Dewa Arak 76 - Perjara Langit


Seorang kakek berpakaian coklat yang war- 
nanya hampir pudar membuka matanya yang se- 
jak tadi terpejam. Sorot kehijauan dan tajam men- 
corong dari sepasang mata yang hampir tertutup 
oleh alis putih. 

"Mengapa masih bersembunyi? Tidakkah 
lebih baik kalian menampakkan diri. Kalau kalian 
tidak ingin bertemu denganku, aku tidak memak- 
sa. Tapi ketahuilah, sebentar lagi aku akan me- 
ninggalkan tempat ini. Jadi, kalau kalian memang 
bermaksud menemuiku, sekaranglah saatnya," 
ujar kakek berpakaian coklat, lantang. Kendati bi- 
bir kakek itu tidak terlihat bergerak sedikit pun. 

Hening sejenak setelah gema ucapan kakek 
berpakaian coklat tidak terdengar lagi. Keheningan 
itu dipecahkan oleh gemerisik pelan. Disusul ke- 
luarnya dua sosok tubuh dari kerimbunan semak 
yang berada di dekat kakek berpakaian coklat. 

Kedua sosok itu memiliki tubuh sedang. 
Wajah mereka tidak terlihat karena tertutup to- 
peng dari kayu. Yang tampak hanya sepasang ma- 
ta mereka yang tajam berkilat. 

Dua sosok bertopeng kayu ini melangkah 
dengan hati-hati mendekati kakek berpakaian cok- 
lat. Sementara kakek itu tetap tenang dan tidak 
bergeming sedikit pun dari duduknya. 

Kakek berpakaian coklat tengah duduk ber- 
sila. Ia baru saja menyelesaikan semadinya. Kakek 
itu tidak duduk di atas tanah, melainkan di atas 
tumpukan tengkorak manusia yang diatur sede- 
mikian rupa. Tumpukan itu semakin ke atas se- 
makin berkurang jumlahnya, sehingga membentuk 
kerucut. Pada bagian teratas dari tumpukan teng- 
korak menjadi landasan pantat kakek berpakaian 
coklat. 

Kakek itu memperhatikan sebentar kedua 
sosok bertopeng kayu. Kemudian, dengan bibir 
yang tidak bergerak dia membuka suara. 

"Ada dua hal yang membuatku tidak me- 
nyukai kalian. Pertama, sikap kalian. Aku tahu ka- 
lian telah cukup lama berada di sini dan mengintai 
diriku. Yang kedua adalah topeng yang menutup 
wajah kalian. Berdasarkan hal ini bisa diketahui 
kalian tidak bermaksud baik terhadapku. Ini su- 
dah cukup membuatku mempunyai alasan untuk 
membunuh kalian. Tapi kalian memang berun- 
tung, datang di saat aku tengah gembira. Jadi, ku- 
berikan kesempatan pada kalian untuk pergi dari 
sini sebelum aku berubah pikiran!" 

Dua sosok yang mengenakan topeng kayai 
telah menghentikan langkahnya tiga tombak dari 
kakek berpakaian coklat. Mereka saling berpan- 
dangan sejenak. 

"Sayang sekali." Sosok bertopeng kayu yang 
bertubuh lebih kurus menyambuti ucapan kakek 
berpakaian coklat. "Kami berdua sengaja datang ke 
situ untuk menjumpaimu karena suatu maksud. 
Sebelum maksud itu tercapai, kami terpaksa tidak 
akan meninggalkan tempat ini." 

Wajah kakek berpakaian coklat membesi. 
Penolakan atas ancamannya membuatnya tersing- 
gung. Tapi, sesaat kemudian wajah itu kembali se- 
perti biasa. Tenang. 

"Kalau begitu, aku yang akan pergi!" Kakek 
berpakaian coklat mencoba bersabar. 

"Tidak ada yang pergi dari sini! Tidak kami. 
Tidak juga kau! Kecuali, kalau tujuan kami telah 
tercapai!" tandas sosok bertopeng kayu yang ber- 
tubuh lebih kurus. 

Sorot ancaman maut terbayang pada sepa- 
sang mata kakek berpakaian coklat. 

"Rupanya kalian termasuk orang yang su- 
kar diperlakukan dengan lembut. Kalian lebih su- 
ka dikasari! Baik kalau itu yang kalian inginkan. 
Meski saat ini aku tengah bergembira dan telah 
bersumpah untuk menjauhi kekerasan, tidak be- 
rarti aku merelakan saja orang menghina diriku!" 

"Jangan salah sangka. Kami tidak ingin 
mengajakmu bertarung. Kami akan pergi dari sini 
atau membiarkanmu pergi asalkan kau mau 
memberikan Golok Baja Hitam pada kami!" Sosok 
bertopeng kayu yang lain buru-buru menukas. 

"Golok Baja Hitam?!" Alis kakek berpakaian 
coklat berkerut. Benda yang dimaksud orang ber- 
topeng kayu itu memang ada padanya. Tapi, se- 
pengetahuannya tidak ada hal istimewa pada ben- 
da itu. Agak heran kalau ada orang yang menca- 
rinya! 

"Benar!" Yang menjawab orang bertopeng 
kayu yang bertubuh lebih kurus. "Cepat berikan 
Golok Baja Hitam, dan kami akan pergi dari sini!" 

"He he he...!" 

Tawa terkekeh yang bernada merendahkan 
diperdengarkan kakek berpakaian coklat. 

"Kalian kira, kalian siapa sehingga berani 
meminta golok itu padaku? Apakah kalian tidak 
tahu siapa aku?" 

"Kami tahu!" Orang bertopeng yang lebih 
kurus menganggukkan kepala. "Tapi, kami tidak 
takut kepadamu! Memang harus kami akui orang- 
orang persilatan merasa gentar terhadapmu, jan- 
gan kau kira kami akan demikian. Bagi kami, ju- 
lukan Iblis Tangan Maut tidak berarti apa-apa!" 

"Keparat! Mulutmu terlalu berbisa. Kalau ti- 
dak dihancurkan akan semakin kurang ajar nan- 
tinya!" 

Begitu ucapan kakek berpakaian coklat 
yang ternyata berjuluk Iblis Tangan Maut selesai, 
beberapa tengkorak berturut-turut melesat me- 
ninggalkan tumpukan dan meluncur ke arah 
orang bertopeng yang bertubuh lebih kurus. 

"Permainan anak-anak kau tunjukkan di 
hadapanku...?" 

Orang bertopeng itu membarengi ucapan- 
nya dengan mendorong tangan kanannya ke de- 
pan. Dia tidak terlihat terkejut melihat tengkorak- 
tengkorak itu meluncur ke arahnya dengan kece- 
patan menakjubkan. Padahal, tengkorak- 
tengkorak itu berasal dari lapisan ketiga dari ba- 
wah, sementara jumlah lapisan ke seluruhannya 
delapan! 

Meski demikian, tumpukan tengkorak itu 
tidak berantakan. Bahkan, tubuh kakek berpa- 
kaian coklat tidak bergeser! 

Orang bertopeng kayu itu memang tidak as- 
al bicara. Dari tangannya keluar hembusan angin 
keras yang berciutan nyaring. Tengkorak- 
tengkorak hancur berantakan sebelum mengenai 
sasaran ketika terhantam angin pukulannya. 

Tapi, tidak semua tengkorak dihancurkan. 
Tengkorak yang terakhir dibiarkannya. Hanya 
daya luncurannya ditahan dengan dorongan angin 
pukulannya. 

Iblis Tangan Maut membelalak lebar melihat 
serangannya demikian mudah dipatahkan. Sepa- 
sang matanya yang tajam melotot seakan ingin ter- 
lompat keluar karena tidak percaya. 

Rasa penasaran membuat kakek berpa- 
kaian coklat mengubah bentuk penyerangannya 
ketika melihat tengkorak yang terakhir tidak di- 
hancurkan. Sambil memekik nyaring, Iblis Tangan 
Maut menjulurkan tangan kanannya ke depan. 

Lawan kakek itu mengeluh tertahan. Teng- 
korak yang semula terhenti luncurannya, menda- 
dak melesat kembali dengan kecepatan sangat 
tinggi. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia pun 
mengulurkan tangan dan mengerahkan tenaga da- 
lam untuk menahan luncuran tengkorak. Perlahan 
tengkorak itu tertahan dan berhenti. 

Kakek berpakaian coklat tidak tinggal diam. 
Kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan semua se- 
hingga tengkorak kembali meluncur mendekati la- 
wan. Orang bertopeng pun menambah tenaganya. 
Sesaat kemudian, kedua tokoh itu saling mendo- 
rong untuk mengalahkan. 

Teman orang bertopeng tidak berani ber- 
buat apa-apa. Dia hanya menyaksikan jalannya 
pertarungan dengan harap-harap cemas. Sepasang 
matanya tak pernah lepas dari tengkorak yang 
mengapung setengah tombak dari atas tanah. 

Tengkorak itu tidak pernah diam di tempat. 
Terkadang meluncur lambat ke arah Iblis Tangan 
Maut. Dan, di lain saat melayang ke arah orang 
bertopeng. 

Beberapa saat lamanya hal itu terjadi, sebe- 
lum akhirnya tengkorak mulai meluncur ke arah 
Iblis Tangan Maut. Sedikit demi sedikit jarak anta- 
ra tengkorak dengan Iblis Tangan Maut bertambah 
dekat. 

Di balik topeng kayunya, orang bertopeng 
yang menjadi penonton tunggal tersenyum lega. 
Dia tahu rekannya berada di pihak yang mengun- 
tungkan. Dengan jelas dilihatnya tangan Iblis Tan- 
gan Maut yang terjulur menggigil hebat. Dari atas 
kepalanya mengepul uap putih yang kian menebal. 
Sementara wajah tokoh itu telah dibanjiri peluh 
yang terus menetes bagai aliran anak sungai. 

"Huakh...!" 

Iblis Tangan Maut memuntahkan darah se- 
gar. Tubuhnya sampai terbungkuk ke depan. Ge- 
rakannya membuat tumpukan tengkorak yang se- 
jak tadi tetap rapi karena kekuatan tenaga dalam 
Iblis Tangan Maut, buyar berantakan! 

Tapi, justru hal ini yang menyelamatkan 
nyawa Iblis Tangan Maut. Runtuhnya susunan 
tengkorak menyebabkan tubuh Iblis Tangan Maut 
terbawa jatuh. Akibatnya, tengkorak yang melun- 
cur ke arahnya dengan cepat lewat beberapa jari di 
atas kepala Iblis Tangan Maut. 

"Bagaimana, Iblis Tangan Maut? Apakah 
kau masih tidak bersedia menyerahkan Golok Baja 
Hitam itu?" 

Orang bertopeng kayu yang menjadi lawan 
Iblis Tangan Maut bertanya seraya meletakkan 
tangannya di ubun-ubun Iblis Tangan Maut. Sedi- 
kit saja jari-jari yang dialiri tenaga dalam itu berge- 
rak menekan, nyawa kakek berpakaian coklat 
akan melayang ke alam baka! 

Iblis Tangan Maut pun bukan orang bodoh. 
Dia tahu lawannya memiliki kepandaian di atas- 
nya. Terus melakukan perlawanan adalah perbua- 
tan bodoh! Apalagi, jika dilakukan pada saat te- 
rancam maut seperti sekarang. Iblis Tangan Maut 
masih ingin hidup! Dia tidak ingin tewas karena 
bertindak bodoh mempertahankan benda yang ti- 
dak terlalu berarti. 

Di dalam hati Iblis Tangan Maut masih me- 
rasa heran. Benarkah Golok Baja Hitam sama se- 
kali tidak berarti? Kalau benar demikian, mengapa 
orang-orang bertopeng itu begitu ingin menda- 
patkannya? Tidak mungkin orang berani memper- 
taruhkan nyawa demi suatu benda yang tidak be- 
rarti apa-apa! Apalagi orang-orang yang menca- 
rinya tokoh-tokoh berilmu tinggi seperti orang ber- 
topeng kayu ini. 

Iblis Tangan Maut yakin Golok Baja Hitam 
memiliki sesuatu yang menarik. Timbul rasa 
sayang di hati kakek berpakaian coklat untuk 
memberikannya pada orang bertopeng. 

"Aku bukan termasuk orang yang sabar, Ib- 
lis Tangan Maut!" desis orang bertopeng. "Maka, 
jangan coba-coba bermain gila! Sekali lagi ku pe- 
ringatkan, cepat berikan Golok Baja Hitam atau 
kau akan mati tersiksa!" Iblis Tangan Maut mera- 
sakan nada kesungguhan dalam ancaman itu. Dia 
tidak berani bertindak sembarangan. Kakek itu ti- 
dak mau mempertaruhkan dirinya dengan Golok 
Baja Hitam yang belum diketahui kegunaannya. 

"Senjata yang kau maksud itu tidak kuba- 
wa, Sobat. Tapi, kalau kau mau mengambilnya 
sendiri, silakan mengambilnya di goa tempat ting- 
galku," jawab Iblis Tangan Maut seraya menunjuk 
ke satu arah di belakangnya. Tampak gundukan 
batu yang hampir menyerupai bukit. Pada salah 
satu sisinya terdapat sebuah lubang. 

Dengan isyarat tangan, orang bertopeng 
kayu yang mengalahkan Iblis Tangan Maut mem- 
beri perintah pada rekannya untuk mengambil 
senjata itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, 
orang bertopeng itu melesat ke arah gundukan ba- 
tu. Sementara rekannya menunggu sambil men- 
gawasi Iblis Tangan Maut. Kakek berpakaian cok- 
lat itu telah duduk bersila dan siap melakukan 
semadi untuk mengobati luka dalam di tubuhnya. 

"Ingat, Iblis Tangan Maut," desis orang ber- 
topeng. "Apabila kau mempermainkan kami, maka 
nyawamu tidak akan bisa kau selamatkan lagi!" 

Tidak ada jawaban sepatah pun dari mulut 
Iblis Tangan Maut. Dia malah menenggelamkan di- 
ri dalam keheningan semadinya. Kalau lukanya 
dibiarkan terlalu lama akan semakin parah dan 
dapat membawa ke matian. 

Tak lama kemudian, orang bertopeng yang 
bertugas mengambil Golok Baja Hitam keluar dari 
mulut goa. Dengan cepat ia melesat ke arah re- 
kannya. "Mari kita pergi," ajak kawannya begitu ia 
tiba di dekatnya. 

Tanpa mempedulikan nasib Iblis Tangan 
Maut, dua orang bertopeng itu melesat ke arah ta- 
di mereka datang. Dalam beberapa kali lesatan sa- 
ja tubuh keduanya sudah tidak terlihat lagi. Iblis 
Tangan Maut tidak memperhatikan karena masih 
sibuk dengan semadinya. 

Entah berapa lama bersemadi, Iblis Tangan 
Maut tidak mengetahuinya. Yang jelas ketika dia 
membuka sepasang matanya, di depannya telah 
berdiri dua sosok tubuh. Sepasang muda-mudi 
yang memiliki wajah elok. Mereka mengenakan 
pakaian yang warnanya berlawanan. Yang wanita 
mengenakan pakaian merah, sedangkan yang lela- 
ki berpakaian putih! 

"Apakah kau orang yang berjuluk Iblis Tan- 
gan Maut?" tanya gadis berpakaian merah, ramah. 

Iblis Tangan Maut mengeluh dalam hati. 
Sungguh tidak disangka berturut-turut ia didatan- 
gi orang-orang yang mempunyai kepentingan den- 
gannya. Kakek berpakaian coklat itu tahu kendati 
gadis berpakaian merah mengajukan pertanyaan 
dengan ramah, tidak berarti mereka datang den- 
gan maksud baik. Walaupun demikian, bukan wa- 
tak kakek berpakaian coklat ini untuk berbohong. 
Apalagi sampai tidak mengakui julukannya sendi- 
ri.

"Tidak keliru, Nona. Kau memang tengah 
berhadapan dengan Iblis Tangan Maut!" jawab ka- 
kek berpakaian coklat tegas seraya mengangguk- 
kan kepala. 

"Kalau begitu kau harus mati di tanganku, 
Keparat!" bentak gadis berpakaian merah keras. 
Raut wajahnya mendadak beringas. 

Singng! 

Sinar terang menyilaukan mata mencuat 
ketika gadis berpakaian merah mencabut pedang 
yang tersampir di punggungnya. 

"Tunggu dulu, Nona!" 

Iblis Tangan Maut buru-buru mencegah ke- 
tika melihat gadis berpakaian merah hendak me- 
nyerangnya. Malah, pemuda berpakaian putih 
yang berdiri di sebelah gadis berpakaian merah te- 
lah mencabut pedang pula. 

"Mengapa kau memusuhiku? Aku yakin di 
antara kita tidak ada permusuhan. Melihat wa- 
jahmu pun baru kali ini. Bisa kau jelaskan alasan 
tindakanmu?" 

"Ingatkah kau dengan seorang pendekar 
yang berjuluk Dewa Tangan Sepuluh?" Gadis ber- 
pakaian merah menghentikan gerakannya yang 
sudah hampir menyerang Iblis Tangan Maut. 

"Dia tewas di tanganku," jawab kakek ber- 
pakaian coklat dengan nada penuh penyesalan. 

"Bagus kalau kau mengakui dosamu!" tim- 
pal gadis berpakaian merah dengan sepasang mata 
berapi-api. "Dengarlah baik-baik, aku adalah putri 
Dewa Tangan Sepuluh! Namaku Sutini. Kurasa 
kau tahu maksud kedatanganku ke tempat ini. 

Aku ingin membunuhmu, Iblis Busuk! Bersiaplah 
kau, Keparat!" 

Belum juga gema ucapan gadis berpakaian 
merah lenyap, pedang di tangannya telah melesat 
menyambar leher Iblis Tangan Maut dengan kece- 
patan tinggi. Bentuk pedang Sutini lenyap menjadi 
sekelebatan sinar berkilauan yang disertai bunyi 
berdesing nyaring. 

Iblis Tangan Maut mengenai serangan me- 
matikan itu. Buru-buru kakek berpakaian coklat 
ini melempar tubuhnya ke belakang dan bersalto 
beberapa kali di udara menjauhkan diri. 

Sutini yang dilanda dendam membara tidak 
membiarkan lawannya lolos. Dia segera melompat 
mengejar seraya mengirimkan tusukan berantai ke 
bagian-bagian tubuh yang mematikan! 


Iblis Tangan Maut sudah memperhitungkan 
hal itu. Maka, sambil menjauh kedua tangannya 
dikibaskan ke arah tengkorak-tengkorak yang ber- 
serakan. 

Bagai dilemparkan tangan yang ahli, teng- 
korak-tengkorak itu meluncur berturut-turut ke 
berbagai bagian tubuh Sutini. Gadis berpakaian 
merah itu terpaksa membatalkan serangannya. Bi- 
la dilanjutkan hanya akan mencelakai dirinya sen- 
diri. Sebelum ujung pedang menghujam di tubuh 
lawan, tengkorak-tengkorak itu akan lebih dulu 
menghantam tubuhnya. 


Trak, trak, trakkk! 

Tengkorak-tengkorak berpentalan tak tentu 
arah ketika Sutini menarik kembali serangannya 
dan menggunakan senjatanya untuk memapaki. 

Kesempatan itu dipergunakan sebaik- 
baiknya oleh Iblis Tangan Maut untuk melancar- 
kan serangan balasan. Kakek berpakaian coklat ini 
menyadari Sutini bukan lawan yang ringan. Apala- 
gi dirinya belum sembuh benar dari luka dalam. 

Pemuda berpakaian putih yang telah meng- 
genggam pedang tidak terjun ke dalam kancah 
pertarungan. Dia berdiri dengan sekujur urat-urat 
yang menegang penuh kewaspadaan. Gagang pe- 
dangnya dicekal dengan kencang. Pemuda berpa- 
kaian putih ini bersiap-siap menolong apabila Su- 
tini terdesak! 

Diam-diam pemuda berpakaian putih mera- 
sakan gurunya dan juga guru Sutini, memang me- 
reka saudara seperguruan, terlalu menganggap Ib- 
lis Tangan Maut memiliki kepandaian tinggi. Ke- 
nyataan yang dilihat pemuda itu tidak demikian. 
Dengan jelas dilihatnya walaupun Sutini tak akan 
mampu mengalahkan Iblis Tangan Maut, tapi ka- 
kek berpakaian coklat itu pun tidak akan mudah 
mengalahkan lawannya. Kendati setelah pertarun- 
gan berlangsung hampir tiga puluh jurus, Iblis 
Tangan Maut mulai dapat mendesaknya. 

"Kalau hanya sampai di situ saja kepan- 
daian Iblis Tangan Maut," pemuda berpakaian pu- 
tih berkata dalam hati, "Tidak sepantasnya tokoh 
ini amat mengkhawatirkan hati Guru. Jangankan 
Guru, aku dan Sutini maju bersama pun Iblis 
Tangan Maut dapat dibinasakan." 

Melihat keadaan Sutini semakin tidak men- 
guntungkan, sambil mengeluarkan pekikan me- 
lengking nyaring pemuda berpakaian putih terjun 
ke dalam kancah pertarungan. Keadaan langsung 
berubah. 

Sutini tidak terdesak lagi. Malah, Iblis Tan- 
gan Maut yang terdesak. Pedang di tangan Sutini 
dan pemuda berpakaian putih bagai digerakkan 
oleh satu pikiran. Mereka saling melindungi dan 
memperkuat serangan. 

Iblis Tangan Maut menjerit tertahan ketika 
ujung pedang Sutini menyerempet paha kanannya. 
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Ke- 
sempatan itu dipergunakan pemuda berpakaian 
putih untuk melompat dan mengirimkan tusukan 
ke dada. Hanya selisih sekejap mata saja, Sutini 
menusukkan pedangnya ke leher! 

"Pengecut-pengecut hina yang beraninya 
hanya main keroyok!" 

Pada saat yang bersamaan dengan terden- 
garnya bentakan itu, dua kilatan cahaya yang me- 
nyilaukan mata meluncur cepat dan menghantam 
pedang Sutini dan saudara seperguruannya. 

Sutini dan pemuda berpakaian putih terpe- 
ranjat. Tangan mereka bergetar hebat. Dan, ham- 
pir saja senjata yang tercekal, terlepas. Kilatan 
benda menyilaukan yang terpaksa mereka tangkis 
melayang ke satu arah. Dengan enaknya, seorang 
gadis muda berwajah cantik mengulurkan tangan 
menangkapnya. 

