Pengemis Binal 9 - Bangkitnya Kebo Ireng(2)



Bulan sepenggal di langit memancarkan cahaya
temaram. Ditingkahi kerlip bintang gumpalan awan ti-
pis bergerak perlahan mengikuti arah angin. Itulah
irama alam yang dimainkan tangan Sang Penguasa Ja-
gad.
Kepompong raksasa berwarna putih itu tampak
bergelindingan di tanah. Di dalamnya Suropati sedang
berusaha keras melepaskan diri dari kungkungan se-
rat-erat aneh berperekat kuat.
Hawa di dalam kepompong sangat pengap. Pe-
luh telah membanjiri tubuh Suropati. Nafasnya  pun
megap-megap karena tak ada udara yang masuk.
"Uh! Bagaimana aku melepaskan diri?" kata
remaja konyol itu dalam hati.
Kaki dan tangannya menghentak-hentak. Tapi
tak mendapat hasil seperti yang diinginkan. Kepom-
pong raksasa itu tetap bergelindingan.
"Ah, bodoh amat aku ini! Bukankah bisa ku co-

ba dengan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'?"
Pengemis Binal lalu mengumpulkan segenap
kekuatan batinnya untuk menghimpun tenaga semes-
ta. Kesulitan dia dapatkan. Nafasnya  yang megap-
megap membuat pemusatan inderanya jadi terganggu.
Dicobanya untuk memejamkan mata tanpa bernapas.
Beberapa saat kepala Suropati menjadi sangat
pusing. Jiwanya seakan sedang dihempas-hempaskan
kekuatan kasatmata. Aliran darah berdesir tak karuan.
Jantungnya pun berdegup lebih kencang hingga da-
danya sesak.
Waktu remaja konyol itu merasakan jantung-
nya benar-benar akan meledak, dari sekujur tubuhnya
memancar cahaya kebiru-biruan. Terdengar letusan
keras. Dan, serat-serat putih yang membungkus tubuh
Suropati ambyar!
Setelah melemaskan otot-ototnya yang kaku,
Pengemis Binal melayangkan pandangan ke sekeliling-
nya. Malam yang sudah rebah membuat pandangan
Suropati hanya menemui bayang-bayang hitam.
"Di mana Yaniswara?" tanya remaja konyol itu.
"Apakah gadis itu masih berada di sekitar sini? Ah, le-
bih baik ku kerahkan ilmu 'Mata Awas'...."
Sebelum Suropati mengerahkan ilmu tembus
pandang itu, tampak cahaya  keperakan berpendar di
kejauhan. Pemuda itu segera menghemposkan tubuh-
nya.
"Pedang Perak Lentur...," gumam Suropati sete-
lah berada di dekat pusat pendaran cahaya.
Dengan menggunakan pedang pusaka itu seba-
gai lentera, Pengemis Binal berjalan berputar-putar,
mencaci sosok Yaniswara. Tapi tak ditemukan.
"Yaniswara tentu telah diculik manusia biadab
itu...," pikir Suropati. "Kakek itu dapat berbuat sede-

mikian kejam. Aku tak dapat membayangkan nasib
Yaniswara bila berada di tangannya. Aku harus segera
bertindak...."
Suropati menyimpan Pedang Perak Lentur di li-
patan kain bajunya, kemudian, dia berkelebat cepat
melamban pandangannya dengan ilmu 'Mata Awas'.
Gerak tubuh remaja konyol itu laksana keleba-
tan setan. Secara kebetulan nalurinya membawa lang-
kah kaki Suropati menuju lereng bukit di perbatasan
wilayah Kademangan Maospati, tak jauh dari kotapra-
ja. Di situlah dia menjumpai Pantang Mati sedang
mengamuk.
"Di mana Yaniswara?!" bentak Suropati.
Kebo Ireng tak menjawab. Amukannya lang-
sung terhenti. Matanya yang sipit dibukanya selebar
mungkin. Dari mulutnya keluar geraman sangat
menggidikkan. Sementara, Pengemis Binal mengedar-
kan pandangan berusaha mencari sosok Yaniswara di
sekitar tempat itu. Tapi hasil yang diharapkannya tak
diperoleh.
"Ah, jangan-jangan Yaniswara telah diapa-
apakan oleh manusia biadab itu. Lalu, dia dibunuh
dan bangkainya dibuang begitu saja...."
Selagi Suropati berpikir demikian, Pantang Mati
mengembangkan kedua tangannya. Kakek itu melun-
cur cepat hendak meremukkan kepala remaja konyol
ini. Namun yang diserang telah meloncat ke samping.
"Mau lari ke mana kau?!" hardik Pantang Mati.
"Kelinci manisku telah hilang. Aku akan membunuh-
mu, Keparat!"
Mendengar perkataan Kebo Ireng, tahulah Su-
ropati kalau Yaniswara telah lepas dari cengkeraman
manusia biadab itu. Tapi, hati Suropati jadi bertanya
tanya. Mungkinkah Yaniswara dapat melepaskan diri

tanpa bantuan orang lain? Kalau ditolong seseorang,
siapakah penolong itu?
Pengemis Binal tak mempunyai waktu untuk
berpikir lebih panjang. Pantang Mati telah menyerang-
nya dengan tendangan ke arah ulu hati.
"Ku lumatkan  tubuhmu, Kerbau Liar!" umpat
Suropati sambil berkelit. Kemudian dia balas menen-
dang. Sayang, tak mengenai sasaran.
Dengan mengandalkan ilmu 'Serat Maut', Pan-
tang Mati berusaha menjerat tubuh Suropati. Gerakan
remaja konyol itu kali ini lebih cepat. Serat-serat putih
yang keluar dari telapak tangan Pantang Mati hanya
mengenai tempat kosong, atau menjerat batang-batang
pohon.
Bahkan, keuntungan didapatkan Suropati yang
bertempur dengan mengerahkan ilmu 'Mata Awas'-nya.
Gelap malam tak mempengaruhi gerakannya. Berkali-
kali dia dapat menyarangkan tendangan dan pukulan
ke tubuh lawan. Pantang Mati terlontar ke sana kema-
ri. Namun, secepat dia mencium tanah, secepat itu pu-
la dia bangkit sambil menggeram penuh kemarahan.
Terkejutlah Pengemis Binal. Apalagi setelah dia
mengerahkan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'
yang ternyata tak berpengaruh apa-apa. Padahal, ca-
haya kebiru-biruan yang memancar dari sekujur tu-
buh Suropati sudah sanggup untuk menghancurkan
sebongkah batu sebesar gajah.
Keterkejutan Pengemis Binal bertambah. Ilmu
totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' pun tak mampu
menghabisi riwayat Pantang Mati.
"Tubuhnya benar-benar alot. Lebih baik aku
menghindar dulu dari manusia yang satu ini! Yang
penting, aku sudah tahu Yaniswara selamat...," ucap
Suropati kepada dirinya sendiri. "Aku membutuhkan

bantuan Kakek Gede Panjalu untuk melenyapkan ma-
nusia hebat ini."
Berpikir demikian, Pengemis Binal segera ber-
kelebat cepat meninggalkan Pantang Mati. Kelebatan
tubuh Pengemis Binal tak mungkin lagi diikuti pan-
dangan mata. Gelap seperti menelan tubuhnya. Ting-
gallah Kebo Ireng menggeram-geram bagai kesetanan.
Lelaki tinggi gemuk itu lalu mengamuk. Puluhan ba-
tang pohon tumbang terbetot sampai ke akarnya. Keti-
ka dia mengguling-gulingkan tubuhnya ke tanah, debu
beterbangan bercampur kerikil dan bebatuan!
Sementara di tempat yang agak jauh dari tem-
pat itu Wirogundi membopong tubuh Yaniswara me-
masuki wilayah Kademangan Maospati. Dari kejauhan
terlihat kerlip lampu damar. Ada sebuah rumah yang
terpisah agak jauh dari rumah-rumah lainnya.
"Kita berada di mana?" tanya Yaniswara.
"Kau tak perlu khawatir...," kata Wirogundi
dengan suara kalem. "Kita akan memasuki sebuah
rumah di Kademangan Maospati."
"Untuk apa?"
"Menghilangkan jejak kalau-kalau manusia se-
tan itu mengejar kita. Di sana kita dapat berusaha me-
lepaskan diri dari serat-serat yang membelenggu ini."
Yaniswara tak berkata-kata lagi. Wirogundi
mempercepat langkahnya. Ketika sampai di depan ru-
mah yang dituju, seorang nenek tampak duduk terpe-
kur di atas balai-balai depan rumah. Dia terkejut meli-
hat kehadiran Wirogundi yang membopong Yaniswara.
"Si.... siapa kalian?" tanya nenek itu sambil be-
ranjak dari tempat duduknya.
"Kami membutuhkan tempat untuk bisa mele-
paskan serat-serat putih yang membelenggu tubuh
kami ini, Nek," jawab Wirogundi.

Si nenek menajamkan pandangan. Ditelitinya
sejenak kedua tamunya. Tubuh mereka disatukan oleh
serat-serat putih. Buru-buru nenek itu membuka daun
pintu dan menyilakan mereka masuk.
"Segera tutup daun pintunya, Nek. Aku takut
ada orang yang melihat," kata Wirogundi
Si nenek menuruti permintaan pemuda kurus
itu. "Mungkin aku bisa membantumu memutuskan se-
rat-serat putih itu," ujarnya kemudian menawarkan ja-
sa.
Si nenek berjalan ke ruang dalam. Wirogundi
menekuk kakinya untuk dapat duduk di tikar. Lampu
damar cukup terang memperlihatkan betapa sederha-
nanya rumah itu. Dindingnya terbuat dari kepang. Be-
ratap jerami yang ditopang batang-batang bambu. Tak
ada perabotan yang berarti. Hanya tikar di atas lantai
tanah.
"Anjarweni...," desis Wirogundi sambil menatap
wajah gadis yang berada di pangkuannya. 
"Aku bukan Anjarweni. Aku Yaniswara." 
"Oh...."
Melihat wajah Wirogundi yang mendadak mu-
ram, Yaniswara jadi heran. "Kau kenapa?" tanya gadis
itu. 
"Ah, tidak. Kau sangat mirip temanku." 
"Siapa dia? Kekasihmu?"
Wirogundi tak menjawab. Kepalanya tertunduk.
Yaniswara pun tak hendak bertanya lagi. Tak lama
kemudian si nenek datang sambil membawa sebilah
pisau yang cukup tajam.
"Untuk apa pisau itu, Nek?" tanya Wirogundi.
"Untuk memutuskan serat-serat putih itu."
Si nenek berjongkok, lalu mengiris serat-serat
putih yang menyatukan tubuh Wirogundi dengan Ya-

