Dewa Arak 80 - Misteri Gadis Gila


"Guru...!" 

Terdengar seruan bernada takut-takut yang be- 
rasal dari mulut mungil seorang gadis berkulit tubuh 
putih mulus terbungkus pakaian hitam. Sehingga, ter- 
lihat menyolok sekali dengan warna pakaiannya. Dia 
berdiri di belakang sosok berpakaian merah yang ten- 
gah duduk di pinggir sungai dengan pandangan tertuju 
ke depan. Entah, apa yang tengah ditatapnya. 

"Hm...!" 

Sosok berpakaian merah itu sukar digambar- 
kan ciri-cirinya, karena pakaiannya longgar membuat 
bentuk tubuhnya tak terlihat jelas. Apalagi wajahnya 
ditutupi topeng tengkorak sungguhan, sehingga sukar 
dikenali. Dia hanya menggumam pelan, tanpa sedikit 
pun bergeming atau bahkan menoleh. 

"Sejak keluar beberapa minggu yang lalu dan 
kembali dalam keadaan terluka, Guru jadi sering ber- 
laku seperti ini. Aku jadi ikut sedih dan terharu. Aku 
tidak ingin Guru bersedih. Aku ingin berbuat sesuatu 
untuk membantu Guru. Katakan, Guru. Apa yang te- 
lah terjadi?! Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk 
membantu," ujar gadis berpakaian hitam, mulai bera- 
ni. Padahal menilik dari jari-jemarinya yang saling 
genggam dan dipermainkan, bisa terlihat kegelisahan 
hatinya. 

"Hhh...!" 

Sosok bertopeng tengkorak menghembuskan 
napas berat, seakan hendak menyingkirkan beban 
yang mengganjal dalam dada. 

"Aku tidak bermaksud untuk membuatmu ber- 
sedih atau bingung, Linggar. Kuharap lebih baik kau 
tidak usah memikirkan persoalan ini. Terlalu rumit! 
Kau akan bingung dan pusing nantinya!" sahut sosok 
berpakaian merah, yang dipanggil guru. 

"Tidak, Guru. Aku tidak akan pusing! Dan lagi, 
apa artinya pusing sedikit dibanding pengorbananmu. 
Guru telah memelihara ku sejak kecil, hingga sebesar 
ini dengan penuh kasih sayang. Guru telah mengang- 
gapku seperti anak sendiri. Bahkan aku menganggap- 
mu sebagai orangtua ku sendiri. Tentu saja, itu kalau 
Guru tidak keberatan. Jadi, tidak ada salahnya kalau 
Guru menceritakan masalah yang menghimpit batin- 
mu," ujar gadis berpakaian hitam yang dipanggil Ling- 
gar, panjang lebar sambil duduk di sebelah sosok ber- 
topeng tengkorak yang tetap tak menoleh. 

Sosok bertopeng tengkorak tidak memberi ja- 
waban apa-apa. Diam. Sementara Linggar menunggu 
dengan sabar, kendati tidak bisa menduga apa yang 
tengah berkecamuk dalam batin sosok gurunya ini. 
Amat sulit untuk membaca perasaan lewat wajah itu. 
Karena yang terlihat hanya topeng belaka, yang sejak 
dulu sorotnya selalu dingin! 

"Ayolah, Guru. Tidak baik menyimpan masalah 
sendirian. Lagi pula, bila mengeluarkan masalah yang 
mengganjal hati, akan membuat dada dan pikiran 
menjadi lega," bujuk Linggar setengah bernada meng- 
gurui. 

"Kau benar," akhirnya keluar juga ucapan lewat 
mulut yang tidak pernah terlihat "Tidak ada salahnya 
kau kuberitahukan. Barangkali saja kau bisa meme- 
cahkan masalah yang ku alami. Toh, kau telah cukup 
dewasa, dan memiliki kepandaian cukup untuk terjun 
dalam dunia persilatan." 

"Terima kasih atas kepercayaanmu, Guru," 
ucap Linggar dengan wajah berseri-seri. 

Linggar sama sekali tidak tahu kalau di balik 
topengnya, sosok berpakaian merah itu tersenyum 
mendengar ucapannya. 

"Kau pernah kuceritakan mengenai anakku, 
bukan?!" tanya sosok berpakaian merah longgar itu 
sambil menoleh dan menatap sepasang mata Linggar 
lekat-lekat 

Linggar sampai bergidik di dalam hati ketika 
melihat sepasang mata yang tajam mencorong dan 
bersinar kehijauan yang memancar dari balik topeng 
itu. Sorot mata yang seakan-akan dapat mengetahui 
apa yang tengah tersembunyi di dalam hati. 

"Benar, Guru," jawab Linggar agak serak ka- 
rena suaranya mendadak tercekat di tenggorokan. 

Perasaan ngeri yang muncul tiba-tiba menye- 
babkan suara Linggar demikian. Dan dia mempunyai 
alasan yang kuat. Apalagi setelah menyadari kalau gu- 
runya bukan dari golongan baik-baik. Malah sebalik- 
nya! Meski terhadap dirinya amat baik, tapi Linggar ti- 
dak berani bertindak sembarangan. Dia tahu gurunya 
memiliki watak amat aneh. Bisa saja tanpa alasan so- 
sok berpakaian merah itu akan menghukumnya. Bah- 
kan membunuhnya kalau kebetulan tengah tidak se- 
nang hati! 

"Nah! Itulah sebabnya, Linggar. Beberapa hari 
yang lalu, ketika tengah terjun ke dunia persilatan lagi, 
aku bertemu seorang pemuda yang wajahnya amat mi- 
rip dengan orangtuanya. Sehingga aku yakin, jangan- 
jangan anak itu adalah anakku yang terpaksa berpisah 
karena keadaan." 

Linggar tak begitu kaget mendengarnya. Apalagi 
gurunya telah terlalu sering bercerita tentang anaknya. 

"Apakah putramu itu mengenalmu, Guru?!" 

"Tentu saja tidak! Topeng yang ku kenakan ini 
membuat wajahku tidak dikenalnya. Celakanya lagi, 
sebelum aku sempat menemukan akal agar dapat 
memperkenalkan diriku padanya, muncul seorang 
pendekar muda berjuluk Dewa Arak yang langsung 
mencampuri urusan ini. Kami terlibat pertarungan. 
Dan ternyata, dia lihai bukan main. Aku dapat dika- 
lahkannya. Beruntung aku bisa melarikan diri. Kalau 
tidak..., entah apa yang terjadi dengan diriku..." 

Barulah Linggar saat ini benar-benar kaget. 
"Jadi..., luka yang Guru derita karena bentrok dengan 
Dewa Arak?! Hhh...! Biar aku yang akan membalaskan 
dendammu itu, Guru. Akan kucari Dewa Arak. Akan 
kubalaskan sakit hatimu, Guru. Dan apabila, dia terla- 
lu lihai, akan kucari cara lain untuk mengalahkannya! 
Aku berjanji, Guru!" tandas Linggar seraya bangkit 
dengan kedua tangan terkepal. Sikapnya terlihat gagah 
bukan main. 

"Kalau begitu, wakililah aku untuk menemukan 
putraku itu. Juga balaskan dendamku pada Dewa 
Arak!" titah sosok berpakaian merah longgar. 

"Akan kulaksanakan perintahmu, Guru! Kapan 
aku harus berangkat?!" 

"Sekarang juga!" 

"Baik, Guru!" jawab Linggar mantap. "Sekarang 
juga akan kupersiapkan semua yang kuperlukan un- 
tuk bekalku." 

Sosok berpakaian merah tidak memberi jawa- 
ban. Tapi, Linggar tidak menjadi kecil hati. Dia telah 
kenal betul watak gurunya yang aneh. Maka dengan 
semangat menggebu tubuhnya berbalik untuk kembali 
ke pondoknya untuk segera berangkat mencari Dewa 
Arak 

"Aku pergi dulu, Guru! 

Linggar melakukan perjalanan tanpa tergesa- 
gesa. Sambil melangkah, kepalanya ditolehkan ke ka- 
nan dan ke kiri, menikmati pemandangan indah yang 
terhampar di sekitarnya. 

Tempat tinggal Linggar bersama gurunya me- 
mang di atas puncak Gunung Merbabu. Sewaktu me- 
ninggalkan gurunya, dia langsung mengerahkan ilmu 
meringankan tubuh yang membuat sosoknya tidak ter- 
lihat saking cepatnya bergerak. Bahkan kedua kakinya 
bagai tak menyentuh tanah! Tapi begitu telah berada di 
lereng, perjalanan dilakukan secara biasa. 

Ketika mengalihkan perhatian ke depan, Ling- 
gar terperanjat Di kejauhan dari kaki gunung, tampak 
berkelebat tiga sosok hitam di kejauhan. Gerakannya 
cepat bukan main. Dan mata Linggar yang tajam, sege- 
ra saja mengetahui kalau itu adalah tiga sosok tubuh 
yang memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa! Je- 
las, mereka adalah orang-orang persilatan! 

Jantung Linggar berdetak jauh lebih cepat. 
Arah yang dituju tiga sosok itu adalah puncak Gunung 
Merbabu tempat gurunya tinggal! Perasaan tidak enak, 
mulai merayapi hatinya. Karena Linggar tahu, tempat 
gurunya tinggal sangat terpencil, tidak pernah dida- 
tangi orang! 

Maka tak heran kalau Linggar mulai mengkha- 
watirkan keadaan gurunya. Bukan tidak mungkin ka- 
lau tiga sosok itu memang ingin menemui gurunya 
tanpa maksud baik. 

Meskipun demikian, Linggar berusaha tenang 
dengan sikap tak peduli. Kakinya terus terayun. Tapi 
baru beberapa betas tindak, terpaksa langkahnya di- 
hentikan. Karena, tiga sosok itu telah berdiri berjajar 
menghalangi jalannya. 

"Siapa kalian?! Mengapa menghalangi perjala- 
nanku?!" tanya Linggar dengan sikap tenang sambil 
merayapi tiga sosok yang berdiri di hadapannya. 

"Ha ha ha...!" 

Salah seorang dari tiga sosok yang berdiri da- 
lam jarak tiga tombak di depan Linggar tertawa terba- 
hak-bahak. Seakan-akan pertanyaan yang diajukan 
gadis itu sangat lucu. Sosok itu memiliki tubuh tinggi 
besar dan bercambang bauk lebat 

"Kau seorang gadis luar biasa, Anak Manis! 
Sungguh berani kau bersikap seperti itu pada kami! 
Kau tahu, siapa kami?!" 

"Kami berjuluk Tiga Setan Langit Bumi!" sam- 
bung lelaki yang bertubuh kecil kurus. Kemudian, jari 
tangannya yang kecil-kecil menuding kawannya yang 
lebih dulu berbicara. "Dia berjuluk Setan Tenaga Rak- 
sasa. Sedangkan aku berjuluk Setan Tanpa Bayan- 
gan." 

"Dan aku Setan Pisau!" sambut lelaki terakhir 
yang warna kulit wajahnya kekuningan. 

Linggar terkejut. Tapi dengan pandainya, pera- 
saan itu disembunyikan hingga tidak terlihat pada wa- 
jahnya yang cantik. Gurunya, pernah menceritakan 
tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, baik dari golon- 
gan putih maupun hitam. Dan, Tiga Setan Langit Bumi 
ini termasuk dalam golongan hitam yang memiliki ke- 
pandaian tinggi. Namun, Linggar tidak merasa gentar. 

"Dan maksud kalian menghadang perjalanan- 
ku?!" Linggar mengulang pertanyaannya yang belum 
terjawab dengan sikap masih tenang 

"Hanya untuk menanyakan keperluanmu bera- 
da di tempat ini," sahut Setan Pisau dengan sikap te- 
nang. 

Di samping memiliki sikap tenang, Linggar juga 
memiliki watak cerdik. Maka mendapat pertanyaan 
ringan itu, tidak langsung dijawabnya. Dari pertanyaan 
seperti itu bisa jadi dirinya terperangkap bila memberi 
jawaban sejujurnya. Tentu saja keselamatan gurunya 
sangat dikhawatirkan. Dia tahu, gurunya banyak 
mempunyai musuh! Dan bukan tidak mungkin Tiga 
Setan Langit Bumi merupakan musuhnya. 

"Kalau aku tidak mau menjawab?!" pancing 
Linggar. 

"Ha ha ha...!" 

Setan Bertenaga Raksasa tertawa bergelak. To- 
koh ini memang gemar tertawa. 

"Ingin kami tahu, sampai berapa lama kau bisa 
bertahan untuk tidak memberi jawaban!" 

"Biar aku yang memaksanya!" 

Setelah berkata demikian, Setan Pisau menu- 
bruk Linggar. Tangan kanannya dengan jari-jari mene- 
gang kaku ditusukkan ke arah dada gadis berpakaian 
hitam ini. Bunyi mencicit tajam terdengar, ketika jari- 
jari tangan itu merobek udara. 

Linggar tahu, tusukan jari tangan Setan Pisau 
amat berbahaya. Bahkan tak kalah berbahaya jika di- 
banding tusukan senjata tajam. Jari-jari itu bahkan 
mampu menghujam batu karang yang paling keras se- 
kalipun! Secepat kilat Linggar melompat ke belakang 
sambil menghunus pedang dan membabatkannya ke 
leher Setan Pisau. 

Setan Pisau terperanjat melihat serangan bala- 
san yang cepat ini. Kenyataan ini menyadarkan dirinya 
kalau gadis muda ini tak bisa dipandang remeh! Maka 
dengan kecepatan menakjubkan, diambilnya pisau dari  
balik bajunya. Lalu dengan kecepatan dahsyat, di- 
tangkisnya pedang yang mengancam leher. 

Trang! 

Bunyi nyaring disertai bunga api berpijar men- 
giringi terjadinya benturan pedang Linggar dengan se- 
bilah pisau mengkilap di tangan kiri Setan Pisau. 

Sementara itu Setan Tenaga Raksasa dan Setan 
Tangan Bayangan membelalakkan mata saking kaget- 
nya, ketika melihat tubuh Setan Pisau terhuyung- 
huyung empat langkah ke belakang akibat benturan 
keras tadi. Padahal Linggar hanya terhuyung dua 
langkah! 

Setan Pisau yang mengalami sendiri kejadian 
itu tidak hanya kaget saja, tapi juga marah. Dia benar- 
benar malu! Kenyataan ini pun menyadarkan dirinya 
kalau gadis ini bukan lawan ringan! Maka sambil men- 
geluarkan teriakan kemarahan, lelaki bermuka kuning 
ini menerjang. Kali ini tindakannya tidak setengah- 
setengah lagi. Setan Pisau langsung mengeluarkan se- 
luruh kemampuannya! 

Memang tidak percuma bila lelaki bermuka ku- 
ning ini berjuluk Setan Pisau. Sepasang pisau yang be- 
rada di tangannya, berkelebatan laksana kilat men- 
gancam ke berbagai bagian tubuh Linggar. Sebuah 
permainan pisau yang benar-benar luar biasa. 

Meskipun demikian, Linggar tidak ciut nya- 
linya. Bahkan gadis ini mampu mengirimkan serangan 
yang tak kalah berbahaya! Ketenangannya membuat 
setiap serangan Setan Pisau selalu berhasil dikan- 
daskan! Bahkan Linggar yang tahu kelebihannya da- 
lam tenaga, selalu mengajak untuk berbenturan senja- 
ta. 

Tentu saja Setan Pisau yang telah kenyang 
pengalaman mengetahui maksud lawannya. Maka dia 
berusaha secepat mungkin untuk menghindari terja- 
dinya benturan senjata. Andaikata tidak mungkin, di- 
usahakannya untuk berbenturan secara tidak lang- 
sung, agar tidak terlalu merugikan dirinya. Tindakan 
yang diambil ini, membuat Setan Pisau jadi berada di 
pihak yang terdesak. 

Sementara Setan Tenaga Raksasa dan Setan 
Tanpa Bayangan tahu kalau dibiarkan terus, rekan 
mereka akan menghadapi bahaya. Bahkan bukan ti- 
dak mungkin akan tewas. Maka setelah saling berpan- 
dangan sebentar, kedua anggota Tiga Setan Langit 
Bumi ini mengeluarkan senjata masing-masing. Setan 
Tanpa Bayangan mencabut golok besarnya, sedangkan 
Setan Tenaga Raksasa mengeluarkan ruyung berba- 
tang tiga. Lalu sambil berteriak keras bagai harimau 
terluka, mereka terjun dalam kancah pertarungan! 

Hanya dalam beberapa gebrakan, keadaan lam 
kancah pertarungan berubah! Linggar yang tadi berada 
dalam kedudukan mendesak, sekarang menjadi terde- 
sak! 

Satu hal yang menguntungkan Linggar adalah 
ketenangannya. Karena sifat itulah, dia dapat bertahan 
lebih lama! 

Memang, siasat yang dipergunakan Linggar kali 
ini cukup jitu. Betapa pun gencar serangan-serangan 
yang meluncur, tapi karena kuatnya pertahanannya, 
tak satu pun yang mengenai sasaran yang dituju. 
Bahkan setiap tangkisan membuat lawannya ter- 
huyung-huyung. 

Kendati demikian, Tiga Setan Langit Bumi tidak 
cepat putus asa. Bahkan berkat pengalaman dalam 
kancah dunia persilatan, ketiga tokoh sesat itu segera 
menemukan siasat untuk menarik keuntungan dari 
cara yang dipergunakan Linggar dengan melancarkan 
serangan bergiliran tanpa putus-putus. 

Cara Tiga Setan Langit Bumi ini memang cerdik 
bukan main. Serangan yang bergantian, membuat 
Linggar terus-menerus mengerahkan tenaga penuh 
tanpa istirahat. Sedangkan lawan-lawannya mempu- 
nyai waktu untuk memulihkan tenaga. Maka hanya 
dalam beberapa jurus saja tenaga Linggar telah jauh 
berkurang. 

Des! 

Karena kurang cepat menangkis akibat terlalu 
lelah, tendangan Setan Tanpa Bayangan mendarat di 
paha Linggar. Tubuhnya kontan terjengkang ke bela- 
kang. Pedangnya terlempar. Sebelum dia sempat ber- 
buat sesuatu, golok Setan Tanpa Bayangan telah me- 
nempel di lehernya. Sedikit saja ditekankan, nyawa 
gadis ini akan melayang ke alam baka. 

Linggar pun mengendurkan urat-urat syarafnya 
yang telah menegang, karena siap untuk dipergu- 
nakan. Disadari kalau tidak ada gunanya lagi melaku- 
kan perlawanan. 

"Tunggu apa lagi?! Ayo, bunuhlah aku! Kau kira 
aku orang yang takut mati?!" tantang Linggar, tenang. 

"Membunuhmu semudah membalikkan telapak 
tangan, Anak Manis!" kata Setan Tenaga Raksasa pa- 
rau, setelah terlebih dulu tertawa bergelak. "Tapi, un- 
tuk apa?! Kami hanya ingin mengajukan satu perta- 
nyaan padamu. Dan apabila kau bersedia menjawab- 
nya, akan kami bebaskan! Bagaimana?!" 

Linggar diam. Sikap tenang membuatnya tidak 
segera menjawab, melainkan mempertimbangkan. 

"Bukankah kau punya hubungan dengan Teng- 
korak Darah?!" tanya Setan Pisau yang mempunyai 
watak tidak sabar, waktu Linggar terdiam. 

Linggar sama sekali tidak terkejut mendengar 
dugaan yang demikian tepat. Dia sudah menduga, ka- 
lau kedatangan Tiga Setan Langit Bumi ini ada hubun- 
gan dengan gurunya, Tengkorak Darah. Dan menilik 
tingkah mereka, bisa diketahui kalau maksud yang 
terkandung tidak baik. Maka gadis berpakaian serba 
hitam ini diam membisu, tidak memberi jawaban sedi- 
kit pun. 

Setan Pisau menggertakkan gigi karena geram 
melihat pertanyaannya tidak dipedulikan. Seketika ke- 
dua tangannya yang menggenggam pisau digerakkan 
dengan kecepatan mengagumkan. Sehingga yang terli- 
hat hanya kelebatan sinar-sinar yang menyilaukan 
mata. 

Sementara Linggar hanya memejamkan mata 
untuk menanti datangnya maut, ketika melihat Setan 
Pisau menggerakkan sepasang senjatanya. Tapi, ter- 
nyata yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. 
Gadis itu hanya merasa kelebatan angin bermain di 
bagian atas tubuhnya. Lalu, desingan pisau lelaki 
bermuka kuning itu tidak terdengar lagi. Berbarengan 
dengan itu, Linggar merasakan hawa dingin meng- 
hembus bagian atas tubuhnya. 

Perasaan heran membuat Linggar membuka 
matanya. Dan, gadis itu kontan terpekik keras dengan 
wajah merah padam. Dengan kedua tangannya dia be- 
rusaha menutupi sepasang payudara yang menyembul 
seakan ingin melompat keluar. Ternyata, sekujur tu- 
buh bagian atasnya telah tidak tertutup pakaian lagi! 
Sedangkan pakaian hitam bagian atasnya telah berse- 
rakan di tanah dalam keadaan tercabik-cabik! 

Dalam keadaan lain, Linggar mungkin menga- 
gumi kehebatan permainan pisau Setan Pisau, se- 
hingga mampu mencabik-cabik pakaian yang melekat 
di tubuh tanpa melukai kulitnya sedikit pun. Tapi se- 
karang, yang ada di benaknya hanya perasaan malu 
yang amat sangat dan marah! Tapi apa dayanya? 
Ujung golok Setan Tanpa Bayangan ternyata masih 
menempel di lehernya. Sedangkan di sebelah kirinya, 
Setan Tenaga Raksasa pun siap melancarkan serangan 
maut dengan ruyung berbatang tiganya. 

Sikap tenang Linggar mulai tidak terlihat De- 
ngan gugup, bagian tubuhnya yang telanjang berusaha 
disembunyikan dengan kedua tangannya. Tapi, tinda- 
kannya hampir tidak berguna sama sekali. Sebagian 
payudaranya tetap saja terlihat. Apalagi bagian tubuh- 
nya yang lain, yang tidak bisa disembunyikan. Terlihat 
putih, halus, dan mulus. Sehingga, membuat sepasang 
mata Tiga Setan Langit Bumi tertuju pada tubuh telan- 
jang itu dengan sorot seakan-akan ingin menelan bu- 
lat-bulat. Sorot nafsu memancar pada mata-mata yang 
terbelalak lebar, seakan hendak melompat keluar dari 
rongganya! 

"Apakah kau masih mau bersikeras juga, Anak 
Manis?!" ancam Setan Pisau lagi. Suara napasnya 
memburu, karena cengkeraman nafsu birahi yang mu- 
lai berkobar. "Sekali sepasang pisauku ini bergerak la- 
gi, kau akan berdiri dalam keadaan telanjang bulat di 
sini. Dan setelah itu, tinggal menerima nasib menjadi 
permainan kami sampai kami puas! Sampai kau mati 
kelelahan! Pilih saja salah satu! Menjawab pertanyaan 
itu atau..." 

"Iblis-iblis keparat!" maki Linggar geram dan 
putus asa, karena tidak berdaya menerima pilihan 
yang menyulitkan ini. Hatinya merasa ngeri mem- 
bayangkan Setan Pisau akan melaksanakan an- 
camannya. "Kalian tidak memberiku pilihan lain!" 

"Jadi kau bersedia menjawab pertanyaan ka- 
mi?!" tanya Setan Pisau lagi dengan pandang masih 
melahap bagian tubuh Linggar yang telanjang. 

Linggar mengangguk, meski dengan hati berat 

"Aku memang mempunyai hubungan dengan 
Tengkorak Darah. Beliau adalah guruku...," jawab ga- 
dis ini, lirih. 

"Jadi..., Tengkorak Darah benar tinggal di tem- 
pat ini?! Di atas Puncak Merbabu sana?!" Setan Tenaga 
Raksasa ikut mengajukan pertanyaan. 

Sama seperti Setan Pisau, mata lelaki tinggi be- 
ar ini leluasa menjilati tubuh Linggar yang telanjang. 
Sinar matanya seperti mata seekor harimau lapar me- 
lihat kambing gemuk! 

Linggar mengangguk. 

Tiga Setan Langit Bumi saling berpandang se- 
bentar. Kemudian hampir bersamaan mereka tertawa 
bergelak. 

"Aku telah menjawab pertanyaan kalian. Berar- 
ti, aku bisa pergi dari sini sekarang," tagih Linggar. 

Lagi-lagi Tiga Setan Langit Bumi saling berpan- 
dang dan tertawa bergelak. Seakan-akan pertanyaan 
yang diajukan gadis itu merupakan sebuah hal yang 
amat lucu. 

"Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, 
Anak Manis," ujar Setan Tenaga Raksasa dengan suara 
mengejek. 

