Dewa Arak 70 - Pulau Setan


Sluppp! 

Sebuah kepala berwajah tirus mirip tikus dengan mata 
memanjang, langsung masuk ke dalam air sebuah danau yang 
permukaannya banyak ditumbuhi tumbuhan air. Baru saja kepala 
yang ternyata milik laki-laki berusia lanjut itu lenyap ke bawah 
permukaan air, terdengar bunyi derap langkah beberapa pasang kaki. 
Sebentar kemudian, tepat di pinggir danau berkumpul beberapa sosok 
tubuh yang kesemuanya berpakaian serba hitam. 

"Heran...!" desah salah satu orang berseragam yang berwajah 
bopeng sambil mengedarkan pandanpn seperti tengah mencari-cari 
sesuatu. "Ke mana perginya tua bangka yang sudah hampir mampus 
itu?! Atau jangan-jangan memang dia sudah mampus, karena 
termakan racunnya sendiri." Sementara, orang-orang berseragam 
serba hitam juga mengedarkan pandangan. 

"Mudah-mudahan sih, demikian," timpal lelaki bermata sipit. 
"Tapi..., tidakkah kau ingat perintah Setan Hitam Tak Berjantung? 
Kalau memang, tua bangka tak berguna itu sudah mampus, kita harus 
menemukan mayatnya." (Tentang tokoh berjuluk Setan Hitam Tak 
Berjantung, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Peti 
Bertuah"). 

"Siapa tahu, tua bangka itu tidak melarikan diri kemari! 
Tapi..., tunggu dulu. Mungkinkah tua bangka yang sudah hampir mati 
itu bersembunyi di danau itu?!" 

Kata-kata lelaki bermuka bopeng itu membuat lima orang 
kawannya mengarahkan pandangan ke sekitar penjuru danau yang 
cukup luas. 

"Kurasa tidak mungkin," bantah lelaki bermata sipit, yakin. 
"Dalam keadaan terluka parah seperti itu, mana mungkin tua bangka 
yang sudah hampir mati itu mampu menahan napas sedemikian lama 
di dalam air? Mustahil, bukan?!" 

"Mengapa mustahil...?!" timpal laki-laki berambut kecoklatan, 
membantu pendapat lelaki berwajah bopeng "Jangan terlalu 
memandang rendah tua bangka itu! Meski sudah hampir mati, tapi 
dia tetap bekas seorang datuk kaum sesat yang terkenal sakti! 
Kemampuannya sukar dijajagi, meski sekarang sudah tidak 
mempunyai gigi lagi. Dan lagi, di danau ini banyak terdapat 
tumbuhan air yang dapat digunakan untuk membantu bernapas, 
andai dia tidak mampu menahan napas lama. Jadi menurut hematku, 
tidak ada salahnya kalau kita mencarinya di danau ini!" 

Kali ini lelaki bermata sipit kalah dukungan, karena rekan- 
rekan lainnya, juga mengangguk, menyatakan setuju. 

"Lihat itu...!" 

Seruan lelaki bermata sipit, membuat rekan-rekannya yang 
sudah memusatkan perhatian pada danau menoleh kepala ke kiri. 
Tempat enam orang berpakaian hitam ini berada, memang sebuah 
jalan tanah berdebu yang kanannya diapit danau lebar dan luas. 

Sedangkan di sebelah kiri berupa lereng gunung yang menanjak ke 
atas. Begitu terjal dan berbatu-batu, hampir curam. 

Pada salah satu ujung jalan tanah berdebu, tampak debu 
mengepul tinggi ke udara. Memang bisa diperkirakan kalau di 
kejauhan sana seekor kuda tengah dipacu cepat menuju ke arah 
mereka. Perhatian orang-orang berpakaian seragam serba hitam yang 
ternyata adalah Gerombolan Setan Hitam itu pun beralih ke arah 
kepulan debu dari kuda yang dipacu cepat. 

Sesaat kemudian, terlihat kalau kepulan debu itu berasal dari 
seekor kuda yang dipacu secara cepat. Semakin lama, semakin tampak 
kalau penunggangnya adalah seorang gadis cantik berpakaian coklat. 
Seketika, wajah enam orang berpakaian hitam ini pun berseri-seri. 
Rupanya, begitu melihat seorang gadis cantik melakukan perjalanan 
seorang diri, benak mereka yang kotor mulai berpikir tidak senonoh! 

Gadis berpakaian coklat di atas punggung kuda coklat putih 
itu pun merasakan adanya bahaya mengancam, ketika enam orang 
berpakaian hitam yang berdiri di pinggir telaga mulai menyebar ke 
tengah jalan. Sehingga, jalan tanah yang tidak begitu lebar itu menjadi 
tertutup. 

Tapi rupanya tindakan enam orang kasar dari Gerombolan 
Setan Hitam tidak membuat gadis berpakaian coklat ini kebingungan. 
Justru, tali kekang kudanya digeprakkan untuk mempercepat lari 
binatang tunggangannya. Dia hendak memaksa lewat, denpn 
menubrukkan kudanya pada sosok-sosok yang berdiri menghalangi 
jalan. Karena dia yakin, keenam orang bertampang berangasan itu 
akan menyingkir dari sana! 

"Seekor kuda betina yang masih liar! Rupanya, dia minta 
dijinakkan dulu...!" ujar lelaki berwajah bopeng dengan sinar mata 
berkilat-kilat, menyatakan hasrat hatinya yang besar terhadap gadis 
penunggang kuda coklat putih itu. 

Usai berkata demikian, tahu-tahu pada kedua tangan lelaki 
berwajah bopeng ini tergenggam beberapa buah pisau yang batangnya 
bersemu kehijauan. Bisa ditebak kalau pisau itu mengandung racun 
jahat. Tidak terlihat lelaki berwajah bopeng ini menggerakkan tangan. 
Tapi, tahu-tahu pisau-pisau itu telah berada di tangannya. Lalu. 

Sing, sing sing! 

Bunyi berdesing nyaring terdengar, ketika pisau-pisau 
beracun meluncur merobek udara. Arah yang ditujunya adalah kuda 
coklat putih yang tengah meluncur ke arahnya. 

Cap, cap, cappp! 

"Ikh...r 

Gadis berpakaian coldat itu terpaksa berjungldr balik di udara 
ketika kudanya terjengkang ke depan akibat terhujam pisau-pisau 
beracun di beberapa bagian tubuhnya. Cepatnya luncuran pisau, 
ditambah arah lari kuda coldat putih, membuat gadis berpakaian 
coldat ini tidak sempat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan nyawa 
binatang tunggangannya. 

Jliggg! 

Begitu kedua kaki gadis berpakaian coldat itu menjejak tanah, 
enam orang anggota Gerombolan Setan Hitam telah mengurungnya 
dari berbagai penjuru. Kelihatannya, gadis itu tidak mungldn bisa 
melarikan diri dari lagi, tanpa bertarung menyambung nyawa! 


*** 


"Siapa kalian?! Dan, mengapa menghadang perjalananku?! 
Menyingkirlah! Aku tidak berurusan dengan kalian!" tegas gadis 
berpakaian coldat ini keras penuh wibawa seraya merayapi wajah- 
wajah di sekelilingnya. 

"Ha ha ha...!" 

Lelaki berwajah bopeng yang kelihatan paling bernafsu 
langsung tertawa sambil memperhatikan gadis berpakaian coldat yang 
berada di depannya penuh selidik. Dan mendadak tarikan wajahnya 
menyiratkan keterkejutan. 

"Ah...! Kiranya kuda betina liar ini berasal dari Perguruan 
Pedang Halilintar, Kawan-kawan!" kata laki-laki berwajah bopeng 
ketika melihat lencana di dada gadis itu yang bergambar sebuah 
pedang dan sebentuk kilatan petir. 

"Pantas, sikapnya cukup galak. Rupanya dia belum kenal 
dengan Gerombolan Setan Hitam!" sambut lelaki bermata sipit. 
"Menyingkirlah. Biar aku yang mencicipi kepandaiannya! Aku ingin 
tahu, apakah kepandaiannya sesuai dengan sesumbarnya!" 

"O, rupanya kalian orang-orang dari Gerombolan Setan 
Hitam?! Huh! Kalian memang bagai anjing minta dipukul 
majikannya!" 

Gadis berpakaian coldat langsung mencabut pedangnya 
hingga mengeluarkan bunyi berdesing nyaring 

Cring! 

"Heaaat...!" 

Gadis yang ternyata berasal dari Perguruan Pedang Halilintar 
langsung menginmkan serangan ke arah lelaki berwajah bopeng yang 
berada di depannya 

"Uh...!" 

Lelaki berwajah bopeng itu langsung mengeluarkan seruan 
kaget, ketika melihat sinar terang menyambar yang diikuti bunyi 
berkerosokan seperti halilintar menyambar! Tanpa buang-buang 
waktu lagi, tubuhnya dilempar ke belakang. Dan dia langsung 
bergulingan di tanah untuk mencegah lawan mengirimkan seranpn 
susulan. Ketika dia bangkit dengan dahi berkeringat dingjn saking 
kagetnya, kawan-kawannya telah mengeroyok gadis berpakaian 
coklat. 

Lelaki berwajah bopeng mencabut senjatanya yang berupa 
sebatang golok berbatang hitam pekat, sama seperti golok yang 
dimiliki rekan-rekannya. 

"Shaa...!" 

Didahului teriakan keras membahana, lelaki berwajah bopeng 
itu terjun dalam kancah pertarungan. Perasaan marah karena 
nyawanya hampir saja melayang dalam segebrakan, mengusir perasa¬ 
an malunya dalam melakukan pengeroyokan! Lima temannya pun, 
serentak langsung bertindak ketika melihat kehebatan gadis 
berpakaian coklat itu. 

Sesaat kemudian, suasana yang semula hening dan sepi, 
dipecahkan oleh bunyi nyaring senjata beradu. Bunga-bunga api pun 
memercik ke sepla arah. 

Gadis berpakaian coklat dari Perguruan Pedang Halilintar itu 
memang memiliki kepandaian tinggi, terutama ilmu pedangnya yang 
luar biasa. Pedangnya mampu menyambar-nyambar laksana halilin¬ 
tar! Baik dalam kecepatan maupun bunyinya. Kalau saja lawan-lawan 
yang dihadapi tidak melakukan pengeroyokan, bisa diduga tanpa 
menemui kesulitan dia akan merobohkan seorang demi seorang! 
Menghadapi enam lawan sekaligus terasa berat untuk ukurannya. 
Apalagi, masing-masing lawannya memiliki kepandaian tidak berada 
terlalu jauh di bawahnya. Mungkin bila menghadapi tiga orang, dia 
akan sanggup menandinginya! 

Lewat lima jurus, gadis berpakaian coklat ini mulai terdesak. 
Serangan-serangan berkurang jauh. Dan dia lebih banyak bertahan, 
menangkis atau mengelak. Pertarungan semacam ini membuatnya 
terus bermain mundur. Disadari betul kalau keadaan tidak berubah, 
dia akan roboh di tangan lawan-lawannya. Maka dia harus melakukan 
suatu pembahan. Tapi bagaimana? Dan saat di tengah kebingungan, 
terdengar suara berkumandang di telinpnya. 

"Jangan kaget, dan jangan khawatir, Nini! Sebentar lagi akan 
muncul ular-ular yang akan menyerang para pengeroyokmu. Kau 
jangan melalcukan tindakan yang membuat ular-ular jadi 
menyerangmu. Karena aku akan memberi perintah pada binatang itu, 
untuk menyerang orang-orang yang berpakaian hitam! Jelas?!" 

Gadis berpakaian coklat tidak tahu, dari mana asal suara itu. 
Dan, siapa pemiliknya. Hanya saja dia yakin kalau orang yang 
berkepandaian tinggi itu bermaksud menolongnya. Ini bisa 
dibuktikan dari kemampuannya mengirimkan ilmu suara dari jauh. 
Padahal, ilmu itu hanya dapat dimiliki tokoh bertenaga dalam amat 
tinggi. Di Perguruan Pedang Halilintar, hanya si Pedang Halilintar 
Sakti yang menjadi ketualah, yang memiliki ilmu seperti itu. Namun, 
itu pun tidak terlalu sempurna! 

Karena yakin kalau orang yang telah mengirimkan suara dari 
jauh bermaksud menolongnya, tanpa ragu-ragu gadis berpakaian 
coklat itu mengangguk. Hanya tindakan itu yang dapat dilakukannya 
untuk menyatakan persetujuannya, meskipun sebenarnya tidak yakin 
kalau anggukkan n ya terlihat. Dia tidak tahu, di mana adanya tokoh 
yang bermaksud menolongnya. 

Begitu keadaan gadis berpakaian coklat ini semakin terjepit, 
mendadak terdengar bunyi melengking nyaring dan bernada aneh 
yang tampaknya dari suara suling! Dan gadis berpakaian coklat yang 
telah mendapat pemberitahuan ini, tanpa sadar merasakan 
jantungnya berdetak lebih cepat. Dia tahu, bunyi suling itu menjadi 
pertanda kalau ular-ular yang dimaksud penolongnya akan segera 
tiba. Padahal, dia paling takut dan jijik terhadap ular! 

Memang bukan hanya gadis ini yang mendengar bunyi suling 
itu. Enam anggota Gerombolan Setan Hitam pun mendengarnya. Dan 
begitu mengetahui arti bunyi suling itu, wajah-wajah mereka langsung 
berubah pucat. Bahkan tanpa sadar, mereka tidak mempedulikan 
gadis itu lagi Enam orang anggota Gerombolan Setan Hitam ini 
langsung melompat mundur, kemudian mengedarkan pandangan ke 
selatar tempat itu dengan sorot mata tegang bukan kepalang! 

"Sss.J" 

Sekejap kemudian, apa yang ditakutkan gadis berpakaian 
coklat dan enam orang Gerombolan Setan Hitam menjadi kenyataan. 
Kini terdengar bunyi berdesis yang ramai sekali, diiringi bunyi 
berdesis keras seperti benda licin yang digesek-gesekkan ke tanah. 
Bau amis yang memualkan perut pun memenuhi udara di sekitar 
tempat ini. 

"Ssss.J" 

Enam anggota Gerombolan Setan Hitam dan gadis berpakaian 
coklat merasakan bulu tengkuk mereka meremang, ketika melihat 
bermunculannya ular-ular dari seluruh tempat ini. Jumlah binatang- 
binatang melata itu tidak terhitung. Ribuan! Betapapun saktinya 
seseorang, menghadapi serbuan ribuan ekor ular yang terdiri dari 
berbagai jenis dan ukuran, tetap saja akan membuat ciut nyalinya. 
Apalagi orang-orang seperti enam orang anggota Gerombolan Setan 
Hitam dan gadis berpakaian coklat ini. 

Untung gadis berpakaian coklat ini teringat akan pesan yang 
tidak diketahui pemiliknya. Dan lebih untungnya lagi, dia menuruti 
untuk diam di tempat dan tidak melakukan gerakan-gerakan sehingga 
dapat memancing ular-ular yang meluncur bagai air bah 
menyerangnya. Dan ucapan sosok yang tidak diketahui pemiliknya itu 
ternyata tidak hanya sesumbar belaka. Ular-ular yang meluncur bagai 
air bah itu sama sekali tidak mempedulikannya. Binatang-binatang 
melata itu terus melewatinya. 

Dengan hati ngeri, gadis berpakaian coklat ini melihat betapa 
enam orang berpakaian hitam itu harus berjuang keras untuk 
menghadapi pengeroyokan ular-ular yang menyerbu. Golok-golok 
hitam di tangan mereka berkelebatan ke sana kemari, membabati 
ular-ular yang mencoba mendekat! Darah pun muncrat ke sana 
kemari, diikuti berpentalannya potongan-potongan tubuh ular-ular 
yang mencoba mematuk anggota Gerombolan Setan Hitam. 

"Tunggu apa lagi, Nini?! Mumpung mereka tengah sibuk 
bersitegang dengan ular-ular itu, mari kita pergi dari sini!" 

Gadis berpakaian coklat itu segera mengedarkan pandanpn 
untuk mencari asal suara. Dia agak bingung menentukan sumbernya, 
karena suara itu dikeluarkan berkat ilmu mengirimkan suara dari 
jauh, sehingga sulit diketahui asalnya. 

Di sebelah kanan, gadis berpakaian coklat itu melihat seorang 
kakek kurus kering berompi dari kulit ular. Wajahnya tirus mirip 
tikus, dengan sepasang mata panjang yang selalu berputaran liar 
menandakan kecerdikannya. Dengan cepat, kakinya melangkah hati- 
hati menuju ke tempat kakek kurus kering itu berada, yang jaraknya 
tak akan kurang dari delapan tombak. Anehnya, ke mana saja gadis 
berpakaian coklat itu mengayunkan kaki, kerumunan ular langsung 
menyibak, memberi jalan sebelum kakinya menginjak tanah. Hanya 
sebentar saja, gadis itu sudah berada di dekat kakek kurus kering yang 
masih sibuk meniup suling. Suara suling itulah yang menyebabkan 
ular-ular muncul dan menyerang Gerombolan Setan Hitam. 

"Kuucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, Kakek 
yang baik. Kalau kau tidak ada, mungkin aku sudah binasa di tanpn 
mereka," ucap gadis berpakaian coklat ini penuh rasa syukur. 

"Lupakanlah soal itu, Nini. Yang penting sekarang, cepat kita 
pergi dari sini sebelum kawan-kawan mereka muncul. Apabila itu 
terjadi, aku tidak akan mampu berbuat apa-apa," jawab kakek kurus 
kering itu, tanpa mempedubkan ucapan terima kasih gadis berpakaian 
coklat. Sehingga, gadis berpakaian coklat menampakkan perasaan 
kecewa yang tergambar pada wajahnya. 

Tanpa berkata apa-apa, kakek kurus kering itu mengajak 
gadis berpakaian coklat ini mengayunkan kaki ke belakang. Dan 
kakek kurus kering itu pun melesat lebih dulu baru disusul gadis itu. 
Hanya dalam beberapa kali lesatan, tubuh mereka telah berada jauh di 
depan. 

Sekarang yang tinggal di tempat ini hanya kerumunan ular 
yang masih sibuk menggeragoti sekujur daging di tubuh enam orang 
Anggota Gerombolan Setan Hitam yang sudah tak berdaya. Mereka 
semua roboh dan tewas, setelah merobohkan banyak ular yang 
mengeroyoknya. Tapi karena ular-ular itu seperti tak pernah 
berkurang enam orang ini jadi kewalahan. Dan akhirnya, mereka 
tewas. 

Sementara itu tanpa diketahui, di bagian yang agak tinggi di 
atas salah satu gundukan batu, berdiri empat sosok yang menatap ke 
arah enam orang lelaki berpakaian hitam yang kini tengah menjadi 
tulang-belulang 

"Apa kubilang?! Ular-ular yang kita lihat di perjalanan, tidak 
bergerak begitu saja. Pasti tua bangka keparat itu yang 
mengendalikannya. Kalau saja tidak terlambat, aku yakin akan 
mampu mencegah terjadinya hal seperti ini!" 

Ucapan bernada penyesalan itu keluar dari mulut seorang 
pemuda bertubuh kekar berpakaian hitam dan berwajah mirip singa. 

Sementara tiga sosok yang berdiri agak di belakangnya hanya 
mengangguk. Mereka percaya, pemuda berwajah mirip singa ini 
mampu bertindak. 


*** 


"Ukh...!" 

Tubuh kakek kurus kering terbungkus pakaian dari kulit ular 
itu terhuyung-huyung ke depan. Dan dia sudah akan terjerembab, 
kalau gadis berpakaian coklat tidak keburu mengulurkan tanpn 
menangkapnya. Lari kedua orang ini pun terhenti. 

"Apa yang terjadi denganmu, Kek?! Kau..., kau sakit!" tanya 
gadis berpakaian coklat itu, penuh perhatian. Rasa kecewa karena 
ucapan terima kasihnya tidak mendapatkan sambutan yang 
sewajarnya tadi langsung lenyap entah ke mana, ketika melihat wajah 
kakek kurus kering yang pucat pasi. Keringat sebesar-besar biji jagung 
menghias sekujur wajah-nya yang keriput 

"Aku..., aku tidak apa-apa," jawab kakek kurus kering denpn 
suara lemah hampir tidak terdengar. "Tolong bawa aku ke tempat 
teduh." 

Tanpa menunggu perintah dua kali, gadis berpakaian coklat 
itu segera memapah tubuh kakek kurus kering ini ke arah sebatang 
pohon yang tumbuh di dekat situ. Dengan hati-hati disandarkannya 
tubuh kakek kurus kering itu di batang pohon. Sedangkan dia sendiri 
berdiri dengan kedua lutut di depannya. 

"Kau... Kau terluka, Kek? Ah...! Lukamu parah sekali...!" 

Kembali suara halus tapi mengandung penuh perasaan 
khawatir terdengar dari mulut gadis berpakaian coklat ini ketika 
melihat kakek kurus kering itu memuntahkan darah segar! Untungnya 
kakek kurus kering itu cepat menghindar, sebelum terkena semburan 
darah. 

"Tidak usah kau pikirkan aku," desah kakek kurus kering, 
pelan hampir berbisik. "Aku memang sudah terluka parah, ketika 
menghadapi pimpinan dari orang-orang yang kau lawan. Dan aku 
tidak boleh mengeluarkan tenaga cukup berlebihan, kalau tidak ingin 
lukaku bertambah parah dan membahayakan nyawaku...." 

"Tidak usah diteruskan, Kek," potong gadis berpakaian coklat 
ini cepat sambil menyusut darah yang membasahi sekitar mulut kakek 
kurus kering. "Aku tahu! Kau membahayakan nyawamu sendiri demi 
menolongku. Usahamu untuk memanggil ular-ular, membuat luka 
dalammu bertambah parah. Karena kau mengerahkan tenaga dalam 
berlebihan. Demikian pula saat kita berlari Akan kubalaskan sakit 
hati ini, Kek Tolong katakan, siapa pimpinan mereka?! Siapa orang 
yang telah membuatmu terluka demikian parah? Aku Dara, berjanji 
akan menuntut balas!" 

