Pengemis Binal 15 - Sengketa Orang-Orang Berkerudung(2)


Di luar istana keadaan gelap terselimuti sepi. Ma-
lam semakin larut terbawa putaran waktu. Kabut mu-
lai turun menghantar dingin. Cengkeraman udara din-
gin yang menusuk-nusuk tulang itu tak dipedulikan
oleh lima sosok manusia yang tengah berlari cepat.
Mereka semua mengenakan pakaian ketat hitam.
Kerudung yang juga berwarna hitam menutup kepala
dan wajah. Di punggung masing-masing terselip sebi-
lah  pedang panjang. Yang seorang berlari di depan.
Sekitar lima tombak di belakangnya, empat temannya
menyusul. Dalam kegelapan malam gerak lari mereka
hampir tak dapat diikuti pandangan mata. Pakaian
mereka yang serba hitam menyatu dengan suasana ke-
lam.
"Tuan Adipati...!" terdengar suara berat memang-
gil.
Orang yang berlari di depan segera menghentikan
langkah. Dari balik kerudung, matanya menatap tajam
empat sosok tubuh yang telah lebih dahulu menghen-
tikan langkah.
"Tuan Adipati hendak membawa kami ke mana?"
tanya orang yang berdiri di ujung sebelah kanan. Sua-
ranya berat dan terdengar patah-patah. Agaknya dia
orang yang berasal dari negeri seberang.
Yang ditanya tak memberikan jawaban. Bola ma-
tanya menatap nanar. Lalu, orang yang memiliki tubuh
ramping ini mendengus. Dia tak memberikan jawaban.
"Tuan Adipati hendak membawa kami ke mana?"
ulang si penanya. "Apakah Tuan Adipati telah berhasil
membunuh Prabu Singgalang Manjujung Langit?"
Mendengar logat asing yang patah-patah, orang
bertubuh ramping mendengus lagi.
"Siapa yang kalian sebut dengan Tuan Adipati

itu?" dia balik bertanya. Suaranya terdengar aneh.
Agaknya orang ini menggunakan suara perut
Empat orang berkerudung hitam tampak terpe-
rangah. Yang di ujung kiri melangkah setindak. Sigap
sekali dia mencabut pedang panjang yang terselip di
punggungnya.
"Rupanya kau cecunguk yang menyamar sebagai
pemimpin kami. Katakan apa yang telah kau lakukan
di istana!" bentak orang itu sambil mengacungkan pe-
dang ke muka.
"Ha ha ha....'" orang bertubuh ramping tertawa
terbahak-bahak. "Bila kau ingin tahu apa yang telah
kulakukan di istana barusan, baik..., akan aku kata-
kan. Buka telingamu lebar-lebar! Orang yang kau se-
but sebagai Tuan Adipati itu benar-benar tikus busuk
yang layak dilumatkan tubuhnya! Setelah dia membu-
nuh pengawal Baginda Prabu, aku telah melenyapkan
nyawanya!"
"Bangsat!" umpat salah satu dari empat orang
berkerudung. Orang ini turut maju selangkah seraya
menghunus pedang panjangnya. "Bersiap-siaplah! Ka-
tana ini akan membungkam mulut besarmu!" ancam-
nya. Seperti teman-temannya, kalimat orang ini juga
terdengar patah-patah dengan logat kaku.
Orang berkerudung yang mempunyai tubuh
ramping mendengus keras. Disambutnya serangan se-
rempak tusukan dan tebasan pedang panjang.
"Nyawa mayat yang baru saja kalian buang di
sungai tadi akan segera kalian susul!" ujar orang ber-
tubuh ramping. Agaknya, dia memang seseorang yang
menyamar sebagai ninja. Tak kalah sigap dia menca-
but pedang panjang di punggungnya. Lalu, pedang
panjang milik ninja yang biasa disebut katana itu di-
putar cepat.
Trang! Trang! Trang! Trang!

Bunga api memercik empat kali berturut-turut.
Suara yang ditimbulkan dari benturan senjata tajam
itu membuat kesunyian malam tersibak. Pertempuran
antara orang-orang berkerudung berlangsung cukup
sengit. Sambaran pedang  yang menimbulkan kilatan
sinar putih terdengar mendesing-desing.
"Sebelum mati, Tuan kalian berpesan agar aku
menghukum kebodohan kalian dengan katananya ini!"
ujar orang bertubuh ramping seraya melenting ke atas.
Lalu, cepat sekali tubuh rampingnya menukik turun
dengan mengirimkan sambaran maut empat kali.
Swing! Swing!
Trang! Trang!
Dua sambaran pertama berhasil dihindari lawan.
Dua sambaran berikutnya juga menemui kegagalan,
karena pedang lawan berkelebat menangkis. Orang
berkerudung yang dikeroyok menggeram gusar. Tang-
kisan lawan membuat telapak tangan kanannya yang
memegang hulu pedang jadi kesemutan. Agaknya la-
wan mempunyai tenaga lebih kuat
Orang bertubuh ramping tak mau menanggung
akibat buruk sedikit pun. Cepat dia menyaluri tangan
kanannya dengan tenaga dalam. Hingga, pada bentu-
ran pedang berikutnya salah satu senjata lawan men-
celat lepas dari pegangan.
"Ninja-ninja keparat! Jauh-jauh datang ke negeri
orang hanya untuk membuat kerusuhan. Makan sen-
jata kebanggaanmu ini!" pekik orang bertubuh ramp-
ing. Suara lantangnya tetap menggunakan suara pe-
rut. Sepertinya orang ini tak mau dikenali, walau
hanya lewat suaranya saja.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh,
sosok bertubuh ramping mengirimkan tusukan ke jan-
tung lawan yang sudah tak memegang senjata. Gera-
kan itu cepat sekali. Yang diserang tampaknya tak

mungkin akan mampu menghindar. Dia masih terbawa
keterkejutan akibat kehilangan senjata.
Swik! Swik! 
Trang! Trang!
Orang bertubuh ramping terkesiap. Terpaksa dia
mengurungkan tusukannya yang hampir mengenai sa-
saran. Dua lemparan besi berbentuk bintang meluncur
cepat. Pedang yang hampir merenggut nyawa salah
seorang lawan akhirnya digunakan untuk merontok-
kan dua senjata rahasia itu.
Dan sebelum orang bertubuh ramping mempero-
leh kesempatan untuk menyerang lagi. Keempat la-
wannya telah mengirimkan senjata rahasia yang lain.
"Peluk shuriken ini!" ujar salah seorang dari para
pengeroyok.
Walau malam begitu gelap, tapi mata orang ber-
tubuh ramping masih dapat melihat adanya bahaya
yang datang mengancam. Cepat dia memutar pedang-
nya dengan tubuh ikut berputar pula. Akibatnya, selu-
ruh senjata rahasia yang dilontarkan lawan berhasil
dirontokkan. Namun bahaya terus mengejar. Salah sa-
tu lawan mengemposkan tubuh ke atas seraya mengi-
rimkan bacokan maut ke kepala. Tiga  temannya me-
nyerang secara bersamaan. Mereka mengincar tubuh
bagian bawah orang bertubuh ramping.
Terdengar benturan senjata tajam tiga kali. Satu
bacokan dari atas dan dua tusukan dari bawah dapat
digagalkan dengan tangkisan pedang. Namun, salah
satu pedang lawan berhasil merobek pinggul kiri orang
bertubuh ramping. Jerit kecil keluar dari mulut orang
itu, membarengi muncratnya cairan darah. Pakaian hi-
tam berikut daging tubuhnya robek. Walau tidak sebe-
rapa besar, tapi cukup menyakitkan. Hingga gerakan
orang bertubuh ramping jadi kacau.
"Berani memakai pakaian ninja berarti tak takut

mati. Tapi, sebaiknya kupesiangi dulu tubuhmu itu!"
ancam salah satu pengeroyok seraya membabatkan
pedangnya beberapa kali.
Orang bertubuh ramping mampu menghindar.
Namun setelah lawan menyertai sambaran pedangnya
dengan lontaran senjata rahasia yang berbentuk bin-
tang, terdesak hebatlah dia! 
Swik!
"Argkh...!"
Orang bertubuh ramping menjerit keras. Sebuah
senjata rahasia menancap di bahu kirinya. Dia belum
sempat memperbaiki kedudukannya yang goyah ketika
empat kilatan sinar putih meluruk datang.
Trang! Trang!
Des! Des!
Orang bertubuh ramping terperangah. Dia sudah
yakin Malaikat Kematian akan datang menjemput
nyawanya. Tapi, tahu-tahu dua orang lawannya ter-
lempar jauh seperti terkena tendangan yang amat ke-
ras. Dua orang lagi tampak berdiri terpukau karena
pedangnya terpental dan lenyap dalam kegelapan ma-
lam.
Orang bertubuh ramping bersorak girang dalam
hati. Matanya membentur sosok remaja tampan yang
berdiri gagah dengan sebatang tongkat di tangan ka-
nan. Dia mengenakan pakaian putih penuh tambalan.
Cahaya rembulan yang menabur memperlihatkan bi-
birnya yang menyunggingkan senyum.
"Aku tak hendak mencampuri urusan orang. Tapi
bila melihat pertempuran yang tak seimbang, gatal
tanganku untuk turun tangan," ujar orang yang baru
datang sambil menggaruk-garuk kepala. Gerakannya
itu tampak asal-asalan, seperti sengaja memperli-
hatkan kekonyolannya.
"Hei! Rupanya kau hendak main kucing-kucingan

denganku, Suro!"
Suara bentakan keras membarengi kelebatan tu-
buh seorang gadis berpakaian serba merah. Gadis ini
berhenti di hadapan remaja tampan yang lebih dulu
datang. Sikapnya tak ambil peduli pada orang-orang
berkerudung yang berada di tempat itu.
"Sudah kubilang tadi kalau aku mendengar suara
pertempuran, Putri. Kau tak perlu marah-marah seper-
ti itu...," kata remaja tampan berpakaian putih penuh
tambalan.
"Ya! Tapi mestinya kau ajak aku! Jangan berlaku
seenak perutmu sendiri!" bentak gadis berbaju merah. 
Selagi kedua pendatang itu berkata-kata, orang
berkerudung yang bertubuh ramping memekik kecil.
Diterjangnya dua lawan yang masih berdiri terpaku di
tempatnya. Namun, dari kejauhan melesat empat lem-
pengan besi berbentuk bintang.
Trang! Trang! 
Dua lempengan besi hanya mengenai tempat ko-
song. Dua lainnya membentur pedang di tangan orang
bertubuh ramping. Dan sebelum dia menyusuli lagi se-
rangannya, dari kejauhan terlontar dua benda bulat.
Blar! Blar!
Dua ledakan menggema di angkasa, merobek-
robek kesunyian malam. Bau sangit langsung tercium
menusuk hidung. Bau ini berasal dari asap tebal yang
kini memenuhi tempat itu.
"Keparat! Hendak lari ke mana kalian?!" hardik
orang bertubuh ramping seraya membabatkan pe-
dangnya ke depan.
Yang dituju adalah dua orang yang tadi gagal dis-
erangnya. Namun, ketajaman pedangnya hanya men-
genai angin. Sasarannya telah lenyap sebelum asap
tebal. menipis. Dan ketika asap yang berasal dari ba-
han peledak itu benar-benar lenyap, dua orang berke-

