Pengemis Binal 10 - Cinta Bernoda Darah(2)




Dalam waktu yang bersamaan Saka Purdianta
telah sampai di lambung kapal. Dengan mengerahkan
ilmu peringan tubuh, dia menjejak pasir pantai hingga
tubuhnya melayang ke atas. Kedua tangannya lalu
menangkap pagar sisi kapal. Perlahan-lahan kepala
pemuda tampan itu menyembul. Perkiraannya tepat,
para dayang Anggraini Sulistya berada di anjungan.
Jadi, tak satu pun awak kapal yang mengetahui keha-
dirannya.
Beberapa lama Dewa Guntur menggelantung
diam dengan mata terpejam. Walaupun kedudukannya
sulit, dia berusaha sekuat tenaga menghimpun selu-
ruh kekuatan batinnya. Dan, saat pemuda tampan itu
membuka mata, dia menyunggingkan senyum lebar.
"Aku telah mengetrapkan ilmu 'Penghilang
Tanda Kehidupan'," kata Saka Purdianta dalam hati.
Anggraini Sulistya dan seluruh dayangnya tak akan

mendengar dengus napas dan detak jantungku. Jan-
gankan manusia, serigala yang mempunyai indera
penciuman sangat tajam pun tak akan tahu aku bera-
da di dekatnya."
Dewa Guntur lalu meloncat tinggi. Setelah ber-
salto beberapa kali di udara, dia mendarat di atas atap
ruangan besar yang terletak di tengah kapal. Tubuh
pemuda tampan itu terlihat limbung, lalu jatuh terdu-
duk. Walaupun tubuh Dewa Guntur telah hilang tanda
kehidupannya, tapi dia khawatir juga gerakannya me-
nimbulkan suara.
Buru-buru Saka Purdianta mendekap mulut-
nya yang hendak mengeluarkan keluhan. Terlihat dari
sela-sela jari pemuda tampan itu meleleh darah segar.
Tampaknya dia sedang menderita luka dalam.
"Keparat kau, Aini!" umpat Dewa Guntur dalam
hati. "Rupanya kau ingin membunuhku. Akan kuhan-
curkan Kecapi Maut-mu, seperti aku menghancurkan
orang-orang yang berkeinginan memiliki mu!"
Di atas atap ruangan itu Saka Purdianta duduk
bersila dengan mata terpejam. Tangannya bersedekap
di dada. Dia sedang menghimpun hawa murni untuk
mengatasi luka dalamnya.
Saat pemuda tampan itu membuka mata, ter-
dengar olehnya suara pertempuran di bawah atap yang
sedang ditempati. Kemudian, Saka Purdianta membuat
lubang pada atap yang terbuat dari bilah papan den-
gan menggunakan jari telunjuk yang dialiri tenaga da-
lam.
Para dayang Anggraini Sulistya yang juga men-
dengar suara pertempuran langsung meloncat masuk
ke dalam ruangan besar.
"Kalian kembalilah ke  tempat semula!" bentak
Putri Cahaya Sakti. "Aku sedang berlatih dengan Suro-

pati."
Mendengar itu, wanita-wanita cantik yang su-
dah berada di ambang pintu langsung berloncatan
kembali untuk berdiri di pagar anjungan.
"Kau jangan terus menghindar, Suro!" bentak
Anggraini Sulistya. "Balaslah seranganku bila kau tak
ingin mati penasaran!"
"Tidak, Aini!" kata Pengemis Binal dengan sinar
mata redup. Pemuda itu menyimpan rasa khawatirnya.
"Kita baru berjumpa, kenapa menanam bibit permu-
suhan?"
"Aku tidak menanam bibit permusuhan den-
ganmu, Suro! Aku hanya ingin tahu, seberapa tinggi
kepandaianmu?"
"Aini...," desis Suropati. "Walaupun gadis itu
menyerangku dengan penuh nafsu, tapi aku dapat me-
lihat suatu tabir gelap menutupi mata hatinya. Entah
apa yang berada di balik pikirannya...,"
Pengemis Binal tak mempunyai waktu untuk
berpikir lebih panjang. Anggraini Sulistya telah men-
gayunkan kaki kanan yang dibarengi totokan maut ke
arah ubun-ubun.
"Aini...!" pekik remaja konyol itu seraya berkelit. 
"Jangan sebut namaku!"
Putri Cahaya Sakti melanjutkan serangannya
yang gagal. Mendadak, dari sekujur tubuh gadis cantik
itu memancar cahaya perak yang sangat menyilaukan
mata.
Suropati terkejut. Cepat-cepat dia memalingkan
muka seraya menutupi matanya dengan telapak tan-
gan karena merasakan pedih yang sangat.
Dhes...!
"Argh...!"
Tubuh Pengemis Binal terhempas ke lantai.

Tendangan Anggraini Sulistya bersarang tepat di da-
danya. Ketika remaja konyol itu hendak bangkit, ca-
haya perak yang memendar ke seluruh ruangan masih
menyakitkan pandangan. Kesempatan itu tak disia-
siakan Putri Cahaya Sakti. Seluruh kekuatan tenaga
dalamnya segera disalurkan ke tangan kanan. Lalu di-
cengkeramnya tengkuk Suropati!
Namun, remaja konyol itu masih sempat meng-
hindar dengan menggulingkan tubuhnya ke kanan.
Punggung bajunya saja yang koyak terenggut jemari
Anggraini Sulistya.
"Rupanya kepandaian Pemimpin Perkumpulan
Pengemis tongkat Sakti hanya sampai di situ!" sindir
Putri Cahaya Sakti. "Nah, sekarang nikmati sebuah
irama merdu dari kecapi ku!"
Dalam keadaan berdiri limbung dan mulut be-
lepotan darah, Pengemis Binal melihat cahaya perak
yang memancar dari sekujur tubuh Anggraini Sulistya
mendadak sirna. Terlihat kemudian gadis cantik itu te-
lah memegang alat musik kecapi.
Selintas senyum manis tersungging di bibir Pu-
tri Cahaya Sakti. Matanya menatap tajam ke arah Su-
ropati. Dan, jemari tangannya siap melantunkan irama
Kecapi Mautnya!
"Tunggu...!" pekik Pengemis Binal.
Anggraini Sulistya tersenyum tipis. "Karena kau
tidak mau membalas seranganku, dengan kecapi inilah
aku akan memaksamu untuk memberikan perlawa-
nan."
"Tidak, Aini! Aku tidak akan melawanmu!
Sungguh, aku rela mati di tanganmu. Tapi aku mohon
kau sudi menjawab beberapa pertanyaanku terlebih
dahulu."
"Tidak! Aku tak sudi menuruti apa yang kau

minta, sebelum kau bersumpah akan bertempur mati-
matian denganku!"
"Aini...."
Mendadak, tubuh Suropati melorot ke lantai.
Dijambak-jambak rambutnya. Setelah menjerit keras
dia memukul-mukul lantai kapal hingga timbul suara
berderak-derak.
"Cih! Nama besar Pemimpin Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti ternyata tak lebih baik dari seekor
monyet kecil!"
"Aini.... Aku merasa seperti pernah berjumpa
denganmu. Hati kecilku pun mengatakan kau orang
yang sangat dekat dalam hidupku. Aku tak tahu men-
gapa mempunyai perasaan demikian? Apakah kau juga
merasakannya, Aini?"
Anggraini Sulistya mendengus. Seperti hendak
mengusir ketidakmengertiannya. Kepalanya digeleng-
gelengkan.
"Jawablah, Aini! Apakah kau juga merasakan
hal yang aku rasakan?"
"Tidak!" jawab Putri Cahaya Sakti dengan suara
keras. "Buka telingamu baik-baik, Suro. Akan ku per-
dengarkan kepadamu sebuah irama merdu yang akan
mengantarkan jiwamu ke surga!"
Usai mengucapkan kalimatnya, gadis cantik itu
menggerakkan jemari tangannya. Sebuah petikan ke-
capi berirama lembut segera terdengar.
"Aini...," desis Suropati. Tangannya menggapai,
seperti menyuruh Anggraini Sulistya untuk menghen-
tikan petikan kecapinya. Tapi, gadis cantik itu hanya
mengerling. Jemari tangannya terus bergerak lincah.
Sebentar kemudian, lantunan irama kecapi
yang  merdu dirasakan Suropati sebagai hujan petir.
Kekuatan dahsyat dari irama Kecapi Maut milik

Anggraini Sulistya dapat disalurkan sedemikian rupa.
Hanya orang yang dimaksudnya lah  yang merasakan
siksaan. Sedangkan orang lain tetap mendengarnya
sebagai lantunan irama merdu mendayu-dayu.
Tubuh Pengemis Binal tergetar hebat. Keringat
bercampur darah berlelehan dari hampir sekujur tu-
buh. Tak terkecuali dari lubang hidung, telinga, dan
mulutnya. Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu mencoba untuk tak mengeluarkan suara jeri-
tan. Padahal siksaan yang menderanya dirasakan se-
perti siksaan di neraka.
Tubuh remaja tampan itu terus bergetaran. Da-
lam keadaan demikian tak tampak sedikit pun sifat
konyolnya. Akibat getaran keras yang terjadi, baju
yang dikenakannya semakin koyak-koyak.
Nyawa Suropati bagai telur di ujung tanduk ke-
tika tiba-tiba muncul kekuatan bawah sadar yang me-
nyuruhnya untuk bangkit. Remaja tampan itu terlihat
terhuyung-huyung. Tangan dan kakinya digerak-
gerakkan seperti sedang menari, mengikuti irama yang
dilantunkan kecapi Anggraini Sulistya.
Pengemis Binal dapat bertahan hingga bebera-
pa lama. Putri Cahaya Sakti mendengus, lalu menam-
bah kekuatan Kecapi Mautnya!
Terlihatlah kini tubuh Suropati berjumpalitan,
menjejak dinding ruangan secara bergantian, bersalto
di udara, kemudian berjumpalitan lagi di lantai ruan-
gan. Karena gerakan-gerakan itulah, baju Suropati
tanggal hingga membuatnya bertelanjang dada. Tam-
paklah kulitnya yang semula putih-bersih memerah
bersimbah darah!
Pada suatu gerakan yang masih dilakukan da-
lam keadaan bawah sadar, punggung kiri Pengemis
Binal menggores dinding ruangan. Cairan darah yang

melekat jadi hilang.
"Dewata Agung...!" desis Putri Cahaya Sakti.
Ia melihat toh sebesar uang logam kecil di
punggung kiri Suropati. Ditubruknya tubuh Suropati
yang tergeletak pingsan.
"Suro...!" jerit Anggraini Sulistya. Dengan kalap
dibalikkannya tubuh Suropati. Lalu mengusap-usap
toh di punggung remaja tampan itu. "Kau... kau adik-
ku, Suro...," ratap Putri Cahaya Sakti. Suaranya mirip
rintihan orang sakit. "Kau... kau putra Ayahanda Pra-
bu Singgalang Manjunjung Langit...."
Tentu saja Pengemis Binal yang pingsan tak
mendengar ucapan gadis cantik itu. Anggraini Sulistya
segera menotok beberapa aliran darah di tubuh Suro-
pati.
"Aduh...! Argh...!"
Suropati menggeliat. Ketika membuka mata,
terkejutlah dia mendapatkan dirinya sedang dipeluk
Putri Cahaya Sakti.
"Apa... apa yang yang kau.... Uoookkk...!" Pen-
gemis Binal tak dapat melanjutkan kalimatnya. Darah
segar keburu menyembur dari mulutnya, mengotori
pakaian Anggraini Sulistya.
"Kau adikku, Suro. Kau putra Ayahanda Prabu
Singgalang Manjunjung Langit!"
"Ak... aku tak tahu apa yang kau maksud." Da-
rah segar kembali menyembur dari mulut Suropati.
Putri Cahaya Sakti segera menotok beberapa aliran da-
rah di sekitar dada remaja tampan itu.
"Suro!" panggil Anggraini Sulistya. "Kau men-
dengar apa yang kukatakan?"
Pengemis Binal mengangguk lemah. Tapi segera
kepalanya digelengkan. "Aku tak tahu apa yang kau
maksud," ucapnya pelan.

