Dewa Arak 94 - Pendekar Gunung Bromo


Semut-semut besar berwarna merah merayap tu- 
run dari pucuk pohon mangga yang sudah tak ber- 
buah lagi. Binatang-binatang kecil itu kemudian ber- 
bondong-bondong merayapi sekujur tubuh seorang 
pemuda yang duduk di salah satu cabang pohon. 

Semut-semut merah itu tak hanya merayapi, tapi 
juga menggigit tubuh pemuda itu. 

Tapi, pemuda berpakaian ungu itu tak terusik se- 
dikit pun. Dia tetap duduk di tempatnya dengan pan- 
dangan tertuju ke arah sebuah kedai. Antara kedai dan 
pohon mangga dipisahkan jalan tanah yang cukup le- 
bar. 

Pemuda berpakaian ungu memiliki ciri-ciri aneh. 
Wajahnya tampan dan menyiratkan kejantanan. 
Usianya tak lebih dari dua puluh lima tahun. Tapi, 
aneh rambutnya memiliki warna sebagaimana yang 
dimiliki orang-orang berusia lanjut. Rambut pemuda 
yang panjang tergerai ke bawah pundak itu berwarna 
putih keperakan. 

Pemuda berpakaian ungu ini bukan orang semba- 
rangan. Dia merupakan tokoh besar dunia persilatan! 
Seorang pendekar muda yang julukannya menggem- 
parkan dunia persilatan. Ditakuti lawan dan disegani 
kawan. Ia adalah Arya Buana. Lebih dikenal dengan 
julukan Dewa Arak. 

Arya sama sekali tak merasa terganggu dengan gi- 
gitan semut-semut merah. Dengan tenaga dalamnya 
yang telah mencapai tingkat sempurna, Arya mampu 
membuat kulit tubuhnya menjadi kebal. Jangankan 
gigitan semut, bacokan senjata tajam pun tak akan be- 
rarti. Kecuali senjata itu berada di tangan tokoh yang 
memiliki tenaga dalam lebih kuat. 

Sang surya telah tergelincir dari titik tengahnya. 
Arya tetap mengawasi kedai. Tindakan itu dilakukan- 
nya sejak matahari belum mencapai titik tengah. Tapi 
bukan kedai itu yang menjadi pusat perhatiannya, me- 
lainkan sosok yang berada di emper kedai dekat pintu 
masuk. 

Sosok itu duduk bersandar pada dinding kedai 
dengan kedua kaki terjulur ke depan. Pakaiannya 
kumal dan koyak di beberapa tempat. Tubuhnya kurus 
kering. Berwajah pucat dengan sepasang mata sayu. 
Sosok yang memiliki jenggot jarang-jarang ini tampak- 
nya telah beberapa hari tak makan. 

"Kasihan, Den.... Kasihan, Tuan... Berilah aku 
uang untuk membeli makanan. Sudah tiga hari aku 
tak makan, Tuan. Berilah aku uang.... Aku akan mem- 
balas dengan Ramalan yang jitu. Akan kuberikan pe- 
tunjuk angka yang akan keluar dan dapat membuat- 
mu kaya, Den," hiba lelaki kurus kering itu dengan su- 
ara lemah dan bibir gemetar. 

Entah sudah berapa puluh kali lelaki kurus kering 
menggunakan kata-kata demikian, tapi tak ada seo- 
rang pun yang mempedulikannya. Padahal, banyak 
orang berdatangan ke kedai itu. Bunyi riuh rendah 
menyeruak dari dalam kedai yang tak berapa besar. 

"Ayo! Mari... Silakan pasang lagi. Pasang satu da- 
pat tiga. Silakan pasang! Barangkali saja Tuan berun- 
tung!" 

Hibaan lelaki kurus kering maupun seruan-seruan 
keras dari dalam kedai yang mengajak pengunjung 
bermain judi terdengar jelas oleh Dewa Arak. Tapi, 
sampai sekian jauh pemuda berambut putih kepera- 
kan ini tak berbuat apa pun. 

Arya mempunyai alasan yang kuat untuk bertindak 
demikian. Kalau menuruti perasaan, sudah sejak tadi 
dia melompat turun dan memberikan uang pada lelaki 
kurus kering. Arya jadi teringat kembali dengan keja- 
dian yang dialaminya kemarin pagi. Saat itu Arya ten- 
gah berjalan menyusuri tepian Sungai Brantas. 

Arya melangkahkan kaki seenaknya. Beberapa kali 
ujung kakinya menendangi batu-batu kecil yang dite- 
muinya di jalan. Pemuda berpakaian putih keperakan 
ini berjalan dengan pikiran menerawang. 

"Melati... Oh, Melati... Betapa rindunya aku pada- 
mu. Apakah kau pun demikian? Sabarlah, Melati. Saat 
ini pun aku tengah dalam perjalanan untuk mene- 
muimu," gumam Arya pelan. Sepasang mata menera- 
wang ke angkasa, seakan-akan di sana gadis itu bera- 
da. 

Tak terlalu lama Arya tenggelam dalam pikirannya. 
Pendengarannya yang tajam mendengar bunyi riak air. 
Sesuatu melalui permukaan Sungai Brantas. Dan, 
bunyi itu berasal dari belakangnya. 

Arya bersikap seakan-akan tak mengetahui. Ayu- 
nan kakinya tetap dilanjutkan. Tapi, lamunannya se- 
gera dihentikan. Semua perhatiannya kini dipusatkan 
pada pendengaran. Bahkan, sekujur urat-urat saraf 
dan otot-otot tubuhnya menegang penuh kewaspa- 
daan. 

Bunyi yang terdengar semakin keras. Sesuatu yang 
menimbulkan bunyi itu semakin dekat. Tanpa meno- 
lehkan kepala untuk melihat, Arya bisa mendengar 
bunyi itu timbul dari laju perahu. Arya menangkap 
bunyi kayuhan pada permukaan air. 

Dewa Arak tetap bersikap tak peduli Bahkan ketika 
perahu melewatinya, Arya hanya mengerling dengan 
sudut matanya. Arya mulai merasa tertarik ketika me- 
lihat satu-satunya penumpang perahu, terus menoleh 
ke arahnya kendati perahu terus melaju. 

Meski hanya melihat sekilas, tampaknya orang 
yang berada di perahu bukan orang persilatan. Arya 
sempat melihat adanya jala di perahu. Pakaian yang 
dikenakan pemilik perahu pun pakaian seorang ne- 
layan. 

Arya tersenyum. Tindakan pemuda ini membuat 
nelayan lebih berani. Dia mengayuh perahunya ke 
pinggir sungai. 

"Maafkan aku, Den," ujar nelayan itu seraya meng- 
hampiri Arya. Perahunya ditambatkan di sebatang po- 
hon di pinggir sungai. "Apakah kau orang yang berna- 
ma Arya Buana, Den?" tanyanya kemudian. 

"Benar," jawab Arya sambil tersenyum lebar. "Kau 
mencariku, Paman? Apa yang bisa kubantu?" 

"Sebenarnya bukan aku yang mencarimu, Den," ki- 
lah si nelayan. "Aku hanya penyambung dari seseo- 
rang. Tapi sebelum aku yakin kau orang yang dimak- 
sudkannya, bisa kau sebutkan julukanmu?" 

"Dewa Arak, itulah julukanku, Paman." 

"Kalau begitu, memang kaulah orang yang dimak- 
sudkan Kakek itu," sahut si nelayan penuh perasaan 
gembira. "Ini titipan yang harus kuberikan padamu, 
Den Arya." 

Arya mengulurkan tangan menerima gulungan ku- 
lit binatang yang diberikan lelaki berpakaian nelayan. 

"Terima kasih, Paman," ucap Arya. Dibukanya gu- 
lungan kulit binatang itu. 

"Sama-sama, Den. Sekarang aku mohon diri." 

"Silakan, Paman," jawab Arya seraya mengangguk- 
kan kepala. 

Arya memandangi hingga nelayan itu mengayuh 
perahunya dan lenyap di kejauhan. Kemudian, perha- 
tiannya dialihkan pada gulungan kulit binatang yang 
terbentang lebar di kedua tangannya. Arya memba- 
canya dalam hati. 

Dewa Arak. 

Selamat berjumpa lagi, meski hanya lewat tulisan. 
Kuberitahukan padamu, aku mendapat petunjuk kalau 
di daerah Pandakan tenagamu sangat dibutuhkan. Kau 
dapat melibatkan diri dalam masalah di sana. Carilah 
sebuah kedai di daerah Pandakan dan tunggulah hing- 
ga tengah hari. Kedai itu merupakan tempat munculnya 
urusan yang akan kau hadapi. 

Tertanda, 
Penyair Cengeng. 

Arya menggulung kembali kulit binatang itu. Pe- 
nyair Cengeng adalah seorang kakek berpakaian abu- 
abu yang dikenalnya sebagai Ki Jaran Sangkar. Kakek 
ini memiliki kepandaian tinggi. Juga kemampuan ilmu 
gaib yang menakjubkan. Beberapa kali Dewa Arak 
mendapatkan petunjuk darinya (Untuk jelasnya men- 
genai tokoh Ki Jaran Sangkar alias Penyair Cengeng, 
silakan baca episode 'Kembalinya Raja Tengkorak'). 

"Kurasa sudah saatnya aku pergi ke kedai itu dan 
mengetahui masalah yang dimaksud Penyair Cengeng," 
pikir Arya, setelah memperhatikan matahari melalui 
celah-celah daun mangga. 

Arya lalu mengerahkan tenaga dalamnya dan di- 
alirkan ke sekujur tubuh. Seketika, semut-semut yang 
tengah merayap di tubuhnya berjatuhan. Tanpa mem- 
pedulikan binatang-binatang kecil itu, Dewa Arak me- 
lompat dari cabang pohon. Tinggi tempat itu sekitar 
empat tombak. Tapi, Arya mampu menjejak tanah tan- 
pa menimbulkan bunyi sedikit pun. Padahal tanah 
tempat kedua kaki Arya menjejak tertutupi daun-daun 
kering! 

Dengan langkah pasti Arya menghampiri kedai 
yang berjarak sekitar lima tombak dari tempatnya be- 
rada. Seperti juga orang-orang yang hendak masuk ke 
dalam kedai, Dewa Arak pun segera mendapat sambu- 
tan dari lelaki kurus kering yang duduk di depan pintu 
kedai. 

"Kasihan, Den.... Berilah aku uang untuk membeli 
makanan. Sudah tiga hari aku tak makan, Den. Kasi- 
han, Den...." 

Arya melepaskan buntalan kain hitam yang terselip 
di pinggang, kemudian dilemparkannya pada lelaki ku- 
rus kering. 

"Terimalah ini, Paman. Gunakan untuk mengisi pe- 
rutmu. Dan jangan kau hambur-hamburkan tanpa 
guna," ujar pemuda berpakaian ungu itu bernada me- 
nasihati. 

Keluhan tertahan tanpa sadar dikeluarkan Arya. 
Pemuda ini merasa kaget. Begitu buntalan kecil yang 
diberikannya dipegang lelaki kurus kering, dirasakan 
ada kekuatan menarik yang dahsyat. Kekuatan itu 
membuat tangan Dewa Arak tak bisa ditarik kembali. 

Pemuda itu memang telah mempunyai dugaan ka- 
lau lelaki kurus kering bukan orang sembarangan. 
Namun, sungguh di luar dugaannya akan memiliki ke- 
kuatan tenaga dalam sekuat ini. Arya tak membiarkan 
tenaga dalamnya disedot. Segera dikerahkan tenaga 
dalamnya dan balas menarik. Adu tenaga dalam pun 
berlangsung. 

Arya semakin kaget. Lelaki kurus kering benar- 
benar memiliki tenaga dalam amat kuat. Setelah Arya 
mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya, baru 
berhasil mengungguli lawan. Perlahan-lahan tubuh le- 
laki kurus kering ikut tertarik. Pantatnya yang semula 
menempel di tanah sedikit demi sedikit terangkat ke 
atas. 

"Cukup, Den," ucap peminta-minta itu ketika tu- 
buhnya terus terangkat naik. 

Lelaki kurus kering ini rupanya sadar kalau Dewa 
Arak lebih kuat daripadanya. Arya segera menarik 
kembali tenaganya. Pada saat yang bersamaan lelaki 
kurus kering menyimpan tenaganya pula. 

"Aku tak mengerti maksud perbuatanmu ini, Pa- 
man," ujar Arya. 

"Tak perlu kau pusingkan hal yang tak berarti ini, 
Den," kilah si peminta-minta. "Sekarang aku ingin 
memenuhi janjiku. Kau akan kuberikan nomor agar 
dapat memenangkan taruhan. Dan...." 

"Terima kasih, Paman," potong Arya buru-buru. 
"Tanpa mengurangi rasa hormatku akan janjimu, aku 
tak bisa menerima kebaikan yang kau berikan padaku. 
Aku tak menginginkan balasan atas apa yang kuberi- 
kan padamu. Dan yang terpenting, aku tak suka ber- 
main dadu. Jadi, dengan sangat menyesal kukatakan 
aku tak bisa menerima kebaikanmu...," 

"Tunggu dulu, Den," sambut si peminta-minta ce- 
pat. "Mungkin perlu kau tahu, bukan hanya kau saja 
yang mempunyai aturan. Aku pun demikian. Sudah 
menjadi sifatku tak bisa menerima pemberian seseo- 
rang tanpa memberikan balasan. Aku, Kertapati, tak 
suka berhutang budi. Kalau kau tak mau kuberikan 
balasan, pemberianmu pun tak akan kuterima!" 

Arya bisa merasakan kesungguhan dalam ucapan 
Kertapati. 

"Percayalah, Paman. Aku ikhlas memberikan uang 
itu padamu. Dan aku tak menganggapnya sebagai bu- 
di. Jadi, balasan yang kau berikan padaku tak bisa ku- 
terima," bantah Arya, bersikeras dengan pendapatnya. 

"O ya, perlu kuberitahukan, Paman. Kau tak usah 
memanggilku dengan demikian hormat. Sapa saja aku 
dengan namaku, Arya Buana." 

Kertapati bangkit berdiri. Ada seri gembira di wa- 
jahnya. Arya melihatnya dan pemuda ini merasa he- 
ran. 

"Apa yang membuat lelaki ini kelihatan gembira? 
Mudah-mudahan bukan karena dia menemukan siasat 
untuk memaksaku menerima pembalasan budinya," 
pikir Arya agak cemas. 

Kertapati tak mengetahui kecemasan Arya. Nada 
ucapan lelaki ini sarat dengan kegembiraan ketika ia 
kembali berbicara. 

"Kau katakan tak bisa menerima balas budiku ka- 
rena kau tak suka main dadu. Bagaimana kalau kube- 
rikan dalam bentuk lain? Bukan nomor yang akan ke- 
luar dalam permainan judi di dalam kedai. Apakah kau 
akan menerimanya, Arya?" tanya Kertapati ingin tahu. 

"Tergantung," jawab Arya setelah berpikir sejenak. 
"Aku tak bisa langsung menerimanya." 

"Ha ha ha...!" Kertapati tertawa terkekeh. "Kau 
memang cerdik sekali, Arya. Cerdik dan hati-hati. Kau 
membuatku kagum. Nah! Dengar baik-baik. Balas budi 
yang akan kuberikan padamu adalah Ramalan atas 
nasib dirimu. Bagaimana?" 

Arya tercenung sebentar memikirkan jawaban yang 
akan diberikan. Sesaat kemudian kepalanya diangguk- 
kan, kendati pemuda ini tak merasa tertarik sedikit 
pun. 

"Bagus! Kau memang orang yang tak mudah men- 
gingkari janji, Aiya. Sekarang ulurkan tangan kanan- 
mu. Buka telapaknya," ujar Kertapati penuh gairah, 

Tanpa banyak bicara, pemuda berambut keperakan 
ini memenuhi permintaan Kertapati. Dengan penuh 
minat lelaki kurus kering memperhatikan garis-garis 
telapak tangan Aiya. Beberapa kali ujung jarinya me- 
nyentuh telapak tangan. 

"Hhh...." 

Kertapati menghela napas berat. Dahi lelaki ini 
berkernyit dalam, seakan ada sesuatu yang membeba- 
ni pikirannya. Arya jadi penasaran melihat tingkah 
Kertapati. Tadi sewaktu memeriksa telapak tangannya 
beberapa kali Kertapati menggeleng-gelengkan kepala. 

"Kau akan menghadapi berbagai macam bahaya, 
Arya. Kau harus berhati-hati. Kulihat kau akan men- 
dapat masalah yang membuatmu selalu dikelilingi ba- 
haya besar. Malah, ada bahaya terbesar yang senan- 
tiasa berada di dekatmu," beritahu Kertapati dengan 
sungguh-sungguh. 

"Terima kasih atas peringatanmu, Paman. Akan 
kuingat baik-baik semua nasihatmu," Arya menarik 
kembali tangannya. "O ya, bagaimana kalau kita ma- 
suk ke dalam?" 

Kertapati menatap Arya penuh selidik. Ada sorot 
keheranan di sana. Semula Arya tak mempedulikan, 
tapi ketika teringat sesuatu wajahnya jadi merah pa- 
dam. 

"Jangan kau salah menduga, Paman. Aku bukan 
hendak bermain dadu, perutku kosong dan kerong- 
konganku terasa kering kerontang," jelas Arya buru- 
buru. 

"Ah...!" seru Kertapati tertahan. Wajahnya meme- 
rah oleh rasa malu. "Maafkan dugaanku yang buruk, 
Arya." 

"Lupakanlah, Paman. Mari, " ajak Arya. Kemudian 
ia mendahului melangkahkan kaki ke pintu kedai. 




Seorang gadis berpakaian kuning melangkah mon- 
dar-mandir di hadapan seorang lelaki setengah baya 
yang tengah duduk bersila. Sikap gadis itu kelihatan 
gelisah bukan main. Lelaki bertubuh kurus kering dan 
berpakaian abu-abu seperti tak tahu tingkah si gadis. 
Dia tak bergeming dari duduknya. Sepasang matanya 
terpejam. Padahal, lelaki ini tidak tengah bersemadi. 

Gadis berusia dua puluh tahun dan berwajah can- 
tik jelita dengan bentuk tubuh menggiurkan itu meng- 
hentikan langkahnya tepat di depan lelaki berpakaian 
abu-abu. Langkahnya tak dihentakkan, tapi dinding 
ruangan bergetar. Debu-debu halus berguguran ke ta- 
nah. Sepasang mata lelaki kurus kering bergerak 
membuka. Sinarnya tampak penuh kelembutan dan 
kasih sayang ketika menatap si gadis. 

"Ada apa, Ratna?" tanya lelaki berpakaian abu-abu. 
"Kau kelihatan gelisah sekali." 

Jawaban yang diberikan si gadis yang bernama 
lengkap Dewi Ratna, adalah meruncingkan bibirnya. 
Meski demikian, tak terlihat buruk. Bentuk sepasang 
bibir itu indah dan berwarna merah muda. 

Lelaki kurus kering yang bernama Ardaraja terse- 
nyum. Dia tak merasa kaget melihat sambutan Dewi 
Ratna. Watak gadis itu memang manja sekali. 

"Apakah keinginanmu yang dulu kambuh lagi?" 
masih tetap lembut pertanyaan Ardaraja. 

"Aku jemu terus-menerus tinggal di tempat ini, 
Paman," jawab Dewi Ratna seraya mengedarkan pan- 
dangan ke sekitarnya. Mereka berada di dalam sebuah 
gua di lereng Gunung Welirang. "Apakah sampai ne- 
nek-nenek aku tak boleh keluar?" 

"Sabarlah, Ratna," hibur Ardaraja dengan senyum 
terkembang di bibir. "Akan datang saatnya kau boleh 
meninggalkan tempat ini. Bahkan ke mana pun kau 
mau. Tapi tak sekarang. Ada beberapa alasan yang 
membuatku tak bisa mengizinkan kau pergi." 

"Kapan, Paman?" desak Dewi Ratna penasaran. 
"Apakah setelah rambutku ini memutih?!" 

"Tak perlu sampai selama itu, Ratna. Cukup sam- 
pai kau mampu menahan hawa beracun yang menye- 
bar di puncak Gunung Bromo." 

"Bukankah itu sama artinya dengan memaksaku 
tinggal di sini hingga rambutku memutih? Kau yang 
sudah setua ini, Ayah, dan Paman Buluk Siwu tak 
mampu menahan hawa beracun itu. Apalagi aku?" ke- 
luh Ratna putus asa. 

Wajah Ardaraja berubah muram. Kelihatan jelas 
ucapan Dewi Ratna menyinggung perasaannya. 

"Kau jangan berkecil hati dulu, Ratna. Ketidak- 
mampuan kami menahan hawa racun itu karena tak 
bersiap menghadapinya. Lain halnya dengan mu, Rat- 
na. Selama hampir dua tahun kau kupersiapkan. Aku 
yakin sebelum purnama tiba, kau akan sampai di tem- 
pat manusia terkutuk itu. Jangan sia-siakan usahaku 
selama bertahun-tahun hanya karena kau tak kerasan 
tinggal di tempat yang memang tak menyenangkan ini, 
Ratna. Jangan kecewakan harapan kami." 

Kekerasan Dewi Ratna pun luluh mendengar uca- 
pan bernada memelas itu. Selalu demikian akhirnya. 
Setiap kali gadis ini mengutarakan keinginannya. 

"Lagi pula apa untungnya keluar ke dunia bebas, 
Ratna. Dunia persilatan amat keras. Kalau tak memili- 
ki kepandaian tinggi, kau akan menjadi sasaran keja- 
hatan. Juga, kau tak terkurung sepenuhnya di gua ini. 
Setiap hari kau bisa keluar." 

Dewi Ratna menundukkan kepala. Ucapan Ardara- 
ja yang terakhir membuat keinginannya untuk meng- 
hirup udara bebas semakin menciut. Gadis ini mera- 
sakan kebenaran dalam nasihat-nasihat pamannya. 
Sungguhpun demikian, masih ada yang mengganjal di 
hati Dewi Ratna. 

"Mengapa Paman seperti merendahkan kemam- 
puan yang kumiliki? Bukankah seluruh ilmu Ayah te- 
lah ku kuasai dengan baik? Aku telah pula menguasai 
ilmu-ilmu yang Paman ajarkan." 

Ardaraja terdiam sebentar mencari jawaban. Lalu 
ditatapnya Dewi Ratna dalam-dalam. 

"Jangan kau salah mengira, Ratna. Kepandaian 
yang kau miliki memang telah cukup tinggi. Malah aku 
yakin lebih tinggi dari kepandaian ayahmu. Kau telah 
menguasai ilmu-ilmu ciptaanku. Namun camkan Rat- 
na, dunia persilatan dipenuhi orang-orang sakti berke- 
pandaian tinggi. Sekitar lima tahun lalu dunia persila- 
tan di tanah Jawa Timur ini dikuasai tokoh-tokoh se- 
sat beraliran hitam yang menamakan diri Kelompok 
Penjagal Manusia. Kepandaian mereka tinggi-tinggi. 
Terutama ketuanya yang berjuluk Iblis Penghisap Da- 
rah. Kepandaiannya luar biasa dan mengiriskan hati!" 

