Dewa Arak 69 - Peti Bertuah


"Hhh...!" 

Satu helaan berat keluar dari mulut sesosok bertubuh sedang, di 
sebuah ruangan luas dalam sebuah goa. Dengan langkah tertatih-tatih karena 
memang telah termakan usia, sosok itu mondar-mandir di mangan yang 
cukup pengap ini. Wajahnya menunduk dengan tangan kiri mengelus-elus 
dagu. Agaknya, dia tengah berpikir keras. 

"Aku yakin ada sesuatu yang aneh.... Sesuatu mengerikan, yang 
mungkin akan teijadi. Benar! Aku yakin...," desah sosok yang ternyata 
seorang laki-laki tua beijubah putih. 

Kini kakek itu berdiri diam dengan sikap tubuh agak miring. 
Memang kaki kirinya sampai sebatas pangkal paha sudah tidak ada lagi, dan 
diganti sebatang tongkat besi yang ditekankan ke tanah dengan tangan kiri. 

Usia kakek ini tidak kurang dari tujuh puluh lima lahun. Meski tidak 
memiliki kumis atau jenggot, tapi semua rambutnya yang panjang terurai 
telah berwarna putih laksana benang-benang perak. 

Kini kakek berkaki buntung ini kembali melangkah tertatih-tatih. 
Langkahnya yang bergelombang seperti berjalan di dataran tidak rata, tertuju 
pada mulut goa yang hanya satu-satunya terlihat di sini. Bagian lainnya 
merupakan dinding gua dari batu cadas yang tidak memiliki lubang sama 
sekali. 

Lorong yang dimasuki kakek berkaki tunggal itu ternyata cukup 
panjang. Tapi, langkahnya tidak diteruskan sampai akhir lorong goa. Pada 
salah satu dinding di lorong terdapat mulut goa yang lebih kecil, langkahnya 
berbelok. Dan ternyata lorong ini menembus ke sebuah mangan berbentuk 
segi empat yang jauh lebih kecil dari mangan sebelumnya. Tidak ada apa-apa 
di mangan itu, kecuali sebuah danau kecil berbentuk lingkaran, bergaris 
tengah setengah tombak. Airnya yang jernih membuat dasar danau kecil ini 
terlihat jelas. Di dalamnya banyak terdapat benda sebesar ibu jari kaki yang 
berkilauan. Mungkin intan berlian. Tapi kakek berkaki tunggal itu tidak 
mempedulikannya. Dia hanya berdiri dengan kepala tertunduk, menatap 
permukaan air danau kecil sesaat. 

"Cermin Ajaib...! Cermin Sakti...! Beberapa hari ini hatiku tidak 
tenang. Aku tidak bisa bersemadi seperti sebelumnya. Jantungku terasa 
berdebar-debar.... Tidurku pun gelisah. Aku yakin ada sesuatu yang akan 
terjadi. Tolonglah tunjukkan padaku, apa yang menjadi penyebab semua ini, 
wahai Cermin Sakti...!" pinta kakek beijubah putih itu dengan suara pelan 
dan bergetar, penuh kekuatan 

Sekejap setelah ucapan kakek berkaki tunggal ini lenyap, 
permukaan air di dalam danau kecil bergolak hebat, seakan-akan ada sesuatu 
yang akan timbul ke permukaan. Air berbuncah-buncah, menimbulkan 
gelembung-gelembung udara. Permukaan air seperti mendidih! Dan ketika 
semua keanehan itu lenyap, pada permukaan air tampak bayangan gambar 
sebuah pulau berwarna hitam kelam, penuh diliputi kabut. Tak lama 
kemudian berganti sebuah peti kecil berwarna hitam mengkilat dengan 
panjang sekitar dua jengkal dan lebar satu setengah jengkal. 

Bayangan gambar ini pun tidak lama karena segera berganti 
bayangan mayat-mayat bergeletakan berkubang darah! Kemudian, 
permukaan air dalam danau kecil itu bergolak dahsyat kembali, sebelum 
akhirnya tenang seperti sedia kala. Jernih dengan batu-batu berkilauan di 
dasamy a. 

Kakek berkaki sebelah mengernyitkan dahinya seperti tengah 
berpikir keras. Beberapa saat lamanya dia bertindak demikian. 

"Cermin Sakti...! Cermin Ajaib.... Aku belum jelas dengan semua 
keteranganmu. Tunjukkanlah padaku penjelasan yang dapat kumengerti...!" 

Permintaan kakek berkaki tunggal langsung mendapatkan sambutan 
seperti sebelumnya. Tapi, bayangan gambar-gambar yang ditunjukkan danau 
kecil yang disebut Cermin Ajaib itu tidak berubah. Tetap seperti yang 
pertama kali. 

Kenyataan ini membuat kerut-merut di dahi kakek berkaki tunggal 
semakin bertambah. Kemudian kakek berkaki tunggal ini kembali 
melangkah tertatih-tatih meninggalkan tempat itu dengan sepasang mata 
yang disipitkan, dan pandangan yang tertunduk ke bawah. 

"Aneh sekali..,! Mengapa Cermin Ajaib tidak mampu memberi 
keterangan yang jelas? Apakah yang tersembunyi di balik pulau dan peti itu, 
sehingga Cermin Sakti tidak mampu mengungkapnya sama sekali! Gila! Ini 
benar-benar gila! Aku yakin, apa pun ini, merupakan ancaman besar bagi 
kelangsungan dunia persilatan! Aku harus bertindak...!" desis kakek ini. 

*** 

"Kau harus menjelaskan maksud tindakanmu ini. Penjaga Alam 
Gaib?! Kalau tidak, aku akan segera pergi dari sini! Kau tahu, aku telah 
kerasan hidup menyepi seperti ini. Bersatu dengan alam dan jauh dari 
kekerasan dunia persilatan!" tegur seorang laki-laki tua bertubuh kerdil dan 
bulat. 

Pendek dan gemuk kakek ini lebih mirip bola daripada manusia. 
Apalagi, pakaiannya yang sempit. Sehingga semakin mempeijelas bentuk 
tubuhnya. 

"Apa yang dikatakan Guraksa tepat sekali, Penjaga Alam Gaib! Aku 
pun telah merasakan nikmatnya hidup menyendiri di tempat sunyi seperti ini. 
Ilmu-ilmu racunku telah lama kulupakan. Dan malah, aku berusaha 
menciptakan ilmu-ilmu pengobatan. Itu sebabnya, aku merasa penasaran 
sekali atas panggilanmu untuk berkumpul di tempat ini!" timpal laki-laki tua 
yang bertubuh kurus kering seperti orang kelaparan, mendukung ucapan 
kakek pendek gemuk yang dipanggil Guraksa. 

Kakek bertubuh kurus kering itu wajahnya berbentuk tirus dan 
meruncing laksana muka seekor tikus. Jelek. Bisa dibayangkan kalau budi 
pekertinya tidak baik. Apalagi ditambah sepasang mata sipit yang selalu 
berputaran liar, pertanda memiliki sifat licik. 

Dan sekarang, sepasang mata kakek kurus kering yang panjang ke 
samping, dan sepasang mata kakek pendek gemuk yang bulat besar 
sama-sama tertuju lurus pada sosok yang duduk di depan, mengandung rasa 
penasaran. 

Sosok yang dipanggil Penjaga Alam Gaib menatap wajah-wajah 
penasaran di depannya berganti-ganti. Kakinya yang sebelah, ditekuk seperti 
duduk bersila. 



"Kalian ini kan sahabat-sahabatku terbaik. Mengapa berlaku 
sungkan-sungkan dengan memanggilku seperti orang-orang bodoh dari 
dunia persilatan?! Penjaga Alam Gaib. Sungguh sebuah julukan luar biasa! 
Padahal, apa sih yang kuketahui tentang alam gaib?!" mngut kakek berkaki 
tunggal dan berpakaian jubah putih longgar disertai senyum pahit. "Hm..„ 
Kalian sepertinya tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan yang 
bertele-tele. Maka, terpaksa aku langsung pada pokok permasalahan. 
Begini...." 

Sebentar Penjaga Alam Gaib terdiam, dengan mata menerawang 
jauh. Sepertinya, dia tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat, untuk 
kemudian dituturkannya kembali. 

"Beberapa hari ini, secara berturut-rurut aku mendapatkan mimpi 
mengerikan. Dalam tidurku, kulihat dunia persilatan dibanjiri darah! Semula, 
aku tidak ambil pusing. Karena begitu bangun, aku telah lupa dengan 
mimpiku. Tapi perasaan tidak nyaman dan rasa gelisah yang aneh, 
membuatku berpikir. Sehingga aku teringat kembali pada mimpi yang 
kualami. Maka segera kutanyakan masalah ini pada Cermin Ajaibku. Dan 
ternyata, jawaban yang kudapat amat aneh. Cermin Ajaib-ku tidak mampu 
mencari jawabannya. Bahkan seperti mendapat halangan. Jawaban yang 
kudapat lama sekali, jauh lebih lama dari biasanya. Seakan-akan pertanyaan 
itu amat sukar, sampai-sampai tak terjawab. Aku merasa aneh. Makanya 
kuputuskan untuk mencari jawaban bagi masalah aneh ini." 

"Kau tidak tengah bergurau. Penjaga Alam Gaib?!" celetuk kakek 
kurus kering, setengah tidak percaya, "Cermin Ajaib-mu tidak dapat 
menemukan jawabnya? Pasti ini sebuah persoalan luar biasa. Maksudku... 
tokoh yang berdiri di balik pulau dan peti iri memiliki ilmu-ilmu gaib luar 
biasa!" 

"Ha ha ha...!" kakek yang bertubuh mirip gentong air tertawa, 
terkekeh. "Andaikata demikian pun, mengapa? Toh, tidak akan merubah arti 
apa pun. Maksudku..., kau tidak berubah pikiran dan meninggalkan tempat 
ini kan. Penjaga Alam Gaib?!" 

"Justru sebaliknya, Guraksa," jawab Penjaga Alam Gaib, setelah 
tercenung beberapa saat. "Aku malah berkeinginan untuk meninggalkan 
tempat ini, dan mencoba menyelidiki rahasia aneh ini. Aku merasa tertantang 
untuk memecahkannya." 

Guraksa menatap kakek kurus kering. Dan yang ditatap juga tengah 
memandangnya. Ada sorot ketidakpercayaan memancar dari masing-masing 
pemilik mata. 

"Kalau tidak mendengar sendiri, mungkin aku tidak akan percaya. 
Penjaga Alam Gaib," ujar kakek kurus kering, mendesah. "Kaulah yang dulu 
mengajak kami berdua untuk menyasingkan diri dari dunia persilatan ke 
lereng gunung ini. Sekarang setelah kami linggal di sini selama belasan tahun 
dan kami mulai kerasan, malah kau juga yang hendak meninggalkan tempat 
ini untuk mencampuri kerasnya dunia persilatan. Kau membuatku kecewa. 
Penjaga Alam Gaib!" 

"Apa yang dikatakan Kum Sanca tidak berlebihan. Penjaga Alam 
Gaib. Terus terang saja, aku merasa kecewa mendengar keputusanmu. Kau 
tahu, keputusan ini dapat menyebabkan semuanya berubah. Maksudku, aku 
dan Kuru Sanca akan terdorong untuk beitindak sempa. Kau tahu, dunia 
kami sebelumnya penuh kekerasan. Dan keberhasilan kami menahan diri 
untuk tidak terjun kembali ke dunia seperti itu, adalah karena keberadaanmu 
di sini. Kau tahu, tidak gampang melawan pengaruh kuat untuk teijun ke 
dunia persilatan kembali. Dan apabila kau meninggalkan tempat ini, maka 
kami tidak memiliki patokan lagi," urai Guraksa panjang lebar. 

"Hhh...!" Penjaga Alam Gaib menghela napas berat "Bisa 
kumaklumi keberatan kalian. Dan asal kalian tahu saja, aku pun merasa 
demikian. Tapi entah mengapa..., aku yakin kalau berdiam diri saja, dunia 
persilatan akan dibanjiri darah. Kalian kan tahu, aku memiliki banyak ilmu 
gaib yang tidak masuk akal. Dengan Cermin Ajaib-ku, aku bisa tahu sesuatu 
yang ingin kuketahui. Itu biasanya. Tapi kenyataannya, kali ini cermin itu 
tidak berdaya. Inilah yang membuatku jadi penasaran. Aku jadi ingin tahu, 
benarkah sesuatu yang kuhadapi akan sedahsyat ini! Aku yakin petunjuk 
yang kudapat satu dengan yang lain berhubungan. Maka kuputuskan untuk 
menyelidikinya tanpa hams ikut campur dalam kerasnya dunia persilatan. 
Aku hanya ingin mengetahuinya saja. Setelah itu, aku bisa mewakilkannya 
pada orang lain yang lebih berkepentingan. Batas campur tanganku hanya 
sampai pada menyingkap masalah yang tersembunyi. Lain tidak! Urusan 
selanjutnya, kuserahkan pada tokoh yang memang bertugas untuk 
menegakkan kebenaran." 

"Bisa kau katakan padaku tokoh itu. Penjaga Alam Gaib?!" 

"Tentu saja, Guraksa!" jawab Penjaga Alam Gaib, cepat. 'Tokoh itu 
masih sangat muda. Tapi, telah membuat dunia persilatan gempar karena 
tindakannya. Julukannya, Dewa Arak!" 

"Dewa Arak?!" 

Hampir berbareng seman itu keluar dari mulut Guraksa dan laki-laki 
kurus bernama Kum Sanca. Bahkan di saat yang hampir bersamaan, kedua 
kakek ini saling berpandangan. Dan dalam pertemuan pandang yang hanya 
sebentar itu, mereka seperti telah mengambil kesepakatan. 

"Aku tidak pernah mendengar julukan seperti itu. Penjaga Alam 
Gaib," kata Guraksa yang lebih gemar berbicara daripada Kum Sanca. 

"Itu sudah pasti, Guraksa. Tokoh muda itu belum lama 
menggemparkan dunia persilatan. Sedangkan kalian telah belasan tahun 
mengundurkan diri. Menyepi di sini menjauhi dunia ramai. Bagaimana 
mungkin bisa mendengar julukannya?! Aku sendiri, kalau tidak karena 
keisenganku menanyakannya pada Cermin Ajaib, tidak akan tahu. Jelas?!" 

Guraksa dan Kum Sanca diam. Keduanya tidak membantah sama 
sekali. Sekarang, kedua kakek itu telah bisa mengerti akan tugas yang 
diemban Penjaga Alam Gaib. 


*** 

"Dasar nasib sial! Enak-enakan menyepi di tempat tenang, eh 
mendapat tugas keluar kembali ke dunia persilatan. Penjaga Alam Gaib 
memang selalu membuat jalan hidupku terombang-ambing. Mudah-mudahan 
saja tidak terjadi hal-hal yang membuat penyakit lamaku kumat!" 

Gerutuan -gemtu an itu keluar dari mulut sesosok tubuh pendek 
gemuk, dan gendut. Kaki dan tangannya juga pendek-pendek dan bulat-bulat. 
Sehingga ketika berjalan, sosok yang lebih mirip gentong air ketimbang 
manusia ini bagaikan menggelinding! Siapa lagi kalau bukan Guraksa! 

Meskipun bentuk tubuhnya aneh dan kelihatan menggelikan, namun 
Guraksa memiliki ilmu aneh. Walau kedua kakinya pendek-pendek, tapi 
ketika berlari tak kalah dibanding orang-orang yang memiliki kaki 
sewajarnya. Bahkan boleh dibilang lebih cepat. Sampai-sampai bentuk 
tubuhnya lenyap ketika berlari. Dan yang terlihat, hanya sekelebatan 
bayangan dalam bentuk tidak jelas. 

Guraksa baru memperlambat larinya dan menggantinya dengan 
beijalan biasa, ketika telah berada di sebuah jalan tanah yang kanan kirinya 
diapit hamparan rerumputan menjulang tinggi. Sejauh mata meman-dang 
yang terlihat hanya rumput di sana-sini. 

Sosok pendek gemuk itu, menekankan caping bambu yang menutup 
kepalanya. Tindakan yang dilakukan seperti hendak menyembunyikan 
wajah. 

Baru beberapa tombak Guraksa beij alan biasa, mendadak terdengar 
bunyi gemerisik nyaring. Dan di depannya, beijarak tiga tembak, tahu-tahu 
telah beijajar beberapa sosok tubuh bersenjata di tangan. Sikap mereka 
mengisyaratkan siap untuk tarung. 

"Hnr...!" 

Guraksa menggumam pelan, melihat hambatan di perjalanannya 
Dengan gerak tidak kentara, ekor matanya memperhatikan belakangnya. 
Ternyata dalam jarak yang sama di belakangnya, telah beijajar sosok-sosok 
tubuh yang bersenjata di tangan. Jelas, sosok pendek gemuk ini merasa kalau 
dirinya telah terkurung. Tidak ada lagi jalan keluar, kecuali menerobos 
kerimbunan rerumputan yang tinggi dan luas ita 

Walaupun keadaannya telah terkurung, sosok mirip gentong air itu 
tidak kelihatan gugup. Guraksa berdiri diam di tempatnya, tidak melangkah 
maju atau mundur. Kepalanya malah semakin dibenamkan dalam 
kungkungan caping bambunya yang tems ditekankan. 

"Hehehe...!" 

Sambil mengumbar tawa terkekeh, tiga lelaki kekar berkulit hitam 
legam di depan Guraksa melangkah maju. 

"Tidak ada gunanya menyembunyikan wajah di balik caping itu, 
Guraksa! Meski tubuhmu kau bungkus dengan gundukan kotoran manusia 
pun, kami akan tahu! Tubuhmu yang bulat seperti babi buntinglah yang 
membuat kami gampang menebak, siapa dirimu. He he he...!" 

Salah satu lelaki kekar berkulit hitam bertahi lalat besar yang 
ditumbuhi berambut di pipi berkata sombong sambil menudingkan pisau di 
tangannya pada sosok pendek gemuk di hadapannya. 

"Ha ha ha...!" 

Guraksa tertawa bergelak. Caping bambu yang menutup wajah 
ditengadahkan, sehingga sekarang wajahnya yang bulat, terlihat jelas. 

"Rupanya matamu masih tajam. Tompel! Bahkan sepertinya lebih 
tajam lagi. Apakah tuanmu yang sekarang memberi lebih banyak tulang?! 
Kudengar gonggonganmu lebih berisi daripada dulu!" ejek Guraksa. 

"Keparat!" geram lelaki hitam bertompel, penuh kemarahan. 
Hatinya kontan terbakar mendengar ejekan Guraksa. "Rupanya kau sudah 
kepingin mati. Babi Gemuk!" 

Belum lenyap gema ucapan itu, serangan-serangan lelaki hitam 
bertompel ini telah lebih dulu menyambar. Sepasang tangannya bergerak 
cepat mengibas. Maka seketika beberapa batang pisau tajam mengkilat yang 
berada di balik pakaiannya meluncur ke arah Guraksa, diiringi bunyi 
berdesing nyaring. 

Guraksa meski bertubuh gemuk dan gendut, ternyata memiliki 
gerakan gesit. Sebelum sambaran pisau-pisau itu mendekat, tangan kanannya 
bergerak meraih camping di kepalanya. Langsung dilemparkannya caping itu 
untuk memapak pisau-pisau yang meluncur ke arahnya. Dengan didahului 
bunyi mengaung nyaring laksana puluhan ekor lebah mengamuk, caping 
bambu itu meluncur ke arah tujuan. 

Bahkan sebelum masing-masing benda yang dilepaskan 
berbenturan di tengah jalan, dua orang yang bertikai ini melesat dari 
tempatnya. Begitu tubuhnya bergerak, lelaki hitam bertompel itu 
mengeluarkan perintah pada rekan-rekannya untuk menyerbu. Dan ketika 
beberapa orang kekar menyerbu, Guraksa pun meluruk dari tempatnya. 

Guraksa memang memiliki watak aneh. Dia terlalu gemar tertawa. 
Sehingga selalu saja mampu tertawa di saat tengah dilanda kemurkaan yang 
amat sangat. Seperti kali ini. Sebenarnya begitu mendengar makian lelaki 
bertompel, hatinya marah bukan kepalang. Tapi ternyata dia tetap mampu 
tertawa. Dan bahkan balas mengejek, sehingga membuat lelaki bertompel 
hilang sabar dan marah. 

Sebenarnya, Guraksa pantas untuk amarah. Betapa tidak? Lelaki 
bertompel bersama rekan-rekan yang dibawa itu sebenarnya adalah 
murid-murid Guraksa, meski bukan dalam arti penuh. Mereka menjadi anak 
buah kakek pendek gemuk ini setelah mendirikan sebuah perkumpulan. 
Sebagai anak buah, mereka semuanya dididik Guraksa, meski tidak secara 
sungguh-sungguh. 

Puluhan tahun lalu, Guraksa merupakan tokoh hitam. Bahkan 
termasuk datuk yang sangat ditakuti karena kesaktian dan kekejamannya. 
Namun sebuah peristiwa membuatnya bertobat dan meninggalkan 
perkumpulan. 

Kini sama sekali Guraksa tidak pemah mimpi, betapa anak buahnya 
sendiri berani menghadang peijalanannya. Dan bahkan mengeluarkan 
makian kotor! Karuan saja dia menjadi naik darah. Kemarahan ini membuat 
Guraksa memutuskan untuk memberi hajaran keras pada bekas anak-anak 
buahnya! 

Pyarrr! 

Sebelum kedua belah pihak saling terjun dalam pertarungan, caping 
dan pisau-pisau yang meluncur telah lebih dulu berbenturan. Namun, 
rupanya Guraksa telah memperhitungkannya. Sehingga capingnya tidak 
berbenturan secara penuh. Dengan tingkat kepandaiannya yang sudah amat 
tinggi dan tenaga dalam tinggi. Capingnya telah diatur agar membentur pisau 
dengan serempetan keras, tapi tepat. Sehingga senjata-senjata itu jadi 
berbalik ke arah pemiliknya dengan kecepatan berlipat ganda! Sedangkan 
camping itu sendiri meluncur balik ke arah Guraksa. Luncurannya pun sudah 
diperhitungkan, sehingga bisa ditangkap Guraksa. Dan seketika itu pula, 
capingnya dilemparkannya kembali ke arah para pengepung. Sementara pi¬ 
sau-pisau yang meluncur balik, juga mengancam mereka. 

Trang, trang, trang! 

"Uh...!" 

Seruan-seruan itu keluar dari penyerang Guraksa yang berada di 
depan, begitu berhasil menghalau pisau-pisau itu dengan pisau yang 
tergenggam di tangan. Tapi kesudahannya tangan mereka bergetar hebat. 
Sementara serangan caping yang berputar aneh membuat mereka kaget. 
Maka terpaksa mereka berlompatan mundur. 

Kesempatan itu dipergunakan Guraksa sebaik-baiknya. Tanpa 
menemui kesulitan sama sekali, caping bambunya yang berbalik ditangkap. 
Kemudian dengan gerakan cepat tubuhnya berbalik, berhadapan dengan para 
penyerangnya yang meluncur dari belakang. Secepat kilat laksana bola, 
tubuh Guraksa menggelinding ke arah lawan-lawannya. Akibatnya pun 
hebat, seketika terdengar teriakan-teriakan kesakitan di sana-sini, disusul 
berpentalannya tubuh-tubuh para pengeroyok. Mereka semuanya roboh 
pingsan, tergolek di tanah dengan senjata berpentalan entah ke mana. 

Hanya dalam segebrakan saja, para pengeroyok yang berjumlah tak 
kurang dari delapan orang itu sudah tidak ada yang berdiri tegak. Guraksa 
yang berpengalaman, tidak terpaku di situ. Langsung tubuhnya berbalik 
menghadapi serangan berikut yang berasal dari lelaki hitam bertompel, 
bersama anak buahnya. 

Sepasang alis Guraksa berkemt dalam ketika melihat kenyataan 
aneh. Lelaki bertompel dan anak buahnya ternyata tidak melakukan tindakan 
apa-apa. Mereka semuanya berdiam diri, tidak melakukan serangan. 
Sebaliknya mereka berdiri sambil tersenyum gembira. Terutama sekali, 
lelaki hitam bertompel. 




Guraksa bukan tokoh kemarin sore. Sebagai bekas datum kaum 
sesat, kakek pendek gemuk ini langsung dapat merasakan ada hal-hal yang 
mencurigakan di sini. Kalau tidak ada apa-apa, mustahil lawan-lawannya 
berhenti menyerang. Apalagi tersenyum-senyum gembira bernada penuh 
kemenang an. 

