Dewa Arak 86 - Penyair Cengeng


Wajah Lingga terlihat menampakkan ke tegangan. 
Meski belum lama menerjunkan diri di dunia persilatan, tapi 
pemuda ini telah banyak mendengar tentang tokoh yang 
berjuluk Penyair Cengpng. Tapi sepengetahuannya, tokoh itu 
telah belasan tahun lenyap dari dunia persilatan. 
Mungkinkah sekarang tokoh itu telah keluar dari tempatnya 
mengasingkan diri? Apa yang menjadi penyebabnya? 
Sementara lantunan syair dari Penyair Cengeng terus 
berkumandang (Untuk lebih jelasnya mengenai kejadian ini, 
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode: "Golok Kilat"). 
Sampai tiba-tiba terdengar hantaman keras... 

Brakkk! 

Beberapa langkah dari ambang pintu tampak brrdiri 
dengan tenang seorang kakek. Rambut yang tumbuh di 
kepala dan di sekitar wajahnya telah memutih semua. 
Pakaian abu-abu membungkus tubuhnya yang ringkih. 

Kakek yang bukan lain Ki Jaran Sangkar alias Penyair 
Cengeng ini tidak berubah wajahnya. Dia kelihatan begitu 
tenang kendati di depannya terpampang pemandangan yang 
cukup mendebarkan. Wiiyadi, Linasih, dan Gurit menatap kc 
arahnya penuh harapan. Ketiga orang ini sedikit mempunyai 
harapan kalau Penyair Cengeng akan dapat menobng 
mereka. 

Lingga menggertakkan gigi penuh perasaan gpram. 
Sepasang matanya seakan bernyala ketika menatap Penyair 
Cengeng. Pemuda ini marah bukan main karena merasa 
terganggu. 

'"Tua bangka gila...!" maki Lingga. "Rupanya, kau 
sudah tidak sabar untuk menemui 1$matian sehingga begitu 
berani mencampuri urusanku! Menyingkirlah dari sini, cepat! 
Jangan tunggu kesabaran ku habis...!" 

Lingga memang cerdik bukan main. Dia tahu Penyair 
Cengeng memiliki kemampuan tinggi. Seorang lawan yang 
amat tangguh! Walaupun dia tidak takut, tapi demi 
keberhasilan usahanya, lebih baik tidak terjadi keributan 
antara mereka. Perasaan marah yang mencekam hati segera 
ditekannya. 

Penyair Cengeng tetap tenang. Dia tidak menjadi 
marah melihat makian dan sikap Lingga yang demikian 
kurang ajar. 

Ilmu yang tinggi membuat manusia lupa 

Menyebar maut dan bencana di mana-mana 

Sadarlah, Tuhan tidak buta 

Kelak akan diturunkan hukumannya 

Rangkaian syair itu didendangkan Penyair Cengeng. 
Memang tak aneh kalau tokoh itu mendapat gelar demikian. 
Nada syairnya sangat sendu. Sarat dengan kedukaan dan 
keprihatinan. Malah, lebih cenderung meratap-ratap. 

Perlahan saja Penyair Cengeng menyanyikannya. Tapi, 
pengaruh yang ditimbulkannya tidak sesederhana yang 
terdengar. Semua orang yang berada di sini larut dengan 
kesedihan yang mendalam. 

Wiiyadi hampir menangis ketika teringat akan ke- 
matian istri dan anaknya yang demikian menyedihkan. Gurit 
dan Linasih pun dilanda perasaan yang sama. Mereka 
teringat kedua orang tua mereka dan seluruh anggota 
keluarga yang tidak tersisa lagi akibat ulah perampok- 
perampok. Perasaan yang sama dialami pula oleh Lingga. 

Pemuda berpakaian merah ini merasakan gplombang 
rasa sedih dan iba pada dirinya sendiri menyarangnya 
dengan hebat. Nada syair Penyair Cengeng membuamya 
terkenang kcmbali akan nasib dirinya. Dia orang yang tidak 
mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Bahkan, orang tuanya 
sendiri pun tidak dikenalnya. 

Suasana terasa hening yang mengharukan. Masing- 
masing dari mereka merenung dengan mata berkaca-kaca. 
Malah Wiryadi kemudian menangis terisak kendati lelaki ini 
telah mencoba untuk menahannya. Isakan Wiryadi membuat 
Lingga tersadar. Pemuda yang memiliki kepandaian tinggi ini 
segera tahu pengaruh syair Penyair Cengeng telah 
mencengkeramnya. Kesadaran yang timbul membuat Lingga 
menggertakkan gigi, mengerahkan seluruh kekuatan batin 
untuk mengenyahkan perasaan ganjil itu. 

"Tua bangka gila...!" seru Lingga keras. Tapi, masih 
terasa ada getaran pada suaranya. "Rupanya kali memang 
berniat mencari keributan denganku!" 

Keributan ada di mana-mana 

Ribuan kali aku terlibat 

Sekarang aku telah bertobat 

Tak mau aku ada di dalamnya 

Lingga tidak bisa menahan diri lagi. Kemarahan yang 
amat sangat membakar hatinya. Sambil mengeluarkan 
pekikan keras, kedua tangannya cepat dihentakkan ke 
depan! 

Hembusan angin yang luar biasa dingin menyerbu ke 
arah Penyair Cengeng. Karena dinginnya, angin itu sampai 
mampu membuat Wiryadi dan yang lainnya 
menggemelutukkan gigi. Padahal, bukan mereka yang 
dijadikan sasaran serangan! 

Penyair Cengpng mendendangkan nada tanpa syair 
melalui lubang hidungnya, mirip orang bergumam. Lingga 
hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. 
Pukulannya lenyap begitu saja. Hawa di dalam rumah itu 
yang semula dingin bagai di atas puncak gunung salju, kini 
menjadi hangat. Seakan-akan tempat itu disorot sinar 
matahari menjelang siang! 

Penyair Cengeng mengangkat tangannya di depan 
wajah, agak lebih tinggi sedikit dari kepala. Bagai diambil 
oleh tangan, Gobk Kilat yang ada di punggung Lingga 
melayang ke arah tangan kakek itu. Tidak hanya goloknya 
saja tapi berikut warangkanya 

Lingga tentu saja tidak ingin benda pusaka itu jatuh 
ke tangan orang lain. Kedua tangannya buru-buru 
dijulurkan. Dikerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki 
untuk menarik kembali Golok Kilat 

Lagi-lagi Lingga harus menelan kenyataan yang 
mengejutkan! Golok Kilat tetap meluncur ke tangan Penyair 
Cengeng. Lajunya tidak tertahan sedikit pun. Tenaga tarikan 
Lingga seperti lenyap di tengah jalan tanpa mempedulikan 
Lingga yang masih terlibat dalam keheranan, Penyair 
Cengeng menghunus Golok Kilat dari sarungnya. 
Diperhatikannya beberapa saat, lalu diciumnya. 

Golok Kilat 

Sekian lamanya kau istirahat 

Orang laknat berhati bangsat 

Akan membuatmu kembali bejat 

Golok Kilat 

Kau hanya menunggu saat 

Seorang pendekar muda berhati bersih 

Akan membuatmu menjadi suci 

Wiiyadi, Gurit, dan Linasih menangis keras. Wiiyadi 
malah melolong-lolong sambil menyebut-nyebut nama 
istrinya yang telah meninggal. Pengaruh nada Penyair 
Cengeng yang belum sirna dan semakin menjadi-jadi yang 
menyebabkannya demikian. 

Lingga pun mendapatkan pengaruh syair Penyair 
Cengeng. Tapi, karena sejak sadarnya pemuda ini telah 
mengerahkan kekuatan batin dan berusaha menulikan 
telinga, pengaruh yang melandanya tidak seberapa besar. 
Dan pengaruh itu mampu dihilangkan dengan gertak gigi 
kemarahan. 

Lingga sudah bersiap untuk melancarkan serangan 
lagi. Namun, terpaksa dihentikan ketika mendengar ucapan 
dan tindakan Penyair Cengeng. 

"Akan kukembalikan golok ini, Anak Muda. Aku tidak 
mau mengambilnya. Seperti yang kukatakan, akan tiba 
masanya golok ini tidak dijadikan penyebar bencana untuk 
se lama-lamanya." 

Golok Kilat melayang ke arah Lingga tanpa Penyair 
Cengeng melemparkannya. Senjata mengerikan itu seperti 
mempunyai nyawa dan terbang sendiri. Lingga segera 
menangkapnya sambil mengerahkan seluruh tenaga dalam. 
Tapi, tetap saja begitu golok berada di tangan, tubuhnya 
terhuyung-huyung ke belakang. Golok itu sendiri hampir 
terlepas dari pegangan. 

Lingga sadar kalau Penyair Cengeng terlalu sakti 
untuk dilawan. Tanpa malu-malu tubuhnya segera 
dibalikkan. Kemudian, dia melesat kabur meninggalkan 
rumah itu melalui pintu belakang 

Penyair Cengeng menatap kepergian Lingga tanpa 
berusaha hendak mengejar. Setelah memandang Gurit, 
Wiiyadi, dan Linasih, dia pun meninggalkan rumah itu 
sambil bersenandung. Tinggallah Gurit dan yang lainnya 
merasa bersyukur atas pertolongannya. Mereka sampai tak 
sempat mengucapkan terima kasih karena begitu terkesima 
menyaksikan Lingga yang lari ketakutan. 


***


Aiya mendengus-denguskan hidung. Bau sedap yang 
tercium hidungnya membuat rasa lapar yang sejak tadi 
melilit perut terasa semakin menjadi-jadi. 

Memang, bunyi nyaring terdengar dari dalam perut 
Aiya. Bunyi yang membuat pemuda ini menoleh ke kanan 
dan ke kiri karena khawatir ada orang yang mendekatinya. 

Hati pemuda ini menjadi lega ketika melihat tak ada 
orang di dekatnya. Perhatiannya lalu kembali dipusatkan 
pada bau sedap yang mampir ke hidungnya. Kemudian, kaki 
Aiya terayun menuju asal bau itu. 

Semakin lama bau wangi daging panggang itu 
semakin keras. Dan setelah Aiya bergerak dari tempatnya 
semula sampai belasan tombak dalam jarak lima tombak di 
depannya, duduk bersandar pada sisa sebatang pohon yang 
telah ditebang seorang kakek berpakaian kuning kentang. 

Aiya yang memiliki mata tajam segera bisa 
memperkirakan kalau kakek yang memiliki wajah persegi dan 
penuh ditumbuhi cambang bauk, kumis, serta jenggot lebat 
ini memiliki kepandaian tinggi. Tubuhnya yang kekar 
mengingatkan Aiya akan seekor singa jantan. Suatu hal yang 
tidak berlebihan karena wajahnya pun mirip wajah singa. 
Dan, pakaian yang dikenakan kakek itu adalah kulit seekor 
singa! 

Kakek bermuka singa sepertinya tidak tahu akan 
kehadiran Aiya. Dia tetap saja tenggelam dalam 
kesibukannya memutar-mutarkan daging yang berada di atas 
tumpukan arang menyala. Tangan kirinya mencekal sehelai 
daun nangka. Dengan daun itu arang dikipasinya agar terus 
menyala. Dari daging yang tengah dipanggang si kakek itulah 
bau sedap berasal. 

"Tidak pantas memperhatikan seperti itu, Anak Muda. 
Kemarilah. Aku tahu kau lapar. Mari kita santap bersama. 
Lagi pula, aku tidak akan bisa menghabiskannya sendiri." 

Perkataan itu terdengar oleh Aiya. Namun, pemuda ini 
tidak menjadi kaget karenanya. Meskipun ucapan itu keluar 
dari mulut si kakek yang tetap tidak mengalihkan 
pandangannya sedikit pun. 

Dari mana si kakek tahu keberadaannya, dan dengan 
tepat menduga kalau dia adalah seorang pemuda? Padahal 
sejak tadi kakek itu belum melihat Aiya. Dan, dari mana 
kakek itu tahu kalau Aiya sedang lapar? Pertanyaan- 
pertanyaan itu tidak begitu menggayuti hati Aiya. Pemuda ini 
telah maklum kalau si kakek seorang yang memiliki 
kepandaian tinggi. 

"Maaf, kalau tindakanku tidak berkenan di hatimu, 
Kek," ucap Aiya sopan. "Tak lupa kuucapkan terima kasih 
atas tawaran yang kau berikan. Memang aku tengah lapar. 
Dan, bau daging panggangmu yang nikmat yang membawaku 
kemari." 

Si kakek tidak memberikan sambutan. Dengan tenang 
didekatkan daging panggangnya ke wajah. Diciumnya dalam- 
dalam bau wangi yang menyebar. Nikmat sekali kelihatannya. 
Aiya sampai menelan ludah melihatnya. 

Tanpa bergerak dari duduknya, si kakek 
memindahkan ranting di mana daging panggang tertusuk ke 
tangan kiri. Tangan kanannya lalu diulurkan pada Aiya. 

"Siapa namamu, Anak Muda Berambut Aneh? Aku 
cukup kau kenal sebagai Singa Air. Namaku sendiri aku tidak 
ingat lagi. Sudah belasan bahkan mungkin puluhan tahun 
tak ada orang yang memanggil namaku. Julukan aku tidak 
punya. Jadi, hanya itu yang bisa kuperkcnaikan agar kau 
bisa menyapaku," si kakek memperkenalkan diri. 

"Namaku Aiya, Kek. Aiya Buana," jawab Aiya sambil 
mendekat dan menyambut uluran tangan Singa Air 

Senyum lebar tersungging di bibir pemuda berambut 
putih keperakan itu. Tapi, senyum Aiya langsung memupus 
ketika merasakan ada gelombang aliran tenaga dalam 
menyerbunya. Aiya menjadi heran. Ditatapnya wajah Singa 
Air. Usaha Aiya sia-sia. Dia tidak mampu membaca perasaan 
hati kakek itu. Apakah si kakek bermaksud menguji atau 
memang sungguh-sungguh berniat menyerangnya, Aiya tidak 
tahu. 

Aiya tidak mempunyai pilihan lain. Dikerahkannya 
tenaga dalam untuk melawan gplombang serangan tenaga 
dalam Singa Air. Pertarungan adu tenaga dalam kini 
berlangsung. 

Pertarungan itu tidak teriihat meskipun jika kebetulan 
ada yang menyaksikan. Yang tampak hanya jabatan tangan 
yang lebih lama dari biasanya. 

Kedua belah pihak ternyata sama-sama kuat. Namun 
ketika berlangsung agak lama, dari kepala Dewa Arak mulai 
mengepul uap tipis. Sedangkan si kakek hanya 
mengeluarkan peluh banyak di wajahnya yang merah! 

Pertarungan tenaga dalam itu rupanya demikian 
dahsyat sehingga tanah tidak mampu menahan. Perlahan 
tapi meyakinkan kedua kaki Dewa Arak dan Singa Air amhlas 
ke tanah. Mula-mula hanya setelapak kaki lalu terus lebih ke 
dalam hingga betis! 

Baik Dewa Arak maupun Singa Air rupanya tidak 
menginginkan tubuh mereka tenggelam lebih dalam lagi. 
Keduanya tahu apabila diteruskan bukan tidak mungkin 
tubuh mereka akan tenggelam seluruhnya. Sesaat kemudian 
bagai telah disepakati sebelumnya, Dewa Arak dan Singa Air 
menarik tangannya masing-masing. 

"Kau hebat, Aiya. Kau seorang pemuda yang luar 
biasa," puji Singa Air sejujurnya. Sinar kekaguman tampak 
pada sorot sepasang matanya yang mencorong kehijauan. 
"Kau memiliki tenaga dalam yang amat kuat!" 

Aiya mendengar nada persahabatan dalam ucapan 
Singa Air. Kecurigaannya terhadap Singa Air pun berkurang. 
Timbul dugaan kalau kakek ini hanya bermaksud 
mengujinya. Aiya lalu menyunggingkan senyum. 

Tapi, baru juga mulut Dewa Arak terkembang 
setengah jalan, Singa Air telah melancarkan serangan berupa 
bacokan sisi tangan ke arah leher. Bunyi berciutan tajam 
yang mengiringi meluncurnya serangan menunjukkan pada 
Aiya kalau bacokan itu sanggup membuat benda yang paling 
keras sekalipun menjadi punggal! 

Aiya pun marah! Singa Air benar-benar keterlaluan. 
Andaikata benar kakek itu bermain-main, juga tetap 
kelewatan! Permainannya terlalu berbahaya karena berakibat 
membawa ke matian. Kalau bukan dia sejak tadi diperlakukan 
seperti itu, tentu telah menggeletak tanpa nyawa melekat di 
badan. 

Kemarahan yang timbul membuat Dewa Arak segera 
mengambil ke putusan yang dipandangnya tepat. Sambil 
merendahkan tubuh sehingga membuat serangan Singa Air 
lewat di atas kepala, pemuda ini mengirimkan gedoran 
tangan kanan ke arah dada. 

Blarrr! 

Tubuh Dewa Arak dan Singa Air terhuyung-huyung ke 
belakang. Aiya selangkah lebih jauh ketika Singa Air 
memapaki serangannya dengan cara serupa! Begitu berhasil 
mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung, 
Aiya langsung melesat untuk mengirimkan serangan 
berikutnya. Pemuda ini tidak mau lagi dijadikan sasaran 
serangan. Namun, serangannya terhenti di tengah jalan. 
Singa Air bukannya bersiap untuk mengelak atau memapaki. 
Kakek ini malah menjulurkan kedua tangannya ke depan. 

"Cukup, Aiya...!" seru kakek bermuka singa itu. 
"Permainan ini sudah cukup!" 

Aiya menatap tajam wajah Singa Air. Perasaan tidak 
senang memancar jelas dari sepasang matanya. 

"Mungkin benar kau bermain-main, Kek. Tapi ini 
permainan yang amat berbahaya. Taruhannya adalah nyawa! 
Dua permainan yang kau suguhkan terlalu dahsyat. Kalau 
aku tidak memiliki kepandaian yang cukup, mungkin saat ini 
nyawaku sudah pergi meninggalkan badan. Tidak bisa 
kubayangkan berapa banyaknya orang yang tewas di 
tanganmu akibat permainan yang keterlaluan ini!" 

Singa Air tidak marah atau tersinggung mendengar 
ucapan Aiya yang dikeluarkan dengan agak keras dan 
bernada tidak senang. Kakek ini malah tersenyum 

"Dugaanmu keliru, Anak Muda," sahut Singa Air 
tenang. "Aku tidak seperti dugaanmu. Aku tidak pernah 
bermain-main seperti ini terhadap sembarang, orang! Apalagi 
dengan serangan-serangan berbahaya seperti tadi. Hanya 
padamulah hal ini kulakukan! Itu pun karena aku yakin kau 
mampu menangkalnya." 

Aiya mengernyitkan alis. Penjelasan si kate k 
membuat kemarahannya mereda. Singa Air tampaknya tidak 
berbohong. Terdengar jelas nada kesungguhan dalam 
ucapannya. 

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kek!" 

"Permainan yang kau katakan itu, Anak Muda dan 
kau anggap amat berbahaya ini tidak sembarangan 
kulakukan. Aku telah memperhitungkan sebelumnya. Aku 
yakin kau akan mampu menghadapinya. Kau memiliki 
kepandaian tinggi," jelas Singa Air. 

"Maksudmu..., kau telah bisa menduga siapa 
sebenarnya aku?" tanya Aiya. Ia tidak begitu kaget karena 
tahu dirinya cukup terkenal di kalangan tokoh tokoh rimba 
persilatan. 

Singa Air mengangguk. 

"Muridku telah menceritakan cukup banyak hal 
mengenai dirimu sekembalinya dari merantau. Dia banyak 
memujimu, Aiya. Katanya, kau memiliki tingkat kepandaian 
tidak berada di bawahnya..." 

"Sekarang aku mengerti," Aiya mengangguk- 
anggukkan kepala. "Kau mengujiku sesuai dengan 
kemampuan muridmu itu. Benarkah dugaanku ini kek?" 

Singa Air hanya tersenyum. Tidak mengiyakan atau 
mengangguk. Tapi, jawaban ini telah cukup bagi Aiya. 
Kemarahannya pun seterika pupus bak awan tersapu angin. 

"Boleh kutahu siapa muridmu yang terlalu melebih- 
lebihkan cerita mengenai diriku, Kek?" 

"Dia seorang pemuda gagah sepertimu, Aiya. Menurut 
ceritanya, dia berhasil menunaikan tugas dariku karena 
pertolonganmu." Singa Air masih mencoba berahasia. 

Aiya tercenung mengingat-ingat apa yang pernah 
dilakukannya. Tapi sulit sekali. Terlalu banyak orang yang 
telah ditolongnya. 

"Aku tidak mampu mengingatnya, Kek. Maaf, 
bukannya aku tidak mempedulikan masalah ini. Tapi karena 
terlalu banyaknya aku terlibat dalam masalah seperti itu. 
Sekali lagi, maaf. Bukannya aku bermaksdu menyombongkan 
diri dengan menceritakan hal ini." 

"Aku bisa mengerti, Aiya," sahut Singa Air, bijaksana. 
"Aku tahu kau bukanlah orang yang sombong. Kalau tidak, 
pasti kau telah memberitahukan julukanmu. Orang dengan 
kepandaian sepertimu, dan sikap tenang yang mencerminkan 
kematangan telah menunjukkan seringnya kau terlibat dalam 
masalah. Kau pasti punya julukan. Pemberitahuan sedikit 
dariku pasti akan membuatmu teringat. Kau dan muridku itu 
terlibat dalam masalah Kerajaan Kujang." 

Wajah Aiya berubah. Pemuda ini segera teringat 
pengalaman beberapa waktu yang lalu itu berkesan di 
hatinya. 




"Mungkin aku tahu sekarang siapa muridmu itu, kek," 
ujar Aiya. Terbayang kembali di benaknya seorang pemuda 
berpakaian kuning, bercambang lebat, dan bertangan kuat. 

Singa Air tersenyum. 

"Silakan katakan, Aiya. Aku ingin mendengarnya. 
Benar atau tidak jawaban yang akan kau berikan." 

"Muridmu itu adalah Pendekar Tangan Baja!" 

'Pendekar Tangan Baja?" ulang Singa Air setengah 
tertawa. "Jadi..., itukah julukannya? Dia tidak pernah 
menceritakan hal itu padaku. Atau..., jangan-jangan kau 
salah mengpnali orang." 

"Kurasa tidak, Kek. Bukankah Gumintang nama 
muridmu itu?" tanya Aiya untuk memastikan kebenarannya. 
Ketika dilihatnya si kakek mengangguk, ucapannya segera 
dilanjutkan. "Dialah Pendekar Tangan Baja" 

Singa Air menggeleng-gelengkan kepala kagum. Bisa 
diperkirakannya, mengapa muridnya yang mendapat julukan 
seperti itu (Untuk jelasnya mengenai Gumintang alais 
Pendekar Tangan Baja, silakan baca episode yang beijudul: 
"Pendekar Tangan Baja"). 

"Mengapa kau bisa berada di sini, Kek? Apakah 
Pendekar Tangan Baja mendapat masalah?" 

"Tidak!" Singa Air kembali menggelengkan kepala. "Dia 
tengah berlatih sebuah ilmu yang membuatnya harus 
bersungguh-sungguh mempelajarinya. Masih membutuhkan 
waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya. Sialnya, 
pada saat itu pula aku menemukan masalah besar! Aku 
yakin ini ada hubungannya dengan kejadian pada puluhan 
tahun lalu. Di saat aku tengah bertarung dengan seorang 
tokoh berkepala botak yang amat sakti." 

"Masalah? Masalah apa, Kek?" tanya Aiya, ingin tahu. 
Tapi ketika disadarinya kalau mungkin dia bertindak 
lancang, buru-buru ucapannya dibetulkan. "Maaf, kalau aku 
terlalu ingin tahu, Kek." 

"Tidak mengapa, Aiya. Justru aku menaruh harapan 
padamu. Urusan ini kurasa memang sebaiknya kuberikan 
padamu. Aku sudah lama tidak terlibat dengan kekerasan. 
Dan, memang aku tidak ingin terlibat. Tapi, mengetahui akan 
adanya ancaman besar terhadap dunia persilatan, aku tidak 
bisa berpangku tangan. Daripada aku gelisah di tempatku 
lebih baik aku turun. Masalah aku akhirnya mencampuri 
urusan itu atau tidak, bukan hal yang penting. Di hatiku 
timbul harapan agar bisa bertemu denganmu untuk memberi 
tahukan masalah ini. Jiwa kependekaran tidak bisa 
kusangsikan lagi. Gumintang banyak memuji-mujimu dalam 
hal ini" 

"Bisa kutahu masalah itu, Ke k?" tanya Aiya buru- 
buru. Dia merasa risih mendapat pujian terus-menerus. 

Singa Air mengeluarkan lembaran-lembaran dari balik 
bajunya dan menyerahkannya pada Aiya. Dengan sigap 
pemuda itu menerimanya ketika si kakek berkata dengan 
nada keluh. 

"Inilah masalah itu, Aiya Kau bacalah." 

