Pengemis Binal 15 - Sengketa Orang-Orang Berkerudung(1)







 SENGKETA ORANG-ORANG BERKERUDUNG


Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pengemis Binal 
dalam episode: 
Sengketa Orang-orang Berkerudung
128 hal.


1

Pemuda tampan berpakaian putih kuning itu
menatap lekat wajah gadis yang berdiri di sisi kanan-
nya. Hembusan angin pantai mempermainkan anak-
anak rambut si gadis. Pakaian putihnya ikut berkibar-
kibar. Di depan sana, terlihat perkampungan nelayan
sudah mengawali kegiatannya sejak pagi buta tadi. Se-
bagian nelayan tampak telah kembali ke rumah, hari
memang sudah menjelang siang. Itu berarti pekerjaan
menangkap ikan di laut usai sudah.
"Aini...," panggil si pemuda. "Pandangan matamu
memang tertuju ke keramaian di sana, tapi aku tahu
semua itu tak mempunyai arti apa-apa. Karena suasa-
na hatimu mengalahkan segalanya."
Gadis cantik yang bernama Anggraini Sulistya
atau Putri Cahaya Sakti itu tetap berdiri terpaku di
tempatnya. Pandangannya lurus ke  depan. Teriakan
anak-anak yang sedang bermain terdengar ramai. Me-
reka berloncatan penuh kegembiraan. Beberapa dari
mereka berlari-lari sambil menyeret mainan kayu yang
terbuat dari batang pohon kelapa.
"Aini..," panggilan pemuda lagi "Dari Pantai Pasir
Putih wilayah Kerajaan Anggarapura, hampir sepekan
penuh kita berlayar. Setelah sampai di Kerajaan Pasir
Luhur ini, mestinya kau gembira, Aini. Di atas kapal
kau selalu menceritakan tentang kerinduanmu pada
ayah dan ibundamu,..."
"Maruta...," potong Anggraini Sulistya. "Kebaha-
giaan rasanya sudah terpampang jelas di depan mata-
ku. Ayah dan ibundaku tentu akan sangat gembira
menyambut kedatanganku. Namun, kebahagiaan itu
belum lengkap karena Suropati tidak datang ke istana.
Ayahanda Prabu Singgalang Manjunjung Langit dan

Ibunda Sekar Tunjung Biru hanya akan menerima ka-
bar bahagia, tapi sumber kebahagiaan itu tidak ada.
Ah, seandainya Suropati bersedia ikut menghadap
Ayahanda Prabu...."
Mendengar Anggraini Sulistya mendesah, pemu-
da berwajah lembut yang bernama Raka Maruta atau
Pendekar Kipas Terbang ini tampak mengelam paras-
nya. Sejak dia mengenal putri Prabu Singgalang Man-
junjung Langit itu, timbul getar-getar aneh yang selalu
mengusik kalbunya. Getar-getar aneh itu tak dapat di-
gambarkan dengan kata-kata.
Tapi yang jelas, Raka Maruta tak bisa membiar-
kan Anggraini Sulistya terbawa larut dalam rasa sedih.
Ada saja yang dia lakukan untuk gadis cantik itu. Me-
mang, banyak sudah pengorbanan Raka Maruta terha-
dap Anggraini Sulistya. Sampai sekarang ini dia berse-
dia mengantarkan gadis itu kembali ke Istana Pasir
Luhur, setelah beberapa pekan lamanya Anggraini Su-
listya berada di wilayah Kerajaan Anggarapura.
"Aini..., Suropati adalah seorang pemimpin. Tentu
saja dia harus memikul tanggung jawab dan kewaji-
bannya sebagai pemimpin," tutur Raka Maruta. "Di
Pantai Pasir Putih, Suropati mengatakan dia masih
mempunyai urusan di kota Kadipaten Bumiraksa. Ke-
mungkinan besar anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti sedang menghadapi masalah pelik. Itu
pasti membutuhkan uluran tangan Suropati. Tapi aku
yakin, setelah Suropati berhasil mengatasi masalah-
nya, dia pasti akan menyusul kita. Karena itu kau tak
perlu bersedih, Aini. Suropati pasti datang menghadap
Prabu Singgalang Manjunjung Langit. Masalahnya
hanya terbentur pada waktu."
"Justru itu yang menjadi pikiranku, Maruta. Aku
pun yakin Suropati pasti akan menyusul kita. Tapi ka-
pan? Sepekan lagi? Sebulan lagi? Setahun?"

"Aini.., Aini...," Pendekar Kipas Terbang ikut ter-
bawa perasaan sedih Putri Cahaya Sakti. "Kita me-
mang tak tahu apa yang akan terjadi esok hari, tapi ki-
ta boleh saja berharap. Mudah-mudahan saja Suropati
akan segera menyusul kita...."
Anggraini Sulistya menyibak anak-anak rambut
yang menutupi wajahnya. Begitu pandangannya tak
terhalang, dia membalikkan badan. Dipandangnya
kapal yang telah tertambat, yang baru saja mengan-
tarkan mereka untuk mencapai wilayah Kerajaan Pasir
Luhur ini. Layar kapal yang berwarna merah sudah di-
gulung depan rapi. Ombak kecil pantai tak mampu
menggoyangkan lambung kapal. Sementara di kejau-
han terlihat puluhan perahu layar kecil bertebaran di
tengah laut. Udara mulai terasa panas, ketika mentari
semakin beranjak naik
Anggraini Sulistya menerawang ke bentangan ka-
ki langit sebelah selatan. Raka Maruta segera menyen-
tuh bahu kiri gadis itu. Dia tak mau Anggraini Sulistya
terbawa terus dalam lamunannya.
"Aini, perjalanan kita masih jauh. Sebaiknya kita
segera mencari kuda," cetus Pendekar Kipas Terbang.
Anggraini Sulistya tetap mengarahkan pandan-
gannya ke tempat semula. Nun jauh di sana dia seperti
melihat bayangan Suropati. Anggraini Sulistya melam-
baikan tangannya. Suropati tampak tersenyum. Sete-
lah membalas lambaian tangannya, mendadak bayan-
gan Suropati lenyap.
"Ah...," desah Putri Cahaya Sakti.
"Kau melamun lagi, Aini...," bisik Pendekar Kipas
Terbang.
Anggraini Sulistya bukannya tak tahu kebaikan
Raka Maruta, tapi entah kenapa, hanya sosok Suropa-
tilah yang selalu membayang dalam benaknya. Bayan-
gan Pengemis Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti

itu tak pernah lepas barang sekejap pun! Terus mele-
kat dalam ingatannya.
"Aini...!" panggil Pendekar Kipas Terbang, agak
keras.
Putri Cahaya Sakti sekilas memandang wajah
pemuda di sampingnya. Setelah itu dia kembali me-
mandang perahu-perahu layar kecil yang bertebaran di
tengah laut.
"Bila kau mau menunggu di sini, akan kucarikan
kuda untukmu. Kau bisa melanjutkan perjalanan seo-
rang diri. Karena, tampaknya diriku sudah tak kau bu-
tuhkan lagi...."
Mendengar ucapan Raka Maruta, Anggraini Su-
listya tercekat. Dia seperti baru tersadar dari keadaan
mereka. Buru-buru dia mencegah ketika Raka Maruta
hendak beranjak dari tempatnya.
"Kau mau ke mana, Maruta?"
"Mencari kuda untukmu. Setelah itu aku akan
kembali ke negeri kelahiranku, Kerajaan Saloka Me-
dang," sahut Pendekar Kipas Terbang bernada sedih.
Anggraini Sulistya mencekal lengan Raka Maruta.
"Kau marah padaku?" bisiknya dengan suara lembut
Pendekar Kipas Terbang menggeleng. "Lalu, ke-
napa kau mau kembali ke negeri asalmu?"
"Bila di negeri orang sudah tak ada lagi yang bisa
dikerjakan, negeri kelahiran layak dirindukan. Mung-
kin  sekali tenaga dan pikiranku lebih dibutuhkan di
sana."
"Benar kau tidak marah padaku?" Anggraini ingin
menegaskan.
Pendekar Kipas Terbang menggelengkan kepa-
lanya kembali. "Aku tidak punya alasan untuk menja-
tuhkan amarah kepadamu, Aini. Tapi, aku harus tahu
diri...."
"Tahu diri bagaimana?"

"Aku telah mengantarmu pulang ke negeri Pasir
Luhur ini. Sudah tak ada lagi yang dapat kukerjakan
untukmu. Bukankah itu berarti pintu perpisahan telah
menyambut kedatanganku?"
"Tidak, Maruta...," Putri Cahaya Sakti mengge-
lengkan kepala perlahan. Ditatapnya wajah Pendekar
Kipas Terbang lekat-lekat. "Budi baikmu tak mungkin
dapat kubalas. Tanpa pengorbananmu, tak mungkin
aku dapat menjejakkan kaki di tanah kelahiranku ini.
Aku berhutang nyawa padamu. Untuk itu, aku akan
memperkenalkan kau pada Ayahanda Prabu. Barang-
kali saja beliau berkenan memberikan...."
"Aini...!" bentak Pendekar Kipas Terbang, memo-
tong kalimat Anggraini Sulistya. "Aku sama sekali tak
mengharapkan balas budi darimu. Aku tak mengha-
rapkan hadiah apa-apa dari ayahmu. Kau salah men-
gerti, Aini! Aku...."
Tiba-tiba kepala Raka Maruta tertunduk dalam.
Dia tersinggung mendengar ucapan Putri Cahaya Sakti
barusan. Dan sebelum gadis cantik berambut pendek
itu menyadari kesalahannya, Raka Maruta telah beran-
jak dari sisinya. Lalu berlari cepat tanpa menoleh lagi.
Pemuda itu berlari membawa kekecewaan hatinya.
"Maruta...!" pekik Putri Cahaya Sakti.
Panggilan itu sama sekali tak dipedulikan Pende-
kar Kipas Terbang. Dia terus berlari cepat. Sebentar
saja bayangannya telah hilang dari pandangan.
"Maruta...," gumam Anggraini Sulistya kepada di-
ri sendiri. "Maafkan aku, Maruta...."
Putri Prabu Singgalang Manjunjung Langit itu
menatap gumpalan awan perak di latar langit biru.
Samar-samar terlihat bayangan Suropati di sana. Re-
maja tampan itu mengenakan pakaian kebesaran seo-
rang pangeran. Berdiri dengan senyum mengembang di
bibir. Tampak gagah sekali.

Sebelum Anggraini Sulistya sempat melambaikan
tangannya, bayangan Pemimpin Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti itu keburu lenyap. Sebagai gantinya,
bayangan Raka Marutalah yang muncul. Pemuda itu
mengenakan pakaian compang-camping. Keadaan tu-
buhnya sangat mengenaskan. Selain kotor, juga kurus
kering. Wajahnya muram penuh kedukaan. Rasa sedih
jelas tersirat dari pancaran matanya. Gambaran ini
menimbulkan rasa iba dalam diri Anggraini Sulistya.
"Maafkan aku, Maruta...," desah Anggraini. "Bu-
kan maksudku untuk menyinggung perasaanmu. Kau
sangat baik. Hanya, perasaanmu saja yang terlalu pe-
ka. Mudah-mudahan Tuhan masih berkenan memper-
temukan kita. Agar aku bisa menebus kesalahanku
ini...."
Putri Cahaya Sakti melangkah perlahan sambil
menyaruk-nyaruk butiran pasir. Orang-orang yang
menaruh perhatian padanya sedikit pun tak dipeduli-
kan. Dia terus berjalan dengan pandangan lurus ke
depan.

