mulutnya diam, tapi hati Nambi mengutuk 
Dewa Tapak Darah habis-habisan. Bahkan, bekas 
panglima kerajaan ini berjanji akan membalas perbua- 
tan Dewa Tapak Darah. 

Sementara itu Putri Teratai Merah yang melihat 
Putri Teratai Putih tengah didesak hebat tanpa banyak 
pikir lagi segera mencabut pedang pendeknya dan ikut 
terjun dalam kancah pertarungan. Ikut campurnya Pu- 
tri Teratai Merah membuat keadaan Putri Teratai Putih 
tidak terlalu mengkhawatirkan. 

"Jangan takut Putri, aku membantu...!" seru Putri 
Teratai Merah seraya menghujani Dewa Tapak Darah 
dengan serangan-serangan mematikan. 

"Bagus, Teratai Merah," puji Putri Teratai Putih 
dengan penuh semangat dan gembira. "Kita habisi ka- 
kek bermuka aneh ini!" 

Dewa Tapak Darah sekarang terpaksa harus me- 
nyesali tindakannya yang main-main. Munculnya Putri 
Teratai Merah membuat kedudukan kedua lawannya 
itu luar biasa kuat. Kakek ini tak tahu kalau ini meru- 
pakan keistimewaan ilmu yang dimiliki Sepasang Ma- 
laikat! Putri Teratai Putih mendapatkan ilmu-ilmu 
yang bersifat lembut. Sedangkan Putri Teratai Merah 
sebaliknya. Bila hanya dihadapi seorang saja, ilmu- 
ilmu itu tak terlalu dahsyat. Tapi bila sudah bersatu, 
menjadi satu kekuatan yang besar. 

Putri Teratai Putih dan Putri Teratai Merah mam- 
pu bekerja sama dengan baik. Mereka berdua bisa sal- 
ing melengkapi. Saling menutupi kelemahan masing- 
masing. Sebaliknya, serangan-serangan yang dilancar- 
kan semakin bertambah kedahsyatannya! 

Dewa Tapak Darah harus menelan kenyataan pa- 
hit kalau dirinya tak mampu berbuat banyak. Seran- 
gan-serangannya kandas. Sebaliknya, serangan- 
serangan balasan lawan membuatnya kelabakan. 

Tidak hanya Dewa Tapak Darah, Nambi pun de- 
mikian. Setelah bertarung puluhan jurus dia harus 
mengakui keunggulan Pendekar Naga Emas. Lelaki ini 
terus terdesak secara hebat 

Hal yang sama pun dialami pula oleh Reksanata! 
Pemuda sombong ini harus mengakui kenyataan kalau 
Dewa Arak terlalu tangguh untuknya. Semula, bebera- 
pa kali Dewa Arak harus mengeluarkan seruan kaget 
karena serangan-serangannya menyeleweng sebelum 
mencapai sasaran. Ada daya tolak yang luar biasa kuat 
berasal dari sinar kuning keemasan di sekujur tubuh 
Reksanata. 

Tapi seiring dengan semakin lemahnya tenaga ka- 
rena terlalu lama bertarung, sinar kuning keemasan 
yang memancar dari sekujur tubuh Reksanata memu- 
dar. Hal itu membuat tenaga tolakannya tidak terasa 
lagi oleh Dewa Arak. 

Kelelahan yang dialami Reksanata tidak diderita 
Dewa Arak. Pemuda berambut putih keperakan masih 
tetap seperti sedia kala. Serangan-serangan yang di- 
lancarkannya masih mengandung tenaga dalam pe- 
nuh. Itu karena pengaruh arak yang ditenggaknya da- 
lam pertarungan. Arak yang berasal dari yang tersam- 
pir di punggungnya itu mampu membuat tenaga Arya 
yang susut pulih kembali. 

Karena itu, menginjak pada jurus ketujuh puluh 
lima, perlahan-lahan Dewa Arak mulai bisa mengenda- 
likan jalannya pertarungan. Lambat tapi pasti dia mu- 
lai berada di atas angin. Dan sekarang Reksanata tam- 
pak lebih banyak mengelak daripada melancarkan se- 
rangan. 

Bukkk! 

Reksanata memekik tertahan ketika pukulan tan- 
gan kanan Dewa Arak menghantam bahu kanannya. 
Tubuh Reksanata langsung terhuyung-huyung. Dari 
mulutnya mengalir darah segar. Pemuda sombong itu 
agaknya terluka dalam. 

"Jangan bunuh dia...!" . 

Dua buah suara yang dikeluarkan hampir berba- 
rengan membuat Dewa Arak menghentikan gerakan- 
nya. Pemuda berambut putih keperakan ini bermak- 
sud ingin melumpuhkan Reksanata agar pemuda som- 
bong itu tidak terus mengajaknya bertarung. 

Arya mengalihkan pandangan ke arah asal suara. 
Dilihatnya dua orang kakek, salah satu di antaranya 
telah dikenalnya sebagai Malaikat Merah dan seorang 
kakek lain berpakaian putih yang diduga Arya sebagai 
Malaikat Putih, berdiri tak jauh darinya. 

