Dewa Arak 74 - Panggilan ke Alam Roh


Angin bertiup kencang. Hujan turun dengan 
deras laksana dicurahkan dari langit. Kilat yang sese- 
kali muncul di langit menyilaukan mata. Bunyinya 
yang keras menggelegar mengiringi langkah kaki mun- 
gil itu 

Pemilik sepasang kaki mungil berlari tanpa 
mempedulikan keadaan alam yang seperti tengah 
mengamuk. Tubuh sosok terbungkus pakaian hijau 
yang telah basah kuyup itu sesekali menggigil, karena 
dinginnya cuaca yang ditimbulkan oleh deru angin 
kencang. 

"Ukh...! 

Pemilik kaki mungil itu ternyata seorang wani- 
ta muda. Usianya kira-kira dua puluh tahun. Ia men- 
geluh tertahan ketika jatuh tertelungkup di tanah ka- 
rena kakinya tersandung batu. Lari gadis berpakaian 
hijau ini memang tidak tetap, terhuyung-huyung ke 
sana kemari. Pandangannya tidak tertuju ke jalan me- 
lainkan menatap ke depan dengan sinar mata kosong. 
Matanya itu tampak sembab seperti habis menangis. 
Wajahnya pun muram. Pendeknya, tidak terlihat kece- 
riaan pada wajahnya. 

"Ibu...! 

Bukannya bergegas bangkit dari jatuhnya, ga- 
dis berpakaian hijau ini malah berseru tertahan. Tera- 
sa benar nada kepiluan dalam suaranya. Sarat dengan 
kedukaan yang mendalam. 

"Aku tidak tahan menanggung aib ini.... Lebih 
baik aku pergi menyusulmu, Ibu...!" seru gadis berpa- 
kaian hijau meremas-remas tanah berlumpur di de- 
pannya. "Aku tak sanggup terus hidup.... Wahai, dewa 
petir sambarlah aku...! Pertemukan aku dengan ibuku...!" 

Seperti menyambuti ucapan gadis berpakaian 
hijau, petir menyambar keras bagai hendak menghan- 
curkan bumi. Tapi, tidak menyambar gadis berpakaian 
hijau, melainkan menghantam sebatang pohon yang 
berada cukup jauh dari tempat gadis itu berada. 

Gadis berpakaian hijau terkejut dan menatap 
ke arah pohon yang terbakar hangus menjadi arang. 
Tiba-tiba dia menggertakkan gigi. Wajahnya tampak 
beringas! Sinar matanya menyiratkan pembunuhan! 
Andaikata saat itu ada orang yang dibencinya di situ, 
mungkin telah diserangnya habis-habisan. 

"Apabila aku mati, terlalu enak bagi bangsat 
itu! Aku harus hidup dan membalas semua kekejian 
yang ditimpakannya padaku. Akan ku cabik-cabik se- 
luruh tubuhnya. Akan kubunuh dia! Akan ku jadikan 
dia menyesal telah bermusuhan denganku!" desis ga- 
dis berpakaian hijau geram. 

Entah karena sambaran petir, atau kesadaran 
yang timbul dari hatinya, gadis berpakaian hijau yang 
semula tidak memperlihatkan kemauan untuk hidup 
kini terlihat penuh semangat. Pada sinar mata dan ta- 
rikan wajahnya terlihat perasaan kejam. Ada sesuatu 
yang mengerikan di dalamnya. 

Gadis berpakaian hijau bergegas bangkit berdi- 
ri. Sesaat ia tegak di tempatnya. Matanya menatap ta- 
jam ke depan dengan sinar mata penuh dendam. Ke- 
dua tangannya terkepal dan mengejang kaku. Baru 
sekarang terlihat kalau pakaian gadis berwajah cantik 
dengan tahi lalat di pipi kanannya itu compang- 
camping di beberapa bagian. Bagian anggota tubuhnya 
yang tidak tertutup tampak terlihat mulus. 

"Demi langit dan bumi aku bersumpah akan 
membalas dendam perbuatan keji itu. Akan ku cabik- 
cabik tubuhnya. Akan kubuat dia menyesal dilahirkan 
ke dunia ini. Ha ha ha...!" 

Bagai orang kurang ingatan, gadis berpakaian 
hijau tertawa terbahak-bahak. Sepasang matanya ber- 
gerak liar, terlihat mengerikan. Beberapa saat kemu- 
dian, ia berlari cepat meninggalkan tempat itu menuju 
puncak gunung! 

Gadis berpakaian hijau tidak mempedulikan 
hujan lebat yang mengguyur sekujur tubuhnya. Angin 
dingin yang menusuk tulang serta kilatan petir yang 
diselingi bunyi menggelegar. Langkah kakinya terus 
diayunkan. Kali ini ia tidak terhuyung-huyung seperti 
sebelumnya. Air kecoklatan bercampur tanah memer- 
cik ke sana kemari ketika kaki-kaki gadis berpakaian 
hijau menjejak tanah. 

"Nenek...!" 

Dengan mengeluarkan seruan yang cukup lan- 
tang, gadis berpakaian hijau itu menubruk sebuah 
gundukan tanah tidak terurus. Tidak dipedulikannya 
pakaian dan sekujur tubuhnya yang semakin kotor 
dan berlepotan tanah lumpur. Gadis itu men-jatuhkan 
tubuhnya di sebuah gundukan tanah kuburan. 

Saat itu hujan telah reda. Hanya tinggal geri- 
mis saja. Angin pun tidak terlalu keras berhembus. Pe- 
tir sudah tidak menyalak, hanya kilatan-kilatan me- 
nyilaukan di langit. Gadis berpakaian hijau tiba di 
tempat yang dituju. Ia berlari tanpa henti hampir se- 
perempat hari. Padahal, gadis berpakaian hijau telah 
menggunakan ilmu lari cepat 

Pelan tapi meyakinkan, gelap mulai menyeli- 
muti alam. Sang surya perlahan tenggelam di pera- 
duannya. Hari telah petang. Gadis berpakaian hijau 
telah berlari sejak siang hari. Sejak matahari seharus- 
nya berada tepat di atas kepala. 

"Nenek..." 

Dengan terbata-bata karena menahan isak 
tangis, gadis berpakaian hijau mengeluh tertahan. 

"Cucumu sungguh bernasib amat malang, Nek. 
Sekelompok penjahat datang menyatroni tempat ting- 
gal kami. Ayah mereka bunuh. Sedangkan aku menga- 
lami nasib yang mengerikan. Mereka memperkosa aku 
secara brutal dan kasar...! Mereka menodai ku bergan- 
tian, Nek. Tiga hari tiga malam mereka melakukannya. 
Baru kemudian mereka meninggalkan aku pergi dan 
memberi kesempatan padaku untuk membunuh diri." 

Seperti mengadu pada seseorang yang masih 
hidup dan tengah mendengar ucapannya, gadis ber- 
pakaian hijau bercerita tersendat-sendat. Air matanya 
mengalir laksana air sungai. 

"Aku tidak mau bunuh diri, Nek.... Aku bukan 
seorang pengecut. Meski sebelumnya aku merasa lebih 
baik mati saja daripada hidup. Aku merasa diriku be- 
gitu kotor sehingga aku jijik dengan diriku sendiri. 
Aku jijik, Nek! Jijik...! Tapi, sekarang aku sadar. Aku 
tidak boleh tenggelam dalam kedukaan ini. Aku harus 
membalas perlakuan binatang-binatang itu. Untuk itu 
aku harus memiliki kepandaian tinggi. Binatang- 
binatang bermuka manusia itu memiliki kepandaian 
tinggi, Nek. Karena itu, aku datang kepadamu. Aku in- 
gin meminta bantuanmu agar dapat membalaskan sa- 
kit hati ini. Bukankah kau dulu sering datang men- 
jumpai ku dan mengatakan agar aku meminta perto- 
longan padamu bila mendapat kesulitan? Malah, dulu 
kau sering datang dan mengajarkan ku ilmu silat. Se- 
karang mengapa kau tidak mengajarkan silat lagi pa- 
daku, Nek?! Apakah kau takut terhadap Ayah, karena 
aku mempelajari ilmu darimu? Jawablah, Nek, Tolon- 
glah aku!" 

Kedua tangan gadis itu memeluk gundukan ba- 
tu nisan. Tubuh dan wajahnya menelungkupi gundu- 
kan tanah. Gadis berpakaian hijau terus mengelua- 
rkan semua uneg-uneg yang ada dalam dadanya. 

Semakin lama seruan-seruan yang keluar dari 
mulutnya semakin mengecil. Mungkin kelelahan kare- 
na terlalu lama berlari dan menanggung beban yang 
menghimpit batinnya. Gadis berpakaian hijau tertidur 
sambil memeluk gundukan tanah. Dia tidak tahu ke- 
gelapan telah turun. Langit tidak terhias bintang dan 
bulan. Langit mendung. 

Waktu terus merayap, Tengah malam pun tiba. 
Tepat pada saat itu hembusan angin mendadak keras. 
Bunyi anjing hutan melolong panjang. Gadis berpa- 
kaian hijau yang sejak tadi tertidur dengan tenang kini 
menggeliat gelisah. 

Sesuatu dari alam lain masuk ke dalam mimpi 
gadis itu. Gadis berpakaian hijau bermimpi bertemu 
dengan seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima 
tahun. Tubuhnya padat menggiurkan. Wajahnya pun 
cantik. Terlalu cantik malah. Penuh daya pikat dan 
penarik yang amat kuat! Wanita yang diketahui gadis 
berpakaian hijau sebagai neneknya dan memiliki usia 
hampir tujuh puluh tahun! Gadis berpakaian hijau ti- 
dak pernah tahu mengapa neneknya mampu membuat 
dirinya terlihat awet muda. 

"Nenek...!" 

Dalam mimpinya gadis berpakaian hijau me- 
manggil wanita cantik itu. Teriakannya tidak hanya 
sarat dengan kegembiraan tapi juga keterkejutan. Ne- 
neknya dijumpai tidak dalam keadaan seperti bi- 
asanya. Tidak seperti dalam mimpi-mimpi sebelum- 
nya. 

Nenek yang dulu di dalam mimpi sering menga- 
jarinya ilmu silat kini tampak sangat mengenaskan 
keadaannya. Neneknya di kelilingi bambu-bambu se- 
tinggi manusia. Bambu-bambu itu berduri. Bagian 
atasnya tertutup oleh bambu yang sama. Neneknya 
terlihat ketakutan. Ia berputaran ke sana kemari men- 
cari jalan keluar. 

"Arum...! Arum Sari...! Cucuku, tolong be- 
baskan aku dari kurungan terkutuk ini. Aku ingin 
menolongmu. Tapi, aku tidak bisa keluar dari penjara 
keparat ini. Tolonglah aku, Arum. Tolong...! Bukakan 
kurungan ini...!" 

"Nenek...!" 

Gadis berpakaian hijau yang bernama Arum 
Sari menjerit di dalam tidurnya. Tidak hanya sekali, 
tapi berkali-kali. Arum Sari yang merasa gelisah dalam 
tidurnya menggeliat ke sana kemari. Terdengar kelu- 
han tak jelas dari mulutnya. 


"Uh...! 


Arum Sari baru terbangun dari tidurnya ketika 
tubuhnya terguling dari gundukan tanah. 

Arum Sari tercenung begitu sadar sepenuhnya. 
Mimpi menyeramkan itu melekat kuat di benaknya. 
Mungkinkah mimpi itu hanya merupakan bunga tidur, 
ataukah memang kenyataan yang sebenarnya? 

Arum Sari bingung memikirkan hal itu. Karena 
memikirkan mimpi yang menyeramkan itu, Arum Sari 
jadi tidak terlalu memikirkan keadaan sekelilingnya. 
Kalau saja pikirannya tidak dipenuhi mimpi buruk 
tentu Arum Sari akan ketakutan sekali berada di pe- 
kuburan sendiri. Betapapun beraninya Arum Sari ada- 
lah seorang wanita. Masih muda lagi. 

Tapi, tak lama Arum Sari memikirkan mimpi 
itu. Kelelahan amat sangat yang mendera lahir dan ba- 
tinnya membuat gadis berpakaian hijau itu merebah- 
kan tubuhnya kembali di atas kuburan. Lagi-lagi 
Arum Sari dihantui mimpi mengerikan itu. Mimpi bu- 
ruk yang tadi mengganggunya datang kembali. Tidur 
Arum Sari tidak tenang. 

"Tolong, Arum...! Aku tidak betah dipenjara se- 
perti ini. Aku ingin menolongmu, Arum. Aku ingin ber- 
jumpa denganmu seperti dulu. Bebaskan aku dari 
penjara ini, Arum...!" 

Kembali neneknya Arum Sari yang awet muda 
meminta tolong dengan suara meratap-ratap pilu. 

"Bagaimana aku bisa membebaskan mu, Nek?" 
Alam bawah sadar Arum Sari mengajukan pertanyaan. 
"Aku ingin mengeluarkan mu, Nek. Tapi, bagaimana 
caranya. Tubuhku lemah sekali. Urat-urat ku kaku 
semua. Bahkan tenagaku seperti lenyap entah ke ma- 
na. Aku tidak bisa menolongmu, Nek." 

"Amat mudah kalau kau benar-benar ingin 
menolongku, Arum!" Nenek gadis berpakaian hijau itu 
memberi petunjuk. "Jika kau bangun dari tidurmu 
nanti, galilah, kuburan ku. Ambillah bambu runcing 
kuning yang ditancapkan di atas peti mati ku. Maka, 
aku akan bebas." 

Seperti disentakkan oleh sesuatu yang kasat 
mata, Arum Sari tiba-riba membuka sepasang ma- 
tanya. Gadis berpakaian hijau ini merasakan kantuk- 
nya mendadak lenyap. Dia segera bertindak sigap. 

Arum Sari tidak mempunyai pilihan lain. Dia 
yakin mimpi yang dialaminya bukan sembarang mim- 
pi, tapi sebuah petunjuk. Keyakinannya itu semakin 
besar ketika teringat neneknya bukanlah orang sem- 
barangan. Neneknya seorang tokoh yang lihai dalam 
ilmu-ilmu gaib. 

Arum Sari jadi berpikir. Beberapa puluh hari 
yang lalu neneknya selalu hadir dalam mimpinya. Ia 
mengajarkan ilmu-ilmu melalui mimpi. Tapi, hal itu 
hanya berlangsung beberapa minggu, tepatnya dela- 
pan belas hari. Ayahnya keburu mengetahui. 

Ayahnya merasa curiga ketika melihat gadis 
berpakaian hijau itu melatih ilmu silat yang diketa- 
huinya tidak pernah diajarkannya. Setelah didesak 
bertubi-tubi, Arum Sari akhirnya membuka rahasia 
siapa yang telah memberi pelajaran itu padanya. Dua 
hari kemudian neneknya Arum Sari tidak pernah da- 
tang lagi di dalam mimpinya. Baru pada malam hari 
ini, malam keempat puluh satu dari kematiannya, 

Arum Sari bertemu kembali dengan neneknya dalam 
mimpi. Itu pun setelah Arum Sari memanggil-manggil 
neneknya dan tidur di kuburannya. 

Arum Sari yang cukup cerdik mulai merasa ya- 
kin ada hubungan antara ketidakhadiran neneknya di 
dalam mimpi dengan terbukanya rahasia itu. Arum 
Sari malah percaya neneknya terpenjara karena per- 
buatan ayahnya. Gadis berpakaian hijau ini tahu 
ayahnya tidak menyukai neneknya! Ayahnya Arum Sa- 
ri memang seorang pendekar, sedangkan neneknya 
Arum Sari seorang tokoh hitam. 

Tanpa mempedulikan keadaan malam gelap 
gulita, Arum Sari mulai menggali gundukan tanah ku- 
buran neneknya. Ia mempergunakan sebatang ranting 
yang ditemukannya berada di dekat tempat itu. 

Arum Sari ternyata bukan seorang gadis le- 
mah. Meski hanya dengan sebatang ranting, dia mam- 
pu menggali tanah kuburan itu dengan cepat. Tidak 
kalah cepat dengan lelaki bertenaga kuat yang meng- 
gali dengan mempergunakan cangkul. 

Dalam gelora semangat yang menggebu, Arum 
Sari seperti mendapat tambahan tenaga baru. Tan- 
gannya bergerak cepat bukan main. Tanah bergumpal- 
gumpal berpindah ke sisi gundukan tanah kuburan. 

Seperti telah bersepakat dengan Arum Sari, 
langit yang semula tertutup awan hingga bintang- 
bintang dan sang dewi malam tidak dapat menerangi 
persada perlahan terusir pergi. Ketika gundukan ta- 
nah sudah tergali cukup dalam, langit di atas tempat 
Arum Sari berada telah bersih. Sungguh suatu keja- 
dian yang aneh. Bulan bulat penuh pun muncul di 
langit. Bulan purnama. Sinarnya kuning berkilauan. 
Suasana di pekuburan menjadi cukup terang. 

Dengan mudah Arum Sari segera dapat melihat 
sebatang bambu kuning yang menancap di tutup peti 
mati. Tidak panjang. Hanya sepanjang jari telunjuk! 

Hati Arum Sari tercekat. Bambu kuning ini se- 
makin mempertebal keyakinannya kalau mimpi itu 
bukan sembarang mimpi. Tanpa ragu-ragu lagi, Arum 
Sari segera mencabutnya! 

Baru saja bambu kuning itu tercabut, dari se- 
la-sela tutup peti mati keluar asap. Arum Sari yang ti- 
dak menyangka hal ini terkejut bukan main. Dia sam- 
pai melompat ke belakang. Sepasang matanya terbela- 
lak lebar. Diperhatikannya asap tipis yang semakin 
lama semakin tebal. Samar tapi pasti asap itu mem- 
bentuk satu sosok tubuh manusia! 

"Nenek...!" Arum Sari berseru tertahan ketika 
melihat bentuk gumpalan asap. 

"Arum Sari, Cucuku...!" Sosok berbentuk wani- 
ta itu mengembangkan senyum lebar. Senyum ramah 
penuh kasih. 

"Nenek...!" 

Arum Sari kembali berseru. Kali ini sambil 
mengembangkan kedua lengannya, siap untuk meme- 
luk. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar uca- 
pan sosok itu. Lembut dan halus, tapi terkesan dingin 
dan kaku. Kesan yang menimbulkan dugaan kalau se- 
ruan itu bukan keluar dari mulut manusia. Hanya 
pantas keluar dari mulut setan atau makhluk halus 
lainnya. 

"Tidak usah kau teruskan niatmu, Arum. Per- 
cuma. Kau tidak akan dapat. Aku hanya dapat kau li- 
hat tapi tidak dapat kau raba apalagi dipeluk." 

"Ah...!" 

Arum Sari berseru kaget. Tapi, sesaat kemu- 
dian ia sadar kalau neneknya telah meninggal dunia 
empat puluh satu hari yang lalu. 

"Kau mungkin bertanya-tanya mengapa demi- 
kian? Mungkin kau lupa kalau aku sudah meninggal 
dunia?" 

"Aku ingat, Nek," jawab Arum Sari tanpa mera- 
sa takut sama sekali. Neneknya itu amat mencin- 
tainya. 

"Bagus! Tapi, apakah kau sudah tahu mengapa 
aku tidak menjumpai mu lagi di dalam tidurmu dan 
memberikan pelajaran ilmu silat tingkat tinggi?" Den- 
gan suaranya yang berat tapi bergaung neneknya 
Arum Sari kembali bertanya. 

Arum Sari mengangguk. 

"Semula aku tidak mengetahui mengapa kau 
tidak lagi mengajarkan ilmu silat padaku. Tapi, seka- 
rang aku sudah mengetahuinya." 

"Hm..J" Neneknya Arum Sari menggumam pe- 
lan. Sikap dan sinar matanya jelas menantikan jawa- 
ban Arum Sari. 

"Aku yakin ini ada hubungannya dengan ter- 
bongkarnya rahasia kalau aku telah belajar ilmu silat 
darimu, Nek. Semua ini ada hubungannya dengan 
Ayah." 

Neneknya Arum Sari tersenyum pahit. Senyum 
yang keluar tidak dari hati yang gembira. 

"Dugaanmu memang tidak meleset, Arum. 
Ayahmu itulah yang membuatku tidak bisa keluar dan 
menemuimu di dalam mimpi- Begitu mengetahui kau 
belajar ilmu silat dariku, ayahmu lalu mendatangi 
makamku. Ia menggalinya kemudian menancapkan 
sebatang bambu kuning yang didapatnya dari seorang 
ahli kebatinan untuk mencegah rohku keluar." 


Wajah Arum Sari memucat mendengar kete- 
rangan itu. Gadis berpakaian hijau ini merasa ayah- 
nya telah bertindak terlalu kejam. 

"Sungguh tidak kusangka Ayah dapat bertin- 
dak sekejam itu. Mengurung mu di tempat yang demi- 
kian mengerikan!" tandas Arum Sari. Ia bergidik seper- 
ti orang ketakutan. 

Neneknya Arum Sari yang sebenarnya telah be- 
rusia tujuh puluh tahun tapi kelihatan seperti orang 
yang berusia tiga puluh tahun menggelengkan kepala. 

"Pendapatmu keliru, Arum. Ayahmu sama se- 
kali tidak jahat. Justru dia melakukan hal itu karena 
sayangnya padamu. Dia tidak ingin kau tersesat ke 
lembah kehinaan. Aku juga tidak menghendakinya. 
Biarlah aku saja yang tersesat!" 

