Dewa Arak 87 - Setan Bongkok


"Siluman Harimau...! Manusia licik...! Jangan lari 
kau...!" 

Seorang kakek berpakaian putih berteriak-teriak 
mengayunkan kaki berlari cepat. 

Sosok yang disebut Siluman Harimau tampak tidak 
mempedulikan teriakan itu. Bahkan, menoleh pun tidak. Dia 
terus berlari cepat 

Kakek berpakaian putih yang bertubuh jangkung dan 
bermuka pucat menggertakkan gigi. Ia geram bukan main. 
Sorot matanya yang tertuju pada Siluman Harimau 
menyiratkan kemarahan besar. Sepasang matanya yang sipit 
semakin bertambah sipit. Kakek itu meengsrahkan seluruh 
ilmu larinya. 

Tapi, usaha kakek berpakaian putih hampir tidak 
berarti. Meski lari kakek ini cepat bukan main sehingga 
tubuhnya terlihat sebagai kelebatan saja, jarak antara 
mereka tidak berubah. Siluman Harimau juga memiliki 
kecepatan lari yang menakjubkan. Kedua kakinya seperti 
tidak menjejak tanah karena cepatnya digerakkan 

Sebentar kemudian, jarak telah terlampaui ratusan 
tombak. Meski begitu, kakek berpakaian putih tetap belum 
bisa merubah jarak. Kakek ini semakin gpram. Beberapa kali 
kedua tangannya dihentakkan bergantian ke depan. Angin 
luar biasa keras berhembus ke arah Siluman Harimau. Tapi, 
serangan itu dengan mudah dipatahkan. Siluman Harimau 
melompat ke atas sehingga angin deras itu lewat di bawah 
kedua kakinya. 

Kakek berwajah pucat ini berseri wajahnya ketika 
melihat bukit-bukit kapur terhampar di depannya. Arah yang 
dituju si kakek dan Siluman Harimau memang puncak 
gunung. Mereka kini tengah berlari cepat di lerengnya. Lereng 
Gunung Kidul! 

Si kakek kembali menghentikan kedua tangannya. 
Seperti yang diduganya, Siluman Harimau kembali melompat 
ke atas hingga pukulan jarak jauh itu lewat di bawah kedua 
kakinya. Tapi, begitu Siluman Harimau menjejakkan kaki di 
tanah, sesuatu yang direncanakan kakek berpakaian putih 
pun teijadi. Batu-batu kapur sebesar kepala kerbau yang 
terkena pukulan jarak jauh kakek berpakaian putih 
meluncur ke arah Siluman Harimau dan kakek itu. 

Siluman Harimau tidak menjadi gugup. Dia 
menggeram keras laksana seekor harimau murka. Batu-batu 
yang mengancamnya berpentalan ke berbagai arah sebelum 
berhasil menyentuh kulit tubuhnya, seakan di sekitar tubuh 
Siluman Harimau memancarkan kekuatan menolak yang luar 
biasa! 

Kakek berpakaian putih tidak menjadi kecil hati. Dia 
tahu batu-batu itu tak akan dapat melukai, apalagi sampai 
membunuh Siluman Harimau. Tokoh itu memiliki 
kepandaian tinggi. Jadi, tak akan semudah itu ditaklukkan. 

Tindakan tadi dilakukan si kakek hanya untuk 
menghambat lari Siluman Harimau. Waktu yang hanya 
sekejap itu telah membuat si kakek berhasil menyusul 
lawannya. 

"Hendak lari ke mana lagi kau, Siluman licik?!" ejek 
kakek berpakaian putih. 

Siluman Harimau yang juga seorang kakek, hanya 
saja bertubuh tinggi besar, menatap kakek berpakaian putih 
yang telah berada di depannya. Dua pasang mata saling 
berpandangan dengan sorot penuh tantangan. Sikap mereka 
tak ubahnya dua ekor ayam jago yang hendak berlaga. 

"Ha ha ha...!" Tawa bergelak dikeluarkan Siluman 
Harimau. Tawa yang membuat tubuhnya berguncang- 
guncang. Wajahnya yang memang mirip wajah harimau, 
apalagi dengan adanya dua buah taring di sudut-sudut 
mulutnya, terlihat menyeramkan dan menggiriskan hati. 
"Rupanya kau sudah ingin melihat alam kubur, Donggala? 
Kalau belum, mumpung aku belum kehilangan kesabaran, 
cepat menyingkir dari hadapanku!" 

"Aku akan menyingkir apabila kau mengsmbaliain 
kitab milik majikanku, dengan ditambah sebelah taringmu 
atas kekurangajaranmu mempermainkanku, Siluman 
Harimau!" tandas Donggala, dingin. 

Tawa Siluman Harimau semakin keras. Ancaman 
Donggala dianggapnya lelucon. Kakek bermuka harimau ini 
tidak marah atau pun tersinggung. Wataknya yang periang 
membuatnya tidak mudah dipengaruhi amarah. 

"Kau lucu, Donggala. Ingin kulihat berapa tebal kulit 
wajahmu sehingga kau begitu tak tahu malu menyebut- 
nyebut tua bangka yang bernasib malang itu sebagai 
majikanmu! Kau yang telah diperlakukannya dengan baik 
malah mencelakai dan mencuri kitabnya! Seekor anjing pun 
tak akan bertindak sekeji itu pada tuannya, Donggala! Kau 
lebih hina dari pada seekor anjing! Kitab ini tak akan 
kuberikan padamu! Sekarang kau mau apa?!" 

Donggala menggertakkan gigi. Ucapan Siluman 
Harimau jelas-jelas merupakan tantangan. Tidak ada pilihan 
baginya untuk mendapatkan kitab itu kembali kalau tidak 
melalui perkelahian. 

"Kalau itu maumu, aku tidak punya pilihan lain! Kau 
yang memaksaku untuk menjadikanmu harimau mati! Aku 
tidak akan berlaku lunak lagi padamu, Siluman Harimau! 
Mulai sekarang kau bukan rekanku lagi!" tandas Donggala, 
keras. 

Siluman Harimau kembali tertawa keras. Ancaman 
Donggala tidak membuatnya gentar. Bahkan tawanya 
berkesan melecehkan. 

"Pada orang lain kau mungkin bisa mengucapkan 
kata-kata palsu seperti itu, Donggala. Tapi tidak padaku! 
Orang macam kau mana bisa dipercaya?! Jangankan aku 
yang tidak pernah menanam budi padamu, majikanmu yang 
demikian baik hati padamu saja kau balas dengan perbuatan 
keji!" 

Hanya sampai di situ kata-kata Siluman Harimau. 
Donggala dengan kemarahan yang meluap-luap telah 
mendorongkan kedua tangannya bergantian ke depan secara 
perlahan. Angin dingin yang diiringi bau busuk menyengat 
berhembus ke arah Siluman Harimau. 

"Ilmu 'Pukulan Racun Bunga Salju'...," desis Siluman 
Harimau begitu merasakan akibat pukulan Donggala. 
"Rupanya kau masih ingat ilmu jelekmu itu, Donggala, 
kendati kau lama menjadi budak tua bangka yang telah kau 
khianati itu...!" 

Siluman Harimau melompat ke belakang. Ia bersalto 
beberapa kali untuk menjauhi Donggala. Kedua tangannya 
dipukulkan bertubi-tubi ke depan secara cepat. Seterika deru 
angin berhawa panas disertai bau sangit menguak. Bunyi 
letupan terdengar begitu dua angin pukulan itu bertemu di 
udara. Titik-titik air berjatuhan. Tanah kapur yang semula 
putih kekuningan langsung berubah hitam pekat seperti 
terbakar ketika terkena tetesan air. 

Donggala, yang seperti juga Siluman Harimau, 
terhuyung-huyung ke belakang akibat benturan itu. Ia 
mendengus mengejek. 

'Pukulan Seribu Macan Api'-mu masih cukup bagus, 
Siluman Harimau...!" 

Meski kelihatan seperti memuji, Siluman Harimau 
tahu kalau Donggala mengejeknya. Tapi, dia malah tertawa. 
Tawa yang lebih mirip auman seekor harimau! 

Donggala menyambut tawa itu dengan terjangan. Ia 
mempergunakan 'Ilmu Pukulan Racun Bunga Salju' yang 
menjadi andalan. Siluman Harimau menyambutinya. 
Pertarungan antara mereka pun tidak bisa dielakkan lagi. 

Dua tokoh itu sama-sama lihai. Mereka mempunyai 
ilmu yang memiliki dasar tenaga dalam berlawanan. Jalannya 
pertarungan tampak seru sekali. Siluman Harimau 
mempunyai gerakan yang cepat dan liar serta penuh dengan 
penyerangan. Sebaliknya, Donggala lebih memusatkan pada 
pertahanan. Gerakannya lambat tapi penuh dengan tenaga! 

Sebentar saja belasan jurus telah terlampaui. Selama 
itu jalannya pertarungan belum berubah. Dua kakek itu 
sama-sama tangguh! 


*** 


"Donggala...! Manusia tak kenal budi! Kau harus 
mendapat hukuman atas kekejian yang kau lakukan 
terhadap Guru...!" 

Seruan lantang penuh gptaran kemarahan itu 
berkumandang. Keras dan berpengaruh hebat! Dinding- 
dinding kapur sampai bergetar keras. Pertarungan antara 
Donggala dan Siluman Harimau langsung terhenti. Kedua 
kakek itu bersamaan melompat mundur dan mengalihkan 
perhatian pada si pendatang baru. 

"Kiranya kau, Lesmana. Sungguh besar nyalimu 
mengejarku, Bocah Bau Kencur? Pergilah cepat! Tinggalkan 
tempat ini! Atau, kau ingin kujadikan seperti tua bangka 
dungu yang menjadi gurumu itu...!" sahut Donggala dengan 
sikap meremehkan. 

Pemilik seruan, Lesmana, seorang pemuda bertubuh 
tegap, dan berahang kokoh, mengepalkan tinju. Sepasang 
matanya menatap tajam ke arah Donggala, bak mata seekor 
burung elang mengincar mangsa! Tajam bukan main dan 
penuh ancaman! 

"Kaulah yang akan kuseret 1$ hadapan Guru untuk 
mempertanggungjawabkan perbuatan biadabmu. Cepat 
serahkan Kitab Seribu Racun Tanpa Obat! Jangan tunggu 
sampai aku merampasnya dari mu!" 

"Ha ha ha...!" Siluman Hanmau tertawa bergelak. 
Kakek itu kelihatan gembira sekali. "Donggala..., Donggala... 
Nasibmu jelek sekali. Seorang bocah yang baru lepas dari 
tetek ibunya berani mengancammu seperti itu!" 

"Tutup mulutmu, Siluman Harimau!" sentak Donggala 
dengan wajah merah padam menahan amarah. 

"Setelah menghancurkan mulut bocah yang kurang 
ajar ini, kau pun akan kubereskan!" 

Wajah Lesmana berubah. Ditatapnya Siluman 
Harimau. Dia telah mendengar banyak tentang tokoh itu. 
Seorang pentolan kaum sesat yang memiliki kepandaian amat 
tinggi. Kejam dan memiliki ilmu racun hebat! Jantung 
Lesmana berdebar tegang. 

"Kau kelihatan kaget mendengar ucapanku, Bocah 
Sombong?!" dengus Donggala. "Tak menyangka kau akan 
bertemu dengan Siluman Harimau? Sebagai tambahan dan 
untuk menghilangkan kesombonganmu, kuberitahu kalau 
aku saingan terberat Siluman Harimau. Aku yakin tua 
bangka gila yang dungu itu telah bercerita banyak padamu!" 

"Siapa kau sebenarnya, manusia tak kenal budi...?!" 

"Orang yang kau kenal selama ini sebagai Donggala 
tak lain dari Mayat Sejuta Bunga, Pemuda Ingusan...!" selak 
Siluman Harimau sebelum Donggala memberikan jawaban. 

Lesmana teijingkat ke belakang saking kagptnya. 
Dengan pandangan tak percaya ditatapnya Donggala. Kakek 
itu hanya mendengus. 

"Sekarang tidak ada gunanya lagi, Pemuda Sombong! 
Meski kau merangkak-rangkak memohon ampun, aku tidak 
akan memenuhinya. Kesempatan yang tadi kuberikan tidak 
kau gunakan. Bersiaplah menerima kematian! Tapi, bisa jadi 
aku akan membiarkanmu pergi dari sini. Tentu saja dengan 
satu syarat! Kau harus memaki-maki gurumu. Dengan begitu 
mungkin aku akan memperbincangkan untuk tidak 
membunuhmu. Mungkin hanya kedua kakimu yang kuambil. 
Bagaimana?!" 

"Sampai mati pun aku tidak sudi! Jangan kau kira 
aku takut. Apa pun yang terjadi kau akan kubawa 1$ 
hadapan guruku, Donggala!" 

"Kalau begitu, mampuslah...!" 

Donggala alias Mayat Sejuta Bunga membuka 
serangan dengan ilmu andalan. Lesmana tidak gentar. 
Pemuda ini berteriak keras bagai garuda murka. Tangannya 
didorongkan ke depan. 

Tidak hanya Mayat Setuju Bunga, Siluman Harimau 
pun kaget melihat angin serangan Donggala terhempas balik. 
Siluman Harimau sendiri tidak mampu melakukan hal itu! 

Mayat Sejuta Bunga marah bukan main. Ia merasa 
malu melihat hasil serangannya. Serangan yang lebih hebat 
pun dilancarkan. Tapi, Lesmana memang seorang pemuda 
luar biasa. Dia mampu menghadapinya dengan baik. 

Setelah lima belas jurus pertarungan berlangsung, 
Mayat Sejuta Bunga kehabisan kesabaran. Ilmu andalannya 
penuh keistimewaan. Kekuatan tenaga dalam Lesmana 
membuat serangannya membalik sebelum mendekati 
sasaran. Malah, beberapa kali Mayat Sejuta Bunga sendiri 
yang mengisap hawa beracun dari serangannya. Tentu saja 
sebagai pemiliknya hal itu tidak berarti apa-apa. 

Siluman Harimau kendati terkejut melihat 
kemampuan Lesmana, tak henti-hentinya mengeluarkan 
ejekan terhadap saingannya. Hal ini membuat kemarahan 
Mayat Sejuta Bunga semakin berkobar. Karena yakin Mayat 
Sejuta Bunga tidak akan bisa merobohkan Lesmana dengan 
cepat, Siluman Harimau dengan sikap seenaknya 
meninggalkan tempat itu. Mayat Sejuta Bunga geram bukan 
main. Tapi, apa dayanya? Lesmana tidak membiarkan dia 
meninggalkan kancah pertarungan. 

Mayat Sejuta Bunga hanya bisa melihat sekejap 
kepergian Siluman Harimau. Kecil sekali kemungkinannya 
kitab yang dibawa Siluman Harimau dapat direbutnya. Itu 
terjadi karena kehadiran Lesmana. Maka, kepada pemuda itu 
luapan amarahnya dilampiaskan! 

Mayat Sejuta Bunga melempar tubuh ke belakang 
menjauhi Lesmana. Pemuda itu mengejar seraya bersiap 
melancarkan serangan. Mayat Sejuta Bunga yang telah 
memutuskan untuk segera mengakhiri pertarungan, 
langsung bertindak. 

Kakek berpakaian putih ini menarik napas dengan 
kedua tangan dirangkapkan ke depan dada. Kemudian, cepat 
dihembuskannya. Wangi bunga yang aneh menyebar dari 
sekujur tubuh kakek itu. Lesmana yang tidak 
memperhitungkan hal ini segera menahan napas. Namun, 
tindakan pemuda ini terlambat. Bau wangi itu keburu 
dihisapnya. Seketika rasa pusing menyergap. Tenaganya 
langsung lenyap. Tubuh Lesmana ambruk sebelum 
serangannya dirampungkan! 

Mayat Sejuta Bunga menghembuskan napas berat. 
Itulah ilmu yang membuatnya dijuluki Mayat Sejuta Bunga. 
Sebuah ilmu yang hanya digunakan dalam keadaan teijepit. 
Bila lawan mampu segera menangkalnya, dia yang akan 
kehabisan tenaga. Ilmu itu memang banyak menguras 
tenaga. 

Mayat Sejuta Bunga menghampiri Lesmana. 
Kemudian, ujarnya dengan sinis dan penuh ancaman. 

"Kau akan menerima ganjaran atas perbuatanmu 
yang sok pahlawan, Pemuda Sombong!" 


*** 


"Sebenarnya untuk apakah kita 1$ sana, Nek? 
Bukankah lebih enak tinggal di tempat kita. Berhari-hari 
sudah kita melakukan perjalanan dan kau hanya 
menyebutkan nama tempat itu, tanpa kutahu maksud dan 
kepergian kita ke sana," ucap seorang gadis cantik dengan 
penuh penasaran. 

Sang nenek yang menjadi tumpahan 
kekurangsenangan gadis berpakaian kuning itu hanya 
terkekeh pelan. Dia terus saja mengayunkan kaki dengan 
dibantu tongkat bututnya. Di sebelah si nenek, gadis 
berpakaian kuning menunggu jawaban dengan perasaan 
tidak sabar yang terlihat jelas di wajahnya. 

Tingkah sang nenek yang beranting-anting sebesar 
gelang dan berpakaian hitam membuat si gadis tidak sabar 
lagi. Ia rupanya memiliki watak manja. Dengan mulut 
meruncing, menunjukkan bibirnya yang indah dan ranum, si 
gadis menghentikan langkah. 

"Mengapa berhenti, Cendana?" tanya si nenek pelan, 
sarat dengan kasih sayang. Ia sedikit pun tidak marah 
melihat sikap si gadis. Si nenek berhenti melangkah. 
Beberapa tindak di depan Cendana, tubuhnya dibalikkan. 
"Dalam beberapa hari kita akan sampai di sana. Ayo, 
teruskan perjalanan." 

"Tidak!" bantah Cendana dengan mulut cemberut 
"Sebelum Nenek memberikan penjelasan kepadaku mengenai 
kepergian kita, aku tidak akan beranjak dari sini!" 

Cendana menguatkan tekadnya dengan duduk di 
tanah. Kedua kakinya terjulur. Ia tak peduli tindakan itu 
membuat celananya kotor. 

Si nenek menghela napas berat. Didekatinya Cendana. 
Gadis itu berpura-pura tidak melihat. Sepasang matanya 
yang bening indah dilayangkan ke sekitarnya, yang terlihat 
hanya batu kapur. 

"Baiklah, Cendana. Aku akan memenuhi 
permintaanmu." 

"Nah! Begitu dong, Nek. Nenek memang bijaksana. 
Aku yakin Nenek akan memenuhi permintaanku!" sambut 
Cendana dengan gembira. Ia bangkit berdiri dan mencium 
pipi si nenek 

Sang nenek terkekeh pelan hingga kelihatan bagian 
mulutnya yang sudah tidak bergigi lagi. 

"Kau memang pandai membuat orang menuruti 
kehendakmu, Cendana," tegur si nenek yang ditanggapi 
Cendana dengan tawa. "Dengar baik-baik," si nenek mulai 
dengan penjelasannya. "Kita akan pergi ke Puncak Bukit 
Angsa, di balik Gunung Kidul ini, untuk menemui seorang 
pendekar besar berilmu tinggi, yang disegani belasan tahun 
lalu. Sayang, pendekar ini memiliki satu cacat." 

Cendana mengernyitkan kening. Dirasakan ada 
keluhan di dalam suara si nenek. Cendana adalah seorang 
gadis yang cerdik. Dia segera dapat menduga kalau si nenek 
memiliki hubungan yang cukup erat dengan sang pendekar. 

"Pendekar itu tak boleh melihat jidat licin," sambung 
si nenek dengan nada getir. 

"Jidat licin, Nek? Apa itu?" tanya Cendana bingung. 

Si nenek terkekeh. Geli melihat kepolosan muridnya. 

"Cendana... Cendana.... Jidat licin itu, maksudnya 
wanita cantik." 

Cendana mengangguk-anggukkan kepala sambil 
membulatkan bibirnya. 

"Apakah aku termasuk jidat licin, Nek?" 

"Bukan saja licin, Cendana. Tapi, sangat licin!" tandas 
si nenek "Kau tahu, Cendana. Kau memiliki wajah yang amat 
cantik. Yakin kau akan menjadi rebutan para pemuda." 

"Mereka akan terkaing-kaing pergi dariku, Nek!" sahut 
Cendana. 

"Heh? Mengapa begitu, Cendana?!" 

"Aku tak mau direbut-rebutkan. Aku kan bukan 
benda atau makanan. Lagipula, aku lebih suka tinggal 
bersama Nenek. Nenek kan sudah tua. Siapa lagi yang akan 
merawat Nenek kalau bukan aku!" 

Sang nenek te rke ke h geli. Kepalanya digoyang- 
goyangkan sehingga sepasang antingnya terayun-ayun 

"Percayalah, Cendana. Kau tak akan bisa mengingkari 
kodrat. Akan tiba masanya kau jatuh hati pada lelaki. 
Dan...." 

"Sudahlah, Nek. Aku jemu mendengar tentang lelaki! 
Aku lebih suka kau ceritakan tentang maksud kepergian 
kita!" potong Cendana yang merasa kurang senang 
mendengar uraian sang Nenek. 

"Baiklah, Cendana." Nenek berpakaian hitam 
mengalah. 'Tapi, camkan kata-kataku itu. Sekarang 
mengenai sang pendekar. Setiap kali melihat jidat licin, dia 
terpincuk. Pendekar itu memang gila wanita cantik. Anehnya, 
entah mengapa setiap wanita selalu mencintainya. Karena 
itu, dunia persilatan menjulukinya sebagai Pendekar 
Penyebar Asmara. Tak terhitung sudah wanita-wanita cantik 
yang patah hati karena tindakannya." 

"Jahat sekali dia!" tandas Cendana, geram. "Kalau 
bertemu nanti, akan kuketuk kepalanya!" 

Si nenek tersenyum. Geli hatinya mendengar ancaman 
Cendana. 

"Dia tidak jahat, Cendana. Bagi wanita-wanita yang 
mau hidup bersamanya, harus rela menekan perasaan. 
Beberapa di antara mereka mampu. Pendekar Penyebar 
Asmara hidup bersama tiga istrinya. Mereka rela dimadu 
daripada kehilangan pendekar itu." 

Cendana mengepalkan tinju. Tampak jelas rasa tidak 
senangnya 

"Lalu, untuk apa kita pergi ke sana?" 

"Mempertemukanmu dengan Ftendekar Penyebar 
Asmara." 

"Untuk apa, Nek?" 

"Sedikit membalas sakit hatiku, Cendana," jawab sang 
nenek dengan suara agak bergetar. Sepasang mata tuanya 
tampak dipenuhi air. 

Cendana menatap wajah si nenek penuh selidik. Ada 
rasa iba di hatinya. Kendati sering membantah dan tak 
menuruti ucapan si nenek, Cendana menyayanginya. 
Karenanya, kesedihan si nenek membuat gadis itu 
mengambil keputusan untuk memenuhi perminttannya. 

"Apakah Nenek termasuk wanita yang patah hati oleh 
perbuatan Ftendekar Mata Bongsang itu?" 

"Pendekar Mata Bongsang?" ulang si nenek. Sesaat dia 
lupa pada kesedihannya. 

"Bukankah orang yang mudah terpincuk oleh wanita 
cantik disebut mata teranjang, Nek? Dan, keranjang masih 
ada pertalian saudara dengan bongsang. Apa salahnya kalau 
kusebut dia Pendekar Mata Bongsang?" kilah Cendana. 

Sang nenek terkekeh geli. Harus diakuinya, semenjak 
tinggal dengan Cendana, tak terhitung sudah tawa lepas 
keluar dari mulutnya. Tingkah Cendana yang lucu dan polos 
membuatnya tak bisa menahan tawa. Fterasaan sedih tak 
pernah lama bersarang di hatinya. Cendana selalu 
menemukan cara yang tepat untuk mengusir kesedihannya. 




"Tidak, Cendana." Si nenek menggeleng. "Aku tidak 
termasuk dalam deretan wanita-wanita yang tertarik pada 
Pendekar Penyebar Asmara. Tapi harus kuakui, lelaki itu 
memang amat menarik. Kalau saja belasan tahun lalu usiaku 
lebih muda dua puluh tahun, mungkin aku pun akan tertarik 
padanya." 

"Kalau demikian, mengapa nenek sakit hati padanya?" 
kejar Cendana, penasaran. 

"Muridku tewas akibat ulahnya. Meski bukan 
sepenuhnya kesalahan Pendekar Ftenyebar Asmara, tap dia 
bertanggung jawab atas ke matian muridku!" tegas di nenek 
sambil mengarahkan pandangan kc langit. Seakan-akan di 
sana ada sesuatu yang dicarinya. Sepasang matanya kembali 
berkaca-kaca. Kejadian bertahun silam itu rupanya masih 
membekas di hatinya. 