Kegagalan serangan itu membuat Sutini 
yang paling bernafsu untuk membunuh Iblis Tan- 
gan Maut menjadi sangat geram. 

"Siapa kau, Wanita Liar? Sungguh berani 
kau mencampuri urusanku!" bentak Sutini dengan 
sepasang mata mendelik. Meski merasa heran me- 
lihat lawannya mampu membuat senjata yang di- 
lontarkan kembali ke pemiliknya, rasa amarah 
membuat Sutini lupa. Padahal, dia melihat bentuk 
senjata itu. Logam putih yang berbentuk bulan sa- 
bit! 

"Kaulah yang liar!" 

Gadis yang baru tiba dan menggagalkan se- 
rangan maut terhadap Iblis Tangan Maut tidak 
mau kalah gertak. Bahkan, dia menudingkan jari 
telunjuk kirinya yang lentik. 

"Mengapa kau menyerang kakekku...?!" 

Bukan hanya Sutini saja yang terkejut. Pe- 
muda berpakaian putih pun demikian. Mereka ti- 
dak pernah menyangka Iblis Tangan Maut mem- 
punyai seorang cucu perempuan! 

"Kakeknya orang jahat. Cucunya pun sudah 
pasti bukan orang baik-baik! Lebih baik kau ku- 
bunuh sebelum menyebar maut di dunia persila- 
tan!" 

Sutini yang tengah kalap melontarkan pu- 
kulan tangan kanan dan kirinya yang terkepal ke- 
ras ke dada gadis berpakaian hijau. Jarak antara 
mereka sekitar lima tombak. Tapi, itu tidak menja- 
di masalah. Dari kedua tangan yang dipukulkan 
itu berhembus angin keras. Sutini mengirimkan 
pukulan jarak jauh. 

Gadis berpakaian hijau melakukan hal yang 
sama. Terdengar bunyi menggelegar ketika puku- 
lan-pukulan jarak jauh itu berbenturan di tengah 
jalan. Setiap benturan membuat Sutini terhuyung- 
huyung ke belakang. Bahkan, benturan yang te- 
rakhir membuat Sutini terjengkang dan hampir ja- 
tuh. 

Kenyataan ini sangat mengejutkan Sutini 
dan saudara seperguruannya. Mereka tidak me- 
nyangka tenaga dalam gadis berpakaian hijau de- 
mikian hebat. Malah lebih kuat dari Iblis Tangan 
Maut! 

Tanpa pikir panjang lagi, pemuda berpa- 
kaian putih menerjang cucu Iblis Tangan Maut. Ia 
membantu Sutini yang telah lebih dulu menye- 
rang. 


•kick 

Permainan pedang Sutini dan saudara se- 
perguruannya hebat bukan main. Bentuk pedang- 
pedang itu lenyap. Yang terlihat hanya kilatan- 
kilatan sinar yang meluncur ke arah cucu Iblis 
Tangan Maut. 

Namun, gadis berpakaian hijau itu memang 
benar-benar mengagumkan. Berbeda dengan ke- 
dua lawannya yang bersenjatakan pedang, gadis 
ini hanya menggunakan sebatang suling. Suling 
bambu! Cucu Iblis Tangan Maut ini memakai sul- 
ing sebagaimana orang mempergunakan golok 
atau pedang. Terkadang menusuk, membabat, 
atau membacok. Namun yang menakjubkan, gera- 
kan suling itu selalu menimbulkan bunyi nyaring 
yang indah dan merdu. 

Sutini dan pemuda berpakaian putih men- 
jadi gelisah. Mereka memang tidak mengalami ke- 
sulitan menghadapi permainan suling cucu Iblis 
Tangan Maut. Tapi, suara suling itu merasuk ke 
dalam telinga dan membuat jantungnya berdebar 
kencang. Hal ini mempengaruhi gerakan Sutini 
dan kawannya. Permainan pedang mereka agak 
kacau. 

Tukkk, desss! 

Pada suatu saat, suling cucu Iblis Tangan 
Maut berhasil menotok bahu kanan Sutini. Dis- 
usul dengan tendangan kaki kanan gadis itu pada 
paha kiri pemuda berpakaian putih. Tubuh Sutini 
dan kawannya terhuyung-huyung ke belakang. 

Sutini dan saudara seperguruannya menja- 
di sadar cucu Iblis Tangan Maut memiliki kepan- 
daian luar biasa. Terus memaksakan diri melaku- 
kan perlawanan hanya akan sia-sia. Maka, tanpa 
malu-malu lagi kakak dan adik seperguruan itu 
melesat meninggalkan tempat itu. 

Gadis berpakaian hijau yang marah pada 
Sutini dan pemuda berpakaian putih karena hen- 
dak membunuh kakeknya tidak membiarkan la- 
wan-lawannya kabur. Dia melesat melakukan pen- 
gejaran. 

"Karina...! Tidak usah dikejar...!" 

Gadis berpakaian hijau menghentikan ayu- 
nan kakinya. Ia tidak melakukan pengejaran lagi 
sehingga Sutini dan kawannya leluasa melarikan 
diri. 

Gadis berpakaian hijau yang bernama Kari- 
na menghentakkan kaki ke tanah dengan kesal. 

Tampaknya ia tidak rela membiarkan lawan- 
lawannya kabur. Dengan sorot mata penasaran, 
pandangannya dialihkan ke arah Iblis Tangan 
Maut, kakeknya. 

"Mengapa Kakek mencegahku? Apabila tadi 
kakek tidak melakukan hal itu, aku yakin akan 
berhasil menangkap orang-orang yang bermaksud 
membunuh Kakek!" protes Karina, marah. 

Iblis Tangan Maut hanya tersenyum lebar. 
Luka pada bahunya telah tidak mengganggu lagi. 
Dia telah menotok jalan darah di sekitar luka 
hingga aliran darah terhenti. Dengan wajah berse- 
ri-seri ditunggunya Karina berada di dekatnya. 

"Tenanglah, Karina." Iblis Tangan Maut 
memberi nasihat. "Mungkin ada baiknya kau men- 
dengarkan ceritaku agar hatimu tenang. Cerita 
yang menyebabkan mereka berdua datang kemari 
untuk membunuhku. Juga akan kuceritakan ten- 
tangku serta siapa ayah dan ibumu." 

Wajah Karina langsung berseri-seri. 

"Tentang dirimu dan ayah ibuku, Kek! Jadi, 
sekarang aku telah boleh mengetahuinya?" tanya 
Karina dengan gembira. Memang, Iblis Tangan 
Maut selalu mengulur jawaban apabila gadis ber- 
pakaian hijau itu menanyakannya. Kakek berpa- 
kaian coklat ini selalu memberikan jawaban, 
'belum saatnya' atau 'nanti apabila kau telah de- 
wasa' 

"Duduklah dulu, Karina. Aku akan menceri- 
takan semuanya. Kuharap kau mau bersabar 
mendengarkannya. Cerita ini cukup panjang." 

"Aku akan sabar mendengarkannya, Kek," 
jawab Karina cepat. Ia duduk di salah satu tengko- 
rak yang berserakan di sekitarnya. 

Iblis Tangan Maut tidak segera bercerita. 
Kakek berpakaian coklat ini malah termenung. Ka- 
rina tidak tahu mengapa. Tapi, dia tidak ambil 
pusing dan menganggap kakeknya tengah mengin- 
gat-ingat hal yang akan diceritakannya. 

"Usiaku sekarang kurang lebih seratus ta- 
hun. Sejak masih berumur dua puluh sembilan 
tahun aku telah menjagoi dunia persilatan. Satu 
demi satu tokoh persilatan yang bentrok denganku 
roboh. Kalau tidak tewas, pasti terluka yang amat 
parah. Tapi sebagian besar tewas. Karena itu, 
hanya dalam waktu beberapa tahun saja aku su- 
dah mendapat julukan Iblis Tangan Maut. Sebuah 
julukan yang menyeramkan." 

Iblis Tangan Maut tersenyum getir. Sorot 
penyesalan memancar jelas dari wajah dan sepa- 
sang matanya. 

Karina yang tidak pernah tahu masa lalu Ib- 
lis Tangan Maut dan hanya tahu kakek berpakaian 
coklat ini adalah kakeknya, diam-diam terkejut 
bukan main mendengar cerita itu. Tanpa dije- 
laskan lagi dia tahu kakeknya termasuk tokoh go- 
longan sesat! Tapi karena khawatir menyinggung 
hati Iblis Tangan Maut, Karina bersikap biasa saja. 
Seakan berita yang didengar tidak membuatnya 
terkejut sama sekali. 

Iblis Tangan Maut merasa kagum melihat 
sikap Karina yang terlihat biasa saja. Padahal, ka- 
kek berpakaian coklat ini telah mengira Karina 
akan terkejut mendengar ceritanya. Bahkan, Iblis 
Tangan Maut sudah siap untuk melihat keterkeju- 
tan Karina. Tapi ternyata hal yang ditakutkan Iblis 
Tangan Maut tidak terjadi. Kakek berpakaian cok- 
lat itu menjadi lega. Ia melanjutkan ceritanya den- 
gan hati lapang. 

"Karena kepandaian yang kumiliki, aku jadi 
banyak mempunyai musuh dan juga pengikut. 
Musuh-musuhku sebagian besar orang-orang go- 
longan putih. Sedangkan pengikutku para penjilat 
dan orang-orang yang ingin mencari untung atas 
nama besar yang kumiliki. Bertahun-tahun aku 
hidup seperti itu. Gaya hidupku baru berubah ke- 
tika bertemu dengan seorang gadis cantik yang 
hampir menjadi korban kejahatan sekelompok 
penjahat. Aku menolongnya. Penjahat-penjahat 
kecil itu kubasmi semua. Kemudian kunyatakan 
cinta pada gadis itu, karena memang aku menyu- 
kainya. Gadis itu menerimanya dengan syarat aku 
bersedia meninggalkan dunia kejahatan dan ikut 
bersamanya menjauhi kerasnya dunia persilatan. 
Sebelum itu, gadis itu memintaku untuk memba- 
laskan sakit hatinya karena ayahnya dibunuh 
orang jahat. Itu pun berhasil aku penuhi. Aku dan 
gadis itu menikah dan hidup dengan tenang di de- 
sa." 

Iblis Tangan Maut menghentikan ceritanya. 
Sepasang matanya menerawang ke atas. Entah 
apa yang dipikirkan. Mungkin kakek berpakaian 
coklat ini tengah terkenang pada kehidupan te- 
nangnya di masa lalu. 

"Bertahun-tahun aku dan gadis itu hidup 
tenang. Sampai akhirnya kami mempunyai seo- 
rang anak perempuan. Sayang, ketenangan itu ti- 
dak berlangsung lama. Orang-orang yang menden- 
dam padaku terlalu banyak, sehingga mereka te- 
rus menelusuri jejakku. Tempat persembunyianku 
berhasil diketemukan. Dan sialnya saat itu aku 
tengah berada di sawah. Istriku dibunuh. Anakku 
sedang bermain sehingga tidak ikut terbunuh. Tapi 
tetap saja kejadian itu mengguncangkan hatiku. 
Aku hampir gila rasanya. Setelah menitipkan 
anakku pada salah seorang sahabat baikku, aku 
pergi untuk mencari pembunuh-pembunuh keji 
itu. Bertahun-tahun aku melacak mereka. Penca- 
rianku tidak sia-sia. Mereka kutemukan. Tanpa 
ampun kubantai mereka semua. Namun, sungguh 
tidak kusangka kalau sepeninggalku di dunia per- 
silatan telah muncul tokoh sesat yang merajai go- 
longan hitam. Siluman Dari Neraka, julukannya. 
Salah satu dari tiga pembunuh istriku ternyata 
mempunyai hubungan baik dengan Siluman Dari 
Neraka." 

"Ah...!" 

Karina tidak tahan untuk tidak berseru ka- 
get. Julukan datuk sesat itu membuat bulu ku- 
duknya berdiri. Tokoh yang mempunyai julukan 
seperti itu pasti memiliki kekejaman yang mendiri- 
kan bulu roma. 

"Aku yang memang tidak ingin mencari 
permusuhan lagi dengan orang-orang yang tidak 
mempunyai masalah denganku, tidak ambil pedu- 
li. Gairahku untuk berkiprah di dunia persilatan 
telah lenyap seiring dengan perginya istriku ke 
alam baka. Aku berniat kembali pada anakku." 
Iblis Tangan Maut melanjutkan ceritanya 
dengan suara getir. 

"Tapi ternyata kemunculanku telah me- 
mancing datangnya musuh-musuhku. Mereka 
orang-orang yang merasa sakit hati karena saha- 
bat, kakak, atau saudaranya tewas di tanganku. 
Aku tidak bisa segera kembali pada anakku karena 
khawatir akan keselamatannya. Penghadangan- 
penghadangan dari orang-orang yang bermaksud 
membunuhku senantiasa terjadi. Hari-hariku pun 
seperti sebelum aku mengasingkan diri. Hanya kali 
ini aku tidak bertangan kejam. Tidak ada orang 
yang kubunuh kecuali sangat terpaksa. Karena se- 
rangan-serangan itu semakin menjadi-jadi, kesa- 
baranku pun lenyap. Aku kembali seperti dulu. 
Aku menjadi Iblis Tangan Maut lagi! Salah seorang 
yang tewas di tanganku adalah Dewa Tangan Se- 
puluh yang bermaksud membalaskan kematian 
kawannya. Kau tahu siapa Dewa Tangan Sepuluh, 
Karina?" 

Gadis berpakaian hijau itu menggeleng. 

"Dewa Tangan Sepuluh adalah ayah gadis 
berpakaian merah tadi." 

Karina terperanjat. Sekarang dia tahu men- 
gapa Sutini tadi demikian bernafsu untuk mem- 
bunuhnya. Ternyata Sutini memendam rasa den- 
dam. 

"Akhirnya aku berhasil berkumpul dengan 
anakku saat ia telah dewasa. Bahkan, aku sempat 
menikahkannya dengan seorang pendekar yang 
memiliki kepandaian cukup tinggi," lanjut Iblis 
Tangan Maut. 

"Apakah mereka ayah dan ibuku?" tanya 
Karina dengan suara serak karena perasaan te- 
gang. 

"Benar," Iblis Tangan Maut mengangguk. 
"Ibumu, yaitu anakku, bernama Umari. Sedangkan 
ayahmu bernama Lesmana." 

"Di mana mereka sekarang, Kek?" tanya Ka- 
rina tidak sabar. 

Iblis Tangan Maut tidak segera menjawab. 
Dia malah menatap wajah Karina dengan sinar 
mata penuh rasa iba. Karina pun mendapat firasat 
jelek. Namun, dia tetap ingin mendengar kepas- 
tiannya. 

"Katakanlah, Kek. Apa yang terjadi dengan 
orangtua ku? Percayalah, aku siap untuk menden- 
gar sekalipun berita yang akan kau katakan itu 
buruk." 

Iblis Tangan Maut menghela napas berat. 
Dia terlihat bimbang untuk memberikan jawaban. 

"Meskipun kau tidak memintanya, Karina, 
aku tetap akan menceritakannya. Syukurlah kau 
berhati tegar dan siap mendengarnya. Nah, den- 
garlah baik-baik." 

Karina merasakan jantungnya berdetak le- 
bih cepat. Gadis itu tegang bukan main. Saking te- 
gangnya dan khawatir cerita Iblis Tangan Maut ti- 
dak terdengar jelas, gadis berpakaian hijau ini 
sampai menahan napas. 

"Karena Umari telah menikah, aku tidak 
tinggal bersama mereka lagi. Ada orang lain yang 
telah menjaganya, yaitu ayahmu. Aku juga khawa- 
tir keberadaanku bersama mereka hanya akan 
menimbulkan bahaya. Baru setahun setelah per- 
kawinan mereka, aku datang berkunjung. Ternya- 
ta kedatanganku sangat tepat. Meskipun harus 
kuakui agak terlambat." 

"Aku masih kurang jelas dengan ucapanmu, 
Kek?" sergah Karina tidak sabar. 


Iblis Tangan Maut tersenyum maklum. Ia 
mengerti mengapa Karina menyela pembicaraan- 
nya. 

"Siluman Dari Neraka yang merasa perlu 
membunuhku untuk membuktikan kalau dirinya 
lebih unggul dari Iblis Tangan Maut, mencari- 
cariku. Karena tidak menemukanku, dia bermak- 
sud membunuh Umari dan suaminya untuk me- 
mancing kedatanganku. Tapi, seperti telah diatur 
oleh Yang Kuasa, aku datang dan berhasil memer- 
gokinya. Siluman Dari Neraka benar-benar kejam. 
Umari dan suaminya disiksa. Bahkan, anak mere- 
ka yang masih bayi dan baru berumur beberapa 
hari hendak dibunuhnya pula." 

Wajah Karina pucat pasi. Meski tidak me- 
nyaksikan sendiri, dia bisa membayangkan sik- 
saan yang diderita orangtuanya. Kalau Iblis Tan- 
gan Maut saja yang telah terbiasa membunuh 
orang, merasa ngeri, Karina sukar membayangkan 
bentuk penyiksaan itu. 

"Bayi yang baru berusia beberapa hari itu 
pasti aku. Benar demikian, Kek?" tanya Karina. 

Api dendam mulai berkobar di dalam dadanya. 

"Benar." Iblis Tangan Maut mengangguk. 
"Siluman Dari Neraka bermaksud membunuhmu 
untuk menyiksa hati ayah dan ibumu, Karina. Pa- 
dahal, mereka meski telah tersiksa setengah mati 
meratap-ratap agar kau diampuni. Mereka memin- 
ta agar siksaan yang akan ditimpakan kepadamu 
dialihkan saja pada mereka berdua. Tapi, Siluman 
Dari Neraka yang memang sengaja hendak me- 
nyiksa batin mereka mana mau memenuhinya?" 

Karina menutup wajahnya dengan kedua 
tangan. Tidak terdengar isak tangis. Namun dari 
celah-celah kedua tangan itu mengalir air mata. 
Karina menangis tanpa suara. Gadis berpakaian 
hijau ini merasa terharu mengingat kasih sayang 
ayah bundanya yang demikian besar. 

"Sebelum Siluman Dari Neraka membukti- 
kan ancamannya dengan menyiksamu, aku da- 
tang. Meski tidak ada yang memberi penjelasan, 
aku segera tahu apa yang tengah terjadi. Ku tan- 
tang Siluman Dari Neraka. Dia yang memang ten- 
gah mencari-cariku langsung menyambuti. Kami 
pun terlibat pertarungan. Sebelumnya kuperintah- 
kan Umari dan Lesmana agar pergi dari situ untuk 
menyelamatkan kau, Karina. Aku khawatir tidak 
akan mampu menang melawan Siluman Dari Ne- 
raka. Padahal aku tahu pasti dari luka-luka akibat 
siksaan yang mereka derita, orangtua mu tidak 
akan bertahan hidup. Tapi setidak-tidaknya kau 
selamat, Karina." 

Iblis Tangan Maut menundukkan kepala. 
Sejenak kemudian diangkatnya kembali. Tidak ter- 
lihat gambaran perasaan apa pun pada wajah ke- 
riput yang terlihat matang oleh pengalaman hidup 
itu. Tapi, Karina tahu kakek berpakaian coklat itu 
tengah sangat berduka. Gadis ini telah lama ting- 
gal bersama Iblis Tangan Maut. Sehingga, dapat 
merasakan apa yang tengah dirasakan kakeknya. 

"Ayah dan ibumu memenuhi perintahku. 
Dengan susah-payah mereka membawamu pergi. 
Aku sempat melihatnya sekilas. Dan, tidak bisa 
mengawasi mereka terus karena nyawaku sendiri 
tengah terancam. Siluman Dari Neraka memang 
sangat hebat. Harus kuakui tingkat kepandaian- 
nya berada di atasku. Betapapun telah kukuras 
seluruh kemampuan yang kumiliki, tetap tidak 
mampu mengubah keadaan. Perlawananku ter- 
henti ketika sebuah pukulannya membuat tubuh- 
ku terlempar. Pukulan itu keras sekali sehingga 
aku terluka dalam yang parah. Nyawaku tinggal 
melayang ke alam baka. Namun sebelum Siluman 
Dari Neraka melancarkan serangan susulan yang 
mematikan, muncul dua orang gagah. Mereka 
langsung menyerang Siluman Dari Neraka yang te- 
lah lelah bertarung denganku." 

"Bagaimana hasil pertarungan itu, Kek? 
Apakah Siluman Dari Neraka itu mampus?!" tanya 
Karina dalam rasa benci yang menggelora. 

Iblis Tangan Maut bisa merasakan keben- 
cian itu. "Aku tidak tahu, Karina," jawab Iblis Tan- 
gan Maut agak menyesal. "Aku hanya menyaksi- 
kan sebentar untuk melihat kepandaian dua orang 
gagah itu. Kepandaian mereka ternyata cukup 
tinggi. Kalau pertarungan dilakukan satu lawan 
satu, mereka bukan tandingan Siluman Dari Nera- 
ka. Tapi karena, mereka berdua dan tenaga Silu- 
man Dari Neraka telah terkuras, kemungkinan ke- 
dua orang itu akan keluar sebagai pemenang. Aku 
pergi dari situ untuk menyusul ayah dan ibumu, 
Karina. Kekhawatiranku ternyata beralasan. Di 
tengah jalan kulihat tubuh ayah dan ibumu tergo- 
lek tidak bernyawa. Kau menangis sendirian di 
tengah padang rumput yang luas. Aku pun mem- 
bawamu kemari setelah menguburkan mayat ayah 
dan ibumu di sana." 

Karina menundukkan kepala. Tidak me- 
nyangka orangtuanya meninggal dengan cara de- 
mikian mengenaskan. Hatinya sedih bukan main. 

"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, 
Karina?" tanya Iblis Tangan Maut setelah mem- 
biarkan gadis berpakaian hijau itu terdiam bebe- 
rapa saat. 

"Entahlah, Kek," jawab Karina ragu. "Yang 
jelas aku hendak mengunjungi makam orangtua 
ku. Setelah itu aku belum tahu, Kek." 

Iblis Tangan Maut tidak memberikan tang- 
gapan. Dia tahu Karina masih bimbang. 