Kakek kurus kering tersenyum. Wajahnya agak cerah, karena 
melihat tekad gadis itu. Tapi, sorot matanya terlihat sayu. Bahkan 
semakin meredup! 

"Kau anak yang baik, Dara. Meski tersinggung, masih 
memikirkan diriku. Ah...! Sama sekali tidak kusangka seorang gadis 
berkepandaian tinggi seperti dirimu, memiliki watak perasa. Kau 
mudah diombang-ambingkan perasaan. Kau mempunyai watak halus. 
Aku tidak yakin, kau mampu membunuh orang!" 

Suara kakek kurus kering itu semakin pelan dan napasnya 
semakin terenph-engah. 

"Aku, Kuru Sanca, tidak akan melupakanmu! Apa 
hubunganmu dengan Ketua Perguman Pedang Halilintar, si Sombong 
Pedang Halilintar Sakti?!" tanya kakek yang ternyata Kuru Sanca, 
begitu melihat lambang gambar perguruan di dada gadis itu. 

"Aku putrinya, Kek," jawab gadis berpakaian coklat yang 
ternyata bernama Dara, putri si Pedang Halilintar Sakti yang kabur 
dari perguruan ayahnya. (Untuk jelasnya silakan baca episode: "Peti 
Bertuah"). 

"Putrinya?!" ulang Kuru Sanca dengan napas semakin 
terengah. "Perbedaan antara kau dengan ayahmu bagaikan api denpn 
air. Ayahmu berwatak tinggi hati, sombong, terlalu yakin kalau hanya 
dialah tokoh yang memiliki kepandaian tertinggi di dunia ini. 
Sedangkan aku...? Ah...! Kalau tidak melihatnya sendiri aku tidak akan 
percaya!" 

"Aku sendiri tidak menyangka kalau kau adalah Kuru Sanca, 
Kek," timpal Dara. "Menurut ayah, kau seorang tokoh hitam yang 
memiliki watak keji. Dan lagi, kau merupakan salah seorang datuk 
golongan hitam. Jago racun, tapi kenyataan yang kulihat..? Heh...?! 
Mengapa kau, Kek?!" 

Dara menghentikan ucapannya yang belum s-lesai, ketika 
melihat sepasang mata Kuru Sanca yang mulai redup tampak 
terbelalak lebar. Memang hanya sesaat, tapi meyakinkan kalau ada 
sesuatu yang membuat Kuru Sanca demikian terkejut! 




Namun, sesaat kemudian Kuru Sanca tersenyum. Padahal 
terlihat jelas menampakkan rasa khawatir yang sangat. Kakek kurus 
kering ini tahu, senyumnya tidak enak dilihat. Tapi, setidak-tidaknya 
akan dapat menjadi sebuah awal untuk menenangkan hati gadis 
berpakaian coklat itu. 

"Aku tidak apa-apa, Dara. Bahkan justru aku yakin akan 
menjadi sembuh karenanya. Kau tahu, apa sebabnya?" 

Dara menggelengkan kepala, karena memang dia tidak tahu 
jawabannya. 

"Ucapannya yang menyebutkan karena aku dulu adalah 
seorang tokoh sesat yang ahli menggunakan racun, jadi mengingatkan 
akan keahlian yang kumiliki sekarang. Aku sekarang tidak hanya 
mahir dalam kemampuan bermain racun saja, Dara. Tapi, juga dalam 
hal obat-obatan. Ah! Usia tua membuat ingatanku banyak berkurang 
Aku hampir lupa. Untung saja kau mengingatkannya. Tolong 
ambilkan obat di saku kanan pakaianku ini, Dara. Di bagian dalam," 
ujar Kuru Sanca. 

"Maafkan kelancanganku ini, Kek," ucap Dara, sebelum 
menyibak rompi kulit ular Kuru Sanca. 

Di bagian sebelah kanan, Dara melihat sebuah kantung yang 
cukup lebar dan besar, tapi terkancing. Buru-buru dibuka dan 
dimasukkannya jari-jari tangannya yang halus ke dalam saku itu. 

"Ambil dua butir yang berwarna merah, Dara," jelas Kuru 
Sanca ketika melihat Dara kebingungan, begitu jari-jari tangan gadis 
berpakaian coklat itu mendapatkan obat-obat berbagai macam bentuk 
dan beraneka warna. 

Dara segera memasukkan obat-obat yang tidak dimaksud ke 
saku baju Kuru Sanca kembali. Sedangkan obat yang berwarna merah 
dimasukkannya ke mulut kakek kurus kering itu. Dengan mudah, 
Kuru Sanca menelannya, meski tanpa menggunakan air. Baru saja 
Kuru Sanca menelan obatnya..... 

"Rupanya kau berada di sini, Singa Ompong?! Berarti Setan 
Hitam Tak Berjantung tidak berhasil dengan tugasnya. Biarlah 
sekarang aku yang akan merampungkannya!" 

Mendadak saja terdengar suara keras menggelegar, Kuru 
Sanca dan Dara terkejut setengah mati. Bahkan gadis berpakaian 
coklat itu sampai terjingkat ke belakang bagai disengat kelabang 
Sebelumnya memang tidak terdengar bunyi apa-apa sebelum pemilik 
suara itu berbicara. Dari sini saja bisa diperkirakan kalau pemilik 
suara itu mempunyai ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. 

Keterkejutan Dara semakin bertambah, ketika melihat 
pemilik suara yang ternyata seorang kakek berkulit hitam legam 
terbungkus pakaian serba hitam. Ujung bajunya sampai di bawah 
lutut. Tapi mulai dari pusar bajunya tidak terkancing Tampangnya 
menggidikkan, dengan hidung bengkok yang menyiratkan 
kelicikannya. Yang paling menggetarkan, di sebelah kirinya berdiri 
makhluk berkaki empat berwarna agak kuning bertotol-totol hitam. 
Seekor macan tutul yang kelihatan buas dan perkasa! 

Singngng! 

Dara yang segera dapat meredam keterkejutannya, langsung 
menghunus pedangnya. 

"Langkahi dulu mayatku sebelum kau dapat 
mencelakakannya, Kakek Jahat!" tegas Dara, mantap. Dadanya yang 
sudah berbentuk indah, dibusungkan ke depan. 

"Luar Biasa! Sama sekali tidak kusangka! Meski sejelek dan 
setua itu, masih ada wanita cantik yang bersedia menjadi gundikmu! 
Luar biasa! Kau yang luar biasa, atau gadis ini yang kemaruk lelaki, 
Singa Ompong?!" ejek kakek berkulit hitam legam. 

"Tutup mulutmu, Kakek Bermulut Kotor!" dengus Dara 
dengan wajah merah padam. 

Dara adalah seorang gadis berperasaan halus. Maka makian 
tidak senonoh kakek berhidung melengkung membuat kemarahannya 
berkobar, karena harus menahan malu. Seketika langsung diserangnya 
kakek itu dengan kelebatan pedangnya yang berkilatan. 

"Ah...! Kau dari Perguruan Pedang Halilintar?' desah kakek 
berkulit hitam. 

Kakek ini kaget juga melihat serangan Dara yang 
mengeluarkan sinar berkilat-kilat. Bahkan juga terdengar bunyi 
berkerosokan seperti ada halilintar menyambar bumi. 

Dalam kemarahannya karena makian kotor kakek berhidung 
melengkung Dara melancarkan serangan menggunakan jurus andalan 
dari ilmu 'Pedang Halilintar', yang diberi nama jurus 'Selaksa 
Halilintar Menyambar Gunung'! Sehingga ujung pedangnya seperti 
berubah menjadi belasan banyaknya. Dan tiap ujung pedang 
meluncur ke arah bagian mematikan di tubuh kakek berhidung 
melengkung. Bunyi berkerosokan nyaring mengiringi meluncurnya 
pedang menuju sasaran. 

Sementara, kakek berhidung melengkung ini tahu 
kedahsyatan serangan itu. Maka tongkatnya yang bergagang kepala 
tengkorak bayi di tangan kanan, segera diputar-putar di depan 
tubuhnya. Sehingga bentuk tongkatnya lenyap. Dan yang terlihat 
sekarang hanya segundukan sinar yang membungkus sekujur 
tubuhnya. 

Trang, trang trang! 

Semua tusukan pedang Dara membentur sinar yang dibentuk 
oleh putaran tongkat bergagang kepala bayi. Sehingga menimbulkan 
bunyi nyaring dan bunga api yang berpercikan ke sana kemari. 
Seketika, tubuh Dara yang menerjang lawan mendadak terjengkang ke 
belakang. Untung saja, gadis ini memiliki kepandaian yang cukup. 
Sehingga kedua kakinya berhasil menjejak tanah dengan mantap. 
Namun, ternyata pedangnya sudah tidak berada di dalam genggaman 
tangan lagi, terpental akibat benturan yang amat keras tadi. 

Melihat dahsyatnya serangan pedang si gadis, maka kakek 
berhidung melengkung itu memutar tongkatnya, hingga terlihat 
segundukan sinar yang membungkus sekujur tubuhnya! 

Trang, trang, trang! 

Semua tusukan pedang Dara membentur sinar yang dibentuk 
oleh putaran tongkat itu. 

"He he he...!" Kakek berkulit hitam legam terawa mengejek. 
"Kau terlalu sok pahlawan, Bocah Ayu. Dikira, aku ini siapa? Berani 
benar kau menentangku?! Ayahmu pun kalau bertemu aku, tidak akan 
berani bertindak selancang ini! Dia akan berlutut dan menjilati 
telapak kakiku sampai bersih! Menyingkirlah! Aku malu untuk 
bertarung melawan bocah masih bau kencur seperti kau!" 

Dan kini kakek berhidung melengkung yang tadi sama sekali 
tidak terpenjpruh akibat benturan dua macam senjata, melangkah 
lebar mendekati tempat Dara berada. Sementara, pdis berpakaian 
coldat itu masih menyeringai kesakitan, karena rasa sakit yang 
melanda sekujur tangannya yang meng-genggam pedang. Bahkan 
tangan tadi sempat lumpuh! Dara mulai menyadari kalau kakek 
berhidung melengkung ini terlalu tangguh. Namun, hatinya tidak 
menjadi gentar karenanya. Setapak pun kakinya tidak akan mundur! 
Apalagi setelah kakek berhidung melengkung itu menghina ayahnya! 

"Dara...! Larilah...! Jangan bertindak bodoh...! Tidak ada 
gunanya berkeras untuk membelaku! Aku tak takut mati..!" seru Kuru 
Sanca dengan suara lebih keras dari sebelumnya. 

Obat-obat buatan Kuru Sanca memang manjur sehingga 
mampu bekerja cepat. Sehingga keadaannya agak lebih baik dari 
sebelumnya. 

"Tidak, Kek! Aku bukan pengecut! Kalau memang kau harus 
mati, aku pun tidak mau hidup! Aku bukan sejenis orang yang tidak 
mengenal budi baik orang!" tandas Dara sambil menoleh ke belakang. 

Terasa ada nada ketegasan yang tidak mungkin bisa dibantah 
di dalam kata-kata gadis ini. Kemudian dengan kedua tangan terkepal 
pandanpnnya kembali diarahkan ke kakek berkulit hitam legam yang 
terus melangkah lambat ke arahnya. 

Kuru Sanca adalah tokoh yang kenyang pengalaman. Sekali 
dengar saja, dia tahu kalau Dara tidak akan mau mundur setapak pun. 
Tekad gadis berpakaian coldat itu tak akan mungkin dapat dirubah. 
Maka, dia hanya dapat menghela napas berat. Dia tahu, Dara akan 
celaka. Dan saat ini, dia hanya dapat melihat semua kejadian tanpa 
dapat membantu. 

Sementara, ketika melihat kakek berhidung melengkung 
semakin dekat, Dara langsung melompat menerjang dengan sebuah 
pukulan tangan kanan ke arah dada! 

Tapi, kakek berkulit hitam legam itu hanya mendengus penuh 
ejekan. Padahal sebelum pukulan itu tiba di sasaran, angin keras telah 
lebih dulu berhembus. Begitu serangan menyambar dekat, kakinya 
melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Kemudian tangan 
kirinya bergerak menyambar, dengan jari-jari terbuka. 

Kreppp! 

Dara langsung terpekik kaget ketika pergelangan tanpn 
kanannya telah tercekal! Padahal, tadi ketika melihat gerakan lawan 
dia telah berusaha keras mengelak. Dan sebelum Dara bertindak lebih 
lanjut, kakek berhidung melengkung telah lebih dulu menyentakkan 
tangannya. 

"Akh...!" 

Dara berseru tertahan ketika tubuhnya melayang deras tanpa 
mampu berbuat sesuatu untuk menghentikannya. Sedangkan kakek 
berkulit hitam legam sama sekali tidak mempedulikan nasib Dara lagi. 
Dia terus bergerak cepat, mendekati Kuru Sanca yang masih 
bersandar di pohon. Sedangkan macan tutul yang berdiri di 
sebelahnya, rupanya tidak mau ketinggalan. Binatang buas ini pun 
berjalan pula di sebelah kakek berhidung melengkung 

"Sekarang sampai juga ajalmu, Kuru Sanca!" 

Kakek berkulit hitam legam ini tampak gembira bukan 
kepalang, karena yakin akan keberhasilannya membunuh datuk sesat 
yang menggiriskan hati itu. 


*** 


Namun belum lagi kakek berkulit hitam legam itu 
melancarkan serangan, mendadak saja kakinya mundur selangkah. 
Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi langkah kaki halus 
mendekati tempatnya. Dan sebelum sempat kakek berhidung 
melengkung ini menoleh, terasa angin dingin berkesiur. Sekejap 
kemudian, di depannya telah berdiri sesosok bertubuh ramping 
berwajah cantik j ebta. 

"Lagi..., lagi kau..., bo... eh...?! Siapa kau, Wanita Liar?!" 

Kakek berkulit hitam legam yang semula menduga kalau 
wanita cantik yang menghadang langkahnya adalah Dara, jadi 
menahan ucapannya. Ternyata dugaannya keliru. Wanita yang berdir i 
di hadapannya, dan membelakangi Kuru Sanca ini memang berwajah 
cantik jelita berpakaian serba putih. 

"Mengapa kau menghadang di depanku? Apakah kau 
mempunyai hubungan dengan kakek yang sebentar lagi akan mati di 
tanganku?! Apakah kau juga gundiknya?!" lanjut kakek berkulit hitam 
legam ini. 

Jawaban yang diterima kakek berhidung melengkung ini 
hanya berupa jeritan melengking yang membuat sekitar tempat itu 
bergetar! Kemudian gadis berpakaian serba putih ini mengirimkan se¬ 
rangan mematikan mempergunakan kedua tangan, yang kanan 
mencengkeram leher, sedangkan yang kiri mencengkeram pusar! 
Salah satu saja mengenai sasaran, nyawa kakek berkulit hitam legam 
ini pasti melayang ke alam baka! 

Wajah kakek berkulit hitam legam ini berubah kaget. Hanya 
sekali lihat saja dia tahu kalau serangan gadis berpakaian putih ini 
lebih hebat daripada serangan Dara. Menilik dari bunyi berkesiutan 
yang mengiringi tibanya serangan, dia tahu kalau tenaga dalam gadis 
ini lebih kuat. Bahkan kecepatannya begitu dahsyat. Diam-diam kakek 
berkulit hitam legam ini merasa heran, mengapa gadis-gadis cantik 
dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi membela Kuru Sanca mati- 
matian. Apa yang tersembunyi di balik semua ini? 

Tapi, kakek berkulit hitam legam tidak bisa berpikir lebih 
lama lagi, karena serangan gadis berpakaian putih telah semakin 
dekat. 

Plak! 

Bunyi benturan keras dari dua tanpn yang beradu langsung 
terdengar ketika kakek berhidung melengkung ini memapak 
serangan-serangan gadis berpakaian putih. Akibatnya tubuh gadis itu 
terhuyung-huyung hampir lima langkah ke belakang. Sedangkan 
lawannya hanya satu langkah. 

Gadis ini jadi mengertakkan gigi, menahan geram. Kenyataan 
yang terjadi menunjukkan kalau tenaga dalam kakek berhidung 
melengkung itu cukup jauh di atasnya. Menyadari kenyataan kalau 
bertarung tangan kosong hanya akan merugikan diri sendiri, maka 
gadis itu segera mengayunkan tangannya ke belakang punggung. 

Ngungngng! 

Bunyi mengerang keras seperti ada seekor naga murka segera 
terdengar, ketika gadis berpakaian putih itu mencabut pedang, dan 
langsung menggerak-gerakkannya di depan dada. 

Kakek berkulit hitam legam itu langsung ternganga takjub, 
menyaksikan pertunjukan ilmu pedang yang demikian dahsyat dari 
gadis ini. Meski memang baru jurus pembuka yang dilihat, tapi telah 
cukup membuatnya takjub. 

"Keluarkan senjatamu kalau tidak ingin mati sia-sia di ujung 
pedangku, Kakek Hidung Betet!" teriak gadis berpakaian putih itu, di 
tengah-tengah riuh rendah permainan pedangnya. 

"Keparat!" 

Kakek berkulit hitam legam ini jadi menggertakkan gigi 
dengan sepasang mata menyala-nyala karena gejolak perasaan marah. 
Dia paling tidak suka kalau ada orang yang mempermasalahkan 
hidungnya yang berbentuk aneh. Apalagi kalau sampai memakinya, 
seperti yang didengarnya barusan. 

"Wanita Liar! Mulutmu benar-benar tajam! Kau harus 
membayar kelancangan mulutmu. Celanamu akan robek, dan kau 
akan kutelanjangi!" 

Untuk yang kedua kalinya terdengar bunyi melengking 
nyaring dari mulut gadis berpakaian putih itu. Lengkingan yang 
keluar dari perasaan hati yang terbakar, mendengar ucapan kakek 
berkulit hitam legam yang tidak senonoh ini. Dan belum habis gema 
lengkingan itu, gadis berpakaian putih ini telah melesat menerjang! 

Kakek berhidung melengkung yang juga telah bangkit 
amarahnya telah menggenggam erat-erat tongkat yang menjadi 
senjata andalan. Dan sambil berteriak tidak kalah keras, melompat 
memapak serbuan lawan. Maka pertarungan pun berlangsung sengit. 

Ilmu pedang gadis berpakaian putih itu benar-benar luar 
biasa. Pedangnya bagai telah berubah menjadi seekor binatang yang 
amat ganas dengan bunyi menggerung-gerung keras, menyertai setiap 
luncurannya ke arah berbagai bagian di tubuh kakek berkulit hitam 
legam ini. 

Namun, kakek itu juga bukan orang sembarangan. Permainan 
tongkatnya pun luar biasa. Betapapun gencar dan dahsyatnya 
sambaran pedang gadis berpakaian putih itu. Namun tak satu pun 
yang berhasil mengenai sasaran. Ke mana saja ujung pedang menuju, 
selalu berbenturan dengan putaran tongkat kakek berkulit hitam, 
legam ini. 

Bunyi berdentang nyaring dan bunga api kini menyemaraki 
pertarungan. Bahkan setiap kali terjadi benturan keras yang 
mengakibatkan bunga api memercik ke sana kemari, selalu tubuh 
gadis berpakaian putih terguncang hebat. Saking kerasnya benturan, 
tubuhnya beberapa kali sampai terhuyung-huyung ke belakang. 
Bahkan hampir ter j engkang dengan sebuah seringai tampak di bibir. 

Meskipun kakek berkulit hitam legam itu lebih unggul dalam 
hal tenaga, tapi untuk mendesak lawannya agaknya tidak mudah. 
Serangan gadis berpakaian putih yang terlalu gencar dan selalu susul- 
menyusul laksana gelombang laut, membuatnya merasa kesulitan 
untuk melancarkan serangan balasan yang terarah. Dia masih 
bimbang untuk membuka pertahanan, dan menggantinya denpn 
serangan-serangan balasan. Karena disadari, kecepatan luncuran 
serangan-serangannya kalah jauh dibanding gadis berpakaian putih 
itu. 

Kakek ini sadar, kalau mengalahkan gadis berpakaian putih 
ini membutuhkan waktu tidak sebentar. Mungkin dalam puluhan 
jurus, lawannya baru bisa dirobohkan. Dan dalam waktu yang cukup 
lama itu, segala sesuatu dapat saja terjadi. Misalnya ada orang lain 
yang datang menyelamatkan Kuru Sanca. Padahal, gadis berpakaian 
coklat saja belum bisa dirobohkan. 

"Bunuh tua bangka yang tidak berguna itu, Belang!" 

Di tengah-tengah kesibukannya mempertahankan diri dari 
serangan gadis berpakaian putih yang gencar, kakek berkulit hitam 
legam ini berteriak keras, memberi perintah. 

"Auumm...!" 

Bunyi auman keras yang membuat isi dada bergetar, langsung 
menyambuti perintah kakek berkulit hitam. Sebentar kemudian, 
macan tutul yang sejak tadi berdiam diri seperti memperhatikan 
jalannya pertarungan, berlari-lari menghampiri Kuru Sanca! Binatang 
buas itu mengerti apa yang dimaksudkan tuannya! 

Begitu macan tutul melompat menerkam siap untuk 
mengoyak-ngoyakkan tubuhnya, dari arah sampingnya melesat sosok 
bayangan coldat. Begitu cepat bayangan ini melesat, langsung 
menyerang macan tutul dari samping. 

Bukkk! 

Grrrhhh! 

Macan tutul itu kontan mengeluarkan seruan kesakitan, 
begitu ada sesosok bayangan menghantam badannya secara keras. 
Seketika tubuhnya yang tengah meluncur ke arah Kuru Sanca, 
terlempar ke kiri dan jatuh berdebuk keras di tanah. 

