Dewa Arak 78 - Pembalasan dari Liang Lahat


Hujan turun begitu deras, bagai ditumpah- 
kan dari langit. Angin berhembus kencang menya- 
pu apa saja yang dilalui. Sesekali kilat menjilat 
angkasa, membuat yang semula gelap gulita men- 
jadi terang-benderang meski hanya sekilas. Alam 
seperti tengah murka. Malam yang gelap pekat 
menjadikan suasana semakin menyeramkan! 

Keadaan demikian seperti tidak dipeduli- 
« kan oleh sebuah kereta sederhana yang ditarik 
kuda hitam tinggi besar. Pengendaranya adalah 
seorang lelaki kekar bertelanjang dada. Tanpa 
henti-henti cambuknya dilecutkan, membuat kuda 
penarik kereta terus berlari semakin cepat. Bunyi 
lecutan cambuk senantiasa terdengar, tapi nyaris 
tertindih oleh suasana alam yang tengah menga- 
muk. 

Kelihatannya sang kusir ingin segera mela- 
kukan perjalanan secepat mungkin. Kendati demi- 
kian, keadaan alam yang tidak bersahabat dan ta- 
nah lunak karena hujan, membuat perjalanannya 
terhambat 

"Masih jauhkah perjalanan kita, Gempita?!" 

Terdengar suara serak dan parau dari da- 
lam kereta, berusaha menyeruak riuh-rendahnya 
bunyi air hujan dan desir angin yang keras. 

"Tidak! Sebentar lagi pun kita akan sam- 
pai...!" teriak sang kusir tidak kalah keras. 

Kusir yang dipanggil Gempita memiliki 
cambang bauk lebat itu terlihat ketika alam terang 
benderang sejenak oleh kilatan di langit. 

Berat dan mantap suara Gempita. Tidak 
terlihat gemetar atau tersendat-sendat, seperti 
layaknya orang kedinginan! Padahal, saat ini uda- 
ra dingin menusuk hingga ke tulang sumsum! 

Bahkan lelaki bercambang bauk lebat itu malah 
bertelanjang dada! 

Tidak terdengar sahutan sama sekali dari 
dalam kereta. Rupanya, jawaban Gempita tadi cu- 
kup memuaskan hati orang di dalam kereta. Se- 
mentara kereta terus melaju terseok-seok melalui 
jalan tanah becek 

"Kita telah sampai...!" seru Gempita, seraya 
menarik tali kekang kudanya. 

Tanpa mempedulikan kudanya yang terus 
meringkik, lelaki bertelanjang dada dan bercam- 
• bang bauk lebat itu melompat. Pada saat yang 
hampir bersamaan, dari belakang kereta melompat 
sesosok tubuh lain sambil membopong sebuah pe- 
ti mati! 

"Kita harus bertindak cepat..! Kalau ter- 
lambat, akan celaka...!" ujar Gempita sambil berla- 
ri cepat menuju hamparan tanah luas yang berja- 
rak beberapa tombak di depan. 

Di belakangnya, mengikuti sosok yang tadi 
di dalam kereta sambil membopong peti mati. Si- 
nar bulan sepotong cukup menerangi sekitarnya. 
Sebuah tempat yang pemandangannya cukup 
mendirikan bulu roma. Hamparan tanah itu ter- 
nyata tidak kosong sama sekali. Pada beberapa 
bagian, tampak gundukan-gundukan tanah. Ya... 
tempat ini memang kuburan liar! 

Pada bagian lapangan yang tidak terdapat 
gundukan, Gempita menghentikan langkahnya. 
Cangkul yang tadi diambil dari kereta, langsung 
dihunjamkan ke bumi. 

"Uhhh...!" 

Lelaki bercambang bauk itu berseru terta- 
han ketika ayunan cangkulnya yang sekuat tenaga 
bagai tertahan secara mendadak. Ketika meng- 
hunjam tanah, hanya sebagian mata cangkulnya 
yang amblas, Gempita penasaran bukan main. 
Sambil menggertakkan gigi seluruh kekuatannya 
dikerahkan, hendak mencangkul kembali. Tapi, 
hasilnya sama saja. Rasa penasaran dan heran 
mulai berganti rasa takut. Dan dia tetap saja me- 
neruskan pekerjaannya. 

"Cepat sedikit, Gempita! Jangan main- 
main! Waktu kita sedikit. Lihat! Bulan sudah me- 
nampakkan diri, dan hujan mulai mereda. Kalau 
sampai hujan berhenti dan peti ini belum ditanam, 
malapetaka besar akan terjadi!" kata lelaki yang 
• membopong peti, berseru tak sabar. 

Nada suara lelaki bertubuh kecil kurus ini 
menyiratkan kegelisahan yang tidak bisa disem- 
bunyikan. Dan memang bukan tanpa alasan dia 
memberi teguran. Apalagi, dia tahu, siapa Gempi- 
ta. Bukan saja memiliki tenaga dalam luar biasa, 
tapi kepandaiannya juga boleh dibanggakan. Jan- 
gankan menggali tanah yang telah menjadi lunak 
karena tersiram hujan dengan cangkul! Menggali 
tanah keras dengan sebatang kayu pun dapat ce- 
pat dilakukannya. Tapi sekarang mengapa dengan 
cangkul justru pekerjaannya demikian lambat?! 

"Aku tidak bermain-main, Marong! Seluruh 
kemampuanku telah kukerahkan! Tapi, memang 
ada sesuatu yang aneh di sini! Sesuatu yang 
membuat tenagaku seperti lenyap!" jelas Gempita, 
tanpa menghentikan pekerjaannya. 

Jawaban itu membuat laki-laki kecil kurus 
yang dipanggil Marong merasa jantungnya seperti 
berhenti berdetak. Dia tahu, Gempita tidak main- 
main dan berkata benar. Begitu tiba di tempat ini 
pun, Marong telah merasa sesuatu yang aneh. Ra- 
sa takut tanpa sebab mendadak muncul di ha- 
tinya. Bulu-bulu di tubuhnya, terutama sekali di 
tengkuk kontan berdiri! 

Marong seketika merasakan tenggorokan- 
nya kering. Malah dengan susah payah ludahnya 
baru dapat ditelan. Keringat sebesar-besar biji ja- 
gung mulai mengalir di wajahnya. Padahal, kenda- 
ti hujan semakin mereda, udara masih amat din- 
gin! 

Baik Marong maupun Gempita mulai bisa 
menarik napas lega ketika akhirnya lubang yang 
hendak digunakan untuk mengubur peti mati se- 
lesai digali. Tapi bertepatan dengan itu, hujan 
yang sejak tadi telah terus mereda, berhenti sama 
sekali. 

"Celaka, Gempita! Hujan telah berhenti...! 
Usaha yang kita lakukan sia-sia belaka...!" keluh 
Marong, tanpa mampu menyembunyikan rasa ge- 
lisahnya. 

"Nasi telah menjadi bubur, Marong," jawab 
Gempita, bernada keluhan. "Kita tidak mempunyai 
pilihan lain lagi, kecuali menguburkan peti ini. Ti- 
dak mungkin kita bertindak setengah jalan. Mu- 
dah-mudahan saja, perkiraan guru meleset!" 

Marong tidak berkata apa-apa lagi. Dengan 
perasaan dicekam rasa takut, kedua lelaki ini me- 
naruh peti mati ke dalam lubang dan mengubur- 
kannya. 

"Mudah-mudahan saja perkiraan guru me- 
leset. Bukankah itu hanya perkiraan saja!" hibur 
Marong, seperti untuk diri sendiri. 

Marong mulai menjatuhkan gundukan de- 
mi gundukan tanah ke dalam lubang. Sebenarnya, 
mereka tidak perlu menggunakan kaki, mendorong 
gundukan tanah yang tadi berada di sisi lubang 
yang baru dibuat. Tapi, mereka tidak mempunyai 
pilihan lagi. Tadi, dorongan angin pukulan mereka 
untuk pertama kalinya tidak membuahkan hasil, 
karena tanah-tanah itu seperti tak ingin bergem- 
ing. 

"Jangan bicara hal-hal yang menyeramkan, 
Marong," tegur Gempita dengan tengkuk terasa 
dingin. Sementara bulu-bulu kuduknya terus ber- 
diri semakin banyak. Percakapan yang dibuka Ma- 
rong semakin membuat memperseram keadaan. 

"Aku pun sebenarnya tidak ingin membica- 
rakan hal ini, Gempita. Tapi, berdiam diri saja 
membuatku tidak enak. Aku bisa mati ketakutan!" 
sahut Marong. 

"Bisa saja kau buat percakapan lainnya. 
Jangan percakapan tentang hal-hal yang membuat 
keadaan semakin seram," tangkis Gempita. 

Marong diam. Bisa dirasakan kebenaran 
ucapan kawannya. Hal ini membuat suasana men- 
jadi hening. 

"Heaaa...!" 

Tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda. 
Sehingga membuat dua lelaki ini terperanjat kaget 
dengan jantung seperti berhenti berdetak. Kalau 
saja suasana tidak remang-remang, akan terlihat 
wajah masing-masing yang pucat bagai tak dialiri 
darah. Rasa takut dan seram, membuat bunyi 
yang dalam keadaan biasa seperti berubah lain 
dan aneh. Malah sepertinya mampu membuat 
nyawa terbang sesaat 

Sementara itu ringkikan yang ternyata dari 
mulut kuda yang telah membawa mereka ke tem- 
pat itu seperti bernada ketakutan. Bahkan setelah 
mengeluarkan ringkikan, kuda itu berlari cepat 
bagai tengah dikejar sesuatu yang menakutkan, 
berikut membawa kereta yang ditariknya. 

Kejadian ini membuat Marong dan Gempita 
kaget bukan main. Padahal, kuda hitam itu bukan 
kuda sembarangan. Tapi, merupakan kuda pilihan 
yang amat taat pada majikan. Tapi, mengapa kali 
ini sampai berani meninggalkan tempat itu sebe- 
lum diperintah? 

"Hitam...! Kembali...!" 

Gempita berseru keras memanggil kudanya 
yang terus berlari membawa kereta. Padahal bi- 
asanya, setiap kali diberi perintah, kuda hitam itu 
menurut dan mengerti. Tapi, kali ini perintah itu 
tidak dipedulikan sama sekali. 

"Heran..., apa yang terjadi dengan si Hi- 
tam...,?! Tidak biasanya dia beriaku seperti itu...?!" 
gumam Gempita kebingungan. 

"Sepertinya dia sangat ketakutan, Gempi- 
ta," bisik Marong, membuat Gempita terperanjat 

Marong sadar kalau ketelepasan bicara. 
Karena kata-katanya akan membuat mereka se- 
makin ketakutan. Tapi dia tahu, tidak ada gu- 
nanya lagi. Karena, perkataannya telah keluar. 
Malah kebenarannya tidak diragukan. Si Hitam 
memang ketakutan. Tapi, ketakutan terhadap 
apa?! 

Gempita dan Marong saling berpandangan. 
Mereka tahu, binatang mempunyai naluri amat ta- 
jam. Bahkan kabarnya, binatang-binatang akan 
berteriak ketakutan kalau ada makhluk halus le- 
wat. Dengan tingkah si Hitam kali ini?! Gempita 
dan Marong sama sekali tidak mempedulikan ka- 
lau pakaian bagian bawah mereka mendadak ba- 
sah. Dan.... 

"Gempita...! Lihat..!" 

Marong berusaha berseru. Tapi yang keluar 
hanya keluhan bagai orang yang tengah sekarat. 
Bahkan tangan kanannya yang ditudingkan ke 
atas, tampak menggigil hebat 

Sementara, Gempita mengarahkan pan- 
dangan ke arah yang ditunjuk Marong. Dan wa- 
jahnya pun seketika berubah pucat. Bulan tampak 
berwarna merah seperti tersiram darah. Bahkan 
sekeliling permukaan bulan pun merah membara. 
Apa yang mereka takuti ternyata terjadi 

"Bulan Merah...," desis Gempita lebih mirip 
keluhan. "Berarti malapetaka itu akan muncul. 
Cepat kita tinggalkan tempat ini, Marong...!" 

Saat itu juga, bagai tengah berlomba lari, 
Marong dan Gempita berlari cepat meninggalkan 
• tempat ini. Perasaan takut yang amat sangat, 
membuat kedua lelaki ini mengerahkan seluruh 
kemampuannya. 

Baik Gempita maupun Marong merasa lega 
ketika berlari beberapa saat, tidak terlihat adanya 
tanda-tanda akan adanya sesuatu yang mengejar. 
Kendati demikian, karena rasa penasaran dan un- 
tuk lebih meyakinkan, kepala mereka menoleh ke 
belakang. 

Dan mendadak saja jantung Marong dan 
Gempita bagai berhenti berdetak, begitu melihat 
ke belakang. Ternyata apa yang mereka lihat ma- 
sih berupa gundukan tanah yang baru saja dibuat. 
Padahal, mereka telah berlari sekian lama! Ketika 
kedua pandangan mereka diarahkan ke kaki dan 
tanah, baru disadari kalau sejak tadi hanya berla- 
ri-lari di tempat. 

Rasa takut dan cemas yang mencekam ba- 
gai membuat kedua lelaki ini menjadi gila. Lari 
mereka pun semakin dipercepat. Tapi kesudahan- 
nya tidak berbeda. Sepasang kaki mereka hanya 
bermain-main di tempat semula. 

Marong dan Gempita terkenal sebagai to- 
koh persilatan yang berkepandaian tinggi. Dan 
mereka tahu, kejadian ini tidak wajar. Ada kekua- 
tan tak nampak yang tidak dimengerti. 

Sebagai tokoh yang telah memiliki kepan- 
daian tinggi, Marong dan Gempita tahu kalau ke- 
jadian ini hanya dapat dilakukan oleh tokoh ber- 
tenaga dalam tinggi hanya dengan menjulurkan 
tangan. Tapi, di belakang mereka tidak terlihat 
seorang tokoh pun! Jadi, siapa yang telah melaku- 
kannya. 

Akhirnya, setelah tahu kalau tindakan 
yang dilakukan sama sekali tidak berarti, Gempita 
dan Marong bertindak nekat. Mereka menghenti- 
* kan lari, dan langsung mencabut senjata masing- 
masing. Gempita meloloskan goloknya, sedang 
Marong mencabut sepasang trisulanya. 

"Siapa pun adanya kau, Siluman atau bu- 
kan, jangan bertindak pengecut begini. Silakan ke- 
luar! Tunjukkan rupamu, Pengecut! Jangan dikira 
kami takut mati...!" bentak Gempita keras sambil 
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Perasaan 
takut yang melanda berubah menjadi nekat! 

Marong tidak ikut berteriak Tapi, pandan- 
gannya beredar ke sana kemari dengan sikap was- 
pada. Jantung yang berdetak dalam dadanya dira- 
sakan bagai dentum tambur. 

Keadaan menjadi hening setelah Gempita 
berteriak. Ternyata memang tidak ada sambutan 
sama sekali atas seruannya. Suasana jadi terasa 
menegangkan bagi Marong dan Gempita. Menung- 
gu hal-hal yang tidak diketahui, membuat kete- 
gangan memuncak. Bahkan keringat dingin makin 
mengalir membasahi sekujur wajah! Padahal, cua- 
ca amat dingin menusuk tulang! Dan tiba-tiba.... 

Blarrr! 

Terdengar ledakan yang tidak terlalu keras, 
membuat Gempita dan Marong yang tengah tegang 
menunggu, kontan terlompat ke belakang. Mereka 
terkejut bukan main. Bahkan seketika itu pula, 
nyawa dua lelaki perkasa itu bagai melayang ke 
alam baka. 

Setelah perasaan kaget yang melanda be- 
rangsur lenyap, dengan mata terbelalak kaget Ma- 
rong dan Gempita menatap ke arah gundukan ta- 
nah yang menjadi sumber ledakan keras tadi. Ka- 
rena, di situlah tempat peti mati yang dibawa di- 
kuburkan! Tampak tanah bergumpal-gumpal ber- 
pentalan ke atas ketika ledakan terjadi! 

Belalakan mata mereka semakin membesar 
ketika dari dalam lubang kuburan yang telah 
menganga keluar sesuatu. Mula-mula hanya dua 
buah tangan yang mencekal pinggir lubang. Ke- 
mudian disusul kepala berwajah pucat dengan 
mata bersinar kehijauan mirip mata kucing, liar! 
Sehingga membuat wajah itu semakin mengerikan! 

"Ambar...," desis Marong dan Gempita 
hampir berbarengan. Suara dan sorot mata mere- 
ka seperti tidak percaya. Nama yang disebutkan 
adalah nama dari mayat dalam peti yang baru saja 
mereka kuburkan! 

"Hi hi hi...!" 

Terdengar tawa mengikik dari sosok men- 
gerikan dari lubang kubur yang ternyata seorang 
gadis muda. Seram mengiris telinga dan menyayat 
jantung. 

"Aku memang Ambar. Tapi, bukan Ambar 
seperti yang kalian kenal dulu. Kebangkitanku la- 
gi, adalah untuk membalaskan semua sakit hati- 
ku. Hi hi hi...! Dan, kalian adalah orang-orang 
yang pertama kali mendapatkan giliran untuk me- 
nerima kematian!" kata sosok mayat hidup yang 
bernama Ambar dengan suara menggiriskan. 

"Tidak akan semudah itu kau dapat mela- 
kukannya, Setan Penasaran!" sentak Gempita 
yang telah bangkit keberaniannya. "Justru kaulah 
yang akan kami binasakan, untuk tidak bisa 
bangkit lagi selamanya!" 

Gempita tanpa berpikir panjang lagi segera 
melompat menerjang. Goloknya diputar bagai kiti- 
ran, kemudian ditusukkan secara cepat ke arah 
perut manusia yang telah bangkit dari kematian- 
nya. 

Zebbb! 

Secara telak dan keras, golok Gempita 
mengenai sasaran dan menghunjam. Tapi, ternya- 
ta Ambar sama sekali tidak menjerit kesakitan. 
Gadis ini malah tertawa cekikikan. Tawa yang se- 
patutnya tidak keluar dari mulut manusia! 

Gempita membaui adanya bahaya. Maka 
goloknya yang amblas menembus sampai ke 
punggung Ambar segera ditarik kembali. Tapi, hati 
lelaki ini mencelos ketika mengetahui senjatanya 
tidak bisa ditarik kembali. 

Gempita menjadi gugup, sehingga mem- 
buatnya kehilangan akal. Dan tiba-tiba Ambar 
menggerakkan kepalanya ke depan, membentur- 
kan pada kepala Gempita. Dan.... 

Prakkk! 

Gempita tidak bisa mengeluarkan jeritan 
lagi, ketika kepalanya hancur berantakan berben- 
turan dengan kepala Ambar. Darah bercampur 
otak langsung muncrat-muncrat dari kepalanya 
yang hancur berkeping-keping! Sebagian dari da- 
rah itu malah menempel di dahi dan wajah Ambar 
yang terus tertawa kegirangan. 

"Gempita...!" 

Marong menjerit kaget bercampur marah, 
ketika melihat kematian kawannya secara demi- 
kian mudah dan mengenaskan! Kejadian itu ber- 
langsung cepat, sehingga lelaki kecil kurus ini ti- 
dak sempat berbuat sesuatu untuk menyela- 
matkan Gempita. 

"Kau harus mampus, Siluman Penasaran! 
Nyawa kawanku harus kau tebus dengan nyawa- 
mu!" dengus Marong. 

Ambar berhenti tertawa. Kini sepasang ma- 
tanya menatap Marong yang mulai bergerak men- 
dekatinya sambil mempermainkan sepasang trisu- 
• la. Bunyi mengaung mengiringi gerakan trisula 

Meski diliputi marah meluap Marong bersi- 
kap hati-hati dan tidak mau sembarangan menye- 
rang. Telah disaksikannya sendiri kehebatan 
mayat hidup itu. Dia tidak ingin mati konyol se- 
perti Gempita. Maka kakinya melangkah hati-hati 
mendekati lawannya. 

Namun tiba-tiba Marong menghentikan 
langkahnya ketika melihat perut Ambar bergolak. 
Bergerak turun naik, bergelombang! Ada bunyi 
menggelogok seperti air tengah mendidih hebat! 
Marong tak tahu, apa yang akan dilakukan mayat 
hidup ini. 

Tapi, dengan sebentar saja Marong terpaku 
selanjutnya diawali teriakan melengking nyaring, 
lelaki ini melompat menerjang Ambar. Sepasang 
trisula di tangan dikelebatkan bertubi-tubi ke arah 
berbagai bagian berbahaya di tubuh mayat hidup 
itu. 

"Huakh...!" 

Pada saat yang sama, dari mulut Ambar 
melesat keluar segumpal cairan merah kental, se- 
belum serangan Marong tiba. 

Marong terperanjat saat gumpalan cairan 
merah yang diketahui sebagai darah itu meluncur 
cepat, laksana anak panah lepas dari busur, tu- 
buhnya tengah berada di udara. Tidak ada pilihan 
lain bagi Marong, kecuali menangkis serangan. 

Lelaki kecil kurus ini terpaksa membatal- 
kan serangannya. Sementara sepasang trisulanya 
segera dipergunakan untuk memapak kedatangan 
gumpalan darah itu. Marong tahu, meski hanya 
gumpalan darah, tapi menilik bunyinya yang ber- 
desing nyaring, bisa diketahuinya kalau serangan 
itu tak kalah berbahayanya dengan lemparan batu 
karang! Apabila mengenai sasaran, akan berakibat 
sangat parah. Apalagi bagian yang dijadikan tu- 
juan adalah kepala! 

Jantung Marong bagai berhenti berdetak, 
ketika melihat gumpalan darah itu bagaikan hi- 
dup. Sebelum tertangkis trisula, darah itu meliuk 
ke bawah bak seekor kelelawar. Hal ini membuat 
sepasang trisula yang hendak dipergunakan men- 
jepit gumpalan darah, saling berbenturan mener- 
bitkan bunyi nyaring. Sementara, gumpalan darah 
itu sendiri meluncur deras ke arah leher. Dan.... 

"Akh...!" 

Marong hanya mampu menjerit tertahan 
ketika gumpalan darah itu menghantam lehernya. 
Tulang lehernya kontan hancur berantakan men- 
geluarkan bunyi berderak keras. Begitu ambruk di 
tanah, tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat sebe- 
lum diam tidak bergerak lagi. Marong tewas me- 
nyusul Gempita. 

"Hihihi...!" 

Ambar yang berupa sosok mayat hidup ter- 
tawa cekikikan. Penuh kegembiraan. Dengan pe- 
nuh rasa puas, ditatapnya mayat dua orang kor- 
bannya. 

"Dukun keparat! Setiaji! Kalian pun akan 
mengalami nasib seperti dua monyet ini! Kalian 


bahkan akan menerima kematian yang lebih men- 
gerikan! Tunggulah saatnya! Hi hi hi..!" 

Glarrr! 

