Dewa Arak 75 - Racun Kelabang Merah


Hari menjelang petang. Matahari telah con- 
dong ke barat. Tampak dua sosok tubuh masih 
berada di sebuah tanah lapang. Mereka tengah si- 
buk dengan urusannya sehingga tidak sadar hari 
perlahan mulai gelap. 

"Lihat baik-baik, Ratih!" 

Seorang lelaki berusia sekitar lima puluh 
tahun, bertubuh tegap dan kekar, berpakaian cok- 
lat dengan wajah persegi yang membuatnya keli- 
hatan jantan, berkata setengah memberitahu. 
Ucapan itu ditujukan pada sosok satunya, seorang 
gadis cantik berpakaian merah, berambut dikuncir 
satu dan berusia sekitar dua puluh tahun. 

Lelaki berwajah persegi mengambil delapan 
batang pisau kecil dari balik bajunya. Kemudian, 
dilemparkannya ke depan. Pisau-pisau itu melun- 
cur dalam satu kelompok. Tapi ketika telah me- 
luncur dua tombak, pisau-pisau itu menyebar 
mencari arah luncuran sendiri-sendiri. 

Sepasang mata gadis berpakaian merah 
membelalak heran bercampur takjub. Memang ia 
telah diberitahu kalau delapan batang pisau yang 
meluncur itu akan menghunjam delapan tempat 
pada sasaran yang berupa orang-orangan dari je- 
rami. 

Tapi sebelum delapan pisau itu mendarat 
di sasaran, pohon besar berdaun lebat yang bera- 
da sekitar enam tombak di depan lelaki bermuka 
persegi dan gadis berpakaian merah, daun- 
daunnya berguguran bagai diterpa badai. Aneh- 
nya, daun-daun yang rontok itu meluncur ke arah 
delapan batang pisau, seperti sengaja mengha- 
dang. 

Prat, prat, prattt! 

Delapan batang pisau itu berbenturan den- 
gan daun-daun yang rontok. Terdengar bunyi cu- 
kup nyaring seakan-akan daun-daun itu terbuat 
dari logam. Luncuran pisau-pisau mengendur se- 
dangkan daun-daun runtuh ke tanah. Delapan ba- 
tang pisau itu kemudian jatuh sebelum mencapai 
sasaran, 

Lelaki bermuka persegi dan gadis berpa- 
kaian merah kelihatan terkejut Keduanya lang- 
sung menoleh ke sebelah kanan. Rontoknya daun- 
daun itu bukan karena sewajarnya. Sekitar tiga 
tombak di sebelah kanan mereka berdiri sesosok 
tubuh ramping dengan kedua tangan diseda- 
kapkan di depan dada. Sikapnya terlihat jumawa 
sekali! 

"Siapa kau gadis usilan?!" Gadis berpa- 
kaian merah yang bernama Ratih merasa tersing- 
gung melihat gangguan itu. Sepasang matanya 
membelalak lebar. Ratih hendak melangkah maju 
tapi segera diurungkan ketika merasakan sentu- 
han pada tangannya. Ratih menoleh, menatap le- 
laki berwajah persegi dengan sorot mata penasa- 
ran. 

"Sabarlah." Lelaki berwajah persegi berujar 
halus. "Menuruti kemarahan tidak akan menyele- 
saikan persoalan." 

"Tapi, Ayah." Ratih mencoba membantah. 
"Apakah kita akan mendiamkan saja tindakannya 
yang usil itu?" 

Lelaki berwajah persegi tersenyum. Ia 
memberi isyarat agar gadis berpakaian merah 
yang ternyata putrinya supaya bersabar. 

"Siapa kau, Nona Muda? Mengapa meng- 
ganggu kami? Sepengetahuanku di antara kita ti- 
dak ada permusuhan. Ataukah... kau mempunyai 
suatu ganjalan denganku?" tanya lelaki bermuka 
persegi dengan suara halus dan sikap sabar. 

"Cuhhh!" 

Jawaban dari gadis bertubuh ramping yang 
usianya sebaya dengan Ratih dan mengenakan 
pakaian hitam pekat adalah meludah dengan si- 
kap kasar. 

"Keparat!" 

Ratih yang memang sejak tadi sudah men- 
dongkol melihat tindakan gadis berpakaian hitam 
tidak bisa menahan kesabaran lagi. Ia langsung 
menerjang dan mengirimkan pukulan bertubi-tubi 
yang mengeluarkan bunyi bercicitan nyaring 

Plak, plak, plak! 

Tiga kali Ratih menyerang dan tiga kali pu- 
la gadis berpakaian hitam menangkis. Akibatnya, 
tubuh Ratih terdorong ke belakang dan ter- 
huyung-huyung. Bahkan, mungkin Ratih akan 
terbanting ke tanah kalau saja lelaki bermuka per- 
segi tidak keburu mengulurkan tangan menang- 
kapnya. 

"Kau jangan sembrono, Ratih. Gadis itu li- 
hai bukan main," tegur lelaki bermuka persegi, 
kemudian mendorong mundur tubuh putrinya. Le- 
laki tegap ini menghampiri gadis berpakaian hitam 
yang kembali bersidekap dengan angkuh. 

"Ahhh...!" 

Lelaki bermuka persegi menoleh ke bela- 
kang mendengar jeritan Ratih. Ucapan yang telah 
berada di ujung lidah dan siap untuk dikeluarkan, 
ditelannya kembali. 

"Ada apa, Ratih?"' tanya lelaki bermuka 
persegi khawatir. 

"Tanganku, Ayah. Perih, panas, dan gatal," 
beritahu Ratih seraya menunjukkan kedua tan- 
gannya. 

Wajah lelaki bermuka persegi memucat ke- 
tika melihat di kedua tangan putrinya terdapat 
bercak-bercak menghitam. Sekali lihat saja, lelaki 
bermuka persegi yang telah kenyang pengalaman 
ini bisa menduga Ratih telah keracunan. Dan, pe- 
nyebabnya adalah benturan dengan kedua tangan 
gadis berpakaian hitam. 

"Umurnya hanya sampai sepuluh hari, De- 
wa Seribu Pisau. Apabila sampai sepuluh hari ti- 
dak menemukan obat yang tepat, nyawanya akan 
melayang ke alam baka. Hi hi hi...!" Gadis berpa- 
kaian hitam tertawa dingin ketika lelaki bermuka 
persegi menoleh ke arahnya. 

"Perempuan keji!" Lelaki bermuka persegi 
yang berjuluk Dewa Seribu Pisau memaki. "Cepat 
berikan pemunahnya atau kau kukirim ke neraka. 
Cepat! Jangan sampai aku melupakan kalau kau 
hanya seorang gadis muda!" 

"Hi hi hi. Sombongnya...!" Gadis berpa- 
kaian hitam malah tertawa mengejek. Tidak dipe- 
dulikannya ancaman Dewa Seribu Pisau. "Kalau 
tidak tahu siapa sebenarnya kau, mungkin aku 
akan terharu mendengar ucapanmu, Dewa Seribu 
Pisau!" 

"Apa maksudmu, Perempuan Keji?!" bentak 
Dewa Seribu Pisau tidak mengerti. 

"Maksudku? Jadi, kau tidak tahu yang 
kumaksudkan, Dewa Seribu Pisau? Tidak tahu, 
atau pura-pura bodoh." 

"Tutup mulutmu, Wanita Liar! Jelaskan 
maksudmu, cepat!" Dewa Seribu Pisau tidak sa- 
bar. 

"Baiklah." Gadis berpakaian hitam menga- 
lah. Tapi, terlihat jelas bukan karena takut. "Tidak 
kusangka dalam usia semuda ini kau sudah pi- 
kun. Bukankah tadi kau katakan akan terpaksa 
bertindak keras padaku kalau aku tidak memberi- 
kan pemunah racun untuk putrimu. Bukankah 
demikian?" 

"Benar! Lalu, mengapa?!" 

"Berarti kalau aku memberikan obat pe- 
munah racun itu, kau merasa malu untuk menin- 
dakku." 

"Benar." Dewa Seribu Pisau menjawab ra- 
gu-ragu karena tidak mengetahui arah pembica- 
raan gadis berpakaian hitam. 

"Berarti kau merasa malu karena tidak se- 
padan bertarung dengan seorang gadis sepertiku," 
kejar gadis berpakaian hitam. 

"Tentu saja!" Dewa Seribu Pisau menjawab 
tegas. "Aku bukan orang yang suka melakukan 
tindakan kekerasan terhadap seorang gadis mu- 
da!" 

Senyum gadis berpakaian hitam lenyap. 
Sepasang mata yang bening dan indah itu berki- 
lat-kilat memancarkan hawa maut. 

"Pendusta! Pembohong Besar! Mulutmu tak 
ubahnya tahi ayam! Yang keluar dari mulutmu 
bukan ucapan melainkan kotoran!" maki gadis 
berpakaian hitam "Orang lain mungkin bisa kau 
bohongi dengan sikap gagahmu. Tapi, aku? Aku 
tidak akan bisa kau tipu. Lupakah kau dengan 
seorang gadis kecil berusia delapan tahun yang 
kau kejar-kejar untuk dibinasakan? Lupakah kau 
kalau akhirnya salah satu pisaumu menembus 
tubuhku? Itukah yang kau katakan kalau dirimu 
tidak akan bertindak keras terhadap seorang gadis 
muda? Jangankan terhadap seorang gadis muda. 
Kepada gadis kecil pun kau sampai hati. Itukah 
ucapan seorang lelaki gagah?!" 

Kata-kata yang meluncur deras dari mulut 
gadis berpakaian hitam bagaikan gelombang laut. 
Susul-menyusul. Kata-kata yang keras dan tajam 
itu membuat wajah Dewa Seribu Pisau berubah- 
ubah sebentar pucat sebentar merah. Terlihat jelas 
ucapan itu mempunyai pengaruh besar. 

"Sekarang aku ingat." Dewa Seribu Pisau 
menyahuti setelah terdiam beberapa saat. Sua- 
ranya terdengar serak karena kata-kata gadis ber- 
pakaian hitam yang tajam telah membuatnya ter- 
pukul sekali. "Kau adalah putri Panangkaran yang 
jahat itu." 

"Benar!" Gadis berpakaian hitam menjawab 
tegas. Lehernya ditegakkan dan dadanya dibu- 
sungkan. "Namaku Pertiwi!" 

Dewa Seribu Pisau tersenyum pahit. Seka- 
rang dia bisa menduga maksud kedatangan putri 
Panangkaran itu. Panangkaran, pemimpin gerom- 
bolan penjahat yang menciptakan kekacauan di 
dunia persilatan. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh 
golongan putih yang tewas di tangannya. Hanya 
berkat persatuan para pendekar yang di antaranya 
terdapat Dewa Seribu Pisau, kelompok Panangka- 
ran dapat dihancurkan. Bahkan, guru Panangka- 
ran, seorang datuk kaum sesat dapat ditewaskan. 
Sayang, Panangkaran berhasil lolos! Tapi, Dewa 
Seribu Pisau tidak terlalu khawatir karena yakin 
Panangkaran tidak berbahaya lagi. Panangkaran 
telah terluka berat. 

"Jadi, kedatanganmu kemari untuk mem- 
balas dendam?" Dewa Seribu Pisau mengeluarkan 
duga-annya. 

"Tidak salah!" Pertiwi mengangguk pasti. 
"Sekarang, bersiaplah untuk menerima kematian- 
mu, Dewa Seribu Pisau!" 

kkk 


Dewa Seribu Pisau tahu Pertiwi bukan la- 
wan yang patut dipandang rendah. Telah disaksi- 
kannya sendiri ketika hanya dengan segebrakan 
Ratih dibuat tak berdaya. Meski demikian, dia ber- 
sikap tenang dan tidak mendahului melakukan se- 
rangan. 

"Hik!" 

Pertiwi mengulurkan kedua tangannya ke 
arah pohon besar yang tadi daun-daunnya digu- 
gurkan. Dari kedua tangan yang halus dan berku- 
lit putih itu keluar serangkum angin keras. Daun- 
daun pohon berguguran dan melayang ke bawah. 
Pertiwi mengeluarkan bentakan nyaring seraya 
menggetarkan tangannya. Daun-daun itu berhenti 
melayang turun, tertahan di udara bagai ditahan 
kekuatan kasat mata. Sekali lagi gadis berpakaian 
hitam mengeluarkan pekikan nyaring, yang me- 
maksa Ratih menyeringai karena merasakan ke- 
dua telinganya sakit dan dadanya bergetar keras. 

"Uh...!" 

Dewa Seribu Pisau menatap takjub melihat 
daun-daun yang jumlahnya belasan ini melayang 
ke arahnya. Tidak cepat. Tapi, lelaki bermuka per- 
segi ini tahu ancaman maut di dalam luncuran 
daun-daun itu tidak berkurang. 

Hal lain yang membuat Dewa Seribu Pisau 
takjub adalah daun-daun itu meluncur beriringan 
dalam satu lajur! 

Dewa Seribu Pisau tidak mau kalah gertak. 
Dia tahu Pertiwi memiliki tenaga dalam tinggi se- 
hingga mampu melakukan hal demikian. Lelaki 
bermuka persegi ini tidak menjadi gentar. Berge- 
gas tangan kanannya yang terkepal dipukulkan ke 
depan. Angin luar biasa keras berhembus dari 
tangan Dewa Seribu Pisau. Ia hendak meruntuh- 
kan barisan daun-daun yang menuju ke arahnya. 

Pertiwi mengetahui maksud lawannya. La- 
gi-lagi gadis berpakaian hitam ini mengeluarkan 
pekikan keras. Bagai memiliki nyawa daun-daun 
itu meliuk ke atas. Masih dalam satu barisan. Pu- 
kulan jarak jauh Dewa Seribu Pisau pun meluncur 
di bawah daun-daun itu! 

Dewa Seribu Pisau, apalagi Ratih, terpana 
melihat kenyataan ini. Pemandangan yang tercipta 
di hadapan mereka itu merupakan pertunjukan 
tenaga dalam tingkat tinggi. Tapi meski kaget, De- 
wa Seribu Pisau tidak kehilangan akal. Dia me- 
lompat ke belakang untuk mempertahankan jarak. 
Lalu, diambilnya delapan batang pisau dan dilem- 
parkan ke arah barisan daun-daun. 

Untuk kedua kalinya lelaki bermuka perse- 
gi menunjukkan kebenaran julukan yang disan- 
dangnya. Pisau-pisau yang dilepaskan secara ber- 
samaan itu meluncur seperti dilepaskan satu- 
persatu. Terdapat tenggang waktu antara luncu- 
ran pisau-pisau itu. Dan, semua pisau meluncur 
ke arah daun-daun yang tengah mengarah pada 
Dewa Seribu Pisau. 

Tapi, betapa terkejutnya lelaki berwajah 
persegi. Delapan batang pisaunya untuk pertama 
kali gagal menjalankan tugas. Begitu Pertiwi 
menggetarkan kedua tangannya, daun-daun itu 
berpencar. Hal ini menyebabkan pisau-pisau Dewa 
Seribu Pisau mengenai tempat kosong. 

Sebelum Dewa Seribu Pisau tersadar dari 
perasaan kagetnya, daun-daun yang berpencaran 
itu meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang 
luar biasa hingga menimbulkan bunyi berciutan 
nyaring. Dewa Seribu Pisau melihat adanya anca- 
man maut tidak berdiam diri. Dengan mempergu- 
nakan kedua tangan dilancarkannya pukulan ja- 
rak jauh bertubi-tubi ke arah daun-daun itu. 

Usaha Dewa Seribu Pisau memang tidak 
sia-sia. Beberapa daun-daun itu berjatuhan dalam 
keadaan sobek dan hancur. Sebagian kecil runtuh 
terserempet angin pukulan dahsyat itu. Tapi, se- 
bagian besar tetap meluncur ke arahnya. 

Dewa Seribu Pisau yang tidak ingin kehi- 
langan nyawa melompat ke belakang seraya me- 
lontarkan pukulan jarak jauh. 

Crap, crap, crap! 

"Akh...!" 

Dewa Seribu Pisau mengeluarkan jeritan 
menyayat hati ketika akhirnya beberapa daun 
yang tersisa menghunjam tubuhnya pada bebera- 
pa bagian yang mematikan. Darah mengucur ke- 
luar. Lelaki itu menggeliat-geliat sebentar sebelum 
diam tidak bergerak-gerak lagi 

"Ayah...!" 

Ratih yang sejak tadi menyaksikan jalan- 
nya pertarungan memburu ke arah Dewa Seribu 
Pisau. Wanita berpakaian merah ini menubruk tu- 
buh ayahnya yang terkapar sambil menangis me- 
milukan. 

Pertiwi hanya tersenyum mengejek. Dengan 
sinar mata berseri dan kepuasan hati tubuhnya 
dibalikkan dan mengayunkan kaki meninggalkan 
tempat itu. 

Pertiwi sengaja tidak membunuh Ratih. 
Bukan karena tidak tega atau kasihan, melainkan 
karena hatinya yang kejam. Ratih telah keracu- 
nan. Dan, racun itu akan menyeret Ratih ke alam 
baka secara perlahan dengan perasaan tersiksa. 

kkk 

"Aaa...!" 

Jeritan panjang menyayat hati membuat le- 
laki bertubuh jangkung yang tengah sibuk men- 
cangkuli tanah menghentikan pekerjaannya. Pa- 
dahal, saat itu lelaki setengah baya itu tengah siap 
menghantamkan mata cangkulnya ke tanah. 
Cangkul itu jadi berhenti di atas kepala. Ia segera 
mengarahkan pandangannya ke sebuah rumah 
sederhana yang berada tak jauh dari tempatnya. 
Lelaki tinggi kurus ini tengah berada di sawah. 

"Eka." Bibir lelaki jangkung itu menggu- 
mamkan sebuah nama. Cangkulnya dihempaskan 
ke tanah. Kemudian, tubuhnya melesat ke arah 
pondok sederhana tempat suara jeritan tadi beras- 
al. Gerakan lelaki jangkung ini begitu cepat dan 
ringan. 

"Eka...!" 

Lelaki jangkung ini mengeluarkan teriakan 
keras. Sepasang matanya membelalak lebar mena- 
tap tidak percaya. 

Di daun pintu pondok sederhana tertempel 
sesosok tubuh wanita setengah baya. Kedua tan- 
gan dan kakinya terpentang. Tubuhnya menempel 
karena telapak tangan dan kakinya ditembus pi- 
sau tajam sampai ke daun pintu. 

Pemandangan itu saja sudah cukup me- 
nyeramkan hati. Apalagi, ditambah dengan me- 
rayapnya belasan ekor kelabang di sekujur tubuh 
wanita itu. Melihat wajah wanita setengah baya 
yang bersemu kehijauan dan kepalanya terkulai, 
lelaki Jangkung mengetahui wanita setengah baya 
itu telah keracunan. Sudah pasti karena gigitan 
kelabang-kelabang hitam itu! 

"Keparat!" 

Setelah sadar dari keterkejutannya, lelaki 
jangkung menghentakkan kedua tangannya ke 
depan. Angin keras berhembus. Dan, kelabang- 
kelabang itu berpentalan tak tentu arah. 

"Eka...!" 

Dengan suara seperti orang merintih, lelaki 
Jangkung melesat menghampiri. 

"Binatang dari mana yang telah melakukan 
kekejian terhadapmu, Eka...?" 

Lelaki jangkung tidak berani menyentuh 
tubuh wanita setengah baya yang bernama Eka. 
Tubuh Eka mengandung racun mematikan dan 
dia telah tewas. Meninggal dalam keadaan amat 
tersiksa. 

"Selamat berjumpa lagi, Bagas Pati!" 