Di depan Kuru Sanca, ternyata Dara telah berdiri 
membelakanginya dengan kedua kaki terpentang. Tapi gadis 
berpakaian coldat ini memang buru-buru kembali ketika tubuhnya 
terlempar ke kerimbunan semak-semak. Dia merasa khawatir akan 
nasib kakek kurus kering itu. Dan ternyata, kecemasannya beralasan. 
Meski ada seorang gadis berpakaian putih yang tengah bertarung 
melawan kakek kurus berkulit hitam legam itu, tapi masih ada macan 
tutul yang mengancam keselamatan Kuru Sanca. Dan Dara bertindak 
pada saat yang sangat tepat. 

Dara langsung menatap macan tutul yang telah bangkit 
dengan sepasang mata terbelalak. Gadis berpakaian coklat ini tidak 
percaya akan apa yang dilihatnya. Tadi saking khawatir akan 
keselamatan Kuru Sanca, pukulannya yang dihantamkan pada macan 
tutul dikerahkan dengan seluruh tenaga. Dan menurut 
perhitungannya, binatang itu akan tewas seketika dengan seluruh isi 
dada hancur. Tapi, ternyata macan tutul itu masih segar bugar. 
Bahkan kelihatan semakin buas, karena tindakannya untuk memenuhi 
perintah majikannya dihalangi. Atau mungkin pula karena rasa sakit 
yang diderita. Pukulan Dara tadi memang kuat sekali. Bahkan 
sanggup menghancurkan sebongkah batu besar yang paling keras 
sekalipun hingga berkeping-keping 

Dan ternyata, binatang buas itu merasa penasaran dan 
dendam terhadap Dara. Dengan auman keras yang menggetarkan 
selatarnya, macan tutul itu melompat menerkam Dara. Namun hanya 
menggeser kaki, putri Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini berhasil 
mengelakkan serangan. Bahkan langsung menyusuli dengan seranpn 
balasan berupa bacokan sisi tangan miring berisi tenaga dalam penuh 
ke tubuh bagian samping binatang buas yang menjadi lawannya. 

Bukkk! 

Macan tutul itu menggemng kesakitan ketika pukulan Dara 
mendarat secara telak di sasaran. Tubuh binatang buas yang sial ini 
terlempar dan terbanting di tanah. Namun lagi-lagi macan itu bangkit 
berdiri dan menyerang Dara. Rupanya binatang buas ini tidak kapok 
sama sekali! 

Sementara itu di kancah pertarungan yang satu, kakek 
berkulit hitam legam itu merasa geram bukan kepalang melihat 
kegagalan dalam melenyapkan Kuru Sanca. Dia tahu, macan tutulnya 
tidak bisa diandalkan untuk melaksanakan tugas karena terhalang 
Dara! Sedangkan dia sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama 
untuk mengalahkan gadis berpakaian putih ini. Sambil terus melaku¬ 
kan perlawanan, matanya mengerling ke arah Kuru Sanca. Dan 
hatinya tercekat ketika melihat keadaan kakek kurus kering itu. 

Kakek berkulit hitam legam itu memiliki sepasang mata 
tajam. Maka dalam sekali lihat saja, dia tahu kalau keadaan Kuru 
Sanca telah semakin membaik. Wajahnya yang semula pucat pasi 
seperti tidak berdarah, sekarang telah menyiratkan tanda-tanda 
kehidupan. Dan bukan tidak mungkin tak akan lama lagi, tokoh kurus 
kering ini akan sehat seperti sediakala. Dan apabila itu terjadi, dia 
tahu kalau keadaannya akan sangat berbahaya. Dan hal itu tidak 
diinginkan terjadi. 

Trangngng! 

Setelah membuat tubuh gadis berpakaian putih terhuyung- 
huyung jauh ke belakang dengan tangkisan tongkat yang disertai 
pengerahan seluruh tenaganya, kakek berkulit hitam legam ini 
melompat meninggalkan lawannya sambil mengeluarkan lengkingan 
aneh dari tenggorokannya. 

Seketika itu pula, macan tutul yang semula tengah bertarung 
melawan Dara segera berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat 
itu. Baru beberapa tombak macan tutul itu berlari, tiba-tiba kakek 
berkulit hitam legam itu tahu-tahu hinggap di punggungnya. Tapi, 
macan tutul itu sama sekali tidak merasa keberatan. Dia terus berlari 
kencang bersama majikannya berada di punggung. 

Sementara Dara dan gadis berpakaian putih itu menatap 
kakek berkulit hitam legam yang menunggangi macan tutulnya, tidak 
melakukan pengejaran sama sekali. Kemudian, ketika bayangan 
mereka lenyap dari pandangan, kedua gadis yang sama-sama cantik 
dan lihai ini, saling berpandangan. Kemudian senyuman tersungging 
di bibir masing-masing. 




Sebuah perahu kecil meluncur bagai anak panah, menyibak 
permukaan laut yang disemaraki gelombang-gelombang sebesar 
rumah. Bahkan kadang-kadang ada yang sampai sebesar bukit, seperti 
berusaha keras untuk menggulingkan dan menghancurkan perahu 
kecil itu. Tapi, dengan gesitnya perahu kecil itu menyelinap dan 
membelah permukaan air laut yang bagai diamuk tangan-tangan 
raksasa. 

Perahu kecil itu berpenumpang tiga orang Dua orang berusia 
muda dan berwajah menarik. Sedangkan sisanya seorang nenek 
berusia tak akan kurang dari seratus tahun, berpakaian kembang- 
kembang. Wajahnya telah dipenuhi keriput. Dengan mulut yang tidak 
bergigi lagi, dia kelihatan tua sekali. 

Salah satu dari dua anak muda itu adalah seorang gadis 
berpakaian kuning. Tubuhnya sintal menggiurkan. Apalagi dengan 
dua bukit kembar di dadanya yang terlihat mencuat, seperti hendak 
melompat keluar. Itu pun masih ditunjang dengan wajahnya yang 
cantik penuh daya tarik! Pakaian kuning yang membungkus tubuhnya 
semakin menonjolkan kecantikan dan kemolekannya. 

Sementara sosok terakhir yang tengah mengayuh perahu 
justru kelihatan paling aneh. Tubuh dan wajahnya terlihat masih 
muda, dan berusia lebih dari dua puluh tahun. Meskipun, wajah sosok 
pemuda ini kelihatan matang! Wajahnya tampan dan jantan. 
Tubuhnya pun kekar dengan dada bidang, terbungkus pakaian ungu. 
Tapi anehnya rambutnya seperti milik orang berusia lanjut. Putih 
keperakan! Siapa lagi orang ini kalau bukan Arya Buana alias Dewa 
Arak. Sementara gadis berpakaian kuning itu tak lain dari Tungga 
Dewi. Sementara nenek berpakaian kembang-kembang itu tak lain 
adalan Nenek Lestari. 

Ketiga orang ini berada di lautan luas karena tengah menuju 
Pulau Setan! (Baca serial Dewa Arak dalam episode: "Peti Bertuah"). 

"Kau yakin kalau kita menempuh arah yang benar, Dewi?!" 
tanya Arya tanpa menghentikan kayuhannya. 

"Jangan khawatir, Arya," jawab Tungga Dewi, sambil menatap 
Arya dengan sinar mata aneh. 

Dan Arya merasa jengah melihatnya. Pandangan mata Tungga 
Dewi persis milik sorot mata gadis-gadis yang dulu dijumpai dalam 
petualangan. Hanya saja, sekarang mereka yang semuanya 
mencintainya, tewas karena membelanya. Arya masih ingat betul 
nama gadis-gadis yang telah berkorban nyawa dan 
menyelamatkannya. Dan itu seperti terpatri dalam hatinya. Utari dan 
Malini. (Untuk jelasnya silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: 
"Penganut Ilmu Hitam" dan "Tiga Macan Lembah Neraka"). 

Didasari rasa cemasnya, tanpa sadar Arya melengos. Tapi 
karena khawatir kalau sikapnya akan membuat Tungga Dewi 
tersinggung, Arya pura-pura bersin! Untuk orang yang memiliki 
tingkatan seperti pemuda berambut putih keperakan ini, melalcukan 
hal seperti itu bukan masalah. 

"Apa yang dikatakan Tungga Dewi tidak keliru, Arya," Nenek 
Lestari ikut menimpali. "Meski tidak tahu letaknya, aku merasakan 
kalau arah yang kita tempuh ini tidak salah! Dan biasanya, firasatku 
ini tidak pernah keliru! Dan...." 

"Hey!" 

Seruan kaget tanpa sadar keluar tidak hanya dari mulut 
Nenek Lestari yang langsung menghentikan ucapannya karena merasa 
kaget, tapi juga dari mulut Arya dan Tungga Dewi Jeritan yang tanpa 
disadari itu keluar begitu saja, karena perahu yang ditumpangi tiba- 
tiba berguncang keras, 

"Ada orang yang akan menggulingkan perahu kita...!" seru 
Arya yang langsung dapat mengetahui adanya ketidakberesan ini. 

Pemuda berambut putih keperakan ini mengedarkan 
pandanpn ke selatar sisi-sisi perahu. Dan ketika melihat ada 
bayangan berkelebat di bawah permukaan air, dayungnya segera 
dihantamkan. 

Pyarrr! 

Air seketika muncrat tinggi ke udara. Tapi, hantaman Arya 
tidak membuahkan hasil. Sosok yang bergerak di bawah air ternyata 
telah lebih dulu melesat menghindari, sebelum sempat terhantam 
dayung! Dan gerakannya gesit sekali, sehingga Dewa Arak mengira 
sosok yang dihantamnya seekor ikan! 

Perahu jadi berguncang semakin keras dan hampir terguling 
ke kiri. Arya yang tidak ingin terjun ke laut lepas, karena tahu kalau di 
dalam air kemampuannya berkurang jauh segera bertindak cepat. 
Tenaganya segera dikerahkan untuk memberatkan tubuh, sehingga 
perahu yang dirumpangi menjadi lebih berat berlipat kali. 

"Aku yakin, ini pasti perbuatan orang-orang aneh itu!" desis 
Tungga Dewi. 

"Orang-orang aneh...?!" Arya mengernyitkan dahi, meminta 
penjelasan. 

"Kau ingat orang-orang yang kuceritakan, Arya?!" 

Tungga Dewi balas mengajukan pertanyaan sambil menatap 
wajah Arya lekat-lekat Arya mengangguk sambil mengeluh dalam 
hati. Kelihatannya Tungga Dewi memang bukan gadis pemalu. 
Buktinya terang-terangan perasaannya ditunjukkan pada Arya. Ini 
membuat pemuda itu merasa bingung bukan kepalang! 

"Nah! Aku yakin, mereka adalah orang-orang yang bertarung 
dengan guruku. Mereka memang memiliki kemampuan 
mengagumkan bila berada di dalam air. Bahkan mungkin 
kepandaiannya jauh di atasku, Arya." 

"Hebat!" puji Arya setulusnya tanpa berani menatap wajah 
Tungga Dewi apalagi sepasang matanya. "Gerakan mereka di dalam air 
luar biasa sekali. Tadi, aku nyaris menduga kalau bayangan yang 
kupukul adalah ikan! Habis, gerakan mereka gesit bukan kepalang." 

"Apalagi kalau kau melihat guruku yang bergerak, Arya!" 
timpal Tungga Dewi, penuh semangat. Kelihatannya, dia jelas begitu 
senang bercakap-cakap dengan Arya. "Bagi guruku, mereka bukan 
apa-apa. Kemampuan mereka bermain di dalam air, mungkin hanya 
setaraf denganku." 

"Ah...! Begitukah?!" 

Sepasang mata Arya terbelalak lebar penuh perasaan kaget. 
Arya tidak pernah berpikir kalau gadis ini akan mampu bertindak 
seperti itu. Mungkinkah seorang gadis seperti dia mampu bergerak 
demikian lincah di dalam air? 

Baru saja kata-kata Dewa Arak selesai dan Tungga Dewi 
belum sempat memberikan tanggapan, terjadi kericuan di dalam 
perahu. Dan tiba-tiba saja.... 

Blosss! Blosss! BIosss! 

Hampir berbarengan tiga batang pisau menembus, sehingga 
lantai perahu bolong. Bahkan hampir saja mengenai tip orang 
penumpangnya. Meskipun demikian, cukup untuk membuat Arya dan 
kawan-kawannya tersentak kaget. Dan sebelum mereka bertindak, 
tiga batang pisau itu telah di tarik, kembali ke dalam air. Maka kontan 
air menyemak masuk ke dalam perahu melalui lubang yang tercipta. 

Kejadian ini, langsung menyadarkan ketiga orang di dalam 
perahu. Bagai telah disepakati sebelumnya, mereka berusaha 
menutupi lubang-lubang itu dengan telapak kaki. Hembusan napas 
lega langsung terhempas, ketika air yang menerobos masuk terhenti 

"Kita harus bertindak!" kata Arya sambil menatap wajah 
Nenek Lestari dan Tungga Dewi Tapi ucapan itu lebih tertuju pada 
murid Nelayan Tenaga Gajah ini. 

Arya tahu, sebagai seorang yang lebih sering bermain di air, 
Tungga Dewi tentu dapat mengambil langkah-langkah untuk 
menghadapi hal seperti ini! Nenek Lestari tidak bisa diharapkan. 
Buktinya perempuan tua itu telah hampir pikun ini tampak pias 
wajahnya. Rupanya kejadian yang baru saja dialami membuatnya 
kaget bukan kepalang 

Tungga Dewi yang merasa ditanya, tidak langsung 
memberikan jawaban. Sebagai seorang yang ahli bermain di dalam air, 
dia tidak merasa khawatir sama sekali. Baginya, di darat atau di air 
sama saja. 

Tungga Dewi tahu, pertanyaan Dewa Arak memang sulit 
dijawab. Kalau lawan berada di sisi perahu, bukan merupakan 
masalah. Mereka dapat melancarkan serangan denpn 
mempergunakan dayung. Tapi penyerang-penyerang itu terlalu 
cerdik, dengan melancarkan serangan dari bawah perahu. 

"Apa yang harus kita lalcukan, Dewi?!" tanya Arya lagi ketika 
melihat gadis berpakaian kuning itu malah berdiam dir i. 

Arya tahu, Tungga Dewi tengah berpilar, tapi waktu yang 
dimiliki tidak memungkinkan untuk berpikir lama-lama. Lawan yang 
berada di bawah air, tidak mungkin tinggal diam. Mereka tidak akan 
mau menunggu. 

"Aku yakin tindakan mereka tidak berhenti sampai di sini!" 
tandas Dewa Arak. 

Baru saja kata terakhir keluar dari mulut Arya, lantai perahu 
di bagian lainnya kembali ditembus tiga batang pisau. Namun kali ini, 
Dewa Arak sudah bersiap siaga. Batang pisau itu segera ditangkapnya. 
Tentu saja hanya dua yang ditangkap karena tangan pemuda 
berambut putih keperakan ini hanya sepasang. Sementara kaki n ya 
yang satu menutupi lubang di lantai perahu. 

"Biar aku yang akan menghajar mereka!" Tanpa menunggu 
persetujuan Aiya yang tengah bersitegang menahan pisau yang akan 
ditarik kembali oleh pemiliknya, Tungga Dewi segera beranjak 

Arya meski tengah sibuk mempertahankan batang pisau, 
langsung mempunyai sebuah dugaan, meskipun Tungga Dewi tidak 
lengkap mengutarakannya. 

"Tungga Dewi!" seru Arya, cepat. 

Tapi, seruan pemuda berambut putih keperakan ini 
terlambat! Tubuh Tungga Dewi telah lebih dulu melayang ke udara. 
Sejenak tubuh molek itu berada di atas, kemudian meluncur ke bawah 
dengan kedua tangan teijulur tegang di depan. 

Byurrr! 

Air laut muncrat tinggi ke udara, ketika tubuh Tungga Dewi 
menghunjam permukaannya dan terus meluncur masuk ke dalamnya! 
Gadis itu memang tidak berbohong ketika berkata pada Arya. 
Kemampuannya bermain di air memang luar biasa. Lincah laksana 
seekor ikan, tubuhnya melesat menuju ke bawah perahu untuk 
menjumpai orang-crang yang telah melakukan penyerangan terhadap 
perahu. 

Kedatangan murid Nelayan Tenaga Gajah itu rupanya 
diketahui tiga sosok yang berada di bawah perahu. Maka salah 
seorang bergerak meninggalkan bawah perahu, langsung menghadang 
gerak Tungga Dewi. Sementara yang lainnya terus dengan tindakan 
mereka. 


*** 


Tungga Dewi menggemlkan gigi, ketika melihat sosok-sosok 
yang melakukan tindakan usil terhadap perahu yang ditumpangi. 
Memang tepat sekali dugaannya. Mereka adalah tip orang yang dulu 
bertarung dengan Tungga Dewi dan gurunya untuk memperebutkan 
peti yang ternyata berisi jasad tokoh keji yang hidup lima ratus tahun 
silam! Dan sekarang, sosok yang mencegat perjalanannya adalah 
orang yang dulu dihadapinya. Lelaki berkulit merah! 

Tungga Dewi menyambut kedatangan lelaki kulit merah itu 
dengan sebuah tendangan ke arah perut, mengandung tenaga cukup 
hebat! Namun lelaki berkulit merah ini segera menyambutnya. Maka 
kedua orang ini pun segera terlibat dalam pertarungan sengit. 

Di atas perahu, Dewa Arak merasakan salah satu pisau yang 
digenggamnya, mendadak kehilangan daya tarik ke bawah. Tapi, 
hatinya tak bisa lega, karena sesaat kemudian di tempat-tempat lain 
tiga batang pisau kembali menusuk perahu, dan langsung ditarik 
kembali. Maka air pun kembali menelusup ke dasar perahu. 

Arya berpilar cepat. Disadari betul kalau akhirnya tidak akan 
mencegah tindakan pembocoran perahu yang dilakukan sosok-sosok 
yang berada di bawah perahu. Maka otaknya yang cerdik berusaha 
mencari cara lain untuk menyelamatkan diri. 

Arya segera meninggalkan lubang-lubang pada lantai perahu 
yang semua disumpalnya. Segera diraihnya dayung yang tadi 
diletakkan di sisi dalam perahu. Kemudian, cepat mengayuh. 

Sebuah pertunjukan yang menakjubkan pun terjadi! Kini 
perahu meluncur ke depan, tanpa menyentuh permukaan air, 
bagaikan terbang! 

Dua sosok yang berada di bawah perahu kontan terkejut 
melihat kejadian yang sama sekali tidak disangka-sangka. Namun, 
mereka segsra berenang memburu. Kedua orang ini tahu, perahu itu 
tidak akan selamanya mengapung di atas permukaan air. Apabila 
tenaga kayuhan itu lenyap, perahu itu akan jatuh kembali ke dalam 
permukaan air. 

Sementara Tungga Dewi yang tengah sibuk bertarung pun 
sempat melihat hal ini. Dan diam-diam hatinya merasa lega, karena 
untuk sesaat kedua rekannya akan selamat. Dia sendiri sambil 
mengelakkan serangan, segera berenang menuju ke atas untuk 
kembali mengambil napas. Sedangkan lawannya melakukan hal sama. 
Dan ketika kepala masing-masing sama-sama muncul di permukaan 
air, pertarungan kembali berlanjut lebih seru. Sehingga serangan- 
serangan mereka lebih dahsyat karena tidak tertahan air. 

Di pihak lain, Arya dengan kecerdikannya berhasil 
meninggalkan lawan-lawannya cukup jauh di belakang. Apalagi 
kecepatan luncuran perahunya lebih cepat daripada luncuran dua 
pengejarnya. 

Dewa Arak merasa lega. Namun sempat cemas ketika teringat 
Tungga Dewi. Ketika menoleh, dia melihat gadis berpakaian kuning 
itu tengah bertarung jauh di belakangnya. Maka Arya segera 
mengirimkan pemberitahuan lewat ilmu mengirim suara dari jauh. 

"Tidak usah terus melawan, Dewi! Tinggalkan saja lawanmu! 
Cepat ikut kami!" 

Sambil berkata demikian Arya melirik Nenek Lestari yang 
telah berhasil menguasai perasaan hatinya yang agak terguncang 
Nenek itu telah bisa tersenyum kembali, meski masih kaku. 

Arya berbalik lagi ke depan. Saat itu, perahunya tenph 
terbang, dan hampir mendarat di permukaan laut lagi. Tapi di tempat 
yang akan didarati perahu, tampak menyembul sebuah kepala yang 
memiliki kulit wajah putih seperti kapur. 

Yang membuat terkejut pemuda berambut putih keperakan 
ini terkejut bukan keadaan wajah sosok itu. Ternyata tempat 
beradanya sosok itu, adalah tempat perahunya mendarat. Jelas, sosok 
itu pasti akan tertabrak perahu. Dan Arya tidak menginginkannya. 

Mendadak wajah Arya berubah ketika mendengar bunyi 
berdesing nyaring Pendengarannya yang tajam dan pengalamannya 
yang luas, membuatnya langsung dapat mengetahui kalau bunyi itu 
timbul akibat hentakan tangan bertenaga dalam tinggi! Memang 
sosok yang memiliki tangan itu mengirimkan pukulan jarak jauh yang 
ampuh. Dan dengan hati kaget, Arya menyadari arah yang dituju 
pukulan jarak jauh itu adalah dasar perahunya! 

"Lompat, Nek.J" 

Arya tidak mempunyai pilihan lain lagi, kecuali melompat. 
Maka sambil mencekal pergelangan tangan Nenek Lestari, dia 
melompat keluar dari perahu. Memang disadari tidak ada yang dapat 
dilakukan untuk mencegah pukulan jarak jauh itu. 

Brakkk! 

Perahu kecil itu kontan hancur berkeping-keping ketika 
tubuh Arya dan Nenek Lestari baru saja melompat keluar. Terlambat 
sedikit saja, mereka akan terluka cukup parah. 

Bum! Byurrr! 