rudung yang tadi terkena tendangan turut lenyap.
Kini tinggal orang bertubuh ramping mengumpat-
umpat sendiri menyesali kepergian lawannya. Tapi be-
gitu luka di bahu dan pinggul kirinya terasa sangat
pedih, orang ini mengeluh. Pedang panjang di tangan-
nya bergetar.
"Kau terluka, Kisanak?" tanya remaja tampan
berpakaian putih penuh tambalan. Dia berjalan men-
dekati.
Orang berkerudung yang tertinggal menggeleng-
kan kepala. Dia ingin berkata-kata, tapi segera dite-
kannya keinginan itu. Perasaannya yang tiba-tiba ga-
lau memaksanya segera angkat kaki menghilang dalam
kegelapan malam sebelum si remaja melangkah lebih
dekat
"Aneh...," gumam si remaja tampan sambil mena-
tap tempat menghilangnya orang berkerudung tadi.
"Mau ditolong malah pergi. Kalau tak mau, ya sudah.
Tapi mestinya jangan seenaknya ngeloyor pergi seperti
itu!" tambahnya sambil mengernyitkan hidung.
Melihat gerak-gerik remaja tampan berpakaian
putih penuh tambalan itu, siapa lagi dia kalau bukan
Suropati atau Pengemis Binal, Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti. Gadis berpakaian serba me-
rah yang bersama dengannya adalah Ingkanputri atau
Dewi Baju Merah.
Dua pendekar muda ini berada di wilayah Kera-
jaan Pasir Luhur untuk menyelesaikan sebuah urusan.
Suropati hendak menghadap Prabu Singgalang Manju-
jung Langit, yang menurut penuturan Anggraini Sulis-
tya adalah ayah kandungnya. Sedangkan Ingkanputri
turut pergi bersama Suropati karena dia hendak men-
gejar Saka Purdianta atau Dewa Guntur yang telah
melarikan Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi (Ten-
tang rencana ini, baca episode : "Prahara Di Kuil Salo-

ka").
"Bukan sekali dua kali aku mengingatkan ten-
tang kebiasaan burukmu itu, Suro! Rupanya kau tetap
bendel!" ujar Ingkanputri, yang melihat Pengemis Binal
masih saja menggaruk-garuk kepalanya. Padahal In-
gkanputri tahu betul kepala remaja tampan itu tidak
gatal.
Mendengar teguran Dewi Baju Merah, Suropati
buru-buru menurunkan tangannya. Lalu, sambil cen-
gar-cengir dia menatap Ingkanputri. Mendadak saja
Suropati bergerak ke depan seperti hendak memeluk.
"Jangan kurang ajar, Suro!" hardik Dewi Baju
Merah. "Juga aku peringatkan tentang perbuatan ko-
nyolmu ini. Bila masih bandel, kupeluntir telingamu
hingga tanggal!"
Mendengar ancaman itu, Pengemis Binal malah
tertawa terkekeh.
"He he he.... Sejak keberangkatan kita dari kota
Kadipaten Bumiraksa sebetulnya aku memendam ha-
sratku untuk me...."
"Teruskan kalimatmu itu kalau kau mau telin-
gamu benar-benar tanggal!"
Pengemis Binal merengut. Sebentar kemudian
kepalanya terlihat digeleng-gelengkan.
"Di tepi sungai sebelah sana tadi aku telah mem-
buatkan tempat tidur untukmu. Mestinya kau beristi-
rahat sekarang. Tapi, kenapa  kau malah bersusah-
payah mengikuti langkahku? Tentu kau khawatir ka-
lau-kalau aku hilang disambar gadis cantik. He he
he...."
"Malam-malam begini bukan waktunya untuk
bercanda!" tukas Ingkanputri. "Sebaiknya kita segera
mencari tempat untuk beristirahat. Bukankah menu-
rut rencanamu besok pagi kau akan pergi ke kotapra-
ja?"

"Ya..., ya!" sahut Pengemis Binal sambil menatap
wajah Ingkanputri. Lalu, dia mendongak. Dilihatnya
langit hitam yang ditaburi kerlip bintang. "Malam ini
terasa aneh...," bisiknya. "Langit hitam.... Bertemu
dengan orang-orang berkerudung hitam.... Kenapa aku
menolong orang yang dikeroyok itu? Apakah keadilan
yang menuntutku, karena melihat perkelahian tidak
seimbang? Atau, hanya karena keisenganku saja? Ah,
kurasa tidak! Hati kecilku meminta aku untuk meno-
long dia. Padahal aku tak tahu dia orang baik atau
orang jahat...."
Sewaktu Suropati berkata-kata, samar-samar
terdengar suara kokok ayam. Fajar akan segera tiba.
Dingin kini terasa semakin menusuk tulang.
"Kalau kau ingin tidur, tidurlah di tempat ini, Pu-
tri," ujar Pengemis Binal. "Sudah tanggung bagiku un-
tuk memejamkan mata. Aku akan membuat perapian."
Kebetulan sekali di tempat itu banyak terdapat
ranting-ranting kering. Tidak seberapa lama kemudian
Suropati telah berhasil membuat perapian, lumayan
untuk penerangan sekaligus pengusir hawa dingin.
Pengemis  Binal  duduk tepekur menatap lidah-
lidah api yang bergoyang di kiri-kanan karena hembu-
san angin. Sementara Dewi Baju Merah duduk di ha-
dapan remaja tampan itu. Matanya menatap heran pa-
da wajah Suropati yang tiba-tiba berubah kusut
"Apa yang kau pikirkan, Suro?" tanya Ingkanpu-
tri, terbawa rasa ingin tahunya.
"Masih ada waktu yang bisa kau pergunakan un-
tuk tidur," Pengemis Binal mengabaikan pertanyaan
Ingkanputri.
"Aku tak mengantuk. Aku akan menemanimu
duduk di sini. Karena itu aku ingin tahu apa yang ada
di benakmu."
"Aku menyusahkanmu saja, Putri...," ujar Pen-

gemis Binal setengah berbisik. "Gadis secantik dirimu
seharusnya berada di atas tilam indah pada malam
yang dingin seperti ini. Bukannya duduk tepekur di
udara bebas...."
"Ah, jangan berbasa-basi, Suro. Sepertinya kau
tidak tahu siapa aku. Kau melakukan perjalanan siang
malam agar cepat sampai di kotapraja. Kalau aku
mengikutimu, itu atas kemauanku sendiri. Aku berha-
rap setelah kau menghadap Prabu Singgalang Manjun-
jungan Langit, kau akan bersedia mengantarku ke Ka-
tumenggungan Lemah Abang. Juga kuminta bantuan-
mu untuk memecahkan batok kepala Saka Purdianta.
Pencuri Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi itu me-
mang layak untuk dienyahkan dari muka bumi!"
Dewi Baju Merah mengepalkan tinju. Sementara
Pengemis Binal menatapnya lalu mengangguk-
anggukkan kepala, membenarkan tindakan Ingkanpu-
tri.
"Apakah kau dapat memperkirakan kenapa terja-
di bentrokan antara orang-orang berkerudung tadi, Pu-
tri?" tanya Suropati kemudian.
Ingkanputri menggeleng cepat "Mana aku tahu....
Kita berjumpa dengan mereka baru kali ini," ujarnya.
"Hmm.... Rupanya peristiwa pertempuran tadi yang se-
karang mengusik pikiranmu."
"Aku tahu orang yang dikeroyok tadi terluka. Ti-
ba-tiba timbul rasa kasihan dalam hatiku. Walau aku
tak dapat memastikan siapa dia, tapi hati kecilku
mengatakan kalau dia pernah dekat denganku. Paling
tidak aku pernah mengenalnya."
Ingkanputri terdengar mendengus. "Kau dapat
berkata seperti itu karena kau tahu dia seorang wani-
ta. Huh! Jengkel aku melihat sifat mata keranjangmu!"
"Apa?! Dia seorang wanita?" Pengemis Binal keli-
hatan terkejut.

"Jangan pura-pura tak tahu!" cibir Dewi Baju Me-
rah sambil melengos.
"Sungguh, aku tak tahu. Bukankah dia menge-
nakan kerudung? Mana aku dapat mengenali wajah-
nya?"
"Tapi, kau dapat melihat dadanya yang meng-
gembung! Dia seorang gadis montok, Suro. Mungkin
sekali dia memiliki wajah yang cantik!" 
"Benarkah begitu?"
Dewi Baju Merah diam. Tampaknya dia merajuk.
Mengetahui perubahan sikap murid Dewi Tangan Api
ini, Pengemis Binal menggaruk-garuk kepalanya se-
bentar. Lalu, dia beringsut dari duduknya. Dibelainya
rambut Dewi Baju Merah.
"Kau marah, Putri?" tanya Pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti itu.
Dewi Baju Merah tak memberikan jawaban. Sedi-
kit kasar tangannya menepis belaian Suropati. Tapi,
remaja tampan itu malah tertawa.
"Aku tahu apa yang ada di benakmu. Amarah
bercampur cemburu. He he he..."
"Huh! Siapa yang cemburu?! Untuk apa aku
mencemburuimu?! Aku bukan apa-apamu!" sahut In-
gkanputri bernada marah.
Suropati menggaruk-garuk kepalanya. "Ingkan-
putri, aku sudah bilang tadi bahwa aku memendam
rasa inginku untuk,..."
"Untuk apa?! Kau teruskan kalimatmu itu, benar-
benar kutanggalkan telingamu!"
"Eit! Kenapa marah-marah begitu?" ucap Penge-
mis Binal sambil mengulum senyum. "Hmm.... Tapi tak
apa. Pipimu yang merona merah, dengus nafasmu
yang keras, dan kata-katamu yang pedas itu pertanda
kau sedang marah. Aku jadi tahu kalau...."
"Kalau apa?!" bentak Ingkanputri.

"Kalau kau sangat mencintaiku!"
"Gila!" 
"Ya! Kau tergila-gila padaku!" goda Suropati.
"Ngawur!"
"Ya! Pikiranmu jadi ngawur karena terbawa lua-
pan cintamu yang menggebu!"
Mendengar ucapan konyol Pengemis Binal, In-
gkanputri mengangkat tangannya untuk menampar.
Tapi Pengemis Binal diam saja. Diperlihatkannya wa-
jah sungguh-sungguh, hingga Ingkanputri dengan ter-
paksa mengurungkan niatnya.
"Kalau aku memang salah, tampar saja...."
"Kau..., kau keterlaluan, Suro;"
Ingkanputri menunduk seraya mendekap wajah-
nya. Suropati menggeleng-gelengkan kepalanya meli-
hat gadis cantik itu terus mendekap wajah. Bahunya
terlihat naik turun.
"Kau menangis?" tanya Pengemis Binal. Lengan
kirinya dilingkarkan ke bahu Ingkanputri.
"Kau..., kau..." 
"Aku kenapa? Bukankah aku sudah bilang, kalau
aku salah kau boleh tampar aku."
Suropati menunggu beberapa lama. Tapi, tak ke-
luar kata-kata dari mulut Ingkanputri. Hanya bahu
gadis itu yang dirasakannya naik turun.
"Maafkan aku, Putri...," cetus Pengemis Binal.
Suropati lalu menarik Ingkanputri ke dalam dekapan-
nya. Ingkanputri pun kali ini menurut saja.
Pengemis Binal mencium rambut Ingkanputri
yang digelung. Lalu dia melepas pelukannya dan me-
natap wajah cantik di hadapannya dalam-dalam. Den-
gan telunjuk jari kanannya, Pengemis Binal mengha-
pus sisa air mata yang masih menitik di pipi Ingkanpu-
tri.
"Bila cinta telah tertanam dalam jiwa, perilaku

orang bisa jadi aneh," kata Suropati dalam hati.