***

Mata Raka Maruta berkaca-kaca. Pandangannya
jadi kabur. Namun, dia tak mau menghentikan larinya.
Pemuda itu terus berlari karena dikejar rasa kecewa.
Rasa ini bagai mengejar di belakangnya. Maka, Raka
Maruta mengerahkan seluruh daya kemampuannya
untuk berlari cepat. Tapi rasa itu terus ada. Bahkan
kemudian menerkam jiwa Raka Maruta hingga mem-
buatnya begitu terpukul oleh rasa sedih yang menda-
lam.
"Aini...," desis pemuda berwajah lembut itu.
Kaki Raka Maruta melangkah gontai. Sudah ter-
kuras seluruh tenaganya, karena berlari demikian

jauh. Sekujur tubuhnya bergetar dan dipenuhi butiran
keringat Tak kuasa lagi Raka Maruta menahan air ma-
ta. Walau dalam diri Raka Maruta telah melekat pen-
gertian bahwa seorang pendekar pantang mengelua-
rkan air mata, tapi bila rasa sedih begitu mencengke-
ram kalbu, air mata pun menitik tanpa dia sadari. Ra-
ka Maruta segera menguatkan hatinya. Dia mengge-
leng-gelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan
penyebab rasa sedihnya. Ketika dia membuka kelopak
matanya yang terpejam, di hadapannya tampak tiga
sosok gadis cantik. Sosok-sosok itu terlihat nyata. Bu-
kan bayangan.
"Tiga Dara Bengal!" desis Pendekar Kipas Ter-
bang.
"Ha ha ha...!"
Tiga gadis cantik yang berdiri tepat tiga tombak
dari hadapan Raka Maruta, tertawa terbahak-bahak.
Walau ketiga gadis itu tidak lagi mengenakan pakaian
serba ungu, tapi Raka Maruta masih dapat mengenali
mereka. Tiga Dara Bengal memang pernah menyatroni
Raka Maruta di Bukit Rawangun (Baca episode : "Peta-
ka Kerajaan Air").
"Tak sia-sia aku mengejarmu hingga ke negeri
Pasir Luhur ini, Maruta!" ujar Ari Sambita. "Kami tidak
akan lagi memakai baju ungu sebelum dapat memba-
laskan dendam Partai Iblis Ungu!"
Pendekar Kipas Terbang menatap seksama pe-
nampilan ketiga gadis di hadapannya. Kain bawah me-
reka masih tetap berwarna ungu. Hanya, baju mereka
telah berganti warna. Ari Sambita berbaju kuning. An-
dan Sari berbaju merah. Sedangkan Ajeng Menur me-
makai baju hijau.
"Ha ha ha..,!" Andan Sari tertawa lagi. "Kulihat
wajahmu muram, Tampan. Tampaknya hatimu tengah
bersedih. Apakah perpisahanmu dengan putri Prabu

Singgalang Manjunjung Langit yang membuatmu begi-
tu berduka? Kalau memang benar demikian, aku ber-
sedia jadi...."
Andan Sari mengedipkan mata dan tersenyum
genit. Ajeng Menur mendengus seraya mencekal lengan
saudaranya itu. Sementara si baju kuning Ari Sambita
menatap tajam wajah Raka Maruta. Tapi, senyum genit
segera mengembang pula di bibirnya yang merah ba-
sah.
"Sebenarnya perihal kematian Wiranti, ketua par-
tai kalian itu tidak ada sangkut-pautnya denganku.
Tapi kalian tetap saja mengejar-ngejar diriku. Apakah
kalian telah menjadi iblis haus darah yang tega mem-
bunuh seseorang walau tahu dia tidak bersalah?" ujar
Pendekar Kipas Terbang. Suaranya masih terdengar
bergetar. Rupanya rasa sedih masih menggeluti batin-
nya.
"Ha ha ha...!" Andan Sari tertawa untuk ke sekian
kalinya. "Di Bukit Rawangun sudah kubilang kalau
kau harus turut menanggung dosa gurumu yang ber-
gelar si Kipas Sakti. Kami sudah berbagi tugas dengan
Lelaki Genit Mata Banci. Dia bertugas memecahkan
kepala Suropati dan Yaniswara. Sedangkan kami ber-
tugas memenggal leher si Kipas Sakti dan kau sendiri,
Maruta! Walau di Laut Selatan tempo hari kau dapat
menyelamatkan diri, tapi jangan harap keberuntungan
akan menjumpaimu sekarang ini!"
Mendengar ucapan Andan Sari, Pendekar Kipas
Terbang segera teringat pada peristiwa di Kapal Raja-
wali. Ketika itu dia bersama Anggraini Sulistya, si Wa-
jah Merah, dan Suropati. Mereka sedang mencari
orang yang bergelar Putri Air. Di tengah laut Selatan
kapal mereka dihempas badai ganas. Ombak meme-
cahkan lambung kapal.
Selagi mereka berusaha keras untuk menyela-

matkan diri, muncul Tiga Dara Bengal dan Lelaki Genit
Mata Banci beserta belasan orang-orang Partai Iblis
Ungu. Mereka langsung menyebar maut dengan hujan
anak panah. Untunglah Nyai Catur Asta berhasil me-
nyelamatkan jiwa Raka Maruta, Anggraini Sulistya, si
Wajah Merah, dan Suropati.
"Hei! Kenapa kau diam saja, Maruta!" hardik si
baju hijau Ajeng Menur. "Rupanya kau sedang berpikir
untuk menyerah bulat-bulat..."
"Menyerah tanpa memberi perlawanan memang
bagus, Maruta!" sahut si baju kuning Ari Sambita.
"Kami tidak akan melukaimu. Bahkan...," gadis ini tak
melanjutkan kalimatnya. Bibirnya tersenyum penuh
arti. Lalu, dengan genit dia menyingkap kain bawah-
nya. Tampaklah paha mulus terlihat jelas oleh Pende-
kar Kipas Terbang. "Pikiran di benakmu memang tepat,
Maruta," lanjutnya. "Sebelum ajal menjemput, kau bisa
merasakan...."
Ari Sambita mengakhiri kalimatnya dengan ter-
tawa genit. Dia menurunkan kembali kain bawahnya.
Sekejap kemudian, tiba-tiba dia menerkam Pendekar
Kipas Terbang!
Raka Maruta terkesiap. Segera dia mengegos ke
samping. Namun, karena masih terbawa perasaan ha-
tinya yang tak karuan, gerakannya kurang cepat. Len-
gannya berhasil ditangkap Ari Sambita.
"Ah...!"
Pendekar Kipas Terbang meringis  kesakitan ka-
rena pergelangan tangan kanannya dipeluntir. Sebe-
lum dia sempat mempergunakan tangan kirinya yang
masih bebas untuk mendaratkan pukulan, Ari Sambita
telah menyerampang kakinya!
Bruk...!
Pendekar Kipas Terbang jatuh telentang. Andan
Sari dan Ajeng Menur tertawa terbahak-bahak. Tapi,

mata mereka segera melotot lebar ketika melihat Ari
Sambita meraba-raba dada Raka Maruta. Pemuda itu
segera menyadari keadaan. Dengan tangan kiri dia
menampar wajah Ari Sambita. Tapi, gerakan gadis itu
lebih cepat. Dipeluntirnya lagi lengan kanan Raka Ma-
ruta.
"Argkh...!"
Tubuh Pendekar Kipas Terbang menggelepar ke-
sakitan. Rasa sakit menjalar dari pergelangan tangan
kanannya. Saking sakitnya, mata Pendekar Kipas Ter-
bang sampai kelihatan berkaca-kaca.
"Bila rasa nikmat kau tolak, rasa sakitlah yang
layak kau terima!" ujar Ari Sambita.
Kembali gadis itu meraba-raba Raka Maruta. La-
lu, dia mendaratkan ciuman ganas. Raka Maruta terli-
hat pasrah. Tapi begitu melihat kesempatan, pemuda
itu menarik lengan kanannya hingga lepas dari ceng-
keraman Ari Sambita. Kemudian dijejaknya permu-
kaan tanah. Sebuah pemandangan indah terlihat kini.
Tubuh Pendekar Kipas Terbang melayang di angkasa.
Setelah berputaran beberapa kali, dia mendarat mulus
dengan kedua tangan terpentang. Sementara itu Ari
Sambita mengumpat-umpat tak karuan, karena kein-
ginannya tidak terlaksana.
"Walau wujud kalian adalah gadis-gadis cantik,
tapi jiwa kalian iblis!" ujar Pendekar Kipas Terbang se-
belum melompat ke samping. Karena secara tiba-tiba
Andan Sari dan Ajeng Menur telah meluruk ke arahnya
dengan serangan mematikan.
Melihat dua saudaranya terlibat pertempuran, Ari
Sambita bergegas turut mengambil bagian. Mereka
mengeroyok Pendekar Kipas Terbang dengan cecaran
selendang yang cukup menggidikkan. Walau terbuat
dari kain lembut, tapi selendang di tangan ketiga gadis
itu bisa menegang hingga menyerupai sebatang tom-

bak. Apalagi setelah mereka mengeluarkan senjata
ampuh Partai Iblis Ungu yang berupa seutas tali yang
pada ujungnya terdapat besi runcing. Serangan yang
menghujani Pendekar Kipas Terbang datang silih ber-
ganti tanpa henti.
"Rupanya kalian benar-benar iblis haus darah!"
ujar Raka Maruta seraya meloncat tinggi, menghindari
cecaran ujung selendang merah yang meluruk dari
berbagai penjuru.
"Lebih baik kau menyerah saja, Maruta," sahut
Ari Sambita. "Sebelum ajal menjemput, aku akan
memberi kesempatan kepadamu untuk menikmati in-
dahnya surga dunia...."
"Huh! Lebih baik aku mati daripada jatuh ke da-
lam pelukan gadis edan seperti kalian!"
"Ha ha ha...!" Ari Sambita tertawa bergelak-gelak.
"Buka matamu lebar-lebar, Maruta! Tidakkah aku ini
lebih cantik dari Anggraini Sulistya?"
Mendengar nama Putri Cahaya Sakti disebut,
mendadak rasa sedih kembali muncul dalam diri Raka
Maruta. Pemuda berwajah lembut itu mendesah den-
gan kepala tertunduk. Sementara Tiga Dara Bengal te-
lah bersiap-siap lagi untuk mengawali serangan.
"Demi ketenangan arwah Ibunda Wiranti, aku
meminta jantungmu, Maruta!" teriak si baju hijau
Ajeng Menur. Dilemparkannya ujung dua senjatanya.
Ujung selendang mengarah  ke dahi, sedangkan bilah
besi runcing yang terdapat pada ujung tali tertuju ke
jantung.
Mata Pendekar Kipas Terbang masih mampu me-
lihat serangan mematikan itu, tapi tiba-tiba saja
bayangan Anggraini Sulistya muncul di benaknya. Hal
itu membuat Raka Maruta hanya berdiri terpaku. Pa-
dahal nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Dua
senjata di tangan Ajeng Menur terus meluncur cepat