Wajah Arum Sari semakin memucat. Tapi, si- 
nar sang dewi malam membuat perubahan wajah 
Arum Sari tidak terlihat. 

"Dengan jalan menyiksamu, Nek?!" Terdengar 
penuh penasaran pertanyaan itu keluar dari mulut 
gadis berpakaian hijau. 

"Dia tidak bermaksud demikian, Arum. Dia 
hanya ingin agar kau tidak tersesat. Hanya itu. Karena 
itu aku memaklumi tindakannya." 


Arum Sari menundukkan kepala. Kedua tan- 
gannya memijat-mijat pelipisnya. Gadis berpakaian hi- 
jau ini tampak kebingungan. 

"Aku jadi semakin tidak mengerti, Nek. Aku 
minta kau tidak berteka-teki. Ceritakan tentang diri- 
mu dan Ayah secara jelas. Jangan sampai ada yang 
disembunyikan. Aku ingin tahu mengapa kau dan 
Ayah terlibat permusuhan." 

Neneknya Arum Sari menatap ke langit Kemu- 
dian pandangannya kembali di arahkan pada Arum 
Sari, cucunya. 

"Memang sebaiknya kau mendengar cerita ku 
dulu sebelum kau menarik kesimpulan tentang siapa 
yang salah, aku atau ayahmu," ujar nenek itu dengan 
suara berat 

"Aku memang bukan orang baik-baik, walau- 
pun sebenarnya dulu aku tidak berkeinginan menjadi 
orang jahat. Malah, aku bercita-cita menjadi seorang 
pendekar wanita!" Neneknya Arum Sari memulai ceri- 
tanya. 

"Aku masih berusia sepuluh tahun ketika 
ayahku meninggal dunia. Ibuku dan kawan-kawan se- 
permainanku memanggilku Yayang, walaupun nama- 
ku sebenarnya adalah Mayang. Tiga tahun setelah 
kematian Ayah, ibuku menikah lagi. Aku mempunyai 
ayah tiri. Sayang dia bukan manusia melainkan bina- 
tang. Ketika umurku menginjak enam belas tahun, dia 
membujuk ku untuk mau digaulinya. Aku menolak, 
tapi dia memaksa. Pertarungan antara kami pun ter- 
jadi. Aku memang mempunyai kepandaian silat yang 
lumayan yang aku pelajari dari ibuku." 

Sampai di sini neneknya Arum Sari yang ter- 
nyata bernama Mayang menghentikan ceritanya. Tapi, 
Arum Sari sudah bisa memperkirakan kelanjutan ke- 

I jadian yang menimpa neneknya. Dia pun mengalami 
hal serupa. 

"Ayah tiriku itu ternyata lihai bukan main. 
Apalagi saat itu dia tengah diamuk nafsu birahi. Tan- 
pa mengalami kesulitan dia berhasil merubuhkanku. 
Aku diperkosa ayah tiriku. Rupanya dia telah cukup 
lama memendam hasrat birahi terhadapku. Hanya sa- 
ja dia tidak pernah berhasil melampiaskannya karena 
ada ibuku. Saat itu kebetulan ibuku tengah pergi ke 
desa lain untuk mengobati seorang penduduk. Kesem- 
patan itu dipergunakan ayah tiriku sebaik-baiknya. 
Tanpa mengenal puas ayah tiriku memperkosaku." 

Arum Sari bergidik. Dia sudah mengalami ke- 
jadian seperti yang dikatakan Mayang. Arum Sari bisa 
merasakan betapa ngeri dan takutnya sewaktu mala- 
petaka itu akan terjadi. Dan, betapa hancur hatinya 
ketika semua telah selesai. 

"Di saat ayah tiriku yang tidak mengenal puas 
itu menggeluti ku, ibu pulang! Beliau terperanjat meli- 
hat keadaan kami. Melihat sepasang mataku yang 
bengkak-bengkak karena terlalu banyak menangis, 
ibuku langsung bisa menduga apa yang telah terjadi. 
Dengan kemarahan meluap-luap ibu menyerang sua- 
minya. Terpaksa ayah tiriku melayaninya. Tapi, ayah 
tiriku memang lihai bukan main, ibu akhirnya tewas 
di tangannya." 

"Oh...!" 

Arum Sari menutup wajahnya dengan kedua 
tangan. Sungguh tidak disangka kejadian yang me- 
nimpa Mayang dan ibunya mirip dengan kejadian yang 
diterimanya bersama ayahnya. Ayahnya pun tewas ke- 
tika berusaha membela dia dari perkosaan! 

"Dengan tewasnya Ibu," Mayang melanjutkan. 
"Ayah tiriku mempunyai kesempatan seluas-luasnya 
untuk mengangkangi diriku. Aku seperti istrinya saja. 
Biadab sekali dia! Aku menjadi benci dan dendam. Pe- 
rasaan tak tahan kadang memaksaku ingin melarikan 
diri atau membunuh diri. Tapi, Ayah tiriku itu sangat 
cerdik. Dia selalu menotok dan membelenggu ku apa- 
bila nafsu birahinya telah di-lampiaskan. Makan pun 
aku ditungguinya!" 

Arum Sari tertegun. Sama sekali tidak pernah 
disangka riwayat neneknya demikian mengenaskan. 
Bahkan, jauh lebih menyedihkan dari kejadian yang 
menimpanya. 

"Kegilaan Ayah tiriku tidak berhenti sampai di 
situ. Ketika dia terlibat dalam judi, aku disuruh me- 
layani setiap orang yang diinginkannya. Dia menjadi- 
kan ku sebagai pelacur dengan bayaran tinggi! Jadilah 
tubuhku permainan orang-orang berduit. Aku me- 
mang mempunyai daya tarik kuat yang membuat la- 
wan jenisku terbangkit birahinya meski hanya melihat 
rupaku atau mendengar suaraku. Tak aneh kalau pu- 
tra Ayah tiriku pun tergila-gila dan menggauli ku! Mu- 
la-mula secara diam-diam karena takut ketahuan 
ayahnya. Tapi, lama-kelamaan secara terang-terangan. 
Gilanya, Ayah tiriku membiarkannya saja. Dendam ku 
pun semakin bertumpuk. Selama lima tahun lebih tu- 
buhku menjadi permainan. Selama itu pula aku me- 
nanggung dendam. Aku tidak ingin mati dulu. Aku in- 
gin membalas semua sakit hati yang bertumpuk ini! 
Jalan untuk itu akhirnya terbuka ketika seorang lelaki 
hidung belang tidak hanya datang untuk menikmati 
tubuhku. 

Ia menawarkan jalan untuk membalas den- 
dam. Dia seorang dukun! Dia tahu aku memendam 
dendam karena dia telah menyelidikinya melalui ilmu 
hitamnya!" 

Arum Sari yang sejak tadi mendengarkan den- 
gan perasaan ngeri mulai merasa lega. Mayang telah 
mempunyai jalan untuk membalas dendam. 

"Dia menawarkan kepadaku suatu kesaktian. 
Tentu saja kesaktian yang tidak sewajarnya. Kesaktian 
yang didapat dengan jalan hitam. Dengan syarat yang 
amat berat. Aku berpikir cukup lama sampai akhirnya 
memutuskan kalau lebih baik aku menerimanya. Demi 
membalas dendam dan sakit hati bertahun-tahun, aku 
rela menanggung syarat-syarat yang berat itu." 

"Apa syarat-syarat itu, Nek?" tanya Arum Sari 
ingin tahu. 

"Bersetubuh dengan seekor ular yang sangat 
besar!" jawab Mayang dengan nada pahit 

"Ular?!" Arum Sari membelalakkan sepasang 
matanya. 

"Benar! Seekor ular jantan yang panjangnya 
sekitar lima belas meter dan besarnya lebih dari paha 
manusia dewasa!" 

Arum Sari tercenung dengan hati jijik. Jangan- 
kan bersetubuh, membayangkan saja dia sudah jijik 
bukan main. Dan, Mayang melakukannya. 

"Demikianlah! Setiap seminggu sekali di malam 
Jum'at ular raksasa itu datang dan menggauli ku. 
Ucapan dukun itu ternyata benar. Hanya dalam sebu- 
lan aku telah memiliki kepandaian amat tinggi. Ke- 
pandaian silat dan juga ilmu gaib. Musuh-musuhku 
semua berhasil ku binasakan. Tapi Ayah tiriku dan 
anaknya tidak berhasil kubunuh. Mereka dapat melo- 
loskan diri. Aku tidak tinggal diam. Terus ku-cari me- 
reka hingga usiaku menjelang tiga puluh. Tapi, mere- 
ka tetap tak kutemukan. Justru aku bertemu dengan 
seorang petani gagah yang usianya beberapa tahun di 
atasku. Kami saling jatuh cinta dan akhirnya meni- 
kah! Sejak itu aku melupakan usahaku mencari Ayah 
tiriku. Aku hidup seperti petani. Tenang. Kebahagiaan 
ku bertambah ketika ibumu, Nuri, lahir. Dia tumbuh 
menjadi gadis cantik sehingga menjadi rebutan ba- 
nyak pemuda. Yang beruntung mendapatkannya ada- 
lah seorang pendekar muda yang kemudian berjuluk 
Pendekar Macan Hitam." 

"Ayah...?!" ujar Arum Sari tanpa sadar. 

"Benar." Mayang mengangguk. "Saat itu ibumu 
berumur dua puluh tahun, dan aku telah berusia lima 
puluh. Kebahagiaan ku mulai berkurang ketika ibumu 
pergi mengikuti ayahmu. Sepuluh tahun kemudian 
suamiku, Salaka, meninggal. Aku terpukul sekali. Aku 
tidak betah sendirian. Aku kesepian. Maka, aku pergi 
menjenguk ibumu. Nasibmu memang malang, Arum. 

Ibumu meninggal saat melahirkan mu." 

"Aku ingat itu, Nek. Kau baik sekali." Sepasang 
mata Arum Sari menerawang ke langit, mengenang di- 
rinya sewaktu masih menjadi gadis cilik. 

"Kau amat menyenangkan, Arum. Kau lucu 
dan lincah, membuat kesedihan ku berhasil kulupa- 
kan. Aku merasa terhibur. Sayang, lagi-lagi gangguan 
kembali muncul. Sepuluh tahun kemudian kudengar 
berita mengenai musuh besarku. Tapi, mereka telah 
berbeda jauh. Keduanya telah memiliki kepandaian 
tinggi. Sialnya lagi bagiku, mereka berhasil menemu- 
kan rahasia aku mendapatkan ilmu. Tempat tinggal 
mereka pun dipasangi benda-benda penangkal ular. 

Aku tidak bisa masuk ke tempat mereka. Apalagi 
membunuhnya. Terlebih setelah mereka mengenakan 
benda-benda anti ular. Aku tidak berdaya. Ketika aku 
bersikeras untuk membunuhnya karena tak kuat me- 
nanggung dendam, aku tewas di tangan mereka." 

"Biar aku yang akan membalaskan dendammu, 
Nek!" tandas Arum Sari geram. 

"Bukan kau, Arum Sari." Mayang menggeleng- 
kan kepala. "Tapi kita. Kita berdua yang akan mem- 
basmi mereka. Bersiaplah menerima kedatanganku di 
dalam dirimu, Arum!" 

"Apa maksudmu, Nek?" Arum Sari tidak men- 
gerti dengan perkataan neneknya. 

"Itulah yang membuat ayahmu memutuskan 
untuk memenjarakan ku, Arum. Ayahmu tahu raha- 
siaku. Maka, ditancapkannya bambu kuning di atas 
peti mati ku agar aku tidak bisa menitis ke dalam di- 
rimu. Ayahmu tahu kalau empat puluh satu hari se- 

I lama kematianku, aku bisa menitis ke dalam dirimu. 
Lewat dari empat puluh satu hari aku tidak bisa ber- 
buat apa-apa. Semula aku sudah putus asa. Tapi, sia- 
pa sangka malapetaka menimpa kau dan ayahmu. Ke- 
betulan kau datang kemari dan mengadu padaku. 
Panggilanmu sampai ke alam tempat rohku. Panggi- 
lanmu membuat aku memiliki sedikit kekuatan se- 
hingga mampu timbul di dalam mimpimu. Inilah ha- 
silnya, Arum." 

Arum Sari mengangguk-anggukkan kepala. 
"Sekarang, bersiaplah menerima kedatanganku 
ke dalam dirimu, Arum!" 

Belum lenyap gema ucapan Mayang tubuhnya 
telah lenyap dari pandangan. Dan, tiba-tiba tubuh 
Arum Sari mengejang seperti orang terkena demam 
tinggi. 

Kejadian itu hanya berlangsung sesaat Arum 
kembali seperti biasa. Hanya, ada sesuatu yang me- 
nyeramkan memancar dari sorot mata dan biasan wa- 
jahnya. 

"Hi hi hi...!" 

Arum Sari yang raganya telah dimasuki roh 
Mayang tertawa terkekeh. Suara tawa itu lebih pantas 
keluar dari mulut kuntilanak! 

kkk 

Tok, tok, tokkk! 

"Ketua...! Ketua...!" 

Ketukan keras pada pintu yang diiringi panggi- 
lan tergesa-gesa membuat sesosok tubuh kekar berku- 
lit hitam kecoklatan dan terbungkus pakaian putih 
bergaris-garis hitam menoleh ke arah pintu yang tertu- 
tup. Sorot mata lelaki berkumis tebal ini tampak me- 
nyiratkan perasaan tidak senang. 

Meski kepalanya ditolehkan, lelaki berkumis 
tebal tidak menghentikan kegiatannya. Kedua tangan- 
nya tetap dijulurkan ke depan dengan telapak tangan 
menghadap ke atas. Ketika tangan itu digerakkan ke 
atas, sebuah meja besar dan bulat terbuat dari kayu 
jati hitam berukir ikut terangkat setinggi satu tombak! 
Lelaki berkumis tebal berada di sebuah ruangan luas. 

"Ketua...! Ketua...!" 

Seruan itu kembali terdengar. Ketukan pada 
daun pintu semakin gencar. Lelaki berkumis tebal 
menggertakkan gigi, geram. Kedua tangannya yang di- 
julurkan ditarik. Meja bundar itu pun jatuh ke lantai 
menimbulkan bunyi hiruk-pikuk. 

"Hih!" 

Dengan wajah merah padam membayangkan 
amarah, lelaki berkumis tebal berusia empat puluh li- 
ma tahun itu mendorongkan kedua tangannya ke de- 
pan. Seketika serangkum angin deras berhembus! 

Blakkk! 

Daun pintu langsung jebol. Lepas dari am- 
bangnya dan melayang keluar menerpa orang yang be- 
rada tepat di depannya. Karuan saja orang yang tidak 
menyangka kejadian tersebut kaget. Ia hanya bisa 
mengeluarkan seruan kaget ketika tubuhnya melayang 
deras ke belakang dan jatuh di tanah tertimpa daun 
pintu. 

Orang yang malang itu berusaha bangkit sete- 
lah terlebih dulu hendak menyingkirkan daun pintu 
yang menindih tubuhnya. Tapi sebelum maksudnya 
terlaksana, di atas daun pintu itu telah berdiri lelaki 
berkumis tebal. Tidak terlihat lelaki berkumis tebal itu 
bergerak, tahu-tahu ia telah berada di atas daun pintu. 

"Monyet kecil! Sungguh berani kau menggang- 
gu ketenanganku, heh?! Rupanya kau sudah kepingin 
mampus!" 

Lelaki bertubuh kecil kurus itu terengah-engah 
menahan himpitan keras yang menyesakkan dadanya. 
Wajahnya pucat pasi. Adanya ancaman maut dalam 
ucapan lelaki berkumis tebal yang menjadi ketuanya. 

"Tidak demikian maksudku, Ketua. Di luar sa- 
na ada orang yang datang mencari Ketua. Dia lihai se- 
kali! Kawan-kawan banyak yang tewas di tangannya!" 

"Hmh!" 

Lelaki berkumis tebal mendengus. Sekali men- 
jejakkan kaki tubuhnya telah melesat ke depan. Pada 
saat yang bersamaan, nyawa lelaki kecil kurus itu me- 
layang ke alam baka. Tewas dengan dada remuk keti- 
ka kaki lelaki berkumis tebal bergerak menekan. 

Dalam beberapa kali lesatan, tubuh lelaki ber- 
kumis tebal telah berada cukup jauh. Bangunan di 
mana lelaki berkumis tebal berada, dikelilingi pagar 
kayu bulat dan terletak agak jauh terpisah dari ban- 
gunan-bangunan lainnya yang berada di depan. 

Sekarang lelaki berkumis tebal telah berada di 
halaman luar di mana terdapat pintu gerbang yang 
terbuka lebar. 

Lelaki berkumis tebal menggeram ketika meli- 
hat beberapa sosok tubuh bergeletakan di tanah. Se- 
mentara beberapa muridnya tengah bertarung dengan 
sesosok bayangan putih. Orang-orang berpakaian pu- 
tih bergaris-garis hitam itu bagaikan semut-semut 

I yang menerjang api. Mereka tewas sebelum berhasil 
mendekat. 

"Mundur semua...!" 

Lelaki berkumis tebal berseru keras mengge- 
rakkan tenaga dalamnya. Suaranya terdengar bagai- 
kan guntur. Ada kekuatan gaib yang membuat semua 
orang yang tengah bertarung melompat ke belakang 
dan menghentikan pertarungan. 

Sosok bayangan putih yang ternyata seorang 
lelaki setengah baya, berwajah gagah dengan kumis 
dan jenggot terawat rapi, mengalihkan perhatian ke 
arah lelaki berkumis tebal yang tengah melangkah ga- 
gah mendekatinya. 

"Kukira siapa, rupanya hanya seorang tikus 
kecil dari tokoh-tokoh sombong yang berjulukan be- 
sar! Kau datang hendak mengantar nyawa, Pendekar 
Macan Putih?!" ejek lelaki berkumis tebal menghenti- 
kan langkahnya tiga tombak di depan lelaki berpa- 
kaian putih. Pada bagian dada kirinya tersulam gam- 
bar kepala seekor macan dengan benang emas. 

Lelaki berpakaian putih yang berjuluk Pende- 
kar Macan Putih tersenyum pahit Dia tidak terlihat 
marah atau tersinggung mendengar ejekan keras itu. 

"Kau masih sombong dan besar mulut seperti 
dulu, Serigala Belang. Sayang, waktu itu kami bertin- 
dak kepalang tanggung sehingga kau dapat lolos. Tapi 
sekarang, jangan harap kau akan bernasib baik seper- 
ti dulu!" 

"Kaulah yang akan mampus menyusul kawan- 
mu, Pendekar Macan Putih yang malang!" tandas lela- 
ki berkumis tebal yang ternyata berjuluk Serigala Be- 
lang. 

"Mana mungkin seekor serigala mampu mem- 
binasakan seekor macan, betapapun saktinya serigala 
itu? Andaikata serigala berhasil menewaskan macan, 
tentu tidak dengan cara yang jujur!" Pendekar Macan 
Putih menyindir. Serigala Belang yang mengerti hinaan 
halus lawannya menjadi kalap. 

"Haattt...!" 

Diawali teriakan nyaring, Serigala Belang men- 
dorongkan kedua telapak tangannya. Gerakannya per- 
lahan saja, seperti tengah mendorong sebuah benda 
yang teramat berat 

Tetapi, Pendekar Macan Putih merasakan satu 
kekuatan meluncur ke arahnya. Ia pun tidak tinggal di- 
am. Segera dilakukannya tindakan serupa. 

Dengan diawali teriakan melengking nyaring 
yang membuat belasan anak buahnya menutup telin- 
ga, Serigala Belang melompat melakukan dorongan 
kedua tangan. Gerakannya perlahan seperti tengah 
mendorong sebuah benda besar yang amat berat. 

"Hih!" 

Pendekar Macan Putih merasakan kekuatan 
tak nampak meluncur ke arahnya. Semakin lama se- 
makin keras. Ia pun tidak tinggal diam. Segera dilaku- 
kannya tindakan serupa. Pendekar Macan Putih tidak 
ingin dianggap takut oleh Serigala Belang. Di samping 
itu ia juga ingin menguji kemajuan pimpinan Gerom- 
bolan Serigala Belang ini! Sepuluh tahun yang lalu ke- 
pandaian mereka berimbang. 

Blarrr! 

Dua pukulan jarak jauh yang mengandung te- 
naga dalam amat tinggi berbenturan di tengah jalan. 
Terdengar bunyi menggelegar yang menggetarkan seki- 
tar tempat itu. Tubuh Pendekar Macan Putih terjeng- 
kang ke belakang dan terhuyung-huyung hampir ja- 
tuh! 

"Ha ha ha...!" 

Serigala Belang tertawa bergelak. Sementara 
wajah Pendekar Macan Putih berubah hebat melihat 
hasil benturan itu. Dia sama sekali tidak menyangka. 
Kekuatan tenaga dalam Serigala Belang benar-benar 
mengejutkan. 

"Bagaimana, Pendekar Macan Putih? Masihkah 
kau ragu kalau serigala mampu mengalahkan seekor 
harimau?!" 

Pertanyaan yang mengandung ejekan itu mem- 
buat wajah Pendekar Macan Putih semakin merah pa- 
dam. Meski demikian, lelaki berpakaian putih ini ma- 
sih tidak percaya kalau tenaga dalam lawan benar- 
benar telah sehebat ini! 

