Pengemis Binal 11 - Dewa Guntur(1)







DEWA GUNTUR



Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit




Serial Pengemis Binal 
dalam episode: 
Dewa Guntur
128 hal.


1

Setelah berlari cukup jauh sambil membopong
tubuh Suropati, Dewi Ikata menghentikan langkah ka-
kinya di tepi sebuah sungai. Dilemparkannya tubuh
Suropati begitu saja ke tanah, seperti melemparkan
barang tak berguna. Jerit kesakitan keluar dari mulut
remaja konyol itu. Tulang persendian lutut kanannya
yang lepas membentur sebongkah batu. Tentu saja
bukan main sakitnya.
Dewi Ikata tampaknya tak mau peduli dengan
penderitaan  Suropati. Dia duduk berjongkok di tepi
sungai, memandang kilauan air jernih yang tertimpa
sinar mentari. 
"Aduh! Tolong aku, Ika...!" teriak Pengemis Bi-
nal.
"Kau sudah kutolong! Jangan minta tambah!"
sahut Pendekar Wanita Gila dengan ketus. Wajahnya
tetap  memandang kilauan air sungai. Tanpa sedikit
pun dipalingkan. 
"Aduh! Tolong aku, Ika...! Aku benar-benar tak
tahan!" 
"Kau sudah kutolong! Jangan merengek terus!"
Suropati mencoba berdiri untuk mendekati De-
wi Ikata, tapi dia jatuh terpeleset. Lutut kanannya
yang terluka terbanting ke tanah. Jerit begitu keras
kembali terdengar. Lebih keras dari lolongan serigala!
Mendengar itu, Pendekar Wanita Gila malah
tertawa-tawa. Kontan amarah Pengemis Binal meledak.
Dipungutnya batu sebesar kepalan tangan, lalu dilem-
parkan.
Duk...!
Dewi Ikata meraba punggungnya. Ditatapnya

Suropati dengan mata mendelik. Lemparan remaja ko-
nyol itu tepat mengenai sasaran, Dewi Ikata berkacak
pinggang sejenak di hadapan Suropati. Lalu, secara ti-
ba-tiba saja telapak tangan kanannya melayang.
Plak...!
"Aduh...!"
Tubuh Pengemis Binal terhempas kemudian
bergulingan di atas tanah. Ketika berhenti, tak terden-
gar erangan kesakitan juga adanya gerakan. Pemuda
itu jatuh pingsan!
"Astaga...!" pekik Pendekar Wanita Gila. Dia se-
gera meloncat untuk memeriksa keadaan Suropati.
Untung gadis cantik itu tak melambari tamparannya
tadi dengan tenaga dalam. Bila hal demikian terjadi,
kepala Suropati tentu sudah remuk!
Dengan cekatan Dewi Ikata melemaskan otot-
otot di sekitar pergelangan kaki kanan Suropati. Ke-
mudian, tangan kiri gadis cantik itu memegang pang-
kal paha Suropati. Tangan kanannya bergerak mengu-
rut. Sebentar kemudian, betis kanan Suropati dibetot-
nya kuat-kuat.
Timbul suara gemeretakan. Disusul dengan lo-
long kesakitan Suropati yang memilukan. Remaja ko-
nyol itu langsung jatuh pingsan lagi.
Dewi Ikata memandang dengan perasaan iba.
Dibelainya anak-anak rambut Suropati yang tergerai
tak karuan. Butiran mutiara bening tampak bergulir
dari sudut mata gadis cantik itu.
"Suro...," desis Dewi Ikata.
Dengan sehelai sapu tangan, dibersihkannya
wajah Suropati yang kotor. Kening remaja konyol itu
lalu dikecupnya lembut. Senyum manis mengembang
di bibir Dewi Ikata. Air matanya langsung berhenti
mengalir.

"Ha ha ha...."
Dewi Ikata tertawa bergelak. Dibopongnya tu-
buh Suropati, lalu dilemparkan ke dalam sungai. Begi-
tu menyentuh air Suropati langsung siuman. Tangan-
nya bergerak menggapai-gapai berusaha mencapai tepi
sungai. Dewi Ikata hanya memandang sambil terus
mengeluarkan tawa bergelak.
"Setan Alas! Gondoruwo Dekil!  Kuntilanak
Bunting! Jrangkong Congek!" Pengemis Binal men-
gumpat-umpat tak karuan setelah mencapai tepi sun-
gai.
Mendengar itu, Pendekar Wanita Gila malah
tertawa cekikikan sambil menuding-nuding.
"Tidak ada yang lucu! Kenapa kau tertawa?!"
bentak Suropati marah.
Dewi Ikata tetap tak menghentikan tawanya.
Suropati menggaruk-garuk kepala tak mengerti. Tanpa
sadar dia melihat bawah tubuhnya. Sadarlah dia kini!
Celananya melorot hingga membuat benda
'kesayangan'-nya hampir saja melongok keluar!
Buru-buru Suropati mengencangkan celananya
yang kendor. Saat itulah dia tahu kalau tulang persen-
dian kaki kanannya telah kembali pada tempatnya.
Namun, dia tak jadi girang. Pipi kirinya terasa sangat
panas.
"Kenapa kau menamparku?!" tanya Pengemis
Binal marah.
"Kenapa kau tak pakai baju?!" Pendekar Wanita
Gila balik bertanya dengan tak kalah garang.
"Aku tak punya!"
"Pakai bajuku mau?" Dewi Ikata menawarkan
jasa.
"Tidak! Nanti dikira banci!"
"Lihatlah dulu!"

Dewi Ikata lalu membawa buntalan kain yang
diikatkan di pinggang. Dilemparkannya sehelai baju hi-
jau. Suropati menangkapnya. Setelah diamati, ternyata
baju pemberian Dewi Ikata adalah baju laki-laki yang
terbuat dari bahan mahal. Kedua alis Suropati tampak
bertaut. 
"Aku tak pantas memakai baju ini!"
"Siapa bilang? Bila memakai baju itu kau akan
tampak semakin gagah dan tampan."
Suropati mengibas-ngibaskan celananya. "Kau
lihat  celana ku  ini, Ika... penuh tambalan. Mungkin
tak sedap untuk dipandang. Bila aku pakai baju pem-
berianmu ini, banyak orang mengira aku telah mencu-
ri. Tak mungkin orang miskin sepertiku bisa membeli
baju semahal ini...."
"Bodoh! Katakan saja kalau itu pemberian
orang!" sergah Dewi Ikata.   
"Ah, sudahlah! Aku tak mau pakai baju mahal.
Lebih baik bertelanjang dada!" 
Suropati melemparkan baju hijau di tangannya.
Dengan kesal Dewi Ikata menyambutnya. Mendadak
saja mata gadis cantik itu terbelalak. Suropati me-
nanggalkan celananya!
"Ap... apa yang akan kau lakukan?" tanya gadis
cantik itu gugup.
Suropati tertawa terkekeh. "Kau kira, aku
mau.... Tak usah, ya...."
Sambil berucap, Pengemis Binal mencebur ke
dalam sungai. Lalu mandi sepuas-puasnya. Sejenak
dia lupa pada masalah berat yang harus diselesaikan-
nya. Siulan nyaring pemuda konyol itu mengiringi ke-
cipak air sungai.

***


Sang baskara telah bergeser ke barat. Suropati
menggaruk-garuk kepalanya seraya duduk di bawah
pohon besar. Dewi Ikata yang duduk di depannya me-
mandang dengan tatapan tak mengerti.
"Sepertinya kau sedang menyandang masalah
berat, Suro," Dewi Ikata menduga-duga.
"Ya."
"Mau mengatakannya kepadaku?"
"Berjanjilah dahulu kau akan bersedia mem-
bantuku," Suropati mengajukan syarat.
"Katakan dulu masalahnya!" tolak Dewi Ikata. 
"Berjanjilah dulu!"
"Katakan dulu!" Dewi Ikata bersikeras dengan
keinginannya.
"Edan! Pantas kau dijuluki orang Pendekar
Wanita Gila! Otakmu memang tak waras!"
Mendengar ucapan Suropati, raut wajah Dewi
Ikata langsung berubah muram. Kepalanya ditunduk-
kan dalam-dalam.
"Kau kenapa?" tanya Suropati. "Marah?"
"Aku senang dijuluki orang Pendekar Wanita
Gila. Tapi jangan sekali-kali kau menyangka aku gila
sungguhan, Suro," rungut Dewi Ikata.
"Tidak! Maafkan aku, Ika...."
Pengemis Binal lalu meraih bahu Dewi Ikata.
Dipeluknya dengan erat. Dewi Ikata menikmati keba-
hagiaan itu. Kepalanya disandarkan di dada Suropati
yang kini telah tertutup baju hijau pemberian Dewi
Ikata. Namun baju itu telah compang-camping. Senga-
ja dirobek-robek oleh Suropati.
"Jangan tinggalkan aku lagi, Suro...," bisik Dewi
Ikata. 
Pengemis Binal tak berucap, Matanya meman-

dang jauh menatap langit biru yang berhias gumpalan
awan. Sementara tangannya membelai-belai rambut
Dewi Ikata yang menebarkan aroma harum.
"Suro...," panggil Dewi Ikata.
"Ehm...."
"Kau tidak mendengar perkataan ku?"
"Apa?" Suropati memalingkan wajahnya.
"Aku ingin kita selalu bersama...."
"Tidak untuk saat ini, Ika. Kecuali bila kau ber-
sedia membantuku. Tapi, nyawa taruhannya...."
Suropati melonggarkan pelukannya. Dewi Ikata
menatap wajah jejaka pujaan hatinya itu dalam-dalam.
"Kau ingat janji kita di taman keputren Kadipa-
ten Bumiraksa, Suro?" bisik Dewi Ikata lirih. 
"Aku selalu mengingatnya. Tapi, mungkinkah
ayahanda mu menyetujui perjodohan kita?"
"Aku tak peduli, Suro. Namun aku yakin, kalau
Ayahanda seorang adipati beliau tak akan memandang
sebelah mata kepadamu. Rencana pemberontakan Pa-
tih Wiraksa begitu hebat. Kalau tidak ada kau, mana
mungkin Ayahanda masih bisa menduduki tahta Kadi-
paten Bumiraksa?"
"Aku tak berjasa apa-apa. Jangan kau besar-
besarkan hal itu, Ika...," ucap Suropati merendahkan
diri.
"Tidak, Suro. Kenyataannya memang demikian.
Aku yakin Ayahanda akan menyetujui perjodohan kita.
Oleh sebab itu, aku tak mau berpisah denganmu."
"Sudah kukatakan, tidak untuk saat ini. Aku
mempunyai persoalan pelik. Ah.... Aku tak jadi memin-
ta bantuanmu," Suropati segera berubah pikiran. 
"Aku mencintaimu, Suro. Aku mau melakukan
apa saja untukmu!" bantah Dewi Ikata.
"Tapi, aku tak mau nyawamu terancam!"

