Pengemis Binal 18 - Tengkorak Kaki Satu(1)





TENGKORAK KAKI SATU


Serial Pengemis Binal

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor: Puji S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit



Serial Pengemis Binal 
dalam episode: 
Tengkorak Kaki Satu
128 hal.



1

Langit sebelah timur terhias semburat ca-
haya berwarna jingga menandakan fajar telah me-
rayap, bangkit. Walau terang belum sempurna be-
nar, tapi sepi di pulau kecil itu telah terkoyak-
koyak oleh teriakan kekhawatiran dan kata-kata
berseling tangis yang terdengar menyayat hati.
"Larilah Intan Melati! Larilah cepat...!" perin-
tah seorang lelaki setengah baya. Suaranya serak-
parau bernada kekhawatiran terhadap seorang ga-
dis yang dipanggil intan Melati.
"Tidak! Lebih baik kita mati bersama,
Ayah...!" teriak gadis remaja berumur sekitar tujuh
belas tahun. Kata-katanya dibarengi lelehan air
mata.
"Pergilah dari Pulau Karang ini, Anakku...,"
timpal seorang wanita cantik yang berdiri di sisi le-
laki setengah baya itu. Sama seperti si lelaki, wani-
ta ini juga memegang pedang berlumuran darah di
tangan kanan. Namun, sikap berdirinya tak lagi
tegak karena ada luka lebar di paha kirinya. Cai-
ran darah kering tampak menodai kain putih yang
dikenakannya.
"Pergilah, Anakku...," pinta lelaki setengah
baya berpakaian serba putih kali ini penuh per-
mohonan kepada gadis yang ternyata putrinya.
"Pergilah selagi para begundal Tengkorak Kaki Sa-
tu belum tiba di tempat ini. Salah seorang dari kita
harus selamat, sebab harus dapat membalas ke-
biadapan Tengkorak Kaki Satu!"

"Tidak, Ayah! Aku tak mungkin pergi dari
tempat ini! Aku tak mungkin membiarkan Ayah
dan Ibu bertempur melawan maut! Kalau pergi, ki-
ta pergi bersama. Tapi kalau mati, kita pun akan
mati bersama!" tegas Intan Melati dengan air mata
terus berlelehan. Tangannya yang memegang pe-
dang tampak bergetar. Rambutnya yang hitam
panjang terburai tak karuan. Pakaian berwarna
putih-kuning pembalut tubuhnya yang tinggi se-
mampai penuh percikan darah kering.
Mengetahui kekeraskepalaan putrinya, si
ayah bingung. Sejenak ditatapnya wanita cantik di
sisi kanan yang tak lain istrinya sendiri. "Dinda
Nawangsih! Sebaiknya temanilah Intan Melati me-
larikan diri. Carilah tempat aman. Setelah lukamu
sembuh, carilah Paman Guru Sawung Permadi.
Ceritakan apa yang terjadi di Pulau Karang ini..."
"Tidak! Tidak, Kangmas. Aku akan mem-
bantu Kangmas...," potong wanita cantik bernama
Nawangsih. Lalu, ditatapnya Intan Melati putri me-
reka yang telah menghentikan tangisnya. "Anak-
ku.... Keturunan Pendekar Hati Putih harus tetap
hidup. Turuti kata-kata ibumu. Pergilah cepat! Ca-
rilah adik guru ayahmu yang bernama Sawung
Permadi. Dia tinggal di sekitar Hutan Kalirang.
Mintalah petunjuk darinya...." 
"Tidak, Ibu! Aku...."
"Intan!" Nawangsih jadi kalut mendapati ke-
keras kepalaan putrinya. "Kau harus pergi! Cepat!"
Melihat Intan Melati tetap berdiam di tem-
patnya, wanita berusia sekitar empat puluh dua
tahun itu melangkah tiga tindak. Mendadak, tan-

gan kirinya melayang.
Tap!
Untunglah dengan sigap, ayah Intan Melati
meloncat dan memegangi tangan istrinya yang
hendak mendaratkan tamparan.
"Tenanglah.... Tenanglah, Dinda Nawang-
sih...," ujar lelaki setengah baya. "Jangan kalut.
Tindakanmu justru akan membuat bingung anak
kita...."
Nawangsih menatap lekat wajah suaminya.
Lalu dia berhambur memeluknya. Saat itu juga,
bahunya terguncang-guncang terbawa isakan tan-
gis.
"Istri Rama Ludira tak patut bersikap seper-
ti ini...," tegas lelaki bernama Rama Ludira yang
bergelar Pendekar Hati Putih seraya melonggarkan
pelukan istrinya. Kendati demikian nada suaranya
penuh kegetiran. "Kau harus berhati baja, Dinda
Nawangsih. Dalam keadaan apa pun! Tak terkecu-
ali, saat maut akan menjemput. Inilah jiwa pende-
kar sejati...."
Mendengar kata-kata suaminya, Nawangsih
malah memperkeras tangisnya seraya mempererat
pelukannya lagi.
Sementara, Intan Melati yang semula berdiri
terpaku pun turut memeluk Rama Ludira alias
Pendekar Hati Putih. Jadilah mereka saling peluk.
Hingga....
"Ha ha ha...!"
Sebuah tawa keras terdengar memekakkan
gendang telinga, menyentak mereka. Saat itu juga
pelukan mereka terlepas dan memandang ke arah

yang sama.
"Agaknya nama besar Pendekar Hati Putih
hanya bualan semata! Dia tak lebih dari lelaki cen-
geng, atau barangkali perempuan yang berbaju le-
laki?!"
Saat itu pula dua puluh orang lelaki berpa-
kaian serba hitam telah tiba di tempat ini, dan
langsung melakukan pengepungan. Namun bukan
salah seorang dari mereka yang berkata barusan.
Melainkan, dari sosok yang berdiri tegak di atas
sebuah bongkahan batu karang.
Sosok itu adalah manusia berwujud menge-
rikan dengan jubah hitam dan kerudung hitam.
Wajahnya hanya berupa tonjolan tulang yang tak
lebih dari tengkorak terbalut kulit tipis hanya pada
mulut ke bawah. Sedangkan hidung, dahi, dan se-
bagian pipinya tak lagi berdaging. Kakinya cuma
satu. Untuk menjaga keseimbangan tubuhnya, di-
pakai sebuah tongkat di tangan kin. Matanya yang
sangat cekung menatap lurus ke sosok Rama Lu-
dira dan keluarganya.
Rama Ludira cepat mendorong tubuh Intan
Melati. "Larilah! Aku akan menahannya!"
"Cepat, Intan!" timpal Nawangsih. "Aku
akan menemani ayahmu di sini."
"Tidak! Aku pun akan tetap di sini!" tolak
Intan Melati, mantap bercampur kegetiran. "Aku
tak mau berpisah dengan Ayah dan Ibu!"
Pandangan Rama Ludira jadi nanar melihat
putrinya membandel.
"Larilah, Anakku...!" perintah Rama Ludira
lagi setelah melihat kehadiran manusia tengkorak

yang tak lain bergelar Tengkorak Kaki Satu.
"Kita hadapi bersama manusia-manusia ib-
lis ini. Ayah! Hiaaat...!" pekik Intan Melati seraya
menerjang empat lelaki bersenjata golok yang su-
dah melangkah mendekati.
Trang! Trang!
Keempat lelaki itu cepat memapaki, mem-
buat benturan senjata yang menimbulkan perci-
kan api tak dapat dihindari. Namun secepat itu
pula Intan Melati membabatkan pedangnya. Suara
babatannya menderu bagai ribuan lebah terbang
terdengar menggiriskan. Sayang yang diserang bu-
kanlah orang-orang kemarin sore. Mereka pun ce-
pat memutar golok seraya  memberikan serangan
balasan.
Pandangan Pendekar Hati Putih menjadi
semakin nanar saja setelah melihat putrinya dike-
royok empat orang.
"Tinggalkan mereka, Intan!" teriak Rama
Ludira, sekuat tenaga.
"Tidak, Ayah!" tolak Intan Melati. "Justru
aku akan memenggal kepala mereka!"
Si gadis membabatkan pedangnya semakin
cepat, mengandalkan jurus-jurus yang diturunkan
dari ayahnya. Tapi, tak satu pun lelaki bergolok
dapat segera dijatuhkannya. Sementara, para pen-
geroyok lain yang bersenjata golok terdengar
menggembor keras, lalu menerjang Rama Ludira
dan istrinya!
Melihat pertempuran sengit yang berlang-
sung di hadapannya, Tengkorak Kaki Satu hanya
tertawa-tawa. Bila melihat keadaannya, tak akan

ada yang pernah mengira bahwa lelaki ini memiliki
kesaktian luar biasa. Tengah malam tadi bersama
tiga puluh orang anak buahnya, Tengkorak Kaki
Satu telah menggempur Perguruan Hati Putih yang
dipimpin Rama Ludira. Murid Rama Ludira yang
berjumlah lima puluh orang telah dibantai habis.
Entah bagaimana nasib guru Rama Ludira sendiri
yang jelas sewaktu Rama Ludira disuruh mening-
galkan perguruan, keadaan lelaki tua itu sudah
sangat kewalahan menghadapi Tengkorak Kaki Sa-
tu. Sedangkan di pihak Tengkorak Kaki Satu
hanya kehilangan sepuluh orang anak buah.
"Larilah, Intan!" teriak Nawangsih di antara
sambaran golok lawan-lawannya. "Pergilah ke Hu-
tan Kalirang. Temui eyang pamanmu, Sawung
Permadi!"
Tak ada kata-kata yang menimpali ucapan
Nawangsih. Intan Melati rupanya sedang terdesak
hebat. Enam golok saat itu tengah mengirim tusu-
kan dan babatan secara bersamaan.
Nawangsih menggeram marah. Tak dipedu-
likannya luka lebar di paha kirinya yang mulai
mengucurkan darah lagi. Segera ditinggalkannya
para pengeroyok. Dia meloncat jauh, langsung
memapaki golok yang mengancam jiwa putrinya!
Trang...!
Terdengar benturan senjata tajam enam kali
berturut-turut. Tiga berasal dari tangkisan pedang
Intan Melati, tiga lagi berasal dari pedang Nawang-
sih. Namun, istri Pendekar Hati Putih ini tak me-
nyangka akan datangnya bahaya dari belakang.
Saat tubuhnya melayang tadi, salah seorang pen-

