Dewa Arak 93 - Perawan Buronan


Hari ini sungguh berbeda dengan hari-hari biasanya. Suasana di 
Keraj aan Kamulan terlihat ramai. Hiasan dan umbul-umbul dipasang di 
sepanjang jalan di sekitar lingkungan istana. Di setiap sudut kota pun 
terpancang berbagai hiasan yang menyemaraki suasana. 

Keadaan di istana lebih meriah lagi. Tampak di alun-alun yang luas 
dan ditumbuhi pohon beringin raksasa, rakyat sedang berkumpul. Mereka 
ingin menyaksikan peristiwa yang jarang teijadi. Raja Kamulan hendak 
memilih salah satu dari sekian banyak putranya untuk menjadi pewaris tahta 
keraj aan. 

Di bangsal agung ratusan undangan memenuhi tempat yang cukup 
luas dan megah itu. Seorang kakek berusia tujuh puluh lima tahun dan 
mengeakan jubah panjang putih bangkit dari kursinya. Seketika rombongan 
pemain degung merendahkan alunan musik dan akhirnya berhenti sama 
sekali. Kakek berjubah putih ini bernama Eyang Cakra. Dia seorang 
penasihat keraj aan dalam hal-hal yang berhubungan dengan ilmu gaib. 
Kakek ini pula yang dipercaya Raja Kamulan untuk memimpin upacara 
penting ini. 

Eyang Cakra memutar tubuhnya ke kanan. Berdirinya kini 
menghadap Raja Kamulan, Prabu Suwandana, yang duduk di singgasana 
emas. Di sebelah kiri sang Prabu duduk permaisuri. Di belakangnya 
berderet-deret duduk keluarga istana. Putra-putra Prabu Suwandana duduk 
di singgasana kecil berhadapan dengan singgasana sang Prabu. Ada tiga 
buah singgasana kecil yang diduduki para putra Prabu Suwandana. Di 
kanan kiri singgasana-singgasana kecil itu berdiri seorang prajurit keraj aan 
yang bersenjatakan tombak dan perisai. 

"Para hadirin sekalian...!" ujar Eyang Cakra setelah memberi 
penghormatan pada Prabu Suwandana. "Hari ini Yang Mulia Gusti Prabu 
Suwandana berkenan mengadakan acara untuk memilih pangeran yang 
berhak menjadi Pangeran Putra Mahkota. Sang Pangeran Putra Mahkota 
kelak akan menggantikan Gusti Prabu Suwandana menjadi Raja Kamulan 
yang kita cintai ini. Seperti yang kita ketahui bersama, dari Gusti Permaisuri 
sang Prabu memperoleh beberapa keturunan. Tepatnya tiga orang. Mereka 
sama-sama cakap dan memiliki kelebihan masing-masing. Oleh karena itu. 
Gusti Prabu harus menentukan pilihan untuk menunjuk orang yang berhak 
menjadi raja. Gusti Prabu Suwandana memutuskan untuk mempergunakan 
pusaka leluhur kerajaan. Kujang Emas yang akan menentukan siapa di 
antara ketiga pangeran itu untuk menggantikan Gusti Prabu Suwandana!" 

Eyang Cakra menutup ucapannya dengan mengangkat tangan 
kanan ke atas. Rombongan pemain degung pun kembali memainkan 
musiknya. Bunyi yang merupakan paduan dari suara gong, gendang, 
bonang, gambang, dan rebab kembali mengalun. 

Dari salah satu bangunan di dekat bangsal agung seorang gadis 
melangkah perlahan-lahan mengikuti alunan bunyi degung. Gadis cantik ini 
membawa sebuah baki emas. Di atasnya terletak Kujang Emas yang dialasi 
selembar kain indah. Gadis sembilan belas tahun itu memiliki tahi lalat di 
pipi kiri. Tahi lalat kecil itu tampak jelas karena kulitnya yang putih dan 
halus. 

Dengan langkah satu-satu si gadis memasuki bangsal agung, dan 
beringsut ke hadapan putra-putra Prabu Suwandana. Kemudian dengan 
berdiri mempergunakan kedua lutut dan wajah ditundukkan, si gadis 
mengangkat bakinya tinggi-tinggi. Eyang Cakra dengan sikap penuh 
khidmat mengulurkan tangan hendak mengambil baki yang berisi Kujang 
Emas. Benda ini merupakan salah satu dari sekian banyak pusaka kerajaan. 
Gadis pembawa baki lalu beringsut-ingsut mundur dan meninggalkan 
bangsal agung. Eyang Cakra mengangkat baki tempat Kujang Emas berada 
dengan kedua tangan tinggi-tinggi. 

"Ini adalah Kujang Emas! Senjata yang luar biasa ampuh. Hanya 
orang yang beijodoh saja mampu mencabutnya keluar dari sarung. Dengan 
pusaka inilah kita akan mengetahui siapa di antara para pangeran yang 
berhak kelak memimpin kerajaan!" ujar Eyang Cakra dengan suara lantang. 

Eyang Cakra menekuk lututnya. Baki di tangannya diangsurkan 
pada pangeran yang duduk di singgasana paling kanan. Pangeran ini 
merupakan pangeran tertua. Dia bernama Rajamala. Di sebelahnya 
Pangeran Samudra. Dan di sebelahnya lagi Pangeran Danalaya. 

Pangeran Rajamala yang bemsia dua puluh tujuh tahun segera 
bangkit berdiri. Dengan sikap hormat dan khidmat Kujang Emas di 
ambilnya dari baki. Pangeran tertua ini memegang dengan kedua tangan. 
Tangan kanan memegang hulu kujang, sedangkan tangan kiri memegang 
bagian sarungnya. Pangeran Rajamala mengangkat Kujang Emas tinggi ke 
atas. Kemudian, dengan senyum penuh rasa percaya diri diturunkannya 
perlahan-lahan sampai di depan dada. Hulu Kujang digenggamnya. 
Pangeran tertua ini bersiap untuk mencabut. 

"Aaakh...!" 

Pekik kesakitan Pangeran Rajamala membuat semua orang yang 
menunggu dengan tegang terperanjat kaget. Mereka terkejut bukan main 
melihat sang pangeran memperlihatkan kenyerian hebat pada wajahnya. 
Apalagi dari telapak tangan Pangeran Rajamala mengepul asap. Kujang 
Emas terjatuh ke lantai memperdengarkan bunyi nyaring. 

Semua yang berada di bangsal terkesima. Kejadian yang mereka 
saksikan terlalu tiba-tiba. Mereka hanya dapat menatap di dengan 
pandangan bingung. 

"Rajam ala...!" 

"Gusti Pangeran...!" 

Seman kaget itu dilontarkan hampir berbarengan oleh Prabu 
Suwandana dan Eyang Cakra. Pangeran Rajamala ambruk ke lantai. Sang 
Pangeran mengeluarkan keluhan tertahan sebelum teijatuh. 

Eyang Cakra yang berada paling dekat dengan Pangeran Rajamala 
tiba lebih dulu di dekat sang Pangeran. Kakek ini langsung beijongkok dan 
memeriksa keadaan Pangeran Rajamala. Seman Eyang Cakra dan Prabu 
Suwandana kemudian menyadarkan orang-orang di bangsal. Seketika 
timbul kegemparan di tempat itu. Permaisuri menangis sesenggukan 
menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. 

Sementara itu wajah Eyang Cakra langsung memucat. Pangeran 
Rajamala telah tewas. Wajah sang Pangeran tampak bersemu kehijauan dan 
tak memancarkan tanda-tanda kehidupan. Prabu Suwandana memanggil- 
manggil nama putranya. Raja Kamulan ini menubruk tubuh Pangeran 
Rajamala yang terbujur. 

Eyang Cakra yang bisa memperkirakan mengapa Pangeran 
Rajamala tewas terkejut bukan main melihat kecerobohan Prabu 
Suwandana. 

"Gusti Prabu...! Tahan! Jangan sentuh! Tubuh Gusti Pangeran 
Rajamala mengandung racun ganas yang mematikan!" sem Eyang Cakra, 
kalap. 

Seman Eyang Cakra terdengar ke seantero bangsal agung. Tapi 
Prabu Suwandana yang telah kehilangan akal sehatnya melihat kejadian 
yang menimpa putranya seperti tak mendengar peringatan itu. 

Pangeran Samudra segera bertindak. Keselamatan ayahandanya 
terancam. Maka, pangeran ini mengulurkan kedua tangannya yang terbuka. 

"Maalkan atas kelancangan Ananda, Ayahanda Prabu!" ucap 
Pangeran Samudra. 

Deru angin keras meluncur dari kedua telapak tangannya. 
Hembusan angin itu ternyata cukup kuat untuk mendorong tubuh Prabu 
Suwandana hingga terduduk kembali di singgasananya. Dan sebelum Prabu 
Suwandana berbuat sesuatu. Eyang Cakra telah lebih dulu bertindak. Kakek 
ini bergegas menghampiri junjungannya lalu memberi hormat. 

"Maalkan. kelancangan hamba. Gusti Prabu. Menumt hemat 
hamba, amat berbahaya menyentuh tubuh Gusti Pangeran Rajamala. Di 
sekujur tubuhnya mengalir racun mematikan yang membuat siapa pun 
menyentuhnya akan tewas." 

Prabu Suwandana menghembuskan napas berat beberapa kali 
untuk menenangkan diri. 

"Sebenarnya apa yang telah teijadi. Eyang?" tanyanya kemudian. 
Suaranya terdengar begitu sedih. 

"Semua ini terjadi akibat Kujang Emas, Gusti Prabu." 

Sepasang alis Prabu Suwandana terkerut mendengar jawaban 
Eyang Cakra. Tanggapan Prabu Suwandana berbeda dengan Ladoya. 
Ladoya adalah kepala pasukan istana yang segera mengeluarkan seman 
lantang. 

"Cari wanita yang membawa Kujang Emas...!" 

Seketika itu pula belasan pasukan istana berlarian mencari gadis 
pembawa baki berisi Kujang Emas. Ladoya sendiri ikut serta dalam 
pencarian itu. 

"Jaga mulutmu. Eyang Cakra...!" sembur Prabu Suwandana tak 
senang. "Sungguh lancang kau berani bersikap tak sopan terhadap pusaka 
leluhur kami!" 

"Ampunkan hamba. Gusti Prabu," sembah Eyang Cakra bum-bum. 
Wajahnya tampak berubah pucat "Hamba kesalahan bicara. Maksud Ham- 
ba..., penyebab kematian Gusti Pangeran Rajamala adalah racun yang 
ditaburkan pada Kujang Emas." 

"Bagaimana kau bisa mengambil kesimpulan seperti itu. Eyang? 
Tidakkah dugaan itu terlalu dini untuk dilontarkan?!" 

"Ampunkan hamba. Gusti Prabu. Untuk menguatkan kebenaran 
dugaan itu bolehkan hamba membuktikannya." 

Prabu Suwandana menganggukkan kepala. Seketika itu pula. 
Eyang Cakra bangkit berdiri dan memberi isyarat pada salah seorang 
prajurit 

"Ambilkan baskom berisi air." 

Sang prajurit mengangguk cepat dan berlari untuk melaksanakan 
perintah itu. Eyang Cakra menghampiri tempat di mana Kujang Emas 
terjatuh. Kakek ini mengambil baki tempat pusaka Kerajaan Kamulan itu. 

Eyang Cakra menj ejakkan kaki. Kujang Emas pun melayang naik 
ke atas dan hinggap di atas baki yang dipegangnya. Pusaka itu jatuh ke atas 
baki perlahan-lahan seperti diletakkan dengan tangan. Kakek ini kemudian 
bergegas menghampiri Prabu Suwandana. Tak lama prajurit yang membawa 
baskom berisi air tiba. 

"Hamba akan coba membuktikan kebenaran ucapan hamba. Gusti 
Prabu." Usai berkata. Eyang Cakra mengambil keris yang terselip di 
pinggang. Dimasukkannya senjata itu ke dalam baskom berisi air. 
"Sekarang akan hamba masukkan Kujang Emas, Gusti Prabu," ujar Eyang 
Cakra seraya menatap waj ah Prabu Suwandana. 



Eyang Cakra memasukkan Kujang Emas ke dalam baskom dengan 
memiringkan baki, sehingga pusaka kerajaan itu merosot ke dalam baskom. 
Terdengar bunyi berdesis seperti besi panas terkena air. Pusaka Kerajaan 
Kamulan itu tenggelam ke dalam dasar baki dengan menimbulkan 
gelembung-gelembung bagai air mendidih. Permukaan air di dalam baki 
bergolak hebat memperdengarkan bunyi bergemuruh. 

Semua mata yang menyaksikan peristiwa ini membelalak kaget 
bercampur ngeri. Peristiwa seperti ini tak teijadi ketika keris Eyang Cakra 
dimasukkan ke dalam air. Sekejap kemudian air di dalam baki berubah. 
Tidak lagi bening dan jemih, melainkan hijau keruh. Bau yang memualkan 
perut pun menyebar. Orang-orang sampai menutup hidungnya. 

"Dugaan hamba tidak keliru. Gusti Prabu. Kuj ang Emas telah 
ditaburi bubuk racun mematikan! Racun yang amat ganas. Racun itu 
menjalar pada Gusti Pangeran Rajamala melalui kedua tangannya yang 
mencekal pusaka," beri tahu Eyang Cakra. 

Kakek beijubah putih ini memang banyak memiliki ilmu aneh. 
Benda-benda aneh pun banyak dimilikinya. Benda-benda yang mempunyai 
keistimewaan tersendiri. Tadi sebelum merendam keris dan Kujang Emas, 
kakek ini telah lebih dulu menaburkan bubuk ke dalam air. Bubuk yang 
akan memberikan pertanda bila terdapat racun pada benda-benda yang 
hendak direndamnya. Bubuk itu merupakan hancuran dari batu mirah. 

"Bagaimana mungkin itu bisa teijadi, Eyang?!" geram Prabu 
Suwandana, murka. Dengan wajah merah padam dia menoleh ke kanan. 
"Patih! Apa saja keijamu sehingga kejadian seperti ini bisa terjadi!" 

Wajah Patih Singabarong memucat. Bibirnya menggigil ketika 
berbicara. 

"Ampunkan hamba. Gusti Prabu. Hamba bersedia menerima 
hukuman. T api sebelum itu hamba tak akan tinggal diam. Hamba akan usut 
sampai tuntas peristiwa ini." 

Prabu Suwandana mendengus. 

"Kuberi kau waktu dua minggu untuk mengungkap masalah ini. 
Jika gagal, tiang gantungan siap menunggumu!" 

"Terima kasih atas kemurahan hati Gusti Prabu. Hamba mohon diri 
untuk mempersiapkan segala sesuatunya." 

Prabu Suwandana menganggukkan kepala dengan sikap kaku. 
Sementara itu Eyang Cakra telah mengangkat Kujang Emas dari dasar baki. 
Kakek ini tak merasa khawatir lagi untuk menyentuhnya. Racun pada 
pusaka kerajaan itu telah ditawarkan oleh bubuk batu mirah. Ditimang- 
timangnya Kujang Emas lalu di ciumnya beberapa kali. Sepasang alis 
Eyang Cakra yang telah memutih tampak berkemt dalam. 



"Ampunkan hamba. Gusti Prabu. Hamba akan mengatakan hal 
yang tidak berkenan di hati Gusti," ucap Eyang Cakra kemudian hati-hati 
sekali. 

"Katakan saja. Eyang. Aku lebih suka kalau Eyang bicara terus 
terang," sambut Prabu Suwandana. 

"Ampunkan hamba. Gusti Prabu. Kujang Emas ini bukan Kujang 
Emas yang asli. Senjata ini palsu dan bukan pusaka kerajaan...." 

"Apa?!" Biji mata Prabu Suwandana hendak melompat keluar. 
"Oh, Sang Hyang Widi! kutuk apa yang telah menimpa kerajaan ini?" 

Permaisuri menangis semakin keras. Prabu Suwandana 
mengepalkan kedua tinjunya kuat-kuat. Rahangnya tampak menggembung. 
Kelihatan jelas kalau sang Prabu tengah murka. 

"Patih...!" 

Patih Singabarong yang bam saja beberapa tindak meninggalkan 
bangsal agung buru-buru menghentikan langkah. 

"Kau dengar apa yang dikatakan Eyang Cakra?! Tugasmu 
bertambah! Cari Pusaka Kujang Emas sampai dapat dan seret pelakunya 
kemari!" titah Prabu Suwandana. 

"Akan hamba laksanakan. Gusti Prabu!" 

"Eyang," Prabu Suwandana mengalihkan perhatian pada Eyang 
Cakra. "Kurasa perlu diberitahukan pada rakyat kalau kerajaan berkabung 
selama dua puluh satu hari." 


*** 

Seorang gadis muda tampak memacu kuda tunggangannya tengah 
dikejar setan. Pecutnya senantiasa mendarat di bagian belakang tubuh kuda 
coklatnya. Tali kekang yang dicekal dengan tangan kiri pun tak henti- 
hentinya digeprakkan. Bunyi derap kaki kuda berdebam-debam 
menghantam bumi. 

Lari kuda coklat itu telah luar biasa cepat. Tapi, si gadis tems saja 
memacunya. Gadis ini memiliki tahi lalat di pipi kiri. Berkulit putih halus. 
Rambutnya digulung, dan pada bagian depan diikat dengan hiasan emas 
berbentuk bulan sabit. 

Si gadis memacu kudanya seraya berkali-kali menolehkan kepala 
ke belakang, seakan di belakangnya ada orang yang mengejar. Tanpa 
memperlambat laju kudanya si gadis kemudian menggoyang-goyangkan 
kepala. Hiasan rambutnya pun terlepas. Demikian pula dengan 
gelungannya. Rambutnya yang panjang segera melambai-lambai diteipa 
angin. 




Gadis yang mengenakan pakaian ringkas warna kuning itu tems 
memacu kudanya di pinggir aliran Sungai Citarum. Medan yang terkadang 
naik turun tidak menghalangi laju lari kuda. Menjelang matahari menuju 
titik tengahnya, si gadis melihat mulut sebuah hutan di kejauhan. Wajah 
gadis itu seketika terlihat berseri-seri. 

"Apabila telah memasuki hutan itu, tak akan sulit bagiku untuk 
menyembunyikan diri dari kejaran," pikir gadis berpakaian kuning penuh 
keya-kinan. "Setidak-tidaknya pasukan kerajaan akan mendapat kesulitan. 
Dan berkat pusaka yang kudapatkan ini, aku akan menjadi seorang wanita 
yang sakti. Rahasti, dunia akan berada di tanganku. Tidak hanya wilayah 
Jawa Barat, tapi seantero tanah Jawa. Dan bukan hanya dunia persilatan 
saja, namun juga kekuasaan pemerintahan. Aku akan menjadi ratu. 
Disembah-sembah oleh sekian puluh ribu manusia! Betapa menyenangkan! 
Hihihik..!" 

Harapan itu membuat gadis berpakaian kuning yang bernama 
Rahasti semakin bersemangat memacu binatang tunggangannya. Hanya 
dalam beberapa saat hutan kecil itu telah dimasukinya. Sampai di tengah 
hutan, Rahasti melompat tumn dari punggung kuda. Binatang berwarna 
coklat itu diusirnya untuk menempuh arah yang berlawanan dengan yang 
akan ditempuhnya. Rahasti yang merasa yakin dirinya dikejar-kejar 
bermaksud mengecoh para peng ej arny a. 

Melihat binatang tunggangannya telah berada cukup jauh, Rahasti 
membalikkan tubuh dan berlari ke arah yang berlawanan. Semak belukar 
diteijangnya sehingga menimbulkan bunyi gaduh. Binatang-binatang kecil 
yang berada di tempat itu kalang kabut menyelamatkan diri. Dengan 
pengerahan tenaga dalam Rahasti tak perlu khawatir kulitnya terluka oleh 
duri-duri tajam. Hanya pakaiannya yang koyak-koyak di sana sini. 

Rahasti masih mengayunkan kedua kakinya ketika mendengar 
bunyi yang telah cukup akrab di telinganya. Bunyi berdentum-dentum tapi 
mempunyai nada yang enak didengar. Bunyi bonang (jejeran gong kecil 
yang merupakan salah satu perangkat degung). 

Kleung dengdek buah kopi rarang geuyan 

Keun anu dewek ulah pati diheureuyan 

Cing cangkeling manuk cingkleung cindeten 

Plos ka kolong bapak satar buleneng 

"Orang gila dari mana yang main bonang dan bernyanyi di tempat 
sesepi ini?" pikir Rahasti. 