Dewi Ratna diam-diam tak senang mendengar ceri- 
ta pamannya. Dia menganggap Ardaraja terlalu men- 
ganggap tinggi Kelompok Penjagal Manusia. Apalagi, 
karena dirasakan adanya nada kegentaran dalam uca- 
pan lelaki kurus kering itu. 

"Apa yang perlu dikagumi pada Kelompok Penjagal 
Manusia?" pikir Dewi Ratna tak puas. 

Setahunya Kelompok Penjagal Manusia telah di- 
hancurkan Ardaraja, ayahnya, dan Buluk Siwu, yang 
terkenal sebagai Pendekar-Pendekar Gunung Bromo. 
Ketuanya-sendiri, Iblis Penghisap Darah, telah mereka 
kalahkan dan ditawan di salah satu gua di puncak 
Gunung Bromo. 

"Bukankah kelompok mereka telah Paman hancur- 
kan? Malah, Ketua Kelompok Penjagal Manusia sampai 
sekarang tertawan di Gua Landak. Lalu... apa lagi yang 
harus ditakuti?" 

Ardaraja menghela napas berat. 

"Aku tak menyalahkan kalau kau tak menganggap 
mereka. Hal itu memang kami rahasiakan darimu 
maupun putri Buluk Siwu, Winarni," beritahu lelaki 
kurus kering dengan suara lirih. 

Ardaraja menghentikan ucapannya. Sesaat ditarik- 
nya napas berat. Dewi Ratna menunggu dengan pera- 
saan tak sabar. 

"Tapi sekarang aku tak bisa menyembunyikan lebih 
lama lagi," sambung Ardaraja. "Kurasa sudah tiba wak- 
tunya bagimu untuk mengetahui. Aku ingin kau tahu 
betapa mengerikan Kelompok Penjagal Manusia. Juga 
karena aku telah mendapat firasat jelek. Aku khawatir 
apabila tak menyampaikannya sekarang, tak menda- 
patkan kesempatan lagi...." 

"Paman!" seru Dewi Ratna kaget. "Mengapa kau 
berkata seperti itu. Kau tidak akan mati, Paman" 

Ardaraja tersenyum melihat sikap Dewi Ratna yang 
terlihat begitu mengkhawatirkan dirinya. 

"Apa yang kau katakan itu tak akan mungkin ter- 
jadi, Ratna," ujar Ardaraja lembut. "Tak ada manusia 
yang tak mati. Semua pasti akan mati. Kau tahu itu, 
bukan?" 

"Aku tahu, Paman," jawab Dewi Ratna. "Tapi, itu 
tak berarti Paman harus mati dalam waktu dekat ini!" 

"Apa kau lupa kalau aku telah terkena hawa bera- 
cun di puncak Gunung Bromo? Hawa beracun itu 
mengeram di dalam tubuhku dan tak dapat ku kelua- 
rkan. Ayah dan ibumu serta ibu dari Winarni tewas ka- 
rena hawa beracun itu. Kurasa kau tahu pula kalau 
aku dan Buluk Siwu terkena akibatnya pula. Ilmu 
yang kumiliki jadi semakin rendah karena hawa bera- 
cun menghalangi peredaran tenaga dalamku. Masih 
ingatkah kau akan semua ini, Ratna?" 

Dengan sepasang mata berkaca-kaca Dewi Ratna 
menganggukkan kepala. Bibir bawahnya digigit untuk 
menekan rasa haru dan sedih yang tiba-tiba menye- 
ruak. 

"Mengapa kau menjadi manusia yang cengeng dan 
mengikuti perasaan?" sentak Ardaraja. "Kalau almar- 
hum Guru mengetahui, tentu beliau akan malu dan 
marah. Kecengengan tak layak berada di batin orang 
keturunan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo! Kau 
harus tegar dan tabah, Ratna. Kalau tidak, aku tak 
bersedia menceritakan Kelompok Penjagal Manusia 
dan Iblis Penghisap Darah!" 

Dewi Ratna mengepalkan jari-jari tangannya seraya 
menggertakkan gigi. 

"Aku tak apa-apa, Paman!" ujar gadis itu mantap 
sekali. Dikuatkannya perasaan hatinya. 

"Bagus!" puji Ardaraja dengan wajah berseri-seri. 
"Kau memang tak memalukan menjadi keluarga Pen- 
dekar Gunung Bromo yang terkenal gagah perkasa dan 
tak takut mati! Sesuai janji yang ku ucapkan, akan 
kuceritakan semuanya tentang Kelompok Penjagal Ma- 
nusia dan Iblis Penghisap Darah!" 

Ardaraja menghentikan ucapannya sejenak. Da- 
hinya berkernyit karena berpikir, mencari kata-kata 
yang tepat untuk memulai ceritanya. 

"Sekitar sepuluh tahun lalu dunia persilatan di- 
gemparkan dengan munculnya sekelompok tokoh sesat 
yang menamakan dirinya Kelompok Penjagal Manusia. 
Kepandaian mereka rata-rata tinggi. Mereka pun kejam 
bukan main. Membunuh manusia bagi kelompok itu 
tak ubahnya membunuh nyamuk. Tak terhitung sudah 
orang-orang yang menjadi korban. Empat tahun sete- 
lah merajalela dengan kebengisannya, Kelompok Pen- 
jagal Manusia dicari oleh guru kami. Beliau adalah 
pertapa di Gunung Bromo. Iblis Penghisap Darah yang 
tahu kalau dirinya dicari, balas mencari. Pertarungan 
pun tak bisa dielakkan." 

Sesaat Ardaraja menghentikan ceritanya. Hendak 
dilihatnya tanggapan Dewi Ratna. Tapi gadis cantik itu 
tampak dengan bersungguh-sungguh mendengarkan 
ceritanya. 

"Iblis itu ternyata memiliki kepandaian menakjub- 
kan! Kakek gurumu tewas, Ratna. Tentu saja kami tak 
bisa berdiam diri. Kami ajukan tantangan terhadap Ib- 
lis Penghisap Darah. Tokoh sesat yang yakin dirinya 
tak terkalahkan itu memenuhi tantangan kami. Dia 
datang sendiri. Iblis itu memang benar-benar sukar di- 
tandingi. Meski telah mengeroyoknya, kami tak mam- 
pu mengalahkannya. Di saat kami hampir celaka mun- 
cullah sahabat kakek gurumu, Eyang Nararya. Beliau- 
lah yang membuat pimpinan Kelompok Penjagal Ma- 
nusia tak berdaya. Dengan sela aji yang tak kuketahui 
apa namanya, kekuatan Iblis Penghisap Darah berku- 
rang. Semakin lama kekuatan tokoh sesat itu semakin 
menyusut. Sampai akhirnya dia rubuh di tanah. Itulah 
kejadian sebenarnya, Ratna." 

Dewi Ratna terdiam. Gadis ini tak tahu harus ber- 
kata bagaimana. Dia terlalu terkejut mendengar cerita 
selengkapnya mengenai kemenangan Pendekar- 
Pendekar Gunung Bromo. Selama ini dia hanya tahu 
pimpinan Kelompok Penjagal Manusia dikalahkan oleh 
Pendekar Gunung Bromo. 

"Lalu bagaimana dengan Kelompok Penjagal Manu- 
sia itu, Paman? Apakah benar Paman telah menghan- 
curkannya?" tanya Dewi Ratna, setengah tak yakin 
akan kebenaran cerita yang pernah didengarnya. 

"Memang kami datang mengunjungi markas mere- 
ka untuk menghancurkannya. Tapi rupanya maksud 
kedatangan kami telah diketahui Kelompok Penjagal 
Manusia sudah merasa gentar. Mereka kehilangan ke- 
beranian ketika mendengar ketuanya telah kami ka- 
lahkan." 

"Jadi Paman mendapati markas yang kosong?" du- 
ga Dewi Ratna. 

"Tidak sampai demikian, Ratna," kilah Ardaraja. 
"Kami tetap menemukan sisa-sisa Kelompok Penjagal 
Manusia. Kami pun menumpasnya. Setelah itu markas 
mereka kami bakar habis." 

Suasana jadi hening ketika Ardaraja menghentikan 
ucapannya. Dewi Ratna terlihat agak terpukul. Cerita 
yang disampaikan pamannya itu terlalu mengejutkan. 

"Sekarang aku mengerti mengapa Paman sangat 
menginginkan aku dapat menguasai ilmu-ilmu warisan 
Paman dan Ayah," ujar Dewi Ratna sambil mengang- 
guk-anggukkan kepalanya. "Paman khawatir aku men- 
jadi sasaran balas dendam Kelompok Penjagal Manu- 
sia." 

"Tidak terlalu tepat demikian, Ratna. Kuharapkan 
kau tidak hanya bersiaga terhadap balas dendam me- 
reka. Tapi juga berjaga-jaga kalau mereka mengacau- 
kan dunia persilatan kembali. Kau pun harus menjaga 
tawanan kami agar tak dapat dibebaskan. Jangan 
khawatir, Ratna. Kau tak perlu menjaganya seumur 
hidup. Apabila kau berhasil menjaganya hingga pur- 
nama berakhir dan lewat dua pekan, kau boleh ting- 
galkan tempat itu." 

"Aku mengerti, Paman. Kepercayaan yang Paman 
berikan tak akan ku sia-siakan. Akan ku coba meme- 
nuhi semua harapan Paman. Akan kucari orang-orang 
Kelompok Penjagal Manusia dan kuhancurkan!" janji 
Dewi Ratna sambil mengepalkan jari-jari tangannya. 

Sepasang mata Ardaraja tampak berkaca-kaca. Le- 
laki ini merasa terharu mendengar janji keponakan- 
nya. Bahkan, suaranya terdengar agak serak ketika dia 
berbicara. 

"Aku bangga terhadapmu, Ratna. Aku yakin andai- 
kata Mundarang masih hidup dia akan merasa bangga 
pula." 

Dewi Ratna tertunduk. Kesedihan mendadak me- 
lingkupi hatinya. Ucapan Ardaraja mengingatkannya 
akan kematian ayahnya. Mundarang tewas karena ke- 
racunan dan mayatnya tertinggal di lereng Gunung 
Bromo. 

"Bukan hanya Mundarang saja, Ardaraja! Buluk 
Siwu pun telah mati! Dan, sebentar lagi kau akan me- 
nyusul mereka ke neraka!" 

Ucapan itu menyambuti perkataan Ardaraja. Bu- 
nyinya tidak keras. Tapi mampu membuat ruangan 
tempat Ardaraja dan Ratna berada tergetar hebat. 

Ardaraja terjingkat ke belakang bagai disengat ular 
berbisa. Lelaki ini kelihatan tak mampu meredam rasa 
kagetnya. Dewi Ratna tampak kebingungan. Gadis ini 
menatap wajah Ardaraja. 

"Siapa itu, Paman? Apa maksud ucapannya?" 
tanya Dewi Ratna. 

Ardaraja menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, 
Ratna," ujar lelaki kurus kering itu. Sepasang matanya 
tertuju ke luar gua. Tapi karena lorong gua tak lurus, 
Pendekar Gunung Bromo ini tak bisa melihat apa pun. 
"Siapa pun orang yang berada di luar itu, dia tak me- 
miliki maksud baik. Aku mempunyai firasat tak enak, 
Ratna. Mungkin aku akan menyusul ayahmu. Tapi aku 
sudah ikhlas. Pergilah, Ratna. Aku tak ingin kau cela- 
ka. Gunakan jalan belakang. Dan...." 

"Keluar kau, Ardaraja! Aku tahu kau berada di da- 
lam! Kau tak bisa bersembunyi lagi. Sudah tiba saat- 
nya kau mempertanggungjawabkan perbuatanmu lima 
tahun lalu!" 

Suara dari luar gua kembali berkumandang. Na- 
danya tetap seperti semula. Tapi getaran pada bagian 
dalam gua jauh lebih besar. 

"Karena kau tak mau keluar, biar aku yang me- 
maksamu, Ardaraja!" sambung sebuah suara lain dari 
luar gua. Lebih lembut dari suara sebelumnya. 

Ardaraja tampak cemas. Tamu tak diundangnya 
tak hanya seorang. Padahal dari suaranya Ardaraja bi- 
sa menilai orang-orang di luar gua memiliki kepan- 
daian tinggi. Dia tak mencemaskan keselamatannya. 
Yang dipikirkan hanya Dewi Ratna. Gadis itu masih 
berdiam diri di tempatnya. Ardaraja segera mengi- 
baskan tangan kanan. 

"Cepat pergi, Ratna!" seru Ardaraja keras. 

Angin keras yang berhembus dari tangan Ardaraja 
membuat tubuh Dewi Ratna terpental ke belakang, Ar- 
daraja sendiri segera melesat keluar. 

Saat lelaki kurus kering ini melesat terdengar 
bunyi mendenging seperti suara nyamuk. Guncangan 
menghebat secara tiba-tiba. Lantai gua terbelah. Atap 
gua runtuh membawa batu-batu dan debu yang ber- 
hamburan. 

"Ratna!" 

Ardaraja memekik kaget, lesatannya keluar gua di- 
hentikan. Ardaraja bermaksud menolong keponakan- 
nya. Tapi tindakannya terpaksa diurungkan. Batu- 
batu besar berguguran dari atap gua diiringi bunyi 
bergemuruh. 

Tak ada gunanya lagi menolong Dewi Ratna. Tem- 
pat di mana tubuh gadis itu tergolek banyak dijatuhi 
batu-batu besar. Debu tebal menghalangi pandangan. 
Ardaraja terpaksa melesat keluar. 

Lelaki kurus kering ini tak ingin mati konyol den- 
gan terkubur hidup-hidup di dalam gua. Dia tak ingin 
mati percuma seperti yang dialami Dewi Ratna. Dan, 
kematian Dewi Ratna harus dibalaskannya. 




Seorang lelaki pendek berperut buncit tampak ber- 
gegas menghampiri Dewa Arak dan Kertapati. Kedua- 
nya tengah duduk saling berhadapan dibatasi meja 
berbentuk empat persegi panjang. 

Lelaki pendek berperut gendut yang ternyata pemi- 
lik kedai meletakkan pesanan tamunya. Arya maupun 
Kertapati tak memperhatikan kehadiran pemilik kedai. 
Pandangan mereka tertuju pada salah satu meja besar 
yang banyak dikerumuni orang. Dari meja ini terden- 
gar seruan-seruan keras. 

"Ayo.... Mari...! Silakan pasang lagi! Pasang satu 
keping dapat tiga keping. Silakan pasang. Barangkali 
saja Tuan yang beruntung!" seru seorang lelaki gemuk. 

Ia lelaki berusia enam puluh tahun. Tubuhnya 
tinggi gemuk. Dia hanya mengenakan rompi dari bulu 
burung garuda. Di depan lelaki gemuk duduk bebera- 
pa orang lelaki. Mereka semua tokoh-tokoh persilatan. 

Di permukaan meja besar tampak selembar kulit 
kambing berbentuk bujur sangkar yang berukuran tiga 
jengkal. Di atas kulit kambing tertera garis-garis yang 
membentuk enam buah kotak. Pada tiap kotak terda- 
pat noktah merah seukuran buah ceremei. Noktah pa- 
da tiap kotak tidak sama jumlahnya. Angkanya beru- 
rut mulai dari satu sampai enam. Pada kotak-kotak in- 
ilah tokoh-tokoh persilatan itu meletakkan uangnya. 

Lelaki gemuk memegang sebuah kotak kecil ber- 
bentuk kubus. Kotak yang bersisi sama itu mempunyai 
noktah-noktah seperti pada lembaran kulit kambing. 
Di depannya terdapat sebuah mangkuk dari tempu- 
rung kelapa. Lelaki gemuk mengambil mangkuk itu 
dan menangkupkannya pada kotak bernoktah 

"Tidak ada yang memasang lagi atau merubah pa- 
sangan?" tanya lelaki gemuk. "Kalau sudah tidak ada, 
kita tentukan siapa yang akan beruntung!" 

Lelaki berompi bulu burung garuda itu memo- 
nyongkan bibir, meniup bagian atas mangkuk. Tidak 
terjadi apa-apa atas mangkuk tempurung kelapa. Tapi, 
di dalamnya terdengar bunyi berkerotokan dari kotak 
yang berputaran keras. 

"Ayo! Kesempatan terakhir! Masih adakah yang in- 
gin ikut serta atau merubah pilihannya? Masih ada ke- 
sempatan sebelum mangkuk ini dibuka!" seru lelaki 
gendut ketika bunyi putaran kotak kecil di dalam tem- 
purung kelapa tak terdengar lagi. 

Lelaki gemuk mengedarkan pandangan menatap 
wajah-wajah penasaran di hadapannya. Tak satu pun 
menunjukkan gelagat ingin merubah pilihan. 

"Kalau sudah tak ada lagi, sekarang mangkuk ini 
akan kubuka. Kita lihat bersama siapa yang akan be- 
runtung!" 

Lelaki gemuk ini batuk sekali begitu ucapannya se- 
lesai. Semua orang yang ada di situ tahu kalau batuk 
itu hanya buatan. 

Dugaan mereka memang tak salah. Begitu batuk 
lelaki gemuk usai, mangkuk melayang naik ke atas se- 
tinggi tiga jengkal. Sebuah pertunjukan tenaga dalam! 
Tapi, tak seorang pun yang mempedulikan. Mereka 
semua menunjukkan perhatian pada kotak kecil yang 
semula berada di dalam mangkuk. 

"Bagaimana, Arya?" celetuk Kertapati sambil men- 
gunyah makanannya. "Apakah kau berubah pikiran 
dan merasa tertarik dengan permainan itu? Cobalah 
Arya. Amat menyenangkan!" 

Arya menggelengkan kepala seraya tersenyum. 
"Aku tetap pada pendirianku, Paman. Kuakui aku 
memang tertarik. Tapi, bukan berarti aku berminat un- 
tuk main. Aku hanya ingin tahu mengapa orang-orang 
menyukainya," jawab Arya. 

Kertapati tersenyum mendengar jawaban Dewa 
Arak. "Mereka bermain judi bukan untuk menda- 
patkan uang, tapi karena kesenangan. Mereka telah 
kecanduan bermain judi. Asal kau tahu saja Arya, 
permainan itu berlangsung jujur. Tak ada yang ber- 
main curang dengan mengakali putaran dadu. Terke- 
cuali kalau mereka bermain berdua." 

"Ha ha ha,..!" 

Tawa bergelak penuh kegembiraan membuat Arya 
dan Kertapati menolehkan kepala. Tindakan ini me- 
nimbulkan kejadian yang lucu. Tangan mereka mem- 
bawa makanan ke dekat mulut yang telah dibuka, tapi 
gerakan itu tak berkelanjutan. 

Tampak oleh mereka seorang lelaki kecil berpa- 
kaian dari kulit macan tutul tertawa bergelak-gelak. 
Lelaki yang memiliki keanehan pada matanya itu gem- 
bira bukan main. Kedua tangannya diangkat-angkat ke 
atas, 

"Aku yang menang! Ha ha ha...! Aku yang menang!" 
seru lelaki berpakaian kulit macan tutul. Mata kanan- 
nya membengkak sebesar buah kedondong, sehingga 
bola matanya tak kelihatan. Sedang mata kirinya begi- 
tu kecil dan hampir merupakan satu garis. 

Lelaki kecil ini menatap ke arah dadu yang menun- 
jukkan noktah dua buah. Pada noktah ini lelaki ber- 
pakaian dari kulit macan tutul meletakkan taruhan 
uangnya. 

"Kau kenal orang yang tengah tertawa gembira 
itu?" bisik Kertapati. 

Arya menggeleng. 

"Pernah mendengar tokoh hitam yang berjuluk Ma- 
ta Iblis?" tanya Kertapati lagi. 

"Pernah, Paman," jawab Arya sambil mengingat- 
ingat. "Kalau tak salah dia berasal dari Jawa Timur." 

"Benar. Tepatnya dari Tuban. Di sana dia amat di- 
takuti karena tindakan-tindakannya yang menggem- 
parkan," sambung Kertapati menambahkan. 

"Aku ingat," timpal Arya. "Bukankah dia bajak 
laut?" 

"Bajak laut tunggal yang merajai pesisir." 

Arya mengangguk-angguk. 

"Sungguh tak kusangka bajak laut itu berkelana 
sampai ke tempat ini. Mungkinkah dia datang jauh- 
jauh hanya untuk permainan ini?" gumam Arya tak 
menyembunyikan rasa herannya. 

"Kemungkinan itu kecil, Arya," bantah Kertapati. 
"Kalau hanya untuk urusan demikian, tak akan 
mungkin Mata Iblis sampai meninggalkan tempatnya. 
Pasti ada alasan lain." 

Arya tak memberikan tanggapan. Dengan tenang 
makannya dilanjutkan. Kertapati pun demikian. Lelaki 
ini mengunyah makanannya perlahan-lahan. Sikap 
yang tak pantas ditunjukkan seorang gelandangan ke- 
laparan. 

Di meja judi permainan kembali berlangsung. Lela- 
ki gemuk berteriak-teriak menyuruh orang-orang me- 
masang. Kepingan-kepingan uang pun diletakkan di 
dalam kotak-kotak. Bunyinya gaduh bercampur den- 
gan tegukan-tegukan kasar dari mereka yang me- 
nyempatkan diri untuk minum. 

Di saat Arya dan Kertapati asyik menikmati maka- 
nan, sementara di meja besar permainan terus ber- 
langsung, terdengar bunyi gaduh yang semakin lama 
semakin keras. Bunyinya bertubi-tubi menghantam 
bumi. Suara langkah kaki kuda yang tengah berlari 
cepat. 

"Itu dia! Aku yakin kuda yang sebentar lagi lewat di 
depan kedai ini ditunggangi gadis liar itu!" Ucap Mata 
Iblis seraya bangkit dari kursinya. 

"Tenang saja, Mata Iblis," sela lelaki gemuk agak 
kesal. "Gadis itu tak akan pergi jauh. Kita saksikan du- 
lu siapa yang akan beruntung kali ini!" 

"Tapi, ada baiknya kalau kita pastikan dulu apa- 
kah benar itu kuda tunggangan si gadis liar!" bantah 
Mata Iblis tanpa menyembunyikan ketidaksenangan- 
nya. Kendati demikian, Mata Iblis masih menyem- 
patkan diri mengerling ke arah dadu yang masih ber- 
putaran! 

Ternyata tak hanya Mata Iblis yang bangkit dari 
kursinya. Tokoh-tokoh lain pun demikian. Sebentar- 
sebentar bola mata mereka berputar ke pintu kedai 
kemudian beralih pada dadu yang masih berputar. 

"Mengapa mesti bingung? Dari sini pun kita bisa 
mengetahui siapa penunggang kuda yang sebentar lagi 
akan lewat!" 

