Pengemis Binal 7 - Dendam Para Pengemis(1)





DENDAM PARA PENGEMIS

Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Penyunting: Tuti S,
Ide cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


Serial Pengemis Binal 
dalam episode: 
Dendam Para Pengemis
128 hal.

1

Senja rebah di Bukit Pangalasan. Gelap hampir
menyelimuti. Puncak bukit yang menjulang hanya
berhias sepi. Di antara desau angin yang mengalun
lembut bau anyir darah menyebar. Satwa-satwa men-
dengus gusar terbalut rasa ngeri.
Tubuh Gede Panjalu dan Wirogundi meluncur
deras masuk ke dalam jurang. Dasarnya dipenuhi ton-
jolan batu runcing yang siap mengundang kematian!
Dalam kedudukan kepala berada di bawah
Gede Panjalu melihat rimbunan daun tumbuh di sisi
tebing. Kakek bongkok itu cepat mengembangkan tan-
gannya berusaha meraih dahan yang menyembul.
"Hup...!"
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tu-
buh, Gede Panjalu berhasil mengatasi lontaran tubuh-
nya, saat tangan sesepuh Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu berhasil menyambar dahan pohon.
Ketika tubuhnya terpantul itulah Gede Panjalu
melihat Wirogundi meluncur turun. Segera ditangkap-
nya tangan pemuda kurus tersebut. Namun, akar po-
hon yang menancap di tebing jurang tak sanggup me-
nahan tubuh mereka yang sedang berkutat dengan
maut.
Untunglah, sebelum mereka terhempas ke da-
sar jurang, dedaunan yang lebih rimbun menopang.
Lalu, dengan ilmu meringankan tubuh Gede Panjalu
dan Wirogundi berhasil mengatasi luncuran. Tapi, tak
urung tubuh mereka jatuh berdebam di sisi sebongkah
batu runcing. Hanya karena kekuatan tenaga dalam
tubuh keduanya tidak hancur.
Gede Panjalu menggeliat sambil mendekap ba-

hu kirinya yang sakit luar biasa. Pukulan Bayangan
Hitam ketika bertempur melawan tokoh sesat itu di
puncak bukit telah menghantamnya dengan telak. Su-
sah payah Gede Panjalu berhasil bangkit. Lalu kepa-
lanya digeleng-gelengkan untuk mengusir kekaburan
pandangan yang menyelimuti matanya.
Gede Panjalu menghampiri Wirogundi yang ter-
geletak pingsan tak jauh darinya. Diperiksanya tubuh
pemuda kurus itu. Hawa panas terasa menjalar dari
punggung Wirogundi yang terkena tendangan Malaikat
Bangau Sakti.
"Segeralah duduk bersila, Wiro...," perintah
Gede Panjalu sambil menopang tubuh Wirogundi.
Pemuda kurus itu mengikuti petunjuk Gede
Panjalu. Sementara si kakek mengembangkan kedua
tangannya ke atas. Lalu, dengan kekuatan tenaga da-
lam dihantamnya punggung Wirogundi!
"Uoookkk...!"
Darah kental kehitaman menyembur dari mulut
Wirogundi. Bersamaan dengan itu dia jatuh tertelung-
kup dalam keadaan pingsan. Untuk kedua kalinya
Gede Panjalu melancarkan totokan di beberapa aliran
darah Wirogundi.
"Bersemadilah untuk mengumpulkan hawa
murni mu...," kata Gede Panjalu kemudian, setelah Wi-
rogundi tersadar dari pingsannya.
Pemuda kurus itu segera duduk bersila dengan
tangan bersedekap. Matanya dipejamkan merasakan
keheningan mayapada. Wirogundi berusaha menyatu-
kan Inti kekuatan tubuh yang berputar-putar di seki-
tar pusar.
Gede Panjalu melakukan hal yang sama. Dia
berusaha mengalirkan kesejukan ke bahu kirinya yang
terasa sangat panas. Dua anak manusia itu segera la-

rut dalam kisaran alam kosong. Menyedot kekuatan
alam semesta yang tidak semua orang dapat melaku-
kannya.
Di atas langit berwarna hitam kelam. Kerlip
bintang bertaburan bagai hendak menggoda bulan un-
tuk tersenyum. Cahayanya membias ke bumi dan
menciptakan keremangan. Namun, putaran sang wak-
tu berlalu cepat. Ayam alas berkokok. Samar-samar
cahaya mentari menyorot di ufuk timur. Kerlip bintang
dan warna keemasan bulan pun memudar. Tampaknya
fajar akan menyingsing.
Gede Panjalu dan Wirogundi membuka kelopak
mata. Mereka beberapa saat menatap tebing tinggi
yang terpampang di depan. Keduanya lalu bangkit ber-
diri dengan tubuh lebih segar. Semadi yang mereka la-
kukan semalaman telah menunjukkan hasil.
Tiba-tiba Wirogundi mendengus. Ditendangnya
batu sebesar kepala manusia yang tergolek di hada-
pannya.
"Margana Kalpa keparaaattt...!" teriak pemuda
kurus itu.
Suara yang keluar dari mulutnya menggema
berkepanjangan, lalu terpantul oleh tebing jurang. Mau
tak mau Gede Panjalu pun terkejut.
"Kau kenapa, Wiro?" tanya kakek bongkok itu
kaget.
Wirogundi tak memperhatikan. Dia meloncat ke
sisi tebing. Kemudian, telapak tangannya dihantamkan
dengan kekuatan tenaga dalam penuh.
Blaaammm...!
Tebing itu retak, dan sebagian ambrol. Debu
serta gumpalan tanah padas berhamburan. Keluh ke-
sakitan keluar dari mulut Wirogundi. Dia berdiri lim-
bung sambil mendekap dadanya yang sesak karena lu-

ka dalam yang belum sembuh benar.
Mendadak, Wirogundi jadi beringas. Sambil
menjerit keras dia hendak menghantamkan tangannya
kembali. Namun, Gede Panjalu telah meloncat untuk
mencegah. Kakek bongkok itu menelikung pergelangan
tangan Wirogundi.
"Jangan berbuat macam orang gila, Wiro!" ben-
tak Gede Panjalu.
Wirogundi menjatuhkan tubuhnya dan berdiri
berlutut di hadapan Gede Panjalu.
"Bunuh saja aku, Kek...," kata pemuda kurus
itu.
"Hush! Hanya manusia berakal pendeklah yang
ingin mati!" sahut Gede Panjalu keras.
"Tapi, aku tak tahan hidup dalam kesendi-
rian...." 
"Kau tidak sendiri, Wiro. Di sekitarmu masih
ada orang-orang yang akan menemanimu. Dan walau-
pun anggota perkumpulan kita banyak yang telah tia-
da, namun anggota lainnya masih banyak tersebar di
beberapa kadipaten bahkan kotapraja...."
"Tapi, aku telah kehilangan orang yang sangat
kucintai. Aku telah kehilangan Anjarweni...."
Bahu Wirogundi bergerak naik-turun. Hembu-
san  nafasnya  pendek-pendek. Keluarlah suara isak
tangis dari mulutnya. Pemuda kurus itu kemudian
menangis tersedu-sedu.
"Apa yang telah terjadi tidak perlu disesali, Wi-
ro...," bujuk Gede Panjalu lembut. "Kematian adalah
awal dari sebuah kehidupan baru. Relakan kepergian
kekasihmu. Janganlah kau buat rintangan bagi perja-
lanannya...."
Tak ada kata yang keluar dari mulut Wirogundi.
Suara tangisnya malah terdengar semakin keras. Gede

Panjalu menepuk bahunya lembut, kemudian mem-
bimbing Wirogundi berjalan ke sisi tebing yang terhin-
dar dari sengatan sinar mentari.
Ketika Wirogundi menjatuhkan pantatnya di
atas batu besar, air mata masih mengalir di pipi.
"Seharusnya kau malu dengan apa kau laku-
kan ini, Wiro...," kata Gede Panjalu sambil menatap
pemuda itu.
"Margana Kalpa keparat!" umpat Wirogundi
dengan suara tertahan. Giginya gemeletukan dan ra-
hangnya menggembung keras, terbawa luapan amarah
dan dendam yang menyentak dalam dada.
"Sebaiknya kau bersemadi kembali, Wiro. Te-
nangkan pikiranmu...."
Wirogundi menjambak rambutnya sendiri. Di-
remasnya kuat-kuat bersama dengan hembusan napas
berat.
"Bersemadilah, Wiro...," usul Gede Panjalu lagi.
Wirogundi tak mempedulikan. Dia menghen-
takkan kakinya ke tanah seraya menjerit keras.
Tiba-tiba, Gede Panjalu melayangkan telapak
tangannya!
Plak...!
Wirogundi mendekap pipinya yang memerah
dan terasa panas. Mata pemuda kurus itu menjadi
nyalang. Tapi, dia segera berlutut dan mencium kaki
Gede Panjalu.
"Maafkan aku, Kek...," rintih pemuda kurus itu
"Cobaan yang ditimpakan kepada Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti memang begitu hebat. Tidak
hanya kau yang merasakannya, Wiro. Ratusan anggota
perkumpulan kita di tempat lain yang sedang mencari
nafkah pun pasti akan sedih bukan main bila menge-
tahui sanak-kerabat mereka telah tiada. Tapi Tuhan

tidak akan memberi cobaan melampaui batas kemam-
puan kita. Tinggal kita sendiri bagaimana bersikap. Se-
lama kita masih memiliki akal, kenapa harus larut da-
lam kesedihan, padahal masih banyak yang dapat kita
perbuat. Kita masih dapat berbuat sesuatu untuk me-
ringankan beban orang lain. Mengumpulkan pahala
sebanyak-banyaknya untuk bekal hidup kita di kemu-
dian hari...."
Wirogundi mendongakkan kepala. Mata itu me-
natap kosong. Tiba-tiba pemuda itu merasakan tu-
buhnya jadi sangat ringan. Jiwa Wirogundi seperti me-
layang-layang di hamparan langit luas.
"Terima kasih atas nasihatmu, Kek...," ucap Wi-
rogundi kemudian.
"Bagus! Bila kau dapat menepis rasa sedih da-
lam hatimu, kau pun bisa disebut sebagai seorang ksa-
tria!" puji Gede Panjalu.
Kepala Wirogundi tertunduk dalam-dalam me-
rasakan kebenaran ucapan Gede Panjalu. Dia pun se-
makin tertunduk ketika gede Panjalu mengusap ram-
butnya.
"Kau bersemadilah untuk beberapa saat, Wi-
ro...," kata Gede Panjalu mengulangi sarannya tadi.
Tak lama kemudian Wirogundi sudah larut da-
lam kekosongan waktu. Jiwanya melayang dalam ke-
heningan mayapada.
Gede Panjalu duduk terpekur di tempatnya. In-
gatan peristiwa yang baru saja terjadi  muncul dalam
benak kakek bongkok itu. Tanpa sadar dia mendesah
panjang. Kebiadaban Margana Kalpa yang memporak-
porandakan Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti te-
rasa begitu menyakitkan. Terbayang pula kekejaman
Galungking Saba atau si Penyedot Arwah. Begitu mu-
dahnya dia menyebar kematian sambil tertawa-tawa.