niswara. Hingga keringat mengucur dari sekujur tubuh
si nenek, usahanya hanya menemui kegagalan. Serat-
serat putih yang telah mengering itu jadi kenyal seperti
karet
"Aku mempunyai seorang kenalan yang cukup
pandai. Mungkin dia dapat menolong kalian," kata si
nenek kemudian.
"Ah, kau tak perlu bersusah payah, Nek. Kami
akan mencoba sendiri melepaskan belenggu ini," ucap
Wirogundi.
"Tak apa. Melihat pakaian yang kau kenakan
dan tongkat yang kau bawa, tampaknya kau anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Aku akan men-
gajak kenalan ku itu kemari. Mudah-mudahan dia bisa
menolongmu."
Si nenek berjalan ke luar rumah. Wirogundi
hendak mencegah, tapi niat itu diurungkan. Si nenek
tampaknya begitu yakin akan kemampuan kenalan-
nya.
Suasana jadi lengang. Tangan kiri Wirogundi
yang masih bebas mendorong tubuh Yaniswara. Na-
mun, serat-serat putih yang membelenggunya tak mau
lepas.
"Ah, betapa bodohnya aku...," desis pemuda
kurus itu. "Bukankah serat-serat putih ini hanya me-
nempel pada telapak tangan kanan dan sebagian baju-
ku? Kurobek saja bajuku ini."
Wirogundi segera menggerakkan tangan kiri.
Sekali sentakan baju yang dikenakannya telah tanggal.
Tinggal telapak tangan kanannya yang masih melekat
pada tubuh Yaniswara.
"Akan ku salurkan tenaga dalam," gumam Wi-
rogundi
Perlahan-lahan telapak tangan pemuda kurus

itu mengepal. Saat tenaga dalamnya sudah tersalur
penuh, serat-serat putih pun meleleh dan jatuh ke ti-
kar seperti lilin terbakar api.
Wirogundi melonjak kegirangan. Usahanya ber-
hasil. Namun, dia tidak bisa berlama-lama kesenan-
gan. Yaniswara masih harus ditolongnya. Pemuda ku-
rus itu lalu mendudukkan Yaniswara.
"Kubantu kau dengan penyaluran hawa murni.
Salurkan tenaga dalammu ke sekujur tubuh," perintah
Wirogundi.
Wirogundi menempelkan kedua telapak tan-
gannya ke dada Yaniswara. Namun dia tercekat. Tan-
gannya menyentuh buah dada Yaniswara. Sesaat da-
rah Wirogundi berdesir tak karuan. Dia segera mengu-
sir bayangan-bayangan yang menghantui pikirannya.
Tenaga dalam Yaniswara yang telah disalurkan
ke seluruh tubuh membuat serat-serat putih meleleh.
Tapi, serat-serat yang menempel di bajunya masih se-
perti sama.
Yaniswara berusaha menarik lepas serat-serat
itu. Usahanya sia-sia. Bahkan baju pada bagian dada
jadi koyak lebar. Untunglah dia mengenakan rompi
pusaka.
"Anjarweni...," desis Wirogundi.
"Aku Yaniswara!" bentak Yaniswara tiba-tiba.
"Yaniswara? Kau..., kau sangat cantik, Yani...."
Wirogundi lalu menundukkan kepalanya.
Bayangan kekasihnya yang telah mati di tangan Mar-
gana Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti terpampang
kembali. Tanpa sadar pemuda kurus itu meremas-
remas rambutnya.
"Eh, kau kenapa?" tanya Yaniswara. Wirogundi
mendongak. Terlihat oleh Yaniswara mata pemuda ku-
rus itu tampak kosong. "Kau memikirkan siapa?"

Wirogundi tak menjawab. Kepalanya tertunduk
kembali.
"Kau anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti, bukan? Siapa namamu?"
"Wirogundi."
"Terima kasih, Wiro. Kau telah menolongku.
Tapi, anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
harus tabah menghadapi cobaan apa pun. Kau tidak
harus malu pada orang lain, namun harus malu pada
diri sendiri," Yaniswara mencoba menghibur Wirogun-
di.
Mendadak, pemuda itu mencekal tangan Ya-
niswara lalu meremasnya.
"Eh, apa yang kau lakukan?!" sentak Yaniswara
kaget.
"Anjarweni...."
"Aku Yaniswaraa!"
"Tidak! Kau adalah Anjarweni. Kekasihku yang
cantik jelita."
Wirogundi memeluk tubuh Yaniswara dengan
erat. Diciuminya bibir gadis itu.
"Ah! Apa-apaan kau, Wiro?!" Yaniswara keliha-
tan begitu panik.
"Kau kekasihku! Tidak bolehkah aku men-
ciummu?" tanya Wirogundi dengan lugunya.
"Aku Yaniswara! Bukan kekasihmu!"
"Tidak! Kau Anjarweni! Kau kekasihku!"
Tanpa melepaskan pelukannya, Wirogundi
menggulingkan tubuh Yaniswara ke atas tikar. Bibir
gadis itu pun dilumatnya. Tentu saja Yaniswara me-
ronta-ronta. Namun tubuh Wirogundi terlampau kuat
untuk ditepiskan.
Oleh dorongan nafsu yang menghentak Wiro-
gundi berusaha melepas rompi pusaka yang dikenakan

Yaniswara. Gadis itu meronta semakin keras.
"Apa yang kau lakukan, Wiro?!"
Wirogundi tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Nafasnya terdengar memburu. Dengan sigap dia men-
gangkat tubuh Yaniswara. Setelah menanggalkan rom-
pi pusaka gadis itu, Wirogundi membaringkannya
kembali.
"Bangsat! Apa yang kau lakukan ini?!"
Napas Wirogundi terdengar semakin memburu
saat melihat dada mulus Yaniswara. Wirogundi lalu
menundukkan kepala dan menciuminya.
"Anjarweni.... Aku mencintaimu...."
"Uh! Aku bukan Anjarweni!"
Wirogundi tak mendengarkan bentakan itu. Dia
menciumi lebih ganas dada Yaniswara. Gadis itu pun
meronta-ronta tak karuan.
Wirogundi merenggut celana Yaniswara hingga
robek. Terlihat oleh pemuda kurus itu sebuah peman-
dangan yang lebih menggiurkan.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!"
Teriakan Yaniswara yang ketakutan tak dipedu-
likan Wirogundi. Nafsu birahi benar-benar telah men-
guasai jiwa pemuda itu.
Tiba-tiba, tangan kanan Yaniswara menghu-
jamkan pukulan ke dada telanjang Wirogundi.
Dhes...!
Tubuh Wirogunddi terlontar membentur dind-
ing kepang hingga jebol! Tapi, tenaga dalam pemuda
kurus itu sudah sedemikian kuatnya. Pukulan Yanis-
wara sedikit pun tak berpengaruh. Secepat kilat Wiro-
gundi bangkit, lalu menerkam Yaniswara yang hendak
melarikan diri. Tubuh kedua anak manusia itu tergul-
ing-guling di lantai tanah.
"Lepaskan aku, Bangsat!" umpat Yaniswara se-

raya berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari pe-
lukan Wirogundi.
Wirogundi menampar wajah gadis itu hingga
pingsan!
"Aku mencintaimu, Weni. Tapi kau sangat nak-
al...."
Wirogundi memandangi tubuh Yaniswara yang
hampir telanjang. Kening gadis yang sudah tiada daya
itu dikecupnya dengan lembut. Kemudian, kecupannya
beralih ke kedua mata Yaniswara yang terpejam.
Ketika bibir Wirogundi menyentuh bibir Yanis-
wara, dia mendengus. Bibirnya mendaratkan ciuman
ganas sambil meraba-raba dada Yaniswara.
Ciuman Wirogundi terus bergerak ke bawah.
Sambil berbuat demikian, tangan kiri Wirogundi mele-
pas pakaian Yaniswara yang tersisa.
"Kau sangat cantik, Weni...."
Tiba-tiba daun pintu terkuak. Muncullah tuan
rumah bersama seorang kakek berjubah putih. Melihat
adegan yang dilakukan Wirogundi, kedua orang lanjut
usia itu tercekat.
Wirogundi pun terkejut. "Pergi kalian!" bentak-
nya kemudian.
"Apa yang kau lakukan, Anak Muda?!" tanya
kakek berjubah putih.
Melihat kedua orang yang baru datang itu tak
segera beranjak pergi, Wirogundi menerjang!
"Pemuda Terkutuk!" hardik kakek berjubah pu-
tih sambil menghindari terjangan.
Wirogundi yang sudah dikuasai nafsu setan ja-
di kalap. Dia menerjang lebih ganas. Pemuda itu beru-
saha menjatuhkan tangan maut. Ternyata kakek ber-
jubah putih bukan orang sembarangan. Dengan mu-
dah dia menghindari serangan-serangan Wirogundi.

Sebelum kakek berjubah putih sempat memba-
las serangannya, Wirogundi telah berkelebat menyam-
bar tubuh Yaniswara. Kemudian menghilang dalam
kegelapan malam. Kakek berjubah putih berusaha
mengejar, tapi sosok Wirogundi telah lenyap.
"Siapa sebenarnya pemuda dan pemudi itu?"
tanya kakek berjubah putih begitu menjumpai si ne-
nek.
"Aku tak tahu," jawab si nenek. "Mereka datang
ketika aku sedang duduk di depan...."
Nenek itu lalu menceritakan perihal kedatangan
Wirogundi dan Yaniswara. Kakek berjubah putih men-
gerutkan kening Diambilnya rompi pusaka Yaniswara
yang tergeletak di lantai tanah. Benda itu ditimang-
timangnya sebentar. Tatapannya  beralih pada seba-
tang tongkat yang tergeletak di pojok ruangan.
"Pengemis Tongkat Sakti...," gumam kakek itu
sambil mengetuk-ngetukkan batang tongkat. "Tak per-
nah kusangka anggota perkumpulan pengemis yang
sangat kesohor itu bisa berbuat demikian biadab."
Kakek berjubah putih melangkah ke luar ruan-
gan.
"Kau hendak ke mana?" tanya si nenek.
"Aku akan melaporkan perbuatan tak senonoh
ini kepada Gede Panjalu di puncak Bukit Pangalasan."
"Malam-malam begini?" tanya si nenek seperti
keberatan.
"Ya."
"Kau sudah tua, Naweleng. Dalam gelap seperti
ini, aku takut akan terjadi sesuatu kepadamu...," kata
si nenek. Kakek berjubah putih itu adalah Bima Nawe-
leng, seorang brahmana kenalan si nenek yang ber-
tempat tinggal di Kademangan Maospati.
"Terima kasih atas perhatianmu. Tapi, aku ha-

rus cepat-cepat menemui Gede Panjalu..."
Usai berkata demikian, kakek berjubah putih
menghemposkan tubuhnya. Si nenek cuma dapat
menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat kekerasan
hati Bima Naweleng.