Setelah mengeluarkan perkataan yang ditutup 
dengan dengusan itu, lelaki gemuk menarik napas 
panjang. Wajah dan tubuhnya menampakkan peruba- 
han. Perut dan wajah lelaki itu menggembung seperti 
balon ditiup. Kemudian, lelaki gemuk menghembuskan 
udara yang berkumpul pada kedua pipinya. 

"Puuuh...!" 

Brakkk...! 

Daun pintu kedai yang tertutup hancur berkeping- 
keping. Pecahan papan berpentalan ke jalan. Pintu ke- 
dai memang sengaja ditutup oleh pemiliknya karena di 
luar angin keras musim kemarau bertiup membawa 
debu. 

Pemilik kedai dan pelayannya hanya bisa membela- 
lakkan mata kaget. Di samping itu mereka pun merasa 
ngeri. Mereka khawatir akan terjadi keributan yang 
menimbulkan kerusakan di dalam kedai. 

Dewa Arak, Kertapati, Mata Iblis, dan tokoh-tokoh 
lainnya kaget melihat pertunjukan tenaga dalam yang 
amat kuat itu. Tapi, mereka semua mampu menyem- 
bunyikan keterkejutan itu. Bahkan Arya dan Kertapati 
memperlihatkan sikap seakan pertunjukan yang dila- 
kukan lelaki gemuk adalah hal yang biasa. 

"Kau tahu siapa lelaki gemuk itu?" tanya Kertapati 
pelan pada Dewa Arak. Saat itu kegaduhan telah me- 
reda. Kertapati tak berani bicara keras-keras. 

"Tidak, Paman," jawab Arya dengan pelan pula. 

"Wajar kalau kau tak mengenalnya, Arya. Lelaki 
gemuk itu memang belum lama berada di tanah Jawa 
Timur ini. Dia terkenal di daerah Madura dengan julu- 
kan Raja Babi Bertenaga Raksasa. Menurut kabar 
yang tersiar, Raja Babi gemar berkelana ke tempat- 
tempat asing." 

"Kepandaiannya cukup tinggi. Terutama tenaga da- 
lamnya," puji Arya sejujurnya. 

"Bukan hanya itu saja, Arya," Kertapati menam- 
bahkan. "Raja Babi pun banyak memiliki ilmu-ilmu 
aneh. Ilmu-ilmu yang didapatkan dari orang-orang 
aneh. Mereka memiliki tubuh seperti anak berusia be- 
lasan tahun. Bicaranya pun aneh seperti orang ber- 
kumur-kumur. " 

Arya mengernyitkan alis mendengar penjelasan 
Kertapati. Dia percaya cerita lelaki ini kemungkinan 
besar benar. Arya sendiri telah beberapa kali bertemu 
dengan orang-orang yang memiliki ciri-ciri aneh {Untuk 
jelasnya, silakan baca episode "Pembantai Dari Mon- 
gol" dan "Petualang-Petualang Dari Nepal"), 

Raja Babi Bertenaga Raksasa sendiri bersikap tak 
peduli dengan tanggapan orang-orang yang berada di 
situ. Dengan nada datar tapi mengandung tekanan, le- 
laki gemuk ini kembali berbicara. 

"Kurasa tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Be- 
gitu gadis itu lewat, kita dapat melihatnya. Perlu ku 
tekankan sekali-lagi, kita tak perlu khawatir dia akan 
lolos. Di tempat yang akan dilaluinya telah ku tem- 
patkan beberapa orangku." 

"Di mana kau tempatkan orang-orangmu itu, Raja 
Babi?" tanya lelaki berikat kain hitam di kepala. 

"Sekitar dua puluh tombak dari tempat ini, puas?" 

"Tidak!" sentak Mata Iblis keras. "Aku tak ingin ka- 
rena kesombongan sikapmu, aku hanya membuang- 
buang tenaga datang ke tempat ini!" 

Sepasang mata Raja Babi berkilat-kilat memancar- 
kan hawa maut. Mata Iblis yang telah lama berkecim- 
pung di dunia persilatan dapat mengetahui artinya. 
Tapi, tokoh tenar dari Tuban ini tak merasa gentar se- 
dikit pun. Dibalasnya tatapan Raja Babi dengan sinar 
mata penuh tantangan. 

Sementara itu putaran dadu semakin lambat. Tapi 
hampir tak ada yang memperhatikan lagi. Semua yang 
duduk di depan Raja Babi Bertenaga Raksasa bersiap- 
siap untuk meninggalkan kursi mereka. Sebentar lagi 
akan terjadi keributan. Bukan tak mungkin mereka 
akan terkena serangan nyasar. 

"Apa pun pendapatmu, silakan kau tujukan untuk 
dirimu sendiri! Aku datang jauh-jauh hanya untuk 
mencari gadis itu. Aku akan keluar dan mencegah ga- 
dis itu mencapai maksudnya. Siapa pun yang menen- 
tang maksudku akan ku terjang. Tak terkecuali kau, 
Raja Babi!" tandas Mata Iblis penuh tantangan. 

Raja Babi mendengus. Sepasang alisnya terangkat 
tinggi-tinggi melihat tanggapan Mata Iblis yang diang- 
gapnya keterlaluan. Meskipun demikian, lelaki ini tak 
bangkit dari kursinya. 

"Mungkin perlu kuberitahukan padamu, Mata Ib- 
lis!" desis Raja Babi penuh tekanan. "Aku mempunyai 
aturan yang selama ini kupegang teguh. Tak seorang 
pun boleh meremehkan aturan ini. Dengar baik-baik, 
Mata Iblis! Aturanku adalah, jika permainan belum se- 
lesai maka tak seorang pun boleh pergi, kecuali orang 
itu tak menyayangi nyawanya lagi. Jelas?!" 

"Jelas sekali!" tegas Mata Iblis mantap. "Dengan ka- 
ta lain, bila aku hendak meninggalkan tempat ini, kau 
akan membunuhku?!" 

"Kau memang cepat mengerti, Mata Iblis!" 

"Kau boleh melakukan itu apabila kau mampu me- 
lakukannya, Raja Babi! Sekarang aku akan pergi. Ingin 
kulihat apa yang akan kau lakukan!" 

"Aku ragu kau dapat meninggalkan tempat ini!" 
ejek Raja Babi Bertenaga Raksasa penuh keyakinan. 

Ketegangan yang semakin memuncak membuat to- 
koh-tokoh persilatan lainnya meninggalkan kursi mas- 
ing-masing. Raja Babi membiarkan saja. Saat itu puta- 
ran dadu sudah berhenti. Tapi tak seorang pun yang 
mempunyai keinginan melihat jumlah angka yang ter- 
cipta. 

Mata Iblis bergerak paling akhir. Dengan mata 
tunggalnya yang terpaku menatap semua gerak-gerik 
Raja Babi, bajak laut dari Tuban ini bergerak bangkit 
dari kursinya. Semua pasang mata hampir tak berke- 
dip menatap ke arah Raja Babi dan Mata Iblis. Mereka 
terbelalak keheranan ketika melihat Mata Iblis tampak 
terkejut. 

Mata Iblis yang hendak bangkit dari kursinya me- 
rasakan betapa kekuatan dahsyat yang tak nampak 
membuat pantatnya sukar diangkat dari kursi. Mata 
Iblis menatap Raja Babi. Tokoh yang terkenal di Madu- 
ra itu tersenyum sinis. Mata Iblis tahu apa artinya. To- 
koh itu telah membuktikan ancamannya! 

Mata Iblis melihat kedua telapak tangan Raja Babi 
yang terbuka ditempelkan ke daun meja. Melalui pe- 
rantaraan kedua tangan itu Raja Babi membuatnya 
tak bisa mengangkat pantat! 

Bagi tokoh persilatan yang memiliki tenaga dalam 
kuat, apa yang dilakukan Raja Babi bukan merupakan 
hal yang luar biasa. Tenaga dalam dialirkan ke permu- 
kaan meja terus ke kaki-kakinya, merambat melalui 
lantai ke kaki kursi Mata Iblis. 

Mata Iblis tak tinggal diam. Dia tak melakukan per- 
lawanan langsung dengan mengarahkan tenaga dalam, 
Mata tunggal tokoh dari Tuban ini membelalak, se- 
hingga terlihat lebih besar dari biasanya. Sebentar ke- 
mudian bagian matanya yang berwarna putih berubah 
hijau. 

Raja Babi yang memperhatikan semua gerak-gerik 
Mata Iblis segera melihat hal yang mencurigakan itu. 
Kewaspadaannya membisikkan akan adanya bahaya. 

Kewaspadaan inilah yang menyelamatkan Raja Ba- 
bi Bertenaga Raksasa. Karena, mata bajak laut dari 
Tuban memancarkan sinar kehijauan yang menuju ke 
arah dada Raja Babi! Melihat sinar kehijauan melun- 
cur ke arahnya, Raja Babi segera bertindak. Lelaki ge- 
muk itu mengerahkan tenaga dalamnya untuk membe- 
ratkan tubuh. 

Blosss...! 

Bunyi gaduh terdengar ketika empat kaki kursi 
amblas ke dalam lantai. Amblasnya kaki kursi menye- 
babkan sinar hijau dari mata bajak laut dari Tuban 
meluncur di atas kepala Raja Babi. 

Brakkk..! 

Dinding papan yang berada beberapa tombak di be- 
lakang Raja Babi menjadi sasaran sinar hijau. Dinding 
itu hancur berkeping-keping diiringi bau hangus ter- 
bakar. Asap tipis menyebar di tempat itu. 

Tindakan yang dilakukan Raja Babi Bertenaga 
Raksasa membuatnya melepaskan tenaga dalam untuk 
menahan Mata Iblis dari tempat duduknya. Mata Iblis 
merasakan kekuatan yang membelenggunya telah sir- 
na. Buru-buru dia bangkit berdiri. Bertepatan dengan 
itu di luar kedai terlihat seekor kuda hitam putih mele- 
sat dengan kecepatan tinggi. Semua orang di dalam 
kedai mengalihkan perhatian ke sana. Tampak oleh 
mereka seorang gadis berpakaian merah duduk di 
punggung binatang itu, 

Bagai anjing-anjing kelaparan melihat tulang, to- 
koh-tokoh persilatan tak terkecuali Mata Iblis dan Raja 
Babi, melesat keluar kedai. Mereka bagai berlomba un- 
tuk tiba lebih dulu di dekat gadis berpakaian merah. 
Arya dan Kertapati saling berpandangan. Dalam per- 
temuan mata itu keduanya mengerti apa yang berke- 
camuk di benak masing-masing. 

"Sekarang aku mengerti tujuan mereka berada di 
sini, Paman," cetus Arya. "Rupanya mereka semua me- 
nanti kemunculan gadis berpakaian merah itu." 

"Kau baru mengetahui tujuannya, Arya. Tapi belum 
tentang alasan mereka mencari gadis itu. Satu persoa- 
lan berhasil kau pecahkan, tapi persoalan lain justru 
muncul," sahut Kertapati kalem. 

"Tak sulit untuk mengetahuinya, Paman," kilah 
Arya. "Aku akan ikut mereka menjumpai gadis itu. Aku 
yakin akan dapat mengetahui hal yang mereka ri- 
butkan." 

"Silakan, Arya. Dan selamat berpisah. Kuharap kau 
berhasil dengan maksudmu itu. O ya, sampaikan sa- 
lamku pada Jaran Sangkar. Terima kasih kuucapkan 
atas kesediaannya mengirimmu kemari. Katakan dari 
Eyang Nararya." 

*** 


"Selamat tinggal, Paman." 

Arya mengucapkan selamat berpisah sebelum me- 
lesat meninggalkan tempat duduknya. Kertapati alias 
Eyang Nararya menggeleng-gelengkan kepala kagum 
melihat pemuda berambut putih keperakan itu melesat 
begitu cepat. Dia tak melihat Arya mengambil ancang- 
ancang, tapi tahu-tahu sudah tak berada di tempatnya 
lagi. 

"Seorang pemuda yang hebat!" puji Kertapati penuh 
rasa kagum. 

Sementara itu, gadis berpakaian merah sudah 
hampir dua puluh lima tombak meninggalkan jalan di 
depan kedai. Kudanya terus dipacu dengan kecepatan 
tinggi, sehingga menimbulkan gumpalan debu tebal di 
belakangnya. Beberapa tombak di depan si gadis, tam- 
pak di kanan kiri jalan sebatang pohon besar yang 
mempunyai semak-semak di sekitarnya. Gadis berpa- 
kaian merah tak ambil peduli. Pandangannya dituju- 
kan lurus ke depan. Kedua tangan tak henti-hentinya 
menggeprak tali kekang kuda. 

Gadis itu tak melihat seutas tambang yang tergolek 
di tanah memanjang dari pohon di kanan jalan ke po- 
hon di sisi jalan lain. Tambang itu mempunyai warna 
yang hampir sama dengan tanah hingga sulit dikenali. 

"Ahhh...!" 

Seruan keterkejutan gadis berpakaian merah ham- 
pir berbarengan dengan ringkikan kuda. Tubuh bina- 
tang dan penunggangnya terjungkal. Tambang yang 
semula tergolek menegang tiba-tiba saat kuda si gadis 
melewatinya. 

Berbeda dengan binatang tunggangannya yang tak 
mampu bangun lagi dari tanah, gadis berpakaian me- 
rah tak semudah itu dapat dipecundangi. Dia bersalto 
beberapa kali di udara dan menjejak tanah dengan 
mantap. 

"Kunyuk-kunyuk dari mana berani menjegal perja- 
lananku?!" bentak gadis berpakaian merah seraya 
mengedarkan pandangan berkeliling. 

Tiga lelaki berompi hitam yang tahu-tahu mengu- 
rung si gadis malah tersenyum mendapat makian itu. 
Merekalah yang memasang tambang itu. Lalu langsung 
bergerak mengurung ketika si gadis mendarat di ta- 
nah. 

"He he he...!" sahut lelaki yang bermuka hitam se- 
perti arang. Digaruk-garuknya dada dengan kedua 
tangan. "Matamu awas juga, Gadis Liar! Kami memang 
kunyuk-kunyuk. Lebih tepat lagi Tiga Kunyuk Pangan- 
daran! Kami bertiga anak buah Raja Babi Bertenaga 
Raksasa. Aku dijuluki Kunyuk Muka Hitam. 

"Aku Kunyuk Muka Merah," sambung lelaki yang 
kulit mukanya merah seperti udang direbus. 

"Dan aku.... Kunyuk Muka Putih!" tandas lelaki te- 
rakhir yang kulit mukanya putih seperti dikapur. 

Gadis berpakaian merah memiliki wajah yang can- 
tik. Kulitnya putih halus. Berhidung mancung dan bi- 
bir tipis merah delima. Bentuk tubuhnya menggiurkan! 
Seorang gadis yang sangat menarik. 

Sayang, kecantikan wajah gadis ini terlihat agak 
menyeramkan. Gadis berpakaian merah menampilkan 
sikap yang diagung-agungkan. Itu terlihat jelas dari si- 
kapnya yang sombong. 

"Aku tak peduli siapa kalian! Kuperingatkan, kalau 
masih ingin selamat tinggalkan tempat ini!" tandas ga- 
dis berpakaian merah dengan kedua tangan di ping- 
gang. 

"Sombong!" bentak Kunyuk Muka Putih. Ia merasa 
tersinggung melihat sikap yang ditunjukkan gadis ber- 
pakaian merah. Sepasang mata anggota Tiga Kunyuk 
Pangandaran ini bak hendak melompat keluar dari 
rongganya. "Berani kau menghina kami Tiga Kunyuk 
Pangandaran?!" 

Dengan kedua tangan tetap bertolak pinggang, ga- 
dis berpakaian merah mendengus. Sepasang matanya 
yang bening indah menatap tiga pengepungnya dengan 
sorot mata seperti majikan menatap budak-budaknya. 

"Jangankan hanya Tiga Kunyuk Pangandaran yang 
tak lebih dari kucing-kucing tua, raja setan sekalipun 
tak akan membuat tokoh dari Gunung Bromo gentar! 
Aku, Winarni, Pendekar dari Gunung Bromo tak per- 
nah merasa gentar terhadap siapa pun! Jelas?!" 

"Luar biasa! Luar biasa! Benar-benar tak percuma 
menjadi salah satu Pendekar Gunung Bromo!" 

Suara yang dikeluarkan dengan lantang itu lebih 
dulu menyambuti ucapan Winarni. Tampak beberapa 
lelaki menghampiri tempatnya berada. Mereka berasal 
dari kedai yang tadi dilaluinya. 

Winarni mengalihkan pandangan kepada orang 
yang berbicara. Seorang lelaki gemuk yang memiliki 
sorot mata mencorong tajam. Kendati demikian, gadis 
yang memiliki watak tinggi hati ini tetap bersikap me- 
mandang rendah. Seperti biasa, dia menatap seseorang 
dengan agak mendongak. Memberitahukan kalau di- 
rinya lebih tinggi dari orang lain. 

Lelaki gemuk itu bukan lain Raja Babi Bertenaga 
Raksasa. Tokoh ini tak muncul sendiri. Di sebelah Raja 
Babi berdiri Mata Iblis. Di belakang kedua tokoh sesat 
itu berjalan mendekat beberapa tokoh hitam dunia 
persilatan. Mereka memiliki maksud yang sama den- 
gan Raja Babi dan Mata Iblis. 

Tokoh-tokoh sesat yang berasal dari berbagai dae- 
rah di Jawa Timur itu bersikap cerdik. Mereka tak in- 
gin lebih dulu terlibat dalam bentrokan. Biarkan anj- 
ing-anjing lain memperebutkan tulang, nanti apabila 
anjing-anjing itu kelelahan, baru mereka turun tangan! 
Begitu akal licik mereka. 

"Tepat sekali berita yang kudengar selama ini," 
tandas Raja Babi Bertenaga Raksasa melanjutkan 
ucapannya. "Tokoh-tokoh dari Gunung Bromo memiliki 
kesombongan yang tak terukur. Mereka menganggap 
keluarganya berbeda dengan kebanyakan orang. Seka- 
rang aku melihat sendiri buktinya!" 

"Tak usah banyak bicara seperti nenek-nenek ke- 
habisan sirih! Kemukakan saja apa maksud kalian 
menghadang perjalananku. Cepat! Aku tak punya ba- 
nyak waktu!" tandas Winarni keras. 

Wajah Raja Babi Bertenaga Raksasa mulai meme- 
rah. Lelaki gemuk ini terbakar amarahnya. Sikap Wi- 
narni yang demikian sombong sangat menyinggung 
harga dirinya. 

"Kau terlalu sombong, Gadis Liar! Orang seperti 
kau harus diberi pelajaran. Agar tahu kalau yang me- 
miliki kepandaian tinggi bukan hanya kau dan keluar- 
gamu!" geram Raja Babi. 

"Begitukah?" sambut Winarni tenang. "Buktikanlah 
kebenaran ucapanmu, Gendut! Kalau kau tak berani 
maju sendirian, boleh ajak gerombolanmu itu untuk 
membantu!" 

Hampir semua orang yang berada di tempat itu 
menggeleng-gelengkan kepala. Mereka tak senang 
mendengar ucapan sombong Winarni. Bahkan Arya 
yang menguntit mereka menyayangkan sikap Winarni. 

Dewa Arak bisa menilai Winarni memang memiliki 
kepandaian. Tapi meskipun demikian, tak sepatutnya 
gadis itu bertingkah demikian sombong. Padahal, se- 
makin tinggi kepandaian seseorang seharusnya sema- 
kin sadar kalau betapa banyaknya orang-orang pandai 
di dunia ini. Padi pun semakin berisi semakin tunduk! 

Raja Babi yang mendengar ucapan tajam Winarni 
hampir-hampir tak bisa menahan kemarahan. Kalau 
menuruti perasaan sudah diterjangnya Winarni. Tapi, 
lelaki gemuk ini merasa malu menghadapi seorang la- 
wan yang masih muda. Apalagi seorang gadis. Karena 
itu, Raja Babi berpaling pada Tiga Kunyuk Panganda- 
ran yang menjadi orang-orangnya. 

"Serang wanita liar itu! Lakukan apa yang kalian 
inginkan terhadapnya!" 

"Baik, Raja Babi!" sahut Tiga Kunyuk Pangandaran 
bersamaan. Serempak pula ketiga tokoh sesat berompi 
hitam ini mempersempit ruang gerak Winarni. 

Winarni hanya mendengus seraya menyunggingkan 
senyum sinis. Meski lawan-lawannya telah bersiap 
hendak menyerang, gadis ini tetap diam di tempatnya. 
Malah, kedua tangannya yang berada di pinggang tak 
dipindahkan. Bola matanya yang indah tertuju pada 
Raja Babi Bertenaga Raksasa. Sikapnya tetap seperti 
semula, memandang rendah. 

"Kiranya kau yang berjuluk Raja Babi Bertenaga 
Raksasa. Kudengar tempat tinggalmu di Madura. 
Sungguh jauh perjalananmu hingga sampai di tempat 
ini. Dan, semua itu kau lakukan untuk menemuiku. 
Luar Biasa! Rupanya aku telah menjadi orang yang 
demikian penting. Kulihat Mata Iblis dari Tuban pun 
ada pula!" 

"Jebol perutmu, Wanita Liar!" seru Kunyuk Muka 
Hitam, bertepatan dengan selesainya ucapan Winarni. 

Lelaki berkulit muka hitam ini mengirimkan ten- 
dangan lurus ke arah perut Winarni. Deru keras yang 
mengiringi serangan menunjukkan betapa kuatnya te- 
naga yang terkandung. Batu karang yang keras sekali- 
pun akan hancur jika terkena dengan telak. 

Di saat Kunyuk Muka Hitam melancarkan seran- 
gan, Kunyuk Muka Merah mengirimkan pukulan me- 
nyamping ke arah kepala. Dari arah lain Kunyuk Muka 
Putih bergulingan ke depan dan mengirimkan sapuan 
ke arah kaki. Tiga buah serangan sekaligus tertuju ke 
arah Winarni! 

Tatapan semua orang terarah pada Winarni. Mere- 
ka semua ingin melihat tindakan yang akan dilakukan 
gadis itu. Ternyata Winarni tak bergeming dari tem- 
patnya. Kendati demikian, kewaspadaannya terpasang 
penuh. Winarni mengetahui bagian-bagian yang dija- 
dikan serangan. 

Tendangan Kunyuk Muka Hitam dipapaknya den- 
gan gerakan yang sama. Serangan Kunyuk Muka Me- 
rah ditangkis dengan mengangkat tangan kiri. Sedang- 
kan sapuan Kunyuk Muka Putih dibiarkan menghan- 
tam kaki kirinya. Gadis berpakaian merah ini tak lupa 
mengerahkan tenaga dalam untuk membuat kakinya 
yang kecil dan indah seperti berakar dengan tanah. 

Desss, bukkk, desss...! 

Tiga benturan terjadi hampir bersamaan. Jerit-jerit 
kesakitan dari mulut Tiga Kunyuk Pangandaran pun 
terdengar. Kunyuk Muka Hitam merasakan kaki ka- 
nannya lumpuh. Tubuhnya terjengkang ke belakang. 
Bahkan kemudian terbanting cukup keras di tanah. 

