Dewa Arak 73 - Pembantai dari Mongol


Kereta itu kecil namun indah, bahkan terkesan 
mewah. Dua ekor kuda yang menarik kereta berjalan 
dengan lambatnya. Rupanya, tali kendali dilepaskan 
oleh kusir kereta yang sekaligus penumpangnya. 

Sang kusir kereta itu seorang pemuda berpe- 
nampilan rapi. Ia mengenakan pakaian yang mewah 
dan indah. Wajahnya tampan dengan kulit putih ke- 
merahan. Pemuda itu tampak seperti seorang wanita! 
Pemuda berpakaian mewah itu duduk seenaknya di 
atas kereta sambil meniup suling yang tergenggam 
dengan kedua tangan. Terdengar alunan nada-nada 
indah yang enak didengar. 

Paduan bunyi langkah kaki kuda, derit roda ke- 
reta, dan bunyi suling mengiringi perjalanan kereta 
kuda memasuki sebuah desa. Beberapa orang yang 
kebetulan berpapasan meluangkan waktu untuk meli- 
hat kusir kereta itu. 

Pemuda berpakaian mewah itu baru menghen- 
tikan permainan sulingnya ketika telah berada di de- 
pan sebuah rumah makan. Suling segera diselipkan di 
pinggang yang dilingkari sehelai sabuk lebar yang ter- 
buat dari benang keemasan. Ditariknya tali kekang 
kuda untuk menghentikan laju kereta. 

Setelah menambatkan kudanya pada sebatang 
pohon yang berada di dekat tempat itu dan membiar- 
kan kudanya merumput, pemuda berpakaian mewah 
itu mengayunkan kaki memasuki rumah makan. Den- 
gan dada membusung, pemuda itu menghampiri se- 
buah meja bundar yang terlihat masih kosong. Terlebih 
dulu ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kedai 
yang cukup ramai dipenuhi pengunjung. 

Seorang lelaki berkulit hitam dengan tergopoh- 
gopoh menghampiri pemuda berpakaian mewah itu. 
"Mau pesan apa, Tuan?" tanya lelaki berkulit hitam 
yang adalah pelayan rumah makan 

"Bawa kemari semua masakan yang paling 
enak dan paling mahal!" tandas pemuda berpakaian 
mewah angkuh. Lalu, tanpa mempedulikan pelayan 
yang mengangguk mengiyakan, pemuda itu mengambil 
sebatang cangklong dari selipan pinggangnya. 

Pemuda berpakaian mewah tidak menoleh keti- 
ka pelayan kedai membalikkan tubuh untuk me- 
nyiapkan pesanannya. Dia sibuk dengan cangklong 
yang telah diselipkan di celah-celah bibirnya. Ujung 
cangklong yang berbentuk seperti mangkok kecil dima- 
sukkan racikan-racikan tembakau. Dengan sepasang 
batu api, dinyalakannya cangklong itu. Sesaat kemu- 
dian tercium bau semerbak yang aneh dan keras. Bau 
itu memenuhi rumah makan. 

"Aku yakin kau yang akan menjadi pemenang 
dalam pertandingan nanti, Ketua. Bukankah demikian, 
Baroksa?" 

Terdengar percakapan dari meja di sebelah kiri 
pemuda berpakaian mewah. Terlihat riak pada wajah 
pemuda itu. Rupanya, percakapan yang didengarnya 
cukup menarik perhatiannya. Bahkan, meski wajah- 
nya tertuju ke depan, ekor matanya melirik ke arah 
meja tempat percakapan itu berasal. 

"Benar, Ketua." 

Orang yang dipanggil Baroksa mengangguk. Di 
sebelah Baroksa duduk seorang laki-laki bertubuh ku- 
rus jangkung. Sedangkan di depannya, duduk seorang 
lelaki kekar berkumis melintang. Ketiga orang ini men- 
gelilingi sebuah meja bundar yang dipenuhi makanan 
dan minuman. 

"Kalian terlalu menganggap remeh orang lain." 
lelaki berkumis melintang yang dipanggil ketua, me- 
nanggapi dengan suara berat dan berwibawa. "Orang- 
orang pandai di dunia ini terlampau banyak. Seperti 
Raja Racun Sakti di utara dan Raja Sihir Penyebar 
Maut di selatan. Dua tokoh tingkat tinggi itu tak akan 
mungkin bisa ku tandingi." 

"Apa yang Ketua katakan memang tidak salah. 
Di samping utara, Raja Racun Sakti pun menguasai 
barat. Sedangkan wilayah timur juga dikuasai Raja Si- 
hir Penyebar Maut, di samping daerah selatan yang 
memang menjadi tempat tinggalnya. Tapi, bukankah 
kedua datuk itu telah mengundurkan diri karena telah 
berusia lanjut? Mereka sudah bukan merupakan la- 
wan lagi?" Baroksa mengajukan bantahan. Tapi, terasa 
betul sikap hati-hatinya. 

Lelaki tinggi kurus yang menjadi kawan Barok- 
sa mengangguk, mendukung ucapan rekannya. Malah, 
dengan sikap bangga dia menambahkan. 

"Siapa sih yang tidak mengenal kita, Ketua? 
Perkumpulan kita, Perkumpulan Iblis Merah, amat 
terkenal di dunia persilatan. Disegani kawan dan dita- 
kuti lawan. Jangankan Ketua, kami berdua atau bah- 
kan salah seorang di antara kami jika maju, tokoh- 
tokoh persilatan akan mundur teratur. Mereka akan 
berpikir beberapa kali sebelum maju menandingi kami" 

Lelaki tinggi kurus mengucapkannya dengan 
suara lantang sambil berdiri dan membusungkan da- 
da. Tapi karena dadanya memang tidak berdaging, 
tingkahnya jadi kelihatan menggelikan. Meski demi- 
kian, tidak mengurangi kadar kesombongan yang ter- 
kandung dalam ucapan dan sikapnya. 

Ketua Perkumpulan Iblis Merah tersenyum le- 
bar. Kesombongannya bangkit melihat sikap yang di- 
tunjukkan anak buahnya. Sepasang matanya diedar- 
kan ke sekeliling ruangan kedai. Diperhatikannya 
orang-orang yang berada di ruangan itu. Sinar ma- 
tanya seperti mengajukan tantangan. 

"Pelayan...!" 

Pemuda berpakaian mewah melambaikan tan- 
gan. Di saat pelayan kedai tergopoh-gopoh mengham- 
piri, pemuda itu mengeluarkan sapu tangan indah pe- 
nuh sulaman dari bagian dalam bajunya. Diperguna- 
kannya sapu tangan itu untuk menyeka mulutnya 
yang agak berminyak. Rupanya, ia telah selesai dengan 
makannya. Memang, di saat pemuda itu mendengar- 
kan pembicaraan orang-orang Perguruan Iblis Merah 
makanan telah siap dihidangkan di meja. Pemuda ber- 
pakaian mewah itu menyantap hidangannya sambil 
mendengarkan. Makanan yang dipesannya banyak, ta- 
pi tidak dihabiskan. Sebagian besar hanya dicicipinya. 

"Ada apa, Tuan?" tanya pelayan kedai seraya 
membungkuk hormat. 

Tingkah pemuda berpakaian mewah dan pe- 
layan kedai sempat dilihat oleh para pengunjung yang 
menikmati hidangan di meja masing-masing. Teriakan 
pemuda berpakaian mewah yang cukup lantang tadi 
membuat mereka mengalihkan perhatian. Tidak terke- 
cuali orang-orang Perkumpulan Iblis Merah. Bahkan, 
alis Ketua Perkumpulan Iblis Merah berkerut. Ia mera- 
sa seruan lantang pemuda berpakaian mewah itu dike- 
luarkan untuk menimpali seruan anak buahnya tadi. 

Pemuda berpakaian mewah tidak segera mem- 
berikan jawaban. Dengan sikap tenang dan penuh 
keangkuhan, diselipkannya cangklong yang tadi dile- 
takkan di meja ke dalam mulutnya. Kemudian, dinya- 
lakan dan menyedotkannya dalam-dalam. Ia menge- 
pulkan asapnya pada sisa makanan yang berada di 
atas meja. 

"Berikan sisa makanan ini pada orang-orang 
kurang makan di depan sana!" ujar pemuda berpa- 
kaian mewah dengan angkuh. 

"Baik, Tuan!" Pelayan kedai mengangguk dan 
segera merapikan makanan di atas meja. Dibawanya 
makanan itu keluar untuk diberikan pada para pen- 
gemis yang berkerumun di luar kedai. 

"Besar lagak...!" Lelaki tinggi kurus yang men- 
jadi kawan Baroksa mendengus gemas. Rupanya, dia 
merasa jengkel melihat tingkah pemuda berpakaian 
mewah yang angkuh. "Ingin rasanya kuhajar dia agar 
berkurang sombongnya!" 

"Kau jangan bersikap sembarangan, Tangkaran. 
Pemuda itu bukan orang sembarangan. Dia pasti 
mempunyai kepandaian yang cukup hingga berani ber- 
tindak seperti itu," ujar lelaki berkumis melintang. 

Ucapan itu bagaikan minyak menyambar api. 
Lelaki tinggi kurus yang bernama Tangkaran semakin 
merasa tidak senang. Ucapan ketuanya tidak hanya 
membuatnya kesal karena seakan-akan memberikan 
pembelaan terhadap pemuda berpakaian mewah, tapi 
juga seperti memukulnya! Tangkaran merasakan ketu- 
anya meragukan kepandaiannya. 

Tangkaran bangkit dari kursinya dengan wajah 
merah padam. 

"Biar aku yang akan menghentikan sikap som- 
bongnya, Ketua! Pemuda tidak tahu aturan itu kalau 
tidak diberi pelajaran akan besar kepala dan mengang- 
gap di dunia ini hanya dia yang memiliki kepandaian!" 

Lelaki berkumis melintang tidak memberikan 
tanggapan sama sekali. Bahkan, seperti tidak menden- 
gar ucapan Tangkaran. Dengan tenang dia menikmati 
makanannya. Sikap lelaki berkumis melintang itu di- 
anggap oleh Tangkaran sebagai tanda perkenan atas 
tindakan yang akan dilakukannya. Maka, dengan 
langkah lebar, kakinya diayunkan menuju meja pemu- 
da berpakaian mewah. 

"Sungguh tidak kusangka kalau di rumah ma- 
kan seperti ini ada seekor anjing merah kurus kering 
yang suka menyalak!" 

Ucapan yang cukup keras dan lantang itu ke- 
luar dari mulut pemuda berpakaian mewah. Dia men- 
gucapkannya setelah menghembuskan asap dari mu- 
lutnya. Kelihatannya, ucapan itu tak tertuju jelas pada 
siapa. Tapi Tangkaran merasakan dadanya seperti 
hendak meledak. Dia tahu ucapan pemuda itu dituju- 
kan padanya. 

"Pemuda sombong! Berani kau menghinaku? 
Rupanya, kau ingin merasakan kehebatan orang-orang 
Perkumpulan Iblis Merah!" teriak Tangkaran dengan 
suara menggelegar ketika telah berada di depan pemu- 
da berpakaian mewah, yang masih enak-enakan du- 
duk di kursinya bermain dengan asap tembakau. Bah- 
kan, seperti tidak mempedulikan Tangkaran yang telah 
berdiri di depannya dan hanya terpisah oleh meja 
bundar. 

"Menyingkirlah dari depanku dan berhentilah 
menyalak, Anjing Kurus!" sentak pemuda berpakaian 
mewah. Ditudingnya Tangkaran dengan cangklongnya. 
"Kalau tidak, aku akan memukulmu hingga kau ter- 
kaing-kaing pergi dari sini sambil menggulung ekor 
mu!" 

"Keparat!" 

Perkataan pemuda berpakaian mewah yang te- 
rakhir membuat Tangkaran tidak bisa menahan sabar 
lagi. Dengan sepasang mata membelalak lebar seperti 
hendak melompat keluar dari rongganya, dia membuka 
serangan dengan sebuah pukulan keras ke arah wajah 
pemuda berpakaian mewah. Dalam kemarahannya, 
Tangkaran mengerahkan seluruh tenaga dan kecepa- 
tannya. Terdengar bunyi berdesing ketika tangannya 
yang kurus meluncur datang. 

Sudah terbayang dalam benak Tangkaran kepa- 
la pemuda yang sombong dan besar mulut ini akan 
hancur berantakan. Karena, jangankan kepala manu- 
sia, batu karang yang paling keras pun akan hancur 
terhantam tangannya. 

Wukkk! 

Dugaan Tangkaran ternyata tidak sesuai den- 
gan kenyataan. Pukulannya mengenai tempat kosong. 
Pemuda berpakaian mewah itu sudah tidak berada di 
tempatnya. Padahal, dia tidak kelihatan bergerak atau 
melakukan tindakan apa pun. Tapi, tubuhnya berikut 
kursi yang didudukinya bergeser jauh ke belakang se- 
perti memiliki roda. Bunyi berkerit tajam mengiringi 
bergesernya kursi. 

Amarah Tangkaran semakin berkobar. Dengan 
tangan kirinya, didorongnya meja bundar yang berada 
di depannya. Meja itu pun meluncur ke arah pemuda 
berpakaian mewah yang enak-enakan duduk di kur- 
sinya sambil mengisap cangklong. 

Semua pasang mata pengunjung kedai, tak ter- 
kecuali lelaki berkumis melintang dan Baroksa, mulai 
tertarik untuk menyaksikan keributan kecil ini. Mere- 
ka ingin tahu bagaimana caranya pemuda berpakaian 
mewah itu meloloskan diri dari luncuran meja. 

Sedikit lagi meja bundar itu menghantam pe- 
muda berpakaian mewah, tiba-tiba pemuda itu bersa- 
ma dengan kursinya terangkat tinggi ke atas! Meja itu 
pun meluncur di bawah keempat kaki kursi yang di- 
duduki pemuda berpakaian mewah! Padahal, pemuda 
itu hanya menjejakkan kaki kanannya pelan ke lantai. 
Tapi, tindakan itu mampu mengangkat tubuh dan 
kursinya melayang ke atas setinggi hampir tiga tom- 
bak! 

Yang lebih mengherankan Tangkaran dan ham- 
pir semua pengunjung kedai adalah ketika kursi yang 
diduduki pemuda berpakaian mewah itu mampu hing- 
gap di atas meja tanpa menimbulkan bunyi berarti. 
Bagaikan sehelai daun kering mendarat di tanah! Pe- 
muda itu sendiri dengan sikap tidak peduli enak- 
enakan bermain dengan asap cangklongnya. 

Tindakan pemuda ini lagi-lagi membuat para 
pengunjung membelalakkan mata. Bahaya yang men- 
gancam pemuda itu belum lagi sirna. Meja itu masih 
meluncur. Bahkan kini dengan membawahi pemuda 
berpakaian mewah bersama kursinya, meja itu melun- 
cur menuju meja-meja para pengunjung, yang berada 
di belakang meja pemuda berpakaian mewah. 

Pengunjung yang berada di belakang dan kha- 
watir tertabrak meja yang meluncur cepat itu bergegas 
meninggalkan tempat mereka. Ketika meja itu mena- 
brak meja yang ada di belakangnya terdengar bunyi 
berderit tajam. Lantai kedai tergurat se-dalam bebera- 
pa jari sepanjang luncuran itu. Keempat kaki meja 
tampak amblas sedalam beberapa jari di lantai! 

Sekujur tubuh Tangkaran bergetar hebat kare- 
na perasaan geram. Dia merasa dipermainkan! Apalagi, 
ketika dilihatnya pemuda berpakaian mewah itu masih 
dengan tenang mengisap cangklongnya. 

"Tangkaran! Mundur...!" 

Lelaki berkumis melintang yang sejak tadi 
memperhatikan peristiwa itu memerintahkan dengan 
suara keras. Ketua Perkumpulan Iblis Merah ini tahu 
pemuda berpakaian mewah itu terlalu tangguh untuk 
muridnya. Sebelum terjadi sesuatu yang tidak diingin- 
kan, lelaki berkumis melintang segera mencegah. 

Ketua Perkumpulan Iblis Merah ini tahu calon 
lawannya memiliki ilmu meringankan tubuh dan tena- 
ga dalam yang sangat tinggi. Pemuda berpakaian me- 
wah itu telah mengerahkan ilmu meringankan tubuh 
untuk mengangkat kursinya. Dan, untuk menghenti- 
kan luncuran meja ia harus mengerahkan tenaga da- 
lamnya. 

Seruan lelaki berkumis melintang terdengar je- 
las oleh Tangkaran. Meski-masih merasa penasaran, 
lelaki tinggi kurus ini tidak berani membantah. Setelah 
melepaskan pandangan penuh ancaman dan sikap 
terpaksa, Tangkaran membalikkan tubuhnya. 

"Anjing merah yang kurus dan buduk hendak 
pergi begitu saja setelah membuang kotorannya yang 
busuk dekat seorang tuan muda? Rasanya tidak adil 
kalau tuan muda itu tidak memberikan balasan yang 
setimpal." 

Tangkaran bergegas membalikkan tubuhnya 
kembali. Ia khawatir pemuda berpakaian mewah itu 
menyerangnya secara gelap. Kemarahan yang belum 
sirna dari hatinya semakin membesar. 

Tapi, pemuda berpakaian mewah tidak me- 
nampakkan tanda-tanda akan menyerang. Dengan te- 
nang pemuda itu menyelipkan cangklongnya ke ping- 
gang, setelah membuang sisa-sisa tembakau. Kemu- 
dian, diambilnya suling dan diselipkan di bibirnya. 

Tangkaran mengerutkan sepasang alisnya. Ia 
heran melihat tingkah pemuda itu. Apakah ia hendak 
bermain suling? Bukankah katanya hendak memberi- 
kan pembalasan setimpal atas tindakannya? 

Perasaan heran juga membelit hati para pen- 
gunjung lainnya. Mereka semula sudah memperkira- 
kan pemuda berpakaian mewah itu akan menghukum 
Tangkaran. Maka, hati mereka pun kecewa ketika me- 
lihat pemuda itu malah hendak bermain suling. 

"Pemuda itu sudah gila," pikir para pengunjung 
yang sebagian besar tokoh-tokoh persilatan. "Ini sih 
bukannya menghukum tapi menghibur." 

Namun lelaki berkumis melintang tidak sepen- 
dapat dengan mereka. Wajah Ketua Perkumpulan Iblis 
Merah ini berubah ketika melihat tindakan pemuda 
berpakaian mewah. "Menyingkir, Tangkaran!" seru le- 
laki itu keras. Sekali kaki lelaki empat puluh lima ta- 
hun ini bergerak mengungkit, meja yang berada di de- 
pannya melayang ke arah pemuda berpakaian mewah. 
Makanan dan minuman yang berada di atas meja ber- 
serakan di lantai dengan suara riuh rendah. 

"Hih...!" 

Pemuda berpakaian mewah mendengus marah. 
Sepasang matanya yang tajam berkilat melirik sejenak 
ke arah meja yang tengah meluncur. Kemudian, den- 
gan tangan kanan masih memegang suling yang terse- 
lip di celah-celah bibir, tangan kirinya digerakkan ke 
arah meja yang tengah meluncur. 

Dari tangan kiri pemuda berpakaian mewah 
yang kelihatan lembut itu berhembus angin dahsyat 
laksana badai. Meja yang tengah meluncur ke arahnya 
melaju lambat. Begitu sampai di tengah jalan, meja itu 
meluncur kembali ke pemiliknya, lelaki berkumis me- 
lintang. Mula-mula lambat, tapi semakin lama semakin 
cepat! 

"Uh...!" 

Lelaki berkumis melintang mengeluarkan kelu- 
han tertahan. Tangannya pun segera dijulurkan ke de- 
pan, agak menyerong ke atas. Seperti juga yang terjadi 
pada pemuda berpakaian mewah, dari tangan Ketua 
Perkumpulan Iblis Merah keluar angin dahsyat yang 
menahan luncuran meja, untuk kemudian meluncur 
kembali ke arah pemuda berpakaian mewah. 

Pemuda berpakaian mewah itu pun sadar lawannya  
kali ini tidak bisa disamakan dengan Tangkaran. 
Maka sebelum meja itu meluncur lebih dekat ke 
arahnya, tambahan tenaga untuk tangan kirinya sege- 
ra dikirimkan. Meja itu kembali meluncur ke arah la- 
wan. Lelaki berkumis melintang bersikeras bertahan. 
Tak pelak lagi, pemandangan yang unik pun terjadi. 
Meja bundar itu meluncur berganti-ganti. Terkadang 
ke arah pemuda berpakaian mewah, dan tak jarang ke 
arah lelaki berkumis melintang. 

Tangkaran dan Baroksa serta semua pengun- 
jung kedai berdebar tegang. Mereka semua tahu antara 
pemuda berpakaian mewah dengan Ketua Perkumpu- 
lan Iblis Merah tengah terjadi pertarungan mengadu 
kekuatan tenaga dalam. Siapa yang lebih unggul akan 
memenangkan pertarungan ini. 

Di antara para penonton, Tangkaran yang pal- 
ing tegang. Sekarang dia mengerti mengapa gurunya 
memerintahkannya mundur. Pemuda itu terlalu tang- 
guh untuk dilawan. Jangankan dirinya, gurunya sen- 
diri tidak mudah mengalahkannya. Bahkan, Tangka- 
ran merasa ragu gurunya akan keluar sebagai peme- 
nang. Pemuda berpakaian mewah itu sepertinya belum 
mengeluarkan semua kemampuannya. Sikapnya terli- 
hat demikian sembarangan. Tangan yang diperguna- 
kan hanya sebelah kiri. Padahal, Ketua Perkumpulan 
Iblis Merah telah menggunakan kedua tangannya! 

Kekhawatiran Tangkaran ternyata beralasan. 
Setelah beberapa saat lamanya meja itu meluncur ber- 
gantian, sekarang terlihat jelas meja itu lebih sering 
meluncur ke arah gurunya. Bahkan, jaraknya telah le- 
bih dekat dengan Ketua Perkumpulan Iblis Merah itu. 