Mendadak saja terdengar bunyi halilintar 
yang luar biasa keras begitu Ambar tertawa. Sua- 
ranya bagaikan akan menghancurkan persada! 
Dan dengan tawa yang tidak terputus-putus, tu- 
buhnya melesat meninggalkan tempat itu. Me- 
ninggalkan dua sosok mayat yang telah menjadi 
korban kebuasannya. 

Sementara bulan telah kembali seperti bi- 
asa, berwarna kuning keemasan. Langit pun kem- 
bali cerah, seakan-akan tadi tidak pernah terjadi 
apa-apa. Bahkan bintang-bintang yang sejak tadi 
tidak terlihat, seperti saling berlomba untuk me- 
nampakkan diri. Awan tebal yang tadi menggan- 
tung di langit pun telah sirna ditiup angin. 




Sang surya mengintip malu-malu di ufuk 
timur, mengusir kegelapan malam yang melingku- 
pi persada. Kehadirannya disambut kicau riang 
burung-burung dan binatang-binatang lainnya. 
Bertepatan dengan itu, sesosok tubuh berpakaian 
coklat yang tidak terlihat jelas ciri-cirinya tampak- 
nya melesat cepat memasuki hutan kecil. Gera- 
kannya cepat bukan main, sehingga sulit dikenali. 

"Uh...!" 

Sosok berpakaian coklat itu mengeluarkan 
keluhan tertahan, seraya menghentikan larinya. 
Dan dengan penuh rasa heran, matanya menatap 
ke arah jejeran pepohonan yang berada di depan- 
nya. Namun yang membuat tertarik sosok yang 
ternyata seorang kakek ini bukan pepohonan di 


depannya. Laki-laki yang telah tidak mempunyai 
sepasang kaki itu menatap heran ke arah mayat 
seekor kuda hitam bertubuh kekar dan besar yang 
tergolek di tanah dengan kepala hancur! 

Kakek berpakaian coklat berlompatan 
mendekati bangkai kuda, Gerakannya sama sekali 
tidak terlihat mengalami kesulitan, kendati tidak 
memiliki kaki lagi. Karena pada kedua ketiaknya 
terselip dua batang tongkat penyangga yang ber- 
guna sebagai pengganti kaki. 

Sepasang alis putih lelaki berusia amat 
• lanjut itu bertautan, seperti tengah berpikir keras. 
Hanya dengan melihat sekilas, dia tahu kalau ku- 
da hitam itu bukan kuda liar. Karena di bagian be- 
lakangnya, bersambung dengan sebuah kereta. 

Kakek berpakaian coklat ini tidak merasa 
heran melihat kuda itu tewas. 

Tapi melihat keadaannya yang menge- 
naskan, membuat keningnya berkerut Kuda itu 
agaknya habis dilanda ketakutan hebat, sampai- 
sampai tidak memperhatikan keadaan sekitarnya. 
Binatang itu berlari sejadi-jadinya, melewati celah 
dua batang pohon. Meskipun cukup untuk lewat 
tubuhnya, tapi tidak bisa dilewati kereta yang di- 
bawanya. Akibatnya, kereta itu tertahan. Dengan 
sendirinya, lari kuda itu tertahan. Dan kakek ini 
yakin, kuda hitam itu telah berusaha cukup keras 
untuk meloloskan diri sebelum maut menjemput- 
nya, melalui tangan kejam orang yang menghan- 
curkan kepalanya. 

"Sungguh kejam orang yang membunuh- 
nya!" desis kakek berpakaian coklat ini penuh pe- 
rasaan penasaran, seraya mengarahkan pandan- 
gan ke tempat kuda itu berasal. 

Tidak sulit bagi kakek ini untuk memasti- 
kannya. Karena di samping terjawab oleh arah bi- 


natang itu dan keretanya, juga oleh jejak kaki dan 
bekas roda kereta yang tampak jelas di tanah be- 
cek akibat hujan deras semalam. Dari bekas-bekas 
yang ada, memang tidak ada hambatan untuk 
mengikuti arah awal kuda hitam itu. Dan semakin 
jauh tempat kuda tergeletak ditinggalkannya, se- 
makin banyak kerutan pada dahinya. 

"Ah...!" 

Kakek berpakaian coklat berseru kaget, be- 
gitu melihat tempat asal kuda itu berlari. Bebera- 
pa tombak di depannya, tampak hamparan tanah 
• lapang yang sedikit ditumbuhi rumput mengering. 
Pada beberapa bagian, tampak gundukan- 
gundukan tanah agak memanjang. Dan tempat ini 
memang sebuah makam! 

Bukan hanya makam-makam itu saja yang 
ada di hamparan tanah lapang itu. Tapi, juga dua 
sosok tubuh yang tergolek di tanah dalam keadaan 
tewas menyedihkan. 

"Ya, Tuhan...!" 

Seruan bernada kaget dan penyesalan di- 
keluarkan kakek itu, seiring lesatan tubuhnya ke 
depan menghampiri dua sosok mayat yang tergo- 
lek. 

Tanpa memeriksa lagi pun, kakek berpa- 
kaian coklat ini telah mengenali dua sosok itu te- 
lah jadi mayat. Yang seorang bertelanjang dada 
dengan kepala pecah. Sedangkan yang satu lagi 
kecil kurus, dengan leher terkulai. Dan tepat pada 
bagian lehernya, tampak lubang besar menganga! 

Pemandangan ini saja sudah membuat ka- 
kek berpakaian coklat terkejut. Dan lebih terkejut 
lagi ketika melihat adanya lubang kuburan yang 
menganga beberapa tombak dari situ. Maka den- 
gan wajah pucat dan tergesa-gesa, dihampirinya 
lubang itu. Lalu dengan bertopang pada sepasang 
tongkat di ketiaknya, kepalanya dilongokkan ke 
dasar lubang. 

"Apa yang aku khawatirkan akhirnya terja- 
di juga. Tuan Muda terbebas dari kungkungan. 
Malapetaka besar akan merajalela di dunia persi- 
latan. Ahhh...! Haruskah aku melakukan tindakan 
seperti yang diperintahkan tuan besar? Sang- 
gupkah aku?!" gumam kakek itu dalam hati. 

Kakek berpakaian coklat ini termenung be- 
berapa saat di pinggir lubang. Kelihatannya dia 
bingung sekali. Bahkan beberapa kali menghela 
• napas berat, seperti ada beban yang mengganjal 
dalam batinnya. 

Dan, setelah menarik napas beberapa kali 
untuk menenangkan batinnya, kakek ini melang- 
kah tertatih-tatih mendekati sebuah gundukan ta- 
nah lain yang lebih besar. Pada bagian tengah ma- 
kam ini, tampak sebongkah batu hitam mengkilat. 

"Tuan Besar," kata kakek ini dengan kepala 
tertunduk hormat. Seakan-akan orang yang dis- 
apa berada di depannya. "Apa yang kau khawatir- 
kan, akhirnya terjadi. Tuan Muda telah lolos dari 
kungkungan. Dan aku khawatir dia akan menye- 
bar maut di dunia persilatan. Banyak gadis cantik 
yang akan jadi korbannya lagi. Aku mohon restu- 
mu, Tuan Besar. Aku akan mencoba memenuhi ti- 
tahmu untuk mencegah angkara murka Tuan Mu- 
da." 

Kakek berpakaian coklat lalu membungkuk 
beberapa kali, sebelum berdiri tegak seperti sedia 
kala. 

"Maafkan aku, Tuan Muda. Aku terpaksa 
mengganggu istirahat mu." 

Kakek itu menutup ucapannya dengan ti- 
upan pelan dari mulutnya. Tapi, yang terjadi ada- 
lah hembusan angin keras yang mampu membuat 
batu hitam mengkilat sebesar kepala kerbau itu 
berpentalan jauh bagaikan dilempar tokoh persila- 
tan yang memiliki tenaga raksasa! 

Kakek berpakaian coklat ini lalu duduk 
bersila, berjarak satu tombak dari makam. Sepa- 
sang matanya yang semula sayu sarat dengan pe- 
nyesalan, mencorong dengan sinar kehijauan se- 
perti mata kucing dalam gelap. Sekejap kemudian, 
mulutnya meniup. 

Seketika kembali angin keras, berhembus 
dari mulut si kakek. Gundukan tanah itu ber- 
• goyang-goyang keras. Kian lama kian keras. Bong- 
kahan-bongkahan tanah lembek berpentalan ter- 
pisah dari gundukannya. Semakin banyak, seiring 
tiupan kakek itu. Dan ketika wajah kakek berpa- 
kaian coklat telah dibasahi keringat, gundukan 
tanah itu sudah tidak nampak lagi. Yang tinggal 
hanya lubang besar menganga memperlihatkan 
sebuah peti mati di dalamnya. 

Kakek ini kemudian menghembuskan na- 
pas lega, seraya bangkit berdiri. Dengan memper- 
gunakan tongkat yang tadi ditaruhnya di tanah 
ketika duduk bersila, dia mulai melangkah. 

Tapi baru juga beberapa langkah kakek itu 
menghampiri lubang, terdengar bunyi berkesiutan 
nyaring dari sebuah benda. Dia tahu pemilik lem- 
paran benda itu mempunyai tenaga dalam luar bi- 
asa. Kendati demikian, hatinya tidak menjadi gen- 
tar untuk memapaknya dengan tongkat yang se- 
mula terjepit di ketiaknya. 

Sebelum menangkis, kakek berpakaian 
coklat masih sempat melihat kalau benda yang 
meluncur ke arahnya mirip batu berbentuk agak 
bulat, sebesar kepalan tangan. Maka tanpa ragu- 
ragu dipapaknya. 

Pyarrr...! 

Kejadian selanjutnya benar-benar mem- 
buat kakek ini kaget bukan kepalang. Ternyata 
benda itu meledak, walaupun pelan. Tapi berba- 
reng ledakannya, berhamburan benda-benda ha- 
lus ke arahnya. 

Kejadian yang berlangsung demikian cepat 
ini tidak membuat kakek itu gugup. Dan tampak- 
nya sepasang matanya awas bukan main. Meski 
meluncurnya benda-benda halus yang cepat bu- 
• kan main, masih mampu ia lihat kalau itu adalah 
jarum yang puluhan jumlahnya! 

Kakek berpakaian coklat tidak memiliki ke- 
sempatan sedikit pun untuk mengelak. Maka selu- 
ruh tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk 
membuat kulit tubuhnya kebal. Tapi belum juga 
tenaga dalamnya penuh dikeluarkan, mendadak.... 

Blammm! 

Tiba-tiba terdengar bunyi berdebam nyar- 
ing, bagai bunyi halilintar! 

Kakek berpakaian coklat ini mengeluh da- 
lam hati. Bunyi berdetak keras tadi tidak hanya 
membuat telinganya tuli, tapi juga membuat pen- 
gerahan tenaga dalamnya buyar. Sekujur tubuh- 
nya kontan lemas. Bahkan dia hampir jatuh, ka- 
rena tenaga yang tidak tersedia membuat goyah 
tongkat yang terjepit di ketiak. Dan saat itulah, 
puluhan jarum beracun menghunjaminya! 

Seketika itu pula, tubuh kakek ini ambruk 
ke tanah. Namun dia tidak putus asa. Dicobanya 
untuk bangkit hendak membalas orang yang telah 
melakukan penyerangan secara gelap dan licik. 
Tapi maksudnya segera diurungkan, karena tidak 
mampu melakukannya. Seluruh tenaga dalamnya 
seperti lenyap. Bahkan sekujur otot tubuhnya ti- 
dak bisa digerakkan lagi. Kaku dan lemas. 

Kakek itu tersenyum pahit. Tanpa berpikir 
lebih jauh lagi, bisa ditebak kalau pengaruh ja- 
rum-jarum beracun dahsyat yang menancap di se- 
kujur tubuhnya telah menjalar. Daya kerjanya 
demikian cepat, sehingga langsung bisa melum- 
puhkan sekujur tubuhnya. 

Begitu kakek ini menghentikan maksud- 
nya, mendadak terdengar angin berkesiut pelan. 
Dan tahu-tahu di dekatnya telah berdiri seorang 
kakek tinggi besar berkepala botak. Ciri-ciri seperti 
seekor monyet, dengan tubuh dipenuhi bulu. Pada 
kedua tangannya tergenggam kecer yang saling di- 
benturkan satu sama lain, hingga menimbulkan 
bunyi berdentam nyaring. 

"Siapa kau? Mengapa melakukan tindakan 
sekeji itu terhadapku?!" tanya kakek berpakaian 
coklat ini lemah, kendati sebenarnya bermaksud 
untuk bertindak tegas. 

"Ha ha ha...!" 

Laki-laki berkepala botak mirip monyet itu 
tertawa bergelak. 

"Mungkin kau tidak mengenalku, karena 
kesibukanmu melayani orang lain. Tapi aku men- 
genalmu. Bukankah kau Wara Kuri, budak ke- 
luarga Wiraraja? Tapi tidak apa-apa aku memper- 
kenalkan diri, agar kau tidak mati penasaran. 
Namaku, Buluk Pitu. Dan kedatanganku kemari 
sama dengan tujuanmu. Aku ingin menguasai bo- 
cah gila keturunan dari Wiraraja. Ha ha ha...!" ka- 
ta laki-laki mirip monyet yang mengaku bernama 
Buluk Pitu. 

"Iblis Jahanam! Jangan kau kira aku akan 
membiarkan saja!" tegas kakek berpakaian coklat 
yang ternyata Wara Kuri penuh rasa geram. 

"Lalu kau ingin melakukan apa, Wara Kuri?!
Membunuhku?! Silakan! Percayalah, aku tidak 
akan melawan sama sekali!" sambut Buluk Pitu, 
mengejek. 

Wara Kuri hanya bisa mengutuk habis- 
habisan. Memang disadari, Buluk Pitu berani 
mengucapkan tantangan demikian, karena Wara 
Kuri sudah tidak berdaya sama sekali untuk ber- 
buat apa-apa. Jarum-jarum itu telah melumpuh- 
kan sekujur uratnya. Dan dia hanya tinggal me- 
nanti ajal saja! 

"Mengapa kau diam saja, Wara Kuri?! Ayo 
• laksanakan ancamanmu! Ini dadaku. Pukul. Han- 
tam! Pecahkan!" kata Buluk Pitu, semakin mema- 
nas-manasi dengan membusung-busungkan da- 
danya. 

Melihat hal ini, Wara Kuri sadar kalau Bu- 
luk Pitu memang hendak mengejeknya habis- 
habisan. Kalau menunjukkan sikap tersinggung 
atau terpengaruh ejek itu, lelaki tinggi besar mirip 
monyet itu akan semakin menjadi-jadi. Maka be- 
tapapun panas hati, diredamnya semua amarah 
sekuat tenaga. 

"Kau boleh berteriak-teriak sampai mulut- 
mu keluar kotoran, Buluk Pitu. Tapi aku tidak 
akan meladenimu! Hanya satu hal yang menggan- 
jal hatiku. Tentu saja kalau kau tidak terlalu pen- 
gecut untuk memberi jawaban." pancing Wara Ku- 
ri. 

Wajah Buluk Pitu kontan merah padam. 
Tampak jelas kalau hatinya merasa tersinggung 
oleh ucapan Wara Kuri. 

"Aku tahu, kau mencoba mencari keuntun- 
gan dengan berdalih perkataan pengecut! Tapi, 
apa ruginya untuk memberi jawaban pada orang 
yang telah dekat liang kubur! Ayo, ajukan perta- 
nyaanmu, Wara Kuri! Dan aku akan memberi ja- 
waban sampai kau puas!" 

Wara Kuri tidak kelihatan gembira men- 
dengar Buluk Pitu bersedia memenuhi tantangan- 
nya. 

"Hanya sebuah pertanyaan tak berarti, Bu- 
luk Pitu. Dari mana kau tahu mengenai putra 
Tuan Besar Wiraraja. Kau tahu, hal itu amat dira- 
hasiakan! Hanya keluarga saja yang tahu." 

Buluk Pitu tertawa terkekeh. Kemudian 
dengan suara berbisik, diberitahukannya orang 
yang dimaksud. 

"Tidak mungkin...!" sentak Wara Kuri ter- 
bata-bata, ketika Buluk Pitu selesai memberi ja- 
waban. "Aku tidak percaya! Kau bohong...!" 

Buluk Pitu hanya mengangkat bahu den- 
gan sikap tidak peduli. 

"Aku tidak peduli apa pun tanggapanmu, 
Wara Kuri. Yang jelas, aku telah mengatakan yang 
sebenarnya. Mau percaya atau tidak, terserah. 
Sayang sekali aku tidak bisa menemanimu lama- 
lama di sini. Aku masih punya urusan yang lebih 
penting. Mungkin kau tahu, apa yang harus kula- 
kukan. Benar, Wara Kuri. Mengendalikan bocah 
gila majikan mudamu dengan mayat tuan besar- 
mu!" 

"Demi Tuhan, Buluk Pitu. Jangan lakukan 
itu!" teriak Wara Kuri meski yang terdengar hanya 
seruan lemah. "Jangan ganggu makam Tuan Be- 
sarku!" 

Tapi, Buluk Pitu tidak mempedulikan se- 
ruan Wara Kuri. Kakinya malah melangkah lebar, 
menghampiri kuburan yang telah menjadi lubang 
menganga. Setibanya di pinggir lubang, kaki ka- 
nannya dihentakkan. 

Wara Kuri hanya bisa mengeluh panjang 
pendek, ketika melihat dari dalam lubang melesat 
keluar sebuah peti mati hitam yang telah bercam- 
pur gumpalan-gumpalan tanah. 

Dengan gerakan bagai menangkap segum- 
pal kecil daun kering, Buluk Pitu mengulurkan 
tangan, menangkap peti mati itu. Kemudian sete- 
lah melepas tawa dan senyum mengejek pada Wa- 
ra Kuri, tubuhnya melesat meninggalkan tempat 
itu. 

"Buluk Pitu, kembalikan...! Kembalikan, 
Buluk Pitu...!" 

Wara Kuri merintih-rintih. Dan akhirnya 
kedua tangannya didekapkan pada wajah ketika 
melihat tubuh lelaki botak itu tidak berada di situ 
lagi. Hatinya benar-benar merasa terpukul bukan 
main melihat peti mati tuan besarnya dibawa ka- 
bur Buluk Pitu. Dalam waktu berturut-turut dua 
makam yang berada dalam penjagaannya telah be- 
rantakan! 

"Maafkan kebodohan ku, Tuan Besar. Aku, 
orang tua bodoh. Aku tak mampu memenuhi 
amanat. Aku lebih pantas mati...!" 

Wara Kuri lantas mengambil ranting kering 
dan runcing yang berada di dekatnya. Dengan si- 
sa-sisa tenaga yang dimiliki, dihunjamkan ranting 
itu ke tenggorokannya. Tapi.... 

"Trakkk!" 

Wara Kuri memekik tertahan, ketika rant- 
ing di tangannya terlempar jauh tersambar oleh 
sebutir tomat sebesar buah ceremai. Benturan 
bahkan mampu membuat tangannya terlempar ke 
sisi pinggang! 

"Hanya orang pengecut yang melakukan 
tindakan bodoh seperti itu!" 

Berbarengan terdengarnya seman yang di- 
keluarkan bernada tajam dan penuh teguran, di 
depan Wara Kuri telah berdiri seorang pemuda be- 
rambut putih keperakan. Sinar matanya tampak 
penuh dengan teguran. 

Wara Kuri balas menatap. Dua pasang ma- 
ta yang sama-sama tajam pun bertemu. Tapi 
hanya beberapa saat, karena Wara Kuri langsung 
menundukkan kepala. 

Kakek berpakaian coklat ini tak kuat ber- 
lama-lama beradu pandang dengan pemuda tam- 
• pan berpakaian ungu itu. Bukan karena sinar ma- 
ta pemuda itu 4 lebih tajam, tapi karena sinar tegu- 
ran dan penyesalan dalam pandang mata pemuda 
itu yang ditujukan terhadapnya. "Aku khilaf, Anak 
Muda. Ahhh...! Hampir saja aku melakukan tinda- 
kan bodoh untuk yang kedua kalinya. Terima ka- 
sih atas pertolonganmu. Kalau kau tidak campur 
tangan, bagaimana aku nanti berhadapan dengan 
Tuan Besarku di akherat?!" keluh Wara Kuri. 

Sinar mata pemuda berpakaian ungu itu 
melembut. Namun sesaat kemudian malah terbe- 
lalak lebar, ketika melihat pukulan jarum yang 
menancap di sekujur tubuh Wara Kuri. Tapi, ka- 
rena sibuk dan terlalu memusatkan perhatian pa- 
da tindakan kakek ini, pemuda itu tidak melihat 
hal-hal lainnya. 

"Kau..., keracunan Kek. Jarum-jarum itu 
beracun!" seru pemuda berpakaian ungu itu, kaget 
bercampur khawatir. 

Jarum-jarum berwarna hitam bersemu ke- 
hijauan. Sementara wajah Wara Kuri yang mulai 
mengelam, membuat pemuda itu langsung tahu 
kalau kakek berpakaian coklat ini tengah menderi- 
ta keracunan. 

Wara Kuri tersenyum pahit. 

"Tidak perlu repot-repot menolongku, Anak 
Muda. Aku yakin nyawaku tidak akan tertolong la- 
gi. Racun ini luar biasa sekali," ucap Wara Kuri 
tenang, ketika melihat pemuda berambut putih 
keperakan itu sibuk memeriksanya. 

"Mungkin kau benar, Kek," sambut pemu- 
da berpakaian ungu. "Tapi, hal ini tidak pantas 
untuk dijadikan alasan tindakanmu yang tak pan- 
tas itu! Allah mengaruniai kita kehidupan. Lantas 
mengapa harus disia-siakan? Apalagi dengan tin- 
dakan bodoh seperti itu." kata pemuda itu, bijak- 
• sana. 

"Aku tidak sepengecut itu, Anak Muda. 
Meskipun memang harus kuakui kalau tindakan 
yang hampir saja kulakukan, merupakan bukti 
nyata sikap pengecutku." 

"Mengapa kau mencoba untuk membunuh 
diri, Kek?! Apakah kau mempunyai alasan lain- 
nya?!" tanya pemuda itu. 

Wara Kuri mengangguk sambil tersenyum. 
Tapi pemuda berpakaian ungu ini tahu senyum itu 
tidak keluar dari hati yang gembira. 

"Boleh kutahu masalah yang tengah kau 
hadapi, Kek?!" tanya pemuda itu hati-hati. 

Wara Kuri tidak langsung menjawab. Dia 
malah menatap pemuda itu lekat-lekat 

"Pertanyaan itu tidak perlu dijawab seka- 
rang, Kek. Sekarang yang lebih penting adalah 
menyelamatkan nyawamu," ujar pemuda beram- 
but keperakan itu. 

Tanpa menunggu tanggapan Wara Kuri, 
pemuda itu mengambil guci perak yang tersampir 
di punggungnya. Dan dengan kedua tangannya, 
mulut guci itu didekatkan ke mulut si kakek. 