"Sayang sekali aku tidak bisa mengantar- 
mu, Karina. Aku sudah tua. Otot-otot kakiku tidak 
kuat lagi untuk menempuh perjalanan jauh. Pe- 
sanku, jangan kau coba-coba membalas dendam 
terhadap Siluman Dari Neraka. Percuma, Karina. 
Kau akan celaka di tangannya. Kendati semua il- 
mu yang kumiliki telah kuberikan padamu tapi 
masih terlalu jauh untuk kau pakai menandin- 
ginya. Siluman Dari Neraka terlalu tangguh untuk 
ditandingi, apalagi dikalahkan!" 

Karina membisu. Gadis berpakaian hijau ini 
tidak berani mengangguk atau menggeleng. Bisa 
saja untuk menyenangkan hati Iblis Tangan Maut, 
Karina mengangguk. Tapi, itu tidak dilakukannya. 
Karina tidak mau membohongi kakeknya. 

Iblis Tangan Maut pun mengerti mengapa 
Karina bersikap demikian. Maka, dia tidak mende- 
sak cucunya untuk memberikan jawaban. 

"Kapan kau akan pergi, Karina?" Dengan 
pandainya, Iblis Tangan Maut mengalihkan pembi- 
caraan. 

"Mungkin beberapa hari lagi, Kek. Aku ingin 
di sini dulu bersama Kakek." 

•k'k'k 


Hari masih pagi ketika seorang gadis cantik 
berpakaian hijau mengayunkan kaki memasuki 
mulut sebuah hutan. Wajahnya terlihat murung. 
Langkah kakinya pun tidak bersemangat. Gadis 
itu berjalan sambil menundukkan wajahnya. 
Hanya sesekali pandangannya ditujukan ke depan. 

Ketika suatu saat gadis ini mengangkat wa- 
jahnya, terlihat sesosok tubuh bungkuk melang- 
kah tertatih-tatih. Sebatang tongkat tergenggam di 
tangan kanannya. Benda itu digunakan untuk 
membantunya berjalan. 

Hati gadis berpakaian hijau yang tidak lain 
Karina jadi tersentuh. Rasa iba terbit di hatinya 
melihat sosok di depannya melangkah dengan su- 
sah payah. Bahkan, beberapa kali terhuyung se- 
perti akan jatuh. 

Karina memang memiliki watak pendiam. 
Kendati demikian, bila tengah murka dia tidak ka- 
lah berbahayanya dengan orang yang pemarah. 
Untungnya, Iblis Tangan Maut mendidiknya den- 
gan baik sehingga gadis ini tumbuh menjadi seo- 
rang dara yang berwatak gagah. 

Karena itu, Karina tidak sampai hati mem- 
biarkan sosok di hadapannya. Sosok yang menge- 
nakan pakaian merah lusuh itu adalah seorang 
kakek. Pandang mata Karina yang tajam dapat me- 
lihat dengan jelas jalan yang ditempuh kakek itu 
terus menanjak. Perjalanan yang tidak ringan bagi 
seorang yang telah berusia lanjut. 

Karina segera melesat. Ilmu meringankan 
tubuhnya dikerahkan untuk bisa menyusul sosok 
di hadapannya. Karina ingin membantu kakek itu 
untuk melanjutkan perjalanan. 

Karina merasa heran ketika telah beberapa 
kali lesatan tidak juga menyusul kakek berpakaian 
merah. Padahal, sekali lesatan tak akan kurang 
dari delapan tombak. Paling tidak sudah dua pu- 
luh lima tombak jarak yang ditempuhnya. Sedang- 
kan kakek berpakaian merah berada sepuluh tom- 
bak di depannya, meskipun selama Karina melesat 
kakek itu terus berjalan. 

Rasa penasaran dan heran membuat Karina 
mengerahkan seluruh kemampuan larinya. Sambil 
mengayunkan kaki, pandangannya diarahkan pa- 
da sosok di depannya. Dengan jelas dilihatnya ka- 
kek itu melangkah tertatih-tatih. Tapi anehnya, ja- 
rak antara mereka tetap tidak berubah! Betapapun 
Karina bersikeras dan terus berlari. Bahkan, sam- 
pai peluh membasahi sekujur tubuh dan napasnya 
menderu-deru, kakek berpakaian merah tetap ti- 
dak mampu dikejarnya. 

Kenyataan ini membuat Karina menyadari 
kalau kakek berpakaian merah tidak selemah se- 
perti yang diduganya. Kakek itu justru seseorang 
yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak, ma- 
na mungkin hanya dengan berjalan tertatih-tatih 
mampu membuat pengejaran yang dilakukan den- 
gan sepenuh kemampuannya tidak berarti sama 
sekali? 

Meskipun demikian, keinginan Karina tidak 
menjadi surut untuk menyusul kakek itu. Gadis 
berpakaian hijau ini malah ingin berkenalan den- 
gan kakek berpakaian merah yang luar biasa itu. 

Karina baru menghentikan pengejarannya 
ketika kakek itu lenyap dari pandangan ketika be- 
rada di jalan setapak yang di kanan kirinya ter- 
hampar kerimbunan semak, Gadis ini menatap ke 
arah dua jalan di kanan kirinya. Hanya ada dua ja- 
lan. 

Karina bimbang memilih jalan yang akan di- 
tempuhnya. Dia tidak sempat melihat jalan mana 
yang dipilih kakek berpakaian merah. Tadi tubuh 
kakek itu tidak terlihat karena jalan yang meleng- 
kung sehingga menghalangi pandangan. 

"Kau mencariku, Anak Manis?" 

Teguran dari arah belakangnya membuat 
Karina terlonjak dan bergegas membalikkan tu- 
buh. Karina kaget bagai terpatuk ular berbisa. Da- 
ra ini tidak menyangka kakek yang dicarinya telah 
muncul di belakangnya. Namun sebentar kemu- 
dian, perasaan kaget itu berhasil dihalaunya. Tan- 
pa ragu-ragu dara ini mengangguk. 

"Benar, Kek," jawab Karina seraya menatap 
kakek berpakaian merah dengan penuh selidik. 

Wajah kakek itu dihiasi oleh kumis, jam- 
bang, dan jenggot kasar yang putih serta tidak te- 
rawat. Kulit wajahnya merah seperti udang dire- 
bus. Sinar matanya yang tajam dan memancarkan 
sorot mengerikan membuat kakek ini terlihat ang- 
ker. Ia mengenakan pakaian merah. 

"Mengapa kau mengejar-ngejarku?!" tanya 
kakek bermuka merah penuh ancaman. Sepasang 
matanya mencorong menikam wajah Karina sea- 
kan ia hendak melihat kebenaran jawaban gadis 
itu. 

Karina merasakan jantungnya berdetak 
jauh lebih cepat. Sorot mata itu membuatnya ya- 
kin kalau kakek yang berdiri di hadapannya ini 
memiliki kemampuan luar biasa. Sepengetahuan- 
nya hanya tokoh-tokoh yang memiliki tenaga da- 
lam tinggi saja yang memiliki sinar mata seperti 
itu. Karina melihat sorot mata seperti ini pada ka- 
keknya, Iblis Tangan Maut. 

Gadis berpakaian hijau ini tidak merasa 
gentar sedikit pun. Gemblengan kakeknya telah 
membuatnya menjadi seorang dara yang tidak 
kenal takut. Apalagi mengetahui dirinya tidak me- 
lakukan kesalahan. 

"Sebenarnya aku tidak bermaksud demi- 
kian, Kek. Kebetulan aku menempuh perjalanan 
kemari. Di kejauhan kulihat kau tengah berjalan 
tertatih-tatih. Karena jalan daerah ini cukup berat, 
aku bermaksud membantumu. Sungguh tidak ku- 
sangka ternyata kau tidak seperti yang kuduga," 
jawab Karina lancar dan tenang. 

"Tidak seperti yang kau duga? Apa mak- 
sudmu, Nona Muda?!" desak kakek berpakaian 
merah ingin tahu. 

"Kau seorang tokoh yang memiliki kepan- 
daian tinggi. Jadi, apa artinya pertolongan yang 
hendak kuberikan?" kilah Karina, halus. 

Wajah kakek berpakaian merah membesi. 
Sinar matanya memancarkan kebengisan. 

"Gadis Lancang! Berani kau merendahkan 
aku? Sungguh berani kau memandang rendah di- 
riku. Aku tidak mau menerima begitu saja penghi- 
naan ini! Kau harus mendapat hukuman yang se- 
timpal atas kelancangan yang telah kau lakukan!" 

Sepasang mata Karina berkilat-kilat Kema- 
rahannya bangkit mendengar ancaman kakek itu. 
Tidak disangka kakek berpakaian merah ini memi- 
liki watak demikian keji! Orang beritikad baik un- 
tuk menolongnya malah dianggap menghina. Bah- 
kan, hendak memberikan hukuman. Sungguh gila 
dan keterlaluan! 

"Kalau boleh kutahu, hukuman apa yang 
hendak kaujatuhkan padaku, Kek?!" 

"Ah. Kau marah kiranya.... Marah karena 
aku hendak menghukummu? Bagus. Aku lebih 
suka menghukum orang yang berani melawan se- 
telah merendahkanku!" jawab kakek berpakaian 
merah. 

"Kau tahu, Nona Muda. Hukuman yang in- 
gin kujatuhkan padamu adalah hukuman potong 
kedua telinga dan ujung hidung! Sekarang terse- 
rah padamu. Kau ingin aku yang melaksanakan 
hukuman itu atau kau sendiri yang melakukan- 
nya!" 

"Kakek berhati keji!" 

Karina tidak kuasa menahan kemarahan 
yang meluap. Tindakan kakek itu dirasakan san- 
gat kejam. Memotong kedua telinga dan ujung hi- 
dungnya! Betapa kejinya. Karina seorang gadis 
yang masih muda dan berwajah cantik. Apa ja- 
dinya kalau hukuman itu dilaksanakan. Tentu Ka- 
rina akan menjadi seorang gadis yang memiliki wa- 
jah menakutkan. 

"Kau kira aku takut dengan ancamanmu?!" 

"Ha ha ha...!" 

Kakek berpakaian merah tertawa bergelak 
sehingga tampaklah giginya yang telah ompong. 
Tidak terlihat sebuah gigi pun di sana. Kebengisan 
dan kekejaman yang memancar di wajahnya. 

"Rupanya kau seorang wanita pemberani, 
heh? Bagus. Bagus. Aku ingin tahu sampai di ma- 
na keberanianmu. Akan kau rasakan sendiri sik- 
saan yang akan membuatmu tidak berani men- 
gunjukkan diri ke dunia luar lagi. Ha ha ha...!" 

Karina merasakan jantungnya seperti dire- 
mas-remas ketika kakek itu tertawa. Kedua ka- 
kinya menggigil keras. Bergegas tenaga dalamnya 
dikerahkan untuk melawan pengaruh itu. Tapi, 
tawa itu tidak terdengar terlalu lama. Rupanya ka- 
kek berpakaian merah tidak ingin menggunakan 
tawanya untuk menyerang Karina. Tawa itu keluar 
karena rasa gembiranya. 

Karina semakin was-was melihat kenyataan 
ini. Kalau tidak ditujukan untuk menyerang saja 
sudah demikian dahsyat pengaruh yang ditimbul- 
kan, bagaimana bila kakek itu benar-benar ingin 
menyerangnya. Dara ini tidak bisa memperkirakan 
kedahsyatannya. 

Karina tidak mau berpikir panjang. Kakek 
di hadapannya ini memiliki kepandaian luar biasa, 
maka suling yang terselip di pinggang segera dica- 
butnya. Suara merdu seperti bunyi suling ditiup 
langsung terdengar. 

"Keluarkan senjatamu, Kakek Jahat! Kalau 
tidak jangan salahkan aku jika sulingku ini me- 
mukul mati kau!" Karina yang merasa tidak enak 
untuk menyerang lawan tidak bersenjata, membe- 
rikan kesempatan pada kakek berpakaian merah 
untuk mengeluarkan senjatanya. 

Kakek berpakaian merah malah tertawa me- 
ngikik. Pandang matanya penuh dengan hinaan 
ketika menatap senjata Karina. 

"Benda itu kau katakan senjata? Ah! Justru 
aku ingin mendengar bunyi yang akan kau main- 
kan. Pasti merdu sekali. Sudah lama aku tidak 
mendengar bunyi musik!" 

"Jebol perutmu...!" 

Karina membarengi teriakannya dengan tu- 
sukan suling bambunya ke perut lawan. Kakek 
berpakaian merah sedikit pun tidak mengelak. Ba- 
ru ketika ujung suling mengenai kulit, perutnya ti- 
ba-tiba dikempeskan. Suling Karina ikut terbawa 
masuk. Beberapa saat kemudian, kakek itu men- 
gembungkan perutnya. 

"Ah...!" 

Karina mengeluarkan teriakan tertahan. Ia 
terjengkang ke belakang akibat gerakan perut yang 
aneh itu. Bersamaan dengan gerak menggendut- 
nya perut kakek berpakaian merah, ada kekuatan 
dahsyat yang mendorong tubuh gadis itu ke bela- 
kang. Karina tak mampu berbuat apa pun untuk 
bertahan. Dorongan itu terlalu kuat! 

Kakek berpakaian merah tertawa bergelak 
melihat Karina menatap ke arahnya dengan pan- 
dang mata terbelalak. Gadis itu berhasil mema- 
tahkan kekuatan yang membuat tubuhnya ter- 
jengkang. 

Untuk sesaat Karina menatap perut kakek 
itu yang tidak tertutup pakaian. Pakaian yang di- 
kenakannya sebenarnya cukup untuk menutupi 
bagian tubuh belakang dan depan. Tapi, kakek itu 
telah merobek bagian depannya sedemikian rupa 
sehingga mirip rompi. 

"Ayo, tunggu apa lagi? Tidak ada gunanya 
kau bengong-bengong seperti itu. Cepat kau bun- 
tungi ujung hidung dan dua telingamu sebelum 
aku yang melakukannya!" seru kakek berpakaian 
merah. 

"Jangan harap aku akan melakukannya, 
Kakek Jahat!" 

Karina yang masih penasaran kembali men- 
girimkan serangan. Kali ini ujung sulingnya ditu- 
jukan ke arah ubun-ubun kakek itu. Karina tahu 
betapapun saktinya kakek itu tak akan mungkin 
mampu melindungi ubun-ubun dengan kekuatan 
tenaga dalam. Ubun-ubun merupakan bagian ter- 
lemah dari tubuh manusia! 

Kakek berpakaian merah tetap terkekeh. Pe- 
rutnya mendadak bergerak dengan aneh. Berge- 
lombang turun naik, mengembang dan mengem- 
pis. Seakan ada sesuatu di dalam perut itu yang 
bergerak-gerak ingin keluar! 

Kembali Karina mengalami kejadian yang 
mengejutkan. Serangannya langsung berubah 
arah! Tidak lagi menuju ubun-ubun, tapi menukik 
dengan kecepatan menakjubkan ke arah perut! 
Ada kekuatan tak nampak yang membuat arah 
suling menyeleweng. 

Karina tidak membiarkan hal itu terjadi. 
Kekuatannya dikerahkan untuk bertahan dan me- 
neruskan serangan ke sasaran semula. Tapi tetap 
saja dia tidak mampu. Perut yang bergelombang 
itu seperti mengeluarkan daya tarik yang luar bi- 
asa. Tanpa dapat mencegah lagi, suling itu menan- 
cap di perut kakek berpakaian merah yang men- 
gempis. 

Karina tidak tinggal diam. Ditariknya suling 
itu dari perut lawan dengan sekuat tenaga. Tapi, 
sia-sia. Sulingnya bagai terjepit oleh jepitan baja 
yang amat kuat. Tidak mampu digerakkan sama 
sekali. Karina menjadi gelisah. Apalagi ketika me- 
rasakan hawa panas menjalar dari perut kakek 
itu. Mula-mula pada sulingnya, kemudian merayap 
ke tangan dan sekujur tubuhnya! Suling itu seperti 
terjatuh dalam tungku api. 

Dalam waktu singkat saja sekujur tubuh 
Karina telah dibanjiri peluh. Wajahnya merah pa- 
dam seperti udang rebus. Semakin lama semakin 
merah. Bahkan, sepasang matanya pun mulai 
memerah. 

Karina sadar malaikat maut sudah berada 
di dekatnya. Dia akan mati dengan tersiksa. Ken- 
dati demikian, kekerasan hatinya membuatnya ti- 
dak mau mengeluarkan keluhan atau kata-kata 
menyerah. Dia terus bertahan. Berusaha keras 
menarik sulingnya dari jepitan perut yang men- 
gempis itu. 

"Sungguh terlalu...! Menggunakan kekuatan 
dan kemampuan untuk berbuat sewenang-wenang 
terhadap seorang gadis muda...!" 

Bersamaan dengan terdengarnya seruan 
bernada teguran itu berkelebatlah sesosok bayan- 
gan yang langsung berdiri di belakang Karina. So- 
sok bayangan yang ternyata seorang pemuda be- 
rambut putih keperakan itu menempelkan kedua 
tangannya di punggung Karina. 

"Mundurlah, Nona...." 

Karina merasakan aliran tenaga dalam 
mengalir melalui punggungnya. Seketika itu su- 
lingnya yang terjepit perut kakek berpakaian me- 
rah berhasil ditarik! Tanpa banyak bicara, gadis ini 
melangkah mundur setelah terlebih dulu mengerl- 
ing pada penolongnya. Sinar mata Karina penuh 
dengan rasa terima kasih. 


Kakek berpakaian merah menatap pemuda 
berambut putih keperakan yang melangkah meng- 
hampirinya. Sinar mata kakek itu penuh ancaman. 
Dia merasa tersinggung melihat calon korbannya 
berhasil diselamatkan orang tak dikenalnya ini. 

"Siapa kau, pemuda tak tahu diri? Sungguh 
berani kau menentangku. Apakah kau tidak tahu 
siapa aku...?!" tegur kakek itu. Suaranya keras 
menggelegar. 

Pemuda berambut putih keperakan terse- 
nyum tenang. Dia sedikit pun tidak merasa gentar 
mendengar ancaman itu. 

"Maaf, Kek. Aku tidak bermaksud menen- 
tangmu. Aku hanya tidak ingin kau membunuh 
gadis yang tidak berdaya itu. Apalagi dengan cara 
yang demikian keji. Lagi pula...." 

"Aku tidak butuh ceramahmu!" bentak ka- 
kek berpakaian merah. "Cepat katakan siapa diri- 
mu sebelum kuhancurkan kepalamu!" 

Sepasang alis pemuda berpakaian ungu itu 
berkerut. Rasa tidak senang merayapi hatinya me- 
lihat sikap kakek itu yang kasar. Padahal, dia telah 
berusaha untuk berlaku sopan. 

"Panggil saja aku Aiya, Kek," ujar pemuda 
berambut putih keperakan. 

"Arya...?!" 

Kakek berpakaian merah mengulang nama 
itu seraya mengernyitkan alisnya. Ia mencoba 
mengingat-ingat barangkali pernah mendengar 
nama itu. Tapi, ia tidak mampu mengingatnya. 

"Kau telah lancang mencampuri urusanku, 
Pemuda Sombong! Bahkan dengan sikap jumawa 
berani menceramahiku. Aku tidak menerima hal 
itu. Kau akan menerima balasannya. Kau akan 
kusiksa. Lalu, kuberikan pada hewan-hewan peli- 
haraanku. Kau pernah mendengar nama Tarantu- 
la? Nah! Tubuhmu akan kujadikan santapan bina- 
tang-binatang itu!" 

Pemuda berambut putih keperakan yang ti- 
dak lain Arya Buana atau Dewa Arak tentu saja 
pernah mendengar tentang laba-laba itu. Juga 
dengan kedahsyatan racunnya. Tapi, dia tidak 
menjadi gentar. Aiya tetap bersikap tenang. 

Karina menyaksikan keributan yang terjadi 
dengan hati berdebar tegang. Dia bersiap sedia un- 
tuk membantu Arya melawan kakek berpakaian 
merah. Karina tidak yakin Aiya akan mampu me- 
nandingi kakek itu. Meski telah dibuktikannya 
sendiri pemuda itu mampu membebaskannya dari 
pengaruh tenaga dalam kakek berpakaian merah. 

Bukan hanya Karina saja yang siap berta- 
rung. Dewa Arak pun demikian. Pemuda itu me- 
nyadari kakek di hadapannya ini seorang yang 
memiliki kepandaian tinggi. Keberhasilannya 
membebaskan Karina bukan berarti tenaga da- 
lamnya lebih tinggi dari kakek itu. Karina pun ikut 
ambil bagian dalam usahanya itu. Dengan kata 
lain, keberhasilan usahanya karena bantuan Kari- 
na pula. 

Sekujur urat saraf Dewa Arak telah mene- 
gang waspada. Ia menghadapi segala kemungkinan 
yang akan terjadi. Siap siaga terhadap serangan 
yang akan dilancarkan kakek berpakaian merah. 

Tapi, kakek itu tidak segera melancarkan 
serangan. Dia malah tertawa geli sekali seakan me- 
lihat sesuatu yang lucu. Tubuhnya sampai tergun- 
cang-guncang. 

Karina dan Dewa Arak sangat heran melihat 
tingkah kakek ini. Apakah kakek berpakaian me- 
rah telah menjadi gila karena marahnya? Atau, 
demikian anehkah wataknya sehingga saking ma- 
rahnya dia malah tertawa? 

Jangankan Karina, Dewa Arak yang telah 
kenyang pengalaman bertarung menghadapi ber- 
bagai tokoh tingkat tinggi yang memiliki ilmu 
aneh-aneh saja merasa heran. Aiya tidak merasa- 
kan adanya kelainan dalam tawa itu. Tidak ada ge- 
taran kekuatan tenaga dalam seperti tawa yang bi- 
asa digunakan untuk menyerang lawan. 

Kendati demikian, Aiya tidak meninggalkan 
kewaspadaannya. Siapa tahu kakek ini bermaksud 
mencari kelengahan lawan dengan berlaku seperti 
itu. Bagi seorang tokoh golongan hitam tidak ada 
pantangan melakukan serangan meski lawannya 
belum siap. 

Kakek berpakaian merah itu memang tidak 
bermaksud melancarkan serangan. Dia terus ter- 
tawa. Aiya merasakan suatu perasaan geli di ha- 
tinya, sehingga pemuda itu tersenyum. Semakin 
lama senyumnya makin lebar, sampai akhirnya 
pemuda berambut putih keperakan ini tertawa ke- 
ras. Malah, tubuhnya sampai terbungkuk- 
bungkuk dan tangannya didekapkan ke perut. 