geroyoknya mengejar seraya mengirimkan tusukan
maut!
Untung saja Rama Ludira cepat melompat,
memotong gerakan si pembokong dengan pedang-
nya.
Trang!
Baru saja Rama Ludira berhasil menyela-
matkan nyawa istrinya, pada saat yang sama
muncul satu serangan berupa sebuah tendangan.
Diegkh...! 
"Aaakh...!"
Tendangan itu telak bersarang di punggung
Pendekar Hati Putih. Ketika tubuhnya terjajar ke
depan, sebuah babatan golok mengenai bahu ka-
nanya.
Crasss...!
Tak terdengar jerit kesakitan keluar dari
mulut Rama Ludira. Tubuhnya bergetar menahan
rasa sakit. Sementara, Nawangsih menjerit keras
melihat orang yang dicintainya terluka. Akibatnya
perhatiannya terpecah. Maka dengan cepat lawan
memanfaatkannya.
Cras! Cras!
"Aaakh...!"
Dua golok menyambar wanita itu dengan
cepat. Satu membuat luka di punggung. Satu lagi
menusuk paha kanannya. Dengan kedua kaki ter-
luka, goyahlah pertahanan Nawangsih. Tubuhnya
melorot jatuh terduduk.
"Ibu...!" pekik Intan Melati.
Segera gadis ini berkelebat. Namun, usa-
hanya terlambat. Sebilah golok telah menusuk

punggung ibunya hingga tembus ke dada.
Crap!
"Aaa...!"
"Dinda Nawangsih...!" pekik Pendekar Hati
Putih.
Tapi, lelaki setengah baya ini tak mampu
berbuat banyak karena para pengeroyoknya telah
menerjang lebih ganas. Rama Ludira jadi kalap.
Pedangnya diputar sangat cepat, disertai geraman
dari mulutnya.
Cras! Cras! 
"Aaa...!"
Dua orang lawan jatuh ke tanah-pasir ter-
kena babatan pedang Pendekar Hati Putih.
"Minggir kalian semua...!" perintah Tengko-
rak Kaki Satu tiba-tiba.
Para pengeroyok bersenjata golok kontan
berloncatan keluar dari ajang pertempuran. Rama
Ludira dan Intan Melati menghela napas panjang.
Namun, ayah dan anak ini terkejut ketika melihat
wajah Tengkorak Kaki Satu mendadak memancar-
kan cahaya merah.
"Larilah, Intan!" teriak Rama Ludira. "Manu-
sia iblis itu hendak mengeluarkan ilmu 'Penghilang
Akal'!"
Mendengar teriakan ayahnya, Intan Melati
bingung sesaat. Dari cerita ayahnya, dia tahu ilmu
'Penghilang Akal' mampu membuat orang lupa se-
gala-galanya. Orang yang terkena akan selalu me-
nuruti perintah Tengkorak Kaki Satu, termasuk
untuk melakukan bunuh diri. Mengingat hal itu,
Intan Melati jadi bergidik ngeri. Sungguh sulit di-

bayangkan apabila dirinya dan ayahnya terkena
ilmu sesat yang berpangkal dari ilmu sihir milik
Tengkorak Kaki Satu.
"Larilah Intan...!" teriak Rama Ludira lagi,
lebih keras.
Namun tanpa disadari, kedua rongga mata
Tengkorak Kaki Satu telah menyorotkan dua larik
sinar merah yang tepat mengenai wajah Rama Lu-
dira. Sebentar sinar itu menerobos masuk ke ke-
dua rongga matanya, dan mengalir ke jalan piki-
rannya.
"Ayah...!" pekik Intan Melati, ketika melihat
ayahnya menggeleng-gelengkan kepala.
Pekikan Intan Melati terdengar makin keras
ketika Rama Ludira berdiri terpaku dengan wajah
pucat. Sementara sorot matanya berubah redup,
seperti orang yang sudah kehilangan semangat hi-
dup.
"Ha ha ha...!" Tengkorak Kaki Satu tertawa
bergelak. "Kita akan lihat bagaimana Pendekar Ha-
ti Putih membunuh putrinya sendiri. Hei, Pende-
kar Hati Putih! Bunuh putrimu! Sekarang dia telah
menjadi musuhmu!"
Tengkorak Kaki Satu tertawa bergelak lagi.
Rama Ludira menatap dingin Intan Melati.
Dalam tatapannya sosok gadis tak lagi berwujud
putrinya, tapi seorang musuh yang harus dile-
nyapkan.
Tanpa perlu mendengar perintah kedua,
Pendekar Hati Putih langsung menerjang putrinya
sendiri! Terpaksa sekali gadis ini memutar pedang
untuk menangkis tusukan ayahnya. Lalu, secepat

kilat dia meloncat jauh ke belakang.
"Ayah! Aku Intan Melati anakmu!" teriak si
gadis, berusaha menyadarkan ayahnya.
Rama Ludira mendengus, kemudian, me-
loncat mendekati Intan Melati seraya memba-
batkan pedang ke leher.
Intan Melati mau tak mau terpaksa memu-
tar pedangnya kalau tak ingin tersambar senjata
ayahnya sendiri.
Trang! Trang!
"Auuuwww...!"
Terdengar benturan senjata tajam dua kali.
Intan Melati memekik nyaring. Pedang yang digu-
nakan untuk membentengi diri telah mencelat le-
pas dari pegangan. Jelas saja, sebab tenaga da-
lamnya kalah dua tingkat daripada ayahnya.
"Cepat bunuh gadis itu, Rama Ludira!" pe-
rintah Tengkorak Kaki Satu, seperti tak sabar me-
lihat Pendekar Hati Putih berdiri mematung di de-
pan Intan Melati yang pucat wajahnya.
"Aku Intan Melati, Ayah...," ingat si gadis la-
gi.
Rama Ludira menggeleng-gelengkan kepala,
seperti ada perang besar yang sedang berkecamuk
dalam sanubarinya. Namun, keadaan ini tidak ber-
langsung lama, karena tiba-tiba pedangnya dite-
baskan kembali untuk memenggal kepala putrinya
sendiri!
"Ayah...!" jerit Intan Melati seraya meloncat
jauh ke samping.
Pendekar Hati Putih segera memburu. Diter-
jangnya Intan Melati dengan serangan-serangan

mematikan. Untuk beberapa tarikan napas, si ga-
dis masih dapat bertahan. Tapi setelah lengan ki-
rinya tergores pedang, disertai jeritan keras dia
menggenjot tubuh untuk melarikan diri.
"Kejar...!" teriak Tengkorak Kaki Satu.
Pendekar Hati Putih mencengkeram hulu
pedang lebih erat. Lalu, lelaki setengah baya yang
sudah lupa diri ini segera mengejar Intan Melati
yang berlari di antara tonjolan-tonjolan batu ka-
rang menjulang tinggi.

***

Intan Melati mengerahkan seluruh kemam-
puannya untuk dapat berlari cepat. Ringan sekali
kakinya menjejak tanah pasir. Saat tubuhnya me-
layang, tiga empat tombak berhasil dilalui. Namun
anehnya, gadis ini bukan hendak keluar dari Pu-
lau Karang walau tahu bahaya sedang mengejar-
nya. Langkah kakinya justru menuju puing-puing
Perguruan Hati Putih yang telah dihancurleburkan
Tengkorak Kaki Satu dan anak buahnya, setelah si
gadis dan kedua orangtuanya diperintah pergi oleh
Saka Permadi.
Tak kuasa Intan Melati menahan tetesan air
mata. Di hadapannya tergeletak mayat-mayat ber-
pakaian serba putih yang tak lain para murid
ayahnya. Api masih berkobar di bangunan utama.
Perlahan namun pasti, tempat tinggal Pendekar
Hati Putih bersama keluarga dan para muridnya
mulai runtuh.
Sambil menahan isakan tangis, Intan Melati

berlari berputar-putar. Dilangkahinya mayat-
mayat yang berserakan. Diterobosnya lidah-lidah
api yang menjilat ganas.
Mata Intan Melati mendadak bersinar aneh
ketika melihat sesosok tubuh terbujur lemah di
lantai. Pakaiannya yang serba putih penuh noda
darah. Kedua tangannya mendekap dada yang ma-
sih mengucurkan darah segar.
"Eyang! Eyang Saka Permadi?! Kau masih
hidup, Eyang?!" panggil Intan Melati dengan segala
kekalutannya.
Si gadis segera memburu ke arah sosok itu.
"Eyang! Eyang Saka Permadi! Tolonglah In-
tan, Eyang!" pinta Intan Melati, langsung meng-
guncang-guncangkan sosok tubuh lelaki tua yang
tergolek di lantai.
Karena tak mendapat jawaban, Intan Melati
mengguncang-guncangkan tubuh lelaki tua yang
memang Saka Permadi semakin keras.
"Eyang  tidak boleh mati! Eyang harus me-
nolong Intan Melati. Ayah telah kena pengaruh si-
hir Tengkorak Kaki Satu, Eyang!" pekik si gadis
dengan air mata menganak sungai. "Bangunlah,
Eyang! Tolonglah Intan, Eyang!"
Entah dari mana datangnya kekuatan Saka
Permadi ketika tubuhnya yang terbujur diam tiba-
tiba bergerak lemah. Lalu kelopak matanya terbu-
ka.
"Intan...," desah guru Pendekar Hati Putih.
"Oh, Eyang! Syukurlah.... Kau masih hidup,
Eyang. Tolonglah Intan! Ayah telah terkena sihir
Tengkorak Kaki Satu!" pinta Intan Melati dengan

harapan merebak dalam dada.
Tapi, alangkah kecewanya Intan Melati me-
lihat kelopak mata Saka Permadi yang telah terbu-
ka, mendadak terpejam kembali. Bagai orang kese-
tanan, Intan Melati mengguncang-guncangkan tu-
buh lelaki tua itu. Sementara,  suara gemeretak
kayu bangunan terdengar makin keras. Lidah api
terus menjilat-jilat. Dan bangunan tempat Intan
Melati berada sebentar lagi akan roboh!
"Eyang!" pekik Intan Melati, sangat keras.
"Tolonglah Intan, Eyang!"
Kuasa Tuhan juga yang membuat kelopak
mata Saka Permadi terbuka lagi.
"Kau..., kau benar Intan Melati...?" desah le-
laki tua itu lirih.
"Ya! Aku Intan Melati, Eyang!" sahut si ga-
dis, cepat
Saka Permadi merintih. Kedua tangannya
menekan keras luka di dadanya.
"Larilah, Intan! Carilah adik Eyang yang
bernama Sawung Permadi. Balaslah kebiadaban
Tengkorak Kaki Satu...."
"Bagaimana Intan bisa melarikan diri,
Eyang? Di luar, banyak orang mengejar. Dan, Ayah
pun telah terkena sihir manusia iblis itu. Ayah pun
hendak membunuh Intan!"
"Di..., di mana ibumu...?" tanya Saka Per-
madi sambil menekan luka di dadanya keras-
keras.
Agaknya, lelaki tua ini mulai menghadapi
sakaratul maut. Wajahnya menegang dan kedua
kakinya menghentak-hentak ke lantai.