***

5

Cahaya sang baskara baru saja menyirami bu-
mi. Ingkanputri menyusuri jalan setapak menuju bukit
Pangalasan. Tertimpa cahaya pagi, wajah murid Dewi
Tangan Api itu tampak merona merah. Rambut yang
digelung ke atas dengan ikatan kain hijau menampil-
kan kesempurnaan lukisan Tuhan pada sosok Ingkan-
putri. Warna pakaiannya putih-merah, membungkus
tubuhnya yang padat berisi.
"Setelah aku membaca Kitab Selaksa Dewa Tu-
run Ke Bumi, ada banyak hal yang tak dapat ku men-
gerti. Bagian pertama yang berisi tentang siasat dan
strategi perang sama sekali tak menarik  minat ku.
Mungkinkah hal itu yang membuatku jadi sulit mema-
haminya? Aku sangat berhasrat mempelajari isi kitab
bagian kedua. Tapi, kenapa aku juga mendapat kesuli-
tan untuk memahaminya? Pada bagian awal digam-
barkan tentang kehebatan tenaga prana. Tampaknya,
aku memerlukan seseorang yang menguasi ilmu keba-
tinan. Mungkin Gede Panjalulah orang yang tepat..."
Tanpa sadar langkah kaki Ingkanputri terhenti.
Seperti ingat sesuatu yang tak menyenangkan, bibir
gadis cantik itu tampak cemberut.
"Suropati...," desis Ingkanputri. "Bila aku ke

puncak Bukit Pangalasan untuk menjumpai Gede Pan-
jalu, mungkinkah aku juga akan berjumpa dengan re-
maja konyol itu? Uh! Perilaku Suropati seringkali san-
gat keterlaluan. Sebal!"
Ingkanputri kembali melangkah, tapi lebih lam-
bat dari semula. Kadang ditendangnya batu yang ba-
nyak berserakan di jalan setapak itu. Mendadak, gadis
cantik itu menyunggingkan senyum. Sinar matanya
berbinar seperti sedang merasakan suatu kegembi-
raan.
"Suropati...," desis Ingkanputri. "Walau perila-
kunya sangat konyol, namun sesungguhnya aku san-
gat suka. Melihat tingkah lakunya yang menyebalkan
kadang-kadang aku malah merasa bahagia. Aku me-
rindukannya. Mungkinkah aku telah... telah.... Ah! Ke-
napa aku berpikiran yang macam-macam. Maksudku
ke puncak Bukit Pangalasan untuk menjumpai Kakek
Gede Panjalu. Titik! Bukan menjumpai Suropati! Ta-
pi...."
Senyum yang tersungging di bibir Ingkanputri
merah merekah. Gadis cantik itu berjalan sambil me-
loncat-loncat persis anak kecil.
Tiba-tiba, Ingkanputri tercekat. Dia berjongkok
di sisi bercak kecoklatan di atas tanah. Dengan ujung
jari ditotolnya bercak kecoklatan itu.
"Darah...!!" Seperti kurang percaya pada pengli-
hatannya, Ingkanputri menatap lebih seksama bercak
kecoklatan di ujung jarinya. "Benar. Ini cairan darah
yang telah mengering. Darah manusia!"
Gadis cantik itu lalu mengedarkan pandangan.
Pada sisi kanan jalan setapak tampak bercak kecokla-
tan melumuri rumput ilalang. Karena desakan rasa in-
gin tahu, Ingkanputri mengikuti jejak darah yang di-
temukannya.


***

Di depan batu berlumut yang menjulang cukup
tinggi Pantang Mati tengah duduk berjongkok. Pakaian
yang dikenakan lelaki tinggi gemuk itu sudah tak ka-
ruan lagi. Bukan sekadar compang-camping, malah
hanya sobekan-sobekan kain yang disatukan dengan
simpul-simpul kecil. Ketika angin berhembus, sobe-
kan-sobekan kain itu berkibaran seperti bendera.
Walau wujud luar Pantang Mati sangat menge-
naskan, namun hatinya dalam kegembiraan yang san-
gat. Hal itu tergambar jelas pada wajahnya yang berse-
ri-seri dan matanya yang berbinar. Bibirnya pun me-
nyungging senyum. Kakek itu menimang-nimang bebe-
rapa perhiasan emas.
Di sisi kanan lelaki tinggi gemuk, tampak sosok
tubuh wanita bergoyang-goyang ditiup angin. Wanita
itu lehernya dijerat dengan seutas tali yang diikatkan
pada dahan pohon. Kakinya tak menginjak tanah. Dia
sudah tak bernyawa!
Mayat wanita itu sangat mengenaskan. Hampir
sekujur tubuhnya dinodai cairan darah yang mulai
mengering. Bila melihat pakaiannya yang terbuat dari
bahan mahal, tentu dia istri seorang pejabat atau sau-
dagar kaya.
Apa yang baru saja dilakukan Kebo Ireng ter-
hadap wanita itu memang di luar batas kemanusiaan.
Setelah menculik si wanita dari kotapraja, sepanjang
perjalanan Pantang Mati memukulinya karena si wani-
ta terus mengeluarkan umpatan. Akibat pukulan Pan-
tang Mati, si wanita babak belur. Darahnya berceceran
seperti yang dilihat Ingkanputri di jalan setapak.
Gagal menodai Yaniswara, Pantang Mati men-

culik wanita ini dari kotapraja untuk melepas nafsu bi-
rahinya. Malang bagi si wanita. Selesai menerima per-
buatan tak senonoh dari Kebo Ireng, dia digantung! Se-
luruh perhiasannya dipreteli.
"Ap... apa yang kau lakukan, Pak Tua?!" kata
Ingkanputri dalam perasaan ngeri. Matanya membela-
lak menatap mayat wanita yang digantung.
Pantang Mati pun dihantam keterkejutan. Dia
tak menyangka akan datangnya Ingkanputri. "Jangan
ganggu keasyikan ku!" bentaknya seraya mengibaskan
telapak tangan.
Serangkaian angin pukulan menghujam, In-
gkanputri yang tak menduga datangnya serangan
langsung tercekat. Tubuhnya bergeser mundur dalam
keadaan terhuyung-huyung.
"Kerbau Busuk! Ternyata kau manusia barbar
yang sangat kejam!" hardik Ingkanputri.
"Sudah kubilang, jangan ganggu keasyikan ku!"
Pantang Mati menatap tajam wajah Ingkanpu-
tri. Sesaat kemudian, dilancarkannya 'Ilmu Serat
Maut-nya.
Sraaattt...!
Melihat serat-serat putih yang meluncur ke
arahnya, Ingkanputri meloncat menghindar. Lalu di-
lontarkannya 'Pukulan Api Neraka'nya.
Ledakan dahsyat membahana. Gumpalan ta-
nah bercampur bebatuan beterbangan mengaburkan
pandangan. Pantang Mati meloncat tinggi. Setelah ber-
salto beberapa kali di udara, dia mendarat di atas ta-
nah dengan seringai kemarahan. Bahu kirinya terse-
rempat pukulan Ingkanputri.
Kebo Ireng menggeram-geram tak karuan. Te-
riakannya melengking tinggi menyakitkan gendang te-
linga. Saat dia menggedruk-gedrukkan kaki ke tanah,

bumi berguncang hebat.
"Keparaaartt...! Kubunuh kau!"
Melihat Pantang Mati yang kalap, Ingkanputri
bergidik ngeri. Tiba-tiba, sesosok bayangan berkelebat
dan menotok jalan darah di punggung gadis cantik itu.
Walaupun Ingkanputri memiliki ilmu 'Pemencar
Jalan Darah' yang membuatnya tak mempan untuk di-
totok, namun karena tidak sempat mengerahkan il-
munya, tubuh Ingkanputri terkulai lemas. Sosok
bayangan langsung membopongnya untuk dibawa lari
meninggalkan tempat itu.
Sosok bayangan yang membopong tubuh In-
gkanputri terus berlari hingga ke lereng Bukit Pengala-
san. Ketika sampai di tanah agak lapang, sosok bayan-
gan berhenti dan menurunkan tubuh Ingkanputri.
"Suropati...," desis Ingkanputri. "Apa yang se-
dang kau lakukan? Bebaskan totokanmu!"
"Uh! Tenang, Putri.... Kau berbaringlah di situ
untuk beberapa lama," kata Suropati yang telah mela-
rikan Ingkanputri. Perlahan-lahan remaja konyol itu
merebahkan tubuhnya di samping Ingkanputri, tanpa
mau membebaskan totokannya.
"Kau gila, Suro! Lekas bebaskan totokanmu!"
"He-he-he.... Kenapa marah-marah? Coba lihat
pemandangan di sana," Suropati menunjukkan tempat
yang dimaksudnya. "Suasana pagi yang cerah mem-
buat burung-burung gembira ria. Mereka meloncat-
loncat penuh canda. Kau tahu burung apa itu, Putri?"
"Gila!" maki Ingkanputri.
"Yah! Ya, namanya burung gila. Eh, salah, Pu-
tri. Setahuku burung itu adalah burung parkit. Ingat!
Burung parkit!"
"Gila!"
"Eh, kau lihat di ranting kanan paling atas dari

pohon besar itu, Putri. Dua burung parkit meloncat-
loncat dan saling berpatukan. Eh, bukan! Mereka se-
dang bercumbu. Ya. Sedang bercumbu, Putri. Aduh,
mesranya.... Kau tidak ingin seperti mereka, Putri?"
"Gila!" Ingkanputri semakin sewot.
"Uh! Dari tadi kau selalu mengatakan itu. Siapa
yang gila?"
"Kau!"
"Aku?" Suropati melototkan matanya seperti
orang bego.
"Ah! Kau benar-benar gila, Suro! Lepaskan to-
tokanmu!"
"Eit! Sebentar.... Kau katakan aku gila. Memang
benar. Aku gila, tergila-gila padamu!"
Mendengar ucapan konyol Pengemis Binal, bibir
Ingkanputri langsung cemberut. Raut wajahnya dibuat
segalak mungkin. Tapi, dia malah ditertawakan Suro-
pati.
"Kenapa mesti pura-pura marah, Putri. Kau se-
nang berjumpa denganku, bukan?"
Ditebak seperti itu pipi Ingkanputri merona me-
rah. Suropati mengusap rambut Ingkanputri. Lalu
mencium dengan lembut pipinya yang merona merah.
"Kau benar-benar manusia paling gila di dunia
ini, Suro!"
"Paling gila atau paling menggemaskan?" goda
Suropati dengan tertawa konyol. 
"Uh!"
"Uh apa? Minta cium lagi? Ehm...."
Ujung jari telunjuk Suropati ditempelkan ke
kening Ingkanputri. Lalu bergerak ke bawah menelu-
suri kedua pipi gadis cantik itu. Ke bawah lagi mengu-
sap bibir Ingkanputri yang marah-marah.
Perlahan-lahan Suropati menyorongkan wajah-

nya. Diciumnya bibir Ingkanputri dengan penuh ke-
lembutan. Ingkanputri yang tidak bisa menggerakkan
tubuhnya, cuma pasrah. Matanya terpejam. Debar-
debar aneh yang berada dalam dadanya semakin tera-
sa menghentak.
"Suro...," desis Ingkanputri.
"Kau sangat cantik, Putri...."
"Kau sangat tampan, Suro...."
"Kau senang ku cium, Putri?"
Ingkanputri tak menjawab. Matanya kembali
terpejam. Suropati pun kembali menghadiahkan ci-
uman mesra.
"Coba kau lihat lagi burung-burung parkit yang
berloncatan di pohon besar itu," bisik Suropati kemu-
dian di telinga Ingkanputri.
"Ehm...."
"Bulu burung-burung parkit itu sangat indah.
Ada warna hijau, kuning, dan rona-rona putih mengki-
lat. Sungguh indah sekali. Menunjukkan kebesaran
Tuhan. Betapa pandainya Dia membuat lukisan hidup
yang begitu sempurna. Tapi tahukah kau, Putri, di du-
nia ini ada satu burung yang paling indah. Burung itu
selalu dirindukan gadis-gadis yang sedang kasmaran."
"Burung apa itu, Suro?" tanya Ingkanputri pe-
nasaran.
"Burungnya laki-laki!"
"Wauw....!"

