Pengemis Binal 16 - Pemberontakan Subandira(2)








3

Seharian penuh Suropati menjelajahi kota-
praja. Tapi, jejak I Halu Rakryan Subandira tak
juga ditemukan. Setiap melewati sudut-sudut ja-
lan, selalu saja timbul perasaan tak enak. Banyak
lelaki berperawakan kekar berpapasan dengan-
nya. Sikap mereka rata-rata angkuh. Jauh sekali
dengan sikap para warga kotapraja yang ramah-
ramah.
"Hmm.... Orang-orang itu tentu pasukan
pemberontak yang sedang melakukan penyama-
ran...," kata hati Pengemis Binal. "Agaknya negeri
Pasir Luhur dilanda kemelut pemberontakan yang
hebat. Perpecahan di antara prajurit kerajaan saja
sangat mengurangi kekuatan pihak istana. Di-
tambah lagi dengan adanya pasukan tersem-
bunyi. Ah..., aku tak bisa membayangkan apa
yang akan terjadi...."
Suropati mendongak. Ditatapnya langit bi-
ru. Matahari yang telah condong ke barat mem-

buat sinarnya tak lagi menyengat. Melihat barisan
burung yang mengangkasa, Suropati menggaruk-
garuk kepalanya yang tak gatal.
Langkah kaki remaja konyol itu menuju
pintu gerbang kotapraja. Beberapa penjaga me-
nyapanya dengan sopan. Mereka memang telah
mengenal Suropati sebagai sahabat Anggraini Su-
listya. Kalau saja mereka tahu Suropati adalah
putra Prabu Singgalang Manjunjung Langit, sikap
mereka tentu akan lebih hormat lagi.
"Kelihatannya prajurit penjaga di pintu
gerbang ini masih berpihak pada sang Raja...," pi-
kir Pengemis Binal sambil terus melangkahkan
kaki. "Di mana aku dapat menemukan I Halu Ra-
kryan Subandira? Seandainya banyak anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti berada di
negeri ini, akan lebih mudah menemukan
pengkhianat itu. Ah..., aku jadi tak habis pikir.
Bagaimana dia dapat meloloskan diri dari penja-
gaan Patih Sanca Singapasa dan Senopati Guntur
Selaksa. Padahal waktu itu dia terluka dalam.
Apakah ada seorang yang menolongnya? Dan....
Apakah Tumenggung Sangga Percona juga dito-
longnya. Aku belum mengetahui kabar ayah Saka
Purdianta itu"
Suropati mendesah. Tiba-tiba saja pikiran-
nya jadi kalut. "Kekuatan dalam istana sangat
lemah. Tanpa siasat yang jitu, api pemberontakan
tak mungkin dapat dipadamkan. Lalu, siasat apa
yang harus kugunakan?" Sambil membatin, Pen-
gemis Binal menggaruk-garuk kepalanya kembali.
Sekeluarnya dari kotapraja, jalanan terasa

lengang. Semakin jauh kaki Pengemis Binal me-
langkah, pikirannya semakin tak tenang. Tapi se-
telah sampai di lereng bukit kecil, mendadak saja
remaja konyol itu nyengir kuda lalu melonjak-
lonjak kegirangan.
"Aku dapatkan jawabannya!" Suropati ber-
teriak sekeras-kerasnya. "Kitab Selaksa Dewa Tu-
run Ke Bumi! Yah, kitab warisan Panglima Prana-
sutra itu selain berisi cara-cara menghimpun te-
naga prana juga berisi siasat dan strategi perang.
Aku yakin dengan mempelajari isi kitab itu, keme-
lut negeri Pasir Luhur akan dapat teratasi!"
Tak lama Pengemis Binal berada pada ke-
gembiraan. Wajahnya kini terlihat muram lagi.
"Uh! Bagaimana aku bisa mempelajari isi Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke Bumi kalau kitab itu be-
rada di tangan Saka Purdianta? Tapi tak apa,
sambil mencari I Halu Rakryan Subandira, kucari
pula putra Tumenggung Sangga Percona itu...,"
sekali lagi Pengemis Binal melonjak kegirangan.
"Aku pergi ke Katumenggungan Lemah Abang sa-
ja," cetusnya kemudian. 
Remaja konyol itu berlari cepat dengan di-
lambari ilmu meringankan tubuh. Arah yang ditu-
junya adalah utara. Walau dia baru beberapa hari
menginjakkan kaki di wilayah Kerajaan Pasir Lu-
hur, tapi jalan-jalan di sekeliling kotapraja telah
diketahuinya. Itu berkat penjelasan Anggraini Su-
listya.
Keringat membanjir di sekujur tubuh keti-
ka Pengemis Binal menghentikan langkah untuk
beristirahat. Matahari telah semakin  condong ke

barat. Sinarnya pun bertambah lemah. Tapi
agaknya Suropati kegerahan. Dia kini membuat
langkah pendek-pendek.
"Hea. .! Hea...!" Terdengar teriakan orang
memacu kuda.
Suropati menoleh ke belakang. Tampak
seekor kuda hitam berlari cepat melewati jalan
yang tadi dilaluinya. Cepat-cepat Pengemis Binal
melompat ke pinggir karena tak mau tertabrak.
"Hei...!" teriak orang di atas kuda. Ditarik-
nya tali kekang kuat-kuat. Kuda hitam itu pun
meringkik panjang sambil mengangkat kaki de-
pan. Begitu kuda hitam itu kembali tenang, pe-
nunggangnya segera meloncat turun.
"Saka Purdianta!" gumam Pengemis Binal
sambil menatap tajam pemuda tampan berpa-
kaian coklat dengan garis-garis hitam.
"Ya! Aku memang Saka Purdianta atau
Dewa Guntur!" ujar pemuda itu yang tak lain pu-
tra Tumenggung Sangga Percona. "Lama sekali ki-
ta tak berjumpa, Suro. Sebaiknya kau terima sa-
lam hormatku!"
Usai berkata, Dewa Guntur meloncat den-
gan telapak tangan terbuka di depan dada. Saat
tubuhnya masih melayang, dihentakkan telapak
tangannya ke depan.
Wuuusss...! 
Pengemis Binal terkesiap. Dua larik sinar
kelabu meluncur ke arahnya. Cepat dia mem-
buang tubuh ke samping kanan. Akibatnya....
Blaaammm...!
Dua larik sinar kelabu yang muncul karena

pukulan jarak jauh Saka Purdianta menghantam
pohon besar. Pohon dengan batang dua rangku-
lan manusia dewasa itu langsung tumbang.
Pangkal batangnya menghitam seperti habis ter-
bakar.
"Hmm.... Kenapa kau menolak salam hor-
matku, Suro?!" dengus Saka Purdianta dengan
sinar mata berkilat.
"Rupanya kebencian Dewa Guntur terha-
dap Pengemis Binal lebih dari yang kukira...," ujar
Suropati. "Terima kasih atas salam hormatmu."
"Ha ha ha...!" Dewa Guntur tertawa berge-
lak. "Di antara kita tersimpan dendam lama. Ke-
napa mesti sungkan-sungkan mengundang Ma-
laikat Kematian agar mencabut nyawa salah seo-
rang di antara kita?"
Suropati tersenyum tipis. Dia tahu benar
Saka Purdianta pemuda keras kepala dan sangat
berangasan. Saka Purdianta pun menyimpan ke-
bencian yang sangat kepadanya. Putra Tumeng-
gung Sangga Percona itu menganggapnya sebagai
musuh bebuyutan! (Untuk mengetahui asal-usul
perselisihan kedua tokoh muda ini, silakan baca
episode : "Cinta Bernoda Darah").
"Saat ini aku tak hendak membuat permu-
suhan dengan siapa pun...," kata Pengemis Binal,
merendah. "Aku mempunyai tugas berat yang ha-
rus segera kuselesaikan. Kalau kau masih men-
ganggap negeri Pasir Luhur adalah tanah kelahi-
ranmu, sebaiknya kau simpan dulu rasa bencimu
terhadapku."
"Ha ha ha...!" Dewa Guntur tertawa terba-

hak lagi. "Hmm.... Kiranya Pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti adalah seorang pe-
cundang berjiwa pengecut!"
"Simpan kata-kata kotormu, Saka!" tukas
Suropati. "Negeri Pasir Luhur berada di ambang
kehancuran karena adanya pemberontak yang
hendak merebut kekuasaan. Tahukah kau, Saka,
bila terjadi pertempuran maka rakyat juga yang
akan menderita. Tidakkah kau terpanggil untuk
melakukan sesuatu?"
"Dengan alasan apa kau hendak memban-
tu mengatasi kemelut di negeri ini?" tanya Dewa
Guntur penuh selidik.
"Hati kecilku terpanggil untuk melakukan
semua ini. Aku tak ingin melihat pertumpahan
darah. Dan, Anggraini Sulistya memintaku untuk
membantu...." 
"Anggraini Sulistya...," desis Saka Purdian-
ta memotong kalimat Pengemis Binal. "Masih hi-
dupkah dia?"
"Ya!" jawab Suropati dengan suara lantang.
"Melalui perjuangan berat, Anggraini Sulistya da-
pat terbebas dari pengaruh Racun Jarum Mati
Sekejap."
"Oh, benarkah begitu?" tanya Saka Pur-
dianta ragu-ragu. Sinar kegembiraan jelas terpan-
car di matanya.
"Tak ada gunanya aku berdusta. Kalau kau
mau menebus dosamu terhadapnya, kau harus
membantu dia. Yang dapat kau lakukan adalah
menyerahkan Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi
kepadaku." 