"Bukankah kalian telah berjanji untuk membe- 
baskan aku, apabila pertanyaan kalian kujawab?! Nah! 
Pertanyaan kalian telah kujawab! Sekarang, aku me- 
nagih janji! Ataukah..., kalian ini hanya sekelompok 
pengecut hina yang biasa menarik janji yang telah di- 
ucapkan?! Apakah ucapan yang keluar dari mulut ka- 
lian tak ubahnya kotoran yang keluar dari lubang du- 
bur kalian?! Setelah dikeluarkan, lalu dilupakan begitu 
saja?!" 




Tajam bukan main ucapan Linggar. Apalagi, di- 
ucapkan dengan suara keras. Sampai-sampai wajah 
Tiga Setan Langit Bumi berubah-ubah karena pedas- 
nya nada ucapan itu. 

"Siapa yang tidak menepati janji, Nona Bermu- 
lut Lancang?!" 

Setan Tenaga Raksasa masih mampu meredam 
kemarahannya. Sehingga, tidak melampiaskannya da- 
lam bentuk perbuatan. Hanya saja ucapan lelaki tinggi 
besar ini penuh getaran kemarahan. 

"Kalian semua!" tandas Linggar berani sambil 
menatap wajah tiga tokoh sesat itu. 

Kemarahan membuat gadis ini bertindak demi- 
kian. Kemarahan yang timbul karena merasa ditipu. 
Juga khawatir akan terjadinya peristiwa mengerikan 
terhadap dirinya. 

"Bukankah kalian telah berjanji untuk membe- 
baskan bila aku menjawab pertanyaan? Tapi, mengapa 
aku tidak boleh pergi dari sini?! Bukankah itu berarti 
kalian melanggar perjanjian yang telah dibuat sendi- 
ri?!" 

"Siapa bilang?!" tukas Setan Tenaga Raksasa 
dengan suara tinggi. "Kaulah yang tidak menyimak 
perjanjian yang telah disepakati, Nona Berpikiran Pen- 
dek! Ingat! Bukankah aku berjanji akan membe- 
baskanmu kalau telah selesai berurusan denganmu! 
Paling tidak setelah berurusan dengan tubuhmu yang 
molek!" 

Linggar mengutuk dalam hati. Dia tahu, Tiga 
Setan Langit Bumi memang sengaja bertindak licik 
dengan mencari celah-celah kelemahan dari janji yang 
dibuat, demi keuntungan diri sendiri. Tapi, apa yang 
bisa dilakukannya sekarang?! 

Dalam waktu yang hanya sebentar, Linggar be- 
rusaha keras untuk mencari jalan keluar agar bisa lo- 
los dari malapetaka yang mengerikan. Tapi, rasanya 
sukar! Dia tahu, ketiga lawannya telah siap sedia. Se- 
dikit saja, otot-otot atau urat sarafnya menegang, me- 
reka akan lebih dulu bertindak! Dan gadis ini yakin ka- 
lau akan kalah cepat bergerak, mengingat kedudukan- 
nya yang tidak menguntungkan. 

Linggar bimbang. Haruskah membiarkan saja 
Setan Pisau melakukan perbuatan tak senonoh yang 
lebih mengerikan? Menyayat celananya dengan sepa- 
sang pisaunya? Ataukah dia bergerak untuk menyela- 
matkan diri, dengan akibat terkena serangan Setan 
Tanpa Bayangan atau Setan Tenaga Raksasa?! 

Dalam saat-saat yang menentukan, mendadak 
Linggar mendengar ucapan di telinganya. Begitu jelas, 
sehingga hatinya merasa khawatir kalau Tiga Setan 
Langit bumi mendengarnya. Tapi ketika melihat ketiga 
tokoh sesat itu masih bersikap biasa, dia tahu kalau 
ucapan itu hanya ditujukan padanya seorang. 

Linggar yang memiliki seorang guru berkepan- 
daian tinggi, segera tahu kalau ucapan itu hanya bisa 
dilakukan melalui ilmu mengirimkan suara dari jauh. 
Sebuah ilmu yang hanya bisa dikuasai oleh orang yang 
telah memiliki tenaga dalam sukar diukur tingkatan- 
nya. 

"Jangan kaget, Nona. Aku akan menarik tu- 
buhmu ke belakang. Kuharap kau jangan melakukan 
perlawanan. Ikuti saja kekuatan tarikan itu, agar aku 
lebih mudah menolongmu...." 

Jantung Linggar berdebar tegang. Dia tahu ada 
orang sakti yang berusaha menolongnya. Dan karena 
keadaannya yang sulit untuk ditolong secara biasa, 
orang sakti itu hendak menolongnya dengan cara tak 
lazim. Menarik! Dan Linggar tahu, cara itu membutuh- 
kan tenaga dalam amat kuat! 

Sementara itu, Setan Pisau masih memper- 
mainkan sepasang pisaunya di depan dada. Rupanya, 
perasaan Linggar ingin disiksanya lebih dulu, sebelum 
melaksanakan ancamannya. Memang, bagi orang seke- 
jam Setan Pisau, semakin tersiksa hati lawan, semakin 
gembira hatinya. Lelaki bermuka kuning ini sengaja 
mengulur-ulur waktu untuk mencabik-cabik celana 
Linggar, kendati sebenarnya nafsu birahinya telah me- 
ledak-ledak di ubun-ubun! 

Sementara, Setan Tenaga Raksasa dan Setan 
Tanpa Bayangan diam-diam mendongkol bukan main 
melihat sikap rekannya. Kedua tokoh dari Tiga Setan 
Langit Bumi ini sudah hampir tidak tahan lagi untuk 
melihat Linggar berbugil ria di hadapan mereka. 

"Hey...!" 

Seruan kaget itu keluar hampir berbareng dari 
mulut Tiga Setan Langit Bumi ketika melihat tubuh 
Linggar tahu-tahu tertarik secara keras ke belakang. 
Padahal, mereka tidak melihat adanya gelagat kalau 
gadis berpakaian hitam itu akan melakukan sebuah 
gerakan pun. 

Tiga Setan Langit Bumi segera tahu kalau ada 
pihak ketiga yang telah campur tangan. Kemarahan 
besar pun bergolak di hati mereka. Bagai diberi perin- 
tah, tubuh mereka melesat memburu tubuh Linggar 
yang tengah melayang deras ke belakang. Tiga Setan 
Langit Bumi berusaha untuk merampas tubuh gadis 
itu. 

Tapi sebelum maksud Tiga Setan Langit Bumi 
terlaksana, dari balik kerimbunan pepohonan melun- 
cur tiga benda berwarna kehijauan. Cepat sekali lun- 
curannya, hingga mengeluarkan bunyi melengking 
nyaring. Arah yang dituju adalah leher tiga Setan Lan- 
git Bumi! 

Tiga tokoh sesat ini tidak berani bertindak ge- 
gabah. Dari bunyi yang terdengar bisa diketahui kalau 
tiga benda kehijauan itu cukup dahsyat. Maka tanpa 
membuang-buang waktu lagi, senjata andalan masing- 
masing segera digunakan untuk memapaki. 

Trang, trang, trang! 

Tiga Setan Langit Bumi tanpa sadar menyeri- 
ngai, ketika merasakan tangan yang menggenggam 
senjata terasa sakit-sakit dan bergetar hebat. Hal ini 
benar-benar mengejutkan hati! Apalagi, ketika melihat 
kalau benda kehijauan itu hanya berupa daun! Sung- 
guh tidak bisa dipercaya kalau tiga helai daun mampu 
membuat tangan mereka kesemutan hebat! Demikian 
kuatkah tenaga dalam orang yang lelah campur tangan 
itu, sehingga mampu membuat senjata yang lebih be- 
sar dan berat hampir terlepas dari pegangan! 

Akibat tangkisan pada daun-daun itu, Tiga Se- 
tan Langit Bumi terpaksa menggagalkan maksud men- 
gejar Linggar. Sebelum mereka sempat berbuat sesua- 
tu, dari arah kerimbunan pepohonan melesat sesosok 
bayangan. Dan hanya dengan sekejap saja, sosok 
bayangan itu telah berdiri di depan Tiga Setan Langit 
Bumi! 

Tiga Setan Langit Bumi terpaksa mengalihkan 
pandangan dari tubuh Linggar yang telah lenyap di ba- 
lik kerimbunan pepohonan, ke arah sosok yang berdiri 
di hadapan mereka. 

"Keparat! Rupanya kau yang telah mencampuri 
urusan kami?! Sebutkan namamu sebelum kami kirim 
ke akhirat, Bangsat?!" bentak Setan Pisau penuh ke- 
marahan, sambil menatap tajam pada sosok yang ber- 
diri di hadapannya. Seakan dia ingin menelan bulat- 
bulat lewat sorot matanya. 

"Orang berwatak keji seperti kalian, tidak patut 
untuk mengenal namaku!" tandas sosok yang telah 
menyelamatkan Linggar dengan suara penuh getar 
kemarahan. 

Sosok ini adalah seorang pemuda berambut pu- 
tih keperakan, berpakaian ungu. Siapa lagi kalau bu- 
kan Aiya Buana alias si Dewa Arak? Pendekar muda 
yang paling benci melihat kejahatan berupa pelecehan 
harkat wanita. Tak aneh kalau Aiya demikian marah 
pada Tiga Setan Langit Bumi. 

"Keparat! Kucincang kau...!" 

Setan Pisau yang tidak bisa mengekang ama- 
rahnya lagi melihat sambutan Dewa Arak, langsung 
menerjang maju dengan tusukan sepasang pisaunya 
secara bertubi-tubi. 

Tapi dengan sikap tenang, Dewa Arak mengelak 
di antara kelebatan sinar pisau. Sekali kedua tangan- 
nya bergerak menotok siku, Setan Pisau mengeluh ter- 
tahan. 

Tuk! 

"Aaakh!" 

Kedua tangan Setan Pisau mendadak lumpuh. 
Maka tanpa dapat dicegahnya lagi, sepasang senja- 
tanya jatuh ke tanah. Dan sebelum dia sempat menya- 
dari apa yang telah terjadi, Dewa Arak telah menepuk 
kedua pangkal lengannya secara cepat. 

Pak! 

"Aaakh...!" 

Untuk kedua kalinya, Setan Pisau memekik ter- 
tahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang dengan ke- 
dua tangan tergantung di sisi pinggang. Wajah lelaki 
ini yang memang sudah kuning, semakin kuning kare- 
na rasa sakit yang amat sangat. Tulang pangkal lengan 
Setan Pisau telah hancur berantakan. Dan ini berarti, 
lelaki tokoh Tiga Setan Langit Bumi ini tidak akan ku- 
asa lagi mengerahkan tenaga dalam pada kedua tan- 
gannya. Dengan sendirinya, Setan Pisau telah kehilan- 
gan kemampuannya yang diandalkan. 

Setan Tanpa Bayangan dan Setan Tenaga Rak- 
sasa terkejut campur marah ketika melihat keadaan 
rekan mereka. Sama sekali tidak disangka kalau lawan 
yang dihadapi demikian sakti, sehingga mampu mem- 
buat Setan Pisau tidak berdaya hanya dalam segebra- 
kan. Perasaan marah membuat sisa tokoh Setan Langit 
Bumi ini meluruk menerjang Dewa Arak. 

Setan Tenaga Raksasa mengayunkan ruyung ke 
arah kepala. Sedangkan Setan Tanpa Bayangan mem- 
babatkan golok ke arah leher! 

Sementara Dewa Arak tidak bergeming sedikit 
pun dari tempatnya, kendati menghadapi dua buah se- 
rangan maut yang amat berbahaya. Sikapnya tetap te- 
nang. 

Baru ketika serangan-serangan itu menyambar 
dekat, pemuda berambut putih keperakan ini bertin- 
dak. Hantaman ruyung pada kepalanya ditangkis den- 
gan tangan kanan. Sedangkan babatan golok pada leh- 
er dibiarkan saja, setelah mengerahkan tenaga dalam 
untuk membuat leher itu lebih keras daripada baja! 

Pyar! Tak! 

Ruyung Setan Tenaga Raksasa kontan hancur 
berantakan ketika berbenturan dengan tangan Dewa 
Arak yang penuh getaran tenaga dalam kuat. Sedang- 
kan golok Setan Tanpa Bayangan yang menghantam 
sasaran, terpental kembali seakan menghantam gum- 
palan karet keras! 

Dua tokoh Setan Langit Bumi ini terperanjat. 
Dan kesempatan itu dipergunakan Dewa Arak sebaik- 
baiknya untuk melancarkan serangan. Dia segera 
mendesak maju. Kemudian, dua tangannya menepak 
dada lawan-lawannya. Masing-masing sekali, dan tidak 
begitu keras. 

Pak! 

Pak! 

Kendati demikian, tubuh Setan Tenaga Raksasa 
dan Setan Tanpa Bayangan kontan terjengkang ke be- 
lakang bagai diseruduk kerbau liar. Dari mulut mereka 
mengalir darah segar. 

Dua anggota Setan Langit Bumi ini tahu, bila 
melawan terus tidak ada gunanya. Pemuda itu terlalu 
kuat untuk dapat ditandingi. Apalagi setelah mereka 
terluka dalam seperti ini. Maka setelah terlebih dulu 
melemparkan pandangan kebencian, tubuh Tiga Setan 
Langit Bumi ini berbalik lalu melangkah tertatih-tatih 
meninggalkan tempat itu. 

Sementara Dewa Arak tidak mengejar. Pemuda 
berambut putih keperakan ini hanya memperhatikan- 
nya, hingga tubuh tiga sosok sesat itu lenyap di kejau- 
han. Arya tahu, tidak ada yang perlu di-khawatirkan 
terhadap Tiga Setan Langit Bumi. Mereka memang ti- 
dak berbahaya lagi, bagai harimau kehilangan taring. 
Tidak hanya Setan Pisau yang kehilangan sebagian be- 
sar kemampuannya, tapi juga Setan Tanpa Bayangan 
dan Setan Tenaga Raksasa. Tepakan Dewa Arak telah 
membuat mereka terluka dalam yang amat parah dan 
membuat isi dada terguncang. Mereka bisa saja sem- 
buh, tapi tidak akan mungkin bisa memiliki tenaga da- 
lam yang cukup kuat lagi! 

"Terima kasih atas pertolonganmu..., nggg..., 
Arya. Namamu Arya bukan?!" 

Sebuah suara dari belakang membuat Arya 
membalikkan tubuh. Seperti yang sudah diduga, Ling- 
garlah yang mengatakannya. Sekarang, gadis itu telah 
rapi seperti biasa setelah mengganti pakaiannya di se- 
mak-semak. Bagian atas tubuhnya telah terbungkus 
pakaian hitam. Linggar memang membawa pakaian 
sewarna yang cukup banyak, di dalam buntalannya. 

"Benar sekali, Nona. Namaku memang Arya. 
Arya Buana. Dan kuminta jangan mempersoalkan per- 
tolongan tadi. Aku hanya kebetulan lewat tempat ini, 
dan kebetulan melihat kejadian ini. Aku memang pal- 
ing benci dengan penjahat-penjahat semacam itu," sa- 
hut Arya tanpa menanyakan nama gadis yang dito- 
longnya, dan mengapa bisa berada di tempat seperti 
ini. Sekali lihat saja, bisa diketahui kalau Linggar ada- 
lah gadis dari persilatan! 

"Apa pun katamu, aku tetap berterima kasih 
atas pertolongan yang kau berikan. Tanpa adanya per- 
tolongan ini, mungkin aku sudah...," Linggar tidak be- 
rani melanjutkan perkataannya. Karena baru mengin- 
gat kejadian tadi, bulu kuduknya sudah berdiri "O ya. 
Namaku Linggar." 

Sambil tersenyum Arya menyambut uluran ta- 
ngan gadis berpakaian hitam itu. Linggar memang bu- 
kan seorang gadis pemalu, meskipun memiliki watak 
pendiam. Kesan yang terlihat, Linggar tampak matang. 

"Kau pasti seorang pendekar, Arya. Kepan- 
daianmu hebat sekali! Tiga Setan Langit Bumi yang 
sakti itu pun berhasil kau halau dengan mudah," puji 
Linggar penuh perasaan kagum sambil melepaskan 
genggaman tangannya. 

Arya tertawa pelan. 

"Kau terlalu memuji, Linggar. Kalau tidak kebu- 
ru takut bila kau segera ikut campur dalam pertarun- 
gan, mana mungkin mereka melarikan diri?!" timpal 
Arya merendah hingga memancing tawa lunak Linggar. 

Linggar merasakan sesuatu yang aneh menye- 
ruak dalam dada. Perasaan suka yang timbul ketika 
melihat wajah dan tingkah Arya. Bahkan perasaan itu 
semakin membesar begitu menyaksikan sendiri sikap 
rendah hati pemuda berambut putih keperakan itu. 
Gadis ini merasakan jantungnya berdetak jauh lebih 
cepat dari semula. 

Suasana langsung hening. Linggar memang 
pendiam. Kendati memiliki sikap tenang, namun tidak 
mampu membuka percakapan selanjutnya. 

"Kau sendiri, mengapa bisa berada di sini, Ling- 
gar?!" tanya Arya untuk memecahkan keheningan yang 
melingkupi. 

"Ah, iya. Hampir saja aku lupa. Aku mempu- 
nyai sebuah urusan yang harus segera kuselesaikan. 
Urusan yang menjadi perintah guruku. Apakah kau 
bersedia? Aku harus segera turun gunung," Linggar 
terjingkat karena teringat akan urusannya. "Kau sen- 
diri..., hendak ke mana, Arya?!" 

Linggar mengajukan pertanyaan itu dengan pe- 
nuh perasaan harap-harap cemas. Dalam pertanyaan 
itu sebenarnya terkandung ajakan terselubung, apabi- 
la pemuda berambut putih keperakan itu tidak mem- 
punyai tujuan pasti. Bukankah pemuda itu tadi men- 
gatakan keberadaan di tempat ini hanya sekadar le- 
wat? Berarti dia memang tidak mempunyai tujuan. 
Dan tidak ada salahnya kalau mereka melakukan per- 
jalanan bersama. Tapi, tentu saja Linggar tidak berani 
mengajukan penawaran karena merasa malu. 

Tapi harapan di hati Linggar langsung kandas 
ketika mendengar sambutan Arya. 

"Ah...! Kalau begitu, keberadaanku di sini 
mengganggu urusanmu, Linggar. Silakan berangkat. 
Aku sendiri akan mengikuti ke mana kakiku melang- 
kah. Silakan." 

"Kalau begitu, selamat tinggal, Aiya. Sekali lagi, 
terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. Aku 
berjanji, meski kau tidak mengharapkannya, akan ku- 
balas budi baikmu ini." 

Dengan menahan kekecewaan, Linggar berbalik 
dan melangkah meninggalkan tempat itu. Perasaan ke- 
cewa membuatnya langsung mengeluarkan ilmu lari 
cepatnya. Sehingga dalam sekejapan saja, tubuhnya 
telah tidak terlihat lagi. 

"Seorang gadis yang hebat!" puji Arya penuh 
perasaan kagum. 

Seketika itu pula Dewa Arak teringat kembali 
akan kekasihnya, Melati. Di mana gadis berpakaian 
putih yang cantik jelita itu sekarang?! Ah! Betapa rin- 
du hatinya untuk segera bertemu Melati! Pertemuan- 
nya dengan Linggar, membuatnya teringat akan Melati 
dan mendatangkan kerinduan yang menggebu-gebu. 

Aiya menggeleng-geleng keras untuk mengusir 
bayangan Melati dari kepalanya. Disadari, sekarang 
bukan saatnya untuk memikirkan Melati. Ada hal 
penting yang harus diselesaikannya. Dia telah men- 
dengar akan keluarnya dua datuk sesat yang amat 
sakti dari pertapaannya, karena tergiur Telur Elang Pe- 
rak. Dan dengan keluarnya datuk sesat itu, berarti ma- 
lapetaka besar bagi dunia persilatan akan terjadi. Dan 
sudah kewajiban Arya untuk menumpasnya! 

Arya mengedarkan pandangan ke sekeliling. 
Keberadaannya di tempat ini sebenarnya bukan secara 
kebetulan. Melainkan, atas petunjuk seorang tokoh 
persilatan yang memiliki kemampuan luar biasa. Teru- 
tama dalam hal ilmu meramal! Tokoh itu berjuluk Pe- 
ramal Gendeng! 

Teringat Peramal Gendeng, membuat Arya ter- 
ingat kembali akan pertemuannya dengan kakek Aneh 
yang selalu mengenakan pakaian terbalik itu. Maka 
benaknya langsung menerawang, mengingat kejadian 
itu. 

Dewa Arak yang waktu itu memang hendak 
mencari dan menemukan Peramal Gendeng, sehabis 
menolong Jumpena dan Dirgantara dari tangan maut 
Tengkorak Darah, segera melesat menuju tempat yang 
dimaksud (Untuk jelasnya mengenai kejadian antara 
Tengkorak Darah, Dewa Arak, Jumpena, dan Dirganta- 
ra, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode : "Iblis 
Buta"). 

Namun belum begitu jauh Dewa Arak melesat, 
mendadak saat itu telinga Arya mendengar.... 

"Huakh...!" 

Bunyi khas dari orang yang memuntahkan da- 
rah segar terdengar jelas oleh telinga Dewa Arak yang 
saat itu tengah melalui kerimbunan semak-semak dan 
pepohonan lebat 

Bunyi itu memaksa pemuda berambut putih 
keperakan ini untuk mempercepat langkah. Dia tahu, 
dan orang yang tengah membutuhkan pertolongan, 
meski belum diketahui mengapa orang itu sampai 
memuntahkan darah. 

Dewa Arak segera mengerahkan kemampuan- 
nya sehingga kerimbunan semak-semak lebih dulu 
terkuak, sebelum tubuh berambut putih keperakan itu 
menerobosnya. Pengerahan tenaga dalam ke sekujur 
tubuh, telah menimbulkan getaran hebat. Sehingga 
membuat kerimbunan semak-semak terkuak, sebelum 
tubuh pemuda berambut putih keperakan itu mela- 
braknya. 

Bunyi berkerosakan nyaring terdengar setiap 
kali tubuh Dewa Arak menerobos kerimbunan semak- 
semak, yang kendati pun telah terkuak, tetap saja ter- 
langgar tubuhnya. 

"Tahan...!" 

Begitu keluar dari kerimbunan semak-semak, 
Dewa Arak langsung mengeluarkan teriakan mengge- 
ledek disertai pengerahan tenaga dalam luar biasa. Da- 
lam cengkeraman perasaan kekhawatiran, Arya sampai 
mengeluarkan teriakan dengan tenaga dalam sepe- 
nuhnya. 

Seruan pemuda berambut putih keperakan itu 
memang keras bukan kepalang, membuat sesosok tu- 
buh jangkung yang tengah mengejar-ngejar sesosok 
tubuh kecil kurus yang tengah bergulingan, menghen- 
tikan pengejaran. Dan dia segera menoleh ke belakang. 

Sosok jangkung yang ternyata seorang kakek 
berwajah muram ini merasakan dadanya tergetar he- 
bat, pertanda orang yang mengeluarkan seruan memi- 
liki tenaga dalam amat kuat! 

Arya menghembuskan napas lega ketika meli- 
hat sosok kecil kurus yang ternyata seorang kakek 
berpakaian terbalik, belum mengalami kejadian yang 
mengkhawatirkan. Meski memang di sekitar mulutnya 
tampak cucuran darah yang keluar akibat luka dalam. 
Arya tahu, luka itu tidak akan membahayakan nyawa 
apabila segera dilakukan tindak penanggulangan. 

Maka, dengan sikap tenang Dewa Arak men- 
gayunkan kaki mendekati. Dua sosok itu yang bukan 
lain dari Peramal Gendeng dan Jerangkong Penjagal 
Nyawa memang masih berjarak sekitar delapan tombak 
darinya. Dan Jerangkong Penjagal Nyawa berada lebih 
dekat dengannya. 

Sikap Dewa Arak membuat Jerangkong Penjag- 
al Nyawa semakin murka. Kakek Jangkung ini me- 
mang memiliki watak pemarah. Tentu saja tindakan- 
nya yang terganggu dalam menamatkan riwayat Pe- 
ramal Gendeng, membuatnya murka. Sekarang ditam- 
bah lagi dengan sikap Dewa Arak yang terlihat jelas 
seperti tidak memandang rendah padanya Maka Je- 
rangkong Penjagal Nyawa menjadi kalap! 

"Pemuda Gila tak tahu diri! Rupanya kau ingin 
segera menghadap malaikat maut?!" 