Aiya segera membacanya halaman demi halaman. 
Beberapa kali alisnya berkerut membaca tulisan itu. Setelah 
selesai, diberikannya lagi lembaran-lembaran daun lontar 
bertulis itu pada Singa Air. Tapi, si kakek menolaknya. 

"Kurasa, lebih baik daun-daun lontar itu ada padamu, 
Aiya. Aku tahu kau adalah orang yang paling tepat untuk 
mengurus masalah ini. Aku pergi dulu, Aiya. Aku akan 
kembali ke tempatku yang tenang dan nyaman. Ini 
bagianmu...!" 

Singa Air melemparkan separuh daging panggangnya 
pada Aiya sebelum melesat meninggalkan tempat itu. 
Sepeninggal Singa Air, Aiya tercenung. Dia teringat akan 
tulisan yang tertera di daun lontar. Tulisan itu berisikan 
keterangan mengenai Golok Kilat. Sebagian besar dari 
keterangan itu cocok dengan cerita Setan Kepala Besi dan 
uraian Penyair Cengeng. Malah, tulisan di daun lontar ini 
lebih lengkap. 

Sebenarnya, kalau saja Singa Air mau tinggal lebih 
Lima, Aiya ingin bertanya satu hal. Apakah Singa Air yang 
dulu menyerang Setan Kepala Besi? Tapi, bukankah Singa Air 
tidak berwatak aneh? Kalau melihat dari uraian masing- 
masing pihak, baik Singa Air maupun Setan Kepala Besi, 
tidak salah lagi Singa Air-lah tokoh aneh yang dulu 
bertempur dengan Setan Kepala Besi. 

Sekarang Aiya lebih memusatkan perhatian pada 
tulisan di lembaran-lembaran daun lontar. Aiya bisa 
memperkirakan mengapa Lintang tahu mengenai Gobk Kilat. 
Dari mana lagi kalau bukan dari lembaran-lembaran ini! 
Lembaran daun lontar ini ada beberapa halaman yang hilang. 
Entah bagaimana itu bisa terjadi. Mungkin karena arus air 
laut sehingga ikatan lembarannya itu terpisah-pisah. Tidak 
ada jawaban pasti yang didapatkan Aiya. 

Bunyi halilintar bersahut-sahutan yang terdengar 
tiba-tiba membuat Aiya merasa heran bukan main. Hari 
cerah begini mengapa ada bunyi guntur? Dengan cekaman 
rasa heran yang melanda pemuda ini mengpdarkan 
pandangan ke langit. 

Tercekat hati Aiya ketika melihat pemandangan di 
angkasa. Kilat yang bermain di angkasa disertai bunyi 
menggelegar yang tak henti-henti itu ternyata bercabang tiga! 
Yang luar biasa, pada saat yang bersamaan tiga kilatan 
menyilaukan mata dari halilintar muncul dari tiga arah, dan 
masing-masing menuju ke satu tempat! 

Petir bercabang tiga, petir tiga arah menuju ke satu 
tempat, serta bunyi guruh yang tak henti-henti tertulis dalam 
lembaran daun lontar! Itu berarti Golok Kilat telah kembali 
memiliki keistimewaannya! 

Jantung Aiya berdetak lebih cepat melihat semua 
kejadian ini. Kecepatan detak jantungnya tetap tidak berubah 
kendati setelah petir dari tiga arah itu lenyap dan keadaan 
alam kembali tenang. Terbayang kembali di benak Dewa Arak 
barisan kalimat di dalam lembaran daun lontar. Kalimat yang 
membuat Aiya gelisah bukan main. 

Apabila karena satu dan lain hal Golok Kilat kembali 
muncul dan memiliki keistimewaan, ini merupakan ancaman 
besar bagi tokoh-tokoh persilatan. Karena sekali pun senjata 
itu ada di tangan tokoh yang berpandaian rendah, tokoh yang 
memiliki kepandaian bagaimanapun tingginya akan tewas. 
Cahaya yang keluar dari Golok Kilat akan memburu ke mana 
pun tokoh yang dimaksud melarikan diri. 

Aiya tanpa sadar bergidik ngeri. Apabila di tangan 
tokoh berkepandaian rendah saja demikian 
hebatnyabagaimana pula jika Golok Kilat berada di tangan 
seorang tokoh sakti seperti Lingga? Sudah pasti bahaya yang 
ditimbulkannya akan berlipat ganda! 

"Aiya..." 

Sapaan lembut yang menyejukkan hati Dewa Arak 
dan menebarkan kedamaian, terdengar. Berbarengan dengan 
itu di hadapan Aiya telah berdiri seorang kakek berpakaian 
putih bersih berusia tak kurang dari tujuh puluh lima tahun. 
Seluruh tubuhnya seperti memancarkan cahaya. Terutama 
wajahnya yang ditumbuhi kumis, alis, dan jenggot putih. Di 
tangannya tergenggam seuntai tasbih. 

"Guru...," panggil pemuda berambut putih 1$perakan 
pada kakek yang tahu-tahu berdiri di depannya itu dalam 
jarak satu tombak. 

Kakek yang bukan lain Ki Gering Langit, guru Aiya 
terlihat tersenyum. Ia mengelus-elus kepala Aiya yang berdiri 
dengan mempergunakan lututnya. 

"Apa yang membuat Guru keluar dari tempat 
pertapaan?" tanya Aiya sambil bangkit berdiri. Aiya dan 
kakek berpakaian putih itu memang telah cukup lama tidak 
beijumpa. 

"Kurasa kau telah mengetahuinya, Aiya," jawab Ki 
Gering Langit, lembut "Bukankah kau telah membaca 
lembaran-lembaran daun lontar?" 

"Benar, Guru," jawab Aiya, tanpa merasa heran dari 
mana gurunya tahu. Kakek berpakaian putih bersih ini 
memiliki ilmu gaib yang sukar diukur tingginya. Sehingga 
sepertinya, ada ke jadian apa pun kate k itu pasti 
mengetahuinya. 

"Ketahuilah, Aiya. Golok Kilat memiliki keistimewaan 
lebih dari yang dikatakan Setan Kepala Besi atau Penyair 
Cengeng. Golok itu tak ubahnya makhluk hidup!" 

"Aku tidak mengerti maksudmu, Guru?" tanya Aiya. 
Penjelasan gurunya rupanya masih terasa membingungkan 

Ki Gering Langit tersenyum, la kelihatan sabar sekali. 
Kakek yang memiliki kepandaian sukar untuk dijajaki ini pun 
seperti tidak memiliki amarah sama sekali. 

"Golok Kilat tak ubahnya manusia seperti kita, Aiya. 
Bisa kukatakan seperti itu karena Golok Kilat dapat 
diperintahkan untuk membunuh seseorang yang kita ingini 
meski jaraknya teramat jauh. Bila itu teijadi, kau bisa 
bayangkan sendiri akibatnya, Aiya," beritahu Ki Gering Langit 

Aiya menelan ludah untuk membasahi 
tenggorokannya yang mendadak kering. Keterangan yang 
diberikan Ki Gering Langit benar-benar tidak disangka. 
Sekarang dia mengerti mengapa dalam lembaran daun lontar 
tertulis kalimat yang mengatakan kalau tokoh berkepandaian 
rendah sekalipun akan dapat membunuh tokoh yang 
memiliki kepandaian amat tinggi. 

"Lalu bagaimana cara untuk menghentikannya, 
Guru?" tanya Aiya dengan suara kering "Apakah Guru 
mengetahuinya?" 

Ki Gering Langit mengangguk. 

"Tapi, aku telah bersumpah untuk tidak terlibat 
langsung dalam urusan dunia persilatan. Jadi, aku tidak bisa 
memberitahukannya. Kau tidak perlu berkecil hati dulu, 
Aiya. Untuk membuat Golok Kilat hidup sehingga dapat 
disuruh untuk melakukan tindakan apa pun membutuhkan 
cara yang tidak mudah. Kau boleh tenangkan hati karena 
orang yang telah berhasil membuat Golok Kilat timbul 
kembali keistimewaannya belum mengetahui hal ini." 

Aiya menghembuskan napas lagi. Kalau begitu tidak 
terlalu berbahaya, pikir pemuda berambut putih keperakan 
ini. 

Ki Gering Langit tersenyum. Kakek ini dapat membaca 
pikiran yang terkandung di kepala Aiya. 

"Kau jangan merasa tenang dulu, Aiya. Golok Kilat 
sendiri sudah amat berbahaya. Hanya dengan diacungkan 
pada lawan, dari ujung golok akan melesat cahaya 
menyilaukan laksana halilintar. Sinar itu akan mengejar ke 
mana pun lawan yang dituju menghindar. Membutuhkan 
kecerdikan luar biasa dan kemampuan yang sangat tinggi 
untuk melobskan diri dari kejaran cahaya maut itu." 

"Benar-benar senjata yang amat berbahaya, Guru. 
Tidak bisa kubayangkan mengapa ada orang yang sampai 
hati membuatnya. Sebuah senjata yang akan menyebar maut 
di mana-mana. Hhh...! Manusia macam bagaimana yang 
mampu menciptakan senjata sehebat itu, Guru?" 

Ki Gering Langit tersenyum. "Kelak kau akan 
mengetahuinya sendiri, Aiya. Tidak baik kalau hal itu 
kuberitahukan sekarang. Lagi pula seperti yang kukatakan 
sebelumnya, aku hanya ikut campur tangan sebatas di luar 
garis. Kaulah yang harus memecahkan semua masalah ini. 
Semoga kau berhasil, Aiya." 

"Selamat jalan, Guru. Dan, terima kasih atas 
pemberitahuanmu. Akan kuperhatikan baik-baik semua yang 
kau katakan," ujar Aiya seraya memberi hormat 

Ki Gering Langit tersenyum. Sesaat kemudian, 
tubuhnya raib dari pandangan. 

Aiya tercenung sepeninggal Ki Gering Langit. 
Disadarinya kalau kali ini tugas yang terpikul di pundaknya 
amat berat. Semua urusan ini, meski telah jelas, tetap masih 
terselimut rahasia besar. Di dalam diri pemuda berambut 
putih keperakan itu bertekad akan secepatnya mengirim 
Lingga ke akhirat. Karena, pemuda berpakaian merah itu 
seorang lawan yang amat berbahaya. 

Aiya tahu dia harus bertindak cepat. Disadari betul 
lambat laun Lingga akan mengetahui kalau Gobk Kilat dapat 
hidup tak ubahnya manusia! Sekelebat pertanyaan bergayut 
di benak pemuda berambut putih keperakan ini. Apakah ada 
orang lain yang tahu rahasia ini? Penciptanya mungkin? 

Diam-diam Aiya memaki dirinya sendiri. Mengapa dia 
bisa lupa? Dia tidak ingat untuk menanyakan tadi apakah 
pencipta Golok Kilat masih hidup? Selama ini memang belum 
ada yang memberitahukannya. Tidak Setan Kepala Besi, 
Penyair Cengeng, tidak juga gurunya. Bagaimana kalau 
pencipta Gobk Kilat masih hidup? Bukankah itu berarti 
bahaya yang jauh lebih besar akan mengancam dunia 
persilatan! 

Dengan benak dipenuhi pertanyaan yang tidak 
teijawab dan kekhawatiran besar, Dewa Arak meninggalkan 
tempat itu. Tujuannya sudah pasti, mencari Lingga untuk 
merampas Golok Kilat. Kalau bisa, sekaligus dengan nyawa 
pemuda berpakaian merah itu. Membiarkan Lingga berada di 
dunia persilatan hanya akan menyebarkan malapetaka di 
mana-mana. 


*** 


Hari sudah siang. Kicau burung tidak terdengar lagi. 
Angin yang bertiup pun terasa tidak nikmat di kulit. Sebuah 
kereta kuda yang dikawal delapan penunggang kuda bergerak 
memasuki mulut sebuah hutan. 

Para pengiring kereta rata-rata memiliki wajah dan 
sikap gagah. Kereta kuda itu ternyata tidak memakai kusir. 
Jalannya kereta karena tali kekang kuda penariknya ditarik 
oleh seorang pengawal yang berada depan. Para pengiring itu 
masing-masing empat berada di depan dan yang empat lagi 
berada di belakang. Semuanya mengenakan seragam 
pasukan kerajaan. Sedangkan kereta kuda yang dikawal 
kelihatan indah dan mewah. Kereta khas bangsawan atau 
pejabat kerajaan. 

Seorang yang bertubuh kekar dan berkumis tebal 
rupanya menjadi pemimpin rombongan ini. Terbukti dialah 
yang berkuda paling depan sambil memberi aba-aba. 

"Pertinggi kewaspadaan kalian!" ujar lelaki berkumis 
tebal dengan suara penuh wibawa. "Jaga baik-baik 
keselamatan Gusti Adipati. Aku mendapat tirasat tidak baik. 
Tapi, mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu. Meski 
demikian, jangan lengah!" 

Lelaki berkumis tebal ini mengedarkan pandangan 
pada tujuh orang berseragam pasukan kerajaan lainnya. 
Lelaki ini membalapkan kudanya mendahului rombongan 
kemudian membalikkan arah kudanya hingga berhadapan 
dengan tujuh orang lainnya. Hal itu dilakukannya sebelum 
melanjutkan perjalanan. 

Bunyi langkah kaki kuda dan gerit roda kereta 
menggilas jalan tanah terdengar kembali. Tapi, baru juga 
beberapa tombak meninggalkan tempat di mana sang 
pemimpin rombongan memberikan peringatan, terdengar 
bunyi berdesing nyaring yang disusul dengan menancapnya 
sebatang tombak di hadapan empat orang berseragam 
kerajaan yang berada di depan kereta. 

Seketika itu pala kesibukan melanda delapan orang 
perajurit kerajaan. Masing-masing mencabut pedang yang 
tergantung di pinggang, Dan, dengan kesigapan khas 
pasukan yang terlatih, mereka bergerak mengelilingi kereta. 

Delapan pasang mata beredar. Masing-masing 
mengarahkan pandangan ke arah kerimbunan semak-semak 
yang berada di kanan kiri jalan selebar dua tombak. Sikap 
mereka kelihatan penuh kewaspadaan. Bunyi sedikit saja 
sudah cukup untuk membuat masing-masing bertindak! 

Tapi ternyata gangguan yang dikhawatirkan tidak 
muncul dari kerimbunan semak-semak. Bunyi berkerosakan 
akibat terlandanya semak-semak dan pepohonan kecil 
memang terdengar, tapi asalnya tidak dari rerimbunan semak 
itu melainkan beberapa tombak di depan. Hanya berselisih 
waktu demikian singkat dengan bunyi gaduh yang timbul, 
belasan sosok bermunculan. 

Lelaki berkumis tebal segera memajukan kudanya. 
Dengan sikap tenang diperhatikannya belasan penghadan 
itu. Mereka bertampang kasar dan berpakaian sembarangan. 
Pakaian khas orang-orang golongan hitam! 

"Maafkan kami, Sobat Sekalian. Bisakah kalian 
menyingkir sebentar? Kami hendak lewat. Dan, kami tengah 
memburu waktu. Atas kesediaan sobat-sobat sekalian telak 
kami akan datang menghaturkan terima kasih. Tentu saja 
dengan sedikit oleh-oleh!" ujar lelaki berkumis tebal. Sikap 
dan suaranya tampak ramah. "Aku, Sokananta, pimpinan 
rombongan ini" 

"Bagaimana kalau kami tidak mau?!" sahut lelaki 
berkepala botak yang bertubuh besar dan berperut gendut 
dengan nada mengejek. Dialah pimpinan rombongan belasan 
penghadang. 

"Maaf, Sobat," kilah Sokananta dengan suara tidak 
sehormat sebelumnya, kendati tidak kasar. Sikap lelaki botak 
dan tawa rombongan penghadang yang penuh ejekan 
membuatnya membuang sikap mengalah. "Rupanya, kalian 
semua tidak mengenal siapa adanya kami dan orang yang 
tengah kami kawal sekarang " 

Lelaki botak mengalihkan pandangan ke arah kereta 
kuda. Pada saat itu, dari jendela kereta melongok satu kepala 
yang memiliki wajah tirus dan garis-garis penderitaan batin 
di wajah. Pemilik kepala itu adalah sang adipati. Ia 
melongokkan kepala dari jendela karena ingin mengetahui 
hal yang tengah terjadi. 

"Cuhhh!" 

Lelaki botak membuang ludah dengan sikap kasar 
dan menjijikkan. Kemudian, pandangannya dialihkan pada 
Sokananta. 

"Kami tahu siapa kalian, Pengecut-pengscut Hina! 
Bukankah kalian semua melarikan diri dari serbuan pasukan 
kerajaan? Dan, bukankah yang berada di dalam kereta itu 
adalah sang adipati yang pengecut dan hendak 
memberontak?!" 

Wajah Sokananta langsung berubah. Pedang yang tadi 
sudah dimasukkan ke sarung segera dicabutnya lagi. 
Sikapnya terlihat penuh wibawa dan ketegasan ketika 
kemudian berbicara. 

"Aku tidak percaya kalau kalian perampok-perampok 
biasa. Pasti ada rahasia besar di balik semua ini. Kalian tahu 
kalau kami diserbu pasukan kerajaan yang menganggap 
junjungan kami yang selalu setia pada kerajaan sebagai 
pemberontak. Padahal, masalah ini belum diketahui orang 
luar. Bahkan kami pun tahu hal itu sewaktu teijadi 
penyerbuan pasukan kerajaan. Aku yakin kehadiran kalian di 
sini pun tidak secara kebetulan!" 

"Kau memang tidak sedungu yang kukira, Sokananta! 
Kedunguanmu, hanya kau mengabdi pada orang yang salah!" 

Sokananta membelalakkan sepasang matanya ketika 
melihat sesosok tubuh muncul dari balik pepohonan di 
belakang rombongan penghadang. 

"Kau rupanya, Wisoka...," ujar Sokananta sambil 
mengangguk-anggukkan kepala, maklum. Sosok itu berusia 
tiga puluhan dan berpakaian seragam pasukan kerajaan. 
"Sekarang aku tahu siapa yang berdiri di balik penyerbuan 
pasukan kerajaan. Pasti ulah Patih Liwung yang tidak 
menyukai junjunganku sejak dulu. Entah mengapa, Gusti 
Prabu mudah sekali dihasut." 

"Apa susahnya melakukan hal itu, Sokananta yang 
dungu?!" ejek Wisoka. "Kami melakukan rencana yang amat 
rapi. Seorang dayang raja kami ancam, seluruh keluarganya 
akan dibasmi apabila dia tidak mau melaksanakan perintah 
kami untuk membunuh Gusti Prabu. Dia tidak punya pilihan 
lain kecuali melaksanakan perintah itu. Seperti yang kami 
duga dayang itu gagal. Dan sesuai dengan perintah kami, 
dayang itu mengaku disuruh oleh junjunganmu! Dengan 
alasan geram karena tindakan dayang itu, salah seorang dari 
kami membunuhnya. Tidak ada lagi yang akan membuka 
rahasia. Hasilnya, seperti yang kalian alami sendiri! Ha ha 
ha...!" 

"Keparat!" Sokananta meraung seperti harimau luka. 
Dia melompat dari punggung kudanya dan meluruk ke arah 
Wisoka. 

Tapi, lelaki botak dan rombongannya tidak 
membiarkan tindakan itu. Mereka beramai-ramai 
menyambuti. Melihat hal ini, prajurit bawahan Sokananta 
tidak tinggal diam. Mereka pun ikut teijun dalam kancah 
pertarungan. 

Hanya dalam sekejapan suasana hutan yang semula 
hening jadi gaduh oleh bunyi dentang senjata beradu dan 
teriakan-teriakan. Namun, tak lama kemudian teriakan- 
teriakan keras itu mulai berganti jerit kesakitan. Malah, 
lolong kematian yang memilukan pun telah terdengar! 

Dalam waktu sebentar saja telah jatuh korban 
setengah lebih di pihak Sokananta. Sedangkan di pihak 
Wisoka hanya satu orang yang roboh. Itu pun tidak tewas. 

Wisoka dan lelaki botak segera mundur dari kancah 
pertarungan. Mereka menghampiri kereta adipati. Karena, 
dengan mundurnya mereka dari kancah pertarungan pun 
tidak akan menguntungkan pihak Sokananta. Sokananta dan 
seorang anak buahnya yang tersisa akhirnya tewas dengan 
cara mengerikan. Tubuh mereka hancur menjadi cacahan 
daging yang tidak berbentuk lagi karena dihujani belasan 
senjata tajam. 

"Gili...! Keluar kau...! Bersiaplah untuk menerima 
kematian!" seru Wisoka tanpa nada penghormatan sedikit 
pun. Bahkan, tidak memanggil Gili dengan jabatannya 
sebagai adipati. 

Brakkk! 

Daun pintu kereta hancur berantakan, disusul 
dengan turunnya dari dalam kereta seorang lelaki berpakaian 
mentereng. Tubuhnya kecil kurus. Wajahnya muram seperti 
lampu kehabisan minyak. Tarikan wajahnya tampak 
menyiratkan seseorang yang menderita tekanan batin. 

"Apa yang terjadi denganmu, Gili? Ketidaktenangan 
hidup?" ejek Wisoka sambil menyeringai. "Kulihat wajahmu 
layu seperti pohon yang tidak pernah kena air. Apakah 
kematian istri, adik, dan putrimu yang menjadi 
pe nye babnya?" 

Mata Adipati Gili yang sejak tadi terlihat hampa bagai 
orang yang kehilangan semangat hidup, seketika berkilau 
tajam! Seakan ada cahaya yang mengusir kabut duka di 
wajahnya. Rahang lelaki ini mengeras. Suaranya pun 
terdengar penuh kemarahan dan ancaman 

"Sepertinya kau tahu banyak mengenai peristiwa yang 
menimpa mereka, Wisoka?!" 

"Sepertinya, Gili? Ha ha ha...! Kau memang bebal! 
Peristiwa yang menimpa anak, istri, dan adikmu itu adalah 
hasil rencana Patih Sura Banggai. Beliau yang menyewa 
perampok-perampok untuk membunuh keluargamu! Tentu 
saja dengan bayaran yang luar biasa mahal. Setelah itu, 
rombongan perampok yang tersisa kami bereskan. Dengan 
demikian, rahasia terteijaga! Ha ha ha...!" 

"Keparat!" 

Adipati Gili menggeram bak singa teduka. Keras yang 
terselip di belakang tubuhnya langsung dicabut. Kemudian, 
ditusukkan ke arah Wisoka! Wisoka mengelak dan segera 
balas menyerang. Pertarungan kembali terjadi. 

Wisoka yang mempergunakan trisula memiliki 
kepandaian tidak rendah. Tapi yang dihadapinya Adipati Gili. 
Seorang patih kerajaan yang memiliki kepandaian tinggi, dan 
memiliki kemampuan untuk mengatur pemerintahan dengan 
baik. Oleh karena itu, Patih Gili diangkat menjadi Adipati. 

Menghadapi Adipati Gili yang lihai ini, Wisoka segera 
saja terdesak. Melihat hal itu, lelaki botak tidak tinggal diam. 
Dia ikut terjun dalam kancah pertarungan dengan 
mempergunakan tongkat baja. 

Ikut campurnya lelaki botak dengan cepat merubah 
jalannya pertarungan. Adipati Gili segera terdesak. 
Kepandaian si botak memang tinggi. Malah sedikit lebih tinggi 
dari Wisoka. Tapi bila dibandingkan dengan Adipati Gili, 
lelaki botak ini tetap kalah sedikit. 

Adipati Gili bertarung bagai binatang buas terluka. 
Lelaki itu begitu penuh semangat! Tapi, modal itu saja tak 
cukup untuk dipakai menghadapi pengeroyokan lawan- 
lawannya. Tak sampai dua puluh jurus ujung trisula Wtsoka 
menyerempet perutnya. Susulan serangan berupa tendangan 
lelaki botak membuat tubuhnya terlempar dan terguling- 
guling di tanah. 

"Terimalah kematianmu Gili!" 

Sambi berseru keras. Wisoka melontarkan trisulanya. 
Senjata itu meluncur deras kea rah Adipati Gili yang saat itu 
tengah terguling-guling! 




Trakkk! 

Beberapa jengkal sebelum trisula Wisoka menghujam 
tubuh Adipati Gili, sehelai sabuk meluncur dan 
memapakinya. Trisula itu terpental jauh ketika terbentur 
ujung sabuk berwarna merah muda! 

Tidak hanya Wisoka, lelaki botak pun terkejut. 
Serentak keduanya menoleh ke arah belakang Adipati Gili. 
Terlihat seorang gadis cantik jelita berpakaian merah berdiri 
dengan sikap gagah! Tahi lalat di bawah lubang hidungnya 
sebelah kiri menambah kejelitaan wajahnya 

"Menyingkirlah. Paman. Biar aku yang mewakilimu 
menghajar pengscut-pengecut hina yang beraninya main 
keroyok ini!" ujar gadis berpakaian merah itu. 

Si gadis melangkah maju dan bersiap menghadapi 
Wisoka serta lelaki botak. Pada saat yang bersamaan, Adipati 
Gili segera bangkit berdiri dan membalikkan tubuh menjauhi 
arena pertarungan. Lelaki ini menyadari lawan-lawannya 
terlalu tangguh untuk bisa dirobohkan. 