tanpa dapat dicegah lagi. 
Bret! Thing!
Ajeng Menur terperangah. Ketika dua senjatanya
hampir mencapai sasaran, tiba-tiba arah luncurannya
melenceng. Kontan gadis itu mendengus marah. Ma-
tanya mendelik ke arah Ari Sambita yang telah meng-
gagalkan serangannya dengan senjata serupa.
"Kenapa kau menghalangi niatku untuk membu-
nuh musuh partai kita, Sambita?!" geram Ajeng Menur.
Ari Sambita tersenyum tipis. "Aku tidak bermak-
sud menghalangi niatmu, Menur. Tapi, Raka Maruta
tidak boleh mati cepat. Aku masih memerlukannya un-
tuk...."
Ari Sambita tak meneruskan kalimatnya. Ma-
tanya mengedip penuh arti ke arah Raka Maruta yang
masih berdiri terpaku.
"Benar kata Sambita," timpal si baju merah An-
dan Sari.
"Benar apanya?!" bentak Ajeng Menur.
"Raka Maruta akan kita jadikan tawanan dulu"
"Untuk apa?"
Andan Sari tak menjawab. Dia cuma tersenyum-
senyum. Sementara Ajeng Menur menatapnya dengan
mata berkilat. Di antara Tiga Dara Bengal, Ajeng Me-
nur memang mempunyai perbedaan sifat dengan ke-
dua saudaranya. Walau sama-sama beringas dan ke-
jam, tapi dia tidak suka mengumbar nafsunya dengan
paksa pada seorang lelaki.
"Kalian pikir menangkap Raka Maruta hidup-
hidup pekerjaan mudah?!" tandas Ajeng Menur kemu-
dian. 
"Di Bukit Rawangun, Raka Maruta boleh mem-
buat kita keteter. Tapi setelah Lelaki Genit Mata Banci
menyempurnakan ilmu kepandaian kita, membuat Ra-
ka Maruta bertekuk-lulut bukanlah pekerjaan sulit,"

tutur Andan Sari penuh keyakinan.
"Benar!" tegas Ari Sambita. "Bila kau tak percaya,
akan kubuktikan sekarang!"
Usai berucap, Ari Sambika langsung menerjang
Pendekar Kipas Terbang. Selendang dan tali di tangan-
nya berusaha membelit tubuh pendekar muda itu.
Ringan saja Raka Maruta meloncat ke belakang.
Tapi, dua senjata di tangan Ari Sambita terus menge-
jar. Andan Sari pun turut mengirim serangan.
Sebenarnya, bisa saja Pendekar Kipas Terbang
menghindar. Namun rasa kecewa yang mendatangkan
kesedihan di hatinya begitu mencengkeram jiwa. Raka
Maruta tidak sepenuh hati meladeni serangan dua ga-
dis itu. Senjata andalannya yang berupa kipas baja pu-
tih pun tidak dikeluarkan.
Srat! Srat!
Ari Sambita dan Andan Sari tertawa penuh ke-
menangan. Mereka berhasil membelit tubuh Raka Ma-
ruta dengan selendang dan tali. Dengan cepat Ari
Sambita menotok tubuh pendekar muda itu, hingga
tubuh bagian atas Raka Maruta tak mampu lagi dige-
rakkan.
"Sebentar lagi kita akan bersenang-senang, Sa-
ri...," ujar Ari Sambita sambil menyeret Pendekar Kipas
Terbang.
Andan Sari terlihat mengulum senyum. Sementa-
ra Ajeng Menur hanya menatap perilaku binal kedua
saudaranya dengan hati kesal. Mau tak mau dia pun
mengikuti ke mana Andan Sari dan Ajeng Menur me-
nyeret Pendekar Kipas Terbang yang sudah tak ber-
daya.

***



2

Dengan pakaian kebesarannya, sosok Prabu
Singgalang Manjunjung Langit tampak gagah berwiba-
wa. Raja Pasir Luhur itu duduk terpaku di singgasana.
Wajahnya yang sudah menunjukkan garis-garis ke-
tuaan terlihat tegang. Sorot matanya tampak begitu ta-
jam.
Di hadapan Prabu Singgalang Manjunjung Langit
duduk di lantai balairung para pejabat tinggi kerajaan.
Di deret sebelah kanan tampak Patih Sanca Singapasa,
Adipati Menak Pamenang, dan beberapa orang tu-
menggung. Lalu dideret sebelah kiri duduk bersila Se-
nopati Guntur Selaksa. Andipati Bayu Geni, dan empat
orang pejabat tinggi lainnya. Termasuk di antara me-
reka seorang kepala pengawal istana yang bernama I
Halu Rakryan Subandira.
Suasana pertemuan itu diselimuti kesunyian wa-
lau telah banyak orang yang hadir. Semua diam me-
nunggu titah raja. Namun, tampaknya Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit tak akan segera membuka su-
ara. Matanya memandang nanar ke pintu besar yang
memisahkan balairung dengan ruang depan istana.
Sementara para pejabat kerajaan duduk bersila mena-
tap lantai balairung. Tak terdengar suara berisik sedi-
kit pun.
Tak tahan dengan kesunyian yang terasa mence-
kam, akhirnya Patih Sanca Singapasa membuka pem-
bicaraan terlebih dahulu.
"Ampunkan hamba, Baginda Prabu...," kata lelaki
berusia sekitar lima puluh tahun itu. "Apakah tidak le-
bih baik kita mengesampingkan terlebih dahulu keha-
diran Tumenggung Sangga Percona? Karena, hamba
kira waktu sangat berharga dalam keadaan genting se-

perti sekarang ini...."
Prabu Singgalang Manjunjung Langit mendehem.
Matanya menatap tajam wajah Patih Sanca Singapasa.
Yang ditatap merasa tidak enak. Cepat-cepat dia me-
nyambung bicaranya yang terputus.
"Bila ternyata gagasan hamba tidak berkenan di
hati Baginda Prabu, hamba memohon ampun..."
"Kau tidak perlu meminta ampunan, Adi Patih.
Kau tidak bersalah. Gagasanmu memang benar
adanya. Ada baiknya bila kita mengesampingkan dulu
tentang ketidakhadiran Tumenggung Sangga Percona,"
ujar Prabu Singgalang Manjunjung Langit
"Daulat, Baginda Prabu," sahut Patih Sanca Sin-
gapasa.
Raja menatap wajah bawahannya satu persatu.
"Adi Patih Sanca Singapasa, Senopati Guntur Selaksa,
Adipati Menak Pamenang, Adipati Bayu Geni, para tu-
menggung, dan punggawa kerajaan yang hadir di tem-
pat ini..., saya kira kalian semua sudah mengetahui
kalau gerakan pemberontak  telah berhasil menyusup
ke kotapraja. Ratusan bala tentara tak dikenal meng-
galang kekuatan dengan menyamar sebagai rakyat je-
lata. Kita tak bisa mengenali mereka satu persatu.
Memang saat ini mereka tidak menunjukkan gerakan
apa-apa. Tapi pada saatnya nanti, mereka akan beru-
bah menjadi api maha panas yang sanggup meluluh-
lantakkan Kerajaan Pasir Luhur. Kedudukan kita se-
karang ini sangat lemah. Kita tidak tahu siapa otak ge-
rakan itu. Karenanya, saya mengundang kalian untuk
turut bertukar gagasan guna mengatasi kemelut yang
akan segera mencengkeram Kerajaan Pasir Luhur ini."
Usai Prabu Singgalang Manjunjung Langit berbi-
cara, suasana jadi hening kembali. Namun keheningan
itu tidak berlangsung lama, I Halu Rakryan Subandira
segera menyahuti.

"Ampun beribu ampun,  Baginda Prabu. Hamba
hanya ingin menyampaikan apa yang ada dalam benak
hamba. Saat ini hamba menaruh curiga dengan keti-
dakhadiran Tumenggung Sangga Percona dalam per-
temuan ini."
Kening Prabu Singgalang Manjunjung Langit ber-
kerut. "Apa yang kau maksud dengan kata-katamu itu,
Subandira?"
"Ampunkan hamba, Baginda Prabu. Tumenggung
Sangga Percona tentu tahu kalau pertemuan ini sangat
penting. Kita sedang membahas kelangsungan hidup
kerajaan di mana rakyat kecil yang tak tahu apa-apa
ikut pula menanggung akibatnya. Tapi, kenapa Tu-
menggung Sangga Percona tak hadir dalam pertemuan
ini?"
Sewaktu Prabu Singgalang Manjunjung Langit
tengah mempertimbangkan pendapat I Halu Rakryan
Subandira, Adipati Menak Pamenang menyatukan ke-
dua telapak tangannya di depan dahi.
"Ampun, Baginda Prabu...," ujar lelaki itu dengan
badan dibungkukkan. "Hamba kira, Baginda Prabu tak
perlu mengambil kecurigaan seperti yang dikatakan
Adi Subandira. Hamba tahu dengan pasti apa yang se-
dang dilakukan Tumenggung Sangga Percona, Katu-
menggungan Lemah Abang, tempat Tumenggung
Sangga Percona menduduki jabatannya adalah wilayah
Kadipaten Buring Sawitri yang hamba pimpin. Sepekan
yang lalu hamba memerintahkan Tumenggung Sangga
Percona untuk membuat sebuah candi di wilayah Ka-
tumenggungan Lemah Abang. Tentu dia sangat sibuk
sekarang, karena candi itu harus diselesaikan dalam
waktu satu purnama tepat."
"Hal itu belum cukup untuk dijadikan alasan ba-
gi Tumenggung Sangga Percona untuk tidak hadir da-
lam pertemuan ini. Bagaimanapun sikapnya dia, Tu-

menggung Sangga Percona mempunyai junjungan yang
lebih tinggi. Dia pun harus melaksanakan segala titah
beliau!" sahut I Halu Rakryan Subandira dengan bera-
pi-api.
"Jadi, kau menuduh Tumenggung Sangga Perco-
na sebagai otak gerakan yang hendak memberontak
terhadap kerajaan, Subandira?!" tandas Adipati Menak
Pamenang. Kali ini ucapannya bernada sinis. "Tidak-
kah kau bisa menilai seberapa besar kekuasaan seo-
rang tumenggung. Adakah dia mempunyai kekuatan
untuk melakukan pemberontakan? Mestinya kau ber-
pikir secara jernih, Subandira."
"Aku tidak menuduh Tumenggung Sangga Perco-
na sebagai otak pemberontakan. Aku hanya menyam-
paikan sebuah kecurigaan. Siapa tahu Tumenggung
Sangga Percona adalah alat..."
"Kata-katamu terlalu berani, Subandira!" potong
Adipati Menak Pamenang.
I Halu Rakryan Subandira tersenyum tipis.
"Siapa pun yang hadir di tempat ini tentu tahu
siapa Tumenggung Sangga Percona. Dia seorang peja-
bat yang mempunyai perangai buruk. Bukan satu-dua
kali penduduk Lemah Abang menyampaikan keluhan,
karena kebijaksanaan Tumenggung  Sangga Percona
lebih banyak berdasarkan kepentingan pribadinya,"
sahut kepala pengawal istana itu.
"Berkata-kata memang mudah, Subandira. Tapi,
dapatkah kau membuktikan apa yang telah kau kata-
kan itu?!" sahut Adipati Menak Pamenang, ketus.
"Bila kau masih meminta bukti perihal perangai
buruk Tumenggung Sangga Percona, berarti kau ku-
rang memperhatikan keadaan bawahanmu!"
Mendengar ucapan I Halu Rakryan Subandira,
paras Adipati Menak Pamenang langsung menegang.
Sinar matanya berkilat. Dengus nafasnya pun terden-

