Pengemis Binal 16 - Pemberontakan Subandira(1)








PEMBERONTAKAN SUBANDIRA



Serial Pengemis Binal

Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit



Serial Pengemis Binal 
dalam episode: 
Pemberontakan Subandria
128 hal.




1

Setelah mengetahui ayahnya bersekongkol
dengan I Halu Rakryan Subandira untuk membe-
rontak terhadap Prabu Singgalang Manjunjung
Langit, timbul rasa sedih dalam diri Saka Pur-
dianta atau Dewa Guntur. Rasa sedih itu bercam-
pur dengan kekecewaan. Karena, orangtua yang
selama ini disanjung-sanjungnya ternyata mem-
punyai perangai buruk, tidak seperti yang ia kira.
Kedudukan ayahnya sebagai seorang tumenggung
masih dirasa kurang tinggi.
Kalau ini dijadikan alasan melakukan
pemberontakan terhadap Prabu Singgalang Man-
junjung Langit, alangkah tidak berbudinya ayah
Saka Purdianta. Bukankah dengan menjadi orang
nomor satu di Katumenggungan Lemah Abang
sudah merupakan suatu kehormatan yang tidak
setiap orang dapat memilikinya?
"Ah...," desah Saka Purdianta. "Sudah ke-
palang basah aku jadi orang jahat. Satu lagi sebu-
tan untukku sebagai anak durhaka. Biarlah bumi
menelanku dan langit menimbunku, Dewa Gun-
tur pantang berbelok keyakinan!"
Langkah kaki pemuda tampan ini memba-
wanya ke sebuah hutan kecil, tak seberapa jauh
dari pusat pemerintah Katumenggungan Lemah
Abang. Pakaiannya yang berwarna coklat dengan
garis-garis hitam tampak sobek di sana-sini oleh
sayatan semak-belukar. Namun, Saka Purdianta
tak ambil peduli. Kakinya terus melangkah.

"Menyesal aku telah melukai Anggraini Su-
listya di geladak Kapal Rajawali. Walau Jarum
Mati Sekejap tidak kutujukan pada dirinya, tapi
putri Prabu Singgalang Manjunjung Langit itu te-
lah menderita luka dalam yang cukup parah...,"
kata hati Dewa Guntur. 
"Hmmm.... Sejak peristiwa naas itu aku tak
pernah berjumpa lagi dengannya. Namun, fira-
satku mengatakan dia masih hidup, seperti hal-
nya dengan Suropati yang juga terkena Racun Ja-
rum Mati Sekejap...."
Kepala Saka Purdianta menengadah. Dita-
tapnya langit cerah nun jauh di sana. Gumpalan
awan perak mengabut, tertembus sinar matahari.
Tampak seperti tebaran kapas. Alangkah terke-
jutnya Saka Purdianta ketika dari balik gumpalan
awan melesat titik hitam menuju ke arahnya!  
"Aih...!"
Dewa Guntur segera melempar tubuhnya
ke samping kanan. Benda hitam yang tadi dili-
hatnya seperti hendak mencaplok kepala. Belum
hilang keterkejutan pemuda tampan ini, gelom-
bang angin besar meluruk dari arah belakang.
"Setan alas!" maki Dewa Guntur sambil
melempar kembali tubuhnya.
"Ha ha ha...! Wajah keruh menandakan ha-
ti yang galau. Alangkah bodohnya manusia. Kesu-
litan adalah bagian dari hidup. Kenapa mesti di-
pikirkan terlalu jauh. Karena, selamanya manusia
tak mungkin lepas dari kesulitan."
Saka Purdianta menebarkan pandangan.
Hingga dia berdiri berputar-putar, pemilik suara

itu tak juga didapatkan. Kerut di kening pemuda
tampan ini semakin terlihat jelas. Raut wajahnya
tampak menegang.
"Hei, Penyerang Gelap!" teriak Saka Pur-
dianta lantang. "Adab dan sopan santun rimba
persilatan kenapa mesti ditinggalkan? Kau me-
nyerang, gembar-gembor, lalu bersembunyi! Apa-
kah ini tindakan yang menunjukkan kesopanan?"
Dewa Guntur menunggu sejenak untuk
memperoleh tanggapan atas kata-katanya. Dita-
riknya napas panjang sebelum dihembuskan den-
gan deras. Dia mengumpat dalam hati. Orang
yang baru saja membokongnya tak juga mau me-
nampakkan diri.
"Dewa Guntur mengucapkan terima kasih
atas segala peradatan yang kau tunjukkan, Orang
Edan! Membuat gara-gara dengan Dewa Guntur
sama halnya menyulut api di jantung sendiri!"
Tanpa mau peduli lagi pada keadaan seke-
lilingnya, Saka Purdianta kembali melangkah.
Namun pandangan matanya kini terlihat penuh
kewaspadaan.  Sesampainya di tanah datar yang
agak lapang, Saka Purdianta menghentikan lang-
kah. Tubuhnya yang tegap berdiri tegak dengan
pandangan lurus ke depan.
"Ha ha ha...! Setelah menerima salam per-
kenalan, kenapa kau tidak segera menuju ke ma-
ri? Apakah kau mengira burung gagak raksasa,
gelombang angin, dan si pemilik suara masih di
sana? Kalau memang semua ini benar, alangkah
lucunya. Ha ha ha...! Penampilan lahir tampak
pandai, tapi cuma kebodohan yang ada di dalam-

nya...."
Dada Dewa Guntur bergemuruh menahan
kemarahan. Giginya bergemelutukkan, hingga ra-
hangnya menggembung berbentuk segi empat.
Dengan pandangan tajam ditatapnya orang yang
barusan mengumbar kata-kata.
Di bawah kerindangan pohon besar tampak
duduk bersila seorang lelaki  setengah baya. Tu-
buhnya yang ditopang sebongkah batu besar keli-
hatan kokoh kuat, terbungkus pakaian ketat ber-
warna putih. Ada selampir kain hijau di pundak-
nya. Bukan selendang, karena lebih kecil dan
pendek.
Wajah orang itu halus. Di atas alis mata
kanannya terdapat bekas luka kecil sepanjang jari
kelingking. Yang menjadikan penampilan orang
itu tampak angker adalah adanya seekor burung
gagak besar. Saka Purdianta menduga burung
gagak raksasa yang tadi hampir mencaplok kepa-
lanya. Maka, meledaklah amarah Dewa Guntur.
"Hei, Orang Asing yang tak tahu sopan-
santun!" dengus Saka Purdianta. "Aku tidak tahu
siapa dirimu. Aku pun tidak tahu apa maumu.
Namun menilik sikapmu, aku bisa memastikan
kau tak lebih dari anjing kurap sok pandai yang
layak untuk digebuki!"
Mendengar makian Dewa Guntur, orang
berpakaian putih malah tertawa terbahak-bahak.
Dia kemudian menjentikkan ujung jari kirinya ke
arah gagak besar. Timbul suara bersuit nyaring.
Gagak besar mendongakkan kepala, lalu melesat
cepat

"Kaaakkk...!"
"Kurang ajar...!"
Suara nyaring yang keluar dari mulut ga-
gak besar ditimpali makian Dewa Guntur. Pemu-
da tampan ini segera mengegos ke samping kiri.
Lalu, dengan kibasan telapak tangan kanan yang
dialiri tenaga dalam penuh, hendak dipapakinya
luncuran tubuh gagak besar.
"Kaaakkk...!"
Cepat sekali gerakan burung gagak. Tu-
buhnya yang hitam kelam melenting ke atas, lalu
menukik hendak mencaplok kepala Dewa Guntur.
"Kentut busuk! Salam perkenalanmu kute-
rima!" ujar Saka Purdianta seraya merundukkan
tubuh. Serangan gagak besar pun gagal. Sebelum
satwa perkasa itu mengawali lagi serangannya,
Saka Purdianta telah mengirimkan pukulan jarak
jauh.
Saat itu juga terdengar gemuruh angin
kencang. Di langit muncul suara ledakan yang
memekakkan gendang telinga. Orang berpakaian
putih yang masih duduk bersila terkejut bukan
main. Tanpa sadar dia meloncat bangkit.
"Monyet busuk!" 
Orang berpakaian putih memandang wajah
Dewa Guntur dengan sinar mata berkilat. Sekitar
lima tombak dari tempatnya berdiri, bertebaran
serpihan daging berbau anyir. Sementara di ang-
kasa beterbangan bulu hitam dari tubuh gagak
besar yang telah menemui ajal.
"Ha ha ha...!" Dewa Guntur mengeluarkan
tawa ejekan. "Salam perkenalan dari gagak naas-