Adipati Gili tiba-tiba menghentikan langkahnya ketika 
menatap si gadis. Sepasang matanya membelalak lebar. 
Wajahnya pun pucat pasi seperti melihat hantu di tengah 
hari. Lelaki kecil kurus ini terkesima seperti orang kena sihir! 

Si gadis mengerutkan alisnya. Dia merasa heran 
melihat tingkah Adipati Gili. Apakah ada yang salah dengan 
dirinya sehingga membuat Adipati Gili bersikap seperti itu? 
Barangkali ada sesuatu yang menempel di wajahnya. Dengan 
punggung tangan kiri diusap wajahnya secara asal. 

"Ada apa, Paman?" tanya si gadis yang merasa risih 
mendapat tatapan sedemikian rupa dari Adipati Gili. 

Pertanyaan si gadis membuat Adipati Gili tersadar. 
Dia tahu sikapnya itu tidak pantas. Maka, dengan gugup 
digeleng-gelengkan kepalanya. 

"Ah..., ti..., tidak ada apa-apa, Nona. Tidak apa-apa... " 

Gadis berpakaian merah melanjutkan langkahnya. 
Adipati Gili bertindak serupa. Bedanya, kalau si gadis 
mendekati Wisoka dan lelaki botak, Adipati Gili malah 
sebaliknya. Lelaki berpakaian indah itu menjauhi tempat 
pertarungan. 

Tapi, setibanya di tempat yang aman Adipati Gili terus 
memperhatikan si gadis dengan penuh selidik. Ada sesuatu 
pada diri si gadis yang menarik perhatiannya. Gadis 
berpakaian merah sendiri telah menghentikan langkahnya 
ketika jaraknya dengan Wisoka dan lelaki botak tinggal tiga 
tombak lagi. Kedua tangannya yang beijari-jari lentik 
mempermainkan sabuk merah muda. 

Wisoka dan lelaki botak segera menyadari lawannya 
kali ini jauh lebih tangguh daripada Adipati Gili. Keduanya 
pun bersikap lebih hati-hati. Senjata-senjata yang 
tergenggam di tangan telah siap untuk dipergunakan. Wisoka 
telah mengambil trisulanya yang tadi terlempar. Seandainya 
Wisoka dan lelaki botak melihat tingkah Adipati Gili tadi, 
mereka pasti akan keheranan. Tapi, perhatian mereka tengah 
dipusatkan untuk menghadapi gadis yang telah siap 
bertarung. Meski demikian, Wisoka sempat merasa heran. 
Dia seperti pernah melihat gadis berpakaian merah ini. 
Hanya kapan dan di mana tempatnya dia lupa. 

"Apamukah keparat ini, Nona, sehingga kau sampai 
membelanya? Kau tahu, taruhannya adalah nyawamu! Tidak 
sayangkah kau dengan usiamu yang masih muda? 
Menyingkirlah dari sini, mumpung kami masih mau 
bermurah hati," ujar Wisoka. 

Wisoka tidak takut sekalipun tahu si gadis memiliki 
kepandaian tinggi. Atau, setidak-tidaknya tenaga dalam yang 
amat kuat, mengingat dengan ujung sabuk yang lemas 
mampu membuat trisulanya terlempar jauh. Padahal, trisula 
itu diluncurkan dengan tenaga penuh! Wisoka hanya tidak 
ingin maksudnya untuk membunuh Adipati Gili gagal karena 
lelaki itu kabur 

"Aku memang tidak mempunyai hubungan apa pun 
dengan orang yang kalian keroyok! Tapi, keperkasaannya 
melawan kalian yang merupakan pengecut-pengacu t hina ini 
telah mengagumkan hatiku. Dan aku, Nuri, tahu mana yang 
harus kubela!" tandas si gadis penuh semangat. 

"Sombong! Lihatlah nasib yang akan menimpamu, 
Gadis Konyol!" maki Wisoka marah mendengar jawaban si 
gadis. "Kau akan kuberikan pada belasan orang gagah di 
belakang. Mereka akan memperkosamu habis-habisan 
sampai kau mati kelelahan!" 

Belasan anak buah lelaki botak menelan air liur 
mendengar ucapan Wisoka. Sudah terbayang di benak 
mereka nikmatnya menggeluti tubuh montok Nuri. Mata- 
mata mereka merayapi sekujur tubuh Nuri seperti mata 
seekor serigala kelaparan melihat anak domba gemuk. 

Gadis berpakaian merah yang bukan lain murid Setan 
Kepala Besi menjerit penuh kemarahan mendengar ucapan 
Wisoka. Tangannya digerakkan sehingga membuat sabuknya 
meliuk-liuk ke arah Wisoka sambil memperdengarkan bunyi 
meledak-ledak seperti halilintar. 

Wisoka segera mebmpat ke belakang mengelakkan 
serangan itu. Di saat yang bersamaan, lelaki botak 
mengayunkan tongkatnya untuk menyapu lutut Nuri. 

Nuri melompat ke atas menghindari serangan lawan. 
Kemudian, dia melancarkan serangan balasan yang tidak 
kalah dahsyat. Sekejapan saja pertarungan yang jauh lebih 
sengit segera tercipta! 

Adipati Gili menatap Nuri dengan sepasang mata 
berkaca-kaca. Tanpa sepengetahuan siapa pun, begitu Nuri 
memperkenalkan namanya, lelaki ini hampir berteriak karena 
kaget. Untung dia cepat menutup mulut sehingga seruan 
yang hampir dikeluarkan tertelan kembali. 

Meski demikian, Adipati Gili tidak mau berkedip 
sekejap pun. Padahal, dengan berkaca-kacanya matanya 
terasa panas. Tapi kekhawatiran kalau kedipan itu akan 
membuatnya sekejap tidak menyaksikan jalannya 
pertarungan memaksa Adipati Gili berkeras untuk terus 
membuka mata. 

Nuri ternyata terlalu tangguh untuk dilawan olel 
Wisoka dan si lelaki botak. Kemampuannya yang tinggi 
membuat Nuri mampu mendesak kedua lawannya. Dan 
senjatanya yang lemas sehingga mudah menerima aliran 
tenaga dalam itu semakin menambah kebingungan mereka. 

Sabuk merah muda di tangan Nuri menjadi senjata 
yang amat berbahaya. Begitu mudah dan cepat berubah 
bentuk! Terkadang menegang kaku laksana pedang atau 
golok. Tapi, tak jarang melecut-lecut seperti cambuk dan 
mengeluarkan bunyi menggelegar. Di lain waktu, meliuk-liuk 
seperti ular. Tak terduga ke mana arah yang dituju. Persis 
seekor ular sungguhan! Itu pun masih ditambah lagi dengan 
mampu membelit dengan kuat hingga tak kalah dengan 
jepitan baja. 

Tahu kalau berdua tidak akan dapat menghadapi 
Nuri, lelaki botak segera memerintahkan anak buahnya 
untuk membantu mengeroyok. Belasan orang itu pun 
menghunus senjata masing-masing dan terjun 1$ dalam 
kancah pertarungan. Bantuan mereka ternyata hampir tidak 
berarti. Tingkat kepandaian mereka terlalu rendah. Hanya 
dalam beberapa gebrakan saja orang-orang yang sial itu 
berpentalan satu persatu ke belakang ketika ujung sabuk 
Nuri melecut. Tidak membuat mereka tewas memang, tapi 
cukup untuk memaksa para lelaki bengis itu tidak mampu 
bangkit dan mengeroyok lagi. 

Lelaki botak dan Wisoka mendapat giliran belakangan. 
Ujung sabuk Nuri melecut dada mereka dengan keras. 
Keduanya pun roboh dengan terluka dalam yang parah, 
seperti belasan rombongan anak buah lelaki botak. 

Nuri menatapi lawan-lawannya satu persatu sambil 
membelitkan sabuknya kembali 1$ pinggangnya yang 
ramping. 

"Untunglah kalian," ucap Nuri penuh wibawa. "Aku 
bukan orang yang berhati kejam. Dan lagi, aku tidak 
mempunyai urusan dengan kalian. Maka aku tidak akan 
membunuh kalian. Tapi, ingat! Bila lain kali bertemu dengan 
kalian lagi dan sikap kalian masih seperti ini, aku tidak bisa 
bermurah hati lagi. Camkan itu baik baik!" 

"Nuri...." 

Sapaan yang sarat dengan getaran perasaan itu 
membuat Nuri membalikkan tubuh. Asal sapaan datang dari 
belakang tubuhnya. Rasa heran karena mampu menangkap 
getaran perasaan yang amat besar dalam sapaan itu 
membuat Nuri cepat memberikan tanggapan. 

Tepat seperti dugaan Nuri. Orang yang memanggilnya 
adalah Adipati Gili. Suara adipati itu telah dikenalnya. Nuri 
merasa heran ketika melihat sepasang mata Adipati Gili 
tampak berkaca-kaca. Apa pula ini? Tanya si gadis dalam 
hati. Apakah Adipati Gili demikian cengeng? Menangis karena 
luka yang diderita? Dugaan ini membuat Nuri kecewa 

"Benar namamu Nuri...?" tanya Adipati Gili kemudian. 
Suaranya terdengar lebih gemetar karena bibir-bibimya 
menggigil. 

"Benar, Paman? Kenapa?" tanya Nuri dengan rasaan 
heran yang menjadi. 

"Kau tahu siapa ibu dan ayahmu?" 

Nuri mulai bisa menduga arah pertanyaan Adipati 
Gili. Jantung gadis ini pun berdetak lebih cepat dari 
biasanya. 

"Tidak, Paman. Aku tidak tahu siapa orang tuaku. 
Sejak kecil aku dipelihara dan dibesarkan oleh guruku. 
Menurut beliau, ayah dan ibuku tewas di tangan para 
perampok," suara Nuri gemetar ketika menjawab. "Apakah 
kau tahu siapa ayah ibuku, Paman?" 

Sekarang tidak hanya suara Adipati Gili yang 
menggigil. Kedua kakinya pun goyah! Rupanya, guncangan 
perasaan yang melandanya demikian hebat 

"Apakah gurumu itu menceritakan di mana tewasnya 
orang tuamu itu, Nuri? Apakah di hutan karet...?" 

"Benar, Paman. Dari mana kau tahu hal ini? Siapakah 
kau sebenarnya?" 

"Nuri, Anakku...!" 

Adipati Gili berseru. Serak. Penuh perasaan haru dan 
gembira yang besar. Kedua tangan lelaki itu terkembang 
ketika melangkah tertatih-tatih ke arah Nuri. 

Nuri melangkah mundur selangkah. "Kau jangan 
membohongiku, Paman. Orang tuaku telah mati di tangan 
perampok. Kau jangan mengaku-aku sembarangan saja. Aku 
bisa marah dan menghajarmu, Paman!" 

Adipati Gili merasakan nada kesungguhan dalam 
nada dan sikap Nuri. Maka, dia menghentikan langkahnya. 
Wajahnya berubah sedih ketika melihat penolakan gadis 
berpakaian merah itu. 

"Percayalah, Nuri. Kau benar anakku. Aku tidak 
berdusta. Sungguh, Nak. Bertahun-tahun kau kucari. 
Bahkan seluruh prajurit kadipaten kupesan dan 
kuperintahkan untuk mencarimu ketika tidak kutemukan 
mayatmu di sana. Yang ada hanya mayat para prajurit, 
ibumu, dan adikku yang kuperintahkan untuk menemani 
ibumu pergi, Nuri," urai Adipati Gili untuk menimbulkan 
kepercayaan Nuri. 

Nuri tetap diam. Sikapnya belum bembah. Malah, jadi 
terkesima seperti orang terkena sihir. Rupanya cerita yang 
didengarnya terlalu mengejutkan hati. 

"Mungkin adikku yang dianggap gurumu sebagai 
ayahmu, Nuri. Kau tahu, Anakku. Wajahmu sangat mirip 
dengan mendiang ibumu. Karena itu, aku kaget ketika 
melihatmu tadi. Kukira kau istriku yang bangkit kembali dari 
kuburnya. Tapi, akal sehatku segera membuatku sadar kalau 
hal itu tidak mungkin terjadi. Orang yang telah mati tidak 
mungkin akan bangkit kembali. Lagi pula, antara kau dan 
ibumu ada perbedaan yang amat menyolok. Ibumu menyukai 
warna putih. Karena itu pakaian yang dikenakannya selalu 
putih. Sedangkan kau sejak kecil suka dengan warna merah!" 

Adipati Gili menghentikan ceritanya untuk mengambil 
napas. Guncangan perasaan yang melanda membuatnya 
cepat lelah. Juga luka akibat serangan Wisoka dan lelaki 
botak belum diobatinya. 

Nuri masih membeku di tempatnya. Gadis ini seakan 
telah berubah menjadi patung batu yang amat cantik. 
Wajahnya beku. Sinar matanya hampa. Kendati demikian, 
semua keterangan Adipati Gili didengarnya dengan jelas. 

"Kau anak yang lama kami nantikan kehadirannya. 
Kau lahir setelah kami menikah lima tahun. Kami amat 
menyayangimu Nuri, untuk menyatakan rasa sayang itu 
kami membuat sapu tangan yang berbeda. Ibumu sapu 
tangan putih dengan sulaman namamu berwarna merah. Aku 
mempunyai sapu tangan kuning bertuliskan namamu dengan 
benang merah. Sedangkan kau Nuri, sapu tanganmu merah. 
Tapi nama yang tersulam, meski namamu, tersulam atas dua 
warna. Kuning dan putih! Ketika kau menyebutkan nama, 
aku yakin kalau kau adalah Nuri-ku yang hilang. 

Sekujur tubuh Nuri menggigil. Penjelasan Adipati Gili 
yang terakhir begitu menusuk hatinya. Meski demikian, dia 
tetap tidak beranjak dari tempatnya. 

"Apakah kau masih menyimpan sapu tangan itu, 
Nak?" tanya Adipati Gili sarat dengan perasaan haru. "Aku 
masih menyimpannya. Kuanggap sapu tangan ini adalah 
dirimu, Nuri. Apabila aku rindu padamu kupandangi sapu 
tangan ini. Rupanya, Tuhan berkenan memperkenankan 
keinginanku untuk bertemu denganmu. Aku tidak meminta 
banyak-banyak. Hanya, sebelum pergi dipanggil-Nya aku 
ingin bertemu utanmu, Anakku. Itu saja pintaku Sungguh 
tidak disangka permintaanku dikabulkan-Nya. Aku bahagia 
sekali melihat kau yang dulu kecil dan lincah kini tumbuh 
menjadi seorang gadis cantik jelita seperti mendiang ibumu. 
Memiliki kepandaian tinggi lagi. Kalau ibumu masih hidup 
dia pasti akan sangat bahagia dan bangga, Nuri." 

Adipati Gili mengeluarkan sehelai sapu tangan kuning 
bersulamkan benang merah yang bertuliskan nama Nuri 

Kali ini Nuri tidak bisa bertahan lagi dengan sikapnya. 
Dengan jari-jari tangan menggigil dikeluarkan dua helai sapu 
tangan yang memiliki ciri-ciri seperti yang dikatakan Adipati 
Gili. Sapu tangan yang sejak dulu menjadi tanda tanya besar 
bagi Nuri, namun sekarang telah terpecahkan rahasianya! 

"Kau benar Nuri, Anakku," rintih Adipati Gili. 

"Ayaaah...!" 

Nuri berseru nyaring sambil menghambur ke arah 
Adipati Gili dengan kedua tangan terkembang. Wajah Adipati 
Gili jadi berseri-seri. Matanya seperti menyiratkan cahaya. 
Lenyap sudah gumpalan kabut duka yang belasa tahun 
menutupi sepasang mata dan wajahnya. Lelaki ini 
mengembangkan kedua tangan dan membiarkan tubuh Nuri 
masuk ke dalam pelukannya. Dipeluknya gadis itu dengan 
penuh kegembiraan, dan rasa sayang yang besar. Dua titik 
air mata mengalir dari mata Adipati Gili. Air mata 
kegembiraan. 

Hanya dua titik! Namun, sangat berharga bagi Adipati 
Gili. Lelaki ini tidak pernah menangis sebelumnya. Bagi 
Adipati Gili, lebih baik berhamburan darah daripada 
meneteskan setitik air mata. Tapi kali ini keadaannya lain. Itu 
terjadi begitu saja. Bagaimanapun juga lelaki ini seorang 
manusia yang tidak luput dari landaan berbagai macam 
perasaan. 

"Apakah Ayah tahu orang-orang yang telah 
membunuh ibu?" tanya Nuri setelah gelombang rasa harunya 
terlampiaskan. Perlahan-lahan pelukannya dilepaskan 

Adipati Gili bagai disengat ular berbisa. Dia telah lupa 
segala hal. Yang diingatnya hanya tentang Nuri. Baru 
sekarang dia teringat lagi. Cepat pandangannya dialihkan 
pada tempat Wisoka dan kelompoknya tergolek. 

Ternyata Wisoka dan teman-temannya masih ada di 
situ. Mereka tidak bisa menggunakan kesempatan di saat 
ayah dan anak itu lamt dalam pertemuannya untuk 
melarikan diri. Keadaan mereka tidak mendukung! 

Sejak tadi Wisoka dan kelompoknya mengeluh 
mendengar perbincangan Adipati Gili dengan Nuri. Terutama 
Wisoka. Begitu mendengar Adipati Gili memanggil Nuri 
sebagai anaknya, sebelum Nuri sendiri mengakuinya, Wisoka 
segera tahu kalau Nuri adalah putri Adipati Gili. Pengakuan 
sang adipati itu telah membuatnya sadar kalau dia belum 
pernah melihat Nuri sebelumnya. Yang pernah dilihatnya 
adalah orarg lain yang mirip dengan Nuri. Dan, orang itu 
adalah istri Adipati Gili, ibu Nuri! 

"Mereka semualah yang telah membunuh ibumu, 
Nuri. Mungkin juga kau akan menjadi korban apabila 
gurumu tidak datang dan menyelamatkanmu!" beritau 
Adipati Gili sambil menunjuk Wisoka dan rombongannya. 
"Tapi, orang yang paling jahat di antara mereka adalah dia!" 
tunjuk Adipati Gili pada Wisoka. Nuri menggertakkan gigi. 
Sepasang matanya berkilat memancarkan kemarahan. Tak 
ubahnya seekor harimau betina yang diganggu anaknya. 

"Apa yang seharusnya aku lakukan terhadap mereka 
Ayah?" desis Nuri penuh ancaman maut. 

Adipati Gili mengangkat bahu 

"Entahlah, Nuri. Begitu bertemu denganmu dan kau 
mengakuiku sebagai Ayah, hilang sudah rasa sakit hati yang 
bertumpuk-tumpuk selama belasan tahun ini 

"Tapi bila mereka kita biarkan begitu saja terlalu 
enak. Ayah!" bantah Nuri. "Di samping itu, bukan tidak 
mungkin mereka akan melakukan tindakan serupa. Kurasa, 
orang-orang berhati binatang seperti mereka tidak patut 
dibiarkan berkeliaran lebih lama di muka bumi!" 

Adipati Gili mengangguk-anggukkan kepala. Dia 
menyetujui pendapat putrinya. Bisa dirasakan sakit hati yniig 
diderita Nuri. Karena perbuatan mereka, Nuri tidak 
merasakan kasih sayang orang tua. Terlalu enak memang 
kalau dibiarkan begitu saja. Nuri benar! 

"Aku harus meminta ganti rugi atas hilangnya kasilh 
sayang Ayah dan Ibu. Tambahan lagi rasa sakit hati Ayah. 
Belum lagi penderitaan batin yang Ayah alami selama belasan 
tahun. Mati sepuluh kali pun belum cukup untuk membayar 
semua hutang-hutang itu!" 

Dengan pandang mata beringas seperti harimau lapar 
mencium bau darah. Nuri mebloskan sabuknya. Gerakan 
gadis itu diperhatikan Wisoka dan kelompoknya dengan 
wajah pucat. Meieka telah bisa memperkirakan apa yang 
akan menimpa. 

Nuri melecutkan sabuknya. Wisoka dan kelompoknya 
merasakan nyali mereka melayang pergi meninggalkan 
tubuh. Sabuk di tangan Nuri tak kalah ampuh dengan 
senjata tajam. Bisa diperkirakan akan mengirim nyawa 
mereka ke alam baka! 

Semua melongo ketika melihat sabuk tidak meluncur 
ke arah mereka, tapi menuju sebatang pohon. Ujung sabuk 
yang menghantam sasaran menimbulkan ledakan keras. 
Pohon bergoyang keras bagai didorong-dorong seekor gajah 
liar 

Wisoka dan kebmpoknya, tidak terkecuali Adipati Gili, 
merasa takjub bercampur ngeri melihat daun-daun pohon 
berguguran. Apalagi ketika melihat daun-daun itu tidak jatuh 
ke tanah. Tapi, melayang dengan kecepatan menakjubkan ke 
arah Wisoka dan kelompoknya. Bunyi berdesing nyaring yang 
terdengar menjadi pertanda cepatnya luncuran daun-daun. 

Wisoka dan semua anggota kebmpoknya memekik 
memilukan ketika daun-daun menghujam dahi mereka. 
Sekejap kemudian, belasan orang itu menggelepar-gelepar 
sekarat sebelum akhirnya diam tidak bergerak lagi untuk 
selamanya. Mati! 

Nuri menyimpan sabuknya kembali. Wajah gadis itu 
agak pucat karena ini untuk pertama kalinya dia membunuh 
orang! Tidak hanya satu, melainkan belasan! Tapi, 
dikeraskan hatinya untuk membuang rasa nyeri yang 
melanda. 

Adipati Gili memaklumi perasaan yang tengah 
berkecamuk di hati putrinya. Disentuhnya bahu Nuri. 
Perlahan Nuri menobh dan tersenyum dipaksakan ketika 
melihat ayahnya tersenyum. 

"Mari kita cari tempat yang tenang untuk saling 
bercerita mengenai pengalaman masing-masing. Aku sudah 
tidak sabar lagi mendengarkan pengalamanmu yang luar 
biasa, Nuri." 

Nuri mengangguk. Ayah dan anak yang tengah diliputi 
rasa gembira itu pun melesat pergi meninggalkan tempat itu. 

***

"Ke manakah kita harus mencari bangsat penculik itu. 

Ayah?" 

Pertanyaan itu keluar dari mulut seorang pemuda 
berpakaian cokat dan bertubuh pendek kekar. Alis pemuda 
ini tebal, hitam, dan berbetuk golok. 

Sosok yang disapa si ayah, dan tengah berlari cepat di 
sebelah si pemuda, menoleh sebentar. 

"Ke mana saja, Gentala," jawab sang ayah. Seiring 
lelaki berusia lima puluhan, berkumis melintang dan bermata 
picak. "Tapi, aku yakin dengan ciri-ciri yang dimilikinya tidak 
terlalu sulit untuk mengikuti jejaknya. Pemuda yang 
mengenakan pakaian serba merah dan berikat kepala merah 
tidak banyak. Jadi kita bisa mencari keterangan itu di 
sepanjangjalan". 

Gentala, si pemuda beralis tebal, tidak bertanya lagi. 
Namun, kelihatan jelas kalau dia geram bukan main. Tinju 
kanannya dipukulkan ke telapak tangan kiri sehingga 
menimbulkan bunyi keras. Samar-samar terlihat kepulan 
asap tipis. Gerakan itu dilakukan sambil terus berlari. 

"Kalau kutemukan, akan kuhancurkan kepala 
penculik terkutuk itu. Apalagi kalau dia berani-berani 
mengganggu Priyani. Akan kubuat hancur seluruh tulang- 
belulangnya!" 

"Jangan kau terlalu memandang rendah penculik itu, 
Gentala!" tegur lelaki bermata picak. 

"Aku heran mengapa Ayah demikian meremehkanku? 
Aku jadi ingin tahu sampai di mana kemampuan penculik 
itu? Sampai-sampai Ayah tidak mau melepaskan aku 
mencari penculik Priyani itu sendiri!" terdengar penuh 
penasaran ucapan yang dikeluarkan Gentala. Sepasang 
alisnya yang tebal berkerut dalam menandakan 
ketidaksenangan hatinya. 

"Tidak kau dengar cerita Empu Lahang Samedi, 
Gentala?" tukas lelaki bemnata picak. "Kau tahu sendiri 
Priyani, adik seperguruanmu itu, memiliki kepandaian tidak 
rendah. Malah hanya berselisih sedikit saja denganmu. Kau 
saja yang telah mengenal semua ilmu dan gerakannya tidak 
mudah untuk merobohkannya. Sedangkan penculik itu? 

Tanpa bergeming dari tempatnya dia telah membuat Priyani 
bersama-sama Empu Lahang Samedi tidak berdaya! Bisa kau 
bayangkan betapa tinggi kepandaiannya. Jangankan kau, 
aku sendiri tidak yakin akan mampu menghadapinya, apalagi 
untuk merobohkannya!" 