"Ibu..., Ibu telah meninggal, Eyang...," sahut
Intan Melati penuh tekanan sambil terus meng-
guncang-guncang tubuh Saka Permadi.
Mendadak mata Saka Permadi melotot. Ke-
dua tangannya yang menekan dada terlihat men-
gejang kaku. Lelaki tua ini rupanya didera rasa
sakit luar biasa. Namun, dicobanya sekuat tenaga
untuk dapat  memberikan pesan terakhir, kepada
Intan Melati.
"Teluk.... Patung.... Menyelamlah.... Gua
bawah la... ut..!"
"Eyaaang...!"
Intan Melati menjerit keras ketika kepala
Saka Permadi tergolek di kiri. Air matanya pun
mengucur makin keras. Dipanggil-panggilnya  na-
ma eyangnya. Tentu saja lelaki tua yang sudah di-
jemput Malaikat Kematian itu sudah tak mampu
berbuat apa-apa lagi.
Mendadak, terdengar suara gemeretak keras
tepat di atas kepala Intan Melati. Walau terhantam
kesedihan yang sangat, cepat si gadis menyadari
keadaan. Seketika dia meloncat merapat ke dind-
ing sebelah kanan.
Blarrr...! 
"Eyaaang... !"
Suara keras terdengar kini. Intan Melati
menjerit parau ketika melihat mayat Saka Permadi
tertimbun reruntuhan bangunan. Intan Melati
sendiri tak bisa terlalu lama berdiam di tempatnya,
karena atap bangunan yang runtuh tengah men-
gancam jiwanya.
Tanpa perhitungan lagi, Intan Melati mene-

robos kepungan api. Tak dipedulikannya rasa pa-
nas yang mendera sekujur tubuhnya. Tepat ketika
kakinya menginjak halaman, bangunan utama
Perguruan Hati Putih runtuh sudah.

***

"Teluk.... Patung...," gumam Intan Melati,
menirukan ucapan Saka Permadi begitu tiba di te-
luk yang dituju.
Mata Intan Melati bersinar girang saat meli-
hat perahu yang biasa digunakannya untuk ber-
main-main ke laut. Segera dilepasnya ikatan pera-
hu. Lalu, dikayuhnya dayung dengan amat terge-
sa-gesa. Karena kayuhan Intan Melati disertai
pengerahan tenaga dalam, maka perahu yang di-
tumpanginya dapat melesat cepat.
"Setan cilik keparat! Mau lari ke mana
kau?!" Baru dua puluh tombak perahu melesat,
mendadak terdengar bentakan keras. Gadis itu ta-
hu, pasti para pengejarnya telah tiba di tepi pantai.
Memang, Tengkorak Kaki Satu telah sampai
di pantai. Di belakangnya, Rama Ludira dan bela-
san lelaki bersenjata golok tampak berdiri me-
nunggu aba-aba.
Melihat perahu Intan Melati terus meluncur
cepat meninggalkan Pulau Karang, Tengkorak Kaki
Satu menggembor keras. Secepatnya memungut
kayu kecil yang kebetulan berada di bawah ka-
kinya.
Ketika kayu itu dilemparkan ke air pantai,
sesaat  kemudian Tengkorak Kaki Satu menjejak-

kan tongkat di tangan kirinya ke batu karang. Ma-
ka secepat kilat tubuh Tengkorak Kaki Satu me-
layang ke arah kayu tadi.
Tak!
Kaki tunggal Tengkorak Kaki Satu mendarat
tepat di kayu kecil yang mengapung di air pantai,
membuat belasan lelaki bersenjata golok berdecak
kagum ketika melihat tubuh Tengkorak Kaki Satu
meluncur cepat di atas air walau hanya bertumpu
pada sebatang kayu yang tak lebih besar dari per-
gelangan tangan.
"Celaka!" pekik Intan Melati, melihat Teng-
korak Kaki Satu mampu mendekati perahunya.
"Patung. Aku harus mencapai patung buatan
Eyang Saka Permadi, sebelum Tengkorak Kaki Sa-
tu lebih mendekat...!"
Sekitar sepuluh tombak di depan, Intan Me-
lati melihat patung kayu berbentuk setengah ba-
dan manusia mengapung di  laut. Patung itu tak
terbawa arus, karena di bawahnya terdapat tali
pengikat dengan besi sebagai pemberat.
"Matilah kau, Setan Cilik!" pekik Tengkorak
Kaki Satu seraya menghentakkan tangan kanan
yang dialiri kekuatan tenaga dalam.
Wuuttt...!
"Heh...?!"
Kebetulan Intan Melati tengah menoleh ke
belakang, jadi dapat melihat selarik sinar merah
menggidikkan yang meluncur deras ke arahnya.
Bergegas kakinya menjejak dasar perahu.
"Hiaaa...!"
Brakkk!

Ketika tubuh si gadis melayang di udara,
terdengar ledakan keras. Perahu yang terkena pu-
kulan jarak jauh Tengkorak Kaki Satu hancur be-
rantakan, menjadi serpihan-serpihan kecil!
Byurrr!
Tengkorak Kaki Satu tertawa penuh keme-
nangan melihat tubuh Intan Melati tercebur ke
laut. Disiapkannya pukulan jarak jauh lagi sambil
menanti tubuh Intan Melati timbul di permukaan
air. Tapi hingga menunggu beberapa lama, tubuh
yang diharapkan tak juga tampak di depan mata.
"Setan cilik keparat!" umpat Tengkorak Kaki
Satu seraya menghantamkan pukulan jarak jauh
secara ngawur.

2

Pagi yang datang menghantarkan terang,
membuat keramaian Kampung Randublatung seo-
lah memulai kehidupan kembali. Banyak perahu
nelayan menambat, setelah semalaman menga-
rungi laut. Belasan lelaki kekar berjalan cepat
sambil menjinjing keranjang berisi ikan. Belasan
lelaki lainnya masih sibuk menyeret perahu naik
ke pantai. Sementara, cuaca yang cukup cerah se-
perti tengah menggambarkan isi hati para nelayan
yang diliputi kegembiraan. Ikan hasil tangkapan
mereka hari ini melimpah. Itu berarti imbalan atas
keringat yang mengucur cukup sepadan.
Hembusan angin laut membuat rambut
panjang remaja tampan berpakaian putih penuh

tambalan yang berdiri tegak di tepi pantai berkiba-
ran. Kakinya kokoh-kuat menopang tubuh yang
tegap berisi. Tangan kanannya bertelekan seba-
tang tongkat butut. Matanya menerawang jauh
tanpa bosan ke arah garis langit yang menyatu
dengan garis air laut membujur nun jauh di sana.
"Lapar...," desis si remaja sambil menepuk
perutnya. Sikapnya jadi tampak aneh ketika tan-
gan kirinya menggaruk-garuk kepala.
Dengan langkah kaki setengah berlari, re-
maja ini mendekati seorang pemuda berkulit hitam
yang tengah menjinjing sekeranjang ikan.
"Mari kubantu membawakan...," pinta re-
maja tampan itu mencegat langkah si pemuda.
Sekilas pemuda berkulit hitam menatap wa-
jah remaja yang berdiri di hadapannya.
"Aku tidak butuh bantuan!" tolaknya kasar.
Si remaja mengernyitkan hidung. Wajahnya
jadi tampak lucu.
"Kenapa marah? Bukankah aku menawar-
kan jasa baik?" tukas si remaja ini, konyol.
Pemuda berkulit hitam mendengus. Kakinya
melangkah lagi. Kedua tangannya yang penuh ton-
jolan urat tampak bergetar. Agaknya, keranjang
ikan yang sedang dijinjingnya terasa berat.
"Hei! Aku bisa meringankan bebanmu!" te-
riak si remaja. "Aku tidak butuh imbalan banyak.
Cuma dua-tiga ekor ikan cukup!"
Remaja tampan berpakaian putih penuh
tambalan itu cemberut melihat si pemuda tak
mendengarkan kata-katanya. Dia melangkah ter-
gesa-gesa. Keranjang ikan jinjingannya semakin

terasa berat.
"Uh! Pelit!" gerutu si remaja sambil mengge-
drukkan tongkatnya ke pasir. Remaja bertingkah
konyol ini melangkah gontai. Berulang kali kepa-
lanya yang tak gatal digaruk.
"Hmm.... Aku minta orang itu saja...," cetus
si remaja ketika melihat empat lelaki tengah me-
nambatkan perahu.
Remaja konyol itu segera berlari-lari meng-
hampiri. Begitu melihat ikan berserakan di lantai
perahu, bibirnya menyungging senyum lebar.
"Boleh minta dua ekor ikan itu, Pak?" pinta
si remaja kemudian.
Lelaki berikat kepala hitam menatap lekat
seraut wajah remaja tampan di hadapannya. Dia
tertawa geli melihat remaja itu mengernyitkan hi-
dung. Tiga lelaki yang sedang mengikat tali perahu
menghentikan kesibukan. Tahu ada orang hendak
minta ikan, mereka turut tertawa. Seumur hidup,
baru kali ini mereka bertemu pengemis ikan.
Kampung Randublatung terletak di Pantai
Utara yang terpencil. Jadi, jarang ada orang luar
singgah. Sehingga, kehadiran si remaja yang lang-
sung meminta ikan cukup mengundang tawa geli
mereka. Apalagi wajah si remaja yang tampak ke-
bodoh-bodohan dengan tubuh terbungkus pakaian
penuh tambalan.
"Maaf, Anak Muda...," ucap lelaki berikat
kepala hitam kemudian. "Agaknya kau pengemis
yang tengah tersesat jalan. Tapi, ketahuilah. Kam-
pung Randublatung ini tidak bisa menerima keha-
diran seorang pengemis. Untuk dapat makan,