Jerangkong Penjagal Nyawa segera mengayun- 
kan kakinya yang panjang-panjang. Hanya beberapa 
langkah saja, dia telah berada di depan Aiya dalam ja- 
rak tiga tombak. Kakek jangkung ini tidak mempeduli- 
kan lagi keadaan Peramal Gendeng. Yang ada di be- 
naknya adalah, menghancurkan orang yang telah be- 
rani mengacau urusannya. 

"He he he...!" 

Begitu berhasil bangkit, Peramal Gendeng lang- 
sung tertawa terkekeh-kekeh. Kelihatan gembira seka- 
li, bahkan mengandung ejekan. Karuan saja tindakan 
kakek ini membuat Dewa Arak mengernyitkan alisnya. 
Sungguh seorang kakek yang aneh! Bukannya segera 
memulihkan luka dalamnya, tapi malah tertawa. Dan 
akan menyebabkan luka dalam itu semakin parah! 

"Jerangkong Penjagal Nyawa! Tengkorak Berja- 
lan yang bangkit kembali dari lubang kubur, kali ini 
kau akan mendapatkan lawan setimpal! Nama besar- 
mu akan runtuh di tangan pemuda itu! Dialah Dewa 
Arak! Jagoan muda yang julukannya telah menggeger- 
kan dunia persilatan! Kau akan roboh di tangannya. 
He he he...! Uhugh!" 

Peramal Gendeng menutup ucapan dan ta- 
wanya dengan batuk-batuk yang memercikkan darah 
segar. Maka terpaksa tawanya dihentikan. 

Arya yang telah bersiap-siap menghadapi Je- 
rangkong Penjagal Nyawa hanya bisa menggeleng me- 
nyimpan perasaan tak mengertinya akan sikap Peram- 
al Gendeng dalam hati. Perhatiannya semakin besar 
dipusatkan pada Jerangkong Penjagal Nyawa yang di- 
yakini memiliki kepandaian tinggi, karena memang sa- 
lah seorang dari dua datuk sesat yang telah lama men- 
gundurkan diri akibat merasa tua! Sekujur urat-urat 
saraf pemuda berambut putih keperakan ini menegang 
penuh kewaspadaan. 

Dalam hatinya, Dewa Arak berterima kasih pa- 
da Peramal Gendeng. Dalam sikap anehnya, kakek 
berpakaian terbalik itu masih berbaik hati untuk 
memberitahukan padanya, siapa lawan yang tengah 
dihadapi. Sehingga Arya bisa bersikap lebih hati-hati 
dan waspada. 




Tapi bukan hanya Dewa Arak saja yang merasa 
terkejut karena ucapan Peramal Gendeng. Jerangkong 
Penjagal Nyawa pun tak luput dari rasa kaget. Sikap 
pandang rendahnya, meski sebelumnya telah merasa- 
kan kuatnya getaran tenaga dalam yang dimiliki Dewa 
Arak, langsung pupus. Hal itu terjadi karena menden- 
gar kalau pemuda berambut putih keperakan yang 
berdiri di hadapannya ini adalah Dewa Arak! Julukan 
yang amat terkenal dan sempat mampir di telinganya, 
begitu turun dari pertapaannya! 

Semula Jerangkong Penjagal Nyawa tidak ter- 
lalu menganggap tinggi Dewa Arak, meski telah me- 
rasakan sendiri kekuatan tenaga dalam pemuda itu. 

Tapi, anggapan itu langsung berubah ketika 
mengetahui kalau sosok yang berdiri di hadapannya 
adalah Dewa Arak! Meskipun hanya seorang pemuda, 
namun Dewa Arak tidak bisa disamakan dengan pe- 
muda lainnya. Dalam usia semuda itu, dia telah me- 
rambah kerasnya dunia persilatan. Bahkan kenyang 
bertarung melawan berbagai tokoh persilatan tingkat 
tinggi, terutama sekali dari golongan hitam. Hal inilah 
yang menyebabkan Jerangkong Penjagal Nyawa tidak 
berani memandang rendah. 

"Jadi..., kau rupanya Dewa Arak yang meng- 
gemparkan dunia persilatan itu?! Sungguh kebetulan! 
Sudah lama kebesaran namamu kudengar. Sudah la- 
ma pula aku ingin menjajaki kelihaianmu. Dan seka- 
rang, kau hadir di sini. Bersiaplah mampus di tangan- 
ku, Dewa Arak!" tandas Jerangkong Penjagal Nyawa 
dengan sikap beringas, seperti ikan hiu mencium bau 
darah. 

"Aku pun sudah lama mendengar nama besar- 
mu, Jerangkong Penjagal Nyawa. Sama sekali tidak 
kusangka akan bertemu di sini, Seperti juga kau, aku 
mempunyai maksud yang sama denganmu. Kudengar, 
kau terlalu kejam dengan menyebar maut di mana- 
mana. Jadi, merupakan kewajibanku untuk mele- 
nyapkanmu selama-lamanya. Perjumpaan kita untuk 
menentukan siapa yang berhak untuk terus hidup!" 
sambut Aiya tak kalah gagah dan tegas. 

"Cuhhh...!" 

Jerangkong Penjagal Nyawa meludah dengan 
sikap kasar. 

"Tentu saja kau yang akan melawat ke akherat, 
Dewa Arak!" 

Jerangkong Penjagal Nyawa mengegoskan kepa- 
lanya keras-keras. Saat itu juga rambutnya yang pen- 
dek, terutama sekali di bagian belakang kepalanya, ja- 
di terayun seperti akan ke depan. Yang luar biasa, be- 
berapa helai rambut kontan terlepas dari kepala dan 
meluncur ke arah wajah Dewa Arak diiringi bunyi ber- 
kesiutan nyaring. 

Tapi Arya tidak gugup melihat serangan macam 
ini. Sebelum rambut-rambut itu mengenai sasaran, 
Dewa Arak melepaskan hembusan napas lewat tiupan 
yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. 
Seketika, rambut-rambut yang semula menegang kaku 
laksana jarum melemas kembali dan runtuh ke tanah. 

Dewa Arak tidak bertindak gegabah dengan 
membiarkan rambut-rambut itu mengenai sasaran. 
Meski hanya rambut yang kelihatannya lemas, tapi ka- 
rena dorongan tenaga dalam Jerangkong Penjagal 
Nyawa rambut-rambut itu mampu menembus batu ka- 
rang yang paling keras sekali pun. 

Semula, Jerangkong Penjagal Nyawa sudah 
memperhitungkan kalau serangannya akan berhasil 
dikandaskan Dewa Arak. Maka, hatinya tidak merasa 
heran sama sekali. Serangan itu memang dimaksud- 
kan untuk mengalihkan perhatian Dewa Arak. Dan ke- 
tika pemuda berambut putih keperakan itu tengah si- 
buk untuk mematahkan serangan rambutnya, lang- 
sung dikeluarkannya ilmu andalan. Tubuhnya lang- 
sung jungkir balik dengan kepala di bawah dan kaki di 
atas. Kakek jangkung ini berdiri dengan memperguna- 
kan kepala. 

Dewa Arak sampai mengeluarkan seruan kaget, 
ketika sepasang kaki yang panjang meluncur ke arah 
kepalanya. Buru-buru, pemuda ini melompat ke bela- 
kang hingga serangan ini gagal mengenai sasaran. 

Tapi sambil mengeluarkan dengusan nyaring, 
Jerangkong Penjagal Nyawa mengejar Dewa Arak den- 
gan cara aneh bukan main. Kakek ini berlompatan 
mengejar dengan mempergunakan kepalanya! Sehing- 
ga, terdengar bunyi berisik ketika batok kepala itu 
berbenturan dengan tanah. 

Melihat keanehan ilmu lawannya, Dewa Arak 
lak ragu-ragu lagi mengeluarkan ilmu andalannya, 
'Belalang Delapan Langkah'. Tak pelak lagi, perta- 
rungan aneh pun berlangsung. 

Di lain tempat, yang hanya berjarak beberapa 
tombak dari situ, Peramal Gendeng sibuk memperhati- 
kan jalannya pertarungan. Kakek aneh ini sama sekali 
tidak mempedulikan luka dalamnya. Bagaikan seorang 
bocah menemukan tontonan menarik, demikian kela- 
kuannya. 

"Bagus! Bagus, Dewa Arak! Pukul kepalanya! 
Ya, betul! Ah, sayang meleset! Awas! Awas kaki yang 
kurus itu mengenai mukamu! Benar, bagus! Mengelak! 
Hantam! Serang! Patahkan saja tulang-tulang Tengko- 
rak Berjalan itu, Dewa Arak!" 

Sambil mencak-mencak tak karuan, kakek ke- 
cil kurus ini tak henti-hentinya memberi semangat pa- 
da Dewa Arak. Padahal, beberapa kali seruannya ter- 
henti oleh batuk beruntun yang memercikkan darah 
segar. Bahkan beberapa kali ketika mencak-mencak, 
seakan-akan dia sendiri yang bertarung, kakek ini me- 
nyeringai kesakitan. Tapi, toh kelakuannya itu tetap 
diteruskan. 

Di kancah pertarungan sendiri, memang ber- 
jalan menarik. Dewa Arak harus mengakui kalau Je- 
rangkong Penjagal Nyawa benar-benar memiliki ke- 
mampuan mengagumkan. Ilmu kakek jangkung itu 
benar-benar mengejutkan! Di samping aneh dan sukar 
ditebak, juga sulit ditangkal! Baik untuk mengelakkan 
atau menangkis, benar-benar membuat Dewa Arak ha- 
rus menguras seluruh kemampuan. 

Yang lebih mengejutkan Dewa Arak lagi, setiap 
serangannya sebelum mengenai sasaran sering melen- 
ceng, karena ada kekuatan tak nampak menyebar di 
sekujur tubuh kakek jangkung itu. Arya benar-benar 
dipaksa untuk menguras seluruh kemampuan. 

Dewa Arak mengeluh dalam hati. Ilmu lawan- 
nya benar-benar membuat serangan-serangannya ke- 
hilangan keampuhan. Serangan yang seharusnya ter- 
tuju pada kepala, leher, atau ulu hati, selalu berbentu- 
ran dengan lutut atau betis lawan. Cara bertarung Je- 
rangkong Penjagal Nyawa memaksa Dewa Arak untuk 
sesering mungkin mempergunakan sepasang kakinya, 
melakukan tendangan-tendangan rendah. 

Dewa Arak merasa jemu bertarung seperti ini. 
Dia tahu, apabila tidak dilakukan satu perubahan, 
pertarungan akan berjalan ulet. Dan hal itu akan 
membahayakan nyawa Peramal Gendeng. Kakek itu 
karena bawaan sifatnya yang aneh, jadi tidak mempe- 
dulikan keselamatan diri sendiri. Yang dipentingkan- 
nya hanya kesenangan belaka. Menyaksikan jalannya 
pertarungan yang menarik, dia bukannya memikirkan 
pengobatan luka dalamnya. Kalau pertarungan ber- 
langsung lama, nyawa Peramal Gendeng bisa teran- 
cam! 

Maka, Dewa Arak segera memikirkan untuk 
bertindak nekat. Ketika kedua tangan Jerangkong Pen- 
jagal Nyawa meluncur ke arah bawah pusar dan ulu 
hati, sengaja tindakannya berkesan lambat. Dia men- 
gelak dengan cara menarik tubuh bagian bawah jauh- 
jauh ke belakang. 

Kelanjutannya, seperti yang diduga Dewa Arak. 
Jerangkong Penjagal Nyawa yang melihat kesempatan 
baik itu segera melancarkan serangan. Kedua kakinya 
yang menjulang, meluncur ke arah kepala. Saat itu, 
Dewa Arak bertindak sigap. Tubuhnya cepat ditegak- 
kan sambil melancarkan tendangan bertubi-tubi ke 
arah ulu hati dan pusar! 

"Uhhh...!" 

Jerangkong Penjagal Nyawa mengeluarkan ke- 
luhan tertahan, kaget bukan main. Kalau menuruti pe- 
rasaan, serangan itu ingin dibatalkan saja. Karena 
dengan bangkitnya Dewa Arak, sasaran yang tertuju 
kedua kakinya melenceng ke bagian pundak. Di lain 
pihak dia sendiri terancam pada bagian yang memati- 
kan. 

Tapi keinginan itu hanya mudah dipikirkan, ta- 
pi tidak untuk dilaksanakan. Meskipun demikian, ka- 
rena sayang pada nyawa, kakek ini berusaha keras 
menghindari. Dengan keahliannya, tanpa membatal- 
kan serangan, tubuhnya dibuat doyong ke belakang, 
dengan hanya sedikit menggerakkan kepala. Pada saat 
yang bersamaan, kedua tangannya melakukan tangki- 
san bertubi-tubi ke arah kaki Dewa Arak. 

Duk, duk, plak, plak, des! 

Benturan nyaring terdengar berkali-kali disusul 
dengan terhuyung-huyungnya tubuh Dewa Arak dan 
Jerangkong Penjagal Nyawa. Arya terhuyung sampai 
beberapa langkah. Sebaliknya, Jerangkong Penjagal 
Nyawa terpaksa berlompatan beberapa kali dengan ke- 
palanya ke belakang, karena dorongan keras yang san- 
gat kuat. 

"Huakh...!" 

Bahkan Jerangkong Penjagal Nyawa sampai 
memuntahkan darah segar dari mulutnya ketika berdi- 
ri dengan kedua kakinya kembali. Kakek ini tampak 
masih terhuyung-huyung. 

Sebaliknya, Dewa Arak berdiri tegak, tidak ku- 
rang suatu apa pun. Tapi, kedua tangannya terkulai ke 
sisi pinggang. Pangkal lengan Arya terlepas dari sam- 
bungannya akibat terkena tendangan kaki Jerangkong 
Penjagal Nyawa yang dilakukan beruntun. 

Memang dalam benturan tadi serangan Je- 
rangkong Penjagal Nyawa mendarat pada kedua ba- 
hunya. Sedangkan serangan Dewa Arak sendiri berha- 
sil mendarat di perut lawannya. Hanya satu saja yang 
mengenai sasaran. Itu pun tidak terlalu telak, karena 
Jerangkong Penjagal Nyawa berhasil menangkisnya. 
Meskipun demikian serangan itu telah cukup mem- 
buat kakek jangkung yang konyol itu terluka dalam 
yang cukup parah! 

"Kau hebat, Dewa Arak!" Jerangkong Penjagal 
Nyawa memberikan pujian. "Tapi aku belum kalah. 
Saat ini, tenagaku telah terkuras habis karena telah 
bertarung dengan Peramal Gendeng. Lain kali kita 
akan bertemu lagi. Dan kau akan kukirim ke akherat! 
Selamat tinggal!" 

Tanpa mempedulikan Dewa Arak lagi, kakek 
jangkung ini berbalik dan berlari tertatih-tatih mening- 
galkan tempat itu. Kendati demikian, kecepatan larinya 
masih luar biasa! 

Dewa Arak menghela napas, antara perasaan 
kagum dan lega. Diam-diam hatinya meraga kagum 
bukan main terhadap Jerangkong Penjagal Nyawa. Dia 
tidak yakin akan dapat mengalahkan kakek jangkung 
yang amat sakti itu. 

Karena lawan yang menolak melanjutkan perta- 
rungan, tambahan lagi keadaannya sendiri tidak men- 
guntungkan, Dewa Arak tidak bisa bertindak apa-apa 
lagi. Pemuda berambut putih keperakan ini hanya 
mengawasi kepergian lawannya. 

"Kau hebat, Dewa Arak. Julukanmu yang 
meenggemparkan memang tidak hanya berita besar 
belaka." 

Ucapan serak yang diikuti batuk-batuk itu 
membuat Arya tersadar dari kesimanya. Pemuda be- 
rambut putih keperakan ini menoleh ke belakang, me- 
natap Peramal Gendeng. Lalu, bibirnya tersenyum le- 
bar. 

"Kau benar-benar seorang kakek yang luar bi- 
asa, Peramal Gendeng!" ujar Dewa Arak tanpa me- 
nyembunyikan perasaan kagumnya, seraya melangkah 
menghampiri Peramal Gendeng. "Dalam keadaan ter- 
luka parah, bukannya berusaha menyembuhkan lu- 
kamu, tapi malah bersorak-sorai menyaksikan jalan- 
nya pertarungan. Pantas kau berjuluk Gendeng di 
samping Peramal yang tersandang, Kek." 

"Ah...! Begitulah, Dewa Arak? Kurasa bukan 
karena itu aku mendapat julukan demikian. Tapi, ka- 
rena kemampuanku menebak pertanyaan orang dan 
membuat orang lain tidak bisa menebak pertanyaan- 
ku. Kalau kau berhasil menebak pertanyaanku, kau 
boleh mengajukan satu pertanyaan padaku. Tapi seba- 
liknya, bila kau tidak bisa menebaknya, kau harus 
ganti mengajukan satu pertanyaan padaku? Bagaima- 
na, Dewa Arak?! Apakah kau berani menerima tantan- 
gan yang kuajukan?!" 

Dewa Arak menyembunyikan perasaan geli da- 
lam hati melihat tingkah Peramal Gendeng yang tetap 
tidak mempedulikan luka dalamnya. Hatinya tidak he- 
ran melihat watak Peramal Gendeng yang aneh. Dewa 
Arak terlalu sering menjumpai tokoh aneh dalam pe- 
rantauannya. Bahkan tokoh yang suka tebak-tebakan 
seperti halnya Peramal Gendeng (Untuk jelasnya sila- 
kan baca serial Dewa Arak dalam episode : "Pembunuh 
Gelap"). 

"Semut apa yang untuk mengangkatnya mem- 
butuhkan orang yang bertenaga amat kuat! Tidak 
sembarang orang bisa mengangkatnya?! Ayo, silakan 
tebak Dewa Arak! Kuberi waktu sampai lima puluh hi- 
tungan!" 

Arya mengernyitkan alis dengan sikap sung- 
guh-sungguh, seperti layaknya orang yang tengah ber- 
pikir keras. Sebuah pertanyaan yang mudah sebetul- 
nya. Demikian kata hati pemuda ini. Namun, untuk ti- 
dak membuat kecil hati Peramal Gendeng, Dewa Arak 
pura-pura berpikir keras. 

Sementara itu, Peramal Gendeng mulai menghi- 
tung begitu selesai mengajukan pertanyaan. Sejak hi- 
tungan pertama sampai kelima, dia berhitung dengan 
tenggang waktu. Tapi menginjak hitungan keenam, da- 
sar tokoh berwatak aneh, hitungannya dengan kecepa- 
tan membalap. Hingga hanya dalam sekejapan saja, hi- 
tungannya telah mencapai hitungan keempat puluh 
lima. 

"Aku tahu, Kek!" seru Arya sehingga membuat 
Peramal Gendeng menghentikan hitungannya. Lang- 
sung ditatapnya Arya dengan sinar mata setengah tak 
percaya. 

"Apa jawabanmu, Dewa Arak?!" 

"Semut raksasa!" tebak Arya, mantap. 

"Salah!" sentak Peramal Gendeng kegirangan, 
karena pertanyaannya tak terjawab. 

Kakek ini sampai mencak-mencak kegirangan 
dan membuatnya terbatuk-batuk secara hebat! Batuk 
yang memercikkan darah segar! 

Arya hanya melongo heran, mendengar jawa- 
bannya dianggap tidak tepat 

"Apakah kau tidak keliru, Kek?!" sergah pemu- 
da berambut putih keperakan ini karena merasa pena- 
saran dan takut Peramal Gendeng salah mendengar. 
"Jawabannya adalah Semut Raksasa. Bukankah demi- 
kian?" 

"Bukan itu jawabannya, Dewa Arak! Mana ada 
semut raksasa?! Di mana pun, semut selalu kecil uku- 
rannya. Dan, tak akan lebih dari ibu jari tangan ma- 
nusia. Bukan! Bukan itu jawabannya, Dewa Arak. Cari 
jawaban lainnya!" 

Arya memutar otak untuk mencari jawaban 
yang tepat. Tapi sampai beberapa lama, tetap saja ti- 
dak diketahuinya. Sambil menghela napas berat pe- 
muda ini menggelengkan kepala. 

"Aku tidak bisa menemukan jawaban lainnya! 
Pertanyaanmu terlalu sulit." 

"Sudah kuduga, Dewa Arak! Dalam ilmu silat 
dan berkelahi, kau boleh mengaku nomor satu! Tapi 
dalam hal tebak-tebakan, kemampuanmu nol! Kuberi- 
kan sebuah pertanyaan yang paling mudah pun, kau 
tidak mampu menjawabnya! Luar biasa! Kau ingin ta- 
hu jawabannya? Semut yang terselip di dalam sebuah 
batu sebesar gajah! Ha ha ha...!" 

Arya tersenyum masam. Kalau begitu caranya, 
sampai mati pun pertanyaan itu tidak akan bisa dija- 
wab dengan tepat. Tapi, Dewa Arak tidak merasa pena- 
saran sedikit pun. Dia tahu, buat orang seaneh kakek 
ini, apa pun bisa saja dijadikan tebakan yang hanya 
menguntungkan satu pihak! 

"Kek...," Arya buru-buru menyela ketika Peramal  
Gendeng yang mulai tertawa-tawa mulai terbatuk- 
batuk lagi akibat luka dalamnya! Dia khawatir luka da- 
lam kakek itu makin parah dan akhirnya tidak bisa te- 
robati lagi 

"Ada apa, Dewa Arak...?! Apakah kau minta 
kuberi tebak-tebakan lagi?! Atau ingin mengajukan te- 
bakan! Silakan! Silakan! Keluarkan semua persediaan 
tebakan yang kau miliki!" sambut Peramal Gendeng 
dengan batuk-batuk yang sesekali menghentikan uca- 
pannya. 

"Tidak kedua-duanya, Kek," Arya menggeleng 
"Aku mengaku kalah padamu dalam hal bermain te- 
bak-tebakan. Tapi aku mempunyai sebuah permintaan 
padamu?! Kuharap...." 

"Tidak bisa, Dewa Arak!" potong Peramal Gen- 
deng sambil menggoyang-goyangkan tangan kanan di 
depan dada. "Ingat perjanjian. Apabila kau ingin men- 
gajukan pertanyaan, kau harus bisa menebak satu 
pertanyaan. Tapi, nyatanya? Kau tidak mampu menja- 
wab! Berarti, kau tidak boleh mengajukan pertanyaan! 
Mengerti?!" 

Aiya tidak menjadi putus asa atau mundur 
mendengar bantahan Peramal Gendeng. 

"Sama sekali tidak kusangka, Peramal Gendeng 
yang katanya mampu menjawab pertanyaan yang di- 
ajukan orang, tak lebih dari seorang pengecut. Ru- 
panya berita yang kudengar terlalu berlebihan. Menu- 
rut berita, Peramal Gendeng adalah seorang tokoh 
yang tidak takut menghadapi pertanyaan orang. Tapi, 
kenyataannya... ?!" 

"Siapa yang takut?!" tukas Peramal Gendeng 
cepat "Cepat katakan, apa yang ingin kau tanyakan! 
Akan kubuktikan kalau berita-berita mengenai kepan- 
daianku memberi jawaban tidak berlebihan!" 

"Begitukah?!" Arya sengaja membuat Peramal 
Gendeng lebih panas dengan sikap tidak percaya yang 
ditunjukkannya. 

Pemuda ini tidak khawatir bila kakek berpa- 
kaian terbalik itu akan murka dan menyerangnya ha- 
bis-habisan. Arya tahu, Peramal Gendeng, sebagaima- 
na tokoh persilatan lainnya yang memiliki watak aneh, 
tidak akan sampai hati bertindak keji. 

"Jangan-jangan begitu mengetahui pertanyaan 
yang kuajukan, kau akan mencari seribu macam ala- 
san untuk mengelak karena tidak mampu untuk men- 
jawabnya," tambah Dewa Arak. 

"Tidak usah banyak ribut! Katakan saja, apa 
yang hendak kau tanyakan! Akan kau lihat sendiri ka- 
lau aku mampu memberi jawaban yang tepat!" sergah 
Peramal Gendeng berapi-api karena penasaran men- 
gingat kemampuannya diragukan orang. 

"Tenang saja, Kek," Arya menyabarkan Peramal 
Gendeng yang telah kelabakan mirip kakek-kakek ke- 
bakaran jenggot. "Masalah mengajukan pertanyaan, 
soal mudah. Tapi, tidak akan seru bila tidak ada taru- 
hannya." 

Sepasang mata Peramal Gendeng terbelalak le- 
bar seperti akan melompat keluar. Kakek ini tampak 
kaget tapi hanya sebentar saja. Sesaat kemudian rasa 
gembira yang amat sangat sudah tampak pada tarikan 
wajahnya. 

Peramal Gendeng memang memiliki watak 
aneh. Semakin menarik sebuah masalah yang diaju- 
kan, semakin gembira hatinya. Dan Arya pandai men- 
gemas permasalahan yang akan dipaparkan, sehingga 
membuat Peramal Gendeng merasa tertarik bukan 
main. 