***

6

Siang itu puncak bukit Pangalasan tempat para

anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti bermu-
kim tampak lengang. Pagi-pagi sekali mereka telah
meninggalkan tempat itu untuk menuju kota kadipa-
ten terdekat, seperti Kadipaten Bumiraksa dan Kadipa-
ten Tanah Loh. Tentu saja maksud mereka pergi ke ko-
ta untuk mencari nafkah. Biasanya, sekitar satu ming-
gu kemudian baru mereka kembali. Kalau sudah ber-
kumpul, puncak Bukit Pangalasan ramainya tiada ter-
kira. Mereka akan bercakap-cakap diselingi gelak tawa
penuh canda.
Ketika Suropati memasuki pemukiman itu,
anak-anak berpakaian lusuh bersorak menyambutnya.
Mereka mengekor langkah remaja konyol itu. Sedang-
kan, para orang tua melambai-lambaikan tangannya.
"Sejak kapan orangtua kalian berangkat?"
tanya Suropati.
"Pagi-pagi tadi, Kang," jawab salah seorang
anak tanggung.
"Jangan panggil 'Kang'. Tak enak didengar.
Tuh, lihat di belakang ada gadis cantik. Jangan mem-
buat aku malu."
Mendengar kalimat Pengemis Binal, anak-anak
yang sedang mengekor langkahnya langsung menoleh
ke belakang. Setelah tahu ada seorang gadis cantik
berpakaian putih-merah, salah seorang dari mereka
bertanya, "Kami harus memanggil apa?"
"Tuan Besar," jawab Suropati.
"Ya, Tuan Besaaarrr!" kata anak-anak serem-
pak.
Pengemis Binal tertawa terkekeh. Lalu mengerl-
ing ke arah Ingkanputri yang berjalan tak seberapa
jauh di belakangnya.
"Sudah! Kalian pergi semua. Aku mau menemui
Kakek Gede, " kata remaja konyol itu kemudian kepada

anak-anak di belakangnya.
"Baik, Tuan Besaaarrr!"
Anak-anak itu berserabutan kembali ke tem-
patnya, Ingkanputri mempercepat langkah kakinya.
Suropati pura-pura tak melihat.
"Kau masih marah, Tuan Besoooaaarrr?!" ucap
Ingkanputri dengan bibir dimonyongkan.
Pengemis Binal tertawa geli. Cepat dia memen-
cet hidung Ingkanputri.
"Aknjuuuhhh!" jerit Ingkanputri.
"Apa?"
"Uh! Epaskan iknjungku!" 
"Ha-ha-ha...."
Suropati tertawa terpingkal-pingkal. Buru-buru
dia menarik tangan kanannya yang memencet hidung
Ingkanputri.
"Eit! Menendang saja pilih-pilih tempat!" kata
Pengemis Binal sambil berkelit. Karena gadis cantik itu
menendang selangkangannya.
Tanpa mempedulikan Ingkanputri lagi, remaja
konyol itu berjalan ke sebuah rumah yang dindingnya
terbuat dari susunan batu. Di ambang pintu yang te-
lah dibukanya, Suropati berdiri termangu. Diperhati-
kannya sebatang tongkat berwarna hitam kehijau-
hijauan yang ditegakkan di dinding ruangan.
"Tongkat Sakti!" desis Suropati.
Gede Panjalu muncul dari ruang dalam. Melihat
kehadiran Pengemis Binal, kakek bongkok itu terse-
nyum senang.
"Rupanya kau sudah bosan mencari angin, Su-
ro...," kata kakek itu.
"Belum," sahut Suropati.
"Jadi, kau ke sini hanya untuk mengambil
Tongkat Sakti?"

"Tidak, Kek. Biarlah benda pusaka itu berada di
situ sebagai lambang persatuan Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti."
Pengemis Binal melangkah masuk. Dia lalu du-
duk di lantai yang terbuat dari jajaran batu licin.
"Kakek Gede...," kata Ingkanputri ketika tata-
pan matanya bersirobok dengan Gede Panjalu.
Gede Panjalu tersenyum ramah. Dipersilakan-
nya Ingkanputri untuk masuk. Gede Panjalu duduk di
hadapan Suropati dan Ingkanputri.
"Kek, di dunia ini apakah ada ilmu kesaktian
yang benar-benar tidak bisa dikalahkan?" tanya Pen-
gemis Binal mengawali pembicaraan.
"Pertanyaan yang bodoh, Suro," jawab Gede
Panjalu. "Semua yang ada di dunia ini adalah fana
adanya dan serba tidak pasti. Setiap manusia mempu-
nyai cara pandang tersendiri."
"Maksud Kakek?"
"Orang yang merasa dirinya kaya, tidaklah pasti
orang lain mengatakan dia memang kaya. Demikian
pula dengan kesaktian. Kesaktian yang dimiliki manu-
sia mempunyai tingkatan. Dan, tingkatan itu dibuat
oleh manusia sendiri. Seiring dengan berlalunya waktu
kepandaian manusia semakin bertambah. Akibatnya,
tingkatan yang dibuat manusia jadi berubah-ubah. Di
dunia ini hanya ada satu yang pasti, yaitu mati."
"Jadi, manusia biadab itu pasti bisa dikalah-
kan. Karena dia akan menemui kepastiannya yaitu
mati?" tegas Suropati.
"Siapa yang kau sebut sebagai manusia biadab
itu, Suro?"
Pengemis Binal lalu bercerita panjang lebar
mengenai Kebo Ireng atau si Pantang Mati yang memi-
liki kesaktian luar biasa. Mendengar penuturan remaja

konyol itu, kening Gede Panjalu berkerut Wajahnya
yang tua nampak semakin tua.
"Kebo Ireng...," gumam Gede Panjalu. "Kau ten-
tu belum tahu siapa dia, Suro. Hanya tokoh-tokoh tua
rimba persilatan yang mengenal dengan pasti siapa
Kebo Ireng atau si Pantang Mati itu. Puluhan tahun
yang lalu dia dikubur hidup-hidup oleh seorang pena-
sihat kerajaan. Kalau sekarang dia muncul lagi, benar-
benar manusia pantang mati."
"Melihat kelakuan si Pantang Mati, kita harus
segera turun tangan, Kek."
"Pantang Mati mempunyai tenaga gaib, yaitu
tenaga yang diperolehnya dari hasil penyatuan inti ke-
kuatan tubuh dengan inti kekuatan daya tarik bumi,"
jelas Gede Panjalu tentang apa yang diketahuinya.
"Lalu, untuk memusnahkan tenaga gaib Pan-
tang Mati bagaimana, Kek?" Suropati tampak begitu
penasaran.
"Tenaga gaib yang dimiliki Kebo Ireng berbeda
dengan tenaga gaib yang terdapat pada ilmu  'Rawe
Rontek'. Ilmu 'Rawe Rontek' hanya bersumber pada in-
ti kekuatan daya tarik bumi. Orang yang memiliki ilmu
'Rawe Rontok' walau tubuhnya dipotong-potong akan
kembali kepada asalnya bila menyentuh tanah. Kalau
tidak menyentuh tanah, tubuh yang telah dipotong-
potong itu tak akan bisa kembali seperti semula. Hal
ini berlainan dengan tenaga gaib yang dimiliki Pantang
Mati. Walaupun tubuh tokoh jahat itu dihantam keku-
atan yang maha dahsyat, nyawanya tak akan lepas.
Tubuhnya dilindungi inti kekuatan daya tarik bumi
dan inti kekuatan tubuhnya sendiri."
"Wuih...!"
Suropati menggaruk-garuk kepalanya. Ingkan-
putri yang duduk di sebelah remaja konyol itu menyo-

dok pinggangnya seraya berbisik, "Persis monyet!"
Melihat ulah mereka, Gede Panjalu tersenyum.
Namun dia segera melanjutkan bicaranya.
"Usaha menyatukan inti kekuatan tubuh den-
gan inti kekuatan daya tarik bumi hanya dapat dilaku-
kan oleh orang yang mempunyai bakat alam untuk
menyatukan tenaga kasatmata itu. Untuk memusnah-
kannya tentu saja dengan melenyapkan kesatuan te-
naga kasatmata itu."
"Dengan ilmu sihir," kata Suropati asal ucap.
"Ilmu sihir hanya merupakan salah satu cara
memusnahkan tenaga kasatmata yang dimiliki Pan-
tang Mati."
"Cara lainnya apa, Kek?"
"Alam semesta ini mempunyai gelombang-
gelombang kekuatan. Bumi mempunyai kekuatan. Bu-
lan mempunyai kekuatan. Matahari pun demikian. Se-
luruh benda langit mempunyai kekuatan. Di antara
benda-benda langit ada kekuatan maha dahsyat yang
bersifat lembut. Kekuatan itu bukan merupakan ba-
gian dari benda-benda langit. Dengan kata lain, kekua-
tan dahsyat itu berdiri sendiri tanpa dipengaruhi ke-
kuatan-kekuatan semesta lainnya."
"Kekuatan apa itu, Kek?" Suropati benar-benar
merasa tertarik.
"Kekuatan prana. Tokoh-tokoh tua menyebut-
nya sebagai tenaga prana."
"Tenaga prana, Kek?" sela Ingkanputri.
"Ya. Apakah kau pernah mendengar tentang te-
naga prana itu, Putri?"
"Kedatanganku kemari justru untuk menanya-
kan hal itu."
Ingkanputri lalu mengeluarkan sebuah kitab
dari balik bajunya. Disodorkannya kitab itu ke hada-

pan Gede Panjalu.
"Selaksa Dewa Turun Ke Bumi...," gumam ka-
kek bongkok itu membaca jajaran huruf yang tertera di
sampul kitab.
Gede Panjalu membuka halaman pertama. Saat
melihat kitab  itu disusun oleh Panglima Pranasutra,
Gede Panjalu mempertajam daya ingatnya.
"Panglima Pranasutra...," kata Gede Panjalu
kemudian. "Panglima Pranasutra hidup pada masa
pemerintahan Prabu Anggara Sanca, kakek dari Prabu
Arya Dewantara. Panglima Pranasutra seorang pangli-
ma yang sangat pandai mengatur siasat dan strategi
perang. Namun, beliau mengundurkan diri karena tak
setuju terhadap kebijaksanaan Prabu Anggara Sanca
yang hendak menghancurkan Perkumpulan Pengemis
Tongkat Naga...."
"Perkumpulan pengemis yang dipimpin oleh Da-
tuk Risanwari, ayahanda Kakek Gede?" sela Suropati.
Gede Panjalu mendehem. "Sepengetahuanku, di
rimba persilatan ini hanya Panglima Pranasutralah
yang dapat menguasai tenaga prana."
"Bagian kedua dari Kitab Selaksa Dewa Turun
Ke Bumi berisi cara menghimpun tenaga prana. Na-
mun, banyak cara-cara yang tak ku mengerti, Kek...,"
beritahu Ingkanputri.
"Itu wajar, Putri...," ucap Gede Panjalu dengan
suara lembut. "Untuk menghimpun tenaga prana pal-
ing tidak membutuhkan waktu sepuluh tahun."
"Sepuluh tahun?" ulang Ingkanputri dan Suro-
pati hampir bersamaan.
"Kalian tak perlu khawatir. Kebo Ireng akan te-
tap dapat ditaklukkan dengan ilmu yang bersumber
pada tenaga prana."
"Jika demikian, ada suatu cara untuk memper-