"Untuk apa?"
"Kitab itu berisi siasat dan strategi perang.
Kau tentu tahu kegunaannya, Saka...," Pengemis
Binal memang berkata demikian. Tapi di hatinya
tiba-tiba saja timbul rasa curiga. Bukan tidak
mungkin Saka Purdianta membantu pemberonta-
kan ayahnya.
"Aku tidak membawanya...," aku Dewa
Guntur dengan paras mengelam.
"Apa?! Kau jangan mungkir, Saka!" hardik
Pengemis Binal. "Kitab itu milik Ingkanputri. Kau
telah melarikannya dari kota Kadipaten Bumirak-
sa!"
"Ya, ya..., aku mengakui. Tapi sekarang ki-
tab itu memang tidak ada lagi padaku."
"Apa maksudmu?!" bentak Pengemis Binal
lebih keras. "Apakah kita mesti bertempur untuk
membuktikan dustamu?"
Suropati mencengkeram erat tongkat di
tangannya. Tampaknya remaja konyol ini ber-
sungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Tunggu dulu, Suro!" cegah Saka Purdianta
sambil melangkah setindak ke belakang. "Jika
kau menantangku bertempur, sebenarnya aku
malah senang. Tapi aku tidak mau kau menu-
duhku menyembunyikan Kitab Selaksa Dewa Tu-
run Ke Bumi. Kitab itu telah dirampas orang...."
"Apa?!" Suropati melonjak kaget. Kitab Se-
laksa  Dewa Turun Ke Bumi lenyap dilarikan
orang. Semakin sulitlah tugas Suropati untuk
menumpas pemberontak di negeri Pasir Luhur.
"Kau menganggapku sebagai penjahat cu-

las dan licik, terserah apa maumu. Tapi kali ini
kau harus percaya dengan ucapanku, Suro."
Pengemis Binal mendengus. Sinar matanya
berkilat tajam seperti hendak menjajaki isi hati
Dewa Guntur.
"Kemarin dalam perjalanan menuju kota-
praja, aku diikuti orang yang mengenalkan diri
sebagai Karma Salodra atau Malaikat Baju Putih.
Dengan ilmu sihirnya dia berhasil merampas Ki-
tab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi yang kusimpan
di balik baju," tutur Dewa Guntur.
"Siapa Karma Salodra itu?" selidik Penge-
mis Binal.
"Dia orang upahan ayahku."
"Untuk apa dia merampas Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi?"
Mendengar pertanyaan Suropati, Saka
Purdianta termangu. Hatinya jadi ragu. Apakah
harus dibeberkan persekongkolan ayahnya den-
gan I Halu Rakryan Subandira untuk merebut
takhta Pasir Luhur?
"Kenapa kau diam, Saka?" cecar Pengemis
Binal. "Kalau kau ingin aku percaya padamu, jan-
gan sembunyikan apa yang kau ketahui?"
Dewa Guntur menatap sejenak wajah Pen-
gemis Binal. "Ayahkulah yang memerintahkan
Karma Salodra untuk merampas Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi. Beliau tahu kitab itu berisi
siasat dan strategi perang, sedangkan aku tak
mau membantu perjuangannya...."
"Perjuangan apa?" Pengemis Binal pura-
pura tidak tahu. Hendak dilihatnya sampai di

mana kejujuran Saka Purdianta.
"Ayahku telah bersekongkol dengan I Halu
Rakryan Subandira untuk...."
"Merebut takhta Prabu Singgalang Manjun-
jung Langit?!" sela Suropati.
Dewa Guntur mengangguk: "Dari mana
kau mengetahui hal itu, Suro?" tanyanya heran.
"Ketahuilah, Saka..., kedok I Halu Rakryan
Subandira dan Tumenggung Sangga Percona te-
lah terbuka."
"Benar begitu? Berarti..., berarti Katu-
menggungan Lemah Abang akan digempur praju-
rit kerajaan...," Saka Purdianta tampak begitu
cemas. "Sekarang kau ikut aku ke Pendapa Ka-
tumenggungan Lemah Abang, Suro. Aku pun se-
benarnya memang hendak ke sana. Aku mengejar
Karma Salodra yang kuperkirakan akan menye-
rahkan Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi kepa-
da ayahku...."
"Baiklah, aku ikut kau...," Suropati men-
giyakan. Ia teringat dengan dugaannya. Bisa saja
orang yang menolong I Halu Rakryan Subandira
juga membantu ayah Saka Purdianta. Bukankah
mereka telah berkomplot? "Kalau I Halu Rakryan
Subandira bersekongkol dengan Tumenggung
Sangga Percona, tentu dia melarikan diri ke Ka-
tumenggungan Lemah Abang...," tuturnya.
"Baiklah. Kita berangkat..." Saka Purdianta
melompat ke punggung kuda hitamnya. Lalu, dia
mengisyaratkan pada Suropati untuk turut naik.
Dalam perjalanan menuju Katumenggun-
gan Lemah Abang, Suropati tak habis pikir men-

dapati Saka Purdianta yang sangat membencinya
tiba-tiba kembali sangat bersahabat. Suropati jadi
teringat pada ramalan kakek tak bermata yang
mengenalkan diri sebagai Dewa Peramal. Menurut
kakek itu, Suropati akan meminta bantuan mu-
suh besarnya untuk mengatasi tugas yang diem-
ban. Kini setelah bertemu dengan Saka Purdianta,
ternyata ramalan Dewa Peramal terbukti kebena-
rannya (Perihal Dewa Peramal, bisa dibaca pada
episode: "Sengketa Orang-orang Berkerudung"). 

***

Sang baskara telah kembali ke peraduan.
Semburat cahaya jingga di langit barat berbaur
dengan gumpalan awan perak. Senja akan rebah
memeluk malam yang segera tiba.
Walau hari belum gelap benar, lampu-
lampu di Pendapa Katumenggungan Lemah Ab-
ang telah dinyalakan. Empat orang prajurit ber-
senjata tombak tampak berjaga di pintu gerbang.
Ketika seorang lelaki setengah baya berpakaian
serba putih turun dari kuda, mereka membung-
kuk hormat.
"Tuan Karma Salodra telah dinanti oleh
Gusti Tumenggung di ruang dalam," ujar salah
seorang penjaga.
Lelaki setengah baya yang memang Karma
Salodra atau Malaikat Baju Putih, melangkah ma-
suk tanpa mempedulikan empat orang penjaga
yang masih saja membungkuk hormat. Baru saja
telapak kakinya menginjak lantai teras pendapa,

seorang lelaki tinggi besar berpakaian pembesar
datang menyambut.
"Melihat sinar matamu yang terang dan
raut wajahmu yang cerah, kau tampaknya datang
membawa hasil...," ujar lelaki tinggi besar. Dia
adalah Tumenggung Sangga Percona.
"Benar ucapan Gusti Tumenggung. Sebagai
orang upahan, Malaikat Baju Putih tak pernah
mengecewakan tuannya...," sahut Karma Salodra
sambil membungkukkan badan.
"Sebaiknya kita bicara di dalam." Mereka
tampak begitu bersahabat. Memang, karena Salo-
dralah yang menolong ayah Saka Purdianta sete-
lah berhasil dikalahkan oleh Suropati dan
Anggraini Sulistya di taman keputren istana. Ma-
ka..., karena Salodra jugalah yang telah membe-
baskan I Halu Rakryan Subandira dari pengawa-
lan Patih Sanca Singapasa dan Senopati Guntur
Selaksa, lelaki itu pun telah menyembuhkan luka
dalam I Halu Rakryan Subandira, hingga dia da-
pat meneruskan tindakannya yang hendak makar
terhadap kerajaan.
Lelaki berbaju putih itu dibimbing masuk
menuju ruangan luas yang sangat indah. Namun,
sedikit pun Karma Salodra tak tertarik akan kein-
dahan ruangan itu.
"Aku akan menjamu apa pun yang kau su-
kai setelah Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi
ada padaku," kata Tumenggung Sangga Percona
setelah mempersilakan Karma Salodra duduk di
kursi.
"Saya tidak membutuhkan jamuan apa-