orang harus bekerja."
Si remaja menggaruk-garuk kepala men-
dengarnya. Perutnya yang terasa melilit-lilit mem-
buatnya sedikit nekat.
"Kulihat hasil tangkapan Pak Tua cukup
banyak. Tidakkah kau ingin membagi rezeki kepa-
da orang miskin seperti aku ini?" katanya, seten-
gah memohon
"Sudah kubilang, untuk dapat makan,
orang harus bekerja...!" sentak lelaki berikat kepa-
la hitam agak keras. 
Lelaki berumur sekitar lima puluh tahun itu
lalu naik ke perahu. Dimasukkannya ikan-ikan
yang berserakan di lantai perahu ke keranjang. Ke-
tiga temannya segera membantu, tak mempeduli-
kan si remaja tampan lagi.
"Uh! Dasar pelit!" umpat si remaja dalam
hati. "Kampung macam apa ini? Kenapa pendu-
duknya begitu kikir?"
Mendadak, mata remaja berpakaian penuh
tambalan berkilat aneh.
"He, Pak Tua!" panggil si remaja kemudian.
"Aku bukan hendak mengemis, tapi akan menukar
dua ekor ikan dengan sebuah pertunjukan mena-
rik...."
"Pergi kau! Jangan ganggu aku!" tolak lelaki
berikat kepala hitam.
Si remaja menggaruk kepala sebentar. Lalu,
tangan kirinya memegang ujung papan perahu!
Akibatnya, empat lelaki yang berada di dalamnya
terkejut setengah mati ketika badan perahu berge-
tar. Serta-merta mereka berloncatan keluar. Dan

mata mereka kontan terbelalak, melihat si remaja
tidur telentang dengan punggung tersangga seba-
tang tongkat kayu yang ditancapkan ke dalam pa-
sir.
"Setan!" pekik lelaki berikat kepala hitam
dengan tubuh menggigil.
"Bukan! Dia bukan setan! Dia sedang mem-
pertontonkan kemahiran!" sahut salah seorang
temannya.
"Ya! Ya, dia sedang bermain ketangkasan!"
sahut yang lain.
"He he he...!"
Si remaja tertawa terkekeh-kekeh. Perlahan-
lahan kedua kakinya turun ke pasir, lalu berdiri
gagah.
"Aku telah memperlihatkan pertunjukan
yang cukup menarik, bukan?" katanya sambil
mencabut tongkatnya. "Imbalannya.... Tentu saja
dua ekor ikan...."
Tenang sekali si remaja mengambil dua ekor
ikan besar dari dalam perahu. Kakinya lalu me-
langkah lenggang. Empat lelaki yang ditinggalkan-
nya cuma dapat berdiri terlongong bengong.
Di bawah naungan batu karang besar, re-
maja berpakaian penuh tambalan membuat pera-
pian dari daun kelapa kering untuk membakar
dua ekor ikan yang dibawanya. Sebentar saja asap
beraroma gurih membuat perutnya semakin meli-
lit-lilit. Matanya mengerjap-ngerjap. Tangannya tak
henti menggaruk kepala. Melihat kebiasaan remaja
tampan ini, siapa lagi dia kalau bukan Suropati
alias Pengemis Binal.

"Wuih! Sedap benar aroma ikan bakar
ini...," gumam Suropati yang merupakan Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Hidungnya
terlihat kembang-kempis. "Cacing-cacing dalam
perutku ini semakin  banyak tingkah saja. Bersa-
barlah sedikit, Bodoh!"
Pengemis Binal menggaplok perutnya sendi-
ri. Seperti orang kehilangan ingatan, dia lalu ber-
jingkrak-jingkrak. Tangannya sibuk mencubit dag-
ing ikan panas yang baru saja diangkatnya dari
perapian.
"Hmm.... Nyam nyam nyam.... Sedap seka-
li...," desis Pengemis Binal dengan daging panas di
mulutnya.
Sebentar kemudian, dua ekor ikan sebesar
lengan orang dewasa amblas sudah. Tulang-
tulangnya berserakan di dekat perapian. Sementa-
ra, Pengemis Binal mengusap-usap perutnya yang
tak lagi keroncongan.
Lalu dikeluarkannya secarik kertas dari ba-
lik bajunya. Setelah menggaruk kepala sebentar,
diejanya barisan huruf yang tertera di atas kertas.

Untuk Pendekar Besar Suropati, Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Dengan  se-
gala kerendahan hati, kami mengundang Tuan
Pendekar untuk datang ke Pulau Karang. Perguruan
Hati Putih membutuhkan beberapa petunjuk. Besar
harapan kami agar Tuan Pendekar bersedia datang
secepatnya.
Rama Ludira alias Pendekar Hati Putih


Suropati menyimpan kembali surat undan-
gan yang telah dibaca berulang kali itu. Lalu, ma-
tanya menerawang jauh. Ditatapnya langit biru.
Ditatapnya burung-burung yang bercengkerama di
atas laut. Ditatapnya keramaian Kampung Ran-
dublatung. Lalu, digaruknya kepalanya yang tak
gatal.
"Pulau Karang...," gumam Suropati. "Menu-
rut keterangan yang kuperoleh pulau itu terletak
di sekitar Pantai Utara. Tapi letaknya yang pasti
tak ada yang tahu. Aneh...."
Suropati menggaruk kepala semakin keras.
"Kenapa ada pendekar mendirikan sebuah
perguruan silat di pulau yang tersembunyi. Siapa
pula Pendekar Hati Putih itu? Ah! Haruskah aku
menyeberangi lautan hanya untuk menghadiri un-
dangan yang membingungkan ini?"
Mata Suropati kembali menerawang jauh.
Ditatapnya lagi langit biru, burung-burung terbang
di atas laut, keramaian Kampung Randublatung.
Lalu, remaja konyol ini menggaruk kepala lagi
sambil cengar-cengir.

***

Intan Melati jantungnya hendak meledak.
Sakitnya bagai diremas-remas. Namun, semangat-
nya tak hilang untuk mengikuti tali yang terjuntai
tegak lurus ke dasar laut yang ternyata dangkal,
karena berada di dekat teluk.
"Teluk.... Patung.... Menyelamlah.... Gua
bawah laut...," gumam Intan Melati, menirukan

pesan terakhir Saka Permadi guru ayahnya. "Aku
harus menemukan gua bawah laut itu. Aku harus
dapat meloloskan diri. Aku harus dapat membalas
kebiadaban Tengkorak Kaki Satu. Aku harus dapat
membebaskan Ayah dari pengaruh sihir jahat iblis
laknat itu...."
Dengan semangat berkobar dalam dada, ga-
dis ini terus menyelam. Dia mampu menahan na-
pas hingga beberapa lama, karena sejak kecil ter-
biasa hidup di laut. Sehingga, membuatnya pandai
menyelam dan mengatur pernapasan.
Namun, kemampuan manusia ada batas-
nya. Air laut mulai terhirup oleh Intan Melati. Pa-
ru-parunya semakin terasa sakit. Matanya pun te-
rasa amat pedih kini. Untunglah, sebelum sampai
di titik batas kemampuannya, dia melihat mulut
gua yang berada di kaki daratan yang menjorok ke
dalam laut. Segera gerakan tangan dan kakinya
dipercepat.
Mengikuti lorong gua yang ditemukannya,
tubuh Intan Melati terbawa naik. Dalam hati gadis
ini bersorak girang ketika tahu-tahu kepalanya
muncul di permukaan air. Bergegas dia menepi.
Pandangannya langsung menebar. Kiranya, dia be-
rada di pantai pulau kecil yang terletak cukup
jauh dari Pulau Karang.
Intan  Melati menarik napas sepanjang
mungkin. Dadanya yang sesak membuat tubuhnya
gemetar. Gadis ini lalu menekan perutnya.
"Hoeeekkk...!"
Air laut pun tumpah dari mulut Intan Mela-
ti. Payah sekali keadaannya. Seluruh tenaganya te-

lah terkuras habis. Keluh pendek keluar menyertai
pandangannya yang mengabur. Kepalanya pusing
bukan main, lalu tubuhnya terbanting ke sebuah
papan yang tergolek di pasir.
Debur ombak memukul-mukul garis pantai.
Suaranya bergemuruh tiada henti. Perlahan na-
mun pasti, lidah ombak menyeret tubuh lemah In-
tan Melati yang terbujur di atas papan. Hingga ak-
hirnya..., tubuh malang ini pun benar-benar ter-
bawa ke tengah laut!