Namun sebelum Guraksa berhasil menemukan jawabannya, kedua 
tangannya telah terasa ngilu dan sakit. Itulah jawabannya, dan dia merasa 
kaget bukan kepalang. Sekilas dia memperhatikan kedua tangannya. Dan 
seketika, matanya langsung terbelalak kaget. Kedua tangannya sampai 
sebatas siku kini telah berwarna kelabu! Yang lebih hebat lagi, pada telapak 
tangannya telah berubah hitam pekat laksana arang! 

Dalam waktu singkat, Guraksa telah tahu kalau dirinya keracunan. 
Suatu racun yang amat ganas! Dan itu bisa diketahuinya dari daya keijanya 
yang demikian cepat. 

Namun kakek pendek gemuk ini tidak kalang kabut melihat 
kenyataan ini. Memang bagi tokoh seperti Guraksa, kematian bukan sesuatu 
yang menakutkan. Namun tentu saja Guraksa tidak ingin mati konyol seperti 
ini. Mau ditaruh mana mukanya apabila dunia persilatan tahu kalau dirinya 
tewas di tangan bekas anak buahnya?! 

Perasaan tenang itulah yang membuat Guraksa dapat berpikir jernih. 
Segera kedua tangannya digerakkan untuk mendesak pengaruh racun, 
mempergunakan tenaga dalamnya. Guraksa yakin, hawa beracun itu dapat 
diusir dengan tenaga dalamnya. 

Sayang, keyakinan Guraksa langsung membuyar. Ternyata, kedua 
tangannya tidak mampu digerakkan sama sekali! Lumpuh! Dan yang lebih 
gila lagi, hawa murninya tidak bisa di arahkan ke kedua tangannya. 

"Hehehe...!" 

Tawa yang bergelak bernada penuh kemenangan, membuat Guraksa 
menoleh. Sinar matanya nampak berkilat. Kendati demikian, secara luar 
biasa Guraksa masih mampu tertawa bergelak! Padahal, sorot sepasang 
matanya terlihat jelas menyiratkan hawa maut pada lelaki hitam bertompel, 
yang mengeluarkan tawa mengejek itu. 

"Bagaimana, Babi Gemuk?! Sekarang kau baru tahu kehebatan 
anggota Gerombolan Setan Hitam, heh...?! Nyawamu hanya tinggal 
menunggu perginya saja. Babi Gemuk! He he he...!" 

"Ha ha ha...!" 

Guraksa ikut tertawa bergelak. Bahkan jauh lebih keras. Sepasang 
matanya pun menyambar lebih tajam, menyapu sekujur tubuh lelaki 
bertompel. Andaikata, sinar matanya dianggap sebagai sebuah serangan, 
maka lelaki bertompel itu sudah menghadapi serangan mematikan! 

"Kau kira mudah membunuhku. Tompel Pengkhianat! Aku 
memang tidak akan lolos dari maut. Tapi, kau pun tidak akan selamat!" desis 
laki-laki pendek gemuk ini. 

Menyadari akan keadaannya yang sudah mengkhawatirkan, 
Guraksa bertindak tidak kepalang tanggung lagi. Segera dia berlari 
mendekati lawan untuk persiapan melakukan tendangan kedua kakinya. Ha¬ 
nya itu yang dapat dilakukan Guraksa, karena kedua tangan telah tidak 
berguna. 

Namun lelaki bertompel benar-benar mengagumkan. Rupanya dia 
telah membuat persiapan matang untuk merobohkan Guraksa. Baru saja, 
beberapa langkah Guraksa bertindak terdengar bunyi berkerosakan nyaring. 
Kemudian disusul amblasnya tanah yang diinjak Guraksa. Dan seketika 
tubuh kakek pendek gemuk ini langsung meluncur ke dalam lubang di 
bawahnya. Tanah yang dipijak Guraksa ternyata hanya selapis saja. Di 
bawahnya telah menganga sebuah lubang cukup dalam, dasarnya dipasangi 
besi-besi runcing, siap menyate yang terjatuh ke dalamnya. 

Tetapi kali ini yang teijatuh ke dalam lubang maut ini adalah 
Guraksa bekas datuk kaum sesat. Maka meski agak gugup, dia langsung bisa 
bertindak tepat untuk menyelamatkan diri. Dengan memperguitakan ilmu 
meringankan tubuhnya yang menakjubkan, kakinya menjejak pada 
ujung-ujung besi mncing dengan ringan tanpa terluka sedikit pun. 

Gerakan luar biasa Guiaksa tidak hanya sampai di situ. Hanya 
sedikit menekuk lututnya kakek ini kembali melayang ke atas lubang. 

Guraksa memperhitungkan kalau lawan-lawannya tidak akan 
tinggal diam, dan akan menunggunya di atas sana. Dia yakin, saat ini 
lawan-lawannya yang hanya tinggal tujuh orang itu tengah bersiap 
mengirimkan serangan pisau-pisau terbang. 

Walaupun keadaannya mengkhawatirkan karena kedua tangannya 
tak berguna, tapi Guraksa masih tidak kehilangan akal. Dia akan 
menggunakan mulutnya yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi untuk 
meniup serangan-serangan pisau terbang. Dengan demikian semua serangan 
akan dapat dipudarkan. Tapi kenyataannya.... 

Wirrr, wirrr, wrttt! 

"Akh...!" 

Guraksa memekik kaget, dan persiapannya buyar. 
Serangan-serangan pisau terbang yang diharapkan ternyata tidak muncul. 
Dan yang membuatnya terkejut adalah serangan-serangan berupa tali-tali 
hitam alot yang meluncur dari kerimbunan rerumputan di kanan kirinya. 
Kejadian yang demikian cepat, di saat tubuh Guraksa tengah berada di udara, 
membuat serangan-serangan tali itu berhasil membelit pergelangan kaki 
Guraksa. 

Dan begitu berhasil melilit, tali-tali hitam itu langsung menegang 
kuat, mengikat kaki Guraksa. Tubuh Guraksa pun kini terentang ke kanan 
dan ke kiri. 

"Hih!" 

Sekali Guraksa mengerahkan tenaga dan merapatkan kedua kaki 
secara mendadak, tubuh-tubuh para pemilik tali cepat tertarik ke arahnya. 
Kedua kaki Guraksa langsung dipentangkan ke kanan dan ke kiri. Maka 
seketika jeritan menyayat pun terdengar berturut-turut, ketika kaki Guraksa 
mendarat di dada para pemilik tali yang sial itu. Mereka kontan ambruk di ta¬ 
nah, dan tewas seketika. 

Tapi tindakan ini harus ditebus mahal oleh Guraksa. Seketika 
tubuhnya melayang kembali ke bawah, karena tidak ada landasan berpijak. 
Dan kali ini, kakek pendek gemuk ini pasrah. Dia tidak berusaha melakukan 
tindakan apa pun, karena kedua kakinya pun langsung lumpuh seperti kedua 
tangannya. Ternyata, tali-tali hitam yang melilit kakinya telah ditaburi racun 
yang sama. 

"Ha ha ha...!" 

Tawa tergelak lelaki hitam bertompel mengiringi melayangnya 
tubuh Guraksa yang telah tidak berdaya ke dalam lubang. Mereka semua 
yakin, kalau kali ini kakek pendek gemuk yang sakti itu akan tewas di dasar 
lubang. 

Tapi meskipun nyawa telah berada di ujung tanduk, kalau Allah 
belum berkenan, ada sajajalan untuk selamat. Dan hal ini dialami Guraksa. 
Di saat tubuhnya hampir masuk ke dalam lubang, tiba-tiba sesosok bayangan 
meleset cepat. Langsung disambarnya tubuh seperti gentong itu dan 
dibawanya meles at meninggalkan lubang maut. 

*** 

Begitu menjejak tanah, sosok penolong Guraksa langsung 
melepaskan leher baju kakek pendek gemuk yang tadi di cekalnya. Dan tubuh 
Guraksa pun kini tergolek di tanah. 

"Keparat..!" 

Lelaki hitam bertompel memaki penuh geram ketika melihat 
Guraksa yang diyakininya tewas, berhasil lolos dari maut. Sepasang matanya 
hampir keluar ketika menatap penolong Guraksa. 

"Anjing kurap dari mana berani ikut campur urusan Gerombolan 
Setan Hitam?! Atau kau telah mempunyai nyawa rangkap?!" dengus laki-laki 
itu. 

Sang Penolong Guraksa, ternyata seorang pemuda berpakaian ungu. 
Rambutnya yang panjang berwarna putih keperakan, berkibar ditiup angin. 
Wajahnya yang tampan dan jantan, tersenyum mendengar makian laki-laki 
bertompel itu. 

"Aku tidak perlu nyawa rangkap, kalau hanya untuk menantang 
Gerombolan Setan Hitam. Dan justru, aku telah lama mencari-cari kalian 
untuk kumusnahkan, kareka terlalu banyak mengotori dunia dengan 
perbuatan-perbuatan keji!" 

Jawaban pemuda berpakaian ungu ini membuat kemarahan lelaki 
bertompel semakin berkobar. Tangan kanannya langsung digerakkan 
memberi isyarat pada rekan-rekannya untuk menyerbu pemuda itu. Lelaki 
bertompel ini tahu, pemuda ini tidak bisa dipandang remeh. Itulah sebabnya, 
langsung diputuskan untuk menyerbu secara serentak. 

"Anak Muda.... Apakah kau yang berjuluk Dewa Arak...?! Pesanku, 
jangan sampai tangan atau kakimu bersentuhan dengan anggota tubuh 
mereka, karena telah dibaluti racun mematikan. Aku sendiri terjebak! 
Hati-haulah, Dewa Arak...!" 

Hanya sampai di sini pesan Guraksa. Sebentar pemuda berambut 
putih keperakan yang tak lain dari Dewa Arak menoleh dengan kening 
berkemyit. Namun cepat dimengerti pesan itu. Maka sebelum 
serangan-serangan tujuh orang lawannya menyambar lebih dekat lagi. Dewa 
Arak atau Arya Buana telah lebih dulu mengeluarkan lengkingan nyaring. 
Sebentar saja, tapi cukup membuat tubuh tujuh orang itu seketika lemas 
ambruk ke tanah. Memang mendadak saja kedua kaki mereka terasa lemas! 

Sayangnya pengaruh teriakan Dewa Arak tidak berlangsung lama, 
karena tujuh orang itu termasuk tokoh bertenaga dalam tinggi. Mereka 
serentak bangkit. Dan setengah melempar pandangan, mereka melesat 
meninggalkan tempat itu. Rupanya cukup disadari kalau pemuda berbaju 
ungu ini merupakan suatu ancaman. 

Sementara Dewa Arak tidak melakukan pengejaran sama sekali. 
Ditatapnya tujuh lawannya yang telah melarikan diri sejenak, sebelum 
mengalihkan perhatian pada Guraksa. Kemudian dia berjongkok memeriksa 
keadaan kakek bertubuh mirip gentong ini. 

"Sayang sekali. Kakek Yang Baik. Aku tidak bisa menolongmu," 
ucap pemuda berambut putih keperakan itu. Pemuda berwajah tampan ini 
pun bangkit berdiri. "Racunnya telah hampir mencapai jantung. Dan lagi, 
jenis racun ini tidak bisa disembuhkan oleh arak dalam guciku. Kalau saja 
tidak, mungkin aku akan dapat menyelamatkan nyawamu." 

"Tidak usah kau pedulikan itu. Dewa Arak. O ya. Kau orang yang 
beijuluk Dewa Arak, bukan?! Ciri-cirimu mirip dengan berita yang 
kudapatkan dari salah seorang kawan terbaikku." 

Guraksa menghentikan ucapannya sejenak ditatapnya pemuda 
berpakaian ungu dengan sinar mata menyiratkan pertanyaan besar. Sedang 
pemuda tampan berwajah jantan itu pun menganggukkan kepala pertanda 
membenarkan 

"Aku sudah merasa bahagia sekali meninggalkan dunia ini, apabila 
telah berhasil menyelesaikan amanat yang ditujukan padaku," lanjut 
Guraksa. 

Sampai di sini Guraksa terpaksa menghentikan ucapannya. 
Napasnya terengah-engah hebat, bagai orang tengah berlari jauh. Padahal, 
racun itu belum lama merasuk ke dalam tubuhnya. 

"Seorang kawan baikku..., ahli dalam ilmu gaib..., bermimpi dan 
mendapat firasat kalau dunia persilatan akan dibanjiri darah.... Makanya, dia 
menyuruhku untuk menemuimu. Dia tahu kalau kau akan melalui tempat ini. 
Dewa Arak. T api, sayang. Orang-orang licik itu lebih dulu tiba. Hhh...! Entah 
setan mana yang membawa mereka ke tempat ini. Ha ha ha...!" jelas Guraksa, 
malah ditambah dengan tawanya. 

"Lebih baik segera kau katakan, apa yang ingin kau sampaikan, 
Kek," selak Arya. 

Dewa Arak tidak sabar melihat Guraksa masih sempat tertawa, 
padahal keadaannya sudah amat payah. 

"Ha ha ha...! Tidak usah khawatir. Dewa Arak. Aku yakin akan 
mampu menyampaikan amanat ini padamu, sebelum nyawaku melayang ke 
alam baka. Penjaga Alam Gaib ternyata tidak berlebihan. Kau memang masih 
sangat muda. Dewa Arak. Ha ha ha...! Dalam usia semuda ini kau telah 
memiliki nama besar dan kepandaian tinggi! Menakjubkan!" 

Kakek pendek gemuk ini menghentikan ucapannya dengan napas 
tersengal-sengal. Tertawa di saat nyawa di ujung tanduk itu, sebenarnya 
memang membutuhkan tenaga besar. Dan Guraksa tahu. Tapi sikapnya 
benar-benar tidak peduli. 

"Dewa Arak.... Kau harus menyusul kawanku ke Pulau Setan. Aku 
yakin, dia akan mendapat masalah di sana. Sesuatu yang mengerikan tengah 
menunggunya. Selamat bertugas. Dewa Arak. Ha ha ha...!" 

"Hhh...!" 

Arya menghela napas berat. Sebentar kepalanya tertunduk untuk 
memberi penghormatan terakhir pada Guraksa. Kakek pendek gemuk itu 
meninggal dengan mulut tersenyum lebar. Tewas di saat tertawa. 

*** 

Dengan kecepatan tinggi, Arya berlari meninggalkan tempat 
Guraksa tewas. Seiring kakinya terayun, otaknya pun bekeija keras 
memikirkan semua pesan kakek pendek gemuk yang tidak sempat diketahui 
jati dirinya. Siapa sahabat yang dimaksud Guraksa? Penjaga Alam Gaibkah? 
Rasanya tidak mungkin! Pemuda berambut putih keperakan itu membantah 
dalam hati. Karena, julukan Penjaga Alam Gaib lebih mendekati dongeng, 
daripada kenyataan sesungguhnya. Apalagi sejak ratusan tahun lalu, julukan 
itu telah ada dan menggetarkan dunia persilatan. Berarti kalau yang 
dimaksud adalah tokoh itu saat ini usianya telah ratusan tahun! Sebuah hal 
yang mustahil untuk bisa dipercaya! 

Karena tidak berhasil menemukan jawabannya. Dewa Arak 
memutuskan untuk mencari jawaban bagi pertanyaan kedua. Tentang Pulau 
Setan. Namun pulau itu pun merupakan teka-teki bagi dunia persilatan. 
Karena hanya pernah terdengar, tapi tak seorang pun yang berhasil 
menemukannya. Benarkah ucapan Guraksa? Atau hanya sekadar ucapan 
orang yang ingin meninggal, dan berkata ngawur? 

Entah sudah berapa lama Arya berlari dengan benak diganggu 
pernyataan Guraksa tentang Pulau Setan. Sampai akhirnya. Dewa Arak 
mencoba menyelidiki kebenarannya. T oh, hanya titik terang ini satu-satunya 
yang didapatkan. Tidak ada celah lain yang dapat dijadikannya patokan 
untuk mengusut persoalan ini, kecuali Pulau Setan dan Penjaga Alam Gaib, 
serta Gerombolan Setan Hitam. Hal lain yang menjadi bahan pemikiran 
Dewa Arak, ternyata walaupun Gerombolan Setan Hitam terkenal dalam 
dunia persilatan, namnun tidak jelas di mana markasnya. Maka satu-satunya 
jalan, Arya memutuskan untuk menyelidiki Pulau Setan! 

Arya berlari disertai pengerahan seluruh ilmu lari cepatnya. Dalam 
waktu seperempat hari, jarak yang ditempuh telah demikian jauh. Beberapa 
medan telah dilalui. Jalan turun naik, setapak, berbatu-batu, dan hutan lebat 
telah dilampaui. 

Dan Dewa Arak mendadak saja memperlambat larinya, begitu 
melihat adanya sekelebatan bayangan di depannya yang tems berlari ke arah 
kanannya. Gerakannya gesit bukan kepalang. Meskipun demikian, pandang 
mata Arya yang tajam dapat mengetahui kalau sosok yang melesat di 
depannya berpakaian coklat 

Belum sempat Aiya berpikir apa-apa, tiba-tiba berkelebat lagi tiga 
sosok lain melewati depannya dan tems menempuh arah yang sama dengan 
sosok berpakaian coklat tadi. 

Sementara sosok berpakaian coklat maupun tiga sosok yang 
mengejar, tidak melihat keberadaan Dewa Arak. Karena di samping tengah 
sibuk dengan urusannya, keadaan mereka memang menyulitkan untuk 
melihat Arya. Kecuali kalau mereka menoleh ke kanan. Tapi, agaknya 
sosok-sosok itu tidak mempedulikannya. 

Dengan kecepatan lari yang semakin diperlambat, Arya memutar 
benaknya. Apakah sosok-sosok yang tengah berkejaran itu harus diikuti, atau 
bersikap tidak peduli, dan tems melanjutkan peijalanan ke Pulau Setan? 

Sebentar Arya berpikir untuk mengambil keputusan. Dan mendadak 
saja, arah larinya dibelokkan, dan melesat cepat mengejar sosok-sosok coklat 
yang tengah saling berkejaran. Naluri kependekaran Aryalah yang 
menyebabkan keputusan itu diambil. Barangkali saja, sosok yang dikejar itu 
membutuhkan pertolongan. 

Tanpa menemui kesulitan sama sekali, Arya membayangi 
sosok-sosok yang tengah kejar-kejaran ini. Dengan keunggulan ilmu 
meringankan tubuhnya, Arya hampir mendekati mereka. Bahkan pemuda 
berambut keperakan ini melihat sosok yang berlari paling depan tampak 
seperti kalap. 

Srakkk! 

"Akh...!" 

Begitu telah memasuki hutan lebat, sosok coklat yang dikejar itu 
menjerit tertahan, ketika kakinya menginjak jebakan binatang. Seketika itu 
pula tubuhnya langsung terangkat ke atas, bagian pergelangan kaki kirinya 
terjerat tali yang sengaja dipasang. Kejar-kejaran itu memang telah masuk 
dalam sebuah hutan yang cukup lebat 

Dalam keadaan gawat itu, ternyata sosok yang dikejar mampu 
bertindak sigap. Begitu tubuhnya melayang ke atas dengan kepala di bawah, 
secepat kilat tangannya meraih gagang pedang di punggung Sehingga, 
senjata tajam itu tidak kebum jatuh ke tanah. Dan seketika, pedangnya 
diayunkan ke arah tali. 

Tasss! 

Begitu tali putus, dengan gerakan manis sosok itu bersalto dan 
menjejak di tanah secara mantap dengan pedang telanjang tercekal di tangan. 
Namun, sebelum berlari kembali, tiga sosok coklat yang mengejarnya telah 
bergerak cepat. Sehingga, dia terkurung dari tigajumsan. Kini tidak mungkin 
dia bisa melarikan diri lagi. 

"Mau kabur ke mana lagi. Manusia Tak Kenal Budi...!" desis salah 
satu dari tiga sosok coklat yang bertubuh kekar. Sehelai ikat kepala berwarna 
coklat membelit dahinya. 

Seman lelaki ini terdengar angker. Dan keangkeran itu semakin 
terasa ketika melihat wajahnya yang berahang kokoh dengan alis tebal dan 
hitam. Kumis dan jenggotnya pun hitam dan tebal. 

"Jangan harap akan dapat lolos dari tangan kami, Karpala!" timpal 
pengejar lainnya tak kalah geram sambil menudingkan ujung pedangnya. 
Tubuh laki-laki ini tinggi besar dengan bahu lebar. Tidak berkumis atau 
jenggot, tapi cambangnya yang lebat cukup membuat angker wajahnya. 

"Kau akan kami bawa ke hadapan guru. Hidup atau mati. Manusia 
Terkutuk!" seru lelaki tinggi kurus berkulit kuning dan bermata redup seperti 
orang me-ngantuk. "Bersiaplah untuk menerima hukumanmu, Karpala." 

Sosok yang dipanggil Karpala ternyata seorang pemuda seperti tiga 
pengejarnya. Dan dia hanya tersenyum sinis. Tubuh Karpala tegap dan kekar, 
menunjukkan ketegarannya. Wajahnya tampan dan gagah. Sebaris kumis 
tipis yang menghias bawah hidung semakin menambah ketampanannya. 
Karpala memperhatikan tiga pengepungnya dengan sinar mata tajam. 

"Jangan harap aku akan sudi kembali dalam keadaan hidup! Kalian 
hanya akan dapat membawa mayatku ke sana!" dengus Karpala. 

Usai berkata demikian, Karpala mengirimkan tusukan ke arah 
pemuda tinggi kurus di depannya. 

T rangngng! 

Bunga api berpijar ketika pemuda tinggi kurus itu menangkis 
serangan. Seketika tubuh masing-masing terhuyung sejauh dua langkah. Tapi 
sebelum Karpala memperb aiki kedudukan, datang dua serangan dari pemuda 
beralis tebal dan pemuda bercambang. 

"Jangan dipikir kami pengecut dengan melakukan pengeroyokan 
atas dirimu. Manusia Tidak Beijantung! Tapi, guru menyuruh kami 
membawamu ke sana secepatnya untuk dijatuhi hukuman!" sem pemuda 
beralis tebal, dibarengi dengan serangannya. 

Tidak ada sahutan sama sekali dari Karpala. Hujan serangan yang 
silih berganti datang, membuatnya tidak mendapatkan kesempatan untuk 
memberi tanggapan. Seluruh perhatian harus dipusatkan pada pertarungan, 
kalau ingin selamat 




Karpala beijuang keras untuk mempertahankan selembar 
nyawanya. Tapi, tingkat kepandaiannya boleh dibilang setingkat dengan 
lawan-lawannya. Sedangkan sekarang, yang dihadapi tiga orang sekaligus. 
Padahal, menghadapi satu orang saja, dia belum tentu menang. Maka, tak 
heran kalau tak sampai lima jurus, pemuda berkumis tipis ini sudah terdesak. 
Menginjak jurus ke enam, serangan-serangan Karpala sudah tidak terlihat 
lagi. Dia sudah terlalu repot untuk menghalau hujan serangan yang muncul 
bertubi-tubi, sehingga tidak kebagian kesempatan untuk mengirimkan 
serang an. 

Crttt! 

Karpala menggigit bibirnya sendiri ketika ujung pedang pemuda 
berkumis tebal menggurat bahu kirinya cukup dalam. Dan seketika darah 
mengalir keluar. Tubuh pemuda berkumis tipis itu pun terhuyung. 

Desss! 

Kembali sebuah tendangan dari pemuda bercambang lebat secara 
telak mendarat di perut Karpala yang belum sempat memperbaiki 
keseimbangannya. Akibat serangan ini, tubuh pemuda berkumis tipis itu pun 
terhempas ke belakang. Sedangkan pedang di tangan yang tadi masih 
tergenggam, terlepas dari pegangan. 

"Hiyattt..!" 

Sementara itu pemuda yang bertubuh tinggi kurus tidak mau 
ketinggalan. Dia langsung melompat me-nyusul tubuh Karpala yang 
terhuyung-huyung, dengan sebuah tusukan ke arah leher. Dan pemuda 
berkumis tipis ini hanya bisa terbelalak melihat serangan maut itu Tidak ada 
yang bisa dilakukannya untuk menyela-matkan diri dengan keadaan yang 
tidak menguntungkan seperti ini. 

Dalam keadaan yang gawat ini, mendadak saja berkelebat sebuah 
bayangan hitam sebesar ibu jari yang demikian cepat. Lalu.... 

Trikkk! 

"Akh...!!" 

Jeritan tertahan yang penuh nada kaget itu terdengar bukan dari 
mulut Karpala, melainkan dari pemuda tinggi kurus. Pedang yang semula 
ditusukkan ke arah leher Karpala langsung menyeleweng jauh, karena sudah 
terlepas dari pegangan ketika sebuah kerikil sebesar ibu jari kaki 
menghantamnya dari arah samping. 