"Aku pun tak mau nyawamu terancam!"
"Sungguh?" tanya Suropati penuh selidik.
"Demi Tuhan..."
Suropati memeluk Dewi Ikata kembali. "Kau
sangat cantik luar dalam, Ika...," bisiknya kemudian.     
Suasana menjadi hening. Suara desir air sungai
terdengar, ditengahi kicau burung yang menari di atas
dahan. Suropati menatap wajah Dewi Ikata dalam-
dalam. Kemudian, dikecupnya kening gadis cantik pu-
tri tunggal Adipati Danubraja itu.
Jiwa Dewi Ikata seperti melayang di angkasa,
bermain-main di antara tebaran awan lembut. Dewi
Ikata pun terlena dengan mata terpejam.
Mendadak, Pengemis Binal melepaskan pelu-
kannya. "Aku bukan laki-laki normal lagi, Ika"..." keluh
pemuda itu. 
Pendekar Wanita Gila tersentak.
"Apa maksudmu?!"
"Dalam darahku tersimpan racun yang sangat
ganas. Aku tak bisa menjadi suami yang baik, karena
aku terlalu berbahaya...."
"Maksudmu?"
"Bila aku melakukan hubungan suami-istri,
maka racun ganas dalam darahku akan mengalir ke
tubuh pasangan ku. Dan akibatnya adalah kematian."
"Ya, Tuhan...."
"Bukan hanya itu, Ika. Aku telah menjadi seo-
rang laki-laki lemah. Kurasa aku pun tak pantas men-
jadi pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
lagi. Seluruh ilmu kepandaianku telah musnah...."
"Benar apa yang kau katakan itu, Suro?" Dewi
Ikata tak percaya. 
Pengemis Binal mengangguk lemah. Dewi Ikata
memandang wajah jejaka pujaan hatinya itu dengan

mata berkaca-kaca. Kesedihan segera menyelimuti ha-
tinya. Gadis itu  tampak menggeleng-gelengkan kepa-
lanya seperti tidak mempercayai apa yang baru saja
didengar.
"Suro...!" jerit Dewi Ikata kemudian seraya me-
meluk Suropati. Air mata Dewi Ikata pun berjatuhan.
"Jangan menangis, Ika. Kau jangan membua-
tku sedih," ucap Suropati tak senang.
"Tidak! Tidak, Suro.... Semua ini tidak boleh
terjadi!"
Dewi Ikata memeluk Suropati lebih erat. Air
matanya terus bergulir, sampai dada Suropati terasa
basah. 
"Tenanglah, Ika.... Ingatlah kebesaran Tuhan.
Dia tak akan menimpakan cobaan pada umatnya me-
lebihi kekuatan manusia."
"Suro.... Aku mencintaimu! Aku Ingin mati ber-
samamu!"
"Bodoh! Kenapa kau ingin mati bersamaku?!
Aku masih belum ingin mati!" bentak Suropati sambil
melonggarkan pelukan Dewi Ikata. "Hidup ini sangat
berharga, Ika. Banyak orang yang menghadapi sakara-
tul maut pun masih merindukan untuk terus bisa hi-
dup. Mereka tahu, dengan hidup banyak yang bisa di-
perbuat."
Tak henti-hentinya air mata Dewi Ikata bergu-
lir. Dipeluknya lagi tubuh Suropati. Wajahnya disan-
darkan di dada jejaka pujaan hatinya itu.
"Ika, apa yang sedang ku alami  ini adalah se-
buah tantangan. Meskipun sangat berat, aku harus te-
gar menghadapinya," lanjut Suropati.
"Suro...."
"Berilah kekuatan kepadaku, Ika.... Kau jangan
menangis terus! Itu hanya akan menambah berat

langkah kakiku."
"Suro, aku bersedia mengorbankan nyawaku
untukmu."
"Hush! Apa kau lupa pada asal-usulmu, Ika?
Kau lahir ke dunia dan dapat menghirup udara kehi-
dupan adalah dengan perantaraan ayah bundamu.
Semua  pengorbanan mu seharusnya kau berikan ke-
pada mereka, Ika...."
Suasana hening kembali. Suropati dan Dewi
Ikata saling bertatapan mata, kemudian berpelukan
erat. Hati Dewi Ikata terbawa dalam keharuan yang
sangat. Air matanya telah berhenti mengalir. Dengan
menyandarkan kepalanya di dada Suropati, dia mera-
sakan kebahagiaan yang sesungguhnya.
"Untuk memulihkan keadaanmu aku akan setia
mendampingimu, Suro...," bisik Dewi Ikata.
Pengemis Binal tersenyum. Dibelainya rambut
Dewi Ikata yang harum. "Terima kasih, Ika. Aku mena-
rik kata-kataku kembali. Aku tak jadi meminta ban-
tuanmu. Aku ingat, kau masih mempunyai orang tua.
Aku tak man terjadi sesuatu yang tak diinginkan me-
nimpa dirimu, hingga akan membuat kedua orangtua
mu bersedih...." 
"Tapi...."
Dewi Ikata tak melanjutkan kalimatnya. Suro-
pati keburu bangkit berdiri ketika melihat kehadiran
seorang lelaki setengah baya bertubuh tinggi tegap. Le-
laki yang baru datang itu membungkukkan badannya
untuk memberi hormat. Dia adalah salah seorang ke-
percayaan ayahanda Dewi Ikata.
"Kenapa kau kemari, Tunggul?" tanya Dewi Ika-
ta.
Lelaki setengah baya membungkukkan badan-
nya kembali. "Hamba diutus Gusti Adipati untuk me-

nyampaikan kabar kalau Tuan Putri Rara Anggi sa-
kit,..."
"Ibu sakit?!" Dewi Ikata tersentak kaget. Dita-
tapnya utusan ayahandanya itu dengan sinar mata tak
percaya. Kemudian, pandangan Dewi Ikata beralih ke
wajah Suropati.
"Pulanglah, Ika...," kata Suropati dengan lem-
but. "Ibunda mu memerlukan kedatanganmu."
"Tapi, Suro...."
"Jangan kau pikirkan keadaanku. Aku bisa
mengurus diriku sendiri. Hanya doa mu yang kuperlu-
kan...."

***

Ingin rasanya Suropati mengejar bayangan De-
wi Ikata yang menghilang di kelokan sungai. Namun,
dia tak akan melakukan hal itu. Suropati tahu apa
yang harus dilakukannya. Lebih baik menyuruh Dewi
Ikata menengok ibunya yang sakit daripada memenuhi
permintaan gadis itu untuk menyertai dirinya. Bagi
Suropati, pada saat orang tua mengalami kesusahan,
mereka membutuhkan perhatian dari anak. Saat itu-
lah orangtua bisa mengukur sampai di mana kesung-
guhan bakti si anak kepada mereka.
Sementara itu, cahaya kuning kemerahan telah
memancar dari arah barat. Sang baskara separo, teng-
gelam di bentangan kaki langit. Suropati beranjak dari
duduknya, kemudian berjalan meninggalkan tepian
sungai. Setelah berhasil menghilangkan bayangan De-
wi Ikata, mendadak pikirannya membayangkan
Anggraini Sulistya atau Putri Cahaya Sakti.
"Benarkah putri Prabu Singgalang Manjunjung
Langit itu kakak kandungku?" tanya Pengemis Binal

dalam hati. "Bila memang benar demikian dan aku
adalah satu-satunya anak lelaki mereka, bukankah
aku putra mahkota yang kelak akan menduduki tahta
Kerajaan Pasir Luhur? Sudah menjadi tradisi di Tanah
Jawa kedudukan raja diturunkan kepada anak lela-
kinya. Anak perempuan hanya bisa menjadi raja apabi-
la anak lelaki tidak ada...." 
Suropati tersenyum-senyum seorang diri.
"Kalau kelak aku menjadi raja.... Ehm... alang-
kah enaknya." 
Mendadak, remaja konyol itu memukul kepa-
lanya sendiri. "Bodoh sekali aku ini! Kalau melam-
bungkan angan terlalu tinggi, jatuhnya akan terasa
sakit. Aku tak mau hal itu terjadi. Aku harus mencari
tahu terlebih dahulu tentang kebenarannya. Aku ha-
rus mencari Anggraini Sulistya! Tapi...."
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepala sambil
nyengir. Otaknya dipaksa bekerja keras untuk berpi-
kir. "Pemuda berpakaian serba hijau yang hendak
membunuhku di lereng Bukit Hantu mengatakan ka-
lau dia telah melukai Anggraini Sulistya dengan Jarum
Hitam. Aku tak tahu apa sebabnya. Apakah masih ada
kemungkinan Anggraini Sulistya masih hidup? Kalau-
pun masih hidup, apakah seluruh ilmu kepandaiannya
telah hilang seperti  diriku? Apakah dia juga harus
mencari Putri Air guna mendapat petunjuk di mana
Putri Racun berada?"
Remaja konyol itu terus berjalan tanpa arah tu-
juan. Sambil terus memeras otak, dia menyepak-
nyepak batu kecil yang bertebaran di jalan setapak
yang dilewatinya.   
"Aku harus menentukan pilihan, mencari Putri
Air terlebih dahulu atau mencari kebenaran tentang
diriku? Kalau mencari Putri Air, aku harus ke Laut Se-