"Minumlah ini, Kek. Mudah-mudahan saja 
bisa melenyapkan keganasan racun yang tengah 
menggerogoti nyawamu," ujar pemuda itu lagi. 

Wara Kuri menatap wajah pemuda di de- 
pannya lekat-lekat. Dia berusaha mencari kesung- 
guhan dalam ucapan pemuda berambut putih ke- 
perakan itu. Hatinya merasa tindakan pemuda itu 
amat janggal. Tubuhnya tengah keracunan hebat 
yang mungkin akan merenggut nyawanya. Tapi, 
malah ditawari minum arak dengan harapan agar 
bisa sembuh! Apakah ini bukan sebuah ejekan?! 

Wara Kuri akhirnya mengalah. Pandangan 
matanya yang telah kenyang makan garam kehi- 
• dupan, langsung bisa melihat adanya kesunggu- 
han. Baik dalam sikap, maupun suara pemuda be- 
rambut putih keperakan ini. Maka akhirnya ditu- 
ruti juga kemauan pemuda itu. Hati kecilnya sem- 
pat meragukan kewarasan akal pemuda itu. 

"Gluk... gluk... gluk...." 

Terdengar bunyi tegukan beberapa kali, ke- 
tika arak dari guci perak itu berpindah ke dalam 
perut Wara Kuri. 

"Sekarang kau istirahat saja dulu, Kek. 
Mudah-mudahan saja nyawamu bisa tersela- 
matkan," ujar pemuda berpakaian ungu berharap 
sambil menaruh kembali guci araknya di pung- 
gung. 

Wara Kuri hanya tersenyum getir. Pemuda 
di hadapannya masih dianggapnya kurang waras. 
Atau, sengaja melakukan tindakan itu untuk 
menghibur hatinya. 

Sementara itu pemuda berpakaian ungu ini 
bangkit berdiri tegak. Tubuhnya lantas dibung- 
kukkan separo berjongkok untuk meminumkan 
arak pada Wara Kuri. 

Dan kini, pemuda itu memperhatikan ke 
sekeliling. Sepasang alisnya bertautan, ketika me- 
lihat dua sosok yang tergolek dalam keadaan te- 


was mengenaskan. Dan kerutan itu semakin da- 
lam, ketika menjumpai adanya sebuah lubang ku- 
buran menganga yang menunjukkan kalau isinya 
telah diambil orang. Dia tidak merasa aneh. Bah- 
kan tahu kalau maksud yang terkandung di dalam 
melakukan pencurian itu banyak macamnya. Tapi 
yang jelas, kemungkinan terbesar digunakan me- 
lakukan kejahatan. 

"Boleh kutahu siapa kau, Anak Muda?! 
Dan, atas dasar apa kau memberi pertolongan pa- 
daku?!" 

Pertanyaan dari arah belakang membuat 
pemuda itu berbalik. Bibirnya lantas tersenyum 
lebar. Dirasakan adanya nada kecurigaan dalam 
pertanyaan kakek berpakaian coklat. Memang bisa 
dimaklumi, mengapa kakek ini bersikap seperti 
itu. Dasarnya, karena berdua tidak saling kenal 

"Kau tidak perlu khawatir, Kek. Aku meno- 
longmu bukan karena alasan tertentu yang bisa 
merugikanmu atau menguntungkanku. Yang jelas, 
aku tidak pernah bisa diam jika melihat adanya 
sesuatu yang tidak berkenan di hatiku. Selama 
aku bisa menolong, dan kupandang pertolongan 
itu sesuai kaidah-kaidah kebenaran, maka aku ti- 
dak segan-segan melakukannya. Jadi kau tidak 
perlu khawatir." 

Sorot mata penuh curiga yang memancar 
pada sepasang mata Wara Kuri mulai berkurang. 
Lagi-lagi dia merasakan adanya kesungguhan da- 
lam jawaban yang diberikan pemuda di hadapan- 
nya. Pengalaman hidup dan usia setua ini, mem- 
buat Wara Kuri sedikit banyak bisa memperkira- 
kan jawaban tulus pemuda itu. 

Dan ketika Wara Kuri merasa kan adanya 
perubahan pada tubuhnya, keyakinannya makin 
bertambah. Kini sekujur tubuhnya yang tadi tera- 
sa sakit menggigit-gigit bak digigit puluhan semut 
api, telah jauh berkurang. Kalau tidak merasakan 
sendiri, hatinya tidak akan percaya kalau arak 
mampu menyembuhkan luka akibat racun di tu- 
buhnya. Apalagi ketika dirasakan, tenaganya mu- 
lai berangsur timbul. Kalau tadi berbicara sangat 
menyakitkan dada dan tenggorokan. Bahkan ha- 
rus dilakukan dengan pengerahan seluruh tenaga. 
Sekarang, tidak lagi. Meskipun memang diakui 
masih agak sukar, tapi jauh lebih baik daripada 
sebelumnya. 

"Rupanya kau seorang pendekar, Anak 
Muda?!" ujar Wara Kuri sekenanya. 

Kakek ini tidak yakin akan pertanyaannya 
sendiri. Kalau melihat dari keadaannya yang ma- 
sih muda, pemuda berambut putih keperakan itu 
mungkin baru keluar dari perguruan silat. 




Pemuda berambut putih keperakan itu ter- 
senyum malu. 

"Sebutan pendekar terlalu tinggi untukku, 
Kek. Apa sih yang telah kulakukan? Aku hanya 
seorang pemuda biasa yang selalu berkelana me- 
nuruti langkah kakiku ini. Memang harus kuakui, 
aku tidak pernah bisa berdiam diri jika melihat se- 
suatu yang menurutku tidak sesuai kaidah-kaidah 
kebenaran." 

Perasaan kagum mulai timbul di hati Wara 
Kuri. Sekarang, sedikit banyak sudah bisa diraba- 
raba watak pemuda di hadapannya. Tidak som- 
bong atau menyombongkan tindakannya. Bersikap 
rendah hati, dan tidak berbohong! 

"Boleh kutahu namamu, Anak Muda?! Per- 
kenalkan, aku Wara Kuri." 

Kakek berpakaian coklat ini lebih dulu 
mengulurkan tangan. Tindakannya dilakukan 
sambil bangkit dari berbaringnya. Lalu dia duduk 
bersila di tanah. Bahkan kini tenaganya telah se- 
makin pulih. 

"Aku Arya Buana, Kek. Tapi, panggil saja 
Arya," sahut pemuda berpakaian ungu itu buru- 
buru, seraya menyambut uluran tangan Wara Kuri 
dengan agak membungkukkan tubuh sedikit. 

Wara Kuri tersentak kaget. Bahkan geng- 
• gaman tangannya pada tangan pemuda berambut 
putih keperakan itu terlepas tanpa sadar. Ditatap- 
nya sekujur tubuh pemuda berambut putih kepe- 
rakan yang ternyata Arya alias Dewa Arak dari 
atas sampai ke bawah. 

"Ada yang salah, Kek?!" tanya Arya Buana. 

"Sama sekali tidak," sahut Wara Kuri sam- 
bil menggeleng dengan sikap kaku karena terlalu 
terburu-buru. "Hanya saja, namamu mengin- 
gatkan aku pada tokoh yang saat ini tengah men- 
julang namanya di tengah rimba persilatan karena 
tindakan-tindakannya yang perkasa. Namamu 
sama benar dengan namanya. Bahkan sekarang, 
aku ingat kalau ciri-cirimu semua sama dengan 
tokoh itu. Maka jangan katakan kalau kau bukan 
Dewa Arak, Anak Muda?!" 

Arya tersenyum lebar. 

"Memang, aku orang yang kau maksudkan 
itu, Kek. Tapi sebagian besar berita yang terdengar 
terlalu berlebihan. Aku hanya seorang pemuda bi- 
asa yang sering mengembara. Dan..." 

"Kau terlalu merendah, Dewa Arak!" sergah 
Wara Kuri dengan perasaan girang. "Justru aku 
percaya kalau semua berita yang tersebar di dunia 
persilatan benar. Ahhh! Aku jadi malu hati, karena 
telah mencurigaimu. Bahkan aku menganggapmu 
sebagai seorang pemuda hijau yang tidak tahu ke- 
rasnya dunia persilatan. Semula, kukira kau seo- 
rang pemuda yang baru selesai berguru dan ten- 
gah mencari pengalaman. Tapi, nyatanya?" 

"Nyatanya benar kan, Kek?!" potong Arya 
sambil tertawa bergelak, sehingga membuat Wara 
Kuri pun tergelak, 

"Setelah tahu siapa dirimu, aku tidak ragu- 
ragu lagi menceritakan masalah yang tengah ku- 
hadapi, Arya. Barangkali saja, kau bisa menolong. 

• Meskipun harus kuakui, semua ini merupakan 
tanggung jawabku. Tapi banyaknya masalah, 
membuatku terpaksa membutuhkan bantuan 
orang lain. Kini aku percaya kepadamu. Dan aku 
yakin, Tuan Besar tidak akan marah bila menge- 
tahui. Bahkan aku yakin, beliau akan merasa se- 
tuju sekali. Kini, aku meminta bantuanmu untuk 
menyelesaikan masalah ini," jelas Wara Kuri, mu- 
lai membeberkan masalah yang tengah dihada- 
pinya. 

Melihat Wara Kuri bermaksud mengutara- 
kan masalah yang dihadapinya, Arya segera du- 
duk bersila di hadapannya. Pemuda berambut pu- 
tih keperakan ini sudah bisa memperkirakan ka- 
lau penuturan yang akan didengarnya cukup pan- 
jang. 

"Yang akan kuceritakan ini adalah suatu 
rahasia. Maka, kuharap kau tidak menceritakan- 
nya pada orang lain, Arya. Aku tidak memintamu 
untuk berjanji. Karena aku tahu, orang macam 
apa kau ini," 

"Mudah-mudahan aku bisa melaksanakan 
amanatmu, Kek," jawab Aiya singkat, sudah cu- 
kup memuaskan hati Wara Kuri 

Kakek ini tahu, bagi orang seperti Dewa 


Arak, ucapan itu sudah lebih bisa dipercaya dari- 
pada sumpah orang lain! 

"Aku sendiri tidak tahu pasti, kejadian- 
kejadian sebelumnya. Yang kuceritakan hanya 
hal-hal yang kuketahui. Dan kurasa, hal ini cukup 
untuk diceritakan, karena memang menyangkut 
ketenteraman dunia persilatan." 

Sampai di sini, Wara Kuri terdiam. Dan 
Arya melihat adanya sinar kecemasan baik dalam 
wajah maupun sikap kakek itu. Hatinya pun agak 
khawatir dan ikut tidak enak. Arya tahu, Wara Ku- 
« ri bukan seorang kakek lemah. Sinar mata yang 
mencorong tajam dan bersinar kehijauan, telah 
menguatkan dugaan Arya kalau Wara Kuri berke- 
pandaian sangat tinggi. Toh, kakek ini masih me- 
rasa cemas. Sedikit banyak, Arya bisa memperki- 
rakan masalah berat yang tengah dialaminya. 

"Kira-kira lima belas tahun yang lalu aku 
hanya seorang penebang kayu. Aku sebatang kara, 
Arya," tutur Wara Kuri, memulai kisahnya dengan 
pandang mata menerawang ke angkasa. Seakan- 
akan di sana terpampang kejadian belasan tahun 
yang lalu. 

"Biasanya saat menebang kayu tidak terja- 
di apa-apa. Tapi suatu saat aku terjebak hujan 
yang membuatku terpaksa berteduh di bawah se- 
batang pohon yang berbatang besar, empat kali 
pelukan orang dewasa. Usiaku yang telah menje- 
lang senja, tak memungkinkan untuk berhujan- 
hujan bila kembali ke pondokku. Tapi belum lama 
berada di sana, halilintar menyambar. Aku masih 
sempat melihat kalau halilintar itu menuju ke 
arah pohon tempatku berteduh. Bergegas aku me- 
lompat meninggalkan tempat itu untuk menyela- 
matkan nyawa dari sambaran halilintar. Tapi, 
usahaku ternyata tidak berhasil sepenuhya. Pohon 


yang tersambar halilintar itu tumbang ke arahku. 
Aku berusaha mengelak sedapat mungkin, tapi te- 
tap saja batang pohon itu menimpaku. Aku hanya 
merasakan sakit amat sangat pada kaki, sebelum 
semuanya menjadi gelap. Begitu sadar, aku telah 
berada dalam sebuah rumah besar. Sementara 
kedua kakiku ini telah tidak ada lagi." 

Arya menghela napas berat. Hatinya dapat 
merasakan betapa hancur hati Wara Kuri ketika 
menerima musibah itu. Tapi, Dewa Arak tidak me- 
nyelak. Dia terus diam mendengarkan. 

"Orang yang menolongku itu adalah seo- 
rang kakek berusia lebih tua daripada usiaku. Ka- 
tanya, kedua kakiku remuk sehingga untuk meno- 
long nyawaku terpaksa harus dipotong. Kakek 
bernama Wiraraja itu merawatku secara telaten. 
Sampai akhirnya, lukaku pulih. Suatu saat, dia 
menawarkan untuk tinggal bersamanya. Tanpa 
banyak pikir lagi tawaran itu kuterima. Sejak saat 
itu, aku pun tinggal dengannya. 

Wiraraja adalah seorang yang baik hati. 
Bahkan tak segan-segan untuk menurunkan se- 
mua ilmunya padaku. Sayang, aku terlalu bodoh. 
Maka meski telah belajar mati-matian, dan Tuan 
Besar mengajarku sungguh-sungguh, hanya seba- 
gian saja ilmunya yang berhasil kuserap," lanjut 
Wara Kuri. 

Arya mengangguk-angguk. Dalam hati, dia 
tidak menganggap Wara Kuri seorang yang bebal. 
Saat pertama kali belajar ilmu silat, kakek itu te- 
lah berusia paling sedikit enam puluh tahun. Ba- 
gaimana mungkin akan dapat belajar dengan ce- 
pat?! 

"Di tempat itu, ternyata tidak hanya aku. 
Masih ada dua orang bocah berusia sekitar sepu- 
luh tahun, dan seorang wanita cantik berusia seki- 
tar tiga puluh lima tahun. Belakangan kuketahui, 
kalau wanita itu adalah istri Tuan Besar Wiraraja. 
Sayang, salah satu dari dua bocah itu memiliki 
otak yang tidak waras. Kendati demikian, dia me- 
miliki bakat luar biasa. Meski belajar berbarengan, 
bocah yang tidak waras itu jauh meninggalkan bo- 
cah yang satunya lagi dalam pelajaran ilmu silat- 
nya." 

Sampai di sini, Wara Kuri menghela napas 
berat Arya yang kenyang pengalaman bisa mene- 
bak kalau sumber malapetaka yang dimaksudkan 
kakek ini pasti berasal dari salah satu di antara 
dua bocah itu. Meski demikian, dugaannya tidak 
diutarakan. 

"Sekitar sepuluh tahun kemudian, kedua 
bocah itu menjelma menjadi pemuda perkasa. Bo- 
cah tak waras itu ternyata putra Tuan Besar Wira- 
raja. Sedangkan bocah satunya lagi adalah anak 
telantar yang dipungut untuk menjadi kawan 
bermain anaknya. Dan ketika bocah-bocah itu be- 
sar, malapetaka mulai timbul. Putra Tuan Besar 
Wiraraja yang bernama Tuan Muda Gautama, si- 
kap tak warasnya semakin menjadi-jadi. Maka ke- 
kacauan demi kekacauan pun ditimbulkan. Un- 
tung sebelum terjadi hal-hal yang lebih mengkha- 
watirkan, Tuan Besar Wiraraja telah memperhi- 
tungkannya. Dan aku diperintahkan untuk men- 
gawasi setiap gerak-gerik Tuan Muda Gautama. 
Setiap menimbulkan kekacauan, aku datang dan 
membujuknya dengan baik-baik. Bocah itu ternya- 
ta patuh padaku. Aku sendiri tak tahu kenapa. 
Mungkin karena aku selalu mengurusnya sejak 
masih kecil. Tuan Besar Wiraraja dengan hati 
hancur terpaksa mengurung Tuan Muda Gauta- 
ma. Dia tidak ingin kejadian memalukan terhadap 
dirinya terjadi kembali." 

"Kak Setiaji." 

Panggilan itu datangnya dari seorang wani- 
ta muda berpakaian biru. Lembut dan mesra sua- 
ranya. 

Lelaki tampan dan gagah berpakaian kun- 
ing yang berkuda di sebelah wanita berpakaian bi- 
ru, menoleh. Tali kekang kuda tunggangannya di- 
tarik agak melangkah lambat-lambat 

"Ada apa, Marni?!" sahut lelaki berpakaian 
kuning, yang dipanggil Setiaji. Suaranya juga ter- 
dengar lembut dan mesra. 

Wanita berpakaian biru yang bernama 
Marni tidak segera menjawab. Terlihat jelas kalau 
hatinya merasa ragu untuk mengutarakan sesuatu 
yang akan disampaikannya. 

Setelah menatap sesaat, Setiaji tahu ada 
perasaan yang berkecamuk di hati Marni. Seketika 
langkah kudanya dihentikan. Dibalikkannya arah 
binatang itu, hingga berada di hadapan kuda Mar- 
ni. Seulas senyum penuh rasa sabar dilemparkan- 
nya. 

"Kau tidak usah ragu-ragu, Marni. Katakan 
saja, apa yang hendak kau sampaikan. Tidak baik 
memendam persoalan. Apalagi kau telah hamil 
muda. Aku khawatir, hal itu akan berakibat buruk 
pada bayi yang tengah kau kandung. Bayi kita," 
ujar Setiaji panjang lebar, tetap tenang dan penuh 
kesabaran. 

Wajah Marni kelihatan bersemu merah. 
Malu. Pandangannya pun ditujukan pada perut- 
nya yang mulai agak menonjol ke depan. Kemu- 
dian perhatiannya dialihkan pada Setiaji, sua- 
minya. 

"Kau benar, Kak Setiaji. Tapi.., aku khawa- 
tir apa yang akan kusampaikan ini tidak menye- 
nangkan hatimu," 

Senyum Setiaji semakin lebar. 

"Ingat-ingatlah, Marni. Apakah selama per- 
kawinan kita, aku pernah marah-marah?!" 

Marni tersenyum tipis. Perlahan-lahan ke- 
palanya menggeleng. 

"Nah! Kalau begitu, apa lagi yang dikhawa- 
tirkan. Katakan saja." 

Marni menatap wajah Setiaji lekat-lekat. 
Dia yakin betul akan cinta kasih suaminya. Sela- 
ma hampir enam bulan berumah tangga, tak per- 
nah suaminya itu marah padanya. Kehidupan ru- 
mah tangga mereka selalu rukun, tenang, dan pe- 
nuh kebahagiaan. Dan Marni tidak sampai hati 
menuduh Setiaji akan marah karena masalah 
yang hendak diutarakannya. Justru tanggapan 
lainnya yang merisaukan hati Marni. 

"Sebetulnya aku tidak ingin mengatakan- 
nya, Kak. Tapi karena sudah telanjur, apa boleh 
buat," kata Marni seraya menghela napas berat, 
seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal batin- 
nya. "Beberapa hari belakangan ini, aku selalu di- 
landa perasaan cemas yang tidak ku mengerti. Ma- 
lah, setiap tidur aku selalu bermimpi buruk. Aku 
khawatir sekali, Kak. Aku takut kecemasan ini 
merupakan sebuah firasat..." 

Setiaji hampir tertawa begitu mendengar 
masalah yang diutarakan istrinya. Semula dikira 
masalah besar. Tak tahunya, hanya persoalan se- 
pele. Tapi untuk menjaga perasaan Marni, dia me- 
nelan rasa geli dan memasang wajah sungguh- 
sungguh. 

"Sudah cukup lama juga kau diganggu pe- 
rasaan itu rupanya, Marni. Mengapa kau simpan 
saja? Bukankah lebih baik kalau diberitahukan 
padaku sejak dulu? Barangkali saja aku bisa me- 
mecahkan persoalan ini," ujar Setiaji, sengaja me- 
ladeni ucapan Marni. Padahal, bisa saja istrinya 
disuruh untuk tidak usah memikirkannya. Apalagi 
mimpi-mimpi yang dianggap sebagai penghias ti- 
dur. 

Tapi Setiaji tahu, tindakan seperti itu tidak 
akan menyelesaikan masalah. Lebih bagus diba- 
has dan dicarikan jalan keluar, agar Marni terbe- 
bas dari rasa takutnya. Jalan satu-satunya adalah 
• dengan membahas masalah itu. 

"Beberapa hari sebelum keberangkatan kita 
untuk mengirimkan barang Tuan Marjuki, pera- 
saan demikian muncul. Kemudian dituruti mimpi- 
mimpi yang menyeramkan. Aku khawatir sekali 
akan adanya ancaman bahaya terhadap kita," pa- 
par Marni. 

Setiaji tersenyum lebar. Hal yang sengaja 
dilakukan untuk menenangkan hati istrinya; 

"Tenangkan hatimu, Marni. Bukankah 
urusan mengantar barang Tuan Marjuki telah se- 
lesai dikerjakan dengan baik. Jelas, kekhawati- 
ranmu tidak beralasan. Mungkin saja itu tercipta, 
karena kecemasanmu menanti saat-saat lahirnya 
bayi kita. Meskipun demikian, untuk menenang- 
kan hatimu, aku tidak akan menerima pesanan 
lagi. Mulai sekarang hingga bayi ini lahir, aku ti- 
dak pergi-pergi lagi. Tidak Juga denganmu. Kita 
beristirahat, sampai bayi kita lahir. Kita habiskan 
waktu di rumah," janji Setiaji, mantap. 

Wajah Marni kontan berseri-seri. Tampak 
jelas kalau pernyataan Setiaji amat melegakan ha- 
tinya. Laki-laki ini telah hafal betul watak istrinya, 
merasa terharu melihat sambutan ini. Dan di da- 
lam hatinya, dia bertekad untuk memenuhi jan- 
jinya meski apa pun yang akan terjadi. 

"Benarkah, Kak?! Ah! Betapa girang dan le- 
ganya hatiku. Aku memang was-was dengan kese- 
lamatanmu, Kak. Pekerjaan yang kau lakoni ini 
penuh bahaya. Aku khawatir akan terjadi sesuatu 
padamu. Aku takut kehilangan mu, Kak." 

"Tenangkanlah hatimu, Marni. Dan mari 
kita pulang. Rumah menunggu kita." 

Setaji langsung memutuskan pembicaraan. 
Apalagi tidak ada lagi masalah lain lagi yang lebih 
besar. 

Sepasang suami-istri berusia muda yang 
penuh kebahagiaan ini pun meneruskan perjala- 
nan yang tadi tertunda. Seperti juga sebelumnya, 
percakapan dl perjalanan berlangsung seenaknya. 
Tidak terburu-buru 

Tapi baru juga beberapa belas tombak per- 
jalanan dilakukan, pasangan suami-istri yang ma- 
sih baru ini menarik tali kekang kudanya. Maka 
seketika binatang-binatang itu pun menghentikan 
langkahnya. 