"Orang usilan! Harap keluar dari persembunyianmu! Jangan 
bertindak pengecut, hanya berani main sembunyi!" teriak pemuda beralis 
tebal yang bersikap tanggap, langsung mengajukan tantangan. Dia tahu, apa 
yang teijadi dengan serangan kawannya. 

Pemuda beralis tebal dan dua rekannya yang sd<arang sudah tidak 
mempedulikan Karpala lagi, mengalihkan perhatian ke arah asalnya baru 
kerikil tadi. Sikap mereka jelas penuh ancaman. 

Tiga pemuda gagah berpakaian coklat ini tidak perlu menunggu 
lama, karana dari atas sebatang pohon berdaun rimbun di depan mereka 
melayang turun sesosok bayangan ungu. Kemudian, bayangan itu menjejak 
mantap tanah. 

"Aku bukan pengecut atau orang usilan, Kisanak semua! Hanya 
saja, aku paling tidak suka melihat adanya tindak ketidakadilan di depan 
mataku. Kalianlah yang bersikap pengecut dengan melakukan 
pengeroyokan!" kilah sosok yang baru saja turun dari atas pohon, penuh 
ketegasan. Dia adalah seorang pemuda berambut putih keperakan. Siapa lagi 
dia kalau bukan Arya Buana alias Dewa Arak. 

Sementara tiga pemuda berpakaian coklat itu saling berpandangan 
dengan wajah merah padam. Agaknya, ucapan balik Dewa Arak mengenai 
sasaran. 

"Apa pun katamu, Hei Orang Asing! Semua ini adalah urusan kami. 
Urusan perguruan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirimu...!" timpal 
lelaki beralis tebal, yang lebih banyak bicara. Maka kuperingatkan, pergilah 
dari sini. Dan, jangan campuri urusan kami kalau tidak ingin lerlibat 
keributan!" 

Pemuda beralis tebal ini memang bukan orang bodoh. Dia tahu, 
pemuda berambut putih keperakan itu bukan orang sembarangan. Malah, 
pasti kepandaiannya di atas tingkat mereka. Buktinya, dia mampu 
menjatuhkan pedang pemuda kawannya yang dicekal kuat hanya dengan 
sebutir baru kecil. Dan ini membuktikan kalau dia memiliki tenaga dalam 
tinggi. Bahkan jauh lebih kuat daripada tenaga dalam mereka. Itulah 
sebabnya, pemuda beralis tebal memberi kesempatan pada Ary a untuk pergi 
tanpa harus terjadi keributan. 

"Sayang sekali, Kisanak. Aku bukan orang semacam itu. Sekali 
telah mencampuri sebuah urusan, aku tidak akan pergi sebelum selesai! Aku 
hanya akan pergi, apabila kalian bersedia menyudahi urusan dengan dia!" 
tuding Arya pada Karpala. "Aku pun tidak mau mencampuri, apahila kalian 
bertindak kesatria. Bertarunglah satu lawan satu. Kalau tidak, silakan kalian 
pergi dari sini! Yang jelas, aku tidak akan pernah mau pergi!" 

"Keparat!" dengus pemuda bercambang lebat itu penuh kegeraman. 
"Kau sudah merasa jago, ya?! Keberhasilan lemparanmu menjatuhkan 
senjata kawan kami, rupanya telah membuatmu besar kepala! Baik! Sebelum 
kami singkirkan buruan kami, kau lebih dulu yang akan mendapatkan 
balasan setimpal atas perbuatanmu!" 

Cit, cit, cittt.! 

Tappp! 

Dengan kecepatan gerak ya gsukar diikuti mata. Dewa Arak telah 
bisa menangkap mata pedang lawan dengan tangan kanannya. Kemudian 
secepat kilat langsung ditekukunya batang pedang itu hingga patah dua! 

T rakkk! 

Bunyi bercicitan nyaring seketika terdengar menusuk telinga ketika 
pemuda bercambang lebat itu mengirimkan serangan pedang. Senjata tajam 
itu menusuk-nusuk berkali-kali ke arah leher, ulu hati, pusar, dan dada! 
Kecepatan gerakannya membuat batang pedang itu jadi beijumlah banyak! 

"Ilmu pedang yang bagus...!" puji Arya, tanpa maksud 
merendahkan atau menunjukkan kelebihan tingkat kepandaiannya. 

Tapi rnpanya, pujian Aiya disalah artikan oleh pemuda bercambang 
lebat dan rekan-rekannya. Dan Arya dianggap hendak menunjukkan 
kelebihan tingkat kepandaiannya dengan pujian itu. 

Sementara, meski memuji bagus, tidak berarti Arya kebingungan 
menghadapi serangan lawannya. Memang bagi pandangan mata orang lain, 
batang pedang pemuda bercambang lebat yang sudah berjumlah banyak itu 
bakal menyulitkan Dewa Arak. T api, sebenarnya pand angan mata pemuda 
berambut putih keperakan itu jauh lebih tajam daripada pemuda-pemuda 
berpakaian coklat itu. Dengan jelas, dia melihat kalau batang pedang itu 
hanya satu. Bahkan tahu, bagian mana yang lebih dulu menjadi sasaran 
serang an. 

T appp! 

Dengan kecepatan gerakan yang sukar diikuti mata. Dewa Arak 
telah bisa menangkap mata pedang la-wan dengan tangan kanannya. 
Kemudian secepat kilat langsung ditekuknya batang pedang itu hingga patah 
dua! 

T rakkk! 

Wajah pemuda bercambang lebat itu sampai menjadi pucat pasi 
saking kagetnya. Keterkejutan yang sama melanda dua rekannya. Mereka 
sadar kalau lawan mereka memiliki kepandaian tinggi. Namun, sungguh 
tidak disangka akan seperti ini, sehingga mampu membuat pemuda 
bercambang lebat itu tidak berdaya hanya dalam segebrakan. 

Baik pemuda bercambang lebat, maupun dua rekannya tidak bisa 
menerima kenyataan ini Mereka benar-benar tidak percaya. Bahkan guru 
mereka saja, rasanya tidak akan mampu melakukannya. Mungkinkah 
pemuda seusia dia mampu bertindak seperti itu. Ketiga orang ini, terutama 
sekali pemuda bercambang lebat, lebih yakin kalau kejadian itu hanya 
kebetulan belaka! 

Rasa penasaran membuat tiga orang itu maju serentak, menghampiri 
Dewa Arak dengan senjata terhunus. Dan pemuda bercambang lebat telah 
mengganti pedangnya dengan pedang milik pemuda berkumis tipis yang tadi 
terpental. Sedangkan pemuda tinggi kurus telah mengambil pedangnya yang 
tadi terjatuh. 

Dan diawali teriakan keras sebagai isyarat menyerang, ketiga 
pemuda berpakaian coklat ini melurnk menerjang Dewa Arak. 
Kilatan-kilatan menyilaukan mata langsung membeset udara, ketika 
pedang-pedang itu meluncur ke arah sasaran. 

Gerakan mereka cepat bukan main. Namun tanpa menemui 
kesulitan sama sekali. Dewa Arak mengelakkannya. Selama beberapa 
gebrakan, pemuda berambut putih keperakan ini hanya mengelak. Tapi 
ketika mulai balas menyerang, keadaan langsung berubah hebat! Seketika 
terdengar pekikan-pekikan kesakitan ketika tubuh tiga pemuda berpakaian 
coklat itu satu persatu berpentalan keluar arena pertarungan. Dari mulut 
mereka masing-masing terdengar suara rintihan kesakitan dengan senjata 
terpental entah ke mana. 

"Bagaimana? Masih ingin diteruskan?!" lanya Arya, tenang tanpa 
nada mengejek. 

Lalu ditatap wajah-wajah lawannya satu persatu. Wajah-wajah yang 
dihiasi seringai kesakitan, karena masing-masing telah terluka. Meskipun, 
hanya tulang-tulang tangan dan kaki yang terlepas dari sambungannya. Arya 
tidak ingin bertindak keras terhadap tiga orang yang diyakininya berasal dari 
perguruan golongan putih. Sikap mereka yang sombong dan berkesan 
mengagungkan diri sendiri, membuat Arya menjatuhkan hajaran kepada 
mereka. 

Pemuda beralis tebal itu menggertakkan gigi. Sepasang matanya 
menatap Arya dengan sorot mengancam. Sorot yang sama memancar dari 
mata-mata dua pemuda lainnya. 

"Kali ini kami mengaku kalah. Orang AsingiTapi, ingat! Urusan ini 
tidak berhenti sampai di sini! Kami akan membuat perhitungan! Camkan, 
Perguruan Pedang Halilintar pantang dihina orang!" 

Setelah mengucapkan kata-kata ancaman, pemuda beralis tebal dan 
kedua kawannya melangkah tertatih-tatih meninggalkan tempat ini. 
Sedangkan Arya hanya memandangi saja, tanpa perasaan apa-apa. Dia tahu, 
tiga orang itu berasal dari Perguruan Pedang Halilintar, ketika melihat 
serangan pemuda bercambang lebat pertama kali. Itulah sebabnya, dia tidak 
menjatuhkan tangan jahat pada mereka. 

Sambil menghela napas berat karena disadari kalau sebuah bibit 
permusuhan telah tertanam dengan Perguruan Pedang Halilintar, pemuda 
berambut putih keperakan ini mengalihkan pandangan ke arah Karpala di 
belakangnya. Arya ingin menanyakan sebab musabab keributan ini. Padahal, 
diyakini pula kalau pemuda berkumis tipis itu termasuk murid Perguruan 
Pedang Halilintar. 

Arya tanpa sadar terjingkat dari tempatnya, ketika melihat 
belakangnya telah kosong, tanpa seorang pun terlihat Yang ada hanya 
kerimbunan semak dan pepohonan di sekitarnya. 

"Hhh...!" 

Arya menghembuskan napas berat Sekali lihat saja, bisa diketahui 
kalau pemuda berkumis tipis itu sudah tidak ada lagi. Kabur. Tak jelas, kapan 
Kaipala kabur. Yang jelas, kepergiannya menyebabkan masalah yang 
dihadapi Arya kali ini, jadi gelap! 

Rasa penasaran untuk mengetahui masalah yang menyebabkan 
pemuda-pemuda berpakaian coklat itu terlibat keributan, membuat Arya 
memutuskan mengej ar Karp ala untuk mencari j awab annya. 

*** 

Sebuah perahu kecil melaju, di permukaan laut luas yang 
bergelombang kecil. Gerak perahu itu cepat meskipun melawan arus air. 
Bahkan kelihatan bagaikan melesat membelah permukaan air. Yang 
mengejutkan, orang yang mendayungnya adalah seorang wanita muda 
berwajah cantik jelita, berpakaian kuning cerah. Rambutnya yang tergerai 
lepas tampak berkibar-kibar dihembus angin yang bertentangan dengan arah 
yang ditempuhnya. Tangannya kecil dan halus. Dan meski mengayuhkan 
dayungnya secara perlahan saja, tapi perahu itu mampu melaju cepat 

Di sebelah gadis berpakaian kuning itu duduk seorang kakek kurus 
laksana tengkorak, bertelanjang dada. Dan dia hanya mengenakan celana 
panjang hitam sebatas bawah lutut Tampak serat-serat celananya terjutai 
seperti akar gantung. 

"Rasanya sudah tiba waktunya kau kembali pada orangtuamu, dan 
terjun ke dunia persilatan mengamalkan ilmu-ilmu yang dipelajari dariku, 
Tungga Dewi," ucap kakek kurus berpipi cekung dan berambut tipis ini. 

"Tapi, Guru," gadis berpakaian kuning yang dipanggil Tungga 
Dewi mencoba membantah, menandakan ketidaksetujuannya atas usul kakek 
kurus laksana tengkorak "Aku lebih suka tinggal bersama Guru. Guru 
sekarang sudah tua, lalu siapa yang akan merawat Guru apabila aku pergi?!" 

"Ha ha ha...!" kakek kurus laksana tengkorak itu malah tertawa 
bergelak. Seakan-akan hatinya merasa geli mendengar ucapan Tungga Dewi. 
"Kau ini lucu, Tungga Dewi. Aku tidak perlu diurus. Apakah kau ingin 
sampai tua tinggal bersamaku. Menghabiskan umur di tempat yang jauh dari 
keramaian? Jangan bertindak bodoh, Tungga Dewi!" 

"Tapi... aku tidak mau pergi. Guru!" Tungga Dewi berkeras dengan 
keputusannya. 

"Tidak ada tapi-tapian, Tungga Dewi! Andaikata tidak mau, berarti 
kau tidak menjadi murid yang berbakti. Kau telah membantah perintah 
gurumu. Apakah kau ingin menjadi murid yang murtad?!" Dengan 
cerdiknya, kakek kurus laksana tengkorak ini membuka sebuah masalah. 

"Tentu saja tidak. Guru. Aku tidak ingin menjadi murid murtad. 

Tapi...." 

"Kalau begitu, pergilah. Dan, terjunlah ke dunia persilatan!" 

Tungga Dewi terdiam. Kakek laksana tengkorak itu demikian 
pandai membuatnya tersudut. Dan mau tidak mau, peimintaan itu harus 
dipenuhi. Dengan pandang mata resah karena rasa berat untuk meninggalkan 
kakek laksana tengkorak ini, Tungga Dewi mengarahkan pandangan ke 
depan, ke hamparan di laut luas yang membentang di depan. Dan, seketika 
Tungga Dewi tersentak kaget. 

"Guru...! Lihat...! Apakah yang mengapung di sana itu?!" hiding 
Tungga Dewi. 

Ucapan Tungga Dewi memaksa kakek kurus laksana tengkorak 
yang sejak tadi duduk bermalas-malasan, melenggut di lantai perahu, 
mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk muridnya. Sepasang matanya 
yang sejak tadi terpejam, terbuka. Luar biasa! Kakek yang kelihatannya 
seperti orang lemah itu, ternyata memiliki sepasang mata yang mendebarkan 
jantung. Mencorong tajam berwarna kehijauan seperti mata seekor harimau 
dalam gelap! 

"Sebuah peti...," kata kakek kurus laksana tengkorak dengan alis 
berkemt dalam. "Tapi, mengapa tidak tenggelam ke dasar laut?! Mengapa 
bisa mengapung di permukaan air?! Aneh...!" 

"Kita ambil ya. Guru?!" pinta Tungga Dewi, dengan sorot mata 
memancarkan keinginan besar. 

Sepasang mata gadis itu seperti lekat dengan peti berwarna hitam 
mengkilat, tapi berukir indah ini. Dan peti itu terus mengapung di permukaan 
air, terbawa arus laut menghatnpiri perahu yang ditumpangi Tungga Dewi 
dan gurunya. 

"Jangan sembrono, Tungga Dewi!" cegah kakek kurus laksana 
tengkorak, cepat "Aku merasakan ada hal-hal yang aneh pada peti itu." 

"Hal aneh apa. Guru?!" bantah Tungga Dewi. "Aku yakin, tidak ada 
yang aneh dengan peti itu. Malah aku menduga keras kalau pen itu berisi 
harta karun atau kitab pusaka ilmu-ilmu silat tinggi!" 

"Kau masih belum berpengalaman, Tungga Dewi!" tegur kakek 
kurus laksana tengkorak, bernada halus. "Kau tidak melihat keanehannya, 
bisa kumaklumi. Ada dua keanehan peti itu, kalau kau ingin tahu" 

"Apa saja keanehan yang kau maksudkan. Guru?!" desak Tungga Dewi. 

Tungga Dewi memang kelewat dimanja oleh gurunya. Sehingga 
gadis ini tidak sungkan-sungkan lagi untuk mengemukakan pendapatnya 
terhadap gurunya. 

"Aku tidak melihat keanehannya sama sekali," gumam Tungga 

Dewi. 

"Kau bukannya tidak melihat keanehan itu. Dewi. Tapi benakmu 
telah tertutup keinginan untuk memperoleh peti itu. Bukankah demikian?!" 

Kakek kurus laksana tengkorak menatap wajah muridnya penuh 
selidik. Tapi Tungga Dewi tidak memberi sambutan sama sekali. Meskipun 
demikian, di dalam hatinya menyadari kebenaran ucapan gurunya. Diakui, 
memang ada dorongan kuat untuk segera mengambil peti itu. 

"Kau tidak perlu heran. Dewi. Karena aku pun dilanda perasaan 
yang sama. Hanya pengalamanlah yang membuatku tidak langsung 
menurutinya. Tapi, memikirkan keanehannya. Pertama, peti itu tidak 
tenggelam di dalam air. Padahal sepatutnya tenggelam. Kedua, ada dorongan 
kuat untuk segera mengambil peti itu Dorongan yang mengingatkan aku 
pada keanehan-keanehan ilmu gaib. Kalau pada manusia, ilmuitu dinamakan 
ilmu 'pelet'!" 

"Lalu..., apa yang akan Guru lakukan?" tanya Tungga Dewi. Dia 
telah pasrah, pada keputusan gumnya meski sepasang matanya tetap 
menyiratkan kei nginan berkobar-kob ar. 

"Mengambil peti itu, tapi tidak dengan cara sembrono, Tungga 
Dewi," jawab kakek kurus laksana tengkorak setelah tercenung sejenak 
"Bagaimana menurutmu. Kau setuju?!" 

Cepat-cepat Tungga Dewi mengangguk 

Kakek kurus laksana tengkorak tersenyum lebar melihat 
kegembiraan Tungga Dewi. 

"Kau tunggu di sini. Dewi. Aku akan mengambilnya. Ingat, 
hati-hati!" 

Byurrr! 

Belum juga pesan itu lenyap, air telah muncrat tinggi karena tubuh 
kakek kurus laksana tengkorak itu telah menusuk permukaan air laut. 
"Guru...! Lihat..!" 

Tungga Dewi berseru keras, ketika melihat sebuah perahu yang 
lebih besar daripada miliknya melaju cepat menuju arahnya. Sebuah dugaan 
bermain di benak Tungga Dewi. Jangan-jangan orang-orang yang berada di 
dalam perahu besar itu mempunyai maksud sama. Mengambil peti itu 

Kakek kurus laksana tengkorak itu tentu saja mendengar seman 
muridnya. Meski tengah sibuk mengarungi lautan, melawan arus gelombang 
dengan berenang, pendengarannya yang tajam menangkap seman Tungga 
Dewi. Dan sebenarnya seman itu tidak perlu, karena kakek kurus laksana 
tengkorak ini pun sudah melihat adanya sebuah perahu yang lebih besar me¬ 
luncur cepat ke arah peti! 

Kekhawatiran kalau pemilik perahu yang hadir itu mempunyai 
maksud sama, kakek kurus itu semakin mempercepat laju berenangnya. Dan 
ternyata, guru Tungga Dewi ini memiliki kemampuan renang luar bi asa, tak 
kalah dengan seekor ikan hiu. Tubuhnya begitu gesit menyibak permukaan 
air laut. 

Kreppp! 

Begitu peti hitam berukir indah telah terpegang di tangan, secepat 
kilat kakek kurus laksana tengkorak itu kembali! Berenang dengan cepat 
menuju perahu yang ditinggalkan 

"Keparat! Pencuri Hina! Jangan lari kau...!" 

Sebuah seman keras langsung terdengar ketika guru Tungga Dewi 
itu berenang secara cepat menuju perahu tempat muridnya berada. Dan sesaat 
kemudian, dari atas perahu-perahu yang baru tiba, meluncur tiga sosok tubuh 
yang langsung terjun ke dalam permukaan air laut. 

Semula, kakek kums laksana tengkorak tidak ambit peduli. Bahkan 
berkesan meremehkan, ketika melihat tiga sosok itu mengejarnya dengan 
berenang. Namun keterkejutan langsung muncul, ketika melihat tiga sosok 
itu memiliki kemampuan renang yang mengejutkan! 

Kakek kums laksana tengkorak menggemtukkan rahang ketika 
melihat jarak antara dirinya dengan tiga orang pengejarnya semakin dekat. 
Hatinya merasa penasaran diyakini melihat kenyataan ini. Padahal ilmu 
renangnya tidak akan kalah dibanding tiga orang pengejarnya. Tapi saat ini, 
dia berada dalam keadaan tidak menguntungkan. Karena sebelah tangannya 
digunakan untuk memegang peri hitam yang cukup besar, dengan panjang 
kurang lebih dari satu tombak. Sedangkan lebarnya kurang lebih setengah 
tombak. Dengan sebelah tangan yang hampir tidak berguna, kecepatan 
luncurannya jadi merosot jauh. Tak heran kalau tiga sosok pengejar yang 
memiliki ilmu renang mengagumkan itu, mampu mengej amya! 




Ketika jarak para pengejarnya semakin dekat, kakek kurus laksana 
tengkorak itu tahu kalau tak akan lama lagi akan tersusul. Dan dia tidak 
menginginkan hal ituteijadi. Maka.... 

"Dewi...! Tangkap ini...!" 

Seiring seman itu, guru TunggaDewi ini mengayunkan tangan yang 
memegang peti ke arah muridnya yang berada di perahu dengan pengerahan 
tenaga dalam. 

Tappp! 

Setelah beberapa saat peti hitam itu melayang-layang di angkasa, 
dengan pengerahan tenaga dalam, kedua tangan Tungga Dewi berhasil 
menangkapnya. Pada saat yang bersamaan, kakek kurus laksana tengkorak 
berbalik menghadapi para pengejarnya. 

"Hey...!" 

Kakek kurus laksana tengkorak ini berseru kaget ketika salah 
seorang pengejar menjauhinya. Dan orang itu langsung berenang cepat 
menuju perahu Tungga Dewi. Kakek kurus ini berusaha menghadang, tapi 
maksudnya dihalangi dua sosok pengejar lainnya. 

"Dewi...! Cepat pergi ke pantai...!" sem kakek itu sambil 
menghentakkan kedua tangannya yang terkepal ke arah dua pengejarnya 
yang menghadang maksudnya. Dua kali kedua tangan itu dihentakkan ke 
arah dua lawannya, maka seketika terdengar bunyi berkesiutan nyaring yang 
diikuti beberapa tetes air menuju sasaran. Kakek ini memang tengah 
melepaskan pukulan jarak jauh. 

Pyanr! Blarrr! 

Salah seorang pengejar rupanya tidak bersiap dalam menghadapi 
serangan. Namun dia segera menyelam, sehingga pukulan jarak jauh itu 
menghantam permukaan air. Seketika benda-benda cair itu pun 
bermuncratan ke udara. Sementara sosok yang satu lagi menangkis serangan 
itu dengan pukulan jarak jauh. 

Blarrr...! 

Udara langsung bergetar hebat, akibat benturan dua pukulan jarak 
jauh. Tubuh kedua belah pihak pun teijengkang ke belakang, dan agak 
terbenam ke dalam air. Namun kakek kurus itu lebih beruntung. Dengan 
mudah, kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar, berhasil dipatahkan. 
Lalu, dia segera menyelam dan mendekati kedua pengejarnya. Dan kini 
pertarungan pun berlangsung semakin sengit. 

Sementara itu, Tungga Dewi benar-benar dipaksa mengerahkan 
seluruh tenaga dalamnya untuk memacu laju perahunya secepat mungkin. 
Untungnya, perahu itu sekarang dikemudikan pada tempat yang searah 
dengan arus angin dan gelombang laut. Sehingga, kayuhan tenaganya 
mendapat tambahan kekuatan yang tidak sedikit Namun, pengejarnya 
benar-benar seorang perenang luar biasa! Tubuhnya laksana ikan, cepat dan 
lincah bukan kepalang menyelinap di celah-celah gelombang air. 

Tungga Dewi agak jadi kalap ketika melihat j araknya dengan orang 
yang mengejarnya semakin dekat. Memang, kecepatan berenang orang itu 
jauh lebih cepat daripada laju perahu. Untungnya pantai sudah tidak begitu 
jauh. 

Sosok pengejar Tungga Dewi menyadari keadaannya. Maka ketika 
timbul di dalam air, kedua tangannya langsung dihendakkan melancarkan 
pukul an j arak j auh! 

Tungga Dewi sejak tadi memang bersikap waspada. Dan dia juga 
mendengar bunyi mengaung dari belakangnya. Dia tahu, orang itu telah 
mengirimkan pukulan jarak jauh yang memiliki kekuatan tinggi. Maka 
segera diambil keputusan cepat, setelah melihat pantai sudah tidak j auh lagi. 
Begitu pukulan jarak jauh hampir menghantam perahu, tubuhnya langsung 
melesat ke atas dan berputaran beberapa kali. 

Brakkk! 

