Dewa Arak 72 - Batu Kematian



Seorang pemuda tampan berwajah jantan, 
dengan rambut panjang yang dibiarkan meriap, 
menghentikan langkahnya di depan pintu 
sebuah kedai. Sesaat pemuda itu termenung di 
situ. Sepasang matanya yang berkilat tajam, 
menyapu sekitarnya. 

Tak ada seorang pun yang memperhatikan 
tingkah pemuda ini. Memang, diluar kedai tidak 
terlihat seorang pun. Rumah-rumah yang ada 
pun letaknya cukup jauh. Suasana siang yang 
panas membakar bumi, membuat orang-orang 
tidak betah berada di luar rumah. 

Lain halnya dalam kedai, justru di dalam 
kedai yang cukup besar ini, keadaan sangat 
ramai oleh bunyi gaduh suara manusia. Suara 
yang tidak jelas terdengar, karena banyaknya 
orang yang bersuara. Entah, siapa yang menjadi 
pendengar. 

Semua kegaduhan di dalam kedai membuat 
tingkah pemuda berambut panjang itu tidak 
menarik perhatian sama sekali. Dan seorang pun 
tidak ada yang tahu kalau dalam benak pemuda 
tampan itu tengah bergolak perang. 

"Benarkah kedai ini yang dimaksudkan oleh 
orang yang malang itu?! Kalau benar, mengapa 
demikian ramai?! Bukankah orang itu 
mengatakan, kalau kedai ini seharusnya sepi?! 
Kalau bukan, mengapa yang ada hanya kedai 
ini? Tapi, bagaimana kalau bukan?! Ah, pasti 
ini!" 

Pergolakan batin itu akhirnya dimenangkan 
oleh keinginan pemuda berambut putih 
keperakan ini untuk memasuki kedai. Maka 
segera diikatkannya seutas kain merah yang 
sejak tadi digenggamnya, pada pangkal lengan 
kiri. 

Pemuda itu terus melangkah, dan tiba di 
ambang pintu kedai. Sementara, bunyi gaduh 
terus berlangsung. Namun semua itu tidak 
dipedulikannya. Mulanya hanya melirik sekilas, 
kemudian kakinya terayun menuju sebuah meja 
yang masih kosong. 

Seorang lelaki setengah baya bertubuh kurus 
kering seperti cecak kelaparan, tergopoh-gopoh 
menyambut, begitu pantat pemuda berambut 
panjang ini bertemu dengan kursi. 

"Nasi, ayam panggang, dan arak," sebut 
pemuda tampan itu ketika lelaki kurus kering 
yang ternyata pemilik kedai menanyakan 
pesanannya. 

Cukup keras ucapan pemuda itu. Padahal 
diucapkan seperti tanpa menggerakkan bibir! 
Karuan saja pelayan itu bergegas kembali, untuk 
mengambil pesanan. Lelaki kurus kering ini 
sadar, pemuda yang baru datang itu mempunyai 
kepandaian luar biasa! Belum pernah dilihatnya 
orang yang mampu bicara, tanpa menggerakkan 
bibir. Bahkan akibat ucapannya demikian 
menakjubkan. Tentu saja, karena kalau melihat 
ciri-cirinya tak lain dan tak bukan kalau pemuda 
berambut putih keperakan itu adalah Arya 
Buana alias Dewa Arak. 

Dan hanya pemilik kedai itu saja yang 
terpengaruh. Sementara para pengunjung lain, 
sama sekali tidak mempedulikan. Mereka tengah 
sibuk dengan urusan masing-masing. 

Mau tidak mau. Dewa Arak terpaksa 
mengalihkan perhatian pada pemandangan yang 
memang menarik. Sehingga, tidak aneh kalau 
perhatian semua pengunjung kedai tercurah ke 
sebuah meja, di mana terdapat dua orang yang 
tengah duduk berhadapan. 

Di atas meja yang membatasi dua orang itu, 
tampak sebuah cangkir bambu berisi arak. 
Hanya itu, tapi justru sangat menarik perhatian 
para pengunjung kedai. Cangkir bambu itu tidak 
diam di tempatnya, tapi bergerak-gerak 
bergeser. Terkadang bergeser ke kanan, tapi tak 
jarang ke kiri. 

Sebuah pemandangan yang aneh sebenarnya, 
tapi bagi para pengunjung kedai dan Dewa 
Arak, sepertinya hanya hal biasa. Mereka semua 
tahu, kalau hal itu tidak terjadi sendiri. Tapi ulah 
dua orang yang duduk berhadapan sambil 
memegang pinggir meja dengan kedua tangan. 
Dari tangan yang memegang pinggiran meja 
itulah, cangkir bambu itu dikendalikan. 

Setelah beberapa saat, cangkir bambu yang 
berisi arak setengah lebih itu bergeser ke sana 
kemari. Akhirnya secara perlahan-lahan terus 
bergeser ke meja sebelah kiri, di mana duduk 
lelaki bertubuh kekar. Sedangkan wajah lelaki ini 
tampak telah dipenuhi cucuran peluh yang 
menetes-netes. Kedua tangannya yang mencekal 
pinggiran meja tampak menegang, pertanda 
telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga 
dalamnya. 

Di lain pihak, lelaki tinggi kurus berwajah 
kekuningan seperti orang penyakitan yang 
menjadi lawannya, tampak biasa saja. Tidak 
tampak adanya peluh, kecuali pada bagian 
dahinya yang sedikit basah. Cara memegang 
pinggiran meja pun tidak dengan mencekal. 
Memang, dia belum mengerahkan seluruh 
tenaganya. Dan, ketika cangkir bambu itu 
semakin mendekati lawannya, baru kekuatannya 
di tambah secara tiba-tiba. 

Maka kini sekujur tubuh lelaki kekar jadi 
menggigil. Dan... 

"Huak.J" 

Darah segar langsung muncrat dari mulutnya 
ketika laki-laki kekar itu terus memaksakan diri 
bertahan. Bahkan cangkir bambu itu secara telak 
dan cukup keras, menghantam dadanya. Tubuh 
lelaki kekar ini langsung terjerembab ke depan. 
Dan kepalanya kontan terkulai di meja. 
Kekerasan hati untuk terus bertahan, 
mengakibatkannya tewas dengan isi dadanya 
hancur. 

Seketika bunyi tepuk tangan langsung 
membahana, menyemaraki sekitar tempat itu, 
untuk menyambut kemenangan lelaki tinggi 
kurus ini. Agaknya lelaki ini bangga bukan 
main. Kedua tangannya segera diangkat sambil 
mengedarkan pandangan berkeliling, 
memperhatikan wajah-wajah orang yang memuji 
kemenangannya. 

"Ayo! Siapa lagi yang ingin mencoba 
bertanding denganku Bertanding seperti ini 
tidak menakutkan. Bahkan menunjukkan, kalau 
kemampuan silat tidak hanya dipergunakan 
secara kasar, berkelahi seperti tukang pukul. 
Pertarungan seperti ini membutuhkan seni dan 
kesabaran Jadi, lebih tinggi daripada 
pertarungan yang biasa dilakukan oleh jagoan 
kampungan," lelaki itu mulai sesumbar. 

Kata-kata itu dikeluarkan penuh nada 
tantangan. Sementara mata laki-laki ini menatap 
wajah-wajah yang berada di sekelilingnya satu 
persatu. Tiap yang ditatap langsung menunduk. 
Dan itu membuatnya mengalihkan pandangan 
pada yang lainnya. Tidak berani membalas 
tatapannya, menjadi jawaban kalau orang itu 
tidak berani menyambuti tantangannya. 

"Kalau demikian, mengapa kalian tidak 
kembali saja?! Meneruskan mencari benda-benda 
keramat itu, sama saja artinya kalian siap 
bertarung denganku!" tandas lelaki berwajah 
kekuningan ini dengan senyum penuh 
kemenangan. 

Tidak ada jawaban sama sekali. Semua kepala 
tertunduk dalam, seperti tengah menekuri tanah, 
tapi, sepasang mata masing-masing orang 
melirik ke sana kemari, mengintai dari balik 
bulu-bulu mata 

Senyum yang menghias wajah lelaki berkulit 
kuning ini memudar, ketika melihat ada seorang 
pemuda yang sepertinya tidak mempedulikan 
semua kata-katanya. Pemuda berambut putih 
keperakan itu tetap asyik makan dan minum, 
seakan-akan tidak peduli sekitarnya. Dan hal ini 
membuat lelaki berwajah kuning jadi naik darah, 
karena merasa diremehkan 

Seketika dengan langkah lebar sambil 
menggertakkan gigi, lelaki berwajah kuning ini 
melangkah; lebar menuju tempat pemuda yang 
tak lain Dewa Arak. Kedua tangannya sudah 
terkepal, hingga menimbulkan bunyi 
berkerotokan seperti tulang-tulang patah. 

Semua kepala yang tadi tertunduk kontan 
mengikuti arah yang dituju lelaki bermuka 
kuning tadi. Dan ketika itu juga mereka tahu, 
kalau antara lelaki berkulit kuning dengan Dewa 
Arak yang tengah asyik menyantap makanan, 
akan terjadi pertarungan. Setidak-tidaknya ribut 
mulut. 

"Sungguh tidak enak makan minum 
sendirian. Biar kutemani kau. Anak Muda," 
tegur lelaki berwajah kuning itu sambil duduk di 
kursi yang berhadapan dengan Arya. Dan 
mereka hanya dipisahkan oleh meja berbentuk 
empat persegi panjang. 

Tindakan lelaki berwajah kuning ini langsung 
mendapat perhatian dari orang-orang di dalam 
kedai, yang tadi tertunduk ketakutan Mereka 
tahu, akan ada pertunjukan yang mungkin 
menarik. Apalagi, ketika melihat lelaki berwajah 
kuning itu mulai menempelkan kedua tangan 
pada pinggir meja. 

Dewa Arak yang baru saja mengunyah 
makanannya hingga halus, mengangkat wajah 
langsung ditatapnya lelaki berwajah kuning itu. 
Senyum lebar seketika terhias di bibirnya. Dewa 
Arak seperti tidak tahu akan adanya ancaman 
bahaya dari orang yang duduk di depannya. 

'Terima kasih, Kisanak. Kalau begitu, jangan 
malu-malu. Sikat saja yang ada. Lagi pula, aku 
pun tidak mampu menghabiskannya sendirian," 
tawar pemuda berambut putih keperakan ini. 

Lelaki tinggi kurus itu menyeringai. 

"Biar bagaimanapun, aku hanya tamumu. 
Anak Muda. Kalau kau benar-benar hendak 
menjamuku, tentu tidak keberatan untuk 
menuangkan cangkir arak padaku. " 

"Tentu saja tidak, Kisanak," sambut Dewa 
Arak, masih tetap ramah suaranya. "Kebetulan 
cangkir ini belum dipergunakan. Jadi, tidak ada 
salahnya kalau kau yang menggunakannya." 

Sambil berkata demikian. Dewa Arak 
mengulurkan tangan, menggenggam leher guci 
untuk menuangkan arak ke dalam cangkir 
bambu yang belum dipergunakan. 

Senyum mengejek terbesit di bibir lelaki 
berkulit kuning ketika melihat jari-jari tangan 
Arya telah mencekal leher guci kecil, dan 
bermaksud mengangkatnya. Sudah terbayang di 
benaknya, betapa pemuda berambut panjang ini 
akan terkejut karena guci itu tidak akan 
terangkat. Walaupun seluruh tenaganya 
dikerahkan, jelas hasilnya bakal sia-sia. Memang 
kedua tangan lelaki tinggi kurus yang menempel 
di pinggir meja telah disaluri tenaga dalam. 
Sehingga membuat guci itu menempel dengan 
daun meja. 

Tapi nyatanya pemuda berambut panjang itu 
tidak terkejut sama sekali. Dewa Arak tahu guci 
itu seharusnya dapat diangkat dengan mudah. 
Dan kini tidak bergeming sama sekali! 

Semua pasang mata yang ada di dalam kedai 
seperti tidak berkedip menatap ke arah guci 
yang telah dicekal Arya. Memang, mereka tidak 
tahu pasti akan apa yang terjadi Tapi dari 
percakapan terdengar dan kenyataan yang 
terjadi mereka bisa memperkirakan kalau guci 
itu telah dipantek dengan aliran tenaga dalam 
lelaki tinggi kurus. Buktinya jari-jari tangan 
pemuda berambut panjang itu mencekal erat 
leher guci, tapi tidak segera mengangkat dan 
menuangkannya ke dalam cangkir bambu. 

Semua pengunjung kedai yakin, pemuda 
tampan berambut panjang ini tidak akan mampu 
mengangkat guci! Kekuatan tenaga dalam lelaki 
berwajah kuning itu telah mereka saksikan 
sendiri, ketika mengalahkan lelaki kekar yang 
menjadi lawannya tadi. 

Tapi kini mereka merasa kaget ketika melihat 
wajah lelaki tinggi kurus itu tampak menegang. 
Jelas, dia telah mengerahkan tenaga besar dalam 
pertarungan aneh itu. Sementara, wajah pemuda 
berambut panjang itu terlihat biasa-biasa saja. 
Sedikit pun tidak terlihat adanya tanda-tanda 
kalau tengah mengerahkan tenaga dalam. Tidak 
salahkah penglihatan ini? Bukankah tadi, 
sewaktu melawan lelaki kekar, lelaki berwajah 
kuning ini tidak memperlihatkan tanda-tanda 
telah mengerahkan tenaga dalam besar? 
Mungkinkah pemuda berambut panjang itu 
memiliki tenaga dalam tinggi? Rasanya tidak 
mungkin! 

Mata para penonton adu tenaga dalam ini 
baru terbelalak ketika melihat guci itu terangkat 
dari daun meja. Kemudian, dengan tenangnya 
pemuda berambut panjang itu menuangkan arak 
yang berada dalam guci ke dalam gelas bambu. 

Sementara wajah lelaki tinggi kurus yang 
dibasahi peluh pada bagian dahi, tampak 
berubah-ubah. Sebentar merah, sebentar pucat. 
Hatinya merasa penasaran bukan kepalang 
dengan kekalahannya. Dan sepasang matanya 
yang sipit, seperti terbelalak lebar ketika 
menatap tingkah pemuda berambut panjang 
yang menuangkan arak dengan sikap tenang. 

Dan ini diartikan sebagai penghinaan! Bahkan 
tidak menganggapnya sebagai lawan berat. 

"Jangan besar kepala. Pemuda Sombong!" 
desis lelaki tinggi kurus itu, kaku dan ketus. 
"Aku belum kalah! Dan pertandingan itu belum 
selesai! Perlu kau tahu. Ular Emas tidak pernah 
dikalahkan orang!" 

Dengan sikap kasar, lelaki berwajah kuning 
yang ternyata berjuluk Ular Emas ini mengambil 
cangkir yang telah diisi Dewa Arak sampai 
penuh. Cangkir itu dicekal dengan jari-jari 
tangan, kemudian dituangkan ke mulutnya. 

Berpasang-pasang mata langsung terbelalak 
ketika melihat pemandangan aneh itu. Cangkir 
telah miring di depan mulut Ular Emas, tidak 
membuat arak yang berada di dalamnya 
mengucur ke dalam mulutnya. Padahal, arak itu 
sudah keluar dari bibir cangkir. Sepertinya ada 
kekuatan kasatmata yang menahannya. 

"Sayang sekali.... Rupanya arak ini tidak ingin 
kuminum. Anak Muda. Biarlah aku tidak usah 
meminumnya. Tapi kau jangan kecil hati. Biar 
aku yang akan memberi penghormatan 
kepadamu sebagai balasan atas kebaikanmu. 
Anak Muda," kata Ular Emas. 

Nada kata-katanya mengeluh, seperti orang 
yang sangat menyesal setelah beberapa saat 
membiarkan gumpalan arak itu tidak terjatuh ke 
dalam mulutnya. Benda cair itu seperti telah 
berubah menjadi gumpalan benda lunak yang 
menempel erat dengan cangkir bambu! 

Sekarang, lelaki tinggi kurus itu memegang 
cangkir bambunya dengan tangan kiri. Tangan 
kanannya digunakan untuk mengambil guci 
arak dan menuangkannya ke dalam gelas! 
Padahal, arak yang berada di dalam gelas bambu 
telah penuh! 

Currr! 

Arak dari dalam guci mengucur keluar dan 
memasuki cangkir yang telah penuh. Tapi 
hebatnya, arak itu tidak meluap keluar, meski 
telah melewati bibir cangkir. Malah arak itu 
membentuk setengah lingkaran. Ujung 
permukaannya melengkung, membentuk 
setengah lingkaran yang melewati bibir cangkir. 
Permukaan arak itu bergoyang-goyang, tapi 
tidak tumpah. Ada kekuatan tidak nampak yang 
membuat arak itu seperti bersatu! 

Pemandangan menakjubkan ini membuat 
berpasang-pasang mata yang sudah terbelalak 
semakin lebar. Mereka semua tahu pengerahan 
tenaga dalam Ular Emaslah yang membuat arak 
itu tidak tumpah! 

"Terimalah penghormatanku ini. Anak 
Muda," kata Ular Emas disertai seringai ejekan, 
setelah terlebih dulu meletakkan guci ke meja. 

Ular Emas menyodorkan cangkir yang 
dipenuhi arak hingga melewati bibirnya, kepada 
Dewa Arak. Gumpalan arak yang 
permukaannya membentuk stengah lingkaran 
itu bergoyang-goyang, ketika lelaki berwajah 
kuning mengangsurkannya pada Arya. 

"Ah! Kau sungguh baik hati, Kisanak," ucap 
pemuda berambut panjang ini seraya bangkit 
berdiri. Dia langsung bersiap untuk menerima 
angsuran cangkir penuh berisi arak itu. 

Sudah terbayang di benak para pengunjung 
kedai dan Ular Emas kalau arak yang berada 
dalam cangkir itu akan tumpah, dan pasti akan 
membasahi tangan maupun tubuh pemuda 
berambut panjang ini. Memang Ular Emas 
sendiri pun sampai mengerahkan seluruh tenaga 
dalamnya untuk menahan, agar gumpalan arak 
itu tidak tumpah. Dapat dibayangkan, betapa 
kagetnya hati semua orang, tak terkecuali Ular 
Emas! Bahkan lelaki berwajah kuning inilah 
orang yang paling terkejut. Ternyata pemuda 
berambut panjang itu mampu menerima cangkir 
berisi arak tanpa tumpah! 

'Terima kasih...! Terima kasih...!" 

Sambil berkata demikian. Dewa Arak mulai 
menuangkan arak ke dalam mulutnya. Tapi 
sampai mulut cangkir itu menghadap ke bawah, 
arak itu tetap tidak mau tumpah! 

Mulut Ular Emas sampai terbuka lebar-lebar 
tanpa sadar, saking kagetnya. Untung saja tidak 
ada lalat iseng. Kalau tidak, binatang yang 
menjijikkan itu pasti sudah masuk ke dalam 
mulutnya yang memang besar. 

Kenyataan ini saja sebenarnya sudah 
membuat Ular Emas sadar kalau pemuda 
berambut panjang itu merupakan seorang lawan 
tangguh. Tenaga dalam pemuda itu sulit diukur. 
Tapi, sifat keras kepala dan merasa sebagai 
tokoh yang tak terkalahkan malah membuat Ular 
Emas naik darah. 

Tanpa pikir panjang lagi, lelaki tinggi kurus 
yang tengah murka ini melancarkan serangan 
terhadap Dewa Arak yang tengah sibuk dengan 
cangkir araknya! 

Singngng! 

Bunyi mendesing nyaring mengiringi 
meluncurnya golok Ular Emas ke arah dada 
Arya. Entah kapan, senjata itu lolos dari 
sarungnya. Yang jelas, ketika golok itu 
menyambar Dewa Arak cepat mendoyongkan 
tubuh ke samping dengan tangan masih 
memegang cangkir arak. Nyatanya, ujung golok 
itu hanya menyambar lewat beberapa jari di sisi 
pinggang. Dan hebatnya, arak yang berada di 
cangkir tidak tumpah sama sekali, meski 
bergoyang-goyang seperti hendak keluar! 

Ular Emas semakin murka! Dia mengeram 
keras seperti seekor binatang buas terluka. Dan 
sekarang, goloknya meluncur lebih dahsyat ke 
arah Dewa Arak. Bentuk senjatanya sampai 
lenyap, sehingga yang terlihat hanya kelebatan 
bayangan mengurung tubuh pemuda berambut 
panjang ini. 

Untuk yang kesekian kalinya. Dewa Arak 
mempertunjukkan kelihaiannya. Dengan tangan 
kanan terus menggenggam cangkir, tubuhnya 
bergerak ke sana kemari mengelakkan serangan 
Meja dan kursi pun jadi porak-poranda. Tapi 
arak yang berada dalam gelas, tidak tumpah 
sedikit pun. 

"Kau terlalu mendesakku, Kisanak. Apa boleh 
buat," seru Arya di antara desingan golok yang 
meluncur mencari-cari sasaran. Suaranya cukup 
keras, sehingga mampu mengatasi bunyi riuh 
rendah kelebatan golok Ular Emas. 

Trikkk! 

Ular Emas merasakan tangan kanannya 
tergetar hebat ketika Dewa Arak memapak 
senjatanya dengan jari telunjuknya. Dan sebelum 
dia sempat berbuat sesuatu, tangan kanan 
pemuda berambut panjang itu bergerak. 

Byurrr! 

Arak yang berada di dalam gelas langsung 
mengguyur sekujur tubuh Ular Emas. Rasa 
panas pun menyergap bagian tubuh yang 
terguyur arak. 

"Masih ingin dilanjutkan?!" tanya Arya tanpa 
nada ejekan 

Sepasang mata Dewa Arak menatap Ular 
Emas yang berdiri dengan tubuh agak basah, 
berjarak beberapa tombak darinya. 

Ular Emas sekarang sadar kalau pemuda 
berambut panjang ini bukan tandingannya. 
Mungkin kepandaian pemuda itu beberapa kali 
lipat di atas kepandaiannya. Selagi pemuda 
tampan itu masih sadar dan tidak menjatuhkan 
tangan keras, lebih baik dia mundur. 

"Kau hebat. Anak Muda, aku mengaku 
kalah," desah Ular Emas kaku. "Terus terang, 
belum pernah kutemukan seorang pemuda 
sehebatmu! Pasti kau seorang tokoh persilatan 
yang cukup terkenal. Atau, murid seorang sakti 
yang mengasingkan diri. Boleh kutahu, siapa 
dirimu atau gurumu. Anak Muda?! Mungkin 
jawaban yang kau berikan dapat menghapus 
rasa penasaran" 

"Mungkin dia Dewa Arak!" 

Tiba-tiba terdengar teriakan dari salah 
seorang pengunjung kedai. Rupanya, ada di 
antara mereka yang pernah mendengar tentang 
julukan yang menggemparkan dunia persilatan 
itu. 

Sepasang mata Ular Emas kontan terbelalak 
lebar. Sepasang matanya yang sejak tadi 
menyipit, menatap pemuda berambut panjang 
dari ujung tambut sampai ujung kaki dengan 
sinar menyiratkan ketidakpercayaan. 

"Kau..., tokoh yang terkenal itu?!" Agak 
gagap ucapan yang keluar dari mulut Ular Emas. 
"Ah...! pasti kau dia...! Rambut dan pakaianmu 
memang sesuai dengan ciri-ciri yang dimiliki 
Dewa Arak. Benarkah kau. Dewa Arak?" 

"Namaku sebenarnya adalah Arya, Kisanak. 
Tapi dunia persilatan memang memberi julukan 
seperti itu," jawab Dewa Arak sambil menghela 
napas berat, berusaha merendah 

"Sama sekali tidak disangka. Ternyata kau 
yang demikian sakti, ikut tertarik terhadap 
benda-benda keramat itu. Kalau begitu aku 
hanya mempunyai kesempatan sedikit sekali 
untuk mendapatkannya. Tapi aku tidak putus 
asa. Dewa Arak. Meskipun kau ikut serta dalam 
perebutan dan pencarian benda-benda ajaib itu, 
aku pantang mundur!" 

