Dewa Arak 82 - Lorong Batas Dunia



"Benarkah apa yang kulihat ini?!" 

Pertanyaan itu dilontarkan Begawan Narasoma dengan suara bergetar. Pandang 
matanya tidak beralih dari langit yang berwarna kuning emas. 

"Apakah aku tengah bermimpi?!" 

Lagi-lagi pertanyaan yang mengandung ketidakpercayaan keluar dari mulut Begawan 
Narasoma. Dirgantara dan Tulini masih terkesima menatap pemandangan menakjubkan itu. 

"Tidak, Kak Nara," Tulini memberikan tanggapan. Kepalanya menggeleng tanpa 
melepaskan perhatian dari langit. 

"Benar, Ayah." Dirgantara menimpali. "Ayah tidak bermimpi. Apa yang kita lihat itu 
benar-benar leijadi." 

"Ular Emas telah keluar ke dunia ramai, Kak Nara. Ular yang akan membuat Telur 
Elang Perak kehilangan kemampuannya," sambung Tulini. 

"Kalian benar." Begawan Narasoma mengangguk-angguk "Alangkah adilnya Yang 
Maha Kuasa. Begitu Telur Elang Perak terjatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung 
jawab, Ular Emas dikeluarkan dari alamnya." 

"Dapatkah Ayah mencari di mana Ulas Emas itu keluar?" tanya Dirgantara penuh 
minat. 

"Entahlah, Dirga." Begawan Narasoma menghela napas berat. "Aku tidak yakin. 
Apalagi keadaanku sekarang tidak mengizinkan." 

"Tapi, tidak ada salahnya kau mencoba, Kak Nara?" desak Tulini. "Barangkali sudah 
menjadi garis Dirgantara anugerah ini." 

"Akan kucoba, Tulini. Tapi, ingat! Aku tidak berani memastikan usahaku akan 
berhasil. Kalian jangan terlalu berharap." 

Tulini tersenyum gembira. Demikian pula Dirgantara. Tulini yakin suaminya akan 
berhasil. Dia tahu betul kesaktian kakek berpakaian putih ini. Terutama dalam hal ilmu 
gaib. Maka, perkataan Begawan Narasoma yang terakhir tidak diperhatikannya. 

"Ayah, apakah cerita tentang Ular Emas dan mustikanya ini banyak diketahui 
orang?" 

Tulini menatap Begawan Narasoma dengan hati kaget. Pertanyaan Dirgantara 
menimbulkan kekhawatiran dalam hatinya. Kalau banyak orang yang tahu, mereka pasti 
akan melakukan pencarian. Ini berarti banyak saingan. Kemungkinan Dirgantara 
mendapatkan Mustika Ular Emas menjadi kecil. 

Begawan Narasoma tidak segera menjawab. Dia tercenung beberapa saat. Dirgantara 
dan Tulini hampir kehilangan kesabaran. 

"Kalau menurut pendapatku, jarang bahkan hampir tidak ada orang yang 
mengetahui cerita mengpnai Ular Emas. Tapi, perlu kalian sadari, peristiwa langit berwarna 
kuning emas ini terlalu menyolok. Aku yakin ini akan berakibat panjang. Tokoh-tokoh 
persilatan pasti akan mencari tahu mengapa alam menjadi seperti ini. Bila itu terjadi, apalagi 
sampai tokoh-tokoh ahli kebatinan turun tangan, aku yakin masalah Ular Emas ini 
terungkap." 

"Kita harus bertindak cepat, Kak Nara. Mumpung tokoh-tokoh lainnya belum tahu. 
Kau yang menjadi andalan kami, Kak Nara. Hanya kau yang bisa melacak di mana 
munculnya binatang ajaib itu." 

Begawan Narasoma tersenyum getir. Ucapan Tulini tidak salah. Tapi, dia sudah tidak 
berhasrat lagi ikut campur dalam urusan seperti ini. Kalau saja tidak ada Dirgantara amat 
menginginkan pusaka itu, mungkin dia akan lepas tangan. 

"Mari kita cari tempat untuk menyembuhkan lukaku dan mencari tahu di mana 
adanya ular itu. Aku punya firasat tempat ini sudah tidak aman lagi." 

"Pindah ke mana, Kak Nara?" 

"Aku pun belum tahu, Tulini. Yang jelas pindah dari sini. Aku merasa tidak enak. Aku 
yakin ada bahaya besar tengah mengancam. Sayang, aku tidak tahu!" 

Dirgantara bingung. Tapi, tidak demikian dengan Tulini. Wanita ini tahu betul siapa 
Begawan Narasoma. Kakek itu mempunyai indera keenam yang sangat tajam. Tanpa 
membuang-buang waktu lagi dibopongnya tubuh Begawan Narasoma. 

"Mari, Dirga. Cepat..!" Tulini melesat cepat meninggalkan tempat itu. 

Dirgantara tidak mempunyai kesempatan untuk menanggapi ucapan ibunya. Dia 
pun melesat mengikuti wanita itu. 

"Aiya...! Lihat...!" 

Aiya yang tengah berlari di sebelah Linggar mengarahkan pandangan ke arah yang 
ditunjuk gadis berpakaian hitam itu. Sepasang mata Aiya membelalak seperti halnya 
Linggar. Pemuda berambut putih keperakan ini memperlambat larinya. Linggar mengikuti. 

"Apa yang terjadi, Aiya? Mengapa langit berwarna keemasan?" 

"Aku tidak mengerti, Linggar. Tapi, aku merasa tidak enak. Sepertinya akan teijadi 
sesuatu yang mengeramkan," jawab Aiya sungguh-sungguh. 

Pemuda berambut putih keperakan ini memang mempunyai naluri tajam. Dia bisa 
tahu bila bahaya mengancam dirinya. Keistimewaan itu didapatnya setelah belalang raksasa 
dari alam gaib beberapa kali masuk ke dalam dirinya. (Untuk jelasnya mengenai belalang 
raksasa, silakan baca episode: "Dalam Cengkeraman Biang Iblis"). 

"Bahaya menyeramkan? Bahaya apa itu, Aiya?" tanya Linggar, penuh rasa ingin 
tahu. 

"Aku tidak tahu, Linggar. Tapi, aku yakin betul hal itu. Perasaan ini tidak pernah 
menipuku." Aiya mengedarkan pandangan ke sana kemari. Urat-urat sarafnya menegang 
Siap menghadapi segala kemungkinan. 

"Bagaimana dengan maksud kita untuk menemui Begawan Narasoma alias Iblis 
Buta?" Linggar mengingatkan Aiya akan tujuan meieka. 

"Kurasa hal itu bisa diurus belakangan, Linggar. Aku yakin dia sudah tidak 
berada di tempatnya." 

"Apakah ini ada hubungannya dengan warna langit itu?" 

"Aku tidak tahu. Menurut pendapatku, mungkin ada hubungannya. Tak mungkin 
alam menunjukkan tanda-tanda aneh kalau tidak akan teijadi sesuatu yang luar biasa," 
jelas Aiya. Linggar diam. Gadis ini merasakan adanya kebenaran dalam ucapan pemuda 
berambut putih keperakan itu. 

"Terserah kau saja, Aiya. Aku hanya mengikuti. " Gadis berpakaian hitam ini 
tersenyum manis. 

Jawaban Linggar langsung mendapat tanggapan Aiya. Larinya dipercepat, Linggar 
melakukan halyangsama. Muda-mudi ini bagaikan dua sosok bayangan berkejaran menuju 
kaki gunung. 

Kekhawatiran Aiya ternyata beralasan. Begitu mereka hampir tiba di kaki gunung, 
bumi yang dipijak bergetar. Semakin lama semakin keras. 

"Apa yang teijadi, Aiya?!" Linggar terkejut. Wajah gadis itu tampak sedikit pias. 

"Entahlah, Linggar. Mungkin gunung ini hendak meletus! Tidakkah kau lihat 
keriuhan di sana. Binatang berbondong-bondong menuju kaki gunung." Wajah Aiya juga 
memperlihatkan 1$ tegangan 

Linggar tidak memberikan sambutan. Membayangkan gunung meletus membuat 
nyali gadis ini ciut. Rasa takut dan cemas mendera hatinya. Perasaan itu mendorongnya 
ingin berlari secepat mungjrin agar bisa berada sejauh-jauhnya dari tempat ini. 

Tiba-tiba, terdengar bunyi menggelegar. Aiya maupun Linggar merasakan tanah yang 
mereka pijak bergetar cepat. Tubuh keduanya terlempar jauh 1$ atas. 

Beruntung mereka memiliki ketenangan yang cukup. Itu pulalah yang 
menyelamatkan nyawa orang-orang muda ini. Keduanya bersalto beberapa kali untuk 
mematahkan kekuatan yang membuat lubuh mereka terlontar. Sesaat kemudian, keduanya 
menjejak tanah dengan mantap. 

Keberhasilan tindakan mereka tidak membuat bahaya yang mengancam lenyap. 
Bunyi menggelegar yang ternyata berasal dari gunung meletus membuat keadaan di sekitar 
tempat itu bagai kiamat! 

Batu-batu besar dan kecil saling berlomba menggelinding ke kaki gunung. Di 
belakangnya mengalir lava panas bagai tangan-tangan maut. Menghanguskan apa saja yang 
dilandanya. Aiya dan Linggar berusaha sekuat tenaga menyelamatkan selembar nyawa. 
Dengan susah payah akhirnya meieka berhasil menjauhi tempat itu. Keduanya terus berlari 
kencang. Baru ketika berada di tempat yang dirasa aman mereka menghentikan langkah dan 
berbalik memperhatikan gunung yang tadi mereka pijak. Wajah mereka tampak diliputi 
kengerian. 

Penunggang kuda berpakaian coklat itu memacu binatang tunggangannya bagai 
dikejar setan. Jalan berbatu yang menanjak tidak membuatnya memperlambat kecepatan 
kuda. Terpaan angin kencang mengibarkan rambut dan pakaiannya. Panas menyengat dari 
sang suiya berada tepat di atas kepala. 

"Uh...!" 

Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda itu mengeluarkan keluhan kaget. 
Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi berdesing nyaring. Dia melihat beberapa 
batang anak panah meluncur ke arahnya dengan kecepatan tinggi. 

Si pemuda melompat dari punggung kuda seraya menggebah binatang 
tunggangannya. Bersamaan dengan tubuhnya yang melayang ke atas, kuda hitam itu 
melesat 1$ depan. Tindakan pemuda itu membuat anak-anak panah meluncur lewat di 
bawah kakinya. 

Pemuda berpakaian coklat bersalto ke depan beberapa kali dan mendarat di 
punggung kuda hitamnya yang masih terus berlari. Bagai tidak teijadi perisriwa apa pun, 
digepraknya tali kekang hingga kuda hitam itu berlari semakin cepat 

Baru beberapa tombak terdengar bunyi bergemuruh dari tempat yang tengah dituju 
si pemuda. Wajah pemuda berpakaian coklat berubah hebat. Dia bisa memperkirakan apa 
yang tengah teijadi. 

Kuda hitam itu pun demikian. Nalurinya memperingatkan adanya bahaya 
mengancam. Binatang ini menghentikan lari dan meringkik keras-keras. Kedua kaki 
depannya diangkat tinggi ke udara. 

Pemuda berpakaian coklat mengerti maksud binatang tunggangannya. Kuda itu 
gelisah dan ingin melemparkan tuannya dari punggung, lalu dia berlari meninggalkan 
tempat itu untuk mencari selamat 

Si pemuda tidak menginginkan hal itu teijadi. Ditepuk-tepuknya leher dan punggung 
binatang itu untuk menenangkannya. Tapi, kuda hitam ternyata telah benar-benar 
ketakutan. Usaha yang dilakukan pemuda berpakaian coklat sia-sia. Kuda hitam terus 
meringkik, kalap. Bahkan sekarang melonjak-lonjak tak karuan. Tapi, usaha kuda hitam 
tidak membuahkan hasil. Pemuda berpakaian coklat bagai lintah, melekat erat di 
punggungnya. Betapapun punggungnya telah dilekukkan sedemikian rupa tetap saja tubuh 
si pemuda tidak terlontar. Saat itulah batu-batu sebesar kerbau muncul. Tidak hanya satu. 
Tapi beberapa buah. Yang paling kecil mempunyai ukuran sebesar kambing. 

Kuda hitam semakin kalap. Binatang itu menggulingkan tubuhnya. Pemuda 
berpakaian coklat terperanjat. Tubuhnya akan tertindih dan terus terguling. Si pemuda 
tentu saja tidak menginginkan itu teijadi. Di saat kuda hitam baru memiringkan tubuh 
pemuda berpakaian coklat mengerahkan tenaga untuk menahan. Sementara baru sebesar 
kerbau yang lebih dulu meluncur akan menabrak kuda hitam berikut penunggangnya. 
Pemuda berpakaian coklat mengeluarkan pekikan nyaring. Wajahnya menegang. Sesaat 
kemudian, tubuh kuda hitam terangkat ke udara. Si pemuda menjepit perut kuda dengan 
kedua kakinya. 

Kuda hitam terangkat dari tanah tak kurang dari satu tombak. Batu sebesar kerbau 
meluncur lewat di bawahnya. Demikian pula dengan batu-batu lainnya. Kuda hitamitu baru 
menjejak tanah dengan keempat kakinya ketika luncuran batu-batu telah usai. 

"Wahai orang yang berada di atas! Tahan serangan...! Aku datang tidak dengan 
maksud jahat..." Pemuda berpakaian coklat berteriak, keras. Kemudian hening sejenak 
setelah si pemuda mengeluarkan seruan. Pemuda itu tidak memacu kudanya lagi. Dalam 
keadaan masih duduk di atas punggung kuda, dia mengedarkan pandangan ke depan. 

"Kalau kau memang tidak berniat jahat, kami sarankan untuk meninggalkan tempat 
ini!" sambut sebuah suara dari bagian atas bukit tempat pemuda berpakaian coklat berada. 
Bagian itu terlindung gundukan baru yang agak besar. 

"Aku tidak bisa memenuhi permintaan itu!" lantang jawaban pemuda berpakaian 
coklat. "Aku mempunyai urusan penting. Karena itu, aku berada di tempat ini!" 

"Kami ulangi peringatan kami...! Kalau kau memang mempunyai kepentingan, harap 
tunda dulu sehingga beberapa hari. Kalau tidak, kau terpaksa akan berhadapan dengan 
kami!" timpal suara dari balik gundukan baru. 

"Urusanku ini tidak bisa ditunda! Aku tidak ingin perjalananku sia-sia!" 
Pemuda berpakaian coklat memperkeras suaranya. "Apakah kalian prajurit-prajurit 
kerajaan...?" 

Tidak ada tanggapan. 

"Ketahuilah, kedatanganku kemari menyangkut keselamatan Panglima Anggar Bayu! 
Ada seorang sakti yang dendam terhadapnya. Ia akan melakukan pembalasan. Kuharap 
kalian bersedia memberitahukan dan memintanya untuk meninggalkan tempat ini sesegera 
mungkin!" Si pemuda menyambung ucapannya. Dia yakin ucapannya di dengarkan kendati 
tidak diterimanya sambutan dari atas. 

Kembali suasana menjadi hening ketika pemuda berpakaian coklat menyelesaikan 
perkataannya. Sesaat kemudian, sebelum pemuda berpakaian coklat kehilangan kesabaran 
itu bergerak ke atas, pendengarannya yang tajam menangkap bunyi gerakan. Ia segera 
mengurungkan maksudnya. 

Sekejap kemudian dua sosok tubuh muncul. Mereka mengenakan seragam pasukan 
kerajaan. 

Yang seorang bertubuh pendek kekar, sedang yang lain tinggi kurus. Di tangan 
kedua prajurit ini tergenggam tombak panjang. 

"Siapa kau, Anak Muda? Apa maksud ucapanmu tadi? Kami tidak mengprti!" Prajurit 
tinggi kurus mengernyitkan dahi seperti orang kebingungan. 

"Sikap kalian untuk merahasiakan keberadaan Panglima Anggar Bayu di sini 
memang bagus. Tapi, terhadapku kalian tidak perlu bermain sandiwara. Masalah ini sangat 
penting. Harap kalian beritahukan kedatanganku. Katakan saja adik seperguruannya, I 
Made Sangkara murid Eyang Brihaspati, datang menjenguknya," beritahu pemuda 
berpakaian coklat, buru-buru. 

Prajurit tinggi kurus saling berpandangan dengan rekannya. Nama Eyang Brihaspati 
memang telah mereka dengar dari Panglima Anggar Bayu. Beliau adalah guru dari panglima 
mereka. Panglima Anggar Bayu sedang berada di tempat ini untuk berburu macan putih. 

"Tunggu apa lagi? Cepat sampaikan kedatanganku sebelum semuanya terlambat dan 
kalian akan menyesal!" desak I Made Sangkara 

Melihat sikap 1 Made Sangkara yang ke lihatan bersungguh-sungguh dan penuh rasa 
khawatir, dua prajurit kerajaan ini pun terpengaruh. Lelaki yang bertubuh pendek kekar 
membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu. Tapi, baru beberapa langkah ia berhenti. 
Tubuhnya segera dibalikkan. 

"Aku lupa lagi. Namamu siapa tadi, Anak Muda? I Made...." 

"1 Made Sangkara," lanjuti Made Sangkara, tidak sabar. "Aku dari Pulau 
Dewata!" 

Prajurit pendek kekar mengangguk-angguk. Kemudian, dengan bibir komat-kamit 
mengingat nama itu dia meneruskan maksudnya untuk menemui Panglima Anggar Bayu. 
Sekarang yang tinggal di tempat itu hanya prajurit tinggi kurus dan I Made Sangkara. Si 
prajurit tampak bersikap waspada. Sepasang matanya tak lepas dari I Made Sangkara. 
Tombak di tangannya digenggam dengan kedua tangan, siap untuk digunakan. 

I Made Sangkara sendiri seakan tidak peduli. Dia duduk di atas punggung kuda 
dengan perasaan gelisah yang tidak bisa disembunyikan. Pandangannya tertuju ke belakang 
prajurit tinggi kurus. Arah di mana prajurit yang hendak melapor pada Panglima Anggar 
Bayu itu lenyap. 

I Made Sangkara sampai melompat turun dari punggung kuda ketika melihat 
kedatangan prajurit pendek kekar. Bias kecewa tampak pada wajahnya. Prajurit itu datang 
sendirian. Tidak nampak orang lain di sebelahnya. 

"Bagaimana? Apakah kau sudah sampaikan kedatanganku pada Panglima 
Anggar Bayu? Bagaimana tanggapannya? Mengapa beliau tidak datang kemari? Atau, aku 
yang harus datang ke sana?" Dengan sikap tidak sabar I Made Sangkara mengajkan 
pertanyaan bertubi-tubi. 




Prajurit pendek kekar malah tersenyum mengejek. 

"Lebih baik kau segera pergi dari sini, Penipu Muda. Jika kau tidak mempedulikan 
peringatan ini dengan sangat menyesal kami akan menjadikanmu sate manusia!" 

"Apa artinya ini? Mana Panglima Anggar Bayu...?!" I Made Sangkara maju selangkah. 
Karena sebelum kakinya terus diayunkan, prajurit pendek kekar telah mengeluarkan 
ancaman. 

"Selangkah lagi kau maju, anak-anak panah akan menyate tubuhmu!" 

Pemuda berpakaian coklat melihat prajurit pendek kekar menjentikkan jari. Seketika 
itu pula di belakangnya muncul belasan prajurit dengan busur terentang! 