"Jangan berbesar hati dulu, Serigala Belang!" 

Pendekar Macan Putih menutup ucapannya 
dengan lemparan tiga batang logam berbentuk segiti- 
ga. Senjata rahasia yang menjadi andalan Pendekar 
Macan Putih meluncur ke arah Serigala Belang dengan 
diiringi bunyi berdesing nyaring, pertanda kuatnya te- 
naga dalam yang terkandung dalam serangan itu. 

"Hmh!" 

Serigala Belang mendengus penuh ejekan. 
Dengan sikap sembarangan, kedua tangannya dijulur- 
kan ke depan. Dan, akibat yang terjadi membuat se- 
pasang mata Pendekar Macan Putih membelalak lebar. 
Senjata rahasia itu membalik sebelum bertemu den- 
gan kedua tangan yang dijulurkan. Seakan ada kekua- 
tan tak tampak yang menahan luncuran bintang- 
bintang segitiga dan membuatnya meluncur kembali 
ke pemiliknya. Pendekar Macan Putih kini percaya Se- 
rigala Belang memiliki kekuatan tenaga dalam yang 
tinggi. 

Kendati demikian, Pendekar Macan Putih tidak 
menjadi gugup. Sebagai seorang ahli melempar senjata 
rahasia dia tentu saja mampu menangkalnya. Ketika 
bintang-bintang segitiga itu kembali ke arahnya, Pen- 
dekar Macan Putih mengeluarkan tiga bintang segitiga 
lainnya dan bergegas melemparkannya. 

Bunyi berdentang pelan terdengar ketika enam 
senjata rahasia berbenturan di udara. Semuanya run- 
tuh ke tanah. Tapi, terlihat jelas akibat benturan itu 
bintang-bintang segitiga yang dilepaskan Pendekar 
Macan Putih terpental mundur. Ini menjadi pertanda 
kalau bintang-bintang segitiga yang meluncur balik di- 
topang oleh tenaga dalam tinggi! Padahal, Pendekar 
Macan Putih hanya menjulurkan kedua tangannya, 
bukan menangkis! 

Pendekar Macan Putih tidak menjadi gentar 
melihat kenyataan itu. Dia mencabut pedang berga- 
gang kepala macan yang menjadi senjata andalannya. 
Dengan pedang telanjang di tangan, lelaki berpakaian 
putih ini menyerbu Serigala Belang. 

Serigala Belang yang tahu kedahsyatan per- 
mainan pedang Pendekar Macan Putih tidak berani 
bertindak sembarangan. Dia pun mencabut senjata 
andalannya. Sebatang golok yang bercabang. Dengan 
senjata ini telah beberapa kali Serigala Belang berhasil 
merampas senjata lawan dengan mengkaitnya. 

Dalam sekejap dua lelaki itu telah terlibat per- 
tarungan seru. Bunyi dentang senjata beradu yang di- 
iringi percikan-percikan bunga api ke udara menyema- 
raki jalannya pertarungan. 

"Hih!" 

Setelah hampir sepuluh jurus dan terjadi bebe- 
rapa kali benturan, dengan akibat tubuh Pendekar 
Macan Putih terhuyung mundur, Serigala Belang ber- 
hasil menjepit pedang Pendekar Macan Putih di ten- 
gah-tengah cabang senjatanya. 

Pendekar Macan Putih kaget. Tapi sebelum ia 
sempat berbuat sesuatu, Serigala Belang telah memu- 
tar goloknya sedemikian rupa sehingga pedang Pende- 
kar Macan Putih ikut terputar. Dan, ketika Serigala 
Belang melakukan gerakan menyentak, senjata Pen- 
dekar Macan Putih terlepas dari pegangan. Pedang itu 
terlempar cukup jauh. 

Di saat tubuh Pendekar Macan Putih ter- 
huyung akibat sentakan, Serigala Belang memasuk- 

I kan kembali goloknya ke dalam sarungnya di ping- 
gang, kemudian melompat ke atas. Dari atas tubuhnya 
menukik turun dengan kedua telapak tangan terbuka 
menghantam pundak Pendekar Macan Putih. 

Pendekar Macan Putih tidak mempunyai pili- 
han lain kecuali memapaki serangan itu dengan kedua 
telapak terbuka ke atas. 

Plakkk! 

Dua pasang telapak tangan berbenturan dan 
saling melekat. Tubuh Serigala Belang berada di atas 
Pendekar Macan Putih. Tubuh lelaki berkumis tebal 
itu lurus ke atas dengan kedua tangan berada di ba- 
wah, menempel dengan tangan Pendekar Macan Putih 
yang terjulur ke atas. 

Terjadilah pertarungan yang mendebarkan. 
Pertarungan adu tenaga dalam. Mula-mula tidak terli- 
hat hasilnya. Tapi sesaat kemudian, tampak kedua 
tangan dan kaki Pendekar Macan Putih menggigil ke- 
ras. Dari kepalanya mengepul uap putih. Tampaknya, 
lelaki berpakaian putih ini telah mengerahkan seluruh 
kekuatan tenaga dalamnya. 

Meski tenaga dalamnya kalah jauh, Pendekar 
Macan Putih tetap bersikeras bertahan. Dan kekera- 
san hatinya membuatnya cukup lama bertahan. 
Sayang landasan tempat kaki Pendekar Macan Putih 
bertumpu tidak kuat menanggung kekuatan tenaga 
dalam yang dahsyat itu. Dengan cepat tanah tempat- 
nya berpijak amblas! Kedua kaki Pendekar Macan Pu- 
tih tenggelam sampai ke betis. 

"Hukh...!" 

Pendekar Macan Putih akhirnya harus menye- 
rah ketika darah segar memancur deras dari mulut- 
nya. Pendekar ini telah terluka dalam yang amat pa- 
rah. Kedua tangannya langsung terkulai. Patah! Dan 
tangan-tangan Serigala Belang dengan keras meng- 
hantam kedua bahunya. Pendekar Macan Putih tewas 
dengan kedua kaki masih terbenam di dalam tanah! 

"Ha ha ha...!" 

Begitu berhasil menjejak tanah dengan mantap 
setelah berjungkir balik beberapa kali di udara, Seriga- 
la Belang tertawa bergelak. Tawa kemenangan. Kemu- 
dian, tanpa mempedulikan mayat lawannya, lelaki 
berkumis tebal ini melangkah pergi meninggalkan 
tempat itu. Serigala Belang menuju bangunan tempat 
tadi dia berada. 


"Hiya...! Hiya...!" 

Seruan-seruan keras yang dibarengi pecutan 
bertubi-tubi memaksa seekor kuda coklat berlari sece- 
pat mungkin. Keempat kaki binatang itu bagai tidak 
menyentuh tanah. Debu mengepul tinggi di udara. 

"Uh...!" 

Seorang pemuda berambut putih keperakan 
dan berpakaian ungu mengeluarkan seruan kaget ke- 
tika melihat kuda coklat itu berlari cepat ke arahnya. 
Padahal, saat itu dia tengah berada di sebuah jalan 
tanah yang lebarnya tak lebih dari dua tombak. Di ka- 
nan kiri jalan itu ditumbuhi semak-semak dan pepo- 
honan kecil. 

Pemuda berambut putih keperakan tidak ingin 
wajah dan pakaiannya dikotori debu yang mengepul 
tinggi karena lari kuda yang seperti kesetanan. Dia 
bergegas melompat ke samping dan menggunakan 
ujung-ujung atas semak-semak untuk berlompatan 
menjauh. 

"Luar biasa...!" 

Teriakan penuh kagum itu keluar dari mulut 
penunggang kuda coklat. Seorang pemuda berpakaian 
kuning tua dengan warna ikat kepala yang sama. Wa- 
jahnya tampan. Apalagi dengan adanya sebaris kumis 
tipis di bawah hidungnya. Pemuda berpakaian kuning 
tua sempat melihat tindakan pemuda berambut putih 
keperakan. Dan, pemuda berpakaian kuning tahu ge- 
rakan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh seorang 
tokoh persilatan tingkat tinggi. 

I Tapi, hanya sampai di situ saja tanggapan pe- 
muda berpakaian kuning tua. Lari kudanya sedikit 
pun tidak diperlambat. Dalam sekejapan saja ia telah 
jauh meninggalkan tempat itu. 

Setelah debu yang mengepul sirna, baru pe- 
muda berpakaian ungu melompat meninggalkan pu- 
cuk semak-semak yang dihinggapinya. Semak-semak 
itu bergoyang ketika tubuh pemuda berambut putih 
keperakan menjejakkannya. Sebelum bersalto bebera- 
pa kali di udara dan mendarat di tanah. 

Pemuda berpakaian ungu menatap ke arah pe- 
nunggang kuda coklat yang terus menggebah ku- 
danya. Sepasang alisnya berkerut heran melihat ting- 
kah pemuda berpakaian kuning tua yang seperti dike- 
jar-kejar sesuatu. 

Pemuda berpakaian ungu itu pun berdiri me- 
natap ke arah yang tadi ditinggalkan pemuda berpa- 
kaian kuning tua. Dia menduga akan melihat satu 
atau sekelompok orang yang melakukan pengejaran. 

Sementara, jauh di depan pemuda berbaju 
kuning tua memperlambat lari kudanya ketika melihat 
sebuah pondok kecil di kejauhan. Ketika telah berada 
tepat di depannya, pemuda itu menarik tali kekang 
kuda. Belum juga berhenti dia telah melompat turun. 

Ketika pemuda berpakaian kuning tua hendak 
mengetuk pintu, daun pintu telah lebih dulu dikua- 
kkan dari dalam. Tersembullah seraut wajah wanita 

I berusia sekitar empat puluh lima tahun. Meski demi- 
kian, masih terlihat sisa kecantikannya di waktu mu- 
da. 

"Gunaran...!" 

"Ibu...!" 

Wanita setengah baya dan pemuda berpakaian 
kuning tua saling berpelukan erat 

"Apa yang terjadi, Ibu?" tanya pemuda berpa- 
kaian kuning setelah melepaskan pelukannya. "Ku- 
dengar dari guru, Ibu mengirim seorang kurir untuk 
menyuruhku pulang karena ada urusan yang sangat 
penting." 

"Itu memang tidak salah, Gunaran!" Ibunya 
Gunaran yang mengenakan pakaian biru menyahut 
seraya mengangguk. "Berita yang amat penting dan 
menyangkut nasib ayahmu.. Karena itu, aku buru- 
buru mengirim kabar padamu." 

"Ayah?!" Gunaran rupanya baru teringat akan 
ayahnya. "Mana Ayah, Ibu? Mengapa dia tidak datang 
menemuiku?" 

"Itulah, Gunaran." Wanita berpakaian biru itu 
menghela napas berat. "Dua hari yang lalu ayahmu 
pergi untuk menjumpai rekannya di masa muda. Kau 
tahu kan siapa rekan ayahmu itu?" 

"Ya." Gunaran mengangguk. "Bukankah orang 
itu berjuluk Pendekar Macan Hitam?" 

Wanita berpakaian biru mengiyakan. 

"Seminggu yang lalu seorang lelaki datang ke- 
mari menyampaikan berita mengenai Pendekar Macan 
Hitam. Lelaki itu terhitung murid Pendekar Macan Hi- 
tam, kendati pada kenyataan sebenarnya Pendekar 
Macan Hitam tidak pernah mempunyai murid kecuali 
putri tunggalnya. Arum Sari. Nah, lelaki itu menga- 
barkan kalau Pendekar Macan Hitam dan putrinya 
mengalami malapetaka karena perbuatan sekelompok 
orang yang dipimpin Serigala Belang. 

"Ah! Musuh besar Ayah yang waktu itu lolos 
dari maut?!" Gunaran yang mendengar cerita itu dari 
ayahnya, berseru kaget. 

"Benar. Maka, ayahmu segera pergi ke sana. Ia 
ingin mengecek sendiri kebenaran berita itu, juga hen- 
dak membinasakan Serigala Belang dan komplotannya 
apabila benar mereka berada di sana." 

"Kalau benar demikian, Ibu tidak perlu khawa- 
tir. Aku yakin Ayah akan berhasil mengirim nyawa Se- 
rigala Belang dan komplotannya ke akherat. Aku ya- 
kin!" tandas Gunaran mantap. 

"Tidak baik kau bersikap seperti itu, Gunaran!" 
cela wanita berpakaian biru. "Sikap memandang re- 
meh hanya akan memperlemah kewaspadaan kita. Itu 
bukan tidak mungkin akan berakibat buruk. Ingat, 
kemenangan ayahmu dan kawannya itu terjadi pulu- 
han tahun yang lalu. Banyak hal mengejutkan bisa 
terjadi dalam waktu sepuluh tahun! Siapa tahu Seriga- 
la Belang mendapat kemajuan pesat dalam kepan- 
daiannya. Misalnya saja berhasil menciptakan ilmu- 
ilmu tinggi. Kau perlu ingat, Gunaran. Pendekar Ma- 
can Hitam berhasil ditewaskannya. Ini menjadi per- 
tanda kalau Serigala Belang mempunyai andalan. In- 
gat Gunaran. Jangan suka memandang rendah lawan. 
Betapapun kau telah mengetahui tingkat kepandaian- 
nya!" 

"Ya, Ibu?!" Gunaran mengangguk dengan sikap 
kagum. Dia tahu ibunya hanya memiliki kepandaian 
silat sekadarnya. Tapi, ia mampu memberikan pan- 
dangan yang demikian luar biasa. 

"Sekarang pergilah dan susul ayahmu. Aku 
khawatir terjadi apa-apa terhadapnya. Aku mempu- 
nyai firasat buruk!" 

"Tapi, bagaimana dengan, Ibu?" Gunaran ragu. 

"Jangan pikirkan aku. Aku tidak apa-apa. Per- 
gilah, Gunaran!" 

Gunaran tidak membantah. Setelah berpami- 
tan, ia segera melangkah keluar. Sesaat kemudian, 
kuda coklat itu kembali melesat cepat membawa Gu- 
naran di punggungnya. 

Wanita berpakaian biru yang adalah istri Pen- 
dekar Macan Putih tidak segera masuk ke dalam ru- 
mah. Dia menatap Gunaran hingga tubuh putranya 
bersama kudanya lenyap di ujung jalan, menimbulkan 
kepulan debu tebal. 

Lama istri Pendekar Macan Putih termenung di 
depan rumah. Sebenarnya, hati wanita ini merasa be- 
rat melepaskan putra tunggalnya setelah hampir sepu- 
luh tahun belajar di tempat kakek gurunya. Yaitu guru 
Pendekar Macan Putih dan Pendekar Macan Hitam. 

Tapi, apa daya? Tenaga Gunaran dibutuhkan untuk 
membantu Pendekar Macan Putih. Istri Pendekar Ma- 
can Putih baru saja hendak masuk kembali ke dalam 
rumah, tapi terpaksa diurungkan ketika melihat kepu- 
lan debu dikejauhan. 

"Mungkinkah Gunaran balik kembali?" tanya 
wanita berpakaian biru dalam hati. Istri Pendekar Ma- 
can Putih pun berdiri menunggu. 

Tapi, setelah beberapa saat kemudian penye- 
bab kepulan debu tinggi itu mulai terlihat, istri Pende- 
kar Macan Putih bergegas masuk ke dalam. Itu bukan 
Gunaran. Kuda yang ditungganginya pun bukan cok- 
lat melainkan hitam legam. Maka, buru-buru wanita 
berpakaian biru membalikkan tubuh dan melangkah 
cepat ke dalam rumah. Ia khawatir akan terjadi sesua- 
tu yang tidak diinginkan. 

Wanita berpakaian biru yang merasa lega keti- 
ka berhasil menyentuh daun pintu dan siap mendo- 
rongnya jadi terkejut setengah mati. Ada satu kekua- 
tan yang memaksanya tertarik ke belakang. Betapa- 
pun istri Pendekar Macan Putih berusaha berlari, ia 
tetap tidak mampu berpindah tempat. Lari yang dila- 
kukannya hanya di tempat saja. 

Istri Pendekar Macan Putih menoleh. Dilihat- 
nya penunggang kuda yang rupanya telah turun dari 
kudanya berdiri lima tombak darinya. Ia tengah men- 
julurkan kedua tangan ke arahnya. Tidak terlihat 
mengerahkan tenaga, tapi wanita berpakaian biru ini 
tahu kedua tangan itulah yang menyebabkan dia tidak 
mampu berpindah tempat. 

Istri Pendekar Macan Putih tidak putus asa. Ia 
terus berusaha, sekuat tenaga untuk bebas. Tapi, 
usahanya sia-sia belaka. Ketika sosok yang baru da- 
tang itu melakukan gerak menarik dengan kedua tan- 
gannya, tubuh wanita berpakaian biru dengan deras 
tertarik ke belakang. Istri Pendekar Macan Putih men- 
jerit kaget. 

Brukkk! 

Tubuh istri Pendekar Macan Putih ambruk di 
tanah. Tepat di depan sosok yang baru datang. Wanita 
itu merasakan sekujur tubuhnya sakit-sakit karena 
terbanting keras. Dengan menguatkan diri dia memba- 
likkan tubuh dan berdiri menatap sosok di hadapan- 
nya. 

"Siapa kau? Mengapa mempertunjukkan sulap 
untuk anak-anak terhadapku?!" bentak wanita berpa- 
kaian biru dengan berani. 

Sosok yang semula dikira Gunaran oleh wanita 
berpakaian biru tampak tersenyum lebar. Wajahnya 
yang hitam legam seperti juga kulit tubuhnya menam- 
pakkan deretan gigi yang kuning dan besar-besar. 
Kumis, jenggot, dan cambang bauk kasar menghias 
wajahnya yang penuh ditumbuhi jerawat. 

"Kau ingin tahu siapa aku? Aku kawan dari 
musuh suamimu! Serigala Belang adalah kawanku. 
Sekarang kurasa kau tahu mengapa aku mempertun- 
jukkan sulap anak-anak terhadapmu!" Lelaki berkulit 
hitam legam membuka suaranya yang keras dan 
mengguntur. "Namaku Malisang!" 

Wajah wanita berpakaian biru kelihatan beru- 
bah. Ia menyadari adanya bahaya mengancam dari so- 
sok yang berdiri di hadapannya. Meski demikian, istri 
Pendekar Macan Putih tidak menjadi gentar. 

"Kalau begitu apa maksudmu datang kemari, 
Malisang? Kalau untuk menemui suamiku perlu kube- 
ritahu kalau dia tengah menuju tempat Serigala Be- 
lang berada. Kawanmu itu akan dibinasakan oleh su- 
amiku. Bahkan mungkin sekarang dia telah binasa!" 
tandas istri Pendekar Macan Putih berapi-api. 

"Ah! Begitu kiranya?" Malisang tersenyum le- 
bar. "Berarti sekarang suamimu telah pergi ke alam 
baka. Kau pun akan mengalami nasib yang sama. 
Bahkan, mungkin lebih menyedihkan apabila tidak 
mau menjawab pertanyaanku!" 

"Chuih!" 

Istri Pendekar Macan Putih meludah dengan 
sikap memandang rendah. 

"Jangan kau kira aku takut dengan ancaman- 
mu! Aku bukan seorang pengecut!" 

"Lebih baik kau jawab saja pertanyaanku sebe- 
lum kau menderita. Aku bukan seorang pengecut yang 
hanya berani dengan wanita lemah seperti kau!" tegas 
Malisang dengan senyuman yang telah lenyap dari bi- 
birnya. "Katakan di mana Harimau Terbang Berkuku 
Seribu!" 

"Tidak! Sekali kukatakan tidak, sampai mati 
pun tetap tidak!" jawab istri Pendekar Macan Putih se- 
tengah menjerit. Tokoh yang ditanyakan Malisang ada- 
lah guru suaminya! Juga guru dari Pendekar Macan 
Hitam dan Gunaran. 

"Rupanya kau termasuk seorang wanita yang 
ingin dikasari dulu sebelum tunduk! Baik kalau itu 
yang kau inginkan!" ancam Malisang dengan wajah 
bengis. 

Malisang lalu mengambil dua buah batu sebe- 
sar kepalan tangan dan mengamang-amangkannya di 
depan istri Pendekar Macan Putih. Wanita berpakaian 
biru yang berhati tabah itu tampak bersikap tidak pe- 
duli, kendati jantungnya berdetak lebih cepat. Ia ber- 
tanya-tanya apa yang hendak dilakukan Malisang? 

Malisang yang sengaja bertindak lambat untuk 
melihat tanggapan istri Pendekar Macan Putih jadi ge- 
ram bukan main melihat sikap tidak acuh wanita ber- 
pakaian biru. Dia merasa ditantang. Kemarahan lelaki 
berkulit hitam legam ini pun meledak. Siksaan yang 
diancamkan terhadap calon korbannya langsung di- 
mulai! Batu-batu itu dibenturkan satu sama lain. 

Tak, tak, tak! 

Bunyi berdetak pun terdengar ketika batu-batu 
itu saling berbenturan. Kelihatannya tidak ada hal 
yang aneh. Tapi, tidak demikian yang dialami istri 
Pendekar Macan Putih. Ketika batu itu pertama kali 
berbenturan seperti ada yang menumbuk dadanya. 
Bahkan, sepasang telinganya berdenging hebat! Sakit 
bukan main. 