latan. Namun bila mencari kebenaran tentang diriku,
aku harus mencari Anggraini Sulistya. Tapi bila gadis
itu memang terkena serangan Jarum Hitam, sangat
kecil kemungkinan aku bisa menemukannya. Atau, le-
bih baik aku langsung ke Istana Kerajaan Pasir Luhur
saja? Ah, tidak! Kalau ternyata aku bukan putra Prabu
Singgalang Manjunjung Langit, duh betapa malunya
aku.... Tidak mustahil beliau akan murka karena me-
rasa terhina, lalu menjatuhkan hukuman kepadaku.
Wah, urusannya bisa kacau.... Kalau begitu, aku men-
cari Putri Air saja. Setelah Putri Racun nanti menyem-
buhkan diriku, aku bisa menentukan langkah selan-
jutnya tanpa dibayangi perasaan takut lagi...."
Selagi Suropati berpikir demikian, tiba-tiba saja
sesosok bayangan berkelebat menghadang langkahnya.
Suropati terkejut, namun dicobanya untuk bersikap
tenang. Sosok yang menghalangi langkahnya ternyata
Saka Purdianta atau si Dewa Guntur!
"Nasib telah mempertemukan kita lagi, Suropa-
ti...," kata Saka Purdianta sambil menyunggingkan se-
nyum mengejek.
"Nasib juga yang akan menentukan apakah aku
akan mati di tanganmu atau tidak?" balas Suropati
dengan suara setenang mungkin.
"Ha ha ha...!" Saka Purdianta tertawa bergelak.
"Ehm.... Tidak kulihat sosok orang yang telah menye-
lamatkan nyawamu. Tahukah kau, Suropati, kesempa-
tanmu untuk menghirup udara segar tinggal beberapa
kejapan mata saja?"
"Kematian berkenaan dengan takdir Tuhan.
Aku tak akan mati bila Tuhan belum berkehendak." 
Dewa Guntur kembali tertawa bergelak, "Kare-
na kau percaya pada takdir Tuhan, maka kau pun ha-
rus percaya aku adalah perantara Tuhan untuk men-

cabut nyawamu!"
Usai mengucapkan kalimatnya, pemuda tam-
pan berpakaian serba hijau itu menarik napas pan-
jang. Kemudian, perlahan-lahan tangannya yang ber-
getar ditarik ke belakang. Pengemis Binal langsung ter-
cekat. Dia tahu Saka Purdianta hendak menjatuhkan
tangan mautnya.
"Tunggu dulu, Orang Baik!" kata Suropati buru-
buru sambil mengangkat kedua tangannya.
"Ehm.... Apa lagi yang akan kau katakan? Se-
bagai Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang kesohor, kau tabu menolak tantangan!"
"Aku tahu. Tapi, tidakkah kau mau menye-
butkan nama dan gelarmu terlebih dahulu. Aku kha-
watir apabila kau mati di tanganku, kuburmu hanya
ditandai nisan tak bernama," ucap Suropati dengan
beraninya.
"Ha ha ha...!"
Dewa Guntur tertawa terbahak-bahak untuk
kesekian kalinya. Keterkejutan menghantam Suropati.
Dia merasa gendang telinganya seperti ditepuk-tepuk
keras. Jantungnya pun berdegup sangat kencang. Ali-
ran darahnya berdesir tak karuan. Sadarlah remaja
konyol itu, tawa Saka Purdianta dialiri tenaga dalam
yang mengundang kematian!
Kalau saja Suropati bebas menyalurkan hawa
murni dan tenaga dalamnya, keadaan itu tak akan
menjadi masalah. Tapi sekarang? Bila dia membenten-
gi diri dengan tenaga dalam, itu sama saja dengan
mempercepat kematian. Begitu Suropati menghimpun
tenaga dalam, jantungnya akan langsung meledak!
Melihat Suropati meringis kesakitan sambil
mendekap kedua telinga, Saka Purdianta semakin
memperkeras suara tawanya. Hal itu dirasakan Suro-

pati sebagai siksaan yang sangat menyakitkan. Seku-
jur tubuhnya bagai ditusuk-tusuk ribuan jarum. Kepa-
lanya laksana dihantami palu godam. Jerit kesakitan
Suropati pun melengking tinggi di angkasa, membuat
satwa-satwa yang kebetulan berada di sekitar tempat
itu berlari dikejar rasa ketakutan.
"Ehm.... Rupanya kau sedikit pun tak mempu-
nyai ilmu, Gembel Busuk!" ejek Dewa Guntur
"Argh...!  Kalau kau ingin membunuhku, cepat
lakukan! Jangan siksa aku seperti ini!"
Saka Purdianta tersenyum penuh kemenangan.
Lalu dia membentak nyaring, "Mati kau!"
Malang bagi Pengemis Binal. Bentakan yang di-
aliri tenaga dalam penuh itu membuat tubuhnya ter-
lontar bagai dihempaskan tangan raksasa. Dan saking
hebatnya deraan rasa sakit, dia langsung jatuh ping-
san!
"Aku sudah menduga Pemimpin Perkumpulan
Tongkat Sakti itu tak mempunyai kemampuan apa-
apa. Semua itu akibat pengaruh racun Jarum Hitam
yang mengenai pelipis kanannya..." kata Dewa Guntur
dalam hati. "Tapi, kenapa dia masih dapat bertahan
sampai sedemikian lama? Menurut penuturan guruku,
tak satu pun manusia yang sanggup bertahan apabila
cairan darahnya telah tercampuri racun Jarum Hitam.
Apakah gembel busuk itu mempunyai keajaiban, se-
hingga dia mampu bertahan hidup dengan cairan da-
rah bercampur racun?" 
Saka Purdianta berjalan menghampiri tubuh
Suropati yang tergolek di tanah. Dengan menggunakan
telapak kaki diperiksanya pernapasan pemuda itu.
"Ehm.... Dia hanya pingsan. Harusnya aku
membunuhnya sekarang? Bila hal itu tak kulakukan,
gembel busuk ini akan menjadi duri dalam daging. Aku

telanjur mengatakan kepadanya kalau aku telah melu-
kai Anggraini Sulistya. Walau kejadian itu tak disenga-
ja, Prabu Singgalang Manjunjung Langit tetap akan
murka. Dan, malapetaka akan menimpa ku. Tapi, hal
itu tidak akan terjadi bila aku melenyapkan saksi hi-
dup ini. Ehm... Kau memang pantas untuk mati, Gem-
bel Busuk!"
Dewa Guntur mengangkat kaki kanannya ting-
gi-tinggi. Kaki yang dialiri tenaga dalam itu kemudian
berkelebat cepat hendak meremukkan kepala Suropati.
Sementara Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu sudah tak mempunyai kemampuan sedikit
pun untuk menghindar!
Ketika telapak kaki Saka Purdianta tinggal seu-
sap lagi mencabut nyawa Pengemis Binal, mendadak
gerakannya terhenti.    
"Ah! Terlalu bodoh membunuh tokoh yang cu-
kup terpandang ini...," pikir Dewa Guntur. "Aku mem-
punyai rencana lain. Aku memang akan tetap membu-
nuhnya, tapi tidak dengan tanganku sendiri...." 
Saka Purdianta kemudian tertawa terbahak-
bahak. Pemuda tampan putra Tumenggung Sangga
Percona itu dalam kegembiraan yang sangat. Dia telah
menyusun suatu rencana jitu untuk menuruti nafsu
membunuhnya yang menghentak!

2

Alam bangun dari tidurnya. Ranting pepohonan
menggeliat menyambut hadirnya sang surya. Hangat
terasa menerpa. Butiran embun yang mengembang di
permukaan daun bergulir jatuh membasahi rumput
dan permukaan tanah. Langit tampak cerah mengha-

dirkan pesona indah bagi makhluk di bumi.
Seorang pengemis tampak memasuki  pintu
gerbang kotapraja Kerajaan Anggarapura. Tidak seperti
keadaan para pengemis lainnya, dia berpenampilan
lumayan. Walau pakaiannya penuh tambalan, namun
kelihatan bersih. Tubuhnya tinggi tegap dengan dada
membusung. Pertanda dia mempunyai kekuatan tu-
buh yang bisa diandalkan. Wajahnya yang tidak sebe-
rapa tampan dihiasi julangan alis gagah laksana sayap
burung rajawali terpentang. Sorot matanya tajam dan
gerak-geriknya sangat tenang.
Pemuda pengemis berusia sekitar dua puluh
tujuh tahun itu di tangan kanannya memegang seba-
tang tongkat. Pangkal tongkatnya berukir kepala naga,
sedangkan pada ujungnya yang agak pipih dipeluntir
sepanjang satu jengkal. Menilik ciri-ciri tongkat yang
dibawanya, agaknya dia anggota Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti.
Di depan sebuah kedai nasi pemuda gagah
yang bernama Carang Gati itu menghentikan langkah.
Dirogohnya saku baju sebentar, lalu kakinya melang-
kah kembali. 
Kedai nasi yang dituju Carang Gati termasuk
kedai yang mempunyai kelas tersendiri. Cukup banyak
pejabat kerajaan menjadi langganan di sana. Kalau se-
karang Carang Gati yang berpakaian penuh tambalan
memasukinya, tentu saja dia menjadi pusat perhatian
orang. Hampir seluruh pengunjung mengerutkan ken-
ing. Mereka pikir, Carang Gati tentu seorang pengemis
yang kesasar. Mana mampu dia membayar makanan
di kedai yang cukup mahal ini?
Namun setelah melihat tongkat yang dipegang
Carang Gati, mereka segera mengalihkan pandangan.
Pemuda gagah itu pasti sedang mempunyai urusan.