Perahu kecil itu langsung hancur berantakan, ketika pukulan jarak 
jauh pengejar Tungga Dewi telak menghantamnya. Tapi, Tungga Dewi 
sendiri sudah mendarat mantap di pasir pantai. 

Tapi belum sempat Tungga Dewi berbuat sesuatu, mendadak 
terdengar bunyi berdesing nyaring. Tungga Dewi kaget bukan kepalang. 
Namun di saat yang amat gawat itu, dia masih sempat menyelamatkan 
nyawa. Buru-buru kakinya digeser ke samping. 

Takkk! 

"Akh...!" 

Tungga Dewi terpekik kaget ketika sebatang pisau merah darah 
yang meluncur ke arahnya, menghantam peti yang berada di atas kepalanya. 
Keras bukan kepalang, sehingga peti itu sampai terlepas dari pegangan dan 
terbawa melayang ke belakang. Lalu, peti itu meluncur, jatuh berdebuk keras 
di pasir. 

Tungga Dewi tidak mau membiarkan peti jatuh ke tangan 
pengejarnya yang diyakini telah melepaskan pisau mengancamnya. Maka, 
buru-buru tubuhnya melumk untuk mengambil peti yang sekarang telah 
tergolek di tanah. 

Lagi-lagi Tungga Dewi harus membatalkan maksudnya. Karena 
sebelum berhasil mencapai tujuan, beberapa benda berkilat telah meluncur 
memotong jalannya. Apabila Tungga Dewi nekat meneruskan maksudnya, 
pasti benda-benda berkilat yang terdiri dan beberapa batang pisau merah 
darah itu lebih dulu menembus tubuhnya. Maka mau tidak mau gerakannya 
dihentikan. Dan seketika kakinya melangkah ke belakang. 

Sementara itu sesosok bayangan telah melesat ke arah peti yang 
masih tergolek di pasir pantai. Dan Tungga Dewi pun tidak membiarkannya. 
Langsung diserangnya sosok bayangan yang tak lain pengeja-nya. Maka kini 
kedua orang ini terlibat dalam pertarungan sengit 

Maka kini di tempat itu terjadi dua kancah pertarungan. Hanya saja, 
yang satu berada di laut. Dan ternyata baik pertarungan antara Tungga Dewi 
maupun kakek kurus laksana tengkorak, berlangsung seimbang. 

Kakek guru Tungga Dewi itu sebenarnya memiliki kepandaian lebih 
tinggi. Namun, karena dikeroyok, pertarungan jadi beijalan imbang. Namun, 
tingkat kepandaian kedua lawannya tidak setingkat. Yang berkulit hijau 
memiliki kemampuan di bawah berkulit kuning. 

Memang tiga orang pengej ar peti hitam mengkilat itu memiliki 
warna kulit aneh, tidak seperti umumnya manusia. Bahkan lawan yang 
dihadapi Tungga Dewi memiliki warna kulit merah! 

Pertarungan yang berlangsung di laut benar-benar membuat tenaga 
terkuras dan jantung berdetak lebih cepat. Beberapa kali di saat tengah 
sibuk-sibuknya, muncul gelombang setinggi rumah yang membuat tubuh tiga 
orang sakti itu terbenam dan terbawa arus air beberapa saat. Hanya berkat 
tingginya kepandaian merekalah yang membuat selembar nyawa mereka 
selamat. 

Sementara itu pertarungan yang berlangsung antara Tungga Dewi 
melawan orang berkulit merah, berlangsung seru. Apalagi, seperti 
kawan-kawannya, wajah dan sikapnya kasar. Laki-laki berbaju rompi dan 
celana pendek abu-abu itu, memiliki ilmu-ilmu aneh, tapi dahsyat. Dan 
Tungga Dewi pun harus berjuang keras untuk menghadapinya. 

Yang lebih menggiriskan lawan Tungga Dewi ini memiliki senjata 
mengerikan! Sebuah belincong. Namun Tungga Dewi juga menggunakan 
senjata yang tidak kalah anehnya, yakni sebatang dayung dari besi baja! 
Bunyi mengaung selalu mengiringi ayunan dayung yang berat itu. 

Cringngng! 

Untuk yang kesekian kalinya, benturan antara senjata berat itu 
terjadi. Dan akibatnya Tungga Dewi kontan menyeringai. Tangannya terasa 
bergetar hebat dan terasa agak nyeri. Tungga Dewi sadar, tenaga dalam lelaki 
berkulit merah ini sedikit lebih besar. Untungnya, gadis berkulit kuning ini 
memiliki gerakan lebih cepat. Dan dengan kelebihan ilmu meringankan 
tubuh mili-nyalah membuat pertarungan seimbang. 

Di lain pihak, karena senantiasa dipukul gelombang menuju ke 
pantai, pertarungan yang terjadi di laut pun mulai bergeser ke pantai. Apalagi 
kakek kurus laksana tengkorak yang merasa khawatir akan nasib muridnya 
ini juga berusaha keras untuk membuat pertarungan berlangsung di dekat 
Tungga Dewi. Dan setelah berlangsung beberapa lama, pertarungan kini be- 
nar-b enar tiba di pantai! 

"Ha ha ha...!" 

Di saat dua kancah pertarungan tengah berlangsung sengit, meledak 
tawa keras membahana, sarat dengan rasa gembira. Tapi, ternyata di 
dalamnya terkandung sesuatu yang mengerikan! Seakan-akan tawa itu keluar 
dari mulut makhluk halus, sehingga terdengar begitu aneh! 

Bagai ada kata sepakat sebelumnya, pertarungan yang tengah 
berlangsung kontan terhenti. Dan mereka sama-sama menoleh ke arah asal 
suara tawa. Bukan hanya pengaruh menyeramkan yang menyebar dari suara 
tawa, tapi juga karena getaran suara itu pula yang membuat seluruh tenaga 
dalam mereka lenyap. Bahkan tulang-tulang dan otot-otot tubuh mereka te¬ 
rasa lumpuh, bagaikan dilolosi! 

Beberapa tombak dari tempat mereka berdiri, tampak seorang 
pemuda berwajah tampan berpakaian coklat. Dia tengah berdiri dengan 
kedua tangan berkacak pinggang. Tampak angkuh sekali. Wajah tampannya 
semakin menyolok dengan adanya sebaris bulu-bulu tipis halus di bawah 
hidungnya. Ketampanannya semakin memikat dengan tubuhnya yang kekar, 
berisi, dan padat! 

Seharusnya, Tungga Dewi, gurunya, dan tiga lelaki berkulit aneh 
tidak merasa takut sama sekali terhadap seorang secakap pemuda berkumis 
tipis itu Tapi kenyataan mengatakan lain. Seketika bulu tengkuk mereka 
semua terasa meremang. Entah kenapa, mereka semua tidak tahu Yangjelas, 
ada sorot mengerikan yang terpancar dari pemuda berkumis tipis itu. Tidak 
hanya dari sepasang matanya yang mencorong kemerahan dan membiaskan 
sinar aneh, tapi juga pancaran aneh pada sekujur tubuhnya. Sehingga 
menimbulkan kesan menyeramkan. 

"Ha ha ha...!" Pemuda berkumis tipis kembali tertawa bergelak. 
"Mengapa kalian semua terbengong bengong?! Ayo! Teruskan pertarungan 
kalian!" 

Suara itu membuat lima orang yang tadi bertarung sadar dari 
keteipakuannya. Mereka saling berpandang sejenak, dengan wajah merah 
padam. Jelas perasaan mereka tersinggung. Memang, ucapan pemuda 
berkumis tipis itu kelewatan! 

"Begitukah anggapanmu. Pemuda Sombong?!" dengus kakek kurus 
laksana tengkorak ini "Sekarang, coba sambut seranganku!" 

Kakek kurus guru Tungga Dewi ini langsung menghentakkan kedua 
tangannya yang terbuka ke depan secara berbarengan. Maka seketika angin 
keras berhembus ke arah pemuda berkumis tipis. Kekuatan kakek ini 
memang telah pulih kembali. Demikian jugaTungga Dewi dan tiga lelaki 
yang memburu peti. 

Pemuda berkumis tipis menyeringai. Sebuah seringai mengandung 
sesuatu yang mengerikan. Kemudian, tangan kanannya dilonjorkan ke depan, 
dan digoyang-goyangkan. Lalu.... 

Blarrr! 

Seketika terdengar ledakan keras yang disusul terpelantingnya 
tubuh kurus itu ke belakang dan jatuh terduduk di tanah. Dadanya kontan 
terasa sesak bukan kepalang. Bahkan sakit yang amat sangat melanda kedua 
tangannya. 

Kakek kurus guru Tungga Dewi ini bangkit dengan pandangan 
nanar. Dengan hati kaget dia melihat pemuda berkumis tipis itu tidak 
bergeming sama sekali. Dan ini membuatnya terkejut setengah mati. Selama 
malang melintang belasan tahun, dalam dunia persilatan, belum pernah dia 
mengalami kejadian seperti ini! Sungguh sukar dipercaya ada orang semuda 
itu, mampu membuatnya terbanting dalam adu pukulan jarak jauh. Bahkan 
pemuda itu tidak bergeming sama sekali. Padahal, terlihat jelas kalau pemuda 
berkumis tipis itu seperti tidak mengerahkan tenaga sama sekali. Andaikata 
mengerahkan pun, hanya sekadarnya! 

"Ha ha ha...! Bagaimana, Nelayan Tenaga Gajah?! Masih mau 
melanjutkan pertarungan?!" ejek pemuda berkumis tipis sambil menatap 
kakek kurus laksana tengkorak dengan pandang mata penuh ejekan. 

"Aku belum kalah!" jawab kakek kurus laksana tengkorak yang 
beijuluk Nelayan Tenaga Gajah, setengah berteriak. 

Julukan itu melekat karena tinggalnya sebagian besar memang di 
air. Gerakannya pun bagai ikan saja. Dan sekarang tokoh yang merupakan 
salah satu datuk besar persilatan golongan putih ini marah bukan kepalang 
mendapat ejekan seperti itu. Dan kemarahan yang amat sangat membuatnya 
meneijang pemuda berkumis tipis dengan ilmu andalan. Tubuhnya langsung 
menggelinding ke tanah, dan langsung melenting seraya mengirimkan 
serangan dahsyat berupa pukulan kedua tangannya yang bertubi-tubi. 

Namun pemuda berkumis tipis hanya tersenyum mengejek. Dengan 
masih bersikap memandang remeh, tangan kanannya dijulurkan dengan 
tapak menghadap ke depan, tepat ketika serangan Nelayan Tenaga Gajah 
hampir menyentuh tubuhnya. 

"Hukh!" 

Nelayan Tenaga Gajah mengeluarkan keluhan tertahan. 
Serangannya tertahan sebelum mencapai sasaran. Bahkan tubuhnya berbalik 
kembali ke belakang, bagaikan membentur dinding yang tidak tampak. 
Dengan keras datuk golongan putih ini jatuh di tanah dan terguling-guling ke 
belakang. 

"He he he...!" Pemuda berkumis tipis hanya tertawa tawa melihat 
papakannya membawa hasil. 

"Guru...!" seru Tungga Dewi penuh rasa kaget dan khawatir. Dan 
dengan rasa cemas akan kesel ama-an gurunya, gadis berpakaian kuning ini 
menghambur ke arah Nelayan Tenaga Gaj ah. 

"He he he...!" 

Sementara pemuda berkumis tipis itu hanya tertawa 
terkekeh-kekeh. Sama sekali tidak dipedulikannya tiga lelaki berkulit 
warna-warni yang menatap ke arahnya dengan sinar mata ngeri. Sebagai 
tokoh silat berpengalaman, ketiga orang ini tahu kalau bukan tandingan 
pemuda berkumis tipis yang demikian sakti! Melihat betapa mudahnya 
Nelayan Tenaga Gajah dirobohkan, sudah bisa diperikirakan kalau mereka 
pun akan dapat dibuat sempa. 

Sayangnya, tiga lelaki berkulit aneh ini tidak sigap segera bertindak. 
Mereka baru merasa cemas ketika melihat tawa pemuda berkumis tipis 
mendadak terhenti, dan sekarang menatap ke arah mereka dengan sorot mata 
penuh ancaman. 

"Kalian membuat perutku mual!" 

Pemuda berkumis tipis lalu melambaikan tangannya dengan 
gerakan terlihat perlahan. Namun, mendadak saja tubuh ketiga lelaki berkulit 
aneh itu tertarik ke arah pemuda berpakaian coklat tanpa mampu menahan. 
Karuan saja hal ini membuat tiga lelaki itu ktget bukan kepalang. 

Dan sebelum tiga lelaki berkulit aneh ini sempat bertindak sesuatu, 
tangan pemuda berkumis tipis bergerak mengibas. Maka seketika tubuh 
ketiga lelaki yang sial itu terlempar ke belakang, melayang bagaikan sehelai 
daun kering yang terhembus angin keras! Rasa ngeri membuat mereka 
mengeluarkan jeritan tertahan. 

Di saat tubuh tiga lelaki berkulit wama-wami itu melayang, tangan 
pemuda berkumis tipis ini kembali bergerak melambai. Kali ini, giliran tubuh 
Tungga Dewi tertarik ke arahnya! Karuan saja, gadis yang telah tiba di dekat 
gurunya itu terkejut bukan kepalang! 

"Guru...! Tolong...!" teriak Tungga Dewi, keras. 

Nelayan Tenaga Gajah yang bam saja berhasil bangkit menggeram 
keras melihat keadaan muridnya. 

Maka tanpa mempedulikan keselamatan dirinya lagi. Nelayan 
Tenaga Gajah melompat menerkam pemuda berkumis tipis itu. Tindakannya 
mirip seekor garuda yang hendak menerkam mangsanya. 

Tapi, lagi-lagi maksud kakek kurus laksana tengkorak ini kandas. 
Hanya dengan mengibaskan tangan kiri, tanpa menurunkan tangan kanan 
yang tengah melambai-lambai menarik tubuh Tungga Dewi, pemuda 
berkumis tipis ini telah membuat tubuh Nelayan Tenaga Gajah kembali 
terlempar ke belakang. Bahkan kali ini lebih jauh, laksana sehelai daun 
kering diterbangkan angin. 

T appp! 

Tubuh Tungga Dewi telah berhasil ditangkap pemuda berkumis 
tipis. Tanpa menunggu lebih lama lagi, tubuh gadis berpakaian kuning 
diletakkan di bahu kanannya. Sama sekali tidak dipedulikan jeritan Tungga 
Dewi. 

"Lepaskan aku. Manusia Terkutuk...! Lepaskan...! Tolooong...! 
Guru..,! Tolong aku...!" 

Rontaan Tungga Dewi langsung mengendur ketika tangan lari 
pemuda berkumis tipis ini menotok bahu kanannya. Dan gadis ini hanya 
dapat berteriak minta tolong. Tapi, siapa yang akan menolong Tungga Dewi? 
Sementara, tubuh gurunya sendiri Nelayan Tenaga Gajah tengah 
melayang-layang di udara, tanpa mampu berbuat sesuatu untuk 
menghentikannya. 


*** 

"Tolooong..! Lepaskan aku...! Manusia Keji...! Manusia Jahat...! 
Lepaskan aku...!" 

Sepanjang perjalanan saat dibawa lari pemuda berkumis tipis, 
Tungga Dewi tak henti-hentinya berteriak. Padahal, sekarang dia telah 
berada jauh dari tempat semula. 

"He he he...! Berteriaklah, Manis. Ingin kulihat, siapa yang dapat 
membebaskanmu dari tanganku, Karpala...! He he he...!" sambut pemuda 
berkumis tipis yang ternyata Karpala ini, penuh kegembiraan. 

"Aku yang akan membebaskannya...!" Dan mendadak saja 
terdengar suara keras menggelegar. Belum lagi gema suara itu lenyap, 
mendadak sesosok bayangan berkelebat. Sekejap kemudian, di depan 
pemuda bernama Karpala berdiri tegak seorang pemuda berambut putih 
keperakan. Sikap pemuda yang tak lain Aiya alis Dewa Arak ini terlihat 
angker. 

"He he he...!" Pemuda berkumis tipis tertawa bergelak. Kemudian 
tawanya berhenti mendadak sambil mendengus. "Kau...?! Kau yang akan 
membebaskannya?!" 

"Benar! Aku yang akan membebaskannya!" tandas Aiya, tegas. 
"Ternyata kau benar-benar manusia terkutuk! Menyesal dulu aku telah 
menolongmu dari tangan tiga orang pengejarmu! Kau ternyata orang yang 
memiliki watak hina!" 

"Hehe he...!" 

Kaipala hanya tertawa terkekeh, kemudian menatap Arya penuh 
selidik dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sepasang matanya yang 
berwarna merah darah tampak agak menyipit. Dahinya punberkemyit dalam. 

"Jadi..., rupanya kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak...?! Tidak 
berlebihan julukan itu! Kau memang memiliki kepandaian tinggi, Arya 
Buana! Namamu, Arya Buana, kan?! Dan gurumu..., Ki Gering Langit?! 
Ayahmu, Tri Buana. Dan ibumu, S ani...?! Kau mempunyai kekasih putri 
angkat Raja Nalanda di Kerajaan Bojong Gading. Melati kan, namanya? 
Tapi, aku tahu kalau nama itu bukan nama aslinya. Bukankah dia bernama 
Seruni?" 

Sepasang mata Arya kontan terbelalak lebar. Mulutnya terbuka. 
Andaikata saat itu ada lalat, mungkin tanpa sadar pemuda berambut putih 
keperakan ini akan menelannya! Untuk pertama kalinya, Arya tidak bisa 
menyembunyikan gejolak perasaan yang melanda hati, sehingga tampak 
pada waj ahny a. 

"Kau..., siapa kau...?! Dan dari mana kau tahu semua itu..?!" desak 
Arya dengan suara terbata-bata. Perasaan kaget telah membuat suara pemuda 
berambut putih keperakan ini bergetar. 

Wajar saja kalau Arya terkejut. Kalau orang tahu siapa dirinya, 
gurunya, dan ayahnya, dia tidak akan merasa heran. Karena hampir semua 
tokoh persilatan yang telah cukup mengenalnya, tahu mengenai hal itu. Tapi 
asal-usul Melati, siapa Melati sebenarnya, dan nama ibunya Arya, tidak 
seorang pun yang tahu kecuali beberapa orang. Itu pun hanya orang-orang 
terdekat. Tapi, pemuda berkumis tipis ini ternyata mengetahuinya. Siapa 
sebenarnya pemuda ini? Paling tidak, dari mana dia tahu akan hal itu?! 

"Kau kaget. Dewa Arak...?!" tanya Karpala bernada mengejek "Kau 
akan lebih terkejut lagi kalau aku menyebutkan secara jelas, siapa guru 
Melati. Bahkan asal-usulmu?!" 




"Kau.... Kau pasti mengada-ada...!" seru Arya, hampir berteriak 
karena perasaan kaget dan tidak percaya. 

"He he he...! Karpala tidak pernah omong besar tanpa bukti. Dewa 
Arak! Kalau ingin bukti, baik segera kujelaskan! Gum Melati adalah Ki 
Julaga, dan tewas di tangan Ruksamurka. Sedangkan kakek gurumu. Eyang 
Tapakjati, tewas di tanganTiga Macan Lembah Neraka di Gunung Jawi. Kau 
sendiri merupakan keturunan terakhir dari Keraj aan Pulau Es. Kau cucu dari 
Sangga Buana. Sedangkan ayahmu, Tri Buana, tewas di tangan Siluman 
Tengkorak Putih! He he he...! Apa lagi yang ingin kau ketahui. Dewa Arak?! 
He he he...!" 

"Ti... ti... tidak mungkin..! Tidak mungkin..! Mustahil...! Dati 
mana kau tahu semua itu. Keparat! Dari mana kau mengorek keterangan 
itu?!" desak Arya, dengan suara makin bergetar. 

Beberapa kali pemuda berambut putih keperakan itu hanya 
mengulang-ulang perkataannya. Dia terlampau kaget melihat kenyataan 
betapa Karpala tahu secara jelas semua riwayat keluarganya. Bahkan juga 
Melati. Mungkin ada orang yang memberitahukannya. Kalau tidak demikian, 
dari mana? 

"Aku...? Dati mana aku tahu semua itu...? Ha ha ha... Dewa Arak, 
bagi Karpala tidak ada perkara yang tertutup. Sekali lihat seseorang, aku tahu 
riwayat hidupnya! He he he...!" pemuda berpakaian coklat itu tertawa 
bergelak. Sebuah tawa kemenangan melihat Arya dicekam kebingungan. 

Cukup keras Karpala mengatakannya. Tapi, bagi Arya suara itu 
bagaikan berasal dari jauh hingga terdengar samar-samar sekali. Terlalu 
halus. Bahkan sama sekali tidak tertangkap otaknya. Arya bagai kehilangan 
akal melihat Karpala berhasil menelanjangi masa lalunya. 

"Hey...! Pemuda berambut putih..! Bukankah kau ingin 
menolongku...?! Mengapa malah termenung seperti ayam tertelen telurnya 
sendiri...?!" tiba-tiba TunggaDewi berteriak keras, membuat Arya tersadar 
dari ketermenung annya. 

"Lepaskan gadis itu, Karpala! Kau tidak lebih dari seorang pengecut 
yang hanya berani menghadapi seorang wanita tidak berdaya! Lepaskan dia. 
Dan, kita bertarung secara jantan! Ingin kubuktikan kehebatan tokoh yang 
telah bersesumbar demikian hebat!" tantang Arya, menyanjung sekaligus 
membanting 

"He he he...!" Karpala tertawa bergelak. "Kau cerdik. Dewa Arak. 
Kau pura-pura memuji dan mengangkat-angkat kebanggaan pada diriku 
untuk mengambil keuntungan. Aku tahu, kau bermain-main akal-akalan. 
Tapi, sudah telanjur! Untuk membuktikan kalau aku bukan orang yang hanya 
berani terhadap wanita, dan juga untuk menghadapi tantanganmu secara 
jantan, biarlah aku rela ditipu!" 

Karpala mengulurkan tangan, menepuk-nepuk tubuh Tungga Dewi. 
Kelihatan sembarangan saja, tapi gadis berpakaian kuning itu merasakan 
tenaganya kembali pulih Jalan darahnya mengalir lancar, setelah totokan 
atas dirinya telah punah! 

Kelegaan hati Tungga Dewi semakin berkobar ketika Karpala 
melemparkan tubuhnya, untuk memenuhi janji pada Dewa Arak. Tungga 
Dewi yang telah bebas dari totokan, tidak ingin tubuhnya terbanting di tanah. 
Maka dengan menggunakan kelihaiannya, kedua kakinya mendarat di tanah. 
Tanpa diberi penntah, Tungga Dewi menyingkir. Gadis ini telah bisa 
mengetahui kalau pertarungan antara kedua tokoh akan berlangsung. Dia 
tidak ingin terkena serangan nyasar. 

Tungga Dewi sendiri telah lama mendengar nama besar Dewa Arak 
yang menggemparkan. Bahkan menumt gurunya, kepandaian pemuda itu 
lebih tinggi daripada gurunya. Maka gadis berpakaian kuning ini bisa 
membayangkan kalau pertarungan akan berjalan lebih menarik daripada 
ketika pertarungan antara Karpala menghadapi gurunya. 

Sementara, Dewa Arak langsung bersikap waspada, ketika melihat 
Karpala telah membebaskan Tungga Dewi. Pemuda berambut putih 
keperakan ini langsung terkejut, saat melihat gerakan Karpala yang jauh 
berbeda dengan saat Arya menyelamatkannya dari kepungan tiga pemuda 
murid Perguruan Pedang Halilintar! Pandang mata Dewa Arak yang tajam 
segera dapat mengetahui kalau pemuda berkumis tipis yang berdiri di 
hadapannya memiliki kepandaian tinggi. Meskipun demikian. Dewa Arak 
belum yakin kalau belum membuktikannya sendiri 

"Lihat serangan...!" 

Arya memperingatkan untuk menunjukkan kalau pertarungan telah 
siap dimulai. Sesaat kemudian, pemuda berambut putih keperakan ini telah 
melancarkan tusukan bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pusar, 
menggunakan ujung-ujung jarinya. 

"Hmh...!" 

Pemuda berkumis tipis mendengus dengan tarikan wajah dan sinar 
mata memancarkan kemarahan. Dan seketika tangan kanannya dikibaskan. 
Akibatnya, tubuh Dewa Arak terjengkang ke belakang, seperti menabrak 
sebuah dinding kasatmata. Hanya berkat kemampuannya yang tinggi, 
kekuatan yang membuat tubuhnya membalik berhasil dipatahkan. 