Tubuh Arya dan Nenek Lestari langsung tenggelam ke dalam 
laut. Memang begitu kerasnya tubuh kedua orang yang berbeda usia 
dan jenis kelamin itu meluncur. 

Dewa Arak yang sedikit memiliki ilmu bermain di air, 
berusaha keras muncul di permukaan. Matanya dicoba dibuka 
selebar-lebarnya untuk mencari-cari Nenek Lestari untuk diberikan 
pertolongan. Dan hati Dewa Arak pun langsung mencelos, ketika 
melihat tubuh nenek berpakaian kembang-kembang itu terus 
meluncur ke dasar laut. Rupaya nenek yang hampir pikun itu dalam 
cekaman rasa takut, jadi melupakan kepandaiannya. Sehingga dia 
tidak bisa meluncur ke atas. Gelembung-gelembung air tampak di 
selatar wajahnya, karena nenek ini telah banyak menelan air laut. 

Arya menyadari kalau sementara ini tidak bisa memberikan 
pertolongan. Dia harus berenang dulu ke permukaan untuk 
mengambil napas, baru kemudian menolong Nenek Lestari. 

Tapi sebelum maksud Dewa Arak kesampaian, luncuran 
tubuhnya ke permukaan terasa tertahan, ketika ada sesuatu yang 
mencekal kedua pergelangan kalanya. Pemuda itu menggoyang- 
goyangkan kedua kalanya sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam. 

Namun usaha Arya tidak membuahkan hasil sama sekali. 
Sesuatu yang mencekal pergelangan kalanya demikian ulet dan 
lengket. Dan celakanya lagi, sesuatu itu malah menarik tubuh Aiya ke 
dalam air. 

Dewa Arak jadi kelabakan. Saat itu seluruh dadanya seakan 
ingin meledak karena udara dalam paru-parunya hampir kosong. Arya 
sebisa-bisanya meronta-ronta. Bahkan 'Tenaga Sakti Inti Matahari' 
telah dikerahkan sampai ke puncak untuk membuat sesuatu itu 
melepaskan cekalannya. Air di selatarnya jadi bergolak mendidih! 
Mula-mula hangat. Namun semakin lama semaian panas. Tapi 
sebelum air itu mendidih, pandangan Arya telah berkunang-kunang 
Kemudian matanya terasa gelap dan hitam. Pingsan. 

Di tempat lain, Nenek Lestari yang tengah terus meluncur ke 
dasar laut pun, dicekal sesuatu. Sedangkan Tungga Dewi roboh di 
tangan lawannya yang terlalu tangguh untuk dihadapi 


*** 


Ctarr, ctarrr! 

Bunyi lecutan keras bertubi-tubi membuat Dewa Arak 
mengerjap-ngerjapkan sepasang matanya. Pemuda berambut putih 
keperakan ini mulai sadar dari pingsannya. 

"Hentikan, Manusia-manusia Bodoh! Hentikan...! Kalau dia 
mati kalian semua tidak akan bisa hidup tenang! Kalian akan 
menerima celaka!" 

Seruan-seruan bernada kekhawatiran itu membuat kesadaran 
Dewa Arak langsung pulih. Dia bermaksud bergerak, tapi tidak 
mampu. Ada sesuatu yang menahan tangan dan kalanya. 

Maka Arya melirik, dan langsung maklum. Kini Arya berada 
di sebuah tanah lapang luas yang tanahnya berwarna putih seperti 
tanah kapur! Pemuda ini berdiri dalam keadaan tidak berdaya, karena 
tubuhnya terpancang di sebuah tiang baja yang dibuat sedemikian 
rupa sehingga kedua tangan dan kakinya terpentang Dan yang 
membuatnya tidak bisa bergerak adalah adanya belenggu baja besar 
yang melilit pergelangan tangan dan kakinya, juga pada tubuh dan 
lehernya. 

Begitu melihat ke sisinya, tampak Tungga Dewi dan Nenek 
Lestari pun mengalami hal yang sama. Hanya saja kedua orang itu 
belum sadar dari pingsannya. Sekarang Arya tahu, sesuatu yang 
mencekal kedua pergelangan kalanya pasti orang-orang yang 
melubangi perahu mereka. Setidak-tidaknya kawan merekalah yang 
melakukan semua ini. 

Perhatian Arya langsung beralih ke depan. Tepat berhadapan 
dengannya, tampak dua sosok tubuh juga mengalami hal yang sama 
dengannya. Hanya saja, salah seorang dari mereka tengah disiksa 
dengan sebuah cambuk berduri! Menilik dari luka-lukanya yang 
cukup parah mengalirkan banyak darah, orang itu telah disiksa cukup 
lama! 

"Cukup!" 

Tiba-tiba kembali terdenpr seruan keras berwibawa dari 
seseorang berpakaian merah yang duduk di sebuah bangku indah dan 
mewah, membuat sosok yang berdiri membelakangi Arya dan dua 
rekannya menghentikan ayunan cambuk berdurinya. Setelah melipat 
cambuknya, laki-laki botak dan berkulit merah itu berjalan 
meninggalkan tempat ini. Lalu dia menjura memberi hormat pada 
laki-laki yang duduk di bangku indah dan mewah dengan sikap agung 
itu. Di kanan kirinya berdiri dua orang berkulit putih. Sementara, di 
selatar tempat itu tampak sosok-sosok berkulit beraneka macam 
warna. 

Tanpa diberi penjelasan, Arya segera tahu kalau dia dan 
kawan-kawannya jatuh ke tangan kelompok orang yang mempunyai 
sebuah kerajaan kedi, di pulau yang memiliki tanah kapur ini. Dan 
orang yang duduk dengan sikap agung di bangku mewah dan indah 
itu pasti rajanya. 

Hanya ada satu yang masih menjadi teka-teki bagi Arya, 
mengapa kulit tubuh mereka berwarna-warni? 




Lelaki agung yang duduk di kursi mewah dan indah memberi 
isyarat pada lelaki berkulit putih yang berdiri di sebelah kanannya. 
Lelaki berkulit putih itu pun mengayunkan kakinya menghampiri dua 
sosok yang terbelenggu di depan Dewa Arak. Dan langkah kaki n ya 
berhenti ketika telah berada tepat di depan sosok terbelenggu yang 
masih mengucurkan darah. 

"Kau membuat kami hilang sabar, Tua Bangka Bau Tanah! 
Padahal, apa sih artinya peti itu bagimu?! Mengapa kau bersikeras 
mempertahankannya?! Dan sekarang, peti itu telah hilang. Maka, kau 
harus bertanggung jawab! Kalau sejak dulu kau memberikannya pada 
kami, tentu semua ini tidak akan teijadi. Dan kami tidak akan 
melakukan tindakan kekerasan terhadapmu!" kata lelaki berkulit 
putih ini. 

Sosok yang diajak bicara adalah seorang kakek bertubuh 
tinggi. Bahkan terlalu tinggi untuk ukuran manusia. Namun tubuhnya 
kurus, seperti tidak memiliki daging saja. Seakan-akan, tulang- 
belulangnya hanya dilapisi kulit. Dengan tidak adanya pakaian di 
tubuhnya, tampak jelas tonjolan tulang-belulangnya di sana-sini. 
Apalagi, dia terbelenggu dengan cara seperti itu. Wajahnya tidak 
terlihat jelas, karena menunduk! 

"Tidakkah kalian bisa membiarkannya tenang sedikit?! Dia 
masih menderita, karena siksaan yang kalian berikan! Percuma saja 
berpidato di depannya Dia tidak akan bisa mendengar!" 

Terdengar sahutan yang ternyata berasal dari sosok lain yang 
terbelenggu di sebelah kiri kakek jangkung kurus Sosok itu yang tadi 
mengeluarkan makian-makian, karena tidak tahan melihat kakek 
jangkung kurus disiksa. Dia ternyata seorang kakek yang keadaannya 
lebih mengenaskankan daripada kakek jangkung. Kakek yang 
berangasan ini berpakaian putih longgar. Rambutnya panjang terurai, 
dan berwarna putih bagaikan benang-benang perak. Tapi yang 
menyedihkan, dia tidak punya kaki kiri, buntung sebatas pangkal 
paha. 

"Tutup mulutmu, Orang Asing!" Berbareng ucapan itu, lelaki 
berkulit putih mengayunkan tangan menampar pipi kakek berkaki 
sebelah. Cukup keras tamparannya sehingga menimbulkan bunyi 
nyaring. Malah kepala kakek itu sampai terhentak ke samping, denpn 
selebar pipi merah bergambar telapak tanpn. Tampak menetes darah 
segar dari sudut mulutnya. Tamparan lelaki berkulit putih seperti 
kapur itu memang keras, kendati hanya sebagian kecil saja tenaga 
dalam dikeluarkan. 

"Sekali lagi membuka mulut, kepalamu kuhancurkan," ancam 
lelaki berkulit putih bernada sungguh-sungguh. 

Lelaki berkulit putih itu kemudian memberi isyarat pada 
kerumunan orang yang berkulit warna-warni. Dan dari sana keluar 
seorang lelaki berkulit merah. Sambil mengjinjing sebuah tong air dari 
bambu di tangan kanan. 

Arya merasa jantungnya berdetak jauh lebih cepat, ketika 
melihat lelaki berkulit putih dan lelaki berkulit merah itu berjalan 
menuju Tungga Dewi yang masih tergolek pingsan. Bisa diduga, untuk 
apa air di dalam ember itu. 

"Hentikan...!" seru Arya, keras. Lelaki berkulit putih itu 
langsung menoleh. Sepasang matanya menatap Arya, memancarkan 
sinar berapi. Lelaki ini ternyata memiliki watak aneh, yakni tidak suka 
bila tindakannya dicegah orang! 

"Tutup mulutmu! Kau akan mendapat gilirannya nanti!" 

Bukkk! 

"Huldi!" 

Kepala Arya agak tertunduk, ketika sodokan tangan lelaki 
berkulit putih itu mendarat di perutnya. Seketika rasa mual yang amat 
sangat menyerang perutnya. Namun, bukan Dewa Arak kalau menda¬ 
pat gertakan seperti itu saja langsung mundur. 

"Pengecut-pengecut Hina! Kalian rupanya hanya berani 
menghadapi wanita yang tidak berdaya, dan terbelenggu! Lepaskan 
aku. Dan, man kita bertarung sampai ada yang menggeletak tak 
bernyawa!" 

Tapi lelaki berkulit putih seperti kapur ini rupanya tidak 
berkeinginan untuk meladeni ucapan-ucapan Arya. Lagi pula, dia 
tidak merasa nyaman menjatuhkan tangan terhadap orang tidak 
berdaya. Dan dia yakin akan menang, bila pemuda berambut putih 
keperakan itu dalam keadaan bebas, sekalipun mengajaknya 
bertarung. 

Byurrr! 

Tungga Dewi gelagapan ketika seember air dingin menerpa 
tubuhnya. Kebetulan saat ini gadis itu memang sudah hampir sadar, 
maka siraman tadi langsung membuatnya sadar. 

"Kau kenal dia?!" tuding lelaki berkulit putih. 

Tungga Dewi menatap lelaki berkulit merah yang dituding 
lelaki berkulit putih. Hanya sekilas saja. Bahkan sikapnya seperti tidak 
peduli. Kemudian kepalanya ditundukkan. Sikap yang ditunjukkan 
Tungga Dewi benar-benar merendahkan si Penanyanya sekali. 

Lelaki berkulit putih menggemeretakkan gigi saking 
marahnya melihat tingkah Tungga Dewi. Dia tahu, gadis berpakaian 
kuning itu merendahkan dirinya. Pertanyaannya sama sekali tidak 
dianggap. Dia menduga kalau Tungga Dewi berani bersikap demikian, 
karena belum mendapat hajaran sama sekali. 

Plakkk! 

Dengan keras tangan kanan lelaki berkulit putih itu 
menghajar telak pipi kanan Tungga Dewi hingga sampai berpaling 
dengan pipi kanan berwarna me-fah bergambar telapak tangan. Malah 
ada darah yang menetes di sudut-sudut mulut murid Nelayan Tenaga 
Gajah ini. 

"Sekarang bersikaplah yang sopan terhadapku, sebelum aku 
melakukan tindakan lebih keras!" ancam lelaki berkulit putih ini. Dia 
yakin kali ini, gadis itu tidak banyak tingkah. 

"Cuhhh!" 

Hampir terlepas sepasang mata lelaki berkulit putih ini ketika 
melihat sambutan yang diberikan Tungga Dewi atas ancamannya. 
Dengan beraninya, gadis itu meludah ke tanah. 

Arya melihat adanya kilatan ancaman pada sepasang mata 
lelaki berkulit putih itu. Dia tahu, saat ini lelaki berkulit putih itu 
berada dalam puncak kemarahan karena perasaan tersinggungnya 
mendapat hinaan di hadapan orang banyak. Dewa Arak merasa 
khawatir sekali akan keselamatan Tungga Dewi! Dia tahu dalam 
keadaan seperti itu, lelaki berkulit putih ini mampu bertindak apa 
saja! 

"Muka Pucat, Manusia Penyakitan! Mengapa kau hanya 
beraninya pada seorang wanita?! Kalau bukan pengecut, hadapilah 
Arya Buana!" seru Arya untuk mengalihkan perhatian lelaki berkulit 
putih dari Tungga Dewi. 

Seruan Dewa Arak sama sekali tidak menarik perhatian lelaki 
berkulit putih kapur. Dan bahkan, malah menarik perhatian kakek 
berkaki sebelah. Padahal, kakek ini tadi berdiri diam dengan mata 
terpejam, ketika melihat kakek jangkung disiksa. Dan kini matanya 
terbuka dan menatap ke arah pemilik seruan. Seketika dia menjadi 
kaget! Sepasang matanya terbelalak lebar ketika melihat pemuda 
dengan ciri-ciri seperti ini pernah dilihatnya di.., 

Cermin Ajaib! 

"Dewa Arak..!" seru kakek berkaki buntung sebelah denpn 
suara terbata-bata. Sungguh tidak disangka akan dapat bertemu 
pendekar yang tengah dicarinya, di sini "Bukankah kau, Dewa 
Arak...?! Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan?!" 

Dewa Arak terpaksa mengalihkan perhatian, menatap kakek 
berkaki sebelah. Dia tidak merasa heran melihat orang mengenalnya. 
Bukan apa-apa. Julukannya memang telah mengguncangkan dunia 
persilatan. Dan ciri-cirinya yang memang khas tentu saja membuat 
orang gampang mengenalinya. 

"Benar, Kek," jawab Arya sambil mengangguk. Pemuda 
berambut putih keperakan ini mencoba tersenyum, kendati saat itu 
merasa cemas akan keselamatan Tungga Dewi. 

"Apakah kau telah bertemu Guraksa, Dewa Arak?!" 

Pertanyaan kakek berkaki sebelah itu membuat Arya yang 
tengah memperhatikan Tungga Dewi dan lelaki berkulit putih, jadi 
berpikir. Dia berdiam diri beberapa saat lamanya, dan kembali 
mengalih kan perhatian pada kakek berkaki sebelah itu. 

"Kau..., kau... siapa...?!" Arya yang saat itu tenph 
mengkhawatirkan keselamatan Tungga Dewi, tidak mampu berpikir 
apa-apa. Dia tidak ingat kalau Guraksa mendapat perintah dari 
seorang teman. Benak pemuda berambut putih keperakan ini seperti 
buntu. 

"Apakah Guraksa tidak menyampaikan pesan padamu?!" 
tanya kakek berkaki sebelah kembali. 

Pertanyaan Dewa Arak memberi pengertian kalau pemuda 
berambut putih keperakan ini telah bertemu Guraksa. 

"Aku adalah orang yang menitipkan pesan padanya!" lanjut 
kakek itu. 

"Kau... kau... Penjaga Alam Gaib?!" duga Arya yang akhirnya 
teringat, setelah tercenung sejenak. 

"Benar.... Dan..." 

Breettt! 

Hanya sampai di situ jawaban kakek berkaki sebelah, begitu 
di sebelahnya terdengar bunyi kain robek dan jeritan tertahan 
bernada kaget dan takut yang amat sangat dari mulut Tungga Dewi! 

Lelaki berkulit putih itu ternyata telah merenggut baju 
Tungga Dewi di bagian dada hingga robek lebar. Tampak dua bukit 
yang indah menggiurkan dan menantang mencuat, seakan-akan 
hendak melompat keluar. Begitu putih mulus dan puting yang merah 
segar, membuat semua mata terbelalak lebar. 

"Hentikan...!" teriak Arya keras. 

Lelaki bermuka putih itu tersenyum penuh kemenangan. 

"Bagaimana? Apakah kau masih berkeras melanjutkan 
sikapmu yang tidak sopan itu, Nisanak?! Ingat, aku bisa bertindak 
lebih kasar jika memang kau inginkan!" tandas lelaki berkulit putih 
ini. 

"Aku..., akan menjawab pertanyaanmu. Tapi, harap kau tidak 
melanjutkan perbuatan ini...?!" pinta Tungga Dewi dengan tubuh 
menggigil karena perasaan takut yang amat sangat 

"Ingat...!" Lelaki berkulit putih seperti kapur langsung cepat 
menyambung ucapan Tungga Dewi dengan suara bergetar penuh 
tekanan. "Sekali lagi kau bersikap meremehkan, tubuhmu akan habis 
dipermainkan sekian banyak lelaki yang berada di sini!" 

"Aku..., a ku tidak akan melakukan tindakan itu.... Aku 
berjanji...!" Tungga Dewi memberi keyakinan terhadap lelaki berkulit 
putih, meskipun dengan suara terbata-bata. 

"Bagus! Kuingat janjimu itu!" Lelaki berkulit putih tersenyum 
dengan sinar mata memancarkan kemenangan. "Sekarang jawab 
pertanyaanku. Apakah kau kenal dengan dia?!" 

Tungga Dewi menatap lelaki berkulit merah yang ditunjuk 
lelaki berkulit putih itu. Sekali lihat saja, dia langsung mengangguk. 

"Dia merupakan salah seorang dari tiga lelaki berkulit aneh 
yang menyerangku dan guruku!" jawab Tungga Dewi, mantap. 

"Aku tidak peduli. Yang ingin kuketahui, mana peti yang 
kalian perebutkan itu?!" 

Bukan hanya Tungga Dewi yang berubah wajahnya. Bahkan 
juga Dewa Arak! Kelompok orang berkulit aneh itu rupanya 
bermaksud mendapatkan peti itu! Apakah mereka telah mengetahui 
isinya pula? Dan kalau benar demikian, mengapa? 

"Cepat jawab f' desak lelaki berkulit putih. "Aku bukan sejenis 
orang yang sabar! Atau..., kau ingin aku melakukan tindakan yang tadi 
belum ku teruskan?!" 

"Sabar," Tungga Dewi buru-buru berseru mencegah. 
"Bukannya aku tidak mau menjawab. Tapi..., apakah penyerang- 
penyerangku dan guruku itu tidak menceritakannya?!" 

"Apa maksudmu?! Cepat jelaskan sebelum kesabaranku 
hilang!" tandas lelaki berkulit putih. 

"Tidak ada seorang pun dari kami atau mereka yang 
mendapatkan peti itu!" tegas Tungga Dewi. 

"Karena, peti itu telah hilang entah ke mana!" 

"Bohong!" teriak lelaki berkulit merah keras. 

"Aku tidak bohong!" Tungga Dewi tidak kalah keras berteriak. 
"Pantang bagiku untuk berbicara dusta!" 

"Diam...!" 

Lelaki berkulit putih itu mengeluarkan seruan yang lebih 
keras. Rupanya dia jengkel mendengar perdebatan antara Tungga 
Dewi dengan lelaki berkulit merah. 

"Tapi aku tidak bohong!" 

Tungga Dewi yang memiliki watak tidak mau dibantah 
langsung menyambuti. Untuk sesaat, dia lupa akan ancaman 
hukuman yang akan diterimanya dari lelaki berkulit putih. 

"Seorang pemuda berbaju coklat yang mendapatkannya f' jelas 
gadis itu. 

"Benarkah demikian?!" tanya lelaki berkulit putih pada lelaki 
berkulit merah. "Ini..., ini...." 

Lelaki berkulit merah yang tidak menyangka akan jawaban 
Tungga Dewi, dan juga tidak menyangka akan mendapatkan 
pertanyaan seperti itu, jadi kelabakan. 

"Itu benar!" Tungga Dewi menyelak. "Itulah sebabnya, 
pemuda yang sebenarnya tidak sakti itu menjadi demikian sakti, 
sehingga semua yang berada di tempat itu dikalahkannya! Peti yang 
kalian maksudkan itulah yang menyebabkannya menjadi demikian 
sakti! Roh jahat dari jasad dalam peti itu telah menyusup ke dalam 
pemuda berbaju coldat sehingga menyebabkannya menjadi sakti. " 

"Roh jahat! Apakah kau tidak keliru bicara atau menjadi gila 
karena takutmu?! Peti itu berisi jasad?!" tanya lelaki berkulit putih, 
sambil mengernyitkan kening. 

"Wanita itu benar!" timpal Penjaga Alam Gaib yang juga 
mendengarkan percakapan itu. "Peti itu berisi jasad dari orang jahat! 
Itulah sebabnya, Sebrang Wetan tak mau memberikannya pada kalian 
dan menjaganya terus, sampai akhirnya kalian berhasil menahannya 
secara licik!" 

"Diam kau, Pincang!" sentak lelaki berkulit putih, keras penuh 
kemarahan! "Aku tidak bertanya padamu! Nisanak! Benarkah peti 
itu... maksudku berisi jasad jahat!" 

"Memang kau kira apa?! Harta karun?! Pusaka-pusaka orang 
sakti? Kau akan kecewa bila menduga demikian!" potong Tungga 
Dewi. 

"Itulah yang ada di benakmu, Nisanak?" kata lelaki berkulit 
putih. Suaranya yang lebih halus, tapi tetap bernada tajam. 

"Apa lagi?!" tukas Tungga Dewi. "Apakah kami harus 
menduga kalau kau adalah orang yang gemar mengumpulkan benda- 
benda antik untuk diletakkan di pulau ini?!" 