Siapa yang tak tahu kebesaran nama Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti? Walau hanya sebuah per-
kumpulan pengemis, namun sepak terjang para anggo-
tanya sangat terkenal di rimba persilatan. Bukan
hanya melindungi para gelandangan yang merupakan
teman senasib, tapi juga menyatroni kaum sesat.
Pada mulanya para pelayan pun memandang
sinis pada kehadiran Carang Gati. Tapi, seorang pe-
layan setengah baya segera menegur teman-temannya
itu.
"Tumben Nak Gati mampir ke sini...," kata pe-
layan setengah baya kemudian di depan meja Carang
Gati. Tampaknya dia sudah mengenal anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu.
"Kebetulan ada yang mengundangku, Pak
Tua...," sahut Carang Gati seraya menyunggingkan se-
nyum.
"Kau pesan apa, Nak?" 
"Air putih saja." 
Mendengar ucapan Carang Gati, kontan selu-
ruh pengunjung kedai tertawa. Namun, tawa mereka
langsung terhenti ketika Carang Gati mendehem.
Tak lama kemudian, pelayan setengah baya da-
tang mengantarkan pesanan Carang Gati. Setelah mi-
num air putih separuh gelas, Carang Gati menyebar
pandangan. Tempat duduknya yang berada di pojok
cukup banyak membantu. Tidak kurang dua puluh li-
ma lelaki perempuan mengisi ruangan kedai. Mereka
semua berpenampilan seperti layaknya orang kaya.
Kenyataan itu membuat Carang Gati menjadi minder.
Keinginan untuk meninggalkan kedai berkecamuk di
benaknya. Tapi, dicobanya untuk terus bertahan den-
gan menundukkan kepala menatap lantai kedai.
Seorang gadis cantik berusia sekitar dua puluh

tahun muncul di ambang pintu kedai. Pakaiannya
kuning merah dihiasi pernik-pernik gemerlap. Ram-
butnya disanggul ke atas dengan tusuk konde emas. 
Giwang yang dipakainya berbentuk pipih pan-
jang, ujungnya bermata intan. Gelang keroncong yang
juga terbuat dari emas menyembul dari ujung lengan
bajunya. 
Si gadis berdiri sebentar di ambang pintu de-
pan. Setelah dilihatnya sosok Carang Gati, dia melang-
kah tenang lalu duduk berhadapan dengan anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu.
Seluruh pengunjung kedai menatap kehadiran
si gadis. Mereka seperti tidak mempercayai apa yang
dilihatnya. Tampaknya Carang Gati pun terkejut. Dia
tidak menyangka orang yang ditunggunya ternyata pu-
tri Prabu Arya Dewantara. Walau bukan putri yang la-
hir dari rahim permaisuri, tapi kalau duduk berhada-
pan dengan Carang Gati yang miskin, tentu saja men-
jadi suatu pemandangan ganjil.
"Sudah lama menunggu, Gati?" tanya si gadis,
tanpa mempedulikan tatapan orang di sekitarnya.
"Ah, hamba tidak menduga kalau yang men-
gundang kemari adalah Tuan Putri Rani Paramita...,"
kata Carang Gati dengan canggung. "Hamba tidak pan-
tas duduk berhadapan dengan Tuan Putri." 
Rani Paramita buru-buru mencegah Carang
Gati yang hendak beranjak dari tempat duduknya.
"Jangan bersikap canggung seperti itu. Aku
sengaja menulis undangan dengan meminjam nama
salah seorang prajurit, agar kau bersedia datang. Aku
pun sengaja tak membuat pertemuan di istana. Aku
ingin orang-orang mengetahui kalau Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti mempunyai hubungan dekat
dengan pihak kerajaan. Jadi, kau tidak perlu bersikap

canggung seperti ini. Kau bernaung di bawah bendera
suatu perkumpulan besar. Sudah selayaknya orang
sepertimu mendapat penghormatan...."
Rani Paramita kemudian memesan masakan
yang lezat-lezat serta satu guci besar arak wangi yang
termahal. Carang Gati cuma memandang dengan tata-
pan tak mengerti. Ketika dia hendak bertanya perihal
maksud undangan Rani Paramita, niat itu diurung-
kannya karena pesanan sudah keburu datang. Ru-
panya, pemilik kedai memberikan pelayanan yang ce-
pat agar tak mengecewakan putri Prabu Arya Dewanta-
ra.
"Kita nikmati dulu hidangan ini, Gati...," kata
Rani Paramita, membuat Carang Gati salah tingkah.
Seumur hidup baru kali ini dia diperlakukan begitu
hormat oleh orang yang sangat terpandang.
Ketika di atas meja hanya tinggal guci besar be-
risi arak wangi dan dua gelas kecil, Carang Gati me-
nunduk. Sementara Rani Paramita menuang arak ke
dalam gelas. Saat gadis cantik itu menyulanginya, ter-
kejutlah Carang Gati. Bagaimana mungkin putri seo-
rang raja yang begitu lemah lembut tampak terbiasa
minum arak?
"Sebelum aku memulai pembicaraan, terima
kasih atas kesediaanmu datang kemari," ucap Rani Pa-
ramita seraya meletakkan gelas araknya ke atas meja.       
"Suatu kehormatan besar bagi hamba, Tuan
Putri..," sahut Carang Gati dengan agak gugup.
"Kau tahu Putra Mahkota Arya Wirapaksi, Ga-
ti?"
"Kenapa, Tuan Putri?"
"Dia dan  aku sama-sama senang belajar ilmu
silat. Bulan depan kami bermaksud akan bertarung
untuk mengukur ketinggian ilmu silat yang kami mili-

ki. Arya Wirapaksi adalah kakakku, tapi sebagai adik,
aku tak mau kalah dengannya. Maka dari itu aku
mengundangmu kemari...."
Rani Paramita diam sejenak untuk menarik na-
pas panjang. Carang Gati pun sabar menunggu sampai
gadis cantik itu menyambung ucapannya kembali. Se-
mentara itu beberapa pengunjung kedai sudah me-
ninggalkan ruangan.
"Untuk mengundang Suropati, aku tak tahu dia
berada di mana. Wirogundi pun aku dengar sedang
bertapa di Danau Ular. Sedangkan bila mengundang
Kakek Gede Panjalu, aku malu pada diriku sendiri. Il-
mu kepandaianku masih dangkal. Maka aku mengun-
dangmu, Gati..."
"Untuk apa?" Carang Gati tak dapat memben-
dung hasrat hatinya untuk bertanya. 
"Aku ingin bertanding silat denganmu. Jurus-
jurus ilmu silat Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
tentulah lihai. Aku bermaksud menjajal ilmu kepan-
daianku."
"Ah, mana hamba berani, Tuan Putri?" ujar Ca-
rang Gati walau merasa tersanjung.
"Jangan merendahkan diri, Gati. Aku tunggu
kau di kelokan sungai sebelah barat kotapraja...."
Usai berkata, Rani Paramita beranjak dari kur-
sinya. Gadis itu berkelebat cepat dari hadapan Carang
Gati. Untuk beberapa lama pemuda gagah itu cuma
dapat duduk termangu. Matanya menatap tanpa arti
sekeping uang emas yang ditinggalkan Rani Paramita.
"Ah, mimpi apa aku kemarin?" kata Carang Ga-
ti dalam hati. "Bisa berhadapan dengan putri Prabu
Arya Dewantara adalah pengalaman membanggakan
yang dapat kuceritakan kepada anak-cucuku kelak...."
Sengaja Carang Gati tak mempergunakan tong-

katnya. Rani Paramita telah membuka pertempuran
dengan tangan kosong. Namun, Carang Gati berdecak
kagum melihat kehebatan gadis cantik itu. Walau ge-
rak-geriknya lemah lembut, tapi ketika memperagakan
jurus-jurus silat tubuhnya bisa bergerak demikian ge-
sit. Pukulan dan tendangannya pun selalu mengelua-
rkan desir angin yang memedihkan kulit. Ternyata te-
naga dalam Rani Paramita tidak bisa dianggap enteng.
"Ayo! Balas seranganku, Gati!" teriak Rani Pa-
ramita. Tendangan melingkarnya meluncur cepat.
Carang Gati berkelit. Karena tak mau membuat
Rani Paramita kecewa, pemuda gagah itu mengawali
serangannya dengan berlambarkan jurus ‘Pengemis
Menghiba Rembulan'. 
Des...!
Pukulan Carang Gati yang mengarah ke bahu
kiri ditangkis oleh Rani Paramita. Lengan mereka sa-
ma-sama bergetar dan terasa kesemutan. Agaknya te-
naga dalam mereka seimbang.
Lewat sepuluh jurus kemudian Rani Paramita
mulai terdesak. Carang Gati telah mempergunakan ju-
rus gabungan dari 'Pengemis Menghiba Rembulan',
'Pengemis Menebah Dada', dan 'Pengemis Meminta Se-
dekah'.
Mendadak, Rani Paramita meloncat jauh ketika
Carang Gati melancarkan sebuah tendangan lurus.
Dan, Carang Gati terkejut melihat Rani Paramita tahu-
tahu saja telah menggenggam sebilah, pedang pendek
yang memancarkan cahaya keemasan.
"Pergunakan tongkatmu, Gati!" teriak Rani Pa-
ramita. 
"Hamba hanya menuruti perintah, Tuan Pu-
tri...."
Kini, dengan memainkan senjata andalannya

masing-masing kedua petarung itu bertempur semakin
seru. Kelebatan pedang Rani Paramita menimbulkan
gaung aneh yang kadang-kadang berubah jadi desin-
gan memekakkan telinga. Pancaran keemasan pe-
dangnya pun menyilaukan pandangan.
Tapi, Carang Gati adalah anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang sudah cukup berpenga-
laman. Dia juga salah satu murid Gede Panjalu yang
telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian tokoh itu.
Maka dengan mengandalkan jurus ‘Tongkat Memukul
Anjing', Carang Gati dapat mengimbangi kehebatan ju-
rus pedang Rani Paramita.
Sang surya telah naik dan memayung di atas
kepala. Seorang pemuda tampan tampak duduk di
atas dahan pohon. Hampir-hampir matanya tak berke-
dip memperhatikan pertempuran yang berlangsung di
bawahnya. Pemuda tampan itu menaikkan alisnya ke-
tika melihat benturan senjata di tangan Rani Paramita
dan Carang Gati. 
Trang...!
Walau senjata Carang Gati hanya sebatang
tongkat kayu, tapi tidak patah ketika bertemu dengan
ketajaman pedang Rani Paramita. Bahkan, ujung
tongkat berhasil menyodok jemari tangan gadis cantik
itu.
"Ih...!"
Terpaksa Rani Paramita melepaskan pegangan-
nya pada hulu pedang. Hawa panas terasa menjalar
dari jemari tangannya yang tersodok ujung tongkat Ca-
rang Gati.
Mendadak saja, pemuda tampan yang duduk di
dahan pohon menghemposkan tubuh. Disambarnya
pedang Rani Paramita yang terlontar tinggi. Saat ka-
kinya mendarat di tanah, dia langsung menjura.