"Kau adikku, Suro! Kau putra Ayahanda Prabu
Singgalang Manjunjung Langit!"
Suropati menggeleng, lalu tubuhnya terkulai.
Pingsan!
Anggraini Sulistya menjerit keras. Air matanya
sudah tak mungkin dibendung lagi. Seperti orang kehi-
langan ingatan, gadis cantik itu menangis sambil men-
dekap erat tubuh Suropati yang belepotan darah.
Sementara itu, para dayang yang sedang berdiri
di pagar sisi kapal terkejut mendengar tangisan
Anggraini Sulistya.
"Apa yang terjadi, Andini?" tanya Purbawati.
Temannya itu cuma mengangkat bahu. "Sudahlah, kita
tak perlu ikut campur urusan Tuan Putri. Beliau su-
dah mengatakan kalau sedang berlatih dengan Suro-
pati. Tuan Putri tak akan apa-apa," ujar Andini beru-
saha bersikap bijaksana.
Mendengar ucapan Andini, semua dayang men-
jadi diam. Tapi tanpa sepengetahuan mereka bahaya
sedang mengancam jiwa Putri Cahaya Sakti....
Sinar mata Saka Purdianta atau Dewa Guntur
berkilat tajam. Giginya gemeletuk dengan rahang men-
geras. Apa yang dilihatnya dari atap ruangan membuat
darah putra Tumenggung Sangga Percona itu mendi-
dih. Anggraini Sulistya yang menangis sambil memeluk
tubuh seorang remaja tampan mengundang rasa cem-
buru Saka Purdianta. Cemburu yang berubah menjadi
hawa amarah.
"Aini...," kata Dewa Guntur dalam hati. "Kau te-
lah menyia-nyiakan cintaku yang tulus. Sakit hatiku
lebih  pedih dari sayatan seribu pedang. Namun, aku
tak ingin melihatmu sengsara, Aini. Matilah kau, Gem-
bel Busuk!"
Pemuda tampan itu meraba-raba ikat ping-

gangnya. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan,
dipukulnya atap ruangan dengan kekuatan penuh!
Braaakkk...!
Atap yang terbuat dari bilah-bilah papan itu
ambrol. Tubuh Saka Purdianta meluncur turun seraya
menggerakkan tangan kanan.
Tak ada suara yang terdengar ketika Suropati
tersentak dari pingsannya. Mata remaja tampan itu
terbelalak lebar. Tubuhnya pun lepas  dari pelukan
Anggraini Sulistya. Dan jatuh, tak bergerak-gerak lagi.
Di pelipis kanannya tertancap sebatang jarum hitam
yang mempunyai daya bunuh sangat ganas!
"Suro...!" jerit Putri Cahaya Sakti.  
Gadis cantik itu mengguncang-guncangkan tu-
buh Pengemis Binal yang telah mengejang. Ia hendak
menyadarkan remaja tampan itu. Namun, cengkera-
man yang sangat kuat telah menariknya. Tubuh
Anggraini Sulistya terlontar membentur dinding ruan-
gan hingga jebol!
Para dayang terkejut bukan main. Mereka ber-
loncatan untuk mengetahui apa yang terjadi. Sebagian
memasuki ruangan besar, dan sebagian lagi meng-
hampiri tubuh Putri Cahaya Sakti yang tergeletak di
atas geladak.
"Saka Purdianta masih hidup. Bunuh dia!" pe-
rintah Anggraini Sulistya sambil meloncat bangkit.
Namun, sikap berdirinya tidak sempurna. Punggung-
nya yang membentur dinding ruangan membuat gadis
cantik itu sulit bernapas. Matanya terasa berkunang-
kunang.
"Tuan Putri tidak apa-apa?" tanya salah seo-
rang dayang.
Anggraini Sulistya menggeleng. "Bunuh Saka
Purdianta! Dia telah melukai Suropati dengan Jarum

Hitam," katanya kemudian.
Putri Cahaya Sakti lalu jatuh terduduk. Ia me-
muntahkan darah segar!
"Putri...!" jerit beberapa dayang, menyimpan ra-
sa khawatir yang sangat.
Anggraini Sulistya mendelik. "Kenapa diam sa-
ja?! Cepat laksanakan perintahku!"
Walaupun masih mengkhawatirkan Putri Ca-
haya Sakti yang menderita luka dalam, para dayang
segera menghemposkan tubuh mereka menerjang Saka
Purdianta! Sementara, Anggraini Sulistya langsung
bersila dan menghimpun hawa murni. Luka dalam ga-
dis cantik itu bukan disebabkan oleh benturan pada
punggungnya, melainkan akibat totokan pada tengkuk
yang dilancarkan Saka Purdianta.
Dewa Guntur yang sudah tahu Putri Cahaya
Sakti mempunyai kepandaian untuk melepaskan toto-
kan, sengaja melancarkan totokan ke tengkuk. Aliran
darah yang menuju ke otaknya akan langsung terhen-
ti. Bila dibarengi dengan benturan keras pada pung-
gung, akan mengakibatkan luka dalam yang cukup pa-
rah!
Setelah berhasil menghimpun seluruh hawa
murninya, Anggraini Sulistya mengusap-usap tengkuk.
Kemudian dilanjutkan dengan sebuah totokan.
"Uoookkk...!"
Darah kental menyembur dari mulut gadis can-
tik itu. Aliran darah yang menuju ke otak telah lancar
kembali.
Begitu dia hendak bangkit, keterkejutan segera
menghantam! Tubuh salah seorang dayangnya me-
layang dari dalam ruangan. Setelah menjebolkan dind-
ing, tubuh itu jatuh tergeletak di hadapan Putri Ca-
haya Sakti!

"Bangsat!" umpat gadis cantik itu seraya meng-
hemposkan tubuh.

4

Seorang pemuda bertubuh tinggi tegap tampak
berjalan menyusuri pantai. Pakaiannya sederhana,
berwarna putih-kuning dengan ikat pinggang kain me-
rah. Angin laut yang berhembus kencang memainkan
anak-anak rambutnya yang dibiarkan tergerai. Wajah
si pemuda sangat tampan. Walaupun matanya berso-
rot tajam, namun bibirnya yang kemerahan selalu
mengisyaratkan keteduhan. Usianya ditaksir sekitar
dua puluh lima tahun. Dia adalah Raka Maruta atau
Pendekar Kipas Terbang.
Setelah mengorbankan diri bersama si Wajah
Merah, Raka Maruta mati suri atas usahanya untuk
menyelamatkan nyawa Suropati di dalam sebuah gua
di Bukit Rawangun. Karena dianggap telah berjasa dan
sebagai tanda penghormatan, seorang brahmana yang
bernama Tuhisa Brama berkenan menghadiahkan se-
botol kecil air sakti kepada Suropati. Dan, pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu mempergu-
nakannya untuk mengembalikan roh Raka Maruta dan
si Wajah Merah yang lepas dari raga. (Untuk lebih je-
lasnya, Raka Maruta alias Pendekar Kipas Terbang si-
lakan baca serial Pengemis Binal episode 'Tabir Air
Sakti')
Raka Maruta yang kehilangan senjata andalan-
nya setelah bertempur dengan Sekar Mayang atau si
Penghimpun Angkara, kemudian memesan sebuah ki-
pas baja putih kepada seorang ahli pembuat senjata di
suatu tempat tak jauh dari Pantai Pasir Putih.

Terlihat Raka Maruta telah mengeluarkan kipas
dari balik bajunya. Kipas itu diamat-amatinya seben-
tar. "Ehm.... Empu Danurabansa memang seorang ahli
pembuat senjata yang handal. Dia bisa membuat lem-
pengan baja putih yang sangat tipis, sehingga kipas ini
terasa sangat ringan. Tak salah bila guruku yang ber-
gelar si Kipas Sakti sangat mengagumi kepandaian-
nya."
Pendekar Kipas Terbang terus berjalan menyu-
suri pantai sambil menimang-nimang senjata andalan-
nya. Sesekali terlihat pemuda berwajah lembut itu
menghemposkan tubuhnya. Setelah bersalto beberapa
kali di udara, dia melontarkan kipas baja putihnya. Ki-
pas itu melesat cepat, hingga menjadi kilatan putih
yang hampir kasatmata. Begitu kaki Raka Maruta
menjejak pasir, telapak tangan disorongkan. Menda-
dak, kipas baja putih yang sedang melesat cepat ber-
tahan di udara. Dan ketika Raka Maruta melompat-
lompat seraya menggerakkan tangan kanan, kipas itu
melayang-layang mengitari tubuh Raka Maruta. 
"Haya...!"
Dibarengi teriakan demikian, tubuh Pendekar
Kipas Terbang meluncur kemudian menangkap senjata
andalannya. Luncuran tubuh pemuda berwajah lem-
but itu tegak lurus ke atas. Kemudian, dia bersalto tiga
kali sebelum melesat ke bawah dengan sangat cepat.
Srash...! Srash...!
Ketika kipas baja putih menyentuh permukaan
pasir, tubuh Raka Maruta berputar seperti gangsing.
Butiran pasir berhamburan mengaburkan pandangan!
Sebentar kemudian, pemuda tampan itu me-
nyunggingkan senyum lebar. Ditatapnya kubangan pa-
sir dihadapannya yang cukup dalam untuk mengu-
burkan bangkai seekor gajah.

"Atas petunjuk Eyang Guru, aku telah dapat
menyempurnakan tenaga dalamku," kata Pendekar Ki-
pas Terbang. "Semula untuk mengendalikan senjata
andalanku, aku mesti menggunakan seutas tali baja.
Tapi sekarang tidak. Dengan tenaga isap, Kipas Sakti
dapat kulontarkan ke mana saja aku suka. Kemudian
menangkapnya kembali tanpa menggeser kedudukan
tubuh."
Sekali lagi pemuda berwajah lembut itu melon-
tarkan senjata andalannya. Kipas baja putih melesat
cepat. Ketika Raka Maruta menyorongkan telapak tan-
gan, kipas yang sedang melesat mendadak tertahan.
Lalu melesat kembali dan jatuh tepat pada genggaman
Raka Maruta.
"Terima kasih, Eyang...," desis pemuda berwa-
jah lembut itu. 
Pendekar Kipas terbang kemudian berlari-lari
kecil sambil terus menyunggingkan senyum lebar. Se-
telah melewati julangan batu karang yang berjajar
tinggi, dia tercekat. Nun jauh di sana Raka Maruta me-
lihat sebuah kapal berbentuk burung rajawali tampak
sedang berlabuh.
"Seperti kapal orang asing...," gumam Pendekar
Kipas Terbang. "Aku akan melihat lebih dekat."
Kaki pemuda berwajah lembut itu menjejak pa-
sir. Tubuhnya melesat cepat seringan kapas. Hanya
beberapa tarikan napas saja, dia telah berada di satu
titik garis tegak lurus yang menghubungkan garis pan-
tai dengan letak kapal.
Kening Raka Maruta berkerut. Suara ledakan
ditangkap dengan jelas oleh telinga pemuda berwajah
lembut itu. Terlihat ruangan yang terletak di tengah
kapal hancur berantakan. Samar-samar juga terdengar
jerit kesakitan yang menyayat hati.

"Sebuah pertempuran yang memakan kor-
ban...," gumam Pendekar Kipas Terbang. "Mungkinkah
di atas kapal itu ada seorang tokoh jahat yang sedang
menyebar kematian? Ah, aku tak bisa membiarkan da-
rah orang tak berdosa tumpah."
Berpikir demikian, pemuda berwajah lembut itu
segera menghemposkan tubuh. Dia berlari cepat di
atas air pantai.
Sementara di atas kapal, dayang-dayang
Anggraini Sulistya atau Putri Cahaya Sakti yang semu-
la berjumlah belasan orang kini tinggal empat saja.
Mereka adalah Andini, Purbawati, Saptini, dan Heksa-
ni. Yang lain terkapar di geladak kapal dalam keadaan
tanpa nyawa. Walaupun Saka Purdianta atau si Dewa
Guntur masih belum sembuh benar dari luka dalam-
nya, namun pemuda tampan berpakaian serba hijau
itu sama sekali tak terganggu.
Kibasan telapak tangannya selalu menimbul-
kan suara gemuruh keras. Juga gerakan kakinya yang
berputaran dan sesekali melejit, hingga membuat tu-
buh kapal terombang-ambing bagai diterpa ombak be-
sar. Pantas bila putra Tumenggung Sangga Percona itu
dijuluki Dewa Guntur.
Putri Cahaya Sakti yang dibantu keempat
dayangnya berusaha mati-matian untuk segera me-
nyudahi riwayat Saka Purdianta. Anggraini Sulistya
sudah mengeluarkan ilmu andalannya, yakni ilmu
'Cahaya Sakti' yang membuat sekujur tubuh gadis
cantik itu terselubungi cahaya perak menyilaukan ma-
ta. Tapi karena dia sedang menderita luka dalam, ge-
rakan Putri Cahaya Sakti tidak seberapa gesit
"Jangan paksa aku menjatuhkan tangan maut,
Aini!" teriak Dewa Guntur seraya berkelit dari tendan-
gan Andini yang mengarah ke kepalanya. "Perintahkan