Keadaan yang sama diterima Kunyuk Muka Merah. 
Sekujur tangannya yang berbenturan dengan Winarni 
sakit bukan main. Seakan bukan dengan tangan ma- 
nusia, melainkan besi baja yang amat kuat. Akibat 
benturan ini tubuh Kunyuk Muka Merah terputar! 

Keadaan yang diterima Kunyuk Muka Putih tak le- 
bih baik. Lelaki ini malah yang paling keras menjerit. 
Dia seperti menyapu batang baja yang amat keras. 

Kunyuk Muka Putih tak ingin memberi kesempatan 
pada Winarni. Dia segera menggulingkan tubuh men- 
jauh. Tindakan ini menyelamatkannya dari serangan 
balasan yang akan dilancarkan Winarni. 

Gadis itu mendengus dengan sikap yang menun- 
jukkan kesombongan besar, 

"Orang-orang dengan kepandaian seperti kalian in- 
gin menangkapku? Kalian hanya bermimpi! Seperti 
sudah kukatakan tadi, lebih baik julukan Tiga Kunyuk 
Pangandaran diganti dengan Tiga Kucing Pincang Tua. 
Kalian sama sekali tak punya kepandaian!" dengus 
Winarni dengan kedua tangan terlipat di depan dada. 

Tiga Kunyuk Pangandaran menggertakkan gigi me- 
nahan perasaan geram. Tangan mereka mengepal ke- 
ras. Ucapan Winarni terlalu menyakitkan hati. 

"Tahan...!" 

Seruan keras yang amat mereka kenal membuat 
Tiga Kunyuk Pangandaran yang telah bersiap melan- 
carkan serangan segera menghentikan gerakannya. Ti- 
ga tokoh hitam itu mengalihkan perhatian pada pemi- 
lik suara. 

"Menyingkir kalian!" seru Raja Babi penuh wibawa. 
"Biar aku yang menghadapi wanita liar itu!" 

Berbarengan dengan langkah maju Raja Babi, Tiga 
Kunyuk Pangandaran melangkah mundur. Namun me- 
reka masih sempat mengarahkan pandangan penuh 
ancaman kepada Winarni. 

Raja Babi menghentikan ayunan kakinya pada ja- 
rak lima tombak dari Winarni. Gadis itu sendiri tetap 
berdiri tenang di tempatnya. Malah, sejak tadi me- 
nyaksikan gerak-gerik Raja Babi dengan kedua tangan 
terlipat di depan dada. 

Raja Babi menatap Winarni. Gadis berpakaian me- 
rah itu tak mau kalah gertak. Dia balas menatap den- 
gan sorot mata penuh tantangan. 

"Kalau menuruti perasaan...," ucap Raja Babi den- 
gan suara bergetar menahan amarah. "Sikap dan uca- 
panmu telah cukup untuk membuatku membunuhmu, 
Wanita Liar! Setidak-tidaknya aku harus menghukum 
mu. Tapi, hal itu tak akan kulakukan apabila kau ber- 
sedia bekerja sama denganku. Bagaimana?!" 

"Kerja sama?!" dengus Winarni penuh ejekan, "Sua- 
tu penghinaan besar! Apakah kau pernah mendengar 
ada anggota keluarga Gunung Bromo yang bekerja sa- 
ma dengan penjahat?!" 

"Orang seperti kau memang harus dikasari dulu 
baru mau mendengarkan ucapan orang lain. Tapi se- 
belum kuberikan hajaran, kuberitahukan padamu, 
Wanita Sombong! Aku hanya ingin kau pergi bersama- 
ku ke Gua Landak di Gunung Bromo! Bagaimana?" Ra- 
ja Babi masih berusaha membujuk 

"Rupanya kau mempunyai otak bebal dan telinga 
yang tuli, Babi Gemuk!" sentak Winarni kasar. "Tidak- 
kah kau dengar ucapanku?! Aku, selaku Pendekar dari 
Gunung Bromo, tak akan mungkin bekerja sama den- 
ganmu. Jelas?!" 

"Kau membuat kesabaranku habis, Wanita Liar!" 
geram Raja Babi. 

Berbarengan dengan terkatupnya mulut Raja Babi, 
kedua tangannya ditempelkan di depan dada lalu sal- 
ing digesekkan satu sama lain. Sesaat kemudian, pada 
bagian telapak tangan itu tampak sinar kemerahan. 

Winarni tetap bersikap seperti semula. Tenang dan 
menatap dengan sinar mata merendahkan. Tapi orang- 
orang yang bermata tajam seperti Raja Babi, Dewa 
Arak, dan Mata Iblis sekilas dapat melihat sorot keter- 
kejutan dalam sinar mata Winarni. 

Sementara itu Raja Babi Bertenaga Raksasa tak 
hanya saling menggesekkan kedua telapak tangannya. 
Begitu warna merah semakin membara, kedua tan- 
gannya dihentakkan bersama-sama ke arah Winarni. 
Serangkum sinar kemerahan meluncur. Winarni me- 
lompat ke atas lalu bersalto beberapa kali untuk men- 
dekati Raja Babi. Tindakan gadis ini membuat sinar 
kemerahan menghantam batang pohon besar. Pohon 
yang sial itu pun ambruk ke tanah memperdengarkan 
bunyi bergemuruh. 

Saat tubuhnya tengah meluncur ke arah Raja Babi, 
Winarni menghunus pedang dan membabatkannya ke 
arah leher lelaki gemuk itu. Raja Babi menyadari 
adanya ancaman maut ketika melihat kilatan sinar 
menyilaukan menyambar ke arahnya. Tanpa banyak 
membuang waktu dihunusnya ruduih (golok di Suma- 
tera Barat) dari sarungnya. Secepat kilat diayunkan 
memapak pedang lawan. 

Trangngng...! 

Bunga-bunga api berpercikan ke udara ketika pe- 
dang dan ruduih berbenturan. Tubuh Winarni dan Ra- 
ja Babi terpental ke belakang. Raja Babi merasakan 
sekujur tangannya bagaikan lumpuh. 

Lelaki gemuk itu penasaran bukan main melihat 
hasil benturannya. Dia terkenal memiliki tenaga yang 
amat kuat. Tapi mengapa berbenturan dengan seorang 
gadis muda bisa kalah? Kenyataan ini benar-benar 
menjatuhkan namanya! 

Raja Babi Bertenaga Raksasa buru-buru mema- 
tahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung. 
Ia ingin segera mengirimkan serangan balasan. 
Sayang, ternyata dia kalah cepat. Winarni telah lebih 
dulu melesat ke arahnya dan mengamuk dengan pe- 
dang di tangan. 

Bentuk pedang gadis itu lenyap menjadi segulun- 
gan sinar menyilaukan mata. Berkelebatan dengan ce- 
pat memperdengarkan bunyi berdesingan nyaring. Ra- 
ja Babi tak mau kalah. Lelaki gemuk itu meluruk maju 
memapaki serangan lawan. 

Pertarungan sengit pun tak bisa dihindarkan lagi. 
Kedua belah pihak saling mengerahkan kemampuan- 
nya. Di jurus-jurus awal tampak pertarungan berlang- 
sung sengit. Tapi ketika menginjak jurus kedua puluh, 
Raja Babi mulai terdesak. Lelaki gemuk ini memang 
kalah segala-galanya dibandingkan lawan. Sekarang 
Raja Babi hanya bisa bertarung mundur. Jarang sekali 
dia melancarkan serangan. Dan lebih sering mengelak 
serta menangkis. 

Desss! 

Sebuah tendangan kaki kanan Winarni mendarat 
telak di paha kanan Raja Babi. Tubuh lelaki itu ter- 
jengkang ke belakang lalu terguling-guling di tanah. 
Winarni tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera 
memburu dengan pedang siap dihujamkan. 

Mata Iblis yang sejak tadi memperhatikan jalannya 
pertarungan segera mengetahui kalau Winarni lawan 
yang amat tangguh. Dirinya sendiri bukan tandingan 
gadis itu. Maka di saat perhatian Winarni tengah ter- 
pusat untuk segera merobohkan Raja Babi Bertenaga 
Raksasa, Mata Iblis mengirimkan serangan dengan 
mempergunakan mata tunggalnya. 

Zooot...! 

Sinar kehijauan meluncur ke arah Winarni. Cepat 
bukan main lesatannya. 

Ketika serangan maut itu menyambar dekat, Wi- 
narni baru menyadari adanya bahaya mengancam. Ta- 
pi tidak demikian halnya dengan Dewa Arak. Pemuda 
ini sempat melihat ketika sinar hijau masih cukup 
jauh. 

Dewa Arak segera bertindak. Dikirimkannya puku- 
lan jarak jauh ke arah sinar kehijauan. 

Bresss...! 

Pukulan jarak jauh Dewa Arak berhasil menghan- 
tam sinar itu. Tapi karena pemuda berambut putih ke- 
perakan ini terburu-buru, kekuatan pukulannya 
hanya ditopang oleh sebagian kecil tenaga. Akibatnya 
hanya membuat arah sinar kehijauan melenceng. 

Kendati demikian, tindakan Dewa Arak berhasil 
menyelamatkan nyawa Winarni. Sinar yang seharus- 
nya tertuju ke tubuh gadis itu melesat beberapa jari di 
sisi tubuhnya. 

"Keparat...!" geram Mata Iblis melihat hasil seran- 
gannya. 


Mata Iblis memang gagal menyarangkan serangan. 
Tapi, serangan yang dilancarkannya tadi membuat Wi- 
narni gugup. Desakan gadis itu terhadap Raja Babi 
Bertenaga Raksasa segera dihentikan. Winarni bersiap 
menghadapi gempuran Mata Iblis selanjutnya. 

Kegugupan itu harus dibayar mahal. Kesempatan 
ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Raja Babi. Lelaki 
gemuk itu menghentakkan tangannya mengirimkan 
pukulan jarak jauh. 

Bresss...! 

Tubuh Winarni terjengkang ke belakang dan me- 
layang. Dari mulutnya muncrat darah segar. Mata Iblis 
dan Raja Babi bagaikan berlomba ingin segera me- 
nangkap tubuh Winarni. 

Tappp...! 

Sesosok bayangan Ungu telah terlebih dulu me- 
nyambar tubuh gadis itu. Mata Iblis dan Raja Babi 
Bertenaga Raksasa hanya bisa menatap dengan sorot 
mata geram. 

"Anjing kecil dari mana berani dengan lancang me- 
nentang Raja Babi?!" bentak Raja Babi Bertenaga Rak- 
sasa. "Kalau masih ingin selamat, serahkan wanita 
yang kau panggul itu padaku!" 

"Enak saja!" sentak Mata Iblis gusar. "Bukan pa- 
danya harus kau serahkan wanita itu. Serahkan pada- 
ku, Bocah!" 

Dewa Arak menatap Raja Babi dan Mata Iblis ber- 
gantian. Sikapnya terlihat tenang bukan main. Tubuh 
Winarni ada di panggulannya. Winarni tak meronta- 
ronta karena tubuhnya lemas bukan main. 

"Kalian dengar baik-baik, Raja Babi dan Mata Iblis! 
Aku tak akan memberikan wanita ini pada siapa pun. 
Kalian dengar?! Biarkan aku pergi dari tempat ini. Aku 
tak ingin membuat keributan dengan kalian. Bagaima- 
na?" 

"Kau boleh pergi, Bangsat Kecil! Tapi ke neraka!" 
bentak Mara Iblis seraya menerjang Dewa Arak. 

Tokoh sesat dari Tuban ini bersenjatakan clurit, 
senjata khas wilayah Jawa Timur. Mata Iblis memang 
tak seperti Raja Babi yang merantau ke berbagai dae- 
rah, sehingga bisa mempunyai senjata dari daerah 
lain. 

Mata Iblis mengirimkan bacokan ke arah leher. 
Clurit mengaung tanpa terlihat bentuk senjata itu. 
Yang tampak hanya kelebatan sinar menyilaukan ma- 
ta. 

Wusss...! 

Serangan Mata Iblis mengenai tempat kosong. Be- 
berapa jari di depan sasaran ketika Dewa Arak mena- 
rik kakinya ke belakang seraya mencondongkan tu- 
buh. 

Kegagalan serangan membuat Mata Iblis semakin 
beringas. Kakinya dilayangkan ke perut Dewa Arak 
dengan tendangan lurus yang telak. Tendangan yang 
mampu menghancurkan batu karang. 

Untuk kedua kalinya Arya mengelakkan serangan 
itu. Kali ini pemuda berambut putih keperakan itu me- 
lompat tinggi ke atas melewati kepala Mata Iblis. Tepat 
di atas kepala tokoh sesat bermata satu itu, Dewa Arak 
berjungkir balik dan mengirimkan totokan ke arah 
ubun-ubun. 

Ternyata Mata Iblis bukan termasuk lawan yang 
mudah dipecundangi. Serangan Dewa Arak tak mem- 
buatnya gugup. Tubuhnya dicondongkan ke depan se- 
raya mengayunkan cluritnya ke belakang melalui atas 
kepala! Tokoh sesat dari Tuban ini tak hanya membuat 
serangan Dewa Arak kandas, tapi juga mengancam 
pemuda itu. 

Kedudukan tubuhnya yang berada di udara mem- 
buat Dewa Arak tak mempunyai kesempatan untuk 
mengelak. Pemuda ini mengambil gucinya dan mema- 
pak serangan Dewa Arak mengerahkan seluruh tenaga 
dalamnya. 

Klangngng...! 

Benturan keras yang terjadi menimbulkan berper- 
cikannya bunga-bunga api dan muncratnya butiran 
arak! Tubuh kedua petarung itu terhuyung-huyung. 

Namun, Dewa Arak dan Mata Iblis segera dapat 
memperbaiki kedudukan tubuhnya. Sekejap kemudian 
kedua tokoh ini telah saling berhadapan kembali. 

"Pantas kau berani bersikap sombong, Bocah!" ge- 
ram Mata Iblis sambil mengangguk-anggukkan kepala. 
"Kiranya kau memiliki kepandaian lumayan. Tapi perlu 
kau ketahui, tak ada seorang pun yang dapat menga- 
lahkan Mata Iblis! Camkan itu!" 

"Terima kasih atas pujian mu, Mata Iblis! Kau pun 
tokoh yang luar biasa!" puji Dewa Arak. 

Pemuda berambut putih keperakan itu tak sekadar 
berbasa-basi. Telah dirasakan sendiri kuatnya tenaga 
dalam lawan. Arya harus mengakui kalau tenaga da- 
lamnya hanya sedikit lebih kuat dari Mata Iblis. Pa- 
dahal lawan yang harus dihadapinya bukan hanya to- 
koh dari Tuban itu. Masih ada Raja Babi Bertenaga 
Raksasa. 

Raja Babi yang berasal dari Madura ini tak berada 
di bawah Mata Iblis. Sungguh merupakan lawan-lawan 
yang amat berat! Apalagi di situ masih ada tokoh-tokoh 
persilatan aliran hitam lainnya. 

"Aku benci dengan orang yang suka berbasa-basi 
tanpa mau bertindak!" 

Seruan keras itu dikeluarkan Raja Babi Bertenaga 
Raksasa. Seiring dengan seruannya tokoh sesat dari 
Madura ini melesat menerjang Dewa Arak. 

Di tangan kanannya telah tergenggam sebatang 
piarit (tombak berujung tiga dari Sumatera Barat). 
Dengan piarit itu Raja Babi melancarkan tusukan ke 
arah perut! 

Dewa Arak yang memang sudah memperhitungkan 
kejadian seperti ini, melompat ke atas setinggi satu 
tombak. Lalu menjejakkan kaki di atas piarit. Pemuda 
berambut putih keperakan ini langsung mengerahkan 
tenaga untuk memberatkan tubuhnya. 

Raja Babi merasakan tekanan yang amat berat di 
ujung piaritnya. Yang berdiri di atas senjata itu seperti 
bukan seorang manusia, melainkan beberapa ekor ga- 
jah besar. Tapi, tokoh dari Madura ini tak mau kalah 
gertak. Dikerahkannya seluruh tenaga dalam. 

Raja Babi benar-benar memang memiliki tenaga 
luar biasa! Ujung piarit yang sudah tertekan ke bawah 
kembali naik ke atas dengan bagian ujung agak men- 
dongak ke atas. 

Kenyataan ini benar-benar mengejutkan Dewa 
Arak! Sungguh tak disangkanya demikian besar tenaga 
dalam Raja Babi. 

"Ambrol dadamu!" seru Mata Iblis keras seraya 
mengirimkan serangan sinar hijau melalui matanya 
yang sebelah. 

Dewa Arak mengetahui serangan maut itu. Seran- 
gan yang datang dari arah belakang. Dewa Arak mem- 
perhitungkan kejadian ini untuk keuntungan dirinya. 
Raja Babi tepat berada di depannya. Arya lalu mengu- 
rangi tenaga yang diarahkan di kedua kaki. Akibat tin- 
dakannya itu piarit naik ke atas secara cepat. Arya 
mempergunakan kesempatan itu untuk melompat ke- 
mudian bersalto beberapa kali di udara. 

Tindakan yang diambil Dewa Arak membuat seran- 
gan sinar hijau lewat di bawah kakinya. Raja Babi pun 
kehilangan keseimbangan. Dan, serangan Mata Iblis 
meluncur ke arahnya! Kendati demikian, tokoh asal 
Madura ini masih mampu mempertunjukkan keheba- 
tan dirinya. Piarit yang agak terayun deras ke atas di- 
putar untuk menangkis serangan sinar hijau. 

Crattt...! 

Wusss....! 

Pada saat yang bersamaan dengan ayunan piarit- 
nya. Raja Babi menghentakkan tangan mengirimkan 
pukulan jarak jauh. Tepat di saat sinar hijau berbentu- 
ran dengan ujung piarit, pukulan jarak jauh itu telah 
terlontar setengah jalan. 

Benturan antara sinar hijau dengan piarit menga- 
kibatkan Raja Babi terjengkang ke belakang. Sekujur 
tangannya terasa panas bukan main. Sementara Mata 
Iblis menggulingkan tubuh di tanah untuk mengelak- 
kan serangan pukulan jarak jauh Raja Babi. 

Kejadian seperti ini sudah diperhitungkan oleh De- 
wa Arak. Maka ketika mengelakkan serangan sinar hi- 
jau Mata Iblis, pemuda ini menyambungnya dengan le- 
satan cepat meninggalkan tempat itu. Tokoh-tokoh 
persilatan yang ada di situ mencoba mencegah. Tapi 
mereka berpentalan ke sana kemari Ketika Dewa Arak 
mengibaskan tangan kanannya. 

"Keparat...!" maki Mata Iblis geram. "Bocah kurang 
ajar itu telah mengecoh ku!" 

"Ke mana pun kau lari akan kukejar, pemuda som- 
bong!" seru Raja Babi Bertenaga Raksasa tak kalah 
murka. 

Kedua tokoh sesat yang merasa tertipu ini tak me- 
lanjutkan pertarungan lagi. Mereka hanya saling ber- 
pandangan sejenak sebelum melesat meninggalkan 
tempat itu menuju arah yang ditempuh Dewa Arak 

Arya yang tahu betapa berbahayanya Raja Babi 
dan Mata Iblis, mengerahkan seluruh kemampuan la- 
rinya. Dalam waktu sekejap saja ratusan tombak telah 
dilalui. Pemuda berambut putih keperakan itu baru 
memperlambat kecepatannya ketika merasakan ron- 
taan di bahunya. 

"Turunkan aku. Aku bisa berlari sendiri" Kata-kata 
itu membuat Dewa Arak menghentikan lari. Lalu ditu- 
runkanya tubuh Winarni 

"Terima kasih atas pertolonganmu Sobat. Tapi, kau 
terlalu tergesa-gesa campur tangan. Padahal aku ber- 
maksud melenyapkan penjahat-penjahat kecil itu." 

"Maaf, Nona. Bukan maksudku bertindak lancang 
mencampuri urusanmu. Tapi, kulihat kau terancam 
bahaya. Dan...." 

"Siapa bilang aku terancam?!" potong Winarni ce- 
pat. "Memang kuakui saat itu aku tengah terdesak. 
Tapi itu bukan berarti aku akan kalah. Ilmu andalan 
ku belum ku keluarkan! Tak ada kata kalah buat to- 
koh persilatan dari Gunung Bromo! Aku adalah ketu- 
runan dari Pendekar-Pendekar Gunung Bromo yang 
amat terkenal di dunia persilatan!" 

"Sayang sekali... gadis secantik ini memiliki watak 
demikian tinggi hati," pikir Arya menyesalkan. Tapi di 
mulutnya ia mengeluarkan perkataan lain. "Maaf, atas 
kelancanganku. Kalau saja ku tahu kau keturunan to- 
koh-tokoh itu, tak mungkin aku berani ikut campur 
tangan! Dengan sedikit kepandaian yang kumiliki ini 
mana mungkin aku berani tak tahu diri menolong ke- 
turunan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo yang ter- 
kenal memiliki kepandaian setinggi langit!" 

"Syukurlah kalau kau mengerti," sahut Winarni 
tanpa mengurangi rasa sombongnya. 

Arya hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa 
berkata apa pun. Hanya, di dalam kepalanya bergayut 
pertanyaan yang tak terkeluarkan. 

"Siapa sebenarnya tokoh-tokoh yang berjuluk Pen- 
dekar Gunung Bromo? Kalau saja tak mengingat ke- 
sombongan yang ditunjukkan gadis ini, akan kutanya- 
kan padanya siapa sebenarnya mereka...." 

"Kau tahu siapa diriku. Tapi, kau belum memper- 
kenalkan siapa dirimu sebenarnya. Aku yakin meski 
tingkat kepandaian yang kau miliki belum berapa ting- 
gi, kau telah mempunyai cukup nama di dunia persila- 
tan," ujar Winarni lagi berusaha mengetahui tentang 
Dewa Arak. 

"Orang sepertiku mana mungkin punya nama di 
dunia persilatan, Nona," sahut Arya merendahkan diri. 
"Terlalu banyak orang-orang sakti di dunia persilatan. 
Apalah artinya aku ini? Tak ada gunanya diketahui 
tentang diriku. Lain halnya dengan dirimu, Nona." 

Winarni hanya mengangkat bahu dengan sikap tak 
peduli, kendati rasa ingin tahunya meluap-luap. Se- 
kuat tenaga perasaan itu ditahannya. 

"Aku tak ingin menakut-nakuti. Tapi perlu kuberi- 
tahukan padamu untuk berhati-hati. Orang-orang 
yang bertarung denganku memiliki kepandaian amat 
tinggi. Aku yakin tindakanmu mencampuri urusanku 
dengan mereka akan berbuntut panjang. Mereka akan 
mencarimu. Dan...." 

"Kuucapkan terima kasih yang sebesarnya atas 
perhatianmu, Nona," sela Arya tak sabar. "Meskipun 
kepandaian yang kumiliki tak setingkat denganmu, 
aku tak akan mundur jika orang-orang itu meminta 
pertanggungjawaban. Sampai jumpa lagi, Nona. 
Sayang, aku masih mempunyai urusan lain." 

