Dewa Arak 71 - Petualang-petualang dari Nepal



Crakkk, crakkk, crakkk! 

Tanah bergumpal-gumpal berhamburan ke udara 
ketika tangan sosok tinggi kurus mencungkili sebuah 
gundukan tanah, mempergunakan sebatang ranting. 

Sosok yang ternyata seorang laki-laki setengah baya 
berhidung ke bawah mirip burung betet ini bekerja cepat 
bukan main. Tangannya yang memegang ranting sebesar ibu 
jari kaki seakan lenyap buntuknya. Yang terlihat hanya 
sekelebatan bayangan tak jelas! Tapi dalam waktu yang tak 
lama saja telah terlihat sebuah lubang menganga. Sebentar 
kemudian, tampak sebuah peti mati terbujur di dasar lubang, 
walaupun belum nampak seluruhnya. Gundukan tanah yang 
digali sosok berhidung melengkung ini ternyata sebuah 
kuburan! 

Laki-laki setengah baya berkulit hitam kecoklatan itu 
kemudian menghentikan pekerjaannya. Ranting yang 
tergenggam dilemparkan begitu saja. Lalu dengan perasaan 
tidak sabar, dia melompat ke dalam lubang. Dan kedua 
tangannya tampak gemetar ketika mencengkeram sisi-sisi 
bagian atas peti mati berukir indah berwarna hitam. 

Brakkk! 

Tutup peti mati indah itu langsung copot, 
menimbulkan suara cukup gaduh yang memecah keheningan 
malam, begitu kedua tangan yang panjang dan kurus itu 
menyentakkannya. Begitu matanya tertumbuk pada isi peti, 
tampak sesosok tubuh yang telah rusak, terbaring di dalam 
peti. Bau yang tidak sedap pun menyebar ke segala arah, 
terbawa angin malam yang hanya diterangi bulan sepotong. 

"Keparat!" 

Laki-laki setengah baya berhidung melengkung itu 
memaki-maki penuh geram sambil meludah ke sana kemari, 
begitu bau busuk yang menyengap menyergap lubang 
hidungnya. Beberapa percikan cairan ludah yang 
menjijikkan, ada yang mengenai mayat di dalam peti. 

Tanpa menunggu lebih lama lagi, sosok berkulit hitam 
kecoklatan itu melompat ke atas. Tidak dipedulikannya peti 
maupun mayat dalam lubang kuburan. Namun baru saja 
kakinya menjejak tanah.... 

"Maling Hina! Sungguh berani kau mengusik tempat 
suci ini! Apakah nyawamu rangkap?!" 

Mendadak terdengar bentakan teras menggelegar, 
begitu sepasang kaki sosok berkulit hitam kecoklatan itu 
hendak melangkah. Bentakan yang sama sekali tidak 
disangka-sangka itu, membuatnya teijingkat kaget bagai 
disengat kelabang. 

Belum juga gema suara sentakan itu lenyap, 
mendadak sesosok tubuh melesat menuju ke arah sosok 
berkulit hitam kecoklatan. Gerakannya cepat sehingga dalam 
sekejapan saja, sosok itu telah berita dalam jarak tiga tombak 
di depan sosok berkulit hitam kecoklatan. 

Dengan wajah penuh kemarahan, laki-laki berkulit 
hitam kecoklatan itu memandang ke arah orang yang 
membentak tadi. Sikapnya yang semula menjadi gugup, 
langsung dibuat setenang mungkin. 

"Rupanya maling hina ini adalah seorang asing!" desis 
sosok yang baru datang 

Ternyata, dia adalah seorang kate k berbadan kekar. 
Tubuhnya yang bongkok, terbungkus pakaian longgar coklat. 
Sepasang matanya yang tajam langsung merayapi sekujur 
tubuh sosok berkulit hitam kecoklatan dengan sorot 
memancarkan kemarahan besar. 

"Apa yang kau cari di sini, Orang Asing?!" lanjut kakek 
bongkok itu, masih mendesis. 

"Pusaka leluhurku!" jawab sosok hitam kecoklatan 
dengan bahasa terpatah-patah. Singkat sekali jawabannya. 
"Cepat berikan padaku. Dan aku berjanji akan segera pergi 
dari sini, tanpa harus membunuhmu!" 

Wajah kakek bongkok itu kontan berubah hebat 
mendengar ucapan laki-laki setengah baya berkulit hitam 
kecoklatan ini. Perkataan dan sikap orang itu terlihat jelas 
merendahkan dirinya! Dan membuatnya tidak senang. 

"Di sini tidak ada pusaka yang kau maksudkan. 
Pergilah! Jangan sampai kesabaranku hilang dan terpaksa 
membunuhmu, Orang Asing!" tandas kakek bongkok ini tak 
mau kalah gertak. 

"Bohong!" sergah sosok berkulit hitam kecoklatan itu 
dengan suara keras dan logat aneh. Gatal rasanya didengar 
telinga. "Aku tidak percaya! Aku yakin pusaka leluhurku 
berada di sini. Cepat berikan padaku! Dan, jangan tunggu 
sampai seluruh pekuburan kuobrak-abrik!" 

"Keparat! Tulikah kau, Orang Asing?!" suara kakek 
bongkok kian meninggi karena amarah yang semakin 
menggelegak. "Sekali kukatakan tidak berarti tidak! Dan, 
cepatlah tinggalkan tempat suci ini! Ingat! Sekali lagi kau 
berkata seperti itu, aku tidak akan bisa tinggal diam! Atau... 
Kau sengaja menunggu kesabaranku habis?!" 

"Kaulah yang membuat kesabaranku habis, Orang 
Tua! Rupanya kau memang sudah bosan hidup!" ancam 
sosok berkulit hitam kecoklatan itu. Nada suaranya tanpa 
adanya nada mengancam. Karena bgatnya yang aneh, tidak 
mampu memberi tekanan pada ucapannya. "Kalau begitu 
mampuslah!" 

Sosok berkulit hitam kecoklatan itu segera 
mengirimkan serangan. Kedua tangannya yang terkepal 
melepaskan pukulan bertubi-tubi ke arah dada lawannya. 

Begitu cepat gerakannya, hingga bentuk kedua tangan 
sampai lenyap. Dan yang terlihat hanya dua bayangan tidak 
jelas, meluruk ke arah kakek bongkok disertai bunyi angin 
berkesiutan nyaring. 

Serangan ini membuat kakek bongkok terperanjat. 
Saat itu juga, disadari kalau sosok berkulit hitam kecoklatan 
ini memiliki kepandaian tinggi. 

Duk, dukk, dukkk! 

Bunyi keras berulang-ulang seperti ada benturan 
benda teras terdengar ketika kakek bongkok itu memapak 
dengan sikap jari-jari terkepal. 

Tubuh kedua orang itu sama-sama terhuyung-huyung 
ke belakang. Hanya saja, kakek bongkok lebih jauh dua 
langkah. 

Kakek bongkok itu menggertakkan gigi, merasa 
penasaran melihat keunggulan tenaga dalam lawannya. 
Tanpa menunggu lebih lama, senjata andalannya segera 
dikeluarkan berupa sebuah kipas. Kipas lebar dan besar yang 
gagangnya terbuat dari gading gajah itu kelihatannya tidak 
bisa dianggap sembarangan. Ftermukaan kipas itu terbuat 
dari kulit harimau loreng besar yang telah direndam dalam 
suatu ramuan. Sehingga menjadi kuat, tidak bisa sobek 

Wuttt! 

Begitu kakek bongkok itu mengibaskan kipasnya, 
bertiup angin yang luar biasa keras. Sehingga membuat batu- 
batu sebesar terbau yang terletak beberapa tombak dari 
tempat itu, terguling-guling jauh. Sekujur pakaian dan 
rambut sosok berkulit hitam kecoklatan berkibaran keras. 
Tapi, tubuhnya sama sekali tidak bergeming, karena telah 
lebih dulu menarahkan tenaga dalam untuk membuat ke 
dua kakinya seperti berakar dalam tanah. 

Meski demikian, kenyataan ini menyadarkan sosok 
berkulit hitam kecoklatan, kalau kakek bongkok tidak bisa 
dianggap remeh. Maka buru-buru sebatang suling yang 
terbuat dari ular mati dan dikeringkan dikeluarkannya dari 
selipan pinggang. Dan dengan senjata itu di tangan, 
dihadapinya amukan kakek bongkok ini. 

Maka pertarungan dahsyat yang menggariskan pun 
berlangsung. Tak heran kalau suasana di sekitar tempat itu 
kontan porak-poranda. Batu-batu besar dan kecil 
beterbangan tak tentu arah. Pohon pohon yang agak kecil 
tumbang. Sedangkan pohon yang besar, daun-daun dan 
ranting-rantingnya berguguran. Kedua senjata tokoh yang 
bertarung bagaikan telah berubah. Deru angin yang keluar 
dari gerakan kipas, laksana badai. Sedangkan kelebatan 
suling sosok berkulit hitam kecoklatan bagaikan kilat yang 
melejit-lejit di antara gemuruh angin teras itu, 

Tapi, kakek bongkok itu harus mengakui keunggulan 
lawannya. Buktinya begitu pertarungan menginjak tiga puluh 
jurus, keadaannya mulai terdesak. 

Dukkk! 

"Hukh!" 

Tubuh kakek bongkok itu terjengkang ke belakang 
ketika tendangan kaki kanan lawannya mendarat telak di 
perut. Tubuhnya kontan terbanting keras di tanah, setelah 
melayang sejauh beberapa tombak. Namun, rupanya hatinya 
sekeras baja. Dan dia tetap berusaha bangkit. Padahal, darah 
segar telah memancur deras dari mulutnya, ketika hendak 
bangkit. Bahkan tubuhnya kembali ambruk tanpa dapat 
berbuat apa-apa. Setelah mengejang beberapa saat, tubuh 
kakek bongkok itu pun terkulai. Nyawanya langsung melawat 
ke akherat. 

Sementara sosok berkulit hitam kecoklatan itu 
menatap lawannya sesaat. Kemudian suling berbentuk ular 
kembali diselipkan ke pinggang. Lalu, pekerjaannya yang tadi 
tertunda, kembali diteruskan. 


kkk 


Seorang pemuda tampan berwajah jantan, perlahan- 
lahan mengayuh perahu dengan dayungnya ka arah pinggir 
seberang sungai. Begitu telah sampai di tepi, dia melompat 
turun. Kemudian perahunya ditarik dan diikatkan pada 
sebuah tonggak yang dibuatnya sendiri. 

"Anak Muda!" 

Baru saja pemuda tampan itu mengayunkan kaki 
beberapa tindak, terdengar seruan dari belakang. Terpaksa 
langkahnya dihentikan, dan langsung berbalik. Dan dia 
langsung melihat sebuah perahu yang ditumpangi seorang 
kakek, tengah meluncur laksana anak panah. Kelihatannya, 
perahu itu seperti membelah permukaan air sungai menuju 
ke arahnya. 

Pemuda tampan itu langsung bisa mengetahui kalau 
kakek berpakaian penuh tambalan dan beijenggot kasar 
tidak terawat yang menuju ke arahnya memiliki kepandaian 
tinggi. Meluncurnya perahu yang demikian cepat. Padahal, 
dikayuhnya tanpa mempergunakan dayung, melainkan 
hanya sebelah tangannya. Dan ini telah menunjukkan kalau 
tenaga dalam kakek itu amat tinggi 

Pemuda tampan yang memiliki rambut panjang itu 
hanya berdiri diam di tempatnya, seperti menunggu. Dia 
tidak tahu, apakah kate k berpakaiai penuh tambalan ini 
bermaksud baik atau malah sebaliknya. Tapi yang jelas 
sikapnya tetap waspada. 

Begitu mencapai pinggir sungai, kakek berpakaian 
penuh tambalan itu langsung melompat ke darat, tanpa 
mempedulikan perahunya lagi. Dai seketika tubuhnya 
melesat cepat mendekati pemuda berwajah tampan itu. 

"Kau memanggilku, Kek?!" tanya pemuda tampan itu. 
Sopan suaranya. Begitu pula sikapnya. Jelas tidak 
menunjukkan adanya tanda-tanda kalau merasa terganggu 
sama sekali. 

"Benar, Anak Muda," jawab kakek berpakaian penuh 
tambalan itu seraya menganggukkan kepala. "Aku terpaksa 
memanggilmu, karena merasakan adanya firasat yang tidak 
baik begitu melihatmu. Maaf, aku memiliki naluri yang tajam, 
sehingga dapat mengetahui akan adanya sebuah bahaya, 
muski hanya melihatnya dari kejauhan. Aku yakin, kau 
tengah terlibat persoalan!" 

"Boleh kutahu, persoalan apakah itu, Kek?!" tanya 
pemuda tampan ini, dengan raut wajah sungguh-sungguh. 

"Aku sendiri belum tahu, Anak Muda. Tapi aku yakin 
betul. Untuk jelasnya..., maukah kau menunggu sebentar, 
Anak Muda?!" 

"Kurasa tidak ada salahnya, Kek," jawab peminta 
tampan itu, setelah termenung sejenak 

"Terima kasih." 

Kakek berpakaian penuh tambalan ini segera 
menurunkan buntalan kumal penuh tambalan yang berada 
di punggungnya tadi. Dari dalamnya, dikeluarkan beberapa 
macam benda. Dan ini membuat pemuda tampan itu 
mengernyitkan alis, agak bingung. 

Tapi, kakek berpakaian penuh tambalan itu 
sepertinya tidak tahu dengan sikap pemuda berambut 
panjang ini. Peralatan yang berupa, pedupaan, serbuk putih, 
kemenyan, dan sebuah benda semacam alat untuk pengusir 
lalat. Benda itu terbuat dari batang rotan sepanjang setengah 
depa yang pada ujungnya terdapat bulu-bulu ayam yang 
diikatkan. Segera benda-benda itu ditata dengan cepat. 
Kemudian duduk bersila di depan pedupaan yang telah 
mengepulkan asap berbau harum. 

Tanpa sadar pemuda tampan itu mundur. Dia tahu, 
kakek berpakaian penuh tambalan ini hendak melakukan 
sebuah upacara kebatinan. 

"Wahai Ftenguasa Kegelapan...! Roh-roh di alam 
Gaib...! Arwah-arwah Penasaran...! Hadir di sini...! Aku 
mempunyai sebuah permintaan...!" 

Terdengar gumaman aneh yang keluar dari mulut 
kakek berpakaian penuh tambalan itu. Dan pemuda tampan 
ini merasakan adanya sebuah kekuatan aneh yang 
kasatmata, di dalam ucapan demi ucapan kakek berpakaian 
penuh tambalan itu. Maka, dia tahu kalau dalam ucapan- 
ucapan itu terkandung kekuatan gaib yang tidak masuk akal. 
Tampak kakek itu duduk bersila dengan kedua mata meram 
dan sepasang tangan dirangkapkan di depan dada. 

"Ah...!" 

Tanpa sadar, pemuda tampan berambut panjang itu 
menjerit kaget ketika melihat rotan yang ujungnya terdapat 
bulu-bulu. Benda yang semula tergolek di tanah itu perlahan- 
lahan mulai bergerak. Mula-mula pelan, tapi kian lama 
tampak jelas. Malah beberapa saat kemudian, rotan kecil 
pendek itu berdiri di atas bulu-bulunya yang tidak menegang 
kaku. 

"Bagus...! Bagus...! Kau mau hadir untuk memenuhi 
panggilanku...," gumam kakek berpakaian penuh tambalan. 
Suaranya terdengar aneh, tidak seperti biasanya. "Aku lihat 
anak muda berambut panjang ini mempunyai persoalan. 
Benarkah itu, Wahai Arwah Ftenasaran...?!" 

Sesaat kemudian, sebuah kejadian yang hampir 
membuat pemuda berambut panjang itu teijingkat kaget, 
mulai nampak rotan yang telah berdiri di atas bulu-bulunya 
yang lemas, mulai bergerak-gerak. Dan ketika akhirnya 
berhenti bergerak, tampak adanya sederet tulisan. Tidak 
hanya kakek berpakaian penuh tambalan itu saja yang 
membacanya. Tapi, juga pemuda berambut panjang ini. 

Benar! 

"Apakah persoalan itu, Wahai Arwah Penasaran?! 
Berikan jawabannya!" 

Lagi-lagi kebutan itu bergerak-gerak, seperti menari- 
nari. Tapi kini, pemuda tampan ini tahu kalau rotan itu 
tengah menulis untuk memberikan jawaban. Maka dengan 
penuh rasa tertarik diperhatikannya tulisan itu. Dan ketika 
rotan itu berhenti bergerak, kembali tertera tulisan. 

Orang-orang persilatan dari berbagai penjuru datang 
untuk mencari pusaka-pusaka mengerikan. Ada tokoh-tokoh 
dari negeri jauh dari sini, yang menganggap pusaka itu milik 
leluhur mereka. Dan tokoh persilatan itu banyak yang akan 
mendatangi guru pemuda ini Ki Gering Langit. 

"Terima kasih atas bantuanmu, Roh-roh Penasaran. 
Sekarang, kembalilah ke tempatmu. Aku sudah tidak 
membutuhkan bantuanmu lagi." 

Seketika itu pula rotan yang semula berdiri itu jatuh 
kembali ke tanah, dan tergolek. Meski tidak diberitahu, 
pemuda berambut panjang itu tahu kalau roh yang dipanggil 
kakek berpakaian penuh tambalan telah meninggalkan rotan. 

"Itulah masalahnya, Kek?!" tanya pemuda berambut 
panjang ini ketika kakek berpakaian penuh tambalan itu 
telah merapikan peralatannya kembali dan memasukkannya 
ke dalam buntalan. 

Kakek itu mengangguk seraya menghapus peluh yang 
membasahi wajah dengan punggung tangan. Rupanya 
permainan memanggil roh itu membutuhkan tenaga cukup 
besar. 

"Kalau demikian aku pergi dulu, Kek. Aku khawatir 
terjadi apa-apa atas diriku. Dan, terima kasih banyak atas 
pertolongan yang kau berikan. Kalau tidak ada dirimu, aku 
tentu tidak akan tahu peristiwa ini." 

"Lupakanlah, Dewa Arak...," sambut kakek 
berpakaian penuh tambalan ini tak acuh. 

Pernyataan terima kasih pemuda berambut panjang 
itu sama sekali tidak membuatnya merasa bangga. 

"Ah...! Rupanya kau telah tahu julukanku, Kek?" 
tanya pemuda berambut panjang ini tanpa adanya nada 
kaget. 

Angin yang berhembus dan kebetulan agak keras, 
membuat pakaian ungu dan rambut putih krperakannya 
berkibaran cukup keras. Ftemuda tampan ini memang Dewa 
Arak yang mempunyai nama asli Aiya Buana. 

"Sejak tadi pun, aku sudah menduga demikian, Dewa 
Arak," timpal kakek berpakaian penuh tambalan ini sambil 
senyum dikulum. Rupanya dia merasa senang, karena 
berhasil membuat Dewa Arak agak kaget. 

Pemuda berambut putih keperakan itu terdiam. 

"Dengan permainan yang kau miliki tadi, Kek. Apa 
pun dapat kau ketahui," kata Dewa Arak, memecahkan 
kebisuannya. 

"He he he...!" 

Kakek berpakaian penuh tambalan hanya terkekeh 
pelan. Dan dia tidak merasa bangga sama sekali akan 
kemampuan anehnya. 

Dan di saat kakek berpakaian penuh tambalan itu 
tertawa terkekeh-kekeh, Aiya melesat meninggalkan tempat 
itu. Dia tidak berkata apa-apa, selain menatap kepergian 
pemuda berambut putih keperakan tadi. 


•kk-k 


"Khreak...! Khreaak...! Celaka...! Celaka...!" 

Terdengar seruan-seruan keras berlogat aneh. Tak 
lama, melesat keluar sesosok bayangan abu-abu dari dalam 
sebuah pondok sederhana. Setibanya di luar, sosok 
berpakaian abu-abu ini langsung menengadahkan kepalanya 
ke atas, tempat asal seruan tadi. Sinar matanya tampak 
menyiratkan rasa cemas. 

Sebentar saja, dari atas meluruk turun bayangan 
putih kecil yang langsung hinggap di tangan kanan sosok 
berpakaian abu-abu, yang ternyata seorang kakek berusia 
sekitar enam puluh tahun. Sebaris kumis melintang yang 
berada di bawah hidung, semakin menampakkan kegagahan 
kakek itu. 

"Ada apa, Sakala?! Apa yang teijadi?! Mengapa kau 
kemari?!" tanya kate k berpakaian abu-abu tanpa 
menyembunyikan rasa cemasnya. 

"Khreakaak...! Khaaak...! Celaka! Celaka sekali, 
Pendekar Tangan Sepuluh! Celaka...! Khreakk!" tutur sosok 
putih kecil yang hinggap di tangan kakek berkumis 
melintang. 

Sosok kecil itu ternyata seekor burung kakaktua 
berbulu putih. Dan kakek berkumis melintang yang beijuluk 
Pendekar Tangan Sepuluh ini menyebutkan Sakala. 

"Cepat katakan, Sakala! Apa yang telah terjadi?!" 
desak Pendekar Tangan Sepuluh, tidak sabar. 

"Tuan Burisrawa dibunuh orang! Khraaak..! 
Khaaak...!" 

"Astaga...!" 

Kakek berbaju abu-abu dan berkumis melintang ini 
terperanjat. Semula memang sudah diduga akan adanya hal 
yang tidak diinginkan, mengingat keberadaan burung 
kakaktua di situ. Tapi, tak urung berita itu membuatnya 
terkejut juga. 

Kemudian, sambil mengeluarkan lengkingan keras, 
burung kakaktua itu melenting ke atas. Pendekar Tangan 
Sepuluh tidak menghalanginya sama sekali. Juga tidak 
memberi tanggapan apa-apa selain terkesima dengan 
pandangan kosong ke depan. 