dayang-dayangmu untuk menyingkir, Aini!"
"Tidak, Tuan Putri!" sahut Purbawati. "Teman-
teman kami telah banyak yang mati. Kami akan me-
nuntut balas!"
"Ha-ha-ha...." Dewa Guntur tertawa bergelak.
"Ucapanmu sungguh lucu, Purbawati. Kau hendak
menuntut balas kepada siapa? Kalau kau tidak segera
menyingkir, justru Malaikat Kematian akan menjem-
put nyawamu!"
Pemuda tampan itu kemudian membuat ten-
dangan melingkar yang dibarengi sorongan telapak
tangan. Purbawati yang berada paling dekat cepat-
cepat meloncat ke belakang. Tendangan Saka Purdian-
ta pun luput. Namun, malang bagi Saptini. Serang-
kaian angin pukulan yang muncul dari telapak tangan
kanan Dewa Guntur bersarang tepat di dadanya. Aki-
batnya, tubuh wanita naas itu terloncat lalu tercebur
ke laut dalam keadaan hancur!
"Bangsat!" pekik Anggraini Sulistya.
Tubuh gadis cantik yang terselubung cahaya
perak itu berkelebat cepat. Di atas Kapal Rajawali itu
timbul lesatan-lesatan cahaya yang menyilaukan mata.
Tubuh Putri Cahaya Sakti mendadak lenyap, tertelan
lesatan-lesatan cahaya itu.
Dewa Guntur yang tak mengetahui di mana
Anggraini Sulistya berada segera menghemposkan tu-
buhnya ke atas.
"Heaaa...!"
Sembari berteriak demikian, Saka Purdianta
mengibaskan kedua telapak tangannya secara bersa-
maan. Timbul pendaran cahaya hitam. Dalam keadaan
masih melayang di udara, mata pemuda tampan itu
dapat melihat sosok Anggraini Sulistya sedang menge-
jar lesatan tubuhnya. Dewa Guntur segera menepuk-

kan telapak tangan. 
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat membahana. Kilatan cahaya
kuning kemerahan menyambar tubuh Anggraini Sulis-
tya. Wanita cantik itu jatuh berdebam di atas geladak.
"Tuan Putri...!" jerit ketiga dayang Anggraini Su-
listya yang masih tersisa.
Tiga wanita cantik itu menubruk tubuh junjun-
gannya yang tergeletak lemah dengan baju penuh noda
darah. Pertempuran langsung terhenti. Namun, suasa-
na yang sunyi segera dipecahkan oleh tawa kemenan-
gan Saka Purdianta.
"Kalau aku mau, aku bisa membunuhmu, Aini!
Tapi itu tidak akan kulakukan. Aku mencintaimu.
Sungguh aku mencintaimu, Aini!"
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Putri
Cahaya Sakti. Matanya yang berkilat tajam menggam-
barkan isi hati gadis cantik itu. Betapa marah dan ge-
ramnya dia. Dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaga
Anggriani Sulistya menyorongkan telapak tangan.
Maksudnya hendak melancarkan pukulan jarak jauh.
Namun, tangan gadis cantik itu segera jatuh terkulai.
Dia tak mempunyai kekuatan lagi!
Jerit keras tiga dayang membarengi Putri Ca-
haya Sakti yang jatuh pingsan. Cukup lama wanita-
wanita cantik itu memeluk tubuh junjungannya. Keti-
ka mereka sadar Saka Purdianta masih berada di atas
kapal, Andini dan kedua temannya segera bangkit me-
nerjang.
"Perempuan Edan! Rupanya kalian benar-benar
merindukan Malaikat Kematian!" hardik Dewa Guntur.
Pemuda tampan itu tak mau membuang-buang
tenaga. Dilontarkannya tiga Jarum Hitam ke tubuh
dayang-dayang Putri Cahaya Sakti yang masih me-

layang di udara.
"Argh...!"
Purbawati dan Heksani tersentak. Tubuh mere-
ka jatuh berdebam di atas geladak dalam keadaan ka-
ku kejang. Mata kedua wanita cantik itu mendelik
dengan mulut ternganga. Pangkal leher mereka ter-
tembus Jarum Hitam yang dilontarkan Saka Purdian-
ta.
Andini terlihat bersalto beberapa kali di udara.
Setelah berhasil menjejakkan kakinya ke geladak, wa-
nita cantik itu terkejut setengah mati melihat tubuh
Putri Cahaya Sakti tersentak, kemudian mengejang
dengan mata mendelik dan mulut menganga lebar.
Apa yang terjadi? Ketika Jarum Hitam yang di-
arahkan ke pangkal leher Andini meluncur cepat, wa-
nita cantik itu menyampok dengan telapak tangan
yang dialiri seluruh tenaga dalam. Luncuran Jarum Hi-
tam jadi melenceng. Malang bagi Anggraini Sulistya.
Putri Prabu Singgalang Manjunjung Langit yang se-
dang pingsan itu menjadi sasaran senjata rahasia Saka
Purdianta. Jarum Hitam yang mengandung racun san-
gat ganas menancap di bahu kiri Anggraini Sulistya!
"Tuan Putri.... Tuan Putri...."
Andini memeluk erat tubuh Putri Cahaya Sakti.
Air mata dayang yang sangat setia itu tumpah deras.
Tangisnya terisak keras, penuh rasa sesal.
Saka Purdianta berdiri terpaku di tempatnya.
Gadis yang sangat dicintainya telah menjadi korban
senjata rahasianya sendiri. Pemuda tampan itu tiba-
tiba menjadi linglung. Tak tahu apa yang mesti diper-
buat. Namun, tiba-tiba dia menjerit keras seraya me-
lancarkan pukulan jarak jauh pada ruangan yang be-
rada di tengah kapal.
Suropati atau si Pengemis Binal tergeletak kaku

di ujung buritan setelah dilontarkan tenaga ledakan
pukulan jarak jauh Saka Purdianta. Tubuh Suropati
terbujur kaku. Sama sekali tak menunjukkan gerak
kehidupan. Matanya mendelik. Mulutnya menganga
lebar. Seluruh kulitnya yang bersimbah darah mem-
buat ngeri siapa saja yang memadangnya.
"Iblis Laknat!" teriak Dewa Guntur begitu keras.
"Semua ini gara-gara kau, Andini!" 
Satu-satunya dayang Anggraini Sulistya yang
masih tersisa itu meloncat bangkit. Ditatapnya wajah
Saka Purdianta dengan sinar mata berapi-api. Gejolak
amarah menguasai seluruh urat syarafnya. Saka Pur-
dianta pun balas menatap. Tak kalah garangnya. Da-
rah pemuda itu menggelegak naik sampai ke ubun-
ubun. Matanya memerah menyimpan amarah yang
sangat.
"Aku akan mencincang tubuhmu, Andini!"  ge-
ram Dewa Guntur.
"Aku pun akan mecongkel matamu, Lelaki Ja-
hanam!" sambut Andini lebih seram. "Walaupun aku
tak dapat membunuhmu, tapi Baginda Prabu akan
murka setelah mengetahui putri tunggalnya mendapat
celaka. Ini berarti kematian bagimu!"
Saka Purdianta mendengus keras. Kemudian
diterjangnya Andini. "Terimalah kematianmu terlebih
dahulu!"
Andini yang mempunyai kepandaian lebih ting-
gi dari dayang-dayang lain segera menghemposkan tu-
buh. Lewat sodokan kaki kanan ke dada, dia memapak
terjangan Saka Purdianta.
Dhes...!
Kaki kanan wanita cantik itu membentur tela-
pak tangan Dewa Guntur yang dialiri tenaga dalam pe-
nuh. Tubuh Andini langsung terpelanting ke kanan

dan membentur pagar sisi kapal hingga patah!
Sebelum kecebur ke laut, Andini melentingkan
tubuhnya. Ia berusaha menyarangkan pukulan ke da-
da lawan. Tapi, Saka Purdianta telah menyiapkan se-
rangan mendadak. Tubuh pemuda tampan itu melun-
cur cepat. Kepalan tangannya akan segera meremuk-
kan kepala Andini.
Tiba-tiba, sebuah kilatan cahaya perak meng-
hentikan gerak tubuh Dewa Guntur!
Siiing...!
Terkejutlah pemuda tampan itu. Tahu-tahu da-
da kirinya telah robek dan mengucurkan darah segar.
Matanya yang sudah melotot semakin melotot lebar
seperti hendak keluar dari rongganya. Di hadapan Sa-
ka Purdianta telah berdiri seorang pemuda berpakaian
putih-kuning dengan ikat pinggang sehelai kain merah.
Tangan kanannya memegang sebuah kipas dari baja
putih. Dialah Raka Maruta atau Pendekar Kipas Ter-
bang.
Andini yang telah terluka menubruk pergelan-
gan kaki Raka Maruta. "Tuan Pendekar, tolonglah
Tuan Putri. Beliau putri tunggal Baginda Prabu Sing-
galang Manjunjung Langit. Beliau telah terkena Jarum
Hitam...," ratap gadis cantik itu.
Pendekar Kipas Terbang mengarahkan pandan-
gannya ke tempat yang ditunjukkan Andini. Terlihat
oleh pemuda berwajah lembut itu tubuh Anggraini Su-
listya tergeletak kaku di atas geladak,
"Cepatlah, Tuan Pendekar. Racun Jarum Hitam
mempunyai daya bunuh yang sangat ganas," ratap
Andini lagi.
Raka Maruta mengambil napas panjang. Ketika
pandangannya bersirobok dengan sesosok tubuh ber-
lumuran darah yang tergeletak di ujung buritan, terke-

jutlah dia.
"Suropati...!" desis pemuda berwajah lembut
itu.
Walaupun sekujur tubuh Pengemis Binal begitu
babak belur, Raka Maruta masih dapat mengenali.
Dan bagi Raka Maruta, Suropati bukan hanya sekadar
sahabat. Dia telah menganggapnya sebagai adik sendi-
ri. Maka, bimbanglah hati pemuda berwajah lembut
itu. Menolong junjungan dayang yang sedang meratap-
ratap itu, atau Suropati?
Namun, tak ada waktu banyak bagi Pendekar
Kipas Terbang untuk berpikir. Saka Purdianta telah
melancarkan pukulan jarak jauhnya.
Blaaammm...!
Setelah mendorong tubuh Andini yang meme-
luk kakinya, Raka Maruta meloncat. Pukulan jarak
jauh Dewa Guntur hanya mengenai air laut, hingga
menimbulkan gelombang besar yang membuat tubuh
kapal oleng.
Sesosok bayangan tiba-tiba muncul melesat
sangat cepat. Sosok itu menyambar tubuh Suropati
yang tergeletak di ujung buritan. Dibawanya tubuh
Pengemis Binal melesat ke tengah samudera.
"Cepatlah tolong Tuan Putri, Tuan Pendekar!"
teriak Andini. "Aku akan menghalangi manusia iblis
itu!"
Pendekar Kipas Terbang sendiri sedang bingung
karena melihat Suropati telah disambar seseorang
yang tidak diketahui maksudnya. Mau tidak mau ia
pun segera menyambar tubuh Anggraini Sulistya yang
tergeletak di geladak.
Sepeninggal Raka Maruta, dengan tak mempe-
dulikan keselamatan diri Andini menyerang Saka Pur-
dianta. Tangan dan kakinya yang berkelebatan tak ten-

tu arah. Andini yang sudah kalap menyerang Saka
Purdianta secara membabi buta. Saat ketika pemuda
tampan itu berusaha menyarangkan tendangan ke da-
da, Andini mendengus keras, lalu membalas dengan
tendangan. Dewa Guntur yang tak mau kaki lawan
menyentuh tubuhnya segera menarik kembali seran-
gannya. Kemudian, dengan menjatuhkan diri diceng-
keramnya pinggang Andini. 
Bret...!
Tubuh Andini yang meluncur mengikuti gerak
kaki kanannya membuat cengkeraman Saka Purdianta
melenceng. Kain bawah pakaian wanita cantik itu
koyak lebar.
"Ha-ha-ha...."
Dewa Guntur tertawa terbahak-bahak. Matanya
melotot menyaksikan  paha mulus Andini. Darah pe-
muda tampan itu jadi berdesir aneh. Ada kekuatan
menghentak-hentak yang membangkitkan kelelakian-
nya. Saka Purdianta pun lupa pada kemarahannya.
Bayangan Anggraini Sulistya yang terluka akibat Ja-
rum Hitamnya langsung lenyap, berganti dengan sosok
Andini yang sangat cantik dan begitu menarik.
Menyaksikan lawan memelototi tubuh bagian
bawahnya yang terbuka, Andini hanya mendengus. La-
lu, diterjangnya Saka Purdianta dengan tendangan ter-
tuju ke arah kepala!
Gerakan wanita cantik itu justru membuat De-
wa Guntur tersenyum senang. Kaki kanan Andini yang
terangkat naik memaksa kain bawah pakaiannya se-
makin tersingkap. Paha mulus Andini terpampang je-
las. Saka Purdianta terpana, hingga tanpa dia sadari.... 
Dhes...!
Walau tak bersarang tepat pada sasaran, bahu
kiri Dewa Guntur terserempet tendangan yang cukup