"Tapi, Empu Lahang Samedi tidak masuk hitungan. 
Ayah!" bantah Gentala, tidak puas. "Apa hebatnya kakek itu? 
Kalau kepandaiannya tinggi, untuk apa dititipkannya pada 
Ayah?" 

Lelaki bermata picak menghentikan lari dengan tiba- 
tiba. Ini membuat Gentala bertindak serupa. Napas ayah dan 
anak ini biasa saja kendati telah berlari cepat tanpa berhenti. 
Hanya, peluh membasahi dahi dan leher Gentala. Sedangkan 
pada ayahnya hanya di dahi. 

"Kau tahu, Gentala, sikapmu yang terlalu menganggap 
diri sendiri paling hebat yang tidak kusukai!" tandas lelaki 
bermata picak sambil menatap putranya dengan pandangan 
tajam. 

Gentala diam. Bahkan, menundukkan kepala. Kaki 
kanannya tampak digurat-guratkannya ke tanah. 

"Asal kau tahu saja, sikap sombong akan membuatmu 
menyesal nantinya. Kau menganggap dirimu sudah tidak 
memiliki lawan lagi. Itu akan mengurangi kegiatanmu 
menuntut ilmu. Perlu kau sadari, Gentala. Di dunia 
persilatan tak terhitung jumlahnya tokoh-tokoh yang 
memiliki kepandaian tinggi. Jangankan hanya kau, aku 
sendiri pun tak akan lebih dari setitik debu di dunia 
persilatan. Tidakkah kau ingat kalau di atas langit masih ada 
langit?!" 

Gentala tetap diam. Ia tidak memberikan tanggapan. 
Wajahnya pun tidak diangkat sedikit pun. 

Lelaki picak terdengar menghela napas berat. Disadari 
kalau dia telah keliru mendidik. Dan, ini memang salahnya 
sendiri. Sejak kecil apa pun yang diinginkan Gentala selalu 
dipenuhinya. Gentala amat dimanjanya! Ini dilakukannya 
karena Gentala tidak mempunyai ibu lagi. Istri lelaki ini 
meninggal saat melahirkan Gentala. 

"Sekarang, dengan telingaku sendiri kudengar kau 
memandang rendah Empu Lahang Samedi! Jangar kau 
merasa aku lebih hebat daripadanya karena dia mengirim 
putrinya belajar padaku. Kau keliru, Gentala!" 

"Tapi, bukankah Ayah sendiri yang mengatakan 
begitu? Kudengar sendiri ketika dulu kutanyakan hal itu 
pada Ayah. Bahkan, Ayah bercerita kalau Ayah terhitung 
tokoh besar dunia persilatan. Siapa yang tidak mengenai 
Malaikat Picak? Sekarang Ayah justru bicara sebaliknya. 
Mana ucapan Ayah yang benar?" 

"Semuanya benar!" jawab sang ayah yang beijuluk 
Malaikat Picak. "Dan, tidak ada satu pun yang paling 
bertentangan. Hanya kau saja yang mengartikannya lain. 
Memang benar Empu Lahang Samedi memiliki kepandaian di 
bawahku. Tapi, hanya berselisih sedikit saja. Kalau 
dibandingkan dengan kau tentu saja masih lebih tinggi 
kepandaiannya. Itu hal pertama. Yang kedua benar aku 
Malaikat Picat memang terhitung tokoh besar dunia 
persilatan. Tapi, itu tidak berarti kalau aku jago nomor satu 
atau tokoh tak terkalahkan. Kau musti tahu hal itu, Gentala. 
Ada yang besr pasti ada yang lebih besar. Yang lebih besar 
lagi dan tak terhitung banyaknya. Nah, apakah ucapanku 
saling bertentangan?" 

Gentala tampak tidak puas dengan penjelasan 
ayahnya. Dia menatap wajah ayahnya sejenak 

"Aku memang salah! Sombong, memandang rendah 
orang lain, dan selalu salah menilai orang. Meski demikian, 
walau Ayah merendah-rendahkan diriku dan selalu 
menganggap penculik hina itu memiliki kepandaian yang 
jauh lebih tinggi daripadaku, aku akan tetap memburunya. 
Apa pun yang akan teijadi terhadap diriku. Kuharap kau 
membiarkanku pergi melaksanakan maksudku, Ayah! 
Selamat tinggal!" 

Tanpa memberikan kesempatan pada ayahnya untuk 
memberikan tanggapan, Gentala melesat cepat meninggalkan 
tempat itu. Pemuda ini mengerahkan seluruh ilmu lari 
cepatnya sehingga dalam sekejapan telah berada jauh di 
depan. 

"Gentala...!" 

Malaikat Picak berseru memanggil putranya. Tapi 
Gentala tetap terus berlari. Jangankan berhenti, menoleh pun 
tidak. 

Malaikat Picak menghela napas berat. Dia merasa 
khawatir sekali dengan keselamatan putranya. Namun 
disadarinya kalau Gentala tidak bisa dicegah lagi. Watak 
emuda itu terlalu keras. Apa yang diinginkannya harus 
terlaksana, apa pun hambatannya! 

Lelaki bermata picak ini hanya mengawasi Gentala 
hingga tubuh pemuda itu lenyap di kejauhan. Baru setelah 
itu Malaikat Picak melesat menuju tempat yang tadi dituju 
putranya. Perasaan kawatir yang membuat Malaikat Picak 
bersikeras mengikuti. 




Aiya mengernyitkan alis. Seluruh perhatiannya 
dipusatkan pada pendengaran. Sekilas tadi ia menangkap 
bunyi napas yang berirama teratur. Seperti napas yang 
keluar dari orang yang tengah bersemadi. 

Sambil memusatkan perhatian pada telinga, Aiya 
mengedarkan pandangan ke kanan dan kirinya. Pemuda 
berambut putih keperakan ini tengah berada dijalan berbatu 
selebar dua tombak. Pada bagian kanan kiri jalan menjulang 
tinggi dinding batu seakan hendak mencapai langit. 

Anehnya, pada dinding tebing itu banyak terdapat 
lubang-lubang bergaris tengah setengah tombak. Banyak 
sekali lubang itu. Berderet-deret tak ubahnya lubang-lubang 
sarang tawon. Tinggi lubang terendah dari tanah tak kurang 
dari lima tombak. 

Hanya dalam waktu sebentar saja Aiya telah tahu 
kalau bunyi halus yang didengarnya berasal dari lubang- 
lubang di dinding tebing. Namun, sulit untuk memastikan 
lubang yang tepat. 

Tapi, ternyata Aiya tidak perlu icpot-iepot untuk 
mencarinya. Dari lubang-lubang yang ada di tengah melesat 
dua sosok tubuh. Tidak dari satu lubang, melainkan dua. 
Cepatnya gprakan sosok itu membuat Dewa Arak tidak bisa 
melihamya secara jelas. Dia hanya melihat bayangan merah 
dan putih 

Jantung Aiya langsung berdetak cepat. Baju merah 
itulah yang menyebabkannya bagai tercekat. Bahkan, 
pemuda ini sampai melompat mundur dengan kewaspadaan 
penuh. Benak Aiya langsung menduga kalau sosok bayangan 
itu adalah Lingga! Bukankah dia mengenakan pakaian serba 
merah? Hanya saja yang menjadi pertanyaan Aiya adalah 
sosok bayangan putih itu. Kawan Lingga-kah? 
Sepengstahuannya, Lingga tidak pernah bertindak bersama- 
sama. Pemuda itu selalu berusaha sendiri. Keangkuhannya 
yang membuatnya demikian. 

Ketika dua sosok bayangan itu menjejak tanah baru 
Aiya melihatnya dengan jelas. Dua sosok itu salah satunya 
bukan Lingga. Kendati demikian Aiya mengenalnya. Meieka 
dua orang kakek yang memiliki ciri-ciri saling bertolak 
belakang. 

Kakek yang satu kurus tinggi, berkulit putih dam 
mengenakan pakaian warna putih. Jenggotnya yang pendek 
berwarna putih. Tampangnya tampak angker. Sedangkan 
kakek yang satu pendek gemuk, berkulit merah dan 
beijenggot panjang merah. Warna yang sama membungkus 
tubuhnya. Kakek inilah yang menimbulkan bayangan merah 
dan membuat Aiya mengira kalau dirinya adalah Lingga. 

"Kalian rupanya...," desis Aiya. Ada kegembiraan dan 
kekecewaan sekaligus dalam suaranya. Gembira karena 
bertemu dengan orang yang memang dicari-carinya. Dua 
kakek inilah yang telah menculik Nuri, murid Setan Kepala 
Besi (Untukjelasnya, silakan baca episode: "Golok Kilat"). 

Rasa kecewa yang timbul adalah karena sosok 
bayangan merah itu bukan Lingga. Dewa Arak amat ingin 
segera bertemu Lingga agar bencana yang menyabar bisa 
cepat dihentikan. Apakah malapetaka itu akan lenyap dengan 
berhasilnya Aiya menumpasnya? Atau, Dewa Arak yang akan 
tertumpas dan bencana terus berkecamuk sampai 
munculnya orang yang akan bisa meredamnya? 

"Rupanya matamu masih awas, Aiya," sahut kakek 
pendek gemuk, yang memiliki watak lebih ramah daripada 
rekannya yang tinggi kurus. "Kau masih bisa mengenali 
kami." 

"Aku masih ingat karena sikap kalian yang 
menimbulkan kesan di hati," jawab Aiya dengan bersungguh- 
sungguh seraya memandang wajah kedua kakek itu 
bergantian. 

Kakek pendek gemuk tersenyum. Sedangkan re¬ 
kannya mendengus. Watak kedua kakek ini pun hampir 
bertentangan satu sama lain, seperti halnya pakaian din ciri- 
ciri tubuhnya. 

"Sikap kami? Sikap mana yang kau maksudkan?" 
tanya kakek pendek, ingin tahu. 

"Penculikan terhadap murid Setan Kepala Besi," jawab 
Aiya. "Itu tidak aneh atau luar biasa. Yang membuat 
berkesan adalah petunjuk palsu untuk Setan Kepala Besi 
yang kalian titipkan padaku. Kalian menyebut Gua Iblis. Tapi 
ketika Setan Kepala Besi datang ke sana, kalian tidak ada. 
Hanya tempat kosong yang ditemui oleh Setan Kepala Besi. 
Jangankan dua orang manusia, lalat gemuk pun tidak ada di 
sana!!' 

"Jadi, kau kira kami bohong..?!" dengus kakek 
jangkung kurus, menyiratkan perasaan tidak senang. "Kau 
dan Setan Kepala Besi mengira kami menipu begitu?" 

"Lalu, apa lagi?" Aiya mengangkat kedua bahunya. 
"Haruskah kukatakan kalau aku salah dengar atau kalian 
masih dalam perjalanan? Atau..., kalian salah menyebutkan 
tempat, begitukah?" 

"Kau besar kepala, Anak Muda!" sentak kakek 
jangkung kurus "Rupanya, sedikit kepandaian yang dimiliki 
membuatmu merasa yakin akan dapat dipergunakan untuk 
menekan kami. Kau mimpi! Sebaliknya kau akan mengalami 
kejadian seperti sebelumnya. Bahkan mungkin kali ini 
nyawamu yang hanya satu itu tidak bisa kau selamatkan 
lagi!" 

"Kalau itu terjadi padaku, apa boleh buat. Akibat 
seperti itu jauh-jauh hari telah kuketahui," timpal Arya. 
Sekujur urat-urat syaraf pemuda ini menegang waspada 

Kakek jangkung kurus menggertakkan gigi. Jawaban 
Dewa Arak dianggapnya sebagai tantangan. Melihat sikap si 
kakek, Arya pun bersiap-siap. 

Kakek pendek gemuk tertawa berkakakan. 

"Dasar orang-orang hutan. Yang dipikirkan hanya 
berkelahi saja. Merah!" tegur kakek pendek pada rekannya. 
"Kau sendiri kelewatan! Sudah tahu pemuda itu 
menghendaki alasan kita kau malah mengajaknya 
bertarung." 

Kakek jangkung yang dipanggil Merah mendengus 
kesal. Kakek gemuk tidak mempedulikannya sama sekali. 
Perhariannya sekarang dialihkan pada Arya. 

"Kau jangan terburu nafsu, Anak Muda. Buang jauh- 
jauh prasangka tidak baikmu itu. Ketahuilah, semua 
dugaanmu itu salah. Kami tidak bisa memenuhi janji itu 
karena adanya hambatan di perjalanan. Hambatan itu pula 
yang menyebabkan tawanan kami, murid Setan Kepala Besi, 
lolos. Ah..., tidak pantas disebut lolos karena sengaja dia 
kami lepaskan agar selamat dari bahaya. Aku yakin pemuda 
luar biasa yang menghadang perjalanan kami itu bermaksud 
jahat kepadanya." 

"Pemuda luar biasa...?!" ulang Arya, kaget. Bayangan 
wajah Lingga melintas di benaknya. "Jadi, kalian dihadang 
pemuda itu dan kalian dikalahkannya?" 

Kakek jangkung mendengus. 

"Kami dikalahkan? Lelucon macam apa itu! Mana 
mungkin kami bisa dikalahkan. Apalagi kalau orang itu 
adalah seorang pemuda." 

"Ya, bila pemuda yang kalian maksudkan itu adalah 
Lingga. Dia bukan pemuda sembarangan! Kepandaiannya tak 
terukur. Itu masih ditambah lagi dengan kecerdikannya. Ini 
membuatnya menjadi seorang lawan yang amat berbahaya 
dan berat!" 

"Lingga?!" 

Kakek gemuk mengulang nama yang diucapkan Aiya. 
Sedangkan kakek jangkung hanya mendengus dan bersikap 
tak peduli. 

"Benar. Lingga seorang pemuda sakti yang licik serta 
kejam. Dia selalu mengenakan pakaian serba merah. Ikat 
kepala merah membelit dahinya...." 

"Seperti itukah ciri-ciri orang yang bernama Lingga? 
Kalau begitu, pemuda yang kami hadapi adalah Lingga. Kau 
kenal dia, Anak Muda?" selak kakek pendek. 

"Bukan kenal lagi, Kek," jawab Aiya. "Begitu 
mendengar kalau orang yang menghadang kalian hingga 
membuat tawanan itu lolos adalah seorang pemuda, aku 
sudah bisa menduga dia tak lain Lingga. Lingga tidak patut 
dikatakan manusia. Dia lebih tepat disebut iblis!" 

"Kalau dia tidak memiliki ilmu aneh yang membuat 
serangan-serangan kami tidak berarti, jangan harap lolos dari 
tangan kami!" kakek jangkung masih menyombong. Dia lupa 
kalau perkataannya sekarat sama dengan mengatakan kalau 
sejak tadi dia berbohong. 

"Lingga memang luar biasa!" dukung Aiya, memuji 
kehebatan seterunya. "Dia mampu mendapatkan ilmu-ilmu 
menggiriskan dalam waktu yang demikian cepat. Padahal, 
pada pertemuan pertama dia belum memiliki ilmu luar biasa. 
Kepandaiannya memang lual biasa, tapi aku masih bisa 
me nan ggulan ginya." 

"Kau kira kami anak kecil yang mudah dibohongi 
dengan cerita murahan seperti itu, Anak Muda?!" kecam 
kakek jangkung, pedas. 

Aiya tidak mempedulikan ucapan kate k itu. Pemuda 
ini dengan tenang melanjutkan ceritanya. 

"Tapi pada pertemuan kedua, mungkin nyawaku telah 
lepas dari badan kalau Setan Kepala Besi tidak segera 
datang. Lingga dengan ilmunya yang baru bagaikan seekor 
harimau yang tumbuh sayap. Amat berbahaya! Dia datang 
tak lama setelah kalian pergi. Untungnya aku telah berhasil 
bebas dari pengaruh serangan kalian. Kalau tidak, Lingga 
dengan mudah akan membantaiku! Perlu kalian ketahui, 
Kek, Lingga amat benci padaku karena beberapa waktu yang 
lalu kejahatannya pernah kuhalangi!" 

Kakek pendek dan kakek jangkung kali ini tidak 
memberikan tanggapan. Mereka mulai percaya setelah 
mendengar uraian Aiya. 

"Kurasa kalian harus cepat-cepat menemui Setan 
Kepala Besi untuk menjelaskan kejadian sebenarnya, agar 
tidak terjadi salah paham yang lebih besar. Lagi pula kulihat 
luka dalam yang kalian derita telah hampir pulih. Maaf, aku 
tidak bisa menemani lebih lama karena harus segera mencari 
Lingga, untuk mencegah terjadinya angkara murka yang 
lebih besar lagi. Selamat tinggal, Kek." 

Dewa Arak melesat dengan pengerahan seluruh ilmu 
meringankan tubuhnya. Dua kakek itu menggeleng- 
gelengkan kepala penuh rasa kagum ketika melihat Arya 
telah berada belasan tombak dalam sekali lesatan. Kakek 
jangkung yang selalu bersikap sinis malah meleletkan lidah 
saking kagumnya. Dia pun tahu Arya berbicara benar kalau 
dulu pernah mengalahkan Lingga. Dan, ia pun sadar kalau 
keberhasilannya melukai pemuda itu karena kelengahan 
Arya. Jika terjadi bentrokan kedua belum tentu Dewa Arak 
akan dapat dirobohkannya. 

Kakek pendek mendecak-decak lidahnya. 

"Dunia semakin dipenuhi orang-orang pandai. Tokoh- 
tokoh muda telah memiliki kepandaian sedemikian tingginya. 
Bukan main...!" 

Kakek jangkung mendengus, meremehkan ucapan 
rekannya. Dia tidak ingat kalau tadi ikut merasa kagum. 
Kakek pendek rupanya tidak peduli dengan sikap rekannya. 
Tanpa banyak bicara dia melesat ke depan. Tidak mirip 
berlari, tapi lebih condong menggelinding. Tubuhnya yang 
pendek gemuk bak bola yang menyebabkan kakek gemuk ini 
kelihatan seperti menggelinding 

Kakek jangkung mendengus. Kemudian, melesat 
menyusul si gemuk. Berbeda dengan kakek pendek, si 
jangkung ini berlari dengan mengandalkan kecepatan pada 
langkahnya yang lebar-lebar. Kendati demikian, jarak antara 
dirinya dengan kate k pendek tidak berubah. Padahal, kaki- 
kaki si gemuk pendek-pendek! 


***


"Ha ha ha...!" 

Tawa teras membuat sekitar tempat sang pemilik 
suara berada tergetar hebat bagai dilanda gempa. Daun-daun 
berguguran dari pohon. Beberapa burung melesat tinggi- 
tinggi ke udara sambil memperdengarkan cicit ketakutan. 

Tawa berpengaruh besar itu keluar dari mulut Lingga. 
Pemuda sakti berhati keji ini duduk bersila di atas sebuah 
batu sabesar kerbau yang permukaannya rata. 
Pandangannya yang berbinar-binar penuh kegembiraan 
tertuju ke depan. 

Dalam jarak sekitar lima tombak di depan Lingga, juga 
di atas gundukan batu sebesar kerbau yang berpermukaan 
rata, tegak sebatang golok! Bagian gagangnya menempel pada 
batu sedangkan ujung batangnya menunjuk langit. Di 
sekeliling batang golok bertebaran berbagai macam kembang 
dalam garis tengah sekitar dua jengkal. Bunga-bunga itu 
tampak hangus! Asap masih mengepul dari bunga-bunga itu. 
Ada sesuatu yang menghanguskannya belum lama berselang! 

"Akulah sekarang tokoh sakti tidak terkalahkan. Ha 
ha ha...!" Lingga tertawa semakin teras. Kemudian, 
dihentikannya secara tiba-tiba. Raut wajahnya yang semula 
menyiratkan kegembiraan besar sekarang berganti dengan 
kebengisan. "Dan kalian, Dewa Arak serta Penyair Cengeng, 
akan mendapatkan bagiannya. Kalian akan kukirim ke 
neraka dengan perantaraan pusaka yang kudapatkan dari 
setan-setan neraka ini. Tunggulah saat kematianmu, Dewa 
Arak! Juga kau, Penyair Cengeng! Biar kalian berdua menjadi 
contoh orang yang berani menentang Lingga. Jago nomor sa¬ 
tu langit bumi! Benar, sekarang aku akan menjuluki diri 
sebagai Jago Nomor Satu Langit Bumi! Ha ha ha...!" 

Lingga menatap 1$ arah golok yang tegak di 
hadapannya dengan pandangan mata penuh minat. Golok itu 
adalah Golok Kilat. Dan, pemuda ini ingin segera 
mengambilnya. Tapi, asap yang masih mengepul menjadi 
pertanda kalau golok masih sangat berbahaya untuk 
didekati, apalagi disentuh. Kematian secara mengprikan akan 
dialami oleh orang yang bertindak nekat. Rangkaian kata- 
kata itu masih terpampang jelas di benak Lingga. Seakan- 
akan lembaran daun lontar itu ada di depannya. Memang, 
rangkaian peringatan itu dibaca Lingga dari lembaran daun 
lontar. Lembaran-lembaran yang terpisah dari lembaran- 
lembaran yang ada di tangan Dewa Arak! 

Lingga menemukan lembaran-lembaran daun lontar 
di pinggir laut. Gelombang membawanya ke pantai. Sungguh 
kebetulan Lingga tertarik untuk memunguat dan 
membacanya. Pemuda bejat yang memendam dendam pada 
Dewa Arak dan haus akan hal-hal yang membuatnya mampu 
mengalahkan seterunya itu, merasa tertarik ketika 
mengetahui daun lontar mengisahkan tentang pusaka luar 
biasa yang beijuluk Golok Kilat. 

Pada lembaran daun lontar yang ditemukan Lingga 
berisi kisah tentang Golok Kilat. Keistimewaan dan 
kedahsyatannya serta keterangan-keterangan tentang di 
mana adanya senjata pusaka itu. Dengan petunjuk dari daun 
lontar itu Lingga datang ke tempat tinggal Raja Golok 
Bertangan Baja, sehingga tokoh besar golongan putih itu 
menemui ajal secara mengenaskan. 

Pada lembaran-lembaran daun lontar yang ditemukan 
Lingga juga terdapat cara-cara untuk mengetahui apakah 
Golok Kilat masih mempunyai keistimewaan seperti sediakala 
atau tidak, dan cara-cara untuk menimbulkan 
kedahsyatannya kembali apabila memang telah lenyap. 

Lingga hampir putus asa untuk menghidupkan 
kembali Golok Kilat karena tidak tahu ramuan yang tertulis 
di lembaran daun lontar. Cara-cara untuk menghidupkan 
golok itu ada lengkap. Tapi, penjelasan tentang ramuan itu 
tidak diketemukan. Namun, Lingga yang cerdik segera tahu 
kalau penjelasan tentang ramuan itu pasti ada di lembaran 
daun lontar yang tidak didapatkannya. Mencari lembaran 
yang lain? Mana mungkin! Lautan demikian luas. Tak akan 
ada gunanya usaha itu dilakukan! 

Sebuah pikiran cemerlang diketemukan Lingga. 
Dicarinya pandai besi yang terkenal. Dan, diketemukannya 
Empu Lahan g Samedi. Sekarang, jerih payah Lingga 
membuahkan hasil. Golok Kilat telah disambar oleh tiga 
halilintar yang datang dari tiga arah. Golok Kilat kembali 
memiliki kedahsyatan seperti sebelumnya! Lingga hanya 
tinggal menunggu asap dari batang golok sirna. 

"Tapi sepertinya...," Lingga bicara sendiri. "Julukan 
Jago Nomor Satu Langit Bumi kurang mencerminkan diriku. 
Tidak sesuai untuk seorang seperti Lingga. Kurasa, julukan 
yang lebih cocok adalah Dewa Kematian. Ya, Dewa Kematian! 
Bukankah itu lebih menonjolkan sosok Lingga. Lagi pula, apa 
yang lebih sakti dari Dewa Kematian! Bukankah semua 
makhluk hidup dicabut nyawanya oleh Dewa Kematian. 
Benar! Dewa Kematian adalah julukan baru untukku!" 

Begitu asap yang mengepul dari batang golok sudah 
tidak ada lagi, Lingga mengulurkan tangan. Gobk Kilat 
melayang ke arahnya dan hinggap dalam genggaman pemuda 
itu 

Lingga menatap sekujur permukaan golok di 
tangannya dengan perasaan puas. Kemudian, ditudingnya 
batu besar tempat golok tadi berada dengan ujung golok. 
Sinar putih menyilaukan pun segera meluncur. Terdengar 
bunyi riuh rendah disusul dengan hancur leburnya batu itu 
ketika sinar yang berasal dari Golok Kilat menghantamnya. 

"Luar biasa...!" gumam Lingga, kagum dan takjub. 
Kepalanya digeleng-gelengkan. Pandangannya bercampur 
ngeri ketika menatap gundukan batu yang telah menjadi abu. 

Di angkasa seekor burung terbang melintas. Lingga 
melihatnya. Ujung goloknya segera diarahkan pada binatang 
itu. Untuk kedua kalinya sinar menyilaukan melesat. Burung 
yang dituju rupanya dengan nalurinya mengetahui adanya 
bahaya maut. Dengan lincah binatang itu mengelak dari 
luncuran sinar yang mematikan! 