gar berat. Sebelum suasana berubah semakin panas,
Prabu Singgalang Manjunjung Langit mengangkat te-
lapak tangan kanannya.
"Cukup!" titah sang raja dengan penuh wibawa.
Cepat-cepat I Halu Rakryan Subandira dan Adi-
pati Menak Pamenang menghaturkan sembah.
"Ampunkah hamba, Baginda Prabu...," ujar ke-
dua lelaki itu hampir bersamaan.
"Aku mengerti apa yang kalian perdebatkan. Tapi
kalian juga harus tahu, bahwa perdebatan yang mem-
buat hati panas sesungguhnya tidak perlu. Itu hanya
akan memecah persatuan. Sementara pada keadaan
seperti ini, justru persatuanlah yang kita perlukan."
"Ampunkah hamba, Baginda Prabu...," sembah I
Halu Rakryan Subandira dan Adipati Menak Pamenang
lagi.
Prabu Singgalang Manjunjung Langit kemudian
menatap wajah Patih Sanca Singapasa. "Bagaimana
menurut pendapatmu, Adi Patih?"
Patih Sanca Singapasa menghaturkan sembah.
"Ampun, Baginda Prabu. Hamba kira penuturan I Halu
Rakryan Subandira ada benarnya. Bagaimanapun juga
kita mesti memperhatikan segala kemungkinan yang
ada. Bukannya menaruh curiga terhadap Tumenggung
Sangga Percona, tapi ada baiknya bila Baginda Prabu
mengirim utusan untuk menanyakan ketidakhadiran
tumenggung yang terkenal keras kepala itu...."
Merasakan kebenaran dari ucapan Patih Sanca
Singapasa, sang raja lalu memanggil seorang kepala
prajurit untuk diperintahkan pergi ke Katumenggun-
gan Lembah Abang.
"Bawa sepuluh orang bawahanmu, Punggawa!" ti-
tah Prabu Singgalang Manjunjung Langit.
Sebelum kepala prajurit yang mendapat perintah
beranjak dari balairung, I Halu Rakryan Subandira

mengajukan diri. "Ampun, Baginda Prabu...," sembah-
nya. "Perkenankan hamba ikut serta."
"Untuk apa?" tanya sang raja dengan kening ber-
kerut
"Jabatan hamba di sini sebagai kepala pengawal
istana. Keamanan istana berikut isinya adalah tang-
gung jawab hamba. Termasuk juga menjaga keselama-
tan Baginda Prabu. Bukan hanya itu, hamba pun ha-
rus dapat menjaga kewibawaan Baginda Prabu. Kare-
nanya, hamba tak ingin utusan Baginda Prabu nanti
dilecehkan oleh Tumenggung Sangga Percona, yang
tentu saja hal itu akan menjatuhkan wibawa Baginda
Prabu. Maka, perkenankanlah hamba memimpin rom-
bongan prajurit yang hendak pergi ke Katumenggun-
gan Lemah Abang...," pinta I Halu Rakryan Subandira.
"Bagaimana dengan keamanan dalam istana ini?"
tanya sang raja.
"Ampun, Baginda Prabu. Bukankah di sini sudah
ada Senopati Guntur Selaksa. Dan, kepergian hamba
bukankah cuma sebentar? Tidak lebih dari dua hari,
Baginda Prabu....."
Prabu Singgalang Manjunjung Langit tampak
berpikir sejenak. Sebentar kemudian kepalanya diang-
gukkan. "Baik. Kau pergi sekarang, Subandira. Satu
pesanku, jangan memancing api di keadaan yang su-
dah panas seperti ini."
"Daulat, Baginda Prabu...."
I Halu Rakryan Subandira mengundurkan diri.
Diikuti oleh kepala prajurit yang tadi dipanggil Baginda
Raja. Suasana pertemuan terasa lengang kini. Namun
segera Prabu Singgalang Manjunjung Langit angkat bi-
cara.
"Dari sini kita akan tahu kebenaran ucapan I Ha-
lu Rakryan Subandira. Apa-benar tuduhan yang dija-
tuhkannya kepada Tumenggung Sangga Percona, atau

barangkali dia sendiri yang merupakan duri dalam
daging."

***

Memasuki wilayah Katumenggungan Lemah Ab-
ang, senja telah merayap mendekati malam. Dalam ke-
remangan I Halu Rakryan Subandira menghentikan
langkah kudanya, lalu mengangkat telapak tangan se-
jajar kepala. Tangan kanan itu dikebutkan ke depan.
"Kalian berjalan lebih dahulu!" perintah lelaki te-
gap itu kepada kesebelas prajurit berkuda anak buah-
nya.
Pelan saja kuda-kuda yang telah menempuh per-
jalanan jauh itu menjejaki tanah. Para penunggangnya
tak sedikit pun membuka suara. Sementara I Halu Ra-
kryan Subandira yang menjadi pemimpin rombongan
tampak menegang wajahnya. Hatinya diliputi perasaan
tak enak.
Mendadak, pengawal istana yang berusia sekitar
lima puluh tahun itu menyentak kendali kudanya
kuat-kuat. Kuda putih itu meringkik panjang, lalu ber-
lari kencang ke arah depan.
"Cepat kalian kejar aku!" perintah I Halu Rakryan
Subandira dengan suara lantang.
Melihat perubahan sikap pemimpin rombongan-
nya yang begitu mendadak, kesebelas prajurit berkuda
merasa heran: Beberapa lama kemudian, mereka ter-
paku tidak segera menjalankan perintah. Tapi setelah
bayangan I Halu Rakryan Subandira bersama kudanya
telah terlihat jauh di depan, mereka segera menggebah
kuda masing-masing.
"Heaa,..!"
"Heaaa...!"
Diiringi suara ribut-ribut berderak, debu menge-

pul tebal ke angkasa senja. Langkah kaki kuda terden-
gar berderap karena dipacu cepat. Sesampai di sebuah
kelokan jalan, sebelas prajurit yang semuanya me-
nyandang sebilah pedang di punggung itu memper-
lambat laju kuda. Mereka menebar pandangan. Tanpa
sadar mereka lalu menghentikan langkah kuda-kuda
mereka.
"Di mana Tuan Subandira?" tanya salah seorang
prajurit
Tak terdengar suara jawaban. Semua sedang si-
buk mengedarkan pandangan untuk mencari I Halu
Rakryan Subandira yang tiba-tiba menghilang bersama
kudanya.
"Apa yang harus kita lakukan?" terdengar suara
tanya lain.     
"Kita akan tetap menjalankan titah Baginda Pra-
bu. Kita meneruskan perjalanan ke Pendapa Katu-
menggungan Lemah Abang walau tanpa Tuan Suban-
dira," tutur seorang prajurit berwajah penuh bulu. Te-
man-temannya tampak berpikir sejenak mempertim-
bangkan ucapannya.
"Sebaiknya memang begitu," timpal prajurit lain
sesaat kemudian. "Barangkali Tuan Subandira malah
sudah berada di sana."
Kesebelas prajurit itu kembali memacu kudanya.
Namun betapa terkejutnya mereka. Tubuh mereka ti-
ba-tiba saja terlontar tinggi karena kuda yang ditung-
gangi menggeliat keras seraya mengeluarkan ringkikan
kesakitan yang menyayat hati!
Dengan sigap para prajurit yang sudah terlatih
baik itu mendaratkan kaki di tanah. Segera mereka
memeriksa keadaan kuda masing-masing yang kese-
muanya tergeletak di tanah dan berkelojoran seperti
dijemput maut.
"Bangsat!" umpat salah seorang prajurit. Ru-

panya dia telah dapat memastikan kalau kudanya
menjadi sasaran serangan gelap. Kepala kudanya pe-
cah tertimpa lontaran benda keras yang agaknya
hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang mempunyai
ilmu tinggi.
Selagi para prajurit hendak menyebar guna men-
cari siapa yang telah berbuat jahat itu, mendadak saja
suara tawa memecah ketegangan dalam diri mereka.
"Ha ha ha...! Prajurit-prajurit gemblung! Kenapa
kalian mau saja mengikuti usulan Patih Sanca Singa-
pasa yang bangkotan itu, heh?!"
Kesebelas prajurit yang sedang menjalankan pe-
rintah junjungan mereka itu, mencabut pedang dari
sarungnya. Mata mereka berkilat menatap sesosok tu-
buh yang berdiri angker di tengah jalan. Sosok itu
mengenakan pakaian ketat serba hitam. Wajahnya tak
dapat dikenali karena tertutup kerudung yang juga
berwarna hitam.
"Siapa kau?!" dengus prajurit brewokan sambil
mengacungkan pedang.
"Ha ha ha...! Prajurit edan! Tak perlu kau mena-
nyakan itu! Kembalilah bersama temanmu ke istana.
Katakan pada Prabu Singgalang Manjunjung Langit,
bahwa Tumenggung Sangga Percona telah menerima
kedatangan kalian. Sebentar lagi dia akan mengirim
utusan untuk menjelaskan duduk persoalannya!" ujar
orang berkerudung.
"Keparat!" umpat prajurit brewokan. "Agaknya
kau sengaja memanaskan telinga! Bagaimana kami bi-
sa kembali ke istana bila kuda kami telah kau bunuh?
Dan lagi. siapa sudi menuruti perintah penjahat kejam
sepertimu?!"
"Ha ha ha...!" orang berkerudung hitam tertawa
terbahak-bahak. "Peduli setan dengan apa kalian akan
kembali ke istana! Yang pasti, bila kalian masih sayang

pada nyawa, segera angkat kaki dari Katumenggungan
Lemah Abang ini!"
Para prajurit yang sudah diliputi hawa marah
semakin menggelegak saja darah mereka. Dibarengi
suara dengusan keras, prajurit brewokan memberi
isyarat dengan tangan kiri. Teman-temannya segera
menggeser kedudukan untuk mengepung si pencegat
berkerudung hitam.
"Siapa sebenarnya kau, Keparat?! Bila kau orang
suruhan, katakan siapa tuanmu?!"
Mendengar pertanyaan yang bernada ancaman
dari prajurit brewokan, orang berkerudung hitam ter-
tawa lagi. Namun, tawanya segera terhenti ketika kila-
tan pedang berdesingan menuju ke arahnya.
"Kentut busuk! Rupanya kalian tak mau diberi
hati. Jangan salahkan aku bila kalian pulang hanya
tinggal nama!" ujar orang berkerudung hitam seraya
mengibaskan telapak tangan kanannya. 
Wuusss...!
Walau gerakan orang itu tampak lemah, tapi aki-
batnya sungguh luar biasa. Serangkum angin pukulan
yang timbul dari telapak tangan kanannya mampu
mementalkan empat orang prajurit. Tubuh orang-
orang yang sedang mengemban tugas raja itu lalu ja-
tuh berdebam ke tanah dalam keadaan tanpa nyawa.
Pakaian mereka yang semula berwarna putih bersih te-
lah dipenuhi noda darah. Cairan merah itu muncrat
dari seluruh pori-pori di tubuhnya.
Tentu saja tujuh prajurit yang tersisa terkejut
bukan main. Mereka bukanlah prajurit-prajurit tingkat
rendah. Tapi, bagaimana mungkin orang berkerudung
hitam itu bisa menjatuhkan tangan maut dengan begi-
tu mudah? Pertanyaan itu tergambar jelas di mata me-
reka.
"Ha ha ha...!" congkak sekali orang misterius