***

4

Semburat cahaya jingga di langit menandakan fa-
jar telah menyingsing. Seperti putri malu, Sang Baska-
ra muncul perlahan di bentangan kaki langit sebelah
timur. Bumi masih terselimuti sepi. Tapi, di tepi sungai
itu sepi telah tercabik oleh bentakan kemarahan. Siksa
keji tempaknya akan menyambut datangnya lagi.
Seutas tali menjuntai turun dari simpulan di da-
han pohon. Di ujungnya menggantung tubuh seorang
pemuda. Kepalanya di bawah, berjarak dua jengkal da-
ri permukaan tanah. Tubuh lelaki muda itu terayun-
ayun karena kedua kakinya terikat oleh tali yang men-
juntai dari atas dahan pohon tadi. Sementara kedua
tangannya terikat pula, menyatu di punggung.
Wajah si pemuda tampan membiru oleh bekas
tamparan keras yang dilakukan berulang kali. Baju
putihnya telah robek di bagian dada. Dan, kulit depan
tubuhnya itu dipenuhi guratan-guratan penuh darah
kering seperti bekas cakaran. Pemuda naas ini adalah
Raka Maruta atau Pendekar Kipas Terbang.
Setelah berpisah dengan Anggraini Sulistya,
langkah Raka Maruta dicegat oleh Tiga Dara Bengal.
Ketika itu hatinya sedang diliputi kesedihan, hingga
dia dapat dikalahkan dengan mudah oleh tiga gadis
anggota Partai Iblis Ungu itu. Jadilah Raka Maruta
seorang tawanan. Dan karena tak mau menuruti ke-
mauan Tiga Dara Bengal, akhirnya Raka Maruta digan-
tung dengan kaki di atas dan kepala di bawah.
Sudah tiga hari lamanya Raka Maruta mendapat

siksaan seperti itu, tanpa makan dan minum! Kalau
saja Raka Maruta tidak memiliki ilmu kesaktian tinggi,
ajal tentu telah menjemputnya. Digantung dengan ke-
pala di bawah selama tiga hari akan membuat cairan
darah mengalir keluar lewat mulut, lubang hidung,
dan telinga! Belum lagi siksaan keji yang didapat dari
Tiga Dara Bengal. Gadis-gadis cantik berhati iblis itu
sanggup berbuat sedemikian kejam karena memiliki
dendam kepadanya, meski sebenarnya pemuda itu tak
mempunyai kesalahan terhadap mereka.
"Dengar, Maruta!" bentak si baju merah Andan
Sari sambil mendaratkan tamparan. Begitu keras tam-
paran itu hingga membuat tubuh Raka Maruta terayun
tinggi. Tapi, Andan Sari segera menahannya. 
"Dengar, Maruta!" bentak gadis ini lagi. Namun
apa yang diinginkannya tak terpenuhi. Kelopak mata
Raka Maruta tetap saja terpejam rapat.
"Kau minggirlah, Sari!" perintah si baju kuning
Ari Sambita. Selagi Andan Sari melangkah mundur, Ari
Sambita menggerakkan tangan kanannya dengan ce-
pat.
Set!
Tubuh Pendekar Kipas Terbang sedikit terayun.
Wajahnya yang lebam tampak menegang. Perlahan ke-
lopak matanya terbuka. Darah segar mengalir dari da-
danya yang robek. Rupanya, Ari Sambita telah mem-
buat luka dengan senjata kipas baja putih milik Raka
Maruta sendiri.
"Dengar, Pendekar Muda!" bentak Andan Sari
kemudian. "Sekali lagi aku tawarkan dua pilihan. Ha-
rap kau pikir baik-baik! Kau turuti kemauan kami,
atau jiwamu melayang sekarang juga?!"
Lewat pandangan matanya yang redup, Raka Ma-
ruta melihat sosok Andan Sari yang sedang berjongkok
di hadapannya. Tak ada kata yang dikeluarkan Raka

Maruta. Dia tahu benar apa kemauan Tiga Dara Ben-
gal. Memilih pilihan pertama sama halnya dengan me-
robek-robek nama baiknya sendiri sebagai seorang
pendekar. Tiga Dara Bengal berkeinginan berbuat me-
sum dengannya!
"Heh! Rupanya kau pemuda yang benar-benar
keras kepala!" ujar Andan Sari.
Dia melihat kelopak mata Raka Maruta terpejam
lagi. Cepat sekali tangan gadis ini berkelebat.
Plak!
Sekali lagi sebuah tamparan mendarat di wajah
Raka Maruta. Akibatnya tubuh pendekar muda itu
berputar. 
"Rupanya kita harus menghukum mati pemuda
ini sekarang juga, Sari!" kali ini yang berbicara adalah
si baju hijau Ajeng Menur. "Dengar baik-baik, Raka
Maruta! Gurumu yang bergelar si Kipas Sakti memiliki
dosa besar terhadap Partai Iblis Ungu. Dia telah mem-
bunuh ketua sekaligus orang tua angkat kami, Wiran-
ti. Karena besarnya dosa tua bangka busuk itu, kau
pun harus turut menanggung akibatnya!" 
Ajeng Menur menyambar kipas baja putih di tan-
gan Ari Sambita. Lalu senjata andalan Pendekar Kipas
Terbang itu digoreskan ke dada pemiliknya. Tubuh
Raka Maruta terlihat mengejang. Sementara cairan da-
rah mengalir keluar.
"Sekarang lihat baik-baik, Raka Maruta!" lanjut
Ajeng Menur. "Dengan kipas milikmu ini kepalamu
akan kubuat menggelinding di tanah!"
Perlahan kelopak mata Pendekar Kipas Terbang
terbuka. Tatapannya sayu, tertuju pada kipas di tan-
gan Ajeng Menur. Sinar mentari membuat senjata itu
tampak berkilat.
"Bagi seorang ksatria, mati bukanlah hal yang
menakutkan...," ucap Pendekar Kipas Terbang, pelan

sekali. "Mati sebagai orang gagah adalah impian setiap
pendekar. Demi mempertahankan nama baik, dan de-
mi mempertahankan harga diri...."
"Cukup!" potong Ajeng Menur. "Kau pikir, mati
dengan cara seperti ini adalah mati sebagai orang ga-
gah? Tidak, Maruta! Ini adalah mati orang konyol! Ka-
rena kau terlalu menuruti kekerasan kepalamu!" 
Tak ada lagi kata yang keluar dari mulut Pende-
kar Kipas Terbang. Kesedihan itu begitu menghujam
relung kalbunya. Sedih karena kecewa terhadap
Anggraini Sulistya, gadis yang telah mencuri hatinya!
"Tujuan kita memang hendak melenyapkan pe-
muda ini. Segera saja kau bunuh dia, Menur!" suruh
Ari Sambita. "Pemuda nekat ini sudah tak ada gu-
nanya lagi."
Ajeng Menur menatap sejenak wajah saudaranya
itu, lalu ditatapnya lekat-lekat wajah Raka Maruta.
"Walau kelopak matamu terpejam, tap aku yakin kau
dapat melihat kehadiran Malaikat Kematian, Raka Ma-
ruta!" ujarnya seraya mengangkat kipas baja putih
tinggi-tinggi.
Dan, tampaknya maut memang akan segera men-
jemput Raka Maruta.
Wesss...!
Sesosok bayangan putih berkelebat sangat cepat.
Ajeng Menur terkejut setengah mati. Tahu-tahu kipas
baja putih di tangannya telah lenyap! Dua saudaranya
pun tak kalah terkejutnya. Selagi mereka menyebar
pandangan untuk mencari siapa gerangan yang telah
berbuat usil, sesosok bayangan lain berkelebat datang. 
Tas...!
"Heh?!"
Tiga Dara Bengal dihantam keterkejutan untuk
kedua kalinya. Tubuh Pendekar Kipas Terbang yang
tergantung tiba-tiba lenyap pula. Tinggal tali pengikat-

nya yang terayun-ayun kini.
"Keparat!" umpat Tiga Dara Bengal hampir ber-
samaan.
Mata mereka menatap berkilat-kilat pada sosok
remaja tampan berpakaian putih penuh tambalan.
Tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut. Se-
dangkan di tangan satunya terjepit kipas baja putih. Di
sisi kiri remaja ini berdiri seorang gadis cantik berpa-
kaian serba merah. Tubuh Pendekar Kipas Terbang
terkulai lemah dalam bopongannya.
"Suropati...!" desis Tiga Dara Bengal. Tatapan me-
reka tertuju pada sosok remaja tampan.
Remaja tampan yang memang Suropati atau Pen-
gemis Binal itu mendengus pelan. "Kau rawat luka-
luka Raka Maruta, Putri...," ujarnya pada Ingkanputri.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini
kemudian melangkah tiga tindak ke depan. Ditatapnya
sosok Tiga Dara Bengal dengan sinar mata berkilat.
"Wajah kalian cantik. Tubuh kalian sintal. Baju kalian
pun bagus. Namun, di balik semua keindahan itu ter-
simpan angkara murka. Gatal tanganku untuk mem-
beri hukuman!"
Tiga Dara Bengal menggeram bersamaan.
"Kebetulan sekali kau datang, Pengemis Edan!"
ujar Ajeng Menur. "Aku tahu kau turut membunuh
Ibunda Wiranti. Sudah layak bila kau datang mengan-
tarkan nyawa!"
Usai berkata demikian, gadis itu langsung mener-
jang Pengemis Binal. Dua saudaranya turut menggem-
pur. Kelebatan tubuh mereka menunjukkan ilmu me-
ringankan tubuh yang bisa diandalkan. Tapi, gerakan
Pengemis Binal lebih cepat lagi. Kipas baja putih di
tangan kanannya dikibaskan miring.
Wuusss...!
Seberkas sinar perak yang melengkung besar me-

luruk ke depan. Betapa terkejutnya Tiga Dara Bengal.
Mereka tahu kalau sinar perak itu mampu menum-
bangkan sebatang pohon besar. Maka, dalam keadaan
masih melayang di udara, mereka menyorongkan ke-
dua telapak tangan ke depan secara bersamaan.
Blash...!
Sinar perak lengkung yang timbul dari kibasan
senjata andalan Raka Maruta lenyap terkena pukulan
jarak jauh Tiga Dara Bengal. Tapi begitu mereka men-
daratkan kaki di tanah, tubuh Pengemis Binal telah
berkelebat cepat. Gerakan itu sama sekali tak diduga
Tiga Dara Bengal. Akibatnya....
Buk! Buk! Buk!
Tiga Dara Bengal menggeliat kesakitan. Pantat
mereka terkena hajaran tongkat Pengemis Binal.
"He he he...," tawa Pengemis Binal terkekeh.
"Hoya! Hoya! Tari India! Sungguh indah mempesona!
Aku suka melihatnya!"
Mendengar kalimat Suropati yang bernada eje-
kan, kontan Tiga Dara Bengal menghentikan geliatan
tubuhnya, meskipun rasa sakit di pantat mereka ma-
sih begitu menyengat.
"Eh, kenapa berhenti menari, Manis?" ujar Suro-
pati lagi. "Apakah kalian perlu musik pengiring? Baik,
kalau begitu. Plak dung, plak gedundung, brot! He he
he...."
Sambil berkata-kata, Pengemis Binal meng-
goyang-goyangkan pantatnya. Bibirnya ikut dimo-
nyong-monyongkan. Tiga Dara Bengal yang menjadi
bahan ejekan menggeram keras bagai harimau terluka.
Secepat kilat mereka meloloskan seuntai tali yang me-
lingkar di pinggangnya. Pada ujung tali terdapat sebi-
lah besi runcing. Inilah senjata andalan orang-orang
Partai Iblis Ungu!
"Kusumpal mulutmu yang ceriwis itu, Keparat!"