Hal serupa pun dialami Karina. Gadis ini 
merasakan munculnya perasaan gembira yang 
sangat. Rasa gembira yang mendorongnya untuk 
ikut tertawa. Tak pelak lagi, di tempat yang semula 
sunyi ini kini riuh rendah oleh gelak tawa. Tawa 
yang semakin lama semakin keras. 

Beberapa lama kemudian, kakek berpa- 
kaian merah mengganti tawanya dengan tangis. 
Tangis yang demikian menyedihkan seakan tengah 
menanggung derita hidup yang bertumpuk- 
tumpuk. 

Tangis kakek itu menimbulkan keharuan 
yang dalam di hati Arya dan Karina. Membuat ke- 
dua muda-mudi itu teringat hal-hal yang menye- 
dihkan tentang diri mereka. Karina teringat pada 
orangtuanya yang tewas di tangan Siluman Dari 
Neraka. Isak tangis memilukan terdengar mengi- 
ringi air mata yang mengalir deras dari sepasang 
mata gadis itu. Kesedihannya semakin memuncak 
ketika teringat dirinya yang telah yatim piatu. Tia- 
da sanak keluarga lagi kecuali kakeknya yang te- 
lah amat tua. 

Arya pun demikian. Pemuda berambut pu- 
tih keperakan ini teringat akan ayah dan ibunya. 
Ayahnya tewas di tangan Siluman Tengkorak Pu- 
tih, dan ibunya tewas secara mengerikan di tangan 
Darba, pemuda lihai yang berwatak sadis. Kesedi- 
han dan rasa haru yang sangat meremas-remas 
hatinya. (Untuk lebih jelasnya mengenai kematian 
ayah dan ibu Dewa Arak, silakan baca Serial Dewa 
Arak dalam episode: "Pedang Bintang" dan "Cinta 
Sang Pendekar"). 

Arya merasakan dadanya sesak bukan 
main. Isak tangisnya naik ke tenggorokan. Sepa- 
sang matanya terasa panas. Rasa haru yang tak 
terkira melanda hatinya. Di tempat lain, beberapa 
tombak darinya, Karina telah menangis terisak- 
isak. Air mata mengalir deras membasahi kedua 
belah pipinya yang mulus. Tangis gadis ini tak ka- 
lah menyedihkan dengan tangis kakek berpakaian 
merah. 

Tangis Karina ternyata membuat Arya bagai 
diguyur air dingin. Pemuda berambut putih kepe- 
rakan ini segera menyadari keadaan yang tidak 
wajar itu. Kakek berpakaian merah entah dengan 
mempergunakan ilmu apa telah mempengaruhi 
alam bawah sadar seseorang! Dalam tawa dan tan- 
gis kakek itu terkandung pengaruh kuat yang 
memaksa orang untuk bertindak seperti yang diin- 
ginkannya. Arya segera mengerahkan kekuatan 
batinnya untuk melawan pengaruh itu. Mula-mula 
agak susah karena alam bawah sadar pemuda ini 
telah terpengaruh. Tapi, lama-kelamaan usaha 
Arya membuahkan hasil. Tangis kakek itu tidak 
mempengaruhinya lagi. Arya berhasil membe- 
baskan diri. 

Kakek berpakaian merah geram bukan 
main melihat Dewa Arak berhasil terbebas dari 
pengaruhnya. Tangis yang diperdengarkannya se- 
makin diperlambat. 

Tapi, Arya tidak berhasil dipengaruhi lagi. 
Dia bagaikan batu karang. Meski gelombang tangis 
kakek itu mencoba menghanyutkannya, ia tetap 
tak bergeming! Bahkan, kini Aiya sudah mampu 
tersenyum. Pemuda ini kemudian bertepuk tangan 
beberapa kali. 

Bunyi menggelegar langsung terdengar ber- 
turut-turut. Suara itu mampu menutupi tangisan 
kakek berpakaian merah! Tidak hanya itu saja. 
Tepukan yang keras bagai gelegar halilintar itu 
menyadarkan Karina. Wajahnya merah padam ke- 
tika menyadari dirinya telah menangis keras- 
keras, bahkan sampai bergulingan seperti anak 
kecil! 

Karina buru-buru bangkit. Dengan mem- 
pergunakan kedua tangan, pakaiannya dibersih- 
kan dari debu yang menempel. Punggung tangan- 
nya mengusap air mata yang membasahi pipi. Ka- 
rina yang memiliki otak cerdik segera dapat men- 
duga apa yang telah terjadi. Kakek berpakaian Me- 
rah yang menjadi penyebabnya. Dan, pemuda be- 
rambut putih keperakan telah menyebabkan pen- 
garuh aneh itu buyar. 

Karina menatap kedua lelaki yang berdiri 
berhadapan dalam jarak tiga tombak itu. Dia bisa 
memperkirakan betapa dahsyat pertarungan yang 
akan berlangsung. 

Sementara itu, kakek berpakaian merah te- 
lah menghentikan tangisnya. Tampaknya ia me- 
nyadari bahwa tidak ada gunanya lagi jika dilan- 
jutkan. Aiya memiliki kekuatan batin yang kuat 
sehingga tidak mudah dipengaruhi. 

"Kau memang hebat, Anak Muda. Harus 
kuakui belum pernah kutemukan seorang pemuda 
selihai dirimu. Kalau kau mampu menyambut se- 
ranganku tanpa kehilangan nyawa, aku mengaku 
kalah dan akan pergi meninggalkan tempat ini. 
Tentu saja hanya untuk saat ini. Lain kali jika kau 
kutemukan tak akan kuampuni! Sekarang ada 
urusan lain yang lebih penting yang harus kuurus. 
Bagaimana? Kau mau menyambut seranganku?" 

Aiya mempertimbangkan tawaran kakek itu 
sebentar. Dia tidak berani segera menyanggupinya. 
Menyambut serangan berarti mengadu keras den- 
gan keras. Kekuatan tenaga dalam yang menjadi 
taruhannya. Siapa yang lebih kuat akan lebih un- 
ggul. Dan, Arya tahu orang setua kakek di hada- 
pannya ini sudah bisa diperkirakan kekuatan te- 
naga dalamnya. Kalau umurnya delapan puluh ta- 
hun saja, setidak-tidaknya kakek ini telah melatih 
tenaga dalam selama tujuh puluh tahun! Sedang- 
kan dia baru melatih tenaga dalamnya selama lima 
belas tahun. Dari perhitungan ini saja sudah bisa 
diperkirakan siapa yang berada dalam kedudukan 
menguntungkan. 

Aiya menyadari benar tenaga dalam yang 
dihimpunnya tidak didapat dengan cara biasa. Gu- 
runya, Ki Gering Langit, telah mengajarkan cara 
menghimpun tenaga dalam yang amat dahsyat da- 
lam waktu singkat. Sehingga, meski baru meng- 
himpunnya sekitar lima belas tahun Aiya telah 
memiliki tenaga dalam luar biasa! (Untuk lebih je- 
lasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam epi- 
sode perdana: "Pedang Bintang"). 

Setelah memikirkan tawaran lawan seben- 
tar, pemuda berambut putih keperakan ini men- 
gangguk pasti. "Kuterima tantanganmu, Kek!" ja- 
wab Aiya mantap. 

"Ha ha ha...!" 

Kakek berpakaian merah tertawa bergelak. 
Ia mengajukan pertarungan itu karena memperhi- 
tungkan perbedaan usia di antara mereka. Berapa 
kuat tenaga dalam yang berhasil dihimpun seo- 
rang pemuda belia? Demikian pendapat kakek 
berpakaian merah. Kendati telah menyaksikan 
usahanya berhasil dibuyarkan Arya. Itu tidak men- 
jadi jaminan pasti pemuda berambut putih kepe- 
rakan itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa. 

Kakek berpakaian merah lalu bersiap untuk 
melaksanakan rencananya. Dia berdiri dengan ka- 
ki kanan. Kaki kirinya diangkat tinggi-tinggi ke be- 
lakang, membuat badan dan kepalanya terjulur ke 
depan sejajar dengan bumi. 

Dewa Arak pun bersiap. Tanpa ragu-ragu 
lagi pemuda itu mengerahkan tenaga dalam inti 
matahari. Seketika itu pula di sekujur tubuhnya 
mengepul uap tipis. Wajah Arya merah padam se- 
perti udang rebus, ia tahu lawannya telah siap 
menyerang dengan jurus 'Kalajengking'. 

"Hih!" 

Diiringi bentakan keras, kakek berpakaian 
merah menghentakkan kedua tangannya yang ter- 
buka membentuk cakar. Hembusan angin yang 
luar biasa kerasnya meluncur ke arah Dewa Arak. 
Tanpa menunggu lebih lama, pemuda berambut 
putih keperakan itu menyambutinya. 

Blarrr! 

Bunyi keras memekakkan telinga terdengar. 
Sekitar tempat itu tergetar hebat. Bahkan, Karina 
yang berada agak jauh merasakan kerasnya geta- 
ran. Pepohonan bergoyangan dan daun-daunnya 
rontok berguguran ke tanah. 

Akibat yang lebih hebat terjadi pada kedua 
petarung. Tubuh kakek berpakaian merah berpu- 
tar dalam kedudukan masih seperti semula, sebe- 
lum akhirnya jatuh terjengkang! Sedangkan Dewa 
Arak, meski kuda-kudanya tidak berubah namun 
ia terseret mundur beberapa tombak. Tampak gu- 
ratan dalam di tanah bekas terseretnya. Seretan 
itu baru berhenti ketika punggung Aiya memben- 
tur sebatang pohon besar hingga pohon itu berge- 
tar keras. 

Kakek berpakaian merah bangkit berdiri. 
Sinar matanya memancarkan rasa penasaran dan 
kagum. 

"Kau hebat, Anak Muda! Aku senang sekali 
dapat terus melanjutkan pertarungan ini. Tapi, 
janji adalah janji. Aku tidak pernah mengingkari 
janji yang kubuat. Aku akan pergi dan bila kita 
bertemu lagi baru nyawamu akan kuambil. Aku 
sudah berjanji untuk tidak mencabut nyawa orang 
lain sebelum nyawa musuh besarku kucabut! Se- 
lamat tinggal, Anak Muda!" 

Setelah berkata demikian, kakek itu melesat 
pergi. Dalam beberapa kali lesatan tubuhnya su- 
dah tidak terlihat lagi. Pandangan ngeri Karina dan 
takjub Dewa Arak mengantar kepergiannya, hingga 
tubuhnya tidak terlihat dari pandangan. 

Aiya yang telah berdiri tegak mendadak ter- 
huyung-huyung ke depan. Dari mulutnya keluar 
darah segar. Kemudian, tubuh itu terguling dan ja- 
tuh ke tanah dengan keras. Aiya jatuh pingsan! 

Memang, benturan keras tadi telah melukai 
tubuh bagian dalam pemuda berambut putih ke- 
perakan itu. Dengan menguatkan hati dia dapat 
berdiri tegak. Tapi, tetap saja apabila kakek berpa- 
kaian merah bertahan di tempat itu lebih lama, 
Aiya tidak akan kuat bertahan. Kekhawatiran ka- 
kek itu akan mengingkari janji membuat Dewa 
Arak berusaha bertahan. 

Jatuhnya Aiya membuat Karina bergegas 
melesat menghampiri. Gadis ini tidak menduga 
penolongnya terluka dalam, karena tadi terlihat 
demikian tegar. 


•kick 


Aiya membuka mata ketika merasakan ali- 
ran hawa hangat bergerak ke sekitar tubuhnya. 
Dia juga merasakan dua telapak tangan halus me- 
nempel di dadanya. Dari kedua telapak tangan itu- 
lah hawa hangat yang berkeliaran ke sekujur tu- 
buhnya berasal. Pandang matanya yang semula 
kabur perlahan dapat melihat dengan jelas pemilik 
kedua tangan halus itu. Seraut wajah cantik. Wa- 
jah Karina! 

Karina telah menyalurkan tenaga dalam pa- 
danya. Semula Aiya merasa heran. Tapi, ia segera 
teringat dirinya baru saja terluka dalam setelah 
terjadi benturan pukulan jarak jauh dengan kakek 
berpakaian merah. 

"Cukup, Nona," tolak Arya. Gadis itu telah 
mengerahkan tenaga dalam cukup banyak untuk 
memulihkan luka dalamnya. Arya merasakan rasa 
sakit dan nyeri dalam dadanya telah lenyap. Ini 
karena pertolongan yang diberikan Karina. Sebe- 
lumnya, dada Arya terasa sakit bukan main. 

Karina segera menghentikan penyaluran te- 
naga dalamnya. Arya telah lolos dari ancaman 
maut, tinggal bersemadi untuk memulihkan keku- 
atannya. Pemuda berambut putih keperakan itu 
pasti sangat lelah, sedang sebagian besar tena- 
ganya belum pulih kembali akibat luka dalam yang 
dideritanya. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Nona. 
Namaku Arya. Aku berhutang nyawa padamu. Ka- 
lau tidak ada kau mungkin aku hanya tinggal na- 
ma saja, " ucap Arya, berterima kasih. 

Karina tersenyum malu. 

"Siapa yang menolong siapa? Kau yang lebih 
dulu menolongku. Tanpa pertolonganmu aku akan 
mati dalam keadaan mengerikan," elak gadis ini 
dengan perasaan ngeri. Ia teringat kembali dengan 
ancaman kakek berpakaian merah. 

Mau tidak mau Arya tersenyum. Pemuda ini 
merasa geli mengingat keadaan mereka. Masing- 
masing saling memberikan dan menerima perto- 
longan. Sehingga, sulit dikatakan siapa yang me- 
nolong dan siapa yang ditolong. 

"Mengapa kau terlibat pertarungan dengan 
kakek itu, Nona? Apakah kau mempunyai urusan 
dengannya?" tanya Arya. Ia tidak berani menanya- 
kan nama gadis itu karena melihat Karina mem- 
punyai sifat pemalu. 

"Gara-gara keisenganku, Arya. Namamu 
Arya bukan?" Wajah Karina memerah karena telah 
kelepasan menyapa Dewa Arak dengan namanya. 
Meski sebenarnya pemuda itu telah memperkenal- 
kan diri. 

"Benar." Arya berpura-pura tidak mengeta- 
hui perasaan yang bergolak di hati Karina. Pemuda 
ini malah mempergunakan kesempatan itu untuk 
menanyakan nama gadis itu. "Namaku memang 
Aiya. Arya Buana. Kau sendiri siapa, Nona?" 

Karina menyebutkan namanya. Dalam hati 
dia merasa bersyukur Aiya tidak mempedulikan 
perasaan malu yang menyergap hatinya. Kemu- 
dian, dengan mulai berani Karina menceritakan 
semua kejadiannya. Mulai dari perpisahan dengan 
kakeknya sampai pertemuannya dengan kakek 
berpakaian merah. Tentu saja rasa malu membuat 
Karina tidak mau memperkenalkan julukan ka- 
keknya. Aiya pun tampaknya tidak mempersoal- 
kan hal itu. Tapi, ia tahu Karina murid seorang to- 
koh tingkat tinggi. 

Basa-basi itu tidak berlangsung lama. Dewa 
Arak dan Karina menyadari keadaan mereka tidak 
menguntungkan. Lebih baik mereka memulihkan 
tenaga. Keduanya kemudian duduk bersila untuk 
melakukan semadi. 

Tapi, baru saja sepasang muda-mudi itu 
memejamkan mata terdengar teriakan melengking 
nyaring yang penuh kebencian. 

"Rupanya kau di sini, Kuntilanak! Sekarang 
riwayatmu akan kuselesaikan!" 

Hampir bersamaan Dewa Arak dan Karina 
membuka mata mengalihkan pandangan ke arah 
asal bentakan. Tampak dua sosok berkelebat cepat 
mendekati tempat mereka. 

Dewa Arak mengerutkan alis, ia tidak men- 
genal kedua sosok terdiri dari lelaki dan wanita 
muda itu. Mereka mengenakan pakaian yang sal- 
ing berlawanan. Yang wanita memakai pakaian 
berwarna merah, sedangkan yang lelaki memakai 
pakaian putih. 

Aiya melirik ke arah Karina. Dia melihat 
wajah gadis itu berubah. Karina mengenal kedua 
orang muda itu. Memang, sasaran makian yang 
tadi terdengar ditujukan pada seorang wanita! Sia- 
pa lagi kalau bukan Karina? Di tempat ini yang 
ada hanya Aiya dan Karina. 

Dugaan Arya tepat sekali. Karina memang 
mengenai sepasang muda-mudi berwajah elok itu. 
Mereka adalah Sutini dan saudara seperguruan- 
nya, Dampit! 

Jantung Karina berdebar tegang. Gadis ber- 
pakaian hijau ini segera mengetahui adanya an- 
caman bahaya. Sutini memendam rasa dendam 
terhadap kakeknya. Dan, Karina tahu Sutini terla- 
lu dikuasi dendam sehingga pertimbangannya ti- 
dak adil. Rasa dendam yang bergelora di dalam 
dada memang kadang-kadang membuat orang ti- 
dak bisa berpikir jernih. Ia hanya bisa menilai se- 
cara sepihak, yaitu hal yang menguntungkan di- 
rinya. 

Karina menyadari benar keadaannya seka- 
rang amat tidak menguntungkan. Tenaganya yang 
tersisa hanya sebagian kecil. Itu tidak cukup un- 
tuk dijadikan andalan menghadapi Sutini yang li- 
hai. Kendati demikian, Karina tidak menjadi gen- 
tar. Dia bangkit dan menunggu kedatangan Sutini 
serta Dampit dengan sikap gagah. 

"Kiranya kau...? Mengapa kau mengejar- 
ngejar aku?!" tegur Karina tenang. Sikapnya me- 
nunjukkan dia merasa yakin akan dirinya. 

Aiya mengeluh dalam hati melihat sikap Ka- 
rina. Pandang mata pemuda ini segera dapat meli- 
hat kalau Karina masih lemah. Tapi, ia masih 
mampu bersikap demikian gagah. Di balik sikap 
pemalunya Karina memiliki watak keras hati dan 
tidak takut menghadapi ancaman. Sikap seorang 
wanita pendekar. 

Sutini berdiri tiga tombak di depan Karina 
dengan membelalakkan sepasang mata saking ke- 
salnya. Seakan ia hendak menelan bulat-bulat Ka- 
rina dengan sepasang matanya yang indah itu. 

"Tidak usah banyak bicara lagi, Wanita 
Liar!" Sutini memaki. "Katakan di mana kakekmu 
yang jahat itu. Ke mana dia bersembunyi?" 

"Untuk apa kau mencarinya? Percuma saja. 
Sampai kapan pun kau tak akan bisa melaksana- 
kan niatmu. Kalau kakekku mau, dengan mudah 
kau dan kawanmu itu dibunuhnya. Tapi, beliau ti- 
dak mau melakukannya. Bahkan, beliau berpesan 
padaku supaya tidak meladenimu karena kau te- 
lah keliru!" 

"Tutup mulutmu, Wanita Jahat!" Sutini se- 
makin tenggelam dalam amarahnya. Yang ada di 
benak gadis ini hanya keinginan melampiaskan 
dendamnya yang bertumpuk. Dia tidak ingin men- 
dengar nasihat. "Kau tahu siapa yang benar dan 
yang salah? Kakekmu bukan orang baik-baik. Dia 
seorang penjahat keji. Tokoh dunia hitam yang ke- 
gemarannya membunuh orang. Dan, ayahku ada- 
lah salah satu korbannya! Apakah salah kalau aku 
ingin membalaskan kematiannya?!" 


Karina mengangkat dagunya dengan sikap 
menantang. Kemarahannya bangkit mendengar 
kakek yang dibanggakan dan disayangi, dihina 
orang. 

"Aku tahu kakekku bukan orang baik-baik. 
Dia seorang tokoh jahat. Entah sudah berapa ba- 
nyak nyawa melayang di tangannya. Tapi, tidak 
bolehkan orang jahat sadar dari kesesatannya dan 
kembali ke jalan yang benar? Tidak bisakah orang 
jahat bertobat dan menghabisi sisa umurnya den- 
gan hidup tenang?" 

"Enak betul kalau begitu!" sergah Sutini 
sambil tersenyum sinis. Sikap dan ucapan gadis 
ini jelas menunjukkan amarahnya. "Betapa enak- 
nya? Sejak muda berlaku lalim, menyebar maut 
dan kejahatan di sana sini. Kemudian, karena ta- 
kut menghadapi pembalasan lawan-lawannya lalu 
bertobat. Setelah tua dan tidak berdaya ingin 
kembali ke jalan yang benar agar selamat dari 
pembalasan! Sungguh suatu siasat yang licik!" 

"Kau tahu satu tapi tidak tahu dua, Sutini," 
suara dan sikap Karina masih terlihat tenang, ti- 
dak terpengaruh oleh ucapan Sutini. "Kau tahu, 
tewasnya ayahmu karena ulahnya sendiri!" 

"Keparat! Mulutmu semakin lancang, Wani- 
ta Liar! Kalau tidak segera disumpal, kekurangaja- 
ranmu akan menjadi-jadi!" 

Sutini yang tidak bisa menahan kemara- 
hannya lagi mendengar ucapan Karina segera 
mengirimkan tendangan keras ke arah perut. Se- 
buah serangan yang akan mengirim nyawa gadis 
berpakaian hijau itu ke akhirat apabila sampai 
mendarat di sasaran. 

Aiya yang sejak tadi mendengarkan per- 
tengkaran kedua gadis itu sedikit banyak telah bi- 
sa memperkirakan masalah yang dipertengkarkan. 
Hanya karena belum jelas dia tidak berani ikut 
campur. 

Sekarang, melihat ancaman maut terhadap 
Karina, Aiya tidak bisa berdiam diri lagi. Betapa- 
pun juga pemuda berambut putih keperakan ini 
telah membuktikan sendiri kalau Karina bukan 
gadis yang jahat. Terlepas dari siapa dan bagaima- 
na orang yang menjadi kakeknya, Arya berkewaji- 
ban untuk menolong gadis berpakaian hijau itu. 