Demikian pula dengan Galang Gepak atau si Bayangan
Hitam yang telah melukainya.
Tapi, Gede Panjalu segera menyadari keadaan.
Otaknya menghalangi perasaan hati untuk tidak ter-
bawa pada kekalutan yang hanya akan mendatangkan
amarah dan dendam.
"Suropati...," gumam kakek itu kemudian. "Per-
gi ke mana dia? Bagaimana bila dia tahu perkumpulan
yang dipimpinannya telah hancur?"
Setelah termenung sebentar, tiba-tiba saja Gede
Panjalu memukul jidatnya sendiri.
"Aku percaya kepada kekuasaan Tuhan. Kebe-
naran akan menindih kezaliman. Manusia hanyalah
sekadar wayang yang digerakkan oleh tangan-Nya...."
Gede Panjalu lalu bangkit dari duduknya ketika
mendengar suara keroncongan perut yang datang dari
rasa lapar. Kakek bongkok itu berjalan menyusuri teb-
ing yang banyak di tumbuhi pepohonan. Sambil me-
loncat-loncat di antara bebatuan, dia menyebar pan-
dangan. Dicari-carinya sesuatu yang dapat diperguna-
kan untuk mengisi perut.
Tiba di tepi sebuah aliran sungai kecil, Gede
Panjalu menghentikan langkah. Kening sesepuh Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu berkerut. Tam-
pak seekor ular sanca sebesar paha manusia dewasa
tengah melingkar di sebatang pohon serut yang tum-
buh tebing cadas. Yang membuat Gede Panjalu heran
adalah adanya tiga bulatan coklat kemerahan sebesar
biji kelerak di antara lingkaran tubuh ular sanca. 
"Kenapa pohon serut bisa berbuah seperti itu?"
tanya Gede Panjalu dalam hati. "Dan, kelihatannya
ular sanca itu sedang menjaganya. Mungkinkah aku
tengah menjumpai suatu keajaiban?"
Gede Panjalu berjalan lebih dekat. Ketika dia

mendongakkan kepala, kakek bongkok itu dihantam
keterkejutan yang sangat. Ular sanca tiba-tiba meman-
jangkan tubuhnya seraya membuka mulut lebar-lebar
dengan lidah terjulur!
Dengan gerak spontan Gede Panjalu melangkah
mundur dua tindak. Matanya menatap kepala ular
sanca yang mengejang. Ketika pandangannya beralih,
dia tak melihat tiga butir buah aneh, karena ditutupi
oleh tubuh ular sanca.
Cepat Gede Panjalu menendang batu sebesar
kepalan tangan. Batu itu meluncur ke sisi pohon serut,
menimbulkan suara benturan keras karena menghan-
tam tebing cadas. Tapi, ular sanca sama sekali tak
bergeming dari tempatnya. Dia seperti sudah tahu
maksud Gede Panjalu yang berusaha mengalihkan
perhatiannya.
Karena terbawa oleh rasa penasaran, Gede Pan-
jalu menendang kembali sebuah batu. Kali ini batu
meluncur deras ke arah kepala ular sanca.
Dhuk...!
Batu hanya membentur tebing cadas karena
ular  Sanca  menggerakkan kepalanya ke samping se-
raya mendesis keras. Mulutnya terbuka semakin lebar.
Lidah terjulur keluar-masuk dengan mata berkilat ta-
jam!
"Aku harus berhati-hati. Ular itu tampaknya
hendak menerkam ku," kata Gede Panjalu dalam hati.
Mendadak, bayangan hitam kecoklatan melun-
cur datang. Gede Panjalu yang sudah siap-siaga berge-
gas meloncat ke samping. Kemudian dia menyebar
pandangan untuk mencari ular sanca yang baru me-
nyerangnya. Namun, satwa melata itu sudah lenyap
bagai ditelan bumi.
Kesempatan itu tak disia-siakan Gede Panjalu.

Dia menghemposkan tubuhnya ke atas menyambar ti-
ga butir buah aneh yang menempel di pohon serut.
Sayang, maksud hati kakek bongkok itu tak kesam-
paian. Tahu-tahu si ular sanca muncul dan hendak
mencaplok kepalanya!
Dalam keadaan masih melayang di udara Gede
Panjalu menggerakkan kepala ke samping. Dan ketika
kakinya mendarat di tanah, Kakek itu merasakan tu-
buhnya jadi kejang!
"Argh...!"
Napas Gede Panjalu sesak oleh belitan ular
sanca yang sangat keras. Sementara kepala si ular
sanca berkelebat dengan mulut menganga, menam-
pakkan taringnya yang runcing mengkilat!
"Hup...!"
Gede Panjalu menangkap lehernya. Tapi, ular
sanca menggeliat seraya memperkeras belitan. Napas
Gede Panjalu langsung terhenti.
Kakek bongkok itu segera mengerahkan tenaga
dalam untuk melindungi tubuh agar tidak remuk.
Mendadak, si ular sanca menggeliat lebih ganas. Tu-
buh Gede Panjalu terpelanting lalu menggelosor ke ta-
nah.
Kakek bongkok itu menyalurkan tenaga dalam
ke telapak tangan. Berusaha dilumatnya leher si ular
sanca. Satwa melata itu seperti menyadari keadaan.
Dia menghentakkan ekornya ke tanah, hingga tubuh
Gede Panjalu bergulingan dan cengkeramannya pada
leher ular pun tak lepas.
Satwa melata itu kemudian mendesis keras se-
raya hendak mencaplok kepala Gede Panjalu dengan
kecepatan kilat. 
Prak...!
Dalam keadaan genting Gede Panjalu masih

sempat melontarkan kepalan tangannya dengan keku-
atan tenaga dalam. Kepala si ular sanca langsung re-
muk bersimbah darah!
Tapi, nyawa satwa melata itu belum lepas dari
raga. Dia menggeliat seraya menghentak-hentak den-
gan ganas. Belitan diperhebat. Akibatnya, tubuh Gede
Panjalu terbanting-banting di atas tanah.
Kakek bongkok itu segera menggedrukkan kaki.
Tubuhnya melayang ke udara. Saat itulah, dia me-
nyambar ekor ular sanca seraya membetot. Waktu kaki
Gede Panjalu telah mendarat kembali ke permukaan
tanah, belitan si ular sanca pun lepas. Gede Panjalu
kemudian melontarkan tubuh ular sanca ke dalam
sungai.
Permukaan air bergejolak oleh rontaan dahsyat
ular sanca yang meregang nyawa. Tak seberapa lama
kemudian permukaan air tenang kembali. Tinggallah
warna merah menyebar karena simbahan darah.
Gede Panjalu tak memperhatikan bangkai ular
sanca yang mengambang. Sambil membersihkan tu-
buhnya dari debu dan percikan darah, kakek bongkok
itu menatap dengan seksama tiga butir buah ajaib
yang menempel di batang pohon serut.
"Buah pala ajaib...!" desisnya seperti baru te-
ringat pada suatu hal. "Tapi, benarkah tiga butir buah
sebesar kelerak itu yang merupakan benda rimba per-
silatan yang mempunyai khasiat luar biasa?" tanyanya
kemudian.
Sesaat kakek itu terlihat ragu-ragu. Tapi Gede
Panjalu lalu menghemposkan tubuhnya seraya me-
nyambar. Tiga butir buah ajaib itu berhasil diraup tan-
gan Gede Panjalu. Namun, sungguh dia tak menyang-
ka jari telunjuknya dipatuk seekor ular hijau sebesar
lidi yang menempel di antara dedaunan serut! 

Bruk...!
Gede Panjalu jatuh tersungkur. Kakek itu tidak
bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Patukan si ular
kecil langsung menghentikan pernapasan.
Kakek bongkok itu menggelepar sambil mende-
kap lehernya yang terasa bagai dijerat tali. Tubuh Gede
Panjalu terlihat mengeluarkan asap tipis. Bersamaan
dengan itu telapak tangan kanannya berubah hijau
tua. Dan terus menjalar ke sekujur tubuh. Bahkan,
Warna hijau menjalar sampai ke bola mata Gede Pan-
jalu. Malaikat Kematian pun mengintai!
Masih menggelepar-gelepar di atas tanah kakek
bongkok itu berbuat untung-untungan. Dia menelan
sebutir buah berwarna coklat kemerahan yang berada
dalam genggaman.
Akibatnya  ternyata  justru lebih mengerikan.
Tubuh Gede Panjalu semakin menggelepar hebat. Ka-
kek itu bergulingan ke sana-kemari sambil melolong-
lolong merasakan sakit yang luar biasa.
Ketika Gede Panjalu membentur tebing cadas,
mendadak tubuh itu diam untuk beberapa lama. Ka-
kek bongkok itu lalu bangkit duduk bersila. Rasa sakit
yang merejamnya lenyap berganti dengan hawa han-
gat. Tapi, rasa itu lama-kelamaan memuncak dan
menjadi panas yang menggelora. Gede Panjalu pun se-
gera mengerahkan hawa murni untuk bertahan dari
rasa panas.
"Uh...!"
Mulut kakek bongkok itu mengeluarkan suara
keluhan. Panas yang dirasakannya berubah  jadi rasa
dingin menyengat.
Tubuh Gede Panjalu menggigil hebat. Giginya
gemeletukan dengan rahang mengatup. Perlahan-
lahan timbul bunga es di sekujur tubuh kakek bong-