maki Ajeng Menur seraya menggerakkan ujung tali di
tangannya. Satu kejap mata saja besi runcing di ujung
tali meluruk cepat ke arah Pengemis Binal. Yang men-
jadi sasaran benar-benar mulut remaja tampan berpri-
laku konyol itu.
"Wuaah! Kenapa mesti mulutku?!" ujar Pengemis
Binal.
Walau tampak main-main, tapi remaja konyol ini
tahu kalau bahaya sedang mengancam jiwanya. Maka,
tak tanggung-tanggung lagi dia menyalurkan seluruh
tenaga dalamnya ke pergelangan tangan kanan yang
memegang kipas baja putih. Dipapaknya luncuran besi
runcing milik Ajeng Menur. 
Set! Ting!
Besi runcing itu terpental dan terus melayang ke
kejauhan. Kipas baja putih di tangan Pengemis Binal
berhasil membabat putus tali pengendalinya.
"Kurang ajar!" geram Ajeng Menur. Senjata anda-
lannya bukanlah terbuat dari tali sembarangan. Sebi-
lah pedang tajam tak akan sanggup memutuskannya.
Kalau kemudian senjata itu berhasil dibabat  putus
oleh Pengemis Binal, maka wajarlah jika amarah Ajeng
Menur tak dapat dibendung lagi. Tanpa pikir panjang
dia menerjang Pengemis Binal dengan tangan kosong.
Pukulan Ajeng Menur berhasil ditepis dengan
mudah oleh Suropati. Lalu, cepat sekali kedua tangan
remaja konyol itu bergerak.
Buk! Bletak!
"Aduh...!"
Tongkat di tangan kin Pengemis Binal menghajar
pantat Ajeng Menur. Sedangkan gagang kipas baja pu-
tih digunakan untuk menjitak kepala gadis itu. Kontan
Ajeng Menur menjerit kesakitan. Sekali lagi tubuhnya
menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan.
"Dung, dung, plak gedundung! Plak geding dung,

dang, dang, brut!" ujar Pengemis Binal menirukan se-
buah irama untuk mengiringi geliatan tubuh Ajeng
Menur.
Melihat saudaranya dipermainkan, Ari Sambita
dan Andan  Sari mendengus marah. Dengan senjata
andalan mereka, jurus-jurus ampuh pun dilancarkan.
Namun, sesungguhnya mereka bukanlah lawan seim-
bang bagi Pengemis Binal. Walau mereka telah menge-
luarkan seluruh daya kemampuan, Pengemis Binal te-
tap berada di atas angin. Bahkan, dengan kekonyolan-
nya remaja tampan itu berhasil mempermainkan me-
reka berulang kali.
"He he he...!" tawa kekeh Suropati seraya meng-
gerakkan tongkatnya tiga kali.
Buk! Buk! Buk!
Lagi-lagi, pantat Tiga Dara Bengal kena hajar.
Tapi kali ini tubuh mereka terlontar jauh. Sebelum ja-
tuh bergulingan di tanah. Wajah mereka yang cantik
dan pakaian mereka yang indah jadi kotor berlumur
debu. Ketika mereka bangkit berdiri, ringis kesakitan
jelas terlihat pada bibir ketiganya.
"Keparat kau, Pengemis Edan!" maki Andan Sari.
"Kelak Partai Iblis Ungu akan membuat perhitungan
tersendiri denganmu!"
Usai mengumbar kata ancaman, gadis itu kemu-
dian mengambil langkah seribu. Ajeng Menur dan Ari
Sambita menggeram terlebih dahulu, baru mereka
mengekor langkah kaki Andan Sari.
"He he he...," Suropati cuma tertawa terkekeh.
"Sayang, gadis cantik mempunyai perangai buruk."
Remaja konyol ini kemudian menghampiri In-
gkanputri dan Raka Maruta yang terus memperhatikan
gerak-geriknya dari bawah sebatang pohon rindang.
Luka-luka di dada Raka Maruta telah terbalut sehelai
selendang merah yang biasa melingkar di pinggang In-

gkanputri.
"Sifat konyolmu itu tak pernah berubah, bahkan
tampaknya makin menjadi-jadi...," ujar Pendekar Kipas
Terbang.
Usai berkata, pemuda ini langsung melahap roti
kering di tangan kanannya. Roti itu pemberian In-
gkanputri, bekal berjalan jauh.
"Bagaimana kau bisa jadi tawanan gadis-gadis
bengal itu, Maruta?" tanya Pengemis Binal. Ditatapnya
wajah lebam Pendekar Kipas Terbang.
"Tampaknya mereka memang sengaja mengejar
diriku. Suro."  
"Lalu, di mana Anggraini Sulistya?"
Mendengar pertanyaan Suropati, mendadak sinar
mata Raka Maruta meredup. Tanpa disadari roti di
tangan kanannya terjatuh ke tanah.
"Eh, kau kenapa, Maruta?" Ingkanputri merasa-
kan kejanggalan sikap Pendekar Kipas Terbang.
"Tak apa-apa...," gumam Raka Maruta. Kepalanya
digelengkan perlahan. "Anggraini Sulistya adalah seo-
rang gadis yang berilmu tinggi. Sesampainya di wilayah
Kerajaan Pasir Luhur ini, dia tak memerlukan diriku
lagi. Dia bisa menjaga dirinya sendiri...," lanjut Raka
Maruta dengan berusaha menyembunyikan perasaan
galaunya.
"He he he...," tawa kekeh Pengemis Binal. "Makna
katamu biasa saja. Namun, sinar matamu menyiratkan
kesedihan. Ada apakah gerangan? Apakah kau ber-
tengkar dengan gadis yang kau...."
"Leluconmu itu tidak pada tempatnya, Suro!"
hardik Dewi Baju Merah. "Ada sahabat sedang susah
kok malah digoda. Tapi, tampaknya sahabat kita ini
memang sedang patah hati, Suro. Cobalah kau tolong
dia. Kudengar kau memiliki obat anti sedih...."
Ingkanputri melarang Suropati menggoda, tapi

dia sendiri malah melakukannya. Pendekar Kipas Ter-
bang tersenyum kecut. Sakit di sekujur tubuhnya ti-
dak melebihi sakit hatinya. Namun, godaan kedua sa-
habatnya itu membuatnya tersipu malu.
"Kau mau obat anti sedih,  Maruta?" tanya Pen-
gemis Binal.
"Tidak!" tolak Pendekar Kipas Terbang. "Aku tidak
mau jadi seperti dirimu. Terlalu banyak makan obat
anti sedih, otakmu jadi miring. Tak waras! Gendeng!"
"Ha ha ha...," mendengar makian Pendekar Kipas
Terbang, Suropati malah  tertawa terbahak-bahak.
"Nah, lebih baik kau memaki-maki begitu. Tak suka
aku melihat tampang orang yang sedih melulu. Lebih
baik marah-marah. Gampar-gamparan aku juga suka!"
Senyum tipis mengembang di bibir Raka Maruta.
Ditonjoknya perut Suropati. Remaja  konyol itu pura-
pura meringis kesakitan, lalu balas menonjok. Tapi
Raka Maruta lebih dulu bangkit.
Thok! Thok! Thok!
Tiba-tiba terdengar suara itu. Semakin lama se-
makin terdengar jelas. Secara bersamaan Raka Maru-
ta, Suropati, dan Ingkanputri menoleh ke sumber sua-
ra.
Seorang kakek tua renta tampak berjalan ter-
huyung-huyung. Dia seperti tak mampu menahan be-
rat tubuhnya sendiri. Anehnya, kakek itu berjalan
dengan alas kaki terbuat dari tempurung kelapa. Tem-
purung inilah yang menimbulkan suara seperti penjual
bakso. Pakaian kumal kakek itu menutupi tubuhnya
yang tinggal tulang-belulang terbalut kulit keriput. Ke-
tika langkahnya telah dekat, Suropati dan kedua sa-
habatnya dapat melihat kalau kakek itu tidak mempu-
nyai mata! Bagian bawah dahinya rata, tak ada cekun-
gan sedikit pun. Hal itu menjadikan dahinya terlihat
lebih lebar.

"Aku tahu ada tiga gadis lari terbirit-birit dari
tempat ini. Aku juga tahu mereka habis menerima ha-
jaran. Yang belum aku tahu, siapakah yang telah ber-
buat konyol itu?" ujar kakek yang baru datang.
"Aku tahu tubuhmu kurus-kering. Aku juga tahu
umurmu sudah dekat dengan liang lahat. Yang belum
aku tahu, siapakah namamu?" ucap Suropati meniru-
kan gaya bicara si kakek.
"Lidah memang tak bertulang. Bicara memang
mudah. Tapi, adakah makna di balik semua itu?" ujar
si kakek lagi.
"Hidung mempunyai lubang. Mencium bau den-
gan sendirinya. Tapi bila yang tercium adalah bau bu-
suk, adakah orang datang membawa kentut? He he
he...," goda Pengemis Binal sebelum meloncat ke hada-
pan si kakek.
"Aku tak dapat melihat. Tapi, aku tahu kau
punya wajah tampan. Namun di balik itu tersimpan si-
fat konyol dan ugal-ugalan. Pastilah kau yang telah
menghajar ketiga gadis yang kutemui di jalan tadi."
"Kalau ya, kau mau apa, Kek?" sergap Pengemis
Binal.
"Aku cuma bertanya. Tak hendak berbuat apa-
apa. "
"Kalau cuma itu keperluanmu, selekasnya kau
pergi dari sini. Baju rombengmu menyebarkan bau
apek!"
Bibir si kakek menyunggingkan senyum tipis.
"Aku manusia biasa. Aku butuh makan. Tapi,
aku tak punya uang. Adakah kau punya belas kasihan
kepadaku, Anak Muda? Aku tak hendak mengemis.
Aku punya sedikit kepandaian. Bila kau mau, kau bisa
memanfaatkan kepandaianku ini."
"Kau punya kepandaian apa, Kek?"
"Orang banyak biasa menyebutku Dewa Peramal.