Suara serak-serak penyanyi ini menunjukkan kalau dia sudah tidak 
muda lagi. Dan tampaknya yang menyanyi adalah laki-laki. Tapi, Rahasti 
tak mempunyai keinginan untuk mengetahui orang yang bermain bonang. 
Gadis itu lebih memikirkan urusannya. Tanpa dipikirkan lebih jauh, ayunan 



kakinya terus dipacu. Beberapa lama berlari, kening Rahasti mulai 
berkemyit. Ia merasakan ada kej anggalan pada tempat yang dilaluinya. 

"Aneh...! Sepertinya aku telah melalui tempat ini sebelumnya. Aku 
yakin tidak salah. Keadaan semak-semak yang porak-poranda menjadi 
alasan kuat kalau tempat ini telah kulalui!" 

Perasaan heran mengapa bisa kembali ke tempat semula membuat 
Rahasti memperlambat lari. Sekarang gadis ini berlari seraya 
memperhatikan sekitarnya. 

"Tidak salah lagi...," pikir Rahasti kemudian. "Aku telah tersesat 
jalan dan hanya berputar-putar di tempat ini. Aku ingat betul tempat ini 
telah kulalui sebelumnya. Tempat pertama kali kudengar bunyi bonang dan 
nyanyian itu!" 

Karena yakin betul dirinya telah tersesat jalan, Rahasti sekarang 
memperhatikan benar-benar jalan dan tempat-tempat yang dilaluinya. Dan 
selama Rahasti mengayunkan kaki, bunyi bonang dan nyanyian tems 
terdengar. 

"Gila...!" 

Kali ini Rahasti tak kuasa menahan seman. Cetusan dari perasaan 
bingung dan putus asa. Ia kembali menempuh tempat semula! Sambil 
mengumpat panjang pendek sebagai pelampiasan rasa jengkel, Rahasti 
menghapus peluh yang membasahi dahi dengan sapu tangan. Rahasti 
kemudian berdiam diri, memperhatikan sekitarnya. 

"Aku yang bodoh sehingga tak bisa mengenali arah, atau... ada 
yang mengganggu perjalananku? Mungkinkah penunggu hutan ini telah 
menutup pandanganku sehingga hanya jalan yang menuju ke tempat ini 
yang terlihat olehku! Tapi jika benar hutan ini ada penunggunya, 
mungkinkah di siang hari seperti ini lelembut itu bertindak usil?" gumam 
Rahsti, bingung. 

Seperti menyambuti keluhan gadis ini, terdengar seman yang tidak 
keras tapi tegas. Seman yang mengandung teguran dan celaan. 

"Mengandalkan kemampuan dengan perantaraan nyanyian untuk 
mempermainkan seorang wanita muda sungguh suatu tindakan tak terpuji. 
Apalagi jika dilakukan oleh orang yang telah dekat dengan lubang kubur, 
seperti kau Kek...!" 





Ucapan itu menyadarkan Rahasti dari kebingungannya. Kiranya 
karena bunyi bonang dan nyanyian itu! T api, bagaimana hal itu bisa teijadi? 

Rahasti mengedarkan pandangan untuk mengetahui pemilik suara 
yang menegur pemain bonang. Sia-sia! Asal suara itu sulit dilacak karena 
seperti berasal dari segenap arah. 

Kenyataan ini mengejutkan Rahasti. Jantungnya berdetak jauh 
lebih cepat karena perasaan tegang yang melanda. Pemilik suara itu 
agaknya mempunyai ilmu memindahkan suara. Ilmu seperti itu hanya 
dimiliki oleh orang-orang yang memiliki tenaga dalam sangat tinggi. 

"He he he...!" Tiba-tiba terdengar tawa menge-keh. Tawa pemain 
bonang. "Kau tak usah bertindak seperti pendekar. Anak Muda. Aku tahu 
mengapa kau membela wanita itu. Dia masih muda, cantik, dan bertubuh 
montok! Kau ingin mencari perhatiannya, bukan? He he he...! Aku tahu apa 
yang berkecamuk di hatimu. Aku dulu pemah muda. Anak Muda! 

"Mulutmu kotor sekali, Kek!" sembur pemilik suara kedua yang 
disapa sebagai anak muda. Nada suaranya terdengar penuh teguran. 

"He he he...! Masih juga kau bertingkah seperti orang suci. Anak 
Muda! Aku tahu apa yang ada di benak orang-orang muda seperti kau! 
Ataukah..., perkataanku membuatmu sukar untuk bersandiwara di depan 
gadis montok itu?!" 

Pemilik suara kedua belum sempat memberikan tanggapan, ketika 
Rahasti yang merasa jengkel karena dirinya merasa diremehkan 
menyambuti ucapan pemain bonang. 

"Kalian ini manusia pengecut yang hanya bisa menggonggong 
keras-keras tanpa berani menunjukkan muka! Kalau memang mempunyai 
nyali, tunjukkan diri!" 

Seman Rahasti nadanya tajam bukan main. Apalagi diucapkan 
secara keras. Terasa jelas kasarnya isi ucapan itu. Hal ini rupanya dirasakan 
oleh kedua orang yang belum memunculkan diri. Keduanya terdiam tak 
memberikan tanggapan apa pun. Suasana menjadi hening beberapa saat. 
Rahasti kebingungan. Gadis itu khawatir mereka telah pergi. 

"Mulutmu tajam sekali. Gadis Liar! Ucapanmu terlalu keji sekeji 
kedua tangan dan otak yang ada di kepalamu. Aku tak bersembunyi, dan tak 
pemah bermaksud demikian. Sejak kau belum tiba aku telah berada di sini. 
Kau saja yang mempunyai mata buta, sehingga tak mampu melihat 
keberadaanku...!" 

Ucapan pemilik bonang kali ini dapat diketahui secara jelas oleh 
Rahasti. Lelaki itu tak menggunakan kemampuannya memindahkan suara. 
Begitu mengetahui asal suara itu, Rahasti tanpa sadar menutup mulutnya 
agar tak keluar jeritan. 



Suara pemilik bonang berasal dari gundukan tanah sepanjang satu 
tombak dan lebar setengah tombak. Gundukan tanah yang terletak tiga 
tombak di sebelah kanan Rahasti. Dan itu adalah... kuburan! 

Rahasti adalah seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi. Dia 
pun tak gentar menghadapi maut. Tapi biar bagaimanapun dia seorang 
wanita. Melihat asal suara itu dari kuburan, nyalinya langsung menciut. 
Kalau saja saat itu bukan siang hari, melainkan malam, mungkin Rahasti 
sudah lari pontang-panting meninggalkan tempat itu. 

Jantung Rahasti berdebur kencang. Dadanya yang padat 
membusung tampak berombak dengan keras. Gundukan tanah bergetar 
seakan ada sesuatu yang akan keluar. Sudah terbayang di benak .gadis ini 
kalau sesuatu yang akan keluar itu adalah sesosok mayat yang telah 
membusuk. Apalagi yang berada di dalam kuburan kalau bukan mayat?! 

Rahasti sampai terlonjak ke belakang ketika melihat sebuah tangan 
terjulur keluar seiring dengan terbongkarnya tanah ke sana kemari. Tapi 
melihat keadaan tangan seperti layaknya milik manusia hidup, rasa takut 
dan ngeri gadis ini sedikit lenyap. Dan rasa takut murid Kuntilanak Hitam 
Gunung Salak ini semakin menipis tatkala 'mayat hidup' itu keluar 
seutuhnya. Sosok itu tak patut disebut mayat. 

Dia ternyata seorang kakek pendek. Bentuk tubuh dan tingginya 
tak ubahnya anak berusia sepuluh tahun. Kepalanya sangat besar. Kakek 
berkepala besar ini tidak hanya memiliki wajah dan kulit keriput. Wajahnya 
penuh ditumbuhi kumis, jenggot, dan cambang yang telah memutih. 
Bahkan, sepasang alisnya pun berwarna putih. 

"Kukira siapa, kiranya hanya seorang yang sudah dekat dengan 
lubang kubur!" dengus Rahasti, sinis. 

"Memang aku telah dekat dengan liang kubur. Nona. Tapi, itu 
tidak menjadikan alasan buatku membiarkan kelancangan yang kau 
lakukan!" tandas kakek berkepala besar. 

"Aku tak peduli apa pun yang kau katakan. Kepala Besar! Aku 
ingin lewat. Kuharap kau bersedia menyingkir sebelum aku terpaksa 
menyingkirkanmu dengan kekerasan!" 

"Begitukah...?!" sahut si kakek setengah tertawa meremehkan. 
"Aku justm ingin tahu bagaimana caramu melakukan hal itu!" 

Tanpa mempedulikan Rahasti yang semakin geram melihat 
ancamannya tak dipedulikan, kakek aneh ini duduk di atas sebatang pohon 
tumbang. Bonang yang semula tersampir di punggung diletakkan di 
depannya. 

Sikap si kakek membuat Rahasti kehabisan kesabaran. Gadis ini 
merogoh buntalan kecil yang terikat di pinggang. Dari tempat itu 
diambilnya beberapa batang paku, kemudian dilemparkannya ke arah si 
kakek. Lima batang paku meluncur menuju lima tempat mematikan di 
tubuh kakek berkepala besar. Ubun-ubun, bawah hidung, leher, ulu hati, dan 
pusar! 

Kakek aneh menundukkan kepala seakan tak tahu bahaya yang 
tengah mengancamnya. Tapi ketika paku-paku menyambar semakin dekat, 
si kakek memukul salah satu dari jajaran gong kecilnya. 

T ungngng...! 

Seiring terdengarnya bunyi gong, salah satu paku yang tengah 
meluncur berhenti mendadak lalu jatuh ke tanah! Rahasti terbelalak melihat 
kejadian di depannya. Belum lagi hilang rasa kagetnya, empat batang paku 
yang lain ikut mntuh ketika si kakek kembali memukul bonangnya. 

Sungguh pun demikian Rahasti tak menjadi gentar. Ketika 
perasaan kaget berhasil ditekannya, rantai bajanya segera diuraikan dan 
diputar di atas kepala. Kemudian, dengan diawali bentakan nyaring 
diayunkan ke arah kepala si kakek. 

Seperti juga sebelumnya kakek aneh itu menunggu hingga jarak 
Rahasti mendekat, setelah itu bonang dipukul. Akibatnya bola berduri 
Rahasti tak dapat terus melaju ke sasaran. Rahasti menggertakkan gigi. 
Dikerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Bunyi mendem-dem 
mengiringi gerakan rantai Rahasti. 

"Kurasa sudah cukup kesempatan yang kuberikan! Sekarang 
giliranku menyerang!" ucap si kakek mengatasi bunyi gaduh putaran rantai 
Rahasti. 

Rahasti tak mempedulikan seruan itu. Malah, semangatnya untuk 
menyarangkan serangan semakin bertambah. Kakek berkepala besar 
ternyata tak bermain-main dengan ucapannya. Jajaran gong kecilnya secara 
bertubi-tubi dipukul. Bunyi berdentum-dentum yang tertangkap telinga 
bagai bunyi derap puluhan ekor kuda. Si kakek semakin memukul 
bonangnya dengan kecepatan yang menakjubkan. 

Akibat yang terjadi lebih luar biasa! Rahasti kehilangan kendali 
atas senjatanya. Rantai berujung bola berduri menjadi liar. Senjata ini 
melayang ke arah pemiliknya sendiri, bertubi-tubi mengikuti irama bunyi 
bonang! Jika bunyi melambat maka sambaran rantai pun perlahan. Begitu 
pula sebaliknya. 

Rahasti kelabakan! Seumur hidupnya belum pernah dialami 
kejadian seperti ini. Hanya dengan bunyi, senjatanya diambil alih lawan dan 
dipaksa untuk menyerang pemiliknya sendiri. Kalau saja ada orang yang 
menyaksikan pertempuran ini tentu akan melongo keheranan. Rahasti yang 
memegang pangkal rantai, tapi justm senjata itu yang menyerangnya! 
Kalang kabut dan menderu-dem. Betapapun gadis itu berusaha 
mengendalikan senjatanya, namun usahanya sia-sia! 

Rahasti terpontang-panting menyelamatkan diri. Sampai beberapa 
belas jurus hanya itu yang dapat dilakukannya. Mengelak dan terus 
mengelak! Sampai akhirnya gadis itu putus asa. Di jurus kedua puluh 
sentajanya dilepas dari cekalan! 

Ternyata, tindakan yang diambil Rahasti tak membuatnya terlepas 
dari masalah. Rantai itu masih tetap mengejarnya. Malah lebih liar dan 
ganas dari sebelumnya! Keadaan Rahasti semakin mengkhawatirkan. 
Mengelak terus-menerus akan membuatnya lelah. Dan jika keadaan 
demikian tems berlangsung dia akan celaka! 

"Benar-benar keterlaluan tindakanmu, Kek! Bukan hanya 
menghalangi peijalanan orang, tapi sekarang kau hendak membunuhnya! 
Terpaksa aku tak bisa tinggal diam!" 

Seman yang tadi memihak Rahasti kembali teidengar. Lagi-lagi 
menegur kakek pemain bonang. Nadanya kali ini lebih keras. 

Rahasti mengarahkan pandangan ke satu arah. Sementara kakek 
pemain bonang tetap dengan kesibukannya semula, memukul bonang! 
Wajahnya tetap menekuri tanah. Tak sedikit pun timbul keinginan untuk 
melihat orang yang sejak tadi mencampuri urusannya. 

Rahasti yang merasa penasaran terperanjat kaget bukan main. Pada 
sebatang pohon kelapa yang amat tinggi tampak berjalan seseorang dari atas 
puncaknya menuju ke bagian bawah. Sosok berpakaian ungu itu beijalan 
seenaknya seakan-akan batang pohon kelapa tidak berdiri tegak, melainkan 
rebah! 

Tak lama kemudian sosok berpakaian ungu itu menjejak tanah. 
Rahasti semakin terkejut mendapati sosok yang dikiranya telah berusia amat 
lanjut itu ternyata seorang pemuda tampan berwajah tenang. Rambutnya 
berwarna putih keperakan. 

"Menyingkirlah, Nona. Biar aku yang menghadapi kakek usilan," 
ujar pemuda berpakaian ungu. Suaranya tenang dan kalem. 

Bagai kerbau dicocok hidungnya, dengan wajah masih 
memancarkan keheranan Rahasti menyingkir dari tempat itu. Ingin 
diketahuinya apa yang akan dilakukan pemuda berambut putih keperakan. 
Rahasti dapat dengan mudah menyingkir karena si kakek tak menyerangnya 
lagi. Memang bonangnya tetap dimainkan, tapi nada permainannya tak 
ditujukan untuk membuat rantai Rahasti menyerang pemiliknya. Rantai itu 
hanya bergerak-gerak di udara. 

"Ha ha ha...! Kau hebat. Anak Muda. Kau membuatku yang telah 
bertulang rapuh ini jadi tertarik untuk bertarung lagi. Asal kau tahu saja, 
sejak beberapa belas tahun lalu aku tak pernah lagi mengadu otot. Kau patut 
merasa bangga Anak Muda!" ujar kakek berkepala besar seraya menatap 
Arya Buana Alias Dewa Arak penuh selidik. "Dan sebagai tanda rasa 
kagumku atas kepandaian yang kau miliki, aku bersedia memperkenalkan 
diri. Kebetulan aku belum lupa dengan nama yang diberikan orang tuaku. 
Sampang, itulah namaku. Anak Muda." 

"Aku Arya, Kek. Arya Buana," balas Arya memperkenalkan jati 
dirinya. "Kuucapkan terima kasih atas penghormatan yang kau berikan 
padaku, walaupun ucapanmu bertentangan dengan perbuatanmu." 

"Heh?! Atas dasar apa kau berkata demikian. Anak Muda?!" tanya 
Sampang agak tersentak. Kakek ini tak menyapa Arya dengan namanya. 

"Kau katakan tadi kalau kau telah belasan tahun tak bertarung, dan 
baru denganku kau akan melakukannya lagi?" Arya meminta penegasan 
seraya menatap Sampang tepat pada bola matanya. 

"Benar," jawab Sampang singkat 

"Lalu apa yang kau perbuat dengan wanita muda ini? Bukankah 
kau mengeluarkan kemampuanmu untuk menghalanginya melakukan 
peijalanan? Kulihat gadis itu melawan sehingga teijadi pertarungan antara 
kalian?" 

"He he he...!" Sampang terkekeh sambil menggeleng-gelengkan 
kepala. "Kuakui apa yang kau katakan memang tak salah. Tapi, aku 
mempunyai alasan yang amat kuat. Sayang, hal itu tak bisa kuberitahukan 
padamu. Anak Muda." 

"Aku pun mempunyai alasan untuk menolong gadis itu, Kek. 
Terkecuali kalau kau dapat memberikan alasan yang tepat," timpal Arya. 

"Seperti yang telah kukatakan tadi, aku tak bisa memberitahukan 
alasannya. Perlu kau ketahui, sekali aku berkata hitam tak akan nanti aku 
berubah pendirian. Kau dengar. Anak Muda?! Jadi apa pun yang terjadi, 
yang kukatakan tak akan berubah lagi. Jelas?!" 

Arya hanya meng angkat bahu. 

"Hei! Hendak kabur ke mana kau?!" 

Sampang yang melihat Rahasti melesat meninggalkan tempat itu 
segera mempergencar pukulan bonangnya. Seketika itu pula rantai yang 
sejak tadi mengawang di udara meluncur ke arah si gadis. Arya tak rela 
membiarkan Rahasti dijegal. Pemuda ini buru-buru menjulurkan tangannya. 

Wuttt! 

Angin yang mengeluarkan deru keras keluar dari telapak tangan 
Arya, dan menghantam rantai yang tengah mengejar Rahasti. Rantai bola 
berduri itu pun terpental jauh, menyeleweng dari sasaran semula. Rahasti 
terbebas dari ancaman dan meles at tanpa terganggu. 

Sampang tak tinggal diam. Bonangnya kembali dimainkan sambil 
memperdengarkan nyanyian. Kakek ini hendak menyesatkan Rahasti seperti 
sebelumnya. 

Tapi, Arya yang menyadari maksud Sampang segera menjulurkan 
tangan. Rantai yang teijatuh di tanah meluncur ke arahnya. Aiya segera 
menangkap dan memutarnya di atas kepala. 

W uk, wuk, wukkk..! 

Bunyi mendem-deru segera terdengar. Tak hanya satu nada, 
melainkan banyak nada seperti layaknya bunyi yang keluar dari alat-alat 
musik! 

"Gila...!" puji Sampang dalam hati. Bunyi bonangnya tertekan oleh 
bunyi putaran rantai sehingga tak menimbulkan pengaruh terhadap Rahasti. 
"Pemuda ini benar-benar luar biasa! Kalau tidak, bagaimana mungkin 
mampu menimbulkan bunyi seperti suling hanya dengan sebelah rantai?!" 

Sampang penasaran. Tenaganya diperbesar dan jumlah pukulannya 
pada bonang ditambah sehingga kekuatan pengamhnya semakin dahsyat. 
Dewa Arak tak tinggal diam. Perlawanan yang diberikannya pun semakin 
gencar. Pertarungan tak lazim segera terjadi. Mesti Dewa Arak dan 
Sampang berdiam diri di tempatnya, tapi kadar bahayanya tak kalah dengan 
pertarungan umumnya. Peluh membasahi wajah keduanya. 

"Kakek ini memiliki tenaga dalam yang amat kuat," pikir Dewa 
Arak." Mungkin tak berada di bawah tenagaku. Apabila pertarungan 
dibiarkan terus berlangsung, kami berdua akan terancam maut. Hal ini tak 
boleh terjadi! Aku dan kakek itu tak mempunyai urusan sedikit pun 
sehingga harus mengorbankan nyawa!" 

"Pemuda ini hebat sekali..." puji Sampang dalam hati sambil tems 
memainkan bonangnya. "Belum pernah kutemukan pemuda seperti ini. 
Rasanya tenaga dalamnya setingkat dengan tenagaku. Tak mengecewakan 
kalau aku tewas di tangannya!" 

Pikiran yang ada ini membuat Sampang semakin memperdahsyat 
permaman bonangnya. Dia tak peduli lagi dengan keselamatan nyawanya. 
Dewa Arak tentu saja kaget bukan main. Pemuda yang kenyang 
pengalaman ini tahu betapa berbahayanya hal itu. Dan dia yakin pula 
Sampang mengetahui bahaya yang mengancam dirinya. Sampang rupanya 
hendak mengadu nyawa! 

Dewa Arak kebingungan. Dia tak ingin Sampang tewas. Maka 
setelah memutar benaknya mencari jalan keluar, pemuda berambut putih 
keperakan ini memutuskan suatu cara. Arya menambah tenaga pada putaran 
rantainya. Bedanya kalau Sampang menambah tenaga untuk memperbesar 
daya serang, Arya menambah kekuatan serangan untuk ditujukan pada 
bonang Sampang! 