Istri Pendekar Macan Putih segera mendekap 
telinganya dengan kedua tangan untuk mencegah ma- 
suknya bunyi menyakitkan itu. Tapi usaha wanita itu 
sia-sia. Betapapun kuat telinganya didekap bunyi yang 
tidak mengenakkan itu tetap saja merasuk dan me- 
nyerangnya. 

Semakin lama pengaruh benturan baru itu se- 
makin menghebat. Sekarang istri Pendekar Macan Pu- 
tih tidak hanya menutup kedua telinganya. Tapi, ber- 
gulingan di tanah karena tidak kuat menahan siksaan 
yang melanda. Wanita berpakaian biru itu merasakan 
telinganya seperti ditusuk-tusuk jarum panas yang 
amat tajam. Demikian pula dengan bagian dalam da- 
danya. 

"Bagaimana? Apakah kau masih mencoba un- 
tuk bertahan?!" Di tengah gemuruh benturan dua batu 
dan jerit menyayat istri Pendekar Macan Putih, Mali- 
sang menawarkan keringanan hukuman. 

Tapi, istri Pendekar Macan Putih benar-benar 
seorang wanita yang tahan uji. Meski tidak mampu 
menjawab karena rasa sakit yang melanda, dia mem- 
beri isyarat tidak mau dengan gelengan kepalanya. 

"Keparat!" 

Malisang yang sudah merendahkan diri menga- 
jukan tawaran jadi semakin kalap. Dia memutuskan 
untuk memberi siksaan yang lebih menyakitkan. Ben- 
turan batu-batuan semakin dipergencar. 

"Terimalah kematianmu, Wanita Keras Kepala! 
Kau akan mati dengan mata, telinga, dan hidung yang 
mengeluarkan darah karena urat-urat syaraf mu pe- 
cah tak kuat menahan siksaan ini!" 

Malisang memang tidak main-main dengan an- 
camannya. Begitu benturan batu-batunya dipergencar, 
istri Pendekar Macan Putih mendadak meraung memi- 
lukan. Ia menggelepar-gelepar di tanah seperti cacing 
dilempar ke abu panas! 

"Ha ha ha...!" 

Malisang tertawa bergelak melihat istri Pende- 
kar Macan Putih tersiksa seperti itu. Kedongkolannya 
yang menggebu-gebu tersalurkan melihat korbannya 
yang keras kepala demikian menderita. 

"Manusia Keji! Manusia Berhati Binatang...!" 

Tawa Malisang terhenti di tengah jalan karena 
seruan keras yang mampu menindih gelak tawanya. 
Teriakan keras itu jelas-jelas memakinya. 

Di saat Malisang hendak mencari asal suara 
itu, angin tiba-tiba berhembus cukup keras. Tahu- 
tahu di depan Malisang dan istri Pendekar Macan Pu- 
tih telah berdiri seorang gadis berpakaian merah me- 
nyala. Seorang gadis yang amat cantik. Berkulit putih, 
halus, dan mulus. Beberapa tahi lalat menghias wa- 
jahnya, menambah kecantikannya. 

Tanpa menunggu lebih lama, gadis berpakaian 
merah mengambil sebatang kipas yang terselip di 
pinggang. Kemudian, ia mengirimkan totokan bertubi- 
tubi ke berbagai bagian tubuh Malisang! 

Malisang melompat jauh ke belakang dan me- 
lemparkan batu-batu di tangannya pada gadis berpa- 
kaian merah! Kedatangan gadis itu membuat Malisang 
menghentikan serangannya terhadap istri Pendekar 
Macan Putih. 


Gadis berpakaian merah mengembangkan ki- 
pasnya dan mengebutkan hingga batu-batu itu terpu- 
kul runtuh. Tapi, saking kerasnya tenaga Malisang, 
tubuh gadis berpakaian merah terhuyung dan tan- 
gannya bergetar hebat. 

Kesempatan emas itu tak dibiarkan begitu saja 
oleh Malisang. Malisang segera meloloskan sabuknya. 
Kemudian, dilemparkan ke arah gadis berpakaian me- 
rah. Bagaikan memiliki nyawa, sabuk hitam pekat mi- 
lik Malisang meluncur dan melibat erat gadis itu sebe- 
lum sempat berbuat sesuatu. Bahkan, sabuk itu 
membuat simpulan yang erat dari pangkal lengan 
sampai ke bawah pinggang. Kejadian itu terjadi demi- 
kian cepat. 

Gadis berpakaian merah berusaha melepaskan 
diri dengan mengerahkan tenaga dalam. Tapi, sabuk 
itu bukan sabuk sembarangan. Walaupun gadis itu te- 
lah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya sabuk la- 
wan tetap tidak mampu diputuskan. Sabuk itu lentur 
seperti karet! 

Malisang tidak berani menanggung akibat bila 
gadis berpakaian merah sampai lepas. Di saat gadis 
itu tengah berjuang untuk membebaskan diri dari beli- 
tan sabuk. Lelaki berkulit hitam menudingkan jari te- 
lunjuk kanannya. 

Tidak terlihat Malisang bergerak mendekat un- 
tuk melakukan totokan, tapi gadis berpakaian merah 
mengeluarkan keluhan tertahan ketika tudingan jari 
telunjuk Malisang mengenai salah satu jalan darah- 
nya. Tubuh gadis berpakaian merah pun ambruk ke 
tanah seperti karung basah. 

Gadis berpakaian merah tampak kaget bukan 
main. Malisang ternyata memiliki ilmu totokan jarak 
jauh. Dengan mempergunakan angin serangannya sa- 
ja, lelaki berkulit hitam ini mampu merobohkan lawan! 

"He he he...!" 

Malisang terkekeh melihat gadis berpakaian 
merah sudah tidak berdaya. Masih dengan kekeh yang 
tidak lenyap dari mulutnya, Malisang melakukan ge- 
rakan menarik dengan kedua tangan kepada istri Pen- 
dekar Macan Putih. 

Wanita berpakaian biru yang memperhatikan 
jalannya pertarungan terkejut bukan main merasakan 
adanya tarikan yang luar biasa dari kedua tangan Ma- 
lisang. Istri Pendekar Macan Putih ini tahu gadis ber- 
pakaian merah tidak bisa diandalkan lagi untuk me- 
nyelamatkan nyawanya. Sayang, Malisang telah lang- 
sung bertindak sebelum istri Pendekar Macan Putih 
mengambil tindakan penyelamatan. 

I Dari pandangan mata Malisang, wanita itu ta- 

hu maut telah dekat dengan dirinya. Ia tidak mampu 
berbuat sesuatu untuk menyelamatkan diri. Wanita 
berpakaian biru ini hanya bisa pasrah menanti da- 
tangnya maut. 

Gadis berpakaian merah meski sudah tidak 
berdaya tidak menghalangi pandangannya ke arah 
Malisang dan istri Pendekar Macan Putih. Matanya 
terbelalak melihat tubuh Ibunya Gunaran tertarik de- 
ras ke arah Malisang. 

Gadis berpakaian merah menduga Malisang 
akan menyambuti datangnya tubuh wanita berpakaian 
biru dengan tusukan jari tangan atau pukulan. Po- 
koknya serangan mematikan yang dapat mengirim 
nyawa istri Pendekar Macan Putih ke neraka. Tapi, 
dugaannya ternyata meleset. Malisang menjulurkan 
kedua tangannya ke arah sebatang pohon besar ber- 
daun rimbun yang berada tak jauh darinya. Sesaat 
tangan lelaki berkulit hitam legam ini bergetar dan 
daun-daun pohon itu berguguran. Cukup banyak ba- 
gai dilanda angin topan. 

Tindakan Malisang tidak berhenti sampai di si- 
tu. Dengan kedua tangannya dia melakukan gerakan 
mengibas ke arah istri Pendekar Macan Putih. Seketi- 
ka itu pula daun-daun meluncur ke arah wanita ber- 
pakaian biru dengan kecepatan menakjubkan. Bunyi 
mencicit yang menyayat telinga terdengar ketika daun- 
daun meluncur menyambut luncuran tubuh istri Pen- 
dekar Macan Putih. 

Cap, cap, cappp! 

Laksana benda-benda dari logam, daun-daun 
pohon itu menancapi sekujur tubuh istri Pendekar 
Macan Putih, mulai dari kepala sampai ke pinggang. 
Wanita berpakaian biru itu tidak tahan untuk tidak 
mengeluarkan jeritan menyayat. Darah pun deras 

I mengalir dari bagian tubuh yang ditancap daun-daun 
yang tak ubahnya mata pisau akibat pengerahan te- 
naga dalam Malisang yang luar biasa. 

Nyawa wanita berpakaian biru pun melayang 
ke alam baka dengan tubuh masih meluncur deras ke 
arah Malisang. Tapi, hanya dengan menjulurkan ke- 
dua tangan ke depan, Malisang telah membuat tubuh 
istri Pendekar Macan Putih kembali terpental ke bela- 
kang. Dari kedua tangan yang dijulurkan itu keluar 
angin keras. 

"Sekarang giliranmu, Gadis Liar!" Malisang me- 
nyorotkan tatapan dingin pada gadis berpakaian me- 
rah. 

Bukannya takut, gadis berpakaian merah ma- 
lah menentang tatapan Malisang, Hal ini membuat 
Malisang semakin merasa tidak senang. Terlebih ia 
gagal mendapatkan keterangan tentang Harimau Ter- 
bang Berkuku Seribu. 

"Aku tidak mau berpanjang kata, Gadis Liar! 
Aku bukan orang yang sabar. Cepat jawab atau kau 
akan mengalami hal yang mengerikan di tanganku! 
Kau akan ku telanjangi dan tubuhmu yang bagus itu 
kuumpankan pada gerombolan semut merah yang ku- 
bawa!" 

Malisang menghentikan ucapannya ketika me- 
lihat perubahan di wajah gadis berpakaian merah. Dia 
tahu hati gadis itu terguncang. Kalau tidak karena an- 
caman dengan semut, tentu karena takut ditelanjangi! 
Sebagai seorang tokoh persilatan yang berpengalaman, 
Malisang tahu ancaman siksaan yang paling mengeri- 
kan bagi seorang gadis adalah perkosaan. Tapi, sayang 
Malisang bukan orang semacam itu. Dia tidak mem- 
punyai keinginan untuk menguasai tubuh seorang 
wanita secara paksa. 

"Apa... yang hendak kau tanyakan padaku...?" 
tanya gadis berpakaian merah. 

Suaranya agak bergetar karena perasaan te- 
gang yang melanda hati. 

"Katakan di mana Harimau Terbang Berkuku 
Seribu!" tandas Malisang cepat 

Wajah gadis berpakaian merah berubah pias. 
Mungkin kalau gadis ini dapat bergerak, ia akan ber- 
jingkat ke belakang seperti orang disengat kalajengk- 
ing! 

Melihat gadis berpakaian merah tercenung bin- 
gung malah seperti kaget Malisang jadi kalap. 

"Cepat jawab sebelum aku kehilangan kesaba- 
ran dan memberikan hukuman terhadapmu! Jangan 
paksa aku untuk membuktikan ancaman ku!" desak 
Malisang tidak sabar. 

Gadis berpakaian merah tidak juga memberi- 
kan keputusan meski ucapan Malisang terdengar se- 
makin keras. Rupanya, pertanyaan yang diajukan Ma- 
lisang terlalu rahasia. Sehingga, sukar bagi gadis ber- 
pakaian merah untuk memberikan jawaban. 

Tindakan gadis itu membuat kesabaran Mali- 
sang habis. Lelaki berkulit hitam ini tahu gadis berpa- 
kaian merah mengetahui jawabannya. Karena itu, Ma- 
lisang jadi geram ketika melihat gadis itu tidak juga 
memberikan jawaban. 

Malisang murka bukan main. Dia merasa di- 
tantang untuk membuktikan kebenaran ancamannya. 
Maka, segera tangan kanannya dijulurkan ke arah 
punggung kudanya yang sejak tadi dengan tenang me- 
rumput. Lelaki berkulit hitam itu menggetarkan tan- 
gannya mengerahkan tenaga dalam. 

Sesaat kemudian, sebuah buntalan sebesar 
kepala yang berada di atas punggung kuda melayang 
ke arah Malisang. Pada saat yang bersamaan, dari 
atas pohon melinjo yang berada di sebelah kiri Mali- 
sang dan berlawanan arah dengan kuda Malisang, me- 
layang dua butir buah melinjo ke arah gadis berpa- 
kaian merah. 

Malisang meski tengah sibuk tidak kehilangan 
kewaspadaan. Bunyi luncuran buah melinjo yang 

I mencicit cukup nyaring membuat kepalanya menoleh. 
Lelaki berkulit hitam legam ini melihat luncuran dua 
buah melinjo dari atas pohon. Sayang, Malisang tidak 
dapat berbuat apa-apa. 

Tuk, tukkk! 

Begitu buah-buah melinjo mengenai tubuh ga- 
dis berpakaian merah, ia merasa totokan yang membe- 
lenggu buyar. Jalan darahnya kembali lancar. Dengan 
sekali lentingan, gadis berpakaian merah langsung 
dapat berdiri meski kedua tangannya masih terbeleng- 
gu. 

Melihat hal ini Malisang jadi naik darah. Begitu 
buntalannya berhasil ditangkap. Tangan kanannya se- 
gera digunakan untuk mengirimkan pukulan jarak 
jauh ke atas pohon tempat buah melinjo tadi berasal! 
Hembusan angin deras yang menandakan kekuatan 
tenaga dalam dahsyat pun meluncur ke atas pohon. 

Sebelum pukulan jarak jauh Malisang tiba 
yang akan mengakibatkan sebagian besar daun-daun 
dan ranting pohon berguguran, dari balik kerimbunan 
dedaunan mencuat dua buah telapak tangan. Yang 
kanan mengarah pada luncuran pukulan jarak jauh 
Malisang. Sedangkan tangan kirinya tertuju pada tem- 
pat gadis berpakaian merah berada. 

Malisang hampir tidak percaya dengan pengli- 
hatannya ketika pukulan jarak jauhnya berhasil di- 
kandaskan. Malah tidak pantas disebut kandas, me- 
lainkan lenyap begitu saja bagai tertelan tangan kanan 
yang keluar dari kerimbunan pohon. Tidak terjadi ben- 
turan tenaga dalam yang seperti biasanya terjadi. 

Yang lebih gila lagi, tangan kiri yang mengarah 
ke tubuh gadis berpakaian merah kelihatan bergetar 
sesaat. Sabuk yang melilit tubuh gadis itu pun ter- 
lepas. Kejadian ini lebih membuat Malisang kaget 

Malisang bukan orang bodoh! Ia tahu sosok 
yang bersembunyi di atas pohon memiliki kepandaian 
sangat tinggi. Hanya dengan sebelah tangan ia mampu 
menelan pukulan jarak jauhnya. Hebatnya lagi, pada 
saat yang bersamaan ia mampu membebaskan gadis 
berpakaian merah dari belenggu lilitan sabuknya. Sua- 
tu tindakan yang Malisang sendiri tak akan mampu 
melakukannya meski dengan kedua tangan. Membuka 
ikatan lebih sulit daripada mengikatnya. 

Yang lebih membuat Malisang yakin akan ke- 
tangguhan sosok yang berada di atas pohon adalah 
karena kedua tangan itu berasal dari satu orang. Ka- 
rena gerakan itu dilakukan pada waktu yang bersa- 
maan, sosok yang berada di atas pohon pasti membagi 
tenaganya untuk memunahkan pukulan jarak jauh 
dan melepaskan belenggu gadis berpakaian merah. 

Jadi, tiap tangan mengandung separo dari pengerahan 
tenaga dalamnya. Kalau separo saja mampu meneng- 
gelamkan pukulan jarak jauhnya, bagaimana pula 
dengan seluruh kekuatan tenaga dalamnya? Pikir Ma- 
lisang. Maka setelah me-lempar pandangan gentar pa- 
da sosok yang tersembunyi di balik pohon, lelaki ber- 
kulit hitam legam ini melompat ke atas punggung ku- 
da dan menggebahnya untuk segera meninggalkan 
tempat itu. 

•klt'k 

"Kalau bukan seorang pengecut dan memang 
memiliki maksud baik mengapa tidak turun dari atas 
pohon...?!" 

Gadis berpakaian merah yang merasa kagum 
melihat Malisang yang demikian lihai lari ketakutan, 
sengaja mengeluarkan ucapan pedas untuk memaksa 
penolongnya keluar dari tempat persembunyian. 

Gertakan gadis berpakaian merah ternyata 
berhasil. Sesaat kemudian, dengan didahului helaan 
napas berat, melayang turun sesosok bayangan yang 
mendarat ringan bagai sehelai daun jatuh. 

"Ah...!" 

Gadis berpakaian merah tidak mampu mena- 
han keterkejutannya melihat sosok di atas pohon yang 
telah berdiri empat tombak di depannya. Sepasang 
mata gadis itu membelalak lebar seperti tengah meli- 
hat hantu. 

Tentu saja tindakan gadis berpakaian merah 
membuat sosok yang baru turun dari pohon kebin- 
gungan. Apakah ada sesuatu yang salah dengan di- 
rinya? Sosok itu bertanya sendiri dalam hati. Barang- 
kali ada sesuatu yang tanpa diketahui menempel di 
wajah atau kepalanya? Kotoran atau sarang burung 
barangkali? 

Karena pandangan gadis itu sebagian besar di- 
tujukan pada wajah dan kepalanya, sosok yang baru 
turun dari atas pohon menggunakan kedua tangannya 
untuk menyeka kepala serta wajahnya. 

"Apa yang kau lakukan, Sobat?" Gadis berpa- 
kaian merah merasa heran. 

Pertanyaan ini menyadarkan penolong gadis 
berpakaian merah kalau pada wajah dan kepalanya ti- 
dak terdapat apa-apa. Dia telah salah duga. 

"Hanya iseng saja, Nisanak. Bukankah lebih 
baik mengusap-usap wajah dan kepala daripada aku 
mengisap-isap jempol?" Untuk menutupi perasaan ma- 
lunya, pemuda yang baru turun dari atas pohon dan 
berambut putih keperakan itu mencoba berkelakar. 

"Hi hi hi...!" 

Gadis berpakaian merah tertawa lucu menden- 
gar jawaban itu. Dia tahu bukan itu jawaban yang se- 
benarnya. Tapi, dia tidak mempedulikannya dan tidak 
bertanya lebih lanjut. 

Pemuda berambut putih keperakan ikut terse- 
nyum lebar. Apalagi gadis itu kelihatan geli sekali. Pe- 
muda berambut putih keperakan tidak menduga kalau 
tadi gadis berpakaian merah terkesima bukan karena 
ada sesuatu pada wajah dan kepalanya. Tapi, karena 
heran melihat orang yang telah menyebabkan Mali- 
sang pergi adalah seorang yang masih sangat muda! 
Tadi, gadis berpakaian merah menduga kalau yang 
melompat turun adalah seorang kakek yang sudah 
sangat tua, mengingat kesaktian yang dipertunjuk- 
kannya. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat. Ka- 
lau tidak ada kau mungkin aku telah celaka di tan- 
gannya," ujar gadis berpakaian merah kemudian. "Ke- 
nalkan namaku Pergiwa. Kau boleh memanggilku Gi- 
wa. Asal jangan kau panggil aku dengan sapaan Pergi 
saja. Aku tidak akan menoleh. Hi hi hi... 

Pemuda berambut putih keperakan itu tertawa. 
Bukan karena lelucon gadis berpakaian merah yang 
bernama Pergiwa. Lelucon itu sama sekali tidak lucu. 
Tapi, pemuda berambut putih keperakan tertawa ka- 
rena melihat betapa gelinya Pergiwa tertawa. Pergiwa 
tidak tahu hal itu. Gadis berpakaian merah itu men- 
duga pemuda berambut putih keperakan tertawa ka- 
rena leluconnya. 

"Lupakanlah, Pergiwa." Pemuda berambut pu- 
tih keperakan menyapa secara lengkap. "Tolong meno- 
long sudah merupakan kewajiban setiap manusia. Ja- 
di, tidak perlu dibesar-besarkan. Lagi pula hanya ke- 
betulan aku lewat tempat ini. Karena aku tidak tahu 
permasalahannya, aku menolong secara sembunyi- 
sembunyi. Aku tidak mau mencari permusuhan den- 
gan orang yang tidak mempunyai urusan denganku." 

Pemuda itu memang baru saja tiba setelah me- 
nunggu orang-orang yang disangkanya mengejar pe- 
muda berpakaian kuning tua. Cukup lama ia menung- 
gu sebelum akhirnya menempuh arah yang dituju pe- 
muda berpakaian kuning. Dia melakukan perjalanan 
seenaknya sehingga tiba di tempat ini dengan mema- 
kan waktu cukup lama. Apalagi karena agak kesulitan 
mengikuti jejak kuda yang sebagian besar telah hilang 
akibat tiupan angin keras. 

"Meskipun orang itu telah membunuh wanita 
tua yang tidak bersalah?" Pergiwa meminta penegasan. 

"Benarkah demikian?" 

Pemuda berambut putih keperakan kelihatan 
agak terkejut. Ia mengalihkan pandangannya ke arah 
istri Pendekar Macan Putih yang tergolek tanpa nyawa 
di tanah. Memang, pemuda tampan berwajah jantan 
itu telah melihatnya. Hanya ia tidak tahu siapa yang 
telah membunuhnya. 