cepat usaha penghimpun tenaga prana, Kek...," ujar
Ingkanputri.
"Tepat! Suropati memiliki sebuah ilmu yang
bersumber pada penyatuan kekuatan alam semesta.
Dengan bantuan Suropati, kau akan dapat menghim-
pun tenaga prana dalam waktu singkat, Putri."
Mendengar penuturan Gede Panjalu, Ingkanpu-
tri  tersenyum senang. Namun Pengemis Binal malah
tampak cemberut.
"Kenapa kau, Suro?" tanya Gede Panjalu. 
"Aku tidak mau membantu Ingkanputri!" 
"Lho, kenapa?"
"Aku meminta imbalan!" jawab Suropati. 
"Uh! Enaknya!" Ingkanputri cemberut. 
"Kau butuh bantuanku atau tidak?"
Ingkanputri tak menjawab.
Suropati tersenyum simpul. "Kau butuh bantu-
anku, Putri. Dan, aku yakin kau pun bisa membantu-
ku...."
"Membantu apa?"
"Di dalam lemari banyak pakaian kotor. Besok
pagi-pagi kau harus mencucinya!"
"Kalau aku menuruti permintaanmu, apakah
kau bersedia membantuku menghimpun tenaga pra-
na?" Ingkanputri tidak segera menyetujui permintaan
Suropati.
"Belum tentu! Aku harus menilai sikapmu du-
lu." 
"Maksudmu?"
"Kalau sikapmu dapat membuat aku senang,
yah, bolehlah kau kubantu."
Mata Ingkanputri berbinar. Kalau saja di tem-
pat itu tidak ada Gede Panjalu, tentu akan dihadiah-
kannya kecupan mesra ke pipi Suropati.

"Dari dulu sifat konyol mu tetap saja kau peli-
hara, Suro...," ujar Gede Panjalu. Terbersit senyum ti-
pis di bibirnya.
Tiba-tiba terdengar ketukan di daun pintu.
Tampak Bima Naweleng berdiri dengan tangan kanan
membawa sebatang tongkat dan selembar rompi ber-
warna hitam. Suropati tercekat. Dia tahu rompi itu mi-
lik Yaniswara.
"Masuklah, Naweleng...," kata Gede Panjalu.
Bima Naweleng  menganggukkan kepala, lalu
duduk di hadapan Gede Panjalu.
Ingkanputri menggeser duduknya. Suropati
mengambil tempat di sisi gadis cantik itu. Namun,
pandangan Pengemis Binal tak pernah lepas dari rompi
hitam yang diletakkan Bima Naweleng di hadapan
Gede Panjalu. Berbagai tanda tanya berkecamuk da-
lam benak remaja konyol itu. Dia sudah tak tahan lagi
menanti penjelasan Bima Naweleng perihal rompi hi-
tam hingga sampai berada di tangannya.
Setelah berbasa-basi sejenak Gede Panjalu
mengambil tongkat yang berada di hadapannya. Seki-
las diamatinya tongkat itu, lalu diletakkan kembali.
"Tongkat Wirogundi," gumam Kakek bongkok
itu.
"Aku menemukan tongkat dan rompi ini di ru-
mah kenalan ku di Kademangan Maospati," jelas Bima
Naweleng. Brahmana itu lalu menceritakan perlakuan
tak senonoh yang dilakukan Wirogundi terhadap Ya-
niswara. "Sebenarnya aku telah berusaha mengejar
pemuda itu, namun ilmu meringankan tubuhnya san-
gat hebat. Aku kehilangan jejak...."
Tiba-tiba Suropati bangkit berdiri. "Keparat!"
umpat pemuda itu.
Gede Panjalu yang juga dihantam keterkejutan

segera mendekati remaja konyol itu. Ditepuknya bahu
Suropati.
"Tenanglah, Suro. Amarah tak akan menyele-
saikan masalah... "
"Tapi, Kek.. perbuatan Wirogundi keterlaluan
sekali. Dia bukan hanya mencoreng kehormatan seo-
rang gadis yang tak berdosa, juga kehormatan per-
kumpulan kita!" ujar Suropati dengan penuh kemara-
han.
"Wirogundi...," desah Gede Panjalu.
"Ternyata kau tak selugu dan sejujur yang ku-
kira. Ketika berada di dasar jurang bukit ini, kau me-
rengek-rengek meminta sebutir buah pala ajaib dengan
janji akan selalu berada di jalan kebenaran. Ternyata
perbuatanmu tak lebih baik dari binatang."
"Maafkan aku, Gede...," ucap Bima Naweleng.
"Bukan maksudku hendak memecah persatuan Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti."
"Aku  mengerti, Naweleng. Terima kasih atas
pemberitahuan mu."
Kemudian suara menjadi hening. Lama larut
dalam pikiran masing-masing. Di luar mentari telah
bergeser ke barat. Panas tak lagi menerpa. Hembusan
angin semilir membuat burung-burung semakin terbe-
nam dalam candanya.
Setelah memberi petunjuk tentang cara meng-
himpun tenaga prana kepada Ingkanputri, Gede Panja-
lu berpamitan turun bukit untuk mencari Wirogundi.
Suropati hendak ikut. Tapi ditolak oleh kakek bongkok
itu. Suropati harus membantu Ingkanputri dalam
menghimpun tenaga prana.
"Kita berbagi tugas, Suro...," kata Gede Panjalu
sebelum pergi. "Setelah selesai membantu Ingkanputri,
carilah si Kebo Ireng. Prabu Indra Prastha Swargi, aya-

handa Prabu Arya Dewantara, telah menjatuhkan hu-
kuman mati bagi manusia kejam itu. Kau laksanakan-
lah hukuman itu. Aku akan menjatuhkan hukuman
terhadap Wirogundi atas nama Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti."
Hari itu juga Gede Panjalu meninggalkan pun-
cak Bukit Pangalasan. Dia tak dapat menolak keingi-
nan Bima Naweleng yang hendak membantunya men-
cari Wirogundi. Bersama brahmana itu, Gede Panjalu
mulai berkelana mencari Wirogundi.
Pagi hari di Dusun Paldaplang....
Wirogundi menjambak-jambak rambutnya yang
kusut tak karuan. Bibirnya digigit kuat-kuat sehingga
darah meleleh ke dagunya. Wajah pemuda kurus itu
sangat kotor. Demikian pula dadanya yang telanjang.
Keringat membuat debu melekat. Saat dia me-
lepas gigitan pada bibirnya, tiada henti Wirogundi me-
nyebut-nyebut nama kekasihnya yang telah meninggal.
"Anjarweni... Anjarweni... Anjarweni...." 
Wirogundi semakin keras menjambak-jambak
rambutnya. Pemuda kurus itu duduk di tengah jalan.
Tak heran segera menjadi bahan perhatian orang-
orang. Mereka menganggap Wirogundi orang gila yang
sedang kumat.
Seorang gadis berpakaian penuh tambalan
mendekati Wirogundi.
"Kau kenapa, Wiro?" tanya gadis itu. Wirogundi
tercekat. Dia merunduk, lalu membenturkan kening-
nya ke tanah.
"Maafkan aku, Yaniswara," rintih Wirogundi.
"Apa yang kau katakan, Wiro?"
"Aku... aku telah khilaf...." Si gadis menge-
rutkan kening. 
"Lihatlah aku, Wiro. Aku temanmu. Aku Surti,

anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti seperti
dirimu. Apa yang kau lakukan ini membuat malu selu-
ruh anggota perkumpulan kita...."
Perlahan-lahan Wirogundi mendongakkan ke-
pala. Ketika melihat wajah gadis yang bernama Surti,
dia mendengus marah.
"Pergi kau!" bentak Wirogundi.
"Kembalilah ke Bukit Pangalasan, Wiro. Temui
Kakek Gede. Kau membutuhkan nasihatnya," Surtí te-
rus berusaha membujuk.
"Tidak! Sekarang aku tidak mengenal siapa Ka-
kek Gede itu! Aku bukan anggota Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti lagi!"
Usai mengucapkan kalimatnya, bahu Wirogun-
di tampak naik turun. Kepalanya kembali ditunduk-
kan.
"Aku... aku telah berdosa. Aku telah menodai
nama baik perkumpulan. Aku telah melanggar janjiku
kepada Kakek Gede...."
Melihat Wirogundi yang tampak mengalami
guncangan jiwa Surtí jadi terharu. Dia melangkah le-
bih dekat, lalu ditepuknya bahu Wirogundi. "Kuantar-
kan kau ke Bukit Pangalasan...."
"Tidak!" tukas Wirogundi seraya menepis tan-
gan Surtí. "Aku sudah tak pantas lagi menginjakkan
kaki di Bukit Pangalasan. Aku tak pantas menjadi
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti dan
menjadi anak buah Suropati."
"Sadarlah, Wiro...," bujuk Surtí dengan suara
lembut. "Kita menjadi perhatian orang. Sebaiknya kita
pergi dari tempat ini."
"Kau bunuh saja aku, Surtí. Ya, bunuhlah aku,
Surtí. Aku akan sangat berterima kasih bila kau mau
melakukannya...."

"Kau gila, Wiro! Aku tak akan membunuh se-
sama teman!" teriak Surtí, kaget.
"Tapi kau harus melakukannya, Surtí. Demi
kebaikan! Daripada hidup menanggung sesal berke-
panjangan, lebih baik aku mati. Aku mohon kepada-
mu, Surtí. Bunuhlah aku. Tusuklah jantungku dengan
tongkat yang kau bawa itu...."
"Kau benar-benar gila, Wiro! Siapa yang mau
melakukan itu?!"
Wirogundi bangkit berdiri. Matanya menyorot
tajam menatap wajah Surtí. Dengus nafasnya terden-
gar memburu.
"Kau bunuh aku, atau aku akan membunuh-
mu?!"
Mendengar ucapan Wirogundi, Surtí terkejut
bukan main. Beberapa lama dia tak mampu mengu-
capkan sepatah kata pun.
"Cepat tentukan pilihan, Surtí!" bentak Wiro-
gundi
"Aku tidak gila, Wiro. Aku tidak akan menentu-
kan pilihan!"
"Kalau begitu, mampuslah kau!"
Selesai berucap Wirogundi langsung menghan-
tamkan kepalan tangannya ke dada Surtí.
Trak...!
Surtí meloncat ke belakang seraya membuat
tangkisan dengan tongkat. Pergelangan tangan Wiro-
gundi yang dialiri tenaga dalam penuh membuat tong-
kat gadis itu patah.
"Kau bunuh aku, atau aku akan membunuh-
mu, Surti?!"
Surtí tak menjawab pertanyaan Wirogundi. Ha-
tinya dihantui ketakutan melihat Wirogundi menden-
gus seperti banteng terluka. Gadis itu bergerak mun-

dur.
"Karena kau tak bersedia menolongku, terpaksa
aku akan membunuhmu, Surti. Biar semua orang ta-
hu kalau Wirogundi seorang penjahat yang sangat ke-
jam!"
Sambil menggeram keras, Wirogundi menerjang
Surti dengan sebuah tendangan ke arah dada. Surti
yang tak mau mati konyol segera meloncat jauh. Lalu
diputarnya dua patahan tongkat di tangannya. Ia hen-
dak berjaga-jaga. Namun Wirogundi yang sudah lupa
diri menyerang gadis itu dengan ganas.
Bagaimanapun Surti mempertahankan diri, dia
bukanlah lawan yang seimbang bagi Wirogundi. Den-
gan satu kibasan telapak tangan Wirogundi berhasil
mementalkan dua patahan tongkat di tangan Surti.
Gadis itu tampak sangat ketakutan. Tubuhnya segera
dihemposkan untuk mengambil langkah seribu. Tapi,
Wirogundi telah mempersiapkan pukulan jarak jauh-
nya....
Blaaammm...!
Ledakan dahsyat membahana di angkasa. Debu
bercampur gumpalan tanah berhamburan mengabur-
kan pandangan. Pukulan jarak jauh Wirogundi yang
tak mengenai sasaran membuat kubangan dalam di
permukaan tanah.
Walau Surti bisa berkelit, tak urung dia terkena
angin pukulan. Tubuh gadis itu terpelanting lalu jatuh
berdebam di atas tanah sebelum terguling-guling, ga-
dis yang malang itu baru berhenti berguling ketika
membentur kaki seorang lelaki tinggi gemuk berkepala
botak. Pantang Mati!
"He-he-he.... Tanpa bersusah payah aku men-
dapatkan seekor kelinci yang sangat manis," kata ma-
nusia biadab itu.