Lelaki jangkung terlonjak kaget bagai dis- 
engat kalajengking mendengar teguran itu. Cepat 
tubuhnya dibalikkan mencari asal suara. Sikap le- 
laki berpakaian sederhana ini kelihatan waspada. 
Pemilik suara itu tampaknya memiliki ilmu merin- 
gankan tubuh luar biasa. Kedatangannya tidak 
terdengar. "Kau...?!" 

Suara lelaki jangkung yang disapa dengan 
nama Bagas Pati seperti tercekat di tenggorokan. 
Ketidakpercayaan yang sangat membayang jelas 
pada wajahnya yang cukup gagah. 

"Kenapa, Bagas Pati? Kaget?" 

Orang yang menyapa Bagas Pati ternyata 
seorang lelaki tinggi besar berkulit hitam dan be- 
rambut panjang. Sebelah matanya ditutup kain hi- 
tam. 

"Aku yakin kau tidak lupa padaku, Bagas 
Pati." 

Ucapan bernada ejekan itu mampu mere- 
dam perasaan kaget Bagas Pati. Sikap dan sua- 
ranya terdengar lebih tenang. 

"Siapa yang bisa melupakan iblis busuk te- 
ramat keji? Sungguh tidak kusangka kau bisa se- 
lamat, Panangkaran" 

"He he he...!" Laki-laki tinggi besar yang di- 
panggil Panangkaran terkekeh. "Tentu saja, Bagas 
Pati. Aku tidak akan meninggalkan dunia ini sebe- 
lum orang-orang yang telah menghancurkan hi- 
dupku menerima balasannya. Menerima pembala- 
san atas kelancangan mereka terhadapku. Dan, 
kau merupakan salah seorang di antaranya!" 

Sepasang mata Bagas Pati menyipit men- 
dengar pernyataan itu. Ada sorot mata, kebencian 
dan dendam di sana. Wajahnya tampak beringas. 

"Sekarang aku mengerti." Bagas Pati berka- 
ta dengan suara bergetar. "Pasti kau yang telah 
melakukan kekejian terhadap istriku. Tidak ada 
orang lain yang mampu bertindak sekeji ini kecua- 
li kau, Panangkaran!" 


Panangkaran tertawa bergelak memperli- 
hatkan kegembiraan hatinya. 

"Syukur kalau kau bisa menduga demi- 
kian, Bagas Pati," ujar lelaki bermata sebelah ini 
ringan. "Memang aku pelakunya. Asal kau tahu 
saja, aku tidak mudah untuk menemukanmu. 
Berhari-hari aku melacak jejakmu. Kulihat kau 
tengah sibuk di sawah. Sungguh tidak kusangka 
kalau di tempat ini kujumpai istrimu. Maksudku 
semula hendak menunggu kedatanganmu di sini 
untuk memberikan kejutan. Tapi, niat itu segera 
ku urungkan. Aku memancingmu datang ke sini 
melalui istrimu. Sayang sekali, Bagas Pati, kau ti- 
dak melihat saat-saat istrimu meregang maut. Ha 
ha ha. Menyenangkan sekali, Bagas Pati!" 

"Jahanam!" 

Bagas Pati tidak dapat menahan kemara- 
hannya lagi mendengar Panangkaran mencerita- 
kan saat-saat kematian istrinya. Meski tidak meli- 
hat, Bagas Pati dapat membayangkan betapa 
menderita istrinya sebelum maut menjemput Ke- 
marahan yang melanda Bagas Pati pun tidak bisa 
dibendung lagi! 

Dalam cekaman perasaan marah yang 
menggelegak Bagas Pati menerjang dengan ilmu- 
ilmu andalan. Lelaki jangkung ini langsung men- 
geluarkan serangan maut. Dia melompat dengan 
tangan kanan menampar ke arah pelipis. Tangan 
kiri Bagas Pati pun tidak tinggal diam. Tangan itu 
digerakkan mencengkeram ke arah pusar. Dua 
buah serangan maut yang amat berbahaya. 

Panangkaran hanya mengeluarkan tawa 
meremehkan. Begitu serangan-serangan maut itu 
menyambar dekat, lelaki tinggi besar ini bergerak 
menangkis. Ketika terjadi benturan keras tubuh 
Bagas Pati terpental ke belakang dengan tangan 
terasa sakit dan ngilu bukan main. 

Bagas Pati menatap Panangkaran dengan 
sepasang mata membelalak heran. Dilihatnya ti- 
dak bergeming dari kedudukannya semula. Lelaki 
tinggi besar ini tidak terpengaruh dengan bentu- 
ran yang baru saja terjadi. Ini mengejutkan Bagas 
Pati! Padahal, ia telah mengerahkan seluruh tena- 
ga dalamnya. Dia tahu dulu Panangkaran memiliki 
kepandaian setingkat dengannya. Ketika bertarung 
dengannya, Panangkaran terluka amat parah. Ta- 
pi, mengapa sekarang Panangkaran memiliki ke- 
pandaian dahsyat seakan waktu belasan tahun itu 
telah dipergunakan untuk melatih diri? 

Bagas Pati sendiri meski telah mengasing- 
kan diri dan memilih hidup sebagai petani tetap 
tidak melupakan ilmu silatnya dan terus berlatih. 
Bila dibandingkan dengan belasan tahun lalu dia 
mengalami kemajuan pesat. 

Melihat Bagas Pati tidak melanjutkan se- 
rangannya, malah tercenung bingung, Panangka- 
ran tidak mempergunakan kesempatan itu untuk 
melancarkan serangan. Sikap lelaki tinggi besar ini 
terlihat demikian tenang. Tampaknya, ia merasa 
yakin dengan kemampuan dirinya akan mampu 
mengalahkan Bagas Pati! 

"Bagas Pati, waktu untukmu menghadap 
malaikat maut telah hampir tiba. Kau merupakan 
orang pertama yang mendapat balasan atas han- 
curnya gerombolan yang dulu kubangun dengan 
susah payah!" 

Panangkaran mengucapkan kata-kata itu 
dengan berirama, seperti bernyanyi. 

Bagas Pati yang sebelumnya sudah bersiap 
untuk melancarkan serangan, mendadak meng- 
hentikan gerakannya. Ucapan-ucapan yang dika- 
takan secara berirama itu mengandung kekuatan 
dahsyat. Setiap kata yang keluar membuat telinga 
Bagas Pati mendenging, seperti mendengar leda- 
kan halilintar di dekatnya. Dada Bagas Pati berge- 
tar. Bahkan, kedua kakinya berdiri goyah. 

Pengaruh yang melanda Bagas Pati sema- 
kin menjadi-jadi ketika Panangkaran mengulang 
perkataannya. Bagas Pati yang merupakan tokoh 
persilatan dengan pengalaman segudang segera 
tahu Panangkaran telah mengirim serangan tena- 
ga dalam. Tentu saja Bagas Pati tidak ingin mati 
konyol. Dia segera duduk bersila mengerahkan te- 
naga dalam untuk melawan pengaruh ucapan 
yang dikeluarkan dengan berirama itu. 

Pertarungan adu tenaga dalam pun ber- 
langsung. Panangkaran terus mengulang perka- 
taannya. Bagas Pati semakin tenggelam dalam se- 
madinya. Maka beberapa saat tidak terjadi apa 
pun. Tapi ketika Panangkaran mengulang perka- 
taannya untuk kelima kali, wajah Bagas Pati mulai 
dibanjiri peluh. Wajah yang semula merah padam 
tampak semakin merah. Bahkan, dari atas kepala 
Bagas Pati mengepul uap putih. Semakin lama 
semakin tebal. Lelaki jangkung ini telah menge- 
rahkan tenaga dalam melewati batas. 


■k-k-k 


"Menggunakan kemampuan untuk mela- 
kukan tindakan sewenang-wenang terhadap orang 
lain merupakan perbuatan tidak terpuji!" 

Perkataan yang diucapkan tidak keras tapi 
mengandung getaran yang menyelusup sampai 
jauh ke dalam dada terdengar di saat-saat kea- 
daan Bagas Pati semakin mengkhawatirkan. 

Seperti juga Panangkaran yang mengulang- 
ulang perkataannya. Seruan yang terdengar bela- 
kangan itu juga diulang-ulang. Pemilik suara itu 
mengekor ucapan Panangkaran. 

Panangkaran menggeram di dalam hati. 
Ada orang yang menghalangi perbuatannya untuk 
membunuh Bagas Pati. Seruan orang itu mengan- 
dung pengaruh yang menentang ucapan Panang- 
karan. Bahkan, Panangkaran merasakan kekua- 
tan tak nampak menyelusup di dalam telinga dan 
menyakitkan gendang telinganya. Seruan yang ke- 
luar dari orang yang memiliki tenaga dalam tinggi. 

Berbeda dengan Panangkaran, Bagas Pati 
mendapat keuntungan. Setelah seruan-seruan ke- 
dua terdengar, pengaruh yang mengungkungi Ba- 
gas Pati mulai berkurang. Semakin lama pengaruh 
itu semakin menghilang sehingga Bagas Pati 
menghentikan pengerahan tenaga dalamnya. 

Sementara beberapa tombak di depan Ba- 
gas Pati, Panangkaran masih sibuk mengeluarkan 
perkataannya. Bahkan, Panangkaran menambah 
kekuatan tenaga dalam karena pemilik seruan 
yang tidak terlihat itu terus berkata-kata. Wajah 
Panangkaran mulai merah padam. Dan, bertam- 
bah merah. Seruan-seruan yang keluar dari mu- 
lutnya semakin melemah. Sebaliknya, seruan yang 
keluar belakangan semakin menguat. Bahkan, se- 
perti bergema ke sekitar tempat itu. 

"Huakh...!" 

Panangkaran memuntahkan darah segar 
ketika memaksakan diri untuk melawan. Tubuh 
lelaki tinggi besar ini terbungkuk-bungkuk ketika 
cairan merah kental itu keluar dari mulutnya. 
Seiring dengan keluarnya darah dari mulut Pa- 
nangkaran, seruan yang terdengar belakangan itu 
pun lenyap. 

"Kalau bukan pengecut, keluar kau orang 
usil...!" Tanpa mengenal takut sama sekali, Pa- 
nangkaran berteriak cukup keras. Panangkaran 
tidak mau mengerahkan tenaga dalam. Saat itu 
dia telah terluka cukup parah. Apabila memaksa- 
kan diri, luka dalam yang dideritanya akan ber- 
tambah parah. Mungkin akan menyebabkan nya- 
wanya melayang ke alam baka. 

Baru saja Panangkaran selesai meneriak- 
kan kata-katanya, dari balik kerimbunan semak- 
semak melesat keluar sesosok tubuh berpakaian 
ungu, Sosok itu bertubuh tegap dan kekar. Wa- 
jahnya tampan, ia mengayunkan kaki dengan te- 
nang menghampiri Panangkaran. 

"Aku bukan seorang pengecut, Sobat. Aku 
sengaja menyembunyikan diri karena tidak ingin 
dikenal. Aku tidak mau mencari permusuhan," 
ujar pemuda berpakaian ungu yang memiliki ram- 
but putih keperakan. 

"Tidak usah bicara berputar-putar, Pemuda 
Usilan!" tegas Panangkaran lantang. "Kau telah 
mencampuri urusanku, itu sama dengan menan- 
tangku. Kali ini aku mengaku kalah. Tapi, suatu 
saat nanti kita akan bertemu lagi. Aku, Panangka- 
ran, tidak bisa menerima kekalahan! Apalagi di 
tangan orang semuda kau. Kalau kau bukan pen- 
gecut perkenalkan dirimu!" 

Pemuda berambut putih keperakan itu 
mengernyitkan alisnya dengan sikap tidak senang. 
Dua kali Panangkaran berkata, dua kali pula lelaki 
tinggi besar itu memakinya pengecut. Mau tidak 
mau, pemuda berambut putih keperakan itu 
memperkenalkan diri. 

"Sudah kukatakan aku tidak ingin mencari 
permusuhan. Tapi kalau kau ingin mengenalku, 
namaku Arya Buana. Dunia persilatan memberi- 
kan julukan padaku. Dewa Arak itu julukanku!" 
tandas pemuda berambut putih keperakan. 

Wajah Panangkaran berubah hebat men- 
dengar jawaban itu. Meski baru kembali ke dunia 
ramai, lelaki tinggi besar ini telah mendengar na- 
ma besar Dewa Arak yang menggemparkan dunia 
persilatan. 

"Ternyata berita yang kudengar itu benar." 
Panangkaran tersenyum pahit "Kau memang seo- 
rang pendekar yang luar biasa. Tapi tunggulah, 
Dewa Arak. Saat kekalahanmu segera tiba. Sela- 
mat tinggal!" 

Dengan sikap yakin Dewa Arak akan mem- 
biarkan pergi dengan selamat, Panangkaran mem- 
balikkan tubuh dan melesat pergi dengan langkah 
agak terhuyung. 

Dewa Arak hanya memandangi saja keper- 
gian Panangkaran. Sikap Panangkaran yang terla- 
lu yakin membuat Arya tidak melakukan pengeja- 
ran. Panangkaran memperlihatkan sikap kalau di- 
rinya mempercayai Dewa Arak. 

2

Arya membalikkan tubuh dan mengalihkan 
perhatian dari tubuh Panangkaran yang lenyap di- 
telan kejauhan ketika mendengar bunyi menggelo- 
gok. Dilihatnya Bagas Pati duduk bersila dan me- 
muntahkan darah segar. Tampaknya, ia mengala- 
mi luka dalam yang amat parah. Maka tanpa 
membuang-buang waktu lagi, pemuda berambut 
putih keperakan ini bergegas menghampiri. Ia in- 
gin memberi pertolongan. Dan, cara yang paling 
tepat adalah dengan menyalurkan tenaga dalam. 

Tapi Arya menghentikan maksudnya ketika 
melihat lelaki jangkung itu menggeliat. Ternyata 
seekor kelabang hitam telah menggigit kakinya. 
Kelabang itu memiliki racun yang mematikan. 

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah. 
Dia tidak mau mengambil resiko mengobati kera- 
cunan dengan arak dalam gucinya. Arya tahu Pa- 
nangkaran sebagai pemilik kelabang pasti memili- 
ki pemunahnya. Pemuda berambut keperakan ini 
segera melesat ke arah Panangkaran tadi pergi. 

Tapi, belum berapa jauh Arya meninggal- 
kan Bagas Pati yang sibuk dengan semadinya ter- 
dengar suara bentakan dari belakang. 

"Penjahat keji...! Jangan pergi kau...!" 

Menduga seruan itu ditujukan padanya, 
Aiya menghentikan larinya. Tapi sebelum tubuh- 
nya dibalikkan pemuda berambut putih keperakan 
ini merasakan desiran angin di atas kepalanya. 
Sebagai orang yang telah kenyang pengalaman, 
Arya tahu pemilik seruan itu tengah melompa- 
tinya. Maka, dia bersikap tenang dan mengarah- 
kan pandangan ke depan. 

Dua tombak di depan Arya mendarat rin- 
gan sesosok tubuh tegap pemuda berpakaian cok- 
lat. Aiya tidak merasa terkejut melihat pemuda itu 
menjejakkan kaki tanpa menimbulkan bunyi sedi- 
kit pun. 

Yang membuat Arya kaget, tapi tidak di 
tampakkan pada wajahnya yang tetap kelihatan 
tenang, adalah seruan yang ditujukan padanya. 
Benak Arya segera teringat pada Bagas Pati yang 
ditinggalkannya. Mungkinkah seruan tadi ada hu- 
bungannya dengan hal itu? 

"Mengapa kau menghadang perjalananku, 
Sobat? Dan, apakah maksud ucapanmu tadi? Se- 
ruan itu kau tujukan padaku?" tanya Arya tenang, 
tidak langsung mengajukan dugaan. 

"Penjahat keji terkutuk!" 

Pemuda berpakaian coklat yang berusia 
sekitar dua puluh satu tahun, bertubuh pendek 
kekar dengan kumis tebal melintang, menggeram 
keras bagai binatang buas terluka. 

"Kalau tidak kau yang mati, aku yang akan 
menjadi mayat di sini." 

Pemuda berpakaian coklat membuka se- 
rangan dengan tendangan bertubi-tubi yang dila- 
kukan dengan kaki kanan dan kiri. Suara angin 
menderu keras mengiringi serangan itu. 

Dewa Arak tahu pemuda berpakaian coklat 
ini tidak bisa diberikan penjelasan dengan kata- 
kata, tidak mempunyai pilihan lain kecuali mem- 
berikan perlawanan. Serangan-serangan pemuda 
berpakai an coklat hebat bukan main. Arya tidak 
dapat menahan rasa ingin tahunya. Melihat pe- 
muda berpakaian coklat memiliki kepandaian he- 
bat, ia memutuskan akan mengukur kekuatan la- 
wan. 

Pemuda berpakaian coklat membuka seran- 
gannya dengan tendangan bertubi-tubi. Suara an- 
gin menderu mengiringi serangan itu. Melihat pe- 
muda berpakaian coklat memiliki kepandaian lu- 
mayan, Arya jadi timbul rasa ingin tahunya. Ia pun 
memutuskan ingin menjajal kekuatan lawan! 

Duk, dukkk, dukkk! 

Suara keras terdengar berkali-kali ketika 
sepasang kaki Arya berbenturan dengan kaki pe- 
muda berpakaian coklat. Tubuh pemuda berpa- 
kaian coklat terhuyung-huyung ke belakang den- 
gan seringai kesakitan di wajahnya. Sedangkan 
Arya hanya bergetar. 

Pemuda berpakaian coklat menggeram ke- 
ras. Dia tampak sangat marah. 

"Pantas ayahku dapat kau kalahkan. Ter- 
nyata kau memiliki kepandaian hebat. Tapi, itu ti- 
dak membuatku jadi gentar, Penjahat Keji!" 

Pemuda berpakaian coklat kembali menye- 
rang. Arya meladeninya. Pertarungan kedua tokoh 
muda, yang sama-sama lihai itu pun berlangsung 
sengit. 

Arya semakin mengetahui kalau kepan- 
daian pemuda berpakaian coklat ini memang amat 
tinggi. Sungguh pun jika mengerahkan seluruh 
kemampuannya dengan ilmu 'Belalang Sakti' la- 
wan akan dapat dikalahkan, tapi itu membutuh- 
kan waktu yang lama. Itu pun harus melukainya 
dengan cukup berat. Arya tidak menginginkan hal 
itu. Pemuda berpakaian coklat ini hanya salah pa- 
ham. Maka, ketika lagi-lagi pemuda berpakaian 
coklat melancarkan serangan dengan pukulan te- 
lapak tangan terbuka, Arya menyambutnya. 

Bresss! 

Tubuh pemuda berpakaian coklat terjeng- 
kang lalu terguling-guling di tanah. Sedangkan tu- 
buh Arya bergoyang-goyang. Arya yang memang 
tidak ingin melanjutkan pertarungan meman- 
faatkan kesempatan itu untuk melempar tubuh- 
nya ke belakang dan melesat meninggalkan tempat 
itu. 

Pemuda berpakaian coklat tidak mengin- 
ginkan Dewa Arak kabur. Dengan kepala masih 
pusing dan pandangan berkunang-kunang dia me- 
lesat mengejar. 

Tapi, karena Arya telah lebih dulu dan ke- 
cepatan lari pemuda berambut putih keperakan 
itu di atas lawannya, dalam waktu singkat Arya te- 
lah lenyap dari pandangan. Tinggal pemuda ber- 
pakaian coklat dengan perasaan geram. Sorot ma- 
ta memancarkan kebencian menatap ke arah le- 
nyapnya Dewa Arak. 

"Penjahat Keji, dengarlah...! Sampai ke 
ujung dunia pun kau akan kucari...!" 


kkk 


"Ayaaah...! Ibuuu...!" 