***

Suropati mengedarkan pandangan ke utara.
Ditatapnya pulau kecil nun jauh di sana. Pandan-
gannya dialihkan lagi. Rupanya, banyak pulau ke-
cil yang tertangkap mata tajam Pengemis Binal.
Segera terlihat kerut di keningnya.
"Banyak benar pulau kecil di sekitar Laut
Utara ini...," gumam Pengemis Binal. "Adakah di
antaranya yang bernama Pulau Karang? Haruskah
aku menyinggahinya satu persatu? Atau, aku ber-
tanya dulu pada penduduk Kampung Randubla-
tung? Ah, tidak! Sudah empat kali aku bertanya
pada mereka, tapi tak satu pun yang dapat mem-
beri jawaban."
Selagi Pengemis Binal terbawa pikiran di
benaknya, kakinya melangkah tanpa sadar. Na-
mun, dia terhenyak ketika tatapan matanya mem-
bentur sosok tubuh berpakaian putih-kuning
mengapung di tengah laut di atas papan.
"Mayat? Orang bunuh diri?" tanya Suropati

dalam hati. "Jangan-jangan dia masih hidup!"
Bergegas Pengemis Binal berkelebat ke air
pantai. Dan seketika tubuhnya mencebur ke laut.
Suropati berenang ke tengah laut. Cepat sekali tu-
buhnya melesat bagai luncuran ikan pari. Dan se-
bentar saja, disambarnya sosok tubuh yang terku-
lai lemah di atas papan. Lalu kembali tubuhnya
meluruk ke pantai. Begitu menginjak pasir pantai
lagi, Pengemis Binal menggaruk kepalanya.
"Wuih! Gadis cantik.... Gadis cantik...," gu-
mam Suropati berulang kali.
Pengemis Binal jadi linglung. Dia tahu, si
gadis masih hidup. Tapi, bagaimana mesti meno-
long gadis yang napasnya sudah satu-satu itu?
"Napas buatan!" cetus Suropati kemudian
dengan mata berbinar. Tapi, remaja konyol ini ter-
lihat garuk-garuk kepala lagi. "Dengan cara apa
aku memberi napas buatan? Dari mulut ke mulut?
Ah! Kenapa tidak? Bukankah aku bermaksud
baik?"
Segera Pengemis Binal menempelkan bibir-
nya ke bibir si gadis yang tergeletak pingsan. Pen-
gemis Binal jadi linglung lagi. Bibirnya menyentuh
daging lembut yang sangat melenakan. Matanya
pun terpejam, seolah begitu menikmati.
"Bodoh!" maki Suropati seraya menggaplok
kepalanya sendiri.
Kepala remaja konyol ini lalu menggeleng-
geleng. Dicobanya melenyapkan pikiran mesum di
benaknya. Setelah menyebut nama Sang Penguasa
Tunggal berkali-kali, dia menarik napas panjang.
Kemudian, diberikannya napas buatan ke mulut si

gadis.
Suropati menghentikan pertolongannya, ke-
tika kepala gadis itu bergerak lemah. Dan betapa
terkejutnya si gadis ketika pandangannya berben-
turan dengan tatapan Pengemis Binal.
Gadis berpakaian putih-kuning meloncat.
Tapi, tubuhnya segera terkulai. Tenaganya belum
pulih. Dia cuma dapat menatap wajah Pengemis
Binal yang berjongkok tak jauh darinya.
"Siapa kau?" tanya si gadis, curiga.
"Tenanglah, Nona...," ujar Suropati. "Aku
bukan orang jahat. Aku melihatmu tadi menga-
pung di tengah laut. Lalu aku membawamu kema-
ri."
"Mengapung di tengah laut?" tanya si gadis
dalam hati. "Bukankah aku telah berada di pan-
tai?"
Gadis berpakaian putih-kuning menebar
pandangan. Memang betul, dia berada di pantai.
Tapi bukan pantai tempat sewaktu dia jatuh ping-
san.
"Mungkin  aku terbawa lidah ombak...," pi-
kirnya kemudian.
"Apakah kau sengaja hendak bunuh diri,
Nona? Atau kau salah seorang penumpang kapal
naas yang terhantam ombak panas?" tanya Suro-
pati, memperlihatkan kesungguhan.
"Benarkah kau yang menolongku?" bukan-
nya menjawab, si gadis malah balik bertanya.
"Ya. Kenapa?"
"Terima kasih...," ucap si gadis seraya
bangkit, hendak meninggalkan Pengemis Binal.

"Eit! Tunggu, Nona!" cegah si konyol Suro-
pati! "Kau belum memperkenalkan diri. Barangkali
kita ada jodoh untuk berjumpa lagi."
Walau sempoyongan, tapi gadis berpakaian
putih-kuning terus melangkah. Suropati yang ter-
tarik pada kecantikan si gadis tampak mengikuti
di sisi kirinya.
"Kau masih harus memulihkan kesehatan-
mu...," ingat Pengemis Binal.
Si gadis menghentikan langkahnya. Dita-
tapnya seraut wajah tampan milik Pengemis Binal.
Pandangannya mereka bertubrukan lagi. Kontan
gadis cantik itu menunduk malu. Pada saat itulah
disadari kalau pakaiannya basah-kuyup, hingga
lekuk-lekuk tubuhnya tergambar jelas.
"Pergi kau!" usir si gadis tiba-tiba.
Sejenak Pengemis Binal terpaku di tempat-
nya. Tanpa sadar kepalanya digaruk.
"Kau marah? Kau menyesal bertemu Suro-
pati?" tanya Pengemis Binal. Kesal juga hati remaja
konyol ini akhirnya.
"Suropati...," sebut gadis berpakaian putih-
kuning menggumam. "Sepertinya, Ayah pernah
menyebut-nyebut nama itu...."
"Apa yang kau katakan, Nona?" tanya Pen-
gemis Binal.
"Aku.... Aku Intan Melati. .," kata gadis ber-
pakaian putih-kuning yang memang Intan Melati.
"Ayahku pernah menyebut-nyebut nama Suropati.
Kiranya, kau orangnya...."
"Siapa nama ayahmu?"
Mendengar pertanyaan Pengemis Binal,

mendadak wajah Intan Melati berubah muram. In-
gatannya seketika melayang ke Pulau Karang. Ke-
matian saudara-saudara seperguruannya, Saka
Permadi eyangnya, ibunya, mengusik pikirannya
kini. Teringat pula ayahnya yang terkena pengaruh
ilmu 'Penghilang Akal'. Semua itu membuat gun-
dah hatinya. Maka wajar bila raut wajahnya men-
jadi muram.
Suropati yang telah menyadari keadaan, ce-
pat merengkuh bahu Intan Melati. Dibimbingnya
gadis itu untuk duduk berjemur di sisi batu ka-
rang. Pakaian mereka memang sama basah, maka
perlu untuk dikeringkan.
"Aku tahu kau mengalami beban berat, In-
tan. Raut wajahmu menunjukkan itu...," buka
Pengemis Binal kemudian.
Pandangan Intan Melati mengabur karena
air mata. Dicobanya untuk menahan isakan tan-
gis, tapi tiada kuasa. Peristiwa berdarah di Pulau
Karang begitu menyedihkan. Namun ketika terin-
gat Tengkorak Kaki Satu si pembuat malapetaka,
jemari tangannya langsung mengepal dengan wa-
jah menegang. Amarah dan dendam kini memenu-
hi dadanya yang siap meledak!
"Ceritakan apa yang terjadi pada dirimu, In-
tan...," pinta Pengemis Binal sambil menatap wa-
jah gadis di sisinya lekat-lekat. "Barangkali aku
masih bisa memberikan bantuan. Atau paling ti-
dak, kau bisa membagi beban batinmu."
Intan Melati tetap diam. Tapi kemudian,
matanya yang sendu menatap wajah Pengemis Bi-
nal yang menampakkan kesungguhan.

"Hidup bersama Ayah, Ibu, Eyang Saka
Permadi, dan saudara-saudara seperguruan ada-
lah hidup yang sangat menyenangkan. Kami se-
mua telah sepakat untuk memisahkan diri dari
dunia ramai, walau untuk sementara waktu. Ta-
pi..., aku tak tahu kenapa iblis laknat itu tiba-tiba
datang dan menghancurkan kebahagiaan kami...,"
ungkap gadis itu memulai.
"Siapa yang kau maksud dengan 'iblis lak-
nat' itu, Intan?" tanya Pengemis Binal.
"Dia memperkenalkan diri sebagai Tengko-
rak Kaki Satu...," ketika mengucapkan kalimat ini,
menegang lagi wajah Intan Melati. "Aku harus
membunuhnya! Aku harus membebaskan Ayah
dari pengaruh sihir jahatnya!"
"Tenanglah, Intan...," bisik Pengemis Binal
melihat Intan Melati jadi kalut. "Sudah kewajiban
orang-orang golongan putih untuk melenyapkan
keangkaramurkaan di muka bumi ini. Aku berjanji
akan membantumu menumpas musuh keluarga-
mu itu, Intan...."
"Herannya manusia biadab itu bisa menda-
tangi tempatku...," ucap Intan Melati dengan mata
merenung jauh.
"Aku menduga kau tentu tinggal di sebuah
tempat yang amat terpencil," kata Suropati.
"Tadi sudah kukatakan aku dan keluargaku
memang sengaja hendak memisahkan diri dari ke-
ramaian dunia. Kami tinggal di Pulau Karang."
Terkejut Suropati mendengar penuturan In-
tan Melati.
"Pulau Karang...," desis remaja konyol ini

segera teringat surat undangan yang baru diteri-
manya beberapa pekan yang lalu. "Kalau memang
tinggal di Pulau Karang, kau tentu kenal Rama
Ludira alias Pendekar Hati Putih?"
"Dia ayahku," jawab Intan Melati, cepat.
Untuk kedua kalinya Suropati terkejut.
Tanpa sadar kepalanya digaruk-garuk. Memang,
menyebalkan sekali melihat kebiasaan remaja ko-
nyol ini.
"Hmmm.... Ada apa di balik undangan Ra-
ma Ludira ini?" tanya Pengemis Binal dalam hati.
"Apakah memang ada hubungannya dengan mala-
petaka yang menimpa keluarga dan para murid-
nya? Jauh-jauh sebelumnya, apakah dia sudah
merasa akan datangnya bahaya? Kemudian dia
mengundangku. Untuk minta bantuan?"
Mengikuti pikiran di benaknya, Suropati la-
lu mengeluarkan secarik kertas dari balik bajunya.
Tentu saja kertas itu telah basah oleh air laut tadi.
Tapi ketika disodorkan, Intan Melati masih bisa
mengeja barisan huruf yang tertera.
"Surat ini memang ayahku yang membuat-
nya," tandas Intan Melati. "Agaknya, Ayah hendak
meminta bantuanmu, Suro. Dia rupanya sudah
tahu bila Tengkorak Kaki Satu akan datang men-
ciptakan peristiwa berdarah...."
Mendadak, Intan Melati bangkit dari du-
duknya. "Kau tadi telah menyatakan kesedian mu
untuk membantu, Suro. Sekarang temani aku per-
gi ke Hutan Kalirang. Aku harus mencari paman
guru ayahku yang bernama Sawung Permadi," pin-
ta gadis itu, merasa seolah sudah akrab.