Dewa Arak menatap wajah Karpala dari ujung rambut sampai ujung 
kaki. Pendekar muda ini tidak tergesa-gesa melakukan serangan susulan. 
Sebagai tokoh besar dunia persilatan, dia tahu ada hal-hal aneh tersembunyi 
di sini. Memang agaknya Karpala bertindak tidak jantan. Pemuda berkumis 
tipis itu tidak menghadapi serangannya secara langsung, tapi menggunakan 
ilmu gaib! Dan karena pernah mengalaminya sendiri, Arya jadi langsung 
mengetahuinya. (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam 
episode: "Penganut Ilmu Hitam"). 

"Rupanya kau mahir menggunakan ilmu-ilmu gaib, Karpala!" tebak 
Arya dengan suara serak 

Diam-diam pemuda berpakaian ungu ini merasa bersyukur kalau 
tadi tidak menggunakan tenaga sepenuhnya dalam melancarkan serangan 
pertama. Dan itu didasari oleh ketidakyakinanny a kalau pemuda berkumis 
tipis ini memiliki kepandaian tinggi. Bahkan, dia hanya menggunakan jums 
yang ada dalam ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga'! 

"Kau ingin tahu lebih banyak. Dewa Arak!" balas Karpala. "Akan 
kutunjukkan yang lebih banyak. Tapi sayang, kemampuanku masih terbatas. 
Tapi, tak lama lagi kau akan melihat kemampuanku yang sebenarnya! Dan 
kau akan terkejut karenanya. Karena, tidak ada seorang pun yang akan dapat 
mengalahkanku! Apalagi, seorang tokoh hijau sepertimu! Ha ha ha...! Dan 
sedikit tambahan, kaujangan merasa bangga dengan bisa menebak kalau aku 
menggunakan kemampuan gaib. Dewa Arak. Itu hanya sebagian kecil saja! 
Lihat...! Aku menyerangmu...!" 

Kini sepasang mata Tungga Dewi pun terbelalak lebar ketika 
melihat pemandangan yang terlihat di depannya. T ampak Dewa Arak tengah 
sibuk sekali bergerak ke sana kemari. Beberapa kali, gerakannya seperti 
orang menangkis ataupun mengelak. Tapi, tak jarang pula seperti orang 
tengah melakukan serangan. Yang membuat Tungga Dewi kaget adalah 
karena tidak ada lawan yang dihadapi Arya! 

Karpala sama sekali tidak melakukan serangan. Dia hanya berseru 
keras seperti memberi peringatan, kalau sedang menyerang. Padahal, sejak 
tadi hanya berdiri diam di tempatnya. Bahkan, pemuda berkumis tipis itu 
sempat-sempatnya mengedipkan sebelah mata pada Tungga Dewi sambil 
menyeringai lebar! Sementara beberapa tombak di depannya, tampak Dewa 
Arak yang tengah sibuk bertarung. 

"He he he...! Apa yang tengah kau lakukan. Dewa Arak?! Siapa 
yang kau hadapi?!" 

Karpala mengeluarkan seman demikian, ketika Dewa Arak telah 
bertarung hampir dua puluh jurus menghadapi lawan yang tak terlihat. Napas 
pemuda berambut putih keperakan itu agak memburu karena, lawan semua 
yang dihadapi mengajaknya bertarung cepat dan dengan pengerahan tenaga 
dalam penuh. 

Ucapan Karpala membuat lawan semu yang dihadapi Dewa Arak 
mendadak lenyap. Maka seketika Dewa Arak menghentikan perlawanannya 
dengan mata tampak terbelalak sebentar. Dia melihat, Karpala berdiri 

seenaknya beberapa tombak darinya. Padahal, pemuda berkumis tipis itu 
tidak terlihat berpindah dari tempatnya bertarung. Tapi ketika melihat wajah 
Karpala yang tidak berpeluh seperti bayangan Karpala yang jadi lawannya 
langsung bisa disadari kalau untuk kedua kalinya berhasil dipengaruhi ilmu 
gaib. 

Dua kali terkena pengaruh ilmu gaib Karpala, membuat Dewa Arak 
mulai was-was. Dia tidak yakin akan dapat menandingi, apalagi 
mengalahkan pemuda berkumis tipis ini. Dan apabila kalah, itu berarti 
keselamatan Tungga Dewi terancam! 

"Lebih baik kau pergi dari tempat ini, Nisanak. Dia terlalu lihai. 
Bukan tidak mungkin aku akan kalah di tangannya. Mumpung itu belum 
terjadi, lebih baik segera pergi tinggalkan tempat ini!" 

Tungga Dewi hampir terlonjak kaget mendengar peringatan seperti 
itu di telinganya. Dia tahu, suara itu milik Dewa Arak. Dari suara itu memang 
telah dikenalnya sewaktu pemuda berambut putih keperakan ini terlibat 
percakapan dengan Karpala. Tapi, mungkinkah itu? Padahal, jelas-jelas 
terlihat kalau bibir pemuda berpakaian ungu itu tidak bergerak sama sekali. 
Bukankah orang yang mengirimkan suara dari jauh, mulutnya akan 
berkemak-kemik?! Tapi, mengapa Arya tidak sama sekali? 

"Tunggu apalagi, Nisanak?!" Kembali suara Dewa Arak mengaung 
di pinggir telinga Tungga Dewi. 

"Apakah kau ingin tertangkap olehnya lagi? Ingat! Apabila itu 
terjadi, aku tidak akan sanggup untuk membebaskanmu. Carilah kesempatan 
di saat aku akan membuatnya sibuk!" 

"Hih...!" 

Tungga Dewi melihat Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya 
ke arah Karpala. Meski jaraknya agak jauh, gadis berpakaian kuning ini 
merasakan ada-nya hembusan angin panas menyebar ke tempatnya berdiri. 
Dan gadis ini jadi takjub bukan kepalang, melihat kedahsyatan serangan 
jarak jauh Dewa Arak. Hanya saja, dia tidak tahu kalau sebenarnya Dewa 
Arak telah menggunakan ilmu 'Belalang Sakti', dalam jurus 'Pukulan 
Belalang'! 

Dengan sikap tenang, Karpala menjulurkan tangan kananya ke 
depan, sedikit lebih tinggi dari kepala. Kemudian, tangan itu digerakkan 
mendatar ke kiri sejauh setengah tombak. Lalu, digerakkan ke bawah, 
mendatar lagi ke kanan, dan naik ke atas. Pemuda berkumis tipis ini seperti 
tengah membuat empat persegi panjang di depan tubuhnya. Kemudian.... 

Blammm! 

Dewa Arak kontan terperanjat ketika melihat pukulan jarak jauhnya 
meluncur kembali ke arahnya. Deru angin keras berhawa panas menyengat 
langsung mendahului menyambar, sebelum serangan itu sendiri tiba. Ya! 

Pukulan jarak jauh Dewa Arak berbalik seperti menghantam dinding karet 
yang kasat mata! 

Dewa Arak telah tahu kedahsyatan pukulan jarak jauhnya, dan tentu 
saja tidak ingin jadi korban. Maka Arya segera melompat ke atas, sehingga 
pukulan jarak jauhnya yang berbalik meluncur lewat di bawah kakinya, 
langsung menghantam sebatang pohon besar hingga tumbang dan hangus 
seperti tersambar petir! 

"He he he...! Sebuah ilmu pukulan jarak jauh yang hebat. Dewa 
Arak! Akan berakibat menggiriskan. Bahkan menjadi pembicaraan hangat di 
dunia persilatan, apalagi yang menjadi korban adalah tuannya sendiri!" ejek 
Kaipal a. 

Dewa Arak tersenyum pahit. Sama sekali tidak dipedulikannya 
ejekan lawannya, sungguhpun terasa panas hatinya. 

"Kau telah menyerang sebanyak dua kali. Dewa Arak. Tapi, aku 
baru sekali. Maka aku masih mempunyai kesempatan untuk menyerangmu 
sekali. Bersiaplah, Dewa Arak!" 

Dewa Arak merasakan detak jantungnya memukul lebih cepat. 
Hatinya terasa tegang bukan kepalang. Pemuda berambut putih keperakan ini 
sudah bisa memperkirakan kedahsyatan serangan yang akan dikirimkan 
Kaipal a! Tapi belum juga pemuda berpakaian coklat itu menyerang.... 

C ring, ering, ering! 

Mendadak terdengar bunyi bergemerincing nyaring. Tidak terlalu 
keras. Tapi karena saat itu tengah dilingkupi kesunyian, bunyi itu jadi 
terdengar jelas. 

Dan Arya s ama sekali tidak mempedulikan bunyi itu. Perhatiannya 
tengah terpusat pada serangan yang akan dilancarkan Karpala. Dan memang. 
Dewa Arak tidak berani berlaku sembrono terhadap seorang lawan seperti 
Karpal a yang diketahuinya banyak memiliki ilmu gaib. 

Namun, tidak demikian halnya Kaipal a. Begitu mendengar bunyi 
berkerincingan tadi, wajahnya kontan berubah hebat. Dan Aiya yang bermata 
tajam langsung melihatnya. Ternyata wajah Karpala berubah pucat pasi! 
Sinar matanya pun meliar, menampakkan kegelisahan yang sangat. 

"Rupanya kau masih beruntung. Dewa Arak! Nyawamu tidak jadi 
melayang hari ini! Aku masih mempunyai urusan yang jauh lebih penting 
daripada ini!" 

Setelah berkata demikian, Karpala melesat meninggalkan tempat 
itu. Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuhnya telah begitu jauh dan 
lama-kelam aan lenyap ditelan keremangan hutan. 

"Hhh...!" 

Arya menghembuskan napas antara lega dan kecewa. Di satu sisi 
dia merasa berpantang untuk memaksa seorang lawan yang tidak mau 
bertarung. Dan di sisi lain ada perasaan bersyukur di hati Arya, melihat 
Karpala pergi. Karena Dewa Arak sendiri memang tidak yakin akan mampu 
menghadapi tokoh yang menggiriskan itu. 

*** 

"Mengapa kau masih di sini, Nisanak?! Apakah kau tidak tahu 
betapa berbahayanya? Kalau aku kalah, apalagi tewas oleh Karpala, kau akan 
kembali menjadi tawanan!" tegur Arya, ketika melihat Tungga Dewi masih 
berdiri di sita 

"Aku bukan seorang pengecut yang tega meninggalkan penolongku 
menghadapi bahaya sendirian! Apabila kau mati, aku tidak ingin hidup! 
Pantaskah aku melarikan diri, padahal orang yang menolongku beijuang 
mati-matian! Bagi guruku, dia akan marah besar padaku!" sambut Tungga 
Dewi, mantap. 

Perasaan mendongkol di hati Aiya yang tadi sempat timbul meski 
hanya sedikit, langsung menguap. Sikap Tungga Dewi yang ksatna itulah 
yang menyebabkannya demikian. Ternyata, Tungga Dewi adalah seorang 
gadis yang tahu berterima kasih! Seorang gadis beijiwa ksatna yang sudah 
pasti merupakan seorang murid tokoh besar persilatan! 

"Kurasa tidak demikian, Nisanak. Aku tidak yakin kalau gurumu 
akan marah. Sebagai seorang tokoh besar, beliau pasti berpikir panjang. 
Tidak ada gunanya tems melawan, kalau kenyataan musuh jauh lebih kuat. 
Itu bukan pengecut namanya, Nisanak. Tapi, bijaksana! Justm kalau 
melawan tems, akan mengakibatkan kematian sia-sia!" kilah Aiya sambil 
tersenyum lebar. Sikap Tungga Dewi yang keras hati, mengingatkannya akan 
sikap Melati, kekasihnya. 

"Namaku Tungga Dewi, Dewa Arak. Kurasa lebih baik kau panggil 
namaku saja," pinta Tungga Dewi sambil menyebutkan namanya. "Dan..., 
dari mana kau bisa tahu kalau guruku seorang tokoh besar?!" 

"Melihat sikapmu, Ni... eh! Dewi. Kalau muridnya bersikap 
demikian ksatria, tentu mempunyai seorang guru yang ksatria pula. Boleh 
kutahu nama atau julukan beliau? Namaku sendiri, Aiya. Aiya Buana. Jadi, 
kau tidak perlu memanggilku Dewa Arak lagi." 

"Nah! Begini kan lebih baik. Dewa... eh! Arya," celetuk Tungga 
Dewi gembira. "Oh ya, guruku sering membicarakan dirimu dengan penuh 
kebanggaan. Beliau mengagumimu. Bahkan beliau menyuruhku agar 
bersikap sepertimu. O ya, beliau beijuluk Nelayan Taiaga Gajah." 

"Ah...! Kiranya kau murid tokoh sakti yang pandai renang itu. 
Dewi?!" desah Arya kaget 

"Kau mengenal gumku, Arya?" tanya Tungga Dewi, gembira 
melihat tanggapan pemuda berambut putih keperakan itu. 

"Mengenalnya sih, tidak. Tapi, nama besar gurumu telah lama 
kudengar. Bukankah beliau, merupakan salah satu di antara datuk-datuk 
dunia persilatan waktu itu? Maksudku, puluhan tahun lalu? Kalau tidak salah, 
dua puluh tahun yang lalu gummu telah mengukir nama besar dalam dunia 
persilatan. Bahkan sampai sekarang, julukannya masih bergaung. Beliau 
ditakuti dan disegani tokoh-tokoh dunia persilatan, terutama dari golongan 
hitam," kilah Arya. "Julukan beliau masih terkenal. Padahal, tokoh-tokoh 
besar dua puluh tahun yang lalu, sebagian besar tidak terdengar namanya 
lagi. Ng..., Guraksa dan Kum Sanca. Mereka adalah dua di antara 
datuk-datuk yang telah tidak terdengar namanya lagi." 

"Gumku juga pernah bercerita tentang dua tokoh itu, Aiya. Tapi, 
menumt cerita beliau, Guraksa dan Kum Sanca adalah tokoh..., maksudku 
datuk golongan hitam," bantah Tungga Dewi, bermaksud memperbaiki. 

"Apa yang dikatakan gummu memang benar. Dewi. Aku juga 
mendengarnya demikian," sahut Arya menganggukkan kepala. 

Tapi, mendadak pemuda itu tersentak kaget, sehingga membuat 
Tungga Dewi merasa heran karenanya. Dan sebelum, gadis berpakaian 
kuning ini berkata apa-apa. Dewa Arak telah lebih dulu menatapnya. 

"Mengapa aku demikian pelupa?!" 

"Ada apa. Dewa Arak?!" tanya Tungga Dewi melihat sikap Aiya, 
membuat gadis itu lupa, sehingga menyapa Arya dengan julukan. 

"Bunyi kerincingan itu," jawab Aiya sambil mengarahkan 
pandangan ke sekitarnya. 

Tapi, di sekitar tempat itu tidak terlihat apa-apa. Bahkan bunyi 
kerincingan itu sudah tidak terdengar lagi. Percakapan dengan Tungga Dewi 
membuatnya tidak ingat akan bunyi kerincingan. 

"Kau tadi mendengar bunyi itu. Dewi?!" tanya Dewa Arak. 

Tungga Dewi mengangguk. "Memang kenapa, Aiya?" 

"Kau tidak tahu?!" tanya Aiya setengah tidak percaya. "Bunyi 
kerincingan itulah yang membuat Karpala melarikan diri! Dia takut pada 
bunyi kerincingan itu!" 

"Ah..., begitukah?!" Tungga Dewi kaget 

"Kalau begitu..., kita berpisah di sini. Dewi. Aku ingin mencari 
pemilik kerincingan itu. Ingin kusingkap mengapa Karpala yang demikian 
sakti, kelihatannya memendam rasa takut terhadap bunyi ita Siapa gerangan 
tokoh yang memakainya." 

"Aku ikut, Aiya," celetuk Tungga Dewi cepat. 

"Tapi...," Aiya mencoba menolak. 

"Jangan khawatir, Arya!" selak Tungga Dewi. "Aku bisa menjadi 
diri! Percayalah. Aku tidak akan merepotkanmu! Lagi pula, siapa tahu dalam 
peijalananku bertemu gumku. O, ya. Kau belum tahukan kenapa aku bisa 
ditangkap Karpala?!" 

Teipaksa Arya menggel eng. 

"Kalau begitu, aku akan menceritakannya sambil kita mencari 
pemilik kerincingan itu. Bagaimana? Kalau kau tidak sudi melakukan 
perialanan bersamaku sih tidak apa-apa." 

"Tapi, Dewi... Mungkin arah kita akan berlawanan. Dan...." 

"Kau menempuh arah mana, Arya?!" selak Tungga Dewi, cepat. 
Sama sekali tak dipedulikannya ucapan pemuda berpakaian ungu itu yang 
belum selesai. 

"Utara...," jawab Arya, setelah tercenung sejenak 

"Kalau begitu kita sama!" sambut Tungga Dewi, dengan wajah 
berseri. "Tentu saja aku tidak akan memaksamu untuk tems bersama, Arya. 
Begitu bertemu pemilik kerincingan yang kau maksud, dan jika nanti arah 
yang kita tuju berbeda, kita berpisah. Bagaimana?!" 

Arya mengeluh dalam hati. Gadis berpakaian kuning ini memang 
terlalu pintar untuk membuat orang teipojok. Tentu saja sekarang, Arya tidak 
mempunyai alasan untuk menolak. Toh, kebetulan mereka menempuh arah 
peijalanan yang sama. 

"Kalau begitu, mari kita bergegas. Dewi. Aku khawatir, pemilik 
kerincingan itu telah pergi jauh," ujar Aiya. 

Sesaat kemudian, Arya dan Tungga Dewi telah melesat 
meninggalkan tempat itu. Dewa Arak yang semula merasa khawatir kalau 
dengan adanya murid Nelayan Tenaga Gajah itu peijalanannya akan 
terhambat, menjadi besar hatinya ketika mengetahui Tungga Dewi 
benar-benar membuktikan tekadnya. Gadis ini ternyata memiliki ilmu 
meringankan tubuh yang telah tinggi, sehingga Arya tidak terlalu banyak 
mengurangi kecepatan larinya. 




Arya memang seorang pendekar muda beipengalaman. Maka meski 
hanya mendengar sebentar, dia bisa memperkirakan asal bunyi kerincingan 
tadi. Dan, ke arah mana menghilangnya. Tak heran kalau tak lama kemudian, 
bunyi kerincingan itu kini sudah terdengar lagi di depannya. Memang masih 



samar. Tapi telah cukup membesarkan hati kalau arah yang ditujunya sudah 
benar. 

"Kita berhasil, Arya," ujarTungga Dewi yang berlari di sebelah kiri 

Arya. 

Nada suara gadis itu menyiratkan kegembiraan besar, tapi 
mengundang iba pemuda berpakaian ungu itu. Deru napas yang hebat, 
menjadi pertanda kalau sejak tadi Tungga Dewi berlari sampai di batas 
terakhir kemampuannya. Hal ini membuatnya cepat lelah. Tapi yang 
membuat hati Arya kagum, tidak sedikit pun Tungga Dewi menampakkan 
kelelahannya. Apalagi sampai mengeluh! Murid Nelayan Tenaga Gajah ini 
memang membuktikan ucapannya, kalau tidak akan merepotkan Dewa Arak. 

Rasa iba itulah yang membuat Aiya mengendurkan kecepatan 
larinya sedikit agar Tungga Dewi tidak mengerahkan kemampuannya. Toh 
sampai habis, bunyi kerincingan itu sudah terdengar, bahkan semakin jelas. 
Dan berarti, jejak pemilik kerincingan itu sudah diketahui. 

Namun, kini bunyi kerincingan itu sekarang sudah tidak terdengar 
lagi. Sehingga membuat Arya agak gelisah. Meski demikian, kecepatan 
larinya tetap tidak ditambah. Arah yang dituju adalah tempat yang tadi 
terdengar bunyi kerincingan terakhir kali. 

Di saat Arya hampir putus asa, bunyi kerincingan itu terdengar lagi. 
Bahkan jauh lebih nyaring, pertanda jaraknya telah dekat Arya dan Tungga 
Dewi sampai berpandang an saking gembiranya. Dengan semangat baru yang 
kembali muncul, sepasang anak muda ini mengayunkan kaki ke arah asal 
bunyi kerincingan tadi. 

Lagi-lagi bunyi kerincingan itu lenyap. Tapi, Arya dan Tungga 
Dewi tidak kebingungan lagi, karena telah mempunyai patokan untuk 
mengejar. Dan sebentar kemudian, sepasang anak muda berwajah elok ini 
telah melihat sesosok tubuh di kejauhan, beijarak tidak kurang dari dua puluh 
tombak 

Meski jarak masih cukup jauh dan sosok itu berdiri memunggungi. 
Dewa Arak dapat memperkirakan kalau sosok itu ternyata seorang 
perempuan tua. Pakaiannya sederhana bercorak kembang-kembang. 
Rambutnya yang putih campur hitam tampak digelung ke atas. Dan kini jelas 
terlihat oleh Arya. 

Sosok berpakaian kembang-kembang yang diduga Arya seorang 
perempuan tua itu, tengah berdiri di depan sekumpulan tanaman sambil 
bersenandung. Kedua tangannya yang keriput dan kecil, memetiki beberapa 
tumbuh-tumbuhan di depannya dan dimasukkan ke dalam keranjang kecil di 
pergelangan tangan kirinya. Terkadang yang diambil pucuk daunnya, 
buahnya, dan tidak jarang kulit pohonnya. 

Hanya sekali lihat Dewa Arak bisa menduga kalau sosok yang 
diduga seorang perempuan tua itu tengah mencari tumbuh-tumbuhan yang 
dapat dijadikan sebagai ramuan pengobatan. 

Beberapa tombak sebelum Arya danTungga Dewi tiba di dekatnya, 
sosok berpakaian kembang-kembang itu berbalik. Kedatangan Dewa Arak 
dan murid Nelayan Tenaga Gajah itu rupanya telah didengarnya. 

Sosok berpakaian kembang-kembang yang ternyata benar seorang 
nenek itu, tersenyum. Sehingga mulutnya yang keriput memperlihatkan 
barisan gigi yang sudah tidak bergigi lagi. 

"Maaikan kalau kami mengganggumu, Nek," Arya buru-buru 
angkat bicara sambil tersenyum lebar. 

Pemuda berambut putih keperakan itu khawatir kalau nenek 
berpakaian kembang itu menduga yang tidak-tidak. Maka buru-buru 
mendahului. 

"Tapi, percayalah. Kami tidak memiliki maksud jelek," sambung 
Dewa Arak. 

"Benar, Nek," timpal Tungga Dewi. "Kami tidak bermaksud jelek. 
Namaku Tungga Dewi. Dan iri kawanku, Aiya. Tapi, julukannya di dunia 
persilatan tidak main-main lho, Nek?!" 

"Ah...! Kawanku ini memang gemar becanda, Nek," potong Arya 
buru-buru. 

Dewa Arak khawatir, Tungga Dewi akan segera memperkenalkan 
julukannya. Tungga Dewi memang mirip Melati, gemar bertindak gegabah 
dan suka menonjolkan diri. Tapi anehnya, Arya yang selalu ditonjolkan! 
Bukan diri gadis itu sendiri. Padahal, bukan tidak mungkin kalau sikap 
gegabahnya akan membawa Aiya pada permusuhan yang tidak diinginkan. 
Siapa tahu, nenek berpakaian kembang-kembang itu mempunyai hubungan 
dengan tokoh sesat yang pernah tewas di tangan Arya. Misalnya! 

"Hi hi hi...!" 

Nenek berpakaian kembang-kembang itu tertawa. Terlihat lucu, 
karena sudah tidak memiliki gigi lagi. Bahkan suaranya terdengar aneh di 
telinga. 

"Kawanmu itu tidak bercanda. Nak Arya. Siapa sih, yang tidak 
kenal Dewa Arak yang telah membuat kolong langit geger?! Hi hi hi...! 
Selamat bertemu denganku. Dewa Arak. Kau memang telah 
kutunggu-tunggu," kata nenek itu. 

Arya kontan melongo. Sambutan nenek berpakaian 
kembang-kembang itu sama sekali tidak disangka-sangka. Sehingga, 
membuatnya kebingungan. Bahkan Tungga Dewi pun agak heran. Hanya 
saja karena sikap lincahnya, perasaan itu cepat temsir. 

"Agar kedudukan kita sama lebih baik kuperkenalkan diri. Namaku 
Lestari, Arya. O, ya. Berbicara sambil berdiri tidak enak. Lebih baik kita 
berbicara di sana saja. 

Tanpa memberi kesempatan pada Arya atau Tungga Dewi untuk 
memberikan tanggapan, nenek yang mengaku bernama Lestari mengayunkan 
kakinya menuju sebatang pohon besar. Dan kebetulan, pohon itu mempunyai 
akar yang menonjol keluar dari dalam tanah. Tempat yang dipilih Nenek 
Lestari ini ternyata cocok untuk duduk sambil berbincang-bincang. 