Sekitar enam tombak di depan pasangan 
suami-istri ini, berdiri sesosok tubuh dengan ke- 
dua tangan berkacak di pinggang. Wajah Setiaji 
dan Marni tampak beriak. Mereka kenal betul 
dengan orang yang berdiri menghadang perjala- 
nan. 

"Bukankah dia wanita yang tak tahu malu 
itu, Kak Setiaji?!" bisik Marni, khawatir terdengar 
oleh sosok yang berdiri menghadang jalan. 

Setiap mengangguk kaku. Suaranya ter- 
dengar kering dan kaku ketika memberi jawaban. 
"Benar, Marni. Dia Ambar." 

Wajah Marni membesi. Sinar matanya ber- 
kilat memancarkan kemarahan dan kebencian ke- 
tika menatap sosok yang menghadang jalan. Sosok 
yang dikatakannya sebagai Ambar. 

Sebelum Setiaji memberi tanggapan, Marni 
dengan gerakan lincah dan manis melompat dari 
punggung kuda. Langkah kakinya lebar-lebar, ke- 
tika menghampiri sosok yang berdiri di depannya. 

"Marni! Tunggu...!" cegah Setiap ketika is- 
trinya telah menempuh jarak dua tombak. 

Lelaki berpakaian kuning ini melompat tu- 
run dari punggung kuda, langsung mengejar Mar- 
ni 

Marni yang telah menghentikan langkah 
• langsung berbalik. Ditatapnya wajah suaminya le- 
kat-lekat. Sorot penentangan terlihat jelas me- 
mancar dari sepasang matanya yang bening dan 
indah. 

"Jangan kau menghalangi tindakanku, Kak 
Setiaji. Wanita tak tahu malu ini tidak patut untuk 
mendapat perlakuan layak. Kalau tidak diberikan 
tindakan tegas, dia akan terus datang dan meron- 
grong kehidupan kita!" 

"Mungkin kau benar, Marni. Tapi biar ba- 
gaimanapun juga, dia adalah teman bermain ku 
sewaktu kecil. Ayahnya adalah kawan baik ayah- 
ku. Mana mungkin aku akan membiarkan kau 
membunuhnya?! Apa kata ayahnya dan juga 
ayahku nanti?!" Jelas Setiaji dengan sikap serba 
salah dan bingung. 

"Kau tidak perlu merasa bertanggung ja- 
wab atas keselamatannya, Kak Setiaji. Dan kau ti- 
dak perlu khawatir akan disalahkan ayahmu dan 
ayahnya. Karena, bukan wanita tak tahu malu itu 
yang akan mati. Tapi, aku! Kematianku tidak akan 
membuatmu disalahkan orang!" 

Setiaji kontan melongo mendengar jawaban 
Marni. Dia sama sekali tidak bermaksud menying- 
gung perasaan istrinya. Tapi dari nada jawaban 
Marni, bisa diketahui kalau perasaannya terluka. 
Sakit hati! Jawaban Marni meski diutarakan den- 
gan keras, tapi jelas mengandung isak tangis! 

Setiaji terkesima di tempatnya beberapa 
saat. Jawaban Marni yang ketus, membuatnya 
menelan kembali ucapan yang tadi dikeluarkan. 
Dia yakin hal ini karena ucapannya sendiri. 


Setiaji membutuhkan waktu cukup lama 
untuk mengetahui keanehan sikap Marni. Sebuah 
dugaan yang diyakini benar menyeruak di hatinya. 
Marni pasti cemburu dan tersinggung. Ucapan Se- 
tiaji tadi, terasa jelas adanya perhatian dan kek- 
hawatiran terhadap Ambar. Di lain pihak, sedikit 
pun tidak terlihat adanya kekhawatiran atau per- 
hatian atas nasib yang akan menimpa Marni. Itu- 
lah sebabnya, Marni tadi kehilangan akal sehat- 
nya. 

Sementara itu Marni, malah bergegas 
menghampiri Ambar yang tetap dalam sikap semu- 
la. Berdiri tegak dengan kedua tangan berkacak di 
pinggang, mirip patung batu. Sikapnya kelihatan 
angker bukan main. 

Begitu jarak antara kedua wanita itu ting- 
gal tiga tombak lagi, Marni menghentikan ayunan 
kakinya. Dengan wajah merah padam dan dada 
turun naik menahan gejolak amarah, jari telun- 
juknya ditudingkan ke arah wajah Ambar. 

"Hey, Wanita tak tahu malu! Sekarang kita 
buktikan, siapa yang akan terus hidup! Kau, atau 
aku!" kini Marni dengan suara bergetar dan sepa- 
sang mata seperti akan keluar dari rongganya. 

Ambar yang meski berdiri tegak dengan 
wajah tertunduk dan sepasang mata menekuri ta- 
nah, perlahan mengangkat kepala. Sepasang ma- 
tanya diarahkan pada orang yang telah memaki 
dan mengajaknya bertarung. 

"Ihhh...!" 

Seketika jeritan tertahan yang sarat pera- 
saan kaget keluar dari mulut Marni. Dan seiring 
terdengar jeritan, wanita berpakaian biru itu me- 
langkah mundur dua tindak. Sepasang matanya 
yang bening indah sekarang bergantian redup, bak 
sorot mata seekor kelinci melihat kedatangan see- 
kor harimau lapar. 

Tepat dengan keluarnya jeritan, Setiaji te- 
lah berhasil sadar dari terkesimanya. Kini lelaki ini 
mampu menemukan jawaban dari keanehan sikap 
Marni. Bagaikan disengat ular berbisa, tubuhnya 
melesat ke depan menyusul Marni. Dan hanya 
dengan sekali lesatan, dia telah berada di sebelah 
istrinya. 

Laki-laki itu kontan merasakan jantungnya 
berhenti berdenyut, begitu melihat sepasang mata 
Ambar! Mata yang dulu bening indah, sekarang 
berubah mengerikan! Bentuknya telah menyipit 
dengan sorot menggiriskan. Rasanya, bukan mata 
yang dimiliki manusia! Bahkan tengkuk Setiaji te- 
rasa dingin! 

"Kau berani memakiku, Perempuan Peram- 
pas Jodoh Orang?!" 

Ucapan Ambar terdengar parau dan me- 
nyakitkan telinga. Nadanya seperti tidak patut ke- 
luar dari mulut seorang wanita. Apalagi, wanita 
yang masih muda seperti Ambar. 

Setiaji dan Marni saling berpandang. Pa- 
sangan suami-istri ini mulai merasakan adanya 
sesuatu yang aneh dan tidak wajar terhadap diri 
Ambar. Bukan hanya nada suaranya yang beru- 
bah jauh. Cara Ambar mengucapkannya pun 
membuat mereka bergidik! Ambar tidak kelihatan 
membuka mulut atau mengemikkan bibir. Tapi, 
suara yang keluar demikian lantang dan penuh 
ancaman! 

"Dulu kau boleh menang terhadapku. Tapi 
sekarang, jangan harap! Hari ini semua sakit hati- 
ku yang berbulan-bulan kupendam, akan terlam- 
piaskan! Bersiaplah untuk menerima pembalasan 
dariku, Wanita Jalang!" dengus Ambar. 

Makian Ambar membuat Marni berhasil 
• mengusir perasaan takutnya. Perasaan marah dan 
tersinggung yang besar, mengalahkan rasa takut- 
nya. Dengan tangkas, Marni mengeluarkan senjata 
andalannya yang terselip di pinggang. Sebuah ke- 
butan! 

"Kaulah yang akan kukirim ke akherat, 
Wanita Gila Lelaki!" 

Berbarengan teriakannya, Marni melompat 
menerjang Ambar. Bulu-bulu kebutan di tangan- 
nya yang semula lemas, menegang kaku bak ja- 
rum-jarum. Dan dengan keadaan seperti itu, istri 
Setiaji ini mengirimkan totokan bertubi-tubi ke 
arah leher, bawah hidung, dan ubun-ubun. Dalam 
sekali gerak, Marni mampu mengirimkan tiga se- 
rangan mematikan! 

Sementara, Ambar tidak bergeming dari 
tempatnya. Bahkan kedua tangannya yang berada 
di pinggang pun tetap dibiarkan. Padahal, seran- 
gan, Marni menimbulkan bunyi bercicitan nyaring, 
yang menandakan kuatnya tenaga dalam yang 
terkandung. 

Baru ketika ujung kebutan itu menyambar 
dekat, Ambar mengembungkan mulutnya. Seketi- 
ka ditiupnya kebutan yang tengah meluncur ke 
arahnya. 

Marni terperanjat. Seketika dirasakannya 
ada hembusan angin yang luar biasa kuatnya dari 
mulut Ambar. Bulu-bulu kebutannya yang semula 
menegang kaku, kontan melemas dan membuyar. 
Dengan sendirinya, serangan Marni kandas. 

Dan bahkan tiupan Ambar tidak hanya se- 
kali. Wanita yang telah bangkit dari kematiannya 
kembali meniup. Sasarannya masih ditujukan pa- 
da kebutan Marni. 

Bak dicabuti tangan kuat yang tidak tam- 
pak, bulu-bulu kebutan itu meluncur ke arah pe- 
miliknya dalam keadaan menegang kaku, laksana 
jarum-jarum kuat. 

Melihat hal itu wajah Marni seketika me- 
mucat. Saat itu tubuhnya tengah berada di udara. 
Dan lagi, rentetan serangan itu berlangsung demi- 
kian cepat. Maka hal ini membuat Marni gugup. 
Disadari betul kalau tidak apa waktu yang cukup. 
Untuk berbuat sesuatu untuk menyelamatkan di- 
ri. 

Pada saat yang genting itu, Setiaji cepat 
bertindak. Dia memang tidak sempat mencegah 
tindakan istrinya. Maka tidak ada pilihan lain, ke- 
cuali berjaga-jaga terhadap sesuatu yang tidak di- 
harapkan. Setiaji khawatir, Marni akan celaka. 
Keanehan diri Ambar, membuat Setiaji jadi mera- 
gukan kalau Marni bisa berhasil keluar sebagai 
pemenang dalam pertarungan itu. 

Karena kewaspadaan ini, Setiaji dapat ber- 
tindak cepat ketika Marni tengah kelabakan. Maka 
langsung dikirimkannya pukulan jarak jauh den- 
gan kedua tangannya untuk meruntuhkan bulu- 
bulu kebutan yang akan mencelakakan istrinya. 

Deb! Deb! 

Seketika itu pula arah bulu-bulu kebutan 
itu melenceng terkena dorongan pukulan Setiap. 

Sepasang mata Ambar yang sudah menco- 
rong, terlihat semakin berkilatan ketika menatap 
Setiaji yang telah membawa Marni untuk me- 
nyingkir. 

Marni meronta pelan, berusaha mele- 
paskan cekalan tangan Setiaji pada pergelangan 
tangannya. Tindakan itu karena rasa kesal terha- 
dap suaminya. 

Hanya sampai di situ tindakan Marni. Dan 
sebenarnya bila menuruti perasaan, dia ingin 
• menggerutu habis-habisan mengingat pembelaan 
Setiaji terhadap Ambar. Tapi rasa hormat dan cin- 
ta, tambahan lagi Setiaji telah turun tangan me- 
nyelamatkannya dari ancaman, membuat Marni 
tidak sampai hati untuk menuruti ledakan pera- 
saannya. 

Setiaji merasakan adanya penolakan itu. 
Maka untuk tidak membuat keributan bertambah 
besar, pegangannya dilepaskan. Perhatiannya 
kembali dialihkan pada Ambar. Tampak gadis 
yang dulu mencintainya habis-habisan tengah 
menatapnya dengan sinar mata bengis. 

"Rupanya kau masih membela perempuan 
perampas itu, Setiaji?!" dengus Ambar dingin pe- 
nuh ancaman. 

"Itu sudah merupakan kewajibanku seba- 
gai suami, sekaligus orang yang mencintainya, 
Ambar. Kuharap kau mau memahaminya. Masih 
banyak orang lain yang jauh lebih gagah dan tam- 
pan daripadaku. Dan aku yakin, kau akan dengan 
mudah menemukan dan mendapatkannya. Orang 
secantik kau, tidak sulit untuk mendapatkan 
penggantiku," ujar Setiaji kalem dan tenang. 

"Tutup mulutmu, Setiaji!" bentak Ambar, 
keras. "Aku tidak butuh nasihatmu! Aku hanya 


butuh jawaban. Dan perlu kau ketahui, kedatan- 
ganku kemari tidak untuk membicarakan masalah 
cinta! Aku mempunyai urusan lain yang lebih 
penting!" 

Wajah Setiaji langsung berubah berseri- 
seri. Jawaban Ambar sedikit banyak melegakan 
hatinya. Karena itu berarti, dara ini telah berhasil 
mengusir rasa cinta terhadap dirinya. Perasaan 
yang keras membuatnya merasa bersalah. Le- 
nyapnya rasa cinta di hati Ambar, membuat ba- 
tinnya lega. 

"Syukurlah kalau demikian, Ambar. Aku 
turut bergembira karenanya. Sejak semula, aku 
sudah yakin. Lambat laun, kau akan menyadari 
kalau cinta itu tidak bisa dipaksakan," desah Se- 
tiaji. 

"Telan dulu rasa gembiramu, Setiaji!" ser- 
gah Ambar keras dan kasar. 

Saat itu juga, kening Setiaji berkerut. Se- 
dangkan Marni menggertakkan gigi karena marah. 

"Aku memang tidak berurusan dengan 
yang namanya cinta. Aku ada di sini adalah untuk 
mencegat perjalananmu. Juga, wanita tak tahu 
malu itu. Semua ini karena urusan dendam!" 

Seri di wajah Setiaji lenyap. Sedangkan di 
belakang, Marni semakin keras menggertakkan gi- 
gi. Sikap Ambar yang kasar meski Setiaji telah be- 
rusaha bersikap selembut mungkin, membuat ke- 
sabaran Marni hampir hilang. Dan dia bermaksud 
menerjang Ambar. 

"Apa yang hendak kau lakukan, Ambar?!" 
tanya Setiaji lagi. 

"Melenyapkan kalian dari muka bumi den- 
gan cara menyedihkan. Sehingga, membuat kalian 
menyesal dilahirkan di dunia ini!" desis Ambar 
dingin. 

"Keparat!" 

Marni yang tidak bisa menahan kesaba- 
rannya lagi berseru keras, dan bersikap mener- 
jang. Tapi Setiaji lebih dulu bertindak mencegah- 
nya. 

"Biar aku yang akan menyelesaikan masa- 
lah ini, Marni,". ujar Setiaji lembut. 

Marni tidak berani membantah suaminya. 
Dia hanya bisa melempar pandangan penuh ke- 
bencian pada Ambar. 

Sementara dara yang sudah berupa mayat 
hidup itu tidak memberi tanggapan sama sekali. 
Dingin seperti patung batu! 

Perhatiannya malah dialihkan pada Setiaji 
yang telah mencabut sebilah golok besar di pung- 
gung. 

Sinar terang berkelebat dari golok Setiaji. 
Lalu pinggulnya digerak-gerakkan sedemikian ru- 
pa seperti seekor kuda. Senjatanya yang kelihatan 
cukup berat tampak melayang naik ke atas. Tanpa 
melihat sama sekali, Setiaji mengulurkan tangan 
untuk menangkap golok tepat pada gagangnya. 

"Keluarkan senjatamu, Ambar. Terpaksa 
aku harus mengusirmu dengan kekerasan seperti 
dulu." 

Setiaji tak lupa untuk memberi kesempa- 
tan pada calon lawannya untuk mengeluarkan 
senjata. Dia adalah seorang lelaki berjiwa ksatria, 
Pantang baginya untuk menyerang lawan yang ti- 
dak bersenjata! Apalagi, lawannya adalah seorang 
wanita! 

Ambar tersenyum, tapi tidak terlihat ma- 
nis. Raut wajahnya dingin. Sorot sepasang ma- 
tanya mengerikan. Kulit wajahnya pucat Dan se- 
nyumnya lebih mirip seringai. 

Setiaji mengeluh dalam hati. Sama sekali 


tidak disangka kalau kegagalan cinta, membuat 
Ambar yang dulu berwajah manis jadi demikian 
mengerikan. 

"Aku tidak menggunakan senjata lagi, Se- 
tiaji. Meskipun demikian, jangan dikira akan 
mampu menundukkanku seperti dulu?! Jangan 
harap! Majulah! Serang aku!" sambut Ambar. 

Setiaji bimbang. Kegagahan telah mela- 
rangnya untuk memenuhi permintaan yang tidak 
wajar. Lelaki ini berdiri di tempatnya dengan tan- 
gan menggenggam senjata. Tapi benaknya bingung 

"Kalau kau tidak sampai hati untuk me- 
nyerang, biar aku yang maju!" dengus Marni, man- 
tap. 

Seruan ketus dari Marni di belakangnya, 
membuat Setiaji mengambil keputusan cepat. Go- 
lok yang telah terhunus dilemparkan sembaran- 
gan. Tapi di udara, golok itu meliuk secara aneh. 
Lalu, meluncur turun dengan batang lebih dulu 
dan mendarat tepat di dalam sarungnya seperti 
dimasukkan oleh tangan saja! 

Kini, Setiaji tidak ragu-ragu lagi menye- 
rang. Walau diakui kalau Ambar bukan tergolong 
gadis jahat, tapi sikap dan tindakannya telah ke- 
lewat batas. Mudah-mudahan tindakannya akan 
membuat gadis itu kapok dan tidak akan meng- 
ganggu diri atau istrinya. 

Seperti juga ketika menghadapi serangan 
Marni, Ambar tidak bergeming dari tempatnya se- 
mula. Padahal, Setiaji tengah menyerangnya den- 
gan pukulan tangan kanan kiri bertubi-tubi ke 
arah perut sampai mengeluarkan bunyi mendem. 

Setiaji terperanjat melihat Ambar tidak 
bergeming dari tempatnya. Dan dia bukan orang 
kejam yang tega memukul orang tanpa perlawa- 
nan. Maka secepat itu pula serangan berusaha ke- 
ras untuk dibatalkan. 

"Manusia Tolol! Jangan merasa paling sakti 
di kolong langit ini...?!" ejek Ambar. 

Dara yang telah bangkit dari kematiannya 
ini menutup ucapannya dengan gelengan kepala 
secara keras. Saat itu juga rambutnya yang pan- 
jang bergerak ke depan. 

Setiaji kaget bukan main, begitu melihat 
adanya sekelebatan rambut hitam yang melayang 
ke arah kepalanya. Padahal jaraknya telah dekat. 
Bahkan kecepatan gerak rambut hitam itu luar bi- 
• asa. 

Melihat serangan mendadak ini, lelaki itu 
gugup. Sehingga.... 

Prattt! 

Setiaji menjerit tertahan, ketika rambut 
Ambar menampar telak pipinya. Kepalanya sampai 
tertolak keras ke samping dengan pipi terasa pa- 
nas dan perih bukan main. Tubuhnya sampai ter- 
gempur terhuyung-huyung. 

Ketika berhasil memperbaiki keseimban- 
gannya, Setiaji mengusap pipinya yang terasa pe- 
rih. Dan seketika matanya terbelalak begitu meli- 
hat cairan kental pada telapak tangannya. Tampa- 
ran rambut Ambar telah membuat kulit wajahnya 
pecah-pecah mengeluarkan darah. Sakit dan perih 
menyengat! 

"Rupanya kau telah berlatih habis-habisan 
selama ini, Ambar. Baik! Ku ladeni kemauanmu!" 
dengus Setiaji. 

Setiaji memutuskan untuk bertindak keras. 
Dia tahu, Ambar tidak bisa dipandang rendah. Da- 
ra berpakaian serba hitam ini pasti telah menda- 
patkan kemajuan pesat dalam ilmu silat. Buktinya 
dia mampu membuat Marni hampir celaka dalam 
segebrakan. Bahkan juga dapat menyarangkan 
sebuah serangan yang menyebabkan Setiaji terke- 
jut setengah mati. Maka seketika tubuhnya melu- 
ruk ke arah Ambar dengan tendangan kaki kanan 
lurus bertubi-tubi ke arah dada, ulu hati, dan pu- 
sar. 

Plak, plak, Rrrttt! 

Setiaji hampir tidak percaya dengan pen- 
glihatannya sendiri. Ternyata tendangan bertubi- 
tubinya mudah sekali dipatahkan dengan rambut 
Ambar. Berkali-kali rambut itu bergerak-gerak 
memapak. Malah ketika serangannya berakhir, 
rambut Ambar! bergerak membelit! 

Setiaji sampai menggigit bibir ketika perge- 
langan kaki yang dilibat rambut terasa sakit bu- 
kan main. Libatannya tak kalah dengan libatan 
seekor ular sawah! 

Saat itu juga Setiaji mengerahkan seluruh 
tenaga dalam untuk mempertahankan agar tu- 
lang-tulang pergelangan kakinya tidak hancur be- 
rantakan akibat belitan rambut. Sekujur tubuhnya 
tampak, menggigil keras. Peluh mengalir deras 
membasahi wajahnya. 

Di lain pihak, Ambar terlihat biasa-biasa 
saja. Sepertinya, dara ini tidak mengerahkan tena- 
ga sedikit pun. 

Marni yang memperhatikan jalannya perta- 
rungan segera mengerti kalau suaminya berada 
dalam bahaya. Sambil mengeluarkan pekik me- 
lengking nyaring wanita itu mengirimkan totokan 
ke arah ubun-ubun Ambar dengan bulu-bulu ke- 
butan yang menegang kaku. 

"Hmh...!" 

Tapi Ambar rupanya sudah memperhi- 
tungkannya. Ketika serangan Marni semakin de- 
kat, dia mendengus. Sementara gumpalan ram- 
butnya yang masih terasa di kepala dikibaskan, 


hingga meluncur ke arah kebutan yang meluruk 
ke arahnya. 

Namun Marni tidak terkejut. Telah disaksi- 
kan sendiri keanehan ini sebelum mendapatkan 
serangan secara langsung. Maka kebutannya ce- 
pat ditarik kembali. Dia tidak ingin senjatanya ter- 
belit rambut. Dan, berbarengan dengan itu, kaki 
kanannya diayunkan ke arah dada Ambar 

Serangan susulan Marni dilakukan secara 
cepat. Dia yakin, kalau serangannya berhasil, liba- 
tan terhadap kaki Setiaji akan terlepas. 

Tapi, lagi-lagi sebelum serangan Marni 
mengenai sasaran, rambut Ambar meliuk aneh. 
Ujung-ujungnya meluncur ke arah lututnya. 

Tuk, tukkk! 