apa, Gusti Tumenggung. Hanya satu saja permin-
taan saya, segera berikan sekantung uang emas
lagi. Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi akan se-
gera saya serahkan kepada Gusti Tumenggung."
"Ha ha ha...!" Tumenggung Sangga Percona
tertawa bergelak. "Mana mungkin aku menging-
kari janjiku, Salodra? Mari..., mari masuk ke
tempat rahasiaku...," ajaknya.
"Tempat rahasia? Untuk apa?" tanya Ma-
laikat Baju Putih, heran bercampur curiga.
"Bukankah kau meminta sekantung uang
emas, Salodra?"
"Hmm.... Yah, baiklah...."
Tumenggung Sangga Percona kembali me-
raih bahu Karma Salodra. Mereka berjalan beri-
ringan. Ketika melewati sebuah lorong sempit
yang agak gelap. Karma Salodra menepis tangan
Tumenggung Sangga Percona.
"Eh, ada apa?" tanya lelaki tinggi besar itu
sambil menatap wajah Karma Salodra.
"Gusti Tumenggung silakan berjalan di de-
pan...," pinta Malaikat Baju Putih.
Tumenggung Sangga Percona tersenyum
maklum. "Sebagai orang upahan yang sangat ber-
pengalaman, sikap hati-hati  memang baik. Tapi
patutkah kau mencurigaiku, Salodra?"
"Saya tidak mempunyai sakwasangka bu-
ruk. Tapi saya memang harus selalu waspada."
"Itu sama saja kau tidak mempercayaiku!"
dengus Tumenggung Sangga Percona.
"Terserah apa kata Gusti Tumenggung. Ta-
pi sebaiknya Gusti Tumenggung menuruti per-

mintaan saya. Berjalanlah di depan. Saya mengi-
kuti di belakang. "
"Hmm.... Baiklah...."
Akhirnya kaki Tumenggung Sangga Perco-
na terayun maju, walau dalam hati dia mengum-
pat-umpat tak karuan. Karma Salodra mengikuti
dengan mengambil jarak tiga depa dari penguasa
Katumenggungan Lemah Abang itu.
Sesampai di tempat yang dituju, Tumeng-
gung Sangga Percona mengeluarkan  sekantung
uang emas dari dalam peti besi. Langsung dis-
erahkannya kantung uang itu kepada Malaikat
Baju Putih.
"Terima kasih...," ucap Karma Salodra.
"Sekarang serahkan Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi padaku!" perintah Tumenggung
Sangga Percona tak sabaran.
"Bersabarlah sedikit, Gusti Tumeng-
gung...," tukas Karma Salodra. "Kitab itu akan se-
gera menjadi milik Gusti Tumenggung. Hanya sa-
ja...."
"Hanya saja apa?!" mendelik mata Tumeng-
gung Sangga Percona mendengar ucapan Karma
Salodra.
"Sebaiknya Gusti Tumenggung mengenda-
likan hawa amarah dulu. Saya tak bisa melayani
orang yang sedang naik pitam."
"Keparat!" umpat Tumenggung Sangga Per-
cona dalam hati. Dicobanya untuk bersabar. Tapi,
sorot matanya tetap saja tajam berkilat.
"Saya akan berterus-terang kepada Gusti
Tumenggung...."

"Apa? Cepat katakan!"
"Bersabarlah, Gusti.... Kenapa mesti terbu-
ru-buru?"  Karma  Salodra rupanya  ingin mem-
permainkan perasaan Tumenggung Sangga Per-
cona.
"Siapa dapat bersabar melihat sikapmu
yang mengulur-ulur waktu seperti ini?!" bentak
Tumenggung Sangga Percona. Lenyap sudah se-
mua kesabaran yang coba dikumpulkannya.
"Baiklah..., baiklah..., saya tidak akan
mengulur waktu lagi. Toh, semuanya pasti terja-
di...," Karma Salodra tersenyum tipis. "Gusti Tu-
menggung tentu mengenal benar I Halu Rakryan
Subandira...."
"Ya. Dia sahabat baikku."
"Setelah saya mendapatkan Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi dari tangan Saka Purdianta,
saya berjumpa dengan kepala pengawal istana
itu...."
"Lalu?" cecar Tumenggung Sangga Percona
semakin tak sabar.
"I Halu Rakryan Subandira adalah kakak
kandungku."
"Dusta! I Halu Rakryan Subandira tidak
mempunyai adik! Aku-tahu betul itu!"
"Terserah Gusti Tumenggung mau percaya
atau tidak. Saya tidak bisa memaksa. Yang jelas, I
Halu Rakryan Subandira bermaksud memiliki Ki-
tab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi."
"Ap..., apa...?!" Gelagapan kata-kata Tu-
menggung Sangga Percona. "Kalau begitu, seka-
rang kau tidak membawa kitab itu?" 

"Benar!" 
"Keparat!"
Tumenggung Sangga Percona langsung
mencabut keris di pinggangnya. Tapi, gerakannya
terhenti. Keluh pendek keluar dari mulut. Karma
Salodra telah menikam jantung lelaki tinggi besar
itu dengan sebilah pisau kecil!
Kedatangan Saka Purdianta dan Suropati
di Pendapa Katumenggungan Lemah Abang hanya
disambut tubuh beku Tumenggung Sangga Per-
cona. Walau bagaimanapun bencinya Saka Pur-
dianta mengetahui ayahnya memberontak, tapi
setelah pengukir jiwa raganya itu terbujur tanpa
nyawa, sedih juga hati Saka Purdianta. Sebagai
seorang anak tentu saja dia merasa kehilangan.
Kini yatim piatulah pemuda yang bergelar Dewa
Guntur itu. Karena, ibunya telah lama meninggal.
Malam itu juga seluruh punggawa katu-
menggungan mempersiapkan upacara pemaka-
man junjungan mereka esok hari. Saka Purdianta
sendiri duduk terpekur di sebuah ruangan. Suro-
pati yang berada di dekatnya mau tak mau turut
berduka juga. Walau Saka Purdianta masih men-
ganggapnya sebagai musuh, tapi setelah tahu
pemuda itu sangat terpukul karena kehilangan
ayahnya, jiwa Suropati tersentuh.
"Bila kau duduk terpekur seperti itu, kau
tak tampak lagi sebagai Dewa Guntur yang perka-
sa dan berhati baja," sindir Pengemis Binal, beru-
saha menepis kesedihan hati Saka Purdianta.
"Aku duduk terpekur bukannya menyesali
kepergian ayahku. Aku sedang mencoba mendu-

ga-duga siapa pelaku pembunuhan ini," kilah
Dewa Guntur.
"Oh, ya.... Sudah kau temukan jawaban-
nya?"
"Aku mencurigai seseorang. I Halu Rakryan
Subandira!" jawab Saka Purdianta dengan sinar
mata berapi-api.   
"Kau yakin?"
"Yakin sekali! Ayahku dan I Halu Rakryan
Subandira telah membuat persekongkolan untuk
menggulingkan takhta Prabu Singgalang Manjun-
jung Langit. Aku tahu betul I Halu Rakryan Sub-
andira orang yang berbudi halus dan lemah-lem-
but perangainya. Tapi, di balik kebaikannya itu
tersimpan sifat iri dengki dan licik. Aku sadar di-
riku pun bukan orang baik-baik. Namun, yang
membedakan aku dengan I Halu Rakryan Suban-
dira adalah pandangannya tentang kenegaraan.
Di bawah pimpinan Prabu Singgalang Manjun-
jung Langit, rakyat Pasir Luhur sudah hidup
aman tenteram. Kenapa I Halu Rakryan Subandi-
ra hendak merebut takhta kalau dia tidak memi-
liki jiwa serakah?"
"Benar katamu, Saka...," sahut Pengemis
Binal. "Bagaimana kau bisa mempunyai alasan I
Halu Rakryan Subandira yang membunuh ayah-
mu?"
"Bukan dia yang melakukan, tapi orang su-
ruhannya!"
"Siapa?"
"Itu yang aku tak tahu."
Sampai di situ pembicaraan terhenti. Saka

Purdianta kembali terpekur. Suropati pun terba-
wa pada pikiran di benaknya.        
"Hmm.... Ke mana aku harus mencari Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke Bumi? Saka Purdianta
tampaknya benar-benar tak membawa kitab
itu...," kata hati Pengemis Binal. "Aku menduga
ada hubungannya antara pembunuh Tumeng-
gung Sangga Percona dengan Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi. Tentu saja berhubungan pula
dengan I Halu Rakryan Subandira."
Suropati menatap wajah Dewa Guntur
yang keruh. "Kita harus segera dapat menemukan
I Halu Rakryan Subandira!" katanya.
Saka Purdianta tetap duduk terpekur.
"Setelah pengkhianat itu ditemukan, akan
terbuka tabir pembunuhan ayahmu, Saka...," lan-
jut Pengemis Binal.
Mendadak, Dewa Guntur meloncat dari
tempat duduknya. "Aku telah menemukan cara
untuk mencari jejak I Halu Rakryan Subandira!"
ujarnya penuh keyakinan.
Pengemis Binal  menatap dengan pandan-
gan tak mengerti. Saka Purdianta enak saja berla-
lu  dari hadapannya. Sepeminum teh menunggu,
Pengemis Binal dikejutkan oleh kehadiran seo-
rang lelaki setengah baya yang mengenakan ju-
bah kuning.
"I Halu Rakryan Subandira!" pekik Suropa-
ti. Tanpa sadar remaja tampan ini tersurut mun-
dur setindak.
"Aku Saka Purdianta, Suro," ujar orang
yang baru datang.