"Ada apa, Kak Moksa?!" 

Sebuah suara halus, membuat Ftendekar Tangan 
Sepuluh sadar dari kesimanya. Kepalanya segpra menoleh kc 
belakang, dan di sana telah berdiri seorang wanita berusia 
sekitar lima puluh lima tahun. Wajahnya sabar, dan masih 
menampakkan tanda kalau waktu mudanya memiliki wajah 
cantik. 

"Burisrawa dibunuh orang. Kurasa ini ada 
hubungannya dengan pusaka-pusaka itu," jawab Pendekar 
Tangan Sepuluh yang nama sebenarnya Moksa sambil 
menghela napas berat. Suatu pertanda belum bebas 
sepenuhnya dari perasaan kagetnya. 

"Apa?!" pekik wanita berpakaian hijau muda itu 
dengan keterkejutan besar. 

Wanita itu tahu betul, siapa Burisrawa. Dia me- 
rupakan kakek bertubuh bongkok, tapi berbadan lebar. 
Pakaiannya selalu berbentuk longgar dan berwarna coklat. 
Dan orang ini adalah sahabat kental Pendekar Tangan 
Sepuluh yang menjadi suaminya. Makanya, wanita ini tidak 
merasa aneh melihat suaminya tadi termenung. Dia tahu, 
Moksa terpukul oleh berita yang didengarnya. 

"Oleh karena itu, Istriku," lanjut Ftendekar Tangan 
Sepuluh masih dengan suara mendesah. "Aku akan pergi 
untuk melihat-lihat tempat kediamannya. Syukur kalau 
berhasil menemukan pembunuhnya. Kau tinggal di sini saja. 
Jaga baik-baik anak kita" 

"Akan kuperhatikan nasihatmu, Kak Moksa," ujar 
wanita berpakaian hijau muda menganggukkan kepala 

Belum juga hilang gema ucapan wanita berpakaian 
hijau muda itu, tubuh Pendekar Tangan Sepuluh telah 
melesat cepat meninggalkan tempat ini. Hanya dalam 
beberapa kali lesatan, yang terlihat lunya titik kecil yang 
kemudian lenyap ditelan kejauhan. 

Wanita berpakaian hijau muda menghela napas berat. 
Dia terus saja berdiri di situ, menatap ke arah suaminya 
lenyap. Beberapa lamanya dia berlaku seperti itu, sebelum 
akhirnya berbalik dan mengayunkan kaki masuk kembali ke 
dalam pondok. 

Tapi baru saja kakinya menindak satu langkah... 

"Apa kabar, Tunjung Sari?!" 

Terdengar sebuah teguran yang membuat wanita 
berpakaian hijau muda itu berhenti. Tubuhnya segera 
berbalik, dengan sikap kaget. Bukan karena teguran 
mendadak itu, tapi karena mengenal pemilik teguran. 

"Kau... kau... Sulang...?!" desah wanita berpakaian 
hijau muda yang dipanggil Tunjung Sari setengah kaget dan 
tidak percaya. 

"Kau... kau... masih hidup?!" 

"Seperti yang kau lihat?!" sosok yang dipanggil Sulang 
mengembangkan tangan ke kanan kiri. "Aku masih hidup. 
Meskipun, memang kau lihat ada perubahan pada bagian- 
bagian tubuhku. Tapi, aku tetap Sulang. Bekas kakak 
seperguruanmu, kawan sepermainanmu dulu." 

"Kau... kau... sekarang mengerikan sekali...!" Tunjung 
Sari menatap sosok bernama Sulang yang berada di 
hadapannya dengan sinar mata ngpri. 




Wajah sosok di depan Tunjung Sari memang benar- 
benar menggiriskan. Sebagian wajahnya jelas tidak berdaging 
lagi. Sehingga tulang-tulang wajahnya kelihatan jelas. 
Tubuhnya pun kurus kering bagaikan tidak memiliki daging. 
Melihat keadaan tubuhnya, usianya sukar ditaksir. Tapi bisa 
diperkirakan kalau lewat dari usia setengah baya. 

Di sebelah Sulang, berdiri seorang pemuda 
berpakaian serba merah. Rambutnya yang panjang, berikat 
kepala merah juga. Wajahnya tampan, namun berkesan 
dingin. Bahkan sepertinya menyiratkan sesuatu yang 
mengerikan. 

"He he he...!" laki-laki berwajah mengerikan bernama 
Sulang tertawa terkckch. Kelihatannya dia tidak merasa 
tersinggung mendengar ucapan Tunjung Sari. "Tapi kau 
masih mengenaliku, toh?! Kukira kau sudah lupa, karena 
terlalu lama berada dalam pelukan si Keparat Moksa! Mana si 
Keparat itu, Tunjung?! Kedatanganku untuk menebus hina 
dan sakit hati yang diberikannya dua puluh lima tahun lalu " 

Tunjung Sari tidak merasa terkejut mendengar 
ucapan Sulang. Begitu tahu kalau orang yang menegurnya 
ternyata Sulang, wanita setengah baya ini telah dapat 
menduga akan maksud kedatangannya. 

Sekitar dua puluh lima tahun lalu, dalam pertarungan 
dengan Moksa untuk memperebutkan diri wanita ini, Sulang 
terjatuh 1$ dalam sebuah jurang yang sangat dalam. Moksa 
dan Tunjung Sari mengira kalau Sulang telah tewas. Namun 
sama sekali tidak disangka kalau orang yang dianggap telah 
tewas ternyata masih hidup. Dan sekarang, justru datang 
untuk balas dendam! 

"Cari keparat itu, Lingga!" perintah Sulang pada 
pemuda di sampingnya yang bernama Lingga. 

"Baik Guru," sahut Lingga. 

Pemuda berpakaian merah di sebelah kiri Sulang yang 
sejak tadi diam dengan wajah dingin langsung melesat te 
arah pondok yang didiami Tunjung Sari. 

"Hendak te mana kau?!" 

Tunjung Sari tentu saja tidak bisa mendiamkannya 
begitu saja. Wanita berpakaian hijau muda ini pun seketika 
melesat menghadang Lingga sambil mengirimkan pukulan 
dengan tangan terbuka ke arah dada. 

Wutt, wuttt! 

Serangan Tunjung Sari yang disertai tenaga dalam 
penuh itu hanya menyambar angin. Karena dengan jejakan 
ujung kaki kanannya, Lingga telah melenting ke atas. 
Sehingga serangan istri Pendekar Bertangan Sepuluh ini 
lewat di bawah kakinya. 

Begitu berada di atas kepala Tunjung Sari, Lingga 
beijungkir balik beberapa kali di udara. Kemudian, kedua 
kakinya mendarat ringan ke belakang wanita berpakaian 
hijau muda itu. 

"Berhenti, Keparat!" 

Tunjung Sari yang mengkhawatirkan nasib anaknya 
di dalam rumah, berteriak keras seraya berlari mengejar. Tapi 
baru juga beberapa langkah, terdengar bunyi angin 
berkesiuran dibarengi suara tawa terkekeh. Sesaat kemudian, 
di depan Tunjung Sari telah berdiri Sulang. Mau tidak mau 
istri Pendekar Tangan Sepuluh ini menghentikan niatnya. 
Dan dia hanya bisa menatap cemas terhadap Lingga yang 
telah masuk ke dalam pondoknya. 

"Sulang! Manusia Keparat! Iblis Keji?! Apa maumu 
sebenarnya?!" jerit Tunjung Sari geram. 

"Sederhana saja, Tunjung. Kedatanganku untuk 
membalas dendam dan sakit hati dua puluh lima tahun yang 
lalu. Aku hanya ingin membunuh kau dan suamimu!" tandas 
Sulang. Suaranya terdengar ringan. 

"Iblis! Kaulah yang akan mampus di tanganku, 
Sulang!" 

Dengan penuh kemarahan, Tunjung Sari melompat 
menerjang Sulang. Kedua tangannya yang dikepalkan keras, 
dipukulkan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar 
Sulang dengan gprakan cepat bukan kepalang. Sehingga 
tangan wanita berpakaian hijau muda ini seperti berjumlah 
puluhan pasang. Inilah ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat', 
andalan Moksa yang amat terkenal di dunia persilatan. Tak 
heran kalau dia mendapat julukan Ffendekar Tangan 
Sepuluh. Dan selama hampir dua puluh lima tahun menjadi 
istri Pendekar Tangan Sepuluh ini, Tunjung Sari telah 
mempelajari ilmu andalan suaminya. Bahkan Pendekar 

Tangan Sepuluh itu telah membimbing istrinya dengan 
sungguh-sungguh, sehingga mencapai kemajuan pesat. 

Menyadari kalau kepandaiannya telah meningkat 
pesat, Tunjung Sari merasa yakin kalau akan mampu 
mengalahkan Sulang, bekas kakak seperguruannya sendiri. 
Lagi pula, bukankah dulu Sulang pun roboh di tangan 
suaminya yang menggunakan ilmu 'Sepuluh Tangan 
Malaikat' ini? 

"Aha...! Rupanya si Keparat Moksa tidak hanya 
menggeluti tubuhmu saja selama dua puluh lima tahun ini, 
Tunjung?! Dia masih ingat untuk melatihmu, rupanya?!" ejek 
Sulang. Kata-katanya benar-benar tidak senonoh, sehingga 
membuat kemarahan Tunjung Sari semakin bergelora. 
"Inikah ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat' itu?!" 

Wuttt, wuttt! 

Tunjung Sari heran bercampur geram. Semula, semua 
serangannya diyakini akan berhasil mendarat di sasaran. 
Tapi, ternyata hanya menyambar angin, karena Sulang 
berhasil mengelak dengan gerakan aneh. Tunjung Sari 
sampai-sampai tidak percaya dengan penglihatannya. Lelaki 
berwajah mengerikan itu seperti terhuyung-huyung akan 
jatuh, seperti tengah mabuk. 

"Kaget, Tunjung?!" 

Sulang mengpjek ketika melihat Tunjung Sari 
termenung keheranan serangannya dapat dielakkan secara 
seperti itu? Benar-benarkah Sulang mengelak? Ataukah 
hanya secara kebetulan saja?! Wanita berpakaian hijau muda 
ini jadi bertanya dalam hati. 

"Itulah ilmu yang baru kuciptakan, Tunjung. Khusus 
untuk menghadapi serangan bagaimanapun hebat atau 
dahsyatnya! Apalagi, hanya ilmu 'Sepuluh Monyet Jingkrak' 
Tidak ada artinya, Tunjung! Jangankan untuk mengenai 
tubuhku, ujung bajuku saja tidak akan tersenggol!" 

"Sombong! Kau akan hancur karena kesombonganmu 
sendiri!" 

Setelah berkata demikian, Tunjung Sari melompat 
menerjang Sulang kembali. Dan kali ini serangan- 
serangannya jauh lebih dahsyat. Tentu saja masih dalam 
penggunaan ilmu 'Sepuluh Tangan Malaikat'! 

Tapi, rupanya Sulang benar-benar tidak hanya 
sesumbar. Gerakan mengelaknya benar-benar luar biasa. Ke 
mana pun serangan wanita itu meluncur, selalu hanya 
mengenai angin. Padahal, kakek berwajah mengerikan ini 
bergerak seperti tengah mabuk atau bercanda. Kadang- 
kadang terhuyung-huyung, beijongkok, melompat-lompat, 
mengitari, malah terkadang seperti menyambuti datangnya 
serangan dengan bagian tubuh yang diserang! 

"Di dalam rumah ini tidak ada orang, Guru. Hanya 
anjing kecil ini yang kudapatkan!" 

Ketika pertarungan memasuki jurus keenan puluh 
dua, terdengar sebuah seruan teras yang sudah pasti 
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan 
memang, teriakan itu mampu menyeruak keriuhan suasana 
ribut di dalam kancah pertarungan. 

Bukan hanya Sulang saja yang melompat mundur 
untuk menjauhi kancah pertarungan. Tunjung Sari pun 
demikian. Jadi, sepertinya kedua belah pihak telah 
bersepakat untuk menunda pertarungan 

"Keparat! Iblis Keji! Lepaskan anakku!" seru Tunjung 
Sari keras. 

Nada suara wanita itu terdengar khawatir dan marah, 
ketika melihat di depan pintu pondoknya berdiri Lingga 
dengan raut wajah dingin. Di tangan kanannya teijinjing 
seorang anak kecil berusia sekitar dua tahun, dengan kepala 
di bawah. Jadi, ke dua kaki anak kecil itu yang digenggam 
tangan Lingga. Anak kecil itu menangis keras karena keta- 
kutan! 

Tunjung Sari yang melihat ratapan anaknya, langsung 
menghambur hendak merebut. Dan seketika itu pula kedua 
telapak tangannya yang terbuka melepaskan pukulan jarak 
jauh ke arah Sulang. 

"Hiaaa...!" 

Bresss! 

Tubuh Tunjung Sari kontan terlempar ke belakang 
dan jatuh terbanting di tanah, ketika kedua tangannya 
dipapak Sulang dengan gerakan sama. Sulang sendiri sama 
sekali tidak bergeming sedikit pun. 

Tunjung Sari merasakan semua yang berada di 
sekitarnya jadi berputaran. Kepalanya pusing bukan 
kepalang. Pandang matanya jadi nanar. Sehingga dia tidak 
bisa melihat jelas Sulang dan Lingga! 

Tapi, Tunjung Sari yang merasa khawatir sekali akan 
keselamatan anaknya, berusaha teras untuk bangkit. Dan ini 
membuatnya terhuyung-huyung setelah akhirnya berhasil 
berdiri. 

"Jangan bunuh anakku...! Jangan sakiti dia...! Bunuh 
saja aku...! Tapi, biarkan dia hidup...!" pinta Tunjung Sari, 
memelas. 

Wanita itu tahu, kalau dengan kekerasan tidak akan 
berhasil. Hanya Sulang sendiri saja, sudah tidak bisa 
dihadapinya. Apalagi masih ditambah Lingga yang melihat 
kemampuannya, pasti tidak berada di bawah Sulang. 

"He he he...!" 

Sulang tertawa terkekeh melihat sikap Tunjung Sari. 
Hal inilah yang diinginkannya. Tunjung Sari, bekas adik 
seperguruannya, dan sekarang telah menjadi musuhnya, 
merengsk-rengpk! Dia jadi mempunyai saat yang tepat untuk 
menikmati balas dendamnya. 

"Kau tidak ingin aku menyakiti dan membunuh 
anakmu?!" 

Tunjung Sari langsung mengangguk, walaupun 
sebenarnya tidak percaya kalau Sulang akan memenuhi 
janjinya. Tapi kekhawatiran akan keselamatan anaknya 
membuatnya tidak bisa berpikir lebih jauh. 

"Kau mau berjanji untuk tidak menyakiti anakku, 
Sulang?!" Tunjung Sari yang cerdik, berusaha memaksa 
Sulang memenuhi Janjinya. "Berjanji demi kehormatanmu 
sebagai seorang lelaki, dan seorang tokoh persilatan?! Karena 
hanya iblislah yang tidak menepati janjinya!" 

"Aku berjanji untuk tidak menyakiti, apalagi 
membunuh anakmu..., Tunjung!" jawab Sulang, mantap. 
"Tapi, kau harus berjanji untuk menjawab pertanyaanku. 
Bagaimana?!" 

"Aku bersedia!" jawab Tunjung Sari, agak bergetar. 

Perasaan khawatir membuat istri Pendekar Tangan 
Sepuluh ini agak bergetar ketika menjawab. Dia tahu, orang 
macam apa Sulang. Licik. Makanya, saat menjawab 
pertanyaan, Tunjung Sari sempat tercenung sejenak dan 
agak bergetar suaranya. 

"Di mana suamimu, si Keparat Moksa?!" 

"Jangan menyebut suamiku dengan makian seperti 
itu! Dia jauh lebih baik daripada dirimu, Sulang!" dengus 
Tunjung Sari, tak senang. 

"Kau teruskan makian itu, Tunjung! Dan anakmu 
akan kusiksa sampai mati sebelum kau mendapat giliran!" 
ancam Sulang. Sehingga, membuat istri Pendekar Tangan 
Sepuluh terpaksa berdiam diri. "Katakan, di mana si Keparat 
Moksa! Cepat!" 

"Dia tidak berada di sini. Kau terlambat datang, 
Sulang. Beberapa saat sebelum kau datang, dia pergi," jawab 
Tunjung Sari, berusaha lembut dan tidak mempedulikan 
makian terhadap suaminya. 

"Sudah kuduga," Sulang mengangguk-anggukkan 
kepala, seperti telah berhasil mendapatkan sebuah dugaan. 
"Mungkin dia telah melihat kedatanganku dari kejauhan, 
maka pergi untuk menjauhi. Memang, sejak dulu dia 
memiliki watak pengecut!" 

"Tutup mulutmu yang kotor itu. Sulang!" bentak 
Tunjung Sari, tidak kuat menahan rasa tersinggungnya, 
karena suaminya dimaki-maki seperti itu. "Dia bukan orang 
semacam kau!" 

Selebar wajah Sulang yang hanya separo, berubah 
hebat. Kemudian kepalanya menoleh kc arah Lingga, sebelum 
akhirnya kepalanya mengangguk. Lingga balas mengangguk 
dengan wajah tidak menyiratkan perasaan apa-apa. Sesaat 
kemudian, tangannya yang kiri bergerak menampar pipi anak 
yang berada dalam jinjingannya. 

Plakkk! 

Anak kecil berusia dua tahun yang sudah sejak tadi 
menangis karena rasa takut dan pusing, langsung meraung 
bertambah keras. Tamparan Lingga, meskipun tidak 
mempergunakan tenaga dalam, tapt cukup keras. Sehingga 
membuat bibir anak Tunjung Sari pecah-pecah dan 
mengeluarkan darah! 

"Iblis Jahanam!" 

Tunjung Sari yang tidak bisa menahan perasaan lagi 
melihat anaknya disiksa seperti itu, meluruk maju ke arah 
Lingga. Tapi dorongan tangan Sulang yang mengandung 
hembusan angin keras, membuat tubuhnya terhuyung- 
huyung kembali 1$ belakang dan hampir jatuh terpelanting. 
Untung saja, kakek berwajah mengerikan itu hanya 
bermaksud mendorong. Kalau tidak, nyawa Tunjung Sari 
sudah terancam bahaya maut. 

"Kalau berani bertindak macam-macam atau berkata 
tidak sopan lagi, nyawa anakmu tak akan bisa kau 
selamatkan, Tunjung!" ancam Sulang ketika melihat Tunjung 
Sari hendak menerjang lagi. Tunjung Sari terpaksa 
menghentikan gerakan. 

Ancaman Sulang tak bisa dianggap main-main. Telah 
dibuktikannya sendiri kebenaran ucapannya. 

"Apa maumu sebenarnya, Sulang?!" tanya lunjung 
Sari setengah menjerit karena putus asa. "Kalau mau bunuh 
aku, silakan! Tapi, jangan bunuh atau sakiti anakku! Dia 
tidak tahu apa-apa!" 

"Lupakah kau, Tunjung?! Aku telah berjanji untuk 
tidak melukai apalagi membunuh anakmu, bukan?! 
Sekarang, katakan. Di mana si Keparat Moksa! Ke mana dia 
pergi!" 

"Dia pergi untuk menjumpai sahabat karibnya. 
Menurut berita yang didapatkan dari burung kakaktua 
peliharaan temannya, kawan baiknya telah meninggal dunia 
karena dibunuh orang! Suamiku pergi untuk mencari tahu, 
siapa pembunuhnya!" jelasTunjung Sari. 

"Ke mana dia pergi?! Dan, siapa kawannya itu, 
Tunjung?!" desak Sulang penuh gairah. 

"Burisrawa di Lembah Bukit Angsa." 

Dengan terpaksa Tunjung Sari memberitahukannya. 
Padahal, Pendekar Tangan Sepuluh telah berpesan secara 
keras kalau Tunjung Sari jangan menceritakan perihal 
Burisrawa pada siapa pun! Apalagi, tempat di mana kakek 
bongkok itu berada! Merupakan sebuah rahasia besar dunia 
persilatan! Wajah Sulang kontan berseri. 

"Jadi, Burisrawa tinggal di Lembah Bukit Angsa, toh?l 
Sungguh kebetulan!" seru Sulang tanpa bisa 
menyembunyikan kegembiraan di wajahnya. "Aku yakin, 
suamimu melarang untuk memberitahukan mengenai 
Burisrawa dan tempat tinggalnya. Bukankah dugaanku 
benar, Tunjung Sari?!" 

Dengan lemah, Tunjung Sari mengangguk 

"Dan tahukah kau, mengapa si Keparat Moksa itu 
melarangmu untuk mengatakannya, Tunjung?!" kata Sulang, 
seperti untuk dirinya sendiri. Senyumnya semakin melebar, 
karena tahu kalau hal yang disampaikannya membuat 
Tunjung Sari sangat terpukul. 

Lagi-lagi Tunjung Sari hanya bisa menjawab dengan 
gerak isyarat. Kepalanya digelengkan lemah sekali. Tunjung 
Sari bukan orang bodoh. Kalau sampai suaminya, Pendekar 
Tangan Sepuluh, melarangnya untuk mengatakan pada orang 
lain, tentu ada sesuatu yang amat rahasia. Tapi kekhawatiran 
akan nasib anaknyalah yang membuat Tunjung Sari terpaksa 
me n gatakannya. 

"Karena Burisrawa merupakan orang kepercayaan, 
atau lebih tepatnya lagi keturunan dari orang kepercayaan 
pendekar yang amat terkenal di zaman ratusan tahun yang 
lalu. Pendekar ini berjuluk Ftendekar Suling Perak, yang 
turun-temurun mempunyai orang kepercayaan. Dan leluhur 
Burisrawa bertugas untuk menjaga keturunan Pendekar 
Suling Perak. Karena, pendekar itu banyak menanam 
permusuhan dengan orang-orang persilatan, terutama sekali 
dari golongan hitam. Burisrawa dan leluhurnya lalu 
menyembunyikan diri bersama keturunan Ftendekar Suling 
Perak yang masih kecil dan belum berdaya. Dan tempat 
persembunyian mereka merupakan tempat suci. Karena, di 
sanalah Ftendekar Suling Perak turun-temurun dimakamkan. 
Sebuah tempat yang amat rahasia, tapi kau telah 
membocorkannya, Tunjung," tutur Sulang. 