Pemandangan yang menakjubkan segera dilihat oleh 
Lingga yang sepasang matanya memancarkan sinar 
kekaguman. Menurut akal sehat, begitu burung berkelit sinar 
itu akan menyambar tempat kosong dan binatang itu 
selamat. Tapi, tidak demikian halnya yang terjadi. Sinar 
menyilaukan itu bagaikan hidup! Ia mengikuti ke mana 
binatang itu mengplak. Binatang yang terancam itu rupanya 
tahu maut masih membayangi. Kecepatan terbangnya 
ditambah. Tapi, sinar menyilaukan itu memiliki kecepatan 
luncuran yang menakjubkan. Tak sampai belasan tombak 
terbang burung itu harus menyerah pada malaikat maut. 
Sinar itu telah menghantamnya! Sang binatang yang malang 
meluncur jatuh ke tanah dalam keadaan gosong! Nyawa 
burung itu sudah melayang. 

Lingga tertawa bergelak. Nada gembira dan puas 
terdengar jelas di dalamnya. 

"Dewa Arak...! Penyair Cengeng...! Tunggulah. Dewa 
Kematian akan menjemput nyawa kalian dari tubuh...!" teriak 
Lingga lantang sambil menyarungkan goloknya dan 
meletakkannya di pinggang. 

Lingga bangkit berdiri. Kemudian, melesat cepat 
meninggalkan tempat itu. Apa lagi tujuannya kalau bukan 
hendak memenuhi ancamannya itu? 

Suasana menjadi hening ketika Lingga tidak berada di 
situ lagi. Keheningan yang mengerikan! Karena, baik dari abu 
gundukan batu maupun dari bekas tubuh burung masih 
mengepul asap tipis. 

Tak lama setelah Lingga lenyap di kejauhan, dari arah 
yang berlawanan dengan arah yang ditempuh Lingga tampak 
mendatangi tempat itu sesosok tubuh yang semakin lama 
semakin dekat. Dalam waktu yang demikian singkat ia telah 
tiba di tempat tadi Lingga berada. Sosok itu ternyata seorang 
kakek bertubuh kekar. Kepalanya botak. Sepasang matanya 
mencorong tajam dan bersinar kehijauan Setan Kepala Besi! 

Setan Kepala Besi mengedarkan pandangan 
berkeliling. Pandangannya segera tertumbuk pada tumpukan 
abu gosong di tanah, bekas gundukan batu. 

Pandangan mata kakek yang telah kenyang 
pengalaman ini segpra bisa mengetahui ada hal yang tidak 
wajar. 

"Aku yakin petir dari tiga jurusan tadi menyambar 
sekitar tempat ini. Tapi, mengapa tidak ada bekas-bekasnya?" 
gumam Setan Kepala Besi dengan dahi berkemyit. "Tidak 
mungkin kalau akibat sambari petir itu hanya gundukan abu 
ini... " 

Setan Kepala Besi kcmbali mengedarkan pandangan 
untuk mencari hal-hal yang membuatnya tertarik kc tempat 
itu. Kakek ini berada di tempat yang cukup jauh ketika 
melihat petir dari tiga jurusn menyambar ke satu tempat. 
Perasaan heran dan ingin tahu yang mendorongnya melesat 
cepat menuju yang dituju petir. 

Setan Kepala Besi segera menaruh curiga pada 
gundukan batu berpermukaan rata yang tadi dijadikan 
tempat duduk Lingga. Ciri-cirinya berbeda dengan batu-batu 
di sekitarnya. Setan Kepala Besi segera dapat mengira kalau 
batu itu tidak berasal dari tempat ini. Dengan kata lain, ada 
orang yang membawanya dan meletakkannya di sini. Tapi, 
untuk apa? Pertanyaan itu bergayut di benak kakek 
berkepala botak ini. 

Hal kedua yang membuat Setan Kepala Besi masih 
menaruh kecurigaan pada batu itu adalah letaknya. Batu ini 
terletak di tengah-tengah jalan! 

Setan Kepala Besi mengembangkan dada untuk 
mengisinya dengan udara sepenuh-penuhnya. Setelah 
dirasanya penuh, baru dikeluarkan melalui mulutnya. 
Hembusan angin teras pun menghambur keluar dan 
menerpa batu. 

Tak ubahnya segumpal kapas yang ditiup, batu itu 
menggelinding jauh dari tempatnya. Kecurigaan Setan Kepala 
Besi ternyata tidak meleset. Tepat di bawah batu itu berada 
terdapat sebuah lubang bergaris tengah setengah tombak! 

Setan Kepala Besi tidak berani bertindak sembrono. 
Dengan sikap penuh kewaspadaan didekatinya lubang itu. 
Kakek ini khawatir akan adanya serangan mendadak dari 
dalam lubang. 

Tapi kecurigaan Setan Kepala Besi kali ini tidak 
beralasan. Tidak ada apa pun sampai dia tiba di pinggir 
lubang. Bahkan, ketika kepalanya dilongokkan ke dalamnya 
terlihat kalau lubang itu ternyata tidak dalam. Keadaan 
cuaca yang cerah membuat Setan Kepala Besi dapat melihat 
dasar lubang. Setelah yakin tidak ada bahaya yang 
mengancam kakek itu pun melompat turun. 

Lubang jtu ternyata hanya mempunyai satu lorong, 
berbentuk bulat dan bergaris tengah hampir satu tombak. 
Sisi-sisi lainnya adalah dinding batu. Dengan langkah pasti 
dan tetap tidak meninggalkan kewaspadaan, Setan Kepala 
Besi mengayunkan kaki menyusuri lorong. 

Lorong itu tidak lurus melainkan agak melengkung ke 
kiri. Setan Kepala Besi tidak mengira kalau lorong itu tidak 
terlalu panjang. Tak sampai lima belas tombak telah bertemu 
dinding. Tidak ada jalan lagi! 

Setan Kepala Besi membelalakkan mata, kaget. Bukan 
karena lorong yang buntu, tapi karena melihat 
bergeletakannya tiga sosok tanpa busana. Semuanya wanita- 
wanita bertubuh montok dan berkulit halus mulus. 

Setan Kepala Besi mengutuk di dalam hati. Kakek ini 
tahu kalau ketiga wanita cantik itu adalah korban-korban 
nafsu birahi seorang lelaki cabul. Dua di antara tiga wanita 
itu telah tewas. Sedangkan yang seorang masih hidup. 
Wanita yang usianya tak lebih dari dua puluh tahun itu 
dalam keadaan tertotok, sehingga tidak dapat bergerak 

Setan Kepala Besi segera menjentikkan jari 
telunjuknya. Angin yang keluar dari jari Setan Kepala Besi, 
membuat jalan darah si gadis kembali normal. Kakek ini 
sendiri segera membalikkan tubuh dan memberi kesempatan 
pada gadis ini untuk mengenakan pakaian. 

Meski kelihatannya tidak peduli, Setan Kepala Besi 
mengamati gerak gerik si gadis dengan mempergunakan 
telinganya. Didengarnya gadis itu bangkit dan mengenakan 
pakaian sambil terisak. Tangis yang keluar dari hati yang 
hancur. 

Tindakan yang diambil Setan Kepala Besi ini tidak 
berlebihan. Telinganya tiba-tiba menangkap bunyi angin 
tajam, tapi bukan tertuju ke arahnya. Setan Kepala Besi 
bertindak cepat. Tubuhnya dibalikkan sambil mengibaskan 
tangan. 

Si gadis yang mengenakan pakaian kuning mengeluh 
tertahan karena sakit dan kagpt. Kibasan tangan Setan 
Kepala Besi mengsluarkan angin yang menghantam 
pergelangan tangan si gadis yang menggenggam pedang. 
Akibatnya, pedang yang ditujukan si gadis untuk menggorok 
lehernya sendiri terpental dan jatuh berkerontangan di tanah! 

"Hanya pengecut hina yang mengambil jalan seperti 
ini untuk mengakhiri sebuah persoalan," ujar Setan Kepala 
Besi, pelan tapi penuh kecaman. Gadis berpakaian kuning 
menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dari celah-celah 
jarinya mengalir air bening. Gadis itu menangis terisak-isak. 

"Apa artinya aku hidup apabila terlumur aib seperti 
ini? Tak sanggup aku memandang dunia dengan seluruh 
tubuh bernoda najis!" keluh si gadis agak memekik. 

Setan Kepala Besi menghela napas berat. Hatinya 
tersentuh merasakan kehancuran hati yang sangat dalam 
keluhan si gadis. Kakek ini diam-diam merasa heran sendiri. 
Dulu ia tak pernah merasa terharu melihat penderitaan orang 
lain. Malah, justru semakin orang menderita hatinya semakin 
gembira. Sekarang ternyata sangat berbeda. 

"Aku bisa memaklumi perasaanmu. Nona," ujar Setan 
Kepala Besi, lirih. Suara orang yang ikut merasa prihatin. 
"Kendati demikian, kurasa bunuh diri bukan jalan keluar 
yang baik. Aku yakin orang yang melakukan kekejian 
terhadapmu akan merasa gembira melihat kau mengambil 
jalan pintas ini. Tidakkah lebih baik kalau kau berusaha 
membalaskan sakit hatimu?" 

"Mana mungkin hal itu bisa kulakukan?" Gadis itu 
menjauhkan kedua tangannya dari wajah "Iblis keji itu 
memiliki kepandaian jauh di atasku. Jangankan aku sendiri, 
di saat bersama ayah saja aku tidak berdaya." 

"Kau tidak perlu khawatir, Nona," hibur Setan Kepala 
Besi. Ia sedikit gembira karena tahu nasihatnya telah 
mengenai sasaran "Ffcrcayalah, aku akan membantumu. Aku 
yakin dengan bekeija sama kita bisa membalaskan kekejian 
orang itu." 

Gadis berpakaian kuning menyusut air matanya. Mata 
yang bening indah itu menatap sekujur tubuh Setan Kepala 
Besi dengan penuh selidik. 

"Apakah kau mempunyai kepandaian lebih tinggi 
daripada ayahku, Kek? Kalau tidak, percuma saja, iblis itu 
amat sakti!" 

Setan Kepala Besi mengangkat bahunya. 

"Aku tidak keberatan kalau kau mau mengujiku, 
Nona. Setidak-tidaknya kau bisa menilai kemampuanku. 
Bukankah kau mengetahui tingkat kepandaian ayahmu?" 

Si gadis mengangguk 

"Hanya sedikit lebih tinggi dariku, Kek. Kenalkah kau 
dengan nama Empu Lahang Samedi? Beliau ayahku. Aku 
Priyani, putri tunggalnya." 

Setan Kepala Besi menggeleng. 

"Iblis keji itu mampu membuatku tak berdaya dengan 
tanpa menyentuhku sama sekali. Mampukah kau 
melakukannya, Kek?" tantang Priyani penuh harap. 

"Akan kucoba untuk melakukannya, Nona." 

Setan Kepala Besi bertekad untuk mengeluarkan 
seluruh kemampuannya. Inilah harapan satu-satunya untuk 
mengembalikan semangat hidup Priyani. 

Priyani sendiri setelah memungut pedangnya lang¬ 
sung melompat, menerjang. Dalam sekali serang gadis Ini 
telah mengeluarkan serangan paling dahsyat. Pedangnya 
lenyap! Yang terlihat hanya gulungan sinar yang bergulung- 
gulung. Sukar untuk diketahui bagian tubuh lawan yang 
akan dijadikan sasaran serangan. 

Setan Kepala Besi segera mengibaskan tangan ka¬ 
nannya. Hembusan angin yang luar biasa keras menyambar. 
Priyani bagaikan membentur benteng angin. Lompatannya 
tertahan. Bahkan, tubuh gadis ini terjengkang ke belakang. 

Priyani masih mampu menunjukkan kelihaiannya. 
Dia mendarat di tanah dengan kedua kaki, kendati dengan 
limbung. Bertepatan dengan itu Setan Kepala Besi 
menggerakkan tangan kiri dengan gerakan seakan menarik 
sesuatu. Untuk yang kedua kalinya angin teras berhembus. 

Priyani berusaha keras untuk bertahan dari hem¬ 
busan angin yang menariknya ke arah Setan Kepala Besi. 
Tapi, usahanya gagal. Tubuhnya tetap tertarik ke arah si 
kakek. Sekejap kemudian, kedua telapak tangan Setan 
Kepala Besi yang besar telah memegang kedua bahunya. 

Setan Kepala Besi sesaat kemudian melepaskan 
pegangannya. 

"Bagaimana, Nona? Apakah aku cukup berharga 
untuk membantumu?" 

Wajah Priyani berseri-seri. Pedangnya diletakkan 
kembali di sarungnya. 

"Kau hebat, Kek!" puji Priyani, gembira. Kendati 
demikian, lapisan kabut duka yang tebal masih menutupi 
sepasang matanya hingga terlihat sayu. "Aku yakin dengan 
adanya kau untuk membantuku, keparat keji itu akan 
berhasil kubinasakan!" 

Setan Kepala Besi tersenyum. Priyani ikut tersenyum. 
Tapi, tidak bebas lepas. Pengalaman hebat yang diterimanya 
membuat kegembiraan yang alaminya terasa semu. 




"Tunggu sebentar, Ayah." 

Adipati Gili menghentikan larinya. Di samping karena 
mendengar seruan putrinya, juga melihat tindakan Nuri 
sendiri. Gadis itu berhenti berlari. 

"Ada apa, Nuri?" tanya Adipati Gili sambil menatap 
wajah putrinya yang menatap jauh ke depan dan 
menyiratkan kecemasan. 

"Sosok yang tengah bergerak mendatangi ke arah kita 
itu mengenakan pakaian serba merahkan, Ayah?" Nuri malah 
balas bertanya. 

Adipati Gili tidak merasa kecil hati. Diturutinya 
permintaan putrinya untuk memperhatikan sosok yang 
masih jauh di depan. 

"Kelihatannya iya, Nuri. Mengapa?" 

"Kalau benar demikian, celaka!" desis Nuri dengan 
wajah berubah pucat "Kita harus segera meninggalkan 
tempat ini, Ayah. Kita harus berlari sejauh mungkin. Sosok 
berpakaian merah itu bukan manusia melainkan iblis!" 

"Jadi..., diakah orang muda yang telah melukai kedua 
kakek yang menawanmu?" tanya Adipab Gili, teringat 
kembali akan cerita Nuri. Memang, gadis berpakaian merah 
itu telah menceritakan pengalaman yang dialaminya. 

Nuri mengangguk. Wajahnya menyiratkan kegelisahan 
besar. Sepasang matanya yang bening indah diedarkan ke 
sekitarnya untuk mencari tempat persembunyian. Tapi, 
bagaimana mungkin Nuri dan ayahnya bisa bersembunyi? 
Tempat di mana mereka berada merupakan hamparan tanah 
lapang berdebu yang amat luas. Sejauh mata memandang di 
keempat penjuru yang kelihatan hanya kaki langit. 

"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Nuri? Mumpung masih 
ada waktu. Mari lari...!" 

Usul Adipati Gili menyadarkan Nuri yang hilang akal 
karena perasaan takut yang sangat. Takut akan terjadi 
sesuatu yang mengerikan terhadapnya. Nuri bisa melihat 
ancaman apa yang akan timbul dari sosok yang bukan lain 
Lingga. Sinar mata pemuda itu ketika merayapi sekujur 
tubuhnya bak orang kelaparan melihat makanan lezat! 
Demikian penuh keinginan dan minat. 

Tanpa pikir panjang lagi Nuri segera berlari. Adipati 
Gili pun demikian. Tapi, lari ayah Nuri ini terlalu lambat jika 
dibandingkan dengan Nuri. Maka, agar Adipati Gili tidak 
tertinggal Nuri hanya mengerahkan sebagian ilmu larinya. 
Gadis ini tidak tega meninggalkan ayahnya. 

Adipati Gili sadar kalau dengan adanya dirinya Nuri 
tidak bisa mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Maka, 
sambil mengerahkan seluruh kecepatannya lelaki ini berseru 
pada anaknya. 

"Larilah, Nuri. Lari yang cepat. Tidak usah kau 
pikirkan, Ayah. Ayah tidak akan apa-apa. Iblis keji itu hanya 
memburumu. Kau larilah...!" 

"Tidak, Ayah!" bantah Nuri mantap sambil 
menggelengkan kepala. "Apa pun yang akan teijadi aku tidak 
mau berpisah dengan Ayah lagi. Cukup hanya sekali saja!" 

Adipati Gili merasakan dadanya sesak oleh rasa haru 
yang menggumpal. Dia merasa berbahagia sekali mendengar 
ucapan Nuri. Ucapan yang hanya keluar dari seorang anak 
yang berbakti dan mencintai orang tuanya. 

Adipati Gili menundukkan wajah agar Nuri tidak 
melihat perubahan di sana. Memang, Adipati Gili tidak yakin 
akan teijadi perubahan pada wajahnya. Tapi, perasaan 
khawatir mendorongnya bertindak demikian. Dan, Adipati 
Gili mengangkat wajah ketika mendengar seruan kaget Nuri. 
Wajahnya kembali diarahkan kc depan. Lelaki kecil kurus ini 
tanpa sadar membuka mulutnya lebar-lebar. Sepasang 
matanya pun membelalak lebar. 

Adipati Gili berhenti berlari seperti juga Nuri. Sekitar 
sepuluh tombak di depan mereka telah berdiri sesosok tubuh 
kekar terbungkus pakaian serba merah! Kedudukannya 
membelakangi mereka. Kelihatannya dia tidak tahu akan 
kedatangan Nuri dan Adipati Gili. Sosok yang mengenakan 
ikat kepala merah itu menatap lurus ke depan 

Hampir bersamaan Adipati Gili dan Nuri menoleh kc 
belakang. Arah di mana sosok berpakaian merah tadi meieka 
lihat. Sebuah dugaan bermain di benak mereka. Barangkali 
saja sosok yang tadi mereka lihat bukan Lingga. Lingga yang 
mereka takuti adalah yang sekarang berdiri di depan mereka! 

Di belakang Nuri dan Adipati Gili tidak ada sosok 
tubuh pun! Jelas, sosok kekar di hadapan mereka ini adalah 
sosok yang tadi berada di belakang mereka. Nuri, apalagi 
Adipati Gili, terkejut bukan main menyadari kenyataan ini. 
Bagaimana mungkin sosok merah itu bisa berada di depan 
mereka tanpa diketahui waktu menyusul keduanya? 

Nuri dan Adipati Gili saling berpandangan. Wajah Nuri 
pucat pasi bagaikan kertas. Sosok merah itu adalah Lingga 
yang amat ditakutinya. Potongan tubuh pemuda itu cukup 
dikenalnya, di samping pakaian serba merah dan ikat kepala 
yang menjadi ciri khas Lingga. 

Seakan-akan takut diketahui dan Lingga belum tahu 
keberadaan dirinya serta ayahnya di belakang pemuda itu, 
Nuri melangkah mundur tanpa membalikkan tubuh. 
Sikapnya hati-hati sekali. Hal yang sama dilakukan pula oleh 
Adipati Gili. 

Selangkah demi selangkah Lingga semakin mereka 
jauhi. Telah hampir lima tombak Nuri dan ayahnya menjauhi 
tempat semula. Hati mereka agak lega melihat Lingga tetap 
dengan sikapnya. Diam bagai patung batu. 

Setelah mencapai jarak lima belas tombak lagi, Nuri 
memberi isyarat pada ayahnya untuk membalikkan tubuh 
dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Hampir 
berbarengan, ayah dan anak ini membalikkan tubuh dan 
berlari cepat! Namun, Nuri dan Adipati Gili langsung 
menghentikan larinya ketika melihat di depan mereka telah 
berdiri Lingga! Kali ini pemuda itu berdiri menghadap 
mereka. 

Sekarang Adipati Gili bisa mengerti mengapa Nuri 
demikian cemas dan takut terhadap Lingga. Pemuda 
berpakaian merah ini memang memiliki kepandaian yang 
merindingkan bulu kuduk. Meieka tidak melihat kapan 
Lingga bergerak. Tapi, kini telah berada di depan mereka. 
Apakah pemuda ini pandai menghilang? Tanya Adipati Gili 
dalam hati. 


***


"Selamat beijumpa lagi, Nona Cantik," sapa Lingga 
dengan sepasang mata merayapi sekujur tubuh Nuri. 
Pandang mata pemuda ini beberapa kali hinggap di bagian- 
bagian tertentu di tubuh gadis berpakaian merah itu 
"Sungguh tidak kusangka kita akan bertemu lagi. Atau, kau 
yang memang me n cari-cariku?" 

Wajah Nuri menyemburat merah karena perasaan 
marah dan malu. Adipati Gili yang melihat keadaan kurang 
menguntungkan ini buru-buru melangkah maju dan memberi 
hormat. 

"Boleh kutahu siapakah kau, Pendekar Perkasa? Aku, 
Gili. Dulu seorang adipati. Tapi, sekarang tidak lebih dari 
ayah gadis ini. Aku ayah Nuri," pelan dan lembut Adipati Gili 
mengucapkannya. 

"Menyingkirlah kau, Anjing Kurap!" tandas Lingga, 
dingin. "Mengingat kau ayah Nuri, aku bisa memaafkan 
ucapanmu barusan. Tapi ingat, sekali lagi kau ikut campur 
tahu sendiri akibatnya!" 

"Ayah, menyingkirlah," ucap Nuri penuh perasaa 
khawarir. Gadis ini merasa ngeri kalau Lingga mencelakai 
orang tuanya yang tinggal semata wayang baru saja 
ditemukannya itu. 

Tapi, Adipati Gili bukan orang yang mudah digertak. 
Dan lagi dia tidak takut menghadapi mati. Apalagi bila untuk 
membela Nuri! 

"Kuharap kau mau membebaskan putriku, Tuan 
Pendekar. Apabila putriku memang mempunyai salah 
padamu, biar aku yang mintakan maaf padamu. Dan kalau 
hal itu belum membuatmu puas, aku rela memberikan 
nyawaku ini sebagai gantinya asal kau mau membiarkannya 
pergi dari sini...." 

"Ayah...! Aku tidak akan membiarkanmu melakukan 
tindakan seperti itu!" sela Nuri keras karena kaget. 

Lingga tersenyum. Bukan senyum yang 
menyenangkan untuk dilihat. Pemuda ini tahu Nuri dan 
ayahnya saling mengkhawatirkan satu sama lain. Benaknya 
yang dipenuhi berbagai macam kelicikan diputar untuk 
mencari hal-hal yang dapat menguntungkan dirinya. 
Sebentar kemudian, pikiran itu telah didapatkannya. 

Lingga melesat 1$ depan. Adipati Gili kagst bukan 
main melihat serangan yang meluncur ke arahnya. Dia tidak 
melihat pemuda itu melompat atau menjejakkan kaki. Tapi, 
tubuh Lingga telah melesat ke arahnya. 

Adipati Gili segera mencabut keris yang terselip 
punggung. Kemudian, ditusukkannya ke arah Lingga yang 
kelihatan hanya berupa bayangan merah. Tapi, keluhan 
tertahan yang dikeluarkan Adipati Gili. Dirasakan siku 
belakangnya tersentuh jari-jari tangan Lingga. Seterika itu 
pula tangan Adipati Gili terasa lumpuh. Keris di tangannya 
langsung terlepas dan jatuh ke tanah. Tubuhnya pun ditarik 
tangan kuat yang mencengkeram bahu kirinya. Adipati Gili 
langsung lemas! 

"Ayah...!" seru Nuri sangat cemas. Ketika melihat 
Adipati Gili telah dibuat tak berdaya, pandangan gadis ini 
segera dialihkan pada Lingga. Terlihat penuh kemarahan dan 
kebencian yang mendalam. "Lepaskan dia, Jahanam! Ayahku 
sama sekali tidak ada urusan dengan kita. Kalau kau 
memang bukan seorang pengecut, mari bertarung denganku!" 

Lingga tersenyum mengejek. Tentu saja dia tidak 
takut atau gentar bertarung dengan Nuri. Tingkat kepandaian 
gadis itu masih jauh di bawahnya. 

"Sayang sekali, Nona Cantik. Saat ini aku tengah tidak 
berselera untuk bertarung. Aku mempunyai sebuah 
permainan lain yang kuyakini menarik." 

Nuri meloloskan sabuknya. Tapi, kedua tangannya 
tidak mengejang karena aliran tenaga dalam. Keberadaan 
ayahnya yang menjadi tawanan Lingga menyadarkan gadis 
itu kalau keadaannya tidak menguntungkan. 

Lingga menjilat bibirnya. Rupanya, permainan yang di 
laksudnya amat menarik hati sehingga membuat jakunnya 
turun naik. 

"Mungkin perlu kau ketahui, Nona Canik," ujar Lingga 
dengan suara agak memburu. "Aku termasuk orang yang 
tidak suka main-main. Sekali kukatakan sesuatu, pasti akan 
kulaksanakan! Nah, kalau kau ingin tidak teijadi sesuatu 
atas diri ayahmu, kau harus turuti apa yang kukatakan. 
Jelas?" 