"Maafkan atas kelancangan saya...," kata pe-
muda tampan itu seraya menyodorkan pedang Rani
Paramita,
"Siapa kau?!" bentak gadis cantik itu setelah
menerima pedangnya. Carang Gati hanya memandang
dengan kening berkerut.
Sekali lagi pemuda tampan menjura hormat.
"Nama saya Saka Purdianta. Saya hanya seorang pen-
gembara yang kebetulan lewat di tempat ini." 
Rani Paramita menatap lebih seksama sosok
Saka Purdianta. Pemuda tampan yang bergelar Dewa
Guntur itu telah mengganti pakaiannya yang serba hi-
jau dengan kuning coklat bergaris-garis hitam. Dan
meski terbuat dari bahan murah, tapi sanggup me-
nampilkan ketampanan pemuda itu.
"Maafkan saya. Saya telah mencuri pandang
pertempuran Nona  yang  cantik jelita dengan pemuda
yang gagah perkasa ini...."
"Kalau kau tahu siapa aku, kau tidak akan be-
rani melakukannya!" sergah Rani Paramita menimpali
ucapan Saka Purdianta.
"Saya yang bodoh ini memang tidak tahu siapa
Nona adanya. Tapi, saya bisa mengenali jurus pedang
yang baru saja Nona mainkan. Kalau tidak salah, jurus
itu bernama 'Desingan Pedang Membelah Gunung'."
Mendengar ucapan demikian, tahulah Rani Pa-
ramita kalau pemuda tampan yang menyambar pe-
dangnya itu bukanlah orang sembarangan.
"Dari  mana kau tahu jurus yang kumainkan
adalah 'Desingan Pedang Membelah Gunung'?"
"Suara gaung yang timbul dari kelebatan pe-
dang Nona dapat berubah menjadi desingan meme-
kakkan telinga. Yang lebih membuat saya yakin adalah
gerak tubuh Nona. Saya hapal betul setiap gerakan ju-

rus 'Desingan Pedang Membelah Gunung'. Karena,
saya pernah mempelajarinya dari seorang ahli pedang
yang bernama Ki Ageng Manik Rei."
"Ketua Perguruan Pedang Kencana itu apakah
gurumu?" tanya Rani Paramita penuh selidik. Kaget
juga dia mendengar penjelasan Saka Purdianta tadi.
"Saya yang bodoh ini tidak pantas menjadi mu-
rid beliau. Ki Ageng Manik Rei pernah singgah di Ka-
tumenggungan Lemah Abang di wilayah Kerajaan Pasir
Luhur. Di sanalah saya bertemu dengan beliau. Dan,
beliau berkenan mengajarkan salah satu jurus anda-
lannya, yakni 'Desingan Pedang Membelah Gunung'"
Mendengar ucapan Saka Purdianta yang lemah
lembut, kecurigaan di hati Carang Gati langsung hi-
lang. Semula dia menyangka Saka Purdianta seorang
tokoh usil yang suka mencampuri urusan orang lain.
Tapi dilihatnya Rani Paramita tampak mempercayai
ucapan pemuda tampan itu. Bahkan, menaruh sedikit
perhatian.
"Kalau saya boleh tahu, siapakah dua tokoh
muda yang sedang berhadapan dengan saya ini?"
tanya Saka Purdianta dengan sopannya.
Buru-buru Rani Paramita mendahului Carang
Gati yang hendak memperkenalkan diri. "Saya hanya-
lah seorang gadis biasa yang kebetulan mempunyai jo-
doh untuk berguru kepada Ki Ageng Manik Rei. Se-
dangkan yang baru saja memperagakan Jurus tong-
katnya yang hebat adalah Carang Gati, anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti."
Mendengar penuturan Rani Paramita, Saka
Purdianta membungkukkan badannya berulang kali ke
arah Carang Gati. Carang Gati pun jadi kikuk menda-
pat penghormatan yang berlebihan itu.
"Rupanya saya sedang berhadapan dengan seo-

rang pendekar gagah yang menjadi anggota suatu per-
kumpulan besar...."
"Saudara tidak perlu berlebihan," bantah Ca-
rang Gati. 
"Jangan panggil saya dengan sebutan
'saudara.'. Nama saya Saka Purdianta. Panggil saja
'Saka'. Saya akan merasa  senang bila kalian berdua
bersedia menerima uluran persahabatan dari saya"
Saka Purdianta memandang wajah Rani Para-
mita dan Carang Gati bergantian.
'"Desingan Pedang Membelah Gunung' adalah
jurus pedang yang hebat. Tapi, jurus tongkat yang Ka-
kang Gati mainkan lebih hebat lagi. Saya melihat bebe-
rapa kelemahan dari gerak tubuh Adi Rani. Karena itu
saya ingin mencoba jurus 'Desingan Pedang Membelah
Gunung' yang saya kuasai untuk melawan jurus tong-
kat Kakang Gati...." 
Carang Gati menatap tajam wajah Saka Pur-
dianta. Namun karena tak melihat sesuatu yang men-
curigakan di sana, dia segera membungkukkan ba-
dannya menerima tantangan pemuda tampan itu. Ak-
hirnya, Rani Paramita meminjamkan pedangnya kepa-
da Saka Purdianta. Sebentar kemudian terjadilah per-
tempuran sengit.  Carang Gati mengeluarkan jurus
'Tongkat Memukul Anjing' nya. Dan Saka Purdianta
benar-benar memperagakan jurus 'Desingan Pedang
Membelah Gunung"!
Tapi, Carang Gati dibuat terkejut setengah ma-
ti. Walau jurus yang diperagakan Saka Purdianta sama
persis dengan Rani Paramita, namun gerakan Saka
Purdianta lebih cepat. Desingan pedangnya pun lebih
keras hingga dapat menggetarkan isi dada. Akibat-
nya.... 
Des...!

Tendangan Saka Purdianta tepat bersarang di
bahu kiri Carang Gati. Tubuh anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu terpelanting, lalu terjerem-
bab ke tanah.
"Hebat!" puji Rani Paramita. Sementara muka
Carang Gati jadi masam. Dia segera membungkukkan
badan, mengakui kehebatan lawan. 
"Sebenarnya ada salah pengertian pada Adi Ra-
ni...," kata Saka Purdianta kemudian kepada Rani Pa-
ramita. "Jurus 'Desingan Pedang Membelah Gunung'
tidak hanya bertumpu pada ketajaman pedang, me-
lainkan juga pada tendangan. Suara desingan yang
timbul dari kelebatan pedang adalah untuk mengecoh
lawan. Ketika lawan hanya memperhatikan kelebatan
pedang, tiba saatnya kaki menunjukkan kehebatan-
nya."
"Terima kasih atas petunjuk Kakang Saka...,"
ujar Rani Paramita sambil menerima pedangnya kem-
bali. Gadis cantik itu lalu pergi berlalu setelah berpa-
mitan kepada Saka Purdianta dan Carang Gati. Ada
sesuatu yang harus dia kerjakan.

***

"Maafkan saya, Kakang Gati...," ucap Saka Pur-
dianta setelah kepergian Rani Paramita.
"Ah, tidak menjadi apa. Jurus 'Desingan dang
Membelah Gunung' memang sungguh hebat."
"Kakang terlalu memuji. Kalau boleh saya tahu,
siapakah sebenarnya gadis murid Ki Ageng Manik Rei
itu? Melihat pakaian yang dikenakannya, aku kira dia
bukan tokoh silat biasa...."
"Tentu saja, Adi Saka. Dia putri Prabu Arya
Dewantara," ujar Carang Gati dengan tersenyum.