"Diam!" 

Lelaki berkulit putih yang memang berwatak berangasan, 
merasakan adanya ejekan di dalam ucapan Tungga Dewi. Maka 
amarahnya kembali meledak. 

"Atau..., kau ingin aku memberi hukuman?! Katakanlah, 
meski kau tidak bersalah. Tapi, kalau kau berani menghinaku, kau 
akan menerima balasannya f' ancam laki-laki berkulit putih ini. 

Tungga Dewi diam, meski dalam hatinya memaki-maki 
kalang-kabut. 

"Kau... dan semua orang kawanmu, serta kakek-kakek yang 
sudah waktunya mati itu, boleh mendengarkannya. Untuk 
membersihkan dugaan jelek yang bersemayam di hati dan di benak 
kalian, biarlah aku selaku wakil pimpinan di pulau ini memberi 
penjelasan," kata lelaki berkulit putih itu seraya menatap wajah-wajah 
tawanannya satu persatu. "Di pulau ini sejak beberapa waktu lalu, 
ditimpa bala. Mula-mula hanya seorang yang terkena, dan merasa 
mual-mual dan pusing-pusing. Tapi rasa itu langsung menyebar. 
Bahkan beberapa orang telah menjadi korban. Menurut wangsit yang 
diterima ahli kebatinan kami, penyakit itu merupakan hukuman pada 
kami, dari dewa pulau ini. Dan, menurut wangsit pula wabah penyakit 
itu akan berhenti apabila berhasil mendapatkan sebuah peti hitam 
berukir yang didapatkan oleh kau dan gurumu, Nisanak. Jelas?!" 

Hening sejenak setelah lelaki berkulit putih menghentikan 
ceritanya. Mereka semua yang ada di sini terdiam. 

"Bisa kalian bebaskan aku? Meskipun tidak berani mengaku 
ahli pengobatan, tapi sejak masih gadis aku telah bergelimang obat 
dan orang salat. Bahkan banyak penduduk yang meminta pengobatan 
padaku. Barangkali saja aku bisa menghilangkan bala yang aku yakin 
bukan hukuman dewa, tapi penyakit biasa." 

Tiba-tiba Nenek Lestari ikut angkat bicara dengan suara 
lantang Apalagi karena suasana hening. Maka semua pasang mata 
tertuju langsung padanya. 

"Aku yakin kejadian seperti yang kau katakan itu bukan 
hukuman dewa!" tegas nenek berpakaian kembang-kembang yakin. 
"Pasti hanya merupakan seranpn penyakit biasa. Dan apabila diberi 
kesempatan aku yakin akan dapat mengobati mereka!" 

"Aku terima permintaanmu, Nenek!" sambut lelaki berkulit 
putih setelah tercenung sebentar. "Tapi, ingat. Apabila kau tidak 
berhasil, kepalamu akan kami pisahkan dari tubuh. Karena, kau telah 
berani menghina desa kami. Dan juga, ahli kebatinan pulau ini! 
Jelas?!" 

"Jelas sekali!" jawab Nenek Lestari, enteng. "Tapi, aku juga 
mempunyai sebuah permintaan. Karena, kalian telah memberi syarat 
yang terlalu berat untukku." 

"Kau berani bermain gila, Nenek! Ingat..!" 

"Aku tidak akan mau mengobati! Kalau permintaanku tidak 
dipenuhi. Apa pun yang akan kau lakukan terhadapku, aku tidak 
peduli. Tapi ingat, itu berarti hilangnya kesempatan bagi mereka 
untuk sembuh! Bagaimana? Penuhi permintaanku, atau pengobatan 
ini tidak jadi dilakukan?!" nenek berpakaian kembang-kembang kalah 
gertak. 

"Katakan apa permintaanmu, Nenek!" Sebuah suara keras dan 
lantang tapi penuh wibawa tiba-tiba terdengar menggelegar di saat 
lelaki berkulit putih tengah dilanda perasaan bimbang untuk 
memberikan keputusan. 

"Kawan-kawanku ini dibebaskan dari belenggunya. Begitu 
pula dengan dua kakek di sana!" jawab Nenek Lestari mantap. 

"Gila!" 

Pemilik suara penuh wibawa yang ternyata sosok yang duduk 
di atas kursi indah langsung menggeram mendengar permintaan 
nenek berpakaian kembang-kembang itu. 

"Kau mau menipuku, Nenek! Apabila mereka dibebaskan, 
mereka akan mengamuk. Bahkan akan sulit untuk menangkapnya 
lagi! Dan itukah yang kau inginkan?! Jangan harap permohonanmu 
akan kukabulkan!" 

"Kau terlalu memandang remeh kami!" tegas Nenek Lestari. 
"Kau kira kami orang macam apa? Kami semua adalah orang-orang 
golongan putih yang menjunjung tinggi kegagahan. Sekali kami 
berjanji, maka akan terus dipegang teguh dan dipertahankan sampai 
nyawa lepas dari raga f' 

Lelaki bersikap agung yang duduk di kursi indah, tercenung 
sejenak. Sebelum akhirnya mengibaskan tangan kanannya. 

"Lepaskan mereka! Berikan obat pemulih, agar tenaga mereka 
kembali seperti sediakala!" 

Dewa Arak dan yang lain-lain sekarang sadar, mengapa tubuh 
mereka sejak tadi lemah. Padahal, mereka tidak tertotok sama sekali. 
Kiranya, mereka telah dicekoki minuman yang menyebabkan loyo, 
tidak bertenaga 




Arya dan Tungga Dewi memperhatikan saja tanpa 
mengeluarkan sepatah kata pun ketika melihat Nenek Lestari, Penjaga 
Alam Gaib, dan kakek tinggi kurus yang bernama Sebrang Wetan 
duduk bersila. Barisan duduk mereka membentuk kedudukan segi 
tiga. Tangan kanan teracung ke atas, sedangkan tangan kiri menekan 
tanah. Sepasang mata mereka masing-masing terpejam. 

Arya dan Tungga Dewi saling berpandang ketika mulai 
merasakan bulu-bulu tengkuk mulai berdiri! Hawa gaib yang kasat 
mata mulai terasa. Sepasang anak muda ini tahu kalau ilmu-ilmu gaib 
ketiga tokoh tua itu telah mulai bekerja. Hanya saja belum terlihat 
hasilnya. 

Dewa Arak mengedarkan pandangan. Dan diam-diam hatinya 
merasa kagum juga terhadap para penghuni pulau ini Mereka 
ternyata memejpng janjinya. Penghuni pulau yang memiliki kulit 
berwarna-warni itu ternyata langsung membebaskan orang-orang 
yang terkena wabah yang dianggap kutukan dewa. Wabah itu ternyata 
tidak lain hanya sebuah penyakit biasa. Dan Nenek Lestari tanpa 
menemui kesulitan berhasil menemukan obatnya. 

Pimpinan pulau ini jadi bergembira, apalagi putri satu- 
satunya yang juga terkena wabah penyakit, berhasil pula 
disembuhkan. Saking gembiranya, dia menitahkan Nenek Lestari 
untuk mengajukan sebuah permintaan. Apabila raja pulau ini mampu, 
akan dikabulkan. 

Nenek Lestari dan yang lainnya berunding. Dan atas usul 
Penjaga Alam Gaib, akhirnya mereka hanya minta sebuah tempat yang 
agak tersembunyi, dan tidak ingin diganggu. Maka raja pulau ini pun 
menyetujuinya. Dan itulah sebabnya, sejauh Arya mengedarkan 
pandanpn, tidak satu pun orang-orang pulau yang terlihat. Lagi pula, 
tempat ini memang sukar dilihat orang, terapit dua buah tebing 
dengan ketinggian yang berbeda. Pantai yang membentang sekitar 
belasan tombak di depan, serta dataran yang bentuknya menanjak bila 
ingin masuk ke dalam pulau, yang menjadi penyebabnya. Tempat ini 
memang bagian pantai yang hampir tidak pernah dilewati orang! 
Berarti raja pulau ini menepati janji! 

"Uh!" 

Hampir berbarengan, Arya dan Tungga Dewi mengeluarkan 
keluhan tertahan, ketika dari atas kepala tiga sosok ringlah yang 
berada tak jauh di depan, mengepul asap putih tebal. Tiga asap itu 
meliuk-liuk ke atas, sebelum akhirnya bertemu di udara. Langsung 
saling melilit dan saling gumpal Tanpa diberitahu, Dewa Arak yang 
sudah berpengalaman telah bisa memperkirakan kalau ketip tokoh 
yang telah bau tanah ini tengah menyatukan kemampuan. 

Byarrr! 

Bagai telah disepakati sebelumnya, Arya dan Tungga Dewi 
sama-sama melangkah ke belakang karena kaget, ketika di dinding 
salah satu tebing yang agak rata tampak sebuah gambar yang jelas! 
Ternyata gambar yang tertera di dinding tebing itu adalah gambar... 
pemuda bernama Karpala yang telah sakti akibat kemasukan roh 
tokoh hitam dari masa lima ratus tahun lalu. Dan konon, tokoh ini 
bernama Garba Baureksa! 

Meskipun terkejut, Arya masih khawatir. Bahkan hatinya 
tegang ketika melihat gambar-gambar lain yang ada. Tokoh hitam 
yang menggiriskan itu tengah berhadap-hadapan dengan tokoh lain. 

Sosok yang berdiri di depan Garba Baureksa tidak hanya 
seorang, tapi dua. Yang seorang adalah kakek kurus kering berwajah 
tirus mirip tikus, dan berpakaian dari kulit ular. Usianya tak kurang 
dari tujuh puluh lima tahun. Sedangkan sosok yang kedua adalah 
seorang gadis berusia selatar dua puluh tahun. Wajahnya cantik jelita, 
laksana bidadari. Apalagi dengan rambutnya yang panjang terjurai, 
dan pakaian warna putih yang dikenakannya. Terhadap sosok yang 
kedua inilah, pandangan Arya tertuju. 

"Melati...," desis Arya, tanpa berkedip. Sorot mata dan nada 
ucapan pemuda berambut putih keperakan ini sarat denpn 
kerinduan. 

Tungga Dewi yang berdiri di sebelah Arya tentu saja melihat 
sikap itu. Dan terutama sekali ucapan pemuda berambut putih 
keperakan ini. Dan Tungga Dewi bukan gadis bodoh yang tidak bisa 
melihat perbedaan sikap Arya, ketika melihat gambar gadis 
berpakaian putih. Perasaan tidak nyaman mulai timbul di hatinya. 
Tiba-tiba saja, tanpa mampu dicegah pdis berpakaian kuning ini. 
Bukan hanya itu saja. Malah mendadak, Tungga Dewi merasa tidak 
suka terhadap gadis berpakaian putih itu. 

"Kau mengenalnya, Arya...?!" tanya Tungga Dewi, agak ketus 
nadanya. 

Tapi Arya yang tengah merasa kaget karena tidak menyangka 
akan melihat Melati yang berhadapan dengan Garba Baureksa, tidak 
merasakan nada ucapan dan sikap gadis berpakaian kuning itu. Semua 
perhatian Dewa Arak tengah terpusat pada Melati yang disangka 
masih berada di Kerajaan Bojong Gading Masih dengan perhatian dan 
sepasang mata tertuju ke sana, Arya mengangguk tanpa mengeluarkan 
sepatah kata pun sebagai jawaban. 

Hati Tungga Dewi semakin panas melihat sikap Dewa Arak. 
Dengan sorot mata sengit, ditatapnya gambar Melati Apa sih, 
kelebihan gadis berpakaian putih itu, sehingga Dewa Aiak kelihatan 
demikian lupa diri ketika melihatnya? Tungga Dewi bertanya dalam 
hati. Padahal, gadis berpakaian kuning ini yakin kalau kecantikannya 
tidak akan kalah! 

"Dia memang cantik... " Tungga Dewi berujar dengan suara 
dan tarikan wajah kaku. "Tapi, sayang., umurnya tidak akan panjang 
Garba Baureksa akan segera mengirimkannya ke alam baka!" 

Arya terjingkat ke belakang bagai disengat kelabang 
Wajahnya kontan putih seperti kapur, karena perasaaan cemas yang 
menggelegak. Pertemuannya dengan Melati yang tidak diduga sama 
sekali, membuatnya tidak teringat kalau saat itu Melati tengah 
berhadapan dengan Karpala yang di dalamnya terdapat roh Garba 
Baureksa! Ini berarti keselamatan gadis berpakaian putih itu 
terancam! 

Kesadaran ini membuat Arya jadi seperti kakek-kakek 
kebakaran jenggot. Dia ingin bertindak, tapi tak tahu harus berbuat 
apa. Di mana, keberadaan Melati dan Garba Baureksa itu saja, belum 
bisa diketahuinya. Tempat mereka memang belum terlihat jelas. 

Tidak ada yang dapat dilakukan Dewa Arak kecuali 
menunggu Nenek Lestari, Penjaga Alam Gaib, atau Sebrang Wetan, 
selesai dengan kesibukannya. Dan, Arya merasakan sendiri betapa 
tidak enaknya menunggu, tanpa ada sesuatu yang dapat dilakukan. 

Sementara di dinding tebing, gambar-gambar yang 
terpampang mulai menunjukkan ketegangan. Garba Baureksa tampak 
mulai bersikap melakukan tindakan terhadap laki-laki kurus yang 
ternyata Kuru Sanca dan Melati Tapi, mendadak keadaan jadi 
berubah. Garba Baureksa menghentikan ayunan kalanya yang tenph 
mendekati Kuru Sanca dan Melati. Pemuda berkumis tipis ini 
menolehkan kepala ke kanan. Sementara sepasang matanya yang 
berwarna merah seperti mengeluarkan sinar berapi ketika menatap. 

"Berani benar kalian, mengintip semua yang tenph 
kulakukan?! Apakah kalian sudah kepingin mati cepat-cepat?! Huh?! 
Tidak akan kubiarkan kalian mengintai semua gerak-gerikku!" 

Garba Baureksa mengguratkan tangannya ke bawah. Dan 
akibatnya, semua gambar yang semula terpampang di dinding, lenyap. 

"Hhh...!" 

Penjaga Alam Gaib, Nenek Lestari, dan Sebrang Wetan hanya 
menghela napas berat sambil menghentikan semadi Tarikan wajah 
mereka menyiratkan kecemasan yang tidak bisa disembunyikan. 

"Apa yang terjadi, Kek, Nek?!" Arya yang sudah tidak sabar 
untuk segera mengetahui nasib Melati, langsung menghambur dan 
mengajukan pertanyaan. 

"Kami tidak bisa lagi mengetahui gerak-gerik makhluk 
terkutuk itu. Dia telah berhasil menutupi, atau lebih tepatnya lagi 
membuat tabir itu terhapus," jelas Penjaga Alam Gaib, dengan wajah 
keruh. 

Arya yang mengkhawatirkan keselamatan Melati, seperti 
tidak mendengar jawaban itu. Yang ada di benaknya saat ini adalah 
Melati. 

"Maksudku..., di manakah kira-kira iblis terkutuk itu berada, 

Kek?!" 

"Kau jangan bertindak sembarangan, Arya." 

Penjaga Alam Gaib yang bisa menduga ke mana arah 
pertanyaan Arya, langsung memberi teguran. Dia memang sudah 
mengenal pemuda berambut putih keperakan itu. 

"Iblis itu terlalu berbahaya. Aku tahu, kau lihai. Tapi 
kepandaian iblis itu benar-benar di luar jangkauan pikiran manusia. 
Kau tidak akan mampu menghadapinya, Dewa Arak Tunggulah, 
sampai kami menemukan suatu cara untuk mengalahkannya." 

"Kalau menuruti perasaan, aku tidak keberatan untuk 
menuruti anjuranmu. Tapi, sayang sekali, Kek. Aku tidak bisa, karena 
di sana seorang kawan terbaikku tengah berada dalam ancaman maut. 
Dia tengah berhadapan dengan iblis jahanam itu!" ujar Arya. 

"Gadis berpakaian putih itu?!" tebak Penjaga Alam Gaib, 
sambil tersenyum getir. 

"Bagaimana kau bisa menduga demikian, Kek?!" tanya Arya, 
agak heran. 

"Mudah saja," jawab Penjaga Alam Gaib sambil mengelus-elus 
jenggot. "Saat itu, yang berhadapan dengan iblis jahanam hanya dua 
orang. Kakek berpakaian kulit ular itu adalah kawanku. Maka kawan 
yang kau maksudkan itu pasti yang lain. Karena, kawanku itu tidak 
mengenalmu, Dewa Arak!" 

"Ah! Begitu kiranya?!" Arya mengangguk-angguk maklum. 
"Apakah kau tidak mengkhawatirkan keselamatannya, Kek?!" 

"Tidak ada yang dapat kulakukan, Arya," keluh Penjaga Alam 
Gaib. "Andaikata aku menyusul ke sana dan berusaha menolong, 
hanya akan menambah korban. Biarlah aku berusaha dari sini. Hanya 
saja, ada sesuatu yang memberatkan pikiranku." 

"Boleh kutahu, Kek?!" hati-hati sekali Arya memberi 
tanggapan. 

"Tentu saja, Arya," tukas Penjaga Alam Gaib. "Sebelumnya 
hendak kuberitahukan, kalau aku mempunyai dua kawan 
sepengasingan. Kami menyepi bersama-sama. Karena suatu sebab, aku 
terpaksa menuju Pulau Setan. Sementara Guraksa menemuimu, Kuru 
Sanca kawanku yang berompi ular itu, menjaga goa tempat kami 
menyepi. Karena di dalam goa terdapat sebuah benda pusaka, benda 
warisan leluhurku, yang bernama Cermin Ajaib. Aku yakin, dia tidak 
akan meninggalkan tempat penjagaan kalau tidak terjadi sesuatu yang 
tidak diinginkan." 

"Jadi.., Kuru Sanca telah meninggalkan tempat penjagaan, 

Kek?!" 

Penjaga Alam Gaib mengangguk. 

"Benda itu amat berbahaya, apabila terjatuh ke tangan orang 
yang tidak bertanggung jawab. Dan kegunaan Cermin Ajaib untuk 
menghadapi roh yang menitis pada murid Perguruan Pedang 
Halilintar, belum diketahui tapi yang jelas, benda itu berguna. Entah 
apa sebabnya, Kuru Sanca sampai meninggalkan tempat penjagaan 
dan berada di sekitar Hutan Jati." 

"Biar aku yang akan menengok Cermin Ajaib itu, Kek. 
Sekaligus, aku hendak melihat keadaan mereka berdua. Mudah- 
mudahan saja mereka tidak menjadi korban kebiadaban Garba 
Bau reksa!" ujar Arya cepat menawarkan diri. 

Penjaga Alam Gaib tercenung sebentar, sebelum akhirnya 
mengangguk. 

"Baik juga usulmu itu, Arya." 

Kemudian secara ringkas tapi jelas, Penjaga Alam Gaib 
memberitahukan tempat penyepiannya selama ini, dan juga tempat 
Garba Baureksa saat ini berada. 

"Kalau begitu, sekarangjuga kami akan berangkat, I<ek Nek," 
Arya langsung berpamit 

"Biar aku mengantarmu, Arya!" Tungga Dewi menawarkan 

diri. 

"Tapi, Tungga Dewi...." 

"Kebetulan, aku juga hendak mencari guruku, Arya. Aku 
hendak ke pantai. Dari pada kita sendiri-sendiri, lebih baik bersama- 
sama. Dan lagi dengan adanya aku, kau tidak akan repot-repot men¬ 
cari arah menuju ke pantai lagi. Bagaimana?!... Setuju?!" 

Arya hanya bisa mengangkat bahu. Dia tahu, menolak lagi 
hanya akan mempermalukan Tungga Dewi. Dan gadis berpakaian 
kuning itu bisa salat hati. Arya hanya berharap, Tungga Dewi segera 
bertemu gurunya. Paling tidak agar gadis berpakaian kuning itu tidak 
mendapatkan alasan lagi untuk pergi bersamanya. 


*** 


Deru napas memburu mengiringi ayunan kaki seorang gadis 
berpakaian putih yang tengah berlari-lan. Ayunan kalanya tidak 
beraturan, seperti tidak memperhatikan sekelilingnya. Wajahnya 
tampak tegang bukan main. Tapi, tidak terlihat sedikit pun adanya 
peluh yang mengalir. Memburunya napas gadis berpakaian putih ini 
bukan karena lelah, melainkan karena perasaan takut yang sangat dan 
tegang. 

Suatu keanehan lagi, gadis berpakaian putih itu berlari tidak 
melalui jalan tanah terbuka, serta enak dilalui Yang ditempuh malah 
tempat-tempat yang banyak dipenuhi kerimbunan semak lebat. 
Bahkan di antaranya mempunyai duri-duri tajam, siap mengoyak 
kulit. 

Gadis berpakaian putih sampai melentingkan tubuh ke depan, 
seiring jeritan kaget dari mulutnya. Sewaktu hendak menerobos 
kerimbunan pepohonan dan semak-semak di depannya, tiba-tiba 
telah berdiri sesosok bayangan coklat. 

Sosok bayangan yang menempuh arah berlawanan pun kaget 
juga. Terbukti dia pun melenting ke belakang, dan mengeluarkan 
seruan kaget pula. Masing-masing pihak berjungkir balik di udara be¬ 
berapa kali, sebelum akhirnya menjejakkan kala di tanah. 

"Ah! Kau..., Dara...!" 

"Kiranya kau, Melati Mengejutkan aku saja. Kukira tadi 
kelinci!" sosok berpakaian coklat yang membuat gadis berpakaian 
putih, kaget ikut pula membuka suara. Dia ternyata Dara. Sementara, 
gadis berpakaian putih tak lain dari Melati. 

Dua gadis yang sama-sama cantik berkepandaian tinggi ini, 
saling tatap. Sepasang mata mereka satu sama lain menelusuri dari 
ujung rambut sampai ujung kaki. 