Meskipun demikian, tidak berarti Dewa 
Arak berpihak pada Karina. Memang amat mudah 
untuk berpihak pada gadis berpakaian hijau itu. 
Sikapnya tenang dan pengalah, membuat orang 
bersimpati terhadapnya. Sifat seperti itu tidak di- 
tunjukkan oleh Sutini. Bahkan, gadis berpakaian 
merah itu menunjukkan sikap kasar dan kejam 
serta mau menang sendiri. Walau demikian, Arya 
tidak mengambil kesimpulan dari masalah kecil 
itu. 

Keinginan untuk menolong memang besar. 
Tapi, keadaan yang tidak menguntungkan mem- 
buat Arya tidak mampu berbuat banyak. Jangan- 
kan memapaki serangan Sutini, menyambar tubuh 
Karina dan membawanya mengelak dari serangan 
pun ia tidak mampu. Tubuhnya masih lemas seka- 
li. 

Aiya menarik napas lega ketika melihat Ka- 
rina masih mampu menyelamatkan diri. Gadis ini 
melempar tubuhnya ke tanah dan bergulingan 
menjauhi. Tapi, Sutini yang telah bangkit amarah- 
nya tidak membiarkan saja. Dia melesat mengejar 
tubuh Karina dan menghujaninya dengan seran- 
gan-serangan berbahaya. Hal ini membuat Karina 
kewalahan untuk menyelamatkan selembar nya- 
wanya. 

Aiya melangkah maju bersiap untuk meno- 
long Karina. Padahal, sebagian besar tenaganya te- 
lah lenyap. Apa yang dapat dilakukannya? Tinda- 
kan pemuda ini telah memancing tanggapan dari 
Dampit. Pemuda berpakaian putih ini ikut maju 
dan menatap Aiya dengan sinar mata tidak se- 
nang. 

"Bersikap jantan sedikit, Sobat. Mereka te- 
lah bertarung dengan adil. Satu lawan satu. Tidak 
selayaknya kau ikut mencampuri. Hanya orang- 
orang berwatak pengecut saja yang mau mencam- 
puri urusan yang telah demikian adil!" 

Dampit memang tidak keras mengucapkan- 
nya. Tapi, nadanya keras dan tajam bukan main. 
Cukup untuk membuat wajah Aiya memerah 
sampai ke telinga karena tersinggung. 

"Adalah tindakan yang lebih pengecut 
membiarkan kesewenang-wenangan terjadi di de- 
pan mata. Hanya seorang pengecut besar dan ber- 
jiwa keji yang membiarkan orang tidak berdaya 
bertarung!" timpal Aiya dengan nada tak kalah ta- 
jam. Pemuda berambut putih keperakan ini tahu 
dia berhadapan dengan seorang yang berjiwa pen- 
dekar, tapi salah menempatkan keadaan. 

"Salah orang itu sendiri!" Dampit tidak mau 
kalah. "Ingat, dia berada di rimba persilatan. Tem- 
pat ganas yang tidak mengenal ampun. Kewaspa- 
daan dan kemampuan harus selalu terarah. Apabi- 
la tidak, yang diterimanya adalah ucapan selamat 
datang pada alam kubur!" 

Hati Aiya panas. Ketersinggungannya ber- 
tambah. Padahal pemuda ini jarang-jarang marah. 
Tidak mudah untuk membuat Aiya tersinggung. 
Tapi kali ini pemuda berambut putih keperakan ini 
dua kali tersinggung. Itu terjadi hanya dalam dua 
kali Dampit berbicara. 

Aiya merasa diremehkan. Sikap dan ucapan 
Dampit mengisyaratkan pemuda ini seperti telah 
kenyang merambah kerasnya dunia persilatan dan 
hidup bergantung dengan kemampuan. Tampak 
jelas Dampit menganggap remeh dirinya. Aiya di- 
anggapnya orang yang baru turun gunung dan ti- 
dak mengenal kerasnya dunia persilatan. 

Nasihat yang diucapkan Dampit dengan na- 
da menasihati yang membuat Aiya tersinggung 
bukan main. Sebagai orang yang kenyang penga- 
laman, Arya tahu Dampit belum pernah turun ke 
dunia persilatan, Jadi, keberadaannya di tempat 
ini mungkin baru untuk pertama kali. Dan, pemu- 
da ini telah berani-beraninya memberi nasihat pa- 
danya. 

"Rupanya kau telah kenyang merambah 
dunia persilatan, Sobat. Boleh kutahu julukanmu? 

Nama besar yang kau sandang karena keberhasi- 
lanmu bertahan hidup di dunia persilatan yang 
ganas ini?" tanya Arya, menyindir. 

"Aku belum punya julukan, Sobat. Tapi ka- 
lau kau ingin tahu, namaku Dampit. Percayalah, 
tak akan lama lagi julukanku akan membubung 
tinggi ke dunia persilatan. Dengan memperguna- 
kan pedangku, aku akan mempertahankan nya- 
wa!" Dampit masih bermulut besar. 

"Ah.... Kiranya demikian! Kupikir kau telah 
kenyang merambah dunia persilatan. Setidak- 
tidaknya aku dapat belajar darimu agar aku bisa 
bertahan hidup. Dan...." 

"Meski belum lama terjun dalam dunia per- 
silatan." Dampit langsung menyela. "Tapi, aku bisa 
mengajukan saran padamu. Kau bisa mengguna- 
kan nasihat yang akan kuberikan untuk bertahan 
hidup. O ya, kau belum menyebut namamu, So- 
bat." 

Arya yang semakin jengkel melihat Dampit 
menyela ucapannya, mempunyai kesempatan un- 
tuk menghajar perasaan pemuda itu. 

"Aku mana bisa dibandingkan dengan diri- 
mu. Bahkan, aku ingin meminta nasihatmu agar 
bisa selamat..." 

"Tidak apa-apa. Akan kuberikan nasihatku. 
Biar jelek pun namamu beri tahukan saja. Setidak- 
tidaknya kau akan kucatat sebagai orang pertama 
yang mendapat pelajaran bagaimana caranya ber- 
tahan hidup di dunia persilatan!" Lagi-lagi Dampit 
yang berwatak tinggi hati dan selalu memandang 
rendah orang lain, menyela. 

"Baiklah." Aiya bersikap seakan tidak mem- 
punyai pilihan lain. "Namaku tentu saja tidak bisa 
dibandingkan dengan namamu, Dampit. Apalagi 
dalam hal bertahan hidup. Mungkin aku harus 
berguru padamu untuk beberapa lama. Namaku 
Arya Buana. Tapi, orang lebih sering menyebutkan 
Dewa Arak. Julukan itu yang mereka berikan pa- 
daku." 

"Ah...!" 

Dampit terlonjak ke belakang bagai disengat 
kalajengking. Sepasang mata pemuda ini membe- 
lalak lebar bagai melihat hantu. 

"Kau.... Dewa Arak...?!" 

Setelah beberapa saat lamanya terkesima, 
akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulut 
Dampit. Sikap dan nada ucapannya memancarkan 
keterkejutan dan rasa tidak percaya. Dipandan- 
ginya sekujur tubuh Dewa Arak mulai dari kepala 
sampai ke kaki. 

"Rasanya memang tidak salah.... Pakaian - 
mu, rambutmu. Juga guci di punggungmu. Sung- 
guh-sungguhkah kau Dewa Arak...?" 

Bukan hanya Dampit saja yang mendengar 
julukan Dewa Arak. Sutini dan Karina pun demi- 
kian. Sutini sampai menghentikan serangannya 
terhadap Karina yang terus bergulingan untuk 
menyelamatkan diri. Kedua gadis ini menatap ke 
arah Dewa Arak dengan tatapan kaget. Mereka ti- 
dak pernah menyangka bisa bertemu dengan to- 
koh yang telah menggegerkan dunia persilatan. 
Orangnya ternyata masih amat muda! 

Sementara Arya yang diperhatikan me- 
nyunggingkan senyum lebar. "Orang-orang persila- 
tan memang menjulukiku Dewa Arak. Tapi, aku 
lebih suka dipanggil Aiya," ucap pemuda berambut 
putih keperakan itu untuk meredakan suasana 
yang agak mencekam. 

Dampit saling berpandangan dengan Sutini. 

"Mari kita pergi, Sutini!" 

"Tapi...." 

"Lupakan saja masalah itu. Kita urus bela- 
kangan!" 

Tanpa menunggu jawaban Sutini yang men- 
jadi bimbang, Dampit mendahului melesat me- 
ninggalkan tempat itu. Sutini menatap Aiya dan 
Karina sesaat sebelum melesat pergi. 

"Urusan antara kita belum selesai, Wanita 

Liar!" 

Gema ucapan Sutini masih terdengar jelas 
meski sosoknya sudah tidak terlihat lagi. 

Karina mengalihkan perhatian pada Dewa 
Arak, 

"Jadi..., kau tokoh yang menggemparkan 
itu? Kau..,. Dewa Arak..." 

"Maaf, Karina. Aku tidak ingin berbohong 
kepadamu. Hanya aku tidak mau menggembar- 
gemborkan julukan yang akan membuat percaka- 
pan menjadi canggung," Jelas Arya, khawatir Kari- 
na mengira dia tidak percaya pada gadis itu. 

"Tidak apa-apa, De..., eh, Arya. Bukankah 
kau lebih suka dipanggil dengan nama?" tanya Ka- 
rina. Aiya mengangguk. "Aku tahu, kadang- 
kadang betapapun eratnya hubungan antara se- 
seorang hal-hal yang dirahasiakan harus tetap 
ada. Aku pun tidak jujur terhadapmu, Aiya. Aku 
tidak menceritakan siapa kakekku. Tapi karena 
kau telanjur tahu, tidak ada salahnya kuceritakan 
semua." 

"Jangan memaksakan diri, Karina...," Arya 
mengingatkan. 

"Tidak, Aiya. Aku tidak memaksakan diri." 
Karina menggelengkan kepala. 

Arya tidak memberikan bantahan lagi. Dia 
berdiam diri mendengar cerita Karina. Hanya sedi- 
kit yang diceritakan Karina. Tentang siapa kakek- 
nya dan masalah yang tengah dihadapinya seka- 
rang. Tidak diceritakannya tentang riwayat hidup- 
nya. 

Tak lama kemudian, sepasang muda-mudi 
ini sibuk memulihkan tenaga dalam dengan ber- 
semadi. 


•kick 


Sosok tubuh tinggi kurus menghentikan 
langkahnya di depan sebuah goa yang cukup be- 
sar. Sosok itu mengenakan pakaian berkilau- 
kilauan seperti terbuat dari emas. Pada bagian ke- 
palanya terdapat penutup kepala berbentuk keru- 
cut. Penutup kepala itu pun terbuat dari bahan 
yang sama. Berkilauan dan seperti bersisik, mirip 
kulit ular! 

Sayangnya wajah pemakai pakaian mewah 
itu tidak terlihat. Tertutup sebuah topeng kayu be- 
rukir. Sebuah topeng kayu yang tipis dan memiliki 
ukiran-ukiran berbentuk hidung, mulut, dan juga 
lubang untuk kedua mata. Tampak sinar menco- 
rong kehijauan memancar dari dua buah lubang 
kecil untuk mata pada topeng kayu itu. 

Dengan sinar matanya yang luar biasa so- 
sok bertopeng kayu menatap ke bagian dalam goa. 
Agaknya, ia ingin melihat isi di dalamnya. 

Tapi, tentu saja betapapun tajamnya mata 
seorang manusia tidak akan mungkin mampu me- 
lihat sesuatu di dalam kepekatan. Ini pun disadari 
oleh sosok bertopeng kayu yang menilik bentuk 
tubuhnya adalah seorang pemuda. Ia mempergu- 
nakan telinganya untuk mengetahui apakah goa 
itu berpenghuni. Beberapa saat kemudian, ia 
mendapat jawaban. Goa itu berpenghuni. 

Setelah memperhatikan bagian dalam goa 
yang tidak ketahuan panjang dan dalamnya, sosok 
bertopeng kayu mengirimkan ucapan pada orang 
yang berada di dalam goa melalui ilmu mengirim- 
kan suara dari jauh. 

Sementara dalam goa seorang lelaki berusia 
sekitar enam puluh tahun dan bertubuh pendek 
gemuk serta berkepala botak tengah bersemadi. Ia 
membuka sepasang matanya dengan terkejut. 

"Gajah Cilik Berkepala Baja, harap keluar 
sebentar. Hentikan dulu semadimu. Maaf, aku se- 
benarnya tidak ingin mengganggu kesibukanmu. 
Tapi, aku mempunyai sebuah urusan yang amat 
penting. " 

Suara yang dikirimkan sosok bertopeng 
kayu menggema di dalam telinga kakek pendek 
gemuk. Memaksa kakek itu sadar dari semadinya 
dan membuka mata. 

Kakek pendek gemuk yang berjuluk Gajah 
Kecil Berkepala Baja tercenung sebentar dalam 
keadaan masih duduk bersila. Ia bisa menduga 
orang yang telah mengirimkan suara dari jauh itu 
memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Hingga, sam- 
pai dapat menyadarkan Gajah Cilik Berkepala Baja 
dari semadinya. Tampaknya, orang itu tidak ber- 
maksud jahat. Tamunya dengan baik-baik men- 
gundangnya untuk keluar. Apabila dirinya tidak 
memenuhi permintaan itu berarti ia tidak meng- 
hargai aturan dunia persilatan. 

"Tidak apa-apa, Sobat. Harap bersabar me- 
nunggu sebentar!" 

Gajah Cilik Berkepala Baja memberi jawa- 
ban dari jauh pada sosok bertopeng kayu yang be- 
rada di luar goa. Belum juga ucapannya lenyap da- 
ri telinga, Gajah Cilik Berkepala Baja telah berada 
di luar goa. Tepat di depan sosok bertopeng kayu! 

"Maaf." Sosok bertopeng kayu merang- 
kapkan kedua tangan di depan dada seraya mem- 
bungkukkan sedikit tubuhnya. "Bukan maksudku 
mengganggu kesibukanmu, Gajah Cilik. Tapi, aku 
mempunyai urusan penting yang harus diselesai- 
kan. Karena kebetulan kau mempunyai peranan 
penting dalam urusan ini, maka aku terpaksa 
mengganggumu." 

Gajah Cilik Berkepala Baja membalas peng- 
hormatan itu dengan cara yang sama. Wajah ka- 
kek pendek gemuk ini kelihatan tidak senang keti- 
ka terpandang olehnya topeng kayu yang menutu- 
pi wajah tamunya. 

"Aku tidak merasa terganggu, Sobat. Aku 
senang sekali bila bisa membantumu menyelesai- 
kan persoalan penting itu. Tapi, bagaimana mung- 
kin kita bisa bercakap-cakap dengan hati penuh 
curiga bila kau mengenakan topeng di wajahmu. 
Keberadaan topeng itu menimbulkan prasangka 
tidak baik di hatiku. Kalau kau masih ingin berca- 
kap-cakap denganku tanggalkan benda itu. Atau, 
kau tidak akan bisa mendapatkan keterangan 
penting dariku!" Gajah Cilik Berkepala Raja tanpa 
ragu-ragu menyatakan perasaan yang mengganjal 
hatinya. 

"Maaf, sekali lagi maaf, Gajah Cilik." Sosok 
bertopeng kayu kembali menjura seraya mem- 
bungkukkan tubuh. "Bukan maksudku menim- 
bulkan keragu-raguan di hatimu. Tapi dengan se- 
jujurnya kukatakan aku tidak bisa membuka to- 
peng ini dari wajahku. Membukanya sama artinya 
dengan melepas nyawaku dari badan!" 

"Terserah padamu, Sobat." Gajah Cilik Ber- 
kepala Baja mengangkat kedua bahunya dengan 
sikap acuh. "Aku mau berbincang-bincang dengan 
syarat wajahmu yang kau hadapkan padaku dan 
bukan topeng kayu itu, atau kau terpaksa tak bisa 
mendapatkan apa yang kau inginkan! Aku tak bisa 
bercakap-cakap dengan orang yang tidak mau 
mempercayaiku. Topeng di wajahmu menunjuk- 
kan kau tidak ingin kukenal. Ini berarti kau tidak 
mempercayaiku! Nah. Aku sudah mengatakan hal 
yang seharusnya kukatakan. Sekarang semua be- 
rada di tanganmu, Sobat!" 

Sosok bertopeng kayu tampak bingung. Dia 
terdiam dengan menundukkan kepala. Sesaat ke- 
mudian, ditatapnya lagi wajah Gajah Cilik Berke- 
pala Baja. 

"Gajah Cilik, aku memohon dengan sangat 
pengertianmu. Bukannya aku tidak ingin menge- 
nalkan diri atau tidak percaya padamu. Ketahui- 
lah, topeng ini tidak bisa kubuka, kecuali kalau 
aku telah tewas. Wajahku merupakan rahasia be- 
sar. Dan...." 

"Aku pun merupakan rahasia besar, Sobat. 
Dulu memang aku seorang tokoh golongan putih 
yang cukup punya nama. Tapi, sekarang aku telah 
mengasingkan diri dan hampir tidak ada orang 
yang tahu julukanku lagi. Tempat ini pun merupa- 
kan tempat rahasia. Tapi toh aku tidak terlalu 
mempertahankan hal itu." 

Sosok bertopeng kayu menggelengkan kepa- 
la. 

"Ada perbedaan besar antara kita, Gajah Ci- 
lik. Kau dulunya memang orang terkenal dan ter- 
jun ke dunia persilatan. Tapi, tidak demikian hal- 
nya dengan kami. Turun-temurun kami merupa- 
kan orang-orang yang tidak pernah muncul ke du- 
nia persilatan. Keberadaan kami tidak pernah di- 
ketahui tokoh-tokoh persilatan." 

"Lalu, mengapa kau muncul ke dunia luar? 
Bukankah kau bilang tadi kau dan kelompokmu 
tidak pernah terjun ke dunia persilatan," bantah 
Gajah Cilik Berkepala Baja. 

Gajah Cilik Berkepala Baja ingin mengeta- 
hui tentang sosok bertopeng kayu ini. Ia memiliki 
kepandaian amat tinggi. Sorot matanya yang tajam 
mencorong seperti mata harimau dalam gelap. Pa- 
dahal, Gajah Cilik Berkepala Baja yakin sosok ber- 
topeng kayu itu masih muda! 

Kalau orang dengan usia semuda ini saja 
sudah memiliki tenaga dalam demikian kuat, ba- 
gaimana pula dengan orang tertua di dalam ke- 
lompoknya? Sukar untuk dibayangkan! Mengeta- 
hui siapa sosok bertopeng kayu dengan kelompok- 
nya ini merupakan hal yang amat menarik. 

"Seperti yang kukatakan, menemuimu un- 
tuk membicarakan suatu keperluan. Bagaimana, 
Gajah Cilik? Bersediakah kau membantuku?" 
tanya sosok bertopeng kayu penuh harap. 

Gajah Cilik Berkepala Baja tidak segera 
menjawab. Ia terdiam sebentar seperti tengah 
mempertimbangkan suatu keputusan yang amat 
berat. 

"Apakah permintaanku yang tadi tidak bisa 
kau pertimbangkan lagi, Anak Muda?" Kakek pen- 
dek gemuk itu merubah sapaannya. 

"Sayang sekali, Gajah Cilik. Aku tidak dapat 
melakukan hal itu. Bukan hanya aku saja yang 
akan bersikap demikian, tapi semua orang-orang 
kami. Kami lebih suka melepaskan nyawa daripa- 
da melepaskan topeng ini. Ia jauh lebih berharga 
dari nyawa. Pada topeng ini terkandung kehorma- 
tan, harga diri, dan sumpah leluhur kami!" jelas 
sosok bertopeng kayu dengan penuh penyesalan. 

Gajah Cilik Berkepala Baja tersenyum di da- 
lam hati. Tanpa disadari lawan bicaranya, ia ber- 
hasil mengorek sedikit keterangan mengenai orang 
bertopeng kayu dan kelompoknya. Sosok berto- 
peng kayu itu telah terpancing. Dan, Gajah Cilik 
Berkepala Baja memang memiliki kecerdikan yang 
cukup. 

"Kalau memang begitu, apa boleh buat?" 
Gajah Cilik Berkepala Baja menunjukkan sikap 
pasrah. "Apa yang kau inginkan dariku? Apakah 
ini mengenai masalah orang lain?" 

Sepasang mata di balik topeng kayu bersi- 
nar-sinar gembira mendengar kesediaan Gajah Ci- 
lik Berkepala Baja. "Benar sekali, Gajah Cilik. 
Orang itu adalah Siluman Dari Neraka!" 

"Hukh!" 

Gajah Cilik Berkepala Baja sampai terjajar 
beberapa langkah ke belakang begitu mendengar 
julukan yang diucapkan sosok bertopeng kayu. 
Kakek pendek gemuk itu terkejut bukan main. Ia 
mengenal betul tokoh itu. 

Sosok bertopeng kayu mengayunkan kaki 
setindak mendekati Gajah Cilik Berkepala Baja. 
"Kau mengenalnya kan, Gajah Cilik?" desak sosok 
bertopeng kayu. 

Gajah Cilik Berkepala Baja malah menatap 
sosok bertopeng kayu dengan penuh selidik. Sikap 
kakek pendek gemuk ini terlihat waspada dan siap 
untuk bertarung. 

"Apa hubunganmu dengannya?" Gajah Cilik 
Berkepala Baja balas bertanya. Suaranya terden- 
gar tegang. 


Sosok bertopeng kayu tidak segera menang- 
gapi pertanyaan Gajah Cilik Berkepala Baja. Terli- 
hat jelas dia merasa ragu untuk memberikan ja- 
waban. 

"Sebelum aku menjawab, maukah berjanji 
untuk tidak menceritakan hal ini pada orang lain? 
Maukah kau berjanji, Gajah Cilik?" tanya sosok 
bertopeng kayu setelah beberapa saat lamanya 
berdiam diri. 

Gajah Cilik Berkepala Baja menatap wajah 
sosok bertopeng kayu lekat-lekat. Ia mencari ke- 
sungguhan dalam ucapan sosok yang berdiri di 
hadapannya itu. 

"Kalau kau tidak mau berjanji, biarlah aku 
batalkan keinginanku. Aku tahu masih ada orang 
lain yang dapat menceritakannya padaku. Barang- 
kali dia tidak sekeras kau dalam mempertahankan 
pendapatnya. Selamat tinggal, Gajah Cilik! Sekali 
lagi kuucapkan terima kasih atas kesediaanmu 
menemuiku." 