"Tentu saja!" tandas Pergiwa keras. "Kau kira 
aku orang yang suka berbohong? Apakah aku tampak 
seperti orang yang suka menipu orang?!" 

"Tentu saja tidak!" jawab pemuda berambut 
putih keperakan cepat, khawatir Pergiwa meledak 
amarahnya. "Siapa pun yang melihatmu bisa segera 
mengetahui kalau kau seorang wanita yang jujur. Kau 
tidak terlihat mempunyai sifat pembohong. Apalagi ja- 
hat dan sampai membunuh orang." 

"Benarkah demikian?" Wajah Pergiwa berubah 
cerah. Lenyap sudah bayang kemarahan dari wajah- 
nya. 

Pemuda berambut putih keperakan menahan 
geli. Dia memasang wajah serius. Kepalanya diang- 
gukkan. 

"Kau pun baik. Maksudku... aku yakin kau 
pun bukan orang jahat. Setidak-tidaknya demikian 
perkiraan ku. Apakah... kau seorang pendekar yang 
terkenal? O, ya. Aku belum mengetahui siapa nama- 
mu. Kau curang! Sejak tadi kau belum memperkenal- 
kan nama. Padahal, aku sudah memperkenalkan diri 
sejak tadi." 

Pemuda berambut putih keperakan hampir sa- 
ja tidak kuat menahan rasa geli yang menggelitik ha- 
tinya. Baru saja Pergiwa memujinya dengan mengata- 
kan baik, tapi belakangan mengatakannya curang. 
Siapa yang tidak merasa geli. 

"Ayo! Cepat katakan siapa dirimu!" desak Per- 
giwa tidak sabar. 


"Namaku Arya Buana. Tapi, lebih baik kau 
panggil aku Arya." Pemuda berambut putih keperakan 
itu memperkenalkan diri dengan suara pelan. 

"Arya...." Pergiwa mengulang nama itu seraya 
mengernyitkan dahi. Ia tengah mengingat-ingat sesua- 
tu. 

Melihat sikap gadis berpakaian merah, pemuda 
berambut putih keperakan yang tidak lain Arya Buana 
atau yang lebih terkenal dengan julukan Dewa Arak ini 
tahu tak lama lagi Pergiwa akan mengenal siapa di- 
rinya. Gadis berpakaian merah ini jelas telah mengen- 
al namanya. 

Kekhawatiran pemuda itu memang tidak berle- 
bihan. Sesaat kemudian kernyitan pada dahi yang ha- 
lus itu lenyap. Wajah Pergiwa berseri-seri. Dengan se- 
pasang matanya yang bening dan berbinar-binar, ga- 
dis berpakaian merah ini menatap Arya lekat-lekat da- 
ri ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sepasang mata 
itu lebih lama berhenti pada rambut dan pakaian 

Arya. Kemudian, dengan sikap sungguh-sungguh Per- 
giwa berjalan mengelilingi Arya. Ia berhenti di bela- 
kang pemuda itu. Arya tahu apa yang dilakukannya. 
Apalagi kalau bukan memperhatikan guci di pung- 
gungnya. 

"Sekarang aku tahu siapa dirimu, Arya," jawab 
Pergiwa seraya menyunggingkan senyum lucu setelah 
kembali berada di depan Arya. "Ciri-ciri mu sering se- 
kali kudengar dari Guru. Beliau pernah bercerita ten- 
tang seorang pendekar muda yang memiliki kepan- 
daian amat tinggi. Ia telah merobohkan banyak penja- 
hat-penjahat sakti! Orang itu berjuluk Dewa Arak! 
Pasti kau Dewa Arak. Betul kan?!" 

"Kalau boleh ku tahu siapa gurumu, Pergiwa?" 
Arya berusaha mengalihkan pembicaraan karena dia 
merasa tidak enak Pergiwa memuji-mujinya. 

"Guruku berjuluk Harimau Terbang Berkuku 
Seribu. Orang yang dicari-cari Malisang!" jawab Pergi- 
wa kurang bersemangat. Ingatan tentang gurunya 
mengingatkan dia akan kakak seperguruannya, Guna- 
ran. Dia telah dijodohkan dengan Gunaran. 

Semula Pergiwa tidak terlalu menganggap pus- 
ing masalah perjodohan itu. Kakak seperguruannya 
tampan, lihai, dan juga baik hati. Apalagi yang ku- 
rang? Tapi sekarang setelah melihat Dewa Arak, Per- 
giwa mulai ragu dan menyesalkan perjodohan itu. Di- 
bandingkan dengan Dewa Arak, Gunaran sama sekali 
tidak ada artinya. Gunaran kalah segala-galanya. 

Dewa Arak tidak hanya unggul dalam kesak- 
tian. Dalam ketampanan pun pemuda berambut putih 
keperakan ini tidak kalah dengan Gunaran. Malah, ke- 
tampanan Arya dianggap Pergiwa lebih menarik. Jan- 
tan dan matang! Terlihat jelas kalau pemuda beram- 
but putih keperakan itu telah kenyang dengan penga- 
laman hidup. Sikapnya demikian tenang dan meya- 
kinkan. Kebaikan Dewa Arak pun tidak kalah dengan 
Gunaran. Pemuda di hadapannya ini telah menyum- 
bangkan tenaga dan kepandaiannya untuk menghan- 
curkan angkara murka yang merajalela di persada. 

"Ada yang salah dengan ucapanku, Pergiwa?" 
tanya Arya ingin tahu karena melihat gadis berpakaian 
merah tercenung. Ia tampak kurang bersemangat. 

"Ah...! Sama sekali tidak, Dewa Arak!" jawab 
Pergiwa gugup. Gadis cantik itu berusaha tersenyum, 
tapi terlihat janggal. 

"Syukurlah!" Meski tahu Pergiwa berbohong 
Dewa Arak tidak mendesak. "Aku sudah khawatir 
ucapanku menyinggung perasaanmu. Dan, panggil sa- 
ja aku Arya. Tidak usah Dewa Arak segala. Tidak enak 
rasanya." 

Pergiwa diam saja. Wajahnya masih terlihat 
muram. 

"Kau belum menceritakan mengapa kau ben- 
trok dengan lelaki berkulit hitam legam tadi. Apakah 
dia yang bernama Malisang? Tempat tinggalmu di sini? 
Dan, apa hubungannya kau dengan wanita yang tewas 
itu? Jawablah kalau kau mau menjawabnya, Pergiwa. 
Kalau kau tidak ingin, lupakan saja pertanyaanku." 

"Tidak ada yang rahasia, Arya. Jadi, kurasa ti- 
dak ada salahnya kalau kuceritakan padamu. Aku 
tinggal bersama guruku, Harimau Terbang Berkuku 
Seribu dan kakak seperguruanku yang bernama Gu- 
naran. Sebelum mempunyai murid kami, guruku telah 
mempunyai dua orang murid yang telah cukup ter- 
kenal di dunia persilatan. Mereka berjuluk Pendekar 
Macan Putih dan Pendekar Macan Hitam. Gunaran 
adalah anak dari Pendekar Macan Putih." 

Arya mengangguk-anggukkan kepala. Dia telah 
mendengar julukan sepasang pendekar itu, yang ter- 
kenal belasan tahun lalu sebagai pembela-pembela 
kebenaran. 

"Beberapa hari yang lalu Gunaran kedatangan 
seorang kurir yang diutus ibunya. Entah apa yang ter- 
jadi sehingga Gunaran dipanggil pulang. Aku yang 
khawatir akan terjadi sesuatu segera menyusul Guna- 
ran. Wanita yang tewas itu adalah ibunya Gunaran. 
Sedangkan rumah ini tempat tinggal Gunaran dan ke- 
luarganya. Aku tahu tempat ini karena Gunaran per- 
nah menceritakannya. Sayang, aku terlampau bodoh 
sehingga tidak mampu menyelamatkan nyawa ibunya 
Gunaran. Bahkan kalau tidak ada kau, aku pun akan 
tewas." Pergiwa menutup ceritanya dengan suara pe- 
nuh rasa penyesalan. 

Arya termenung sejenak memikirkan kejadian 
itu. "Aku rasa ini ada hubungannya dengan Harimau 
Terbang Berkuku Seribu. Bukankah Malisang, lelaki 
yang tadi hendak membunuhmu, bermaksud mencari 
Harimau Terbang Berkuku Seribu?!" Arya menyatakan 
dugaannya. 

"Mungkin saja." Pergiwa menjawab tidak pasti. 

"Kalau begitu mari kita kuburkan ibunya Gu- 
naran. Setelah itu baru menyelidiki penyebab peristi- 
wa ini!" ajak Arya. 

kkk 

Usai menguburkan mayat ibunya Gunaran, 
Arya dan Pergiwa meninggalkan tempat itu. Mereka 
memutuskan untuk mengusut kejadian itu lewat Gu- 
naran. Baik Arya maupun Pergiwa merasa yakin sebe- 
lum meninggal ibunya Gunaran telah memberitahu- 
kan sesuatu yang menyebabkan Gunaran di-panggil 
pulang. Sesuatu itu yang telah mendorong Gunaran 
pergi meninggalkan rumah. 

Arya dan Pergiwa menggunakan ilmu lari cepat 
agar dapat menyusul Gunaran. Mereka telah mempu- 
nyai perkiraan ke mana Gunaran pergi, karena jalan 
yang ada di depan rumah Gunaran hanya menuju ke 
dua arah! Yang satu arah yang ditinggalkan, sedang- 
kan yang lain arah kedatangan Malisang. 

Mengetahui kepandaian Pergiwa tidak bisa di- 
bandingkan dengan dirinya, Arya tidak mengerahkan 
seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Hanya sekadar 
untuk membuat larinya bersisian dengan Pergiwa. 

"Kau yakin wanita itu murid Harimau Terbang 
Berkuku Seribu, Pasu?!" 

Seruan tidak keras tapi bergema ke sekitar 
tempat di mana Arya dan Pergiwa berada mengagetkan 
sepasang muda-mudi itu. Saat itu Arya dan Pergiwa 
berada di jalan setapak yang di kanan kirinya banyak 
ditumbuhi pohon besar berdaun rim-bun. 

"Aku yakin, Ayah. Bukankah setiap murid ka- 
kek bongkok itu mempunyai ciri khusus? Kulihat di 
punggung tangan kirinya tergambar kepala seekor ha- 
rimau!" 

Sebuah suara lain menyambuti. Sama seperti 
sebelumnya, suara kedua ini pun sukar untuk diketa- 
hui dari mana asalnya. Suara itu bagaikan muncul 
dari segenap penjuru. 

Arya dan Pergiwa menghentikan langkah. Me- 
reka mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lebih te- 
patnya lagi, Arya yang mengedarkan pandangan se- 
dangkan Pergiwa hanya mengikuti ke mana pemuda 
berambut putih keperakan itu mengarahkan pandan- 
gan. 

"Kau tahu di mana mereka, Arya?" tanya Per- 
giwa setelah melihat pemuda itu tidak segera menuju- 
kan pandangannya ke satu arah. Pergiwa tidak meli- 
hat apa pun kecuali pohon-pohon besar berdaun rim- 
bun. 

"Belum bisa kupastikan, Pergiwa. Yang jelas 
mereka mengetahui tempat kita berada. Sedangkan ki- 
ta tidak mengetahui tempat mereka. Celakanya lagi 
mereka mengenalmu. Dan, tampaknya mempunyai 
urusan dengan Harimau Terbang Berkuku Seribu," bi- 
sik Arya lirih. 

"Aneh...!" Pergiwa berujar tanpa menyembunyi- 
kan rasa herannya. "Aku tahu kau memiliki kepan- 
daian tinggi. Bahkan guruku amat mengagumimu. 
Mengapa kau tidak bisa mengetahui di mana pemilik 
suara-suara itu berada, Arya?" 

"Kalau kau telah terjun ke dunia persilatan se- 
perti aku, tentu kau tidak akan menganggapku memi- 
liki kepandaian tinggi. Asal kau tahu saja, Pergiwa. Di 
dunia ini amat banyak tokoh-tokoh persilatan yang 
memiliki kepandaian tinggi, bahkan jauh lebih tinggi 
daripada ku. Bukan tidak mungkin orang-orang yang 
baru saja bersuara itu termasuk di antara tokoh-tokoh 
yang lebih tinggi kepandaiannya dari aku!" 

"Tidak mungkin!" bantah Pergiwa tidak per- 
caya. "Kalau benar banyak tokoh persilatan yang me- 
miliki kepandaian melebihi mu, sudah sejak lama kau 
tewas, Dewa Arak! Kau terlalu merendah diri!" 

"Lalu, bagaimana jawabmu mengenai ketidak- 
tahuan ku akan keberadaan mereka yang tengah ber- 
cakap-cakap itu?" pancing Arya ingin tahu. 

Pergiwa membisu. 

"Mungkin kau bisa memberitahukannya pada- 
ku, Arya. Yang jelas aku tidak setuju dengan sikapmu. 
Memiliki sifat sombong memang tidak baik, tapi terlalu 
memandang tinggi lawan dan merendahkan diri terus 
pun tidak bagus. Itu akan membuat nyali kita kecil!" 

Arya tersenyum lebar mengetahui kebenaran 
pendapat Pergiwa. Dia tidak memiliki nyali kecil. 
Hanya hendak membuka kesadaran Pergiwa kalau di 
dunia ini tidak hanya Dewa Arak saja tokoh yang pal- 
ing sakti. Masih banyak tokoh-tokoh lainnya. Agar 
nanti apabila Dewa Arak roboh di tangan salah satu 
tokoh persilatan, Pergiwa tidak terlampau kaget yang 
mengakibatkan hal-hal yang tak diinginkan. Dia mera- 
sa bersyukur mendengar pendapat gadis berpakaian 
merah itu. 

"Aku banyak menjumpai hal-hal seperti ini, 
Pergiwa. Memang tidak selalu orang yang dapat mem- 
buat sumber suaranya tidak diketahui memiliki ke- 
pandaian tinggi. Tapi, yang jelas dia memiliki kepan- 
daian luar biasa. Setidak-tidaknya tenaga dalam yang 
dimilikinya amat kuat. Cara dia menyampaikan se- 
ruan tadi menggunakan ilmu memindahkan suara, 
sehingga suaranya seperti berasal dari delapan penju- 
ru angin." 

"Ha ha ha...! Rupanya kau memang benar- 
benar lihai, Dewa Arak! Berita yang kudengar menge- 
nai kesaktianmu ternyata tidak berlebihan. Buktinya 
kau tahu ilmu yang kupergunakan!" sambut suara 
pertama yang tadi terdengar. 

"Tidak usah banyak bicara!" Pergiwa segera 
menyambuti, mendahului Dewa Arak. "Kalau kau me- 
mang bukan seorang pengecut tunjukkan dirimu!" 

"Baiklah kalau itu yang kau inginkan, Wanita 
Liar!" 

Belum juga gema ucapan itu lenyap, terdengar 
bunyi berkerosokan dari sebatang pohon besar yang 
berada di sebelah kanan Arya dan Pergiwa. Sesaat 
kemudian, dua sosok bayangan melesat ke bawah dan 
menjejak tanah tanpa menimbulkan bunyi. 

Arya dan Pergiwa segera memperhatikan dua 
sosok tubuh itu. Seorang kakek yang telah sangat tua. 
Usianya tak kurang dari seratus tahun. Tubuhnya te- 
lah bungkuk, meski terlihat agak kekar untuk ukuran 
seorang kakek. Rambut kumis, alis, dan jenggotnya te- 
lah memutih! Sepintas lalu kakek ini tidak menimbul- 
kan kesan menyeramkan. Apalagi tegak tubuh bong- 
koknya karena ditunjang sebatang tongkat pada tan- 
gan kanan. 

Sosok kedua lebih menimbulkan keangkeran 
bagi orang yang melihatnya. Tubuhnya tinggi besar. 
Pakaiannya berupa rompi coklat. Kulit wajahnya me- 
rah. Sekujur tangan dan dadanya yang tidak ter-tutup 
rompi dipenuhi bulu-bulu hitam lebat 

Berbeda dengan Pergiwa, Arya tahu kakek 
bongkok itu jauh lebih berbahaya daripada lelaki be- 
rompi coklat yang mungkin berusia tujuh puluh ta- 
hun. Pemuda berambut putih keperakan itu pun me- 
musatkan perhatian pada kakek bongkok. 

"Akhirnya kalian berani menunjukkan hidung 
juga! Jangan kalian kira dengan demikian aku akan 
menganggap kalian tidak bersikap pengecut. Aku tahu 
kalian merasa terpaksa memunculkan diri. Malu kare- 
na takut kami anggap pengecut bukan? Padahal, ka- 
lian memang tak lebih dari pengecut-pengecut keji!" 

Tajam dan pedas bukan main kata-kata Pergi- 
wa. Gadis berpakaian merah ini memang memiliki ke- 
beranian yang besar. Tidak takut akan akibat apa 
pun. Yang diperbuatnya hanya satu, mengeluarkan 
perkataan semuanya tanpa dipikir. Arya sendiri yang 
tidak menduga hal itu kaget bukan main mendengar- 
nya. Diam-diam pemuda berambut putih keperakan 
ini menyesalkan sikap Pergiwa yang ceroboh. Pergiwa 
terlalu berani. Padahal, Arya tahu dua tokoh yang 
berdiri di depannya ini tokoh-tokoh tingkat atas. Tapi, 
apa daya? Nasi telah menjadi bubur. Ucapan telah di- 
keluarkan. Tak mungkin ditarik kembali. Yang dapat 
mereka lakukan hanya menanti akibatnya. 

Arya semakin bersikap waspada ketika melihat 
pembahan pada wajah kedua lelaki di hadapannya. 

"Iiih...!" 

Pergiwa sendiri tanpa sadar mengeluarkan pe- 
kikan tertahan ketika melihat kakek bongkok yang se- 
jak tadi menatap ke bawah seperti mencari sesuatu 
mengangkat kepalanya. Gadis berpakaian merah ini 
melihat sepasang mata yang mencorong tajam, seperti 
mata harimau dalam gelap! Hijau dan menyilaukan! 

Pergiwa sampai melangkah mundur setindak 
karena kagetnya. Sedangkan Arya yang sejak tadi ber- 
siap siaga makin mempertebal kewaspadaannya. Sinar 
sepasang mata yang mencorong kehijauan dan seperti 
itu menjadi pertanda kekuatan tenaga dalamnya yang 
luar bisa. 

"Sungguh berani kau mengeluarkan ucapan 
seperti itu, Wanita Liar!" Pelan dan satu persatu kakek 
bongkok mengeluarkan kata-katanya. Tapi yang mem- 
buat hati Arya berdebar tegang adalah karena tidak 
terlihat bibir kakek itu bergerak! Padahal, suara yang 
keluar terdengar jelas. Meski tidak terlalu keras, tapi 
getarannya sampai ke dada. 

"Padahal, gurumu sendiri tak akan berani ber- 
kata seperti ini! Malah, sejak puluhan tahun dia ber- 
sembunyi dariku. Kalau kau tidak mau memberi pe- 
tunjuk di mana dia berada, jangan harap kau akan se- 
lamat dari tanganku! Ingin kulihat apa yang bisa di- 
perbuat Dewa Arak untuk menyelamatkanmu!" 

"Kakek bongkok tidak tahu malu!" Pergiwa 
yang tidak mudah digertak, menjadi semakin meluap 
amarahnya. "Orang seusia kau seharusnya sudah ti- 
dak memikirkan kekerasan lagi. Hidup tenang sambil 
menimang-nimang cucu!" 

"Mulutmu semakin kurang ajar, Wanita Liar! 
Biarlah aku yang mewakili gurumu untuk menghan- 
curkan mulutmu!" 

Usai berkata demikian, kakek bongkok mengu- 
lurkan tangan kanannya bergerak hendak mencengke- 
ram mulut yang memiliki bibir indah itu. Jarak antara 
kakek bongkok dengan Pergiwa tak kurang dari satu 
tombak. Tapi, tangan kakek bongkok ternyata dapat 
mulur dan terus mengancam mulut Pergiwa. 

Pergiwa tentu saja tidak membiarkan mulutnya 
diremas hancur. Dia bersiap hendak melompat ke be- 
lakang ketika melihat tangan kakek bongkok bisa mu- 
lur. Tapi, sebelum gerakan itu dilakukan, gadis berpa- 
kaian merah ini melihat jari telunjuk kiri kakek bong- 
kok menjentik perlahan. Sesaat kemudian, Pergiwa 
merasakan sekujur tubuhnya lemas. Jalan darahnya 
telah tertotok. Ini menyebabkan ia hanya bisa menanti 
tibanya serangan dengan sepasang mata membelalak 
ngeri. Sungguh tidak disangka kakek bongkok ini de- 
mikian lihai. Ingin Pergiwa menjerit minta tolong pada 
Dewa Arak, tapi suaranya seperti tercekik di tenggoro- 
kan! 

"Jangan terlalu kejam terhadap seorang muda, 
Kek." Arya yang memiliki mata tajam dan tahu Pergiwa 
tidak berdaya segera membuka suara. Dengan berani 
pemuda berambut putih keperakan ini memapaki lun- 
curan tangan kakek bongkok dengan hantaman tan- 
gan kanan. Arya mengerahkan seluruh tenaga dalam- 
nya. 

Prattt! 