kok itu. Rasa dingin semakin memagut.
Sepeminum teh kemudian, Gede Panjalu masih
berkutat dengan rasa dingin yang sanggup membeku-
kan tubuh. Perlahan sekali rasa dingin itu hilang den-
gan sendirinya. Gede Panjalu mendengus. Lalu bangkit
dan membasuh mukanya yang kotor oleh debu. 
"Tuhan masih berkenan melindungi nyawa-
ku...," desis kakek bongkok itu.
Dia lalu berjalan menyusuri tepian sungai un-
tuk mencari pengisi perut, seperti tujuannya semula.
Hingga beberapa lama tak dijumpai apa yang diingin-
kannya. Sampai dia memandang ke kejauhan dan ter-
lihatlah sebatang pohon mangga yang sedang berbuah
lebat.
"Ah, buah mangga!" seru kakek bongkok itu gi-
rang sekali.
Gede Panjalu bergegas berjalan mendekati. Di-
hemposkan tubuhnya untuk menggapai buah mangga.
Wuuusss...! 
Gede Panjalu terkejut setengah mati. Tubuhnya
meluncur melebihi tinggi pohon mangga.
Ketika  tubuh kakek bongkok itu meluncur
kembali ke bawah, tangannya menyambar. Untuk ke-
dua kalinya dia terkejut. Tahu-tahu dua butir buah
mangga telah berada dalam genggaman.
"Kenapa ilmu meringankan tubuhku dapat ber-
kembang demikian hebat?!" Gede Panjalu bertanya da-
lam hati. Ditimang-timangnya dua butir buah coklat
kemerahan sebesar kelerak yang berada di telapak
tangan kiri. "Benda yang kupegang ini tentu buah pala
ajaib. Bila aku tidak menelannya, mungkin aku telah
mati oleh patukan ular kecil di pohon serut. Dan yang
membuat ilmu meringankan tubuhku berkembang pe-
sat tentu buah pala ajaib itu pula...."

Beberapa lama kakek bongkok yang bergelar
Pengemis Tongkat Sakti terbawa luapan rasa gembira.
Tidak sembarang orang dapat menemukan buah pala
ajaib. Hanya orang-orang yang memang telah dikehen-
daki Sang Penguasa Tunggal-lah yang dapat memiliki
benda berkhasiat luar biasa itu. Buah pala ajaib belum
tentu muncul di bumi dalam seabad sekali. Karenanya,
Gede Panjalu bagai orang kejatuhan rembulan.
Tapi, dia segera teringat Wirogundi yang pasti
sedang menunggunya. Gede Panjalu berlari cepat. Tu-
buhnya laksana lenyap dari pandangan. Dia hanya
memerlukan waktu beberapa tarikan napas untuk
kembali ke hadapan Wirogundi yang sudah menyele-
saikan semadinya.
"Kau dari mana, Kek?" tanya pemuda kurus itu
seperti tak sabaran karena menunggu terlalu lama.
"Aku mencari makanan, Wiro...," jawab Gede
Panjalu. Dilemparkan buah mangga yang dipegangnya
di tangan kanan.
Wirogundi menangkap dengan sigap. Setelah
mengamati buah mangga sebentar, dia menatap Gede
Panjalu.
"Sepertinya kau habis bertempur, Kek...," kata
pemuda kurus itu.
Gede Panjalu memperhatikan keadaan dirinya.
Rambut dan pakaiannya awut-awutan. Saat itulah dia
tahu luka-luka lecet saat bergulat dengan ular sanca
telah lenyap tanpa bekas.
"Ini tentu berkat khasiat buah pala ajaib...,"
gumam kakek bongkok itu.
"Kau habis bertempur dengan siapa, Kek?"
"Ular," sahut Gede Panjalu.
"Ular?!" Wirogundi terkejut.
"Ya."

Sambil menikmati buah mangga, Gede Panjalu
menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya.
"Jadi, Kakek telah menemukan buah pala
ajaib?" tegas Wirogundi.
"Ya."
Mendengar jawaban pendek Gede Panjalu, Wi-
rogundi menjatuhkan diri dan berlutut di hadapan se-
sepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu.     
"Aku mohon Kakek berkenan memberikan se-
butir, buah pala ajaib kepadaku," kata Wirogundi
menghiba.
"Untuk apa?"
"Aku tahu buah pala ajaib bisa melipat ganda-
kan kepandaian seseorang. Aku ingin membalaskan
sakit hatiku terhadap Margana Kalpa. Dia telah mem-
bunuh kekasihku dan anggota perkumpulan kita.
Dengan ilmu kepandaianku yang sekarang, aku tidak
akan sanggup menghadapinya. Untuk itu, aku mohon
Kakek berkenan memberikan sebutir buah pala ajaib
kepadaku..."
"Bangunlah, Wiro...," ujar Gede Panjalu lembut.
Wirogundi bangkit lalu duduk bersila.
"Kebenaran dan keadilan memang harus selalu
ditegakkan. Selama rimba persilatan masih dikuasai
kaum sesat, kebenaran dan keadilan hanyalah bayan-
gan semu semata. Kekejaman dan kebiadaban kaum
sesat membuat orang-orang tak berdosa jadi menderi-
ta...."
Kepala Wirogundi tertunduk dalam menden-
garkan kata-kata Gede Panjalu dengan seksama. "Wi-
ro...," panggil Gede Panjalu. "Ya, Kek...."
"Aku ingin kau berjanji untuk selalu berjalan di
alas jalan kebenaran. Demi menegakkan keadilan dan
membela kaum lemah dengan berdasarkan hati murni.

Tanpa pamrih dan penuh pengabdian...."
"Demi Tuhan, aku berjanji. Disaksikan bumi
dan langit, aku akan selalu menuruti kata-kata Kakek
itu...."
"Tuhan akan menjatuhkan azab bila kau me-
langgar janjimu Wiro...," Gede Panjalu mengingatkan
dengan suara berat berwibawa.
Kakek bongkok itu lalu memberikan sebutir
buah pala ajaib kepada Wirogundi. Pemuda kurus itu
pun langsung menelannya.
"Hhhh...!" 
Wirogundi merasakan lehernya bagai tercekik.
Hawa panas menjalar di sekujur tubuhnya, sampai
asap tipis mengepul dari atas kepala. Wirogundi men-
gerahkan tenaga dalamnya untuk bertahan. Sebentar
kemudian, hawa panas hilang berganti dengan hawa
dingin yang sangat hebat!
Itulah cara kerja buah pala ajaib untuk membe-
rikan khasiat luar biasa bagi siapa saja yang mema-
kannya.
Gede Panjalu menatap wajah Wirogundi yang
tampak tegang. Kemudian, berubah teduh seperti se-
dang merasakan kenikmatan. Rasa sakit yang mende-
ranya telah hilang. Wirogundi lalu membuka mata. Dia
berlutut di hadapan Gede Panjalu seraya mencium ka-
kinya.
"Terima kasih, Kek."
"Tak perlu berlebihan, Wiro...," ujar Gede Panja-
lu melihat sikap Wirogundi.
Setelah berkata-kata sebentar, tokok-tokoh
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu berjalan ke
utara menyusuri tepian sungai....




2

Sang Baskara bergeser ke barat. Sengatan pa-
nas pun melemah. Angin berhembus meliukkan rant-
ing-ranting pohon dan menyejukkan suasana. Burung-
burung bercanda di angkasa.
Sebuah titik hitam meluncur cepat di langit la-
zuardi. Ketika sudah dekat dengan pandangan, tam-
paklah seekor bangau raksasa berbulu hitam legam
mengepakkan sayapnya dengan gagah. Di punggung-
nya bertengger seorang lelaki setengah baya. Berpa-
kaian serba hitam dengan ikat pinggang kain sutera
merah darah. Wajah lelaki itu sangat pucat. Rambut-
nya yang telah memutih dikuncir ke belakang menjadi
satu jalinan panjang. Dia adalah Margana Kalpa ketua
Perkumpulan Bangau Sakti.
Lelaki berwajah pucat itu berhasil selamat. Pa-
dahal tubuhnya terlontar masuk ke dalam jurang oleh
benturan inti kekuatan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas
Sukma' yang dilancarkan Suropati atau si Pengemis
Binal.
Bangau raksasa yang telah menyelamatkannya.
Dengan paruhnya yang kokoh, satwa perkasa itu me-
nyambar tubuh Margana Kalpa kemudian dibawanya
kembali ke Bukit Bangau.
Setelah  berhasil menyembuhkan luka dalam-
nya, Margana Kalpa bersama bangau raksasa mengeli-
lingi seluruh wilayah Kerajaan Anggarapura. Dia me-
mamerkan dirinya yang bisa bertahan dari ilmu 'Kalbu
Sukma Penghempas Sukma' milik Suropati. Maksud-
nya, agar kaum persilatan mau mengakui dirinya se-
bagai seorang tokoh pilih tanding yang sangat digdaya.

Dengan demikian, nama Perkumpulan Bangau Sakti
akan ikut terangkat.
"Kaaakkk...! Kaaakkk...!"
Satwa perkasa tunggangan Margana Kalpa me-
layang-layang di udara. Tapi ketika Margana Kalpa
menepuk lehernya, bangau raksasa itu menukik cepat
dan mendarat di tepi sungai. Resi Agaswara yang kebe-
tulan berada di tempat itu terkejut bukan main.
"Margana Kalpa...?!" gumam kakek berjubah
putih yang berwajah teduh itu.
"Ha-ha-ha...!" Margana Kalpa tertawa terbahak-
bahak. "Kau terkejut melihat kehadiranku, Agaswara?"
"Apa keperluanmu datang ke mari, Kalpa?"
"Huh! Apakah kau tidak mendengar pesan Pe-
nyedot Arwah dan Bayangan Hitam? Aku mengun-
dangmu untuk datang ke Bukit Bangau."
"Aku mencium suatu tipu muslihat di balik un-
danganmu!" sahut Resi Agaswara.
Margana Kalpa tertawa. "Kau takut, Agaswa-
ra?!"
"Masalahnya bukan takut atau tidak! Aku tidak
punya urusan denganmu. Jadi, apa perlunya aku da-
tang ke Bukit Bangau?" kilah sang Resi.
"Tapi, sekarang juga kau harus ikut aku ke sa-
na" 
"Untuk apa?"
"Kau harus membangkitkan arwah guruku De-
wa Tapak Hitam!" teriak Margana Kalpa lantang.
"Jagat Dewa Batara. Hyang Widhi Maha Pen-
gampun...," Resi Agaswara mendekatkan telapak tan-
gannya di depan dada, menyebut kebesaran Sang Pen-
guasa Tunggal. "Biarkan arwah orang yang telah mati
tenang di alam baka, Kalpa. Tak perlu kau mengusik-
nya."