"Rupanya kau masih juga mau berpura-pura, Penipu Busuk! Baiklah, kalau itu yang 
kau inginkan. Rupanya kebohonganmu ingin ditelanjangi. Dengar, Panglima Anggar Bayu 
tidak pernah mempunyai adik seperguruan. Apalagi orang yang mempunyai nama aneh 
sepertimu. Nah, sekarang menyingkirlah dari sini! Mengingat kau masih muda, aku mau 
bertindak sabar. T api, ini yang terakhir kali" 

I Made Sangkara tertegun sebentar. Dia tengah berpikir keras. "Kalian terlalu 
memaksa. Aku tidak punya pilihan lain!" 

Usai berkata, tanpa merasa gentar sedikit pun I Made Sangkara melangkah maju. 

"Pemuda gila! Kau memang sudah bosan hidup. Serang...!" 

Berbarengan dengan selesainya seruan prajurit pendek kekar, belasan prajurit di 
belakangnya melepaskan anak panah. Belasan anak panah meluncur ke arah I Made 
Sangkara. Terdengar bunyi berdesing nyaring yang menyakitkan telinga. 

I Made Sangkara tidak melakukan gerakan apa pun. Dia terus mengayunkan kaki. 
Kendati demikian, karena tidak ingin mati konyol, pemuda ini mengerahkan tenaga dalam 
untuk melindungi sekujur tubuhnya. Prajurit pendek kekar dan semua yang ada di tempat 
itu sudah membayangkan betapa tubuh I Made Sangkara penuh ditembusi belasan anak 
panah. Bila ini teijadi, sulit rasanya bagi pemuda itu untuk menyelamatkan selembar 
nyawanya. 

Tapi, mata mereka membelalak lebar. Anak-anak panah runtuh semua ke tanah 
sebelum beihasil mengenai tubuh I Made Sangkara. Seakan di sekeliling tubuh pemuda itu 
terdapat benteng yang tidak tampak! 

Kenyataan yang terpampang di depan mata itu terlalu mengejutkan para prajurit 
kerajaan. Mereka tidak percaya. Ketika prajurit pendek kekar kembali memberi aba-aba, 
belasan anak panah meluncur siap merajam I Made Sangkara. Tapi, seperti juga 
sebelumnya, anak-anak panah runtuh sebelum mengenai sasaran. 

I Made Sangkara tetap melangkah dengan tenang. 

Para prajurit kerajaan tidak putus asa dengar kegagalan serangan mereka. Sambil 
berseru nyaring, mereka menghunus golok. Senjata tajam itu digenggam dengan tangan 
kanan. Sedangkan di tangan kiri tercekal tameng. Dengan pasangan senjata ini kelompok 
pasukan kerajaan menyerbu I Made Sangkara. 

I Made Sangkara menghela napas berat. Sikapnya menyesali kejadian yang sama 
sekali tidak diharapkan ini. Sambil terus melangkah maju, kedua tangannya berulang kali 
didorongkan ke depan. 

Prajurit-prajurit kerajaan bagai bulu-bulu dihembus angin. Mereka berpentalan ke 
belakang dan jatuh terguling-guling di tanah. Untungnya I Made Sangkara tidak berniat 
jahat. Mereka tidak mengalami luka parah. Hanya lecet-lecet karena kulit mereka 
bergesekan dengan batu-batu. 

I Made Sangkara tidak menghiraukan keadaan lawan-lawannya. Dia terus saja 
mengayunkan kaki. Kelihatannya hanya langkah biasa. Pendek-pendek dan lambat-lambat. 
Tapi, belasan prajurit kerajaan yang mengejarnya dengan mempergunakan ilmu lari cepat 
tidak mampu menyusul. 

Suasana jadi gaduh. Prajurit-prajurit itu melakukan pengejaran sambil 
berteriak-teriak. Kegaduhan ini yang menyebabkan sebuah tenda yang tampak didepannya 
tersingkap. Dari dalam tenda keluar seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk lebat dan 
berpakaian seragam panglima kerajaan. Di kanan kirinya tampak dua orang yang tidak 
berpakaian prajurit. Sepasang mata mereka tajam menusuk. 

Dua prajurit yang menjaga bagian depan tenda segera memberi hormat dan beijalan 
di belakang sang panglima. Panglima itu sendiri dengan tenangnya melangkah lebar 
menghampiri I Made S angkara. 

"Kaukah orang yang mengaku murid Eyang Brihaspati yang menjadi guruku?" tanya 
sang panglima yang bukan lain Anggar Bayu. Sikap panglima ini demikian tenang dan penuh 
percaya diri. 

"Benar. Namaku I Made Sangkara. Benarkah aku tengah berhadapan dengan 
Panglima Anggar Bayu yang terkenal lihai baik ilmu perang maupur ilmu silatnya?" puji I 
Made Sangkara penuh hormat 

Panglima Anggar Bayu mengangguk. Tanpa merasa curiga sedikit pun. Padahal, itu 
amat berbahaya. Kalau orang bermaksud tidak baik dan jauh lebih lihai, dia akan oelaka. 

"Bisa lolos dari kepungan prajuritku menjadi pertanda kau memiliki kepandaian 
cukup. Hanya, yang kusayangkan, mengapa dalam usia semuda ini kau berada di jalan 
sesat? Mencatut nama orang lain untuk kepentingan sendiri?!" 

Ucapan Panglima Anggar Bayu terdengar tegas dan penuh wibawa. Menunjukkan 
kalau dia orang yangtelah kenyang pengalaman hidup. "Kalau tidak mengingat usiamu yang 
masih sangat muda itu, pencatutan nama terhadap guruku telah cukup untuk kujadikan 
alasan menindakmu!" 

"Maafkan aku, Panglima." I Made Sangkara memberi hormat. "Aku tidak berbicara 
dusta. Eyang Brihaspati memang guruku. Selama lima tahun ini aku menjadi muridnya." 

"Hmmm...!" 

Panglima Anggar Bayu menggumam. Ditatapnya I Made Sangkara penuh selidik. 
Dengan matanya lelaki gagah yang telah berusia empat puluh lima tahun ini ingin mencari 
kebenaran ucapan I Made Sangkara. 

"Panglima mungkin meragukan keteranganku, ingatkah Panglima akan cerita Eyang 
Brihaspati? Eyang pernah mengatakan padaku kalau beliau telah menceritakan pada 
Panglima mengenai sahabatnya di Pulau Dewata." 

"Maksudmu..., I Nyoman Tirta? Pembuat keris nomor satu di Pulau Dewata itu?!" 
seru Panglima Anggar Bayu, kaget. 

"Benar, Panglima. Tiang adalah putranya. Lima tahun yang lalu Bapa membawa 
Tiang untuk menemui Eyang Brihaspati. Ida menerima Tiang menjadi muridnya. Atas 
perintah Ida, Tiangmemberanikan diri datangkemari, Panglima," beritahu I Made Sangkara. 
Ia mempergunakan dialek daerahnya untuk lebih meyakinkan hati Panglima Anggar Bayu. 
Panglima Anggar Bayu tersenyum lebar. Dia tiak merasa ragu lagi, I Made Sangkara tidak 
berniat jahat. Nama Nyoman Tirta telah sering didengarnya. Tokoh itu sahabat gurunya. 
Eyang Brihaspa memang telah merantau ke berbagai tempat. Salah satunya adalah Pulau 
Dewata. 

"Kiranya Cai bukan oranglain. Siapa namamu tadi, Adi? I Made Sangkara?" Panglima 
Anggar Bayu meminta kepastian. Panglima yang rupanya cukup menguasai bahasa I Made 
Sangkara ikut-ikutan berbicara dalam dialek tersebut. 

"Benar, Panglima. Itu memang nama Tiang," jawabi Made Sangkara dengan hati lega. 

"Mari. Mari, Adi. Masuk ke tendaku. Kita berbincang-bincang. Aku ingin tahu 
masalah yang membuat guruku mengutus Adi kemari," ajak Panglima Anggar Bayu. Ia 
mendahului membalikkan tubuh dan melangkah menuju tendanya. 

I Made Sangkara mengikuti di belakang. 

"Sayang sekali, Adi. Aku tidak bisa memenuhi anjuran Guru. Aku bukan seorang 
pengecut. Apa kata orang nanti bila aku lebih dulu melarikan diri sebelum bertanding?" 
Panglima Anggar Bayu bangkit dari duduk bersilanya. Ia beijalan mondar-mandir di 
dalam tenda. I Made Sangkara tetap duduk bersila. Di sisi kanan dan kiri dua lelaki gagah 
berdiri dengan sikap waspada. Mereka tidak mencampuri urusan antara Panglima Anggar 
Bayu dengan I Made Sangkara. 

"Lihat, Panglima Anggar Bayu yang ditakuti lawan dan disegani kawan, lari 
lintang-pukang dari seorang musuh yang belum diketahui kepandaiannya! Bila itu teijadi, 
mau ditaruh di mana mukaku, Adi?l 2" 

"Maafkan Tiang, Panglima. Bukan maksud Tiang membuat marah Panglima. 
Tiang hanya menyampaikan amanat Eyang Brihaspati. Ida amat berharap Tiang dapat 
melunakkan hati Panglima." 

"Penasaran!" 

Panglima Anggar Bayu memukulkan tangan kanan pada telapak tangan kirinya. 
Terdengar bunyi benturan keras. 

"Mengapa Guru terlalu memandang remeh padaku? Begitu yakinkah beliau musuh 
keparat itu akan berhasil mengalahkanku?!" 

"Maafkan Tiang, Panglima. Menurut Ida, musuh besar Panglima memang tak akan 
mungkin di kalahkan oleh siapa pun! Dia telah menelan pusaka yang bernama Telur Elang 
Perak Pusaka itu menyebabkan tidak ada seorang tokoh pun akan dapat mengalahkan 
apalagi membunuhnya!" 

"Telur Elang Perak?!" Panglima Anggar Bayu berteriak, kaget. "Aku memang sudah 
lama mendengar pusaka itu. Tapi, menurut berita Telur Elang Perak berada di tangan Iblis 
Buta. Ia sudah lama tidak kedengaran beritanya lagi. Lenyap bagai ditelan bumi!" 

I Made Sangkara diam. Panglima Anggar Bayu kembali beijalan mondar-mandir. Kali 
ini bukan karena rasa penasaran melainkan resah.Berapa kali dia menghela napas berat. 

"Sungguh tidak kusangka Panglima Sabu yang berkhianat itu memiliki seorang anak. 
Hhh...! Aku kecolongan!" 

"Eyang Brihaspati mencari tahu melalui semadinya. Musuh besar Panglima bernama 
Lanang. Dia blos ketika Panglima menumpas pemberontakan Panglima Sabu belasan tahun 
lalu," Beritahu I Made Sangkara. "Lanang tidak akan bisa dikalahkan. Kecuali...." 

"Kecuali apa, Adi?12" sambar Panglima Anggar Hayu, cepat. 

"Kecuali oleh Mustika Ular Emas. Orang yang berhasil mendapatkan mustika itu 
berkesempatan untuk menamatkan riwayat Lanang. Telah belasan tokoh persilatan dibunuh 
Lanang. Sebagian besar merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggil2" 

"Mustika Ular Emas?l 2" ulang Panglima Anggar Hayu. "Rasanya aku 
belum pernah mendengarnya...." 

"Tak aneh, Panglima. Eyang Brihaspati sendiri mengetahuinya belum lama. 
Menurut Ida, Ular Emas itu telah keluar ke dunia persilatan. Ida telah mendapatkan 
tanda-tandanya." Kemudian, dengan singkat I Made Sangkara menceritakan semua 
yang diketahuinya. Panglima Anggar Bayu mendengarkan dengan perasaan tertarik. Tak 
sedikit pun dia memotong hingga I Made Sangkara selesai menceritakan semuanya. 

"Lanang mencari berita mengenai Panglima. Tiang yakin akhirnya ia akan 
menemukan Panglima. Sebelum itu teijadi, lebih baik Panglima tinggalkan tempat ini. 
Sementara itu, Tiang akan mencoba mencari Mustika Ular Emas. Apabila sudah berhasil 
Tiang dapatkan, Panglima tidak perlu bersembunyi lagi. Lanang akan kita bunuh!" 

Panglima Anggar Bayu tersenyum pahit. Dengan pandang mata sungguh-sungguh 
ditatapnya I Made Sangkara lekat-lekat. 

"Kuucapkan terima kasih atas jerih payahmu, Adi. Sampaikan salam hormatku pada 
Guru. Perhatian beliau dan kau amat kuhargai. Tapi, sayang aku tidak bisa memenuhi 
permintaan itu. Aku bukan seorang pengecut. Tidak, Adi! Aku tidak takut mati. Kuharap kau 
mau menyampaikan hal ini pada Guru!" jawab Panglima Anggar Bayu dengan suara lantang 
dan sikap gagah. 

I Made Sangkara tidak berkata-kata lagi. Di merasakan nada kesungguhan dalam 
sikap dan ucapan Panglima Anggar Bayu. Dia tahu tidak ada gunanya berusaha membujuk. 
Orang yang memiliki pendirian seperti sang panglima ini tak akan mudah dibujuk! 

"Ha ha ha...!" 

Tawa bergelak yang penuh nada ejekan menguak keheningan. Semua orang yang 
berada di situ langsung bersikap waspada. 

I Made Sangkara langsung berdiri dan beijalan keluar tenda. Ia mengedarkan 
pandangan mencari-cari sumber suara. Demikian juga dengan Panglima Anggar Bayu. Dua 
lelaki berpakaian ringkas yang menjadi pengawal pribadi Panglima Anggar Bayu telah 
melesat dari tempatnya dan berdiri di kanan kiri sang panglima. Mereka bersikap 
melindungi. 

Panglima Anggar Bayu dan I Made Sangkara bertukar pandang sesaat ketika 
mengetahui sumber suara itu tidak bisa mereka lacak. Ini berarti si pemilik suara memiliki 
ilmu "Memindahkan Suara". Sebuah ilmu yang hanya dikuasai orang-orang berilmu tinggi. 

Sekarang, kakak dan adik seperguruan ini mulai mengerti mengapa Eyang Brihaspati 
begitu khawatir. Pemilik suara yang diduga I Made Sangkara dan Panglima Anggar Bayu 
sebagai sang musuh besar terbukti memiliki kepandaian tinggi. 

"Benar-benar seorang panglima yang gagah perkasa... 12" Kembali suara itu 
terdengar. 

"Siapa kau, Pengecut? Tunjukkan dirimu kalau kau memang berhati jantan 12 
Jangan beraninya hanya bersembunyi seperti nenek-nenek keriput!" pancing Panglima 
Anggar Bayu. 

"Siapa bilang aku bersembunyi? Aku berada di sini sejak tadi..." 

Hampir bersamaan Panglima Anggar Bayu, I Made Sangkara, dan dua orang 
pangawal pribadi sang panglima membalikkan tubuh. Tidak seperti sebelumnya, kali ini 
suara itu terdengar jelas dan bisa ditebak dari mana asalnya. Si pemilik suara tidak 
menggunakan ilmu 'Memindahkan Suara'-nya lagi. 

Hanya beijarak satu tombak dari Panglima Anggar Bayu duduk sesosok tubuh 
dengan cara yang amat luar biasa. Panglima Anggar Bayu dan teman-temannya 
membelalakkan mata karena kaget. 

Sosok itu duduk bersila di ujung sebuah tambang yang berdiri kaku. T ambang yang 
biasa dipergunakan untuk mengikat oleh sosok yang baru datang ini digunakan untuk 
tempat duduk! 

Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya merasa tegang. Tindakan yang dilakukan 
sosok berpakaian mewah itu membutuhkan ilmu meringankan tubuh sangat tinggi. 
Panglima Anggar Bayu dan I Made Sangkara tahu pasti mereka tidak mampu melakukan hal 
itu! 

"Bagaimana, Panglima? Sudah puas melihatku? Aku bukan pengecut, bukan?" Sosok 
berpakaian mewah yang ternyata seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun itu kembali 
membuka suara. Lantang dan teras. Padahal Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya tidak 
melihat bibir pemuda itu berkemik sedikit pun. 

Pertanyaan itu membuat Panglima Anggar Bayu sadar dari kesimanya. 

"Kau memang hebat, Anak Muda. Tapi, jangan harap mampu menakut-nakutiku 
dengan permainan anak-anakmu itu!" tandas sang panglima, mantap dan gagah. 

"Ha ha ha...!" 

Pemuda berpakaian mewah tertawa. Ucapan Panglima Anggar Bayu membuatnya 
merasa geli. 

Kembali Panglima Anggar Bayu dan yang lain-lain tercekat. Bibir pemuda itu tidak 
terbuka walau sedang tertawa. 




Keterkejutan yang melanda Panglima Anggar Bayu dengan kejadian itu sebenarnya 
sudah cukup besar. Namun, masih tidak sebesar rasa kaget yang dialaminya kemudian. 
Tawa pemuda berpakaian mewah ternyata bukan main-main 

Panglima Anggar Bayu, I Made Sangkara, dan dua lelaki berpakaian ringkas 
merasakan telinga mereka seperti kemasukan beduk berbunyi. Terasa sakit dan nyeri bukan 
main. Bagian dalam telinga mereka bagai disentak-sentak. Ditambah lagi dengan getaran 
hebat yang melanda sekujur tubuh. Seperti ada tangan tak nampak yang 
mengguncang-guncangkan tubuh keempat orang itu. 

Panglima Anggar Bayu dan yang lain-lain segera tahu pemuda berpakaian mewah itu 
melakukan serangan tenaga dalam melalui suara tawa. Bagai telah disepakati sebelumnya, 
keempat orang ini segera mengambil senjata masing-masing. Dua lelaki berpakaian ringkas 
melemparkan pisau-pisau putih berkilat. Sedangkan Panglima Anggar Bayu mem¬ 
pergunakan mata panah. I Made Sangkara meluncurkan logam berbentuk bintang segi tiga. 

Tiga macam senjata rahasia yang berjumlah belasan itu meluncur dengan 
mengeluarkan bunyi berdesing nyaring. Tapi, pemuda berpakaian mewah tetap duduk 
tenang di tempatnya. Tidak terlihat hendak menangkis atau mengelakkannya. Ftemuda 
berpakaian mewah bahkan semakin mengeraskan tawa. Belasan senjata rahasia itu runtuh 
ke tanah seperti terpukul serangan jarak jauh. 

Kejadian ini benar-benar luar biasa. Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya sampai 
terkesima. Sungguh luar biasa lawan yang tengah mereka hadapi. Hanya dengan suara tawa 
mampu meruntuhkan serangan senjata. Tawa itu ternyata tidak hanya mampu digunakan 
untuk menyerang, tapi juga dipakai untuk menggantikan tangan atau kaki! 

"Apakah kau orang yang hendak membunuhku?! Kaukah keturunan Panglima Sabu 
yang be-khianat itu?" tanya Panglima Anggar Bayu, mencoba bersikap tenang. Namun, getar 
kegentaran pada suaranya tetap tidak bisa ditutupi. 

Pemuda berpakaian mewah te rke ke h. 

"Apa yang kau duga tidak salah. Aku memang putra Panglima Sabu. Namaku 
Lanang! Akulah orang yang diceritakan adik seperguruanmu itu!" jawab pemuda berpakaian 
indah dengan sikap memandang remeh. 

I Made Sangkara hanya bisa mengepalkan tinju. Dia menyesalkan kekerasan hati 
Panglima Anggar Bayu. Kalau saja sang panglima tidak berkeras hati, mereka tentu tidak 
perlu bertemu dengan Lanang. 