Arya dan Tungga Dewi saling berpandangan, sebelum akhirnya 
mengikuti kemauan Nenek Lestari. Sebentar kemudian, ketiga orang ini telah 
duduk bersama di atas akar pohon itu. 

"Aku belum mengerti maksud ucapanmu tadi, Nek. Bisakah kau 
menjelaskannya?!" pinta Arya, setelah memberi kesempata nenek berpakaian 
kembang itu untuk beristirahat sejenak. 

"Masalah penjelasan urusan gampang, Arya!" jawab Nenek Lestari 
bernada meremehkan. "Yang penting sekarang, katakana maksud tujuanmu, 
Arya. Apalagi bersama Tungga Dewi ini. Aku yakin, kau tidak kebetulan saja 
berada di sini. Apakah kau memang bermaksud menemuiku?! " 

"Memang begitu, Nek," sahut Aiya mengangguk. 

Lalau Dewa Arak menceritakan semua kejadian yang dialami 
bersama Tungga Dewi. Tentu saja, tentang cerita mengenai Tungga Dewi 
yang dilarikan Karpala sejak bersama Nelayan Tenaga Gajah tidak 
diceritakan. Karena, gadis berpakaian kuning itu sendiri baru saja 
menceriakannya pada Arya. Dan lagi, Arya merasa tidak berhak 
menceritakannya 

"Seorang pemuda berkumis tipis?!" ulang Nenek Lestari, ketika 
Arya telah menyelesaikan ceritanya. "Dia takut mendengar kerincinganku?! 
Aneh! Kau tahu, mengapa Arya?" 

"Tidak, Nek!" sahut Arya menggelengkan kepala. "Karena ingin 
tahu jawabannya itulah aku ingin menemuimu, Nek. Kupikir, kau 
mengetahuinya. Dia sakti bukan kepalang, Nek. Maksudku, ilmu-ilmu 
gaibnya. Karena, ilmu silatnya kulihat belum digunakannya" 

"Kau membuatku pusing, Arya, " gumam Nenek Lestari bernada 
mengomel, tapi tidak marah. "Mana mungkin ada seroang tokoh muda takut 
hanya karena mendengar bunyi kerincinganku? Padahal, aku tidak pernah 
mengukir nama besar dalam dunia persilatan dengan sepak teijangku seperti 
yang kau lakukan misalnya. Dan lagi..., sepengeetahuanku kerincingan 
ini..., maksudku... memang untuk menakut-nakuti seseorang. Karena, 
kerincingan ini telah dikelilingi pamor sedemikian rupa, sehingga membuat 
seorang tokoh akan lemah tenaganya. Hilang kemampuannya. " 

"Jangan-jangan, karena itulah pemuda berpakaian coklat itu 
melarikan diri.... Namanya... ah! Mengapa mendadak aku lupan namanya?! 

" Arya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Kau ingat nama 
pemuda berkumis tipi situ. Dewi! " 

Tungga Dewi melengak. Sepasang alisnya dikerutkan dalam-dalam, 
dalam upayanya berpikir keras untuk mengingat-ingat nama itu. tapi, seperti 
juga Arya, di tidak ingat sama sekali. 

"Entahlah, Arya. Tadi, aku memang ingat betul Dan entah mengapa 
mendadak lupa. Padahal, aku bukan sejenis orang pelupa lho?!" sahut 
Tungga Dewi tampak kebingungan sekali. 

"Sudahlah! Kalau tidak ingat, tidak usah terlalu dipikirkan. Lagi 
pula, si apa yang ingin mengetahui namanya? Hanya saja, perlu kutekankan 
sekali lagi, Arya. Kerincingan ini ialah benda peninggalan leluhurku yang 
kudapat dari ayahku. Kalau tidak salah, kerincingan ini sudah berumur 
hampir lima ratus tahun. Dan kerincingan ini dibuat memang untuk 
melumpuhkan seseorang yang memiliki ilmu-ilmumenggiriskan. Tidak ada 
suatu kekuatan pun yang dapat membunuh atau melumpuhkannya, kecuali 
kerincingan ini. Tapi benda ini pun hanya mampu melumpuhkannya seben¬ 
tar. Jadi, singkatnya orang itu tidak bisa dibunuh!" jelas Nenek Lestari. 

Pandangan Arya dan Tungga Dewi tanpa sadar beralih ke 
kerincingan yang melilit pergelangan tangan dan kaki Lestari. Kerincingan 
itu mirip gelang tangan dan gelang kaki. Hanya saja tersusun dari logam 
kosong sebesar mata, di dalamnya berisi baja bulat kecil padat. Setiap kali 
tangan dan kaki itu bergerak, kerincingan pun berbunyi nyaring. Dan 
sepasang anak muda ini jadi takjub, setelah mengetahui kerincingan itu telah 
bemmur lima ratus tahun. 

"Bisa kau ceritakan tokoh yang luar basa itu, Nek?!" tanya Aiya, 
makin tertarik. 

Sementara dalam hati. Dewa Arak tidak percaya kalau ada seorang 
manusia yang tidak bsa dibunuh Mustahil! Arya yakin, setiap ilmu ada 
kelemahanny a. 

"Baiklah. Kalau tidak kuceritakan, kalian akan terus penasaran. 
Sekarang, dengarkan baik-baik." Nenek Lestari termenung sejenak. 
Diingat-ingatnya cerita yang akan diuraikan pada Aiya dan Tungga Dewi. 
Cerita yang didengar dari mulut leluhurnya. 

"Sekitar lima ratus tahun yang lalu, di dunia persilatan merajalela 
seorang tokoh hitam yang keji dan ganas. Setiap hari, selalu jatuh korban 
pembunuhan, tidak peduli laki atau perempuan. Kalau tidak salah, malah 
jumlahnya lebih dari lima puluh orang. Yang jelas, dia membutuhkan 
sepuluh tong besar darah yang segar untuk dituangkan ke dalam lubang di se¬ 
buah gunung. Sayang aku lupa nama gunung itu" 

Arya dan Tungga Dewi saling berpandang dengan tengkuk 
meremang. Tokoh hitam itu pasti tidak waras! 

Nenek Lestari tidak mempedulikan kedua anak muda itu. Setelah 
menelan ludah untuk membasahi tenggorokan yang kering, ceritanya 
dilanjutkan. 

"Dunia persilatan geger. Para tokoh golongan putih angkat senjata, 
bersepakat untuk melenyapkan sumber kekejian itu. Tapi, tokoh keji itu 
ternyata memiliki kepandaian luar biasa. Banyak tokoh pendekar yang 
bermaksud baik itu roboh di tangannya. Tewas, dan kemudian menjadi 
tambahan darah yang dibutuhkan. Bisa kau perkirakan, Arya, Tungga Dewi. 
Sekali tokoh keji itu tumn tangan, penduduk satu desa langsung lenyap. 
Karena, mereka semua dibantai dan darahnya ditampung dalam sepuluh 
tong. Hanya dalam beberapa minggu, ribuan orang telah menjadi korban 
tindakan kejinya. Tapi tokoh-tokoh pendekar ini tidak membuat putus asa. 
Mereka mencari tahu, mengapa tokoh keji itu melakukan tindak kebiadaban 
demikian. 

Kemudian Nenek Lestari menghentikan ceritanya sejenak suasana 
jadi hening. Sepertinya, Dewa Arak dan Tungga Dewi tengah 
membayangkan, betapa menggiriskan tokoh keji itu. 

"Ternyata tokoh keji itu seorang pengabdi dan pemuja setan! 
Penguasa gunung yang tadi aku lupa namanya. Dan korban-korban darah 
sepuluh tong itu diperuntukkan sebagai persembahan, agar dia diberikan ilmu 
kepandaian tinggi. Dan kenyataannya, tokoh itu memang memiliki 
kepandaian tinggi! Dan tidak masuk akal! Dia mampu mengetahui segala 
sesuatu mengenai seseorang, hanya sekali lihat saja. Tahu keluarganya, 
asal-usulnya, guru, ilmu-ilmu yang dimiliki, dan kelemahannya! Di samping 
itu, dia memiliki banyak ilmu gaib dan kesaktian lain. Bahkan juga tidak 
mempan segala macam senjata, walau senjata itu terkenal ampuh menangkal 
ilmu-ilmu hitam! Pokoknya, tokoh keji itu merajalela tanpa tertandingi," 

'Tunggu sebentar, Nek!" selak Arya ketika Nenek Lestari 
menghentikan cerita. 

"Hmmm.J" 

Nenek berpakaian kembang-kembang itu hanya bergumam pelan 
sebagai sambutannya. 

"Pemuda berpakaian coklat yang kuceritakan tadi juga memiliki 
kemampuan seperti yang kau utarakan itu, Nek. Dan mampu menebak 
asal-usulku. Bahkan semua yang berhubungan denganku!" tutur Arya, 
dengan jantung berdetak kencang. 

"Benar, Nek!" ucap Tungga Dewi membenarkan. 

"Aku mendengarnya!" 

Raut wajah nenek berpakaian kembang-kembang berubah hebat. 
Terlihat jelas adanya kekhawatiran di sana. 

"Sampingkan dulu masalah itu! Kita teruskan cerita sebelum aku 
lupa!" ujar Nenek Lestari. Terdengar agak bergetar suaranya. Bahkan 
bibirnya pun bergetar. "Beberapa tokoh golongan putih yang terkenal di masa 
itu, tanpa mengenal lelah berusaha mencari cara melenyapkan tokoh keji ita 
Perguruan-perguruan besar mengutus muridnya untuk mencari 
peitapa-pertapa sakti yang memiliki ilmu gaib, untuk dapat digunakan 
menghadapi ilmu gaib tokoh keji itu. Tapi, semuanya hancur berantakan. 
Mereka semuanya tewas. Bahkan dukun-dukun ahli kebatinan diminta 
bantuannya mencari ilham, untuk mengetahui kelemahan ilmu tokoh keji ita 
Tapi, sekali lagi mereka semuanya tewas secara mengerikan!" 

Arya mengerling Tungga Dewi. Tampak wajah gadis berpakaian 
kuning itu menyiratkan kengerian. Sementara pemuda berambut putih 
keperakan ini pun merasakan betapa dahsyatnya kepandaian tokoh keji itu, 
meski hanya dari cerita Nenek Lestari. 

"Akhirnya, di sebuah masjid, seorang tokoh persilatan golongan 
putih yang baru selesai bershalat tahajud untuk meminta petunjuk bertemu 
seorang kakek yang wajahnya tidak tampak jelas. Tapi kakek itu 
mengenakan pakaian panjang serba putih sampai hampir ke lutut Kepalanya 
tertutup lilitan-lilitan kain. Kakek yang sekujur tubuhnya seperti bersinar itu 
memberi petunjuk padanya, untuk menemui orang-orang yang akan 
ditunjukkannya. Sementara, orang-orang yang dipilih kakek aneh itu sendiri, 
malam itu juga langsung bermimpi. Dalam mimpi, mereka bertemu kakek 
yang sama dan diberi petunjuk bagaimana cara mengalahkan tokoh keji yang 
merajalela itu." 

"Dan tokoh yang dipilih kakek aneh itu adalah leluhurmu. 
Bukankah begitu, Nek?!" tebak Tungga Dewi, tidak sabar. 

"Tidak tepat benar. Meskipun, memang tidak salah!" jawab Nenek 
Lestari. 

"Lho...?!" Tungga Dewi melongo. 'Bukankah leluhurmu yang telah 
mengalahkan tokoh keji itu?!" 

Ada nada penasaran dalam pertanyaan Tungga Dewi yang lebih 
cocok berupa kecaman ini. Aiya hanya berdiam diri. T api sepasang matanya 
menyiratkan tuntutan. Pemuda berambut putih keperakan ini memang 
menduga sama seperti Tungga Dewi. 

"Tidak hanya leluhurku!" jawab Nenek Lestari. "Masih ada dua 
tokoh lain yang juga mendapat petunjuk kakek aneh ita Berkat petunjuk 
kakek aneh itu pula mereka bisa bertemu, berkumpul. Bahkan ketiga kakek, 
yang salah satunya adalah leluhurku, berhasil membunuh tokoh keji ita T api, 
sebuah kenyataan tidak terduga terjadi. Ternyata tokoh keji itu meski mati. 
tapi tetap hidup! Mungkin karena dia telah menjadi pengabdi setan, sehingga 
meski mati, sewaktu-waktu bisa bangkit kembali. Rohnya dapat masuk ke 
dalam diri seseorang. Dan.... Astaga...! Mengapa aku demikian pelupa?!" 

"Ada apa, Nek?!" 

Arya dan Tungga Dewi yang sempat teijingkat ke belakang ketika 
melihat nenek berpakaian kembang-kembang ini teijingkat seperti disengat 
ular berbisa. 

"Pemuda yang kalian hadapi itu pasti titisan tokoh keji itu Dan ini 
berarti roh tokoh keji itu telah masuk ke dalam diri pemuda berpakaian 
coklat! Ya, tidak salah lagi!" sem Nenek Lestari keras sambil bangkit dari 
duduknya "Celaka...! Celaka...! Malapetaka besar pasti akan teijadi kembali. 
Dan aku tidak mampu berbuat sesuatu. Dengan mudah tokoh keji itu dapat 
membunuhku!" 

"Jangan khawatir, Nek. Percayalah. Tokoh keji itu tidak akan dapat 
bertindak semaunya. Bukankah Nenek telah mendapat bekal kerincingan 
sakti ini?!" hibur Arya menenangkan hati Nenek Lestari. 

"Kau tidak tahu kedahsyatan tokoh keji itu, Arya!" keluh Nenek 
Lestari. "Kalau mendengar cerita ayahku, yang jauh lebih pintar bercerita 
daripada aku, kau akan merasa ngeri. Kau tahu, dari jarak jauh, tokoh keji itu 
mampu membunuhku. Dia dapat memerintahkan orang untuk membunuh 
orang lain, hanya dengan pikiran! Bahkan dari jarak jauh. Asal syaratnya 
orang yang diberi perintah dikenali wajah dan namanya. Misalnya, kau ini. 
Bisa saja diperintahkan tokoh keji itu untuk membunuhku! Kau tidak akan 
bisa melawan pengarah perintah itu, Arya!" 

Arya yang bam hendak membantah jadi mengurungkan niatnya 
begitu mendengar penegasan Nenek Lestari yang terakhir. 

"Tapi, kan dia tidak tahu kalau kau bersamaku saat ini Mengapa 
harus khawatir, Nek?!" bantah Arya. 

"Kau terlalu meremehkan kemampuannya, Arya!" omel Nenek 
Lestari. Dia bisa tahu berada di mana orang yang dicarinya, hanya dengan 
melihat sebuah tong berisi air dan beberapa jenis kembang. Di situ, akan 
terpampang orang yang dicarinya. Di mana adanya. Dan, bersama siapa. 
Jelas?" 

"Hehkh...!" 

Arya merasakan kerongkongannya seperti tercekik mendengar 
penjelasan panjang lebar Nenek Lestari. Kalau benar demikian, benar-benar 
berbahaya tokoh keji itu. Pantas kalau ratusan tahun yang lalu, dunia 
persilatan bisa geger. 

"Menurut leluhurku, tokoh keji itu tewas untuk selama-lamanya, 
apabila keturunan dari tokoh-tokoh yang dulu melenyapkannya bers atu. Dan 
itu pun harus dibantu oleh seorang pendekar muda yang telah muncul dalam 
dunia persilatan. Seorang pendekar yang berjuluk Dewa Arak. Tapi, 
bagaimana mungkin hal itu terlaksana, Aiya? Aku tidak tahu, di mana 
keturunan pemusnah tokoh keji itu? Dan apakah mereka benar-benar ada? 
Waktu lima ratus tahun sudah cukup untuk melenyapkan silsilah seseorang! 
Dan bila itu terjadi, bagaimana mungkin tokoh keji itu bisa dilenyapkan. Lagi 
pula, andaikata dua keturunan dari tokoh-tokoh yang menewaskanny a masih 
ada, tokoh keji yang telah menitis kembali itu tidak akan tinggal diam. Dia 
akan mencari cara untuk membinasakan! Aku yakin itu. Dengan kemampuan 
yang dimilikinya, dia akan lebih beruntung dibanding kami!" 

Arya dan Tungga Dewi saling berpandangan. Dalam sorot mata 
gadis berpakaian kuning itu terlihat kengerian yang menggelegak. Dan Arya 
pun memakluminya. Karena dia sendiri juga merasa tegang bukan kepalang. 
Dewa Arak yakin cerita iiu ada benarnya. Dan ini terbukti ketika bertarung 
dengan pemuda berkumis tipis itu 

"Apakah..., roh tokoh keji itu akan berdiam selamanya di dalam raga 
pemuda berkumis tipis itu, Nek?!" tanya Arya, setelah tercenung beberapa 
saat. 

"Ah...! Hampir saja aku lupa! Untung kau mengajukan pertanyaan 
amat bagus, Arya!" puji Nenek Lestari, gembira. "Begini, Arya. Meski roh 
tokoh keji itumampu berbuat banyak dalam raga yang disusupinya, tapi tetap 
saja mempunyai keterbatasan. Jelasnya, di dalam raga yang baru itu 
kemampuannya bisa berkurang jauh. Bila di dalam raga aslinya dia dapat 
melakukan banyak hal, tapi di dalam raga yang baru akan sulit dikeijakan. 
Menurut perhitunganku, roh tokoh keji itu akan mencari raganya yang asli. 
Dan apabila telah diketemukan, aku yakin raganya yang baru akan 
ditinggalkan. Makanya mumpung sekarang kemampuannya belum penuh, 
lebih baik dibinasakan. Dan harus cepat-cepat bergabung dengan dua 
keturunan pembasmi tokoh keji itu. Lalu bersamamu, kita harus mencari cara 
yang tepat untuk mengirim tokoh pemuja setan itu ke alam baka untuk 
selamanya! Hanya saja, sekarang aku tidak mampu berbuat banyak. Mungkin 
bila bersama dua keturunan pembasmi tokoh keji lainnya, aku bisa 
melakukan hal-hal yang lebih berarti. Hhh...! Sama sekali tidak kusangka 
kalau tokoh keji itu akan dapat tumn ke dunia ramai lagi. Ternyata, 
kekhawatiran leluhurku beralasan!" 

Suasana langsung hening ketika Nenek Lestari menghentikan 
ucapannya. Tidak ada yang bersuara. Masing-masing terlibat dalam alun 
pikiran. 

"Tunggu sebentar, Nek!" celetuk Arya tiba-tiba, dengan suara keras. 
Sehingga membuat Nenek Lestari, dan Tungga Dewi, tersentak kaget. 

"Hmmm.J Ada apa, Arya?! Tampaknya kau bersemangat 
sekali...?!" sindir Nenek Lestari. 

"Sebelum ke sini, aku bertemu seseorang tokoh yang sudah hampir 
mati, karena dikeroyok tokoh-tokoh jahat dari Gerombolan Setan Hitam. 
Sebelum tewas, tokoh itu mengatakan kalau keberadaanku di tempat itu 
sudah diketahui. Dan bahkan keberadaannya di tempat itu untuk mencegat 
petjalananku. Tapi sayang. Sebelum aku tiba, orang-orang Gerombolan 
Setan Hitam lebih dulu mengeroyoknya hingga hampir tewas. Untungnya dia 
sempat menyampaikan pesan dari seorang tokoh yang berjuluk Penjaga 
Alam Gaib. Katanya, aku diminta pergi menyusul Penjaga Alam Gaib ke 
Pulau Setan, untuk mencegah terjadinya banjir darah di dunia persilatan!" 

"Pulau Setan?!" 

Nenek berpakaian kembang-kembang itu terpekik dengan sepasang 
mata terbelalak lebar, menampakkan keterkejutan yang sangat. 

"Kau tidak salah dengar, Arya?!" lanjut Nenek Lestari. 

"Tidak, Nek! Aku yakin sekali!" tegas Arya, mantap. 

"Mengapa kau tampaknya terkejut sewaktu Arya menyebut Pulau 
Setan, Nek?! Apakah ada yang aneh dengan pulau itu? Menumt cerita 
gumku. Pulau Setan merupakan sebuah pulau yang penuh teka-teki. Bahkan 
guruku belum pernah berhasil menemukannya. Menumt guru, pulau itu 
letaknya tidak tetap. Selalu berpindah-pindah," urai Tungga Dewi. 

"Gurumu benar, Tungga Dewi. Pulau Setan tidak pernah 
mempunyai tempat yang tetap. Tapi yang jelas, pulau itu selalu berada di 
tengah lautan. Dan letaknya selalu tersembunyi. Pulau itu merupakan pulau 
yang terapung-apung di atas permukaan air laut!" jelas Nenek Lestari. "Dan 
asal kalian tahu saja, di Pulau Setanlah jasad tokoh keji itu dibuang!" 

"Ah...!" desah Arya kaget, tapi mulai mengerti masalah yang 
dihadapi. "Berarti sejak semula, sebenarnya aku telah terlibat dengan 
masalah roh dari masa lampau ini. Sebelum dan di saat roh itu baru 
melakukan sepak terj angnya, seseorang yang tahu hal itu berusaha 
mencegahnya. Dan dia kemungkinan besar si Penjaga Alam Gaib yang 
menyuruh kawannya untuk meminta bantuanku. Kemungkinan besar, karena 
Penjaga Alam Gaib tahu pula tentang sepak terjang roh tokoh keji itu. Aku 
menduga, kalau dia merupakan keturunan satu dari dua tokoh putih yang 
membuat tokoh keji itu tidak berdaya!" 

"Kau benar, Arya!" sahut Nenek Lestari mengangguk. "Sekarang, 
satu titik terang telah kita dapat Penjaga Alam Gaib pergi ke Pulau Setan. 
Dan kemungkinan besar, dia yang pertama kali tahu mengenai berhasilnya 
jasad tokoh keji itu lolos. Kalau begitu, roh tokoh keji itu belum lama masuk 
ke dalam raga pemuda berpakaian coklat... Bisa kau terima dugaanku ini, 
Arya?!" 

"Bukan hanya bisa, Nek. Tapi, memang demikian. Beberapa hari 
yang lalu, pemuda berpakaian coklat itu hampir tewas di tangan 
saudara-saudara sepergu-mannya. Entah karena apa, aku menolongnya 
hingga dia tidak jadi tewas. Celakanya, sewaktu aku sibuk bertarung, dia 
langsung kabur. Aku mengejarnya, karena ingin mengorek rahasia mengapa 
dia bentrok dengan saudara-saudara seperguruannya. Sialnya aku kehilangan 
jejak. Untungnya di tengah jalan, aku berhasil bertemu dengannya di saat dia 
tengah menculik Tungga Dewi!" tutur Arya terpaksa mengulang ceritanya 
lagi dengan lebih teliti. Karena dia mulai melihat adanya titik terang. "Jadi 
waktu yang beberapa hari itu, dia telah dimasuki roh tokoh keji! Karena 
dipeitemuan kedua ini, dia memiliki kepandaian puluhan kali lipat daripada 
semula! Tak heran kalau dia jadi lihai bukan kepalang! Nah! Sekarang kau 
ceritakan pengalamanmu, Tungga Dewi!" 

Tanpa ragu-ragu Tungga Dewi pun menceritakan semua kejadian 
yang dialaminya sejak menemukan peti hitam sampai terlibat pertarungan 
dan muncul pemuda berpakaian coklat 

"Astaga...!" 

Nenek Lestari menepak dahinya keras-keras sambil berseru keras. 
Sehingga membuat Aiya dan Tungga Dewi menoleh kaget. Diam-diam 
sepasang anak muda ini agak geli melihat tingkah nenek berpakaian kem¬ 
bang-kembang yang selalu bertingkah mengejutkan ketika teringat pada satu 
masalah. 

"Mengapa aku demikian pelupa?! Ah! Rupanya aku telah pikun...! 
Mengapa sejak tadi aku tidak mengatakan pada kalian?! Dengar baik-baik. 
Terutama kau, Tungga Dewi. Peti yang menarik perhatianmu itu, sebenarnya 
berisi..., jasad tokoh keji di masa lalu!" 

"Kalau saja tahu, tak akan bakal aku sudi membukanya. Ternyata 
peti yang kelihatan menarik berisikan sesuatu yang mengerikan. Benar, apa 
yang dikatakan guruku!" 

Tungga Dewi langsung mengelus tengkuknya yang bulu-bulunya 
berdiri semua, karena rasa ngeri yang mencekam. 