Bukan hanya Tangkaran yang sekarang men- 
duga kekalahan akan terjadi di pihak gurunya. Para 
pengunjung lainnya pun demikian. Apalagi ketika me- 
reka melihat keadaan Pimpinan Perkumpulan Iblis Me- 
rah itu. Sekujur tubuh lelaki berkumis melintang 
menggigil keras. Wajahnya penuh dibanjiri peluh. Ada 
asap tipis mengepul dari kepalanya. Semua itu mem- 
buktikan kalau Ketua Perkumpulan Iblis Merah telah 
mengerahkan tenaga dalam melebihi batas kemam- 
puannya! 

Di lain pihak, pemuda berpakaian mewah terli- 
hat masih biasa-biasa saja. Hanya pada dahinya tam- 
pak sedikit peluh. Pertanda kalau dia telah mengelua- 
rkan tenaga cukup banyak. 

"Huakh...!" 

Ketua Perkumpulan Iblis Merah memuntahkan 
darah segar. Tubuhnya terhuyung-huyung ke bela- 
kang. Kekerasan hati lelaki berkumis melintang untuk 
tetap bertahan melanjutkan pertarungan tidak diim- 
bangi dengan kekuatan tenaga dalamnya. Pengerahan 
tenaga dalam yang melampaui batas membuatnya ter- 
luka dalam sehingga memuntahkan darah segar. 

Kejadian yang menimpa Ketua Perkumpulan Ib- 
lis Merah dengan sendirinya menghentikan pertarun- 
gan. Karena terjadi secara mendadak, aliran tenaga da- 
lam yang dikeluarkan pemuda berpakaian mewah ti- 
dak menghadapi hambatan sama sekali. Meja itu me- 
luncur dengan kecepatan tinggi ke arah Ketua Per- 
kumpulan Iblis Merah yang masih terhuyung-huyung 
dengan kedua tangan mendekap dada. 

Baroksa yang melihat adanya bahaya yang 
mengancam ketuanya, tidak tinggal diam. Kedua tan- 
gannya segera dihentakkan ke arah meja yang tengah 
meluncur. Lelaki pendek gemuk ini mengerahkan selu- 
ruh tenaga dalamnya. 

Brakkk! 

I Meja itu hancur berkeping-keping sebelum 
mencapai sasaran. Pecahannya berpentalan ke segala 
penjuru. Tapi, tanpa menemui kesulitan sedikit pun 
dapat dihindarkan oleh para pengunjung yang seba- 
gian besar orang-orang persilatan. Meskipun tidak bisa 
disamakan dengan Baroksa, Tangkaran, apalagi Ketua 
Perkumpulan Iblis Merah dan pemuda berpakaian 
mewah. 

Wajah Ketua Perkumpulan Iblis Merah yang ta- 
di memucat kini tampak lega. Meskipun sinar kekha- 
watiran belum sirna dari wajahnya. Lelaki berkumis 
melintang itu tahu nyawanya dan nyawa kedua mu- 
ridnya bergantung pada pemuda berpakaian mewah 
itu. Tidak ada yang dapat dilakukan Ketua Perkumpu- 
lan Iblis Merah. 

Lelaki berkumis melintang itu hanya menatap 
pemuda berpakaian mewah untuk melihat tindakan 
yang akan dilakukannya. Dilihatnya pemuda itu den- 
gan tenang mengeluarkan sehelai sapu tangan indah. 
Dengan sapu tangan itu dibasuhnya keringat yang 
membasahi keningnya. 

Baru setelah itu, pemuda berpakaian mewah 
menyimpan kembali sapu tangannya. Kemudian, den- 
gan sekali mengibaskan tangan dan tanpa menggerak- 
kan kaki, pemuda itu mampu membuat tubuh dan 
kursinya melayang meninggalkan meja. Ia mendarat di 
dekat Ketua Perkumpulan Iblis Merah. 

I "Kau Ketua Perkumpulan Iblis Merah?" tanya 

pemuda berpakaian mewah dengan sikap angkuh yang 
tidak bisa disembunyikan. 

"Benar. Namaku Marong Jurig!" jawab lelaki 
berkumis melintang tegas. Dia berusaha untuk me- 
nunjukkan kalau keadaan dirinya biasa-biasa saja, ti- 
dak terluka sama sekali. Tapi sayang maksud itu tidak 
terkabul. Seringai kesakitan menghias wajahnya. 

"Kudengar kau ingin ikut dalam perebutan ke- 
dudukan menjadi datuk untuk wilayah timur ini?" de- 
sak pemuda berpakaian mewah. Sinar matanya tajam 
menusuk wajah Marong Jung. Sikap pemuda itu se- 
perti ingin membaca perasaan yang terkandung di da- 
lam hati Marong Jurig. 

"Benar. Karena kudengar kabar Raja Sihir Pe- 
nyebar Maut lenyap entah ke mana. Apa salahnya ka- 
lau aku mencoba untuk menjadi datuk? Andaikata ti- 
dak bisa menguasai timur dan selatan seperti yang di- 
kuasai Raja Sihir Penyebar Maut, setidak-tidaknya wi- 
layah timur ini dapat ku kuasai," jelas Marong Jurig. 

"Keinginanmu terlalu muluk, Marong!" kecam 
pemuda berpakaian mewah keras. "Lebih baik kau 
urungkan niatmu. Karena, aku akan ikut mempere- 
butkan kedudukan itu. Aku tidak akan membiarkan 
wilayah kekuasaan ayahku jatuh ke tangan orang lain. 
Dan, kudengar pertarungan untuk memperebutkan 
kedudukan datuk itu diadakan di puncak Gunung 
Atap Langit Apakah benar demikian?" 

"Benar!" Marong Jurig masih dapat menjawab 
dengan agak keras. Meski jantung dalam dadanya ber- 
detak lebih cepat. Ia tidak menyangka sedikit pun pe- 
muda berpakaian mewah ini adalah putra Raja Sihir 
Penyebar Maut. 

"Kapan pertemuan itu dilangsungkan?" desak 
pemuda berpakaian mewah. 

"Tiga hari lagi. Tepat pada waktu malam bulan 
purnama. Tapi, pertemuan di puncak Gunung Atap 
Langit itu hanya untuk memperebutkan kedudukan 
datuk wilayah timur. Sedangkan wilayah-wilayah lain, 
bukan di sana tempatnya," Marong Jurig menambah- 
kan. 

Pemuda berpakaian mewah itu tidak memberi- 
kan tanggapan. Dia telah tahu kalau di empat wilayah 
terjadi persaingan untuk memperebutkan kedudukan 
datuk kaum sesat. Sehubungan dengan santernya be- 
rita yang tersiar di dunia persilatan, bahwa Raja Sihir 
Penyebar Maut dan Raja Racun Sakti lenyap tanpa ke- 
tahuan rimbanya, seperti di telan bumi! 

"Bersyukurlah kau, Marong." Pemuda berpa- 
kaian mewah berujar dengan wajah dan sikap dingin. 
"Keterangan yang kau berikan membuat aku mengu- 
rungkan niat untuk mencabut nyawamu. Tapi, hanya 
kau yang mendapatkannya, sedangkan anjing merah 
kurus itu akan mendapatkan hukuman yang setim- 
pal!" 

Tangkaran yang dituding oleh pemuda berpa- 
kaian mewah menjadi pucat pasi wajahnya. Dengan 
sinar mata minta tolong, lelaki tinggi kurus ini mena- 
tap wajah gurunya. Tapi yang ditatap hanya menun- 
dukkan kepala dengan wajah muram. Melihat hal ini, 
Tangkaran tahu Marong Jurig tidak mampu meno- 
longnya. 

Pemuda berpakaian mewah hanya tersenyum 
keji melihat tindakan Tangkaran. Sekilas ditatapnya 
Baroksa yang kebingungan mengetahui rekannya be- 
rada dalam bahaya. Baroksa pun menatap Marong Ju- 
rig. Tapi, wajah lelaki berkumis melintang itu tertutup 
oleh rambutnya yang tergerai karena kepalanya ditun- 
dukkan dalam-dalam. 

Baroksa beralih menatap pemuda berpakaian 
mewah. Dilihatnya pemuda tampan yang pesolek itu 
mengeluarkan suling yang tadi telah diselipkan di 
punggungnya. Ditempelkannya suling yang indah itu 
di bibirnya. Kemudian, mulai ditiupnya. 

Nada tinggi dan melengking yang mengusik te- 
linga pun menyebar. Semakin lama semakin tinggi. 

Semua orang yang berada di dalam kedai mendekap 
telinga untuk menahan masuknya bunyi yang menya- 
kitkan itu. 

Tangkaran pun demikian. Lelaki tinggi kurus 
ini mendekap kedua telinganya kuat-kuat. Tapi, ber- 
beda dengan orang-orang lain yang sepertinya tidak 
terlalu terpengaruh, Tangkaran merasa tersiksa bukan 
main. Telinganya seperti ditusuk-tusuk jarum. Sakit 
dan nyeri. Kian lama kian sakit. Sehingga, Tangkaran 
duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam untuk 
melawan pengaruh suara suling. Tangkaran yang dija- 
dikan sasaran serangan kelihatan sangat tersiksa. 

Hanya dalam waktu singkat sekujur tubuh 
Tangkaran menggigil keras. Dia tidak lagi duduk bersi- 
la. Tangkaran tidak kuat menahan sakit yang melanda. 
Lelaki tinggi kurus ini berguling-guling di tanah sambil 
menjerit-jerit. Dari hidung, mulut, dan telinganya 
mengalir darah segar. 

Beberapa saat lamanya Tangkaran berada da- 
lam keadaan tersiksa. Berguling-guling, berkelojotan, 
seperti ayam disembelih sebelum akhirnya diam tidak 
bergerak lagi. Ia tewas dengan seluruh pembuluh da- 
rah pecah karena tak kuat menahan serangan tenaga 
dalam yang keluar dari suara suling. 

Dengan wajah dingin, pemuda berpakaian me- 
wah menyimpan kembali sulingnya. Tatapannya ke- 
mudian beredar menyapu isi ruangan. Sinar matanya 
tampak penuh tantangan. 

"Barang siapa yang tidak senang dengan tinda- 

I kanku dan merasa penasaran, silakan maju!" tantang 
pemuda berpakaian mewah itu. 

Tidak seorang pun membuka suara apalagi 
mengajukan diri untuk menandingi pemuda itu. Seba- 
gian besar dari mereka menundukkan kepala, takut 
bertemu pandang dengannya. Siapa tahu akibat hal itu 
akan mengerikan. Pemuda berpakaian mewah itu akan 
membunuh mereka. Hal seperti itu tidak aneh mengin- 
gat pemuda ini adalah putra Raja Sihir Penyebar Maut. 

Hati semua tokoh persilatan yang berada di da- 
lam kedai menjadi tegang ketika pemuda berpakaian 
mewah menatap semua yang berada di situ dengan so- 
rot mata tajam berkilat. 

"Akh...! Aaa...! Aaa...!" 

Para pengunjung kedai, tak terkecuali Marong 
Jurig dan Baroksa, terlonjak kaget. Jeritan-jeritan me- 
nyayat yang terdengar susul-menyusul itu menge- 
jutkan semua orang yang berada di dalam rumah ma- 
kan. 

Jeritan-jeritan itu ternyata berasal dari luar 
rumah makan. Dari ambang pintu kedai yang tidak di- 
tutup terlihat sebagian dari pemilik jeritan. Mereka 
adalah orang-orang berpakaian compang-camping. 
Pengemis! 

Pemuda berpakaian mewah tersenyum keji. 
Tanpa berkata apa-apa dia melangkah meninggalkan 
rumah makan. Ketika telah berada di luar dan tubuh 
para pengemis yang tergolek di tanah menghalangi 
langkahnya, dengan tanpa peduli dilangkahinya. Bah- 
kan, beberapa sosok yang masih menggelepar-gelepar 
menahan kesakitan dengan tenang diinjaknya tanpa 
mengenal kasihan sedikit pun. Terdengar bunyi berke- 
rotokan tulang-tulang yang patah. Tak pelak lagi, jeri- 
tan kesakitan mereka pun semakin bertambah. 

Tapi, pemuda berpakaian mewah tidak mempe- 
dulikannya. Ia mengayunkan kaki menuju kereta dan 
melajukan keretanya yang mewah secara perlahan. Ba- 
ru ketika pemuda itu dan keretanya telah jauh me- 
ninggalkan rumah makan, para pengunjung kedai ber- 
larian keluar untuk melihat. Mereka bergidik ngeri ke- 
tika tahu para pengemis yang jumlahnya belasan itu 
mati keracunan. Pasti makanan yang diberikan para 
orang-orang melarat itu telah diberi racun lebih dulu. 


"Tunggu sebentar, Nisanak? Tidak boleh sem- 
barangan orang boleh masuk ke dalam!" 

Seruan itu membuat seorang gadis berpakaian 
biru yang tergesa-gesa mengayunkan langkah menuju 
pintu gerbang sebuah bangunan besar, menghentikan 
langkahnya. Apalagi, karena dua lelaki kekar berpa- 
kaian rompi hitam yang menjaga pintu gerbang, berdiri 
tepat di depan jalan yang akan dilalui gadis berpakaian 
biru. 

Gadis berwajah cantik dengan bentuk tubuh 
menggiurkan itu membelalakkan sepasang matanya 
yang indah. "Kalian berani melarangku masuk?!" tegur 
gadis itu ketus sambil bertolak pinggang. "Tahukah ka- 
lian siapa aku?" 

Dua lelaki kekar berompi hitam itu saling ber- 
tukar pandang. Sikap gadis berpakaian biru membuat 
mereka agak ragu. 

"Cepat kalian menyingkir sebelum kesabaranku 
habis!" seru gadis berpakaian biru. Nada suaranya ter- 
dengar lebih tinggi. "Aku ingin bertemu dengan Danar 
Jati secepatnya! Ada urusan penting!" 

"Sayang sekali, Nisanak." Salah satu dari dua 
penjaga, yang memiliki rajahan bergambar cakar bu- 
rung di pangkal lengan kanan, berkata dengan nada 
menyesal. "Permohonan mu tidak bisa kami kabulkan. 
Tidak ada orang yang bernama Danar Jati di tempat 
ini!" 

"O, begitu...." Gadis berpakaian biru mengang- 
guk-anggukkan kepala seraya tersenyum sinis. "Ru- 
panya sekarang dia tidak memakai nama aslinya lagi. 

Baiklah kalau kalian tidak mengenal nama Danar Jati. 
Mungkin perlu kuberitahu kalau Danar Jati itu seka- 

I rang telah berjuluk Malaikat Utara. Jelas?! Sekarang 
cepat panggil dia kemari! Katakan aku, Citra Sari, da- 
tang untuk menghukumnya karena tindakannya yang 
lancang!" 

"Mulutmu semakin kurang ajar, Nisanak Can- 
tik!" 

Lelaki berompi hitam yang satunya mulai bera- 
ni bertindak kurang ajar. Sepasang matanya menatap 
pada bagian-bagian tertentu di tubuh gadis berpakaian 
biru dengan sinar mata penuh minat. Semula, kedua 
lelaki ini tidak berani bertindak demikian karena kha- 
watir gadis berpakaian biru ini merupakan kawan baik 
pimpinan mereka. "Sekali lagi kau berani menghina 
pimpinan kami, kau akan ku telanjangi!" lanjut lelaki 
itu 

"Keparat!" 

Gadis berpakaian biru mengeluarkan makian 
keras. Dia melesat menerjang. Tidak kelihatan tangan- 
nya bergerak, tahu-tahu tubuh kedua lelaki berompi 
hitam itu telah terlempar ke sana kemari. Gadis ber- 
pakaian biru itu dengan kecepatan kilat menggerakkan 
tangan mengirimkan tamparan-tamparan. Beruntung 
gadis itu tidak bermaksud membunuh sehingga tam- 
paran-tamparannya hanya ditujukan pada bagian- 
bagian yang tidak berbahaya. Kendati demikian, cukup 
untuk membuat kedua penjaga itu tidak mampu 
bangkit lagi. Mereka menderita luka dalam yang cukup 
parah. 

Tanpa mempedulikan nasib kedua lawannya, 
gadis berpakaian biru melangkah lebar memasuki pin- 
tu gerbang. Dalam beberapa langkah tubuhnya telah 
berada di halaman depan sebuah bangunan besar 
yang kokoh dan indah. Pada bagian sebelah kiri ban- 
gunan besar itu terdapat hamparan taman yang indah 
dan enak dipandang. Taman itu penuh dengan bunga- 
bunga dan patung-patung yang indah. 

"Danar Jati...! Murid Murtad! Keluar kau...!" se- 
ru gadis berpakaian biru dengan mengerahkan tenaga 
dalam sehingga suaranya terdengar sampai jauh. 

Belum juga gema ucapan Citra Sari lenyap, 
daun pintu bangunan yang terbuat dari kayu jati be- 
rukir bergerak membuka. Dari dalamnya keluar seso- 
sok tubuh berpakaian serba putih. Di belakang sosok 
berpakaian putih ini tampak beberapa sosok lain. Dari 
gerak-geriknya dan sorot mata mereka, Citra Sari da- 
pat mengetahui mereka adalah orang-orang golongan 
hitam. 

Tapi Citra Sari tidak mempedulikan mereka. 
Pandangan gadis berpakaian biru itu tertuju pada so- 
sok berpakaian putih. Jari-jari tangannya yang lentik 
bergerak menuding. 

"Danar Jati...! Manusia tidak kenal budi! Ber- 
siaplah untuk menerima hukuman!" 

Sosok berpakaian putih yang ternyata seorang 
lelaki tinggi besar dengan wajah persegi seperti wajah 
singa, tidak menunjukkan rasa marah mendengar ma- 
kian tajam itu. Dia terkekeh pelan seraya melangkah 
menghampiri Citra Sari. 

"Kukira siapa. Rupanya kau, Citra Sari. Silakan 
masuk dan bergabung dengan kami. Dengan adanya 
kau, kedudukan kami menjadi lebih kuat. Bukan tidak 
mungkin kalau aku menjadi datuk nomor satu, per- 
kumpulan yang akan kita dirikan menjadi sebuah per- 
kumpulan terkuat!" Lelaki berwajah singa yang berusia 
tidak lebih dari tiga puluh lima tahun dan bernama 
Danar Jati itu berkata dengan tenang. 

"Tutup mulutmu, Danar Jati! Kedatanganku 
kemari untuk membunuhmu. Kau telah murtad. An- 
daikata guru-guru tahu semua tindakanmu, mereka 
akan bangkit dari lubang kuburnya!" 

"Ah...! Rupanya begitu menurutmu, Citra Sari 
yang manis?" Danar Jati malah mengejek. "Keyakinan- 
ku tidak sepaham denganmu. Aku yakin guru-guru ju- 
stru merasa bangga aku berhasil menjadi datuk wi- 
layah utara. Tapi, tak akan lama lagi aku akan menjadi 
datuk nomor satu di seluruh penjuru dunia! Ha ha 
ha...!" 

"Itu tidak akan terlaksana karena kau akan 
mampus di tanganku, Danar Jati Keparat!" 

Begitu ucapannya selesai, Citra Sari mencabut 
sepasang pisau yang berkilat tajam dari balik bajunya. 
Kemudian, melesat menerjang Danar Jati dengan tu- 
sukan pisaunya yang kanan ke arah ulu hati! Bunyi 
berdesing nyaring yang mengiringi luncuran pisau me- 
nunjukkan kekuatan tenaga dalam serangan Citra Sa- 
ri. 

"Biar aku yang mewakilimu menaklukkan kuda 
betina liar ini, Malaikat Utara!" 

Salah seorang dari perkumpulan orang-orang 
yang berada di belakang Danar Jati menyeruak maju. 
Dia adalah seorang lelaki bertubuh kecil kurus tapi 
memiliki kumis tebal dan hitam. Bibirnya tampak sela- 
lu menyunggingkan senyum. Pakaian yang dikenakan- 
nya kuning bergaris-garis hitam. Sehelai kipas indah 
dan lebar tercekal di tangan kanan dan selalu dikebut- 
kebutkan pelan di wajahnya. 

Malaikat Utara menatap lelaki kecil kurus itu 
sejenak sebelum menganggukkan kepala. "Silakan, Se- 
tan Kipas. Kuserahkan dia padamu. Kau boleh bertin- 
dak apa saja padanya." ujar Malaikat Utara seraya me- 
langkah ke belakang. Sehingga, serangan Citra Sari 
mengenai tempat kosong. 

Sebelum Citra Sari sempat melancarkan serang- 
an susulan, lelaki berkumis tebal itu telah lebih dulu 
mendahuluinya. Ia melancarkan serangkaian serangan 

I dahsyat dengan totokan ujung kipasnya yang dikun- 
cupkan. 

Trak, trakk, trakkk! 

Citra Sari yang tidak mempunyai kesempatan 
mengelak, menangkis serangan itu dengan sepasang 
pisaunya. Akibat benturan yang cukup keras itu tubuh 
keduanya terhuyung-huyung ke belakang. Setan Kipas 
terhuyung dua langkah lebih jauh. Se tan Kipas yang 
sejak semula yakin akan mampu menundukkan Citra 
Sari jadi berubah wajahnya. 

Kenyataan ini sangat memalukan Setan Kipas. 
Ia bertekad akan menutup kekalahannya. Serangan 
bertubi-tubi yang tidak terduga-duga pun dilancarkan. 
Kipas yang indah dalam sekejap berkali-kali berubah 
bentuk. Terkadang menutup, terkadang mengembang. 
Namun, Citra Sari bukan dara sembarangan. Dia 
mampu mengimbangi permainan kipas si Setan Kipas. 
Bahkan, mengirimkan serangan yang tidak kalah dah- 
syatnya. 

Setelah bertempur beberapa jurus, Setan Kipas 
mulai merasa ragu dapat mengalahkan Citra Sari. La- 
wannya ini meski masih muda tapi memiliki kepan- 
daian demikian hebat. Baik dalam hal tenaga dalam 
maupun ilmu meringankan tubuh. Hanya karena Citra 
Sari kurang banyak pengalaman bertanding maka ga- 
dis itu tidak bisa mengembangkan permainannya. 
Hingga, Setan Kipas mampu bertahan cukup lama. 