Tunjung Sari malah menghela napas lega, meskipun 
bias kekhawatiran akan keselamatan anaknya masih terlihat 
jelas. 

"Kalau hanya demikian, aku yakin suamimu tidak 
akan marah kau melanggar larangannya. Tidak ada hal perlu 
dirahasiakan!" Sulang tertawa terkekeh. "Rupanya aku lupa 
menceritakan sesuatu. Di tempat Burisrawa tinggal, terdapat 
pula pusaka-pusaka milik Pendekar Suling Perak. Dan aku 
yakin, dunia persilatan mendengar hal ini. Bukan tentang 
ke matian Burisrawa saja, tapi juga makam-makam yang 
dijaga susah-payah oleh kakek bungkuk itu. Pasti tempat itu 
akan porak-poranda karena orang menduga di sanalah 
pusaka-pusaka itu disembunyikan!" 

"FTisaka-pusaka...?!" ulang Tunjung Sari dengan 
suara bergetar. 

Sungguh tidak disangka kalau akhirnya akan seperti 
ini. Wanita itu baru mengprti, mengapa suaminya sangat 
berpesan agar tidak menoeritaka pada siapa pun. 

"Benar, Tunjung. Ha ha ha...! Kau telah banyak 
membantu kami. Sekarang bukan hanya Ffcndckar Tangan 
Sepuluh yang akan kutemukan dan kubunuh di sana. Tapi, 
juga pusaka-pusaka peninggalan Pendekar Suling Fterak yang 
amat sakti! Hal ha ha...!" 

"Kau... kau...." 

Tunjung Sari yang bermaksud memaki-maki Sulang, 
menghentikan niatnya. Dia teringat kalau hal ini hanya akan 
membuat anaknya celaka. Anak nya? Bukankah Sulang 
harus membebaskan anaknya, karena dia telah 
memberitahukan hal yang di minta? Fterasaan ingin tahu 
akan rahasia Burisrawa yang membuatnya agak lupa 
terhadap anaknya. 

"He he he...!" 

Sulang yang tahu mengapa Tunjung Sari tidak 
melanjutkan ucapannya, tertawa terkekeh-keteh. Hatinya 
puas karena berhasil membuat bekas adik seperguruannya 
yang telah menjadi musuh besarnya, tersiksa perasaannya. 

"Aku telah memenuhi janji, Sulang! Sekarang, berikan 
anakku! Bebaskan dia...!" 

"Mengapa kau memintanya padaku, Tunjung? Apakah 
anakmu berada di tanganku?!" jawab Sulang, tak acuh. 

"Apa.... Apa maksudmu, Sulang?!" tanya Tunjung 
Sari, agak tergagap. "Bukankah kau telah beijanji tidak 
menyakiti dan membunuh anakku?! Apa kau hendak 
mengingkari janjimu sendiri dan menjadi Iblis Neraka?!" 

"Siapa yang melanggar janji, Tunjung?! Bukankah aku 
beijanji tidak akan menyakiti, apalagi membunuh anakmu. 
Nah! Janjiku telah kupenuhi. Aku tidak akan membunuh dan 
menyakiti anakmu.,.." 

"Kalau begitu, serahkan anakku!" potong Tunjung Sari 
tidak sabar. 

"Itu tidak termasuk dalam perjanjian, Tunjung. Jadi 
dengan sangat menyesal, aku tidak dapat memenuhi 
permintaanmu. Lagi pula kau kan tahu, anakmu tidak 
berada di tanganku. Lantas, bagaimamana aku bisa 
memenuhi permintaanmu?!" 

"Iblis! Keparat Licik! Seharusnya sejak tadi aku tidak 
perlu percaya semua bualanmu, Sulang Berhati Binatang!" 

Singng! 

Sinar terang menyilaukan mata langsung mencuat, 
ketika Tunjung Sari yang berada dalam puncak kemarahan 
dan kekhawatiran serta kegeramannya mencabut pedang. 
Langsung dikirimkannya serangan bertubi-tubi ke arah laki- 
laki berwajah mengerikan itu. Dalam sekali serangan, ujung 
pedangnya telah mengancam berbagai bagian berbahaya di 
tubuh Sulang. 

"Hmh...!" 

Sambil mengeluarkan dengusan penuh ejekan, Sulang 
mencabut goloknya yang terselip di pinggang. Lalu dengan 
gerakan mengagumkan ditangkisnya serangan itu. 

Trangng! 

Tunjung Sari kontan terpekik tertahan ketika 
pedangnya melekat dengan golok Sulang. Istri Pendekar 
Tangan Sepuluh tidak tinggal diam. Diusahakannya untuk 
melepaskan senjata andalannya yang menempel di golok 
Sulang. Tapi, usahanya gagal. Bahkan Sulang telah 
menyusulinya dengan putaran goloknya. Sehingga, pedang 
berikut tangan Tunjung Sari ikut terbawa terputar-putar. 
Dan.... 

Bukkk! 

Di saat Tunjung Sari tengah sibuk mematahkan 
kekuatan yang membawa tangan kanannya berputar, kaki 
kanan Sulang meluncur deras yang kemudian telak 
menghantam perutnya. Tunjung Sari langsung terpental ke 
tanah seketika itu juga. 

Namun, istri Pendekar Tangan Sepuluh ini benar- 
benar merupakan seorang wanita berhati teras. Perutnya 
yang mulas dan sakit, tidak dirasakan sama sekali. Dengan 
mengeraskan hati, dia berusaha bangkit. Dan meski dengan 
tertatih-tatih, akhirnya dia berhasil berdiri. Namun tubuhnya 
agak terbungkuk karena menahan sakit yang melanda. 

Sebelum Tunjung Sari mengirimkan serangan lagi, 
Lingga telah melakukan tindakan yang membuat nyali 
Tunjung Sari bagaikan terbang! Tanpa adanya perasaan apa 
pun di wajah, pemuda berwajah dingin itu telah memegang 
masing-masing kaki anak Tunjung Sari, dengan tangan 
kanan dan kiri tangan merentang. Dan seketika itu pula.... 

Brettt! 

" Jahanaaamm...!" 

Tunjung Sari menjerit panjang menyayat hati, ketika 
tubuh anaknya terbelah dua mulai dari bagian bawah pusar. 
Seketika, jeritan tangis yang sejak tadi melingkupi tempat itu, 
lenyap. Nyawa anak lunjung Sari telah melawat 1$ alam 
baka! 

"Kubunuh kaaau...!" 

Dengan air mata berlinang dan hati hancur, Tunjung 
Sari melompat menerjang dengan tusukan pedangnya. 

Wuttt! 

Ujung pedang Tunjung Sari menusuk angin. Lingga 
telah lebih dulu melompat, sebelum serangan maut itu 
bersarang di dadanya. Dan dari atas tangan Lingga yang 
masih memegang anak Tunjung Sari yang telah menjadi 
mayat, diayunkan. 

Prakkk! 

Bunyi berderak keras terdengar, ketika batok kepala 
Tunjung Sari berbenturan dengan batok kepala anaknya. 
Seketika masing-masing kepala hancur berantakan. Darah 
segar, bercampur otak langsung muncrat-muncrat. Dan 
tanpa sempat sambat lagi, Tunjung Sari ambruk di tanah ke 
alam baka! 

"Ha ha ha...!" 

Sulang tertawa bergelak ketika melihat kematian 
Tunjung Sari. Diperhatikannya mayat-mayat itu penuh 
kebanggaan. Sementara, Lingga telah membuang mayat anak 
Tunjung Sari yang berada di genggamannya. Kemudian tanpa 
berkata apa-apa lagi, Sulang melesat meninggalkan tempat 
itu. 

"Kau pergilah sendiri, Guru. Aku sudah tidak 
berkeinginan untuk mencari pusaka itu di Lembah Bukit 
Angsa. Aku yakin, orang yang membunuhnya telah 
mendapatkannya. Aku akan pergi mencari sendiri." 

Sulang tetap tertawa-tawa meski beberapa tindak 
setelah meninggalkan tempat itu, terdengar pemberitahuan di 
telinganya. Pemberitahuan yang dikeluarkan hingga lewat 
penggunaan ilmu mengirim suara dari jauh. 

Langkah Sulang tetap tidak berubah. Sama sekali 
tidak dipedulikan pesan yang diterima dari Lingga, pemuda 
berpakaian merah yang menjadi muridnya. 




Satu bayangan ungu melesat cepat, memasuki mulut 
sebuah hutan. Gerakannya yang cepat, membuat bentuk 
tubuhnya tidak terlihat jelas. Kecuali, pakaian warna ungu 
dan rambut panjang putih ke perakan yang berkibaran ditiup 
angin keras. 

Sosok bayangan ungu yang tak lain Dewa Arak atau 
Aiya Buana, terus melesat seperti tak ingin berhenti. 
Pemberitahuan kate k berpakaian penuh tambalan itulah 
yang membuat Dewa Arak berlari cepat, untuk segera tiba di 
tempat kediaman gurunya, Ki Gering Langit. Aiya tidak ingin 
gurunya yang sudah menarik diri dari kekerasan dunia 
persilatan, akan terganggu oleh persoalan pusaka-pusaka. Di 
tengah cepatnya lari Dewa Arak, mendadak saja.... 

Singng! 

Terdengar bunyi berdesing nyaring yang membuat 
pemuda berambut putih keperakan itu terkejut. Apalagi 
bunyi yang semakin keras itu kian mendekati tempatnya. 
Sebagai tokoh persilatan yang telah kenyang pengalaman, 
Aiya tahu pasti ada sesuatu senjata yang tengah meluncur ke 
arahnya. Maka Dewa Arak bertindak cepat. Seketika, ujung 
kaki kanannya dijejakkan, sehingga tubuhnya melenting ke 
atas. 

Jrebbb! 

Benar saja sebatang tombak kini menancap tepat, 
beberapa kaki di tempat Dewa Arak menjejak. Kalau saja 
pemuda berambut putih keperakan itu tidak bertindak cepat, 
ujung tombak itu pasti menyate tubuhnya! 

Namun baru saja kedua kaki Dewa Arak hinggap di 
tanah, beberapa sosok berkelebatan dari sekitar tempat itu. 
Dan sebelum Aiya sempat berbuat sesuatu, tiga sosok itu 
telah mengurungnya dari tiga penjuru. 

Dewa Arak yang tidak pernah ingin berkelahi tanpa 
alasan jelas segera mengedarkan pandangan merayapi tiga 
sosok yang mengelilinginya sambil mengembangkan senyum 
lebar. Kendati demikian, hatinya terkejut bukan kepalang. 
Ciri-ciri yang dimiliki tiga sosok yang mengurungnya inilah 
yang membuainya kaget. 

Ketiga laki-laki tua pengurung Dewa Arak ini berkulit 
hitam kecoklatan. Hidung mereka melengkung, seperti paruh 
burung. Pakaian yang dikenakan hanya berupa sehelai kain 
kuning yang dibelit-belitkan ke tubuh. Di tangan ketiga orang 
ini tergenggam sebatang tombak berujung sebilah logam 
tajam, berbentuk bulan sabit. 

Sekali lihat saja, Dewa Arak tahu kalau kali ini 
berhadapan dengan tokoh-tokoh sakti yang berasal dari 
tempat yang jauh. Bukankan demikian menurut jawaban 
yang diberikan roh penasaran yang disambat kakek 
berpakaian penuh tambalan? 

"Apakah kau orang yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya 
salah seorang. Dia memiliki tahi lalat besar di ujung hidung. 
Sehingga, membuat hidung yang sudah aneh bentuknya, 
semakin menggelikan. 

Pertanyaan yang diucapkan secara tidak lancar dan 
berlogat aneh itu langsung membuat Dewa Arak yakin 
dengan dugaannya. Jadi, inikah tokoh-tokoh dari negeri 
seberang yang bermaksud mencari pusaka leluhur mereka? 

"Begitulah orang memberiku julukan, Kisanak. Tapi, 
aku lebih suka kalau dipanggil nama saja. Namaku, Arya," 
kata Dewa Arak yang terkadang merasa risih bila orang 
memanggil julukannya. 

"Tidak usah berbelit-belit. Katakan saja! Apakah kau 
orang yang berjuluk Dewa Arak? Atau karena merasa gentar 
kepada kami, kau menjadi takut untuk mengakui 
julukanmu?!" tanya laki-laki tua yang memiliki bibir tebal, 
ikut angkat bicara. Ucapannya jelas bernada ancaman. 

"Maaf, Kisanak Semua," tukas Arya dengan suara 
bergetar. "Aku bukan pengecut. Dan telah kuakui kalau aku 
adalah Dewa Arak, sejak semula, tapi, baiklah. Agar kalian 
tidak salah duga, perlu kukatakan sekali lagi. Akulah Dewa 
Arak, yang kalian cari?! Nah! Sekarang, apa maksud kalian 
mencariku?" 

"Bagus kalau langsung bicara pada pokok masalahan, 
Dewa Arak. Dengan demikian, dapat langsung berterus 
terang padamu. Cepat serahkan pusaka leluhur kami. Dan 
kami akan segera pergi dari sini tanpa menoelakaimu!" tegas 
laki-laki tua yang mempunyai rajahan bergambar bintang 
segi lima di punggung tangan kanannya. 

"Kurasa kalian salah alamat," sahut Aiyat, tenang. 

Dan sebenarnya, Dewa Arak sedikit kaget, karena 
tidak menyangka kalau tiga kate k berciri-ciri berbeda ini 
meminta pusaka padanya. Tapi, dia berusaha 
menyembunyikan kekagetannya. 

"Apa maksudmu, Dewa Arak?!" sambut kakek bertahi 
lalat besar. "Apakah kau hendak mengatakan kalau pusaka 
leluhur kami tidak berada di tanganmu?!" 

"Kalau memang tidak ada padaku, lalu apa aku harus 
menjawabnya ada?!" balas Aiya. 

"Kau berani bermain-main dengan kami, Dewa Arak?! 
Asal tahu saja, di negeri kami, kelompok kami yang bernama 
Kelompok Bulan Sabit amat ditakuti!" ancam kakek yang 
bertahi lalat di hidung lagi. Tangan kanannya yang sudah 
terkepal erat, siap mengirimkan serangan mempergunakan 
tongkat bulan sabitnya. 

"Aku tidak ingin bermain-main, Kisanak. Tapi, 
kalianlah yang terlalu mendesakku. Sudah kukatakan, kalau 
di tanganku tidak terdapat pusaka leluhur yang 
dimaksudkan. Bahkan mendengarnya saja baru kali ini dari 
kalian!" 

Suara Aiya mulai meninggi, karena merasa tidak 
senang didesak oleh tiga orang kakek yang sebenarnya 
berasal dari Nepal 

"Mungkin kau kurang jelas, Dewa Arak. Pusaka itu 
adalah sebatang Suling Perak dan sebuah kipas terbuat dari 
kulit binatang!" jelas kakek berbibir tebal. Dia mempunyai 
watak lebih sabar dari rekannya. 

"Sayang sekali, aku tidak mempunyai benda-benda 
yang kalian maksudkan. Aku hanya mempunyai ini," jawab 
Dewa Arak sambil mengangsurkan guci arak yang semula 
berada di punggungnya. 

"Rupanya kau sudah kepingin mampus, Dewa Arak?!" 
sambung kakek bertahi lalat di ujung hidung. Wataknya lebih 
berangasan. Bahkan dia sudah tidak bisa menahan 
kemarahannya lagi. Dan.... 

"Huh!" 

Dewa Arak terpaksa menggeser tubuhnya ke kiri, 
ketika kakek bertahi lalat di hidung menusukkan tongkat 
bulan sabit ke arah dadanya. Maka logam tajam berbentuk 
bulan sabit itu pun meluncur lewat di sebelah kanan Dewa 
Arak. 

Wukkk! 

Setelah terlebih dulu memutarkan tongkat bulan 
sabitnya di atas kepala laksana kitirkan, kakek yang memiliki 
rajahan bintang segi lima membabatkan senjatanya ke leher 
Dewa Arak. 

Namun, Dewa Arak tidak kalah sigap. Seketika guci 
yang sudah berada di tangannya, langsung diangkat. 

Klangng! 

Bunyi berdentang keras diikuti percikan bunga api ke 
segala arah mengiringi terjadinya benturan senjata tongkat 
bulan sabit dengan guci Dewa Arak. Tubuh kakek berajah 
bintang ini terhuyung tiga langkah ke belakang, sedangkan 
Dewa Arak tidak bergeming sama sekali. 

Namun sebelum pemuda berambut putih 1$perakan 
itu berbuat sesuatu, dua kakek dari Nepal lainnya langsung 
melancarkan serangan yang mengeluarkan bunyi berkesiutan 
nyaring dan mengancam bagian berbahaya. 

Dewa Arak yang sudah sejak tadi memperhitungkan, 
menjadi gugup. Tanpa membuang-buang waktu lagi segera 
dikeluarkan ilmu 'Belalang Sakti’ yang menjadi andalannya. 
Maka pertarungan antara satu melawan tiga pun 
berlangsung. 

Begitu menggebrak beberapa jurus, Dewa Arak hnrus 
mengakui kalau lawan-lawannya benar-benar amat tangguh. 
Kalau menghadapi seorang demi seorang, Aiya yakin kalau 
akan dapat mengalahkan lawannya tapa kesulitan. Tapi 
menghadapi tiga orang sekaligus benar-benar terasa 
beratnya. Di samping ilmu-ilmu mereka tidak terlalu jauh di 
bawah Dewa Aik, keija sama mereka juga amat rapi! 

Setelah terlebih dulu memutarkan tongkat bulan 
sabitnya, kakek dari Nepal itu langsung membabatkan 
senjatanya ke leher Dewa Arak. 

Namun, Dewa Arak tidak kalah sigap. Seketika guci 
yang sudah berada di tangannya, langsung diangkat 
menangkis tongkat bulan sabit itu. 

Klangng! 

Untungnya, Dewa Arak memiliki ilmu 'Belalang Sakti'. 
Sehingga, membuatnya tidak mengalami kesulitan dalm 
mengelakkan serangan-serangan yang datang bertubi-tubi 
bagaikan hujan. Meskipun demikian, tiga tokoh dari Nepal 
yang mengaku berasal dari Kelompok Bulan Sabit itu tidak 
juga dapat mendesak Dewa Arak. Pertarungan masih 
berlangsung imbang. Dan keadaan tetap tidak berubah 
kendati telah memasuki jurus kelima puluh. 

Ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh 
satu, bumi bergetar secara berirama seperti ada sebuah 
benda besar yang beijalan di atasnya, itu pun masih diiringi 
bunyi lonceng kecil. 

Mendadak teijadi perubahan besar di kancah 
pertarungan. Tiga kakek dari Nepal itu mengeluarkan 
keluhan bernada kagst campur keluhan. Kemudian, masing- 
rasing melempar tubuh ke belakang, meninggalkan kancah 
pertarungan bagaikan orang ketakutan. 

"Lain kali kita teruskan pertarungan ini, Dewa Arak" 
kata kakek bertahi lalat di hidung, yang sepertinya menjadi 
juru bicara bagi kawan-kawannya. 

Sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, tubuh 
ketiga tokoh dari Nepal melesat cepat meninggalkan tempat 
ini. Sementara Aiya hanya terpaku heran, melihat tingkah 
tiga lawannya. 

Aiya tidak mengejar karena tak merasa mempunyai 
urusan dengan tiga tokoh dari Nepal itu. Ftemuda berambut 
putih keperakan ini hanya menatap kepergian tiga kakek 
berkulit hitam kecoklatan itu, hingga lenyap di balik 
kerimbunan pepohonan dan semak-semak lebat. 

Sebuah pertanyaan bergayut di bendak pemuda 
berpakaian ungu ini. Apakah ada hubungan perginya tiga 
tokoh dari Nepal dengan bunyi bnoeng kecil dan bunyi 
berdebarnya di tanah yang berirama tadi? Kalau tidak, 
rasanya tak akan mungjdn mereka akan pergi begitu saja. 
Bahkan pergi dengan sikap ketakutan begitu. 

Karena rasa ingin tahu apa yang teijadi, Aiya 
memutuskan untuk menunggunya siapa tahu, kalau tanah 
yang bergetar dan bunyi lonceng kecil itu tengah menuju ke 
arahnya. Apa getaran pada tanah semakin besar dan bunyi 
lonceng semakin nyaring. 

Sesaat kemudian, dari jarak sekitar empat tombak, 
tampak sesosok makhluk bertubuh besar muncul dari balik 
kerimbunan pepohonan. Dan ini membuat sepasang mata 
Aiya terbelalak lebar tak berkedip, begitu melihat seekor 
gajah yang begitu besar, ditunggangi sosok berkulit hitam 
kecoklatan. 

Sosok laki-laki tua di atas gajah itu berpakaian dan 
berciri-ciri mirip tiga kakek yang baru saja bertarung dengan 
Dewa Arak. Hanya saja sorot matanya lembut, dan 
mempunyai cambang bauk tebal. Sekarang Aiya baru 
mengerti, mengapa bumi tadi bergetar berirama. Ini tidak lain 
karena kaki kokoh dan kuat dari gajah berwarna putih di 
depannya. Dan bunyi berkerincingan nyaring, karena pada 
kaki gajah bagian depan dililit lonceng kecil. Tak lama 
kemudian, kakek yang berada di atas punggung gajah itu 
telah beijarak satu tombak kurang dengan Aiya. Dan sampai 
di sini, punggung binatang dahsyat itu ditepuk sekali. Maka 
gajah putih itu pun menghentikan langkahnya. 