Karena, mereka tahu ramalanku hampir selalu tepat.
Aku tidak sedang menyombong diri. Aku memang se-
dang butuh uang. Aku ingin makan. Ada baiknya aku
menjual sedikit kemampuanku."
Suropati cengar-cengir. Iseng saja dia melangkah
lebih dekat. "Ucapkan ramalanmu, Kek. Aku akan
memberimu uang sekeping," ucapnya di dekat telinga
si kakek.
Kakek berbaju rombeng menggedrukkan kaki ka-
nannya tiga kali.
Thok! Thok! Thok!
Lalu, dipegangnya bahu Pengemis Binal. "Tu-
buhmu bagus. Aku yakin di dalamnya tersimpan ilmu
kesaktian yang hebat," Ujarnya menurunkan tangan-
nya ke dada Pengemis Binal. "Jiwamu bersih. Kau pas-
ti seorang pendekar budiman. Namun, aku bisa mera-
sakan getaran aneh yang menyelubungi tubuhmu...."
"Getaran apa itu, Kek?" tanya Pengemis Binal,
masih iseng-iseng saja.
"Getaran yang selalu membawamu ke dalam uru-
san-urusan sulit. Tapi, aku yakin urusan itu pasti da-
pat kau atasi."
Konyol sekali Pengemis Binal. Dia ganti meraba
tubuh kakek yang mengenalkan dirinya sebagai Dewa
Peramal. "Aku juga merasakan getaran aneh di tu-
buhmu, Kek," katanya kemudian.
"Getaran apa?" 
"Getaran yang menandakan bahwa kau sedang
menahan kentut!"
Mendengar ucapan Suropati, Raka Maruta dan
Ingkanputri tertawa lebar. Mereka tetap duduk di ba-
wah pohon, karena mendapat keasyikan sendiri den-
gan melihat kekonyolan Suropati.
"Aku tidak sedang bercanda, Anak Muda...," lan-
jut Dewa Peramal dengan bibir cemberut. "Walau kau

bersikap urakan dan berpakaian penuh tambalan, tapi
aku tahu kau putra seorang bangsawan. Telapak tan-
gan kirimu mengatakan demikian."
Pengemis Binal membiarkan saja telapak tangan
kirinya diraba-raba Dewa Peramal. Sampai akhirnya si
kakek melepaskannya. Kini kening si kakek yang lebar
tampak berkerut.
"Ramalanmu apa hanya sampai di sini, Kek?"
pancing Suropati,
"Masih ada satu lagi yang hendak kukatakan.
Tapi, aku takut kau tak suka."
"Apa? Katakan saja kalau kau memang ingin
mendapat uang dariku...," pinta Pengemis Binal. Kali
ini dia terlihat sungguh-sungguh.
"Aku melihat sebuah istana di suatu malam buta
disatroni orang-orang tak dikenal. Kau turut memper-
tahankan istana itu. Kau dapat mengusir orang-orang
tak dikenal. Tapi, bahaya belum pergi. Kau mendapat
kesulitan dan kau meminta bantuan musuh bebuyu-
tanmu...."
"Puih! Bagus benar ucapanmu itu, Kek...," sahut
Suropati, cepat. "Tapi, terus terang aku tak percaya!" 
"Percaya atau tidak, itu bukan urusanku. Yang
jelas, kau harus memberi aku sekeping uang seka-
rang!" ucap Dewa Peramal bernada memerintah.
Suropati merogoh-rogoh kantong di bajunya. "He
he he.... Aku tidak punya uang, Kek...."
Mendengar itu, kakek berbaju rombeng mengge-
rakkan kedua tangannya dengan cepat sekali. Karena
sama sekali tak menduga, Pengemis Binal tak mampu
mengelak. Akibatnya....
"Wadaouw...!"
Pengemis Binal berteriak kesakitan. Tubuhnya
terjatuh ke tanah. Kena banting dia. Dan sebelum dia
bangkit untuk membalas bantingan Dewa Peramal,

kakek tak bermata itu telah berkelebat cepat menghi-
lang dari tempat ini. Tak terdengar suara tempurung
kelapa yang membentur tanah.
"Huh! Kakek sableng! Kalau jumpa lagi kucopot
kepalamu!" ancam Suropati asal-asalan.
"Ha  ha ha...!" Pendekar Kipas Terbang tertawa
sambil berjalan tertatih-tatih mendekati Suropati. "Ke-
na batunya kau sekarang, Suro!"
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepalanya. Dia
tak membalas ucapan Raka Maruta. Kakinya lalu me-
langkah dengan tongkat dipukul-pukulkan ke tanah. 
"Sebentar, Suro!" cegah Pendekar Kipas Terbang.
"Aku tahu hatimu kesal. Aku tahu kau marah. Tapi,
aku ingin bertanya terlebih dahulu...," ucap pemuda
ini, terbawa nada bicara Dewa Peramal.
"Tanya apa?"
"Aku tahu kau memang punya rencana datang ke
Kerajaan Pasir Luhur ini. Aku tahu kau hendak meng-
hadap Prabu Singgalang Manjunjung Langit. Tapi yang
belum kutahu, bagaimana kau bisa datang bersama
Ingkanputri?"
"Hush! Jangan tirukah lagi gaya ucapan Kakek
Sableng itu!" bentak Suropati. "Kau tahu nama gadis
yang bergelar Dewi Baju Merah itu, agaknya kau telah
berkenalan. Dia cantik! Kau tertarik? He he he...."
"Aku bertanya sungguh-sungguh!" bentak Raka
Maruta.
"Aku juga menjawab sungguh-sungguh! Ingkan-
putri datang bersamaku karena hendak mengejar Saka
Purdianta yang telah melarikan Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi miliknya!"
"O, pemuda yang bergelar Dewa Guntur itu?"
"Tepat!" sahut Dewi Baju Merah seraya berjalan
mendekat. "Sebaiknya kau turut membantuku untuk
mendapatkan kembali kitab itu, Maruta. Amat berba-

haya bila Saka Purdianta yang jahat itu mempelajari
ilmu kesaktian yang terdapat di dalamnya."
"Kau telah menolongku, aku pasti akan meno-
longmu." sahut Pendekar Kipas Terbang.
Sambil terus berkata-kata, ketiga pendekar muda
itu melangkah menuju kotapraja. Pendekar Kipas Ter-
bang tampaknya sudah tak merasakan lagi luka saya-
tan di dadanya. Kipas Baja Putin juga sudah terselip di
balik bajunya.

***

5

Di sebuah ruangan lebar berlantai marmer yang
dihampari permadani tebal warna merah, duduk ber-
simpuh lima puluh orang berkerudung hitam yang ter-
bagi dalam lima baris. Kelima baris itu dibelakangi
oleh empat orang berkerudung hitam pula. Semua me-
nundukkan kepala dan tak bergerak sedikit pun.
Ruang lebar berdinding merah terasa lengang. Cahaya
temaram menerangi ruangan dari pelita kecil yang di-
pasang di empat sudut
Sebentar kemudian, terdengar suara batuk-
batuk. Datangnya dari mulut orang berkerudung yang
duduk di depan empat orang berkerudung hitam. Ber-
beda dengan orang-orang yang sedang duduk tepekur
itu, di punggung orang yang sedang batuk-batuk tidak
terdapat selipan pedang panjang. Tapi, jelas terlihat di
ikat pinggang sebelah kanannya terselip sebilah keris.
"Kegagalan penyerbuan kemarin harus kita tebus
sekarang," kata orang berkeris, lalu batuk-batuk lagi.
"Ada orang yang sengaja menyamar sebagai diriku. Ki-
ta akan memberangus orang itu berikut sapi tua Sing-

galang Manjunjung Langit..," lanjutnya
Suasana kembali lengang karena orang berkeris
tak berkata-kata lagi. Empat orang berkerudung yang
berada pada baris terdepan semakin tertunduk dalam.
Orang berkeris mengarahkan pandangannya ta-
jam-tajam ke sosok empat orang yang duduk tepat di
hadapannya. "Aku heran, kenapa ada anggota Ninja
Omarudo begitu gampang terkecoh? Apakah hal ini ti-
dak memalukan Ketua Akira Matsusita?"
Mendengar ucapan yang bernada menyindir itu,
orang yang duduk di ujung kanan tampak mengangkat
kepala. "Kami cukup tahu diri, Tuan Adipati...," ujar-
nya dengan bahasa patah-patah. "Jauh-jauh Tuan
mengundang kami tentu tak ingin mendapat  kecewa.
Kami telah bersumpah menempuh jalan bushido, jalan
ksatria, walau kami hanyalah pembunuh bayaran.
Maka dari itu, untuk mengurangi kekecewaan Tuan,
kami akan melakukan sepuku!"
Cepat sekali orang itu menghunus pedang pan-
jangnya. Lalu.... 
Jrus!
Dia melakukan bunuh diri. Ujung pedangnya ter-
lihat tembus hingga ke punggung.
Perbuatan bunuh diri untuk menjaga kehorma-
tan itu segera diikuti ketiga orang kawannya. Cairan
darah merembes ke permadani merah.
Empat orang yang duduk di depan barisan kini
terlihat duduk menelungkup dengan dahi menyentuh
permadani. Tubuh mereka tak bergeming, karena me-
mang sudah tak bernyawa.
Orang berkerudung hitam yang di pinggangnya
terselip sebilah keris terdengar mendengus pendek.
Dari balik lubang sempit pada kerudungnya, orang ini
menatap tajam ke depan.
"Malam ini juga kita menyerbu istana!" ujar orang

itu kemudian. "Aku. yakin, sapi tua Singgalang Manju-
jung Langit masih berada di sana. Tapi aku tak mau
kebodohan empat orang ini terulang lagi!"
"Hai!"
Terdengar suara kesanggupan dari lima puluh
orang berkerudung yang berada di tempat itu.

***

Sejak bertemu dengan Raka Maruta perjalanan
Suropati dan Ingkanputri jadi lambat. Raka Maruta
mengajak menempuh perjalanan melingkar-lingkar
dan sebentar-sebentar minta istirahat. Berbagai alasan
dikemukakannya. Tapi, Suropati dan Ingkanputri tahu
kalau alasan Raka Maruta itu hanya dibuat-buat. Wa-
lau demikian, mereka berdua dapat memakluminya.
Raka Maruta sebenarnya enggan pergi ke kotapraja ka-
rena malu bila nanti bertemu dengan Anggraini Sulis-
tya.
"Huh! Jalan yang harus kutempuh sebenarnya
tidak seberapa jauh. Hanya karena ulahmu, kita sam-
pai di kotapraja ini hari sudah malam!" gerutu Penge-
mis Binal.
Pendekar Kipas Terbang diam saja. Sejak mema-
suki pintu gerbang, kepalanya tertunduk terus. Dewi
Baju Merah tampak menyebar pandangan. Di kanan-
kiri jalan lampu gantung memancarkan cahaya terang.
Terlihat begitu indah. Terutama yang digantung di ru-
mah-rumah penginapan ataupun kedai. Banyak ban-
gunan megah di sini. Mengingatkan Ingkanputri pada
kotapraja Anggarapura. Bedanya di kotapraja Pasir
Luhur ini terasa sepi meskipun malam belum larut be-
nar.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Putri?" tanya
Pengemis Binal melihat kening Ingkanputri berkerut.