I Setan Kipas penasaran bukan main. Di samp- 

ing itu dia pun merasa malu. Di hadapan sekian ba- 
nyak tokoh-tokoh persilatan dia didesak. Mau ditaruh 
di mana mukanya? Perasaan malu ini yang mendorong 
Setan Kipas untuk terus melakukan perlawanan. 

Setan Kipas menyerang bertubi-tubi ke arah ga- 
dis itu. Kipas yang indah dalam sekejap berkali-kali be- 
rubah bentuk. Terkadang menutup, di lain waktu sudah 
mengembang. Namun, Citra Sari bukan dara sembaran- 
gan. Dia mampu mengimbangi permainan kipas lelaki 
kurus itu. Bahkan, sesekali mengirimkan serangan den- 
gan sepasang pisaunya! 

Dan, kalau bisa mengalahkan lawan. 

Setan Kipas adalah seorang tokoh hitam yang 
telah lama malang-melintang di dunia persilatan. 

Telah puluhan kali dia terlibat pertarungan. 
Sebagian besar dapat dimenangkan. Dalam kemenan- 
gan itu tidak sedikit yang didapatnya dengan cara ti- 
dak wajar. Setan Kipas berlaku curang. Kali ini pun dia 
bermaksud bertindak demikian. 

Desss! 

Sebuah tendangan kaki kanan Citra Sari yang 
mengenai paha kanan Setan Kipas membuat lelaki 
berkumis tebal itu terlempar dan jatuh terguling- 
guling. Citra Sari yang marah segera memburu. Setan 
Kipas segera bangkit dan berjungkir balik beberapa 
kali di udara. Citra Sari yang mengetahui maksud la- 
wannya segera mengejar. Tapi dia terlambat Setan Ki- 
pas telah lebih dulu menjejak tanah di saat Citra Sari 
meluruk maju dengan tusukan pisaunya. 

Setan Kipas menggesek-gesekkan kedua ka- 
kinya di tanah. Hingga, tanah yang cukup keras itu 
terkikis cukup banyak. Citra Sari yang tengah mener- 
jang melihatnya. Tapi dia tidak mempedulikan-nya. 
Gadis itu tidak tahu maksud tindakan lawannya. 

Wusss! 

Setan Kipas baru mengebutkan kipasnya ketika 
Citra Sari telah semakin dekat. Kali ini kipasnya men- 
gebut tempat yang berbeda. Tanah! Akibat kebutan 
yang keras itu, debu tanah yang telah terkikis beter- 
bangan ke arah Citra Sari. 

Citra Sari kaget bukan main. Buru-buru ma- 
tanya dipejamkan. Takut kalau-kalau matanya kema- 
sukan debu. Ini memang kesempatan yang ditunggu- 
tunggu Setan Kipas. Tindakan Citra Sari sudah masuk 
perhitungannya. Secepat kilat, Setan Kipas melompat 
mengirimkan sebuah tendangan. 

Citra Sari tahu serangan terhadap dirinya. Pen- 
dengarannya yang tajam dapat mendengar bunyi men- 
deru serangan Setan Kipas. 

Desss! 

"Hukh...!" 

Citra Sari mengeluarkan seman kesakitan. Ka- 
ki Setan Kipas dengan telak mendarat di perutnya. 
Gadis berpakaian biru ini tidak mempunyai kesempa- 
tan untuk mengelak. Di samping keadaan tubuhnya 
yang tengah berada di udara, serangan lawan pun tiba 
demikian cepat. Citra Sari hanya dapat mengerahkan 
tenaga dalam untuk melindungi bagian dalam tubuh- 
nya. Meskipun demikian, gadis berpakaian biru ini ter- 
lempar jauh ke belakang. Darah segar membasahi su- 
dut-sudut mulutnya. Kalau saja saat ini Citra Sari ti- 
dak mengerahkan tenaga dalam, nyawanya akan me- 
layang saat itu juga. 

Setan Kipas yang dalam cekaman perasaan ma- 
lu dan marah karena sempat terdesak oleh Citra Sari 
kini menjadi beringas. Citra Sari yang tengah tidak 
berdaya dan tubuhnya melayang deras, diburunya. Ki- 
pasnya ditotokkan ke arah leher gadis berpakaian biru 
itu. 

Trakkk! 

"Uh...!" 

Setan Kipas mengeluarkan keluhan tertahan. 
Di saat ujung kipasnya hampir berhasil mengenai sa- 
saran, dari arah yang berlawanan melesat bayangan 
hitam dengan disertai bunyi berdesing nyaring. Cepat 
bukan main dan membentur ujung kipasnya. Setan 
Kipas merasakan kedua tangannya bergetar hebat 

Setan Kipas berjungkir balik ke belakang. Begi- 
tu menjejak tanah, dilihatnya sesosok tubuh kekar 
berpakaian ungu tengah menurunkan tubuh Citra Ha- 
ri dari kedua tangannya. Gadis berpakaian biru itu te- 
lah ditangkap sosok tubuh kekar berambut putih pan- 
jang sebelum membentur tanah. 

Setan Kipas menatap sosok berpakaian ungu 
yang sekarang telah membalikkan tubuh menghadap- 
nya. Sosok berpakaian ungu itu ternyata seorang pe- 
muda berambut putih keperakan dan berwajah tam- 
pan. Pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Ini bisa 
diperkirakan Setan Kipas dari hebatnya getaran tan- 
gannya yang memegang kipas ketika benda gelap yang 
ternyata sebutir kerikil sebesar ibu jari kaki memben- 
turnya. 

"Siapa kau, Keparat?! Berani betul mencampuri 
urusan Setan Kipas?!" gertak Setan Kipas penuh an- 
caman. 

"Dia pasti Dewa Arak...!" 

Seruan itu keluar dari mulut seorang nenek 
berpakaian penuh tambalan yang berada di belakang 
Malaikat Utara. "Ah...!" 

Hampir semua yang berada di situ terlonjak ka- 
get mendengar siapa yang telah menolong Citra Sari. 
Hanya beberapa di antara mereka yang kelihatan tidak 
terkejut. Mereka mampu menguasai perasaannya se- 
hingga tidak terlihat di wajah. Salah satu di antara me- 
reka adalah Malaikat Utara. Dia tetap berdiri tegak 
dengan sikap angkuhnya. 

"Benarkah kau tokoh yang sombong itu, Pemu- 
da Usilan?!" Setan Kipas meminta penegasan seraya 
menudingkan kipasnya. 

"Tidak salah! Akulah Dewa Arak!" jawab pemu- 
da berambut putih keperakan yang tidak lain Arya 
alias Dewa Arak. Suaranya mantap dan tegas. 

"Ha ha ha...!" 

Setan Kipas tertawa terbahak. "Rupanya benar 
berita yang kudengar mengenai dirimu, Dewa Arak. 
Kau memang sombong dan usilan. Merasa diri sendiri 
paling hebat sehingga berani mencampuri urusan 
orang lain. Selama ini kau boleh beruntung. Tapi seka- 
rang, setelah bertemu dengan aku, Setan Kipas, kebe- 
runtunganmu akan berakhir! Namamu yang besar dan 
menggemparkan dunia persilatan akan pupus di sini!" 

Wukkk! 

Setan Kipas menutup ucapannya dengan se- 
buah kebutan kipasnya. Cara yang telah berhasil 
memperdaya Citra Sari dipergunakan lagi terhadap 
Dewa Arak. Debu mengepul tinggi dan meluruk ke 
arah Dewa Arak seperti ingin membungkus tubuhnya. 

Meski terperanjat melihat serangan yang dila- 
kukan secara tiba-tiba dan demikian curang ini, Arya 
tidak kelihatan bingung apalagi gugup. Dia terlalu ser- 
ing berhadapan dengan bahaya dan ancaman maut. 
Sehingga, menghadapi ancaman tiba-tiba seperti ini ia 
tidak kehilangan akal. 

Pemuda berambut putih keperakan itu mela- 
kukan gerakan mendorong ke depan. Hembusan angin 
keras bertiup melemparkan sekumpulan debu yang 
menuju ke arahnya berbalik ke arah pemiliknya. Kha- 
watir tidak semua debu terusir pergi, Arya membarengi 
dorongannya itu dengan tiupan mulutnya. Debu-debu 
itu pun melayang kembali ke arah Setan Kipas. 

Lelaki berkumis tebal itu yang baru saja menje- 
jakkan kaki untuk melancarkan serangan gelap terke- 
jut bukan main. Debu-debu yang meluncur ke arah 
Dewa Arak berbalik ke arahnya. Buru-buru dia meme- 
jamkan mata dan melempar tubuhnya ke belakang 
dengan sebuah letikan laksana seekor lumba-lumba. 

"Hik hik hik...! Kurasa sudah waktunya bagimu 
untuk mundur, Setan Kipas! Kau bukan tandingan 
Dewa Arak. Lagi pula kau sudah bertarung melawan 
gadis ingusan itu. Sekarang menyingkirlah. Biar aku 
yang menghadapi Dewa Arak!" 

Setan Kipas hendak membantah, tapi niatnya 
segera diurungkan. Orang yang berbicara itu adalah 

I nenek berpakaian penuh tambalan. Nenek yang ter- 
kenal dengan julukan Pengemis Tongkat Merah itu 
berwatak aneh. Ia akan marah dan menyerang apabila 
niatnya dihalangi. Setan Kipas tidak mau hal itu terja- 
di. Pengemis Tongkat Merah memiliki kemampuan di 
atasnya. Apalagi ketika diliriknya Malaikat Utara men- 
ganggukkan kepala dan memberikan isyarat agar dia 
mundur. Tanpa banyak cakap lagi, Setan Kipas pun 
melangkah mundur. 

"Aku rasa kalian semua salah menduga dengan 
maksud kedatanganku." Arya buru-buru berujar se- 
raya menatap Pengemis Tongkat Merah, Malaikat Uta- 
ra dan tokoh-tokoh persilatan yang berada di belakang 
datuk wilayah utara. "Aku datang kemari tidak untuk 
bermusuhan dengan kalian. Aku datang kemari tidak 
sengaja, karena mendengar bunyi riuh-rendah suara 
pertempuran. Jadi...." 

"Kau takut Dewa Arak...?!" Pengemis Tongkat 
Merah menukas tak sabar. 

Merah padam wajah Dewa Arak. "Dalam kamus 
hidupku tidak ada kata takut, Nek! Hanya saja aku ti- 
dak ingin bertarung dan menanam permusuhan tanpa 
alasan yang jelas." 

"Alasan!" Pengemis Tongkat Merah membentak. 
"Kau kira menolong wanita itu dari tangan Setan Kipas 
tidak membuatmu jadi mempunyai urusan dengan 
kami? Katakan saja kalau kau takut! Aku tidak akan 
menyerangmu, Dewa Arak!" 

"Majulah, Nek! Buktikan kalau sesumbar mu 
sesuai dengan kemampuan yang kau miliki!" tandas 
Arya mantap. 

"Pemuda Sombong!" Sepasang mata nenek ber- 
pakaian penuh tambalan membelalak lebar. "Aku su- 
dah terkenal di dunia persilatan. Dan, menjadi tokoh 
yang tak tertandingi sebelum kau lahir! Terimalah ini, 
Pemuda Sombong!" 

Wukkk! 

Babatan tongkat kayu merah di tangan Penge- 
mis Tongkat Merah yang mengancam pinggangnya 
berhasil dielakkan. Arya menjejakkan kaki dan tubuh- 
nya melayang ke atas. Tongkat itu menyambar bebera- 
pa jari di bawah kaki pemuda berambut putih kepera- 
kan itu. 

Tapi, nenek berpakaian penuh tambalan tidak 
percuma mendapat julukan Pengemis Tongkat Merah. 
Permainan tongkatnya memang menakjubkan. Begitu 
berhasil dielakkan Dewa Arak, tongkat itu berputar 
melingkar dan meluncur dengan sebuah tusukan ke 
arah dada. Serangan ini memaksa pemuda berambut 
putih keperakan melompat jauh ke belakang. Pengemis 
Tongkat Merah segera mengejar. 

Debu mengepul tinggi. Bunyi mengaung dan 
menderu-deru mengiringi gerakan tongkat Pengemis 
Tongkat Merah. Tongkat itu lenyap menjadi kelebatan 
bayangan merah yang bergulung-gulung seperti hen- 
dak membungkus tubuh Dewa Arak. Tapi, dengan lin- 
cahnya pemuda berambut putih keperakan itu meng- 
hindar. Bahkan, beberapa kali melancarkan serangan 
balasan. Dewa Arak menghadapi amukan Pengemis 
Tongkat Merah dengan tangan kosong. 

Tappp! 

Pengemis Tongkat Merah terperanjat. Ujung 
tongkat merahnya tertangkap oleh lawan saat ia mela- 
kukan sodokan ke arah ulu hati. Nenek berpakaian 
penuh tambalan ini tidak tinggal diam. Dengan menge- 
rahkan seluruh tenaga dalamnya, sodokannya dite- 
ruskan. Ketika tidak bergeming juga segera ditariknya 
pulang. Tapi gagal. Tongkat itu seperti dicengkeram je- 
pitan baja. Padahal, jelas terlihat oleh Pengemis Tong- 
kat Merah kalau Dewa Arak hanya memegangnya den- 
gan satu tangan. 

"Ah...!" 

Pengemis Tongkat Merah mengeluarkan seruan 
tertahan. Tubuhnya terangkat ketika Arya menggerak- 
kan tongkatnya ke atas. Betapa pun nenek bertongkat 
merah ini mengerahkan tenaga dalam untuk membe- 
ratkan tubuhnya, usahanya sia-sia. Tubuhnya sema- 
kin terangkat ke atas. 

Tindakan pemuda berambut putih keperakan 
itu tidak berhenti sampai di situ saja. Tangan yang 
mencengkeram tongkat disodokkan ke depan. Tongkat 
itu pun dengan telak menghantam perut Pengemis 
Tongkat Merah. Terdengar bunyi keluh kesakitan dari 
mulut nenek berpakaian penuh tambalan. 

Pengemis Tongkat Merah terpental ke belakang. 
Tongkat merah di tangannya terlempar dari pegangan 
dan jatuh ke tanah. Karena Arya yang menggenggam- 
nya melepaskan pegangan pada tongkat begitu tubuh 
Pengemis Tongkat Merah terpental. 

Malang bagi Pengemis Tongkat Merah. Tidak 
ada seorang pun tokoh persilatan yang sudi menolong- 
nya. Maka, ketika dia berusaha mendarat dengan ke- 
dua kaki, tubuhnya terhuyung-huyung belakang dan 
jatuh dengan menggunakan kedua lututnya. 

"Kurasa sudah cukup sampai di sini," ujar De- 
wa Arak. Ditentangnya pandang mata Malaikat Utara 
yang diyakininya sebagai pemimpin tokoh persilatan 
yang berada di situ. "Aku pergi!" 

Dengan sikap yakin kalau lawan-lawannya ti- 
dak akan membokongnya, Arya membalikkan tubuh. 
Langkahnya terayun mendekati Citra Sari yang masih 
tergolek di tanah. Arya memutuskan untuk membawa 
Citra Sari meninggalkan tempat itu. Meski ia belum 
merasa jelas dengan masalah mereka. Tapi, melihat si- 
kap Setan Kipas dan Pengemis Tongkat Merah, Arya 
lebih condong untuk membela Citra Sari. 

"Tunggu, Dewa Arak!" 

Terdengar teriakan lantang. Arya terpaksa 
menghentikan ayunan kakinya. Tapi, pemuda beram- 
but putih keperakan ini tidak membalikkan tubuh. Ia 
berdiri tenang dengan sekujur urat syaraf menegang 
waspada. 

Belum lenyap gema teriakan itu, Arya menden- 
gar bunyi angin mendesir di atas kepalanya. Tapi pe- 
muda itu tetap bersikap tenang. Ia tahu itu bukan 
bunyi angin yang ditimbulkan oleh serangan. 

Sekejap kemudian, tanpa menimbulkan bunyi 
berarti, beberapa tombak di depan Arya telah berdiri 
lelaki berpakaian serba putih. Dialah Malaikat Utara 
alias Danar Jati. 

"Kau memang hebat, Dewa Arak!" puji Malaikat 
Utara. Kemenangan demi kemenangan yang diraih De- 
wa Arak atas Setan Kipas dan Pengemis Tongkat Me- 
rah telah membuatnya kagum. Seorang yang masih be- 
rusia demikian muda telah mempunyai kepandaian 
tinggi. 

Sama sekali tidak, Sobat. Orang-orang yang 
kuhadapi kebetulan telah berbaik hati mau mengalah. 
Kalau tidak, mana mungkin aku akan dapat mengung- 
guli mereka?" sambut Arya merendah. 

"Ha ha ha...!" Malaikat Utara tertawa bergelak. 
Keras sekali. Tapi hanya sebentar. Kemudian langsung 
ditutup dengan dengusan. Wajahnya kembali dingin 
seperti semula. "Kau memang pandai merendah, Dewa 
Arak. Tapi, itu tidak penting! Perkenalkan, aku adalah 
Malaikat Utara!" 

Arya terkejut mendengar pemberitahuan ini. 
Dia telah mendengar berita kalau telah muncul seo- 
rang tokoh kaum sesat yang merajai wilayah utara. Ia 
berjuluk Malaikat Utara. Jadi, inikah tokoh yang ter- 
kenal itu? Meski demikian, pada wajah tampan Arya 
tidak terlihat bias perasaannya. Wajahnya tampak te- 
tap tenang. 

"Kiranya kau datuk sesat wilayah utara ini, Ma- 
laikat Utara." Datar dan ringan ucapan yang dikelua- 
rkan Arya. "Maaf kalau aku mengacau tempat mu. Ini 
sungguh tidak ku sengaja. Kuharap kau mau berbesar 
hati membiarkan aku pergi dari sini. Untuk itu, aku 
mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan 
yang setinggi-tingginya." 

Kembali Malaikat Utara tertawa bergelak. Dan 
diakhiri dengan dengusan tajam. 

"Sayang sekali, Dewa Arak. Aku tidak mungkin 
melakukan hal seperti itu. Kau sudah memasuki tem- 
pat tinggalku, menimbulkan kekacauan dan meroboh- 
kan pengikut-pengikut ku. Kalau kubiarkan pergi, apa 
kata orang nanti? Mereka akan menganggap aku takut 
padamu. Ini akan menjatuhkan namaku. Orang-orang 
akan berani keluar masuk tempat tinggalku dengan 
seenaknya." 

"Jadi...." Arya menggantungkan ucapannya. Di- 
tunggunya jawaban Malaikat Utara. Sekujur urat-urat 
syarafnya menegang penuh kewaspadaan. Arya tahu 
betapa pun lihai dirinya, tapi apabila Malaikat Utara 
dan semua pengikutnya turun tangan dia tidak akan 
bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup. 

"Kau boleh keluar dari tempat ini bila mampu 

I memenuhi persyaratan ku!" tandas Malaikat Utara pe- 
nuh wibawa. "Bagaimana? Kau setuju?" 

"Tergantung persyaratan yang kau ajukan, Ma- 
laikat Utara!" Arya menjawab tak kalah tegas. "Aku ti- 
dak langsung menyetujui bila tidak mengetahui syarat 
yang akan kau ajukan!" 

"Tidak berat. Dewa Arak. Kau hanya mencoba 
untuk memenangkan adu ketrampilan dengan seorang 
anak buahku. Apabila kau menang, aku akan mem- 
biarkan kau pergi dari sini dengan membawa gadis liar 
itu! Tapi bila kau kalah, kau harus berhadapan den- 
ganku! Kau berani?" 

"Tidak ada kata tidak bagi sebuah tantangan 
yang diajukan padaku!" Dengan lantang Arya menja- 
wab. Hatinya panas karena mendapat pertanyaan apa- 
kah dirinya berani menerima tantangan yang diajukan 
Malaikat Utara. 

"Bagus!" Malaikat Utara berseru gembira. Hal 
itu akan mengangkat namanya tinggi-tinggi dalam 
pandangan para pengikutnya. Dia mampu memaksa 
Dewa Arak untuk mengikuti aturannya. Itu keuntun- 
gan pertama. Yang kedua, dia telah mengangkat di- 
rinya karena Dewa Arak hanya akan dapat menghada- 
pinya bila memenangkan pertarungan dari anak buah- 
nya. Malaikat Utara telah dengan cerdiknya menem- 
patkan diri di atas Dewa Arak. 

Dengan senyum lebar karena merasa yakin 
akan kemenangan di pihaknya, Malaikat Utara mengu- 
lapkan tangan pada seorang pengikutnya. Ia seorang 
lelaki kekar memakai rompi dari kulit harimau. Kulit- 
nya hitam kecoklatan dengan rambut kemerahan. Di 
belakang punggungnya tampak sebilah busur dengan 
sekotak panjang anak panah. 

"Pengikut ku ini berjuluk Raja Panah Berbaju 
Emas." Malaikat Utara memperkenalkan lelaki ber- 
rambut kemerahan pada Arya. "Dialah yang akan men- 
jadi lawanmu, Dewa Arak." 

Meski terkejut melihat calon lawannya, Dewa 
Arak tetap bersikap tenang. Dalam hati dia memuji ke- 
cerdikan Malaikat Utara. Tapi, Arya tidak berkecil hati. 
Kalau hanya permainan panah, dia mampu melaku - 
kannya. Bagi orang seperti Dewa Arak, memanah bu- 
kan merupakan kepandaian asing. Pemuda berambut 
putih keperakan itu mampu melakukannya dengan 
baik. 

"Silakan kalian bertarung," ujar Malaikat Utara. 
Ditinggalkannya Arya dan Raja Panah Berbaju Emas. 

"Pertarungan macam apa yang kau inginkan 
Raja Panah?" tanya Arya. Ditatapnya wajah lelaki be- 
rambut kemerahan itu sejenak. 

Raja Panah Berbaju Emas tidak segera menja- 
wab. Dia melangkah dengan menengadahkan kepala, 
seperti ada yang dicarinya. Dan, wajahnya berseri keti- 
ka melihat titik-titik hitam di angkasa. Burung-burung 
yang tengah beterbangan. 

"Itulah yang akan kita pertarungkan!" Raja Pa- 
nah Berbaju Emas ke angkasa. "Kau sanggup?" 