"Tanpa kujelaskan lagi pun kau sudah tahu maksud kedatanganku kemari, Panglima 
Anggar Bayu! Aku ingin membunuhmu! Bukan hanya kau, tapi juga semua orang yang 
mempunyai hubunga denganmu!" desis Lanang dengan sinar mata berkilat-kilat. 

"Kau terlalu, Lanang! Yang bertanggung jawab atas kematianmu adalah aku. 
Pasukanku mungkin bisa kau bawa-bawa pula. Tapi, I Made Sangkara tidak ada 
hubungannya dengan dendammu. Kuharap kau mau membiarkan dia pergi dari sini!" 
Panglima Anggar Bayu mencoba menawar. 

Lanang menggeleng. 

"Aku telah bersumpah untuk membunuh setiap orang yang mempunyai hubungan 
denganmu, Anggar Bayu! Siapa pun mereka. Juga I Made Sangkara. Gurumu dan semua 
sahabat gurumu. Istrimu, pelayan-pelayanmu, dan juga anak-anakmu!" 

"Manusia keji! Aku akan mengadu nyawa denganmu!" 

Panglima Anggar Bayu mencabut pedang yang menjadi tanda pangkatnya. 
Kemudian, disertai terjangan dibabatnya pedang itu ke leher Lanang! 

Dua lelaki berpakaian ringkas yang merupakan pengawal pribadi sang panglima ikut 
mengirimkan serangan. Dua orang ini menggunakan tombak pendek. 

I Made Sangkara menyerang belakangan. Pemuda gagah ini menggunakan keris 
berlekuk enam. Gabungan serangan keempat orang itu yang melancarkan serangan 
susul-menyusul, dahsyat bukan main. 

Tapi, seperti semula Lanang tidak bergeming dari kedudukannya. Tawanya segera 
dihentikan. Pemuda ini kemudian malah menangis. Kelihatan aneh sekali tingkah Lanang. 
Mendapat serangan maut kok malah menangis. Apakah pemuda ini ketakutan sekali? 

Ternyata tidak demikian. Tangis Lanang bukan tangisan sembarangan. Tangis yang 
dialirkan dengan menggunakan tenaga dalam. Dirancang sedemikian rupa. Suara tangis itu 
menyelusup melalui telinga dan singgah di kepala. 

Akibat suara tangisan itu dahsyat dan mengerikan. Panglima Anggar Bayu dan ketiga 
orang lainnya menghentikan serangan. Wajah mereka membiaskan rasa sakit yang sangat. 
Bunyi tangisan seperti mengiris-iris bagian dalam kepala mereka, menimbulkan rasa sakit 
dan nyeri. 

Semakin lama rasa sakit dan nyeri semakin dahsyat. Panglima Anggar Bayu dan yang 
lainnya tidak tahan untuk berdiam diri. Mereka memegangi kepala dengan kedua tangan. 
Seluruh tenaga dalam dikerahkan untuk menghilangkan rasa yang menyiksa. 

Usaha keempat orang gagah yang malang ini sia-sia belaka. Rasa sakit tidak mau 
hilang. Malah, semakin menghebat. Mereka menggeliat-geliat seperti cacing ke pan asan. Dari 
mulut mereka keluar erangan menyayat hati. 

Semakin Lanang memperhebat tangisnya semakin tersiksalah mereka. Ketika 
akhirnya Lanang menangis menggerung terdengarlah bunyi letupan. Ftelan tapi 
menggidikkan hati. Darah bercampur otak muncrat ketika letupan itu terdengar. Letupan 
itu terjadi akibat meletusnya kepala dua orang pengawal pribadi Panglima Anggar Bayu! 
Disusul dengan kepala panglima itu sendiri. 

Lanang menghentikan tangisnya. Seketika itu pula pengaruh yang menggiriskan 
lenyap. I Made Sangkara yang masih hidup dan sejak tadi menggelepar-gelepar kini terdiam. 

"Aku sengaja tidak membunuhmu, Monyet!" Tanpa peduli pada I Made Sangkara 
yangmasih belum sadar sepenuhnya, Lanangberkata dengan suara dingin. I Made Sangkara 
masih berdiri limbung dengan pandangan nanar. 

"Aku memberimu kesempatan untuk memberitahukan musibah ini pada gurumu. 
Barangkali kau ingin mengajak gurumu mengungsi ke tempat yang aman. Tapi ingat, aku 
tidak akan tinggal diam. Aku bermaksud menjumpai gurumu. Kita berlomba untuk lebih 
dulu sampai di sana. Kalau kau tiba lebih dulu, kalian mempunyai kesempatan menghirup 
udara dunia ini lebih lama. Sebaliknya, bila aku yang lebih dulu tiba... kau hanya akan 
menjumpai mayat gurumu yang mungkin tidak akan bisa kau kenali lagi!" 

Ucapan Lanang sebenarnya keras dan lantang, tapi pengaruh serangan dahsyat 
pemuda ini membuat I Made Sangkara hanya mendengarnya samar-samar. Pemuda 
berpakaian coklat ini mendengarnya antara sadar dan tidak. 

Lanang tanpa menunggu jawaban dari I Made Sangkara segera melesat pergi. 
Bertepatan dengan perginya Lanang tubuh I Made Sangkara bergerak limbung. Kemudian, 
ambruk bagai sehelai kain basah. Pemuda ini jatuh pingsan. Pengaruh serangan Lanang 
memang luar biasa! 

Seorang kakek berambut awut-awutan dan bermata buta menghela napas berat. 
Wajahnya yang penuh dibasahi peluh membuat keadaannya terlihat mengenaskan. Kakek 
ini tengah duduk bersila di atas baru karang hitam di pinggir laut. 

"Benar-benar luar biasa...," ucap kakek berambut awut-awutan seraya 
menggeleng-gelengkan kepala. Ucapannya meski pelan tapi mampu mengatasi riuhnya 
bunyi di sekelilingnya. 

Sekitar tempat kakek itu berada memang penuh kegaduhan. Ombak besar 
bergulung-gulung datang dari tengah laut menghantam karang dekat pantai. Termasuk batu 
karang di mana kakek buta itu berada. Apalagi batu karang itu berada agak menjorok ke 
laut. 

Hanya, ada kejadian yang aneh. Setiap kali ombak besar menghantam karang di 
mana si kakek berada, percikan-percikan airnya tak setetes pun mengenai tubuh kakek itu. 
Percikan air berpentalan kembali ke laut. 

Pada karang lainnya tidak demikian. Kendati sebagian besar air yang menghantam 
karang kembali ke laut, tapi sebagian lagi memercik ke atas batu karang dan membasahinya. 
Pada celah-celah karang tertinggal keong-keong laut dan ikan-ikan kecil yang tadi ikut 
terbawa ombak. 

Tempat kakek buta itu berada sebenarnya sepi. Meski di pinggir laut tak satu pun 
tampak perahu nelayan. Sejauh mata memandang yang kelihatan hanya gugusan batu 
karang. Desa yang paling dekat jaraknya amat jauh dari tempat ini. 

T api, kali ini ada sesosok tubuh melesat cepat menuju tempat kakek buta itu berada. 
Sosok itu seorang kakek jangkung berwajah mirip kuda. Meski telah tua kakek ini memiliki 
kecepatan lari yang mengagumkan. Kaki-kakinya seperti tidak menginjak tanah. 

Dengan lompatan-lompatan luar biasa kakek bermuka kuda melalui karang-karang 
licin yang banyak ditempeli lumut. Kakek ini melompat-lompat tanpa merasa khawatir akan 
tergelincir. Karang demi karang dilalui dengan enaknya, seperti orang berlari di tempat rata. 

Kakek buta rupanya mendengar seseorang mendatangi tempatnya. Kepalanya segara 
ditelengkan. Sekejap kemudian, dia melakukan tindakan luar biasa. Dalam keadaan masih 
duduk bersih tubuhnya perlahan-lahan naik ke atas. 

Setelah mencapai ketinggian sepinggang, kedua kakinya diturunkan. Sekarang dia 
berdiri dengan kedua kaki. Seperti orang yang mempunya mata normal pandangannya 
diarahkan pada tempat di mana kakek berwajah kuda melesat ke arahnya. 

Sementara itu kakek berwajah kuda sadar kalau kakek buta telah mengetahui 
kedatangannya. Pada batu karang yang berhadapan dengan batu karang tempat kakek buta 
berdiri larinya dihentikan. Kakek berwajah kuda berdiri menghadap kakek buta di pinggir 
batu karang yang dipisahkan oleh celah laut selebar tiga tombak. 

"Siapa kau? Apa maksud kedatanganmu ke tempat ini?" Kakek buta bertanya tanpa 
menyembunyikan perasaan tidak senangnya. 

Kakek berwajah kuda tidak memberikan jawaban. Setelah memperhatikan kakek 
buta sesaat dia lalu tertawa. Suara tawanya tidak layak keluar dari mulut manusia. Lebih 
mirip suara kuda! 

Wajah kakek buta beriak. Terlihat jelas dia merasa kaget. "Kukira siapa. Kiranya kau 
si muka kuda yang berani bergelar Raja Sihir Penyebar Maut! Apa maksud kedatanganmu 
kemari, Muka Kuda?!" 

Raja Sihir Penyebar Maut kembali meringkik. Suaranya melengking nyaring 
mengatasi gemuruh umbak laut pasang. 

"Syukur kau masih mengenaliku, Dewa Mata Putih," ujar kakek bermuka kuda. 
"Kukira sudah lupa. Ingatanmu ternyata masih kuat. Pendengaranmu pun semakin tajam 
sehingga bisa mengetahui kedatanganku." 

Kakek buta yang bergelar Dewa Mata Putih mengibaskan tangan dengan sikap 
mencela. 'Tidak usah memuji-mujiku, Muka Kuda!" sergah kakek itu, lantang. "Kalau kau 
bersikap seperti ini pasti ada sesuatu yang diinginkan dariku. Aku tahu betul dengan 
tingkahmu!" 

Raja Sihir Penyebar Maut hanya meringkik "Perasaanmu pun semakin tajam, Buta. 
Kau tahu maksud kedatanganku kemari sebelum kuutarakan. Luar Biasa!" 

Dewa Mata Putih mendengus. Tidak terlihat kcmarahan, kendati Raja Sihir Penyebar 
Maut menyapanya dengan cacat yang dimilikinya. 

"Aku datang ke mari untuk sebuah keperluan. Tapi, itu tidak terlalu penting. " 
Raja Sihir Penyebar Maut mulai mengutarakan maksudnya. Dia tidak kecil hati meski Dewa 
Mata Putih tersenyum mengejek. "Yang lebih penting adalah apakah kau mendapatkan 
kemajuan setelah belasan tahun kita tidak bersua. Aku ingin menguji kemampuanmu, 
Buta!" 

"Mengapa berbelit-belit, Muka Kuda? Katakan saja maksudmu itu. Tidak usah 
plintat-plintut seperti perawan dilamar!" sergah Dewa Mata Putih, tak sabar. "Aku 
mempunyai urusan lain yang jauh lebih penting. Kau ingin menguji bagaimana? 
Pertarungan sampai selaksa jurus! Mengadu kekuatan tenaga dalam sampai di antara kita 
ada yang menggeletak? Aku siap menghadapinya!" 

"Sayang sekali, Buta! Pertarungan semacam itu tidak menarik hatiku lagi. Aku sudah 
terlalu tua. Urat-uratku telah kaku," kilah Raja Sihir Penyebar Maut sambil tertawa. 

"Lalu, pertarungan bagaimana yang kau inginkan?" 

"Bukan pertarungan. Aku hanya ingin menguji kemampuanmu. Katakan dulu kau 
berani atau tidak? Kalau tidak berani, aku akan segera pergi dari sini!" Raja Sihir 
Penyebar Maut membakar keangkuhan Dewa Mata Putih. Kakek muka kuda ini tahu benar 
kakek buta memiliki penghargaan yang tinggi terhadap dirinya sendiri. Pantang baginya 
dianggap takut atau pengecut. 

Dewa Mata Putih tertawa mengejek 

"Aku membaui adanya maksud untuk mencari keuntungan diri sendiri dalam 
tantanganmu, Muka Kuda. Kau hendak menipuku! Tapi, jangan kira aku menjadi gentar. 
Pantang bagiku menolak tantangan! Sekarang, katakan maksudmu secara jelas!" 

"Aku yakin kau telah melihat keanehan di langit beberapa hari yang lalu, Buta. 
Selama tiga hari tiga malam warna langit tetap demikian." Raja Sihir Penyebar Maut 
berkata seraya memperhatikan wajah Dewa Mata Putih. Ia ingin melihat setiap riak sekecil 
apa pun di wajah tua itu. Maksud kakek muka, kuda ini terkabul. Wajah Dewa Mata Putih 
terlihat beriak. "Bukankah kau melihatnya, Buta?" 

Dewa Mata Putih mengangguk pelan seperti merasa berat untuk menjawab. 

"Dan, aku yakin kau tahu penyebabnya. Iya, kan?" desak Raja Sihir Penyebar Maut. 

Perubahan pada wajah Dewa Mata Putih semakin terlihat jelas. Agaknya, pertanyaan 
yang di ajukan Raja Sihir Penyebar Maut merupakan rahasia. 

"Bagaimana, Buta? Kau bermaksud menarik lagi ucapanmu yang mengatakan akan 
bersedia memenuhi ujian dariku?" Raja Sihir Penyebar Maut mengeluarkan kata-kata 
kuncinya. 




Dewa Mata Putih menggertakkan gigi. Wajahnya mengelam. Beberapa saat hal ini 
berlangsung sebelum akhirnya memudar seiring dengan helaan napas dari mulutnya. 

"Sudah kuduga kau menyimpan maksud licik, Muka Kuda! Sejak dulu watakmu 
tidak juga berubah!" desis Dewa Mata Putih, geram. Tapi, di dalamnya terkandung 
ketidakberdayaan dan penyesalan. 

"Apakah kau hendak menjilat ludah yang sudah kau keluarkan, Buta?" gertak Raja 
Sihir Penyebar Maut. 

"Katakan apa yang ingin kau tanyakan. Setelah itu, enyahlah dari sini! Aku tidak 
ingin melihat wajahmu lagi!" ketus ucapan Dewa Mata Putih. 

Raja Sihir Ftenyebar Maut sebenarnya merasa tersinggung. Tapi, dia menahan 
amarahnya. Kakek muka kuda ini memiliki keangkuhan yang besar. Pantang baginya 
diremehkan orang. Kalau tidak mengingat pentingnya masalah yang tengah dihadapi, sudah 
diterjangnya Dewa Mata Putih. 

Sayang, Raja Sihir Penyabar Maut terlalu terbawa rasa tersinggungnya. Kalau saja 
ditelaahnya kata-kata Dewa Mata Putih dia pasti akan merasa geli. Mana mungkin Dewa 
Mata Putih yang buta melihat wajahnya? 

"Aku hanya ingin kau memberikan jawaban di mana Ular Emas itu? Maksudku, 
di mana tempat binatang aneh itu ke luar! " 

"Sejak tiga hari yang lalu aku telah berusaha mencari tahu, Muka Kuda. Tapi, 
aku tidak mampu mengetahuinya. Ada tabir yang menutupi. Batas pengetahuanku kurasa 
sama dengan mu. " 

"Aku yakin kau belum mengeluarkan seluruh kemampuanmu, Buta," ujar 
Raja Sihir Penyeba Maut setengah mengingatkan. 

"Bagaimana mungkin aku bisa mengerahkan seluruh kemampuanku? Aku tidak 
ingin meninggalkan tempat ini. Harus kuakui kalau seluruh kemampuanku kukeluarkan, 
mungkin tabir itu bisa kuungkap. Jadi, bukannya aku tidak mampu lulus dari ujianmu. 
Tapi, tidak ada bantuan alat-alat yang dapat membuatku mengerahkan seluruh 
kemampuan." 

Raja Sihir Penyebar Maut tersenyum penuh rahasia. Dia tidak kelihatan kecewa. 
Kakek muka kuda ini berdiam diri. Dewa Mata Putih yang tidak bisa melihat jadi 
kebingungan. Kakekbuta ini gelisah me n den gar tidak adanya tanggapan Raja Sihir Penyebar 
Maut 

"Apakah kau masih di situ, Muka Kuda?" tanya Dewa Mata Putih, kepalanya 
ditelengkan ke kiri kanan untuk dapat lebih jelas menangkap bunyi-bunyi halus. 

Sebenarnya kakek buta itu tahu pertanyaannya kedengaran bodoh. Tapi, dia tidak 
bisa menahan rasa ingin tahunya ketika beberapa saat lamanya menunggu tidak juga 
mendengar suara. Bahkan desah napas Raja Sihir Penyabar Maut. Kakek muka kuda itu 
seperti sudah tidak berada di hadapannya lagi... 

Raja Sihir Penyebar Maut tertawa melihat kegelisahan kakek buta di depannya. 

"Tentu saja aku masih di sini, Buta. Mana mungkin kutinggalkan tempat ini sebelum 
kudapat keterangan tentang Ular Emas itu?!" 

"Bukankah sudah kukatakan kalau...." 

"Kerahkanlah seluruh kemampuanmu, Buta! Semua bahan-bahan yang kau 
perlukan sudah kusediakan!" potong Raja Sihir Penyebar Maut. Kakek muka kuda 
melemparkan buntalan kecil yang sejak tadi dijinjing dengan tangan kirinya. Sembarangan 
dan kelihatan tanpa tenaga kakek ini melemparkannya. 

Dewa Mata Putih menyeringai. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi 
menderu teras. Kakek ini tidak bodoh. Meski matanya buta, tapi dengan kepandaiannya dia 
tahu yang tengah meluncur ke arahnya hanya sebuah buntalan kecil. 

Kakek buta ini tidak mau kalah gertak. Dengan sikap seperti orang malas tangan 
kirinya diulurkan menyambut buntalan kecil. Dan buntalan itu dapai diterimanya tanpa 
kesulitan sama sekali. Tanpa berkata apa pun kakek buta itu membuka buntalan. Mudah 
sekali. Seakan matanya tidak buta. Dengan mempergunakan tangan kanan diperiksanya isi 
buntalan. Dikeluarkan satu persatu dan dirabanya serta diciumnya. 

"Kiranya kau telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan rapi, Muka Kuda. 
Semua alat-alat yang kubutuhkan tersedia. Tak kusangka. Aku hampir tidak percaya orang 
setua kau masih saja tamak dengan pusaka. Bukankah lebih enak menyepi di tempat yang 
sunyi, menunggu ajal tiba dengan batin bersih?" 

"Kau tidak usah mengajariku, Buta!" bentak Uaja Sihir Ftenyebar Maut. 
"Kau boleh mempraktekkan ajaranmu itu untuk dirimu sendiri. Tidak untukku!" 

"Sungguh tidak kusangka kau masih ingat peralatan yang kuperlukan. Tak ada 
yang kurang satu pun." Dewa Mata Putih tidak mempedulikan ucapan Raja Sihir 
Penyebar Maut. 

"Apa susahnya mengingat benda-benda menjijikkan itu?!" ejek Raja Sihir Penyebar 
Maut. "Rambut mayat, hati kelelawar, kepala burung bantu, dan darah ayam hitam." 