"Kau tidak merasakan keanehan ini, Suro?" Dewi
Baju Merah balik bertanya.
"Keanehan apa?"
"Buka matamu yang benar, dan rasakan apa
yang kau lihat!"
Mendengar ucapan Ingkanputri, Pengemis Binal
tersenyum senang. Secepat kilat dipeluknya tubuh ga-
dis cantik itu sebelum mengecup pipinya.
"Uh! Apa-apan kau, Suro?!" bentak Dewi Baju
Merah, marah-marah. Dia tak bisa mengelakkan pelu-
kan Suropati. Remaja konyol itu melakukannya den-
gan begitu cepat.
"Lho..., kenapa kau marah? Bukankah kau tadi
menyuruhku membuka mata yang benar, lalu merasa-
kan apa yang kulihat. Kebetulan yang kulihat adalah
dirimu. Jadi, kurasakan halusnya pi...."
"Gila!" potong Dewi Baju Merah. Tangannya ber-
gerak hendak menampar, tapi keburu ditangkap oleh
Pengemis Binal.
"Lepaskan!" bentak Dewi Baju Merah.
"He he he...," tawa Pengemis Binal. "Kalau marah-
marah, kau tambah cantik...."
"Ngaco!"
"Teruslah marah. Kutinggal kau di sini. Aku kan
tadi cuma bercanda."
"Ya. Tapi caranya tidak begitu!"
"Sudahlah, Putri...," tegur Pendekar Kipas Ter-
bang. "Yang merasa waras seharusnya mengalah."
"He he he...," Pengemis Binal tertawa lagi. "Tepat,
Maruta! Aku merasa waras, aku mengalah saja!" ujar-
nya sambil menyorongkan wajahnya ke hadapan Dewi
Baju Merah.
"Kutampar kau!" ancam Ingkanputri.
"Silakan...." 
Bibir Ingkanputri merengut. Tak juga dia mem-

buktikan ucapannya walau Pengemis Binal terlihat pa-
srah.
"Aku tak mau bercanda lagi!" tukas Dewi Baju
Merah kemudian. Amat kesal hatinya digoda terus me-
nerus.
"Tidak mau ya sudah. Kita cari penginapan yang
murah sekarang. Besok pagi kita ke istana," cetus Pen-
gemis Binal.
"Kau punya uang, Suro?" tanya Pendekar Kipas
Terbang.
"Kau tahu pagi tadi aku kena banting kakek sab-
leng bergelar Dewa Peramal gara-gara tidak bisa mem-
berinya uang!"
"Kalau begitu, kenapa kau mengajak kami ke
penginapan?"
"Ingkanputri yang bayar, Kunyuk!" ujar Pengemis
Binal, sedikit kesal. Karena ulah Raka Marutalah me-
reka jadi kemalaman tiba di kotapraja.
"Huh! Enak saja!" Dewi Baju Merah tampak se-
wot. "Kau pikir aku punya banyak uang?!" 
"Kau tidak punya?" 
"Tidak!"
"Yah.... Terpaksa kita bermalam di emperan toko.
Berdoalah semoga tidak ada garukan...."
Sampai di situ tidak lagi terdengar percakapan
mereka. Semakin jauh melangkah rasa heran di hati
Ingkanputri semakin besar. Jarang sekali mereka ber-
papasan dengan orang. Kotapraja Pasir Luhur ini tam-
pak sepi dan lengang.
"Apa kalian berdua tidak merasakan keanehan
ini?" tanya Dewi Baju Merah pada Raka Maruta dan
Suropati.
"Kau pikir hanya kau saja yang merasakannya,"
sahut Pengemis Binal.
"Sepertinya penduduk kotapraja ini menakuti se-

suatu...," cetus Pendekar Kipas Terbang. 
"Kau benar!" tegas Ingkanputri. Pengemis Binal
membelokkan langkahnya ke sebuah toko yang sudah
tutup. "Emper toko itu bisa kita gunakan untuk mele-
watkan malam...," katanya.
"Huh! Dasar pengemis! Kau saja tidur di situ!"
sambut Dewi Baju Merah.
"Kau tak mau? Kita mau bermalam di mana? Apa
kita mesti datang ke istana sekarang? Kalau nasib
baik, kita bisa tidur di tilam empuk dan merasakan
makanan yang enak-enak. Putri..., Putri..., ada banyak
aturan untuk dapat menghadap seorang raja."
"Aku tahu!" seru Ingkanputri, ketus.
"Kalau tahu kenapa...."
"Ya..., ya, baiklah. Aku menuruti ajakanmu. Tapi
aku tak mau tidur!"
"Terserah!"
Dengan langkah berat akhirnya Ingkanputri ber-
sedia juga mengikuti Suropati. Pendekar Kipas Terbang
menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum turut men-
gekor langkah Suropati. Heran dia melihat Ingkanputri
dan Suropati yang selalu bertengkar.

***

Puluhan sosok bayangan hitam berkelebat me-
masuki kotapraja. Gerakan mereka laksana terbang.
Karena hampir tak dapat diikuti pandangan mata.
"Maruta...," bisik Ingkanputri. Mata tajamnya da-
pat menangkap kelebatan bayangan hitam.
"Ya," sahut Raka Maruta yang duduk bertopang
dagu di sisi kiri Ingkanputri.
"Kau lihat itu!"
"Ya. Aku melihat kelebatan tubuh orang-orang
berkepandaian tinggi."

"Aku curiga merekalah yang menjadi momok me-
nakutkan bagi penduduk kotapraja ini," ujar Ingkan-
putri mengajukan dugaan.
"Agaknya memang begitu," Raka Maruta membe-
narkan.
Pendekar Kipas Terbang lalu membangunkan
Pengemis Binal yang sedang tidur melingkar  di bela-
kangnya.
"Suro! Suro!" seru Raka Maruta sambil menepuk-
nepuk pantat Suropati. Tapi, hanya suara dengkur
yang menyahuti.
Melihat usaha Raka Maruta sia-sia, Ingkanputri
segera saja memencet hidung Suropati. Remaja konyol
itu pun bangun dari tidurnya karena tersedak.
"Uh! Ada apa? Kenapa kalian membuyarkan im-
pianku?" ujar Pengemis Binal sambil mengucak-ucak
matanya.
"Aku melihat puluhan bayangan hitam berkelebat
dari kelokan jalan itu...," tutur Dewi Baju Merah. Tan-
gannya menuding ke satu arah.
"Ah, biarkan saja! Apa urusannya dengan kita?"
Di ujung bicaranya, Suropati menjatuhkan tu-
buhnya kembali, lalu memejamkan mata rapat-rapat.   
"Suro! Suro! Ingkanputri tidak main-main! Aku
juga melihatnya!" seru Pendekar Kipas Terbang, keras-
keras.
"Eh?! Jangan-jangan mereka akan membuat onar
di istana...," Suropati meloncat bangun seperti dihan-
tam keterkejutan. "Mereka menuju ke mana?" ta-
nyanya dengan wajah celingukan.
Ingkanputri menuding ke arah yang ditunjuknya
tadi.
"Kita kejar mereka!" ajak Pengemis Binal.
Kaki Suropati membuat loncatan jauh. Remaja
konyol itu berlari cepat mengandalkan ilmu meringan-

kan tubuh. Ingkanputri dan Raka Maruta berkelebat
tak kalah cepatnya mengejar sosok Suropati.
Puluhan bayangan hitam itu menyebar. Yang me-
reka tuju adalah istana. Hanya dalam beberapa keja-
pan mata saja, sepuluh orang penjaga pintu gerbang
berhasil dilumpuhkan. Mereka mati tanpa tahu apa
yang telah terjadi. Lempengan besi berbentuk bintang
menancap di dahi.
Terdengar suara gaduh ketika tubuh mereka ber-
jatuhan. Namun puluhan bayangan hitam telah meng-
hilang dari pandangan. Sehingga, belasan prajurit yang
muncul dari dalam istana tak tahu siapa yang telah
melakukan pembunuhan itu.
Sewaktu belasan prajurit itu berpencaran, ter-
dengar benturan senjata tajam saling beradu yang da-
tang dari samping kanan istana. Tak lama kemudian
suara serupa juga muncul dari samping istana sebelah
kiri.
"Kita panggil Tuan Subandira!" cetus salah seo-
rang prajurit. Tapi, gagasan orang ini sudah terlambat.
Orang yang dimaksud telah muncul dengan pedang di
tangan. Di belakangnya berlari-lari belasan prajurit
lain.
Sekali loncat saja I Halu Rakryan Subandira telah
berada di dekat ajang pertempuran di samping kanan
istana. Ternyata, di situ telah berdiri Senopati Guntur
Selaksa dengan pedang terhunus.
Beberapa lama kedua tokoh kerajaan itu cuma
dapat berdiri terpaku. Mereka tak tahu apa yang harus
diperbuat. Puluhan orang berkerudung hitam terlihat
saling serang satu sama lain dengan pedang panjang di
tangan.
"Kenapa orang-orang berkerudung itu saling
gempur di tempat ini?" tanya Senopati Guntur Selaksa
tak mengerti.

"Entahlah...," sahut I Halu Rakryan Subandira.
"Yang jelas, salah satu pihak adalah para pengacau."
Selagi I Halu Rakryan Subandira dan Senopati
Guntur Selaksa kebingungan, mendadak terdengar su-
ara bisikan di telinga mereka.
"Orang-orang berkerudung yang memakai ikat
pinggang putih adalah pelindung Baginda Prabu."
I Halu Rakryan Subandira dan Senopati Guntur
Selaksa terkejut. Kepala mereka menoleh ke kiri-
kanan. Mereka mencari sumber suara  bisikan yang
terdengar tadi, tapi tak mereka temukan si pemilik bi-
sikan.
"Cepat bantu orang-orang berikat pinggang pu-
tih!"
Suara bisikan itu terdengar lagi. Jelas bernada
memerintah. I Halu Rakryan Subandira dan Senopati
Guntur Selaksa mengalihkan pandangan ke ajang per-
tempuran. Terlihat di sana yang terlibat pertempuran
memang sama-sama berpakaian hitam dan berkeru-
dung hitam pula, tapi bisa dibedakan dari ikat ping-
gang yang mereka kenakan.
Sebagian memakai ikat pinggang putih, dan se-
bagian lagi berikat pinggang merah.
"Kita gempur yang berikat pinggang merah, Gun-
tur. Mereka para pengacau!" seru I Halu Rakryan Sub-
andira. Tubuhnya dihemposkan ketika sudah dekat
lawan, pedangnya membabat tiga kali.
Trang! Trang! Trang!
Serangan cepat I Halu Rakryan Subandira dapat
ditangkis orang berikat pinggang merah yang menjadi
sasaran. Begitu kaki I Halu Rakryan Subandira menje-
jak tanah, kepala pengawal istana itu langsung dike-
royok beramai-ramai.
"Bantu aku, Guntur!" pinta I Halu Rakryan Sub-
andira.

Mendengar teriakan itu tanpa ragu lagi Senopati
Guntur Selaksa menerjang para pengeroyok I Halu Ra-
kryan Subandira. Dibabatkannya pedang ke arah la-
wan beberapa kali. Tapi, lawan begitu tangguh, per-
tempuran sengit pun langsung terjadi.
Sementara itu di samping kiri istana, Patih Sanca
Singapasa berdiri tegak dengan keris terhunus. Di be-
lakangnya belasan prajurit berkumpul. Mereka hanya
menyaksikan pertempuran dengan pandangan heran.
Orang-orang berkerudung hitam terlihat saling serang.
"Gempur yang berikat pinggang merah!"
Terdengar sebuah seruan yang dibarengi dengan
kelebatan sosok hitam bertubuh ramping dari atap is-
tana. Bayangan itu langsung melibatkan diri dalam
kancah pertempuran. Dia menggempur orang-orang
berkerudung yang memakai ikat pinggang merah.
"Orang-orang ini hendak mengacau istana!" teriak
orang bertubuh ramping sambil membabatkan pe-
dangnya.
Mendengar teriakan itu, Patih Sanca Singapasa
langsung saja memerintahkan para prajurit di bela-
kangnya untuk menggempur puluhan orang berkeru-
dung berikat pinggang merah. Walau masih sedikit ra-
gu, akhirnya Patih Sanca Singapasa sendiri turut me-
nerjang. Gerakannya lincah meskipun luka di bahu
kanannya belum sembuh benar.
Kini, pertempuran di samping kanan dan kiri is-
tana berlangsung seru. Dengan dibantu para prajurit,
sekitar dua puluh orang berkerudung berikat pinggang
putih berusaha menghalangi lawan yang ingin masuk
istana. Sementara orang-orang berikat pinggang merah
memberi perlawanan sengit. Pedang panjang mereka
berkelebat ganas, penuh nafsu membunuh.