"Penguasa Kerajaan Anggarapura ini?!" Saka
Purdianta seperti tak percaya. 
"Ya."
"Kenapa dia bisa berada di tempat seperti ini,
dan bertanding ilmu silat denganmu?"
Carang Gati lalu menceritakan tentang Rani Pa-
ramita yang hendak menjajal kepandaiannya, karena
bulan depan gadis cantik itu akan mengadu ilmu silat
dengan kakaknya, Arya Wirapaksi.
Saka Purdianta manggut-manggut, Bibirnya
tampak menyunggingkan senyum.
"Sungguh beruntung aku hari ini, bisa berkena-
lan dengan putri Prabu Arya Dewantara yang cantik je-
lita. Tapi, lebih beruntung lagi dapat berkenalan den-
gan salah seorang anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang kesohor...."
"Ah, Adi Saka terlalu berlebihan," Carang Gati
tersenyum bangga mendengar perkumpulannya dipuji
orang. 
"Tidak. Kenyataannya memang demikian. Jauh-
jauh aku datang dari Kerajaan Pasir Luhur adalah un-
tuk menjumpai tokoh-tokoh penting perkumpulan be-
sar itu." 
"Ada urusan apa?" selidik Carang Gati.
"Urusan penting sih tidak. Tapi sebagai pen-
gembara seperti saya ini, tentu akan senang bila dapat
berkenalan dengan tokoh-tokoh rimba persilatan yang
termasyhur. Oleh sebab itu, apakah Kakang Gati dapat
membawaku untuk berkenalan dengan Pemimpin Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang bernama Su-
ropati?"
Kening Carang Gati berkerut. Entah mengapa
tiba-tiba timbul kecurigaan dalam hatinya. Namun me-
lihat tutur kata dan sikap Saka Purdianta yang sopan,

dia mengusir kecurigaan itu.
"Pemukiman para anggota Perkumpulan pen-
gemis Tongkat Sakti berada di puncak Bukit Pangala-
san. Namun, saat ini Suropati tidak berada di sana."
Saka Purdianta menyunggingkan senyum. "La-
lu, di mana aku bisa menjumpai Pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti itu?" tanyanya kemudian.
"Aku tidak bisa menjawabnya. Kalau Adi Saka
memang seorang pengembara, suatu saat tentu akan
berjumpa dengannya di perjalanan."
"Ehm.... Suropati tentu mempunyai seorang
yang dapat mewakili dirinya. Apakah saya bisa ber-
jumpa dengannya?"
"Apakah Wirogundi yang kau maksud?" Carang
Gati balas bertanya.
"Siapa Wirogundi?"
"Dia tangan kanan Suropati. Ilmu kepandaian-
nya sangat tinggi., Bila dibanding denganku, seperti
bumi dan langit."
"Oh, begitu? Saya akan ke puncak Bukit Panga-
lasan sekarang," putus Saka Purdianta tanpa pertim-
bangan lagi.
"Eit! Tunggu dulu!"
Hati Saka Purdianta langsung bersorak girang.
Pancingannya berhasil. Dia menghentikan langkah, la-
lu memandang wajah Carang Gati. Pura-pura tak men-
gerti maksud anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu.
"Apakah tidak sembarang orang diperbolehkan
mengunjungi pemukiman perkumpulanmu itu, Kakang
Gati?" tanya pemuda tampan itu.
"Bukan begitu, Adi Saka. Seperti halnya Suro-
pati. Wirogundi pun tidak berada di sana."
"Kalau begitu, di mana aku bisa menjumpai Wi-

rogundi?"
Carang Gati tampak berpikir. Namun akhirnya
dia berkata terus terang. "Wirogundi sedang menjalani
hukuman..."
"Hukuman? Apakah dia mempunyai kesala-
han?"
Carang Gati mengangguk pelan. "Sejak kema-
tian kekasihnya yang bernama Anjarweni, hati Wiro-
gundi dilanda kesedihan yang sangat. Pikirannya ser-
ing kali tak terkendali. Sampai akhirnya dia berjumpa
dengan seorang gadis yang bernama Yaniswara. Wajah
Yaniswara sangat mirip dengan Anjarweni. Mungkin
karena itulah Wirogundi hampir saja menodainya...,"
Saka Purdianta mengangguk-angguk. Raut wa-
jahnya dibuat redup, seakan-akan ikut merasa priha-
tin atas peristiwa yang baru didengarnya.
"Tapi, untunglah Tuhan membuka mata hati
Wirogundi. Peristiwa memalukan yang akan mencoreng
nama besar Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu
tidak sampai terjadi...."
"Aku turut bersyukur, Kakang Gati. Tapi, kena-
pa Wirogundi tetap menjalani hukumannya? "
"Wirogundi sangat menyesali perbuatannya,
namun pada mulanya dia tak mau mengatakan hal
yang sebenarnya. Dia harus bertapa di Danau Ular se-
lama empat puluh hari empat puluh malam. Menurut
Kakek Gende Panjalu, dengan demikian Wirogundi
akan terbebas dari kekalutan yang terus menghantui
pikirannya." 
"Ehm.... Kasihan sekali Wirogundi...," kata Saka
Purdianta dengan penuh keprihatinan. "Kau tadi me-
nyebut 'Kakek Gede Panjalu', apakah dia sesepuh Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti, kang Gati?"
"Ya."

"Suatu saat aku akan meminta beberapa we-
jangan darinya."
"Kakek Gede Panjalu selalu berada di puncak
Bukit Pangalasan, kecuali kalau ada urusan penting
yang memaksanya untuk turun bukit. Kau bisa men-
jumpainya di sana, Adi Saka...," Carang Gati tanpa ra-
sa curiga sedikit pun menceritakan kesemuanya.
"Terima kasih, Kakang Gati. Aku pasti akan
menjumpainya. Tapi, tidak sekarang. Aku masih mem-
punyai beberapa urusan...."
Saka Purdianta lalu membungkukkan badan-
nya. Carang Gati membalas penghormatan itu. Mereka
pun berpisah. Carang Gati melangkahkan kakinya me-
nuju kotapraja, sedangkan Saka Purdianta menuju
Danau Ular.
"Ehm.... Sebentar lagi rimba persilatan akan
geger...," gumam Saka Purdianta dalam hati. "Pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti akan mati
dengan cara mengenaskan. Suropati akan mati dengan
keadaan nista, penuh coreng-moreng di mukanya...."
Saka Purdianta tertawa terbahak-bahak.
Bayangan kemenangan sudah terpampang jelas di de-
pan matanya. Maka dengan tak sabar dia berlari cepat,
mengandalkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya.

***

Semua orang yang berada di depan pintu ger-
bang Perguruan Pedang Kencana membungkukkan
badannya dalam-dalam ketika Rani Paramita lewat di
hadapan mereka.
"Apakah Eyang Manik Rei berada di dalam?"
tanya Rani Paramita sesampai di pintu padepokan.
"Eyang Manik Rei belum turun dari semadinya,"

jawab seorang pemuda.
"Terima kasih. Kalau Eyang sudah menyelesai-
kan semadinya, tolong katakan pada beliau aku me-
nunggu di halaman belakang."
"Baik."
Rani Paramita menepuk bahu pemuda di hada-
pannya, lalu kakinya melangkah. Di pelataran lapang
yang berada di belakang padepokan, Rani Paramita
melihat belasan pemuda sedang giat berlatih. Dada
mereka yang telanjang tampak berkilat-kilat karena
keringat. Mereka tak menghiraukan sengatan sinar
matahari yang hampir naik.
Rani Paramita tahu betul jurus yang sedang
dimainkan saudara-saudara seperguruannya itu ada-
lah 'Desingan Pedang Membelah Gunung'. Belasan
pemuda itu murid utama Ki Ageng Manik Rei. Hanya
merekalah yang bisa memainkan jurus 'Desingan Pe-
dang Membelah Gunung’ Jurus itu memang tidak di-
berikan pada setiap murid-murid padepokan.
Rani Paramita duduk di undak-undakan batu-
batu. Hampir dia tak berkedip menatap setiap gerakan
yang diperagakan kakak-kakak seperguruannya. Da-
lam penguasaan jurus 'Desingan Pedang Membelah
Gunung' Rani Paramita sebenarnya tidak tertinggal
jauh. Hanya, dalam kekuatan tenaga dalam dia kalah.
Sehingga kelebatan pedang di tangan kakak-kakak se-
perguruannya terdengar lebih keras.
"Aneh...," pikir Rani Paramita. "Jurus 'Desingan
Pedang Membelah Gunung' yang dimainkan pemuda
bernama Saka Purdianta kenapa jauh lebih hebat? Pa-
dahal, kakak seperguruanku itu telah bertahun-tahun
mempelajari gerakan dasarnya. Saka Purdianta men-
gatakan dirinya bukan murid Eyang Manik Rei, tapi
kenapa dia dapat dengan mudah merobohkan Carang

Gati?"
Rani Paramita tak meneruskan pikirannya. Dia
dikejutkan oleh suara berat berwibawa yang memang-
gil namanya.
"Eh, Eyang Manik Rei...," kata gadis cantik itu
seraya memberi hormat
Di hadapan Rani Paramita telah berdiri seorang
kakek berusia tujuh puluh tahun. Dia memakai jubah
kuning. Walau kain jubahnya sangat longgar, tapi tak
menutupi kegagahan kakek itu yang mempunyai tu-
buh tinggi tegap. Wajah si kakek tampak bersih dan
memancarkan kewibawaan yang sangat. Janggutnya
putih pendek serta terawat rapi. Rambutnya dikuncir
menjadi jalinan panjang. Dia adalah Ki Ageng Manik
Rei, pendiri Perguruan Pedang Kencana.
"Tidak seperti biasanya kau datang kemari, Ra-
ni...," kata kakek gagah itu. Ketika dia menyebut pang-
gilan Rani Paramita, ada getar penghormatan terselip
di dalamnya.
"Saya mempunyai satu keperluan, Eyang...."
"Ehm.... Aku sudah menduganya. Tapi, bi-
asanya urusan ayahanda mu yang meminta ku datang
ke istana."
"Ah, saya tidak ingin merepotkan Eyang. Saya
datang tidak membawa urusan penting. Namun, walau
begitu saya perlu membicarakannya secara langsung
dengan Eyang."
Ki Ageng Manik Rei merengkuh bahu Rani Pa-
ramita. Dibimbingnya gadis itu masuk ke ruang dalam.
"Saya baru saja berjumpa dengan seorang pe-
muda bernama Saka Purdianta. Dia memperagakan ju-
rus 'Desingan Pedang Membelah Gunung'. Tapi, gera-
kannya sungguh sangat luar biasa. Dengan mudah dia
merobohkan Carang Gati yang memainkan jurus