Pyarrr...! 

"Huakh...!" 

Berbarengan dengan hancur berkeping-kepingnya bonang, tubuh 
Sampang terjengkang. Dewa Arak juga terj engkang ke belakang seraya 
memuntahkan darah segar. Rantai di tangan pemuda itu terpental dalam 
keadaan hancur! 

Baik Dewa Arak maupun Sampang memang mampu bangkit. Tapi 
Arya berdiri dengan limbung. Di sudut-sudut mulutnya masih mengalir 
darah segar. 

Sampang menatap Dewa Arak dengan wajah pucat. Sepasang 
matanya terlihat memancarkan keharuan. Dewa Arak telah merelakan 
dirinya terluka parah untuk menghentikan pertarungan adu nyawa ini. 
Padahal, Sampang tahu jika diteruskan kemungkinan besar dirinya yang 
akan menderita kerugian. Karena meski tenaga dalamnya setingkatan 
dengan Dewa Arak, usianya yang telah lanjut membuatnya cepat lelah. 


"Mengapa kau lakukan hal ini, Anak Muda? Kau telah 
mengorbankan dirimu," tanya Sampang terbata setelah sekian lamanya 
terpaku. 

Arya berusaha mengulas senyum. Tapi dia gagal! Yang tampak 
hanya seringai kesakitan. Kenyataan ini menyadarkan Arya akan beratnya 
luka dalam yang ditanggungnya. Tanpa menrpedulikan pertanyaan 
Sampang, Pemuda itu kemudian duduk bersila dan bersemadi untuk 
mengobati luka-lukanya. 

Sampang tahu diri. Dibiarkannya saja tingkah Arya. Bahkan, 
kakek ini malah memperhatikan. Ada perasaan menyesal bermain-main di 
lubuk hati Sampang. Penyesalan mengapa dirinya yang telah berusia lanjut 
ini masih memiliki watak tak mau mengalah. 

Cukup lama juga Sampang hams menunggu. Matahari yang tadi 
berada tepat di atas kepala telah cukup jauh bergulir ke barat. Sinarnya yang 
semula tak terasa menyengat karena terhalang rindangnya pepohonan, kini 
mulai menggigit Saat itulah Dewa Arak menghentikan semadinya. 

Arya membuka mata. Yang pertama kali dilihatnya adalah 
Sampang yang tengah memperhatikannya dengan penuh selidik. Pemuda ini 
melihat sorot penyesalan dalam sinar mata Sampang. Kenyataan ini cukup 
menghibur hati Arya. 

"Maaf aku tak segera menjawab pertanyaanmu, Kek," ucap Aiya 
seraya bangkit berdiri. 

Wajah pemuda ini tampak lebih segar. Kendati demikian 
tenaganya belum pulih seluruhnya, walaupun luka-luka dalamnya telah 
sembuh. Arya masih harus bersemadi lagi untuk memulihkan seluruh 
tenagany a. 

"Tidak mengapa, Arya," jawab Sampang penuh pengertian, seraya 
mengulas senyum lebar di bibirnya. Kakek ini untuk pertama kalinya 
menyapa Arya dengan namanya. "Aku bisa memaklumi keadaanmu. 
Bagaimana sekarang? Lebih enak?" 

"Begitukah, Kek. Jauh lebih enak daripada sebelumnya. Kau 
memang hebat, Kek. Aku mengaku kalah...." 

"Kau hanya membuatku malu saja, Arya," kilah Sampang dengan 
wajah memerah. "Ucapanmu membuatku teringat akan ketidakpatutan yang 
telah kulakukan. Kalau saja kau ikut-ikutan bersikeras sepertiku, entah apa 
yang akan teijadi pada diriku. Mungkin saat ini aku hanya tinggal nama 
saja...." 

"Kau terlalu merendah, Kek." 

"Kau yang terlalu merendah dan mengalah, Arya!" bantah 
Sampang, cepat. "Dan hal ini yang masih tidak kumengerti. Mengapa kau 
lakukan, Arya? Tindakan yang kau ambil bisa mengakibatkan nyawamu 
melayang!" 

Arya menghela napas berat "Aku tak ingin kita berdua tewas. Aku 
yakin hal itulah yang akan teijadi apabila diteruskan. Maka mumpung 
tenagaku belum terkuras habis, kulakukan tindakan itu. Kuhancurkan 
alatmu dan kuambil risiko untuk terkena seranganmu. Aku yakin tak akan 
sampai merenggut nyawaku. Telah kupersiapkan tenaga cadangan untuk 
menangkalnya. Perhitunganku ternyata hampir gagal! Nyawaku mungkin 
telah melayang bila luka-luka yang kuderita tak segera ku tanggulangi." 

Sampang mengangguk-anggukkan kepala. Tapi kelihatan sorot 
matanya, Arya tahu kakek ini masih belum puas dengan jawabannya. 
Dugaan pemuda ini ternyata tak keliru. 

"Keterangan yang kau berikan belum lengkap, Arya. Kau masih 
belum memberikan jawaban mengapa hal itu kau lakukan?" tagih Sampang. 

"Aku tak ingin kita berdua, terutama kau tewas Kek!" 

"Itu aku tahu, Aiya. Tapi aku ingin tahu alasannya!" desak 
Sampang. 

"Karena antara kau dan aku tak ada urusan apa pun hingga 
persoalan ini harus diselesaikan dengan melayangnya nyawa!" 

Sampang terdiam. Alasan yang dikemukakan Aiya benar-benar 
menyentuh hatinya. Harus diakuinya kalau jawaban pemuda itu memang 
tepat. 

"Hhh...!" Sampang menghela napas berat seperti hendak membuat 
perasaan yang mengganjal di dalam dadanya. "Apa yang kau katakan 
memang benar, Arya. Kau telah membuka mata hatiku yang tertutup oleh 
keinginan untuk menjadi pemenang. 

"Syukurlah kalau kau berpendapat sama denganku, Kek," ujar 
Arya, gembira. "Dengan demikian, sekarang antara kita tak ada persoalan 
lagi." 

"Tentu saja, Arya!" tandas Sampang. "Kalau ada waktu aku ingin 
mengenalmu lebih dekat. Sayang sekali aku mempunyai urusan penting 
yang harus segera diselesaikan." 

"Mengenai gadis muda itukah?!" tanya Aiya setelah berpikir 
sejenak. 

Sampang tahu siapa yang dimaksud oleh Aiya. 
Tanpa ragu-ragu kepalanya dianggukkan. 

"Mungkin perlu kuberitahukan padamu alasan aku berurusan 
dengan gadis muda itu, Aiya," ujar Sampang. 

"Kukira tindakan itu lebih bijaksana, Kek. Tanpa mengetahui 
alasanmu bermusuhan dengan gadis muda itu, aku terpaksa membelanya," 
beritahu Aiya deng an nada menyesal. 

"Kau memang seorang pendekar tulen, Arya. Dan menilik 
ketenangan yang kau miliki, kau agaknya telah cukup pengalaman dalam 
meniti kehidupan keras dunia persilatan. Bahkan, aku yakin kau telah 
mempunyai nama besar...." 

"Berhentilah memujiku, Kek. Nanti kepalaku akan pecah karena 
pujian yang terus kau berikan. Kurasa lebih baik segera kau beritahukan 
alasan permusuhanmu dengan gadis itu." 

Sampang mengangguk-anggukkan kepala menyetujui usul yang 
diajukan Arya. 

"Dengar baik-baik. Anak Muda. Gadis yang kau tolong itu adalah 
seorang pencuri! Bahkan mungkin pembunuh. Meski belum memeriksanya, 
aku tahu kalau dia menyembunyikan pusaka Kerajaan Kamulan. Aku yakin 
betul hal itu!" 

"Pusaka Kerajaan Kamulan?! Pusaka apa, Kek? Aku pernah 
mendengar tentang kerajaan itu. Kalau tak salah rajanya bernama Prabu 
Suwandana. Kudengar pusaka kerajaan itu cukup banyak...," ujar Arya yang 
rupanya cukup banyak mengetahui tentang Kerajaan Kamulan. 

"Memang, pusaka Kerajaan Kamulan cukup banyak. Tapi hanya 
ada sebuah pusaka yang biasan sinarnya mirip pelangi. Pusaka itu bernama 
Kujang Emas!" 

"Biasan sinarnya mirip pelangi, Kek?!" ulang Arya setengah tak 
percaya. "Mengapa aku tak melihatnya?" 

'Tidak aneh, Arya," jawab Sampang, kalem. "Kau belum pernah 
melihat pusaka tersebut. Apabila kau telah pernah melihatnya, akan terlihat 
biasan sinar yang kumaksud kendati tak terlihat oleh mata biasa." 

Arya, tak memberikan tanggapan. Pemuda ini percaya Sampang 
bicara sebenarnya. Banyak hal-hal yang tak terlihat oleh mata, tapi bisa 
dilihat dengan mata hati. Arya sendiri sering mengalami hal itu. Belalang 
raksasa miliknya tak pernah terlihat olehnya apabila dicoba dengan mata 
biasa. Binatang itu baru terlihat apabila Arya menggunakan mata hatinya. 

"Dengan kata lain, kau cukup mengenal Kujang Emas, Kek?" 

"Begitulah kira-kira, Arya. Aku cukup lama tinggal di Kerajaan 
Kamulan, sekitar dua puluh lima tahun. Aku bertugas melatih pasukan 
khusus kerajaan. Salah seorang muridku sekarang telah menjadi patih di 
sana. Singabarong namanya," jelas Sampang. 

"Ahhh...!" sem Arya, kaget. "Sungguh tak kusangka kau termasuk 
orang penting, Kek. Maaf kalau aku berlaku kurang hormat" 

"Tak usah memuji-mujiku, Arya. Sekarang kau bisa mengerti 
mengapa aku berusaha menahan kepergian gadis muda itu? Aku yakin 
Kujang Emas didapatkannya secara tak sah. Benda pusaka itu tak boleh 
keluar dari lingkungan istana." 

"Aku mengerti, Kek," Arya mengangguk. "Aku meminta maaf 
telah menyebabkan wanita tadi berhasil melarikan diri." 

"Tak mengapa, Arya. Juga kesalahanku. Kalau saja aku 
menjelaskan masalah sebenarnya, mungkin urusannya tak akan seperti ini. 
Tapi kau kan mengerti aku tak bisa sembarangan memberi keterangan?" 

"Tentu saja, Kek. Bila hal ini terdengar orang-orang persilatan 
akan lebih sulit untuk mendapatkannya kembali. Aku yakin tokoh-tokoh 
persilatan akan berusaha keras mendapatkan Kujang Emas. Kekacauan akan 
terjadi, dan darah segera tumpah di sana-sini." 

"Syukurlah kalau kau mengerti, Arya," timpal Sampang. "Sekarang 
juga aku akan pergi mencari gadis itu" 

"Sebenarnya aku ingin membantumu Kek. Sayang, keadaanku 
belum mengizinkan," sahut Arya bernada penyesalan. 

"Aku mengerti, Arya. Selamat tinggal. Mudah-mudahan kita bisa 
bertemu lagi." 

"Mudah-mudahan, Kek," harap Arya. 

Sampang melesat meninggalkan tempat itu. Arya hanya bisa 
memandanginya sampai tubuh kakek itu lenyap dari pandangan. Pemuda 
berambut putih keperakan ini kemudian berjalan tertatih-tatih mencari 
tempat sepi untuk bersemadi. Tenaga lamanya perlu segera dipulihkan. Di 
tempat yang agak tersembunyi akan mengurangi kemungkinan timbulnya 
gangguan. 


*** 

Entah berapa lama tenggelam dalam semadinya, Arya teijaga 
ketika pendengarannya menangkap bunyi derap kaki-kaki kuda. Aiya 
membuka mata dan bangkit berdiri. Dengan pendengarannya yang tajam, 
Arya dapat mengetahui kalau belasan ekor kuda tengah berlari cepat menuju 
tempat dirinya dan Sampang tadi terlibat pertarungan. Dewa Arak sendiri 
saat ini berada beberapa belas tombak dari tempat tersebut. Tempat pemuda 
berambut putih keperakan ini berada terlindung oleh kerimbunan semak- 
semak. 

Perasaan ingin tahu mendorong Arya untuk mengayunkan kaki 
mendekati tempat yang dituju rombongan berkuda. Dengan ilmu 
meringankan tubuhnya yang tinggi diinjaknya kerimbunan semak dan daun- 
daun kering tanpa menimbulkan bunyi. Dugaan Arya ternyata tepat. 
Belasan ekor kuda tampak ditunggangi laki-laki gagah berpakaian seragam 
pasukan kerajaan. Rombongan ini berhenti tepat di tempat terjadinya 
pertarungan Dewa Arak dan Sampang. Rombongan ini adalah pasukan Ke- 
rajaan Kamulan! Jumlah mereka lima belas orang, termasuk pemimpin 
rombongan. 

"Apa yang membuat pasukan kerajaan berada di tempat ini?" pikir 
Arya ditempat persembunyiannya. Tapi, sekelebat dugaan lain menyelinap. 
"Apakah pasukan ini rombongan Kerajaan Kamulan? Mungkinkah mereka 
telah mengetahui hilangnya pusaka kerajaan dan sekarang tengah mengejar 
pencurinya?" 

Arya memperhatikan sosok pemimpin pasukan kecil itu. Seorang 
lelaki bemsia empat puluh tahun, berjenggot tebal. Dialah Ladoya, kepala 
pasukan khusus Istana Keraj aan Kamulan. 

"Periksa sekitar tempat ini!" seru Ladoya, lantang. "Aku yakin 
wanita itu lewat tempat ini. Dan bukan tak mungkin porak-porandanya 
tempat ini karena dia bentrok dengan seseorang." 

Serentak para prajurit melompat tumn dari punggung kuda dan 
memeriksa sekitar tempat itu. Ladoya sendiri tetap duduk di atas punggung 
kuda. Dia hanya memperhatikan keadaan di sekitarnya secara sekilas. 
Seman Ladoya menjawab pertanyaan yang menggayuti benak 
Dewa Arak. 

"Rupanya dugaanku benar. Mereka pasukan Kerajaan Kamulan 
yang tengah memburu pencuri pusaka Kujang Emas," pikir Arya. 

Kendati demikian Arya tetap diam di tempatnya. Dia ingin 
mengetahui lebih banyak mengenai penyebab tercurinya Kujang Emas. 
Untuk mencuri pusaka kerajaan bukanlah pekeijaan mudah. Di samping 
dijaga ketat, banyak tokoh istana berkepandaian tinggi. Rasanya orang 
seperti Rahasti akan sulit bisa mencuri pusaka dengan mengandalkan 
kepandai an yang dimilikinya. 

"Bagaimana hasil penyelidikan kalian?" tanya Ladoya setelah para 
prajurit kembali. 

"Wanita liar itu memang benar telah melewati tempat ini. 
Senapati!" lapor seorang prajurit. "Rupanya di sini dia terlibat pertarungan 
sengit sehingga menyebabkan ada yang terluka. Dan melihat banyaknya 
darah di tempat ini, sepertinya yang bertarung tak hanya dua orang!" 

"Hm...!" Ladoya mengelus-elus jenggotnya. "Rupanya berita 
mengenai tercurinya Kujang Emas telah tersebar luas." 

"Bukan tak mungkin pula pertempuran yang terjadi bukan karena 
Kujang Emas, Senapati. Rasanya tak mungkin pusaka yang baru saja tercuri 
beritanya telah tersebar," bantah si prajurit tak setuju. 

"Mudah-mudahan saja demikian. Prajurit! Aku lebih suka begitu. 
Tugas kita akan lebih mudah. Kalau berita mengenai Kujang Emas telah 
tersebar luas dan pusaka itu terampas dari buruan kita, akan lebih sulit bagi 
kita untuk melacaknya," timpal Ladoya. "Dan agar kita tak keduluan pihak 
lain, kita harus bergegas! Aku tak yakin pusaka itu dapat tercuri dengan 
mudahnya tanpa bantuan orang dalam!" 

Senapati Ladoya menutup ucapannya dengan mengepalkan tangan 
kuat-kuat hingga menimbulkan bunyi berkerotokan keras. Kelihatan jelas 
perasaan geram Senapati ini. 

"Maksud Senapati, ada yang berkhianat di istana?!" tanya prajurit 
yang melapor. 

"Benar! Seseorang yang mempunyai pengaruh sehingga mudah 
saja menyuruh seorang pencuri menjadi pembawa pusaka dalam upacara. 
Dan, aku telah bisa menduga siapa orang itu. Patih Singabarong!" 

Wajah para prajurit langsung berubah. Mereka tahu siapa Patih 
Singabarong. Bila tuduhan itu terdengar olehnya, akan terjadi kekacauan 
besar di kerajaan. 

"Sekarang kita cari wanita liar itu untuk membuka kedok Patih 
Singabarong! Berangkat!" seru Ladoya, keras. 

Bumi kembali bergetar oleh derap langkah belasan kaki kuda. 
Debu mengepul tinggi ke udara. Tak berapa lama kemudian suasana di 
tempat itu menjadi hening. 

Angin malam berhembus agak keras. Hawanya dingin menusuk 
hingga ke tulang sumsum. Beberapa orang prajurit jaga di rumah Patih 
Singabarong merapatkan kedua tangan ke tubuh untuk sekadar 
mendapatkan kehangatan. 

Dinginnya suasana malam tak dirasakan orang-orang yang berada 
di dalam rumah. Bangunan megah yang ditinggali Senapati Singabarong 
bersama istri dan seorang anak perempuan mereka telah bemsia hampir dua 
puluh tahun. Saat ini istri dan anak Patih Singabarong tak bisa tidur. Kedua 
wanita itu tetap membelalakkan mata kendati telah merebahkan diri di 
peraduan. 

"Mengapa kau kelihatan gelisah. Bu? Memikirkan Ayah? 
Tenangkanlah hati Ibu. Aku yakin Ayah akan segera menyelesaikan 
masalah yang tengah dihadapinya," ujar wanita yang lebih muda, bemsia 
dua puluh tahun dan memiliki wajah cantik. 

Wanita ini adalah putri Patih Singabarong. Tentu saja sebagai putri 
seorang patih kerajaan, Rati Hinggil bukan seorang gadis lemah. Sejak kecil 
gadis ini telah digembleng ilmu-ilmu silat. Yang menjadi pengajarnya tak 
hanya ayahnya, juga tokoh-tokoh silat istana. Patih Singabarong sengaja 
mendatangkan mereka untuk mendidik putrinya semata wayang itu. Maka, 
tak mengherankan di usianya sekarang ini Rati Hinggil memiliki tingkat 
kepandaian tak kalah dengan ayahnya. 

"Kau tak tahu, Hinggil," cela ibunya dengan nada lembut. "Kalau 
saja mengalami kejadian aneh, aku tak akan segelisah ini." 

"Kejadian aneh?!" Rati Hinggil mengerutkan alisnya. 

"Kejadian aneh apa. Bu?" 

Sumbadra tak segera menjawab pertanyaan itu. Dia malah 
menghela napas berat, seperti ada sesuatu yang menekan batinnya. Rati 
Hinggil dengan sabar menunggu ibunya memberikan jawaban. 

"Ibu bermimpi, Hinggil," ujar Sumbadra lirih. 

"Mimpi, Bu...?!" tanya Rati Hinggil dengan perasaan geli. Hampir 
saja tawanya meledak. "Mimpi apa? Dan apa hubungannya dengan masalah 
yang tengah dihadapi Ayah?" 

"Aku yakin masalah yang menimpa ayahmu mempunyai hubungan 
erat dengan mimpi-mimpi-ku. Yang Dewata telah memberi petunjuk 
padaku melalui mimpi itu. Sayang aku kurang tanggap bertindak sehingga 
tak sempat memberitahukan ayahmu. Mimpi-mimpi itu datang tiga hari 
sebelum kejadian mengerikan yang menimpa Gusti Pangeran Rajamala," 

"Sebenarnya mimpi-mimpi apa sih. Bu? Sehingga, kau demikian 
yakin mimpi itu merupakan petunjuk dari Dewata?" tanya Rati Hinggil lagi. 
"Telah kuperiksa arti mimpi-mimpi yang kudapat dengan 
mencocokkan pada keterangan orang-orang tua dulu. Semuanya cocok! Isi 
dan maksud yang terkandung dalam setiap mimpi itu mirip satu sama lain!" 

"Maksud Ibu bagaimana? Aku masih belum mengerti." 

"Makna mimpi-mimpiku itu semuanya mengandung arti akan 
datangnya malapetaka pada keluarga kita, Hinggil. Dan terbukti, ayahmu 
mendapat musibah itu!" 