Sambil berseru keras seorang pemuda ber- 
pakaian kuning melesat ke arah tempat di mana 
tubuh Bagas Pati dan Eka berada. 

Pemuda itu menatap berganti-ganti pada 
Bagas Pati dan Eka. Sorot matanya penuh pera- 
saan sedih dan penyesalan. Pemuda bertubuh 
tinggi kekar ini melihat ibunya telah tewas. Tidak 
ada yang dapat dilakukannya lagi untuk menye- 
lamatkan Eka. Maka, pandangannya dialihkan 
pada Bagas Pati yang tergolek lemah di tanah. Na- 
pasnya masih ada. Keadaan lelaki jangkung ini 
terlihat sangat payah. Wajahnya telah bersemu 
kehijauan seperti halnya wajah Eka. 

"Keparat!" 

Pemuda berpakaian kuning memaki. Sepa- 
sang matanya yang tajam berkilat-kilat menatap 
penuh dendam pada kelabang-kelabang hitam 
yang berkeliaran di sekujur tubuh Bagas Pati. 

Pemuda berpakaian kuning lalu bertepuk 
tangan sekali. Kelabang-kelabang yang tengah 
asyik bermain itu terangkat semua. Kemudian, 
melayang ke belakang menjauhi tubuh Bagas Pati. 
Setelah itu kedua tangan pemuda itu digosok- 
gosokkan. 

Sekelebatan sinar dari tangannya me- 
nyambar ke arah kelabang-kelabang yang masih 
tergantung di awang-awang. Terdengar bunyi letu- 
pan kecil disusul dengan bunyi sangit seperti dag- 
ing terbakar. Kelabang-kelabang itu dalam sekejap 
telah menjadi arang dan hancur tertiup angin. 

"Ayaaah...!" 

Pemuda berpakaian kuning lalu mendekati 
Bagas Pati. Ayahnya tidak bisa diselamatkan lagi. 
Napas lelaki jangkung itu tinggal satu-satu. 

•kick 


"Ludiga...." Hampir tidak terdengar ucapan 
Bagas Pati. Bibirnya yang telah pucat bergerak pe- 
lan. 

Pemuda berpakaian kuning yang tahu 
ayahnya ingin menyampaikan pesan terakhir sege- 
ra mendekatkan telinganya pada mulut lelaki 
jangkung itu. 

"Syukur kau datang. Aku, terutama sekali 
ibumu, sangat rindu padamu. Aku gembira masih 
sempat bertemu denganmu, meski ibumu tidak 
dapat bertemu muka denganmu. Sekarang kau 
bukan lagi bocah berusia sepuluh tahun seperti 
dulu, Ludiga. Aku yakin kau telah memiliki ke- 
pandaian tinggi. O ya, bagaimana kabar gurumu, 
Eyang Sapta Geni?" 

"Baik, Ayah. Guru titip salam untuk Ayah," 
jawab Ludiga dengan suara tercekat di tenggoro- 
kan karena perasaan haru dan sedih. Kedatan- 
gannya kurang cepat 

"Kuterima salamnya, Ludiga. Dan, kuminta 
kau suka menyampaikan salamku padanya bila 
bertemu nanti," ucap Bagas Pati. Suaranya sema- 
kin pelan. 

Ludiga mengangguk menyetujui permin- 
taan ayahnya "Katakan, Ayah, siapa yang telah 
melakukan kekejian ini? Aku berjanji akan me- 
nuntut balas atas kekejian yang telah dilakukan- 
nya." 

Sepasang mata Bagas Pati semakin redup 
seakan kehilangan sinar. 

"Panangkaran...." 

"Panangkaran...?!" Ludiga mengulang ja- 
waban Bagas Pati, meminta kepastian. "Maksud 
Ayah, Panangkaran yang sepuluh tahun lalu per- 
kumpulannya dihancurkan oleh kelompok pende- 
kar? Panangkaran..." Ludiga menghentikan uca- 
pannya ketika melihat kepala Bagas Pati terkulai. 
Lelaki jangkung itu telah meninggal. "Ayah...!" 

Ludiga mengguncang-guncangkan tubuh 
ayahnya berharap terjadi suatu keajaiban. Ia tidak 
percaya Bagas Pati telah meninggal. Pemuda ini 
baru percaya ketika tubuh yang diguncang- 
guncang itu tidak memberikan tanggapan. 


kkk 


Tanpa ada beban batin sama sekali Dewa 
Arak melangkahkan kaki melanjutkan perjalanan. 
Pemuda berambut putih keperakan ini tidak tahu 
ke mana harus menuju. 

Kesantaian sikap pemuda itu langsung 
buyar ketika melihat beberapa sosok di depannya. 

Jarak antara dua sosok itu dengan Arya tak ku- 
rang dari lima puluh tombak. Tapi, itu tidak men- 
jadi halangan bagi Arya untuk mengenali sosok- 
sosok yang tengah berkejaran itu. Sepasang mata 
Arya tajam bukan main, sehingga bisa melihat 
dengan jelas. Apalagi arah yang dituju dua sosok 
itu adalah tempat Arya berada. 

Dua sosok itu ternyata memiliki kepan- 
daian tinggi. Dalam sekejap mereka telah berada 
dekat dengan Arya. Sosok pertama seorang gadis 
cantik berpakaian serba hitam. Rambutnya dikun- 
cir. Sedangkan sosok kedua seorang kakek ber- 
jenggot panjang putih dan berpakaian putih. 
Meski dari jenggotnya bisa diketahui kalau usia 
kakek ini telah sangat tua, tapi wajahnya masih 
kelihatan segar. 

Gadis berpakaian hitam itu tak lama lagi 
akan terkejar lawannya. Arya yang tidak bisa me- 
lihat tindak ketidak-adilan segera memutuskan 
untuk campur tangan. 

Sekali Arya menjejakkan kaki, tubuhnya 
telah berada di antara gadis berpakaian hitam dan 
pengejarnya. Hal ini memaksa kakek berjenggot 
putih menghentikan pengejaran. 

"Tunggu sebentar, Kek," cegah Arya seraya 
menjulurkan tangan kanan mencegah. 

Sepasang mata kakek berjenggot putih 
mencorong tajam. Kalau saja sinar mata dapat di- 
andaikan dengan sebuah serangan, tentu saat itu 
Arya tengah menghadapi serangan dahsyat. 

"Pantas betina jahat itu melarikan diri ke- 
mari. Pantas juga dia berani melakukan tindakan 
kejahatan. Rupanya dia mempunyai pembela. Su- 
dah kepalang tanggung usahaku, kau pun harus 
kulenyapkan, Anak Muda!" 

Tanpa mempedulikan Dewa Arak yang ti- 
dak mengerti ucapan-ucapannya, kakek berjeng- 
got putih menudingkan jari telunjuk kanannya. 

"Menyingkirlah, Anak Muda. Jangan ha- 
langi tindakanku. Atau, aku terpaksa bertindak 
kasar terhadapmu." 

"Sayang sekali, Kek." Arya tersenyum lebar. 
"Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku ti- 
dak pernah membiarkan kesewenang-wenangan 
terjadi di depan mataku." 

"Kalau begitu, kau lebih dulu yang harus 
ku singkirkan, Anak Muda!" Kakek berjenggot pu- 
tih menggeram. Tidak bisa menahan perasaan ti- 
dak sabarnya. "Lihat! Harimau milikku akan me- 
nyerangmu...!" 

"Uh...?!" 

Arya berseru kaget Tiba-tiba muncul seekor 
harimau putih menerkamnya sambil mengelua- 
rkan auman keras. Dewa Arak bingung. Harimau 
besar itu muncul ketika kakek berjenggot putih 
menudingkan jari telunjuk ke arahnya. 

Aiya tidak sempat berpikir panjang lagi. 
Jarak yang terlalu dekat membuat terkaman ha- 
rimau besar langsung mengancam keselamatan- 
nya. Tanpa pikir panjang lagi, pemuda berambut 
putih keperakan itu melompat ke samping dan 
bergulingan di tanah. Elakannya membuat seran- 
gan harimau besar itu luput 

Dengan kecepatan seorang ahli silat yang 
luar biasa, Arya melentingkan tubuh dan menjejak 
tanah dengan kedua kaki. Arya bersiap mengha- 
dapi serangan selanjutnya. 

Tapi, kesiap-siagaan pemuda berambut pu- 
tih keperakan ini sia-sia. Tidak ada serangan su- 
sulan. Jangankan harimau putih besar, kakek 
berjenggot putih itu pun sudah tidak berada di si- 
tu lagi. Harimau putih besar lenyap tidak keta- 
huan ke mana perginya. Sementara kakek ber- 
jenggot putih telah berada belasan tombak di de- 
pan, mengejar gadis berpakaian hitam yang telah 
pergi cukup jauh. 

Arya segera sadar kakek berjenggot putih 
telah mengakalinya dengan mempergunakan ilmu 
sihir. Harimau besar itu hanya khayalan yang di- 
ciptakan dengan sepotong ranting kering. Harimau 
ciptaan itu terwujud ketika kakek berjenggot putih 
berseru sambil menudingkan jari telunjuknya pa- 
da ranting kering itu. 

Arya segera melakukan pengejaran. Selu- 
ruh ilmu lari cepatnya dikeluarkan, karena dia 
melihat sendiri betapa cepatnya lari kakek ber- 
jenggot putih. 

Maksud Arya menyusul kakek itu tidak ke- 
sampaian. Betapa pun keras usahanya jarak anta- 
ra mereka tidak berubah. Kakek itu ternyata me- 
miliki ilmu lari cepat yang tidak berada di bawah 
kemampuan Arya. 

Bahkan akhirnya ketika medan yang dilalui 
kakek berjenggot putih berupa alang-alang tinggi 
yang lebat, Dewa Arak kehilangan jejak. Pemuda 
berambut putih keperakan ini berdiri tegak men- 
gamati sekelilingnya. Arya memusatkan perhatian 
pada pendengaran. Barangkali saja bisa menden- 
gar bunyi-bunyi yang bisa dijadikan petunjuk di 
mana kakek berjenggot putih berada. 

Arya terkejut ketika mendengar suara- 
suara aneh. Pendengarannya yang tajam menden- 
garnya secara jelas. 

"Arak enak...! Arak Nikmat...! Nyam, nyam, 
nyammm...!" 

Arya tidak segera melesat ke arah asal sua- 
ra itu. Dia tercenung sebentar, berpikir. Beberapa 
saat kemudian, setelah diyakini tidak ada ruginya 
untuk melihat, pemuda berambut putih keperakan 
itu melesat ke sana. 

Dalam beberapa kali lesatan Arya berhasil 
menjumpai asal suara itu. Pemuda berambut pu- 
tih keperakan ini tertegun heran. Ayunan kakinya 
terhenti. 

Dalam jarak sekitar lima tombak, duduk 
bersandar di bawah sebatang pohon seorang ka- 
kek berkulit putih seperti dikapur. Pakaiannya 
tebal. Terbuat dari bulu binatang. Kulit binatang 
itu juga membungkus kedua tangan, kaki, dan 
kepalanya. Hanya muka saja yang tidak tertutup. 

Arya terheran-heran melihat tingkah kakek 
berkulit putih. Suasana di persada tengah panas 
bukan main karena sang surya saat itu berada te- 
pat di atas kepala. Pada cuaca seperti itu seharus- 
nya setiap orang berpakaian ringkas kalau tidak 
ingin kegerahan. Tapi, kakek berkulit putih aneh 
itu tidak demikian. Bahkan, terlihat beberapa kali 
kakek itu melipat kedua tangannya di depan dada 
seperti Orang kedinginan. Aneh! 

Tiba-tiba kakek yang sejak tadi menun- 
dukkan kepalanya mengangkat wajah dan mena- 
tap ke depan. Meski sebelumnya sudah menduga 
kakek yang hampir sekujur tubuhnya tertutup pa- 
kaian bulu tebal ini bukan orang sembarangan, 
Arya sempat kaget ketika melihat sepasang mata 
kakek itu. Mata itu mencorong dan bersinar kehi- 
jauan seperti mata harimau dalam gelap! 

"Tidak usah ragu-ragu, Pendekar Muda." 
Kakek berpakaian bulu tebal membuka suara. Ti- 
dak tampak rasa kaget ketika melihat Dewa Arak. 
Seakan keberadaan pemuda itu sudah diketahui 
sebelumnya. "Mari minum arak bersamaku!" 

Kakek itu menggerakkan tangan seperti 
orang mengusir nyamuk. Perlahan sekali seperti 
tidak mengandung tenaga dalam. Tapi, gelas bam- 
bu yang ada di dekatnya terangkat ke atas bagai 
ada kekuatan tidak nampak yang mengangkatnya. 

Gelas bambu itu terus melayang naik sam- 
pai setinggi setengah tombak, lalu berhenti. Ke- 
mudian, perlahan-lahan gelas bambu itu bergerak 
miring. Arak yang berada di dalam gelas meluap 
keluar dan jatuh ke bawah. 

Aiya yang menyaksikan pertunjukan ini 
mengetahui arak itu tidak jatuh tepat di mulut 
kakek berpakaian bulu tebal. Luncuran arak akan 
membasahi tanah di depan kakek itu. 

Tapi, beberapa jengkal sebelum arak men- 
cucuri tanah, terjadi pemandangan yang membuat 
wajah Arya berubah. Luncuran arak itu kembali 
ke atas dengan gerakan melengkung. Kemudian, 
meluncur ke arah mulut kakek berpakaian bulu 
tebal secara menyerong ke kanan. Dengan tepat- 
nya arak itu masuk ke dalam mulut kakek berpa- 
kaian bulu tebal. 

"Mengapa masih berdiam diri, Pendekar 
Muda?" 

Kakek berpakaian bulu tebal kembali men- 
galihkan perhatian pada Dewa Arak ketika melihat 
pemuda itu berdiam diri memandangi perbuatan- 
nya. 

Arya belum memberikan tanggapan. Dia ti- 
dak tahu siapa kakek berpakaian bulu tebal ini, 
dan berasal dari golongan mana. 

"Mungkin kau merasa malu, Pendekar Mu- 
da. Baiklah, untuk menghilangkan perasaan itu 
mungkin aku bisa membantumu sedikit." 

Kakek berpakaian bulu tebal menudingkan 
jari telunjuk kirinya pada guci arak yang berada di 
depannya. Guci arak itu terangkat naik dan me- 
layang mendekati gelas bambu yang telah kosong. 
Begitu berada tepat di atas gelas bambu, guci itu 
bergerak miring menumpahkan arak ke dalam ge- 
las. Baru ketika gelas bambu telah penuh, guci itu 
kembali berdiri seperti berada di atas tanah. Ke- 
mudian, guci itu melayang turun dan mendarat di 
tanah dengan pelan. Isinya tidak tumpah sedikit 
pun. 

Kakek berpakaian bulu tebal menggenggam 
gelas bambu sebentar, lalu dikibaskannya. Gelas 
bambu yang berisi arak itu meluncur dengan ke- 
cepatan tinggi ke arah Dewa Arak. Tidak sedikit 
pun arak memercik keluar dari gelas bambu! 

Arya merangkapkan kedua tangan di depan 
dada, memberi hormat. 

"Kau terlalu baik hati, Kek. Sebenarnya 
aku sedang tidak ingin minum. Tapi, tidak ada sa- 
lahnya kalau hanya segelas." 

Dengan tenang, pemuda berambut putih 
keperakan itu mengulurkan tangan bersiap mene- 
rima gelas bambu yang meluncur ke arahnya den- 
gan kecepatan tinggi. 

Tappp! 

Gelas bambu itu berhasil ditangkap Arya. 
Tangan pemuda berambut putih keperakan itu 
sampai bergetar. Tapi, tidak ada arak yang tum- 
pah. 

Di dalam hatinya, Arya terkejut bukan 
main. Kakek berpakaian bulu tebal memiliki tena- 
ga dalam luar biasa. Bukan hanya dari pertunju- 
kan tenaga dalam yang disaksikannya, tapi juga 
dari kuatnya lontaran gelas bambu. Arya merasa- 
kan isi dadanya bergetar. 

Meski sebenarnya tidak ingin main-main 
dengan kakek ini, Arya tidak dapat memendam in- 
gin tahunya. Timbul keinginan di hati Dewa Arak 
untuk menguji dengan tenaga dalam miliknya. 
Kakek itu sendiri yang telah memulainya. Dia 
hanya melayani tantangan itu. Keputusan itu 
membuat Arya menatap wajah kakek berpakaian 
tebal dengan wajah berseri-seri. 

"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Kek." 

Setelah menganggukkan kepala mengu- 
capkan terima kasih, Arya menuang gelas bambu 
yang berisi arak ke mulutnya. Tidak hanya miring, 
tapi mulut gelas sampai menghadap ke bawah! 
Kendati demikian arak yang berada di dalam gelas 
tidak mau tumpah keluar. Memercik pun tidak. 
Arya membiarkan keadaan ini beberapa saat la- 
manya. 

"Sayang sekali, Kek, rupanya arak ini tidak 
ingin kuminum. Jadi, aku tidak bisa meneri- 
manya. Biarlah-kukembalikan padamu!" 

Arya menggetarkan tangan yang meng- 
genggam gelas setelah terlebih dulu membalik- 
kannya kedudukan mulut gelas. Dari dalam gelas 
bambu mencelat keluar arak. Tidak berupa cairan, 
melainkan gumpalan lonjong yang lunak. Arak itu 
meluncur ke arah kakek berpakaian tebal dalam 
keadaan bergoyang-goyang. 

Kakek berpakaian tebal terkekeh pelan. 

"Berita yang tersebar mengenai kelihaian- 
mu ternyata tidak hanya kabar kosong, Dewa 
Arak. Kau memang cukup lihai!" 

Sambil berkata demikian, kakek berpa- 
kaian tebal mengulurkan kedua tangan ke depan. 
Gumpalan Arak yang semula tertuju ke wajahnya 
telah berganti arah. Kini, meluncur ke bawah me- 
nuju guci yang tutupnya terbuka. Bak dituangkan, 
gumpalan arak itu masuk ke dalam guci! 

"Terima kasih atas pujianmu, Kek. Sayang 
sekali aku tidak bisa berlama-lama di sini. Masih 
ada urusan lain yang perlu kuselesaikan. Maaf!" 

Setelah menjura memberi hormat, Arya 
membalikkan tubuh dan siap meninggalkan tem- 
pat itu. 

"Tunggu, Dewa Arak...!" 


Seruan itu terdengar sangat meminta se- 
hingga Aiya tidak tega untuk berlalu. Pemuda be- 
rambut putih keperakan itu menahan ayunan ka- 
kinya yang siap dilangkahkan. Tubuhnya kembali 
dibalikkan. 

"Aku akan membiarkanmu pergi apabila 
kau bersedia menyambut satu seranganku. Apa- 
kah kau berani, Dewa Arak?" tantang kakek ber- 
pakaian tebal sebelum Arya membuka suara. 

Arya mengernyitkan alis. Dia tidak punya 
pilihan lain karena kakek yang cerdik itu telah 
memaksanya dengan menggunakan kata-kata, 
apakah dirinya berani. Bila Aiya menolak, itu be- 
rarti mengaku takut. Padahal, kata takut merupa- 
kan pantangan terbesar seorang pendekar! 

"Kau tidak memberikan pilihan lain pada- 
ku, Kek," jawab Arya tersenyum pahit. 

"Jadi..., kau bersedia menerima tantangan - 
ku, Dewa Arak?" Kakek berpakaian tebal terse- 
nyum penuh kemenangan. 

Arya hanya bisa menganggukkan kepala 
sedikit tanda mengiyakan. 