yang berpakaian serba hitam ini tertawa sambil berka-
cak pinggang. "Aku masih mau memberi kesempatan
kepada kalian untuk berpikir panjang. Segera kembali
ke istana sebelum habis kesabaranku!"
Walau hati ketujuh prajurit yang tersisa diliputi
rasa gentar, tapi mereka tidak juga meninggalkan tem-
pat itu. Kesetiaan mereka pada kerajaan terlalu mahal
untuk ditebus dengan gertakan. Dua prajurit yang be-
rada di belakang orang berkerudung hitam melompat
cepat seraya menebaskan pedangnya.
Swing! Swing...!
Tanpa menoleh ke belakang sekilas pun orang
berkerudung hitam menjejak tanah. Lalu cepat sekali
tubuhnya melayang. Setelah berjumpalitan dia menda-
rat di belakang kedua prajurit yang tengah mengirim-
kan serangan. Mendadak saja tubuh kedua prajurit itu
terlontar ke depan. Pedang mereka mencelat lepas dari
pegangan, dan tubuh mereka sendiri segera memeluk
bumi dengan punggung hangus mengepulkan asap hi-
tam!
"Iblis laknat!" geram prajurit brewokan. Tusukan
pedangnya tertuju ke jantung orang berkerudung hi-
tam. Gerakan prajurit ini segera diikuti keenam te-
mannya.
Melihat dirinya diserang dari berbagai penjuru,
orang berkerudung hitam menggeram keras. Tubuhnya
lalu berputaran di tempat!
Plak! Plak! Plak!
Terdengar pecahnya batok kepala yang diiringi je-
rit panjang membahana. Enam lelaki yang masih me-
megang senjata pedang tampak berkelojotan di tanah.
Mereka meregang nyawa terkena tamparan keras
orang berkerudung hitam. Sementara prajurit brewo-
kan sempat menusukkan ujung pedangnya ke dada
orang misterius yang baru saja menjatuhkan tangan

maut kepada teman-temannya.
Tapi, keterkejutan segera menghantam. Ketaja-
man pedang prajurit bertubuh kekar itu hanya mampu
merobek baju orang berkerudung, tanpa melukai sedi-
kit pun kulit tubuhnya!
"Sss..., siapa kau? Setan?" ucap prajurit brewo-
kan dengan tubuh gemetar. Keringat mengucur deras
dari tubuhnya.
"Ha ha ha...!" untuk ke sekian kalinya orang ber-
kerudung hitam tertawa penuh kemenangan. "Aku ma-
sih mempunyai rasa sayang kepada nyawamu. Praju-
rit!" ujarnya. "Tapi sebagai kenang-kenangan dariku
sebelum kau kembali ke istana, lihatlah ini..."
Dengan gerakan lemah seperti tanpa tenaga,
orang berkerudung hitam mengeluarkan sebilah keris
dari balik bajunya. Dalam keremangan senja prajurit
brewokan masih dapat mengenali bentuk keris berle-
kuk sembilan yang diacungkan ke mukanya. Pamor
keris itu memancarkan cahaya merah muda. Terlihat
sangat menggidikkan hati karena menebarkan hawa
panas.
"Sengkelit Bayu Geni...!" desis prajurit brewokan,
menyebut nama keris yang dipegang orang berkeru-
dung hitam.
Melihat lelaki di hadapannya tak mampu lagi
berdiri tegak karena dihantam rasa takut yang sangat,
orang berkerudung hitam tertawa terbahak-bahak. Ke-
ris di tangannya itu memang bukan keris sembaran-
gan. Sedikit saja senjata itu menggores kulit, jangan
harap nyawa akan tetap berada di dalam tubuh. Kor-
bannya akan mati dengan kulit melepuh oleh serangan
racun  ganas. Dia juga akan merasakan siksaan yang
luar biasa sakitnya. Sekujur tubuh akan terasa seperti
ditusuk-tusuk ribuan jarum, sebelum mati dalam kea-
daan sangat mengenaskan.

"Jajj..., jangan kau bunuh aku dengan keris itu!"
pinta prajurit brewokan. Tubuhnya bergetar hebat oleh
rasa takut
Orang berkerudung hitam cuma mendengus.
Dengan gerak cepat dia menggerakkan tangan kanan-
nya.
Srat.,!
Kedua kelopak mata prajurit brewokan telah ter-
katup rapat. Dia merasakan tubuhnya seperti dilem-
parkan ke angkasa. Tapi kematian tidak segera men-
jemputnya. Rupanya, keris di tangan orang misterius
hanya menebas rambut prajurit brewokan yang dige-
lung ke atas.
Perlahan sekali orang berkerudung hitam mema-
sukkan kembali kerisnya ke dalam warangka yang ter-
selip di balik baju hitamnya. Dia lalu memegang dagu
lelaki brewokan yang berdiri terbungkuk di hadapan-
nya.
"Prajurit! Kau dengar kata-kataku! Kembalilah ke
istana! Katakan pada Prabu Singgalang Manjunjung
Langit bahwa Tumenggung Sangga Percona akan men-
girim utusan untuk menjelaskan duduk persoalannya!
Kau dengar itu, Prajurit?!"
"Ya..., ya, aku mendengar...," sahut prajurit bre-
wokan, gelagapan. "Ha ha ha..,!"
Diiringi suara tawa panjang, tubuh orang berke-
rudung hitam lenyap dari pandangan. Tubuhnya ber-
kelebat begitu cepat. Tinggallah prajurit brewokan ja-
tuh terpuruk di tanah.

***

Kuda putih yang ditunggangi I Halu Rakryan
Subandira terus berlari kencang bagai dikejar setan.
Gelap malam yang hanya tersiram cahaya rembulan

temaram tak menghalangi langkah kaki kudanya. Begi-
tu sampai di jalan setapak yang di kanan-kirinya ba-
nyak ditumbuhi ilalang setinggi pinggang, I Halu Ra-
kryan Subandira mengekang kendali kuda kuat-kuat. 
Tap!
Kuda putih meringkik keras seraya mengangkat
kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Tindakan I Halu
Rakryan Subandira yang sangat mengejutkan itu ter-
nyata justru menyelamatkan nyawanya. Mata I Halu
Rakryan Subandira yang awas sempat melihat benda
pipih panjang meluncur cepat dari samping kanan
menuju leher kudanya. Ketika punggawa tinggi kera-
jaan itu menoleh, tampak olehnya sebilah tombak me-
nancap di batang pohon!
"Keparat!" geram I Halu Rakryan Subandira. Di-
tebarkannya pandangan sambil menenangkan ku-
danya yang masih terus meringkik-ringkik.
Karena tak menemukan apa-apa, I Halu Rakryan
Subandira kemudian menghela kudanya kembali. Kali
ini derap kaki kuda putih itu terdengar perlahan. Be-
lum genap sepuluh langkah, I Halu Rakryan Subandira
telah menghentikan langkah kaki kudanya.
"Membokong adalah perbuatan tak terpuji. Lebih
tak terpuji lagi bila mengikuti langkah kaki dengan
sembunyi-sembunyi. Jelas ini menyimpan maksud tak
baik!" ujar I Halu Rakryan Subandira dengan suara
lantang.
Apa yang terjadi malah sama sekali tidak diingin-
kan kepala pengawal istana itu. Mendadak, angin ber-
hembus sangat kencang. Baju yang dikenakan I Halu
Rakryan Subandira jadi berkibar-kibar. Rambutnya
yang digelung di atas kepala terlepas. Tampak kemu-
dian, kuda yang ditungganginya melangkah tersaruk-
saruk ke samping terbawa hembusan angin.
"Aji 'Bayu Segara'...!" desis I Halu Rakryan Sub-

andira.
Tak ingin dirinya terlontar bersama kudanya, se-
gera I Halu Rakryan Subandira mengibaskan telapak
tangan kanannya tiga kali.
Weesss...!
Kibasan telapak tangan yang dialiri tenaga dalam
tingkat tinggi itu menimbulkan gelombang angin dah-
syat. Dan ketika I Halu  Rakryan Subandira mengi-
baskan telapak tangan kanannya sekali lagi, terdengar
suara ledakan menggelegar di langit. Disusul suara ge-
rutuan.
"Aku yang bernama I Halu Rakryan Subandira
datang ke Katumenggungan Lemah Abang ini bukan
dengan maksud buruk. Kenapa  mesti disambut den-
gan peradatan jahat sebagai seorang durjana saja
layaknya?" ujar I Halu Rakryan Subandira.
Tepat di ujung kalimat yang diucapkan kepala
pengawal istana ini, berkelebat sesosok bayangan. So-
sok itu berhenti tepat tiga tombak di depan kuda putih
yang ditunggangi utusan raja.
I Halu Rakryan Subandira menarik napas pan-
jang. Matanya menatap tanpa berkedip seraut wajah
tampan seorang pemuda gagah yang baru muncul.
Pemuda itu mengenakan pakaian coklat dengan garis-
garis hitam. Rambutnya yang panjang dibiarkan terge-
rai di punggung.
Setelah dapat mengenali siapa kiranya pemuda
itu, I Halu Rakryan Subandira mengulum senyum.
"Ah, kiranya kau, Saka Purdianta...," ucapnya lirih
sambil melompat turun dari punggung kuda.
"Benarkah Paman Subandira datang bukan den-
gan maksud buruk? Tidakkah Paman diutus Baginda
Prabu untuk menangkap Ayahanda Tumenggung
Sangga Percona?" tanya pemuda tampan yang tak lain
memang Saka Purdianta atau si Dewa Guntur, putra

Tumenggung Sangga Percona.
Kembali bibir I Halu Rakryan Subandira me-
nyunggingkan senyum. "Kenapa kau berkata seperti
itu, Saka?" lelaki setengah baya ini balik bertanya.
"Paman Subandira memang belum tahu atau pu-
ra-pura tidak tahu?!" bentak Saka Purdianta terus me-
nyelidik.
Melihat kesungguhan pemuda tampan yang su-
dah cukup terkenal ilmu kesaktiannya di wilayah Kera-
jaan Pasir Luhur itu, senyum I Halu Rakryan Subandi-
ra langsung sirna mendadak.
"Sebelum Paman Subandira menginjakkan kaki
di Pendapa Katumenggungan, katakan apa maksud
Paman yang sesungguhnya! Bila memang hendak me-
nangkap Ayahanda Tumenggung, langkahi dulu mayat
Dewa Guntur!"
"Ha ha ha...!" I Halu Rakryan Subandira tertawa
tergelak. "Saka..., Saka..., kau memang seorang anak
yang tahu menghaturkan bakti kepada orangtua. Ta-
pi..., sayang sekali kau kurang pandai mengendalikan
hawa nafsu."
"Apa maksud Paman?!" tukas Saka Purdianta.
Suaranya terdengar berat menggeram.
"Kau tahu, Saka..., aku dan ayahmu adalah sa-
habat baik. Persahabatanku dengan ayahmu itu bukan
persahabatan yang baru dipupuk. Kami sudah lama
saling mengenal, sejak usia belasan tahun. Dan, ikatan
persahabatan itu tak dapat diputuskan oleh apa pun
dan sampai kapan pun!"
"Tapi, kenapa Paman Subandira diam saja ketika
tahu orang-orang istana menyebar fitnah bahwa Aya-
handa Tumenggung hendak melakukan pemberonta-
kan?" cecar Saka Purdianta. Pemuda itu tampaknya
belum mempercayai keterangan I Halu Rakryan Sub-
andira.