Tanpa banyak basa-basi lagi Arya meninggalkan 
Winarni dengan langkah seenaknya. Winarni mengger- 
takkan gigi. Geram melihat tingkah Dewa Arak yang 
berani menyela ucapannya dan meninggalkan dirinya 
begitu saja. 

"Lancang sekali pemuda itu! Sungguh berani dia 
bersikap seperti itu padaku. Lupakah dia kalau aku 
keturunan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo?!" rutuk 
Winarni dalam hati. Kemudian, tubuhnya dibalikkan 
dan berjalan meninggalkan tempat itu sambil memo- 
nyongkan bibir. 

***

Arya duduk di pinggir sungai dengan pandangan 
tertuju ke permukaannya. Tatapannya yang tak per- 
nah berubah menunjukkan kalau pemuda berambut 
putih keperakan ini tengah tenggelam dalam lamunan. 

"Tak salahkah Penyair Cengeng? Masalah apakah 
yang dimaksudnya akan kutemui di daerah ini? Semu- 
la kupikir ada hubungannya dengan gadis berpakaian 
merah yang sombong itu. Tapi ternyata tidak! Masalah 
gadis itu hanya kecil saja. Atau, sebaiknya ku tinggal- 
kan daerah ini?" pikir Aiya dengan pandang mata tak 
bergeming dari permukaan air sungai, 

Pekikan melengking nyaring membuat Arya tersa- 
dar dari lamunan. Kepalanya didongakkan ke atas. 
Tampak sosok berwarna kuning keemasan tengah me- 
layang-layang di angkasa, berputaran tepat di atasnya. 
Arya harus mengerahkan tenaga dalam ke mata 
agar dapat melihat lebih jelas sosok kuning keemasan 
itu. Ternyata seekor burung garuda! 

"Garuda Emas?!" desis Arya. "Bukankah binatang 
itu yang ditunggangi Penyair Cengeng?" 

Dewa Arak pernah berjumpa dengan Penyair Cen- 
geng di saat tokoh itu menunggangi Garuda Emas. 
(Untuk jelasnya, silakan baca episode "Angkara Si 
Anak Naga"). 

"Hei! Apa itu?!" 

Arya melihat sesuatu melayang jatuh dari burung 
Garuda Emas. Sesuatu yang meluncur tepat ke arah 
Dewa Arak. Semula Dewa Arak bersikap waspada. 
Khawatir akan terjadinya hal-hal yang tak diinginkan. 
Tapi ketika benda itu terlihat semakin jelas, kewaspa- 
daan Arya berkurang. Benda itu ternyata segulungan 
kulit binatang. 

Setelah yakin gulungan kulit binatang itu tak ber- 
bahaya, Dewa Arak menerimanya ketika telah hampir 
menimpa kepala. 

Dewa Arak 

Untuk kedua kalinya kita berjumpa dengan cara ini. 
Aku yakin sekarang kau telah terlihat dalam masalah 
yang ku maksud. Kendati mungkin kau belum mengeta- 
huinya secara pasti. Masalah yang kuharap dapat kau 
selesaikan berawal pada lima tahun lalu antara Pende- 
kar-Pendekar Gunung Bromo dengan musuh bebuyu- 
tannya. Selamat bertugas, Dewa Arak. Kuharap dengan 
pemberitahuan ini, kau akan mengetahui masalah yang 
sebenarnya. Aku pun tahu tentang masalah ini dari 
Eyang Nararya alias Kertapati. Sebenarnya dia ber- 
maksud mengurusnya sendiri. Tapi, dia sudah jemu be- 
rurusan dengan kekerasan! Sekali lagi selamat bertu- 
gas, Arya! 

Penyair cengeng. 

Arya mendongakkan kepala menatap ke angkasa. 
Tak ada sesuatu pun di sana. Kecuali langit biru dan 
gumpalan awan putih. Pemuda ini mengedarkan pan- 
dangan ke sekitarnya. Namun Garuda Emas sudah tak 
ada. 

"Kalau saja gadis itu tak demikian sombong," pikir 
Arya menyesalkan. "Mungkin sudah kuketahui masa- 
lah yang harus kuhadapi. Sikap gadis sombong itu 
membuat semuanya berantakan! Tapi, akan ku coba 
memenuhi harapan Penyair Cengeng" 

Arya bangkit berdiri. Gulungan kulit binatang itu 
diselipkannya ke pinggang. Kemudian, pemuda ini 
membalikkan tubuh dan melesat pergi hendak menyu- 
sul Winarni. 

Maksud Arya terhenti di tengah jalan. Matanya se- 
kilas melihat sesuatu timbul tenggelam di permukaan 
sungai. Arya memperhatikan lebih teliti. Ternyata seo- 
rang manusia! Arus sungai yang cukup deras mem- 
buat sosok itu melaju cepat. 

Arya segera bertindak. Tangan kanannya dijulur- 
kan ke depan. Saat itu sosok kuning yang terapung le- 
wat di depannya. Jarak antara Arya dan sosok itu tak 
kurang dari lima tombak. 

Juluran tangan Arya yang ditopang pengerahan te- 
naga dalam membuat sosok itu tidak terbawa arus. 
Aiya lalu memutar pergelangan tangannya. Seketika, 
sosok berbaju kuning melayang deras ke arahnya. Se- 
belum sosok itu jatuh menimpa pinggir sungai yang 
berbatu-batu, Arya telah menangkapnya dengan sebe- 
lah tangan. Seakan sosok itu tak lebih dari sehelai 
daun! 

Arya langsung merebahkan sosok berbaju kuning 
di batu yang berpermukaan rata. Dia seorang gadis 
cantik. Kulitnya putih halus. Tubuhnya yang montok 
tampak jelas karena pakaiannya yang basah melekat 
di badan. 

"Seorang gadis yang sangat cantik...," pikir Arya 
penuh kagum sambil mengamati sekujur tubuh sosok 
kuning. 

Pemuda berambut putih keperakan ini tak lang- 
sung memberikan pertolongan. 

"Gadis ini tak bernapas lagi. Jantungnya berhenti 
berdenyut. Kalau kubiarkan lebih lama, tentu dia akan 
mati. Tapi..., bagaimana mungkin aku menolongnya? 
Jika dia sadar dan tahu tindakanku, dia akan marah 
besar dan mendugaku yang bukan-bukan." 

Arya benar-benar bingung. Di satu pihak dia ingin 
menolong. Tapi kekhawatiran muncul di hatinya. Sete- 
lah dipertimbangkan sejenak, akhirnya Arya mengam- 
bil keputusan yang dirasanya tepat. 

Jantung Arya berdetak cepat ketika mendekatkan 
wajahnya ke wajah gadis berpakaian kuning. Tercium 
oleh pemuda ini keharuman khas wanita dari tubuh si 
gadis. 

Arya memang seorang pemuda yang berhati dan 
pikiran bersih. Tak pernah pemuda ini mengimpikan 
untuk melakukan tindakan tak senonoh terhadap seo- 
rang wanita. Apalagi di saat wanita tersebut tak sadar- 
kan diri. Kendati demikian, dia seorang manusia biasa. 
Tak luput dari serbuan berbagai macam perasaan dan 
hawa nafsu. Dan, kali ini perasaan itu melandanya. 

"Jangan bertindak bodoh, Arya," bisik setan di hati 
pemuda berambut putih keperakan itu. "Kapan lagi 
kau mendapatkan kesempatan seperti ini? Gadis di 
depanmu cantik sekali. Bisa dihitung dengan jari wani- 
ta yang memiliki kecantikan seperti dirinya. Bentuk 
tubuhnya pun menggiurkan. Dia toh tak akan tahu. 
Lagi pula, kau tak akan melakukan tindakan yang ke- 
terlaluan terhadapnya." 

Godaan setan di hati Arya membuat napas Arya 
agak memburu. Sekelebat pikiran yang mendukung 
gagasan tak baik itu muncul di benaknya. 

"Benar! Kurasa tak ada salahnya melakukan hal 
itu. Toh, gadis ini tak akan rugi apa pun! Hanya cium, 
membelai. Lain tidak" 

Pikiran-pikiran itu yang melanda Aiya di saat wa- 
jahnya didekatkan ke wajah berpakaian kuning. Tapi 
di saat wajah kedua muda-mudi itu semakin dekat, 
akal sehat Arya bekerja. 

Arya mampu menekan gejolak nafsu ketika bibir- 
nya bertemu dengan bibir indah gadis berpakaian kun- 
ing. Dengan mempergunakan mulutnya, Arya meng- 
hembus udara ke dalam mulut gadis berpakaian kun- 
ing yang terbuka. 

Sambil menghembus, sesekali Arya mengiringinya 
dengan menekan dada si gadis. Beberapa kali hal itu 
dilakukan. Sampai akhirnya gadis berpakaian kuning 
bernapas kembali. Arya pun menghentikan pertolon- 
gannya. 

Pada saat yang bersamaan dengan berhentinya 
Arya melakukan pertolongan, gadis berpakaian kuning 
membuka matanya. Seketika mata indah itu meman- 
carkan keterkejutan. 

"Sabar dulu. Nona. Sabar! Kau salah paham!" ujar 
Arya dengan kedua tangan terjulur ke depan dan me- 
langkah mundur-mundur. "Aku tak bermaksud kurang 
ajar atau berbuat tak senonoh. Tapi,..." 

"Manusia terkutuk!" sela gadis berpakaian kuning 
geram seraya melompat bangun. Sepasang matanya 
menyiratkan kemarahan. "Kau harus menebus keku- 
rangajaranmu dengan nyawamu yang tak berharga!" 

Gadis berpakaian kuning yang bukan lain Dewi 
Ratna ini langsung mengirimkan serangan. Tangan 
kanannya menegang kaku. Dengan sisi telapak tangan 
gadis ini membacok leher Dewa Arak. Bunyi bercuitan 
tajam mengiringi gerakan tangannya. 

"Gila!" pikir Arya, kaget bercampur kagum. "Gadis 
ini hebat juga! Tidak hanya tenaga dalamnya yang 
kuat, juga ilmunya hebat. Ilmu yang dipergunakannya 
mirip dengan ilmu Darba" (Untuk mengetahui lebih je- 
las tentang tokoh yang bernama Darba, silakan baca 
episode "Cinta Sang Pendekar"). 

Dengan berdasarkan pengalaman bertarung den- 
gan Darba, Dewa Arak tahu kalau babatan tangan De- 
wi Ratna tak kalah berbahayanya dengan babatan go- 
lok pusaka! Karena itu Dewa Arak tak berani bertindak 
gegabah. Kendati diyakini kalau menangkis dengan 
tangan telanjang dia mampu, namun hal itu tak dila- 
kukannya. Sudah menjadi sifat Arya untuk lebih dulu 
melihat kedahsyatan ilmu lawan sebelum bertindak le- 
bih jauh. 

Wuttt...! 

Beberapa helai rambut Dewa Arak putus. Tangan 
Dewi Ratna memang lewat beberapa jari di atas kepala 
Arya ketika pemuda berambut putih keperakan itu 
mengelak dengan menundukkan kepala. Sambaran 
angin serangan Dewi Ratna yang memutuskan ram- 
but-rambut itu. 

Kegagalan serangan pertama membuat Dewi Ratna 
semakin sewot. Arya ternyata bukan lawan yang rin- 
gan. Serangan lanjutan yang sudah dipersiapkannya 
meluncur dalam bentuk tusukan jari tangan kiri ke 
arah dada. Kali ini Dewa Arak tak mengelak. 

*** 


Takkk...! 

Benturan agak keras terdengar ketika Dewa Arak 
melakukan tangkisan. Begitu tangan mereka beradu, 
pemuda ini segera mengerahkan tenaga menyedot. 
Dewi Ratna tak bisa menarik tangannya kembali. 

"Heh...?!" Dewi Ratna tak kuasa untuk menahan 
pekikan kaget. Kejadian ini sama sekali tak disangka- 
sangkanya. Sesaat dia tertegun keheranan. "Apa yang 
hendak dilakukan manusia kurang ajar ini?! Kepan- 
daiannya boleh juga!" 

Sadar kalau tangan kirinya tak bisa dibebaskan, 
Dewi Ratna mengirimkan serangan susulan. Gadis ini 
mengirimkan bacokan ke arah pelipis. Salah satu tem- 
pat yang lemah di tubuh manusia. Kendati manusia 
itu memiliki kesaktian setingkat dengan Dewa Arak! 
Sebagai pendekar muda yang kenyang pengalaman, 
tentu saja Arya mengetahui ancaman maut itu. 

"Gadis ini benar-benar kalap. Dia tak main-main 
lagi. Setiap serangannya berakibat maut bagiku," pikir 
Dewa Arak. Bergegas Arya mengelakkan serangan Dewi 
Ratna. Pemuda yang memiliki kepandaian tinggi ini tak 
membutuhkan tenaga banyak. Hanya dengan mengge- 
rakkan tubuh bagian atas Dewa Arak berhasil mem- 
buat serangan Dewi Ratna tak mengenai sasaran. Sisi 
tangan miring gadis berpakaian kuning itu hanya 
mengenai pundak kanan Dewa Arak. 

Dukkk.... 

Untuk kedua kalinya tangan Dewi Ratna tak bisa 
ditarik kembali. Tangannya menempel pada bahu De- 
wa Arak! Betapapun putri Mundarang ini berusaha ke- 
ras menarik tangannya, tetap saja sepasang tangannya 
tak bergeming. 

Dewi Ratna tak putus asa. Dia meronta-ronta agar 
dapat melepaskan diri. Sayang, usahanya sia-sia. Se- 
pasang tangannya tetap tak bergeming. 

"Sabarlah, Nona. Tenangkan hati. Jangan menuruti 
amarah belaka. Aku sama sekali tak bermaksud bu- 
ruk. Apa yang kulakukan karena ingin menyela- 
matkanmu. Tak ada maksud-maksud lainnya," berita- 
hu Arya tanpa mempedulikan Dewi Ratna yang terus 
meronta-ronta. 

Arya memang memiliki kesabaran yang cukup be- 
sar. Kendati Dewi Ratna tak mempedulikan seruannya, 
tetap saja ucapannya dilanjutkan. Tapi ketika terus 
tak ada perubahan, Arya sadar kegagalan akan diteri- 
manya. 

Tanpa menggerakkan anggota tubuh dan hanya 
mengerahkan tenaga dalam, Dewa Arak melemparkan 
tubuh Dewi Ratna ke belakang. Di saat tubuh gadis itu 
masih melayang Dewa Arak menjulurkan tangan. Dewi 
Ratna merasakan sekujur tubuhnya lemas tak berte- 
naga. Ia telah terkena totokan dari jarak jauh. 

"Celaka...!" pikir Dewi Ratna cemas, "Manusia ku- 
rang ajar ini memiliki kepandaian luar biasa. Aku jelas 
bukan tandingannya. Apa akalku agar dapat selamat? 
Paman Ardaraja memang tak berlebihan mengatakan 
kalau di dunia persilatan banyak tokoh-tokoh sakti!" 

Kedongkolan Dewi Ratna agak mengendur ketika 
mengetahui tubuhnya mendarat di tanah secara perla- 
han-lahan. Tidak terbanting begitu saja. 

"A... apa yang hendak kau lakukan?" tanya Dewi 
Ratna dengan tubuh masih tergolek di tanah ketika 
melihat Dewa Arak mendekatinya. 

"Buang jauh-jauh dugaan burukmu, Nona. Ingat- 
lah baik-baik kejadian sebelum ini. Apa yang kau ala- 
mi sebelum hanyut dibawa sungai?" 

Ucapan Dewa Arak ternyata membawa pengaruh 
besar. Dewi Ratna terjingkat bagai disengat ular berbi- 
sa. Ucapan Arya mengingatkannya akan hal yang ter- 
lupakan. Karena seluruh perhatiannya tercurah pada 
amarah terhadap Dewa Arak. 

Gadis berpakaian kuning ini mulai ragu dengan 
dugaannya. Kalau pemuda berambut putih keperakan 
itu memang kurang ajar dan memiliki watak tak baik, 
saat dirinya tak berdaya merupakan kesempatan ba- 
gus. Tapi, kenyataannya tidak. Bahkan, beberapa kali 
Arya mengingatkan akan terjadinya salah paham. 

"Kau kutemukan hanyut di sungai ini," lanjut Arya 
ketika dilihatnya Dewi Ratna tercenung. "Aku berusa- 
ha menolong. Ternyata kau tak sadarkan diri. Detak 
jantungmu pun tak terdengar lagi. Untuk menyela- 
matkan nyawamu terpaksa kulakukan pernapasan 
buatan. Aku yakin kesalahpahaman kemungkinan be- 
sar akan terjadi. Tapi, kuambil kemungkinan buruk itu 
untuk menyelamatkanmu...." 

Penjelasan Dewa Arak terdengar samar-samar di 
telinga Dewi Ratna. Sebagian besar perhatiannya ten- 
gah tercurah pada kejadian yang dialaminya sebelum 
hanyut ke sungai. Peristiwa itu terbayang kembali di 
benak Dewi Ratna.... 

Dewi Ratna terhuyung-huyung ketika Ardaraja 
mengibaskan tangan. Gadis yang berhati keras itu 
hendak melesat keluar gua. Tapi, runtuhan atap gua 
membuat gadis ini mengurungkan niatnya. 

Dewi Ratna berlomba dengan batu-batu besar yang 
berjatuhan dari atas untuk menyelamatkan nyawa. Dia 
menggulingkan tubuh ke sisi sebelah kanan gua. Di 
sana terdapat celah selebar satu tombak. 

Dewi Ratna memang berhasil menghindar dari ba- 
tu-batu besar. Tapi, batu-batu kecil sebesar kepala 
manusia banyak yang menimpa sekujur tubuhnya. 
Untung, tak satu pun yang mengenai kepala! Gadis ini 
juga berhasil mencapai celah di dinding gua. 

Dewi Ratna lalu merayap untuk tiba di ujung celah. 
Belasan tombak dilalui akhirnya gadis itu berhasil 
mencapai ujung celah rahasia. Ujung celah terlindungi 
oleh lebatnya rerumputan dan semak, sehingga tak 
terlihat dari luar. 

Tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang kotor 
berdebu, Dewi Ratna menguak rerumputan dan se- 
mak-semak. Gadis ini sudah tak sabar untuk segera 
tiba di gua tempat tinggalnya. Agar dapat membantu 
pamannya menghadapi tamu-tamu tak diundang yang 
agaknya dari Kelompok Penjagal Manusia! Gadis yang 
keras hati ini tak khawatir Ardaraja akan memara- 
hinya habis-habisan. Dia lebih khawatir kehilangan 
pamannya. 

Di saat Dewi Ratna meninggalkan ujung celah ra- 
hasia, Ardaraja telah berdiri berhadapan dengan lelaki 
yang mempunyai ciri berbeda satu sama lain. 

"Akhirnya kau menampakkan congormu juga, Ar- 
daraja," ujar lelaki tinggi kurus bercelana pendek hi- 
tam. Lelaki ini tak henti-hentinya mengipasi tubuhnya 
yang berpeluh. 

Lelaki kedua yang berdiri di belakang lelaki jang- 
kung memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang. 

Tubuhnya pendek gemuk. Dari ujung kaki sampai 
kepala, kecuali wajah, tertutup oleh pakaian dari kulit 
binatang. Kedua tangannya dilipat di depan dada se- 
perti layaknya orang kedinginan. Padahal, keadaan ha- 
ri itu sangat panas. Sang surya yang berada tepat di 
atas kepala memancarkan sinarnya dengan terik 

Ardaraja yang berdiri dua tombak dari mulut gua 
menatap sengit lelaki kurus di depannya. Orang yang 
ditatap terlihat tenang saja dan terus mengipasi tu- 
buhnya. 

"Itu berarti nyawamu akan pergi meninggalkan ra- 
ga, Ardaraja," sambut lelaki pendek gemuk yang memi- 
liki suara lembut seperti wanita, "Kau akan menyusul 
Buluk Siwu yang tewas di tanganku! Sayang, putri Bu- 
luk Siwu tak berada di tempat, sehingga bisa lolos dari 
maut!" 

"Tapi, kau akan selamat jika mau menunjukkan di 
mana pimpinan kami," timpal lelaki jangkung yang 
memiliki suara kasar. 

"Kalian hanya dapat mengetahuinya bila telah me- 
langkahi mayatku!" tandas Ardaraja. "Dan sebelum itu 
terjadi, kalian berdua akan lebih dulu melayat ke lu- 
bang kubur!" 

Seiring dengan keluarnya bentakan itu, Ardaraja 
mengeluarkan seuntai tasbih yang tersusun dari batu- 
batu kecil. Lelaki yang tak kuasa menahan amarahnya 
itu kemudian menyabetkan tasbih ke arah kepala lela- 
ki bercelana pendek. 

Wuttt...! 

Serangan tasbih mengenai tempat kosong. Lelaki 
jangkung telah merendahkan tubuhnya. Rambut dan 
pakaiannya berkibaran keras ketika senjata Ardaraja 
lewat di atas kepalanya. 

Lelaki bercelana pendek hitam tak tinggal diam. 
Kipas yang terbuat dari bulu binatang ternyata bergu- 
na pula sebagai senjata. Bahkan tak kalah ampuhnya 
dengan tasbih. Dua tokoh bersenjata aneh ini pun ter- 
libat pertarungan sengit! 

Jurus demi jurus berlangsung cepat. Semula tak 
terlihat pihak yang akan keluar sebagai pemenang. Ta- 
pi, begitu menginjak puluhan jurus Ardaraja harus 
mengakui keunggulan lawan. Dia mulai terdesak. 

Saat Ardaraja hanya dapat bergerak mundur, Dewi 
Ratna tiba. Dalam jarak beberapa tombak gadis itu 
berseru penuh semangat. 

"Jangan khawatir, Paman...! Aku datang memban- 
tu!" 

Trakkk...! 

Tangkisan yang dibuat lelaki tinggi kurus membuat 
Dewi Ratna terjengkang ke belakang. Pedang yang ter- 
genggam hampir saja lepas dari pegangan. 

Di lain pihak, lelaki bercelana pendek hitam yang 
setiap gerakannya menyebarkan hawa panas luar bi- 
asa tak terpengaruh sedikit pun. Waktu yang longgar 
sedikit itu dipergunakan oleh Ardaraja untuk melan- 
carkan serangan. 

Serangan Ardaraja terlalu cepat datangnya. Lelaki 
bercelana pendek hitam tak mempunyai kesempatan 
untuk menangkis. Yang dilakukan hanya mengelak 
dengan cara melempar tubuh ke belakang lalu bergu- 
lingan menjauh. 

Kesempatan itu kembali dimanfaatkan sebaik- 
baiknya oleh Ardaraja. Dengan mempergunakan kiba- 
san tangan, gulingan tubuh Dewi Ratna ditambahnya. 
Kibasan tangan tokoh Gunung Bromo ini menimbul- 
kan deru angin keras. 