Dua kali lutut Marni tertotok ujung rambut 
yang telah menegang laksana rotan. Akibatnya, 
kaki itu pun lumpuh. Seketika gerakan Marni ter- 
henti seketika. Padahal pada saat yang sama 
gumpalan rambut Ambar kembali bergerak. Kali 
ini mengibas ke arah perut Dan.... 

Crasss...! 

"Aaaa...!" 

Darah segar muncrat dari mulut Marni, ke- 
tika kibasan rambut Ambar telak mengenai sasa- 
rannya. Tubuh Marni terhuyung dan jatuh ter- 
jengkang, karena salah satu kakinya tidak bisa di- 
gunakan lagi. 

"Marni...!" jerit Setiaji kaget melihat keja- 
dian yang menimpa istrinya. 

Perasaan khawatir, membuat Setiaji yang 
tengah berusaha melepaskan diri, tidak bertindak 
setengah-setengah lagi. Dan dia tidak memikirkan 
masalah tindakan ksatria lagi. 

Maka dengan tangan yang bebas diambil- 
nya goloknya yang tersampir di punggung. Dan 
dengan amarah meluap-luap, senjata itu dilem- 
parkan ke arah kepala Ambar. 

"Hmmm...!" 

Ambar mendengus! Sepasang matanya jadi 
lebih terang dari sebelumnya, dan semakin meng- 
hijau. Setiaji sampai melongo melihatnya. Apalagi 
ketika menyaksikan kejadian selanjutnya. Ternya- 
ta dari sepasang mata Ambar, meluncur dua leret 
sinar kehijauan yang secara telak menghantam go- 
lok Setiaji. 

Bagai lilin bertemu api. Demikian yang me- 
nimpa golok Setiaji! Golok yang terbuat dari baja 
pilihan itu kontan lumer sebelum menyentuh sa- 
saran. 

"Kau lihat, Setiaji. Bila aku hendak mem- 
bunuhmu dan wanita tak tahu malu itu, mudah 
sekali! Tapi, aku tidak mau melakukannya. Terlalu 
enak bagimu, kalau mati secara demikian. Terlalu 
nikmat! Pembalasan seperti itu tidak sebanding 
dengan penderitaan yang ku alami. Kita harus se- 
timpal, Setiaji!" 

Berbareng dengan usainya ucapan Ambar, 
terdengar bunyi berderak keras ketika tulang per- 
gelangan kaki Setiaji remuk akibat belitan rambut 
tadi. Baru setelah dara yang telah bangkit dari 
kematiannya ini melepaskan belitan, rambut itu 
meluncur ke arah bahu kanan Setiaji. 

Tuk! Tuk! 

Bak sehelai karung basah, tubuh Setiaji 
terkulai jatuh ke tanah tertotok rambut Ambar. 
Lelaki ini tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Se- 
kujur tubuh lemas. Dia hanya mampu melihat dan 
mendengar tapi tidak kuasa bertindak apa pun. 

"Kak Setiaji.,.!" seru Marni lemah. 

Setiaji hanya bisa menatap dengan sorot 
mata sedih. Dia tahu, dirinya dan juga istrinya te- 
rancam bahaya besar. Tapi, yang dipikirkan hanya 
keselamatan Marni. 

"Pergilah, Marni. Tinggalkan aku! Cepat se- 
lagi ada kesempatan!" seru Setiaji, bernada khawa- 
tir. 

Perintah itu lebih mudah diucapkan dari- 
pada dilaksanakan. Jangankan berlari cepat me- 
ninggalkan tempat itu, berdiri saja Marni belum 
mampu. Dia tertatih-tatih ketika berusaha untuk 
bangkit. Luka yang dideritanya memang cukup 
parah. 

"Tidak, Kak Setiaji. Apa pun yang akan ter- 
jadi, aku akan berada di sampingmu," sahut Marni 
lemah. 

Setiaji merasa terharu mendengar ucapan 
istrinya. Dadanya terasa sesak oleh rasa haru 
yang menyeruak. Kalau menuruti perasaan, ingin 
rasanya menangis meraung-raung. Tapi rasa ma- 
lunya sebagai seorang laki-laki, membuatnya ber- 
sikeras untuk bertahan. 

"Kalau begitu, biarlah kita mati bersama, 
Marni. Tidak hanya di alam dunia saja kita bersa- 
ma. Tapi, di akherat pun kita akan berkumpul 
kembali." tandas Setiaji. 

"Jangan kalian kira mimpi itu bisa terlak- 
sana!" 

Ambar yang merasa kesal mendengar per- 
cakapan Setiaji dan Marni membentak keras. 

"Aku tidak begitu bodoh untuk membunuh 
kalian berdua! Salah satu di antara kalian, harus 
mati secara mengerikan! Sedangkan yang lainnya 
akan hidup. Tapi, dengan keadaan menyedihkan!" 
ujar Ambar. 

Setiaji dan Marni hampir berbareng meno- 
leh ke arah Ambar yang tertawa-tawa mengerikan. 

"Wanita Iblis!" maki Marni, geram. 

"Kejam!" Setiaji juga ikut memaki. 

Tapi makian sepasang suami-istri itu 
hanya ditimpali tawa bergelak dari mulut Ambar 
sebuah tawa yang mengerikan. 

"Kalian boleh memaki apa saja. Yang jelas, 
keputusanku akan tetap kulaksanakan! Kau, 
Marni! Akan menerima kematian di tanganku se- 
cara menyedihkan. Sedangkan kau, Setiaji! Kau 
akan kujadikan budak pemuas nafsuku, mau atau 
tidak mau. Setelah itu, hukuman mengerikan lain 
akan kau terima! Hi hi hi...!" 



Ambar yang sudah sangat dirasuk dendam, 
segera menggerakkan rambutnya disertai tawa 
terkikik tanpa putus. Kali ini rambutnya yang su- 
dah di jadikan satu gumpalan lebar segera dike- 
butkan ke arah Marni. 

Angin yang luar biasa keras seketika ber- 
hembus ke arah Marni. Istri Setiaji yang masih da- 
lam keadaan lemah, tidak mampu bertahan. Tu- 
buhnya terlempar ke belakang, langsung terguling- 
guling. Padahal, dia tadi telah bisa bangkit berdiri, 
walaupun masih sempoyongan. 

Marni baru berhenti bergulingan ketika 
menghantam sebuah pepohonan dalam kerimbu- 
nan semak-semak. 

Raakkk! 

"Marni..!" jerit Setiaji penuh kekhawatiran 
melihat keadaan istrinya. "Jahanam kau, Ambar! 
Kau bukan manusia! Tapi iblis! Lepaskan dia! Bu- 
nuh saja aku! Akulah yang bersalah atas semua 
kejadian pada dirimu. Bukan dia!" 

Tapi Ambar tidak mempedulikan teriakan- 
teriakan Setiap. Bahkan malah tertawa terkekeh- 


kekeh, begitu gembira. 

"Kau lihatlah kejadian yang akan menimpa 
perempuan tak tahu malu itu, Setiaji!" 

Saat itu juga, Ambar menatap ke arah 
Marni yang masih tergolek. 

"Marni...!" 

Setiaji tak tahan untuk tidak berteriak ke- 
ras, begitu melihat dua larik sinar kehijauan me- 
mancar dari sepasang mata Ambar menuju ke 
arah Marni. Lelaki ini telah tahu, bagaimana ke- 
dahsyatan sinar-sinar hijau itu. Golok baja pilihan 
saja bisa luluh. Apalagi, Marni! 

Ternyata Ambar tidak ingin menghancur- 
kan tubuh Marni dengan sinar maut dari sepasang 
matanya. Dua larik sinar yang melesat ternyata di- 
tujukan pada kerimbunan semak-semak yang 
menghalangi istri Setiaji berada. 

Kerimbunan semak langsung terbakar ke- 
tika dua larik sinar dari mata Ambar menerpa. 
Angin yang saat itu cukup keras berhembus, 
membuat api yang timbul dalam sekejap saja ber- 
kobar besar. 

Setiaji menjerit-jerit meneriakkan nama is- 
trinya diseling makian-makian terhadap Ambar. 
Sekarang bisa diketahui malapetaka apa yang 
akan mengancam Marni. 

Berbeda dengan Setiaji, Marni tidak menge- 
luarkan teriakan sama sekali. Dia memang paling 
menderita. Tapi keinginan kuat untuk tidak mem- 
buat Ambar semakin gembira, membuat Marni 
mampu bertahan untuk tidak mengeluh. 

Teriakan-teriakan Setiaji dan tawa Ambar 
mengiringi gemeretaknya api memakan kerimbu- 
nan semak-semak. Hanya dalam waktu singkat, 
kumpulan semak-semak tempat Marni berada te- 
lah terbakar habis. Di antara kepulan asap yang 
masih mengepul, tercium bau hangus daging ter- 
bakar. 

Kini tinggal Setiaji yang menatap sisa-sisa 
kebakaran dengan wajah pucat pasi bagai tidak 
dialiri darah. Lelaki yang hampir saja menjadi seo- 
rang ayah ini merasa terpukul bukan main, meli- 
hat kematian istrinya di depan mata tanpa mampu 
memberi pertolongan sama sekali. 

"Hik hik hik...! Bagaimana rasanya kehi- 
langan orang yang sangat dicintai, Setiaji?! Me- 
nyakitkan bukan?!" ejek Ambar, penuh kepuasan. 

"Dan, sekarang kau akan menerima bagiannya!" 

Setiaji tidak memberi tanggapan. Pera- 
saannya terlampau terpukul. Pikirannya bagaikan 
buntu. Jiwanya terasa telah mati terbawa pergi 
Marni. 

Setiaji tidak teringat sama sekali akan keadaan di- 
rinya. Bahkan tidak merasa peduli akan apa yang 
hendak dialami. Tubuhnya diam tidak bergeming, 
ketika Ambar dengan langkah satu-satu meng- 
hampirinya dengan sikap terlihat penuh ancaman. 

Alis Arya berkernyit ketika melihat sesuatu 
di depan yang jaraknya tak kurang dari lima puluh 
tombak. Pemuda berjuluk Dewa Arak ini tengah 
dalam perjalanan untuk melacak mayat Tuan Mu- 
da Gautama yang bangkit dari kuburnya. Karena 
dikhawatirkan, mayat itu akan menyebar keka- 
cauan di dunia persilatan. 

Di perjalanannya ini, Arya bertemu keane- 
han. Sesuatu yang sudah pasti adalah seorang 
manusia, namun tetap saja membuat hatinya agak 
heran. Ternyata sosok itu terlalu pendek untuk 
ukuran seorang manusia. Tambahan lagi gera- 
kannya terlihat janggal. Maka sambil terus melan- 
jutkan perjalanan, Arya terus memperhatikan so- 
sok di hadapannya. 

Semakin lama jarak antara Arya dengan 
sosok itu semakin dekat Pandangan yang tertang- 
kap pun kian jelas. Dan seiring itu, timbul pera- 
saan kasihan di hati Dewa Arak 

Sosok di depan Arya sebenarnya juga me- 
lakukan perjalanan searah. Tapi karena kalah ce- 
pat, Dewa Arak bisa menyusulnya. Sosok yang 
memang manusia itu ternyata tidak memiliki se- 
pasang kaki! Buntung sampai ke pangkal paha. 
Dan hebatnya, dia berlari mempergunakan kedua 
tangan. Tapi melihat gerakannya, Arya tahu kalau 
• sosok itu belum lama mengalami cacat demikian. 
Penggunaan tangannya tampak masih kaku. Bah- 
kan beberapa kali terguling ke tanah ketika berla- 
ri. 

Sambil terus berlari mengejar, benak Dewa 
Arak berputar keras. Pandangan matanya meneliti 
sosok di depannya penuh perhatian. Dan Arya 
yang telah kenyang pengalaman ini, langsung tahu 
kalau sosok di depannya ternyata masih berusia 
muda. Tubuhnya kelihatan kekar, dan terlihat pas 
dengan pakaian kuningnya. Yang masih menjadi 
pertanyaan di kepala Arya adalah, mengapa sosok 
yang buntung kedua kakinya ini kelihatan demi- 
kian tergesa-gesa. Adakah sesuatu yang amat 
mendesak sehingga membuatnya tersiksa? 

Ketika untuk yang kesekian kalinya sosok 
berpakaian kuning itu tersungkur, Dewa Arak me- 
lesat mendahului dan berdiri menghadang di de- 
pannya. 

"Mengapa demikian terburu-buru, Sobat?!" 
tanya Arya. Pelan dan tenang. 

Sosok berpakaian kuning yang tidak memi- 
liki kaki, ternyata adalah seorang lelaki berusia 
sekitar dua puluh lima tahun. Kini matanya mena- 
tap wajah Arya penuh selidik 

"Kau siapa?! Dan, apa maksudmu meng- 
hadang perjalananku?!" lelaki berpakaian kuning 
ini malah balas bertanya. 

Arya tersenyum tenang. Hatinya tidak me- 
rasa tersinggung kendati pertanyaannya tidak ter- 
jawab, Dia maklum lelaki berkaki buntung ini ma- 
sih menaruh curiga. 

"Aku Arya, Sobat. Aku seorang pengelana 
yang tidak sengaja menghadang perjalananmu. 
Kebetulan, aku melihatmu. Karena merasa aneh 
melihat kau demikian terburu-buru, aku menyu- 
• sulmu. Barangkali saja ada sesuatu yang bisa ku- 
lakukan untukmu," jelas Dewa Arak, hati-hati. 

"Maafkan atas sikapku yang terlalu curiga, 
Arya. Namaku, Setiaji. Dan seperti yang kau duga, 
aku memang tengah terburu-buru. Ada sebuah 
urusan penting yang harus secepatnya kuselesai- 
kan. Itulah sebabnya aku bertindak seperti ini," 
sahut lelaki berkaki buntung yang ternyata Setiaji. 

"Begitu pentingkah hingga kau memaksa- 
kan diri untuk melakukannya? Tidakkah kau me- 
nunggu, hingga luka-luka yang kau derita sem- 
buh! Maaf, bukannya aku bermaksud mencampu- 
ri. Tapi, aku yakin lukamu itu belum lama." 

Setiaji menghela napas berat. Kembali se- 
pasang matanya menelusuri sekujur tubuh Arya 
penuh selidik. Seakan-akan, lelaki yang baru 
mendapat kemalangan ini tengah menilai Arya 
dengan pandangan matanya. 

"Mungkin aku harus menceritakannya pa- 
damu, Arya. Seperti yang kau katakan tadi, aku 
mungkin butuh bantuan. Masalah penting yang 
harus segera kuurus ini tak akan mungkin bisa 
diselesaikan, dengan keadaan tubuh seperti ini. 
Dengan bantuanmu, aku yakin masalah ini akan 
lebih cepat terurus. Tapi, aku ingin kepastian da- 
rimu, Arya. Benarkah kau ingin membantuku?!" 
tanya Setiaji. 

"Dengan catatan, urusan yang kau maksud 
ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebena- 
ran," jawab Arya mantap. 

Setiaji tersenyum lebar. 

"Kau kira aku orang macam apa, Arya?! Je- 
lek-jelek begini, dulu aku bekas seorang pendekar. 
Jadi jangan khawatir kalau urusan yang ku mak- 
sud akan menjerumuskanmu ke jalan hitam. Ti- 
dak, Arya. Bahkan urusan ini akan membuat na- 
• mamu terkenal di dunia persilatan." 

"Terima kasih, Setiaji. Tapi sayang sekali, 
aku tidak butuh nama besar. Aku hanya ingin 
membantumu. Lain tidak. Nah, sekarang katakan- 
lah." 

Setiaji tercenung sebentar. Kelihatan kalau 
lelaki ini tampak ragu untuk berbicara. 

"Sebenarnya aku tidak ingin mencerita- 
kannya pada siapa pun. Tapi karena aku tidak 
mungkin bisa menyelesaikannya, dan kebetulan 
kau bersedia membantu, mau tidak mau cerita ini 
terpaksa ku tuturkan padamu. Agar kau menjadi 
jelas dengar jalannya kejadian," Setiaji mulai den- 
gan ceritanya. 

"Puluhan tahun lalu, ayahku adalah seo- 
rang pendekar. Telah banyak tokoh hitam yang di- 
kalahkan, bahkan ditewaskan dalam upayanya 
menumpas angkara murka yang bersemayam di 
dunia ini. Pada suatu hari, ayahku bertemu bebe- 
rapa tokoh sesat yang menjadi kawan baik dari 
orang-orang yang telah tewas di tangannya. Sebe- 
narnya, ayahku tidak akan kalah kalau saja mere- 
ka bertarung secara jantan. Tapi, mereka berta- 
rung secara keroyokan. Ayahku terdesak, dan 
mungkin akan tewas kalau tidak muncul seorang 
tokoh golongan putih lain. Berdua, mereka bahu- 
membahu mengusir penjahat-penjahat hingga 
tuntas. Dari situ terjalinlah persahabatan di anta- 
ra mereka. Bahkan lalu saling berjanji untuk men- 
geratkan persahabatan ini dengan menjodohkan 
anak-anak mereka, apabila mempunyai anak yang 
berlainan jenis." 

Arya diam meski pada saat itu Setiaji 
menghentikan ceritanya. Dewa Arak merasakan 
adanya nada penyesalan dalam ucapan lelaki ber- 
pakaian kuning ini ketika bercerita tentang perjo- 
dohan. Arya yang memiliki otak cerdas langsung 
bisa memperkirakan kalau masalah yang dimak- 
sud Setiaji, sedikit banyak berpangkal dari ikatan 
jodoh itu. 

"Keinginan ayah dan kawannya terkabul. 
Ayah mendapatkanku, seorang anak lelaki. Se- 
dangkan kawannya mendapat seorang anak pe- 
rempuan. Ketika berumur sepuluh tahun, anak 
yang bernama Ambar itu dibawa ayahnya men- 
gunjungi kami. Selama beberapa lama, Ambar 
menjadi kawan bermain ku. Namun akhirnya kami 
berpisah kembali." 

Sampai di sini, Setiaji menghentikan ceri- 
tanya. Dia termenung agak lama. Raut wajahnya 
menyiratkan gambaran berbagai macam perasaan. 
Kecewa, gembira, marah, dan sedih. Semuanya 
tercampur menjadi satu. 

"Ketika aku dewasa, Ayah menyuruhku tu- 
run gunung sekaligus memerintahkan pergi ke 
tempat Ambar dan ayahnya. Saat itu pula aku di- 
beritahukan mengenai jodohku. Namun diam- 
diam aku tidak puas, walau tidak ingin menentang 
ayahku. Dan sama sekali tidak kusangka kalau 
dalam perjalanan aku bertemu seorang gadis can- 
tik yang berhasil mencuri hatiku. Namanya, Mar- 
ni. Rasa cinta padanya, menyebabkan perjodohan 
itu kutolak mentah-mentah. Akibatnya seperti 
yang kuperkirakan. Ayah marah dan mengusirku. 
Dia tidak menganggapku sebagai anak lagi, karena 
merasa malu pada sahabatnya." 

"Sahabat ayah tidak bertindak apa-apa, se- 
lain membiarkan semua yang telah terjadi. Tapi, 
Ambar tidak demikian. Rupanya, dia memang te- 
lah mencintai ku. Mengetahui hal yang sebenar- 
nya, dia kabur dari rumahnya dan pergi mencari- 
ku. Berbulan-bulan dia mencari tanpa hasil, kare- 
« na aku saat itu tengah sibuk bertualang bersama 
Marni. Tapi, akhirnya kami berhasil diketemukan. 
Ambar marah bukan main pada Marni. Sehingga 
pertarungan antara mereka pun terjadi. Mereka 
sama-sama lihai. Aku yang tidak ingin Marni ter- 
luka, ikut campur dan mengusir Ambar. Sejak 
saat itu, kabar tentang Ambar tidak terdengar lagi. 
Dia bagai lenyap ditelan bumi. Sedangkan kami, 
beberapa minggu kemudian menikah. Ayahku ti- 
dak menghadiri pernikahanku. Yang ada hanya 
pamannya Marni. Beliau pun pergi ke alam baka, 
tak lama setelah kami menikah. Aku dan Marni 
mencari nafkah dengan menyediakan jasa penga- 
walan bagi orang-orang yang ingin bepergian jauh, 
atau menyuruh mengantarkan barang. Kami sela- 
lu bernasib baik. Sampai akhirnya, tanpa kami 
duga-duga dia datang lagi...." 

"Ambar...?!" terka Arya, tanpa ragu-ragu. 

Setiaji mengangguk pelan. 

"Tapi, Ambar kali itu sangat berbeda den- 
gan sebelumnya. Dia telah memiliki kemampuan 
mengerikan. Dengan mudah, aku dan Marni dika- 
lahkan. Kemudian dengan kejam, Marni dibunuh 
bahkan aku dibuat cacat seperti ini dengan sabe- 
tan rambutnya. Tapi, dasar wanita iblis! Kendati 
telah menghancurkan hatiku dengan siksaan, dia 
masih belum puas. Sengaja hatiku disiksa lagi 
dengan mengatakan akan menghabisi nyawa 
ayahku." 

Arya mengangguk-angguk. Sekarang baru 
dimengerti, mengapa Setiaji berusaha keras untuk 
melaksanakan urusannya. Ternyata memang se- 
buah tugas penting. Lelaki yang telah buntung se- 
pasang kakinya ini harus berlomba dengan waktu, 
agar nyawa ayahnya bisa diselamatkan. 

"Meski ayah tidak menganggapku sebagai 
anak lagi, tapi aku masih tetap menghormatinya. 
Kuakui, aku memang bertindak salah. Untuk me- 
nebus rasa salahku ini, aku bermaksud memberi- 
tahukan adanya ancaman bahaya yang akan da- 
tang dari Ambar! Orang yang sama sekali tidak 
disangka-sangka, tapi kini telah memiliki kepan- 
daian menakjubkan!" 

Arya menatap Setiaji dengan sinar mata 
kagum. Dia setuju sekali pada pendirian lelaki ini 
yang tetap menghormati ayah kandungnya. Bah- 
kan menyiksa diri untuk memberitahukan adanya 
bahaya mengancam. 

"Seperti yang kukatakan semula, aku ber- 
sedia menolongmu, Setiaji. Dalam keadaan biasa, 
mungkin kau akan dapat cepat memberitahukan 
adanya bahaya terhadap ayahmu. Tapi sekarang? 
Mau tidak mau kau membutuhkan bantuan. Ku- 
rasa, kau lebih baik naik di leherku. Dan aku ber- 
lari cepat untuk segera tiba di sana! Bagaimana?!" 

"Terserah kau saja, Arya. Aku menurut sa- 
ja. Aku percaya kau akan memberi usulan yang 
baik!" sahut Setiaji, memberi pilihan pada Arya 
untuk menentukan cara. 

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Cepat naik 
ke pundakku, dengan segera." 

Setiaji tersenyum. Kedua tangannya segera 
menekan tanah. Lalu tiba-tiba tubuhnya melayang 
ke atas dan hinggap di tengkuk Arya. Tanpa mem- 
buang waktu, Dewa Arak melesat meninggalkan 
tempat itu, berlari menuju arah yang ditunjuk Se- 
tiaji. 