***

Dari atas tembok gerbang istana, orang berkeru-
dung hitam yang di pinggangnya terselip sebilah keris
ini menyaksikan pertempuran yang sedang berlang-
sung.
"Ninja gadungan keparat!" geram orang itu. "Aku
tak menduga ternyata mereka berjumlah banyak. Tapi,
apa artinya jumlah mereka bila aku dapat mele-
nyapkan sapi tua Singgalang Manjunjung Langit!" ka-
tanya kemudian.
Sigap sekali orang ini melompat ke bawah, lalu
berlari menuju pintu bangunan istana. Sekali pukul,
pintu istana yang terbuat dari kayu jati tebal hancur
berantakan.
"Tampakkan dirimu, Raja Tua!" teriak orang itu
seraya berkelebat masuk istana. 
Orang berkerudung bertubuh ramping meloncat
keluar dari ajang pertempuran. Rupanya dia melihat
kelebatan sosok tubuh.
"Hadapi aku, Keparat!" seru orang bertubuh
ramping. Dikejarnya si perusuh yang memasuki istana.

***

6

Ketika Suropati, Raka Maruta, dan Ingkanputri
tiba di pintu gerbang istana, korban pertempuran su-
dah berjatuhan. Malam terobek-robek suara dentingan
pedang dan teriakan. Jerit kematian pun menyeruak di
sela-sela suara gaduh itu.
"Kau bantu para prajurit yang bertempur di
samping kiri istana, Maruta. Dan kau ambil yang sebe-
lah kanan, Putri...," ujar Pengemis Binal.
"Kau sendiri?" tanya Ingkanputri

"Kau lihat pintu istana yang jebol itu? Tentu ada
sebagian perusuh yang masuk. Aku akan menghalangi
perbuatan jahat mereka."
Tanpa menunggu persetujuan lagi, Pengemis Bi-
nal segera berkelebat masuk istana. Raka Maruta
langsung mencabut kipas baja putihnya untuk mem-
bantu Patih Sanca Singapasa. Ingkanputri pun melon-
cat secepat kilat ke samping kanan istana.
I Halu Rakryan Subandira dan Senopati Guntur
Selaksa terkejut melihat kehadiran gadis cantik itu.
Namun ketika melihat yang digempur Ingkanputri ada-
lah orang-orang berkerudung yang memakai ikat ping-
gang merah, kedua perwira istana itu bersorak girang
dalam hati.
Suropati yang telah memasuki wilayah istana
tampak berlari-lari menyusuri lorong-lorong yang ba-
nyak terdapat di dalam istana.
"Hmm.... Aneh, kenapa di dalam istana begitu
sunyi? Tak terdengar sedikit pun suara pertempuran.
Apakah belum ada perusuh yang masuk ke sini? Ah,
aku yakin pasti ada. Pintu istana yang jebol telah
membuktikannya."
Pengemis Binal terus melangkahkan kakinya.
Semakin masuk ke dalam, sunyi makin terasa. Seper-
tinya di dalam istana sudah tak ada lagi kehidupan.
Saat melewati ruangan berjajar yang dapat dipastikan
oleh Suropati sebagai kamar dayang-dayang, sunyi te-
tap menyelimuti. Hanya suara pertempuran dari arah
luar yang terus terdengar.
"Aneh...," gumam Pengemis Binal. "Agaknya para
penghuni istana telah mengungsi."
Tiba-tiba, dari arah lorong kiri tempat Suropati
berdiri terdengar suara denting senjata beradu. Cepat
sekali Pengemis Binal melesat dengan mengandalkan
ilmu meringankan tubuh. Ternyata suara denting sen-

jata beradu itu berasal dari taman kaputren.
Dua orang yang sama-sama memakai kerudung
hitam terlihat saling teriak. Yang seorang bersenjata
pedang, sedang yang lain menggunakan keris. Suropati
terperangah melihat keris di tangan orang berikat
pinggang merah. Keris itu memancarkan cahaya merah
muda dan menebarkan hawa panas hingga belasan
tombak jauhnya.
"Binatang culas! Dapat mencuri Keris Sengkelit
Bayu Geni, jangan kira juga dapat menggulingkan
takhta Pasir Luhur!" hardik orang berkerudung yang
bersenjata pedang.
Dari jarak sekitar tujuh tombak, Suropati dapat
memastikan kalau orang itu adalah orang yang pernah
ditolongnya malam kemarin. Dilihat dari potongan tu-
buhnya yang ramping.
"Benar kata Ingkanputri. Dada orang itu meng-
gembung. Agaknya dia memang seorang wanita...," pi-
kir Suropati.  "Mendengar dari kata-katanya barusan,
dia tentu salah seorang pengawal Prabu Singgalang
Manjunjung Langit."
Timbul keinginan dalam hati Suropati untuk me-
nolongnya kembali. Tapi belum juga niat itu dilaksa-
nakan, lawan orang bertubuh ramping terdengar
menggeram keras. Orang itu melontarkan lempengan-
lempengan besi berbentuk bintang. Bukan hanya
orang bersenjata pedang yang menjadi sasaran, tapi
juga Pengemis Binal. Rupanya, kehadiran Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini telah diketa-
hui.
Swik! Swik! Swik!
Tidak kurang dari lima buah senjata gelap me-
luncur deras ke arah Pengemis Binal. Sambil men-
gumpat kecil, cepat remaja tampan berpakaian putih
penuh tambalan ini memutar tongkat bututnya. Tanpa

mengalami kesulitan yang berarti dia dapat menepis
bahaya yang mengancam dirinya.
"Bantu aku melenyapkan perusuh istana ini, Su-
ro!"
Pengemis Binal terkesiap mendengar bisikan itu.
Diarahkan pandangannya pada orang berkerudung
yang bersenjatakan pedang. Orang itu memberi isyarat
dengan lambaian tangan kiri. Sementara, tangan ka-
nannya bersiap-siap hendak membabatkan pedangnya
ke arah lawan.
Suropati sejenak memperhatikan jalannya perta-
rungan. Keris di tangan orang berkerudung yang beri-
kat pinggang merah berkelebatan. Cahaya merah mu-
da memberkas ke sana-sini. Suara yang ditimbulkan-
nya pun terdengar bergemuruh, sungguh mengiriskan!
Suropati segera menyadari kalau keris itu adalah
senjata mustika. Senjata itu tidak boleh digunakan ter-
lalu lama, karena akan merusak istana. Berkas sinar
merah mudanya saja sanggup meledakkan batu-batu
hiasan di taman kaputren. Belum nanti bila sasaran
senjata itu melenceng. Suropati langsung saja melon-
cat dengan tongkat meluruk cepat, berlambarkan jurus
'Tongkat Memukul Anjing'.
Setelah lewat dua jurus, Pengemis Binal semakin
yakin. Orang bersenjata pedang memang benar-benar
berada di pihak kerajaan. Maka, tak segan-segan lagi
dia mengeluarkan jurus rangkaian 'Tongkat Sakti'.

***

Dengan datangnya bantuan dari Pendekar Kipas
Terbang dan Dewi Baju Merah, orang-orang pihak ke-
rajaan berhasil membuat lawan kewalahan. Korban
banyak berjatuhan. Namun, yang kebanyakan terkapar
di tanah adalah orang berkerudung yang berikat ping-

gang merah.
"Terus gempur! Jangan biarkan mereka lolos!" se-
ru Patih Sanca Singapasa dengan penuh semangat
Para prajurit semakin naik saja semangatnya.
Tusukan tombak dan babatan pedang di tangan mere-
ka bertambah kerap dilakukan. Senjata gelap lawan
pun dapat mereka rontokkan ke tanah. Para prajurit
yang sedang bertempur itu memang para pengawal is-
tana yang sangat terlatih. Bantuan yang diberikan Ra-
ka Maruta menambah peluang mereka untuk menang.
Kipas baja putih di tangannya berkelebatan sangat ce-
pat. Sudah beberapa nyawa lawan melayang disambar
senjata ampuh itu.
Pertempuran di samping kiri istana juga tak jauh
berbeda. I Halu Rakryan Subandira, Senopati Guntur
Selaksa, dan Dewi Baju Merah bersama belasan praju-
rit istana dapat mendesak hebat para perusuh. Pedang
orang-orang berkerudung yang berikat pinggang putih
pun telah bersimbah darah.
Agaknya, pertempuran tak akan berlangsung le-
bih lama. Jumlah orang berkerudung yang berikat
pinggang merah berkurang terus. Itu berarti gempuran
yang mereka lakukan semakin kendur. Padahal pihak
lawan bertambah gencar menerjang mereka.

***

Beberapa kali tongkat Pengemis Binal berhasil
mengenai sasaran. Pedang di tangan orang bertubuh
ramping pun telah membuat luka lebar di punggung
kiri orang bersenjata keris. Tapi, orang itu terus saja
memberikan perlawanan. Tak juga ciut nyalinya.
Karena, dia tak perlu membuang-buang tenaga
dengan menusukkan keris ke tubuh lawan. Hanya
dengan goresan kecil saja, lawan akan terkapar tanpa

nyawa. Kesaktian keris itulah yang menjadi harapan
orang berkerudung berikat pinggang merah ini.
"Menyerahlah, Keparat! Mungkin pengadilan is-
tana mau menjatuhkan hukuman lebih ringan!" ujar
orang berkerudung yang bertubuh ramping.
"Aku ingin melihat tubuhmu lumat lebih dulu!
Makanlah ini!" balas orang bersenjata keris. Cepat se-
kali Keris Sengkelit Bayu Geni meluncur lurus ke de-
pan.
Wuusss...!
Selarik cahaya merah muda melesat cepat. Orang
bertubuh ramping meloncat tinggi ke udara. Selarik
cahaya merah yang melesat dari ujung Keris Sengkelit
Bayu Geni pun menghantam patung penghias kolam
hingga hancur berkeping-keping!
Melihat serangannya gagal, orang bersenjata ke-
ris menggeram keras. Disorongkan lagi keris di tan-
gannya. Tapi, tongkat butut Pengemis Binal berhasil
memukul siku lengan kanannya. Diiringi teriak kesaki-
tan, Keris Sengkelit Bayu Geni jatuh ke tanah. Sekejap
mata kemudian, pedang orang bertubuh ramping
membabat cepat dari arah kiri. Orang yang menjadi
sasaran masih sempat melempar tubuhnya ke bela-
kang. Namun, tak urung sebagian daging pinggangnya
koyak. Ikat pinggang merahnya terputus. Warangka
keris yang terselip di situ pun luruh ke tanah.
Melalui cahaya temaram lampu taman, Pengemis
Binal menyaksikan tangan lawan yang bergerak aneh.
Diputar-putar di depan wajah seperti sedang mengusir
sesuatu yang menakutkan. Luka di beberapa bagian
tubuhnya tampak tak dihiraukan. Sewaktu orang ber-
tubuh ramping mengambil Keris Sengkelit Bayu Geni,
Pengemis Binal meloncat ke depan. Ditotoknya dada
kiri orang berkerudung yang tadi menjadi lawannya.
Bruk!