"Bagus! Bersiaplah menerima seranganku 
ini. Perlu kau ingat, taruhannya adalah nyawamu! 
Jadi, bersikap sungguh-sungguhlah kalau kau 
masih ingin menghirup udara dunia ini!" 

Lagi-lagi Arya hanya memberikan sambu- 
tan berupa senyuman pahit 

"Boleh aku mengajukan sebuah permin- 
taan?" 

"Silakan, Dewa Arak." Kakek berpakaian 
tebal langsung menyanggupi. "Selama aku bisa 
memenuhinya. Anggap saja ini sebagai imbalan 
atas kesediaanmu menerima tantanganku." 

"Aku hanya ingin tahu, mengapa kau begi- 
tu ingin bertarung denganku. Juga, siapa kau se- 
benarnya, Kek?" 

"Heh he he...!" 

Kakek berpakaian tebal terkekeh. 

"Pertanyaan-pertanyaan yang bagus, Dewa 
Arak. Aku akan menjawab dengan senang hati. 
Aku mulai dengan siapa diriku ini. Aku tidak sete- 
nar dirimu, Dewa Arak. Mungkin kau tidak pernah 
mendengar julukanku. Tapi, sekitar tiga puluh ta- 
hun yang lalu orang menjulukiku Malaikat Salju!" 

Wajah Arya agak berubah mendengar julu- 
kan itu. Julukan Malaikat Salju telah pernah di- 
dengarnya dari tokoh-tokoh angkatan tua. Seorang 
tokoh aneh yang tidak bisa ditebak sifatnya. Tapi 
yang jelas seorang tokoh golongan putih. Arya ti- 
dak pernah menyangka akan berjumpa dengan 
Malaikat Salju. Tokoh yang terkenal sekali pulu- 
han tahun lalu. 

"Aku pernah mendengar julukanmu, Kek. 
Kau terlalu merendah. Dibandingkan dengan julu- 
kanmu, julukan yang kumiliki bukan apa-apa," 
jawab Arya sejujurnya. 

"Lupakanlah." Kakek berpakaian tebal 
mengibaskan tangan. "Maksudku bermain-main 
denganmu hanya karena keisengan belaka. Aku 
tertarik mendengar dunia persilatan gempar den- 
gan kemunculanmu. Ingin kubuktikan sendiri ke- 
lihaian seorang tokoh yang mempunyai julukan 
demikian menggemparkan." 

"Hanya itu, Malaikat Salju?" desak Arya 
menyebut julukan kakek berpakaian tebal. 

Arya tidak merasa heran seandainya Ma- 
laikat Salju menganggukkan kepala membenarkan 
pertanyaannya. Pemuda ini telah memiliki penga- 
laman luas. Di dunia persilatan banyak tokoh- 
tokoh sakti yang mempunyai watak aneh. Misal- 
nya, keranjingan bertarung untuk menentukan 
siapa yang lebih unggul, meski taruhannya nyawa 
yang melekat di badan 

Malaikat Salju menggelengkan kepala. 

"Tidak hanya itu, Dewa Arak. Aku menan- 
tangmu bertarung karena ingin merasakan sendiri 
kelihaianmu yang dapat mengalahkan murid adik 
kandungku." 

"Siapa orang yang kau maksudkan, Malai- 
kat Salju?" 

"Panangkaran..." 

"Panangkaran?!" 

"Lelaki bermata sebelah yang belum lama 
kau kalahkan." Malaikat Salju menambahkan ke- 
terangannya. 

Kali ini Arya tidak kebingungan lagi. Pe- 
muda berambut putih keperakan ini langsung te- 
ringat. 

"Kurasa masalahnya sudah jelas. Sekarang 
bersiaplah, Dewa Arak!" 

Malaikat Salju lalu duduk bersila. Arya 
mengikuti tindakan kakek berpakaian tebal. Ia ti- 
dak berani memandang rendah karena telah bisa 
mengira-ngira Malaikat Salju merupakan lawan 
yang amat tangguh. 

Malaikat Salju tidak mempedulikan sikap 
Dewa Arak. Bahkan, seperti tidak melihat kalau 
pemuda berambut putih keperakan itu telah siap 
untuk bertarung. Dengan caranya yang luar biasa 
kakek itu mengisi dua buah gelas bambu di de- 
katnya dengan arak hingga penuh. Kemudian, di- 
genggamnya gelas bambu itu dengan kedua tan- 
gan. 

"Aku sudah sangat tua, Dewa Arak. Usiaku 
sudah lebih dari seratus tahun. Jadi, bisa kau 
perkirakan sendiri urat-urat dan tulang-tulangku 
telah lemah. Aku tak akan kuat bertanding ilmu 
silat. Maka, aku hanya bisa mengajakmu berta- 
rung seperti ini." 

Tanpa menunggu jawaban Dewa Arak dan 
seperti tidak membutuhkan persetujuan pemuda 
itu, Malaikat Salju menggerakkan pahanya ke ba- 
wah. Bagaikan memiliki roda pada pantatnya, tu- 
buh kakek berpakaian tebal ini meluncur ke arah 
Dewa Arak dalam keadaan masih bersila! Tanah 
yang bergurat mengeluarkan kepulan debu cukup 
tebal. 

Arya tidak mau kalah gertak. Ia melakukan 
hal yang sama. Hingga, mereka saling mendekat 
dengan cara yang luar biasa. Tepat di pertengahan 
jalan, dalam jarak sekitar tiga jengkal, Dewa Arak 
dan Malaikat Salju menghentikan gerakannya. 


kkk 


"Aku tidak mengerti permainan yang kau 
maksudkan ini, Malaikat Salju. Bisakah kau 
memberi penjelasan?" Arya membuka pembica- 
raan. 

"Kurasa tidak perlu, Dewa Arak! Nanti pun 
kau akan mengerti sendiri." 

Arya mengernyitkan alis, masih bingung 
dengan aturan permainan Malaikat Salju. Kakek 
berpakaian tebal yang rupanya tidak sabaran itu 
memulai permainan. "Tangkap ini!" 

Cepat Malaikat Salju menghantamkan dua 
buah gelas bambu yang digenggamnya ke dada 
Dewa Arak. Keras bukan main sehingga mengelua- 
rkan bunyi berdecit nyaring. 

Tap,tappp! 

Dewa Arak yang tidak mau mati konyol 
langsung menangkis dengan cara mencengkeram 
gelas-gelas bambu itu. Tangkisan Arya tidak mem- 
buat arak yang berada di dalam gelas berpercikan. 
Arak itu seakan telah bersatu dengan gelas. 

Begitu mencekal gelas, Dewa Arak baru 
mengerti mengapa kakek berpakaian tebal mem- 
punyai julukan Malaikat Salju. Ia merasakan ge- 
lombang hawa dingin yang mengalir dari kedua 
tangan Malaikat Salju kemudian masuk ke dalam 
gelas dan terus merasuk ke dalam tubuhnya. 

Aiya segera mengerahkan tenaga dalam. 
Dari pusarnya mengalir keluar hawa panas yang 
menghalangi hawa dingin merasuk ke dalam tu- 
buhnya. 

Pertarungan adu tenaga dalam yang mene- 
gangkan terjadi. Pertarungan yang dilakukan den- 
gan perantara gelas-gelas bambu berisi arak. 

Dua tokoh persilatan yang berbeda usia 
dan jenis tenaga dalam itu tak sungkan-sungkan 
lagi mengerahkan seluruh kemampuannya. Udara 
di sekitar tempat mereka berada jadi berubah- 
ubah. Terkadang panas seakan di tempat itu telah 
terjadi kebakaran besar. Tapi tak jarang menyebar 
hawa dingin seakan-akan tempat itu puncak gu- 
nung yang tinggi 

Yang merasakan akibat langsung pertarun- 
gan tenaga dalam itu adalah gelas-gelas bambu 
berisi arak. Arak yang berada di dalam gelas beru- 
bah-ubah. Sesekali bergolak mendidih dan di lain 
saat membeku seperti es. 

Semakin lama pertarungan unik ini sema- 
kin menegangkan. Wajah kedua tokoh itu tampak 
berubah. Wajah Dewa Arak merah padam dan ba- 
nyak dipenuhi peluh yang mengucur. Sedangkan 
wajah Malaikat Salju semakin pucat bagai mayat! 
Perlahan-lahan dari atas kepala Dewa Arak dan 
Malaikat Salju mengepul uap. Mula-mula tipis dan 
sedikit, tapi kian lama menebal dan banyak. Mere- 
ka telah mengeluarkan tenaga melewati batas ke- 
mampuan. Akhir dari pertarungan ini adalah 
maut! Yang kalah akan tewas, sedangkan yang 
menang akan terluka dalam amat parah. 

Prakkk, prakkk! 

Di saat asap yang mengepul dari kepala 
Dewa Arak dan Malaikat Salju semakin menebal, 
gelas-gelas bambu itu hancur berkeping-keping 
mengeluarkan bunyi keras. 

Arak yang berada di dalam kedua gelas itu 
berpercikan keluar. Keadaan arak itu masih cair. 
Dewa Arak maupun Malaikat Salju tidak mampu 
lagi saling mengungguli. 

"Huakh...!" 

Hampir berbarengan tubuh Malaikat Salju 
dan Dewa Arak terbungkuk ke depan memuntah- 
kan darah segar. Hancurnya gelas-gelas bambu itu 
karena tak kuat menahan getaran tenaga dalam 
yang luar biasa. Akibatnya, tenaga dalam kedua 
belah pihak saling membalik dan melukai pemilik- 
nya. 

"Kau hebat, Dewa Arak. Aku mengaku ka- 
lah," ujar Malaikat Salju penuh kagum. Kakek 
berpakaian tebal ini terengah-engah karena luka 
yang diderita. 

"Kau terlalu merendah, Malaikat Salju. 
Akulah yang kalah," sambut Arya tak kalah ka- 
gum. Deru napas pemuda ini pun memburu hebat. 

Hanya sampai di situ saja Dewa Arak dan 
Malaikat Salju berbicara. Kemudian, keduanya 
memejamkan mata dan bersemadi untuk me- 
nyembuhkan luka dalam tubuhnya. Mereka sadar 
kalau tidak lekas diobati akan membahayakan ke- 
selamatan jiwa. Dewa Arak dan Malaikat Salju 
tenggelam dalam keheningan semadi. 

Belum lama Dewa Arak dan Malaikat Salju 
bersemadi terdengarlah suara tawa bergelak. Tawa 
yang mengandung getaran amat kuat dan mampu 
membangunkan kedua tokoh itu dari semadinya. 


kkk 


"Panangkaran...!" 

Hampir bersamaan Dewa Arak dan Malai- 
kat Salju menggumamkan nama itu. 

"Benar aku. Kalian kaget?" sambut Pa- 
nangkaran gembira. Pandang mata lelaki bermata 
satu ini langsung bisa mengetahui kalau Dewa 
Arak dan Malaikat Salju telah terluka dalam. Jadi, 
tidak ada yang perlu dikhawatirkan. 

Malaikat Salju menatap Dewa Arak. Dalam 
sorot mata kakek ini tampak sinar penyesalan. 
Seperti juga dirinya, Dewa Arak dalam keadaan ti- 
dak berdaya. Dengan mudah saja Panangkaran 
akan mengirim nyawa pemuda itu ke alam baka. 
Itu terjadi karena Dewa Arak terpaksa meladeni 
tantangannya. Mau tidak mau Malaikat Salju me- 
rasa bertanggung jawab. 

"Apa maksud ucapanmu, Panangkaran?!" 
bentak Malaikat Salju penuh wibawa. "Pergi kau 
dari sini! Apakah kau tidak ingat siapa gurumu?" 

Panangkaran malah tertawa mengejek, Ta- 
wa yang mengandung lecehan terhadap peringatan 
Malaikat Salju. 

"Lebih baik kau tidak usah ikut campur, 
tua bangka tak berguna!" Tajam dan keras sambu- 
tan Panangkaran. "Diam lebih baik bagimu dari- 
pada aku jadi melupakan siapa adanya kau. Men- 
gingat hubungan antara kau dengan guruku, ma- 
ka aku tidak akan membawa-bawamu dalam per- 
soalanku. Tapi apabila kau ingin ikut campur, 
jangan salahkan aku!" 

Panangkaran salah kalau mengira dengan 
gertakan itu Malaikat Salju akan diam. Kakek ber- 
pakaian, tebal ini terkekeh mendengar ancaman 
Panangkaran. 

"Kau keliru kalau mengira dengan gertak 
sambal itu aku akan diam, Panangkaran! Bagi 
orang sepertiku, mati bukan sesuatu yang mena- 
kutkan. Malah aku senang. Dengan demikian aku 
akan terbebas dari tubuh tua yang mulai tidak 
berguna ini, Ayo, Panangkaran. Tunggu apa lagi? 
Bunuh aku! Buktikan ancamanmu yang hebat 
itu!" Malaikat Salju malah mengajukan tantangan. 

Panangkaran menggertakkan gigi dengan 
perasaan geram. Wajahnya merah padam. Ucapan 
Malaikat Salju telah membuat amarahnya berko- 
bar. Sepasang mata lelaki itu memancarkan hawa 
maut ketika menatap wajah Malaikat Salju yang 
tetap tenang. Hanya sampai di situ saja tindakan- 
nya. Panangkaran tidak berani bertindak lebih 
lanjut. 

Meski demikian, Malaikat Salju dan Dewa 
Arak sebagai orang-orang yang telah kenyang pen- 
galaman menyadari betul ketidakberanian Pa- 
nangkaran untuk melakukan tindakan keras ter- 
hadap Malaikat Salju tidak bisa dijamin. Apabila 
kemarahan demikian memuncak, bukan tidak 
mungkin Panangkaran akan membuktikan anca- 
mannya. 

"Rupanya kau merasa gentar terhadapku, 
Panangkaran, sehingga mengalihkan ancaman pa- 
da Malaikat Salju. Bukankah kau mempunyai 
urusan denganku? Tunggu apa lagi? Mengapa ti- 
dak segera kau selesaikan persoalan di antara ki- 
ta?" 

Dewa Arak memecah ketegangan yang me- 
nyeruak antara Malaikat Salju dan Panangkaran. 
Ia merasa khawatir kakek berpakaian tebal itu 
akan tewas di tangan Panangkaran. 

Bukan hanya Panangkaran saja yang me- 
noleh, tapi juga Malaikat Salju. Ucapan Dewa Arak 
membuat Panangkaran teringat kembali akan 
dendamnya dengan pemuda berambut putih kepe- 
rakan itu. Sedangkan Malaikat Salju hanya bisa 
menghela napas berat. Kakek ini tahu Dewa Arak 
ingin menyelamatkan dirinya. Hal ini membuat 
kekagumannya terhadap pemuda itu semakin ber- 
tambah. Seorang pendekar muda yang hebat, puji 
Malaikat Salju di dalam hati. 

Sementara itu Dewa Arak tetap bersikap 
tenang sekalipun pandangan mata Panangkaran 
seperti hendak menelannya bulat-bulat. Tanpa 
merasa takut sedikit pun pemuda ini membalas 
tatapannya. 

"Kau benar." Panangkaran menggumam se- 
raya mengangguk. "Kita memang mempunyai uru- 
san." 

Panangkaran tiba-tiba mengibaskan tangan 
kirinya secara sembarangan. Angin deras berhem- 
bus melemparkan tubuh Arya ke belakang bagai 
daun kering ditiup angin. Hampir delapan tombak 
tubuh pemuda itu melayang-layang sebelum ter- 
banting keras di tanah. 

Arya menyeringai kesakitan. Ia tidak berani 
mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi tu- 
buhnya saat terjatuh. Bahkan, ketika Panangka- 
ran tadi menyerangnya dengan kibasan tangan. 
Mengerahkan tenaga dalam sama artinya dengan 
membunuh diri. Luka dalam yang dideritanya 
akan bertambah parah. 

"Panangkaran! Pengecut keji! Hentikan...!" 
Malaikat Salju berteriak-teriak melihat siksaan 
terhadap Dewa Arak akan dimulai. 

Panangkaran tampaknya tidak ingin lang- 
sung membunuh Dewa Arak. Ia ingin menyiksa 
pemuda itu dahulu. Sedangkan serangan yang di 
lakukan Panangkaran pertama kali tadi hanya un- 
tuk membuat tubuh Arya terlempar dan terbant- 
ing. 

Panangkaran tidak mempedulikan seruan 
Malaikat Salju. Dengan langkah lebar, lelaki ber- 
mata satu ini menghampiri Dewa Arak. Siap me- 
lancarkan serangan susulan. 

Berbeda dengan Malaikat Salju yang terli- 
hat kalap, Arya tenang-tenang saja. Bahkan, keti- 
ka tubuhnya diangkat dan dibantingkan ke tanah. 

Panangkaran memang benar-benar hendak 
melampiaskan dendamnya. Begitu tubuh Arya 
menyentuh tanah, kembali diangkat dan dibanting 
dengan keras. Berkali-kali hal itu dilakukan sam- 
pai akhirnya Dewa Arak pingsan! 

Kemudian, tanpa mempedulikan Malaikat 
Salju yang sejak Dewa Arak disiksa tak henti- 
hentinya memaki Panangkaran, lelaki bermata sa- 
tu ini menyadarkan Arya dengan wewangian dari 
guci yang dibawanya. 

Bau wangi yang keras membuat pemuda 
berambut putih keperakan itu sadar. Panangkaran 
segera menyeret tubuh Arya. Makian-makian Ma- 
laikat Salju mengiringi langkah Panangkaran yang 
membawa tubuh Dewa Arak meninggalkan tempat 
itu. 




Arya menyeringai kesakitan ketika tersadar 
dari pingsan dan membuka sepasang matanya. 
Sekujur tubuhnya terasa sakit-sakit dan perih bu- 
kan main. 

Arya berusaha untuk bangkit tapi tidak 
mampu. Ada sesuatu yang membuat tubuhnya ti- 
dak bisa bangun. Ketika menelitinya, ternyata pa- 
da pergelangan tangan dan kaki terlilit belenggu 
baja yang amat tebal! Belenggu yang sama juga 
melilit perutnya. Belenggu-belenggu itu menempel 
pada lantai. 

Semula Arya merasa heran melihat kea- 
daan ini. Tapi, sesaat kemudian dia mulai teringat 
kejadian yang telah dialaminya. Sekarang dia da- 
pat men-duga semua ini adalah perbuatan Pa- 
nangkaran. 

Arya mencoba bersikap tenang, meski di- 
am-diam merasa ngeri melihat ruangan tempat di- 
rinya berada. Lantai tempatnya terbaring kotor 
dan dipenuhi lumut. Hidung Arya mencium bau 
amis yang memuakkan. Bau amis darah. Pada se- 
bagian dinding dan lantai ruangan terdapat ber- 
cak-bercak darah kering. Tidak ada jendela pada 
dinding ruangan. Sehingga, tidak ada cahaya dan 
aliran udara segar. Ruangan ini lembab dan uda- 
ranya pengap. Hanya ada obor di sudut ruangan 
dekat pintu yang membuat suasana di dalam se- 
dikit lebih baik. Satu-satunya jalan keluar adalah 
pintu yang kini tertutup rapat. Ruangan ini lebih 
mirip kamar penyiksaan. 

Sayup-sayup telinga Arya menangkap sua- 
ra langkah kaki. Kedengarannya lebih dari satu 
orang. Langkah-langkah itu menghilang di depan 
pintu kamar. Sesaat kemudian, terdengar suara 
orang bercakap-cakap. Arya tidak dapat menang- 
kap dengan jelas. Setelah terdengar suara geme- 
rincing kunci dan pintu dibuka, perlahan pintu 
kamar didorong dari luar. 