"Katakan cepat, Dewa Arak! Bagaimana taru- 
han itu?!" tanya Peramal Gendeng tak sabaran. 

"Mudah saja, Kek," jawab Arya berkesan meng- 
gampangkan. "Kita bertaruh. Aku dan kau sama-sama 
menebak, apakah pertanyaan yang akan kuajukan 
berhasil kau jawab atau tidak. Sebuah pertanyaan 
yang amat sukar, dan tidak pernah ada orang yang bi- 
sa menjawabnya." 

Peramal Gendeng menelan ludah penuh minat. 
Mendengar penegasan Arya kalau pertanyaan itu amat 
sukar dan belum pernah berhasil dijawab orang, dia 
merasa tertantang. Sebagai seorang tukang jawab, ti- 
dak ada kebahagiaan lain yang didapatkan, selain bisa 
menjawab sebuah pertanyaan yang amat sukar. Apala- 
gi apabila pertanyaan itu belum pernah dijawab orang 
seorang pun! Peramal Gendeng jadi semakin mengilar. 




"Cepat katakan apa taruhannya, Dewa Arak?!" 
desak Peramal Gendeng hampir tidak bisa menahan 
kesabarannya lagi. 

"Kalau kau bisa menjawab pertanyaan itu, aku 
mengajukan satu permintaan padamu. Sedangkan ka- 
lau kau tidak bisa menjawab, aku boleh mengajukan 
satu permohonan padamu," jawab Arya dengan sikap 
sungguh-sungguh. 

Pemuda berambut putih keperakan itu tidak 
sungkan-sungkan lagi mengikuti tingkah Peramal 
Gendeng. Dia tahu, untuk memahami bahkan menga- 
lahkan orang gila, dia harus ikut-ikutan gila! Kalau ti- 
dak, segalanya akan berantakan! 

Tapi, dasar Peramal Gendeng memiliki watak 
aneh. Dia benar-benar tak menyimak kata-kata Dewa 
Arak. Padahal, taruhan bagi pertanyaan itu tidak men- 
guntungkan pihaknya sama sekali. Bahkan hanya 
menguntungkan Dewa Arak. Tapi dia malah bersorak- 
sorak kegirangan. 

"Bagus sekali, Dewa Arak! Sungguh sebuah ta- 
ruhan yang adil sekali! Bagus! Aku setuju! Nah! Seka- 
rang ajukan pertanyaanmu!" 

Arya melongo. Meski sebelumnya memang telah 
mengetahui watak kakek berpakaian terbalik ini, tetap 
saja tidak menyangka akan seperti ini jawaban yang 
didapatkan. Untungnya, pemuda berambut putih ke- 
perakan ini termasuk dalam jenis orang yang tidak ter- 
lalu lama tenggelam dalam alun perasaan. Hanya da- 
lam waktu sebentar saja, dia sudah bisa bersikap bi- 
asa. 

"Pertanyaan yang hendak kuajukan adalah, di 
mana adanya Iblis Buta, Kek?!" 

Arya hampir terlontar, ketika melihat Peramal 
Gendeng malah tertawa bergelak hingga terbatuk- 
batuk. Meski heran, pemuda ini tidak mengajukan per- 
tanyaan lagi. Ditunggunya hingga kakek itu sendiri 
yang memberi jawaban. 

"Luar biasa! Mengapa begitu banyak tokoh per- 
silatan yang mencari-cari Iblis Buta?! Mengapa tidak 
ada seorang pun yang mencari-cariku?! Apakah orang 
buta itu memiliki wajah yang lebih tampan daripada 
aku?!" 

Arya tak tahan untuk tidak tersenyum mende- 
ngar ucapan-ucapan Peramal Gendeng. Tapi senyum- 
nya langsung lenyap, ketika melihat wajah Peramal 
Gendeng langsung berubah. Tidak penuh guyon dan 
canda seperti sebelumnya, melainkan terlihat demikian 
sungguh-sungguh. Sikap ini membuatnya tampak 
angker. Apalagi karena sepasang matanya yang mena- 
tap Dewa Arak itu seperti hendak membaca hati pe- 
muda itu. 

"Sama sekali tidak kusangka seorang pendekar 
seperti kau tidak berbeda dengan Jerangkong Penjagal 
Nyawa dan tokoh-tokoh hitam lainnya. Mengilar terha- 
dap pusaka milik orang lain!" 

Wajah Aiya kontan merah padam. Kendati de- 
mikian, sikapnya tetap tenang. Dia tidak terkejut sama 
sekali mendengar ucapan Peramal Gendeng. Baik me- 
lihat sikap kakek itu yang demikian cepat berubah, 
maupun tuduhan yang dilontarkan padanya. 

"Kau salah menduga, Kek," sergah Arya tenang. 
"Justru keberadaanku di tempat ini untuk meminta 
petunjuk karena ingin menyelamatkan Iblis Buta. Se- 
mula aku mencari sendiri, di mana adanya tokoh yang 
dulu menggemparkan dunia persilatan itu. Tapi jejak- 
nya lenyap. Dia bagaikan ditelan bumi. Maka, aku da- 
tang kemari. Itu pun karena rasa tanggung jawabku 
terhadap keamanan dunia persilatan. Maaf, bukannya 
aku menyombongkan diri, Kek." 

"Lanjutkan keteranganmu, Dewa Arak?!" ujar 
Peramal Gendeng, sama sekali tidak peduli dengan 
permintaan maaf Dewa Arak. 

"Kudengar, pusaka di tangan Iblis Buta yang 
bernama Telur Elang Perak mempunyai banyak kha- 
siat. Di antaranya, mampu membuat orang menjadi 
muda kembali. Entah bagaimana caranya, aku tidak 
tahu persis. Kudengar, karena alasan itulah tokoh- 
tokoh sakti seperti Jerangkong Penjagal Nyawa dan Se- 
tan Gila, keluar dari pertapaan. Kalau sampai salah 
satu di antara mereka berhasil mendapatkannya, dan 
kembali menjadi muda, aku tidak tahu malapetaka apa 
yang akan menimpa dunia persilatan! Dalam usia tua 
saja, mereka sudah demikian tangguh. Apalagi bila te- 
lah kembali menjadi muda! Untuk mencegah terjadinya 
hal ini, aku ikut mencari Iblis Buta! Setidak-tidaknya, 
dengan keberadaan bersamanya, akan sedikit mem- 
bantu. Apabila dia menghadapi banyak tokoh tangguh 
yang menjadi lawannya!" 

Wajah Peramal Gendeng yang tegang mencair 
kembali. Sikapnya malah kembali seperti semula. Wa- 
jahnya berseri-seri dengan sinar mata berputar penuh 
sikap menggoda orang lain. Sorot tak waras pun me- 
mancar baik pada wajah maupun sinar matanya. 

"Kalau begitu.., tidak ada masalah lagi, Dewa 

Arak." 

Dengan suara berbisik seperti takut didengar 
orang lain, kakek berpakaian terbalik ini memberita- 
hukan di mana terlihatnya jejak Iblis Buta yang terak- 
hir kalinya, sebelum lenyap bagai ditelan bumi! 

Arya tersenyum lebar sambil mengangguk- 
anggukkan kepala. Karena Peramal Gendeng telah 
memberikan jawaban, berarti kesempatan untuk men- 
gajukan satu permintaan baginya telah terbuka. 

"Sekarang giliranku untuk mengajukan satu 
permintaan padamu, Kek." 

"Silakan, Dewa Arak!" sambut Peramal Gendeng 
mengajukan tantangan. 

"Aku minta kau segera mengobati luka dalam- 
mu, Kek." 

"Ha ha ha...!" 

Tawa Peramal Gendeng meledak. Permintaan 
yang diajukan Dewa Arak tidak patut disebut per- 
mintaan, karena tidak menguntungkan pemuda itu. 

"Permintaanmu aneh, Dewa Arak. Tapi karena 
telah berjanji tidak ada pilihan lain bagiku kecuali 
memenuhinya, aku, Peramal Gendeng, bukanlah se- 
macam orang yang mudah mengobral janji untuk ke- 
mudian mengingkarinya. Tapi percayalah, Dewa Arak. 
Setelah selesai mengobati luka dalamku, lukamu pun 
akan kuobati." 

Sampai di sini, ingatan Dewa Arak membuyar 
karena pendengarannya yang tajam menangkap bunyi 
mencurigakan. Memang saat itu benaknya tengah me- 
layang-layang mengingat pertemuannya dengan Pe- 
ramal Gendeng. Tapi, pendengarannya tetap mampu 
mendengar gerak atau bunyi-bunyi tak wajar di seki- 
tarnya. 

Bunyi yang tertangkap telinga Dewa Arak ada- 
lah bunyi gemerisik pelan dari daun-daun kering yang 
terinjak kaki! Karena asalnya dari sebelah kanan, ke- 
palanya menoleh ke sana. 

Dari celah-celah yang tercipta di antara kerim- 
bunan semak-semak yang berjarak sekitar delapan 
tombak di sebelah kanan, Dewa Arak melihat sesosok 
tubuh berlari cepat menuruni lereng. Kelihatan terge- 
sa-gesa sekali. Cepatnya gerakan sosok itu, membuat 
Arya tidak bisa melihat secara jelas. Yang tampak se- 
kelebatan bayangan samar-samar. 

Melihat hal ini, perasaan curiga pun timbul di 
hati Dewa Arak. Menurut keterangan Peramal Gen- 
deng, tempat ini merupakan tempat di mana jejak Iblis 
Buta terakhir kali terlihat. Siapa tahu, sosok itu ada 
hubungannya dengan urusan mengenai Iblis Buta. 

Perasaan tertarik yang sebagian besar dilandasi 
perasaan curiga, membuat Arya melesat mengikuti so- 
sok bayangan itu. Dia khawatir kalau-kalau sosok itu 
adalah salah satu dari sekian banyaknya tokoh persila- 
tan yang mengejar Iblis Buta. Dan siapa tahu, sosok 
itu malah telah mendapatkan Telur Elang Perak! 

Saat itu juga, Dewa Arak mengerahkan seluruh 
ilmu lari cepatnya. Dia tahu, jalur yang ditempuh so- 
sok bayangan itu akan berakhir, dan mau tidak mau 
menuju jalan tanah berbatu yang pada bagian kirinya 
terdapat gundukan batu. Maka segera diputuskannya 
untuk segera tiba di balik batu itu sebelum sosok 
bayangan itu tiba. 

Maksud Arya ternyata terkabul. Dia telah tiba 
lebih dulu di tempat yang dimaksud. Dewa Arak berdiri 
di tengah-tengah jalan yang lebarnya tak lebih dari sa- 
tu tombak. Bagian kanannya berupa gundukan batu 
yang besar, sedangkan sebelah kiri terdapat dinding 
tebing yang menjulang tinggi seakan hendak mengga- 
pai langit. 

Aiya mengernyitkan alis dengan perasaan tidak 
enak, ketika melihat sosok bayangan itu di kejauhan. 
Cepat sekali gerakannya, hingga hanya dalam sekeja- 
pan saja telah terlihat jelas. Dan apa yang terlihat jelas 
inilah yang membuat pemuda ini mengernyitkan alis. 

Sosok bayangan itu ternyata seorang pemuda 
berpakaian indah. Seorang pemuda pesolek, karena 
terlalu banyak riasan. Wajahnya memang tampan. Tapi 
karena terlalu banyak riasan, jadi terlihat tidak jantan, 
berkesan lembut dan banci! 

Kalau hanya melihat pemuda pesolek ini, Dewa 
Arak akan bersikap seperti biasa. Tapi pemandangan 
lainnya yang terlihatlah, menjadi penyebabnya. Pada 
kedua tangan pemuda pesolek itu tampak terbopong 
sesosok tubuh ramping berpakaian kuning, milik seo- 
rang gadis yang berwajah amat jelita. Melihat kea- 
daannya, langsung diketahui kalau gadis itu tengah 
dalam keadaan tertotok. 

Bukan hanya Arya yang merasa tidak senang, 
pemuda pesolek itu pun demikian. Meski masih berja- 
rak beberapa tombak, Arya dapat melihat sinar keti- 
daksenangan yang memancar pada wajah dan sepa- 
sang mata pemuda berpakaian indah itu. 

"Minggir...! Minggir kau, Hey, Orang Gila...!" 
Pemuda pesolek itu mengeluarkan seruan, tanpa bisa 
menyembunyikan perasaan tidak senangnya. Hal ini 
semakin menambah kecurigaan Arya. Sikap yang di- 
perlihatkan hanya menunjukkan kalau dia tengah me- 
rasa gelisah dan khawatir. Dalam sekejapan saja, otak 
Dewa Arak bekerja. Jelas, pemuda pesolek itu pasti te- 
lah menculik gadis berpakaian kuning ini. 

Karena keyakinan akan dugaannya, Dewa Arak 
sama sekali tidak bergeming dari tempatnya. Bahkan, 
renggangan kakinya semakin diperlebar. Tindakan ini 
membuat pemuda pesolek semakin geram. 

"Mampuslah kau, Orang Gila tak tahu diri!" 
Saat itu juga pemuda pesolek itu menghentakkan tan- 
gan kanannya ke arah Dewa Arak, setelah terlebih da- 
hulu memindahkan tubuh yang dipondong ke tangan 
kirinya. Maka hembusan angin keras langsung me- 
nyambar ke arah Arya. 

Sudah terbayang di benak pemuda berpakaian 
indah ini kalau pemuda berambut putih keperakan itu 
terjengkang ke belakang sambil menjerit memilukan 
karena nyawanya melayang akibat dadanya hancur. 
Pukulan jarak jauhnya memang luar biasa! Jangankan 
tubuh manusia. Batu karang yang paling keras pun 
akan hancur berantakan apabila terkena secara lang- 
sung. 

Ketidaksenangan Arya semakin menjadi-jadi 
melihat serangan ini. Dia tahu, serangan itu sangat 
dahsyat mengandung maut. Kalau orang yang diserang 
kurang cepat bergerak dan tidak memiliki tenaga da- 
lam amat kuat, jelas sudah cukup mengirim nyawanya 
ke neraka! 

Dari sini saja Aiya sudah bisa mengira-ngira, 
dari golongan mana pemuda berpakaian indah itu be- 
rasal! Seorang yang memiliki watak gagah, tak akan 
mengirimkan serangan demikian keji sebelum jelas 
masalah yang tengah dihadapi! 

Maka saat itu juga Dewa Arak menjulurkan ta- 
ngan kanannya ke depan. Seketika hembusan angin 
keras yang meluncur dari tangan pemuda pesolek itu 
lenyap seperti tertelan oleh sesuatu yang keluar dari 
tangan Arya! 

Pemuda pesolek itu terkejut melihat kenyataan 
ini. Kegagalan serangannya tidak akan terlalu mem- 
buatnya kaget, kalau tidak seperti ini kejadiannya. Apa 
yang telah dilakukan oleh pemuda berpakaian ungu 
itu? 

Kenyataan ini membuat pemuda pesolek ini ta- 
hu kalau orang di hadapannya bukan lawan yang bisa 
dipandang ringan. Cara dalam memunahkan pukulan 
jarak jauhnya, telah menjadi pertanda kalau pemuda 
berambut keperakan itu memiliki tenaga dalam tinggi. 

Maka meski tengah tergesa-gesa, pemuda ber- 
pakaian indah ini menghentikan larinya. Kini dia ber- 
diri dalam jarak dua tombak dari Arya. 

"Mengapa kau menghadang jalanku, Sobat. 
Maaf, menyingkirlah sedikit. Berilah jalan padaku. 
Aku, Lanang, akan berterima kasih sekali apabila kau 
bersedia mengabulkannya," ujar pemuda pesolek yang 
mengaku bernama Lanang dengan suara lembut pe- 
nuh nada membujuk. 

"Aku bersedia untuk memenuhi permintaanmu, 
Lanang. Tapi, aku mempunyai sebuah syarat," timpal 
Aiya tak kalah tenang dan halus. 

Meski demikian, tidak berarti pemuda beram- 
but putih keperakan ini terjebak oleh sikap manis La- 
nang. Pengalaman telah menunjukkan padanya kalau 
sikap manis biasanya ada udang di balik batu. 

Aiya yang sempat memperhatikan gadis ber- 
pakaian kuning di bopongan Lanang, dan sekarang te- 
lah dipindahkan ke bahu jadi berpikir keras. Dia yakin, 
pernah melihat gadis ini. Hanya saja, lupa kapan dan 
di mana. Bentuk mulut, wajah, dan sepasang mata itu 
diingatnya betul. 

"Katakanlah syaratmu itu, Sobat," ujar Lanang, 
mengumbar senyum manis. 

Pemuda pesolek ini memang memiliki kecerdi- 
kan mengagumkan. Sebagai putra Naga Sakti Berwa- 
jah Hitam yang terkenal sebagai datuk besar persila- 
tan, tentu saja Lanang memiliki kepandaian tinggi. Ta- 
pi, dia tahu kalau Dewa Arak juga memiliki kepan- 
daian tinggi. Bisa jadi dia tidak kalah. Tapi, akan san- 
gat membutuhkan waktu untuk mengalahkannya. Se- 
dangkan dia sendiri tengah memburu waktu. Kalau 
ada cara lain yang lebih mudah dan cepat, mengapa 
memilih yang sukar?! Maka, Lanang tidak ragu-ragu 
lagi meladeni permintaan Dewa Arak. 

"Katakan saja, Sobat. Kalau bisa tentu saja 
akan ku penuhi. Bukankah lebih baik bersahabat, da- 
ripada saling gontok-gontokan?!" 

"Apa yang kau katakan itu memang benar, La- 
nang. Aku pun tidak suka gontok-gontokan. Maka, 
kuharap kau mau mengabulkan syarat yang kuajukan. 
Yaitu, bebaskan gadis yang kau bawa. Dan, kita tidak 
menjadi saling bentrok karenanya. Bagaimana?!" 

Wajah Lanang langsung merah padam. Sepa- 
sang matanya yang tajam memancarkan kilatan maut. 
Ucapan Dewa Arak membuat hatinya terbakar amarah. 
Tapi, lagi-lagi kecerdikan melarangnya untuk bertin- 
dak macam-macam. Toh, siasat yang dipergunakannya 
belum mencapai puncak. Maka, sebuah senyum lebar 
pun menghias mulutnya, kendati hatinya memaki- 
maki. 

"Kalau begitu kau salah sangka, Sobat. Kau ki- 
ra aku orang macam apa?! Penculik gadis-gadis?! Ga- 
dis yang tengah kubawa ini adalah saudaraku sendiri. 
Dia kubawa tergesa-gesa, karena hendak kumintakan 
obat pada Raja Obat Sakti di lereng sebelah timur. Dia 
terluka dalam akibat salah mempelajari sebuah ilmu 
yang diajarkan ayah," jelas Lanang panjang lebar, ter- 
bungkus kebohongan. 

Arya terdiam. Bukan karena menerima begitu 
saja penjelasan Lanang, tapi tengah mempertimbang- 
kan jawaban yang diberikan. Memang masuk akal ala- 
san yang dikemukannya. Tapi, Dewa Arak tidak mu- 
dah percaya. 

"Bisa kuajukan pertanyaan sendiri padanya, 
Lanang. Maaf, bukannya curiga. Tapi, berhati-hati," 
ujar Arya, tenang. 

"Sayang sekali, Sobat," sambut Lanang dengan 
sikap terlihat penuh penyesalan. "Adikku ini justru ti- 
dak bisa berbicara, akibat salah latihan itu. Telah be- 
berapa hari dia bisu mendadak. Maka begitu menden- 
gar adanya seorang jago obat di sekitar sini, segera sa- 
ja kubawa untuk segera diobati." 

"Boleh aku melihatnya, Lanang?! Barangkali sa- 
ja aku bisa mengobatinya. Sedikit banyak, aku men- 
gerti cara untuk mengobati luka dalam. Terutama se- 
kali, karena salah latihan!" ujar Arya, masih belum hi- 
lang rasa curiganya. 

Lagi-lagi terlihat oleh Arya, wajah Lanang mem- 
besi. Memang hanya sebentar, tapi cukup terlihat oleh 
sepasang mata Dewa Arak yang tajam. Diam-diam pe- 
muda berambut putih keperakan ini memuji kemam- 
puan Lanang mengendalikan perasaannya. 

"Silakan, Sobat," sambut Lanang dengan sikap 
gembira yang dipaksakan. 

Terlihat jelas oleh Arya yang telah kenyang pen- 
galaman menghadapi beragam orang dengan berbagai 
watak kalau kata-kata itu seperti dipaksakan. 

"Aku justru gembira kalau kau mampu mengo- 
batinya. Sehingga, aku tidak perlu bersusah-payah 
membawanya pada Raja Obat Sakti di lereng timur gu- 
nung ini," tambah Lanang. 

Dengan sikap tidak peduli, Arya mendekati tu- 
buh gadis berpakaian kuning yang telah direbahkan 
Lanang di tanah. Sementara pemuda pesolek itu sendi- 
ri berdiri tak jauh darinya, bersikap mengawasi. 

Kini Arya sudah berjongkok, agar bisa melihat 
keadaan gadis berpakaian kuning lebih jelas. Dan saat 
itulah, Lanang mengirimkan tendangan dahsyat den- 
gan kaki kanan ke arah kepala Dewa Arak. 

Namun pemuda pesolek itu keliru kalau mengi- 
ra Dewa Arak akan sedemikian mudah dapat diroboh- 
kan. Walaupun terlihat sembarangan dan kelihatan 
tampak tidak menaruh kecurigaan sama sekali, sebe- 
narnya sekujur urat-urat saraf pemuda berambut pu- 
tih keperakan itu telah menegang waspada. Tentu saja 
Aiya telah bersiap-siaga untuk menerima serangan 
yang datang tanpa terduga-duga. 

Maka ketika kaki Lanang dengan kecepatan ki- 
lat dan kekuatan dahsyat menyambar, Dewa Arak me- 
lompat ke samping dan menggulingkan tubuhnya men- 
jauh. Sehingga, membuat serangan itu kandas. 

Lanang menggeram. Penasaran karena seran- 
gannya tidak sesuai yang diharapkan, membuat pe- 
muda berpakaian indah ini menubruk mengikuti Dewa 
Arak Sambil mengejar, dikirimkannya serangan bertu- 
bi-tubi dengan kedua tangan serta kaki. 

Kali ini, Dewa Arak yang telah berhasil bangkit 

cepat. 

Plak! 

"Aaakh...!" 

Bunyi nyaring terdengar berkali-kali. Lanang 
menjerit tertahan. Tubuhnya kontan terhuyung. Dan 
tangan dan kakinya terasa nyeri bukan main, ketika 
berbenturan. Seakan-akan yang dibentur adalah ba- 
tang baja yang amat kuat! 

Hasil benturan ini menyadarkan Lanang kalau 
pemuda berambut putih keperakan itu memiliki tenaga 
dalam lebih kuat. Maka sekali tarik, sabuk emas yang 
terselip di pinggang telah berada di tangannya. Lalu 
cepat sekali pemuda pesolek ini mengibaskannya. 

Tarrr! 

Ledakan nyaring terdengar, ketika sabuk emas 
itu meledak di udara. Sementara, Arya telah lebih dulu 
menarik kepalanya ke belakang, sebelum luncuran sa- 
buk emas itu menghantamnya. 

Pemuda pesolek itu semakin geram. Seluruh 
kemampuannya memainkan sabuk dikeluarkan, hing- 
ga lenyap bentuknya. Bahkan berubah-menjadi rente- 
tan patuk-patuk yang mirip paruh ular. Terkadang 
mengejang kaku laksana golok yang panjang. Tapi tak 
jarang melecut-lecut laksana cambuk! Perkembangan 
permainan senjata lemas ini memang sulit diduga. 

Ketika untuk kesekian kalinya, sabuk Lanang 
meluncur ke arah ubun-ubunnya, Dewa Arak men- 
doyongkan tubuh ke samping. Dan sebelum pemuda 
pesolek itu menarik pulang senjatanya, Arya telah le- 
bih dulu mengulur tangan untuk menangkapnya. 

Tap! 

"Heh?!" 

Lanang terperanjat ketika melihat senjata anda- 
lannya berada dalam genggaman lawan. Tiba-tiba dita- 
riknya senjata itu dengan keras untuk membuat tubuh 
Dewa Arak ikut tertarik. Tapi, maksudnya tidak ter- 
sampaikan. Tubuh pemuda berambut putih keperakan 
itu sama sekali tidak bergeming, bak sebongkah gu- 
nung! 

Melihat hal ini Lanang menggeram kesal. Maka 
dengan menggunakan pengerahan tenaga dalamnya, 
pemuda pesolek ini membuat sabuk itu bergelombang 
bak permukaan air laut. Melalui cara ini, biasanya dia 
mampu membuat lawan melepaskan cekalan. Karena, 
sabuk yang bergelombang itu tiba-tiba dapat meng- 
hantam muka. 