telak itu. Saka Purdianta jatuh terjerembab ke geladak.
"Bangsat!" umpat pemuda tampan itu.
"Matilah kau!" balas Andini.
Wanita cantik itu melentingkan tubuhnya.
Dengan kaki kiri sedikit diangkat, kaki kanannya be-
rusaha menginjak dada lawan!
Tapi, Saka Purdianta yang sudah menyadari
keadaan segera menggulingkan tubuhnya ke samping.
Kemudian dengan cepat tangannya bergerak.
Wek...!
Terkejutlah Andini. Kain bawah pakaiannya ti-
ba-tiba lepas terenggut tangan Saka Purdianta. Tubuh
bagian bawah wanita cantik itu kini benar-benar telan-
jang.
"Keparat!" umpat Andini. "Kubeset wajahmu
yang kotor itu!"
"Ho-ho-ho...! Lakukanlah bila kau mampu! Tapi
yang pasti, aku akan senang seandainya kau mau
mendekat kemari....."
Andini langsung duduk bersimpuh di lantai. Ia
tak mau menampakkan bagian tubuhnya yang terla-
rang. Kalau mau mengawali serangannya, tentu dia
harus bangkit terlebih dahulu. Sedangkan kalau berdi-
ri itu sama saja memamerkan sesuatu yang orang lain
tak boleh tahu.
"Ayo, mendekatlah ke mari...," kata Dewa Gun-
tur seraya mengulum senyum lebar. "Segeralah kau
laksanakan kehendakmu, agar secepatnya aku bisa
merasakan kehalusan jemari tanganmu."
Mata Andini melotot lebar menimpali perkataan
Saka Purdianta. Saat pemuda tampan yang sudah di-
rasuki nafsu itu berjalan mendekati, sinar mata Andini
berubah nyalang. Dengan nekat dia memegang kepa-
lanya dengan kedua tangan. Gadis cantik itu menda-

dak bunuh diri dengan mematahkan batang lehernya!
Namun, Dewa Guntur lebih cepat. Ujung jari
tangan kanan dan kirinya berkelebat laksana kilat,
menotok aliran darah di pangkal lengan Andini. Wanita
cantik itu tak dapat lagi menggerakkan kedua tangan-
nya.
Dengan sentakan pelan tubuh Andini telah ter-
baring telentang di geladak. Beberapa lama Saka Pur-
dianta menatap pemandangan indah di hadapannya.
"Bunuh Aku!" hardik Andini dengan gigi geme-
letuk menahan kemarahan. Hatinya jadi tak karuan.
Dia tak bisa membayangkan dirinya akan menjadi kor-
ban kebiadaban Saka Purdianta. Rasa takut  wanita
cantik itu membayang jelas di matanya. Sosok Saka
Purdianta telah berubah menjadi makhluk jahat yang
sangat mengerikan. Lebih menakutkan dari sosok Ma-
laikat Kematian.
"Ho-ho-ho...," tawa Dewa Guntur yang sedang
dalam kegembiraan meluap. "Kenapa kau mesti takut
kepadaku, Andini? Tidakkah kau lihat aku sangat ga-
gah dan tampan? Aku adalah putra Tumenggung
Sangga Percona? Bila aku menginginkan dirimu, bu-
kankah itu merupakan suatu kehormatan bagimu?"
Sinar mata Andini semakin nyalang. Ingin seka-
li rasanya dia merobek-robek mulut Saka Purdianta.
Lalu mencincang tubuh pemuda itu hingga menjadi
serpihan-sepihan daging tak berguna. Namun, semua
itu tak akan mungkin dia lakukan. Totokan Saka Pur-
dianta pada beberapa aliran darah di tubuhnya mem-
buat kedua tangan dan kakinya tak dapat digerakkan.
Perlahan-lahan air mata Andini menetes.
"Bunuh aku...," desis wanita cantik itu penuh
rasa iba.
Mendengar itu, Dewa Guntur tertawa bergelak.

"Baiklah, kalau memang itu kemauanmu!"
Kaki kanan Saka Purdianta bergerak cepat. An-
dini pun memejamkan mata. Dia berharap kaki putra
Tumenggung Sangga Percona itu menginjak kepalanya
hingga pecah. Kematian memang rasanya lebih baik
daripada mendapat perlakuan biadab Saka Purdianta.
Namun, apa yang diharapkan Andini tak menjadi ke-
nyataan. Saat dia membuka mata, terkejutlah wanita
cantik itu melihat bajunya telah tanggal!
"Ha-ha-ha...!"
Tawa Dewa Guntur membahana ke setiap pelo-
sok Pantai Pasir Putih. Begitu terhenti tawa pemuda
tampan berpakaian serba hijau itu, jakunnya terlihat
naik-turun. Hembusan nafasnya terdengar memburu.
Mata pemuda itu tak berkedip menatap buah dada
Andini yang membusung tanpa tertutup selembar kain
pun.
"Jangan pandang aku seperti itu, Jahanam!"
pekik Andini.
Saka Purdianta malah tersenyum senang. Per-
lahan-lahan dia merundukkan tubuhnya, lalu menjilati
pergelangan kaki Andini. Lidah pemuda yang sudah di-
rasuki nafsu setan itu terus merayap naik. Jeritan-
jeritan Andini tak dipedulikan lagi.
"Andini...," bisik Saka Purdianta. "Aku akan
membebaskan totokanmu. Namun berjanjilah kau ber-
sedia melayani kehendakku...."
"Cih! Siapa sudi! Bunuh saja aku, Keparat!"
"Sayang bila wanita secantik kau harus mati.
Cobalah pejamkan matamu, dan nikmatilah ciumanku
ini...."
Dewa Guntur menelungkupkan tubuhnya. Li-
dahnya menelusuri leher jenjang Andini.
"Uh! Lepaskan totokanmu!" teriak wanita cantik

itu dengan perasaan jengah.
"Apa? Kau berjanji mau menuruti permintaan-
ku?"
"Lekaslah!"
"Ha-ha-ha...!"
Saka Purdianta tertawa bergelak. Jemari tan-
gannya bergerak cepat membebaskan totokan di tubuh
Andini. Begitu selesai, pemuda tampan itu langsung
memeluk dengan erat seraya melumat bibir Andini.
Mendadak, sinar mata Andini berkilat tajam.
Tanpa disangka Dewa Guntur, wanita cantik itu men-
cengkeram tengkuknya. Tubuh Saka Purdianta digu-
lingkannya  ke samping seraya melancarkan pukulan
yang dilambari tenaga dalam penuh.
Dhes...!
"Argh...!"
Tubuh Dewa Guntur bergulingan di atas gela-
dak. Dadanya terasa sangat sesak, terkena pukulan
Andini yang beratnya laksana palu godam lima kati.
Darah segar mengalir dari sudut bibir pemuda tampan
itu.
Saat dia bangkit berdiri dilihatnya Andini se-
dang berusaha mematahkan batang lehernya sendiri.
Untuk mencegah pemuda tampan itu tak mempunyai
kesempatan lagi. Namun, tiba-tiba dia melemparkan
sesuatu. Asap berwarna kemerahan menyerbu ke arah
Andini.
"Oh...!" keluh wanita cantik itu. Perlahan-lahan
tubuhnya terkulai jatuh ke geladak.
"Ha-ha-ha...!" untuk kesekian kalinya tawa Sa-
ka Purdianta membahana di atas Kapal Rajawali. "Kau
telah menghirup puyer perangsang, Andini. Kau akan
menjadi wanita binal yang kelewat binal. Nafsu birahi
mu  akan menghentak-hentak melebihi nafsu kuda

liar."
"Ha-ha-ha...."
Begitu usai tawa Dewa Guntur, mendadak An-
dini bangkit berdiri. Ditatapnya Saka Purdianta dengan
sinar mata aneh.
"Saka...," desis wanita cantik itu.
Dewa Guntur tertawa terbahak-bahak. Tanpa
mempedulikan dadanya yang masih terasa sesak, di-
terkamnya tubuh polos Andini. Kedua anak manusia
berlainan jenis itu bergulingan di atas geladak. Mereka
saling peluk. Bibir mereka saling pagut. Suara rintihan
terdengar silih berganti.
Di atas langit telah menyemburkan warna jing-
ga. Mentari mencapai bentangan garis cakrawala. Om-
bak laut mulai membesar seiring jatuhnya malam.
Kapal Rajawali terombang-ambing.
Saka Purdianta melepaskan pelukannya. Andini
berusaha mendekap tubuh pemuda tampan itu lebih
erat. Bibirnya terus mendesah-desah. Mulutnya terpe-
jam dengan hembusan napas memburu. Puyer perang-
sang yang ditebarkan Saka Purdianta benar-benar
mempengaruhi jiwa wanita cantik itu. Andini seper-
tinya belum puas dengan apa yang baru saja mereka
lakukan. Tapi, dengan sentakan pelan tangan wanita
cantik itu terlepas.
"Saka...," desis Andini.
"Kau mau apa lagi, Andini?"
"Kau sangat tampan dan perkasa, Saka. Peluk
aku...."
Kedua tangan Andini menggapai-gapai. Dewa
Guntur hanya menatapnya dengan mata berkilat.
"Kau ingin meneruskan permainan tadi, Andi-
ni?" tanya pemuda tampan itu kemudian.
Mata Andini terpejam rapat. Bibirnya terbuka.

Perlahan-lahan dia menjilati bibirnya sendiri.
"Ayolah, Saka. Kita reguk sekali lagi kenikma-
tan ini...."
"Ha-ha-ha...!"
Saka Purdianta tertawa bergelak. Mendadak,
kaki kanannya berkelebat cepat.
Praaakkk...!
Tubuh Andini yang tanpa selembar benang pun
terlontar tinggi. Lalu melayang jatuh ke laut dengan
berkepala pecah bersimbah darah!
"Reguklah kenikmatan bersama hiu-hiu jantan,
Andini...," gumam Dewa Guntur.
Saat rembulan dan bintang muncul di langit hi-
tam, Saka Purdianta bangkit dari duduk bersilanya.
Pandangannya tertuju lurus ke utara.
"Ehm... ilmu 'Pelacak Jejak'-ku tak dapat men-
gikuti ke mana pemuda yang melarikan Anggraini Su-
listya...," gumam Dewa Guntur. "Aku tak dapat men-
dengar getaran tubuh gadis jelita yang sangat kucintai
itu. Seperti ada kekuatan maha hebat yang menutupi.
Rupanya, pemuda bersenjata kipas itu bukan orang
sembarangan. Ehm.... Kau telah melukai dada kiriku,
Keparat! Suatu saat nanti kau akan merasakan bala-
san dariku. Akan kucincang tubuhmu seperti mencin-
cang buah labu!"
Dengan geram Saka Purdianta berlari-lari di
atas geladak kapal. Ditendanginya bangkai-bangkai
dayang Anggraini Sulistya yang mati di tangannya.
Bangkai-bangkai itu tercebur ke laut untuk segera
menjadi santapan hiu.
"Di mana bangkai remaja yang semula berpelu-
kan dengan Anggraini Sulistya?" tanya Dewa Guntur
dalam hati. Dia tak menemukan tubuh Suropati atau
si Pengemis Binal. "Ehm.... Aku ingat sekarang. Rema-

ja itu dibawa pergi sesosok bayangan. Mungkinkah dia
masih hidup? Akan ku lacak dia dengan ilmu 'Pelacak
Jejak'-ku...."
Dewa Guntur duduk bersila. Tangannya berse-
dekap dengan mata terpejam. Perlahan-lahan dia men-
capai keheningan mayapada. Dengan kekuatan batin-
nya, pemuda tampan itu berusaha menyibak getaran-
getaran yang berbaur tak karuan di atas bumi. Tak be-
rapa lama kemudian dia telah membuka mata. Tertim-
pa cahaya rembulan, mata Saka Purdianta berkilat
aneh.
"Rupanya dia belum mati!" bisik pemuda tam-
pan itu kepada dirinya sendiri. "Tapi selama masih ada
Saka Purdianta yang bergelar Dewa Guntur, jangan
coba-coba memiliki Anggraini Sulistya! Aku akan men-
gisap darahmu, Gembel Busuk!"


5

Dalam sebuah gua di Bukit Hantu....
Seorang kakek duduk diam dalam semedinya.
Kakek itu sudah sangat renta. Rambutnya putih pan-
jang terjuntai sampai ke lantai. Sebagian terselampir di
punggungnyya. Sebagian lagi terurai menutupi wajah.
Pakaian yang dikenakan sangat mengenaskan, berupa
untaian kain compang-camping yang tak kentara lagi
warna aslinya.
Tubuh kurus si kakek tak mampu menyembu-
nyikan tulang-belulang bertonjolan dengan berhias se-
rabut-serabut otot. Kulit keriput di sekujur tubuhnya
di sana-sini ditumbuhi jamur. Di hadapan si kakek
tampak seorang remaja duduk diam dalam semadi.