"Pergilah kau, Ratna. Jangan sia-siakan nyawamu!" 
seru Ardaraja. 

Lelaki ini ingin berbicara banyak. Tapi, kesempatan 
yang tercipta sangat singkat. Ketika pemberitahuannya 
terhadap Dewi Ratna baru saja selesai, lelaki pendek 
gemuk melesat menerjangnya. 

Berbeda dengan lelaki bercelana pendek hitam, se- 
rangan lelaki pendek gemuk menimbulkan gelombang 
hawa dingin luar biasa. Ardaraja mengelak seraya 
mengerling ke arah keponakannya. Lelaki dari Gunung 
Bromo ini terkejut melihat Dewi Ratna belum juga me- 
ninggalkan tempat itu. Bahkan, gadis itu seperti akan 
membantunya. Ardaraja merasa cemas. Apalagi ketika 
melihat lelaki jangkung telah bersiap hendak menyer- 
bunya kembali. 

"Ratna! Pergilah cepat! Atau kau ingin aku mati 
penasaran?!" 

Ucapan yang dikeluarkan dengan nada keras itu 
membuat Dewi Ratna kebingungan. Dia merasa bim- 
bang. Sementara Ardaraja semakin kelabakan. Lelaki 
jangkung kurus melesat menerjangnya. Sedangkan le- 
laki pendek gemuk bergerak meninggalkannya. 

"Urus dia! Biar aku yang akan menangkap gadis 
liar itu!" ujar lelaki pendek gemuk yang berpakaian ku- 
lit binatang. 

Kenyataan ini membuat Ardaraja semakin cemas. 
Tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri dia me- 
lompat berusaha menghalangi maksud lelaki pendek 
gemuk. 

"Ratna! Lari! Apa aku harus membunuh diri di de- 
pan matamu agar kau menuruti kehendakku?!" teriak 
Ardaraja di tengah terjangan yang dilakukannya. 

Perintah yang dikeluarkan dengan nada putus asa 
ini membuat Dewi Ratna terisak. Gadis ini merasa ter- 
haru sekali. Dia tahu pamannya menginginkan dia se- 
lamat. Sebaliknya, Dewi Ratna lebih suka mati bersa- 
ma-sama Ardaraja. 

Dewi Ratna tak ingin mengecewakan pamannya. 
Setelah melepas pandangan terakhir, tubuhnya diba- 
likkan dan melesat cepat meninggalkan tempat itu. 
Gadis berpakaian kuning itu meninggalkan Ardaraja 
dengan hati tak rela. Beberapa kali kepalanya ditoleh- 
kan ke belakang. Ketika untuk kesekian kalinya ia 
berpaling, gadis itu melihat Ardaraja roboh dan tak 
bergerak lagi terkena hantaman lelaki Jangkung. 

Dewi Ratna ingin segera kembali membalaskan 
kematian Ardaraja. Tapi, akal sehat melarangnya. Dia 
pun melesat terus. Bahkan menambah kecepatan la- 
rinya. Apalagi ketika dilihatnya pembunuh-pembunuh 
pamannya berlari mengejar. 

Karena kecepatan lari dua orang pembunuh Arda- 
raja itu berada di atas Dewi Ratna, jarak antara mere- 
ka semakin dekat. Putri Mundarang ini menyadari 
keadaan yang berbahaya itu. Lambat laun dirinya akan 
tersusul. Maka segera dicarinya jalan keluar. 

Dewi Ratna cukup mengenai daerah sekitar tempat 
itu. Belasan tombak darinya terdapat jalan buntu. Ti- 
dak ada jalan lagi. Di bawahnya ada sebuah sungai. 
Beberapa puluh tombak dari atas tebing. 

Tepat di saat Dewi Ratna melayang turun pengejar - 
pengejarnya tiba di tepi tebing. Yang jangkung berdiam 
diri saja. Hanya lelaki pendek yang bertindak. Kedua 
tangannya dihentakkan ke depan menimbulkan deru 
angin dingin yang meluncur ke arah tubuh Dewi Rat- 
na! 

Sampai di sini Dewi Ratna menghentikan lamu- 
nannya. Dia masih ingat saat tubuhnya masih me- 
layang sergapan hawa dingin yang luar biasa melanda. 
Lalu dia pun tak ingat apa-apa lagi. Bahkan ketika tu- 
buhnya menyentuh permukaan air. 

"Kurasa...," ucapan Arya membuat Dewi Ratna 
mengalihkan perhatian. "Kau telah berhasil mengingat 
kejadian yang menimpamu, Nona." 

Dewi Ratna tak memberikan tanggapan. Tapi, ke- 
curigaanya telah lenyap. Saat itu Aiya mendengar jeri- 
tan-jeritan menyayat hati. Bergegas pemuda ini bang- 
kit dari duduknya. Dewi Ratna yang melihat tingkah 
Arya sempat merasa kaget. 

Arya menyadari keheranan Dewi Ratna. Tapi, dia 
tak mempunyai waktu untuk menjelaskan. Dia ingin 
segera tiba di tempat datangnya teriakan-teriakan me- 
nyayat hati. Agaknya telah terjadi pembantaian di sa- 
na. 

"Selamat tinggal, Nona. Kuharap pertemuan antara 
kita bisa terulang dalam suasana yang lebih menye- 
nangkan!" 

Arya membalikkan tubuh setelah terlebih dulu me- 
lambaikan tangan seperti orang mengucapkan selamat 
berpisah. Kemudian, pemuda ini melesat cepat me- 
ninggalkan tempat itu. 

Dewi Ratna semula terkejut melihat tindakan Arya. 
Demikian kejikah pemuda itu sehingga tega mening- 
galkannya dalam keadaan seperti ini? Tapi, kecema- 
sannya langsung buyar ketika dirasakan jalan darah- 
nya kembali normal. Pemuda berambut putih kepera- 
kan itu ternyata masih ingat untuk membebaskan di- 
rinya dari totokan. Kenyataan ini semakin membuat 
Dewi Ratna ragu kalau Dewa Arak bermaksud tak baik 
terhadapnya. 

"Mungkin yang dikatakannya benar," pikir Dewi 
Ratna. "Sepertinya tak mungkin orang segagah dan se- 
jantan dia memiliki watak demikian buruk!" 

Masih dengan benak memikirkan Dewa Arak, Dewi 
Ratna bangkit melesat ke arah yang ditempuh Arya. 

Pada saat yang bersamaan dengan Dewa Arak me- 
nemukan tubuh Dewi Ratna, Raja Babi Bertenaga 
Raksasa dan Mata Iblis terus berlari melakukan penge- 
jaran. Karena jarak yang tertinggal terlalu jauh, dua 
tokoh sesat ini salah mengikuti jejak. Keduanya berlari 
dengan arah lurus. Padahal Dewa Arak telah berbelok 
pada suatu persimpangan. Dewa Arak berbelok ke 
arah kiri. 

Mata Iblis dan Raja Babi yang saling berlomba un- 
tuk mendapatkan Winarni lebih dulu terus saja berlari. 
Mata Iblis ternyata memiliki ilmu lari cepat di atas 
saingannya. Raja Babi tertinggal belasan tombak di be- 
lakang Mata Iblis. 

Sekarang dua tokoh sesat tingkat tinggi itu berada 
di jalan tanah selebar tiga tombak. Di kanan kirinya 
terdapat semak-semak dan pepohonan. Biasanya 
daun-daun pohon dan semak akan bergoyang jika an- 
gin berhembus agak keras. Tapi, kali ini bukan hanya 
daun-daun. Batang pohon yang besarnya tiga pelukan 
orang dewasa itu pun bergoyang keras. 

"Ada yang tak beres...," pikir Mata Iblis dan Raja 
Babi ketika melihat keanehan ini. 

Seperti telah disepakati sebelumnya, Raja Babi dan 
Mata Iblis menghentikan lari. Kedua tokoh sesat ini 
memperhatikan keadaan sekelilingnya dengan penuh 
waspada. Dan, kewaspadaan itulah yang menyebabkan 
mereka berdua dapat mendengar bunyi-bunyi mencu- 
rigakan. Serempak keduanya mengeluarkan senjata 
masing-masing. Raja Babi mengeluarkan piaritnya, se- 
dangkan Mata Iblis mencabut clurit! 

Bertepatan dengan tindakan kedua tokoh sesat itu, 
dari atas pohon di kanan kiri jalan melayang turun be- 
berapa sosok tubuh. Di tangan mereka tergenggam se- 
batang tombak yang pada dekat ujungnya dilekatkan 
kain bendera. Kain berwarna merah darah bergambar 
tengkorak kepala manusia yang ditunjang oleh sepa- 
sang tulang yang saling bersilangan! 

Berbeda dengan Mata Iblis yang masih memperha- 
tikan sosok-sosok itu dengan pandang mata penuh se- 
lidik, Raja Babi tampak memucat wajahnya. Memang, 
dibanding tokoh dari Tuban itu Raja Babi Bertenaga 
Raksasa yang memiliki pengalaman luas bisa memper- 
kirakan siapa para penghadangnya. 

"Tidak salah lihatkah aku? Apakah kalian orang- 
orang dari Kelompok Penjagal Manusia?!" tanya Raja 
Babi dengan suara menyiratkan ketegangan. 

Mata Iblis kendati tak bisa menebak siapa tiga so- 
sok yang menghadang perjalanannya, tapi begitu men- 
dengar ucapan Raja Babi jadi terperanjat kaget. Julu- 
kan Kelompok Penjagal Manusia telah pernah diden- 
garnya. Namun Mata Iblis yang percaya akan kemam- 
puan diri tak merasa gentar sedikit pun. Bahkan, den- 
gan sikap angker diperhatikannya tiga lawannya satu 
persatu. 

"Ternyata kau mempunyai pengetahuan yang cu- 
kup luas, Gendut!" sambut salah seorang dari tiga 
penghadang. Ia bertubuh tinggi kurus. Tinggi tubuh- 
nya terlihat lebih jelas karena dia mengenakan celana 
pendek hitam. Lelaki ini mempunyai kulit tubuh me- 
rah kehitaman. "Memang, kami tokoh-tokoh dari Ke- 
lompok Penjagal Manusia! Sudah tahu siapa adanya 
kami, mengapa tak lekas berlutut dan memohon am- 
punan?!" 

"Tidakkah tindakan yang kau lakukan itu terlalu 
keras, Setan Pembakar Jasad? Aku yakin ucapanmu 
membuat mereka kaget dan ketakutan," sambung so- 
sok lain yang memiliki suara lebih lembut. 

Sosok kedua ini memiliki ciri-ciri yang bertolak be- 
lakang dengan sosok pertama. Lelaki ini bertubuh 
pendek gemuk. Tubuhnya tertutup pakaian tebal dari 
bulu binatang. 




Melihat sorot mata Setan Pembakar Jasad dan te- 
mannya yang berjuluk Setan Pembeku Darah, Mata Ib- 
lis serta Raja Babi tahu kalau kedua tokoh itu memiliki 
tenaga dalam yang amat kuat. Sinar mata kedua 
penghadangnya ini mencorong tajam bagai mata hari- 
mau dalam gelap! 

Sosok yang berdiri di belakang Setan Pembakar Ja- 
sad dan Setan Pembeku Darah lebih mengiriskan hati. 
Ia bertubuh tinggi besar dan kokoh laksana batu ka- 
rang. Pakaian dan celananya berwarna merah darah. 
Terbungkus jubah luar hitam pekat. Wajahnya dingin 
tak membiaskan perasaan apa pun. Sepasang mata 
tokoh berjubah hitam ini memancarkan warna hijau 
kemerahan! 

Tokoh yang memiliki mata mengerikan itu berdiri 
diam dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Si- 
kapnya menunjukkan ketidakperhatian pada masalah 
yang terpampang di depannya. 

Ucapan Setan Pembakar Jasad segera mendapat 
tanggapan dari Mata Iblis. Memang, tokoh dari Tuban 
ini tak lebih berangasan dari Raja Babi. Tapi dia ku- 
rang begitu mengenal Kelompok Penjagal Manusia. Ka- 
rena itu, Mata Iblis lebih berani mengutarakan penda- 
patnya. 

"Kalian kira siapakah kalian sehingga dapat mem- 
buatku merasa takut?!" bentak Mata Iblis dengan sua- 
ra keras menggelegar. "Jangankan tokoh-tokoh dari 
Kelompok Penjagal Manusia, Kelompok Penjagal Iblis 
sekalipun Mata Iblis tak merasa gentar. " 

"Sungguh berani kau bicara seperti itu, Picak? Ru- 
panya kau sudah bosan hidup, heh?!" sergah Setan 
Pembakar Jasad penuh kemarahan. Lelaki ini memang 
memiliki watak mudah marah. 

"Kaulah yang sudah tak ingin melihat matahari 
terbit besok jika berani menentang Mata Iblis!" bentak 
tokoh sesat dari Tuban tak kalah keras. 

Usai berkata demikian, Mata Iblis menerjang Setan 
Pembakar Jasad. Dikirimkannya pukulan lurus ke 
arah dada. Pukulan itu langsung dipapak oleh tokoh 
dari Kelompok Penjagal Manusia dengan gerakan yang 
sama. 

Desss...! 

Bunyi keras seperti bertumbukannya dua benda 
keras terjadi. Dua kepalan tangan yang sama-sama 
mengandung tenaga dalam tinggi berbenturan. Tubuh 
Mata Iblis terjengkang ke belakang dengan sekujur tu- 
buh terasa sakit. Sementara Satan Pembakar Jasad 
tak bergeming sama sekali! 

Ketika berhasil mematahkan kekuatan yang mem- 
buat tubuhnya terlontar, Mata Iblis tampak terkejut 
bukan main. Bukan hanya karena mengetahui bentu- 
rannya gagal. Tapi juga karena adanya rayapan hawa 
panas di tangannya. Buru-buru dipunahkan hawa pa- 
nas itu dengan mengerahkan tenaga dalam 

"Hanya sampai di situ sajakah kemampuanmu, Pi- 
cak?!" ejek Setan Pembakar Jasad. "Hanya dengan ke- 
mampuan seperti itu kau berani menentang Kelompok 
Penjagal Manusia. Sungguh lucu!" 

Terdengar bunyi gemeretak keras seperti tulang- 
tulang berpatahan. Padahal Mata Iblis tak melakukan 
tindakan apa pun. Lelaki itu hanya merasa geram bu- 
kan main. Dan, itu membuat tenaga dalamnya menga- 
lir sendiri sehingga menimbulkan bunyi keras. 

"Sombong...!" rutuk Mata Iblis dengan suara berge- 
tar. "Jangan kau berbesar hati dulu, Keparat! Apa yang 
ku keluarkan tadi belum seberapa!" 

Mata Iblis menghimpun tenaga dalam. Matanya 
yang semula hampir berupa garis mulai membeliak 
dan memancarkan sorot kehijauan. Sorot itu semakin 
lama semakin terang. Kemudian melesat ke arah Setan 
Pembakar Jasad. 

Setan Pembakar Jasad terperanjat kaget. Dia sama 
sekali tak menyangka lawannya mempunyai ilmu se- 
perti itu. Ilmu yang semula diyakininya hanya dimiliki 
oleh dua orang. Iblis Penghisap Darah yang dulu men- 
jadi ketuanya, dan seorang tokoh lagi yang sekarang 
menjadi ketua baru. 

Kendati demikian, tokoh dari Kelompok Penjagal 
Manusia ini tak menjadi gugup. Kedua tangannya yang 
terkepal disilangkan di depan dada untuk menghim- 
pun seluruh tenaga dalamnya. Sesaat kemudian, men- 
gepul uap tipis disertai hawa panas menyengat menye- 
bar dari sekujur tubuh Setan Pembakar Jasad! 

Hawa yang tercipta ternyata cukup panas untuk 
memaksa Raja Babi menjauhi kancah pertarungan. 
Sementara lelaki tinggi besar dan Setan Pembeku Da- 
rah tak beranjak dari tempat itu. Malah, Setan Pembe- 
ku Darah tetap dengan kebiasaannya, menggigil kedin- 
ginan tak peduli cuaca apa pun yang tengah dihada- 
pinya. 

Setan Pembakar Jasad menarik tangan kanannya 
ke pinggang dalam kedudukan jari-jari terkepal. Lalu 
dihentakkan ke depan dengan kekuatan dan kecepatan 
penuh 

Wusss...! 

Bola api kemerahan meluncur ke arah sinar kehi- 
jauan dari Mata iblis. Di tengah jalan kedua sinar 
maut itu berbenturan menimbulkan bunyi ledakan 
nyaring. Tokoh sesat dari Tuban terjengkang ke bela- 
kang dan terbanting di tanah. Setan Pembakar Jasad 
hanya terhuyung-huyung. 

Setan Pembakar Jasad benar-benar tak mau mem- 
beri kesempatan pada lawan, Dia segera melompat 
tinggi ke atas dan turun tepat di atas tubuh Mata Iblis 
yang baru berhasil bangkit. Setan Pembakar Jasad 
mengirimkan pukulan kanan kiri ke arah kedua sisi 
bahu Mata Iblis. 

Mata Iblis tak mempunyai kesempatan lagi untuk 
mengelak. Waktu yang dimilikinya terlalu sempit. 
Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan nya- 
wanya. Mata Iblis nekat menghentakkan kedua tangan 
terkepal ke atas menyambuti serangan Setan Pemba- 
kar Jasad. Padahal, tokoh sesat dari Tuban ini tahu 
kalau cara itu dapat mencelakakan dirinya. Kekuatan 
tenaga lawan berada di atasnya. 

Dukkk, dukkk...! 

Tubuh Setan Pembakar Jasad agak terpental ke 
atas. Tapi, kejadian yang dialami Mata Iblis lebih men- 
gerikan. Tokoh ini terbenam ke dalam tanah sampai 
sepinggang! Kedua tangannya terlepas sambungannya 
pada pangkal tangan. Dan mulut, hidung, dan telinga 
mengalir darah segar! Benturan kali ini terlalu dahsyat 
untuk diterima Mata Iblis. 

Mata Iblis segera menyadari keadaannya yang tak 
menguntungkan. Maka buru-buru dia meloloskan diri 
dari jeblosan dalam tanah. Tapi Setan Pembakar Jasad 
tak membiarkan lawannya lolos dari maut. Dia bersal- 
to lalu meluruk turun kembali ke arah Mata Iblis. 

Desss...! 

"Aaakh...!" 

Jerit tertahan Mata Iblis terdengar ketika tendan- 
gan kaki kanan Setan Pembakar Jasad mendarat telak 
di dadanya. 

Tubuh tokoh sesat dari Tuban ini terpental ke be- 
lakang dan melayang jauh. Saat tubuhnya melayang 
itulah nyawa Mata Iblis lepas dari raga. Tulang da- 
danya hancur berantakan. Kulitnya hangus karena te- 
naga dalam berhawa panas yang terkandung dalam se- 
rangan Setan Pembakar Jasad! 

Raja Babi Bertenaga Raksasa terperanjat melihat 
kejadian yang menimpa Mata Iblis. Dengan sorot mata 
bingung ditatapnya tubuh betas saingannya. 

"Mata Iblis memang pantas mendapat nasib seperti 
itu. Dia telah bertindak lancang meremehkan Kelom- 
pok Penjagal Manusia yang terkenal," puji Raja Babi 
Bertenaga Raksasa untuk menyelamatkan selembar 
nyawanya. 

"Bukan hanya dia saja," sahut Setan Pembakar Ja- 
sad sinis. "Siapa pun orang yang berani mencari uru- 
san dengan tokoh-tokoh dari Gunung Bromo akan me- 
nerima nasib seperti orang tak tahu diri itu!" 

Wajah Raja Babi langsung berubah memucat. Dia 
mulai menyadari ancaman bahaya maut terhadap di- 
rinya. 

"Begitukah kiranya? Kalau demikian, biarlah saat 
ini juga ku habiskan persoalanku dengan orang-orang 
dari Gunung Bromo. Aku tak mengetahui kalau orang- 
orang dari Gunung Bromo berurusan dengan Kelom- 
pok Penjagal Manusia. Sekarang aku telah tahu dan 
tak akan ikut campur lagi." 

"He he he...!" 

Sambutan berupa tawa itu keluar dari mulut Satan 
Pembeku Darah. Lelaki berpakaian kulit binatang itu 
segera menyela sebelum Setan Pembakar Jasad mem- 
berikan tanggapan. 

"Tak semudah itu, Kawan! Kelompok Penjagal Ma- 
nusia telah mempunyai aturan. Siapa pun orang yang 
mencampuri urusan kami, tahu atau tidak akan men- 
dapat hukuman!" 

"Maafkan aku kalau demikian," ucap Raja Babi bu- 
ru-buru. "Aku mengaku salah. Dan, hanya bisa meng- 
harapkan kebesaran hati Kelompok Penjagal Manusia 
untuk memberikan kesempatan bagiku mencuci tan- 
gan dalam masalah ini." 

"Kebijaksanaan yang kami anut adalah mele- 
nyapkan setiap orang yang mempunyai salah terhadap 
kami, Jelas?! Jadi tak ada pilihan bagimu, Kawan. Kau 
melawan atau tidak, bukan masalah. Kami akan tetap 
mencabut nyawamu!" tandas Setan Pembeku Darah 
dengan suara khasnya yang bernada lembut. 

Sekujur tubuh Raja Babi menggigil hebat. Lelaki ini 
tak kuat menahan amarahnya. Dirinya telah terlalu 
mengalah, tapi tanggapan yang diterima semakin me- 
rendahkan. Rasa takutnya segera terusir berganti den- 
gan amarah! Biar bagaimanapun Raja Babi belum 
membuktikan sendiri kehebatan tokoh-tokoh dari Ke- 
lompok Penjagal Manusia. 

Getaran pada tubuh yang timbul karena amarah 
mengiringi bergolaknya tenaga dalam ke seluruh tubuh 
Raja Babi Bertenaga Raksasa. Sedikit demi sedikit tu- 
buh Raja Babi terbenam ke dalam tanah. 

"Rupanya kau mempunyai kepandaian lumayan. 
Bagus! Aku suka karena aku mendapat perlawanan 
yang lumayan," ujar Setan Pembeku Darah bernada 
gembira. 

Raja Babi meraung. Begitu usai raungan yang 
mampu membuat sekitar tempat itu bergetar hebat, 
tokoh ini berlari mendekati Setan Pembeku Darah den- 
gan kepala di depan seperti layaknya seekor babi me- 
nyerang lawan. 

Setan Pembeku Darah tetap berdiri tenang di tem- 
patnya, menunggu hingga serangan mendekat. Lelaki 
ini baru kehilangan senyumnya ketika merasakan ke- 
kuatan dahsyat melandanya. 

Sebagai tokoh tingkat tinggi Setan Pembeku Darah 
segera menyadari lawan tengah menyerangnya dengan 
sebuah ilmu mukjizat. Ilmu yang mempergunakan ke- 
pala seperti layaknya binatang babi. 

Tapi justru dengan kepala kedahsyatan serangan 
jadi berlipat ganda. 