Margana Kalpa tertawa terbahak-bahak.
"Di antara kaum sesat tidak ada istilah mengu-
sik. Yang ada hanyalah pencarian manfaat untuk me-
muaskan hawa nafsu. Walau harus berjalan di atas
penderitaan orang lain!"
"Hyang Widhi Maha Pengampun...," Resi Agas-
wara menyebut kebesaran-Nya kembali. 
"Cih! Jangan sok suci, Agaswara! Aku tahu sia-
pa dirimu!" maki Margana Kalpa dengan suara lantang.
"Kau  hanyalah perampok hina yang kemudian berju-
bah pendeta!"
Mendengar ucapan itu, Resi Agaswara mende-
sah panjang. Ia teringat kembali bayangan masa la-
lunya yang kelabu.
Di masa mudanya Resi Agaswara memang seo-
rang perampok ganas. Dia menjarah harta orang tanpa
pandang bulu. Baik itu pembesar atau saudagar. Tak
peduli dia orang budiman atau kikir. Tapi setelah ka-
kek kurus tinggi itu bertemu Sekar Arum yang kemu-
dian berjuluk si Perangai Gila, dia jatuh cinta dan
menghentikan semua perbuatan jahatnya.
Namun, karena suatu keterpaksaan, Agaswara
muda melakukan perampokan kembali. Hal itu tidak
bisa dimaafkan Sekar Arum yang juga sangat mencin-
tainya. Karena terdorong amarah, Agaswara muda me-
nipu Sekar Arum lalu mengelupas kulit kepala orang
yang dicintainya itu.
Didera rasa malu dan sakit hati, Sekar Arum
jadi berperilaku aneh, mirip orang kehilangan ingatan
akhirnya dia dijuluki orang Perangai Gila.
Penyesalan timbul dalam diri Agaswara muda.
Dia mengasingkan diri untuk memperdalam ilmu kea-
gamaan. Setelah dirasakannya telah cukup, Agaswara
keluar dari tempat pengasingan. Bertemulah dia den-

gan Ingkanputri. Gadis cantik itu berhasil dibebaskan
dari pengaruh ilmu sihir yang memperbudaknya.
Saat itulah dia bertemu kembali dengan Sekar
Arum yang kemudian merusak urat-urat tangan ki-
rinya. Resi Agaswara juga berjumpa dengan Penyedot
Arwah dan Bayangan Hitam yang diperintah Margana
Kalpa untuk menyampaikan undangan pada dirinya,
Resi Agaswara menolak undangan itu. Karena itulah
kini Margana Kalpa mendatangi Resi Agaswara.
"Hei!  Kenapa kau diam, Agaswara?!" bentak
Margana Kalpa melihat Resi Agaswara berdiri terme-
nung
"Dosa dalam diriku sudah begitu banyak. Aku
tidak mau menambahnya, Kalpa..." desah Resi Agas-
wara pelan.
"Tapi kau harus menuruti kehendakku! Bang-
kitkan arwah Dewa Tapak Hitam, Agaswara!"
"Aku masih punya otak untuk memilah-milah
mana yang benar dan mana yang salah. Dalam sisa
hidupku aku tidak mau menambah kesalahan. Hanya
akan membuat Hyang Widhi murka...."
"Keparat!" Margana Kalpa mengumpat seraya
meloncat dari punggung bangau raksasa.
Resi Agaswara menatap dengan sinar mata te-
duh. Margana Kalpa melangkah beberapa tindak. Dia
berdiri tepat dua tombak dari hadapan Resi Agaswara.
"Katakan sekali lagi. Kau menuruti kehendakku
atau tidak, Agaswara?!"
Resi Agaswara mengangkat telapak tangan ka-
nannya di depan dada. "Kemurkaan Hyang Widhi-lah
yang aku takutkan...."
Margana Kalpa mendengus. Tanpa ragu-ragu
dilancarkannya tendangan ke arah kepala Resi Agas-
wara. Dengan sigap kakek berwajah teduh itu berkelit

ke samping. Saat itulah Margana Kalpa melihat perge-
langan tangan kiri sang Resi menggantung lemah.
"Ha-ha-ha...!" Lelaki berwajah pucat itu tertawa
terbahak-bahak. "Rupanya kau telah menjadi manusia
cacat, Agaswara! Aku akan segera membuat keadaan-
mu lebih parah dari sekarang!"
Usai mengucapkan kalimatnya, Margana Kalpa
membuat tendangan melingkar, lalu melancarkan se-
rangan susulan dengan kepalan tangan tertuju ke ulu
hati.
Resi Agaswara melangkah dua tindak ke bela-
kang seraya badannya dirundukkan hendak dijatuh-
kan lawan dengan sebuah tendangan beruntun. Tapi,
Margana Kalpa telah menghemposkan tubuhnya ke
atas. Dalam keadaan masih melayang di udara dia
mengembangkan kedua tangannya dengan jari-jari
menguncup ke bawah. Kaki kiri lurus dan yang kanan
ditekuk. Kemudian, tubuh lelaki berwajah pucat itu
meliuk seraya menyambar kening Resi Agaswara!
"Terimalah jurus 'Bangau Menjebol Batu'!"
"Uts...!"
Resi Agaswara meloncat ke belakang sejauh
dua tombak. Kelebatan tangan dan kaki Malaikat Ban-
gai Sakti sulit diikuti pandangan mata. Tahu-tahu me-
nyerang kembali bagian-bagian tubuh berbahaya.
Margana Kalpa tertawa penuh ejekan.
"Segera pertunjukkan jurus-jurus andalanmu,
Agaswara!"
Sambil menyebut Asma Sang Penguasa Tung-
gal, Resi Agaswara membentangkan pergelangan tan-
gannya ke samping. Digerakkan lurus ke depan kemu-
dian memutar tubuh seraya meloncat melancarkan
tendangan secepat kilat!
"Jurus usang, Agaswara! Tidakkah kau mem-

punyai jurus yang lebih baik dari mainan anak kecil
ini?!" ejek Malaikat Bangau Sakti sambil menangkis
tendangan Resi Agaswara.
Tubuh sang Resi bergetar dan sedikit oleng ke-
tika kakinya membentur pergelangan tangan lawan.
Tahulah dia kalau tenaga dalamnya kalah tingkatan.
Padahal sewaktu melancarkan tendangan Resi Agas-
wara mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Sedang-
kan kibasan tangan kanan Margana Kalpa tampak le-
mah seperti tidak berkekuatan tenaga dalam penuh.
Sesungguhnya memang demikianlah halnya.
Margana Kalpa hanya mengerahkan tiga perempat dari
kekuatan tenaga dalamnya. Lelaki berwajah pucat itu
sudah dapat mengukur kemampuan Resi Agaswara,
hingga dia mencoba mempermainkannya.
"Ayo, keluarkan jurus-jurusmu yang lain,
Agaswara! Badanku sudah lama tidak dipijit. Aku ingin
merasakan pukulan dan tendangan mu!" tantang Mar-
gana Kalpa.
"Baiklah. Kau terima tendangan ku, Kalpa!"
Usai mengucapkan kalimatnya, Resi Agaswara
meloncat ke depan seraya melancarkan tendangan lu-
rus ke dada.
Dhes...!
Margana Kalpa sengaja tidak mengelak. Dia
menadahi tendangan sang Resi sambil tersenyum si-
nis. Akibatnya sungguh mengejutkan Resi Agaswara.
Telapak kaki kanannya seperti membentur dinding ba-
ja. Tubuh sang Resi terpental kemudian jatuh bergu-
lingan di atas tanah.
"Ha-ha-ha...!"
Untuk kesekian kalinya tawa Margana Kalpa
membahana di angkasa. Ditatapnya Resi Agaswara
dengan menyungging senyum mengejek.

"Kau tidak mungkin melawanku, Agaswara!"
kata lelaki berwajah pucat itu. "Aku akan mengampuni
nyawamu bila kau bersedia ikut aku ke Bukit Bangau!"
"Demi Hyang Widhi yang mengatur jalannya
kehidupan, aku tak mau menambah dosa," sahut Resi
Agaswara menyambuti.
Margana Kalpa menggeram keras bagai hari-
mau  terluka. Dia menggedrukkan kaki kanannya ke
tanah. Timbullah ledakan dahsyat bak sambaran petir.
Permukaan tanah di depan lelaki berwajah pucat itu
retak. Lalu, retakan lebar merambat ke arah Resi
Agaswara!
Sang Resi hendak melompat ke samping. Tapi
seberkas sinar kelabu yang muncul dari telapak tan-
gan Margana Kalpa telah menghentikan gerakannya!
Resi Agaswara pun meronta-ronta berusaha
melepaskan diri. Sinar kelabu membelit bagai sebuah
jaring tali baja. Sang Resi segera berkutat dengan maut
ketika retakan tanah telah mencapai telapak kakinya
Bluuusss...!
Tubuh Resi Agaswara terjeblos dalam retakan
tanah. Ketika Margana Kalpa menggedrukkan kakinya
kembali, retakan tanah menangkup! Tubuh resi Agas-
wara hilang dari pandangan. Diiringi suara tawa! Ma-
laikat Bangau Sakti yang membahana di angkasa.
"Kau rasakan dulu siksaan di dalam perut bu-
mi Agaswara!" kata lelaki berwajah pucat itu kemu-
dian.
Margana Kalpa berdiri tegak di tempatnya me-
natap permukaan tanah di mana tubuh sang Resi ter-
kubur. Bangau raksasa yang berada di belakangnya
mengibas-ngibaskan sayap membuat angin berhembus
kencang.
"Kau menjadi saksi dari kesaktianku, Bangau!"