"Aku jadi penasaran. Bu. Sebenarnya mimpi apa yang kau terima?" 
Rati Hinggil tak kuasa menahan rasa ingin tahunya. 

"Dengar baik-baik, Hinggil," ujar Sumbadra penuh tekanan. Rati 
Hinggil sampai menahan napas, khawatir ucapan ibunya tak terdengar. "Di 
malam pertama bermimpi ibu melihat hujan deras dan angin ribut. Kau tahu 
apa aninya?" 

Rati Hinggil menggeleng. 

"Mimpi itu mempunyai arti kalau kita kedatangan musuh. Kau dan 
aku rasanya tak mungkin punya musuh Ini sudah pasti ayahmu. Beliau 
yang banyak berhubungan dengan orang. Bukan tak mungkin ayahmu itu 
pemah menyakiti orang lain. Atau..., barangkali kedudukannya membuat 
orang menjadi iri." 

Rati Hinggil mengangguk-anggukkan kepala. Gadis ini dapat 
menerima penjelasan ibunya. 

"Lalu, mimpi Ibu yang lain?" 



"Mimpi kedua kalinya tak kalah buruk. Ibu mendengar bunyi 
halilintar. Mimpi itu mempunyai makna yang buruk. Kita akan mendapat 
bahaya, Hinggil." 

"Bahaya! Bahaya apa. Bu?!" tanya Rati Hinggil ingin tahu 

"Semula aku tak tahu, Hinggil. Tapi setelah kupikir-pikir, mimpiku 
itu satu dengan yang lainnya saling berhubungan. Di mimpiku yang terakhir 
aku, kau, dan ayahmu berhadapan dengan sebuah sungai besar. Aku tak 
ingat apakah kau dan ayahmu melompatinya. Yang jelas, saat itu aku 
melompati sungai besar itu...." 

Sampai di sini Sumbadra menghentikan ucapannya. Dia menangis 
seraya menutup wajah dengan kedua tangan. Wanitu itu kelihatan bingung 
dan sedih. Rati Hinggil buru-buru memeluk ibunya. Rati Hinggil merasa 
terharu sekali. Ibunya bukan termasuk perempuan cengeng. Gadis ini tahu 
kalau sejak dia masih kecil ibunya tak pernah menangis, betapapun berat 
masalah yang dihadapi. Kalau sekarang wanita ini sampai menangis, 
bahkan dengan demikian sedih dan takutnya. Pasti masalah yang 
dihadapinya amat berat. 

"Mengapa kau menangis. Bu? Apakah arti mimpi itu?" bujuk Rati 
Hinggil dengan suara halus. 

S umbadra menatap wajah putrinya lekat-lekat dengan air mata 
berlinang. Wajahnya yang sembab membuat wanita setengah baya itu 
tampak menyedihkan. 

"Jika kau bermimpi berhadapan dengan sebuah sungai besar lalu 
kau melompatinya, itu pertanda kalau ajalmu telah dekat." 

"Ibu!" jerit Rati Hinggil, kaget. "Tidak! Arti mimpi itu tidak benar. 
Ibu tak akan mati!" 

Rati Hinggil bagai kehilangan akal sehatnya. Dia berteriak keras- 
keras seraya bangkit dari berbaringnya. Sumbadra yang tak mendapat 
kesempatan berbicara hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dia amat 
sayang pada Rati Hinggil, dan tak siap untuk meninggalkannya selama- 
lamanya. Tapi jika yang berhak atas nyawa manusia telah menentukan, si- 
apa yang dapat menghalangi?" 

"Kau tidak boleh berkata begitu, Hinggil," beritahu Sumbadra 
dengan suara serak. Air mata mengalir deras sepanj ang kedua belah pipinya. 
Semua yang hidup pasti akan mati. Tak ada satu pun makhluk yang tidak 
akan mati. Dan...." 

"Tidak!" potong Rati Hinggil. "Pokoknya aku tak ingin Ibu mati! 
Ibu tak akan mati!" 

"Hinggil...!" seru Sumbadra, terharu melihat Rati Hinggil kelihatan 
demikian terpukul. Hati wanita ini serasa diremas-remas. Ibu dan anak ini 
kemudian saling berangkulan. 

Saat Sumbadra mulai menceritakan mimpi-mimpinya, beberapa 
sosok bayangan berkelebat mendekati bangunan rumah yang dikelilingi 
dinding batu setinggi satu tombak itu. Sosok-sosok ini mempunyai gerakan 
yang gesit sekali. Mereka mengenakan pakaian serba hitam serta selubung 
wajah. Jumlah mereka ternyata belasan. Di setiap tangan sosok hitam 
tergenggam sebatang golok besar! 

Suasana malam demikian sunyi. Yang terdengar hanya bunyi 
jengkerik dan serangga malam. Tapi suasana itu dipecahkan tiba-tiba oleh 
bunyi burung hantu. Suaranya yang keras mengejutkan para prajurit jaga. 
Mereka yang telah terkantuk-kantuk karena hawa dingin terjaga sesaat. 

Para prajurit itu tak tahu kalau bunyi burung hantu yang terdengar 
bukan bunyi burung yang sebenarnya. Bunyi itu dikeluarkan pemimpin 
gerombolan sosok hitam, dan merupakan isyarat bagi anak buahnya untuk 
mulai menyerang. Bagai hantu-hantu bergentayangan, belasan sosok hitam 
langsung melancarkan penyerbuan. Tidak hanya dari depan yang pintu 
gerbangnya tidak memiliki daun pintu, tapi juga dari dinding-dinding batu 

Lincah laksana kera mereka berlompatan ke atas dinding batu lalu 
melompat ke bagian dalam. Begitu menjejak tanah keberadaan mereka 
segera diketahui oleh para prajurit. 

"Siapa kalian?!" 

Pertanyaan keras bernada kecurigaan itu dilontarkan prajurit yang 
menjaga pintu gerbang. Tapi jawaban yang didapat adalah babatan golok 
besar di tangan sosok hitam! 

Dua penjaga pintu gerbang yang bersenjatakan tombak segera 
melompat ke belakang. Tombaknya ditusukkan ke arah perut para 
penyerangnya. Ternyata dua sosok hitam memiliki kepandai an jauh di atas 
prajurit-prajurit itu. Mereka menggeser kaki ke samping seraya 
mendoyongkan tubuh. Serangan ujung tombak lewat di sisi tubuh keduanya. 

Melalui samping tubuh sosok-sosok hitam kemudian mengulurkan 
tangan menangkap batang tombak. Gerakan mereka yang tak terduga-duga 
membuat kedua penjaga pintu gerbang tak kuasa menyelamatkan 
tombaknya. Begitu tercekal ditariknya dengan keras. Tubuh dua prajurit itu 
pun tertarik ke depan. Mereka tak sempat berbuat apa-apa lagi ketika dua 
sosok hitam membabatkan golok ke batang leher keduanya! 

Crasss, crasss...! 

Hampir berbarengan terdengar bunyi seperti batang pisang 
ditebang. Kepala dua penjaga pintu gerbang terpisah dari tubuhnya, dan 
menggelinding dengan darah memancur deras dari bagian yang terluka. Saat 
itu pula nyawa kedua prajurit itu mdayang ke alam baka. 

Kematian kedua prajurit itu ternyata lebih beruntung dibanding 
rekan-rekannya. Mereka meninggal dunia tanpa mengalami sakit yang 
berarti, sementara para prajurit yang lain tewas dalam keadaan 
menyedihkan. Nyawa mereka terpisah dari raga setelah menggelepar- 
gelepar dalam cekaman rasa sakit yang mendera. 

Rombongan sosok hitam itu memang luar biasa. Kepandaian 
mereka rata-rata di atas para prajurit. Memang terjadi pertarungan, tapi tak 
sampai tigajums setiap sosok hitam mampu merobohkan lawan-lawannya. 
Jerit kematian terdengar di sana-sini. Darah pun membanjiri tempat yang 
biasanya tenang itu. 

"Apa yang teijadi, Hinggil?!" tanya Sumbadra dengan cemas. Dati 
dalam rumah keributan itu terdengar jelas. 

"Aku pun tak tahu. Ibu," jawab Rati Hinggil, setelah terlebih dulu 
menggelengkan kepala untuk mendengarkan bunyi-bunyi mencurigakan di 
luar. 

"Sepertinya teijadi keributan di luar. Aku juga mendengar suara 
langkah-langkah kaki menaiki anak tangga." 

Apa yang dikatakan Rati Hinggil memang tepat sekali. Sosok- 
sosok hitam tengah menaiki undakan anak tangga batu yang menuju ke 
bangunan tempat tinggal Patih Singabarong. 

"Mimpi Ibu tak salah, Hinggil. Ibu yakin ini merupakan saat 
terakhir hidup Ibu. Dan...." 

"Tidak, Ibu!" bantah Rati Hinggil memotong ucapan Sumbadra 
yang belum selesai. "Ibu tak akan mati! Selama ada aku, biar iblis sekalipun 
tak akan kubiarkan menyentuh Ibu. Apalagi hanya pengacau-pengacau 
hina!" " ... 

Seperti menyambuti tantangan Rati Hinggil, daun pintu kamar 
mereka hancur berantakan di dobrak dua tangan kokoh dari luar. Kepingan- 
kepingan daun pintu beipentalan ke sana kemari. Dengan mempergunakan 
sebelah tangan, Rati Hinggil menangkisi potongan-potongan kayu yang 
menyambar ke arahnya dan ibunya. 

Rati Hinggil segera melompat dari peraduan. Ibunya ditempatkan 
di belakangnya. Gadis itu menatap nanar ke arah ambang pintu. Tampak 
dua sosok hitam bergerak masuk dengan sikap waspada. Tangan mereka 
menggenggam sebatang golok besar yang berlumuran darah. 

"Pengacau-pengacau keparat! Kalian harus membayar mahal atas 
kekejian yang kalian lakukan di tempat ini!" desis Rati Hinggil penuh 
kemarahan. 

"Kaulah yang harus mati. Wanita Liar!" balas sosok hitam yang 
memiliki tubuh jangkung. 

Belum hilang gema suara itu, sosok hitam jangkung meluruk ke 
arah Rati Hinggil. Golok berlumuran darah di tangannya diayunkan ke 
pinggang. Keras bukan main. Apabila mengenai sasaran tubuh Rati Hinggil 
akan terpisah menjadi dua bagian. 

Gerakan sosok hitam ternyata kurang cepat. Sekali menjejakkan 
kaki tubuh Rati Hinggil telah melayang ke atas sehingga serangan lawan 
lewat di bawah kakinya. Dan begitu berada di atas Rati Hinggil segera 
melancarkan tendangan ke kepala sosok hitam. Lawannya terperanjat dan 
berusaha mengelakkan serangan dengan melompat ke belakang. Tapi, 
tindakan itu kurang cepat 

Krakkk...! 

Diiringi bunyi gemeretak nyaring, sosok hitam terlempar ke 
belakang. Tulang-tulang lehernya patah akibat tendangan Rati Hinggil yang 
keras bukan main. Seketika itu juga nyawa sosok hitam melayang ke alam 
baka. 

Sosok hitam yang tersisa terkejut melihat kematian rekannya. 
Maka begitu Rati Hinggil mendarat di lantai, sosok hitam menyerbunya 
sambil berseru keras. Goloknya dibaling-balingkan hingga lenyap 
bentuknya. Putaran golok membuat putri Patih Singabarong tak bisa melihat 
jelas sasaran yang akan dituju. 

Tapi Rati Hinggil tak terpengaruh. Gadis ini berdiri diam di 
tempatnya menunggu serangan lawan tiba. Kemudian, laksana bayangan 
Hinggil menyelinap di antara kelebatan golok lawan. Selama tiga jums Rati 
Hinggil mempermainkan lawannya. Dia membiarkan sosok hitam kelelahan 
mengirimkan serangan. Baru di jums keempat gadis ini bertindak. 

"Ukh...!" 

Sosok hitam mengeluh ketika merasakan tangannya yang 
menggenggam golok tiba-tiba bagai lumpuh. Sebelumnya terasa ada sesuatu 
yang menyentuh sikunya. Sosok hitam tak tahu kalau Rati Hinggil telah 
menotok bagian tubuh tersebut. 

Lumpuhnya tangan sosok hitam membuat cekalannya terhadap 
golok terlepas. Tanpa menemui kesulitan Hinggil merampasnya. Kemudian, 
dihunjamkannya ke perut lawan. 

Blesss! 

"Aaakh...!" 

Sosok hitam mengeluarkan jerit memilukan. Goloknya sendiri 
menembus perut hingga ke punggung. Darah segar memancar keluar dari 
luka yang yang terbentuk. 

Rati Hinggil sendiri buru-buru melompat mundur. Bersama 
Sumbadra, gadis ini memperhatikan lawan meregang maut. Sosok hitam itu 
berdiri limbung dengan mata membelalak lebar, seakan tak percaya dengan 
kejadian yang diterimanya. 

Bertepatan dengan ambruknya sosok hitam ke lantai, terdengar 
bunyi ribut-ribut disusul masuknya belasan sosok hitam ke dalam ruangan. 

Rati Hinggil bersikap tenang. Dengan mata dihitungnya jumlah 
calon lawannya. Lima belas orang! Hinggil yakin dirinya akan mampu 
menghadapi keroyokan mereka. Dari tingkat kepandaian dua sosok hitam 
yang berhasil ditewaskannya, dia telah bisa memperhitungkan kemampuan 
lawan. 

Rati Hinggil tetap berdiri di tempatnya. Dilihatnya belasan orang 
itu belum memperlihatkan tanda-tanda hendak melancarkan serangan. 
Mereka hanya bergerak menyebar membentuk kepungan. 

Rati Hinggil mengernyitkan sepasang alisnya yang indah. Dia 
merasa heran dengan tindakan sosok-sosok hitam itu. Apa lagi yang mereka 
tunggu? 

Keheranan Rati Hinggil tak berlangsung lama. Dia baru mengerti 
mengapa belasan sosok hitam tak segera menyerangnya. Di ambang pintu 
muncul sosok hitam lainnya. Dati gerak-geriknya Hinggil tahu kalau sosok 
yang baru datang ini merupakan pimpinan mereka. 

Sosok hitam yang baru datang memiliki tubuh kecil kurus. Ciri- 
cirinya tak menimbulkan perasaan apapun di hati Hinggil. Tapi, tak 
demikian halnya ketika gadis ini menatap mata sosok kecil kurus itu. Mata 
tersebut bersinar kehijauan. Mencorong bagai mata seekor harimau dalam 
gelap. Hinggil merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Sinar mata 
seperti itu hanya dimiliki tokoh-tokoh yang telah memiliki tenaga dalam 
sangat tinggi. 

"Bagaimana? Apakah kalian mengetahui di mana si keparat 
Singabarong itu?!" tanya sosok kecil kurus kemudian. 

Rati Hinggil merasakan tengkuknya dingin. 

Suara sosok kecil kurus terdengar aneh sekali. Suara itu patutnya 
keluar dari mulut setan penghuni kuburan. Yang lebih mengejutkan hati 
Hinggil, setiap perkataan yang keluar menimbulkan getaran di dalam 
dadanya! Hinggil sampai harus mengerahkan tenaga dalam untuk 
melindungi bagian dalam dadanya. 

"Tidak, Tuan! Kami tak melihat si keparat Singabarong di sini! 
Mungkin keparat itu telah mengetahui tindakan kita dan buru-buru kabur 
menyelamatkan diri!" sahut salah satu sosok hitam 

"Tutup mulutmu. Keparat!" bentak Hinggil yang tak kuasa 
menahan kemarahan mendengar ayahnya dimaki-maki. "Kalau tidak, 
kuhancurkan!" 

Sosok hitam yang mendapat teguran merasa tersinggung. Dia 
menggertakkan gigi. Ditatapnya Hinggil dengan mata melotot. Kemudian, 
kakinya diayunkan cepat menghampiri si gadis. Melihat itu Sumbadra yang 
memiliki sedikit kepandaian segera melangkah maju. 

Rati Hinggil tentu saja tak membiarkan tindakan ibunya. Buru- 
buru dicekal pergelangan tangan ibunya. Sang ibu menoleh dan melihat 
Hinggil menggelengkan kepala. 

"Biar aku yang menyelesaikan masalah ini. Ibu," bujuk Hinggil 
dengan suara lembut 

Seperti mengikuti tindakan Hinggil yang menyuruh mundur 
ibunya, sosok kecil kurus mengeluarkan bentakan nyaring. 

"Sebelum kuperintahkan, jangan ada seorang pun di antara kalian 
yang bergerak!" 

Tanpa banyak membantah sosok hitam yang baru maju tiga 
langkah kembali ke tempat semula. Sementara sosok kecil kurus 
mengedarkan pandangan ke sekeliling. 

"Kalian dengar baik-baik! Wanita liar itu terlalu tangguh untuk 
kalian. Kepandaian yang dimilikinya tak berada di bawah kepandaian si 
keparat Singabarong! Biar aku yang mengirimnya ke neraka. Kalian urus 
ibunya. Binasakan siapa pun yang ada di tempat ini! Mengerti?!" 

"Mengerti, Tuan...!" sahut sosok-sosok hitam serempak, membuat 
ruangan tempat mereka berada bergetar. 

"Kalau begitu tunggu apa lagi? Kerjakan segera!" 

Sosok-sosok hitam bagai sekelompok semut yang didekatkan api. 
Mereka semua berlari berpencaran ketika sosok kecil kurus memberikan 
perintah. Yang tinggal di tempat itu hanya lima orang. Mereka bersiap 
untuk menangkap Sumbadra. 

Rati Hinggil yang merasa geram mendengar perintah sosok kecil 
kurus segera meneijang pimpinan gerombolan itu. Gadis yang mengenakan 
pakaian hijau ini mengirimkan serangan berupa tendangan. 

Sosok kecil kurus mendengus melihat serangan yang tertuju ke 
arahnya. Di saat serangan Hinggil masih melayang, dia melompat pula. 
Disambutinya serangan itu dengan mengirimkan tendangan terbang pula. 

Desss...! 

Benturan dua batang kaki secara keras di udara tak bisa di elakkan 
lagi. Disusul kemudian dengan terlemparnya tubuh kedua pemiliknya. 
Hinggil terlempar lebih jauh ke belakang. Bahkan sampai menabrak 
dinding. Sedangkan sosok kecil kurus mampu mematahkan daya lontar 
dengan bersalto beberapa kali dan menjejak lantai secara mantap. 

Hinggil bangkit berdiri sambil menyeringai. Dirasakan kakinya 
yang berbenturan sakit bukan main. Sementara lawannya tampak sedikit 
pun tak terpengaruh. 

"Biarlah kali ini aku gagal menangkap si keparat Singabarong. Aku 
cukup puas bila telah berhasil membunuh anak dan istrinya!" ujar sosok 
kecil kurus seraya mengalihkan perhatian pada lima orang anak buahnya 
yang tersisa. "Bunuh wanita tua itu!" perintah sosok kecil kurus kemudian. 

Lima sosok hitam bagai saling berlomba lebih dulu memenuhi 
perintah pimpinannya. Melihat hal ini Hinggil tak tinggal diam. Gadis ini 
berusaha untuk menghadang. Tapi, pimpinan gerombolan menyadari 
maksud Hinggil. Dia melompat meneijang si gadis. Dan ketika berada di 
udara, dilancarkan kibasan yang dilakukan dengan membalikkan tubuh. 

Hinggil tahu sasaran serangan itu adalah lehernya. Apabila terkena 
babatan kaki lawan, kepalanya bisa terpisah dari tubuh. Maka, dia 
melompat ke samping dan bergulingan menjauh. 

Sosok kecil kurus tak tinggal diam. Dikejarnya calon korbannya. 
Sosok yang belum ketahuan jati dirinya ini mengirimkan serangan dahsyat 
bertubi-tubi. 




Setelah bertarung beberapa jurus, Rati Hinggil harus mengakui 
kepandaian lawan jauh di atas tingkatannya. Suatu keberuntungan baginya. 
Karena lawan tampaknya tak berniat membunuh. Serangan-serangan yang 
dilancarkan tak terlalu berbahaya. Bahkan, sosok kecil kurus itu terlihat 
berhati-hati. 

Keadaan Hinggil jauh lebih baik dari Sumbadra. Istri Patih 
Singabarong itu harus berjuang keras untuk bertahan. Lewat empat jums 
kemudian sebuah tendangan lawan membuatnya terhuyung. Belum sempat 
Sumbadra berbuat sesuatu, lawan yang lain telah memukul perutnya 
Sekejapan kemudian sebuah sampokan mendarat telak di pelipis. Sapuan 
kaki lawan lainnya membuat Sumbadra terjengkang dan jatuh terlentang. 
Istri Patih Singabarong ini tak bangkit lagi. Seiring jatuh tubuhnya, 
nyawanya melayang karena tulang pelipisnya retak! 