Tubuh kedua belah pihak terhuyung ke bela- 
kang akibat benturan keras itu. Dewa Arak dua lang- 
kah lebih jauh terhuyungnya dari kakek bongkok. 

Kenyataan ini sangat mengejutkan Arya. Me- 
mang sudah dapat diduga kakek bongkok ini memiliki 
tenaga dalam luar biasa mengingat umurnya yang su- 

I dah sangat lanjut. Paling tidak kekuatan tenaga dalam 
telah dihimpun hampir seratus tahun! Sedangkan 
Arya tidak sampai dua puluh tahun. 

Meski demikian, Arya sungguh tidak menyang- 
ka akan sedahsyat ini tenaga dalam yang dimiliki ka- 
kek bongkok. Benturan yang terjadi membuat tangan 
Arya kesemutan dan seperti lumpuh! 

"He he he...!" 

Kakek bongkok terkekeh, mulutnya yang su- 
dah ompong dan tidak bergigi lagi terbuka lebar. 

"Hanya sampai di Situ sajakah kemampuan 
yang kau miliki, Dewa Arak? Kali ini kau akan tewas 
di tanganku. He he he...!" 

Masih dengan tawa terkekeh, kakek bongkok 
melakukan gerakan mendorong dengan tangan kanan. 
Dari telapak tangan yang terbuka itu meluncur se- 
rangkum angin keras ke arah dada Dewa Arak. 

Arya tidak berani bertindak sembrono. Berge- 
gas ia melompat menghindar seraya tak lupa memba- 
wa tubuh Pergiwa ke tempat yang aman dan membe- 
baskan totokannya. 

"Hati-hati, Pergiwa," demikian bisikan yang di- 
berikan oleh pemuda berambut putih keperakan itu 
sebelum melompat menjauhi Pergiwa, khawatir gadis 
berpakaian merah itu akan terkena serangan nyasar. 

Tahu kalau lawan yang dihadapinya bukan 
orang sembarangan, Dewa Arak segera menggunakan 

I ilmu andalan 'Belalang Sakti'! Dengan ilmu itu amu- 
kan kakek bongkok dihadapinya. 

Pada awalnya Dewa Arak tidak berani mema- 
pah serangan-serangan lawan. Pemuda berambut pu- 
tih keperakan ini hanya berlompatan ke sana kemari 
menghindar. Beberapa kali tubuhnya terhuyung- 
huyung ketika angin pukulan jarak jauh kakek bong- 
kok lewat di dekatnya. 

Sambil terus berlompatan, Dewa Arak memutar 
benaknya. Pemuda berambut putih keperakan itu 
memikirkan cara untuk menangkal serangan lawan. 
Memapaki dengan kekerasan hanya akan merugikan 
dirinya karena tenaga dalam kakek bongkok jelas be- 
rada di atasnya. Tapi, mengelak terus-menerus pun ti- 
dak baik. Bukan tidak mungkin akhirnya ia akan ter- 
kena serangan-serangan lawan yang demikian gencar. 

Semula Dewa Arak bermaksud menguras tena- 
ga dalam lawan. Dia tahu serangan jarak jauh banyak 
menguras tenaga. Tapi, dugaan pemuda berambut pu- 
tih keperakan ini keliru. Kakek bongkok meski telah 
belasan kali melancarkan pukulan jarak jauh tidak 
terlihat lelah. Bahkan, serangan-serangannya semakin 
bertubi-tubi. 

Melihat kenyataan ini, Arya segera tahu kakek 
bongkok agaknya telah mengkhususkan diri menda- 
lami ilmu pukulan jarak jauh. Sehingga, meski sering 
digunakan tidak berpengaruh buruk terhadapnya. 
Bahkan, mungkin ilmu pukulan jarak jauh merupa- 
kan ilmu simpanannya. 

Yang membuat Dewa Arak semakin kagum 
adalah tenaga dalam kakek bongkok seperti tidak per- 
nah habis. Pukulan-pukulannya pun tidak pernah di- 
lancarkan dengan menggunakan kedua tangan, me- 
lainkan dengan satu tangan tapi silih berganti. Dewa 
Arak jadi kewalahan karena tidak mempunyai kesem- 
patan untuk melancarkan serangan. 

Beberapa kali, di waktu mempunyai kesempa- 
tan baik, Dewa Arak melancarkan serangan balasan. 
Tapi, selalu kandas karena di sekeliling tubuh kakek 
bongkok seperti ada dinding kasat mata yang mem- 
buat serangannya tidak dapat mengenai tubuh kakek 
itu. 

Akibatnya, sejak pertarungan terjadi Dewa 
Arak hanya bisa bermain kucing-kucingan. 

Kenyataan ini membuat kesabaran Dewa Arak 
hampir habis. Ternyata perasaan yang sama pun me- 
landa hati kakek bongkok. 

"Ternyata julukan Dewa Arak yang terkenal 
hanya kabar bohong belaka! Apakah tidak ada cara 
lain yang bisa kau lakukan selain bermain kucing- 
kucingan seperti ini, Dewa Arak?!" 

Ejekan kakek bongkok bagaikan minyak yang 
disiramkan ke api. Dewa Arak yang memang sudah 
hampir habis kesabaran jadi semakin kalap. Berun- 
tung, akal sehatnya masih menahannya untuk tidak 
bertindak gegabah. 

Sebagai seorang pemuda yang telah kenyang 
pengalaman, Dewa Arak menyadari kalau kakek bong- 
kok itu memiliki tenaga dalam yang demikian dahsyat 
tapi usia tua tidak dapat dikalahkannya. 

Kakek bongkok itu akan cepat lelah dan tidak 
memiliki napas panjang. Urat-uratnya pun tidak se- 
kuat orang yang masih muda. Jelas, kakek bongkok 
itu akan sukar untuk bergerak lincah. Apalagi mem- 
buru Dewa Arak yang memiliki ilmu mukjizat 'Belalang 
Sakti' dengan ilmu jurus 'Delapan Langkah Belalang'! 

Selain Dewa Arak dan kakek bongkok ternyata 
masih ada orang lain yang tidak sabar menyaksikan 
jalannya pertarungan. Orang itu adalah kakek berkulit 
muka merah. 

"Ayah, biarlah aku yang menangkap gadis liar 
itu!" 

Tanpa menunggu tanggapan kakek bongkok 
yang menjadi ayahnya, kakek bermuka merah me- 
langkah lebar menghampiri Pergiwa. 

Pergiwa agak panik melihatnya. Pengalaman 
dengan kakek bongkok membuatnya sadar kalau ke- 
pandaian yang dimilikinya hampir tidak berarti. Rasa 
percaya dirinya berkurang. Maka, ketika kakek ber- 
muka merah yang memiliki perbawa angker meng- 
hampirinya, Pergiwa menjadi gugup. Meski demikian, 
gadis berpakaian merah ini tidak kehilangan akal un- 
tuk menyelamatkan diri. 

"Tidak tahu malu! Pengecut hina! Apakah kau 
hanya berani terhadap seorang gadis muda? Kalau 
kau berani, nanti hadapi Dewa Arak setelah pendekar 
perkasa itu mengalahkan ayahmu yang ringkih! Tentu 
saja kalau kau takut terhadapnya dan kau memang 
berwatak pengecut, aku tidak bisa berkata apa-apa!" 

Langkah kakek bermuka merah terhenti. Wa- 
jah putra kakek bongkok itu jadi semakin merah. Per- 
giwa memang ahli dalam hal memaki-maki orang. Se- 
kali ucap saja, gadis berpakaian merah itu menyebut 
kata-kata pengecut beberapa kali! Makian ini mem- 
buat kakek bermuka merah bimbang. Tapi hal itu ti- 
dak berlangsung lama. Kakek bermuka merah kembali 
mengayunkan langkah menghampiri Pergiwa. 

Pergiwa tahu makiannya tidak manjur lagi. 
Maka, tanpa berani menunggu lebih lama, tangan ka- 
nannya segera dimasukkan ke dalam buntalan kecil 
yang berada di selipan ikat pinggangnya. Pergiwa 
mengambil senjata-senjata rahasianya yang berupa ja- 
rum-jarum tajam! 

"Hih!" 

Sepasang mata kakek bermuka merah sekilas 
memancarkan sinar kagum melihat jarum-jarum yang 
dilemparkan Pergiwa. Ketika dilepaskan jarum-jarum 
itu bergerombolan, tapi di pertengahan jalan mereka 
memisahkan diri mencari daerah penyerangan sendiri- 
sendiri. Hebatnya, tiap jarum menuju jalan darah 
mematikan. 

"Hmh.J" 

Kakek bermuka merah mendengus. Ia meman- 
dang remeh serangan Pergiwa. 

"Permainan seperti ini kau pertunjukkan pada 
Iblis Muka Merah?!" 

Sepasang mata kakek bermuka merah sekilas 
memancarkan sinar kagum melihat jarum-jarum yang 
dilemparkan Pergiwa. Ketika dilepas, jarum-jarum itu 
bergerombolan. Tapi di pertengahan jalan mereka me- 
misahkan diri mencari daerah penyerangan sendiri- 
sendiri. Hebatnya, tiap jarum menuju jalan darah me- 
matikan! 

Bersamaan dengan selesainya ucapan itu, ka- 
kek bermuka merah yang mengaku berjuluk Iblis Mu- 
ka Merah mendorong kedua tangannya terbuka ke de- 
pan. Tampak kedua tangan itu bergetar ketika Iblis 
Muka Merah mengerahkan tenaga dalam. Sesaat ke- 
mudian, pemandangan yang menakjubkan pun terja- 
di. 

Benar-benar menakjubkan! Bahkan, sepasang 
mata Pergiwa terbelalak heran. Gadis berpakaian me- 
rah ini tidak percaya akan pemandangan yang ter- 
pampang di hadapannya. Jarum-jarum tersedot ke 
arah kedua tangan yang dijulurkan itu. Jarum-jarum 
yang telah berpencar mencari sasaran serangan sendi- 
ri-sendiri mendadak meluncur ke satu arah, menuju 
kedua telapak tangan Iblis Muka Merah yang terbuka. 

Tapi, sebelum jarum-jarum itu menembus tela- 
pak tangan Iblis Muka Merah, kedua tangan yang diju- 
lurkan itu bergetar keras. Jarum-jarum Pergiwa seka- 
rang berbalik arah menyerbu pemiliknya sendiri! 

Pergiwa tidak mau mencari penyakit. Buru- 
buru dia melompat ke samping kanan. Tapi, betapa 
kaget gadis berpakaian merah itu melihat jarum-jarum 
beracun tetap meluncur ke arahnya. Jarum-jarum itu 
seperti mempunyai nyawa. Mereka mengejar Pergiwa. 
Jarum-jarum itu meluncur mengikuti arah gerakan 
tangan Iblis Muka Merah! 

Pergiwa bersalto beberapa kali di udara setelah 
melempar tubuhnya ke belakang. Begitu kedua ka- 
kinya menjejak tanah dilihatnya jarum-jarum itu ma- 
sih meluncur ke arahnya. Padahal, gadis berpakaian 
merah ini telah berada cukup jauh. 

Kenyataan ini menyadarkan Pergiwa kalau 
mengelak tidak berguna sama sekali. Tindakan itu 
hanya akan menyebabkan dirinya terus dikejar jarum- 
jarum itu. Maka, kali ini Pergiwa tidak mengelak lagi. 
Dengan modal nekat, gadis berpakaian merah itu men- 
julurkan kedua tangannya. Dia bermaksud mencegah 
laju jarum-jarum dengan tenaga dalamnya. 

Pergiwa mengerahkan seluruh tenaga dalam- 
nya. Usahanya ternyata tidak sia-sia. Gerakan jarum- 
jarum itu tertahan. Dan terhenti sama sekali bagai ada 
tangan tak nampak yang menahan lajunya. 

Namun hal itu hanya berlangsung sebentar sa- 
ja. Begitu Iblis Muka Merah menambah kekuatan te- 
naga dalamnya, jarum-jarum itu bergerak kembali ke 
arah Pergiwa dengan kecepatan lebih lambat. 

Pergiwa menggertakkan gigi dalam usahanya 
mengerahkan tenaga dalam sampai ke puncak. Kenda- 
ti demikian, usahanya boleh dibilang tidak membua- 
hkan hasil. Jarum-jarum itu terus meluncur ke arah- 
nya. Bahkan lebih cepat ketika Iblis Muka Merah me- 
nambah sedikit tenaganya. 

Keadaan Pergiwa yang terdesak hebat tidak lu- 
put dari perhatian Dewa Arak. Memang, meski tengah 
sibuk menghadapi hujan serangan lawan, Dewa Arak 
tidak lengah terhadap nasib Pergiwa. Beberapa kali 
pemuda berambut putih keperakan ini mengerling ke 
arah Pergiwa. 

Dewa Arak tahu Pergiwa telah bermain api! 

Adu tenaga dalam antara Pergiwa dan Iblis Muka Me- 
rah hanya akan berakhir apabila salah satu di antara 
mereka tewas. Apabila perbedaan tenaga dalam kedua 
orang itu tidak terlampau jauh mungkin yang kalah 

I hanya akan terluka parah. Padahal, Dewa Arak tahu 
pasti Iblis Muka Merah memiliki tenaga dalam jauh di 
atas Pergiwa. Dengan kata lain, Pergiwa pasti akan ce- 
laka! 

Dewa Arak tidak menginginkan Pergiwa tewas. 
Maka begitu mendapat kesempatan mengelakkan se- 
rangan kakek bongkok, pemuda berambut putih kepe- 
rakan itu mengirimkan pukulan jarak jauh dengan 
mempergunakan jurus 'Pukulan Belalang' memapaki 
jarum-jarum yang semakin mendekati tubuh Pergiwa. 
Bresss! 

Bunyi letupan tertahan terdengar. Pukulan ja- 
rak jauh Dewa Arak menumbuk jarum-jarum yang 
tengah dipermainkan dua kekuatan tenaga dalam. 
Benturan itu menyebabkan jarum-jarum berpentalan 
dan melenyapkan dua tenaga dalam yang telah saling 
melekat 

"Uh...!" 

Iblis Muka Merah maupun Pergiwa mengelua- 
rkan keluhan ketika tubuh mereka terhuyung-huyung 
ke belakang. 

Dewa Arak tanpa membuang waktu segera me- 
lesat menyambar tubuh Pergiwa dan berlari secepat 
mungkin meninggalkan tempat itu. Iblis Muka Merah 
tidak tinggal diam. Bergegas dia melesat mengejar. Ta- 
pi, baru beberapa tindak kakinya langsung dihentikan 
ketika mendengar seruan mencegah. 

"Tidak usah dikejar! Kita masih mempunyai 
urusan yang lebih penting! Membunuh seorang seperti 
Dewa Arak dapat dilakukan belakangan!" 

Iblis Muka Merah tidak membantah. Tubuhnya 
dibalikkan dan melesat cepat meninggalkan tempat itu 
mengikuti langkah kakek bongkok. 

"Kau yakin akan dapat menemukan tempat ke- 
diaman Harimau Terbang Berkuku Seribu, Ayah?" 
tanya Iblis Muka Merah tidak yakin. 

"Selama wanita liar itu belum meninggalkan je- 
jaknya selama tujuh hari, bekas perjalanan yang dila- 
luinya akan bisa ku telusuri. Dan, tempat tinggal Ha- 
rimau Terbang Berkuku Seribu pun akan dapat kita 
temukan!" 

Iblis Muka Merah mengangguk-anggukkan ke- 
pala. Entah apa arti anggukkannya. Hanya kakek ber- 
kulit merah itu sendiri yang mengetahuinya. 


Gunaran mengernyitkan alis. Heran melihat 
suasana lengang yang meliputi bagian dalam bangu- 
nan yang terkurung pagar kayu bulat tinggi. Daun 
pintu gerbang terkuak sedikit. Dari celah-celah itu 
pemuda berpakaian kuning tua mengintai. Tidak di- 
jumpainya seorang pun di dalam halaman yang luas 
dan di bagian depan bangunan. 

Gunaran mulai merasa ragu akan kebenaran 
berita yang didapatnya. Benarkah ini tempat tinggal 
Pendekar Macan Hitam dan anaknya yang dikuasai 
oleh Gerombolan Serigala Belang? Kalau benar demi- 
kian, mengapa kelihatan demikian sepi? Bukankah 
menurut para penduduk yang tinggal tidak jauh dari 
tempat ini Gerombolan Serigala Belang berjumlah cu- 
kup banyak. Apakah ayahnya, Pendekar Macan Putih, 
telah membasmi mereka semua? 

Setelah tercenung beberapa saat lamanya di 
depan pintu gerbang, Gunaran memutuskan untuk 
masuk ke dalam. Dengan hati-hati dan penuh sikap 
waspada, pemuda berpakaian kuning tua melangkah 
perlahan. Urat-urat sarafnya saat itu menegang siap 
menghadapi kemungkinan yang tidak diharapkan. 

Tapi, kehati-hatian Gunaran ternyata tidak be- 
ralasan. Tidak terjadi apa pun yang dikhawatirkannya. 
Bahkan, ketika dia telah melewati pintu gerbang. Ma- 
lah pemandangan tak terduga yang menyambutnya di 
halaman depan, tepat di balik pintu gerbang. Mayat- 
mayat bergelimpangan dalam keadaan mengenaskan. 
Semuanya sudah tidak memiliki daging lagi. Tinggal 
tulang-tulang. Lebih jelasnya lagi kerangka manusia! 

Gunaran sampai bergidik melihat pemandan- 
gan ini. Benaknya menduga-duga. Makhluk apakah 
yang telah memakan habis bagian tubuh mayat-mayat 
itu? 

Di saat Gunaran tengah kebingungan terden- 
gar jeritan menyayat hati. Jeritan kesakitan. Asalnya 
dari bagian belakang. Tanpa menunggu lebih lama 
Gunaran segera melesat ke belakang. Sikap hati-hati 
membuat pemuda berpakaian kuning tua ini kendati 
tengah tergesa-gesa tidak meninggalkan kewaspa- 
daannya. 

Jantung Gunaran berdetak lebih cepat ketika 
melihat sebuah bangunan kecil yang terletak agak 
jauh dari bangunan-bangunan lainnya. Dari sinilah 
suara jeritan menyayat itu berasal. Dengan langkah 
semakin hati-hati pemuda itu melangkah mendekati 
pintu. 

Sungguh suatu hal yang kebetulan. Daun pin- 
tu itu memiliki lubang sebesar ibu jari tangan. Melalui 
lubang ini Gunaran mengintip ke dalam. Seketika hati 
pemuda berpakaian kuning tua ini tercekat ketika me- 
lihat pemandangan di dalam ruangan yang tidak be- 
sar. 

Pemandangan yang terlihat Gunaran sungguh 
mengejutkan. Terlebih berada di tempat yang me- 
mungkinkan untuk dilihat jelas. 

Di salah satu sisi dinding bangunan tampak 
menempel sesosok tubuh berkulit hitam kecoklatan 
dan berkumis tebal melintang. Sosok yang usianya tak 
kurang dari empat puluh lima tahun ini bertelanjang 
dada. Pakaiannya yang berwarna putih dengan garis- 
garis hitam teronggok di lantai. 

Semula Gunaran mengira sosok itu bersandar 
di dinding. Ternyata tidak. Ia ditempelkan di dinding 
dengan kedua tangan terentang ke samping dan kaki 
agak terpentang. Pada telapak tangan dan kakinya di- 
pakukan sebatang pisau yang merah membara! Pisau 
yang telah digarang di api panas. 

Pemandangan ini saja mungkin tidak akan 
membuat Gunaran terlalu ngeri. Ada pemandangan 
lain yang membuat pemuda berpakaian kuning ini 
bergidik. Pada sekujur tubuh telanjang itu menempel 
ulat-ulat bulu yang dikenal Gunaran sebagai ulat yang 
gatal bukan main. Ulat-ulat itu berwarna hitam, ber- 
bulu lebar, dan berjumlah tak kurang dari dua puluh 
ulat. Mereka berkeliaran ke sana kemari. Lelaki ber- 
kumis melintang menggeliat-geliat dan menjerit-jerit 
tersiksa perasaan gatal yang bukan main! 

"Hik hikhik...!" 

Tawa merdu seorang wanita muda, tapi dengan 
nada yang membuat bulu kuduk merinding, terdengar 
dari sudut lain. Wanita berwajah cantik dengan ben- 
tuk tubuh menggiurkan. Sayang, memiliki wajah be- 
ringas dan sinar mata yang menyiratkan kekejaman. 

Wanita itu berpakaian hijau. Gunaran seperti 
pernah melihat wajah itu. Hanya dia lupa kapan dan 
di mana. 

"Serigala Belang! Bagaimana rasanya menjadi 
orang yang kalah? Nikmat bukan? Ah...! Sekarang aku 
baru mengerti mengapa dulu jeritan dan rintihanku 

I sedikit pun tidak kau pedulikan. Ternyata jeritan dan 
rintihan itu nikmat didengar." 

Gunaran terperanjat begitu mendengar lelaki 
berkumis tebal yang tengah disiksa itu adalah Serigala 
Belang, orang yang hendak dibunuh ayahnya. Serigala 
Belang ternyata masih hidup! Lalu, ke mana ayahnya? 
Pertanyaan itu menimbulkan kekhawatiran di hati 
Gunaran. Kalau ayahnya telah bertemu dengan Seri- 
gala Belang dan tokoh sesat itu masih hidup, hanya 
ada satu kemungkinan, ayahnya telah tewas di tangan 
Serigala Belang. Dugaan ini membuat Gunaran geli- 
sah. 