kata Margana Kalpa kepada satwa tunggangannya.
Tiba-tiba, lelaki berwajah pucat  itu menarik
napas panjang. Lalu dihembuskannya kuat-kuat ber-
samaan itu tangan kaki kanannya yang menggedruk
tanah.
Swooosss...!
Permukaan tanah sejauh empat tombak dari
hadapan Margana Kalpa terbuka. Tubuh Resi Agaswa-
ra meluncur ke atas bersama gumpalan tanah ber-
campur bebatuan. Sang Resi terlihat bersalto beberapa
kali lalu mendarat dengan kedua kaki dibuka lebar
dan sedikit ditekuk.
Tapi, sikap berdiri kakek berwajah teduh itu ti-
dak sempurna. Tubuhnya limbung hendak jatuh ter-
jengkang. Cepat-cepat kaki kanan ditarik ke belakang.
Sang Resi pun dapat menjaga keseimbangan tubuh-
nya. Wajah Resi Agaswara memucat seperti kehilangan
darah. Jubahnya yang semula putih bersih kotor bele-
potan lumpur.
Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-bahak.
"Kali ini aku masih mengampuni nyawamu, Agaswara!
Tapi bila kau tak mau mengikuti ajakan ku ke Bukit
Bangau, pintu kematian terbuka lebar untukmu!" an-
cam laki-laki itu keras.
"Segala puji bagi Hyang Widhi...," ucap Resi
Agaswara sambil mendekatkan telapak tangan kanan-
nya di depan dada. "Aku rela mati di jalan kebenaran.
Hidup tiada berguna bila jiwa telah menjadi budak ke-
sesatan."
Mendengar itu, Margana Kalpa menyorongkan
telapak tangan kirinya ke depan. Sinar kelabu melun-
cur deras dan menghantam bahu kanan sang Resi.
Tubuh kakek berwajah teduh itu berputaran terlontar
lima tombak jauhnya.

"Argh...!"
Suara keluhan dikeluarkan Resi Agaswara ber-
sama semburan darah segar ketika bangkit berdiri.
Namun, tubuhnya sangat limbung. Kedua kaki dari
Resi bergeseran di atas tanah tak mampu menopang
tubuhnya. 
"Agaswara!" bentak Margana Kalpa. "Kini kedua
tanganmu telah lumpuh. Masihkah kau bertahan dari
sikap keras kepalamu?"
"Jangan seperti anak kecil, Kalpa!" Sahut Resi
Agaswara. Kepalanya digeleng-gelengkan berusaha
menghalau kepekatan yang mengabuti pandangannya.
"Aku tidak akan memenuhi keinginanmu datang ke
Bukit Bangau. Bila kau ingin membunuhku, segera la-
kukan!" 
Margana Kalpa menggeram keras. Darahnya
mendidih naik sampai ke ubun-ubun. Dengan serta-
merta dia meloncat!
"Bersiaplah kau ke neraka! Tapi sebelum ajal
menjemput, ilmu kepandaianmu akan ku hisap, Agas-
wara!"
Mendengar ucapan Malaikat Bangau Sakti di
sertai  dengusan napas berat, Resi Agaswara melang-
kah mundur beberapa tindak. Bukan karena takut ma-
ti, melainkan adanya bayangan ngeri karena Margana
Kalpa hendak menghisap kepandaiannya. Bila hal itu
benar-benar terjadi, Margana Kalpa akan dapat mem-
bangkitkan arwah gurunya. Itu berarti kekacauan
akan melanda rimba persilatan. Margana Kalpa dan
gurunya adalah dua tokoh aliran sesat yang berilmu
sangat tinggi. Mereka sudah terbiasa melakukan per-
buatan keji dan biadab.
"Kau tak perlu berbuat macam-macam, Kalpa!"
Ucapan Resi Agaswara tak mendapat jawaban,

Malaikat Bangau Sakti telah menyorongkan kedua te-
lapak tangannya dengan mempergunakan ilmu 'Sakti
Penghisap Daya.' 
Melihat seberkas sinar kelabu meluncur ke
arahnya, Resi Agaswara yang sudah tak dapat mengge-
rakkan kedua tangan melangkah setindak ke belakang.
Kemudian, kepalanya dihentakkan ke depan. Dari mu-
lut kakek berwajah teduh itu menyembur api.
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat menggema di angkasa. Seber-
kas sinar kelabu dari telapak tangan Margana Kalpa
berbenturan dengan api dari ajian 'Segara Geni' milik
Rest Agaswara.
Sebuah pemandangan mengerikan segera terli-
hat. Sinar kelabu dirambati lidah-lidah api yang berju-
luran. Hingga, mencapai kedua pergelangan tangan
Margana Kalpa yang terpentang lurus ke depan. Lidah-
lidah api itu cepat menjalar ke sekujur tubuh Margana
Kalpa.
Tapi, anehnya pakaian lelaki berwajah pucat itu
tak terbakar. Padahal  hawa panas yang menerpanya
sanggup untuk melelehkan lempengan besi. Bahkan
Margana Kalpa tampak gembira dan tertawa-tawa.
Perlahan-lahan api yang ditimbulkan Resi
Agaswara menghilang. Seberkas sinar kelabu yang me-
rupakan wujud dari Ilmu Sakti Penghisap Daya-pun
menerjang tubuh Resi Agaswara. Tak ada suara keluar
dari mulut kakek berwajah teduh itu. Mata sang Resi
bersinar nyalang. Seluruh kekuatannya telah dilolosi
dari urat dan tulang-belulangnya. Untuk menopang
tubuhnya pun dia tak lagi mampu.
Tapi, seberkas sinar kelabu yang keluar dari te-
lapak tangan Margana Kalpa membuatnya terus berdi-
ri. Hingga, terlihat kedua kaki Resi Agaswara menggan-

tung lemah tanpa daya....
Di hulu sungai Ingkanputri tampak sibuk ber-
buru ikan. Dengan sebatang ranting kecil berujung
lancip, gadis cantik itu menyate tubuh ikan yang bere-
nang di air jernih. Tangan kiri Ingkanputri memegang
seuntai serat pohon pisang yang dipergunakan untuk
merangkai ikan hasil buruannya.
Ketika gadis murid Dewi Tangan Api itu men-
dengar suara ledakan dahsyat di angkasa, dia meng-
hentikan kesibukannya kemudian menajamkan pen-
dengaran.
"Aku mendengar suara pertempuran...," gumam
Ingkanputri. "Suara pertempuran itu berasal dari tem-
pat Eyang Agaswara yang ku tinggalkan. Mungkinkah
yang sedang bertempur itu Eyang Agaswara? Ah, aku
harus cepat-cepat ke sana!"
Gadis cantik berbaju kuning itu segera berlari
cepat dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh.
Tak dihiraukannya ikan hasil tangkapannya. Sesampai
di tempat yang dituju, Ingkanputri terkejut bukan
main. Keadaan Resi Agaswara tampak sangat menge-
naskan. Melotot dengan mulut menganga lebar.
Ingkanputri berteriak keras ketika tatapannya
beralih pada Margana Kalpa. Dilancarkannya pukulan
jarak jauh. Tapi, gerakan gadis cantik itu telah didahu-
lui oleh kibasan sayap bangau raksasa yang berdiri di
belakang Margana Kalpa.
Weeesss...!
Datanglah hembusan angin dahsyat. Ingkanpu-
tri yang tak menduga hal itu merasakan tubuhnya
limbung. Dan ketika bangau raksasa mengibaskan
sayap untuk kedua kali, pijakan kaki Ingkanputri di
atas tanah terlepas. Akibatnya, tubuh gadis cantik itu
terlontar!

Namun, dengan bersalto beberapa kali di udara
Ingkanputri dapat mendarat dengan mulus.
"Eyang...!" jerit murid Dewi Tangan Api itu. Tu-
buh Resi Agaswara jatuh terjerembab bersamaan den-
gan lenyapnya seberkas sinar kelabu.
Tawa Malaikat Bangau Sakti membahana ke-
ras. "Kini seluruh ilmumu telah kumiliki, Agaswara!
Tanpa bantuanmu aku akan membangkitkan arwah
Dewa Tapak Hitam. Ha-ha-ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, lelaki berwajah
pucat itu meloncat ke punggung bangau raksasa.
Ingkanputri menggeram marah seraya meloncat
melancarkan pukulan jarak jauh. Sayang, cahaya kun-
ing kemerahan yang muncul dari telapak tangan In-
gkanputri membentur sebatang pohon hingga hangus
terbakar. Margana Kalpa telah melesat tinggi bersama
satwa tunggangannya. Beberapa lama tawa tokoh sesat
yang sangat digdaya itu masih terdengar membahana.
"Keparat..!" umpat Ingkanputri sambil menen-
gadahkan kepalanya ke langit.
Ketika wujud bangau raksasa telah hilang dari
pandangan, Ingkanputri membalikkan badan. Dilihat-
nya tubuh Resi Agaswara tergeletak lemah di atas ta-
nah. Ingkanputri segera menghambur dan memeluk
tubuh sang Resi.
Resi Agaswara membuka kelopak mata. "Pu-
tri..." desisnya dengan susah payah.
"Aku akan membalas kebiadaban manusia iblis
itu, Eyang!"
Resi Agaswara hendak berkata, tapi suaranya
tersekat di tenggorokan. Hanya geliatan yang dapat di-
lakukan karena rasa sakit yang merejam sekujur tu-
buh. Keadaan pertama yang baru saja keluar dari tem-
pat pengasingannya itu sudah sangat menyedihkan.