Dewa Arak jadi melongo. Sama sekali tidak 
dimengerti, apa yang dimaksud Ular Emas. 


"Apa... maksudmu. Ular Emas?!" 

Setelah sekian lama berdiam diri, Arya 
bertanya penuh ketidakmengertian. Tapi 
wajahnya tidak menyiratkan perasaan apa-apa, 
karena memang sudah bisa mengendalikan 
perasaannya. 

"Benda ajaib?!" ulang Dewa Arak. 

'Tidak usah pura-pura. Dewa Arak!" sergah 
Ular Emas. "Kalau tidak karena itu, untuk apa 
kau datang kemari?! Melancong?!" 

Arya diam, tidak memberi jawaban sama 
sekali. 

"Selamat tinggal Dewa Arak! Percayalah. 
Meski aku bukan tandinganmu, tapi niatku 
untuk mencari dan memperebutkan benda- 
benda ajaib itu tak pernah pupus!" 

Tanpa menunggu jawaban lagi, lelaki tinggi 
kurus itu melesat keluar. Hanya dalam beberapa 
kali lesatan, tubuhnya telah berada jauh di luar 
kedai. 

Arya hanya mengangkat bahu. Kemudian 
pandangannya beralih pada para pengunjung 
kedai yang masih berada di meja masing- 
masing, menatap ke arahnya. Tapi mereka 
langsung duduk di meja masing-masing, begitu 
beradu pandang dengan sepasang mata Arya. 
Memang, mereka yakin kalau pendekar muda 
yang terkenal itu tidak akan melakukan tindakan 
macam-macam. Tetapi pandangan mata Arya 
yang tajam berkilat itu membuat mereka gentar 
bukan main. Dan mata mereka pun dialihkan 
pada hidangan yang tersedia di atas meja. 

Dewa Arak pun tidak mempedulikannya. 
Malah kakinya segera melangkah menghampiri 
pemilik kedai. Tanpa banyak bicara, segera 
diberikannya uang pembayaran makanan dan 
pengganti kerusakan. 

"Boleh aku bertanya sesuatu, Ki?!" tanya 
Arya, setelah lelaki pemilik kedai itu menerima 
uang pembayaran. 

'Tentu saja. Tuan Pendekar! Dan aku akan 
mencoba untuk menjawab, kalau memang bisa 
kujawab!" sahut lelaki kurus kering cepat. 

"Apakah di tempat ini ada seseorang yang 
tengah menunggu kawannya?!" 

Lelaki kurus kering itu tercenung sejenak. 

"Tadi pagi memang ada seseorang yang 
mungkin Tuan Pendekar maksudkan Tampak 
gelisah sekali. Dia memesan makan untuk dua 
orang. Tapi, tidak segera memakannya. Bahkan 
bersikap seperti ada yang ditunggu. Tak lama 
kemudian, dia pergi tergesa-gesa. Tapi belum 
lama perginya, ada sekelompok orang datang 
kemari mencari-carinya. Mereka pun pergi, 
setelah melihat orang yang mereka cari tidak 
berada di sini." 

"Terima kasih atas keterangan yang kau 
berikan, Ki," ucap Arya cukup puas dengan 
keterangan itu 

Dewa Arak mengayunkan kaki meninggalkan 
kedai. Dia tidak berusaha untuk mengetahui, 
siapa sebenarnya orang-orang yang sepertinya 
memburu orang yang tengah mencarinya di 
kedai ini. Arya tahu, orang seperti lelaki pemilik 
kedai itu tidak akan tahu tokoh-tokoh persilatan 
Jadi, tidak ada gunanya berusaha bertanya lebih 
jauh. 

Di depan pintu kedai, Arya menghentikan 
langkah. Dia terdiam sejenak sambil 
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Baru 
setelah itu kakinya bergegas meninggalkan 
tempat itu. 

Dewa Arak saat ini merasa bingung, ke mana 
harus mencari orang yang ingin ditemuinya. 
Ayunan langkahnya menuruti kakinya saja. Tapi 
belum lama melangkah, Arya melihat sosok- 
sosok yang bergerak ke arahnya. 

Tempat Arya berada, sejauh mata 
memandang memang merupakan lapangan 
tanah luas yang tidak terhalang apa pun. 
Sehingga, Dewa Arak dapat melihat jauh ke 
depan. Maka apa yang terlihat di depan sana, 
membuatnya waspada. Matanya yang luar biasa 
tajam, segera dapat melihat kalau sosok-sosok 
kecil jauh di depan sana, adalah manusia- 
manusia yang tengah berlari. 

Namun, Arya tetap bersikap tenang. 
Langkahnya terus saja dilanjutkan. Dia terus 
berlari cepat, tanpa berusaha mengeluarkan 
seluruh kemampuannya. Agar tidak 
bertubrukan dengan sosok-sosok di depan, 
pemuda berambut putih keperakan ini berlari 
agak ke pinggir. 

Dan hanya dalam waktu sebentar saja, kedua 
belah pihak telah hampir berpapakan. 

Sosok-sosok yang dilihat Arya adalah lima 
orang yang berwajah menggiriskan Semuanya 
mengenakan pakaian dari kulit ular. 

Dan Arya sudah merasa lega, ketika lima 
sosok berpakaian dari kulit ular itu sama sekali 
tidak menghiraukannya. Bahkan terus 
melewatinya. Sehingga sekarang mereka telah 
berlari saling membelakangi. Tapi mendadak.... 

"Berhenti dulu, Kisanak...!" Seruan keras dari 
belakang, membuat langkah Dewa Arak terhenti. 
Arya bukan seorang pengecut. Memang, dia 
lebih suka kalau tidak terjadi sesuatu di antara 
mereka. Tapi apabila hal itu terjadi, Arya 
pantang mundur. Maka dengan sikap tenang, 
tubuhnya berbalik. 

Tampak lima sosok yang terdiri dari lelaki- 
lelaki berusia empat puluhan telah berbalik 
Sehingga, sekarang mereka saling berdiri 
berhadapan dalam jarak dua tombak. 

"Akulah yang kalian maksudkan?!" tanya 
Arya, tenang meski lima lelaki berpakaian dari 
kulit ular Itu menatapnya penuh selidik. 

"Tidak salah!" jawab lelaki yang berkulit 
hitam seperti arang, tegas. 

"Dan kau tidak usah berpura-pura lagi Anak 

Muda!" sambung lelaki yang memiliki cambang 
bauk lebat pada wajahnya. 

"Cepat berikan benda itu pada kami!" timpal 
yang bertubuh kecil kurus, sambil menudingkan 
jari telunjuknya pada kain merah yang melilit 
pangkal lengan Arya. 

"Dan kami akan membiarkanmu berlalu dari 
sini dalam keadaan hidup!" tambah yang 
berkelapa botak, tidak mau ketinggalan bicara. 

"Cepat berikan! Jangan sampai kesabaran 
kami habis, sehingga terpaksa harus 
membunuhmu!" ancam laki-laki yang terakhir. 

"Sayang sekali," jawab Arya bernada 
menyesal. "Aku tidak bisa memenuhi 
permintaan kalian. Benda yang kalian minta, 
bukan milikku. Dan ini hanya merupakan 
amanat seseorang yang telah meninggal, untuk 
diberikan pada orang yang diinginkan. Dan aku 
yakin, kalian bukan orang yang dimaksud!" 

"Keparat!" 

Lelaki yang bercambang bauk lebat 
menggeram. Wajahnya nampak merah padam. 
Tampak jelas sikapnya yang tidak sabar, begitu 
mendapat jawaban seperti itu. 

"Anak Muda," selak lelaki berkepala botak 
yang rupanya tidak ingin rekannya cepat-cepat 
turun tangan. "Kami tidak ingin melukaimu, 
mengingat kau hanya seorang pemuda yang 
masih hijau meski rambutmu telah putih. Aku 
kasihan, kalau kau mengalami kejadian yang 
tidak menyenangkan. Lebih baik, serahkan 
benda itu secara baik-baik. Dan, beritahukan apa 
yang dikatakan oleh orang yang memberikan 
benda itu padamu. Asal kau tahu saja. Anak 
Muda. Kami ini berjuluk Lima Naga Langit 
Bumi. Sekali kami bertindak, akan ada darah 
yang tertumpah! Camkanlah baik-baik!" 

"Sudah jelas kukatakan pada kalian, aku 
tidak akan menyerahkan benda ini karena bukan 
milikku, sekalipun, kalian bergelar Lima Naga 
Golok Maut! Tak mungkin aku akan 
memberikannya, apabila kalian berjuluk 
Malaikat Maut!" tandas Arya mantap 

"Rupanya, kau sudah ingin mencari kuburan. 
Pemuda Sombong!" sentak laki-laki bercambang 
bauk lebat. 

Sekujur tubuh laki-laki itu sudah menggigil 
karena tidak kuat menahan amarah. Dia sudah 
bermaksud untuk menerjang, tapi tangannya 
lebih dulu dipegangi oleh lelaki kecil kurus yang 
memberinya isyarat untuk bersabar. 

"Baiklah." 

Sebelum lelaki kecil kurus berbicara, Arya 
telah lebih dulu membuka mulut. Dewa Arak 
tentu saja telah mendengar nama besar Lima 
Naga Golok Maut yang terkenal sebagai tokoh- 
tokoh golongan putih. Maka, dia tidak ingin 
memberikan hajaran berat pada mereka. 

"Kau bersedia memberikan benda itu pada 
kami?!" tanya lelaki berkulit hitam laksana 
arang, cepat-cepat. 

Arya mengangguk. 

'Tapi dengan satu syarat." 

Lima lelaki berpakaian dari kulit ular ini 
saling berpandangan. 

"Kau jangan bermain gila dengan kami. Anak 
Muda. Cepat katakan, apa syaratnya?" 

"Begini," lanjut Arya, masih tetap bersikap 
tenang. "Nama besar kalian telah lama kudengar. 
Begitu pula keahlian kalian masing-masing. Nah! 
Asal kalian berlima, atau salah satu di antara 
kalian bisa mengalahkanku, aku bersedia 
memberikan benda ini Bagaimana? Setuju?!" 

Lima lelaki berpakaian dari kulit ular itu 
kembali saling berpandangan dengan mata 
terbelalak lebar. Sudah gilakah pemuda 
berambut putih keperakan ini?! Berani benar 
Dewa Arak menantang mereka untuk mengadu 
kepandaian. Bahkan salah seorang di antara 
mereka ada yang mengalahkan pemuda itu, 
sudah dianggap menang, sehingga bisa 
mendapatkan benda itu. Sungguh sebuah 
persyaratan yang amat menguntungkan. Maka 
tanpa banyak pikir panjang lagi, mereka berlima 
mengangguk. 

"Kami terima syarat itu!" jawab lelaki tinggi 
besar yang sejak tadi diam saja. 

"Sekarang, siapa yang lebih dulu ingin 
melawanku?!" jawab Arya tidak mau 
membuang-buang waktu. 

"Aku...!" ujar lelaki berkulit hitam legam, 
langsung mengacungkan jari telunjuk sambil 
melangkah maju. "Aku berjuluk Naga Pedang 
Kilat! Maka, keluarkan senjatamu untuk 
melawanku. Tapi sebelumnya perlu kau ingat 
kalau senjata tidak bermata. Aku khawatir kau 
akan terluka oleh pedangku. Maka, berhati- 
hatilah." 

"Semua ucapanmu akan kuperhatikan, 
Kisanak!" sambut Arya bernada sungguh- 
sungguh. 

Dalam hati. Dewa Arak membenarkan kabar 
yang tersiar di dunia persilatan, kalau lima naga 
ini merupakan tokoh golongan putih yang 
berwatak sombong dan menganggap diri sendiri 
sebagai tokoh tidak terkalahkan. Makanya, Arya 
bermaksud meruntuhkan kesombongan mereka. 

Singng! 

Sinar menyilaukan mata langsung berpendar 
ketika lelaki berkulit hitam yang berjuluk Naga 
Pedang Kilat mencabut pedang yang tersampir 
di punggung. 

"Keluarkan senjatamu. Anak Muda!" ujar 
Naga Pedang Kilat kembali memberikan 
peringatan. 

Kali ini peringatan itu lebih keras daripada 
sebelumnya. Bahkan terasa jelas ada kegeraman 
di dalamnya. Dan itu terjadi karena sikap Arya 
yang terkesan meremehkan. Padahal, lima naga 
ini merupakan tokoh-tokoh tinggi hati yang 
tidak mau mendapat perlakuan kurang hormat 
dari orang lain! Arya mengedarkan pandangan 
ke tanah sebentar. Kemudian dipunggutnya 
sebatang ranting sebesar ibu jari kaki yang 
berada di depannya. Kebetulan panjang ranting 
itu tidak kalah dengan panjang pedang Naga 
Pedang Kilat 

"Inilah senjataku. Naga Pedang Kilat!" ujar 
Arya sambil mengunjukkan ranting itu dengan 
tangan kanannya. 

Bukan hanya Naga Pedang Kilat yang 
merasakan panas pada wajahnya karena amarah 
yang bergolak. Tapi, juga empat kawannya. 
Sikap Dewa Arak benar-benar membuat harga 
diri mereka demikian direndahkan! 

"Baik! Kalau itu yang kau inginkan. Anak 
Muda. Kau yang menolak peringatanku! Jangan 
salahkan aku kalau lehermu putus oleh 
pedangku! Lihat serangan!" 

Naga Pedang Kilat membuka serangan 
dengan sebuah tusukan ke arah leher. Bunyi 
menggemuruh disertai kilatan-kilatan 
menyilaukan mata mengiringi meluncurnya 
serangan senjata milik Naga Pedang Kilat. 

Di dalam hatinya. Dewa Arak merasa kagum 
melihat kedahsyatan ilmu pedang Naga Pedang 
Kilat. Tapi kekagumannya tidak ditunjukkannya. 
Dan segera disambutnya serangan meskipun 
hanya bersenjatakan sebatang ranting, tapi 
ditangan orang berkepandaian tinggi seperti 
Dewa Arak, ranting itu tidak kalah dibanding 
sebatang pedang pusaka! 

Naga Pedang Kilat dalam kemarahannya 
yang menggelegak, rupanya bermaksud 
membunuh Arya. Serangan pedangnya 
menyambar bagaikan hujan Tapi, Dewa Arak 
pun tidak tinggal diam. Laksana bayangan, 
tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar 
pedang. Saking cepatnya gerakan kedua tokoh 
itu, yang terlihat hanya kelebatannya bayangan 
kuning dan ungu serta gulungan dua sinar yang 
berkelebatan 

Trakkk! 

Setelah bertarung hampir lima jurus. Dewa 
Arak menangkis kelebatan pedang lawan 
dengan rantingnya secara keras. Sehingga, tubuh 
Naga Pedang Kilat terhuyung-huyung ke 
belakang. 

"Kukira sudah cukup, Kisanak," ujar Arya, 
langsung melempar ranting itu ke sebelah 
kirinya. Lemparan itu seperti biasa saja, tapi 
mampu menembus batang pohon hingga amblas 
setengahnya lebih! 

"Aku belum kalah. Dan darah pun belum 
menilik keluar dari tubuhku. Bagaimana 
mungkin pertarungan ini sudah harus 
dihentikan?!" dengus Naga Pedang Kilat. 

"Aku tidak ingin bertarung dengan orang 
yang . compang-camping pakaiannya." 

Jawaban yang dikeluarkan Dewa Arak 
dengan suara tenang. Tapi justru membuat Naga 
Pedang Kilat memperhatikan pakaiannya, 
karena heran mendengar pernyataan itu. Wajah 
tokoh Lima Naga Langit Bumi ini pun berubah 
hebat, ketika melihat pakaiannya. Pada beberapa 
bagian, tampak bolong-bolong. Padahal, 
sebelumnya dia tahu betul kalau pakaiannya 
utuh! Jelas, Dewa Arak yang telah 
melakukannya. 

Naga Pedang Kilat memang memiliki watak 
sombong, seperti empat rekannya. Tapi 
kenyataan yang dihadapi ini, telah membuatnya 
tahu kalau Dewa Arak telah berlaku murah hati! 
Dia tahu, bila pemuda berambut putih 
keperakan ini menghendaki, nyawanya telah 
melayang sejak tadi. Betapa mudahnya bagi 
pendekar muda itu untuk membunuhnya. 

"Aku mengaku kalah," ujar Naga Pedang 
Kilat, kaku sambil mengundurkan diri setelah 
merangkapkan kedua tangan di depan dada. 

Dewa Arak tidak memberi sahutan sama 
sekali. Dan dia memang telah kenyang 
berhadapan dengan berbagai ragam watak. 
Sehingga Arya tahu, merendah terhadap Naga 
Pedang Kilat hanya akan dapat menimbulkan 
salah paham! Naga Pedang Kilat tengah merasa 
terpukul oleh kekalahannya, bisa-bisa sikap 
merendah yang akan dikeluarkan diterima 
sebagai ejekan. 

* * * 


"Kau hebat. Anak Muda," lelaki tinggi besar 
yang menjadi orang kedua untuk menghadapi 
Dewa Arak, melangkah maju mendahului rekan- 
rekan. 

"Kemenanganmu terhadap kawan kami, 
menunjukkan kalau kau memiliki kepandaian 
tinggi! Dan ini mengingatkanku pada seorang 
tokoh persilatan yang baru-baru ini 
menggemparkan dengan kepandaian dan 
tindakannya. Dewa Arak, julukan tokoh itu. 
Apakah kau orangnya. Anak Muda?!" 

"Benar!" jawab Arya, singkat. 

Tidak seperti biasanya jawaban Dewa Arak 
terkesan mantap dan tidak merendah. Karena 
dia merasakan ada nada merendahkan dalam 
ucapan lelaki tinggi besar itu. Cara bicaranya 
mengisyaratkan kalau tokoh yang 
diceritakannya terlalu dibesar-besarkan oleh 
dunia persilatan! 

"Bagus!" Lelaki tinggi besar itu seperti tengah 
memuji seorang anak kecil. "Apakah kau akan 
bertanding melawanku sesuai kemampuanku? 

Aku dijuluki orang Naga Bertenaga Selaksa Kati. 
Apakah kau bersedia bertarung denganku sesuai 
dengan kemampuan yang kumiliki?!" 

Dewa Arak mengangguk. Diam-diam hatinya 
mendongkol sekali terhadap lelaki tinggi besar 
yang ternyata berjuluk Naga Bertenaga Selaksa 
Kati yang sombong bukan kepalang. Dewa Arak 
pun bertekad untuk mengalahkannya secara 
keras. 

"Mengingat julukanmu, kau pasti memiliki 
tenaga besar. Maka asal kau mampu 
mengangkat tubuhku, aku mengaku kalah. Dan 
perjanjian tadi kalian yang menangkan," jawab 
Arya, tenang 

"Keparat!" 

Naga Bertenaga Selaksa Kati sampai 
menggemeretakkan gigi mendengar sambutan 
Arya. 

"Kaulah yang telah menentukan, sehingga 
aku tidak memiliki pilihan lain. Bersiaplah untuk 
menerima kekalahan. Dewa Sombong!" 

"Mulailah, Naga Bertenaga Selaksa Kati Aku 
sudah sejak tadi siap!" jawab Arya, masih tetap 
bersikap tenang. "Atau mungkin kau merasa 
tidak sanggup? Bila demikian, tidak perlu kau 
mengangkatku. Asal bisa mendorong tubuhku 
saja, aku sudah mengaku kalah!" 

Naga Bertenaga Selaksa Kati makin 
menggeram seperti harimau luka mendengar 
ejekan Dewa Arak. Kemudian sambil 
mengerahkan seluruh tenaga dalam, 
dihampirinya Dewa Arak yang telah berdiri 
dengan sikap tenang. Malah seperti tidak 
mengerahkan tenaga sama sekali 

Meski terlihat tenang, Dewa Arak sebenarnya 
telah mengerahkan seluruh tenaga dalam untuk 
memberatkan tubuhnya. Dia tahu, lawannya 
memiliki tenaga luar amat besar. Tapi Dewa 
Arak yakin akan mampu mengunggulinya. 
Makanya, pemuda ini berani mengajukan 
tantangan seperti itu. 

Naga Bertenaga Selaksa Kati memang patut 
memiliki tenaga besar. Tubuhnya tinggi besar. 
Sehingga, Dewa Arak jadi terlihat kecil. Tinggi 
pemuda berambut putih keperakan itu hanya 
sampai pundak Naga Bertenaga Selaksa Kati. 
Dengan otot-otot yang bertonjolan seperti 
hendak keluar di tubuh Naga Bertenaga Selaksa 
Kati, membuat Dewa Arak kelihatan lemah dan 
ringkih. Sekilas pandang, tubuh Arya dengan 
mudah akan dapat diangkat dan dipermainkan 
lawan sesuka hatinya. 

Naga Bertenaga Selaksa Kati telah memegang 
kedua bahu Dewa Arak dengan kedua 
tangannya, bersiap untuk segera mengangkat. 
Dia yakin dapat mengangkat tubuh pemuda 
berambut putih keperakan itu. Apalagi, karena 
dapat memegang dengan kuat! Mengangkat 
seekor kerbau yang paling besar pun dia 
mampu! Apalagi, tubuh Dewa Arak yang 
demikian kecil. 

"Heaaa..., ah....!" 

Tapi, Naga Bertenaga Selaksa Kati kecele 
ketika telah mengerahkan seluruh tenaga untuk 
mengangkat, tubuh Dewa Arak sama sekali 
tidak terangkat. Apalagi bergeming. Padahal, 
sekujur wajah Naga Bertenaga Selaksa Kati telah 
merah padam. Urat-urat lehernya 
menggembung besar, saking telah mengerahkan 
semua kekuatannya. Bahkan sampai terdengar 
bunyi terengah-engah 

Naga Bertenaga Selaksa Kati akhirnya 
menyerah, ketika tidak juga berhasil 
mengangkat tubuh Dewa Arak. Sekarang, dia 
berganti siasat dengan melakukan dorongan 
Tapi, kali ini pun sia-sia. Yang didorong Naga 
Bertenaga Selaksa Kati seperti bukan Dewa 
Arak, melainkan tiang kokoh kuat yang berakar 
di perut bumi! 

"Aku mengaku kalah!" desah Naga Bertenaga 
Selaksa Kati mencoba bersikap jantan. Padahal, 
hatinya terasa panas. Peluh telah membasahi 
wajah dan lehernya, namun tidak dihapusnya. 
Dan tubuhnya langsung berbalik dengan wajah 
muram. 

Kekalahan Naga Bertenaga Selaksa Kati 
membuat pihak Lima Naga Langit Bumi 
semakin tidak puas. Perasaan itu membuat tiga 
orang yang belum mendapat giliran tanpa sadar 
maju berbareng. 

"Biar aku yang sekarang mencoba 
kelihaianmu, Dewa Arak!" 

Hampir berbarengan pula ketiga orang Lima 
Naga Langit Bumi itu mengeluarkan perkataan. 

"Kau memang hebat Dewa Arak!" kata lelaki 
kecil kurus ini, bernada pahit "Kami pun bukan 
orang-orang tidak tahu diri yang hendak 
mendapatkan kemenangan secara keroyokan 
Kau berjanji, kami pun bisa berjanji. Dan aku 
berjanji atas nama lima rekanku. Apabila aku 
dapat kau kalahkan, kami semua akan pergi dan 
tidak mempedulikan urusan ini lagi! Kau boleh 
pergi dengan benda itu." 

Ucapan lelaki kecil kurus itu mengejutkan 
dua rekannya. Tapi mereka tidak bisa berbuat 
apa-apa karena dapat merasakan kalau kawan 
mereka benar. Apabila lelaki kecil kurus itu 
kalah juga, lebih baik mengundurkan diri. Kalau 
semua kalah, sama artinya meruntuhkan nama 
Lima Naga Langit Bumi. Tapi juga masih ada 
yang belum dikalahkan, dengan demikian 
mereka masih bisa berbangga hati Lagi pula 
dengan syarat itu sama artinya mereka memberi 
kemudahan pada Dewa Arak. Sehingga sedikit 
banyak dapat mengangkat harga diri mereka. 