"Mengapa tidak?" jawab Dewa Arak cepat. Pe- 
muda berambut putih keperakan ini merasa yakin. Ka- 
lau hanya membidik burung-burung itu, Arya yakin 
akan mampu melakukannya. 

"Kalau begitu, kita mulai!" 

Raja Panah Berbaju Emas mengeluarkan seba- 
tang anak panah dari kantong yang tergantung di 
punggungnya. Kemudian, dipasangnya pada tali busur 
dan dibidikkan ke angkasa mencari sasaran. Tampak 
burung-burung terbang berkelompok hendak pulang 
ke sarang. Memang waktu itu hari telah sore. Matahari 
mulai terbenam di kaki langit. Terdengar bunyi berdes- 
ing dari luncuran anak panah. Sesaat kemudian, terli- 
hat sesuatu melayang jatuh dan berdebuk di tanah. 
Seketika orang-orang berdecak kagum ketika melihat 
seekor burung telah terpanggang lehernya oleh panah 
Raja Panah Berbaju Emas. 

"Lakukanlah seperti yang kulakukan." Raja Pa- 
nah Berbaju Emas menyerahkan anak panah dan bu- 
surnya pada Dewa Arak. 

Pemuda berambut putih keperakan itu mema- 
sang anak panah pada tali busur dan membidikkan ke 
atas. Agak lama baru terdengar suara berdesing ketika 
anak panah itu lepas dari busurnya. Sesaat kemudian, 
terdengar bunyi berdebuk. Seekor burung jatuh ke ta- 
nah dengan dada tertembus panah. Raja Panah Berba- 
ju Emas tersenyum gembira. Dia tidak merasa gusar 
dengan keberhasilan Dewa Arak. Ia mendapat seorang 
lawan yang cukup tangguh. Kalau dalam segebrakan 
saja pemuda berambut putih keperakan itu berhasil 
dikalahkan, dia malah akan kecewa. 

"Kau boleh juga, Dewa Arak. Tapi, sekarang 
aku yakin kau tidak akan mampu menandingi ku. Tadi 
hanya permulaan saja. Hanya untuk menguji apakah 
kau pantas berhadapan denganku. Raja Panah Berba- 
ju Emas!" 

Begitu menerima angsuran busur dari Dewa 
Arak, Raja Panah Berbaju Emas segera mengambil tiga 
batang anak panah dan memasangkan ke busurnya. 
Aiya menatapnya dengan sepasang mata heran. Pe- 
muda berambut putih keperakan ini menduga-duga 
dalam hati. Apakah Raja Panah Berbaju Emas ber- 
maksud melepaskan tiga batang anak panah itu ber- 
samaan? 

Tanpa mempedulikan keheranan Dewa Arak, 
Raja Panah Berbaju Emas menarik tali busurnya. Ke- 
mudian, dilepaskannya hingga terdengar bunyi berdes- 
ing nyaring. Tiga batang anak panah itu melesat ke 
atas. Dan, tak lama kemudian terdengar bunyi berde- 
buk dari jatuhnya tiga ekor burung di tanah. 

Sekarang Dewa Arak benar-benar melihat buk- 
ti. Julukan yang disandang lelaki berambut kemera- 
han itu tidak berlebihan kalau julukan Raja Panah 
Berbaju Emas diberikan padanya. Kemampuannya da- 
lam memanah memang luar biasa. Tiga ekor burung 
itu terpanggang anak panah pada bagian yang sulit. 
Leher! 

Dengan perasaan bimbang, Dewa Arak meneri- 
ma busur dan tiga batang anak panah yang diangsur- 
kan Raja Panah Berbaju Emas. Arya tahu kemungki- 
nan untuk dapat melakukan hal seperti Raja Panah 
Berbaju Emas kecil sekali. Memanah dengan tiga ba- 
tang anak panah sekaligus, dan ketiga-tiganya menge- 
nai sasaran yang berbeda, merupakan pekerjaan yang 
amat sulit. 

'Apakah Malaikat Utara, datuk yang merajai wi- 
layah utara berada di dalam? Kami harap kau keluar 
dan menemui kami. Atau, kami yang akan masuk ke 
dalam!" 

Seruan keras itu menggema ke seluruh penjuru 
kediaman Malaikat Utara. Getarannya sanggup meng- 
guncangkan isi dada. Hingga, semua tokoh persilatan 
yang berada di situ mengerahkan tenaga dalam untuk 
mencegah getaran yang dapat merusak isi dada. 

Seruan itu tidak hanya mengejutkan Malaikat 
Utara, tapi juga semua pengikutnya. Bahkan Dewa 
Arak pun demikian. Pemilik suara itu memiliki kepan- 
daian tinggi, terutama tenaga dalamnya. 

"Tidak perlu banyak basa-basi, Sobat! Jika kau 
ingin menemuiku, silakan masuk!" 

Malaikat Utara tak mau kalah gertak. Ia menge- 
rahkan kemampuan tenaga dalamnya. Tidak terlihat 
lelaki itu berteriak. Hanya sedikit menggerakkan bibir, 
tapi bunyi yang keluar dari mulutnya laksana halilin- 
tar! Keras bukan main. 

Baru saja seman Malaikat Utara keluar, dari 
arah pintu gerbang tampak berkelebat sesosok bayan- 
gan. Tahu-tahu di tempat itu telah berdiri tegak seso- 
sok tubuh yang mengejutkan semua orang. Bukan ka- 
rena kecepatan gerakannya, tapi karena jati dirinya! 

Sosok itu memiliki tubuh kekar terbungkus pa- 
kaian dari bulu binatang, semacam kambing. Sepa- 
sang matanya agak sipit. Wajahnya kokoh. Tampak ke- 
ras, dan kasar. Tapi, memperlihatkan perbedaan yang 
menyolok dengan kerasnya wajah Malaikat Utara. Dan 
lagi, sosok yang baru datang ini mengenakan sebuah 
topi baja bundar setengah tempurung kelapa. 

Tepat pada bagian tengah topi baja itu terdapat 
besi runcing sepanjang dua jari. Pada bagian bawah- 
nya, di sekelilingnya, terdapat hiasan-hiasan dari bulu 
binatang. Pada bagian belakang topi baja itu, menutup 
tengkuk dan bagian belakang lehernya, ada sehelai 
kain hitam dari kulit harimau kumbang. Lebar dan 
panjang kulit itu tak lebih dari dua jengkal. 

"Siapa kau, Sobat? Aku yakin kau berasal dari 
tempat yang jauh...." Malaikat Utara membuka pembi- 
caraan dengan suara berwibawa. Dia sudah mampu 
mengusir perasaan kaget yang semula mendera ha- 
tinya. Sejak pertama kali terdengar seruan sosok itu, 
Malaikat Utara sudah merasa heran. Logat yang ter- 
dengar demikian aneh. Ternyata pemiliknya memang 
orang aneh. 

"Namaku Targoutai! Aku berasal dari negeri 
yang jauh dari tempat ini. Mongol, nama negeri ku" 
sahut lelaki kekar berusia empat puluh lima tahun dan 
bertopi baja bundar itu. Suaranya patah-patah dan 
kaku. 

"Mongol?!" Malaikat Utara mengernyitkan dahi. 
Sikapnya seperti orang yang tengah berpikir keras. 
"Aku pernah mendengar akan adanya pasukan tentara 
Mongol yang datang ke negeri ini" 

"Memang benar!" Targoutai menjawab cepat. 

"Aku datang bersama rombongan tentara itu tanpa se- 
pengetahuan mereka. Tapi aku tidak terus mengikuti 
mereka. Aku memisahkan diri. Kedatangan mereka ka- 
rena urusan kerajaan, sedangkan aku tidak. Aku da- 
tang karena ingin membuktikan sendiri berita yang 
kudengar. Di negeri ku, aku merupakan salah seorang 
tokoh yang hampir tidak pernah tertandingi. Kesenan- 
ganku yang utama adalah bertarung. Kudengar kau 
merupakan tokoh terkenal wilayah utara, maka aku 
datang kemari." 

"Kau tidak salah, Sobat!" Malaikat Utara men- 
jawab sambil membusungkan dada, menampakkan 
kesombongan. "Aku bukan hanya tokoh terkenal di wi- 
layah utara ini. Tapi, juga tokoh nomor satu di wilayah 
utara! Tak lama lagi aku akan menjadi tokoh nomor 
satu untuk semua wilayah. Aku akan menjadi tokoh 
tersakti di seluruh penjuru mata angin! Ha ha ha...!" 

"Syukurlah kalau demikian. Memang kedatan- 
ganku untuk mencari tokoh-tokoh nomor satu!" 

"Ku turuti kemauanmu, Targoutai!" timpal Ma- 
laikat Utara angkuh. 

"Hih!" 

Targoutai membuka serangannya dengan se- 
buah pukulan sederhana. Tangan kanannya terkepal 
dihantamkan ke arah dada Malaikat Utara. Meski ter- 
lihat sederhana, bunyi mengaung keras mengiringi 
luncuran kepalannya yang cukup besar. 

Malaikat Utara yang tidak ingin dianggap pen- 
gecut, di samping ingin menunjukkan kalau dirinya ja- 
go nomor satu wilayah utara, tanpa pikir-pikir panjang 
lagi menyambuti serangan Targoutai dengan sikap se- 
rupa. 

Bresss! 

Sepasang mata Malaikat Utara membelalak le- 
bar. Akibat benturan itu Targoutai hanya terhuyung- 
huyung dua langkah. Padahal, dia sendiri terhuyung 
sampai tiga langkah! Jari-jari tangannya yang berben- 
turan dengan jari lawan terasa sakit bukan main, se- 
perti membentur gumpalan besi. 

Kalau Malaikat Utara sangat terkejut, tidak 
demikian halnya dengan Targoutai. Lelaki kekar Mon- 
gol ini malah tertawa bergelak. Ia kelihatan gembira 
sekali. 

"Kau hebat, Malaikat Utara. Kau merupakan 
seorang lawan yang amat menyenangkan! Tapi keta- 
huilah. Aku tidak bertindak main-main. Sekali aku 
bertarung, tidak akan berhenti sampai lawanku meng- 
geletak tak berdaya!" 

"Tidak usah banyak cakap, Targoutai!" Malaikat 
Utara hampir saja keseleo lidahnya. Nama lelaki Mon- 
gol itu memang sulit untuk dihafalkan. "Aku belum ka- 
lah!" 

Malaikat Utara membuka serangan dengan se- 
buah tendangan ke arah perut Pada saat itu Targoutai 
tengah berdiri dengan tubuh agak membungkuk. Ke- 
dua tangannya terkembang di sisi pinggang. Dan, se- 
pasang matanya mengintai dari bawah. 

Desss! 

Tubuh Targoutai terhuyung-huyung ke bela- 
kang ketika kaki Malaikat Utara dengan telak bersa- 
rang di sasaran. Tapi, lelaki Mongol ini seakan-akan 
memiliki tubuh dari baja. Begitu kekuatan yang mem- 

I buat tubuhnya terhuyung usai, dia berdiri seperti se- 
mula. Bahkan kemudian menubruk ke arah pinggang 
Malaikat Utara dengan kedua tangannya. 

Malaikat Utara kaget melihat bentuk penyeran- 
gan yang tampak aneh itu. Dia tidak berani bertindak 
gegabah. Dengan mengandalkan ilmu meringankan 
tubuh, dielakkannya serangan itu. Bahkan, kemudian 
balas menyerang dengan tak kalah dahsyatnya. 

Pertarungan unik pun berlangsung. Malaikat 
Utara harus mengakui kalau baru pertama kali ini dia 
menemukan lawan yang memiliki ilmu demikian aneh 
seperti ini. Malaikat Utara tidak tahu kalau Targoutai 
memiliki ilmu khas suku Mongol, yaitu ilmu gulat! 
Dengan ilmu itu, Targoutai berusaha secepat mungkin 
mengalahkan Malaikat Utara. 

Tappp! 

"Uh...!" 

Malaikat Utara mengeluarkan keluhan terta- 
han. Pergelangan tangannya berhasil dicekal tangan 
Targoutai. Dan, kekagetannya semakin bertambah ke- 
tika dengan sigap dan sangat cepat, Targoutai memu- 
tar tangannya. Tubuh Malaikat Utara pun ter-paksa 
berbalik kalau tidak ingin tangannya patah. 

Malaikat Utara baru menyadari kehebatan ilmu 
gulat Targoutai. Ia tahu keadaan amat berbahaya. Ke- 
dudukannya sekarang membelakangi Targoutai! Tan- 
gan kanannya telah ditelikung dan ditekan ke atas. 
Malaikat Utara mati kutu. Mudah saja bagi Targoutai 
untuk mengirimkan serangan susulan yang memati- 
kan! 

Tapi Malaikat Utara ternyata bukan sembaran- 
gan tokoh. Dalam keadaan yang mengkhawatirkan itu, 
dia mampu menunjukkan kalau dirinya pantas berge- 
lar tokoh nomor satu wilayah utara. Setelah menjejak- 
kan kaki, dia mampu membuat tubuhnya jungkir balik 
di udara. Kemudian, hinggap di belakang tubuh Tar- 
goutai! Tapi hal ini tidak berlangsung lama. Tangan 
Targoutai bergerak menyentak ke depan. Tubuh Malai- 
kat Utara pun terbawa ke depan dan terbanting ke ta- 
nah! 

Meski kepalanya terasa pening bukan main, 
Malaikat Utara menggulingkan tubuhnya menjauh. 
Malaikat Utara menyeringai ketika merasakan sakit 
yang sangat mendera pada bagian kiri tubuhnya. 
Mungkin salah satu tulang iganya ada yang patah. Pa- 
dahal, tadi Malaikat Utara telah mengerahkan tenaga 
dalam untuk melindungi tubuhnya. 

Targoutai tidak tinggal diam. Tangannya segera 
digerakkan mengambil busur dan anak panah yang 
tersampir di punggung. Sesaat kemudian, terdengar 
bunyi berdesing nyaring ketika tiga batang anak panah 
meluncur ke arah tubuh Malaikat Utara yang tengah 
bergulingan. 

Malaikat Utara mendengar bunyi desingan ta- 
jam yang mengiris telinga itu. Dia pun tahu apa ar- 
tinya. Tapi apa dayanya? Saat itu dia tengah bergulin- 
gan. Tidak ada yang dapat dilakukannya. Di saat ber- 
bahaya itu, terdengar bunyi tali busur berdentang 
nyaring. Raja Panah Berbaju Emas melepaskan tiga 
batang anak panah untuk mencegah anak-anak panah 
Targoutai! Tiga pasang anak panah itu berbenturan di 
udara. Anak-anak panah Raja Panah Berbaju Emas 
agak terpental ke belakang, dan runtuh ke tanah! Se- 
dangkan anak panah Targoutai hanya melenceng 
arahnya. Dari benturan ini bisa diketahui kalau tenaga 
dalam Raja Panah Berbaju Emas tidak bisa diperban- 
dingkan dengan Targoutai. 

Targoutai menggeram keras. Dia tampak marah 
sekali. Bukan karena kegagalannya membunuh Malai- 
kat Utara, tapi karena campur tangan Raja Panah Ber- 

I baju Emas. Sebagai seorang Mongol, ia mempunyai 
aturan aneh di negerinya. Dalam sebuah pertandingan 
satu lawan satu, tidak boleh seorang pun membantu! 
Begitu pun andaikata dirinya yang terdesak oleh lawan 
dan terancam maut, dan kebetulan dia mempunyai 
teman. Targoutai dan suku bangsanya lebih memen- 
tingkan kegagahan daripada nyawa! Itu sebabnya dia 
geram bukan main terhadap Raja Panah Berbaju 

I Emas. Targoutai menganggap Raja Panah Berbaju 
Emas sebagai seorang pengecut. Targoutai sangat 
membenci hal itu. 

"Kau ingin mengadu kepandaian memanah 
denganku, Pengecut Hina?!" bentak Targoutai menan- 
tang dengan suara kaku. 

"Tidak ada alasan bagiku untuk menolak. 
Orang Asing!" tandas Raja Panah Berbaju dengan sua- 
ra keras. Terbakar amarah atas hinaan penuh tantan- 
gan itu. 

"Bagus!" Targoutai agak berkurang rasa sebal- 
nya. Sambutan lelaki berambut kemerahan terhadap 
tantangannya membuat lelaki kekar dari Mongol ini 
menjadi lebih hormat. Sikap Raja Panah Berbaju Emas 
menunjukkan kegagahan. 

Hampir bersamaan dua lelaki gagah yang sa- 
ma-sama memiliki keahlian memanah itu mundur be- 
berapa langkah untuk mengambil jarak. Kesempatan 
itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Malaikat Utara 
untuk menepi. Lelaki ini sebenarnya mengalami luka 
dalam yang cukup parah. Pergelangan tangan kanan- 
nya patah. 

"Sekarang, semua pasang mata tertuju ke arah 
Raja Panah Berbaju Emas dan Targoutai. Semuanya 
merasakan jantung dalam dadanya berdetak lebih ce- 
pat. Biasanya para pengikut Malaikat Utara tidak per- 
nah meragukan kemampuan Raja Panah Berbaju 
Emas. Tapi sekarang mereka semua meragukannya. 
Telah mereka saksikan sendiri kemampuan Targoutai 
mempergunakan anak panah. 

Setelah saling menatap lawan di hadapannya 
dengan mata tidak berkedip, anak-anak panah yang 
telah dipasang di busur pun dilepaskan. Tidak tang- 
gung-tanggung. Tiga batang anak panah sekaligus. 
Masing-masing tertuju pada bagian-bagian berbahaya 
di tubuh lawan. 

Untuk pertama kalinya semua tokoh yang be- 
rada di situ membelalakkan mata melihat pertarungan 
memanah. Tiga anak panah yang dilepaskan dari arah 
yang berlawanan itu berbenturan di udara. Tepat di 
tengah-tengah kedua jago panah itu. Seperti sebelum- 
nya, karena Targoutai memiliki tenaga dalam yang 
jauh lebih kuat, tiga batang anak panahnya berhasil 
melemparkan panah lawan. Meski demikian, tiga ba- 
tang anak panah Targoutai kemudian runtuh karena 
lajunya telah terhambat. 

Tapi masing-masing pihak tidak mempedulikan 
hal itu. Mereka segera mengambil anak panah dan me- 
lepaskannya kembali, saling adu cepat. Untuk kedua 
kalinya, tiga pasang anak panah itu berbenturan di 
tengah jalan, tapi agak lebih dekat pada Raja Panah 
Berbaju Emas. Dan ketiga kalinya, benturan itu lebih 
dekat lagi dengan Raja Panah Berbaju Emas. Agaknya, 
tokoh golongan hitam pengikut Malaikat Utara ini ka- 
lah cepat dalam mengambil anak panah! Kalah gesit di 
samping kalah tenaga. 

Cappp! 

"Aaakh...!" 

Raja Panah Berbaju Emas menjerit keras. Tiga 
batang anak panah yang dilepaskan Targoutai menem- 
bus leher, dada, dan pusarnya. Lelaki berambut keme- 
rahan ini baru saja selesai memasang anak-anak pa- 
nah pada busurnya. Rupanya dia kalah cepat. Anak- 
anak panah itu melesat ke udara karena. Raja Panah 
Berbaju Emas roboh ke tanah. Dia tewas! 

"Ah...!" 

Meski telah menduga sebelumnya, Malaikat 
Utara, Setan Kipas, Pengemis Tongkat Merah, dan te- 
man-temannya berseru kaget. Kehidupan Raja Panah 
Berbaju Emas berakhir menyedihkan. Tewas di ujung 
anak panah! 

Targoutai dengan wajah dingin menyimpan bu- 
surnya kembali. Kemudian, tatapannya tertuju pada 
Malaikat Utara. 

"Kita masih mempunyai urusan, Malaikat Uta- 
ra. Sudah kukatakan aku tidak akan bertindak tang- 
gung-tanggung bila telah bertarung denganku!" tandas 
Targoutai dingin. 

Tanpa sadar Malaikat Utara bergerak mundur 
selangkah. Meski sebenarnya dia bukan seorang pen- 
gecut, tapi sikap Targoutai benar-benar mengerikan. 
Setan Kipas dan Pengemis Tongkat Merah serta bela- 
san tokoh-tokoh persilatan lain segera melangkah ma- 
ju. Senjata-senjata mereka terhunus di tangan. 

"Ha ha ha...!" 

Targoutai langsung tertawa bergelak. Dia tidak 
kelihatan gentar. Bahkan, merasa gembira melihat si- 
kap pengikut-pengikut Malaikat Utara. 

"Tidak usah ragu-ragu. Ayo maju! Hadapi aku! 
Seorang demi seorang hanya akan memakan waktu sa- 
ja! Majulah!" 

Targoutai segera melangkah mundur dan men- 
gambil sebatang lembing yang tadi ditancapkan di ta- 
nah ketika dia bertarung dengan Malaikat Utara. Dekat 
bagian ujung lembing yang tajam berkilat terhias bulu- 
bulu binatang, sejenis kambing. 

Baru saja Targoutai menggenggam lembing, be- 
lasan tokoh persilatan itu menerjang maju seraya 
mengayunkan senjata masing-masing. Sambil tertawa 
bergelak, Targoutai menyambutnya. Pertarungan tak 
seimbang pun terjadi. 

Malaikat Utara yang tidak ikut dalam penge- 

I royokan memperhatikan tanpa berkedip. Sebagai seo- 
rang tokoh besar, tentu saja lelaki ini tidak mau mela- 
kukan pengeroyokan. Baginya, lebih baik mati daripa- 
da melakukan tindakan pengecut seperti itu. Apalagi 
saat ini keadaannya tidak mengizinkan untuk melaku- 
kan hal seperti itu 

Malaikat Utara ingin membuktikan kebenaran 
dugaannya. Tadi dia mendapati kenyataan yang men- 
gejutkan sewaktu bertarung dengan Targoutai. 

Lelaki dari Mongol itu tidak terluka meski ter- 
kena tendangan telak. Malaikat Utara seperti meng- 
hantam gumpalan karet keras yang kenyal. 