Kemudian, tanpa banyak cakap lagi sosok 
bertopeng kayu membalikkan tubuh. Sekali ka- 
kinya bergerak tubuhnya telah berada belasan 
tombak di depan. 

"Tunggu, Anak Muda!" 

Ayunan kaki sosok bertopeng kayu terhenti. 
Tubuhnya dibalikkan. Tapi, dia tidak bergerak 
menghampiri. Mereka berhadapan dalam jarak be- 
berapa belas tombak. 

"Boleh aku tahu siapa tokoh yang kau mak- 
sud sebagai orang lain yang mengetahui tentang 
Siluman Dari Neraka?" 

"Malaikat Tongkat!" jawab sosok bertopeng 
kayu, singkat. 

Wajah Gajah Cilik Berkepala Baja berubah 

hebat. 

"Dia sahabatku, Anak Muda! Kuharap kau 
tidak mengganggunya. Bila hal itu terjadi, aku 
akan mencarimu untuk melakukan perhitungan!" 
tandas Gajah Cilik Berkepala Baja, tegas. 

"Legakan hatimu, Gajah Cilik. Aku tidak 
akan bertindak kasar terhadapnya. Kewajibanku 
adalah membawa pulang Siluman Dari Neraka. 
Hidup atau mati, lain tidak!" 

Sosok bertopeng kayu kemudian membalik- 
kan tubuh dan bersiap melesat pergi. Tapi, lagi- 
lagi maksudnya tidak kesampaian. Gajah Cilik 
Berkepala Baja kembali mengeluarkan seruan 
mencegah. 

"Ada apa lagi, Gajah Cilik?!" tanya sosok 
bertopeng kayu. Nada suaranya mulai meninggi. 
Sikap kakek pendek gemuk itu membuatnya me- 
rasa dipermainkan. 

Tapi, Gajah Cilik Berkepala Baja seperti ti- 
dak mendengar pertanyaan sosok bertopeng kayu. 
Dia menatap wajah sosok yang berdiri di hada- 
pannya lekat-lekat. 

"Jadi..., Siluman Dari Neraka merupakan 
salah seorang dari kelompokmu, Anak Muda?" 
tanya Gajah Cilik Berkepala Baja dengan suara 
bergetar. 

"Benar, Gajah Cilik!" Sosok bertopeng kayu 
mengangguk. Suaranya terdengar lirih seperti 
orang berbisik. "Dia merupakan anggota kelompok 
kami, tapi telah membelot. Ia melarikan diri dari 
tempat tinggalnya. Bahkan, dengan melarikan bu- 
ku-buku pusaka kelompok kami. Puluhan tahun 
hal itu telah terjadi, namun tak satu pun usaha 
yang dapat kami lakukan karena berbagai hal dan 
pertimbangan." 

Pernyataan sosok bertopeng kayu benar- 
benar mengejutkan Gajah Cilik Berkepala Baja. 
Kakek pendek gemuk ini tahu siapa Siluman Dari 
Neraka! Seorang tokoh sesat yang memiliki kepan- 
daian luar biasa. Kalau sosok bertopeng kayu ini 
mendapat tugas membawa Siluman Dari Neraka 
hidup atau mati, berarti sosok yang mengenakan 
pakaian seperti kulit ular emas ini memiliki ke- 
pandaian di atas Siluman Dari Neraka! 

"Ah...! Syukurlah kalau demikian," desah 
Gajah Cilik Berkepala Baja, lega. "Semula kukira 
kau kawan Siluman Dari Neraka. Ternyata bukan. 
Kini kita bisa berbicara lebih banyak lagi. Dan agar 
hatimu lebih tenang, mungkin perlu kukatakan 
kalau aku bersedia merahasiakan cerita yang akan 
kau katakan. Puas, Anak Muda?" 

"Terima kasih, Gajah Cilik. Itu sudah cu- 
kup." Sosok bertopeng kayu mengayunkan kaki 
menghampiri, ketika Gajah Cilik Berkepala Baja 
dengan tersenyum lebar mendekatinya. Keduanya 
berjabatan tangan dengan erat. 

"Nah. Sekarang ceritakan," ucap Gajah Cilik 
Berkepala Baja seraya melepaskan jabatan tan- 
gannya. 

"Entah tepatnya sejak kapan, aku sendiri 
tidak tahu pasti, yang jelas sudah lebih dari dua 
ratus tahun nenek moyang kami menempati suatu 
tempat yang bagi kami merupakan penjara. Menu- 
rut cerita yang kami dapat turun temurun, tempat 
itu merupakan tempat buangan orang-orang yang 
melakukan kesalahan. Tempat yang menjadi tem- 
pat kelompokku adalah tempat hukuman. Kami 
lebih suka menyebutkan Penjara Langit. Tempat- 
nya memang ada di puncak sebuah gunung yang 
tidak mungkin dapat didaki dengan kemampuan 
yang luar biasa sekalipun!" Sosok bertopeng kayu 
memulai ceritanya. 

Sementara Gajah Cilik Berkepala Baja men- 
dengarkan dengan penuh minat. Ia tidak menyela 
sedikit pun. Kakek pendek gemuk ini merasa terta- 
rik dengan cerita mengenai asal-usul kelompok so- 
sok bertopeng kayu yang demikian luar biasa. 

"Kira-kira empat puluh tahun yang lalu Ra- 
taksa kabur meninggalkan Penjara Langit. Dia juga 
mengambil beberapa kitab yang berisi pelajaran 
ilmu silat dan sihir. Kami semua tahu. Tapi, tidak 
ada yang dapat dilakukan. Menurut hukum kami, 
setiap orang yang melarikan diri dari Penjara Lan- 
git akan menderita hebat sebelum mati. Entah ka- 
rena mengapa aku sendiri tidak tahu, konon orang 
yang meninggalkan Penjara Langit di dalam tubuh 
orang itu akan muncul racun jahat! Racun berba- 
haya yang dapat menimbulkan kematian. Entah 
benar atau tidak, aku tidak pernah membuktikan- 
nya." 

"Jadi, karena itukah maka kepergian Ratak- 
sayang kemudian mendapat julukan Siluman Dari 
Neraka dibiarkan begitu saja?" duga Gajah Cilik 
Berkepala Baja. 


"Tentu saja tidak!" sambut sosok bertopeng 
kayu, cepat. "Tidak demikian mudah jalan keluar- 
nya dengan langsung mengejar Rataksa." 

Dengan alasan apa pun seorang penghuni 
Penjara Langit tidak akan diperkenankan keluar. 
Namun, karena tindakan Rataksa dapat membuat 
arwah leluhur kami tidak tenang, maka seluruh 
penghuni berkumpul dan mencari jalan untuk 
memecahkan masalah ini. Akhirnya diputuskan 
untuk memilih orang-orang yang akan ditugaskan 
mengejar Rataksa. Tentu saja mesti orang-orang 
pilihan agar dapat menunaikan tugas dengan baik. 
Dengan wajah ditutup topeng dua orang pilihan itu 
mencari Rataksa untuk dibawa pulang dengan ca- 
ra apa pun." 

"Asal kau tahu saja, Anak Muda. Siluman 
Dari Neraka telah mengacau dunia persilatan sejak 
sekitar tiga puluh tahun lalu. Mengapa kau baru 
tiba hari ini? Selisih waktu antara kau dengannya 
tiga puluh tahun!" 

"Lima puluh atau bahkan tujuh puluh ta- 
hun pun bukan masalah apabila aku berhasil 
membawa pulang Rataksa! Bagi kami masalah 
waktu tidak penting. Melainkan keberhasilannya. 
Agar nenek moyang kami yang pertama kali mem- 
buat sumpah tidak penasaran di alam baka!" tegas 
sosok bertopeng kayu, mantap. 

Gajah Cilik Berkepala Baja mengangguk- 
anggukkan kepala tanda mengerti. "Kalau boleh 
kutahu, mengapa tenggang waktunya bisa demi- 
kian lama?" 

"Waktu yang demikian lama itu diperguna- 
kan untuk menggembleng calon yang terpilih. Itu 
membutuhkan waktu belasan tahun. Kemudian, 
agar orang yang bertugas mencari Rataksa tidak 
mengalami kecelakaan di tengah jalan akibat ra- 
cun di dalam tubuh karena keluar dari Penjara 
Langit, maka perlu memakan jamur emas. Jamur 
yang hanya tumbuh di tempat kami. Pertumbuhan 
jamur itu memakan waktu dua puluh tahun! Ma- 
ka, kami pun membuang waktu beberapa puluh 
tahun lagi untuk menunggu jamur emas tumbuh. 
Karena itu, waktu kami terpisah jauh dengan Ra- 
taksa." 

Rupanya, Rataksa pergi setelah lebih dulu 
memakan jamur emas, Rataksa yang cerdik me- 
makan jamur secukupnya. Sedangkan yang lain 
dihancurkan untuk menyulitkan pengejaran. Tapi, 
Rataksa terlalu tergesa-gesa. Jamur itu belum ma- 
sak benar. Kendati racun tidak akan membunuh- 
nya, malapetaka lain akan menimpa. Penghuni 
Penjara Langit tidak pernah berpikir akan ada 
orang yang berniat kabur, sehingga tempat tum- 
buhnya jamur tidak terjaga. 

"Sayang sekali." Gajah Cilik Berkepala Baja, 
menyayangkan. "Kalau saja tidak ada halangan- 
halangan itu, tentu sudah sejak lama kau dan Si- 
luman Dari Neraka bertemu!" 

"Mungkin." Sosok bertopeng kayu tidak be- 
rani memastikan. 

Tiba-tiba Gajah Cilik Berkepala Baja tersen- 
tak kaget. Ada sesuatu yang terlupakan. 

"Kalau demikian... dugaanku bahwa kau 
seorang pemuda ternyata salah. Dari ceritamu 
mungkin usiamu sekarang paling tidak lima puluh 
tahun!" terka Gajah Cilik Berkepala Baja. "Tapi, 
mengapa bentuk tubuhmu seperti pemuda dua 
puluh lima tahun?" 

"Karena pengaruh jamur emas!" jawab so- 
sok bertopeng kayu. "Usiaku sebenarnya memang 
lima puluh tahun." 

Gajah Cilik Berkepala Baja mengangguk- 
angguk. Sepasang matanya memancarkan keka- 
guman. 

"Sekarang, bisakah kau ceritakan padaku 
tentang Rataksa alias Siluman Dari Neraka. Bu- 
kankah menurut kabar yang tersiar Rataksa tewas 
di tanganmu dan kawanmu? Kalau benar demi- 
kian, sungguh sangat meringankan tugasku. Tapi 
aku ingin kepastian. Tentang kain merah yang 
menjadi pengikat kepalanya. Kain itu berlambang 
tengkorak manusia dalam kobaran api." 

Gajah Cilik Berkepala Baja menghela napas 

berat. 

"Waktu aku dengan Malaikat Tongkat ber- 
temu Siluman Dari Neraka yang telah lama kami 
cari-cari, ternyata tokoh itu sedang kelelahan ka- 
rena habis bertarung dengan Iblis Tangan Maut. 
Antara kami kemudian terjadi pertarungan. Ter- 
nyata meski telah lelah, Siluman Dari Neraka ma- 
sih sangat tangguh! Dia mampu menghadapi ke- 
royokan kami. Mendadak terjadi sesuatu yang 
mengejutkan. Siluman Dari Neraka memekik ke- 
sakitan seperti orang yang menderita hebat. Dia 
langsung terguling-guling. Kesempatan baik ini ti- 
dak kami sia-siakan. Serangan-serangan kami lan- 
carkan. Hingga, sebuah tendangan keras dariku 
membuat tubuh Siluman Dari Neraka yang tengah 
menderita, terlempar jauh. Ia masuk ke dalam se- 
buah lubang. Lubang yang garis tengahnya tidak 
kurang dari setengah tombak. Aku dan Malaikat 
Tongkat segera menuju ke sana dan melongok ke 
dalamnya. Kami menjatuhkan sebuah batu besar 
untuk mengukur dalamnya lubang. Tidak terden- 
gar suara benturan batu dengan tanah atau air! 
Kenyataan itu sangat mengejutkan kami. Lubang 
itu mempunyai kedalaman yang tak terkira. Jadi, 
kemungkinan untuk selamat bagi Siluman Dari 
Neraka amat kecil, betapapun saktinya tokoh itu." 

"Sesuai dengan amanat yang terbeban di 
atas pundakku, sekalipun mati aku harus mem- 
bawa mayat Rataksa kembali. Mayatnya harus di- 
kuburkan di Penjara Langit sebagai pertanda dia 
adalah orang buangan. Orang hukuman!" Sosok 
bertopeng kayu tetap dengan keputusannya. 

"Jadi..., apa yang akan kau lakukan?" 

"Tidak banyak! Hanya menyelidiki tempat di 
mana jatuhnya Rataksa, dan membawa mayatnya 
pulang ke Penjara Langit!" jawab sosok bertopeng 
kayu, mantap. "Bisa kau beritahu di mana lubang 
itu?" 

Gajah Cilik Berkepala Baja segera mene- 
rangkan di mana lubang itu berada. Bahkan, den- 
gan petunjuk-petunjuk lengkap sampai sosok ber- 
topeng kayu paham betul. 

"Terima kasih atas pemberitahuanmu, Ga- 
jah Cilik. Aku tidak akan melupakan budi baikmu. 
Suatu saat aku akan membalas budi ini. O ya, 
hampir aku lupa menjelaskannya. Jamur emas 
yang belum masak itu menyebabkan Rataksa 
menderita sakit yang hebat bila terlalu lelah. Satu 
hal lagi, dia tetap terpengaruh oleh pertambahan 
usia. Tidak seperti aku. Selamat tinggal!" 

Begitu ucapannya selesai tubuh sosok ber- 
topeng kayu melesat pergi. Dengan cepat ia telah 
berada belasan tombak dari tempat semula. Sesaat 
kemudian, tubuhnya lenyap di kejauhan. 

Gajah Cilik Berkepala Baja memandanginya 
dengan perasaan takjub. Kepandaian sosok berto- 
peng kayu itu memang luar biasa. Dia yakin Silu- 
man Dari Neraka akan mendapatkan seorang la- 
wan yang amat tangguh. Seandainya tokoh yang 
menggiriskan hati itu masih hidup! 


•k'k'k 


Dua sosok tubuh melayang agak bergegas 
menyusuri jalan tanah berdebu. Matahari tepat 
berada di atas kepala. Suasana di persada terasa 
panas. 

Dua sosok tubuh itu sepasang muda-mudi 
berwajah elok. Yang pemudi mengenakan pakaian 
merah, sedangkan rekannya berpakaian putih. Se- 
pasang muda-mudi ini adalah Sutini dan kawan 
seperguruannya, Dampit. 

"Itukah perguruannya, Sutini?" tanya pe- 
muda berpakaian putih. Telunjuk kanannya ditu- 
dingkan pada kelompok bangunan yang terkurung 
pagar bambu cukup tinggi. 

"Benar, Dampit. Aku yakin ini perguruan- 
nya. Guru telah menceritakannya," jawab Sutini 
dengan mata berkilat-kilat. "Ah, aku sudah tidak 
sabar lagi ingin membuat perhitungan dengan ma- 
nusia pengecut itu!" 

Wajah pemuda berpakaian putih yang ber- 
nama Dampit tampak tidak segembira Sutini. 
Bahkan terlihat kalau Dampit seperti terpaksa. 

"Haruskah kita ke sana, Sutini?" 

"Tentu saja, Dampit!" tegas Sutini, keras. 
"Manusia pengecut seperti itu tidak patut dibiar- 
kan hidup lebih lama lagi. Dia harus dilenyapkan!" 

"Tapi, bukankah dia tokoh golongan putih, 
Sutini?!" bantah Dampit. "Aku khawatir perbuatan 
kita ini akan membuat Guru murka." 

"Kau ini khawatir sekali, Dampit! Kalau kau 
takut tunggu saja di sini, Biar aku sendiri yang ke 
sana. Pokoknya tekadku telah bulat. Mungkin per- 
lu kuingatkan, Dampit. Kalau Pendekar Golok 
Sakti itu tidak bertindak pengecut dengan melari- 
kan diri sewaktu ayahku bertarung dengan Iblis 
Tangan Maut, ayahku pasti tidak akan tewas! Aku 
yakin Iblis Tangan Maut yang akan tewas. Sikap 
pengecutnya telah membuat ayahku tewas. Bu- 
kankah sudah sepantasnya kalau aku membuat 
perhitungan padanya?" 

Dampit terdiam beberapa saat lamanya 
mendengar penjelasan Sutini. Orang yang tengah 
dilanda amarah memang tidak, bisa disabarkan 
lagi. Tapi meski demikian, dia masih mencoba me- 
lunakkan hati Sutini. 

"Bukankah Guru bercerita kalau Pendekar 
Golok Sakti pun terpukul dengan kematian ayah- 
mu, Dewa Tangan Sepuluh? Bahkan melalui kerja 
sama dengan Guru, Pendekar Golok Sakti berhasil 
menewaskan Siluman Dari Neraka! Kurasa tidak 
pantas kalau kau menimpakan kesalahan kepa- 
danya atas tewasnya ayahmu." 

"Kalau begitu, biar aku pergi sendiri!" 

Sutini yang memiliki watak keras dan sudah 
terlalu dikuasai amarah segera melesat mening- 
galkan Dampit. Mau tidak mau pemuda berpa- 
kaian putih itu melesat mengejar untuk mendam- 
pingi Sutini. Dampit mencintai Sutini. Dia tidak 
ingin gadis itu terluka. Karena cintanya itulah dia 
rela mendampingi Sutini mencari orang-orang 
yang telah menewaskan Dewa Tangan Sepuluh. 

Dalam beberapa kali lesatan Sutini dan 
Dampit telah berada di depan pintu gerbang dari 
papan tebal yang tertutup dan tidak terjaga. Tam- 
pak tulisan besar dan jelas berbunyi 'Rumah Per- 
guruan Perisai Diri' tergantung di atas pintu ger- 
bang yang tingginya satu tombak. Tanpa menga- 
lami kesulitan sedikit pun, dengan gerakan indah 
sepasang muda-mudi itu melompat ke dalam dan 
mendarat tanpa suara. 

Tepat di hadapan Dampit dan Sutini tam- 
pak beberapa sosok tubuh telanjang dada tengah 
berlatih silat dengan penuh semangat. Mereka 
berdiri membelakangi kedua anak muda itu. Kare- 
na masuknya sepasang muda-mudi itu tanpa me- 
nimbulkan bunyi, orang-orang yang tengah berla- 
tih tidak mengetahuinya. Kecuali orang yang ber- 
tugas melatih mereka, karena kebetulan berdiri 
menghadap Sutini dan Dampit. 

Pelatih yang memiliki tubuh kekar dan ber- 
cambang lebat ini murid utama Rumah Perguruan 
Perisai Diri. Ia kelihatan terkejut bercampur heran 
melihat sepasang muda-mudi yang tidak dikenal- 
nya. Setelah memberi isyarat agar murid-muridnya 
tetap meneruskan latihan, dia mengayunkan kaki 
menghampiri Sutini dan Dampit. 

"Maaf, boleh kutahu siapa kalian?" tanya 
murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri. Ia ti- 
dak bisa menyembunyikan perasaan curiganya. 

"Lebih baik kau panggil ketuamu kemari! 
Katakan padanya, ada orang yang mencarinya 
dengan membawa urusan penting!" sahut Sutini, 
dingin. 

Murid utama itu mengernyitkan alis. Pera- 
saan tidak senang langsung menyeruak di hatinya 
melihat sikap Sutini yang memandang remeh di- 
rinya. Meskipun demikian, untuk menimbulkan 
kesan tuan rumah yang baik ditekannya perasaan 
itu. Malah, seulas senyum dipersembahkan! 

"Manusia tidak tahu diuntung!" desis Sutini. 
Matanya berkilat-kilat memancarkan kemarahan 
yang sangat. "Kuperingatkan sekali lagi padamu, 
Keparat! Sebelum kesabaranku hilang, cepat 
panggil gurumu kemari! Atau, kau akan melawat 
ke akherat! " 

Hebat bukan main akibat ucapan Sutini! 
Wajah murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri 
langsung berubah-ubah, sebentar pucat sebentar 
merah. Memang, lelaki bercambang lebat ini mur- 
ka sekali. Seumur hidupnya baru kali ini dia men- 
dapat perlakuan seperti itu. Bagaimana dia tidak 
naik darah? Dia telah berbicara baik-baik. Tapi, 
tanggapan yang diterimanya seperti ini. Sungguh 
menjengkelkan. 

"Mulutmu kasar dan tajam sekali, Wanita 
Liar! Perlu kau ketahui kalau di sini bukan hutan. 
Ini adalah markas Rumah Perguruan Perisai Diri. 
Jadi, kau tidak boleh sembarangan bertindak! Ada 
aturan yang harus kau ikuti, aturan Rumah Per- 
guruan Perisai Diri! Kalau kau tidak sudi menuruti 
peraturan ini, silakan keluar dari sini sebelum aku 
terpaksa mengusir kalian dengan kekerasan!" 

Lantang dan penuh wibawa murid utama 
Rumah Perguruan Perisai Diri mengucapkannya. 
Apalagi, sewaktu mengucapkan kalimat terakhir 
diiringi dengan tudingan jari telunjuknya ke pintu 
gerbang. 



Sutini adalah seorang gadis yang memiliki 
watak keras. Semakin keras orang bersikap terha- 
dapnya, semakin keras pula balasan yang diberi- 
kan. Apabila pada saat dia tengah tersinggung. Pe- 
nolakan tegas murid utama Rumah Perguruan Pe- 
risai Diri membuat Sutini naik pitam. 

Seketika itu pula, terdengar bunyi berkero- 
tokan keras seakan tulang-belulang di tubuh Suti- 
ni berpatahan. Padahal, dia tidak melakukan gera- 
kan apa pun. Semua itu terjadi karena tenaga da- 
lamnya bergolak dengan sendirinya! 

Begitu pula keadaan murid utama Rumah 
Perguruan Perisai Diri. Perasaan kaget yang sangat 
membayang jelas pada wajahnya. Saat itu pula 
disadari kalau Sutini bukan tokoh sembarangan. 
Dia pun segera bersikap waspada. Tanpa ragu- 
ragu lagi dirabanya gagang golok. 