"Kau..., kau Saka Purdianta?" tanya Pen-
gemis Binal tak percaya. Lelaki yang berdiri di
hadapannya persis I Halu Rakryan Subandira.
"Kau lupa kalau aku mempunyai ilmu pe-
nyamaran yang hebat, Suro...," ujar orang yang
bam datang sambil mengusap wajahnya.
Pengemis Binal tercengang. Orang berjubah
kuning itu memang Saka Purdianta. Tangan ka-
nannya memegang topeng tipis dari getah karet.
"Dengan menyamar sebagai I Halu Rakryan
Subandira, aku akan membuat heboh pasukan
tersembunyi di kotapraja. I Halu Rakryan Suban-
dira sendiri pasti akan terpancing keluar...," tutur
Dewa Guntur tentang rencananya.
"Cerdik sekali kau, Saka," puji Pengemis
Binal. "Tapi, bukankah kau memiliki ilmu
'Pelacak Jejak'? Untuk mencari I Halu Rakryan
Subandira apa susahnya?"
"Pengkhianat kerajaan itu sekarang men-
genakan Pusaka Jubah Kuning. Benda mustika
itu melindungi dirinya, sehingga aku tak dapat
menangkap getaran hidup yang terpancar dari
tubuhnya."
"Kalau begitu, aku menurut saja pada ren-
canamu. Yang penting, kita harus segera dapat
menemukan I Halu Rakryan Subandira secepat-
nya juga Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi yang
dibawanya. Sebelum dia memimpin pasukannya
untuk menyerbu istana."
"Besok pagi setelah upacara pemakaman
jenazah ayahku, kita berangkat ke kotapraja!" pu-
tus Saka Purdianta.


***

Candi Salontar terletak di bagian barat ko-
tapraja. Bangunan dari susunan batu yang bi-
asanya sunyi itu kini dipenuhi suara teriakan dan
denting senjata tajam.
Seorang lelaki setengah baya berjubah
kuning tampak dikeroyok sepuluh orang prajurit
kerajaan. Melihat jurus-jurus yang dimainkan pa-
ra prajurit itu, bisa dipastikan mereka anggota
pasukan khusus di bawah pimpinan Senopati
Guntur Selaksa.
"Menyerahlah kau, Subandira! Daripada
kepalamu menggelinding di tanah siang ini juga,
lebih baik jatuhkan pedangmu!" ujar salah seo-
rang prajurit
Orang yang dipanggil I Halu Rakryan Sub-
andira cuma mendengus. Dia memainkan jurus
pedangnya yang lebih hebat. Namun, serangan
para prajurit kerajaan datang silih berganti bagai
siraman air hujan.
"Menyerahlah, Subandira!" teriak seorang
prajurit yang lain.
"Aku menyerah setelah tubuhku tiada ber-
nyawa!" sahut orang berjubah kuning.
"Baik, kalau itu maumu! Gusti Prabu pun
telah memerintahkan pada kami untuk menang-
kapmu hidup atau mati!"
Segera lelaki berjubah kuning meloncat
mundur saat tiga sambaran pedang datang dari
depan. Tapi belum sampai kakinya menginjak ta-

nah, dua tusukan mengarah ke bagian tubuh
yang berbahaya.
Trang! Trang! 
Lelaki berjubah kuning memutar pedang-
nya. Dia pun luput dari lubang kematian. Untuk
sementara kepala pengawal istana yang makar itu
bisa bernapas lagi. Namun setelah para penge-
royoknya memburu dengan membentuk lingka-
ran, terdesak hebatlah dia.
"Kami datang, Tuan Subandira!"
Dalam keadaan yang cukup mengkhawa-
tirkan itu, tiba-tiba terdengar teriakan. Dibarengi
kelebatan lima sosok tubuh. Kesepuluh prajurit
kerajaan terkejut, mendapati orang-orang yang
baru datang langsung menggempur. Pertempuran
pun bertambah sengit.
Sambil terus memainkan pedangnya, lelaki
berjubah kuning tersenyum. Lima orang yang
membantunya memakai pakaian seperti warga
kotapraja biasa. Tapi ilmu pedang mereka bisa
dibilang lumayan. Dan memang, mereka sebagian
dari  pasukan pemberontak yang sedang menya-
mar.
Bertempur di tempat terbuka tentu saja
kurang menguntungkan mereka. Penyamarannya
akan dapat terbongkar. Maka, salah seorang dari
pasukan tersembunyi itu berteriak, "Ikuti saya,
Tuan Subandira!"
Lelaki berjubah kuning tersenyum lagi. Dia
meloncat jauh mengikuti kelebatan tubuh orang
yang berteriak. Sementara empat orang temannya
merangsek maju para prajurit kerajaan yang

mencoba mengejar.
"Jangan biarkan pengkhianat itu lolos!" pe-
kik salah seorang prajurit yang agaknya menjadi
pimpinan.
Namun, peringatan itu sia-sia. Sosok lelaki
berjubah kuning keburu hilang dari ajang per-
tempuran. Disusul kemudian empat orang dari
pasukan tersembunyi. Mereka berloncatan me-
nyebar untuk turut melarikan diri. Tinggallah ke-
sepuluh prajurit kerajaan dengan hati kesal.
Lelaki berjubah kuning terus berlari men-
gikuti kelebatan tubuh lelaki kekar di depannya.
Sesampai di sebuah puri kecil di perbatasan sela-
tan kotapraja, lelaki kekar berbaju hitam meng-
hentikan langkah.
"Tuan Subandira lebih baik bersembunyi di
puri ini," kata lelaki berbaju hitam. Dipersilakan
orang yang berhasil diselamatkannya masuk ke
puri.
Belasan lelaki kekar ternyata penghuni pu-
ri kosong itu. Melihat kedatangan lelaki berjubah
kuning, mereka langsung membungkuk hormat.
Setelah menatap satu persatu wajah orang-
orang di sekelilingnya, lelaki berjubah kuning
berkata, "Aku ingin bertemu dengan kepala pasu-
kan."
"Sayalah orangnya, Tuan Subandira...," sa-
hut lelaki berbaju hitam. "Apakah ada yang aneh
dengan diri saya?"
Lelaki berjubah kuning terkejut. Orang
yang dicarinya ternyata si dewa penolong. Tapi
segera disembunyikan perubahan  raut wajahnya

dengan senyum tipis.
"Aku yang sudah tua ini kenapa jadi sangat
pelupa...," kilah I Halu Rakryan Subandira. "Sam-
pai-sampai kepala pasukanku sendiri tak kukena-
li. Oh, ya siapa namamu?"
Lelaki berbaju hitam mengerutkan kening.
"Apakah benar ada yang aneh dengan diri saya,
Tuan Subandira? Tuan Subandira tidak lagi men-
genali saya?" Sambil berkata begitu, orang ini
memperhatikan keadaan dirinya. "Bukankah
Tuan Subandira tahu nama saya Kalasangit?"
"Hmm.... Yah, kau memang Kalasangit, ke-
pala pasukanku...," desis lelaki berjubah kuning.
Dengan alis berkerut rapat lelaki bernama
Kalasangit bertanya, "Bagaimana Tuan Subandira
bisa dikeroyok prajurit-prajurit itu?"
"Prabu Singgalang Manjunjung Langit telah
mengetahui rencanaku. Aku mencoba melarikan
diri. Tapi, prajurit-prajurit busuk itu terus menge-
jar."
"Kalau begitu, kedudukan kita di sini ber-
bahaya?"
"Tidak! Sapi Tua Singgalang Manjunjung
Langit memang sudah mencium adanya pasukan
tersembunyi di kotapraja. Namun, dia tak akan
bertindak apa-apa selama penyamaran kalian be-
lum terbuka."
Kalasangit mengangguk-angguk. Belasan
temannya diperintahkan berjaga-jaga di luar.
Orang-orang itu juga mengenakan pakaian rakyat
jelata, sama seperti yang dikenakan Kalasangit.
"Ada kabar buruk...," bisik lelaki berjubah

kuning.
"Kabar buruk apa, Tuan Subandira?" tanya
Kalasangit sambil beringsut mendekat.
"Tumenggung Sangga Percona telah me-
ninggal."
Kalasangit terkejut. Dia sampai meloncat
berdiri. "Benar ucapan Tuan Subandira?" ta-
nyanya meminta kepastian.
"Dia dibunuh seorang tokoh lihai di penda-
pa katumenggungan."        
"Siapa?"
"Aku tak tahu. Aku mendengar kabar ini
dari salah seorang kepercayaanku."
"Lalu, bagaimana dengan rencana yang te-
lah Tuan Subandira susun bersama Tumenggung
Sangga Percona?" tanya Kalasangit. Tampaknya
dia khawatir rencana yang telah disusun akan
hancur berantakan.
"Tetap kita laksanakan. Tapi, untuk selan-
jutnya aku yang menjadi pemimpin tunggal di si-
ni."
Kalasangit mengangguk pasti.
Ketika lelaki berjubah kuning bangkit dari
duduknya, di ruang depan puri terdengar ribut-
ribut.
"Pencoleng keparat! Bagaimana kau bisa
menyusup kemari?!"
Kalasangit terkejut setengah mati. Di de-
pannya muncul seorang lelaki berjubah kuning
yang lain.
"Tuan Subandira...!"
Kalasangit bergantian menatap kedua lela-

ki setengah baya di depannya. Wajah dan penam-
pilan mereka sama persis. Di tempat itu ada dua I
Halu Rakryan Subandira!