Malaikat Utara tahu pengeroyokan Setan Kipas 
dan yang lain-lain, bila dia sendiri yang menghadapi 
tak akan bisa ditanggulangi. Mereka terlalu tangguh 
untuk ditanggulangi sendiri. Targoutai pun tak akan 
mampu menghadapi mereka. Tapi, itu dalam keadaan 
biasa. Padahal, Malaikat Utara tahu Targoutai memiliki 
kekuatan lain yang membuatnya jadi luar biasa. 

Malaikat Utara tengah menanti hal yang luar 
biasa itu. Sesuatu yang ditunggu-tunggu Malaikat Uta- 
ra ternyata tidak muncul begitu saja. Dalam gebrakan- 
gebrakan pertama yang terlihat adalah ramainya perta- 
rungan. Tapi, Malaikat Utara sudah dapat melihat hal- 
hal yang mencurigakan. 

Terlihat jelas oleh Malaikat Utara, Targoutai 
hampir tidak mempedulikan pertahanan. Yang dilaku- 
kan lelaki kekar dari Mongol ini adalah menyerang! 
Bahkan ketika lawan mengirimkan serangan memati- 
kan, dia tidak mempedulikan sama sekali. Ia balas 
menyerang seperti hendak mengajak mati bersama. 

Hal itu membuat lawan yang menyerang membatalkan 
serangan. 

Sepasang mata Malaikat Utara yang tajam me- 
lihat kalau Targoutai hanya mengelak bila serangan itu 
tertuju ke arah sepasang matanya. Tak jarang seran- 
gan yang meluncur ke bagian itu ditangkisnya. Pada 
hal, serangan terhadap mata paling parah hanya akan 
membuat sepasang mata itu buta. Tapi Targoutai 
menghindarinya! Serangan yang mematikan justru di- 
biarkan meluncur ke arah sasaran. 

Hal itu sepertinya mengherankan. Tapi, tidak 
demikian halnya dengan Malaikat Utara. Datuk wi- 
layah utara ini tahu dugaannya benar. Targoutai me- 
miliki tubuh yang kebal! Itulah sebabnya serang-an- 
serangan mematikan dibiarkan saja. Sedangkan seran- 
gan terhadap mata tidak disepelekan. Karena, betapa- 
pun saktinya seseorang tak mungkin mampu membuat 
sepasang mata menjadi kebal. 

Dan, keyakinan Malaikat Utara menjadi kenya- 
taan. Berbagai macam senjata yang mendarat di tubuh 
Targoutai hanya menyebabkan senjata-senjata itu 
membalik seperti berbenturan dengan karet keras yang 
kenyal. 

Kenyataan itu rupanya mengejutkan pengikut- 
pengikut Malaikat Utara. Mereka baru menyadari Tar- 
goutai memiliki tubuh yang kebal. Tidak mempan ter- 
hadap segala macam senjata. Setan Kipas dan yang 
lain-lainnya jadi hanya mempunyai sasaran serangan 
yang sedikit. Berbeda dengan Targoutai. Hingga, tak 
sampai menginjak jurus kedelapan salah seorang di 
antara mereka tewas tertusuk lembing Targoutai. 

I Beberapa jurus kemudian, seorang lagi tewas 

karena tertangkap Targoutai kemudian dibantingnya 
keras-keras. Jeritan menyayat terdengar susul menyu- 
sul. Tak sampai dua puluh lima jurus tidak ada satu 
pun di antara mereka yang masih berdiri tegak. Mere- 
ka semua tewas dengan mengerikan. Malaikat Utara 
tidak berubah wajahnya meski melihat semua pengi- 
kutnya tewas. Dia tidak sudi melarikan diri. Apalagi, 
keadaannya memang tidak memungkinkan. Malaikat 
Utara lebih suka tewas sebagai harimau daripada mati 
sebagai babi! Dia tidak takut mati. Hanya saja lelaki ini 
merasa kecewa karena impiannya untuk menjadi jago 
nomor satu harus kandas sebelum tercapai. Justru di 
saat dia baru merintis! 

"Ha ha ha...!" 

Tawa bergelak keras yang bernada meremehkan 
terdengar memecah suasana malam yang dingin. Tawa 
itu berasal dari dalam sebuah ruangan yang luas dan 
megah di dalam bangunan besar. Tampak seorang pe- 
muda tampan berpakaian mewah. Kulitnya halus dan 
mulus seperti kulit wanita. Sebuah cangklong yang 
mengepulkan asap ter-genggam di tangan kanannya. 
Pemuda itu tidak lain putra dari Raja Sihir Penyebar 
Maut. Pemuda yang telah menggemparkan rumah ma- 
kan dengan tindakannya yang luar biasa. 

"Kalau tidak mendengar sendiri dari mulutmu, 
aku tidak akan percaya, Setan Timur! Kau yang men- 
guasai wilayah timur dan menjadi datuk nomor satu di 
sana datang ke tempatku untuk menceritakan hal ini? 
Ha ha ha...! Lucu! Lucu sekali...!" 

"Kau terlalu menganggap remeh persoalan ini, 
Dewa Tampan!" sambut sebuah suara yang nyata- 
nyata menyiratkan kekesalan. "Aku tahu kau datuk wi- 
layah selatan sekarang. Tapi aku sangsi apakah kau 
mampu menandingi ku. Dan...." 

"Bisa kau buktikan sendiri nanti. Dua hari lagi 
kita akan mengadakan pertemuan untuk menentukan 
siapa yang lebih sakti di antara kita. Ia pantas berjuluk 
jago nomor satu." sambut pemuda berpakaian mewah 
cepat seraya menghembuskan asap cangklongnya. 

"Bukan itu maksudku, Dewa Tampan." sergah 
Setan Timur. Ia seorang lelaki berusia sekitar empat 
puluh lima tahun. Berkepala botak dan bercambar 
bauk lebat. Pakaiannya berwarna coklat dengan lengan 
baju sampai di bawah siku. Tampak gelang hitam meli- 
lit pergelangan tangan kanan dan kirinya. "Aku hanya 
memperbandingkan saja. Harap kau ingat. Bukan be- 
rarti aku takut padamu. Tapi, biar bagaimanapun juga 
kau perlu kuberitahu." 

"Hm..J" 

Dewa Tampan yang julukan lengkapnya Dewa 
Tampan Dari Selatan, yang mendapat julukan itu sete- 
lah kemenangannya dalam memperebutkan kedudu- 
kan datuk wilayah selatan yang berlangsung di Puncak 
Kabut Putih, menggumam. Sikapnya memperlihatkan 
dia mulai tertarik mendengarkan pernyataan Setan 
Timur. 

"Kau tahu Malaikat Utara dan Raksasa Barat, 
kan?" Setan Timur yang pandai mempergunakan ke- 
sempatan segera memotong. Tidak ada jawaban dari 
mulut Dewa Tampan Dari Selatan. Tapi dia tidak pedu- 
li. "Raksasa Barat bisa kita perkirakan kepandaiannya. 

Dia adalah murid terkasih Raja Racun Sakti. Malaikat 
Utara tidak perlu kita perhitungkan dulu karena dia 
tidak bisa kita perkirakan kepandaiannya, meski dari 
keberhasilannya menjadi datuk di wilayah utara sudah 
cukup untuk membuktikan kelihaiannya. Tapi kita ti- 
dak bisa mencari patokan. Berbeda dengan Raksasa 
Barat" 

Dewa Tampan Dari Selatan hanya menggerak- 
kan alisnya ke atas dan mengepulkan asap cangklong- 
nya. Dia tidak berbicara sedikit pun untuk memberi- 
kan tanggapan terhadap pernyataan rekannya. 

I "Kita tahu, Raja Racun Sakti memiliki kemam- 
puan setaraf dengan gurumu, Raja Sihir Penyebar 
Maut. Karena itu mereka hanya dapat menguasai dua 
wilayah yang memang sebelumnya telah dikuasai me- 
reka. Jadi, kita bisa memperkirakan kemampuan Rak- 
sasa Barat sebagai murid terkasih Raja Racun Sakti 
yang tidak berselisih jauh denganmu sebagai putra Ra- 
ja Sihir Penyebar Maut" Setan Timur menyambung. 
"Dan, perlu kau ketahui, Dewa Tampan. Raksasa Barat 
seperti juga halnya Malaikat Utara telah tewas di tan- 
gan tokoh baru dunia persilatan." 

"Aku telah mendengar berita itu. Apa anehnya?" 
Dewa Tampan Dari Selatan yang memiliki watak som- 
bong langsung menimpali. "Justru apabila hal itu be- 
nar, aku tidak perlu lagi bersusah payah mengalahkan 
mereka untuk mendapatkan wilayah kekuasaan mere- 
ka. Meskipun andaikata mereka masih hidup aku 
mampu merebut wilayah mereka, itu menjadikan aku 
datuk nomor satu di seluruh penjuru mata angin" 

"Kau terlalu sombong, Dewa Tampan!" Setan 
Timur tak kuasa menahan rasa kesalnya. "Aku tidak 
heran kalau kau akhirnya akan tewas di tangan tokoh 
sakti yang telah menewaskan Raksasa Barat dan Ma- 
laikat Utara. Mengapa aku berani berkesimpulan de- 
mikian? Karena kau memiliki kemampuan di bawah 
Raksasa Barat!" 

"Keparat!" 

Dewa Tampan Dari Selatan yang tidak boleh 
tersinggung sedikit pun langsung mengirimkan gedo- 
ran telapak tangan terbuka ke arah dada Setan Timur. 
Tapi, Setan Timur memang sudah menduga. Tanpa ra- 
gu disambutinya serangan itu dengan sikap serupa. 
Plakkk! 

Benturan keras yang terjadi mengguncangkan 
tubuh Dewa Tampan Dari Selatan dan Setan Timur. 
Saat itu mereka tengah duduk di kursi, saling berha- 
dapan dan hanya dibatasi sebuah meja bundar yang 
indah. 

Kegagalan serangan ini membuat Dewa Tampan 
Dari Selatan tak kuasa menahan amarah. 

Cangklongnya diayunkan ke arah pelipis Setan 
Timur. Meskipun hanya cangklong, tapi di tangan De- 
wa Tampan Dari Selatan tak kalah berbahayanya den- 
gan hantaman sebuah tongkat baja! 

Trakkk! 

Lagi-lagi serangan itu kandas. Setan Timur 
memapakinya dengan pisau belati di tangan kiri. Dewa 
Tampan Dari Selatan bergegas menyusuknya dengan 
tiupan mulutnya. Bukan sembarang tiupan. Tadi dia 
baru saja mengisap tembakaunya. Sehingga, sekarang 
asap itu meluncur ke arah wajah Setan Timur. Asap 
yang dapat membuat mata perih dan pandangan ter- 
halang. Sungguh sebuah serangan yang berbahaya ka- 
rena dilakukan dalam jarak dekat. Dua datuk sesat ini 
melakukan pertarungan di atas kursi dalam keadaan 
masih duduk. 

Setan Timur memang seorang tokoh sesat yang 
luar biasa. Tidak percuma tokoh ini menjadi jago no- 
mor satu wilayah timur. Menghadapi serangan Dewa 
Tampan Dari Selatan, dia tidak menjadi gugup. Tanpa 
membuang-buang waktu lagi, Setan Timur mengambil 
sesuatu dari balik bajunya, kemudian dikebutkan. 
Asap yang semula menghambur ke arahnya berbalik 
kembali ke arah Dewa Tampan Dari Selatan. Sesuatu 
yang diambil Setan Timur adalah sebuah kipas. 

Tentu saja serangan asap yang membalik itu ti- 
dak ada artinya bagi Dewa Tampan Dari Selatan. 

Serbuan asap yang menuju ke arahnya tidak 
pedulikan. Dewa Tampan Dari Selatan pusatkan per- 
hatian pada serangan lain. Dan ketika asap itu berha- 

I sil diusirnya, Setan Timur membarengi dengan totokan 
kipasnya ke arah hati. Namun serangan itu berhasil 
dipunahkan Dewa Tampan Dari Selatan dengan tang- 
kisannya. 

Tidak hanya kedua tangan saja yang dipergu- 
nakan kedua datuk itu. Tapi, juga kedua kaki mereka. 
Kaki-kaki mereka saling menendang dan menangkis di 
bawah meja. Cukup lama juga pertarungan itu ber- 
langsung. 

Ketika untuk kesekian kalinya tubuh kedua da- 
tuk itu terguncang, Setan Timur segera mengambil ke- 
sempatan. 

"Apakah kau ingin kita terlibat dalam pertarun- 
gan, Dewa Tampan? Tahukah kau di saat kita lemah, 
tokoh baru itu akan datang dan membantai kita den- 
gan mudah?" 

"Aku tidak takut!" sentak Dewa Tampan Dari 
Selatan keras. "Akan kubunuh dia di sini, apabila be- 
rani datang!" 

"Kaulah yang akan mati, Dewa Tampan!" sergah 
Setan Timur. "Kau tahu, tokoh yang kudengar berasal 
dari negeri seberang itu memiliki kemampuan luar bi- 
asa. Seorang diri dia mampu membinasakan Malaikat 
Utara dengan kelompoknya. Juga Raksasa Barat dan 
pengikut-pengikutnya. Di tempat kediaman kedua da- 
tuk itu pula. Markas mereka kemudian, dibumihan- 
guskan!" 

Dewa Tampan Dari Selatan terdiam. Dia me- 
mang belum mendengar berita ini. Dia buru-buru me- 
nyuruh anak buahnya berhenti bicara ketika mereka 
memberitahukan tentang kematian Malaikat Utara dan 
Raksasa Barat. Padahal, Dewa Tampan Dari Selatan 
yang menyuruh pengikut-pengikutnya mencari berita 
yang tersebar di dunia persilatan. Tapi, watak som- 
bongnya tidak mengizinkan untuk mendengar berita 
tentang keunggulan seseorang. Baru sekarang Dewa 
Tampan Dari Selatan mendengar berita ini dari mulut 
Setan Timur. 

"Apakah kedua datuk itu tewas dalam perta- 
rungan satu lawan satu?" tanya Dewa Tampan Dari 
Selatan. 

"Mula-mula demikian." Setan Timur mengang- 
gukkan kepala. "Setelah datuk-datuk itu kalah dan te- 
was, pengikut-pengikutnya langsung mengeroyok to- 
koh asing itu. Tapi, mereka semua habis dibantai" 

"Tokoh asing?!" Dewa Tampan Dari Selatan 
mengernyitkan kening. "Dari mana asalnya?" 

"Kalau aku tidak salah, dari Mongol. Tokoh itu 
bernama Targoutai. Kedatangannya kemari adalah un- 
tuk mencari jago-jago nomor satu. Ia ingin menandin- 
ginya dalam hal ilmu silat. Targoutai haus pertarun- 
gan." 

"Dari Mongol?" Dewa Tampan Dari Sela meng- 
gumam. Keningnya berkerut dalam. 

"Benar...!" Setan Timur mengiyakan. "Ku dengar 
dari penyelidik-penyelidik yang kukirim, di samping 
ilmu silatnya tinggi, jago dari Mongol itu memiliki ilmu 
kebal yang luar biasa. Ilmu gulat, ilmu memanah, dan 
permainan lembing yang amat mahir. Bahkan, Raja 
Panah Berbaju Emas tewas dalam pertandingan adu 
panah dengan Targoutai." 

"Ah...!" 

Kali ini Dewa Tampan Dari Selatan tidak mam- 
pu menahan keterkejutannya. Berita tentang tewasnya 
Raja Panah Berbaju Emas di tangan Targoutai sangat 
mengejutkan putra Raja Sihir Penyebar Maut ini. 

Dewa Tampan Dari Selatan tahu siapa Raja Pa- 
nah Berbaju Emas. Seorang ahli panah yang boleh di- 
bilang tidak tertandingi. Tak ada seorang tokoh persila- 
tan pun yang mampu menandinginya apalagi menga- 
lahkannya. Tapi kenyataannya? Targoutai mampu me- 
lakukan hal itu. Berarti Targoutai memiliki ilmu me- 
manah yang sungguh luar biasa! 

"Perlu kau ketahui, Dewa Tampan." Setan Ti- 
mur menyambung perkataannya. "Aku datang kemari 
dan menceritakan semua ini karena aku tidak ingin 
orang asing itu menjadi jagoan di tempat kita. Biar ba- 
gaimanapun juga, andaikata aku tidak men-jadi datuk 
nomor satu di dunia persilatan, aku tidak ingin gelar 
itu jatuh ke tangan orang dari negeri seberang!" 

Dewa Tampan Dari Selatan menatap wajah Se- 
tan Timur lekat-lekat, seperti ingin mencari kebenaran 
ucapan tokoh nomor satu wilayah timur itu. 

"Karena itu, aku ingin perebutan gelar antar ki- 
ta ditunda lebih dulu. Bukankah sesuai kesepakatan 
akan diadakan minggu depan?" 

"Kalau itu keinginanmu, apa boleh buat?" Dewa 
Tampan Dari Selatan mengangkat bahunya. "Asal kau 
tahu saja, Setan Timur. Aku tidak takut dengan orang 
yang bernama Targoutai. Bahkan, aku akan meroboh- 
kan tokoh-tokoh di daerah barat dan utara supaya wi- 
layah kekuasaanku tidak hanya meliputi daerah sela- 
tan!" 

"Lakukan apa yang kau mau, Dewa Tampan. 
Dan, selamat melawat ke akherat!" 

Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, tu- 
buh Setan Timur melayang ke belakang bersama den- 
gan kursinya. Padahal, lelaki berkepala botak itu 
hanya mengibaskan kedua tangannya ke bawah. 

"Tunggu sebentar, Setan Timur! Jelaskan mak- 
sud ucapanmu!" 

Dewa Tampan Dari Selatan tidak mau kalah 
melakukan unjuk kepandaian. Dia pun menekan ke- 
dua tangannya ke bawah. Tubuhnya bersama kursi 
yang didudukinya mencelat ke atas melewati meja dan 
melayang mengejar kursi Setan Timur. Tepat ketika 
kaki-kaki kursi Setan Timur hinggap di lantai, kaki- 
kaki kursi Dewa Tampan Selatan pun mendarat pula. 

"Aku hanya mengucapkan tanda bukti ikut 
berduka cita atas kematianmu, Dewa Tampan. Kau ti- 
dak akan mampu mengungguli Targoutai! Dia miliki 
kulit tubuh yang amat kuat. Jangankan tangan, senja- 
ta tajam pun tidak mampu melukainya. Selamat ting- 
gal." 

Tanpa mempedulikan Dewa Tampan Dari Sela- 
tan yang masih termangu-mangu, Setan Timur melesat 
meninggalkan ruangan itu. Dalam sekelebatan bayan- 
gannya sudah tidak terlihat lagi. 

"Tolong turunkan aku, Dewa Arak! Aku berjalan 
sendiri." 

Seruan itu diucapkan seorang gadis berpakaian 
biru yang berada dalam bopongan Dewa Arak. Pemuda 
berambut putih keperakan itu tengah berlari cepat 
meninggalkan bangunan mewah dan megah tempat 
tinggal Malaikat Utara. Arya mempergunakan kesem- 
patan di saat kemunculan Targoutai untuk pergi. 

"Ah.... Kalau demikian, bagus sekali, Nisanak," 

Arya menyahuti. Kebetulan tempat tinggal Malaikat 
Utara sudah tertinggal jauh. 

Sebenarnya Arya tahu Citra Sari tidak akan bi- 
sa berjalan akibat luka yang dideritanya. Tapi, karena 
gadis itu memaksa, permohonan Citra Sari pun dipe- 
nuhi. Gadis itu dibawa Arya ke tempat yang agak rin- 
dang dan dipenuhi pohon-pohon, baru kemudian ditu- 
runkan. 

Citra Sari terhuyung ketika berdiri dengan ke- 
dua kakinya. Arya sudah bersiap hendak menangkap 
apabila gadis itu terjatuh. Tapi, ternyata tidak. Citra 
Sari mampu berdiri tegak. Gadis itu lalu duduk bersila, 
ia bersemadi untuk memulihkan lukanya. 

Terpaksa Arya berdiri menunggu. Di dalam hati 
pemuda berambut putih keperakan ini merasa bersyu- 
kur kebetulan lewat di tempat itu. Di depan bangunan 
besar milik Malaikat Utara, ia merasa heran melihat 
dua sosok tubuh tergolek di tanah. Arya mendeka- 
tinya. Kemudian, terdengar bunyi riuh rendah pertem- 
puran. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya me- 
lesat ke dalam dan melihat Citra Sari tengah terancam 
bahaya. Dia pun bergegas menolongnya. 

Arya mengeluh dalam hati ketika teringat Ma- 
laikat Utara. Pemuda berambut putih keperakan ini 
memang telah mendengar selentingan kabar di dunia 
persilatan. Telah didengarnya kalau dua datuk kaum 
sesat yaitu Raja Racun Sakti dan Raja Sesat Penyebar 
Maut telah lenyap. Terjadi pergolakan dunia kaum se- 
sat untuk menjadi pengganti kedua datuk tersebut. 
Arya tahu perebutan kedudukan telah berlangsung di 
empat wilayah. Di utara keluar sebagai pemenang, Ma- 
laikat Utara. Di timur, Setan Timur. Di selatan, Dewa 
Tampan Dari Selatan, sedangkan di barat, Raksasa 
Barat. Dua nama terakhir adalah putra dan murid dua 
datuk terdahulu. Arya mengeluh bukan karena takut, 
tapi karena risau. Malaikat Utara saja sudah merupa- 
kan lawan yang demikian berat. Bisa diperkirakan ka- 
lau ditambah dengan tiga datuk yang lain. Kepandaian 
mereka pasti tidak berbeda jauh. Bahkan mungkin im- 
bang. Kalau mereka bergabung, ini merupakan anca- 
man berat bagi keamanan dunia persilatan. 

Benak Arya kemudian disibukkan dengan to- 
koh Mongol yang sempat dilihatnya. Tokoh Mongol itu 
memiliki kepandaian tinggi. Apakah tokoh itu terma- 
suk salah seorang di antara datuk-datuk lainnya? 
Raksasa Barat barangkali? Atau tokoh yang berjuluk 
Setan Timur? 

Kesibukan berpikir membuat Arya tidak tahu 
Citra Sari telah lama tenggelam dalam semadinya. Pe- 
muda berambut putih keperakan itu hanya tahu Citra 
Sari menyelesaikan semadi ketika mendengar helaan 
napas gadis itu. 