"Bagaimana kejadiannya, Nek? Mengapa selama ini 
Nenek tak pernah menceritakannya padaku? Mengenai 
peristiwa itu, maupun tentang murid Nenek sebelum aku." 

"Aku sengaja tidak menceritakannya, Cendana," jawab 
si nenek tanpa mengalihkan pandangan. "Aku tidak ingin 
mengorek luka lama. Dengan tidak menceritakannya, aku 
seperti lupa akan hal itu. Apalagi ke beradaan mu lebih berarti 
dari pada muridku yang dulu" 

Si nenek kemudian menatap wajah Cendana lekat- 
lekat. Dua pasang mata mereka saling bertatapan. 

"Muridku yang terpikat hatinya oleh Pendekar Pe¬ 
nyebar Asmara telah menjerahkan jiwa dan raganya pada 
pendekar itu. Tapi, ketika muridku meminta Pendekar 
Penyebar Asmara untuk menjadikannya sebagai istri, si 
pendekar itu mengajukan syarat. Muridku tidak bisa 
mengekang kebebasannya. Jadi, Pendekar Ftenyebar Asmara 
boleh memiliki istri semaunya, asal wanita yang diingininya 
bersedia. Syarat Pendekar Penyebar Asmara tidak bisa 
dipenuhi muridku. Pendekar Penyebar Asmara lalu 
me nin ggalkan nya." 

"Kejam sekali dia!" rutuk Cendana. "Apakah murid 
Nenek itu tidak menghalangi kepergiannya?" 

"Apa daya muridku yang memiliki ilmu seujung kuku 
Pendekar Penyebar Asmara? Tanpa menemui kesulitan 
pendekar itu pergi. Muridku yang ternoda dan dalam 
cekaman rasa kecewa, setelah mengadu padaku, ia lalu 
membunuh diri di hadapanku! Dia tidak pantas lagi hidup, 
katanya." 

"Itu kejadian belasan tahun silam. Sekarang kau baru 
hendak membalas dendam, Nek?" tanya Cendana dengan 
tidak senang. 

"Aku tidak bermaksud melakukan pembalasan secara 
keras, Cendana. Kepandaian Ftendekar Penyebar Asmara 
terlalu tinggi untuk kuhadapi. Tak sampai setahun setelah 
kematian muridku, aku yang mencari-cari pendekar itu 
berhasil menemukannya. Pertarungan antara kami teijadi. 
Aku berhasil dirobohkannya. Tapi, Pendekar Penyebar 
Asmara tidak membunuhku. Bahkan, dia menyatakan 
penyesalan ketika mendengar dariku tentang nasib naas yang 
menimpa muridku," si nenek mengakhiri kisahnya. 

Suasana menjadi hening setelah nenek berpakaian 
hitam menghentikan ceritanya. Kedua wanita itu tenggelam 
dalam alun pikiran sendiri-sendiri. 

"Pembalasan apa yang hendak kau lakukan, Nek?" 
tanya Cendana memecah keheningan yang mencekik. 

"Begini, Cendana. Kau memiliki wajah yang amat 
cantik. Aku yakin sembilan dari sepuluh lelaki akan jatuh 
cinta padamu. Pendekar Mata Bongsang itu pun akan 
terpikat padamu. Kuharap kau sudi membalas sakit hatiku 
dengan berpura-pura menyukainya. Kau harus 
mempermainkannya dan jangan sampai terpikat padanya. 
Buktikan kalau ucapan yang tadi kau katakan mengenai 
lelaki, benar adanya." 

"Bagaimana kalau pendekar itu melakukan kekerasan 
padaku, Nek? Bukankah kepandaiannya amat tinggi? Tidak 
akan sulit baginya melakukan hal itu!" Cendana 
mengutarakan kckhawanrannya. 

Si nenek tersenyum lebar dan menggelengkan kepala. 

"Itu tidak akan teijadi, Cendana. Meski gemar wajah- 
wajah cantik, Pendekar Penyebar Asmara tidak pernah 
melakukan kekerasan untuk mendapatkan tubuh wanita 
yang disukainya. Dia terlalu tinggi hati untuk melakukan hal 
serendah itu. Tambahan lagi, dia merupakan tokoh golongan 
putih. Pantangan besar bagi seorang pendekar melakukan 
hal seperti itu" Cendana membisu 

"Bagaimana, Cendana?" tagih si nenek "Apakah kamu 
sekarang masih hendak mogok jalan?" 

"Tentu saja tidak, Nek. Dengan senang hati aku akan 
ikut denganmu. Ceritamu mengenai Pendekar Bermata 
Bongsang itu semakin menambah besar keinginanku untuk 
ikut. Aku jadi ingin tahu sampai di mana ketampanan 
pendekar itu hingga membuat wanita tergila-gila kepadanya!" 

Nenek berpakaian hitam tersenyum gembira 
bercampur geli. Lenyap sudah kesedihan yang semula 
melanda hatinya, bak awan tertiup angin. 


•k-k-k 


"Lurik...! Kembali...!" seru seorang gadis. 
Pandangannya diarahkan ke angkasa. Di sana yang 
dipanggilnya berada. 

Lurik yang ternyata seekor burung elang hitam 
berbintik-bintik putih seakan tidak mendengar seruan itu. 
Dia terus melesat ke arah puncak salah satu gunung di 
deretan Pegunungan Sewu. 

Gadis berpakaian hijau pupus tampak cemas bukan 
main. Setelah kebingungan sesaat, dia melesat mengejar ke 
arah yang dituju burung itu. Tentu saja gadis yang memiliki 
wajah cantik dengan bentuk wajah bulat telur harus 
beberapa kali melihat ke angkasa agar tidak kehilangan jejak. 

Gadis berpakaian hijau pupus ini mengejar dengan 
perasaan heran. Baru kali ini Lurik tidak mempedulikan 
seruannya. Biasanya binatang itu amat penurut. Malah, tidak 
pernah meninggalkan tempatnya bertengger di cabang pohon 
dekat pondok si gadis. 

"Larasati, hendak ke mana kau...?!" seru seorang 
lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, berkulit hitam legam 
dan bergigi tonggos. 

Lelaki ini tengah berada di dalam rumah. Ia keluar 
karena mendengar kegaduhan di depan. 

Larasati, si gadis berpakaian hijau pupus, menoleh 
sebentar. 

"Aku hendak mengejar Lurik dulu, Ayah. Tingkahnya 
kelihatan aneh bukan main!" jawab Larasati. 

"Hati hati, Laras...!" seru lelaki bergigi tonggos lagi. 
Kali ini tidak mendapatkan jawaban dari Larasati. Meskipun 
demikian, lelaki ini tidak menjadi kecil hati. Dia yakin 
Larasati mendengar seruannya. Itu sudah cukup. Larasati 
adalah seorang anak yang taat pada orangtuanya, terutama 
sekali ayahnya. Setiap nasihat ayahnya selalu 
diperhatikannya baik-baik. Itulah sebabnya, kendati tidak 
mendapatkan jawaban, lelaki itu tidak menjadi khawatir. 

"Apa yang terjadi, Kak Tanggur?" tanya seorang 
wanita setengah baya ketika lelaki bergigi tonggos melangkah 
ke ambang pintu, hendak masuk kembali ke dalam rumah. 

"Lurik bertingkah aneh. Larasati tengah mengejarnya 
untuk membawanya pulang," jawab lelaki itu. 

"Kau biarkan dia pergi, Kak?" desak wanita 
berpakaian abu-abu, tak puas. Sinar matanya penuh 
tuntutan. 

"Mengapa tidak, Sakini? Larasati bukan gadis 
sembarangan. Dia telah memiliki bekal yang cukup untuk 
menghadapi bahaya di jalan. Lagi pula, tempat ini sepi. Tidak 
pernah dikunjungi orang. Untuk apa dicemaskan?" bantah 
Tanggur, ringan. 

"Kalau terjadi sesuatu padanya di tengah jalan, 
bagaimana?" Si wanita yang menjadi istri Tanggur ini tampak 
begitu khawatir. 

Tanggur menatap wajah istrinya lekat-lekat. Dia tidak 
menyalahkan sikap istrinya yang terlalu mencemaskan 
Larasati. 

"Larasati sudah dewasa. Aku yakin dia dapat menjaga 
diri. Dan lagi kepergiannya tidak jauh. Ingat, Sakini. Tak 
lama lagi Larasati harus terjun ke dunia persilatan untuk 
mengamalkan ilmunya dan mencari pengalaman. Di samping 
itu, agar mendapat jodoh yang sesuai. Apakah kau tidak 
ingin segera menimang cucu?" 

Sakini mulai sedikit tenang. Ucapan Tanggur rupanya 
masuk akalnya juga. 

"Meski demikian, aku tetap khawatir, Kak Tanggur. 
Larasati masih terlalu hijau, sedangkan dunia persilatan 
demikian kejam dan tak kenal ampun...." 

"Tenangkan hatimu, Sakini," hibur Tanggur. "Kelak 
apabila saatnya turun gunung tiba, aku akan memberikan 
nasihat-nasihat yang amat berguna untuk bekalnya. Berdoa 
saja pada Tuhan agar dia diberikan keselamatan." 

Sakini sekarang benar-benar tenang. Dirasakan 
kebenaran semua ucapan suaminya. Dia tak membantah 
ketika Tanggur mengajaknya ke dalam. 

Sementara di tempat lain, Larasati harus menguras 
seluruh kemampuannya agar tidak kehilangan jejak Lurik. 
Burung itu tidak mengalami hambatan dalam perjalanannya. 
Namun, tidak demikian halnya dengan Larasati. Lereng yang 
terjal dan curam membuatnya harus mengerahkan seluruh 
ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Jika tidak ingin 
celaka. 

Begitu hampir mencapai puncak, Larasati mendengar 
bunyi pekikan khas burung. Tapi tidak hanya satu, 
melainkan dua! Satu di antaranya dikenal gadis itu sebagai 
pekikan Lurik. Larasati semakin bersemangat untuk 
secepatnya tiba di puncak. Ftekikan Lurik yang didengarnya 
adalah pekik kemarahan! Ini berarti ada sesuatu yang 
membuatnya marah. 

Begitu menjejakkan kaki di puncak, Larasati menjadi 
tidak senang. Di puncak yang memiliki dataran rata itu 
tampak Lurik tengah berusaha untuk terbang. Ia mengepak- 
ngepakkan kedua sayapnya. Tapi, binatang itu tidak mampu 
terbang. Lurik hanya diam di angkasa dengan kedua sayap 
te rke pak-ke pak 

Di bawah, duduk tiga orang kakek yang memiliki ciri- 
ciri menyeramkan. Salah satu di antaranya mirip monyet 
besar. Mulutnya membentuk sedemikian rupa, mirip orang 
yang tengah mengisap sesuatu. 

Larasati yang memiliki kecerdikan segera mengetahui 
kalau bentuk mulut si kakek bukan karena dia tengah 
bermain-main. Karena mulut kakek gorilla itulah Lurik tidak 
bisa terbang! Kakek gorilla itu agaknya memiliki kepandaian 
tinggi. Setidak-adaknya dalam hal tenaga dalam. Tapi, 
Larasati tidak menjadi gentar karenanya. Kekhawatiran akan 
nasib Lurik membuatnya berani! 

"Kakek jahat! Lepaskan burungku...!" seru Larasati. 
Kemudian mebmpat mengirimkan tendangan bertubi-tubi te 
arah dada si kakek. Tendangan yang menimbulkan deru 
angin keras. 

Kakek gorilla tersenyum dengan mempergunakan 
matanya. Bentuk mulutnya diubah. Tidak untuk menyedot 
melainkan meniup! Kembali Lurik mengeluarkan pekikan 
nyaring. Tubuh binatang itu terhempas jauh 1$ atas bagai 
dihembus angin yang luar biasa keras. 

Des, des, desss! 

Tendangan Larasati mendarat di sasaran dengan 
telak, karena kakek gorilla tidak mengelakkannya sama sekali. 
Tapi, kesudahannya bukan si kakek yang kesakitan. Justru 
Larasati yang memekik tertahan karena kaget dan sakit. 

Tubuh Larasati terpental ke belakang. Mulutnya yang 
memiliki sepasang bibir indah mengsluarkan jeritan. Larasati 
merasakan seolah yang ditendangnya bukan tubuh manusia 
yang terdiri dari daging dan tulang, melainkan gumpalan 
karet yang keras dan kenyal! 

"Raja Monyet, tak disangka kita menemukan alat yang 
dapat digunakan untuk menguji kemampuan kita! Sekarang, 
kita buktikan siapa yang lebih berhak untuk menduduki 
tempat pertama. Kau atau aku. Atau, Kelabang Merah!" 
Kakek yang memiliki tubuh pendek bulat dan gemuk mirip 
bola, membuka suara. 

"Benar!" sambung kakek terakhir yang dipanggil 
Kelabang Merah. Tokoh ini memiliki bentuk tubuh luar biasa. 
Tinggi kurus mirip bambu. Kulit tubuhnya merah seperti besi 
dipanaskan. 

Larasati yang telah berhasil menjejak tanah, wajahnya 
berubah hebat, begitu mendengar percakapan ketiga kakek 
itu. Ayahnya telah bercerita banyak tentang tokoh-tokoh 
dunia persilatan, baik dari golongan hitam maupun putih. 

Di antara tokoh-tokoh golongan hitam, julukan Raja 
Monyet yang lengkapnya Raja Monyet Bertangan Seribu, 
Kelabang Merah, dan Gajah Kecil merupakan tokoh-tokoh 
terbesar kaum hitam! Saking besarnya, mereka sampai malu 
untuk teijun ke dunia persilatan. Mereka merasa tidak 
memiliki lawan yang seimbang. Ketiga tokoh ini dikenal 
dengan sebutan Tiga Binatang Iblis Neraka! 

Larasati tidak pernah membayangkan akan bisa 
bertemu dengan pentolan-pentolan dunia hitam yang sudah 
menjauhkan diri dari dunia persilatan ini. Menurut kabar, 

Tiga Binatang Iblis Neraka lebih sibuk menentukan siapa di 
antara mereka bertiga yang paling lihai. Sekitar lima belas 
tahun mereka telah mengasingkan diri, dan mengadakan 
pertemuan lima tahun sekali untuk menentukan pihak yang 
terlihai dan patut disebut datuk sesat nomor satu. 

Dari percakapan yang didengarnya, Larasati tahu 
kalau dirinya akan dijadikan sasaran uji coba pertandingan 
tiga tokoh sesat itu. Larasati tidak menginginkan hal itu 
terjadi. Maka, ketika dilihatnya Lurik telah bebas dari 
pengaruh ilmu Raja Monyet Bertangan Seribu, Larasati 
segera membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan 
tempat itu. 

Tapi, baru beberapa kali lesatan larinya segera 
dihentikan. Beberapa tombak di depannya, telah berada Tiga 
Binatang Iblis Neraka dalam sikap yang sama saat 
ditinggalkan! Mereka sibuk bercakap-cakap. 

Larasati merasakan adanya ancaman bahaya. Tiga 
Binatang Iblis Neraka tidak mau melepaskannya pergi. 
Karena itu mereka menghadangnya. Entah bagaimana hal itu 
terjadi, Larasati tidak mengerti. Dia tidak melihat ketiga 
kakek itu berlari mendahuluinya. Tahu-tahu mereka telah 
berada di depannya. 

Kejadian kedua ini mengakibatkan Larasati lebih 
yakin kalau Tiga Binatang Iblis Neraka benar-benar memiliki 
kepandaian luar biasa tinggi. Rasanya tidak mungkin 
melarikan diri dari mereka dengan cara kekerasan. Maka, 
Larasati memasang senyum manis di bibir. 

"Orang-orang tua gagah, berilah aku jalan. Aku 
hendak pulang dan menemui orangtuaku. Aku yakin 
sekarang mereka tengah menungguku dengan hati cemas," 
ujar Larasati dengan suara lembut dan sesopan mungkin. 

Kelabang Merah mendengus. Sepasang matanya yang 
hampir tak ubahnya sebuah garis, menatap Larasati. Si gadis 
mengkirik bulu kuduknya melihat sepasang mata yang 
menyorot kehijauan itu! 

"Salahmu sendiri mengapa datang ke tempat ini. Kau 
tidak bisa pergi sebelum urusanmu dengan kami selesai!" 

"Kalau kau memiliki kepandaian, mungkin bisa 
meninggalkan tempat ini, Nona Cantik!" Gajah Kecil ikut 
menimpali sambil tersenyum lebar. Kakek ini memang 
terlihat aneh. Wajahnya selalu kelihatan tersenyum. 

"Aku memiliki sedikit kepandaian. Tapi, apa artinya 
jika dibandingkan dengan kepandaian kalian, Orang-orang 
Tua Gagah yang memiliki kesaktian demikian menakjubkan!" 
bantah Larasati sedikit memuji. 

"Kau pandai mengambil hati, Nona," Raja Monyet 
Bertangan Seribu tak mau ketinggalan. Kakek ini berbicara 
dengan tenang dan kelihatan penuh kesungguhan. "Harus 
kami akui kalau ucapanmu itu tepat! Karena itulah, kami 
tidak akan menarik keuntungan dari kelebihan yang kami 
miliki. Asal kau mampu bertahan dan serangan kami sejurus 
saja, kau boleh meninggalkan tempat ini. Kau boleh 
melakukan tindakan apa pun sesukamu, yang penting kau 
tidak roboh dalam sejurus. Bagaimana?" 

Larasati terdiam sejenak. Gadis ini merasa heran. 
Raja Monyet Bertangan Seribu yang memiliki ciri-ciri 
mengerikan ternyata mempunyai sikap yang demikian halus. 
Perkataannya sopan dan lemah lembut, seperti bukan keluar 
dari tokoh sesat sakti yang mirip monyet besar itu. 

"Bagaimana kalau aku tidak mau?" pancing Larasati 
untuk mengetahui kelanjutan tindakan yang akan diambil 
Tiga Binatang Iblis Neraka. Terutama Raja Monyet Bertangan 
Seribu yang memiliki sikap sopan dan lemah lembut itu. 

"Tentu saja tidak apa-apa, Nona," jawab Raja Monyet 
Bertangan Seribu masih dengan suara halus. "Hanya saja 
kami, terutama aku, akan memintamu memberikan tanda 
mata sebagai kenang-kenangan kalau kita telah pernah 
bertemu." 

"Boleh kutahu tanda mata itu, Kek?" desak Larasati 
penuh rasa ingin tahu. 

"Tidak banyak dan mudah saja, Nona. Hanya dua biji 
matamu, dan potongan ujung hidungmu, serta dua kakimu. 
Itu saja sudah cukup." 

Leher Larasati bagai tercekik. Raja Monyet Bertangan 
Seribu kiranya tidak memiliki hati baik seperti ucapan- 
ucapannya yang sopan dan lembut. Kakek gorila ini memiliki 
hati yang luar biasa keji! Apa jadinya dengan dirinya bila 
tanda mata untuk kakek itu diberikan? Berdiri bulu kuduk 
Larasati membayangkannya. 

Larasati marah bukan main, ia merasa dirinya 
dipermainkan. Tapi, keoerdikannya melarangnya untuk 
mengumbar kemarahan. Hal itu hanya akan merugikan 
dirinya. 

"Kalau begitu, aku pilih menghadapimu selama satu 
jurus, Kek. Tapi, apakah janji yang kau ucapkan bisa 
dipercaya? Tidakkah sia-sia apabila aku berhasil bertahan 
sejurus, kau akan menjilat ludah dan mengingkari janji?" 

"Kalau kau mampu bertahan, Nona Cantik," Gajah 
Kecil memberikan jawaban lebih dulu. "Tidak hanya kami 
biarkan pergi. Tapi, kami bersedia menjadi budakmu! Ha ha 
ha...!" 

"Akan kuingat kata-katamu itu, Kek!!" sambut La- 
rasati cepat dengan hati lega. Secercah harapan bersemi di 
hatinya. Satu jurus tidak lama. Dia yakin akan mampu 
bertahan. 

Larasati segera mundur dua langkah untuk mengatur 
jarak. Dibentuknya kuda-kuda pertahanan yang amat kuat 

"Aku sudah siap, Kek. Silakan mulai. Siapa di antara 
kalian yang akan maju?!" beritahu Larasati setengah 
menantang. Gadis ini sengaja tidak bertindak sebagai 
penyerang, kemungkinan untuk dirobohkan lebih besar. 
Dalam penyerangan, banyak bagian-bagian yang terbuka 
dapat dijadikan sasaran penyerangan. Ini dapat membuatnya 
lebih mudah untuk dirobohkan! Lain halnya bila dibentuk 
pertahanan. Semua celah yang ada tertutup! 

"Kau cerdik, Nona," puji Raja Monyet Bertangan 
Seribu dengan mulut menyunggingkan senyum. Hanya, 
senyum yang terbentuk lebih mirip seringai karena wajah si 
kakek yang mengerikan "Tapi, kecerdikan seperti itu tidak 
ada artinya bila ditujukan padaku." 

Belum juga lenyap gema suaranya, Raja Monyet 
Bertangan Seribu telah melesat ke arah Larasati dalam 
keadaan masih bersila! Kakek ini tak ubahnya melayang. 

Larasati yang memang sudah bersiaga sejak tadi 
langsung melompat ke belakang. Raja Monyet Bertangan 
Seribu tetap memburunya. Jauh lebih laju dari pada gprakan 
menghindar Larasati. Begitu jarak antara mereka telah 
masuk dalam jangkauan serangan, kakek gorila itu 
melancarkan serangan dengan kedua tangannya yang besar 
dan berbulu! 

Larasati kelabakan, melihat tangan Raja Monyet 
Hertangan Seribu seperti berjumlah banyak. Sukar untuk 
diketahuinya mana yang asli dan bagian yang akan dijadikan 
sasaran serangan. Dengan sekenanya digerakkan kedua 
tangannya untuk membuat pertahanan! 

Larasati mengeluh tertahan ketika kedua tangannya 
lemas begitu dirasakan ada jari-jari tangan menyentuh 
sikunya. Sebelum keterkejutannya hilang, jari-jari tangan lain 
telah menotok bahunya. 

Tubuh Larasati langsung lemas dan ambruk ke tanah 
tak ubahnya karung basah. Raja Monyet Bertangan Seribu 
memenuhi janjinya, merobohkan Larasati sebelum satu jurus 
usai! 

"'Ilmu Tangan Bayangan'-mu masih memiliki 
keampuhan juga, Raja Monyet," dengus Kelabang Merah 
bersikap merendahkan. 

"Setidak-tidaknya masih lebih ampuh dari pada 'Ilmu 
Kelabang Terbang'-mu, Kelabang Merah!" sahut Raja Monyet 
Bertangan Seribu. 

"Rupanya kau ingin membuktikannya sekarang 
juga?!" Kelabang Merah yang memiliki sikap berangasan 
segera melangkah maju. 

Raja Monyet Bertangan Seribu tenang-tenang saja. 
Kakek itu tetap diam di tempatnya. Sebaliknya, Gajah Kecil 
cepat-cepat menengahi. Kakek ini dengan langkah mirip 
menggelinding, mengelak di antara kedua saingannya. 

"Kau jangan mau menang sendiri, Kelabang. Bukan 
hanya kau dan Raja Monyet saja yang ingin memperebutkan 
kedudukan pertama. Aku juga!" 

"Barangkali saja dia sudah tidak sabar untuk segera 
mencoba kedahsyatan ilmu 'Kelabang Terbang'ku!" rutuk 
Kelabang Merah. Suaranya agak lebih lembut 

"Mungkin saja begitu," sambut Gajah Kecil. "Tapi, 
salah seorang dari kalian pasti akan mendapat dua lawan. 
Aku! Karena, aku tidak akan berdiam diri tanpa adanya 
lawan. Seperti biasanya, kita tentukan siapa yang lebih 
berhak untuk bertarung lebih dulu!" 

Kelabang Merah hanya mendengus. Sedangkan Kaja 
Monyet Bertangan Seribu menyeringai, mempertunjukkan 
gigi-geriginya yang besar-besar dan runcing. 

"Usul yang bagus," puji Raja Monyet Bertangan 
Seribu. "Bagaimana pelaksanaannya?" 

"Tidakkah membosankan selalu begitu untuk memulai 
pertarungan?" dengus Kelabang Merah. 

"Kau mempunyai usul yang lebih baik, Kelabang?!" 
Gajah Kecil malah menantang. Kelabang Merah melotot, 
marah. Tapi kemudian dia diam dengan dengus kesal 
dikeluarkan dari hidungnya. 