Namun, lagi-lagi maksud Lanang kandas. Keti- 
ka gelombang pada sabuk itu baru mencapai perten- 
gahan jarak, langsung mengendur, kemudian kandas! 
Sementara dari arah yang berlawanan, Dewa Arak 
mengerahkan tenaga dalam untuk membuat gerakan 
bergelombang pada sabuk itu lenyap. 

Lanang tidak kehabisan akal. Saat itu, adu ta- 
rik-menarik masih berlangsung. Maka dengan mem- 
pergunakan kekuatan menarik dari lawan, pemuda pe- 
solek ini melompat ke depan. Langsung diterjangnya 
Dewa Arak dengan kecepatan luar biasa. Karena di 
samping akibat pengaruh tarikan Arya, masih ditam- 
bah lagi luncuran yang dibuatnya. 

Dewa Arak tidak kehabisan akal. Maka ujung 
sabuk yang digenggamnya segera dilemparkan ke arah 
tubuh Lanang yang tengah meluncur. 

Lanang terperanjat bukan main. Saat itu tu- 
buhnya tengah berada di udara. Untuk mengelak jelas 
tidak mungkin. Jalan satu-satunya hanya menangkis. 
Tapi hal itu pun sulit dilaksanakan, karena ujung sa- 
buk yang dilemparkan tidak mengarah ke tubuhnya, 
melainkan bagian samping dengan gerakan seperti 
berputar. 

"Ah...!" 

Lanang hanya mampu mengeluarkan pekikan 
kaget ketika sabuk itu melingkari tubuhnya dan melilit 
secara erat. Untung saja kedua tangannya tidak ikut 
terlilit. 

Walaupun demikian, keadaan tidak disangka- 
sangka itu membuat Lanang gugup. Padahal saat itu, 
Dewa Arak sudah mendorongkan kedua tangannya se- 
cara bergantian pada tubuh yang masih berada di uda- 
ra. 

Hembusan angin keras yang muncul dari kedua 
telapak tangan Dewa Arak, tidak mampu dielakkan la- 
gi. Tapi, pemuda pesolek ini telah mengerahkan tenaga 
dalam untuk melindungi tubuhnya. Walaupun begitu, 
bila Dewa Arak bermaksud buruk, dorongan itu telah 
cukup membuat nyawanya terancam! Dorongan yang 
dilakukan Arya hanya sekadarnya, tidak dimaksudkan 
untuk melukai. Hasilnya, tubuh putra Naga Sakti Ber- 
wajah Hitam ini terdorong beberapa tombak, kemudian 
berhasil bangkit mendarat dengan kedua kaki secara 
mantap. 

Dewa Arak yang memang tidak bermaksud 
mencelakai lawannya, tidak melakukan serangan su- 
sulan. Di saat tubuh Lanang melayang, kesempatan 
itu dipergunakan untuk menghampiri gadis berpa- 
kaian kuning yang masih tergolek tidak bergerak sama 
sekali. Namun.... 

"Akh...!" 

Mendadak Arya mengeluarkan pekik kesakitan. 
Dirasakannya kedua pahanya ditusuk tombak! Arya 
yakin, tombak itu menembus hingga ke paha belakang. 
Karena saat itu tengah melangkah, tak ampun lagi tu- 
buhnya terguling jatuh. 

Gadis berpakaian kuning yang sudah yakin ka- 
lau penolongnya akan berhasil membebaskannya, 
menjadi terkejut ketika melihat secara tiba-tiba pende- 
kar muda itu memekik kesakitan dan terguling roboh. 
Apa yang terjadi dengan pemuda perkasa itu? 

Dewa Arak sendiri, begitu roboh terguling se- 
gera mengerahkan pandangan pada sepasang pa- 
hanya. Dia tidak percaya kalau ada tombak yang me- 
nembus di sana, karena tidak mendengar atau melihat 
luncurannya. 

Tepat seperti yang diduga pemuda berambut 
putih keperakan itu, pada pahanya tidak terdapat apa 
pun. Jangankan tombak, jarum pun tidak! 

Dewa Arak adalah seorang pendekar yang telah 
kenyang pengalaman menghadapi ilmu-ilmu aneh. 
Maka segera dapat diduga kalau kejadian yang me- 
nimpanya dilakukan lewat ilmu gaib. Karena, dia ma- 
sih merasakan seperti ada dua buah tombak pada pa- 
hanya yang menembus sampai ke belakang. 

Dugaan ini membuat Dewa Arak teringat akan 
peristiwa yang belum lama dialaminya. Saat itu, dia 
pun melihat kejadian seperti yang dialaminya ini. 
Hanya saja kejadiannya menimpa orang lain. Seorang 
pemuda berpakaian kuning tersiksa. Padahal, yang di- 
lakukan si penyiksa hanya melakukan tusukan terha- 
dap sebuah boneka! 

Begitu teringat pemuda berpakaian kuning 
yang bernama Jumpena, orang yang mengalami sik- 
saan secara aneh itu, Arya hampir memukul kepalanya 
sendiri. Mengapa dia demikian pelupa? Gadis berpa- 
kaian kuning yang tengah tergolek tak berdaya itu 
mempunyai wajah yang demikian mirip Jumpena! Ti- 
dak hanya ciri-ciri tubuh, tapi juga pakaiannya! 

Sebagai orang yang berakal cerdas, Dewa Arak 
segera bisa mengetahui kalau gadis berpakaian kuning 
ini adalah Jumpena! Pemuda tampan pintar bicara dan 
keras hati yang dulu ditemukannya bersama Dirganta- 
ra (Untuk jelasnya mengenai Jumpena, Dirgantara, 
dan pengalaman yang mereka alami silakan baca serial 
Dewa Arak dalam episode : "Iblis Buta". Karena cerita 
ini merupakan sambungannya). 

Tapi, Arya tidak bisa terlalu lama memikirkan 
mengenai Jumpena yang sebenarnya adalah seorang 
gadis bernama Jumini. Karena saat itu, di tengah be- 
rada dalam keadaan mengkhawatirkan. Pemuda be- 
rambut putih keperakan ini segera sibuk mencari cara 
untuk menyelamatkan diri dari pengaruh ilmu aneh 
dari orang yang belum diketahui. 

Dewa Arak segera mengedarkan pandangan ke 
sekeliling. Tak lama, matanya tertunduk pada seorang 
kakek berpakaian dari kulit ular tengah duduk bersila 
di atas sebatang ranting yang ditancapkan di atas se- 
bongkah batu sebesar gajah bunting! 

Ranting itu kecil, tak lebih dari ibu jari tangan. 
Panjangnya sekitar satu tombak. Merupakan sebuah 
pemandangan aneh sekaligus menakjubkan melihat 
ranting yang lemas itu mampu menembus batu yang 
amat keras. Apalagi, mampu diduduki seorang manu- 
sia tanpa meliuk yang terlalu berlebihan. Malah, kakek 
berpakaian dari kulit ular yang berwajah hitam itu du- 
duk dengan enaknya, seakan pantatnya telah menem- 
pel dengan ranting! 

Kakek berwajah hitam ini dengan sikap anteng 
dan tak peduli duduk memegang sebuah boneka. Pada 
bagian paha kanan kiri boneka itu tertancap sebatang 
jarum panjang, tembus sampai ke paha belakang! 

Di lain pihak, Lanang yang sudah siap mene- 
rima serangan Arya, menjadi kaget. Terutama ketika 
melihat pemuda berambut putih keperakan itu men- 
dadak jatuh dan berdiam di tanah dengan seringai ke- 
sakitan. Di sini dia merasa mempunyai kesempatan 
untuk melancarkan serangan. Dengan cepat sabuk 
pada tubuhya dilepas. Tapi baru saja maksudnya hen- 
dak dilancarkan, Lanang memandang ke arah Dewa 
Arak, menatap disertai rasa heran. Seketika wajahnya 
memucat! Arah tatapan Dewa Arak tertuju pada kakek 
yang tengah duduk bersila di atas ranting kecil! Kakek 
yang amat dikenalnya. Karena, kakek itu adalah.... 
ayahnya. 

Naga Sakti Berwajah Hitam! 

Tidak aneh kalau Lanang merasa kaget dan ju- 
ga takut. Memang, dia telah mempunyai satu kesala- 
han besar. Pemuda ini telah berani membawa kabur 
Jumini karena tertarik akan kejelitaannya. Bukan di- 
landasi cinta, karena orang seperti Lanang mana kenal 
cinta? Yang ada hanya nafsu! Perasaan itulah yang 
mendorongnya bertindak nekat, menentang keputusan 
ayahnya! Padahal, selama ini pemuda pesolek ini tidak 
bertindak demikian. Apalagi Naga Sakti Berwajah Hi- 
tam amat keras dengan aturannya. Siapa pun yang be- 
rani menentang aturannya, akan mendapat hukuman 
berat! Tak terkecuali, Lanang putranya. 

Lanang sendiri telah tahu peraturan ayahnya. 
Bahkan telah merasakan hukuman dari ayahnya! Tapi, 
rasa nafsu mengalahkan rasa takutnya. Kini melihat 
keberadaan ayahnya di situ, Lanang langsung pucat 
pasi! 

Perasaan takut yang luar biasa, membuat La- 
nang bagai orang kehilangan akal. Bukannya melaku- 
kan sesuatu, dia malah tercenung di tempat itu sambil 
menatap Naga Sakti Berwajah Hitam seperti orang me- 
lihat hantu. 

Sebenarnya, kalau hanya birahi saja, tak akan 
berani Lanang bertindak seperti itu. Ada hal lain yang 
lebih mendasar yang membuat dorongan itu jadi mem- 
besar. Tanpa sengaja, dia telah membaca buku Naga 
Sakti Berwajah Hitam yang memang gemar menulis. 

Lanang tahu, kegemaran ayahnya. Tapi karena 
setiap kali menulis, Naga Sakti Berwajah Hitam selalu 
menyimpan bukunya, Lanang tidak pernah tahu apa 
yang ditulisnya. Dan kebetulan, sewaktu pergi berse- 
madi di ruang rahasia, dia lupa menyimpan bukunya 
kembali. 

Saat itu Lanang yang tengah mencari ayahnya, 
untuk menanyakan perkembangan ilmunya, tak kuasa 
untuk menahan keinginan untuk membaca buku itu. 
Ternyata isinya, semua pengalaman Naga Sakti Berwa- 
jah Hitam itu dan asal-usulnya. 

Dari buku itulah, Lanang tahu kalau dirinya 
bukan putra Naga Sakti Berwajah Hitam itu. Dia ter- 
nyata anak seorang panglima yang gagal dalam mela- 
kukan pemberontakan terhadap kerajaan. Sebelum 
mati, si panglima yang merupakan sahabat baik Naga 
Sakti Berwajah Hitam, menitipkan Lanang cilik. 

Lanang sekarang mengerti, mengapa ayahnya, 
Naga Sakti Berwajah Hitam, bersikap dingin saja. Ti- 
dak pernah terlihat adanya kasih sayang, baik dalam 
ucapan maupun sikap. Perasaan tidak betah dan kein- 
ginan untuk melihat keluarganya, membuat Lanang 
mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu. 

Lanang yang merasa terpukul menerima ke- 
nyataan ini memutuskan untuk membawa lari Jumini. 
Di samping karena birahinya, juga karena keinginan 
untuk membalas sakit hati. Sakit yang timbul karena 
kenyataan ini, selalu dirahasiakan oleh Naga Sakti 
Berwajah Hitam. Maka, pelarian itu pun terjadi. 

Naga Sakti Berwajah Hitam rupanya tahu kalau 
ada orang yang memperhatikannya. Pandangannya 
yang sejak tadi ditujukan pada boneka segera dialih- 
kan. Maka dua pasang mata pun bertemu. Yang satu 
penuh rasa takut, sedangkan yang lain tajam menusuk 
dan penuh hawa maut. 

"Anjing tak kenal budi!" seru Naga Sakti Ber- 
wajah Hitam tajam dan nyaring. Tidak kelihatan 
adanya kemik pada bibirnya. "Sejak kecil kau ku peli- 
hara. Kuberi pelajaran ilmu silat tinggi. Tapi setelah 
besar, kau berani mengkhianatiku! Rupanya kau su- 
dah ingin bertemu malaikat maut. Baik! Ku penuhi 
keinginanmu!" 

Wajah Lanang semakin pucat. Keringat sebesar 
biji-biji jagung bermunculan di wajahnya. Kedua ka- 
kinya pun menggigil hebat. Dia tahu, nyawanya teran- 
cam. Bahkan kemungkinan besar akan tewas mengeri- 
kan! Apalagi bila mengingat kelihaian ayahnya dengan 
boneka di tangan. Selama ayahnya melihat kebera- 
daannya, selama itu pula melalui boneka, kakek ber- 
wajah hitam itu mampu bertindak apa pun terhadap 
orang yang dituju dengan sarana sebuah boneka. 

Karena rasa takut akan kematian yang menge- 
rikan, Lanang tidak ragu-ragu lagi menjatuhkan diri 
berlutut. 

"Ampunkan aku, Ayah! Aku berjanji tidak akan 
melakukannya lagi. Ampunkanlah aku, Ayah," ratap 
Lanang tanpa malu-malu. Pemuda yang cerdik ini 
mencoba bersikap seakan belum tahu rahasia dirinya 
kalau bukan keturunan kakek berwajah hitam itu! 

"Cuhhh!" 

Naga Sakti Berwajah Hitam meludah ke tanah 
dengan sikap kasar. 

"Jangan harap aku mengampunimu, Anjing! 
Aku tidak sudi mengampuni seorang pengkhianat! Se- 
karang kau hanya menyabot tawananku! Kelak bila 
kuampuni, kau akan membunuhku! Tak ada ampun 
lagi bagi seorang pengkhianat!" 

Tubuh Lanang yang tengah berlutut itu sema- 
kin menggigil keras. 

"Aku berjanji, Ayah. Aku tidak akan berani 
membantah semua ucapanmu lagi. Sampai hatikah 
kau membunuh darah daging sendiri, Ayah?!" ratap 
Lanang masih mencoba melumerkan hati kakek ber- 
wajah hitam itu. 

"Ha ha ha...!" 

Naga Sakti Berwajah Hitam tertawa bergelak. 
Keras bukan main, sehingga membuat sekitar tempat 
itu berguncang-guncang. Tapi anehnya, mulutnya te- 
tap tidak bergerak sama sekali! 

"Siapa yang bilang kau anakku, Anjing?! Kau 
hanya seorang anak telantar yang ku pungut, dengan 
harapan bisa membalas budi baikku. Tapi harapanku 
ternyata sia-sia! Aku tak lebih dari memelihara seekor 
anjing! Sedari kecil ku pelihara dan ku sayang, tapi ke- 
tika besar malah menggigit ku! Sebelum kau semakin 
membahayakan kedudukanku, sudah tiba saatnya ku- 
lenyapkan dari muka bumi! Lihat ini baik-baik, Anjing 
tak kenal budi!" 

Ucapan-ucapan Naga Sakti Berwajah Hitam tak 
ubahnya pisau berkarat yang menghujam jantung La- 
nang secara bertubi-tubi. Berita yang didengarnya te- 
tap mengejutkan hati, kendati telah mengetahui sebe- 
lumnya. 

Keterangan yang mengejutkan, membuat piki- 
ran Lanang bagaikan menguap. Maka, kalimat terakhir 
Naga Sakti Berwajah Hitam tanpa banyak pikir lagi di- 
turutinya. Lanang tahu, kalau Naga Sakti Berwajah Hi- 
tam akan mengunjukkan boneka yang dianggap di- 
rinya. Boneka yang menjadi jalan bagi Naga Sakti Ber- 
wajah Hitam untuk melakukan tindakan apa pun se- 
kehendak hatinya! 

Dugaan Lanang memang tepat! Di tangan ka- 
nan kakek berwajah hitam itu tergenggam sebuah bo- 
neka. Lanang yang sejak tadi terkesima, jadi mengge- 
ram bagai harimau luka. Perasaan terpukul dan kha- 
watir yang besar akan kematian mengerikan, mem- 
buatnya bertindak nekat. Maka sambil meraung keras, 
pemuda pesolek ini bangkit dan melesat sambil meng- 
hentakkan kedua tangannya. Langsung dikirimkannya 
pukulan jarak jauh pada orang yang selama ini diang- 
gap ayahnya! 

Tapi, sebelum maksudnya terlaksana, Lanang 
memekik kesakitan. Karena, Naga Sakti Berwajah Hi- 
tam telah lebih dulu, menggerakkan jari-jemarinya, 
meremas boneka di tangannya. 

Akibat remasan itu, Lanang merasakan tubuh- 
nya bagai digencet dua buah bongkahan batu besar! 
Rasa sakit yang amat sangat mendera sekujur tubuh- 
nya. Napasnya pun sesak. Pemuda pesolek ini yakin, 
tak lama lagi sekujur tulang-belulangnya akan hancur 
berantakan! 

Lanang mengeluarkan geraman yang lebih mirip 
erangan seekor binatang buas terluka! Dikerah- 
kannya tenaga dalam untuk bertahan dari himpitan 
tak nampak pada tubuhnya. Dia tidak ingin mati sia- 
sia! Urat-uratnya sampai bersembulan keluar, saking 
kuatnya himpitan yang melanda. 

Rupanya, geraman Lanang menyadarkan Dewa 
Arak yang sejak tadi memperhatikan dan mendengar- 
kan jalannya perselisihan antara Naga Sakti Berwajah 
Hitam dengan Lanang. Namun pemuda berambut pu- 
tih keperakan itu tidak bisa berdiri, apalagi bergerak. 
Karena, kedua kakinya masih tidak mampu digerak- 
kan. Tapi tentu saja kedua tangan Dewa Arak terbe- 
bas. Maka dengan kedua tangannya dikirimkannya se- 
rangan terhadap Naga Sakti Berwajah Hitam yang ber- 
jarak sekitar delapan tombak, berupa pukulan jarak 
jauh dengan jurus 'Pukulan Belalang'! 

Seketika itu pula hembusan angin keras ber- 
hawa panas menyengat, meluruk ke arah Naga Sakti 
Berwajah Hitam. Kakek itu terkejut bukan main me- 
nyadari serangan amat berbahaya yang cukup untuk 
menghantarkan nyawa kea lam baka. 

Meski tahu pukulan jarak jauh itu amat dah- 
syat, Naga Sakti Berwajah Hitam tidak menjadi kecil 
hati. Hatinya tidak merasa gentar, karena terlalu yakin 
akan kepandaiannya sendiri. Maka pukulan jarak jauh 
Dewa Arak tidak dielakkannya, melainkan dipapaknya. 
Keras lawan keras. Untuk itu, kakek ini terpaksa men- 
jatuhkan boneka-boneka yang tengah digenggamnya 
ke tanah. 

Bresss! 

Bumi bagaikan bergetar hebat ketika dua pu- 
kulan jarak jauh yang dahsyat berbenturan di tengah 
jalan. Akibatnya, tubuh kedua belah pihak sama-sama 
terjengkang ke belakang. 

Ranting yang diduduki Naga Sakti Berwajah Hi- 
tam kontan patah berkeping-keping. Namun, kakek itu 
mampu mematahkan kekuatan yang membuat tubuh- 
nya terlempar dengan bersalto beberapa kali di udara. 
Lalu kakinya menjejak tanah dengan mantap. 

Di lain pihak, Dewa Arak sendiri sampai bergu- 
lingan di tanah. Hal ini membuat rasa sakit pada pa- 
hanya semakin menjadi-jadi. Karena meskipun keliha- 
tannya tidak ada apa-apa, tapi terasa bagaikan ada 
dua batang tombak yang menyate pahanya. Tentu saja 
hal ini membuat rasa sakitnya semakin menghebat! 

Sementara dengan adanya gempuran Dewa 
Arak, Lanang jadi terbebas dari siksaan. Cepat dike- 
rahkannya tenaga dalam untuk mengusir rasa sakit 
yang masih mencengkeram sekujur tubuhnya. Kemu- 
dian tanpa mempedulikan apa-apa lagi, tubuhnya se- 
gera melesat menyambar tubuh Jumini yang masih 
tergolek di tanah. 

"Hey...!" ' 

Arya yang telah terbebas dari kekuatan yang 
membuat tubuhnya terguling-guling, sempat berseru 
melihat tindakan Lanang yang memanfaatkan kesem- 
patan dalam kesempitan. Secara untung-untungan, 
tangan kanannya dihentakkan untuk melancarkan ju- 
rus 'Pukulan Belalang' pada Lanang. 

Untuk yang kedua kalinya, hembusan angin 
keras berhawa panas menyengat meluncur dari tangan 
Dewa Arak. Tapi karena terlalu terburu-buru melan- 
carkan serangan, maka Lanang mudah sekali menge- 
lakkannya dengan melompat jauh ke depan. Setelah 
itu, pemuda pesolek yang memiliki watak licik ini lang- 
sung melesat cepat, meninggalkan tempat itu bersama 
tubuh Jumini. 

"Keparat...!" 

Naga Sakti Berwajah Hitam menggeram murka, 
melihat bekas putranya berhasil melarikan diri. Malah 
dalam waktu sebentar saja, telah berada puluhan tom- 
bak di depan. Kakek ini tahu, mengejar bukan meru- 
pakan hal yang mudah. Apalagi, medan di sini me- 
mungkinkan Lanang untuk bersembunyi di berbagai 
tempat yang ada di situ. Mumpung tubuh pemuda itu 
masih terlihat, Naga Sakti Berwajah Hitam ini memu- 
tuskan untuk menggunakan boneka, mencegah La- 
nang melarikan diri. 

Kakek berwajah hitam ini mengerutukkan gigi. 
Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi ke atas, lalu 
digetarkan sebentar. Sesaat kemudian, boneka yang 
merupakan cermin Lanang, melayang deras dari atas 
gundukan batu dan meluncur ke arah tangan kakek 
itu. Padahal, boneka itu berada di atas gundukan batu 
yang tingginya tak kurang dari satu tombak, jarak se- 
kitar lima tombak dari tempatnya berada! 

Dewa Arak yang melihat hal ini tahu, apabila 
boneka Lanang berhasil jatuh ke tangan Naga Sakti 
Berwajah Hitam, keselamatan pemuda pesolek itu te- 
rancam. Ini berarti, nyawa Jumini pun dalam bahaya. 
Dan Arya tidak ingin hal itu terjadi. 

Maka dalam waktu singkat, Dewa Arak bisa 
mengambil keputusan. Lanang harus diselamatkan. Ini 
berarti, boneka yang merupakan cerminan pemuda pe- 
solek itu, tidak boleh jatuh ke tangan Naga Sakti Ber- 
wajah Hitam, selama Lanang masih terlihat. Maka De- 
wa Arak segera menjulurkan kedua tangannya ke arah 
boneka Lanang. 

Naga Sakti Berwajah Hitam menggeram penuh 
kemarahan, ketika melihat luncuran boneka Lanang 
melambat. Seakan-akan, tertahan oleh kekuatan yang 
tak nampak. Begitu melihat tangan Dewa Arak yang di- 
julurkan, kakek ini langsung tahu apa yang tengah ter- 
jadi. Memang, Dewa Arak pun menggunakan tenaga 
dalam untuk menarik boneka itu ke arahnya! 

Perbedaan kepentingan, membuat boneka La- 
nang tertarik ke sana kemari. Tapi karena jarak bone- 
ka itu dengan Naga Sakti Berwajah Hitam telah lebih 
dekat, membuat pengaruh tarikan tenaga Naga Sakti 
Berwajah Hitam lebih kuat daripada Dewa Arak. Sete- 
lah tertahan sebentar, meski agak lambat, boneka itu 
meluncur ke arah tangan Naga Sakti Berwajah Hitam. 

Dewa Arak tentu saja mengetahuinya. Dan dia 
tahu, apabila tetap diteruskan, Naga Sakti Berwajah 
Hitam akan unggul. Padahal, saat itu tubuh Lanang 
masih terlihat. Maka, pemuda berambut putih ke- 
perakan ini segera merubah tenaganya. Kalau semula 
berusaha menahan, sekarang malah mengirimkan te- 
naga mendorong. 

Perubahan ini membuat tenaga tarikan Naga 
Sakti Berwajah Hitam jadi berlipat ganda, setelah di- 
tambah tenaga dorong Dewa Arak. 

Tindakan Dewa Arak benar-benar di luar perhi- 
tungan Naga Sakti Berwajah Hitam. Akibatnya dia jadi 
tidak bisa mengendalikan luncuran boneka, yang se- 
harusnya mendarat di telapak tangannya, jadi melesat 
melewatinya. 