"Bagaimana keadaanmu sekarang, Nisanak?" 

"Lebih baik dari sebelumnya," jawab Citra Sari 
lembut. "Tapi kuharap kau tidak memanggilku 
'Nisanak', Dewa Arak. Panggil saja aku Citra, atau Sa- 
ri." 

"Kaupun harus demikian, Ni... eh, Citra." Arya 
ikut membetulkan, 

"Kau tidak usah memanggilku dengan sebutan 
yang membuat telingaku gatal mendengarnya. Panggil 
saja aku, Aiya. Namaku adalah Arya Buana. Jadi, kau 
mempunyai nama lengkap Citra Sari?" 

Gadis berpakaian biru itu mengangguk. 

"Terima kasih atas pertolongan yang kau beri- 
kan, Arya. Kalau tidak ada kau, mungkin nyawaku su- 
dah tidak berdiam di raga lagi. Benar juga peringatan 
ayahku." 

"Peringatan ayahmu?" 

"Ya. Beliau mengingatkan aku agar tidak usah 
menyatroni tempat kediaman Malaikat Utara. Karena 
itu hanya akan mencelakakan nyawaku sendiri. Tapi, 
aku memang keras kepala. Aku sudah kesal bukan 
main pada murid murtad itu. Secara diam-diam aku 
pergi untuk menghukum Malaikat Utara. Tapi jangan- 
kan menghadapinya, baru bertarung dengan pengikut- 
nya saja aku sudah tidak berdaya," Citra Sari menge- 
luh. 

"Jadi.... Malaikat Utara itu kakak sepergu- 
ruanmu?" duga Arya agak ragu. 

"Bukan." Citra Sari menggelengkan ke "Dia bu- 
kan kakak seperguruanku. Tapi paman perguruan." 

"Jadi..., Malaikat Utara itu adik seperguruan 
ayahmu?" tanya Arya lagi. Ketika dilihatnya Citra Sari 
mengangguk, ucapannya kembali diteruskan. "Bisa ku 
perkirakan betapa tingginya kepandaian ayahmu, Ci- 
tra. Malaikat Utara saja yang menjadi adik sepergu- 
ruannya memiliki kepandaian demikian tinggi." 

"Tidak demikian, Arya," ujar Citra Sari. "Meski 
memang ayahku termasuk kakak seperguruannya, tapi 
bila diperbandingkan, kepandaian Malaikat Utara lebih 
tinggi. Bahkan mungkin berselisih jauh. Dia tidak 
hanya memiliki satu guru saja." 

Arya mengernyitkan alis, bingung mendengar 
penjelasan Citra Sari. 

"Ayahku mempunyai seorang guru." Citra Sari 
memutuskan untuk menerangkan semuanya agar je- 
las. "Guru Ayah itu seorang pertapa di sebuah pegu- 
nungan. Entah di gunung mana aku tidak tahu. Seki- 
tar dua puluh lima tahun yang lalu, Ayah selesai bela- 
jar dan turun gunung. Kemudian, dia mempunyai seo- 
rang keturunan, aku. Saat aku berusia lima tahun, 

Ayah mengajakku untuk menemui gurunya. Di tengah 
perjalanan kami menemukan seorang anak lelaki be- 
rusia sekitar lima belas tahun yang dikejar-kejar see- 
kor macan. Ayah segera menolongnya. Karena anak itu 
sudah tidak punya keluarga, Ayah lalu membawanya 
serta kepada gurunya. Ternyata guru Ayah tertarik un- 
tuk mengangkat anak lelaki yang bernama Danar Jati 
itu menjadi murid. Bahkan, dua pertapa lain yang ke- 
betulan tengah mengunjungi guru Ayah ikut tertarik 
untuk menjadikan Danar Jati sebagai murid. Danar 
Jati pun menjadi murid tiga pertapa sekaligus. 

Citra Sari menghentikan ceritanya sejenak. Di- 
tatapnya Arya yang asyik mendengarkan. Melihat Arya 
tampak berminat untuk terus mendengarkan, Citra 
Sari pun melanjutkan ceritanya. 

"Aku dan Ayah tinggal di situ hanya tiga bulan. 
Kemudian kami kembali. Sedangkan Danar Jati tinggal 
di sana. Tapi, ketika dua bulan yang lalu aku datang 
ke sana, kujumpai tiga pertapa itu telah lumpuh dan 
buta semua. Danar Jati telah sampai hati meracuni 
mereka. Anak itu ternyata tidak berwatak baik. Setelah 
melapor pada Ayah, aku lalu mencari Danar Jati. Ber- 
minggu-minggu aku mencarinya. Sampai aku menda- 
pat berita kalau Danar Jati telah menjadi datuk di wi- 
layah utara dan berjuluk Malaikat Utara. Aku datang 
untuk membunuhnya. Tapi hasilnya?" 

Dewa Arak menghela napas berat 

"Apa rencanamu sekarang, Citra?" 

"Memberitahukan ayahku mengenai hal ini. 
Kau mau ikut Aiya? Ayahku sudah cukup lama men- 
dengar kebesaran namamu. Dia ingin sekali bertemu 
denganmu. Sayang belum kesampaian." 

"Ayolah kalau demikian." 

Wajah Citra Sari langsung berseri mendengar 
kesediaan Arya untuk menemui ayahnya. 

"Hey...!" 

Citra Sari menudingkan jari telunjuknya ke de- 
pan. Menunjuk seseorang yang tengah melesat keluar 
dari pintu gerbang sebuah rumah yang daun pintunya 
terbuka lebar. Gerakan sosok itu gesit bukan main. 
Kebetulan arah yang ditujunya adalah arah yang di- 
tinggalkan Citra Sari bersama Dewa Arak. Saat itu me- 
reka sedang dalam perjalanan menuju tempat tinggal 
ayahnya Citra Sari. 

"Ada apa, Citra?" tanya Arya seraya menatap 
sosok bayangan yang semakin dekat dengan tempat- 
nya. Ia tidak bisa melihat orang itu dengan jelas kare- 
na cepatnya gerakan larinya. 

"Sosok bayangan itu baru keluar dari tempat 
tinggalku!" jawab Citra Sari penuh kekhawatiran. "Aku 
jadi mencemaskan keadaan Ayah...!" 

"Kalau demikian, jangan kita biarkan sosok itu 
lolos sebelum kita mendapat keterangan apa yang te- 
lah dilakukannya di tempat kediaman ayahmu." 

Usai berkata, Arya segera menghentikan jalan- 
nya dan berdiri di tengah jalan. Dihadangnya arah 
yang akan dilalui sosok bayangan yang tengah melaju 
cepat itu. 

"Perlahan dulu, Sobat. Aku mau bicara." Untuk 
menarik perhatian sosok yang tengah meluncur den- 
gan cepat itu, Dewa Arak tidak ragu-ragu mengerah- 
kan tenaga dalamnya. Tindakan itu membuat ucapan- 
nya terdengar menggema, seperti berteriak di pegu- 
nungan. 

Sosok yang tengah melesat itu mendadak men- 
gurangi kecepatannya. Bahkan, beberapa saat kemu- 
dian menghentikan larinya. Ia berdiri tegak dalam ja- 
rak tiga tombak dari Arya dan Citra Sari. 

Wajah Arya dan Citra Sari berubah ketika meli- 
hat sosok di depan mereka. Sosok itu bertubuh kekar 
dengan pakaian terbuat dari kulit binatang. Wajahnya 
keras. Ia mengenakan topi baja bulat yang pada bagian 
atasnya tepat di tengah tampak besi runcing. Sedang- 
kan pada bagian bawahnya terdapat hiasan dari bulu 
binatang. Wajah yang keras itu tampak asing, sosok ini 
adalah Targoutai! Pendekar Mongol yang sakti. 

Seperti halnya Arya dan Citra Sari, Targoutai 
pun agak berubah wajahnya. Targoutai merasa pernah 
melihat Dewa Arak. Sedangkan Citra Sari meski dari 
tempatnya yang agak tersembunyi dan tengah terluka, 
di tempat kediaman Malaikat Utara tetapi ia melihat 
kedatangan Targoutai. 

"Bukankah kau orang yang akan bertarung 
dengan Raja Panah Berbaju Emas?" Targoutai membu- 
ka suara dengan logat aneh. "Apa maksudmu meng- 
hentikan perjalananku?!" 

"Tidak ada maksud apa pun kecuali untuk 
mengajukan sebuah pertanyaan. Aku yakin kau bisa 
menjawabnya, Saudara...." 

"Targoutai. Namaku Targoutai. Jago dari negeri 
seberang, Mongol. Aku sengaja datang kemari untuk 
menjajal kelihaian jagoan-jagoan negeri ini. Sayang, 
tak ada seorang pun lawan yang benar-benar tangguh. 
Hanya tinggal dua tokoh lagi yang namanya kudengar 
cukup menggegerkan dunia persilatan. Tapi aku tidak 
yakin mereka akan mampu melawanku. Dua orang 
yang mempunyai kedudukan setingkat dengan mereka 
berhasil kukalahkan tanpa banyak mendapat kesuka- 
ran!" 

"Targoutai?!" Arya dan Citra Sari saling berpan- 
dangan mendengar nama asing itu. Tapi, perasaan he- 
ran itu masih tidak seberapa bila dibandingkan dengan 
rasa tersinggung mendengar ucapan Targoutai yang 
merendahkan jago-jago negeri mereka. Hati sepasang 
muda-mudi ini panas seperti terbakar api! 

"Boleh ku tahu dua tokoh terkenal yang kau 
maksudkan, dan dua tokoh setingkat mereka yang te- 
lah kau kalahkan?" Arya lebih dulu membuka suara 
sebelum Citra Sari mengajukan pertanyaan Pemuda 
berambut putih keperakan ini khawatir Citra Sari akan 
bertindak macam-macam dengan pertanyaannya. 

"Dua tokoh yang telah kukalahkan itu adalah 
Raksasa Barat dan Malaikat Utara. Sedangkan dua to- 
koh setingkatan mereka yang akan kucari dan tandingi 
adalah...." 

"Setan Timur dan Dewa Tampan Dari Selatan!" 
potong Citra Sari cepat. 

"Benar!" Targoutai sama sekali tidak marah 
ucapannya dipotong dengan kasar seperti itu. 

Mendengar jawaban ini, Dewa Arak merasa jan- 
tungnya berdetak lebih cepat. Kalau benar Malaikat 
Utara dan Raksasa Barat berhasil dikalahkan oleh 
Targoutai, berarti lelaki Mongol ini memiliki tingkat 
kepandaian yang amat tinggi. Arya sendiri tidak berani 
memutuskan kalau kepandaian yang dimilikinya bera- 
da di atas Malaikat Utara. Ia hanya tahu Malaikat Uta- 
ra merupakan lawan yang amat tangguh. 

"Jadi..., sewaktu kau kulihat berada di tempat 
kediaman Malaikat Utara, kau sedang menantang Ma- 
laikat Utara untuk bertarung?" Arya mulai mengerti 
dengan duduk persoalannya. 

"Benar!" Targoutai menjawab singkat. 

"Lalu, bagaimana dengan pengikut-pengikut 
Malaikat Utara?" desak Arya. 

"Karena mereka mencabut senjata dan menye- 
rangku, aku tidak mempunyai pilihan lain selain 
menghadapi mereka dan membinasakannya. Mereka 
terpaksa bernasib sama seperti Malaikat Utara!" 

Arya menahan nafasnya. Sekarang dia baru ta- 
hu: Malaikat Utara telah tewas. Pemuda itu menelan 
keterkejutannya mendengar pengikut-pengikut Malai- 
kat Utara tewas semua. Berita ini membuat pemuda 
berambut putih keperakan ini sukar untuk memperki- 
rakan ketinggian ilmu yang dimiliki Targoutai. Arya 
sendiri tidak yakin akan mampu menghadapi keroyo- 
kan pengikut-pengikut Malaikat Utara yang diketa- 
huinya memiliki kepandaian tinggi. 

"Kau sendiri siapa, Anak Muda? Kulihat kau 
memiliki kepandaian yang tidak rendah. Tenaga dalam 
yang kau kerahkan dalam teriakan tadi cukup kuat. 
Mungkin tingkat kepandaianmu tidak berada di bawah 
tua bangka tidak berguna yang baru saja kubunuh!" 
Targoutai baru teringat untuk mengajukan perta- 
nyaan. 

"Siapa yang kau maksudkan, Orang Asing Ke- 
parat?!" Citra Sari telah lebih dulu memotong sebelum 
Arya sempat mengajukan pertanyaan. 

"Pendekar Golok Salju! Dia...." 

"Keparat! Kubunuh kau...!" 

Citra Sari yang sudah setengah menduga tokoh 
yang dimaksudkan Targoutai langsung menggeram 
murka. Ia mendengar dengan telinganya sendiri tokoh 
yang baru saja tewas di tangan Targoutai lah Pendekar 
Golok Salju, ayahnya. Gadis kaian biru itu menerjang 
dengan pukulan-pukulan berantai ke arah dada dan 
ulu hati. Serangan-serangan yang mematikan dan da- 
pat mengirim nyawa Targoutai ke akherat 

"Hmh...!" 

Targoutai mengeluarkan dengusan menghindari 
hidungnya. Kemudian, dengan kecepatan gerak yang 
mengejutkan, tangan kanan lelaki berpakaian dari bu- 
lu binatang itu terulur. Arya tampak kaget ketika meli- 
hat tangan Targoutai mampu menangkap pergelangan 
Citra Sari. 

Dengan kesigapan yang mengagumkan, Targou- 
tai membanting tubuh Citra Sari melewati kepala lelaki 
Mongol itu sendiri. Targoutai melakukan bantingan itu 
sambil membalikkan tubuh. 

Dewa Arak yang sudah sejak tadi bersikap sia- 
ga untuk menjaga keselamatan Citra Sari, karena tidak 
sempat mencegah gadis berpakaian biru itu menye- 
rang, tidak tinggal diam. Pemuda berambut putih ke- 
perakan ini tahu bantingan seorang tokoh seperti Tar- 
goutai tidak bisa dianggap ringan. Meski Citra Sari 
memiliki kepandaian tinggi dan tenaga dalam yang lu- 
mayan, tulang-tulangnya akan hancur berantakan. 

Itu sebabnya, Arya segera bertindak cepat. Be- 
gitu tubuh Citra Sari diayunkan untuk dibanting pe- 
muda itu menghentakkan kedua tangannya ke arah 
Citra Sari. 

Wusss! 

Dari dua tangan yang dipukulkan terbuka itu 
meluncur segundukan angin keras. Hembusan angin 
itu tidak berbahaya karena Arya mengirimkan untuk 
melemparkan tubuh Citra Sari jauh-jauh. Setidak- 
tidaknya membuat daya banting tubuh Citra Sari pu- 
pus tertiup pukulan jarak jauh itu. 

Meski maksud Arya tidak terpenuhi sepenuh- 
nya, tapi karena hembusan angin keras itu ayunan tu- 
buh Citra Sari ke tanah berkurang jauh. Ada kekuatan 
lain yang berusaha membawanya melayang ke samp- 
ing. Kekuatan ini sedikit banyak mengurangi lontaran 
tubuh Citra Sari ke tanah. Maka meski tubuh Citra 
Sari tetap terbanting, kekuatan bantingannya telah 
berkurang amat banyak. 

Targoutai tidak mempedulikan Citra Sari yang 
bergulingan menjauh. Pandangan dan perhatian lelaki 
Mongol ini tertuju pada Arya. 

"Kau lawan yang cukup berharga juga, Anak 
Muda." Targoutai berkata sedikit gembira. "Sejak tadi 
kau belum memperkenalkan diri. Apakah kau tak 
punya nama atau julukan? Atau, kau takut menye- 
butkannya barangkali? Aku yakin orang dengan ke- 
pandaian seperti kau pasti memiliki julukan. Tua 
bangka tolol yang baru saja kubunuh itu pun mempu- 
nyai julukan. Pendekar Golok Salju. Hmh! Sebuah ju- 
lukan yang terlalu berlebihan!" 

"Aku bukan seorang pengecut, Targoutai!" tan- 
das Arya agak keras, tersinggung dengan ejekan Tar- 
goutai. "Kalau kau ingin tahu namaku, akan kuberi- 
kan. Namaku Arya Buana. Tapi, lebih dikenal dengan 
panggilan Arya saja. Singkat bukan?" 

"Arya Buana? Nama yang cukup bagus!" puji 
Targoutai datar. "Apakah kau hanya mempunyai nama 
saja, Buana? Tidak julukan? Apakah kau tidak punya 
julukan, Buana? Eh, bolehkan kalau aku memanggil- 
mu Buana?" 

Arya tersenyum getir. 

"Aku tidak keberatan, Targoutai!. Kau bebas 
untuk memanggilku. Mengenai julukan memang kua- 
kui aku memilikinya. Tapi aku yakin tidak terlalu be- 
rarti." Arya memutuskan untuk lebih dulu mengecil- 
kan diri sebelum memberikan julukannya. Pemuda be- 
rambut putih keperakan ini yakin Targoutai telah 
mendengar julukannya. Bukankah julukan Dewa Arak 
telah tersebar di dunia persilatan sebelum julukan Ma- 
laikat Utara dan yang lain-lainnya? 

"Biarlah, Buana. Aku yakin julukan yang kau 
sandang cukup bagus. Mungkin Pendekar Berambut 
Perak atau Pendekar Berambut Siluman. Boleh jadi 
malah Pendekar Berambut Tua." Targoutai mengaju- 
kan dugaan yang lucu-lucu. 

"Salah semua, Targoutai!" Arya menggeleng. 
"Yang benar, julukanku adalah.... Dewa Arak...!" 

"Apa...?!" 

Targoutai terjingkat ke belakang seperti disen- 
gat ular berbisa. Sepasang mata lelaki Mongol ini 
membelalak lebar. Wajahnya menampakkan keterkeju- 
tan. 

"Dewa Arak...?!" 

"Benar. Itulah julukanku, Targoutai. Sebuah ju- 
lukan yang sederhana. Sesederhana kepandaian yang 
kumiliki," Arya merendahkan diri. 

"Kurasa tidak!" Targoutai menggelengkan kepa- 
la. "Sebelum mati Pendekar Golok Salju berkata kepa- 
daku, kalau aku berniat menjajagi kepandaian jago 
nomor satu dunia persilatan negeri ini, aku harus 
mencari seorang tokoh yang berjuluk Dewa Arak. To- 
koh ini masih muda tapi memiliki kepandaian hebat. 
Bahkan, kata Pendekar Golok Salju kepandaian empat 
datuk sesat masih berada di bawah Dewa Arak! Jadi, 
kalau aku telah mengalahkan Dewa Arak, katanya ba- 
ru aku boleh menganggap diriku jago tidak terkalah- 
kan di negeri ini! Sungguh tidak kusangka aku dapat 
bertemu denganmu, Dewa Arak! Silakan bersiap untuk 
bertarung!" 

"Berita yang kau dapat terlalu berlebihan, Tar- 
goutai. Banyak tokoh persilatan negeri ini yang memi- 
liki kepandaian melebihi ku. Malah beberapa tokoh 
yang kutemui mampu mengalahkanku tanpa berkerin- 
gat sama sekali. Tanpa menggeser kaki dari tempatnya 
berdiri. Jadi, ucapan Pendekar Golok Salju mengenai 
kepandaian yang kumiliki dan tokoh tersakti negeri ini 
adalah aku, hanya isapan jempol belaka. Tapi, tentu 
saja aku tidak takut untuk meladeni mu bertarung!" 

"Bagus! Silakan jaga ini, Dewa Arak!" 

Targoutai membuka serangan dengan sebuah 
tusukan tangan kanan. Jari telunjuk dan tengahnya 
diluruskan, menotok ke arah dahi Arya. Bunyi berdecit 
nyaring mengiringi luncuran jari-jari tangan itu. Jari- 
jari itu mampu melubangi dahi Dewa Arak. 

Arya tidak ingin membuat lawannya berbesar 
hati. Ia memiringkan kepala sedikit. Lalu, menangkis 
dari dalam dengan tangan kirinya. 

Trakkk! Rrrttt! 

"Eh...?!" 

Dewa Arak terperanjat ketika pergelangan tan- 
gan kirinya membentur tangan lawan. Dengan gerakan 
laksana ular, tangan Targoutai berhasil mencekal per- 
gelangan Dewa Arak. Bahkan, sebelum Arya sempat 
berbuat sesuatu, tubuhnya telah di-angkat ke atas dan 
dibanting ke tanah. 

Tapi Targoutai kecewa kalau mengira akan se 
mudah itu menaklukkan Dewa Arak. Ketika tubuhnya 
dibanting, karena tidak sempat mengerahkan tenaga 
dalam untuk memberatkan tubuh, Dewa Arak sempat 
mengirimkan sebuah tendangan belakang! 


Laksana ular, tangan Targoutai berhasil membe- 
lit salah satu pergelangan Dewa Arak. Bahkan, sebelum 
Arya sempat berbuat sesuatu, tubuhnya telah diangkat 
tinggi-tinggi ke atas oleh tokoh dari mongol itu! Dan... 
siap dibanting ke tanah!. 

Desss! 

Tendangan Dewa Arak itu keras bukan main. 
Dan mendarat di sasaran dengan telak, di dada. Tar- 
goutai terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan 
Aiya sebelum tubuhnya membentur tanah telah men- 
gerahkan tenaga dalam untuk mencegah kerusakan 
tulang-tulang dan bagian dalam tubuhnya. Bagi orang 
dengan tingkat kepandaian seperti Dewa Arak, mela- 
kukan hal seperti itu tidak terlalu sulit. Tubuhnya jadi 
selunak kapas ketika berbenturan dengan tanah. Pe- 
muda berambut putih keperakan ini langsung menggu- 
lingkan tubuh. 