"Hmm.... Agaknya aku memang harus berterus-
terang kepadamu, Saka...," lanjut I Halu Rakryan Sub-
andira dengan suara berat
"Itu lebih baik! Bila Paman Subandira masih me-
nyembunyikan sesuatu, selamanya aku tidak akan
percaya. Itu berarti maksud Paman untuk datang ke
Pendapa Katumenggungan harus diurungkan!"
"Saka...."
I Halu Rakryan Subandira tak melanjutkan kali-
matnya, karena tiba-tiba muncul seorang lelaki seten-
gah baya berperawakan tinggi besar. Walau remang-
remang, cahaya rembulan masih mampu membantu
untuk dapat mengenali siapa orang itu. Dilihat dari
pakaian yang dikenakannya, jelas dia seorang pembe-
sar. I Halu Rakryan Subandira mengembangkan kedua
tangannya ketika orang yang baru datang melangkah
menghampiri.
"Adi Sangga Percona...," panggil I Halu Rakryan
Subandira. Dipeluknya orang nomor satu di Katu-
menggungan Lemah Abang, yang tidak lain Tumeng-
gung Sangga Percona.
"Bagaimana keadaanmu, Kakang Subandira?"
tanya Tumenggung Sangga Percona sambil menepuk
bahu I Halu Rakryan Subandira.
"Seperti yang kau lihat. Tidak ada yang kurang
pada diriku," jawab I Halu Rakryan Subandira.
"Kau hendak ke Pendapa Katumenggungan? Ke-
napa berhenti di sini?"
"Putramu menghalangi langkahku." Mendengar
jawaban pendek itu, Tumenggung Sangga Percona
mendengus. Dia segera membalikkan badan. Ditatap-
nya lekat-lekat wajah Saka Purdianta atau si Dewa
Guntur. "Berani benar kau berlaku tak sopan kepada
sahabat baik ayahmu ini, Saka?!" bentaknya. 
"Maafkan aku, Ayah...," ucap Saka Purdianta. Pe-

lan namun terkandung rasa heran. "Aku mengikuti
suara hatiku yang merasa curiga...."
"Hmm.... Kau mencurigai Kakang Subandira? Ha
ha ha...!" Tumenggung Sangga Percona tertawa keras.
Tentu saja hal ini semakin membuat Saka Purdianta
terheran-heran.
"Jadi, Paman Subandira memang tidak bermak-
sud menangkap Ayahanda Tumenggung?" ucap pemu-
da tampan itu, ragu-ragu.
"Ya," tukas Tumenggung Sangga Percona. "Keta-
huilah, Saka..., fitnah yang mengatakan bahwa aku
hendak melakukan pemberontakan itu sesungguhnya
berasal dari mulut Paman Subandira sendiri"
"Apa?!" Saka Purdianta bertambah tidak mengerti
saja.
"Semua ini hanya siasat, Saka. Siasat yang sudah
lama kususun bersama Pamanmu ini, sejak kau men-
gembara ke Kerajaan Anggarapura bersama Anggraini
Sulistya," jelas ayah Saka Purdianta.
"Siasat apa?"
"Di depan Baginda Prabu Singgalang Manjunjung
Langit, Kakang Subandira selalu mengatakan tentang
kecurigaannya padaku. Katanya, aku hendak melaku-
kan pemberontakan...."
"Dan Ayah diam saja...?" kejar Saka Purdianta.
"Ini sekadar siasat..," lanjut Tumenggung Sangga
Percona. Melihat raut wajah putranya yang berubah
kebodoh-bodohan, senyum tipis tersungging di bibir-
nya. "Sesungguhnya Kakang Subandira hendak men-
gambil muka Baginda Prabu. Dan, ternyata siasatnya
ini dapat berjalan sesuai rencana. Ha ha ha..."
Sewaktu Tumenggung Sangga Percona tertawa
terbahak-bahak, Saka Purdianta menggeram gusar.
Matanya mendelik. Sebentar kemudian, nafasnya jadi
tersengal.

"Eh! Ada apa denganmu, Saka?" tanya Tumeng-
gung Sangga Percona, melihat perubahan pada diri pu-
tranya. "Kau sakit? Sebaiknya kau kembali ke Penda-
pa...."
"Tidak!" sahut Dewa Guntur, cepat. "Katakan apa
maksud Ayah dengan membuat siasat bersama Paman
Subandira!"
Mendengar bentakan Saka Purdianta, Tumeng-
gung Sangga Percona menatap nanar wajah putranya
itu. I Halu Rakryan Subandira yang berdiri di sam-
pingnya pun demikian. Mereka berdua terkejut, tapi
keduanya segera dapat memaklumi. Tabiat Saka Pur-
dianta memang kasar dan keras kepala.
Saka Purdianta sendiri balas menatap pandangan
kedua lelaki setengah baya itu. Segera disambungnya
ucapan yang tak mendapat tanggapan tadi.
"Di kotapraja Pasir Luhur sekarang banyak ber-
cokol para pemberontak. Pejabat kerajaan banyak pula
yang berkhianat. Aku tak ingin Ayahanda Tumenggung
ikut-ikutan dalam hal ini. Mengambil keuntungan di
air keruh!"
"Bocah gemblung!" umpat Tumenggung Sangga
Percona melihat keberanian putranya. "Dirimu masih
bau pupuk lempuyang! Tak perlu memberi nasihat ke-
pada ayahmu yang sudah bau tanah ini!"
"Tidak!" sahut Saka Purdianta, ketus. "Aku sadar
diriku ini memang bukan orang baik, tapi aku masih
memiliki kesetiaan pada ratu gustiku yang harus ku-
junjung setinggi langit. Aku menentang kehendak Aya-
handa!"
Tumenggung Sangga Percona dan I Halu Rakryan
Subandira saling berpandangan.
"Haram jadah! Anak tak tahu diuntung!" umpat
Tumenggung Sangga Percona kemudian.
"Sadarlah, Ayah! Jangan membuat api bila tak

ingin terbakar...."
Mendelik mata Tumenggung Sangga Percona
mendengar kata-kata putranya. Seandainya hari tidak
malam, akan dapat dilihat bagaimana perubahan raut
wajah lelaki tinggi besar itu. Kaku membesi! Memerah
bagai udang direbus!
"Tenanglah, Adi Percona...," ucap I Halu Rakryan
Subandira mencoba menenteramkan hati sahabatnya.
"Putramu masih terlalu muda untuk bisa mengerti apa
tujuan kita sebenarnya...."
"Aku bukan anak kecil lagi, Paman!" sela Dewa
Guntur. "Aku tahu Paman dan Ayah telah membuat
persekongkolan untuk pemberontakan terhadap kebi-
jaksanaan Baginda Prabu Singgalang Manjunjung
Langit. Aku menduga pasukan tersembunyi yang bera-
da di sekitar kotapraja adalah orang-orang kalian..."
"Keparat!" caci Tumenggung Sangga Percona.
Semakin jengkel dan marah hati lelaki ini. "Kau te-
ruskan lagi kata-katamu itu, kubunuh kau!" ancam-
nya.
Saka Purdianta tersenyum tipis. Ditatapnya lan-
git bertabur bintang. Lalu, dari mulutnya keluar se-
nandung kecil.

Oh, Kakang Kawah Adi Ari-ari....
Adakah kau dengar keluh hati saudaramu ini? 
Di antara dua, aku sama berat memilih 
Ayahanda tercinta atau negeri tumpah darah? 
Semua sama berat
Tapi, tak mungkin aku memilih keduanya....

"Bocah edan!" maki Tumenggung Sangga Perco-
na. seraya menerjang untuk mendaratkan tamparan.
Mengetahui gerakan ayahnya, Saka Purdianta se-
gera berkelit ke samping. Mendidihlah darah Tumeng-

gung Sangga Percona mendapati tamparannya hanya
mengenai angin kosong. Sambil menggeram keras, dia
melayangkan kaki kanannya.
Wut...!
Sekali lagi Saka Purdianta dapat menghindari se-
rangan ayahnya. Baju coklat yang dikenakannya tam-
pak berkibar. Pertanda, tendangan Tumenggung Sang-
ga Percona dialiri tenaga dalam tinggi.
"Berani kau mempermainkan ayahmu! Kubunuh
kau!" teriak lelaki tinggi besar itu. Dia melanjutkan se-
rangannya yang lebih berbahaya.
"Aku tidak mau punya Ayah seorang pemberon-
tak!" sahut Saka Purdianta sambil meloncat jauh.
Tumenggung Sangga Percona bergegas mengejar.
Semakin kuat hawa amarah yang menggelayuti ha-
tinya. Hingga, dia lupa kalau Saka Purdianta adalah
putra tunggalnya. Matanya yang telah gelap menjadi-
kan nafsu membunuh datang meluap-luap. Digempur-
nya Saka Purdianta dengan serangan-serangan mema-
tikan. Sementara I Halu Rakryan Subandira yang me-
lihat kejadian itu cuma diam terpaku tanpa berbuat
apa-apa.
"Sadarlah, Ayah! Janganlah kekuasaan membuat
gelap matamu!" ujar Dewa Guntur di sela-sela gempu-
ran ayahnya.
"Jangan banyak bacot!" balas Tumenggung Sang-
ga Percona. "Anak yang berani membangkang pada
orangtua lebih baik dipecahkan kepalanya!"
Tumenggung Sangga Percona meloncat tinggi.
Tubuhnya lalu meluncur cepat  dengan jemari tangan
kanan terbuka lebar. Rupanya dia benar-benar hendak
memecahkan batok kepala Saka Purdianta. Namun,
ringan saja pemuda tampan, itu menggeser tubuhnya
ke kanan. 
Wesss...!