4

"Bunuh dia, Kalasangit!" perintah I Halu
Rakryan Subandira yang baru datang.
Kalasangit cuma mengusap-usap mata. la
tak dapat melaksanakan perintah itu dengan be-
gitu saja. Sementara, I Halu Rakryan Subandira
kedua tertawa terbahak-bahak.
"Muncul juga akhirnya kau, Pengkhianat
Busuk!" ujar lelaki berjubah kuning yang berada
di dekat Kalasangit. "Katakan apa maksudmu
membunuh Tumenggung Sangga Percona?!"
"Buka dulu topengmu, Keparat!"
Perlahan orang yang dituding mengusap
wajah. Dan, lepaslah topeng tipis yang membuat
wajahnya tampak mirip I Halu Rakryan Subandi-
ra.
"Saka Purdianta!" pekik I Halu Rakryan
Subandira yang asli.
"Ya! Aku memang Saka Purdianta atau
Dewa Guntur. Sekarang katakan apa maksudmu
membunuh ayahku?"
"Jawabnya mudah saja, Bocah Edan! Aku
menginginkan Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bu-
mi. Adikku yang bergelar Malaikat Baju Putih-lah
yang melaksanakan pembunuhan itu."
"Keparat!"

Umpatan Saka Purdianta dibalas dengan
isyarat I Halu Rakryan Subandira kepada Kala-
sangit dan belasan anak buahnya. Mereka lang-
sung meloloskan pedang untuk mengeroyok Saka
Purdianta.
"Hadapi aku seorang diri, Subandira!" ujar
Dewa Guntur. "Jangan libatkan kroco-kroco se-
perti mereka!"
"Anggap itu sebagai pemanasan, Bocah
Edan!" balas I Halu Rakryan Subandira. Lalu, di-
perintahkan Kalasangit dan anak buahnya untuk
mulai menggempur. "Cincang tubuhnya!"
Cepat sekali Saka Purdianta berkelebat.
Hendak digedornya dada I Halu Rakryan Suban-
dira. Tapi, lelaki berjubah kuning itu telah lebih
dahulu menghindar.
Sambil berteriak keras, Dewa Guntur men-
cabut pedang dari balik jubah yang dipakainya.
Dengan satu tebasan, dua orang anak buah Kala-
sangit tersungkur tewas. Rupanya Saka Purdianta
juga ahli memainkan pedang. Maka ketika dia
terdesak melawan sepuluh prajurit kerajaan di
depan Candi Salontar, itu hanya tipuan. Seperti
halnya dia menipu prajurit-prajurit itu sehingga
mereka menganggapnya I Halu Rakryan Subandi-
ra.
Melihat dua anak buahnya tak berkutik
Kalasangit menggeram marah. Apalagi dia telah
terkecoh dengan penyamaran Saka Purdianta.
Diserangnya pemuda tampan itu membabi-buta.
"Hendak lari ke mana kau?!" teriak Dewa
Guntur sambil menangkis serangan pedang Kala-

sangit. Pemuda tampan itu menghempos tubuh
mengejar I Halu Rakryan Subandira yang melon-
cat keluar ruangan.
"Tahan dia!" perintah I Halu Rakryan Sub-
andira ketika mencapai pintu puri. Kepala pen-
gawal istana ini merasa tak menguntungkan bila
harus bertempur. Hanya akan mengundang
orang-orang istana datang ke tempat itu. Maka
diperintahkannya Kalasangit dan anak buahnya
untuk mencegat langkah Saka Purdianta.
Dewa Guntur dibuat repot oleh para penge-
royoknya. I Halu Rakryan Subandira segera men-
gambil langkah seribu. Tapi baru saja menginjak
halaman puri, seorang remaja tampan berpakaian
putih penuh tambalan datang mencegat.
"Suropati keparat! Pengemis Edan!" maki I
Halu Rakryan Subandira.
"He he he...," Pengemis Binal tertawa terke-
keh. "Dalam kebingungan, wajahmu seperti mo-
nyet minta kawin, Tuan Subandira yang terhor-
mat!"
I Halu Rakryan Subandira mendengus gu-
sar. Dia menjejak tanah. Tubuhnya pun melesat
hendak meninggalkan halaman puri. Namun,
Pengemis Binal tahu gelagat lelaki berjubah kun-
ing itu. Dengan satu loncatan ringan tubuhnya
melayang dan memapaki luncuran tubuh I Halu
Rakryan Subandira. 
 Duk...!
Pukulan I Halu Rakryan Subandira berha-
sil ditangkis Suropati. Begitu kakinya mendarat di
tanah, ditusukkan ujung tongkatnya ke ulu hati.

Tapi I Halu Rakryan Subandira malah menadahi.
Dia sangat yakin akan keampuhan Pusaka Jubah
Kuning yang dipakainya. Dan memang benar, tu-
sukan tongkat Suropati tak menghasilkan apa-
apa walau mengenai sasaran dengan tepat.
Tanpa terasa pertempuran telah berlang-
sung lima jurus. Pengemis Binal berseru girang
ketika ujung tongkatnya berhasil menyambar
kain jubah I Halu Rakryan Subandira. Kain jubah
yang tersingkap memperlihatkan di pinggang I
Halu Rakiyan Subandira terselip kitab bersampul
hitam.
"Serahkan Kitab Selaksa Dewa Turun Ke
Bumi!" ujar Pengemis Binal dengan dilambari ke-
kuatan sihir hasil ajaran gurunya yang bergelar
Periang Bertangan Lembut.
Sejenak I Halu Rakryan Subandira kebin-
gungan.
"Serahkan Kitab Selaksa Dewa Turun Ke
Bumi!" ujar Pengemis Binal lagi. Kali ini dia me-
nambahkan kekuatan sihirnya.
Kepala I Halu Rakryan Subandira mengge-
leng-geleng. Namun begitu Suropati mengulang
kalimatnya, lelaki berjubah kuning itu mengelua-
rkan kitab yang terselip di pinggangnya. Lalu,
disodorkannya kepada Suropati.
"Jangan...!"
Sebuah teriakan membuat I Halu Rakryan
Subandira mundur selangkah. Teriakan itu mam-
pu menghilangkan pengaruh sihir yang mengua-
sai jalan pikiran kepala pengawal istana ini.
Suropati pun terkejut. Tapi ia tak mau ke-

hilangan kesempatan. Secepat kilat disambarnya
Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi di tangan kiri
I Halu Rakryan Subandira.
Ketika Pengemis Binal berhasil menyentuh
kitab yang diinginkannya, sesosok bayangan pu-
tih berkelebat cepat berusaha menggagalkan.
Des...!
Bahu kiri Pengemis Binal terhantam puku-
lan. Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi yang
berhasil dipegangnya mencelat ke atas. Sewaktu
Pengemis Binal jatuh tersungkur, sosok bayangan
putih berkelebat lagi. Hendak disambarnya kitab
yang masih melayang di udara
Wusss...!
Alangkah terkejutnya bayangan putih. Te-
lapak tangannya tak menyentuh apa-apa. Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke Bumi bagai lenyap begitu
saja.
Suropati yang telah melompat bangkit ber-
sorak girang. Di tempat itu hadir Anggraini Sulis-
tya dengan tangan kanan memegang sebuah kitab
bersampul hitam. Tidak jauh dari tempatnya ber-
diri tampak Raka Maruta duduk di atas pelana
kuda.
Orang berpakaian serba putih yang gagal
mendapatkan Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi
mengumpat-umpat tak karuan. Dia adalah Karma
Salodra atau Malaikat Baju Putih, adik I Halu Ra-
kryan Subandira. Sedangkan lelaki berjubah kun-
ing masih berdiri termangu-mangu tak tahu apa
yang baru saja terjadi.
"Kita pergi dari tempat ini, Kakang Suban-