Seorang pemuda berpakaian ungu mengayunkan kaki 
seenaknya menyusuri medan berbatu-batu kapur. Angin 
yang sesekali berhembus agak keras mempermainkan 
rambutnya yang tergerai putih panjang. Sebuah guci perak 
tersampir di punggung. Pemuda ini tidak lain Dewa Arak. 
Pendekar muda yang menggemparkan dunia persilatan, yang 
memiliki nama asli Aiya Buana. 

Ketenangan Aiya terusik ketika di kejauhan, di lereng 
bukit kapur, melesat tiga titik yang semakin membesar 
dengan cepat. Ftemuda yang selalu bertindak hati-hati ini 
segera bersembunyi di balik sebatang pohon jati besar. Dari 
tempat ini Aiya mengintai! 

Tiga sosok yang berasal dari puncak itu melesat 
dengan kecepatan mengagumkan. Begitu melihat dengan 
jelas cara ketiga sosok itu berlari, Arya mengernyitkan kening 
karena kaget dan heran. 

Sosok yang pertama, jangkung laksana bambu dan 
berkulit merah, berlari dengan mengandalkan sepasang 
kakinya yang panjang. Langkahnya lebar-lebar. Tapi 
terkadang sosok ini berlari dengan mempergunakan kedua 
tangannya. Cara ini tidak membuat lari kakek jangkung 
berkurang kecepatannya. Malah, semakin bertambah cepat! 

Sosok kedua bertubuh pendek gpmuk dan berperut 
gendut. Ia berlari tak kalah cepat dengan kakek jangkung. 
Padahal, kedua kakinya pendek tak ubahnya kaki babi! 
Sesekali kakek pendek ini bergulingan bak bola 
menggelinding. Ini membuat larinya bertambhh laju! 

Sosok ketiga tak kalah aneh caranya berlari. Kakek 
yang lebih mirip monyet besar daripada manusia ini lebih 
banyak melompat-lompat daripada mengayunkan kaki. Cara 
yang dipergunakannya membuat dua kakek terdahulu tidak 
bisa meninggalkannya. Mereka bertiga berlari berjajar! 

Aiya merasakan detak jantungnya bertambah cepat. 
Dari cara mereka berlari, bisa diketahui kalau ketiga kakek 
ini memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi. 

Semakin dekat jarak tiga kakek yang bukan lain Tiga 
Binatang Iblis Neraka, perasaan pemuda berambut putih 
keperakan ini semakin menegang. Jika ketiga kakek itu terus 
berlari ke kaki gunung, keberadaannya akan diketahui! 
Bukan tidak mungkin akan teijadi bentrokan. Aiya tahu, 
banyak tokoh-tokoh aneh di dunia ini yang meskipun tidak 
ada urusan, bisa dibuat sengketa yang berakhir dengan 
pertarungan. 

Kekhawatiran Dewa Arak ternyata tidak beralasan. 
Beberapa puluh tombak dari tempatnya berada ketiga kakek 
yang seperti tengah berlomba itu terlihat tidak akan turun 
lebih ke bawah. Mereka mengalihkan perhatian pada batu- 
batu kapur sebesar gajah yang beijajar di lereng gunung. 
Ketiga batu yang menilik letaknya telah diatur sebelumnya. 

Cara tiga kakek bertindak terhadap batu-batu besar 
itu kembali mengundang kekaguman di hati Dewa Arak. 
Kakek jangkung menjulurkan kedua tangan. T angannya yang 
memang sudah lebih panjang dari tangan manusia 
umumnya, memanjang lagi. Ia dapat menjangkau batu, yang 
hampir lima tombak jauhnya. 

Kakek pendek menggunakan cara yang lebih gila! 
Batu itu ditabrak dengan gulingan tubuhnya. Tapi, tidak 
hancur atau terguling kc kaki gunung. Batu itu malah 
bertengger di atas kepalanya. 

Kakek gorila menghentakkan kedua kakinya sehingga 
membuat batu melayang ke arahnya. Diterimanya jatuhnya 
batu dengan menggunakan kepala. Batu itu mendarat 
dengan pelan bagai ditaruh dengan hati-hati. Dan, melekat 
seperti direkatkan! 

Begitu mendapatkan batu, ketiga kakek ini 
membalikkan tubuh dan bersicepat menuju puncak. Batu 
sebesar gajah berada di atas kepala masing-masing. Meski 
dengan beban seberat itu, kecepatan lari mereka tidak 
berkurang. 

Dewa Arak tercenung memperhatikan Tiga Binatang 
Iblis Neraka yang semakin menjauh. Benak pemuda ini 
menduga-duga maksud tindakan ketiga kakek berkepandaian 
luar biasa itu. Akhirnya, Dewa Arak memutuskan untuk 
mengikuti meieka. Ingin diketahuinya secara jelas maksud 
tindakan mereka. Barangkali saja ada sesuatu yang tidak 
menyenangkan yang akan mereka lakukan. Dengan hati-hati, 
karena khawatir diketahui Tiga Binatang Iblis Neraka, Dewa 
Arak melesat ke arah puncak. Tak sampai puncak telah 
didengarnya teriakan-teriakan mereka. Aiya sempat 
menangkapnya sedikit. Perlombaan tadi dimenangkan oleh 
Raja Monyet Bertangan Seribu. Sedangkan Kelabang Merah 
dan Gajah Kecil, seri! 

Begitu tiba di puncak Dewa Arak segera menyelinap 
ke gundukan batu besar yang ada di situ. Ftemuda berambut 
putih keperakan ini memang telah mengincar tempat itu 
sewaktu belum mencapai puncak. Dari tempat ini diamatinya 
sekitar puncak dan Tiga Binatang Iblis Neraka. 

Aiya menghela napas berat ketika melihat 1$beradaan 
seorang gadis berpakaian hijau pupus. Gadis itu tergolek 
lemas di tanah. Gadis yang bukan lain Larasati itu tertotok 
lemas. 

Tak jauh dari tubuh Larasati, tergolek bangkai dua 
ekor burung elang. Yang satu Lurik, sedangkan yang lain 
adalah burung elang yang menjadi kawan hidup Lurik. Lurik 
dengan nalurinya tahu akan adanya ancaman terhadap 
kawan hidupnya. Karena itu, dia pergi ke puncak Gunung 
Sewu ini untuk menolong. Tapi, binatang ini pun menjadi 
korban pula. Dia tewas akibat tangan Raja Monyet Bertangan 
Seribu yang kejam, meski selalu terlihat baik hati karena 
sikap dan gerak-geriknya yang lemah lembut. 

Lurik tewas, jatuh ke tanah setelah terbang beberapa 
tombak. Larasati yang semula mengira binatang 
kesayangannya itu selamat, menangis di dalam hati. Marasa 
keliru kalau mengira Raja Monyet Bertangan Seribu akan 
melepaskan burungnya. Jangankan hanya seekor burung, 
nyawa manusia pun bagi kakek ini tak ubahnya nyawa 
nyamuk! 


*** 


"Sekarang kalian berdua yang harus bertarung untuk 
menjadi lawanku," ujar Raja Monyet Bertangan Seribu sambil 
menatap kedua saingannya bergantian. "Seperti yang telah 
disetujui bersama, pertarungan tenaga dalam yang akan 
kalian lakukan. Dalam ilmu lari cepat dan meringankan 
tubuh, kalian berimbang. Sekarang, buktikan kalau salah 
satu di antara kalian pantas untuk melawan aku!" 

Kelabang Merah mendengus. Suatu kebiasaan buruk 
yang telah menjadi ciri khasnya. Dengan kasar dia membuka 
percakapan 

"Biar aku yang mulai lebih dulu...!" 

Kelabang Merah kemudian membuat sepasang ta¬ 
ngannya bertambah panjang. Kali ini yang menjadi sasaran 
adalah tubuh Larasati. Tangan-tangan Kelabang Merah yang 
memiliki jari-jari panjang dan berkuku hitam mencekal kedua 
pinggang Larasati. 

Larasati yang bisa bersuara, memekik pelan. Kaget 
dan geli karena pinggangnya dicekal. Pekikannya berganti 
dengan makian ketika jari-jari tangan Kelabang Merah 
dengan liarnya meremas-remas dua bukit kembar di 
dadanya. 

"Rupanya kau pandai memanfaatkan kesempatan, 
Kelabang! Atau, kau masih ragu-ragu untuk mulai 
menentukan keunggulanku?!" ejek Gajah Kecil. 

Gajah Kecil mengeluarkan perkataan seperti itu 
bukan karena ingin menolong Larasati dari rasa malu. Sama 
sekali tidak! Malah, kate k ini suka melihat Larasati merasa 
malu dan menderita. Tapi, yang lebih penting baginya 
sekarang adalah menentukan siapa yang lebih unggul agar 
segera bisa bertarung dengan Raja Monyet Bertangan Seribu. 

Kelabang Merah mendengus. Dengan sorot mata 
geram dilemparkan tubuh Larasati ke arah Gajah Kecil. Tak 
lupa, dibebaskan dulu totokan yang membuat gadis itu tak 
bisa bergerak. Kelabang Merah sengaja melakukan hal itu 
untuk membuat Gajah Kecil agak repot! 

Maksud Kelabang Merah ternyata tidak berhasil. 
Gajah Kecil tanpa menemui kesulitan menangkap tubuh 
Larasati dan melemparkannya lagi ke arah Kelabang Merah. 
Kelabang Merah menangkap dan membalas melempar! 

Larasati yang menjadi korban permainan ini memaki- 
maki tak henti. Apalagi ketika beberapa kali bukit kembar di 
dadanya tercekal tangan Kelabang Merah maupun Gajah 
Kecil! Dia mencoba untuk meronta, bahkan mengirimkan 
serangan begitu tubuhnya terlontar. Tapi, dengan mudah 
dipatahkan dan tubuhnya diterima kemudian dilontarkan 
kembali. 

Menginjak puluhan kali lemparan, tubuh Larasati 
lebih sering tertutup pada Gajah Kecil! Baru selesai melempar 
dia telah menerima kembali. Ini menandakan Gajah Kecil 
masih kalah kuat tenaga disbanding saingannya, Kelabang 
Merah! 

Napas Gajah Kecil mulai memburu. Dahinya yang 
lebar telah basah oleh keringat. Semakin lama deru napasnya 
semakin memburu dengan cepat. Ketika kembali tubuh 
Larasati meluncur ke arahnya, Gajah Kecil mengibaskan 
tangan. Tubuh Larasati pun melayang. Ke tanah. 

"Bagus! Kau telah mengaku kalah, Gajah!" ujar Raja 
Monyet Bertangan Seribu, gembira. "Sudah sejak tadi 
tanganku gatal-gatal!" 

"Rupanya kau ingin meraih kemenangan dengan 
memanfaatkan di saat aku masih lelah!" Kelabang Merah 
menukas dengan suara agak memburu. Pertandingan dengan 
Gajah Kecil cukup membuatnya lelah. 

"Tenangkan hatimu, Kelabang," timpal Raja Monyet 
Bertangan Seribu, halus. "Tanganku gatal-gatal bukan untuk 
bertarung denganmu. Tapi, untuk memberikan hajaran pada 
orang yang berani mengintai pertemuan kita!" 

Raja Monyet Bertangan Seribu lalu mengeluarkan 
sepasang kecer yang berada di punggungnya. Di 
persembunyiannya, Dewa Arak bersikap waspada. 
Didengarnya Raja Monyet Bertangan Seribu telah mengetahui 
adanya orang yang mengintai pertemuan mereka. Meski 
demikian, pemuda berambut putih 1$perakan ini tidak mau 
keluar dari persembunyian. Bukan tidak mungkin pengintai 
yang dimaksud adalah orang lain. 

Kendati ada dugaan demikian, Aiya tidak berani 
bersikap ceroboh. Sekujur urat-urat sarafnya menegang 
penuh kewaspadaan. Ia bersiap-siap menghadapi segala 
kemungkinan yang tidak diharapkan. 

Aiya berusaha sedapat mungkin untuk tidak me¬ 
ngeluarkan bunyi sekecil apa pun. Dia berdiam di tempatnya. 
Di lain pihak, Kelabang Merah dan Gajah Kecil memusatkan 
pendengaran untuk mengetahui pengintai yang dimaksud 
Raja Monyet Bertangan Seribu. 

"Pengintip Hina, keluarlah kau...!" 

Raja Monyet Bertangan Seribu membenturkan 
kecemya satu sama lain dengan keras. Anehnya, tidak 
terdengar bunyi sedikit pun. Memang terdengar bunyi keras 
menggelegar. Tapi, berasal dari gundukan batu tempat Aiya 
bersembunyi yang hancur berkeping-keping. 

Dewa Arak melemparkan tubuh ke belakang sakting 
kagetnya. Kejadian ini sungguh di luar perkiraannya. Hanya 
berkat kesiapsiagaannya dia berhasil melompat ke belakang 
untuk menghindari serangan itu. 

Sungguh pun demikian, pecahan batu yang menyebar 
ke berbagai arah, beberapa di antaranya mengenai tubuhnya. 
Berkat tenaga dalam yang dimiliki tidak sedikit pun luka 
yang diderita Dewa Arak. Malah, batu-batu itu yang 
berpentalan begitu mengpnai tubuhnya. 

Raja Monyet Bertangan Seribu tersenyum ketika Aiya 
berhasil menjejak tanah secara mantap. Kakek ini tidak 
kelihatan kesal atau marah melihat kegagalan terangannya. 
Bahkan, dia gembira karena menemukan seorang lawan yang 
dianggapnya cukup tangguh. 

"Kau hebat, Anak Muda. Aku jadi ingin melemaskan 
otot-ototku yang kaku," ujar Raja Monyet Bertangan Seribu 
seraya menyimpan kecemya dan melangkah mendekati Aiya. 

"Huh! Hebat apanya?!" rutuk Kelabang Merah, tak 
senang. "Tokoh rendahan pun tidak akan menemui kesulitan 
mengelakkan serangan itu!" 

Gerutuan Kelabang Merah tidak ada yang 
menanggapi. Dewa Arak lebih memusatkan perhatiannya 
pada kakek gorila. Lawan di hadapannya ini tangguh bukan 
main! Tahunya Raja Monyet Bertangan Seribu akan tempat 
persembunyiannya telah menjadi bukti ketinggian tingkat 
kepandaiannya. 

Kali ini dia tidak bisa bermain-main. Ada Larasati 
yang harus segera menolongnya. Bertindak ayal-ayalan bisa 
merenggut nyawa gadis itu. Maka, di luar kebiasaannya, 
Dewa Arak melancarkan serangan lebih dulu. 

Pemuda berpakaian ungu ini mengirimkan pukulan 
bertubi-tubi ke arah dada Raja Monyet Bertangan Seribu. 
Pukulan-pukulan yang mengeluarkan bunyi berkesiutan 
nyaring. 

Raja Monyet Bertangan Seribu sampai mengunjukkan 
giginya yang tidak enak dilihat saking gembiranya 
mengetahui kedahsyatan serangan Dewa Arak. Penyakit 
lamanya, gemar untuk bertarung dengan lawan tangguh, 
muncul kembali. Tanpa ragu-ragu lagi dipapakinya serangan 
Aiya. 

Duk, duk, du***! 

Bunyi keras seperti logam-logam beradu terdengar 
ketika dua pasang tangan berbenturan. Tubuh Raja Monyet 
Bertangan Seribu terhuyung selangkah ke belakang, 
sedangkan Dewa Arak terpental ke udara. 

Dewa Arak memang sudah memperhitungkan 
kejadian ini. Lontaran tubuhnya dipergunakan untuk 
melampaui kepala Raja Monyet Bertangan Seribu. Ia terus ke 
belakang dan melesat 1$ arah di mana tubuh Larasati 
tergolek. 

Kelabang Merah dan Gajah Kecil yang menyaksikan 
jalannya pertarungan tidak tinggal diam. Meski tidak 
menduga hal ini akan teijadi, kedua kakek ini mampu 
bertindak cepat. Mereka langsung bergerak menghadang. 
Gajah Kecil mampu mendahului Kelabang Merah di dalam 
menghadang Dewa Arak! 

Aiya tidak menjadi kelabakan. Dia sudah 
memperhitungkan semuanya. Begitu dilihatnya tubuh Gajah 
Kecil meluruk ke arahnya dengan gedoran kedua tangan, 
segera dihentakkan kedua tangannya. Dewa Arak langsung 
menggunakan jurus 'Pukulan Belalang' yang dahsyat! 

Gajah Kecil mengeluarkan keluhan tertahan. Disadari 
kalau sebelum serangannya mendarat di sasaran, serangan 
Dewa Arak akan lebih dulu menghantamnya. Dia sedikit pun 
tidak menyangka Dewa Arak dalam waktu yang demikian 
singkat mampu mengirimkan serangan jarak jauh yang 
sangat dahsyat! 

Gajah Kecil segpra membanting tubuh dan 
bergulingan di tanah untuk menyelamatkan diri. Sedangkan 
Dewa Arak langsung menjejakkan kaki di tanah. Dilanjutkan 
dengan bergulingan 1$ depan, melewati kolong kedua kaki 
Kelabang Merah! 

Kelabang Merah menjejakkan kaki untuk 
menghancurkan tubuh Dewa Arak. Tapi, pemuda itu telah 
lebih dulu meletik bangkit sehingga tanah kapur amblas 
sedalam betis Kelabang Merah. Aiya sendiri segera 
menyambar tubuh Larasati dan melarikannya secepat 
mungkin menuruni puncak. 

Rentetan kejadian yang dilakukan Dewa Arak itu 
berlangsung demikian cepat dan singkat. Kendati demikian, 
tidak cukup untuk blos dari sergapan Raja Monyet 
Bertangan Seribu. Kakek gorilla ini membalikkan tubuh dan 
mengirimkan pukulan jarak jauh dengan dorongan tangan 
kanan! 

Dewa Arak mendengar deru bahaya mengancam di 
belakangnya. Tanpa menghentikan lari, disampokkan tangan 
kirinya yang bebas untuk memapak serangan Raja Monjet 
Bertangan Seribu. 

Blarrr! 

Puncak gunung itu bergetar hebat ketika dua pukulan 
jarak jauh yang memiliki kekuatan dahsyat bertemu di udara. 
Akibatnya, tubuh Dewa Arak terpental ke depan. Padahal 
saat itu ia tengah berada di udara. Keseimbangannya kurang 
terkuasai. Kakinya menabrak gundukan batu. Dewa Arak 
pun terjungkal membawa Larasati di pondongannya. 

Gulingan tubuh Dewa Arak hanya berlangsung 
sebentar. Dengan jejakan kaki pemuda ini kembali tegak 
berdiri dan berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu. 

Kelabang Merah dan Gajah Kecil melesat mengejar. 
Tapi, keberadaan Raja Monyet Bertangan Seribu di hadapan 
mereka membuat maksud itu terhalang. Gajah Kecil terutama 
Kelabang Merah, penasaran bukan main. Keduanya menatap 
Raja Monyet Bertangan Seribu dengan sorot penasaran. 

"Apakah kalian hendak menjatuhkan julukan Tiga 
Bimatang Iblis Neraka dengan melakukan pengeroyokan 
terhadap seorang pemuda yang tidak terkenal?!" ujar Raja 
Monyet Bertangan Seribu dengan suara lembut tapi sarat 
dengan teguran. 

"Jadi, menurutmu lebih baik kita biarkan pemuda 
usilan itu pergi?" sentak Kelabang Merah. 'Tidakkah tindakan 
itu akan lebih menghancurkan julukan kita? Apa kata orang- 
orang persilatan bila tahu seorang pemuda tak terkenal 
mampu merampas tawanan Tiga Hlnatang Iblis Neraka di 
depan hidung kita?!" 

"Itu tidak akan terjadi, Kelabang Merah. Aku akan 
mencarinya! Aku yakin, tidak sulit mencari pemuda yang 
mempunyai ciri-ciri demikian menyolok. Tanganku sudah 
gatal-gatal untuk bertarung dengannya!" tandas Raja Monyet 
Bertangan Seribu 

"Aku pun demikian, Monyet'" timpal Gajah Kecil. 
"Kurasa sudah saatnya bagiku untuk turun gunung dan 
kembali ke dunia persilatan. Aku yakin, sekarang banyak 
tokoh-tokoh hebat telah muncul. Buktinya, orang seusia 
pemuda itu telah memiliki kepandaian demikian tinggi!" 

Kelabang Merah tersenyum mengejek. Kakek ini 
kelihatan tidak senang mendengar ucapan rekan-rekannya 
yang memuji-muji Aiya. 

"Kelak akan kubuktikan kalau pemuda yang kalian 
puji-puji itu sebenarnya tak berarti. Akan kurobek-robek 
tubuhnya dan kubawa kepalanya ke hadapan kalian!" 

"Bagus sekali!" Gajah Kecil bersorak. "Bagaimana 
kalau pemuda itu kita jadikan syarat untuk menentukan 
siapa di antara kita yang patut menjadi orang pertama?" 

"Bagaimana maksudmu, Gajah?" tanya Raja Monyet 
Bertangan Seribu. Kelabang Merah hanya mendengus tak 
peduli. 

"Siapa yang lebih dulu membawa kepala pemuda itu, 
akan menjadi tokoh sesat tanpa tanding. Bagaimana?" 

"Sebuah usul yang bagus!" puji Raja Monyet 
Bertangan Seribu, gembira. 

"Tidak terlalu jelek," gumam Kelabang Merah sambil 
bersungut-sungut. "Bersiap-siaplah untuk mengangkatku 
sebagai tokoh sesat tanpa tanding!" 

Raja Monyet Bertangan Seribu hanya tersenyum lebar. 
Sedangkan Gajah Kecil tertawa terbahak-bahak mendengar 
sesumbar Kelabang Merah. 

"Kalian enak tidak mempunyai urusan lain. Aku 
masih ada urusan lainnya," keluh Gajah Kecil, iri. "Di 
samping mencari pemuda itu, aku harus menemui Pendekar 
Penyebar Asmara. Pendekar kemaruk wanita itu harus 
menerima balasan atas perbuatannya berani-beranian 
menggauli muridku." 

Raja Monyet Bertangan Seribu hanya tersenyum, 
tidak kelihatan tertarik dengan cerita itu. Dia hanya 
memberikan tanggapan singkat 

"Apakah kau akan balas perbuatannya dengan 
menggaulinya pula?" 

"Mungkin." Gajah Kecil mengangkat bahu. "Yang jelas, 
muridku tidak bisa dipermainkan begitu saja!" 

"Aku masih kurang jelas, Gajah. Yang digauli 
pendekar cabul itu muridmu atau gundikmu? Kudengar, 
orang yang kau sebut muridmu itu gila lelaki!" selak Kelabang 
Merah, sinis. 

"Apa salahnya kalau aku menggauli muridku sendiri, 
Kelabang? Di samping dia menikmati hubungan itu, dia 
mendapatkan ilmu-ilmu yang hebat dariku!" kilah Gajah Kecil 
sambil tersenyum lebar. "Sayang, umurnya demikian singkat. 
Murid kesayanganku itu tewas akibat pendekar kemaruk 
perempuan itu!" 

"Tidak salah dengarkah aku? Bukankah kau sendiri 
yang membunuh muridmu ketika dia memintamu untuk 
menurunkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi karena Pendekar 
cabul itu menolak keinginannya untuk menjadikannya istri?" 
ejek Kelabang Merah terus menekan saingannya. 

Gajah Kecil tertawa bergelak. Dia tidak kelihatan sedih 
atau geram mengingat kematian murid sekaligus gundiknya. 
Bahkan, ketika menceritakannya pun wajahnya biasa saja. 
Tidak kelihatan ada duka sedikit pun. 

"Pendengaranmu rupanya masih cukup baik, Ke¬ 
labang Merah. Muridku mati di tanganku. Tapi, semua itu 
akibat ulah Pendekar Penyebar Asrama. Penghinaan ini harus 
kubalas! Apa kata orang-orang persilatan bila tahu kematian 
muridku tidak kubalaskan? Mereka akan mengira aku, Gajah 
Kecil, takut terhadap Pendekar Penyebar Asmara!" 

Setelah berkata demikian, Gajah Kecil melesat 
meninggalkan tempat itu. Kelabang Merah dan Raja Monyet 
Bertangan Seribu berdiam diri saja. Mereka tidak berusaha 
mencegah. Malah, keduanya saling bertatapan dengan sinar 
mata penuh tantangan. Terutama Kelabang Merah. Di 
samping kakek jangkung memang memiliki watak pemarah, 
dia sudah tak sabar lagi untuk segera menempati urutan 
pertama di kelompok Tiga Binatang Iblis Neraka. Tidak nomor 
dua seperti lima tahun sebelumnya. 

"Apakah kau ingin bertarung sekarang, Kelabang? 
Inginkah kau melanggar ketentuan yang telah dibuat. Bukan 
hanya kau, aku pun tak sabar lagi untuk menentukan 
tempat teratas di antara kita. Tapi, aku masih bisa menahan 
sabar. Yang penting bagiku adalah pemuda berambut putih 
itu. Tak pernah ada orang yang bisa lolos dari Raja Monyet 
Bertangan Seribu. Pemuda itu secepatnya harus mati di 
tanganku!" 