Meskipun demikian Setan Pembeku Darah tak mau 
beranjak dari tempatnya. Perasaan tinggi hati menye- 
babkannya bersikap demikian. Dia malah mengum- 
pulkan seluruh tenaga dalamnya, sehingga sekitar 
tempat itu berhawa dingin luar biasa! 

Serbuan hawa dingin yang amat dahsyat itu juga 
melanda Raja Babi. Tapi karena tubuhnya terlindungi 
pancaran kekuatan dahsyat yang menyebar dari seku- 
jur tubuhnya, serbuan hawa dingin tadi tertahan ba- 
nyak 

Kenyataan ini cukup membuat Setan Pembeku Da- 
rah kaget. Pancaran hawa dinginnya biasanya cukup 
untuk membuat lawan tak bisa melanjutkan serangan. 
Otot-ototnya akan kaku dan tak bisa digerakkan. Keti- 
dakberhasilan pancaran hawa dingin kali ini menjadi 
petunjuk kalau Raja Babi Bertenaga Raksasa memiliki 
tenaga dalam yang amat kuat. 

Ketika serangan kepala Raja Babi menyambar se- 
makin mendekat, Setan Pembeku Darah menghentak- 
kan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka. Tokoh 
Kelompok Penjagal Manusia ini hendak mengadu keras 
lawan keras. 

Begitu kedua telapak tangannya hampir berbentu- 
ran dengan batok kepala Raja Babi, Setan Pembeku 
Darah terperanjat. Dirasakannya kekuatan luar biasa 
dahsyat hendak melemparkan tubuhnya ke belakang. 
Hal ini memaksa Setan Pembeku Darah mengerahkan 
tenaga untuk memberatkan tubuhnya. 

Desss...! 

Benturan sangat keras yang terjadi membuat tu- 
buh keduanya terhuyung-huyung ke belakang. Bumi 
dan benda-benda yang berada di sekitar tempat itu 
bergetar hebat. Namun, kedua petarung itu kembali 
saling menghampiri begitu kekuatan yang membuat 
tubuh mereka terhuyung berhasil dipatahkan. 

Di saat kedua tokoh yang terlibat perselisihan itu 
saling menghampiri, Setan Pembakar Jasad melesat 
meninggalkan tempatnya. Dihampirinya tokoh-tokoh 
persilatan yang dilihatnya berlari menuju tempat me- 
reka. 

Setan Pembakar Jasad benar-benar memiliki watak 
luar biasa kejam. Sambil melesat menghampiri, tangan 
kanan dan kirinya bergantian dipukulkan ke depan 
mengirimkan bola api. 

Jeritan-jeritan menyayat hati pun menguak angka- 
sa ketika bola-bola api menerpa tubuh tokoh-tokoh 
persilatan. 

Mereka yang sial terbungkus api menjerit sejadi- 
jadinya. Jeritan mereka itulah yang terdengar oleh De- 
wa Arak. 

Tokoh-tokoh persilatan itu menghunus senjata 
masing-masing dan memberikan perlawanan sekuat 
tenaga. Tapi karena memang kemampuan mereka ter- 
paut terlalu jauh, perlawanan yang diberikan tak 
ubahnya semut-semut menerjang api. Mereka roboh 
semua ketika telah dekat! 




"Terkutuk...!" 

Seruan keras bernada geram itu mengiringi lesatan 
sesosok bayangan ungu. Sosok ini langsung melesat ke 
dalam pertarungan antara tokoh-tokoh persilatan ali- 
ran hitam dengan Setan Pembakar Jasad! 

Saat itu di kancah pertarungan hanya tinggal bebe- 
rapa gelintir yang masih berdiri tegak dan melakukan 
perlawanan. Sisanya telah bergeletakan di tanah dalam 
keadaan tak bernyawa. 

Begitu melesat masuk ke dalam kancah pertarun- 
gan, sosok ungu langsung menyambuti serangan Setan 
Pembakar Jasad yang tertuju pada sisa lawan- 
lawannya. 

Besss...! 

Gedoran tangan terbuka Setan Pembakar Jasad di- 
papak dengan hantaman tangan terbuka Dewa Arak. 
Keduanya segera terhuyung-huyung ke belakang. 

Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh 
tokoh-tokoh persilatan yang tersisa. Mereka berlari se- 
cepat mungkin meninggalkan tempat itu, Setan Pem- 
bakar Jasad tak mengejar. Perhatian tokoh kejam ini 
ditujukan sepenuhnya pada sosok ungu yang bukan 
lain Dewa Arak. 

"Siapa kau, Anjing Kecil?! Sungguh berani men- 
campuri urusanku! Apakah kau ingin buru-buru ting- 
gal dl lubang kubur, heh?!" bentak Setan Pembakar 
Jasad geram bercampur heran. Orang yang mampu 
membuatnya terhuyung ternyata seorang pemuda. 

"Namaku Arya. Bukan maksudku lancang men- 
campuri urusanmu, Sobat. Aku hanya tak bisa melihat 
tindak kekejaman di depanku!" tandas Arya mantap. 
Bersiap menghadapi segala kemungkinan. 

Dewa Arak tahu Setan Pembakar Jasad seorang 
lawan yang teramat tangguh. Benturan tangan yang 
terjadi tadi telah menunjukkan kalau tenaga dalam to- 
koh Kelompok Penjagal Manusia ini tak berada di ba- 
wahnya. 

"Sombong sekali ucapanmu, Anjing Buduk!" geram 
Setan Pembakar Jasad. "Tahukah kau siapa aku?" 

Arya menggelengkan kepala. 

"Biarpun aku tahu siapa adanya kau, tak mengu- 
rangi tindakanku untuk ikut campur tangan dalam 
masalah ini!" jawab Arya tegas. 

"Keparat!" Setan Pembakar Jasad hampir tak bisa 
menahan rasa murkanya lagi. "Aku adalah Setan Pem- 
bakar Jasad, tokoh dari Kelompok Penjagal Manusia!" 

Harapan Setan Pembakar Jasad untuk bisa menci- 
utkan nyali Dewa Arak dengan cara memperkenalkan 
julukannya ternyata kandas. Pemuda berambut putih 
keperakan itu tak merasa takut sama sekali. 

"Mengapa anjing buduk ini tak merasa takut. Apa- 
kah dia belum pernah mendengar julukan Setan Pem- 
bakar Jasad dan Kelompok Penjagal Manusia?" tanya 
lelaki jangkung kurus itu dalam hati. 

Dugaan Setan Pembakar Jasad tak sepenuhnya 
benar. Dewa Arak memang belum pernah mendengar 
julukan Setan Pembakar Jasad. Tapi, nama Kelompok 
Penjagal Manusia pernah didengarnya. Kelompok Pen- 
jagal Manusia beranggotakan tokoh-tokoh sesat berke- 
pandaian tinggi. 

Setan Pembakar Jasad yang telah sewot langsung 
menyerbu Dewa Arak Pukulan bertubi-tubi diarahkan 
ke dada. Namun, dengan sekali jejak Dewa Arak me- 
layang melewati kepala lawannya. Sebelum mengelak 
Arya menyempatkan diri mengerling ke sekitar tempat 
itu. Terlihat olehnya mayat Mata Iblis dan Raja Babi. 
Sukar dibayangkan betapa tingginya kepandaian Setan 
Pembakar Jasad mengingat kedua pentolan tokoh se- 
sat itu bisa dikalahkan. 

Arya sungguh tak mengira kalau Raja Babi bukan 
tewas di tangan Setan Pembakar Jasad. Tokoh dari 
Madura itu tewas di tangan Setan Pembeku Darah. 
Dan, Setan Pembeku Darah bersama ketuanya telah 
meninggalkan tempat itu. Mereka melesat menuju Gu- 
nung Bromo, meninggalkan Setan Pembakar Jasad 
yang belum berhasil menghabiskan lawan-lawannya. 
Karena itu, Arya hanya menjumpai Setan Pembakar 
Jasad. 

Sementara itu, begitu berada di atas Dewa Arak 
berjumpalitan. Kemudian, tangan kanannya disam- 
pokkan ke arah belakang kepala Setan Pembakar Ja- 
sad. 

Wuttt! 

Sampokan Dewa Arak mengenai tempat kosong. 
Setan Pembakar Jasad telah lebih dulu merendahkan 
tubuhnya. Jari-jari tangan Arya lewat beberapa jari di 
atas sasaran. 

Kegagalan serangan ini sudah diperhitungan Dewa 
Arak. Maka serangan susulan berupa sepakan kaki 
kanan ke bawah segera dikirimkan. 

Tappp...! 

Dewa Arak hampir tak percaya akan apa yang ter- 
jadi. Setan Pembakar Jasad membalikkan tubuh dan 
mengulurkan tangan, mencekal pergelangan kaki De- 
wa Arak. 

Begitu berhasil Setan Pembakar Jasad segera me- 
nyentakkannya. Arya bertindak tak kalah cepat. Di 
saat lawan menyentakkan, dia pun ikut menyentak 
pula sambil mengeraskan kemampuan yang membuat 
kulit tubuhnya menjadi licin. Dewa Arak berhasil den- 
gan usahanya. Pergelangan kakinya dapat dibebaskan 
dari cekalan Setan Pembakar Jasad. 

Secepat kedua kakinya menjejak tanah, secepat itu 
pula Dewa Arak menerjang lawannya. Di saat yang 
bersamaan Setan Pembakar Jasad melakukan hal yang 
sama. Pertarungan pun tak bisa dielakkan lagi. 

Kedua belah pihak tak ragu-ragu lagi mengelua- 
rkan seluruh kepandaiannya. Hawa yang luar biasa 
panas menyebar ke sekitar tempat itu. 

Di waktu pertarungan berlangsung sengit- 
sengitnya Dewi Ratna muncul. Gadis ini tak berani ter- 
lalu mendekat. Dari jarak beberapa belas tombak dia 
memperhatikan jalannya pertarungan. Cepatnya gera- 
kan Dewa Arak dan Setan Pembakar Jasad membuat 
Dewi Ratna tak bisa melihat dengan jelas gerakan me- 
reka. 

Dewi Ratna memperhatikan dengan penuh minat. 
Dia harus mengakui kalau orang-orang yang tengah 
bertarung itu memiliki tingkat kepandaian di atasnya. 

"Paman Ardaraja benar. Dunia persilatan dipenuhi 
oleh banyak orang sakti. Arya saja telah memiliki ke- 
pandaian di atasku. Kalau dia mempunyai maksud 
yang tak baik, mungkin aku tak bisa berbuat apa pun 
untuk mencegahnya," pikir Dewi Ratna, dengan pera- 
saan ngeri. 

Di kancah pertarungan kembali Dewa Arak dan Se- 
tan Pembakar Jasad berbenturan tangan. Tubuh ke- 
dua tokoh itu sama-sama terhuyung. Hal ini membuat 
gerakan mereka lambat dan terlihat jelas oleh Dewi 
Ratna. 

"Dia...!" seru Dewi Ratna dalam hati ketika melihat 
Setan Pembakar Jasad. "Dia orang yang telah membu- 
nuh Paman Ardaraja!" 

Teringat akan hal ini Dewi Ratna tak bisa menahan 
perasaan lagi. Sambil mengeluarkan pekikan keras, dia 
menghunus pedang dan meluruk ke arah Setan Pem- 
bakar Jasad. Campur tangan orang luar itu membuat 
Dewa Arak dan Setan Pembakar Jasad terperanjat. Se- 
ketika pertarungan terhenti. 

"Nona! Jangan...!" teriak Arya berusaha mencegah. 
Tingkat kepandaian gadis itu belum bisa dibandingkan 
dengan Setan Pembakar Jasad. 

Setan Pembakar Jasad memang tak memiliki belas 
kasihan sama sekali. Di saat Dewi Ratna tengah melu- 
ruk ke arahnya, tinju kanannya dihentakkan. Bola api 
merah pun meluruk ke arah gadis itu. 

Dewi Ratna langsung pias wajahnya. Kalau seran- 
gannya diteruskan, sebelum berhasil mengenai sasa- 
ran dirinya akan lebih dulu terhantar bola api merah. 
Tapi, dalam kesempatan yang demikian sempit Dewi 
Ratna masih bisa menunjukkan kalau dirinya bukan 
orang yang mudah dipecundangi. Putri Mundarang ini 
membanting tubuhnya ke tanah sehingga lolos dari bo- 
la api yang mematikan 

"Kiranya kau, wanita sial! Sekarang jangan harap 
kau dapat lolos dari tanganku!" seru Setan Pembakar 
Jasad sambil melesat ke arah Dewi Ratna. 

Tindakan tokoh dari Kelompok Penjagal Manusia 
mengejutkan Dewi Ratna. Gerakannya terlalu cepat. 
Yang dapat dilihatnya hanya sekelebatan bayangan da- 
lam bentuk tak jelas. 

Rasa gugup membuat Dewi Ratna meneruskan 
bantingan tubuhnya dengan gulingan. Dia tak mem- 
punyai kesempatan lagi untuk bangkit berdiri dan 
menjauhi Setan Pembakar Jasad. Lelaki jangkung ber- 
telanjang dada itu tak tinggal diam. Ia berdiri membu- 
ru. 

Dewa Arak tak bisa berpangku tangan melihat an- 
caman terhadap Dewi Ratna. Apalagi setelah diyaki- 
ninya gadis itu adalah orang baik-baik. Tanpa me- 
nunggu lebih lama Dewa Arak melesat menghadang ge- 
rak Setan Pembakar Jasad. Tokoh dari Kelompok Pen- 
jagal Manusia itu tak mempunyai pilihan ketika Dewa 
Arak berada di depannya. 

Setan Pembakar Jasad menghentakkan kedua tan- 
gan terbuka ke arah dada Dewa Arak. Pendekar muda 
itu tak diberi kesempatan nampaknya dengan gerakan 
yang sama. 

Plak, plakkkk...! 

Benturan keras dua pasang tangan yang sama- 
sama mengandung tenaga dalam berhawa panas kali 
ini tak membuat tubuh mereka terjengkang ke bela- 
kang. Keduanya mengadu tenaga dalam secara lang- 
sung dari jarak dekat. Tangan-tangan mereka bertem- 
pelan. 

Keriuhan yang semula tercipta dari pertarungan 
Dewa Arak dengan Setan Pembakar Jasad berganti 
dengan keheningan adu tenaga dalam. Kedua belah 
pihak sama-sama mengerahkan tenaga dalam sampai 
puncaknya. Sebuah pertarungan maut. Selisih tenaga 
dalam sedikit saja cukup untuk membuat nyawa yang 
unggul terluka parah, dan yang kalah tewas! 

Mula-mula tak terjadi apa pun. Tapi beberapa saat 
kemudian, wajah kedua lelaki itu mulai merah padam. 
Peluh membanjir. Kian lama keadaan kedua tokoh itu 
semakin mengkhawatirkan. Dari atas kepala Dewa 
Arak maupun Setan Pembakar Jasad mengepul uap 
putih. 

"Celaka...!" pikir Dewi Ratna cemas. "Pertarungan 
ini telah mencapai puncaknya. Bukan hanya iblis ja- 
hanam itu saja yang akan celaka. Pemuda itu pun de- 
mikian. Aku tak bisa membiarkan hal ini terjadi. Aku 
harus berbuat sesuatu!" 

Dewi Ratna yang tak menginginkan Dewa Arak ce- 
laka segera melesat ke arah kancah pertarungan. Pe- 
dang terhunus tercekal di tangannya. Gadis ini melesat 
tanpa mempedulikan sengatan hawa panas luar biasa 
yang menyebar dan pertarungan tenaga dalam antara 
Dewa Arak dan Setan Pembakar Jasad. 

Wajah Dewi Ratna merah padam dan dipenuhi cu- 
curan peluh ketika berhasil mendekati Setan Pemba- 
kar Jasad Tanpa banyak bicara pedang di tangannya 
dibabatkan ke punggung tokoh Kelompok Penjagal 
Manusia itu. 

Takkk...! 

Bukan hanya pedang saja yang terpental kembali 
begitu berbenturan dengan punggung. Tapi tubuh De- 
wi Ratna ikut terjengkang ke belakang, lalu terbanting 
keras di tanah. 

Kejadian yang menimpa Dewi Ratna membuat De- 
wa Arak tak bisa bersikap lunak lagi. Kemampuan is- 
timewa yang jarang dikeluarkannya dalam penggunaan 
ilmu 'Tenaga Sakti Inti Sinar Matahari' kali ini diper- 
gunakannya! 

Sejak tadi Dewa Arak memang telah menggunakan 
tenaga inti mataharinya. Tapi, itu hanya terbatas pada 
tenaga yang berada di dalam dirinya. Hampir tak per- 
nah Dewa Arak menggunakan tenaga yang berada di 
luar dirinya. Tapi sekarang pemuda berambut putih 
keperakan itu menggunakannya. Ia mengambil tenaga 
tambahan dari luar. Tenaga matahari! (Untuk jelasnya 
mengenai hal tersebut, silakan baca episode "Pedang 
Bintang") 

Dewa Arak memusatkan perhatian. Ia membuat ge- 
rakan di benaknya mengenai pengambilan kekuatan 
dari matahari. Dibayangkan seakan-akan kekuatan 
yang diambilnya itu berupa garis yang masuk ke dalam 
dirinya, terus turun ke dalam dada dan diputarkan di 
pusar. 

Seketika itu pula Dewa Arak merasakan kekuatan 
dahsyat bergolak di pusarnya. Kekuatan yang diyakini 
Dewa Arak didapatkannya dari matahari itu segera di- 
arahkan sebagian pada kedua tangannya. 

"Aaakh...!" 

Setan Pembakar Jasad meraung keras bagai bina- 
tang disembelih. Tubuhnya melayang deras ke bela- 
kang. Dari mulut, hidung, dan telinga tokoh Kelompok 
Penjagal Manusia itu mengalir darah segar. Samar- 
samar tercium bau hangus daging terbakar. 

Tanpa mempedulikan nasib Setan Pembakar Ja- 
sad, Arya melesat menghampiri tubuh Dewi Ratna. 
Pemuda itu berjongkok di dekatnya untuk memeriksa. 
Arya sampai terjingkat kaget ketika Dewi Ratna mem- 
buka matanya. 

"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya Arya agak gugup. 

"Tidak. Aku hanya terjengkang saja. Mungkin se- 
bentar tak sadarkan diri akibat tenagaku sendiri yang 
membalik. Aahhh...! Keparat-keparat itu ternyata be- 
nar-benar lihai! Mungkin benar Paman Buluk Siwu te- 
lah berhasil mereka tewaskan, sebagaimana Paman 
Ardaraja. Sungguh menyedihkan! Pendekar-Pendekar 
Gunung Bromo akhirnya berguguran di tangan mu- 
suh-musuhnya. Keturunannya pun hanya tinggal me- 
nunggu nasib," keluh Dewi Ratna. 

"Maaf, Nona, "ujar Arya sopan, "Dari kawanku aku 
pernah mendengar tentang Pendekar-Pendekar Gu- 
nung Bromo. Tentang kepandaian dan kegagahan me- 
reka. Malah, diceritakan pula tentang musuh bebuyu- 
tan pendekar-pendekar itu. Sayang, kawanku tak ber- 
cerita lebih jauh tentang musuh besar itu. Apakah mu- 
suh bebuyutan Pendekar-Pendekar Gunung Bromo 
adalah Kelompok Penjagal Manusia?" 

"Benar," angguk Dewi Ratna. "Orang yang telah 
mati di tanganmu itu adalah salah satunya. Paman 
Ardaraja tewas di tangan iblis yang satunya lagi, yang 
berjuluk Setan Pembeku Darah. Demikian pula dengan 
pamanku yang lain. Buluk Siwu namanya." 

"Buluk Siwu!" ulang Arya dengan alis berkerut. 
"Rasanya aku pernah mendengar nama itu. Ah ya...! 
Nama itu disebutkan oleh Raja Babi terhadap seorang 
gadis yang dikejar-kejarnya. Menurut berita yang ku- 
dapatkan, gadis itu dikejar-kejar oleh tokoh-tokoh per- 
silatan golongan hitam karena merupakan keturunan 
Pendekar Gunung Bromo." 

"Apakah gadis Itu berpakaian merah?" terka Dewi 
Ratna dengan mata berbinar. Arya mengangguk. 

"Gerak-gerik dan sikapnya memperlihatkan keya- 
kinan hati, bukan?" kejar Dewi Ratna lagi. 

Tanggapan yang diberikan Arya lebih dulu adalah 
kerutan sepasang alisnya. 

"Aku tak setuju dengan ucapanmu, Nona. Aku te- 
lah cukup berbincang-bincang di saat nyawanya sela- 
mat dari ancaman Raja Babi dan Mata Iblis. Dari per- 
cakapan singkat dengannya, aku cenderung menilai 
sikapnya bukan merupakan keyakinan hati yang besar 
terhadap kemampuan sendiri, melainkan kesombon- 
gan! Sombong karena kepandaian yang dimiliki dan 
garis keturunan yang didapatkan!" tandas Arya karena 
belum bisa melenyapkan rasa jengkelnya terhadap Wi- 
narni. 

Dewi Ratna hanya bisa tersenyum kecil melihat ke- 
jengkelan Dewa Arak. 

"Gadis itu bernama Winarni. Seperti juga aku, dia 
pun termasuk keturunan Pendekar-Pendekar Gunung 
Bromo." 

Kemudian secara singkat Dewi Ratna menceritakan 
semua yang berhubungan dengan Pendekar-Pendekar 
Gunung Bromo. Juga mengenai sebab-sebab timbul- 
nya permusuhan dengan Kelompok Penjagal Manusia. 

"Kelompok Penjagal Manusia yang merasa sakit ha- 
ti kemudian membalas dendam. Paman Ardaraja tewas 
di tangan mereka. Aku lihat sendiri kematiannya. Bah- 
kan, Paman Buluk Siwu pun telah berhasil mereka 
bunuh. Aku berhasil kabur. Tapi Setan Pembeku Da- 
rah sempat mengirimkan pukulan jarak jauh berhawa 
dingin luar biasa. Setelah itu aku tak ingat apa-apa la- 
gi," Dewi Ratna mengakhiri penjelasannya. 

"Hawa dingin yang luar biasa menghentikan kerja 
alat-alat tubuhmu, tak terkecuali jantung. Tubuhmu 
pun dibawa arus sungai. Melihat dirimu masih bisa 
diselamatkan, kutolong kau dengan napas buatan. 
Dan..." 

"Aku minta maaf atas piciknya pandanganku." 

"Aku bisa memakluminya, Ratna," ujar Arya sambil 
mengembangkan senyum. "Aku yakin setiap wanita 
pun pasti akan melakukan tindakan yang sama bila 
mendapat perlakuan seperti itu." 

Dewi Ratna menundukkan kepala. Dia merasa ma- 
lu. Di samping itu, di dalam hatinya timbul getar-getar 
aneh. Getaran yang muncul ketika mengetahui betapa 
gagahnya Arya. 