'Tongkat Memukul Anjing'...."
Rani Paramita menceritakan peristiwa yang ba-
ru saja dialaminya. Rupanya ke sinilah dia pergi ketika
tadi berpamitan pada Carang Gati dan Saka Purdianta.
"Saka Purdianta mengaku pernah bertemu den-
gan Eyang di Katumenggungan Lemah Abang, di wi-
layah Kerajaan Pasir Luhur. Dia mengatakan Eyang
pernah mengajar jurus 'Desingan Pedang Membelah
Gunung' kepadanya. Benarkah itu Eyang? Tapi kenapa
jurus yang dimainkannya lebih hebat dibandingkan
kakak-kakak seperguruan yang telah berlatih dasar ju-
rus itu selama bertahun-tahun?" 
Ki Ageng Manik Rei mengangguk-angguk pelan.
Rani Paramita kaget melihat perubahan raut wajah gu-
runya yang mendadak menjadi muram
"Ada apa, Eyang? Benarkah Eyang pernah
mengajarkan jurus 'Desingan Pedang Membelah Gu-
nung' kepada Saka Purdianta?"
"Aku memang pernah berjumpa dengan pemu-
da itu di Katumenggungan Lemah Abang," aku Ki
Ageng Manik Rei.
"Jadi, benar Eyang telah mengajarkan jurus
'Desingan Pedang Membelah Gunung' kepada Saka
Purdianta?" tegas Rani Paramita.
"Jangan menyela cerita ku, Rani....." Ki Ageng
Manik Rei buru-buru memotong. "Peristiwa itu terjadi
tujuh tahun yang lalu. Saat itu Saka Purdianta masih
berusia delapan belas tahun...." 
Ki Ageng Manik Rei kemudian bercerita. Beliau
adalah seorang pengembara. Sebagian besar usianya
dipergunakan untuk malang melintang di rimba persi-
latan. Ketika sudah merasa tua, dia bermaksud ber-
diam di suatu tempat Ki Ageng Manik Rei datang
menghadap Tumenggung Sangga Percona. 

"Di Katumenggungan Lemah Abang ini hamba
banyak melihat pemuda-pemuda gagah...," kata Ki
Ageng Manik Rei pada waktu itu. "Untuk itulah, hamba
memberanikan diri menghadap Gusti Tumenggung.
Hamba meminta izin dari Gusti Tumenggung untuk
mendirikan sebuah perguruan silat..."
"Ehm.... Perguruan silat apa?" tanya Tumeng-
gung Sangga Percona penuh selidik.
"Hamba mempunyai kepandaian memainkan
senjata pedang. Pedang hamba itu bernama Pedang
Kencana. Oleh sebab itu, hamba akan mendirikan sua-
tu perguruan yang diberi nama Perguruan Pedang
Kencana."
"Tujuannya?"
"Para murid akan hamba bekali ilmu olah ka-
nuragan untuk membela diri dari kekuatan jahat yang
mengancam. Hamba akan didik mereka menjadi pen-
dekar-pendekar yang selalu berjalan di atas kebenaran
dan keadilan...."
Tak pernah disangka oleh Ki Ageng Manik Rei,
Tumenggung Sangga Percona akan tertawa bergelak
mendengar penuturannya. Dia pun menuding-nuding
muka Ki Ageng Manik Rei.
"Hei, Manik Rei! Tampangmu tak lebih bagus
dari kerbau dicocok hidungnya! Aku curiga kau mem-
punyai maksud buruk. Kau hanya mencari ketenaran!
Setelah itu, suatu saat kau tentu akan mengajak mu-
rid-muridmu  untuk memberontak kepadaku! Itu tak
akan terjadi, Manik Rei! Kepandaianmu hanya sedalam
cawan dan setinggi telapak kaki!"
Tentu saja Ki Ageng Manik Rei terkejut dan me-
rasa tersinggung. Dia mencoba bersabar. Sekali lagi di-
jelaskan maksudnya untuk mendirikan Perguruan Pe-
dang Kencana.

"Tak pernah terbersit dalam benak hamba me-
rebut tahta seorang pejabat, Gusti Tumenggung. Ham-
ba hanyalah seorang pengembara yang tak mengerti
ilmu pemerintahan. Hamba hanya ingin mendirikan
Perguruan Pedang Kencana untuk mengamalkan ke-
pandaian ilmu silat hamba...."
"Ha ha ha...! Kalau begitu, kau sudah merasa
sangat yakin akan kemampuanmu. Baik! Sepuluh
orang prajurit akan menguji kemampuanmu, Manik
Rei!"
Akhirnya, ilmu silat Ki Ageng Manik Rei benar-
benar teruji. Di depan pendopo sepuluh orang prajurit
kekar bersenjata tombak dan pedang mengeroyok to-
koh tua itu. Dengan hanya mengandalkan jurus-jurus
tangan kosong, Ki Ageng Manik Rei dapat merobohkan
lawan-lawannya.
Walau para prajuritnya tidak ada yang menga-
lami luka parah, Tumenggung Sangga Percona tetap
murka. Dia merasa dilecehkan oleh Ki Ageng Manik
Rei.
"Jangan terlalu bangga karena berhasil mero-
bohkan sepuluh prajuritku, Manik Rei! Mendirikan
perguruan silat tidak semudah yang kau kira. Pendi-
rinya harus seorang yang pilih tanding. Itu untuk men-
jaga nama baik perguruan yang hendak didirikannya.
Karena itu, akan ku jajal kemampuanmu, Manik Rei!"
Mendengar ucapan Tumenggung Sangga Perco-
na, Ki Ageng Manik Rei langsung tercekat Tumenggung
Sangga Percona adalah seorang pejabat yang mempu-
nyai ilmu olah kanuragan tinggi. Tapi, bukan karena
itu hati Ki Ageng Manik Rei jadi bingung. Tumenggung
Sangga Percona seorang pejabat yang cukup terpan-
dang, mana berani Ki Ageng Manik Rei menjatuhkan
tendangan dan pukulan kepadanya? 

Selagi Ki Ageng Manik Rei sedang berpikir-pikir,
datang seorang remaja tampan. Dia menyebut na-
manya Saka Purdianta, putra tunggal Tumenggung
Sangga Percona.
"Hei, Pak Tua! Untuk menjajal kemampuanmu,
aku akan mewakili ayahku. Aku tak ingin tangan
ayahku ternoda karena menyentuh kulit tubuhmu
yang kotor!"
Tumenggung Sangga Percona tertawa terbahak-
bahak. 
"Baik! Kau wakili ayahmu ini, Saka. Hajar
orang tua yang terlalu sok itu!"
Hati Ki Ageng Manik Rei jadi semakin tak ka-
ruan. Tapi, dia tak mempunyai waktu lama untuk ber-
pikir. Saka Purdianta telah menyerangnya dengan pe-
nuh nafsu membunuh!
Mau tak mau Ki Ageng Manik Rei mesti me-
layaninya. Karena tak mau melihat Saka Purdianta ter-
luka, Ki Ageng Manik Rei bertempur dengan menggu-
nakan tangan kosong. Tokoh tua itu terkejut setengah
mati mendapati kelihaian Saka Purdianta. Remaja
tampan itu tak bersenjata, namun kedua telapak tan-
gannya mengeluarkan suara gemuruh yang memekak-
kan gendang telinga. Serangannya selalu mengincar ja-
lan kematian.
Ki Ageng Manik Rei terdesak. Keadaan ini terja-
di karena Ki Ageng Manik Rei tak sungguh-sungguh
dalam memberikan perlawanan. Ilmu silat tokoh tua
itu pun sebenarnya bertumpu pada jurus-jurus pe-
dang.
Namun, ketika Ki Ageng Manik Rei telah mera-
sakan tendangan dan pukulan Saka Purdianta, tokoh
tua itu mencabut Pedang Kencananya dengan sangat
terpaksa.

Ki Ageng Manik Rei memainkan jurus 'Desingan
Pedang Membelah Gunung' untuk mendesak Saka
Purdianta. Putra Tumenggung Sangga Percona itu
mencoba terus memberikan perlawanan. Padahal kele-
batan pedang Ki Ageng Manik Rei telah mengurung-
nya. Kalau mau, tokoh tua itu bisa saja membuatnya
celaka.
"Akuilah kekalahanmu, Nak Mas...," kata Ki
Ageng Manik Rei.
"Tidak! Aku belum kalah!"
Saka Purdianta tak mau mundur. Karena tak
melihat cara lain untuk menyadarkan remaja tampan
itu, Ki Ageng Manik Rei menggores bahu kirinya.
Melihat putra tunggalnya terluka, Tumenggung
Sangga Percona semakin murka. Diperintahkannya se-
luruh prajurit Katumenggungan untuk menangkap Ki
Ageng Manik Rei. Tokoh tua itu lalu dijebloskan ke da-
lam penjara.
Untunglah, ada seorang prajurit yang tak tahan
melihat kesewenang-wenangan Tumenggung Sangga
Percona. Dia melaporkan peristiwa itu kepada Prabu
Singgalang Manjunjung Langit. Akhirnya, Ki Ageng
Manik Rei dapat keluar dari penjara. Tumenggung
Sangga Percona hanya mendapat teguran. Dengan ke-
licikannya pejabat itu dapat meyakinkan Prabu Sing-
galang Manjunjung Langit kalau peristiwa yang terjadi
timbul karena kesalahpahaman semata.