Saka Purdianta terkesiap. Walau tamparan ayah-
nya tak mengenai sasaran, tapi hawa panas menerpa
wajahnya. Sadarlah dia kalau ayahnya telah mengelu-
arkan ilmu ‘Pukulan Gurun Pasir’ yang memiliki
keampuhan luar biasa. Kalau saja tamparan Tumeng-
gung Sangga Percona tadi mengenai sasaran, kepala
Saka Purdianta tentu telah remuk menjadi debu.
"Maafkan aku, Ayah...!" teriak Saka Purdianta ti-
ba-tiba.        
Tumenggung Sangga Percona terkejut melihat tu-
buh putranya berkelebat sangat cepat. Selain serangan
susulannya hanya mengenai angin kosong, dia pun tak
melihat lagi di mana sosok Saka Purdianta.
"Haram jadah!" umpat Tumenggung Sangga Per-
cona. Digedruknya tanah dengan kaki kanan. Akibat-
nya, bumi bergetar. Kuda yang berdiri di samping I Ha-
lu Rakryan Subandira meringkik panjang karena terke-
jut.
"Sudahlah, Adi Percona...," ujar I Halu Rakryan
Subandira setelah melompat ke hadapan Tumenggung
Sangga Percona.
"Dia akan menjadi duri bagi kita!" ujar Tumeng-
gung Sangga Percona, ketus.
"Dia putramu. Bila dia berbuat macam-macam,
kau harus dapat mencegahnya. Namun saat ini aku
tak ingin membicarakan hal itu. Kebetulan aku datang
atas izin Baginda Prabu. Jadi, tak ada yang mencuri-
gaiku. Kuharap kau bersedia menyerahkan Pusaka
Jubah Kuning kepadaku, seperti janjimu dulu."
"Hmm...," Tumenggung Sangga Percona terpekur
sejenak. Lalu ujarnya, "Aku tidak akan lupa pada jan-
jiku, Kakang Subandira. Di saat-saat seperti ini kau
memang membutuhkan benda pusaka. Aku sudah
menduganya. Kita tak perlu repot-repot ke Pendapa
Katumenggungan. Aku telah membawa benda pusaka

yang kau inginkan."
Tumenggung Sangga Percona mengeluarkan lipa-
tan kain kuning dari balik bajunya. I Halu Rakryan
Subandira menatap tajam kain itu. Wajahnya tampak
tegang ketika menerimanya.
"Aku percaya padamu, Adi Percona. Tapi, aku be-
lum begitu yakin akan keampuhan benda pusaka ini
setelah bertahun-tahun disimpan."
Usai berkata, I Halu Rakryan Subandira melem-
parkan lipatan kain kuning yang dipegangnya. Sebe-
lum kain itu jatuh ke tanah, dia meloloskan pedang
dari pinggangnya. Lalu.... 
Srat! Srat!
I Halu Rakryan Subandira tertawa terbahak-
bahak melihat kain kuning tak mempan oleh tebasan
pedangnya.
"Pusaka Jubah Kuning memang ampuh. Ha ha
ha...!"
Tumenggung Sangga Percona menimpali tawa
kepala pengawal istana itu dengan tawa pula. "Penggal
kepala sapi ompong Singgalang Manjunjung Langit se-
cepatnya, Kakang Subandira!" pintanya di sela-sela
suara tawa.
"Ya..., ya...! Akan kulakukan itu secepat mung-
kin. Dan kita akan.... Ha ha ha...!"
Setelah puas tawanya, wajah I Halu Rakryan
Subandira berubah tegang.
"Ada apa, Kakang Subandira?" tanya Tumeng-
gung Sangga Percona yang melihat perubahan raut wa-
jah sahabatnya itu.
"Saka Purdianta...," desis I Halu Rakryan Suban-
dira. "Aku tak mau dia menjadi biang penghalang!"
Di ujung kalimatnya, I Halu Rakryan Subandira
melompat ke punggung kuda putih, lalu dipacunya
dengan cepat.

"Urusan Saka Purdianta menjadi tanggung ja-
wabmu!"
Kata-kata itu mengiang di telinga Tumenggung
Sangga Percona, walau sosok I Halu Rakryan Subandi-
ra telah lenyap ditelan kegelapan....

***

3

"Apa yang terjadi, Sangkala?"
Mendengar pertanyaan  yang dibarengi tepukan
pada bahunya, prajurit brewokan yang tengah dikuasai
rasa takut hebat tiba-tiba jatuh pingsan. Tubuhnya
melorot ke tanah dalam keadaan telentang. Matanya
mendelik dengan mulut menganga lebar!
Lelaki yang baru datang mengerutkan kening.
Melihat keadaan prajurit yang dipanggil Sangkala itu,
diam-diam timbul rasa iba dalam hatinya. Apalagi di
sekeliling tubuh Sangkala berserakan sepuluh mayat
prajurit bersama kuda mereka. Agaknya di tempat itu
baru saja terjadi sebuah pembunuhan keji. Bau anyir
darah sangat menusuk hidung.
Bergegas lelaki setengah baya berjubah kuning
itu memeriksa keadaan Sangkala. Mengetahui Sangka-
la tidak mempunyai luka sedikit pun, orang itu mena-
rik napas panjang. Ditotoknya beberapa jalan darah di
tubuh Sangkala.
"Uh...!"
Sangkala menggeliat lemah. Pandangannya bersi-
robok dengan seraut wajah tua berbulu halus. Sangka-
la terkejut. Dan dia hendak melompat bangkit, tapi ce-
kalan tangan yang kokoh menghentikan gerakannya.
"Ini aku, Sangkala...," ujar lelaki berjubah kuning

dengan suara lembut.
Sangkala membuka matanya lebar-lebar untuk
memperjelas pandangan.
"Tuan Subandira...," desis prajurit brewokan itu.
I Halu Rakryan Subandira mengangguk. "Apa
yang terjadi, Sangkala? Apakah rombonganmu dicegat
para perampok?"
Sangkala beringsut duduk. Kepalanya lalu meng-
geleng perlahan. "Bukan perampok, Tuan Subandira.
Tapi...."
"Tapi apa? Siapa orang yang telah berbuat sekeji
ini?" desak I Halu Rakryan Subandira tak sabar.
"Orang berkerudung...."
"Kau mengenalnya?"
Sangkala menggeleng.
"Orang itu mengenakan pakaian ketat serba hi-
tam. Kepalanya dibalut kerudung berwarna hitam pu-
la, seperti..., seperti pembunuh bayaran dari negeri
Matahari Terbit..."
"Ninja?"
Sangkala mengangguk. Tangannya meraba-raba
bagian bawah tubuhnya. Sadarlah dia kalau celananya
telah basah terkena air kencingnya sendiri yang keluar
tanpa dia sadari. Pada saat itulah bau pesing menebar.
Tapi, tampaknya I Halu Rakryan Subandira tak mau
peduli.
"Apa maksud ninja itu dengan melakukan pem-
bantaian sekejam ini? Dan tampaknya dia sengaja me-
ninggalkanmu hidup-hidup. Kau tentu. menerima pe-
san darinya, Sangkala. Apa itu?"
Mendengar cecaran pertanyaan I Halu Rakryan
Subandira, Sangkala menarik napas panjang.
"Aneh...," bisiknya.
"Apanya yang aneh?" rupanya I Halu Rakryan
Subandira mendengar gumaman Sangkala.

"Biasanya ninja bersenjata pedang, tapi orang
berkerudung itu tidak. Dia mempunyai senjata keris.
Keris Sengkelit Bayu Geni!"
"Hah?!"
I Halu Rakryan Subandira tampak terperangah.
Keris Sengkelit Bayu Geni merupakan lambang kekua-
saan raja negeri Pasir Luhur. Tapi, kenapa bisa berada
di tangan seorang pembunuh kejam?
"Jelas orang itu bukan ninja!" cetus I Halu Ra-
kryan Subandira kemudian. "Dia hanya menyamar se-
bagai ninja agar jati dirinya tak dikenali."
"Tepat, Tuan Subandira!" tegas Sangkala. "Semua
ucapannya dapat kumengerti dengan jelas. Kalau dia
benar-benar seorang ninja dari negeri Matahari Terbit,
mana bisa dia bertutur kata dengan bahasa kita?"
"Lalu, apa yang dia pesankan kepadamu?"
"Saya diperintahkan untuk kembali ke istana,"
sahut Sangkala dengan perasaan lega. 
"Untuk apa?"
"Menyampaikan pesannya kepada Baginda Pra-
bu. Orang berkerudung itu mengatakan kalau utusan
Tumenggung Sangga Percona akan segera mengirim
utusan untuk menjelaskan duduk persoalannya. Per-
soalan apa, saya tidak tahu."
"Hmm.... Kalau begitu, kita harus segera kembali
ke istana," ajak I Halu Rakryan Subandira.
"Sebentar, Tuan Subandira...," tolak Sangkala.
"Ketika musibah ini terjadi, Tuan Subandira sendiri
berada di mana? Apakah Tuan telah sampai di Penda-
pa Katumenggungan Lemah Abang?"
"Sudahlah, Sangkala...," ujar I Halu Rakryan
Subandira. "Kita tak mempunyai waktu banyak. Aku
khawatir utusan Sangga Percona yang hendak datang
ke istana akan membuat kerusuhan. Kita harus mela-
porkan peristiwa ini terlebih dahulu kepada Baginda

Prabu."
I Halu Rakryan Subandira tak mau mendengar
bantahan Sangkala. Bergegas dia menghampiri kuda
putih yang talinya diikat pada sebatang pohon. Dengan
sebuah lompatan ringan ditungganginya kuda terse-
but.
"Cepat kau naik ke belakangku, Sangkala!"
Buru-buru Sangkala bangkit dari duduknya dan
menuruti perintah I Halu Rakryan Subandira. Seben-
tar kemudian, I Halu Rakryan Subandira telah mema-
cu kuda putihnya menuju istana kembali. Walau jalan
telah gelap, tapi kuda itu dapat berlari demikian cepat
bagai dikejar setan.
Malam belum larut benar ketika langkah kaki
kuda memasuki gerbang kotapraja. Prajurit-prajurit
penjaga tentu saja terkejut melihat seekor kuda putih
berlari sangat cepat menapaki jalan menuju istana.
Tapi setelah mereka melihat siapa penunggangnya,
prajurit-prajurit itu diam saja. Sebagai kepala pengaw-
al istana, I Halu Rakryan Subandira memang sosok le-
laki yang dihormati dan penuh wibawa.
"Sekarang juga aku harus bertemu dengan Ba-
ginda Prabu. Ada kabar penting yang akan kusampai-
kan kepada beliau," ujar I Halu Rakryan Subandira se-
telah sampai. di depan pintu istana. Dia melompat tu-
run dari pelana kuda. Gerakannya itu segera diikuti
oleh Sangkala.
"Kebetulan sekali, Tuan Subandira. Baginda Pra-
bu sekarang sedang berada di ruang pertemuan khu-
sus. Beliau bersama Gusti Patih Sanca Singapasa dan
Senopati Guntur Selaksa...," sahut seorang prajurit
penjaga yang merupakan bawahan I Halu Rakryan
Subandira sendiri.
Dengan langkah tergesa-gesa I Halu Rakryan
Subandira memasuki istana. Sangkala mengekor lang-

kah lelaki berjubah kuning itu. Namun, betapa terke-
jutnya I Halu Rakryan Subandira ketika telinganya
menangkap suara benturan senjata tajam empat kali
berturut-turut.
"Nyawa Baginda Prabu terancam!" ujar I Halu
Rakryan Subandira seraya menghempaskan tubuh.
Satu kelebatan saja, dia telah sampai di depan pintu
ruang pertemuan khusus yang letaknya di sebelah kiri
balairung.
Trang! Trang! Trang!
Benturan senjata tajam itu terdengar lagi. I Halu
Rakryan Subandira langsung menjebol daun pintu
yang terkunci. Matanya terbelalak melihat empat orang
berkerudung hitam sedang mengeroyok Senopati Gun-
tur Selaksa. Sedangkan seorang berkerudung hitam
lainnya tampak memburu Patih Sanca Singapasa den-
gan senjata pedang panjang, sama dengan senjata di
tangan keempat temannya!
Belum hilang keterkejutan I Halu Rakryan Sub-
andira, salah seorang dari pengeroyok Senopati Guntur
Selaksa melentingkan tubuh. Dikirimkannya tusukan
maut ke dada Prabu Singgalang Manjujungan Langit
yang berdiri merapat ke dinding.
"Penjahat busuk!" maki I Halu Rakryan Subandi-
ra. Tubuhnya meloncat ke depan dengan pedang ter-
hunus.
Trang!
Pedang panjang di tangan orang berkerudung hi-
tam mencelat lepas dari pegangan ketika berbenturan
dengan pedang I Halu Rakryan Subandira.
Sebelum orang itu sempat menoleh untuk menge-
tahui siapa yang telah menggagalkan serangannya, I
Halu Rakryan Subandira telah mengirimkan tebasan
pedang.
Cras!