Naga Sakti Berwajah Hitam kesal bukan main. 
Cepat tubuhnya berbalik dan bermaksud mengambil 
boneka yang masih melayang deras melewatinya den- 
gan menggunakan tarikan tenaga dalamnya. 

Tapi, Dewa Arak tidak membiarkannya terjadi. 
Sambil mengeluarkan teriakan keras, pemuda be- 
rambut putih keperakan ini melompat menerjang sam- 
bil menghantamkan kedua tangannya yang terbuka! 

Naga Sakti Berwajah Hitam tidak mempunyai 
pilihan lain kecuali menangkisnya. Dalam kemarahan 
dipapaknya serangan itu dengan pengerahan seluruh 
kekuatan tenaga dalamnya. 

Plakkk! 

Dua pasang tangan yang sama-sama terbuka 
saling berbenturan dan melekat. Kedua belah pihak 
pun segera mengerahkan tenaga dalam untuk saling 
menekan. 

Tak membutuhkan waktu lama, segera terlihat 
pihak yang unggul. Wajah Dewa Arak tampak kuyup 
dibasahi peluh. Kedua tangannya menggigil keras se- 
perti terserang demam tinggi. Bahkan dari atas kepa- 
lanya mulai mengepul uap putih. Mula-mula tipis, tapi 
makin lama makin banyak dan tebal! 

Di pihak lain, Naga Sakti Berwajah Hitam be- 
lum terlihat apa-apa. Wajahnya masih biasa saja, tidak 
terlalu dibanjiri peluh. 

Walaupun pada kenyataannya Dewa Arak ber- 
ada di pihak yang terdesak, tapi bukan berarti kalah 
kuat dibanding lawannya. Yang jelas Dewa Arak harus 
membagi sebagian tenaganya untuk sepasang kakinya. 
Sebagian tenaganya digunakan untuk menahan rasa 
sakit, karena pemuda ini terpaksa berdiri. Sementara 
sebagian lagi digunakan untuk menegakkan sepasang 
kakinya yang sebenarnya tidak layak untuk dipakai 
berdiri. Maka tak heran kaki pemuda ini menggigil ke- 
ras! 

Keadaan Arya semakin mengkhawatirkan. Tak 
akan lama lagi, pemuda berambut putih keperakan ini 
roboh di tangan lawannya. Kalau tidak tewas, paling 
ringan akan terluka dalam amat parah. 

Naga Sakti Berwajah Hitam menyadari keung- 
gulannya. Dan dia tidak sabar lagi untuk segera me- 
raih kemenangan. Maka segera diputuskannya untuk 
memberikan pukulan terakhir, agar cepat merobohkan 
lawannya. 

"Hhhgrrr...!" 

Naga Sakti Berwajah Hitam menggereng keras 
seperti seekor macan murka, disertai tenaga dalam le- 
bih besar. Itu pun masih ditambah muncratnya darah 
segar dari mulutnya. Bukan darah karena kakek ini 
terluka dalam, tapi memang dikeluarkan untuk mengi- 
rimkan serangan. Saat itu juga gumpalan darah me- 
luncur ke arah ubun-ubun Dewa Arak. Apabila men- 
genai sasaran, maka ubun-ubun Arya akan hancur be- 
rantakan. 

"Huakh...!" 

Dewa Arak yang memang sudah hampir tidak 
kuat, langsung terjengkang ke belakang sambil me- 
muntahkan darah segar dari mulut. Pengerahan te- 
naga dalam Naga Sakti Berwajah Hitam yang disertai 
gerengan, terlalu kuat untuk bisa ditahannya. Tapi, ju- 
stru hal ini yang menyelamatkannya dari maut. Gum- 
palan darah yang meluncur ke arahnya lewat beberapa 
jari di atas kepalanya. 

Naga Sakti Berwajah Hitam terkekeh kegirang- 
an, melihat lawan tangguhnya berhasil dirobohkan. 

Tanpa memberi kesempatan pada Dewa Arak 
yang masih tergolek di tanah, tubuhnya meluruk me- 
nyerbu untuk menjatuhkan pukulan maut. 

"Akhirnya kau tewas juga, Dewa Arak! Pendekar 
tenar yang ditakuti lawan dan kawan, akhirnya tewas 
di tanganku. Ingin kudengar sendiri kegemparan da- 
lam dunia persilatan! Selamat tinggal Dewa Arak! Sila- 
kan temui Malaikat Maut!" 

Naga Sakti Berwajah Hitam mengayunkan ta- 
ngan kanannya, menghantam kepala Dewa Arak. Saat 
itu juga angin keras berhembus sebelum pukulan itu 
sendiri tiba. Tapi, Dewa Arak tetap tidak menunjukkan 
gerakan sedikit pun. Rupanya dia sudah pasrah 
menghadapi maut yang akan datang menjemputnya. 
Tapi.... 

Tuk! 

"Aaakh...!" 

Naga Sakti Berwajah Hitam mengeluh tertahan 
ketika ada sesuatu yang menghantam sikunya, se- 
belum tangannya menghancurkan kepala Dewa Arak. 
Akibatnya, aliran tenaga dalamnya ke tangan lenyap. 
Sikut tangannya mendadak langsung lumpuh. Dengan 
sendirinya, serangan Naga Sakti Berwajah Hitam pun 
urung. 

Alis Naga Sakti Berwajah Hitam berkernyit. 
Bingung. Ditatapnya Dewa Arak. Pemuda inikah yang 
telah membatalkan serangan dengan lemparan benda 
kecil pada sikunya? Tapi, rasanya mustahil! Bukankah 
pemuda itu tengah berada dalam keadaan tidak ber- 
daya. Tidak mungkin dia yang melakukan karena ten- 
gah terluka parah. Mengerahkan tenaga dalam, berarti 
bunuh diri! Sedangkan tindakan yang baru saja dila- 
kukan, membutuhkan tenaga dalam tinggi. Kenya- 
taannya, mampu membuat tangan Naga Sakti Berwa- 
jah Hitam itu lumpuh! Ya! Bukan Dewa Arak. Berarti, 
ada orang lain yang usil. 

Keyakinan akan dugaannya membuat kakek 
berwajah hitam ini mengarahkan pandangan ke depan. 
Tidak terlihat apa-apa kecuali bongkahan batu besar 
yang tadi didudukinya. Lalu, dari mana sesuatu yang 
membuat tangannya lumpuh itu berasal? 

Karena tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan,  
Naga Sakti Berwajah Hitam kembali menga- 
lihkan perhatian pada Dewa Arak. 

Kali ini, kakek ini bertindak cerdik dalam mela- 
kukan serangan. Dia tidak menggunakan tangan lagi 
melainkan kaki. Dengan ujung kaki kanannya, diki- 
rimkannya tendangan ke arah leher yang merupakan 
jalan darah yang mematikan! Tersentak sedikit saja te- 
lah cukup untuk membuat nyawa Dewa Arak me- 
layang. 

Tapi lagi-lagi, sebelum ujung kaki itu menyen- 
tuh sasaran, ada sesuatu yang menyambar telak lutut 
Naga Sakti Berwajah Hitam. Sehingga, membuat ka- 
kinya lemas kehilangan tenaga. Untuk yang kedua ka- 
linya serangan kakek ini kandas. 

Naga Sakti Berwajah Hitam melangkah mun- 
dur. Langsung pandangannya beredar ke sekeliling. 
Tapi, tetap saja tidak terlihat adanya tanda-tanda ka- 
lau di sekitar tempat itu ada orang lain. Tentu saja ka- 
kek ini murka, karena merasa dipermainkan. 

"Pengecut! Keluar kau...! Kalau memang berani, 
jangan hanya bermain secara sembunyi-sembunyi! 
Ayo, hadapi aku! Naga Sakti Berwajah Hitam...!" teriak 
kakek itu sambil berkacak pinggang. 

Seruan yang dikeluarkan Naga Sakti Berwajah 
Hitam keras bukan main, disertai pengerahan tenaga 
dalam tinggi. Sehingga tidak hanya bergema di sekitar 
tempat itu, tapi juga terdengar sampai jauh. 

Sambil mengeluarkan tantangan demikian, Na- 
ga Sakti Berwajah Hitam mengedarkan pandangan ke 
sekitar tempatnya berdiri. Dan bulu kuduknya tanpa 
terduga meremang, karena tidak terlihat adanya benda 
yang bisa diperkirakannya dilepas oleh orang yang 
menolong Dewa Arak. Padahal seharusnya, bila peno- 
long itu melemparkan sesuatu, akan tergolek di tanah! 
Lalu, apa yang sejak tadi menyentuh siku dan lutut- 
nya, sehingga serangan-nya kandas? Ataukah semua 
ini perbuatan hantu? Atau, makhluk halus lainnya? 




Naga Sakti Berwajah Hitam sebenarnya tidak 
pernah percaya akan adanya setan atau yang sejenis- 
nya. Tapi entah kenapa, kakek ini merasa seram juga. 

Tidak adanya orang lain yang ikut campur uru- 
sannya di sekitar tempat ini, membuat kakek berwajah 
hitam ini yakin betul kalau keanehan ini terjadi akibat 
campur tangannya makhluk halus. Dan hatinya sema- 
kin yakin, dengan tidak adanya bekas-bekas dari se- 
suatu yang membentur siku atau lututnya. Padahal, 
dia yakin betul bahwa telah terjadi benturan pada siku 
dan lutut. Tapi, mengapa tidak ada bekasnya sama se- 
kali?! Bahkan tidak adanya desir angin yang mengirin- 
gi luncuran sesuatu yang telak mengenai siku dan lu- 
tutnya, terpaksa membuat ciut nyalinya. Betapapun 
saktinya orang yang ikut campur tangan, Naga Sakti 
Berwajah Hitam yakin kalau pendengarannya akan 
mampu menangkap sekalipun desir angin itu amat le- 
mah. 

Naga Sakti Berwajah Hitam tahu, kendati sosok 
yang menyelamatkan Dewa Arak memiliki ilmu 'Sirna 
Raga' atau ilmu 'Halimun' sekalipun, gerakannya tetap 
akan terdengar. Setidak-tidaknya, kekuatan yang ter- 
kandung dalam serangan akan menimbulkan angin 
yang tertangkap telinga. Tapi kenyataannya? Ini berar- 
ti, penolong Dewa Arak itu tidak menggunakan ilmu 
demikian! Kesimpulan yang paling gampang memang 
makhluk halus yang menjadi biang keladinya! Tapi, 
mungkinkah ada makhluk halus yang demikian usil 
mencampuri urusan manusia? 

Naga Sakti Berwajah Hitam menunggu bebe- 
rapa saat, setelah mengeluarkan tantangan. Tapi ter- 
nyata tidak ada jawaban sama sekali. Justru yang ter- 
dengar adalah gema ucapannya sendiri yang dipantul- 
kan tebing-tebing gunung. Terdengar aneh dan menye- 
ramkan. Mungkin, beginilah suara makhluk halus itu. 

Tapi kalau benar makhluk halus, kenapa ber- 
tindak tanggung-tanggung bila hendak membela Dewa 
Arak. Mengapa hanya bertindak, sewaktu pemuda be- 
rambut putih keperakan itu diserang? Kenapa tidak 
melancarkan serangan saja? Apakah makhluk halus 
tidak pandai menyerang?! 

Keberanian Naga Sakti Berwajah Hitam yang 
sempat mengalami guncangan, timbul kembali. Mak- 
hluk halus atau bukan, kalau memang menghalangi 
tindakannya, tidak ada salahnya dilabrak! Apa yang di- 
takutkan? Bukankah dia merupakan seorang tokoh 
persilatan tingkat tinggi? 

Naga Sakti Berwajah Hitam memutuskan untuk 
bertindak nekat. Satu langkah lagi, Dewa Arak yang 
terkenal di dunia persilatan itu berhasil ditewaskan- 
nya. Tunggu kapan lagi kesempatan sebaik ini? Maka 
setelah mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya, dia 
melompat menerjang Dewa Arak dengan kedua tangan 
terbuka. Dan... 

Bresss! 

"Aaakh...!" 

Naga Sakti Berwajah Hitam tiba-tiba menge- 
luarkan jeritan menyayat ketika kedua tangannya ba- 
gaikan membentur dinding yang tidak tampak. Bahkan 
seluruh tenaga dalamnya seperti membalik. Tubuhnya 
langsung terlempar deras ke belakang, dan melayang- 
layang bagai daun kering diterbangkan angin. Belasan 
tombak jauhnya tubuhnya melayang-layang, sebelum 
akhirnya jatuh di tanah menimbulkan bunyi keras. 

Kakek berwajah hitam itu bangkit tertatih-tatih 
dengan wajah pucat pasi. Darah tampak mengalir dari 
sudut-sudut bibirnya, akibat luka dalam yang cukup 
parah karena tenaga dalamnya sendiri berbalik memu- 
kul dirinya. 

Naga Sakti Berwajah Hitam menggeleng-geleng 
untuk mengusir pusing yang menyergap. Ditatapnya 
Dewa Arak untuk yang terakhir kali dengan pandan- 
gan bingung dan heran. Kemudian tubuhnya berbalik 
meninggalkan tempat itu. 

"Kali ini kau boleh menghirup udara bebas, 
Dewa Arak. Tapi lain kali, jangan harap kau akan se- 
mujur ini...!" 

Cukup keras dan lantang ucapan kakek berwa- 
jah hitam ini. Tapi, Dewa Arak tidak menyambutnya 
sama sekali. Bukan hanya karena tidak mau, tapi juga 
karena tidak mampu. Jangankan untuk berteriak. Un- 
tuk menggerakkan bibir saja, sukar sekali. Andaikata- 
pun bisa, yang keluar dari mulutnya lebih dari sebuah 
bisikan pelan. 

Dalam keadaan setengah sadar itu, Arya masih 
mendengar bisikan berasal dari mulut seorang kakek. 

"Aku pergi dulu, Anak Muda. Tugasku sudah 
selesai. Kelak, apabila kejadian seperti ini terulang, 
mungkin aku akan muncul kembali." 

Hanya sampai di situ ucapan sosok yang tidak 
terlihat. Tapi itu cukup untuk menjawab keheranan 
yang sejak tadi membalut hati Aiya. Meski dalam kea- 
daan terluka parah, Arya masih sadar dan tahu kalau 
Naga Sakti Berwajah Hitam hendak membunuhnya. 
Tapi entah karena apa, tak jua terlaksana. Kiranya ada 
orang yang menghalangi tindakannya. Arya masih da- 
pat mengucapkan terima kasih, kendati yang tercipta 
hanya kemak-kemik bibirnya. Sesaat kemudian, pe- 
muda perkasa ini telah jatuh pingsan. 

Seorang pemuda berompi kulit harimau me- 
langkah cepat menuju kaki lereng Gunung Cikuray. 
Sekujur wajahnya kotor berdebu. Wajahnya muram. 
Rambutnya pun kusut berantakan, tak terurus. Seper- 
tinya, pemuda ini telah lama tidak memperhatikan 
keadaan dirinya lagi. 

Keadaannya yang tidak terurus, semakin leng- 
kap dengan sepasang matanya yang sayu seperti lam- 
pu kehabisan minyak. Hanya saja, sesekali sepasang 
mata itu mencorong tajam. Tulang-tulang wajahnya 
pun mengeras penuh kebencian. Dan itu selalu tercip- 
ta, setiap kali pemuda ini menyebut satu nama dengan 
suara berdesis penuh dendam. 

"Naga Sakti Berwajah Hitam.... Apabila kau 
mengganggu Jumini, aku bersumpah akan mengadu 
jiwa denganmu! Aku, Dirgantara, tidak sudi hidup di 
dunia ini apabila kau masih bercokol! Hanya ada satu 
di antara kita yang harus hidup! Kau, atau aku!" 

Terdengar bunyi berkerotokan keras ketika pe- 
muda berompi kulit harimau yang mengaku sebagai 
Dirgantara menutup ucapannya. Padahal, dia tidak 
melakukan gerakan apa pun. Tenaga dalamnya yang 
telah mencapai tingkat tinggi bergerak sendiri, menye- 
babkan terjadinya bunyi seperti itu. Belum juga tuntas 
kekesalan pemuda itu, tiba-tiba.... 

"Ooouw...!" 

Sebuah teriakan nyaring terdengar, dan ber- 
pengaruh besar terhadap Dirgantara. Tubuhnya kon- 
tan terjingkat, bagaikan disengat ular berbisa. Sepa- 
sang bola matanya berputar liar, mencari sumber te- 
riakan tadi. Dan sepasang matanya memancarkan si- 
nar penuh harap, ketika terpandang sebuah gubuk ke- 
cil di tengah persawahan. 

Tempat Dirgantara berada memang sebuah 
areal persawahan yang luas. Di sekitarnya yang terli- 
hat hanya jejeran padi yang mulai menguning. Pemuda 
itu sendiri berada di jalan setapak, yang terdapat di 
antara kotak sawah yang satu dengan yang lain. 

"Jumini...," desis Dirgantara penuh perasaan 

haru. 

Ketidak bergairahan Dirgantara langsung le- 
nyap. Meski wajahnya masih kusut, tapi terlihat jelas 
adanya semangat menyala-nyala. Baik pada wajah, 
maupun sinar matanya. 

Berbareng ucapan itu, Dirgantara melesat cepat 
bukan main gerakannya, sampai-sampai kedua ka- 
kinya bagai tak menginjak tanah. Pematang yang kecil 
dan licin tidak menghalangi kecepatan larinya. Semen- 
tara pandangannya tertuju ke arah gubuk di tepi sa- 
wah. Sedangkan mulutnya tak henti-hentinya menye- 
butkan satu nama. Jumini! 

Namun sebelum Dirgantara sampai di dekat 
gubuk itu, mendadak dari arah lain melesat satu sosok 
bayangan hitam yang juga memburu ke arah gubuk. 
Mungkin sosok itu juga mendengar teriakan tadi. 

Karena sosok bayangan hitam itu lebih cepat, 
terpaksa Dirgantara menghentikan larinya. Dia ingin 
tahu, apa yang selanjutnya terjadi. Maka secepat itu 
pula, tubuhnya disembunyikan di dalam kerimbunan 
padi, sambil matanya tak lepas mengamati ke arah gu- 
buk. 

Sementara di dalam gubuk, tampak seorang 
pemuda tampan dengan dandanan macam-macam 
tengah menggumuli seorang gadis manis yang terus 
meronta-ronta berusaha melepaskan diri. 

"Rupanya kau tidak bisa diperlakukan secara 
lembut, Jumini! Mungkin kau lebih suka dikasari lebih 
dulu, sebelum akhirnya tunduk, heh?! Baik kalau itu 
yang kau inginkan, ku penuhi...!" 

Dengan napas memburu hebat karena penga- 
ruh nafsu birahi yang menyesakkan dada, pemuda pe- 
solek yang tak lain Lanang cepat menotok gadis dalam 
himpitannya yang memang Jumini. 

Tuk! 

Saat itu juga, tubuh Jumini lemas tak berdaya. 
Sedangkan dengan mata jelalatan, Lanang langsung 
melucuti pakaian gadis itu. 

Hanya dalam sekejapan saja, gadis berpakaian 
kuning itu telah bugil. Dan Lanang yang telah diamuk 
nafsu, segera menubruknya dengan buas. Persis see- 
kor serigala kelaparan menerkam anak kambing ge- 
muk! 

"Jangan..., jangan lakukan itu.... Aku mohon, 
Lanang...," pinta Jumini mengiba dengan suara meme- 
las. 

Air mata gadis itu telah mengalir deras memba- 
sahi sepasang pipinya yang mulus. Air mata yang 
mengucur karena cekaman rasa takut dan ngeri akan 
terjadinya sesuatu hal yang mengerikan terhadap di- 
rinya. 

"Lebih baik kau bunuh saja aku...," lanjut Jumini 
Lanang yang telah kesetanan tidak mempeduli- 
kan sama sekali. Bahkan tindakannya semakin kasar. 
Di telinganya, rintihan Jumini tak ubahnya nyanyian 
bidadari yang membuat semangatnya semakin meng- 
gebu-gebu. 

Sebenarnya, Lanang tidak begitu suka melaku- 
kan tindakan ini. Tapi, apa boleh buat? Ini memang 
cara satu-satunya untuk menjadikan hati Jumini yang 
keras mencair. Yang penting, Jumini mau menjadi pa- 
sangannya setelah peristiwa ini. Lanang yakin, Jumini 
tidak akan mempunyai pilihan lain lagi setelah semua- 
nya terjadi. Tapi di saat yang gawat terhadap kehorma- 
tan Jumini.... 

Brak! 

Tiba-tiba pintu gubuk terlepas dari engselnya 
dan dalam keadaan hancur berkeping-keping. Tentu 
saja gangguan mendadak ini, membuat Lanang me- 
lompat dari tubuh Jumini yang tengah ditindihnya. Se- 
cepat kilat, dia bersiap untuk menghadapi keadaan 
yang tidak memungkinkan. 

"Manusia berhati binatang...!" desis sosok yang 
ternyata seorang gadis berpakaian serba hitam. "Ma- 
nusia seperti kau sudah selayaknya dimusnahkan dari 
muka bumi!" 

Gadis berpakaian serba hitam yang tak lain 
Linggar hanya bertindak sampai di situ. Dibiarkannya 
Lanang yang lari sambil meraih pakaiannya dengan 
menjebol dinding gubuk hingga jebol. Pemuda pesolek 
itu mencari tempat untuk mengenakan pakaian, kare- 
na saat itu sudah telanjang bulat 

"Kenakan itu, Nona," ujar Linggar teringat akan 
nasib Jumini yang masih tergolek di lantai gubuk bera- 
laskan jerami. Namun ketika melihat gadis itu tak ber- 
gerak, Linggar sadar kalau Jumini telah tertotok. Maka 
seketika tangannya bergerak cepat, melepaskan toto- 
kan pada tubuh Jumini. 

Dengan wajah masih pucat dan airmata yang 
mengucur deras, Jumini mengenakan pakaiannya. Be- 
berapa kali dia terbalik mengenakannya, karena piki- 
rannya melayang-layang. 

Beberapa tombak di luar gubuk, Lanang tam- 
pak terburu-buru mengenakan pakaian. Pemuda peso- 
lek itu ingin segera memberi hajaran pada Linggar. Ke- 
jadian ini memang membuat Lanang jadi kehabisan 
kesabaran dan menyumpah-nyumpah karena pera- 
saan kesal. Daging yang sudah berada di depan mata 
dan tinggal ditelan, telah terlepas lagi karena campur 
tangan orang usil. 

Maka ketika akhirnya berhasil mengenakan pa- 
kaiannya kembali, pemuda pesolek ini mencelat ke de- 
pan gubuk. Lega hatinya ketika melihat orang yang te- 
lah bertindak usil, telah berada di depan gubuk juga. 
Jumini masih berada di dalam gubuk. 

Sementara itu, sepasang mata milik Dirgantara 
terus memperhatikan sosok berpakaian serba hitam, 
dan pemuda pesolek yang dikenal sebagai pemuda hi- 
dung belang. Karena tidak melihat adanya Jumini, dan 
menyadari betapa tingginya kepandaian Lanang, Dir- 
gantara merasa tak akan mampu menghadapinya. Ma- 
ka dia segera berbalik, meninggalkan tempat persem- 
bunyiannya. 


*** 


"Ha!" 

Sementara Lanang melongo sebentar, kemudian 
tertawa bergelak. 

"Mimpi apa aku semalam sampai bisa bertemu 
seorang bidadari dari kahyangan? Siapa kau, Gadis 
Ayu?! Apakah kau juga ingin bersenang-senang den- 
ganku?!" 

Jumini yang sudah muncul di samping Linggar, 
menggertakkan gigi. Kebenciannya terhadap Lanang 
semakin membesar. Belum lama, Lanang mengatakan 
kalau dirinya adalah wanita satu-satunya yang dicin- 
tai. Sekarang pemuda itu telah memuji-muji gadis ber- 
pakaian serba hitam. Di depan hidungnya lagi! Benar- 
benar seorang lelaki buaya! 

"Makhluk menjijikkan seperti kau memang ti- 
dak patut dibiarkan lama-lama hidup di dunia ini!" de- 
sis Jumini, penuh perasaan geram. 

"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Dik. 
Aku pun tidak mempunyai niat untuk mengampu- 
ninya! Serahkan padaku untuk menghukumnya!" 

Jumini menatap wajah Linggar lekat-lekat se- 
bentar. 

"Kau yakin bisa menanggulanginya sendiri?!" 

Linggar mau tidak mau tersenyum melihat 
tingkah Jumini yang kekanak-kanakan. 

"Aku tidak yakin, Dik. Tapi andaikata aku tidak 
mampu, bukankah masih ada kau?! Dengan adanya 
kau, apa lagi yang perlu ku khawatirkan?!" 