Remaja itu bertelanjang dada. Tubuh Bagian
atasnya kotor oleh lumuran darah kering. Rambutnya
riap-riapan. Wajahnya yang tampan juga ternoda oleh
cairan darah mengering.
"Datuk Risanwari...," gumam si remaja tampan
setelah menyelesaikan semadinya. Dia adalah Suropati
atau Pengemis Binal.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sak-
ti itu duduk terpekur sejenak. Lalu ditatapnya dalam-
dalam kakek yang duduk di hadapannya
Sesaat kemudian terlihat Suropati menggaruk-
garuk kepala. Disisirnya rambut dengan menggunakan
jari. Mendadak, pemuda itu tampak kebingungan.
"Aduh!" pekiknya. "Kenapa tubuhku terasa
aneh seperti ini? Separoh terasa ringan, dan separuh
lagi terasa berat. Perutku mual. Dan kepalaku...."
Suropati memijit-mijit pelipisnya. Saat itulah
dia merasakan pelipis kanannya begitu lunak seperti
tak bertulang lagi!
"Apa yang terjadi?" tanya Pengemis Binal dalam
hati. Pikirannya langsung melayang pada kejadian di
Kapal Rajawali. "Ah, gadis cantik yang bernama
Anggraini Sulistya itu telah menyerangku dengan peti-
kan Kecapi Maut-nya, membuat siksaan yang luar bi-
asa sakit hingga aku jatuh pingsan. Namun ketika aku
siuman, kenapa dia memelukku? Dan ucapannya
sungguh membuatku tak percaya! Mana mungkin aku
ini adiknya? Katanya aku ini putra Prabu Singgalang
Manjunjung Langit, Raja Kerajaan Pasir Luhur."
Suropati menggaruk-garuk kepalanya yang tak
gatal. Otaknya mendadak jadi bebal.
"Anggraini Sulistya.... Putri Cahaya Sakti...,"
gumam Suropati pelan. "Sebelum malam petaka ini
terjadi, kenapa aku merasa gadis cantik itu orang yang

sangat dekat denganku? Bahkan ketika ia melantun-
kan petikan Kecapi Maut-nya, aku sama sekali tak
mempunyai kemauan untuk melawan. Sepertinya aku
memasrahkan hidup dan matiku kepadanya. Mung-
kinkah apa yang dikatakannya itu benar? Aku putra
Prabu Singgalang Manjunjung Langit? Ah.... Lalu, sia-
pa Pak Tua Penjual Obat yang memelihara aku sejak
bayi? Sayang, dia meninggal ketika umurku baru men-
ginjak sembilan tahun...."
Tanpa sepengetahuan Suropati, kakek renta
yang duduk di hadapannya telah menyelesaikan sema-
di. Kakek yang tak lain Datuk Risanwari itu menatap
wajah kusut Suropati dari balik riap-riapan rambutnya
yang menutupi wajah.
"Suro...," panggil Datuk Risanwari dengan sua-
ra mirip rintihan orang sakit.
Pengemis Binal sedikit terkejut. Setelah mena-
tap sosok Datuk Risanwari, pemuda itu lalu berlutut.
"Terima kasih, Kek. Kau telah menyelamatkan
jiwaku," ucap Suropati.
"Duduklah seperti semula, Suro...," ujar Datuk
Risanwari. "Apa yang kau lakukan itu terlalu berlebi-
han. Kau belum tahu apa yang telah terjadi pada diri-
mu."
Perlahan-lahan Pengemis Binal bangkit dari si-
kap berlututnya, kemudian duduk bersila. Diperhati-
kannya wajah Datuk Risanwari yang tersembunyi di
balik riap-riapan rambut putih.
"Apa maksud Kakek?"
"Kau pijit pelipis kananmu Suro...," Datuk Ri-
sanwari tidak langsung menjawab.
"Sudah, Kek. Tulang pelipis kanan aku tiba-tiba
jadi sangat lunak."
"Itu karena pengaruh racun Jarum Hitam." 

"Jarum Hitam?" Suropati mengerutkan kening-
nya.
"Ya. Jarum Hitam mempunyai kandungan ra-
cun yang sangat ganas. Benda itu mempunyai daya
bunuh yang sangat tinggi. Racunnya berasal dari cam-
puran racun kalajengking kutub, kura-kura api, dan
sejenis pohon kaktus yang hanya tumbuh di Gurun
Angkara. Masing-masing racun itu sudah mempunyai
daya bunuh yang sangat tinggi, apalagi bila dicampur-
kan. Di dunia ini tidak mungkin ditemukan obat pe-
nawarnya, kecuali keajaiban...."
Mendengar penuturan Datuk Risanwari, Suro-
pati terperangah kaget. Tanpa sadar dia menggaruk-
garuk kepala.
"Aneh...," pikir Suropati. "Kenapa tiba-tiba Ja-
rum Hitam bisa menancap di pelipis kananku? Mung-
kinkah itu perbuatan Anggraini Sulistya? Ah, aku kira
tidak mungkin! Ketika dia memelukku, aku mendengar
ucapannya yang mengatakan aku adalah adiknya. Hal
itu diucapkan dengan berlinang air mata. Tampaknya
ia menyesal telah melukaiku dengan petikan Kecapi
Maut-nya. Pasti ada orang ketiga. Yah! Tapi siapa?"
"Suro...," panggil Datuk Risanwari. 
"Ya, Kek...."
"Dalam dirimu terkandung sebuah keajaiban.
Hal itulah yang membuatmu semasa kecil selalu jadi
rebutan tokoh-tokoh rimba persilatan untuk dijadikan
murid. Kau memiliki sesuatu yang tidak semua orang
memilikinya. Hawa murnimu dapat bekerja dengan
sendirinya di bawah  alam kesadaran. Karena itulah
Jarum Hitam tidak sampai menembus otakmu. Hawa
murnimu telah menahan jarum beracun itu hingga
hanya menancap di tulang tempurung. Tapi...."
Datuk Risanwari menghentikan bicaranya. Se-

pertinya ada sesuatu yang sangat mengganjal  pera-
saannya. Suropati cepat tanggap.
"Apakah Kakek keberatan mengatakan kenya-
taan sesungguhnya?" tanya remaja itu.
Datuk Risanwari mendesah. "Maafkan aku, Su-
ro...."
"Maaf? Justru aku yang harus menghaturkan
beribu-ribu terima kasih. Kakek telah menyelamatkan
jiwaku."
"Tapi, Suro...."
"Apa, Kek?"
"Apakah kau tidak merasakan perubahan da-
lam tubuhmu?"
"Yah! Aku merasa tubuhku sangat lemas dan
tak bertenaga," desah Suropati. Dia baru benar-benar
merasakan keanehan keadaan tubuhnya.
"Itu akibat pengaruh racun yang terkandung
dalam Jarum Hitam, Suro. Walaupun racun itu tidak
sampai merenggut jiwamu, namun sesungguhnya aki-
bat yang lebih mengerikan telah terjadi padamu...."
Pengemis Binal terpana mendengar penuturan
Datuk Risanwari.
"Tapi kau mesti tahu, Suro. Semua ini terjadi
atas kehendak Sang Penguasa Tunggal juga. Setiap ke-
jadian di dunia fana ini tentu ada hikmahnya. Tergan-
tung bagaimana manusia menilai setiap kejadian yang
menimpanya."
"Maksud Kakek?"    
"Sebelum Jarum Hitam menancap di pelipis
kananmu, kau telah terluka dalam yang sangat parah.
Itu mempengaruhi hawa murni yang bekerja dalam tu-
buhmu. Kekuatannya jadi lemah. Ketika aku mengelu-
arkan Jarum Hitam itu, tahulah aku kalau racunnya
telah menyatu dalam aliran darahmu. Bahkan telah

mempengaruhi kerja jantung!"
"Ya, Tuhan...," sebut Suropati dengan kepala
tertunduk.
"Hanya keajaibanlah yang membuat kau tetap
hidup dengan darah telah bercampur racun...."
Pengemis Binal segera teringat pada kejadian di
Bukit Argapala semasa dia masih berusia sepuluh ta-
hun. Kala itu Suropati dalam pengaruh totokan Banja-
ranpati yang bergelar Bayangan Putih Dari Selatan.
Karena ingin membebaskan diri, Suropati mempergu-
nakan kekuatan batinnya untuk memerintahkan see-
kor ular guna membantunya melepas totokan di pung-
gung. Tanpa dia sadari, dalam tubuhnya telah tersim-
pan racun ganas yang berasal dari patukan ular. Ular
yang tampak jinak itu ternyata sejenis ular langka
yang mempunyai bisa sangat ampuh. Hanya keajai-
banlah yang membuat Suropati dapat bertahan hidup,
sampai kemudian Pragolawulung atau si Periang Ber-
tangan Lembut datang menolongnya.
"Darahku pernah tercampuri racun. Dan men-
diang guruku yang bergelar Periang Bertangan Lembut
mengeluarkan racun itu dengan mempergunakan te-
naga dalam," beritahu Suropati pada Datuk Risanwari.
"Kalau sekarang itu dapat dilakukan, tentu aku
sudah mengeluarkan racun yang menyatu dalam cai-
ran darahmu, Suro...."
"Jadi, aku akan hidup dengan racun ganas ber-
sarang dalam tubuhku?"
"Ya. Itu mempunyai dua akibat yang tentunya
sangat tidak kau inginkan."
"Akibat apa, Kek," tanya Suropati dengan pe-
nuh rasa ingin tahu.
"Pertama, bila kau melakukan hubungan sua-
mi-istri, maka racun yang menyatu dalam darahmu

akan mengalir ke tubuh pasanganmu...."
"Ya, Tuhan...."
"Tapi, setiap kematian yang diterima wanita
yang menjadi pasanganmu itu akan membawa manfaat
bagimu. Sedikit demi sedikit racun dalam tubuhmu
akan musnah...."
"Jadi, racun itu dapat hilang dengan cara de-
mikian?" 
"Ya."
"Ah! Mana mungkin aku melakukan cara seper-
ti itu. Biarlah aku hidup dengan darah bercampur ra-
cun. Toh, aku tidak akan mati secepatnya hanya kare-
na pengaruh racun itu," kilah Suropati mencoba me-
nenangkan diri.
"Kau salah mengira, Suro...," ujar Datuk Ri-
sanwari dengan suara berat. "Seperti yang kukatakan
tadi, akibat yang lebih mengerikan telah kau rasakan."
"Akibat apa?" tanya Pengemis Binal tak menger-
ti.
"Selain kau tidak boleh melakukan hubungan
suami-istri, kau juga harus merelakan seluruh ilmu
kepandaianmu musnah..."
"Hah?"
Saking terkejutnya Suropati sampai melompat
bangkit. Tapi, gerakannya terlihat kaku. Pemuda itu
lalu jatuh terduduk kembali.
"Oh.... Aku benar-benar telah menjadi orang
yang lemah...," gumam Pengemis Binal. Ditatapnya Da-
tuk Risanwari dalam-dalam. "Apakah aku bisa men-
gembalikan ilmu kepandaianku lagi, Kek?" tanyanya
kemudian.
"Bisa. Dengan buah pala ajaib...."
"Ah!"
Suropati menunduk.

"Suro...," panggil Datuk Risanwari. "Sudah ku-
katakan tadi kalau semua kejadian di dunia fana ini
tentu ada hikmahnya. Tergantung bagaimana kau
memetik manfaat atas kejadian yang menimpamu ini."
"Kek, ketika bertempur melawan Margana Kal-
pa atau si Malaikat Bangau Sakti, aku juga pernah
mengalami hal serupa. Seluruh ilmu kepandaianku
musnah. Beruntunglah aku karena Kakek Gede Panja-
lu memberikan buah pala ajaib. Tapi, mungkinkah
benda yang sangat langka itu bisa ditemukan lagi?"
"Suro, sebenarnya semua yang kau alami ini
bersumber pada racun yang bersarang di tubuhmu.
Kalau racun itu hilang, seluruh ilmu kepandaianmu
akan kembali."
"Bagaimana bisa demikian, Kek?"
"Kekuatan racun Jarum Hitam telah mempen-
garuhi urat-urat syaraf di tubuhmu. Kau masih bisa
melakukan apa-apa yang biasa dilakukan orang pada
umumnya. Kecuali, mengeluarkan tenaga terlalu ba-
nyak, apalagi mencoba menyalurkan tenaga dalam. Bi-
la kau mengeluarkan tenaga terlalu banyak, jantung-
mu akan bekerja lebih keras. Bagian tubuhmu yang
penting itu telah tak normal lagi."
"Ya, Tuhan...," keluh Suropati seperti putus
asa.
"Sebagai seorang tokoh yang selalu menjunjung
tinggi kebenaran dan keadilan, tentu saja kau tidak
boleh melakukan hubungan suami-istri hanya demi
terbebas dari cobaan ini..."
"Apakah aku harus pasrah terhadap semua ini,
Kek?"
"Tentu saja tidak, Suro. Setiap manusia diwa-
jibkan untuk berusaha. Aku mendengar ada seorang
ahli racun yang sangat pandai. Tapi, aku tak tahu

apakah dia masih hidup atau telah mati. Orang biasa
menyebutnya Putri Racun."
"Putri Racun? Di mana aku bisa menemuinya,
Kek?" Suropati tampak begitu bersemangat.
"Aku tak tahu, Suro. Namun, tak ada buruknya
bila kau berusaha mencari. Kau bisa mencari keteran-
gan di mana dia tinggal kepada Putri Air. Hanya dialah
yang tahu. Putri Racun dan Putri Air adalah saudara
seperguruan yang mendapat kepandaian berbeda dari
guru mereka. Kalau sekarang mereka masih hidup,
tentu sudah sangat tua. Hampir sama tua denganku."
"Di mana aku mesti mencari Putri Air itu, Kek?"
tanya Suropati.
"Dia tinggal di sekitar Laut Selatan. Putri Air
mendirikan sebuah kerajaan yang diberi nama Kera-
jaan Air. Letaknya yang pasti, aku tak tahu. Bukan
mustahil Kerajaan air terletak di dasar Laut Selatan...."
Suropati menggaruk-garuk kepalanya.
"Untuk mencari Putri Air dalam keadaan begini,
tidak tertutup kemungkinan aku akan menemui ajal
sebelum menjumpai tokoh pandai itu. Aku tak mem-
punyai ilmu kepandaian sedikit pun. Mungkinkah
usahaku akan berhasil? Bagaimana kalau aku ber-
jumpa dengan tokoh jahat yang ingin membunuhku?
Rimba persilatan menyimpan banyak tokoh sakti. Di
antara mereka tentu ada yang menaruh iri dengki. Ba-
gaimana aku dapat melepaskan diri bila mereka men-
jatuhkan tangan maut kepadaku?"
"Apa yang kau pikirkan, Suro?"
Pertanyaan Datuk Risanwari menyadarkan
Pengemis Binal dari lamunannya. Namun, dia tak
mampu menjawab pertanyaan yang diajukan.
"Suro, sekali lagi kukatakan kepadamu, setiap
manusia diwajibkan untuk berusaha."