dira!" ajak Malaikat Baju Putih.
Melihat keadaan yang sangat tak mengun-
tungkan itu, I Halu Rakryan Subandira bersuit
nyaring. Dalam sekejap mata berhamburan bela-
san lelaki kekar dari dalam puri. Kalasangit terli-
hat di antara mereka. Disusul Saka Purdianta
yang masih mengenakan jubah kuning
Begitu mengetahui di halaman puri berdiri
Anggraini Sulistya, mulut Saka Purdianta lang-
sung ternganga. Matanya memandang tak berke-
dip. Anggraini Sulistya sendiri mengurungkan
niatnya untuk mengejar I Halu Rakryan Subandi-
ra.
"Saka Purdianta keparat!" pekik Putri Ca-
haya Sakti seraya meloloskan pedang. Langsung
diterjangnya Dewa Guntur yang masih ternganga
dalam keterkejutan.
Trang...! 
Ketika pedang Anggraini Sulistya tinggal
sejengkal lagi memenggal leher Saka Purdianta,
Pengemis Binal melontarkan tongkatnya. Sela-
matlah Saka Purdianta dari lubang kematian.
"Kenapa kau menghalangi aku membunuh
pemuda bejat itu, Suro?!" hardik Anggraini Sulis-
tya setelah meloncat ke hadapan Pengemis Binal.
"Bila kau membunuh Saka Purdianta, kau
akan menyesal...," kilah Suropati.
"Menyesal? Kenapa aku mesti menyesal
membunuh orang yang telah membuatku mende-
rita oleh Racun Jarum Mati Sekejap?"
"Lupakan masa lalu itu, Aini...," bujuk Su-
ropati dengan lembut. "Saka Purdianta yang kau

jumpai sekarang, bukan Saka Purdianta yang du-
lu."
"Apa maksudmu, Suro? Seekor harimau
yang memakai bulu kambing tetap saja seekor
harimau!"
Pengemis Binal menggeleng-gelengkan ke-
palanya. "Tidak, Aini. Kau harus mendengar pen-
jelasanku...."
"Sudahlah, Suro!" teriak Saka Purdianta.
Pemuda itu masih berdiri di tempatnya. "Dosaku
terhadap Anggraini Sulistya memang terlalu be-
sar. Dosa itu hanya dapat kutebus lewat kema-
tian."
Putri Cahaya Sakti menatap wajah Saka
Purdianta lekat-lekat. "Kau memang layak untuk
dibunuh, Binatang!" makinya.
Putri Prabu Singgalang Manjunjung Langit
itu menghemposkan tubuhnya dengan ujung pe-
dang lurus ke jantung Saka Purdianta. Dan, tam-
paknya Saka Purdianta tak berniat untuk berke-
lit. Malaikat kematian benar-benar mengintai
nyawa pemuda itu!
Karena tak melihat cara lain untuk menye-
lamatkan jiwa Dewa Guntur, Pengemis Binal ber-
teriak lantang dengan dilambari ilmu sihir. "Ta-
han, Aini!"
Namun tetap saja tubuh Putri Cahaya Sak-
ti melesat cepat. Ujung pedangnya tak lagi men-
garah ke jantung Saka Purdianta. Sedikit ke ba-
wah. Tapi tak kalah berbahayanya.
Trang...!
Putri Cahaya Sakti mendengus marah. Pe-

dangnya terpental lepas dari pegangan. Kali ini
yang menyelamatkan jiwa Saka Purdianta adalah
Raka Maruta. Dengan mempergunakan kipas baja
putihnya, pemuda berwajah lembut itu meloncat
dari punggung kuda dan menangkis tusukan pe-
dang Anggraini Sulistya.
"Kenapa kau ikut campur urusanku, Maru-
ta?!" bentak Putri Cahaya Sakti.
"Pendekar tak akan membunuh orang yang
tak memberikan perlawanan...," ujar Pendekar
Kipas Terbang.
"Kau belum tahu siapa Saka Purdianta,
Maruta!" bentak Anggraini Sulistya. Mata gadis
cantik ini tampak memerah. "Di Kapal Rajawali
dia hampir saja menodaiku. Bahkan..., bah-
kan...."
Putri Cahaya Sakti tak dapat melanjutkan
kalimatnya. Air matanya keburu menetes,
"Saka Purdianta telah menyesali perbua-
tannya...," tutur Suropati sambil berjalan mende-
kat. "Bahkan dia sudah membantu mengatasi
kemelut di negeri Pasir Luhur ini. Kalau tidak ada
dia, kita tidak akan berjumpa I Halu Rakryan
Subandira. Aku pun tak akan mendapatkan Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke Bumi."
Sambil berlinang air mata, Anggraini Sulis-
tya menatap kitab bersampul hitam di tangan
Pengemis Binal.
"Kitab ini berisi siasat dan strategi pe-
rang...," lanjut Suropati. "Kekuatan di pihak ista-
na sangat lemah. Tapi aku yakin dengan mempe-
lajari kitab ini, para pemberontak akan dapat kita

tumpas."
"Kita kembali ke istana sekarang, Aini...,"
usul Pendekar Kipas Terbang.
Anggraini Sulistya tak memberi jawaban.
Tapi, dia menurut saja ketika Pengemis Binal me-
rengkuh bahunya. Bersama Raka Maruta, mereka
melangkah menuruti jalan menuju istana. Saka
Purdianta berkelebat pergi tanpa berkata apa-apa.      
Kalasangit beserta anak buahnya juga Ma-
laikat Baju Putih dan I Halu Rakryan Subandira
telah pergi sejak tadi. Mereka memanfaatkan ke-
sempatan ketika terjadi bentrokan antara
Anggraini Sulistya dengan Saka Purdianta.

5

Pengemis Binal menghabiskan waktunya
seharian untuk membaca isi Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi. Dipelajarinya tentang seluk-
beluk perang. Bagian yang berisi cara-cara meng-
himpun tenaga prana untuk sementara disisih-
kan.
"Panglima Pranasutra benar-benar seorang
panglima perang yang hebat...," puji Pengemis Bi-
nal pada penyusun kitab yang sedang dipelaja-
rinya.
Mata Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu berbinar ketika menutup sam-
pul kitab. Saat hendak bangkit dari duduknya,
terdengar pintu diketuk dari luar.
"Siapa?" tanya Suropati.

"Buka pintu, Suro. Ini aku!" jawab orang di
balik pintu.
"Oh, kau, Putri. Masuk saja. Pintu tidak
dikunci."
Pintu terkuak. Muncullah seraut wajah
cantik jelita. Matanya mengerjap ke arah Penge-
mis Binal. Dan, bibirnya menyunggingkan se-
nyum manis. Jantung Pengemis Binal kontan
berdegup lebih kencang. Ditatapnya sosok gadis
berpakaian serba merah yang berdiri di ambang
pintu.
"Ada apa, Putri?" tanya remaja tampan itu.
"Kau menyelesaikan semadimu, apakah luka da-
lam yang kau derita telah dapat diatasi."
"Sudah kubilang hanya luka dalam ringan,
Suro. Kenapa kau begitu khawatir?" ujar Ingkan-
putri atau Dewi Baju Merah.
"Aku khawatir karena tak mau kehilangan
kau," sahut Pengemis Binal sambil tersenyum-
senyum.
"Uh! Rayuan gombal!" rutuk Ingkanputri
seraya berjalan mendekat.
"Apakah kau hendak meminta kitab milik-
mu ini?" Pengemis Binal menunjuk kitab yang ter-
letak di atas meja.
"Sudah selesai kau pelajari?"
Suropati mengangguk.
"Kebetulan sekali. Tadi Ayahanda Prabu
memintaku untuk memanggil kau." 
"Untuk apa?"
"Tentu saja untuk membicarakan kemelut
di negeri ini. Sudahkah kau mendapat siasat jitu

untuk menghadapi kekuatan pemberontak?"
tanya Ingkanputri. Ingin diketahuinya rencana
Suropati, setelah membaca Kitab Selaksa Dewa
Turun Ke Bumi.
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepala.
Ditatapnya wajah Ingkanputri dalam-dalam. Lalu,
dia bangkit dan menutup daun pintu.
"Eh, kau mau apa, Suro?" tanya Dewi Baju
Merah, curiga.
"Uts! Jangan keras-keras!"
"Ayo! Gendengmu mulai kumat! Aku tidak
suka!" 
Ingkanputri melompat ke samping untuk
menghindari pelukan Pengemis Binal. Tapi, rema-
ja konyol itu terus memburu.
"Kutampar wajahmu baru tahu rasa!"  an-
cam Dewi Baju Merah.
"Nih! Tampar saja!"
Suropati berjalan mendekat sambil menyo-
dorkan wajah dengan bibir dimonyongkan. Mata
Ingkanputri mendelik. Tangan murid Dewi Tan-
gan Api itu bergerak hendak menampar. Tapi, ke-
buru ditangkap oleh Pengemis Binal. Ditariknya
tubuh gadis itu dan dipeluknya erat-erat.
"Kau cantik sekali, Putri...."
"Uh! Uh! Lepaskan! Aku tidak butuh
rayuan gombal!" rungut Dewi Baju Merah sambil
menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri.
"Lalu, apa yang kau butuhkan? Ciuman?"
Suropati mempererat pelukannya. Ingkan-
putri membuang wajah ketika remaja konyol itu
hendak mendaratkan ciuman. Suropati tertawa