mu sudah kuterima dengan baik. Kenapa wajah-
mu malah mengelam, Sahabat? Apakah salah bila
kekerasan dibalas dengan kekerasan? Satwa peli-
haraanmu sudah layak mati, karena kesalahan-
mu sendiri!"
"Saka Purdianta!" sebut orang berpakaian
putih. "Aku menemuimu bukan hendak membuat
permusuhan...."
"Ha ha ha...!" Dewa Guntur memotong
ucapan itu dengan tawanya yang nyaring. "Kau
tahu siapa diriku. Kukira kau pun tahu kemam-
puanku. Tapi dengan menyuruh satwa peliha-
raanmu menyerangku, itu sama saja dengan me-
nunjukkan kemampuan otakmu yang tak lebih
cakap dari seekor kerbau!"
Wajah orang berpakaian putih semakin
merah-padam. Kata-kata Dewa Guntur sangat
menusuk perasaan. Namun, dicobanya untuk
bersikap wajar.
Senyum tipis tampak di bibirnya.
"Hei, Saka!" ujar lelaki itu sambil membu-
sungkan dada. "Kata-katamu memang pedas di
telinga. Wajar saja bila kau menunjukkan kebe-
ranianmu. Kau belum tahu siapa aku...."
Dewa Guntur tersenyum sinis. "Tidakkah
kau pernah mendengar bicara orang? Dewa Gun-
tur tak punya rasa takut. Dewa Guntur berhati
baja dan pantang menyerah. Walau kau menye-
but nama dan gelar segala iblis, Dewa Guntur tak
akan gentar! Apalagi kau telah menunjukkan sifat
picik dan culas. Mana mungkin Dewa Guntur ciut
nyalinya. Justru kepalan tangan ini akan meme-

cahkan batok kepalamu!"
Tepat di ujung kalimatnya, Saka Purdianta
mengepalkan jari tangan kanan. Dan ketika dis-
orongkan ke depan, gumpalan sinar kelabu melu-
ruk begitu cepat.
Wuuusss...!
Orang berpakaian putih tersenyum tipis.
Tanpa bergerak sedikit pun, ditadahinya pukulan
jarak jauh Dewa Guntur.
Blaaarrr...!
Saka Purdianta terkesiap. Terheran-heran
dipandangnya sosok lelaki setengah baya yang
berdiri lima tombak di hadapannya. Dada orang
itu jelas terhantam telak pukulan jarak jauh mi-
liknya. Tapi, bagaimana mungkin orang berpa-
kaian putih tak mengalami apa-apa. Bahkan ber-
geming dari tempatnya pun tidak.
Sewaktu Saka Purdianta masih terbawa ra-
sa heran, orang berpakaian putih tertawa berge-
lak penuh kemenangan. "Ha ha ha...! Kenapa he-
ran melihat kemampuanku. Itu menunjukkan
Dewa Guntur kurang pengalaman!"
"Tutup mulutmu!" geram Saka Purdianta.
"Di balik bau busuk kata-katamu, ada tersimpan
sedikit kepandaian. Sebutkan nama dan gelarmu
sebelum kita mengawali sebuah persahabatan
atau permusuhan!"
Orang berpakaian putih mengusap bajunya
yang masih mengepulkan asap. Kembali senyum
tipis diperlihatkan.
"Dari semula aku sudah katakan kalau aku
bukan hendak membuat permusuhan. Hanya,

mungkin  caraku yang keliru sehingga membuat
darahmu naik, Saka...."
"Jangan bertele-tele!" sela Dewa Guntur.
"Aku tak punya waktu untuk menghadapi urusan
sepele. Segera sebutkan nama dan gelarmu. Apa-
bila kau punya urusan, lain kali bisa menemui
aku lagi. Sekarang aku benar-benar menghargai
waktu!"
"Ah, kiranya Dewa Guntur kini orang yang
sibuk. Bukan maksud hatiku untuk menyita wak-
tumu. Aku bernama Karma Salodra, dan bergelar
Malaikat Baju Putih. Sebenarnya aku datang ke-
padamu bukan atas kemauan pribadiku. Aku da-
tang atas perintah junjunganku...."
"Siapa junjunganmu itu?" tanya Dewa
Guntur tak sabar.
"Tumenggung Sangga Percona."
Saka Purdianta tertegun. Tumenggung
Sangga Percona adalah ayah kandungnya. Dan,
Saka Purdianta tidak mengenali orang yang me-
nyebut dirinya Karma Salodra atau Malaikat Baju
Putih. Tapi, kenapa dia mengatakan sebagai
orang suruhan ayahnya?
"Jangan main-main, Salodra!" bentak Dewa
Guntur. "Ayahku tidak punya orang suruhan se-
perti dirimu. Semua pembantu ayahku selalu ber-
sikap hormat kepadaku, sedang kau tidak!"
"Ha ha ha...!" Karma Salodra tertawa keras.
"Aku bukan pembantu ayahmu, Saka. Kalau aku
mau membantu ayahmu, itu karena diberi imba-
lan besar...."
"Keparat!" umpat Dewa Guntur. "Dasar

orang tak berguna. Menjual tenaga dan kemam-
puan hanya untuk harta dunia!"
"Justru aku ini sangat berguna, Saka.
Ayahmu tahu betul hal ini..."
"Jangan lagi banyak bacot! Segera katakan
mengapa ayahku menyuruh orang culas seperti-
mu untuk menemuiku!"
Malaikat  Baju Putih menarik napas pan-
jang. Sikapnya tampak tenang sekali. Setelah be-
berapa tarikan napas, dia tak juga membuka sua-
ra. Tentu saja Saka Purdianta menjadi penasaran.
"Enyahlah kau dari hadapanku bila mu-
lutmu tak bisa bicara!" bentak Dewa Guntur, ge-
ram.
"Sabarlah, Saka...," ujar Karma Salodra
lembut. "Terlalu tergesa-gesa itu tidak baik. Seha-
rusnya kau tahu makna ujar-ujar orang dahulu,
bahwa di mana pun kaki berpijak, di sanalah lan-
git dijunjung."
"Aku tak butuh nasihat, Orang Edan!" ma-
ki Saka Purdianta. "Segera katakan apa kemauan
ayahku, atau kau akan menyesal karena tak da-
pat menjumpai Dewa Guntur lagi!"
"Baiklah kalau begitu, Saka...," kata Malai-
kat Baju Putih. "Aku datang ke hadapan Dewa
Guntur untuk meminta Kitab Selaksa Dewa Tu-
run Ke Bumi."
Mendelik mata Saka Purdianta mendengar
penuturan Karma Salodra. "Tak mungkin...," bisik
Saka Purdianta dalam hati.
"Hei! Kenapa kau malah terbengong-
bengong macam kerbau sakit ingatan?" ejek Ma-

laikat Baju Putih melihat Dewa Guntur berdiri
terpaku di tempatnya.
"Sedikit pun aku tak mempercayai kata-
katamu!" ujar Saka Purdianta.
Senyum tipis mengembang ke bibir Karma
Salodra.
"Apa perlunya aku berbohong kepadamu.
Ayahmu memang menyuruhku untuk meminta
Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi yang di balik
bajumu...," sambil berkata demikian, pandangan
lelaki setengah baya ini tertuju pada bagian yang
menonjol di pinggang Saka Purdianta. Memang, di
balik baju Saka Purdianta terselip Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi (Tentang asal-usul Saka
Purdianta mendapatkan kitab ini, baca episode :
"Dendam Ratu Air").
Dewa Guntur tetap berdiri terpaku. Melihat
itu, Malaikat Baju Putih segera menyambung
ucapannya.
"Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi seba-
gian berisi siasat dan strategi perang. Karena kau
tak mau membantu perjuangan ayahmu, maka
Tumenggung Sangga Percona menginginkan kitab
itu. Saat ini penghalang paling berbahaya bagi ci-
ta-cita Tumenggung Sangga Percona adalah pu-
tranya sendiri. Tiada lain kau, Saka Purdianta!"
Mengelam paras Dewa Guntur mendengar
tudingan Malaikat Baju Pulih. "Berani benar kau
berkata seperti itu!" bentaknya. Namun  sebelum
pemuda tampan ini menyambung ucapannya.
Karma Salodra keburu menyela.
"Ha ha ha...! Cita-cita memang perlu se-