Surti yang masih sadar segera bangkit. Namun,
sikap berdirinya tak sempurna. Kedua kakinya goyah
tak kuat menyangga beban tubuh. Sebelum dia jatuh
kembali, Kebo Ireng telah menyambarnya.
"Tolong...! Tolong...!"
Surti menjerit-jerit. Jeritan gadis malang itu se-
gera terhenti ketika Pantang Mati menotok jalan darah
di pangkal lehernya.
Menyaksikan adegan itu, Wirogundi tercekat.
Hati kecil pemuda kurus itu mendesaknya untuk sege-
ra menolong Surti. Tapi karena dia sedang mengalami
pukulan batin yang hebat, Wirogundi hanya berdiri
terpaku di tempatnya.
Beberapa lama pemuda kurus itu berdiam diri.
Setelah daya ingatnya bekerja kalau orang yang mem-
bawa lari Surti adalah orang yang dijumpainya saat
menolong Yaniswara. Wirogundi menjerit histeris. Tu-
buhnya dihemposkan mengejar Pantang Mati.
Gerak tubuh Wirogundi demikian cepat. Tubuh
pemuda kurus  itu seperti melayang di udara. Hanya
sesekali menjejak tanah. Itu pun dilakukan dengan ge-
rakan yang sangat ringan. Wirogundi mengerahkan se-
luruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya.
Belum sampai sepeminum teh Kebo Ireng telah
terkejar. Lelaki tinggi gemuk  itu menggeram, lalu
menghentikan langkah dan memapak luncuran tubuh
Wirogundi dengan ilmu 'Serat Maut'.
Sraaattt...!
Serat-serat putih menghujani tubuh Wirogundi.
Namun, dengan tangkas pemuda kurus itu menghem-
poskan tubuhnya ke atas seraya melancarkan tendan-
gan lurus ke dada Pantang Mati.
Yang menjadi sasaran mendengus keras. Den-
gan sigap dia melontarkan tubuh Surti ke atas. Kemu-

dian, kedua telapak tangannya disorongkan ke depan
memapak tendangan Wirogundi dengan pukulan jarak
jauh.
Wirogundi yang tak menyangka akan diserang
demikian jadi terkejut setengah mati. Cepat dia me-
nyadari keadaan, lalu melentingkan tubuhnya ke atas.
Pukulan jarak jauh Pantang Mati hanya mengenai se-
batang pohon. Tak ayal lagi, batang pohon itu hancur
menjadi kepingan-kepingan.
Bertepatan dengan mendaratnya kaki Wirogun-
di di tanah tubuh Pantang Mati melesat, dan menang-
kap tubuh Surti yang masih meluncur ke atas.
"Bangsat! Mau lari ke mana kau?!" hardik Wiro-
gundi melihat Kebo Ireng melarikan diri sambil mem-
bopong Surti yang pingsan.
Pantang Mati terus berlari. Namun dengan ke-
cepatan yang sulit diikuti pandangan mata, Wirogundi
melayang, dan mendarat tepat dua tombak di hadapan
Pantang Mati.
Lelaki tinggi gemuk itu terkejut. Karena tak
mau tubuhnya berbenturan dengan Wirogundi, dia se-
gera menjejak tanah kuat-kuat untuk menghentikan
luncuran tubuhnya.
"Lepaskan gadis dalam pondonganmu itu!" har-
dik Wirogundi.
Pantang Mati menyeringai dingin. Matanya ber-
kilat tajam. Perlahan-lahan dia menurunkan tubuh
Surti, lalu dilemparkan ke arah Wirogundi.
"Bangsat!" umpat Wirogundi seraya mengem-
bangkan kedua tangan untuk menyambut tubuh Surti.
Mendadak, Pantang Mati menyorongkan tela-
pak tangan kanannya. Serat-serat putih meluncur de-
ras. Sambil membopong tubuh Surti, Wirogundi me-
loncat tinggi. Tubuh pemuda kurus itu lalu meluncur

cepat bagai lesatan anak panah lepas dari busur.
Dheeesss...!
Dengan telak tendangan Wirogundi bersarang
di dada Kebo Ireng. Tubuh lelaki tinggi gemuk itu ter-
lontar jauh dan membentur sebatang pohon besar
hingga tumbang.
Perlahan-lahan Wirogundi menurunkan tubuh
Surti di tanah berumput. Gadis itu tak menderita luka
yang berarti. Wirogundi segera melangkah mendekati
Pantang Mati yang berdiri terhuyung-huyung.
"Aku akan bertempur denganmu sampai salah
satu nyawa di antara kita melayang ke neraka, Kerbau
Busuk!" kata Wirogundi dengan suara lantang.
"Ha-ha-ha....!" Kebo Ireng tertawa bergelak.
"Rupanya kau sangat merindukan jilatan api neraka,
Kelinci Liar! Surga memang tak layak menerima gem-
bel busuk sepertimu!"
Sambil berkata demikian, Pantang Mati menyo-
rongkan kedua telapak tangannya. Timbul serat-serat
putih melesat bagai lesatan jala!

***

7

Di tepi sebuah hutan kecil Suropati tampak
berlari-lari. Di belakangnya Ingkanputri mengejar
sambil berteriak-teriak.
"Suro...! Suro...!"
"Uh! Kenapa kau mengikutiku terus?!"
"Kau tidak sepenuh hati membantuku, Suro?!"
"Siapa bilang? Bukankah kau sudah dapat
menghimpun tenaga prana?" bentak Suropati.

"Tapi belum sempurna, Suro!"
"Kalau kau mengejar kesempurnaan, di dunia
ini tidak ada yang sempurna!" Suropati mengeluarkan
kata-kata bijak.
"Iya. Tapi menurut Kitab Selaksa Dewa Turun
Ke Bumi, masih ada seperempat bagian lagi yang ha-
rus kupelajari."
Pengemis Binal menghentikan langkah. "Lalu,
maumu apa?"
"Kau harus membantuku menghimpun tenaga
prana sampai tuntas!"
"Siapa yang mengharuskan?" tanya Suropati
tak senang.
"Kakek Gede."
"Kakek Gede tidak mengharuskan. Hanya me-
nyarankan!"
"Iya, tapi...."
"Tidak ada kata 'tapi-tapian'! Aku harus segera
mencari Wirogundi. Sebagai Pemimpin Perkumpulan
Tongkat Sakti, aku harus bisa bertindak adil. Aku ha-
rus menghukum setiap anggota perkumpulan yang
bersalah!" ucapan Suropati terdengar tak menghendaki
bantahan.
"Bukankah Kakek Gede telah mencari Wiro-
gundi, Suro? Dan, kita dimintanya untuk menghukum
Pantang Mati," Ingkanputri berusaha mengingatkan
pesan Gede Panjalu sebelum pergi.
"Aku akan mencari manusia biadab itu setelah
kutemukan Wirogundi."
"Huh! Ternyata, kau seorang pemimpin yang
tak patut menjadi panutan. Kau terlalu mengikuti naf-
su pribadimu!" rungut Ingkanputri jengkel.
Mata Suropati mendelik. "Apa kau bilang?!"
"Kakek Gede telah membagi tugas. Dia mencari

Wirogundi. Dan kita mencari Pantang Mati. Kenapa
kau tidak menjalankan tugasmu? Apakah Yaniswara
yang hendak diperkosa Wirogundi itu kekasihmu se-
hingga kau begitu bernafsu untuk menghukum Wiro-
gundi?!"
Pengemis Binal tercekat. Dadanya terasa sesak.
Ucapan Ingkanputri menampar perasaannya dengan
telak. Melihat mata Ingkanputri menatapnya dengan
penuh kemarahan, mendadak kekonyolan Suropati
muncul. Dia pun tertawa terkekeh sambil menggaruk-
garuk kepala.
"Tawamu itu tak lucu, Suro!" bentak Ingkanpu-
tri.
"Aku memang tak hendak membuat lelucon.
Tapi, ehm...."
Pengemis Binal memonyongkan bibirnya. "Kau
sangat cantik, Putri. Apalagi kalau sedang marah-
marah begini...."
"Rayuan gombal!"
"Yah, baiklah...," kata Suropati sambil mengga-
ruk-garuk kepala. "Aku urungkan niatku untuk men-
cari Wirogundi. Sekarang juga kita cari Kebo Ireng."
"Dengan tenaga prana yang belum ku kuasai
secara sempurna dapatkah kita mengalahkan manusia
biadab itu?" Ingkanputri merasa ragu.
"Kenapa tidak? Kau meragukan kemampuan
ku?"
"Jangan sombong, Suro!" sentak Ingkanputri.
"Kau ikut mencari Pantang Mati atau tidak? Se-
gera ikuti aku, itu lebih baik!"
Usai berucap Suropati langsung menghem-
poskan tubuh. Ingkanputri menggerutu panjang-
pendek sambil berlari mengejar
"Jangan cepat-cepat, Suro!" teriak gadis cantik

itu karena merasa tertinggal.
Pengemis Binal menghentikan langkahnya. Bu-
kan karena teriakan Ingkanputri, tapi karena dia men-
dengar suara ledakan.
"Kau dengar itu, Putri?" tanya remaja konyol
itu.
"Ya. Di hutan sebelah sana. Sepertinya sedang
berlangsung pertempuran dahsyat."
Tanpa meminta persetujuan dari Ingkanputri,
Pengemis Binal segera menghemposkan tubuhnya
kembali. Ingkanputri yang berteriak-teriak tak dipedu-
likannya.
Sementara itu, pertempuran antara Wirogundi
dan Kebo Ireng berlangsung demikian hebat. Puluhan
batang pohon bertumbangan. Sebagian dari batang
pohon-pohon itu menjadi serpihan-serpihan kecil keti-
ka tertimpa pukulan jarak jauh yang nyasar. Tanah di
sekitar arena pertempuran tak lagi rata. Di sana-sini
terlihat kubangan-kubangan dalam. Serat-serat putih
berperekat tampak menempel pada ranting-ranting
pohon yang masih berdiri. Suasana di tempat itu se-
perti sarang laba-laba raksasa saja.
"Ku  rejam  tulang-belulang mu, Kelinci Liar!"
Hardik Pantang Mati seraya melancarkan ilmu 'Serat
Maut'
"Makanlah ini, Kerbau Busuk!" sambut Wiro-
gundi tak kalah pedas.
Melihat serat-serat putih meluncur ke arahnya,
pemuda kurus itu bersalto beberapa kali ke belakang.
Saat kakinya mendarat di tanah dia telah berdiri den-
gan tubuh tertutup sebongkah batu sebesar kerbau.
Kemudian, batu itu ditendangnya. 
Wuuusss...!
Batu terjerat serat-serat putih hingga tertahan