Pada saat yang bersamaan, murid-murid 
Rumah Perguruan Perisai Diri yang tengah berlatih 
menghentikan latihannya. Mereka mengalihkan 
perhatian pada kakak seperguruannya yang ten- 
gah bersitegang dengan sepasang muda-mudi. Se- 
perti diberi perintah, dengan langkah perlahan ka- 
ki mereka diayunkan menghampiri tempat terja- 
dinya ketegangan itu. 

Sutini sudah tidak kuasa menahan kema- 
rahannya lagi. "Ingin kutahu, apakah tua bangka 
itu tetap tak mau keluar dari semadinya apabila 
semua muridnya kubinasakan!" desis gadis berpa- 
kaian merah itu penuh ancaman. 

"Auuumm...!" 

Suara auman laksana keluar dari mulut 
seekor harimau terdengar ketika Sutini membuka 
mulut. 

Kelihatannya sepele saja. Tapi akibatnya 
luar biasa! Seluruh murid-murid Rumah Pergu- 
ruan Perisai Diri, tak terkecuali lelaki bercambang 
lebat, merasakan betapa dada mereka terguncang 
hebat. Kedua lutut mereka langsung lemas. Tanpa 
dapat dicegah lagi mereka semua jatuh berlutut! 

Tentu saja kenyataan ini sangat menge- 
jutkan semua murid Rumah Perguruan Perisai Di- 
ri. Kini murid utama perguruan yang bercambang 
lebat itu tahu mengapa Sutini begitu berani ber- 
tindak kurang ajar. Kiranya, gadis berpakaian me- 
rah ini memiliki kepandaian tinggi. 

Sutini tersenyum mengejek melihat keadaan 
yang dialami lawan-lawannya. Dengan sorot mata 
penuh ancaman dihampirinya lelaki bercambang 
lebat. Dampit yang diam-diam tidak setuju dengan 
tindakan Sutini buru-buru menyentuh lengan ga- 
dis itu untuk menyabarkannya. Tapi Sutini mene- 
piskannya. 

"Mulutmu terlalu lancang, Monyet Hitam!" 
maki Sutini seenaknya ketika telah berada di dekat 
lelaki bercambang lebat. "Asal kau tahu saja, aku 
tidak pernah membiarkan orang meremehkan diri- 
ku. Bersiaplah menerima hukumannya!" 

Sutini menghentikan ucapannya. Diperhati- 
kannya wajah murid utama Rumah Perguruan Pe- 
risai Diri. Ingin dilihatnya lelaki bercambang lebat 
itu ketakutan karena ancamannya. Tapi harapan- 
nya sia-sia. Laki-laki bercambang lebat itu tetap 
berdiam diri. Tidak tampak adanya rasa takut se- 
dikit pun. Karuan saja kenyataan ini membuat Su- 
tini penasaran bukan main. 

"Rupanya kau pikir aku main-main, 
hehhh...?!" dengus Sutini, bengis. "Lihat baik-baik, 
aku akan meremas hingga hancur mulutmu yang 
kurang ajar itu!" 

Karena Sutini mempertunjukkannya sede- 
mikian rupa, mau tidak mau lelaki bercambang le- 
bat melihatnya juga. Sebuah tangan berjari-jari in- 
dah dengan kulit putih, halus, dan mulus. Terlihat 
menggiurkan! Tapi, lelaki bercambang lebat ini ta- 
hu nyawanya terancam bahaya tangan indah itu. 

Wuttt! 

Murid utama Rumah Perguruan Perisai Diri 
berhasil mengelakkan cengkeraman tangan kanan 
Sutini. Ia bergegas melompat ke belakang. Pera- 
saan ngeri mulai mencekam hati. Lawan benar- 
benar memiliki ilmu mengerikan. Sutini memiliki 
ilmu iblis! 

"Kau sudah melihatnya bukan? Asal kau 
tahu saja, aku akan merobek mulutmu yang lan- 
cang! Baru setelah itu kurobek-robek seluruh tu- 
buhmu!" ancam Sutini dengan suara yang mem- 
buat bulu kuduk merinding. 

Tanggapan atas ucapan Sutini adalah se- 
rangan tidak terduga-duga dari lelaki bercambang 
lebat. Ia mengayunkan goloknya ke perut Sutini. 
Inilah yang ditunggu murid utama Rumah Pergu- 
ruan Perisai Diri. Sudah terbayang di benaknya 
gadis berpakaian merah itu akan terjengkang ke 
belakang dengan perut robek lebar! 

Bukkk! Bukkk! 

"Ah!" 

Murid utama itu memekik kaget ketika 
mendapatkan kenyataan di luar perkiraannya. Di- 
lihat jelas betapa mata kedua goloknya dengan de- 
ras menghantam sasaran. Tapi tidak terdengar je- 
ritan menyayat Sutini, atau darah menyembur de- 
ras dari bagian yang terhantam ayunan golok. Ke- 
dua goloknya seperti menghantam benda kenyal. 
Serangan itu tidak membuahkan hasil. Sebaliknya, 
kedua tangannya terasa lumpuh karena ayunan 
kedua goloknya membalik. 

"Jangan kau kira akan semudah itu melu- 
kai Sutini, Anjing Buduk! Sekarang rasakan hu- 
kumanmu! Hih!" 

Sutini mengayunkan tangan kanan. Lelaki 
bercambang lebat yang melihat adanya ancaman 
berusaha sebisa-bisanya untuk mengelak. 

"Auuukh!" 

Jeritan menyayat hati terdengar. Tangan 
Sutini mengenai sasaran dengan tepat. Merobek 
kedua sisi mulut murid utama Rumah Perguruan 
Perisai Diri yang malang. 

"Hihihi..,!" 

Sutini tertawa mengikik. Ia sangat gembira 
melihat lelaki bercambang lebat berguling-gulingan 
di tanah seraya memegangi mulutnya yang robek 
lebar. Darah menyembur deras dari bagian yang 
terluka. 

Semua kejadian itu tak luput dari pandan- 
gan murid-murid Rumah Perguruan Perisai Diri. 
Rasa ngeri menjalari hati mereka. Sutini ternyata 
memiliki watak yang kejam. 

Meski demikian mereka tidak menjadi gen- 
tar. Bahkan sebaliknya, marah melihat kakak se- 
perguruannya menerima nasib seperti itu. Kalau 
saja mampu bergerak tentu sudah mereka terjang 
Sutini! 

Keinginan untuk menolong kakak sepergu- 
ruan mereka membuat murid-murid Rumah Per- 
guruan Perisai Diri berusaha membebaskan diri 
dari kungkungan rasa lemas. Mereka memusatkan 
perhatian untuk membangkitkan tenaga dalam. 

Sementara itu, masih dengan tawa terkekeh 
Sutini terus mengikuti lelaki bercambang lebat 
yang bergulingan karena rasa sakit. Ceceran darah 
membasahi tanah sepanjang tubuh murid utama 
itu berguling. 

Dampit yang sejak semula memang tidak 
setuju dengan tindakan Sutini sudah tidak tahan. 
Sutini memang tengah diamuk dendam. Tapi, 
mengapa orang yang tidak bersalah dijadikan kor- 
ban dengan demikian keji? 

"Hentikan permainanmu, Sutini! Maksud 
kedatangan kita adalah untuk mencari Pendekar 
Golok Sakti. Jangan kau kotori tanganmu dengan 
korban-korban yang tidak berdosa!" 

Tawa Sutini langsung terhenti. Semua ka- 
rena ucapan Dampit yang penuh teguran. Kepa- 
lanya ditolehkan menatap pemuda itu. 

"Tidak perlu kau mengajariku, Dampit! Aku 
mengetahuinya. Meskipun aku adik seperguruan- 
mu, tapi tidak berarti kau seenaknya saja mene- 
kan ku!" Terasa jelas nada ketidaksenangan dalam 
sambutan gadis berpakaian merah itu. 

Begitu ucapannya selesai, Sutini kembali 
mengalihkan perhatian pada lelaki bercambang le- 
bat. Tanah tergetar hebat ketika Sutini menghen- 
takkan kaki kanannya ke tanah. Tubuh murid 
utama Rumah Perguruan Perisai Diri yang tengah 
terguling-guling langsung terpental ke atas. Lonta- 
rannya mengarah ke tempat Sutini berada. 

Kejadian ini membuat murid utama itu ter- 
kejut bukan main, Tapi apa dayanya? Mana 
mungkin dia berbuat sesuatu di saat tubuhnya 
tengah berada di udara? Maka, yang dilakukannya 
adalah pasrah pada keadaan. 

Tiba-tiba, tubuh lelaki bercambang lebat 
yang tengah meluncur deras ke arah Sutini terhen- 
ti di udara, bagai ada kekuatan kasatmata yang 
menahannya. Sutini kaget. Sebelum dia sempat 
berbuat sesuatu, tubuh murid utama Rumah Per- 
guruan Perisai Diri melesat ke arah yang berlawa- 
nan dari arah semula. 

Sutini segera dapat menyimpulkan ada 
orang pandai yang ingin mengambil alih tubuh le- 
laki bercambang lebat. Gadis berpakaian merah ini 
menjulurkan kedua tangan untuk memaksa tubuh 
lelaki bercambang lebat mengikuti kemauannya, 
melesat ke arahnya. 

Tindakan Sutini membuat tubuh lelaki ber- 
cambang lebat yang telah meluncur deras ke arah 
yang berlawanan terhenti. Dan, perlahan-lahan 
meluncur kembali ke arah Sutini. Tubuh murid 
utama itu meluncur berganti-ganti. Terkadang 
menuju tempat di mana Sutini berada, tapi tak ja- 
rang ke tempat yang berlawanan. 

Empat tombak di depan Sutini, berdiri lelaki 
setengah baya. Ia berpakaian rompi putih. Berwa- 
jah tirus dengan rambut telah berwarna dua. Di- 
alah Pendekar Golok Sakti! Tokoh yang tengah di- 
cari Sutini ini berdiri dengan kedua tangan terjulur 
ke depan seperti halnya Sutini. 

Pertarungan tenaga dalam untuk mempere- 
butkan tubuh lelaki bercambang lebat akhirnya 
dimenangkan oleh Pendekar Golok Sakti. Secara 
perlahan namun pasti tubuh lelaki bercambang le- 
bat terus meluncur ke arah Pendekar Golok Sakti. 
Itu terjadi setelah pertarungan unik itu berlang- 
sung cukup lama. Wajah Sutini dan Pendekar Go- 
lok Sakti sampai dibanjiri peluh. 

Menyadari keunggulan Pendekar Golok Sak- 
ti, Sutini segera menghentikan penyaluran tenaga 
dalamnya. Kemudian, ia melompat ke atas mema- 
tahkan kekuatan tarikan tenaga lawan. Sutini ber- 
salto beberapa kali di udara untuk kemudian men- 
jejak tanah dengan mantap. 

"Siapa kalian? Mengapa melakukan tinda- 
kan keji seperti ini?" tanya Pendekar Golok Sakti, 
setelah meletakkan tubuh lelaki bercambang lebat 
yang pingsan karena tak kuat menjadi sasaran 
pertarungan tenaga dalam. 

"Karena mereka tidak mau memenuhi per- 
mintaan kami untuk memanggil dirimu! Bukankah 
kau orang yang berjuluk Pendekar Golok Sakti 
yang pengecut itu?!" jawab Sutini langsung pada 
sasaran. Ia merasa yakin sosok yang berdiri di ha- 
dapannya itu adalah Pendekar Golok Sakti. 

"Dugaanmu memang tidak salah, Nona Mu- 
da," Pendekar Golok Sakti mengangguk. "Aku me- 
mang orang yang kau maksudkan itu. Sekarang 
aku sudah berada di hadapanmu. Cepat katakan 
maksudmu! Dan, apa artinya ucapanmu yang me- 
ngatakan aku seorang pengecut! Jelaskan sebelum 
aku terpaksa bertindak kasar kepadamu atas ke- 
lancanganmu!" 

Sutini yang diamuk dendam atas kematian 
ayahnya dan menganggap Pendekar Golok Sakti 
sebagai salah satu dari orang-orang yang harus 
dibunuhnya, semakin meluap amarahnya men- 
dengar ancaman itu. 

"Gagah nian ucapanmu, Pendekar Golok 
Sakti! Kalau saja aku tidak mengenalmu lebih du- 
lu, tentu aku akan menganggapmu sebagai orang 
yang berjiwa jantan. Sayang..., karena aku telah 
lebih dulu mengenal watakmu yang pengecut, ti- 
puanmu tidak akan mempan terhadapku!" sambut 
Sutini penuh ejekan dan sikap merendahkan. 

"Apa maksudmu, Nona Bermulut Tajam! 
Dua kali berkata kau telah dua kali pula memaki- 
ku pengecut! Kalau sekarang kau tidak menje- 
laskan mengapa bertindak seperti itu, jangan sa- 
lahkan jika aku melupakan kalau kau seorang 
wanita muda!" Nada suara Pendekar Golok Sakti 
semakin meningkat. 

"Kau memang seorang pengecut! Kau tidak 
pantas mendapat gelar Pendekar Golok Sakti. 
Orang seperti kau harusnya memakai julukan 
Pendekar Golok Tumpul. Apa artinya julukan pen- 
dekar kalau kau pergi meninggalkan kawanmu di 
waktu kau bertemu dengan lawan yang berat se- 
perti Iblis Tangan Maut?!" tandas Sutini bertubi- 
tubi dengan nada tinggi. 

Wajah Pendekar Golok Sakti yang semula 
merah padam karena amarah yang bergelora men- 
dengar kalimat demi kalimat yang diucapkan Suti- 
ni, mendadak berganti dengan keterkejutan yang 
sangat ketika mendengar kalimat terakhir itu. 

"A... apa maksudmu...?!" tanya Pendekar 
Golok Sakti dengan suara bergetar. 

"Tidak usah berpura-pura bodoh! Bukankah 
kau meninggalkan Dewa Tangan Sepuluh ketika 
menghadapi Iblis Tangan Maut, hingga pendekar 
yang perkasa itu tewas? Coba sangkal kalau kau 
berani!" 

"Apa hubungannya denganmu?!" sentak 
Pendekar Golok Sakti sengit setelah beberapa saat 
lamanya tercenung. 

"Dia adalah ayahku, Pengecut! Dan, keda- 
tanganku kemari untuk membunuhmu karena 
kau yang telah menyebabkan ayahku tewas!" 

"Ah...!" 

Pendekar Golok Sakti mendesah kaget. Dia 
tahu Dewa Tangan Sepuluh mempunyai seorang 
putri. Tapi, sungguh tidak disangkanya kalau ke- 
turunan pendekar itu akan membalas dendam. 

"Kau keliru! Yang membunuh ayahmu ada- 
lah Iblis Tangan Maut!" 

"Benar! Tapi kau pun terlibat. Kalau kau ti- 
dak secara pengecut melarikan diri, ayahku tidak 
akan tewas. Sekarang kau harus pergi ke alam ba- 
ka untuk menemui ayahku dan mendapat balasan 
darinya di sana!" 

Tanpa menunggu lebih lama, Sutini lang- 
sung mencabut pedang dan memutarnya sejenak 
hingga bentuknya lenyap. Lalu, dengan diawali te- 
riakan melengking nyaring ia melompat menerjang 
Pendekar Golok Sakti dengan serangan-serangan 
maut. 

Pendekar Golok Sakti sadar betul Sutini ti- 
dak bisa dicegah lagi. Tidak ada jalan lain untuk 
menyelamatkan diri kecuali melakukan perlawa- 
nan. Apalagi ketika Ketua Rumah Perguruan Peri- 
sai Diri ini melihat kedahsyatan serangan gadis 
berpakaian merah itu. Tanpa ragu-ragu lagi, go- 
loknya dicabut untuk menyambuti serangan Suti- 
ni. Hingga, kedua orang ini terlibat pertarungan 
sengit. 

Namun, betapapun Sutini mengerahkan se- 
luruh kemampuannya, tetap terbukti kalau Pen- 
dekar Golok Sakti terlalu kuat. Semua serangan- 
nya kandas. Sebaliknya, setiap serangan Pendekar 
Golok Sakti mampu membuatnya kelabakan. Tak 
sampai tiga puluh jurus Sutini telah terdesak he- 
bat. 

Melihat kenyataan ini Dampit pun tidak 
tinggal diam. Meski tidak setuju dengan niat Suti- 
ni, pemuda berpakaian putih ini tidak ingin Sutini 
celaka atau tewas! Dampit mencabut pedang dan 
terjun ke dalam kancah pertarungan. 

Ikut campurnya Dampit langsung mengu- 
bah jalannya pertarungan. Sutini tidak terdesak 
lagi. Malah, sepuluh jurus kemudian Pendekar Go- 
lok Sakti mulai terdesak. Semakin lama keadaan 
Ketua Rumah Perguruan Perisai Diri semakin 
mengkhawatirkan. 

Pendekar Golok Sakti mengeluh dalam hati. 
Sutini dan Dampit tidak mungkin bisa ditanggu- 
langi. Terjunnya Dampit membuat keadaan beru- 
bah drastis. Dampit dan Sutini mampu melakukan 
kerja sama yang baik. Permainan pedang kedua- 
nya saling melengkapi, membuat pertahanan se- 
makin kuat dan menjadikan serangan-serangan 
semakin dahsyat. 

"Ah...!" 

Pendekar Golok Sakti menjerit tertahan ke- 
tika goloknya yang menangkis serangan Dampit ti- 


dak bisa ditarik kembali. Menempel! Rupanya, pe- 
muda berpakaian putih itu mengerahkan tenaga 
dalam untuk membuat senjatanya melekat dengan 
golok lawan. 

Sebelum Pendekar Golok Sakti mengerah- 
kan tenaga dalam untuk melepaskan senjatanya, 
Sutini telah datang menerjang dengan tusukan 
pedang ke arah leher! 

Wajah Pendekar Golok Sakti seketika pucat 
pasi! Namun, secara mengejutkan sesosok bayan- 
gan melesat ke dalam kancah pertarungan. 

Tringng! 

Pedang Sutini terpental balik. Sosok bayan- 
gan itu telah menyentilnya dengan telunjuk hingga 
menimbulkan bunyi berdenting nyaring. Pada saat 
yang bersamaan, Pendekar Golok Sakti dengan 
menggunakan kelebihan tenaga dalamnya berhasil 
melepaskan tempelan pedang Dampit. 

Kesempatan itu dipergunakan sebaik- 
baiknya oleh Pendekar Golok Sakti untuk melom- 
pat ke belakang menghindari serangan susulan. 
Padahal, tindakan itu sebenarnya tidak perlu. Su- 
tini tengah terhuyung-huyung akibat sentilan so- 
sok bayangan. Sentilan yang membuat sekujur 
tangan Sutini tergetar hebat. 


"Guru...!" 

Sutini yang semula siap mengirimkan se- 
rangan langsung lemas sekujur tubuhnya ketika 
melihat sosok yang menangkis serangannya. Dam- 
pit pun menatap dengan wajah pucat dan sinar 
mata gelisah. 

Sosok yang disapa Sutini sebagai guru ada- 
lah seorang kakek kecil kurus. Usianya tak kurang 
dari tujuh puluh tahun. Ia masih terlihat gagah 
karena sebaris kumis melintang di bawah hidung- 
nya. Kumis yang telah memutih. 

Kakek kecil kurus itu menatap Sutini dan 
Dampit berganti-ganti dengan sinar mata penuh 
teguran. Ada bayangan kemarahan pada wajah- 
nya. 

'Apa arti tindakanmu ini, Sutini? Dampit?" 
tanya kakek kecil kurus penuh wibawa. 

Sutini rupanya hanya garang pada orang- 
orang lain saja. Terhadap gurunya gadis ini takut 
bukan main. Begitu mendapat pertanyaan itu, dia 
malah menatap Dampit. Sinar matanya meminta 
tolong pada pemuda itu untuk mewakilinya berha- 
dapan dengan gurunya. 

Belum sempat Dampit memberikan jawa- 
ban. 

Pendekar Golok Sakti telah terlebih dulu 
tertawa bergelak. 

"Tidak usah terlalu tegang, Malaikat Tong- 
kat! Tidak ada urusan yang berarti antara kami. 
Hanya..., yahhh.... Sekadar latihan saja. Mereka 
datang dan meminta pelajaran dariku. Murid- 
muridmu ternyata hebat, Malaikat Tongkat. Ham- 
pir saja nyawa tuaku ini melayang. Aku kewalahan 
menghadapi mereka." 

"Jangan membela mereka, Pendekar Golok 
Sakti!" tandas Malaikat Tongkat tegas. "Aku tidak 
buta untuk bisa melihat adanya permusuhan dan 
ingin saling membunuh dalam serangan-serangan 
kalian. Tidak usah kau berdusta! Sutini, jawab 
yang benar. Bukankah kau datang hendak mem- 
bunuh Pendekar Golok Sakti?!" 

Dengan wajah pucat pasi Sutini mengang- 
guk. 

"Guru..., Sutini tidak...." 

"Diam! Aku tidak bertanya padamu!" Sema- 
kin keras teriakan Malaikat Tongkat. 

Dampit menundukkan kepala dengan wajah 
merah padam karena takut dan malu. 

"Kalian benar-benar mengecewakan aku! 
Terutama kau, Dampit! Kau sebagai kakak pergu- 
ruan seharusnya dapat membimbing Sutini agar 
tidak terjerumus ke jalan yang sesat. Tak usah ka- 
lian jawab, aku tahu mengapa kamu berdua bera- 
da di sini. Sutini menimpakan kesalahan atas ke- 
matian ayahnya kepada Pendekar Golok Sakti. Dia 
datang untuk membuat perhitungan. Bocah ini 
memang terlalu diamuk dendam. Sudah berkali- 
kali kukatakan kalau Pendekar Golok Sakti tidak 
tahu-menahu dengan kematian Dewa Tangan Se- 
puluh! Perlu kau ketahui, Sutini, Pendekar Golok 
Sakti sama sekali tidak bersikap pengecut. Dia 
pergi meninggalkan ayahmu dengan hati berat. Itu 
pun atas desakan ayahmu sendiri. Ayahmu 
mengkhawatirkan keselamatanmu, putrinya. Pen- 
dekar Golok Sakti ini yang membawamu kepadaku 
untuk dijadikan murid kemudian dia merantau 
untuk mencari Iblis Tangan Maut guna mengadu 
nyawa. Tapi, tokoh itu telah lenyap bagai ditelan 
bumi. Pendekar Golok Sakti pun putus asa. Dia la- 
lu tinggal di sini dan mendirikan perguruan. Sam- 
pai akhirnya kau datang dengan maksud burukmu 
itu! Untung saja aku segera tiba dan menolongnya 
pada saat yang tepat. Kalau tidak, mungkin kau 
akan menyesali peristiwa ini se-umur hidup!" 