Nuri menggertakkan gigi. Jantungnya berdetak lebih 
cepat karena luapan perasaan marah dan tegang. Marah 
karena mengingat kelicikan Lingga. Dan, tegang karena telah 
bisa memperkirakan apa yang ada di benak Lingga. 
Pandangan mata pemuda itu yang penuh nafsu telah 
menjelaskan semuanya. 

Lingga menelan ludah dengan susah-payah ketika 
melihat dua bukit kembar di dada Nuri semakin membusung 
akibat detak jantung si gadis yang bertambah cepat. 

"Dengarkan baik-baik ucapanku ini, Nona Cantik," 
Lingga memulai pembicaraannya. "Lepaskan pakaianmu!" 

Sekujur tubuh Nuri menegang. Kedua tangannya yang 
memegang sabuk pun demikian. Dalam ke adaan lain ucapan 
Lingga sudah cukup untuk membuat gadis itu melancarkan 
serangan dengan senjata andalannya itu. 

"Jangan kau turuti keinginannya yang gila, Nuri! 
Tidak usah kau pedulikan aku. Serang dia...!" seru Adipati 
Gili, kalap. 

Lingga tersenyum keji. Dia tahu Nuri bimbang. Dan, 
pemuda ini telah memperhitungkan kejadian ini "Mungkin 
kau perlu mendapat bukti kalau aku tidak bermain-main 
dengan ancamanku, Nona Cantik," 

Begitu selesai berkata demikian, Lingga menekuk jari 
tangan Adipati Gili. Pelan-pelan. Rasa nyeri yang luar biasa 
pun mendera lelaki kecil kurus ini. Kendati demikian, tidak 
terdengar sedikit pun keluhan dari mulutnya. Bahkan ketika 
jari tangannya itu patah! Hanya keringat sebesar besar biji 
jagung menjadi petunjuk kalau Adipati Gili menahan rasa 
sakit yang sangat 

"Jahanam!" 

Nuri menjerit dengan kaki hampir diayunkan. Tapi, 
hal itu tidak jadi dilakukan. Pandangan matanya yang 
memancar ke arah Lingga penuh dengan kebencian! 
Andaikata sorot mata tak ubahnya serangan, tentu saat itu 
serangan maut yang dihadapi Lingga. 

"Tetaplah berkeras dengan sikapmu itu, Nona Cantik. 
Dan, ayahmu akan mengalami siksaan demi siksaan yang 
menyakitkan sampai akhirnya seluruh tulang-belulangnya 
kupatahkan di depan hidungmu! Tapi, itu tidak berarti dia 
akan mati. Tidak! Aku tidak bisa bertindak demikian. Aku 
mempunyai kemampuan untuk menyiksa seseorang tanpa 
membuatnya mati. Kau boleh menyaksikan hal itu kalau 
tetap bersikeras dengan pendirianmu!" 

"Biadab! Kau bukan manusia! Kau binatang!" maki 
Nuri karena tak tahu harus bertindak bagaimana "Jangan 
kau turuti kemauannya, Nuri. Aku lebih suka mati daripada 
melihatmu memenuhi permintaannya. Dan..., akh...!" 

Ucapan Adipati Gili terhenti di tengah jalan dan 
berganti dengan keluhan kesakitan. Lingga telah 
mematahkan satu lagi jarinya. Keluhan itu keluar tanpa 
disengaja. Dan, hal ini membuat Nuri kebingungan. Peluh 
membasahi dahi gadis itu. 

Lingga sendiri, tidak memberikan ancaman lagi. 
Dengan sikap tidak peduli, siksaannya dilanjutkan. Jari demi 
jari Adipati Gili dipatahkan dengan pelan-pelan agar 
kenyerian yang tercipta semakin besar. Dia seakan-akan 
tidak mendengar jeritan-jeritan Nuri yang menyuruhnya 
menghentikan kebiadaban itu. 

"Sekarang akan kucabut daun telinga ayahmu," ujar 
Lingga ketika lima jari tangan Adipati Gili telah patah semua. 
"Setelah itu kucungkil keluar biji matanya." 

Lingga menempelkan jari-jari tangannya 1$ daun 
telinga kanan Adipati Gili. Lelaki kecil kurus itu sudah 
setengah pingsan karena rasa nyeri yang bertubi-tubi 
menimpanya. Kendati demikian, dari mulutnya masih 
terdengar suara-suara yang menyuruh Nuri agar tidak 
menyerah! 

Kedua kaki Nuri menggigil. Ngeri dia membayangkan 
siksaan yang diderita ayahnya. Matanya yang indah 
membelalak semakin lebar menatap jari-jari tangan Lingga 
yang telah berada di telinga Adipati Gili. 

"Tahan...!" 

Nuri akhirnya tidak tahan ketika melihat jari-jari 
tangan Lingga mulai bergerak memutar daun telinga. Dan, 
Adipati Gili telah kelojotan! 

"Kau setuju dengan syaratku?" tanya Lingga penuh 
nada 1$menangan dengan jari-jari tangan tetap di daun 
telinga Adipati Gili. 

Nuri menggigit bibir, kemudian menganggukkan 
kepala. Pelan dan hampir tidak teriihat. Tapi, itu telah cukup 
buat Lingga. Tanggapan Nuri telah menyatakan persetujuan. 

"Lepaskan dulu ayahku." Hampir tidak terdengar 
suara yang keluar dari mulut Nuri. 

"Itu bukan masalah, Nona Cantik. Tapi ingat, kalau 
kau bertindak macam-macam aku tidak akan ingat 
persyaratanku tadi. Ayahmu akan kusiksa habis-habisan di 
depanmu sebelum kau sendiri kuperkosa ampai mati! Kau 
camkan baik-baik. Aku tidak pemah bermain-main dengan 
ancaman!" 

Nuri tidak memberikan tanggapan. Sambil menggigit 
bibir dan dengan jari-jari tangan menggigil dilucutinya 
pakaiannya. Lingga mengikuti setiap gerakan jari Nuri 
dengan mata tidak berkedip, seakan-akan khawatir 
pemandangan indah di hadapannya akan lenyap. Adipati Gili 
sendiri telah didorongnya hingga jatuh tertelungkup di tanah. 
Lelaki kecil kurus itu tidak bangkit karena sudah setengah 
pingsan. 

Dalam waktu sebentar saja Nuri telah berdiri di 
hadapan Lingga dengan tubuh bagian atas telanjang! Kulit 
tubuhnya tampak putih dan mulus. Lingga menelan ludah 
beberapa kali melihatnya. Apalagi ketika melihat dua bukit 
kembar di dada Nuri yang membusung indah dengan puling 
susu merah segar. Sepasang mata pemuda ini seakan hendak 
melompat keluar dari rongganya. Nuri sendiri tidak berani 
mengangkat wajah. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam 
sampai-sampai dagunya menempel ke dada. 

"Tunggu apa lagi?!" desis Lingga dengan suara 
bergetar dan napas memburu. "Cepat buka celanamu...." 

Nuri menggigil sekujur tubuhnya. Perintah Lingga 
membuatnya berperang dengan perasaan sendiri. Kalau 
menuruti keinginan sudah diterjangnya pemuda itu. Tapi, 
Nuri tidak berani menanggung akibatnya. Ngeri akan nasib 
yang menimpa ayahnya. 

Maka, sebelum Lingga yang berwatak keji itu 
kehilangan kesabaran, dengan wajah yang semaki 
ditundukkan seakan dagunya hendak dibenamkan ke dalam 
dada, celananya pun dilucuti. Sekejap kemudian Nuri telah 
telanjang bulat! 

Lingga menelan ludah beberapa kali. Sebelum 
akhirnya sambil mengeluarkan bunyi dari tenggorokan 
seperti geraman seekor harimau, dia melompat menubruk 
Nuri. 

Kali ini Nuri tidak bisa menahan diri lagi. Keterkejutan 
dan kengerian yang melanda membuatnya bergerak 
mengelak. Tapi, dia kalah cepat. Tubuh Lingga telah lebih 
dulu menerpanya hingga dia dan pemuda itu terguling-guling 
di tanah. 

Nuri meronta-ronta ketika Lingga dengan buas 
menciumi sekujur wajah dan meremas-remas semua bagian 
tubuhnya dengan kasar. Satu tangan pemuda itu melucuti 
pakaiannya sendiri. 

Adipati Gili hanya bisa menangis dalam hati melihat 
pergumulan di depan matanya. Dia tidak mau bertindak apa 
pun kecuali menatap dengan hati ngilu. Lelaki ini tahu, 
lambat laun pergumulan itu akan dimenangkan oleh Lingga. 
Pemuda cabul itu akan memporak-porandakan kegadisan 
Nuri! 

Lingga yang mendapat perlawanan dalam usahanya 
kelihatan tidak marah. Rontaan-rontaan yang dilakukan Nuri 
malah membuatnya semakin bergairah. Dia tahu perlawanan 
Nuri tak akan berlangsung lama. Lingga memang lebih suka 
adanya perlawanan daripada Nuri pasrah saja seperti mayat! 

"Iblis keji! Lepaskan dia...!" Seruan teras menggeledek 
yang sarat dengan ke marah an terdengar di saat perlawanan 
Nuri telah melemah. 

Desss! 

Sebuah tongkat menghantam punggung Lingga! 
Memang, berbarengan dengan keluarnya teriakan itu sang 
pemilik seruan mengayunkan tongkatnya ke arah punggung 
Lingga. Lingga sendiri tentu saja mengetahui adanya 
serangan itu. Tapi, dibiarkannya karena perasaan nikmat 
yang tengah diterimanya. Sebentar lagi dia akan berhasil 
merenggut kegadisan Nuri. Maka, serangan itu dibiarkannya. 
Lingga tidak ingin meninggalkan daging yang telah digigitnya 
lepas dari mulut! 

Sang penyerang, seorang pemuda beralis tebal, 
terkejut bukan main ketika serangannya tidak membuahkan 
hasil. Malah, tongkatnya berbalik dan mengarah ke 
wajahnya. Seakan-akan yang dihantamnya bukan tubuh 
manusia melainkan gumpalan karet keras dan kenyal. 

Lingga sendiri tidak mempedulikan serangan itu. 
Tubuhnya sedikit pun tidak bergeming. Perbuatannya 
terhadap Nuri terus dilanjutkan! 

Sang penyerang yang bukan lain Gentala, putra 
Malaikat Picak, terkesima sebentar Lalu Kembali tongkatnya 
diayunkan. Kali ini yang dituju adalah kepala Lingga. 
Kekhawatiran akan nasib gadis yang kiranya Priyani 
membuat Gentala bertindak cepat. Pemuda ini mengira Nuri 
adalah Priyani. Karena, Gentala melihat pakaian serba merah 
berserakan di tanah. Bukankah pemuda berpakaian serba 
merah yang menculik Priyani? 

Untuk kedua kalinya Gentala terkejut ketika 
tongkatnya membalik! Kepala Lingga tidak pecah seperti yang 
diduganya. Malah, tangan Gentala yang terasa sakit. Hampir- 
hampir tongkatnya lepas dari genggaman. 

Serangan kedua ini pun sebenarnya tidak dirasakan 
oleh Lingga yang memiliki kekebalan luar biasa tapi dia 
merasa terganggu. Serangan serangan itu membuat 
kenikmatannya menggarap tubuh Nuri jadi terhambat. Dan, 
ini membuat pemuda cabul itu murka. 

Lingga bangkit dari tubuh Nuri. Sepasang matanya 
seperti mengeluarkan api karena kemarahan yang sangat. 
Saat itu serangan Gentala menyambar lagi. Tongkat itu 
ditusukkan putra Malaikat Picak ke arah sepasang mata 
Lingga! 

Dalam kemarahan yang menggelegak, Lingga 
menangkap tongkat itu dan balas menusukkan ke arah 
pemiliknya! Gentala menjerit ngeri sambil mengeluarkan 
semburan darah segar ketika tongkat miliknya menghantam 
perut dengan telak 

Tubuh Gentala melayang jauh ke belakang seperti 
diseruduk gajah liar. Tongkatnya terlepas dari pegangan. 
Senjata itu kini berada di tangan Lingga. Namun, Lingga yang 
geram bukan main segera menyambitkan longkat. Gentala 
membelalakkan mata karena ngpri! Dan, ketakutan pemuda 
beralis tebal itu teijadi. Tongkat yang dilemparkan menembus 
perutnya hingga ke punggung. Saat itu tubuhnya masih 
dalam keadaan melayang. 

Darah muncrat-muncrat mengiringi jerit kematian 
yang keluar dari mulut Gentala. Malangnya lagi, tongkat yang 
menembus terlalu dalam hingga membuat tubuh Gentala 
tidak bersentuhan dengan bumi ketika jatuh ke tanah karena 
terganjal tongkat! 

Lingga tersenyum puas. Senyum itu mengendur 
ketika melihat titik hitam kejauhan yang semakin lama 
semakin membesar. Ada orang lain yang tengah menuju ke 
tempatnya berada. Niat Lingga untuk meneruskan 
tindakannya terhadap Nuri segera diurungkan. Sosok itu 
ingin dibereskannya lebih dulu sebelum mengganggu 
kesibukannya nanti. 

Dalam waktu sebentar saja sosok itu kini terlihat 
jelas. Seorang lelaki setengah tua, bertubuh pendek kekar 
dan bermata picak Pandang mata Malaikat Picak tertuju 1$ 
arah mayat Gentala, putranya. Sinar sepasang matanya 
menyiratkan kesedihan besar dan ketidakpercayaan. 

"Gentala...!" 

Malaikat Picak meratap. Tidak keras. Hampir mirip 
keluhan. Lelaki ini bersimpuh di dekat tubuh putranya. 

Kenyataan ini telah mengatakan pada Lingga kalau 
Malaikat Picak adalah seorang lawan. Tidak salah lagi. 
Malaikat Picak pasti akan membalaskan ke matian putranya. 

Lingga tak ingin menunggu lebih lama. Sambil 
mengeluarkan dengusan, dia melompat menerjang lelaki tua 
ini. Dikirimkannya tamparan ke arah pelipis. 

"Susullah anakmu ke neraka!" 

Malaikat Picak mendengar adanya ancaman maut dari 
suara berdesing nyaring. Dia pun memapaki dengan gprakan 
serupa. 

Plakkk! 

Tubuh Malaikat Picak terhuyung-huyung ke belakang. 
Lingga sendiri terlempar. Meski demikian, kedua belah pihak 
sama-sama tahu kalau dalam benturan itu Lingga lebih 
unggul. 

Malaikat Picak tak ragu-ragu lagi mengeluarkan 
senjata andalannya. Sebuah ruyung berbatang dua. Lingga 
pun tak mau membuang waktu. Dengan tenaga dalamnya 
yang luar biasa dan dalam keadaan tubuh masih di udara, 
diambilnya golok yang terselip di bawah tumpukan pakaian. 

Malaikat Picak yang masih memutar-mutarkan 
ruyungnya membelalak kaget melihat Lingga ketika menjejak 
tanah telah menghunus golok. Batang golok memancarkan 
sinar berkilauan yang menyilaukan mata 

"Golok Kilat..!" 

Malaikat Picak yang kenyang pengalaman dan pernah 
mendengar desas-desus tentang senjata mengerikan itu, 
berseru kaget dan gentar 

"Bagus! Kau mengenal senjata pusakaku, Kakek Tua! 
Berban ggalah karena kau akan menjadi korban ku 
pertamanya...!" 

Lingga menujukan ujung gobknya pada Malaikat 
Picak. Seleret sinar menyilaukan mata pun meluncur ke arah 
ayah Gentala. Lelaki ini tidak berani bertindak gegabah. 
Cepat dia mebmpat ke samping untuk mengelak. Kekuatan 
sinar itu belum diketahui sehingga Malaikat Picak 
memutuskan untuk mengelakkannya! 

Malaikat Picak hampir terpekik kaget ketika melihat 
sinar dari Golok Kilat mengikuti ke arah mana dia mengelak. 
Kakek ini merasa penasaran dan mengplak lagi. Tapi, sinar 
itu tetap mengikutinya. 

Kenyataan ini membuat Malaikat Picak sadar kalau ke 
mana pun dia bergerak sinar itu akan mengikuti. Bila itu 
terjadi, dia akan kehabisan tenaga! Maka, setelah mengelak 
beberapa kali Malaikat Picak memutuskan untuk memapaki! 
Ruyungnya pun diayunkan memapaki sinar yang meluncur 
ke arahnya! 




Darrr! 

Malaikat Picak tak kuasa menahan jeritan ketika sinar 
menyilaukan itu berbenturan dengan salah satu batang 
ruyungnya. Batang ruyung langsung lenyap! Hancur menjadi 
debu dan langsung beterbangan tertiup angin! Tubuh 
Malaikat Picak sendiri terbanting ke belakang saking kuatnya 
tenaga dorongan sinar itu. 

Malaikat Picak segera bangkit berdiri. Sekilas 
dipandangnya potongan ruyung yang berada di tangannya. 
Tinggal sebatang. Lelaki ini tidak akan percaya kalau tidak 
melihatnya sendiri. Ruyungnya terbuat dari bahan yang amat 
kuat. Campuran dari baja tulen dan bahan-bahan lain. Tapi 
sekarang pusaka itu hancur berantakan. 

"Ruyungmu yang hancur, Tua Bangka! Kali ini 
tubuhmu yang akan luluh!" 

Lingga menudingkan ujung Golok Kilatnya lagi. Sinar 
menyilaukan kcmbali meluncur ke arah Malaikat Picak. Dan, 
belum juga sinar itu mengenai sasaran Lingga 
menudingkannya lagi sehingga sinar kedua menyambar. 
Kemudian, ketiga dan ke empat! 

Pucat wajah Malaikat Picak Satu sinar saja telah 
membuatnya kelabakan, apalagi empat buah! Dalam waktu 
yang demikian singkat benaknya diputar. Kemudian, 
Malaikat Picak membanting tubuhnya 1$ tanah dan 
bergulingan. Seperti yang diduga, sinar-sinar itu 
mengejarnya. Lelaki kekar ini menyambuti sinar itu dengan 
lemparan sekepal tanah yang diambilnya saat bergulingan! 

Empat kali berturut-turut Malaikat Picak 
melemparkan tanah. Dan, empat kali pula terdengar bunyi 
ledakan. Nyawa Malaikat Picak pun terselamatkan! 

Lingga menggertakkan gigi melihat lawannya masih 
dapat selamat. Tidak disangkanya Malaikat Picak cukup alot 
untuk dibunuh. Padahal, dia sudah ingin segera 
menuntaskan maksudnya terhadap Nuri. Masih terasa 
kenikmatan tubuh gadis itu. 

Kemarahan Lingga semakin menjadi-jadi ketika 
melihat di kejauhan, dari arah yang berlawanan dengan 
kedatangan Malaikat Picak, melesat cepat dua sosok tubuh. 
Memang tak secepat lari Malaikat Picak, tapi membuat Lingga 
sadar kalau keadaan semakin tidak menguntungkan bagi 
dirinya. 

Kemarahan Lingga pun memuncak! Dan, itu 
dilampiaskannya pada Malaikat Picak. Berkali-kali sinar- 
sinar menyilaukan diluncurkan dari ujung goloknya. 
Berbarengan dengan itu dia melompat meneijang, 
mengirimkan serangan dengan senjata pusaka itu. 

Malaikat Picak memang seorang tokoh besar! 
Serangan sinar-sinar kilat Lingga kembali dapat 
dilumpuhkannya. Demikian pula dengan serangan goloknya. 
Lelaki itu kembali mengorbankan tanah. Sedangkan untuk 
serangan golok, ruyungnya yang tinggal sebatang ikut 
dikorbankan. 

Meski demikian, serangan susulan Lingga tidak dapat 
dielakkan. Kaki pemuda itu dengan telak menghantam paha 
kanannya. Bunyi gemeretak tulang ya patah mengiringi 
terpentalnya tubuh Malaikat Ficak. 

"Itu dia penjahat keji itu, Kek...!" Seruan itu keluar 
dari mulut salah satu dari kedua sosok yang baru datang. 
Dia adalah Priyani. Gadis yang sudah dinodai Lingga ini 
menunjuk pemuda itu. 

Sosok yang satu lagi bukan lain Setan Kepala Besi. Ia 
langsung menerkam ke arah Lingga! Tidak patut disebut 
menerkam sebenarnya. Kakek itu mengirimkan serangan 
dengan mempergunakan kepala! Tak ubahnya seekor 
kambing atau kerbau. 

Lingga geram bukan main melihat gangguan ini. Saat 
itu dia tengah hendak mengirimkan serangan susulan 
terhadap Malaikat Picak, untuk mengirim nyawa ayah 
Gentala kc neraka. Serangan Setan Kepala Besi membuatnya 
membatalkan maksudnya. 

Pemuda itu terkejut bukan main ketika merasakan 
hembusan angin yang luar biasa keras meluncur ke arahnya 
sebelum serangan kepala itu sendiri tiba. Angin luar biasa 
dahsyat ini cukup untuk menghancurkan sebatang pohon 
besar! Inilah keistimewaan Setan Kepala Besi. Kepalanya 
yang kuat mengandung kedahsyatan luar biasa ketika 
melancarkan serangan! 

Lingga tidak berani bertindak sembarangan. 
Keterbatasan waktu membuat pemuda itu terpaksa 
mengelak, karena Lingga tidak sempat mempergunakan 
goloknya. Setelah berhasil menghindari serangan itu, kembali 
Lingga mempergunakan goloknya dan sinar menyilaukan 
segera diluncurkan! 

Pertarungan pun teijadi antara Setan Kepala Besi 
bersama Malaikat Picak yang menghadap Lingga. Priyani 
tidak ikut campur. Di samping kepandaiannya terlalu rendah, 
dia pun risih melihat keadaan Lingga yang tanpa pakaian. 

Priyani segera menghampiri Nuri. Dibantunya gadis 
itu mengobati luka-luka Adipati Gili. Nuri telah mengenakan 
pakaiannya kembali. 

Setelah berupaya meringankan derita Adipati Gili, dua 
gadis cantik itu memperhatikan jalannya pertarungan. Tidak 
dapat mereka saksikan secara jelas, tapi cukup untuk 
mengetahui kalau Lingga tetap berada di pihak yang lebih 
menguntungkan. Dua jago tua yang menjadi lawannya 
tampak kelabakan. 

Kenyataan ini membuat Nuri dan Priyani khawatir 
bukan main. Dan, kecemasan mereka beralasan. Malaikat 
Picak yang tidak leluasa bergerak karena luka pada kakinya 
menjerit memilukan ketika sinar menyilaukan dari Golok 
Kilat menerpanya. Tubuh lelaki kekar itu langsung lenyap 
menjadi debu kering yang segera diterbangkan angin! 

Setan Kepala Besi melompat mundur saking kagpt 
dan ngerinya. Lingga menghentikan serangan dan tertawa 
bergelak. Sedangkan Priyani mengisak lirih melihat kematian 
gurunya yang mengenaskan. 

"Sekarang kau yang akan menerima kematian, Monyet 
Botak!" seru Lingga penuh kesombongan pada Setan Kepala 
Besi. 

Kakek itu merasakan debaran jantungnya bertambah 
cepat. Di dalam hati ia mengakui kalau Lingga tedalu 
tangguh untuk dilawan. Apalagi dengan adanya senjata maut 
di tangannya. 

Setan Kepala Besi tidak berani bergerak ketika 
melihat Lingga mengarahkan ujung golok kepadanya. Lelaki 
ini menunggu untuk bisa memastikan ke mana harus 
mengelak. Dia tidak berani menyerang atau bergerak 

Tapi, sinar menyilaukan yang ditunggunya tidak 
kunjung datang. Dilihatnya wajah Lingga menegang. Pemuda 
itu kelihatan mendapat masalah! Kendati demikian, Setan 
Kepala Besi tidak berani mengambil tindakan apa pun. Setan 
Kepala Besi khawatir kalau sikap Lingga hanya merupakan 
siasat. Pemuda ini ingin membuatnya lengah lalu 
mengirimkan serangan. 

"Jahanam...!" 

Teriakan Lingga yang penuh kcgcraman membuat 
Setan Kepala Besi mulai bimbang dengan kecurigaannya. 
Dilihatnya tangan Lingga mengejang penuh kekuatan. Golok 
Kilat seperti ditarik oleh tangan tak nampak! Tingkah Lingga 
menunjukkan kalau pemuda itu tengah berusaha 
mempertahankan senjatanya dari sesuatu yang menariknya. 

Setan Kepala Besi cepat mengambil keputusan. 
Dikumpulkan seluruh tenaganya. Kemudian, kedua ta¬ 
ngannya dihentakkan ke depan mengirimkan pukulan jarak 
jauh. Kakek ini yakin Lingga tidak bersiasat dengan 
tingkahnya yang aneh. 

Lingga tidak mempedulikan serangan Setan Kepala 
Besi. Dia lebih mementingkan kejadian yang menimpa 
goloknya. 

Bresss! 

Telak dan keras sekali pukulan jarak jauh Setan 
Kepala Besi menghantam Lingga. Tubuh pemuda ini 
melayang ke belakang bagai diseruduk kerbau liar. Kendati 
demikian, goloknya tidak terlepas dari tangan. Hanya saja 
cekalannya mengendur jauh. 