"Mengapa kau sendiri saja, Melati?! Mana Kuru Sanca?!" tanya 
Dara, setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling. 

Dan ternyata Melati hanya sendiri saja. Tapi, selesai 
mengajukan pertanyaan dia baru melihat keadaan Melati. 

"Kau... Melati, wajahmu demikian pucat. Apa yang terjadi?" 
tanya Dara lagi. 

"Tokoh yang tidak patut menjadi seorang manusia, mengejar- 
ngejarku! Dia memiliki kepandaian mengerikan! Bahkan Kakek Kuru 
Sanca telah tewas di tangannya dengan mudah f' jelas Melati. 

"Ah...! Begitukah...?!" 

Tanpa disuruh Melati segera menceritakan pengalamannya 
bersama Kuru Sanca. 


*** 


Dalam perjalanannya bersama Kuru Sanca, yakni ketika 
mereka berpisah dengan Dara, Melati menceritakan kalau sedang 
mencari seorang pemuda berambut putih keperakan yang memang 
Dewa Arak. 

Mendengar julukan Dewa Arak disebut, Kuru Sanca terkejut, 
karena seorang kawannya justru sedang bertugas mencari Dewa Arak, 
yang memang sangat dibutuhkan. 

Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak Di 
tengah perjalanan, Kuru Sanca dan Melati bertemu Karpala, alias 
Garba Bau reksa. Maka, terjadilah pertarungan yang menyebabkan 
Kuru Sanca tewas. Sedangkan Melati masih untung bisa meloloskan 
diri, ketika Garba Bau reksa dengan tenaga batinnya mampu melempar 
tubuhnya. Untung Melati jatuh du tempat yang empuk, dan langsung 
melarikan diri. Setelah menyadari kalau Garba Baureksa tak mungkin 
bisa dihadapi 

"Itulah pengalamanku, Dara. Aku tidak yakin kalau makhluk 
iblis itu akan melepaskanku begitu saja! Kurasa dia masih mengejarku. 
Bahkan bukan tidak mungkin dapat muncul di sini secara tiba-tiba f' 
Melati men^khiri ceritanya sambil menoleh ke sana kemari. 

"Tidak salahkah ciri-ciri yang kau sebutkan itu, Melati?!" 
tanya Dara tanpa mempedulikan kekhawatiran Melati. "Benarkah dia 
mengenakan pakaian coklat, pemuda tampan, bertubuh tepp berisi, 
dan berkumis tipis." 

"Benar, Dara. Aku yakin betul demikian ciri-cirinya. Bahkan, 
maaf aku melihat adanya tanda yang sama pada bagian dada kiri 
pakaiannya. Maksudku, tanda yang sama dengan yang ada di 
pakaianmu! Pedang dan kilatan-kilatan halilintar!" tegas Melati yakin. 
"Apakah dia pun berasal dari Perguruan Pedang Halilintar pula seperti 
halnya dirimu?!" 

"Kalau aku tidak salah mengira-ngira, orang itu adalah yang 
menyebabkan aku keluar ke dunia persilatan! Ka... Karpala...," desah 
Dara sambil menundukkan kepala. 

"Kau...?!" Melati membelalakkan sepasang matanya. "Jadi..., 
tujuanmu sama denganku?! Mencari..., ngg... kawan baik?!" 

Dara mengangguk, setelah terlebih dulu menatap Melati 
sekilas. Dia kelihatan malu sekali mengakuinya. Tapi, Melati menjadi 
penasaran karenanya. 

"Apakah setiap murid Perguruan Pedang Halilintar memiliki 
ilmu kepandaian setinggi itu?!" desak Melati. 

Gadis ini memang hampir tidak percaya kalau pemuda 
berkumis tipis yang membuat Kuru Sanca tewas, dan bahkan 
mengalahkan dirinya secara mudah, adalah seorang murid Perguruan 
Pedang Halilintar! Kalau muridnya saja memiliki tingkatan seperti itu, 
bagaimana pula dengan gurunya? Sukar bagi Melati untuk 
memikirkannya. 

"Itulah yang mengherankan aku, Melati," desah Dara disertai 
hembusan napas berat. "Kalau melihat ciri-ciri yang kau sebutkan, 
orang itu pasti murid Perguruan Pedang Halilintar yang kucari, 
Karpala. Tapi, mungkinkah kepandaiannya setinggi itu? 
Sepengetahuanku, kepandaiannya biasa saja. Bahkan masih berada di 
bawahku. Jadi tidak mungkin dia dapat mengalahkan Kuru Sanca dan 
kau. Apalagi, dengan cara seperti itu! Di perguruan kami tidak ada 
pelajaran ilmu-ilmu seperti itu." 

Melati terdiam. Dara juga diam. Suasana menjadi hening sejenak. 

"Bagaimana kalau kita ke sana dan menjumpainya? Barangkali 
saja dia itu benar Karpala. Dan jika benar, aku akan menegurnya. 
Bahkan mungkin memberikan hajaran atas tindakannya yang 
demikian lancang!" 

Melati jadi bimbang, tapi hanya sesaat. Dia adalah seorang 
gadis yang memiliki watak keras. Melihat Dara berani, mengapa dia 
tidak? Maka, walaupun hatinya masih diliputi kengerian, kepalanya 
mengangguk. 

Dua gadis yang sama-sama cantik, dan berkepandaian tinggi 
ini pun melesat menuju ke tempat dia dan Kuru Sanca bertemu Garba 
Baureksa. Melati bertindak sebagai petunjuk jalan. Dan karena tempat 
itu tidak terlalu jauh, sebentar saja mereka telah tiba. 

Harapan Melati dan Dara langsung buyar ketika tidak 
menemukan adanya Garba Baureksa di sana. Tokoh yang 
menggiriskan hati itu telah tidak berada lagi di situ. Yang tinggal 
hanya Kuru Sanca dalam keadaan mengerikan. Tubuhnya tergolek 
dan berkubang darah yang keluar dari mulut, hidung, dan telinga. 

Melati dan Dara bergegas mendekati, dan duduk bersimpuh 
di dekat mayat Kuru Sanca. Akhir kehidupan seorang datuk kaum 
sesat yang telah mengasingkan diri ini demikian menyedihkan. Kedua 
gadis muda ini termenung dengan raut wajah menyiratkan kedukaan. 
Susah payah diselamatkan, toh akhirnya Kuru Sanca tewas juga. 

Cukup lama Dara dan Melati termenung sebelum akhirnya 
bangkit dan bersama-sama menguburkan mayat Kuru Sanca. 

*** 

"Hhh...! Kupikir kau mampus di tengah jalan, Bongsang!" 
sambut seorang kakek berkulit hitam legam, berambut keriting Dan 
dia hanya mengenakan cawat. Tampak jelas adanya nada teguran di 
dalamnya. 

"Maaf, Setan Hitam. Aku terlambat. Ada halangan sebentar di 
jalan, tapi telah berhasil kulewati," jawab sosok laki-laki tua berkulit 
hitam dan berhidung melengkung yang dipanggil Bongsang. Ayunan 
kakinya langsung dihentikan setelah berada berjarak beberapa 
tombak dari kakek berkulit hitam legam yang tak lain dari Setan 
Hitam Tak Berjantung. 

Bukan hanya Bongsang yang berhenti di depan Setan Hitam 
Tak Berjantung, tapi juga seekor macan tutul. Binatang buas itu 
berdiri dengan sikap sangar. 

"Hmh...!" Setan Hitam Tak Berjantung mendengus. "Dan kau 
terpontang-panting karenanya, bukan?!" 

"Kau tidak usah mengejekku, Setan Hitam!" sangah Bongsang 
tak kalah keras. "Apakah kau hendak menyembunyikan kegagalan 
usahamu?!" 

"Apa maksudmu, Bongsang?! Jangan berbelit-belit!" sentak 
Setan Hitam Tak Berjantung. 

"Hambatan yang kutemukan di tengah jalan adalah Kuru 
Sanca. Dan aku pasti akan berhasil membunuhnya, kalau saja tidak 
datang penolongnya. Kau tahu, siapa mereka?!" 

Setan Hitam Tak Berjantung sama sekali tidak memberi 
tanggapan. Tapi, Bongsang tidak menjadi kedi hati. 

"Orang-orang yang menghalangi tugasku adalah Dewa Arak 
dan si Pedang Halilintar Sakti!" dusta Bongsang sambil mengamati 
selebar wajah Setan Hitam Tak Berjantung. Dia yakin, kakek 
berambut keriting itu akan terkejut. 

Setan Hitam Tak Berjantung memang terkejut mendengar 
pemberitahuan itu. Namun, dengan pandai dia dapat 
menyembunyikannya. Sehingga perubahan di wajahnya tidak tampak. 
Namun, pandangan mata Bongsang yang tajam tidak dapat ditipu. Dia 
dapat melihat dengan jelas kalau Setan Hitam Tak Berjantung 
terkejut. 

"Si Pedang Halilintar Sakti yang sombong itu?! Dia bukan 
apa-apa bagiku sekarang Mungkin, dulu termasuk lawan yang berat. 
Tapi sekarang? Jangankan dia, Kuru Sanca saja tidak kuat 
menghadapiku!" ujar Setan Hitam Tak Berjantung datar. 

"Lalu..., bagaimana dengan Dewa Arak?!" 

Bongsang agak jengkel melihat sikap Setan Hitam Tak 
Berjantung yang meremehkan. Padahal kakek berhidung melengkung 
ini tahu kalau Setan Hitam Tak Berjantung dilanda keterkejutan yang 
amat sangat 

"Dia?! Apalagi dia?! Bukti-bukti nyata mengenai 
kepandaiannya belum pernah kurasakan sendiri. Hanya kabar saja 
yang besar! Biasanya, kabar selalu dilebih-lebihkan, daripada 
kenyataan! Aku yakin, dia bukan lawan berat!" tandas Setan Hitam 
Tak Berjantung dengan sikap tidak peduli. 

"Syukurlah kalau demikian, Setan Hitam!" ujar Bongsang 
menutupi rasa jengkelnya. "Sekarang aku bisa lega, karena kau akan 
dapat mengalahkan mereka. Aku bisa memusatkan seluruh 
perhatianku pada Cermin Ajaib. Dan kau yang akan menghadapi 
kedua orang itu, karena mereka tengah dalam perjalanan menuju 
kemari! Asal kau tahu saja, Setan Hitam! Kepandaian Dewa Arak jauh 
lebih tinggi daripada si Pedang Halilintar! Padahal, si Pedang 
Halilintar yang sombong itu telah mencapai kemajuan luar biasa, bila 
dibandingkan dua puluh tahun yang lalu. Kuru Sanca, bukan apa-apa 
baginya! Selamat bertugas!" 

Lalu dengan sikap seakan tidak peduli, Bongsang 
mengayunkan kaki menuju mulut goa yang berada di belakang Setan 
Hitam Tak Berjantung. Sementara macan tutulnya yang setia, 
langsung mengikuti. 

"Tunggu sebentar, Bongsangf' 

Cegahan Setan Hitam Tak Berjantung membuat Bongsang 
menghentikan langkahnya. 

"Ada apa, Setan Hitam?!" 

Bongsang menahan rasa gembira di hati karena tahu kalau 
Setan Hitam Tak Berjantung telah terkena tipuannya. 

"Tidak apa-apa," Setan Hitam Tak Berjantung menggelengkan 
kepala. "Tapi ketahuilah, Bongsang. Goa itu telah diracuni Kuru Sanca 
sebelum melarikan diri secara curang dari tanganku. Tiga orang anak 
buahku yang kusuruh masuk ke sana telah tewas. Mereka hanya 
mengeluarkan jeritan tertahan sebagai tanda kalau telah melayang ke 
alam baka." 

Bongsang menutupi rasa jengkelnya yang kembali meluap. 
Setan Hitam Tak Berjantung benar-benar membuatnya kesal. 

"Lalu..., yang lainnya ke mana?!" 

"Gentong-gentong kosong tak berguna bekas anak buah si 
Keparat Kuru Sanca telah habis di makan ular-ular peliharaan tua 
bangka itu. Hanya murid-murid utamanya saja yang berhasil selamat, 
karena kebetulan saja tidak bertemu macan ompong itu! Mereka 
kusuruh menjemput kawan-kawan bekas anak buah Guraksa, dan 
mencari raga si Tokoh Sakti masa lima ratus tahun lalu itu," jelas 
Setan Hitam Tak Berjantung, panjang lebar. 

"Jadi, sekarang hanya tinggal kau di sini, Setan Hitam?" 

"Benar." Setan Hitam Tak Ber jantung mengangguk. "Kalau 
kau mampu menangkal racun Kuru Sanca, lebih baik kita masuk 
bersama-sama. Dengan masuk bersama, kita akan lebih cepat 
mengetahui di mana adanya Cermin Ajaib." 

Bongsang menyeringai untuk menutupi rasa jengkelnya. Dia 
tahu, Setan Hitam Tak Beijantung merasa gentar menunggu sendiri di 
luar goa ketika mendengar Dewa Arak dan Pedang Halilintar Sakti 
akan datang kemari. Tapi dengan pandainya, kakek berambut keriting 
itu memutarbalikkan alasan sehingga kegentarannya tidak kentara 

Memang, sebenarnya Setan Hitam Tak Berjantung merasa 
gentar mendengar Dewa Arak dan si Pedang Halilintar Sakti hendak 
menyatroni tempat ini. Apalagi yang dihadapi dua orang. Bagaimana 
mungkin dia dapat menghadapinya? 

"Berhenti...!" 

Terdengar suara bentakan keras yang membuat sekitar 
tempat itu bergetar hebat, ketika Setan Hitam Tak Berjantung dan 
Bongsang hendak mengayunkan kala menuju ke mulut goa. 

Bagai telah disepakati sebelumnya, Setan Hitam Tak 
Berjantung dan Bongsang berbalik. Seketika benak Setan Hitam Tak 
Berjantung telah terlontar dugaan kalau orang yang mengeluarkan 
seruan adalah salah satu dari dua tokoh sakti yang diceritakan 
Bongsang. Jadi, si Pedang Halilintar Sakti dan Dewa Arak telah tiba di 
sini demikian cepat. 

Sepasang alis Setan Hitam Tak Berjantung berkerut, ketika 
melihat dua sosok yang berlari cepat mendekati tempatnya. Memang 
terdiri dari dua sosok. Tapi kakek berambut keriting ini tahu pasti ka¬ 
lau si Pedang Halilintar Sakti tidak berada di antara keduanya. 

Hanya dalam sekejap dua sosok itu telah berjarak empat 
tombak dari Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang yang masih 
tetap berdiri, tanpa bertindak apa-apa kecuali menatap tajam. 

"Kau pasti Dewa Arak! Bukankah dugaanku tidak salah?!" 
tanya Setan Hitam Tak Berjantung, setelah memperhatikan sosok 
yang satu penuh selidik, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. 
Sosok yang satu lagi, tidak terlalu diperhatikan. Karena, hanya 
seorang gadis muda yang tidak memiliki kesan apa-apa. 

Sosok yang diperhatikan Setan Hitam Tak Berjantung 
memang Dewa Arak. Sedangkan gadis yang berada di sebelahnya, tak 
lain dari Tungga Dewi. Keduanya memang datang pada saat yang 
tepat. 

"Dugaanmu tidak salah, Kek," jawab Aiya, t-nang. "Boleh 
kutahu, siapa dirimu?!" 

"Dia..., Setan Hitam Tak Berjantung Arya," bisik Tungga 

Dewi. 

Gadis itu bisa mengenali karena telah mendengar penuturan 
gurunya. Nelayan Tenaga Gajah, mengenai datuk-datuk persilatan dan 
tokoh-tokoh terkenal lainnya berikut ciri-drinya. Dan karena melihat 
ciri-cirinya, Tungga Dewi bisa menduga kalau kakek berambut 
keriting itu tak lain dari Setan Hitam Tak Berjantung. 




"Ha ha ha...!" 

Setan Hitam Tak Berjantung tertawa bergelak. Perhatiannya 
langsung beralih pada Tungga Dewi yang sejak tadi tidak masuk 
hitungannya. Kebenaran tebakan Tungga Dewi membuat Setan Hitam 
Tak Berjantung mulai menaruh perhatian. Jarang ada orang muda 
yang mengenali julukannya. Kalau Tungga Dewi mengenalnya, berarti 
gadis ini tak bisa dianggap sembarangan. 

"Siapa kau, Cah Ayu! Dan, dari mana kau tahu namaku?!" 

"Guruku, Setan Hitam! Beliau banyak bercerita tentang 
dirimu!" jawab Tungga Dewi, lantang. 

"Setan Hitam Tak Berjantung!" tukas Arya, yang sudah tidak 
sabar lagi melihat perdebatan itu. "Apa maksudmu hendak memasuki 
goa yang tengah ditinggalkan pemiliknya?!" 

"Apa pedulimu, Dewa Arak?!" tantang Setan Hitam Tak 
Berjantung. "Apa hakmu melarangku?!" 

"Aku mempunyai wewenang dari pemilik goa ini untuk 
menjaga kesuciannya dari tangan-tangan kotor orang-orang 
semacammu!" 

"Ha ha ha...! Lucu...! Lucu sekali...! Tahukah kau, siapa 
pemilik goa ini sebenarnya?!" Bongsang yang menyambuti ucapan 
Arya. 

"Tentu saja!" jawab Arya, cepat. "Beliau berjuluk Penjaga Alam 

Gaib!" 

"Ha ha ha...!" 

Tawa Bongsang semakin keras. Bahkan Setan Hitam Tak 
Berjantung sekarang ikut-ikutan tertawa, menambah ramai suasana. 
Tinggal Dewa Arak dan Tungga Dewi yang menatap semua itu denpn 
perasaan geram. 

"Tak kusangka kalau Dewa Arak yang terkenal 
menggemparkan dunia persilatan, tak lebih dari manusia bodoh yang 
mudah dikelabui! Penjaga Alam Gaib telah ratusan tahun meninggal 
dunia! Dan tahukah kau orang yang menjadi keturunan terakhir, 
murid terakhir pewaris tempat ini?! Pewaris Cermin Ajaib?!" 

Dewa Arak dan Tungga Dewi saling berpandangan. Mereka 
tidak memberikan tanggapan sama sekali, karena ingin 
mendengarkan ucapan Setan Hitam Tak Berjantung lebih jauh. Kedua 
anak muda ini memang telah merasakan adanya keanehan itu. 
Sepengetahuan mereka, julukan Penjaga Alam Gaib telah ada ratusan 
tahun lalu. Bahkan paling tidak tiga ratus lima puluh tahun lalu. 
Mungkinkah ada orang yang berusia sampai setua itu? Perasaan curiga 
pun mulai bersarang di hati Dewa Arak dan Tungga Dewi terhadap 
Penjaga Alam Gaib yang telah dikenal selama ini! 

"Akulah keturunan terakhir murid Penjaga Alam Gaib itu, 
Dewa Arak!" Bongsang melangkah maju sambil membusungkan dada. 
"Akulah pewaris goa ini beserta Cermin Ajaib-nya. Sedangkan Penjaga 
Alam Gaib yang kau kenal, merupakan secrang penipu! Dia mengaku- 
aku saja!" 

Dewa Arak terperanjat. Pemuda berambut putih keperakan 
ini bingung harus bersikap bagaimana. 

"Kau pun penipu pula, Kakek Berhidung Burung!" celetuk 
Tungga Dewi, nyaring 

Sepasang mata Bongsang berkilat. Dia paling tidak suka kalau 
ada orang yang menyinggung-nyinggung hidungnya. Apalagi, sampai 
memaki-makinya. Tapi saat ini, keingintahuannya lebih besar 
daripada kemarahannya. Maka hatinya dikuat-kuatkan. 

"Mengapa kau berkata demikian, Wanita Liar f' 

"Mudah saja!" 

Tungga Dewi langsung bertolak pinggang. Sedangkan Arya 
yang juga ingin tahu apa yang hendak dikemukakan gadis berpakaian 
kuning ini jadi ikut memasang telinga, seperti halnya Setan Hitam Tak 
Berjantung. 

"Bukankah kau mengatakan kalau Penjaga Alam Gaib telah 
lama meninggal dunia, ratusan tahun yang lalu? Lantas, mengapa kau 
bisa menjadi ahli warisnya?! Berarti kau pun berdusta f' 

Bongsang menggertakkan gigi Pernyataan Tungga Dewi 
benar-benar membuatnya kehabisan akal. Dia tidak tahu, harus bicara 
apa sekarang. 

"Mengapa harus repot-repot lagi, Bongsang! Bunuh saja gadis 
itu. Habis perkara! Biar aku yang akan membereskan Dewa Arak!" 

Begitu mulutnya terkatup, Setan Hitam Tak Berjantung 
langsung menerjang Dewa Arak. Dia melompat ke atas Dan di saat 
tubuhnya masih berada di udara, kaki kanannya ditendangkan ke arah 
wajah pemuda berambut putih keperakan itu. 

Wuttt! 

Hantaman kaki yang sanggup menghancurkan batu karang 
yang paling keras itu hanya mengenai tempat kosong, ketika Arya 
merendahkan tubuhnya. Sedangkan Tungga Dewi, meski tidak 
menjadi sasaran serangan, langsung melompat ke kanan dan menjauh. 
Dia tahu kedahsyatan serangan itu. Namun sebentar kemudian, gadis 
ini segera menyambut serangan Bongsang. 

Di lain pihak Dewa Arak kembali mendapatkan seranpn 
susulan. Kali ini berupa tamparan ke arah pelipis yang diikuti bunyi 
mencicit nyaring. Namun pemuda berambut putih keperakan ini tidak 
berusaha menghindar. Dan begitu serangan hampir mendarat di 
pelipisnya, tangannya langsung bergerak cepat 

Pyarrr! 

Kaki kanan Setan Hitam Tak Berjantung bergerak cepat, 
menendang ke arah wajah pemuda berambut putih keperakan itu. 