Seruan wanita berpakaian hijau yang usianya 
tak lebih dari dua puluh tahun membuat Gunaran 
memperhatikan lelaki berkumis tebal yang berjuluk 
Serigala Belang. Tokoh sesat ini tampak tersiksa seka- 
li. Ulat-ulat itu memang dahsyat. Gatal dan lagi men- 
gisap darah, meski hanya sedikit 

"Kurasa siksaan yang kau alami belum seband- 
ing dengan derita yang kuterima, Serigala Belang. Apa- 
lagi jika kuperhitungkan dengan nyawa ayahku, Pen- 
dekar Macan Hitam yang harus kau bayar. Siksaan 
seperti ini tidak berarti sama sekali. Aku punya per- 
mainan lain yang lebih menarik!" 

Wanita berpakaian hijau yang ternyata putri 
Pendekar Macan Hitam yang bukan lain Arum Sari, 
mengambil sebuah cambuk lemas yang ujung- 
ujungnya dipasangi paku-paku berkarat berwarna ke- 
hijauan, pertanda telah dialiri racun. 

Wanita berpakaian hijau itu masih duduk ber- 
sila. Dengan tenang, cambuk itu dilecutkan secara 
sembarangan. Cambuk pun melayang ke arah Serigala 
Belang dan menghantam tubuhnya dengan telak. Un- 
niknya, cambuk itu bagai dilekukkan dengan tangan. 
Menghantam dada Serigala Belang dengan ujungnya 
yang penuh dipasang paku! Serigala Belang meraung 
menyayat hati. Lecutan cambuk membuat darah men- 
gucur karena dagingnya terkoyak. Bersamaan dengan 
itu rasa gatal serta panas yang luar biasa langsung 
melanda. 

Dalam cekaman rasa sakit dan gatal Serigala 
Belang meronta-ronta. Tapi, karena sekujur tubuhnya 
telah tidak bertenaga, hanya geliatan lemah yang 
mampu dilakukannya. 

Tindakan Arum Sari terus berlanjut. Gadis 
berpakaian hijau itu mengulurkan tangan kanan ke 
depan dan menggetarkan cambuknya yang masih be- 
rada di udara. Cambuk itu melayang kembali ke ba- 
gian tubuh lain dari Serigala Belang. Lelaki itu me- 
raung kesakitan. Begitu seterusnya. Sementara ulat- 
ulat hitam terus berpesta-pora. Binatang-binatang itu 
tidak merasa terganggu sama sekali. Cambuk itu tidak 
menghantam mereka, menyentuh sedikit pun tidak. 
Semua itu telah diatur oleh Arum Sari. 

Gunaran hanya bisa menatap dengan sepasang 
mata terbelalak. Apalagi setelah mendengar perkataan 
gadis berpakaian hijau. Dia sekarang ingat siapa wani- 
ta berpakaian hijau. Dia adalah Arum Sari, putri Pen- 
dekar Macan Hitam. 

Ingat akan Arum Sari, Gunaran merasakan 
jantungnya berdetak kencang. Gurunya pernah berce- 
rita tentang Arum Sari. Beliau menasihati agar bila 
bertemu dengan Arum Sari supaya bersikap hati-hati. 
Apabila Arum Sari memiliki watak jahat, Gunaran ha- 
rus segera pulang memberitahukan Harimau Terbang 
Berkuku Seribu. Barangkali saja Arum Sari dapat dis- 
elamatkan! 

Gunaran yang telah mengenal Arum Sari di 
waktu kecil tentu saja tidak menginginkan gadis itu 
menjadi orang jahat. Harimau Terbang Berkuku Seri- 
bu pernah sedikit menyinggung kalau Arum Sari se- 
benarnya tidak ingin berlaku jahat. Gadis berpakaian 
hijau itu bertindak demikian karena pengaruh dari da- 
lam tubuhnya. Karena itu, Gunaran bermaksud mem- 
beritahukan Harimau Terbang Berkuku Seribu. Bu- 
kankah gurunya akan mengobati gadis berpakaian hi- 
jau itu? 

Gunaran terlalu terburu-buru bertindak. Dia 
memandang enteng Arum Sari. Ketika baru saja berla- 
ri meninggalkan daun pintu, pemuda berpakaian kun- 
ing tua ini hampir terlonjak saking kagetnya menden- 
gar bentakan nyaring yang menggetarkan jantung. 

"Manusia tidak tahu diri dari mana yang berani 
mengintai kesenanganku? Jangan harap kau dapat lo- 
los dari tanganku!" 

Gunaran mengenal betul suara Arum Sari ka- 
rena tadi telah mendengarnya. Dan, Gunaran tidak in- 
gin terlibat keributan dengan Arum Sari. Ia tidak 
mempedulikan seruan itu dan terus berlari. 

*** 

Di dalam bangunan, sehabis mengeluarkan 
bentakan dan tahu pengintai itu tidak kembali, Arum 
Sari menjadi beringas. Sekali tangan kirinya dijulur- 
kan ke depan dan disentakkan, cambuk yang masih 
melayang-layang, di atas tubuh Serigala Belang mele- 
sat keluar dengan kecepatan mengagumkan. 

Brakkk! 

Daun pintu hancur berantakan ketika cambuk 
berujung paku itu menghantam keras. Kemudian, 
cambuk melesat keluar secepat kilat. Arum Sari ter- 
paksa menggunakan kedua tangannya untuk men- 
gendalikan cambuk itu. Kedua tangannya yang kekar 
dan berotot dijulurkan ke depan dan digetarkan penuh 
pengerahan tenaga! 

Arum Sari yang sekarang memang berbeda 
dengan Arum Sari beberapa hari yang lalu. Arum Sari 
yang dulu biar dibantu ayahnya, Pendekar Macan Hi- 
tam, tidak akan mampu mengungguli Serigala Belang. 
Sedangkan bagi Arum Sari sekarang Serigala Belang 
sama sekali tidak ada artinya! 

Arum Sari mendapat kemajuan pesat Tidak 
hanya kepandaian, tapi juga tenaga dalam! Karena itu, 
gadis berpakaian hijau ini mampu mengendalikan 
cambuk dari jauh dengan mempergunakan tenaga da- 
lamnya. 

Luncuran cambuk terdengar oleh Gunaran 
yang mempunyai telinga tajam. Ketika menengok pe- 
muda berpakaian kuning tua itu kaget bukan main, ia 
melihat cambuk melayang mengejarnya, sedangkan 
Arum Sari telah duduk di ambang pintu yang daunnya 
hancur berantakan. 

Gunaran yang memang tidak ingin meladeni 
keinginan Arum Sari menggertakkan gigi dan menam- 
bah kecepatan larinya. Dalam sekejap saja cambuk 
berujung paku milik Arum Sari tertinggal jauh. 

Arum Sari menggeram menahan marah. Dia 
tahu kalau tetap bersikeras menggunakan cambuk- 
nya, Gunaran akan berhasil kabur. Maka, dengan 
mengibaskan kedua tangannya Arum Sari melayang 
ke depan mengejar Gunaran! Kedudukan tubuh Arum 
Sari masih dalam keadaan bersila. 

Gunaran yang tengah asyik-asyiknya berlari 
agak terkejut ketika merasakan hembusan angin di 
dekatnya. Tapi dia tidak ambil peduli. Dan, terus ber- 
lari. 

Gunaran baru memperlambat larinya ketika 
melihat sesosok tubuh telah berada di depannya, ma- 
sih dalam keadaan melayang dan memunggunginya. 

Sosok tubuh berpakaian hijau dalam keadaan duduk 
bersila! Siapa lagi kalau bukan Arum Sari. 

Karena jalan keluar telah dihadang, Gunaran 
terpaksa menghentikan langkah. Pemuda berpakaian 
kuning tua ini tidak merasa gentar sedikit pun kendati 
tahu kepandaian Arum Sari sungguh luar biasa. Ke- 
nyataan kalau Arum Sari mampu menyusul larinya 
menunjukkan ilmu meringankan tubuh Arum Sari be- 
rada di atasnya. Padahal, Arum Sari tidak menggerak- 
kan kaki! 

Ketidakgentaran sikap Gunaran di samping ka- 
rena memang wataknya sebagai seorang gagah juga 
karena Arum Sari bukan orang yang pantas untuk di- 
takuti. Gunaran telah pernah bertemu dengan Arum 
Sari sewaktu mereka masih kecil. Arum Sari seorang 
gadis cilik yang menyenangkan. Perasa dan mudah 
kasihan terhadap sesuatu. Jangankan membunuh 
orang, membunuh tikus pun rasanya Arum Sari tidak 
akan sampai hati. 

Gunaran membelalakkan mata melihat Arum 
Sari menjejakkan kaki di tanah hanya dengan menu- 
runkan kedua kakinya dari lipatan. Gadis berpakaian 
hijau itu kemudian membalikkan tubuh. Gunaran dan 
Arum Sari saling beradu pandang. 

"Siapa kau, Pengecut Hina...?!" Arum Sari men- 
gajukan pertanyaan dengan suara melengking nyaring. 

Telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke wajah Gu- 
naran. Sikapnya terlihat merendahkan. "Besar sekali 
nyalimu hingga berani mengintai perbuatanku? Hm..„ 

Rasanya aku pernah melihat wajahmu..." 

"Bukan hanya rasanya saja, Arum Sari. Kita 
memang pernah bertemu." Gunaran menjawab dengan 
suara pahit. Dia merasa tersinggung sekali melihat si- 
kap Arum Sari yang demikian sombong. "Ayahmu ada- 
lah sahabat karib ayahku." 

"Jadi, rupanya kau Gunaran!" Tidak terdengar 
nada kegembiraan dan keterkejutan dalam ucapan itu. 
Biasa saja. Sehingga, Gunaran diam-diam merasa ke- 
cewa. Tapi, pemuda berpakaian kuning tua ini meng- 
hibur hati dengan anggapan Arum Sari memang ten- 
gah dilihat masalah. 

Gunaran hanya mengangguk mengiyakan per- 
tanyaan Arum Sari. 

"Apa maksudmu datang ke tempat ini?!" tanya 
Arum Sari ketus. 

Memang, meskipun telah disusupi roh Mayang, 
Arum Sari tidak kehilangan kesadarannya. Bahkan 
gadis itu seperti mempunyai pribadi ganda. Ia dapat 
bersikap sebagai Arum Sari dan Mayang secara ber- 
ganti-ganti, tergantung keadaan yang dihadapi. Saat 
ini Arum Sari tengah terguncang batinnya, sehingga 
sifatnya jadi agak liar dan beringas. Bahkan, terhadap 
Gunaran yang merupakan kawannya sewaktu kecil. 

"Aku ingin mengetahui kejadian yang menimpa 
kau dan ayahmu, serta melihat nasib ayahku. Asal 
kau tahu saja, Arum Sari. Ayahku datang kemari un- 
tuk membalaskan kematian ayahmu!" 

"Hhh...!" Arum Sari mendengus. "Suatu tinda- 
kan yang tolol! Hanya mengantar nyawa dengan per- 
cuma!" 

Merah padam wajah Gunaran. Dia tersinggung 
sekali mendengar ayahnya dimaki. Boleh jadi Arum 
Sari tengah dilanda masalah, tapi tetap saja Gunaran 
tidak akan membiarkan ayahnya dihina orang seme- 
na-mena. 

"Kau terlalu, Arum! Kau pikir aku takut pada- 
mu?!" suara Gunaran tiba-tiba meninggi. 

"Hi hi hi...!" Arum Sari malah tertawa. "Siapa 
suruh kau takut padaku, Gunaran yang bodoh?" 

"Kau..., sungguh tak kusangka ayahmu mem- 
punyai anak sesat sepertimu, Arum! Biarlah aku me- 
wakili almarhum ayahmu untuk menghukum mu!" 

Usai berkata, Gunaran melompat menerjang 
Arum Sari. Ia langsung mengirimkan pukulan bertubi- 
tubi ke arah dada. Dalam luapan amarah Gunaran 
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Angin puku- 
lannya terdengar berciutan cukup nyaring. 

Gunaran memperkirakan Arum Sari akan 
mengelak atau menangkis. Maka, pemuda berpakaian 
kuning tua ini terperanjat ketika melihat putri Pende- 
kar Macan Hitam tidak bergeming. Arum Sari mem- 
biarkan saja serangan Gunaran. 

Gunaran yang sungguh pun marah tidak ber- 
niat mencelakakan Arum Sari bergegas mengurangi 
tenaganya. Karena, untuk menarik pulang serangan- 
nya sudah tidak memungkinkan lagi. 

Buk, bukk, bukkk! 

Berturut-turut tinju Gunaran bersarang di sa- 
saran. Tapi akibatnya bukan Arum Sari yang roboh. 
Gunaran berteriak kesakitan merasakan tangannya 
seperti bukan berbenturan dengan tubuh manusia, 
melainkan gumpalan baja yang amat keras. 

"Hi hi hi...!" Lagi-lagi Arum Sari terkekeh. "Ma- 
nusia sombong juga rupanya kau, Gunaran! Kau kira 
aku selemah kau? Tidak usah mengurangi tenagamu. 
Kau kerahkan semuanya pun tidak akan berarti apa- 
apa buatku!" 

Gunaran yang masih merasakan sakit pada 
tangannya setelah membentur dada Arum Sari tampak 
terkejut mendengar ucapan itu. Arum Sari mengetahui 
kalau ia mengurangi tenaganya. Gunaran tak bisa 
membayangkan ketinggian ilmu Arum Sari. 

Pemuda itu segera memutuskan untuk tidak 
main-main lain. Di samping merasa tersinggung den- 
gan ucapan gadis berpakaian hijau itu, Gunaran juga 
ingin membuka mata Arum Sari kalau ia tidak memili- 
ki kepandaian rendah. 

Wuk, wuk, wuk! 

Bunyi menderu langsung terdengar ketika Gu- 
naran memutar senjata andalannya. Ruyung berba- 
tang dua yang dihubungkan dengan rantai baja. Sen- 
jata andalan itu semula terselip di pinggang. 

"Haaatt...!" 

Diawali teriakan keras yang mendirikan bulu 
roma, Gunaran menghantamkan senjatanya ke arah 
kepala Arum Sari. Pukulan itu dilancarkan dari atas. 

Tapi, Arum Sari tetap bertindak seperti sebe- 
lumnya, memandang remeh Gunaran. Ketika ruyung 
itu menyambar kepalanya, dia sedikit pun tidak beru- 
saha mengelak. Ditangkisnya serangan itu dengan ja- 
ri-jari tangan terbuka, lalu menangkapnya. 

Kreppp! 

Gunaran mengerahkan seluruh tenaganya un- 
tuk menarik ruyungnya dari cekalan tangan Arum Sa- 
ri. Tapi tidak berhasil. Padahal Gunaran telah meng- 
gunakan kedua tangannya, sementara Arum Sari 
hanya memakai tangan kiri. 

"Hih!" 

Di saat Arum Sari bergerak memutar tubuh, 
Gunaran langsung melayang ke arah gadis itu. Saat 
itulah tangan kanan Arum Sari dihentakkan ke depan. 

Bresss! 

Tubuh Gunaran melayang ke belakang ketika 
pukulan jarak jauh Arum Sari menggedor dadanya. 
Ruyung yang semula tergenggam di tangan terlepas 
dari pegangan. 

"Hukh...!" 

Gunaran memuntahkan darah segar ketika tu- 
buhnya jatuh ke tanah setelah melayang beberapa 
tombak. Pemuda berpakaian kuning tua ini muntah 
darah karena memaksakan diri untuk bangkit. 

"Kalau saja kau dulu bukan sahabatku, mung- 
kin nyawamu sudah kukirim ke akherat, Gunaran! 
Berbahagialah karena kau pernah berkenalan dengan- 
ku!" tandas Arum Sari sombong. Kemudian, ia mem- 
banting ruyung Gunaran ke tanah hingga amblas ke 
dalamnya. 

"Kejam sekali...!" 

Sambutan lirih tapi terdengar jelas menyesal- 
kan ucapan Arum Sari. Bagai telah disepakati sebe- 
lumnya, Arum Sari dan Gunaran langsung mengalih- 
kan pandangan ke arah asal suara. Kalau Arum Sari 
belum bisa menebak siapa pemilik suara itu, tidak 
demikian halnya dengan Gunaran. Pemuda berpa- 
kaian kuning tua itu langsung berseri-seri wajahnya. 
Pemilik suara itu adalah gurunya, Harimau Terbang 
Berkuku Seribu. 

"Kau...?!" 

Arum Sari mengeluarkan seruan tertahan. Se- 
pasang matanya membelalak lebar. Wajahnya menyi- 
ratkan keterkejutan yang sangat. Gadis berpakaian hi- 
jau ini melangkah mundur karena kagetnya. 

"Kau terkejut, Mayang?" 

Pemilik suara lembut itu ternyata seorang ka- 
kek kecil kurus. Usianya sukar untuk ditaksir. Tapi 
melihat penampilannya tak kurang dari seratus sepu- 
luh tahun. Ia mengangguk sehingga rambutnya yang 
putih dan gondrong bergoyang-goyang. Demikian pula 
dengan kumis dan jenggot putihnya yang tidak teru- 
rus. 

Kakek ini tidak hanya pandai dalam ilmu ke- 
pandaian silat, tapi juga ilmu kebatinan. Dengan mata 
batinnya ia mampu melihat jelas bayangan roh 
Mayang dalam diri Arum Sari. Kakek ini pula yang 
menyuruh Pendekar Macan Hitam untuk menan- 
capkan bambu kuning pada peti mati Mayang ketika 
ayah Arum Sari mengadukan perihal Mayang padanya. 

"Mengapa kau mencampuri urusanku, Paru- 
gi?!" sentak Arum Sari yang dipanggil Harimau Ter- 
bang Berkuku Seribu sebagai Mayang. "Kuharap kau 
jangan ikut campur!" 

"Bagaimana mungkin, Mayang? Tubuh orang 
yang kau tumpangi itu adalah cucu muridku. Jadi, 
bagaimana mungkin aku bisa tinggal diam? Apalagi 
setelah kau melukai muridku juga. Aku lebih tidak bi- 
sa tinggal diam. Tinggalkan raga cucu muridku itu, 
Mayang. Kau akan kubiarkan pergi. Tapi, apabila pe- 
ringatanku ini tidak kau indahkan, jangan salahkan 
aku kalau kau akan tersiksa. Mungkin kau masih in- 
gat aku adalah penangkap roh!" 

Wajah Arum Sari berubah pucat. Sinar ma- 
tanya menyiratkan rasa takut yang tidak bisa disem- 
bunyikan. 

"Aku mohon dengan sangat, Parugi. Biarkan 
aku menempati jasad ini dulu. Aku ingin memba- 
laskan sakit hatiku yang tengah sekian puluh tahun 
kupendam terhadap Raga Pasu dan Raga Pitu," pinta 
Mayang melalui mulut Arum Sari. 

"Sayang sekali, Mayang. Aku tidak bisa menga- 
bulkan permintaanmu. Cepat kau pergi dari raga cucu 
muridku sebelum aku terpaksa bertindak kasar terha- 
dapmu!" tegas Parugi alias Harimau Terbang Berkuku 
Seribu. 

"Sebentar saja, Parugi," Arum Sari yang sebe- 
narnya adalah Mayang masih berusaha membujuk. 

"Jangan tunggu kesabaranku habis, Mayang. 
Ini peringatan terakhir. Cepat pergi atau kau terpaksa 
menderita selamanya!" 

Arum Sari mengeluarkan keluhan panjang 
yang sarat dengan kekecewaan dan kepiluan hati. 
Mayang yang berada dalam raga Arum Sari tahu tidak 
ada gunanya lagi berlama-lama di sini. Tidak ada jalan 
lain kecuali meninggalkan raga Arum Sari. Padahal, 
dendamnya belum tuntas. Baru dendam Arum Sari 
yang dilampiaskannya. 

Harimau Terbang Berkuku Seribu dan Guna- 
ran melihat seleret sinar hijau melesat dari atas kepala 
Arum Sari. Kemudian, melesat menjauh dengan kece- 
patan yang menakjubkan! Sekelebatan dan langsung 
lenyap. 

Begitu seberkas sinar kehijauan keluar dari 
atas kepalanya dan lenyap, Arum Sari mengeluh. Tu- 
buhnya ambruk ke tanah tak sadarkan diri. 

Gunaran hendak bergerak bangkit untuk me- 
meriksa keadaan Arum Sari, tapi maksudnya segera 
dihentikan oleh gurunya. Harimau Terbang Berkuku 
Seribu memberikan isyarat padanya untuk diam saja, 
tidak perlu melakukan tindakan apa pun. 

Gunaran tidak membantah. Diperhatikannya 
Harimau Terbang Berkuku Seribu mendekati tubuh 
Arum Sari yang tergolek di tanah. Harimau Terbang 
Berkuku Seribu berdiri dengan menekuk lutut seraya 
mulutnya berkemak-kemik membaca mantera. Kemu- 
dian, tangan kanannya diusapkan ke seluruh bagian 
tubuh Arum Sari mulai dari ujung kepala sampai 
ujung kaki. Hanya, tapak tangan kakek kecil kurus ini 
tidak bersentuhan dengan kulit Arum Sari, kira-kira 
tiga jari di atasnya. Harimau Terbang Berkuku Seribu 
tengah membuat pelindung gaib agar makhluk halus 
tidak bisa masuk ke dalam tubuh gadis itu. 