Kulitnya kering mengeriput bagai habis dipanggang
api. Ketika Ingkanputri menggerakkan tangannya, ku-
lit Sang Resi mengelupas!
Tapi, gadis cantik itu sama sekali tak merasa ji-
jik. Dia semakin mendekap erat tubuh Resi Agaswara
sambil mengeluarkan tangis tersedu. Ingkanputri jadi
teringat pada mendiang ayahnya. Beliau dibunuh seca-
ra biadab oleh Brajadenta atau Dewa Maut.
"Jangan tinggalkan Putri, Eyang!" jerit gadis
cantik itu ketika melihat kelopak mata Resi Agaswara
mengatup.
Mendengar jeritan itu, tiba-tiba kepala sang Re-
si yang sudah terkulai lemah tersentak bangun. Den-
gan susah payah dia mencoba membuka suara.
"Putri..., da... tanglah ke Bukit Selak... sa
Mambang.... Di puncaknya ada se... buah gua. Kau...
kau masuklah ke... dalamnya...."
Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh Resi
Agaswara meregang melepas nyawa. Ingkanputri se-
makin menangis tersedu-sedu.
Saat gadis cantik itu meletakkan jenazah Resi
Agaswara di permukaan tanah, dua sosok bayangan
tampak berkelebat dan berhenti di depannya.


3

"Ingkanputri...!" desis Wirogundi yang datang
bersama Gede Panjalu.
Ingkanputri meloncat ke belakang sambil men-
gusap air mata yang masih mengalir di pipi. Dia terke-
jut karena merasa tidak mengenal dua orang lelaki
yang mendadak muncul di hadapannya.

"Siapa kau?!" bentak murid Dewi Tangan Api
itu.
"Aku Wirogundi. Yang berdiri di sebelah ku ini
Kakek Gede Panjalu."
Ingkanputri mengerutkan kening. Dia merasa
tidak mengenal keduanya.
"Aku mengenalmu ketika kau berada di lorong
rahasia sarang Perkumpulan Bidadari Lentera Merah,"
kata Wirogundi menjelaskan.
Kening Ingkanputri semakin berkerut. Dia juga
merasa tidak pernah datang ke tempat yang dis-
ebutkan Wirogundi. 
"Aku mencarimu di sana bersama Anjarweni.
Tapi bila kau tidak ingat kejadian itu, wajar saja. Wak-
tu itu kau dalam keadaan terpengaruh ilmu sihir."
"Anjarweni...," gumam Ingkanputri. "Kau tahu
mana saudara seperguruanku itu sekarang berada?" 
"Dia sudah meninggal," jawab Wirogundi den-
gan suara berat. Bayangan gadis yang sangat dicin-
tainya itu tiba-tiba melintas di depan mata.
Terdengar jerit kecil dari mulut Ingkanputri.
"Be... benarkah Kak Weni sudah meninggal?"
tanya gadis cantik itu tak percaya. Matanya kembali
berkaca-kaca.
Wirogundi mengangguk. Lalu dia menceritakan
perihal kematian Anjarweni di Bukit Pangalasan. Se-
dangkan Gede Panjalu duduk berjongkok di samping
jenazah Resi Agaswara.
"Jadi... jadi saudara seperguruanku itu dibu-
nuh Margana Kalpa?!"
"Ya," ucap Wirogundi pendek.
"Oh...," Ingkanputri mendekap mulutnya.
Bola mata murid Dewi Tangan Api bersinar
nyalang. Amarahnya memuncak bersama dendam

yang menyesakkan dada.
"Jika Margana Kalpa adalah ketua Perkumpu-
lan Bangau Sakti yang mempunyai tunggangan ban-
gau raksasa, maka orang yang baru saja berbuat keji
terhadap Eyang Agaswara tentulah  dia!" geram In-
gkanputri penuh kemarahan.
Tak ada kata yang diucapkan Wirogundi. Meli-
hat keadaan Ingkanputri yang tampak begitu berduka
dan diliputi hawa amarah, pemuda bertubuh kurus itu
jadi merasa kasihan. Dia menatap wajah Ingkanputri
dengan perasaan haru.
"Sebelum gelap benar-benar tiba, sebaiknya ki-
ta segera mengubur jenazah pertapa ini," usul Gede
Panjalu yang sedari tadi cuma diam saja.
Gugusan bintang muncul kembali di atas langit
hitam. Rembulan memancarkan cahayanya, membuat
permukaan bumi jadi temaram. Malam tiba mengikuti
putaran sang waktu. Ingkanputri, Wirogundi, dan Gede
Panjalu duduk melingkar di depan sebuah perapian.
Mereka baru saja menguburkan jenazah Resi Agaswa-
ra.
"Kita tidak boleh gegabah dalam menghadapi
Margana Kalpa. Apalagi dia telah mengisap ilmu kesak-
tian Resi Agaswara...," kata Gede Panjalu setelah tadi
meneliti keadaan jenazah Resi Agaswara. Ciri-ciri itu
menunjukkan kalau ilmu kesaktiannya telah lenyap
"Aku tidak takut!" sahut Ingkanputri dengan
geram.
Gede Panjalu tersenyum tipis.
"Semangat yang ada dalam hatimu dapat ku-
hargai, Putri...," ujar kakek bongkok itu yang tiba-tiba
saja merasa akrab dengan Ingkanputri. "Tapi sebagai
seorang pendekar yang selalu berjalan di atas kebena-
ran untuk menegakkan keadilan, semangat saja tidak

cukup. Otak juga mesti dipakai. Kita harus dapat ber-
pikir dengan jernih. Untuk menghadapi seorang manu-
sia kejam dan berilmu tinggi, membutuhkan siasat dan
perhitungan yang matang."
"Jadi, kita tidak bisa langsung menggempur
Margana Kalpa di Bukit Bangau," lanjut Wirogundi.
"Tepat!" ucap Gede Panjalu. "Selain anak buah
tokoh sesat itu banyak. Margana Kalpa tentu telah
mempersiapkan diri menghadapi balas dendam kita.
Karena itulah, kita harus mengumpulkan kekuatan
terlebih dahulu."
"Maksud Kakek, kita harus mengumpulkan pa-
ra anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang
tersisa?" tanya Wirogundi menegaskan.
"Benar. Dan kita pun harus mencari Suropati."
Kepala Ingkanputri tertunduk dalam. Bayangan
Suropati atau si Pengemis Binal muncul dalam benak-
nya. Sifat nekat dan kekonyolan remaja pujaan hatinya
membuat Ingkanputri tersenyum sendiri.
"Di manakah dia berada?" kata hati gadis can-
tik murid Dewi Tangan Api itu. "Apakah dia masih in-
gat kepadaku? Ah, alangkah senangnya bila aku dapat
berjumpa dengannya. Seandainya dia mempunyai pe-
rasaan yang sama denganku. Hidupku pasti akan san-
gat bahagia. Apakah dia belum mempunyai seorang
kekasih?"
"Kau mengantuk, Putri?" Wirogundi melihat In-
gkanputri tertunduk diam.
Gadis cantik itu terkejut, dan tersadar dari la-
munannya. "Ah, tidak. Aku...," katanya agak gugup.
"Sebaiknya kau beristirahat. Kau tampak lelah,"
ucap Wirogundi dengan suara lembut seperti kepada
seorang adik.
"Aku belum mengantuk, Wiro."

"Kita memang harus beristirahat sekarang. Ma-
sih banyak tugas yang harus kita selesaikan besok,"
sela Gede Panjalu seraya beranjak dari tempat duduk-
nya
Wirogundi bergegas mengikuti.
"Selamat malam, Putri. Semoga tidurmu nye-
nyak," ucap pemuda kurus itu.
Wirogundi meloncat ke atas dahan sebatang
pohon besar, menyusul Gede Panjalu yang telah lebih
dahulu berada di sana. Saat itulah Wirogundi merasa-
kan suatu keanehan. Tubuhnya tiba-tiba dapat me-
layang sangat ringan. Pemuda itu segera berpikir ke
arah buah ajaib yang telah dimakannya, keanehan
adalah berkat khasiat buah ajaib pemberian Gede Pan-
jalu tersebut.
Ingkanputri berjalan mendekati sebatang pohon
besar. Letaknya agak jauh dari pohon yang ditempati
Wirogundi dan Gede Panjalu. Gadis itu meloncat den-
gan sigap ke sebatang dahan cukup besar. Dibesetnya
kulit pohon tersebut untuk membuat untaian tali yang
kemudian diikatkan menjadi jalinan yang menghu-
bungkan dua dahan. Dengan begitu, Ingkanputri tak
khawatir lagi akan jatuh bila dia terlelap.
Dengan cara seperti itulah Ingkanputri, Wiro-
gundi dan Gede Panjalu melewati malam. Wirogundi
dan  Gede Panjalu tampak nyenyak dalam tidurnya.
Tapi lain halnya dengan Ingkanputri. Peristiwa-
peristiwa yang telah dialaminya terbayang kembali di
depan mata. Bayangan kedua orangtuanya yang telah
meninggal. Lalu gurunya yang bergelar Dewi Tangan
Api Dan kemudian Anjarweni, kakak seperguruannya.
Ketika terlintas bayangan gadis itu timbul kemarahan
dalam diri Ingkanputri. Ingatan tersebut mengin-
gatkannya kepada kebiadaban Margana Kalpa.