di udara. Wirogundi mendengus. Lalu tubuhnya di-
hemposkan.
Wirogundi melesat cepat dengan kedua perge-
langan tangan terjulur ke depan. Ketika telapak tan-
gannya menyentuh batu yang masih tertahan di udara,
Wirogundi menghentak. Batu pun meluncur deras ke
arah Pantang Mati.
"Keparat kau, Cacing Ani!!" umpat Kebo Ireng.
Lelaki tinggi gemuk itu membuka kakinya le-
bar-lebar dengan kedua tangan menyorong ke depan.
Hendak dipapaknya batu sebesar kerbau yang dido-
rong Wirogundi.
Blaaarrr...!
Ledakan sangat dahsyat membahana di angka-
sa. Tertindih oleh dua tenaga dalam yang disalurkan
dengan kekuatan penuh, batu besar hancur luluh
menjadi abu.
Tubuh Wirogundi terus melesat. Telapak tan-
gannya membentur telapak tangan Pantang Mati. Dua
kekuatan tenaga dalam pun bertemu langsung. Sekali
lagi timbul ledakan dahsyat  yang mengguncangkan
tempat itu. Batu-batu bercampur gumpalan tanah ter-
lontar ke angkasa. Pohon-pohon yang berada di dekat
pusat ledakan tercabut sampai ke akar-akarnya lalu
terlontar jauh.
Wirogundi pun terhempas bagai dilemparkan
tangan raksasa. Namun, pemuda kurus itu masih da-
pat menguasai gerak tubuhnya. Dengan bersalto bebe-
rapa kali di udara, dia dapat mendarat di tanah den-
gan selamat.
Ketika bangkit berdiri kedua kaki Wirogundi
bergerak-gerak bagai orang mabuk. Wirogundi mende-
kap dadanya yang sesak. Mata pemuda kurus itu
mendelik. Pipinya menggembung menahan cairan da-

rah. Tapi cairan darah itu terlalu banyak, Wirogundi
tak mampu menahannya lagi. Darah menyembur ke-
luar dari mulut dengan begitu deras.
"Ha-ha-ha...! Sudah kubilang, kau saja yang
pergi ke neraka!"
Dengan langkah tegap Pantang Mati mendekati
Wirogundi. Jemarinya yang besar-besar terjulur seperti
hendak memuntir kepala pemuda kurus di hadapan-
nya.
Wirogundi terkesiap. "Kerbau Busuk! Kita akan
mati bersama-sama!"
Usai berucap, pemuda kurus itu menerjang
dengan nekat. Untuk kesekian kali ledakan dahsyat
membahana. Pertemuan dua tenaga dalam membuat
tubuh Wirogundi terbanting ke tanah. Walaupun tena-
ga dalam pemuda kurus itu unggul satu tingkat, tapi
karena telah menderita luka dalam maka kekuatannya
jadi berkurang. Dengan sisa-sisa tenaganya Wirogundi
berusaha bangkit berdiri. Namun tubuhnya mendadak
terkulai lemas dalam keadaan pingsan.
Kebo Ireng tertawa penuh kemenangan. "Malai-
kat penjaga pintu neraka telah menantimu, Kelinci
Liar!"
Lelaki tinggi gemuk itu menghemposkan tubuh
ke atas. Saat tubuhnya meluncur turun kaki kanannya
siap dijejakkan ke dada Wirogundi yang telentang. Se-
jengkal lagi nyawa Wirogundi akan lepas dari raga.
Namun, tiba-tiba seberkas cahaya kebiruan melontar-
kan tubuh Pantang Mati.
"Kau tidak berhak menghukumnya, Manusia
Biadab!"
Berbarengan dengan teriakan tubuh Pantang
Mati membentur sebatang pohon hingga tumbang. Le-
laki tinggi besar itu bergegas bangkit. Matanya tampak

berkilat tajam menatap seorang remaja tampan berpa-
kaian penuh tambalan yang tak lain Suropati atau
Pengemis Binal.
"Kau mengganggu keasyikan ku  lagi, Gembel
Busuk!" umpat Pantang Mati.
"Tak layak kau berkata seperti itu! Lihat mu-
kamu yang seperti kerbau kudisan!" tukas Suropati.
"Kaulah kerbau kudisan itu!" 
"Kau  manusia edan!" balas Suropati tak mau
kalah.
"Kau manusia...."
"Baik hati," sela Pengemis Binal sambil terse-
nyum.
Kebo Ireng menggerutu. Lalu memukul-mukul
dadanya dalam kemarahan yang meluap. "Setan Alas!
Setan Bengal! Setan Busuk! Setan keparaaattt...!"
Pengemis Binal tertawa terkekeh melihat kela-
kuan calon lawannya. "Setan apa lagi, hayo?" godanya.
"Kulumat tubuhmu!"
Pantang Mati meloncat dengan kedua tangan
terpentang lebar. Saat tubuhnya melayang di udara dia
menepukkan kedua telapak tangan. Timbullah asap hi-
tam yang menutupi pandangan.
Suropati menajamkan pendengaran. Dia tahu
Pantang Mati hendak menyerangnya dalam kegelapan
itu. Bergegas Pengemis Binal melenting ke udara den-
gan kaki kanan meluncur lurus.
Dhes...!
Punggung Pantang Mati tertendang dengan te-
lak. Lelaki tinggi besar itu jatuh tersungkur. Kepalanya
yang botak menancap ke dalam tanah.
"He-he-he...!" Suropati tertawa terkekeh. "Ra-
sain, Manusia Biadab!"
Remaja konyol itu menertawakan kepala Kebo

Ireng yang menancap dalam sampai ke pangkal leher.
Kedua kaki Kebo Ireng meronta-ronta ke atas sedang-
kan tangannya memukul-mukul tanah.
Pengemis Binal menangkap kedua kaki lelaki
tinggi besar itu. Kemudian, dengan kekuatan penuh di
dorongnya ke bawah. Tubuh Pantang Mati amblas ke
dalam tanah, hingga yang terlihat tinggal kakinya.
Belum puas dengan yang dilakukan, Suropati
meloncat ke atas lalu menjejak telapak kaki Pantang
Mati. Akibatnya, tubuh lelaki tinggi-besar itu benar-
benar lenyap di telan bumi!
"Rasain!" ujar Suropati sambil tersenyum sim-
pul.
Namun sesaat kemudian remaja konyol itu ter-
kejut. Tanah di sekitar tempatnya berdiri berderak-
derak....
Swooosss...!
Tubuh Kebo Ireng muncul dari dalam tanah.
Ketika masih melayang di udara, dia tertawa terbahak-
bahak. Seraya melancarkan tendangan maut ke arah
Suropati.
Remaja konyol itu menangkis. Tangan kirinya
lalu menghantam dada. Tapi Pantang Mati dapat
menghindar. Digebraknya kepala Pengemis Binal.
Wuuuttt...!
Telapak tangan Kebo Ireng hanya mengenai an-
gin kosong. Lelaki tinggi besar itu menggeram-geram
penuh kemarahan. Darahnya naik sampai ke ubun-
ubun.
Bola matanya mendelik bagai hendak keluar
dari rongga.
"Kalau kau marah, tampangmu mirip monyet
dibedaki!" ejek Suropati.
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Pan-

tang mati. Hanya geram laksana harimau mengiringi
terjangan lelaki tinggi-besar itu.
Suropati membuka kakinya lebar-lebar. Kedua
telapak tangannya disorongkan ke atas. Saat tubuhnya
melayang ke udara, dia membuat tendangan melingkar
dengan berlambarkan jurus 'Pengemis Menghiba Rem-
bulan.'
Namun, kaki kanan remaja konyol itu bergetar
keras. Pantang mati telah menangkis dengan pengera-
han tenaga dalam penuh.
Mendadak sebuah teriakan muncul. "Aku da-
tang, Suro...!"
Sesosok bayangan berkelebat dan langsung
menerjang Kebo Ireng dengan serangan bertubi-tubi.
"Bagus, Putri!" puji Pengemis Binal melihat ke-
hadiran Ingkanputri.
Dalam puncak kemarahannya wujud Pantang
mati seakan berubah menjadi makhluk yang sangat
mengerikan. Walau sudah tua, tubuh lelaki tinggi-
besar itu menampakkan otot-otot bertonjolan. Pa-
kaiannya yang semula hanya berupa serpihan kain te-
lah tanggal. Otot-otot tubuhnya terlihat begitu kentara.
Matanya berkilat-kilat dengan mulut selalu menyerin-
gai. Air liur menetes-netes bersamaan suara geramnya.
Berkali-kali tubuh Pantang Mati terkena ten-
dangan maupun pukulan kedua lawannya. Namun,
berkali-kali pula dia bangkit dengan lengking kemara-
han yang mendirikan bulu roma. Lewat sepuluh jurus
kemudian, Pengemis Binal meloncat menjauhi arena
pertempuran.
"Mundurlah, Putri!" teriak Suropati.
Namun, Ingkanputri tak menghiraukan teria-
kan remaja konyol itu. Dia terus mencecar Pantang
Mati dengan serangan-serangan lebih hebat.

"Jangan bodoh, Putri!" teriak Suropati. "Dia tak
akan mati bila kau hanya mengandalkan ilmu silat bi-
asa!"
Bertepatan dengan selesainya teriakan Suropa-
ti, Ingkanputri berhasil menyarangkan pukulan ke da-
da Pantang Mati. Pukulan 'Api Neraka' yang dilancar-
kan Ingkanputri berhasil melontarkan tubuh Kebo
Ireng dalam keadaan hangus terbakar!
Namun, lelaki tinggi besar itu segera bangkit
berdiri. Kulitnya yang melepuh dan sebagian terkelu-
pas perlahan-lahan kembali seperti sediakala.
"Saat kugunakan ilmu sihirku, kau lancarkan
tenaga pranamu, Putri...," kata Pengemis Binal mem-
beri petunjuk.
"Baik, Suro!" ujar Ingkanputri seraya meloncat
ke sisi Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sak-
ti itu.
"Akan kuremukkan kepalamu dan kutenggak
darahmu, Kelinci-kelinci liar!" hardik Pantang Mati.
Lelaki tinggi besar itu bergerak menerjang. Tapi
gerakannya tertahan oleh kekuatan kasatmata yang
muncul dari pengerahan ilmu sihir Suropati. Bola ma-
ta Pantang Mati semakin melotot. Tulang-belulangnya
seperti dilolosi hingga seluruh tenaganya lenyap.
Saat itulah Ingkanputri mengeluarkan tenaga
prana yang berhasil dihimpunnya. Untuk kedua kali
kekuatan kasatmata menghantam tubuh Kebo Ireng.
Lelaki tinggi besar itu menjerit keras. Batu-batu
bercampur gumpalan tanah berhamburan mengabur-
kan pandangan. Tubuh Pengemis Binal dan Ingkanpu-
tri bergetar hebat bagai terserang demam. Keringat
dingin mengucur deras dari sekujur tubuh mereka.
Namun, usaha Suropati dan Ingkanputri tak
sia-sia. Asap tipis mengepul dari kepala Pantang Mati.