Bertepatan dengan munculnya pimpinan Perkum- 
pulan Sepasang Malaikat itu terdengar dua jeritan me- 
nyayat hati yang disusul dengan melayangnya dua so- 
sok tubuh. 

Sosok yang pertama kali menjerit adalah Nambi. 
Tubuh lelaki ini melayang keras ke belakang karena 
tendangan Pendekar Naga Emas menghantam dadanya 
secara telak. Darah menyembur deras dari mulutnya 
akibat tulang-tulang dadanya yang hancur berantakan! 
Nyawa bekas panglima kerajaan ini melayang saat itu 
juga sebelum tubuhnya ambruk ke tanah. 

Jeritan kedua berasal dari mulut Dewa Tapak Da- 
rah. Itu terjadi akibat serangan-serangan Putri Teratai 
Putih dan Putri Teratai Merah. Pedang Putri Teratai 
Putih menembus perut hingga ke punggung Dewa Ta- 
pak Darah. Sedangkan pedang Putri Teratai Merah me- 
robek punggungnya mendatar dan lebar. 

Dewa Tapak Darah menggelepar meregang maut 
sebelum akhirnya ambruk ke tanah. Hampir bersa- 
maan Putri Teratai Putih dan Putri Teratai Merah 
menghela napas lega. Mereka lalu menyarungkan pe- 
dangnya kembali ke dalam warangkanya di punggung. 

Senyum Putri Teratai Merah memudar ketika be- 
radu pandang dengan Pendekar Naga Emas. Pendekar 
yang dicapnya pengecut itu menyunggingkan senyum. 
Putri Teratai Merah malah membuang muka. Karuan 
saja Putri Teratai Putih yang melihat hal itu menjadi 
heran. Tapi, tidak diutarakannya. 

"Ayah...! Paman...! Terimalah hormatku...," ucap 
Putri Teratai Putih memberi hormat 

"Guru...!" Putri Teratai Merah tak ketinggalan. 

"Selamat berjumpa lagi, Paman Banyak Catra, 
Paman Banyak Ngampar," Kamandaka ikut serta 
memberi salam. 

Banyak Catra dan Banyak Ngampar tersenyum 
dan menganggukkan kepala 

"Selamat berjumpa lagi, Kamandaka," Banyak Ca- 
tra yang mewakili memberikan sambutan. "Kulihat kau 
banyak mengalami perubahan. Pasti karena peristiwa 
di masa lalu." 

Kamandaka tersenyum pahit 

"Semula kukira kau telah beristri dan melahirkan 
seorang anak yang bernama Reksanata. Tapi ternyata 
tidak. Kakang Banyak Ngampar yang membuat sega- 
lanya menjadi jelas," Banyak Catra melanjutkan uca- 
pannya sambil menoleh ke arah kakak seperguruan- 
nya. Kakek berpakaian putih itu hanya tersenyum sa- 
ja- 

"Kalau tak ada Kakang Banyak Ngampar, mungkin 
kita akan terus terlibat dalam salah paham. Kau, Rek- 
sanata! Kau patut mendengar cerita ini karena ini ada 
hubungannya dengan riwayat hidupmu." 

Reksanata hanya membisu. Pemuda ini masih 
terpukul karena kekalahannya dengan Dewa Arak. 
Dan, kekalahan yang kedua kali itu membuat kesom- 
bongannya berkurang banyak 

"Apa yang akan kuceritakan ini tak ada orang 
yang tahu," ujar Banyak Catra pada putrinya. 

Putri Teratai Putih dengan perasaan tegang me- 
nunggu cerita ayahnya. Sempat dilihatnya Kamandaka 
sekilas. Wajah lelaki itu pun tampak tegang. Rupanya, 
apa yang akan diceritakan Banyak Catra amat mende- 
barkan hatinya. 

"Dua puluh tahun lebih yang lalu Putri Teratai Pu- 
tih melahirkan. Anak itu kemudian aku yang menga- 
suhnya untuk menjaga nama baik Putri Teratai Putih." 

Sesampainya Banyak Catra bercerita pada bagian 
ini, Putri Teratai Merah yang semula kurang tertarik 
merasakan dadanya bagai di tumbuk pohon besar. Dia 
mulai menduga-duga hal yang terjadi selanjutnya. 

Dengan jantung berdetak kencang Putri Teratai 
Merah mendengarkan penuturan Banyak Catra. 

"Anak yang ternyata perempuan itu akhirnya be- 
sar dalam asuhanku. Ibunya, Putri Teratai Putih sering 
menjenguknya. Bahkan Ibunya yang memberi nama 
Putri Teratai Merah. Nah, Teratai Merah, Putri Teratai 
Putih itu adalah Ibu kandungmu sendiri. Berilah hor- 
mat padanya." 

"Ibu...!" Putri Teratai Merah, gembira bercampur 
kaget. Gadis ini terharu dan gembira mendengar berita 
kalau Putri Teratai Putih adalah ibunya. 

"Teratai Merah, Anakku," sambut Putri Teratai Pu- 
tih dengan suara terisak. Wanita ini merasa terharu 
karena akhirnya dia dapat memanggil anaknya seba- 
gaimana layaknya seorang ibu. 