Akibat dari mengendurnya cekalan, Lingga tidak 
kuasa untuk mempertahankan goloknya. Senjata itu 
melayang ke depan dengan kecepatan tinggi, agak menyerong 
ke atas. Baru ketika mencapai ketinggian tiga tombak dari 
tanah benda pusaka itu meluncur secara mendatar 1$ depan 
dengan cepatnya. 

Lingga meraung bak macan terluka. Begitu berhasil 
mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terlempar, 
pemuda ini segpra melesat cepat memburu ke arah Golok 
Kilatnya pergi. Tak lupa dijumputnya pakaiannya yang 
berserakan di tanah. 

Tindakan Lingga tidak berusaha dicegah oleh Setan 
Kepala Besi. Kakek ini masih terkesima melihat Lingga tidak 
tewas atau terluka berat akibat serangannya. Padahal, 
serangan itu sudah cukup untuk membuat tokoh yang 
bagaimanapun lihainya melayang ke alam baka. Tapi, 
kenyataan Lingga tidak terpengaruh sama sekali. 

Priyani menghambur ke arah Setan Kepala Besi. 

"Mengapa kau biarkan bangsat keji itu pergi, Kek? 
Kejar dan bunuh dia! Bukankah kau telah berjanji untuk 
membunuhnya demi aku?" tagih Priyani. 

Setan Kepala Besi menghela napas berat. Ditatapnya 
wajah Priyani sebentar lalu digelengkan kepalanya. 

"Penjahat keji itu terialu tangguh untukku, Nona. Aku 
tidak akan mampu mengalahkannya, apalagi membunuhnya. 
Dia mempunyai ilmu luar biasa di senjata yang mengerikan. 
Tapi percayalah, meski aku tidak bisa membunuhnya akan 
ada orang lain yang melenyapkannya dari muka bumi ini," 
hibur Setan Kepala Besi. 

Priyani menutup wajah dengan kedua tangannya 
karena perasaan sedih. Kalau Setan Kepala Besi yang 
demikian lihai saja tidak mampu menghadapi Lingga, siapa 
lagi yang akan dapat membunuh pemuda berhati iblis itu? 
Rintih Priyani dalam hati. Gurunya sendiri telah tewas. 

Setan Kepala Besi merasa tidak ada gunanya lagi 
mengucapkan kata-kata hiburan. Maka, dibiarkannya saja 
tingkah Priyani. Bahkan ketika gadis itu menangis di tempat 
tadi Malaikat Picak berdiri. Kakek ini malah melangkah 
menghampiri Nuri. Muridnya itu berlari menghambur ke 
arahnya. Ia terisak di dada Setan Kepala Besi. 

Setan Kepala Besi membiarkan saja Nuri 
menumpahkan seluruh perasaan yang sejak tadi ditahan- 
tahannya. Ia tahu pengalaman yang diterima Nuri terlalu 
dahsyat. Baru setelah tangis Nuri mereda kakek itu 
memeriksa luka Adipati Gili. 


***


Dewa Arak merasakan debaran jantungnya berdetak 
tak menentu. Itu teijadi ketika melihat titik yang kian lama 
kian membesar dengan cepat. Terlihat jelas oleh mata Aiya 
yang tajam kalau titik yang sekarang terlihat seorang 
manusia itu mengenakan pakaian serba merah. Lingga! Jerit 
hati Dewa Arak. 



Berbagai macam perasaan berkecamuk di dada Aiya. 
Rasa gembira karena berhasil menemukan Lingga. Dan, rasa 
tegang mengingat pemuda yang menjadi seterunya itu belum 
tentu berhasil dikalahkan. 

Namun, perasaan itu sempat terusir ketika melihat 
benda yang diketahui Dewa Arak sebagai golok melayang di 
udara dengan kecepatan menakjubkan. Aiya segera bisa 
mengetahui Lingga tengah mengejar-ngejar golok itu. Inikah 
Golok Kilat? Tanya Aiya dalam hati. 

Tidak berbeda dengan Dewa Arak, Lingga pun melihat 
keberadaan pemuda berambut purih keperakan itu. Di dalam 
hatinya pemuda berpakaian merah ini memaki-maki 
mengutuk keberuntungan Dewa Arak yang bertemu 
dengannya di saat Golok Kilat lepas dari tangannya. 
Ketidakadaan Gdok Kilat membuat Lingga tidak yakin dapat 
membunuh Dewa Arak. Setidak-tidaknya, dengan tidak 
adanya Golok Kilat, Aiya memiliki kemungkinan untuk lolos 
dari maut. 

"Jangan pikirkan soal Lingga dulu, Dewa Arak," 
terdengar suara tanpa wujud di telinga Dewa Arak. Suara 
yang dikenali Aiya sebagai milik Penyair Cengeng. "Yang lebih 
penting, cegah jangan sampai senjata mengerikan itu jatuh 
ke tangan penciptanya. Malapetaka yang lebih besar menanti. 
Dunia persilatan akan bersimbah darah. Golok Kilat akan 
jauh lebih berbahaya dan mengprikan bila jatuh ke tangan 
penciptanya, karena dia tahu lebih banyak mengenai 
istimewaan golok itu." 

Aiya tersentak kaget. Teka-teki yang menggumpal di 
benaknya sekarang teijawab. Pencipta Golok Kilat ternyata 
masih hidup. Rupanya, sang pencipta senjata itu sekarang 
bermaksud mengambil miliknya kembali. Jelas sudah 
mengapa Golok Kilat bisa terbang sendiri laksana burung. 
Pasti itu tejadi karena ulah sang pencipta Golok Kilat. 

Dewa Arak tidak berani meremehkan peringatan 
Penyair Cengeng. Buru-buru diloloskan sabuknya. Kemudian, 
dilemparkannya ke arah Golok Kilat yang masih berada 
beberapa belas tombak di depannya. Sabuk ungu Dewa Arak 
meluncur bagai seekor ular, bergulung-gulung siap untuk 
melibat Golok Kilat yang akan lewat. 

Usaha Dewa Arak ternyata berhasil. Sabuknya dengan 
tepat melilit batang golok. Aiya bermaksud menariknya, tapi 
terpaksa diurungkan. Lingga yang meluncur tiba telah 
mengirimkan pukulan jarak jauh. Ia rupanya tidak 
membiarkan pusaka itu jatuh ke tangan seterunya. Aiya 
buru-buru memapaki serangan itu dengan pukulan jarak 
jauh pula. 

Blarrr! 

Bumi berguncang ketika dua pukulan jarak jauh yang 
memiliki kekuatan dahsyat tak terkira bertemu di tengah 
jalan. Baik Aiya maupun Lingga terhuyung ke belakang. Aiya 
selangkah lebih jauh! 

Dewa Arak terkejut bukan main. Bukan karena 
benturan itu. Pemuda berambut putih 1$perakan ini telah 
tahu kehebatan kekuatan tenaga Lingga. Yang membuatnya 
kaget adalah ketika melihat Golok Kiat memancarkan sinar 
menyilaukan dan memercikkan api. 

Api yang muncul demikian mengejutkan itu ternyata 
memiliki kekuatan panas yang mengerikan. Di saat Dewa 
Arak dan Lingga belum sempat mematahkan kekuatan yang 
membuat tubuh mereka terhuyung, sabuk ungu yang melilit 
golok habis terbakar! Dengan demikian Golok Kilat kembali 
bebas. Dan, sebelum Dewa Arak dan Lingga sempat berbuat 
sesuatu, Golok Kilat kembali melesat dengan keoepatan 
tinggi! 

Lingga lebih dulu bertindak. Kedua tangannya cepat 
dijulurkan ke depan. Ia mengerahkan seluruh tenaga 
dalamnya untuk menarik golok itu. Setidak-tidaknya, 
menahan luncurannya. 

Tindakan Lingga tidak sia-sia. Luncuran Golok Kilat 
tertahan. Memang tidak tertarik ke arah Lingga, tapi 
luncurannya terhenti seakan-akan hulu golok dipegang oleh 
tangan. 

Dewa Arak tidak mau ketinggalan. Pemuda berambut 
putih keperakan ini melompat untuk menangkap golok yang 
terapung-apung di udara itu. Karena kekhawatiran Golok 
Kilat jatuh ke tangan penciptanya, Dewa Arak sampai tidak 
ingat kalau tindakannya bagai menangguk ikan di air keruh. 

Lingga menggeram marah. Pemuda ini tahu kalau 
Dewa Arak berhasil menangkap Golok Kilat sudah pasti akan 
mendapatkannya. Jarak yang jauh akan membuat tenaga 
dalamnya yang hanya lebih kuat sedikit dari Dewa Arak tidak 
berarti sama sekali!. Dan, Lingga tidak menginginkan hal itu 
terjadi. 

"Uhhh...!" 

Arya mengeluarkan keluhan tertahan ketika 
tangkapannya mengenai tempat kosong. Golok Kilat telah 
melesat cepat dari tempat semula. Lebih cepat daripada 
sebelumnya! 

Dewa Arak tidak merasa heran melihat hal ini. Lingga 
pasti telah menghentikan tarikannya. Itu membuat Golok 
Kilat yang sejak tadi berkutat untuk membebaskan diri dari 
tarikan Lingga meluncur bagai anak panah lepas dari busur. 
Lingga sendiri begitu melepaskan tarikannya melesat cepat 
mengejar golok itu. Tapi, pemuda ini tertinggal cukup jauh 
karena luncuran Golok Kilat yang demikian pesat. 

Dewa Arak pun segera bertindak. Pemuda berambut 
putih keperakan ini ikut melesat mengejar. Pemandangan 
yang unik pun terpampang. Golok Kilat berada di depan, 
disusul Lingga dan kemudian Dewa Arak. Jarak antara 
mereka masing-masing cukup jauh. Dan, semakin lama 
semakin jauh. 

Dewa Arak mengeluh dalam hati. Sungguh tidak 
disangkanya dalam ilmu lari cepat pun Lingga masih lebih 
unggul daripadanya. Jarak antara dia dan Lingga semakin 
lebar. 

Tidak hanya Dewa Arak, Lingga pun mengutuk di 
dalam hati melihat jaraknya yang semakin jauh dengan Golok 
Kilat. Medan tempuh sang golok yang tidak mengenal 
kesulitan membuat luncurannya tidak terhambat sedikit pun. 
Sementara Lingga terkadang harus melewati medan yang 
sulit. 

Lingga pucat pasi wajahnya ketika melihat sebuah 
hutan berada puluhan tombak di depannya. Apabila masuk 
hutan, pupus sudah harapannya untuk dapat memperoleh 
senjata itu lagi. Kelebatan hutan akan menyembunyikan 
Golok Kilat dari pandangan. Dedaunan rindang yang 
menghalangi pandangan banyak menghampar. Maka, 
meskipun rasa lelah yang sangat mendera dan napasnya 
sudah memburu, dikuatkan hatinya untuk terus mengejar. 
Malah diusahakan untuk mengerahkan kekuatan lari yang 
lebih dari sebelumnya. 

Usaha Lingga sia-sia. Kemauannya tidak terdukung 
oleh kemampuan yang cukup. Golok Kilat telah lebih dulu 
masuk ke dalam hutan. Lingga tertinggal beberapa tombak di 
belakangnya. Hampir sepuluh tombak! 

Meski demikian, Lingga tetap menyusul masuk ke 
dalam hutan. Dia terus melanjurkan pengejaran. Dewa Arak 
menyusul beberapa saat kemudian. Tapi, sesampainya di 
dalam hutan pemuda berambut putih keperakan ini 
menghela napas berat. Lingga sudah tidak kelihatan lagi. 

Sementara itu, terpisah beberapa belas tombak di 
depan, Lingga pun tengah kebingungan. Pandangan mata 
pemuda ini liar merayapi sekitar tempatnya beiada untuk 
melihat barangkali Golok Kilat ada di sana. 

Tapi harapannya sia-sia! Golok Kilat tidak terlihat. 
Mungkin sudah meninggalkan tempat itu. 


***


Setan Kepala Besi menoleh ke arah Nuri yang 
melangkah lesu di sebelahnya. Kedua tangan gadis ini 
ditaruh di belakang. Sementara Setan Kepala Besi 
membopong tubuh Adipati Gili. 

"Kita telah sampai, Nuri," ujar Setan Kepala Besi 
lembut sambil mengarahkan pandangan ke sebuah pondok 
sederhana beratapkan rumbia dan berdinding pagar bambu. 

Nuri hanya tersenyum samar setelah lebih dulu 
mengangkat wajah dan memandang gurunya. Kemudian, 
tatapannya diturunkan kembali menekuri tanah. 

Setan Kepala Besi tidak berkecil hati melihat tingkah 
muridnya. Nuri masih terpukul dengan kejadian yang 
menimpanya akibat ulah Lingga. Sejak kemarin gadis ini 
berdiam diri saja. Tidak bicara kecuali ditanya. Itu pun 
jawaban yang diberikan singkat-singkat saja 

Khawatir akan ancaman Lingga, Setan Kepala Besi 
tidak mengajak Nuri dan Adipati Gili ke tempatnya yang dulu. 
Dibawanya ayah dan anak itu ke tempat yang tersembunyi 
Setan Kepala Besi mendorong daun pintu yang terbuat dari 
bambu. Daun pintu pun terkuak. Cahaya sang suiya 
menyorot menyinari bagian dalam rumah. 

"Selamat bertemu lagi, Setan Kepala Besi." 

Setan Kepala Besi sampai tanpa sadar teijingkat ke 
belakang. Ia terkejut bukan main. Suara itu pernah 
didengarnya. Bahkan cukup akrab di telinganya. Tapi, 
membutuhkan waktu yang cukup lama bagi Setan Kepala 
Besi untuk mengingatnya. 

Keberadaan pemilik suara yang langsung terlihat oleh 
Setan Kepala Besi membuat kakek ini tidak perlu bersusah- 
payah mengingat-ingat. Si pemilik suara duduk di balai-balai 
bambu yang ada di tengah ruangan. 

"Kaget, Setan Kepala Besi?" 

Pemilik suara menyapa dengan senyum terkembang 
lebar. Tampak deretan giginya yang kuning dan beberapa di 
antaranya hitam. Terlihat cukup menyolok deretan gigi itu 
karena kulit sosok ini hitam legam. 

"Sejujurnya iya, Eyang," jawab Setan Kepala Besi 
setelah bisa menguasai perasaannya. "Aku tidak menyangka 
Eyang sampai keluar dari pertapaan. Apalagi bisa tiba di sini. 
Dari mana Eyang tahu tempat ini?" 

"Itu tidak penting, Setan Kepala Besi." jawab kate k 
hitam legam itu sambil mengibaskan tangan. 'Tapi, agar kau 
tidak penasaran kuberitahukan sekilas. Aku keluar dari 
pertapaan karena memang sudah waktunya untuk keluar. 
Dan, tahunya aku tempat ini karena kau juga, Setan Kepala 
Be si?" 

Setan Kepala Besi tersenyum pahit. "Karena aku 
mencuri lembaran-lembaran daun lontar yang kau buat dari 
hasil semadimu, Eyang?" 

Kakek hitam legam tersenyum dan menggelengkan 
kepala. 

"Lalu, karena apa? Kakek Merah dan Putih pun keluar 
dari pertapaan karena hendak meminta lembaran daun 
lontar itu." 

"Aku tahu mereka pergi. Tapi, itu mereka lakukan 
karena bakti mereka padaku. Padahal aku tidak 
menginginkan mereka bertindak demikian. Bahkan aku tidak 
pernah bercerita kalau lembaran daun lontar telah kau curi. 
Bertahun-tahun kusimpan rapat-rapat rahasia itu sampai 
akhirnya mereka mengetahuinya sendiri. Dan, begitulah 
akibatnya. Meski kularang teras, tapi apa dayaku? Kau tahu 
sendirikan keadaanku?" 

Setan Kepala Besi mengangguk. Kakek hitam legam 
yang dikenalnya dengan nama Eyang Keling ini telah 
kehilangan seluruh tenaga dalamnya. Setan Kepala Besi tidak 
tahu mengapa. Yang jelas, Eyang Keling diketahuinya 
memiliki ilmu nujum yang hebat. Menyepi bertahun-tahun 
seorang diri sebelum akhirnya sepasang kakek yang 
memperkenalkan diri dengan nama Merah dan Putih datang 
menemani. Bertahun kemudian Setan Kepala Besi datang 
pula ke tempat itu. Sungguh sebuah hal yang kebetulan! 

"Apakah kau telah bertemu dengan mereka, Setan 
Kepala Besi?" 

"Tidak, Eyang. Tapi, meieka telah menawan muridku 
agar aku datang menemuinya. Ternyata sebelum kubebaskan 
muridku ini telah lebih dulu bebas," Setan Kepala Besi 
menunjuk pada Nuri. 

Eyang Keling menatap Nuri sebentar. Kemudian, 
tersenyum ramah Nuri membalas senyum itu kendati sedang 
tidak ingin tersenyum. Itu dilakukannya untuk menghormati 
Eyang Keling yang demikian dihormati gurunya. 

"Apakah ada hal yang penting sehingga kau datang 
menemuiku, Eyang?" tanya Setan Kepala Besi setelah selesai 
menceritakan kisah Nuri hingga bisa selamat dari tawanan 
kakek Merah dan Putih. 

"Tentu saja, Setan Kepala Besi," Eyang Keling 
menganggukkan kepala 




"Biadab...!" 

Dewa Arak tidak kuasa untuk menahan makiannya 
ketika melihat pemandangan yang terpampang di 
hadapannya. Dua sosok terpantek di dua batang pohon 
dalam keadaan mengenaskan. Sekujur tubuhnya penuh 
guratan senjata tajam. Cukup dalam karena beberapa di 
antaranya memperlihatkan tulang yang putih. Bercak-bercak 
darah yang mengering menyebar di sekujur tubuh. Tapi 
anehnya, tak ada setitik pun yang jatuh di tanah. 

Aiya bergegas menghampiri. Diperkirakannya kedua 
sosok tubuh itu dengan hati panas terbakar amarah yang 
menggelegak melihat penyiksaan yang demikian mendirikan 
bulu kuduk. Bercak-bercak darah membuat pakaian kedua 
sosok itu tidak terlihat lagi warnanya. Tapi, Aiya tahu kalau 
mereka adalah dua orang kakek yang menculik Nuri. Lalu, 
siapakah yang telah melakukan kekejian itu? 

Pertanyaan itu bergayut di benak Dewa Arak. Dua 
dugaan mengpnai si pelaku terbersit di benaknya. Dua orang 
yang mempunyai kemungkinan besar bertindak seperti ini. 
Setan Kepala Besi yang mungkin karena sakit hatinya 
melakukan penyiksaan, dan Lingga! 

Dua tokoh itu memang memiliki kemungkinan besar. 
Setan Kepala Besi dulunya adalah seorang pentolan kaum 
sesat. Bukan tidak mungkin karena saking marah dan sakit 
hatinya lelaki itu khilaf dan berlaku seperti ini. 

Di lain pihak, Lingga pun demikian. Kakek Merah dan 
Putih telah mencari urusan dengannya. Jangankan orang 
yang berurusan, yang tidak pun bisa saja mendapat sial 
disiksa oleh Lingga yang memang memiliki hati kejam luar 
biasa. 

Dewa Arak lebih condong pada Lingga. Telah dua hari 
dia mengikuti jejak Lingga, sejak pemuda itu dan dirinya 
mengejar-ngejar Golok Kilat. Dan, menurut perhitungannya 
arah yang diikutinya ini adalah arah yang dituju Lingga. Jadi, 
kemungkinan besar kakek Merah dan Putih dibunuh 
olehnya! Hal itu bukan tidak mungkin bagi Lingga. Di 
samping berkepandaian amat tinggi, pemuda ini pun 
memiliki ilmu yang membuat kulit tubuhnya tidak bisa 
dilukai! 

"Dewa Arak..." 

Sapaan itu membuat Dewa Arak bergegas 
membalikkan tubuh dan bersiap sedia menghadapi segala 
kemungkinan yang teijadi. Pemuda ini sempat kaget karena 
tidak mendengar adanya bunyi sedikit pun. Keterkejutan 
kedua adalah karena saat itu ia tengah tegang melihat 
pemandangan yang menggiriskan. 

Sekujur urat-urat saraf di tubuh Dewa Arak langsung 
mengendur ketika mengetahui orang yang menegurnya. 
Orang itu adalah Penyair Cengpng. Tokoh luar biasa. 

Aiya heran melihat wajah Penyair Cengeng demikian 
tegang. Tidak biasanya kakek itu bersikap demikian. 

"Malapetaka besar telah berada di ambang pintu, 
Dewa Arak," ucap Penyair Cengeng dengan suara 
mengandung keprihatinan mendalam. "Satu tahun lagi Golok 
Kilat akan menjadi pusaka maha ampuh! Jauh lebih dahsyat 
dan mengprikan daripada yang dulu. Aku mengetahui hal ini 
setelah mengerahkan seluruh kemampuan batinku. Ada 
kekuatan kasatmata yang menghalangi maksudku mencari 
tahu mengpnai Golok Kilat. Ini berarti pencipta Golok Kilat 
telah campur tangan. Hanya itu yang bisa kuketahui, Dewa 
Arak! Aku tidak tahu tahap apa lagi yang akan dilalui agar 
Golok Kilat menjadi pusaka yang sangat mengerikan. Bila ta¬ 
hap itu selesai, tak akan ada seorang tokoh pun yang bisa 
tidur nyenyak, Dewa Arak. Seriap tokoh yang bagaimanapun 
saktinya, kecuali mungkin gurumu yang luar biasa itu, bisa 
mati setiap saat tanpa mereka tahu siapa yang 
membunuhnya." 

"Apa yang harus kulakukan, Penyair Cengeng?" tanya 
Aiya dengan cemas. Ia khawatir sekali mendengar cerita 
Penyair Cengeng. 

"Apa saja, Dewa Arak. Intinya, usahakan agar tahap 
terakhir dari usaha pencipta Golok Kilat itu gagal. Bila 
sampai teijadi, meski Golok Kilat tetap merupakan pusaka 
sangat mengerikan, tak terlalu mengancam keselamatan 
tokoh-tokoh persilatan." 

Aiya sebenarnya hendak menanyakan banyak hal. 
Terutama mengenai ancaman yang teramat berbahaya dan 
yang tidak. Tapi, melihat sikap Penyair Cengeng yang tergesa- 
gesa diputuskan untuk mengajukan masalah yang penting 
saja. 

"Aku memutuskan untuk mencari pencipta Golok 
Kilat itu, Penyair Cengeng. Bisa kau memberikan sedikit 
petunjuk?" 

"Aku tidak bisa memberi banyak petunjuk, Dewa 
Arak. Aku sendiri tengah berusaha menemukan di mana 
adanya si pencipta itu. Tapi, hasilnya sia-sia. Ilmu batinku 
pun tidak mampu membantuku. Jadi, yang bisa kubantu 
hanya memberikan ciri-ciri pencipta Golok Kilat, agar kau 
lebih mudah menemukannya. Dia memiliki kulit kuning. 
Tubuhnya gemuk pendek. Itu yang bisa kuberitahukan, Dewa 
Arak. Dan...." 

"Penyair Cengpng...! Awaaasss...!" 

Seruan itu dikeluarkan Dewa Arak ketika melihat 
seleret sinar menyilaukan mata bak kilat meluncur ke arah 
Penyair Cengeng. Arahnya dari belakang kakek itu. 

Sebenarnya, seruan Dewa Arak tidak perlu. Meski 
bunyi lesatan sinar yang sebetulnya berasal dari Golok Kilat 
itu amat pelan, tapi cukup untuk tertangkap telinga Penyair 
Cengeng. 

Kakek itu segera membanting tubuh dan 
menggulingkan diri di tanah. Dewa Arak sendiri ikut 
menjauh. Pemuda ini agak heran melihat Penyair Cengpng 
demikian repot-iepot mengelak. Sedikit menggeser kaki pun 
sudah cukup, pikir Dewa Arak. 

Aiya baru mengetahui alasan Penyair Cengeng 
melakukan elakan yang demikian merepotkan ketika melihat 
kilatan sinar yang seharusnya mengenai tempat kosong 
mengikuti arah ke mana Penyair Cengpng mengplak 

Kali ini Penyair Cengeng melenting ke atas. Sinar itu 
pun mengikutinya. Aiya yang melihatnya jadi berdebar 
tegang. Pemuda ini, yang telah bisa menduga kalau sinar 
menyilaukan itu berasal dari Golok Kilat, baru menyadari 
mengapa Penyair Cengeng dan Ki Gering Langit demikian 
khawatir. 

Dewa Arak melihat sendiri ke mana pun Penyair 
Cengeng mengelak sinar kilat itu tetap memburu. Mengapa 
Penyair Cengeng tidak menangkisnya saja? Tanya Dewa Arak 
dalam hati. 