"Wuaah...!"
Orang berkerudung hitam berdiri kaku di tem-
patnya. Kepalanya telah menggelinding ke lantai. Da-
rah memercik ke wajah Prabu Singgalang Manjunjung
Langit. Terbayang rasa ngeri di mata Pemimpin Kera-
jaan Pasir Luhur itu. Namun, setelah tahu siapa yang
telah menyelamatkan nyawanya, dia menarik napas le-
ga.
"Sebaiknya Baginda Prabu pergi dari tempat ini!"
pinta I Halu Rakryan Subandira.
Prabu Singgalang Manjunjung Langit bergegas
hendak keluar ruangan. Namun ketika hampir menca-
pai pintu, salah seorang pengeroyok Senopati Guntur
Selaksa datang memburu. Dengan kedua telapak tan-
gan mencekal erat hulu pedang, dia membabat ping-
gang sang raja!
Trang!
Kali ini Senopati Guntur Selaksa yang dapat me-
nyelamatkan nyawa Baginda Prabu. Pedangnya berha-
sil memapaki serangan orang berkerudung.
"Selamatkan Baginda Prabu, Sangkala!" teriak I
Halu Rakryan Subandira yang melihat Sangkala cuma
berdiri termangu di ambang pintu.
Dengan sedikit menyeret Sangkala membawa
Prabu Singgalang Manjunjung Langit keluar dari ruang
pertemuan. Melihat sang raja dapat meloloskan diri,
orang berkerudung hitam yang sedang menggempur
Patih Sanca Singapasa menggeram keras. Tubuhnya
lalu bergerak sangat cepat. Pedang panjang di tangan-
nya berubah menjadi kilatan sinar perak.
Trang!
"Argh...!"
Patih Sanca Singapasa mencoba menangkis sam-
baran pedang yang tertuju ke lehernya dengan mem-
pergunakan keris. Sayang, keris itu terpental lepas da-

ri pegangan dan cairan darah segera memercik ke
dinding. Rupanya, bahu kanan Patih Sanca Singapasa
robek lebar terkena tebasan pedang lawan!
Tubuh patih yang berusia sekitar lima puluh ta-
hun itu kemudian mencelat menghantam dinding.
Tendangan orang berkerudung telah menghujam tepat
di dadanya.
Orang berkerudung hitam yang berhasil menja-
tuhkan Patih Sanca Singapasa lalu melompat ke am-
bang pintu. Hendak dikejarnya ke mana perginya Pra-
bu Singgalang Manjunjung Langit bersama Sangkala.
Tapi, kelebatan I Halu Rakryan Subandira menggagal-
kan maksud itu.
"Hadapi aku, Penjahat Culas!" hardik I Halu Ra-
kryan Subandira seraya mengirimkan tebasan pedang
ke leher lawan.
Pelan saja orang berkerudung hitam merunduk-
kan tubuhnya. Lalu, pedang panjang di tangannya
berdesing hendak memapras tubuh bagian bawah I
Halu Rakryan Subandira. Namun serangan itu tak
menghasilkan apa-apa. Yang menjadi sasaran telah
melompat tinggi.
Saat itulah terdengar sebuah suitan nyaring.
Orang berkerudung hitam yang sedang berhadapan
dengan I Halu Rakryan Subandira mendengus. Bola
matanya yang terlihat dari dua lubang sempit di keru-
dung tampak membesar. Cepat dia mengambil sebuah
benda bundar dari balik bajunya. Dilemparkannya
benda itu ke hadapan I Halu Rakryan Subandira.
Blar! Blar! Blar! Blar!
Ledakan keras terdengar empat kali. Benda bulat
yang dilemparkan orang berkerudung hitam itu ternya-
ta bahan peledak. Tiga ledakan lainnya berasal dari
lemparan tiga pengeroyok Senopati Guntur Selaksa.
Beberapa lama ruang pertemuan khusus yang ti-

dak seberapa lebar itu dipenuhi asap hitam tebal. Bau
sangit yang menebar menimbulkan rasa pedas di mata.
Ketika asap telah lenyap, empat orang berkerudung hi-
tam ikut lenyap pula. Sementara Senopati Guntur Se-
laksa dan I Halu Rakryan Subandira berdiri  nanar
dengan pedang melintang di depan dada. Di sudut
ruangan Patih Panca Singapasa duduk berselonjor ka-
ki sambil mendekap bahu kanannya yang terluka.
I Halu Rakryan Subandira menggeram gusar.
Mayat orang berkerudung hitam yang tadi berhasil di-
tebas lehernya telah hilang. Termasuk kepalanya yang
semula tergeletak merapat di dinding dekat pintu.
"Kita harus segera memastikan keselamatan Ba-
ginda Prabu!" cetus Senopati Guntur Selaksa.
Kepala pasukan yang masih muda, berumur seki-
tar tiga puluh tahun itu, bergegas keluar dari ruangan.
Gerakannya segera diikuti I Halu Rakryan Subandira.
Patih Sanca Singapasa pun bangkit dari duduknya,
kemudian mengikuti langkah kedua punggawa kera-
jaan itu.
Sesampai di lorong jalan yang hendak menuju ke
kamar raja, mereka menghentikan langkah. Mereka
melihat tidak kurang dari dua lusin prajurit penjaga is-
tana tengah berkerumun. Betapa terkejutnya I Halu
Rakryan Subandira ketika melihat sesuatu yang men-
jadi pusat kerumunan itu ternyata mayat Sangkala!
I Halu Rakryan Subandira lalu berlari-lari menge-
lilingi segala penjuru istana. Tapi, tak satu pun orang
yang ditemuinya dapat menunjukkan di mana Prabu
Singgalang Manjunjung Langit berada. Bahkan, pada
dayang dan Permaisuri Sekar Tunjung Biru sendiri.
I Halu Rakryan Subandira bergegas kembali ke
lorong jalan tempat mayat Sangkala tergeletak. Di sana
sudah tak ada lagi kerumunan. Yang ada cuma Seno-
pati Guntur Selaksa yang sedang memeriksa mayat

Sangkala.
Mengetahui kedatangan I Halu Rakryan Subandi-
ra, Senopati Guntur Selaksa mendongak. "Kau lihat
benda ini, Kakang Subandira" ujarnya sambil menun-
jukkan dua lempengan besi berbentuk bintang.
"Shuriken!" desis I Halu Rakryan Subandira.
"Senjata rahasia ninja ini kutemukan menancap di
kening dan tenggorokan Sangkala," jelas Senopati
Guntur Selaksa.
"Hmm.... Agaknya para pembunuh bayaran dari
negeri Matahari Terbit sengaja menyatroni istana. Tapi
siapa pun yang menjadi otak pembunuhan ini, jelas
mereka mengincar kematian Baginda Prabu."
"Apa sebaiknya kukerahkan lebih banyak lagi
prajurit untuk mengejar orang-orang berkerudung hi-
tam itu, Kakang Subandira?" ujar Senopati Guntur Se-
laksa meminta pertimbangan.
"Percuma saja, Guntur. Kalau benar mereka ada-
lah ninja, tak mungkin langkah kaki mereka dapat di-
kejar. Aku dapat merasakan kehebatan kendo atau il-
mu pedang khas ninja yang tangguh. Belum lagi senja-
ta mereka yang disebut shuriken itu. Para prajurit
yang mengejar akan menjadi makanan empuk!"
Sambil berkata demikian, benak I Halu Rakryan
Subandira mengingat peristiwa pembunuhan di Katu-
menggungan Lemah Abang. "Hmm.... Apakah ninja-
ninja tadi mempunyai hubungan dengan orang berke-
rudung hitam yang dituturkan Sangkala telah mem-
bunuh sepuluh temannya itu?" tanya I Halu Rakryan
Subandira dalam hati. "Ah, sebaiknya peristiwa itu ku-
simpan saja. Terlalu konyol untuk menceritakannya
kepada orang lain...."
I Halu Rakryan Subandira lalu memanggil seo-
rang pengawal untuk mengurus mayat Sangkala. Ber-
sama Senopati Guntur Selaksa, kepala pengawal ista-

na itu kemudian memasuki ruang pengobatan. Di sana
tampak seorang tabib tua tengah membalut luka di
bahu kanan Patih Sanca Singapasa.
"Bagaimana lukamu, Kakang Sanca?" tanya I Ha-
lu Rakryan Subandira. Walau usia mereka sebaya, I
Halu Rakryan Subandira memanggil 'kakang', karena
kedudukan Patih Sanca Singapasa yang lebih tinggi.
Mendengar pertanyaan kepala pengawal istana
itu, Patih Sanca Singapasa malah memandang heran:
"Kenapa kalian berada di sini?" tanyanya sambil me-
mandang wajah I Halu Rakryan Subandira dan Seno-
pati Guntur Selaksa bergantian.
"Apa maksud Paman Sanca?" Senopati Guntur
Selaksa ganti bertanya.
Patih Sanca Singapasa mendengus gusar. Dite-
pisnya tangan tabib tua yang masih sibuk membalut
luka di bahu kanannya.
"Bukankah kalian tahu kalau Baginda Prabu jadi
korban penculikan? Tapi kenapa kalian malah enak-
enakan berada di tempat ini?!" ujar tokoh kedua di Ke-
rajaan Pasir Luhur itu dengan setengah membentak.
"Lima puluh prajurit telah mengejar orang-orang
berkerudung hitam itu," kilah Senopati Guntur Selak-
sa.
"Kau pikir mereka akan mampu menyelamatkan
Baginda Prabu?"
Senopati Guntur Selaksa terdiam. I Halu Rakryan
Subandira tampak mengerutkan kening.
"Aku curiga pada kalian berdua!" cetus Patih
Sanca Singapasa seraya melangkah keluar ruangan.
I Halu Rakryan Subandira dan Senopati Guntur
Selaksa mengikuti kepergian lelaki tua itu dengan
pandangan mata nanar. Sedikit banyak mereka merasa
tersinggung dengan tuduhan patih itu.


***