terkekeh-kekeh. Dia hendak memaksakan kehen-
dak. Namun....
Bluk...!
"Aduh!"
Pengemis Binal meloncat ke belakang. Di-
dekapnya celana bagian depan yang terhantam
lutut Ingkanputri. Saking sakitnya, remaja konyol
itu menggeliat-geliat sambil terus mengaduh. In-
gkanputri malah tertawa cekikikan melihat Suro-
pati berlinang air mata.
"Rasakan!" ejek Dewi Baju Merah.
Namun..., betapa terkejutnya gadis cantik
itu. Geliatan tubuh Suropati melemah dan tiba-
tiba tergeletak di lantai tak bergerak lagi.
"Suro!" pekik Ingkanputri, khawatir.
Tubuh Suropati diguncang-guncangkan.
Tapi, tubuh remaja konyol itu tetap terbujur di-
am.
"Pingsan sungguhankah dia?" ujar Ingkan-
putri berkata sendiri. "Jangan-jangan dia hendak
menipuku. Mau mengambil kesempatan ketika
aku lengah...."
Ingkanputri membuka kelopak mata Pen-
gemis Binal. Begitu melihat bola mata remaja ko-
nyol itu bergerak ke atas, bibir Ingkanputri me-
nyungging senyum. Lalu....
"Aduh!"
Suropati menjerit kesakitan ketika cubitan
keras Ingkanputri mendarat di pahanya.
"Kau pikir bisa menipuku?" ejek Dewi Baju
Merah.
"Kau menyakiti aku, Putri. Apakah kau su-

dah tidak mencintaiku lagi?"
Mendengar pertanyaan Pengemis Binal, In-
gkanputri jadi gelagapan. "Aku..., aku...."
"Aku apa?" buru Pengemis Binal.
"Caramu ini yang tidak aku suka!"
"Yang kau suka?"
"Sudah! Sudah! Kau ditunggu Ayahanda
Prabu!"
Suropati memegang lengan Ingkanputri ke-
tika gadis itu hendak membuka daun pintu. "Se-
bentar...," katanya. "Ada sesuatu yang harus kau
ketahui."
Melihat kesungguhan Suropati, Ingkanpu-
tri mengurungkan niatnya. Tapi begitu dia lengah,
Suropati bertindak cepat. Dilumatnya bibir gadis
itu....
"Uh! Lepaskan!"
Tentu saja Suropati yang sedang kumat
gendengnya tak mau menuruti permintaan In-
gkanputri. Tapi, terkejutlah Suropati ketika daun
pintu diketuk.
"Suro! Suro!" panggil orang di luar ruan-
gan.
Di saat Pengemis Binal melepas dekapan-
nya, Ingkanputri menghadiahkan jitakan di kepa-
la. Remaja konyol itu tak berani mengaduh.
Hanya, sudut bibir kirinya tertarik ke atas karena
menahan rasa sakit.
"Suro!" panggilan di luar terdengar lagi.
"Ya," sahut Suropati seraya bergegas mem-
buka daun pintu. Ternyata Anggraini Sulistya
yang mengetuk pintu.

"Eh, sedang apa kalian?" tanya gadis itu
ketika melihat Ingkanputri berada di dalam ruan-
gan.
"Ah, kami sedang main kelereng tadi...," ki-
lah Pengemis Binal sekenanya.
Anggraini Sulistya mendekap mulutnya ka-
rena tak mampu menahan geli. Ingkanputri lang-
sung menyepak kaki Pengemis Binal.
"Main kelereng gundulmu itu!" maki Dewi
Baju Merah.
"He he he...," Suropati tertawa terkekeh.
"Jangan mungkir, Putri. Kau tadi telah menen-
dang 'kelereng'-ku! Ayo, mengaku saja!"
Di ujung kalimatnya Pengemis Binal terta-
wa terkekeh lagi. Ingkanputri cemberut. Putri Ca-
haya Sakti langsung menukasnya, "Hentikan ta-
wamu, Suro! Saat ini bukan waktunya untuk ber-
canda!"
"Ya..., ya, aku tahu, Aini...," sahut Penge-
mis Binal. "Aku harus segera menghadap Aya-
handa Prabu. Bukankah kedatanganmu juga un-
tuk menyampaikan panggilan itu?"
"Kau sudah mempelajari isi Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi hingga tuntas?" bukannya
menjawab, Anggraini Sulistya malah membelok-
kan pembicaraan.
Suropati mengangguk.
"Kau sudah menemukan cara untuk men-
gatasi pasukan I Halu Rakryan Subandira si
pengkhianat keparat itu?"
Suropati terlihat garuk-garuk kepalanya.
"Bagaimana, Suro?" desak Anggraini Sulistya. Su-

ropati hanya nyengir kuda, lalu tertawa ter-
kekeh-kekeh.

***

Walau tampak konyol dan amat bodoh, tapi
otak Pengemis Binal  sebenarnya sangat cemer-
lang. Prabu Singgalang Manjunjung Langit men-
gangguk-anggukkan kepala ketika Suropati me-
nyampaikan gagasannya.
"Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi berisi
tentang seluk-beluk peperangan. Termasuk bagai-
mana mengatasinya. Tapi, cara mengatasi itu ter-
gantung pada kemampuan kepala pasukan untuk
menyusun siasat. Tergantung juga pada besar-
kecilnya pasukan...," tutur Pengemis Binal. "Jadi,
untuk mengatasi kemelut di negeri ini Kitab Se-
laksa Dewa Turun Ke Bumi tidak memberikan ca-
ra apa-apa. Siasat yang jitu harus kita susun
sendiri. Tentu saja dengan berpedoman pada isi
kitab."
"Kau yakin apa yang telah kau sampaikan
kepadaku tadi dapat membuahkan hasil?" tanya
sang Raja, menimbang keyakinan Pengemis Binal.
Suropati menggaruk kepalanya yang tak
gatal. "Tadi sudah saya katakan kepada Ayahanda
Prabu, untuk mengatasi kemelut di negeri ini ada
dua cara. Pertama, kita tangkap pemimpinnya.
Dengan demikian nyali pasukan pemberontak
akan ciut. Mereka perlu berpikir beberapa kali la-
gi untuk melanjutkan pemberontak. Mereka juga
butuh pemimpin baru. Nah, ketika mereka sedang

dilanda kesulitan inilah saat yang tepat untuk
menggempur."
"Tapi, kukira cara pertama itu sulit dilak-
sanakan. Kita tidak tahu di mana I Halu Rakryan
Subandira berada. Setelah kepergok di puri kecil
di perbatasan selatan kotapraja, dia tentu akan
lebih berhati-hati," tutur Prabu Singgalang Man-
junjung Langit.
"Agaknya memang demikian. Cara pertama
tampaknya sulit dilaksanakan...," tegas Pengemis
Binal. "Namun, cara kedua lebih mudah. Bila
Ayahanda menyetujui, sore ini juga kita laksana-
kan."
"Aku mendukung jalan pikiranmu sepe-
nuhnya, Anakku...," ujar sang Raja. Direngkuh-
nya bahu Suropati, lalu dipeluknya erat-erat.
"Hyang Widhi maha adil...," bisiknya. "Kebenaran
pada akhirnya akan dapat mengalahkan kebati-
lan."
Suropati terharu mendengar ucapan Prabu
Singgalang Manjunjung Langit. Dia balas meme-
luk. Dinikmatinya kebahagiaan bersama orangtua
kandung yang baru diketahuinya beberapa hari
lalu. Lama sekali mereka saling berpelukan. Tapi,
Suropati yang konyol tiba-tiba menggaruk-garuk
kepala sambil cengar-cengir.
"Kenapa kau, Suro?" tanya sang Raja, he-
ran.
"Ah, tidak apa-apa. Hanya...."
"Hanya apa?"
"Tadi Ayahanda Prabu memelukku sangat
erat. Padahal aku belum mandi sejak pagi. He he

he...."
Mendengar ucapan putranya, Prabu Sing-
galang Manjunjung Langit tersenyum tipis. Lalu,
turut tertawa terkekeh-kekeh.