Berbinar mata Pengemis Binal mendengar
ajakan  Intan Melati. Bagi remaja konyol ini, me-
nemani perjalanan seorang gadis cantik adalah
pekerjaan sangat menyenangkan. Maka, tak hen-
dak dia melepas kesempatan baik ini.
"Ya! Ya, aku akan menemanimu ke Hutan
Kalirang!" tegas Pengemis Binal begitu bangkit dari
duduknya. "Tapi...."
Suropati tak melanjutkan kalimatnya. Ke-
ningnya berkerut, seperti sedang berpikir berat.
"Ada apa, Suro?" tanya Intan Melati, tak
mengerti. 
"Kau cantik sekali, Intan...," bisik Pengemis
Binal. Intan Melati tertunduk malu. Memang, baru
Suropatilah yang mengatakan kalau dirinya can-
tik. Saudara-saudara seperguruannya di Pulau Ka-
rang tak ada yang berani menyatakannya. Bahkan,
ayahnya sendiri pun tak pernah. Hingga, pujian
Pengemis Binal membuat merebak isi hatinya.
Sementara, Pengemis Binal yang melihat ke-
luguan si gadis tampak tersenyum-senyum. Tan-
gannya yang nakal lalu membelai rambut Intan
Melati yang setengah basah.
"Kau benar-benar cantik, Intan...," pujinya
lagi.
Dalam dada Intan Melati timbul debar-
debar aneh. Otaknya tiba-tiba tak bisa lagi dibuat
berpikir. Rasa senang dan malu bercampur-aduk
jadi satu. Malah dibiarkannya saja ketika Penge-
mis Binal memegang dagunya. Dan perlahan-lahan
wajah Pengemis Binal mendekat untuk mencium
bibir Intan Melati. Tapi... 

Duk...!
"Wadouw...!"
Pengemis Binal meraung kesakitan. Dia ber-
jingkrak-jingkrak sambil mendekap bagian milik-
nya yang amat berharga bagi seorang lelaki. Ru-
panya lutut Intan Melati telah mendarat telak di
daerah itu.
"Kita baru kenal! Kenapa kau hendak ber-
buat macam-macam, Suro?!" hardik Intan Melati.
Tapi, dalam hati gadis ini menyesal melihat Suro-
pati tampak sangat kesakitan.
"Kau..., kau...."
Mendengar bicara Pengemis Binal yang ter-
gagap, Intan Melati pura-pura memasang wajah
ketus.
"Aku bisa pergi ke Hutan Kalirang seorang
diri. Aku tak butuh bantuan lelaki edan macam
kau!"
Melihat Intan Melati berjalan meninggalkan
dirinya, Suropati nyengir kuda. Dia tahu, gadis itu
pura-pura marah. Namun, dicobanya untuk men-
galah.
"Maafkan aku, Intan...," ucap Pengemis Bi-
nal seraya mengejar langkah Intan Melati. "Hutan
Kalirang jauh sekali dari sini. Di sepanjang perja-
lanan, banyak orang jahat. Tak baik gadis cantik
sepertimu berjalan seorang diri...."
Intan Melati tak menjawab. Namun, lang-
kahnya terhenyak ketika tiba-tiba muncul seorang
lelaki di hadapannya. Tanpa sadar kakinya tersu-
rut mundur dua tindak, hingga punggungnya
membentur dada Suropati.

"Lelaki Genit Mata Banci...," desis Pengemis
Binal dengan mata tak berkedip memandang lelaki
berumur sekitar enam puluh tahun yang muncul
secara mendadak.
"Ha ha ha...!" kakek berjuluk Lelaki Genit
Mata Banci tertawa bergelak. "Kita berjumpa lagi,
Suro. Agaknya kita memang berjodoh. Ha ha ha...!"
Intan Melati yang telah berdiri di sisi kiri
Suropati turut memandang Lelaki Genit Mata Ban-
ci tanpa berkedip. Penampilan kakek itu cukup
mencolok mata. Tubuhnya yang tinggi-ramping di-
bungkus pakaian merah jingga, terbuat dari bahan
mahal. Rambutnya yang telah berwarna dua diikat
sehelai sutera kuning. Gerak-geriknya tampak di-
buat-buat, seperti seorang wanita. Gadis ini jadi
jengah dan muak melihat tatapan nakal si kakek
yang terus tertuju pada wajah tampan Suropati.
"Kukira di antara kita sudah tak ada lagi
urusan, Pak Tua. Sebaiknya, menyingkirlah. Kare-
na aku tak tahan melihat tingkah-lakumu yang
genit!" ujar Pengemis Binal datar.
"Ha ha ha...! Tidak benar! Itu tidak benar"
sergah Lelaki Genit Mata Banci. "Kita masih mem-
punyai urusan, Suro! Di Laut Selatan, kau me-
mang bisa lepas dari lubang kematian. Tapi, tidak
untuk saat ini."
Mendengar ucapan si kakek banci, Suropati
teringat peristiwa beberapa bulan lalu. Kala itu,
Pengemis Binal bersama Anggraini Sulistya, Raka
Maruta, dan si Wajah Merah, sedang mengarungi
Laut Selatan untuk mencari Putri Air. Ketika Kapal
Rajawali yang ditumpangi hancur-berantakan ter-

hantam ombak ganas, Lelaki Genit Mata Banci
muncul bersama Tiga Dara Bengal dan belasan
anak buahnya dan langsung menghujani anak pa-
nah dari atas perahu layar hitam. Suropati,
Anggraini Sulistya, Raka Maruta, dan si Wajah Me-
rah terluka parah. Untunglah mereka ditolong Nyai
Catur Asta, Ratu Kerajaan Siluman (Untuk lebih
jelasnya, silakan baca serial Pengemis Binal dalam
episode : "Petaka Kerajaan Air").
"Aku heran melihat ulah orang-orang uzur
yang aneh. Padahal bila melihat umurnya sendiri
yang sudah mendekati liang kubur, mestinya bisa
berpikir lebih jernih. Kenapa hanya karena masa-
lah sepele saja, hati jadi panas penuh nafsu mem-
bunuh?"
Mendengar sindiran Pengemis Binal, Lelaki
Genit Mata Banci malah tertawa bergelak. Begitu
tawanya terhenti, kakek banci ini mendengus gu-
sar.
"Ketua Partai Iblis Ungu yang bernama Wi-
ranti adalah sahabat baikku, Bocah Gemblung!
Aku dan Wiranti menjalin tali persahabatan sejak
masih anak-anak. Dan..., kau telah memutuskan-
nya! Kau bunuh Wiranti! Itu sama saja mencong-
kel satu biji mataku!" desis Lelaki Genit Mata Ban-
ci (Kisah Wiranti yang mati di tangan Suropati bisa
dibaca pada episode : 'Tabir Air Sakti").
"Wiranti mati karena ketelengasannya sen-
diri!" sahut Pengemis Binal, cepat "Tak tahukah
kau, Pak Tua. Wiranti telah membunuh dua puluh
pengawal penjual jasa pengiriman Kencana Mega,
termasuk ketuanya yang bernama Lodra Sawala.

Bukan itu saja. Dia pun telah membunuh Tuhisa
Brama, seorang Brahmana yang tidak punya uru-
san apa-apa dengannya. Melihat kekejamannya,
kukira sudah sepatutnya Wiranti menerima kema-
tian. Oleh karenanya, buka mata hatimu lebar-
lebar, Pak Tua! Kau sebagai lelaki tua yang telah
matang pengalaman, pasti dapat membedakan
mana yang salah dan mana yang benar. Kukira
kau bukan manusia yang gampang dibujuk se-
tan...."
"Hentikan khotbahmu, Bocah Edan!" potong
Lelaki Genit Mata Banci. "Aku tak butuh nasihat
macam-macam dari mulutmu yang sontoloyo! Aku
tahu, apa yang harus kuperbuat! Aku harus mem-
balaskan kematian Wiranti! Tapi...," ucapan kakek
banci ini terhenti. Matanya mengerling nakal. "Aku
mau melupakan urusan Wiranti asal..., asal kau
mau me..., ha ha ha…!"
"Gila!" rutuk Suropati yang bisa menebak
maksud ucapan Lelaki Genit Mata Banci.     
"Bagaimana? Apakah kau bersedia?"
Tanpa menunggu jawaban, Lelaki Genit Ma-
ta Banci cepat dengan kedua tangan terbuka. Me-
lihat gerakan kakek banci yang hendak memeluk-
nya, Suropati mencabut tongkat butut yang terse-
lip di ikat pinggangnya. 
Wuuttt! 
"Heh?!"
Lelaki Genit Mata Banci terkesiap. Karena
tak mau dadanya tersodok, luncuran tubuhnya
dihentikan.
"Bangsat!" umpat kakek banci. "Menolak

keinginan Lelaki Genit Mata Banci sama saja men-
gundang Malaikat Kematian!"
"Terserah apa yang kau katakan. Tapi yang
jelas, aku tak sudi melayani kemauan gilamu!
Tampangmu saja persis monyet dibedaki!"
Mendidih darah Lelaki Genit Mata Banci
mendengar ejekan Pengemis Binal. Bola matanya
hendak keluar dari rongganya. Dengan rahang
menggembung, giginya bertautan memperdengar-
kan bunyi bergemelutuk.
"Aku menduga kau terlalu banyak berpiki-
ran mesum terhadap sesama  lelaki, Pak Tua.
Otakmu jadi bebal. Dan, lebih-lebih lagi, jadi tak
waras!" lanjut Pengemis Binal. "Sebaiknya kau
menghadap seorang pertapa. Mintalah nasihat.
Dengan begitu, mungkin kau bisa menghindari
perbuatan menyimpang."
"Haram jadah! Ku  lumatkan tubuhmu!
Heaaa...!" Dengan napas memburu terbawa luapan
amarah, Lelaki Genit Mata Banci menghentakkan
kedua telapak tangannya ke depan. Seketika dua
larik sinar kuning yang memancarkan hawa panas
meluncur deras ke arah Suropati.
Sementara, Suropati yang sudah jengkel tak
mau membuang-buang waktu. Segera digunakan-
nya ilmu 'Pukulan Salju Merah' untuk memapaki
dua larik sinar kuning wujud dari pukulan jarak
jauh Lelaki Genit Mata Banci!
"Heaaa...!" 
Blarrr...!
"Aaakh...!"
Ledakan keras terdengar membahana di