tinggi langit. Semua orang pun tahu bila semakin
tinggi cita-cita, semakin besar pengorbanan yang
diperlukan. Dan, Tumenggung Sangga Percona
tahu benar akan hal itu. Karenanya, bila kau in-
gin jasadmu mempunyai jiwa, segera serahkan Ki-
tab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi. Bila kau meno-
lak permintaan, ini, Tumenggung Sangga Percona
telah menyerahkan segala sesuatunya kepadaku.
Itu berarti aku mempunyai kuasa untuk berbuat
apa saja kepadamu!"
"Bangsat!" umpat Dewa Guntur penuh lua-
pan kemarahan.
Pemuda tampan yang keras kepala ini se-
gera memasang kuda-kuda. Kedudukan kaki ka-
nannya digeser ke samping. Kemudian, dengan
badan sedikit berjongkok ditariknya kedua tangan
ke belakang.
"Heaaah...!" 
Gelombang angin dahsyat meluncur cepat
dari kedua telapak tangan Saka Purdianta yang
disorongkan ke depan. Inilah salah satu ilmu an-
dalannya yang bernama 'Tapak Dewa Guntur Sa-
tukan Badai'. Kehebatannya tidak dapat disang-
kal lagi. Gemuruh angin yang ditimbulkan laksa-
na suara geledek.
Ketika gelombang angin dahsyat menghan-
tam tubuhnya, Malaikat Baju Putih telah me-
nyiapkan ilmu untuk memperberat tubuh. Sambil
membuka kedua telapak tangan di depan dada,
kaki kanannya ditarik ke belakang. Lalu....
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat menggelegar di angkasa.

Tanah tempat Dewa Guntur dan Malaikat Baju
Putih berpijak terasa berguncang. Dan, tiba-tiba
saja langit yang semula cerah berubah gelap-
pekat. Keadaan ini terjadi karena gumpalan tanah
bercampur bebatuan beterbangan ke atas. Bah-
kan, beberapa pohon besar tercabut hingga ke
akar-akar dan melayang tinggi ke angkasa.
Saat keadaan telah kembali seperti semula,
permukaan tanah tampak tak karuan. Banyak
terdapat kubangan-kubangan dalam,  sementara
di sekitarnya batang-batang pohon besar rebah
melintang. Dewa Guntur dan Malaikat Baju Putih
tetap berdiri di tempatnya. Kedua orang ini saling
bertatapan dengan sorot mata tajam bak sebilah
pedang. Wajah mereka pun sama-sama tegang.
Dewa Guntur  terlihat menyeringai dingin, se-
dangkan Malaikat, Baju Putih mengatupkan gigi
kuat-kuat
"Kiranya nama besar Dewa Guntur bukan
isapan jempol belaka...," puji Karma Salodra.
"Hmm... Walau aku baru mengenalmu per-
tama kali ini, tapi aku bisa merasakan keheba-
tanmu. Namun tak hendak aku memberikan ka-
ta-kata pujian. Di antara kita telah terpaut be-
nang permusuhan!"
"Kalau kau menganggap diriku sebagai
musuh, tidak menjadi apa, Saka. Tapi kau harus
tahu bahwa aku ini hanyalah orang upahan. Aku
mesti menjalankan perintah tuanku."
"Apa bedanya kau hendak membuat per-
musuhan denganku atau tidak. Kau telah mem-
buat pertentangan denganku?!" sahut Saka Pur-

dianta.
"Baik! Apa pun tanggapanmu, aku tetap
pada tujuanku semula. Serahkan Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi!" Karma Salodra rupanya
sudah kehabisan kesabaran.
"Seujung rambut pun tak ada niat dalam
hatiku untuk melepaskan kitab warisan Panglima
Pranasutra!"
"Kalau begitu, jangan salahkan aku bila
terjadi apa-apa! Sekarang sebutkan apa maumu
sebelum pintu gerbang neraka menyambut keda-
tanganmu!" ujar Malaikat Baju Putih seraya men-
cabut sebilah pedang pendek dari balik bajunya.
Tertimpa sinar matahari, bilah pedang itu me-
mantulkan kilatan-kilatan cahaya yang menya-
kitkan mata.
"Hmm.... Kiranya kau telah siap untuk
memaksaku. Seperti katamu, baiklah aku akan
menyampaikan kemauanku terlebih dahulu sebe-
lum kita bertarung...," ucap Saka Purdianta tanpa
mengalihkan pandangan dari wajah Karma Salo-
dra.
"Apa?"
"Tusuklah jantungmu dengan pedang yang
kau bawa!"
"Baik!"
Kesanggupan itu dikatakan Karma Salodra
tanpa pikir panjang lagi. Dicengkeramnya gagang
pedang dengan kedua tangan. Lalu, ditariknya bi-
lah pedang itu di depan dada dengan ujung lurus
tertuju ke jantung. Tampaknya dia benar-benar
hendak menusuk jantungnya sendiri!

Jrep...!
Mata Saka Purdianta mendelik. Bagaimana
mungkin Malaikat Baju Putih melakukan tinda-
kan sebodoh itu? Bunuh diri dengan menikam
jantung sendiri.
Keterkejutan yang menghantam Dewa
Guntur semakin bertambah tatkala melihat tubuh
Malaikat Baju Putih tak juga roboh ke tanah, pa-
dahal darah mengalir demikian deras. Sebelum
Saka Purdianta sempat menyadari keadaan, ter-
dengar suara berdesing yang dibarengi kelebatan
bayangan putih.
Dewa Guntur tampak linglung. Tak tahu
apa sesungguhnya yang terjadi. Dan ketika akal
sehatnya telah kembali, dia meraba bajunya yang
robek sejengkal Kitab Selaksa Dewa Turun Ke
Bumi telah lenyap!
Saka Purdianta menebar pandangan. So-
sok Malaikat Baju Putih tak lagi berada di tem-
patnya. Dia lenyap bagai ditelan bumi.
"Sihir...!" desis Dewa Guntur. Tak ada kata-
kata yang dapat diucapkan lagi selain sumpah se-
rapah.

2

Suropati berdiri termangu. Anggraini Sulis-
tya terlihat menggandeng tangannya untuk diajak
memasuki lorong bawah tanah. Tapi, kaki remaja
tampan berpakaian putih penuh tambalan itu tak
juga melangkah. Matanya terus memandang ke

bawah, hanya kegelapan yang didapat. Sementara
Raka Maruta yang berdiri di belakangnya mende-
sah terus. Entah apa yang dipikirkan pemuda
bergelar Pendekar Kipas Terbang itu.
"Ayolah, Suro...," ajak Anggraini Sulistya
atau Putri Cahaya Sakti. "Kenapa kau ragu? Bu-
kankah kita hendak menghadap Ayahanda Pra-
bu?"
"Iya. Tapi..., kenapa beliau berada di tem-
pat seperti ini?" tolak Suropati atau Pengemis Bi-
nal. Hati remaja tampan yang sering berperilaku
konyol ini masih diselimuti keraguan.
"Aduh, Suro! Kau ini bodoh benar!" gerutu
Anggraini Sulistya. Pegangan tangannya ditepis
oleh Pengemis Binal. "Bukankah sudah kukata-
kan kalau Ayahanda Prabu kusembunyikan di lo-
rong bawah tanah karena keberadaan sangat ti-
dak memungkinkan. Kenapa semakin hari kau
bertambah bodoh saja? Di negeri Pasir Luhur ini
telah bercokol pasukan pemberontak...."
"Aku sudah tahu!" sela Suropati sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Lalu, kenapa kau menolak kuajak meng-
hadap Ayahanda Prabu?"
"Bukannya aku menolak. Aku hanya ragu,
apakah benar aku ini putra Prabu Singgalang
Manjunjung Langit?"
"Kenapa kau masih saja menyangsikan hal
itu, Suro? Di punggung kirimu terdapat toh yang
menandakan kau adalah adik kandungku. Kau
putra Prabu Singgalang Manjunjung Langit yang
hilang ketika masih bayi."