Rati Hinggil kendati tengah sibuk menghadapi lawan sempat 
melihat kejadian yang menimpa ibunya. Gadis ini menangis dalam hati. 
Kegeramannya dilampiaskan dengan semakin dahsyatnya serangan- 
serangan yang dilancarkan. Kendati demikian, karena memang tingkat 
kepandaian Hinggil berada di bawah lawan, semua amukannya dapat 
dipatahkan. Bahkan lawan berhasil menyapu kakinya sehingga dia jatuh 
terguling-guling di lantai. 

Sosok kecil kurus yang yakin akan kemenangannya tak terburu- 
buru mengirimkan serangan susulan. Dia melangkah satu-satu ketika 
mendekati Hinggil. Sementara di saat tubuhnya terguling-guling Hinggil 
sempat berpikir. Kalau menuruti perasaan ingin rasanya dia mengamuk 
untuk membalaskan kematian ibunya. Tapi, akal sehatnya melarang. 
Hinggil sadar lawan terlalu kuat. Jika dia tetap memaksakan keinginannya, 
kemungkinan besar dia akan tewas menyusul ibunya. 

"Bila itu teijadi," pikir Hinggil. "Semuanya akan sia-sia. Ayah tak 
tahu orang-orang yang telah menyebar bencana di tempat kediamannya. 
Pembantaian ini akan menjadi rahasia besar. Aku harus selamat!" 

Pikiran-pikiran demikian membuat Hinggil memutar benak untuk 
menyelamatkan diri. Untungnya cara itu segera didapatkannya. Sambil terus 
bergulingan, gadis ini menyepak sebuah kursi dan mengarahkannya pada 
lawan. Pada saat yang bersamaan Hinggil melompat ke arah pinta 

Semua tindakan itu dilakukan Hinggil secara cepat. Sosok kecil 
kurus yang tak menduga akan terjadinya hal seperti ini tak sempat berbuat 
apa pun untuk mencegahnya. Apalagi saat itu dia menerima serangan dari 
Hinggil. Sosok kecil kurus menggeram keras saking marahnya. Tangan 
kanannya dihantamkan memapaki datangnya luncuran kursi. Bunyi 
berderak keras terdengar ketika tangan berbenturan. Kursi pecah berkeping- 
keping, dan pecahannya beipentalan ke sana ke mari. Sebagian di antaranya 
justru menyerbu lima sosok hitam. Mereka pun kelabakan mengelakkannya. 

Sosok kecil kurus kemudian melesat keluar untuk mengejar 
Hinggil. Sementara Hinggil telah berada di bawah undakan tangga baru dan 
tengah melesat melewati pintu gerbang. Sang pemimpin sosok hitam tak 
putus asa. Dia terus melakukan pengejaran. 

Hinggil cukup cerdik. Dia tahu sosok kecil kurus memiliki ilmu 
lari cepat yang berada di atasnya. Kalau sosok itu terus mengejar, 
kemungkinan besar dia akan tersusul. Karena itu, Hinggil memilih tempat- 
tempat yang menguntungkannya. Dipilihnya medan berupa semak belukar. 
Terkadang gadis ini menyelinap ke b alik pohon. Dan memang, siasat g adis 
itu cukup berhasil. Sosok kecil kurus mengalami kesulitan untuk 
mengejarmya. 

Sayang, medan bempa semak-semak dan pepohonan tak berapa 
luas. Setelah beberapa saat bermain kucing-kucingan, Hinggil terpaksa 
menempuh medan berupa hamparan tanah lapang. 

"Mau lari ke mana lagi kau. Wanita Liar?!" seru sosok kecil kurus 
penuh nada kemenangan. Hinggil berada beberapa belas tombak di 
depannya. 

Hinggil tak memberikan jawaban. Gadis ini memusatkan seluruh 
perhatiannya pada lari. Pandang mata Hinggil yang cukup awas melihat 
adanya hutan kecil ratusan tombak di depannya. Hinggil berusaha keras tiba 
di sana sebelum pengejarnya berhasil menangkapnya. 

Pemimpin sosok hitam pun rupanya bukan orang bodoh. Dia tahu 
Hinggil berusaha mencapai hutan di depan sana. Maka seluruh ilmu lari 
cepatnya dikerahkan. Sedikit demi sedikit jarak antara mereka semakin 
dekat. Dan ketika jarak itu tinggal sepuluh tembak lagi, sosok kecil kurus 
menjejakkan kaki kanannya ke tanah. 

Derrr...! 

Tanah tergetar hebat. Beberapa tombak di depan sana Hinggil 
merasakan pengaruhnya. Seperti ada kaki-kaki kuat menyapu kakinya. 
Tanpa mampu dicegah lagi gadis ini terjatuh. 

Tubuh Hinggil terguling-guling. Meski masih bingung akan apa 
yang terjadi, Hinggil berusaha keras untuk menyelamatkan diri. Gulingan 
pada tubuhnya segera dimanfaatkan. Tenaga gulingan itu ditambah dan 
dipergunakan untuk bangkit, lalu melesat meninggalkan tempat itu. 

Tapi, maksud Hinggil hanya terlaksana sampai di pikiran saja. 
Baru saja berguling beberapa tombak dia membentur sepasang kaki yang 
berada di depannya. Tanpa menoleh untuk menatap wajah pemiliknya. 
Hinggil tahu pemilik sepasang kaki itu adalah sosok kecil kurus. 

Hinggil merasa tak ada gunanya lagi melakukan perbuatan apa 
pun. Lawannya telah menguasai keadaan. Maka, Hinggil yang saat itu 
berada dalam sikap tengkurap malah merebahkan kepalanya di tanah. Gadis 
ini pasrah pada apa yang akan teijadi. 

"Balikkan tubuhmu. Wanita Liar!" sem sosok kecil kurus. 

Hinggil tak berani membantah. Dirasakannya ada tekanan yang tak 
menghendaki bantahan dalam ucapan itu. Hinggil segera membalikkan 
tubuh. Sekarang dia terlentang. Sosok kecil kurus berdiri tepat di atasnya, 
menghunus golok besar yang terselip di pinggang. 

"Sebenarnya aku tak ingin membunuhmu. Tapi, itu sebelum kau 
menimbulkan kejengkelanku. Sekarang aku tak bisa berlaku lunak lagi. Kau 
boleh menyusul ibumu sekarang!" 

Sambil menggertakkan gigi, sosok kecil kurus mengayunkan golok 
besarnya ke perut Hinggil. Hinggil yang tak bisa bertindak apa-apa lagi 
hanya pasrah. Dia berdiam diri menanti datangnya malaikat maut! 

Trangngng...! 

"Uh..." 

Sosok kecil kuruss mengeluh tertahan. Sesuatu yang tak jelas 
bentuknya meluncur cepat dan membentur goloknya. Benturan yang teijadi 
luar biasa keras. Timbul percikan bunga api. Tubuh pemimpin sosok hitam 
itu pun sampai terhuyung ke belakang. 

Hinggil segera bertindak cepat. Kesempatan sekejap itu 
dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tubuhnya digulingkan menjauhi sosok kecil 
kums. Kemudian, melenting ke udara dan menjejak tanah dengan mantap. 

Pimpinan sosok hitam tak membiarkan Hinggil selamat. Begitu 
getaran pada tangannya berhasil dihalau, dia melesat mendekati Hinggil. 
Tapi, sosok kecil kums ini segera menghentikan maksudnya. Sesosok 
bayangan ungu telah melesat lebih dulu menghadang jalannya. Bergegas 
lesatannya dipatahkan dan bersalto beberapa kali ke belakang, kemudian 
menjejak tanah secara mantap. 

Dengan mata seperti mengeluarkan api sosok hitam 
memperhatikan penolong Hinggil. Sosok itu seorang pemuda berpakaian 
ungu. Wajahnya tampan dan terlihat matang. Apalagi dengan rambut putih 
keperakan. 

Bukan hanya sosok hitam yang memperhatikan pendatang bam. 
Hinggil pun secara sembunyi-sembunyi menatapnya dari samping. Sosok 
itu bukan lain Arya Buana alias Dewa Arak. 

"Terima kasih atas pertolonganmu. Sobat. Kau telah 
menyelamatkan nyawaku," ucap Hinggil penuh rasa terima kasih. 

"Lupakanlah, Nona. Kebetulan aku lewat tempat ini dan melihat 
kau tengah terancam. Lagi pula, sudah kewajiban kita untuk saling tolong- 
menolong," kilah Arya. 

Hinggil ingin memberikan tanggapan lagi. Tapi, ucapan yang telah 
berada di ujung lidah itu ditelannya. Tepat pada saat itu sosok hitam 
mengeluarkan pekikan nyaring untuk mengawali inceran serangannya. 

Hinggil menutup mulutnya dengan tangan. Gadis ini hampir tak 
kuasa untuk menahan jeritan. Golok sosok hitam berubah banyak. 

"Menyingkirlah, Nona!" sem Arya. 

Hinggil segera melompat menjauh. Gadis ini sadar kalau tetap 
berada di tempat itu hisa terancam bahaya maut. Terkena serangan nyasar 
sosok hitam yang diarahkan pada Dewa Arak. Sementara Arya bergegas 
mengambil guci perak yang tersampir di punggung. Senjata andalannya itu 
diputar di depan dada. Sebentuk gulungan sinar bagai benteng seketika 
melindungi tubuh Dewa Arak. Kemanapun golok sosok hitam bergerak 
akan bertemu dengan gulungan sinar keperakan di sekujur tubuh Arya. 

Trang, trang, trang...! 

Benturan keras terdengar berkali-kali ketika golok berbenturan 
dengan guci. Percikan bunga api pun tercipta. Arya maupun sosok hitam 
terhuyung-huyung dua langkah ke belakang. 

"Keparat! Kiranya kau memiliki kepandaian juga. Orang Usilan!" 
desis sosok hitam penuh geram. "Tapi, jangan harap akan mampu 
menandingiku!" 

Belum lenyap gema ucapannya, sosok hitam telah mengayunkan 
goloknya ke leher Dewa Arak. 

Tapi hanya dengan merendahkan tubuhnya pemuda itu berhasil 
memunahkan serangan lawan. 

Dewa Arak kini tak ragu-ragu lagi untuk mengerahkan seluruh 
kemampuannya. Di samping sosok hitam itu memiliki kepandaian tinggi, 
serangan-serangan yang dilancarkannya pun selalu membawa maut. Kalau 
Arya menghadapinya setengah-setengah nyawanya akan melayang ke 
akhirat 

Perlawanan sungguh-sungguh yang diberikan Dewa Arak 
membuat pertarungan berj alan sengit. Kedua petarung itu ternyata memiliki 
kemampuan berimbang. Mereka silih berganti melancarkan serangan. 
Beberapa kali keduanya terhuyung-huyung ketika terj adi benturan. 

Ketika lagi-lagi sosok hitam mengirimkan tusukan ke arah dada. 
Dewa Arak melompat ke atas. Dati sana dikirimkannya cengkeraman ke 
arah ubun-ubun sosok hitam. 

Kecepatan gerak Dewa Arak pada mulanya membuat sosok hitam 
kebingungan. Tapi dari desir angin tajam yang mengarah kepalanya, dia 
langsung menyadari adanya serangan dari atas. Secepat kilat goloknya 
dibabatkan ke atas. 

Wutttt.! 

Dewa Arak menyadari ancaman maut itu. Pemuda ini bersalto ke 
atas melewati kepala lawan dengan serangan yang tetap tertuju pada kepala. 

Crattt! 

"Akh...!" 

Rentetan kejadiannya berlangsung demikian cepat. Ujung golok 
sosok hitam merobek perut Arya. Sebaliknya, cengkeraman Dewa Arak 
hanya merenggut selubung lawannya. Selubung hitam yang mempunyai dua 
lubang kecil untuk mata itu sekarang berada dalam tangan Dewa Arak. 

"Ahhh...!" 

Seman kaget itu keluar dari mulut Hinggil. Itu terjadi ketika ia 
melihat wajah yang berada di balik selubung. Wajah seorang kakek 
berkepala botak dengan kumis panjang menjuntai melampaui bibir. Wajah 
itu pemah dilihat Hinggil! 

Kakek botak tak kalah terkejutnya. Penyamarannya telah terbuka. 
Si kakek tak mau mengambil resiko lebih banyak lagi dengan tems berdiam 
diri di tempat itu Bergegas dia melesat pergi. 

Kakek botak berlari bebas tanpa khawatir ada yang mengejarnya. 
Dewa Arak maupun Hinggil tak melakukan pengejaran. Aiya merasa tak 
mempunyai urusan dengannya. Sementara Hinggil masih terpaku di 
tempatnya, sibuk mengingat-ingat siapa sosok hitam yang diyakini pernah 
dilihatnya itu. 

"Ada apa. Nona?" tanya Arya ketika melihat Hinggil menghela 
napas berat. "Kau mengenalnya?" 

"Entahlah," jawab Hinggil tak yakin seraya mengangkat kedua 
bahunya. "Rasanya aku pernah melihat wajah itu. Sayang, aku lupa kapan 
dan di mana." 

"Mengapa kau bentrok dengan kakek itu. Nona?" tanya Arya 
mengalihkan persoalan. 

Arya yang semula menduga akan mendapatkan jawaban terperanjat 
kaget melihat Hinggil seperti tersentak. Wajah gadis itu langsung memucat. 
Belum sempat Arya mengajukan pertanyaan Hinggil telah melesat pergi. 
Dari mulutnya yang berbibir mungil Arya menangkap gumaman lemah. 

"Ibu.... Ibu...." 

Sesaat Arya kebingungan. Pemuda ini hanya menatap kepergian 
Hinggil dengan penuh tanda tanya. Tapi ketika putri Patih Singabarong itu 
telah berjarak belasan tombak, Arya teringat pada sesuatu. 

"Bagaimana kalau kakek botak itu belum pergi jauh, dan 
menyerangnya lagi jika mereka bertemu?" 

Pikiran yang muncul selintas ini membuat Dewa Arak 
memutuskan untuk menyusul Hinggil. Dia terpaksa berlari-lari di belakang 
Hinggil, sebelum akhirnya melihat bangunan rumah yang dikelilingi 
dinding batu tinggi di kejauhan. 

Begitu melewati ambang pintu gerbang Aiya mengernyitkan 
alisnya. Mayat-mayat berseragam pasukan kerajaan tergolek di sana-sini. 
Sebuah dugaan jelek terhadap gadis yang dikejarnya mulai di hati Arya. 
Arya melesat menuju bangunan yang dimasuki Hinggil. Sepanjang 
peijalanan melewati undak-undakan tangga batu dan lorong mangan, 
tampak mayat-mayat berseragam pasukan kerajaan. 

"Keji sekali!" rutuk Arya dalam hati. "Siapa orangnya yang telah 
melakukan pembantaian sepeiti ini?" 

Arya tems mengayunkan kaki mengikuti arah yang ditempuh Rati 
Hinggi. T api begitu memasuki ambang pintu salah satu kamar, Arya terpaku 
bagai orang terkena sihir. Pandangan segera tertumbuk pada sosok gadis 
yang dikejarnya tengah duduk bersimpuh di hadapan sesosok tubuh yang 
tergolek di lantai. 

"I... ib....Iba..," rintih Hinggil. Air mata mengalir membasahi 
kedua belah pipinya. Tampak jelas kesedihan pada raut wajahnya. 

Arya j adi merasa kasihan sekali melihatnya. Gadis itu kelihatan 
begitu kehilangan. 

Setelah memperhatikan keadaan dalam ruangan yang porak 
poranda, Aiya melangkah mendekati Hinggil. Ingin rasanya dia 
menghiburnya, tapi tangis Hinggil malah semakin menjadi-jadi. 

Cukup lama juga Dewa Arak menunggu tangis Hinggil mereda. 
Kini yang tinggal hanya isak tertahan. 

Hinggil bangkit berdiri dan membalikkan tubuh Ditatapnya Aiya 
yang tengah menatapnya. 

"Maalkan atas sikapku yang cengeng," ujar Hinggil dengan suara 
serak. 

"Aku bisa mengerti. O ya, kenalkan, namaku Arya Buana. Panggil 
saja Arya." 

"Aku Hinggil. Rati Hinggil," balas putri Patih Singabarong. 

"Sebuah nama yang bagus," puji Arya. "Boleh kutahu mengapa 
kakek kecil kurus tadi hendak membunuhmu? Dan, apakah dia yang telah 
melakukan pembantaian di tempat ini?" 

"Aku tak tahu, Arya. Kakek itu datang bersama rombongannya. 
Kejam bagai haus darah mereka membantai semua pengawal dan ibuku." 

"Jadi kakek itu tak sendirian? Dia datang membawa rombongan?" 
tanya Arya meminta penegas an. 

"Kakek keji itu datang bersama belasan orang berkepandaian 
cukup tinggi. Entah apa kesalahan kami sehingga mereka sampai hati 
melakukan pembantaian ini," keluh HinggiL 

"Kulihat bangunan ini dijaga banyak prajurit. Apakah keluargamu 
mempunyai hubungan dengan kerajaan?" 

"Ayah adalah Patih Kerajaan Kamulan. Beliau bernama 
Singabarong...." 

"Singabarong?" selak Arya, kaget 

"Kau mengenai ayahku, Arya?" Hinggil bertanya penuh rasa ingin 
tahu. Sepasang matanya menatap wajah Arya tajam-tajam. 

"Tidak," jawab Arya. "Aku hanya mendengar dari percakapan para 
prajurit Kerajaan Kamulan." 

Kemudian, secara singkat Dewa Arak menceritakan tentang 
percakapan serombongan pasukan kerajaan yang dipimpin Ladoya. Mereka 
tengah mengejar pencuri Kujang Emas. 

"Itu sebuah fitnah keji, Arya!" sentak Hinggil begitu Arya selesai 
bercerita. "Ahhh...! Malang benar nasib Ayah. Tak henti-hentinya petaka 
menimpa. Saat ini saja beliau tengah mencari Kujang Emas yang dicuri 
orang. Sekarang ada fitnah yang ditimpakan padanya, yang mengatakan 
Ayah bersekongkol dengan sang Pencuri." 

"Jalan satu-satunya untuk membersihkan tuduhan itu adalah 
dengan menangkap pelakunya, Hinggil," ujar Arya setelah tercenung 
sejenak. 

"Jadi kita mulai mengungkapkan rahasia ini dengan mengejar 
pencuri Kujang Emas, Arya?" tanya Hinggil "Bagaimana mungkin? Pencuri 
itu pasti sudah jauh. Lagipula, kita tak tahu kemana perginya." 

"Aku tahu arah yang ditujunya, Hinggil. Itu sebabnya kuusulkan 
untuk mengejarnya. Memang tak hanya dia yang dapat kita jadikan titik 
terang untuk mengungkap masalah ini. Masih ada lainnya, yaitu 
gerombolan orang-orang berseragam hitam yang telah membantai 
keluargamu. Tapi sayang hanya kakek botak yang bisa kita kenali. Itu pun 
dia telah melarikan diri." 

"Kurasa usulmu itu ada benarnya, Arya," ucap Hinggil akhirnya 
setelah tercenung sesaat. "Kuharap kau bersedia untuk mengajakku." 

Arya hanya membisu. Hinggil jadi khawatir kalau-kalau pemuda 
itu akan menolaknya. Buru-buru ucapannya disambung. 

"Aku tak mungkin tinggal di sini lagi, Aiya. Gerombolan penjahat 
itu pasti akan menyatroniku. Aku juga ingin mencari ayahku untuk 
mengabarkan kejadian ini. Kurasa mengadakan peijalanan bersamamu akan 
aman, Arya. Ayahku tak pemah membiarkanku pergi jauh-jauh seorang 
diri." 

"Apa yang dikatakan ayahmu memang benar, Hinggil. Dunia 
persilatan sangat keras. Kau boleh ikut bersamaku. Sebelumnya, mari kita 
ums dulu mayat-mayat ini sebelum pergi" 

"Terima kasih atas kesediaanmu untuk mengajakku, Arya," wajah 
Hinggil tampak berseri-seri. Sepasang matanya berbinar ceria. "Percayalah. 
Aku beijanji tak akan merepotkanmu." 

Arya hanya tersenyum. Sesaat kemudian, pasangan muda-mudi ini 
sibuk mengurus mayat-mayat yang berserakan untuk dikuburkan sebagai- 
mana mestinya. 