Bumi tenang kembali. Bunyi kerincingan pun lenyap. 
Keadaan menjadi sunyi. Bahkan terasa sunyi. 

"Selamat beijumpa, Pemuda Gagah," ucap kakek 
bercambang bauk lebat, dengan logat aneh tapi sopan. Malah 
kepalanya dianggukkan lebih dulu sebelum berbicara. 
"Senang berkenalan dengan pemuda gagah dan sakti 
sepertimu." 

"Akulah yang seharusnya bangga bisa berkenalan 
dengan orang sepertimu, Kek," jawab Dewa Arak merendah. 
"Tidak pernah kutemukan seorang kakek yang mampu 
menunggangi seekor gajah, kecuali kau, Kek. Kau 
membuatku yang muda merasa kagum sekali." 

"Kau memang seorang pemuda luar biasa, Dewa Arak! 
Tidak hanya berkepandaian tinggi, tapi juga pandai 
membawa diri. Jarang ada seorang pemuda sakti yang pandai 
merendah sepertimu," puji kakek bercambang bauk lebat lagi. 

"Rupanya kau telah mengenalku, Kek. Sungguh tidak 
enak dan tidak adil rasanya keadaan kita sekarang. Kau telah 
mengenalku, sedangkan aku belum mengenalmu sama 
sekali." 

"Itu suatu tanda kalau kau merupakan seorang tokoh 
terkenal, Dewa Arak. Dan aku merupakan seorang kakek tua 
bangka yang sudah hampir mati dan tidak patut dikenal. 
Apalagi terkenal," kilah kakek bercambang bauk lebat. 

"Kurasa kau terlalu merendahkan diri, Kek. Jawaban 
yang tepat bukan seperti itu. Tapi karena kau memiliki 
pengetahuan luas. Sedangkan aku tidak mempunyai 
pengalaman cukup, sehingga tidak mengenalimu. Buktinya, 
lawan-lawan tangguh yang tadi kuhadapi, demikian takut. 

Sehingga meski kau belum muncul dan masih sangat jauh, 
mereka sudah berlari tunggang-langgang ketakutan. Sekali 
lagi, kuharap kau bersedia memperkenalkan dirimu, Kek." 

"Lawan-lawan tangguhmu melarikan diri karena 
ketakutan terhadapku?! Kau mengada-ada, Dewa Arak! Mana 
ada tokoh persilatan di daerah ini yang mengpnalku? 
Andaikata mengpnal pun, apa yang harus ditakuti dari 
seorang kakek yang sudah hampir mati?!" bantah kakek di 
atas punggung gajah bernada tidak percaya. 

"Mereka bukan dari daerah ini, Kek. Bahkan bukan 
berasal dari negeri ini. Mereka, kurasa berasal dari negeri 
yang sama denganmu," jelas Aiya. 

"Ah, begitukah...?!" 

Kakek bercambang bauk lebat itu menyembunyikan 
keterkejutannya dalam ucapannya. 

"Benar, Kek," Aiya mengangguk. "Mereka menghadang 
perjalananku untuk urusan sebuah pusaka yang sama sekali 
tidak kuketahui. Kalau tidak salah..." 

"Suling Perak dan kipas terbuat dari bulu binatang, 
yang dikatakan orang-orang itu, Dewa Arak?!" potong kakek 
bercambang bauk lebat, cepat Arya mengangguk 

"Apakah mereka menyebutkan asal kelompok mereka, 
Dewa Arak?" tanya kakek bercambang bauk lebat, lebih jauh. 

"Benar, Kek Mereka menyebutkan Kelompok Bulan 
Sabit," jawab Arya setelah tercenung sejenak 

"Tidak mungkin!" bantah kakek bercambang bauk 
kaget dengan wajah tidak percaya. 

Arya terjingkat seperti disengat kelabang, mendengar 
bantahan keras dari kakek bercambang bauk lebat itu. 

"Apanya yang tidak mungkin, Kek?! Aku tidak 
berbohong! Demikian berita yang kudapatkan dari mulut 
mereka. Tentu saja kalau kenyataannya mereka bukan 
berasal dari Kelompok Bulan Sabit, aku nama sekali tidak 
tahu menahu." 

"Maaf, Dewa Arak. Bukan maksudku tidak 
mempercayaimu. Tapi, ketahuilah Kelompok Bulan Sabit 
sudah tidak ada lagi. Semua pengikutnya tewas. Dan yang 
tinggal hanya ketuanya saja. Itu pun berhasil selamat, karena 
kebetulan tidak berada di tempat. Di sana telah terjadi 
bentrokan antar kelompok yang mengakibatkan Kelompok 
Bulan Sabit musnah. Dan Ketua Kelompok Bulan Sabit ada- 
lah seorang kakek sakti yang sekarang sudah tidak 
mempunyai semangat untuk bertindak kekerasan lagi. Dia 
tidak membalas dendam atas kejadian yang menimpa 
kelompoknya. Kakek itu bernama Tayatonga. Dan orangnya, 
sekarang tengah bercakap-cakap denganmu, Dewa Arak" 
tutur kakek bercambang bauk lebat, sambil menghela napas 
berat 

"Ah...! Maafkan aku, Ke k Aku telah membuatmu 
teringat kembali akan masa lalumu yang tidak enak, dan 
bahkan menyakitkan untuk dikenang. Sekarang aku yakin, 
para pengeroyokku bukan tokoh-tokoh sakti dari Kelompok 
Bulan Sabit," ujar Aiya tidak yakin akan dugaan yang 
didapatnya. 

"Aku lebih condong untuk menyelidiki masalah ini, 
Dewa Arak," desah Tayatonga. 

"Kau memang berkewajiban untuk membersihkan 
nama kelompokmu dari aib yang mereka corengkan, Kek. 
Meskipun sekarang, Kelompok Bulan Sabit sudah musnah 
dan kau bukan lagi bertindak sebagai ketua," dukung Aiya 
atas keputusan yang diambil Tayatonga. 

Kemudian, pemuda berambut putih keperakan itu 
menceritakan ciri-ciri para pengeroyoknya. 

Tayatonga tercenung setelah Aiya selesai ceritanya. 

"Melihat ciri-ciri yang kau sebutkan itu, aku menjadi 
sedikit kaget, Dewa Arak. Masalahnya, ciri-ciri yang kau 
sebutkan mengingatkan aku pada tiga tokoh utama 
Kelompok Bulan Sabit yang menjadi anak buahku. Sayang, 
mereka semuanya telah tewas dalam pertarungan melawan 
kelompok lain. Tapi ada kemungkinan, mereka melakukan 
tindakan curang. Yahhh... misalnya..., orang-orang yan 
meninggal dalam pertempuran itu adalah orang-orang tiruan, 
samaran." 

Aiya mengangguk-anggukkan kepala. Entah, apa 
artinya anggukannya. Hanya pemuda berambut putih 
keperakan itu saja yang tahu. 

"Kalau boleh tahu..., apa maksud kedatanganmu ke 
negeri ini, Kek?!" tanya Aiya setelah tercenung sebentar. 

"Kau memang berhak mengajukan pertanyaan itu, 
Dewa Arak" 

Tayatonga mengplus-elus jenggotnya yang sedikit. 
Beda dengan cambang bauknya yang lebat, jenggot kakek 
dari Nepal ini hanya sedikit. 

"Karena bagaimanapun juga, tempatku berada 
sekarang ini merupakan negerimu. Tempat tinggalmu. Tapi, 
percayalah. Aku tidak bermaksud buruk" lanjut Tayatonga. 

"Apakah kedatanganmu tidak ada hubungannya 
dengan pusaka-pusaka yang konon katanya berasal dari 
leluhurmu itu, Kek?!" Dewa Arak langsung mengemukakan 
dugaannya. 

"Ada hubungannya, Dewa Arak" jawab Tayatonga 
tanpa ragu-ragu. "Tapi tidak sama niatku dengan orang- 
orang yang baru saja bertarung denganmu tadi." 

"Aku masih belum mengerti akan maksudmu, Kek?!" 
Aiya mengernyitkan kening, tidak mengerti. Jawaban 
Tayatonga memang tidak mudah dicerna. 

"Hhh...!" 

Tayatonga menghela napas berat sebelum menjawab 
pertanyaan Dewa Arak. 




"Aku merasa berat menceritakannya. Karena 
sebenarnya, penyebab aku 1$ sini adalah urusan keluarga," 
Tayatonga memulai ceritanya. 

"Kalau begitu, tidak usah kau ceritakan, Kek," cegah 
Aiya, buru-buru dengan rasa tidak enak. "Maafkan, aku 
terlalu mendesakmu." 

Tayatonga mengembangkan senyum. Tapi Aiya tahu, 
senyum yang terkembang seperti dipaksakan. Ini 
membuktikan kalau kate k bercambang bauk lebat itu tidak 
berada dalam keadaan gembira. Setidak-tidaknya benaknya 
tengah dilibat suatu masalah. 

"Aku memang bermaksud menceritakannya, Dewa 
Arak. Terkecuali, bila kau tidak bersedia mendengarkan," 
kata Tayatonga 

"Aku tidak keberatan sama sekali, Kek," sahut Aiya 
sambil menggeleng. 'Tapi..., apakah pantas masalah keluarga 
diceritakan pada orang lain?!" 

"Terkadang pantas saja. Dewa Arak. Bahkan malah 
perlu," timpal Tayatonga. "O, ya. Lebih baik kumulai saja 
sebelum kau menjadi bosan mendengar petuah-petuah yang 
tidak berarti dariku, Dewa Arak." 

Kali ini Dewa Arak tidak memberi tanggapan. Dia 
terdiam membisu. Sedangkan Tayatonga tengah tercenung 
seperti memikirkan kata-kata yang akan dikeluarkannya. 

"Aku kemari untuk mengejar istriku. Dia telah kemari 
lebih dulu. Seperti juga kelompok-kelompok lain, istriku yang 
bernama Gangga Nanda pergi untuk mencari pusaka-pusaka 
seperti yang tadi kau sebutkan. Suling Perak dan kipas yang 
terbuat dari anggota tubuh binatang. Mereka semua 
menganggap pusaka-pusaka itu milik leluhur mereka. Pada- 
hal, sebenarnya tidak demikian." 

"Tapi, pasti istrimu dan kelompok-kelompok itu 
mempunyai alasan kuat mengapa menduga seperti itu. Tak 
mungkin mereka bertindak ceroboh, sembarangan mengaku- 
aku kalau tidak benar," duga Aiya bernada membela, ketika 
melihat Tayatonga menghentikan cerita. 

"Ucapanmu memang tidak keliru, Dewa Arak. Mereka 
mempunyai alasan kuat. Dan aku pun tidak menyalahkan 
kalau mereka sampai mempunyai dugaan seperti itu. Sayang, 
mereka semua tidak mau tahu penjelasan yang kuberikan.... 
Maksudku, istriku." 

Ada nada keluhan dalam ucapan Tayatonga. Nada 
ketidakberdayaan dan hampir pasrah. Dan meskipun tidak 
diceritakan, Aiya tahu kalau kehidupan rumah tangga kakek 
bercambang bauk lebat ini tidak terlalu bahagia. Keluhannya 
menjadi pertanda kalau istri kakek bercambang bauk lebat 
ini tergolong orang yang tidak mau diatur! 

"Adapun cerita sebenarnya begini, Dewa Arak. Sekitar 
seratus tahun lebih yang lalu, di negeri kami muncul seorang 
pendekar besar dari negerimu ini, Dewa Arak. Kalau tidak 
salah, julukannya Pendekar Suling Perak. Semula kami, 
terutama aku, tidak tahu sama sekali maksud 
kedatangannya. Ternyata kedatangan Pendekar Suling Perak 
untuk memenuhi undangan guru kami. Dan saat itu, istri 
guru kami sedang sakit keras. Menurut penuturan ahli 
nujum, dia akan tewas kalau tidak segera mendapatkan 
kipas dari anggota tubuh binatang dan Suling Perak. Jadi, 
keberadaan Ftendekar Suling Fterak di tempat kami itu adalah 
untuk meminjamkan benda-benda yang merupakan pusaka 
andalannya. Guru mengutus banyak murid untuk mencari 
Pendekar Suling Perak waktu itu." 

Setelah Tayatonga bercerita sampai di sini, Dewa Arak 
sudah bisa menebak dan mengerti kalau pusaka itu bukan 
milik leluhur tokoh-tokoh dari Nepal, melainkan milik tokoh 
besar dari negeri ini. Nama Pendekar Suling Fterak dikenal 
Dewa Arak sebagai tokoh persilatan besar ratusan tahun 
yang lalu. 

"Semula kaiena pusaka-pusaka itu amat penting dan 
merupakan peninggalan leluhurnya, Ftendekar Suling Perak 
tidak meninggalkan negeri kami. Tapi, karena sampai 
beberapa hari pengobatan itu tidak kunjung selesai, Pendekar 
Suling Perak memutuskan untuk meninggalkan dan 
meminjamkan saja pusaka itu. Pendekar itu percaya, seorang 
ketua kelompok besar seperti guru kami, tidak akan 
bertindak curang dan mengangkangi pusaka-pusaka 
miliknya. Setidak-tidaknya, menurut pemikiran Pendekar 
Suling Perak, guru kami akan mengingat budi yang telah 
ditan amkan nya." 

Wajah Aiya mulai berubah. Sekarang sudah bisa 
diraba kejadian yang akan berlangsung. 

"Perkiraan Pendekar Suling Perak ternyata keliru. 
Guru kami menjadi mata gelap, dan lupa budi baik orang. 
Pendekar Suling Fterak yang berpesan amat sangat agar 
pusaka miliknya diantarkan kepadanya apabila telah selesai 
dipergunakan, hanya menunggu-nunggu tanpa hasil. 
Memang, sewaktu Pendekar Suling Fterak akan pergi, guru 
kami beijanji akan mengembalikannya. Bahkan guru sendiri 
yang akan menyerahkannya disertai ucapan terima kasih. 
Tapi, rupanya janjinya sendiri diingkari. Dia tidak pernah 
mengembalikan Suling Perak dan kipas dari anggota tubuh 
binatang "itu. Bahkan murid-murid yang semula diutus 
untuk mencari Pendekar Suling Fterak, dibunuh semua oleh 
guru. Tentu saja tanpa sepengetahuan kami." 

Tanpa sadar, Aiya yang mendengarkan semua oerita 
penuh perhatian menggelengkan kepala, pertanda tidak 
mengerti oleh jalan pikiran Tayatonga. 

"Tapi sekitar sepuluh tahun lalu, muncul seorang 
pendekar yang bersenjata Suling Perak dan kipas terbuat dari 
anggota tubuh binatang. Kedatangannya ke tempat kami 
langsung mengajukan tantangan terhadap guru sambil 
menyebut-nyebut kalau guru kami merupakan orang yang 
tidak mengenal budi orang! Dalam pertarungan, baik guru 
maupun pendekar yang berusia sekitar tiga puluh tahun itu 
tewas. Namun sebelumnya, kedua belah pihak terlibat dalam 
pembicaraan. Dan hanya aku seorang yang tahu, apa 
pembicaraan yang berlangsung di saat-saat terakhir hidup 
mereka. Karena saat itu aku nekat mencuri dengar dari 
tempat yang tersembunyi. Tapi untungnya, kenekatanku 
ternyata malah mendapatkan pujian. Guru lalu menyuruhku 
mengembalikan pusaka-pusaka Pendekar Suling Perak ke 
tempat semula. Dan orang yang bertarung dengan guru 
ternyata keturunan dari Pendekar Suling Perak yang 
meminjamkan pusaka-pusaka itu. Ftendekar Suling Perak 
yang menjadi ayahnya, telah tewas di tangan lawan tangguh, 
karena tidak berbekal senjata andalannya. Tewasnya 
Pendekar Suling Fterak itulah yang menyebabkan guru sadar. 
Apalagi menyadari kalau usianya tidak akan lama lagi. Maka 
akulah yang mendapat tugas untuk mengembalikan pusaka- 
pusaka itu. Begitu ceritanya, Dewa Arak!" 

"Lalu..., bukankah pendekar yang bertarung melawan 
gurumu berbekal Suling Perak dan kipas dari anggota tubuh 
binatang?" tanya Aiya, heran. 

"Senjata itu bukan buatan leluhur Pendekar Suling 
Perak. Hanya tiruannya, sebagai tanda kalau pemegangnya 
merupakan keturunan Pendekar Suling Perak. Dan pusaka- 
pusaka itu diberikan pada Burisrawa, di tempat yang 
diketahui guru dari lawan larungnya," jawab Tayatonga 
dengan lancar. 

"Jadi..., ke manakah kau akan pergi sekarang, Kek?!" 
tanya Aiya, ingin tahu. 

"Ke tempat di mana aku menyerahkan pusaka pada 
Burisrawa. Aku khawatir, istriku akan ke sana karena telah 
berhasil memancingku untuk memberitahu kc mana pusaka- 
pusaka itu lenyap," jelas Tayatonga, panjang lebar. 

"Eh...?! Untuk apa lagi pusaka-pusaka itu bagi 
istrimu, Kek?!" Arya merasa tidak mengerti. 

"Untuk menjadikan dirinya pemimpin bermacam- 
macam kelompok yang ada di tempat kami," jawab 
Tayatonga, dengan suara berat seperti batinnya tengah 
terhimpit. "Waktu guru masih hidup, dia mengatakan kalau 
pusaka-pusaka itu didapatkan dari hasilnya bersemadi. Dan 
itu menjadi tanda atau bukti buat seseorang yang 
memegangnya, untuk menjadi tetua kebmpok. Maka ketika 
meninggal, dan masing-masing tokoh ingin menjadi ketua 
kelompok, kebmpok yang susah-payah dibentuk dan 
dibangun guru terpecah-pecah. Itulah sebabnya, banyak 
kelompok yang berasal dari kelompok yang dibangun guruku, 
berusaha mendapatkan pusaka-pusaka itu agar dapat 
menjadi pimpinan kebmpok!" 

"Dan keberadaanmu di sini untuk mencegah 
kelompok-kebmpok itu mengambil pusaka-pusaka milik 
Pendekar Suling Perak Kek?!" 

"Begitulah lencanaku, Dewa Arak," desah Tayatonga. 
"Aku tidak ingin mereka mengulang kesalahan guru. Bahkan 
menyusahkan orang yang telah bertindak demikian baik." 

"Kalau demikian, selamat bertugas, Kek. Aku 
mempunyai urusan yang sama pentingnya dengan mu," Arya 
pamit. 

"Selamat jalan, Dewa Arak" balas Tayatonga 
tersenyum sambil menganggukkan kepala. "Kau sekarang tak 
ubahnya Ftendekar Suling Perak ratusan tahun lalu. Nama 
besarnya terdengar di mana-mana, terkenal sebagai pendekar 
pembasmi kejahatan dan penangkal angkara murka. Persis 
sama dengan Ftendekar Suling Perak ratusan tahun yang 
lalu." 

"Kau terlalu memuji, Kek." 

Ucapan itu masih bergema teras di tempat Tayatonga 
masih berada. Tapi, tubuh Dewa Arak sudah tidak berada di 
situ lagi. Tayatonga menggeleng-gelengkan kepala pertanda 
kagum. Bukti ini saja sudah menunjukkan kalau Dewa Arak 
telah memiliki tingkat tenaga dalam yang sukar diukur. 
Meski demikian, Tayatonga masih sangsi kalau Dewa Arak 
mampu mengimbangi tingkat Pendekar Suling Perak. 


kkk 



Sesosok bayangan kuning tampak berlompatan 1$ 
sana kemari. Ujung kakinya menotok tonjolan batu di sana- 
sini, agar tubuhnya dapat melambung ke atas dan hinggap di 
tempat yang lebih tinggi. Sosok itu tengah mendaki lereng 
sebuah bukit yang cukup terjal. 

"Hup!" 

Hanya dalam waktu sebentar saja, sosok bayangan 
kuning ini telah tiba di bagian lereng gunung yang memiliki 
dataran rata. Dan dia berhenti di sini sambil mengarahkan 
pandangan ke depan. 

Wajah sosok bayangan kuning itu tampak berseri-seri 
meski napasnya agak memburu. Dia ternyata seorang wanita 
yang masih muda. Usianya tak lebih dari dua puluh tahun. 
Tapi bentuk tubuhnya sangat menggiurkan. Sehingga 
membuat para lelaki terutama yang mata teranjang, akan 
menelan liur. Dada gadis berpakaian kuning itu demi kian 
membusung, menantang. Dan lagi wajahnya yang cantik 
jelita dengan kulit putih halus kekuningan. 

"Ayah...! Ibu..! Betapa aku telah amat rindu pada 
kalian," desah gadis berpakaian kuning itu sambil menatap 
kosong ke depan. "Sambutlah ke datanganku, Ayah, Ibu..." 

Gadis berpakaian kuning ini lalu melesat ke depan. 
Larinya cepat bukan kepalang. Sehingga, yang terlihat hanya 
sekelebatan bayangan kuning dalam bentuk tidak jelas. Tapi 
baru juga beberapa kali melesat, dahi mulus gadis 
berpakaian kuning ini jadi berkemyit, begitu tanpa sengaja 
pandangannya terarah ke atas. 

"Burung-burung pemakan bangkai," desah gadis 
berpakaian kuning itu, heran campur cemas. "Mengapa 
burung celaka itu datang berbondong-bondong. Dan lagi, 
arahnya ke sana! Ataukah ada sesuatu yang terjadi di sana? 
Apakah Ayah atau Ibu...." 

Sampai di sini, gadis itu tidak berani meneruskan 
gumamannya. Justru larinya malah lebih dipercepat. 
Sementara di atasnya sosok-sosok kecil berwarna hitam 
menempuh arah yang sama dengannya. 