Arya memalingkan wajahnya menatap ke 
arah pintu. Ketika pintu telah terbuka lebar, tam- 
paklah dua sosok tubuh berdiri di ambang pintu. 
Mereka tidak segera melangkah masuk, seakan in- 
gin memastikan apakah keadaan di dalam ruan- 
gan cukup aman. Mata mereka tertuju pada tubuh 
Arya yang terbaring di lantai. 

Aiya mengenali kedua sosok tubuh itu. 
Yang seorang adalah Panangkaran. Sedang gadis 
yang mengenakan pakaian serba hitam dan berdiri 
di samping Panangkaran ialah gadis yang pernah 
ditolongnya ketika dikejar-kejar kakek berjenggot 
panjang putih beberapa saat lalu. 

Gadis itu menatap ke arahnya dengan si- 
nar mata heran bercampur kaget. Matanya mem- 
belalak lebar seakan tak percaya. Gadis itu tetap 
terpaku di tempatnya ketika Panangkaran menga- 
jaknya masuk ke dalam ruangan. Sehingga, Pa- 
nangkaran menjadi heran dan berpaling menatap- 
nya dengan penuh selidik. 

"Kenapa, Pertiwi?" tanya lelaki bermata sa- 
tu itu. 

"Tidak apa-apa, Ayah;" Pertiwi cepat-cepat 
menggelengkan kepalanya. 

"Hm...." Panangkaran hanya menggumam 
pelan dan tidak mendesak lebih jauh. Pandangan- 
nya dialihkan ke arah sosok Arya. 

Pertiwi sadar kendati Panangkaran tidak 
memperpanjang masalah itu, tapi tidak berarti ke- 
curigaan lelaki bermata satu itu lenyap. Panang- 
karan belum puas dengan jawaban yang diberi- 
kannya. 

"Rasanya aku pernah mengenalnya, Ayah." 
Pertiwi membuka percakapan ketika mereka telah 
menghentikan ayunan kaki di depan tubuh Dewa 
Arak. Jarak antara anak dan ayah itu dengan 
ujung kaki Arya hanya dua jengkal. 

"Begitukah?" 

Datar saja pertanyaan yang dilontarkan 
Panangkaran seraya menatap Pertiwi yang berdiri 
di sebelahnya. 

"Kau tahu siapa pemuda sombong ini?" 

Perlahan-lahan Pertiwi menggelengkan ke- 
pala. 

"Tidak, Ayah. Jangankan mengenalnya, 
bertemu saja baru sekali. Itu pun hanya sekeleba- 
tan. Aku tengah tergesa-gesa karena dikejar-kejar 
Dewa Obat Tangan Sakti." 

"Dia seorang pendekar muda yang som- 
bong, Pertiwi!" Tandas Panangkaran berapi-api. 
"Seorang yang merasa paling sakti. Jadi, suka 
mencampuri urusan orang lain. Belum lama ini 
aku dilukainya saat hampir berhasil membunuh 
Bagas Pati!" 

"Ah....!" 

Seruan kaget itu terlontar dari mulut Per- 
tiwi. Gadis berpakaian hitam ini tahu betul tingkat 
kepandaian ayahnya. Kalau Panangkaran sampai 
kalah dan berhasil dilukai, bisa diperkirakan oleh 
Pertiwi tingkat kepandaian pemuda berambut pu- 
tih keperakan itu! 


kkk 


"Kau kaget, Pertiwi?" 

Ucapan Panangkaran membuat Pertiwi 
kembali mengalihkan perhatian pada ayahnya. 

"Terus terang ya, Ayah." Gadis berpakaian 
hitam itu membenarkan. "Rasanya sukar diper- 
caya ada orang yang mampu mengalahkan Ayah. 
Apalagi orang itu masih muda." 

"Kau akan lebih kaget lagi kalau tahu siapa 
dia sebenarnya, Pertiwi." 

"Siapa dia, Ayah?" Pertiwi tidak sabar un- 
tuk segera mengetahui siapa pemuda berpakaian 
ungu yang luar biasa itu. Yang diam-diam telah 
menimbulkan rasa simpati di hati Pertiwi, sejak 
pertama kali melihatnya ketika dengan gagah be- 
rani menghadang Dewa Obat Tangan Sakti. 

"Apakah kau pernah mendengar tentang 
seorang pendekar muda yang julukannya meng- 
gemparkan dunia persilatan?" Panangkaran malah 
balik bertanya. 

Pertiwi terdiam sejenak. Kemudian, wajah- 
nya berubah hebat. "Maksud Ayah? Dewa 
Arak...?!" Pertiwi terbata-bata karena tidak yakin 
dengan dugaannya. 

Gadis itu menatap Dewa Arak dengan se- 
pasang mata membelalak lebar. Julukan Dewa 
Arak telah lama didengarnya. Tokoh muda yang 
memiliki kepandaian tinggi. Ditakuti lawan dan 
disegani kawan. Tak terhitung tokoh-tokoh hitam 
yang roboh di tangannya. Ia sungguh tidak me- 
nyangka bisa bertemu dengan Dewa Arak. Untuk 
beberapa saat gadis berpakaian hitam ini tertegun 
begitu Panangkaran mengangguk, membenarkan 
dugaannya. 

"Dan sekarang, Pertiwi." Panangkaran 
membuka suara lagi. "Dewa Arak yang terkenal di 
dunia persilatan itu tak berdaya. Nyawanya berada 
di tanganku. Sebentar lagi nama Panangkaran 
akan terkenal sebagai orang yang telah mene- 
waskan Dewa Arak! Namaku akan membubung 
tinggi. Ha ha ha...!" 

Pertiwi ikut tertawa meski sebenarnya ti- 
dak ingin melakukannya. Untuk pertama kalinya 
Pertiwi yang sudah terbiasa membunuh dan me- 
nyiksa merasa tidak rela mendengar musuh ayah- 
nya akan tewas. Pertiwi tidak tahu mengapa se- 
babnya. Yang jelas, dia tidak ingin Dewa Arak te- 
was atau tersiksa. Apalagi mati dengan cara men- 
gerikan. Pertiwi benar-benar tidak rela! 

"Lalu,.., apa yang hendak Ayah lakukan 
terhadapnya? Membunuhnya?" 

"Itu sudah pasti, Pertiwi. Tapi tentu saja ti- 
dak semudah itu. Dewa Arak telah berani men- 
campuri urusanku. Bahkan, dia telah melukaiku. 
Sebagai balasannya, dia akan mati dengan cara 
yang amat mengerikan. Dia akan mati secara per- 
lahan-lahan, Pertiwi. Ha ha ha...!" 

Untuk kedua kalinya Pertiwi tergelak. Bah- 
kan, tawa gadis berpakaian hitam ini lebih keras 
daripada ayahnya. 

"Kau boleh saksikan pertunjukan menarik 
ini, Pertiwi. Lihatlah bagaimana kelabang-kelabang 
merah akan membuat Dewa Arak tersiksa sebelum 
mati secara mengenaskan. Ha ha ha...!" 

Dengan derai tawa dari mulutnya, Panang- 
karan membuka tutup bumbung rotan yang sejak 
tadi dipegang dengan tangan kanannya. Pertiwi 
menyembunyikan rasa ngeri yang menggayut di 
hati. Belasan ekor kelabang berlompatan keluar 
dari lubang bumbung rotan, 

Derai tawa Panangkaran mengiringi gerak 
kelabang-kelabang merah yang saling berlomba 
mendekati tubuh Dewa Arak. Kegembiraan mem- 
bayangkan siksaan yang akan dialami Dewa Arak 
membuat Panangkaran tidak melihat suatu kegan- 
jilan. Pertiwi yang biasanya paling suka melihat 
orang tersiksa kali ini tidak memperlihatkan ke- 
gembiraan sedikit pun. Gadis berpakaian hitam itu 
memang tertawa. Tapi, tawanya sumbang dan je- 
las kedengaran karena terpaksa. 

Panangkaran tidak melihat ketika wajah 
Pertiwi menegang hebat saat belasan ekor kela- 
bang merah sudah berada dekat dengan Dewa 
Arak. 

Bukan hanya Pertiwi saja yang merasa nge- 
ri. Dewa Arak pun demikian. Hanya saja pemuda 
berambut putih keperakan ini pandai menguasai 
perasaannya. Sehingga, tidak terlihat gambaran 
perasaan apa pun pada wajahnya. 

Kendati hanya bisa menduga kelabang- 
kelabang merah itu memiliki racun ganas dari bau 
amis yang memuakkan ketika mereka keluar dari 
bumbung, Dewa Arak menyadari benar bahaya be- 
sar tengah mengancamnya. Pemuda ini tahu Pa- 
nangkaran tidak bicara bohong dengan ancaman- 
nya tadi. 

Meski demikian, Dewa Arak tidak putus 
asa. Tenaga dalamnya telah pulih seperti sediakala 
sehingga belenggu-belenggu itu bukan apa-apa 
baginya. Sayang, Panangkaran mengetahui hal itu. 
Lelaki bermata satu yang tidak ingin pendekar 
muda yang dimusuhinya itu bebas telah menotok- 
nya hingga Dewa Arak tidak bisa mengerahkan te- 
naga dalam. 

Tapi, totokan itu dilakukan sudah cukup 
lama. Sejak Panangkaran dan Pertiwi tiba Arya 
merasakan pengaruh totokan mulai membuyar. 
Kini, menyadari adanya ancaman terhadap di- 
rinya, Arya mengerahkan tenaga dalam agar toto- 
kan itu lebih cepat punah. 

Dengan hati berdebar tegang Arya mem- 
buat perhitungan. Pemuda berambut putih kepe- 
rakan ini yakin semua jalan darahnya akan pulih 
seperti sediakala sebelum kelabang yang paling 
dulu bergerak menggigit tubuhnya. Arya yakin 
akan bisa selamat dari kelabang-kelabang itu. 

"Hampir aku lupa!" Panangkaran yang 
memperhatikan dengan penuh minat dan wajah 
berseri-seri pada kelabang-kelabang berseru kaget. 
Lelaki bermata satu ini mengalihkan perhatian 
pada Dewa Arak. Jari telunjuk kanannya lalu di- 
tudingkan ke depan. 

Arya mengeluh dalam hati ketika merasa- 
kan sekujur tubuhnya kembali lemas. Panangka- 
ran yang teringat akan totokannya merasa khawa- 
tir saat itu pengaruh totokan telah membuyar. Ia 
kemudian mengirim totokan dari jauh pada bahu 
kanan Arya. 

Tepat pada sekujur tubuh Arya kembali 
lemas, seekor kelabang menggigit pergelangan kaki 
kanan pemuda itu. Seringai kesakitan tampak di 
bibir Arya. Kalau saja saat itu ia tidak berada da- 
lam keadaan tertotok, mungkin tubuhnya akan 
terguncang karena rasa sakit yang mendera. 

Arya merasakan sakit dan pedih. Yang 
mengejutkan, sesaat kemudian pada bagian yang 
tergigit timbul rasa gatal yang sangat. Rasa gatal 
yang membutuhkan gerakan tangan. Karena saat 
itu ia tidak bisa bergerak, rasa gatal itu pun me- 
nimbulkan perasaan tersiksa. 

Belum juga perasaan itu lenyap, kelabang- 
kelabang lainnya telah menggigit pula. Rasa sakit, 
pedih, dan panas seperti terbakar terus dirasakan 
Arya. 

Sehabis menggigit, kelabang-kelabang itu 
berjalan-jalan di sekujur tubuh Aiya. Padahal, se- 
tiap kulit manusia yang tersentuh dengan tubuh 
bagian bawah binatang itu bagaikan terkena ulat 
bulu yang paling gatal. Sehingga, tidak hanya me- 
nimbulkan perasaan gatal yang menyiksa, tapi ju- 
ga membuat kulit Arya bentol-bentol besar. 

Hanya dalam sebentar saja sekujur tubuh 
Arya sudah tidak utuh lagi. Yang paling menge- 
naskan pada bagian wajah. Bentol-bentol besar 
membuat sepasang mata Aiya sipit. Wajah itu ber- 
semu kehijauan, pertanda keracunan hebat! 

Meski rasa sakit yang hebat melanda, Arya 
mampu menunjukkan kalau dirinya bukan orang 
cengeng. Tak sedikit pun keluhan keluar dari mu- 
lutnya. 

Panangkaran yang memperhatikan seluruh 
kejadian itu diam-diam merasa kagum. Tapi, lelaki 
bermata satu ini tidak menunjukkannya. Ia terus 
tertawa gembira. 

Tawa Panangkaran baru lenyap ketika De- 
wa Arak pingsan karena tak kuat menahan sik- 
saan. Tentu saja hal itu membuat Panangkaran 
kehilangan kegembiraannya. Tanpa banyak bicara 
lagi dan dengan membayangkan kepuasan hati, 
tubuhnya dibalikkan dan berjalan keluar ruangan. 

Pertiwi yang telah bisa menguasai pera- 
saannya dan berpura-pura gembira mengikuti 
langkah ayahnya. Ditinggalkannya kelabang- 
kelabang merah yang masih berpesta dengan tu- 
buh Dewa Arak 


■ k-k-k 


"Turunkan aku. Harap turunkan aku. Aku 
bisa berjalan sendiri...!" 

Seruan-seruan itu tidak terlalu keras. Pe- 
miliknya tengah berada dalam keadaan lemah. Ta- 
pi, cukup untuk membuat gadis berpakaian hitam 
yang tengah berlari cepat menghentikan larinya 
dan menurunkan tubuh yang dipanggulnya. Sosok 
yang berada di bahu kanan gadis berpakaian hi- 
tam itulah yang mengeluarkan seruan. 

Kini ia berdiri di tanah dengan kedua kaki. 
Sosok ini seorang pemuda berpakaian ungu dan 
berambut putih keperakan. Mengingat bentuk tu- 
buhnya yang tegap dan kekar, tentu ia memiliki 
wajah yang tampan. Tapi, ternyata tidak. Wajah 
itu buruk karena dipenuhi bentol-bentol besar. 
Sepasang matanya yang mencorong kehijauan se- 
perti mata harimau dalam gelap hampir tidak ter- 
lihat. Yang lebih mengerikan, wajah pemuda ber- 
pakaian ungu itu bersemu kehijauan. Pemuda ini 
tidak lain Arya Buana alias Dewa Arak. 

"Mengapa kau menolong aku, Pertiwi?" 
tanya Arya lemah. Ditatapnya wajah gadis berpa- 
kaian hitam itu lekat-lekat. Arya sejak tadi me- 
mang diam saja dan membiarkan Pertiwi memba- 
wanya kabur. 

Pertanyaan itu membuat Arya teringat 
kembali akan kejadian tadi. Dia baru saja tersadar 
ketika Pertiwi masuk ke dalam ruangan tempatnya 
ditahan. Sebelum Arya sempat bicara sesuatu, ga- 
dis berpakaian hitam itu telah lebih dulu memberi 
isyarat agar Arya jangan berisik. 

Dengan hati-hati, karena takut diketahui, 
Pertiwi menyingkirkan kelabang-kelabang merah 
dari tubuh Arya. Kemudian, dibukanya belenggu 
di kedua pergelangan tangan dan kaki. Lalu Perti- 
wi membawa kabur pemuda berambut putih kepe- 
rakan itu. 

Pertiwi yang tidak menyangka akan men- 
dapat pertanyaan seperti itu menjadi gugup. Wa- 
jahnya memerah sehingga membuat kecantikan- 
nya semakin tampak. 

"Aku... aku.., eh... maksudku..., aku ingin 
membalas hutang budi yang telah kau berikan pa- 
daku." Meski dengan terbata-bata Pertiwi berhasil 
menyampaikan alasannya. 

"Maksudmu..., di waktu kau dikejar-kejar 
kakek berpakaian putih, Pertiwi?" Tanpa ragu- 
ragu Arya menyapa gadis berpakaian hitam itu 
dengan namanya. Ia tahu nama gadis itu karena 
mendengar percakapan Pertiwi dengan Panangka- 
ran. 

"Benar, Dewa Arak." Pertiwi mengangguk- 
kan kepala. Suaranya kali ini tidak gemetar lagi. 

"Panggil saja aku Arya, Pertiwi. Perlu kau 
ketahui, waktu itu aku akan menolongmu tidak 
untuk mengharapkan balas jasa. Itu memang su- 
dah tugasku. Jadi, tidak perlu kau memaksakan 
diri untuk membalas budi. Apalagi, sampai 
mengkhianati ayahmu sendiri." 

"Tapi, De..., eh, Arya. Apabila aku men- 
diamkan saja kau akan tewas di tangan Ayah. Aku 
akan menyesal seumur hidup. Dan perlu kau ta- 
hu, Arya, aku tidak pernah membiarkan orang 
menghutangkan budi padaku tanpa aku memba- 
lasnya." 

Arya hanya mengangguk-anggukkan kepa- 
la. Sementara Pertiwi merasa lega karena Arya ti- 
dak mendesaknya lagi. Terus berdusta terhadap 
Dewa Arak yang memiliki sepasang mata tajam 
seperti mampu membaca pikiran orang bukan 
perbuatan yang mudah! 

Memang, Pertiwi berdusta dengan alasan- 
nya menolong Dewa Arak. Seorang seperti Pertiwi 
yang sejak kecil dididik kejahatan, mana mungkin 
memikirkan balas budi terhadap orang yang per- 
nah menolongnya? Itu tidak ada dalam kamus hi- 
dup Pertiwi! Bahkan, gadis berpakaian hitam ini 
tidak segan-segan membalas budi orang dengan 
kejahatan! 

"O iya, Aiya. Hampir saja aku lupa." 

"Apa yang kau lupakan, Pertiwi?" 

"Ini." Pertiwi mengangsurkan sebuah guci 
kecil yang mulutnya tersumbat sejenis kain dari 
kulit binatang. "Oleskan cairan ini dengan merata 
pada sekujur tubuhmu, terutama pada bagian- 
bagian yang bentol. Kalau tidak, bentol-bentol itu 
akan membusuk seperti layaknya daging orang 
yang telah meninggal." 

"Ah...!" 

Arya sampai mengeluarkan seruan kaget 
Pemuda berambut putih keperakan itu tidak me- 
nyangka sedahsyat itu akibat yang akan diteri- 
manya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi Arya menerima 
guci itu. Kemudian, dibawanya ke kerimbunan 
semak yang berada tak jauh dari situ. 

Pertiwi sendiri sehabis memberikan guci itu 
mengalihkan pandangan ke arah tadi dia datang. 
Arah pandangannya tertuju pada tempat ayahnya 
berada. Tempat di mana Arya disiksa. 

Tanpa sepengetahuan Arya, karena Pertiwi 
dengan pandainya mampu menyembunyikan pe- 
rasaan, Pertiwi merasa khawatir bukan main. Ba- 
nyak hal yang dicemaskannya. Satu di antaranya 
adalah apabila ayahnya mengetahui Dewa Arak te- 
lah lolos! Panangkaran pasti akan melakukan pen- 
gejaran, juga gurunya. Keberhasilan Pertiwi mem- 
bawa kabur Dewa Arak adalah karena kebetulan 
Panangkaran sedang sibuk menyambut kedatan- 
gan gurunya. 


•kirk 


"Pembunuh keji! Kiranya kau berada di si- 
ni... Mampuslah!" 

Teriakan nyaring yang sarat dengan kema- 
rahan itu mengejutkan Pertiwi. Keterkejutan itu 
bercampur rasa khawatir ketika mengetahui asal 
seruan itu dari tempat Dewa Arak berada. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi Pertiwi 
melesat ke dalam kerimbunan semak. Ia tidak 
khawatir kalau-kalau Arya tengah melepas pa- 
kaian untuk mengoleskan cairan. Kekhawatiran 
akan nasib pemuda berpakaian ungu itu lebih be- 
sar dari segalanya. 