Dewa Arak hanya mengangkat bahu pertanda 
tidak terlalu mempedulikannya. Dan, lelaki kecil 
kurus yang menganggap tindakan Dewa Arak 
sebagai tanda setuju, langsung menyambung 
ucapannya. 

'Aku dijuluki Naga Tanpa Bayangan. Dan 
kebiasaanku yang utama adalah berlari. Maka 
aku menantangmu untuk berlari! Bagaimana? 
Apakah kau berani?!" 




"Sekali aku mengeluarkan ucapan, tidak akan 
kutarik sampai nyawa lepas dari badan. 
Demikian tekadku. Naga Tanpa Bayangan!" 
tandas Dewa Arak agak keras. Sebenarnya Arya 
tersinggung mendengar tantangan lelaki kecil 
kurus yang bernada meremehkan. 

"Bagus!" Naga Tanpa Bayangan. "Kau 
memang hebat dan juga berani. Dan memang 
kuakui, kau pantas bersikap seperti itu karena 
telah memenangkan dua pertarungan berturut- 
turut. Nah! Mengenai pertarungan antara kita, 
apakah kau atau aku yang harus menentukan 
jenisnya?!" 

"Kau saja. Naga Tanpa Bayangan. Kau lebih 
mengetahui pertarungan dengan cara seperti ini. 
Dan aku hanya menandingi saja." 

"Baiklah kalau demikian." 

Naga Tanpa Bayangan bersikap seperti agak 
berat melakukannya. Pandangannya beredar ke 
sekeliling tempat itu, lalu terarah pada kedua 
ujung jalan seperti tengah mengira-ngira. Tapi 
yang terlihat hanya kesunyian. 

"Kita akan mengadakan pertarungan untuk 
mengambil sesuatu. Misalnya..., sebatang 
ranting yang akan diletakkan di ujung sana," 
jelas Naga Tanpa Bayangan. 

Naga Tanpa Bayangan menudingkan jari 
telunjuk kanannya ke depan. Tanpa disuruh. 
Dewa Arak mengarahkan pandangan ke sana. 

"Setelah mendapatkan ranting yang akan 
diletakkan di sana, masing-masing harus 
kembali ke tempat ini secepatnya. Dan karena 
kita sama-sama lihai, mungkin selisih lari tidak 
akan berbeda jauh. Dan bisa jadi, hampir tiba 
berbarengan. Maka untuk lebih jelas terlihat 
siapa yang akan keluar sebagai pemenang, di 
sini akan kurentangkan sehelai kain yang akan 
menjadi bukti siapa yang menang. 
Pemenangnya, akan terlihat kenapa kain itu 
akan menempel dengan perutnya. Bagaimana? 
Jelas, Dewa Arak?!" 

"Jelas!" jawab Dewa Arak, singkat tanpa 
banyak bicara, dengan gerak isyarat Naga Tanpa 
Bayangan meminta kedua rekannya yang belum 
bertarung untuk membantunya mempersiapkan 
permainan yang akan digelar. Lelaki berkepala 
botak disuruhnya meletakkan dua batang 
ranting secara berjajar dalam jarak agak 
berjauhan, sekitar satu tombak. Sedangkan lelaki 
bercambang bauk lebat, diminta untuk 
mengikatkan sabuknya antara kedua pohon 
yang berada di sisi jalan. Sekarang, jalan itu 
menjadi terhalang oleh sabuk yang 
direntangkan. 

"Kau telah siap. Dewa Arak?!" tanya Naga 
Tanpa Bayangan, setelah melihat dua rekannya 
menyelesaikan tugasnya. 

"Siap!" jawab Arya, mantap sambil mengukur 
jarak tempat ranting itu berada dengan 
pandangan matanya. 

Dewa Arak tahu jarak itu tak kurang dari tiga 
ribu tombak. Sebuah jarak yang amat dekat bagi 
orang-orang seperti Dewa Arak dan Naga Tanpa 
Bayangan untuk dijadikan tempat balap lari. 

Begitu lelaki berkepala botak memberi tanda 
dengan lambaian tangan kanannya. Dewa Arak 
dan Naga Tanpa Bayangan melesat disertai 
pengerahan ilmu lari cepat. Tubuh kedua tokoh 
itu seketika lenyap. Yang terlihat hanya dua 
bayangan kuning dan ungu yang melesat cepat, 
menuju tempat ranting-ranting ditancapkan. 

Naga Tanpa Bayangan melesat mengerahkan 
seluruh kemampuannya. Dan dia yakin akan 
dapat mengalahkan Dewa Arak. Lelaki kecil 
kurus ini berlari tanpa melihat kanan kiri lagi. 
Dan begitu menyambar ranting yang 
ditancapkannya di tanah, tubuhnya kembali 
melesat cepat. Namun hatinya sempat bergetar 
ketika melihat ranting yang satu lagi tidak ada, 
pertanda Dewa Arak telah mengambilnya lebih 
dulu. Maka sambil menggigit bibir, dia berlari 
kembali ke tempat semula untuk menyusul 
Dewa Arak yang telah lebih dulu! 

Tapi betapapun Naga Tanpa Bayangan telah 
menguras seluruh kemampuannya. Dewa Arak 
tetap tak terkejar. Pemuda berambut putih 
keperakan itu yang lebih dulu menabrak sabuk 
yang membentang jalan dengan tubuhnya 
hingga putus. 

"Kau menang. Dewa Arak," ucap Naga Tanpa 
Bayangan, setelah sampai. 

"Ucapannya agak terengah. Bahkan ada 
sedikit peluh pada dahinya, pertanda kakek kecil 
kurus ini telah mengerahkan tenaga sepenuhnya 
dalam perlombaan yang hanya sebentar itu. 

'Terima kasih atas kerendahan hatimu 
mengalah padaku. Naga Tanpa Bayangan. Dan 
sekarang, aku mohon diri," jawab Dewa Arak 
dengan napas dan sikap biasa saja. Tidak terlihat 
adanya peluh di dahi pemuda berambut putih 
keperakan ini 

Naga Tanpa Bayangan hanya mengangguk 
kaku. Kemudian, tubuhnya berbalik. Dan tanpa 
banyak bicara, kelima orang tokoh golongan 
putih yang mempunyai sifat sombong ini 
melangkah meninggalkan tempat ini dengan hati 
terpukul. Mereka tidak pernah mimpi akan bisa 
dikalahkan orang lain. Apalagi oleh seorang 
tokoh muda seperti Dewa Arak. 

Arya pun meninggalkan tempat itu. Hanya 
saja, dia menempuh arah yang berlawanan 
dengan arah yang ditempuh Lima Naga Langit 
Bumi itu. 

'k 'k 'k 

"Tolong...! Lepaskan aku.... Keparat! 
Tolooong...!" 

Teriakan melengking nyaring membuat Arya 
yang tengah berlari cepat menuju pantai, 
memperlambat langkahnya. Kepalanya langsung 
menoleh ke arah kanan tempat asal suara, yakni 
sebuah kerimbunan semak dan pepohonan. Tapi 
pemuda berambut putih keperakan itu tidak bisa 
melihat apa-apa. Dan menilik dari teriakan itu. 
Dewa Arak tahu kalau sumber suara berasal 
cukup jauh dari tempatnya berada. 

Arya yang tengah terburu-buru itu jadi 
bimbang sejenak, antara meneruskan tujuannya 
dengan memberikan pertolongan Tapi naluri 
kependekarannya memutuskan untuk cepat 
membelokkan arah larinya, ke arah asal jeritan 
tadi. 

Pemuda berambut putih keperakan ini merasa 
yakin, ada orang yang membutuhkan 
pertolongan Maka seluruh ilmu lari cepatnya 
dikerahkan. Perasan khawatir kalau pertolongan 
yang diberikan akan terlambat. Dewa Arak 
menerobos semak-semak yang dipenuhi onak 
berduri sehingga, terdengar bunyi berkerosokan 
ketika kaki dan tubuhnya bertabrakan dengan 
semak-semak. 

Berkat tenaga dalam yang dimiliki. Dewa 
Arak nma sekali tidak merasakan sakit sedikit 
pun. Dalam aliran tenaganya yang dahsyat, 
kulitnya memang menjadi kebal. 

Srakkk! 

Arya langsung menerobos kerimbunan 
semak-semak lebat yang diyakini menjadi 
sumber suara minta tolong itu. Agak terkejut 
hatinya, ketika di belakang kerimbunan semak- 
semak yang lebat ternyata hamparan tanah 
cukup luas yang ditumbuhi rumput-rumput 
pendek. Dan di tengah-tengah hamparan tanah, 
berdiri sesosok tubuh berpakai serba hitam. Dia 
berdiri dengan kedua tangan bersedakep di 
depan dada, sambil menjerit-jerit minta 
pertolongan. 

Menghadapi kenyataan yang sama sekali 
tidak disangka-sangka. Dewa Arak terkejut. Dan 
seketika itu pula langkah kakinya terhenti. 
Sepasang matanya yang tajam langsung menatap 
sosok serba hitam berusia sekitar tiga puluh lima 
tahun yang mengeluarkan teriakan meminta 
tolong, namun sama sekali tidak terancam! 

Bahkan dia bukan seorang wanita seperti yang 
diduga Arya semula. 

Hanya sebentar saja pemuda berambut putih 
keperakan itu terperanjat. Seketika itu pula, 
langsung dapat disadari kalau lelaki berpakaian 
hitam yang pada pangkal tangan kanannya 
terlilit sehelai kain hitam, telah menjebak, hingga 
Arya datang. Setelah mendengar teriakan minta 
pertolongan 

Dewa Arak tidak yakin kalau lelaki 
berpakaiai hitam itu hanya sendirian di tempat 
ini. Dan benar saja dugaannya. Tak lama dari 
dua batang pohon yang berada di depan lelaki 
berpakaian hitam, melompat turun dua sosok 
bayangan. Begitu ringannya mereka mendarat di 
tanah, tepat di depan lelaki berpakaian hitam. 

"Nama besarmu ternyata tidak berlebihan. 
Dewa Arak. Kau memiliki kepandaian cukup 
hebat. Terbukti, dengan keberhasilanmu 
memperdaya Lima Naga Langit Bumi. 
Kemenanganmu terhadap Naga Tanpa 
Bayangan, telah kami lihat. Meskipun berlari 
jarak yang jauh dan dari tempat yang cukup 
tersembunyi. Tapi jangan berbangga diri. Dewa 
Arak. Kemenanganmu terhadap mereka tidak 
bisa dijadikan ukuran. Kepandaian mereka 
terlalu rendah. Tiap-tiap seorang dari kami pun, 
mampu mengalahkan Lima Naga Langit Bumi!" 
kata lelaki berpakaian hitam yang memancing 

Dewa Arak datang dengan teriakan meminta 
pertolongannya. 

Dewa Arak tersenyum pahit, tanpa 
memberikan tanggapan sama sekali selain 
memperhatikan mereka penuh selidik. Rata-rata 
mereka berusia tiga puluh lima tahun dengan 
wajah dingin menampakkan kekejaman. Tidak 
ada ciri khas yang ada, sehingga Arya cukup 
mengalami kesulitan kalau tidak melihat 
perbedaan yang cukup menyolok Dua lelaki 
lainnya yang datang belakangan, memiliki ikat 
Kain putih di kepala dan dipangkal lengan 
kanan. 

"Terima kasih atas pujian kalian. Tapi, bukan 
untuk itu aku kemari. Dan karena persoalan 
yang kumaksud tidak ada, aku tidak bisa 
menemani kalian lebih lama di sini. Permisi." 

Setelah berkata demikian, pemuda berambut 
putih keperakan ini berbalik dan bersiap 
meninggalkan tempat itu. 

'Tidak semudah itu kau dapat pergi dari sini. 
Dewa Arak! Tidak, sebelum kau berikan apa 
yang kami inginkan!" 

Berbarengan teriakan keras itu. Dewa Arak 
mendengar adanya gerakan di belakangnya. 
Namun kepalanya tidak menoleh walau 
langkahnya terhenti. Sekujur urat saraf dan otot 
di tubuhnya menegang waspada, bersiap 
menghadapi segala kemungkinan. 

Tapi kekhawatiran Dewa Arak tidak terbukti. 
Tiga lelaki berpakaian hitam sama sekali tidak 
mengirimkan serangan gelap. Bahkan sekejap 
kemudian, lelaki yang memiliki kain putih pada 
pangkal lengan kanan telah melompat melewati 
kepala Dewa Arak. Tubuhnya berjungkir balik di 
udara, dan mendarat beberapa tombak di depan 
pemuda berambut putih keperakan itu. 

Dewa Arak tetap bersikap tenang dan tetap di 
tempat. Hanya sepasang matanya yang melirik 
ke sana kemari, seperti mengamati gerak-gerik 
lawan-lawannya. 

Arya yakin kalau tiga lelaki berpakaian hitam 
ini tidak akan melepaskannya begitu saja. 
Apalagi ketika mereka berdiri di tiga penjuru 
dengan sikap mengancam. 

"Apa yang kalian inginkan?!" tanya Arya 
ingin tahu, meskipun sudah bisa 
memperkirakannya. 

"Tidak banyak," jawab lelaki yang memiliki 
kain putih di kepala, ringan. "Kami hanya 
menginginkan kain merah di pangkal lengan 
kirimu." 

"Benar," timpal lelaki lain yang memiliki kain 
putih di pangkal lengan kanan, mendukung. 
"Apa bila kau menyerahkannya, kami akan 
biarkan kau pergi dari sini Bahkan mungkin kita 
bisa menjadi sahabat baik. Dewa Arak." 

"Sayang sekali, Kisanak Semua," jawab Arya, 
berinada menyesal. "Aku tidak bisa memenuhi 
permintaan itu. Karena, benda ini hanya titipan. 
Dan aku tidak berani untuk mengingkari amanat 
yang dipesankan oleh pemiliknya." 

"Rupanya kau sudah pingin mampus. Dewa 
Arak," geram lelaki yang tangan kanannya 
terbelit kain putih, penuh amarah. "Kau menjadi 
besar kepala karena telah berhasil mengalahkan 
Lima Naga Langit Bumi, heh?! Kau terlalu 
berlebihan. Dewa Arak. Mungkin perlu 
kuberitahu sekali lagi, kalau kepandaian mereka 
tidak begitu tinggi. Bahkan tidakk bisa 
disamakan dengan salah seorang di antara 
kami!" 

Arya tidak membantah pernyataan itu. 
Bibirnya hanya tersenyum lebar. Dewa Arak 
tahu kalau lelaki berpakaian hitam itu tidak 
berbicara besar. Lawan-lawannya memang 
memiliki kemampuan tinggi. Gerakan mereka 
yang gesit, dan sepasang mata yang mencorong 
tajam seperti mata harimau dalam gelap, telah 
menjadi bukti sesumbar mereka. 

Sing, sing! 

Bunyi berdesing nyaring langsung terdengar 
ketika lelaki yang memiliki kain putih di pangkal 
lengan kanan mencabut sepasang senjata berupa 
trisula yang tadi terselip di pinggang. Sinar 
keperakan langsung berkelebatan ketika 
sepasang trisula itu bergerak! 

"Bersiaplah, Dewa Arak. Aku akan segera 
memulai! Keluarkan ilmu 'Belalang Sakti'-mu 
agar tidak mati konyol di tanganku!" ujar lelaki 
berpakaian hitam memberi peringatan seraya 
menyilangkan sepasang trisula di depan, agak di 
atas wajah. Sepasang trisula yang berwarna 
keperakan kelihatan kokoh dan kuat bukan 
kepalang. 

Arya tidak berani bersikap sembarangan 
Seperti mematuhi perintah lawannya, guci arak 
yang semula tersampir di punggung diambil dan 
dituangkan ke dalam mulut untuk penggunaan 
ilmu 'Belalang Sakti' yang dahsyat. 

"Haaattt...!" 

Lelaki berpakaian hitam berseru keras, seraya 
meluruk menerjang Dewa Arak dengan 
serangan sepasang trisulanya. Bunyi angin 
menderu keras menyambar, sebelum serangan 
trisula itu tiba. 

Dewa Arak tidak berani bertindak gegabah 
Disadari betul kedahsyatan serangan lawannya. 
Dengan langkah terhuyung-huyung, yang 
merupakan gerakan khas jurus 'Delapan 
Langkah Belalang', pemuda berambut putih 
keperakan ini mengelakkan serangan. 

Lelaki berpakaian hitam menggeram, ketika 
melihat serangannya mengenai tempat kosong. 
Padahal dilihatnya sendiri, kalau pemuda 
berambut putih keperakan itu tidak 
mengelakkan serangan dengan gerakan silat. 
Malah gerakannya seperti orang yang ketakutan, 
atau orang mabuk! 

Perasaan penasaran membuat lelaki 
berpakaian hitam ini mengeluarkan ilmu 
andalannya. Sepasang trisulanya berkelebatan 
cepat, mengurung semua jalan yang sekiranya 
akan dijadikan tempat mengelak Dewa Arak. 
Tapi seperti juga sebelumnya, hanya kegagalan 
yang diperoleh. 

Tentu saja, rasa penasaran lelaki berpakaian 
hitam ini semakin bertumpuk. Dengan 
kemarahan semakin berkobar, serangan susulan 
pun dilancarkan. Tapi hasil yang didapat hanya 
kegagalan lagi Dewa Arak bagaikan bayangan 
Kelihatan begitu dekat dan mudah ditangkap, 
tapi apabila dilakukan tidak pernah berhasil. 

Setelah menyerang selama sepuluh jurus 
tanpa hasil, lelaki berpakaian hitam ini 
menghentikan setangan. Suaranya yang bergetar 
tidak dapat menyembunyikan perasaan geram 
yang tengah melanda. 

Karena lawan menghentikan penyerangan, 
maka Dewa Arak pun tidak melanjutkan 
gerakan lagi. 

"Jadi... bagaimana maumu, Kisanak!" tanya 
pemuda berambut putih keperakan jtu, tenang. 

"Balaslah menyerang! Menangkis atau pun..., 
apa maumu terserah! Jangan mengelak-elak 
terus seperti perempuan pengecut atau banci! 
Kau bukan banci, kan?!" seru lelaki berpakaian 
hitam. Hatinya merasa tersinggung oleh 
tindakan Dewa Arak yang dianggap 
merendahkannya. 

Lelaki berpakaian hitam tahu kalau 
ucapannya telah cukup untuk membuat Dewa 
Arak bertindak lain. Meski, dilihatnya tidak ada 
perubahan apa pun baik pada wajah maupun 
sikap pemuda berambut putih keperakan itu. 

Oleh karena itu, tanpa menunggu lebih lama 
lagi, lelaki berpakaian hitam ini kembali 
memulai serangan. Sepasang trisula 
berkelebatan cepat. Bentuknya lenyap menjadi 
dua gulungan keperak-an yang meluncur cepat 
ke arah Dewa Arak. 

Beda dengan sebelumnya, kali ini Dewa Arak 
tidak mengelak sama sekali, tepat seperti yang 
diperkirakan lelaki berpakaian hitam. Arya diam 
menunggu datangnya serangan. Dan ketika telah 
menyambar dekat, baru pemuda berambut putih 
keperakan ini menggerakkan gucinya. 

Klang...! Klangng! 

Bunga api berpercikan ke udara, ketika 
sepasang trisula itu bertemu dengan guci secara 
keras. Akibatnya, tubuh kedua belah pihak 
sama-sama terhuyung-huyung ke belakang. 
Hanya saja. Dewa Arak terhuyung selangkah 
Sedangkan lawannya sampai lima langkah! 

Kenyataan ini mengejutkan dua rekan lelaki 
berpakaian hitam lainnya. Mereka sama sekali 
tidak menyangka kalau pemuda berambut putih 
keperakan itu akan sedemikian kuatnya. Bahkan 
mampu membuat salah seorang dari mereka 
terhuyung sampai lima langkah. 

Tanpa diminta, dua orang lelaki berpakaian 
hitam lainnya mencabut senjata, kemudian 
menyerang Dewa Arak. Pada saat yang 
bersamaan, lelaki berpakaian hitam yang baru 
saja dipukul mundur ikut menyerang kembali. 
Tak pelak lagi. Dewa Arak, sekarang mendapat 
pengeroyokan! Dewa Arak tidak berani 
bertindak main-main lagi Ilmu 'Belalang Sakti' 
langsung dikeluarkan. Pertarungan satu 
melawan tiga pun berlangsung. Bunyi dentang 
senjata beradu, percikan bunga api ke udara, 
serta teriakan-teriakan kedua pihak yang 
bertarung. 

Tiga lelaki berpakaian hitam itu terkejut dan 
penasaran bukan kepalang. Pertarungan telah 
berlangsung lebih dari lima belas jurus. Tapi 
selama ini mereka belum mampu mendesak 
Dewa Arak! Padahal, mereka bertiga. Sedangkan 
Dewa Arak lunya seorang. Mereka telah bekerja 
sama, sehingga seakan-akan pikiran mereka 
menjadi satu. Namun kenyataannya. Dewa Arak 
tidak mampu didesak! 

Bukan hanya ketiga orang itu yang merasa 
penasaran! Dewa Arak pun sedikit banyak 
dilanda perasaan itu Ilmu 'Belalang Sakti', 
terutama sekali jurus 'Belalang Mabuk', 
merupakan jurus yang diciptakan khusus untuk 
membongkar pertahanan lawan! Jurus itu penuh 
gerakan serangan dahsyat, tapi sekarang tidak 
berhasil dengan baik. Kerjasama tiga lelaki 
berpakaian hitam ini terlalu rapi, sehingga Arya 
hampir tidak pernah mendapat kesempatan 
untuk menjatuhkan serangan. 

Kalau saja tiga orang itu tidak bisa bekerja 
sama secara baik, tentu Dewa Arak akan mudah 
merobohkan kendati mereka melakukan 
keroyokan 1 Apalagi tingkat kepandaian pemuda 
berambut putih keperakan ini berada jauh di atas 
lawan-lawannya. 

Namun, kenyataan menghendaki lain. 
Sehingga, pertarungan yang ulet pun terjadi. 
Bahkan sekarang telah memasuki jurus ketiga 
puluh lima, namun pertarungan masih belum 
dapat ditentuka pemenangnya. Tak lama.... 

"Manusia-manusia Pengecut! Di mana-man 
kalian selalu menimbulkan kerusuhan!" 

Mendadak terdengar sebuah bentakan keras 
hingga mampu menggetarkan sekitar tempat itu 
Jelas, suara itu ditunjang tenaga dalam tinggi. 
Dan belum hilang gema bentakan itu lenyap, 
sesosok bayangan merah telah menyambar 
laksana seekor burung ke dalam kancah 
pertarungan. Dan bayangan itu langsung 
menyerang salah seorang di antara tiga lelaki 
berpakaian hitam. 

Tentu saja lelaki berpakaian hitam yang 
mendapat serangan tidak tinggal diam. Dengan 
sepasang trisulanya yang saling disilangkan 
seperti hendak menjepit, dipapak serangan 
tusukan pedang dari sosok yang baru tiba. 

Trakkk! 

Sosok bayangan merah yang menyadari 
keadaan berbahaya bagi senjatanya yang 
mungkin patah akibat guntingan sepasang 
trisula lawan, cepat menggerakkan pergelangan 
tangannya sedemikian rupa. Sehingga, pedang 
di tangannya tidak terkena guntingan, meskipun 
terjadi benturan. 

Trakkk! 

Tubuh sosok bayangan merah itu terpental ke 
belakang akibat benturan keras itu Sementara 
sosok berpakaian hitam terhuyung-huyung 
beberapa langkah ke belakang. 

Lelaki berpakaian hitam yang terhuyung 
mundur tahu kalau sosok bayangan merah yang 
datang-datang membantu Dewa Arak, memiliki 
kepandaian tinggi Satu orang lawan lagi harus 
dihadapi. Dan Itu berarti kedudukan Dewa Arak 
semakin kuat. Padahal pemuda berambut putih 
keperakan itu saja belum mampu ditanggulangi. 