Yang lebih membuat hati gadis ini semakin galau, 
ketika melihat di depan sana telah banyak sosok hitam kecil 
yang tak lain dari burung-burung pemakan bangkai. Yang 
menyebabkannya gelisah, di tempat burung-burung itu 
berada justru terletak tempat tinggalnya. Tempat tinggal ayah 
dan ibunya. 

Tapi raut kekhawatiran gadis itu mulai berkurang 
ketika melihat burung-burung pemakan bangkai itu 
beijatuhan ke bawah, setelah terlebih dulu terlempar sedikit 
ke atas bagaikan terpukul dari bawah. Sebagai seorang yang 
memiliki kepandaian tinggi, dia tahu kalau burung-burung 
itu terhantam pukulan jarak jauh yang dilakukan orang yang 
berada di bawah. Siapa lagi kalau bukan orangtuanya, 
terutama sekali ayahnya yang memang memiliki ilmu 
pukulan jarak jauh luar biasa. 

Keyakinan akan dugaannya, membuat lari gadis 
berpakaian kuning semakin cepat. 

Tapi, sepasang mata yang berbinar-binar dan sinar 
kegembiraan wajah gadis berpakaian kuning itu langsung 
lenyap, ketika melihat pemandangan yang terpampang di 
hadapannya pada jarak tiga tombak 

Tampak di depannya sesosok tubuh kekar seorang 
pemuda berpakaian serba merah dan berikat kepala merah, 
tengah duduk di atas sebongkah batu sebesar kambing 
sambil memukul-mukulkan kedua tangannya secara 
bergantian ke udara. Dan pukulan-pukulan itulah yang 
menyebabkan burung-burung pemakan bangkai 
bergeletakkan di tanah tanpa nyawa. Tubuh binatang itu 
telah remuk begitu terhantam pukulan jarak jauh yang 
mengeluarkan bunyi berkesiutan nyaring ketika diluncurkan. 
Gadis berpakaian kuning itu sudah terkejut ketika melihat 
keberadaan pemuda berpakaian merah yang sama sekali 
tidak dikenalnya. Kebetulan pemuda itu duduk dengan sikap 
menyamping, sehingga wajahnya terlihat dari samping. Tapi 
dia lebih terkejut lagi ketika melihat pemandangan di 
belakang pemuda berpakaian merah itu. Ternyata di depan 
pondok sederhana milik orangtuanya telah tergolek dua 
sosok di atas tanah dalam keadaan bersimbah darah. 

Salah satu sosok bertubuh kecil. Sedangkan satunya 
lagi, dewasa. Sesosok yang sukar dikenali! kepala kedua 
sosok itu telah hancur. Hanya rambutnya yang panjang dan 
bentuk tubuhnya yang membuktikan kalau sosok yang tewas 
dalam keadaan mengerikan adalah seorang wanita! Yang 
telah berusia cukup lanjut. 

Gadis berpakaian kuning itu sampai menghentikan 
larinya, dan langsung menatap dua sosok yang terbujur di 
tanah dengan sorot mata tidak percaya. Kedua tangannya 
yang terkepal keras menandakan 1$ tegangan hatinya. 
Sepasang matanya yang indah, seperti melekat dengan sosok- 
sosok yang tergolek. Terutama sekali, sosok wanita dewasa 
yang berpakaian hijau muda. 

"I... Ibu...," desah gadis berpakaian kuning itu. 

Suaranya tersendat-sendat, sedangkan sepasang matanya 
berkaca-kaca siap memuntahkan air-air bening. 

Pemuda berpakaian merah yang tak lain dari Lingga 
terus sibuk membunuh burung-burung pemakan bangkai 
dengan pukulan-pukulan jarak jauhnya. Sambil terus 
bertindak demikian, kepalanya menoleh 1$ arah gadis itu. 
Telah belasan ekor burung yang malang itu tergeletak dalam 
keadaan tewas. 

"Apa hubunganmu dengan monyet betina yang baru 
kubunuh itu, Gadis Montok?!" tanya Lingga. Sikapnya 
tampak kurang ajar sambil mengarahkan kepala pada tubuh 
wanita berpakaian hijau muda yang tergolek 

"Keparat!" gadis berpakaian kurung menggelam 
seperti seekor macan luka. "Jadi, kau yang telah melakukan 
pembunuhan keji itu, Jahanam?!" 

"Benar," Lingga mengangguk sambil bangkit berdiri. 
Tidak lagi dipedulikannya kerumunan burung pemakan 
bangkai yang tadi dibantainya. "Sebenarnya, aku ingin 
membunuh pula suami wanita busuk ini, yang kalau tidak 
salah bernama Moksa dan beijuluk Pendekar Tangan 
Sepuluh. Tapi karena dia telah lebih dulu kabur sebelum 
kubunuh, yaah...! Apa boleh buat...? Istrinya pun tidak 
mengapa." 

"Terkutuk!" 

Sekujur tubuh gadis berpakaian kuning ini menggigil 
hebat karena amarah bergolak. 

"Kau akan merasakan pembalasanku!" lanjut gadis itu. 

Singng! 

Sinar menyilaukan mata langsung mencuat, ketika 
gadis berpakaian kuning ini mencabut senjata yang terselip 
di pinggangnya. 

"Ah...! Suling Perak...!" seru Lingga kaget dengan 
tarikan wajah berubah. Tampang yang senantiasa dingin itu 
mulai beriak, sebagai bukti kalau sangat terkejut. "Apa 
hubunganmu dengan Pendekar Suling Perak, Gadis 
Montok?!" 

Wungng! 

Jawaban yang diberikan gadis berpakaian kuning itu 
adalah tusukan ujung suling peraknya ke arah tenggorokan 
Lingga, setelah didahului gulungan sinar berwarna 
keperakan. 

"Uh!" 

Namun serangan gadis yang sepertinya putri dari 
Pendekar Tangan Sepuluh hanya mengenali angin, karena 
Lingga telah lebih dulu mendoyongkan tubuh ke belakang 
sambil melangkahkan kaki. Namun, gadis itu tidak tinggal 
diam. Serangan susulan kembali dilayangkan dengan 
penggunaan tendangan lurus-kaki kanan ke arah dada. 

"Hmh!" 

Pemuda berpakaian merah hanya mendengus, melihat 
serangan ini. Sekarang, dia tidak lagi mengplak. Maka 
langsung dipapakinya serangan itu dengan tendangan kaki 
kanan pula. 

Bresss! 

Dua buah kaki beradu teras. Dan seterika tubuh 
gadis berpakaian kuring itu langsung teijengkang ke 
belakang dan terguling-guling. Begitu berhasil bangkit, 
wajahnya langsung menyeringai menahan kesakitan. Kaki 
kanannya terasa ngilu bukan kepalang. 

Tapi, putri Pendekar Tangan Sepuluh itu benar-benar 
bukan gadis yang gampang menyerah. Tanpa mempedulikan 
sakit yang masih menggigit, dia mebmpat melancarkan 
serangan dengan suling. Serangannya langsung 
menimbulkan bunyi seperti bukan digerakkan, melainkan 
ditiup. Hanya saja bunyinya tidak terlalu enak didengar. 

Pertarungan pun berlangsung cukup sengit, kendati 
Lingga tidak mempergunakan senjata. Ftemuda berpakaian 
merah ini hanya bertangan kosong. Meski demikian jalannya 
pertarungan cukup imbang. Namun menginjak jurus ke lima 
belas, Lingga mulai dapat menekan lawannya. 

Memang, Lingga harus mengakui kalau kepandaian 
gadis berpakaian kuning ini cukup hebat. Tenaga dalam dan 
kelincahannya tidak terlalu jauh di bawah tingkatannya. 
Namun permainan sulingnya benar-benar luar biasa 

Sayang, betapapun hebatnya permainan suling gadis 
berpakaian kuning ini, tak satu pun yang mampu mengenai 
tubuh Lingga. Ujung baju pemuda berpakaian merah itu saja 
tidak pernah tersentuh. Lingga dengan langkah-langkah 
anehnya yang terkadang terhuyung-huyung seperti akan 
jatuh, melompat-lompat di tempat, atau bahkan berlarian 
mengelilingi lawan. Dan tindakannya selalu berhasil 
mengelakkan setiap serangan. 

Rrrttt! 

Di jurus ketujuh belas, tusukan suling gadis 
berpakaian kuning yang meluncur ke arah dada, berhasil 
dilihat sehelai kain merah di tangan Lingga. Gadis itu kagpt 
bukan kepalang. Maka secepat kilat senjatanya ditarik. Tapi, 
suling itu tidak bergeming sama sekali! 

Gadis berpakaian kuning yang memiliki watak keras 
tentu saja tidak mau mengalah. Seluruh tenaga yang dimiliki 
dikerahkan untuk menarik sulingnya yang terlibat kain 
merah, yang ternyata ikat kepala Lingga. Entah kapan, 
pemuda berpakaian merah itu mengambilnya dari kepala. 

Di saat gadis berpakaian kuning tengah bersitegang, 
Lingga mengendurkan belitannya. Tentu saja tindakan tak 
terduga-duga ini membuat tubuh gadis ini teijengkang ke 
belakang, terbawa tarikan tenaganya sendiri. Kesempatan 
baik itu segera dimanfaatkan Lingga sebaik-baiknya. Ikat 
kepalanya disalurkan tenaga dalan, hingga menegang kaku 
laksana sebatang tongkat. Bahkan terus meluncur ke arah 
bahu kanan lawannya. 

Tukkk! 

Gadis berpakaian kuning hanya sempat mengeluh 
tertahan, ketika jalan darah pada tubuhnya tertotok. 
Bagaikan sehelai kain basah, tubuhnya langsung ambruk ke 
tanah. 

Sekarang gadis berpakaian kuning hanya bisa 
menatap Lingga dengan sinar mata penuh kebencian. 
Sedangkan Lingga bagaikan tidak tahu, terus saja melangkah 
mendekati tempat tubuh gadis itu tergolek, langsung duduk 
bersimpuh. 

"Sejak kecil aku sudah dididik untuk melakukan 
tindakan yang sejahat-jahatnya terhadap lawan. Dan aku 
paling suka bertindak untuk menyakitkan hati orang lain. 
Dan tindakan itulah yang kulakukan terhadap istri Pendekar 
Tangan Sepuluh. Batinnya lebih dulu kusiksa, sebelum 
nyawanya kulenyapkan. Dan tindakan serupa akan 
kulakukan terhadapmu, Gadis Montok!" 

Gadis berpakaian kuning merasakan sekujur tu- 
buhnya meremang. Sekarang hatinya ngeri bukan kepalang, 
karena dapat memperkirakan bahaya apa yang akan 
mengancamnya. Napas Lingga yang memburu hebat dan 
sepasang mata yang menatap ke arahnya, telah menjadi 
tanda. Dan rasa takut yang amat sangat pun melandanya. 




"Apa... apa yang hendak kau lakukan...?!" tanya gadis 
berpakaian kuning dengan perasaan ngeri. Suaranya pun 
terdengar bergetar, karena gejolak rasa takut. 

"Tunggu saja. Nanti pun kau akan tahu sendiri" 

Kemudian diiringi seringai kejam, Lingga meng- 
ulurkan tangan. Langsung dicengkeramnya baju bagian dada 
gadis berpakaian kuning itu. Lalu.... 

Brettt! 

"Awww...!" 

Gadis berpakaian kuning tidak sanggup berbuat apa- 
apa lagi. Perasaan ngeri yang amat sangat tampak jelas pada 
wajahnya. 

"Jangan...! Kumohon jangan kau lakukan padaku.... 
Lebih baik bunuh saja aku. Dan aku akan sangat berterima 
kasih apabila kau langsung membunuhku. Jangan...! Jangan 
lakukan ini padaku...," rintih putri Ftendekar Tangan 
Sepuluh. 

Pakaian gadis itu mulai dari bagian dada sampai perut 
robek lebar. Maka dua bukit kembar yang padat membusung 
terbungkus kulit putih halus dan mulus pun membentang 
jelas. 

Lingga menelan ludahnya sendiri sebagai laki-laki 
waras, pemandangan demikian membuatnya seperti silau. 
Keluhan-keluhan menyayat hati dari gadis berpakaian kuning 
ini tidak tertangkap pendengarannya sama sekali. Yang ada 
dalam pikirannya hanya satu. Menyalurkan keinginan yang 
me n gge bu -ge bu! 

"Apakah kau tidak mendengar ucapanku tadi Cah 
Ajar?" kata Lingga dengan suara mulai bergetar, karena 
napas yang memburu terdorong keinginan menggebu-gebu. 
"Sejak kecil aku dididik, untuk melakukan tindakan 
kejahatan yang paling menyakitkan hati orang lain. Dan 
setelah dewasa, aku jadi orang yang ingin melihat orang lain 
tewas secara menyakitkan pula. Dan bagi orang sepertimu, 
aku tahu kematjan yang paling ditakutkan." 

Lingga menutup ucapannya dengan sebuah tubrukan 
ke arah gadis berpakaian kuning yang sudah tidak berdaya 
kecuali pasrah menerima nasib. Sedangkan gadis ini hanya 
bisa menangis, membayangkan kehancuran hatinya. 
Sementara Lingga dengan beringas terus menggeluti dan 
menciumi sekujur tubuh gadis itu yang bugil. Dan kedua 
tangannya ke sana kemari, meremas apa saja secara kasar 
dan brutal 

Lingga benar-benar berhati batu. Dia bisa tertawa 
terkekeh-kekeh di saat gadis berpakaian kuning merintih- 
rintih, menangis, dan meratap-ratap memohon belas kasihan. 
Di tengah hawa nafsu yang menggelegak, tiba-tiba.... 

"Iblis Keji...! Binatang Bermuka Manusia...!" 

Terdengar keras penuh kemarahan, membuat Lingga 
yang belum sempat melucuti pakaiannya sendiri, teijingkat 
kaget bagai disengat kalajengking. Dengan keoekatan seorang 
ahli silat tingkat atas, pemuda berpakaian serba merah ini 
melenting ke atas. 

Ketika menjejak tanah secara mantap, di belakangnya 
dalam jarak tiga tombak telah berdiri seorang pemuda 
berpakaian ungu. Rambutnya yang berwarna putih 
keperakan melambai-lambai tertiup angin. Siapa lagi orang 
itu kalau bukan Aiya Buana ilias Dewa Arak 

Sekarang Lingga dan Dewa Arak berdiri berhadapan 
dalam jarak sekitar lima tombak 

"Anjing Kurap! Jadi, kau yang tadi melemparkan 
makian?!" 

Dengan muka merah padam, dan sinar mata 
memancarkan hawa maut, Lingga menuding ke arah Aiya. 

"Benar! Karena kau memang orang semacam itu. 
Penjahat Berhati Binatang! Orang semacam dirimu tidak 
pernah mendapat ampunan dariku! Bersiaplah untuk 
menerima kematian!" teriak Aiya tidak kalah keras. 

Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan ini 
mencorong tajam, memperlihatkan kemarahannya yang 
mencapai ubun-ubun. 

"Hih!" 

Dari jarak lima tombak, Lingga memukulkan tinju 
kanannya ke arah Dewa Arak. Dalam kemarahannya, 
segenap tenaga dalam yang dimiliki telah dikeluarkan. Bunyi 
berkesiutan nyaring mengiringi meluncurnya angin pukulan 
berhawa panas ke arah Dewa Arak 

Aiya yang sangat pantang melihat tindakan 
pemerkosaan di depan matanya, tanpa pikir panjang lagi 
memapak pula dengan pukulannya. Maka dua buah angin 
pukulan yang sama-sama dahsyat meluncur dalam arah 
berlawanan. Lalu... 

Blarrr! 

Udara seperti bergetar ketika dua angin pukulan 
berbenturan di tengah jalan, hingga menimbulkan bunyi 
keras menggelegar. Tubuh kedua tokoh ini sama-sama 
terhuyung ke belakang. Tapi, Lingga terhuyung lebih jauh 
dua langkah. 

Pemuda berbaju serba merah itu menggeram. Hatinya 
penasaran bukan kepalang melihat hasil benturan tadi. 
Selama ini belum pernah ada tokoh muda yang pernah 
mengalahkannya. Baik dalam adu tenaga, kecepatan lari, 
maupun kelincahan. Maka kekalahan kali ini benar-benar 
membuat menjadi naik darah! 

"Arrrggghhh...!" 

Diawali teriakan keras seperti macan luka, Lingga 
melompat menerjang. Tubuhnya bagaikan sehelai bulu ketika 
meluncur menuju Dewa Arak. Namun Aiya yang tengah 
marah menyambutinya tak kalah sigap. Sehingga, terjadilah 
pertarungan mati-matian. 

Dewa Arak yang tengah dilanda amarah, tanpa 
tanggung-tanggung lagi segera mengeluarkan ilmu 'Belalang 
Sakti' yang menjadi andalannya. Namun, betapa kagetnya 
hati pemuda berambut putih keperakan ini, ketika melihat 
lawannya menyambutinya dengan ilmu serupa. 

Pertarungan aneh pun berlangsung. Kedua belah 
pihak melakukan gerakan-gerakan sama anehnya. Tapi 
terlihat jelas kalau setiap kali teijadi benturan, tubuh Lingga 
selalu terhuyung ke belakang. 

Lingga pun akhirnya menyadari kelebihan pemuda 
berambut putih keperakan itu. Setelah bertarung sampai 
lima puluh jurus, benaknya mulai diputar untuk 
menyelamatkan diri. Lingga tahu, Dewa Arak tidak mau 
melepaskannya hidup-hidup, bahkan mungkin berniat 
membunuhnya! 

dliggg! 

Pada sebuah kesempatan, Lingga menendang sebuah 
kerikil yang diarahkan kepala gadis berpakaian kuning yang 
masih terduduk tak berdaya. Dengan mengeluarkan bunyi 
menyeramkan, kerikil itu melayang ke arah sasaran. 

Dewa Arak terkejut melihat serangan licik itu. Tidak 
ada jalan lain, mengirimkan kibasan tangan kanan dan kiri 
berurutan, untuk membuat arah kerikil menyeleweng. 

Kesempatan inilah yang ditunggu-tunggu Lingga. 
Begitu melihat Dewa Arak mengalihkan perhatian, buru-buru 
tubuhnya melesat cepat meninggalkan tempat itu. Hanya 
dalam beberapa kali lesatan dia telah berada cukup jauh dari 
tempat semula. 

Sementara Dewa Arak tidak melakukan pengejaran 
sama sekali. Aiya tahu, tidak ada gunanya pengejaran orang 
selihai Lingga, apabila jarak telak demikian jauh. Maka 
perhatiannya dialihkan pada gadis berpakaian kuning yang 
telah berhasil diselamatkan nyawanya. 

Namun begitu Dewa Arak melengos 1$ arah gadis itu, 
wajahnya langsung berubah merah padam. Demikian pula 
gadis berpakaian kuning ini. Wajahnya juga panas, karena 
saking malunya. Maka dengan gerakan cepat, Aiya melengos 
ke arah lain. Dan dia berusaha sedapat mungkin untuk tidak 
melihat pemandangan indah yang terpampang di depan 
mata, sambil menghampiri tempat gadis berpakaian kuning 
itu tergolek. 

Dan setelah membebaskan totokan yang mem- 
belenggu gadis berpakaian kuning. Dewa Arak buru-buru 
berbalik. Diberikannya kesempatan pada gadis itu untuk 
membenahi pakaiannya. Dan putri Pendekar Tangan Sepuluh 
itu menggunakan kesempatan ini untuk pergi ke pondoknya 
dan berganti pakaian. 


•k-k-k 


"Aku sudah selesai," ucap putri Pendekar Tangan 
Sepuluh ketika telah berganti pakaian dan kembali ke tempat 
semula. 

Maka dua pasang matanya menatap sebentar. Dua 
raut wajah saling meneliti sejenak. Ada nada kekaguman 
dalam pandangan masing-masing. 

"Sayang aku datang terlambat, Nisanak. Kalau tidak, 
mungkin tidak perlu ada yang harus meninggal secara 
mengerikan seperti itu. 

Aiya yang lebih dulu memecahkan suasana hening 
dengan ucapan bernada penyesalan. Sementara matanya 
menatap penuh kengerian pada tubuh Tunjung Sari dan 
anaknya yang tergolek di tanah. 

"Tidak ada yang terlambat, Dewa Arak. Oh, maaf.... 
Kau Dewa Arak, bukan?!" tanya gadis berpakaian kuning ini 
menatap wajah Aiya dengan muka merah padam. 

Putri pertama dari Tunjung Sari dan Pendekar Tangan 
Sepuluh ini masih merasa malu besar, mengingat betapa 
Aiya telah melihat tubuhnya yang dalam keadaan bugil. 
Kalau menuruti perasaan, ingin ditinggalkannya saja Dewa 
Arak. Karena setiap kali melihat wajah Aiya, setiap kali itu 
pula seperti berada dalam keadaan telanjang bulat! 

"Maksudmu bagaimana, Nisanak?!" tanya Aiya, tidak 
mengerti. Pemuda itu menatap gadis berpakaian kuning ini 
sekilas. Jawaban putri Ftendekar Tangan Sepuluh 
membuatnya lupa untuk menjawab pertanyaan yang 
diajukan. 

"Kau tidak terlambat datang untuk memberi 
pertolongan, Dewa Arak. Karena dua mayat yang kau 
maksudkan memang sudah lama tewas. Maksudku, aku saja 
tidak memiliki kesempatan untuk menolong mereka. Apalagi, 
kau yang datang belakangan," jelas gadis berpakaian kuning 
ini, mulai sedih kembali, teringat lagi akan nasib yang 
menimpa ibunya. 

"Ah...!" desah Dewa Arak. "Sebenarnya apa 
hubunganmu dengan mayat-mayat itu?!" 