Pertiwi agak terperanjat ketika telah berha- 
sil menerobos kerimbunan semak. Meski cukup 
lebat dan lebar ternyata di balik semak-semak itu 
terdapat lapangan rumput yang luas! 

Brakkk! 

Hiruk-pikuk dari semak-semak yang bera- 
da di dekat situ membuat gadis berpakaian hitam 
terjingkat kaget. Pertiwi baru saja menjejakkan se- 
pasang kakinya di tanah ketika bunyi hiruk-pikuk 
terjadi. Pertiwi langsung mengedarkan pandangan 
ke sekeliling mencari Arya. Hati gadis berpakaian 
hitam ini menjadi lega ketika melihat Arya bergu- 
lingan di tanah. Arya selamat! 

Ternyata pemilik bentakan telah melancar- 
kan pukulan jarak jauh terhadap Dewa Arak. Na- 
mun, gagal karena pemuda berambut putih kepe- 
rakan itu sempat menggulingkan tubuh untuk 
menyelamatkan selembar nyawanya. Saat Arya 
masih bergulingan di tanah, sosok itu melompat 
dan menerjang bagai seekor harimau. Jari-jarinya 
terkembang membentuk cakar! 

Arya yang masih bergulingan di tanah, 
mengetahui ancaman maut ini. Pemuda berambut 
putih keperakan itu sadar jika mengelak tidak 
mungkin dilakukan, menangkis pun hanya akan 
membuat nyawanya melayang ke alam baka. Te- 
naga dalamnya telah lenyap. 

Tapi, malaikat maut rupanya belum ingin 
berjumpa dengan Arya. Di saat yang amat gawat 
bagi keselamatan pemuda itu, Pertiwi melompat 
dengan kecepatan menakjubkan. Ia memapaki 
terkaman pemilik bentakan yaitu seorang pemuda 
berpakaian coklat 

Bresss! 

Benturan keras yang menggetarkan sekitar 
tempat itu langsung terjadi. Tubuh kedua orang 
itu terjengkang ke belakang dan jatuh terguling- 
guling di tanah. 

Namun, dengan gerakan sederhana Pertiwi 
maupun pemuda berpakaian coklat mampu me- 
matahkan kekuatan yang membuat tubuh mereka 
bergulingan. Keduanya bangkit berdiri meski den- 
gan pandangan nanar. 

"Siapa kau, Nona? Mengapa melindungi 
penjahat keji itu?" tanya pemuda berpakaian cok- 
lat setelah melempar pandangan kagum melihat 
orang yang menangkis serangannya seorang gadis 
muda. Cantik lagi. 

"Siapa aku tidak perlu kau tahu! Yang je- 
las, apabila kau bermaksud bertindak curang dan 
secara tak tahu malu ingin membunuh dia, aku 
tidak akan tinggal diam! Kau harus melangkahi 
mayatku dulu sebelum maksudmu terlaksana!" 
penuh semangat dan berapi-api Pertiwi menyam- 
buti ucapan pemuda berpakaian coklat yang nama 
sebenarnya Patuka. 

Pemuda berpakaian coklat terperanjat 
mendengar kata-kata yang lantang itu. Di samping 
bersemi perasaan kagum yang besar terhadap Per- 
tiwi. Gadis itu memang cantik bukan main! Apala- 
gi ketika dalam keadaan penuh semangat. Terlihat 
cantik dan gagah. 

"Nona," Suara Patuka mulai melunak. Ia ti- 
dak ingin terlibat pertarungan dengan gadis ber- 
pakaian hitam ini. Di dalam hatinya telah muncul 
simpati yang besar terhadap Pertiwi. Perasaan 
yang membuat Patuka tidak ingin melukai apalagi 
membunuh Pertiwi! 

"Cihhh! Tak tahu malu. Kau kira aku akan 
berpihak padamu dengan rayuan yang hendak 
kau lontarkan terhadapku?!" timpal Pertiwi, cepat. 

Wajah Patuka langsung merah padam. 
Ucapan Pertiwi tajam bukan main. Pemuda berpa- 
kaian coklat ini merasa heran, tidak menyangka 
akan mendapat sambutan sepedas itu. Sukar di- 
percaya ucapan sekasar itu keluar dari mulut seo- 
rang gadis yang cantik jelita dan gagah seperti Per- 
tiwi. 

Patuka besar dalam lingkungan yang meski 
tidak terlalu bersopan-santun tapi cukup mempu- 
nyai aturan. Lain halnya dengan Pertiwi. Gadis 
berpakaian hitam itu besar dalam didikan seorang 
tokoh hitam yang kasar dan tidak mengenal atu- 
ran. Maka, Pertiwi menganggap sambutan yang 
diberikannya biasa-biasa saja. 


-k-k-k 


"Mulutmu terlalu tajam, Nona," ucap Patu- 
ka dengan wajah memerah karena malu. Itu pun 
setelah beberapa saat lamanya terdiam bagai 
orang kehilangan akal. "Siapa yang bermaksud 
merayumu? Aku bukan sejenis orang seperti itu, 
Nona. Aku hanya ingin memberitahumu kalau 
orang yang kau lindungi itu adalah seorang pem- 
bunuh keji!" 

"Apa pun yang kau tuduhkan padanya aku 
tidak peduli!" tandas Pertiwi mantap. "Yang jelas, 
kalau kau ingin membunuhnya kau harus me- 
langkahi mayatku dulu!" 

Pemuda berpakaian coklat tersenyum pahit 

"Kau tidak memberikan pilihan lain pada- 
ku, Nona." 

"Tidak usah banyak bicara, Lelaki Bermu- 
lut Wanita! Kalau kau bukan seorang pengecut, 
maju dan serang aku!" 

Patuka menggertakkan gigi. Tidak ada gu- 
nanya lagi berpanjang kata kalau tidak ingin uca- 
pan-ucapan Pertiwi semakin menyakitkan hatinya. 

"Tunggu sebentar...!" 

Patuka yang telah siap melancarkan seran- 
gan dan Pertiwi yang sudah sedia untuk mengha- 
dapinya mengendurkan urat-urat mereka men- 
dengar seruan itu. Keduanya menoleh bersamaan 
ke arah Arya. 

"Apa lagi yang hendak kau katakan, Pem- 
bunuh Keji?!" geram Patuka seraya menatap Arya 
dengan sinar mata penuh kebencian dan dendam. 

Arya tentu saja bisa merasakannya. Tapi, 
pemuda berambut putih keperakan ini berpura- 
pura tidak tahu. 

"Sejak pertama kali kita bertemu kau telah 
menuduhku seorang pembunuh keji. Padahal, aku 
tidak tahu menahu dengan yang kau maksud. 
Berkali-kali aku minta kau mau menjelaskan, tapi 
kau tidak mau mendengarnya. Sekarang, untuk 
terakhir kalinya aku minta kau menjelaskannya 
sebelum semuanya menjadi telanjur." 

Tenang dan penuh kematangan Arya men- 
gucapkan kata demi kata. Tidak ada nada amarah 
di dalamnya. 

Patuka dan Pertiwi terdiam. Mereka mera- 
sakan jiwa dan pemikiran yang matang dalam 
ucapan Dewa Arak. Ucapan yang membuat kedua 
orang muda itu diam-diam merasa kagum. 

Patuka menjadi terkejut ketika melihat 
keadaan Arya yang mengenaskan. Tadi dia tidak 
sempat memperhatikannya karena yang terpikir- 
kan hanya membunuh atau terbunuh. Tadi, begitu 
melihat pakaian dan warna rambut Arya, dia lang- 
sung melancarkan pukulan Jarak jauh. 

Pemuda berpakaian coklat itu segera men- 
duga Arya tengah menderita keracunan hebat. Se- 
ketika ia teringat dengan ucapan Pertiwi yang 
mengatakan Arya tengah dalam keadaan tidak 
berdaya. 

"Baiklah kalau itu yang kau inginkan," 
ucap Patuka lebih lunak dari sebelumnya. Tapi, 
sorot matanya tetap menyiratkan kebencian. "In- 
gatkah kau dengan nama Panuggal?" 

Arya mengernyitkan dahi mencoba mengin- 
gat-ingat sebelum akhirnya menggelengkan kepa- 
la. Sepasang mata Patuka berkilat-kilat meman- 
carkan kemarahan. Ia menganggap Dewa Arak 
berdusta. 

"Aku bukan orang yang suka berbohong, 
Sobat! Aku lebih suka mati daripada memberikan 
kesaksian palsu. Sekarang terserah apa tangga- 
panmu!" tegas Arya yang dapat melihat ketidak- 
percayaan Patuka. 

"Baiklah! Ucapanmu kupercaya. Tapi sete- 
lah satu keterangan lagi kuberikan tidak juga ku- 
dapatkan jawaban pasti darimu, tidak ada lagi ba- 
sa-basi!" Patuka menggeram. "Ayahku tewas di 
tanganmu. Begitu berita yang kudapat dari pen- 
duduk Desa Jarak. Beliau berjuluk Utusan Dari 
Akhirat" 

"Utusan Dari Akhirat?" ulang Arya meminta 
penegasan. 

"Benar! Apakah kau masih mau menyang- 
kal bahwa kau yang telah menyebabkan kema- 
tiannya?!" sambut Patuka penuh amarah. 

"Tidak!" jawab Arya seraya menghela napas 
berat. Sungguh tidak disangka kematian Utusan 
Dari Akhirat akan berbuntut panjang. Arya kem- 
bali teringat dengan tokoh itu. (Untuk jelasnya, si- 
lakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Perin- 
tah Maut"). "Memang dia tewas di tanganku. Tapi 
perlu kau ketahui, Sobat. Tidak ada permusuhan 
sedikit pun antara aku dengan Utusan Dari Akhi- 
rat!" 

"Itu sebabnya kukatakan kau pembunuh 
keji, Dewa Arak! Tidak ada urusan antara kau 
dengannya, tapi kau tega membunuhnya. Aku se- 
bagai anaknya tak akan tinggal diam. Ibuku mati 
merana karena beliau kau bunuh. Aku, Patuka, 
rela mati di tanganmu untuk membalaskan kema- 
tian ayahku, Dewa Arak!" 

Arya tersenyum getir. 

"Lebih baik kau urungkan niatmu, Patuka. 
Aku tahu kau pemuda baik-baik. Rasa sakit hati 
dan dendam membuat akal sehatmu tertutupi. 
Janganlah kau ikuti jejak ayahmu yang tidak be- 
nar itu. Dan...." 

"Tutup mulutmu, Pembunuh Keji! Ayahku 
tidak sejahat yang kau kira. Beliau membunuh 
orang, bukan karena hatinya jahat. Tapi, karena 
pesanan orang lain. Seharusnya orang yang me- 
nyuruh ayahku yang kau bunuh!" potong Patuka 
berapi-api. 

"Tidak perlu kau ajari, Patuka. Aku sudah 
melakukannya!" Nada suara Arya mulai meninggi 


"Memang kuakui ayahmu tidak jahat. Pekerjaan 
ayahmu sangat berbahaya. Ia membunuh siapa 
saja tanpa pilih bulu. Daripada dia terus menye- 
barkan ancaman dan dimanfaatkan orang-orang 
jahat, lebih baik kulenyapkan dia!" 

"Keparat! Sekarang, kaulah yang harus ma- 
ti di tanganku untuk menebus nyawa ayah dan 
ibuku, Dewa Arak!" 

Patuka menutup ucapannya dengan ter- 
jangan ke arah Arya. Dalam cekaman kemarahan 
yang bergelora ia mengeluarkan sebatang cambuk 
berujung tiga. Pada tiap-tiap ujungnya terbelit se- 
batang pisau yang putih berkilat. Sekarang, tiga 
batang pisau itu meluncur ke berbagai jalan darah 
mematikan di tubuh Dewa Arak. 

"Manusia pengecut!" 

Pertiwi yang memang sudah sejak tadi siap 
menolong Arya langsung melesat ke depan pemu- 
da berambut putih keperakan itu. Entah kapan 
mengambilnya, di tangan Pertiwi telah tergenggam 
sehelai sabuk hitam panjang. . 

Prat, prattt, prattt! 

Tiga batang pisau Patuka terpental ke be- 
lakang ketika dengan gerakan luar biasa ujung 
sabuk Pertiwi bergerak tiga kali memapaki luncu- 
ran pisau. 

Patuka menggeram keras melihat seran- 
gannya kandas. Walau tidak ingin bertarung den- 
gan Pertiwi yang telah menarik hatinya, tapi kare- 
na gadis itu menghalangi tindakannya, terpaksa ia 
menyerang Pertiwi. Hanya apabila Pertiwi telah ro- 
boh dia dapat membunuh Dewa Arak. Untuk me- 
robohkan Pertiwi tidak ada jalan lain kecuali ber- 
tarung dengan gadis berpakaian hitam yang memi- 
liki kepandaian luar biasa ini. 

Pertarungan sengit antara kedua orang 
muda itu pun tidak bisa dielakkan lagi. Bunyi me- 
ledak-ledak terdengar ketika cambuk dan sabuk 
dilecutkan. Dalam pengerahan tenaga dalam ting- 
gi, senjata lemas itu tidak kalah berbahayanya 
dengan senjata tajam. 

Baik Pertiwi maupun Patuka bertarung 
dengan penuh semangat, agar bisa merobohkan 
lawan secepatnya. Bedanya kalau Patuka tidak 
melancarkan serangan-serangan maut terhadap 
Pertiwi, tidak demikian halnya dengan putri Pa- 
nangkaran. Pertiwi melancarkan serangan- 
serangan yang sebagian besar dapat mengirim 
nyawa lawannya ke alam baka. 

Cambuk Patuka menegang kaku bagai 
tombak. Sementara sabuk Pertiwi mampu menjadi 
pedang yang luar biasa tajam. Dalam keadaan se- 
perti itu Patuka maupun Pertiwi bisa mengguna- 
kan senjatanya untuk menusuk, membacok, atau 
membabat yang mengeluarkan bunyi bercicitan ta- 
jam. 

Rrrttt! 

Pertiwi yang tidak sabar melihat pertarun- 
gan berjalan seimbang, pada suatu kesempatan 
disaat cambuk Patuka meluncur, Pertiwi memper- 
gunakan sabuknya untuk melilit cambuk Patuka. 

Pertiwi yang sudah merencanakan hal itu 
segera mengerahkan seluruh tenaganya untuk 
menarik. Menurut perhitungannya, Patuka yang 
tidak ingin kehilangan senjatanya pasti akan me- 
narik pula. Dan, ternyata benar. Tarik-menarik 
pun terjadi. 

Di saat cambuk dan sabuk menegang ka- 
rena pengaruh tarikan, Pertiwi mengibaskan tan- 
gan kirinya. Bubuk-bubuk halus yang berada di 
sapu tangan dalam genggaman tangan kiri Pertiwi 
meluncur ke arah wajah Patuka. Bubuk itu ber- 
bau harum yang memabukkan. 

Patuka kaget bukan main melihat serangan 
yang tidak terduga ini. Semula, mengingat kega- 
gahan sikap Pertiwi, Patuka mengira Pertiwi me- 
rupakan murid seorang pendekar. Tak mungkin 
murid seorang pendekar melakukan kecurangan. 
Keyakinan akan dugaannya itu yang mengejutkan 
Patuka. Apalagi, ketika mengetahui serangan Per- 
tiwi ternyata beracun. 

Meski demikian, Patuka tidak kehilangan 
akal untuk menyelamatkan diri. Dengan pengera- 
han tenaga dalam ditiupnya debu-debu halus yang 
meluncur ke wajahnya, hingga berbalik kembali 
pada Pertiwi. 

Pertiwi sebagai pemilik bubuk-bubuk itu 
tentu saja tidak merasa khawatir. Dia hanya me- 
mejamkan mata agar bubuk-bubuk itu tidak ma- 
suk ke dalam mata. Pada saat yang bersamaan 
gadis itu mengirimkan tendangan ke paha kanan 
Patuka. 

Desss! 

Tubuh Patuka terjengkang ke belakang ke- 
tika dengan telak kaki Pertiwi menghantamnya. 
Cambuk yang sejak tadi dipertahankan terlepas 
dari pegangan. Pertiwi tidak menyia-nyiakan ke- 
sempatan baik itu. Sekali tangan kanannya yang 
memegang sabuk dikibaskan, cambuk Patuka me- 
layang deras ke arah pemiliknya. 

Pertiwi mempergunakan kesempatan di 
saat Patuka tengah sibuk menghadapi serangan 
cambuknya sendiri untuk melompat jauh ke bela- 
kang dan menyambar tubuh Aiya. Pemuda itu se- 
jak tadi menyaksikan jalannya pertarungan den- 
gan rasa khawatir. Arya yang telah kenyang pen- 
galaman mengetahui kepandaian Pertiwi dan Pa- 
tuka hampir berimbang. Bila diteruskan, salah sa- 
tu di antara mereka pasti akan celaka. Yang me- 
nang terluka parah dan yang kalah akan tewas. 

Betapa leganya hati Arya ketika melihat 
Pertiwi menghentikan pertarungan dan memba- 
wanya kabur meninggalkan tempat itu. 

Berbeda dengan Arya, Patuka merasa ge- 
ram bukan main. Dia mencoba untuk mengejar. 
Tapi, kakinya yang terkena tendangan terasa nyeri 
ketika digunakan untuk berdiri, apalagi jika berla- 
ri. Patuka hanya bisa menatap kepergian Pertiwi 
yang membawa Arya. 




"Kalau boleh tahu sebenarnya apa yang 
hendak kau lakukan terhadapku, Pertiwi?" 

Dalam keadaan tubuh dipondong Pertiwi 
yang tengah berlari cepat Arya mengajukan perta- 
nyaan itu. 

"Membawamu pada Dewa Obat Tangan 
Sakti untuk memintanya agar mengobatimu," beri- 
tahu Pertiwi tanpa mengendurkan kecepatan la- 
rinya. 

"Apakah kau tidak bisa mengobatiku, Per- 
tiwi? Aku dengar meski julukannya Dewa Obat, 
dia tidak mudah menerima orang untuk dioba- 
tinya. Kudengar dia orang yang aneh. Kadang 
orang yang meminta pengobatannya dibiarkannya 
saja sampai betul-betul parah." 

"Apa yang kau dengar itu memang tidak sa- 
lah, Arya. Dewa Obat Tangan Sakti memang memi- 
liki perangai aneh. Tapi, hanya dialah yang memi- 
liki pemunah racun yang bersarang di tubuhmu. 
Sedangkan ayahku tidak mungkin memberikan 
pertolongan. Jadi, hanya tinggal Dewa Obat Tan- 
gan Sakti satu-satunya harapan kita," jelas Pertiwi 
panjang lebar. 

"Aku mendengar nada ketidakyakinan akan 
keberhasilan usaha ini, Pertiwi? Apakah tidak se- 
baiknya kau hentikan saja usahamu. Aku yakin 
akan dapat mengobati keracunan ini dengan arak 
dalam guciku. Arakku mampu menawarkan segala 
macam racun." Aiya mengajukan usul. 

"Kau terlalu menganggap enteng racun ke- 
labang merah, Arya." Terdengar agak kesal sambu- 
tan yang diberikan Pertiwi. "Apakah kau tidak ta- 
hu kalau tenaga dalammu telah lenyap?" 

"Ah...!" Arya berseru kaget Tentu saja dia 
tahu tenaga dalamnya telah lenyap. Itu diketa- 
huinya sewaktu bertemu dengan Patuka di semak- 
semak dan pemuda itu menyerangnya dengan pu- 
kulan jarak jauh. Arya mencoba melompat ke atas. 
Namun, tidak jadi dilakukannya ketika tidak me- 
rasakan adanya putaran tenaga dalam di pusar- 
nya. Dengan untung-untungan Arya membanting 
tubuh di tanah dan bergulingan. Untung, sebelum 
maut merenggut nyawanya Pertiwi keburu muncul 
dan menolongnya. "Jadi..., lenyapnya tenaga da- 
lamku karena pengaruh racun kelabang merah?" 