Pengemis Binal menggaruk-garuk kepa-
lanya lagi. Kali ini diikuti dengan hidungnya yang
berkernyit. Ingatannya melayang pada peristiwa
di geladak Kapal Rajawali. Di sanalah Anggraini
Sulistya mendapat keyakinan, Suropati adalah
putra Prabu Singgalang Manjunjung Langit (Ten-
tang cerita ini, silakan baca episode : "Cinta Ber-
noda Darah").
"Sebaiknya kita turuti ajakan Anggraini Su-
listya, Suro...," cetus Pendekar Kipas Terbang
yang sedari tadi diam saja.
Dalam keremangan cahaya, Suropati me-
malingkan wajah untuk menatap Raka Maruta.
Pemuda berwajah lembut itu cepat-cepat menun-
dukkan kepala ketika Putri Cahaya Sakti  turut
menatap ke arahnya.
"He he he...," kekeh Pengemis Binal. "Ru-
panya hatimu telah tercuri Anggraini Sulistya,
Maruta..."
"Hush...! Jangan bicara sembarangan, Su-
ro!" sergap Anggraini Sulistya sambil mencekal
lengan Pengemis Binal. Kepala Raka Maruta se-
makin tertunduk. Tebakan Suropati sanggup me-
nerbangkan keberaniannya untuk bersitatap den-
gan Putri Cahaya Sakti.
Sambil tersenyum-senyum, Pengemis Binal
menurunkan kaki kanannya ke pintu ruang ba-
wah tanah. Setindak-dua tindak akhirnya dia be-
nar-benar memasuki ruangan itu. Sebentar saja
sosok Pengemis Binal telah hilang. Anggraini Su-
listya malah tak beranjak dari tempatnya berdiri.
Dalam hati gadis cantik putri Prabu Singgalang

Manjunjung Langit ini tertawa geli. Ia melihat Ra-
ka Maruta belum juga mendongakkan kepala.
"Pendekar budiman yang tampan rupa-
wan...," bisik Putri Cahaya Sakti dalam hati.
"Sayang, dia sangat pemalu."
"Hoiii...!"
Tiba-tiba dari arah ruangan bawah tanah
terdengar teriakan. Anggraini Sulistya dan Raka
Maruta tersentak. Suara yang terdengar menya-
darkan mereka untuk mengikuti langkah Suropa-
ti.
"Ayolah, Maruta...," ajak Putri Cahaya Sak-
ti. Kaki kanannya sudah meniti tangga batu yang
menuju ke bawah. Mau tak mau Raka Maruta
pun mengikuti.
Anggraini Sulistya dan Raka Maruta hanya
membutuhkan sepuluh langkah untuk dapat me-
nyusul Suropati. Kiranya, remaja tampan Pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
sengaja menunggu kemunculan mereka.
Ketika anak tangga yang menuju ke bawah
telah mereka lalui, jalan di depan berbelok ke kiri.
Gelap tak lagi menyelimuti. Pada dinding-dinding
lorong terdapat cahaya yang berasal dari nyala api
obor. Dengan mengikuti kelokan jalan inilah ak-
hirnya ketiga muda-mudi itu sampai di sebuah
ruangan lebar berlantai marmer. Ruangan itu ter-
nyata buntu. Anggraini Sulistya menyenggol len-
gan Suropati yang berdiri keheranan.
"Bila sedang bingung wajahmu jadi mirip
monyet kena sumpit!" ejek Putri Cahaya Sakti.
Suropati hanya menggaruk-garuk kepa-

lanya sambil nyengir kuda. Ditebarkannya pan-
dangan. Hampir seluruh ruangan dipenuhi ba-
rang-barang istana yang sudah tak berguna.
"Orang-orang di istana hanya tahu tempat
ini gudang bawah tanah...," jelas Anggraini Sulis-
tya. "Tapi tidak semua orang tahu bila di bawah
gudang ini terdapat sebuah ruangan."
"Ruang rahasia?" tebak Pengemis Binal.
"Ya," Anggraini Sulistya menganggukkan
kepalanya.
"Jadi, Prabu Singgalang Manjunjung Langit
dan Permaisuri Sekar Tunjung Biru berada di ba-
wah lantai manner ini?"
Kembali Anggraini Sulistya mengangguk.
"Maka dari itu, sebelum aku mengajakmu dan
Raka Maruta datang ke tempat ini, aku telah me-
mastikan tidak ada orang yang mengikuti kita."
Pengemis Binal mengangguk-angguk. Raka
Maruta menatap wajah Anggraini Sulistya lewat
sudut mata. Sayang, gerakan yang sangat rahasia
itu berhasil diketahui oleh Suropati.
"He he he...," Suropati tertawa terkekeh.
"Kebesaran nama Pendekar Kipas Terbang ki-
ranya tiada berarti ketika berdekatan dengan seo-
rang gadis cantik."
Mendengar sindiran Suropati, Pendekar Ki-
pas Terbang cuma mengeluh dalam hati. Mulut-
nya tetap terkunci rapat. Anggraini Sulistya berdi-
ri tampak acuh tak acuh. Gadis berpakaian sute-
ra putih itu melangkah ke salah satu sudut ruan-
gan. Setelah menyingkirkan beberapa kotak kayu
yang menutupi lantai, dia melambaikan tangan-

nya.
"Kemarilah...," ajak Anggraini Sulistya ke-
pada Suropati dan Raka Maruta.
Kedua pendekar muda itu segera mende-
kat. Anggraini Sulistya menginjak tonjolan batu
kecil  yang terdapat di lantai. Suropati dan Raka
Maruta merasakan lantai tempat kaki mereka
berpijak bergetar. Sebelum mereka sempat men-
duga apa yang akan terjadi, tubuh ketiga orang
muda itu terjeblos ke bawah! Ketiganya mampu
mendarat di lantai ruang rahasia dengan kedudu-
kan tetap berdiri.
Prabu Singgalang Manjunjung Langit dan
Permaisuri Sekar Tunjung Biru yang berada di
ruang rahasia terkejut melihat kehadiran
Anggraini Sulistya dan kedua kawan lelakinya.
"Aini...," panggil Prabu Singgalang Manjun-
jung Langit.
Baginda Raja langsung bangkit dari tempat
duduknya. Diikuti oleh permaisuri. Wanita seten-
gah baya yang masih menampakkan kecantikan-
nya ini segera memeluk Anggraini Sulistya.
"Kau datang bersama siapa. Aini?" tanya
permaisuri setengah berbisik.
Putri Cahaya Sakti melepas pelukan
ibunya. Ditatapnya wajah wanita setengah baya
itu lekat-lekat. Sebentar kemudian, pandangan-
nya beralih pada sosok Suropati.
"Apakah Ibunda Sekar Tunjung Biru masih
merindukan putra Ibu yang hilang ketika masih
bayi?" tanya Anggraini Sulistya dengan tatapan
tetap tertuju pada Suropati.

"Apa maksud pertanyaanmu ini, Aini?"
Permaisuri balik bertanya.
"Jawablah pertanyaanku dulu, Ibu." Per-
maisuri menatap lekat wajah putrinya. 
"Ibu dan anak mempunyai ikatan batin
yang tak mungkin dapat dipisahkan...," katanya.
"Seandainya putra Ibu yang hilang itu
kembali, apakah Ibu akan merasa bahagia?" 
"Tentu saja, Anakku...."
Bibir Anggraini Sulistya mengembangkan
senyum. "Lihatlah dia, Ibu...," pintanya sambil
menunjuk ke arah Suropati.
Kening ibunda Anggraini Sulistya tampak
berkerut. Sesaat degup jantungnya mengencang.
"Kau..., kau anakku?" desisnya hampir tak ke-
dengaran.
Suropati cuma menggaruk-garuk kepala.
Namun, remaja konyol ini tak dapat menipu diri
sendiri. Ada getar-getar aneh yang memerintah-
kannya untuk segera berlutut ke hadapan Per-
maisuri Sekar Tunjung Biru.
Prabu Singgalang Manjunjung Langit yang
sejak tadi tak pernah lepas memperhatikan sosok
Pengemis Binal terdengar mendehem. Lalu, tan-
gan kanannya melambai ke arah pemuda konyol
itu.
"Kemarilah...."
Mendengar titah sang Raja, Suropati segera
melangkah empat tindak. Gerakannya tampak
konyol  dan terkesan tidak menghormat. Namun
begitu berada di dekat sang Raja, dia menjatuh-
kan diri untuk berlutut.