Ketika Dewa Arak telah berdiri tegak, dilihatnya 
Targoutai telah bersiap untuk melancarkan serangan 
kembali. Arya sempat kaget. Sikap Targoutai menun- 
jukkan tokoh dari Mongol ini biasa-biasa saja. Segar - 
bugar seperti tidak terluka. Padahal, Dewa Arak yakin 
tendangannya bersarang dengan telak. Ataukah tadi 
hanya perasaannya saja? Arya jadi bingung sendiri. 
Targoutai kelihatan tidak terluka. Padahal, tendangan 
itu cukup untuk menghancurkan batu karang paling 
keras sampai hancur berkeping-keping! Tapi, kenya- 
taannya? 

Aiya tidak memiliki kesempatan untuk berpikir 
lebih lama. Targoutai telah kembali menerjang. Seran- 
gan-serangan lelaki dari Mongol ini sempat membuat 
Arya gelagapan karena penuh dengan gerakan-gerakan 
aneh. Tidak hanya menangkis, mengelak, memukul, 
atau menendang, tapi sering dipenuhi dengan tangka- 
pan-tangkapan. Diikuti dengan gerakan membanting 
atau memuntir yang sanggup mematahkan tulang- 
tulang lawan. Dewa Arak tidak tahu ilmu yang diguna- 
kan lawannya. Tapi, dia tahu Targoutai seorang lawan 
yang amat tangguh! Maka, Arya segera menggunakan 

I ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi andalannya. 

Begitu bergebrak beberapa jurus, baik Targou- 
tai maupun Dewa Arak harus mengakui di dalam hati, 
lawan yang dihadapi tangguh bukan main. Targoutai 
merasa sempat gembira mendapat lawan yang setim- 
pal. Lelaki dari Mongol ini telah menguras seluruh ke- 
mampuan dan kecepatannya. Tapi, ia tetap tidak 
mampu menangkap dan melumpuhkan Dewa Arak. 
Malah serangan-serangannya banyak yang kandas. 
Dewa Arak demikian licin laksana belut! 

Yang membuat Targoutai lebih penasaran ada- 
lah ketika melihat gaya Dewa Arak mengandaskan se- 
rangannya. Dengan gerakan aneh yang sebagian besar 
dilakukan dengan langkah terhuyung-huyung, Arya 
berhasil mengelakkan semua serangan. Kadang- 
kadang pemuda itu berlari-lari di tempat, berputar 
mengelilingi Targoutai. Namun yang lebih gila adalah 
ketika Dewa Arak memapaki datangnya serangan den- 
gan tubuhnya. Tapi hebatnya, justru dengan gerakan 
itu Dewa Arak dapat lolos dari serangan! 

Hal lain yang membuat Targoutai kagum ada- 
lah karena Dewa Arak tidak hanya memiliki kehebatan 
dalam mengelak. Serangan-serangannya pun luar bi- 
asa. Bila mengelak tubuh pemuda berambut putih ke- 
perakan itu seperti lemas tidak bertulang. Dan, sewak- 
tu melancarkan serangan tampak kokoh dan kuat. Ti- 
dak hanya tangan, kaki, atau gucinya yang digerakkan 

I Arya, tapi juga semburan araknya! Targoutai harus 
mengakui Dewa Arak adalah lawan paling berat yang 
pernah dihadapinya. 

Tapi, bukan hanya Targoutai saja yang merasa 
kagum. Dewa Arak pun demikian. Berkali-kali seran- 
gan yang dilancarkan mendarat di berbagai bagian tu- 
buh yang berbahaya, tapi hasilnya tidak terlihat sama 
sekali. Tubuh Targoutai bagaikan terbuat dari baja. Ti- 
dak bergeming sedikit pun. Meski setiap kali serangan 
Arya mendarat, tubuh lelaki dari Mongol ini terjeng- 
kang ke belakang. Namun, ia segera maju kembali 
dengan semangat berlipat ganda. 

Untuk kesekian kalinya, Dewa Arak dan Tar- 
goutai terhuyung mundur ketika tangan-tangan mere- 
ka berbenturan. Tubuh mereka terhuyung tiga langkah 
ke belakang. 

"Kau hebat, Dewa Arak!" Targoutai yang berwa- 
tak jantan, tak lupa untuk memuji. Tulus dari lubuk 
hatinya yang paling dalam. Karena untuk pertama ka- 
linya dia bertemu lawan yang demikian tangguh. 

"Kau pun tak kalah hebat, Targoutai!" Arya ba- 
las memuji. 

Kedua tokoh itu tidak saling gebrak kembali. 
Mereka berpandangan dalam jarak sekitar dua tom- 
bak. Sepasang mata kedua orang itu memancarkan 
kekaguman terhadap orang yang berdiri di hadapan- 
nya. Tapi, di dalam kekaguman itu terpancar perasaan 
penasaran. 

Targoutai memutar lembingnya di atas kepala 
hingga mengeluarkan bunyi mengaung. Kemudian, 
dengan langkah silang dan satu-satu, didekatinya De- 
wa Arak yang tetap berdiri di tempatnya. 

Tapi, tiba-tiba Targoutai menghentikan lang- 
kahnya. Bahkan, ayunan lembingnya dihentikan. Se- 
pasang matanya menatap lurus ke belakang Dewa 
Arak. Arya yang tahu kegagahan Targoutai dan tak 
mungkin tokoh ini akan membokongnya, tanpa curiga 
segera menolehkan kepala ke belakang untuk melihat 
apa yang telah membuat Targoutai bertindak demi- 
kian. 

Beberapa tombak, mungkin sekitar sepuluh 
tombak lebih di belakang Dewa Arak tampak berdiri 
dua sosok lelaki yang mengenakan seragam pasukan 
kerajaan. Melihat topi dan hiasan yang dikenakan di 
atas kepala, Dewa Arak yakin kedua orang ini adalah 
Bangsa Mongol. Bangsanya Targoutai! 

Kenyataan ini membuat jantung Dewa Arak 
berdetak lebih cepat. Satu lawan saja belum bisa dis- 
elesaikan sekarang muncul dua lagi. Meski belum ke- 
tahuan kemampuannya, tapi sedikit banyak menam- 
bah kekuatan lawan. Dan lagi, Dewa Arak jadi khawa- 
tir akan keselamatan Citra Sari. 

Tampak salah seorang dari kedua lelaki berse- 
ragam aneh itu menuding. Kepada siapa sosok itu me- 
nunjuk, Arya bisa memperkirakan. Tapi, yang jelas 
sambil menunjuk kedua lelaki itu berseru. Karena ter- 
lalu pelan, Arya tidak mampu mendengarnya. 

Saat itulah Dewa Arak mendengar seruan yang 
membuatnya merasa heran. 

"Sayang sekali ada gangguan, Dewa Arak. Lain 
kali aku akan mencarimu untuk meneruskan perta- 
rungan kita!" 

Arya telah hafal siapa pemilik suara itu meski 
baru mendengarnya beberapa kali. Secepat kilat kepa- 
lanya ditolehkan ke tempat Targoutai berdiri. Tapi, 
Targoutai hanya melemparkan senyum sebelum mem- 
balikkan tubuh dan melesat meninggalkan tempat itu. 

Dalam beberapa kali lompatan, tubuh lelaki perkasa 
dari Mongol itu telah berubah menjadi titik hitam yang 
semakin mengecil di kejauhan. 

Aiya yang masih kebingungan dan heran meli- 
hat sikap Targoutai yang seperti ketakutan, tidak 
mampu mencegah kepergian lelaki dari Mongol itu. Dia 
hanya dapat menatap kepergian Targoutai dengan 
pandangan kagum. 

Pemuda berambut putih keperakan ini baru 
menolehkan kepala ketika mendengar bunyi langkah 
kaki mendekati tempatnya. Ternyata dua orang yang 
mengenakan seragam pasukan aneh itu. 

"Sayang sekali.... Lagi-lagi dia lolos...!" ujar sa- 
lah seorang yang bertubuh agak kurus. 

"Ini berarti banyak lagi orang yang akan menja- 
di korbannya," sambung temannya. Seperti juga re- 
kannya, logat bicara orang kedua ini pun terdengar 
aneh dan menggelitik di telinga. 

"Sebenarnya ada apa, Tuan-tuan?" tanya Arya 
ingin tahu, setelah yakin kedua orang prajurit Mongol 
ini tidak bermaksud jahat. Mereka agaknya bukan ka- 
wan Targoutai. 

"Sebenarnya ini urusan pribadi kami". Pasukan 
Mongol yang bertubuh agak kurus menjawab setelah 
terlebih dulu menghela napas panjang. Ucapan yang 
dikeluarkannya satu-satu dan terputus-putus. Terlihat 
kalau dia sulit mencari kata-kata, "Tapi... karena Tar- 
goutai telah bentrok dengan saudara, tidak ada salah- 
nya kalau kami menceritakannya...." 

"Benar." Prajurit Mongol yang satu membantu 
rekannya yang terdiam dengan kening berkerut "Tar- 
goutai adalah anggota suku kami. Dia seorang jagoan 
nomor satu di negeri kami. Kegemarannya adalah 
mengadu ilmu. Tanpa sepengetahuan pemerintah ka- 
mi, Targoutai ikut rombongan pasukan. Untung kami 
dapat mengetahui dia ikut pergi meninggalkan negeri. 

Maka, kami diperintahkan untuk membawa Targoutai 
kembali agar tidak menimbulkan bencana di negeri ini, 
khususnya terhadap orang-orang persilatan." 

"Sayang, kami terlambat." Prajurit Mongol yang 
bertubuh agak kurus kembali berbicara. "Dia telah 
menimbulkan cukup banyak malapetaka. Tapi, berun- 
tung kami lebih dulu datang sebelum kau dicelakai." 

"Terima kasih atas pertolongan Tuan-tuan. Ka- 
rena kedatangan Tuan-tuan, aku bisa selamat. Terima 
kasih," ujar Arya dengan sikap dongkol yang disembu- 
nyikan. Pemuda berambut putih keperakan ini merasa 
jengkel. Ucapan Prajurit Mongol itu menunjukkan ia 
memandang rendah dirinya. Padahal, dia yakin belum 
tentu kalah menghadapi Targoutai yang orang asing! 

"Tidak mengapa. Sudah kewajiban kami untuk 
mencegah tindakan sewenang-wenang Targoutai," sa- 
hut Prajurit Mongol yang bertubuh agak kurus. Ia ter- 
senyum seraya mengangguk-anggukkan kepala. 

Arya semakin jengkel melihatnya. "Bagaimana 
mungkin Targoutai bisa kalian tangkap? Menurut pen- 
glihatanku, kalian berdua bukan tandingan Targoutai 
yang demikian lihai!" Perasaan jengkel membuat Arya 
tidak ragu-ragu menyatakan penilaiannya. 

"Tidak perlu heran," prajurit Mongol yang ber- 
tubuh kurus memberikan jawaban. "Meski kami ber- 
dua bukan tandingan Targoutai, tapi Targoutai tidak 
berani melawan kami. Dia tidak ingin melawan pasu- 
kan kerajaan, pasukan pemerintah. Targoutai tidak 
mau menjadi pemberontak. Jadi, apabila terjepit dia 
pasti akan menyerah. Dan, selama bisa kabur, dia 
akan kabur!" 

Sekarang Arya baru mengerti. Saat itu pula dia 
teringat pada Citra Sari. Betapa kagetnya hati pemuda 
berambut putih keperakan itu. Ia tidak melihat kebe- 
radaan Citra Sari di situ. 

"Citra...!" Arya mengerahkan tenaga agar pang- 
gilannya bisa terdengar sampai jauh. 

Dua prajurit Mongol tampak terperanjat men- 
dengar teriakan yang seperti ledakan halilintar itu. Me- 
reka saling berpandangan dengan sikap takjub. Kemu- 
dian, bergegas melanjutkan langkah melakukan penge- 
jaran terhadap Targoutai! 

Sementara Arya sambil memanggil-manggil 
mengedarkan pandangan. Pemuda berambut kepera- 
kan ini merasa khawatir akan keselamatan Citra Sari. 
Ketika pandangan Arya tertumbuk pada bangunan cu- 
kup megah di kejauhan, kekhawatirannya pun mulai 
berkurang. Dia yakin Citra Sari berada di sana. Pemu- 
da itu segera melangkah menuju ke sana. 

Dugaan Arya ternyata tepat Begitu mendekati 
tembok yang mengelilingi bangunan, dari dalam ter- 
dengar isak tangis. Ketika Arya tiba di depan pintu 
gerbang yang terbuka lebar, terlihat Citra Sari tengah 
menangis seraya memangku sesosok tubuh yang telah 
terkulai lemas. 

Dewa Arak tahu tidak ada yang bisa dilaku- 
kannya sekarang ini. Obat yang paling baik bagi Citra 
Sari saat ini adalah menangis. Maka, Arya tidak meng- 
ganggunya. Bahkan tidak masuk ke dalam pintu ger- 
bang. Ia malah mengayunkan kaki meninggalkan tem- 
pat itu. 

Arya sibuk dengan alun pikirannya. Bagaimana 
caranya dia dapat menaklukkan Targoutai yang demi- 
kian lihai? 

Lapangan tanah yang ditumbuhi rumput- 
rumput kecil dan tidak hijau itu cukup luas. Bahkan 
sangat luas. Tapi, saat itu tanah lapang yang luas ti- 
dak cukup untuk menampung banyaknya orang yang 
berkumpul. Orang-orang dengan berbagai macam ku- 
lit, beraneka model pakaian, dan berlainan rupa dan 
tingkah laku. Tapi, yang jelas mereka semua adalah 
orang-orang persilatan. Dan, yang lebih jelas lagi dari 
golongan hitam. 

Jumlah orang-orang golongan hitam itu kurang 
lebih dua ratus orang. Mereka semua berdiri mengeli- 
lingi sebuah panggung berbentuk persegi panjang. 
Tinggi panggung itu dua tombak. Cukup tinggi! 

"Hih!" 

Dari kerumunan ratusan orang tokoh golongan 
hitam itu meloncat ke atas sesosok bayangan. Ia ber- 
salto beberapa kali di udara sebelum menjejakkan kaki 
dengan ringan di lantai panggung. 

"Wahai kawan-kawan sehaluan, dengarkan 
baik-baik...!" 

Sosok yang ternyata seorang pemuda berpa- 
kaian mewah dan berwajah tampan membuka suara 
seraya mengangkat tangannya ke atas tinggi-tinggi. 

Bunyi riuh-rendah seperti tawon marah yang 
tadi terdengar pun segera terhenti. Suasana mendadak 
senyap. Pemuda berpakaian mewah yang mengenakan 
sabuk dari benang emas, yang terselip suling dan 
cangklong di sana, memang mengerahkan tenaga da- 
lam. Hingga, suaranya tak kalah dengan ledakan hali- 
lintar. 

"Aku adalah Dewa Tampan Dari Selatan. Datuk 
wilayah selatan. Aku berdiri di sini karena ingin men- 
gajukan diriku sebagai datuk tidak hanya di wilayah 
selatan saja, tapi juga di tiga mata angin lainnya. Aku 
telah menguasai satu mata angin. Dan, dua mata an- 
gin lain tidak dikuasai oleh seorang datuk pun. Maka, 
aku mengajukan diri untuk menjadi penguasa atau da- 
tuk yang merajai wilayah utara dan barat pula. Siapa 
yang tidak setuju harap maju untuk menjajal kemam- 
puanku!" 

Ratusan tokoh persilatan yang datang karena 
mendengar kabar akan dilangsungkan pemilihan da- 
tuk nomor satu, tentu saja tidak memenuhi tantangan 
itu. Sebagian besar di antara mereka hanya ingin me- 
nyaksikan jalannya pertarungan. Sebagian lain karena 
ingin mendapat seorang pemimpin untuk dijadikan 
tempat meminta tolong bila berhadapan dengan kaum 
golongan putih. 

"Kau terlalu sombong, Dewa Tampan!" 

Terdengar seruan parau menyambuti tantangan 
Dewa Tampan Dari Selatan, setelah beberapa saat la- 
manya tantangan itu tidak mendapat tanggapan. Be- 
lum juga gema ucapan itu lenyap, sesosok tubuh mele- 
sat cepat melompat ke atas panggung. Ia bersalto be- 
berapa kali di udara. Kemudian, melemparkan seutas 
tambang ke lantai panggung. 

Cappp! 

Laksana sebatang tombak, tambang yang pan- 
jangnya tak lebih dari empat tombak itu menancap di 
lantai panggung yang terbuat dari papan tebal dan 
kuat. Sekejap kemudian, pemilik seruan itu telah men- 
jejakkan salah satu telapak kakinya di ujung tambang 
yang menegang seperti sebatang tombak. 

Seketika tepuk tangan membahana menyambut 
pertunjukan tenaga dalam yang luar biasa ini. 

Sosok yang hinggap di atas tambang yang me- 
negang kaku itu adalah seorang lelaki setengah baya. 
Berkepala botak dan berpakaian coklat. Gelang-gelang 
hitam melingkari pergelangan tangan kanan dan ki- 
rinya. 

"Setan Timur...!" desis beberapa mulut dari ba- 
wah panggung. 

Setan Timur membusungkan dadanya. Sepa- 
sang matanya merayapi wajah-wajah yang berada di 
bawah panggung dengan sinar menantang. Tapi, setiap 
tokoh yang menerima tantangan Setan Timur menun- 

I dukkan kepala, khawatir akan disuruh maju atau ter- 
kena amukan lelaki berkepala botak itu. Seorang tokoh 
sesat seperti Setan Timur memiliki perangai yang su- 
kar ditebak. Bisa saja tanpa alasan membunuh orang 
yang kebetulan tidak menyenangkan hatinya. 

"Aku mengajukan diri sebagai datuk nomor sa- 
tu untuk seluruh mata angin! Barang siapa yang tidak 
setuju silakan maju dan melawanku!" teriak Setan Ti- 
mur lantang. 

Suasana langsung hening ketika datuk nomor 
satu wilayah timur itu menyelesaikan perkataannya. 
Tak ada seorang pun yang memberikan sambutan. Se- 
bagian besar tokoh malah saling pandang. Sisanya 
menundukkan kepala dan mencari-cari tokoh yang 
merupakan tandingan Setan Timur, yaitu Dewa Tam- 
pan Dari Selatan. 

Dewa Tampan Dari Selatan sendiri tetap bersi- 
kap tenang. Pemuda berpakaian mewah yang datang 
bersama pengikutnya, seperti juga Setan Timur, den- 
gan sikap angkuh bermain-main dengan cangklong- 
nya. Kepulan asap sesekali dikeluarkan dari mulutnya. 

Keheningan suasana langsung pecah dan se- 
mua kepala, tak terkecuali datuk timur dan selatan, 
menoleh ke atas ketika terdengar bunyi mendesing ta- 
jam yang menyakitkan telinga. 

Dari belakang kumpulan tokoh-tokoh persila- 
tan melesat sesosok tubuh berpakaian bulu binatang 
dengan kecepatan menakjubkan! Semua mata membe- 
lalak penuh kekaguman. Sosok itu berdiri di atas bu- 
sur anak panah yang tengah meluncur. 

Ketika telah berada di atas kepala kumpulan 
tokoh persilatan yang berada di sekitar panggung, so- 
sok yang tidak lain Targoutai menekan kaki kanannya 
yang berada di depan. Maka, luncuran anak panah 
menukik ke bawah, ke arah punggung. 

"Aku yang akan maju dan menjajal kepan- 
daianmu, Setan Timur!" seru Targoutai lantang. 

Setan Timur telah dapat menguasai rasa kaget- 
nya. Ketika melihat anak panah yang dikendalikan 
Targoutai meluncur ke arahnya, buru-buru tubuhnya 
dilempar ke belakang dan bersalto beberapa kali di 
udara. Ia mendarat di pinggir lantai panggung. 

Targoutai tidak meneruskan serangannya. Dia 
berhasil mendaratkan anak panah itu di lantai pang- 
gung secara menakjubkan. Kemudian, berdiri di ten- 
gah-tengah menatap di sekitar bawah panggung. 

"Aku dari Mongol. Sebuah negeri yang jauh. 
Kedatanganku kemari untuk menantang jago-jago no- 
mor satu negeri ini! Siapa yang merasa memiliki ke- 
pandaian, silakan maju! Tapi, sebelumnya aku akan 
menghadapi Setan Timur lebih dulu!" 

Setan Timur melangkah mendekati Targoutai 
yang berdiri tegak di tengah panggung. 

"Jadi..., kau rupanya tokoh yang telah membu- 
nuh Raksasa Barat dan Malaikat Utara?!" tanya Setan 
Timur mencoba bersikap penuh wibawa meski jan- 
tungnya berdebar. Diam-diam lelaki berkepala botak 
ini memang telah mengkhawatirkan kedatangan Tar- 
goutai. Dan, ternyata kekhawatirannya beralasan! 

"Benar!" Targoutai mengangguk. Dicabutnya 
lembing yang tadi diselipkan di belakang punggung- 
nya. "Sekarang bersiaplah untuk menerima kematian 
di tangan Targoutai!" 

"Orang asing yang sombong! Kaulah yang akan 
tewas di sini! Mati tanpa ada yang mengurusi kubu- 
ranmu!" 

Setan Timur mendahului mengirimkan seran- 
gan. Pisau yang telah tergenggam di tangan sewaktu 
dia maju menghampiri Targoutai langsung ditusukkan 
bertubi-tubi ke arah sepasang mata lelaki perkasa dari 
Mongol ini. Setan Timur yang telah mendengar kekeba- 
lan tubuh Targoutai tidak berani bertindak gegabah. Ia 
langsung mengirimkan serangan pada bagian tubuh 
yang diketahuinya tidak akan bisa dibuat kebal! 

Targoutai melompat ke belakang dan mengi- 
rimkan serangan dengan tusukan lembingnya. Setan 
Timur terpaksa melompat ke atas. Lelaki berkepala bo- 
tak ini bersalto beberapa kali untuk mendekati Targou- 
tai. Dari atas ia mengirimkan tusukan-tusukan ke 
arah mata lelaki dari Mongol. 

Targoutai yang banyak berpengalaman dalam 
pertarungan segera bisa menduga maksud Setan Ti- 
mur. Lelaki dari Mongol ini tahu lawan mengajaknya 
bertarung dalam jarak dekat. Hal itu tidak diinginkan 
Targoutai. Dia melompat mundur dan mengandalkan 
jangkauan senjatanya yang panjang untuk mengirim- 
kan serangan. Targoutai berusaha memaksa lawannya 
terlibat dalam pertarungan jarak jauh. Senjata Targou- 
tai yang berupa lembing memang memiliki jangkauan 
lebih jauh daripada sepasang pisau Setan Timur. 