"Yang seorang adalah ibuku. Sedangkan yang satunya 
lagi, kemungkinan besar adikku. Aku tidak tahu pasti, 
karena sejak umur sepuluh tahun telah dikirim belajar pada 
salah seorang kenalan ayahku yang bernama Burisrawa. Aku 
baru saja selesai belajar, lalu pulang untuk menjumpai 
orangtuaku. Namun yang kudapatkan seperti ini," jelas gadis 
berpakaian kuning itu panjang lebar. "O, ya. Namaku, Sri 
Kunti. Sedangkan ibuku Tunjung Sari. Dan ayahku bernama 
Moksa tapi, lebih dikenal sebagai Pendekar Tangan Sepuluh." 

"Pendekar Tangan Sepuluh?!" Aiya agak terperanjat 
karena telah mendengar nama besar pendekar berkumis 
melintang itu, sebagai pentolan golongan putih yang 
berkepandaian tinggi. Julukannya telah menggemparkan 
dunia persilatan sejak dua puluh lima tahun yang lalu. Tapi 
sampai sekarang pun tetap ditakuti dan disegani, karena 
masih suka berkecimpung dalam kerasnya dunia persilatan. 

"Benar," sahut gadis bernama Sri Kunti mengangguk. 
"Bukankah kau tokoh yang beijuluk Dewa Arak? Julukanmu 
bahkan mengalahkan kebesaran julukan ayahku. Hampir 
setiap tokoh persilatan membicarakan tentang dirimu, Dewa 
Arak" 

"Berita itu terlalu berlebih-lebihan, Kunti," Aiya 
berusaha merendah. 

Sri Kunti tidak memberi jawaban. Dia telah teringat 
kembali akan nasib ibunya. Sedangkan nasib ayahnya belum 
diketahuinya sama sekali. Perasaan sedih pun kembali 
melingkupi hatinya. Sehingga, membuat wajahnya muram 
dan keceriaan hatinya karena bertemu Dewa Arak kembali 
tertutupi. Sri Kunti menghampiri mayat ibunya. Meskipun 
sedih yang amat sangat, dia berusaha teras untuk tidak 
menangis. Apalagi, di depan Dewa Arak 

Dewa Arak kemudian membantu Sri Kunti mengurus 
mayat ibu dan adiknya. Kehadiran pemuda berambut putih 
keperakan itu memang banyak membantu. Sehingga sedikit 
banyak, Sri Kunti tidak terlampau dibelit rasa sedih. 
Keberadaan Arya sedikit banyak mampu mengisi kekosongan 
hatinya ditinggal Tunjung Sari, ibunya. 

Setelah upacara penguburan selesai, Sri Kunti 
mengeluarkan semua uneg-unegnya. Baru kemudian 
sepasang anak muda ini melanjutkan perjalanan. Semula 
Aiya hendak menolak keikutsertaan Sri Kunti bersamanya. 
Tapi karena tidak sampai hati, akhirnya gadis itu dibiarkan 
ikut bersamanya. Sri Kunti mula-mula masih tenggelam 
dalam alam kesedihannya. Tapi karena wataknya yang lincah 
dan periang, tak lama rasa sedihnya lenyap. Apalagi karena 
berjalan bersama Dewa Arak, pemuda yanq diam-diam 
dikaguminya. Dan sekarang gadis ini mulai jatuh hati. 


•k-k-k 


"Hhh...!" 

Seorang kakek berpakaian abu-abu berkumis 
melintang putih, menghela napas berat setelah menatap 
sosok berpakaian coklat longgar yang tergolek di bawah 
kakinya, di antara kelompok kuburan yang sebagian besar 
telah porak-poranda. Hampir semua kuburan itu telah tidak 
mempunyai gundukan lagi, kecuali lubang berukuran 
setengah kali satu tombak yang menganga. 

"Tak kusangka akhir nasibmu demikian menyedihkan, 
Burisrawa sahabatku. Kau tergeletak di antara makam- 
makam yang kau jaga dan sekarang sudah porak-poranda 
seperti nyawamu. Aku berjanji akan membuat perhitungan. 
Sahabatku," bisik sosok berpakaian abu-abu yang tak lain 
dari Pendekar Tangan Sepuluh, sambil duduk setengah 
berjongkok di dekat mayat yang ternyata Burisrawa, penjaga 
pusaka-pusaka peninggalan Ftendekar Suling Perak. 

Pendekar Tangan Sepuluh kembali bangkit berdiri. 
Dan pandangannya beredar sebelum akhirnya kakinya 
melangkah lebar-lebar mendekati salah satu lubang yang 
menganga. 

Terdengar bunyi bergemeretak keras dari gigi-gigi 
Pendekar Tangan Sepuluh yang beradu, ketika melihat peti 
yang telah kosong itu hancur berantakan. 

"Biadab! Keji...!" 

Makian seperti itu keluar terus-menerus, ketika 
Pendekar Tangan Sepuluh menemukan hasil yang sama pada 
lubang-lubang lainnya. Benaknya pun dipenuhi pertanyaan. 
Apakah orang yang telah melakukan kekejian ini seorang 
diri? Kalau demikian, bagaimana mungkin dia bisa membawa 
mayat-mayat yang berada di pekuburan ini, yang jumlahnya 
belasan?! Lagi pula, untuk apa mayat-mayat yang pasti 
berbau tidak sedap itu dibawa?! 

Pertanyaan-pertanyaan itu bergayut berputaran di 
benak Pendekar T angan Sepuluh tanpa ada jawabannya. 

Setelah berputar mengelilingi sekitar tempat itu tanpa 
menemukan sebuah peti mati yang dapat dipakai tempat 
tubuh Burisrawa, Pendekar Tangan Sepuluh kembali ke 
tempat mayat Burisrawa tergolek. Hatinya merasa geram 
bukan kepalang pada orang yang telah membunuh Burisrawa 
dan menghancurkan semua peti mati yang berada di 
pekuburan ini. 

"Eh...?!" 

Pendekar Tangan Sepuluh berseru kaget ketika 
melihat mayat Burisrawa sudah tidak berada di tempat 
semula. Untuk sesaat, kakek berkumis melintang ini tertegun 
dan berpikir keras. Apakah dia telah lupa, di mana tubuh 
kawannya yang telah menjadi mayat itu berada? Ataukah 
telah dimasukkannya ke dalam lubang?! 

Pendekar Tangan Sepuluh berdiri bingung di 
tempatnya. Kakek berkumis melintang itu berusaha keras 
untuk mengingat-ingat barangkali saja lupa kalau telah 
meletakkan mayat itu ke dalam lubang. Belum juga bisa 
menemukan jawabannya.... 

"He he he...!" 

Tiba-tiba terdengar tawa terkekeh yang keras penuh 
ejekan, sehingga membuat Ftendekar Tangan Sepuluh 
terperanjat. Dan dia langsung bersiap untuk menghadapi 
segala kemungkinan yang tidak diharapkan. Seketika 
pendekar yang telah kenyang pengalaman ini langsung bisa 
menduga, mengapa mayat Burisrawa bisa lenyap dari tempat 
semula! 

"Siapa kau, Keparat! Kalau bukan pengecut, 
tunjukkan dirimu...!" sentak Pendekar Tangan Sepuluh 
sambil mengedarkan pandangan berkeliling. 

Sumber suara itu memang sukar diketahui, seakan- 
akan dari delapan penjuru. Kenyataan ini saja sudah cukup 
untuk membuat Pendekar Tangan Sepuluh yakin kalau orang 
yang tertawa itu berkepandaian tinggi. Terutama sekali, 
tenaga dalamnya. Karena hanya orang-orang yang memiliki 
tenaga dalam kuatlah yang dapat membuat ucapannya tidak 
dapat dilacak. 

"He he he...! Tidak usah terburu nafsu, Moksa. 
Saatnya untuk melihatku belum tiba. Lagi pula, bukankah 
kau tengah mencari kawan karibmu yang telah menjadi 
bangkai?!" sambut suara tanpa wujud lagi. 

"Pengecut Hina! Keluar kau! Dan, mari hadapi aku! 
Kita bertarung sampai salah seorang ada yang mati! Jangan 
hanya berani menghadapi mayat tidak berdaya!" bentak 
Pendekar Tangan Sepuluh, kalap. 

Dia khawatir pemilik suara yang tidak diketahui itu 
akan melakukan hal yang tidak diinginkan terhadap mayat 
Burisrawa. 

Dan kafi ini tidak ada sambutan sama sekali, meski 
Pendekar Tangan Sepuluh telah cukup lama menunggu. 
Keheningan seterika melingkupi sekitarnya, setelah gema 
suara kakek berkumis melin tang ini lenyap, terasa 
mengerikan. 

"Siapa kau sebenarnya, Ftengscut?! Dari mana kau 
tahu namaku. Dan, lagi rasanya aku pemain mendengar 
suaramu. Hanya saja, aku lupa kapan dan di mana?" 

Pendekar Tangan Sepuluh kembali berseru keras 
ketika teringat kembali akan ucapan pemilik suara tanpa 
wujud itu. Moksa diam-diam merasa heran, mengetahui 
orang itu bisa tahu nama aslinya. Karena, hampir tidak ada 
orang yang tahu nama aslinya lagi. Tokoh-tokoh persilatan 
mengenalnya sebagai Pendekar Tangan Sepuluh! Kalau 
pemilik suara tanpa wujud ini tahu namanya, berarti cukup 
mengenal dirinya. Dan itu berarti, kemungkinan besar 
pemilik suara itu dikenalnya pula. 

"Terimalah kawan baikmu ini, Moksa!" 

Seiring keluarnya kata-kata itu, dari sebatang pohon 
besar berdaun rimbun yang berada tak jauh dari tempat 
Pendekar Tangan Sepuluh berada, melesat sesosok benda 
besar. 

"Hih!" 

Begitu telah mengetahui tempat persembunyian 
pemilik suara tanpa wujud, tanpa membuang luang waktu 
lagi, Pendekar Tangan Sepuluh memukulkan kedua 
tangannya yang dikepal kuat-kuat. Arah yang dituju adalah 
bagian atas batang pohon itu. 

Wusss! Brakkk! 

Sesaat setelah angin menderu teras yang berasal dari 
kedua tangan yang dihentakkan, pohon yang terkena sasaran 
angin pukulan Pendekar Tangan Sepuluh hancur berentakan 
mengeluarkan bunyi gemuruh. Tapi sebelum pohon itu 
sempat hancur, dari atasnya melesat sesosok bayangan yang 
melompat turun dengan kecepatan menakjubkan. 

Pendekar Tangan Sepuluh tidak merasa heran melihat 
serangannya tidak membuat sosok yang berada di atas pohon 
terluka. Dia tahu, serangan seperti itu akan mudah dapat 
dielakkan oleh tokoh yang berkepandaian tinggi. Dan pemilik 
suara tanpa wujud ini diyakininya merupakan tokoh 
berkepandaian tinggi 

Makanya Pendekar Tangan Sepuluh cepat melesat 
mengejar hendak mengirimkan serangan susulan. Tapi, sosok 
yang berdiri tegak dalam jarak hampir tujuh tombak darinya 
sambil menundukkan kepala, mengibaskan tangan kiri 
dengan sikap tidak acuh. 

"Lebih baik kau periksa dulu, apakah tubuh yang 
kuberikan itu kawanmu atau bukan?!" 

Pendekar Tangan Sepuluh merupakan seorang 
pentolan golongan putih yang telah kenyang pengalaman. 
Itulah sebabnya, dia dapat mengetahui adanya pancingan 
dalam ucapan sosok yang beluin dapat dikenalinya. 

Dan Pendekar Tangan Sepuluh memang tidak 
menanggapi kata-kata sosok yang belum ketahuan wajah dan 
jenis kelaminnya. Malah dihampiri sosok itu dengan sikap 
hati-hati dan sekujur urat saraf, menegang, siap 
mengirimkan serangan. 




"He he he...! Kau takut, Moksa?! Kau takut kalau aku 
menipumu? Atau kau takut, kalau-kalau aku menggunakan 
kesempatan saat kau mempeihatikan tubuh itu, lantas aku 
membokongmu? He he he...! Sama sekali tidak kusangka. 

Ternyata Moksa yang sombong dengan julukan Pendekar 
Tangan Sepuluh telah berubah menjadi penakut. He he he...!" 

Moksa menggertakkan gigi menahan geram. Hatinya 
sebagai orang gagah, tersinggung. Maka dengan langkah 
lebar, Pendekar Tangan Sepuluh ini mendekati mayat yang 
dilemparkan sosok tanpa jati diri itu. Sosok yang diduga 
mayat Burisrawa. 

"Ah!" 

Pendekar Tangan Sepuluh ini teijingkat ke belakang 
seperti orang tersengat ular berbisa, ketika baru saja 
memeriksa tubuh yang tergolek di tanah. 

Potongan tubuh sosok yang tergolek di tanah ini jelas 
sebagai tubuh Burisrawa. Pakaiannya yang longgar dan 
berwarna coklat pun tidak bisa disangsikan lagi. Tapi, yang 
membuat Pendekar Tangan Sepuluh merasa ngeri dan kaget 
adalah, ketika melihat wajah Burisrawa! Wajah itu demikian 
mengerikan, dan sulit dikenali. Karena sepasang matanya 
sudah tidak ada lagi dan mungkin dicongkel keluar. Dan 
yang ada hanya bolongan hitam yang menjorok ke dalam. 
Ujung hidungnya dipotong, sedangkan mulutnya dirobek 
lebar sampai ke pinggir telinga kanan dan kiri! 

Pendekar Tangan Sepuluh bangkit dengan kedua 
tangan dikepalkan teras, hingga mengeluarkan bunyi 
bergemeretakan seperti ada tulang-tulang patah. Sepasang 
matanya seperti mengeluarkan sinar berapi, ketika menatap 
ke arah sosok yang masih belum terlihat jelas. 

"Bagaimana, Moksa?!" tanya sosok iru bernada 
mengejek. "Benarkah dia kawanmu?!" 

"Kubunuh kau...!" 

Belum hilang gema ucapannya, Pendekar Tangan 
Sepuluh telah mebmpat menerjang sosok yang belum 
ketahuan jati dirinya. Kedua tangannya seketika seperti 
berubah menjadi puluhan pasang saat meluncur ke arah 
sasaran. Dalam puncak kemarahan yang sejak tadi tertahan- 
tahan, Ftendekar Tangan Sepuluh menggunakan ilmu 
'Sepuluh Tangan Malaikat' yang menjadi andalannya. 

"Inikah ilmu 'Sepuluh Cakar Anjing' yang terkenal 
ampuh itu? Sungguh buruk?!" 

Berbareng keluarnya ucapan itu, sosok yang belum 
jelas jenis kelaminnya menggerakkan tangan, menyambuti 
datangnya serangan. Maka dua palang tangan yang sama- 
sama mengandung tenaga dalam kuat, berbenturan di udara 
secara keras. 

Akibatnya, tubuh meieka sama-sama terjengkang ke 
belakang dan terguling-guling di tanah. Tapi terlihat jelas 
kalau sosok yang belum ketahuan jari dirinya itu lebih dulu 
berhasil menguasai diri dan bangkit berdiri. 

"Tunggu sebentar, Moksa.'" Sosok yang sekarang 
dapat terlihat jelas karena sinar bulan tepat jatuh di 
wajahnya, cepat menjulurkan tangan kanan ke depan. Dia 
memberi isyarat agar Pendekar Tangan Sepuluh yang akan 
melancarkan serangan susulan menahan gerakannya. 

Mau tidak mau. Pendekar Tangan Sepuluh menahan 
serangan. Dia adalah seorang tokoh besar. Pantang baginya 
untuk menyerang, sementara lawannya belum bersiap 
menghadapi serangan. Dan kesempatan ini dipergunakan 
Moksa untuk memperhatikan lawannya penuh selidik. Dan 
diam-diam, bulu-bulu di tubuh kakek berkumis melintang ini 
bangun karena cekaman rasa ngeri. 

Keadaan sosok yang yang merusak mayat Burisrawa 
ini memang menggariskan hati. Sebagian wajahnya sudah 
tidak memiliki daging lagi, dan yang terlihat hanya tulang- 
tulangnya. 

"Apa lagi permainanmu, Jahanam?!" sentak Pendekar 
Tangan Sepuluh, setelah berhasil menguasai perasaannya. 

"Tidak ada permainan apa-apa, Moksa," jawad sosok 
berwajah mengerikan. 

Menilik keadaannya, orang itu telah berusia lanjut. 
Dan dia berusaha tersenyum. Tapi karena wajahnya 
mengerikan, maka senyum itu lebih mirip seringai. 

"Yang ada hanya sedikit pemberitahuan pada mu. 
Kuharap berita ini cukup untuk membantumu sedikit 
gembira," lanjut sosok itu. 

"Tidak usah mengulur-ulur waktu, Iblis Keji! Katakan 
saja, cepat! Aku tidak punya waktu untuk bermain-main 
denganmu lebih lama lagi!" sentak Pendekar Tangan Sepuluh 
bernada tidak sabar. 

Moksa sebenarnya bukan hanya tak ingin segera 
menjatuhkan tangan keras pada lawannya yang lihai ini. Tapi 
dia juga lelah berpikir saat mengingat-ingat kakek berwajah 
mengerikan yang telah mengenalnya. Malah dia seperti 
pemah mendengar suaranya. Pendekar Tangan Sepuluh 
tidak ingat lagi. 

"Sabar, Moksa. Pemberitahuan ini hanya menyangkut 
tentang istrimu, yang selalu mengenakan pakaian hijau 
muda dan anakmu yang baru berusia paling lama dua tahun. 
He he he...!" 

Kakek berwajah mengerikan sengaja menggantung 
ceritanya. Ingin disiksanya dulu perasaan Ftendekar Tangan 
Sepuluh. Dengan demikian, keterangan ini akan membuat 
Pendekar Tangan Sepuluh merasa sangat penasaran. 

Nyatanya Pendekar Tangan Sepuluh memang sampai 
terlonjak kaget. Sepasang mata dan mulutnya terbelalak 
lebar. 

"Iblis Jahanaml Apa yang kau lakukan atas anak dan 
istriku?! Ingat! Sedikit saja mereka terganggu, tubuhmu akan 
kuhancurleburkan!" desis Pendekar Tangan Sepuluh penuh 
ancaman. 

"He he he...! Betapa gagahnya! Tapi ingin kulihat bukti 
kebenarannya, apakah sesumbar itu sesuai kemampuanmu, 
Moksa?!" ujar kakek berwajah mengerikan, terang-terangan 
mengajukan tantangan. 

"Tidak usah berbelit-belit, Manusia Iblis! Katakan, di 
mana istriku dan apa yang kau lakukan terhadapnya! 
Bebaskan dia! Kau hanya berurusan denganku. Tidak dengan 
mereka!" dengus Pendekar Tangan Sepuluh yang masih 
merasa khawatir akan nasib anak dan istrinya. 

"Kau bertanya di mana mereka, Moksa...?! Baiklah 
kujawab terus terang. Anak dan istrimu ada di... akherat, 
Moksa! Ha ha ha...! Mereka telah kukirim ke neraka melalui 
siksaan yang mengasyikkan. Ha ha ha...! Kau bilang tidak 
ada urusan, Moksa?! Sebenarnya baik kau dan Tunjung Sari 
mempunyai persoalan denganku! Apakah kau telah lupa 
peristiwa dua puluh lima tahun yang lalu! Waktu itu aku kau 
lemparkan ke dalam jurang dalam pertempuran kita 
memperebutkan Tunjung Sari...?!" 

Wajah Pendekar Tangan Sepuluh kontan memucat. 
Dia ingat betul, peristiwa itu memang amat membekas di 
dalam otaknya. Dan begitu kakek berwajah mengerikan 
mengatakan kejadian itu. Moksa baru ingat dengan suara 
yang sekarang di dengarnya. Dan itu adalah suara.... 

"Sulang...?! Jadi, kau... Sulang?! Kau..., kau masih 
hidup?!" 

Pendekar Tangan Sepuluh terbata-bata dalam 
mengucapkan perkataannya. Sekarang Moksa mengerti, 
mengapa kakek berwajah mengerikan ini membunuh istri 
dan anaknya secara kejam! Ternyata Sulang melakukan balas 
dendam kesumat yang dipendamnya sejak dua puluh lima 
tahun lalu 

"Benar! Aku masih hidup, Moksa Keparat! Setan-setan 
di neraka menolongku hingga tidak mampus di dasar jurang. 
Tapi sebelah wajahku kehilangan daging, akibat tersayat- 
sayat dinding jurang yang tajam! Dan keberuntungan 
rupanya masih berteman denganku. Di dasar jurang, aku 
menemukan kitab ilmu-ilmu sakti milik seorang tokoh 
beijuluk Pemabuk Gila, tokoh yang telah lenyap hampir 
seratus tahun lalu. Dan ilmunya yang bernama 'Dewa Mabuk' 
dengan sendirinya jatuh 1$ tanganku. Sepuluh tahun lebih 
aku melatih diri untuk , mempertinggi kepandaianku. 
Kemudian, aku mengambil seorang murid dan kudidik 
dengan ilmu-ilmuku. Tak lupa, sambil melatihnya, aku 
melatih diri pula. Asal kau tahu saja, Moksa Bangsat! 
Muridku itu jauh lebih kejam dan jahat daripada aku! Sejak 
kecil dia kudidik agar setelah dewasa menjadi orang yang 
paling suka melihat orang lain tersiksa! Ha ha ha...!" 

Moksa merasa ngeri mendengar suara tawa Sulang 
yang sarat nafsu-nafsu kejahatan. Tapi, rasa ngeri itu masih 
kalah besar dengan kemarahan yang melanda akibat 
ke matian istri dan anaknya secara mengprikan. 

Dan kemarahan hebat yang menggelegak dalam dada 
yang mendorong Pendekar Tangan Sepuluh menyerang 
Sulang dengan buas. Sementara laki-laki tua berwajah 
mengerikan yang memendam dendam dan sakit hati pun 
menyambutnya! 

Begitu pertarungan berlangsung beberapa jurus, 
Pendekar Tangan Sepuluh harus mengakui kalau Sulang 
tidak hanya bersesumbar. Kenyataan yang dihadapinya 
memang demikian. Sulang telah mengalami kemajuan pesat, 
jauh melampaui kemajuan yang diterima Moksa. 