"Itu tanda-tanda permulaan saja, Arya," 
jawab Pertiwi sungguh-sungguh. "Lewat sehari 
kau akan terserang rasa panas yang sangat. Hing- 
ga, semua bulu yang ada di tubuhmu rontok dan 
tidak pernah tumbuh lagi untuk selamanya. Ke- 
mudian, sedikit demi sedikit akan muncul bercak- 
bercak putih di kulitmu. Bagian yang terdapat 
bercak ini akan mati rasa. Kejadian selanjutnya 
sungguh mengerikan. Mulai dari ujung jari, seruas 
demi seruas akan terpisah dalam keadaan hancur. 
Mungkin pula dimulai dari hidung. Sayang, aku 
tidak tahu pasti. Tapi, yang jelas apabila sudah 
sampai pada keadaan seperti itu, ditolong pun ku- 
rasa tidak ada gunanya lagi!" 

Arya tidak mampu memberikan sambutan 
atas uraian Pertiwi. Pemuda berambut putih kepe- 
rakan yang memiliki kepandaian menakjubkan itu 
merasa ngeri! Siksaan yang didengarnya terlalu 
dahsyat. 

"Tapi, kudengar Dewa Obat Tangan Sakti 
sukar dicari tempat tinggalnya. Apakah... waktu 
yang kita miliki cukup untuk mencarinya? Belum 
lagi kalau dia menolak?" Arya membuka percaka- 
pan dengan suara kering. 

"Tenanglah, Arya, semua itu sudah kupi- 
kirkan. Percayalah, kau akan diobatinya dan sem- 
buh." Pertiwi mencoba menenangkan hati Arya. 

Arya tidak memberikan tanggapan lagi. 
Gadis itu mencoba untuk membuatnya tidak geli- 
sah. Padahal, Arya tidak gelisah. Ia sudah siap 
menerima kenyataan yang paling buruk. 

Karena tidak ada percakapan lagi, meski 
tengah berlari benak Pertiwi menerawang jauh. 
Gadis berpakaian hitam ini telah bertekad apa pun 
yang terjadi Dewa Arak harus diobati Dewa Obat 
Tangan Sakti. 

Pertiwi kembali teringat pertemuannya per- 
tama kali dengan Arya. Saat itu dia dikejar-kejar 
kakek berpakaian putih. Ia melihat seorang pemu- 
da berambut putih keperakan tengah berlari ke 
arahnya. Dalam pertemuan pertama itu hati Perti- 
wi telah tergetar. Tubuh Arya yang tegap dan ke- 
kar serta wajahnya yang tampan menimbulkan 
kekaguman di hati Pertiwi. 

Kekaguman Pertiwi semakin menjadi-jadi 
ketika melihat dengan beraninya Arya mengha- 
dang kakek berpakaian putih. Sayang, kesempa- 
tan yang tidak memungkinkan membuatnya tidak 
dapat mengenal Dewa Arak lebih jauh. 


Pertiwi baru mengetahui lebih banyak ten- 
tang Arya ketika pemuda berambut putih kepera- 
kan itu menjadi tawanan ayahnya. Kekaguman 
yang akhirnya membuahkan rasa cinta. Apalagi, 
ketika mengetahui orang yang dikaguminya ter- 
nyata Dewa Arak dan memiliki kepandaian di atas 
ayahnya. Perasaan cinta itu membuat Pertiwi be- 
rani menanggung akibat dengan menolong Dewa 
Arak yang sama artinya dengan menantang ayah- 
nya. 

kkk 

"Ratih...." 

Suara pelan yang sarat dengan perasaan 
iba itu keluar dari mulut seorang kakek berpa- 
kaian abu-abu. Kakek itu berada di dalam sebuah 
gua yang mempunyai ruangan cukup luas. 

"Seperti sudah kukatakan, yang telah mati 
kita relakan saja. Tidak usah dipikirkan lagi. Apa- 
lagi sampai demikian sedih. Beberapa hari kau ti- 
dak makan. Aku khawatir kau jatuh sakit. Andai- 
kata ayahmu yang telah meninggal diberikan ke- 
sempatan untuk kembali ke dunia, dia pasti akan 
menyuruhmu berhenti melakukan penyiksaan diri 
seperti ini." 

"Yang kusesalkan mengapa dia harus mati 
seperti itu, Kek?" protes Ratih, putri Dewa Seribu 
Pisau. 

Kakek berpakaian abu-abu tersenyum le- 
bar penuh kesabaran. 

"Setiap orang memang akan mati, Ratih. 
Dan, caranya tentu saja tidak sama. Menurut 
pendapatku, ayahmu, gembira dengan cara kema- 
tiannya, karena sesuai dengan dirinya sebagai seo- 
rang tokoh persilatan. Apakah kau lebih suka 


ayahmu mati karena sakit? Berbulan-bulan ter- 
baring di tempat tidur dan tersiksa oleh penyakit- 
nya. Tegakah kau melihatnya, Ratih?" 

Ratih terdiam. Nasihat kakek berpakaian 
abu-abu bisa diterima oleh akal sehatnya. Meski 
demikian, kemurungan pada wajahnya tidak teru- 
sir. Hanya, sorot penasaran dalam matanya tidak 
terlihat lagi. 

"Lagi pula." Kakek berpakaian abu-abu 
menambahkan. "Kalau kau terus berlaku seperti 
ini, bagaimana bisa membalaskan sakit hati 
ayahmu? Kau malah akan mati perlahan dengan 
batin tersiksa. Ah, betapa mengerikan!" 

Wajah Ratih tampak beriak. Kata-kata yang 
diucapkan kakek berpakaian abu-abu telah mem- 
bakar semangat hidup Ratih. 

"Ada orang datang, Ratih. Dua orang men- 
datangi tempat ini. Langkah salah satu di antara 
mereka terdengar jelas oleh telingaku. Berat, se- 
perti langkah orang yang tidak mempunyai ilmu 
meringankan tubuh. Mari kita lihat siapa mereka." 
Tiba-tiba kakek berpakaian abu-abu berkata agak 
lirih. Dengan sikap segan Ratih mengikuti kakek 
berpakaian abu-abu melangkah keluar gua. 

Ruangan yang berada di dalam gua ternya- 
ta tidak jauh dari mulut gua. Dalam beberapa be- 
las langkah, kakek berpakaian abu-abu dan Ratih 
telah hampir sampai di mulut gua. Mendadak 
langkah mereka bertambah cepat. Malah, terden- 
gar Ratih menggertakkan gigi. Tatapannya tertuju 
lurus ke depan dengan sorot mata penuh keben- 
cian dan dendam! 

Pemandangan keluar gua memang terang 
benderang. Di depan gua, hanya berjarak sekitar 
enam tombak dari mulut gua, berdiri dua sosok 
tubuh. 


Seorang pemuda berpakaian ungu yang be- 
rambut putih keperakan dan seorang gadis cantik 
berpakaian serba hitam. Dewa Arak dan Pertiwi! 
Wajah Pertiwi tampak sangat tegang. 

Begitu mengenali betul orang yang berdiri 
di depan mulut gua, Ratih tidak bisa menahan sa- 
bar lagi. Dia segera melesat keluar untuk melan- 
carkan serangan. 

Tapi, baru beberapa langkah ayunan kaki 
Ratih terhenti. Suatu kekuatan tak nampak telah 
menahan ayunan kakinya. 

Ratih yang tengah kalap tidak mau menye- 
rah. Seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dike- 
rahkan. Namun, usahanya sia-sia. Memang kedua 
kaki Ratih berlari, tapi hanya di tempat itu saja. 

Dengan penasaran Ratih menoleh ke bela- 
kang. Dia menduga kejadian ini pasti perbuatan 
kakek berpakaian abu-abu. Dan, dugaan gadis 
berpakaian merah ini memang tidak keliru. Ratih 
melihat kakek berpakaian abu-abu menjulurkan 
kedua tangannya ke depan. Dari kedua tangan itu- 
lah keluar kekuatan dahsyat yang menahannya. 



Tubuh Ratih yang tengah melesat keluar itu, 
tiba-tiba berhenti. Suatu kekuatan tak nampak te- 
lah menahan ayunan kakinya! 

Tentu saja Ratih tidak sudi menyerah. Selu- 
ruh tenaga dalamnya dikerahkan. Namun, usa- 
hanya sia-sia. Memang kedua kaki Ratih terlihat 
seperti berlari, tapi hanya di tempat itu saja! 

Melihat Ratih menoleh, kakek berpakaian 
abu-abu tersenyum. Lalu, tangannya digerakkan 
seperti menarik sesuatu. Ratih tidak mampu 
mempertahankan tubuhnya yang meluncur deras 
ke arah kakek berpakaian abu-abu. 

"Sabar, Ratih tidak ada gunanya kau um- 
bar kemarahan. Wanita itu memiliki kepandaian 
jauh di atasmu. Menurutkan kemarahan hanya 
akan merugikan dirimu sendiri. Tenanglah." 

Kakek berpakaian abu-abu lebih dulu 
memberi nasihat sebelum Ratih melontarkan 
protes. "Hilangkan amarahmu, dan tenangkan ha- 
ti. Kita bersama-sama keluar. Percayalah, dengan 
adanya aku, gadis liar itu tidak akan berbuat se- 
maunya terhadapmu." 

Tanpa memberi kesempatan pada Ratih 
untuk memberikan jawaban, kakek berpakaian 
abu-abu menggandeng Ratih keluar goa. 

Tapi, baru beberapa tindak terdengar se- 
ruan halus bernada teguran. 

"Lebih baik kau berdiam saja di dalam gua, 
Pendekar Kaki Seribu. Orang-orang itu datang 
kemari untuk menemuiku. Biar aku yang me- 
nyambutnya!" 

Belum sempat kakek berpakaian abu-abu 
dan Ratih memberikan sahutan, angin berkesiur 
dan di dekat mereka telah berdiri kakek berpa- 
kaian putih. 

Kakek yang tadi juga berada bersama Ratih 
dan Pendekar Kaki Seribu. Hanya, sejak tadi ia 
duduk bersila dan berdiam diri saja. Tidak peduli 
dengan kejadian yang berlangsung di sekeliling- 
nya. 

Kakek berpakaian putih lalu mengayunkan 
kaki menuju mulut goa, Ratih bingung. Kakek 
berpakaian putih itulah yang menyembuhkan luka 
keracunannya. Tapi, sayang kakek itu tidak bisa 
diajak bicara. Yang dilakukannya hanya duduk 
bersemadi. Berbeda dengan Pendekar Kaki Seribu 
yang mau peduli akan nasib yang menimpanya. 

Ratih menoleh ke arah Pendekar Kaki Seri- 
bu. Dilihatnya kakek itu mengangguk dan membe- 
ri isyarat agar Ratih mengikuti kakek berpakaian 
putih. Dengan ragu-ragu Ratih menuruti saran 
itu. Sempat dilihatnya Pendekar Kaki Seribu me- 
langkah kembali ke ruangan dalam goa. 

Pemilik tempat ini memang kakek berpa- 
kaian putih. Pendekar Kaki Seribu kawan kental 
kakek berpakaian putih. Tapi, sikap kakek berpa- 
kaian putih pada Pendekar Kaki Seribu terlihat 
dingin dan tak acuh. Seorang kakek yang aneh! 

Begitu kakek berpakaian putih dan Ratih 
muncul di mulut goa, Pertiwi mengembangkan se- 
nyum lebar tapi dengan pandangan meremehkan. 

"Selamat berjumpa lagi, Dewa Obat Tangan 
Sakti. Sungguh tidak kusangka gelar yang kau 
sandang bukan omong kosong belaka. Telah ku- 
buktikan sendiri kehebatan ilmu pengobatanmu 
dengan berhasil menyembuhkan luka beracun pa- 
da wanita di sebelahmu. Meski harus kuberitahu 
kalau racun itu hanya suatu racun yang tergolong 
ringan." Pertiwi membuka suara menyambut keda- 
tangan kakek berpakaian putih dan Ratih. 

Kakek berpakaian putih yang disapa Perti- 
wi dengan julukan Dewa Obat Tangan Sakti men- 
gernyitkan alis. Dia tidak tahu ke mana arah uca- 
pan putri Panangkaran itu. Meski demikian, Dewa 
Obat Tangan Sakti tidak terlalu memikirkannya. 
Perhatian kakek ini lebih banyak tertuju pada De- 
wa Arak. Dewa Obat Tangan Sakti segera dapat 
mengetahui Dewa Arak tengah menderita keracu- 
nan hebat. Siapakah yang telah melukainya? Ka- 
kek itu bertanya dalam hati. Beberapa hari yang 
lalu ia sempat bentrok dengan Dewa Arak. Saat 
itu, pemuda berambut putih keperakan ini dalam 
keadaan segar bugar. 

Bukan hanya Dewa Obat Tangan Sakti saja 
yang terkejut. Hal yang sama pun menimpa Dewa 
Arak. Arya sungguh tidak menyangka Dewa Obat 
Tangan Sakti adalah kakek yang dulu mengejar- 
ngejar Pertiwi dan hampir terlibat pertarungan 
dengannya. Dalam hati Arya menghela napas be- 
rat. Ia tahu harapan Dewa Obat Tangan Sakti 
akan mengobatinya sangat kecil. 

Sekarang Arya mengerti mengapa Pertiwi 
tidak yakin dengan keberhasilan usahanya. Tapi, 
mengapa Pertiwi tetap saja meneruskan usa- 
hanya? 

Pertiwi yang melihat sikap Dewa Obat Tan- 
gan Sakti seperti tidak mempedulikan ucapannya 
tampak mendongkol sekali. Namun, karena se- 
dang memiliki keperluan gadis itu berusaha me- 
nahannya. Suaranya masih terdengar tenang keti- 
ka berbicara lagi. 

"Dewa Obat Tangan Sakti, apakah kau ta- 
kut mendengar ucapanku maka bersikap tidak 
peduli? Ataukah kau takut ketidakbecusanmu da- 
lam ilmu pengobatan diketahui orang banyak ka- 
lau kau mendengar ucapanku lebih lanjut? Kau 
takut aku menantangmu untuk menguji apakah 
kau pantas berjuluk Dewa Obat. Kudengar banyak 
orang yang berobat padamu bukannya sembuh 
tapi malah tewas. Bukankah itu berarti kau tidak 
memiliki ilmu pengobatan yang cukup?" 

Akibat ucapan Pertiwi sungguh hebat Wa- 
jah Dewa Obat Tangan Sakti merah padam karena 
merasa tersinggung. Keahliannya diragukan orang, 
bahkan dicela. Tentu saja dia menjadi kalap! Apa- 
lagi yang menghinanya seorang gadis muda. Sung- 
guh berani Pertiwi meremehkan kemampuannya 
sebagai seorang Dewa Obat! 

"Tidak usah berbelit-belit, Gadis Bermulut 
Tajam! Katakan apa maksud kedatanganmu?" 
tanya Dewa Obat Tangan Sakti dengan geram. 

Pertiwi tahu umpannya telah mengena. 

Dewa Obat Tangan Sakti telah kena pancing. Tapi, 
dengan cerdiknya gadis berpakaian hitam ini me- 
nyembunyikan rasa gembiranya. Ia mendengus 
meremehkan. 

"Mungkin kau belum tahu siapa diriku, 
kakek tua yang berani sombong memakai gelar 
Dewa Obat! Tidak ada salahnya kalau aku mem- 
perkenalkan diri. Namaku, Pertiwi. Aku mempu- 
nyai seorang ayah sekaligus kakak seperguruan 
yang bernama Panangkaran. Guruku yang juga 
menjadi guru ayahku berjuluk Raja Racun Langit 
Bumi!" 

Dewa Obat Tangan Sakti sebenarnya kaget 
bukan main mendengar orang-orang yang menjadi 
ayah dan guru Pertiwi. Pentolan-pentolan sesat! 
Panangkaran saja terkenal lihai bukan main. Apa- 
lagi gurunya yang berjuluk Raja Racun Langit 
Bumi. Seorang manusia yang menganggap racun 
seperti makanan atau minuman. Meski demikian, 
untuk menjaga wibawanya kakek berpakaian pu- 
tih ini mengambil sikap tidak peduli. Seakan ia 
mendengar hal yang biasa saja. 


Pertiwi tidak menjadi kecil hati kendati 
Dewa Obat Tangan Sakti bersikap tidak peduli 
dengan nama-nama orang yang disebutnya. Sikap 
gadis berpakaian hitam ini tetap seperti semula. 
Sementara, Ratih menatap ke arahnya dengan 
pandangan yang seperti ingin menelannya bulat- 
bulat. 

"Guruku, Raja Racun Langit Bumi, pernah 
menceritakan tentang dirimu yang katanya memi- 
liki ilmu pengobatan mengagumkan. Guruku men- 
gatakan kau ahli obat-obatan nomor satu. Bahkan 
konon tidak ada luka biasa maupun keracunan 
yang tidak bisa kau atasi. Meski demikian guruku 
tidak yakin kau mampu mengobati luka beracun 
akibat tangan guruku. Terdorong untuk mencoba 
kelihaian ilmu pengobatanmu, aku tidak membu- 
nuh putri Dewa Seribu Pisau ketika aku melihat 
kedatanganmu. Aku ingin tahu apakah kau berha- 
sil menyembuhkan luka beracun yang dideritanya. 
Beberapa orang ahli obat yang kutemui di perjala- 
nanku mampu menyembuhkan luka seperti itu. 
Jadi, keberhasilanmu mengobati gadis itu tidak 
menjamin kau benar-benar patut bergelar Dewa 
Obat. Itulah sebabnya hari ini kubawa korban 
yang terkena pukulan beracun ayahku. Kalau kau 
berhasil menangkal racun ini, kau memang patut 
bergelar Dewa Obat. Tentu saja kalau kau tidak 
berani menyambut tantangan ini aku tidak akan 
memaksa. Menyerah mungkin lebih baik daripada 
kau berusaha tapi gagal!" 

Pertiwi yang memiliki kecerdikan, lebih te- 
patnya kelicikan luar biasa, sengaja menutup tan- 
tangannya dengan kata-kata demikian. Kata-kata 
yang memaksa Dewa Obat Tangan Sakti memenu- 
hi tantangan yang diajukan Pertiwi jika tidak ingin 
julukannya hancur dan menjadi ejekan tokoh- 
tokoh persilatan! 

Dan memang, sambutan yang diberikan 
Dewa Obat Tangan Sakti tidak meleset dari perki- 
raan Pertiwi. Dengan muka merah padam karena 
tersinggung kakek berpakaian putih itu melang- 
kah maju. 

"Kuterima tantanganmu, Gadis Bermulut 
Ular! Bukankah pemuda itu yang menjadi kelinci 
percobaanmu?" Dewa Obat Tangan Sakti menud- 
ing ke arah Arya. 

Arya yang sejak tadi mendengarkan perca- 
kapan itu dalam hati memuji kecerdikan Pertiwi. 
Sejak semula memang telah disepakati ia akan di- 
am saja. Pertiwi yang akan mengurus semuanya. 
Dan, gadis berpakaian hitam itu ternyata berhasil. 

Begitu melihat Pertiwi mengangguk, Dewa 
Obat Tangan Sakti melambaikan tangannya. "Ke- 
mari kau, Anak Muda. Biar kulihat sampai di ma- 
na kehebatan racun Raja Racun Langit Bumi!" pe- 
rintah kakek berpakaian putih itu pada Dewa 
Arak. 