Seorang lelaki berpakaian abu-abu melompat turun dari punggung 
kuda. Binatang berbulu coklat putih itu meringkik sebentar karena lelaki 
separuh baya yang menungganginya menarik tali kekang dengan agak 
keras. Lelaki itu terlihat agung dan penuh wibawa. Dia bukan lain Patih 
Singabarong dari Kerajaan Kamulan. Bergegas dihampirinya sosok-sosok 
yang bergeletakan sekitar tiga tombak di depannya. Sosok-sosok yang 
menyebabkannya menghentikan lari kuda. 

"Biadab! Terkutuk...!" 

Sambil terus mengayunkan kaki. Patih Singabarong memaki penuh 
geram. Pandangannya tertuju pada sosok-sosok yang bergeletakan bermandi 
darah. Sosok-sosok itu mengenakan pakaian seragam Kerajaan Kamulan. 
Mereka adalah para prajurit yang dibawa Senapati Ladoya. Tak ada satu 
pun yang selamat. Hanya mayat Ladoya tak ada di situ! 

Perasaan curiga tiba-tiba mencuat di lubuk hati Patih Singabarong. 

Kecurigaannya semakin besar ketika teringat dengan sebuah 
kejanggalan beberapa waktu lalu. Dia melihat sepasang suami isteri 
membawa seorang anak gadis pada Ladoya. Perasaan tertarik membuat 
Patih Singabarong langsung keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. 
Ternyata mereka menginginkan putrinya menjadi dayang istana. Katanya, 
anak tetangga mereka telah menjadi dayang di istana. 

Saat itu Patih Singabarong mendengar Ladoya, yang telah melihat 
keberadaannya, menolak niat pasangan suami isteri itu. Ladoya mengatakan 
kalau dayang-dayang istana tak didapatkan secara sembarangan. Karena 
ditolak, suami isteri itu meninggalkan istana sambil membawa anaknya. 
Patih Singabarong yang terlanjur curiga segera mencari keterangan. Dan, 
hasil yang didapat membuat patih ini cukup kaget. Ternyata telah belasan 
gadis masuk menjadi dayang-dayang. 

Padahal, tak satu pun ada tambahan tenaga dayang-dayang baru. 
Dengan kata lain, gadis-gadis itu lenyap begitu saja! Patih Singabarong tak 
tinggal diam. Dia melakukan penyelidikan. Senapati Ladoya hampir-hampir 
tak pernah luput dari pengawasan. Tapi penyelidikannya sia-sia. Sampai 
terjadinya musibah kematian Pangeran Rajamala, Patih Singabarong tak 
mampu menemukan jawabannya. 

Patih Singabarong bergegas melompat naik ke atas punggung kuda 
lalu memacunya. Menurut dugaannya Senapati Ladoya belum pergi jauh. Ia 
hendak mengejar senapati itu yang dicurigainya sebagai pembunuh anak 
buahnya sendiri. 

Seorang lelaki beijenggot lebat yang mengenakan pakaian seragam 
kerajaan tampak berlari mengindap-indap menyibak kerimbunan semak. 
Lelaki ini adalah Senapati Ladoya. Dia berlari terhuyung-huyung. Beberapa 
kali Ladoya tersungkur. Dari mulutnya mengalir darah segar. 

Entah untuk yang keberapa kalinya Senapati Ladoya kembali 
tersungkur. Dia jatuh tertelungkup ketika kakinya terkait semat-semak. 
Senapati ini tak langsung bangkit berdiri. Agaknya luka yang dideritanya 
cukup parah. Ketika kemudian dia mengangkat kepalanya sedikit, wajah 
lelaki ini terlihat semakin pias. Dua batang kaki berdiri tepat di depan 
wajahnya. Ladoya segera mendongakkan kepala. 

"Gusti Pangeran...," desah Senapati Ladoya. 

Pemilik sepasang kaki itu memang pangeran Kerajaan Kamulan. 
Pangeran Samudra, adik dari Pangeran Rajamala. Pangeran Samudra 
tampak tersenyum sehingga wajahnya yang tampan semakin menarik. 

"Kau, Ladoya? Apa yang terjadi terhadap dirimu? Di mana 
pasukan yang kaum pimpim?" tanya Pangeran Samudra sambil beijongok 
agar bisa melihat Ladoya lebih jelas. 

"Malapetaka besar telah menimpa. Gusti Pangeran," lapor Ladoya. 
"Kami diserang segerombolan orang berpakaian serba hitam yang 
mengenakan selubung wajah. Mereka memiliki kemampuan di atas kami. 
Semua prajurit tewas. Hanya aku yang berhasil selamat. Itu pun karena aku 
berpura-pura meninggal. Itu kulakukan agar dapat memberikan laporan ke 
istana. Gusti Pangeran. Masalahnya, aku melihat adanya kejanggalan...." 

"Kejanggalan?! Kejanggalan bagaimana yang kau maksud, 
Ladoya?! desah Pangeran Samudra. 

"Pimpinan orang-orang berselubung itu. Pangeran," beritahu 
Senapati Ladoya. "Sepertinya aku pernah mengenalnya. Potongan tubuh 
dan sorot matanya dapat kukenali, kendati dia mencoba menyamarkan 
suaranya. Aku yakin apabila berhasil hidup dan menyelidikinya akan dapat 
kuketahui siapa pimpinan gerombolan itu." 

"Sekarang bangkitlah, Ladoya," ujar Pangeran Samudra seraya 
bangkit berdiri. 

"Hamba tidak mampu. Gusti Pangeran. Mungkin hamba 
memerlukan waktu untuk...” 

"Kepergianmu dari istana untuk mengejar pencuri pusaka kerajaan, 
bukan?!" Pangeran Samudra segera memotong ucapan Ladoya. 

Ladoya merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak. Dirasakan 
adanya kejanggalan dalam ucapan sang Pangeran. Nadanya tak senang dan 
penuh kebencian. 

"Benar, Gusti Pangeran," jawab Ladoya lirih.  

"Tapi sayang hamba gagal." 



"Itulah akibatnya bagi orang yang terlalu lancang, Ladoya!" 
dengus Pangeran Samudra tak senang. "Kalau saja kau tak melakukan 
pengejaran terhadap pencuri Kujang Emas, kau tak akan mengalami nasib 
seperti ini!" 

"Apa... maksud Gusti Pangeran?!" tanya Ladoya terbata. Senapati 
ini sampai mendongakkan kepala saking terperanj atnya. 

"Kau menanyakan maksudku, Ladoya?! Dengar baik-baik! Kalau 
saja kau tak mendapat serangan dari gerombolan berseragam hitam, aku 
yang akan menyingkirkanmu!" tandas Pangeran Samudra. 

"Tapi... tapi mengapa. Gusti Pangeran? Apa Salah hamba?!" 

Pangeran Samudra tertawa mengejek. 

"Menurut pendapatmu pencuri itu bekerja sendiri atau mendapat 
bantuan dari orang dalam, Ladoya? tanya Pangeran Samudra. 

Senapati Ladoya menelan ludah dengan susah payah. Pertanyaan 
dan sikap yang ditunjukkan Pangeran Samudra terlihat sangat aneh. Rasa 
curiga membelit hati Senapati Ladoya. 

"Kalau melihat dari rapinya rencana yang dibuat pencuri itu, 
sepertinya ada orang dalam yang telah membantunya. Gusti Pangeran. 
Seseorang yang mempunyai kedudukan cukup penting." 

"Bukan cukup penting lagi, Ladoya. Tapi sangat penting!" sahut 
Pangeran Samudra. "Orang itu adalah aku. Pangeran Samudra. Dan pencuri 
itu adalah kekasihku." 

Senapati Ladoya terpaku. Sepasang mata lelaki ini membelalak 
lebar, mulutnya ikut membuka. Kalau saja saat itu ada lalat, pasti akan 
masuk. 

"Hamba... hamba tak pemah mendengar Gusti Pangeran 
mempunyai seorang kekasih. Dan lagi, sampai hati Gusti Pangeran 
membunuh kakak sendiri...." 

"Kalau tak kubunuh, kesempatanku untuk menjadi raja di Kerajaan 
Kamulan akan lenyap. Rajamala pasti yang akan diangkat menjadi raja. Apa 
boleh buat, demi cita-citaku kehilangan seorang kakak tak terlalu penting. 
Kau tahu Ladoya, untuk mencapai keinginan yang besar memang 
membutuhkan pengorbanan yang besar pula. Jangankan hanya Rajamala, 
Ayah pun akan kusingkirkan demi tercapainya cita-citaku. Ha ha ha...!" 

Pangeran Samudra tertawa bergelak memperlihatkan 
kegembiraannya. Perutnya sampai terguncang-guncang. 

"Sedangkan mengenai wanita yang kau tanyakan, dia adalah 
Rahasti. Aku bertemu dengannya beberapa bulan lalu waktu berbum. Dia 
tengah mandi di sungai. Kecantikan dan kemulusan tubuhnya membuatku 
langsung jatuh hati. Rahasti hanya mau menikah denganku apabila aku 
menjadi Raja di Kamulan. Itulah sebabnya kurencanakan hal seperti ini! 



Jelas, Ladoya? Sekarang kau mengejar untuk menangkapnya. Itu berarti kau 
akan menghancurkan rencanaku." 

"Kau gila. Gusti Pangeran!" desis Ladoya. Dia tak ingat lagi kalau 
pemuda tampan yang dicercanya itu adalah junjungannya sendiri. 

"Kau boleh memakiku hingga suaramu habis, Ladoya! Sekarang 
bersiap-siaplah untuk menerimakematianmu!" 

Pangeran Samudra menghunus pedang yang terselip di pinggang. 
Seketika, sinar menyilaukan mata mencuat. Ladoya sadar akan adanya maut 
yang mendekat. Dengan mata membelalak lebar lelaki itu mengikuti setiap 
gerak Pangeran Samudra. 

"Terimalah kematianmu, Ladoya...!" 

Pangeran Samudra mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. 
Kemudian, dihujamkannya secepat kilat ke arah kuduk Senapati Ladoya 
yang tetap mendongakkan kepala untuk melihat maut menjemputnya! 

Crappp! 

"Aaakh...!" 

Jeritan kematian yang panjang dan memilukan terdengar dari 
mulut Pangeran Samudra. Tubuh sang Pangeran limbung. Pedang yang 
tergenggam di tangan terlepas lalu jatuh ke tanah. Sesaat pangeran ini 
berusaha untuk tetap berdiri tegak, namun ternyata dia tak mampu. 
Pangeran Samudra ambruk ke tanah dengan mata membelalak lebar. 

Senapati Ladoya yang sudah pasrah pada maut terpaku tidak 
percaya. Sang Pangeran malah ambruk ke tanah. Tewas di depan 
hidungnya. Pada punggung Pangeran Samudra tertancap sebatang pisau 
bergagang kepala ular. Sepasang mata Ladoya hampir tak berkedip. Senjata 
yang memiliki gagang berbentuk khas ini amat dikenalnya! 

"Itulah hukuman bagi orang yang berani mengacaukan rencanaku!" 

Belum lenyap gema ucapan itu sesosok bayangan berkelebat. Di 
belakang tubuh Pangeran Samudra yang tergolek tampak berdiri sesosok tu- 
buh kecil kurus, berpakaian serba hitam dan berselubung kepala hitam pula. 

Seketika wajah Ladoya menjadi pias. Sosok yang baru datang ini 
adalah pimpinan gerombolan yang menghadang pasukannya. Ladoya cepat- 
cepat berusaha menenangkan perasaan. Diperhatikannya sekujur tubuh 
sosok kecil kurus. Sesaat kemudian, kata-katanya keluar dengan suara 
gemetar. 

"Tak ada gunanya lagi kau menyembunyikan diri. Eyang Cakra. 
Rahasiamu telah terbongkar. Senjata yang kau hujamkan di punggung 
Pangeran Samudra telah memberikan jawaban yang jelas. Kau ceroboh." 

Sosok kecil kurus merenggut selubungnya. Seketika, tampak seraut 
wajah tua berkepala botak yang amat dikenal Senapati Ladoya. Wajah milik 
Eyang Cakra, penasihat kerajaan dalam hal-hal yang berhubungan dengan 
ilmu gaib! 

"Ha ha ha...!" Eyang Cakra tertawa bergelak. "Dugaanmu tak 
betul, Ladoya. Aku tak ceroboh sama sekali. Aku hanya ingin melihat 
apakah kau mempunyai otak yang cukup cerdik untuk menduga siapa 
sebenarnya!" 

"Sejak semula pun aku sudah merasa kalau pemimpin gerombolan 
penyerbu itu orang yang sangat kukenal. Perawakan dan sorot matamu ku- 
kenal betul. Eyang Cakra! Pisau itulah yang membuatku dapat menduga 
tepat orang yang berdiri di balik peristiwa itu" 

"Bukan hanya terhadap kau dan pasukanmu saja, Ladoya!" sahut 
Eyang Cakra. "Tapi juga terhadap Patih Singabarong. Asal kau tahu saja, 
keluarga patih keparat itu telah kubasmi!" 

"Mengapa kau lakukan itu. Eyang Cakra?" desis Ladoya. 

"Kau bertanya mengapa?!" ujar Eyang Cakra setengah mengejek. 
"Karena kau. Pangeran Rajamala, dan Patih Singabarong telah mencium 
adanya ketidakberesan di istana. Hanya saja, kalian tak bersatu dan justru 
saling curiga, sehingga aku mudah menghadapi kalian. Kendati demikian, 
aku tak berani mengambil risiko lebih besar." 

"Jadi, beberapa prajurit berkereta kuda yang mengangkut pemuda- 
pemudi gagah dan cantik-cantik itu merupakan perintahmu?" 

"Benar!" jawab Eyang Cakra. "Dan kau mengira Singabarong yang 
berdiri di belakang penculikan itu, bukan? demikian pula dengan Pangeran 
Rajamala. Sang Pangeran melaporkan kecurigaan itu pada Prabu 
Suwandana. Sang Prabu kemudian hendak menyingkirkan Singabarong, 
tapi tidak mempunyai alasan. Terbunuhnya Rajamala membuat Baginda 
berani untuk menekan Singabarong. Keamanan merupakan tanggung 
jawabnya, dan dia lalai. Ha ha ha...!" 

"Padahal," sela Ladoya penuh nafsu. "Kau yang membunuh 
Pangeran Rajamala!" 

"Sayang sekali bukan aku, Ladoya. Padahal aku telah 
merencanakannya demikian rapi. Selain aku, orang yang melepaskan 
Kujang Emas dari sarungnya akan mati. Orang itu hanya akan selamat 
apabila aku membacanya beberapa mantera penangkal. Tapi ternyata ada 
seseorang yang menukar Kujang Emas kemudian melumurinya dengan 
racun. Orang yang menjadi biang keladi kekacauan itu adalah Pangeran 
Samudra. Sekarang dia telah berhasil kusingkirkan!" 

"Lalu, untuk apa kau culik pemuda dan pemudi?" 

"Pertama, darah mereka sebagai campuran ramuan yang membuat 
Kujang Emas mampu membunuh siapa pun yang berusaha menghunusnya. 
Alasan kedua, bermain cinta itu ternyata luar biasa nikmat, Ladoya. Setelah 
aku puas bermain cinta dengan pemudinya, campuran darah antara si pe- 
muda dan pemudi kumasukkan dalam ramuan untuk memandikan Kujang 
Emas. Nah! Kurasa penjelasanku telah cukup. Bersiaplah untuk menghadapi 
malaikat maut!" 

"Kaulah yang akan menghadapi malaikat maut. Cakra...!" sentak 
sebuah suara. "Tak kusangka kau orangnya yang memiliki watak demikian 
keji!" 

"Singabarong?!" seru Eyang Cakra melihat kemunculan Patih 
Singabarong di tempat itu. Dia sama sekali tak mendengar bunyi langkah 
kakinya. 

"Benar! Aku, Singabarong, orang yang ingin kau bunuh. Tapi kau 
keliru. Cakra. Kaulah yang akan kubunuh karena tindakanmu terhadap 
keluargaku!" desis Patih Singabarong menahan kemarahan yang 
meluapluap. 

Patih Singabarong memang telah mendengar semua ucapan Eyang 
Cakra. Dia telah berada di situ sejak Eyang Cakra membuka selubungnya. 
Keberadaan Patih Singabarong karena mendengar jerit kematian Pangeran 
S amudra. 

"Ha ha ha...!" Eyang Cakra tergelak gembira. "Syukur kau datang 
ke tempat ini, Singabarong. Aku tak repot-repot lagi mencarimu!" 

"Kaulah yang akan mati ditanganku. Cakra!" 

Patih Singabarong mencabut keris yang terselip di pinggul. 
Kemudian, secepat kilat ditusukkannya ke perut Eyang Cakra. 

Wusss...! 

Tusukan keris mengenai tempat kosong ketika Eyang Cakra 
menarik kakinya ke belakang. Sesaat kemudian kaki kanannya bergerak 
menendang, tiga kali berturut-turut 

Tukkk, desss, desss...! 

Tubuh Patih Singabarong terjengkang jauh ke belakang. 
Tendangan pertama mengenai pergelangan tangan sehingga kerisnya 
terlempar. Tendangan kedua dan ketiga menghantam paha kanan kirinya. 

"Ayaaah...!" 

Sesosok bayangan kuning berkelebat ke arah Patih Singabarong. 
Sesosok lainnya yang berpakaian ungu menghadang langkah Eyang Cakra. 

"Hinggil...!" seru Patih Singabarong ketika melihat siapa sosok 
kuning yang tengah meluruk ke arahnya. 

Sosok itu memang Rati Hinggil. Dengan mata berkaca-kaca 
Hinggil menubruk tubuh ayahnya. Patih Singabarong memeluk putrinya dan 
mengelus-elus rambutnya penuh kasih sayang. 

"Ayah... Ib... Ibu...." 

"Aku sudah tahu, Hinggil. Aku sudah mendengarnya sendiri dari 
mulut si jahanam Eyang Cakra. Syukur kau selamat. Kukira kau juga telah 
dibunuhnya." 

"Pemuda itulah yang menolongku. Ayah," beritahu Hinggil seraya 
menunjuk Arya. 

Patih Singabarong mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk 
Hinggil. Saat itu sosok ungu tengah berdiri berhadapan dengan Eyang 
Cakra. 

"Kau...?!" sem Eyang Cakra tertahan. Penghadangnya bukan lain 
Arya Buana alias Dewa Arak. 

"Selamat berjumpa lagi, Kek," sahut Dewa Arak tenang. 

Tanggapan Eyang Cakra adalah serbuan ke arah Dewa Arak. 
Kakek ini memutar tongkatnya laksana baling-baling. Kemudian, secepat 
kilat tongkat itu disodokkan ke arah Dewa Arak. Deru angin yang luar biasa 
keras mengiringi luncuran serangan itu. 

Dewa Arak tak mau kalah gertak. Gucinya diambil lalu isinya 
dituangkan ke dalam mulut. Dipapaknya serangan tongkat lawan dengan 
guci. 

T rangngng...! 

Arak dalam guci bermuncratan ke sana kemari. Tubuh kedua 
petarung itu terhuyung dua langkah ke belakang. Namun, mereka berhasil 
memperbaiki kedudukan. Sesaat kemudian telah sating gebrak kembali. 

"Eyang Cakra...," gumam Hinggil lirih sekali. "Pantas aku merasa 
pernah melihatnya." 

Patih Singabarong tak memberikan tanggapan. Lelaki tinggi besar 
ini tengah memperhatikan jalannya pertarungan dengan penuh perhatian. 
Pertarungan dahsyat yang harus diakuinya baru pertama kali dilihatnya. 

Hinggil sendiri seperti tak membutuhkan tanggapan ayahnya. Dia 
juga kemudian sibuk memperhatikan jalannya pertarungan. Kekaguman 
yang sudah terpancang di hatinya terhadap Dewa Arak semakin membesar. 

Sementara itu, pertarungan antara Aiya dan Eyang Cakra telah 
mencapai puncaknya. Diawali teriakan melengking nyaring mereka saling 
melancarkan serangan di tengah udara. 

Tukkk, desss...! 

Hampir berbarengan serangan Dewa Arak dan Eyang Cakra 
mendarat di tubuh masing-masing lawannya. Tubuh Dewa Arak dan Eyang 
Cakra kembali terlempar ke belakang lalu terbanting di tanah. Dewa Arak 
masih mampu merayap bangkit, meski dari mulutnya menitik darah segar. 
Sambungan tulang bahu pemuda ini lepas terkena hantaman tongkat. 

Eyang Cakra mengalami nasib yang lebih mengenaskan. Guci 
Dewa Arak tel ah menghantam dada hingga tulang -tulangnya remuk. Kakek 
ini menggelepar sekali, kemudian tewas. Darah menyembur dari mulut, 
hidung, dan telinganya. 