"Menjauhlah dariku, Muka Kuda! Aku ingin mulai bekeija. Keberadaanmu di sini 
hanya akan mengacaukan pemusatan pikiranku. Nanti apabila telah kutemukan hasilnya, 
kuberitahukan padamu!" usir Dewa Mata Putih, caranya memutuskan pembicaraan 
terdengar kasar. 

Sepasang mata Raja Sihir Penyebar Maut seperti memancarkan api. Tapi, orang yang 
dipandang tidak mengetahuinya. Dia duduk bersila dan mulai sibuk dengan pekerjaannya. 
Raja Sihir Ftenjebar Maut tidak berani menurutkan hawa nafsu. Saat ini kemampuan si 
kakek buta amat diperlukan. Jadi, dia harus mengalah. Dengan kemarahan yang bergolak 
ditinggalkannya tempat itu. 

Raja Sihir Penyebar Maut tidak pergijauh. Dia duduk menanti dengan perasaan tidak 
sabar. Lima-puluh tombak dari tempat Dewa Mata Putih. Kakek muka kuda ini memilih 
sebuah gundukan karang yang agak tinggi sehingga dapat mengawasi pekerjaan Dewa Mata 
Putih. 

Tanpa sadar, ingatan kakek muka kuda ini melayang pada masa belasan tahun 
silam, saat dia pertama kali bertemu Dewa Mata Putih. Saat itu dia sedang haus-hausnya 
mengadu kesaktian dengan tokoh-tokoh persilatan baik dari golongan hitam maupun putih. 

Dewa Mata Putih pun demikian. Bedanya, kalau Raja Sihir Penyebar Maut beraliran 
hitam, Dewa Mata Putih beraliran putih. Perbedaan golongan ini menyebabkan terjadinya 
pertarungan antara mereka. 

Pertarungan dimenangkan oleh Raja Sihir Penyebar Maut. T api, kakek muka kuda ini 
tidak membunuh lawannya. Ia ingin mengajak Dewa Mata Putih melakukan pertarungan 
ilmu gaib. Dalam bidang ini Raja Sihir Ftenyebar Maut harus mengakui keunggulan lawan. 
Kakek muka kuda ini jadi mengetahui alat-alat yang dibutuhkan Dewa Mata Putih untuk 
mengeluarkan ilmu gaibnya. 

Itulah sebabnya ketika tidak berhasil mencari tahu keberadaan Ular Emas, Raja Sihir 
Penyebar Maut mencari Dewa Mata Putih. Dia yakin kakek buta itu bisa mengetahuinya. 
(Untuk jelasnya mengenai tokoh yang berjuluk Raja Sihir Penyebar Maut, silakan baca 
episode: "Ftembantai Dari Mongol"). 

"Muka Kuda, cepat kemari! Aku telah menemukan sesuatu!" 

Pemberitahuan Dewa Mata Putih yang dikirim lewat Ilmu 'Mengirim Suara Dari 
Jauh', menyadarkan Raja Sihir Penyebar Maut dari lamunan. Bergegas dia bangkit dan 
melesat 1$ arah kakek buta. 

"Kau telah tahu di mana Ular Emas itu, Buta? Ternyata kemampuan ilmu gaibmu 
tidak berkurang. Kau memang luar biasa...!" puji Raja Sihir Penyebar Maut, tanpa 
menyembunyikan perasaan gembiranya. 

"Telan dulu pujian berbisamu itu, Muka Kuda. Lebih baik kau dengarkan 
penjelasanku," sergah Dewa Mata Putih. 

Raja Sihir Penyebar Maut terdiam. Wajahnya mengelam. Sinar matanya berapi-api. 
Kalau menuruti perasaan sudah diterjangnya kakek buta yang berkali-kali menyakiti 
hatinya ini. 

"Ular Emas memang telah keluar. Tempat di mana keluarnya tidak dapat 
kupastikan. Aku hanya melihat adanya lorong panjang dan gelap. Lorong yang merupakan 
jalan menuju batas dunia kasar dan halus. Asal mula brong ini adatah Gunung Cikuray. 
Rupanya, itulah yang menyebabkan gunung ini meletus. Aku melihat seseorang berjalan 
melalui lorong. Seorang perempuan muda dan cantik. Mungkin dia yang akan mendapatkan 
mustika yang tengah kau cari," beritahu Dewa Mata Putih. 

"Apakah gadis itu yang akan mendapatkannya, Buta?" Dalam ketegangan, 
Raja Sihir Penyebar Maut mengajukan pertanyaan yang semestinya tidak dikeluarkan 
karena kakek buta telah mengatakannya. "Bisakah kau beritahukan ciri-ciri tempat Ular 
Emas itu akan keluar?" 

Dewa Mata Putih menggeleng. 

"Samar-samar aku mendengar bisikan bahwa yang beijodoh dengan mustika itu 
hanya orang yang masih suci. Dalam arti, belum pernah mengadakan hubungan badan. 
Jadi, kurasa kau lebih baik mengurungkan maksudmu untuk mendapatkan mustika itu." 

Raja Sihir Penyebar Maut menggertakkan gigi. 

Jauh-jauh dia datangke tempat ini dengan membawa bahan-bahan yang dibutuhkan 
Dewa Mata Putih. Sekarang disuruh melupakan mustika itu. Sebuah usul yang benar-benar 
gila! 

"Kau telah berusaha keras, Buta. Sepantasnya kalau kuberikan tanda mata 
untukmu. Terimalah!" 

Raja Sihir Penyebar Maut menutup ucapannya yang sarat dengan perasaan kecewa 
melalui lemparan sebuah benda bulat lonjong sebesar telur angsa. Warnanya putih 
kecoklatan. Kakek muka kuda ini melemparkannya ke atas. Diperkirakan benda ini akan 
jatuh di depan Dewa Mata Putih. 

Dewa Mata Putih bukan tokoh hijau yang baru pertama kali menghadapi hal-hal 
aneh. Memang kakek ini buta matanya. Tapi, justru karena itu perasaannya tajam bukan 
main. 

Dewa Mata Putih tahu siapa Raja Sihir Penyebar Maut. Kakek muka kuda ini seorang 
pentolan dunia hitam. Yang ada di benaknya hanyalah mencari keuntungan untuk dirinya 
sendiri. Tidak peduli orang lain dirugikan. Tak ada dalam hidup Raja Sihir Penyebar Maut 
untuk mengingat kebaikan orang! Apalagi memberikan hadiah tanda mata. 

Pikiran semacam ini membuat curiga Dewa Mata Putih. Ditambah lagi dengan 
bisikan hatinya yang mengatakan adanya bahaya mengancam. Maka kakek buta ini tidak 
berani menyambuti benda yan dilemparkan Raja Sihir Penyebar Maut. Khawatir benda itu 
mengandung racun keji! 

Kakek buta melompat ke belakang. Inderanya yang tajam dapat mengetahui pinggir 
tebing karang hanya dengan mempergunakan telinga untuk menangkap bunyi ombak. Dewa 
Mata Putih tidak terjeblos ke dalam laut. Kakek buta ini berdiri tepat di pinggir batu karang. 

Blarrr! 

Nyawa Dewa Mata Putih bagai melayang alam baka ketika mendengar bunyi 
berdentum nyaring. Dirasakannya karang bergetar hebat. Kaki kakinya kehilangan 
keseimbangan karena tempat yang dipijaknya lenyap. Karang tempatnya berdiri hancur 
berantakan! Untungnya Dewa Mata Putih cepat bertindak. Saat tubuhnya dirasakan 
terlempar ke udara akibat ledakan dahsyat itu, kakek buta ini bersalto beberapa kali di 
udara. Kemampuan pendengarannya dikerahkan untuk mendengarkan bunyi-bunyi yang 
terdengar di sekelilingnya. Sekecil apa pun. Salah sedikit saja kakinya akan menjejak lautan 
lepas dan nyawanya lenyap di perairan yang maha luas itu. 

Raja Sihir Penyebar Maut mendengus. Dia tahu maksud gerakan Dewa Mata Putih. 
Dengan senyum keji menghias bibir dikirimkannya pukulan jarak jauh berupa hentakan 
kedua tangan. Hembusan angin keras yang mengeluarkan bunyi berkesiutan nyaring 
menghambur ke arah tubuh Dewa Mata Putih. 

Dewa Mata Putih mendengar bahaya besar itu. Di dalam hati dia memaki kelicikan 
Raja Sihir Penyebar Maut! Kedudukannya yang berada di udara dan ketiadaan pijakan 
membuatnya tidak bisa mengelak 

Blarrr! 

Untuk kedua kalinya teijadi bunyi ledakan keras. Kali ini teijadi akibat benturan dua 
pukulan jarak jauh. Tubuh Raja Sihir Penyebar Maut maupun Dewa Mata Putih terpental ke 
belakang. 

Raja Sihir Penyebar Maut tidak mempunyai kesulitan untuk mematahkan kekuatan 
yang membuat tubuhnya terlempar. Dengan ringan kedua kakinya dijejakkan pada batu 
karang lain. Tapi, tidak demikian dialami oleh Dewa Mata Putih. Betapapun berhasil 
mematahkan kekuatan yang melontarkan tubuhnya, tak urung tubuhnya jatuh ke 
hamparan air laut biru. Bunyi benturan yang diiringi muncratnya air menimbulkan seringai 
keji di wajah Raja Sihin Penyebar Maut. 

Dengan hati puas kakekbermuka kuda melesat meninggalkan tempat itu. Sementara 
Dewa Mata Putih tenggelam ke dalam laut yang memiliki kedalaman tak terukur. 

Bunyi nyaring yang cukup merdu di telinga terdengar berkali-kali dengan irama 
tetap. Bunyi benda kecil yang tidak begitu berat jatuh ke permukaan air. Bunyi itu tercipta 
karena keisengan sesosok tubuh ramping berpakaian kuning yang duduk di pinggir sungai. 
Pandangannya tertuju lurus ke depan. Sinar matanya tampak kosong. Tapi, tangannya tak 
henti-henti memungut batu sebesar kepalan bayi yang ada di sekitarnya dan dilemparkan ke 
tengah sungai. 

Sosok berpakaian kuning ini ternyata seorang gadis berwajah sangat cantik. 
Meskipun saat itu kemurungan menyelimuti wajahnya, namun tidak mengurangi 
kecantikannya. Kembali gadis berpakaian kuning ini mengulurkan tangan. Kali ini sudah 
tidak ada lagi batu yang bisa diambil. Sudah habis. Di depannya ada tapi jaraknya cukup 
jauh untuk bisa dijangkau tangan. Gadis ini duduk di bagian tabing pinggir sungai. 
Menurun ke depan sedikit terhampar sungai dengan sedikit daratan di pinggirnya.Tangan 
gadis berpakaian kuning itu tidak dapat menjangkau batu-batu yang berserakan di 
depannya. Jaraknya tak kurang dari satu setengah tombak. Tapi, ketika si gadis 
menggetarkan tangannya, salah satu batu yang berada di bawah sana mela-ang ke arahnya 
dan mendarat tepat di telapak tangan! Dengan wajah dan sinar mata orang kehilangan 
semangat gadis itu melemparkan batu ke tengah sungai. Begitu seterusnya. 

Ketika ke sekian kalinya, gadis berpakaian kuning ini mengalami kejadian 
mengejutkan. Batu yang melayang ke arahnya terus meluncur melewatinya dengan 
kecepatan yang mendadak bertambah. Si gadis menggertakkan gigi. Sinar matanya 
berkilat-kilat. Ada orang yang telah bertindak usil padanya. 

Gadis berpakaian kuning membalikkan tubuh seraya bangkit berdiri. Dugaannya 
tidak salah. Di belakangnya berdiri seorang kakek dalam jarak tiga tombak. Kakek itu 
berwajah kuning. Di tangan kanannya tergenggam batu yang tadi hampir berhasil ditangkap 
si gadis 

"Tua bangka usilan! 12" maki gadis berpakaian kuning dengan suara lantang 
penuh kemarahan. "Rupanya kau ingin menerima gebukanku!" 

Kakekbermuka kuning tertawa. Tanpa sadar bulu kuduk si gadis meremang. Tawa 
kakek itu melengking tinggi seperti suara tawa seorang wanita. Nadanya pun tidak 
menyenangkan hati. Terkesan dibuat-buat. 

Gadis berpakaian kuning saat itu tengah uring-uringan. Maka mendapat gangguan, 
apalagi si pengganggu mempunyai tingkah menyebalkan, seperti menemukan tempat untuk 
melampiaskan kekesalan hatinya. Jari telunjuknya yang runcing dan lentik ditudingkan. 

"Ayo, Kakek Penyakitan! Kembalikan batuku. Sebelum mukamu yang kuning itu 
kujadikn hitam!" 

Wajah kakek muka kuning mengelam. Biasan wajahnya menyiratkan ancaman. 

"Kambing betina! Kau berani menghinaku. Di lain keadaan mungkin kau sudah 
kubunuh! Tapi karena tengah mengpmban urusan penting, biar kucicipi saja 
keperawananmu! Sudah hampir duapuluh tahun aku tidak bersenang-senang dengan 
wanita. Apalagi dengan gadis liar sepertimu. Pasti menyenangkan sekali!" 

"Keparat!" Gadis berpakaian kuning semakin kalap. Sorot matanya memancarkan 
hawa maut mendengar ucapan yang jelas-jelas kurang ajar itu. "Tua bangka seperti kau 
lebih baik dilenyapkan dari muka bumi!" 

Setelah berkata demikian, gadis berpakaian kuning mencabut pedang. Dia melompat 
seraya membacokkan pedangnya dari atas ke bawah. Apabila mengenai sasaran, tubuh 
kakek itu akan terbelah menjadi dua bagian sama. 

Kakek muka kuning tertawa dengan nada aneh. Ia seperti tengah melihat kejadian 
lucu. Kakek itu tidak berusaha mengelak atau pun menangkis. 

"Pedang tumpul seperti itu mana mungkin dapat membelah kepalaku? Membelah 
tahu saja kukira tidak akan mempan!" 

Takkk! 

Belum juga gema ucapannya habis, mata pedang si gadis telah menghantam 
kepalanya dengan keras. Tapi, seperti sesumbar yang dikeluarkan si kakek pedang gadis 
berpakaian kuning tidak mampu membelah kepalanya. Pedang itu terpental balik 

Gadis berpakaian kuning bersalto beberapa kali di udara untuk mematahkan 
kekuatan yang mementalkan tubuh ke belakang. Perasaan kaget yang sangat melanda 
hatinya. Ia seperti bukan membacok kepala, tapi gumpalan baja amat keras. Sekujur 
tubuhnya tergetar hebat. Tangannya yang menggenggam pedang hampir lumpuh. Wajah si 
gadis masih belum bebas dari keterkejutan ketika kedua kakinya menjejak tanah. 

"Betulkan yang kukatakan, Denok?" ejek si kakek dengan suara genit. 

"Tutup mulutmu, Tua Bangka Cabul!" 

Gadis berpakaian kuning semakin marah. Ia kembali mengirimkan serangan 
mematikan. Kali ini melalui tusukan cepat ke arah jantung. Kakek bermuka kuning tertawa. 
Ketika serangan menyambar dekat, telunjuk dan jari tengahnya digerakkan kc depan untuk 
memapaki. 

Si gadis mengeluarkan pekikan tertahan. Pedangnya teijepit di antara dua jari si 
kakek. Dicobanya melepaskan pedang dengan menarik atau mendorong. Dia yakin cara ini 
akan berhasil. Gesekan mata pedang dan jari tangan akan membuat jari kakek itu terluka! 




Ternyata rencana itu hanya mudah untuk dilaksanakan dalam angan-angan. Gadis 
berpakaian kuning itu harus menelan kenyataan pahit. Pedangnya tidak bergeming sedikit 
pun. 

Gadis berpakaian kuning ini ternyata memiliki watak keras kepala. Dia tidak mau 
melepaskan pedangnya kendati telah dibuat mati kutu oleh lawan. Dengan tangan kiri 
dilancarkannya tusukan dua jari tangan ke arah ubun-ubun si kakek. 

"Uh...1" 

Kakek berwajah kuning mengeluh, kaget. Serangan jari-jari tangan gadis berpakaian 
kuning memang menggiriskan. Bunyi bercicitan nyaring mengiringi luncuran serangan itu. 

"Apa hubunganmu dengan Pendekar Jari Maut?!" 

Berbarengan dengan dikeluarkannya pertanyaan itu kakek bermuka kuning 
memapaki dengan telapak tangan kiri. Dua jari si gadis yang mampu melubangi karang 
paling keras itu bertemu dengan telapak tangan tua yang kelihatan lunak. 

Wajah si gadis memucat. Jari-jarinya tidak mampu melukai tangan lawan. Malah, 
ujung-ujungjarinya melekat dengan telapak tangan itu. Gadis berpakaian kuningbersikeras 
menariknya. Tapi, sia-sia. Dari telapak tangan kakek bermuka kuning seolah ada kekuatan 
dahsyat yang menyedot jari-jari tangannya hingga tetap menempel. 

Dengan sendirinya sekarang si gadis tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Kedua 
tangannya telah dikunci. Namun dia masih berusaha keras untuk membebaskan diri! 

Rontaannya mulai melemah ketika merasakan hawa panas merayap dari kedua 
tangannya. Hawa panas itu semakin lama semakin dahsyat. Si gadis berusaha keras 
mengurangi kekuatan hawa yang menyiksa dengan mengerahkan tenaga dalam. 

Lagi-lagi usaha gadis berpakaian kuning ini tidak membuahkan hasil. Lawan terlalu 
kuat. Dia kalah dalam segalanya. Peluh membasahi sekujur wajah dan tubuh. Wajah gadis 
ini sampai merah padam seperti udang rebus. 

"Katakan apa hubunganmu dengan Pendekar Jari Maut? Cepat! Sebelum kau kubuat 
pingsan karena tak kuat dengan siksaan ini!" Kakek berpakaian kuning berteriak dengan 
tidak sabar. 

"Aku putrinya, Tua Bangka tak tahu malu! Kalau ayahku tahu, kau akan dihajarnya 
sampai mukamu yang kuning itu luntur warnanya!" jawab gadis berpakaian kuning dengan 
terengah. Serangan hawa panas membuat si gadis sulit bernapas. 

"Hi hi hi...!" 

Kakek bermuka kuning tertawa dengan suara nyaring. Jawaban si gadis yang penuh 
ancaman dianggapnya hal yang lucu. 

"Kau mengancamku, Denok? Lucu sekali. Kau kira aku takut dengan ayahmu si 
Pendekar Jari Maut itu? Dan, kau bilang dia akan menghajarku? Kau salah besar, Montok. 
Malah, kalau tahu kau dicelakai olehku dia akan menutup mata!" 

"Bohong! Kau bohong, Tua Bangka bau. Memangnya kau siapa sehingga ayahku 
takut padamu? Sekarang kau berani membuka mulut karena ayahku tidak ada! Coba kalau 
beliau ada, kau akan terberak-berak di celana karena takut!" Si gadis balas mengejek, tak 
kalah keras dan kasar. 

"Wanita liar! Mulutmu terlalu tajam!" Kakek bermuka kuning yang kalah pintar 
berdebat menjadi berang bukan main. Dia tahu tak akan menang adu mulut dengan gadis 
yang pintar bicara ini. "Kau ingin tahu siapa aku? Aku dijuluki Raja Racun Sakti. Kau 
pernah mendengar julukan ini dari ayahmu, bukan? Aku yakin ayahmu telah menceritakan 
betapa takutnya dia padaku!" 