Prabu Singgalang Manjunjung Langit men-
gelus rambut Pengemis Binal. "Buka bajumu...,"
pintanya kemudian.
Suropati menurut saja. Begitu bajunya ter-
lepas, tak berkedip mata sang Raja menatap toh
di punggung kiri Suropati. Kalau penguasa negeri
Pasir Luhur ini masih dapat mengendalikan pera-
saan, lain halnya dengan Permaisuri Sekar Tun-
jung Biru. Dia langsung berhambur memeluk Su-
ropati, dan menangis tersedu-sedu.
"Anakku.... Anakku...," isak permaisuri be-
rulang-ulang.
Ada dorongan dalam hatinya yang mem-
buat Suropati tak dapat menolak keinginan itu.
Dorongan yang begitu kuat sehingga Suropati tak
dapat menguasai diri. Dibalasnya pelukan Per-
maisuri Sekar Tunjung Biru. Mendengar sedu-
sedan wanita itu, butiran mutiara bening menitik
dari sudut mata Suropati. Hilang sudah semua
kekonyolannya. Yang ada hanyalah rasa bahagia
bercampur haru yang sangat
"Ibu...," bisik Pengemis Binal setelah me-
longgarkan pelukan. Ditatapnya wajah Permaisuri
Sekar Tunjung Biru, lalu dipeluknya lagi semakin
erat. Kembali mereka bertangisan.   
Di kursi yang terbuat dari kayu jati seder-
hana, Prabu Singgalang Manjunjung Langit tak
kuasa pula menahan perasaan. Walau dia tak be-
ranjak dari tempat duduk, tapi pandangan ma-
tanya menggambarkan sebuah pelukan mesra.
Wajah Anggraini Sulistya tampak meme-
rah. Sedari tadi air matanya telah mengalir. Raka

Maruta pun merasakan keharuan yang sangat.
Pemuda berwajah lembut yang sangat pemalu itu
tampak berusaha keras menahan jatuhnya air
mata.

***

Di depan pintu yang menuju lorong bawah
tanah, Ingkanputri atau Dewi Baju Merah tampak
berjaga-jaga. Dia berdiri tegak di ambang pintu
dengan tangan bersedekap. Ruang tempatnya be-
rada itu jarang dijamah orang. Hanya beberapa
pelayan yang bertugas memindahkan barang-
barang tak terpakai yang sering memasuki tempat
tersebut Ingkanputri melihat dua orang prajurit
menghampiri tempatnya berada. Menurut penu-
turan Anggraini Sulistya, hampir semua orang is-
tana tak dapat dipercayai lagi, termasuk para pra-
jurit. Itu berarti nyawa sang Raja beserta orang-
orang yang bersamanya di ruang rahasia berada
di tangan Ingkanputri.
"Ah, bukankah Nona sahabat Tuan Putri
Anggraini Sulistya?" sapa prajurit bertubuh jang-
kung.
"Benar," angguk Ingkanputri.
"Kenapa Nona berada di tempat ini? Dan,
di nana pula Tuan Putri?" tanya prajurit berkumis
tebal.     
Kening Dewi Baju Merah berkerut. Dia
tampak berpikir. Karena tak menemukan alasan
untuk menjawab pertanyaan itu. Ingkanputri ba-
lik bertanya. "Kau sendiri mengapa berada di

tempat ini, Prajurit?"
"Saya sedang jaga berkeliling, Nona. Bu-
kankah Nona tahu di istana telah bercokol ba-
nyak pemberontak?"
"Hmm.... Benar begitu?"
"Nona mencurigai kami?" tanya prajurit
jangkung sambil menatap tajam wajah Dewi Baju
Merah. Gadis cantik itu jadi jengah dan sedikit
tersinggung. Sebagai sahabat putri raja, dia me-
rasa diperlakukan tak hormat
"Aku tidak suka tatapan matamu, Prajurit!"
bentak Ingkanputri. 
Prajurit  jangkung  tersenyum tipis. "Nona
belum menjawab pertanyaan temanku," katanya.
"Kenapa Nona berada di tempat ini? Dan, di mana
Tuan Putri Anggraini Sulistya berada?"
"Apa urusanmu?!" bentak Dewi Baju Merah
lagi. "Segera kembali bersama temanmu! Tempat
ini aman. Selama ada aku, tidak akan ada orang
yang berani menyusup kemari!"
"Hmm.... Benar kata Nona. Tuan Putri
Anggraini Sulistya tentu tak salah memilih saha-
bat. Nona pasti memiliki kepandaian tinggi."
Usai berkata, prajurit jangkung memberi
isyarat lewat kedipan mata kepada temannya un-
tuk segera berlalu. Begitu sosok mereka lenyap di
balik pintu, Ingkanputri menarik napas lega. Na-
mun beberapa kejap mata kemudian muncul seo-
rang lelaki berjubah kuning. Usianya sekitar lima
puluh tahun. Wajahnya halus dan bertubuh se-
dang.
"I Halu Rakryan Subandira...!" terkejut bu-

kan main Dewi Baju Merah.
Dia berdiri terpaku dengan tatapan tertuju
lurus pada sosok yang baru datang. Ingkanputri
benar-benar tidak dapat  mempercayai pengliha-
tannya. Sebelum datang ke ruang bawah tanah
ini bersama Anggraini Sulistya, Suropati dan Ra-
ka Maruta, ia yang dibantu Raka Maruta berhasil
membekuk pengkhianat kerajaan tersebut. Masih
segar di ingatannya, bagaimana I Halu Rakryan
Subandira terluka dalam cukup parah sewaktu
mengadakan perlawanan.
Melalui pertarungan yang alot, akhirnya I
Halu Rakryan Subandira dapat dibekuk juga.
Sengaja pengkhianat kerajaan itu tidak dibunuh.
Karena, rasanya terlalu ringan bila hukuman itu
dijatuhkan kepadanya. Biarlah nanti pengadilan
istana yang akan memutuskan hukuman apa
yang tepat baginya. Mungkin penjara seumur hi-
dup di ruang bawah tanah hukuman yang paling
setimpal dengan perbuatannya yang hendak ma-
kar terhadap kerajaan. Biar I Halu Rakryan Sub-
andira merasakan bagaimana tersiksanya hidup
terkurung dengan segala kebebasan yang terba-
tas. Dan, melihat bagaimana usaha pemberonta-
kannya yang telah disusun demikian matang, ak-
hirnya hancur berantakan tanpa guna.
Ingkanputri tidak tahu yang terjadi sebe-
narnya setelah I Halu Rakryan Subandira berhasil
dikalahkan. Ia dan Raka Maruta diajak Anggraini
Sulistya menuju ruang bawah tanah untuk men-
jumpai Prabu Singgalang Manjunjung Langit dan
permaisuri.

Sementara I Halu Rakryan Subandira di-
bawa oleh Patih Sanca Singapasa serta Senopati
Guntur Selaksa untuk dijebloskan ke dalam pen-
jara.
Di saat-saat yang tidak menguntungkan I
Halu Rakryan Subandira itulah datang pertolon-
gan untuk dirinya. Seorang tokoh persilatan yang
tak dikenal pihak istana datang membebaskan.
Tokoh yang cukup lihai itu berhasil melumpuh-
kan kedua perwira tinggi istana yang menawan I
Halu Rakryan Subandira. Tidak itu saja. Tokoh
yang tiba-tiba muncul ini pun membantu me-
nyembuhkan luka dalam I Halu Rakryan Suban-
dira.
Ternyata tokoh yang datang menyelusup ke
dalam lingkungan istana itu memang bertugas
melancarkan jalannya pemberontakan. Buktinya,
tidak hanya I Halu Rakryan Subandira saja yang
ditolongnya. Tumenggung Sangga Percona pun
demikian. Dia kemudian pergi ke taman keputren
untuk membebaskan ayah Saka Purdianta itu da-
ri totokan yang dilancarkan Pengemis Binal. Tu-
menggung Sangga Percona dan penolongnya lalu
bergegas pergi meninggalkan istana. Mereka ber-
pisah di tengah perjalanan.
Ingkanputri bukannya tak melihat gelagat
tak baik yang ditunjukkan I Halu Rakryan Sub-
andira.
Kecurigaannya terbukti. Tapi, ia membiar-
kan saja ketika ujung jari I Halu Rakryan Suban-
dira mendaratkan beberapa totokan di tubuhnya.
I Halu Rakryan Subandira tersenyum sinis

melihat Ingkanputri masih termangu-mangu.
"Ha ha ha...!"  I Halu Rakryan Subandira
tertawa penuh kemenangan. Dia baru saja melan-
carkan totokan jarak jauh. Dan..., berhasil. Tu-
buh Ingkanputri terjatuh lemas ke lantai.
"Apa yang kau lakukan, Subandira?!" ben-
tak Dewi Baju Merah.
"Apa yang kulakukan? Ha ha ha...!" I Halu
Rakryan Subandira tertawa bergelak. "Tanyalah
kepada dirimu sendiri, Nona Ingkanputri yang
cantik jelita...."
"Tua bangka keparat!" umpat Ingkanputri
dengan sinar mata berkilat.
"Hmm.... Kau memang seorang gadis yang
sangat berani, Putri. Boleh saja sekarang ini kau
mengatakan aku sebagai 'tua bangka', tapi nanti
setelah aku jadi raja masihkah kau akan menga-
takan demikian?" 
"Pengkhianat busuk!"
Mendengar cacian Dewi Baju Merah, I Halu
Rakryan Subandira malah tersenyum-senyum.
Perlahan sekali diloloskan sebilah pedang dari ba-
lik jubah kuningnya. Pandangan Ingkanputri se-
makin berkilat ketika pedang itu disorongkan ke
pangkal lehernya.
"Kau takut, Putri?" tanya I Halu Rakryan
Subandira, setengah mengejek.
"Cih! Siapa yang takut pada ular berkepala
dua sepertimu?!" jawab Dewi Baju Merah, garang.
"Aku menghargai keberanianmu. Tapi, bi-
sakah kau membayangkan wajahmu yang cantik
jelita ini, kuhancurkan dengan ujung pedang?"