Ladoya dan Patih Singabarong menghela napas lega melihat 
kematian Eyang Cakra. Kedua pejabat tinggi Kerajaan Kamulan ini saling 
berpandangan dan tersenyum. Tak ada lagi permusuhan dalam sorot mata 
mereka. 

Rati Hinggil sendiri dengan malu-malu menghampiri Arya. 
Wajahnya bersemu merah ketika bicara. 

"Kau tak apa-apa, Arya?" 

Arya menggelengkan kepala sambil tersenyum. 
"Aku hanya perlu bersemadi untuk mengobati luka ini, agar tak 
semakin parah." 

Hinggil mengangguk-anggukkan kepala. Dengan sudut mata 
dikerlingnya ayahnya. Sang Patih itu pura-pura tak melihat ringkah 
putrinya. Pandangannya diarahkan pada Ladoya. 




Di saat Dewa Arak tengah terlibat pertarungan dengan Eyang 
Cakra, di tempat yang berjarak ribuan tombak dari tempat mereka, Rahasti 
mengayunkan kaki satu-satu. Wajahnya tertuju lurus ke depan. Sepasang 
bola matanya tampak berputaran liar memperhatikan sekitarnya. Di kanan 
kiri gadis ini terdapat pohon-pohon besar. 

"Kau menepati janji. Nona Muda. Aku kagum padamu!" 

Rahasti sampai terlonjak kaget. Dia buru-buru menghentikan 
langkahnya. Kepalanya didongakkan memperhatikan ke atas pepohonan. 
Dari sana seman tadi didengarnya. 

Di atas cabang pohon yang berjarak lima tombak dari Rahasti 
tampak sesosok tubuh berpakaian serba merah. Sosok itu berdiri di atas 
pohon dengan mempergunakan jari telunjuk kanannya! Rahasti 
membelalakkan mata melihat tingkah sosok merah. Pertunjukan itu 
membutuhkan tenaga dalam yang amat tinggi. 

"Bagaimana? Apakah telah kau bawa benda yang kuminta?" tanya 
sosok merah setelah melompat turun dari atas pohon. Sosok itu melompat 
turun dengan menekankan telunjuknya yang bertelekan pada cabang pohon. 
Tubuhnya kemudian bersalto beberapa kali di udara dan menjejak tanah 
secara mantap dengan kedua kaki. 

"Benar, Kek," Rahasti menganggukkan kepala. "Tapi sebelum 
kuserahkan benda ini, aku ingin kau tunjukkan padaku benda yang kau 
janjikan!" 

Sosok merah yang ternyata seorang kakek berkulit hitam dan 
bertubuh jangkung itu tersenyum. Tangan kanannya dimasukkan ke balik 
baju. Dan ketika dikeluarkan lagi di tangan itu terdapat sebuah buntalan 
kain hitam yang mempunyai tali pada ujungnya. 

"Lemparkan benda yarig kuinginkan, maka akan kuberikan ajimat 
ini padamu," ujar kakek hitam memberikan penawaran. 

"Kau yang lebih dulu melempar, Kek. Baru setelah itu akan 
kuberikan benda yang kau inginkan," Rahasti tak mau menumti begitu saja 
usul kakek hitam. Gadis ini rupanya takut ditipu 

"Kau tak mempercayaiku. Nona?!" dengus kakek hitam tak 
senang. "Sungguh lancang! Ucapanmu itu sebenarnya sudah cukup untuk 
membuatku membunuhmu. Pantang bagi Ardawalika menerima hinaan 
seperti ini. bigat Nona, aku telah berlaku murah hati kepadamu. Sedangkan 
kau? Jangan-jangan kau bermaksud menipuku dengan berpura-pura telah 
mendapatkan Kujang Emas. Padahal, kau tak memilikinya sama sekali!" 

Rahasti mendengus tak senang. Tangannya segera dimasukkan ke 
balik baju untuk mengambil benda yang diyakini Ardawalika sebagai 
Kujang Emas. 

"Bagaimana, Kek? Masih takpercaya kalau aku mempunyai benda 
yang kau inginkan?" tanya Rahasti setengah mengejek. 

Ardawalika terkekeh. Kakek ini memang tetap berdiri di 
tempatnya. Tapi, sepasang bola matanya yang tertuju ke arah Kujang Emas 
di tangan Rahasti menyiratkan keinginan yang besar. 

"Sekarang aku percaya kau memiliki kujang itu. Nona. Nah! 
Tunggu apa lagi? Lemparkan benda itu, dan aku pun akan melemparkan 
benda ini pula! seru Ardawalika. 

Rahasti tersenyum mengejek. "Sebenarnya aku ingin mempercayai 
ucapanmu, Kek Tapi sayang, aku belajar dari pengalaman yang kuterima. 
Terlalu percaya pada orang lain hanya akan merugikan diri sendiri. Siapa 
yang berani menjamin kalau kau tak akan menipuku?" 

Lalu, bagaimana baiknya menurutmu. Nona?" 

Rahasti mengerutkan sepasang alisnya yang indah. Benaknya 
diputar untuk mencari jalan keluar. 

"Aku ada usul, Kek," ujar Rahasti kemudian hampir terpekik 
kegirangan. "Kau dan aku sama-sama meletakkan kedua benda ini di tanah. 
Dari tempatku berada, aku akan melangkah ke kanan sejauh sepuluh 
tombak dan meletakkan Kujang Emas di situ. Sedangkan kau menempuh 
arah yang sebaliknya dan meletakkan ajimat itu di sana. Setelah itu kita 
kembali ke tempat masing-masing dan mengambil benda itu. Bagaimana? 
Usul yang baik, bukan?" 

"Baik sih tidak," sahut Ardawalika tak mau memuji. "Tapi karena 
aku tak ingin masalah ini berlarut-larut, biarlah usul jelekmu ini kuterima." 

Rahasti meletakkan Kujang Emas sepuluh tombak di sebelah 
kanannya. Sementara Ardawalika menaruh buntalan kain hitam yang 
disebutnya ajimat sepuluh tombak dari tempatnya berdiri tadi. Arahnya 
berlawanan dengan Rahasti. 

"Jangan kau lakukan itu. Nona! Ambil kembali Kujang Emas itu!" 

Rahasti dan Ardawalika terperanjat kaget. Seman itu begitu keras 
menggelegar. Dari bunyinya, sepertinya pemilik seman itu berada di tempat 
ini. Tapi ketika Rahasti dan Ardawalika mengarahkan pandangan, pemilik 
seman itu masih berjarak puluhan tombak di belakang Rahasti. 

Rahasti dan Ardawalika segera menyadati kalau kemunculan orang 
itu dapat mengacaukan rencana mereka. Maka, bagai telah disepakati sebe- 
lumnya, keduanya berlomba untuk segera mendapatkan benda yang mereka 
idam-idamkan. Ardawalika lebih dulu mendapatkan Kujang Emas. Baru 
sekejapan kemudian, Rahasti menjumput buntalan kain hitam. 

"Ha ha ha...!" 

Ardawalika tertawa bergelak penuh kegembiraan ketika Kujang 
Emas telah berada di genggamannya. Sepasang matanya menatap pusaka itu 
dengan sorot mata liar, seperti orang kelaparan melihat makanan. 

"Akhirnya benda yang kuidam-idamkan berhasil kudapatkan! Aku 
dapat terjun lagi ke dunia persilatan! Ha ha ha...!" 

Saat Ardawalika yang bagai orang kurang waras itu menciumi 
Kujang Emas, sosok yang tadi berseru tiba di tempat itu. Sosok yang bukan 
lain dari Sampang ini wajahnya tampak pucat pasi. Kakek itu berdiri lima 
tombak dari Rahasti. 

"Celaka! Bencana di dunia persilatan akan muncul lagi. Iblis itu 
pasti akan menyebar angkara murka," desis Sampang penuh kekhawatiran. 

Di lain pihak, Rahasti tanpa mempedulikan tingkah Ardawalika 
segera menyelipkan buntalan kain hitam ke pinggangnya. Jari-jari 
tangannya tampak menggigil ketika mengikatkan tali buntalan. Kelihatan 
jelas kalau gadis ini terpengaruh oleh perasaannya. 

"Ha ha ha...!" Ardawalika kembali tertawa bergelak. Kali ini 
terdengar nada ejekan di dalamnya. "Kau tertipu. Nona Dungu! Kau tertipu! 
Kau kira aku demikian bodoh memberikan ajimat yang kau inginkan?!" 

"Apa?! Rahasti tersentak kaget. Buntalan kain hitam yang sudah 
terikat di pinggang direnggutnya kembali hingga lepas. "Kakek curang! 
Licik!" 

"Ha ha ha...!" Ardawalika hanya tertawa bergelak melihat 
kemarahan yang melanda Rahasti. 

"Jangan tertawa dulu. Kakek Licik!" geram Rahasti. "Kau kira aku 
juga demikian bodoh menyerahkan pusaka berharga itu kepadamu begitu 
saja? Aku sudah memperhitungkan kau akan menipuku. Maka, kusediakan 
sebuah Kujang Emas palsu untuk berjaga-jaga! Ternyata kekhawatiranku 
terbukti. Kita sama-sama mendapatkan benda tak berguna!" 

"Keparat...!" geram Ardawalika. Wajah kakek hitam yang semula 
berseri-seri berubah beringas. Sepasang matanya memancarkan hawa maut. 
Ditatapnya Kujang Emas hampir tak percaya. 

"Kujang Emas ini palsu?!" gumam Ardawalika seperti bicara pada 
dirinya sendiri. Nada ucapannya terdengar mengambang. 

Rahasti tak menjawab. Sementara Sampang yang semula 
kebingungan kini agak berseri wajahnya. Ada harapan bersemi di hati kakek 
itu begitu mendengar ucapan Rahasti. 

"Benarkah apa yang kau katakan itu, Nona?" tanya Sampang 
seraya menghampiri Rahasti. 

"Untuk apa aku berbohong?" Rahasti malah balas mengajukan 
pertanyaan. "Kalau kakek itu tak percaya, silakan mencobanya!" 

Ardawalika menggeram bagai harimau luka. Kujang Emas di 
tangannya diperhatikan lebih lama. Terlihat jelas kakek ini masih merasa 
bimbang dengan keterangan yang diberikan Rahasti. 

Sampang menatap Ardawalika dengan sorot mata penuh 
kemenangan. Kakek ini percaya penuh akan kebenaran ucapan Rahasti. 

"Tunggu apa lagi, Arda?!" tantang Sampang penuh keyakinan. 
"Mengapa kau tak segera membuktikannya? Ayo, ayunkan kakimu! Lewati 
garis gaib yang selama ini memenjarakanmu! Bukankah kau amat 
menginginkan hal itu?" 

Ardawalika tak mempedulikan ucapan Sampang. Tetap di tatapnya 
Kujang Emas di tangannya. Kemudian, pandangannya dialihkan pada garis 
yang dimaksud Sampang. Garis yang tak tampak mata, tapi diketahui 
keberadaannya oleh Ardawalika. Garis gaib yang dimaksudkan Sampang 
membentang tiga langkah di depannya. 

Melihat garis gaib itu membuat Ardawalika teringat akan masa 
lalunya. Sekitar empat puluh tahun lalu dia malang melintang di dunia 
persilatan dengan menyebar malapetaka. Sepak terjangnya membuat tokoh- 
tokoh golongen putih tak senang. Salah satu di antaranya adalah seorang 
tokoh besar yang bernama Wiku Ampyang. Pandai besi yang juga memiliki 
kepandaian tinggi, baik dalam ilmu silat maupun ilmu gaib. Sayang, Wiku 
Ampyang tak ingin teijun ke dalam dunia persilatan. Kakek ini tahu, sekali 
dia terjun dan mencampuri urusan, selamanya akan mendapat masalah. 
Padahal dia ingin hidup tenang. Maka, Wiku Ampyang memutuskan untuk 
tak ikut campur. Kakek ini yakin akan ada orang yang dapat menghentikan 
tindakan Ardawalika. 

Sementara itu tindakan Ardawalika semakin menjadi-jadi. Tokoh 
sesat ini bahkan berani mengacau sebuah kadipaten, membunuh sang 
adipati dan menculik putrinya. Kadipaten itu berada di bawah kekuasaan 
Keraj aan Kamulan. 

Raja Kamulan yang merasa bertanggung jawab akan keamanan di 
wilayahnya mengutus Sampang untuk menangkap Ardawalika. Sampang 
yang tahu kepandaian tokoh sesat itu meminta bantuan Wiku Ampyang atas 
nama Raja Kamulan. 

Wiku Ampyang, karena memandang Raja Kamulan dan dia 
termasuk penduduk kerajaan itu, bersedia memenuhi permintaan Sampang. 
Hanya, kakek itu tak ingin terlibat pertempuran. Jadi Sampang yang harus 
bertempur. Baru jika tokoh istana itu tak mampu mengalahkannya, Wiku 
Ampyang akan bertindak. Itu pun tidak dengan terang-terangan. Wiku 
Ampyang tak ingin Ardawalika mengenalinya. Sampang memenuhi syarat 
yang diajukan Wiku Ampyang. 

Dua tokoh itu bersama-sama mencari Ardawalika. Tak hanya 
berhari-hari, melainkan berbulan-bulan Ketika terjadi pertemuan, 
pertarungan pun tak bisa dielakkan lagi. Ardawalika benar-benar luar biasa. 
Sampang tak mampu menundukkannya. Bahkan Sampang sampai terluka 
parah! 

Melihat kenyataan ini, dari balik semak-semak Wiku Ampyang 
menggunakan ilmu gaibnya untuk memenjarakan Ardawalika dengan garis 
gaib yang tak tampak. Pandai besi itu menciptakan mangan berbentuk 
persegi panjang sebagai tempat tinggal Ardawalika. 

Wiku Ampyang memang luar biasa. Pagar gaib yang diciptakannya 
mampu mengurung Ardawalika. Setiap kali tokoh sesat itu melanggar garis, 
dia akan terjungkal kembali masuk ke dalam kurungan. Keberhasilan usaha 
Wiku Ampyang membuat Sampang lega. Meski tak bisa membunuh 
Ardawalika, kakek itu kembali ke kerajaan dan melaporkan keberhasilan 
usahanya. 

Sejak saat itu Ardawalika memang tak bisa terjun ke dunia 
persilatan. Kakek itu terpenjara secara gaib. Ardawalika tak tinggal diam. 
Di dalam pengasingannya dia bersemadi untuk mencari petunjuk agar bisa 
bebas dari kurungan. Kakek itu terpenjara dua puluh tahun lalu. Dia baru 
mendapatkan petunjuk sekitar sepuluh tahun lalu. Garis gaib ciptaan Wiku 
Ampyang bisa dilewati apabila membawa Kujang Emas. 

Bertahun-tahun Ardawalika menunggu orang yang dapat 
dimintanya tolong. Akhirnya seorang gadis bernama Rahasti melalui tempat 
itu. Rahasti tengah terluka dan melarikan diri dari kejaran perampok yang 
hendak melakukan tindakan tak senonoh terhadapnya. 

Sebenarnya Rahasti memiliki kepandaian di atas rombongan 
perampok, tapi karena kurang pengalaman, dia terkena racun yang 
membuatnya lemas. Ardawalika segera memanfaatkan nasib baiknya. 
Ditolongnya Rahasti. Rombongan perampok itu dibunuhnya. Rahasti 
bahkan diajarinya sedikit ilmu silat dan dijanjikan akan diberikan ajimat 
yang membuat gadis itu tak bisa dilukai. 

Rahasti yang haus kepandaian menjadi tertarik ketika melihat 
pertunjukan ajimat yang dipamerkan Ardawalika. Dia langsung menerima 
permintaan tokoh sesat itu untuk mencuri Kujang Emas dari Kerajaan 
Kamulan. Tapi sekarang, kedua orang yang sama-sama serakah dan licik itu 
memberikan benda palsu pada orang yang dijanjikannya. 

Karena yakin Ardawalika tak akan berani melewati garis gaib, 
Sampang mengalihkan perhatiannya pada Rahasti. 

"Antara kita tak ada masalah. Nona. Maka, kuminta kau serahkan 
Kujang Emas padaku. Kujamin kau akan pergi dengan selamat. Aku bukan 
termasuk orang yang hanya bisa berjanji tanpa mampu memenuhinya," ujar 
Sampang. 

"Hentikan langkahmu di situ, Kek!" ancam Rahasti. "Jika tidak, 
akan kuberikan Kujang Emas ini pada Ardawalika!" 

Ancaman Rahasti ternyata cukup manjur. Sampang tak berani 
melangkah maju. Apalagi ketika dilihatnya murid Kuntilanak Hitam 
Gunung Salak itu mengacungkan sebuah Kujang Emas di atas kepalanya. 

"Jangan bertindak gegabah. Nona!" sem Sampang keras tanpa 
menyembunyikan rasa khawatirnya. "Hati-hati dengan benda itu! 
Ardawalika dapat mengambilnya d arimu tanpa perlu bergerak dari 
tempatnya!" 

"Kalau demikian, mundur!" ancam Rahasti dengan suara lebih 
keras. "Kalau tidak akan kulemparkan benda ini padanya, biar kau 
dibinasakannya!" 

Lagi-lagi Sampang tak berani membantah ancaman Rahasti. Kakek 
ini melangkah mundur. 

"Baik, aku mundur. Tapi hati-hati dengan benda itu!" ujar 
Sampang. Perasaan khawatir kalau Kujang Emas terjatuh ke tangan 
Ardawalika membuat kakek ini memperhatikan gerak-gerik tokoh sesat itu. 
Dan, dia melihatnya! "Awas, Nona! Kakek licik itu hendak merampas 
senjatamu!" 

Rahasti bergegas menoleh. Ternyata Ardawalika tengah 
menjulurkan tangannya, bersiap merampas Kujang Emas dari jauh. 

"Kau boleh teruskan maksudmu kalau ingin Kujang Emas ini 
kuberikan pada lawanmu!" tandas Rahasti. 

Ardawalika langsung kehilangan keinginannya. Tangannya yang 
semula menegang kaku kembali melemas. Malah, tangannya di turunkan 
dan diletakkan di sisi pinggang. 

Rahasti tersenyum di dalam hati. Meski Ardawalika dan Sampang 
saat ini tak bisa berbuat apa-apa, tapi gadis ini tetap khawatir. Terutama 
terhadap Sampang. Bagaimana dia bisa meninggalkan kakek itu dengan 
aman? 

Rahasti juga masih dicemaskan oleh masalah lainnya. Kujang 
Emas yang ada di tangannya adalah yang palsu. Sedangkan pusaka yang asli 
ada pada Ardawalika! 

Memang, semula Rahasti berniat menyerahkan pusaka yang palsu. 
Tapi, dia salah ambil karena saking senangnya melihat ajimat yang 
dipertunjukkan Ardawalika. Meskipun demikian, berkat kelicikannya 
Rahasti mampu berpura-pura! 




"Mau lari ke mana kau. Murid Murtad...?!" 

Seman serak penuh kegeraman terdengar keras bukan main. 

Ardawalika dan Sampang tak terkejut mendengar seman itu. 
Beberapa saat sebelum seman itu terdengar, mereka telah lebih dulu 
mendengar bunyi langkah-langkah kaki mendekati tempat mereka. Bunyi 
yang sangat halus. Sampai-sampai hampir tak tertangkap telinga. 

Dua kakek ini segera tahu akan munculnya seorang tokoh baru 
yang memiliki kepandaian tinggi. Setidak-tidaknya, pendatang ini 
mempunyai ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Ini bisa mereka ketahui 
dari ringannya bunyi langkah yang terdengar. 

Kalau Ardawalika dan Sampang tak terkejut, tak demikian halnya 
dengan Rahasti. Bagi gadis itu sosok yang akan datang jauh lebih 
menyeramkan dari pada setan penjaga neraka! Suara itu amat dikenal 
Rahasti. Suara yang pernah akrab dengan telinganya selama bertahun-tahun. 
Siapa lagi kalau bukan gurunya? Kuntilanak Hitam Gunung Salak! 

Guru dari Rahasti ternyata seorang nenek berpakaian hitam. 
Rambutnya putih panjang dan tergerai awut-awutan. Tubuhnya agak 
bungkuk. Hidung mancung dengan ujung agak melengkung seperti paruh 
bumng kakak tua. Sepasang matanya lebar. Nenek ini berdiri menggunakan 
tongkat yang di cekal dengan tangan kanan. 

"Murid Murtad!" dengus nenek berpakaian hitam. "Rupanya kau 
hendak mengkhianatiku, heh? Hendak kau bawa ke mana benda itu?!" 