"Kurasa kita harus bertindak cepat, Ratna. Aku ya- 
kin pemimpin Kelompok Penjagal Manusia yang seka- 
rang pasti akan berusaha menemukan bekas pimpi- 
nannya. Kalau pimpinan kelompok itu, Raja Setan, 
berhasil menemukan Winarni maka keadaan akan 
menjadi kacau!" 

"Kalau begitu kita harus segera pergi ke puncak 
Gunung Bromo!" 

"Tentu saja!" 


***


Dua sosok berkelebatan cepat menuju puncak Gu- 
nung Bromo. Gerakan kedua sosok itu demikian cepat. 
Berlompatan dari satu batu ke batu lainnya. 

Dua sosok itu terdiri dari lelaki dan wanita. Yang 
lelaki memiliki tubuh tinggi besar. Sedangkan yang 
wanita cantik dan mengenakan pakaian merah. Dua 
sosok ini adalah Raja Setan atau pimpinan Kelompok 
Penjagal Manusia, dan Winarni! 

"Tidak bisakah kau bergerak lebih cepat lagi?" den- 
gus Raja Setan, tak sabar mengikuti gerakan Winarni 
yang dirasakannya terlalu lambat. "Awas kalau kau be- 
rani mempermainkan ku! Akan ku jarah tubuhmu! Ku 
permainkan!" 

Wajah Winarni berubah. Tampak jelas kengerian 
membias di wajahnya. Terbayang kembali kejadian 
yang dialaminya sampai akhirnya bisa bersama-sama 
dengan Raja Setan. 

Gadis ini tengah duduk pada sebatang pohon besar 
berdaun rindang. Dia beristirahat sejenak untuk 
menghilangkan rasa lelahnya. Winarni telah berlari ri- 
buan tombak, sejak berpisah dengan Dewa Arak di 
persimpangan jalan. 

Dengan punggung bersandar pada batang pohon, 
Winarni memejamkan sepasang matanya. Winarni tak 
tahu ketika di depannya telah berdiri dua sosok tubuh. 
Mereka adalah Raja Setan dan Setan Pembeku Darah. 

Raja Setan tak sabar menunggu Winarni membuka 
matanya. Tokoh sesat ini melancarkan serangan den- 
gan mempergunakan sinar kebiruan yang keluar dari 
matanya untuk menghantam batang pohon tepat di 
atas kepala Winarni. 

Brakkk...! 

Batang pohon itu hancur berantakan dan tumbang 
di tanah memperdengarkan bunyi hiruk-pikuk. Tapi, 
Winarni sudah tak berada di situ lagi. Gadis ini sudah 
lebih dulu menggulingkan tubuh meninggalkan tem- 
patnya. 

"Kau putri Buluk Siwu bukan?!" tanya Raja Setan 
dengan suara mengguntur. 

Winarni benar-benar memiliki ketabahan hati yang 
besar. Sebagian besar tokoh persilatan akan segera 
memberikan jawaban bila mendapat pertanyaan dari 
Raja Setan. Wibawa tokoh ini terlalu mengiriskan. Tapi 
Winarni malah mendengus dan membuang ludah. 

Raja Setan menggeram mendapat tanggapan yang 
tak diharapkan. Tokoh tinggi besar ini murka bukan 
main. Dia yang selalu dihormati dan ditakuti, Sekarang 
mendapat hinaan dari seorang gadis muda! Tangannya 
pun diulurkan dan bergerak seperti mencengkeram. 
Terdengar bunyi kain robek. Pakaian Winarni di bagian 
dada koyak. Tampaklah apa yang tersembunyi di ba- 
liknya. Salah satu dari sepasang bukit kembar me- 
nyembul keluar. Wajah gadis itu langsung pias. 

"Kalau kau tak mau menjawab pertanyaanku, selu- 
ruh pakaianmu akan ku koyak-koyak. Bukan hanya 
itu saja. Kau pun akan kuberikan pada anak buahku 
agar diperkosa sampai mati! Nasibmu ditentukan oleh 
sikapmu terhadap pertanyaanku!" gertak Raja Setan 
yang tahu betul cara memberikan ancaman jitu. 

"Aku berjanji akan memberikan jawaban yang kau 
inginkan. Ku mohon kau bersedia memberikan kain 
untuk menutupi bagian tubuhku yang terbuka," pinta 
Winarni dengan suara gemetar. Tak terlihat lagi ke- 
sombongan yang semula terlihat jelas pada sikapnya. 

"Sekarang jawab pertanyaanku. Dan jangan coba 
mencari penyakit," ujar Raja Setan setelah memenuhi 
permintaan Winarni. 

"Aku memang putri dari Buluk Siwu," jawab Wi- 
narni hati-hati. Khawatir sikapnya akan mengundang 
kemarahan Raja Setan. 

"Berarti kau keturunan dari tokoh-tokoh yang ter- 
kenal dengan julukan Tiga Pendekar Gunung Bromo," 
Raja Setan mengangguk-anggukkan kepala. "Kau tentu 
pernah mendengar cerita ayahmu mengenai kami, to- 
koh-tokoh dari Kelompok Penjagal Manusia?" 

"Benar," Winarni mengangguk cepat. "Menurut ce- 
rita Ayah, antara Kelompok Penjagal Manusia dengan 
Tiga Pendekar Gunung Bromo terjadi permusuhan. 
Ayah bersama dua saudaranya bentrok dengan pimpi- 
nan Kelompok Penjagal Manusia yaitu Iblis Penghisap 
Darah yang berjuluk Biang Setan. Tokoh itu lihai seka- 
li dan tak dapat dibunuh. Namun, Ayah dan saudara- 
saudaranya berhasil melumpuhkannya dengan sebuah 
pusaka. Pusaka itu membuat Biang Setan kehilangan 
semua tenaganya. Ayah dan saudara-saudaranya ke- 
mudian mengurungnya di puncak Gunung Bromo." 

"Kemudian ayahmu dan dua saudaramu itu me- 
nyerbu markas Kelompok Penjagal Manusia. Memban- 
tai semua orang yang ada di situ tanpa kenal ampun. 
Hanya beberapa yang berhasil selamat. Inilah kami 
semua yang berhasil selamat," sambung Raja Setan 
tanpa menyembunyikan rasa sakit hatinya yang besar. 
"Bukankah demikian?" 

"Benar," jawab Winarni singkat. 

"Sekarang aku ingin kau membawaku ke tempat 
tahanan Biang Setan. Aku ingin kau membuang pusa- 
ka yang membuatnya kehilangan tenaga. Ingat, aku 
tak ingin kau berpikir terlalu lama. Kau sendiri tahu 
akibatnya pada dirimu bila tak setuju!" 

"Aku bersedia," jawab Winarni tanpa sempat berpi- 
kir panjang lagi. Ancaman yang mengintai terlalu me- 
nakutkan untuknya. Dia tak berani menghadapi. 

Sampai di sini ingatan Winarni buyar. Gadis ini 
kembali memusatkan perhatian pada perjalanannya. 
Hal itu harus dilakukan kalau ia masih ingin sayang 
pada nyawa. Jalan menuju tempat tahanan Biang Se- 
tan penuh ancaman maut! Winarni masih ingat jalan- 
jalan yang aman, kendati telah lima tahun tak mengin- 
jak Gunung Bromo. Dulu sewaktu usianya masih bela- 
san, ayahnya sering mengajaknya ke tempat itu. 

Winarni juga masih ingat semua tempat-tempat 
berbahaya. Sekarang dia melihat salah satu dari tem- 
pat-tempat itu. Berupa hamparan padang pasir yang 
terlihat bening. Winarni mulai berpikir menggunakan 
tempat itu untuk melepaskan diri dari ancaman Raja 
Setan. 

Semakin dekat dengan padang pasir semakin te- 
gang perasaan Winarni. Gadis ini sampai khawatir ka- 
lau-kalau Raja Setan mengetahui kegalauan hatinya 
dari bunyi detak jantungnya. 

"Apakah harus kulakukan rencanaku menjebak ib- 
lis ini? Tapi, bagaimana kalau gagal? Kelihatannya iblis 
jelek ini terlalu sakti untuk dapat dijebak begitu saja? 
Tapi kalau tak dipergunakan, bukan kesempatan na- 
manya! Siapa tahu jebakan itu akan berhasil?" pikir 
Winarni galau. 

Bloss...! 

Raja Setan tak kuasa untuk menahan pekik kaget- 
nya. Kedua kakinya amblas ke dalam hamparan pasir 
sampai sebatas betis. Pasir yang diinjaknya ternyata 
empuk seperti bubur! 

Belum lagi lenyap perasaan kagetnya, Raja Setan 
merasakan kekuatan aneh menarik kakinya terus ke 
dalam hamparan pasir. Sementara Winarni terus saja 
melesat tanpa terjadi apa pun. 

"Lumpur hidup...!" desis Raja Setan geram. Tokoh 
Kelompok Penjagal Manusia ini murka karena merasa 
ditipu. Winarni sengaja menjebaknya. Terbukti, gadis 
itu sama sekali tak peduli akan nasibnya. 

Raja Setan bersikap tenang kendati tubuhnya terus 
tertarik ke dalam hamparan pasir. Bahkan, pimpinan 
tertinggi Kelompok Penjagal Manusia ini masih sempat 
memperhatikan semua tingkah Winarni. 

Raja Setan cukup cerdik. Dia tahu ada tempat- 
tempat yang aman untuk dipijak dengan kaki. Dan, 
Winarni menggunakan tempat yang aman itu. Dengan 
mempergunakan benaknya, Raja Setan mencatat tem- 
pat-tempat itu. Dengan goyangan kepalanya, dia mem- 
buat beberapa helai rambutnya terbang dan mendarat 
di tempat-tempat yang dijadikan pijakan kaki Winarni. 

Tindakan yang dilakukan Raja Setan membuat tu- 
buhnya terbenam semakin cepat. Sekarang bagian tu- 
buh yang tenggelam mencapai pinggang. Kendati de- 
mikian, Raja Setan tak merasa gugup 

Tokoh puncak Kelompok Penjagal Manusia ini me- 
narik napas dalam-dalam. Kedua telapak tangannya 
yang terbuka dipertemukan di depan dada. Sesaat ke- 
mudian, tubuhnya berputar. Mula-mula lambat, tapi 
semakin lama semakin cepat. Lumpur pun berpercikan 
ke sana kemari. 

Permukaan lumpur hidup bergolak hebat terbawa 
putaran tubuh Raja Setan. Putaran tubuh itu bergerak 
ke atas sedikit demi sedikit. Tubuh Raja Setan terang- 
kat naik. 

Ketika tubuh yang terbenam dalam lumpur hidup 
tinggal sebetis, Raja Setan membarengi putaran tu- 
buhnya dengan lompatan ke arah tempat-tempat yang 
telah diberi tanda dengan rambutnya. 

Jliggg! 

Raja Setan menghembuskan napas lega. Kakinya 
mendarat di permukaan pasir tanpa terbenam. Tokoh 
yang mengiriskan ini menggeram seraya menggerakkan 
tubuhnya sedemikian rupa, seperti seekor ayam mem- 
bersihkan tubuhnya dari debu. Sesaat kemudian, 
lumpur yang menempel di sekujur tubuhnya berperci- 
kan jatuh. Dalam waktu yang demikian singkat Raja 
Setan telah kembali seperti sedia kala, seperti selesai 
mandi dan mengeringkan tubuh! 

Dengan sepasang mata seperti mengeluarkan api 
Raja Setan menatap Winarni. Winarni mengetahui Raja 
Setan berhasil lolos dari jebakannya. Gadis ini tahu 
tak ada gunanya lagi terus berlari. Telah dilihat tanda- 
tanda yang dibuat Raja Setan pada tempat-tempat di 
mana kaki harus berpijak. Winarni sadar kalau terus 
melarikan diri akan tertangkap juga. Jarak antara me- 
reka berdua belum terlalu jauh. Itulah sebabnya Wi- 
narni menghentikan lari dan membalikkan tubuh me- 
nunggu kedatangan Raja Setan. Bahkan, gadis ini 
memberi petunjuk di mana-seharusnya Raja Setan 
menjejakkan kaki. Kalau saja tokoh sesat itu belum 
memberi tanda, Winarni tak terlalu bodoh untuk me- 
mutuskan menyerah! 

Tak sampai sepuluh pijakan Raja Setan telah bera- 
da di depan Winarni. Gadis itu menabah-nabahkan ha- 
ti dengan tetap menatap wajah Raja Setan. 

"Maafkan aku, Raja Setan. Bukan maksudku un- 
tuk...." 

Ucapan Winarni terhenti di tengah jalan. Tangan 
Raja Setan dilambaikan padanya. Tubuh gadis berpa- 
kaian merah itu tertarik ke arah Raja Setan secara ke- 
ras. Raja Setan menyambut tubuh si gadis dengan ke- 
dua tangan terkembang dan merengkuhnya dalam pe- 
lukan. 

Pelukan Raja Setan erat sekali. Winarni hampir tak 
bisa bernapas. Pelukan itu saja sudah membuat se- 
mangat Winarni seperti lenyap. Apalagi ketika Raja Se- 
tan menciuminya dengan buas. 

Tokoh yang kelihatannya tak menyukai wanita ini 
ternyata memiliki nafsu yang besar. Dia menciumi se- 
kujur wajah Winarni penuh nafsu. Buas dan liar! Bah- 
kan, bibir Winarni yang indah dikulumnya habis- 
habisan. Mulut Raja Setan lalu berpindah ke leher Wi- 
narni. Tangannya yang sebelah menjelajah bagian- 
bagian tubuh Winarni. Winarni meronta-ronta ngeri. 

"Hentikan, Raja Setan! Hentikan! Aku tak akan 
mengulangi perbuatanku...," rintih Winarni dengan su- 
ara memelas. 

Raja Setan mendengarnya dengan jelas. Tapi, tokoh 
sesat ini tak mempedulikan. Dia hendak menumpah- 
kan seluruh kemarahannya pada Winarni. Dia pun te- 
lah dimabuk nafsunya sendiri! 

"Hentikan, Raja Setan! Kalau tidak, aku tak akan 
mau mengantarmu ke tempat hukuman Biang Setan! 
Toh, aku bisa bunuh diri setelah kau menjarah tubuh- 
ku!" pekik Winarni di tengah keputus-asaan nya. 

Ancaman Winarni ternyata manjur juga. Raja Setan 
seperti baru bangun dari mimpi buruk. Pelampiasan 
nafsunya dihentikan. Malah, tubuh gadis itu didorong- 
nya hingga terbanting ke tanah. Sepasang mata tokoh 
sesat ini tampak memerah. 

"Kali ini kau kuampuni. Tapi ingat, setelah kali ini 
tak ada kelonggaran lagi. Kau akan kujadikan mainan, 
dan tak akan kubiarkan membunuh diri! Camkan itu!" 
desis Raja Setan dengan suara bergetar. 

Winarni tak sanggup berkata-kata. Dia masih terla- 
lu ngeri mengingat peristiwa yang hampir saja menim- 
panya. Perutnya terasa mual. Kalau tak mengingat Ra- 
ja Setan bisa tersinggung. Winarni tak akan menahan 
isi perutnya yang ingin keluar. 

"Mari kita lanjutkan perjalanan!" sentak Raja Setan 
keras. 

Winarni tak berani bergerak ayal-ayalan. Dikerah- 
kan seluruh ilmu lari cepatnya untuk bisa mengim- 
bangi lari Raja Setan! 

Gundukan batu yang jauh lebih besar hancur lebur 
menjadi kepingan ketika Raja Setan menyorot dengan 
sinar matanya. Tampaklah sebuah lubang menganga. 
Kiranya, gundukan batu itu menjadi penutup gua. 

Dengan setengah menyeret Winarni, Raja Setan 
memasuki gua di depannya. Ternyata gua itu mempu- 
nyai lorong yang cukup panjang, sebelum berakhir di 
ruangan yang lebih luas. 

"Raja Setan...!" seru Sosok yang berada di atas se- 
buah batu. 

Sosok yang tengah duduk ini bergegas bangkit. So- 
sok ini bertubuh kecil kurus. Potongan tubuhnya men- 
gingatkan orang akan seekor kera. Inilah tokoh sesat 
yang amat terkenal. Biang Setan! 

"Matamu masih awas juga rupanya, Biang Setan!" 
dengus Raja Setan tanpa kesan ramah sama sekali. 

Pimpinan tertinggi Kelompok Penjagal Manusia ini 
menatap pimpinannya terdahulu yang tampak kebin- 
gungan. Raja Setan tak peduli. Winarni dicampakkan 
begitu saja ke samping. 

"Kiranya aku salah menduga...," Biang Setan men- 
gangguk-anggukkan kepala. Dia bisa merasakan 
adanya ancaman terhadap keselamatannya. "Kau da- 
tang tidak dengan niat untuk menyelamatkanku, bu- 
kan?" 

"Syukur kau mengerti, Biang Setan Ompong!" sa- 
hut Raja Setan sinis, "Apa untungnya kutolong dirimu. 
Kedudukanku akan lenyap. Kau lagi yang akan menja- 
di pimpinan. Dan aku menjadi pesuruh mu. Karena ku 
tahu kepandaianmu masih di atasku! Aku tak mau 
bertindak bodoh dengan membebaskan mu, Biang Se- 
tan Ompong!" 

"Kalau begitu..., untuk apa kau kemari?!" tanya Bi- 
ang Setan kendati telah bisa memperkirakan maksud 
bekas anak buahnya. 

"Sederhana saja. Aku ingin melenyapkanmu sela- 
ma-lamanya. Agar kau tak menjadi ancaman bagiku di 
waktu nanti. Kaulah satu-satunya yang tahu kelema- 
han ku. Sekarang terimalah kematianmu, Biang Setan 
Ompong!" 

Raja Setan mengirimkan serangan berupa larik si- 
nar kebiruan. Dalam keadaan biasa Biang Setan tak 
akan mengalami kesulitan memapak serangan itu. Ta- 
pi, sekarang kekuatannya lenyap. Yang dimiliki bekas 
tokoh datuk sesat ini hanya kekuatan manusia biasa. 
Menghadapi serangan yang meluncur dalam kecepatan 
yang menakjubkan itu, dia tak mampu berbuat apa 
pun. 

Di saat-saat yang mengkhawatirkan itu angin ber- 
hembus keras ke arah Biang Setan. Angin yang mam- 
pu membuat tubuh Biang Setan terpental dan tergul- 
ing-guling. 

Raja Setan menggeram mengetahui serangannya 
kandas. Seseorang telah menolong Biang Setan dengan 
mempergunakan dorongan angin pukulan. Pimpinan 
Kelompok Penjagal Manusia ini juga tahu kalau peno- 
long itu berada di belakangnya. Buru-buru tubuhnya 
dibalikkan. 

Di depan Raja Setan telah berdiri Dewa Arak dan 
Dewi Ratna. Dewi Ratna yang tahu kalau lelaki kokoh 
itu memiliki kepandaian menakjubkan, segera me- 
nyingkir. 

"Kurasa tindakan kejimu harus segera dihentikan, 
Raja Setan!" tandas Arya mantap. "Kau harus menyu- 
sul Setan Pembakar Jasad dan Setan Pembeku Darah 
yang telah lebih dulu pergi ke akhirat!" 

"Kaulah yang akan menemui malaikat maut, pe- 
muda sombong!" 

Raja Setan menjejakkan kakinya ke tanah. Tak ke- 
lihatan dihentakkan. Malah, seperti diletakkan pelan- 
pelan. Namun akibatnya tanah di dalam ruangan itu 
bergetar hebat! Yang mengerikan adalah ketika tanah 
retak memanjang menuju Dewa Arak. 

Retaken tanah itu tak hanya memanjang, tapi juga 
melebar. Sedikit demi sedikit terjadinya. Seiring den- 
gan itu pula dari atap gua berjatuhan debu-debu. 
Dinding-dinding gua bergetar hebat. Rubuhnya gua 
hanya menunggu waktu saja. 

Dewa Arak adalah seseorang yang kenyang penga- 
laman. Dia tahu dirinya bisa masuk ke dalam tanah. 

Arya menjejakkan kedua kakinya bergantian. Ta- 
nah amblas sampai sedalam mata kaki. Dan, jejakan 
kedua kaki Dewa Arak membuat retakan pada tanah 
merapat kembali! Tanah retak yang semula berjarak 
sejengkal dari Arya perlahan-lahan menjauh menjadi 
tiga jengkal. 

Raja Setan menggeram. Getaran pada dinding dan 
atap gua semakin hebat. Batu-batu kecil serta debu 
berjatuhan. Winarni dan Dewi Ratna yang tak ingin 
terkubur hidup-hidup segera melesat keluar. Dewi 
Ratna tak lupa menyambar tubuh Biang Setan dan 
membawanya keluar gua. 

Lawan ternyata memiliki tenaga dalam yang jauh 
lebih kuat! Kalau diperturutkan hati terus melawan, 
Arya akan celaka. Pemuda ini segera melesat keluar 
gua. 

Bumi bagaikan dilanda kiamat. Perginya Arya 
membuat retakan pada tanah kembali melebar dan 
memanjang secara cepat. Atap dan dinding gua lang- 
sung ambruk. Beruntung Dewa Arak telah berhasil 
melesat keluar. 

"Hhh...!" 

Arya melepas napas lega ketika menatap gundukan 
tanah yang mengepulkan debu tebal. Pemuda ini ber- 
syukur dalam hati karena berhasil lolos. Sukar di- 
bayangkan bagaimana nasibnya apabila tidak berhasil 
keluar. Dia akan terkubur hidup-hidup di dalam gua. 
Kendati demikian, ada perasaan sangsi di hati Arya. 
Benarkah Raja Setan telah binasa? Sulit untuk me- 
mastikan kebenarannya! Tokoh itu begitu sakti untuk 
tewas, begitu mudah dengan terkubur di dalam gua. 

"Berakhir sudah riwayat tokoh yang mengerikan 
itu!" desah Winarni gembira seraya mengerling ke arah 
Dewa Arak. 

Arya hanya menggumam perlahan. Dia segera te- 
ringat akan janjinya dengan Kertapati beberapa waktu 
yang lalu. 

"Kalau kau berhasil menyelesaikan persoalan itu, 
segera kunjungi aku, Dewa Arak. Akan kubuktikan 
padamu kalau aku pandai bermain dadu. He he he...! 
Kau bersedia kembali kemari, Arya?" 

"Bersedia, Kek," jawab Arya mantap. 

"Kalau begitu segeralah selesaikan urusan itu se- 
cepatnya! Ajaklah Penyair Cengeng untuk ikut ambil 
bagian dalam permainan ini!" 

Dewa Arak tanpa sadar tersenyum sendiri. Dia tak 
tahu kalau dua gadis yang berdiri di dekatnya tengah 
memperhatikan. Kedua wanita yang sama-sama cantik 
ini merasa tertarik pada Arya. 

Pemuda itu sendiri tak tahu-menahu dengan gejo- 
lak perasaan Winarni dan Dewi Ratna. Arya masih si- 
buk memikirkan janjinya terhadap Kertapati alias 
Eyang Nararya. 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Empu Jangkar Bumi