Kakek bermuka kuning lalu meniup. Serangkum angin yang tidak keras, 
menyambar. Gadis berpakaian kuning mengeluh tertahan. Bahu kanannya seperti terkena 
sodokan tongkat besi. Pengerahan tenaga dalamnya pun terhenti. Tubuh si gadis ambruk ke 
tanah. Raja Racun Sakti telah menotoknya dengan cara yang luar biasa. 

"Nah! Apakah ayahmu mampu melakukan hal seperti ini? Tidak bukan?" tanya Raja 
Racun Sakti dengan penuh kebanggaan. 

Gadis berpakaian kuning yang memang putri Pendekar Jari Maut dan tidak lain 
Jumini hanya tersenyum mengejek. Sikapnya memandang rendah sekali. 

"Kemampuan seperti itu saja kau banggakan, Kakek Bau! Ayahku tanpa melakukan 
tindakan apa pun mampu membuat puluhan orang yang memiliki kepandaian lebih dariku 
roboh tidak berkutik. Yang kau pamerkan padaku ini tidak ada artinya sama sekali!" 

Wajah Raja Racun Sakti semakin kuning karena rasa tersinggung. Diam-diam dia 
memaki kebodohannya yang masih saja mengajak si gadis berdebat. Dia tadi sudah beijanji 
tidak akan mengadu mulut dengan Jumini! 

Jumini yang memang memiliki kepintaran berbicara tentu saja melihat perubahan 
wajah Raja Racun Sakti. Gadis ini yakin kalau kakek itu tersinggung. Kesempatan itu segera 
digunakannya untuk mengobati sakit hatinya. 

"Ayahku memang telah menceritakan tentang seorang tokoh yang berjuluk Raja 
Racun Sakti, bahkan terlalu sering. Menurut Ayah, dia seorang tokoh hitam yang memiliki 
kepandaian rendah. Anehnya, tokoh itu memiliki watak sombong. Dia juga seorang 
pengecut! Begitu mendengar berita ayahku akan datang, dia lari terbirit-birit dan hampir 
pingsan!" Dengan beraninya Jumini mengarang cerita. Padahal, sebenarnya tidak demikian. 
Ayahnya memang pernah menceritakan tentang Raja Racun Sakti. Tapi, tidak dengan cerita 
seperti yang diuraikan Jumini. Ftendekar Jari Maut menceritakan apa adanya dan 
mengatakan kalau Raja Racun Sakti merupakan salah seorang datuk kaum sesat yang amat 
terkenal pada masa puluhan tahun lalu. Tokoh itu bersama Raja Sihir Penyebar Maut 
hampir mengundurkan diri dari dunia persilatan. 

"Keparat!" Sepasang mata Raja Racun Sakti bagai hendak keluar. "Kau 
terlalu lancang, Wanita Liar! Berani mempermainkan Raja Racun Sakti. Sekarang akan 
kubuat kau menyesal seumur hidup!" 

Jumini yang sejak tadi memasang sikap angkuh dan tak henti-hentinya tersenyum 
mengejek, mulai memucat wajahnya. Naluri kewanitaannya membisikkan adanya bahaya 
besar. Bahaya yang lebih dahsyat dari maut. Rasa takut pun mulai menyeruak di hatinya. 

Kakek bermuka kuning mulai dengan ancamannya. Dia tetap berdiri di tempatnya. 
Kedua tangannya digerak-gerakkan di depan dada seperti sedang membolang-balingkan 
pedang. 

Jumini tidak tahan untuk tidak menjerit. Angin tajam menyambar. Pakaiannya 
tersayat-sayat seperti digurat-gurat pedang. Padahal, kakek muka kuning tidak bergerak 
menghampiri. Jarak antara tangan si kakek dengan tubuhnya tak kurang dari satu tombak. 
Jumini tidak sempat kaget atau kagum dengan kejadian ini. Perasaan yang paling berperan 
saat ini adalah rasa takut yang sangat. 

Di lain pihak, Raja Racun Sakti tertawa-tawa seraya terus melanjutkan tindakannya. 
Sayatan-sayatan pada pakaian Jumini semakin banyak. Anehnya, kulit tubuh gadis itu 
sedikit pun tidak terluka! 

Raja Racun Sakti tersenyum keji. Gerakan tangannya dihentikan ketika dirasanya 
telah cukup. Kakek yangtelah puluhan tahun tidak mencicipi tubuh wanita, apalagi seorang 
perawan, mulai bangkit gairahnya. Sudah terbayang di benaknya nikmatnya menggeluti 
Jumini! 

Memang, semula Raja Racun Sakti berniat merenggut keperawanan Jumini bukan 
dengan maksud menyalurkan hasrat birahi. T api, karena ketidakinginan Mustika Ular Emas 
jatuh ke tangan orang lain. Kakek ini bersembunyi di celah-celah batu karang ketika Raja 
Sihir Penyebar Maut menemui Dewa Mata Putih. Kakek muka kuning ini melihat semua 
kejadian di sana. Itulah sebabnya ia berniat menghilangkan keperawanan dan keperjakaan 
setiap pendekar muda! Bila itu terjadi, Mustika Ular Emas tidak akan berhasil didapatkan 
siapa pun. Sekarang gairah Raja Racun Sakti malah bangkit! Nafsu alami yang ada pada 
setiap manusia dewasa yang normal mulai menyerangnya. 

"Nah, Wanita Liar, sekarang permainan bisa kita mulai!" 

Raja Racun Sakti menutup ucapannya dengan kibasan tangan kiri perlahan. Angin 
yang cukup keras berhembus. Seketika itu pakaian Jumini yan sudah tersayat-sayat tapi 
masih menempel di badan beterbangan. 

Jumini menjerit-jerit dan memaki-maki melihat tubuhnya telanjang bulat. Tidak ada 
penutup tubuhnya lagi. Rasa takut dan geram bercampur pada wajah dan sorot matanya. 
Kalau saja dapat menggerakkan tangan sedikit saja, Jumini akan menggunakannya untuk 
menutupi dada dan bagian bawah tubuhnya. 

Raja Racun Sakti menatap tanpa berkedip. Kakek itu menjilati bibirnya. Matanya 
yang membelalak lebar menyapu sekujur tubuh Jumini. Tubuh yang putih, halus, dan 
mulus. 

Dengan pandangan melekat erat pada dada Jumini yang indah, Raja Racun Sakti 
melangkah menghampiri Jumini. Raja Racun Sakti tiba-tiba menggerakkan tubuhnya 
sedemikian rupa, persis seekor ayam membersihkan tubuhnya dari abu. Luar biasa! Pakaian 
dan celana yang dikenakannya langsung terlepas. Kakek ini telah bugil sebagaimana 
layaknya bayi yang baru lahir! 

Jumini memejamkan mata. Tak kuat menahan rasa ngeri mengingat malapetaka 
yang akan menima dirinya. Perasaan ngeri dan jijik melihat tubuh bugil Raja Racun Sakti 
membuatnya hampir muntah! Jantung Jumini berdetak cepat, membuat dadanya 
be rge rak-ge rak. 

Raja Racun Sakti rupanya tak kuat menahan gairah yang menggelora. Diiringi 
lengkingan bagai seekor kucing dilanda birahi, kakek ini menubruk tubuh Jumini. Dengan 
nafsu menggelora diselipkan wajahnya di dada Jumini. Tangannya pun tak tinggal diam. 

Jumini yang berada dalam puncak rasa takut berteriak-teriak kalap. Makian sampai 
permohonan agar Raja Racun Sakti menghentikan tindakan kejinya dilontarkan gadis itu. 
Tapi, hal itu justru membuat Raja Racun Sakti semakin liar. Jeritan dan makian Jumini 
menjadi semangat baginya. 

Raja Racun Sakti seakan kembali muda. Tindakannya tak kalah dengan orang yang 
masih muda. Sekujur tubuh Jumini tak luput dari jarahannya. Tidak hanya dengan jari-jari 
tangan, tapi juga dengan mulut. 

Jumini hanya bisa menangis. Dia jijik bukan main. Fterutnya mual dan ingin muntah 
melihat tingkah Raja Racun Sakti. Teringatlah gadis itu pada Dirgantara. Ftemuda yang telah 
menaklukkan hatinya. Karena satu sebab teijadi pertengkaran antara dirinya dan pemuda 
berpakaian kulit harimau itu. (Untuk jelasnya, silakan baca episode: "Mustika Ular Emas"). 

Jumini akhirnya pasrah. Malapetaka besar akan menimpa dirinya. Dia beijanji 
dalam hati untuk membalas perlakuan kakek ini sebelum membunuh diri! 

"Dirga...," keluh Jumini lirih dengan hatihancur. 


"Kakek bejat! Mampuslah kau...!" 

Bentakan keras yang diiringi bunyi mengaung membuat Raja Racun Sakti kaget 
bukan main. Dia terlalu larut dengan kesibukannya sehingga tidak mengetahui kehadiran 
orang lain. Kakek bermuka kuning ini merasakan sambaran angin teras ke arah 
ubun-ubunnya. Salah satu bagian terlemah di tubuh manusia. Dia tidak berani bertindak 
sembrono. Tubuhnya segera dilempar ke belakang dan bersalto beberapa kali untuk 
menjauhkan diri. 

Si pemilik bentakan tidak melanjutkan serangannya lagi. Dia berdiri terpaku. 
Matanya menatap sosok Jumini yang dalam keadaan polos. Jakunnya tampak bergerak 
turun naik. 

"Apa yang kau lihat?!" bentak Jumini dengan muka merah padam karena malu dan 
marah. Memang, ada perasaan lega karena miliknya yang paling berharga tidak terenggut 
Raja Racun Sakti. Tapi, rasa malu dan terhina melingkupi hatinya. 

Pemuda tampan, sosok yang telah menyelamatkan Jumini, kelabakan mendapat 
teguran itu. Wajahnya merah padam. Tampak jelas dia merasa malu dan jengah. 

"Maaf. Maafkan aku, Nona. Aku Brawijaya, tidak bermaksud kurang ajar. Tapi...." 

"Cepat bebaskan aku!" potong Jumini. 

"Iya... ya...." Brawijaya yang bukan lain putra Naga Sakti Berwajah Hitam kelihatan 
gugup. Dengan kaki menggigil karena guncangan perasaan melihat tubuh indah yang 
selama ini belum pernah dilihatnya, Brawijaya melangkah ke arah Jumini. 

Karena tidak ingin melihat tubuh Jumini, bukan karena tidak ingin tapi karena takut 
disemprot si gadis, Brawijaya membebaskan totokan Jumini dengan mengalihkan 
pandangan ke arah lain. Tanpa melihat Brawijaya menepuk-nepuk dan mengurut-urut 
untuk membebaskan totokan. Tapi karena tidak memperhatikan, yang ditepuk dan diurut 
adalah dada Jumini! Tentu saja Jumini bertambah kalap. 

"Hey! Rupanya matamu butaya?!" 

"Ah... maaf. Maaf, Nona. Tidak sengaja," kilah Brawijaya dengan suara 
bergetar karena jantungnya memukul dengan keras. Pemuda ini sampai khawatir Jumini 
mendengar bunyi detak jantungnya. 

Mau tidak mau Brawijaya terpaksa melihat tubuh Jumini. Baru kemudian 
mengurut-urut dan menepuk-nepuknya untuk membebaskan totokan. 

Wukkk! 

"Hey!" 

Brawijaya mengeluarkan seruan kaget. Jumini mengirimkan sampokan ke arah 
pelipisnya. Itu dilakukan gadis berpakaian kuning begitu pengaruh totokan hilang. 

Brawijaya melempar tubuhnya ke belakang lalu bergulingan. Begitu bangkit peluh 
membasahi dahinya. Keringat dingin! Brawijaya bergidik. Kalau tadi dia tidak bertindak 
cepat, nyawanya telah melayang meninggalkan tubuh. 

Sementara Jumini begitu selesai melancarkan serangan langsung berlari mengambil 
buntalannya. Gadis itu hendak berpakaian. Brawijaya kembali menelan ludah melihat tubuh 
menggiurkan itu. Apalagi ketika melihat dada yang menggantung indah itu 
bergoyang-goyang seperti akan jatuh ketika Jumini berlari. Darah kelelakian Brawijaya 
bergolak hebat. 

Brawijaya menggeleng-gelengkan kepala. Bahkan menepak dahinya ketika 
pikirannya mulai membayangkan ia bermain cinta dengan gadis itu. 

"Mengapa aku mempunyai pikiran kotor seperti mi?" Brawijaya bergumam. Perasaan 
heran dan bingung melandanya. 

Brawijaya tambah kelabakan ketika semakin lama dia membayangkan tentang 
permainan cinta itu. Darahnya terasa panas. Ada gairah aneh yang muncul. Gairah untuk 
bermesraan dengan wanita! 

Putra Naga Sakti Berwajah Hitam ini tidak tahu kalau sebelum Raja Racun Sakti 
meninggalkan tempat itu, kakek ini melemparkan sekantung bubuk halus. Bubuk yang 
demikian ringannya sehingga terbawa angin. Bubukitu adalah obat perangsang. Udara yang 
dihirup Brawijaya telah terpengaruh bubuk, lalu dengan cepat mengalir dalam darah 
pemuda itu. 

Brawijaya tidak melihat tindakan Raja Racun Sakti. Yang diketahuinya, kakek itu 
melesat kabur sambil menyambar pakaiannya. Semula dia merasa heran melihat tingkah 
kakek itu. Brawijaya yakin dirinya bukan tandingan Raja Racun Sakti. 

Jantung Brawijaya berdetak jauh lebih kencang ketika melihat Jumini melesat keluar 
dari tempat persembunyiannya. Gadis ini telah berpakaian lagi. 

"Mengapa kau hendak membunuhku?" tanya Brawijaya dengan suara 
hampir berupa keluhan. Ada perasaan heran melanda hatinya. Jumini terlihat semakin 
cantik. Brawijaya tidak tahu kalau itu teijadi karena pengaruh bubuk perangsang. 

Sepasang mata Jumini mendelik. Dengan ujung pedang ditudingnya wajah 
Brawijaya. Karena kaget, pemuda itu melompat mundur. Padahal, tanpa bertindak demikian 
pun ujung pedang Jumini tidak akan mengenai wajahnya. 




"Mengapa? Setelah apa yang kau lakukan terhadapku, kau masih berkata 
mengapa?!" tanya Jumini dengan suara mengandung kemarahan besar. 

Gadis berpakaian kuning itu tidak menerjang atau mengirimkan serangan. Sewaktu 
berpakaian tadi Jumini mulai bisa berpikir jernih. Brawijaya tidak bersalah. Bahkan, 
pemuda tampan itu telah berjasa. Kalau tidak ada dia tentu Raja Racun Sakti berhasil 
melaksanakan niatnya. 

Tadi seandainya serangannya berhasil Jumini akan menjesal seumur hidup. 
Serangan itu meluncur di luar kesadarannya. Rasa malu yang mendorongnya bertindak 
de mikian. 

"Aku... aku yakin kau tahu hal yang sebenarnya, Nona. Aku tidak bermaksud kurang 
ajar," sahut Brawijaya terbata. "Kalau kau merasa itu salahku, biar aku meminta maaf." 

"Sudahlah." Jumini mengibaskan tangannya. Terasa oleh Brawijaya nada suara gadis 
berpakaian kuning telah melunak. Ini membuatnya gembira. 

Brawijaya berharap akan terjalin hubungan antars dirinya dengan Jumini. 

Di saat Brawijaya yang telah terpengaruh bubuk perangsang tengah diliputi 
kegembiraan, Jumini dihinggapi perasaan aneh. Gadis ini merasa darahnya beredar cepat. 

Tubuhnya terasa panas. Ada rangsangan aneh yang membuatnya membayangkan 
kenikmatan bermesraan dengan seorang pria! 

"Brawijaya," sapa Jumini. "Kuharap kau mau melupakan kejadian ini. Anggap saja 
tidak pernah terjadi. Untuk itu, aku Jumini, akan sangat berterima kasih padamu...." 

"Jumini...?!" ulang Brawijaya dengan nada kaget. Pemuda perkasa ini teringat akan 
tugas dari ayahnya. Ia diperintahkan mencari tunangannya yang bernama Jumini. Inikah 
tunangannya itu? 

Melihat ciri-cirinya, Brawijaya yakin sekali gadis ini yang dicalonkan untuk menjadi 
istrinya. Menurut berita, Jumini ditangkap oleh Naga Sakti Berwajah Hitam palsu? Lalu, 
mengapa bisa berada di sini? 

Hati Brawijaya seketika berbunga-bunga. Kalau semula dia tidak setuju, sekarang 
pemuda ini diam-diam merasa bersyukur. Hatinya telah terpikat pada gadis berpakaian 
kuning yang cantik jelita ini. 

"Apa ada yang aneh dengan namaku, Brawijaya?" tanya Jumini. Ia melihat 
pemuda itu demikian kaget mendengar namanya. Bahkan, pemuda itu tercenung seperti ada 
yang dipikirkan. 

"Tidak. Tidak ada apa-apa, Non..., eh, Jumini," jawab Brawijaya. 

Ia gugup mendapat pertanyaan penuh selidik itu. Di dalam hati pemuda tampan ini 
merasa heran. Apakah Jumini belum tahu dirinya telah dijodohkan? Tapi, ketika teringat 
gadis berpakaian kuning itu belum pernah berjumpa dengannya, bahkan ayahnya sendiri 
baru bertemu satu kali, Brawijaya jadi mengerti. Brawijaya tidak berani memberitahukan 
tentang perjodohan itu. Biarlah nanti Pendekar Jari Maut, ayah Jumini, yang akan 
me mbe ritah ukan nya. 

"Kalau memang tidak ada apa-apa, aku akan pergi. Ingat baik-baik, Brawijaya. Aku 
tidak mau mendengar kejadian ini tersiar. Kau harus tutup mulut. Kalau tidak, pedangku 
akan berbicara...!" 

Brawijaya menggeleng-gelengkan kepala. Dia sudah dapat mengenal sedikit watak 
Jumini. Gadis itu memiliki watak keras hati. Tapi, Brawijaya malah suka. Cinta memang 
buta! 

Brawijaya tercenung beberapa saat lamanya setelah Jumini melesat pergi. Gairah 
aneh yang sukar dilawan semakin kuat menyerangnya. Dia bersyukur Jumini segera 
meninggalkannya. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi! Brawijaya tidak yakin akan 
dapat mengatasi serangan pengaruh aneh ini. 

Perasaan resah meledak-ledak itu membuat Brawijaya bagai cacing dalam abu 
panas. Dia menggeliat-gsliat. Peluh membasahi sekujur wajah dan tubuhnya. 

"Apa yang terjadi pada diriku?" keluh Brawijaya. Suaranya berdesah bagai orang 
kepanasan. Kemudian, dengan langkah gontai pemuda ini melesat meninggalkan tempat itu. 
Arah yang ditempuhnya berlawanan dengan arah yang dituju Jumini. Sepanjang perjalanan 
Brawijaya terus mengeluh. 

"Gila...! Apa yang terjadi dengan diriku...?" 


kkk 


Keadaan Jumini tidak berbeda dengan Brawijaya. Setelah beberapa puluh tombak 
meninggalkan putra Naga Sakti Berwajah Hitam itu, gairah aneh yang melandanya bergolak 
semakin dahsyat. 

Jumini merasakan sekujur tubuhnya panas. Benaknya yang biasanya tidak pernah 
membayangkan bermesraan dengan seorang lelaki, kini mulai melamunkannya. Dia 
merasakan betapa nikmatnya belaian seorang pria. 