angkasa. Udara yang diselumuti hawa dingin dibe-
lah oleh jeritan panjang Lelaki Genit Mata Banci.
Tubuh lelaki tua itu jatuh terjengkang terbungkus
salju tipis berwarna merah.
Suropati yang tetap berdiri tegak di tempat-
nya memandang dingin.
"Aku tak bermaksud membunuhmu, Pak
Tua!" ujar Pengemis Binal. "Pergilah! Berpikirlah
seribu kali sebelum kau melampiaskan dendammu
kepadaku!"
Dengan tubuh menggigil kedinginan, Lelaki
Gerut Mata Banci bangkit berdiri. Untung Suropati
hanya mengerahkan setengah bagian tenaga da-
lamnya. Sehingga, kakek banci ini tak mengalami
cedera berarti. Namun, sebagai tokoh tua yang su-
dah bertahun-tahun berkecimpung di rimba persi-
latan, harga dirinya benar-benar terasa terinjak.
Dia tak mau dipecundangi Suropati yang dianggap
masih bocah ingusan. Maka....
"Heaa...!"
Sambil berteriak keras, Lelaki Genit Mata
Banci menerjang!
Melihat sebuah tendangan tertuju ke da-
danya, Pengemis Binal miringkan tubuhnya. Lalu
dengan gerakan 'Pengemis Menghiba Rembulan',
tubuhnya melenting ke atas seraya mengibaskan
tongkatnya.
Tak!
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan Lelaki Genit Mata
Banci ketika pantatnya kena gebuk tongkat butut
Pengemis Binal! Tubuhnya nyusruk mencium ta-

nah.
"Pergilah!" bentak Pengemis Binal begitu
mendarat di tanah kembali. Matanya menatap ta-
jam Lelaki Genit Mata Banci yang merangkak ban-
gun.
Tapi,  kakek  banci yang sudah gelap mata
tak mau ambil peduli. Begitu dapat berdiri tegak,
tangan kanannya berkelebat hendak menampar
wajah Pengemis Binal!
Wuuuttt...!
"Tampar wajahmu sendiri!"
Mendengar bentakan Pengemis Binal, gera-
kan Lelaki Genit Mata Banci terhenti di udara. La-
lu, kakek banci itu menampari wajahnya sendiri
beberapa kali.
Plak! Plak...!
Kedua pipi Lelaki Genit Mata Band kontan
lebam-lebam dan bibirnya berdarah setelah tan-
gannya menampar pipinya sendiri. Sungguh suatu
tindakan aneh.
"Sekarang pergilah! Dan, lupakan sakit ha-
timu!"
Aneh! Usai menampari wajahnya sendiri,
Lelaki Genit Mata Banci melaksanakan perintah
Pengemis Binal lagi. Dia lari terbirit-birit, tak sekali
pun menoleh ke belakang!
"Apa..., apa yang sebenarnya terjadi, Su-
ro...?" tanya Intan Melati heran melihat peristiwa
barusan.
"Orang tua yang tak tahu adat, sekali-sekali
perlu diberi pelajaran," sambut Pengemis Binal.
"Kakek itu tadi kenapa menampari wajah-

nya sendiri?"
"Aku telah mempengaruhi jalan pikirannya"
"Kau menyihirnya?"
"Ya. Ilmu itu kuperoleh dari guru pertama-
ku yang bergelar Periang Bertangan Lembut."
Mata Intan Melati berbinar.
"Kau hebat sekali, Suro," pujinya. Tanpa
sadar gadis cantik ini memegang lengan Pengemis
Binal.
"Rupanya kau sudah tak marah padaku, In-
tan," ledek Pengemis Binal dengan senyum manis
tersungging di bibir. "Kita ke Hutan Kalirang seka-
rang?"
Intan Melati mengangguk.

3

Dari sela-sela bebatuan yang kanan-kirinya
dipenuhi tumbuhan merambat, air bening menga-
lir membasahi tanah cadas di bawahnya. Permu-
kaan air memantulkan titik-titik gemerlapan oleh
sinar matahari yang menerobos dedaunan pohon
tinggi menjulang. Udara tak lagi panas, karena
siang telah lama lewat. Segar tiupan angin senja
membuat  burung-burung enggan menghentikan
kicaunya.
Dengan menggunakan gayung tempurung
kelapa, seorang pemuda bertubuh tinggi-tegap ber-
telanjang dada mengisi dua gentong tanah liat. Air
yang berasal dari sumber yang mengalir dari ba-
gian tanah lebih tinggi itu cukup melimpah. Se-

hingga, gentong si pemuda cepat penuh. Maka se-
gera dia beranjak dari situ dengan pikulan ber-
gayut di pundak.
Walau jalan yang dilalui berkelok-kelok dan
penuh semak-belukar, tapi si pemuda sama sekali
tak mendapat kesulitan. Bahkan mampu melon-
cat-loncat mencari tempat pijakan yang tepat. Se-
mentara air di dalam dua gentong yang dipikulnya
pun tak tumpah sedikit pun. Padahal isinya penuh
rata dengan bibir gentong.
Hanya dalam beberapa tarikan napas saja,
pemuda bertelanjang dada itu telah jauh mening-
galkan mata air yang terletak di tengah hutan.
Namun dia meloncat setinggi tiga tombak. Ketika
tubuhnya masih melayang, pikulan di pundaknya
dilepaskan. 
"Hiih...!"
Pada saat itulah bambu itu meluncur turun,
si pemuda menjejaknya. Anehnya, dua gentong
yang terikat di pikulan mendarat dengan mulus di
tanah. Dan airnya sama sekali tak tumpah! Se-
dangkan tubuh si pemuda terlihat meluncur den-
gan tangan kanan terjulur, hendak menangkap
sebuah sinar keperakan yang meluncur ke arah-
nya!
Tap!
Si pemuda berhasil menangkap sinar kepe-
rakan yang ternyata sebilah pisau. Begitu menda-
rat, pandangannya langsung menebar ke sekelil-
ing. Tapi orang yang melempar tak tampak oleh
penglihatannya. Pemuda berambut pendek keriting
itu lalu mengamati pisau yang berada di tangan

kanannya.
"Hmmm.... Agaknya, begundal-begundalnya
Tengkorak Kaki Satu yang melakukan perbuatan
ini...," gumam si pemuda melihat gagang pisau
berhias tempurung kepala manusia.
Pemuda ini lantas memutar hiasan pisau
itu ke kiri. Ternyata, gagang pisau berlubang ba-
gian tengahnya. Dari dalamnya, dikeluarkannya
gulungan kertas berwarna merah yang ternyata
berisi sebuah pesan. Segera dibacanya deretan hu-
ruf yang ditulis dengan tinta emas.

Raksa Wijaya,
Waktu untuk melenyapkan Sawung Permadi
telah mendesak. Aku tak mau berlama-lama tinggal
di Perguruan Tapak Putih. Segera kirim kabar, di
mana kelemahan Sawung Permadi.
Tengkorak Kaki Satu

Usai membaca, pemuda bertelanjang dada
ini meremas kertas merah di tangan kanannya.
Ketika jari tangannya terbuka kembali, kertas itu
telah berubah menjadi abu hitam! Jelas, betapa
tingginya tenaga dalam si pemuda.
Wajah pemuda yang ternyata bernama Rak-
sa Wijaya ini terlihat keruh kini. Disandangnya pi-
kulan itu lagi dengan setengah hati. Namun memi-
kirkan tugas yang harus diselesaikannya, dia sege-
ra memacu semangatnya untuk dapat berlari ce-
pat.
Keringat membanjir di sekujur tubuh Raksa
Wijaya ketika langkah kakinya sampai di pringgi-

tan yang terletak di sisi kanan bangunan utama
Perguruan Tapak Putih. Gentong airnya diletakkan
begitu  saja. Matanya berbinar ketika telinganya
mendengar suara pembicaraan dari dalam ruan-
gan utama. Lalu dibukanya pintu samping pringgi-
tan yang menghubungkan dengan ruang utama.
Sementara itu, di sebuah ruangan berlantai
papan, seorang kakek tampak duduk bersila.
Rambutnya yang telah memutih digelung ke atas
dengan ikatan akar bahar. Sorot matanya teduh.
Wajahnya menggambarkan keluhuran budi. Dan
walau bertubuh kurus, tapi sikap duduknya tegak-
kokoh bagai karang. Kakek berjubah putih inilah
yang bernama Sawung Permadi yang dikenal seba-
gai Pendekar Tapak Putih. Beliaulah pendiri Pergu-
ruan Tapak Putih.
Duduk bersila pula di hadapan Sawung
Permadi adalah seorang pemuda tampan. Sikap
duduknya menunduk hormat. Rambutnya yang hi-
tam panjang dibiarkan tergerai. Tubuhnya  yang
kekar dibungkus pakaian ketat serba putih. Dia
adalah murid utama Sawung Permadi yang ber-
nama Bantar Gurdi.
"Bukannya aku tak mau mengajarkan ilmu
kesaktianku kepada Raksa Wijaya, Gurdi...," tutup
Sawung Permadi. "Hanya saja, dalam diriku timbul
perasaan aneh bila sedang berhadapan dengan
pemuda itu. Perasaan aneh itulah yang membua-
tku jadi ragu untuk menurunkan ilmu kesaktian-
ku kepadanya."
"Apakah karena Raksa Wijaya baru bebera-
pa bulan tinggal di perguruan ini, sehingga Guru

bersikap demikian? Atau mungkin Guru menyang-
sikan maksud baik pemuda itu?" timpal Bantar
Gurdi. "Aku yakin, dia pemuda berjiwa pendekar,
Guru. Akulah yang mengajaknya kemari. Berarti,
tingkah-lakunya juga menjadi tanggung jawabku.
Aku berjumpa dengannya saat pemuda itu ber-
tempur melawan para perampok. Aku melihat dia
terdesak. Lalu, aku membantunya. Maka sampai-
lah dia di sini, di mana aku meminta kepada Guru
untuk mengangkatnya sebagai murid."
Mendengar kata-kata muridnya yang cukup
panjang, Sawung Permadi diam. Kerut-kerut di
wajahnya semakin kentara terlihat.
"Raksa Wijaya memang seorang pemuda ra-
jin. Selama empat bulan di sini, tidak sekali pun
berbuat salah. Dia juga seorang pemuda ramah...,"
papar Pendekar Tapak Putih kemudian. "Tapi...,
kenapa dalam diriku seperti timbul rasa curiga?"
"Sebagai seorang sahabat, aku mengerti
keinginan Raksa Wijaya untuk menimba ilmu ke-
pada Guru. Tapi bila kecurigaan Guru itu benar,
akulah yang harus menerima hukuman. Namun,
bila kecurigaan itu ternyata salah, berarti Guru te-
lah menyia-nyiakan maksud baik Raksa Wijaya
yang ingin menambah ilmu untuk digunakan di ja-
lan kebenaran."
Mendengar ucapan Bantar Gurdi yang sedi-
kit menuduh, Sawung Permadi menghela napas
panjang.
"Aku punya firasat bahwa kehadiran Raksa
Wijaya merupakan awal timbulnya peristiwa ber-
darah...."