Jumini tersenyum. Kemudian setelah melempar 
senyum manis untuk Linggar, Jumini melangkah 
mundur. Diberinya kesempatan pada Linggar untuk 
menghadapi Lanang. Kendati demikian, gadis yang se- 
benarnya putri Pendekar Jari Maut ini bersiap-siap 
memberi pertolongan bila terjadi sesuatu yang tidak di- 
inginkan terhadap penolongnya. 

Lanang adalah seorang pemuda yang cerdik 
bukan main. Sekali lihat saja bisa diketahui kalau ke- 
pandaian Linggar amat tinggi. Dan mungkin berada di 
atas Jumini. Tapi kalau sampai mereka bersatu untuk 
mengeroyoknya, dia akan menderita kerugian. Jelas, 
dia tidak akan mampu menghadapi mereka berdua. 
Maka sebelum kedua gadis ini bersatu, diputuskannya 
bertindak cepat. 

"Cuhhh!" 

Tanpa disangka-sangka, Lanang menyembur- 
kan ludahnya berkali-kali. Pemuda ini tahu, sebagian 
besar orang merasa jijik dengan cairan kental itu. Te- 
rutama sekali, wanita. 

Dugaan Lanang tidak meleset. Linggar merasa 
jijik bukan main melihat gumpalan-gumpalan ludah 
kental yang meluncur bertubi-tubi ke arahnya. Cepat 
gadis itu melompat jauh ke belakang sejauh empat 
tombak. Dan dari jarak itu, Linggar mementahkan 
semburan-semburan ludah dengan memutar pedang- 
nya di depan dada hingga menimbulkan gulungan si- 
nar kemilau. 

Permainan pedang Linggar ternyata tidak hanya 
enak dilihat, tapi juga menggiriskan. Beberapa jengkal 
dari gulungan sinar pedangnya, gumpalan-gumpalan 
ludah itu runtuh ke tanah semuanya. Cairan-cairan 
menjijikkan itu bagaikan bertemu dinding tidak nam- 
pak. 

Lanang sebenarnya terkejut melihat hal ini. Se- 
ketika itu pula disadari kedahsyatan tenaga dalam la- 
wannya. Tapi dia tidak mempedulikannya. Kesempatan 
itu dipergunakannya untuk melolos sabuk dan mengi- 
rimkan serangan. 

Sabuk itu meliuk-liuk laksana seekor ular. 
Ujungnya mematuk-matuk, ke bagian-bagian tubuh 
yang berbahaya. 

Siasat Lanang berhasil. Serangan-serangan lu- 
dahnya memang dimaksudkan untuk membuat Ling- 
gar menjauh. Sementara senjata sabuknya memang 
mempunyai jangkau jauh lebih panjang daripada pe- 
dang lawan. Maka bila pertarungan berlangsung dalam 
jarak jauh, Lanang akan mendapat satu keuntungan. 

Namun, Lanang keliru bila mengira Linggar da- 
pat disiasati seperti itu. Gadis berpakaian serba hitam 
ini memiliki ketenangan luar biasa. Ketenangan inilah 
yang dapat membuatnya berpikir panjang. Hanya da- 
lam sejekap, Linggar tahu kalau kedudukan pemuda 
pesolek itu lebih menguntungkan bila hal ini berlang- 
sung. Maka serangan-serangan ujung sabuk Lanang 
dihadapinya dengan elakan, lompatan gulungan tubuh 
ke depan. 

Lanang juga tidak kalah cerdik Dia pun menja- 
ga jarak dengan cara melompat ke belakang juga se- 
raya mengirimkan serangan-serangan berbahaya. Tin- 
dakannya membuat jarak antara mereka tidak beru- 
bah. 

Sedangkan saat itu Jumini mengernyitkan alis- 
nya, tidak tenang ketika melihat jalannya pertarungan. 
Dalam hati, diakui kalau kepandaian Linggar amat 
tinggi. Bahkan mungkin tidak berada di bawah ting- 
katnya sendiri. Tapi agaknya Linggar bukan tandingan 
Lanang, putra angkat Naga Sakti Berwajah Hitam. Ter- 
lihat jelas oleh Jumini betapa Linggar tidak mampu 
mendekati Lanang. 

Kini sekujur otot-otot tubuh Jumini sudah me- 
negang, bersiap terjun ke dalam kancah pertarungan 
dan menyelamatkan membantu Linggar. 

Rrrttt! 

Jantung dalam dada Jumini berdetak keras. 
Hatinya tegang bukan main, ketika melihat batang pe- 
dang Linggar terlibat sabuk Lanang. Jumini tahu, 
Linggar sengaja melakukannya agar tidak terus- 
menerus dicecar. Kendati demikian, Jumini tidak bisa 
membenarkan pertarungan yang menggunakan tenaga 
dalam seperti itu. Jumini tahu betul kalau tenaga da- 
lam Linggar masih berada di bawah tenaga dalam La- 
nang. Dan ini berarti kerugian terbesar akan dialami 
Linggar. 

"Ah...!" 

Tanpa sadar Jumini berteriak kaget ketika me- 
lihat Linggar melepaskan pedangnya. Saat itu, adu ta- 
rik-menarik tengah berlangsung sengit. Dan Lanang 
berada di pihak yang unggul. Akibatnya, tubuh Lanang 
terjengkang ke belakang terbawa tenaga tarikannya 
sendiri. 

Sementara Jumini lebih kaget lagi ketika meli- 
hat Linggar malah duduk bersila. Apa yang hendak di- 
lakukan gadis berpakaian hitam itu? Jumini hanya 
mampu bertanya dalam hati dengan perasaan terce- 
kam. 

Tapi, sesaat kemudian keheranan Jumini ber- 
ganti kekaguman. Samar-samar dari atas kepala Ling- 
gar terlihat melesat sesosok bayangan yang mirip Ling- 
gar yang tengah duduk bersila. Hanya saja bentuknya 
hanya berupa bayangan tidak jelas. Kalau Jumini ti- 
dak memiliki tenaga dalam tinggi dan memperhatikan 
pertarungan sejak semula, tentu tidak akan bisa meli- 
hatnya. 

Sementara itu, bayangan Linggar melayang ce- 
pat menuju Lanang. Saat itu pemuda pesolek ini telah 
berhasil memperbaiki kedudukannya yang tidak men- 
guntungkan. Dengan agak bergegas, dia duduk bersila 
juga. Sebentar kemudian, dari atas kepalanya pun me- 
layang-layang sesosok bayangan yang juga mirip den- 
gan Lanang asli. Sosok bayangan Lanang ini langsung 
menyambuti kedatangan sosok bayangan Linggar. 

Pertengahan jalan, dua sosok bayangan ini sa- 
ling bertemu. Dan seperti layaknya dua orang ma- 
nusia, mereka ini saling serang dengan tangan kosong. 
Keduanya silih berganti mengirimkan pukulan dan 
tendangan. 

Jumini yang baru pertama kali melihat per- 
tarungan semacam ini, menjadi bingung. Meski demi- 
kian, karena tingkat kepandaiannya memang sudah 
cukup tinggi, bisa diduga akan apa yang tengah terja- 
di. Linggar dan Lanang tengah mengadu kekuatan ba- 
tin. Kedua tokoh itu seperti melepaskan nyawa mereka 
sendiri. 

Cara pertarungan demikian memang menak- 
jubkan. Kelihatannya dua belah pihak tidak berbuat 
apa-apa, selain duduk bersila dan berdiam diri. Pa- 
dahal, masing-masing memusatkan perhatian sepe- 
nuhnya, untuk mengerahkan seluruh kekuatan batin 
yang dimiliki. 

Walaupun hanya duduk bersila dan diam tidak 
bergerak-gerak bagaikan patung batu, sekujur tubuh 
mereka, telah dibanjiri peluh. Bahkan ketika keadaan 
itu berlangsung agak lama, dari atas kepala dua tokoh 
itu mengepul uap. Mula-mula tipis dan tidak terlihat 
mata, tapi semakin lama semakin tebal dan banyak. 

Jumini hanya bisa menatap dengan perasaan 
gelisah, ketika melihat uap yang mengepul dari atas 
kepala Linggar jauh lebih banyak. Malah kedua tangan 
Linggar yang bersedakap, menggigil keras seperti orang 
demam tinggi. Jumini tahu, Linggar tengah terdesak 
hebat. 

Hati Jumini gelisah, karena hanya mampu me- 
nyaksikan tanpa mampu berbuat apa-apa. Gadis ini 
tidak tahu, bagaimana caranya membantu Linggar. 
Pandangan matanya memang dapat melihat kalau 
bayangan Linggar terus-menerus terdesak dan terhim- 
pit. Bahkan beberapa kali terkena serangan bayangan 
Lanang. 

Jumini sampai menghentakkan kaki saking ka- 
getnya, ketika melihat bayangan Linggar melompat 
memapak serangan bayangan Lanang. Jumini tahu, 
Linggar bertindak nekat 

"Huakh...!" 

Tiba-tiba Linggar memuntahkan darah segar. 
Tubuhnya yang masih dalam keadaan duduk bersila 
sampai terlipat ke depan. Di lain pihak, Lanang hanya 
mengeluarkan keluhan tertahan. Dua bayangan yang 
tadi saling tarung, mendadak lenyap seketika itu juga. 

"Linggar...!" 

Jumini menghambur ke arah Linggar berada. 
Hatinya khawatir gadis penolongnya itu akan celaka. 
Maka, bergegas dihampirinya Linggar untuk diperiksa. 

"Aku tidak apa-apa, Dik," ucap Linggar terbata- 
bata. 

Terlihat susah sekali, gadis ini berbicara. Bah- 
kan pembicaraannya ditutup dengan mengalirnya da- 
rah segar dari celah-celah bibirnya. 

"Maafkan aku yang tidak becus ini. Aku tidak 
mampu mengalahkan lelaki buaya itu. Dia terlalu lihai 
untukku," desah Linggar seperti menyesal. 

"Biar aku yang akan melanjutkannya, Kak," sa- 
hut Jumini sambil menatap ke arah Lanang yang ma- 
sih juga duduk bersila. Pemuda pesolek ini walau tidak 
terluka, tapi tenaganya habis karena terlalu terkuras. 

"Jangan lakukan itu, Dik. Itu bukan tindakan 
ksatria," cegah Linggar dengan suara lemah. 

Tapi, Jumini memang memiliki watak keras. 
Perlakuan Lanang terhadapnya saja sudah cukup be- 
ralasan untuk membunuhnya. Tidak peduli bagaimana 
caranya. Ini, masih ditambah lagi perbuatannya terha- 
dap Linggar hingga luka parah. Kemarahan Jumini 
bertumpuk-tumpuk. Dengan langkah lebar dan sorot 
mata penuh ancaman, dihampiri Lanang. 

Lanang menyadari akan adanya ancaman ba- 
haya besar. Sama sekali tidak disangka kalau akhir 
pertarungan ini bisa seperti ini. Linggar ternyata demi- 
kian cerdik, sehingga mampu membuat kemenangan- 
nya hampir tidak berarti. Sebab, dengan mudah Jumi- 
ni akan dapat membunuhnya. 

"Lanang...! Manusia keji...! Penjahat terkutuk! 
Orang sepertimu harus segera dilenyapkan dari muka 
bumi! Bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut, 
Pemuda Banci!" hiding Jumini dengan suara sengit, 
begitu langkahnya berhenti dengan jarak dua tombak 
di depan Lanang. 

"He he he...!" 

Sungguhpun tenaganya telah terkuras banyak, 
Lanang masih memaksakan diri untuk tertawa. Penuh 
ejekan. 

"Tunggu apa lagi, Jumini?! Bukankah kau ingin 
membunuhku?! Silakan! Aku sudah tahu kalau orang 
macam kau, memang pandai memanfaatkan peluang. 
Bukankah lebih enak membunuh orang yang sudah ti- 
dak mampu mengadakan perlawanan?! Kau memang 
mirip ayahmu yang pengecut! Beraninya hanya meng- 
hadapi orang yang tidak berdaya! Tak heran kalau 
anaknya pun akan menjadi orang yang paling penge- 
cut! 

Jumini mendelik mendengar ejekan itu. Dia ta- 
hu, Lanang tengah berusaha menyinggung harga di- 
rinya, demi untuk menyelamatkan nyawa. Tapi 
sayangnya, kecerdikan Lanang membuat keinginannya 
untuk menjatuhkan hukuman bagi pemuda pesolek 
itu berkurang jauh. Tentu saja, Jumini risih dicap 
pengecut. 

Gadis ini bimbang. Apakah ejekan itu ditangga- 
pi dan Lanang akan mengambil keuntungan? Ataukah 
dibiarkan saja, dan maksudnya bisa diteruskan? 

Tapi dasar Jumini seorang gadis nakal, urakan, 
dan cerdik. Maka dalam waktu sekejapan saja, sudah 
bisa menemukan jalan terbaik untuk memecahkan 
masalah. Bibirnya tampak tersenyum mengejek den- 
gan sepasang mata bersinar-sinar. 

Lanang yang semula sudah merasa yakin de- 
ngan ejekannya yang mampu menyinggung harga diri 
Jumini, kini mulai merasa cemas. Senyum yang semu- 
la menghias bibirnya, mulai memudar. Dia tahu, Ju- 
mini memiliki kecerdikan. Barangkali saja, gadis itu te- 
lah menemukan sebuah cara untuk melakukan tinda- 
kan terhadapnya. 

Sementara itu, Jumini dengan sikap tenang 
mulai menghunus pedangnya. Sedang Lanang mem- 
perhatikan dengan dada berdetak keras, karena jan- 
tungnya memukul lebih cepat. Hidungnya mulai mem- 
baui adanya bahaya. 

"Manusia jahanam! Lanang! Aku bukan sejenis 
orang berwatak pengecut yang mampu membunuh 
orang tidak berdaya. Aku tidak sudi membunuhmu! 
Tapi, terlalu enak bila membiarkan mu pergi begitu sa- 
ja. Orang semacammu harus diberi pelajaran! Sebelah 
tanganmu akan kuambil sebagai ganjaran atas keku- 
rangajaranmu terhadapku! Terimalah balasan sikap 
tak sopanmu terhadapku!" 

Jumini segera menggetarkan pedangnya, hing- 
ga seperti berjumlah belasan. Bunyi mengaung ter- 
dengar mengiringi getaran pedang itu. Kemudian sam- 
bil memekik nyaring, gadis ini melompat sambil mengi- 
rimkan babatan ke arah pangkal tangan kanan La- 
nang. 

Sementara itu wajah pemuda pesolek ini pucat 
pasi membayangkan sebelah tangannya akan lenyap 
untuk selamanya. Namun.... 

Trang! 

Jumini mengeluh tertahan, ketika beberapa jari 
sebelum batang pedangnya mengenai sasaran melesat 
sinar kehijauan dari sebelah kanannya. Sinar hijau 
yang melesat cepat dengan bunyi berdesing nyaring, 
membentur keras mata batang pedang Jumini. 

Benturan tadi kontan membuat Jumini terpak- 
sa bersalto ke belakang beberapa kali untuk mema- 
tahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlontar. 
Terasa berat bukan main. Malah pedangnya hampir 
terlepas dari pegangan, saking kerasnya. 

Begitu Jumini menjejakkan kaki, terdengar ta- 
wa mengikik dan terdengar liar! Begitu tak beraturan! 

Dengan hati panas karena marah atas campur 
tangan terhadap urusannya, Jumini mengalihkan 
pandangan ke arah asal tawa. Ternyata di sana telah 
berdiri sesosok ramping dengan bentuk tubuh menggi- 
urkan. Seorang gadis muda yang memiliki wajah can- 
tik. Hanya saja, keadaannya membuat Jumini berde- 
tak mengkirik. 

Gadis yang telah menyelamatkan Lanang itu 
memang mempunyai tingkah aneh. Bukan hanya ka- 
rena tawanya yang berkesan aneh dan mengerikan, ta- 
pi juga dandanannya. Pakaiannya bercorak kembang- 
kembang yang dikenakannya terbalik. Wajah yang se- 
benarnya cantik itu pun jadi terlihat mengerikan kare- 
na terlalu banyak bedak. Sinar matanya kosong, na- 
mun berkesan liar. 

Tingkah dan penampilan gadis berpakaian 
kembang-kembang ini saja sudah membuat Jumini 
bergidik. Tapi yang lebih membuat hatinya tercekat 
adalah, ketika melihat benda yang tadi telah ber- 
benturan dengan pedangnya. Benda berwarna ke- 
hijauan itu ternyata batang alang-alang yang tak lebih 
besar dari batang lidi. 

Jumini tak habis pikir, bagaimana mungkin se- 
batang alang-alang yang demikian kecil mampu mem- 
bentur batang pedangnya? Seakan-akan yang terjadi 
tadi benturan antara dua batang benda tajam yang 
sama-sama-sama besar dan berat. Yang lebih gila lagi, 
batang alang-alang itu mampu membuat pedangnya 
hampir terlepas dari pegangan. Benar-benar luar biasa 
tenaga dalam yang terkandung pada lemparan batang 
alang-alang itu. Bagaimana pula, bila yang dilempar- 
kan untuk menangkis adalah pedang pula! 

Jumini yang berotak encer, segera bisa menge- 
tahui kalau gadis berpakaian kembang-kembang itu 
memiliki kepandaian tinggi! Kekuatan tenaga da- 
lamnya telah memberi petunjuk yang jelas. Dan dia ti- 
dak yakin akan mampu menghadapinya. 

"Siapa kau, Kak?! Mengapa kau mencegah tin- 
dakanku yang hendak membunuh bangsat itu?!" ujar 
Jumini dengan suara lembut sambil menuding Lanang. 

"Kakak? Hi hi hi...!" ulang gadis berpakaian 
kembang-kembang sambil tertawa mengikik dengan 
sepasang bola mata berkeliaran liar ke sana kemari. 
"Kapan aku pernah mempunyai adik perempuan seper- 
timu?! Aku tidak mempunyai adik! Apalagi adik yang 
gila!" 

Wajah Jumini merah karena malu dan tersing- 
gung. Dia tadi menyebut kakak untuk menghargai ga- 
dis berpakaian kembang-kembang ini. Namun sama 
sekali tidak disangka kalau tanggapan yang didapat 
akan seperti ini! 

Yang lebih menyakitkan hati adalah, ketika 
Jumini malah dimaki sebagai orang gila oleh gadis 
berpakaian kembang-kembang ini. Padahal dia yakin, 
sekali lihat saja orang akan tahu siapa yang lebih pa- 
tut dikatakan gila. 

"Ah...! Rupanya aku salah bicara! Kukira aku 
berhadapan dengan orang! Tak tahunya hanya seekor 
iblis betina yang tak waras! Memang pantas sekali Iblis 
betina tak waras bergaul dengan seorang lelaki tak ta- 
hu diri! Tepat sekali!" 

"Keparat!" maki gadis berpakaian kembang- 
kembang, kelihatan marah sekali. "Berani kau menga- 
takan aku gila?! Dasar orang gila! Kau benar-benar 
mempunyai nyali macan! Apakah kau telah mempu- 
nyai nyawa rangkap? Menghinaku saja, telah cukup 
untuk membunuhmu. Apalagi setelah kau berani- 
beranian memaki calon suamiku! Kau akan kubunuh, 
Gadis Gila! Hi hi hi..!" 

Jumini, Linggar, lebih-lebih lagi Lanang, terpe- 
ranjat mendengar penuturan gadis berpakaian kem- 
bang-kembang itu yang mengaku-aku Lanang sebagai 
calon suaminya! Sedangkan Jumini dan Linggar men- 
jadi heran. Benarkah gadis yang kelihatan tak waras 
itu adalah calon istri Lanang?! Tidak salahkah itu?! 

"Mengapa malah bengong, Wanita Gila?! Kau 
harus mendapat hukuman atas kelancanganmu hen- 
dak membunuh suamiku!" 

"Kaulah yang lebih dulu akan kusingkirkan, 
Wanita Gila!" sentak Jumini kehabisan sabar, lang- 
sung dia melesat menerjang sambil menusukkan pe- 
dangnya ke arah leher! 

"Uh, galaknya! Sayang tidak kena!" seru gadis 
berpakaian kembang-kembang ini sambil merendah- 
kan tubuh sampai berjongkok, sehingga serangan 
ujung pedang Jumini lewat beberapa jari di atas kepa- 
lanya. 

Jumini merasa direndahkan. Langsung seran- 
gannya disusuli dengan tendangan kaki kanan ke arah 
kepala. Tapi masih dalam keadaan berjongkok, gadis 
berpakaian kembang-kembang itu mengelak. Tak keli- 
hatan menjejakkan kaki, tapi tubuhnya telah melayang 
ke belakang. Sehingga, serangan Jumini kembali kan- 
das. 

Jumini penasaran bukan main. Dengan kema- 
rahan semakin memuncak, dikirimkan serangan susu- 
lan dengan mengerahkan seluruh kemampuan. Pe- 
dangnya ditusukkan bertubi-tubi ke berbagai sekujur 
tubuh bagian atas yang berbahaya dari gadis gila itu. 




Gadis gila berpakaian kembang-kembang yang 
sudah berdiri tegak di atas tanah, tidak gugup melihat 
serangan bertubi-tubi dari Jumini. Dan hanya mengge- 
rakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, dia telah ber- 
hasil membuat semua serangan kandas. 

Pada satu kesempatan, Jumini menusukkan 
pedangnya ke leher. Namun dengan gerakan manis se- 
kali, gadis itu mengegoskan tubuhnya. Dan sebelum 
Jumini sempat menariknya, gadis berpakaian kem- 
bang-kembang ini telah lebih dulu mengulurkan mu- 
lutnya. 

Krep! 

Batang pedang Jumini di luar dugaan, berhasil 
digigit gadis berpakaian kembang-kembang itu. 

Jumini kaget. Cepat pedangnya ditarik kembali 
dengan keras. Tapi pedangnya bagai terjepit catut baja 
saja. Betapapun kerasnya menarik, namun tak ber- 
geming sama sekali. Apalagi untuk merobek mulut ga- 
dis gila itu. 

Meski demikian, Jumini yang memiliki watak 
keras hati tidak mau mengalah. Seluruh kemampuan- 
nya dikerahkan untuk menarik. Dan di saat, gadis 
berpakaian kuning ini tengah berada dalam puncak 
kekuatan tarikannya, gadis gila berpakaian kembang- 
kembang itu mengerahkan tenaga menekan pada gigi- 
giginya. 

Krak! 

Saat itu juga, batang pedang Jumini patah 
menjadi tiga potong. Tubuh gadis itu pun terjengkang 
ke belakang, terbawa tenaga tarikannya sendiri. Salah 
satu potongan pedang tetap berada di tangannya. Se- 
dangkan potongan yang lain berada di antara gigi-gigi 
gadis gila berpakaian kembang-kembang itu. 

Dan di saat tubuh Jumini masih terhuyung ke 
belakang karena belum bisa mematahkan kekuatan 
yang membuat tubuhnya terjengkang, gadis gila itu 
mengegoskan kepalanya. 

Set! 

Seketika, dua potong batang pedang yang ma- 
sih di mulut gadis gila itu melesat dengan kecepatan 
menakjubkan ke arah Jumini. Yang satu menuju ke 
leher, sedangkan yang lain menuju ke ulu hati. Ru- 
panya gadis gila itu benar-benar berniat mengirim 
nyawa Jumini ke alam baka, dengan mengirimkan dua 
serangan yang mematikan. 

Di lain pihak, meski dalam keadaan kurang 
menguntungkan, Jumini masih mampu melihat akan 
adanya ancaman maut. Hanya sekali memperhatikan, 
dapat diketahui kalau potongan pedang yang menuju 
ke leher, yang lebih dulu mengenai sasaran. Karena di 
samping meluncur lebih dulu, kecepatan luncurannya 
pun lebih dahsyat. 

Dalam waktu yang hanya sekejap itu, Jumini 
mampu berpikir cepat. Dia harus menangkis potongan 
pedang yang meluncur ke arah leher. Sedangkan un- 
tuk potongan selanjutnya akan dielakkan saja, dengan 
menggunakan tenaga yang didapat dari benturan nan- 
ti. 

Begitu waktu yang ditunggu tiba, Jumini lang- 
sung mengayunkan pedangnya yang tinggal sepotong 
pada sasaran ke leher. 

Wut! 

"Heh?!" 

Hati Jumini mencelos, ketika melihat potongan 
pedang yang dikira akan mendarat lebih dulu, tiba-tiba 
melambat. Sebaliknya, potongan yang lain, meluncur 
menakjubkan. Akibatnya tangkisan Jumini jadi men- 
genai angin kosong. 

Jumini jadi gugup. Dengan sebisa-bisanya, tu- 
buhnya dilempar ke belakang untuk menjauhi Malai- 
kat Maut. Perubahan serangan yang demikian menda- 
dak, membuatnya jadi kehilangan akal. Sehingga.... 