Sebelum kekuatan yang membuat tubuhnya 
terhuyung sirna, lelaki berpakaian hitam ini 
mengeluarkan lengkingan aneh. Belum juga 
suara itu lenyap tubuhnya sudah berbalik. 
Langsung dia berlari meninggalkan Dewa Arak 
dan sosok bayangan merah Dan tindakannya 
segera diikuti dua orang kawannya. 

*** 


"Terima kasih atas pertolonganmu, Nisanak. 
Kalau kau tidak cepat membantu, mungkin saat 
ini nyawaku telah pergi ke alam baka," ujar Arya 
merendah sambil memberi hormat. 

"Ah. Kau terlalu memuji, Kisanak. Tanpa 
pertolonganku pun, kau akan berhasil 
mengalahkan mereka. Kepandaianmu hebat 
bukan kepalang. Sehingga, mampu menandingi 
tiga tokoh jahat itu. Aku yakin, kau bukan tokoh 
sembarangan," sahut sosok berpakaian merah 
yang ternyata seorang gadis cantik manis berusia 
sekitar dua puluh tahun. 

Sejenak wajah gadis cantik itu jadi kemerahan 
ketika mendengar ucapan terima kasih Arya 
yang diketahuinya sangat berlebihan. Tapi 
hanya berlangsung sebentar saja. Dan sekarang, 
sepasang mata yang bening indah itu 
memperhatikan pemuda berambut putih 
keperakan yang berdiri di hadapannya dengan 
penuh selidik. 

"Pasti kau tokoh yang berjuluk Dewa Arak. 
Pakaianmu, rambut, dan juga gucimu 
menunjukkan kalau kaulah orangnya. Apalagi 
kepandaianmu memang amat tinggi. Apakah 
dugaanku ini tidak keliru, Kisanak?!" 

"Memang tidak," Arya tidak berusaha menge¬ 
lak. "Tapi, aku lebih suka dipanggil Arya." 

"Baiklah, De... eh! Arya. Dan agar kedudukan 
kita adil kau juga harus panggil namaku. Aku, 
Aku, Ambar Wati," gadis berpakaian merah ikut 
memperkenalkan diri. 

Arya tersenyum lebar sebagai balasannya. 
Tapi senyum itu mendadak lenyap, ketika 
pemuda berambut putih keperakan itu melihat 
mata Ambar Wati, terbelalak ke arah lengan kiri 
Dewa Arak, tanpa perlu memeriksa Arya tahu 
kalau Ambar Wati tengah menatap kain merah 
yang melilit pangkal lengan kirinya. 

Singng! 

Sinar terang kontan mencuat ketika Ambar 
Wati mencabut pedangnya yang tadi telah 
dimasukkan ke dalam sarung, ketika tiga lelaki 
berpakaian hitam tadi telah kabur. 

Namun Dewa Arak bersikap tenang. Dia 
tetap berdiri di tempatnya, meski tahu kalau 
keadaan sewaktu-waktu dapat saja berubah. 
Bukan tidak mungkin kalau Ambar Wati tertarik 
juga dengan kain merah yang membelit pangkal 
lengannya. Bukankah banyak tokoh persilatan 
yang ingin mendapatkan kain merah yang 
dititipkan padanya? 

"Keparat! Rupanya kau yang menjadi 
pembunuh kejinya?! Mampuslah...!" seru Ambar 
Wati penuh perasaan geram. Seketika 
pedangnya ditusukkan ke arah dada Dewa Arak. 

Ucapan Ambar Wati membuat Arya agak 
heran, sekaligus girang. Meski hanya sedikit saja, 
tapi bisa diduga kalau Ambar Wati bukannya 
ingin mendapatkan kain merah di lengannya. 
Yang jelas, gadis itu merasa heran mengapa kain 
merah itu berada pada Dewa Arak. Dan ini 
berarti. Ambar Wati tahu siapa pemilik kain 
merah itu. 

Setelah tahu kalau gadis berpakaian merah ini 
salah paham. Dewa Arak tidak mau bertindak 
keras dan membiarkannya beriarut-larut. Tak 
heran kalau tusukan pedang itu sama sekali 
tidak dielakkan Ketika hampir mengenai 
sasaran, kedua telapak tangan yang saling 
dirangkapkan dijepitkan pada mata pedang. 

Tappp! 

Kemarahan Ambar Wati semakin menjadi- 
jadi, ketika melihat serangannya kandas. Malah, 
pedangnya terperangkap. Seketika seluruh 
tenaganya dikerahkan dan langsung disalurkan 
pada tangan yang memegang pedang, agar 
dapat lepas dari jepitan tangan Dewa Arak. 

Tapi usaha Ambar Wati sia-sia belaka. 
Pedang itu sama sekali tidak bergeming, seperti 
terjepit jepitan baja yang kokoh kuat. Betapapun 
gadis berpakaian merah ini berusaha, tetap saja 
tidak menunjukkan hasil. 

"Sabarlah, Ambar," ujar Arya tenang. "Aku 
yakin ada kesalahpahaman di sini" 

"Salah paham dengkulmu!" sentak Ambar 
Wati sewot, meski dengan napas agak terengah 
karena tengah berusaha menarik pulang 
senjatanya. 

"Percayalah, Ambar," bujuk Arya masih tetap 
tenang. Tidak dihiraukannya kemarahan yang 
melanda gadis berpakaian merah itu. "Aku 
bukan seorang pembunuh!" 

Dewa Arak yakin, keterangannya cukup 
untuk menenangkan Ambar Wati. Maka usai 
berkata demikian, jepitannya pada pedang gadis 
berpakaian merah itu dikendurkan. 

Tapi, Arya salah duga! Ambar Wati yang 
masih penasaran dan marah cepat menarik 
pedangnya. Langsung dikirimkannya serangan 
yang lebih dahsyat pada pemuda berambut 
putih keperakan itu. Maka terpaksa Dewa Arak 
bergerak ke sana kemari, untuk 
mengelakkannya. 

Namun serangan menggebu-gebu Ambar 
Wati hanya berlangsung beberapa gebrakan saja. 

Begitu mempunyai satu kesempatan. Dewa Arak 
cepat mencengkeram mata pedang lawannya. 
Pemuda ini tidak khawatir kalau tangannya 
akan terluka, karena telah mengukur kekuatan 
tenaga dalam Ambar Wati, yang jauh di 
bawahnya. Dan dengan selisih tenaga dalam 
yang demikian jauh. Dewa Arak mampu 
membuat tangannya tidak terluka kendati harus 
bertemu pedang Ambar Wati. 

"Ambar! Bukankah kau mempermasalahkan 
kain merah ini?!" sentak Arya langsung ke pokok 
persoalan, karena tidak ingin salah paham ini 
berlarut-larut "Ketahuilah! Aku tidak 
mengambilnya secara paksa, apalagi sampai 
membunuh! Kain merah ini kudapatkan dari 
pemiliknya sendiri yang tengah sekarat. Dan dia 
menyuruhku untuk menyampaikan ini pada 
yang berhak menerimanya. Tapi, orang yang 
harus kutemui untuk menyerahkan kain merah 
ini tidak kujumpai. Jadi, tidak ada yang dapat 
kulakukan lagi!" 

"Pemiliknya?!" dengus Ambar Wati, meski 
sikapnya tidak sekeras sebelumnya. "Mungkin 
perlu kuberitahukan padamu. Dewa Arak. 
Pemilik kain merah itu telah lama meninggal 
dunia! Tewas dibunuh orang!" 

Wajah Arya kontan berubah. 

"Tapi, aku sekarang telah percaya padamu. 
Meskipun, hanya sedikit. Dan kuharap kau mau 
melepaskan pedangku." 

"Asal kau mau berjanji untuk tidak 
menyerangku lagi," Dewa Arak meminta 
kesediaan Ambar I Wati. 

"Aku berjanji!" tandas Ambar Wati tegas. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Arya 
melepaskan cengkeramannya. Dan memang. 
Ambar Wati tidak menyerang lagi. Malah, 
pedang itu dimasukkannya kembali ke dalam 
war angka. 

"Sepertinya kau cukup tahu riwayat kain 
merah ini. Ambar," Arya memancing. 

Pemuda berambut putih keperakan ini 
memang ingin tahu penyebab kain merah itu 
demikian menarik perhatian tokoh-tokoh 
persilatan. 

"Tentu saja!" sahut Ambar Wati, tersenyum 
pahit "Karena pemilik kain merah itu berikut 
kain timpalannya, adalah ayahku sendiri!" 

Dewa Arak terkejut juga mendengarnya. 
Semula dia telah menduga, pasti ada hubungan 
erat antara Ambar Wati dengan pemilik kain 
merah ini. Hanya saja pemuda berambut putih 
keperakan ini tidak menyangka hubungan yang 
terjalin akan seerat ini. 

"Mungkin aku harus menceritakannya 
padamu agar duduk perkaranya menjadi jelas. 

Sebenarnya, ini merupakan rahasia keluargaku. 
Tapi, aku telah percaya padamu. Dewa Arak," 
desah Ambar Wati disertai helaan napas berat 

"Kalau merupakan rahasia keluarga, lebih 
baik tidak usah diceritakan. Ambar," sahut Arya, 
agak tidak enak. 

"Tidak mengapa," Ambar Wati 
menggelengkan kepala. "Nah, sekarang 
dengarkanlah!" 

"Kira-kira lima tahun yang lalu, ayah dan dua 
Saudara seperguruannya dipanggil guru mereka. 
Kebetulan, sang Guru adalah Ketua 
Perkumpulan Tangan Dewa, sebuah perguruan 
silat golongan putih. Guru dan dua saudara 
seperguruannya yang lain, sudah tidak tinggal 
di dalam perguruan. Bahkan dua di antara 
mereka telah berkeluarga. Saat itu, aku telah 
berusia sekitar lima belas tahun." 

Sepasang mata Ambar Wati tampak berkaca- 
kaca. Arya dapat menduga, kelanjutan cerita ini 
merupakan kisah sedih. Tapi sebagai pendengar 
yang baik, pemuda berambut putih keperakan 
ini tidak menyelak sama sekali. Dia hanya diam 
menunggu kelanjutan cerita itu. 

"Ayah dan dua saudara seperguruannya 
tentu saja segera memenuhi panggilan itu. 
Sesampainya di sana, mereka tahu kalau sang 

Guru telah sekarat, dan hanya tinggal menunggu 
saatnya saja. Dan maksud pemanggilan sang 
Guru itu ternyata untuk menjadikan salah 
seorang dari mereka sebagai penggantinya. 
Kebetulan tiga orang itu, termasuk ayah, 
merupakan murid-murid utama Perguruan 
Tangan Dewa. Di antara mereka, ayah 
merupakan murid yang paling pandai dan 
cerdik serta bijaksana. Tapi kendati demikian, 
sang Guru yang tidak pilih kasih, tidak ingin 
bertindak sembrono dalam menjatuhkan pilihan. 

Maka diadakannya sebuah sayembara untuk 
menentukan, siapa yang pantas menjadi 
pimpinan sepeninggal dirinya. Perlombaan itu 
untuk mencari pusaka perguruan yang telah 
lebih dulu disembunyikan sang Guru di sebuah 
tempat. 

Dia hanya memberi sedikit petunjuk 
untuk menemukannya. Dan keberhasilannya 
untuk menemukan tempat itu, disesuaikan 
dengan ilmu yangi mereka pelajari! Aku juga 
tidak tahu, bagaimana caranya. Yang jelas, 
seorang demi seorang diberi giliran. Batas waktu 
yang ditentukan tiga hari Selama yang seorang 
tengah mencari, dua yang lain menunggu di 
perguruan. Begitu diadakan undian untuk 
menentukan siapa yang lebih dulu melakukan 
pencarian, ayahku mendapat giliran 
belakangan." 



Ambar Wati menghentikan ceritanya. 
Pandangannya beredar ke sekitarnya seperti ada 
yang tengah dicarinya. Arya meski merasa heran 
melihat tingkah gadis berpakaian merah ini, 
tidak mengatakan pertanyaan sama sekali 
Dibiarkan saja Ambar Wati dengan tindakannya 
yang aneh. 

Ternyata Ambar Wati hanya mencari tempat 
yang enak untuk duduk. Dan gadis berpakaian 
merah ini duduk enak di bawah sebatang pohon 
yang berdaun rimbun. Tanpa banyak bicara, 
Arya mengikutinya dan duduk di dekatnya. 

"Yang pertama kali dan yang kedua mencoba 
adalah kedua adik seperguruan ayah. Karena di 
samping lebih tua, ayah juga lebih lihai. Dan 
mereka berdua ternyata gagal. Ayah pun 
mencoba. Dan ternyata beliau berhasil 
menemukannya. Tapi di tengah perjalanan 
pulang, ayah dicegat adik seperguruannya yang 
kedua, bersama belasan anak buah Perguruan 
Tangan Dewa. Mereka bermaksud merampas 
pusaka yang berhasil didapatkan ayah. Tentu 
saja hal itu tidak dibiarkan terjadi. Ayah 
melawan sedapat-dapatnya. Tapi karena lawan 
terlalu banyak, tambahan lagi kepandaian adik 
seperguruanya juga hanya berselisih sedikit 
dengan ayah, " maka beliau terdesak hebat. Dan 
bahkan banyak menderita luka. Karena tak 
tahan, akhirnya ayah kabur. Tapi lawan- 
lawannya tidak membiarkannya. Mereka terus 
mengejar. Karena khawatir akan keselamatan 
pusaka yang telah didapatkan, ayah 
menyembunyikannya di sebuah tempat. Lalu 
dibuatnya peta pada kain merah dan kain biru 
untuk menemukannya. Dan kain merah itulah 
kau dapat. Bukankah di kain merah itu ada 
tulisannya, Arya?! " 

"Benar," Arya menganggukkan kepala. "Dan 
juga garis-garis yang selalu mengarah ke kanan. 
Pertama menyerong ke kanan bawah 
Selanjutnya, menyerong ke kanan atas. Huruf- 
huruf itu terletak di atas garis. Meski susah- 
payah mencari, tetap saja aku tidak menemukan 
maksudnya." 

"Tentu saja, karena kau belum mendapatkan 
kain biru yang menjadi pasangannya. Pada kain 
biru, hanya ada tulisan-tulisan saja. Dan garis- 
garis pada kain merah yang menunjuk ke bawah 
itu, akan berada tepat di atas huruf-huruf. Dan 
untuk membacanya secara jelas, kita harus 
melerakkan kain merah di atas kain biru. Tidak 
bertumpuk, tapi di atasnya. Dan cara 
membacanya mengikuti garis yang ada. Jelas?!" 

Arya tidak langsung mengerti maksudnya. 
Sepasang alisnya berkerut untuk mencerna 
penjelasan-penjelasan yang diberikan Ambar 
Wati. 

"Perlu contoh agar lebih jelas. Dewa Arak?!" 
tanya Ambar Wati ketika melihat sikap Dewa 
Arak yang tampak demikian bingung. 

"Kalau kau tidak keberatan. Ambar," jawab 
Arya berputar. 

"Tentu saja tidak! Tapi jelas tidaknya, 
tergantung pada dirimu. Maksudku, bukan 
kecerdikanmu. Tapi, juga berkat adanya kain 
merah itu. Tebarkan kain merah itu di tanah. 
Dan aku akan memberi sedikit contoh." 

Tanpa banyak cakap Dewa Arak membuka 
belitan kain merah itu. Tidak ditebar di tanah, 
melainkan diberikannya pada Ambar Wati 

"Kaulah yang lebih berhak atas kain ini. 
Ambar. Karena ayahmu pemiliknya. Dan berarti, 
sekarang kaulah yang menjadi pemiliknya." 

"Terima kasih atas kepercayaanmu padaku. 
Dewa Arak," ucap Ambar Wati. Suaranya serak, 
seperti merasa terharu dengan kepercayaan yang 
diberikan Arya. 

"Lupakanlah, Ambar," ringan saja Arya 
mengucapkannya. 

Ambar tersenyum manis, kemudian 
menebarkan kain merah itu di tanah 

"Kau lihat, Arya. Huruf pertama adalah b. 
Dan di bawah huruf b terdapat garis yang 
menyerong ke kanan bawah. Di bawah ujung 
garis itu, seharusnya tertulis huruf lain, yang 
menjadi lanjutan dari huruf b. Dan huruf yang 
dimaksud itu ada di kain biru. Nah! Sehabis 
huruf yang berada di kain biru, sesuai garis yang 
sekarang menuju ke atas dan menyerong ke 
kanan, kita menemukan huruf n. Kemudian di 
bawah lagi, untuk mencari lanjutannya. Jelas, 
Arya?!" 

Pemuda berambut putih keperakan itu 
mengangguk pertanda mengerti. 

"Simpanlah kain itu. Ambar. Mungkin nanti 
ada gunanya," ujar Arya, ketika melihat gadis 
berpakaian merah itu mulai menggulung kain 
itu kembali. 

"Terima kasih, Arya," Ambar Wati 
menyimpan kain merah itu dalam selipan 
pinggangnya. "Memang kain ini berguna sekali 
bagiku. Aku tinggal mencari yang biru, sebagai 
pasangannya. Dan akhirnya, aku akan 
mendapatkan pusaka itu. Aku akan melanjutkan 
cita-cita almarhum ayahku." 

"O ya. Ambar. Ceritamu tadi belum selesai," 
Arya mengingatkan. 

"Benar," Ambar mengangguk. Gadis itu 
berpikir sejenak untuk mengingat-ingat sampai 
di mana tadi bercerita. Baru setelah teringat 
kembali, dia melanjutkannya. 

"Dalam pelariannya, ayahku tiba di rumah. 
Lalu diperintahkannya aku dan ibu untuk 
secepatnya pergi mencari tempat aman. Tak 
lupa, ayah memberi peta yang berjumlah dua 
buah itu, pada dua orang pelayan yang menjadi 
muridnya. Mereka pun disuruhnya pergi. 
Dengan hati berat, mereka pergi untuk 
melaksanakan tugas. Sebenarnya, mereka tidak 
sampai hati untuk meninggalkan ayah. Tapi 
karena ayah berkeras, tidak ada yang dapat 
mereka lakukan lagi. Ayah sendiri terpaksa pergi 
bersama aku dan ibu. Aku dan ibu memang 
berkeras untuk tetap bersama ayah, apa pun 
yang terjadi. Dugaan ayah ternyata tepat Adik 
seperguruannya bersama kelompoknya 
mengejar, hingga kami tersusul. Maka terjadilah 
pertarungan tak seimbang. Ayah dan ibu 
akhirnya tewas di tangan mereka. Sementara aku 
berhasil selamat karena ada yang 
menyelamatkanku. Dan orang yang 
menyelamatkanku, menjadi guruku sampai 
sekarang." 

"Lalu..., apa yang kau lakukan sekarang. 
Ambar?!" tanya Arya ketika cerita gadis 
berpakaian merah itu terhenti. 

Ambar Wati menundukkan kepala, merasa 
sedih mengingat kejadian yang menimpa 
keluarganya 

"Aku akan melanjutkan keinginan ayah, 
menemukan pusaka-pusaka itu. Ayah sempat 
bercerita, kalau tidak semua murid Perguruan 
Tangan Dewa menjadi pengikut adik 
seperguruannya. Yang baik, masih banyak 
sekali. Tapi, mereka tidak mampu menentang. 
Karena, hanya adik seperguruan ayah yang 
paling lihai. Dan murid jahanam itu baru akan 
tersingkir dari kursi kepemimpinannya, apabila 
pusaka pusaka itu kutemukan. Karena mereka 
hanya tahu, orang yang membawa pusaka itu 
yang berhak menjadi ketuanya. Selama pusaka 
itu tidak diketemukan, adik seperguruan ayah 
yang akan menjadi ketua. Dan sebenarnya sang 
Guru sendiri, telah dibunuh secara licik oleh 
murid murtad itu dengan menggunakan 
ramuan!" 

"Kau membutuhkan bantuan. Ambar?" secara 
halus Arya menawarkan diri. 

"Sayang sekali, Arya. Aku tidak bisa 
menerima bantuanmu. Aku ingin berusaha 
sendiri dan berhasil sendiri, agar arwah ayahku 
yang berada di alam sana bangga," tolak Ambar 
Wati, halus. "Aku hanya bisa mengucapkan 
terima kasih atas bantuanmu, Arya." 

Arya hanya menghela napas berat. Tentu saja 
dengan tolakan Ambar Wati, Arya tidak bisa 
ikut campur lebih jauh. Hatinya hanya 
mengkhawatirkan kalau gadis berpakaian merah 
ini akan gagal. Tapi kekhawatiran itu hanya 
timbul sebentar saja, ketika teringat akan guru 
dan penolong Ambar Wati. Dan dia, yakin 
penolong Ambar Wati tak akan tinggal diam! 

"Hampir aku lupa," sentak Arya tiba-tiba 
ketakutan teringat sesuatu. "Kau sepertinya 
kenal tiga orang berpakaian hitam yang tadi 
menyerangku Ambar?!" 

"Mereka adalah para pemimpin 
Perkumpulan! Baju Hitam," jelas Ambar Wati. 
"Di mana-mana mereka selalu menimbulkan 
keributan Kau mengenal mereka, Arya? Atau 
setidak-tidaknya, pernah mendengar nama 
kelompok itu?!" 

Arya mengangguk. Memang, Dewa Arak 
pernah mendengar Perkumpulan Baju Hitam. 
Sebuah, perkumpulan rahasia golongan hitam 
yang tidak ketahuan, di mana tempatnya. 

"Apalagi yang ingin ditanyakan, Arya?!" 

Arya menggeleng. Dia tahu. Ambar Wati 
ingin segera pergi. 

"Kalau demikian, aku akan pergi, Arya. Dan 
sekali lagi, terima kasih atas semua bantuan 
yang kau berikan padaku." 

Ucapan gadis berpakaian merah itu masih 
terdengar jelas, walau tubuhnya sudah cukup 
jauh. Arya hanya bisa menggeleng. Ambar Wati 
memang seorang gadis cukup hebat! 

"Ha ha ha...! Akhirnya aku berhasil juga 
mendapatkan benda-benda keramat ini. Ha ha 
ha...!" 

Sebuah suara keras terdengar sehingga 
membuat sebuah gubuk sederhana yang terbuat 
dari bilik dan beratapkan rumbia bagai bergetar 
hebat. 

"Siapa dulu yang berhasil mendapatkan 
kuncinya. Guru?!" sambut sebuah suara 
melengking nyaring milik seorang wanita muda. 

Sosok laki-laki tua yang tertawa itu 
mengangguk-angguk seraya menatap gadis 
berbaju merah berwajah cantik yang barusan 
berbicara. 

"Aku tahu. Tapi andaikata kau tidak berhasil, 
aku pun tidak sulit merampasnya dari tangan 
Dewa Arak!" sergah sosok kakek tinggi kurus 
berpakaian putih itu. Demikian kurusnya, 
hingga lebih menyerupai tengkorak. 

Gadis berpakaian merah itu tidak berkata- 
kata lagi. Pandangannya dialihkan ke tanah, di 
mana terdapat dua helai kain merah dan biru 
yang dirapatkan salah satu sisinya. Tampak 
huruf-huruf dan garis-garis pada kedua kain itu. 

"Baca, Ambar," ujar kakek tinggi kurus sambil 
menunjuk hamparan kain merah dan biru. 
"Jangan terlalu keras karena aku tidak yakin 
keadaan aman. " 

"Baik, Guru," gadis berpakaian merah yang 
tak lain Ambar Wati mengangguk. 

"Benda itu berada di patung Dewa Matahari 
dan Dewa Bulan yang menjadi Dewa Suku Liar 
di Pulau Mimpi," Ambar Wati membaca huruf- 
huruf yang tertera turun naik di hamparan kain 
merah dan biru itu. 

"Ha ha ha...!" 

Kakek kurus kering kembali tertawa 
bergelak, gembira bukan kepalang. 