Namun, tiba-tiba gadis cantik itu tersenyum
seorang diri. Kekonyolan Suropati muncul dalam be-
naknya.
"Aku mencintaimu, Suro...," kata Ingkanputri
dalam hati.
Dengan terus mengingat bayangan remaja pu-
jaan hatinya itu, akhirnya Ingkanputri dapat meme-
jamkan mata. Sebentar kemudian dia telah terlelap di-
buai mimpi indah.
Langit hitam  kelam. Bulan sabit tampak ber-
canda dengan kemerlip bintang. Tak ada gumpalan
awan yang terlihat. Hanya desau angin memecah ke-
heningan.
Ketika suara kokok ayam alas terdengar lamat-
lamat, tiba-tiba Wirogundi meloncat bangun seraya
berteriak keras-keras. 
"Keparat kau, Margana Kalpa!"
Pemuda kurus itu mendorong kedua telapak
tangannya ke depan. Dan, seberkas cahaya putih me-
luncur deras menghantam sebatang pohon. Pohon itu
tumbang. Batangnya terlontar jauh disertai ledakan
dahsyat.
"Kenapa kau, Wiro?!" Gede Panjalu terbangun
dari tidurnya karena terkejut.
Kakek itu meloncat ke dekat Wirogundi yang
sedang meremas-remas rambutnya. Ingkanputri juga
terbangun dan bergegas menyusul.
"Rupanya kau mimpi buruk, Wiro," kata gadis
cantik itu.
Wirogundi tak memperhatikan. Dia terus me-
remas-remas rambutnya. Kemudian, duduk bersimpuh
dengan muka kusut. Melihat itu, Gede Panjalu segera
menghidupkan perapian yang telah padam.
"Kau kemarilah, Wiro!" teriak Gede Panjalu ke-

mudian. 
Wirogundi berjalan mendekati kakek bongkok
itu,  kemudian duduk bersila di hadapannya. Ingkan-
putri menatap dengan penuh tanda tanya. Gadis can-
tik itu ikut merasa prihatin atas musibah yang dialami
Wirogundi. Dia telah kehilangan Anjarweni. 
"Hawa amarah adalah api, Wiro...," ujar Gede
Panjalu pelan. "Api itu panas dan dapat membakar apa
saja. Kau mesti sadar, Wiro. Di dalam dadamu telah
tersimpan api. Kalau kau tidak pintar-pintar menji-
nakkannya, api itu akan melumatkan mu."
"Maafkan aku, Kek...," ucap Wirogundi sama
mendongakkan kepala.
Ketika mata pemuda kurus itu melihat pangkal
batang pohon yang telah tumbang oleh pukulan jarak
jauhnya, dia bergidik ngeri. "Buah pala ajaib benar-
benar membuat kepandaianku berlipat ganda," gu-
mamnya dalam hati. 
"Jangan heran bila kau melihat kekuatan tena-
ga dalammu jadi sedemikian hebat...," ucap Gede Pan-
jalu seperti mengetahui apa yang ada dalam hati Wiro-
gundi. "Tapi kau harus tetap memegang teguh janjimu
Wiro. Langkah kakimu harus tetap berjalan di atas ke-
benaran. Jangan sekali-sekali menuruti hawa nafsu.
Kau harus belajar mulai sekarang. Kekang hawa ama-
rah mu terlebih dahulu."
Kepala Wirogundi kembali tertunduk. Tatapan
Gede Panjalu beralih ke arah Ingkanputri.
"Sebaiknya kau tidur kembali, Putri...," kata
kakek bongkok itu.
"Aku sudah tidak mengantuk lagi, Kek. Aku
akan manemani mu di sini."
Beberapa saat mereka terlibat pembicaraan se-
rius. Ingkanputri tampak sudah akrab dengan Gede

Panjalu yang baru dijumpainya. Sifat Gede Panjalu
yang welas asih dan penuh pengertianlah membuat In-
gkanputri merasa senang terhadap kakek bongkok itu. 
Ketika pagi telah tiba, Gede Panjalu dan Wiro-
gundi menawarkan kepada Ingkanputri untuk mencari
Suropati bersama-sama. Tapi karena Ingkanputri ber-
niat membuat perjumpaan istimewa dengan Suropati,
gadis cantik itu menolak.
Gede Panjalu dan Wirogundi akhirnya berjalan
ke Utara menuju wilayah Kadipaten Tanah Loh. In-
gkanputri berjalan menuju barat ke wilayah Kadipaten
Bumiraksa. Gadis cantik itu melupakan sementara pe-
san Resi Agaswara untuk datang ke Bukit Selaksa
Mambang.
Untuk mempercepat perjalanan, Ingkanputri
berusaha mencari jalan pintas. Akhirnya dia berjalan
menembus hutan belantara. Di sanalah Ingkanputri
melihat pertempuran hebat seorang gadis cantik ber-
pakaian  putih kuning melawan belasan lelaki kasar
bersenjata golok.
"Kenapa kalian mengeroyokku?!" tanya gadis
yang sedang bertempur, yang tak lain Dewi Ikata. "Aku
sedang mencari guruku. Sama sekali aku tidak mem-
punyai urusan dengan kalian!"
Walaupun gadis itu dihujani sambaran golok
bertubi-tubi, dia masih sempat berbicara. Kenyataan
tersebut menandakan ilmu kepandaiannya sudah cu-
kup tinggi. Apalagi belasan lelaki kasar yang menge-
royoknya adalah para perampok anak buah Galang
Gepak atau Bayangan Hitam. Seorang tokoh sesat
penguasa wilayah barat yang juga merupakan tangan
kanan Margana Kalpa.
"Hei! Kenapa kalian begitu bernafsu untuk
membunuhku?!" teriak Dewi Ikata lagi seraya meloncat

tinggi menghindari sabetan golok pada pinggangnya.
"Kau telah mengetahui sarang kami, Monyet
Kecil!" bentak salah seorang pengeroyok yang berikat
kepala merah. Dia merupakan pemimpin gerombolan
itu.
"Hei, tunggu...!"
Dewi Ikata berteriak keras. Tubuhnya dihem-
paskan ke atas lalu mendarat lima tombak dari arena
pertempuran dengan tanpa mengeluarkan suara sedi-
kitpun. Melihat keindahan gerak Dewi Ikata dengan
mempergunakan ilmu meringankan tubuh tingkat
tinggi, para pengeroyoknya langsung bungkam. Mereka
tercengang dalam rasa kagum. Ingkanputri yang men-
gintai dari balik semak-semak ikut mengakui keheba-
tan gadis cantik itu.
"Karena aku sudah mengetahui sarang kalian,
terus kalian ingin membunuhku, begitu?!" ucap Dewi
Ikata dengan suara lantang. "Apakah kalian para pe-
rampok?"
Pemimpin para perampok itu mendengus. "Te-
pat!" katanya. "Kami memang berniat untuk membu-
nuhmu. Kami takut kau akan melapor kepada Adipati
Danubraja!"
"Ha-ha-ha...!" 
Dewi Ikata tertawa terbahak-bahak. Pantatnya
digoyang-goyangkan sambil cengar-cengir mirip orang
sinting. Para perampok yang melihat hal itu saling ber-
pandangan. Lalu mereka saling berkata satu sama
lain.
"Gadis edan!" 
"Tapi menilik kepandaiannya, mungkin dia seo-
rang pendekar."
"Ya. Pendekar Wanita Gila!"
Merasa, dirinya dibicarakan, Dewi Ikata jadi be-

ringas. Namun, seulas senyuman segera mengembang
di bibirnya.
"Hei! Rupanya kalian sangat pandai memberi
julukan. Aku senang kalian juluki  sebagai Pendekar
Wanita Gila. He-he-he.... Kedengarannya lucu. Tapi,
cukup berwibawa. He-he-he.... Hush! Kalian jangan
ikut tertawa! Mestinya kalian takut kepadaku. Aku
adalah putri tunggal Adipati Danubraja!"
"Huh! Siapa yang mau percaya pada ucapanmu
Gadis Gemblung!" sahut pemimpin para perampok
"Nggak percaya ya sudah! Tapi, aku senang ka-
rena kalian telah memberi julukan yang tepat. Untuk
itu, aku akan memberi hadiah...."
Dewi Ikata mengeluarkan sebuah kantung di
balik bajunya. Lalu, menebarkan isinya.
"Uang emas! Uang emas!" teriak para perampok
Berserabutan mereka meraup uang emas yang
bertebaran di permukaan tanah. Dewi Ikata sendiri
mengumpulkan akar-akar pohon beringin yang tum-
buh di belakangnya. Kemudian....
Sret! Sret! Sret!
Hanya dalam satu kejapan mata, Dewi Ikata te-
lah mengikat kedua tangan para perampok. Tentu saja
para lelaki kasar itu terkejut bukan main. Tahu-tahu
kedua tangannya sudah tak bisa digerakkan lagi.
Dewi Ikata tertawa terbahak-bahak.
"Hari ini aku menghadiahkan sekantung uang
emas kepada kalian. Namun, kalian harus insaf untuk
menjadi orang baik-baik. Kalau aku menemui kalian
masih menjadi perampok, nyawa kalian akan ku kirim
ke neraka!"
Mendengar ucapan Dewi Ikata yang nampak
sungguh-sungguh, para perampok cuma melongo ke-
takutan.  Mereka telah merasakan kehebatan gadis

cantik yang rada sinting itu. Kemudian sambil terse-
nyum-senyum Dewi Ikata berjalan lenggang kangkung
meninggalkan belasan lelaki kasar yang masih melongo
di tempatnya.
"Kita laporkan dia kepada Bayangan Hitam.
Atau, langsung kepada Margana Kalpa!" Usul seorang
perampok.
"Tidak! Aku mau jadi orang baik-baik. Dengan
bekal uang emas yang telah kudapatkan, aku akan
berdagang," sahut temannya.
"Benar. Aku akan beternak saja."
"Bodoh! Uang emas kita bawa, tapi kita terus
merampok. Begitu yang lebih sip!" teriak yang lain me-
nyambuti.
"Kau yang bodoh! Gadis sinting itu sangat he-
bat. Kita bisa dibunuhnya!"
"Terserah apa maumu. Pokoknya, aku akan
menuruti jalanku sendiri!"
Untuk beberapa lama para perampok itu saling
berdebat. Tapi, mereka kemudian segera saling mem-
bantu melepaskan ikatan tangan. Lalu, belasan lelaki
kasar itu berjalan terpencar jadi dua. Sebagian berniat
mengawali hidup baru sebagai orang baik-baik. Seba-
gian lagi bersikeras untuk terus mengikuti jalan keja-
hatan.

4

Dewi Ikata menoleh. Langkah kakinya dihenti-
kan ketika mendengar teriakan yang ditujukan kepada
dirinya.
"Siapa kau? Apakah kau teman perampok-
perampok itu?" tanya Dewi Ikata kepada seorang gadis

cantik yang tiba-tiba telah berdiri di belakangnya.
"Namaku Ingkanputri. Kau bisa memanggilku
dengan sebutan 'Putri'. Kau sendiri siapa?"
"Pendekar Wanita Gila, he-he-he...."
Kening Ingkanputri berkerut. "Kau senang den-
gan julukan itu?" tanyanya heran.
"Senang atau tidak, itu urusanku!" jawab Dewi
Ikata sambil melangkahkan kakinya kembali.
"Eit! Tunggu dulu!" cegah Ingkanputri. "Kau be-
lum menyebutkan namamu."
"Sudah kubilang, aku Pendekar Wanita Gila!"
"Bukan itu. Nama kecilmu."
Dewi Ikata terkekeh. Lalu mulutnya mengalun
sebuah tembang....