"Pengkhianat busuk! Tak perlu kau men-
gancam! Katakan apa maumu!"
"Hmm.... Rupanya kau sangat menghargai
kecantikanmu, Putri. Baiklah, aku katakan ke-
mauanku...," I Halu Rakryan Subandira terse-
nyum.
Ingkanputri mendengus. "Cepat katakan!"
bentaknya.
Wajah I Halu Rakryan Subandira tampak
berubah tegang. "Kau diminta Anggraini Sulistya
berada di  tempat ini untuk keperluan apa?" ta-
nyanya sungguh-sungguh.
"Untuk memperhatikan gelagat para
pengkhianat seperti dirimu, Tua Bangka Keparat!"
Plak...!
Tubuh Ingkanputri yang semula bersandar
ke dinding langsung terpelanting dua depa. Tam-
paran I Halu Rakryan Subandira mendarat telak
di pipinya.
"Berani kau berkata kasar lagi, kurusak
wajahmu sekarang juga!" ancam I Halu Rakryan
Subandira. Ujung pedangnya ditempelkan ke mu-
lut Ingkanputri. "Sayang sekali bila aku harus
merobek bibir seranum ini...," ujarnya. "Tapi, aku
tak akan melakukannya bila kau berkata jujur.
Untuk apa kau berada di sini?"
Pertanyaan I Halu Rakryan Subandira
hanya dijawab oleh sorot mata tajam Ingkanputri.
"Aku tanya sekali lagi, untuk apa kau be-
rada di tempat ini?"
"Itu sudah kujawab!"
"Hmm.... Ya, baiklah.... Aku terima jawa-

banmu. Lalu, di mana Anggraini Sulistya dan ke-
dua temannya berada?"
"Apa urusanmu menanyakan itu?" selidik
Ingkanputri. Tentu saja ia menaruh kecurigaan.
"Jawab saja pertanyaanku!"
Dewi Baju Merah tampak berpikir sejenak.
"Mereka sedang berunding untuk mengha-
dapi pemberontak busukmu, Subandira!" katanya
kemudian.
"Di mana?" 
"Aku tak tahu!"
"Ha ha ha...!" I Halu Rakryan Subandira
tertawa bergelak. "Aku tahu sekarang. Kau hen-
dak menipuku. Tapi, justru tipuanmu yang men-
jebak dirimu sendiri...."
Di ujung kalimatnya, I Halu Rakryan Sub-
andira bertepuk tangan tiga kali. Dalam sekejap
mata di tempat itu bermunculan dua puluh orang
pengawal istana kelas satu.
"Geledah gudang bawah tanah!"
Mendengar perintah I Halu Rakryan Sub-
andira, wajah Dewi Baju Merah langsung berubah
pucat pasi.... 

***

Ruang rahasia bawah tanah....
Prabu Singgalang Manjunjung Langit, Per-
maisuri Sekar Tunjung Biru, Anggraini Sulistya,
Suropati, dan Raka Maruta tampaknya sudah da-
pat mengendalikan perasaan. Suasana haru tak
lagi menyelimuti.

"Kau belum memperkenalkan temanmu
yang satu lagi, Aini...," ujar permaisuri.
Putri Cahaya Sakti sejenak melempar liri-
kan ke arah Raka Maruta.
"Dia bernama Raka Maruta. Orang membe-
rinya gelar Pendekar Kipas Terbang. Dia lahir di
negeri Saloka Medang...," ujar Anggraini Sulistya.
Senyum manis mengembang di bibirnya. "Raka
Maruta sengaja datang menghadapi Ibunda dan
Ayahanda Prabu. Selain untuk membantu menga-
tasi kemelut di Pasir Luhur, juga untuk memi-
nang...."
Kalimat Putri Cahaya Sakti tak berlanjut.
Karena keburu dipotong Pendekar Kipas Terbang.
"Aini...! Aku..., aku...."
"Kenapa malu-malu, Maruta?" tukas
Anggraini Sulistya. "Salahkah apa yang kukata-
kan?"
"Aduh, Aini...," ucap Raka Maruta. Dikum-
pulkannya seluruh keberanian. "Aku ini orang bi-
asa, Aini. Aku berasal dari kaum jelata. Aku tidak
pantas menyampaikan sebuah pinangan kepada
putri seorang raja...."
"Kalau kau berhasil membantu menumpas
para pemberontak, Ayahanda Prabu akan membe-
rimu gelar bangsawan. Dan itu berarti kau layak
meminangku!" tegas Putri Cahaya Sakti.
Mendengar penuturan gadis itu, Pendekar
Kipas Terbang malah jadi linglung. Apakah yang
dikatakan Anggraini Sulistya hanya sekadar eje-
kan? Atau, Anggraini Sulistya selama ini telah
menyimpan  perasaan  cinta terhadapnya? Alis

Pendekar Kipas Terbang bertaut rapat.
"He he he...," suasana hening itu dipecah-
kan oleh tawa terkekeh Pengemis Binal. "Persoa-
lan yang satu belum terselesaikan, kenapa mesti
menambah persoalan lagi? Memikirkan cara un-
tuk dapat bertahan hidup saja sulit, kau malah
membicarakan sesuatu yang tak layak dibicara-
kan saat ini."   
"Ha ha ha...!" Prabu Singgalang Manjun-
jung Langit tertawa senang. "Pandai sekali kau
merangkai kata-kata, Suro. Bangga aku mempu-
nyai putra seperti dirimu. Memang, negeri Pasir
Luhur tengah dibakar api pemberontakan. Jadi
kenapa kita sekarang memikirkan tentang perjo-
dohan?"
"Hmm.... Yah, memang benar juga yang di-
katakan Suropati," sahut Anggraini Sulistya den-
gan tersipu-sipu. "Sekarang ini istana tengah
memerlukan penguasa tunggalnya. Kalau Aya-
handa Prabu terus berdiam di sini, tampuk peme-
rintahan kosong. Aku khawatir para pemberontak
akan segera memanfaatkan keadaan ini."
"Tepat! Padahal, kelangsungan hidup ra-
kyat Pasir Luhur sepenuhnya adalah tanggung
jawabku."
Prabu Singgalang Manjunjung Langit
bangkit dari duduknya. Permaisuri Sekar Tunjung
Biru mengikuti. Begitu pula Suropati. Raka Maru-
ta masih berdiam di tempatnya. Ketika Anggraini
Sulistya lewat di sisinya, pemuda berwajah lem-
but itu mencekal lengan gadis itu.
"Ada-ada saja kau, Aini...," tegur Raka Ma-

ruta. "Siapa yang bermaksud meminangmu?"
"Jadi, kau tidak cinta padaku?" Putri Ca-
haya Sakti balik bertanya. 
"Iya. Tapi..., tapi...."
"Tapi apa?" 
"Bukan begitu caranya. Kau membuat aku
malu."
"Tapi senang juga, kan? Kau telah tahu isi
hatiku."
"Iya, eh, ti...."
"Ayo, mau bilang apa?!" sergap Anggraini
Sulistya.
"Iya. Aku mencintaimu, Aini...."    
"Dan kau mau meminangku setelah kita
berhasil mengatasi kemelut di Pasir Luhur ini,
bukan?" 
"I..., iya."
Melihat Raka Maruta tersipu, Anggraini Su-
listya menyunggingkan senyum simpul. Kedua
muda-mudi lalu bergegas menuju pintu rahasia
untuk mengikuti Prabu Singgalang Manjunjung
Langit.
I Halu Rakryan Subandira terkejut seten-
gah mati. Ingkanputri yang tadi tergeletak tak
berdaya tiba-tiba meloncat bangun seraya mengi-
rimkan pukulan maut ke dada.
"Uts...!" 
Walau dihantam keterkejutan yang sangat,
kepala pengawal istana itu masih sempat berkelit.
Tubuhnya melenting, dan mendarat tiga depa di
hadapan Ingkanputri yang berdiri tegak menatap-
nya dengan pandangan berapi-api.