"Aku tahu, Kek...."
"Lalu, apa yang membuatmu ragu?"
"Ah, tidak...," jawab Suropati asal saja.
"Syukurlah, kalau begitu. Selekasnya kau be-
rangkat. Satu pesanku, berhati-hatilah. Jangan men-
geluarkan banyak tenaga..."
"Ya, Kek."
"Aku tidak bisa membantumu lagi, Suro. Selu-
ruh ilmu kepandaianku telah hilang dalam jangka
waktu tiga puluh tiga hari."
"Ah! Bagaimana bisa demikian?"
"Semula aku menyangka akan dapat mengelua-
rkan racun dalam darahmu. Tapi, kenyataannya tidak.
Tenaga dalam yang kusalurkan ke tubuhmu telah ber-
balik dan menghantamku dengan telak..."
Pengemis Binal terkejut. Tubuh Datuk Risan-
wari tiba-tiba bergetar keras seperti terserang demam
hebat.
"Kek...."
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Datuk
Risanwari. Suropati pun menjadi cemas. Rambut putih
Datuk Risanwari yang terurai menutupi wajahnya
mendadak merah bersimbah darah. Tokoh sakti yang
pernah berjaya dengan Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Naga itu benar-benar mengalami luka dalam yang
cukup parah!

6

Di bentangan kaki langit sebelah timur sang
baskara menampakkan wujudnya. Sinar perak mene-
robos sela-sela daun. Embun yang menempel di re-
rumputan perlahan lenyap. Dingin berlalu dengan da-

tangnya kehangatan.
Suropati berjalan terseok menuruni Bukit Han-
tu. Sinar matanya menggambarkan kesedihan yang
sangat. Dengan rambut riap-riapan dan bertelanjang
dada, gambaran kesedihan itu semakin terlihat jelas.
"Baru kali ini aku mengalami perasaan cemas
yang begitu mendera...," kata Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu dalam hati. "Ada tiga per-
soalan  berat yang harus kuselesaikan. Pertama, aku
harus mencari Putri Air yang tinggal di sekitar Laut Se-
latan. Aku tak yakin akan bisa menemuinya. Kedua,
seandainya aku berhasil menemui Putri Air, aku mesti
melanjutkan perjuanganku untuk mencari Putri Racun
yang entah di mana tempat tinggalnya. Aku pun tak
yakin akan bisa menemukan tokoh pandai itu. Namun,
mudah-mudahan Tuhan senantiasa melindungiku. Ke-
tiga, aku harus dapat menyibak tabir tentang diriku
sendiri. Benarkah aku ini Putra Prabu Singgalang
Manjunjung  Langit? Untuk mencari jawabannya, aku
harus mencari Anggraini Sulistya yang bergelar Putri
Cahaya Sakti. Tapi, aku tak tahu di mana sekarang dia
berada. Menurut Datuk Risanwari ketika dia memba-
waku pergi dari geladak Kapal Rajawali, kakek itu tak
melihat sosok Anggraini Sulistya. Ia hanya melihat seo-
rang dayangnya sedang meratap kepada Raka Maruta
atau Pendekar Kipas Terbang. Sementara, seorang pe-
muda berpakaian serba hijau tampak memandang
dengan geram. Ah, mudah-mudahan Raka Maruta da-
tang ke geladak Kapal Rajawali untuk menyelamatkan
Anggraini Sulistya. Tapi...."
Belum tuntas pikiran di benak Pengemis Binal,
sesosok bayangan menghadang langkahnya.
"Biarkan aku lewat..," kata Suropati.
Sosok yang baru datang cuma tersenyum sinis.

Pengemis Binal menatap dengan alis bertaut. Setelah
diperhatikan orang yang berdiri di hadapan Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu ternyata pe-
muda tampan berpakaian serba hijau. Sorot matanya
tajam seperti menggambarkan kebencian yang sangat.
Di dada kirinya ada sebuah luka sepanjang satu jeng-
kal, mirip luka akibat sayatan benda tajam.
Dia adalah Saka Purdianta atau si Dewa Gun-
tur. Dengan ilmu 'Pelacak Jejak'-nya, dia dapat men-
dengar getaran tubuh Suropati. Hingga, dapat mene-
mukan remaja tampan yang telah kehilangan seluruh
ilmu kepandaiannya itu.
"Rupanya kau benar-benar masih hidup, Gem-
bel Busuk!" bentak Saka Purdianta. Rahang pemuda
tampan itu mengeras.
"Biarkan aku lewat, Orang Baik."
"Katakan dulu siapa kau?!" bentak Saka Pur-
dianta lagi.
"Mestinya aku yang bertanya, kau datang se-
pertinya sengaja mencariku."
"Aku adalah kekasih Anggraini Sulistya!"
"Kekasih? He-he-he...," Suropati tertawa terke-
keh. "Kau keliru, Orang Baik. Aku ini laki-laki. Aku
bukan kekasihmu! Oleh sebab itu, biarkan aku lewat!"
"Ehm...."
"Ehm..., apa?" tanya Suropati dengan konyol-
nya.
"Aku mau membunuhmu, Bangsat!"
"Hik-hik-hik... Membunuh itu dosa, Orang
Baik. Sayang bila kau nanti masuk neraka."
"Ha-ha-ha...!" ganti Saka Purdianta yang terta-
wa. "Gembel Busuk! Kau saja yang masuk ke neraka!
Namun sebelum aku memecahkan kepalamu, katakan
siapa kau? Biar aku bisa menuliskan sesuatu pada ni-

sanmu!"
Melihat kesungguhan pemuda yang berdiri di
hadapanya, alis Pengemis Binal bertaut.
"Apakah pemuda berpakaian serba hijau ini
yang dilihat Datuk Risanwari? Bila memang demikian,
sangat besar kemungkinan pemuda ini yang telah me-
lontarkan Jarum Hitam ke pelipis kananku...."
Suropati menggaruk-garuk kepalanya. Kemu-
dian, sambil cengar-cengir dia melangkah mundur.
"Ya..., ya, Orang Baik...," kata remaja tampan
itu. "Aku memang pantas masuk ke neraka. Tapi,
alangkah terpujinya bila aku berpamitan dulu pada
ibuku. Maklum, dia sudah tua, berpenyakitan lagi.
Akan kukatakan kepadanya kalau aku akan pergi
jauh. Tunggu aku di sini, Orang Baik."
Pengemis Binal lalu membalikkan badan. Dia
berlari sekencang-kencangnya. Tapi, malang bagi re-
maja konyol itu. Akibat kurang hati-hati kakinya te-
rantuk batu.
Bruuukkk...!
"Aduh...!"
Suropati menjerit keras. Tubuhnya jatuh terte-
lungkup. Dan jidatnya membentur batu. Ketika remaja
konyol itu bangkit berdiri seraya meraba-raba, jidatnya
telah benjol!
"Eh, sabar dulu, Orang Baik...," kata Pengemis
Binal sambil mengacungkan telapak tangannya, me-
nahan langkah Saka Purdianta yang berjalan mende-
katinya. "Sabarlah sebentar. Aku akan segera kembali.
Aku benar-benar mau berpamitan pada ibuku. Tung-
gulah di sini, Orang Baik."
Suropati terus melangkah mundur. Setelah ja-
rak antara dirinya dengan Dewa Guntur sudah cukup
jauh, remaja konyol itu membalikkan badan untuk

berlari sekencang-kencangnya kembali. Namun, nasib
malang datang untuk kedua kali. Waktu membalikkan
badan, dia membarenginya dengan langkah cepat. Pa-
dahal sebatang pohon besar menghalangi jalannya.
Akibatnya, sungguh sama sekali tak diinginkan
Suropati. Jidatnya membentur batang pohon hingga
remaja konyol itu jatuh terjengkang. Pekik kesakitan
kembali terdengar. Pengemis Binal meraba-raba bagian
yang sakit. Benjolan di jidatnya bertambah besar, men-
jadikan wajah remaja konyol itu tak sedap dipandang!
"Ha-ha-ha...!" Saka Purdianta tertawa bergelak.
"Rupanya kau remaja gemblung yang kelewat gem-
blung! Remaja edan yang kelewat edan! Cepatlah se-
butkan nama atau gelarmu, biar aku bisa pamitkan
kepada ibumu!"
"Kalau aku sudah menyebutkan nama atau ge-
lar, aku khawatir kau akan berdiri terkencing-kencing.
Kemudian jatuh pingsan karena kaget," sahut Suropati
dengan ringannya.
"Huh! Tampangmu tak lebih baik dari tikus ke-
cebur lumpur. Mana aku akan kaget mendengar na-
mamu?!" ejek Saka Purdianta meremehkan.
"Baiklah, kalau kau tak percaya. Bersiap-
siaplah. Aku  akan membisikkan namaku di telinga-
mu...." 
Sambil menggaruk-garuk kepala,   Pengemis
Binal melangkah mendekati dan seperti terkena sihir,
Dewa Guntur merundukkan kepalanya untuk men-
dengar bisikan remaja konyol itu. Tapi, tanpa diduga
Suropati membalikkan badan, hingga pantatnya
menghadang wajah Saka Purdianta! Lalu.... 
"Bruooottt...!"
Udara perut Pengemis Binal keluar dengan me-
nimbulkan bau busuk yang melebihi bau bangkai seri-

bu ekor tikus!
Kontan Dewa Guntur meloncat ke belakang.
Dia berdiri dengan tubuh limbung. Pemuda tampan itu
mengibas-ngibaskan telapak tangannya. Udara bera-
cun yang keluar dari perut Suropati telah masuk ke
paru-paru!
"Bangsat!" umpat Saka Purdianta.
Saat pemuda tampan itu menatap ke depan,
dia tak melihat sosok Suropati lagi. Dengan kesal Saka
Purdianta menggedruk-gedrukkan kakinya ke tanah.
Bumi berguncang laksana terserang gempa. Satwa-
satwa yang kebetulan berada di sekitar tempat itu
langsung berlari kencang dengan meninggalkan leng-
kingan tinggi.
Suropati terus berlari tanpa sekali pun menoleh
ke belakang. Perasaan cemas begitu menghantui piki-
rannya. Remaja konyol itu tak bisa membayangkan
apabila dia dibunuh dengan disiksa terlebih dahulu.
"Hiii...!"
Pengemis Binal bergidik ngeri. Bulu kuduknya
sampai berdiri membayangkan siksaan yang akan di-
alaminya. Dia segera menambah kecepatan larinya.
Tapi....
"Argh...!" remaja konyol itu mengaduh sambil
mendekap dada kirinya. "Jantungku terasa diremas-
remas. Mungkinkah ini akibat yang dikatakan Datuk
Risanwari. Jantungku tak kuat bila aku terlalu banyak
mengeluarkan tenaga. Celaka! Bagaimana aku bisa
melepaskan diri dari cengkeraman maut? Uh! Jangan-
jangan pemuda berpakaian serba hijau itu dapat me-
nyusulku. Aduh! Mati aku!"
Pandangan Suropati berubah nyalang. Dia
menggaruk kepalanya dengan keras. Lalu, menjatuh-
kan tubuhnya ke tanah seraya mengangkat tangan