Cap, cap! 

Jumini menjerit tertahan, ketika kedua potong- 
an pedang itu mendarat di sasaran. Yang satu menan- 
cap di pangkal bahu kanan, sedangkan yang satu lagi 
menembus dada sebelah kanan bagian atas. Gerakan 
terakhir yang dilakukan Jumini tadi memang cukup 
untuk menyelamatkan nyawanya dari maut. Kendati, 
tetap saja dia tidak mampu untuk menyelamatkan diri 
dari ancaman potongan pedang. 

"Hihihi...!" 

Gadis gila berpakaian kembang-kembang men- 
gikik ketika melihat Jumini memekik kesakitan dengan 
tubuh masih terhuyung-huyung ke belakang. 

Linggar yang sejak tadi belum sempat melaku- 
kan tindakan untuk mengobati luka dalamnya, merasa 
cemas melihat nasib Jumini. Dia ingin meneriakkan 
seruan saja pada Jumini agar segera pergi meninggal- 
kan tempat itu. Karena melawan terus pun akan per- 
cuma. 

Gadis gila berpakaian kembang-kembang itu 
memang memiliki kepandaian menakjubkan. Bahkan 
mungkin berada di atas Lanang. Terus melawan sama 
saja mati konyol! 

Untungnya bukan hanya Linggar yang menya- 
dari keadaan demikian, tapi juga Jumini. Maka meski 
kekuatan yang membuatnya terhuyung telah habis, 
gadis ini bertingkah seakan-akan masih dipengaruhi 
kekuatan itu dengan bergerak ke arah Linggar. Kemu- 
dian secara tiba-tiba, Jumini menyambar tubuh Ling- 
gar, lalu melesat cepat meninggalkan tempat itu. Pera- 
saan khawatir bila gadis gila itu mengejar, membuat 
seluruh kemampuan larinya terpaksa dikerahkan. 

Tapi, kekhawatiran Jumini ternyata tidak bera- 
lasan. Gadis gila itu sama sekali tidak mengejar. Meski 
memang kaget ketika melihat lawannya mengambil 
langkah seribu, gadis berpakaian kembang-kembang 
itu tidak memburu. Yang dilakukannya hanya terus 
tertawa-tawa sambil mengeluarkan ejekan cukup me- 
merahkan telinga. 

"Ayo! Ayo, mau lari ke mana kau, Gadis Gila?! 
Akan kukejar ke mana pun kau lari! Ayo...! Awa...! Pe- 
dang...! Pedang...! Hi hi hi...! Ada orang gila berlari 
tunggang langgang! Hi hi hi...!" 


■k-k-k 


Gadis berpakaian kembang-kembang ini baru 
menghentikan ejekan dan tawanya, ketika tubuh Ju- 
mini sudah tidak terlihat lagi. Dengan lagak malu- 
malu sambil menghias senyum semanis mungkin, ma- 
tanya melirik ke arah Lanang. 

"Bagaimana, Suamiku?! Apakah kau telah se- 
nang sekarang...?! Musuh-musuh kita telah terusir 
pergi. Sekarang, mari kita pergi menjumpai Kakek. 
Dan tua bangka bau tanah itulah yang akan menikah- 
kan kita. Bagaimana? Kau mau kan, Suamiku 
Sayang?!" 

Lanang susah payah menelan ludahnya seperti 
orang menelan duri. Di dalam hati, pemuda pesolek ini 
memaki kalang kabut. Sama sekali tidak disangka ka- 
lau perkembangan nasibnya jadi seperti ini. Semula 
harapannya akan mendapat dua bidadari. Tak tahunya 
mendapat seorang gadis gila! 

Jantung Lanang berdetak jauh lebih cepat keti- 
ka gadis berpakaian kembang-kembang itu bergerak 
menghampirinya dengan langkah terlihat malu-malu. 
Kedua tangannya di depan dengan jari-jari diremas 
dan direntangkan satu sama lain. Wajahnya ditunduk- 
kan. Namun dari balik bulu matanya yang kelewat len- 
tik, matanya menyambar ke wajah Lanang. Dan pemu- 
da itu malah muak jadinya. 

Semakin gadis berpakaian kembang-kembang 
itu dekat, Lanang semakin muak. Perutnya pun men- 
dadak mual, ingin muntah. 

Lanang sudah bersiap-siap untuk memaki- 
maki. Bahkan akan meludahi, apabila gadis ber- 
pakaian kembang-kembang itu terus mendekat. Tapi 
sebelum maksudnya itu dilaksanakan, mendadak 
langkah gadis itu berhenti. Wajah yang semula penuh 
senyum dan sikap yang malu-malu, seketika berubah. 
Lanang melihat wajah gadis itu beringas. Sepasang 
matanya liar kembali. 

"Keparat! Orang-orang gila dari mana yang be- 
rani mengintai ku?! Apakah kalian bosan hidup, se- 
hingga berani mengintai putri tercantik sedunia yang 
hendak bercengkerama dengan calon suaminya?!" sen- 
tak gadis berpakaian kembang-kembang ini sambil 
berbalik. 

Lanang mendadak terperanjat. Benarkah ada 
banyak orang yang tengah mengintai mereka? Kalau 
benar mengapa dia tidak terdengar oleh telinganya? 
Demikian tinggikah ilmu meringankan tubuh orang- 
orang itu? Kalau benar demikian, berarti kepandaian 
gadis ini sukar diukur! Lalu, bagaimana pula tingginya 
tingkat kepandaian gurunya? Mengingat hal ini Lanang 
jadi bergidik! 

Waktu terus berlalu. Tapi, orang-orang yang 
dimaksud gadis berpakaian kembang-kembang ini tak 
juga keluar dari tempat persembunyiannya di dalam 
gubuk tempat Lanang semula. 

Lanang yang melihat hal ini mulai meragukan 
keberadaan orang-orang yang dimaksud gadis ber- 
pakaian kembang-kembang ini. Bukan tidak mungkin 
kalau gadis itu hanya mengada-ada saja. Bukankah 
gadis itu memang kurang waras? 

"Rupanya kalian lebih gila daripada orang gila 
yang baru saja kuusir?! Kalian ingin aku bertindak ke- 
ras?!" 

Gadis berpakaian kembang-kembang menutup 
ucapannya dengan dorongan kedua telapak tangan 
terbuka, setelah terlebih dulu tersilang di depan dada. 

Saat itu Lanang mendengar bunyi mendesing 
keras, kemudian pondok sederhana itu berderak keras 
seperti diterpa angin ribut. Bahkan pondok itu terang- 
kat ke atas bagai dicabut tangan-tangan raksasa yang 
tidak kelihatan. Lalu potongan-potongan pondok berja- 
tuhan, bertumpukan beberapa tombak di sebelah kiri 
tempat itu. 

Dan begitu pondok itu telah tidak tampak lagi, 
sepasang mata Lanang terbelalak. Di situ tampak ber- 
diri tegak dua sosok yang telah berusia lanjut. Ternya- 
ta gadis berpakaian kembang-kembang tidak salah 
dengar. Dia benar! Dan Lanang mulai merasakan bulu 
kuduknya berdiri! 

Keterkejutan Lanang semakin membesar, ke- 
tika melihat dua sosok itu. Pemuda pesolek ini teringat 
akan seorang tokoh besar, ketika melihat ciri-ciri salah 
seorang di antara mereka. 

Sosok yang dimaksudkan Lanang berpakaian 
sederhana. Kulitnya hitam kecoklatan. Wajahnya terli- 
hat keras. Sebuah caping bambu bertengger di atas 
kepalanya yang terhias rambut-rambut putih. Lanang 
tahu, kakek itu tak lain adalah Petani Berambut Putih! 

Petani Berambut Putih tampak bersikap te- 
nang, kendati baru mengalami kejadian yang cukup 
mengejutkan. Demikian pula sosok yang satu lagi, wa- 
jah dan sikap mereka biasa saja ketika mengayunkan 
kaki mendekati tempat Lanang dan gadis berpakaian 
kembang-kembang itu berada. 

"Kau yakin kalau pemuda itu yang dimaksud 
Dirgantara muridmu itu, Petani Berambut Putih?!" 
tanya kakek di sebelah Petani Berambut Putih, tubuh- 
nya kecil kurus dan bermata sipit 

"Aku yakin, Jari Maut. Muridku menceritakan- 
nya secara jelas. Pasti pemuda itu yang bernama La- 
nang." 

"Lalu..., siapa gadis aneh di sebelahnya itu?" 
tanya kakek kecil kurus yang ternyata Pendekar Jari 
Maut 

"Aku sendiri tidak tahu, Jari Maut. Tapi menilik 
dari sikap Lanang, aku yakin, dia tidak mempunyai 
hubungan apa pun dengannya." 

"Seorang gadis yang hebat. Semuda itu sudah 
memiliki tenaga dalam yang demikian kuat. Entah sia- 
pa gurunya. Sayang, otaknya tidak waras," puji Pende- 
kar Jari Maut disertai helaan napas berat. 

Percakapan dua kakek sakti yang merupakan 
tokoh-tokoh besar dunia persilatan golongan putih ini 
membuat jantung Lanang terasa berdetak jauh lebih 
cepat. Sama sekali tidak disangka akan bertemu mere- 
ka. Dua kakek yang memiliki tingkat kepandaian seja- 
jar dengan ayahnya, Naga Sakti Berwajah Hitam. Tapi 
toh, keberadaan mereka bisa diketahui gadis berpa- 
kaian kembang-kembang. Lalu, sampai di mana ting- 
kat kepandaian gadis gila ini? 

Percakapan dua kakek itu saja sudah menun- 
jukkan pada Lanang akan ketinggian kepandaian me- 
reka. Terlihat jelas kalau Petani Berambut Putih dan 
Pendekar Jari Maut bercakap-cakap dengan hanya 
mengemikkan sedikit bibir. Tapi toh, bunyi yang ter- 
dengar amat lantang. Bahkan bergema ke seluruh pen- 
juru tempat ini. 

Berbeda dengan Lanang, gadis gila berpakaian 
kembang-kembang itu tidak merasa gentar sama seka- 
li. Bahkan kelihatan sekali marah. Apalagi ketika meli- 
hat kedua kakek itu terus melangkah mendekati tem- 
patnya berada dengan sikap tak ambil peduli. 

"Berhenti, Orang-orang Gila! Kalau kalian tidak 
mau patuh juga, kalian akan kujadikan mayat-mayat 
gila! Bagus bukan?! Hi hi hi...!" 

Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih 
saling berpandangan tanpa menghentikan ayunan ka- 
ki. Di mulut mereka sama-sama tersungging senyum. 
Kedua kakek sakti ini merasa geli melihat sikap gadis 
berpakaian kembang-kembang itu. Semula seruannya 
mengandung kemarahan, tapi ditutup tawa mengikik. 
Dasar orang tak waras! Kendati demikian, terbit rasa 
iba di hati mereka terhadap nasib gadis yang tidak wa- 
ras itu. 

"Rupanya kalian ingin merasakan gebukanku?!" 

Seruan itu membuat Pendekar Jari Maut dan 
Petani Berambut Putih berhenti melangkah. Dan seir- 
ing selesainya perkataan itu, gadis berpakaian kem- 
bang-kembang langsung membuktikan ancamannya. 
Dua kakek ini tentu saja tidak takut mendapat gebu- 
kan. Mereka ingin melihat, tindakan apa yang akan di- 
lakukan gadis yang memiliki tenaga dalam amat kuat 
itu. 

Terlihat gadis berpakaian kembang-kembang 
berdiri tegak dengan kedua tangan terbuka bersilang 
di depan dada. Sepasang matanya berputar liar, khas 
orang kurang waras. Padahal, Pendekar Jari Maut dan 
Petani Berambut Putih tahu kalau gadis itu tengah 
mengumpulkan kekuatan batin. Tapi anehnya dengan 
sikap seperti itu. Luar biasa! 

"Heh?!" 

Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih 
tersentak kaget, ketika melihat dua batang ranting se- 
besar itu jari kaki yang panjangnya bagai pedang me- 
layang naik. Padahal, ranting itu berada di sekitar tiga 
tombak dari tempat gadis gila berpakaian kembang- 
kembang ini. 

Semula ranting itu bergerak naik ke udara per- 
lahan. Tapi kemudian, meluncur ke arah Pendekar Jari 
Maut dan Petani Berambut Putih. Bahkan mulai mele- 
sat menyerang bagaikan hidup! Hanya saja ranting itu 
melesat berjajar di kanan dan kiri sebagaimana layak- 
nya dipegang sepasang tangan manusia. 

Kalau kedua kakek sakti itu saja terperanjat, 
apalagi Lanang! Malah biji matanya bagai hendak me- 
lompat keluar melihat kejadian ini. Lanang yakin, apa 
yang dilihatnya bukan sihir! 

Keterkejutan Lanang semakin menjadi-jadi, ke- 
tika Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut Putih 
mulai sibuk menyambut serangan. Seakan-akan rant- 
ing di depan mereka dipegang oleh seseorang yang kini 
menyerang mereka berdua. 

Tentu saja sebagai tokoh-tokoh besar dunia 
persilatan, Pendekar Jari Maut dan Petani Berambut 
Putih tidak mau menghadapi serangan seperti itu ber- 
sama-sama. Petani Berambut Putih mengelak dengan 
melompat mundur, menjauhi tempat itu. Sedangkan 
Pendekar Jari Maut menangkis, kemudian balas me- 
nyerang. 

Pertarungan aneh pun terjadi. Lanang dan Pe- 
tani Berambut Putih menyaksikannya dengan sinar 
mata penuh perhatian. Pertarungan semacam ini me- 
mang tidak pernah disaksikan Lanang sebelumnya. 

Serangan-serangan yang tertuju pada Pendekar 
Jari Maut selalu berbahaya dan mematikan. Tokoh tua 
itu dipaksa menguras seluruh kemampuannya. Namun 
yang menyulitkan, serangan tidak bisa dibalas karena 
tidak adanya orang yang memegang ranting! Jadi, di- 
alah yang terus-menerus menjadi korban serangan. 

Petani Berambut Putih mengernyitkan alis. Il- 
mu seperti ini rasanya pernah disaksikannya. Hanya 
saja dia lupa, kapan, di mana, dan siapa pemiliknya. 
Untuk itu seluruh perhatiannya dicurahkan pada per- 
tarungan. Akibatnya dia tidak memperhatikan sekitar- 
nya. Bahkan.... 

"Heh?!" 

Petani Berambut Putih dan Pendekar Jari Maut 
kaget bukan main ketika mendadak saja ranting- 
ranting itu ambruk ke tanah begitu saja. Dan serentak 
mereka segera mengalihkan pandangan ke arah gadis 
berpakaian kembang-kembang berada. Kosong! Gadis 
itu telah lenyap! Demikian pula Lanang. 

Sementara Petani Berambut Putih hanya bisa 
tersenyum lebar bagaikan orang tidak bersalah. Pa- 
dahal, Pendekar Jari Maut menatap ke arahnya den- 
gan sinar mata penuh penyesalan. 

"Bagaimana gadis itu bisa lolos, Petani?!" 

"Aku terlalu sibuk melihat pertarungan aneh 
itu, Jari Maut. Aku lupa kapan di mana aku melihat. 
Bahkan aku pernah menghadapi hal semacam ini. Aku 
lupa siapa pemiliknya," kilah Petani Berambut Putih. 
"Aku yakin dia meninggalkan tempat itu secara hati- 
hati, sambil memperhatikan jalannya pertarungan. Ka- 
lau tidak, bagaimana mungkin perlawanan yang dibe- 
rikan sepasang ranting itu masih tetap sengit, sebelum 
akhirnya roboh secara tiba-tiba?" 

"Aku pun tahu itu, Petani. Bahkan aku tahu 
pula, siapa yang telah memiliki ilmu itu. Karena, aku 
pun pernah menghadapinya. Hanya saja aku tidak lu- 
pa!" 

"Benarkah itu, Jari Maut?! Lalu, siapakah 
orangnya?!" tanya Petani Berambut Putih penuh pena- 
saran. 

"Siapa lagi kalau bukan Iblis Buta?!" 

"Ah...! Mengapa aku demikian pelupa?! Benar! 
Iblis Buta! Tapi, apa hubungannya gadis itu dengan- 
nya. Mungkinkah dia muridnya?!" 

"Kemungkinan itu besar sekali," timpal Pende- 
kar Jari Maut. 

"Aku jadi ingin mengusut hal aneh ini. Ahhh...! 
Sama sekali tidak kusangka urusan jadi bertambah 
banyak." 

"Kita usut bersamaan saja, Petani. Bukankah 
tempatnya di sini juga?! Mudah-mudahan saja Iblis 
Buta tidak terlalu pelit untuk menyerahkan beberapa 
butir telur elang perak pada kita!" 

Petani Berambut Putih diam. Kendati demikian, 
Pendekar Jari Maut tahu kalau rekannya setuju. Ma- 
ka, tubuhnya segera melesat meninggalkan tempat itu, 
diikuti Petani Berambut Putih. Mereka segera mem- 
perhatikan keadaan jalan, untuk mencari jejak gadis 
berpakaian kembang-kembang yang diduga ada hu- 
bungannya dengan Iblis Buta! 

"Hhh...!" 

Seorang kakek berpakaian abu-abu menghela 
napas berat, seperti hendak melepaskan ganjalan da- 
lam batinnya. Sepasang matanya yang merah memba- 
ra seperti orang sakit mata menyapu dua sosok yang 
berdiri di hadapannya. Terutama sekali, pada sosok 
yang satu. Seorang pemuda berpakaian mewah dan 
indah serta pesolek. Lanang! 

Lanang merasakan bulu kuduknya satu persa- 
tu berdiri, ketika kakek bermata merah yang rambut, 
alis, kumis, jenggotnya telah memutih. Sepasang mata 
kakek teramat tua itu seperti hendak meraba-raba se- 
kujur tubuhnya. 

Lanang yakin, orang ini sepertinya kakek dari 
gadis berpakaian kembang-kembang yang berada di 
sebelahnya. Dan kakek ini tampaknya tengah meni- 
lainya. 

"Jadi..., pemuda ini yang kau inginkan menjadi 
calon suamimu, Suri?!" tanya kakek bermata merah 
itu tanpa menggerakkan bibirnya sama sekali. Namun 
suaranya terdengar keras dan lantang. Bahkan dinding 
gua tempat mereka bertiga sekarang berada, bergetar 
hebat. Debu-debu halus tampak berjatuhan ke bawah. 

Dengan wajah menunduk, tangan saling belit 
dan putar, serta kaki yang digurat-guratkan ke tanah, 
gadis berpakaian kembang-kembang yang dipanggil 
Suri mengangguk. Sikap gilanya berganti dengan sikap 
malu-malu. 

"Bukankah kau kuperintahkan untuk men- 
gambil pemuda lainnya? Pemuda yang ku maksud 
adalah, berpakaian ungu dan berambut putih kepe- 
rakan?! Pemuda yang kutolong nyawanya dari tangan 
maut Naga Sakti Berwajah Hitam?! Mengapa dia yang 
kau bawa kemari?!" sembur kakek bermata merah ini. 

Sementara Lanang merasakan jantungnya ber- 
detak jauh lebih cepat dari semula. Dia tahu, siapa 
yang dimaksud kakek itu. Pasti Dewa Arak! Jadi, pe- 
muda sakti yang hampir tewas oleh ayahnya, berhasil 
ditolong kakek ini? Bagaimana cara kakek itu meno- 
longnya? 

"Tapi, aku lebih suka pada dia, Kek!" bantah 
Suri, berani. Sepasang bola matanya mulai berputar 
liar. "Kalau tidak dengan dia, aku tidak mau!" 

Kakek bermata merah itu menggeleng-geleng 
kepala dengan sikap prihatin. 

"Lagi pula, pemuda yang kau maksudkan su- 
dah tidak ada di situ lagi!" tambah Suri. 

Kakek bermata merah diam. Terbayang kembali 
di benaknya, bagaimana dia menyelamatkan nyawa 
Dewa Arak dari kematian. Dengan ilmu 'Memindahkan 
Semangat', tindakan Naga Sakti Berwajah Hitam 
mampu dicegahnya. Hanya saja sampai pada batas 
menahan, dan tidak mampu menyerang. 

Semula kakek ini tidak tahu akan adanya per- 
tarungan di tempat yang cukup jauh dari tempatnya 
berada, kendati juga berada di Gunung Cikuray. Na- 
mun karena mata batinnya yang tengah mencari begi- 
tu kuat, langsung terasa adanya getaran-getaran aneh. 
Dan itu terjadi karena ilmu gaib yang tercipta dari ilmu 
hitam Naga Sakti Berwajah Hitam. 

"Di mana sekarang pemuda berambut putih 
keperakan itu?!" tanya kakek ini dalam hati 

"Bagaimana, Kek?!" desak Suri tidak sabar lagi, 
ketika melihat kakeknya bermata merah itu malah 
termenung. 

"Kau benar-benar bersedia menjadi suaminya, 
Anak Muda?!" tanya kakek itu, pada Lanang. 

Lanang yang tidak mengira akan mendapatkan 
pertanyaan itu dengan gugup mengangguk. 

"Bersedia, Kek. Tapi dengan satu syarat," jawab 
Lanang, memberanikan diri. 

Memang Lanang cukup cerdik. Setelah berhasil 
mengusir rasa jijiknya terhadap Suri, dia bersedia 
memenuhi keinginan gadis gila itu. Tentu saja demi 
mendapatkan ilmu yang tinggi. 

Kakek bermata merah menatap dengan sinar 
mata tajam, membuat Lanang bergidik. Tapi pemuda 
itu cepat menguasai perasaan dan bersikap tenang. 

"Katakan apa syaratmu?!" tanya kakek itu pe- 
nuh ancaman. 

"Aku harus memiliki kepandaian lebih tinggi 
daripada Suri, Kek. Sebagai seorang suami, aku tidak 
berharga bila memiliki kepandaian di bawahnya. Ba- 
gaimana aku dapat melindunginya dari bahaya?!" ja- 
wab Lanang mengajukan alasan cepat dan masuk ak- 
al. 

"Syaratmu kuterima. Tapi, ingat! Jangan coba- 
coba main gila. Karena aku dapat membunuhmu den- 
gan mudah! Mengerti?!" 

"Mengerti, Kek. Kuminta, pengesahan menjadi 
suami Suri apabila aku telah memiliki kepandaian le- 
bih daripada Suri." 

"Itu mudah saja, Anak Muda. Besok pun kau 
akan memiliki kepandaian lebih hebat daripada Suri. 
Cucuku kelihatan sakti, karena memiliki tenaga dalam 
tinggi. Tapi, itu berkat Telur Elang Perak. Kau pun 
akan kuberikan telur itu, agar besok telah memiliki te- 
naga dalam amat tinggi. Aku tahu, kau telah memiliki 
ilmu-ilmu tingkat tinggi. Dan secara perlahan-lahan, 
kau pun akan kuajarkan ilmuku!" 

Lanang hampir berseru saking kagetnya. Sama 
sekali tidak disangka kalau dirinya akan mendapatkan 
Telur Elang Perak. Bukankah kabarnya telur itu bera- 
da di tangan Iblis Buta? Jadi, inikah Iblis Buta? Di- 
akah tokoh yang menggemparkan itu?! Tapi, mengapa 
ciri-cirinya tidak sesuai. 

"Boleh aku tanya sesuatu, Kek?!" 

Perasaan ingin tahu, membuat Lanang berani 
mengajukan pertanyaan. Apalagi dia yakin kakek itu 
tidak akan membunuhhya, karena Suri mencintainya. 
Dan kakek yang diduga Iblis Buta ini amat sayang pa- 
da cucunya. 

Kakek bermata merah itu diam. 

"Sepengetahuanku, Telur Elang Perak itu ada di 
tangan Iblis Buta. Mengapa...." 

"Akulah yang berjuluk Iblis Buta!" potong kakek 
bermata merah, yang ternyata berjuluk Iblis Buta tidak 
sabar. "Dulu, aku menyamar karena tidak ingin diken- 
al orang. Jelas?! Apabila kurang, nanti akan ku je- 
laskan lebih lanjut. Kali ini, cukup! Aku tengah tidak 
ingin bercakap-cakap lama-lama." 

Lanang terdiam. Hatinya sudah merasa puas 
mendapat kepastian demikian. Sama sekali tidak per- 
nah disangka akan bernasib baik seperti ini. Ternyata, 
Iblis Buta hanya merupakan samaran dari kakek men- 
gerikan ini! 

Sementara itu, Iblis Buta memejamkan mata. 
Dan Lanang tahu diri, lalu bergerak untuk duduk. Ti- 
dak mau mengganggu sedikit pun. Sedangkan Suri 
tampak tersenyum-senyum sendiri, lantas duduk di 
sebelah pemuda pesolek itu. 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Mustika Ular Emas