"Kalau begitu..., kita harus secepatnya pergi ke Pulau Setan, Nek?!" 
Arya mengingatkan karena khawatir Nenek Lestari yang rupanya telah pikun 
itu lupa lagi. 

"Tentu saja, Arya!" tegas Nenek Lestari mantap. "Kita cari Penjaga 
Alam Gaib. Mudah-mudahan saja dia tahu, di mana keturunan tokoh 
pembasmi tokoh jahat yang satunya lagi berada. Dan setelah itu, kami akan 
rundingkan untuk menemukan cara, agar tokoh keji yang telah bangkit 
kembali itu tidak berhasil menemukan raganya dulu. Dengan demikian, 
kemampuannya tidak akan sampai pada puncaknya. Baru setelah itu, dicari 
cara untuk membuatnya tidak kembali lagi untuk selamanya. Dan aku yakin, 
kuncinya ada pada dirimu. Dewa Arak. Kalau tidak, leluhurku tidak akan 
mengatakan demikian. Apalagi, pemberitahuan ini datangnya langsung dari 
kakek aneh itu. Sudah! Ayo, kita segera pergi ke Pulau Setan!" 




"Aha...! Sebentar lagi percobaan rampung...! Tak lama lagi, sebuah 
kejutan akan kubuat. Penjaga Alam Gaib dan Guraksa akan terkagum-kagum 
melihat hasil percobaanku ini! Pasti mereka akan mengatakan, mana 
mungkin orang yang sudah mati bisa hidup kembali?! Si Kerdil Guraksa akan 
keheranan. Matanya yang bulat besar akan semakin terbelalak lebar!" seru 
seorang kakek kurus mirip cecak kelaparan. 

Tarikan wajahnya menyiratkan kegembiraan. Mulutnya 
menyunggingkan senyum. Tapi karena wajahnya yang tims mirip wajah 
tikus, dan sinar matanya liar selalu berputaran, membuat senyum yang 
tampak lebih cocok seringai. 

"Sekarang pergilah kau. Manis! Kabarkan berita gembira ini pada 
keluargamu!" ujar kakek itu kembali. Maksudnya bernada gembira. Tapi, 
raut wajahnya yang seperti ini tidak menampakkan kegembiraan sama sekali! 

Belum lenyap gema suara kakek kurus kering itu, seekor kelinci 
melesat cepat dari depannya. Beberapa saat sebelumnya, kelinci itu telah 
tewas, karena kakek kurus kering telah membunuhnya. Hal itu dilakukan 
untuk membuktikan kebenaran percobaan yang telah ditekuninya selama 
bertahun-tahun. Dan ternyata diaberhasil! Binatang yang lucu itu berhasil 
bangkit dari kematian! 

Kakek kurus kering bangkit dari bersilanya. Sejenak pandangannya 
beredar ke sekitar. Tapi yang tampak hanya gundukan batu, dan tebing di 
sana-sini. Kakek berwaj ah tirus ini berada di sebuah tempat berbatu-batu di 
lereng gunung, yang mempunyai dataran tidak rata. Pada beberapa tempat 
tampak gundukan batu-batu sebesar kerbau. 

Plok, plok, plokkk! 

Sebuah tepuk tangan yang terdengar nyaring, membuat kakek 
berwaj ah tims itu menoleh ke arah asal suara dengan sikap kaget. Sepanjang 
pengetahuannya, tempat di mana dia berada tidak pernah dikunjungi orang! 

"Sebuah percobaan yang baik. Tapi, sayang tidak akan pernah ada 
orang yang menyaksikannya!" ujar sosok yang tadi bertepuk tangan. Dengan 
sikap pongah, dia berdiri di atas sebuah gundukan batu sebesar kerbau, yang 
berada di sebelah kanan kakek kurus kering ini 

"Kau...?!" Wajah kakek kurus kering itu berubah. "Mengapa kau 
bisa datang kemari? Dan..., apa maumu. Setan HitamTak Beijantung...?!" 

"Ha ha ha...! Tidak usah begitu tegang, Kuru Sanca! Tenang saja! 
Nikmatilah saat-saat terakhirmu. Jangan bersikap seperti itu!" timpal sosok 
yang disebut Setan Hitam Tak Beijantung. 

Sementara sosok bertubuh kurus kering yang memang Kuru Sanca, 
sahabat Penjaga Alam Gaib. Seperti juga Guraksa, Kum Sanca mendapat 
tugas dari Penjaga Alam Gaib. Bila Guraksa bertugas mencari Dewa Arak, 
maka Kum Sanca bertugas menjaga tempat tinggal mereka bertjga. Terutama 
sekali, tempat tinggal Penjaga Alam Gaib. Ketiga sahabat ini tinggal di 
sebuah goa besar yang mempunyai banyak cabang dan goa-goa kecil! 

"Jadi maksud kedatanganmu kemari untuk membunuhku. Setan 
Hitam?!" sambut Kum Sanca dengan sebuah seringai di bibir. "Kuusulkan, 
lebih baik urungkan niatmu. Percuma saja, karena tidak akan berhasil! Sejak 
dulu kau tidak pernah berhasil. Pergilah! Cepat, sebelum pikiranku berubah!" 

Setan Hitam Tak Beijantung. Memang pas sekali dia mendapat 
julukan seperti itu. Kulit tubuhnya hitam legam laksana arang. Rambutnya 
keriting. Dan dia hanya mengenakan sehelai cawat sebagai penutup tubuh. 
Dengan tampang yang menyeramkan, dia tertawa mengejek 

"Luar biasa! Meski sudah ompong, kau masih saja berusaha 
menggonggong, Kum Sanca! Kau tidak usah galak-galak, karena sekarang 
sudah tidak mempunyai gigi lagi! Setan Hitam yang sekarang, tidak bisa 
disamakan dengan Setan Hitam Tak Beijantung puluhan tahun lalu. Aku 
masih mempunyai gigi. Malah, lebih runcing. Sedangkan kulihat, kau tidak 
memiliki gigi sebuah pun, kecuali yang telah keropos. Gigi-gigi yang tidak 
bisa digunakan untuk menggigit! Ha ha ha...!" 

Wajah Kum Sanca merah padam karena amarah yang bergolak. 
Meski demikian, dalam hati dibenarkannya kata-kata Setan Hitam Tak 
Beijantung. Selama belasan tahun mengasingkan diri, bisa dihitung beberapa 
kali dia berlatih. Semadi pun jarang dilakukan. Perhatiannya terlalu 
dipusatkan pada penemuan pengobatan terhadap penyakit. Jadi setelah 
belasan tahun, kemungkinan besar tingkat kepandaian Kum Sanca tidak akan 
berubah! Malah bisa jadi turun! Lain halnya dengan Setan Hitam Tak 
Beijantung, dia selalu memusatkan ilmu kedigdayaan! 

"O, ya! Hampir aku lupa...! Aku mempunyai oleh-oleh untukmu! 
Kuharap kau mau menerimanya!" 

Setelah berkata demikian. Setan Hitam Tak Beijantung 
menggerakkan kakinya, mencongkel. Maka sebuah peti kayu kecil yang 
sejak tadi di depan ujung kaki kanannya, terlempar deras ke arah Kum Sanca. 

Kum Sanca memperhatikan peti bututitu sejenak, sebelum akhirnya 
yakin kalau Setan Hitam Tak Beijantung tidak bermaksud curang. Kakek 
kurus kering ini melihat adanya sorot kejujuran dalam sinar mata dan tarikan 
wajah Setan Hitam Tak Berjantung. Dan lagi, bukankah tokoh sesat berkulit 
hitam legam itu yakin akan keunggulan dirinya? Lantas, untuk apa lagi 
bertindak curang? 

Karena keyakinan atas dugaannya, Kuru Sanca tidak ragu-ragu lagi 
mengulurkan tangan kanan, menerima peti itu. Tentu saja kakek berwajah 
tirus ini mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya saat menangkap. Ingin 
ditunjukkan kalau dirinya masih belum terlalu ompong seperti yang 
dikatakan Setan Hitam TakBeijantung. 

Tappp! 

"Hukh...!" 

Kuru Sanca sampai berseru kaget, ketika peti kumal itu berhasil 
ditangkapnya. Tangannya yang menangkap kontan tergetar hebat. Dan 
bahkan tubuhnya terhuyung dua langkah ke belakang. Kenyataan ini 
membuat Kuru Sanca menatap wajah Setan Hitam Tak Berjantung dengan 
raut wajah berubah hebat. Sama sekali tidak disangka kalau kakek berkulit 
hitam legam ini memiliki tenaga dalam demikian kuat! Sungguh melebihi 
perkiraannya! Ataukah tenaga dalamnya yang telah menurun?! 

"He he he...! Kaget, Macan Ompong?!" ejek Setan Hitam Tak 
Beijantung melihat pembahan pada wajah kakek kurus kering itu 'Tapi..., 
kujamin kalau keterkejutanmu sekarang ini masih tidak seberapa, bila 
dibandingkan keterkejutan yang akan kau terima apabila mengetahui isi peti 
itu. He he he...!" 

Kum Sanca menatap wajah Setan Hitam Tak Berjantung beberapa 
saat, untuk membaca maksud perkataan lawannya meiaiui wajahnya. Tapi, 
tidak ada yang dapat diketemukannya. Ditatapnya lagi peti yang telah berada 
di tangannya dengan sorot mata curiga. Ucapan Setan Hitam TakBeijantung 
yang belakangan inilah yang menyebabkan keraguannya timbul kembali 
untuk membuka peti! 

Tapi, akhirnya Kum Sanca memutuskan untuk membukanya. 
Meskipun demikian, perhatiannya terhadap Setan Hitam Tak Beijantung 
tidak kendur. Dia tahu, bila melihat sikapnya, kakek berambut pendek dan 
keriting itu tidak akan bertindak curang. Tapi tentu saja Kum Sanca tidak 
berani bertindak gegabah. Orang seperti Setan Hitam Tak Beijantung 
memang sulit diduga. Bisa saja dia melakukan hal yang tak dikira. 

Krittt! 

"Ah...?!" 

Brakkk! 

Peti kecil itu teijatuh ke tanah, ketika Kum Sanca tidak dapat 
menahan diri begitu melihat isi kotaknya. Di dalam peti itu ternyata 
terdapat..., kepala Guraksa! Kenyataan yang tidak tersangka-sangka ini 
sungguh mengejutkan hati Kum Sanca. Kedua tangannya yang menggigil 
hebat, dan disertai rasa terkejut yang amat sangat, membuat peti itu jatuh ke 
tanah dan isinya bergelinding keluar. 

"He he he...! Bagaimana, Macan Ompong?! Sebuah oleh-oleh yang 
menarik dan mengejutkan bukan?!" kata Setan Hitam Tak Berjantung, tanpa 
peduli pada Kum Sanca yang masih terbelalak kaget. 

"Kau... kau.... Biadab...! Kubunuh kau...!" Dengan suara bergetar 
hebat karena cekaman perasaan marah, Kum Sanca menubruk maju. Kedua 
tangannya yang terkepal kuat segera dihentakkan ke arah batu sebesar kerbau 
yang menjadi tempat berdiri Setan Hitam Tak Beijantung. 

Blarrr! 

Diiringi bunyi memekakan telinga, baru besar yang terlihat amat 
keras itu hancur berantakan. Pecah-pecahannya terpentalan ke segala arah 
saking kerasnya pukulan jarak jauh yang dilepaskan Kum Sanca. Seketika 
debu pun mengepul tinggi di udara. 

Dengan perasaan geram yang masih berkobar-kobar, Kum Sanca 
menunggu. Dia tadi tidak melihat adanya kelebatan bayangan yang menjadi 
pertanda kalau Setan Hitam Tak Berjantung meninggalkan tempatnya. Dan 
ketika debu tebal mulai menipis, tampak Setan HitamTak Beijantung berdiri 
di tempat semula, tepat di atas batu besar yang hancur tadi. Bahkan tidak 
terlihat adanya tanda-tanda kalau kakek berambut keriting ini terluka! 

"He he he...! Ternyata kau masih besar kepala seperti dulu, Kum 
Sanca...?!" Tapi, percayalah. Kau tidak akan unggul melawanku! Kau akan 
kukirim ke neraka seperti halnya Guraksa! Tapi perlu kau tahu, Guraksa 
Gendut Pendek itu tewas tidak di tanganku. Tapi, di tangan bekas anak 
buahnya sendiri. Dan kau pun demikian nantinya! Rasakanlah sakitnya mati 
di tangan orang asuhanmu sendiri! He he he...!" 

Setan HitamTak Beijantung menutup ucapannya dengan sebuah 
tepuk tangan tiga kali. Meski kelihatannya pelan saj a, bunyi menggelegar 
seperti ada halilintar menggema di sekitar penjuru pegunungan itu. Kemudi¬ 
an disusul bunyi yang gema tepukan itu sendiri! 

Kum Sanca yang sudah bermaksud melancarkan serangan lagi, jadi 
mengurungkan gerakannya. Dia mengerti maksud ucapan Setan Hitam Tak 
Beijantung. Tapi di sisi lain ada satu hal yang masih tidak dimengerti. 
Bukankah gerombolannya dulu, seperti juga gerombolan Guraksa, 
dibubarkan karena mereka berdua ingin mengundurkan diri? 

Kum Sanca tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan 
jawabannya. Sesaat kemudian, pendengarannya yang tajam menangkap 
bunyi banyak langkah kaki mendekati tempatnya. Begitu pandangannya 
menyapu ke sekitar, tampak belasan sosok tubuh telah berdiri di belakang 
Setan Hitam Tak Berjantung. Hati Kum Sanca kontan geram. Dia melihat 
sebagian besar ternyata memang bekas anak buahnya! Bahkan beberapa 
orang di antaranya adalah orang kepercayaannya. Bahkan murid andalannya 
sendiri! Setan Hitam Tak Berjantung benar-benar tidak berdusta. 

"Kau... kau..., Keparat...!" maki Kuru Sanca penuh kemarahan. 
Andaikata bisa, kakek berwajah tirus itu ingin membunuh Setan Hitam Tak 
Beijantung dengan sinar matanya. 

"Tenanglah, Kuru Sanca," ujar Setan Hitam Tak Berjantung 
langsung menatap wajah Kuru Sanca. Terutama sekali, kedua tangan kakek 
kurus kering itu yang terkepal kencang! "Sebelum mati, apakah kau tidak 
ingin tahu masalahnya? Apakah kau ingin seperti Guraksa yang mati tanpa 
tahu apa-apa? Guraksa Gendut Pendek itu mati penasaran! Dia hanya tahu 
kalau akulah yang menyebabkan kematiannya. Tapi, dia tidak pernah tahu, 
mengapa hal ini kulakukan! Mungkin kau juga mempunyai dugaan 
sepertinya. Ingatkah kau pada persoalan dua puluh tahun lalu?!" 

Kuru Sanca tidak memberi tanggapan sama sekali. 

Padahal dia tahu. Setan Hitam Tak Berjantung menghentikan 
ucapannya karena sengaja memberikan kesempatan untuk menanggapi. 
Keinginan itu menyala-nyala di dalam hati Kum Sanca. Hanya saja, kakek 
berwaj ah tirus ini berusaha menahannya. 

"Kau seperti juga Guraksa akan keliru bila mengira kalau semua 
tindakanku melenyapkan kalian adalah untuk memuaskan dendamku 
puluhan tahun yang lalu, karena kalian telah berhasil mematahkan 
keinginanku untuk menjadi salah seorang datuk! Kalian telah 
mengalahkanku! Tidak! Bukan karena itu! Itu hanya sebuah persoalan kecil. 
Yang jelas aku punya sebuah cita-cita besar. Dan ini ada hubungannya 
dengan tugas kau dan Guraksa emban!" 

Wajah Kuru Sanca kontan berubah, walau hanya sesaat saja. 
Dengan pandainya, kakek berwajah tirus ini mengendalikan perasaannya. 
Sehingga, wajahnya tampak seperti semula, penuh perasaan marah terhadap 
sosok yang berdiri di hadapannya. 

"Aku tidak mengerti maksud ucapanmu yang ngawur itu. Setan 
Hitam! Kalau mau bunuh silakan bunuh. Kau kira aku takut mati?! Dan 
dikira semudah itu membunuhku?!" jawab Kum Sanca. 

Kata-kata itu terlontar untuk mengalihkan pembicaraan yang 
membuat jantung Kum Sanca berdebar tidak enak. Diam-diam, kakek kurus 
kering ini mengkhawatirkan keselamatan Penjaga Alam Gaib! Dia yakin. 
Setan Hitam Tak Berjantung telah mengetahui persoalan ini. Tapi hatinya 
berusaha dihibur dengan keyakinan kalau Penjaga Alam Gaib belum berhasil 
dibunuh. Kalau sudah dibunuh, tentu Setan Hitam Tak Beijantung akan 
mengunjukkannya pula seperti mengunjukkan mayat kepala Guraksa. 

"Hehehe...!" 

Setan Hitam Tak Beijantung yang merasa menang, tertawa gembira 
penuh ejekan. Tawa untuk menyindir lawan yang menyembunyikan sesuatu, 
tapi telah diketahuinya. 

Kum Sanca adalah bekas datuk kaum sesat yang penuh pengalaman. 
Makanya, dia bisa tahu kalau tawa Setan Hitam TakBerjantung ini memang 
bermaksud mengejek jawabannya. 

"Aku tidak peduli kau hendak bicara apa. Macan Ompong! Kau 
boleh berpura-pura tidak tahu masalahnya. Tapi, aku tidak ambil pusing. 
Karena aku telah mengetahui semuanya. Bahkan aku jauh lebih tahu daripada 
Penjaga Alam Gaib mengenai masalah yang hendak dicari di Pulau Setan! Ha 
ha ha...! Aku tahu, kau ditugaskan menjaga tempat ini. Terutama sekali, 
karena adanya Cermin Ajaib milik kawanmu itu. Dan karena itulah aku 
datang kemari. Penjaga Alam Gaib bermaksud mencegah terjadinya banjir 
darah di dunia persilatan, kan?" 

Setan Hitam Tak Beijantung menghentikan ucapannya langsung 
menatap wajah Kum Sanca yang tidak bisa lagi menyembunyikan 
kegelisahannya mendengar perkataan Setan Hitam Tak Beijantung yang 
benar-benar tepat. Tokoh sesat ini juga melihat jawaban yang diberikan Kum 
Sanca. Tapi ternyata Kum Sanca diam saja. 

"Asal kau tahu saja. Macan Ompong! Penjaga Alam Gaib tidak tahu 
apa yang tengah dihadapinya. Tapi, aku tahu! Aku yakin kau pemah 
mendengar seorang tokoh keji yang hidup lima ratus tahun lalu, dan 
membantai puluhan orang setiap hari? Nah! Tokoh itulah yang akan dihadapi 
Penjaga Alam Gaib. Dia telah menitis dalam diri seorang manusia! Dan aku 
akan menguasai dunia persilatan, dengan menjadikan titisan tokoh keji itu 
sebagai budak yang senantiasa melaksanakan segala perintahku! Tentu saja, 
untuk itu aku membutuhkan Cermin Ajaib!" 

"Biadab kau. Setan Hitam!" Kum Sanca tidak kuasa menahan 
marahnya. Seketika dia menubruk maju dengan kedua tangannya yang 
terbuka digedor ke arah dua bagian dada lawan. 

"Sayang kau harus mati di tangan anak buahmu sendiri. Kalau tidak, 
kau akan kubinasakan sendiri. Macan Ompong!" 

Setan Hitam Tak Beijantung juga menghentakkan kedua tangannya 
ke depan seperti yang dilakukan Kum Sanca. Tak pelak lagi benturan keras 
yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi punteijadi. Maka seketika 
tubuh mereka terdorong ke belakang. 

Setan Hitam Tak Beijantung hanya terhuyung dua langkah, tapi 
Kum Sanca terjengkang ke belakang dan terbanting di tanah. Sebentar 
kemudian dia berhasil bangkit dengan wajah pucat pasi. Bahkan ada darah 
segar menetes dari sudut bibirnya. 

"Bereskan dia..!" ujar Setan Hitam Tak Berjantung bernada kesal 
sambil mengibaskan tangan kanan ke depan. 

Benturan keras akibat hentakan tangan Setan Hitam Tak 
Berjantung dan Kuru Sanca pun terjadi. Seketika tubuh mereka terdorong 
mundur ke belakang. 

Setan Hitam Tak Berjantung terhuyung dua langkah, sedangkan 
Kuru Sanca terjengkang ke belakang dan terbanting di tanah! 

Tanpa menunggu perintah dua kali, belasan sosok yang berada di 
belakang kakek berambut keriting ini berlompatan turun dari puncak 
gundukan-gundukan batu dengan senjata terhunus. 

Kuru Sanca menatap empat sosok berpakaian hitam yang 
berlompatan lebih dulu. Tampak rasa sakit hati yang terpancar dari sepasang 
mata kakek kurus kering ini. Karena empat sosok itu adalah orang-orang 
kepercayaannya. Bahkan seorang pemuda yang berwajah dingin dengan 
bentuk wajah mirip singa itu bekas muridnya! Padahal, kepada pemuda 
berwaj ah singa ini seluruh kemampuannya telah diwariskan! Dan sekarang, 
mereka hendak membunuhnya untuk memenuhi perintah Setan Hitam Tak 
Beijantung yang merupakan musuh besarnya! 

Kum Sanca tahu kalau keadaan tidak memungkinkan lagi untuk 
melakukan perlawanan. Dan benturan tenaga dalam secara langsung dengan 
Setan HitamTak Beijantung, dia telah terluka parah. Dan bilamelawan terus, 
hanya akan mencari kematian sia-sia. Akibatnya Cermin Ajaib tetap tidak 
bisa dipertahankan. Tidak! Kum Sanca tidak ingin mati sekarang! Dia ingin 
membalas dendam lebih dulu terhadap orang-orang kepercayaannya yang 
telah menyakiti hatinya. Perasaan dendam, kekejaman, dan kekerasan yang 
sudah sejak lama ditahan tanpa dapat dicegah Kum Sanca lagi. Dan perasaan 
inilah yang mendorongnya untuk tetap hidup. 

Kum Sanca menggertakkan gigi. Dengan menguatkan perasaan, 
diambilnya beberapa benda kecil berbentuk bulat dari kantung kain hitam di 
pinggang. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi dilemparkan ke depan 
lawan-lawannya. 

Melihat benda-benda kecil itu, empat orang bekas kepercayaan 
Kum Sanca yang berada paling depan kaget bukan kepalang. Mereka tahu, 
benda-benda bulat kecil itu adalah mengandung racun yang tidak memiliki 
penawar. Dengan kalap mereka berlompatan mundur, membatalkan 
penyerbuan terhadap Kum Sanca. Tindakan serupa dilakukan oleh yang lain. 

Blup, bluppp, tusss! 

Letupan-letupan kecil terdengar ketika benda-benda bulat kecil itu 
menyentuh tanah. Seketika asap tebal berwarna putih dan pekat pun 
membumbung ke angkasa. Setan HitamTak Beijantung dan semua anak 
buahnya berlarian menyelamatkan diri. Terisap sedikit saja, berarti nyawa 
mereka berada di ujung tanduk! 

Setan Hitam Tak Berjantung dengan rombongannya baru kembali 
ke tempat semula ketika melihat asap putih tebal itu telah benar-benar bersih. 
Dan seperti yang diduga, Kum Sanca sudah tidak berada di situ lagi. 

"Keparat!" maki Setan HitamTak Berjantung kalang kabut. Dia 
tampak penasaran dan merasa menyesal. "Kalau tahu begini akhirnya, sudah 
kubereskan saja sejak tadi Macan Ompong itu! Sekarang dia merupakan 
orang yang amat berbahaya, karena telah tahu rahasia kita! Sama sekali tidak 
kusangka kalau dia masih menyimpan senjata-senjata mautnya. Bukankah 
dia telah menyucikan diri dan tidak ingin terlibat kekerasan lagi! Sial! 
Keparat!" 

"Kurasa dia tidak akan berbahaya. Setan Hitam!" sahut pemuda 
berwaj ah singa. Ucapannya terdengar yakin. "Racun yang terkandung dalam 
benda-benda bulat kecil itu sama sekali tidak ada obatnya. Bahkan, dia pun 
tidak memilikinya. Tak heran kalau dia hampir tidak pernah 
menggunakannya. Jadi, aku yakin kalau dia tewas terkena asap dari 
senjatanya sendiri!" 

Tiga orang kepercayaan Kuru Sanca yang kini telah membalik 
mengabdi Setan Hitam Tak Beijantung mengangguk. Mereka terdiri dari 
lelaki-lelaki bertampang seram berusia sekitar empat puluh lima tahun. 
Tampaknya mereka mendukung pernyataan pemuda berwajah mirip singa 
ini! 