Terkejut bukan main Bantar Gurdi men-
dengar ucapan gurunya. Sikapnya seperti tak per-
caya.
"Peristiwa berdarah? Apakah Guru mempu-
nyai musuh besar, sehingga dia merasa perlu
mengirimkan telik sandi?"
Pendekar Tapak Putih menggeleng. "Aku
merasa tidak punya musuh. Tapi, entah bila ada
orang yang sengaja memusuhiku...."    
"Kalau begitu, firasat Guru tidak beralasan."
"Firasat bukan buatan manusia. Firasat be-
rasal  dari alam bawah sadar yang tidak bisa di-
jangkau akal manusia. Jadi, firasatku entah benar
entah tidak, aka tak tahu. Yang ku  tahu, firasat
datang kepada diri manusia agar bisa sedikit tahu
apa yang akan terjadi esok hari...."
Bantar Gurdi terdiam.
"Sudah cukupkah keperluanmu untuk da-
tang ke hadapanku, Gurdi?" tanya Sawung Perma-
di kemudian.
Bantar Gurdi tak juga membuka suara lagi.
Agaknya, pemuda itu kecewa karena usulnya tak
disetujui Sawung Permadi.
"Sudahlah...," ujar Pendekar Tapak Putih
dengan suara lembut. "Aku tahu perasaanmu,
Gurdi. Tapi, sebaiknya kita tak usah membicara-
kan perihal Raksa Wijaya. Sekarang dia tentu telah
menyelesaikan tugasnya mencari air. Aku tak ingin
dia mendengar pembicaraan kita."
Di ujung kalimat Sawung Permadi, Raksa
Wijaya yang tengah mencuri dengar pembicaraan
dengan merapat ke dinding papan segera beranjak

dari tempatnya berdiri. Digunakannya ilmu merin-
gankan tubuh agar langkah kakinya tak terdengar.
"Agaknya, usahaku selama empat bulan ini
akan menemui kegagalan...," pikir Raksa Wijaya
sambil membenarkan letak gentong air di pringgi-
tan. "Naluri Sawung Permadi begitu peka. Jelas bi-
la orang tua itu menyimpan kecurigaan kepadaku.
Apa dayaku sekarang? Bagaimana aku dapat men-
jalankan tugas yang diberikan Tengkorak Kaki Sa-
tu?"
Teringat isi surat yang diterimanya ketika
mencari air barusan, paras Raksa Wijaya jadi
mengelam. Pikirannya kini kalut. Dia tahu, Teng-
korak Kaki Satu adalah manusia kejam yang tak
segan menjatuhkan tangan maut. Apalagi, kepada
orang yang tak bisa menjalankan tugas dengan
baik.
"He, Wijaya...."
Terdengar suara panggilan. Walau lemah,
tapi cukup membuat pemuda itu terkejut.
"Oh? Kiranya kau, Gurdi...?" ujar Raksa Wi-
jaya, menyembunyikan keterkejutannya, melihat
Bantar Gurdi tahu-tahu telah berdiri empat tom-
bak di sampingnya.
Bantar Gurdi yang berdiri di pintu pringgi-
tan tersenyum sekilas. Lalu, kakinya melangkah
menghampiri Raksa Wijaya.
"Aku tadi sudah bicara dengan Guru," jelas
Bantar Gurdi. "Tapi, kau mesti bersabar lagi. Guru
masih belum berkenan menurunkan beberapa il-
mu kesaktiannya kepadamu.''
"Lalu, sekarang Guru berada di mana?"

tanya  Raksa Wijaya. Suaranya pelan seperti me-
nyimpan kekhawatiran.
"Beliau di halaman belakang. Mungkin un-
tuk melihat para murid tataran rendah yang se-
dang berlatih."
Terlintas rasa senang di hati Raksa Wijaya
mendengar ucapan Bantar Gurdi.
"Guru bergelar Pendekar Tapak Putih. Apa-
kah ilmu andalannya juga bernama Tapak Putih?"
tanyanya.
"Kenapa dengan ilmu 'Tapak Putih?" Bantar
Gurdi balik bertanya.
"Ah, tidak. Aku hanya sekadar bertanya.
Benarkah apa yang kukatakan tadi?"
"Ya! Guru memang mempunyai ilmu anda-
lan yang bernama 'Tapak Putih'," jawab Bantar
Gurdi tanpa curiga.
"Kehebatannya? "
"Aku belum pernah tahu sendiri. Tapi ka-
barnya, setiap orang yang terkena pukulan 'Tapak
Putih' akan mempunyai tanda putih menyerupai
telapak tangan di tubuhnya."
"Hanya itu?" 
"Itulah yang ku tahu."
Raksa Wijaya kecewa mendengar jawaban
Bantar Gurdi. Namun, dicobanya terus untuk
mengorek keterangan dari murid utama Sawung
Permadi itu.
"Kau sendiri, apakah sudah menguasai ilmu
'Tapak Putih'?" tanya Raksa Wijaya kemudian.
"Belum. Guru baru mengajarkan dasar-
dasarnya."

Jawaban Bantar Gurdi semakin membuat
kecewa Raksa Wijaya. Tak ingin perubahan air
mukanya terlihat, cepat Raksa Wijaya menepuk
bahu Bantar Gurdi.
"Rupanya Guru adalah orang yang sangat
berhati-hati."
"Maksudmu?" 
"Kalau Guru bukan orang yang sangat ber-
hati-hati dalam bertindak, tentu telah mengajar-
kan ilmu andalannya kepadamu. Bukankah kau
sudah tinggal di sini lebih dari sepuluh tahun?"
"Bukan itu alasannya kenapa Gum belum
mengajarkan ilmu ‘Tapak Putih’ kepadaku. Menu-
rut Guru, aku mesti menyempurnakan tenaga da-
lam dulu. Karena, tanpa tenaga dalam sempurna,
ilmu 'Tapak Putih' tak mungkin dapat dikuasai se-
cara sempurna pula."
Raksa Wijaya mengangguk-angguk.
"Hari sudah menjelang malam. Aku akan
menyalakan lampu-lampu," kata Bantar Gurdi
kemudian.
"Tunggu dulu!" cegah Raksa Wijaya. "Aku
masih punya satu pertanyaan lagi untukmu."
"Apa?"
"Di mana ruang baca pribadi Guru?"
Kerang Bantar Gurdi berkerut mendengar
pertanyaan Raksa Wijaya.
"Kau mau apa?" selidiknya, kali ini timbul
rasa curiga.
"Aku sekadar bertanya," kilah Raksa Wijaya.
"Selama empat bulan tinggal di sini, janggal ra-
sanya bila tak mengetahui tempat Guru biasa me-

nyendiri. Selain mencari air, bukankah tugasku
juga membersihkan seluruh ruangan perguruan?"
"Ya. Ya, aku tahu. Tapi, simpan dulu perta-
nyaanmu itu," ujar Bantar Gurdi.
"Apa susahnya menjawab pertanyaanku,
Gurdi?" cecar Raksa Wijaya. "Kukira kau benar-
benar telah mengangkat saudara kepadaku. Nya-
tanya, kau hanya bermanis mulut belaka."
Mengelam paras Bantar Gurdi mendengar
sindiran Raksa Wijaya. Tapi, dicobanya untuk te-
tap bersabar.
"Besok pagi-pagi sekali aku akan pergi dari
tempat ini...," ujar Raksa Wijaya bernada sedih.
"Selain kehadiranku tak disukai pemilik perguruan
ini, orang yang mengaku sebagai sahabat pun ma-
lah mencurigaiku." 
"Kau sadar pada apa yang kau ucapkan, Wi-
jaya?" tanya Bantar Gurdi, meminta penjelasan.
"Kau tak perlu bertanya, Gurdi. Karena, kau
pun tak mau menjawab pertanyaanku."
Bantar Gurdi terdiam. Otaknya diputar.
"Baiklah aku jawab pertanyaanmu. Kupikir tak
ada salahnya kau mengetahui ruang baca pribadi
Guru. Tempat tidur Guru adalah ruang baca pri-
badinya juga," jelas Bantar Gurdi setelah menda-
pat akal bagus. Raksa Wijaya kontan bersorak gi-
rang dalam hati.
Ditepuknya bahu Bantar Gurdi berulang
kali.
"Kau memang sahabat sejati, Gurdi...," ka-
tanya.
Bantar Gurdi tersenyum. "Kelak aku pasti

meminta bantuanmu, Wijaya...," gumamnya.
"Ha? Apa yang kau katakan, Gurdi?" tanya
Raksa Wijaya. Rupanya, pemuda ini mendengar
gumaman Bantar Gurdi.
"Ah, tidak. Aku hanya berkata pada diriku
sendiri."
"Hmmm.... Ya?"
Bantar Gurdi kembali tersenyum, lalu ke-
luar dari pringgitan untuk menyalakan lampu-
lampu perguruan. Sementara Raksa Wijaya tetap
di tempatnya. Benaknya telah terusik untuk men-
cari cara agar dapat mengemban tugas dengan
baik.

***