Wutttl 

Hantaman kaki yang sanggup menghancurkan batu karang 
yang paling keras itu mengenai tempat kosong, ketika Dewa Arak 
merendahkan tubuhnya. 

Dua telapak tangan yang sama-sama dialiri tenaga dalam 
tinggi berbenturan, hingga menimbulkan bunyi keras menggelegar 
seperti halilintar menyambar. Akibatnya, tubuh kedua belah pihak sa- 
ma-sama terdorong ke samping. Namun, Setan Hitam Tak Berjantung 
agak terhuyung-huyung dan kelihatan mengalami sedikit kesulitan 
untuk cepat memperbaiki kedudukannya. 

"Rupanya kau lihai, Dewa Arak! Pantas sikapmu demikian 
sombong, berani menyatroniku!" desis Setan Hitam Tak Berjantung 
ketika telah berhasil memperbaiki kedudukan. "Tapi kau jangan besar 
hati dulu! Lihat ini!" 

Kakek berambut keriting ini kemudian menggosok-gosokkan 
telapak tangannya satu sama lain. Tak lama kemudian, sekitar tempat 
pertarungan mulai diliputi hawa dingin. Semakin lama hawa itu 
semakin menguat. 

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. Dia tahu, 
lawannya telah menggunakan ilmu andalan. Maka tanpa membuang 
waktu lagi, guci arak yang senantiasa tersampir di punggung langsung 
dituangkan ke mulutnya. 

Gluk, glul<, glukkk! 

Terdengar bunyi tegukan ketika arak itu melewati 
tenggorokan Arya dalam perjalanannya menuju ke pemt. Sesaat 
kemudian, tubuh pemuda berambut putih keperakan itu limbung. Ini 
menjadi pertanda kalau Ilmu 'Belalang Sakti' telah siap untuk 
dipergunakan. 

"Itukah ilmu 'Belalang Sakti' yang tersohor?! Ingin kulihat, 
bagaimana bila diperbandingkan dengan ilmu 'Angin Salju' milikku!" 
dengus Setan Hitam Tak Berjantung. 

"Hih!" 

Hembusan angm dingin yang membekukan tulang langsung 
berhembus ketika Setan Hitam Tak Berjantung mendorongkan kedua 
telapak tangannya yang terbuka. Bahkan Tungga Dewi dan Bongsang 
yang bertarung dalam jarak beberapa tombak dari tempat Setan 
Hitam Tak Berjantung dan Arya berada, merasakan sendiri dinginnya 
angin yang berhembus. Maka mereka langsung melompat menjauh. 

Kalau Tungga Dewi dan Setan Hitam Tak Berjantung saja 
merasa kedinginan, apalagi Arya yang menjadi sasaran serangan. 
Serbuan hawa dingin yang bertiup jauh lebih dahsyat. 

Namun, Dewa Arak bukan orang sembarangan. Apalagi 
'Tenaga Sakti Inti Matahari'-nya. Maka, buru-buru Dewa Arak 
mengerahkan tenaga sakti itu, dan melakukan gerakan mendorong. 

Bluppp! 

Bumi bagai bergetar, ketika dua tenaga sakti yang berlainan 
hawa berbenturan di tengah jalan. Akibatnya, tubuh Setan Hitam Tak 
Berjantung terhuyung dua langkah dan hampir terpelanting Untung 
dia buru-buru memperbaiki kedudukannya. Hal seperti itu tidak 
dialami Arya meskipun juga terhuyung dua langkah. Dirasakannya 
aliran hawa dingin sempat menyelinap lewat kedua tanjpnnya. 
Sedangkan Setan Hitam Tak Berjantung merasakan aliran hawa panas. 
Namun dengan tenaga khas masing-masing pihak, serangan aliran 
hawa bisa dipunahkan. 

Dan, begitu masing-masing pihak telah berhasil mengusir 
hawa yang merayap, kedua tokoh tingkat tinggi ini melanjutkan 
pertarungan kembali. Masing-masing mengerahkan seluruh 
kemampuan. Pemuda berambut putih keperakan ini berusaha agar 
secepat mungkin dapat mengalahkan Setan Hitam Tak Berjantung 
Apalagi, dia juga khawatir kalau Tungga Dewi akan segera roboh di 
tangan Bongsang. 

Kekhawatiran Dewa Arak memang beralasan. Tungga Dewi 
memang bukan tandingan Bongsang. Gadis berpakaian kuning itu 
hanya mampu menandingi lawannya sampai dua puluh jurus. Lewat 
dari itu, gadis ini mulai terdesak. Terpontang-panting ke sana kemari 
untuk menyelamatkan selembar nyawa. 

Di kancah pertarungan antara Dewa Arak dengan Setan 
Hitam Tak Berjantung, pertarungan berlangsung a lot. Namun berkat 
kedahsyatan ilmu 'Belalang Sakti', dan Dewa Arak mulai menguasai 
kancah pertarungan. Secara perlahan-lahan Setan Hitam Tak 
Berjantung mulai terdesak. 

Berkat keunggulannya terhadap Setan Hitam Tak Berjantung 
Dewa Arak mampu sesekali memberikan bantuan, agar Tungga Dewi 
tidak terlampau terdesak. Pemuda berambut putih keperakan itu 
terkadang meninggalkan lawannya dan melancarkan seranpn 
terhadap Bongsang. Atau, mendong menangkiskan seranpn 
Bongsang yang sulit dihadapi Tungga Dewi Bantuan seperti ini 
memang tidak penuh, tapi cukup bagi Tungga Dewi untuk bertahan 
agak lama 

"Aha...! Kiranya kau di sini, Dewa Pengecut...!" Tiba-tiba 
ucapan bernada penuh kegembiraan berkumandang di sekitar tempat 
itu. Dan sebelum gema ucapan itu lenyap, sesosok bayangan coklat 
berkelebat, dan langsung menangkis serangan Dewa Arak yang tenph 
tertuju pada Setan Hitam Tak Berjantung. 

Plakkk! 

Sosok berpakaian coldat dan Dewa Arak sama-sama 
terhuyung. Hanya saja, Dewa Arak terdorong dua langkah, sedangkan 
bayangan coldat itu tiga langkah. 

Munculnya sosok bayangan coldat itu membuat pertarunpn 
antara Dewa Arak dan Setan Hitam Tak Berjantung langsung terhenti. 
Baik Arya maupun kakek berambut keriting itu ingin tahu, sosok yang 
telah ikut campur dalam pertarungannya. 

"Rupanya kau, Pedang Halilintar Sakti," desah Setan Hitam 
Tak Berjantung dengan wajah tegang, ketika mengenali laki-laki tua 
yang bersikap agung dan masih terlihat gagah. Sepasang mata dan 
pancaran wajah kakek berpakaian coldat ini menyiratkan rasa 
merendahkan orang lain. 

Setan Hitam Tak Berjantung merasa khawatir. Karena 
sepengetahuannya, berdasar cerita Bongsang, Dewa Arak, dan Pedang 
Halilintar Sakti berkawan baik. Tapi, ada sedildt hal yang 
mengherankan, ternyata keadaan itu tidak seperti yang dikatakan 
Bongsang. Ucapan dan sikap Pedang Halilintar Sakti menunjukkan 
rasa permusuhan pada Dewa Arak. Dengan hati berdebar tegang 
Setan Hitam Tak Berjantung memperhatikan tingkah kedua tokoh 
sakti itu. 

"Kau Setan Hitam Tak Berjantung, eh?! Apa urusanmu hingga 
bentrok dengan Dewa Sombong yang sok ini? Menyingkirlah 
sebentar. Biar aku yang akan menyelesaikan umsanku lebih dulu de¬ 
ngan Dewa Sombong ini!" sambut Pedang Halilintar Sakti, yang 
memiliki watak angkuh dengan sikap tidak peduli. 

Setelah berkata demikian, Pedang Halilintar Sakti 
mengalihkan perhatian pada Dewa Arak. 

"Sekarang ldta buat perhitungan, Dewa Sombong! Jangan 
mentang-mentang memiliki kepandaian dengan julukan yang 
menggemparkan dunia persilatan seenaknya saja kau campuri urusan 
perguruanku. Bahkan kau telah memberi pelajaran terhadap tiga 
orang muridku! Mereka memang bukan apa-apa. Nah! Sekarang, aku, 
guru mereka ada di sini. Coba kau berikan pelajaran yang telah kau 
lakukan terhadap tiga orang muridku!" 

"Maaf, Pedang Halilintar Sakti," ucap Arya penuh rasa tidak 

enak. 

Dewa Arak menyadari tindakannya yang salah beberapa 
waktu lalu. Apalagi dia tahu kalau si Pedang Halilintar Sakti termasuk 
seorang datuk golongan putih. Dan Dewa Arak pun semakin tidak 
enak hati, namun bemsaha agar tidak terjadi pertarungan. 

"Maaf?!" dengus Pedang Halilintar Sakti. "Enak saja! Begitu 
mudahnya?! Setelah berbuat kesalahan, kemudian minta maaf?! 
Apakah setelah kau meminta maaf itu, nyawa semua muridku akan 
kembali?!" 

"Apa maksudmu, Pedang Halilintar Sakti?!" Kening Dewa 
Arak mengernyit dengan sikap heran. Sepengetahuannya, murid- 
murid Perguruan Pedang Halilintar yang dihadapinya, tidak ada yang 
tewas. Bahkan hanya terluka tidak begitu parah. Lantas mengapa 
sekarang Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini bicara soal nyawa 
murid-muridnya. Dan Dewa Arak khawatir ada kesalahpahaman di 
sini 

"Aku yakin mereka tidak akan mati akibat pukulanku. Bahkan 
terluka parah pun tidak." 

"Memang murid-muridku tidak tewas atau terluka parah 
akibat kemampuan yang kau miliki. Tapi akibat pertolonganmu, 
muridku yang bernama Karpala datang kembali bersama iblis. Dia 
langsung menyebar maut di perguruanku. Semua muridku binasa! 
Dan karena Karpala tidak ada di sini, sekarang biarlah kau yang 
bertanggung jawab atas semua musibah yang menimpa perguruanku! 
Kau harus menebusnya dengan nyawamu, Dewa Arak! Mudah- 
mudahan ini menjadi pelajaran terakhir bagimu, untuk tidak terlalu 
mudah mencampuri uru-an orang lain!" 

Singngng! 

Pedang Halilintar Sakti segera menutup ucapannya denpn 
tusukan pedangnya yang mengeluarkan bunyi halilintar menyambar. 
Itu pun masih ditambah kilatan-kilatan menyilaukan sebagaimana 
halnya petir menyambar. 

Mau tidak mau, Dewa Arak menyambutinya, karena memang 
tidak ingin nyawanya melayang percuma. Maka pertarungan pun 
kembali berlanjut Beberapa kali terjadi bunyi berdentang nyaring ke¬ 
tika pedang berbenturan dengan guci 

Setan Hitam Tak Beijantung yang menyaksikan jalannya 
pertarungan jadi berseri. Dia berharap, mudah-mudahan saja kedua 
belah pihak akan tewas bersama, sehingga tidak perlu mengeluarkan 
tenaga lagi untuk menghadapi mereka! 

Hanya dalam beberapa kali memperhatikan, Setan Hitam Tak 
Berjantung telah bisa memperkirakan kalau Dewa Arak masih terlalu 
tangguh. Ilmu 'Belalang Sakti' Dewa Arak yang aneh tetap tidak 
mampu ditanggulangi Pedang Halilintar Sakti dengan ilmu 'Pedang 
Halilintar'. Memang harus diakui oleh Setan Hitam Tak Berjantung 
kalau ilmu pedang si Pedang Halilintar Sakti benar-benar dahsyat dan 
menggiriskan. Tapi, ilmu 'Belalang Sakti' Dewa Arak tetap sukar 
ditaklukkan. 

Setan Hitam Tak Berjantung melihat peluang baik untuk 
mengalahkan Dewa Arak Dia tahu, pemuda itu tidak akan bisa 
dikalahkan olehnya. Bahkan juga oleh Pedang Halilintar Sakti Tapi, 
diyakini betul kalau dia dan Ketua Perguruan Pedang Halilintar itu 
bersatu dan bersama-sama melawan, Dewa Arak akan dapat 
dirobohkan. 

"Jangan khawatir, Pedang Halilintar Sakti. Aku datang 
membantu," seru Setan Hitam Tak Berjantung seraya melompat 
masuk kedalam kancah pertarungan. Senjatanya yang berupa 
sepasang pisau pendek langsung berkelebatan, mengincar bagian 
tidak terjaga pada Dewa Arak. 

Kalau Pedang Halilintar Sakti lega dan gembira di dalam hati 
karena mendapat bantuan demikian, tidak demikian halnya Dewa 
Arak. Pemuda berambut putih keperakan ini mengeluh dalam hati. 
Satu lawan saja, cukup sulit dirobohkan. Apalagi sekarang dengan ikut 
sertanya Setan Hitam Tak Berjantung di pihak Ketua Perguruan 
Pedang Halilintar. 

Maka semakin sulit bagi Dewa Arak untuk dapat 
mengalahkan. Bahkan sekarang, pemuda berambut putih keperakan 
itu mulai kewalahan, karena serangan yang datang begitu silih 
berganti dan susul-menyusul laksana gelombang laut. Sehingga, pe¬ 
muda berambut putih keperakan itu tidak mempunyai kesempatan 
lagi untuk balas menyerang. 

Dewa Arak mengerling ke arah Tungga Dewi Dan dia 
langsung mengeluh ketika melihat gadis berpakaian kuning itu telah 
kena di tawan Bongsang. Maka Dewa Arak pun terpaksa berjuang 
lebih keras. 

Plak, plakkk! 

Ketika untuk kesekian kalinya tangan Dewa Arak dan Setan 
Hitam Tak Berjantung yang telah menyimpan sebelah pisaunya itu 
berbenturan, Dewa Arak kontan kaget. Ternyata tangannya melekat 
dengan tangan lawan. Namun bagi Dewa Arak hal ini bukan sesuatu 
yang aneh. Buru-buru aliran tenaga dalamnya yang menuju ke tanpn 
dihentikan. Dan sesaat kemudian, baru tangannya ditarik. 

Tapi waktu yang hanya sekejap itu telah dipergunakan sebaik- 
baiknya oleh si Pedang Halilintar Sakti untuk menusukkan pedang ke 
arah leher Dewa Arak. Untung saja, Arya masih sempat memiringkan 
kepala. Sementara tangan kiri si Pedang Halilintar Sakti kembali 
meluncur denpn sebuah tepakan ke arah punggung Lagi-lagi, Dewa 
Arak berhasil membuyarkan serangan dengan hadangan guci. Namun 
saat itu, tangan Setan Hitam Tak Berjantung meluncur secara cepat ke 
arah bahu kanannya. Kali ini, Arya kurang sigap bertindak. Seketika 
tubuh pemuda berambut putih keperakan itu pun terkulai lemas di 
tanah. 

Singngng! 

Ujung pedang si Pedang Halilintar Sakti meluncur cepat ke 
arah leher. 

Trang! 

Mendadak sebatang pisau dilepaskan Setan Hitam Tak 
Berjantung membuat tusukan pedang Ketua Perguruan Pedang 
Halilintar menyeleweng, tidak mengenai sasaran. 

"Kau..., mengapa mencegah tindakanku?! Apakah telah 
mempunyai nyawa rangkap?!" tanya si Pedang Halilintar Sakti, penuh 
ancaman. 

"Tidak usah sesumbar di sini, Pedang Halilintar! Tanpa 
adanya bantuanku, kau tidak akan mampu merobohkan Dewa Arak. 
Dan sekarang begitu dia telah berhasil kurobohkan, kau tanpa tahu 
malu hendak membunuhnya! Tidakkah kau sadari kalau perbuatanmu 
merupakan tindakan pengecut?! Kau, seorang tokoh golongan putih 
hendak membunuh seorang lawan yang tengah tidak berdaya! Luar 
biasa! Hebat..!" ejek Setan Hitam Tak Berjantung disertai senyum 
sinis. 

Ucapan-ucapan Setan Hitam Tak Berjantung tak ubahnya 
pisau berkarat yang dihunjamkan pada tubuh Pedang Halilintar Sakti. 
Wajahnya yang masih bersikap agung ini kontan berubah. Sebentar 
pucat, sebentar merah. Dalam kemarahannya tadi, Pedang Halilintar 
Sakti memang sampai melupakannya, sehingga bertindak tidak 
pantas. Sekarang baru terasa, betapa pengecutnya tindakannya. 

"Setan Hitam...!" 

Sebelum si Pedang Halilintar Sakti atau Setan Hitam Tak 
Berjantung berbicara atau bertindak sesuatu, terdengar suara keras 
yang menggema ke sekitar tempat itu. 

Sekalipun hanya Setan Hitam Tak Berjantung yang dipanggil, 
Pedang Halilintar Sakti, dan Bongsang ikut-ikutan mencari sumber 
suara keras tadi. Tapi, tetap saja mereka tidak dapat mengetahui dari 
mana asalnya. Suara itu seperti muncul dari seluruh penjuru. Bahkan 
bergema ke selatar tempat itu. 

"Siapa kau?!" 

Setan Hitam Tak Berjantung mengedarkan pandanpn 
berkeliling sambil mengepalkan kedua tangannya. 

"Tunjukkan rupamu kalau kau bukan seorang pengecut!" 
bentak Setan Hitam Tak Berjantung 

"Aku tidak bisa melalaikannya, Setan Hitam!" suara tanpa 
wujud itu kembali bergema. "Karena aku berada di tempat yang jauh 
dari sini! Di tempatmu. Rasanya, akan makan waktu berhari-hari 
untuk sampai ke sana. Dan perlu kau ketahui, aku hanya hendak 
memberitahukan sesuatu padamu. Jangan kau bunuh Dewa Arak. 
Biarkan dia. Karena kemungkinan, dialah yang akan membasmi tokoh 
jahat dari masa lima ratus tahun yang lalu. Kau sudah mengetahui hal 
itu bukan?! Ketahuilah, Setan Hitam. Roh tokoh jahat dari masa lalu 
itu tidak akan bisa dibunuh. Tapi, aku mempunyai harapan pada 
Cermin Ajaib. Dan karena aku tidak berada di tempat Cermin Ajaib 
berada, maka akan sulit bagiku untuk bertindak sesuatu. Kalau kau 
tidak mau membebaskan Dewa Arak, kuharap kau pergi ke Cermin 
Ajaib. Dan, berdirilah di dekat sana. Dengan cara demikian, Cermin 
Ajaib akan terlihat olehmu dari sini. Dan aku akan dapat 
berhubungan dengannya." 

"Kalau aku tidak mau?!" ejek Setan Hitam Tak Berjantung 
sambil menyeringai 

"Aku mohon, kau bebaskan Dewa Arak! Biar dia yang 
melakukannya. Karena untuk itulah, dia berada di tempatmu!" pinta 
suara tanpa wujud itu lagi. 

"Kau hanya membuangbuang waktu saja!" sentak Setan 
Hitam Tak Berjantung. "Apa pun yang terjadi, aku tidak akan 
memenuhi permintaanmu. Jelas?!" 




Suasana langsung hening, ketika Setan Hitam Tak Berjantung 
selesai mengucapkan penolakannya. 

"Apakah kau yang berjuluk Penjaga Alam Gaib?!" celetuk 
Bongsang. 

"Kira-kira demikian," jawab suara tanpa wujud. 

"Siapa kau, Kisanak?! Maukah kau melakukan permintaanku 
yang ditolak Setan Hitam?!" 

"Tentu saja tidak!" jawab Bongsang cepat. "Bahkan kalau bisa 
aku akan membunuhmu! Enak saja kau mengakui Cermin Ajaib 
sebagai milik leluhurmu. Bahkan tanpa tahu malu kau berani 
memakai julukan Penjaga Alam Gaib. Orang lain bisa kau tipu. Tapi 
aku, Bongsang tidak akan tertipu. Aku tahu, siapa pemilik Cermin 
Ajaib ini!" 

"Ah...!" desah suara tanpa wujud, kaget. "Jadi kau kiranya 
orang yang bernama Bongsang? Guru banyak bercerita tentang kau, 
Bongsang. Kau termasuk kakak seperguruanku. Hanya saja, kau kini 
menjadi murid murtad. Kau hendak membunuh guru hanya karena 
beliau akan menghukummu. Kau menyeleweng dari aliran ilmu guru, 
Bongsang. Beliau tidak pernah mengorbankan manusia untuk 
menambah pengetahuan ilmu gaibnya. Tapi, kau? Kau banyak 
menculik bayi-bayi dan mengambil otak dan darahnya, serta sumsum 
tulangnya untuk mendapatkan...." 

"Cukup! Aku tidak butuh ocehanmu! Jadi, kau dipunggut tua 
bangka bau tanah itu untuk menjadi ahli warisnya, heh?! Sayang aku 
gagal membunuhnya!" 

"Sadarlah, Bongsang! Lebih baik kita bersatu untuk mencejph 
munculnya terbentuknya iblis mengerikan yang berasal dari masa 
lima ratus tahun yang silam. Sekarang kau tidak merasa aneh kalau 
berita tentang makhluk itu telah tersebar luas. Bahkan kawan- 
kawanku tewas di perjalanan. Rupanya kau yang berdiri di belakang 
layar, Bongsang. Aku tidak merasa aneh sekarang mengapa 
rencanaku berhasil kau ketahui. Aku tahu, dalam ilmu pengetahuan 
gaib, aku masih jauh di bawahmu. Tanpa Cermin Ajaib kau telah bisa 
mengetahui kalau peti bertuah yang berisikan jasad dari masa lima 
ratus tahun lalu itu telah keluar ke dunia persilatan. Dan guru tidak 
sempat menceritakan padaku tentang tokoh dari lima ratus tahun lalu 
itu. Sedangkan kau, aku yakin telah pernah mendengar ceritanya...." 

Suara tanpa wujud itu mendadak terhenti di tengah jalan. 
Dan Bongsang menjadi heran Ucapan Penjaga Alam Gaib yang belum 
selesai mengapa tiba-tiba terputus? Apakah terjadi sesuatu denpn 
tokoh itu di tempat dia berada? 