"Bagaimana kau bisa lepas dari totokan-
ku?" tanya I Halu Rakryan Subandira, heran.
"Ilmu 'Totokan Tembre' yang kau miliki
mana bisa melumpuhkan aku?" ujar Dewi Baju
Merah. Ketika gadis cantik ini ditotok, sebenarnya
dia telah menerapkan ilmu 'Pemancar Jalan Da-
rah' ajaran gurunya yang bergelar Dewi Tangan
Api. Ilmu itu membuatnya tak mempan ditotok.
Dan ketika dia terbaring lemah, itu hanya pura-
pura saja.
Dua puluh orang pengawal kelas satu yang
diperintahkan menggeledah ruang  bawah tanah
telah kembali. Mereka tak dapat menemukan
ruang rahasia tempat sang Raja dan permaisuri
bersembunyi.
"Kalian tak menemukan apa-apa?" tanya I
Halu Rakryan Subandira, memastikan hasil kerja
bawahannya.
"Tidak ada yang dapat kami laporkan.
Ruang bawah tanah kosong belaka. Hanya berisi
tumpukan barang tidak berguna," jelas salah seo-
rang pengawal.
I Halu Rakryan Subandira mendengus.
"Tangkap gadis itu! Jangan biarkan dia lolos!"
Para pengawal istana kontan menyerbu
Dewi Baju Merah. I Halu Rakryan Subandira sen-
diri turut mengeroyok. Menghadapi lawan yang
begitu banyak, Ingkanputri terdesak hebat. Para
pengawal istana ternyata memiliki kepandaian
tinggi. Mereka juga begitu bernafsu menjatuhkan
tangan maut. Keadaan ini sangat merepotkan In-
gkanputri.

Suara desing pedang mengundang rasa
ngeri. I Halu Rakryan Subandira sendiri langsung
mengeluarkan ilmu pedang andalannya. Tubuh
lelaki itu berkelebatan cepat dengan ujung pedang
mencecar jalan kematian di tubuh Ingkanputri.
"Bedebah! Pengkhianat busuk!" umpat De-
wi Baju Merah di sela-sela sambaran pedang.
"Merutuklah sepuasmu sebelum Malaikat
Kematian menjemput!" ejek I Halu Rakryan Sub-
andira.
Dewi Baju Merah segera melepas selendang
merah yang melilit pinggangnya. Begitu terlepas,
selendang itu langsung mengejang. Ujungnya me-
liuk-liuk bagai kepala ular hendak mematuk
mangsa. Inilah jurus selendang merah hasil aja-
ran Sekar Mayang semasa Ingkanputri menjadi
anggota Perkumpulan Bidadari Lentera Merah
(Tentang kisah Ingkanputri bersama Sekar
Mayang, baca episode : "Bidadari Lentera Merah"
dan "Asmara Penggoda").
Trang! Trang!
Para pengeroyok Dewi Baju Merah terke-
siap.
Ketika pedangnya membentur selendang
merah di tangan gadis itu, ternyata ketajaman
pedang tak mampu menebas putus selendang da-
ri kain sutera.
"Punya  kepandaian juga kau rupanya,
Anak Manis!" ujar I Halu Rakryan Subandira.
Ingkanputri tak menjawab. Saat dia hampir
berhasil merobohkan salah seorang lawan, kepala
pengawal istana itu mengalirkan kekuatan tenaga

dalam ke bilah pedang.
Set! Tas! 
Ingkanputri  mendengus gusar. Selendang-
nya berhasil dibabat putus pedang I Halu Ra-
kryan Subandira.
"Jangan gembira dulu, Bangsat!" rutuk
Dewi Baju Merah.
Tubuh gadis itu melompat jauh saat pe-
dang I Halu Rakryan Subandira hendak memba-
bat leher. Begitu kakinya mendarat di lantai, Dewi
Baju Merah mengalirkan seluruh tenaga dalam ke
kedua pergelangan tangan. Sekejap mata kemu-
dian, dari kedua tangan Ingkanputri menyebar
hawa panas akibat penerapan ilmu 'Pukulan Api
Neraka'. Potongan selendang yang masih dipegang
gadis cantik itu terbakar jadi abu.
"Kalian mundur semua!" perintah I Halu
Rakryan Subandira kepada anak buahnya.
"Hmmm.... Rupanya kau hendak menye-
rahkan diri, Pengkhianat!" ujar Ingkanputri. "Ku-
pikir itu lebih baik. Barangkali Prabu Singgalang
Manjunjung Langit berkenan menjatuhkan hu-
kuman yang lebih ringan!"
"Jangan salah mengerti, Gadis Manis...,"
sahut I Halu Rakryan Subandira sambil me-
nyunggingkan senyum tipis. "Orang-orangku ku-
suruh mundur bukan untuk menyerah. Karena
kau telah memamerkan ilmu kesaktian, tergerak
hatiku untuk menjajal kehebatannya."
"Baik! Terimalah ini!"
Tubuh Dewi Baju Merah melenting tinggi.
Setelah bersalto tiga kali di udara, tubuh ramping

yang terbungkus pakaian serba merah itu mele-
sat.
Seluruh anak buah I Halu Rakryan Suban-
dira mendelikkan mata. Tuannya terlihat tak
mencoba menghindar. Dan, teriakan penasaran
pun memenuhi tempat itu ketika kedua telapak
tangan Ingkanputri yang merah membara mem-
bentur dada I Halu Rakryan Subandira! 
Blaaarrr...!
Betapa terkejutnya Ingkanputri. Ketika te-
lapak tangannya membentur dada I Halu Rakryan
Subandira, terasa ada kekuatan yang menyentak.
Tenaga dalam yang tersalur ke kedua tangannya
berbalik memukul diri sendiri.
"Ha ha ha...!" I Halu Rakryan Subandira
tertawa penuh kemenangan. Dilihatnya tubuh
Dewi Baju Merah mencelat, lalu membentur dind-
ing ruangan hingga retak. Dia sendiri cuma mun-
dur setindak oleh pukulan Ingkanputri.
Susah-payah Dewi Baju Merah mencoba
berdiri. Begitu kedua kakinya berhasil ditegak-
kan, darah segar mengalir dari sudut bibir. Kepa-
lanya terasa pening dan pandangannya menga-
bur. I Halu Rakryan Subandira menatap tajam ke
arah murid Dewi Tangan Api itu.
"Bunuh dia!" perintah I Halu Rakryan Sub-
andira.
Seperti para pekerja paksa berebut maka-
nan, dua puluh orang pengawal istana merangsek
ke depan dengan pedang terhunus.
Dewi Baju Merah masih mencoba berkelit.
Dua-tiga sambaran pedang dapat ditepisnya. Na-

mun setelah darah segar mengalir lagi dari sudut
bibir, pertahanan gadis itu pun goyah.
Sing...!
Satu babatan pedang mengarah ke leher.
Satu babatan lagi tertuju ke pinggang. Disusul
kemudian dengan sebuah tusukan ke arah jan-
tung! Mustahil Dewi Baju Merah dapat menyela-
matkan diri.
Trang! Trang! Trang!
Terdengar tiga kali benturan senjata tajam
yang memekakkan gendang telinga. Lalu, tiga pe-
kik kesakitan menambah hiruk-pikuk dalam
ruangan ini.
I Halu Rakryan Subandira menggeram ma-
rah. Tiga anak buahnya berkelojotan di lantai
sambil  memegang bahu kanan masing-masing.
Bawahannya yang lain berloncatan mundur.
"He he he...," tawa kekeh orang yang baru
menyelamatkan jiwa Ingkanputri ternyata Suro-
pati atau Pengemis Binal. Dia berdiri tegak den-
gan tangan kanan mencengkeram sebatang tong-
kat kayu butut.
"Kurang ajar!" geram I Halu Rakryan Sub-
andira. 
Kepala pengawal istana ini menghentak-
hentakkan kakinya ke lantai. Pandangannya na-
nar setelah mengetahui Suropati hadir bersama
Anggraini Sulistya, Raka Maruta, Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit beserta permaisurinya.
"Kedokmu sudah terbuka, Subandira!" ujar
Prabu Singgalang Manjunjung Langit. "Apa lagi
yang dapat kau kerjakan kecuali berlutut dan