"Aku... aku...," Rahasti gagap karena tak tahu harus bicara apa. 

"Tak perlu banyak alasan. Pengkhianat! Aku tahu kau hendak 
mengangkangi sendiri benda itu. Dan untuk tindakanmu itu, jangan harap 
aku akan mengampunimu. Kau harus kuberi hukuman yang setimpal. Mulai 
saat ini kau tak kuanggap sebagai muridku lagi." 

"Apa... apa yang akan kau lakukan. Guru?" tanya Rahasti dengan 
bibir bergetar. Gadis ini tahu betapa bengis gurunya. Karena itu dia terkenal 
dengan julukan Kuntilanak Hitam Gunung Salak. Seorang tokoh hitam yang 
ditakuti kawan dan lawan! 

Kuntilanak Hitam Gunung Salak menyeringai. Bagi si nenek yang 
memiliki watak keji ini tak secuil pun ada rasa sayang di hatinya. Rasa 
sayangnya hanya ada bila muridnya sejalan dengannya dan menuruti 
keinginannya. Bila si murid tak sepaham dengannya, lenyap pula rasa 
sayang itu. 

"Aku tak akan menghukummu. Murid Murtad. Aku hanya akan 
mengambil milikku. Ilmu-ilmu yang kau miliki sekarang adalah milikku. 
Aku yang mengajarkannya. Maka, sekarang aku akan mengambil ilmu-ilmu 
itu," ujar Kuntilanak Hitam Gunung Salak, kalem. 

Rahasti mundur-mundur dengan ketakutan. Ucapan gurunya 
kelihatan ringan. Tapi gadis ini tahu apa artinya. Mengambil ilmu sama saja 
dengan menyiksa seumur hidup! Rahasti akan lebih menderita daripada 
mati. Kedua tangan dan kakinya akan lumpuh. Rahasti akan menj adi orang 
cacat seumur hidup! 

Rahasti merasakan lututnya goyah. Keberanian gadis itu terbang 
entah ke mana. Keringat dingin tampak bermunculan di dahu Rahasti. 

Sementara itu. Kuntilanak Hitam Gunung Salak melangkah 
menghampiri Rahasti. Langkahnya segera terhenti ketika mendengar 
ancaman Sampang. 

"Kau maju selangkah lagi, aku tak akan ragu-ragu untuk 
menyerangmu. Kuntilanak!" 

Sampang telah lama mendengar julukan Kuntilanak Hitam. Nenek 
golongan sesat ini jarang keluar dari tempat tinggalnya di Gunung Salak. 
Kendati demikian, nama besarnya terkenal ke seluruh dunia persilatan. 
Beberapa kali pasukan kerajaan dan kadipaten yang melalui Gunung Salak 
dirampoknya. Di samping untuk menunjukkan kalau dirinya tak gentar 
terhadap pasukan kerajaan, nenek ini mempunyai penyakit aneh. Dia gemar 
mencuri milik orang lain kendati barang yang dicurinya tak terlalu berharga. 

Untuk menegakkan wibawa kerajaan. Raja Kamulan mengutus 
Sampang. Dia diberi tugas untuk membunuh Kuntilanak Hitam. Tapi 
sampai berminggu-minggu Sampang mencari tak juga berhasil menemukan 
buruannya. Malah, Sampang hampir celaka ketika mendatangi Gunung 
Salak. Dia hampir celaka teijerumus ke dalam lumpur hidup. Sampang pun 
pulang ke kerajaan tanpa hasil. 

Sampang memang sial. Sewaktu dia mencari Kuntilanak Hitam, 
nenek itu tengah bersemadi di sarangnya yang tersembunyi. Itu sebabnya 
nenek itu tak diketemukannya sampai dia kembali ke kerajaan. 

Kuntilanak Hitam memperdengarkan tawanya yang mengerikan. 
Tawa yang lebih patut disebut ringkik keledai. 

"Kalau saja tak mempunyai urusan yang lebih penting, saat iri juga 
kukirim nyawamu ke neraka, Sampang! Aku tahu kau dulu mencariku! 
Sayang, saat itu aku tengah menekuni ilmu baru. Kalau tidak, akan 
kubuktikan kalau jagoan istana tak ada artinya bagiku!" geram Kuntilanak 
Hitam Gunung Salak. 

"Bukan hanya kau yang mempunyai keinginan demikian. 
Kuntilanak!" sergah Sampang tak kalah gertak!" Setelah kudapatkan 
Kujang Emas, kau akan kubawa ke kerajaan. Di samping 
mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang dulu, kau harus mendapat 
hukuman atas perbuatanmu yang sekarang, membantu pencurian atas 
pusaka Kerajaan Kamulan!" 

"Sombong!" bentak Kuntilanak Hitam. "Meski sudah tak terpakai 
lagi oleh raja, kau masih sok berbakti. Sabarlah! Akan tiba saatnya bagiku 
untuk membunuhmu!" 

Rahasti yang semula sudah merasa gembira melihat keributan 
antara gurunya dengan Sampang, jadi kecewa lagi. Sepertinya tak akan 
terjadi pertarungan. Kedua tokoh itu rupanya lebih mementingkan urusan 
dengan Rahasti dari pada urusan mereka. 

Sungguh pun demikian Rahasti tak putus asa. Dia telah 
mempunyai sebuah rencana. Rahasti yang memiliki otak cerdik dan licik 
telah bisa memperhitungkan kalau saat ini yang dapat menolongnya adalah 
Ardawalika. Tokoh itu memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak, Sampang 
tak akan demikian khawatir Ardawalika bebas dari kurungan. 

"Kek," sapa Rahasti lembut. "Aku menawarkan sebuah kerja sama 
padamu. Kuberikan Kujang Emas ini padamu. Tapi, bersumpahlah atas 
nama leluhurmu kalau kau bersedia menolongku dan memberikan ajimat 
yang asli. Bagaimana?" 

Sampang menyadari akan munculnya masalah baru. Kakek ini 
segera bertindak cepat. Dia melompat menerjang Rahasti. Dari atas, laksana 
seekor bumng garuda, kedua tangannya yang berbentuk cakar diulurkan 
untuk merampas Kujang Emas. 

Rahasti yang mendapat serang an, tapi yang memberikan tanggapan 
tak hanya gadis itu. Ardawalika dan Kuntilanak Hitam pun tak tinggal diam. 
Mereka tak ingin Kujang Emas teijatuh ke tangan Sampang. Bila itu teijadi, 
sudah bisa diperkirakan kalau merampas Kujang Emas dari tangan 
Sampang jauh lebih sulit. 

Kuntilanak Hitam melompat dan meneijang Sampang dari 
samping. Jika Sampang bersikeras melanjutkan serangan, sebelum 
maksudnya itu berhasil cakar-cakar Kuntilanak Hitam akan merobek 
lehernya! 

Sampang menyadari akan bahaya itu. Maka, serangannya 
diurungkan dan cepat dirubah menjadi sampokan untuk memapaki serangan 
Kuntilanak Hitam. 

Prattt...! 

Benturan jari-jari tangan yang tak kalah kerasnya dari baja pilihan, 
karena ditopang tenaga dalam kuat, menimbulkan bunyi nyaring. Tubuh 
keduanya teijengkang ke belakang. Dengan gerakan yang indah baik 
Sampang maupun Kuntilanak Hitam mampu mematahkan daya lontar tubuh 
mereka, kemudian menjejak tanah dengan mantap. 

Kuntilanak Hitam menggeram. Jari-j ari tangannya terasa sakit dan 
nyeri. Malah, sekujur tangannya bagai lumpuh. Tenaga dalamnya masih 
kalah kuat dibanding lawan. 

Di lain pihak, akibat menangkis serangan Kuntilanak Hitam, 
Sampang selamat dari pukulan jarak jauh Ardawalika. Angin pukulan yang 
mampu menghancurkan sebatang pohon besar itu mengenai tempat kosong. 

"Jangan mimpi bisa mendapatkan Kuj ang Emas selama masih ada 
aku di sini, Sampang!" tandas Kuntilanak Hitam seraya menatap tajam- 
tajam tokoh istana Kerajaan Kamulan yang telah mengundurkan diri itu. 

Sampang tak memberikan tanggapan. Hanya, di dalam hatinya 
kakek ini mengutuk keberadaan Kuntilanak Hitam. Sampang khawatir 
Ardawalika akan mendapatkan Kujang Emas dan berhasil keluar dari 
kurungan gaib Wiku Ampyang. 

Ardawalika sendiri yang merasa tertarik dengan tawaran Rahasti 
segera membuka mulut. 

"Kau saja yang bersumpah atas nama leluhurmu untuk memenuhi 
janji yang kau ucapkan itu. Nona!" saran Ardawalika. "Bila itu kau lakukan, 
akan kuberikan ajimat yang kumaksud!" 

Sampang semakin gelisah mendengar percakapan Rahasti dan 
Ardawalika. Kakek ini khawatir akan tetjadinya persekutuan antara 
keduanya. 

"Kuntilanak Hitam! Apabila muridmu itu bersekutu dengan 
Ardawalika, bukan saja kita berdua tak akan mendapatkan Kujang Emas. 
Nyawa kita pun akan sulit untuk diselamatkan!" 

Jawaban yang didapatkan Sampang hanya dengusan mengejek. 
Nenek ini tak terlalu mempedulikan ucapan Sampang. Memang, dia pernah 
mendengar nama Ardawalika yang terkenal memiliki kepandaian amat 
tinggi. Tapi wanita tua ini belum pernah merasakan sendiri kelihaiannya. 
Jadi, dia tak terlalu memandang tinggi Ardawalika. Bahkan Kuntilanak 
Hitam tak tahu kalau saat itu Ardawalika tengah terkurung. 

Rahasti tak mau berpikir panjang lagi. Sambil membusungkan 
dada, dia berteriak lantang. 

"Demi leluhurku, Rahasti bersumpah akan memberikan Kujang 
Emas ini pada Kakek Ardawalika! Apabila kakek itu memberikan ajimatnya 
padaku dan membantuku menghadapi lawan-lawanku!" 

Wajah Sampang langsung pucat pasi. Kuntilanak Hitam pun 
terkejut bukan main. Tapi sebelum Sampang maupun si nenek sempat 
berbuat sesuatu, Ardawalika telah lebih dulu melemparkan buntalan kain 
hitam yang diambil dari bagian dalam baju. 

"Terima itu. Nona. Demi roh leluhurku, kuberitahukan kalau 
buntalan itu asli!" 

Rahasti menangkap buntalan kain hitam dengan tangan kiri. 
Sedangkan tangan kanan dipergunakan untuk melemparkan Kujang Emas. 

Di saat pusaka Kerajaan Kamulan itu melayang, Sampang dan 
Kuntilanak Hitam bahkan Ardawalika, melompat untuk menangkap lebih 
dulu Ardawalika sampai lupa kalau Kujang Emas yang akan ditangkapnya 
masih berada di luar garis gaib. 

Sementara itu, Rahasti sehabis melemparkan Kujang Emas 
langsung melesat meninggalkan tempat itu. Siasat yang direncanakannya 
berhasil. Seperti yang sudah diperhitungkannya, begitu Kujang Emas 
dilemparkan maka akan segera menjadi rebutan. Dengan begitu dirinya 
luput dari perhatian. 

Kuntilanak Hitam Gunung Salak menggeram ketika melihat 
Sampang telah dekat dengan Kujang Emas. Nenek ini tahu kalau dirinya 
kalah cepat. Bergegas diayunkan tongkatnya ke arah pinggang Sampang. 

"Uh...!" 

Sampang mengeluh tertahan. Saat itu semua perhatiannya 
dipusatkan pada Kujang Emas. Maka, serangan Kuntilanak Hitam agak 
membuatnya kelabakan. 



Dalam waktu yang demikian singkat Sampang sempat 
memperhitungkan kemungkinan. Kalau serangan itu dielakkan. Kuntilanak 
Hitam tak mungkin menghentikan perburuan atas Kujang Emas. Dia akan 
lebih dulu mendapatkan pusaka itu. Sampang tak kalah cerdik. Babatan 
tongkat lawan di terima tangan kiri dengan menggunakan tenaga lemas. 
Kemudian, dicekalnya batang tongkat dan disentakkan. 

Tindakan Sampang membuat tubuh Kuntilanak Hitam terdorong 
ke belakang. Si nenek tak mau kalah bertindak. Dengan putaran 
pergelangan tangan yang memegang tongkat, dia membuat Sampang ikut 
terbawa ke belakang. 

Sampang dan Kuntilanak Hitam melihat kemungkinan jatuhnya 
Kujang Emas ke tangan Ardawalika. Kedua tokoh ini tak menginginkan hal 
itu teijadi. Bagai telah disepakati sebelumnya, mereka bersamaan 
mengulurkan tangan. Keduanya mengerahkan tenaga dalam untuk menarik 
Kujang Emas ke arah mereka. 

Pemandangan yang menakjubkan pun terjadi. Kujang Emas 
mengambang di udara, tertarik ke sana kemari. Sesekali mendekati 
Ardawalika, dan tak jarang mendekati Sampang dan Kuntilanak Hitam. 
Gabungan kedua tokoh yang semula bermusuhan ini mampu menandingi 
tenaga Ardawalika. Keuntungan Ardawalika adalah karena letaknya yang 
lebih dekat dengan Kujang Emas. 

Pyarrr...! 

Kujang Emas hancur berkeping-keping setelah beberapa saat 
lamanya tertarik ke sana kemari. Rupanya, senj ata itu tak mampu menahan 
dahsyatnya gabungan tiga tenaga dalam yang memperebutkannya. 

Ardawalika, Kuntilanak Hitam, dan Sampang menghentikan 
pengerahan tenaga dalam mereka. Sepasang mata ketiganya membelalak 
lebar menatap kepingan-kepingan Kujang Emas yang terjatuh. 

"Tidak salahkah apa yang kulihat? Mengapa Kujang Emas hancur? 
Bukankah pusaka itu terkenal amat alot dan luar biasa kuat?!" pikir 
Ardawalika, Kuntilanak Hitam, dan Sampang. 

Tapi, keheranan itu segera buyar ketika tidak melihat adanya 
Rahasti di tempat itu. Satu dugaan langsung bergayut di benak ketiga tokoh 
itu. Rahasti telah menipu mereka! Kujang Emas yang dilemparkannya 
adalah palsu! 

Seketika rasa persaingan lenyap. Yang ada di benak mereka 
sekarang adalah perasaan geram. Mereka mengedarkan pandangan ke 
sekitar tempat itu untuk memperkirakan ke mana perginya Rahasti. 

Tapi baru juga memperhatikan sebentar, Sampang langsung pucat 
wajahnya. Dia melihat sesuatu yang amat mengejutkannya. Ardawalika juga 
melihat hal yang sama. Dia telah berada di luar kurungan! Dia telah 
melewati garis gaib dan tak terkena pengamh pagar kasat mata itu! 

"Ha ha ha...!" 

Ardawalika tertawa bergelak. Dikeluarkannya Kujang Emas dari 
selipan pinggangnya. Memang, kendati sudah dirasakan Rahasti kalau 
pusaka Kujang Emas itu palsu, Ardawalika dengan perasaan agak terpukul 
menyelipkannya di pinggang sebelum berusaha merebut Kujang Emas yang 
di lemparkan Rahasti. Dia mengangkat pusaka itu tinggi-tinggi dengan 
penuh kemenangan. 

"Kuntilanak Hitam! Sampang! Lihat baik-baik. Inilah Kujang 
Emas yang asli. Sungguh pandai bocah itu mempermainkan orang! Ha ha 
ha...!" 

Sampang dan Kuntilanak Hitam saling berpandangan. Dalam 
pertemuan pand ang itu, keduanya bersepakat untuk menentang Ardawalika. 

"Akhirnya aku bebas ! Akan kuporak-porandakan dunia persilatan! 
Tapi, sebelum itu kalian berdua yang akan kuhancurkan!" 

Diawali teriakan menggeledek Ardawalika melancarkan serangan 
dahsyat. Kakek ini mengirimkan bacokan sisi tangan miring ke arah leher 
Sampang. Dalam pengerahan tenaga dalamnya bacokan kakek berpakaian 
merah ini tak kalah berbahayanya dengan bacokan golok. Apabila mengenai 
sasaran, mampu memisahkan kepala dari tubuh. 

Sampang segera melompat ke belakang. Serangan itu lewat di 
depannya. Ardawalika tak berusaha mengejar. Perhatiannya kini dialihkan 
pada lawan yang seorang lagi. Diserangnya Kuntilanak Hitam dengan 
sapuan kaki kanan. Nenek itu melompat ke atas. Sesaat kemudian, ketika 
Sampang dan Kuntilanak Hitam balas menyerang, pertarungan sengit pun 
berlangsung. 

Jalannya pertarungan sengit hanya berlangsung lima puluh jurus. 
Selewat itu Ardawalika berhasil menekan lawan-lawannya. Bahkan 
menjempitnya sedemikian rupa! 

Di jurus ke tujuh puluh lima Kuntilanak Hitam dan Sampang yang 
terdesak nekat menerobos himpitan. Mereka bersamaan menerjang Ardawa- 
lika. 

Ardawalika sudah memperhitungkan adanya serangan seperti ini. 
Dia bersalto melewati atas kepala Kuntilanak Hitam Gunung Salak dan 
Sampang. Jari-jari kedua tangannya mengetuk ubun-ubun mereka. 

Tukkk, tukkk..! 

Bersamaan dengan menjejaknya kedua kaki Ardawalika di tanah, 
tubuh Sampang dan Kuntilanak Hitam Gunung Salak ambruk. Nyawa 
mereka melayang dengan pecahnya ubun-ubun keduanya. 

"Ha ha ha...!" Ardawalika tertawa penuh kegembiraan menatap 
mayat kedua lawannya. "Sekarang Kujang Emas menjadi milikku. Aku 
akan kembali merajai dunia persilatan! Tak ada satu pun yang tahu kalau 
pusaka ini ada padaku. Wanita sial itu mungkin sekarang sudah mati, 
terkena racun yang kutaburkan di buntalan itu! Ha ha ha...!" 

Tepat di saat Ardawalika berkata demikian, Rahasti telah hampir 
mencapai tempat rombongan Arya berada. Dewa Arak dan rombongannya 
melihat Rahasti. Sebaliknya, Rahasti tak melihat mereka karena letaknya 
yang tersembunyi. 

"Itu pencuri Kujang Emas," beritahu Arya yang telah selesai 
dengan semadinya. 

Ladoya dan Patih Singabarong hanya bisa menatap gemas pada 
Rahasti. Keduanya merasa menyesal bertemu gadis itu pada saat seperti ini. 

"Biar aku yang menghajarnya!" desis Hinggil, geram. 

"Tunggu dulu, Hinggil. Tenangkan hatimu. Lihat! Apa yang 
terjadi?!" cegah Arya 

Hinggil membelalak ngeri ketika melihat Rahasti menghentikan 
lari secara mendadak. Gadis itu kemudian menggelepar-gelepar seperti 
binatang disembelih. 

Hinggil tak kuasa untuk menahan pekikan. Tubuh Rahasti perlahan 
mencair. Sekejap kemudian Rahasti lenyap! Cairan yang tercipta meresap 
ke dalam tanah. 

"Apa yang teijadi, Arya?!" tanya Hinggil dengan suara menggigil. 

"Entahlah. Tapi, jawabannya ada di sana!" tuding Arya ke arah 
yang ditinggalkan Rahasti. Mari kita ke sana!" 

*** 

Dengan tawa yang belum putus Ardawalika menghunus Kujang 
Emas. Tapi baru saja badan keris muncul separuh, tiba-tiba memancar sinar 
kebiruan dari batangnya dan meluruk ke arah Ardawalika. 

Ardawalika terperanjat. Kakek ini menyadari adanya bahaya 
mengancam. Dia ingin mengelak. Tapi, seluruh kemampuannya sirna ketika 
matanya menatap sinar menyilaukan sebelum munculnya sinar bim terang. 

Ardawalika menjerit-jerit ketika sinar bim terang menerpa ubun- 
ubunnya. Ubun-ubun tokoh sesat itu langsung bolong. Ardawalika tewas 
seketika itu juga. 

Tak lama kemudian, rombongan Dewa Arak tiba di tempat Rahasti 
datang. Mereka melihat mayat-mayat bergelimpangan. Kujang Emas 
tergolek di tanah. Keberadaan Kujang Emas sangat menggembirakan hati 
Ladoya dan Patih Singabarong. Mereka akhirnya berhasil mendapatkan 
kembali Pusaka Kerajaan Kamulan. Hukuman yang menanti jika mereka 
gagal tak akan pernah terwujud. 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Pendekar Gunung Bromo