Pertanyaan yang sama menghinggapi benak si Pedang 
Halilintar Sakti, dan Setan Hitam Tak Berjantung Namun, 
Bongsanglah yang lebih dulu sadar dan mengetahui penyebabnya. 

"Aku mencium ada hawa gaib di sekitar tempat ini. Pasti 
inilah penyebab putusnya pembicaraan Penjaga Alam Gaib! Ada 
seseorang atau sesuatu yang telah menggunakan ilmunya, untuk 
memutuskan hubungan ini!" desis Bongsang dengan suara bergetar. 

Bongsang jadi gentar. Sebagai tokoh ahli ilmu gaib, kakek 
berhidung melengkung ini tahu kalau untuk melakukan hal itu 
membutuhkan ilmu gaib yang amat tinggi. Dan bahkan, dia sendiri 
pun tidak mampu melakukannya. 

Baru saja ucapan Bongsang berakhir, terdengar suara 
terkekeh menyeramkan. Suara itu terdengar dekat sekali, tapi tidak 
nampak seorang pun di sekitarnya. 

Mendadak terdengar bunyi berkesiutan nyaring disusul 
meluncurnya beberapa benda sebesar kepala manusia. Semua tertuju 
ke arah Bongsang dan Setan Hitam Tak Berjantung. 

Semula, Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang 
bermaksud menangkisnya. Tapi niat itu langsung diurungkan, ketika 
sepasang mata mereka yang tajam melihat benda yang tenph 
meluncur ternyata empat kepala manusia. Tangkisan yang akan 
dilakukan langsung diganti dengan gerakan tangan berputar, untuk 
mematahkan daya luncur. Sehingga, kepala-kepala manusia tanpa 
tubuh itu berjatuhan di tanah, sebelum mengenai tubuh Setan Hitam 
Tak Berjantung dan Bongsang. 

Sepasang mata Setan Hitam Tak Beijantung dan Bongsang 
hampir melompat keluar dari rongga ketika melihat kepala manusia 
itu ternyata kepala bekas murid utama Kuru Sanca yang ditugaskan 
untuk mencari raga tokoh di zaman lima ratus tahun silam. 

"Kalian kaget?" 

Pertanyaan bernada mengejek itu membuat Setan Hitam Tak 
Berjantung dan Bongsang, juga si Pedang Halilintar Sakti 
mengarahkan pandangan ke arah asal suara. Dan seketika, wajah si 

Pedang Halilintar Sakti memucat. Pemilik seruan itu dikenalinya 
betul, sebagai suara Karpala, muridnya. Tapi pemuda itu telah 
memiliki kepandaian luar biasa! 

Bongsang yang memiliki kemampuan gaib tinggi, langsung 
dapat merasakan keanehan dari sosok yang berdiri di depannya. Mata 
batinnya langsung dapat melihat kalau Karpala telah ditumpangi 
sejenis roh yang amat ganas! Roh yang berasal dari zaman lampau! 
Seketika itu dia pun teringat akan roh dari lima ratus tahun silam. 

"Kau... kau..., Garba Baureksa?!" 

Bongsang yang tahu nama tokoh dari zaman lima ratus tahun 
silam dari gurunya, langsung menyebut nama itu. Suaranya terdengar 
bergetar karena guncangan perasaan. 

"Ah...!" 

Bukan hanya Setan Hitam Tak Berjantung yang menjadi 
terkejut. Tapi, juga si Pedang Halilintar Sakti. Nama Garba Baureksa 
telah didengarnya juga, meski semula hanya dianggapnya sebagai 
dongeng. Sekarang Ketua Perguruan Pedang Halilintar ini mengerti 
mengapa Karpala muridnya jadi memiliki kepandaian selihai itu! 
Rupanya dia ditumpangi roh Garba Baureksa yang terkenal 
menggiriskan. 

"Rupanya kau masih mampu untuk mengenaliku, Bongsang?! 
Bagaimana? Apakah kau masih mencari bayi-bayi untuk diambil 
darah, otak, dan sumsumnya untuk keperluan ilmu gaibmu?! Yang 
kutahu, kau masih melalaikannya. Seperti juga halnya Setan Hitam 
Tak Berjantung yang berusaha mengambil ragaku lebih dulu. Untuk 
kemudian, kalian akan memasang sesuatu di ragaku. Sehingga aku 
nantinya mau tidak mau harus menuruti semua kehendak kalian. 
Tentu saja kalau aku tidak mau, kalian dapat menyiksa. Dan, inilah 
sebagian dari orang-orang yang kalian suruh untuk mengambil 
ragaku. Sisanya kutinggalkan!" 

Setan Hitam Tak,Berjantung dan Bongsang menelan ludahnya 
sendiri untuk membasahi tenggorokan yang mendadak kering Sama 
sekali tidak disangka kalau semua rencana yang disusun secara rapi, 
telah diketahui Garba Baureksa. 

"Bagaimana kau bisa tahu semuanya, Garba Baureksa?! 
Bukankah kalau kau tidak berada di dalam ragamu yang asli, 
kemampuanmu akan banyak yang lenyap? Dan andaikata kau 
mampu, akan berkurang jauh bobotnya. Apakah aku tidak salah 
duga?!" Bongsang mengutarakan keheranannya. 

"Sebetulnya aku malas untuk menjawab. Tapi, biarlah. 
Hitung-hitung agar kalian tidak mati penasaran," Garba Baureksa 
mengalah. "Apa yang kau katakan itu memang benar, Bongsang Tapi, 
kemampuanku yang dulu bisa kudapatkan kembali, meski di dalam 
raga orang lain! Memang tidak akan sampai ke puncaknya seperti 
yang dulu. Tapi, telah cukup lumayan toh?! Setiap aku melakukan 
kejahatan, maka kemampuan yang dulu kumiliki kudapatkan lagi, 
meski hanya sedikit. Toh, terbukti cukup untuk mengetahui rencana 
kalian dan memberikan tabir. Sehingga, Penjaga Alam Gaib dan yang 
lain-lain tidak bisa mengawasi kegiatanku! Ha ha ha...!" 

"Kurasa kita bisa bekerja sama, Garba," Setan Hitam Tak 
Berjantung yang belum apa-apa sudah merasa gentar, mengajukan 
sebuah usul yang dianggap bagus. 

"Sayang sekali, aku tidak bisa menerimanya, Setan Hitam!" 
jawab Garba Baureksa tegas. "Banyak alasannya. Pertama, kau adalah 
datuk licik. Dan setiap orang licik tidak bisa dipercaya. Kedua, aku 
terbiasa bekerja sendiri. Dan yang ketiga, kau telah menunjukkan 
itikad tidak baikmu terhadapku! Juga dengan membunuhmu, aku 
akan mendapatkan kembali sedikit kemampuan yang dulu pernah 
kumiliki!" 

Setan Hitam Tak Berjantung dan Bongsang saling 
berpandangan. Keduanya tahu kalau Garba Baureksa tidak akan 
mengampuni jiwa mereka. Mau tidak mau mereka akan bertahan 
mati-matian nanti. 

"O, ya. Sebagai tambahan lagi, perlu kukatakan kalau raga 
yang diambil oleh anak buahmu, Setan Hitam, bukan ragaku. Entah 
mengapa, mereka bisa sampai terkecoh demikian." 

"Bukankah kau memiliki kemampuan untuk mengetahui, di 
mana adanya sesuatu?! Mengapa tidak kau gunakan untuk mencari 
ragamu?!" celetuk Bongsang bingung. 

Dia masih merasa heran mengetahui mayat yang diambil anak 
buahnya bukan mayat Garba Baureksa. Padahal, dia telah 
mengumpulkan keterangan dan berhasil mendapatkan petunjuk kalau 
mayat itu berada di tangan sebuah keluarga pendekar. Dan karena 
keturunan pendekar itu telah lenyap, anak buahnya mengambil di 
pemakaman keluarga pendekar yang hidup lima ratus tahun lalu, 
adalah orang yang pertama kali bertemu kakek aneh yang muncul 
dalam mimpi. Tidak ada yang tahu siapa namanya. 

"Aku tidak bisa melacaknya dengan ilmuku karena kakek 
yang telah menyebabkan rohku terpisah dari raga, telah 
menyembunyikannya tanpa aku mampu melacaknya. Biar 
bagaimanapun, ilmu putih lebih unggul dari ilmu hitam, Bongsang! 
Maka, aku tidak dapat menemukannya!" 

Bongsang dan Setan Hitam Tak Berjantung diam. 

"Bersiaplah untuk melihat neraka!" 

Garba Baureksa menudingkan telunjuk kanannya pada batu 
sebesar kerbau yang berada di belakangnya. Sedangkan tangan kirinya 
ditudingkan ke arah tubuh Setan Hitam Tak Berjantung. 

Setan Hitam Tak Berjantung, Bongsang, dan si Pedang 
Halilintar Sakti terbelalak ketika melihat batu sebesar kerbau 
terangkat naik ke atas! Padahal, terlihat jelas kalau pemuda berkumis 
tipis itu tidak mengerahkan tenaga sama sekali. 

Dan keterkejutan ketiga tokoh sakti yang telah terjepit itu 
semakin menjadi-jadi, ketika melihat batu besar itu melayang ke arah 
mereka. Kali ini keterkejutan bercampur kekhawatiran. 

Karena masih belum mengetahui perkembangan tindakan 
yang akan dilakukan Garba Baureksa, Bongsang dan si Pedang 
Halilintar Sakti melompat mundur. 

"Setan Hitam, menyingkir...!" 

Bongsang tidak kuasa untuk menahan teriakannya, ketika 
melihat Setan Hitam Tak Beijantung tidak menjauh. Padahal, batu 
besar itu telah meluncur mendekati. Bahkan sebentar lagi akan berada 
di atas kepalanya. 

Keterkejutan Bongsang semakin memuncak, begitu melihat 
Setan Hitam Tak Berjantung tidak bertindak apa-apa. Tapi sesaat 
kemudian dia tahu, apa penyebabnya. Telunjuk tangan kiri Garba 
Baureksalah penyebabnya. Maka, Bongsang bertindak cepat. Kedua 
tangannya dihentakkan ke arah batu besar itu 

Blarrr! 

Batu sebesar kerbau bunting itu kontan hancur berantakan 
ketika terhantam angin pukulan Bongsang. Bahkan pecahannya 
berpentalan ke sana kemari, tak tentu arah. Beberapa di antaranya 
mengenai Setan Hitam Tak Berjantung 

"Kau sudah kepingin mati duluan, rupanya! Minggat kau...!" 

"Tidak!" 

Bongsang yang mengerahkan selumh kemampuan ilmu gaib 
berteriak keras untuk melawan pengaruh seruan Garba Baureksa. 

Sebagai ahli ilmu gaib, dia tahu kalau kekuatan serangan pemuda 
berkumis tipis itu tergantung teriakan dan pikiran! Maka seluruh 
pikiran dipusatkan dan berseru keras. 

Tapi usaha Bongsang bagaikan orang menangkap asap! Sia- 
sia. Seruan Garba Baureksa yang disertai kibasan tangan kiri, 
membuat tubuhnya melayang ke belakang seperti daun kering 
dihempaskan angin. 

Blakkk! 

Bongsang mengeluh tertahan ketika luncuran tubuhnya 
berhenti, di saat berbenturan dengan dinding batu yang menjulang 
tinggi. Tubuhnya seperti dilem. Bahkan tidak tergoyahkan sama 
sekali. Kendati berusaha keras melepaskan diri. 

Rontaan Bongsang semakin diperkeras, ketika melihat sebuah 
batu sebesar gajah yang paling besar, meluruk deras ke arahnya. Itu 
terjadi ketika Garba Baureksa kembali menudingkan tangannya. 
Dan.... 

Jrottt! 

Bongsang tidak bisa menjerit lagi, begitu batu sebesar gajah 
itu menghantamnya. Dan karena bagian belakang kakek berhidung 
melengkung itu adalah dinding tebing, maka tubuhnya bajpi digencet 
dari dua arah! Dalam keadaan tidak berdaya seperti itu, tubuh 
Bongsang langsung luluh lantak. Kepalanya hancur, dengan badan 
remuk. Nyawa-nya melayang saat itu juga 

Setan Hitam Tak Berjantung yang semula dicekam pengaruh 
ilmu gaib Garba Baureksa berhasil membebaskan diri dari pengaruh 
sihir. Itu bisa terjadi, karena Garba Baureksa mengalihkan perhatian 
ke arah Bongsang. 

Pedang di tangan Pedang Halilintar Sakti menancap di perut 
hingga tembus ke punggung. Sepasang mata Ketua Perguruan Pedang 
Halilintar ini kelihatan tidak percaya melihat darah yang membanjir 
keluar. Sementara Garba Baureksa tertawa terbahak penuh 
kemenangan. 

"Sekarang kalian bebas, Dewa Arak. Dan kau, Wanita Liar...!" 
seru Garba Baureksa penuh pengaruh. 

Hampir Dewa Arak tidak percaya. Pengarah totokan yang 
membelenggu tubuh mereka tiba-tiba lenyap membuyar. Dan darah 
kini menjplir secara lancar. 

Buru-buru Dewa Arak dan Tungga Dewi bangkit berdiri, dan 
langsung bersiap melancarkan serangan. Sepasang anak muda ini 
telah tahu kalau Garba Baureksa merupakan sesosok makhluk 
dahsyat. 

"Menyingkirlah, Tungga Dewi! Selamatkan dirimu...!" seru 
Dewa Arak pada murid Nelayan Tenaga Gajah. 

"Tidak, Dewa Arak! Apa pun yang terjadi, aku akan tetap 
bersamamu! Aku lebih suka mati bersamamu, daripada hidup 
sendirian di dunia ini!" tegas Tungga Dewi, jelas-jelas menyiratkan 
perasaan isi hatinya. 

"Ho ho ho...! Luar biasa...!" Garba Baureksa tertawa bergelak. 
"Rupanya wanita liar ini mencintaimu, Dewa Arak. Bagus...! Sayang 
sekali...! Kalian semua akan mati saat ini juga!" 

Garba Baureksa langsung mengibaskan tangan kirinya. Maka 
tubuh Dewa Arak pun terpental jauh ke belakang bagai daun kering 
dihempaskan angin keras. Pentalan tubuhnya baru terhenti, ketika 
membentur dinding sehingga hancur pada beberapa bagian. Memang 
saat itu Arya sempat melindungi tubuhnya dengan pengerahan tenaga 
dalam. 

Tapi sebelum Dewa Arak sempat berbuat sesuatu, tanpn 
Garba Baureksa kembali bergerak. Seketika tubuh Dewa Arak tertarik 
ke depan, tanpa mampu bertindak apa-apa. 

Arya melihat adanya bahaya besar. Tapi, dia tidak mampu 
berbuat apa-apa. Bahkan ketika tangan kanan Garba Baureksa telak 
menghantam bahu kanannya, Dewa Arak hanya mampu mengeluh 
tertahan. 

Tubuh Dewa Arak terbanting di tanah dengan mulut 
menyeringai, merasakan sakit. Pukulan Garba Baureksa ternyata 
memang tidak bisa dianggap remeh. Dewa Arak tahu, tidak ada 
gunanya melawan dengan kemampuan biasa. Tidak ada jalan lain, 
Belalang Raksasa yang ada di alam gaib harus dipanggil untuk 
menghadapi Garba Baureksa yang demikian luar biasa. 

"Kakang Karpala...! Hentikan...!" 

Seruan keras melengking nyaring membuat Dewa Arak 
terpaksa menghentikan maksudnya. Bahkan Garba Baureksa pun ke 
belakang. Tampak seorang gadis berpakaian coklat, berwajah cantik 
jelita tengah berlari-lari cepat mendekati tempat itu. 

"Kakang Karpala...! Jangan bunuh dia...!" ujar Dara. 

Garba Baureksa alias Karpala tampak berubah-ubah 
wajahnya. Bahkan sepasang matanya pun tidak lagi merah membara, 
tapi berkerlip-kerlip. Pemuda berkumis tipis itu tampak terkejut, 
melihat gadis berpakaian coklat ini. 

"Dara... mengapa kau berada di sini?!" tanya Garba Baureksa 
dengan suara yang membuat Arya dan Tungga Dewi heran. Suara itu 
berbeda sekali dengan suara Garba Baureksa biasanya. 

"Aku menyusulmu, Kakang Karpala. Aku kabur dari 
perguruan, begitu kudengar ayah memerintahkan murid-murid 
perguruan yang lain membinasakanmu. Tapi sekarang seorang kawan, 
kudengar kau menjadi beringas dan membunuh orang-orang tidak 
bersalah. Sadarlah, Kakang Karpala," pinta Dara. 

Sepasang mata Garba Baureksa kembali merah membara. 
Tidak lagi putih bercampur hitam seperti mata manusia umumnya. 

"Ha ha ha..! Membunuhku?! Tidak akan ada satu pun orang 
yang dapat membunuhku!" 

Arya, Tungga Dewi, dan Dara tampak terkejut mendengar 
perbedaan suara ini dengan suara sebelumnya. Dewa Arak dan 
Tungga Dewi tahu, suara ini adalah suara yang biasa mereka dengar. 
Suara Garba Ba u reksa. 

Benak Arya yang cerdik langsung bisa memperkirakan, 
mengapa hal itu terjadi. Roh Garba Baureksa ternyata belum 
sepenuhnya menguasai raga dan pikiran Karpala Dan timbulnya 
pikiran jernih Karpala justm ketika muncul Dara, wanita yang 
dicintainya. Arya tahu, sekarang ini terjadi perang tanding antara 
angkara murka Garba Baureksa, melawan cinta kasih Karpala. Dan ini 
merupakan kesempatan baik. Barangkah saja, Karpala mampu 
membebaskan diri dari kungkungan roh jahat Garba Baureksa. 

"Karpala dirasuki roh jahat. Usahakan agar Karpala yang asli 
dapat memenangkan pertarungan batin ini, Dara?!" jelas Arya pada 
gadis berpakaian coklat itu. 

Wajah Dara tampak berubah hebat. Memang gadis 
berpakaian coklat ini tidak tahu kalau Karpala dimasuki roh jahat dari 
tokoh lima ratus tahun yang silam. Dikiranya, Karpala hanya menjadi 
kurang waras. Akibat tekanan perasaan yang menghimpit batinnya. 

"Sadarlah, Kakang Karpala. Hanya kau satu-satunya yang 
dapat kujadikan sandaran di dunia yang luas ini. Aku seorang diri 
terlunta-lunta mencari-carimu, Kakang Karpala. Haruskah aku 
terlunta-lunta terus selamanya?!" 

Wajah dan keadaan Karpala tampak mengerikan. Sinar 
sepasang matanya berubah berganti-ganti. Terkadang merah 
membara, tapi tak jarang pulih kembali seperti biasa. Perang tanding 
antara dua kekuatan itu tengah berlangsung 

"Terus gugah batinnya, Dara," ujar Dewa Arak, lagi-lagi 
memberikan saran dengan ilmu mengirim suara dari jauh. 

"Apakah kau tidak sayang pada anak lata, Kakang Karpala...?! 
Apakah aku harus membesarkannya sendiri?! Nasibku akan merana, 
Kakang! Tidak ada orang yang akan membantu melahirkan dan 
membesarkan anak kita...." 

"Dara...!" 

Setelah sekian lamanya berdiam diri dengan pertarunpn 
keras di dalam batin, Karpala berseru keras sambil berlari meluruk ke 
arah Dara. Tak lama, Arya, Tungga Dewi, serta Dara, melihat ada 
kilatan cahaya hijau melesat dari atas kepala Karpala. Sinar itu 
melayang ke udara. 

Sementara, Karpala yang tengah berlari tiba-tiba ambruk ke 
tanah sebelum berhasil mencapai Dara. Dara dengan penuh rasa 
cemas cepat memeriksa. 

"Bagaimana ini? Apa yang terjadi dengannya?!" tanya Dara, 
penuh rasa cemas. 

"Dia hanya pingsan. Roh jahat itu telah cukup lama berkuasa 
di tubuhnya. Sehingga begitu pergi, akibatnya cukup berat buat 
Karpala. Tapi, dia tidak apa-apa. Tak lama lagi akan sadar. Dia akan 
kembali sebajpi Karpala yang dulu," jelas Arya panjang lebar. 

"Terima kasih..., eh...! Apakah kau orang yang berjuluk Dewa 
Arak?!" tanya Dara sambil menatap rambut Arya yang putih. 

"Benar. Kenapa?!" 

"Seorang gadis cantik berpakaian putih tengah mencari- 
carimu. Kalau... tidak salah...." 

Belum juga Dara menyelesaikan ucapannya, Dewa Arak yang 
telah bisa menduga siapa orang yang dimaksud segera melesat cepat. 
Dia tidak ingin terlambat lagi. Karuan saja tindakan Dewa Arak 
membuat Tungga Dewi kaget 

"Dewa Arak! Tunggu...!" seru gadis berpakaian kuning ini 
sambil melesat mengejar. 

Tapi, kali ini Dewa Arak tidak mempedulikannya. Bahkan 
terus mempercepat larinya. Di benaknya hanya ada Melati. Pikiran 
semula mengenai kejadian yang baru saja terjadi, terlupakan. Arya 
tahu, Karpala adalah seorang pemuda berhati lurus, dan berwatak 
baik. Kalau tidak, tak akan nantinya bisa bebas dari cengkeraman roh 
jahat itu. Roh jahat itu dapat masuk ke raganya, karena Karpala 
tengah sakit hati. 

Yang tinggal di tempat itu kini hanya Dara. Dan ketika 
pandanpn mata gadis berpakaian coklat ini beredar, jeritan menyayat 
hati pun keluar dari mulutnya. Ternyata dia melihat tubuh ayahnya, 
Pedang Halilintar Sakti, tewas! Kontan saja Dara jatuh pingsan. 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Petualang-petualang dari Nepal