tinggi-tinggi.
"Ya, Tuhan...," iba remaja yang biasanya konyol
itu. "Lindungilah aku. Aku masih belum ingin mati.
Aku masih perjaka ting-ting. Aku belum punya ketu-
runan. Kalau aku mati, alangkah sengsaranya aku. Ti-
dak ada yang akan menangisi kematianku. Dan, siapa
yang akan mendoakanku agar aku masuk sorga? Ya,
Tuhan.... Lindungilah aku. Dengarkan permohonanku.
Aku masih belum ingin mati...."
Pengemis Binal memejamkan matanya sung-
guh-sungguh. Ketika dia menggaruk-garuk kepala
sambil melihat ke depan, keterkejutan menghantam
remaja konyol itu. 
"Ha-ha-ha...!"
Saka Purdianta atau si Dewa Guntur telah ber-
diri di depannya dengan berkacak pinggang. Suara ta-
wanya membuat gendang telinga Suropati bergetar ke-
ras. Jantungnya pun berdegup lebih kencang. Remaja
konyol itu meringis kesakitan sambil mendekap kedua
daun telinganya. Untunglah Saka Purdinata segera
menghentikan tawanya yang dilambari tenaga dalam.
"Gembel Busuk! Gara-gara kau keadaanku jadi
terjepit...," kata Dewa Guntur kemudian. "Secara tak
sengaja aku telah melukai Anggraini Sulistya dengan
Jarum Hitam. Kemungkinan besar putri Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit itu telah mati. Semua ini gara-
gara kau, Gembel Busuk! Aku pun telah membunuh
semua dayang gadis yang sangat kucintai itu. Namun
sebelum tokoh-tokoh Kerajaan Pasir Luhur mencariku,
aku akan mencincang tubuhmu, Keparat!"
Mendengar ucapan Saka Purdianta yang penuh
kemarahan, Pengemis Binal tertunduk dalam sambil
mendekap wajahnya. Lubang kematian telah mem-
bayang di pelupuk matanya. Kalau semula dia sangat

takut menghadapi maut, mendadak saja perasaannya
jadi ringan tanpa beban. Dia telah pasrah untuk mene-
rima takdir Sang Penguasa Tunggal.
"Hei! Gembel Busuk!" hardik Saka Purdianta.
"Jangan menekuk lutut macam trenggiling melingkar!
Berdirilah! Aku memberi kesempatan kepadamu untuk
mengeluarkan seluruh ilmu kepandaianmu!"
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Su-
ropati. Karena kepasrahan yang dalam, dia merasakan
jiwanya sedang melayang di angkasa luar. Jiwa remaja
konyol itu lalu masuk ke ruang gelap yang sangat ke-
lam. Namun, dalam kegelapan itu jiwanya menemukan
kesejukan yang membuat damai. Kesejukan itu begitu
nikmat, hingga....
"Oaaahhh...!"
Pengemis Binal menguap. Dia terserang kantuk
yang sangat. Perlahan-lahan tubuhnya menggeliat, lalu
rebah di atas tanah sambil memeluk lutut. Tidur!
Semakin lama hembusan napas Suropati se-
makin teratur. Bersamaan dengan itu, dengkurannya
pun terdengar. Tentu saja ini membuat amarah Saka
Purdianta semakin meledak-ledak.
"Setan Alas!" umpat pemuda itu. "Diberi ke-
sempatan untuk mengeluarkan ilmu kepandaian, ma-
lah ngorok! Jangan kira aku akan mengurungkan
niatku untuk membunuhmu, Keparat!"
Dewa Guntur melangkah mendekati Pengemis
Binal yang sudah tertidur pulas. Pemuda tampan itu
mengangkat kaki kanannya tinggi-tinggi. Dan siap di-
turunkannya dengan cepat untuk menginjak kepala
Suropati!
Dhuk...!
Keanehan terjadi. Ketika nyawa Pengemis Binal
tinggal melayang saja untuk lepas dari raganya, dia

menggeliat dalam keadaan masih tertidur pulas. Kaki
Saka Purdianta yang dilambari tenaga dalam hanya
menginjak tanah kosong, hingga melesak sampai ke
betis.
Dewa Guntur terperangah. Dia menarik perge-
langan kaki kanannya yang melesak ke dalam tanah.
Lalu, dihantamkan ke punggung Suropati yang tergele-
tak membelakangi.
Wuuuttt...!
Deru angin menyambar, menimbulkan suara
berdesing seperti babatan pedang. Sekali lagi Suropati
menggeliat. Tendangan Saka Purdianta pun luput.
Menggeramlah pemuda tampan itu, laksana harimau
lapar pada puncak kemarahannya.
"Gembel Busuk! Matilah kau!"
Dengan menyalurkan seluruh tenaga dalamnya
ke kedua pergelangan tangan, Dewa Guntur membuat
pukulan jarak jauh. Dua larik sinar hitam meluncur
deras ke arah Suropati!
Blaaammm...!
Terdengar ledakan dahsyat mirip letusan gu-
nung berapi. Gumpalan tanah bercampur batu dan ke-
rikil berhamburan membuat cahaya mentari pagi ter-
tutup.
Saat terang merebak kembali, di tempat itu
muncul lubang sangat besar. Pohon-pohon di sekitar-
nya terlihat hangus. Sebagian tumbang dengan batang
patah dan akar-akarnya tercabut dari tanah!
Saka Purdianta mengedarkan pandangan.
"Ehm.. Aku tak melihat bangkai Gembel Busuk
itu. Mungkinkah tubuhnya telah hancur bercampur
dengan gumpalan tanah? Tapi, aku tak seberapa yakin
dia dapat demikian mudah kubunuh...."
Dewa Guntur celingukan mencari sosok Suro-

pati. Hingga beberapa lama, apa yang diharapkannya
tak membuahkan hasil. Dengan geram kakinya lalu di-
gedrukkan ke tanah. Bumi berguncang seperti terse-
rang gempa. Sambil menggerutu panjang pendek Saka
Purdianta pun berlalu dari tempat itu.
"Ah, Gembel Busuk itu mungkin benar-benar
telah mati," pikir Saka Purdianta.
Belum genap dua puluh langkah pemuda tam-
pan itu berjalan, sejurus pandangan di depan terlihat
olehnya sosok Suropati sedang tidur menggelantung di
atas dahan pohon!
"Keparat! Kuremukkan batok kepalamu!"
Saka Purdianta menerjang dengan kemarahan
meluap. Dia merasa sedang dipermainkan. Maka, sege-
ra dikeluarkannya seluruh kemampuan untuk menyu-
dahi riwayat Pengemis Binal. Namun, walau yang men-
jadi sasaran serangan dalam keadaan tertidur pulas,
tak satu pun pukulan atau tendangan Saka Purdianta
yang berhasil.
Dewa Guntur dihantam keterkejutan yang san-
gat. Namun, benaknya sudah tertutup oleh nafsu
membunuh. Tak henti-hentinya dia terus menyerang.
Timbul suara hiruk-pikuk seperti raksasa mengamuk.
Permukaan tanah berkubang-kubang, puluhan batang
pohon  tumbang  tertimpa pukulan jarak jauh yang
nyasar.
Sesungguhnya, apa yang dilakukan Suropati
untuk menghindari setiap serangan Saka Purdianta
adalah akibat penerapan ilmu 'Arhat Tidur'. Datuk Ri-
sanwari yang mengatakan kalau seluruh ilmu kepan-
daian Suropati telah musnah, ternyata keliru. Suropati
mempunyai ilmu bawah sadar yang berasal dari pe-
nyucian kalbu hasil ajaran mendiang gurunya yang
bergelar Periang Bertangan Lembut.

Walaupun darah Suropati telah bercampur
dengan racun ganas, tapi ilmu 'Arhat Tidur' dapat be-
kerja dengan sendirinya. Dengan kata lain, ilmu itu
bekerja tanpa dikehendaki terlebih dahulu. Jadi cara
kerjanya mengikuti alur naluri dalam keadaan bawah
sadar.
Kehebatan ilmu 'Arhat Tidur' yang telah dikua-
sai dengan sempurna oleh Suropati terlihat sangat luar
biasa. Walau sedang tertidur pulas, seluruh serangan
lawan bisa dipatahkan. Padahal gerak tubuh Suropati
hanya berupa geliatan-geliatan. Sesekali disertai den-
gan lentingan. Itu pun dilakukan dengan mata terpe-
jam rapat, dan terlihat asal-asalan!
Keringat dingin membanjir di sekujur tubuh
Saka Purdianta. Sudah lewat dua puluh jurus dia be-
rusaha menghabisi riwayat Suropati. Sayang, harapan
di hatinya tak juga datang!
"Aneh...," gumam pemuda tampan itu. "Apakah
Gembel Busuk itu mempunyai ilmu setan? Ehm.... Wa-
laupun seluruh setan neraka melindungimu, Dewa
Guntur pantang putus asa!"


7

Saka Purdianta membuka pergelangan kakinya
dengan sedikit ditekuk. Kedua tangannya dipentang-
kan ke samping. Bersamaan dengan tubuhnya yang
bergetar keras, kedua tangan pemuda sadis itu ditarik
ke atas secara perlahan-lahan. Mendadak, muncul
gumpalan awan hitam di langit. Cahaya mentari pun
lenyap. Digantikan oleh kegelapan. Saat angin ber-
hembus kencang, lidah petir menyambar-nyambar di-

barengi ledakan menggiriskan.
"'Amarah Dewa Guntur'...!" pekik Saka Purdian-
ta seraya mempertemukan kedua telapak tangannya di
atas kepala.
Lidah petir yang semula hanya menyambar-
nyambar di angkasa, kini menyerbu tubuh Suropati
yang terbujur lemas. Suara gemuruh mirip letusan gu-
nung berapi terdengar. Suasana di lereng Bukit Hantu
itu bagai tertimpa hari kiamat!
Tubuh Suropati melenting ke sana kemari
menghindari hujan  lidah-lidah petir. Udara berubah
panas. Permukaan tanah mengepulkan asap. Pepoho-
nan tumbang dalam keadaan hangus terbakar.
Bagaimanapun kehebatan ilmu 'Arhat Tidur'
milik Pengemis Binal, bila udara di sekitarnya menjadi
sangat panas, sedikit demi sedikit hawa panas itu
menjalar ke tubuh Suropati. Dengan demikian, pusat
kekuatan batinnya akan buyar. Gerakan bawah sadar
yang dilakukannya jadi lambat. 
"Ha-ha-ha...!"
Tawa kemenangan Saka Purdianta menggemu-
ruh. "Mampus kau, Gembel Busuk!"
Tanpa diduga oleh pemuda tampan itu, tiba-
tiba saja tubuh Pengemis Binal mencelat bagai dilon-
tarkan tangan raksasa. Dalam gerak kilat itu kaki ka-
nan Suropati terselonjor lurus ke depan.
Dheeesss...!
"Argh...!"
Tendangan bawah sadar Suropati tepat bersa-
rang di dada Saka Purdianta. Namun, keluh kesakitan
bukan keluar dari mulut pemuda tampan itu, melain-
kan dari mulut Suropati sendiri!
Dada Saka Purdianta terlindungi tenaga dalam.
Hingga, tendangan Suropati seperti membentur tem-

bok baja. Tubuh Suropati mencelat lagi, dan jatuh ber-
debam ke permukaan tanah. Tulang persendian lutut
kanannya terlepas!
Saka Purdianta terlihat menyeringai dingin. Ka-
lau saja tendangan Suropati dilambari kekuatan tena-
ga dalam, jangan harap pemuda tampan itu masih bisa
menghirup udara segar. Tapi, apa yang dilakukan Su-
ropati sudah cukup untuk memecahkan pusat kekua-
tan batin Saka Purdianta. Ilmu 'Selaksa Guntur' yang
sedang diterapkannya pun lepas. Gemuruh di lereng
Bukit Hantu langsung hilang. Cahaya mentari kembali
menerobos, menyinari bumi. Gumpalan awan tersibak
menampakkan wajah perak sang baskara.
Pengemis Binal mengerang kesakitan. Tubuh-
nya berguling ke sana kemari sambil mendekap lutut
kanannya. Karena tak tahan akan deraan rasa sakit,
remaja konyol itu berteriak sekencang-kencangnya.
"Ha-ha-ha...!" Tawa kemenangan Saka Purdian-
ta kembali memecah keheningan. "Teruskan teriakan
mu, Gembel Busuk! Tapi, di sela-sela teriakan mu itu
cobalah untuk berdoa sedikit. Agar kematian yang
akan kau terima tak begitu menyakitkan!"
"Uh! Mati adalah takdir Tuhan, Orang Jelek!
Siapa takut mati?!" Suropati masih juga bisa menimpa-
li ucapan Saka Purdianta.
Dewa Guntur tertawa bergelak.
"Pernahkah  kau membayangkan betapa sakit-
nya orang yang giginya ditanggalkan satu persatu, lalu
kuku jarinya dicabuti, kemudian wajahnya dibeset?
Kalau belum pernah, semua itu akan segera kau rasa-
kan, Gembel Busuk!"
Suropati bergidik ngeri. Walaupun dia sudah
pasrah menghadapi kematian, namun bila terlebih da-
hulu disiksa dengan kejam, mau tak mau nyali remaja