Bersamaan dengan itu tenaga gaib yang melindungi
tubuhnya berangsur-angsur lenyap. Sebelum tubuh le-
laki tinggi besar itu jatuh ke tanah, Pengemis Binal
melancarkan pukulan jarak jauh.
Blaaarrr...!
Tubuh Pantang Mati hancur-lebur menjadi ser-
pihan daging berbau anyir. Suropati dan Ingkanputri
saling bertatapan.
"Kita berhasil, Suro," ucap Ingkanputri dengan
penuh perasaan lega.
"Ya, Putri. Kita berhasil."
Suropati lalu memeluk tubuh Ingkanputri. Ka-
rena terbawa perasaan gembira yang meluap, mereka
jadi lupa segala-galanya. Apalagi saat bibir mereka ber-
temu dan saling memagut.
Tanpa mereka sadari, kepala Pantang Mati yang
telah berwujud mengerikan menggelinding-gelinding di
tanah, lalu melayang dengan kecepatan tinggi!
"Awas...!"
Sebuah teriakan mengejutkan Suropati dan In-
gkanputri. Melihat benda bulat meluncur ke arah me-
reka, dua anak manusia itu segera meloncat jauh.
"Ha-ha-ha...." Kepala Pantang mati mengelua-
rkan suara tawa. "Rupanya disini telah hadir kelinci-
kelinci busuk yang mencari mati!"
Ingkanputri menjerit ngeri melihat kepala Kebo
Ireng melayang-layang di udara. Suropati menoleh ke
arah Gede Panjalu dan Bima Naweleng yang telah ha-
dir di tempat itu.
"Tenaga prana Ingkanputri belum sempurna
dihimpunnya, Suro. Pantang Mati tetap tak bisa mati,"
beritahu Gede Panjalu.
"Siapa bilang?!" tukas Pengemis Binal. Kemu-
dian, dia mengeluarkan Pedang Perak Lentur dari balik

bajunya. 
Set...!
Saat remaja konyol itu mengerahkan tenaga da-
lam, pedang yang semula bergulung jadi menegang.
Berwujud seperti pedang pada umumnya.
"Berdiamlah di tempatmu!" teriak Suropati ke-
ras pada kepala Pantang Mati dengan dilambari kekua-
tan ilmu sihir.
Kepala Pantang Mati yang semula melayang-
layang langsung berhenti. Pengemis Binal segera
menghemposkan tubuh.
Crash...! Crash...! Crash...!
Pedang di tangan remaja konyol itu berkeleba-
tan. Kepala Pantang Mati bercacah menjadi cuilan dag-
ing bercampur tulang dan darah!
Ternyata, Pantang Mati masih bisa mati!

***

Hening menyelimuti tempat itu. Tak ada bu-
rung yang terbang di angkasa. Sementara sinar menta-
ri begitu menyengat. Satwa-satwa lain pun tak ada
yang berani mendekat. Mereka ngeri melihat bekas
arena pertempuran yang demikian kacau. Bukan
hanya tanah yang berkubang-kubang. Puluhan pohon
besar bertumbangan dan bau anyir darah mengham-
bat jalan pernafasan.
Suropati mendekati Wirogundi yang masih ter-
geletak pingsan. Luka memar tampak di sekujur tu-
buhnya bercampur darah kering. Tapi, Suropati tak
hendak memberi belas kasihan. Dengan beberapa to-
tokan dia membuat Wirogundi siuman.
"Kau harus mempertanggungjawabkan perbua-
tanmu, Wiro!" kata Pengemis Binal dengan suara ber-

getar.
"Suro...," desis Wirogundi seraya menubruk ka-
ki Suropati.
"Ratapan mu tak dapat menghapus dosa yang
telah kau lakukan, Wiro."
"Aku... aku memang patut dihukum, Suro. Bu-
nuhlah aku! Bunuhlah segera, Suro...."
"Tanpa kau minta aku akan memenggal kepa-
lamu. Perbuatanmu melebihi kebiadaban binatang!"
Wirogundi terdiam. Dengan penuh ketabahan
dia merangkak mundur. Lehernya dijulurkan untuk
bersiap menerima hukuman dari Suropati.
Suropati pun mengangkat Pedang Perak lentur
tinggi-tinggi. Namun, pedang itu turun kembali secara
perlahan-lahan. Bayangan masa kecilnya bersama Wi-
rogundi muncul di benak Pemimpin Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti itu. Masa kecil mereka penuh ke-
bahagiaan. Suropati yang yatim piatu menganggap Wi-
rogundi sebagai kakak. Demikian pula sebaliknya. Wi-
rogundi yang juga yatim piatu menganggap Suropati
sebagai adik sendiri.
Wirogundi begitu menyayangi Suropati. Dia ti-
dak pernah rela melihat Suropati kecil menderita lapar.
Dengan mengemis, Wirogundi mencarikan sesuap nasi.
Bahkan, seringkali Wirogundi tak makan seharian ka-
rena jatah makannya diberikan kepada Suropati. Se-
mua itu dilakukan Wirogundi karena rasa sayangnya.
Sebelum Suropati bertemu dengan Periang Ber-
tangan Lembut, gurunya yang telah meninggal, dia
pernah ditolong oleh Wirogundi. Kala itu Suropati ma-
sih berumur sepuluh tahun. Di Bukit Argapala dia di-
patuk ular berbisa. Wirogundi membawanya ke seo-
rang tabib di kota Kadipaten Bumiraksa.
Wirogundi mendongakkan kepala namun sege-

ra dirundukkan kembali.
"Kenapa kau tidak segera memenggal kepalaku,
Suro? Mungkin kau tidak tega melakukannya. Tapi,
kau harus ingat, kau  adalah seorang pemimpin. Te-
gakkan keadilan, Suro. Siapa yang salah harus dihu-
kum. Dosaku sangat besar. Aku layak untuk dihukum
mati. Segera jatuhkan hukuman untukku, Suro...."
"Tidaaakkk...!"
Suropati menjerit keras. Lalu dipeluknya tubuh
Wirogundi. Gede Panjalu berjalan mendekat. "Minggir
kau, Suro!"
Suropati tercekat. Melihat kesungguhan sese-
puh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu, dia me-
langkah mundur. Gede Panjalu mengambil Pedang Pe-
rak Lentur yang terjatuh dari tangan Suropati. Pedang
yang telah menegang itu diangkatnya tinggi-tinggi.
"Akulah yang akan menjatuhkan hukuman ke-
padamu, Wiro!"
"Aku menerima, Kek...," kata Wirogundi seraya
menjulurkan lehernya ke hadapan Gede Panjalu.
Surti yang telah tersadar dari pingsannya terke-
jut melihat adegan yang sedang berlangsung. Dia hen-
dak berkata-kata, tapi tak dapat. Pangkal lehernya
masih terkena totokan Kebo Ireng. Karena tak tega me-
lihat Wirogundi mati dengan kepala terpenggal, dia me-
loncat dan mendekap kaki Gede Panjalu erat-erat.
Gede Panjalu terkesima melihat Surti mengge-
leng-gelengkan kepala dengan air mata mengalir deras.
Setelah tahu gadis itu dalam pengaruh totokan, Gede
Panjalu segera membebaskannya.
"Ampuni Wirogundi, Kek...," pinta Surti begitu
dapat mengeluarkan suara.
"Kau tak tahu apa yang telah dilakukan Wiro-
gundi, Surti...," kata Gede Panjalu dengan suara lem-

but. "Kau menyingkirlah.... Wirogundi sudah layak
mendapat hukuman mati."
"Tidak! Wirogundi tak boleh mati!"
"Wirogundi bukan hanya hampir merusak ke-
hormatan seorang gadis, dia pun telah melanggar jan-
jinya kepadaku. Maka dari itu, kau jangan menghalan-
giku untuk menjatuhkan hukuman kepadanya!"
"Tidak! Tidak, Kakek Gede! Ampuni Wirogun-
di...."
Melihat Surti yang nekad, Gede Panjalu mengi-
baskan telapak tangan kiri. Serangkaian angin puku-
lan membuat tubuh Surti terlontar dan jatuh pingsan.
Gede Panjalu kembali mengangkat Pedang Pe-
rak Lentur tinggi-tinggi. Siap menebas leher Wirogundi!
"Tahan...!"
Sebuah teriakan menghentikan gerakan Gede
Panjalu. Semua mata memandang ke arah asal suara.
Sesosok bayangan melesat dan mendarat di hadapan
Gede Panjalu.
"Bila menjatuhkan hukuman mati terhadap Wi-
rogundi, kau akan menyesal seumur hidup, Kek....,"
kata gadis itu yang ternyata Yaniswara.
"Siapa kau?" tanya Gede Panjalu.
"Aku Yaniswara. Kalian semua salah sangka.
Wirogundi tidak merenggut kehormatanku. Dia khilaf
karena wajahku sangat mirip dengan mendiang keka-
sihnya."
"Jadi, kau belum di...."
"Benar. Dari Kademangan Maospari, Wirogundi
membawaku ke Dusun Paldaplang. Sesampainya di
sana aku siuman. Ketika aku menyebut-nyebut nama
Suropati, Wirogundi sadar dari khilafnya. Lalu, dia
memohon ampunan kepadaku. Bahkan meminta aku
untuk membunuhnya. Tentu saja aku menolak. Aku

lari meninggalkannya...."
"Benar itu, Wiro?" tanya Gede Panjalu kepada
Wirogundi.
Pemuda kurus itu mengangguk lemah. Lalu ka-
tanya pelan, "Aku tetap bersalah, Kek. Aku hampir saja
menodainya. Aku tetap harus menerima hukuman...."
Gede Panjalu menarik napas panjang. "Ru-
panya kematian Anjarweni benar-benar memukul ji-
wamu, Wiro. Untuk menghilangkan semua ingatan bu-
rukmu, bertapalah selama empat puluh hari empat pu-
luh malam di Danau Ular."
"Kau belum menghukumku, Kek...."
"Itulah hukumanmu, Wiro," sahut Gede Panja-
lu.
Mendadak, Suropati meloncat lalu menyambar
Pedang Perak Lentur di tangan Gede Panjalu. Disodor-
kannya pedang itu ke hadapan Yaniswara.
"Pedang pusaka ini milikmu, Yani...," kata re-
maja konyol itu.
"Terima kasih, Suro," Yaniswara menerima Pe-
dang Perak Lentur dari tangan pemuda itu.
Suropati mengeluarkan sebuah benda hitam
dari balik bajunya. Disodorkan pula kepada Yaniswara.
"Semoga rompi pusaka ini tak pernah berpisah lagi
denganmu."
"Terima kasih, Suro..."
Suropati lalu mendekap bahu Yaniswara, diha-
diahkannya gadis itu kecupan mesra.
"Terima kasih, Suro..." bisik Yaniswara.



SELESAI




Segera terbit :
CINTA BERNODA DARAH