"Aku akan menjadi orang yang paling sakti! 
Akan kutebus kekalahanku pada Tua Bangka 
Sombong itu. Ha ha ha...! Aku akan merajai 
dunia persilatan. Ha ha ha...!" 

"Guru tahu di mana Pulau Mimpi itu?!" tanya 
Ambar Wati, setelah tawa gurunya mereda. 

"Tentu saja! Bahkan tempat di mana Suku 
Liar itu berada, aku tahu. Aku akan menjadi 
orang sakti! Ha ha ha...!" 

'Sebenarnya..., benda apa sih yang Guru 
maksudkan? Dan, mengapa guru yakin akan 
bisa menjadi orang sakti dengan benda-benda 
itu?!" tanya Ambar Wati yang memang belum 
merasa jelas oleh benda yang dimaksud 
gurunya. 

Kakek kurus kering terdiam sejenak. 

"Karena kau telah mendapatkan kuncinya, 
sebagai hadiah kuberitahukan mengenai benda 
yang kumaksudkan. Benda itu adalah dua buah 
intan berbentuk kerucut. Lebih jelas lagi dua 
buah ujungnya berbentuk dua kerucut. Intan- 
intan itu berwarna merah dan biru. Apabila kita 
benturkan satu sama lain, akan menimbulkan 
kilatan cahaya mematikan, laksana petir yang 
dapat menghanguskan apa pun dari jarak 
bertombak-tombak! Ha ha ha...!" 

Ambar Wati menelan ludah untuk 
membasahi, tenggorakannya yang mendadak 
kering, mendengar pemberitahuan itu. Sama 
sekali tidak disangka akan demikian dahsyat 
benda yang dimaksud. 

"Sekarang mari kita pergi ke sana. Kita ambil 
benda-benda ajaib itu! Ha ha ha...!" 




Trang, tringng, klangng! 

Terdengar riuh rendah sebuah pertarungan. 
Tak kurang dari puluhan orang terlibat di dalam 
pertarungan. Beberapa di antaranya merupakan 
orang-orang berpakaian macam tokoh-tokoh 
persilatan. Sebagian besar sisanya, adalah orang- 
orang aneh. Pakaian mereka hanya untuk 
menutupi aurat di depan bagian bawah. Itu pun 
dari anyaman jerami. Kulit mereka hitam legam, 
dengan sekujur tubuh penuh coreng-moreng 
arang hitam! 

Orang berpakaian ala kadarnya yang tengah 
terlibat pertarungan dengan tokoh-tokoh 
persilatan ini, hampir dua kali lipat dibanding 
lawan-lawannya dari tokoh persilatan. Kendati 
demikian, pertarungan berjalan seru dan 
seimbang. 

Memang kepandaian tokoh-tokoh persilatan 
itu jauh di atas lawan-lawannya. Terutama 
sekali, lelaki tinggi kurus yang berwajah 
kekuningan. Dia tak lain adalah Ular Emas. 
Lelaki ini menghadapi empat orang lawan 
sekaligus. Tapi, toh tidak terdesak sama sekali. 
Golok di tangannya berkelebatan cepat, 
memapaki senjata lawan-lawannya yang 
menggunakan lembing. Bahkan perlahan-lahan. 
Ular Emas berhasil mendesak lawan-lawannya. 

Bukan hanya orang-orang berkulit hitam 
legam yang menjadi lawan Ular Emas yang 
terdesak hebat. Kelompok yang lainnya pun 
semakin terdesak mundur. Sehingga semakin 
lama tempat pertarungan semakin jauh bergeser. 
Dan sekarang, mulai mendekati kelompok 
rumah kecil berbentuk sederhana yang terbuat 
dari rumbia dan dedaunan pohon lainnya. 
Rumah-rumah itu adalah tempat tinggal orang- 
orang berkulit hitam legam. 

"Maju terus...! Robohkan mereka...! Aku 
yakin, nanti benda-benda ajaib itu akan dapat 
ditemukan!" seru Ular Emas, sambil 
mengerahkan kemampuan untuk mendesak 
lawan-lawannya lebih jauh. 

Seruan Ular Emas membuat semangat tokoh- 
tokoh persilatan yang berjumlah tak kurang dari 
enam orang itu semakin berkobar. Dan 
perlawanan yang diberikan pun semakin 
menjadi-jadi. Enam orang itu memang anak- 
anak buah Ular Emas, yang telah dikalahkan 
Ular Emas dan bersedia takluk. Dan dengan 
dipimpin Ular Emas, mereka menyerbu 
perkampungan orang-orang berkulit hitam 
legam yang merupakan Suku Liar. 

Semangat Ular Emas dan kawan-kawannya 
semakin menjadi-jadi, ketika beberapa orang 
lawan mulai roboh dan tewas di ujung senjata 
dengan tubuh bersimbah darah! 

Robohnya beberapa orang berkulit hitam, 
membuat kedudukan Ular Emas dan anak 
buahnya semakin kuat. Dan jeritan menyayat 
hati pun mulai terdengar susul-menyusul 
mengiringi robohnya orang-orang berkulit hitam 
lainnya. 

Ular Emas dan anak buahnya pun semakin 
leluasa mendesak lawan-lawannya ke dalam 
perkampungan. Sementara kelompok orang- 
orang hitam legam yang kini berjumlah tinggal 
belasan orang semakin kocar-kacir jadinya. 
Apalagi ketika Ular Emas dan anak buahnya 
yang telah mulai membakari rumah-rumah 
mungil itu dengan lemparan kayu bernyala ke 
atap rumbia. Seketika terjadilah kobaran api 
yang dahsyat melahap rumah-rumah yang ada 
di dekatnya. 

"Cepat katakan, di mana batu ajaib itu! Atau 
kau ingin kepalamu kuhancurkan?!" ancam Ular 
Emas, sambil memegang lengan salah seorang 
wanita dari Suku Liar itu. 

Tidak ada jawaban sama sekali yang 
diberikan wanita Suku Liar itu, kecuali tatapan 
kebencian dan sentakan tangannya untuk 
membebaskan diri dari pegangan tangan Ular 
Emas. Hal ini membuat Ular Emas sewot. Sekali 
tangannya bergerak menampar pelipis, nyawa 
wanita Suku Liar itu pun melawat ke akherat. 

Pembantaian besar-besaran pun dimulai oleh 
Ular Emas dan anak buahnya. Penghuni 
perkampungan Suku Liar yang sekarang hanya 
tinggal wanita dan anak-anak mulai jadi sasaran 
pembantaian. 

"Ular Emas...! Lihat...!" 

Salah seorang anak buah Ular Emas berseru 
memanggil tokoh tinggi kurus itu. Jari telunjuk 
kanannya ditudingkan pada bagian atas dua 
buah batang kayu. 

Ular Emas yang tengah sibuk mengedarkan 
pandangan ke sana kemari sambil membongkari 
apa-apa untuk mencari benda dimaksud, 
mengikuti arah yang ditunjukkan anak buahnya. 
Di sana, tampak dua batang kayu yang besarnya 
hampir sepelukan tangan manusia dewasa, 
berbentuk patung berukir, pada bagian atasnya. 
Sebuah patung yang hanya menampilkan wajah 
sayu. 

Tapi, bukan bentuk wajah patung itu yang 
menarik perhatian Ular Emas. Melainkan, 
sebuah benda bersinar pada bagian dahi tiap- 
tiap wajah patung. Kilaunya tampak 
menyilaukan mata, tertimpa sinar matahari. 
Berarti pada dahi ukiran wajah di batang kayu 
itu, adalah sebuah benda yang kemungkinan 
terbuat dari logam. 

Ular Emas yang menjadi timbul semangatnya, 
ketika melihat benda-benda bersinar itu segera 
melompat untuk mengambilnya. Dengan sekali 
jejak, tubuhnya melayang ke atas. Sementara 
tangan kanannya segera terulur untuk 
mengambil benda ber sinar itu. 

Singngng! 

Bunyi berdesing nyaring yang menyakitkan 
telinga, membuat Ular Emas terkejut bukan 
kepalang. Sebagai tokoh berpengalaman, dia 
tahu ada senjata yang akan menyambar ke 
arahnya. Maka tanpa berani menunggu lebih 
lama, uluran tangannya terhadap benda bersinar 
di dahi wajah patung yang berukir itu, 
dibatalkan Dan dengan kecepatan 
mengagumkan. Ular Emas mencabut goloknya 
yang tergantung di pinggang. Seketika, goloknya 
diayunkan untuk memapak senjata berupa 
sebatang anak panah yang menyambar ke 
arahnya. 

Trakkk! 

Dengan tangkisan tepat. Ular Emas membuat 
anak panah itu meluncur kembali pada seorang 
lelaki bertubuh pendek yang tadi melepaskan 
anak panah. Kecepatan luncuran anak panah itu 
tidak kalah dengan luncurannya yang pertama 
kali. 

"Uhhh...!" 

Lelaki pendek yang melepaskan anak panah 
itu terkejut, namun, tidak tinggal diam. 
Langsung di ambilnya anak panah lain dan 
dilepaskannya untuk memapak anak panah 
yang menuju ke arahnya. Maka dua anak panah 
berbenturan di udara dan berjatuhan ke tanah. 

"Keparat! Kiranya kau, Ludiga!" geram Ular 
Emas, begitu kakinya menjejak tanah dengan 
golok masih tergenggam di tangan. 

Lelaki tinggi kurus ini gagal untuk 
mengambil benda bersinar yang berada di dahi 
patung. 

"Sama sekali tidak kau sangka, bukan?!" 

Ludiga yang lebih terkenal sebagai Pemanah 
Sakti tertawa mengejek. Tapi, belum juga 
tawanya habis. Ular Emas yang merasa geram 
langsung menerjang dengan goloknya. Seketika 
terdengar bunyi mengaung keras ketika 
senjatanya meluncur ke arah Ludiga. 

Ular Emas tahu, betapa lihainya Pemanah 
Sakti ini. Maka dalam sekali serang, seluruh 
kemampuan yang dimiliki telah dikeluarkan 
Baik tenaga kecepatan, maupun jurus yang 
paling dahsyat. Ludiga atau Pemanah Sakti amat 
terkenal sebagai tokoh golongan hitam yang 
jarang menemui tandingan Kepandaiannya 
dalam meluncurkan anak panah, telah 
membuatnya ditakuti dan disegani, baik oleh 
tokoh golongan putih maupun hitam. Telah 
banyak orang yang tewas di tangannya. Baik 
oleh kedua tangannya, maupun anak panahnya. 

Kekhawatiran Ular Emas tidak terlalu 
berlebihan! Belum juga serangan goloknya 
mencapai sasaran. Pemanah Sakti telah lebih 
dulu bertindak. Dengan cepat, Ludiga mencabut 
dua batang anak panah sekaligus yang langsung 
memasangkannya pada busur. Kemudian, anak- 
anak panah itu dijepretkannya. 

Zingng, zingng! 

Diiringi bunyi menyakitkan telinga, anak- 
anak panah itu meluncur ke arah Ular Emas. 
Terpaksa laki-laki tinggi kurus itu membatalkan 
serangan. Goloknya cepat diputar bagaikan 
kitiran untuk membentengi tubuhnya. Maka 
semua anak panah itu berpentalan terkena 
tangkisan golok Ular Emas. 

Belum lagi Ular Emas berbuat sesuatu. 
Pemanah Sakti telah melompat menubruk dan 
mengirimkan serangan, mempergunakan anak 
panah! Dalam keadaan seperti ini Ludiga bagai 
orang yang menggunakan pedang atau golok! 
Sementara Ular Emas segera menyambutinya, 
hingga pertarungan sengit pun berlangsung. 

Anak buah Ular Emas agak kaget melihat 
gangguan yang sama sekali tidak disangka- 
sangka. Semula disangka, hanya kelompok 
mereka yang berada di perkampungan Suku Liar 
ini. Tapi ternyata masih ada pihak lain 

Sesaat kemudian, enam orang anak buah Ular 
Emas seperti berlomba untuk mengambil benda 
bersinar yang berada di atas patung. Inilah 
kesempatan terbuka bagi mereka untuk 
mendapatkan benda itu, guna kepentingan diri 
sendiri. Memang dalam lubuk hati mereka 
terselip harapan untuk mendapatkan benda- 
benda yang dicari untuk kepentingan sendiri. 
Tapi.... 

Sing, singng! 

"Akh, akh..!" 

Dua di antara enam buah Ular Emas yang 
hampir saja meraih benda-benda bersinar itu 
menjerit menyayat. Entah bagaimana, tahu-tahu 
dua benda berkilat melesat dan menembus 
punggung mereka sebelum maksud itu 
kesampaian. Tubuh dua orang malang itu pun 
ambruk. 

Empat anak buah Ular Emas lainnya tidak 
mempunyai pilihan lain, kecuali menghentikan 
maksud. Seketika pandangan mereka beralih ke 
arah benda berkilat itu berasal, ketika kaki-kaki 
mereka telah menjejak tanah. 

Macan Seratus Kuku...," desis empat orang 
anak buah Ular Emas, tanpa bisa 
menyembunyikan rasa gentar. Baik dalam 
ucapan, maupun tarikan wajah. 

Sosok yang disebut empat orang anak buah 
Ular Emas sebagai Macan Seratus Kuku, ternyata 
seorang kakek kecil kurus tanpa kumis dan 
jenggot. Dia hanya mengenakan pakaian macan 
tutul. 

"Tikus-tikus tak berguna seperti kalian ingin 
mengambil benda-benda ajaib itu?!" dengus 
Macan Seratus Kuku penuh ejekan. 

Kemudian kepala kakek itu menggeleng 
sedikit seperti memberi isyarat pada laki-laki 
kasar berjumlah empat orang yang berdiri di 
belakangnya. Seketika, mereka bergerak 
menyerbu empat orang anak buah Ular Emas. 

Kilatan kegembiraan memancar di mata anak- 
anak buah Ular Emas, ketika melihat yang 
menerjang mereka adalah anak buah Macan 
Seratus Kuku. Menghadapi empat orang itu, 
anak-anak buah Ular Emas memang tidak 
merasa gentar! Beda halnya apabila diserang 
oleh Macan Seratus Kuku. 

Macan Seratus Kuku terkenal sakti. Bahkan 
telah merajai berbagai macan hutan dan 
pegunungan. Mereka sering merampok 
rombongan pedagang, pendekar pengelana, atau 
siapa pun yang kebetulan dilihatnya. Kecelakaan 

besar bagi orang yang bertemu Macan Seratus 
Kuku yang menjadi raja kaum perampok di 
gunung-gunung dan hutan-hutan liar. 
Kepandaiannya amat tinggi, dan mungkin tidak 
berada di bawah Ular Emas! 

Empat anak buah Ular Emas pun 
menyambuti terjangan anak buah Macan Seratus 
Kuku. Maka pertarungan seru pun berlangsung. 
Golok-golok anak buah Ular Emas saling 
mendahului dengan cakar-cakar baja yang 
bertangkai besar di tangan anak buah Macan 
Seratus Kuku dalam mencari-cari sasaran. 

"Cecunguk-cecunguk yang menjemukan! 
Dari mana mereka tahu tempat ini! Sungguh 
memualkan perut saja!" 

Seruan-seruan itu seperti dikeluarkan pelan 
tapi anehnya mampu mengatasi riuh-rendah 
bunyi pertempuran yang terjadi 

"Bagaimana kalau mereka kita bereskan 
saja?!" sambung sebuah suara lain. 

"Sebuah usul yang amat bagus, dan patut di 
laksanakan!" timpal yang lain 

Macan Seratus Kuku, satu-satunya orang 
yang tidak terlibat dalam pertarungan, menoleh 
ke belakang dengan wajah beringas. Ucapan- 
ucapan itu membuatnya terganggu dalam 
menyaksikan pertarungan yang tengah berjalan. 

Dan dia sudah bermaksud untuk menerjang dan 
merobek-robek sekujur tubuh orang-orang yang 
bercakap-cakap tadi. 

Tapi, ketika sepasang mata beringas Macan 
Seratus Kuku bertemu pandang dengan pemilik 
ucapan-ucapan itu, keberingasannya lenyap dari 
sorot sepasang matanya. Bahkan sekarang, 
berganti ketakutan dan keterkejutan 

Suara tiga sosok yang bersuara tadi berdiri se¬ 
kitar empat tombak dari Macan Seratus Kuku. 
Dan mereka terdiri dari tiga lelaki berpakaian 
hitam dengan kain putih yang membelit tubuh. 
Yang seorang pada pangkal lengan kanan. Lalu 
seorang pada pangkal lengan kiri Dan orang 
terakhir, pada lingkar kepala! 

"Tiga Iblis Baju Hitam...," desis Macan Seratus 
Kuku dengan suara bergetar, menampakkan 
kegentaran. 

"Rupanya kau kenal kami juga, Kunyuk 
Buduk! Syukurlah kalau demikian, sehingga 
tidak mati penasaran," kata lelaki berpakaian 
hitam yang memiliki kain putih di kepala. 

'Tidak usah banyak bicara dan buang waktu 
percuma! Lebih baik bunuh cecunguk itu 
secepatnya. Habis perkara!" dengus lelaki 
berpakaian hitam yang memiliki kain putih di 
pangkal lengan kiri. 

"Benar!" sambut anggota Tiga Iblis Baju 
Hitam yang memiliki kain putih di pangkal 
lengan kanan. "Bukankah kita masing-masing 
mendapat bagian?!" 

"Macan Seratus Kuku yang menyadari 
keadaan yang amat berbahaya, langsung 
bertindak cepat sekali kakinya menjejak, 
tubuhnya melayang dengan tujuan jelas. Benda 
bersinar itu. 

"Uh...!" 

Macan Seratus Kuku mengeluarkan seruan 
tertahan, ketika lompatannya tertahan karena 
pergelangan kaki kanannya telah tercekal. Lelaki 
kecil kurus ini menoleh. Dan dia melihat, lelaki 
berpakaian hitam yang memiliki kain putih di 
pangkal lengan kanan itu mencekal pergelangan 
kakinya. Dan sebelum Macan Seratus Kuku 
bertindak lebih lanjut, anggota Iblis Baju Hitam 
itu telah mengayunkan tangannya. Maka tanpa 
mampu dicegah, tubuh Macan Seratus Kuku 
melayang ke arah anggota Iblis Baju Hitam yang 
pada pangkal lengan kiri terbelit kain putih. 

Macan Seratus Kuku tidak tinggal diam, dan 
tidak mau menyerah begitu saja. Dengan 
kemampuannya, luncuran tubuhnya mampu 
dibuat menjadi ancaman bagi lawan. Macan 
Seratus Kuku mengirimkan cengkeraman. Satu 
menuju tenggorokan, yang lain mengincar ulu 
hati. 

Tapi dengan sekali mengulurkan tangan, 
anggota Iblis Baju Hitam itu telah membuat 
tubuh Macan Seratus Kuku tertahan. Jari-jari 
tangan Iblis Baju Hitam tepat mendarat di bahu 
kanan Macan Seratus Kuku, hingga lemas 
seketika. Sementara serangan Macan Seratus 
Kuku sebelumnya berhasil dielakkan secara 
mudah oleh anggota Iblis Baju Hitam itu dengan 
memiringkan tubuh sedikit. 

Tanpa mampu dicegah lagi, tubuh lelaki kecil 
kurus itu ambruk ke tanah seperti sehelai kain 
basah. Tubuhnya lemas, akibat jalan darahnya 
tertotok, sehingga tenaga dalam Macan Seratus 
Kuku lenyap. 

Tanpa perasaan apa pun, anggota Iblis Baju 
Hitam yang pada pangkal lengan kanannya 
melilit kain putih, menginjak kepala Macan 
Seratus Kuku yang tak berdaya. 

Krakkk! 

Terdengar bunyi gemeretak keras kepala 
yang hancur, mengiringi melayangnya nyawa 
Macan Seratus Kuku ke akherat! 

Sementara itu, anggota Iblis Baju Hitam yang 
pada kepalanya melilit kain putih, melesat ke 
dalam kancah pertarungan antara anak buah 
Ular Emas melawan anak buah Macan Seratus 
Kuku. Dengan enaknya, seolah-olah 
menghadapi rumput-rumput kering, anggota 
Iblis Baju Hitam itu menangkap mereka satu 
persatu dan membantingnya ke tanah Setiap 
kali tangan lelaki berpakaian hitam ini 
menangkap dan membanting, orang yang jadi 
sasaran langsung melawat ke akherat. Sekujur 
tulang-tulang mereka kontan hancur berantakan. 

Masuknya lawan baru, membuat anak buah 
Ular Emas dan anak buah Macan Seratus Kuku 
melupakan pertikaian antara mereka. Bahkan 
kini mereka bahu-mambahu menghadapi musuh 
baru. Tapi, usaha mereka bagaikan semut-semut 
menerjang api. Satu persatu langsung roboh 
tewas sebelum maju mendekat. 

Anggota Iblis Baju Hitam lainnya tidak 
tinggal diam Setelah Macan Seratus Kuku tewas, 
masing-masing langsung bergerak. Yang satu 
menuju pertarungan antara Ular Emas melawan 
Pemanah Sakti, sedangkan yang lain menuju 
patung tempat benda bersinar. 

Pemanah Sakti dan Ular Emas yang tahu akan 
kedatangan lawan tangguh, langsung 
menghentikarj pertarungan. Bahkan langsung 
menyambuti serangan anggota Iblis Baju Hitam. 
Ular Emas dengari lemparan jarum-jarumnya. 
Sedangkan Pemanah] Sakti dengan anak-anak 
panahnya. Memang senjata andalan Ular Emas 
adalah jarum-jarum rahasia. 

"Hmh...!" 

Anggota Iblis Baju Hitam berikat kepala kain 
putih tengah berada di udara untuk menyerbu 
Ular Emas dan Pemanah Sakti tidak menjadi 
gugup melihat datangnya serbuan belasan jarum 
dan beberapa batang anak panah. 

Sambil masih tetap meluncur menuju Ular 
Emas dan Pemanah Sakti, anggota Iblis Baju 
Hitarm ini mendorongkan kedua tangannya ke 
depan. Maka hembusan angin kuat pun keluar 
dari kedua telapak tangannya. Dan hebatnya, 
mampu membuat laju anak-anak panah dan 
jarum-jarum Ular Emas dan Ludiga terhenti, 
kemudian jatuh ke tanah. 

Sebelum kekagetan Ular Emas dan Ludiga 
hilang, anggota Iblis Baju Hitam itu telah berada 
di dekat mereka. Dan dia langsung menyerang, 
sehingga membuat kedua tokoh sesat yang lihai 
itu dibuat pontang-panting. Hanya dalam 
beberapa gebrakan. Ular Emas dan Pemanah 
Sakti dibuat berada dalam kancah bahaya maut. 

Di lain pihak, anggota Iblis Baju Hitam yang 
pada pangkal lengan kirinya terbelit kalin putih 
telah mengulurkan tangan untuk menjumput 
benda bersinar. Pada saat yang sama, melesat 
sesosok bayangan putih dengan kecepatan luar 
biasa, menangkap pergelangan tangan Iblis Baju 
Hitam. Bahkan langsung melemparkannya! 

Anggota Iblis Baju Hitam ini terkejut bukan 
kepalang ketika tahu-tahu tubuhnya terlempar. 
Memang, sebelumnya dia telah mendengar deru 
angin. Tapi sungguh tidak disangka akan secepat 
itu gerakan sosok yang baru datang ini. 

Untungnya tanpa menemui kesulitan, anggota 
Iblis Baju Hitam ini dapat mematahkan kekuatan 
yang membuat tubuhnya meluncur. Dia 
berjungkir balik beberapa kali di udara, sebelum 
akhirnya menjejak tanah. Tapi benak anggota 
Iblis Baju Hitam ini penasaran bercampur 
tegang, mengingat demikian mudah tubuhnya 
dilemparkan! Jelas, lawan yang baru tiba ini 
adalah lawan tangguh! 

"Kau...!" 