konyol itu jadi mengkeret. Tubuhnya yang terbaring di
atas tanah diseret-seret untuk menjauhi Saka Purdian-
ta. Tapi, sungguh malang nasib Suropati. Tubuhnya
jatuh terperosok ke dalam lubang besar yang tercipta
akibat pukulan jarak jauh Saka Purdianta. Tulang per-
sendian lutut Suropati yang telah  lepas membentur
dasar kubangan. Tak ayal lagi, lolong kesakitan keluar
dari mulut Suropati!
Dewa Guntur menyaksikannya sambil tertawa-
tawa.
"Rupanya kau telah masuk ke dalam lubang
kuburmu sendiri, Gembel Busuk!"
Suropati terus mengerang kesakitan. Dia men-
coba untuk bangkit. Ditatapnya tajam-tajam wajah
Saka Purdianta yang berada di pinggir kubangan.
"Kau bisa menyiksaku, Orang Jelek!" kata Su-
ropati dengan sinar mata berkilat. "Tapi, seumur hi-
dupmu kau akan dikejar-kejar orang-orang Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti!"
"Huh! Apa hubunganmu dengan perkumpulan
orang-orang malas itu?"
"Aku adalah pemimpinnya!"
"Ha-ha-ha...! Kau pemimpinnya? Jangan men-
gigau, Gembel Busuk! Mana mungkin perkumpulan itu
dipimpin seorang remaja bodoh sepertimu?!" sahut Sa-
ka Purdianta dengan pedas.
"Kau tak percaya?! Tanya kepada kakek dan
nenek moyangmu! Akulah Suropati yang bergelar Pen-
gemis Binal! Akulah Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang sudah kondang sampai ke ujung
dunia!"
"Ehm.... Benarkah apa yang dikatakan remaja
edan itu?" tanya Dewa Guntur dalam hati. Dia sung-
guh menyangsikan ucapan Suropati. "Kalau memang

benar, aku tidak boleh sembarangan membunuhnya.
Aku telah membuat celaka putri tunggal Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit. Orang-orang Istana Kerajaan
Pasir Luhur tentu akan mengejarku untuk menjatuh-
kan hukuman mati. Kalau aku membunuh remaja
yang mengaku sebagai Pemimpin Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti itu, urusannya pasti akan sema-
kin parah...."
"Hei! Kenapa kau berdiri terbengong-bengong
seperti kunyuk kena sumpit? Lebih baik kau tolong
aku keluar dari kubangan ini!" teriak Suropati.
Mendengar itu, Saka Purdianta tertawa berge-
lak.
"Biarpun kau benar Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti, aku akan tetap membunuh-
mu! Sudah kepalang tanggung aku tercebur ke dalam
kancah kejahatan. Ha-ha-ha...!"
Usai tertawa bergelak, Dewa Guntur menyalur-
kan seluruh tenaga dalamnya ke pergelangan tangan.
Lalu, disorongkannya ke depan. Dua larik sinar hitam
meluncur deras ke arah Suropati. Remaja konyol itu
sudah tak mempunyai kemampuan lagi untuk meng-
hindar. Malaikat Kematian tampaknya akan segera
menjemput nyawanya!
Sebelum sesuatu yang tak diinginkan terjadi,
sesosok bayangan berkelebat sangat cepat menyambar
tubuh Suropati. Pukulan jarak jauh Saka Purdianta
hanya mengenai tanah kosong, membuat kubangan
semakin bertambah dalam.
Dewa Guntur tampak berdiri terpaku di tem-
patnya. "Keparat...!" umpat Saka Purdianta. Lamat-
lamat dia mendengar lantunan tembang yang menggu-
nakan ilmu mengirimkan suara dari jarak jauh.


Setan tak pernah berhenti menggoda manusia 
Manusia terpuruk ke dalam lembah dosa 
Hidup hanya mengikuti nafsu angkara
Tak tahu bila semua mesti ditebus dengan kar-
ma
Nyawa orang terkasih sangat berharga 
Mesti dibela sepenuh jiwa 
Siapa mengganggu Suropati tercinta
Hadapi Pendekar Wanita Gila

Setelah lantunan itu selesai terdengar, manusia
yang membawa tubuh Suropati pun sudah tidak keli-
hatan lagi bayangannya.

***

Sang baskara berada tegak lurus di atas kepa-
la. Sinarnya yang menyengat terasa membakar. Per-
mukaan tanah terlihat mengepulkan asap. Rumput ila-
lang layu merunduk.
Raka Maruta atau Pendekar Kipas Terbang me-
nurunkan tubuh Anggraini Sulistya ke tempat yang
terlindung, di bawah naungan sebatang pohon besar.
"Tubuh gadis ini mulai memanas lagi. Aku ha-
rus melakukan sesuatu," kata Raka Maruta dalam ha-
ti.
Pemuda berwajah lembut itu mengamati seben-
tar luka kecil di ujung jari telunjuk tangan kirinya. La-
lu, dikeluarkannya kipas baja putih dari balik baju.
Dengan menggunakan senjata andalannya itu Raka
Maruta memperlebar luka di ujung jari telunjuknya.
"Nona... Nona...."
Pendekar Kipas Terbang kemudian meng-
goyang-goyang bahu Putri Cahaya Sakti. Gadis cantik

itu pun membuka mata. Ditatapnya wajah Raka Maru-
ta dalam-dalam.
"Nona, kau isap darahku lagi.,.," kata Pendekar
Kipas Terbang seraya menyodorkan ujung jari telunjuk
tangan kirinya yang mengucurkan darah segar.
Anggraini Sulistya memandang sejenak. Lalu
diraihnya pergelangan tangan Pendekar Kipas Terbang.
Darah yang mengucur dari ujung jari telunjuk diisap-
nya kuat-kuat.
Merasakan cairan darah di pergelangan tan-
gannya berdesir cepat, mata Raka Maruta mendelik.
Tapi, senyum manis segera mengembang di bibirnya.
"Terima kasih, Tuan Pendekar...," ucap Putri
Cahaya Sakti. Suara yang keluar dari mulutnya mirip
gumaman.
Senyum  di bibir Raka Maruta semakin men-
gembang. Cepat ditekannya jalan darah yang menuju
ke jari telunjuk. Darah segar yang masih mengucur
langsung berhenti.
Apa yang sedang dilakukan Pendekar Kipas
Terbang dengan meminumkan cairan darahnya pada
Anggraini Sulistya, adalah sebagai usaha untuk me-
nyelamatkan jiwa gadis cantik putri tunggal Prabu
Singgalang Manjunjung Langit itu. Seperti diketahui,
Jarum Hitam yang mengandung racun ganas telah
menancap di bahu kiri Putri Cahaya Sakti.
Setelah berhasil mengeluarkan jarum beracun
itu, tahulah Raka Maruta kalau nyawa Putri Cahaya
Sakti tak mungkin diselamatkan lagi. Darahnya telah
bercampur dengan racun. Jantungnya pun terganggu
daya kerjanya. Raka Maruta kemudian teringat pada
kata-kata Wajah Merah di Bukit Rawangun kalau dia
pernah meminum air sakti. Air yang mempunyai kha-
siat luar biasa itu telah menyatu dengan darahnya.

Menurut penuturan Wajah Merah pula, darah
Raka Maruta sanggup menghilangkan racun atau
memperlemah daya bunuh racun. Teringat akan hal
itu, Raka Maruta mencoba mengikuti penuturan si Wa-
jah Merah. Hingga, dengan setiap kali meminum darah
Raka Maruta, sedikit demi sedikit racun dalam tubuh
Anggraini Sulistya melemah daya kerjanya.
"Terima kasih, Tuan Pendekar...," ucap
Anggraini Sulistya sekali lagi.
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Na-
maku Raka Maruta. Kau bisa memanggilku dengan
'Maruta'...."
"Terima kasih, Maruta...."
Senyum kembali mengembang di bibir Pende-
kar Kipas Terbang. "Keadaanmu sudah agak lumayan,"
katanya. "Kau sudah bisa berkata-kata sekarang. Ra-
cun Jarum Hitam tampaknya sudah tidak memba-
hayakan jiwamu."
Anggraini Sulistya hanya membisu. Mendadak,
pikirannya melayang pada kejadian di atas Kapal Ra-
jawali.
"Suropati...," desis wanita cantik itu. "Kau kenal
dengan dia?" tanya Raka Maruta. Anggraini Sulistya
hanya menatap wajah pemuda itu.
"Kau kenal dengan Suropati, Nona?" ulang Pen-
dekar Kipas Terbang.
"Panggil aku dengan 'Aini'. Namaku Anggraini
Sulistya. Kenal dengan Suropati secara pribadi belum.
Namun, kedatanganku dari Kerajaan Pasir Luhur ada-
lah untuk menemuinya."
"Ada urusan penting?"
Putri Cahaya Sakti menggeleng. Dia tak sang-
gup mengatakan tujuan semula untuk menjumpai Su-
ropati. Karena, tidak pada tempatnya seorang gadis

meminang seorang jejaka.
"Kau sendiri kenal dengan Pemimpin Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti itu?" tanya Anggraini
Sulistya kemudian, mengalihkan pertanyaan Raka Ma-
ruta.
"Bukan hanya kenal. Suropati adalah saha-
batku yang paling baik. Dia sudah kuanggap sebagai
adik sendiri...."
Mata Anggraini Sulistya mengerjap. Raka Maru-
ta terpesona sesaat. Kecantikan gadis yang duduk di
hadapannya itu memang begitu sempurna.
"Kenapa kau memandangku seperti itu?"
Pertanyaan Anggraini Sulistya membuat Raka
Maruta jadi kelabakan. Seumur hidup, baru kali inilah
dia merasakan debar-debar aneh dalam hatinya.
"Kau belum menceritakan saat-saat terakhir di
geladak Kapal Rajawali, Maruta...," Anggraini Sulistya
membebaskan Raka Maruta dari sikap salah tingkah-
nya.
"Eh, ya.... Ketika aku datang, seorang wanita
cantik mengatakan kalau kau adalah  putri Prabu
Singgalang Manjunjung Langit. Waktu itu kau telah
terluka akibat Jarum Hitam. Maka, aku segera me-
nyambar tubuhmu setelah melihat ada sesosok bayan-
gan menyelamatkan Suropati."
"Jadi, adikku masih ada kemungkinan hidup?"
"Adikmu?"
"Ya. Aku yakin  Suropati adalah adikku. Di
punggung kirinya ada toh seperti ciri khusus adikku
yang hilang semenjak bayi."
Pendekar Kipas Terbang tercenung. Pada saat
dia berpikir-pikir, Anggraini Sulistya tiba-tiba muntah
darah.
"Aini...!" pekik Raka Maruta.

Putri Cahaya Sakti jatuh tertelungkup di pang-
kuannya. Buru-buru Raka Maruta menopang bahu kiri
gadis cantik itu. Tangan kanannya digunakan untuk
menyalurkan hawa murni.
"Ehm.... Selain terserang racun ganas, rupanya
gadis ini juga mengalami luka dalam yang sangat pa-
rah...."
Belum selesai Raka Maruta menyalurkan hawa
murni, mendadak saja suhu badan Anggraini Sulistya
menjadi sangat panas.
"Celaka...!" desis Pendekar Kipas Terbang. "Ra-
cun Jarum Hitam bekerja kembali. Apa boleh buat,
aku harus mengesampingkan dulu luka dalamnya.
Akan.  ku minumkan  cairan darahku terlebih dahulu
kepadanya."
Tak pernah disangka oleh Pendekar Kipas Ter-
bang, sesungguhnya racun yang terkandung pada Ja-
rum Hitam lebih ganas daripada yang dia kira. Cairan
darah Raka Maruta yang mengandung khasiat air sakti
hanya sanggup menghentikan daya kerja racun untuk
sementara. Dan, cairan darah Anggraini Sulistya tetap
saja tercampuri racun ganas itu.
Raka Maruta berlari cepat sambil membopong
tubuh Anggraini Sulistya. Hati pemuda berwajah lem-
but ini sangat kalut memikirkan keselamatan wanita
cantik itu. Rupanya, bunga-bunga cinta mulai ber-
kembang di hati Raka Maruta.
"Aku harus menemui Kakek Wajah Merah...,"
desis Pendekar Kipas Terbang seraya mempercepat
langkah kakinya.


SELESAI


Bagaimanakah usaha Raka Maruta untuk me-
nolong Anggraini Sulistya yang terkena Jarum Hitam
milik Dewa Guntur?




Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode 
DEWA GUNTUR