Dorongan perasaan itu membuat Jumini tersiksa. Keadaannya tak ubahnya ikan 
yang dilempar ke darat. Beberapa kali gadis ini menghentikan lari dan ingin kcmbali 
menjumpai Brawijaya. Pemuda itu satu-satunya lelaki yang ada. Tapi, setitik kesadaran 
yang tersisa membuat Jumini menghentikan keinginannya. Beberapa kali Jumini menggigit 
bibirnya kuat-kuat. 

Jumini berlari tak mengenal arah. Ketika tiba di suatu daerah yang terdapat 
pepohonan dan kerimbunan semak, mata Jumini terlihat nyalang. Pendengarannya yang 
tajam mendengar bunyi mencurigakan. Suara lenguh dan desahan seorang manusia. 

Kesadaran yang tersisa mendorong Jumini untuk menghampiri asal suara. Gelora 
nafsu yang telah memuncak membuat gadis itu berharap semoga suara itu milik seorang 
lelaki. 

Beberapa tindak mengayunkan kaki Jumini akhirnya mengetahui penyebab bunyi 
gaduh itu. Kerimbunan semak-semak memang tidak terlalu rapat. Gadis ini bisa melihat 1$ 
dalamnya. Sepasang mata Jumini langsung berbinar. 

Sesosok tubuh tegap terbungkus rompi kulit harimau dengan asyik memeluk 
sebatang pohon. Tidak hanya memeluk, tapi juga menciumi dan meraba-rabanya. Dari 
mulut sosok itu keluar lengu dan desahan. 

Sosok tegap itu ternyata merasakan adanya kehadiran orang di dekatnya. 
Tindakannya dihentikan dan tubuhnya dibalikkan. Sepasang mata yang merah membara itu 
tampak berbinar. 

"Jumini...." Diantara desah napasnya yan memburu, pemuda itu memanggil dengan 
suara serak. 

"Dirgantara... Dirga.Jumini menyahuti. 

Hanya sekejap kedua muda-mudi itu saling berpandangan. Entah siapa yang 
memulai lebih dulu mereka saling menghambur dengan kedua tanga terkembang. Mereka 
berpelukan erat. Kemudian saling cium dan rangkul. Tidak ada lagi akal sehat yang bekerja. 
Yang ada hanya menyalurkan hasrat yang bergolak. 

Bagai orang tak mengenal malu, Jumini dan Dirgantara saling berlomba melucuti 
pakaian masing-masing. Sesaat keduanya telah tidak berpakaian dan saling gelut di 
semak-se mak. 

Dirgantara bagai macan lapar mendapatkan kambing muda yang gemuk. Sekujur 
tubuh Jumini mulai dari rambut sampai ujung kaki dijarahnya. Jumini mengerang-erang 
penuh perasaan nikmat. Gadis ini hampir histeris. Dirgantara semakin buas. 

Beberapa lama sepasang muda-mudi ini sibuk dengan keasyikannya sebelum 
akhirnya dari mulut Jumini keluar pekikan halus. Ftekik yang mengandung rasa puas dan 
juga kesakitan! Darah memercik membasahi rerumputan! 

Pergumulan itu pun berakhir. Mereka memisahkan diri. Di mulut keduanya 
tersungging senyum kepuasan. Sesaat kemudian keduanya terlelap. Pingsan! 

Entah berapa lama mereka tak sadarkan diri. Yang pertama kali sadar lebih dulu 
adalah Jumini. Gadis ini memang memiliki tenaga dalam lebih kuat dari pada Dirgantara. 

Jumini membuka sepasang matanya. Dia tidak langsung bangkit. Pusing di kepala, 
pegal di sekujur tubuh serta rasa perih pada pangkal paha membuatnya bingung. Namun, 
Jumini enggan untuk memeriksa. Baru setelah mendengar bunyi lirih di dekatnya, Jumini 
menoleh. Gadis ini memekik tertahan. Dirgantara tergolek di dekatnya dalam keadaan tanpa 
pakaian. 

Perasaan kaget dan risih mendorong Jumini bertindak cepat. Tubuhnya digulingkan 
ke samping menjauhi Dirgantara. Tapi, baru segulingan dirasakan ada yang aneh. Sekujur 
tubuh terasa dingin. Jumini meneliti. Dan, dia pun menjerit ketika mengetahui sekujur 
tubuhnya tidak tertutup! 

Jumini hampir pingsan mendapati kenyataan ini. Benaknya berputar teras mencoba 
mengingat-ingat. 

Samar-samar gadis ini teringat semua perbuatan yang dilakukannya. Mendadak dia 
menjadi seorang gadis tak tahu malu! Berzinah dengan Dirgantara. Pakaiannya yang 
berserakan telah menjelaskan semuanya. 

Jumini tak kuasa untuk tidak mengeluarkan keluhan ketika melihat bukti paling 
mutlak. Pada tanah berumput tampak bercak-bercak darah. Bercak yang sama ada pada 
pangkal pahanya. 

"Oooh... tidak...! Tidak...!" Jumini mendekapkan kedua tangannya ke wajah. 
Goncangan hatinya membuat Jumini tidak segera mengpnakan pakaian. 

Dirgantara saat itu samar-samar mulai teringat kejadian yang dialaminya. Seperti 
juga Jumini, pemuda ini pun menyesal. Tapi, hanya sedikit. Yang lebih besar lagi adalah 
perasaan puasnya. 

Sungguhpun demikian sebagai orang yang punya perasaan, dia bisa mengetahui 
betapa hancurnya hati Jumini. Apalagi ketika melihat gadis yang biasanya keras hati dan 
pandai bicara itu menangis tersedu-sedu. Hati Dirgantara luluh. Dia harus bertanggung 
jawab. 

"Sudahlah, Jumini. Hentikan tangismu. Aku juga tidak mengerti mengapa bisa 
terjadi seperti ini. Tapi, biar bagaimanapun aku akan bertanggung jawab. Aku akan 
menikahimu, Jumini. Kita akan menjadi suami-istri. Aku akan meminta Guru untuk 
melamar pada ayahmu. Kau bersedia kan menjadi istriku?" 

Jumini menurunkan kedua tangan dari wajahnya. Tampak wajah yang manis itu 
dibasahi air mata. Sepasang mata Jumini berbinar-binar mendengar ucapan Dirgantara. 

"Benarkah itu, Dirga? Bukankah kau membenciku? Katamu, aku seorang pelacur," 
Jumini teringat kembali pada ucapan pemuda berompi kulit harimau itu. 

Dirgantara tersenyum lebar. 

"Maafkan aku, Jumini. Aku yang salah. Kau adalah bidadari khayangan yang suci. 
Aku bersedia menerima hukuman darimu atas kebodohanku waktu itu." Tanpa 
ragu-ragu lagi Dirgantara bangkit dan mencium ujung kaki Jumini. 

Jumini tertawa. Perasaan sedihnya lenyap. Diam-diam dia bersyukur karena saat 
tengah dimabuk birahi berhubungan badan dengan Dirgantara, pemuda yang dicintainya. 
Kalau bukan, tentu dia terpaksa membunuh diri setelah terlebih dulu membunuh orang 
yang merenggut kesuciannya! 

"Mengapa kau bisa demikian cepat berubah pendirian, Dirga?" tanya Jumini dengan 
bibir mengembangkan senyum. Sikapnya telah kembali seperti semula. Lincah dan gpmbira. 

"Aku bertemu dengan Dewa Arak dan Linggar. Dari Linggar aku tahu kejadian 
sebenarnya. Kau tidak bersalah. T api, aku masih tidak yakin. Sekarang aku yakin kau gadis 
yang suci. Aku telah membuktikannya sendiri!" jawab Dirgantara tanpa ragu-ragu. 

"Enak betul! Membuktikan kebenaran seseorang dengan menyetubuhinya!" rungut 
Jumini, pura-pura marah. 

"Tentu saja enak!" jawab Dirgantara, membuat wajah Jumini merah padam. Ia agak 
risih dengan pembicaraan mereka. 

Jumini beringsut mengambil pakaiannya. Demikian pula Dirgantara, tapi belum ju ga 
maksud mereka terlaksana, terdengar suara bentakan teras. Bentakan yang sarat dengan 
kemarahan. 

"Dirgantara! Apa yang tengah kau lakukan?!" 

"Jumini! Kau sudah gila?!" 

"Guru...!" Wajah Dirgantara pucat pasi. Dengan tergesa pemuda ini mengambil 
pakaian dan mengenakannya. Sebenarnya mudah saja. Tapi, karena Dirgantara tengah 
malu dan takut berkali-kali pemuda ini salah mengenakan. 

Hal yang sama pun melanda Jumini. Gadis ini kagpt bukan main mendengar teguran 
yang dikenal baik pemiliknya. Jumini bagai disengat ular berbisa. Wajahnya memucat ketika 
melihat ayahnya berdiri dengan sikap angker. 

"Ayah...," sapa Jumini dengan suara bergetar. Jumini segpra mengenakan pakaian. 

"Jumini! Apa yang telah kau lakukan? Gilakah kau sehingga berzinah dengan begitu 
tak mengenal malu?!" tegur Pendekar Jari Maut. 

Kakek yang memiliki watak berangasan ini marah bukan main. Jumini yang 
diharapkan menjadi jodoh Brawijaya malah berzinah dengan Dirgantara. Siapa yang tidak 
menjadi kalap? 

"Ayah, aku cinta padanya. Kakak Dirgantara ingin menjadikanku istrinya. Dia akan 
melamarku Ayah," beritahu Jumini. 

Kalau saja ada halilintar menyambar dekat tempatnya berdiri, Pendekar Jari Maut 
tidak sekaget seperti mendengar ucapan putri semata wayangnya itu. 

"Jumini! Kau gila! Kau tidak bisa menjadi istrinya atau istri siapa pun. Kau telah 
kutunangkan sejak kecil dengan putra Naga Sakti Berwajah Hitam. Namanya Brawijaya. Dia 
seorang pemuda yang hebat. Tampan dan berkepandaian tinggi. Dia tidak merampas 
kehormatan perempuan seperti pemuda itu!" 

Jumini melongo mendengar berita yang dibawa ayahnya. Berita itu terlampau 
mengejutkan. Untuk beberapa saat lamanya gadis ini terpaku dengan mulut terbuka. 

"Aku tidak mau!" 

Itulah jawaban yang dikeluarkan Jumini begitu sadar dari terkesimanya. Jawaban 
yang dikeluarkan dengan suara lantang. 

"Aku hanya mau beijodoh dengan Dirgantara. Aku hanya ingin menjadi istrinya. Aku 
telah bertemu dengan Brawijaya. Aku tidak cinta padanya, Ayah!" 

Wajah Ftendekar Jari Maut menegang. Sepasang matanya berkilat tajam ketika 
menatap wajah putrinya! 




"Anak tak tahu diuntungl2 Kau ingin mencoreng mukaku dengan kotoran? Mau 
kutaruh di mana mukaku ini, Jumini?12 Aku yang mengusulkan perjodohan antara kau 
dengan putra sahabatku Naga Sakti Berwajah Hitam. Sekarang aku juga yang 
mengingkarinya. Lebih baik aku kehilanganmu, Jumini, daripada kehormatanku kau 
injak-injak!" 

Lantang dan teras ucapan Pendekar Jari Maut. 

Jumini sejak kecil tinggal dengan ayahnya. Karena itu, dia hafal betul dengan sifat 
ayahnya. Pendekar Jari Maut amat sayang padanya. Tapi, lebih sayang lagi pada 
kehormatan. 

Sungguh pun demikian Jumini tidak menjadi gentar. Gadis ini memang memiliki 
watak aneh. Semakin dikerasi semakin besar perlawanan yang diberikan. Terlebih jika 
sudah mempunyai keinginan, apa pun yang menghalangi akan diterjangnya. Mendapat 
tekanan dari ayahnya, Jumini malah meninggikan leher. Ditentangnya pandang mata 
Pendekar Jari Maut. 

"Bukan hanya Ayah saja yang mengutamakan kehormatan! Aku pun demikian. Aku 
telah berjanji untuk menjadi istri Kak Dirgantara. Aku tak mungkin menjilat ludah yang 
telah kukeluarkan! Lebih baik mati daripada menarik kembali ucapanku!" 

Sekujur tubuh Ftendekar Jari Maut menggigil karena amarah. Bunyi berkerotokan 
terdengar. Pa-dahal, kakek ini tidak menggerakkan anggota tubuhnya. Pergolakan tenaga 
dalam yang menyebabkan terciptanya bunyi itu. 

"Kuberikan kesempatan untuk menarik kembali ucapanmu, Jumini. Atau, aku akan 
bertindak!" 

"Ayah, aku mempunyai keyakinan hidup yang selama ini kupegang teguh. Sekali aku 
berkata hitam, tak akan nanti aku berkata putih!" tegas Jumini. 

"Kalau begitu, mampuslah kau, Jumini!" 

Kemarahan yang menggelegak membuat Pendekar Jari Maut lupa diri. Tangan 
kanannya diayunkan ke arah kepala Jumini. Sekali saja mengenai sasaran, nyawa Jumini 
melayang. 

Jumini tidak bergeming dari tempatnya. Gadis ini berdiri tenang dengan tatapan 
luruske depan. Sikapnya kelihatan tenangdan gagah. Memang, Jumini tidak mau melawan. 
Rasa hormatnya terhadap sang ayah menyebabkannya berlaku demikian. 

Dirgantara yang sejak tadi memperhatikan pertengkaran ayah dan anak itu terkejut 
bukan main. Dia merasa bangga dan terharu melihat keteguhan Jumini. Sekarang, gadis itu 
terancam bahaya maut! Ia tidak akan membiarkan kekasih yang dicintainya dibunuh orang. 
Pemuda berompi kulit harimau itu langsung melesat memapaki serangan Pendekar Jari 
Maut 

Prattt! 

Benturan dua tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam kuat tidak bisa 
dihindarkan lagi. Dirgantara memekik kesakitan. Tubuhnya terpental ke belakang dan 
berputar seperti gasing. 

Kendati demikian, Dirgantara berhasil mematahkan kekuatan yang melemparkan 
tubuhnya dan menjejak tanah walau agak terhuyung. Seringai tampak di wajahnya. Pemuda 
kekar ini kelihatan tidak menyesal. Tindakannya berhasil menyelamatkan nyawa Jumini. 

"Kau berani campur tangan dalam urusan keluarga, Pemuda kurang ajar! 
Mampuslah!" 

Pendekar Jari Maut yang tengah kalap mengalihkan serangannya. Tidak lagi pada 
Jumini, tapi pada Dirgantara. 

"Kau keterlaluan, Jari Maut! Di depan mataku kau hendak mencelakai muridku! 
Langkahi dulu mayatku!" 

Petani Berambut Putih menjejakkan kaki. Tubuhnya melayang dan berdiri di antara 
Dirgantara dan Pendekar Jari Maut. Mau tidak mau ayah Jumini menghentikan gerakannya. 

"Rupanya kau ingin bertarung denganku, Ftetani?!" Pendekar Jari Maut berkata 
dengan menantang. Ditatapnya lekat-lekat wajah Petani Berambut Putih untuk melihat 
kesungguhan sikap guru Dirgantara itu. 

"Apakah harus kubiarkan saja kau mencelakai muridku? Begitu, Jari Maut?" Petani 
Berambut Putih balas mengajukan pertanyaan. 

Pendekar Jari Maut terdiam. 

"Menurut pendapatku, lupakan dulu masalah anakmu. Yang lebih penting sekarang 
adalah kita coba melenyapkan angkara murka yang merajalela di dunia persilatan." 

"Kau tahu sendiri, Petani." Ftendekar Jari Maut berkata dengan suara berat. "Jumini 
telah kujodohkan dengan Brawijaya. Sudah merupakan kewajiban bagiku untuk 
memenuhinya. Apalagi setelah Naga Sakti Berwajah Hitam tewas akibat meletusnya gunung. 
Aku jadi lebih berkewajiban lagi." 

Petani Berambut Putih mengangguk-angguk "Kau mau mendengar 
pe n dapatku ?2 010 

Pendekar Jari Maut tidak memberikan jawaban. Tapi dari sikap kakek itu, Petani 
Berambut Putih tahu pendekar pemarah itu setuju. 

"Menurut pendapatku, perjodohan ini adalah urusan orang-orang yang 
bersangkutan. Dalam hal ini Jumini. Lebih baik kita selaku orang tua hanya berdiri di luar 
garis. Biarkan dia memilih. Kita hanya memberikan pendapat apabila perlu. Bagaimana 
apabila tidak hanya Jumini yang menentang perjodohan itu, tapi juga Brawijaya? Apakah 
kau akan tetap memaksakan kehendakmu?" 

Pendekar Jari Maut mengernyitkan dahi. Dia tidak berpikir sampai ke situ. Pendekar 
pemarah ini tidak pernah memikirkan kemungkinan pihak-pihak yang berkepentingan tidak 
setuju. Dia terlalu asyik bermain dengan rencananya. 

"Sebenarnya, aku sudah lama ingin membicarakan masalah ini. Beberapa hari yang 
lalu Dirgantara memintaku untuk melamarkan Jumini. Katanya, dia jatuh cinta pada 
putrimu. Aku tidak berani mengutarakannya. Aku tahu kau telah menjodohkan Jumini 
dengan Brawijaya." 

"Aku tidak mau menjodohkan putriku dengan orang yang asal-usulnya tidak 
jelasl2" sergah Pendekar Jari Maut dengan nada tidak senang. 

"Dirgantara mempunyai asal-usul yang jelas, Jari Maut. Ibunya sendiri yang 
memintaku untuk mendidiknya. Ayahnya berjuluk Iblis Buta. Sedangkan ibunya...." 

"Iblis Buta?!" Alis Pendekar Jari Maut berkerut "Kau harapkan aku berbesan dengan 
tokoh sesat itu, Petani?!" 

"Iblis Buta hanya samaran saja. Beliau sebenarnya orang yang dikenal dengan nama 
Begawan Narasoma," beritahu Dirgantara, buru-buru. Dengan singkat pemuda berompi 
kulit harimau ini kemudian menceritakan tentang keluarganya. Berkali-kali Pendekar Jari 
Maut dan Petani Berambut Putih berseru kaget. Nama begawan itu telah lama mereka 
dengar. 

"Kau bilang ibumu bernama Tulini?" tanya Pendekar Jari Maut 

"Benar, Kek. Mengapa?" Dirgantara balas bertanya. 

"Tidak apa-apa. Sekarang aku mengerti mengppa Guntar yang merupakan salah 
seorang dari Sepasang Setan Ftenghilang Nyawa tidak dibunuh oleh Begawan Narasoma. 
Pasti atas permintaan Tulini. Wanita itu saudara seperguruan Guntar. Tulini bersembunyi di 
balik selubung dan memakai gelar Tengkorak Darah. Dia membenciku karena aku telah 
merobek pakaian bagian atasnya hingga terlihat. Dia marah sekali. Itu sebabnya dia 
menyembunyikan wajahnya." Ftendekar Jari Maut malah bercerita. 

"Pantas Tengkorak Darah sangat membenciku begitu tahu aku putrimu, Ayah." 
Jumini mengangguk-angguk. 

"Sekarang dia tidak membencimu lagi, Jumini. Bahkan, dia mendukung ketika 
kukatakan aku hendak menikahimu. Beliau minta maaf atas perlakuannya padamu." 

"Aku telah lama melupakannya, Dirga," sahut Jumini seraya tersenyum. 