Seruan anggota Iblis Baju Hitam yang pada 
pangkal lengan kanannya terbelit kain putih, 
terdengar agak terbata-bata. Pandangan 
wajahnya seperti seorang anak kecil melihat 
hantu penuh kengerian! 

Sosok bayangan putih yang ternyata kakek 
kurus kering berpakaian putih, itu sekarang 
berdiri di dekat patung, di mana benda bersinar 
terdapat. Bibirnya menyeringai penuh ancaman. 
Sedangkan di sebelah kakek kurus kering 
laksana tengkorak ini, berdiri angkuh seorang 
gadis cantik jelita berpakaian merah. Ambar 
Wati! 

"Ya, aku. Kenapa? Kaget?! Tidak menyangka 
kalau aku masih hidup?!" Semakin sinis ucapan 
kakek kurus kering. "Dan perlu kalian tahu, aku 
telah tahu tindak-tanduk kalian. Dan sekarang, 
aku telah memutuskan untuk menghukum 
kalian!" 




Wajah anggota Iblis Baju Hitam yang pada 
pangkal lengan kanannya terbelit kain putih, 
semakin pucat. Seakan-akan pada wajahnya 
tidak mengalir darah! Dengan sepasang mata 
yang memancarkan ketakutan dan keterkejutan, 
kakinya melangkah mundur-mundur. 

'Dan aku telah menemukan sebuah cara 
untuk menghukum pengkhianat-pengkhianat 
keji seperti kalian!" desis kakek kurus kering 
lagi, penuh dengan ancaman maut. 

Tidak ada tindakan berarti dari anggota Iblis 
Baju Hitam yang tengah berhadapan dengan 
kakek kurus kering ini, selain langkah mundur- 
mundur dengan sikap amat takut. 

Pada saat yang sama, kakek kurus kering 
langsung menjulurkan kedua tangannya ke atas, 
ke arah wajah patung kayu. Tingkahnya 
menunjukkan, kalau kakek berpakaian putih ini 
hendak mengambil benda bersinar yang terdapat 
pada dahi patung. Padahal, jelas terlihat kalau 
letaknya terlalu jauh untuk dijangkau tangan 
manusia biasa. 

Tapi kakek kurus kering itu memang tidak 
bermaksud mengada-ada. Ketika uluran 
tangannya sudah seharusnya habis, tiba-tiba 
terdengar bunyi berkerotokan keras seperti ada 
tulang-tulang patah. Dan..., tangan-tangan itu 
bertambah panjang, sehingga, jari-jari tangan itu 
berhasil mencekal benda-benda bersinar yang 
ada pada dahi patung! 

Di saat kakek kurus kering tengah berusaha 
mengambil benda-benda bersinar di dahi 
patung, kesempatan itu dipergunakan sebaik- 
baiknya oleh anggota Iblis Baju Hitam yang 
masih berusaha mundur. Kedua tangannya 
bergerak cepat. Dan seketika terdengar bunyi 
berkesiutan nyaring, saat belasan benda hitam 
yang tak lain paku-paku hitam; beracun ganas, 
meluruk ke arah dada, perut, dari ulu hati kakek 
kurus kering itu. 

"Keparat!" 

Terdengar makian melengking nyaring. 
Menilik bunyinya, suara itu keluar dari mulut 
seorang wanita muda! Dan sekejap kemudian, 
sesosok bayangan! merah berkelebat sambil 
menggerakkan tangannya. 

Tring! Tring! 

Terdengar bunyi berdenting nyaring berkali- 
kali, ketika gadis itu memapak serangan paku- 
paku beracun dengan pedangnya. Begitu bunyi 
itu lenyap, di depan kakek kurus kering telah 
berdiri Ambar Wati dengan sikap menantang 
Pedangnya sudah terhunus di tangan kanan. 

Pada saat hilangnya bunyi benturan antara 
paku-paku dengan pedang di tangan Ambar 
Wati, kakek kurus kering itu tertawa bergelak. 
Sepasang] matanya bersinar-sinar, ketika 
menatap benda-benda bersinar sebesar buah 
salak, di kedua tangannya. Bentuk kedua 
ujungnya kerucut, seperti salak. Hanya saja, 
memiliki warna aneh. Kelihatan bening dan 
kemilau. Tapi, ternyata masing-masing 
memancarkan sinar berlainan. Yang satu biru, 
sedangkan yang lain merah! 

Tawa kakek kurus kering yang keras dan 
menggema ke sekitar tempat itu, membuat dua 
anggota Iblis Baju Hitam lain yang masih sibuk 
bertarung, tahu akan adanya pendatang baru 
yang tangguh! Hampir berbareng keduanya 
menoleh. Dan wajah keduanya langsung 
berubah, ketika melihat sosok yang 
mengeluarkan tawa itu. Sosok yang amat mereka 
kenal. Dengan kecepatan kilat, keduanya melesat 
dan berdiri di sebelah anggota Iblis Baju Hitam 
yang sudah sejak tadi menjauhi kakek kurus 
kering dengan langkah satu-satu. 

"Ha ha ha...!" 

Kakek kurus kering tertawa bergelak sambil 
melangkah satu-satu. Dan langkah itu langsung 
diikuti tiga Iblis Baju Hitam. Hanya saja, langkah 
mereka mundur. Terlihat jelas, kalau tiga Iblis 
Baju Hitam ini gentar bukan kepalang 
menghadapi lawan kakek kurus kering ini. 

"Kalian telah berani mengkhianatiku. Maka, 
sekarang aku akan menghukum kalian!" kakek 
kurus kering menggeram. 

"Kami tidak mengkhianatimu. Ketua!" sergah 
salah seorang dari tiga Iblis Baju Hitam yang 
memiliki kain putih di kepala. Tidak keras 
suaranya. 

"Kalau tidak, mengapa kalian tidak 
membalas dendam terhadap orang-orang dari 
Perguruan Baju Putih itu?! Mengapa selama ini 
kalian diam saja?! Dengan kemampuan kalian 
yang didapat dariku, tidak sulit untuk 
melakukan pembalasan!" balas kakek kurus 
kering dengan suara seperti menjerit. 

"Bagaimana kami dapat melakukannya. 
Ketua?!" sahut anggota Iblis Baju Hitam yang 
mempunyai kain putih di pangkal lengan. 
"Mereka berjumlah banyak. Dan rata-rata 
memiliki kepandaian tinggi. Kami akan tewas!" 

"Alasan!" dengus kakek kurus kering, 
semakin beringas. "Aku tahu, hanya beberapa 
gelintir dari Pergurun Baju Putih yang memiliki 
kepandaian di atas kalian. Sisanya, sebagian 
besar hanya keroco-keroco! Kalau kalian benar 
sakit hati dan hendak membalas dendam, 
setidak-tidaknya merekalah yang dibinasakan! 
Gunakan siasat penyerangan pukul dan lari. 
Kucing-kucingan! Buat kekacauan. Buat mereka 
tidak tenang! Tapi, apa yang kulihat?! Kalian 
enak-enakan saja! Dan atas sikap kalian yang 
berani mengkhianatiku, dan juga berani 
membantahku, aku akan menghukum. Dan 
kalian boleh lihat, hukuman yang akan 
diterima!" 

Kakek kurus kering yang ternyata pimpinan 
Tiga Iblis Baju Hitam, mengarahkan pandangan 
ke arah kelompok anak buah Macan Seratus 
Kuku , dan anak buah Ular Emas yang saat itu 
juga sedang mengarahkan pandangan pada 
mereka. Sementara, yang lain juga telah 
menghentikan pertarungan. 

Pemarah Sakti dan Ular Emas pun tidak 
berkelahi lagi. 

"Seperti inilah hukuman yang akan kalian 
terima!" 

Kakek kurus kering menutup ucapannya 
yang setengah berteriak dengan membenturkan 
dua buah benda bersinar di tangannya. Seketika 
terdengar bunyi berdetak pelan, disusul kejadian 
yang membuat semua pasang mata yang berada 
di situ terbelalak lebar. 

Dari ujung-ujung batu bersinar yang saling 
berada, muncul seberkas cahaya berkilau laksana 
halilintar! Dan kilatan cahaya itu cepat meluncur 
ke arah Ular Emas! 

"Akh.J" 

Ular Emas kontan menjerit menyayat hati 
ketika kilatan cahaya mirip halilintar itu 
mengenai tubuhnya. Api berkobar membungkus 
tubuhnya yang tinggi kurus! Meluncurnya 
cahaya seperti halilintar itu demikian cepat, 
sehingga Ular Emas tidak memiliki kesempatan 
mengelak. 

"Ha ha ha...!" 

Kakek kurus kering tertawa bergelak 
mengiringi jeritan menyayat dari mulut Ular 
Emas. Kelihatan sekali kalau kakek berpakaian 
putih ini merasa gembira. Sementara berpasang- 
pasang mata yang lain menatap penuh 
kengerian Sama sekali tidak disangka akan 
demikian dahsyatnya benda-benda bersinar itu. 

"Bagaimana, Ambar?! Bagus bukan?! Ha ha 
ha...!" 

"Bagus sekali. Guru," jawab gadis berpakaian 
merah ini setelah terlebih dulu menelan ludah 
untuk membasahi tenggorokannya yang 
mendadak kering dan seperti tercekik 

"Memang hebat sekali! Ha ha ha...!" Kakek 
kurus kering tertawa bergelak. "Dan untuk 
memperingati keberhasilanku mendapatkan 
benda ini aku akan membantai semua orang 
yang berada di sini. Ha ha ha...!" 

Masih dengan tawa yang belum terputus, 
kakek kurus kering itu segera membentur- 
benturkan benda-benda bersinar yang ada di 
kedua tangannya. Maka kilatan-kilatan cahaya 
menyilaukan mata pun meluruk ke arah orang- 
orang yang berada di situ. 

Tentu saja Pemanah Sakti, anak buah Ular 
Emas, dan anak buah Macan Seratus Kuku yang 
masih tersisa tidak tinggal diam. Kalau tidak 
ingin mati secara sia-sia mereka harus mengelak. 
Tapi entah mengapa, ada sebuah pengaruh aneh 
yang membuat sekujur otot tubuh mereka kaku. 
Tenaga mereka langsung lenyap begitu benda- 
benda bersilnar itu dibenturkan satu sama lain. 
Maka, api pun seketika membungkus tubuh 
orang-orang yang malang itu. Sehingga dalam 
sekejapan mata, di tempati itu telah terdapat 
belasan gumpalan api. 

Di saat kakek kurus kering membantai tokoh- 
tokoh persilatan kesempatan itu dipergunakan 
sebaik-baiknya oleh Tiga Iblis Baju Hitam untuk 
melesat kabur meninggalkan tempat ini. 

"Jangan harap kalian akan dapat pergi dari 
sini dengan selamat!" 

Belum lenyap gema suara tadi, tahu-tahu 
dengan ilmu meringankan tubuhnya yang jauh 
di atas Tiga Iblis Baju Hitam itu, kakek kurus 
kering itu melesat. Tubuhnya berjungkir balik 
melewati atas kepala, kemudian menjejak tanah 
di depan tiga orang bekas anak buahnya. 

Tiga Iblis Baju Hitam terkejut bukan 
kepalang. Mereka pun sadar kalau melarikan 
diri tidak ada gunanya lagi. Jalan yang paling 
baik adalah melakukan perlawanan 

"Sebelum Ketua menjatuhkan hukuman pada 
kami bertiga, boleh kami mengajukan sebuah 
pertanyaan?!" Anggota Iblis Baju Hitam yang 
pada kepalanya terbelit kain putih, membuka 
suara. 

"Katakan cepat, sebelum pikiranku berubah!" 
sentak kakek berpakaian putih, tidak sabar. 

"Apakah Guru tidak ingin membalas dendam 
dan sakit hati pada Perguruan Baju Putih?!" 

"Tentu saja!" sentak kakek kurus kering. "Tapi 
jangan harap kalian dapat membujukku untuk 
memberi ampun! Bagiku kalian tidak berguna 
lagi! Aku tahu, kau akan menawarkan bantuan! 
Bagiku, tidak ada artinya! Sekali berkhianat 
padaku, tidak ada kesempatan kedua untuk 
mengabdi! Jelas?! Aku akan pergi ke sana 
seorang diri, dan membasmi perguruan itu 
sampai musnah!" 

Anggota Tiga Iblis Baju Hitam yang pada 
kepalanya terlilit kain putih langsung terdiam. 
Sama sekali tidak disangka kalau bekas ketua 
mereka itu telah lebih dulu mengetahui, ke mana 
arah pertanyaannya. 

"Hih!" 

Dengan gerakan tidak terduga-duga, lelaki 
yang mempunyai ikat kepala kain putih ini 
melempar tubuh ke belakang. Dan di udara 
tubuhnya berjungkir balik, lalu meluncur ke 
arah Ambar Wati yang tengah melesat menuju 
tempat gurunya berada. 

Ambar Wati terkejut mendapat serangan 
tidak terduga-duga. Namun, kelihaiannya 
membuatnya tidak menjadi gugup. Dengan 
kecepatan mengagumkan, pedang yang tadi 
sudah dimasukkan kembali ke sarungnya 
dicabut. Kemudian, cepat ditusukkannya ke arah 
leher anggota Iblis Baju Hitam. 

Tapi, sambutan seperti ini sudah 
diperhitungkan anggota Iblis Baju Hitam yang 
mengenakan kain putih di kepala. Langsung 
dipapaknya tusukan pedang itu pada batangnya 
dengan mempergunakan lengan bajunya. Dan 
dengan mengandalkan tenaga lecutan ujung 
pergelangan tangan pada batang pedang, 
anggota Iblis Baju Hitam yang cerdik ini jungkir 
balik di udara lagi. Tubuhnya cepat melewati 
kepala Ambar Wati, kemudian mendarat di 
belakangnya. Dan seketika jari-jari tangan lelaki 
berpakaian hitam ini telah menempel, sekaligus 
mengancam ubun-ubun gadis itu. 

Sedikit saja gerakan yang dilakukan Ambar 
Wati, nyawanya pasti bakal melayang ke alam 
baka. . 

"Lihat, Bandawasa...!" seru anggota Iblis Baju 
Hitam yang pada kepalanya melilit kain putih 
ini dengan nada menang karena berhasil 
menyandera Ambar Wati. "Sekali saja kau 
manampakkan gerakan mencurigakan, nasib 
muridmu hanya berakhir sampai di sini!" 

Dua anggota Iblis Baju Hitam lain, sekarang 
mengerti maksud rekannya. Mereka pun 
menatap kakek kurus kering yang ternyata 
bernama Bandawasa, dengan sinar mata 
kemenangan. Mereka yakin kalau siasat ini akan 
berhasil gemilang. 

Di luar dugaan, Bandawasa malah tertawa 
bergelak. Tiga Iblis Baju Hitam yang semula 
menyangka kalau Bandawasa akan 
kebingungan, karuan saja menjadi heran 
bercampur khawatir. Mereka mulai membaui 
adanya gelagat tidak baik. 

"Kalian kira bisa mengancam Bandawasa?! 
Ha ha ha...! Kalian keliru! Keliru sekali! Apa pun 
yang kalian lakukan terhadap Ambar Wati 
muridku, aku tidak peduli. Yang penting, kalian, 
pengkhianat-pengkhianat busuk harus mampus 
di tanganku. Ha ha ha...!" 

"Kau kira gertakan kami main-main, 
Bandawasa?!" ancam anggota Iblis Baju Hitam 
yang memiliki kain putih di kepalanya. "Kami 
tidak main-main! Justru kami gembira, sekalipun 
harus mati di tanganmu. Toh, ada orang yang 
menemani kami pergi ke alam baka. Seorang 
gadis cantik jelita yang menjadi muridmu!" 

"Benar!" sambung Bandawasa, tidak peduli. 
"Kematian kalian akan cukup menyenangkan. 
Ha ha ha...!" 

Anggota Iblis Baju Hitam mengarahkan 
pandangan pada dua rekannya yang sekarang 
telah berada di dekatnya. Sebagai tokoh 
golongan hitam yang kenyang pengalaman, 
mereka tahu kalau Bandawasa tidak berbohong. 
Laki-laki tua kurus kering ini tidak main-main 
dengan ucapannya. Bahkan tidak khawatir akan 
keselamatan muridnya. 

"Guru...!" seru Ambar Wati, kaget melihat 
ketidakpedulian sikap kakek kurus kering 
terhadap dirinya. 

Sejak tadi Ambar Wati hanya mendengarkan 
perdebatan antara gurunya dengan Tiga Iblis 
Baju Hitam. Semula gadis berpakaian merah ini 
mengira Bandawasa bersiasat. Tapi ketika 
keadaan mulai memanas dan sikap Bandawasa 
tidak berubah, baru disadari kalau sikap 
gurunya memang tidak main-main! 

*** 

"Ningng.J" 

Di saat-saat menentukan bagi keselamatan 
Ambar Wati, terdengar bunyi mendenging. Kecil 
dan tinggi, namun semakin lama kian menjadi- 
jadi. Bahkan sampai menyakitkan telinga. 

Dan hal itu tidak hanya dirasakan Ambar 
Wati, tapi juga oleh Tiga Iblis Baju Hitam dan 
Bandawasa! Hanya saja tingkat, pengaruh pada 
mereka berbeda-beda. Ambar Wati yang 
memiliki tingkat kepandaian paling rendah, 
sangat terpengaruh oleh suara itu. Bahkan kedua 
kakinya langsung terasa lemas. Dan tanpa dapat 
dicegah lagi, tubuhnya ambruk bagaikan sehelai 
kain basah. 

Tiga Iblis Baju Hitam, tak terkecuali yang 
menyandera Ambar Wati, terpengaruh pula. 
Hanya saja, mereka tidak sampai ambruk ke 
tanah, walaupun terasa kalau tenaga mereka 
lenyap mendadak. Dengan sendirinya, jari-jari 
yang berada di ubun-ubun Ambar Wati agak 
bergeser jauh dari tempatnya. 

Saat itulah, laksana hantu sesosok bayangan 
ungu berkelebat ke arah tempat di mana Ambar 
Wati berada. Dengan kecepatan mengejutkan 
hingga tidak terlihat jelas bentuknya, sosok 
bayangan itu menyambar tubuh murid 

Bandawasa, dan membawanya melesat menjauhi 
tempat ini. 

Begitu bayangan ungu yang menyambar 
Ambar Wati pergi. Tiga Iblis Baju Hitam berhasil 
menguasai keadaan. Bagi orang yang memiliki 
tenaga dalam seperti mereka, pengaruh 
lengkingan tinggi yang disertai tenaga dalam 
tinggi itu, tidak berpengaruh terlalu lama. Hanya 
sebentar saja, kelumpuhan mereka dapat 
terbebaskan Meskipun demikian, waktu yang 
sebentar itu telah cukup bagi orang yang 
mengeluarkan lengkingan untuk 

menyelamatkan Ambar Wati 

Bagai diberi perintah, Bandawasa dan Tiga 
Iblis Baju Hitam menoleh ke arah sosok 
bayangan ungu yang membawa lari Ambar Wati 
itu meluncur. Dan beberapa tombak dari tempat 
mereka, sosok bayangan ungu itu berdiri dengan 
sinar mata tajam menatap ke arah Bandawasa 
dan tiga orang bekas muridnya. Ambar Wati 
yang hanya lemas, digeletakkan sosok bayangan 
ungu di tempat yang cukup aman. 

"Dewa Arak...!" 

Hampir berbareng, seruan itu keluar dari 
mulut Bandawasa dan tiga Iblis Baju Hitam 
ketika mengenali sosok yang berdiri dengan 
sikap tenang. 

Semula keempat orang ini merasa heran 
terhadap sosok bayangan ungu. Karena, mereka 
tahu kalau pemilik lengkingan itu adalah orang 
yang memiliki tenaga dalam amat tinggi. Dan 
sudah pasti memiliki kepandaian luar biasa. Dan 
begitu melihat Dewa Arak, mereka tidak merasa 
heran lagi. Dewa Arak memang memiliki 
kepandaian luar biasa. 

Sosok bayangan ungu yang memang Dewa 
Arak menatap keempat orang yang berdiri di 
depannya, sekilas. Kemudian perhatian 
dialihkan pada onggokan mayat yang telah 
menjadi daging hangus, sejenak. Pemuda 
berambut putih keperakan ini mengernyitkan 
alis, karena merasa heran melihat keadaan 
mayat-mayat itu. Sebagai pendekar yang 
memiliki kepandaian tinggi, Arya tahu kalau 
mayat-mayat itu tewas karena hantaman sebuah 
pukulan jarak jauh yang mengandung hawa 
panas amat tinggi. 

Arya telah bertarung melawan Tiga Iblis Baju 
Hitam. Dan tingkat kepandaian mereka telah 
bisa diukurnya. Pemuda berambut putih 
keperakan ini tahu, tiga tokoh golongan hitam 
itu tidak akan mampu melakukan hal demikian. 
Tingkat tenaga dalam Tiga Iblis Baju Hitam tidak 
setinggi itu! Maka, pemuda berpakaian ungu ini 
menduga kalau pelakunya pasti Bandawasa. 

"Ha ha ha...! Dewa Arak...!" 

Bandawasa tertawa bergelak setelah 
tercenung sejenak, tidak menyangka kalau 
pemuda berambut putih keperakan yang 
terkenal ini bisa berada di tempat ini. 

"Syukur kau bisa datang ke tempat ini! Dan 
memang, aku bermaksud untuk menjumpaimu 
Sudah lama aku ingin merasakan kelihaianmu! 
Meskipun, berita yang kudengar tentang dirimu 
menakjubkan! Benarkah kau memiliki 
kepandaian seperti yang digembar-gemborkan 
dunia persilatan?! Tapi, sebelum itu kau hendak 
kuberikan sebuah suguhan menarik! Lihatlah 
baik-baik. Dewa Arak...!" 

Trakkk! 

Bunyi berdetak pelan terdengar, ketika 
Bandawasa membenturkan benda-benda 
bersinar pada kedua tangannya. Tiga kali 
berturut-turut, dengan sasaran tertuju pada Tiga 
Iblis Baju Hitam. 

Tiga Iblis Baju Hitam yang memang sudah 
bersiap untuk menghadapi serangan mengerikan 
itu, terperanjat bukan kepalang. Bunyi 
beradunya dua benda bersinar itu di telinga 
mereka, bagaikan guntur menggelegar yang 
menyambar! Dan lagi, ada pengaruh aneh yang 
membuat tubuh mereka tidak bisa digerakkan 
sama sekali. Kaku seperti tertotok! 

Dan Tiga Iblis Baju Hitam langsung dapat 
mengetahui akan adanya pengaruh aneh dan 
tidak wajar itu. Dan di saat, kilatan cahaya 
laksana halilintar menyambar, mereka 
mengerahkan kekuatan batin untuk melawan 
pengaruh tidak wajar. Mereka berusaha sekuat 
tenaga untuk membangkitkan tenaga dalam. 

"Akh!" 

Dua dari Tiga Iblis Baju Hitam mengeluarkan 
lolongan menyayat hati, ketika kilatan cahaya 
laksana halilintar itu mengenai rubuh mereka. 
Kedua orang ini memang berhasil membebaskan 
diri dari pengaruh tidak wajar, dan langsung 
bertindak mengelak. Tapi kilatan cahaya laksana 
halilintar itu telah lebih dulu menerjang! Iblis 
Baju Hitam yang pada kepalanya terlilit kain 
putih yang mendapat giliran serangan lebih 
dulu, terkena telak pada dadanya! Sedangkan 
rekannya, hanya terkena pahanya. Kendati 
demikian, akibat yang diperoleh tidak berbeda. 
Sekujur tubuh mereka hangus! Bau sangit 
daging terbakar pun memenuhi sekitarnya. 

Sepasang mata Dewa Arak sampai terbelalak 
saking kagetnya melihat pemandangan yang 
terpampang di depan Dia tidak pernah mengira 
ada sepasang benda yang demikian mengerikan 
akibatnya. Sekarang langsung dimengerti, 
penyebab banyaknya onggokan mayat dalam 
keadaan terbakar memenuhi sekitar tempat ini. 