Raja Monyet Bertangan Seribu melompat-lompat 
meninggalkan Kelabang Merah. Kakek jangkung ini tak 
menghalangi kepergian saingan beratnya. Dipandanginya 
sesaat sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu pula. 




Aiya baru menghentikan lari ketika dirasakan 
jaraknya telah jauh dari puncak gunung. Ia telah tiba di 
hamparan hutan pohon jati, di kaki gunung. 

Larasati segera melompat turun. Wajah gadis itu 
merah padam. Amarah yang menyebabkan wajahnya 
berwarna demikian. Aiya rupanya telah menyentuh-nyentuh 
pinggulnya di kala memondongnya. Larasati menganggap 
Aiya sengaja memanfaatkan kesempatan. Maka begitu 
totokan yang membuatnya lemas berangsur hilang dan 
kebetulan Aiya berhenti berlari, dia melompat turun dari 
pondongan. 

"Manusia kurang ajar...!" maki Larasati geram. Lalu 
mengirimkan tendangan ke arah perut Aiya. Serangan itu 
dikirimkan Larasati berbarengan dengan keluarnya makian 
dari mulutnya. 

Di saat kaki Larasati terayun, gadis ini baru melihat 
cairan merah kental mengalir dari mulut Aiya. Pemandangan 
ini membuat Larasati terkejut dan hampir terpekik. Sedapat 
mungkin serangannya dialihkan, karena untuk 
membatalkannya sudah tidak mungkin lagi. Tenaga yang 
dikeluarkan pun dikurangi. 

Desss! 

Usaha Larasati tidak sia-sia. Sasaran yang dihantam 
kakinya adalah paha kanan Aiya. Tubuh pemuda berambut 
putih keperakan itu teijengkang ke belakang dan terguling- 
guling. Ketika gulingannya berhenti, diam tidak bergerak- 
gerak! Darah yang keluar dari mulutnya semakin banyak. 

Larasati bergegas memburu. Setengah beijongkok ia 
memeriksa keadaan Aiya dengan penuh rasa khawatir. 
Tarikan wajahnya menyiratkan penyesalan yang mendalam. 

Larasati yang sedikit banyak mengptahui pengobatan 
sadar kalau Dewa Arak terluka dalam cukup parah. Larasati 
tidak tahu mengapa penolongnya ini terluka. Yang dilihatnya, 
Dewa Arak selalu berhasil blos dari jegalan Tiga Binatang 
Iblis Neraka. Larasati tidak melihat kalau meski jejakan 
Kelabang Merah berhasil dielakkan, kibasan tangan kakek 
jangkung itu sempat menyerempet bahu kanan Aiya. 

Akibat serangan Kelabang Merah telah cukup 
membuat Dewa Arak terluka dalam. Luka itu semakin 
menjadi ketika Aiya dalam keadaan terjepit memapaki 
serangan jarak jauh Raja Monyet Bertangan Seribu. Padahal, 
pantangan besar bagi orang yang telah terluka dalam untuk 
mengerahkan tenaga dalam. Tindakan itu tidak hanya akan 
membuat luka bertambah parah. Tapi, juga dapat menyeret 
jiwa ke lubang kubur! 

Melihat penolongnya rebah dengan wajah pucat 
laksana mayat, Larasati menyesal bukan main telah 
menyerang. Arya sudah mempertaruhkan nyawa untuk 
menyelamatkannya. Tindakan pemuda itu untuk harus 
berlari dengan tidak mempedulikan seruan-seruannya yang 
minta diturunkan, karena ingin selekasnya bebas dari 
cengkeraman Tiga Binatang Iblis Neraka. Apabila terkejar 
pemuda itu pasti akan dengan mudah digilas lawan-lawan 
tangguhnya. Dalam 1$ adaan tidak dipengaruhi amarah 
Larasati dapat berpikir jernih. 

Mengingat akan pertolongan Dewa Arak, Larasati 
tidak ragu-ragu untuk menempelkan kedua tangannya dan 
mengalirkan tenaga dalam untuk mengobati luka Arya. Tapi, 
baru sebentar segera diurungkan karena Larasati tidak 
merasakan adanya detak jantung. 

Larasati kebingungan. Bukan karena tidak tahu cara 
untuk membuat jantung berdetak dan napas kembali normal. 
Tapi, karena cara yang akan dilakukannya. Gadis ini 
berperang dengan perasaannya sendiri. Beberapa saat 
peperangan batin itu berlangsung, sebelum akhirnya Larasati 
memutuskan untuk melakukannya! Diedarkan pandangan ke 
sekelilingnya untuk membuktikan kalau di sekitar tempat itu 
tidak ada orang lain. 

Dengan wajah merah padam hingga kedua telinganya, 
Larasati kemudian menempelkan mulutnya ke mulut Arya. 
Larasati menghembuskan napasnya untuk membuat Arya 
kembali bernapas. Beberapa saat dia meniup, kemudian 
menghentikannya, dan menekan-nekan dada Arya agar detak 
jantung kembali timbul. Beberapa kali gerakan pertolongan 
itu dilakukan sampai detak jantung Arya kembali normal. 

Larasati menghentikan pertolongannya. Sesaat 
ditatapnya wajah Arya dengan wajah menyemburat merah. 
Sebuah perasaan aneh muncul ketika melihat wajah tampan 
yang tarlihat matang dan tenang itu. Perasaan yang belum 
pernah dirasakan selama ini. Perasaan suka yang besar! 
Perasaan itu berkembang semakin besar ketika teringat 
tindakan Dewa Arak yang lelah menyelamatkan nyawanya. 
Rasa takut akan kehilangan dan tidak bertemu lagi dengan 
Aiya muncul di hatinya. 

Setelah puas memperhatikan pemuda berpakaian 
ungu itu, Larasati baru memberikan pertolongan untuk 
menyembuhkan luka dalam Aiya. Gadis ini menyalurkan 
hawa mumi di dalam tubuhnya. 


***


"Arrrggghhh...." 

Cendana menatap wajah gurunya. Yang ditatap 
kelihatan tenang-tenang saja. Cendana jadi penasaran. 
Apakah nenek baju hitam ini tidak mendengarnya? Geraman 
yang berasal dari kejauhan tapi mampu menimbulkan 
getaran pada tanah yang dipijaknya! 

"Suara apakah itu, Nek? Mungkinkah suara binatang 
buas yang tengah murka?" 

Cendana yang tidak kuat menahan rasa ingin tahu 
din herannya, mengajukan pertanyaan itu tanpa 
menghentikan lari. Si nenek bersikap seperti tidak 
mendengarnya dan tems mengayunkan kaki dengan cepat. 

"Aku yakin bukan, Cendana," jawab si nenek. "Suara 
itu keluar dari mulut manusia. Seorang yang memiliki 
kekuatan tenaga dalam luar biasa!" 

"Itu sudah pasti, Nek. Kurasakan sendiri getarannya 
di tanah," dukung Cendana. "Kira-kira dari mana asalnya?" 

"Kalau aku tidak salah duga, di sana," jawab si nenek 
sambil menudingkan jarinya ke sebelah kiri depan. 

Cendana diam. Dia tems berlari mengikuti si nenek 
yang beberapa kaki di depannya. Benak gadis ini dipenuhi 
pikiran tentang bunyi geraman keras itu. Cendana gadis 
manja yang selalu ingin tahu. Maka, bunyi itu menimbulkan 
rasa ingin tahu yang besar. 

"Tidakkah kita lihat dulu penyebab bunyi itu, Nek?" 

"Kurasa lebih baik tidak, Cendana. Barangkali saja 
bunyi itu keluar dari mulut seorang tokoh sakti berwatak 
aneh yang tengah berlatih. Kemunculan kita bisa diartikan 
sebagai gangguan. Itu bisa dijadikannya alasan untuk 
menyerang kita. Lebih baik kita menjauhi tempat itu, bukan 
malah mendekatinya," si nenek memberi nasihat. 

"Tapi, Nek," dengan dua kaki terus terayun agar tidak 
tertinggal oleh si nenek baju hitam, Cendana mengajukan 
bantahan. Bukan karena yakin lebih tahu dari gurunya, tapi 
karena rasa ingin tahunya yang besar. "Kita kan tidak 
bermaksud jahat. Mana mungkin akan diserang atau 
dicelakai. Toh, belum tentu tokoh yang menjadi pemiliknya 
orang golongan hitam, bagai mana kalau di sana ada orang 
teraniaya yang membutuhkan pertolongan?" 

Nenek baju hitam diam. Sambil terus berlari dia 
menimbang-nimbang. Harus diakui bantahan Cendana 
mungkin ada benarnya. Bukan tidak mungkin geraman yang 
layak keluar dari mulut binatang buas itu, berasal dari orang 
yang tengah membutuhkan pertolongan. 

"Ayolah, Nek. Kita lihat dulu," desak Cendana. Gadis 
ini yakin si nenek akan memenuhi keinginannya. Biasanya, si 
nenek tidak pernah menolak keinginannya. Dan, apabila itu 
terjadi, si nenek akan diam seperti saat sekarang ini. 

"Tapi kita tengah mempunyai urusan lain, Cendana. 
Urusan penting." Si nenek masih mencoba untuk 
membantah. Tapi, pelan dan sekadarnya. 

"Apa salahnya, Nek. Kita hanya sebentar saja 
membuang waktu. Pendekar Mata Bongsang itu pun tidak 
akan pergi jauh. Begitu tahu aku dan nenek akan datang, dia 
pasti akan sabar menunggu. Bukankah dia gemar wajah 
cantik berjidat licin sepertiku? Aku yakin dia akan sabar 
menunggu," ujar Cendana. 

"Dia tidak tahu akan kedatangan kita, Cendana," kilah 
si nenek seraya menghentikan lari. 

"Itu lebih bagus lagi, Nek. Kita jadi tidak terikat, dan 
mempunyai waktu lebih banyak untuk mengetahui si milik 
geraman keras itu!" Cendana tidak kurang akal untuk 
memberikan bantahan. 

"Baiklah." Si nenek mengangguk dengan hati kurang 
setuju. Permintaan Cendana hampir tidak pernah bisa 
ditolaknya. Gadis itu terlalu pintar membujuknya. Dan, si 
nenek tidak sampai hati untuk menolak. "Tapi ingat, jangan 
melakukan tindakan macam-macam. Kau mau berjanji? 
Kalau tidak, mungkin kali ini aku tidak bisa memenuhinya." 

"Aku beijanji, Nek," jawab Cendana tanpa pikir 
panjang lagi, karena terlalu gembiranya. "Aku sudah yakin 
nenek akan mengabulkan permintaanku. Nenek sungguh 
bijaksana dan baik hati, karena itu pasti akan 
memenuhinya." 

Si nenek hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala 
mendengar ucapan Cendana. Bafinnya bertanya-tanya dalam 
hati. Bagaimana nasib Cendana kelak sepeninggalnya? Gadis 
itu terlalu polos dan lugu, sedangkan dunia persilatan amat 
keras dan penuh tipu. Perasaan si nenek selalu gundah jika 
mengingat hal ini 

Meskipun demikian, nenek berpakaian hitam ini 
mampu menyembunyikan kegalauan perasaannya. Pada 
wajahnya tidak terlihat gambaran perasaan itu. Dia tidak 
ingin Cendana mengptahuinya. Ditunggunya saat yang baik 
untuk menasihati gadis ini. 

"Ayolah, Nek. Tunggu apalagi? Nanti pemilik suara itu 
keburu pergi." Cendana mengingatkan dengan nada merajuk. 

Nenek berpakaian hitam tersenyum. Satu hal lagi 
yang membuatnya tidak pernah menolak keinginan Cendana. 
Cendana tidak pernah berani mendahuluinya melakukan 
sesuatu, kendati telah diizinkan. Padahal, seperti kali ini, 
bisa saja Cendana karena telah mendapat izin, melesat lebih 
dulu ke tempat itu. Tapi Cendana tidak melakukannya. Dia 
tidak berani bertindak lancang. Hal ini yang membuat rasa 
sayang si nenek semakin besar. 

"Jangan khawatir, Cendana. Aku yakin pemilik suara 
itu tidak akan pergi," ucap si nenek dengan bersungguh- 
sungguh. 

"Benarkah itu, Nek?" tanya Cendana, agak heran. 

"Aku yakin demikian." 

"Mengapa, Nek?" kejar Cendana. 

"Dia ingin melihat jidatmu yang licin, Cendana. Hi hi 
hi..." jawab si nenek sambil melesat meninggalkan Cendana. 

Cendana sadar kalau si nenek menggodanya. Dia pun 
melesat mengpjar dengan mulut cemberut Berpura-pura 
marah dan tidak senang! 


*** 

"Jangan membuat bunyi gaduh, Cendana," bisik si 
nenek pelan. Tangannya yang keriput disentuhkan 
kepergelangan tangan kiri muridnya untuk lebih menguatkan 
peringatannya. 

Cendana tidak berani membantah. Dirasakan nada 
kesungguhan dan ketegangan dalam ucapan gurunya. 
Napasnya hampir ditahan ketika melayangkan pandangan ke 
arah yang ditatap si nenek. 

Si nenek dan Cendana saat itu berada di pinggir 
tebing bukit kapur. Di hadapan keduanya terhampar dataran 
kapur yang rata, sekitar sepuluh tombak di bawah dasar 
tebing. 

Bukan tanah kapur datar itu yang menjadi pusat 
perhatian Cendana dan gurunya. Melainkan sesosok tubuh 
tegap milik seorang pemuda berahang kokoh. Lesmana! 
Pemuda ini tengah mengamuk. Memukul dan menendang ke 
sana kemari sambil mengeluarkan bunyi geraman keras. 

Lesmana tidak sendirian. Di sekitarnya tengah 
meluruk ke arahnya puluhan ekor ular dari berbagai jenis. 
Ular-ular itu berdesis-desis menyeramkan! 

Cendana merasa perutnya mual melihat ular 
sebanyak itu. Gadis ini merasa jijik bukan main. Perasaan 
yang dialami si gadis tidak dialami nenek baju hitam. 

Sementara di bawah sana Lesmana kembali 
menggeram keras sehingga membuat sekitar tempat itu 
bergetar hebat. Ular-ular itu pun menerima pengaruhnya. 
Beberapa di antaranya berkelojotan meregang maut 

Tindakan Lesmana tidak berhenti sampai di situ. 
Tangan dan kakinya digerak-gerakkan. Tidak mengenai ular- 
ular itu sebenarnya. Tapi, cukup untuk membuat binatang- 
binatang itu berpentalan bagai daun kering diterbangkan 
angin. 

"Seorang pemuda yang hebat..." 

Cendana mendengar ucapan itu di dalam telinganya. 
Gadis ini tahu kalau nenek baju hitam mengucapkannya 
dengan menggunakan ilmu mengirim suara dari jauh. 
Sehingga, hanya Cendana seorang yang mendengarnya. 

"Sayang, ada sesuatu yang membuat akal sehatnya 
tidak beijalan sebagaimana mestinya. Sayang sekali.... 
Pemuda hebat ini akan menjadi ancaman bagi orang lain. Dia 
akan menyebar bahaya tanpa menyadarinya. Sungguh keji 
orang yang menyebabkan dia melakukan perbuatan seperti 
ini...." 

"Apa yang terjadi dengan pemuda itu, Nek?" bisik 
Cendana 

Belum sempat si nenek memberikan jawaban, 
Lesmana menengok ke atas. Adu pandang pun tidak bisa 
dihindarkan lagi. Cendana dan si nenek tengah 
me mpe rh atikannya. 

Sekarang Cendana baru bisa memahami mengapa 
nenek baju hitam memberikan peringatan terhadapnya. 
Lesmana memiliki pendengaran luar biasa tajam. Begitu 
bersitatap, Cendana merasakan bulu kuduknya berdiri. Mata 
Lesmana merah membara, seperti mata binatang buas yang 
tengah murka. Wajahnya pun beringas menyiratkan hawa 
pembunuhan. 

"Bersiap-siaplah, Cendana. Pemuda itu akan 
menyerang kita," beritahu si nenek yang telah kenyang 
pengalaman itu. Nenek baju hitam ini tahu tidak ada 
gunanya menyesalkan kecerobohan Cendana. Nasi telah 
menjadi bubur! Yang lebih penting sekarang adalah 
bagaimana menghadapi Lesmana. 

Baru saja mulut si nenek terkatup. Lesmana 
menggeram keras. Kali ini geraman yang mengandung 
pengerahan tenaga dalam tinggi itu ditujukan pada Cendana 
dan gurunya. Si nenek tidak terlalu terpengaruh karena telah 
memiliki tenaga dalam amat kuat. Tapi, tidak demikian 
dengan Cendana. Gadis ini seperti mendengar bunyi 
halilintar yang meledak dekat telinganya! 

Dada Cendana tergetar hebat. Kedua kakinya 
menggigil keras sehingga tidak bisa menunjang tubuhnya. 
Cendana limbung dengan wajah pucat pasi. 

"Cendana...!" seru si nenek khawatir melihat keadaan 
muridnya. 

Hanya sampai di situ tindakan si nenek. Lesmana 
telah melompat ke atas dan menyerangnya dengan hantaman 
ke arah dada. Si nenek yang tadi mengalihkan perhatian kc 
arah Cendana, jadi tidak memiliki kesempatan untuk 
mengelak. Dipapakinya serangan itu dengan tinju kirinya. 

Dukkk! 

Tubuh si nenek terhuyung-huyung dua langkah ke 
belakang. Dadanya dirasakan sesak bukan main. Lesmana 
seperti tidak terpengaruh sama sekali. Pemuda itu meluruk 
dengan serangan-serangan lanjutan yang tak kalah dahsyat 

Si nenek tidak punya pilihan lain kecuali membela 
diri. Dengan seluruh kemampuan dihadapinya serangan 
Lesmana. Pertarungan sengit pun berlangsung! 

Cendana yang telah berhasil menguasai diri 
memperhatikan jalannya pertarungan dengan hati berdebar 
tegang. Perasaan oemas dan menyesal melanda hati. Cemas 
akan keselamatan gurunya dan menyesal karena telah 
melanggar larangan nenek itu untuk tidak berbicara. 

Saking cepatnya gerakan dua pihak yang bertarung, 
Cendana tidak bisa melihat secara jelas. Tapi, dari bayangan 
si nenek dan Lesmana yang saling gebrak, bisa 
diperkirakannya siapa yang berada di pihak menguntungkan. 
Dan si nenek kelihatan kewalahan bukan main. 

Penilaian Cendana memang tidak keliru. Meski nenek 
baju hitam telah menggunakan tongkatnya dan Lesmana 
bertangan kosong, tetap saja Lesmana yang berada di atas 
angin. Pemuda itu memiliki keunggulan di semua hal. Tidak 
hanya tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh, tapi juga 
ilmu-ilmu silatnya dan usianya yang masih muda. Tak 
sampai lima belas jurus Lesmana berhasil mendesak si 
nenek. 

"Cendana...! Lari...! Tinggalkan tempat ini!" 

Dalam keadaan tenepit si nenek mengingatkan 
muridnya. Disadari kalau dirinya tak akan mampu bertahan 
terus. 

Namun, bukannya menuruti seruan si nenek, Cen¬ 
dana malah mencabut pedang dan melompat masuk dalam 
kancah pertarungan. Bertepatan dengan itu, si nenek 
menyabetkan tongkatnya ke arah leher Lesmana! 

Trakkk! 

Tongkat patah tiga ketika Lesmana menyampoknya 
dengan teras. Tubuh si nenek terhuyung ke belakang. Saat 
itu pula Lesmana mengirimkan gedoran ke arah dada! 

Cendana yang melihat ancaman itu segera merubah 
arah serangannya. Tusukan yang semula ditujukan ke dada 
Lesmana, dialihkan ke pergelangan tangan si pemuda yang 
tengah meluncur ke arah dada nennek baju hitam! 

Takkk! 

Desss! 

Cendana memekik tertahan. Mata pedangnya tidak 
mampu membuat tangan Lesmana buntung. Pedang itu 
malah membalik dan gadis ini merasakan tangannya 
lumpuh. Kibasan tangan kiri Lesmana yang mengeluarkan 
deru angin dahsyat membuat tubuh Cendana terlempar ke 
belakang. 

Di saat yang bersamaan, tubuh nenek baju hitam pun 
terjengkang ke belakang. Tubuh murid dan guru ini jatuh di 
tanah secara berbarengan. Hanya saja, kalau Cendana meski 
terhuyung-huyung mampu mendarat dengan kedua kakinya, 
si nenek mendarat di tanah dengan punggungnya! 

"Nenek...!" 

Tanpa mempedulikan Lesmana lagi, Cendana 
menghambur ke arah tubuh si nenek yang tergolek. Suaranya 
sarat dengan kesedihan dan penyesalan. 

"Cendana...," sahut si nenek, berusaha menyugingkan 
senyum untuk menenangkan hati muridnya. Tapi, justru 
membuat Cendana semakin dililit perasa sedih. Darah 
mengalir dari sudut mulut si nenek. 

"Maafkan aku, Nek. Aku selalu menentang ucapanmu. 
Aku yang salah, Nek. Akulah yang menyebabkan nenek jadi 
seperti ini," ueap Cendana tersendat-sendat menahan isak di 
tenggorokan. Gadis ini duduk bersimpuh di dekat si nenek. 

Nenek baju hitam masih mampu menggelengkan kepala. 

"Kau tidak bersalah, Cendana. Ini yang namanya 
nasib. Malah, kau telah berjasa besar. Kalau tidak karena 
pedangmu yang membabat serangan pemuda itu, mungkin 
nyawaku telah melayang ke alam baka. Tindakan yang kau 
lakukan membuat tenaga serangan yang mengenai dadaku 
berkurang jauh. Kau telah menyelamatkanku, Cendana," 
hibur si nenek. 

Cendana semakin terpuruk dalam kesedihan. Hiburan 
si nenek menambah kesedihannya. Ia menyadari betapa 
besar kasih sayang si nenek terhadapnya, sedangkan 
balasannya selalu sikap yang membangkang. 

Bahu Cendana terguncang-guncang karena tangis 
yang tersendat. Cendana berusaha teras untuk bertahan 
agar tidak menangis. Tapi, kodratnya sebagai wanita yang 
memiliki perasaan lembut membuatnya harus berjuang 
keras. 

"Sudah lama aku mendapat firasat ajalku akan 
datang. Aku sudah bersiap-siap untuk memberitahukan mu 
beberapa hal, Cendana," ujar nenek baju hitam. 

Cendana mulai meneteskan air mata. Tidak ada suara 
tangisan yang keluar. Gadis yang memiliki watak periang dan 
manja ini ternyata memiliki kekerasan hati luar biasa. Dia 
malu untuk menangis. 

"Kuharap kau tidak menangis, Cendana. Relakan saja 
kepergianku. Hanya pesanku, kau tidak boleh berlarut-larut 
tenggelam dalam kesedihan. Dan, kau harus berhati-hati 
menghadapi orang-orang persilatan. Jangan sampai kau 
tertipu. Waspadalah selalu," si nenek mulai dengan 
wejangannya. 

Sementara Lesmana seperti terkesima melihat adegan 
mengharukan itu. Sepasang matanya yang semula merah 
membara mulai agak meredup. Bahkan, geraman-geraman 
yang dikeluarkan sudah tidak sekeras sebelumnya. Rupanya, 
adegan yang terpampang di depan matanya berhasil merasuk 
ke dalam lubuk hatinya! Karena, pada dasarnya pemuda ini 
memang bukan orang jahat. 

Ketika melihat Cendana meneteskan air mata, sinar 
mata Lesmana melembut. Ada penyesalan di dalamnya. 
Sambil mengeluarkan bunyi seperti keluhan, tubuhnya 
dibalikkan lalu melesat cepat meninggalkan tempat itu. 




Cendana duduk tercenung di atas gundukan batu 
sebesar terbau yang permukaannya datar dan rata. 
Wajahnya muram. Sepasang matanya yang biasanya berseri- 
seri penuh kehidupan, kini layu bagaikan lampu kehabisan 
minyak. Ada gumpalan kabut kedukaan di sepasang 
matanya. 

Terngiang-ngiang kembali ucapan gurunya sebelum 
menghembuskan napas penghabisan di pelukannya. 

"Jangan kau mendendam pada pemuda itu, Cendana. 
Dia tidak bersalah. Tindakan yang dilakukannya tidak 
disadarinya. Aku yakin pemuda itu orang baik-baik. 
Gerakan-gerakan pemuda itu kukenali milik seorang 
pendekar yang disegani. Kalau bisa, tolong dia. Sembuhkan 
dari penyakitnya yang membuatnya menjadi buas. Mungkin 
karena diracuni orang. Kau mau memenuhi permintaan 
terakhirku ini, Cendana?" 