"Bagaimana, Jari Maut?" tagih Petani Berambut Putih. "Apakah muridku masih tidak 
pantas menjadi calon suami putrimu?" 

Pendekar Jari Maut tersenyum pahit. 

"Bukan hanya pantas, Petani. Tapi lebih dari pantas. Sekarang masalahnya, biar 
bagaimanapun putriku masih terikat jodoh dengan Brawijaya. Tidak semudah itu aku 
menerima pinanganmu. Aku harus bertemu dulu dengan Brawijaya dan mendengar 
langsung dari mulutnya akan ketidakbersediaannya menerima Jumini." 

"Kurasa..., kalau kukatakan hal yang sebenarnya Brawijaya tidak akan mau 
menerimaku, Ayah." Jumini segera menimpali setelah saling bertukar pandang dengan 
Dirgantara. Pemuda itu mengangguk. Jumini lalu menceritakan kejadian yang menimpa 
dirinya. 

Pendekar Jari Maut dan Ftetani Berambut Putih kelihatan jelas terperanjat kaget. 
Kedua kakek ini langsung bisa mengetahui penyebab gairah aneh yang memaksa terjadinya 
hubungan badan antara Jumini dan Dirgantara. Raja Racun Sakti seorang datuk sesat yang 
ahli dalam segala macam racun. 

"Apakah kau juga bertemu dengan kakek seperti yang diceritakan Jumini, 
Dirgantara?" tanya Petani Berambut Putih. 

Dirgantara mengangguk. "Aku berpapasan dengan kakek itu di pertengahan jalan, 
Guru. Dia lari cepat sekali. Tapi, aku masih sempat melihatnya melemparkan bubuk ke 
udara. Bubuk itu mempunyai hubungan dengan pengaruh aneh itu, Guru?" 

"Kemungkinan besar demikian," jawab Peta Berambut Putih, tak yakin. 

Keadaan menjadi hening ketika Petani Berambut Putih selesai berbicara. Tidak ada 
lagi yan membuka percakapan. Mereka tenggelam dalam alun pikiran masing-masing. 

"Sekarang ke mana lagi tujuan, Guru?" Dirgatara iseng-iseng bertanya ketika tidak 
ada yang berusaha memulai percakapan. Guntar telah tewas akibat meletusnya gunung. 
Tidak ada lagi yang akan dilakukan kakek berambut putih itu. 

"Kau sendiri hendak ke mana, Dirga? Kalau aku ingin kembali ke tempat tapaku. Aku 
suda bosan berkeliaran di dunia persilatan. Kalau kau hendak menikah, jangan lupa 
mengundangku." 

Pendekar Jari Maut menghela napas berat 

"Aku pun demikian, Dirga, Jumini. Aku harap kalian nanti datang ke tempat 
pengasinganku dengan membawa Brawijaya. Aku tidak bisa menikahkan kalian kalau syarat 
itu tidak dipenuhi!" 

"Akan kami coba memenuhi permintaan itu Kek," jawab Dirgantara dengan 
sopannya. 

"Kau sendiri hendak ke mana, Dirga?" tanya Petani Berambut Putih. "Apakah kau 
mendapat tugas dari ayahmu?" 

Dirgantara jadi bingung. Dia memang hendak mencari Ular Emas, ayahnya berpesan 
agar jangan memberitahu siapa pun. Sekarang gurunya sendiri yang bertanya. Haruskah 
dirahasiakan pula? Dirgantara bimbang. Apalagi ketika dilihatnya Pendekar Jari Maut 
menunggu jawabannya. 

"Kalau memang tugas rahasia tidak usah kau katakan, Dirga." Petani Berambut 
Putih yang melihat kebingungan muridnya segera mengambil jalan tengah. 

"Apakah Guru tidak melihat tanda-tanda aneh di langit?" Akhirnya, Dirgantara tak 
kuat menyimpan rahasia itu. Ketika dilihatnya Petani Berambut Putih mengangguk, 
kata-katanya langsung dilanjutkan. Tapi, Dirgantara kecewa. Petani Berambut Putih 
maupun Pendekar Jari Maut sedikit pun tidak tampak tertarik dengan ceritanya. 

"Aku sudah rindu tempatku yang dulu, Dirga. Aku ingin suasana tenang. Bosan 
terlibat pertarungan terus-menerus. Kau saja usahakan cari Mustika Ular Emas itu. Aku 
tidak berminat sedikit pun. Selamat tinggal, Dirga. Baik-baiklah menjaga diri!" ujar Petani 
Berambut Putih ketika Dirgantara menyelesaikan kisahnya. 

"Aku juga akan pergi, Jumini. Ingat! Datang lagi bersama Brawijaya 12" pesan 
Pendekar Jari Maut. 

Dirgantara dan Jumini menatap kepergian ke dua kakek itu hingga lenyap di 
kejauhan. Kemudian, dengan hati berbunga-bunga keduanya segera melanjutkan 
perjalanan. 

"Kau dengar suara itu, Linggar? Sepertinya ada pertarungan 12" 
Ucapan itu dikeluarkan seorang pemuda berambut putih keperakan dan berpakaian 
ungu. Pemuda itu adalah Arya Buana alias Dewa Arak 

"Benar, Arya," jawab Linggar setelah mendengarkan sejenak. 

Arya tidak menyambuti lagi. Pemuda ini bergegas melesat 1$ depan. Tubuhnya 
meluncur bagai anak panah lepas dari busur. Tidak terlihat bentuk tubuhnya. Hanya 
bayangan ungu yang tak jelas. 

Linggar tidak mau ketinggalan. Ia ikut melesat menyusul Atya. Dalam waktu 
sebentar saja sepasang muda-mudi itu telah melihat penyebab bunyi gaduh. Seorang 
pemuda berpakaian coklat tengah dikeroyok tiga orang lelaki berpakaian pasukan kerajaan. 

Atya yang tiba lebih dulu daripada Linggar tidak bertindak ceroboh. Dia terlebih dulu 
memperhatikan jalannya pertarungan. Beberapa saat lamanya pemuda berambut putih 
keperakan itu baru bisa menilai. 

Pemuda berpakaian coklat sebenarnya memiliki kemampuan di atas 
lawan-lawannya. Sehingga, dia tidak akan terdesak oleh lawan. Tapi, kenyataannya pemuda 
berpakaian coklat yang bersenjatakan keris terdesak hebat. Aiya segera mengetahui 
penyebabnya. Pemuda berpakaian coklat tidak melawan dengan sungguh-sungguh. 
Serangannya selalu ditujukan pada bagian-bagian yang tidak mematikan. Itu pun jarang 
sekali dilakukan. Pemuda ini lebih banyak mengplak atau menangkis. 

Di lain pihak, ketiga lawannya menyerang dengan maksud untuk membunuh. 
Serangan mereka tertuju pada bagian-bagian mematikan. Kenyataan ini membuat perasaan 
tidak suka muncul di hati Aiya. 

"Tidak melihatkah prajurit-prajurit kerajaan itu kalau lawan yang dihadapi terlalu 
banyak mengalah?" tanya Aiya dalam hati. 

Meskipun demikian, Aiya berusaha tidak memihak. Dia belumtahu siapa yangbenar 
dan salah dalam persoalan ini. Namun, pemuda berpakaian coklat membuat Aiya merasa 
heran. Ih muda itu berkali-kali meringis dan memegang kepalanya. 

"Percayalah, Kawan-kawan. Bukan Tiang yang melakukan pembunuhan 
terhadap Panglima Anggar Bayu dan pengawalnya. Panglima itu merupakan saudara tua. 
Ida terhitung kakek sepergurun Tiang," beritahu pemuda berpakaian coklat sambil 
mengelakkan sebuah serangan. 

"Tidak usah banyak bicara. Kalau bukan kau siapa lagi? Hanya kau orang luar 
yang datang ke tempat itu. Tidak ada gunanya berdusta. Bersiaplah untuk mati guna 
menebus dosamul2" 

Pasukan kerajaan yang bersenjatakan golok mengirimkan babatan ke arah leher. 
Tapi, pemuda yang tidak lain I Made Sangkara berhasil mengelakkannya. 

"Sudah kukatakan pembunuhnya adalah Lanang. Dia memiliki kemampuan 
sangat tinggi. Harap kalian menyingkir. Aku tengah memburu waktu. Iblis itu hendak 
membunuh guruku. Berilah aku jalan 12" pinta I Made Sangkara berkali-kali. 

"Uhl2" 

Aiya terperanjat. Lagi-lagi ia melihat I Made Sangkara menyeringai sambil mendekap 
belakang kepalanya. Kali ini tubuhnya sampai limbung. Saat itu tombak salah seorang 
lawannya meluncur datang! 

Crattt! 

Tidak terdengar keluhan sedikit pun kendati tombak menembus belakang paha 
kanan I Made Sangkara. Darah segar langsung muncrat keluar. Saat itu dua lawannya yang 
lain mengirimkan serangan pula. Yangsatu ke arah dada dan yang lain menuju leher. Nyawa 
I Made Sangkara bagai telur di ujung tanduk. 

Kali ini Aiya tidak menahan diri lagi. Dari percakapan yang terdengar telah bisa 
diketahui penyebab pertarungan itu. Aiya yakin I Made Sangkara tidak bersalah. Pemuda 
berambut putih keperakan itu bisa mengira Lanang yang telah melakukan pembunuhan 
terhadap Panglima Anggar Bayu dan yang lainnya. Tapi, I Made Sangkara yang j adi tertuduh. 

Aiya segera melesat ke dalam kancah pertarungan sebelum nyawa I Made Sangkara 
yang terlalu mengalah itu melayang. Begitu tiba Aiya langsung mengulurkan tangan. Dua 
orang prajurit kerajaan merasakan tangan mereka mendadak lumpuh tanpa diketahui 
penyebabnya. Belum sempat mereka berbuat sesuatu, Aiya telah bergerak cepat merampas 
senjata meieka. Tiga orang prajurit kerajaan itu terperanjat. Aiya segera mengibaskan 
tangan. Akibatnya sungguh mengejutkan! Tubuh ketiga orang itu berpentalan ke belakang 
bagai daun kering diterbangkan angin. 




Beruntung bagi ketiga prajurit itu. Aiya tidak menurunkan tangan kejam. Pemuda 
berambut putih keperakan itu hanya mengerahkan tenaga dalam untuk mementalkan 
tubuh mereka tanpa melukainya. 

Tiga orang prajurit kerajaan yang telah kehilangan senjata itu bangkit berdiri dengan 
wajah pucat. Mereka tahu tengah berhadapan dengan tokoh yang memiliki kepandaian 
dahsyat. Kendati demikian, rupanya mereka tergolong orang yang tidak mudah mengalah. 
Mereka adalah anggota pasukan istimewa kerajaan. Pasukan kelas satu. 

"Siapa kau? Mengapa mencampuri urusan kami?" bentak prajurit yang tadi 
bersenjata golok. Suaranya terdengar lantang. 

"Aku tidak bermaksud untuk ikut campur. Hanya mencegah terjadinya pembunuhan 
terhadap orang yang tidak bersalah! Namaku Aiya. Dunia persilatan lebih suka menyebutku 
Dewa Arak!" 

"Dewa Arak...?!" 

Hampir berbarengan mereka mengulang julukan Aiya. Sesaat kemudian ketiganya 
saling berpandangan. Julukan Dewa Arak telah lama mereka dengar. Tapi, baru sekarang 
bertemu muka dan merasakan kelihaiannya. 

"Apa maksudmu, Dewa Arak? Kami tidak mengerti," ujar prajurit yang tadi 
bersenjatakan tombak. 

"Orang ini bukan pembunuh Panglima Anggar Bayu. Pembunuhnya adalah Lanang. 
Dia seorang pemuda yang jahat!" jawab Aiya dengan sikap pasti. 

Ketiga prajurit kembali saling bertukar pandang. Meieka belum mau pergi 
meninggalkan tempat itu. Aiya tahu orang-orang seperti ini perlu digertak. Dewa Arak 
mengerahkan tenaga dalamnya ke tangan. Saat itu senjata ketiga orang prajurit masih 
berada di kedua tangannya. Terdengar bunyi gemeretak nyaring. Tiga senjata itu berpatahan 
kemudian hancur berkeping-keping. Padahal, Aiya tidak meremasnya. 

Mata ketiga prajurit kerajaan membelalak lebar. Mereka takjub sekali melihat 
pameran tenaga dalam Dewa Arak. Perasaan gentar merayapi hati ketiganya. Baru pertama 
kali mereka melihat senjata dari baja pilihan itu dipatah-patahkan tanpa diremas. 

Tanpa banyak cakap lagi ketiganya segera membalikkan tubuh dan berlari cepat 
meninggalkan tempat itu. 

Aiya tidak mengejarnya. Bahkan memperhatikannya pun tidak. Arya lebih suka 
menujukan perhatiannya pada I Made Sangkara. Pemuda dari Pulau Dewata itu telah 
mengobati lukanya dengan bubuk yang dibawanya. Terlebih dulu ditotoknya daerah sekitar 
luka untuk menghentikan aliran darah. 

"Terima kasih atas pertolonganmu, Dewa Arak. Kau memang hebat. Persis dengan 
berita yang kudengar," ujar I Made Sangkara sambil mengulurkan tangan. "Namaku I Made 
Sangkara." 

Aiya menyambut uluran tangan itu. 

"Aku Aiya Buana. Dan ini kawanku, Linggar." 

IMade Sangkara tersenyum pada Linggar. Gadis berpakaian hitam itu membalasnya. 

"Kudengar tadi kau bicara tentang Lanang. Kau tahu di mana dia sekarang? Dan, 
boleh kutahu mengapa kau bisa jadi tertuduh pembunuhan Pangjima Anggar Bayu?" tanya 
Aiya. 

"Panjang ceritanya, Aiya." I Made Sangkara menghela napas berat. Kemudian, ia 
menceritakan pertemuannya dengan panglima itu dan Lanang. 

Aiya serta Linggar mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Tak sekali pun 
cerita I Marie Sangkara dipotong sampai pemuda itu mengakhirinya. 

"Lanang bagai malaikat pencabut nyawa saja," desah Aiya sambil 
menggelengkan kepala. "Telur Elang Perak membuatnya bertindak sewenang-wenang. 
Hhh...l2 Sukar kubayangkan kekuatan tenaga dalamnya. Rasanya tidak akan ada yang 
menyamai. Dia telah dapat mempergunakan tenaga dalam melalui cara apa pun. 
Benar-benar berbahaya... 12" 

"Apakah kau bermaksud melenyapkannya, Aiya?" tanya I Made Sangkara, ingin 
tahu. Pemuda ini telah banyak mendengar kalau Dewa Arak selalu menumpas kebatilan. 

"Begitulah niatku, Sangkara." Aiya mengangguk. "Tapi, aku tidak yakin akan 
berhasil. Kepandaiannya telah sukar untuk diukur." 

"Tapi, tidak ada salahnya kita berusaha," ujar Linggar. 

"Tentu saja!" sahut Aiya, cepat 

"Kalau begitu..., mari kita bergegas. Tiang khawatir Eyang Brihaspati dan Bapa telah 
dibunuhnya!" ajak I Made Sangkara. Pemuda ini kelihatan cemas sekali. 

Aiya mengangguk. I Made Sangkara pun segera melesat mendahului. Aiya serta 
Linggar mengikuti di belakang. Pemuda dari Pulau Dewata itu rupanya mempunyai obat 
luka yang manjur. Larinya tampak biasa. Tidak terpincang-pincang. Padahal, luka pada 
kakinya cukup parah. 

"Ha ha ha...! Tua bangka bau tanah. Sudah saatnya kalian pergi ke alam baka! Ha ha 

ha...!" 

Suara lantang penuh dengan nada kesombongan memecah suasana sepi yang 
melingkupi dataran cukup luas di puncak gunung itu. 

Suara tadi dikeluarkan oleh seorang pemuda berpakaian indah. Dia berdiri bertolak 
pinggang di hadapan dua orang kakek. Yang seorang mengpnakan selembar kain putih yang 
dilihat-libatkan ke sekujur tubuh. Di tangan kanan kakek berwajah cerah ini tergenggam 
sebatang tongkat. 

Kakek yang satunya lagi tidak kalah aneh dandanannya. Dia mengenakan kain lurik 
yang dibelitkan ke tubuh. Kain itu hanya sampai ke dada bagian atas. Bagian bawah kain 
mencapai sedikit di bawah lutut. Pada kepalanya terikat kain bercorak dan berwarna sama. 
Tapi pada bagian depan, di dahi, kain itu dibentuk sedemikian rupa sehingga mirip sehelai 
daun yang didirikan. Pada pergelangan tangan dan kaki serta pangkal lengan terlilit gelang 
putih dari tulang macan. Dan, di selipan kain pada punggungnya tampak sebilah keris. 

"Manusia takabur!" Kakek berikat kepala lurik menggumam. Tapi, gemanya 
terdengar sampai jauh. "Asal kau tahu saja, di atas langit masih ada langit. Mungkin kami 
berdua akan tewas di tangan mu. Tapi, kau pun nanti akan tewas di tangan orang lain. Sang 
Hyang Widhi Wasa Maha Adil. Tidak akan diturunkan sebuah pusaka kalau tidak ada 
penangkalnya. Saat kejayaan Cai sudah hampir pudar!" 

"Ha ha ha...! Kau boleh bicara sesukamu, I Nyoman Tirta! Puaskanlah berbicara 
karena sebentar lagi kau akan meninggalkan dunia ini. Kau dan si peot Eyang Brihaspati. 
Kalian tak akan kuberi kesempatan hidup lebih lama. Ha ha ha...!" 

Pemuda yang bukan lain Lanang itu tertawa dengan sombongnya. Dia yakin betul 
dapat menamatkan riwayat kedua kakek itu yang adalah Eyang Brihaspati dan I Nyoman 
Tirta. 

"Kau keliru, Lanang! Pemuda yang sombong!" 

Kali ini Eyang Brihaspati yang berbicara. Tongkat yang tergenggam di tangan 
diketukkan sekali. 

Kelihatan pelan saja. Tapi, menancap di tanah sampai setengahnya lebih! 

"Mungkin kau akan berhasil membunuh kami. Namun, kau tidak akan lolos dari 
kematian. Pusaka yang dapat mengirim nyawamu ke alam baka berhasil diperoleh seorang 
pendekar. Dia sedang dalam perjalanan kemari. Kau tidak dapat mengingkari takdir, 
Lanang." 

"Tutup mulutmu, Peot!" 

Lanang yang geram bukan main mendengar ucapan Eyang Brihaspati segera 
menjulurkan tangan kanannya. Lima jarinya terkembang. Dari tiap-tiap ujung jari keluar 
sinar-sinar kemerahan! Semua menuju ke arah Eyang Brihaspati. Menuju kelima tempat di 
tubuh kakek itu. 

Eyang Brihaspati tahu kedahsyatan sinar kemerahan itu. Dia segera bertindak cepat 
menyelamatkan diri. Kakek ini memilliki cara yang luar biasa. Tanpa menjejakkan kaki atau 
menekuk lutut, Eyang Brihaspati mampu membuat tubuhnya melayang ke atas dalam 
keadaan tegak! 

Akibat yang menggiriskan menimpa tebing di belakang kakek berpakaian putih itu. 
Begitu lima larik sinar kemerahan menyentuh, dinding tebing langsung berlubang dan 
hangus. 

Eyang Brihaspati tidak tinggal diam. Masih dalam keadaan tubuh kaku seperti 
tombak dia melenting ke arah Lanang. Tepat di atas tubuh pemuda pesolek itu tongkatnya 
dihantamkan 1$ arah kepala! 