Pendekar Tangan Sepuluh sendiri selama dua puluh 
lima tahun, tidak berpangku tangan saja. Dia juga berlatih. 

Tapi tokoh Sulang yang dulu memiliki kepandaian jauh di 
bawah Pendekar Tangan Sepuluh, mampu melampauinya! 

Sulang yang sekarang tidak hanya memiliki tenaga 
dalam dan kecepatan gerak di atas Pendekar Tangan 
Sepuluh. Tapi juga memiliki ilmu-ilmu aneh yang 
menyulitkan Pendekar Tangan Sepuluh dalam melancarkan 
serangan balasan. Kedahsyatan ilmu Sepuluh Tangan 
Malaikat' yang biasanya amat ampuh untuk menjatuhkan 
lawan tangguh, sekarang pupus. Tidak pernah sekali pun 
tangan Moksa mendarat di sasaran. 

Bahkan perlahan Pendekar Tangan Sepuluh berhasil 
dihimpit lawannya. Setiap serangannya, tidak pernah 
mengenai sasaran. Sebaliknya serangan balasan yang 
dikirimkan Sulang, senantiasa merepotkan Moksa. 

Desss! Bukkk! 

Entah di jurus keberapa, tahu-tahu tubuh Pendekar 
Tangan Sepuluh dan Sulang sama-sama terjengkang ke 
belakang. Hanya saja, dari mulut Moksa keluar deras darah 
segar. Memang pada saat yang hampir bersamaan, pukulan 
tangan kanan terbuka Sulang mendarat di dada Pendekar 
Tangan Sepuluh. Sebaliknya, tendangan kaki kanan Ffende- 
kar Tangan Sepuluh menyerempet paha kanan Sulang. 


kkk 


"Ayaaah...!" 

Jeritan nyaring melengking yang sarat perasaan kagpt 
dan khawatir menyeruak, ketika tubuh Ftendekar Tangan 
Sepuluh dan Sulang sama-sama terjengkang ke belakang. 

Dan sebelum gema ucapan itu lenyap, melesat 
bayangan ungu yang langsung menerjang Sulang. Sementara 
bayangan yang berwarna kuning melesat ke arah tubuh 
Pendekar Tangan Sepuluh yang melayang kc belakang. Sosok 
bayangan kuning cepat menghentikan melayangnya tubuh 
itu, sebelum berbenturan dengan batang pohon. 

"Huakh!" 

Darah segar langsung menggelogok keluar, ketika 
Pendekar Tangan Sepuluh baru saja membuka mulut, saat 
akan berbicara. 

"Ayah...!" 

Sosok berpakaian kuning yang tak lain seorang gadis 
manis bernama Sri Kanti ini, menyerukan panggilan terhadap 
Pendekar Tangan Sepuluh dengan penuh rasa cemas. 

"Kau... terluka, Ayah?!" lanjut Sri Kunti. Pendekar 
Tangan Sepuluh masih berusaha tersenyum meski sepasang 
matanya telah sayu. Biasan wajahnya pun menyiratkan 
kegembiraan ketika menatap wajah gadis muda yang 
memapah tubuhnya, dan merebahkannya secara hati-hati di 
tanah. 

"Kau... kau..., Sri Kunti, Anakku?!" tanya Moksa 
dengan suara terputus-putus karena lukanya yang parah. 
Hantaman Sulang memang dahsyat 

"Benar, Ayah. Aku Sri Kurti, putrimu yang kau kirim 
pada Kakek Burisrawa untuk menuntut ilmu," jawab Sri 
Kunti disertai air mata yang terus menetes. Gadis ini benar- 
benar tidak kuat menahan rasa sedih melihat keadaan 
ayahnya yang sudah sekarat. Meskipun demikian Sri Kunti 
berusaha tidak ingin menangis! Andaikata harus, biar hanya 
air mata saja yang mengalir. Tidak perlu mengeluarkan 
suara. 

"Kau..., kau sudah menjumpai ibu dan adik mu?! 
Maaf, Ayah tidak sempat memberitahukan kalau kau 
mempunyai seorang adik lagi. Semula, Ayah 
menyembunyikannya agar menjadi kejutan nantinya bagimu, 
di kala kau pulang menemui kami," suara Moksa semakin 
terputus-putus. 

"Ayah..., Ibu dan adik telah...." 

"Aku mengerti," tukas Pendekar Tangan Sepuluh, 
melihat keraguan Sri Kanti untuk meneruskan ucapannya. 
Sekarang, kakek berkumis melintang ini yakin kalau Sulang 
tidak berbohong. Ada rasa nyeri yang bermain-main di hati 
Moksa. "Mereka telah tewas bukan?" 

"Jadi, Ayah sudah tahu pula?!" tanua Sri Kunti serak 

Biasan wajah gadis ini menyiratkan rasa kaget. 
Karena sekelebatan dia teringat ucapan Lingga yang 
mengatakan kalau Pendekar Tangan Sepuluh telah melarikan 
diri, begitu Lingga datang. 

"Aku tidak melihat mereka tewas. Aku hanya 
mendengar beritanya saja dari pembunuhnya. Dan orang 
yang membunuhnya adalah orang yang telah melukaiku," 
jelas Pendekar Tangan Sepuluh mulai tersengal-sengal 

"Kau keliru, Ayah. Ffembunuhnya adalah seorang 
pemuda berpakaian merah. Dia sakti dan kejam bukan 
kepalang. Aku hampir celaka di tangannya. Untung Dewa 
Arak datang menolongku," ujar Sri Kunti bernada bangga, 
apalagi ketika menyebut tentang sosok bayangan ungu yang 
memang Aiya Buana alias Dewa Arak. 

"Tapi...," Pendekar Tangan Sepuluh ingin membantah. 
Tapi, sesaat kemudian, dia teringat penuturan Sulang. 
"Orang yang kau maksudkan itu adalah murid dari orang 
yang mengalahkanku, Kunti." 

Sri Kunti terdiam. Gadis berpakaian kuning ini sama 
sekali tidak menyangka kalau Lingga yang demikian lihai, 
masih mempunyai seorang guru. Bisa dibayangkan, 
bagaimana kesaktiannya. Pantas saja ayahnya sampai 
terluka parah. 

"Mengapa Ayah datang ke tempat ini?! Dan, mengapa 
tempat ini jadi demikian berantakan?" Sri Kunti menatap 
sekeliling, dengan pandangan heran. 

"Kau tidak tahu, Kunti. Malapetaka besar menimpa 
gurumu. Ada seorang tokoh yang telah membunuh gurumu. 
Melihat tindakannya yang mengobrak-abrik tempat ini, pasti 
pusaka-pusaka peninggalan leluhur majikan gurumu yang 
dicarinya. Aku tahu hal ini, atas pemberitahuan Sakala. 
Entah ke mana sekarang burung itu. Kau harus.. , akh...!" 

Kepala Pendekar Tangan Sepuluh terkulai, sebelum 
sempat menyelesaikan ucapannya. Luka dalamnya yang 
terlampau parah, telah mengirim nyawanya ke alam baka 
menyusul istri dan anaknya yang kedua. 

"Ayaaah..." 

Sri Kunti menjerit keras sambil mengguncang- 
guncangkan tubuh ayahnya. Gadis ini masih berharap agar 
ayahnya masih hidup. Tapi setelah beberapa kali diguncang- 
guncangkan, tubuh itu tetap tidak bergeming. Kini disadari 
kalau ayahnya telah pergi meninggalkannya. Pendekar yang 
pernah menggemparkan dunia persilatan itu kini tewas. 

Sri Kunti memeluk tubuh ayahnya yang telah tidak 
bernyawa lagi, sebentar. Tidak ada suara tangis yang keluar 
dari mulut mungil berbibir indah itu. Gadis itu mampu tetap 
tegar, kendati orang orang yang disayanginya satu persatu 
pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. 

Sri Kunti hati-hati membaringkan tubuh ayahnya di 
tanah seperti khawatir tubuh itu akan pecah. Kemudian 
pandangannya dialihkan pada tempat di mana Sulang tadi 
terhuyung. Namun, pandangannya yang menyiratkan 
dendam langsung tertumbuk pada pertarungan antara Dewa 
Arak melawan Sulang. 

Pertarungan telah berlangsung hampir lima puluh 
jurus. Namun belum ada yang keluar sebagai pemenang. 
Pertarungan memang masih berlangsung seimbang. Kedua 
belah pihak sama-sama tangguh. Sama-sama memiliki ilmu 
aneh yang membuat tubuh mereka terkadang meliuk-liuk se- 
perti mabuk. Tapi di lain waktu, mengejang kaku penuh 
kekuatan! 

Bresss! 

Tubuh kedua tokoh sakti yang memiliki ilmu mirip 
satu sama lain ini sama-sama teijengkang ke belakang dan 
terguling-guling di tanah, ketika terjadi benturan tenaga 
dalam. 

Kesempatan di saat tubuh Sulang terguling-guling, 
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Sri Kunti. Sambil 
menggertakkan gigi, tubuhnya melompat menerjang Sulang. 
Langsung sulingnya dibabatkan ke tubuh laki-laki berwajah 
menggiriskan itu. 

Wusss! 

Sulang memang lihai! Dalam 1$adaan gawat begitu, 
kepalanya masih sanggup diegoskan. Sehingga hantaman 
suling yang hampir memecahkan pelipisnya hanya 
menyambar angin, lewat beberapa jari dari kepala. Namun 
belum juga Sulang bersiap, Sri Kunti telah menyusuli 
serangannya. Dan.... 

Desss! 

Tendangan kaki kanan Sri Kunti yang tidak bisa 
dihindarkan lagi oleh Sulang telah menghantam dadanya. 
Tubuh Sulang langsung jatuh terguling-guling. Dadanya 
terasa sesak bukan kepalang. Untung tubuhnya masih 
sempat terlindungi tenaga dalam. Kalau tidak, nyawanya 
pasti telah melayang ke akherat! 

Sulang adalah seorang tokoh hitam yang cerdik. Dia 
tahu, keadaan sudah tidak menguntungkan dirinya lagi. 
Baru Dewa Arak saja sudah merupakan lawan sulit. Belum 
lagi ditambah Sri Kunti yang cukup lihai! Ini sungguh 
berbahaya! 

Maka Sulang yang cerdik cepat menambah kekuatan, 
sehingga membuat tubuhnya yang terguling-guling menjadi 
lebih cepat. Kemudian, dengan sebuah gerakan indah 
tubuhnya melenting ke atas. Dan begitu menjejak tanah, dia 
cepat melarikan diri. 

"Mau lari ke mana kau, Pengecut?!" 

Sri Kunti yang tengah sakit hati, tidak mau 
membiarkan lawannya lolos begitu saja. Bergegas dia 
mengejar. Tapi hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh 
Sulang sudah tidak terlihat lagi. Kecepatan lari Sulang 
memang jauh di atas Sri Kunti! 

Dengan rasa penasaran yang menggunung di dada, 
Sri Kunti berbalik dan berjalan 1$ tempat semula. 

"Kau tidak berniat mengejarnya, Arya?!" tanya Sri 
Kunti ketika melihat Arya masih di tempat semula. 

"Aku tak mau membuang tenaga sia-sia, Kunti. Dia 
telah cukup jauh, sebelum aku sempat berbuat apa-apa. 
Apalagi, dia memiliki ilmu lari cepat yang sangat tangguh," 
jawab Arya. 

Tapi sebenarnya bukan itu alasan Dewa Arak. Arya 
merasa tidak senang, ketika melihat Sri Kunti melancarkan 
serangan di saat Sulang tengah tidak bersiap. Dan yang 
membuatnya semakin tidak senang, saat itu Sulang adalah 
lawannya. Jadi serangpn yang dilancarkan Sri Kunti, sama 
artinya mengeroyok Sulang. Hal inilah yang mendorong Arya 
tak melakukan pengejaran. 

Padahal, kalau pemuda berambut putih keperakan ini 
mau, kemungkinan besar Sulang akan berhasil dikejarnya. 
Karena, kakek berwajah mengerikan itu tengah terluka yang 
cukup parah akibat tendangan Sri Kunti. 

Sri Kunti tidak mengajukan pertanyaan lagi. Dan saat 
itulah pandangannya tertumbuk pada sesosok tubuh yang 
tergolek di tanah, tak jauh dari ayahnya. Tadi, perhatiannya 
terlalu dipusatkan pada ayahnya dan Sulang. Sehingga, dia 
tidak melihat adanya sesosok mayat di situ. Seketika Sri 
Kunti teringat ucapan ayahnya. Dan, mengapa ayahnya 
berada di sini. Jantung dalam dada Sri Kunti pun berdetak 
jauh lebih cepat karena mendapat dugaan kalau mayat yang 
tergolek itu adalah Burisrawa, gurunya. 

"Guru...!" 

Jeritan kekagetan dan ketidakpercayaan langsung 
terdengar ketika Sri Kunti memeriksa dan mengenali mayat 
yang tergolek dalam keadaan menggiriskan itu! Dan diiringi 
keluhan tertahan, Sri Kunti ambruk. Untung Aiya cepat 
menangkapnya sehingga dia tidak terbanting, di tanah. 

Aiya hanya bisa menghela napas berat penuh 
perasaan kasihan ketika melihat Sri Kunti pingsan! Dia tahu, 
gadis berpakaian kuning ini menerima pukulan batin bertubi- 
tubi yang amat berat 




Bentakan-bentakan teras yang biasanya keluar saat 
terjadi pertempuran, membuat Aiya terkejut. Kepalanya cepat 
menoleh ke arah sumber suara itu. 

Beberapa belas tombak dari tempatnya, berkelebatan 
sosok-sosok dari dalam sebuah pondok kecil. Gerakan 
mereka rata-rata gesit, menandakan tingginya kepandaian 
mereka. 

Perasaan tertarik membuat Aiya yang masih 
memondong tubuh Sri Kunti, bergerak mendekati tempat itu. 
Karena tidak ingin terlibat sebelum tahu masalahnya, Dewa 
Arak mendekati tempat itu secara hati-hati agar tidak 
diketahui sosok-sosok yang kelihatannya tengah bersitegang. 

Dengan berlindung di balik kerimbunan semak-semak 
serta pepohonan, Dewa Arak berhasil mendekati tempat 
sosok-sosok itu saling berhadapan dengan sikap saling 
bertentangan. Suatu tanda kalau mereka mempunyai 
kepentingan satu sama lain, sehingga menimbulkan 
perselisihan. 

Jantung di dalam dada Aiya berdetak kencang ketika 
mengenali tiga sosok, di antara enam sosok yang berada di 
situ. Tiga sosok yang tak lain tiga kakek dari Nepal yang 
mengaku sebagai Kelompok Bulan Sabit. Sedangkan sosok 
yang lain juga berkulit hitam kecoklatan, dan berhidung 
melengkung. Hanya saja sosok ini berambut panjang dan 
beranting-anting yang juga panjang. Sosok ini seorang 
wanita! Di tangan kanannya yang kurus tergenggam sebatang 
suling dari ular mati yang dikeringkan. 

Sedangkan di sisi lainnya, berdiri dua sosok yang juga 
kakek-kakek dari Nepal. Tubuh mereka gemuk dan besar 
mirip seekor kerbau. Dan tangan mereka yang gemuk dan 
besar mencekal sebatang tongkat besar terbuat dari kayu 
melingkar. Pada bagian pangkal tongkat terdapat ukiran 
kepala seekor gajah. Inilah kelompok lain dari Nepal yang 
mengaku Kelompok Gajah Dewa! 

Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, dan dua kakek 
dari Kelompok Gajah Dewa mengarahkan pandangan ke arah 
wanita beranting-anting panjang yang juga telah berusia 
lanjut. 

"Gangga Nanda," kakek dari Kelompok Gajah Dewa 
membuka suara. "Memandang muka Tayatonga yang masih 
kami hargai, lebih baik beritahukan pada kami di mana 
pusaka-pusaka itu disembunyikan. Jangan kau paksa kami 
bertindak tidak sewajarnya terhadap dirimu!" 

"Enak saja kau bicara, Bharurendra!" sentak kakek 
bertahi lalat di ujung hidung yang merupakan juru bicara, 
sekaligus orang paling berangasan dari kelompok Bulan Sabit 
"Kamilah yang lebih berhak atas pusaka-pusaka itu daripada 
kalian." 

"Ha ha ha...! Lucu...! Lucu... sekali...! Atas dasar apa 
kalian mengatakan lebih pantas daripada ku? Bukankah aku 
memiliki tingkatan lebih tinggi, sewaktu kita semua masih 
dalam satu kelompok. Kami memiliki tingkat di atas kalian. 
Tak terkecuali Tayatonga!" bentak kakek yang berhidung 
besar seperti hidung kerbau dari Kelompok Gajah Dewa. 
Suaranya keras mengguntur. Dan dia lebih dikenal dengan 
nama Gitananda. 

"Itulah sebabnya kami mengatakan lebih beihak, 
Bharurendra!" sambut kakek bertahi lalat di ujung hidung. 
"Karena merupakan murid, maka kamilah yang berhak 
mewarisi pusaka-pusaka itu. Kalian berdua terhitung orang 
luar. Dan, tidak berhak ikut campur! Urusan ini adalah 
urusan dalam antar murid-murid dari Guru Bahadur!" 

"Ha ha ha...!" 

Laki-laki yang bernama Gitananda kembali tertawa 
bergelak. Sehingga, membuat perutnya yang gendut dan 
besar terguncang-guncang. 

"Kalian benar-benar dungu! Lupakah akan ucapan 
guru kalian, Bahadur sebelum meninggal? Siapa pun yang 
memegang pusaka-pusaka itu, berhak menjadi pimpinan. 
Dengan syarat, orang itu berasal dari kelompok kita. Dan 
kami berdua memenuhi syarat. Bahkan amat memenuhi 
syarat, karena kami merupakan tokoh tingkat tinggi!" 

"Kalau begitu," sambung kakek bertahi lalat di ujung 
hidung. "Sekarang, Gangga Nanda yang berhak menjadi 
ketua. Karena, dialah yang telah mendapatkan pusaka- 
pusaka itu." 

"Itu kalau Gangga Nanda berhasil membukitkan kalau 
pusaka-pusaka itu berada di tangannya," kata Bharurendra, 
menghentikan tawanya. Karena dia sangat berhasrat untuk 
menjadi pemimpin kelompok. "Gangga Nanda! Tunjukkan, di 
mana pusaka-pusaka itu!" 

"Sayang sekali, aku belum berhasil mendapatkannya!" 
sahut Gangga Nanda menggelengkan kepala. 

"Jangan bohong, Gangga Nanda!" sentak 
Bhorurendra, keras. "Kami melihat kau keluar tergesa-gpsa 
dari dalam pondok itu. Kalau tidak telah mendapatkan 
pusaka-pusaka itu, apa lagi?! Bukankah kau pula yang telah 
membunuh Burisrawa?!" 

"Memang aku telah membunuh Burisrawa. Dan aku 
telah masuk ke dalam pondok itu. Setelah memeriksa 
beberapa lama, aku keluar lagi tanpa hasil. Aku yakin bukan 
di pondok itu pusaka-pusaka tersimpan. Tidak ada ruang 
rahasia sedikit pun di sana. Pasti Burisrawa 
menyembunyikannya di tempat lain!" 

Bharurendra dan kakek bertahi lalat di hidung saling 
berpandangan. Mereka tahu, Gangga Nanda tidak berbohong. 
Dapat mereka rasakan nada kejujuran dalam ucapan nenek 
beranting-anting panjang itu. 

"Kalian dengar...?" tanya Bharurendra, jadi 
mempunyai kesempatan untuk mengejek kakek bertahi lalat 
di hidung beserta kelompoknya. "Pusaka-pusaka itu belum 
berhasil didapatkan. Jadi perebutan dan pencarian masih 
tetap berlangsung!" 

"Tidak akan ada perebutan atau pencarian pusaka 

lagi." 

Mendadak saja terdengar sebuah suara tegas. 
Sehingga membuat enam sosok itu menoleh ke arah asal 
suara. Dan pandangan mata mereka langsung terbelalak 
ketika melihat sosok yang mengeluarkan ucapan tadi. 

"Tayatonga...?!" 

Seruan tidak keras, tapi tertahan dan sarat perasaan 
kaget keluar dari enam sosok itu 

Dari arah sebelah kiri tampak berjalan tenang seorang 
kakek bertubuh sedang bercambang bauk lebat. Sebatang 
tongkat berujung sebilah logam tajam berbentuk bulan sabit 
tampak tergenggam di tangan kanannya. Sosok ini tak lain 
dari Tayatonga. 

"Apa arti ucapanmu itu, Tayatonga?!" sentak 
Bharurendra keras, penuh bernada kemarahan. "Kau hendak 
mengangkangi sendiri pusaka-pusaka leluhurmu?!" 

"Tidak usah pura-pura bodoh, Bharurendra!" sergah 
Tayatonga, keras, tidak ada kesan menghormat sedikit pun. 
"Pusaka leluhur?! Seenaknya saja mengangkangi pusaka 
milik orang lain!" 

Gangga Nanda dan tiga kakek dari Kelompok Bulan 
Sabit terperanjat. Mereka tidak terkejut kalau pusaka-pusaka 
itu menurut Tayatonga bukan pusaka leluhur mereka. 
Karena sebelumnya Tayatonga juga sudah berkata demikian. 
Tapi, sikap Tayatonga yang demikian tidak menghormat 
terhadap paman-paman gurunya! Yang membuat mereka 
terkejut Kelompok Bulan Sabit pun, meski tadi terlibat 
keributan, tetap bersikap menghormat Kelompok Gajah 
Dewa. Mengingat Bharurendra dan Gangu Nanda, 
merupakan adik-adik seperguruan Bahudur, guru mereka! 