Satu sosok ramping berpakaian hitam ten- 
gah berlari cepat, melalui dataran beralas padang 
• rumput pendek. Medan itu tidak rata, bergelom- 
bang seperti permukaan air laut. 

Mendadak sosok ramping itu menghenti- 
kan langkahnya. Ketika di depannya telah berdiri 
sesosok tubuh tinggi besar. Kepalanya botak den- 
gan cambang bauk lebat. Pada punggungnya tam- 
pak menyembul dua buah kecer berbentuk bulat 
tipis. 

"Orang hutan! Cepat menyingkir dari ha- 
dapanku sebelum amarahku timbul!" desis sosok 
ramping berpakaian hitam yang ternyata seorang 
gadis berwajah pucat seperti tak berdarah, dengan 
mata mengerikan. Siapa lagi sosok itu kalau bu- 
kan Ambar. 

"Kau kira aku bisa kau bunuh, sesudah 
membunuh kakek-kakek jompo yang dulunya me- 
rupakan seorang pendekar yang cukup terkenal 
itu?" sahut kakek yang mirip orang hutan itu 
sambil tertawa gembira. "Aku Buluk Pitu tak akan 
semudah itu dapat ditaklukkan. Bahkan kau yang 
akan menjadi hamba sahayaku, Tuan Muda. Ken- 
dati demikian, biarlah. Sebelum kau kujadikan 
budak, tidak ada salahnya kalau kita bermain- 
main sebentar. Aku ingin tahu, sampai di mana 
kesaktianmu!" 

Tanpa mempedulikan kemarahan Ambar, 
laki-laki yang ternyata bernama Buluk Pitu segera 
mengambil sepasang kecer yang tergantung di 
punggung. Biasanya, setiap tokoh yang mendengar 
bunyi kecernya, akan kehilangan tenaga dalamnya 
meski untuk sementara. Kaki lemas, karena jan- 
tung bergetar hebat 

Blammm! 

Bunyi berdentam nyaring terdengar, ketika 
Buluk Pitu mengadu sepasang kecernya. Bumi ba- 
gaikan tergetar hebat. Bahkan batang-batang po- 
• hon yang ada di sekitar tempat itu bergetar, sea- 
kan gemetar mendengar bunyi kecer itu. 

Tapi ternyata bunyi itu sama sekali tidak 
mempengaruhi Ambar. Padahal, dara ini hanya 
mengebut-ngebutkan rambutnya, ketika kecer itu 
dibenturkan! Bahkan dari kebutan rambutnya 
timbul angin menderu keras. Tidak keras bila di- 
bandingkan bunyi kecer. Tapi, bunyi sudah cukup 
untuk meredam pengaruh dahsyat yang timbul 
dari bunyi kecer! 

Buluk Pitu yang merasa penasaran, segera 
mengulangi serangannya. Tapi, hasilnya tetap sa- 
ma. Bunyi kecernya tidak berpengaruh apa pun 
bagi Ambar. Dan ini membuatnya penasaran bu- 
kan main. Maka sambil membentak nyaring, sepa- 
sang senjata andalannya dilemparkan! Seketika 
bunyi berdesing nyaring terdengar, ketika dua 
benda itu melesat, menyambar dari arah kanan 
dan kiri dara berpakaian hitam itu. 

Kali ini, Ambar cepat menjulurkan kedua 
tangannya ke depan. Maka dua buah kecer berpu- 
tar kembali ke pemiliknya sebelum bertemu sepa- 
sang tangan yang jari-jarinya terbuka. Malah ke- 
cepatan luncurannya jauh lebih cepat dari semula! 

Buluk Pitu terperanjat. Kalau bertindak 
ayal sedikit saja, senjata akan menghirup darah 
tuannya sendiri. Maka luncuran sepasang kecer- 
nya disambut dengan kedua tangan terbuka. Se- 
bagai pemilik senjata, tentu saja Buluk Pitu den- 
gan mudah bisa menaklukkannya. 

Tap! Tapp! 

Buluk Pitu terhuyung mundur dua lang- 
kah, ketika berhasil menangkap sepasang kecer- 
nya. Kedua tangannya bergetar hebat. Dari sini 
kakek berkepala botak ini benar-benar membuat 
gentar bukan main. Buluk Pitu sadar, Ambar me- 
miliki kemampuan di atasnya. Melakukan perla- 
wanan sama dengan mencari mati! Maka dia mulai 
bersiap melaksanakan rencananya. 

"Tuan Muda Gautama! Lihat, apa yang ada 
di tanganku. Kau harus tunduk!" seru Buluk Pitu 
dengan suara penuh pengaruh, sambil mengelua- 
rkan sebuah keris kecil bergagang dan berbatang 
kuning mengkilat. Benda ini didapatkan Buluk Pi- 
tu dari peti mati Tuan Besar Wiraraja. 

Tubuh Ambar yang dipanggil sebagai Tuan 
Muda Gautama tampak tergetar. Ucapan Buluk Pi- 
tu terlihat mempunyai pengaruh terhadap dirinya. 
Sepasang matanya yang tadi liar dan penuh hawa 
pembunuhan, perlahan melembut. Tapi hal itu 
hanya berlangsung sebentar saja. Tak lama dia 
menggeram keras. Dan dari sepasang matanya 
meluncur cepat dua larik sinar kehijauan ke arah 
Buluk Pitu. 




Buluk Pitu memang belum pernah me- 
nyaksikan kedahsyatan sinar hijau yang meluncur 
dari kedua bola mata sosok yang dipanggilnya 


Tuan Muda Gautama. Tapi sebagai seorang yang 
telah kenyang makan asam garam, dia tidak bera- 
ni bertindak gegabah. Maka sebelum sinar-sinar 
itu menghantam, tubuhnya melompat ke samping 
dan bergulingan menjauh. 

Benar saja. Dua buah gundukan batu be- 
rukuran sedang yang kebetulan berada di bela- 
kang Buluk Pitu hancur lebur menjadi sasaran 
seiring terdengarnya bunyi ledakan keras. Mata 
Buluk Pitu sampai terbelalak saking kagetnya me- 
lihat kedahsyatan sinar-sinar hijau itu. 

Tapi, Ambar tidak berhenti sampai di situ 
saja. Serangan-serangan sinar kehijauan terus di- 
lanjutkan. Kini dua larik sinar itu bagaikan tidak 
pernah berhenti, terus-menerus mencecar tubuh 
Buluk Pitu. Sehingga memaksa kakek itu untuk 
bermain kucing-kucingan, melompat ke sana ke- 
mari untuk menyelamatkan selembar nyawa. 

Tindakan Buluk Pitu menyebabkan sekitar 
tempat itu porak-poranda. Rerumputan banyak 
yang hangus terbakar, tersambar angin serangan 
Ambar. Tanah terbongkar di sana-sini. Asap men- 
gepul ke angkasa. Dan pada beberapa tempat, api 
berkobar meski hanya kecil saja. 

Sambil tetap berlompatan mengelakkan 
tangan-tangan maut dari sinar-sinar hijau, Buluk 
Pitu memeras otaknya. Dia merasa heran, ketika 
sosok yang dipanggilnya Tuan Muda Gautama ti- 
dak terpengaruh sama sekali dengan keris dan pe- 
rintahnya. Padahal, demikianlah cara yang harus 
dilakukan, untuk menguasai roh Tuan Besar Gau- 
tama yang telah bangkit lagi 

Buluk Pitu tahu, keadaan seperti ini tidak 
bisa dibiarkan. Bahkan bukan tidak mungkin ka- 
lau nyawanya akan melayang ke alam baka. Pa- 
dahal, dia belum ingin melihat alam akherat ken- 
dati usianya telah amat tua. 

Itulah sebabnya, ketika untuk kesekian 
kali serangan sinar-sinar hijau meluncur, sambil 
melompat mengelak Buluk Pitu melemparkan se- 
pasang kecernya. Sengaja kecer itu dilepas satu 
persatu, agar lawannya menyediakan waktu lebih 
banyak untuk mematahkan serangan- 
serangannya. 

Buluk Pitu masih sempat melihat ketika 
kecer yang pertama kali dilepaskan terhantam si- 
nar hijau dari mata Ambar. Hebatnya, senjata 
• yang terbuat dari baja pilihan itu leleh! Dan kecer 
kedua tidak sempat dilihat karena Buluk Pitu te- 
lah melesat cepat meninggalkan tempat itu dengan 
kecepatan menakjubkan! 

Ambar alias Tuan Muda Gautama hanya 
bisa memaki kalang kabut ketika calon korbannya 
telah lenyap begitu sepasang kecer itu berhasil di- 
hancurkannya. Amarahnya yang telah bangkit 
membuatnya tidak mau berhenti bertindak sebe- 
lum Buluk Pitu binasa. Maka tubuhnya juga mele- 
sat mengejar ke arah kepergian Buluk Pitu tadi. 

Tapi baru saja beberapa kali lesatan, Am- 
bar mendengar bentakan nyaring dari belakang- 
nya. 

"Berhenti...! Wahai orang yang berlari di 
depan, berhenti! Berhenti kau, Pengecut...!" 

Kata-kata terakhir membuat Ambar yang 
semula tidak ambil peduli jadi menghentikan 
langkahnya. Meski telah bukan manusia sewajar- 
nya lagi, Ambar tetap memiliki keangkuhan yang 
pantang dianggap pengecut. Dengan cepat tubuh- 
nya berbalik. Sikapnya terlihat mengancam. 

Hanya dalam sekejap, orang yang menegur 
itu telah berada di depan Ambar berjarak empat 
tombak. Dia ternyata seorang kakek berpakaian 
coklat. Kedua kakinya buntung sampai pangkal 
paha, digantikan oleh dua batang tongkat. Seperti 
juga Ambar, dia terperanjat atas pertemuan ini. 
Kini masing-masing pihak saling pandang dengan 
alis berkerut seakan saling mengenal, 

"Kau..., kau siapa...?! Rasanya aku pernah 
melihat wajahmu...?!" 

Kakek berpakaian coklat terlebih dulu 
membuka percakapan dengan suara bergetar. Se- 
pasang matanya terbelalak lebar penuh rasa kaget 
ketika melihat wajah Ambar. 

"Aku pun rasanya mengenalmu, Kakek! 
Hanya saja aku lupa, kapan dan di mana perte- 
muan itu berakhir." 

Dua pasang mata saling pandang, sebelum 
akhirnya berisikan nada-nada kecurigaan. 

"Tua Bangka tidak tahu diri! Hentikan uca- 
pan tololmu. Aku bukan apa-apamu. Cepat kau 
pergi dari sini, sebelum kesabaranku habis!" 

Ambar yang lebih dulu sadar dari kesi- 
manya, membentak keras setelah yakin kalau ka- 
kek berpakaian coklat ini tidak mempunyai hu- 
bungan dengannya. 

Kakek berpakaian coklat tersenyum getir. 

"Pergi itu urusan mudah, apabila semua 
urusan telah bisa diselesaikan. Tapi sayang, uru- 
san antara kita belum selesai. Aku punya satu 
pertanyaan padamu, Nona," balas kakek berkaki 
buntung itu. 

Sepasang mata Ambar mulai berkilat te- 
rang. Sinar kehijauan semakin jelas terlihat. Ka- 
kek berpakaian coklat itu tersentak, begitu melihat 
adanya sesuatu yang aneh. Namun kakek ini pu- 
ra-pura bersikap tidak peduli. 

"Beberapa puluh tombak dari tempat ini, 
aku menemukan mayat seorang kakek gagah per- 
kasa. Aku tahu betul kalau dia dulunya seorang 
pendekar besar. Menilik dari keadaan mayatnya, 
aku yakin orang yang membunuhnya belum lari 
jauh. Dan ternyata, hanya kau yang berada dekat 
dengan tempat mayat kakek itu. Jelas, kau mem- 
punyai hubungan yang erat dengan tewasnya ka- 
kek pendekar itu, Nona." 

"Kau memang cerdik, Tua Bangka bau ta- 
nah! Akulah yang telah membunuhnya. Tapi, 
orang itu memang pantas dibunuh. Aku punya 
semboyan hidup. Tidak ada tempat bagi orang 
• yang mengkhianati janji. Dan kakek jompo itu te- 
lah mengingkari janji yang telah dibuatnya sendiri. 
Maka, aku pun membunuhnya! Kalau kau tidak 
senang, silakan maju. Biar kuhabisi sekalian 
orang-orang yang berani menentangku!" 

Kakek berpakaian coklat menghela napas 
berat. Kepalanya menggeleng-geleng seperti layak- 
nya orang yang merasa prihatin. 

"Sayang sekali, Nona. Kau sebenarnya ma- 
sih muda. Jalan hidupmu masih panjang. Menga- 
pa memilih jalan sesat dan bukan jalan lurus?! 
Sadarlah! Jangan kau jerumuskan dirimu ke da- 
lam jurang kehancuran!" 

"Tutup mulutmu!" 

Ambar yang merasa tidak senang diberi 
nasihat, segera melancarkan serangan mempergu- 
nakan sepasang matanya. Dua sinar yang memili- 
ki kekuatan daya hancur luar biasa seketika melu- 
ruk ke arah sang kakek. 

"Uts...!" 

Kakek berpakaian coklat melompat meng- 
hindari serangan. Dia tahu, sinar hijau itu memi- 
liki kekuatan dahsyat Rasanya tidak akan ada 
senjata apa pun yang mampu menahannya! 

Serangan-serangan gencar sinar hijau yang 
keluar dari sepasang mata Ambar benar-benar 
membuat kakek berpakaian coklat yang tak lain 
Wara Kuri untuk berlompatan ke sana kemari. 
Tindakannya membuat keadaan sekitar itu menja- 
di porak-poranda. 

"Ih...!" 

Wara Kuri terperanjat ketika merasakan 
adanya tarikan kuat ketika baru saja melompat 
untuk mengelakkan serangan sinar hijau dari ma- 
ta Ambar. Sementara, dara berpakaian hitam itu 
terus menjulurkan tangan dengan kedua telapak 
• terkembang, melakukan gerak menarik. 

Wara Kuri yang tengah berada di udara, ti- 
dak mampu berbuat sesuatu untuk bertahan. 
Apalagi tidak ada pijakan. 

Pada saat yang merugikan bagi Wara Kuri, 
Ambar mengirimkan serangan maut dengan sinar 
matanya! 

Wesss...! 

Dua larik sinar hijau meluncur, menghan- 
tam luncuran tubuh Wara Kuri yang tertarik ke 
arah Ambar. 

Wara Kuri benar-benar berada dalam pili- 
han sulit. Keadaannya tidak memungkinkan un- 
tuk mengelak. Jalan satu-satunya untuk menye- 
lamatkan diri, hanya menangkis. Tapi bila me- 
nangkis sinar maut dalam jarak yang demikian 
dekat, memiliki kemungkinan untuk menerima 
akibat yang sangat parah. 

Di saat yang amat gawat bagi keselamatan 
nyawa Wara Kuri, terdengar bunyi hembusan ke- 
ras diiringi hawa panas menyengat. Datangnya, 
dari belakang Wara Kuri terus meluncur memapak 
dua larik sinar hijau! 

Bresss! Blarrr...! 

Bumi bagaikan tergetar begitu dua larik si- 
nar hijau dari mata Ambar berbenturan dengan 
hembusan angin panas yang keras. Sekitar tempat 
itu bagaikan digoyang tangan raksasa. Sedang 
akibatnya bagi pihak-pihak yang terlibat dalam ke- 
jadian itu, lebih hebat lagi. 

Tubuh Ambar terhuyung-huyung dua 
langkah ke belakang. Tapi, tubuh sosok bayangan 
ungu yang melancarkan pukulan jarak jauh ber- 
• hawa panas dari belakang Wara Kuri, melayang 
deras ke belakang bagai daun kering dipermain- 
kan angin! 

Wara Kuri yang berada dalam kancah per- 
tarungan ketika dua kekuatan dahsyat bertemu 
sekujur tubuhnya terasa seperti dimasuki ribuan 
semut. Saat itu, Ambar menggerakkan tangan me- 
nyerang perut Wara Kuri. Jarak antara mereka se- 
benarnya tidak memungkinkan bagi Ambar untuk 
mengirimkan serangan. Apalagi Ambar melancar- 
kan serangan tanpa bergeming dan tempatnya. 

Tapi, Ambar ternyata sudah memperhi- 
tungkan. Tangannya ternyata dapat memanjang 
seperti karet. Jarak yang seharusnya tidak ter- 
jangkau berhasil dilompati. Dan.... 

Bresss...! 

"Aaaa...!" 

Tak pelak lagi, jari-jari tangan gadis berpa- 
kaian hitam ini menembus perut Wara Kuri hingga 
tembus ke punggung. Darah berhamburan dari 
bagian yang robek lebar. 

Kakek itu kontan menjerit memilukan. Ta- 
pi, Ambar sama sekali tidak peduli. Tanpa ada pe- 
rubahan sedikit pun pada wajahnya yang pucat 
pasi, tangannya ditarik kembali dengan gerakan 
mengoyak. Sehingga, membuat luka Wara Kuri 
semakin parah. Kemudian, sambil tertawa terkikih 
tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu. Am- 
bar sama sekali tidak ingat pada orang yang telah 
memapak sinar hijau dari matanya. 

Tak lama sepeninggalnya, dari balik kerim- 
bunan semak-semak tempat terlemparnya sosok 
yang tadi memapak serangan, melangkah ter- 
huyung-huyung dua sosok yang bertumpuk men- 
jadi satu. Sosok yang satu berada di atas sosok 
yang lain. Mereka adalah Dewa Arak dan Setiaji 
• yang berada diatas pundaknya. 

Dengan langkah terhuyung-huyung karena 
rasa pusing amat sangat yang masih melanda, 
Arya memaksakan diri menghampiri Wara Kuri 
tergolek. Pemuda berambut putih keperakan ini 
tahu, keadaan kakek itu telah amat mengkhawa- 
tirkan. Kalau tidak bertindak cepat, nyawanya ke- 
buru melayang ke alam baka. Kendati Arya tahu, 
Wara Kuri tak bakal bisa diselamatkan mengingat 
keadaannya yang terlalu mengkhawatirkan. Tapi 
setidak-tidaknya, kakek itu mungkin akan me- 
ninggalkan pesan. 

Sebelum Arya berada di dekat Wara Kuri, 
dari arah yang berlawanan melesat sesosok 
bayangan serba merah. Gerakannya cepat bukan 
main. Hanya dalam sekejapan, sosok itu telah be- 
rada di dekat tubuh Wara Kuri 

Bahkan dia berjongkok, memperhatikan 
luka kakek berpakaian coklat itu penuh selidik. 

Helaan napas berat keluar dari mulut so- 
sok ini. Kepalanya pun menggeleng. Kemudian 
tangan kanannya diulurkan. Dan dengan kecepa- 
tan menakjubkan, tangannya bergerak menotok 
sekitar luka untuk menghentikan aliran darah 
agar Wara Kuri tidak mati lemas. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Sobat. 
Sayang, aku tidak akan bisa membalasnya. Tapi 
aku, Wara Kuri, bukan orang yang tidak kenal bu- 
di. Bila di dunia ini aku tidak mampu membalas, 
maka di penghidupan yang lain, akan kucoba un- 
tuk membalas budimu ini," ujar Wara Kuri terpa- 
tah-patah. 

"Tidak usah memikirkan masalah itu, Wara 
Kuri. Aku tidak membutuhkan balas budi. Kehadi- 
ranku di tempat ini pun, hanya sebuah kebetulan. 
Aku sebenarnya sudah tidak berhasrat untuk ter- 
• jun dalam dunia persilatan. Tapi karena sesuatu 
hal, dan karena keteledoran dua orang muridku, 
terpaksa aku turun gunung meninggalkan tempat 
pengasinganku yang nikmat. Dan aku terjun kem- 
bali ke dalam kerasnya kancah dunia persilatan 
yang menjijikkan," sahut laki-laki berbaju merah 
ini. 

Wara Kuri tertawa terkekeh walau dengan 
susah payah. 

"Kita ternyata mempunyai nasib yang sa- 
ma, Sobat. Kita tidak termasuk orang-orang yang 
beruntung. Aku pun sebenarnya sudah tidak ingin 
terjun dalam dunia persilatan. Tapi sebuah keja- 
dian yang mengerikan dan amanat dari majikan- 
ku, membuat aku tidak bisa mengelak. Akhirnya 
aku harus mengalah pada nasib. Aku harus me- 
ninggalkan dunia ini, tanpa bisa menyelesaikan 
amanat majikanku. Nasib memang mempermain- 
kan manusia, Sobat" 

Sosok berpakaian merah ternyata seorang 
lelaki berjenggot panjang sampai ke dada. Usianya 
sekitar enam puluhan tahun, tapi masih tampak 
gagah. Kumisnya yang masih hitam dan melintang 
menambah kegagahannya. Di waktu mudanya, dia 
pasti seorang pemuda yang amat tampan dan gagah. 

"Ternyata kita mempunyai masalah yang 
sama, Wara Kuri. Hanya saja kau harus pergi se- 
belum masalahmu berhasil diselesaikan. Sedang- 
kan aku masih terus mencari. Entah sampai ka- 
pan hal ini baru bisa terungkap. Atau mungkin 
aku akan mengalami kejadian sepertimu. Mening- 
galkan dunia ini tanpa berhasil mengupas masa- 
lah yang menggayuti benakku," kata laki-laki ber- 
pakaian merah. 

"Boleh kutahu, apa yang mendorongmu 
terjun ke dalam dunia persilatan, Sobat?!" tanya 
Wara Kuri ingin tahu. 

"Bangkitnya mayat dari kematiannya," ja- 
wab lelaki berpakaian merah, langsung pada sasa- 
ran. 

Wara Kuri mengeluarkan keluhan tertahan. 

"Mengapa?!" tanya lelaki berpakaian merah 
ini heran. 

"Masalah yang tengah kita hadapi ternyata 
sama," jelas Wara Kuri cepat 

"Jadi..., kau pun...." 

"Benar," Wara Kuri mengangguk. Kemu- 
dian secara singkat tapi jelas, kakek berpakaian 
coklat ini menceritakan semuanya. Sampai lawan 
bicaranya mengerti dengan masalah yang tengah 
dihadapinya. 

"Kau sendiri bagaimana?!" tanya Wara Ku- 
ri. 

"Hampir sama," jawab lelaki berpakaian 
merah. Dahinya tampak berkerut dalam seperti 
tengah berpikir keras. "Aku mempunyai dua orang 
murid. Yang pertama, bernama Gempita. Dan yang 
satu lagi, bernama Marong. Pada suatu hari, me- 
reka datang membawa seorang wanita yang ham- 
pir mati. Keadaannya tidak terurus. Bahkan boleh 


dibilang tak ubahnya gembel. Ingatannya hampir 
hilang. Aku yakin wanita ini telah mendapatkan 
guncangan batin yang berat, sehingga membuat- 
nya seperti gila. Menilik dari gerak-geriknya, aku 
tahu wanita ini bukan orang sembarangan. Seti- 
dak-tidaknya murid seorang sakti. Terbukti meski 
dalam keadaan kurang ingatan, ilmunya masih 
cukup hebat. Wanita itu bernama Ambar." 