Tanpa sadar Cendana mengangguk seperti yang 
dilakukannya waktu itu. Anggukan yang dirasakan gadis ini 
berat bukan main. Bagaimana mungkin pembunuh gurunya 
tidak dibalas, bahkan malah ditolong? Tapi, saat itu Cendana 
tidak punya pilihan lain. Si nenek hanya akan meninggalkan 
dunia dengan hati tenang bila permohonannya dikabulkan. 

Cendana menggertakkan gigi. Geram. Itu selalu terjadi 
setiap kali teringat wajah Lesmana. Tindakannya kali ini 
membuatnya sadar dari lamunan. 

Cendana melayangkan pandangan ke bawah, ke 
lereng gunung. Di bagian yang datar dilihatnya sebuah 
pondok sederhana. Pondok yang menjadi sebab gurunya 
keluar dari tempat tinggal dan akhirnya menemui ajal. 
Pondok yang menjadi tempat tinggal Pendekar Penyebar 
Asmara! 

Semangat Cendana bangkit kembali. Semula, ke- 
matian gurunya membuatnya tidak bersemangat untuk 
hidup. Ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Gurunya telah 
menjadi bagian yang amat penting dari kehidupannya. 

Bangkitnya semangat Cendana karena menyada 
masih ada tugas yang dibebankan di pundaknya. Tugas yang 
mungkin akan dapat menebus perasaan bersalah karena 
merasa telah menjadi penjebab kematian gurunya. Tugas itu 
adalah membalaskan sakit hati gurunya pada Pendekar 
Penyebar Asmara! 

Tugas ini membuat Cendana bagai bangkit kematian. 
Meski kedukaan tidak sirna dari wajahnya, langkahnya tidak 
selesu sebelumnya. Cendana melesa menuruni puncak 
dengan cepat. 

Tak berapa lama, pondok itu telah beijarak sepuluh 
tombak lagi. Tapi, Cendana terpaksa menghentikan lari 
karena mendengar bentakan keras. 

"Hey...! Berhenti...!" 

Dari dalam pondok melesat sesosok bayangan merah. 
Tidak terlihat jelas oleh Cendana karena cepatnya sosok itu 
bergerak. Hanya, mendengar suaranya yang melengking 
tinggi dan nyaring, gadis ini tahu pemilik suara itu adalah 
seorang wanita. 

Dugaan Cendana memang tidak keliru. Dua tombak di 
depannya berdiri seorang wanita berusia sekitar tiga puluh 
tahun. Wajahnya yang cantik terlihat matang. Apalagi karena 
model rambutnya yang digelung 1$ atas. Sebuah tahi lalat 
yang cukup besar menempel di ujung hidungnya. Seorang 
wanita yang cukup menarik, puji Cendana dalam hati. 
Apalagi ketika melihat bentuk tubuh wanita itu yang 
menggiurkan. 

"Mau apa kau kemari, Wanita Centil? Cepat pergi dari 
sini!" usir wanita berpakaian merah, ketus. 

Cendana yang tengah gusar karena kematian gu¬ 
runya, jadi marah bukan main melihat sikap kasar itu. 
Sepasang matanya menyambar wajah wanita di depannya 
dengan kilatan kemarahan. 

"Kau yang centil! Centil dan gila! Kalau tidak, 
mengapa tidak ada hujan atau angin memaki-maki orang?" 
balas Cendana, tak mau kalah memaki. 

"Tak perlu ada hujan atau angin untuk memakimu! 
Kau memang centil. Kalau tidak, untuk apa kau kemari?!" 
Wanita berpakaian merah menimpali lagi sambil bertolak 
pinggang. 

"Ada apa, Mirah? Mengapa ribut-ribut di luar?" 
sambut sebuah suara sebelum Cendana memberikan 
tanggapan. 

"Tidak ada apa-apa, Kak. Hanya gangguan kecil. 
Dapat kuatasi. Kau tidak usah keluar!" sambut Mirah, cepat. 

Cendana tersenyum mengejek. Kemudian, kepalanya 
diangguk-anggukkan. 

"Sekarang aku mengprti mengapa kau kelihatan 
khawatir sekali, nenek bawel dan galak!" ujar Cendana, 
seenaknya. "Kau pasti istri si Pendekar Mata Bongsang! 
Wanita tak tahu malu. Kemaruk lelaki seakan-akan di dunia 
ini hanya ada satu lelaki, tidak ada lainnya kecuali Pendekar 
Mata Bongsang yang tidak tahan melihat jidat licin! Kau 
takut dia melihatku yang beijidat sangat licin, hingga akan 
membuatnya tertarik padaku. Begitu kan?!" 

Wajah Mirah memerah sampai ke daun telinganya. 
Dia kelihatan marah sekali. Marah dan malu. Semula wanita 
ini bingung mendengar julukan Pendekar Mata Bongsang. 
Tapi, begitu mendengar ucapan-ucapan selanjutnya, dia jadi 
mengerti! 

"Rupanya di samping berwatak centil, kau pun 
memiliki mulut tajam. Kalau tidak dihajar, sifat kurang 
ajarmu semakin menjadi-jadi!" 

Mirah memenuhi ancamannya. Dia menyerang 
Cendana dengan sebuah tamparan 1$ arah mulut gadis 
berpakaian kuning itu. Bunyi yang mengiringi gerakan 
tangannya menjadi petunjuk kalau bibir menggiurkan milik 
Cendana akan kehilangan keindahannya jika menjadi 
sasaran. 

Cendana tidak mau hal itu teijadi. Tubuhnya ditarik 
ke belakang sehingga serangan Mirah luput. Tendangan kaki 
kanan dikirimkan Cendana ke arah lambung lawan sebagai 
balasannya. 

Mirah memekik pelan karena kaget. Serangan itu 
memaksanya melompat mundur. Amarahnya semakin 
meluap. Ini membuat teijangannya yang berikut lebih 
dahsyat. Cendana menimpali. Pertarungan pun berlangsung 
sengit. 

Dua perempuan yang sama-sama cantik dan galak ini 
bertarung dengan menggunakan senjata. Tapi, lewat 
beberapa jurus keduanya segpra mengeluarkan senjata 
masing-masing. Cendana dengan pedangnya. Sedangkan 
Mirah menggunakan sepasang belati berwarna merah seperti 
warna pakaiannya. 

Cendana memang lihai. Tapi, Mirah tak kalah lihai! 
Satu kelebihan Mirah adalah wanita ini lebih menang 
pengalaman. Sikapnya bertarung menunjukkan kalau dia 
telah kenyang pengalaman bertarung. Bisa diperkirakan jika 
mengingat usianya. Sementara Cendana baru turun gunung 
dan belum pernah terlibat dalam pertarungan. Lewat 
beberapa belas jurus gadis ini mulai terdesak. 

"Jangan hiraukan tangan kanan. Tangan kiri akan 
ditujukan pada leher, tendang perutnya," terdengar sebuah 
suara di telinga Cendana. Suara yang diyakini gadis ini 
dikirimkan lewat ilmu mengirim suara dari jauh. 

Cendana berpikir cepat. Dia yakin si pengirim suara 
bermaksud membantunya. Maka, dengan membuta 
diikutinya petunjuk itu. Serangan tangan kanan Mirah 
dibiarkannya. Dia malah beijaga-jaga terhadap yang kiri. 
Serangan yang dilancarkannya pun mengikuti petunjuk 
pemilik suara tanpa wujud itu. 

Pastinya memang menggembirakan Cendana. Meski 
serangannya tidak berhasil, tapi bukan karena kesalahan 
pemilik suara. Dia yang bertindak kurang cepat karena tadi 
berpikir sebentar. Yang jelas, semua pemberitahuan itu 
benar. 

Kenyataan ini membuat Cendana mengikuti semua 
petunjuk yang diterimanya tanpa pikir panjang lagi. Dan 
memang, sejak itu Mirah berhasil dibuatnya kalang kabut. 
Bahkan, sekarang ganti Mirah yang terdesak. 


•k-k-k 


"Ha ha ha...! Sungguh tidak kuduga Pendekar 
Penyebar Asmara membiarkan gundik-gundiknya saling 
bertarung!" 

Sosok tubuh pendek gpmuk teijun ke dalam kancah 
pertempuran. Dia tidak ikut bertarung, apalagi melancarkan 
serangan. Sosok itu melesat begitu saja di antara Cendana 
dan Mirah tanpa khawatir akan menjadi korban serangan 
nyasar. 

Hal itu memang tidak teijadi. Begitu sosok gemuk itu 
menyelak di tengah-tengah, tubuh Cendana dan Mirah 
terjengkang ke belakang bagai didorong kekuatan tak 
nampak. 

Cendana tidak menjadi gentar. Begitu berhasil 
memperbaiki kedudukan, dia melesat menerjang sosok 
pendek gemuk dengan bacokan ke arah leher. Cendana sakit 
hati sekali mendengar makian sosok itu yang mengatakan dia 
gundik Pendekar Penyebar Asmara. 

"Jangan ceroboh! Kau mencari penyakit sendiri, 
Nona," pemilik suara tanpa wujud memberikan peringatan. 

Tapi, peringatan itu datangnya tertambat. Cendana 
telah lebih dulu melancarkan serangan. Memang, andaikata 
gadis itu menghendaki, bisa saja serangan itu dibatalkan. 
Tapi, Cendana sudah terlalu marah. Peringatan suara tanpa 
wujud itu tidak dipedulikannya lagi. 

Sosok pendek yang bukan lain Gajah Kecil, tertawa 
terbahak-bahak. Kakek ini memang memiliki sifat mudah 
tertawa. Bahkan, dalam marahnya pun dia tertawa. Seakan- 
akan Gajah Kecil hidup di satu dunia, yaitu dunia yang 
penuh dengan kegembiraan. 

"Gundik si Pemadat Perempuan berani 
menyerangku?!" 

Gajah Kecil mendorongkan tangan kanannya ke 
depan. Cendana merasakan sekujur tubuhnya lemas. 
Tenaganya lenyap entah kc mana. Dan, sebelum dia mengerti 
apa yang telah teriadi, Gajah Kecil mengibaskan tangan kiri 
seperti orang mengusir nyamuk! 

Untuk kedua kalinya tubuh Cendana terlempar ke 
belakang. Kali ini bahkan lebih jauh dari sebelumnya. 
Cendana tidak bisa mendarat dengan kedua kaki. Ia 
mendarat di tanah dengan punggungnya! 

Cendana mengernyitkan alis ketika tidak merasakan 
sakit kendati dirasakan punggungnya menempel dengan 
sesuatu, yang diyakininya tanah. Sebuah tangan yang 
menyentuh bahu belakangnya dan menyebarkan hawa 
hangat sehingga tenaga Cendana kembali pulih, 
menyadarkan gadis ini akan keanehan itu. Dia ternyata tidak 
berada di tanah, melainkan beberapa kaki di atasnya. 
Punggungnya menempel pada tongkat yang berada di tangan 
seseorang yang berada di belakangnya! 

Kalau saja Cendana bukan orang yang berhati besar 
tentu agak kagpt melihat si pemegang tongkat. Sosok itu 
memiliki wajah demikian buruk. Wajahnya lebih mirip wajah 
kera! Matanya bundar kecil dan berwarna kehijauan. 

Hidungnya pesek dengan mulut lebar serta wajah dipenuhi 
bulu. Seorang manusia berwajah setan! Wajah itu lebih 
buruk dari pada wajah monyet. Di sana-sini terlihat guratan 
luka. 

Cacat pemilik tongkat itu masih ditambah lagi dengan 
tubuhnya yang tidak normal. Punggungnya bungkuk! 
Tongkat itu mungkin untuk menahan tubuhnya agar tidak 
roboh. 

"Menyingkiriah, Nona. Iblis itu bukan lawanmu," ujar 
sosok berwajah mirip setan itu, lembut. 

Cendana tidak membantah. Dia percaya penuh. 
Bukan karena menyadari Gajah Kecil jauh lebih tangguh 
daripadanya. Tapi, karena suara yang keluar dari mulut 
sosok berwajah setan ini adalah suara orang yang memberi 
petunjuk kepadanya ketika menghadapi Mirah. Sosok 
berwajah setan ini adalah penolongnya! 

"Ha ha ha...!" Gajah Kecil tertawa bergelak "Kau ini 
manusia atau setan? Dibilang manusia kau lebih mirip setan. 
Benar! Kau... Setan Bongkok! Itu julukan yang tepat 
untukmu. Ha ha ha...!" 

Sosok yang disebut Setan Bongkok tidak memberikan 
tanggapan sedikit pun. Dia menatap Gajah Kecil penuh 
selidik dan waspada. Terlihat jelas sikap hati-hatinya. 

"Sebelumnya, kedatanganku kemari hanya untuk 
mengirim nyawa Pendekar Ftemadat Wanita kc neraka. Tapi, 
karena kau berani bersikap menantangku, aku jadi ingin 
membuatmu bepergian 1$ alam baka. Mudah-mudahan saja 
kau senang!" ujar Gajah Kecil. 

Gajah Kecil lalu mengambil napas panjang-panjang. 
Dia ingin menyedot udara sebanyak-banyaknya. Setan 
Bongkok memperhatikannya dengan kewaspadaan tidak 
berkurang. Cendana dan Mirah pun demikian. Kedua wanita 
ini ingin tahu apa yang akan dilakukan Gajah Kecil. 

Mirah dan Cendana membelalakkan mata ketika 
melihat tubuh Gajah Kecil melembung seperti balon ditiup! 
Tubuhnya yang memang sudah bulat jadi bertambah bundar. 
Sesaat kemudian, terdengar bunyi berkerotokan seperti 
tulang-tulang patah. Padahal, Gajah Kecil tidak 
menggerakkan tangan atau kakinya. Dia tetap diam di 
tempatnya sambil tems menarik napas dalam-dalam. 
Tindakan ini membuat tubuhnya semakin melembung. 

Mirah dan Cendana tidak mengerti maksud tindakan 
Gajah Kecil. Tapi mereka segera mengetahuinya ketika bunyi- 
bunyi yang terdengar itu mulai menimbulkan akibat. Bunyi- 
bunyi itu sebenarnya tidak keras. Namun akibatnya tidak 
sesederhana bunyi yang terdengar. Mirah dan Cendana 
merasakan kelelahan merayapi sekujur otot-otot di tubuhnya. 
Semakin lama rasa lelah yang mendera semakin besar. 

Seiring dengan semakin membesarnya kele lahan 
menyergap, rasa kantuk pun timbul. Kantuk yang luar biasa 
hebatnya. Sehingga, meski Cendana dan Mirah berusaha 
keras untuk bertahan, keduanya tidak mampu. Sepasang 
mata mereka memejam sendiri. 

Kesadaran yang masih tersisa membuat Mirah dan 
Cendana berusaha untuk mengadakan perlawanan. Tapi, sia- 
sia saja. Pengaruh bunyi yang menyerang langsungmeneijang 
urat saraf yang berhubungan dengan kelelahan. Tenaga yang 
hendak dikerahkan kedua wanita perkasa ini jadi pupus. 
Cendana dan Mirah akhirnya tertidur dalam sikap berdiri! 

Kalau pengaruh yang melanda Mirah dan Cendana 
saja demikian hebatnya, apalagi yang dialami Setan Bongkok. 
Setan Bongkoklah sebenarnya yang menjadi sasaran 
penyerangan. Pengaruh yang melanda sosok berwajah 
mengerikan ini berlipat kali lebih dahsyat! 

Tapi, Setan Bongkok tidak sampai terpengaruh seperti 
halnya Mirah dan Cendana. Di samping tokoh berwajah 
mengerikan ini memiliki tenaga dalam yang jauh lebih kuat, 
sejak semula dia sudah bersikap waspada. Begitu mendengar 
adanya bunyi ia segera mengetuk-ngetukkan ujung 
tongkatnya ke tanah secara berirama. Bunyi yang terdengar 
dari beradunya ujung tongkat dengan tanah kapur 
berpengaruh untuk melawan serangan bunyi yang diciptakan 
Gajah Kecil! 

"Haaa...!" 

Gajah Kecil membuka mulutnya lebar-lebar sambil 
mengeluarkan seruan teras. Setan Bongkok bagai disambar 
halilintar! Tubuh sosok berwajah kacau balau ini terjengkang 
ke belakang. Tongkatnya terpental entah ke mana. Pengaruh 
seruan Gajah Kecil yang sudah luar biasa itu masih ditambah 
dengan hembusan angin dahsyat. Dua serangan gabungan 
ini yang menyebabkan tubuh Setan Bongkok lintang pukang! 

Bukan hanya Setan Bongkok yang menerima aki¬ 
batnya. Mirah dan Cendana pun tidak luput. Tubuh kedua 
wanita ini tersentak seperti orang terkena demam tinggi. 
Kemudian, jatuh ambruk ke tanah bagai sehelai karung 
basah. Meski demikian, keduanya tidak tergugah dari 
tidurnya! 

Di lain pihak, Gajah Kecil tidak menunggu lebih lama. 
Kakek ini sadar kalau Setan Bongkok merupakan lawan 
tangguh. Maka, langsung dia menggelinding memburu 
lawannya. 

Perhitungan Gajah Kecil memang tidak keliru. Setan 
Bongkok tidak terluka sama sekali kendati tubuhnya 
terjengkang dan terguling-guling. 

Sebelum tubuh Gajah Kecil mendekat, Setan Bongkok 
melompat ke atas dan melancarkan serangan balasan. Dua 
tokoh yang sama-sama memiliki ciri-ciri aneh ini pun terlibat 
pertarungan sengit 


•k-k-k 


Saat Setan Bongkok dan Gajah Kecil terlibat dalam 
pertarungan, dari dalam pondok melesat sesosok bayangan 
putih. Sosok yang ternyata seorang lelaki berusia sekitar tiga 
puluh tujuh tahun ini berdiri di dekat tubuh Mirah dan 
Cendana yang tergolek di tanah. Kendati demikian, 
pandangannya tertuju pada pertarungan yang tengah 
berlangsung. 

"Sungguh berbahaya sekali...," desis lelaki berpakaian 
putih yang memiliki wajah tampan dan bertubuh tegap berisi 
dengan bau wangi menyebar dari sekujur badan. Kepalanya 
digeleng-gelengkan. "Gajah Kecil telah keluar dari 
persembunyian. Bukan tidak mungkin dua yang lain dari 
Tiga Binatang Iblis Neraka telah meninggalkan sarang. 
Kepandaian Gajah Kecil tidak berkurang. Malah, bertambah 
dahsyat." 

Lelaki ganteng yang bukan lain Pendekar Penyebar 
Asmara ini mengalihkan perhatian pada Setan Bongkok. 

"Siapa tokoh luar biasa ini? Gerakan-gerakannya 
mengingatkanku pada tokoh penuh rahasia yang beijuluk 
Elang Malaikat. Mungkinkah ada hubungan perguruan 
dengannya?" 

Cukup lama Pendekar Penyebar Asmara 
memperhatikan jalannya pertarungan sebelum akhirnya 
perhatiannya dialihkan pada Mirah dan Cendana. 

Sepasang mata Ftendekar Penyebar Asmara 
menyiratkan rasa kagum ketika menatap Cendana. Bagai 
orang yang kehausan melihat air, tatapannya menjelajahi 
sekujur tubuh Cendana mulai dari ujung rambut sampai 
ujung kaki. 

"Mirah...," sapa Pendekar Penyebar Asmara, lembut 
seperti layaknya orang yang memanggil buah hati yang 
sangat dikasihi. "Sudah cukup kau tenggelam dalam tidur. 
Bangun. Mari kita pergi. Ada urusan lain yang menunggu." 

Aneh bin ajaib! Mirah yang sejak tadi bagaikan orang 
mati, tak bangun kendati jatuh secara keras di tanah dan 
adanya bunyi menggelegar di telinga, membuka mata. 

"Apa yang terjadi, Kak? Mengapa aku tiduran di 
tanah?" tanya Mirah kebingungan. Kepalanya ditolehkan ke 
sana kemari. Terlihat olehnya Cendana yang tadi telah 
berhasil mendesaknya secara mendadak. Tampak juga Setan 
Bongkok tengah bertarung dengan Gajah Kecil. 

"Nanti saja kujawab pertanyaanmu, Mirah," jawab 
Pendekar Penyebar Asmara tetap lembut sambil tersenyum 
manis. "Sekarang, yang penting kita harus segera tinggalkan 
tempat ini." 

Tanpa memberi kesempatan pada Mirah untuk 
berpikir lebih lama, Pendekar Penyebar Asmara menadahkan 
kedua tangannya seperti orang tengah berdoa. Mendadak, 
tubuh Cendana melayang ke arahnya dan hinggap di kedua 
tangannya. Seakan ada daya tarik yang amat kuat dari kedua 
tangan itu. 

"Apa artinya ini, Kak? Mengapa wanita centil itu kau 
bawa?!" kecam Mirah. Pandang matanya dikerlingkan pada 
Cendana dengan penuh kebencian. 

Pendekar Penyebar Asmara hanya tersenyum kalem. 

"Nanti pun kau akan tahu, Mirah." 

Hanya itu jawaban Ftendekar Penyebar Asmara 
sebelum melesat meninggalkan tempat itu. Mirah tidak punya 
pilihan lain kecuali mengikuti, meski dengan bersungut- 
sungut tidak senang. 

Setan Bongkok sempat melihat kejadian itu. Ini 
membuatnya cemas. Tapi, apa dayanya? Saat itu dia tengah 
sibuk menghadapi Gajah Kecil. Mengalihkan perhatian hanya 
akan mengirim nyawanya ke neraka! 

Meski demikian, sekarang Setan Bongkok sulit untuk 
memusatkan perhatian. Dia tahu siapa adanya Pendekar 
Penyebar Asmara. Cendana akan menjadi korbannya. Tokoh 
aneh ini jadi gelisah bukan main. Ini membuat keadaannya 
semakin tidak menguntungkan. 

Tingkat kepandaian Setan Bongkok memang masih di 
bawah Gajah Kecil. Bertarung dengan sepenuh hati pun dia 
kewalahan. Untungnya, mutu ilmu silat yang dimilikinya 
lebih unggul dari ilmu Gajah Kecil. Ini yang membuatnya 
berhasil untuk bertahan. Apalagi ilmunya memang cukup 
mempunyai pertahanan yang kokoh hingga Gajah Kecil sulit 
untuk merobohkan. Pertarungan jadi berlangsung alot! 

Tapi setelah kejadian yang menimpa Cendana, Setan 
Bongkok merubah cara bertarung. Tokoh ini mulai 
melancarkan serangan-serangan. Tak tanggung-tanggung lagi 
yang dipergunakan. Serangan yang terdahsyat dan 
merupakan ilmu andalannya! 

Gajah Kecil sempat berubah wajahnya ketika melihat 
Setan Bongkok menerjang sambil mengeluarkan pekikan 
melengking nyaring. Pekikan itu membuat nyawanya untuk 
sesaat seperti melayang ke alam baka. Isi dadanya sampai 
terguncang! Buru-buru dikerahkan tenaga dalam untuk 
menangkalnya. Pada saat yang hampir bersamaan dia 
melompat memapaki serangan Setan Bongkok! 

Bresss! 

Tubuh Setan Bongkok dan Gajah Kecil sama-sama 
terpental 1$ belakang dan terbanting teras di tanah. Namun, 
keduanya segpra bangkit berdiri. 

Pertarungan terhenti. Kedua belah pihak tidak ada 
yang memulai serangan. Yang dilakukan hanya saling tatap 
dengan sinar mata penuh tantangan. 

"Kau hendak mengadu nyawa, Gajah Kecil?!" tanya 
Setan Bongkok, angker. 

Gajah Kecil adalah seorang tokoh kawakan. Dia segera 
tahu lawan tangguhnya ini memberikan pilihan padanya 
untuk menghabiskan masalah ini sampai di situ saja. Setan 
Bongkok tidak ingin memperpanjang masalah. Gajah Kecil 
yang cerdik ini pun bisa melihat adanya keuntungan dengan 
tawaran itu. Setan Bongjcok benar. Tidak ada gunanya 
meneruskan pertarungan. 

"Kalau kau menginginkannya apa boleh buat, 
Bongkok? Aku, Gajah Kecil, bukan orang yang takut mati! 
Lagi pula, kaulah yang lebih dulu mencampuri urusanku. Ha 
ha ha...!" 

"Itu kulakukan kaiena kau hendak mencelakai gadis 
yang berada dalam perlindunganku. Tak satu pun makhluk 
yang bisa mencelakainya selama aku ada!" tandas Setan 
Bongkok. 