"Kalianlah yang begitu tidak tahu malu berkeingnan 
untuk mengangkangi pusaka-pusaka orang lain! Jangan 
dikira aku tidak tahu semua bualan kalian!" 

Semakin kagpt Gangga Nanda dan tiga Kelompok 
Bulan Sabit mendengar kelanjutan ucapan Tayatonga yang 
semakin kurang ajar, terhadap Bharurendra. Sementara 
wajah dua dari Kelompok Gajah Dewa semakin merah padam 
karena maki dan marah. 

"Kalian tidak perlu bingung-bingung, darimana aku 
tahu semua ini! Dan kau Gangga Nanda, serta kalian," ujar 
Tayatonga sambil mengarahkan perhatian pada istrinya, dan 
tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit. "Dengarkan baik-baik, 
ceritaku. Karian tahu murid-murid guru kita, yang diutus 
untuk mencari Ftendekar Suling Perak?! Mereka semuanya 
tewas secara aneh. Kalian tahu, siapa penyebabnya? Siapa 
pembunuhnya? Paman-paman guru kita yang terhormat 
inilah pelakunya. Mereka berdua pula yang membunuh 
Pendekar Suling Perak yang telah tidak bersenjata lagi. 
Akibat ingin mengangkangi pusaka milik orang lain, kedua 
paman guru kita ini sampai hati melakukan semua tindak 
kekejian itu. Bahkan sampai membujuk guru untuk 
membatalkan janjinya, dalam hal memulangkan pusaka- 
pusaka itu. Mereka berdualah yang telah menghasut guru 
agar melakukan tindakan tak pantas itu." 

"Dia bohong!" sentak Bharurendra, keras sambil 
menuding jari telunjuk ke arah wajah Tayatonga. 

"Mungkin aku berbohong, kalau perkataan itu berasal 
dari mulutku sendiri. Tapi asal kalian semua tahu saja. 
Semua keterangan yang kuberikan ini kudapatkan dari mulut 
guru, di saat ajal hendak menjemput," tegas Tayatonga 
berapi-api. 

Wungngng! 

Bunyi menderu keras seperti terjadi angin badai 
muncul dari serangan tongkat Gitananda. Dan Tayatonga tahu 
ancaman maut sedang mengincarnya. Tapi hatinya tidak 
gentar. Disambutnya sambaran tongkat lawan dengan tongkat 
bulan sabit nya! 

"Mampus kau, Tayatonga!" 

Gitananda yang memiliki sikap berangasan, langsung 
meluruk ke arah Tayatonga. Dia berlari seperti seekor terbau 
dengan tongkat ditusukkan ke arah perut Tayatonga. 

Wungngng! 

Bunyi menderu teras seperti ada angin badai muncul 
dari serangan tongkat itu. Dan Tayatonga langsung tahu ada 
ancaman maut. Tapi hatinya tidak gentar. Bahkan langsung 
memapak dengan tombak bulan sabitnya. 

Trakkk! 

Tubuh kedua belah pihak sama-sama terhuyung ke 
belakang, ketika senjata-senjata itu berbenturan. Kenyataan 
ini tidak hanya mengejutkan Tayatonga, tapi juga Gangga 
Nanda dan tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit. Karena 
sepengetahuan meieka, Bharurendra dan Gitananda tidak 
memiliki ilmu silat yang cukup. Tapi kenyataannya?! Tayato- 
nga yang demikian lihai itu pun mampu dibuat terhuyung 
oleh Gitananda yang pendiam. 

"Kepalang basah!" teriak Bharurendra, seraya 
menatap Gangga Nanda dan tiga kakek dari Kebmpok Bulan 
Sabit. Sinar matanya memancarkan hawa maut. "Kalian 
sudah telanjur tahu rahasia ini. Biarlah kalian pun akan 
kulenyapkan! Hiaaatt...!" 

Bharurendra memutar-mutarkan tongkatnya di atas 
kepala hingga mengeluarkan bunyi mengaung keras dan 
gelombang angin menderu teras. Kemudian diawali jeritan 
keras yang menggetarkan jantung, kakek tinggi besar ini 
menerjang tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit yang 
kebetulan berdiri dekat dengannya. 

Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit terkejut ketika 
merasakan adanya hembusan angin teras yang mendahului 
tibanya serangan tongkat Bharurendra. Bahkan hampir saja 
tubuh ketiga kakek itu terjengkang ke belakang, kalau tidak 
cepat-cepat mengerahkan tenaga dalam ke kaki untuk 
memberatkan tubuh. 

Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, seketika itu 
pula bermaksud memapak serangan Bharurendra. 

Trakkk! 

Empat batang senjata langsung berbenturan keras. 
Dan akibatnya, tubuh tiga kakek dari Kebmpok Bulan Sabit 
terjengkang ke belakang dan terguling-guling di tanah, seperti 
daun-daun kering dihembus angin. 

"Terimalah ajal kalian!" sahut Bharurendra seraya 
melompat memburu lawan-lawannya yang masih terguling- 
guling. Tongkat bergagang kepala seekor gajah, siap 
dihantamkan. 

Tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit terperanjat 
bukan kepalang. Mereka menyadari akan adanya ancaman 
maut. Tapi, mereka juga tidak mampu bertindak apa-apa. 
Kekuatan yang mereka tangkis tadi ternyata demikian besar. 

Sehingga mampu membuat tubuh bagaikan daun diterbang- 
kan angin. Sekujur tubuh meieka terasa lumpuh-lumpuh. 

"Hih!" 

Di saat tongkat Bharurendra hampir menghancurkan 
kepala tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, mendadak 
sesosok bayangan melesat memotong jalur yang tengah 
ditempuh Bharurendra. Dan dalam keikutsertaannya 
membela tiga kakek dari Kelompok Bulan Sabit, sosok itu 
langsung mengirimkan tusukan ke arah ubun-ubun 
Bharurendra. 

Tindakan sosok yang tak lain Gangga Nanda ini, 
membuat Bharurendra terpaksa mengurungkan maksudnya. 
Dan secepat kilat tangannya dikibaskan ke arah sosok yang 
tengah melesat ke arahnya. 

Wuttt! 

"Uh...!" 

Gangga Nanda mengeluarkan keluhan tertahan ketika 
dari kibasan tangan Bharurendra menghambur segundukan 
angin keras, yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung ke 
samping. Dengan sendirinya, serangan terhadap kakek Nepal 
bertubuh tinggi besar ini kandas. 

Meski serangan Gangga Nanda gagal, tapi tin- 
dakannya membuat nyawa tiga kakek dari Kebmpok Bulan 
Sabit terselamatkan. Kesempatan yang hanya sesaat itu 
dipergunakan sebaik-baiknya oleh mereka untuk 
bergulingan, menjauhi tempat itu. 

Sesaat kemudian, pertarungan sengit pun 
berlangsung. Gangga Nanda yang dibantu tiga kakek dari 
Kelompok Bulan Sabit berusaha keras untuk membendung 
amukan Bharurendra yang luar biasa! Sedangkan di kancah 
pertarungan lainnya, Gitananda tengah beijuang keras 
membuat Tayatonga roboh! 

Kedua pertarungan dahsyat itu hanya disaksikan dua 
penonton. Aiya dan Sri Kunti yang telah sadar dari 
pingsannya. Dewa Arak telah buru-buru memberi isyarat 
untuk tidak menimbulkan suara gaduh ketika Sri Kunti 
sadar dari pingsannya. 

Dan sekarang, sepasang anak muda berwajah elok ini 
mengarahkan pandangan penuh perhatian pada kancah 
pertarungan. Malah Sri Kunti sampai terbelalak ngeri ketika 
melihat kehebatan Bharurendra dan Gitananda! 

Kedua adik seperguruan Bahadur ini bertarung 
bagaikan macan luka. Yang ada di benak mereka hanya 
menyerang dan menyerang, tanpa mempedulikan pertahanan 
sama sekali. 

Dan ternyata, ketidakpedulian mereka terhadap 
pertahanan mempunyai alasan kuat! Ternyata Gitananda 
maupun Bharurendra sama sekali tidak mampu dilukai. 
Senjata-senjata yang mengenai melesat, seakan-akan tubuh 
mereka licin laksana belut 

Hanya ketika Tayatonga, tiga kakek dari Kelompok 
Bulan Sabit, dan Gangga Nanda mengirimkan serangan- 
serangan ke bagian-bagian berbahaya, kedua orang itu 
mengelak atau menangkis. Makanya, lawan-lawan Gitananda 
dan Bharurendra selalu mengerahkan serangan pada leher, 
pelipis, bawah hidung, ubun-ubun, dan pusar! 

Dengan terbatasnya bagian-bagian yang dijadikan 
sasaran serangan, Tayatonga, tiga kakek dari Kelompok 
Bulan Sabit, dan Gangga Nanda sedikit mengalami kesulitan. 
Maka tidak heran kalau mereka semuanya terus didesak. 

"Arrrggghh...!" 

Mendadak Bharurendra mengeluarkan geraman 
keras, seperti seekor singa hendak melumpuhkan korbannya. 

Dan akibat geraman itu memang menggiriskan hati. 
Untuk sesaat Gangga Nanda, dan tiga kakek dari Kelompok 
Bulan Sabit yang tenaga dalamnya di bawah Bharurendra, 
merasakan goyah pada kedua lututnya. Bahkan dada mereka 
tergetar hebat. 

Kesempatan yang hanya sesaat itu tidak terbuang 
percuma. Bharurendra yang memang sudah 
merencanakannya, langsung melompat menerjang. Tongkat 
bergagang kepala seekor gajah diputar cepat, laksana kitiran. 
Tubuhnya terus melayang ke arah kepala tiga kakek dari 
Kelompok Bulan Sabit 

Prak, p rak, prakkk! 

Bunyi berderak keras kontan terdengar, diiringi 
bermuncratannya darah segar dari kepala tiga kakek yang 
berasal dari Kelompok Bulan Sabit, kepala tiga orang itu 
langsung hancur berantakan. Memang, kebetulan saat itu, 
ketiga orang ini yang berada lebih dekat dengan Bharurendra. 

Peristiwa yang berlangsung hanya sekejap ini, cukup 
membuat Gangga Nanda berhasil menguasai diri. Dan dia 
segera menghilangkan pengaruh teriakan Bharurendra. Istri 
Tayatonga segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk lebih 
cepat memulihkan diri. 

Tapi, saat itu juga, Bharurendra melompat ke arahnya 
sambil mengayunkan tongkat 




"Gangga Nanda...!" 

Tayatonga yang sempat melihat adanya ancaman 
maut terhadap istrinya, tidak bisa tinggal diam. Cepat dia 
pun melompat meninggalkan Gitananda. Dalam puncak 
kekalapannya, dia jadi seperti memiliki tambahan tenaga. 
Tubuhnya melayang dalam kecepatan menakjubkan. 

"Bharurendra...!" 

Gitananda yang sempat terkesima melihat gprakan 
Tayatonga, bergerak mengejar di belakang dengan tongkat 
siap diayunkan. 

Sementara Bharurendra yang mendengar sambaran 
angin dari belakang, jadi kaget. Bergegas kepalanya menoleh 
ke belakang. 

Dan begitu kepalanya bergerak menoleh 1$ belakang, 
Bharurendra kaget. Sama sekali tak disangka akan 
sedemikian cepat tibanya serangan. Dia sama sekali tidak 
tahu kalau Tayatonga seperti mendapat tambahan 
kemampuan baru, akibat kekhawatiran yang sangat terhadap 
keselamatan istrinya. 

Crattt! Desss! 

"Akh...!" 

Jeritan kesakitan langsung keluar hampir 
berbarengan dari mulut Tayatonga dan Bharurendra. Karena 
tepat pada saat ujung logam bulan sabit Tayatonga 
menggores pelipis, Bharurendra pun mengirimkan gedoran 
telapak tangan kiri yang telak menghantam dada Tayatonga! 
Darah segar pun kontan tumpah dari mulut Tayatonga, 
seiring terlempar tubuhnya ke belakang. 

Dan, saat itulah Gitananda yang merasa geram bukan 
kepalang melihat keadaan Bharurendra yang terhuyung- 
huyung sambil meraung-raung, siap menusukkan tongkatnya 
kepada Tayatonga. 

"Uh!" 

Namun Gitananda terpaksa mengurungkan 
maksudnya, karena mendengar adanya hembusan angin 
keras yang diiringi sambaran hawa panas. Serangan yang 
siap hantam itu ditarik kembali. Dan kakek tinggi besar ini 
pun segera melompat 1$ belakang. Begitu menjejak tanah, 
dia menggeram keras, karena perasaan marah mengetahui 
ada orang yang berani menghalangi maksudnya. Seketika ke- 
palanya menoleh ke samping. Dan tampak seorang pemuda 
berambut putih keperakan berdiri di situ. Siapa lagi kalau 
bukan Dewa Arak! 

"Keparat! Kau mencari mampus, hah...?!" Gitananda 
dalam kemarahannya, tidak mempedulikan orang yang telah 
menghalangi maksudnya. Yang terpancang di benak hanya 
membunuh orang yang telah menghalangi tindakannya. 

"Hiyaaa!" 

Dari jarak enam tombak, tanpa menggeser kakinya 
Gitananda menghentakkan kedua tangannya. Maka 
berhembuslah angin luar biasa keras. 

"Hah!" 

Dewa Arak yang tidak ingin membuat orang asing itu 
menjadi sombong, tidak mau kalah gsrtak. Langsung kedua 
tangannya dihentakkan. 

Blarrr! 

Udara seperti bergetar ketika dua pukulan jarak jauh 
yang berkekuatan amat dahsyat berbenturan di tengah jalan. 
Tubuh kedua orang itu sama-sama terjengkang ke belakang 
dan terguling-guling. Namun meski pandangannya agak 
nanar, Dewa Arak dan Gitananda bergegas bangkit dan 
bersiap melanjutkan pertarungan. 

"Akh...!" 

Mendadak Gitananda menggeliat-geliat. Dan 
tubuhnya langsung terhuyung-huyung dengan wajah 
menyiratkan rasa sakit yang hebat 

Pemandangan ini membuat Dewa Arak mula-mula 
curiga dan heran. Jangan-jangan, hal ini hanya akal 
lawannya untuk mendapatkan kemenangan secara mudah. 

Maka tetap ditatapnya laki-laki dari Nepal itu dengan sikap 
waspada. 

Tapi ketika melihat keadaan Gitananda menggeliat- 
geliat secara dahsyat bagaikan cacing yang diletakkan di abu 
panas, Aiya mulai menatap dengan sinar mata lain. Sekarang 
dia tahu kalau Gitananda tidak berpura-pura. Hanya saja 
yang masih menjadi pertanyaan bagi Aiya, mengapa ini 
terjadi?. Dewa Arak sadar, kalau belum melukai lawannya! 
Tapi, mengapa kakek tinggi besar itu kelihatan sangat 
menderita? 

"Gitananda! Cepat bunuh Tayatonga Keparat itu!" 

Seruan teras yang dikeluarkan bernada mendesak itu 
berasal dari mulut Bharurendra. Dan kakek tinggi besar itu, 
saat ini tengah terhuyung-huyung sambil mendekap luka di 
pelipis. Luka kecil nya seperti menjadi parah bukan kepalang! 

Sementara Gangga Nanda tidak mempergunakan 
kesempatan itu. Dia sibuk menotok beberapa bagian tubuh 
Tayatonga untuk sekadar menghilangkan rasa sakit dan 
pengobatan awal agar luka dalamnya tidak semakin parah! 

Di lain tempat, tubuh Gitananda masih tampak 
menggigil keras. Sekujur otot-ototnya menegang bagaikan 
tengah menahan benda yang amat berat "Cepat! Sebelum kita 
mati secara mengerikan!" 

" Aaarrrgg gh h h...!" 

Gitananda menggeram teras seperti mengerahkan 
kekuatan terakhir. Namun Aiya yang sudah berwaspada 
sejak tadi, tidak mau membiarkan kakek tinggi besar itu 
melaksanakan rencananya. Cepat Dewa Arak bergerak 
menangkis tubrukan Gitananda terhadap Tayatonga 

Bresss! 

Tubuh Dewa Arak langsung terpental dan terbanting 
di tanah. Begitu menyentuh tanah tubuhnya terus berguling- 
guling. Sedangkan tubuh Gitananda hanya bergoyang-goyang 
saja. 

Dewa Arak adalah seorang tokoh pengalaman. Begitu 
berhasil bangkit dengan sepasang mata berkunang-kunang, 
dia bersiap menghadapi serangan selanjutnya. 

Sekarang Dewa Arak mengerti, pasti Gitananda dan 
Bharurendra telah menuntut semacam ilmu kebal dan 
kekuatan dahsyat melalui jalan hitam. Dan karena 
kelemahannya ditemukan, ilmu itu langsung pupus. Menilik 
dari Gitananda yang tidak terluka sama sekali, tapi 
mendadak seperti orang sekarat, Dewa Arak menduga ilmu 
mereka pasti berhubungpn. Jadi bila yang satu luka, yang 
lain akan ikut merasakan. 

Dugaan Dewa Arak memang sebagian besar benar. 
Gitananda dan Bharurendra menuntut ilmu pasangan yang 
berhubungan satu sama lain melalui jalan hitam. Dan salah 
satu persyaratannya adalah, keberadaan pusaka-pusaka 
milik Pendekar Suling Perak. Tapi sayangnya, sebelum ilmu 
itu dikuasi secara sempurna, pusaka-pusaka itu telah 
dikembalikan. Makanya, Gitananda dan Bharurendra 
berusaha teras mendapatkannya untuk menyempurnakan 
ilmu mereka. Apabila tidak dilakukan, bagian-bagian lemah 
di tubuh mereka akan membahayakan keselamatan mereka! 
Dan untuk mencegah mati secara mengerikan, orang yang 
melukai bagian lemah itu harus dibunuh! 

Setelah sadar kalau untuk membunuh Tayatonga 
masih harus berhadapan dengan Dewa Arak. Dan mungkin 
sebelum maksudnya berhasil, sudah lebih dulu tewas dengan 
mengerikan! 

Tapi ada satu jalan untuk mencegah. Karena yang 
terluka adalah Bharurendra. Dan Gitananda bisa lolos dari 
maut, asalkan berada dalam jarak ribuan tombak dari 
Bharurendra! Setidak-tidaknya, dua ribu tombak! Dan bila 
jarak itu dicapai, Bharurendra akan tewas sendirian. Karena, 
hubungan antara mereka telah putus. 

Tapi Gitananda belum ingin mati. Maka, tanpa 
membuang-buang waktu lagi, segera tubuhnya berbalikkan. 
Dan dengan terhuyung-huyung, dia berlari meninggalkan 
tempat itu 

"Gitananda...! Tunggu...!" Seru Bharurendra kaget 
karena tidak menyangka dengan tindakan Gitananda. Dia 
tahu, rekannya ingin selamat sendirian. Dan itu tidak 
diin gin kan nya. 

Maka meski dengan langkah terhuyung-huyung, dia 
berlari mengejar. Tidak akan dibiarkan Gitananda jauh 
meninggalkan dirinya. 

Sementara itu Dewa Arak mengayunkan kaki 
menghampiri Tayatonga yang masih tergolek di tanah dengan 
napas tersengal-sengal, ditunggui Gangga Nanda. Sekali lihat 
saja, Dewa Arak tahu kalau nyawa Tayatonga tidak akan 
mungkin bisa diselamatkan. Luka yang dideritanya memang 
terlalu parah. 

Sedangkan tanpa diberitahukan, Sri Kunti keluar dari 
tempat persembunyiannya dan menghampiri Tayatonga pula. 

Tayatonga menatap suling perak yang berada di 
selipan pinggang Sri Kunti. Dia tahu, itu bukan suling perak 
asli. Tapi, laki-laki itu tidak berkata apa-apa. 

"Kau murid Burisrawa?!" tanya Tayatonga, ketika 
melihat suling perak itu 

"Benar, Kek," jawab Sri Kunti membenarkan. 

"Dia istriku," Tayatonga menunjuk pada Gangga 
Nanda, setelah terlebih dulu melepas senyum pada Sri Kunti. 
"Dia yang telah membunuh gurumu, dan mengobrak-abrik 
tempat suci ini. Kau boleh membunuhnya. Aku tidak mau 
melindungi orang yang bersalah." 

"Biarlah, Kek. Menghargai dirimu, aku tidak mau 
membuat perhitungan sekarang. Biarlah, Nanti kalau aku 
bertemu dengannya lagi!" 

Dewa Arak dan Tayatonga tersenyum mendengar 
jawaban itu. Dan kedua orang itu sama sekali tidak tahu 
kalau di saat mereka tengah tersenyum, di tempat yang 
cukup jauh dari situ seorang pemuda berpakaian merah 
tengah berdiri bertolak pinggang sambil memandang ke 
angkasa. Di bawah, dekat kakinya, tergolek tubuh Gitananda 
dan Bharurendra yang telah menjadi mayat 

Kedua kakek tinggi besar itu tewas secara biasa, 
karena telah mewariskan ilmu hitam yang dimilikinya pada 
Lingga. Dan sekarang, Lingga jadi memiliki kemampuan 
dahsyat! Tidak hanya memiliki kekebalan, tapi tenaga 
dalamnya juga berlipat ganda. Karena, pemuda berpakaian 
merah itu telah mendapat operan tenaga dari Gitananda dan 
Bharurendra. Dan memang, perpindahan ilmu hitam itu ha- 
nya dilakukan dengan penyaluran tenaga dalam, dari orang 
yang mempunyai ilmu kepada orang yang diberi ilmu. 

"Ha ha ha..!" 

Lingga tertawa bergelak karena tahu kalau ke- 
mampuannya telah meningkat pesat. 

"Tunggulah, Dewa Arak! Kau akan mati secara 
mengerikan di tanganku, akibat sikap usilanmu, Ha ha ha...!" 

SELESAI 
Ikuti kelanjutan, kisah ini dalam.episode: 
BATU KEMATIAN