Beberapa saat kemudian, Harimau Terbang 
Berkuku Seribu bangkit berdiri. "Sekarang Mayang ti- 
dak akan bisa masuk lagi ke dalam raga Arum Sari. 
Apa pun yang terjadi. Kalau dia memaksakan kehen- 
dak, akan celaka sendiri," ujar kakek itu seraya me- 
mandang wajah Gunaran. 

Belum juga Gunaran sempat memberikan 
tanggapan, Harimau Terbang Berkuku Seribu menoleh 
ke belakang, ke arah pintu gerbang. Gunaran pun se- 
gera mengarahkan pandangannya ke sana. Dia yakin 
kakek kecil kurus itu mempunyai alasan bertindak 
demikian. 

Dugaan Gunaran tidak keliru. Dari balik pintu 
gerbang muncul sesosok tubuh berkulit hitam legam. 
Malisang! 

"Kau, Harimau Terbang Berkuku Seribu?!" 
tanya Malisang seraya menghampiri kakek kecil kurus 
dengan tergesa. Tenang dan tanpa ragu-ragu, kendati 
belum mengenal lelaki berkulit hitam legam itu. 

Dari gerak-geriknya, Harimau Terbang Berku- 
ku Seribu tahu orang ini bukanlah orang baik-baik. 
"Siapa kau?" 

"Benar," jawab Harimau Terbang Berkuku Se- 
ribu. 

"Aku langsung saja pada pokok persoalannya, 
Harimau Terbang," sergah Malisang tidak sabar, "Aku 
hanya ingin agar kau tidak mau memenuhi permin- 
taan Raga Pasu dan Raga Pitu. Mereka ingin meminta 
kau supaya menangkap roh Mayang. Atau, mengelua- 
rkan roh Mayang dari dalam raga cucunya. Kuharap 
kau jangan melakukan hal itu. Biarkan Mayang me- 
laksanakan pembalasan dendamnya yang bertumpuk 
sejak puluhan tahun." 

Harimau Terbang Berkuku Seribu menger- 
nyitkan alis. 

"Tidak usah bertele-tele, Sobat. Aku tahu kau 
bukan orang baik-baik. Tak mungkin kau melakukan 
tindakan ini untuk kepentingan Mayang. Katakan apa 
alasanmu yang sebenarnya sebelum kau menyudahi 
pembicaraan kita." 

Lelaki berkulit hitam legam itu tahu hanya 
akan merugikan diri sendiri kalau menyembunyikan 
persoalan dari kakek bermata tajam seperti Harimau 
Terbang Berkuku Seribu. Apalagi saat ini dia tengah 
memerlukan bantuan kakek itu. Maka, setelah meng- 
hela napas berat lelaki berkulit hitam legam ini mulai 
bercerita. 

"Namaku Malisang. Aku tidak mempunyai hu- 
bungan apa pun dengan Mayang. Mendengar nama 
dan semua urusannya pun dari guru dan kakek se- 
perguruanku. Mereka adalah Raga Pitu dan Raga Pa- 
su." 

"Seorang murid hendak membunuh kakek se- 
perguruan dan gurunya? Luar biasa!" timpal Harimau 
Terbang Berkuku Seribu, tajam. Ia tidak merasa heran 
karena dapat memperkirakan tokoh golongan apa Ma- 
lisang. 

Tapi, Malisang tidak mempedulikan hal itu. 

"Aku menjadi murid Raga Pitu seperti halnya 
Serigala Belang. Hanya aku menjadi muridnya dua ta- 
hun lebih dulu dari Serigala Belang. Ayah dan anak 
itu mempunyai watak seperti iblis. Keduanya gila wa- 
nita! Entah sudah berapa ratus wanita yang menjadi 
korbannya. Bahkan, beberapa tahun lalu ketika aku 
berjumpa dengan seorang wanita yang menarik hatiku 
dan ingin kujadikan istriku, ayah dan anak yang telah 
gila itu merampasnya dan mempermainkannya sampai 
mati! Aku tidak ingin kejadian itu terulang pada wani- 
ta lain yang saat ini telah mencuri hatiku. Kami ber- 
niat untuk menikah!" 

"Agar niatmu itu tercapai, kau akan membu- 
nuh guru dan kakek seperguruanmu itu?!" tukas Ha- 
rimau Terbang Berkuku Seribu. 

"Begitulah, Harimau Terbang." Malisang kemu- 
dian mengangguk. "Jalan satu-satunya hanyalah 
Mayang. Tidak ada seorang tokoh pun yang sanggup 
mengalahkan Raga Pasu. Tua bangka itu memiliki ke- 
pandaian iblis!" 

"Hhh...!" 

Harimau Terbang Berkuku Seribu menghela 
napas berat. 

"Sayang sekali, Malisang. Roh Mayang telah 
kuusir pergi dari tubuh Arum Sari. Bahkan, tubuh 
Arum Sari telah kupasangi benteng hingga roh Mayang 
tidak bisa masuk lagi. Perlu waktu yang cukup lama 
untuk membuka kembali benteng itu agar roh Mayang 
bisa masuk. Dan...." 

"Sayangnya kau tidak punya waktu untuk itu, 
Harimau Terbang!" sambut sebuah suara yang disusul 
dengan kekehnya. Suara itu berasal dari mulut seo- 
rang yang telah lanjut usia. 

"Benar, Ayah!" sambut sebuah suara lain lebih 

keras. 

"Roh perempuan jahanam itu tidak akan bisa 
berbuat apa-apa lagi terhadap kita. Dan, dengan ma- 
tinya Harimau Terbang Berkuku Seribu serta dua mo- 
nyet kecil ini kita akan aman selama-lamanya." 

Malisang langsung melompat mundur melihat 
kemunculan dua sosok yang tidak lain kakek bongkok 
dengan anaknya, Iblis Muka Merah. Kakek bongkok 
itu bernama Raga Pitu sedangkan Iblis Muka Merah 
bernama Raga Pasu. 

Raga Pitu menatap tiga sosok yang berdiri di 
hadapannya dengan sepasang matanya yang menco- 
rong mengerikan. Tatapannya berhenti agak lama pa- 
da Malisang. 

Tubuh Malisang kontan menggigil keras seperti 
terkena demam tinggi. Ia bisa memperkirakan nasib 
yang akan menimpanya. Dia tahu tidak ada satu ke- 
kuatan pun yang sanggup melawan Raga Pitu, kecua- 
li... roh Mayang! Tapi, sekarang roh Mayang telah ti- 
dak berdaya pula! 

"Celaka aku sekarang, Harimau Terbang. Kita 
semua akan celaka. Sungguh tidak kusangka kau 
akan bertindak demikian ceroboh," sesal Malisang. 

Harimau Terbang Berkuku Seribu yang berdiri 
paling depan, tersenyum tenang. Nama Raga Pitu telah 
lama didengarnya sebagai tokoh lihai yang memiliki 
kepandaian luar biasa. Terutama tenaga dalamnya. 
Tapi, Raga Pitu kemudian mengasing-kan diri. Baru 
sekarang ia keluar lagi. Harimau Terbang Berkuku Se- 
ribu tidak takut dengan Raga Pitu. 

Hanya saja Harimau Terbang Berkuku Seribu 
mengkhawatirkan keselamatan muridnya. Gunaran 
yang tengah terluka bukan tandingan Raga Pasu yang 
berjuluk Iblis Muka Merah. 

"Malisang!" Raga Pitu berkata keras, tapi mu- 
lutnya sama sekali tidak bergerak. "Kau barangkali te- 
lah memiliki nyawa rangkap sehingga berani mencoba 
mengkhianatiku. Kemarilah, Malisang...." 

Raga Pitu memanggil dengan lemah lembut se- 
bagaimana layaknya seorang kakek memanggil cu- 
cunya. Tapi, Malisang malah mundur dengan wajah 
pucat-pasi. Ia menyadari benar ada ancaman bahaya 
maut 

Sepasang mata Raga Pitu berkilat-kilat menyi- 
ratkan hawa maut. Kemudian, kedua tangannya di- 
kembangkan. Dia melakukan gerak menarik. 

"Ah...!" 

Malisang menjerit tertahan ketika merasakan 
ada kekuatan dahsyat menariknya ke arah Raga Pitu. 
Seakan-akan ada tangan tak nampak. 

Malisang tidak mau berdiam diri menghadapi 
ancaman maut itu. Dia berusaha keras untuk berta- 
han. Tapi hanya sebentar saja kekuatan yang menarik 
itu terhenti. Kemudian, tubuhnya kembali melayang 
deras ke arah Raga Pitu. 

Prokkk! 

Malisang tidak sempat lagi menjerit. Tubuhnya 
yang meluncur deras ke arah Raga Pitu disambut den- 
gan tamparan tangan kanan ke pelipisnya. Kepala itu 
langsung pecah mengeluarkan darah bercampur otak. 
Malisang tewas seketika. 

"Keji...!" 

Meski Malisang bukan apa-apanya, Harimau 
Terbang Berkuku Seribu geram juga melihat kekeja- 
man Raga Pitu. Maka, sambil mengeluarkan auman 
keras yang menggetarkan sekitar tempat itu, Harimau 
Terbang Berkuku Seribu melompat menerkam Raga 
Pitu. Jari-jari kedua tangannya mengambang mem- 
bentuk cakar harimau. Bunyi bercicitan nyaring dari 
udara yang terobek kuku-kuku jari tangan Parugi tak 
kalah dengan jeritan puluhan ekor tikus. 

Prat, prat, prat! 

Berturut-turut cakar Harimau Terbang Berku- 
ku Seribu berbenturan dengan tangan Raga Pitu yang 
memapaknya. Akibatnya, tubuh Harimau Terbang 
Berkuku Seribu terpental ke belakang. Sedangkan Ra- 
ga Pitu berdiri tidak bergeming. Kendati demikian, len- 
gan bajunya dan baju di bagian dadanya koyak-koyak 
terkena sambaran angin serangan cakaran Harimau 
Terbang Berkuku Seribu. Demikian hebatnya Parugi. 
Tidak percuma dia berjuluk Harimau Terbang Berku- 
ku Seribu. Angin serangannya saja cukup untuk me- 
lukai kulit tubuh lawan dan merobek pakaiannya. Ta- 
pi, kulit tangan Raga Pitu tidak mampu ditembus! 

Raga Pitu menggeram murka. Meski kulitnya 
tidak terluka tapi pakaiannya yang koyak cukup 
membuatnya berang. Maka, di saat tubuh Harimau 
Terbang Berkuku Seribu ke belakang, Raga Pitu 
menghujaninya dengan pukulan-pukulan jarak jauh- 
nya yang menggiriskan hati. 

Raga Pitu memang seorang tokoh sesat yang li- 
cik dan cerdik. Agar serangan lebih gencar, setiap pu- 
kulan jarak jauh dilakukan dengan satu tangan. Hem- 
busan angin keras pun silih berganti menghujani tu- 
buh Harimau Terbang Berkuku Seribu. Kakek kecil 
kurus itu terpontang-panting ke sana kemari menge- 
lakkan serangan-serangan gancar itu. Padahal, tubuh 
Harimau Terbang Berkuku Seribu tengah berada di 
udara. 

Bresss! 

Harimau Terbang Berkuku Seribu menjerit ter- 
tahan ketika salah satu pukulan jarak jauh lawan 
menghantam paha kanannya. Seketika tubuh kakek 
kecil kurus ini terlempar ke belakang dan jatuh berde- 
buk di tanah. Darah segar langsung muncrat dari mu- 
lutnya. 

"Ha ha ha...!" 

Iblis Muka Merah tertawa bergelak. Ia berjalan 
menghampiri tubuh Harimau Terbang Berkuku Seribu 
yang kebetulan tergolek di sebelah Gunaran yang su- 
dah mampu duduk dengan kedua kaki dijulurkan. 
Baik Gunaran maupun Harimau Terbang Berkuku Se- 
ribu berdiam diri saja, tidak berusaha melakukan per- 
lawanan lagi. Mereka seperti sudah pasrah akan da- 
tangnya maut 

Tapi ketika jarak antara Iblis Muka Merah den- 
gan tubuh guru dan murid itu masih sekitar empat 
tombak, sesosok bayangan berkelebat. Tahu-tahu di 
depan Iblis Muka Merah, membelakangi Harimau Ter- 
bang Berkuku Seribu dan muridnya, Dewa Arak berdi- 
ri dengan sikap gagah. 

"Kau lagi?!" Iblis Muka Merah menggeram. 
"Rupanya kau sudah ingin mampus!" 

Iblis Muka Merah langsung mengirimkan se- 
rangan dahsyat Namun Dewa Arak yang sudah sejak 
tadi bersiap menyambutinya dengan ilmu 'Belalang 
Sakti'. Pertarungan dahsyat pun terjadi. Iblis Muka 
Merah ternyata lihai bukan main. 

Di lain tempat, Raga Pitu tengah beristirahat 
memulihkan tenaga. Ia terlalu lelah setelah menguras 
sebagian besar tenaganya dengan cecaran-cecaran 
pukulan jarak jauh. 

Beberapa saat setelah Dewa Arak terlibat perta- 
rungan dengan Iblis Muka Merah, Pergiwa yang mela- 
kukan perjalanan bersama Dewa Arak pun tiba. Gadis 
itu segera menghambur ke arah guru dan kakak se- 
perguruannya. Ketiga orang itu terlibat dalam perte- 
muan yang mengharukan. 

"Sungguh tidak disangka kau telah bertemu 
dengan pendekar yang nama harumnya telah meng- 
goncangkan dunia persilatan, Pergiwa," ujar Harimau 
Terbang Berkuku Seribu tanpa menyembunyikan rasa 
kagumnya. 

Pergiwa hanya menundukkan kepala. Dari ba- 
lik bulu matanya ia mengerling ke arah gurunya. Ingin 
ia mendengar Harimau Terbang Berkuku Seribu me- 
lanjutkan pembicaraan mengenai Dewa Arak. Entah 
mengapa setiap pembicaraan mengenai Dewa Arak 
amat menyenangkan hati Pergiwa. 

Pergiwa kecewa ketika melihat gurunya tidak 
melanjutkan pembicaraan. Malah, mengalihkan perha- 
tian pada pertarungan yang tengah berlangsung. Be- 
berapa kali kakek kecil kurus itu memuji Dewa Arak. 
Harimau Terbang Berkuku Seribu merasa kagum me- 
lihat ilmu Dewa Arak yang demikian aneh. 

Pergiwa yang tidak tertarik dengan jalannya 
pertarungan mengedarkan pandangan berkeliling. 

Dia melihat Raga Pitu tengah duduk bersila. 
Kakek itu sedang bersemadi. 

"Mumpung kakek sakti itu tengah sibuk den- 
gan semadinya biar kubunuh saja dia, Guru. Biarlah 
aku dianggap pengecut daripada kita semua tewas di 
tangannya!" ujar Pergiwa. Kemudian melesat meng- 
hampiri Raga Pitu. 

Harimau Terbang Berkuku Seribu terkejut bu- 
kan main melihat tindakan yang dilakukan Pergiwa. 

"Pergiwa! Jangan...!" 

Tapi, Pergiwa tidak mempedulikan seruan gu- 
runya. Dengan kedua tangan terkepal dilancarkannya 
pukulan ke dada Raga Pitu. 

Desss! 

"Akh...!" 

Pergiwa menjerit keras ketika pukulannya 
membentur sasaran. Ada aliran tenaga dalam yang 
amat dahsyat menangkisnya. Tubuhnya melayang ke 
belakang dengan darah segar berhamburan dari mu- 
lutnya. Pergiwa salah menduga! Saat itu Raga Pitu 
tengah dalam keadaan membahayakan karena seluruh 

I tenaga dalamnya sedang berputaran! Maka, Pergiwa 
pun mengalami nasib naas. 

"Pergiwa...!" Hampir bersamaan seruan itu ke- 
luar dari mulut Harimau Terbang Berkuku Seribu dan 
Gunaran. Harimau Terbang Berkuku Seribu tahu 
nyawa muridnya tak akan bisa diselamatkan. Luka 
'dalam Pergiwa sangat parah. 

Di saat tubuh Pergiwa tengah melayang itu, 
tanpa bisa dilihat oleh seorang pun karena saking ce- 
patnya, sinar kehijauan menumbuk tubuh gadis ber- 
pakaian merah itu dan lenyap masuk ke dalam tubuh 
Pergiwa. Roh Mayang! Akibatnya, sesaat kemudian 
Pergiwa mampu melakukan salto beberapa kali ke be- 
lakang dan menjejak tanah dengan ringan. 

Karuan saja semua orang yang melihat keja- 
dian ini menjadi heran. Tapi, Pergiwa sendiri tidak 
ambil peduli. Dia mengalihkan perhatian pada Dewa 
Arak yang mulai berhasil mendesak Iblis Muka Merah. 

"Dewa Arak...! Mundur...!" 

Seruan keras laksana guntur itu keluar dari 
mulut Pergiwa. Bukan hanya keras, tapi mempunyai 
pengaruh aneh yang membuat tokoh sesakti Dewa 
Arak tanpa sadar bergerak mundur. 

"Terimalah kematian kalian, Raga Pitu dan Ra- 
ga Pasu...!" seru Pergiwa dengan suara melengking 
nyaring, menyeramkan. Gadis berpakaian merah ini 
mengepalkan kedua tangannya ke atas. 

Dewa Arak, Gunaran, dan Harimau Terbang 
Berkuku Seribu menatap dengan sinar mata tak per- 
caya. Sementara wajah Raga Pitu dan Raga Pasu me- 
mucat mengetahui siapa yang telah mengeluarkan se- 
ruan itu. Mayang! Orang yang telah mereka permain- 
kan habis-habisan dulu! Raga Pitu adalah ayah tiri 
Mayang. Dan Raga Pasu adalah anak dari Raga Pitu. 
Mereka hafal betul dengan suara Mayang. Maka, me- 
reka langsung bisa mengenalinya. 

Tapi, ayah dan anak ini tidak sempat berbuat 
sesuatu. Langit tiba-tiba menjadi gelap. Petir dan ba- 
dai bersahutan. Angin yang luar biasa kencangnya 
berhembus. 

Raga Pitu dan Rasa Pasu tidak tinggal diam. 
Keduanya mengerahkan tenaga pada kedua kaki agar 
angin keras itu tidak membuat tubuh mereka me- 
layang. Mula-mula tidak terjadi apa-apa. Tapi tak lama 
kemudian dari mulut, hidung, dan telinga mereka 
mengalir darah segar. Agaknya kedua kakek itu telah 
mengerahkan tenaga dalam sampai melewati batas. 
Dengan diiringi jeritan menyayat hati, kedua tokoh 
sakti yang jahat itu pun tewas mengerikan! Kulit me- 
reka terkelupas akibat terpaan angin yang sangat ken- 
cang. 

"Uh...!" 

Tubuh Pergiwa ambruk ketika dari kepalanya 
melesat keluar sinar kehijauan yang kemudian me- 
ninggalkan tempat itu. Gunaran, Harimau Terbang 
Berkuku Seribu serta Dewa Arak melihatnya. Gunaran 
menatap gurunya meminta penjelasan. Tapi, Harimau 
Terbang Berkuku Seribu hanya mengangkat bahu 
kendati tahu mengapa Mayang yang seharusnya tidak 
bisa masuk ke dalam tubuh Pergiwa karena bukan ti- 
tisannya ternyata bisa masuk. Saat itu Pergiwa sudah 
hampir mati. Rohnya lemah. Roh Mayang jadi bisa 
masuk karena lebih kuat. Kejadian ini membuat nya- 
wa Pergiwa terselamatkan. 

Setelah memeriksa dan yakin kalau Pergiwa ti- 
dak tewas, Dewa Arak pun mohon diri. Pemuda be- 
rambut putih keperakan ini tidak tahu kalau setelah 
sadar Pergiwa langsung mencari-carinya. Pertanyaan 
pertama yang diajukan Pergiwa pada Harimau Terbang 
Berkuku Seribu dan Gunaran adalah.... 

"Mana, Dewa Arak?" 

Harimau Terbang Berkuku Seribu terutama 
Gunaran, hanya bisa menghela napas berat Kecewa, 
mereka tahu Pergiwa tertarik pada Dewa Arak. 

Harimau Terbang Berkuku Seribu maupun 
Gunaran tidak dapat menyalahkan Pergiwa atau Dewa 

Arak. Suatu hal yang wajar kalau Pergiwa jatuh hati 
pada Dewa Arak, seorang pendekar yang luar biasa. 
Dewa Arak pun tidak bisa disalahkan. Pemuda beram- 
but putih keperakan itu tidak bermaksud menjerat 
Pergiwa. 

Sementara di sebuah tempat yang jauh, Arya 
tengah berlari cepat meski benaknya masih memikir- 
kan kejadian yang menimpa Raga Pitu dan Raga Pasu. 
Pemuda berambut putih keperakan ini tidak merasa 
heran. Tapi, kagum. Dia tahu banyak kekuatan tak 
masuk akal di alam gaib, di alam roh. Dan, Arya tahu 
Mayang yang telah meninggal tidak mendapat kesuli- 
tan menggunakan ilmu-ilmu yang berada di alam gaib! 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Racun Kelabang Merah