Ujung tongkat Pengemis Binal menyentuh sasa-
ran. Tubuh orang berkerudung pun jatuh ke tanah ba-
gai sehelai karung basah. Tapi dia masih sempat me-
lancarkan satu tendangan kaki kanan pada dada Su-
ropati. Suropati merasakan tubuhnya begitu ringan
karena terlontar sangat cepat. Lontaran itu baru ber-
henti ketika punggung Suropati membentur sebatang
pohon besar. Tongkat bututnya terlepas dari pegangan.
Orang bertubuh ramping yang kini memegang
Keris Sengkelit Bayu Geni kelihatan terkejut. Dipan-
danginya orang berkerudung yang menjadi pemimpin
penyerbuan. Lalu, pandangannya berpaling pada tu-
buh Pengemis Binal yang menggelosoh di tanah den-
gan keluh kesakitan keluar dari mulutnya.
"Kau tak apa-apa, Suro?" tanya orang bertubuh
ramping, khawatir. Kakinya melangkah menghampiri.
"Tak apa-apa bagaimana?! Punggungku sakit se-
kali! Paling tidak, aku membutuhkan sepuluh tukang
urut untuk menyembuhkannya!" kata Suropati. Dalam
keadaan begitu rupa, masih sempat-sempatnya dia
bergurau. "Eh..., kau tahu namaku?! Siapa kau?"
tanya remaja konyol ini kemudian.
Orang bertubuh ramping tampak tak peduli. Di-
ambilnya warangka Keris Sengkelit Bayu Geni yang
tergeletak tak jauh darinya.
Pengemis Binal merengut, walau rasa sakit di
punggungnya sudah berangsur lenyap.
"Eh, aku tanya siapa kau? Kalau tak mau men-
jawab, kujitak kepalamu!" ancam Suropati.
Tanpa menjawab, orang bertubuh ramping me-
nanggalkan kerudung hitamnya setelah menyelipkan
Keris Sengkelit Bayu Geni yang sudah berwarangka ke
ikat pinggang. Terlihatlah seraut wajah cantik jelita.
Rambutnya hitam pekat sebahu. Bibirnya yang merah
basah tampak tersenyum pada Suropati.

"Anggraini Sulistya!" seru Pengemis Binal seraya
meloncat bangkit.
"Ya. Aku kakakmu, Suro," sahut gadis berparas
cantik itu. "Ambil tongkatmu. Pertempuran di luar be-
lum usai."
"Uts! Tenanglah! Raka Maruta dan seorang gadis
sahabatku berada di sana. Para perusuh itu tentu da-
pat ditaklukkan."
"Raka Maruta?" desis Anggraini Sulistya atau Pu-
tri Cahaya Sakti.
"Ya. Kenapa?"
"Ah, tak apa-apa...," Anggraini Sulistya berusaha
menutupi perasaannya. "Kau harus berada di sini un-
tuk beberapa lama, Suro. Kau harus membantu men-
gatasi kemelut kerajaan."
"Ya..., ya! Tapi, bukankah para perusuh itu se-
bentar lagi akan dapat dilumpuhkan?" kata Suropati,
yang tampaknya begitu yakin akan kemampuan te-
man-temannya.
"Itu cuma sebagian. Di kotapraja dan daerah se-
kitarnya banyak bercokol orang-orang tak dikenal. Me-
reka adalah pasukan perang yang menyamar sebagai
penduduk biasa. Pada saatnya nanti mereka akan
menggempur istana!"
Suropati menggaruk-garuk kepalanya yang su-
dah gatal. Ini adalah kebiasaan buruk Pengemis Binal.
"Orang berkerudung ini merupakan pemimpin
pemberontakan," lanjut Anggraini Sulistya. "Sebentar
lagi kita akan tahu siapa sebenarnya orang misterius
tersebut. Kita akan membuka kerudungnya, Suro."
Anggraini Sulistya kemudian berjalan mengham-
piri orang berkerudung hitam yang tergolek tak ber-
daya di tanah. Perlahan sekali Putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit itu membuka kerudung orang ter-
sebut. Dan..., tampaklah siapa si pengkhianat kerajaan

itu. Orang yang berkeinginan bertindak makar terha-
dap pemerintah Baginda Prabu.
Hampir tak percaya Anggraini Sulistya menatap
wajah tersebut. Dia mengenal benar lelaki ini. Dialah
Tumenggung Sangga Percona, ayah dari Saka Purdian-
ta.
Wajah tumenggung yang berkhianat itu terlihat
pucat pasi. Kini kedoknya sudah terbuka. Tetapi tam-
paknya dia tak mau di penjara seorang diri. Ayah Saka
Purdianta itu kemudian membuka semua rahasia ten-
tang pemberontakan yang dilakukannya.
"I Halu Rakryan Subandira?!" Anggraini Sulistya
mengucapkan kata-kata itu dengan penuh tak percaya.
Tapi, akhirnya dia dapat memakluminya juga.
Memang dia mencurigai para pejabat istana. Akhirnya
kecurigaannya itu terbukti. Ternyata orang-orang pent-
ing dalam istana itu sendiri yang menjadi musuh da-
lam selimut.
"Yang kuselamatkan kemarin malam itu apakah
kau?" tanya Pengemis Binal, teringat peristiwa penge-
royokan di tepi sungai.
"Ya. Sengaja aku tak menegurmu atau memperli-
hatkan diri. Aku tak mau diriku dikenal para pembe-
rontak yang kemungkinan besar waktu itu masih be-
rada di sekitar tempat kita. Kalau mereka tahu aku be-
rada di sini, tentu mereka akan dapat memperhitung-
kan kekuatan pihak istana. Ini berbahaya sekali."
"Lalu, orang-orang berkerudung yang memakai
ikat pinggang putih itu?" tanya Suropati. Matanya me-
lirik pada ikat pinggang yang dikenakan Anggraini Su-
listya.
"Mereka adalah Pasukan Hitam yang baru saja
kubentuk. Mereka murid-murid Perguruan Pedang
Sakti. Karena, para pejabat istana yang membawahi
prajurit sudah tak dapat dipercaya lagi. Oleh sebab itu

Ayahanda Prabu meminta bantuan Ki Banyak Sung-
sang, Ketua Perguruan Pedang Sakti. Dia mengirimkan
dua puluh muridnya yang termasuk dalam jajaran mu-
rid utama."
"Prabu Singgalang Manjunjung Langit sendiri be-
rada di mana?" Pengemis Binal terus mencecar dengan
pertanyaan. Karena terbawa rasa ingin tahunya.
"Penyerbuan orang-orang berkerudung kemarin
malam hampir saja menewaskan Ayahanda Prabu.
Pemimpin mereka, yang berhasil kita usir tadi, berhasil
membunuh seorang prajurit yang hendak mengaman-
kan Ayahanda Prabu. Untunglah pemimpin pemberon-
tak itu tidak berhasil melaksanakan niatnya, karena
aku dapat menggagalkannya. Dengan memakai pa-
kaian seperti ini aku dapat mengecoh para pemberon-
tak itu. Dikiranya aku pemimpin mereka. Mereka sem-
pat memanggilku dengan sebutan 'Tuan Adipati'. Dari
situ timbul keyakinan pada diriku kalau pemimpin
orang-orang berkerudung adalah seorang adipati. Tapi
siapa, aku belum dapat memastikannya. Yang jelas dia
seorang bawahan Ayahanda Prabu," Anggraini Sulistya
menjelaskan panjang lebar tentang apa yang diketa-
huinya.
"Saat penyamaranmu ketahuan, apakah ketika
kau sedang bertempur kemarin malam itu?"
"Ya. Kau datang tepat pada saat aku sedang
membutuhkan pertolongan."
"Sebentar..., kau lupa menjawab pertanyaanku
tentang di mana Prabu Singgalang Manjunjung Langit
sekarang."
"Aku membawa Ayahanda Prabu ke ruang raha-
sia setelah usaha pembunuhan kemarin gagal. Tapi,
saat ini seluruh pejabat istana menduga Ayahanda
Prabu berhasil diculik orang-orang berkerudung. Ini
adalah siasatku untuk membuka kelicikan mereka.

Ternyata, setelah itu mereka tak banyak mengambil
tindakan. Tambahlah keyakinanku kalau para pejabat
istana memang sudah tak dapat lagi dipercaya."
"Gawat!"
"Istana ini pun jadi sepi. Para dayang bersem-
bunyi di ruang bawah tanah. Mereka takut adanya pe-
nyerbuan mendadak seperti yang sekarang terjadi."
"Pantas! Ketika aku masuk, istana terasa sunyi."
Pengemis Binal mengangguk. Lalu menggaruk-
garuk kepalanya, melakukan kebiasaan buruknya.
"Belum hilang juga kebiasaanmu itu, Suro!" tegur
Anggraini Sulistya.
Pengemis Binal tetap saja mengaruk-garuk kepa-
la.
"Aku akan membawamu menghadap Ayahanda
Prabu dan Ibunda Sekar Tunjung Biru," ujar Anggraini
Sulistya kemudian.
"Sekarang?" tanya Suropati.
"Setelah kita dapat memastikan kalau para pem-
berontak di luar sana dapat ditaklukkan."
Tanpa berkata-kata lagi, kemudian dia berkelebat
keluar taman kaputren. Pengemis Binal segera men-
gambil tongkat bututnya yang tergeletak di tanah. Dis-
usulnya lesatan tubuh Anggraini Sulistya. Tumeng-
gung Sangga Percona dibiarkan tetap tergolek di tanah.
Dia tak akan lari karena tubuhnya telah tertotok.

***

Pertempuran di samping kiri istana telah berhen-
ti. I Halu Rakryan Subandira, Senopati Guntur Selak-
sa, dan Ingkanputri segera membantu Patih Sanca
Singapasa dan para prajuritnya. Mereka masih ber-
tempur di samping kanan istana. Karena datangnya
bala bantuan tersebut, sebentar saja para pemberon-

tak pun dapat ditumpas habis. Bersamaan dengan da-
tangnya Suropati dan Anggraini Sulistya, orang-orang
berkerudung yang disebut Anggraini Sulistya sebagai
Pasukan Hitam, langsung berkelebat pergi meninggal-
kan istana.
Anggraini Sulistya segera memerintah Patih San-
ca Singapasa dan Senopati Guntur Selaksa untuk me-
nangkap I Halu Rakryan Subandira. Pada mulanya ke-
dua pejabat istana tersebut tampak kebingungan dan
enggan melaksanakan perintah itu. Tapi setelah
Anggraini Sulistya menerangkan secara singkat siapa
sebenarnya I Halu Rakryan Subandira, mereka pun tak
ragu-ragu lagi menangkap laki-laki itu.
I Halu Rakryan Subandira tak dapat melakukan
perlawanan, karena Raka Maruta dan Ingkanputri
langsung saja turun tangan membantu untuk mering-
kusnya.
Anggraini Sulistya segera mengajak Suropati ber-
lalu dari tempat itu. Raka Maruta dan Ingkanputri tu-
rut serta. Mereka akan menemui Prabu Singgalang
Manjunjung Langit dan Permaisuri Sekar Tunjung Biru
yang berada di tempat persembunyian mereka.

SELESAI