Gajah Kecil tersenyum penuh kemenangan. Ucapan 
lawannya yang terakhir menunjukkan kalau Setan Bongkok 
enggan bermusuhan dengannya. Setan Bongkok hanya 
terpaksa melawannya. Meski sebenarnya tak takut terhadap 
Setan Bongkok, tapi Gajah Kecil tahu untuk membunuh 
lawannya ini bukan perkara yang mudah. Padahal, dia 
mempunyai urusan yang lebih penting. Mencari dan 
membalaskan sakit hati muridnya pada Pendekar Penyebar 
Asmara. 

Satu hal yang menggembirakan hati Gajah Kecil 
adalah sikap Setan Bongkok yang mengalah. Hal ini 
dianggapnya karena keunggulannya. Kendati, dia belum 
menang secara mutlak. 

"Kalau itu maumu, lain kali urusan ini kita 
perpanjang lagi, Bongkok! Ha ha ha...!" 

Gajah Kecil menggelinding meninggalkan tempat itu. 
Setan Bongkok pun bergegas pergi. Dia sudah tidak sabar 
lagi untuk menobng Cendana. 




"Nona, bangunlah. Tidak baik tidur terlalu lama," ujar 
Pendekar Penyebar Asmara lembut. 

Cendana bagaikan orang tidur yang diguyur seember 
air dingin. Dia tersentak bangun. Yang pertama kali 
dilihatnya adalah seraut wajah ganteng yang tersenyum 
penuh daya pikat. Kumis tipis, sedikit jenggot, dan cambang 
yang teratur rapi membuat wajah itu semakin menarik. 

Cendana merasakan hatinya terguncang. Sebuah 
perasaan aneh muncul di hatinya. Perasaan tertarik. Lelaki 
yang duduk bersila sekitar satu tombak di depannya ini amat 
menarik! Tidak hanya wajah, suaranya pun penuh daya tank. 
Demikian lembut dan menggetarkan hati. Aroma wangi yang 
nikmat di hidung semakin menambah ketertarikan hati 
Cendana. Aroma itu keluar dari tubuh Pendekar Penyebar As¬ 
mara. 

Malu karena hanya berdua saja di dalam gua yang 
cukup luas ini, Cendana menundukkan kepala. Gadis ini 
sempat merasa aneh. Inikah dirinya, Cendana yang periang? 
Mengapa sekarang seperti seorang gadis pemalu dilamar 
orang? 

Sekarang Cendana baru menyadari kebenaran ucapan 
gurunya yang menyatakan akan tiba masanya dia jatuh hati 
pada seorang lelaki. Cendana tidak menyalahkan dirinya. 
Lelaki di hadapannya ini memang amat menarik! Cendana 
sungguh tidak tahu kalau lelaki di hadapannya itu adalah 
Pendekar Penyebar Asmara. O rang yang dicari- carinya! 

"Mengapa aku bisa berada di sini?" tanya Cendana 
lirih tanpa berani mengangkat wajah. Samar-sama dia mulai 
teringat kejadian-kejadian yang dialaminya. 

"Aku yang membawamu kemari, Nona. Kuliha kau 
tergeletak di tanah," jawab Pendekar Penyebar Asmara. 

Cendana bagaikan dibuai. Suara Pendekar Penyebar 
Asmara terasa nyaman di dada. Sejuk! Ingin didengarnya lagi 
suara itu. 

Pendekar Penyebar Asmara bangkit dari duduk 
bersilanya dan turun dari gundukan batu yang didudukinya. 
Dengan langkah lambat-lambat dihampirinya Cendana yang 
tetap berdiri dengan wajah tertunduk. Dada gadis itu 
berombak keras menandakan besarnya ketegangan yang 
melanda hati. 

Cendana hampir saja teijingkat ketika Pendekar 
Penyebar Asmara menyentuh kedua bahunya. Cendana tiba- 
tiba merasakan sekujur tubuhnya lemas bagai tak bertulang. 

Cendana tidak memberikan penolakan ketika Pen¬ 
dekar Penyebar Asmara mengangkat wajahnya. Bahkan, 
ketika lelaki itu mendekatkan wajah. Cendana malah pasrah! 
Ketika bibir Pendekar Ftenyebar Asmara mengulum bibirnya, 
gadis ini mengeluh tertahan. 

Cendana malah balas memagut. Dua insan yang 
berbeda jenis ini saling cium dengan tubuh berpelukan erat. 
Cendana hanya sedikit meronta ketika Ftendekar Penyebar 
Asmara merebahkan tubuhnya ke tanah. Tapi, itu hanya 
sebentar. Sesaat kemudian hal itu dibiarkannya. 

"Hentikan, Jahanam...!" 

Teriakan keras penuh kemarahan membuat Pendekar 
Penyebar Asmara dan Cendana tersentak bagai disengat 
kalajengking! Pendekar Penyebar Asmara segera bangkit dari 
atas tubuh Cendana. Gadis ini lalu bergegas bangkit dan 
membereskan pakaiannya yang telah terbuka di sana sini. 
Cendana seperti orang yang baru sadar dari mimpi buruk. 

"Menyingkirlah, Nona," ucap Setan Bongkok, pemilik 
bentakan tadi Lelaki ini berdiri tegak di mulut gua. "Tutup 
matamu dan pergunakan mata hatimu. Ftendekar Penyebar 
Asmara memang memiliki suatu pengaruh aneh yang 
membuat setiap wanita tidak berdaya untuk menolak 
keinginan bejatnya." 

Bagai ada halilintar menggelegar di tempat itu ketika 
Cendana mendengar ucapan Setan Bongkok. Jadi, lelaki 
ganteng itu adalah Ftendekar Penyebar Asmara? Orang yang 
telah banyak menjatuhkan hati wanita dan orang yang 
tengah dicari-carinya untuk membalaskan sakit hati 
gurunya! Hampir saja dia menjadi korban! 

Sekarang Cendana baru mengerti mengapa gurunya 
begitu khawatir dia akan terpikat pada Ftendekar Penyebar 
Asmara. Nenek baju hitam benar. Setan Bongkok juga benar. 
Pendekar Penyebar Asmar mempunyai pengaruh aneh yang 
membuat lawan jenisnya tertarik dan tak berdaya menolak 
kehendaknya. 



Cendana teringat lagi akan dugaan gurunya. Nenek 
baju hitam ini mengatakan Ftendekar Penyebar Asmara 
mungkin menuntut sebuah ilmu aneh. Ilmu yang membuat 
lawan jenisnya tertarik dan lupa diri. Ilmu yang jauh lebih 
dahsyat dan memiliki pengaruh lebih dari susuk atau pelet! 

Cendana gpram bukan main. Marah karena hampir 
saja menjadi korban seperti halnya murid gurunya sebelum 
dia. Perasaan geram membuatnya mencabut pedang dan 
menyerang Ftendekar Penyebar Asmara. Cendana harus 
menggertakkan gigi untuk mengusir perasaan tertariknya. 

"Mengapa mencabut pedang, Nona? Bukankah lebih 
baik kalau kita bersahabat daripada bermusuhan," ucap 
Pendekar Penyebar Asmara lembut dengan senyum memikat. 

Pendekar Penyebar Asmara mengulurkan tangan, 
menangkap pedang Cendana. Dan, sekali tarik tubuh gadis 
itu kembali jatuh ke pelukannya. 

Cendana hendak meronta. Tapi seperti juga 
sebelumnya, pengaruh aneh yang menyabar dari Pendekar 
Penyebar Asmara melarangnya melakukan hal itu. Cendana 
pasrah! 

Sepasang mata Setan Bongkok berkilat-kilat melihat 
hal ini. Laksana seekor burung yang tengah murka, dia 
memekik nyaring. Pekikan yang membuat Cendana sadar 
kembali ciri kungkungan perasaan aneh Cendana meronta. 
Pendekar Penyebar Asmara sedikit pun tidak menahannya, 
sehingga gadis itu berhasil melepaskan diri. Wajah Cendana 
merah padam. 


*** 


Setan Bongkok melesat ke depan dan berdiri di antara 
Pendekar Penyebar Asmara dan Cendana. 

"Menyingkirlah, Nona. Pengaruh aneh yang 
ditimbulkan Pendekar Penyebar Asmara terlalu kuat 
untukmu," Setan Bongkok memberi nasihat dengan suara 
halus. 

Cendana yang sudah merasakan sendiri 
kenyataannya, melangkah mundur. Dia bergidik 
membayangkan dirinya menjadi korban seperti wanita- 
wanita lain. Gadis ini berdiri bersandar di dinding gua. 



Diperhatikannya jalannya peristiwa yang akan teijadi antara 
Setan Bongkok dan Pendekar Penyebar Asmara. 

Pendekar Penyebar Asmara tersenyum. Dia tidak 
marah dengan kcgagalannya menikmati kegadisan Cendana. 
Senyumnya yang memikat bahkan tidak hanya ditujukan 
pada Cendana, tapi juga pada Setan Bongkok. 

"Kukira kau sudah mati di tangan Gajah Kecil, Sobat," 
ujar Pendekar Ftenyebar Asmara tanpa ada nada permusuhan 
sama sekali. "Apakah kau berhasil mengalahkannya?" 

"Tidak usah mengalihkan persoalan, Pendekar Bejat!" 
bentak Setan Bongkok, keras. "Bersiaplah untuk menerima 
hukuman atas kekejian yang kau lakukan!" 

"Ha ha ha...!" Pendekar Penjebar Asmara tertawa. 
Tidak keras. Cendana harus mengakui kalau tawa pendekar 
itu terasa nikmat menyelusup ke dalam dadanya. 

"Kekejian yang mana, Sobat? Kau lihat sendiri 
kenyataannya., Ftermainan asmara yang kami lakukan 
berdasarkan saling suka. Aku tidak pernah memaksa, 
meskipun kalau kumau bukan hal yang sulit!" 

Setan Bongkok diam. Apa yang diucapkan Pendekar 
Penyebar Asmara memang bukan bualan belaka. Ini 
membuatnya bingung untuk melakukan tindakan. 

"Kuakui apa yang kau katakan itu benar, Pendekar. 
Tapi, perlu kau sadari dan mungkin telah kau ketahui 
sendiri, perbuatanmu tidak layak dilakukan oleh seseorang 
pendekar. Perbuatan yang kau lakukan ini terkutuk!" tandas 
Setan Bongkok, tegas. 

"Apa pun yang kau katakan, aku tidak menganggap 
perbuatanku terkutuk! Yang kulakukan dengan wanita- 
wanita yang menyukaiku adalah atas dasar suka sama suka. 
Bahkan, bagi wanita yang mengerti sifatku dan mau 
mencintaiku, aku tak segan-segan untuk menjadikannya 
istri. Perlu kau ketahui, wanita berpakaian merah yang kau 
temui di muka gua adalah istriku. Aku yakin kau 
menjumpainya sebelum masuk kemari. Entah apa yang kau 
lakukan terhadapnya." 

"Tenangkan hatimu, Pendekar. Aku tidak melakukan 
apa pun terhadapnya. Aku melesat masuk tanpa dia mampu 
mencegahku," beritahu Setan Bongkok. 

"Bagus!" puji Pendekar Penyebar Asmara dengan hati 
lega. "Karena bila sampai kau melukainya, aku tidak akan 



berdiam diri begitu saja. Sekalipun kau mempunyai nyawa 
rangkap, tak akan kubiarkan kau hidup!" 

Usai berkata demikian, dengan sikap tenang Pendekar 
Penyebar Asmara mengayunkan kaki meninggalkan gua. 
Tidak kelihatan lelaki ganteng ini berwaspada ketika melalui 
Setan Bongkok. Pendekar Penyebar Asmara yakin betul Setan 
Bongkok tidak akan menyerangnya. Dan memang, Setan 
Bongkok tidak berbuat apa pun untuk mencegah kepergian 
Pendekar Penyebar Asmara. 

Cendana yang tidak bisa tinggal diam. Gadis ini 
bergerak untuk menghadang. Tapi, tindakan itu segera 
dihentikan ketika didengarnya ucapan Setan Bongkok. 

"Jangan cegah kepergiannya, Nona. Lupakan saja 
kemarahanmu. Jangan sampai kejadian yang kau alami 
berulang kembali." 

Cendana sampai bergidik mengingat hal itu. Maka, 
meski hatinya penasaran bukan main, dibiarkannya 
Pendekar Penyebar Asmara meninggalkan tempat itu dengan 
senyum menghias bibir. Senyum yang penuh daya pikat! 


•k-k-k 


Cendana berdiri menengadah 1$ langit dengan kedua 
tangan di punggung. Bola matanya tidak bergerak-gerak. 
Seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya di angkasa. 
Padahal, kendati menatap ke langit pikiran gadis berpakaian 
kuning ini melayang-layang mengingat semua kejadian yang 
dialami. 

Segumpal penyesalan masih bergayut di hati Cendana 
ketika teringat gurunya. Gadis ini trenyuh mengingat 
ketidakberhasilannya memenuhi permintaan nenek baju 
hitam itu. Pendekar Penyebar Asmara tidak bisa dibunuhnya! 
Pembunuh gurunya pun tidak mungkin dijadikan sasaran 
balas dendam. Dua keinginannya kandas! 

"Hendak 1$ mana lagi kau pergi, Laras? Setengah mati 
kami mencarimu, kau enak-enakan di sini. Tidakkah kau 
tahu kami mengkhawatirkan keselamatan mu?!" 

Seruan yang terdengar dekat itu membuat Cendana 
terkejut bukan main. Apalagi ketika kedua bahunya disentuh 
sepasang tangan. Lamunan Cendana buyar seketika. Dengan 
cepat ditampiknya sepasang tangan yang menempel di 
bahunya. Dan, sambil membalikkan tubuh gadis ini 
menyampokkan tangannya ke arah orang yang memiliki 
tangan usil itu. 

Sang pemilik tangan mengeluarkan seruan kagpt 
mendapat serangan tidak disangka-sangka ini. Lelaki berkulit 
hitam dengan gigi tonggos ini untungnya masih sempat 
melompat ke belakang. Kalau tidak, wajahnya akan porak- 
poranda terkena sampokan Cendana yang mampu 
menghancurkan batu karang yang paling keras sekalipun itu 

"Manusia kurang ajar...!" seru Cendana keras, penuh 
kemarahan. Apalagi ketika serangannya gagal mengenai 
sasaran. 

Cendana langsung mengirimkan tendangan ke pusar. 
Lagi-lagi lelaki tonggos yang bukan lain Tanggur, ayah 
Larasati cepat mengplak. 

"Hentikan, Nona. Kau salah paham. Aku tidak 
bermaksud demikian," beritahu Tanggur sambil mengelak ke 
samping sehingga serangan Cendana kembali luput. 

Tapi, Cendana tidak menghentikan tindakannya. 
Bahkan dia menyerang semakin kalang kabut. Gadis ini tidak 
mempedulikan pemberitahuan Tanggur. Kemarahan yang 
timbul karena tindakan Tanggur yang dianggapnya kurang 
ajar dan Cendana memang tengah uring-uringan, 
membuatnya terus mengumbar kemarahan. 

Dalam waktu sebentar saja Cendana telah menyerang 
beberapa jurus. Tapi, semua dapat dipunahkan Tanggur 
tanpa menemui kesulitan. Tanggur bergerak ke sana kemari. 
Ia hanya mengelak dan tak sedikit pun melancarkan 
serangan balasan. Berkali-kali dari mulutnya keluar ucapan 
yang menyatakan kalau kejadian tadi hanya salah paham. 
Namun, Cendana tetap menyerang bertubi-tubi 

Setelah berlangsung lima belas jurus dan Cendana 
terus menyerang. Tanggur sadar penjelasannya sia-sia 
belaka. Cendana bukan gadis yang mudah diberikan 
pengertian. Cara lain pun terpaksa digunakan. Tanggur 
memutuskan untuk merobohkan Cendana. Baru setelah itu 
diberikan penjelasan. Mungkin dengan cara itu Cendana 
mengerti karena terpaksa mendengarkan penjelasannya. 

Sebenarnya bisa saja Tanggur melarikan diri. Dengan 
nhgkat kepandaiannya yang berada di atas Cendana, 
merupakan hal yang mudah untuknya. Tapi Tanggur tidak 
mau melakukan hal demikian. Tindakan itu dianggapnya 
perbuatan pengecut, dan melarikan diri hanya menunjukkan 
kalau sangkaan Cendana benar adanya. 

Pada satu kesempatan, Tanggur mendorong tubuh 
Cendana hingga jatuh terjengkang di tanah. Cendana bangkit 
dengan cepat. Tapi, Tanggur lebih cepat lagi. Lelaki ini 
menyerang dengan sebuah totokan arah bahu kanan lawan. 

Cendana kaget. Gadis ini tahu dia kalah cepat 
bergerak. Tapi sebelum kejadian yang tak diharap menimpa 
Cendana, dari samping melesat sesosok bayangan memapaki 
serangan T anggur! 

"Sungguh tidak pantas seorang tua menghina yang 
muda!" seru sosok bayangan itu. 

Plakkk! 

Tubuh Tanggur terhuyung-huyung akibat tangkisan 
sosok yang menolong Cendana. Lelaki tonggos merasakan 
sekujur tangannya sakit. 

Di depan Tanggur berdiri membelakangi Cendana, 
sosok yang bukan lain Setan Bongkok. Sikapnya tampak 
angker bukan main. 

"Menyingkirlah, Cendana. Dia bukan lawanmu. Biar 
aku yang menghadapinya," ujar Setan Bongkok. "Apa yang 
terjadi, Cendana?" 

"Dia hendak berbuat kurang ajar padaku!" tandas 
Cendana berapi-api. 

"Itu tidak benar!" bantah Tanggur. "Hanya salah 
paham saja. Aku tidak bermaksud demikian!" 

"Kalau tidak hendak berbuat kurang ajar, mengppa 
menyentuh-nyentuh bahuku?!" kejar Cendana tak kalah 
gertak. 

"Kukira kau anakku, Nona," jelas Tanggur. "Potongan 
tubuhmu dari belakang mirip sekali dengan Larasati, putriku. 
Dia pergi dan belum kembali sampai sekarang. Aku dan 
istriku mencari-carinya." 

"Alasan! Dusta! Kau memang tua-tua cabul!" 

Cendana mebmpat menerjang Tanggur dengan 
pukulan bertubi-tubi. Setan Bongkok ingin mencegahnya, 
tapi terlambat Cendana telah lebih dulu melesat. 

Tanggur kali ini tidak sesabar sebelumnya. Dia telah 
terlalu banyak mengalah. Cendana pun mengetahuinya. Tapi, 
tetap saja tindakannya kasar dan mulutnya tajam. Tanggur 
jadi tidak senang. 

Tanpa pikir panjang lagi, dengan niat untuk mem¬ 
berikan hajaran, serangan Cendana ditangkisnya. Akibatnya, 
tubuh gadis itu terjengkang ke belakang dan terbanting di 
tanah. Berbeda dengan sebelumnya, Cendana tidak langsung 
bangkit. Kedua tangannya yang berbentoran dengan tangan 
Tanggur terasa sakit bukan main. 

Setan Bongkok berkilat-kilat sepasang matanya. 
Lelaki ini sangat marah melihat tindakan Tanggur. Kendati 
diakui sikap Cendana sudah kelewatan, tapi tindakan 
Tanggur pun dinilai Setan Bongkok terlalu teras! 

"Mengandalkan kepandaian untuk melakukan tin¬ 
dakan tak adil terhadap orang lemah bukan tindakan terpuji. 
Aku, Setan Bongkok, tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. 
Majulah, Sobat. Lawan aku! Jangan kau tekan gadis yang 
bukan tandinganmu itu kalau kau bukan seorang pengpcut!" 

Tanggur membusungkan dada. Harga dirinya 
tersinggung mendengar tantangan yang diajukan Setan 
Bongkok. Dengan sorot mata penuh tantangan ditatapnya 
Setan Bongkok. 

"Apa boleh buat. Kalau kau memang hendak membela 
wanita liar bermulut kurang ajar itu, aku pun, Tanggur 
bukan orang berwatak pengecut! Kuterima tantanganmu, 
Setan Bongkok!" mantap dan tegas kata-kata yang 
dikeluarkan Tanggur. 

"Hajar orang kurang ajar itu, Paman Bongkok!" seru 
Cendana. Ia bangkit berdiri dan memberi semangat pada 
Setan Bongkok. 

Mata Setan Bongkok berbinar. Memang hanya sesaat 
terlihat, tapi bisa diketahui kalau tokoh aneh ini gembira. Itu 
tidak terlalu berlebihan. Sejak pertemuannya dengan 
Cendana, sewaktu menobng gadis itu dari tangan Gajah 
Kecil, Cendana tidak pernah mengajaknya bicara. 

Bahkan ketika mereka melakukan perjalanan berdua 
setelah Setan Bongkok menyelamatkan Cendana dari 
Pendekar Penyebar Asmara, Cendana juga tidak bicara. Gadis 
ini banyak termenung ketika beristirahat. Setan Bongkok 
yang tidak mau mengganggunya, meninggalkannya untuk 
mencari makanan. Ketika kembali Cendana ternyata telah 
terlibat keributan dengan Tanggur. Setan Bongkok pun ikut 
campur. 


•k-k-k 


Ucapan Cendana membuat semangat Setan Bongkok 
bergelora. Lelaki ini menerjang Tanggur. Tanggur yang 
memang sudah bersiap sedia segera menyambutinya. 
Pertarungan antara dua tokoh ini pun berlangsung. 

Setan Bongkok ternyata terlalu tangguh untuk 
Tanggur. Setelah bergebrak beberapa kali lelaki tonggos ini 
segera berada di bawah angin. Setan Bongkok unggul dalam 
segala hal. Tidak hanya dalam kecepatan gerak. Tapi juga 
tenaga dalam dan mutu ilmu silatnya. Meski demikian, 
Tanggur berusaha sekuat tenaga melakukan perlawanan. 
Beberapa kali dia terpontang-panting! 

Cendana yang melihat keunggulan Setan Bongjeok 
kelihatan gpmbira bukan main. Dia bertepuk tangan sambil 
tak henti-hentinya memberi semangat. 

"Ayo, Paman Bongkok! Hajar lelaki kurang ajar itu! 
Gebuk saja pantatnya!" 

Hampir Setan Bongkok tertawa karena geli mendengar 
ucapan Cendana yang terdengar lucu dan menggelikan. 
Semangatnya semakin membara. Gerakan-gerakannya 
semakin dahsyat dan menggiriskan. 

Tanggur semakin terdesak. Di samping itu, lelaki 
tonggos ini juga merasa sakit hati dengan ucapan Cendana. 
"Mengapa pantatnya yang disebut-sebut?" rutuk Tanggur 
dalam hati. 

Di saat keadaan Tanggur semakin mengkhawatirkan 
dan lebih sering terbanting ke sana kemari, terdengar 
teriakan melengking nyaring dari kejauhan. 

"Ayah...!" 

"Kak Tanggur...!" 

Dua seruan itu keluar hampir bersamaan. Yang satu 
berasal dari mulut Larasati. Sedangkan yang satunya lagi 
diserukan Nilam Sakini, istri Tanggur. 

Ibu dan anak ini masih beijarak tak kurang dua 
puluh tombak. Tapi, seruan keras itu telah mereka keluarkan 
dan sambil terus berlari mendekat. Di sebelah Larasati dan 
Sakini tampak berdiri orang lain, seorang pemuda berpakaian 
ungu dengan rambut putih panjang berkibaran. Arya Buana 
alias Dewa Arak. 

Hampir bersamaan Larasati dan Sakini melompat 
menyerang Setan Bongkok yang tengah mendesak Tanggur 
dengan hebat. Setan Bongkok mendengus. Kedua tangannya 
dikibaskan. Bagaikan diterpa angin teras, tubuh ibu dan 
anak itu terlempar balik dan jatuh bergulingan di tanah. 

Tanggur menggeram. Lelaki ini marah bukan main 
melihat kejadian yang menimpa anak dan istrinya. Namun 
sebuah sapuan kaki Setan Bongkok telah melemparkan 
tubuhnya. Tanggur masih mampu menunjukkan 
keperkasaannya dengan menjejakkan kedua kaki di tanah. 
Tanggur tidak menjadi gentar. Lelaki tonggos ini bertekad 
untuk terus bertarung sampai tetes darah penghabisan! 

Sebuah tangan yang menyentuh bahunya membuat 
Tanggur mengurungkan niat itu. Ditolehnya kepalanya ke 
belakang. Tidak tergesa-gesa. Sebab, Tanggur tahu orang 
yang menyentuh itu tidak bermaksud jahat. Apabila tidak, 
saat itu nyawanya sudah melayang! 

"Boleh aku mewakilimu untuk menghadapinya, 
Paman?" sapa Aiya Buana, yang menyentuh bahu Tanggur. 

Tanggur membutuhkan waktu sejenak untuk 
mengangguk. Lelaki ini tertegun melihat ciri-ciri pemuda di 
hadapannya. Wajah dan potongan tubuhnya pemuda. Tapi, 
rambutnya milik orang berusia lanjut! 