Tanpa banyak cakap Arya melangkah ma- 
ju. Tapi, baru beberapa tindak ayunan kakinya di- 
hentikan. Ia mendengar seruan yang telah cukup 
dikenalnya. 

"Kau tertipu oleh seorang bocah kemarin 
sore, Dewa Obat! Kami tak pernah mengajakmu 
melakukan pertandingan bodoh ini!" 

Kalau Arya yang baru mendengar beberapa 
kali telah bisa mengenali pemiliknya, apalagi Per- 
tiwi. Wajah gadis itu langsung pucat pasi. Suara 
itu adalah milik... ayahnya, Panangkaran! 

Belum juga gema ucapan itu lenyap, berke- 
lebat dua sosok bayangan yang langsung menje- 
jakkan kaki di sebelah kanan Dewa Obat Tangan 
Sakti. 

Wajah pucat Pertiwi semakin memucat ke- 
tika melihat sosok lelaki di sebelah ayahnya. So- 
sok tinggi besar dari seorang kakek berambut pan- 
jang putih tergerai. Ia mengenakan pakaian serba 
hitam. Kakek yang mirip raksasa ini memiliki raut 
muka demikian dingin. Ia adalah guru dari Pertiwi 
dan Panangkaran, Raja Racun Langit Bumi! 

Dulu, sebelum berguru pada Raja Racun 
Langit Bumi, Panangkaran mempunyai seorang 
guru yang berjuluk Mayat Berkabung. Tapi, gu- 
runya tewas ketika terjadi penyerbuan kelompok 
pendekar yang di antaranya terdapat Dewa Seribu 
Pisau dan Bagas Pati. Itu terjadi dua belas tahun 
lalu. Panangkaran sendiri terluka parah. Demikian 
pula dengan putrinya, Pertiwi. Namun, keduanya 
berhasil diselamatkan oleh Raja Racun Langit 
Bumi yang kebetulan lewat di tempat itu. Nasib 
Panangkaran dan putrinya tengah mujur karena 
Raja Racun Langit Bumi berkenan mengangkat 
mereka menjadi murid. 

Setelah hampir dua belas tahun menuntut 
kepandaian, Panangkaran dan Pertiwi yang di- 
amuk dendam mulai turun tangan. Mereka mela- 
kukan pembalasan. Satu-persatu para pendekar 
yang terhitung dalam penyerbuan terhadap ge- 
rombolan Panangkaran berguguran di tangan Pa- 
nangkaran dan Pertiwi. Keluarga mereka pun di- 
tumpas sebagaimana halnya keluarga Bagas Pati 
dan Dewa Seribu Pisau. 

Dan sekarang, Pertiwi dan Panangkaran 
saling berhadapan di pihak yang berlawanan. 


kkk 


Meski merasa gentar melihat keberadaan 
ayah dan gurunya, maksud hati Pertiwi tidak men- 
jadi surut. Dengan sikap gagah gadis berpakaian 
hitam ini melompat ke depan Dewa Arak untuk 
melindungi. 

Raja Racun Langit Bumi mengeluarkan 
dengusan mengejek dari hidungnya melihat sikap 
Pertiwi. 

"Rupanya putrimu telah terpikat oleh ke- 
tampanan bocah gila itu, Panangkaran," dingin 
dan datar nada ucapan kakek berpakaian serba 
hitam itu. 

Wajah Panangkaran tampak merah padam 
karena malu dan marah. Meski tidak langsung, 
tapi Panangkaran tahu Raja Racun Langit Bumi 
menegurnya. Dari nada ucapan kakek tinggi besar 
itu, Panangkaran juga tahu Raja Racun Langit 
Bumi murka dan menyuruhnya untuk memberi- 
kan hukuman kepada Pertiwi. 

"Biar kulenyapkan saja anak tak tahu di- 
untung ini, Guru," ujar Panangkaran, geram. 

Raja Racun Langit Bumi tidak memberikan 
tanggapan. Bahkan, ketika Panangkaran mulai 
melangkah dengan sikap mengancam menghampi- 
ri Pertiwi. 

Pertiwi sampai terbelalak mendengar uca- 
pan Panangkaran. Dia terkesima karena tidak per- 
caya. Benarkah ayahnya akan sampai hati mem- 
bunuhnya? 

Keterkejutan yang melanda hati Pertiwi 
membuat gadis itu tetap berdiam diri kendati Pa- 
nangkaran telah melangkah tiga tindak. 

Melihat perkembangan yang tidak disang- 
ka-sangka itu, Dewa Obat Tangan Sakti menjadi 
bingung. Tapi kemudian dia menjadi tersinggung 
karena merasa dilangkahi. 

"Tunggu, Panangkaran! Aku mau bicara!" 
seru kakek berpakaian putih itu penuh wibawa. 

"Apakah kau sekarang telah menjadi orang 
yang tidak mempunyai rasa malu sehingga mau 
mencampuri urusan seorang ayah dan anaknya!" 
jawab Panangkaran tajam sehingga wajah Dewa 
Obat Tangan Sakti berubah pucat saking malunya. 
Kakek berpakaian putih ini pun tidak membuka 
suara lagi. 

"Ayah...!" 

Pertiwi berseru dengan suara bergetar. Ia 
tidak menyangka ayahnya akan sampai hati ingin 
membunuhnya. Perasaan gadis berpakaian hitam 
ini hancur luluh. Air mata mengembang pada ke- 
dua bola matanya. 

"Ayo, keluarkan senjatamu dan lawan aku, 
Anak Durhaka! Tidak usah tanggung-tanggung 
kau tolong Pemuda Sombong itu! Ayo, serang dan 
bunuh aku!" sambut Panangkaran dengan suara 
menggeledek. 

Sekujur tubuh Pertiwi menggigil hebat. 
Sungguh tidak disangka akan demikian hebat aki- 
bat tindakannya menolong Dewa Arak. 

"Menyingkiriah, Pertiwi. Biarkan ayahmu 
membunuhku. Tidak patut seorang anak berta- 
rung dengan ayahnya sendiri." Aiya mengetahui 
pergolakan hebat di batin Pertiwi mencoba mem- 
berikan nasihat 

Pertiwi semakin bimbang. Dia hanya bisa 
menatap wajah Panangkaran dengan sorot mata 
yang membayangkan kepedihan. Tapi, Panangka- 
ran semakin memiliki hati baja. Dia tidak sedikit 
pun merasa terharu melihat keadaan putrinya. 
Bahkan, lelaki bermata satu ini menggeram keras. 

"Keparat! Hayo, bersiaplah untuk berta- 
rung denganku, Anak Durhaka! Pantang bagi Pa- 
nangkaran untuk membunuh lawan yang tidak 
melawan!" 

Tantangan itu justru membuat kedua kaki 
Pertiwi semakin menggigil. 

Kemarahan Panangkaran pun meledak! 

"Baiklah! Rupanya kau perlu dipanasi dulu 
agar mau bertarung denganku," ujar Panangkaran 
tidak sabar. "Ketahuilah, hei anak tak tahu diun- 
tung, kau bukan anakku! Aku tidak pernah mem- 
punyai anak! Kau masih bayi ketika kutemukan di 
sebuah kerimbunan semak dua puluh tahun lalu. 
Kau bukan anakku, paham? Sekarang, aku akan 
membunuhmu. Ayo, lawan aku! Mungkin ayah 
ibumu telah tewas di tanganku karena kesenan- 
ganku adalah membunuh orang. Nah! Kau dengar 
itu?!" 

Semua orang terperanjat mendengar pen- 
gakuan Panangkaran. Mereka tidak menyangka 
hal itu. Terutama Pertiwi. Gadis berpakaian hitam 
ini mengeluh tertahan setelah terbelalak sesaat. 
Tubuhnya kemudian ambruk ke tanah seperti ka- 
rung basah. Pertiwi jatuh pingsan! 

"Pertiwi...!" 

Arya terkejut melihat keadaan Pertiwi. Dia 
ingin menangkap tubuh gadis berpakaian hitam 
itu agar tidak membentur tanah. Tapi, ketidak- 
adaan tenaga dalam membuat gerakannya kurang 
gesit. Tangkapannya pun hanya mengenai angin. 

Sebelum Arya sempat berjongkok untuk 
memeriksa keadaan Pertiwi, terdengar bentakan 
nyaring yang disusul berkelebatnya sesosok 
bayangan coklat meluncur ke arah Arya 

Meski tenaga dalamnya telah lenyap, pan- 
dangan Dewa Arak masih tetap tajam. Dia dapat 
mengetahui sosok bayangan itu menyerangnya 
dengan ayunan tangan kanan berbentuk cakar 
naga yang ditujukan ke arah kepala. 

"Pembunuh Keji! Sekarang tamatlah ri- 
wayatmu...!" seru sosok bayangan coklat mengi- 
ringi luncuran serangan mautnya. 

Arya menyadari benar tidak ada yang bisa 
dilakukannya untuk menyelamatkan nyawanya. 
Serangan itu datang begitu cepat dan tiba-tiba. 
Sementara tenaga dalamnya telah lenyap. 

Tapi, sebelum batok kepala Arya hancur 
dihantam cakar naga, sesosok bayangan melesat 
memapaki. 

"Hentikan, Patuka!" 

Terdengar suara keras dari sosok bayangan 
yang baru datang. 

Plakkk! 

Tubuh kedua sosok itu terjengkang ke be- 
lakang ketika benturan terjadi. Namun, dengan 
manisnya mereka mematahkan daya luncur dan 
menjejak tanah dengan mantap. 

Arya menghela napas berat ketika melihat 
penyerangnya adalah Patuka. Sedangkan sosok 
yang menyelamatkan seorang pemuda berpakaian 
kuning, Ludiga. Pemuda yang dilihatnya tengah 
mengguncang-guncang mayat Bagas Pati. Me- 
mang, setelah terjadi pertempuran dengan Patuka 
dan kegagalannya mencari Panangkaran, Arya 
kembali untuk mencoba mengobati Bagas Pati. 
Tapi, ternyata kedatangannya terlambat. Dari ja- 
rak yang cukup jauh dilihatnya Ludiga tengah 
menangisi mayat Bagas Pati. Karena tak ingin 
mengganggu, pemuda berambut putih keperakan 
itu segera pergi dengan diam-diam. Sungguh tidak 
disangka kalau sekarang Ludiga lah yang menjadi 
penolongnya. 

"Ludiga...!" seru Patuka, kaget. "Mengapa 
kau berada di sini?" 

"Aku datang untuk mencegahmu melaku- 
kan tindakan bodoh memusuhi Dewa Arak. Kau 
tahu Guru telah melarang maksudmu itu. Aku ju- 
ga tengah mencari Panangkaran yang telah mem- 
bunuh orangtuaku. Hentikan maksudmu itu, Pa- 
tuka! Atau kau berani mencoba melawanku? In- 
gat, aku akan mencegahmu. Dan, Guru menyetu- 
jui tindakanku!" 


*** 

"Kau... kau..., siapa kau? Rasanya wajah- 
mu tidak asing bagiku?" tanya Panangkaran agak 
bergetar karena heran. Sepasang matanya mena- 
tap wajah Ludiga lekat-lekat. 

Ludiga yang sadar wajahnya memang mirip 
dengan wajah ayahnya di waktu masih muda 
membusungkan dada sebelum menjawab. 

"Namaku Ludiga. Ayahku bernama Bagas 
Pati. Aku yakin beliau yang kau maksud!" 

"Ha ha ha...!" 

Panangkaran tertawa bergelak. Kelihatan 
gembira sekali. Tapi hanya pendek saja tawanya. 
Kemudian langsung ditutup dengan dengusan. 
Wajah lelaki bermata satu ini pun berubah bengis. 

"Jadi, kau putra si keparat Bagas Pati? Ka- 
lau begitu silakan kau menyusul ayah dan ibumu 
yang telah pergi ke alam baka. Sungguh tidak ku- 
sangka kau akan datang mengantarkan nyawa!" 

Wajah Ludiga berubah hebat Ditatapnya 
wajah Panangkaran tajam-tajam. 

"Jadi..., kau Panangkaran...?!" tanya Ludi- 
ga, kaget. Memang, pemuda ini hanya mengenal 
nama Panangkaran, tapi tidak tahu orangnya. 

"Memangnya kau kira siapa?" Panangkaran 
menjawab dengan penuh kebanggaan. 

Jawaban itu membuat Ludiga marah dan 
menyerangnya dengan sengit. Panangkaran den- 
gan gembira menyambuti. Pertarungan pun ber- 
langsung. 

Melihat muridnya telah terlibat dalam per- 
tarungan, Raja Racun Langit Bumi segera men- 
gayunkan kaki mendekati Dewa Arak. Pemuda be- 
rambut putih keperakan itu telah menyingkir ke 
tempat yang lebih aman begitu pertarungan terja- 
di. Tak lupa dibawanya tubuh Pertiwi. 

Kali ini Patuka tidak menyerang Dewa Arak 
lagi. Dia takut melakukan hal itu karena kebera- 
daan Ludiga yang merupakan kakak seperguruan- 
nya. Patuka tidak berani menentang Ludiga, apa- 
lagi bertarung dengannya. Belum lagi jika diingat 
gurunya berdiri di belakang Ludiga. 

Kenyataan itu membuat Patuka jadi bim- 
bang. Kalau Dewa Arak memang bersalah, tanpa 
diminta pun Ludiga dan gurunya pasti akan mem- 
bantunya untuk membuat perhitungan dengan 
Dewa Arak. Api dendamnya dalam hati Patuka 
pun mulai menyusut kendati tetap tidak bisa dihi- 
langkan. 

Terdengar bunyi tang-tung-tang-tung yang 
begitu nyaring. Sesaat kemudian, di belakang De- 
wa Arak telah berdiri seorang kakek berpakaian 
tebal. Malaikat Salju. Kakak kandung Raja Racun 
Langit Bumi. 

"Jangan kau lanjutkan maksudmu yang ti- 
dak baik itu!" ujar Malaikat Salju pelan tapi men- 
gandung wibawa kuat sehingga Raja Racun Langit 
Bumi tertegun sejenak. "Kurasa lebih baik kau to- 
long Dewa Arak dulu, Dewa Obat Aku yakin kea- 
daannya telah mengkhawatirkan!" 

Kali ini Raja Racun Langit Bumi menatap 
wajah Malaikat Salju dengan sinar mata penuh 
tantangan. 

"Muridku berhasil! mencelakai Dewa Arak 
dengan kecerdikannya. Kalau kau memang mam- 
pu, silakan merampasnya dariku!" tantang Raja 
Racun Langit Bumi. 

Malaikat Salju tersenyum getir. "Sejak dulu 
jalan hidup kita selalu bersimpangan, tapi tak 
pernah terjadi bentrokan. Sekarang, rupanya hal 
itu tidak bisa dipertahankan lagi. Majulah, aku 
pun ingin melihat sampai di mana kemajuan yang 
kau dapatkan!" 

Jawaban dari tantangan Malaikat Salju 
adalah serangan Raja Racun Langit. Bumi. Kakek 
tinggi besar laksana raksasa ini membuka seran- 
gan dengan tamparan bertubi-tubi ke arah pelipis. 
Malaikat Salju menyambutinya sehingga pertarun- 
gan antara kakak beradik ini pun berlangsung. 

Pertarungan itu dahsyat bukan main. Debu 
mengepul tinggi ke udara. Terasa sergapan hawa 
dingin yang mampu membekukan jalan darah ke- 
tika Malaikat Salju mengirimkan serangan. Semua 
yang menyaksikan jalannya pertarungan merasa 
takjub. Tubuh kedua tokoh yang telah gaek itu le- 
nyap karena cepatnya mereka bergerak. Yang ter- 
lihat hanya dua kelebatan bayangan yang saling 
belit Beberapa saat kemudian.... 

"Ah!" 

Raja Racun Langit Bumi terhuyung-huyung 
ke belakang. Ia memekik tertahan ketika paha ka- 
nannya terkena tendangan kakaknya. Pertarungan 
langsung terhenti karena Malaikat Salju tidak me- 
lanjutkan serangannya. 

"Bagaimana? Apakah kau tidak mau men- 
gaku kalah?" tanya Malaikat Salju, geram. 

"Minumkan saja obat ini!" Raja Racun Lan- 
git Bumi melemparkan obat pulung berwarna pu- 
tih yang langsung ditangkap Malaikat Salju dan 
kemudian diberikannya pada Arya. Kakek tinggi 
besar ini tidak mengakui kekalahannya. Tapi, dari 
tindakan yang dilakukannya, semua orang tahu 
Raja Racun Langit Bumi telah kalah! 

Tanpa ragu-ragu Arya menelannya. Sesaat 
kemudian, Arya merasakan keadaan tubuhnya 
mulai membaik. Obat Penawar Racun Raja Racun 
Langit Bumi ternyata manjur sekali. 

"Lukamu telah sembuh, Kek?" 


"Tak sampai setengah hari, Dewa Arak," 
jawab Malaikat Salju gembira karena keadaan De- 
wa Arak yang dikaguminya mulai membaik. 

Obrolan Dewa Arak dengan Malaikat Salju 
terhenti ketika tiba-tiba terdengar seruan kaget. 
Hampir bersamaan Dewa Arak, Malaikat Salju, 
dan Raja Racun Langit Bumi mengalihkan perha- 
tian. Mereka melihat Dewa Obat Tangan Sakti ter- 
belalak menatap Pertiwi yang tengah tergolek di 
tanah. 

"Ada apa, Dewa Obat?" Malaikat Salju yang 
rupanya cukup dekat dengan kakek berpakaian 
putih itu menegur. 

"Dia pasti cucuku!" seru Dewa Obat Tan- 
gan Sakti dengan suara bergetar seraya menunjuk 
tubuh Pertiwi. "Tanda merah di sebelah kanan le- 
hernya kuingat betul. Aku menengoknya ketika dia 
baru dilahirkan. Ibunya meninggal setelah mela- 
hirkannya. Sedangkan ayahnya menjadi gila dan 
tak terdengar lagi beritanya. Rupanya, batinnya 
terguncang dengan kematian istrinya, yaitu anak- 
ku. Mungkin sekali anak ini ditinggalkan di re- 
rumputan oleh ayahnya yang telah gila. Bertahun- 
tahun aku mencari, namun tanpa hasil. Syukur, 
sekarang kutemukan!" Sepasang mata Dewa Obat 
Tangan Sakti berkaca-kaca. 

Arya dan Malaikat Salju mengucapkan se- 
lamat. Kemudian, Malaikat Salju pergi meninggal- 
kan tempat itu dengan mengajak adik kandung- 
nya, Raja Racun Langit Bumi. 

Dewa Arak pun pergi tepat pada saat ujung 
cambuk Ludiga menghantam pelipis kanan Pa- 
nangkaran hingga retak. Panangkaran tewas tanpa 
sempat mengeluh lagi. Begitu berhasil mene- 
waskan Panangkaran, Ludiga mengedarkan pan- 
dangan mencari Dewa Arak untuk meminta maaf 
atas ketidakpantasan sikap Patuka. Tapi, pemuda 
berambut putih keperakan itu sudah tidak ada la- 
gi- 

Arya yang dicari-cari telah berada jauh dari 
tempat itu. Pemuda berambut putih keperakan itu 
sengaja tidak menunggu Ludiga selesai bertarung 
dan Pertiwi sadar dari pingsannya. Arya menyadari 
kalau Pertiwi mencintainya. Padahal, Arya tidak 
bisa membalasnya. Jadi, lebih baik pergi tanpa di- 
ketahui. 

Sementara Ratih harus mengubur den- 
damnya dalam-dalam karena Pertiwi ternyata cucu 
Dewa Obat Tangan Sakti. Dan lagi, Pertiwi agak- 
nya telah sadar dari kesesatannya. 

SELESAI
Ikuti episode selanjutnya
Penjara Langit