Arya dan terutama sekali Setiaji yang juga 
mendengarkan percakapan itu, merasa kaget bu- 
kan main. Jantung Setiaji bahkan seperti berhenti 
berdetak mendengar cerita itu. Jadi, Ambar benar- 
benar menderita! 

"Karena perawatan kami yang tak kenal le- 
lah, Ambar berhasil disembuhkan. Tapi sayang se- 
ribu kali sayang, Ambar terjatuh dalam tangan 
seorang ahli ilmu hitam yang berhati keji. Ambar 
menuntut ilmu hitam yang aneh-aneh. Bahkan 
sampai akhirnya, Ambar tewas dalam mempelajari 
ilmu itu. Syarat yang terlalu berat, membuat nya- 
wanya melayang. Tapi justru itu sebenarnya yang 
diinginkan gurunya yang memang berhati keji. Dia 
ingin menciptakan budak yang mau melakukan 
semua perintahnya, tanpa membantah sedikit 
pun. Dan itu hanya dapat diperoleh, bila Ambar 
telah menjadi mayat kemudian bangkit lagi. Tentu 
saja begitu telah menjadi mayat hidup, kesaktian 
Ambar akan berlipat ganda. Dengan demikian, pe- 
nyihir jahat itu jadi memiliki seorang budak yang 
amat taat, sekaligus luar biasa sakti." 

Wara Kuri diam. Dia merasa takjub men- 
dengar cerita itu. Sedangkan Arya dan terutama 
sekali Setiaji baru menyadari mengapa Ambar jadi 
demikian sakti. Rupanya, Ambar telah mati. Am- 
bar telah menjadi semacam budak yang hanya ta- 
hu melaksanakan perintah. Tanpa sadar, sepa- 
sang mata Setiaji berkaca-kaca, karena rasa haru. 
Betapapun juga, lelaki ini merasa bertanggung ja- 
wab atas malapetaka yang menimpa Ambar. 

"Dengan sebuah siasat, aku berhasil men- 
curi mayat Ambar. Aku tidak ingin, dia dijadikan 
budak. Setelah berhasil, aku mencari tahu bagai- 
mana caranya untuk menghentikan semua kegi- 
laan itu. Akhirnya, aku pun mendapatkannya. 
Ambar harus dikubur, sebelum hujan lebat ber- 
henti. Bahkan sebelum sinar bulan berwarna me- 
rah. Karena bila itu terjadi, malapetaka akan 
muncul. Dari tempat tinggalku kupantau keadaan 
muridku. Sebenarnya, aku yakin mereka akan 
berhasil. Tapi ternyata gagal. Dari tempatku, aku 
tahu kalau dua muridku itu telah tewas." 

"Apakah orang yang dimaksud muridmu 
itu seorang lelaki tinggi besar bertelanjang dada, 
dan seorang lelaki kecil kurus? Dan mereka pun 
naik kereta?!" tanya Wara Kuri, untuk memastikan 
ketika teringat akan hal mayat yang ditemukan- 
nya. 

"Benar," sahut lelaki berpakaian merah itu 
mengangguk. 

"Mereka memang telah tewas. Dan tempat 
terjadinya adalah di makam milik keluarga maji- 
kanku. Asal tahu saja, tempat itu sebenarnya ter- 
larang bagi orang luar. Pemakaman itu adalah 
pemakaman keluarga. Dan, tidak untuk orang 
lain. Tapi, murid-muridmu telah lancang mengu- 
bur mayat Ambar di sana. Dan aku bisa memper- 
kirakan apa yang terjadi, " papar Wara Kuri, men- 
geluh panjang pendek. 

"Apa?" lelaki berpakaian merah jadi ingin 
tahu. 

"Wanita muda itu berhasil hidup, karena 
adanya roh milik Tuan Muda Gautama yang diku- 
bur di situ. Pada saat-saat tertentu, roh itu me- 
mang muncul ke permukaan. Biasanya, itu terjadi 
setiap sebulan sekali. Dan aku yakin, roh itulah 
yang membuat mayat Ambar hidup kembali." 

"Mungkin kau benar, Wara Kuri. Tapi, 
mungkin kau mau mendengar penjelasanku. 
Mayat Ambar itu tidak untuk dikuburkan di tem- 
pat makam majikanmu. Aku tidak tahu. Bahkan 
muridku juga tak tahu kalau di sana ada makam. 
Mereka dan aku telah sepakat untuk mengubur- 
kannya di sebuah tempat. Tapi, entah mengapa 
mereka memilih makam milik majikanmu. Aku ti- 
dak mengerti maksud mereka. Tapi yang jelas, apa 
yang ku takuti telah terjadi. Mereka menanam 
mayat setelah hujan berhenti dan juga sinar bulan 
merah telah muncul. Padahal, aku telah berpesan 
berkali-kali agar jangan sampai itu terjadi. Karena 
jika sampai demikian, nyawa mereka tak akan se- 
lamat" 

"Lalu..., apa yang akan kau lakukan?!" 
tanya Wara Kuri, ingin tahu. 

"Aku belum tahu," desah lelaki berpakaian 
merah menggeleng. "Entah nanti." 

"Sayang sekali, Sobat," desah Wara Kuri 
dengan suara penuh sesal. "Kalau saja aku tidak 
ceroboh, aku mungkin akan dapat melenyapkan 
angkara murka Ambar dengan mudah. Majikan 
tuanku telah meninggalkan pusaka untuk melum- 
puhkan kekuatan roh anaknya. Pusaka itu berupa 
keris bergagang kuning. Demikian juga batangnya. 
Sayang, senjata itu telah diambil Buluk Pitu. Aku 
khawatir dengan senjata itu, Buluk Pitu akan ber- 
hasil mengendalikan Ambar." 

Lelaki berpakaian merah tersenyum lebar. 

"Jangan khawatir, Wara Kuri. Apa yang 
kau khawatirkan tidak akan terjadi. Senjata yang 
kau sebutkan, tidak mempan terhadap Ambar. Di 
perjalanan aku melihat Buluk Pitu sampai memaki 
kalang kabut dan membuang sebuah benda yang 
ternyata bernama Keris Emas. Bahkan sempat 
kudengar dia memaki-maki Ambar. Berarti, keris 
itu tidak bisa digunakan untuk mempengaru- 
hinya." 

Wajah Wara Kuri berubah, membesi. Bi- 
asan wajah dan sinar matanya memancarkan rasa 
tersinggung yang besar. 




"Kau terlalu merendahkan pusaka keluarga 
Wiraraja, Sobat. Apakah pusaka kau yang lebih 
ampuh daripada pusaka itu? Kau tahu, Tuan Be- 
sarku yang bernama Tuan Wiraraja memiliki pen- 
getahuan luas. Dan keris yang kau rendahkan itu- 
lah yang dikatakan Tuan Wiraraja, akan berhasil 
membuat mayat hidup itu tidak bangkit lagi untuk 
selamanya," kata Wara Kuri, berapi-api. 

Rasa tersinggung membuat ucapan Wara 
Kuri kelihatan menggebu-gebu. Dan itu terlalu 
memaksakan keadaan diri. Padahal, keadaannya 
telah sangat payah, sehingga membuatnya batuk- 
batuk darah. 

"Maaf, maaf. Bukannya aku bermaksud 
demikian, Wara Kuri. Aku yakin pusaka itu am- 
puh. Bahkan aku percaya, Tuan Wiraraja berkata 
benar. Mayat Gautama akan roboh untuk selama- 
lamanya, apabila terhunjam Keris Emas. Tapi per- 
lu kau ketahui, mayat yang bangkit itu bukan 
mayat Gautama. Tapi, mayat orang lain. Ambar 
namanya." 

"Sama saja!" cela Wara Kuri "Bukankah 
bangkitnya mayat itu, karena roh Tuan Muda 
Gautama?!" 

"Ucapanmu hanya benar sedikit, Wara Ku- 
ri. Mayat Ambar tidak bangkit karena roh Tuan 
Muda Gautama. Mayat itu bangkit karena ulah to- 
koh seperti yang kuceritakan. Roh Gautama hanya 
mempercepat bangkitnya mayat itu. Seharusnya, 
sehari setelah dikuburkan, baru Ambar akan 
bangkit. Tapi keberadaan roh Gautama, memper- 
cepat kebangkitannya. Aku mempunyai alasan 
kuat untuk hal ini. Buktinya, yang dicari mayat 
Ambar adalah orang-orang yang telah membuat- 
nya sakit hati. Kalau roh Gautama yang berada 
dalam diri Ambar, pasti yang didahulukan adalah 
kepentingan Gautama!" jelas lelaki berpakaian me- 
rah dengan sabar! 

Wara Kuri diam. 

"Mungkin kau benar, Sobat," kata kakek ini 
setelah terdiam sejenak. "Maafkan atas sikapku 
yang tidak patut." 

"Lupakanlah, Wara Kuri. Aku memaklumi 
perasaanmu. Pergilah dengan tenang. Percayalah. 
Kau tidak mempunyai beban batin lagi. Karena, 
roh Gautama belum keluar. Dan mudah-mudahan 
tidak keluar. Ada pun mengenai peti mati Wirara- 
ja, biar aku yang mengurusnya," janji lelaki berpa- 
kaian merah. 

"Terima kasih, Sobat" 

Dan kepala Wara Kuri pun terkulai. Kakek 
ini meninggalkan dunia dengan hati belum tenang. 
Sambil menghembuskan napas berat, lelaki ber- 
pakaian merah itu bangkit. Kemudian kepalanya 
menoleh ke belakang, pada Arya dan Setiaji yang 
sejak tadi menyaksikan perdebatan. 

"Siapa kalian?! Apakah mempunyai hu- 
bungan dengan urusan yang tengah kami hada- 
pi?!" tanya lelaki berpakaian merah, penuh selidik. 

"Aku Arya, dan kawanku ini Setiaji," jawab 
Aiya, cepat 

"Gadis yang kau sebut sebagai Ambar, ada- 
lah bekas tunanganku. Sebelumnya, aku tidak ter- 
libat dalam urusan ini. Tapi, karena dia telah 
membunuh istriku dan melakukan kekejian den- 
gan membuntungi kakiku maka aku harus terlibat 
dalam urusan ini. Bahkan dia mengancam akan 
membinasakan ayahku. Hal inilah yang memba- 
waku kemari. Mudah-mudahan saja beliau belum 
mengalami kejadian yang ku khawatirkan." 

Lelaki berpakaian merah menghela napas 
berat 

"Lebih baik kalian urungkan niat kalau in- 
gin selamat. Mayat hidup itu tidak akan bisa di- 
tandingi. Dia memiliki kemampuan tak masuk ak- 
al. Bahkan aku pun tak yakin akan bisa menga- 
lahkannya. Meskipun demikian, tetap akan ku 
usahakan untuk melenyapkannya selama- 
lamanya." 

"Demikian pula denganku, Kek," timpal 
Arya, tenang. "Memang kuakui, Ambar memiliki 
kemampuan luar biasa. Tapi, kewajiban untuk 
mencegah terjadinya angkara murka di dunia per- 
silatan, membuatku tidak mempunyai alasan lain. 
Aku rela kehilangan nyawa untuk menegakkan 
keadilan," tandas Dewa Arak. 

"Begitu pula denganku!" sambut Setiaji 
mantap dan tegas. 

Lelaki berpakaian merah tersenyum lebar. 
Matanya menatap Arya dan Setiaji dengan sorot 
mata kagum. Dia tahu, tengah berhadapan dengan 
orang-orang muda berjiwa gagah dan tidak takut 
menghadapi kematian. 

"Kalian pemuda hebat! Pendekar-pendekar 
yang tidak mementingkan diri sendiri. Aku senang 
berkenalan dengan kalian. Namaku, Kerta Bumi. 
Nama yang tidak terkenal karena aku hanya seo- 
rang yang tinggal di gunung dan tidak pernah ber- 
kiprah dalam dunia persilatan. Sayang, karena 
keadaan yang tidak memungkinkan, aku tidak bi- 
sa berlama-lama bercakap-cakap dengan kalian. 
Aku harus pergi untuk mencegah terjadinya hal 
yang lebih mengerikan!" 

"Apa yang hendak kau lakukan, Kek?!" 
tanya Dewa Arak ingin tahu. 

"Mencegah ahli ilmu hitam yang kejam itu 
dalam memperbudak Ambar demi kepentingannya 
sendiri! Nah! Selamat tinggal!" 

Tanpa menunggu tanggapan Arya dan Se- 
tiap, Kerta Bumi melesat. Hanya dalam beberapa 
kali lesatan, tubuhnya telah berubah menjadi titik 
hitam yang semakin lama semakin kecil. Dan ak- 
hirnya, lenyap di kejauhan. 

"Mari, Arya. Kita harus bergegas. Aku kha- 
watir, Ambar akan tiba lebih dulu menjumpai 
ayahku." 

"Mudah-mudahan saja tidak, Setiaji. Bu- 
kankah dia tidak tahu tempat tinggal ayahmu se- 
karang? Akan makan banyak waktu baginya un- 
tuk menemukan ayahmu. Aku yakin, kita akan ti- 
ba lebih dulu darinya." 

Mulutnya berkata demikian, tapi Dewa 
Arak mengayunkan kaki juga meninggalkan tem- 
pat itu. Pemuda berambut putih keperakan ini me- 
lesat cepat, mengerahkan seluruh kemampuan- 
nya. 

"Ayah...!" 

Begitu melihat pondok kecil yang diketahui 
sebagai tempat tinggal ayahnya, Setiaji telah berte- 
riak keras. Meski Dewa Arak saat itu tengah mele- 
sat menuju ke tempat itu, lelaki yang sudah tidak 
sabar lagi langsung melompat dari atas pundak 
Arya. 

"Ayah...!" 

Setiaji kembali berseru tanpa menyembu- 
nyikan perasaan khawatirnya, begitu telah tiba di 
ambang pintu. Sementara Arya yang menyusul se- 
kejap kemudian, mengerutkan kening ketika meli- 
hat bagian dalam pondok yang porak-poranda ba- 
gai dilanda angin besar. Pemuda ini tahu, ada 
orang yang telah datang ke tempat ini dan menim- 
bulkan kerusakan. Mungkinkah Ambar?! 

Sedangkan Setiaji segera masuk ke dalam 
pondok, memeriksa setiap ruangan yang ada sam- 
bil berseru-seru memanggil ayahnya. Tapi sampai 
semua tempat dijelajahi, yang dicari tetap tidak di- 
temukan. 

"Ayahku tidak ada Arya," desah lelaki ber- 
pakaian kuning ini pada Arya yang menatap ke 
arahnya dengan sinar mata penuh pertanyaan. 

"Syukurlah. Itu berarti ayahmu selamat," 
sahut Arya, kalem. 

"Hm..., Atas dasar apa kau berani menga- 
takan demikian, Arya? Ketidakberadaan mayat 
ayahku di sini?! Tidakkah kau lihat keadaan yang 
berantakan?! Dari sini saja bisa diketahui ada 
orang yang telah datang ke tempat ini, dan mem- 
porak-porandakannya. Siapa lagi kalau bukan 
Ambar?! Aku yakin, ketidakberadaan mayat ayah- 
ku di sini, karena telah dibawa gadis liar itu untuk 
disiksa sebelum mati!" tandas Setiaji berapi-api. 

"Aku tidak yakin dengan tanggapanmu itu, 
Setiaji," Arya bersikeras dengan pendapatnya. "Ka- 


lau benar Ambar hendak menyiksanya untuk apa 
ayahmu dibawanya. Dan itu hanya menyusahkan 
diri. Aku lebih condong kalau dia menyiksa dan 
membunuhnya di tempat ini. Tapi, itu bila benar 
seperti yang kau duga." 

Arya dan Setiaji berbareng mengalihkan 
perhatian ke luar pondok, begitu terdengar bunyi 
langkah kaki berat yang mendekati tempat mereka 
berada. Dari sini bisa diduga kalau orang itu tidak 
memiliki ilmu meringankan tubuh. Andaikata 
punya paling hanya sekadarnya saja. 

Sungguh pun demikian, Setiaji dan Arya ti- 
dak kehilangan semangat untuk memeriksanya. 
Mereka cepat melesat ke depan. Dan hanya den- 
gan sekali lesatan, telah berada di depan pintu. 

Orang yang melangkah sampai terjingkat 
ke belakang bagai disengat binatang berbisa, keti- 
ka tahu-tahu dua sosok tubuh berada di depan- 
nya. 

"Paman Nanggal!" seru Setiaji gembira. 

Sapaan itu membuat seorang lelaki berusia 
sekitar empat puluh lima tahun wajahnya hitam 
kecoklatan tak mampu menutupi pucat pasinya. 
Yang semula kelihatan terkejut bukan main, jadi 
memperhatikan dua sosok di depannya. Dia mena- 
tap tak percaya pada sosok Setiaji yang mengelua- 
rkan teguran. 

"Kau...,kau..., Aden Setiaji...?!" tanya 
Nanggal setengah tidak percaya. 

Terutama sekali, ketika pandangannya ter- 
tumbuk pada sepasang kaki lelaki itu yang telah 
buntung. 

"Benar, Paman. Aku Setiaji. Bagaimana ka- 
barmu, Paman. Apakah baik-baik saja?! Di mana, 
Ayah?! Mengapa rumah ini demikian beranta- 
kan?!" tanya Setiaji bertubi-tubi. 

Wajah Nanggal berubah. Kelihatan bingung 
sekali. 

"Aku baik-baik saja, Den. Tapi, tidak demi- 
kian ayahmu. Beliau mempunyai nasib buruk se- 
perti juga kau. Ah, Den Setiaji. Apa yang telah ter- 
jadi atas dirimu?! Mengapa kedua kakimu bisa 
demikian, Den?!" 

"Nanti akan kuceritakan, apabila aku telah 
mempunyai kesempatan, Paman. Saat ini aku ten- 
gah tergesa-gesa. Aku tidak ingin sesuatu terjadi 
atas diri Ayah. Katakan, apa yang telah terjadi ter- 
• hadap ayahku, Paman Nanggal?!" 

"Kejadiannya belum lama terjadi, Den. 
Hanya berbeda waktu setengah hari denganmu. 
Iblis itu datang dan mencari ayahmu. Aku tidak 
tahu, apa yang terjadi sebelumnya. Karena aku ti- 
dak mau mencampuri urusan antara mereka. Tapi 
sesaat kemudian, kudengar bunyi ribut-ribut. Ter- 
nyata, ayahmu telah bertarung melawan iblis itu 
yang berkepandaian hebat sekali. Sebentar saja, 
ayahmu terdesak hebat Dan akhirnya, dia roboh. 
Kemudian, iblis itu membawanya. Aku takut seka- 
li, Den. Maka, aku bersembunyi. Aku baru keluar, 
ketika kudengar bunyi gaduh dari tempat ini lagi. 
Kukira, iblis itu datang lagi untuk membunuhku. 
Aku menjadi nekat, mendekati tempat ini. Dan 
aku telah siap menyabung nyawa. Tak tahunya, 
malah kau dan kawanmu ini yang datang. Ah! Be- 
tapa leganya hatiku, Den. Hanya saja...." 

"Bisa kau beritahukan padaku, bagaimana 
ciri-ciri iblis itu, Paman?!" selak Setiap tak saba- 
ran. "Apakah dia seorang wanita?!" 

"Benar, Den," Nanggal mengangguk. "Masih 
muda lagi...! Pakaiannya serba hitam. Tetapi sepa- 
sang matanya yang mengerikan membuatku ta- 
kut!" 

Setiaji dan Arya saling berpandangan. Da- 
lam adu tatap yang hanya sebentar, mereka sama- 
sama bisa menduga siapa orang yang membawa 
mayat ayahnya Setiaji. Iblis yang dimaksud Nang- 
gal itu adalah Ambar! 

"Kau tahu ke arah mana iblis itu memba- 
wanya lari, Paman?!" tanya Arya, tak sungkan- 
sungkan lagi menyapa seperti halnya Setiaji. 

Arya tahu, kalau Nanggal ini sebenarnya 
bukan Pamannya Setiaji. Melainkan, pembantu se- 
jak Setiaji kecil. 

Nanggal menggeleng. Setiaji dan Arya men- 
geluh dalam hati. Tanpa adanya petunjuk yang je- 
las, mereka akan kehilangan jejak Ambar. 

"Tapi, aku sempat mendengar ucapannya 
setelah iblis itu berhasil membunuh dan memba- 
wa ayahnya Den Setiaji. Di antara derai tawanya, 
iblis itu mengatakan kalau akan membawa ayah- 
mu pada ayahnya untuk mempertanggungjawab- 
kan tindakannya." 

Wajah Setiaji kontan berseri-seri. 

"Terima kasih, Paman." 

"Kau tahu, di mana tempat tinggal dua 
orang tua Ambar, Setiaji?!" tanya Arya. 

"Tentu saja! Mari kita ke sana!" 

Brukkk! 

Bunyi berdebuk nyaring yang menjadi per- 
tanda jatuhnya benda berat ke tanah, membuat 
seorang lelaki tinggi tegap berkumis melintang 
yang tengah bersemadi membuka matanya dengan 
sikap kaget. Lelaki yang telah berusia sekitar lima 
puluh lima tahun ini langsung melompat ke bela- 
kang, bersiap menghadapi sesuatu yang tidak di- 
inginkan. 

"Kaget, Ayah?!" 

Seruan melengking nyaring membuat lelaki 
berkumis melintang ini semakin kaget. Suara itu 
amat akrab di telinganya, sejak belasan tahun 
yang lalu. Suara yang selama ini dirindukannya. 
Pandangannya di arahkan pada sosok yang men- 
geluarkan seruan, setelah terlebih dulu menatap 
benda, yang menimbulkan bunyi gaduh tadi. 

Benda itu ternyata sosok manusia yang te- 
lah cukup dimakan usia. Bahkan ternyata dikenal 
baik oleh lelaki berkumis melintang ini. Maka un- 
tuk ketiga kalinya lelaki ini terperanjat. 

"Kau..., kau..., Ambar...?!" tanya lelaki ber- 
kumis melintang itu. Suaranya menyiratkan keti- 
dak-percayaan yang mendalam. Sepasang ma- 
tanya menelusuri sekujur tubuh gadis berpakaian 
hitam yang berdiri di hadapannya. 

"Ayah kira siapa?! Apakah Ayah mempu- 
nyai anak lagi selain aku..."! 

Sepasang mata lelaki berkumis melintang 
berkaca-kaca. Bibirnya pun bergetar keras. 

"Anakku..., Ambar.... Ah! Akhirnya kau 
kembali juga, Nak...?!" 