"Dia memiliki kepandaian amat tinggi, Anak Muda, 
Kau harus berhati-hati." Tanggur masih sempat untuk 
berpesan. Agak ragu-ragu lelaki tonggos ini menyapa Aiya 
sebagai pemuda. 

"Akan kuperhatikan nasihatmu, Paman," jawab Aiya 
sopan seraya tersenyum. 

Dewa Arak lalu mengalihkan perhatian ke arah Setan 
Bongkok. Tokoh ini tidak melakukan tindakan apa pun 
setelah T anggur tidak menyerangnya. 

Agak jauh ke belakang Setan Bongkok, Cendana 
memperhatikan Dewa Arak dengan perasaan lain. Pemuda ini 
kelihatan matang dan dewasa karena sikapnya yang tenang 
dan rambutnya yang putih. Wajah dan potongan tubuhnya 
pun menarik. Cendana mulai menaruh perhatian. Sungguh 
amat jauh bedanya, bagaikan bumi dan langit jika 
dibandingkan dengan Setan Bongkok. 




Setan Bongkok sadar Dewa Arak tidak bisa disamakan 
dengan lawan-lawan sebelumnya. Kendati menilik usianya 
dia merupakan lawan paling muda dari lawan-lawan tangguh 
yang pernah dihadapinya, tapi dari sorot mata Dewa Arak 
yang tajam mencorong laksana mata seekor naga dalam 
gelap, Setan Bongjrok bisa mengetahui ketangguhan 
lawannya. 

Bukan hanya Setan Bongkok yang bersikap waspada. 
Dewa Arak pun demikian. Untuk sesaat kedua tokoh ini 
saling memperhatikan gerak-gerik lawan. 

Setan Bongkok yang pertama kali membuka serangan. 
Dia melompat ke atas dengan kedua tangan membentuk 
cakar, siap untuk dikirimkan ke arah Dewa Arak dalam 
bentuk serangan dahsyat. Kedua kakinya agak didekatkan kc 
perut dengan menekuk lututnya. 

Dewa Arak melangkah mundur seraya mengangjeat 
wajah untuk memperhatikan gerakan lawan. Pemuda ini 
melompat agak jauh ke belakang ketika Setan Bongkok 
melancarkan serangan bertubi-tubi dalam bentuk sampokan. 

Tahu kalau lawan telah menggunakan ilmu andalan, 
Dewa Arak segera menggunakan ilmu 'Belalang Sakti'. 
Setelah beberapa kali mengelak, serangan ba lasan pun 
dilancarkan. 

Plak, plakkk, plakkk! 

Berturut-turut benturan teijadi ketika pertarungan 
berlangsung beberapa jurus. Tubuh Dewa Arak terhuyung- 
huyung dua langkah. Tapi, Setan Bongkok terhuyung tiga 
langkah ke belakang. 

Cendana bengong melihat hal ini. Sebaliknya, Larasati 
dan Tanggur serta Sakini tampak gembira. Pemandangan 
yang terpampang menjadi pertanda kalau jagoan mereka 
berada di pihak yang unggul. 

Setan Bongkok penasaran bukan main. Seluruh 
ilmunya dikerahkan. Tubuhnya bagai tidak pernah menjejak 
tanah. Mulutnya tak henti-henti mengeluarkan pekikan 
nyaring. Setan Bongkok tidak ingin peristiwa yang 



memalukan tadi terulang kembali. Dia tidak ingin Cendana 
merasa kecewa. 

Tapi, betapa pun besarnya semangat Setan Bongkok 
untuk menang, kemampuan yang tertinggi yang menentukan. 
Ternyata kemampuan puncak Setan Bongkok masih belum 
mampu menandingi Dewa Arak yang mempergunakan ilmu 
'Belalang Sakti'. Setan Bongkok tetap tidak mampu mendesak 
lawannya. 

Di lain pihak, Dewa Arak dapat mendesak Setan 
Bongkok. Sementara desakan-desakan lawan dapat 
dipunahkan dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang'. 

Tak sampai lima puluh jurus pertarungan Setan 
Bongkok telah dipaksa untuk bertarung mundur. Ilmunya 
yang biasa menang dalam mutu sekarang mati kutu. Ilmu 
'Belalang Sakti' milik Dewa Arak tidak kalah tinggi mutunya! 

Di saat Setan Bongkok terus bergerak mundur tiba- 
tiba terdengar geraman keras. Dari bunyi yang tertangkap, 
Setan Bongkok dan Dewa Arak tahu kalau pemilik suara itu 
sudah pasti manusia. Ia berada di tempat yang jauh dari 
mereka. 

Geraman itu cukup menarik perhatian. Tidak hanya 
Larasati, Sakini, maupun Tanggur. Juga Dewa Arak, Setan 
Bongkok, dan terutama. Cendana. Pertarungan antara Dewa 
Arak dan Setan Bongkok seketika terhenti. 

Tindakan Cendana lebih hebat lagi. Wajah gadis itu 
pucat pasi laksana mayat. Tapi, sinar mata dan tarikan 
mulutnya menyiratkan kebencian dan dendam. Cendana 
menduga pemilik geraman ini adalah pemuda gila yang telah 
menewaskan gurunya. 

Sesaat tubuh gadis ini menggigil keras seperti orang 
terkena demam tinggi. Kemudian, sambil mengeluarkan 
keluhan tertahan ia melesat menuju sumber suara geraman. 

"Cendana...! Hentikan...!" seru Setan Bongkok Dalam 
teriakannya tersirat kekhawatiran yang dalam. 

"Sobat, di antara kita tidak pernah ada urusan. Dan, 
aku bukan orang jahat. Mungkin aku telah bertindak terlalu 
kasar pada kawan-kawanmu. Tapi, itu kulakukan karena 
tidak ada pilihan lain. Aku mohon kau biarkan aku pergi 
untuk menyusul kawanku agar dia tidak celaka di tangan 
orang jahat. Bagaimana?" pinta Setan Bongkok penuh harap. 

Setan Bongkok sebenarnya tidak gentar. Bahkan, 
andaikata mati sekalipun dalam pertarungan ini. Tapi, dia 
tidak ingin Cendana celaka. Apabila pertarungan ini 
dilanjutkan mungkin Cendana sudah pergi terlalu jauh dan 
dia akan kehilangan jejak. Tidak ada pilihan lain kecuali 
meminta kebijaksanaan Dewa Arak. 

"Pergilah. Selamatkan kawanmu," timpal Aiya sambil 
menyimpan gucinya dan melangkah mundur. 

Setan Bongkok menatap Aiya dengan pandangan 
penuh terima kasih sebelum membalikkan tubuh dan 
melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tanggur beserta 
anak dan istrinya menyaksikan kejadian itu dengan alis 
berkerut "Mengapa Dewa Arak membebaskan tokoh jahat 
itu?" tanya mereka dalam hati. 


•k-k-k 


Cendana berlari bagaikan dikejar hantu. Gadis ini 
ingin segera tiba di tempat geraman tadi berasal. Geraman 
yang diyakininya keluar dari mulut Lesmana. Perasaan benci 
membuat Cendana lupa akan nasihat gurunya untuk tidak 
membalas dendam. 

Setelah berlari beberapa lama, di kejauhan sekitar 
delapan tombak di depannya, Cendana melihat dua sosok 
tengah berdiri berhadapan dalam jarak tiga tombak. Meieka 
memiliki ciri-ciri yang amat aneh. Wajah sosok yang satu 
mirip harimau. Sedangkan yang satu lagi mirip kera besar. 

Cendana merasa kecewa sekali melihat hal ini. Apalagi 
ketika mengetahui geraman itu dikeluarkan kakek berwajah 
harimau. Dialah Siluman Harimau. Tokoh sesat yang 
memiliki kepandaian amat tinggi. 

Kakek yang satu lagi lebih mengerikan dari pada 
Siluman Harimau. Kakek ini tidak lain dari Raja Monyet 
Bertangan Seribu. Tokoh teratas dalam kelompok Tiga 
Binatang Iblis Neraka. 

Kendati tahu pemilik geraman itu bukan Lesmana, 
Cendana tidak meninggalkan tempat itu. Gadis ini malah 
tertarik untuk mengetahui kelanjutan kejadian yang tengah 
disaksikan nya. 

Tampak oleh Cendana, Siluman Harimau melompat 
menerjang Raja Monyet Bertangan Seribu. Serangannya 
ganas bukan main. Tapi, dengan gerak kaku Raja Monyet 
Bertangan Seribu mengelakkannya. Ketika tangannya 
diayunkan secara sembarangan, kakek yang memiliki wajah 
mirip kera besar itu berhasil membuat tubuh Siluman 
Harimau terhuyung-huyung ke belakang. Padahal, yang 
melanda Siluman Harimau hanya angin pukulannya saja! 

Cendana membelalakkan mata saking kagumnya 
melihat kepandaian Raja Monyet Bertangan Seribu. Meski 
melihat gerakan-gerakan Siluman Harimau, gadis ini tahu 
kalau tingkat kepandaian kakek itu jauh di atas tingkatnya, 
bahkan mungkin tidak kalah dengan Setan Bongkok. Namun 
kenyataannya Siluman Harimau bagai seekor semut 
bertarung melawan api. 

Setelah beberapa kali dibuat permainan lawan, Si¬ 
luman Harimau mengeluarkan senjatanya. Sepasang cakar 
yang memiliki pegangan. Cakar yang terbuat dari baja pilihan 
itu pada ujung-ujungnya dibubuhi racun mematikan. Dengan 
senjata andalan di tangan Siluman Harimau bagai seekor 
harimau tumbuh sayap. Serangan-serangannya semakin 
dahsyat. 

Siluman Harimau berhasil menyerang selama tiga 
jurus. Tapi semua itu berhasil dielakkan Raja Monjet 
Bertangan Seribu dengan tanpa kesulitan. Bahkan seperti 
sebelumnya, Siluman Harimau dibuat terhuyung-huyung 
dengan angin pukulannya. Raja Monyet Bertangan Seribu 
lalu mengeluarkan senjatanya. Sepasang kece r! 

Raja Monyet Bertangan Seribu membenturkan se¬ 
pasang kecemya dengan pengerahan seluruh tenaga. 
Menurut perhitungan akan terdengar bunyi menggelegar yang 
luar biasa keras, mengingat kakek ini memiliki tenaga dalam 
amat kuat. Namun, tidak terdengar bunyi sedikit pun! 
Cendana yang sudah siap untuk menutup telinga 
mengernyitkan alis. Heran. 

Cendana hampir tak kuat menahan pekikannya ketika 
melihat kejadian yang terpampang kemudian. Siluman 
Harimau terkesima sebentar. Kemudian, tertawa terbahak- 
bahak. Demikian gelinya sampai tubuhnya terbungkuk- 
bungkuk. 

Semula Cendana menduga Siluman Harimau 
menertawakan serangan Raja Monyet Bertangan Seribu. Tapi 
ketika melihat wajah Siluman Harimau, gadis ini mulai 
menaruh curiga. Wajah Siluman Harimau seperti bukan 
wajah orang yang tengah tertawa. Hanya mulutnya yang 
menganga mengeluarkan tawa, tapi wajah dan sinar matanya 
tidak! Wajah itu menyiratkan rasa takut yang besar. 
Kelihatan tegang bukan main! 

Kecurigaan Cendana semakin besar ketika melihat 
Siluman Harimau terus saja tertawa seperti tidak 
mempedulikan keberadaan Raja Monjet Bertangan Seribu 
yang menjadi lawannya. Raja Monyet Bertangan Seribu 
sendiri dengan tenang menyimpan kembali kecemya lalu 
menyaksikan perbuatan lawan. 

Raja Monyet Bertangan Seribu tentu saja melihat 
keberadaan Cendana karena medan pertarungan berupa 
tanah datar yang luas tanpa ada penghalang sampai belasan 
tombak. Tapi, kakek monyet itu bersikap tidak peduli, seakan 
Cendana tidak berada di situ. Seluruh perhatiannya 
ditujukan pada Siluman Harimau. 

Siluman Harimau sendiri terus saja tertawa. Sampai 
suara tawanya semakin pelan dan sekujur urat-urat 
menonjol di sekitar wajah dan leher. Wajahnya pun merah 
padam. Matanya telah mengeluarkan air. Tak lama lagi tokoh 
ini akan tewas dengan pembuluh darah pecah dan napas 
putus! 

Sekarang Cendana mulai merasa ngeri. Gadis ini tahu 
Siluman Harimau akan tewas dalam keadaan mengerikan. 
Semua itu teijadi akibat berbenturannya sepasang kecer yang 
tidak berbunyi itu. 

Cendana merasa ngeri. Raja Monyet Bertangan Seribu 
ternyata memiliki watak yang luar biasa keji. Sebelum dia 
menjadi korban pula, maka dibalikkan tubuhnya. Cendana 
mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu. Tapi 
ternyata tidak mudah rencana itu dilaksanakan. Terdengar 
oleh Cendana, Raja Monyet Bertangan Seribu menegurnya 
dengan suara tanpa kemarahan. 

"Mengapa tergesa-gesa, Nona Cilik? Tidakkah kau 
ingin menyaksikan pertunjukan ini terus. Belum selesai, 
bukan?" 

Cendana tidak mempedulikan ucapan itu. Ia tetap 
meneruskan maksudnya. Tapi begitu ucapan Raja Monyet 
Bertangan Seribu selesai, dia tidak bisa menggerakkan 
kakinya. Padahai Cendana ingin berlari sejauh-jauhnya. 

Cendana tidak mengerti bagaimana itu bisa teijadi. Dia tidak 
merasakan adanya sentuhan jari tangan atau totokan pada 
bagian tubuhnya. 

Cendana tidak tahu kalau begitu menegur, Raja 
Monyet Bertangan Seribu mengambil kecer dan 
membenturkannya satu sama lain seperti yang dilakukan 
terhadap Siluman Harimau! 

"Yang jantan ada, betina pun sekarang datang. Si 
jantan telah tertawa. Alangkah baiknya kalau si betina 
menangis. Hey, wanita usilan yang terlalu mau tahu urusan 
orang, kau akan bersedih untuk menimpali Siluman 
Harimau!" 

Raja Monyet Bertangan Seribu kembali 
membenturkan sepasang kecemya. Tidak terdengar oleh Cen¬ 
dana. Bahkan terlihat pun tidak. Gadis ini berdiri 
membelakangi. Tapi, akibatnya tetap berlangsung 
sebagaimana yang dikehendaki Raja Monyet Bertangan Seri¬ 
bu. 

Cendana mampu bergerak kembali. Tapi gadis itu 
tidak memanfaatkannya untuk melarikan diri, melainkan 
menangis dengan sedihnya sambil menjatuhkan diri di tanah. 

Di lain pihak, Siluman Harimau sudah tidak terdengar 
lagi suaranya. Tokoh itu telah tergeletak di tanah. Diam tidak 
bergerak-gerak lagi Siluman Harimau telah tewas dengan 
mulut masih menganga lebar. Pembuluh darahnya telah 
pecah! 


*** 


"Khraaak...!" 

Pekikan yang mirip burung marah itu terdengar keras 
bukan main. Keras dan melengking nyaring. Cendana yang 
tengah menangis menggerung-gerung, tapi dengan tidak 
adanya kesedihan baik di wajah maupun matanya, langsung 
menghentikan tangis. Secepat itu pula Cendana melesat ke 
arah orang yang mengeluarkan pekikan. Orang yang tadi 
masih beijarak belasan tombak ketika Raja Monyet 
Bertangan Seribu mulai membenturkan sepasang keoemya. 

Dewa penolong Cendana yang sekarang telah berdiri 
di depan gadis itu dalam jarak dua tombak tidak lain Setan 
Bongkok! Tokoh yang tertinggal Cendana cukup jauh ini 



berhasil menyusul dan menemukan buruannya setelah 
tersaruk-saruk cukup lama. Tangis Cendana yang 
membuatnya dapat menemukan gadis itu. 

Setan Bongkok mengembangkan kedua tangan ketika 
Cendana menghambur ke arahnya. Sesaat kemudian, tubuh 
mungil itu telah berada di pelukan Setan Bongkok yang 
merengkuhnya dengan penuh kasih sayang. Setan Bongkok 
malah membelai-belai rambut Cendana. 

Cendana adalah seorang gadis manja. Selama ini 
nenek baju hitam ke lewat menyayanginya. Boleh dikata, 
Cendana hidup dan tumbuh besar dalam limpahan kasih 
sayang yang besar. Hilangnya si nenek membuat Cendana 
kehausan kasih sayang. Sekarang Setan Bongkok 
dirasakannya memberikan kasih sayang itu. Ini membuat 
Cendana tidak segera menarik dirinya dari pelukan Setan 
Bongkok. 

Sebelum munculnya Setan Bongkok, Cendana merasa 
ngeri sekali. Gadis ini takut mati dengan cara mengerikan. 
Mati karena kebanyakan menangis. Dicobanya untuk 
menghentikan tangis atau mengatupkan mulutnya, tapi hai 
itu tidak bisa dilakukan. Urat-urat sarafnya seperti bukan 
menjadi miliknya lagi sehingga tidak mau diperintah. 

"Alangkah mengharukannya pertemuan ini tidakkah 
aku merupakan gangguan di sini?" celetuk Raja Monyet 
Bertangan Seribu dengan suara khasnya, lembut seperti 
orang yang berwatak welas asih dan memiliki sopan santun 
tinggi. 

Teguran Raja Monyet Bertangan Seribu membuat 
Cendana melepaskan pelukan. Dengan muka ditundukkan 
dia berdiri diam di tempatnya. Cendana tidak berani 
mengangkat wajah, lalu! 

"Minggirlah, Cendana. Biar aku yang menghadapi 
monyet besar ini." Setan Bongkok menyentuh bahu Cendana 
dan mendorongnya ke belakangnya dengan halus. 

Raja Monyet Bertangan Seribu tidak kelihatan marah 
atau tersinggung, meski dia dimaki monyet besar. Kakek ini 
malah tersenyum memperlihatkan gjgi-giginya yang runcing 
dan kuning. 

"Kau cukup menarik hatiku sebagai lawan, Sobat. 
Meskipun bukan tandinganku, biasanya aku tidak bergairah 
bertarung dengan orang yang jauh dari tingkatanku. Kau 
merupakan kekecualian, Sobat. Pekik yang kau keluarkan 
mengingatkan aku pada seorang tokoh penuh rahasia yang 
beijuluk Elang Malaikat. Tokoh yang tinggal di daerah 
pegunungan ini, tapi tidak pernah ketahuan di mana 
tempatnya yang pasti. Aku akan bertempur denganmu!" 

"Elang Malaikat? Kau mengpnal tokoh luar biasa itu, 
Raja Monyet?" Setan Bongkok mengutarakan rasa ingin 
tahunya. 

"Mengenalnya? Ha ha ha...! Kau lucu, Sobat. Aku 
bukan saja mengenalnya, tapi amat kenal! Aku telah pernah 
bertarung dengannya dan berhasil dikalahkan. Elang 
Malaikat memang hebat. Aku jumpa dengannya secara tidak 
sengaja di saat tengah mencari tempat kediamannya. 
Sekarang, ingin kutahu apakah kakek bongkok itu memiliki 
ilmu yang sama seperti bertahun-tahun lalu. Bukan tidak 
mungkin ketuaannya telah membuat ilmu-ilmunya 
berkurang. Mataku tidak lamur untuk bisa mengetahui kitab 
yang tengah dibaca Siluman Harimau adalah kitab milik 
Elang Malaikat Seribu Satu Obat Langit Bumi terkenal 
sebagai kitab Elang Malaikat" 

"Kau pasti tak perlu menunggu lebih lama untuk 
mengambilnya, bukan? Aku tahu pasti tokoh-tokoh sesat 
seperti kau atau Siluman Harimau tak pernah puas dengan 
ilmu-ilmu yang kalian miliki!" tandas Setan Bongkok berapi- 
api. 

"Apa hubunganmu dengan Elang Malaikat? Aku yakin 
ada. Kalau tidak, mengapa kau terlalu mementingkan kitab 
palsu itu?" 

"Kitab palsu?!" ulang Setan Bongkok. Tokoh itu 
kelihatan terkejut bukan main. 

Raja Monyet Bertangan Seribu hanya te rkc ke h sambil 
menggaruk-garuk dadanya. Tindakan khas binatang 
bertangan panjang itu. 

"Ketidaktahuanmu akan hal ini menunjukkan kalau 
hubunganmu dengan Elang Malaikat cukup jauh," timpal 
Raja Monyet Bertangan Seribu tenang. "Telah menjadi rahasia 
umum kalau Elang Malaikat mempunyai watak yang luar 
biasa pelit. Terlebih di dalam ilmu. Tidak pernah ada orang 
yang mendapatkan oepretan ilmunya kecuali orang-orang 
yang teramat dekat dengannya. Andaikata seorang tokoh 
seperti Siluman Harimau berhasil membawa kitab miliknya, 
apalagi kitab Seribu Satu Racun Langit Bumi, tidak ada hal 
lain kecuali kitab itu palsu!" 

"Mana mungkin palsu. Raja Monyet!" tandas Setan 
Bongkok, tidak setuju dengan kakek gorilla itu. "Kitab itu 
diambil sendiri oleh pelayannya." 

Raja Monyet Bertangan Seribu te rke ke h. Nadanya 
meremehkan sekali. 

"Jangankan terhadap pelayannya, kepada muridnya 
sekalipun aku yakin Elang Maiaikat tidak akan menunjukkan 
kitab-kitab miliknya. Dia lebih sayang kitab-kitabnya 
daripada nyawanya sendiri!" 

Setan Bongkok terdiam. Ia tidak memberikan ban¬ 
tahan sedikit pun. 

"Dan lagi," sambung Raja Monyet Bertangan Seribu 
"Tokoh-tokoh macam Siluman Harimau mana bisa membawa 
pergi kitab itu? Tanpa menemui kesulitan sama sekali Elang 
Malaikat akan mengambilnya kembali seandainya kitab itu 
asli!" 

Setelah berkata demikian, Raja Monyet Bertangan 
Seribu melompat menerjang Setan Bongkok. Sepasang 
kecemya disimpan. Kakek gorilla ini menggunakan tangan 
kosong. Gerak-geriknya kelihatan kaku dan lambat, tapi 
ternyata tetap cepat dan kuat! 

Cendana segera melompat menjauh. Tapi, tak urung 
serempetan angin serangan membuat tubuhnya terguling- 
guling. Setan Bongkok sendiri telah melompat ke atas. Dari 
sana Setan Bongkok melancarkan serangan balasan! 
Gerakannya cepat dan ganas. Kendati demikian, Raja Monyet 
Bertangan Seribu yang tampak bergerak lambat mampu 
mengelakkan serangannya! Kakek gorilla ini lalu balas 
menyerang. 

Setan Bongkok harus mengakui Raja Monyet Ber¬ 
tangan Seribu merupakan lawan tertangguh yang pernah 
ditemuinya. Bahkan mungkin lebih tangguh dari Dewa Arak. 
Setiap gerakan kakek gorilla ini menimbulkan angin kuat dan 
cukup untuk membuat tubuh Setan Bongkok terhuyung- 
huyung. Sekitar tempat itu pun dipenuhi gelombang angin 
serangan Raja Monyel Bertangan Seribu. 

Meski demikian, Setan Bongkok berusaha keras 
melakukan perlawanan. Dia berkali-kali memekik nyaring 
mengeluarkan ilmu andalan yang mengingatkan orang akan 
tingkah laku burung yang tengah murka. 

Setan Bongkok tahu Raja Monyet Bertangan Seribu 
unggul dalam segala hal. Tenaga dalam, kecepatan, maupun 
ilmu silat. Untungnya, di bidang lompat-mebmpat Setan 
Bongkok, meski keadaan tubuhnya demikian, mampu 
melompat ke sana kcmari dengan lincahnya. 

Satu yang dikhawatirkan Setan Bongkok adalah 
benturan antara meieka. Sedapat mungkin hal itu 
dihindarkannya. Perbedaan tingkat tenaga dalam mereka 
terlalu jauh. Akan teijadi hal yang tak menguntungkan pada 
Setan Bongkok bila benturan itu teijadi. 

Blarrr! 

Apa yang ditakutkan Setan Bongkok terjadi juga. 
Benturan antara mereka tak bisa dielakkan lagi. Itu terpaksa 
dilakukannya untuk menyelamatkan diri. Setan Bongkok 
memapaki sampokan Raja Monyet Bertangan Seribu dengan 
kakinya. Akibatnya, tubuh tokoh aneh ini terpental ke 
belakang dan jatuh terbanting keras di tanah. 

"Cendana...! Cepat lari,..! Tinggalkan tempat ini. 
Cepat...!" 