Ibu dan anak ini pun berpelukan erat dalam ke- 
rinduan yang besar. 

Putri Teratai Merah menatap Kamandaka dengan 
mata membelalak. Masalahnya, dia telah bertekad un- 
tuk menghukum sang pendekar! Tapi apa lacur pende- 
kar itu ternyata ayahnya. 

"Reksanata pun tak bersalah! Dia korban siasatku 
dan Naga Emas guru dari Pendekar Naga Emas. Kami 
berdua tahu kalau Pendekar Naga Emas dan Putri Te- 
ratai Putih saling mencintai. Maka, kami mengatur sia- 
sat untuk menyatukan mereka," 

Banyak Ngampar menelan air liur untuk memba- 
sahi tenggorokannya yang kering. 

"Kebetulan Naga Emas, sahabat akrabku itu, 
mempunyai murid. Bersama-sama kami bentuk dia 
mirip dengan Pendekar Naga Emas. Ini kami lakukan 
agar Pendekar Naga Emas muncul. Kami berikan kete- 
rangan-keterangan palsu tanpa setahunya. Ini jelas 
Reksanata tak bersalah!" 

Reksanata merasa terpukul bukan main. Dia malu 
atas tindakannya. Sambil menggeleng-gelengkan kepa- 
la dia membalikkan tubuh dan berlari meninggalkan 
tempat itu. Putri Teratai Merah ikut berlari meninggal- 
kan tempat itu pula. 

"Teratai...!" panggil Putri Teratai Putih seraya ber- 
gerak untuk mengejar putrinya yang memberontak da- 
ri pelukannya dan kabur. Tapi, tindakan itu segera di- 
tahannya ketika mendengar ucapan Banyak Catra, 

"Tak usah dikejar, Putih. Batin mereka masih ter- 
guncang. Beri mereka kesempatan untuk berpikir dan 
menenangkan hati." 

"Tapi, Paman Banyak Catra," kesempatan itu di- 
pergunakan oleh Kamandaka untuk mengajukan per- 
tanyaan. "Bagaimana mungkin kami bisa mempunyai 
anak. Aku... maksudku.... Aku tak akan bisa menda- 
patkan keturunan. Ilmu Naga Emas membuat cairan 
kejantananku tidak subur. Dan...." 

Banyak Catra tersenyum bijaksana. Kesempatan 
itu dipergunakan Arya untuk minta izin meninggalkan 
tempat itu. Disadarinya kalau dirinya sudah tidak di- 
perlukan lagi kehadirannya. 

Banyak Catra, Pendekar Naga Emas, Banyak 
Ngampar, dan terutama sekali Putri Teratai Putih, me- 
lepas kepergian Dewa Arak dengan ucapan maaf dan 
berterima kasih yang sebesar-besarnya atas pertolon- 
gan yang telah diberikan. 

"Aku tahu hal itu, Kamandaka. Aku mengenal il- 
mumu sebagai ilmu sesat yang mampu membuat pe- 
miliknya kehilangan kesuburan pada cairan kejanta- 
nannya alias mandul. Oleh karena itu, kau kujamu se- 
habis kita tewaskan datuk-datuk sesat itu. Kuberikan 
kau ramu-ramuan yang membuat cairan kejantanan- 
mu subur kembali. Kau tak tahu itu karena tak ber- 
bau, berasa, atau berwarna. Selama seminggu kau ku- 
cekoki minuman itu," lanjut Banyak Catra meneruskan 
keterangannya yang tadi terputus oleh permintaan 
mohon diri Dewa Arak. 

Kamandaka menghela napas berat. Tidak dipung- 
kirinya kejadian itu. Keterangan Banyak Catra me- 
mang masuk akal. 

"Sekarang," tambah Banyak Catra lagi "Sudah me- 
rupakan kewajiban kalian untuk menikah. Adi Banyak 
Santang sudah tak ada. Jadi, orang yang menentang 
hubungan kalian tak ada. Jangan lupa dengan anak 
kalian. Nah! Kami pergi!" 

Kamandaka dan Putri Teratai Putih hanya sempat 
mengangguk ketika Banyak Catra dan Banyak Ngam- 
par melesat meninggalkan tempat itu. Keduanya ber- 
pandangan dengan hati gembira. Penghalang cinta ka- 
sih mereka memang sudah tak ada. Penghalang yang 
menyebabkan Pendekar Naga Emas meninggalkan ke- 
kasihnya tanpa pamit Prabu Banyak Santang menen- 
tang hubungan cinta mereka karena hendak menjo- 
dohkan Putri Teratai Putih dengan seorang pangeran. 

Entah siapa yang lebih dulu bergerak. Yang jelas, 
tahu-tahu tubuh Pendekar Naga Emas dan Putri Tera- 
tai Putih telah saling berpelukan. Kerinduan yang ter- 
pendam puluhan tahun dilampiaskan saat itu. Mereka 
tak ingat lagi pada Reksanata dan Putri Teratai Merah. 
Lagi pula, mereka yakin tak lama lagi kedua orang 
muda itu akan kembali. 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
TOMBAK PANCA WARNA