menyerahkan diri untuk menerima hukuman?"
"Itu hanyalah mimpi di siang bolong, Sapi
Tua!" balas I Halu Rakryan Subandira. Lelaki se-
tengah baya ini segera memberi isyarat kepada
bawahannya untuk menyerang.
Putri Cahaya Sakti yang berdiri di sisi ka-
nan ayahnya, bersuit nyaring. Dari arah lorong
ruang sebelah kiri tampak berkelebatan dua pu-
luh bayangan hitam memapaki serangan para
pengikut I Halu Rakryan Subandira.
Dua puluh orang yang mengenakan pa-
kaian ketat hitam dan kerudung kepala hitam. Di
pinggang mereka terlilit seutas tali putih. Dengan
senjata pedang panjang, gerakan mereka sangat
gesit dan tampak sangat terlatih. Mereka adalah
Pasukan Hitam yang dibentuk Anggraini Sulistya
untuk membantu mengatasi kemelut pemberon-
takan di negeri Pasir Luhur.
Sekembalinya dari pengembaraan di Kera-
jaan Anggarapura dan mengetahui adanya pem-
berontakan, Anggraini Sulistya mengusulkan ke-
pada ayahnya untuk meminta bantuan Ki Banyak
Sungsang yang menjadi Ketua Perguruan Pedang
Sakti. Karena Ki Banyak Sungsang tak mau lagi
mengurusi dunia luar, maka dia hanya mengirim-
kan dua puluh orang muridnya.
Mereka adalah murid-murid utama pergu-
ruan. Kemampuan mereka tak perlu disangsikan
lagi. Anggraini Sulistya membentuk mereka seba-
gai Pasukan Hitam. Ini untuk mengecoh salah sa-
tu kekuatan pemberontak yang dibantu para nin-
ja yang juga berpakaian dan berkerudung hitam

(Sepak terjang Pasukan Hitam untuk menumpas
para ninja negeri Matahari Terbit bisa diikuti pa-
da episode : "Sengketa Orang-orang Berkeru-
dung").
Pertempuran Pasukan Hitam melawan para
pengikut I Halu Rakryan Subandira berlangsung
seru. Suropati segera meloncat ke hadapan In-
gkanputri.
"Kau terluka, Putri?" tanya Pemimpin Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu, khawatir.
"Hanya luka dalam ringan, Suro," jelas Dewi Baju
Merah. "Hadanglah Subandira! Aku melihat gela-
gat dia hendak melarikan diri."
Di ujung kalimat Ingkanputri, Pengemis
Binal bergegas meloncat, dan berdiri tepat dua
tombak di depan I Halu Rakryan Subandira yang
masih memegang pedang.
"Sudah tua bukannya menumpuk pahala
dengan berbuat kebajikan, malah mengikuti naf-
su busuk. Mengumbar keinginan yang tak benar!"
sindir Pengemis Binal sambil mengetuk-
ngetukkan tongkatnya ke lantai.
"Bocah gemblung tak tahu diuntung! Kau
yang masih ingusan lebih baik menetek lagi pada
ibumu, daripada tanggal kepalamu terkena sam-
baran pedangku!" balas I Halu Rakryan Subandi-
ra.
"Hati-hati, Suro!" Ingkanputri memberi per-
ingatan. "Dia mengenakan jubah pusaka yang
membuat tubuhnya jadi kebal!"
"Jangan khawatir, Putri!" sahut Suropati.
Remaja tampan berpakaian putih penuh

tambalan itu segera memutar tongkat memainkan
jurus 'Tongkat Menghajar Maling'. Dengan tubuh
melayang, beberapa kali tongkatnya menyambar
dan mengeluarkan suara menderu-deru. Tentu
saja I Halu Rakryan Subandira tak mau dipecun-
dangi. Segera pula kepala pengawal istana yang
hendak makar itu mengeluarkan seluruh daya
kemampuan.
Putri Cahaya Sakti telah merangsek untuk
membantu Pasukan Hitam. Sedangkan Pendekar
Kipas Terbang meloncat dengan kipas baja putih
di tangan. Digempurnya I Halu Rakryan Subandi-
ra.
Beberapa tarikan napas kemudian, terden-
gar empat kali jerit kematian. I Halu Rakryan
Subandira yang tengah bertempur mati-matian
melihat empat anak buahnya roboh bermandikan
darah. Karena dilanda kemarahan hebat, dia pun
menggempur lawannya laksana banteng terluka.
Diputarnya pedang lebih cepat. Jurus-jurus yang
lebih hebat dikeluarkan. Tapi, semua serangan-
nya membentur benteng pertahanan yang kokoh.
Suropati dan Raka Maruta terlalu tangguh untuk
segera dapat dirobohkan.
Ketika melihat dua anak buahnya jatuh
terjungkal lagi, I Halu Rakryan Subandira sema-
kin murka. Dengan satu lompatan yang sangat
cepat, tubuhnya berputar di udara meninggalkan
ajang pertempuran. Kebetulan sekali ruangan cu-
kup luas sehingga I Halu Rakryan Subandira le-
luasa bergerak.
"Hendak lari ke mana kau?!" pekik Penge-

mis Binal seraya mengejar. Pendekar Kipas Ter-
bang mengikuti.
Teriakan Suropati dibalas dengan geram
kemarahan I Halu Rakryan Subandira. Dike-
butkan ujung jubah kuning yang dipakainya.
Wuuusss...!
Gelombang angin dahsyat menerjang tu-
buh Pengemis Binal dan Pendekar Kipas Terbang
yang masih melayang di udara. Karena tak men-
duga datangnya serangan, tubuh kedua pendekar
muda itu pun terhempas.
Permaisuri Sekar Tunjung Biru dan  In-
gkanputri menjerit ngeri. Prabu Singgalang Man-
jujung Langit tersurut mundur setindak. Tubuh
Suropati dan Raka Maruta melesat ke atas. Sete-
lah membentur atap ruangan, lalu jatuh berde-
bam amat keras ke lantai.
Raka Maruta mengaduh kesakitan sambil
mencari  senjata andalannya yang terlepas dari
pegangan. Tapi tidak dengan Suropati, pemuda
itu langsung meloncat bangkit. Tak dipedulikan
rasa sakit yang merejam tubuhnya.
"Kadal tua kurang kerjaan!" maki Pengemis
Binal yang masih memegang tongkat. "Kucungkil
matamu baru tahu rasa!"
Saat Suropati menerjang lagi, tiga jerit ke-
matian anak buah I Halu Rakryan Subandira ter-
dengar. Pandangan lelaki setengah baya itu jadi
nanar. Belum sempat dia mengambil tindakan,
Pengemis Binal telah mencecarnya dengan seran-
gan mematikan. Suropati memainkan jurus
'Tongkat Memukul Anjing' yang digabung dengan

'Tongkat Mengejar Kucing'. 
Buk...!
Dada I Halu Rakryan Subandira terhantam
telak pukulan tongkat Pengemis Binal. Anehnya,
dia cuma mendengus tanpa menunjukkan sedikit
pun rasa sakit. Bahkan, tubuhnya hanya terjajar
setindak. Padahal pukulan tongkat Suropati
mampu untuk menghancurkan kepala seekor
banteng.
"Kubantu kau, Suro!" teriak Ingkanputri.
Diterjangnya I Halu Rakryan Subandira tanpa
mempedulikan luka dalamnya. Raka Maruta yang
telah mendapatkan kembali kipas baja putihnya
ikut merangsek maju.
Melihat keadaan yang tak menguntungkan
apalagi setelah belasan prajurit yang masih setia
pada sang Raja bermunculan. I Halu Rakryan
Subandira bergegas melenting ke belakang. Begi-
tu mendarat, Pusaka Jubah Kuning-nya dike-
butkan tiga kali.
Gelombang angin dahsyat meluruk deras.
Putri Cahaya Sakti meninggalkan ajang pertem-
puran untuk melindungi ibunya. Pendekar Kipas
Terbang pun meloncat untuk melindungi Prabu
Singgalang Manjunjung Langit. Ingkanputri sege-
ra merapat ke dinding karena tak mau tubuhnya
terlontar.
Ketika gelombang angin ciptaan I Halu Ra-
kryan Subandira lenyap, kepala pengawal istana
yang berkhianat itu juga tak berada di tempatnya.
"Kalian tetaplah di sini, aku akan mengejar
pengkhianat busuk itu!" seru Pengemis Binal ke-

pada Ingkanputri dan Raka Maruta. Saat terjadi
tiupan angin laksana badai tadi, remaja konyol ini
mempergunakan ilmu memperberat tubuh untuk
melindung diri.
Prabu Singgalang Manjunjung Langit dan
Permaisuri Sekar Tunjung Biru memandang lurus
ke arah hilangnya kelebatan tubuh Pengemis Bi-
nal. Sepertinya mereka tidak merelakan kepergian
Suropati.