Pertarungan dua tokoh yang sama-sama hebat 
itu segera saja menyita perhatian semua tokoh persila- 
tan. Terutama Dewa Tampan Dari Selatan. Pemuda in- 
ilah yang kelihatan paling tertarik dengan jalannya 
pertarungan. Sepasang matanya yang tajam hampir ti- 
dak berkedip. 

Diam-diam Dewa Tampan Dari Selatan harus 
mengakui kekhawatiran Setan Timur. Lelaki dari Mon- 
gol, Targoutai itu, memang memiliki kemampuan luar 
biasa. Beberapa kali dilihatnya apabila terjadi bentu- 
ran senjata, tubuh Setan Timur terhuyung-huyung ke 
belakang sambil menyeringai kesakitan. 

Bukan hanya itu saja keunggulan Targoutai. 
Dewa Tampan Dari Selatan melihat keanehan ilmu- 
ilmu Targoutai, di samping kekebalan tubuh dan kelin- 
cahan gerakannya. Ilmu aneh yang membuat Setan 
Timur kelabakan! 

Dewa Tampan Dari Selatan tahu robohnya Se- 
tan Timur hanya tinggal menunggu waktu saja. Tar- 
goutai memang hebat bukan main. Ia memiliki ke- 
mampuan di atas Setan Timur. Bahkan, Dewa Tampan 
Dari Selatan pun menyadari tingkat kepandaiannya 
masih berada di bawah Targoutai. Kecemasan pun me- 
landa hati datuk wilayah selatan ini. 

"Arrrggghhh...!" 

Setan Timur menjerit memilukan hati. Lembing 
Targoutai menembus perutnya hingga ke punggung. 

Ketika lelaki dari Mongol itu menarik kembali lembing- 
nya darah beserta usus Setan Timur terburai keluar. 

Setan Timur menatap tak percaya. Dia berdiri 
gontai sebelum akhirnya ambruk untuk tidak pernah 
bangkit lagi. 

Targoutai mengangkat lembingnya tinggi-tinggi. 
Ditatapnya wajah-wajah tokoh persilatan yang berada 
di bawah panggung. Lembingnya yang dipenuhi darah 
menetes-netes di lantai panggung. 

"Siapa lagi yang bersedia bertarung dengan 
Targoutai?! Tidak ada lagikah tokoh sakti di negeri ini? 

Hanya sampai di sini sajakah kemampuan datuk- 
datuk persilatan negeri ini? Mengecewakan sekali!" 

Tantangan bernada penghinaan dari Targoutai 
membuat wajah orang-orang persilatan berubah me- 
rah. Mereka merasa terhina oleh ucapan orang asing 
seperti Targoutai yang meremehkan kemampuan jago- 
jago negeri mereka. 

Tapi hanya sampai di situ saja tindakan tokoh- 
tokoh persilatan itu. Mereka tahu Targoutai amat pan- 
dai dan tidak akan dapat ditandingi. Tanpa sadar se- 
mua pasang mata tertuju ke arah Dewa Tampan Dari 
Selatan dan kelompoknya berada. Sebuah tempat yang 
dibangun kelompok datuk selatan itu dengan memiliki 
atap dan kursi untuk pemuda berpakaian mewah itu 
duduk 

Dewa Tampan Dari Selatan tentu saja menge- 
tahui maksud tatapan tokoh-tokoh persilatan, tapi dia 
tidak peduli. Pemuda ini berpura-pura tidak tahu. 
Dengan tenang, Dewa Tampan Dari Selatan menyibuk- 
kan diri dengan cangklongnya. 

Ketegangan terasa sekali melingkupi sekitar 
tempat itu. Masing-masing tokoh merasakan jantung- 
nya berdetak lebih cepat. Terutama sekali Dewa Tam- 
pan Dari Selatan. Mau tidak mau ia harus berhadapan 
dengan Targoutai, kalau tidak ingin nama besarnya 
hancur berantakan karena dia dianggap takut! 

"Aku yang akan menghadapimu, Targoutai!" 

Seruan lantang dan nyaring memecahkan ke- 
heningan. Dewa Tampan Dari Selatan yang bermaksud 
bangkit dari kursinya dan menghadapi Targoutai jadi 
menahan keinginannya. Ia duduk kembali di kursinya. 

Belum lagi gema ucapan itu lenyap, sesosok 
bayangan ungu berkelebat. Di hadapan Targoutai telah 
berdiri seorang pemuda berambut putih keperakan. 

I "Ah...! Kiranya kau, Dewa Arak! Memang kau- 

lah lawan yang kutunggu-tunggu!" seru Targoutai 
gembira. 

Dewa Arak tersenyum pahit. Pemuda ini tidak 
menanggapi seruan gembira lelaki dari Mongol itu. 
Bahkan, Arya tidak mempedulikan pekikan-pekikan 
tertahan tokoh-tokoh persilatan. Hampir sebagian be- 
sar tokoh persilatan telah mendengar julukan Dewa 
Arak yang menggemparkan. Dewa Tampan Dari Sela- 
tan sendiri sampai menyipitkan sepasang matanya un- 
tuk melihat lebih jelas tokoh yang telah lama didengar 
nama besarnya itu. 

"Tidak usah banyak cakap lagi, Targoutai!" tan- 
das Dewa Arak. "Bukankah kau menantang jago-jago 
negeri ini? Meski aku bukan orang yang tersakti di ne- 
geri ini, aku maju untuk memenuhi tantanganmu!" 

"Apa pun katamu, Dewa Arak. Apabila aku te- 
lah berhasil mengalahkanmu, berarti aku telah menga- 
lahkan seluruh jago di negerimu. Kau lawan terlihai 
yang pernah kuhadapi. Aku akan berbangga hati bila 
sampai kalah di tanganmu, Dewa Arak!" 

Targoutai menutup kata-katanya dengan se- 
buah tusukan lembing ke arah lambung Dewa Arak. 
Serangan itu berhasil dipatahkan Arya dengan men- 
gayunkan gucinya ke depan. Ketika benturan terjadi, 
tubuh kedua orang itu terhuyung-huyung ke belakang. 

Targoutai yang bernafsu dapat merobohkan 
Dewa Arak segera melancarkan serangan bertubi-tubi. 
Dewa Arak menghadapinya dengan ilmu 'Belalang Sak- 
ti'. Pertarungan tingkat tinggi pun berlangsung. 

Hanya dalam sebentar saja pertarungan telah 
memakan puluhan jurus. Dewa Arak mengeluh dalam 
hati. Telah beberapa kali pukulan dan tendangannya 
bersarang di tubuh Targoutai, tapi tak satu pun yang 
menimbulkan hasil. Sebaliknya, beberapa kali pemuda 
berambut putih keperakan ini harus menguras ke- 
mampuannya agar mampu lolos dari tangkapan kedua 
tangan Targoutai. Arya tahu, sekali tertangkap bahaya 
besar akan mengancamnya. 

Dewa Arak sadar jika keadaan berlangsung se- 
perti ini terus, dia akan menderita kerugian. Harus di- 
carinya cara lain agar dapat mengalahkan Targoutai. 
Tapi, kekebalan Targoutai belum diketemukan kele- 
mahannya. Serangan-serangannya dibiarkan saja oleh 
Targoutai. Sebaliknya, serangan-serangan Targoutai 
memaksanya untuk menangkis atau mengelak. 

"Seranganmu bila kau lakukan melalui pukulan 
atau tendangan akan bertemu dengan kulit tubuh 
yang keras laksana kulit badak. Pergunakan serangan 
yang mampu mendarat di sasaran tanpa terhalang 
oleh kulit tubuhnya!" 

Suara itu terdengar di telinga Dewa Arak. Arya 
tahu suara itu dikirimkan dari jarak jauh. Ada seseo- 
rang yang memberi petunjuk padanya. 

"Lihat ke belakang, Dewa Arak. Aku akan men- 
gangkat tinggi-tinggi senjata yang dapat menembus 
kekebalan tubuh orang Mongol itu. Ambillah." Lagi-lagi 
suara itu tertangkap telinga Arya, saat pemuda itu ba- 
ru saja mengelakkan serangan Targoutai. 

Aiya melompat ke belakang menjauhi Targou- 
tai. Pemuda itu menolehkan kepalanya ke belakang. 
Tampak di bawah punggung, di deretan belakang, se- 
batang bambu sepanjang hampir dua jengkal teracung 
tinggi-tinggi ke atas. Arya tahu bambu itu adalah seba- 
tang suling. 

Pemuda berambut putih keperakan ini segera 
bertindak cepat. Dia tahu kalau mengambil suling itu 
membutuhkan sedikit waktu. Maka, kedatangan Tar- 
goutai yang memburunya dengan lembing di tangan, 
disambutnya dengan pukulan jarak jauh dari jurus 
'Pukulan Belalang'! 

Bresss! 

Tubuh Targoutai terpental ke belakang ketika 
hembusan angin keras berhawa panas menerpa tu- 
buhnya. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya 
oleh Arya untuk mengambil suling yang teracung. Pe- 
muda ini menjulurkan tangannya ke arah deretan ba- 
wah punggung. Bagai ditarik oleh tangan tak nampak, 
suling yang berada sepuluh tombak dari Arya terbang 
melayang! Lalu, Dewa Arak segera menangkapnya. 

Dewa Arak segera duduk bersila dan menem- 
pelkan suling itu ke bibirnya. Tepat pada saat itu Tar- 
goutai yang tidak terpengaruh sedikit pun akibat pu- 
kulan jarak jauh jurus 'Pukulan Belalang' bergerak 
bangkit dan melesat ke arah Dewa Arak. Padahal, bi- 
asanya jurus 'Pukulan Belalang' telah cukup untuk 
membuat melayang tokoh yang bagaimanapun tang- 
guhnya. Tubuh korban akan menghitam menjadi 
arang. 

Terjangan Targoutai langsung terhenti di ten- 
gah jalan ketika bunyi suling yang ditiup Dewa Arak 
mulai terdengar. Bunyi yang mengalun laksana gen- 
dang perang. Dalam tiupan suling itu seakan terdengar 
derap kaki puluhan ekor kuda, dentang senjata bera- 
du, dan jeritan kematian yang menyayat hati. 

Bunyi seperti itu yang didengar orang-orang 
yang berada di bawah panggung. Tapi tidak demikian 
halnya dengan Targoutai. Tidak hanya bunyi itu yang 
tertangkap telinganya. Tapi, kehebatan serangan yang 
terkandung di dalamnya. Bunyi yang bagi orang lain 
terdengar mengasyikkan bagi Targoutai amat mengeri- 
kan. Tidak hanya telinganya saja yang sakit, isi da- 
danya pun seperti dikoyak-koyak! 

Targoutai tahu adanya ancaman bahaya. Maka, 
terjangannya dihentikan. Lelaki perkasa dari Mongol 
ini lalu mencabut dua batang anak panah dan meng- 
gosok-gosokkannya. Terdengar bunyi bergerit nyaring 
yang semakin lama semakin meninggi. Targoutai beru- 
saha menahan gelombang serangan bunyi suling Dewa 
Arak dengan suara gesekan anak panahnya. 

Tokoh-tokoh rendahan dan sebagian besar to- 
koh persilatan menatap pertarungan ini dengan pera- 
saan heran. Tapi tidak demikian halnya dengan Dewa 
Tampan Dari Selatan dan beberapa tokoh tingkat ting- 
gi. Mereka tahu antara Dewa Arak dan Targoutai ten- 
gah terjadi pertarungan mati-matian. Pertarungan te- 
naga dalam. Selisih tenaga dalam yang sedikit akan 
membuat nyawa salah seorang di antara mereka me- 
layang ke alam baka. 

Keadaan Dewa Arak dan Targoutai semakin 
mengkhawatirkan. Wajah kedua tokoh itu dipenuhi pe- 
luh sebesar biji jagung. Bahkan, dari atas kepala me- 
reka mengepul uap putih yang semakin lama semakin 
tebal. 

Terlihat kepulan uap di atas kepala Dewa Arak 
jauh lebih sedikit. Kedudukan pemuda itu memang le- 
bih menguntungkan. Alat yang digunakan memung- 
kinkan ia untuk dengan mudah mengubah bentuk pe- 
nyerangan. Kenyataan ini membuat Targoutai kewala- 
han! 

Pyarrr! 

Bersamaan dengan patahnya anak-anak panah, 
tubuh Targoutai terjengkang ke belakang. Darah segar 
memancur deras dari mulutnya. Namun, Targoutai be- 
nar-benar seorang tokoh yang mengagumkan. Dia ma- 
sih mampu berdiri meski kedua kakinya menggigil ke- 
ras. 

"Kau..., kau hebat, Dewa Arak. Aku mengaku 
kalah...!" Targoutai masih sempat memberikan pujian 
sebelum tubuhnya ambruk ke tanah. Targoutai yang 
perkasa itu tewas. 

Dewa Arak pun buru-buru bersemadi untuk 
memulihkan tenaganya. Pemuda ini pun memuntah- 
kan darah segar dari mulutnya. Bila ia tidak bertindak 
cepat dan segera mengobati luka dalamnya bukan tak 
mungkin dia akan pergi menyusul Targoutai. 
Tewasnya Targoutai menimbulkan kegembiraan 
pada orang-orang yang menyaksikan jalannya perta- 
rungan. Tewasnya Targoutai telah menolong muka ja- 
go-jago negeri ini. Telah terbukti kalau jago negeri ini 
tak kalah oleh jago dari negeri Mongol! 

Saat itulah Dewa Tampan Dari Selatan melom- 
pat dari kursinya. Dengan gerakan manis, pemuda ini 
bersalto beberapa kali kemudian menjejak lantai pang- 
gung tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun. 

"Aku mengajukan diri sebagai datuk nomor sa- 
tu dunia persilatan! Siapa yang tidak setuju silakan 
maju dan tandingi aku!" seru Dewa Tampan Dari Sela- 
tan lantang seraya mengepulkan asap cangklongnya. 

Tidak ada tanggapan apa pun dari bawah pang- 
gung. Mereka semua tahu siapa adanya Dewa Tampan 
Dari Selatan. Melawan hanya mencari mati belaka. Da- 
lam hati sebagian besar di antara mereka memaki- 
maki Dewa Tampan Dari Selatan yang licik. Tadi ketika 
Targoutai berdiri sebagai penantang, pemuda pesolek 
ini berdiam diri saja mengulur-ulur waktu. Sekarang 
setelah Targoutai tewas dan Dewa Arak terluka parah, 
baru Dewa Tampan Dari Selatan maju. Sungguh licik! 

Dewa Tampan Dari Selatan tertawa bergelak. 
Gembira. 

"Jadi, tak ada orang yang berani melawanku?! 

Berarti sekarang akulah datuk nomor satu untuk selu- 
ruh wilayah. Datuk golongan hitam! Dan, kalian semua 
adalah pengikut ku! Ingat, siapa yang tidak taat akan 
kubunuh! Kalian mengerti?!" 

Dewa Tampan Dari Selatan mengedarkan pan- 
dangan ke bawah punggung. Ditatapnya wajah-wajah 
yang ada di sana dengan sinar mata bengis. Sedikit sa- 
ja terlihat adanya tantangan, pemuda pesolek ini akan 
menurunkan tangan kejam! 

"Dan perintah pertama ku adalah... bunuh pe- 
muda ini!" Dewa Tampan Dari Selatan menuding ke 
arah Dewa Arak. "Dia seorang tokoh tingkat tinggi go- 
longan putih! Tak terhitung sudah rekan-rekan kita 
yang tewas di tangannya. Bukan tidak mungkin kalau 
kalian yang akan menjadi giliran selanjutnya. Maka, 
daripada dia menimbulkan korban lagi di kalangan ki- 
ta, cepat lenyapkan saja!" 

Seketika belasan tokoh-tokoh persilatan yang 
berada di situ berlompatan ke atas punggung untuk 
memenuhi perintah Dewa Tampan Dari Selatan. Sedi- 
kit pun tidak terbit di hati mereka rasa terima kasih 
atas jerih payah Dewa Arak. Memang, bagi orang-orang 
golongan hitam seperti mereka tidak ada yang na- 
manya balas budi. Yang ada hanya bertindak demi 
keuntungan diri sendiri. 

Begitu menjejak lantai panggung, belasan tokoh 
persilatan itu langsung mencabut senjata masing- 
masing dan mengayunkannya ke tubuh Arya yang ma- 
sih sibuk mengobati luka dalamnya. 

Dewa Tampan Dari Selatan sudah bisa mem- 
perkirakan Dewa Arak akan tewas. Maka, dengan si- 
kap tidak peduli dibalikkannya tubuhnya sambil ter- 
senyum lebar. Pemuda ini menunjukkan kesan kalau 
tewasnya Dewa Arak bukan merupakan masalah besar 
baginya. Sehingga, tidak perlu diperhatikan. 

Tapi, senyum Dewa Tampan Dari Selatan lang- 
sung lenyap ketika mendengar teriakan-teriakan kesa- 
kitan yang susul-menyusul. Tubuh-tubuh tokoh persi- 
latan yang tadi menyerbu Dewa Arak berpentalan ke 
sana kemari seperti daun-daun kering diterbangkan 
angin. 

Dewa Tampan Dari Selatan membalikkan tu- 
buhnya kembali untuk melihat keanehan itu. Wajah 
pemuda ini pun langsung pias. Berdiri membelakangi 
Dewa Arak yang masih duduk bersemadi, dua orang 
kakek. Yang seorang berbadan besar dan bermuka mi- 
rip kuda. Sedangkan yang satunya lagi bermuka kun- 
ing. 

"Aa... Ayah...?!" desis Dewa Tampan Dari Sela- 
tan dengan suara terbata-bata. 

Sepasang mata pemuda pesolek itu menatap 
penuh rasa tak percaya pada kakek bermuka dua. Ka- 
kek yang tak lain Raja Sihir Penyebar Maut ini tertawa. 
Suara tawanya lebih mendekati ringkik kuda! 

"Masih ada muka kau memanggil Ayah, Anak 
Tak Tahu Diuntung?!" bentak Raja Sihir Penyebar 
Maut. Suaranya parau dan lantang. "Kau sadar siapa 
kau sebelumnya? Hanya anak terlantar! Ku pungut 
dan ku asuh kau sebagai anak sendiri! Ku wariskan 
ilmu-ilmu tinggi. Tapi, setelah besar kau balas semua- 
nya dengan memenjarakan aku dan Raja Racun Sakti 
yang tengah mengadakan pertemuan. Kau pikir aku 
mati? Aku berhasil keluar bersama Raja Racun Sakti 
dengan menggali sebuah terowongan! Sekarang aku 
datang untuk membinasakan mu!" 

Dewa Tampan Dari Selatan tahu tak ada am- 
punan untuknya dari Raja Sihir Penyebar Maut yang 
sebenarnya adalah ayah angkatnya. Kakek bermuka 
kuda itu memiliki watak keji! Tak akan ada ampunan 
bagi orang yang mengkhianatinya! Dewa Tampan Dari 
Selatan teringat kembali akan tindakannya. Ayah ang- 
katnya dan Raja Racun Sakti mengadakan pertemuan 
di sebuah goa di suatu puncak gunung. Dengan long- 
soran, pemuda pesolek ini menutup pintu keluar goa. 
Hal itu dilakukannya agar dia dapat mengambil pusa- 
ka-pusaka milik Ayah angkatnya. Karena telah lama 
dia menginginkannya tapi tak diberikan oleh Raja Sihir 
Penyebar Maut. 

Sekarang, Dewa Tampan Dari Selatan segera 
melompat menerjang Ayah angkatnya dengan 
cangklongnya. Raja Sihir Penyebar Maut menyambut- 
nya. Pertarungan pun berlangsung. 

Di lain pihak, Raja Racun Sakti dengan men- 
gandalkan nama besar dan kekuasaannya memerin- 
tahkan semua tokoh persilatan yang berada di situ un- 
tuk pergi. Kakek ini yang telah memberi petunjuk pada 
Dewa Arak dan juga memberikan suling untuk menga- 
lahkan Targoutai. Tokoh-tokoh persilatan pun mening- 
galkan tempat itu. 

Tapi, perasaan tertarik membuat mereka sese- 
kali menoleh ke belakang. Mereka ingin mengetahui 
akhir pertarungan Raja Sihir Penyebar Maut dengan 
Dewa Tampan Dari Selatan. 

Niat mereka kesampaian. Belum berapa jauh 
mereka melangkah terdengar jeritan menyayat hati. 
Dewa Tampan Dari Selatan tewas dengan kepala re- 
muk terhantam cakar Raja Sihir Penyebar Maut. 

Dengan kemunculan Raja Sihir Penyebar Maut 
dan Raja Racun Sakti, pertarungan untuk mempere- 
butkan kedudukan datuk pun berakhir. Bertepatan 
dengan tewasnya Dewa Tampan Dari Selatan, Dewa 
Arak menyelesaikan semadinya. 

"Kau hebat, Dewa Arak!" puji Raja Sihir Penye- 
bar Maut. "Tanpa adanya kau, mungkin orang asing 
itu akan mengira tidak ada tokoh negeri ini yang mam- 
pu menandinginya. Kau telah menutup kesombongan- 
nya." 

"Atas bantuanmu juga, Kek." Arya merendah. 
Dia tahu kalau dua datuk ini yang telah memberikan 
jalan padanya untuk mengalahkan Targoutai. 

"Tak perlu merendah," Raja Racun Sakti mem- 
bantah. "Bukan tidak mungkin suatu saat kita akan 
berhadapan sebagai lawan. Sekarang, kami akan pergi. 
Tapi bila terjadi pertemuan di antara kita, aku akan 
menantangmu bertarung!" 

Dewa Arak hanya menghela napas berat. Dia 
tetap diam ketika dua datuk golongan hitam itu berke- 
lebat cepat meninggalkan tempat itu. Tinggallah Dewa 
Arak dan mayat Targoutai di atas panggung. Mayat 
lainnya telah dibawa pergi oleh kelompoknya masing- 
masing. 

SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Panggilan ke Alam Roh