Di saat tubuhnya melayang, Setan Bongkok masih 
sempat memberikan peringatan. Cendana hampir menangis 
melihat dalam keadaan terjepit Setan Bongkok masih ingat 
akan nasibnya, bukan nasib dirinya sendiri. Sikap Setan 
Bongkok sama betul dengan nenek baju hitam. Kedua tokoh 
itu menyayanginya dan menginginkan keselamatannya. 

Untuk pertama kalinya Cendana yang gemar 
membantah tidak menentang perintah Setan Bongkok sedikit 
pun. Gadis ini melesat dengan kecepatan tinggi meninggaikan 
tempat itu. 

Setan Bongkok, yang bertepatan dengan melesatnya 
Cendana jatuh ke tanah, merasa lega melihat kepergian 
Cendana tapi juga sedikit kecewa. Cendana tidak bertimbang 
sama sekali tidak ada perasaan berat sedikit pun 
meninggalkan dirinya. Bahkan, gadis itu berlari secepat 
mungkin. Meski menginginkan Cendana mengikuti 
perintahnya, Setan Bongkok akan lebih gembira kalau 
Cendana menampakkan perasaan berat untuk pergi. Setidak- 
tidaknya bila hal itu dilakukan menjadi pertanda kalau 
keselamatan Setan Bongkok dipikirkan gadis itu. 

Setan Bongkok tidak bisa berpikir lebih lama karena 
Raja Monyet Bertangan Seribu telah menyerbunya. Tokoh 
berwajah buruk ini pun kembali berjuang teras untuk 
menyelamatkan selembar nyawa. Kali ini lebih sulit dari 
sebelumnya. Benturan tadi menyebabkan kakinya sakit dan 
sulit digerakkan. 

Setan Bongkok sadar nasibnya akan segera diten¬ 
tukan. Dan, perhitungannya sama sekali tidak meleset Raja 
Monyet Bertangan Seribu berhasil menghimpitnya 
sedemikian rupa kemudian mengirimkan sampokan tangan 
kanan dan kiri secara bergantian 

Setan Bongkok yang telah terjepit tidak dapat berbuat 
lain kecuali berdiam diri menanti datangnya maut, 
Menangkis ia tidak sempat, apalagi mengelak! 




Wusss! 

Deru angin keras meluncur dari samping. Hawanya 
panas bukan main. Padahal, pukulan itu sendiri masih 
cukup jauh. Serangan jarak jauh itu memotong di tengah- 
tengah antara Setan Bongkok dengan Raja Monyet Bertangan 
Seribu. 

Andaikata Raja Monyet Bertangan Seribu meneruskan 
maksudnya, sebelum serangan yang dilancarkannya 
mendarat di sasaran akan terlebih dulu terlanda serangan 
angin pukulan berhawa panas menyengat itu. Raja Monyet 
Bertangan Seribu tidak punya pilihan lain kecuali 
membatalkan serangannya. Kakek gorilla ini malah 
menambahkannya dengan melompat ke belakang. 

Sekejap kemudian, melesat sesosok bayangan ungu. 
Di tempat itu telah berdiri sesosok tubuh lagi. Dewa Arak. 
Pemuda berambut putih keperakan ini menatap Setan 
Bongkok sebentar, lalu mengalihkan perhatian pada Raja 
Monyet Bertangan Seribu. 

"Ternyata dunia ini sempit, Anak muda," Raja Monyet 
Bertangan Seribu berkata setengah berfilsafat "Belum lama 
kita bertemu sekarang sudah bersua lagi di sini. Mungkin 
sudah menjadi jalan nasib kita untuk meneruskan 
pertarungan yang waktu itu belum tuntas." 

Dewa Arak tersenyum pahit. 

"Dan, senantiasa di setiap pertemuan kita kulihat kau 
selalu membuat keonaran, Raja Monyet!" tandas Dewa Arak. 

Raja Monyet Bertangan Seribu tertawa lembut. 

"Siang malam. Ada gelap ada terang. Disebut 
pendekar karena adanya penjahat. Tanpa adanya orang yang 
selalu menyebar kejahatan mana mungkin orang-orang 
seperti kau mendapat nama harum sebagai seorang yang 
berada di jalan lurus dan gemar menegakkan kebenaran. 
Seharusnya kau berterima kasih terhadap golonganku, Anak 
Muda. Tanpa adanya kami mana mungkin kau akan 
memperoleh nama harum?" 

"Kurasa tidak ada gunanya perdebatan ini diteruskan, 
Raja Monyet. Atau, kau memang lebih gpmar berbicara dari 
pada bertarung?" 

Sambutan Raja Monyet Bertangan Seribu adalah 
sambaran kedua tangannya yang memiliki ukuran panjang di 
atas tangan manusia umumnya. Kakek gorilla ini memang 
memiliki ilmu silat yang sebagian besar bertumpu pada 
kedua tangan. Jarang sekali kakinya dipergunakan untuk 
menyerang. 

Dewa Arak tak ragu-ragu lagi untuk menyambutnya 
dengan menggunakan ilmu 'Belalang Sakti' yang menjadi 
andalannya. Dua tokoh lihai ini sesaat kemudian telah 
terlibat dalam pertempuran dahsyat! 

Setan Bongkok menghela napas berat. Sungguh tidak 
disangka nyawanya akan tertolong oleh Dewa Arak. Semakin 
bertumpuk budi yang diberikan pemuda berpakaian ungu itu 
terhadapnya. Entah bagaimana Dewa Arak bisa berada di sini 
dalam waktu yang tepat dan cepat Atau, pemuda berpakaian 
ungu ini mengikuti peijalanannya? 

Setan Bongkok tidak perlu berpikir lebih lama untuk 
menemukan jawabannya. Di kejauhan dilihatnya Cendana 
melesat cepat menuju tempat ini. Pasti Cendana yang 
memberitahukan hai ini pada Dewa Arak, duga Setan 
Bongkok. 

"Syukur kau berhasil selamat, Paman Bongkok," ujar 
Cendana sambil berlari mendekat. Tak sabar menunggu 
dirinya lebih dekat dengan Setan Bongkok yang sekarang 
telah berdiri tegak. "Aku sudah khawatir sekali usahaku akan 
terlambat " 

Setan Bongkok tersenyum. Senyum yang lebih pantas 
disebut seringai. 

"Jadi, kau yang menyebabkan pemuda itu sampai di 
sini dan menolongku pada saat yang tepat?" Setan Bongkok 
berusaha mencari kepastian mengenai dugaannya. 

"Aku tidak punya pilihan lain, Paman Bongkok," 
Cendana memberikan jawaban sambil menundukkan kepala. 
Ia merasa bersalah telah meminta pertolongan pada orang 
yang semula justru menjadi lawan tarung Setan Bongkok. 
"Aku rela kau marahi daripada harus kehilanganmu, Paman. 
Kaulah yang selama ini melindungiku. Tanpa adanya kau 
mungkin aku telah celaka. Cukup sudah aku kehilangan 
Guru. Aku tidak ingin kau pun pergi dari sisiku." 

Sepasang mata Setan Bongkok mengerjap beberapa 
kali untuk mencegah runtuhnya air mata. Fterasaan haru 
melanda hatinya Kini dia mengerti mengapa tadi Cendana 
berlari bagai dikejar hantu. Rupanya, untuk mencari 
pertolongan! Agak menyesal Setan Bongkok karena telah 
menduga jelek terhadap Cendana. 

Memang Cendana bernasib baik. Tepat pada saat dia 
tiba di tempat semula dirinya terlibat keributan dengan 
Tanggur. Dewa Arak baru hendak berpamitan meninggalkan 
keluarga Tanggur. Berkumpulnya lagi Tanggur bersama anak 
dan istrinya menjadi alasan Aiya untuk selekasnya berpisah 
dengan Larasati. Aiya melihat adanya benih-benih asmara 
dalam hati gadis itu. Dan, Aiya tidak ingin perasaan suka 
Larasati terhadapnya semakin membesar. 

Seperti dugaan Dewa Arak, Larasati terlihat 
keberatan. Tapi, sifatnya yang tenang membuat gadis itu 
berdiam diri saja. Ia tidak mengajukan keberatannya. Saat 
itulah Cendana datang membawa kabar mengenai ancaman 
maut terhadap Setan Bongkok. Aiya jadi mempunyai alasan 
kuat untuk meninggalkan tempat itu. 

Karena keadaan sudah gawat, demikian menurut 
penuturan Cendana, Aiya berlari mendahului agar tidak 
terlambat. Usaha pemuda berambut putih keperakan itu 
ternyata berhasil. Setan Bongkok berhasil diselamatkannya. 

"Aku tidak marah, Cendana. Malah sebaliknya, 
berterima kasih sekali atas usahamu. Aku terlalu rendah 
untuk mendapatkan pertolonganmu, Cendana. Aku orang 
yang telah berlumuran darah dan dosa. Tidak pantas untuk 
ditolong. Apalagi oleh gadis secantik dan segagah kau!" 

Cendana mengibaskan tangan. 

"Apa pun katamu, Paman Bongkok. Bagiku kau 
merupakan orang yang paling mulia. Akan kuteijang orang 
yang berani menghinamu. Orang sedunia boleh 
menganggapmu jahat, tapi aku tidak!" lantang dan penuh 
semangat ucapan Cendana. 

Setan Bongkok tidak kelihatan gembira. Dia bahkan 
semakin menundukkan kepala. Terpuruk dalam kesedihan 
yang mendera. Karuan saja hal ini membuat Cendana heran. 

Tapi sebelum Cendana yang penasaran melihat sikap 
Setan Bongkok mendesak lebih jauh, terdengar bentakan- 
bentakan nyaring. Kedengarannya berasal dari tempat yang 
cukup jauh. Terdengar derap langkah kaki sekejap telah 
menyusul. Tidak hanya satu, tapi beberapa pasang. 

Setan Bongkok langsung sadar dari cengkeraman 
perasaannya. Tokoh ini segpra mengetahui ada orang-orang 
berkepandaian luar biasa tinggi tengah menuju 1$ tempat ini. 
Cepatnya mereka mendekat, padahal dari teriakan-teriakan 
yang terdengar jaraknya masih jauh, telah menjadi pertanda 
ketinggian ilmu mereka. 

Setan Bongkok bersikap waspada. Dia bertindak 
cepat, berdiri di depan Cendana dengan sikap melindungi. 
Padahal lelaki ini teiah terluka! Gempuran-gempuran Raja 
Monyet Bertangan Seribu yang dahsyat telah melukai bagian 
dalam tubuhnya. 

Hampir berbarengan dengan pindahnya Setan 
Bongkok, melesat tiga sosok yang saling berkejaran. Sosok 
paling depan dikenali Cendana dan Setan Bongkok sebagai 
Pendekar Penyebar Asmara! 

Pendekar Penyebar Asmara berlari sambil membopong 
tubuh Mirah, istrinya. Di belakangnya mengejar Kelabang 
Merah dan Gajah Kecil. 

Setan Bongkok melihat dari sudut mulut Pendekar 
Penyebar Asmara menetes cairan merah kental. Kiranya 
pendekar ganteng itu telah terluka dalam. Karena telah 
terluka, tambahan lagi tengah membopong istrinya, dengan 
satu lompatan, Kelabang Merah berhasil mencegah 
perjalanan Pendekar Fbnyebar Asmara. Mau tidak mau 
Pendekar Penyebar Asmara menghentikan lari. 

Sekarang, Ftendekar Penyebar Asmara dikepung dari 
dua arah. Pendekar ganteng yang masih bisa tersenyum itu 
menurunkan tubuh Mirah. "Menyingkirlah dari sini, Mirah!" 
ucapnya lembut tapi penuh tekanan. Terasa jelas nadanya 
yang tak menghendaki bantahan 

Mirah tahu lawan-lawan suaminya amat tangguh. Dia 
pun tidak akan berarti banyak andaikata memberikan 
bantuan. Bahaya maut tengah mengancam suaminya. 
Dengan terisak Mirah menyingkir. 

"Bersiaplah untuk menghadap malaikat maut, 
Pendekar Pemadat Wanita!" sentak Gajah Kecil penuh 
kegembiraan, karena menyadari sakit hatinya kali ini 
mungkin akan terbalaskan. 

"Belum tentu, Gajah Kecil!" bantah Ftendekar Penyebar 
Asmara. "Andaikata pun aku harus menghadap malaikat 
maut, setidak-tidaknya kau akan kubawa serta!" 

Ucapan Pendekar Penyebar Asmara ini sebagian besar 
hanya berupa ancaman. Saat itu dia telah terluka. Itu teijadi 
karena pengeroyokan dua lawannya. Semula Pendekar 
Penyebar Asmara berhasil mendesak Gajah Kecil, tapi 
Kelabang Merah muncul dan membantu saingan beratnya 
itu. Pendekar Penyebar Asmara tak mampu menghadapi 
keroyokan mereka. Untungnya, dia sempat kabur sambil 
membawa Mirah. 

Sayang, lukanya yang semakin parah karena dipaksa 
mengerahkan kemampuan untuk terus berlari membuat 
Kelabang Merah berhasil menghadangnya. Kelabang Merah 
yang memiliki watak tidak sabaran langsung menyerang 
Pendekar Penyebar Asmara dengan ilmu andalan. 

Gajah Kecil tidak bisa tinggal diam. Dengan 
gelindingan yang menjadi ciri khasnya, dia ikut ambil bagian. 
Sebentar saja Pendekar Penyebar Asmara telah dikeroyok dan 
langsung terdesak. 

Setan Bongkok tidak bisa berpangku tangan melihat 
hal ini. Meski sebenarnya kurang suka dengan Pendekar 
Penyebar Asmara, lelaki ganteng itu tengah diperlakukan 
tidak adil. Dikeroyok. Terlepas dari sifat pendekar itu yang 
jelek, Pendekar Penyebar Asmara adalah seorang tokoh 
golongan putih yang sejak bertahun-tahun lalu menentang 
kejahatan! Nama dan tingkat kepandaiannya tidak berada di 
bawah tingkat kepandaian salah satu anggota Tiga Binatang 
Iblis Neraka. Pendekar Penjnbar Asmara berada di atas 
tingkatan tokoh-tokoh seperti Siluman Harimau atau Mayat 
Sejuta Bunga. 

Maka, melihat Pendekar Penyebar Asmara didesak 
hebat, Setan Bongkok teijun dalam kancah pertarungan. Dia 
menyerang Gajah Kecil! Dengan terjunnya Setan Bongkok di 
tempat itu teijadi tiga kancah pertarungan. 

Pertarungan yang paling dahsyat berlangsung antara 
Dewa Arak dengan Raja Monyet Bertangan Seribu. Ilmu tokoh 
tertinggi dalam kelompok Tiga Binatang Iblis Neraka ini 
memang luar biasa. Dewa Arak kendati telah menggunakan 
ilmu 'Belalang Sakti' masih juga kewalahan menghadapinya. 

Apalagi ketika Raja Monyet Bertangan Seribu 
menggunakan sepasang kecemya. Dewa Arak sempat 
kelabakan. Benturan kecer lawan yang tidak berbunyi tapi 
menimbulkan akibat-akibat dahsyat sempat 

membingungkan nya. 

Tingkat penguasaan tenaga dalam Raja Monyet 
Bertangan Seribu memang telah mencapai puncak. Itu masih 
ditambah lagi dengan seperti adanya hubungan batin antara 
kakek gorilla itu dengan senjatanya. Kedua hal itu membuat 
Raja Monyet Bertangan Seribu mampu menyalurkan 
keinginannya terhadap lawan lewat benturan sepasang 
kecemya. Menotok lumpuh, menidurkan, membuat lawan 
menangis, atau tertawa. 

Dewa Arak sempat dibuat menangis. Untungnya, 
berkat pengalamannya yang banyak, pemuda berambut putih 
keperakan ini segera sadar dan mengusir pengamh tak wajar 
itu dengan teriakan nyaring. Setelah itu setiap kali lawan 
membenturkan keoer, Dewa Arak berkumur-kumur dengan 
araknya. Bunyi kumur-kumur itu menangkal pengamh 
benturan keoer yang tidak bersuara. 

Berbeda dengan pertarungan Dewa Arak dengan Raja 
Monyet Bertangan Seribu yang tetap berlangsung sengit, 
pertarungan Ftendekar Ftenyebar Asmara dan Setan Bongkok 
menghadapi lawan lawannya mulai menghadapi puncak! 

Lawan-lawan Ftendekar Penyebar Asmara dan Setan 
Bongkok lebih menguntungkan. Mereka belum terduka. 
Apalagi tidak diambil jalan nekat, pertarungan lambat-laun 
akan dimenangkan kedua tokoh sesat itu. 

Pendekar Penyebar Asmara dengan tingkat ke¬ 
pandaiannya yang hampir sejajar dan menarahkan seluruh 
kemampuan terakhirnya segera membuat lawannya tersudut, 
hingga tidak bisa berbuat apa pun kecuali menangkis. 
Pendekar Penyebar Asmara menggunakan kesempatan ini 
untuk melancarkan serangan yang mengadu nyawa! 

"Kak...!" sem Mirah melihat tindakan yang diambil 
Pendekar Penyebar Asmara. Wanita ini kaget bukan main. 

"Paman Bongkok...! Jangan...!" Cendana berseru 
penuh kekhawatiran pula ketika melihat Setan Bongkok, 
dengan mengandalkan ilmunya yang istimewa, mengirimkan 
serangan mengadu nyawa yang menutup semua jalan keluar 
bagi Gajah Kecil. 

Maksud Setan Bongkok dan Pendekar Penyebar 
Asmara memang tidak sia-sia. Gajah Kecil dan Kelabang 
Merah demi untuk menyelamatkan nyawa memapaki 
serangan itu dengan seluruh tenaga mereka. 

Bresss! Blarrr! 

Dua benturan keras yang membuat sekitar tempat itu 
bagai dilanda gempa bumi pun terdengar. Tubuh empat 
tokoh yang bertindak nekat itu berpentalan ke belakang 
sambil mengeluarkan jeritan menyayat hati! 

Dengan berteriak kaget dan khawatir, Mirah serta 
Cendana meluruk 1$ arah tubuh Setan Bongkok dan 
Pendekar Penyebar Asmara. Kekhawatiran mereka meledak 
menjadi kesedihan ketika mendapati tubuh kedua tokoh 
perkasa itu tidak bangkit lagi untuk selama-lamanya! 

Dari mulut, hidung, telinga, bahkan mata Pendekar 
Penyebar Asmara dan Setan Bongkok mengalir darah segar. 
Di tempat yang terpisah, belasan tombak jauhnya, Gajah 
Kecil dan Kelabang Merah pun menemui ajal! Keadaan 
mereka tidak berbeda dengan Setan Bongkok. 

Akibat benturan teras itu, pertarungan Dewa Arak 
dan Raja Monyet Bertangan Seribu terhenti. Keduanya lebih 
tertarik untuk memeriksa keadaan tokoh-tokoh yang 
bertindak nekat itu. 

Raja Monyet Bertangan Seribu tercenung melihat 
mayat dua orang saingannya. Sementara Dewa Arak hanya 
memandangi dua wanita yang tengah berduka. Pandang mata 
Arya yang tajam melihat adanya keanehan pada mayat Setan 
Bongkok. 

Arya menegasi lebih seksama. Ternyata tidak salah. 
Ada bagian wajah Setan Bongkok, pada kening sebelah kanan 
terdapat kulit yang berbeda dengan sekitarnya. 

Arya menghampiri dan duduk bersimpuh. Setelah 
melempar senyum duka pada Cendana, diulurkan tangannya 
memeriksa selebar wajah Setan Bongkok. Cendana yang 
bingung melihat tingkah Arya memperhatikannya dengan 
setengah hati. Dia masih terlalu sedih untuk memikirkan hal- 
hal lain 

Aiya tidak hanya memeriksa wajah, tapi juga leher 
dari kulit tubuh lainnya. Tidak sulit bagi Aiya untuk 
mengetahui kalau Setan Bongkok tidak setua kelihatannya. 

"Dia memakai topeng, Nona. Mungkin kau, sebagai 
orang yang paling dekat dengannya ingin mengetahui siapa 
dia sebenarnya? Hidupnya pasti menyedihkan sehingga dia 
harus bersembunyi di balik topeng." beritahu Aiya. 

Cendana tidak langsung menanggapi pemberitahuan 
Aiya. Dia masih dibalut kesedihan. Membutuhkan waktu 
yang cukup untuk mencerna kata-kata Aiya. Kepalanya 
terasa pusing hingga tidak bisa diajak berpikir. Bahunya pun 
masih terguncang-guncang oleh tangis yang siap meledak. 

Kemudian, dengan tangan gemetar Cendana 
mengikuti anjurah Aiya. Dia pun melihat kalau Setan 
Bongkok ternyata mengenakan topeng. Kulit yang berbeda di 
kening kanan itu adalah kulit asli. Mungkin kulit topeng 
terkoyak akibat pertarungan. 

"Aaa...!" 

Cendana mengeluarkan jeritan tertahan ketika 
melihat wajah lain di balik topeng itu. Wajah yang amat 
dikenalnya. Wajah Lesmana! Hanya saja wajah itu tidak 
beringas seperti dulu. Lembut. Sinar sepasang matanya pun 
tampak lembut. 

Cendana kaget bukan main. Sepasang matanya 
membelalak lebar. Mulutnya pun menganga seperti orang 
melihat hantu. Beberapa saat dia bersikap demikian, sebelum 
akhirnya dengan mengeluarkan keluhan tertahan, gadis itu 
roboh ke tanah. Cendana pingsan! Dia tak kuat menahan 
guncangan batin yang bertubi-tubi itu. 

Dewa Arak dan Mirah terkejut melihat kejadian yang 
menimpa Cendana. Untung, Aiya sempat menyambut 
sebelum tubuh Cendana ambruk ke tanah. 

Pada saat itu Raja Monyet Bertangan Seribu rupanya 
berhasil menguasai perasaannya. Dengan langkah lebar 
dihampirinya Dewa Arak untuk diajak bertarung kembali! 

Aiya kaget. Apalagi ketika melihat Raja Monjet 
Bertangan Seribu mengeluarkan keoer. Saat itu tangannya 
tengah memondong tubuh Cendana. Dewa Arak tidak punya 
kesempatan untuk bertindak. 

Tepat di saat Raja Monyet Bertangan Seribu 
membenturkan keoer, mendadak saja, entah datang dari 
mana di tempat itu telah berdiri seorang kakek yang luar 
biasa pendek. Kepalanya botak mirip tuyul. Tanpa berkata 
apa pun kakek ini bertepuk tangan. 

Seperti juga kecer, tepukan tangan kakek cebol tidak 
berbunyi. Tapi, akibatnya sepasang kecer Raja Monyet 
Bertangan Seribu hancur berkeping-keping. Tubuh Raja 
Monyet Bertangan Seribu sendiri terjengkang ke belakang 
sambil memuntahkan darah segar. 

"Kali ini aku mengaku kalah lagi, Elang Malaikat Tapi 
kelak aku akan kembali," rutuk Raja Monyet Bertangan 
Seribu. Kemudian, berlari tertatih-tatih meninggalkan tempat 
itu. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kek," ujar Dewa 
Arak dengan tersenyum. 

Kakek cebol tidak menyambuti. Dipanggulnya tubuh 
Setan Bongkok alias Lesmana. 

"Dia muridku, Anak Muda. Untuk membenrinya 
pengalaman aku pura-pura terluka parah ketika Mayat 
Sejuta Bunga dan Siluman Harimau kupergoki mencuri 
kitab. Padahal, luka-luka yang kuderita hanya sandiwara 
saja. Demikian pula kitab yang dicuri. Hanya kitab palsu. 
Aku memang membiarkan diriku dipukul oleh mereka. 
Sungguh tidak kusangka kalau perkembangannya akan jadi 
demikian jauh. Muridku dibuat gila oleh Mayat Sejuta Bunga. 
Maksud tokoh itu untuk dijadikan budak. Malang, dia malah 
tewas diamuk muridku. Untung aku segera mengobatinya 
sebelum angkara murka yang ditimbulkan muridku 
bertambah." Arya sempat termangu. Kakek itu kelihatan acuh 
saja. 

"Sayangnya, muridku telah membuat guru gadis itu 
tewas. Untuk menebus kesalahan dia mencoba menjadi 
pelindungnya. Tentu saja untuk itu dia harus menyamar. 
Namun, segalanya harus berakhir seperti ini." Kakek cebol 
yang ternyata Elang Malaikat, mengakhiri ceritanya. 

Tanpa permisi lagi, Elang Malaikat kemudian melesat 
meninggalkan Dewa Arak. Angin bertiup sepoi-sepoi. Aiya 
menatap kepergjan si kakek dengan tubuh Cendana masih 
dibopongnya. 


Tunggu serial Dewa Arak selanjutnya dalam episode: 
PUTRI TERATAI MERAH 

SELESAI