Apalah arti sebuah nama bila kecewa telah
mengguncangkan jiwa.
Apa perlunya bertanya bila jawaban tiada ber-
guna. 
Sebaiknya manusia merenung, hidup ini untuk
apa.
Untuk mengikuti takdir Yang Kuasa atau menan-
tang arus dunia.
Nama disebut untuk memudahkan panggilan. 
Tapi bila sudah ada panggilan yang lebih enak
didengar, kenapa nama mesti diucapkan. 
Sedang si empu telah berusaha untuk melupa-
kan....

Begitu selesai alunan tembang Dewi Ikata, In-
gkanputri langsung mengumpat.
"Dasar sinting!"
"Hei! Siapa yang kau katakan 'sinting'?" ujar
Dewi Ikata marah. 

"Kau!"
"Aku tidak sinting!" Dewi Ikata memelototkan
matanya lebar-lebar.
"Melihat tingkah lakumu seperti itu, siapa yang
tidak akan mengatakan kau sinting?!" sahut Ingkanpu-
tri tak kalah sengit.
Hidung Dewi Ikata kembang kempis. Dia men-
gangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. "Ya. Aku memang
sinting. He-he-he...," ujarnya kemudian. Ingkanputri
langsung mengumpat-umpat dalam hati.
"Benarkah kau putri tunggal Adipati Danubra-
ja?" tanya murid Dewi Tangan Api itu kemudian.
"Kau tahu dari mana?"  Dewi Ikata balik ber-
tanya.
"Kau yang mengatakannya sendiri tadi." 
"Jadi kau mengintip ku ketika aku sedang ber-
tempur?"
"Ya."
Mendadak, Dewi Ikata menjepit hidung Ingkan-
putri dengan jari tangannya. Dan karena gerak Dewi
Ikata sangat cepat, Ingkanputri tak dapat menghindar.
Dia menjerit kesakitan.
"Bangsat!" umpat gadis cantik itu seraya me-
layangkan bogem mentah.
"He-he-he...."
Sambil menghindar, Dewi Ikata tertawa terke-
keh. Wajah Ingkanputri merah merona. Dewi Ikata ma-
lah menggoyang-goyangkan pantatnya.
"Dasar sintiiing...!" teriak Ingkanputri jengkel.
"Aku memang sintiiing...!" sahut Dewi Ikata tak
kalah keras.
Ingkanputri jadi ingin tertawa melihat kelakuan
Dewi Ikata, perutnya terasa sakit ketika dia menahan
tawanya.

"Hei! Kalau mau tertawa, tertawalah!" bentak
Dewi Ikata. "Jangan kau tahan. Jadi kentut busuk ma-
lah aku yang repot!"
Tawa Ingkanputri langsung meledak. Dewi Ika-
ta mengikuti dengan suara tawa yang lebih keras.    
"Di dunia ini memang banyak manusia sinting,"
kata Dewi Ikata kemudian.
"Kau  mengatai  ku  sinting?" tanya Ingkanputri
agak tersinggung.
"Tidak.. Kau tidak sinting. Kau waras. Bahkan
kelewat waras. he-he-he...."
"Uh! Repot bicara dengan orang sinting!"
"Uh! Repot bicara dengan orang waras!"
"Dasar sinting!"
"Dasar waras!"
Dua gadis yang sama-sama cantik itu saling
tuding. Sebentar kemudian, mereka tertawa bersa-
maan dan berjalan berdampingan dengan sangat
akrab. Berjumpa dengan Dewi Ikata, hati Ingkanputri
jadi merasa senang. Tingkah laku aneh yang ditunjuk-
kan putri tunggal Adipati Danubraja itu sanggup me-
nepis bayangan peristiwa pahit yang telah dialami In-
gkanputri. Demikian pula sebaliknya. Dewi Ikata tiba-
tiba merasa gembira mendapatkan seseorang yang da-
pat diajaknya bercanda. Usia Ingkanputri memang ter-
paut dua tahun dari Dewi Ikata.
"Kenapa kau bertempur melawan belasan lelaki
berwajah kasar tadi?" tanya Ingkanputri yang berjalan
di sisi kanan Dewi Ikata.
"Aku sedang mencari guruku yang bergelar Pe-
rangai Gila. Ketika sampai di tengah hutan itulah aku
berjumpa dengan para perampok."
"Kau katakan kehilangan jejak gurumu, apakah
gurumu itu melarikan diri?" tanya Ingkanputri lagi

"Dalam suatu perjalanan guruku bertemu den-
gan bekas kekasihnya yang telah mengkhianati cin-
tanya. Dia hendak membunuh bekas kekasihnya itu,
tapi aku mencegahnya. Guruku lalu lari meninggalkan
ku."
"Apakah yang kau maksud dengan bekas gu-
rumu itu adalah Resi Agaswara?" tanya Ingkanputri
harap-harap cemas.
"Kok tahu?" Dewi Ikata tampak heran.
"Bukankah kita pernah berjumpa di Kademan-
gan Maospati?"
"Oh ya? kau yang bersama kakek berjubah pu-
tih itu?"
"Tak salah. Dan, kau yang menyelamatkan Resi
Agaswara waktu gurumu hendak menjatuhkan tangan
maut terhadapnya."
"Ya. Ha-ha-ha...," Dewi Ikata tertawa lebar. "Ki-
ta memang sudah dijodohkan untuk dapat berjumpa
lagi."
"Sekarang kau hendak ke mana?" tanya In-
gkanputri.
"Aku akan ke kota Kadipaten Bumiraksa. Aku
rindu kepada ayah dan ibunda ku."
Mendengar ucapan Dewi Ikata, wajah Ingkan-
putri tiba-tiba jadi muram.
"Seandainya ayah dan ibunda  ku  juga masih
hidup, akan ada orang yang selalu ku rindukan. Aku
tidak akan hidup sebatangkara," desah Ingkanputri
dalam hati.
Dewi Ikata menepuk bahu gadis cantik itu.
"Kenapa kau diam saja?"
"Ah, tidak...," Ingkanputri buru-buru mengge-
lengkan kepala. "Bila kau hendak ke kota Kadipaten
Bumiraksa,  kita bisa terus bersama-sama. Aku juga

hendak ke sana."
"Ada perlu apa di sana?" tanya Dewi Ikata ingin
tahu.
"Mencari seseorang?" 
"Musuhkah?"
"Bukan. Justru dia orang yang sangat menye-
nangkan."
"Kekasihmu?"
Pipi Ingkanputri merona merah. Tanpa sadar
dia menunduk dalam-dalam. Dewi Ikata tertawa meli-
hatnya.
"Kau jangan berjalan sambil menunduk. Di sini
tak ada uang yang tercecer, yang ada hanya kotoran
kerbau atau monyet. Kau mau? He-he-he...," goda De-
wi Ikata.
Ingkanputri tersenyum, lalu menatap langit
"Sebelum malam tiba kita harus sampai di tem-
pat tujuan...," ujar murid Dewi Tangan Api itu kemu-
dian.
"Sebaiknya kita berlari cepat."
Dewi Ikata menghemposkan tubuhnya berlari
secepat kilat.  Ingkanputri bergegas mengejar. Kedua
gadis  cantik itu saling berlomba  memamerkan ilmu
meringankan tubuhnya. Tapi, lama-kelamaan Ingkan-
putri  tertinggal jauh di belakang. Tahulah dia kalau
ilmu meringankan tubuhnya kalah satu tingkat.
Ketika Ingkanputri sampai di pintu gerbang ko-
ta Kadipaten Bumiraksa, Dewi Ikata sedang menanti
sambil bercakap-cakap dengan salah seorang penjaga
"Kau sangat hebat, Ika...," puji Ingkanputri
dengan tulus.
"Hei! Bagaimana kau bisa tahu namaku?"
'Putri tunggal Adipati Danubraja siapa lagi ka-
lau bukan Dewi Ikata," sahut Ingkanputri.

Dewi Ikata mengerjap-ngerjapkan mata.
"Kau juga sangat hebat, Putri...," ucap gadis itu
seraya melangkahkan kaki memasuki kota Kadipaten
Beberapa penjaga yang kebetulan sedang ber-
tugas menatap dengan penuh tanda tanya. Penampilan
Dewi Ikata tampak lain. Pakaian yang dikenakan putri
tunggal Adipati Danubraja itu terbuat dari bahan yang
murah. Tak ada satu perhiasan pun menempel di tu-
buhnya. Sangat berbeda dengan penampilannya sebe-
lum dia melakukan pengembaraan.
"Sebaiknya kau bermalam di pendapa kadipa-
ten," usul Dewi Ikata kepada Ingkanputri.
"Terima kasih. Aku akan bermalan di rumah
penginapan saja."
"Ongkos rumah penginapan di sini sangat
mahal. Kau punya uang?"
Ingkanputri terkejut, seperti baru tersadar akan
sesuatu.
"Aku memang tidak punya uang. Kenapa men-
gatakan mau bermalam di penginapan?" kata hati ga-
dis cantik itu. 
"Hei, kenapa diam? Kau setuju bila ku ajak
bermalam di pendapa kadipaten? Di sana kau bisa ti-
dur sepuasmu. Semua kebutuhan mu akan disediakan
pelayan."
"Terima kasih. Aku akan bermalam di...."
"Di emper toko!" sergah Dewi Ikata cepat.
"Tidak. Maksudku, aku akan...."
"Kau tidak punya uang, kan? Nih, Aku masih
punya sekeping uang emas. Kalau kau butuh sesuatu,
carilah aku di pendapa kadipaten."
Dewi Ikata menyodorkan uang emasnya yang
tersisa. Dia lalu berjalan meninggalkan Ingkanputri
yang berdiri di depan sebuah rumah penginapan. Ga-

dis cantik itu menimang-nimang uang emas pemberian
Dewi Ikata sejenak, lalu bersenandung kecil.

***