Aiya memperhatikan pemandangan yang terpampang 
dengan perasaan tertarik bercampur tegang. Ketika teringat 
akan sinar kilat yang dulu pernah dialaminya, yang mungkin 
akan membuatnya tewas, kalau tidak ada guci pusakanya, 
Dewa Arak menemukan sendiri jawaban mengapa Penyair 
Cengeng tidak menangkisnya (Untuk jelasnya silakan baca 
serial Dewa Arak dalam episode: "Batu Kematian"). 

Aiya kaget ketika tiba-tiba Penyair Cengeng menubruk 
tanah seperti orang terjun ke sungai. Apa yang hendak 
dilakukan kakek ini? 

Aiya hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. 
Tubuh Penyair Cengeng amblas ke dalam tanah! Itu masih 
belum mengejutkan. Yang membuat Aiya kaget bukan main 
adalah ketika melihat tidak adanya bekas sedikit pun pada 
tanah! Seakan-akan Penyair Cengpng tidak pernah masuk ke 
dalamnya. 

Blarrr! 

Debu mengepul tinggi ketika sinar kilat itu 
menghantam tanah di mana tubuh Penyair Cengeng lenyap. 
Dan begitu debu tersapu angin, tampak lubang besar 
menganga. Lubang yang mampu untuk menimbun mayat 
seekor gajah besar. 

Berbarengan dengan lenyapnya debu, Penyair 
Cengeng muncul kembali ke permukaan tanah. Tidak teriihat 
sedikit pun bagian tubuhnya yang kotor. Ilmu apakah yang 
dipergunakan Penyair Cengeng? Tanya Arya dalam hati. 
Pemuda ini merasa risih untuk menanyakannya. Yang 
diketahui Arya, Penyair Ccngong memang banyak memiliki 
ilmu-ilmu gaib. 

"Kau lihat sendiri kedahsyatan Golok Kilat itu, Dewa 
Arak?" ujar Penyair Cengeng setengah memberi tahu. 
"Padahal, tahap terakhir belum dilaksanakan oleh pencipta 
Golok Kilat. Bila tahap itu sudah selesai, tindakan yang 
kulakukan tadi tidak akan ada artinya. Sinar maut itu 
mampu menembus tanah tanpa bekas sedikit pun seperti 
halnya aku. Jadi, tidak ada tempat untuk bersembunyi lagi. 
Sinar itu akan terus mengejarku sampai aku berhasil 
disambarnya." 

Dewa Arak menelan ludah karena perasaan tegang. 
Sungguh tidak disangkanya akan demikian dahsyat akibat 
yang ditimbulkan Golok Kilat. 

"Kalau demikian, aku akan secepatnya mencari 
pencipta gdok itu, Penyair Cengeng," jawab Aiya segera 
mengambil sebuah keputusan. 'Tapi sebelum itu..., boleh 
kutahu mengapa pencipta Golok Kilat kelihatannya 
memusuhimu?" 

Penyair Cengeng tersenyum pahit. 

"Semua itu karena salahku juga. Dulu aku sepertimu. 
Tidak tahan untuk berdiam diri melihat tindak ketidakadilan 
terjadi di depan mata. Pencipta Golok Kilat menyebar 
malapetaka di dunia persilatan. Tapi waktu itu kedahsyatan 
Golok Kilat tidak seperti sekarang. Sinar maut yang keluar 
dari ujung golok tidak mampu mencari sasaran sendiri. Itu 
pun harus dilakukan dari jarak dekat, misalnya sewaktu 
bertarung. Tidak seperti sekarang sangat mengprikan! 
Pencipta Golok Kilat berhasil kukalahkan. Golok itu sendiri 
kutenggelamkan di laut untuk membuang pengaruhnya. 
Entah bagaimana bisa keluar dari sana. Mungkin ditemukan 
nelayan dan dijual pada prajurit kerajaan. Hal itu aku tidak 
begitu tahu. Yang jelas, beban berat ada di pundakmu, Dewa 
Arak." 

"Doakan aku, Penyair Cengeng. Semoga aku berhasil 
menunaikan tugas ini seperti halnya kau dulu." 

Penyair Cengeng mengangguk sambil tersenyum. 
Meski demikian, sorot kekhawatiran belum lenyap dari 
wajahnya. 

Penyair Cengeng melangkah pelan dan lambat. 
Namun, tubuhnya dengan cepat telah berada puluhan 
tombak di depan. Dan yang menarik perhatian Aiya, 
beberapa kali telapak kaki si kakek tidak menginjak tanah. 
Luar biasa! 


***


Bunyi gaduh yang dikenal baik oleh Aiya sebagai 
akibat dari teijadinya pertarungan menarik perhatian 
pemuda berambut putih ke perakan itu. Ia segera melesat 
pergi ke sana. 

Jantung Aiya berdebar tegang ketika akhirnya melihat 
orang-orang yang terlibat dalam pertarungan di balik 
gundukan batu besar di pinggir sungai. Salah satu di 
antaranya adalah Lingga! Sedangkan sosok yang satu lagi 
tidak dikenal Aiya. Seorang kakek berkulit hitam legam. 
Kakek ini bukan lain Eyang Keling. 

Pertempuran ini hebat bukan main. Aiya sendiri 
sampai takjub melihatnya. Lingga diketahui Dewa Arak 
memiliki kepandaian ringgi. Tapi, lawannya tidak kalah lihai. 
Lingga yang memiliki ilmu 'Dewa Mabuk' tampak tidak 
mampu mendesak lawan. Eyang Keling memiliki ilmu tangan 
kosong yang mengagumkan. Kedua tangannya seperti 
berjumlah belasan. 

Beberapa kali Eyang Keling dan Lingga mengadu 
tenaga. Akibatnya, tubuh keduanya terhuyung-huyung. 
Tenaga dalam mereka ternyata berimbang. 

Namun, lambat laun Eyang Keling mulai terdesak. 
Kekebalan tubuh Lingga yang menjadi penyebabnya. Kakek 
ini terus dipaksa bermain mundur. Bila hal itu terus 
dibiarkan Eyang Keling akan tewas. 

Eyang Keling pun rupanya menyadari hal itu. Begitu 
mendapat kesempatan, dia melempar tubuhnya ke belakang. 
Dan, ketika menjejak tanah di tangannya telah tergenggam 
sebatang pedang. 

Lingga tersenyum mengejek. Tanpa mempedulikan 
keselamatan diri dia melompat bagai seekor harimau 
menerkam mangsa! 

Eyang Keling berdiri tegak menanti datangnya 
serangan. Ketika telah dekat, batang pedangnya diludahi! 
Baru setelah itu dibabatkan 1$ arah kedua tangan Lingga 
yang meluncur ke arahnya. 

Lingga mengeluarkan pekikan tertahan! Pemuda keji 
ini merasakan desir angin tajam yang membuat ngilu 
tubuhnya. Dalam waktu yang demikian singkat dia segera 
menyadari adanya hal-hal yang mencurigakan. 

Lingga menarik kedua tangannya untuk membatalkan 
serangan. Pertama kalinya sejak menerima warisan ilmu 
hebat dari tokoh-tokoh sakti yang berasal dari Nepal, Lingga 
tidak berani memapaki senjata dengan tangannya (Untuk 
jelasnya mengenal tokoh-tokoh Nepal, silakan baca episode: 
"Petualang-petualang dari Nepal"). 

Crattt! 

Darah mengucur ketika pergelangan tangan kiri 
Lingga terserempet ujung pedang. Elakan yang dilakukan 
Lingga kurang cepat. Untungnya, tidak mengenai urat nadi! 

"Ha ha ha...!" 

Eyang Keling tertawa terbahak-bahak. Kakek ini tidak 
segera melanjutkan serangan. Sikapnya seperti orang yang 
yakin akan keunggulannya. 

Aiya terkejut melihat Lingga bisa dilukai. Namun, 
lebih terkejut lagi ketika melihat pemuda yang tangguh itu 
terhuyung-huyung limbung bagaikan orang terluka parah. 
Padahal, luka yang dideritanya hanya kecil saja. Itu pun 
sudah tidak mengalirkan darah lagi. Lingga telah menotok 
jalan darah di sekitar luka untuk menghentikan aliran darah. 

"Mungkinkah ujung pedang Eyang Keling beracun?" 
Pertanyaan itu bergayut di benak Aiya. Namun, segera 
terbantah ketika pemuda itu melihat darah yang mengucur 
dari pergelangan tangan Lingga berwarna merah segar. Tanda 
darah sehat 

"Di depan orang lain kau boleh membanggakan 
kekebalan tubuhmu, Pemuda Sombong! Tapi, tidak di 
hadapan Eyang Keling. Kekebalanmu tidak ada artinya 
bagiku. Aku telah membuat penangkalnya. Meski hanya 
terluka sedikit, tapi akibatnya besar! Seluruh tenagamu akan 
lenyap meski cuma sebentar. Rasa pusing pun akan 
melandamu. Bukankah demikian?" 

Dewa Arak baru mengerti mengapa Lingga kelihatan 
seperti orang terluka parah Rupanya, Eyang Keling telah 
menemukan kelemahannya. 

Lingga tidak memberikan tanggapan. Pemuda ini 
memegangi kepalanya dan terhuyung-huyung seperti orang 
mabuk. Rupanya, apa yang dikatakan Eyang Keling tidak 
berlebihan. 

Eyang Keling menghampiri Lingga dengan pedang 
terhunus di tangan. Sikapnya sembarangan saja, tidak 
terlihat waspada sedikit pun. 

"Arrrggghhh...!" 

Laksana seekor harimau luka, Lingga menggeram. 
Akibatnya, tanah dan sekitar tempat itu bergetar hebat. Dewa 
Arak yang memang masih menaruh curiga terhadap Lingga 
dan tidak yakin pemuda licik itu demikian mudah 
dilumpuhkan, tidak terpengaruh karena segera mengerahkan 
tenaga dalam untuk menekan pengaruh teriakan. 

Tidak demikian halnya dengan Eyang Keling. Kakek 
ini tidak bersiap sama sekali. Tubuhnya mendadak lemas dan 
hampir ambruk di tanah karena kedua kakinya menggigil. 
Dadanya pun terguncang hebat! 

Lingga yang sudah memperhitungkan hal itu segera 
melompat sambil mengirimkan tamparan 1$ arah pelipis 
Eyang Keling. Kakek hitam legam ini meski dalam keadaan 
tidak menguntungkan masih mampu menunjukkan kalau 
dirinya bukan orang sembarangan. Dia mengegoskan 
tubuhnya. Dan, ini cukup berarti. Serangan Lingga mendarat 
di bahu kanan. 

Plakkk! 

Tubuh Eyang Keling terlempar ke samping. Lalu, 
jatuh terguling-guling di tanah. 

Lingga tidak tinggal diam. Pemuda ini melesat untuk 
mengirimkan serangan mematikan. Tapi, Dewa Arak yang 
merasa geram melihat kelicikan Lingga tidak dapat tinggal 
diam. Ia melompat memotong lompatan Lingga seraya 
mengirimkan tamparan ke arah bahu. 

Kalau menuruti perasaan, Dewa Arak ingin mengi¬ 
rimkan serangan ke arah kepala agar bisa memukul mati 
Lingga. Tapi karena serangan yang dilakukan secara 
membokong, niat itu dibatalkan. Kalau tidak hendak 
menyelamatkan Eyang Keling pun Dewa Arak tak mau 
membokong seperti ini. 

Dalam keadaan biasa Lingga akan membiarkan 
serangan ini. Tapi kaiena luka yang terjadi membuat 
kekebalan tubuhnya musnah, Lingga memapaki serangan itu 
kemudian mengirimkan tendangan ke perut Arya! Pada saat 
yang bersamaan Dewa Arak mengirimkan gedoran ke arah 
dada Lingga. 

Plak! Duk! Des! 

Hampir berbarengan dengan terjadinya benturan dua 
tangan, tendangan Lingga mendarat di paha kanan Dewa 
Arak. Sebaliknya, gedoran Arya menghantam dada atas 
Lingga. Masing-masing pihak serangannya meleset karena 
sempat berkelit. 

Tubuh Dewa Arak dan Lingga sama-sama terjengkang 
ke belakang. Lingga yang lebih parah lukanya terbanting 
keras di tanah. Sedangkan Dewa Arak masih mampu 
menjejak tanah meski dengan agak limbung. 

Tapi, keberuntungan Dewa Arak hanya sampai di situ. 
Begitu kakinya menjejak tanah Eyang Keling yang rupanya 
tidak terluka parah mengirimkan pukulan jarak jauh. 
Kejadian itu demikian cepat dan tidak terduga-duga. Padahal, 
Aiya berada dalam keadaan yang kurang menguntungkan. 
Karena itu Dewa Arak tidak mampu mengelak. 

Aiya hanya sempat mengerahkan tenaga dalam untuk 
membuat isi dadanya tidak hancur oleh pukulan jarak jauh 
yang dahsyat itu. Sungguhpun demikian, ketika pukulan itu 
melandanya, tubuh Dewa Arak melayang ke belakang 
laksana daun kering dihempas angin teras. Darah 
menyembur deras dari mulutnya! 

Eyang Keling tidak mempedulikan Dewa Arak lagi. 
Pemuda berambut putih ke perakan itu memang tidak 
pingsan. Tapi, tergolek tak berdaya di tanah. Luka dalam 
Aiya memang parah! 

Aiya hanya dapat melihat Eyang Keling mendekati 
Lingga. Benaknya dipenuhi berbagai pertanyaan. Mengapa 
Eyang Keling malah menyerangnya? Bukankah dia telah 
membantu kakek itu menghadapi Lingga? Malah, Dewa Arak 
yang menyelamatkannya! Di pihak manakah kakek itu 
berdiri? Kalau juga golongan hitam, mengapa bentrok dengan 
Lingga? 

"Ha ha ha...!" 

Eyang Keling tertawa bergelak. Tawa yang sarat 
dengan kegembiraan. Dia berdiri di dekat Lingga. Wajahnya 
didongakkan ke langit dengan penuh kesombongan. 

"Penyair Cengeng...! Sebentar lagi kau akan menerima 
pembalasan dendamku yang kutahan selama puluhan tahun. 
Dengan berhasilnya kuambil darah pemuda sombong ini, 
rampunglah sudah tahap terakhir dan aku akan menjadi jago 
tak terkalahkan di kolong langit ini. Ha ha ha...!" 

Dewa Arak yang masih sadar terasa bagai disambar 
halilintar mendengar ucapan Eyang Keling! Ucapan kakek 
hitam legam ini mengingatkannya akan cerita Penyair 
Cengeng tentang seorang tokoh sesat yang menjadi pencipta 
Golok Kilat. Jadi, Eyang Keling inilah pencipta golok yang 
mengerikan itu! 

"Jadi...," ucap Aiya pelan tapi cukup jelas terdengar. 
"Kau orang yang menciptakan Gobk Kilat itu?" 

"Kalau bukan aku siapa lagi...?" jawab Eyang Keling. 

"Menurut berita yang kudapat, pencipta Gobk Kilat 
memiliki kulit kuning dan bertubuh gemuk pendek," bantah 
Aiya dengan suara lemah. Karena, ia menyadari merubah 
kulit dan potongan tubuh bukan hal yang sulit bagi seorang 
tokoh besar persilatan. 

"Apa susahnya mengubah semua itu, Dewa Arak? Kau 
Dewa Arak bukan? Aku tahu, kau pasti mengetahui 
tentangku dari Penyair Cengeng. Beberapa waktu yang lalu 
dia boleh selamat dari maut. Tapi, setelah hari ini tidak akan 
mungkin terulang keberuntungannya." 

"Boleh kutahu tahap terakhir itu?" tanya Aiya, ingin 

tahu. 

"Tentu saja, Dewa Arak! Tidak ada ruginya mem¬ 
berikan keterangan pada orang yang sudah dekat dengan 
malaikat maut. Dengar baik-baik. Tahap pertama adalah 
mengambil Golok Kilat yang telah mendapat keampuhannya 
lagi dengan mempergunakan sarungnya yang memang 
kusimpan. Kedua, mengambil darah orang-orang yang 
sebelumnya telah kuberikan ramuan yang membuat 
keampuhan Golok Kilat bertambah. Darah mereka akan 
diserap habis oleh Golok Kilat. Karena darah itulah sinar 
yang keluar dari Golok Kilat mampu mengikuti ke mana 
orang yang dituju bergerak. Sedangkan tahap terakhir, Golok 
Kilat harus meminum habis darah orang yang membuatnya 
bangkit dari istirahat panjang. Setelah tahap ini, orang yang 
dituju oleh sinar maut Golok Kilat tak akan mampu lolos lagi. 
Apa pun yang menghalangi akan ditembus oleh sinar itu." 

"Jadi.. , kau yang membunuh dua kakek berkulit 
merah dan putih, lalu mengikatnya di pohon?" tanya Aiya, 
teringat akan mayat-mayat yang ditemuinya. 

"Benar. Mereka dan Setan Kepala Besi. Ketiga orang 
itulah yang meminum ramuan untuk menambah 
keistimewaan Golok Kilat. Ramuan itu hanya berkhasiat bila 
bercampur darah orang yang memiliki tenaga dalam kuat. 
Bertahun-tahun mereka kucekoki ramuan itu tanpa mereka 
tahu. Aku memang mencari orang-orang seperti mereka. 
Kebetulan mereka hendak mengasingkan diri. Dengan ilmu 
batinku kutarik mereka ke tempatku. Bertahun-tahun 
kemudian baru Setan Kepala Besi kuberikan catatan tentang 
Golok Kilat di lembaran daun lontar. Seperti dugaanku, 
semuanya beijalan lancar. Dengan adanya ramuan di tubuh 
mereka dan bekas bau Gobk Kilat pada pemuda sial ini, 
mudah saja kutemukan keberadaan mereka. Dan, mereka 
pun kubunuh!" 

"Tapi, menurut Setan Kepala Besi kau tidak memiiiki 
tenaga dalam?" bantah Aiya. Ia penasaran setelah 
mengetahui banyaknya rahasia di kehidupan Eyang Keling. 
Nama yang sudah pasti samaran. 

"Tentu saja! Bukankah Golok Kilat pun baru 
mempunyai keistimewaan lagi belum lama ini?" sentak Eyang 
Keling. Dan ketika melihat Dewa Arak kebi-ngungan, segera 
dilanjutkan penjelasannya. "Antara aku dengan Golok Kilat 
seperti satu nyawa. Begitu Golok Kilat kehilangan daya, aku 
pun demikian. Aku kembali segar setelah Golok Kilat 
memiliki keistimewaannya lagi. Nah, kurasa sudah cukup 
basa-basi ini, Dewa Arak. Kau satu-satunya orang yang tahu 
rahasia ini. Bahkan, kau pula orang pertama sekaligus 
terakhir yang melihatku menyelesaikan tahap terakhir untuk 
membuat Golok Kilat memiliki keistimewaan tidak terhingga!" 

Setelah berkata demikian, tanpa peduli pada Dewa 
Arak lagi Eyang Keling mengalihkan perhatian pada Lingga. 
Golok Kilat dikeluarkan dari balik bajunya dan perlahan- 
lahan dihunus. Sinar terang membersit keluar, menyilaukan 
mata dan menggiriskan hati. 

Dewa Arak tahu ke adaan yang amat 
mengkhawatirkan telah tercipta. Hanya dalam waktu sekejap 
lagi nyawa tokoh persilatan di mana pun berada akan 
terancam. Terutama Penyair Cengeng! 

Dewa Arak tidak punya pilihan lagi kecuali memanggil 
belalang raksasa di alam gaib. Ia pun segera memusatkan 
pikirannya. Seketika itu juga tenaganya yang telah sirna 
pulih kembali. Luka dalamnya yang sejak tadi terasa nyeri 
saat itu menguap entah ke mana. 

Aiya mengeluarkan bunyi menggeram keras dari 
mulutnya. Tak patut suara yang keluar dari mulut manusia. 
Begitu menyeramkan! Seiring dengan itu, pemuda berambut 
putih keperakan ini melompat menerjang Eyang Keling. 

Eyang Keling merasakan sekujur tubuhnya bagai 
dirayapi ribuan semut. Dia gemetar! Kejadian yang tidak 
disangka-sangka ini membuatnya membalikkan tubuh 
dengan perasaan kaget tak terkira. Itu pun setelah terlebih 
dulu mengerahkan tenaga dalam untuk membuat pengaruh 
teriakan Aiya pupus. 

Eyang Keling segera mengirimkan sinar-sinar 
mematikan dari ujung Golok Kilat nya ke arah Dewa Arak. 
Perasaan gugup masih melanda kakek itu. 

Dewa Arak dalam keadaan disusupi belalang raksasa 
dari alam gaib. Sedikit pun tidak mempedulikan sinar maut 
Golok Kilat. Dengan guci araknya sambaran sinar itu 
dipakaki. Pada saat yang bersamaan, dikirimkan pukulan 
jarak jauh dengan penggunaan jurus 'Pukulan Belalang'. 

Eyang keling tidak mau kalah! Pukulan jarak jauh 
Dewa Arak segera dipapakinya dengan sinar mautnya 

Biang! 

Bumi bagai dilanda gempa ketika dua benturan keras 
terjadi. Yang pertama ketika sinar maut berbenturan dengan 
guci. Ini membuat tubuh Dewa Arak melayang jauh bagai 
daun kering dihembus angin teras. Benturan kedua 
menimbulkan bunyi yang tak kalah keras ketika pukulan 
jarak jauh Arya bertemu sinar maut Gobk Kilat yang 
me mapakinya. 

Cras! 

"Akh...!" 

Eyang Keling menjerit menyayat hati, saat pengaruh 
benturan belum sirna, sebuah benda tajam membabat kedua 
kakinya. Tak pelak lagi, kedua kakinya pun buntung sebatas 
lutut. Darah segar memancur deras. 

Eyang Keling meraung. Dia tidak mendengar angin 
serangan senjata tajam itu karena Lingga yang cerdik 
menunggu hingga terjadi benturan antara serangan Dewa 
Arak dengan papakan Eyang Keling. Keberadaan Lingga di 
bawah semakin menguntungkan pemuda itu. 

Kejadian yang mengejutkan hati pun terjadi. Golok 
Kilat memancarkan sinar menyilaukan mata. Dan, darah 
yang mengucur keluar dari kedua kaki Eyang Keling tersedot 
ke batang golok, menempel dan lenyap bagai masuk ke 
dalam. 

Eyang Keling meraung-raung. Dia berusaha keras 
mencegah kejadian itu. Tapi, usahanya sia-sia. Darah terus 
mengucur dengan deras dari kedua kakinya ke arah batang 
golok. 

Lingga memperhatikan dengan perasaan puas 
bercampur takjub. Demikian pula Dewa Arak. Kedua pemuda 
itu memperhatikan bagaimana Eyang Keling sekarat sebelum 
akhirnya tubuh kakek itu meledak! 

Bertepatan dengan itu terdengar letupan kedua. Golok 
Kilat hancur berkeping-keping. Hanya berselisih waktu 
sebentar dengan semua itu, Dewa Arak jatuh pingsan! 
Benturan yang dialaminya terlalu hebat. Kendati belalang 
raksasa ada di dalam tubuhnya, tetapi Aiya tetap 
terpengaruh. Belalang raksasa menerima akibat pula dari 
sinar maut. Binatang itu telah pergi. Tentu saja kekuatan 
yang dimiliki Dewa Arak lenyap kembali 

Entah berapa lama Dewa Arak pingsan, ia tidak tahu. 
Yang jelas, begitu sadar masih sempat dilihatnya Lingga 
beijalan tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. 

"Kau berhasil, Dewa Arak. Bahkan, Golok Kilat telah 
musnah! Eyang Keling termakan permainannya sendiri. Dia 
tidak tahu kalau yang menyebabkan Golok Kilat hidup 
adalah sejenis jin yang ada di dalamnya. Makhluk itu tidak 
kerasan hidup di dalam golok. Untuk menentang Eyang 
Keling, ia tidak berani karena keadaannya yang jadi tahanan. 
Maka begitu mendapat kesempatan untuk membunuh, 
langsung dilakukannya. Kesempatan yang amat baik telah 
didapatkan n ya." 

Aiya tersenyum dalam cekaman rasa sakit. Di 
depannya Penyair Cengeng bicara dengan nada gemetar dan 
lega. Dewa Arak pun merasa lega. Eyang Keling sudah tidak 
bisa mengacau dunia persilatan lagi. Tapi, Aiya masih belum 
puas. Lingga masih hidup. Ditatapnya Lingga yang tengah 
bergerak meninggalkan tempat itu. Aiya bertekad dalam hati 
akan melenyapkan pemuda itu di kemudian hari bila bersua 
lagi. 

Satu hal yang merisaukan Dewa Arak adalah 
tewasnya Setan Kepala Besi. Bagaimana dengan Nuri, apakah 
ikut tewas? Nuri pun meninggal dibunuh Eyang Keling yang 
takut rahasianya terbongkar. 

Di kejauhan Lingga menatap Aiya. Sorot matanya 
terlihat penuh tantangan! 

Aiya membalas tatapan itu. Sorot matanya seperti 
mewakili tekad dalam hatinya. 

"Tunggu kau, Lingga. Suatu hari kita harus membuat 
perhitungan!" 



SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
SETAN BONGKOK