3

"Begitulah ceritanya, Rani..," Ki Ageng Manik
Rei mengakhiri penuturannya. "Aku kemudian mene-
ruskan pengembaraan untuk dapat mendirikan Pergu-

ruan Pedang Kencana. Sampai akhirnya aku sampai di
tempat ini."
"Kalau begitu, Eyang tidak mengajarkan jurus
'Desingan Pedang Membelah  Gunung' kepada Saka
Purdianta. Tapi kenapa pemuda itu bisa memainkan-
nya, bahkan lebih hebat dariku yang telah belajar se-
kian tahun kepada Eyang?"
"Saka Purdianta seorang pemuda yang cerdas
dan sangat berbakat. Aku mempunyai dugaan ketika
kau sedang bertempur dengan Carang Gati, Saka Pur-
dianta telah menghapalkan setiap gerakan jurus
'Desingan Pedang Membelah Gunung'."
"Kenapa dia mengatakan Eyang yang menga-
jarkan jurus pedang itu?"
"Entahlah. Aku juga tak tahu maksudnya. Tapi,
pada saatnya nanti kita pasti mengetahuinya. ..."
"Terima kasih atas cerita Eyang. Karena hari te-
lah menjelang sore, saya harus kembali ke istana."
Ki Ageng Manik Rei melepas kepergian putri
Prabu Arya Dewantara itu dengan senyum lebar. Na-
mun begitu lenyap sosok Rani Paramita, lenyap pula
senyuman Ki Ageng Manik Rei.
"Ada apa di balik kebohongan Saka Purdianta
itu?" tanya Ki Ageng Manik Rei dalam hati. "Kedatan-
gannya di wilayah Kerajaan Anggarapura ini apakah
memang ada urusan penting atau hanya kebetulan sa-
ja? Ah, kenapa perasaanku jadi tidak enak? Mungkin-
kah ini firasat buruk?"

***

Danau Ular memang tak seberapa lebar. Na-
mun, dari kemilau airnya yang jernih dan tampak te-
nang terkandung ancaman yang mengerikan. Pada te-

pinya tersembunyi ratusan liang ular berbisa. Bila di-
perhatikan dengan seksama, air danau yang jernih
pun banyak menunjukkan gerakan-gerakan aneh. Tu-
buh ular besar dan kecil terlihat meluncur gesit di ba-
wah permukaan air.
Pada bagian tengah danau terdapat sebongkah
baru besar yang mencuat ke atas menyembul permu-
kaan air. Seorang pemuda berusia sekitar dua  puluh
dua tahun tampak duduk tenang di atasnya. Tak se-
lembar benang pun menempel di tubuh pemuda kunis
itu. Wajahnya cukup tampan, tapi menggambarkan
kedukaan yang sangat. Rambutnya dibiarkan tergerai
riap-riapan.
Dia duduk bersila dengan kelopak mata tertu-
tup rapat. Yang membuat pemandangan jadi sangat
menggiriskan adalah karena pinggang si pemuda ter-
belit seekor ular hitam sebesar paha manusia dewasa.
Di bahu kirinya terselampir beberapa ekor ular kecil.
Walaupun ular-ular itu tampak ganas tapi tak berani
mengusik si pemuda yang sedang bertapa brata.
Dia adalah Wirogundi. Pemuda itu harus men-
jalani hukumannya untuk bertapa di Danau Ular se-
lama empat puluh hari empat puluh malam.
Mentari sudah memayung ke barat ketika seo-
rang remaja tampan berpakaian penuh tambalan ber-
diri tegak di pinggiran danau. Rambut panjangnya
yang dibiarkan tergerai berkibaran dimainkan angin.
Matanya tak lepas menatap Wirogundi.    
"Ehm.... Inikah pemuda yang sedang menjalani
tapa brata itu?" gumam si remaja tampan. "Wajahnya
muram. Rupanya dia benar-benar sedang patah hati."
Remaja tampan itu tahu Wirogundi tak mung-
kin dibangunkan dengan panggilan lahir. Maka, dia
segera memejamkan mata dengan tangan bersedekap.

Hendak ditembusnya alam pikiran Wirogundi.
Pertama-tama yang ditemuinya hanyalah ruang
gelap sangat pekat. Ruang gelap itu perlahan diterangi
seberkas cahaya, hingga kemudian menjadi sebuah
pancaran besar berserat kuning. Ruang gelap itu le-
nyap, berganti dengan hamparan tanah luas tiada ber-
tepi. Cahaya putih kuning memancar terang bende-
rang.
Si remaja tampan menambah kekuatan batin-
nya. Di ruang luas tiada bertepi itu muncullah sosok
Wirogundi yang sedang duduk bersila.
"Pendekar Patah Hati...," panggil si remaja tam-
pan.
Dia menunggu sejenak. Tapi jawaban yang di-
nantinya tak muncul. Maka, diulanginya panggilan itu
sekali lagi.
"Pendekar Patah Hati...."
"Siapa yang kau panggil? Dan di mana wujud
mu, aku tak tahu...."
"Yang kupanggil adalah kau, Wirogundi. Kau
tak tahu wujud ku karena aku hanyalah pancaran ke-
kuatan batin."
"Menyingkirlah! Jangan ganggu tapa ku!" ben-
tak Wirogundi yang merasa terusik.
"Ada tugas yang harus segera kau laksanakan,
Pendekar Patah Hati. Hentikan dulu tapamu sampai di
sini!"
"Kau menyebut aku dengan 'Pendekar Patah
Hati', aku tak suka! Dan, aku tak tahu siapa kau. Ke-
napa menyampaikan tugas kepadaku?"
"Aku orang yang sangat dekat denganmu. Aku
adalah pemimpinmu. Karena itu, aku berhak memberi
julukan dan tugas kepadamu...."
"Kau Suropati?"

"Bawa alam pikiranmu ke alam nyata. Bukalah
matamu. Lihat baik-baik siapa yang sedang berdiri di
hadapanmu!"
"Tidak! Ini baru memasuki hari kesepuluh. Ta-
pa ku belum selesai. Aku tak ingin melanggar perintah
Kakek Gede Panjalu."
"Dengar, Pendekar Patah Hati! Aku datang atas
nama perkumpulan. Itu berarti Kakek Gede Panjalu te-
lah menyetujui. Maka, kau tak perlu ragu. Selesaikan
tapamu cukup sampai di sini!"
Tubuh Wirogundi yang telah mati rasa tampak
bergetar. Perlahan-lahan rasa lahirnya kembali. Dia
dapat merasakan hembusan angin yang menyentuh
kulitnya. Ketika Wirogundi membuka mata, terkejutlah
dia mengetahui tubuhnya dijadikan tempat bertengger
beberapa ekor ular. Dia juga melihat seorang remaja
tampan berdiri tegak di pinggir danau, menatap ke
arahnya. 
"Suropati...," desis Wirogundi.
"Segeralah kau menepi, Pendekar Patah Hati."
Dengan usapan lembut Wirogundi menurunkan bebe-
rapa ekor ular kecil yang bergelayutan di bahu kirinya.
Lalu, dia mengelus pelan ular besar yang melingkar di
pinggangnya. Ular itu menurut saja ketika Wirogundi
membetot tubuhnya untuk dimasukkan ke dalam  air
danau. Sekejap mata kemudian tubuh Wirogundi me-
lesat ke atas dan mendarat ke tepian. Dikenakannya
pakaian yang penuh tambalan, lalu berjalan ke arah
remaja tampan yang sedang menunggunya.
"Apakah Kakek Gede Panjalu tidak akan marah
kau membangunkan aku sebelum waktunya, Suro?"
"Jangan khawatir...," kata si remaja tampan
yang dipanggil Suropati. "Apa yang kulakukan tentu
saja atas persetujuan beliau. Ketahuilah, ada tugas

penting yang harus kau lakukan hari ini juga."
"Tugas apa?"
"Kau tahu Rani Paramita?" tanya si remaja
tampan.
"Putri Prabu Arya Dewantara?"
"Ya. Kau harus membawa gadis itu ke hada-
panku. Kutunggu di sini sampai kokok ayam pertama.
Lewat dari waktu yang telah kutentukan, Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti tak layak menerima kehadi-
ranmu, persaudaraan di antara kita pun harus putus!"
"Suro! Apa yang kau katakan?!" Wirogundi ter-
kejut setengah mati. "Bagaimana aku bisa menculik
putri Prabu Arya Dewantara? Bukankah itu perbuatan
jahat yang akan membuat murka Baginda Prabu?"
"Aku mempunyai urusan dengan Rani Parami-
ta. Kau tak perlu khawatir. Aku tak akan mencelakai
gadis itu."   
"Istana selalu dijaga ketat. Bagaimana kalau
aku ketahuan?"
"Itu aku tak mau tahu. Yang penting, kau ha-
rus membawa Rani Paramita ke tempat ini nanti ma-
lam, sebelum kokok ayam pertama."
"Tapi...."
"Kau bukan orang bodoh. Aku sangat yakin
akan kemampuanmu!" sergah si remaja tampan.
"Tidakkah ini akan mencemarkan nama baik
perkumpulan kita?" Wirogundi mencoba bertanya, 
"Tidak! Segera kau berangkat sekarang. Dan,
tancapkan ini di dinding dalam Istana!"
Sambil berkata demikian, si remaja tampan
mengeluarkan sebilah bambu dari balik bajunya. Se-
paruh panjang bilah bambu dililit selembar kulit
kambing. Tampaknya itu sebuah pesan. Dengan hati
ragu dan penuh tanda tanya, Wirogundi  menerima

pemberian si remaja tampan.
"Pesan ini sangat rahasia, Pendekar Patah Hati.
Hanya orang istana yang boleh mengetahuinya" Wiro-
gundi mengangguk pelan. "Berangkatlah sekarang.
Semoga Tuhan melindungimu...."
Wirogundi menatap dalam-dalam wajah si re-
maja tampan
"Aku sadar sepenuhnya hati kecilku menolak
untuk melaksanakan perintahmu. Tapi, apa boleh
buat. Aku tak mau meninggalkan Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti. Terlebih memutuskan tali per-
saudaraan di antara kita, Suro...."
Selesai berkata, Wirogundi segera membalikkan
badan dan berkelebat cepat meninggalkan Danau Ular. 
"Tuhan melindungimu, Pendekar Patah Hati!"
Teriakan si remaja tampan menggema, mengi-
ringi kelebatan tubuh Wirogundi.

***