Sementara itu, sisa anggota Tiga Iblis Baju 
Hitam hanya sebentar saja terkesima melihat 
kejadian yang menimpa rekan-rekannya. Karena 
kemudian, dengan kecepatan menakjubkan, dia 
melompat menerjang Bandawasa, laksana seekor 
harimau menerkam mangsa. 

"Terimalah kematianmu. Pengkhianat Busuk!" 

Trakkk! 

Anggota Tiga Iblis Baju Hitam yang terakhir 
pun menemui ajalnya seperti yang diterima 
kedua rekannya. Di saat tubuhnya melayang di 
udara, kilatan cahaya halilintar menyambutnya. 
Dan, tokoh sesat yang malang itu tewas sebelum 
mencium tanah. 

"Ha ha ha...!" 

Bandawasa tertawa bergelak sambil 
memandang Arya dengan sinar mata penuh 
kebanggaan. 

"Bagaimana, Dewa Arak?! Apakah senjataku 
ini tidak hebat?!" 

Walaupun jantung dalam dada berdetak jauh 
lebih cepat. Dewa Arak tetap bersikap tenang. 

"Sebuah senjata yang mengerikan!" 

Terdengar tenang jawaban pemuda berambut 
putih keperakan itu, kendati di benaknya 
bergayut pertanyaan yang bergumpal-gumpal. 
Dewa Arak merasa heran, mengapa Tiga Iblis 
Baju Hitam sepertinya tidak berusaha 
mengelakkan serangan itu. Padahal diyakini, 
apabila Tiga Iblis Baju Hitam itu bertindak cepat, 
kilatan cahaya laksana halilintar itu tidak akan 
mengenainya! 

Tapi, Dewa Arak tidak terlalu lama 
tenggelam dalam alun pertanyaan itu. Dia 
adalah pemuda yang telah kenyang pengalaman, 
tak terkecuali yang aneh-aneh Oleh karena itu, 
cepat dapat diduga akan adanya hal yang tidak 
beres di sini. Ada sesuatu yang membuat Tiga 
Iblis Baju Hitam tidak bisa bertindak tanggap. 

*** 




Bandawasa tertawa. 

"Istilah yang kau gunakan memang tepat. 
Dewa Arak. Tapi tidak usah khawatir. Aku tidak 
akan menggunakan benda-benda ini 
terhadapmu. Mengapa? Karena kau tidak bisa 
disamakan dengan keroco seperti mayat-mayat 
yang kau lihat bergeletakan di sekitar tempat ini. 
Mereka tong-tong kosong yang tidak ada 
artinya. Dan aku tidak ingin mengotori tanganku 
untuk bersentuhan langsung dengan keroco- 
keroco seperti, itu! Dan lagi, aku ingin menguji 
kepandaianmu. Dewa Arak. Aku ingin bukti, 
benarkah kabar yang kudengar di dunia 
persilatan?! Memang, aku sudah bisa 
memperkirakannya. Karena, kudengar kau 
mampu menahan tiga orang muridku itu. 
Mereka telah mewarisi sebagian besar 
kepandaianku. Bila mereka bertiga tidak mampu 
mengalahkanmu, telah menjadi pertanda kalau 
pantas menjadi lawanku! Cukup berharga!" 

Meski agak kaget karena tidak menyangka 
kalau Tiga Iblis Baju Hitam adalah murid 
Bandawasa, Arya tidak menampakkan 
keterkejutannya. 

"Tapi, asal kau tahu saja. Dewa Arak. Aku 
suka bermain-main dulu, sebelum bertarung 
sungguh-sungguh. Apalagi, bila lawan yang 
akan kuhadapi tokoh terkenal seperti kau! Aku 
jadi lebih bersemangat lagi untuk bermain-main. 
Dan mungkin, kita akan bermain lebih lama 
daripada pertarungan yang sesungguhnya." 

Seperti tidak sedang menghadapi lawan 
tarung yang tangguh, Bandawasa mengedarkan 
pandangan berkeliling. Sepasang matanya 
berseri, ketika melihat dua buah batu sebesar 
gajah tak jauh dari tempat itu. 

"Kau lihat itu. Dewa Arak. Batu-batu kecil 
itu?!" kata Bandawasa, enak saja menyebutkan 
batu yang besarnya mungkin dua puluh kali 
orang, sebagai batu kecil. "Kita akan bermain- 
main mempergunakan kerikil-kerikil itu." 

"Aku masih belum jelas dengan permainan 
yang kau maksudkan, Kisanak. Dan lagi, aku 
tidak ingin bermain-main. Keberadaanku di sini 
bukan untuk bertarung atau bermain-bermain 
denganmu. Tapi karena mendengar akan adanya 
keramaian di tempat ini." 

"Tapi, kau telah berani mencampuri 
urusanku!" sentak Bandawasa, langsung 
menutup senyum yang terkembang di bibirnya. 

"Aku hanya menolong seorang gadis yang 
tidak berdaya dan tengah terancam maut," 
bantah Arya. 

"Gadis itu muridku. Dewa Arak!" semakin 
meninggi nada suara Bandawasa. "Begitu juga, 
tiga orang yang tewas oleh senjataku yang 
mukjizat. Dan kau telah berani-beraninya 
mencampuri urusan perguruan orang lain. 
Kemudian dengan seenaknya mengundurkan 
diri! Ataukah, kau takut untuk bertarung atau 
bermain-main denganku?! Kalau demikian, tentu 
saja aku tidak memaksa. Tapi sebelum pergi, 
harap kau mengangguk tanda menyerah dan 
takluk padaku! Delapan kali kau harus 
melakukannya, disertai ucapan minta maaf!" 

"Aku sama sekali tidak takut!" tegas Dewa 
Arak, dengan wajah merah padam. Hatinya 
benar-benar tersinggung mendapat makian 
seperti itu. 

"Ah...! Kau seorang yang berjiwa gagah 
rupanya? Tidak takut?! Kalau begitu, buktikan 
ucapanmu! Jangan hanya bersesumbar saja, 
tanpa bukti nyata!" ujar Bandawasa semakin 
memanas-manasi. 

"Baiklah kalau demikian, Kisanak. Kaulah 
yang memaksaku. Dan...." 

"Namaku Bandawasa, Dewa Arak. Panggillah 
aku dengan namaku. Dan kuharap, kau tidak 
usah banyak berbasa-basi lagi, seperti nenek- 
nenek bawel kehilangan sirih! Kalau memang 
bukan seorang pengecut, bersiaplah untuk 
memulai permainan di antara kita!" 

"Kau yang mengajukan tantangan, 
Bandawasa! Jadi, silakan atur permainan yang 
kau inginkan! Aku akan mencoba 
menghadapinya!" tandas Dewa Arak, mantap. 

"Bagus!" seru Bandawasa gembira. "Aku akan 
memberi kerikil-kerikil itu satu persatu 
kepadamu. Dan kau harus memberikan padaku, 
sebelum kerikil yang kedua kulemparkan. Jadi, 
kita saling mendahului memberikan kerikil. Dari 
permainan ini, bisa kulihat kekuatan tenaga 
dalam dan kelincahanmu. Pantaskah untuk 
bertarung denganku?!" 

"Aku sudah mengerti. Mulailah, Bandawasa!" 

"Baik! Terima ini. Dewa Arak!" 

Bandawasa memperingatkan, setelah berada 
di dekat batu-batu sebesar gajah. Dan dengan 
ujung kaki, dicungkilnya salah satu. Perlahan 
saja kelihatannya, bagai tidak mengerahkan 
tenaga sama sekali. Tapi hebatnya, batu sebesar 
gajah itu seperti bagai kerikil melayang ke atas, 
langsung diterima kedua tangan Bandawasa. 
Dan seketika itu pula, dilemparkannya pada 
Dewa Arak. 

Tappp! 

Batu sebesar gajah itu saja sudah berat bukan 
kepalang. Apalagi ditambah tenaga lontaran 
Bandawasa yang disertai pengerahan tenaga 
dalam. Tapi, toh Dewa Arak mampu 
menangkapnya dengan kedua tangan tanpa 
terhuyung. Bahkan kedudukan kakinya tidak 
goyah sama sekali. Hanya saja pemuda 
berambut putih keperakan itu merasakan kedua 
tangannya bergetar hebat. 

Dewa Arak tidak peduli sama sekali. Begitu 
batu sebesar gajah itu telah berhasil ditangkap, 
langsung dilemparkan kembali pada Bandawasa. 
Dan pada saat yang bersamaan, Bandawasa pun 
melemparkan batu besar yang satu lagi. Hampir 
berbareng, Arya dan Bandawasa menerima. Dan 
kemudian, masing-masing melemparkannya 
lagi. 

Mula-mula batu-batu besar itu bergerak ke 
arah Dewa Arak dan Bandawasa sama 
gencarnya. Masing-masing pihak menerima batu 
dan melemparkannya tanpa menemui kesulitan 
sama sekali. Dan ini berlangsung sampai cukup 
lama, sehingga membuat Bandawasa kagum 
bukan kepalang. Biasanya setiap kali menguji 
lawannya, hanya dalam belasan kali lontaran 
batu, Bandawasa sudah unggul. Batu-batu yang 
dilemparkan lebih gencar tertuju pada lawannya. 
Bandawasa baru satu batu diterima, batu lain 
telah menyusul untuk lawannya. 

Tapi kali ini tidak! Telah puluhan kali batu 
besar itu dilontarkan Bandawasa, tapi mampu 
ditanggulangi Dewa Arak. Pemuda berambut 
putih keperakan itu mampu mematahkan 
serbuan batu yang dikirimkan Bandawasa, 
malah mampu melancarkan serbuan yang tidak 
kalah gencarnya. 

Bandawasa bukan orang bodoh! Setelah 
hampir seratus kali batu itu terlempar, namun 
Dewa Arak tidak terlihat terdesak. Dan kini 
kakek kurus kering ini mulai membaui adanya 
gelagat yang tidak menguntungkan. Ternyata 
Dewa Arak memiliki tenaga dalam dan 
kelincahan tidak berada di bawahnya. Malah 
mungkin satu tingkat di atasnya. Jadi, yang 
menentukan dalam kemenangan adu lempar- 
lemparan batu ini adalah kekuatan napas dan 
kekuatan tubuh! Dan tentu saja dalam hal ini 
Dewa Arak yang memiliki tubuh lebih kokoh 
dan masih muda, mempunyai kekuatan lebih 
baik ketimbang Bandawasa yang telah berusia 
amat lanjut. 

Maka ketika Dewa Arak melempar batu 
untuk yang kesekian ratus kalinya, Bandawasa 
tidak langsung melemparkan batu yang baru 
diterimanya. Batu itu ditahannya sejenak, dan 
langsung dilemparkannya ketika batu dari Dewa 
Arak meluncur! 

Blarrr! 

Batu-batu sebesar gajah itu hancur 
berantakan, ketika berbenturan di udara. Keras 
bukan kepalang, karena Bandawara memang 
sengaja mengadunya. Pecahan-pecahan kecil- 
kecil berpentalan ke sana kemari. Bahkan 
beberapa di antaranya meluncur ke arah dua 
pihak yang bertarung. 

Bandawasa yang memang sudah menduga, 
dengan mudah memunahkan luncuran batu- 
batu kecil yang menuju ke arahnya. Beberapa 
bagian tubuh yang tidak berbahaya, dibiarkan 
saja dihantam kepingan-kepingan batu. 
Sementara bagian yang berbahaya dihalau 
dengan hantaman kedua tangan. 

Dewa Arak yang tidak menduga, agak 
kerepotan karena pecahan-pecahan batu itu 
terlalu banyak. Malah sebagian besar menuju ke 
arahnya. Dan memang, ini sudah 
diperhitungkan masak-masak oleh Bandawasa! 
Tapi seperti juga Bandawasa, ternyata Dewa 
Arak memiliki kemampuan tinggi. Sehingga dia 
tidak mengalami kejadian tak diharapkan. 

"Ternyata kau cukup berharga untuk menjadi 
lawanku. Dewa Arak!" 

Belum hilang gema ucapan itu, Bandawasa 
telah menerjang Dewa Arak. Kakek kurus ini 
mulai melakukan serangan yang diiringi bunyi 
bercicitan. Bandawasa membuka serangannya 
dengan sebuah totokan satu jari yang bertubi- 
tubi ke arah berbagai bagian berbahaya di tubuh 
Dewa Arak. 

Arya tidak berani memandang remeh meski 
serangan lawan hanya dilakukan satu jari. Dia 
tahu, pada seorang tokoh yang memiliki tenaga 
dalam sekuat Bandawasa, serangan satu jari 
tidak kalah berbahaya dengan pukulan atau 
tendangan. Bahkan serangan itu lebih berbahaya, 
karena angin serangannya saja mampu melukai 
kulit, laksana bacokan pedang. 

Tahu kalau lawan menggunakan ilmu 
andalan. Dewa Arak tidak ragu-ragu lagi 
mengeluarkan ilmu 'Belalang Sakti'. Hanya 
dalam sekejapan, kedua tokoh sakti ini telah 
terlibat pertarungan. 

Bandawasa mulai merasa tidak sabaran 
ketika pertarungan telah menginjak jurus kelima 
puluh, tapi belum mampu mendesak Dewa 
Arak. Pemuda berambut putih keperakan itu 
terlalu gesit dan lincah. Betapapun Bandawasa 
telah berusaha keras, namun tetap tidak bisa 
menjatuhkan serangan. Memang, lewat jurus 
'Delapan Langkah Belalang', dengan gerak 
terhuyung-huyung dan lemas seperti orang 
mabuk. Dewa Arak selalu dapat mementahkan 
serangan. Sebaliknya, serangan Arya sendiri 
yang mempergunakan jurus 'Belalang Mabuk' 
terlihat bagaikan gelombang laut yang berusaha 
menggulung Bandawasa. 

Plak, plakkk! 

Untuk kesekian kalinya, dua buah tendangan 
bertubi-tubi. Bandawasa berbenturan dengan 
tangkisan Dewa Arak. Kali ini, tidak seperti 
sebelumnya, tapi Bandawasa terlihat agak 
terpelanting dan hampir terjengkang. 

Pertarungan berhenti sejenak. Kedua belah 
pihak sama menatap dalam jarak sekitar tiga 
tombak. Dan Dewa Arak tampak dibasahi peluh. 
Tapi napasnya biasa saja. Tidak demikian halnya 
Bandawasa! Di samping dahinya, leher, dan 
wajahnya pun dibasahi peluh. Bahkan napasnya 
agak memburu menandakan kalau kakek kurus 
kering ini telah agak lelah. 

"Sebetulnya, aku ingin membunuhmu 
dengan tanganku sendiri. Dewa Arak. Tapi..., 
sayang sekali. Saat ini aku tengah terburu-buru. 
Ada tugas lain yang hendak kulakukan. Aku 
tidak mempunyai waktu lebih lama lagi 
denganmu." 

Bandawasa kemudian mengambil benda- 
benda bersinar yang tadi telah diselipkan di 
pinggang. Tentu saja Dewa Arak jadi tercekat. 
Telah dilihatnya sendiri, akibat kilatan cahaya 
yang keluar dari benda bersinar itu pada Tiga 
Iblis Baju Hitam. Maka pemuda berambut putih 
keperakan ini bersikap waspada. Dia bersiap- 
siap, apabila Bandawasa mulai mengadu benda- 
benda bersinar itu. 

Trakkk! 

Dewa Arak baru tahu, mengapa Tiga Iblis 
Baju Hitam bersikap kurang tanggap untuk 
mengelak. Begitu benda-benda bersinar itu 
dibenturkan satu sama lain, terdengar bunyi 
laksana guntur! Begitu keras, sehingga Dewa 
Arak khawatir kalau-kalau telinganya menjadi 
tuli. Di samping itu, ada sebuah kekuatan aneh 
yang membuat tubuhnya sulit digerakkan Otot- 
otot tubuhnya seperti lumpuh. Bahkan tenaga 
dalamnya lenyap entah ke mana. 

Tapi, Dewa Arak bukan pendekar kemarin 
sore. Telah ratusan kali dia bertarung 
menghadapi lawan, yang memiliki ilmu-ilmu 
aneh. Maka menghadapi serangan seperti ini. 
Dewa Arak langsung dapat merasakan adanya 
hal tidak wajar. Seketika kekuatan batinnya 
dikerahkan Dan segera tenaga dalamnya 
dibangkitkan kembali, lalu disalurkan ke seluruh 
tubuh. Kemudian, pemuda berambut putih 
keperakan ini melompat untuk menjauh. 

Glarrr! 

Sebatang pohon besar yang berada cukup 
jauh di belakang Dewa Arak, kontan menjadi 
sasaran serangan nyasar itu. Seketika, batang 
pohon itu berikut daun, cabang, dan rantingnya 
hangus terbakar. Kepulan asap langsung 
membumbung tinggii ke udara. Asap tipis. 

"Kau hebat. Dewa Arak!" puji Bandawasa 
gembira. 

Dia melihat pemuda berambut putih 
keperakan itu berhasil meloloskan diri dari 
kilatan cahaya maut yang berasal dari benturan 
benda-benda bersinar yang ada di kedua 
tangannya. 

'Tapi, jangan berbesar hati dulu. Sekarang, 
kau terima ini!" 

Tanpa memberi kesempatan pada Arya untuk 
memperbaiki kedudukan, Bandawasa 
membenturkan benda-benda bersinar yang ada 
pada kedua tangannya berkali-kali, saat melihat 
pemuda berambut putih keperakan itu baru saja 
menjejak tanah. 

Sekali benturan, benda-benda bersinar itu saja 
sudah menimbulkan akibat demikian dahsyat. 
Apalagi, dibenturkan berkali-kali. Dewa Arak 
seperti mendengar ada persaingan bunyi 
halilintar. Getaran demi getaran melanda dada, 
setiap kali benda-benda bersinar itu dibenturkan 
Dan cekaman kekuatan kasat mata menyerang, 
yang melumpuhkan otot-otot tubuh Dewa Arak 
semakin bertumpuk. 

Namun, Dewa Arak telah memusatkan 
perhatian untuk membutakan mata hatinya. 
Maka pengaruh yang mencekam itu bagai tidak 
terasa. Pemuda berambut putih keperakan ini 
berlompatan ke sana kemari, untuk 
mengelakkan serangan-serangan kilatan cahaya 
laksana halilintar itu! 

Hasilnya, terjadi sebuah pertandingan 
menarik. Arya berlompatan ke sana kemari dan 
dikejar-kejar kilatan-kilatan cahaya halilintar. 

Dewa Arak yang kenyang pengalaman tahu, 
jika keadaan seperti itu terus berlangsung, akan 
menderita kerugian. Tenaganya akan habis 
terkuras. Dan dia akan kelelahan! Maka meski 
mengelak, dicarinya bersiasat. Pada saat 
mengelak, didekatinya Bandawasa. Paling tidak 
agar dapat melancarkan serangan Dewa Arak 
tahu dalam jarak dekat, benda-benda bersinar itu 
kurang bisa menunjukkan kegunaannya. 

Tapi, Bandawasa tidak kalah cerdik. Begitu 
melihat Dewa Arak mendekati tempatnya, dia 
malah menjauh. Sehingga jarak antara dia dan 
Dewa Arak tetap tidak berubah Tindakan dua 
tokoh yang bertarung ini, menyebabkan tempat 
pertarungan bergeser! 

Trakkk! 

'Ah!" 

Dewa Arak terperanjat bukan kepalang. Saat 
tubuhnya melayang, kilatan-kilatan cahaya 
mirip halilintar itu meluncur ke arahnya. 
Semuanya tertuju ke arah tempat yang akan 
dijadikan elakan atau meloloskan diri bagi Dewa 
Arak. Jelas jalan keluar untuk lolos telah 
terkepung. 

Namun Dewa Arak benar-benar 
menakjubkan. Ilmu 'Belalang Sakti' memang 
membuatnya seperti dapat terbang. Laksana 
seekor ikan, tubuhnya melenting. Tapi, toh tetap 
saja kilatan cahaya itu memburu meski yang 
tertuju bukan bagian berbahaya. Hanya betis 
kanan. 

Meski demikian. Dewa Arak tidak berani 
bertindak gegabah. Dia tahu, biar bagaimana 
akibatnya akan sama. Telah disaksikan sendiri 
oleh Dewa Arak, nasib yang menimpa salah 
seorang dari Tiga Iblis Baju Hitam. 

Di saat-saat gawat di mana maut telah berada 
di ujung hidung. Dewa Arak masih sempat 
berpikir jernih. Tangannya segera dijulurkan, 
untuk menjemput guci yang tersampir di 
punggung. Kemudian dengan senjata 
andalannya kilatan cahaya yang tidak mungkin 
dapat dielakkan lagi dipapaknya. 

Blarrr! 

Tubuh Dewa Arak terpental jauh ke belakang, 
begitu kilatan cahaya itu berbenturan dengan 
guci. Seketika guci terbuat dari perak itu pun 
terlepas dari pegangan, dan terpental terpisah 
dari Arya. 

"Ha ha ha...!" 

Bandawasa tertawa bergelak ketika melihat 
tubuh Dewa Arak terpental, seperti daun kering 
dihempas angin. Tubuhnya melayang-layang 
sejauh belasan tombak, kemudian jatuh di 
kerimbunan semak-semak yang lebat. Kakek 
kurus kering ini yakin. Dewa Arak yang tangguh 
telah tewas. 

Dengan tawa masih keluar dari mulutnya, 
Bandawasa melesat meninggalkan tempat itu. 
Kegembiraan hatinya melihat Dewa Arak yang 
menurutnya sudah tewas, membuat Bandawasa 
lupa akan muridnya. Ambar Wati yang sejak 
tadi menyaksikan jalannya pertarungan, masih 
tetap bertiarap. Gadis itu khawatir, tersambar 
kilatan cahaya halilintar yang-nyasar tadi. 

*** 




Ambar Wati tetap tidak berani bangkit dari 
telungkupnya, kendati suara tawa Bandawasa 
sudah tidak terdengar lagi. Gadis itu tetap 
menunggu beberapa saat, dengan sikap seperti 
itu. Baru setelah dirasakan keadaan sudah aman, 
dia bangkit. Itu pun dengan takut-takut. Kepala 
gadis berpakaian merah ini menoleh ke sana 
kemari. 

Setelah yakin kalau Bandawasa tidak berada 
di situ lagi, dan mungkin sudah jauh. Ambar 
Wati baru berlari-lari kecil menuju tempat tubuh 
Dewa Arak terjatuh 

Srakkk! 

Dengan perasaan tidak sabar. Ambar Wati 
menguak kerimbunan semak-semak tempat 
tubuh Dewa Arak jatuh. Dan tangannya tetap 
menguak semak. Sepasang matanya terbelalak 
lebar ketika melihat pemandangan yang 
terpampang di hadapannya. 

Sekitar satu tombak dari tempat Ambar Wati 
berada, tergolek sesosok tubuh. Dan yang 
membuat gadis berpakaian merah ini terbelalak, 
karena yang tergolek adalah Dewa Arak! 
Padahal, biasanya setiap orang yang terkena 
kilatan cahaya yang keluar dari benda-benda 
bersinar itu tak ketahuan lagi bentuknya. Yang 
tinggal hanya onggokan daging berbentuk 
manusia. 

Keanehan ini membuat Ambar Wati untuk 
beberapa saat berdiri terpaku bagai orang 
tersihir! Keadaan Dewa Arak membuat gadis 
berpakaian merah ini mempunyai dugaan, kalau 
pemuda berambut putih keperakan ini belum 
mati! 

Setelah sadar dari cekaman perasaan kaget. 
Ambar Wati melangkah hati-hati mendekati 
Dewa Arak. Dia lalu berjongkok dan memeriksa 
keadaan pemuda berambut putih keperakan itu. 
Dan Ambar Wati jadi takjub ketika mendapat 
kenyataan kalau pemuda itu benar-benar tidak 
tewas. Hanya pingsan saja. 