"Walaupun demikian, jangan bertindak ceroboh! Cari dia...! 
Temukan mayatnya! Kalau saja tadi Bongsang ada, tidak akan begini repot. 
Dengan kemampuannya, tidak sulit untuk menemukan Macan Ompong itu!" 
ujar Setan Hitam Tak Beijantung, tetap uring-uringan. 

"Baik, Setan Hitam! Akan kami cari mayat Keparat Kum Sanca itu 
sampai dapat!" tegas pemuda berwajah mirip singa. 

"Jangan semuanya! Empat di antara kalian suruh tinggal di sini, 
untuk memeriksa goa." 

"Baik, Setan Hitam!" 




"Berhenti...! Siapa kau...?! Tidak boleh sembarangan orang masuk 
ke perguruan ini tanpa izin!" 

Dua orang pemuda berpakaian coklat berwajah dan bersikap gagah, 
segera menggeser kaki menutupi pintu gerbang yang pintunya agak terbuka 
sedikit. 

Sosok yang hendak melangkah masuk ke dalam langsung berhenti. 
Dia adalah seorang kakek kurus laksana tengkorak, bertelanjang dada. Siapa 
lagi kalau bukan Nelayan Tenaga Gajah. Hanya saja saat ini, kakek yang 
biasanya bergerak loyo seperti orang lemah itu tampak beringas. Sepasang 
matanya yang lebih banyak terpej am, kali ini terbelalak lebar memancarkan 
kemarahan menggelegak. 

"Aku tidak berurusan dengan kalian! Menyingkirlah! Aku ingin 
bertemu ketua kalian. Si Pedang Halilintar Sakti!" ujar Nelayan Tenaga 
Gajah dengan suara bergetar menahan amarah. 

"Tidak bisa!" sanggah pemuda bertahi lalat kecil di dahi, sambil 
menggelengkan kepala. "Saat ini beliau tidak ingin diganggu. Beliau tengah 
ada suatu urusan! Lebih baik, kau pergi! Siapa pun juga, tidak boleh 
menghadapnya! Begitu pesan beliau!" 

"Kalau begitu, aku harus memaksa masuk!" 

Setelah berkata demikian. Nelayan Tenaga Gajah mengayunkan 
kaki untuk meneruskan maksudnya yang tertunda. Tindakannya tentu saja 
tidak bisa dibiarkan oleh dua pemuda murid Perguruan Pedang Halilintar itu 
Seketika keduanya mencabut pedang dan memalangkannya di depan dada. 

"Orang Tua Gila! Apakah kau tidak tahu, dengan perguruan apa 
berhadapan?! Perguruan Pedang Halilintar sangat ditakuti kawan dan lawan! 
Menyingkirlah sebelum kau terluka oleh pedang kami!" ancam pemuda 
bermata sipit, penjaga pintu gerbang Perguruan Pedang Halilintar yang 
satunya lagi. Nadanya terdengar angkuh sambil menegakkan kepala. 

"Ketua yang tidak baik, mana mungkin menelurkan murid-murid 
yang benar?!" sentak Nelayan Tenaga Gajah. 

Ucapan penuh kemarahan dari Nelayan Tenaga Gajah, dan sikap 
yang tems memaksa masuk, membuat dua orang pemuda berpakaian coklat 
itu terpaksa melayangkan pedang yang telah terhunus dari kanan dan kiri. 
Yang satu menusuk perut. Sedangkan yang lain membabat leher. Terdengar 
bunyi cukup nyaring mengisyaratkan tenaga orang yang menggerakkannya 
tidak rendah. 

"Hmh...!" 

Nelayan Tenaga Gajah hanya mendengus melihat 
serangan-serangan seperti itu. Tanpa mempedulikan sama sekali, kakinya 
terus terayun. Sehingga, dua batang pedang itu dengan telak mengenai 
sasaran. 

Tak, takkk! 

"Aaakh...!" 

Bukannya Nelayan Tenaga Gajah yang mengeluarkan jeritan, tapi 
pemuda-pemuda penjaga pintu gerbang Perguruan Pedang Halilintar itulah 
yang bersuara. Mereka merasakan pedang-pedang tadi seperti membentur 
karet keras, sehingga berbalik. Bahkan tangan mereka pun sakit-sakit. 
Sebelum mereka berbuat sesuatu, tangan Nelayan Tenaga Gajah telah 
bergerak cepat bukan main. Sehingga, dua pemuda murid Perguruan Pedang 
Halilintar yang sial itu hanya melihat sekelebatan bayangan menyambar. Dan 
tahu-tahu, tubuh mereka terlempar ke belakang dan jatuh terbanting di tanah 
dengan luka dalam cukup parah. 

Nelayan Tenaga Gajah memang telah menghantam pemt mereka 
dengan pengerahan tenaga sekadarnya. Karena jika dikerahkan seluruhnya, 
bukan mustahil kedua pemuda murid Perguruan Pedang Halilintar ini akan 
tewas dengan isi perut hancur! 

Tanpa mempedulikan dua orang penjaga pintu gerbang yang sial itu. 
Nelayan Tenaga Gaj ah melangkah lebar ke dai am. 

"Pedang Halilintar Sakti yang sombong! Keluar kau...! Atau... aku 
akan mengobrak-abrik tempat tinggalmu...!" 

Seman yang dikeluarkan Nelayan Tenaga Gajah dalam keadaan 
marah, membuat semua bangunan bergetar, seakan-akan terlanda gempa. 
Nelayan Tenaga Gajah dalam puncak kekesalannya, mengerahkan seluruh 
tenaga yang dimiliki dalam teriakannya. 

Akibat ucapan keras itu, murid-murid Perguruan Pedang Halilintar 
yang tengah berada di dalam bangunan berkelebatan. Tak terkecuali, 
murid-murid yang tengah berlatih. 

Dalam herannya. Nelayan Tenaga Gajah masih bersikap tidak 
peduli. Dia berdiri tegah di tengah-tengah halaman sambil berteriak-teriak. 
Sehingga dalam sekejap saja, tempatnya berdiri telah dikumng tidak kurang 
dari dua puluh lima orang murid Perguruan Pedang Halilintar. 

"Siapa kau. Orang Tua?! Mengapa mulutmu lancang 
memanggil-manggil ketua kami secara sembarangan seperti itu?! Tidak 
tahukah kau, kalau beliau merupakan tokoh tingkat tinggi golongan putih?!" 
ujar seorang pemuda berkumis melintang. Dan melihat gelagatnya, dia 
adalah pimpinan dari para pengepung Nelayan Tenaga Gajah. Seperti juga 
sikap-sikap yang lainnya, ucapan pemuda berkumis melintang menyiratkan 
kesombongan yang sangat. 

"Aku tidak sudi berurusan dengan anjing kurap seperti kau! Panggil 
si Pedang Halilintar Sakti untuk menemui aku, dan meminta maaf atas 
perbuatan muridnya yang demikian kurang ajar menculik muridku. Dan aku 
ingin, dia mengembalikan muridku tanpa terluka sedikit pun. Apabila tidak, 
seluruh isi perguruan ini akan kuhancurleburkan rata dengan tanah!" tandas 
Nelayan Tenaga Gaj ah keras. 

Tentu saja orang seaneh kakek kurus laksana tengkorak ini tidak 
bermain-main dengan ucapannya. Bukan tidak mungkin hal itu akan 
dilakukannya apa bila permintaannya tidak dituruti. Demi keselamatan 
muridnya yang bernama Tungga Dewi, apa pun akan dilakukan Nelayan 
Tenaga Gajah! Dan kakek kurus ini pergi ke Perguruan Pedang Halilintar, 
setelah kehabisan kesabaran untuk mencari Kaipala. Dia tahu kalau pemuda 
berkumis tipis itu merupakan murid Perguruan Pedang Halilintar. Makanya, 
dia pergi ke tempat ini. Kekhawatiran akan nasib Tungga Dewi, membuatnya 
tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya. 

"Kakek Kurus! Rupanya kau sudah bosan hidup?! Berani kau 
menghina seperti itu?! Apakah...." 

Belum sempat pemuda berkumis melintang ini meneruskan 
ucapannya. Nelayan Tenaga Gajah yang sudah tidak bisa menahan 
kesabarannya lagi. Langsung mengibaskan tangannya. Maka seketika angin 
keras keluar dari kibasan tangannya, membuat tubuh pemuda berkumis 
melintang itu terlempar jauh ke belakang seperti daun kering dihembus 
angin! 

Kejadian terhadap pemuda berkumis melintang, yang demikian 
mudah dirobohkan, membuat puluhan murid Perguruan Pedang Halilintar 
lainnya terkejut bercampur marah. Mereka memang tidak menyangka kalau 
Nelayan Tenaga Gajah selihai itu sampai-sampai seperguruan mereka yang 
merupakan orang terlihai setelah guru mereka, bisa dirobohkan hanya dalam 
sekali kibasan tangan. Tanpa menunggu lebih lama lagi, mereka mencabut 
pedang masing-masing dan menyerbu secara berbareng. 

Seketika bunyi berdesing nyaring menyertai sinar-sinar berkilatan 
dari batang-batang pedang yang berkelebatan mencari sasaran. Namun, itu 
tidak membuat kakek kurus laksana tengkorak ini gugup. Sikapnya tetap 
tenang. Bahkan seperti tidak memandang pusing serangan itu. Sebagian 
besar serangan dibiarkan saja mengenai tubuhnya. Hanya serangan-serangan 
yang meluncur ke arah mata, yang ditangkis dengan kedua tangannya secara 
sembarangan. Dengan pengerahan tenaga dalamnya yang tinggi kedua 
tangannya jadi tak kalah keras dibanding besi baja! 

Bunyi berdetak keras seperti logam-logam keras beradu terdengar, 
ketika pedang-ped ang murid-murid Perguruan Pedang Halilintar berbenturan 
dengan tubuh, tangan, atau kaki Nelayan Tenaga Gajah. Akibatnya, tubuh 
pemuda-pemuda berpakaian coklat itu berpentalan ke belakang. Bahkan 
ketika Nelayan Tenaga Gajah balas menyerang, hanya dalam beberapa 
gebrakan saja tubuh murid-murid Perguruan Pedang Halilintar berpentalan 
ke belakang sambil mengeluarkan seruan-seruan kesakitan. Mereka tidak 
mampu bangkit lagi, meskipun hanya pingsan. Dan selama melakukan 
perlawanan. Nelayan Tenaga Gajah tidak henti-hentinya mengeluarkan 
panggilan terhadap Ketua Perguruan Pedang Halilintar. 

"Pedang Halilintar! Keluar kau. Cepat! Atau murid-muridmu ini 
kuhabisi!" 

Tak sampai lima jurus, sebagian besar murid Perguruan Pedang 
Halilintar telah bergeletakan di tanah. 

"Luar biasa! Tidak kusangka Nelayan Tenaga Gajah yang terkenal 
berada di golongan putih, sampai hati bertindak demikian kejam terhadap 
orang-orang yang tidak berdaya dan bukan tandingannya! Kalau berani 
lawan aku. Nelayan Sombong!" 

Nelayan Tenaga Gajah langsung menghentikan perlawanannya, 
ketika mendengar suara yang sangat dikenalnya. Tampak sesosok bayangan 
berkelebat, dan tahu-tahu berdiri seorang lelaki bertubuh tegap. Wajahnya 
gagah, berikat kepala coklat dan berb adan lebar. 

"Aku sebenarnya tak ingin bertarung! Cepat kembalikan muridku 
yang telah diculik oleh muridmu. Dan aku akan pergi dari sini!" ujar Nelayan 
Tenaga Gajah setelah menatap laki-laki gagah yang memang si Pedang 
Halilintar Sakti sesaat. Terdengar kaku nada suaranya. 

"Enak saja kau bicara. Nelayan Tenaga Gajah! Tidak ada seorang 
pun muridku yang telah menculik muridmu! Dan kau, telah lancang melukai 
banyak muridku. Majulah! Aku akan memberi hajaran padamu!" tandas si 
Pedang Halilintar Sakti, penuh wibawa. 

"Apa boleh buat? Ternyata kau keras kepala. Pedang Halilintar 
Sakti! Pantang bagi Nelayan Tenaga Gajah untuk mundur dan menolak 
tantangan! Apalagi, untuk membela seorang murid. Biarlah aku menerima 
pelajaran berharga darimu!" sambut Nelayan Tenaga Gajah tak mau kalah, 
meski dalam ucapannya terkandung nada merendah. 

Dia memang telah lama tidak suka terhadap Pedang Halilintar Sakti. 
Meski termasuk datuk golongan putih seperti dirinya, tapi wataknya 
sombong dan merendahkan orang lain. Sungguhpun harus diakui, 
kesombongan itu mungkin tercipta karena memang sejak kecil Pedang 
Halilintar Sakti hidup dalam dunia yang serba mewah! Datuk golongan putih 
yang berwatak agung ini merupakan keturunan seorang raja. 

"Lihat serangan!" 

Dengan nada angkuh. Pendekar Pedang Halilintar Sakti yang lebih 
dulu membuka serangan, memberi peringatan seperti layaknya seorang tokoh 
lebih tinggi memperingatkan tokoh yang lebih rendah. Kedua tangannya 
yang terkepal seperti berubah menjadi banyak, ketika meluncur ke arah 
Nelayan Tenaga Gajah. Namun, kakek kurus laksana tengkorak itu tidak 
kebingungan. Tanpa menemui kesulitan dipapaki serangan itu. Sehingga, 
terdengar bunyi berdetak keras berkali-kali ketika dua pasang tangan yang 
sama-sama telah berubah menjadi banyak itu berbenturan di tengah jalan. 
Akibatnya tubuh kedua belah pihak sama-sama terdorong ke belakang. Tapi, 
si Pedang Halilintar Sakti terhuyung selangkah lebih jauh. Bahkan dengan 
mulut menyeringai kesakitan. 

Si Pedang Halilintar Sakti jadi berubah wajahnya karena rasa 
terkejut dan penasaran melihat keunggulan lawannya. 

Srattt! 

Tidak kelihatan kakek bersikap agung ini menggerakkan tangan, 
tapi tahu-tahu di dalam genggaman tangan kanannya tercekal sebatang 
pedang terhunus. Namun sebelum Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini 
melancarkan serangan.... 

Brakkk! 

Tiba-tiba bunyi berderak keras membuat si Pedang Halilintar Sakti 
dan Nelayan Tenaga Gajah tanpa disepakati lebih dulu, menoleh ke arah asal 
suara. Tampak daun pintu gerbang yang tebal dan kokoh kuat itu hancur 
berantakan, seperti didobrak seekor gajah besar dari luar. 
Pecahan-pecahannya berhamburan, bahkan beberapa di antaranya ada yang 
hampir mengenai kedua datuk golongan putih itu. Namun hanya dengan 
mengibaskan tangan, baik Nelayan Tenaga Gajah maupun Pedang Halilintar 
Sakti telah membuat pecahan-pecahan kayu itu berpentalan kembali ke arah 
semula. 

Dan kini di belakang pecahan daun pintu gerbang itu berjalan 
sesospk tubuh dengan sikap angker. Sehingga membuat mata Nelayan 
Tenaga Gajah dan si Pedang Halilintar Sakti terbelalak 

"Kau...?!" Hampir berbarengan dua datuk golongan putih itu 
mengucapkan perkataan seperti itu. 

"Itukah orang yang kau katakan menculik muridmu itu. Nelayan 
Tenaga Gajah?!" 

Si Pedang Halilintar Sakti langsung cepat sadar dari 
keterkejutannya. Dan sekarang dia bisa mengerti duduk masalah yang 
sebenarnya. Makanya pertanyaan itu langsung diajukan pada Nelayan 
Tenaga Gajah. Dan ketika mendapat anggukan dari kakek kurus laksana 
tengkorak itu. Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini makin yakin. 

"Ketahuilah, aku pun telah lama menyuruh tiga orang muridku 
untuk membunuhnya, karena telah melakukan tindakan tercela. Dengan 
berani, dia mencoba merayu dan mempengaruhi putriku, agar menolak 
lamaran calon suaminya. Bahkan murid keparat itu m-ngajak putriku 
bertindak tak senonoh, dengan menggunakan obat perangsang. Dan sekarang 
karena perasaan malunya, putriku kabur dari sini! Maka aku pun telah 
mengutus orang-orang untuk mencarinya! Sekarang, kuserahkan murid 
murtad itu padamu. Nelayan Tenaga Gajah!" 

Nelayan Tenaga Gajah hanya mengangguk pelan, menyambuti 
ucapan di Pedang Halilintar Sakti. Kakek kurus ini masih terlalu kaget dan 
menyesal, ketika melihat orang yang menculik muridnya ternyata 
mempunyai urusan pula dengan Perguruan Pedang Halilintar! Hati Nelayan 
Tenaga Gajah jadi tidak karuan rasanya. 

Sementara sosok yang telah menghancurkan daun pintu gerbang itu 
ternyata seorang pemuda berkumis tipis. Pemuda bernama Karpala itu tems 
melangkah dengan sikap tenang. Dan ayunan kakinya baru terhenti, ketika 
telah berada beberapa tombak di depan kedua datuk sakti itu 

"Kedatanganku kemari untuk membuat perhitungan. Pedang 
Halilintar Sakti! Cepat! Serahkan Dara padaku! Ayah macam apa kau ini, 
sehingga begitu tega menjerumuskan anaknya sendiri ke dalam 
kesengsaraan. Kau tahu. Dara cinta padaku! Tapi, kenapa kau serahkan juga 
pada lelaki mata keranjang yang melamarnya! Kedatanganku kemari untuk 
membahagiakannya, tahu?! Ha ha ha...!" Karpala tertawa bergelak. 

"Tutup mulutmu. Murid Murtad!" maki si Pedang Halilintar Sakti 
sambil menudingjari telunjuk kirinya. 

Wajah Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini me-rah padam 
pertanda tengah dibalur kemarahan yang sangat. 

"Nelayan Tenaga Gajah! Kau tidak cepat bertindak!? Atau kau 
berikan keparat ini kepadaku?!" lanjut Ketua Perguruan Pedang Halilintar 
ini. 

"Kaulah yang akan menerima pembalasan dan sakit hatiku. Pedang 
Halilintar! Kau lihat..!" 

Karpala langsung mengalihkan pandangan ke arah sekumpulan 
murid Perguruan Pedang Halilintar yang sejak tadi masih berdiri di sekitar 
tempat itu. Sekarang mereka juga menatap Karpala dengan sorot mata ngeri! 
Sebagai kawan seperguruan, mereka tahu kalau Karpala telah mengalami 
pembahan. Pemuda berkumis tipis itu kelihatan demikian mengerikan! 
Sepasang matanya merah, seperti orang sakit mata! Bahkan ada sorot yang 
membuat tengkuk mereka meremang, ketika menatap pemuda berkumis tipis 
itu. 

Dan hal itu sebenarnya dirasakan pula oleh si Pedang Halilintar 
Sakti. Dan datuk yang telah kenyang pengalaman ini segera merasakan 
adanya sesuatu yang tidak beres. Hanya saja, perasaan angkuhnya membuat 
dia sikapnya seakan-akan tidak ada kelainan. 

"Pergilah kalian ke neraka!" desis Karpala dengan suara bergetar ke 
arah murid-murid itu. Sepasang matanya yang merah tampak seperti 
memancarkan api ketika mengucapkan kata-kata seperti itu. 

Nelayan Tenaga Gajah dan di Pedang Halilintar Sakti merasakan 
adanya getaran kuat dalam perkataan itu. Sebuah kekuatan yang memaksa 
alam bawah sadar seseorang untuk mengikuti perintahnya. Dan kedua datuk 
golongan putih ini terutama sekali, si Pedang Halilintar Sakti yang belum 
merasakan kelihaian Karpala, merasa terkejut. Apalagi ketika melihat tubuh 
sisa muridnya yang masih berdiri tegak, melayang dengan kepala lebih dulu 
menuju pagar yang mengelilingi perguruan! 

Si Pedang Halilintar Sakti hanya bisa mengelus dada melihat kepala 
murid-muridnya hancur berantakan ketika berbenturan dengan pagar yang 
mengelilingi areal perguruan. Darah bercampur otak tampak 
muncrat-muncrat, ketika kepala itu hancur! 

Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini tidak bisa berbuat apa-apa 
untuk mencegah. Karena, dia pun tengah berada dalam kungkungan 
pengaruh suara Karpala! Padahal, ucapan itu tidak ditujukan kepadanya! 

"Ha ha ha...!" 

Karpala tertawa bergelak penuh kepuasan ketika melihat belasan 
murid Perguruan Pedang Halilintar pergi ke alam baka dengan kepala pecah. 
Gemuruh suara tawanya mengiringi bunyi berderak keras kepala-kepala yang 
pecah! 

"Keparat! Kubunuh kau...!" 

Si Pedang Halilintar Sakti yang baru sadar dari keterpakuan, 
menggeram keras dengan sekujur tubuh menggigil karena murka. Dia telah 
siap melancarkan serangan, tapi kalah cepat dengan Nelayan Tenaga Gajah! 
Kakek kurus laksana tengkorak itu telah lebih dulu meneijang. 

Sementara Karpala hanya mendengus, seperti meremehkan 
serangan itu. Namun tangan kanannya cepat ditudingkan ke arah tubuh yang 
tengah meluncur ke arahnya. Dan Pedang Halilintar Sakti jadi tak kuasa 
untuk membelalakkan matanya. Dia melihat dari jari telunjuk yang 
ditudingkan, meluncur seleret sinar. Dan tahu-tahu, tubuh Nelayan Tenaga 
Gajah yang masih berada di udara telah terbungkus api yang berkobar-kobar. 

Tubuh Nelayan Tenaga Gajah kontan ambruk ke tanah, dan 
langsung menggelepar-gelepar seperti ikan dilempar ke darat. Sementara, 
Karpala tertawa bergelak penuh kegembiraan seperti melihat sebuah 
pemandangan menyenangkan. Di lain pihak, si Pedang Halilintar Sakti dan 
murid-muridnya yang tengah tergeletak tak berdaya di tanah, menatap 
dengan sorot mata ngeri! Ilmu apa yang dipergunakan Karpala yang 
mendadak j adi memiliki kesaktian demikian? 

Di saat. Nelayan Tenaga Gajah tengah meregang nyawa, tangan 
Karpala kembali menuding. Dan kali ini, murid-murid Perguruan Pedang 
Halilintar yang tergolek tanpa daya menjadi sasaran. Tubuh mereka kontan 
terbungkus api yang berkobar-kobar. Dan rasa panas itu membuat 
tubuh-tubuh yang tadi tidak mampu berbuat apa-apa, kini menggeliat-geliat 
di ambang maut! 

"Keparat! Keji...!" si Pedang Halilintar Sakti hanya bisa 
mengeluarkan makian. Kengerian yang mencekam dan keterkejutan yang 
melihat keperkasaan Karpala, membuatnya tidak mampu bertindak apa-apa 
selain memaki. Sekujur tenaganya seperti lenyap oleh kengerian yang 
memancar dari tubuh Karpala! 

Kini Karpala menatap Pedang Halilintar Sakti lekat-lekat. 

"Aku sengaja tidak mau membunuhmu sekarang. Biar kau rasakan 
melihat semua orang yang kau cintai tewas! Kalau merasa memiliki 
kemampuan, boleh kau cari aku nanti! Selamat tinggal. Pedang Halilintar 
Sakti! Aku akan pergi mencari Dara! Aku tahu, dia telah pergi dari sini!" 

"Jangan pergi kau. Murid Jahanam!" 

Si Pedang Halilintar Sakti bergegas melesat, mengejar Karpala yang 
telah melesat meninggalkan tempat itu sambil melepas tawa gembira bernada 
penuh kemenangan. Tapi hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh pemuda 
berkumis tipis itu telah lenyap dari pandangan. Yang tinggal hanya si Pedang 
Halilintar Sakti dengan hati hancur, menatap semua yang terpampang di 
hadapannya! Dia bertekad dalam hati, akan membuat perhitungan atas semua 
kejadian ini! 

Benarkah roh di dalam tubuh Karpala akan mencari raganya yang 
asli? Dan berhasilkah dia? Bagaimana pula tugas Penjaga Alam Gaib ke 
Pulau Setan? 

Apa yang teijadi terhadap Dewa Arak bersama rombongan yang 
menyusul Penjaga Alam Gaib ke Pulau Setan? Ke mana pula perginya Dara, 
putri Pedang Halilintar Sakti? Dan berhasilkah Karpala menyebar maut di 
dunia persilatan? 

Ikuti kelanjutan, kisah ini dalam.episode: 
PULAU SETAN 

SELESAI