Sutini mengangkat wajahnya yang sejak ta- 
di ditundukkan. Air mata mengalir membasahi pipi 
gadis berhati keras ini. Air mata penyesalan. Sutini 
percaya sepenuhnya dengan cerita gurunya. Kakek 
itu tidak pernah berbohong. 

"Perlu kau ketahui, Sutini." Malaikat Tong- 
kat menyambung ucapannya dengan suara yang 
semakin melunak. "Ibumu terguncang batinnya 
mendengar kabar kematian ayahmu. Karena gun- 
cangan batin itu, ibumu tidak mau menerima ke- 
nyataan kalau tewasnya ayahmu bukan karena 
kesalahan Pendekar Golok Sakti. Sayangnya, kau 
menelan mentah-mentah cerita yang diberikan 
ibumu sebelum beliau meninggal. Kau tidak per- 
nah mau menanyakan padaku. Untung saja aku 
datang kemari, karena ada sesuatu masalah." 

Sutini tidak bisa menahan rasa bersalah- 
nya. Ditubruknya kaki Pendekar Golok Sakti dan 
Malaikat Tongkat. Dengan terputus-putus gadis ini 
mengutarakan penyesalannya. 

Kedua kakek yang berteman baik itu men- 
gusap-usap rambut Sutini. Dampit hanya me- 
nyaksikan dengan hati terharu. Diam-diam dia 
merasa bersyukur gurunya telah datang. 

"Sudahlah, Sutini," hibur Malaikat Tongkat. 

"Lebih baik kau beristirahat. Kau terlalu lelah. 
Dampit, ajak Sutini beristirahat." 

Tanpa banyak cakap Dampit segera mem- 
bawa Sutini ke dalam. Sutini tidak membantah. 
Sedangkan Malaikat Tongkat menghampiri Pende- 
kar Golok Sakti. 

"Masalah apa yang membawamu datang 
kemari, Malaikat Tongkat?" tanya Pendekar Golok 
Sakti. 

"Masalah besar kurasa. Aku yakin peristiwa 
ini ada hubungannya dengan kejadian puluhan 
tahun lalu. Tentang datuk kaum hitam yang terso- 
hor itu." 

"Iblis Tangan Maut?" tanya Pendekar Golok 
Sakti dengan suara bergetar. 

Malaikat Tongkat menggeleng. Seketika wa- 
jah Pendekar Golok Sakti yang semula sudah pu- 
cat ketika mengajukan dugaan mengenai Iblis 
Tangan Maut, semakin bertambah pucat. 

"Siluman Dari Neraka...," terka Ketua Per- 
guruan Perisai Diri ini. 

"Benar. Aku yakin datuk sesat Itu muncul 
kembali ke dunia persilatan. Entah dengan cara 
bagaimana, yang jelas tokoh ini berhasil selamat" 

"Kau bertemu dengannya?" tanya Pendekar 
Golok Sakti tanpa bisa menyembunyikan rasa gen- 
tarnya. 

"Tidak. Aku hanya menemukan bekasnya. 
Gajah Cilik Berkepala Baja tewas dengan ciri-ciri 
seperti yang biasa diketemukan pada korban- 
korban Siluman Dari Neraka. Karena itulah aku 
segera datang ke sini karena khawatir kau disatro- 
ninya. Bukankah kau juga terlibat atas peristiwa 
yang menimpa Siluman Dari Neraka? Ingat, kau 
yang menjadi pemberitahu kalau siluman itu akan 
bertarung dengan Iblis Tangan Maut sehingga aku 
dan Gajah Cilik bisa memanfaatkan kesempatan 
itu untuk melenyapkannya. Aku yakin dia akan 
membalas dendam terhadapmu juga!" 

"Cerdik sekali...! Dari dulu kau memang 
cerdik...! Ha ha ha...!" 

Teriakan keras menggelegar membuat Ma- 
laikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti menga- 
lihkan perhatian. Wajah kedua tokoh golongan pu- 
tih ini berubah hebat. Mereka bisa menduga siapa 
yang telah mengeluarkan seruan itu. 

•kick 

Di atas pagar kayu bulat yang mengelilingi 
Rumah Perguruan Perisai Diri tampak bertengger 
sesosok tubuh berpakaian merah dalam keadaan 
yang menakjubkan. 

Kakek itu berdiri di atas pagar kayu bulat 
dengan tidak menggunakan kakinya. Tapi, dengan 
rambutnya yang panjang! Rambut itu menegang 
kaku seperti tongkat! 

"Selamat berjumpa lagi, Malaikat Tongkat 
Apa kabarmu? Baik-baik saja, bukan? Sayang, Ga- 
jah Cilik Berkepala Baja tidak demikian. Keadaan- 
nya sangat mengenaskan," ujar kakek itu. 

"Tidak usah bersilat lidah, Siluman Dari Ne- 
raka! Katakan saja kalau kau yang telah membu- 
nuhnya!" sentak Malaikat Tongkat seraya menga- 
mang-amangkan tongkat di tangan kanannya. 

"Syukur kalau kau mengetahuinya, Malai- 
kat Tongkat. Kurasa, kau dan Pendekar Golok 
Sakti tahu alasannya. Kalian telah menyebabkan 
aku terkurung bertahun-tahun di dasar lubang 
itu. Lubang yang amat dalam. Untung saja dasar- 
nya air sehingga aku bisa selamat. Selama berta- 
hun-tahun kutelusuri tempat itu untuk mencari 
jalan keluar. Sampai akhirnya jalan tembus ke 
dunia luar kutemukan. Pembalasan dendamku 
pun akan segera terlaksana! Ha ha ha...!" 

"Atau kau yang akan mati untuk selamanya 
di sini!" 

Malaikat Tongkat langsung menerjang- 
Siluman Dari Neraka. Tongkatnya yang besar dan 
berat dibabatkan ke kepala kakek berpakaian me- 
rah. Tapi hanya dengan menggerakkan rambutnya 
Siluman Dari Neraka berhasil mengelakkan seran- 
gan itu. Kakek itu melesat dari tempatnya dan 
mendarat di tanah dengan kedua kaki. 

Malaikat Tongkat yang geram melihat se- 
rangannya berhasil dikandaskan segera meluruk 
dengan putaran tongkatnya yang mengeluarkan 
bunyi menderu keras. Tapi, Siluman Dari Neraka 
berdiri dengan tenang. Kedua tangannya diseda- 
kapkan di depan dada. 

Ketika tongkat lawan hampir meremukkan 
dadanya, Siluman Dari Neraka baru melakukan 
tindakan. Rambutnya bagaikan hidup, bergerak 
menyambuti tongkat. Bahkan, rambut itu terpisah 
menjadi dua kelompok. Yang kiri dengan cepat 
menangkis tongkat dan melibatnya. Sedangkan 
yang kanan menotok ke arah leher. Serangan 
maut! 

Pendekar Golok Sakti tidak tinggal diam. 
Goloknya segera dicabut dan diayunkan ke rambut 
yang tengah meluncur ke arah leher. 

Trakkk! 

Seperti juga Malaikat Tongkat, Pendekar 
Golok Sakti menerima kejadian yang mengejutkan. 
Begitu tertangkis golok, rambut itu melemas. Ke- 
mudian, bagaikan hidup dengan cepat melilit ba- 
tang golok. 

Pendekar Golok Sakti mengerahkan kekua- 
tan untuk menarik. Kalau goloknya tidak berhasil 
dibebaskan merupakan hal yang tidak mungkin, 
demikian pendapat kakek ini. Mustahil rambut 
mampu bertahan terhadap tajamnya golok. Tari- 
kan pada golok akan membuat rambut seperti di- 
potong. 

Tapi, Pendekar Golok Sakti harus menelan 
kenyataan pahit. Golok pusakanya ternyata tidak 
mampu memutuskan rambut Siluman Dari Nera- 
ka. Rambut itu seperti terbuat dari bahan yang 
alot dan tidak bisa diputuskan. 

Belum hilang rasa kaget Malaikat Tongkat 
dan Pendekar Golok Sakti, keduanya dikejutkan 
lagi dengan mengalirnya tenaga dalam mereka. Te- 
naga itu bagai disedot Siluman Dari Neraka mela- 
lui rambutnya yang melibat tongkat dan golok. 

Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti 
berusaha keras mencegah mengalirnya tenaga me- 
reka. Namun, keduanya tak berdaya sama sekali. 
Kedua kakek ini pun berubah pikiran. Tidak ada 
jalan lain kecuali melepaskan senjata. Meski bagai 
seorang ahli silat senjata merupakan nyawa ke- 
dua, tapi Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok 
Sakti tidak memiliki pilihan lain. 

Dapat dibayangkan betapa kagetnya mereka 
ketika mengetahui tangan keduanya menempel 
dengan senjata, sehingga tidak dapat dilepaskan. 
Pucat pasi wajah kedua kakek ini. Tidak ada hal 
lain yang dapat mereka lakukan kecuali menunggu 
mati lemas kehabisan tenaga dalam! Entah ilmu 
apa yang dipergunakan Siluman Dari Neraka se- 
hingga mampu menyedot tenaga dalam lawan. 

Siluman Dari Neraka baru melepaskan beli- 
tan rambutnya ketika Malaikat Tongkat dan Pen- 
dekar Golok Sakti sudah tidak mampu berdiri lagi. 
Tubuh kedua kakek itu sangat lemas. Wajah me- 
reka pucat seperti tidak berdarah. Butiran-butiran 
peluh sebesar kacang membasahi sekujur tubuh. 

Wajah Siluman Dari Neraka merah padam. 
Kakek ini telah menyedot banyak tenaga dalam. 
Beruntung tingkat kepandaiannya tinggi dan ke- 
kuatan tenaga dalamnya luar biasa, sehingga te- 
naga dalam yang berhasil disedot dapat diarahkan 
ke pusar. Kalau tidak, tenaga dalam yang masih 
liar itu akan berkeliaran ke sana kemari dan me- 
nyebabkan urat-urat sarafnya pecah! 

"Kalian akan mengalami kematian seperti 
halnya Gajah Cilik!" 

Untuk kesekian kalinya rambut Siluman 
Dari Neraka terpecah menjadi dua gumpalan. Bak 
ular gumpalan rambut itu meluncur ke arah Ma- 
laikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti yang ber- 
diri dengan kedua lutut. 

Tukkk, tukkk 

Begitu kedua gumpalan rambut menotok 
tubuh Malaikat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti, 
kedua kakek ini langsung menjerit tertahan. Jeri- 
tan yang keluar tanpa dapat mereka tahan. Kedu- 
anya menggelepar-gelepar bagai ayam disembelih! 

Saat itulah Karina dan Dampit keluar dari 
salah satu bangunan yang mereka jadikan tempat 
beristirahat. Wajah muda-mudi ini berubah hebat 
melihat kejadian yang dialami Malaikat Tongkat 
dan Pendekar Golok Sakti. 

"Iblis Keji...!" 

Sutini yang memiliki watak keras tanpa pi- 
kir panjang menerjang Siluman Dari Neraka seraya 
menusukkan pedangnya. Jarak antara mereka ki- 
ra-kira enam tombak, tapi Sutini bermaksud me- 
lancarkan serangan dengan satu terjangan. 

Berbeda dengan Sutini, Dampit lebih berha- 
ti-hati. Apalagi setelah mengalami kejadian demi 
kejadian yang menimpanya. Kalau gurunya dan 
Pendekar Golok Sakti bisa diperlakukan seperti 
itu, dapat diperkirakan betapa tinggi kemampuan 
kakek berpakaian merah! Jadi, Sutini hanya men- 
cari penyakit dengan tindakannya yang ceroboh 
itu. 

"Sutini...! Tahan...!" 

Hanya itu yang bisa diserukan Dampit. Pe- 
muda ini tidak sempat lagi bertindak untuk men- 
cegah. Tubuh Sutini telah cukup jauh melayang. 
Mengejar pun percuma saja. 

Siluman Dari Neraka mendengus. Dengan 
gerakan sambil lalu, seperti orang mengusir lalat, 
tangan kanannya dikibaskan. Serangkum angin 
berhawa panas meluncur ke arah Sutini. 

Tidak hanya Sutini. Dampit pun pias wa- 
jahnya. Dia melihat maut mengancam Sutini. Ti- 
dak ada yang bisa dilakukannya. Mencoba untuk 
menolong pun sia-sia karena gerakannya kalah 
cepat dan kalah lebih dulu. 

Di saat yang mengkhawatirkan itu, sesosok 
bayangan ungu dengan kecepatan menakjubkan 
melesat menubruk tubuh Sutini. Luncuran tubuh 
gadis berpakaian merah itu dipotong dari samping. 

Tubuh Sutini dan sosok bayangan ungu 
yang tidak lain Aiya terguling-guling di tanah. 
Dan, terhenti dengan kedudukan sosok bayangan 
ungu berada di atas. Tubuh Sutini berada di ba- 
wah. Dada mereka saling bersentuhan. 

Karuan saja Arya maupun Sutini jadi salah 
tingkah. Hal itu justru membuat mereka tidak se- 
gera bangkit berdiri, tapi malah berdiam diri den- 
gan saling bertatapan. 

Geraman Siluman Dari Neraka membuat 
sepasang muda-mudi ini tersadar. Hampir bersa- 
maan dengan Aiya melentingkan tubuh ke bela- 
kang, Sutini menggulingkan tubuhnya ke samping. 
Wajah keduanya memerah karena malu ketika te- 
lah berhasil berdiri. 

Di tempat lain, Dampit dan Karina menatap 
kejadian itu dengan mata berapi. Ada rasa tidak 
enak dan iri melihat kejadian itu. Karina menatap 
Sutini dengan sorot mata tajam. Sedangkan Dam- 
pit mengepalkan tinjunya seraya menatap sosok 
berpakaian ungu. 

"Kita bertemu lagi, Pemuda Sombong! Seka- 
rang kupenuhi janjiku. Kau akan kubunuh!" seru 
Siluman Dari Neraka. 

Arya tidak menyambuti ucapan Siluman 
Dari Neraka. Dia masih bingung melihat kemajuan 
hebat kakek berpakaian merah. Sambaran angin 
pukulan Siluman Dari Neraka yang tadi lewat se- 
dikit di atas tubuhnya, dirasakan kuat bukan 
main. Jauh lebih kuat dari pukulan jarak jauh 
yang ditangkis Dewa Arak waktu pertama kali ber- 
temu tokoh sesat itu. Ataukah kakek ini pada saat 
itu tidak mengerahkan tenaga seluruhnya?" tanya 
Arya dalam hati. 

Pemuda berambut putih keperakan ini tidak 
tahu kalau tenaga dalam Siluman Dari Neraka ber- 
tambah dengan pesat karena baru saja merampas 
tenaga dalam Malaikat Tongkat dan Pendekar Go- 
lok Sakti. Tambahan dua tenaga dalam itu tentu 
saja membuat tenaga dalam kakek berpakaian me- 
rah ini semakin berlipat ganda. 

Siluman Dari Neraka rupanya sudah tidak 
sabar lagi untuk segera bertarung dengan Dewa 
Arak. Sambil mengeluarkan geraman yang mem- 
buat tempat itu bergetar hebat, ia melompat me- 
nerjang Dewa Arak. Arya pun menyambutinya 
dengan menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'. 

Pertarungan antara dua tokoh itu berlang- 
sung seru. Tapi, hanya terjadi beberapa belas ju- 
rus saja. Pertarungan berlangsung tidak seimbang. 
Dewa Arak senantiasa didesak dan dikejar-kejar. 
Dengan kekuatan tenaga dalamnya yang telah me- 
ningkat, Siluman Dari Neraka memaksa Dewa 
Arak mengadu tenaga. Pemuda berambut putih 
keperakan itu terus menghindar. Beruntung Arya 
mempunyai jurus 'Delapan Langkah Belalang'. Ka- 
lau tidak, sudah sejak tadi serangan Siluman Dari 
Neraka mendarat di tubuhnya. Gerakan kakek itu 
cepat bukan main. Jauh di atas kecepatan gerak 
Aiya! 

Dewa Arak benar-benar takjub dan kagum. 
Harus diakui untuk kesekian kalinya dia menda- 
pat lawan yang amat tangguh. Ilmu 'Belalang Sak- 
ti' menyebabkan dia tidak segera roboh. 

Akhirnya, apa yang ditakutkan Dewa Arak 
terjadi juga. Kecepatan gerak Siluman Dari Neraka 
membuatnya tidak sempat mengelakkan serangan 
di jurus kelima puluh. Tidak ada jalan lain bagi 
pemuda berambut putih keperakan itu kecuali me- 
nangkisnya. Karena tenaga dalam lawan berada 
jauh di atasnya, Dewa Arak menggunakan tenaga 
pelan ketika menangkis. 

"Uh!” 

Dewa Arak mengeluarkan keluhan tertahan. 
Tangannya yang berbenturan dengan tangan Si- 
luman Dari Neraka melekat. Belum juga hilang pe- 
rasaan kagetnya, tenaga dalamnya dirasakan 
mengalir melalui tangan yang bersentuhan. Arya 
segera menyadari lawan menggunakan ilmu aneh 
untuk mencuri tenaga dalamnya. 

Dewa Arak tidak mau itu terjadi. Segera di- 
hentikannya aliran tenaga dalamnya. Tapi ternyata 
tidak berhasil. Tenaga dalamnya tetap tersedot Si- 
luman Dari Neraka. Wajah Aiya seketika pias. Pe- 
muda ini tahu apa yang terjadi padanya. Dia akan 
mati lemas! 

"Petualanganmu sudah berakhir, Rataksa. 
Kau harus kembali ke Penjara Langit!" 

Ucapan keras itu terdengar di saat Dewa 
Arak mulai merasa lemas. 

Akibat seruan itu sungguh hebat! Siluman 
Dari Neraka tersentak kaget dan terjingkat ke be- 
lakang. Tindakannya terhadap Arya langsung di- 
hentikan. 

Wajah Siluman Dari Neraka bertambah pias 
ketika melihat sosok bertopeng kayu yang menge- 
nakan pakaian dari kulit ular emas. Pakaian itu 
adalah pakaian utusan Penjara Langit. Siapa pun 
yang mengenakannya berkuasa penuh untuk ber- 
tindak apa saja terhadap orang yang diburunya. 

Siluman Dari Neraka hampir tidak percaya 
dengan apa yang dilihatnya. Sepengetahuannya, 
pakaian itu disimpan dalam sebuah kotak baja 
yang tidak bisa dibuka dengan alat apa pun, kecu- 
ali Golok Baja Hitam! Tapi kenyataannya? Siluman 
Dari Neraka tidak tahu kalau sosok bertopeng 
kayu ini salah satu dari dua orang bertopeng yang 
menyatroni Iblis Tangan Maut. Mereka telah men- 
gambil Golok Baja Hitam. Dengan golok itu kunci 
kotak baja yang menyimpan pakaian dipatahkan. 
Karena pakaian itu hanya satu, maka yang menca- 
ri Siluman Dari Neraka hanya satu orang! 

Siluman Dari Neraka yang sudah gentar 
mendapatkan kembali keberaniannya. Ia teringat 
kalau selama puluhan tahun ini telah melatih il- 
munya. Dan, dia yakin telah mencapai tingkat 
sempurna. Belum tentu petugas dari Penjara Lan- 
git ini akan mampu mengalahkannya. Apalagi dia 
telah berhasil mendapatkan ilmu untuk menyedot 
tenaga dalam orang lain. Mana mungkin dia bisa 
dikalahkan. "Kaulah yang akan kubunuh di sini!" 
Siluman Dari Neraka melompat dengan kedua tan- 
gan dihentakkan. Deru angin keras mengiringi ter- 
j angannya. Batu-batu kecil dan debu beterbangan 
di udara. Namun, sosok bertopeng kayu tetap ti- 
dak bergeming. 

Orang-orang yang berada di tempat itu, 
termasuk Aiya, sampai terbelalak kaget dan me- 
nahan napas melihat sikap sosok bertopeng kayu. 
Dewa Arak mengetahui benar betapa dahsyatnya 
serangan Siluman Dari Neraka. 

Tiba-tiba, satu tombak sebelum kedua tan- 
gannya mendarat di sasaran, Siluman Dari Neraka 
mengeluarkan-jeritan menyayat. Tubuhnya terpen- 
tal balik ke belakang seperti membentur dinding 
tak nampak. Dari mulut, hidung, dan telinganya 
mengalir darah segar. 

Setelah melayang-layang beberapa tombak, 
tubuh kakek berpakaian merah itu ambruk di ta- 
nah dan diam tidak bergerak lagi. Mati. Dengan 
tenang sosok bertopeng kayu menyambar tubuh 
itu dan melesat pergi, tanpa bicara apa pun pada 
orang-orang yang berada di tempat itu. 

Tidak ada seorang pun yang mengejar. Me- 
reka masih terlalu kaget melihat betapa mudahnya 
sosok bertopeng kayu menewaskan Siluman Dari 
Neraka. Teka-teki bersarang di benak mereka ten- 
tang cara sosok bertopeng kayu membunuh Silu- 
man Dari Neraka. 

Jeritan tertahan Malaikat Tongkat dan Pen- 
dekar Golok Sakti menyadarkan Sutini dan Dam- 
pit. Mereka memburu ke arah kedua kakek itu. 
Sesaat kemudian, tangis Sutini pun pecah. Malai- 
kat Tongkat dan Pendekar Golok Sakti tewas den- 
gan cara mengerikan. Sekujur tubuh mereka 
menghitam. 

Di saat sepasang muda-mudi ini dan Karina 
memperhatikan kedua mayat itu dengan perasaan 
ngeri, Dewa Arak melangkah pergi. Pemuda be- 
rambut putih keperakan ini mengetahui sosok ber- 
topeng menggunakan ilmu gaib! Ilmu yang hanya 
bisa dipergunakan untuk bertahan. Setiap orang 
yang menyerang, maka serangan itu akan memba- 
lik mengenai dirinya sendiri. Ilmu 'Kontak' demi- 
kian namanya. Itulah ilmu yang dipergunakan so- 
sok bertopeng kayu. 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Sengketa Guci Pusaka