Lanang tidak mengelak sedikit pun. Tak pelak lagi, tongkat mendarat telak di 
sasaran. Lanang bagai dipantek oleh palu raksasa. Tubuhnya langsung amblas ke dalam 
bumi sampai tak tampak kepalanya! 

Eyang Brihaspati bertukar pandang dengan I Nyoman Tirta begitu kakinya menjejak 
tanah. Jantung mereka berdetak lebih cepat. Apakah Lanang berhasil mereka tewaskan dan 
sekarang terkubur di dasar bumi? Kedua kakek itu mempunyai alasan untuk menduga 
demikian. Senjata yang mereka gunakan telah dibuat sedemikian rupa sehingga dapat 
digunakan untuk melumpuhkan ilmu kebal seseorang. Senjata itu telah dimanterai. 

Tapi, kegembiraan itu hanya berlangsung sekejap. Keduanya mendengar bunyi aneh 
dan getaran teras pada tanah. Seperti ada bor di dalam bumi. Tak lama kemudian, tubuh 
Lanang melesat keluar dari dalam tanah dalam keadaan berpusing. Bunyi mengaung keras 
mengiringi putaran tubuhnya. 

I Nyoman Tirta segera bertindak. Kakek ini menghunus kerisnya dan menudingkan 
ke arah tubuh Lanang yang masih berpusing di udara. 

Wusss! 

Dari ujung keris I Nyoman Tirta melesat serangkum sinar biru. Bentuknya mirip 
kilat. Sinar biru itu meluncur dengan kecepatan menakjubkan ke tubuh Lanang! 

Blarrr! 

Ledakan teras terdengar ketika sinar biru menghantam tubuh Lanang. Asap tebal 
membumbung tinggi. I Nyoman Tirta dan Eyang Brihaspati tidak bisa melihat apa yang 
terjadi. Hancurkah tubuh Lanang? 

Kedua kakek itu menanti dengan harap-harap cemas. Ketika asap buyar tertiup 
angin, biasan kecewa tampak pada wajah Eyang Brihaspati dan I Nyoman Tirta. Lanang 
berdiri dengan angkuhnya. Tak kurang suatu apa! 

Eyang Brihaspati dan I Nyoman Tirta diam-diam bergidik ngeri. Sukar untuk 
dibayangkan betapa mengerikan kekuatan yang dimiliki Lanang. Bukit kecil saja hancur 
lebur dan menjadi abu ketika terkena sambaran sinar biru! 

Saat sinar biru dari keris menyambar dan terjadi ledakan, Dewa Arak, I Made 
Sangkara, dan Linggar telah berada di tempat itu. Ketiga orang muda ini melihat peristiwa 
yang mampu mendirikan bulu kuduk itu. 

Hati Dewa Arak tercekat. Pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak 
menyangka Lanang akan sedahsyat ini. Benar-benar mengerikan 12 Arya tidak mau 
berpangku tangan. Sambil memekik keras sebagai isyarat pada Lanang kalau dia 
mengirimkan serangan, pemuda berambut putih keperakan ini tidak ragu-ragu lagi 
mengirimkan pukulan jarak jauh dengan jurus maut 'Pukulan Belalang'! 

Wusss! 

Begitu angin keras berhawa panas menyengat keluar dari kedua tangan Dewa Arak, 
Lanang mendengus. Pemuda pesolek ini melakukan gerakan yang sama. Dari kedua telapak 
tangannya berhembus angin teras berhawa panas. 

Dewa Arak terperanjat bukan main. Lanang memiliki pukulan jarak jauh yang mirip 
dengan 'Pukulan Belalang'. Malah lebih dahsyat! 

Blarrr! 

Pertemuan dua tenaga dalam berhawa panas itu membuat tubuh Dewa Arak 
terjengkang ke belakang. Tubuhnya melayang jauh seperti daun kering ditiup angin. Aiya 
merasa seakan-akan ditabrak seekor gajah liar. Sekujur tubuhnya terasa lumpuh. Tidak ada 
yang bisa digerakkan. Aiya terbanting di tanah setelah melayang beberapa tombak. Pemuda 
perkasa ini tidak mampu bangkit lagi 12. 

"Aiya... 12" Linggar dan I Made Sangkara berseru kaget. Mereka segera 
meluruk ke arah pemuda berambut putih ke perakan itu. 

"Ha ha ha... 12" Lanang yang tidak terpengaruh benturan itu tertawa 
berkakakan. "Bagaimana, Dewa Arak? Sekarang kau tidak berarti apa-apa bagiku!" 

Baru saja Lanang mengatupkan mulutnya, Eyang Brihaspati dan I Nyoman Tirta 
melompat meneijang. Guru Panglima Anggar Bayu mengayunkan tongkat ke kepala Lanang. 
Sedangkan ayah I Made Sangkara menusukkan kerisnya ke jantung lawan. 

Tapi, Lanang dengan berani memapaki dua buah senjata pusaka itu dengan tangan 
telanjang. Kembali bunyi berdetak keras terdengar. Lanangtetap seperti semula. Kokoh kuat 
laksana batu karang. Sebaliknya, kedua penyerangnya terjengkang ke belakang dan 
terguling-guling. 

Lanang kembali mengumbar tawa kemenangan. Dengan sepasang mata congkak 
ditatapnya lawan-lawan yang tidak berdaya itu. Linggar dan I Made Sangkara yang masih 
berdiri tegak. Keduanya tidak berbuat apa pun karena tahu tak akan ada artinya. Lanang 
benar-benar menggiriskan! 

"Sekarang saatnya bagiku untuk mengirim kalian semua ke alam kubur!" seru 
Lanang. Ia melangkah meninggalkan tempatnya. Yang pertama kali dihampiri adalah Dewa 
Arak. Lanang memang sangat membenci pemuda berambut putih keperakan itu. 

"Tahan...!" 

Lengkingan nyaring membuat Lanang menghentikan ayunan kakinya. Pemuda 
pesolek ini kelihatan tidak senang. Tubuhnya segera dibalikkan. Dilihatnya seorang gadis 
cantik berpakaian putih. Gadis itu tidak dikenalnya. 

Hanya Aiya yang mengenal gadis cantik jelita itu. Gadis yang melangkah mendekati 
Lanang dengan sikap tenang. 

"Melati.... Pergi jauh-jauh...." 

Aiya ingin berteriak keras, tapi yang keluar hanya panggilan lirih. Namun, tertangkap 
juga oleh telinga Melati. Gadis berpakaian putih itu tersenyum. 

"Tenanglah, Kakang. Biar kulenyapkan penjahat ini...." 

Aiya melongo. Tidak main-mainkah, Melati? Lawan yang dihadapinya tokoh 
berkepandaian tak masuk di akal. Jangankan Melati, Aiya sendiri yang memiliki kepandaian 
jauh di atas gadis itu tidak mampu menanggulangi Lanang. Apakah Melati hendak mencari 
penyakit? Jangan-jangan gadis itu tidak melihat peristiwa yang baru saja teijadi. 

Aiya keliru kalau berpikir demikian. Semua dugaan pemuda berambut putih 
keperakan itu tidak ada yang mengenai sasaran. Melati berani menghadapi Lanang karena 
keyakinannya akan kemenangan. Dengan langkah mantap dihampirinya Lanang. 

Sungguh aneh sekali. Lanang kehilangan rasa percaya dirinya. Pemuda ini 
mundur-mundur ketakutan. Tiap Melati maju selangkah Lanang beijalan mundur 
selangkah. Jarak antara mereka menjadi jauh. Karena langkah Lanang lebih besar. 

Terngiang-ngiang ucapan di telinga Melati ketika kakinya bergerak mendekati 
Lanang. Kata-kata yang terdengar tanpa kelihatan siapa yang berbicara. 

Melati teringat kembali pengalamannya beberapa waktu lalu di Gunung Cikuray. 

"Aaa...!" 

Melati tidak kuasa menahan jeritan. Tubuhnya meluncur turun ke dasar lubang. 
Gadis yang tengah khawatir akan keadaan Aiya ini berlari secepatnya. Bahkan, beberapa 
kali melakukan lompatan-lompatan panjang. Terjeblosnya Melati ke dalam lubang karena 
secara tiba-tiba tanah tempat kedua kakinya hendak menjejak muncul lubang besar. Saat 
itu kedua kakinya hanya tinggal beberapa jengkal dari tanah. Tak pelak lagi, gadis itu tak 
mampu berbuat apa pun untuk menyelamatkan diri. 

Melati merasa ngsri bukan main. Tubuhnya melayang lama sekali. Sudah terbayang 
di benak gadis ini tubuhnya akan hancur di dasar lubang. Kengerian Melati berganti dengan 
keheranan ketika luncuran tubuhnya melambat. Semakin lama semakin lambat. Seakan 
ada kekuatan tak nampak yang menahan luncuran tubuhnya. 

"Wahai, Wanita Muda. Rupanya kau yang terpilih menjadi pencegah angkara murka 
yang tengah teijadi di dunia persilatan. Keselamatan orang banyak berada di tanganmu. 
Nyawa mereka tergantung dari usahamu ini. Kalau kau berhasil mereka semua akan 
selamat." 

Melati mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Tidak terlihat apa pun. Suara itu 
seakan muncul begitu saja. Tempat di sekitar Melati tidak terlalu luas. Di belakangnya 
dinding batu. Jalan satu-satunya yang ada hanya lorong di depan. 

"Kau tak usah mencari tahu siapa aku, Wanita Muda. Percumal2 Lebih baik 
kuperlihatkan padamu angkara murka yang tengah teijadi di dunia persilatan karena 
pusaka Telur Elang Perak teijatuh ke tangan orang tak bertanggung jawab." 

Kemudian, suara tanpa wujud itu menceritakan tentang Telur Elang Perak sampai 
Melati merasa jelas. Begitu penjelasan itu berakhir, di tanah terlihat gambar seorang 
pemuda berpakaian indah merajalela membunuhi orang-orang. Melati merasa ngeri 
melihatnya. Dia bisa memperkirakan betapa dahsyatnya kemampuan yang dimiliki pemuda 
pengacau itu. 

"Kejadian ini yang akan menimpa apabila kau gagal dengan tugasmu." 

Melati hampir terpekik. Di tanah tampak gambar Dewa Arak bersama dua orang 
kakek tengah bertarung mati-matiJan melawan Lanang. Seperti gambar sebelumnya, Melati 
melihat Lanang berhasil memporak-porandakan lawan-lawannya. Aiya dan dua kakek itu 
dibuat tidak berdaya. Lanang menghampiri Dewa Arak, siap untuk membunuh! 

"Kejadian itu akan teijadi, Wanita Muda. Dewa Arak mungkin akan tewas. Usahamu 
di sini untuk mendapatkan Mustika Ular Emas. Apabila pusaka itu berhasil kau dapatkan, 
kau bisa mencegah terjadinya hal itu." 

"Bagaimana aku bisa mendapatkan mustika itu?" tanya Melati. 

"Ikuti saja Lorong Batas Dunia ini. Di ujung lorong akan kau temukan makhluk Ular 
Emas. Ular yang tidak terdapat di dunia. Hanya perlu kau ingat, Wanita Muda. Perjalanan 
melalui lorong ini tidak mudah. Banyak halangan menghadang. Mudah-mudahan kau 
mampu mengatasinya. Waktu yang kau miliki terbatas. Kau harus bergegas." 

Begitu suara itu lenyap, Melati segera melesat 1$ depan. Karena Melati tidak ingin 
celaka, dia bertindak sangat hati-hati. Baru beberapa tindak Melati mendengar bunyi 
mencurigakan di atasnya. Melati masih sempat menoleh sebelum buru-buru melompat 1$ 
depan dan menggulingkan tubuh menjauh. Atap lorong runtuh membawa batu-batu sebesar 
kerbau. Melati menghela napas lega. Dia baru saja selamat dari bahaya. 

Sekarang Melati melangkah dengan lebih hati-hati lagi. Sepasang matanya diedarkan 
berkeliling. Tidak hanya tanah yang ditelitinya, tapi juga dinding dan atap. 

"Uh... 12" 

Melati terkejut ketika kakinya amblas ke dalam tanah. Tanah yang diinjaknya 
ternyata tidak teras, melainkan lunak seperti lumpur. Yang lebih mengejutkan, ada tarikan 
amat kuat dari dasar tanah. Melati langsung tahu sebelah kakinya terperangkap dalam 
lumpur hidup. 

Gadis berpakaian putih ini menelan ludah dengan susah payah. Nyawanya hampir 
saja tidak bisa terselamatkan. Apabila kedua kakinya terjebak dalam lumpur hidup tidak 
mungkin dia dapat menariknya keluar. Beruntung hanya satu kakinya yang terjeblos hingga 
dengan mudah ditariknya keluar. Melati berpikir keras mencari jalan untuk melalui tempat 
mengerikan ini. 

Lorong yang lebarnya tak lebih dari dua tombak ini buntu terhadang hamparan 
lumpur hidup. Kendati demikian, hamparan lumpur hidup itu tidak terlalu panjang. Hanya, 
Melati belum tahu di mana batasnya. 

Sebentar kemudian, Melati mendapatkan sebuah cara. Dia kembali ke tempat di 
mana terdapat runtuhan. Diambilnya beberapa belas batu sebesar kepala bayi. Dengan 
mempergunakan baru ini Melati berusaha mengetahui akhir hamparan lumpur hidup. 

Mula-mula gadis ini melemparkan batu ke depan sejauh lima tombak. Ternyata 
begitu menyentuh tanah batu itu langsung amblas Melati mengulanginya beberapa kali 
sampai batu yang dilemparkan tidak tenggelam. Itu berarti telah mencapai tempat yang 
aman. Tempat yang di bawahnya tidak tersembunyi lumpur hidup. 

Karena jarak tempat itu tak kurang dua puluh tombak, jarak yang tidak mungkin 
untuk dilompati, Melati menggunakan batu-batu kecil sebagai penolong. Batu itu 
dilemparkannya ke depan lalu dia melompat memijak batu sebagai landasan, melemparkan 
batu yang lain dan menjadikannya sebagai landasan. Begitu seterusnya hingga akhirnya 
berhasil tiba di ujung hamparan lumpur hidup dengan selamat. 

Melati melangkah maju lagi. Jantungnya berdetak jauh lebih cepat. Sinar kuning 
keemasan tampak di kejauhan. "Itukah Ular Emas?" tanya Melati dalam hati. 

Seiring dengan semakin dekatnya jarak Melati, sinar itu terlihat semakin membesar. 
Melati mencium aronga wangi yang aneh. Melati terhuyung ketika aroma wangi semakin 
menyengat hidung dan membuatnya pusing. Gadis ini berusaha bertahan. Cukup lama 
keadaan itu menyiksa Melati. Pengaruhnya semakin menghebat sebelum akhirnya 
berkurang dan kemudian lenyap. 

Melati meneruskan langkahnya lagi. Kali ini tidak ada hambatan sama sekali sampai 
ia berhadapan dengan pemilik sinar keemasan. Seekor ular yang amat besar dan panjang. 
Tak kurang dari lima tombak. Sekujur tubuh binatang itu mengeluarkan sinar kuning 
keemasan. 

"Ular Emas...?!" desis Melati dalam perasaan takjub yang tak terkira. 

Dengan pandang mata terpaku pada binatang menakjubkan Melati mengayunkan 
kaki mendekat. Ketika tinggal dua tombak lagi terdengar bunyi letupan kecil. Asap tebal 
menyelimuti sekujur tubuh ular. Melati terlompat ke belakang saking kagetnya. 

Begitu asap sirna, di tempat ular berada tergeletak sebuah benda bulat sebesar buah 
salak. Benda itu berwarna kehijauan. Sinarnya benar-benar luar biasa. Sekitar tempat itu 
jadi bersemu kehijauan. 

"Kuucapkan selamat atas keberhasilanmu, Wanita Muda. Kaulah yang akan 
mencegah angkara murka akibat Telur Elang Perak. Itulah Mustika Ular Emas. Kau berhasil 
lolos dari hambatan terakhir kendati tidak terlalu mulus." 

"Mengenai lumpur hidup itu...?" duga Mela sekenanya. 

"Bukan. Aroma wangi, Wanita Muda. Wangi-wangian itu bukan sembarangan. Tapi, 
ujian yang paling penting. Apabila yang menciumnya orang yang berwatak jahat dia akan 
tewas seketika. Pendekar yang berhati bersih tidak akan terkena pengaruh itu. Kau 
terpengaruh cukup berat. Berarti masa lalumu penuh dengan gelimang darah orang yang 
tidak bersalah. Hanya saja kau telah lama sadar hingga tidak tewas." 

Tanpa sadar Melati bergidik. Mustika itu tidak bisa didapat oleh tokoh sesat 

"Apa yang harus kulakukan dengan benda itu?" tanya Melati kemudian. 

"Ambil saja. Begitu kau pegang mustika itu akan lenyap. Dia masuk 1$ dalam 
tubuhmu secara aneh. Kau tidak usah bingung mencari penjahat keji itu. Mustika di dalam 
tubuhmu akan menuntun langkahmu menuju ke arahnya. Begitu berhadapan, mustika itu 
sendiri yang akan melaksanakan tugas. Dia akan mengejar ke mana pun penjahat keji itu 
pergi. Sedikit tambahan bagimu, bukan hanya mustika ini saja yang seperti hidup, tapi juga 
Telur Elang Perak. Penjahat keji itu akan tahu bahaya mengancam begitu kau berada di 
dekatnya. Telur Elang Perak yang memberi tahu." 

Sampai di sini ingatan Melati buyar. Dilihatnya Lanang terus mundur dengan wajah 
menampakkan rasa takut. 

"Sudah saatnya kau melihat akhirat, Lanang!" ucap Melati dengan suara berwibawa. 
Kemudian, mulutnya dibuka lebar-lebar. 

Lanang yang sejak tadi takut bukan main semakin pucat pasi wajahnya. Dilihatnya 
benda bulat berwarna kehijauan keluar dari mulut Melati. Sambil mengeluarkan jerit 
ketakutan yang memilukan hati, Lanang membalikkan tubuh dan berlari lintang pukang. 
Benda bulat kehijauan itu meluncur dan mengejarnya. Kecepatannya tak kalah dengan 
kecepatan lari Lanang! 

"Aaa...!" 

Semua yang berada di situ bergidik ngeri mendengar jeritan yang mendirikan bulu 
roma itu. Jeritan orang yang menderita kesakitan hebat. Jeritan itu panjang, lalu lenyap. 

"Tamatlah riwayat Lanang," desah E!yang Brihaspati, lega. 

Tidak hanya kakek itu yang merasa lega, tapi semuanya. Terutama Aiya. Melati yang 
dikhawatir kannya celaka justru yang menamatkan riwayat Lanang. 

Melati membalikkan tubuh menatap Aiya. Kemudian, dia mengayunkan kaki 
menghampiri. Melati melihat Aiya tersenyum. Gadis itu balas tersenyum dan terus 
melangkahkan kaki. Ada kerinduan yang dalam pada sepasang mata bening indah itu. 

Di lain tempat nun jauh di sana, Dirgantara dan Jumini tersenyum bahagia, penuh 
rasa cinta. Kendati di lubuk hati mereka masih ada ganjalan bila teringat Brawijaya. 
Keduanya ingin cepat-cepat bertemu pemuda itu dan menerangkan maksud hati mereka. 


SELESAI 
Tunggu serial Dewa Arak selanjutnya: 
GOLOK KILAT