Dengan tangan agak menggigil karena 
cekaman perasaan tegang. Ambar Wati 
mengambil sebuah guci kecil yang masih 
tersumbat dari balik pinggang. Dibukanya 
sumbat guci, dan didekatkan guci yang telah 
terbuka sumbatnya pada hidung Dewa Arak. 
Seketika bau yang keras pun tercium dari 
dalamnya. Ambar Wati berusaha merangsang 
kesadaran Arya dengan bau-bauan keras. 

Tindakan gadis berpakaian merah ini tidak 
berhenti sampai di situ. Sementara tangan kiri 
memegangi guci, tangan kanan sibuk memijit- 
mijit tengkuk Arya. Ini dilakukan untuk lebih 
mempercepat timbulnya kesadaran pemuda 
berambut putih keperakan itu. 

"Uuhhh...!" 

Hanya dalam waktu sebentar saja, terdengar 
keluhan dari mulut Arya. Sepasang mata 
pemuda ini pun terbuka, dan langsung 
terbelalak ketika melihat seraut wajah yang 
berada di dekatnya. Agak terburu-buru pemuda 
berambut putih keperakan ini bangkit dari 
berbaringnya. 

'Apa yang terjadi...?! Mana dia...?!" tanya 
Arya, ketika telah duduk. Sedangkan sepasang 
matanya mengedar ke sekeliling mencari-cari. 

"Dia telah pergi. Mungkin dikira kau sudah 
mati," jawab Ambar Wati. Meski Arya belum 
mengatakannya secara jelas, tapi bisa 
diperkirakan kalau yang dimaksud adalah 
Bandawasa. 

Jawaban Ambar Wati membuat Arya 
tercenung sejenak. Dia berusaha mengingat- 
ingat. Hanya sesaat saja pemuda ini telah 
langsung teringat kejadian yang dialaminya. 

"Kau.... Kau luar biasa sekali. Dewa Arak," 
ujar Ambar Wati tanpa menyembunyikan 
perasaan heran dan kagumnya. "Dari sekian 
banyaknya orang yang kulihat, hanya kau yang 
tidak tewas terkena kilatan cahaya dari benda- 
benda bersinar itu. 

"Bukan akunya yang luar biasa. Ambar. Tapi 
yang jelas, yang Maha Kuasa belum 
menghendaki aku mati. Mungkin..., karena guci 
arakku," Arya melemparkan dugaan, sekenanya. 

Tapi pernyataan itu memang ada benarnya. 
Guci arak yang terbuat dari perak pemberian 
gurunya, Ki Gering Langit, memang bukan guci 
sembar angan. 

"Jadi..., guci itu merupakan guci pusaka?!" 
Ambar Wati meminta penegasan 

"Begitulah kira-kira," jawab Arya tidak pasti. 
"Mungkin guci itu telah membuat kedahsyatan 
kilatan cahaya halilintar itu punah. Atau, hanya 
berkurang separonya. Dan akibatnya, aku tidak 
mati. Melainkan, pingsan saja. Kendati 
demikian, aku tidak akan berani mencoba 
kedahsyatan kilatan cahaya itu dengan guciku 
lagi. Aku tidak berani mempertaruhkan 
nyawaku." 

Ambar Wati terdiam. Kini dia tahu, Arya 
berhasil selamat dari kilatan cahaya itu karena 
guci araknya. 

"O, ya. Di mana guciku itu?!" tanya Arya 
sambil mengedarkan pandangan berkeliling 
ketika tidak melihat keberadaan guci itu di 
dekatnya. 

"Kulihat guci itu terlempar ke sana," tunjuk 
Ambar Wati sambil menudingkan jari ke satu 
arah. 

Tanpa membuang-buang waktu, Arya segera 
bangkit dan berjalan menuju ke arah yang 
ditunjuk Ambar Wati. 


"Aku ingin minta maaf padamu. Dewa Arak. 
Eh..., Arya," ujar Ambar Wati ketika pemuda 
berambut putih keperakan itu telah berhasil 
mendapatkan gucinya. 

"Minta maaf. Ambar?! Untuk apa?! 
Sepengetahuanku, kau tidak mempunyai salah 
apa-apa padaku?" tanya Arya, sambil 
mengernyitkan kening. 

Dewa Arak jadi heran mendengar ucapan 
gadis berpakaian merah itu. Ditatapnya wajah 
Ambar Wati untuk melihat, apa yang dimaksud 
gadis berpakaian merah itu. Tapi karena Ambar 
Wati menundukkan wajah, Arya jadi tidak bisa 
mendapatkan apa-apa. 

Sebenarnya, Arya sudah merasa heran ketika 
mengetahui kalau Ambar Wati mempunyai guru 
orang seperti Bandawasa. Sepengetahuan dan 
sepanjang yang dialaminya, kakek kurus kering 
itu bukan orang baik-baik. Dan keheranannya 
bertambah ketika mengetahui Tiga Iblis Baju 
Hitam mempunyai hubungan perguruan dengan 
Ambar Wati. Tapi, Arya belum mau 
menanyakannya. Dan dia menunggu saat yang 
tepat. 

"Aku telah membohongimu. Aku telah 
mengarang sebuah cerita dusta untuk 
mengetahuimu," jelas Ambar Wati dengan suara 
semakin pelan dan kepala kian menunduk 
dalam-dalam. 

"Jadi..., cerita yang pernah kau utarakan 
padaku itu cerita dusta belaka?!" kata Arya 
setelah tercenung sejenak. "Bisa kau ceritakan 
padaku kisah yang sebenarnya?!" 

"Dengan senang hari," jawab Ambar Wati. 
"Tapi, aku khawatir kau akan membenciku 
setelah kuceritakan hal yang sebenarnya " 

"Percayalah. Aku bukan orang seperti itu," 
Arya berusaha menenangkan hati Ambar Wati. 

'Tapi aku orang jahat, Arya. Aku yakin, kau 
akan membenciku apabila telah mendengar apa 
yang kuceritakan," Ambar Wati tetap masih 
merasa khawatir. 

"Andaikata benar demikian, ucapanmu yang 
sekarang telah membuktikan kalau kau telah 
menyadari ketidakbenaran sikapmu yang lalu. 
Mana mungkin aku bisa membenci orang yang 
telah menyadari kesalahannya. Ceritakanlah, 
Ambar. Tidak usah merasa ragu-ragu lagi" 

Ambar Wati tidak langsung bicara. Dia 
tercenung sebentar seperti ada yang 
dipikirkannya. 

"Guruku bernama Bandawasa, ketua sebuah 
perkumpulan yang bernama Perkumpulan Baju 
Hitam. Tiga orang yang kau kenal sebagai Tiga 
Iblis Baju Hitam, adalah murid-murid utamanya. 
Dan sesuai pakaiannya. Perkumpulan Baju 
Hitam merupakan perkumpulan yang terdiri 
dari orang-orang golongan hitam. Murid-murid 
perkumpulan itu sering melakukan kejahatan. 
Karenanya, banyak tokoh golongan putih yang 
tidak senang dan menentang. Di antaranya. 
Perguruan Baju Putih. Dalam sebuah pertikaian, 
tiga murid utama Perguruan Baju Hitam 
menewaskan putra Ketua Perguruan Baju Putih 
yang membuat sang Ketua murka. Bersama 
seluruh anak buahnya, dia memimpin 
penyerbuan ke Perguruan Baju Hitam. Maka 
pertempuran sengit terjadi. Dan hasilnya 
Perguruan Baju Hitam musnah! Apalagi pada 
saat itu, tiga murid utama yang diandalkan tidak 
berada di tempat. Guru sendiri terluka parah, 
dan berhasil melarikan diri melalui pintu rahasia 
bersamaku. Lima tahun guru mengasingkan diri 
bersamaku untuk mengobati luka dan 
mempertinggi kepandaian yang dimiliki. 
Memang, kejadian yang kuceritakan itu 
berlangsung lebih dari lima tahun lalu. Hampir 
enam tahun." 

Ambar Wati menghentikan cerita. 
Dipergunakannya kesempatan itu untuk melihat 
tanggapan Arya. Tapi pemuda berambut putih 
keperakan itu sama sekali tidak bersuara seperti 
menunggu kelanjutan cerita. 

"Meski telah sembuh dari luka-lukanya dan 
menambah kepandaian, guru mempunyai 
sebuah rencana untuk membalas dendam. 
Sementara itu, semua tokoh persilatan tahu 
kalau di sebuah puncak bukit yang bernama 
puncak Kabut Putih, terdapat sebuah bangunan 
kuno tempat tinggal para Brahmana. Menurut 
cerita, belasan tahun lalu para Brahmana- 
brahmana yang seperti membentuk sebuah 
perkumpulan, mempunyai seorang ketua yang 
telah mendapat anugerah dewa. Dalam sebuah 
penyepiannya, pimpinan Brahmana yang telah 
meninggal beberapa tahun lalu, mendapat dua 
buah benda sakti yang berupa batu intan 
permata yang berwarna biru dan merah. Intan 
itu dianugerahkan dewa, agar Brahmana yang 
baik hati ini mempergunakannya untuk 
mencegah terjadinya bencana. Dan memang, 
menurut cerita belasan tahun lalu, banjir besar 
melanda. Air sungai meluap, menghancurkan 
desa-desa yang berada di bawahnya. Dengan 
menggunakan benda-benda itu berdasarkan 
wangsit yang didapatkan. Brahmana itu berhasil 
mencegah terjadinya banjir, dengan cara 
meruntuhkan tebing-tebing gunung." 

"Pasti benda-benda bersinar yang kau 
maksud sebagai intan biru dan merah itu yang 
berada di tangan Bandawasa sekarang," duga 
Arya, mulai paham jalan ceritanya. 

"Benar." 

"Hanya demikian cerita yang hendak kau 
sampaikan. Ambar?! Dan kau menganggap 
dirimu jahat?! Aku sama sekali tidak melihat 
kejahatanmu!" celetuk Arya heran. 

"Ceritaku belum selesai. Dewa Arak!" sahut 
Ambar Wati, buru-buru. 

"Maaf." 

"Karena keinginan untuk membalas dendam 
itulah, guru berniat mencari benda-benda itu. 
Padahal menurut kabar yang tersiar, benda itu 
telah lama hilang. Tapi, guru berkeras untuk 
mendapatkannya. Dan dengan sebuah siasat, 
melukaiku. Dan aku setuju saja. Kemudian guru 
meletakkan tubuhku yang terluka parah di 
tempat yang bisa dilalui para Brahmana itu 
ketika mereka mencari sayuran atau buah- 
buahan. Siasat Guru berhasil. Tubuhku 
ditemukan salah seorang Brahmana, yang 
langsung membawaku untuk menyembuhkan 
luka-luka. Karena sikapku yang pandai 
membawa diri, mereka tidak keberatan aku 
tinggal setelah sembuh. Dan ketika aku mulai 
akrab, secara tak kentara aku berusaha mencari 
tahu, dimana benda-benda bersinar itu. Tapi, 
usahaku sia-sia. Mereka semua menjawab tidak 
tahu. Dan bahkan, selalu mengalihkan 
pembicaraan setiap kali aku bertanya. Kegagalan 
ini membuatku haru, lalu melakukan rencana 
lain." 

Sampai di sini Ambar Wati menghentikan 
cerita. Dan gadis itu tampak ragu-ragu untuk 
meneruskan. Arya pun tahu, dalam lanjutan 
cerita itu Ambar Wati merasa dirinya sebagai 
orang jahat. Dan diam-diam. Dewa Arak mulai 
merasakan hatinya tidak enak. Kalau rencana itu 
disusun Bandawasa, tentu perbuatan apa pun 
dihalalkan. Asalkan, tujuan tercapai. Dewa Arak 
mulai mengkhawatirkan nasib Brahmana- 
brahmana itu. 

"Rencana itu adalah, menaruh racun dalam 
makanan dan minuman mereka. Racun yang 
tidak berwarna, berbau, dan berasa. Tapi, 
memiliki daya kerja cepat dan mematikan. Dan 
hasilnya, memang langsung terbukti. Para 
Brahamana yang jumlahnya belasan orang 
langsung keracunan, sehabis menyantap 
makanan yang kububuhkan racun. Saat itulah, 
guru datang dan meminta agar diberitahukan di 
mana letaknya benda-benda bersinar itu. Kalau 
bisa diserahkan padanya saat itu juga, maka 
imbalannya para Brahmana berjanji akan diberi 
pemunah racun. Dan mereka juga harus berjanji 
untuk tidak mencampuri urusan guru lagi." 

Arya mengeluh dalam hati, mengutuk 
perbuatan Ambar Wati yang keji. Tapi, tanpa 
keluar dari mulut. Bahkan pada wajahnya yang 
tampan, tidak terlihat gambaran perasaan apa- 
apa. Arya berusaha menguasai perasaan sedapat 
mungkin. 

"Mereka semua menolak. Bahkan salah satu 
Brahmana yang tidak sabar, malah menyerang 
guru. Tapi begitu mengerahkan tenaga dalam, 
dan serangan belum dilancarkan. Brahmana 
tewas. Memang racun yang kami bubuhkan itu 
mempunyai pantangan berat. Jangan 
mengerahkan tenaga dalam, karena akan 
membuat racun itu bekerja lebih cepat!. Kejadian 
ini membuat Brahmana-brahmana yang lain 
tidak berani melakukannya. Meskipun demikian, 
mereka tetap tidak mau memberitahukannya. 
Guru menjadi geram melihat kebandelan 
mereka, langsung bertindak keji. Semua 
Brahmana itu segera dibantai satu persatu. Dan 
rupanya, tanpa sepengetahuan guru, dua orang 
pelayan para Brahmana yang memang 
diperintahkan untuk menjaga dua intan itu, telah 
melarikan diri. Yang seorang, berhasil dikejar 
guru. Dia adalah si Pemegang Kain Biru. 
Sedangkan pelayan yang satu lagi berhasil 
membawa lari kain merah. Seperti kau ketahui, 
kedua kain itu adalah peta untuk menunjukkan 
tempat benda-benda bersinar yang dicari. 

Dewa Arak teringat pertemuannya dengan 
laki-laki yang membawa kain merah, yang saat 
itu sedang sekarat. Rupanya rencana kabar 
tentang peta itu telah tersiar luas, pelayan 
Brahmana itu menemui nasib naas. Dia 
dihadang sekelompok orang yang menginginkan 
kain merah itu. Dewa Arak cepat datang dan 
menolong. Sayang orang itu mengalami luka 
parah. Dia hanya menitipkan pesan, agar kain 
itu diserahkan pada kawannya di sebuah kedai. 

Dewa Arak memang tidak tahu kalau kawan 
yang dimaksud oleh pelayan Brahmana adalah 
pelayan yang memegang kain warna biru. 
Mereka waktu itu memang lari secara berpisah. 
Hanya saja, Bandawasa berhasil menjajarkan 
pelayan yang membawa kain biru dan 
membunuhnya. Padahal, kedua pelayan itu telah 
berjanji bertemu di kedai, yang didatangi Dewa 
Arak waktu itu. 

Sementara itu Ambar Wati membasahi 
tenggorokannya yang kering. Arya tercenung 
ketika Ambar Wati telah menyelesaikan 
ceritanya. Sekarang bisa dimaklumi, mengapa 
Ambar Wati menganggap dirinya jahat. 
Tindakannya memang keji! Arya pun tahu kalau 
benda-benda mukjizat yang dimaksud Ular 
Emas adalah intan biru dan intan merah! Hanya 
yang masih jadi ganjalan, bagaimana tokoh- 
tokoh persilatan sudah bisa cepat tiba di 

Perkampungan Suku Liar tanpa kain-kain itu? 
Tapi itu bisa saja terjadi, karena hampir semua 
orang tahu kalau Brahmana yang mencegah 
bencana menetap di Pulau Mimpi, tempat 
Perkampungan Suku Liar. Dan berbekal dugaan 
itu, bisa saja mereka mencari-cari intan-intan itu 
di sana. 

"Aku yakin, dia akan membalas dendam atas 
musnahnya Perguruan Baju Hitam. Dan dia pasti 
menuju Perguruan Baju Putih," jelas Ambar 
Wati, ketika mereka telah berjalan bersama. 

Jawaban ini memuaskan Arya. Karena 
pemuda berambut putih keperakan ini pun 
menduga demikian. 

"Kalau begitu, aku akan pergi ke sana!" 
tandas Arya, mantap. 

"Jangan, Arya!" cegah Ambar Wati lantang. 

Karuan saja seruan itu membuat Arya 
menoleh, kaget. 

"Apa maksudmu. Ambar?!" 

"Tidak ada maksud apa-apa, Arya. Hanya 
kuminta, lebih baik urungkan niatmu. Karena, 
hanya akan membuang nyawa sia-sia. Intan biru 
dan merah itu amat ganas. Dan aku yakin, kau 
telah membuktikan sendiri kedahsyatannya." 



"Benar! Tapi aku tidak gentar! Lebih suka 
mati daripada membiarkan banyak nyawa 
terbuang di tangan Bandawasa!" 

"Tapi..." 

Ambar Wati tampak masih ragu. Dan Arya 
melihat sikap gadis berpakaian merah ini, 
apalagi melihat wajah dan sinar matanya, jadi 
mengeluh dalam hati. Sinar mata Ambar Wati 
tampak penuh perasaan yang sukar 
digambarkan padanya. Tampak jelas kalau 
Ambar Wati mengkhawatirkan keselamatannya. 
Dan Arya tak menginginkan Ambar Wati jatuh 
cinta padanya. 

"Apa pun yang terjadi, aku tetap akan 
berangkat. Ambar! Sekalipun harus mati! Aku 
pergi!" 

Arya berbalik dan melesat cepat ke depan. 
Tapi tubuhnya langsung dilempar ke belakang, 
karena hampir saja menubruk sesosok tubuh 
yang tahu-tahu berdiri di depannya. 

"Seorang pendekar yang mengagumkan hati!" 

Sosok yang hampir ditubruk Arya, membuka 
pembicaraan tanpa menggerakkan bibir. Tapi, 
suaranya terdengar nyaring bagai orang 
berteriak. 

'Tapi, tanpa bekal yang berarti, kau akan mati 
percuma. Terimalah ini. Anak Muda. Dan kau 
tidak usah khawatir, terhadap intan biru dan 
intan merah!" ujar sosok itu. 

Tanpa ragu-ragu, dan bagai orang 
terkesima, Arya menangkap benda sebesar buah 
salak yang dilemparkan sosok yang tak lain 
rupanya seorang kakek berkulit hitam legam. 
Dia mengenakan kalung, anting, dan gelang 
tangan serta kaki dari anyaman rotan. Belum 
juga Dewa Arak bicara, kakek hitam legam itu 
menjulurkan tangan kanan ke atas. 
Dilakukannya gerakan seperti menarik ke 
bawah. Dan..., tubuhnya tahu-tahu sudah tidak 
terlihat lagi. Lenyap bagai ditelan bumi. 

"Kek, siapa kau...?!" tanya Arya, karena tidak 
tahu harus berbuat apa. 

"Aku pemilik benda-benda itu Aku dukun 
Suku Liar...!" 

Terdengar suara sayup-sayup memberi 
jawaban. 

Arya mengarahkan pandangan ke arah asal 
suara. 

'Terima kasih atas bekal yang kau berikan, 
Kek!" seru Arya sebelum melesat cepat 
meninggalkan tempat itu. 

Sementara itu Ambar Wati tidak tinggal 
diam. Dia tahu, Arya akan celaka di tangan 
Bandawasa. Dan hal ini tidak diinginkannya. 
Maka gadis ini berusaha keras untuk mencegah. 

"Tak lama lagi kau akan mampus di 
tanganku. Saka Manjing! Ha ha ha...!" 

Seruan keras itu menggema dari dalam 
sebuah halaman luas, dikelilingi pagar kayu 
bulat tinggi. Di depan halaman berjejer 
bangunan-bangunan dari kayu kokoh. 

Pemilik seruan itu tak lain dari Bandawasa. 
Sambil tertawa-tawa penuh kegembiraan, kakek 
kurus kering ini membenturkan batu-batu 
permatanya yang menyebarkan kilatan-kilatan 
cahaya mematikan, ke arah sosok tubuh 
berpakaian putih yang berlompatan ke sana 
kemari untuk mengelak. Di sekeliling tempat 
pertarungan, tampak tergolek sosok-sosok yang 
telah menjadi arang hitam mengepulkan asap 
tipis putih. Mereka berjumlah belasan, semuanya 
menjadi korban intan biru dan merah. Bau sangit 
pun melingkupi sekitar tempat itu. 

Sementara di tempat yang agak berjauhan 
dari kancah pertarungan, berdiri beberapa sosok. 
Rata-rata wajah mereka gagah, dan mengenakan 
pakaian putih. Memang, mereka adalah murid- 
murid Perguruan Baju Putih. Tokoh yang tengah 
terlibat dalam pertarungan tentu saja ketuanya. 
Saka Manjing. 

"Kaulah yang harus menghentikan semua 
kekejian itu, Bandawasa...! 

Belum lenyap gema seruan itu, sesosok 
bayangan ungu berkelebat menyambar ke arah 
Bandawasa. 

Bandawasa benar-benar memiliki naluri 
tajam dan mengagumkan. Secepat kilat 
pandangannya diarahkan pada asal suara. Lalu 
benda-benda bersinarnya dibenturkan. 

Trakkk! 

"Akli!" 

Sosok bayangan ungu langsung menjerit 
tertahan, ketika melihat cahaya kilat menyambar 
ke arahnya. Dalam keadaan tubuh tengah berada 
di udara, membuat sosok ungu tidak mampu 
berbuat banyak. Maka sebisa-bisanya dia 
berusaha mengelak. Tapi, toh cahaya 
menyilaukan itu tetap meluncur ke arahnya. 
Sosok bayangan ungu yang tak lain Dewa Arak 
tidak memiliki waktu lagi untuk mencabut 
gucinya. Dan.... 

Blusss! 

Tak terjadi sesuatu yang mengerikan 
terhadap Dewa Arak! Padahal jelas-jelas terlihat 
kalau cahaya kilat itu menghantam tubuhnya. 
Hanya saja, langsung lenyap begitu saja. Bukan 
hanya Bandawasa, Saka Manjing, dan murid- 
murid Perguruan Baju Putih yang merasa kaget. 
Arya pun demikian. Tapi Dewa Arak ini cepat 
teringat. Pasti hal itu karena benda bersinar dari 
kakek Suku Liar yang memiliki sinar kuning. 
Benda sebesar buah salak itulah yang 
menyebabkan Dewa Arak tidak mengalami 
kejadian buruk, ketika tertimpa kilatan cahaya 
dari intan merah dan biru. 

"Papak kilatan cahaya dari intan merah dan 
biru. Dan, arahkan pada tubuh lawanmu!" 

Terdengar bisikan di telinga Dewa Arak. 
Jelas, terdengar seperti dekat di telinga Arya. 
Dan Dewa Arak tahu, suara itu milik dukun 
Suku Liar. Maka tanpa ragu-ragu lagi, segera 
dikeluarkannya intan kuning tanpa setahu 
Bandawasa. Dan ketika kakek kurus kering yang 
penasaran pada Dewa Arak, cepat meluncurkan 
cahaya kilatnya. Dewa Arak segera menghadang 
cahaya itu dengan intan kuningnya. 

"Aaakh...!" 

Tiba-tiba saja Bandawasa mengeluarkan 
lengkingan menyayat ketika kilatan cahaya 
laksana halilintar itu justru berbalik 
menghantam tubuhnya. Tapi hanya sebentar 
saja, karena saat itu pula tubuhnya ambruk 
dengan nyawa melayang ke alam baka. Hangus 
bagai terpanggang. 

Tanpa menghiraukan pandang orang 
terhadap kejadian yang terpampang di depan 
mata. Dewa Arak menghampiri mayat 
Bandawasa. Kemudian diambilnya intan merah 
dan biru. Dan dia bermaksud mengembalikan 
benda-benda mukjizat yang berbahaya itu pada 
Suku Liar. Karena hanya dialah yang masih 
hidup, dan kebetulan yang mendapat tugas 
untuk menjaganya. 

SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Pembantai dari Mongol