Lelaki ini bergerak menghampiri. Sementa- 
ra Ambar menghambur menubruk tubuh ayahnya 
dan membenamkan diri di pelukannya. Ayah dan 
anak ini saling rangkul. Hanya saja, bila lelaki 
berkumis melintang tampak terharu bukan main, 
Ambar biasa-biasa saja. Tetap dingin. 

Gadis ini diam saja ketika ayahnya sibuk 
memelukinya. Bahkan beberapa saat kemudian, 
tubuh lelaki tua itu didorongnya. Pelan tapi terasa. 

"Ah...! Apa yang terjadi denganmu Ambar?! 
Kau pergi demikian lama. Ayah berusaha menca- 
rimu ke mana-mana, tapi selalu gagal. Karena pu- 
tus asa, Ayah kembali kemari. Ayah pikir, apabila 
kau suatu saat merasa rindu pasti akan datang ke 
tempat ini. Kau tahu, hanya ini tempat tinggal ki- 
ta." 

"Aku datang kemari untuk memberi orang 
yang telah ingkar janji pada ayah. Barangkali saja 
Ayah ingin menghukumnya," Ambar mengalihkan 
persoalan. 

Lelaki berkumis melintang yang ternyata 
ayahnya Ambar menautkan alis. Sekarang dia ba- 
ru merasakan adanya kejanggalan ini. Tapi, dia ti- 
dak terlalu larut oleh perasaan kaget dan tidak 
percaya. Sehingga, tidak melihat adanya keane- 
han. Sekarang setelah perasaan-perasaan itu me- 
reda, baru terlihat jelas. 

"Apa maksudmu, Ambar?!" tanya lelaki 
berkumis melintang, belum mengerti permasala- 
han. 

Lelaki ini mengajukan pertanyaan sambil 
menatap wajah anaknya penuh selidik. Perasaan 
heran, takut, dan ngeri pun timbul. Ambar jauh 
berbeda dengan yang dulu. Kendati wajahnya ma- 
sih tetap cantik, tapi hiasan wajah menyiratkan 
kebengisan. Bahkan sepasang matanya meman- 
carkan sorot mengerikan. Lelaki tegap ini bergidik. 
Apa yang telah terjadi dengan putrinya? 




"Kurasa lebih baik Ayah periksa bangsat 
itu!" tuding Ambar pada sosok yang tadi dijatuh- 
kannya di depan ayahnya. 

Lelaki berkumis melintang semakin heran. 
Nada ucapan Ambar berbeda dengan yang dulu. 
Demikian kasar! Kendati demikian, keinginan agar 


tidak menimbulkan masalah di saat pertemuan 
yang seharusnya dirayakan dengan gembira, 
membuat dia mengikuti perintah putrinya. 

Tambah lagi, lelaki ini belum sempat mem- 
perhatikan lebih seksama sosok yang tadi mem- 
buat semadinya buyar. Lelaki ini merasakan jan- 
tungnya berdetak jauh lebih cepat ketika baru dis- 
adari kalau telinganya tadi tidak mampu menden- 
gar bunyi langkah Ambar. Bahkan kedatangannya 
pun sama sekali tidak diketahuinya, sampai gadis 
itu sendiri yang memberitahukan kedatangannya. 
Ini berarti, Ambar memiliki ilmu meringankan tu- 
buh luar biasa dahsyatnya! Sampai sedemikian 
tinggikah kemajuan yang didapat Ambar dalam 
waktu singkat? 

Dan pertanyaan dalam hatinya kontan 
membuyar ketika lelaki berkumis melintang ini 
mulai memperhatikan sosok yang berada di de- 
pannya dalam keadaan menelungkup. Bentuk tu- 
buh itu serasa dikenalnya. 

Perasaan itu, membuat lelaki ini mengge- 
rakkan kaki kanan ke tanah satu kali. Maka tu- 
buh yang tertelungkup segera terguling hingga 
menelentang. 

"Garuda Mata Emas...?!" desis lelaki ber- 
kumis melintang kaget, ketika mengenali sosok 
yang telentang. Seorang kakek kecil kurus, ber- 
muka merah dan bermata kuning. 

"Benar, Ayah," Ambar mengangguk. "Dia 
Garuda Mata Emas. Kawan Ayah yang telah bera- 
ni-beranian menghina keluarga kita, dengan men- 
gingkari janji yang telah dibuatnya sendiri." 

Lelaki berkumis melintang ini tertegun se- 
bentar. Pandangannya berganti-ganti menatap 
Ambar dan Garuda Mata Emas. Dia masih bin- 
gung, membayangkan mengapa Ambar bisa mem- 
bawa Garuda Mata Emas sebagai tawanan. Pa- 
dahal lelaki ini tahu betul, siapa Garuda Mata 
Emas. Seorang tokoh golongan putih yang memili- 
ki kepandaian tinggi. Bahkan hatinya tidak yakin 
mampu mengalahkan kakek bermata kuning itu. 
Lalu, bagaimana caranya Ambar bisa menjadikan- 
nya sebagai tawanan?! Mungkinkah Ambar telah 
memiliki kepandaian lebih tinggi daripada Garuda 
Mata Emas?! Tapi, mungkinkah itu?! Rasanya 
mustahil! 

"Bagaimana, Ayah? Mengapa Ayah malah 
tercenung? Tidak senangkah Ayah akan tindakan- 
ku ini? Aku sengaja membawa si keparat ini ke- 
mari agar Ayah sendiri yang memberi hukuman 
padanya," tegur Ambar membuat pertanyaan di 
hati laki-laki itu buyar. 

Lelaki berkumis melintang bergidik. Dira- 
sakannya ada nada dingin dalam kata-kata Am- 
bar. Sebagai orang yang telah lama berkecimpung 
dalam dunia persilatan, dia tahu kalau nada se- 
perti itu biasa keluar dari mulut orang-orang go- 
longan hitam. Orang-orang yang telah kehilangan 
perasaannya. Hal ini membuatnya semakin heran. 
Apa yang telah terjadi dengan putrinya hingga 
sampai seperti ini? 

Lelaki berkumis melintang mulai memper- 
hatikan lebih jauh. Dan dia pun mulai menemu- 
kan keanehan lain. Wajah Ambar tampak pucat 
dan dingin, sehingga kelihatan menyeramkan. 
Apalagi, jika ditambah sepasang mata yang memi- 
liki sorot aneh mengerikan. Seketika bulu kuduk- 
nya meremang berdiri. 

"Berilah keputusan, Ayah. Atau, Ayah me- 
nyerahkan hukuman itu padaku?! Jangan khawa- 
tir, Ayah. Aku akan memberi siksaan yang akan 
membuat tua bangka itu menyesal!" kata Ambar 
lagi dengan nada tidak sabar melihat ayahnya be- 
lum juga memberi tanggapan. 

"Omongan macam apa itu, Ambar?!" 

Kemarahan lelaki berkumis melintang ini 
akhirnya meledak. 

"Kau terlalu buta oleh dendam dan sakit 
hati! Itulah sebabnya, kau tidak bisa membedakan 
mana yang benar dan mana yang salah! Dendam 
membuatmu kurang ajar dan lancang! Justru kau- 
lah yang akan ku hukum atas hinaan-hinaan yang 
kau lontarkan pada Garuda Mata Emas!" dengus 
• laki-laki ini. 

Sepasang mata Ambar kontan berkilat- 
kilat. Sinarnya mulai bersemu kehijauan. Ayahnya 
sampai tercekat melihat hal ini. 

"Keanehan apa lagi yang akan kulihat?" ba- 
tin lelaki ini berbicara. 

Namun dengan cepat, lelaki ini menghi- 
langkan rasa aneh yang dialami. 

"Kau tahu, Ambar. Garuda Mata Emas ti- 
dak bersalah! Dia telah berusaha semampunya 
agar janjinya bisa terwujud. Tapi, Setiaji, calon jo- 
dohmu itu tetap berkeras dengan penolakannya. 
Bahkan dia rela diancam untuk tidak diakui seba- 
gai anak! Garuda Mata Emas tak kalah menderita 
daripada kita, Ambar. Dia malu karena tak bisa 
memenuhi janji. Bahkan sampai kehilangan seo- 
rang anak. Penderitaan batinnya berat. Dan seka- 
rang, kau masih hendak menghukumnya?! Kau 
pun telah dengan lancang memaki-makinya! Be- 
baskan dia, Ambar. Dan kau pun harus minta 
maaf padanya." 

Tanpa menyahuti, Ambar segera berbalik. 
Pandangannya ditujukan pada sebuah batu di luar 
rumah. Lalu... 

Blarrr! 

Sebongkah batu sebesar gajah yang berada 
empat tombak di sebelah kiri depan Ambar hancur 
lebur. Ternyata sinar hijau dari mata gadis itu 
menerpanya. Ambar yang tidak bisa lagi menahan 
amarahnya, menujukan sinar hijau itu pada batu 
untuk melampiaskan amarahnya. 

Lelaki berkumis melintang sampai terjing- 
kat kaget melihat hal ini. Apa yang dilihat, baru 
pertama kali dalam hidupnya. Belum pernah ada 
tokoh persilatan yang sakti bagaimanapun, mam- 
pu menghancurkan batu besar dengan sinar dari 
• mata! Tapi, kenyataannya Ambar mampu melaku- 
kannya! 

"Mungkin perlu kuberitahukan padamu, 
Ayah. Kedatanganku kemari bukan meminta nasi- 
hat. Apalagi, ceramahmu. Aku datang untuk me- 
nyerahkan keparat yang telah ingkar janji ini pada 
Ayah. Dan kau harus menghukumnya. Kalau kau 
tidak bersedia, biar aku yang akan melakukan- 
nya." 

"Tidak, Ambar!" cegah lelaki berkumis me- 
lintang tegas, seraya berdiri di antara Ambar dan 
tubuh Garuda Mata Emas. "Tak akan kubiarkan 
kau melakukan tindakan tersesat itu! Sebelum 
kau membunuh Garuda Mata Emas, kau harus 
melangkahi mayatku dulu!" 

Ambar mundur selangkah. Tanggapan 
ayahnya benar-benar di luar dugaannya. Semula 
dikiranya, ayahnya akan dengan senang melaku- 
kan tindakan untuk membalas sakit hati. Nya- 
tanya, Ambar kecele! 

Ambar memang telah menjadi mayat hi- 
dup. Tapi rasa hormat terhadap ayahnya di saat 
masih hidup, ternyata tidak sirna. Oleh karena itu, 
tantangan lelaki berkumis melintang membuatnya 
bingung. 

"Mengapa mundur?! Bukankah sekarang 
kau telah menjadi orang sakti?! Mengapa takut?! 
Ayo maju! Bunuh aku!" 

Lelaki berkumis melintang malah mende- 
sak-desak. Dia terus melangkah maju. Tindakan 
ini memaksa Ambar untuk mundur terus. 

"Ha ha ha...!" 

Terdengar bunyi tawa bergelak. Mendadak 
di saat Ambar terus mundur. Sementara, ayahnya 
terus maju mendesak. 

Ambar dan ayahnya terkejut. Hampir ber- 
* bareng, keduanya menoleh ke arah asal suara. Di 
sana telah berdiri seorang kakek kecil kurus ber- 
jenggot panjang. Tangan kanannya buntung mulai 
dari pergelangan. 

"Diam kau...!" Lelaki berkumis melintang 
membentak. "Segera tinggalkan tempat ini, Sobat. 
Tidak pantas mencampuri urusan antara seorang 
ayah dan anaknya!" 

Kakek berjenggot panjang tertawa bergelak. 

"Sudah mau mampus masih banyak lagak! 
Ambar! Bunuh dia...!" 

Ambar yang sejak kedatangan kakek ber- 
jenggot panjang itu menatap dengan sinar mata 
penuh dendam, tubuhnya langsung tersentak ke- 
tika mendengar kata-kata si kakek. Perhatiannya 
terkesima bagai patung batu. Tapi, hanya sebentar 
saja. 

Kini Ambar menatap ayahnya. 

"Ayah, cepat tinggalkan tempat ini! Cepat, 
sebelum terlambat!" seru Ambar. Tiba-tiba timbul 
rasa kekhawatiran di hatinya. 

Lelaki berkumis melintang membaui 
adanya bahaya. Dia tahu, pasti ada hubungannya 
dengan kedatangan kakek berjenggot panjang ini. 
Maka setelah menatap kakek itu dan Ambar ber- 
ganti-ganti 

"Heaaa...!" 

Ayah Ambar berteriak keras laksana bina- 
tang buas terluka. Kemudian dia melompat mener- 
jang. 

"Ambar...! Cegah dia! Bunuh..,!" 

Kakek berjenggot panjang berteriak dengan 
suara mengandung getaran kuat. 

Ambar yang sejak tadi merasa khawatir, 
sekujur tubuhnya tiba-tiba menjadi bergetar. Lalu 
dengan geraman keras, tangan kanannya dijulur- 
* kan seperti karet hingga panjangnya dua kali lipat. 
Arah yang dituju adalah ayahnya. 

Tappp! 

Lelaki berkumis melintang tercekat hatinya 
ketika pergelangan kakinya yang sebelah kiri tera- 
sa ada yang menangkap. Hal ini membuat lompa- 
tannya terhenti di tengah jalan. 

Bresss! 

Tanpa memberi kesempatan lagi, Ambar 
langsung membanting tubuh ayahnya 

Bantingan yang keras, membuat sekujur 
tulang-belulang lelaki berkumis melintang itu te- 
rasa bagai rontok. Saat itu, Ambar yang telah be- 
rada dalam pengaruh kakek berjenggot panjang 
mengirimkan serangan maut dengan mempergu- 
nakan matanya. 

Namun belum sempat sinar itu menghan- 
tam, tubuh ayahnya Ambar tahu-tahu bergerak 
bagai ditarik sesuatu yang tak nampak. 

Blarrr! 

Tanah tempat kakek berkumis melintang 
tadi ambrol ketika sinar hijau itu menghantam. 

"Ambar...! Kau benar-benar anak durha- 
ka...!" seru sesosok bayangan. 

Ambar menggeram keras penuh kemarahan  
melihat campur tangan dua sosok yang telah 
menolong ayahnya. Yang seorang duduk di pun- 
dak seorang pemuda berambut putih keperakan. 
Dan mereka tak lain dari Dewa Arak dan Setiaji! 

Baru saja Setiaji membentak, kembali 
membersit sinar hijau dari mata Ambar. Sasaran- 
nya, jelas dia dan Dewa Arak. 

"Awas, Arya...!" seru Setiaji memperin- 
gatkan. 

Dewa Arak yang telah mengetahui kedah- 
syatan dua larik sinar itu tidak berani bertindak 
gegabah. Maka cepat dia melompat menghinda- 
rinya. 

Ambar merasa geram bukan kepalang keti- 
ka melihat serangannya gagal menemui sasaran. 
Segera disusulinya dengan serangan berikut seca- 
ra bertubi-tubi. Maka, Dewa Arak pun dibuat si- 
buk bukan main. Tubuhnya berlompatan ke sana 
kemari untuk menyelamatkan diri. 

Cukup menarik gerakan-gerakan Dewa 
Arak. Dia seperti bermain-main dalam menghinda- 
ri sinar-sinar hijau yang berasal dari sepasang ma- 
ta Ambar. Terlambat sedikit untuk mengelak, be- 
rarti maut 

"Gautama...!" 

Di antara sibuknya pertarungan yang ter- 
jadi antara Dewa Arak dengan Ambar, terdengar 
panggilan. Tidak keras, tapi mampu mengatasi ke- 
riuh-rendahan yang ada. 

Aneh! Ambar tiba-tiba menghentikan se- 
rangannya. Kepalanya cepat menoleh ke arah asal 
suara sapaan. 

Arya dan Setiaji yang ikut menoleh juga, 
tercekat hatinya ketika melihat ke arah asal suara. 
Mereka melihat satu sosok dengan sekujur tubuh- 
nya telah rusak dan tidak bisa dikenali. Bau bu- 
suk yang menyengat hidung menjadi pertanda ka- 
lau sosok ini adalah mayat hidup. Bahkan sempat, 
beberapa ekor belatung menggeliat-geliat di bebe- 
rapa bagian tubuh sosok yang telah rusak itu 

"Ayah...." 

Terdengar suara serak dan parau, yang 
ternyata berasal dari mulut Ambar. Sebuah suara 
yang pantas dikeluarkan seorang lelaki. 

Sementara itu kakek berwajah kuning yang 
memiliki jenggot panjang kelihatan gelisah bukan 
main. Dia mulai membaui adanya hal-hal yang ti- 
• dak beres. Menurutnya mayat hidup yang baru da- 
tang ini, bisa membuat segalanya menjadi kacau. 

Di lain pihak, Setiaji dan Arya memperha- 
tikan penuh rasa tertarik. Mereka agak heran dan 
bingung melihat perkembangan yang tidak dis- 
angka-sangka. Mengapa Ambar disapa dengan 
nama Gautama? Dan anehnya, mengapa gadis itu 
menyapa mayat hidup yang baru datang ini seba- 
gai ayah? 

Arya yang cerdik langsung teringat cerita 
Wara Kuri. Gautama yang dimaksud mayat hidup 
yang sekujur tubuhnya telah hancur ini, pasti 
Tuan Muda Gautama. Dan berarti mayat hidup ini 
yang tiba-tiba muncul adalah Tuan Besar Wirara- 
ja? Yang menjadi pertanyaan, mengapa Ambar ta- 
hu-tahu bertindak sebagai Gautama? 

Sementara itu, kakek berjenggot panjang 
yang melihat adanya ancaman terhadap keberha- 
silan usahanya, tidak membuang-buang waktu la- 
gi. Sambil mengeluarkan teriakan keras menggele- 
gar, diterkamnya mayat hidup yang diduga Tuan 
Besar Wiraraja. 

"Gautama, cepat bertindak. Tunggu apa 
lag!?! Cepat! Ini kesempatan terakhir! Atau..., kau 
ingin rohmu menderita selamanya?!" ujar mayat 
hidup yang telah membusuk itu lagi. 

Ambar yang dipanggil Gautama, bergetar 
sekujur tubuhnya seperti terkena demam tinggi. 
Jelas, kata-kata mayat yang telah membusuk itu 
mempunyai pengaruh besar terhadapnya. 

Beberapa saat sebelum serangan kakek 
berjenggot panjang yang berupa babatan golok be- 
sar ke arah leher mencapai sasaran, Ambar ber- 
tindak cepat menggiriskan. Langsung dikirimnya 
serangan berupa dua larik sinar hijau ke arah ka- 
kek berjenggot panjang. Keberadaan tubuhnya di 
« udara, dan tidak adanya tempat berpijak, yang 
membuat serangan Ambar tidak bisa dielakkan- 
nya. 

Wesss...! Crasss! 

"Aaaa...!" 

Terdengar jeritan menyayat ketika tubuh 
kakek berjenggot panjang hancur lebur terterpa 
sinar hijau. Kepingan tubuhnya yang berceceran 
jatuh di muka bumi. Mati. 

"Sekarang, kembalilah ke tempatmu semu- 
la berada, Gautama," ujar mayat hidup itu lagi. 

"Baik, Ayah," sahut roh Gautama yang ti- 
dak mempunyai pilihan lain lagi, karena takut 
dengan ancaman hukuman yang dijatuhkan pa- 
danya. 

Sekejap kemudian, dari atas kepala Ambar 
melesat cepat sinar berwarna terang kekuningan 
ke udara kemudian lenyap. 

Saat yang tepat, mayat hidup yang dikenal 
sebagai Tuan Besar Wiraraja bertindak cepat. Di- 
ambilnya sebatang pisau dari selipan pinggangnya. 
Kemudian, senjata tajam itu dilemparkan ke arah 
Ambar yang masih berdiam diri. 

Settt! 

Dewa Arak dan Setiaji kaget bukan main. 


Mereka ingin berbuat sesuatu untuk mencegah, 
tapi tidak sempat yang dapat dilakukan hanya 
menatap dengan mata terbelalak lebar. Dan.... 

Crapp! 

"Aaakh...!" 

Ambar yang masih berdiri di tempatnya ba- 
gai patung, menjerit tertahan ketika pisau me- 
nembus dada kirinya, tepat menusuk jantung. Se- 
telah menggigil sejenak, tubuhnya roboh ke tanah 
seperti sehelai karung basah dengan mata melolot. 
Tewas untuk yang kedua kalinya. 

"Ambar...!" 

Lelaki berkumis melintang yang juga ayah- 
nya Ambar menghambur sambil menjerit memilu- 
kan. 

"Ayah...!" 

Setiaji juga ikut menghambur. Hanya saja 
tujuannya ke arah Garuda Mata Emas. 

Sedangkan Arya menatap mayat hidup 
pembunuh Ambar. Sikapnya siap tarung. 

"Masalah sudah selesai, Arya. Ingat! Aku 
adalah lelaki berpakaian merah. Terpaksa rohku 
kulepas dan masuk ke dalam mayat Tuan Wiraraja 
untuk membereskan keangkaramurkaan ini," jelas 
mayat hidup yang telah membusuk itu. 

"Bukankah katamu yang merajalela me- 
nyebar maut adalah Ambar yang akan dijadikan 
budak oleh seorang ahli ilmu hitam?!" desak Arya, 
ingin tahu. 

"Benar. Dan orang yang mati hancur itu 
adalah ahli ilmu hitam yang ku maksud. Dia ber- 
juluk Iblis Pemuja Setan. Niat jahatnya iblis itu ti- 
dak berhasil baik. Bahkan menjadi bumerang buat 
dirinya sendiri. Itu karena kelalaiannya. Dia tidak 
tahu kalau di samping roh Ambar, masih ada roh 
Gautama. Dan roh Gautamalah yang menyebab- 
kan Ambar bangkit kembali lebih cepat dari seha- 
rusnya. Meski demikian, roh Ambar tetap berkua- 
sa. Apalagi, Gautama juga tidak ingin menyeraka- 
hi tempat yang bukan miliknya." 

"Sekarang aku mengerti," kata Arya sambil 
mengangguk. "Ambar yang memang sudah dipatok 
oleh Iblis Pemuja Setan untuk menjadi budaknya, 
tidak bisa menolak. Maka, kau tadi mengancam 
roh Gautama yang tidak berada di bawah penga- 
ruh ahli ilmu hitam itu. Dan juga, kekuatan roh 
Gautama cukup dahsyat. Sewaktu roh Gautama 
* pergi, roh Ambar masih belum pulih kesadaran- 
nya. Saat itulah kau bertindak. Luar biasa! Kau 
memang hebat, Sobat" 

"Terima kasih atas pujiannya. Meski demi- 
kian, tanpa bantuanmu mana mungkin aku bisa 
berhasil?!" 

Usai berkata demikian, mayat hidup Tuan 
Wiraraja mengalihkan perhatian ke arah lain. 
Tampak Setiaji dan lelaki berkumis melintang ten- 
gah sibuk dengan urusan masing-masing. 


SELESAI 
Ikuti episode selanjutnya
Iblis Buta