***

Sore itu juga diumumkan kepada seluruh
warga kotapraja bahwa akan terjadi penyerbuan
pasukan tak dikenal. Prabu Singgalang Manjun-
jung Langit memerintahkan agar mengungsi esok
pagi buta, demi keselamatan warga kotapraja.
Maka ketika keesokan harinya seluruh
warga kotapraja berbondong-bondong mengungsi,
bingunglah pasukan pemberontak yang dipimpin
I Halu Rakryan Subandira. Apalagi Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit membagi warga kotapraja
menjadi dua. Satu bagian mengungsi ke selatan.
Satu bagian lagi ke utara.
"Apa tidak sebaiknya kesempatan ini kita
gunakan untuk menggempur istana?" usul Karma
Salodra saat mengadakan perundingan kilat.
I Halu Rakryan Subandira mengerutkan
kening. Otaknya dipaksa berpikir keras. 
"Aku tahu pengungsian seluruh warga ko-
tapraja ini adalah siasat Prabu Singgalang Man-
junjung Langit...," lanjut Malaikat Baju Putih.
"Sebaiknya siasat itu kita lawan pula dengan sia-
sat. Kalau kita gempur istana, mereka tidak akan
mengira."
"Siapa bilang?" sahut I Halu Rakryan Sub-
andira. "Raja tua itu tentu telah memperhitung-

kan segalanya. Aku khawatir bila kita menggem-
pur istana, justru kita masuk perangkap."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
I Halu Rakryan Subandira terdiam. Dipe-
rasnya otak lebih keras lagi. Wajahnya terlihat
semakin tua dan murung.
"Kalau saja Kakang Subandira menyerbu
istana sejak dulu-dulu, akibatnya tidak akan se-
perti ini...," gerutu Karma Salodra.
"Jangan menyalahkan aku!" bentak I Halu
Rakryan Subandira. "Semua rencana yang telah
kususun hancur berantakan gara-gara kemuncu-
lan Suropati dan Ingkanputri keparat itu. Dan la-
gi, Tumenggung Sangga Percona pun sangat ber-
tele-tele dalam mengambil keputusan. Makanya
aku perintahkan untuk membunuh Tumenggung
Lemah Abang itu!"
Mendengar keluhan kakaknya. Karma Sa-
lodra hanya membisu.
"Aku tak mau kekuatan pasukanku terbaca
pihak istana," lanjut I Halu Rakryan Subandira.
"Segera kau kembali ke kotapraja, Salodra. Bagi
pasukan menjadi dua. Ikuti ke mana warga kota-
praja mengungsi."
"Lalu?"
"Begitu mendapat kesempatan, kita gempur
istana!"
"Kenapa tidak langsung saja saat warga ko-
tapraja mengungsi?" tanya Karma Salodra sekali-
gus mengajukan lagi usulnya.
"Bodoh! Bagaimana kita bisa menyatukan
kekuatan bila keadaan di kotapraja sedang ka-

cau? Di istana ada Anggraini Sulistya dengan Pa-
sukan Hitam-nya. Belum lagi Suropati, Ingkanpu-
tri, dan Raka Maruta. Ada pula Senopati Guntur
Selaksa dan Patih Sanca Singapasa. Mereka se-
mua orang-orang yang tak bisa dipandang ren-
dah."
"Baiklah, aku ke kotapraja sekarang," Kar-
ma Salodra akhirnya menyerah juga pada ke-
mauan kakaknya.

***

Pagi baru saja datang. Sinar mentari me-
nyapa Kotapraja Pasir Luhur. Namun, sapaan itu
tak tersambut keramaian orang seperti hari-hari
biasa. Seluruh warga kotapraja telah meninggal-
kan tempat kediaman mereka.
Para pengungsi yang menuju arah selatan
tampak bingung ketika Senopati Guntur Selaksa
memerintahkan untuk kembali. Alasannya, pasu-
kan tak dikenal mengurungkan niat untuk  me-
nyerbu. Sebagian orang menyambut gembira. Se-
bagian lagi menggerutu. Mereka menduga Prabu
Singgalang Manjunjung Langit terlalu cepat men-
gambil keputusan untuk mengungsikan war-
ganya. Ternyata kekhawatiran  akan terjadinya
pertempuran tak terbukti. Tapi walau  bagaima-
napun, mereka menurut saja.
Di pintu gerbang kotapraja mereka disam-
but puluhan prajurit bersenjata lengkap. Tidak
semua warga kotapraja boleh memasuki kota. Me-
reka harus dapat menunjukkan bukti sebagai

warga kotapraja. Dari sinilah terlihat siapa warga
yang asli dan siapa pasukan pemberontak yang
dipimpin I Halu Rakryan Subandira. Akhirnya pa-
ra pemberontak itu bersembunyi di suatu tempat.
Mereka tak kembali ke kotapraja.
Saat pengungsi yang menuju ke selatan te-
lah kembali, pengungsi kelompok kedua ganti di-
minta kembali ke kotapraja. Dengan penjagaan
yang sangat ketat di gerbang kotapraja, pasukan I
Halu Rakryan Subandira yang sedang menyamar
tak satu pun dapat masuk ke kotapraja.
"Langkah pertama berhasil kita laksanakan
dengan baik, Ayahanda Prabu...," ujar Pengemis
Binal di istana. "Langkah berikutnya adalah
menggempur para pemberontak itu. Karena me-
reka kelompok yang terdiri dari ratusan orang,
mudah saja untuk mengetahui di mana mereka
berada."
"Benar otakmu, Suro," tegas Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit. "Lebih baik menggempur
daripada digempur. Sekarang kau bantu Senopati
Guntur Selaksa dan Patih Sanca Singapasa untuk
menumpas pasukan I Halu Rakryan Subandira."
"Saya akan membantu dengan sekuat te-
naga," ujar Pengemis Binal.

***

Pertempuran besar-besaran terjadi di se-
buah bukit yang terletak di sebelah barat kotapra-
ja. Walau prajurit istana kalah dalam jumlah, tapi
karena dibantu tokoh-tokoh persilatan, mereka

dapat memukul mundur pasukan I Halu Rakryan
Subandira.
Ketika Kalasangit terbunuh, pasukan pem-
berontak makin kocar-kacir. I Halu Rakryan Sub-
andira melarikan diri ke utara. Karma Salodra
atau Malaikat Baju Putih turut melarikan diri pu-
la, arahnya ke timur. Kedua pemberontak itu
memendam rasa kecewa yang sangat karena cita-
cita mereka tak kesampaian.
Karma Salodra berlari ke arah Kerajaan
Anggarapura. Namun, langkahnya terhenti ketika
dia tahu di belakangnya mengikuti seorang pe-
muda berpakaian putih-kuning.
"Kentut busuk! Berani benar kau mengiku-
ti Malaikat Baju Putih!" maki Karma Salodra
sambil menggedrukkan kaki ke tanah.
Penguntit yang tak lain Raka Maruta atau
Pendekar Kipas Terbang cuma tersenyum. "Kena-
pa kau malah berlari ketika anak buahmu terde-
sak? Bukankah itu menandakan dirimu seorang
pengecut?" ejeknya.
"Ha ha ha...!" Malaikat Baju Putih malah
tertawa bergelak. "Bila jalan yang dituju sudah
tak dapat dilewati, kenapa kau tidak mengambil
jalan yang lain?"
"Itu tandanya kau memang seorang penge-
cut! Tidak kau coba singkirkan aral yang merin-
tangi jalanmu itu."
"Apakah itu berarti kau memintaku untuk
meneruskan pemberontak?" jebak Malaikat Baju
Putih.
"Tidak. Aku hanya ingin kau bersikap ksa-

tria."
"Persetan dengan semua itu! Biarkan aku
pergi. Aku akan sangat berterima kasih."
"Tapi, aku akan sangat berterima kasih lagi
seandainya kau menyerah untuk dihadapkan ke
pengadilan istana."
"Baik, aku menyerah. Tapi, terimalah dulu
salam perkenalan dari Malaikat Baju Putih!"
Karma Salodra meloloskan pedang yang
tersimpan di punggung. Tubuhnya langsung ber-
kelebat dengan tusukan maut ke ulu hati Raka
Maruta.
Trang...!
Kipas baja putih di tangan Pendekar Kipas
Terbang mampu mementalkan pedang Karma Sa-
lodra.  Lelaki itu menggeram gusar merasakan
tangannya kesemutan. Untung pedangnya tidak
lepas dari pegangan. 
"Aku beri kesempatan kepadamu untuk
menyerah. Barangkali Baginda Prabu berkenan
memberi hukuman yang lebih ringan," ujar Raka
Maruta.
"Simpan kata-katamu itu!"
Usai berkata, kembali tubuh Malaikat Baju
Putih berkelebat. Pendekar Kipas Terbang segera
mengibaskan senjata andalannya ke samping ka-
nan.  Selarik sinar putih melengkung memapaki
tubuh Karma Salodra yang masih melayang.
Lelaki itu terkejut setengah mati. Tusukan
pedangnya diurungkan. Dalam kedudukan tak
menguntungkan ini pedang panjangnya diputar di
depan dada.

Terdengar letusan yang menyakitkan. Bun-
ga api memercik ke berbagai penjuru. Tubuh
Karma Salodra terpental balik lalu terjengkang ke
tanah.
"Uh!" keluh Malaikat Baju Putih seraya
bangkit berdiri. "Keparat kau, Maruta!"
Kembali adik I Halu Rakryan Subandira itu
menerjang Raka Maruta. Kali ini dia lebih waspa-
da. Dimainkan jurus-jurus pedang terhebat yang
dimilikinya. Namun Raka Maruta yang memain-
kan jurus 'Kipas Terbang Membelah Angin' dapat
mengimbangi. Bahkan, kipas baja putih Raka Ma-
ruta terlihat melayang-layang di udara bagai bu-
merang yang dikendalikan dari jauh. Repotlah
Karma Salodra. Semua serangannya selalu dapat
digagalkan.
Trang...!
Malaikat Baju Putih memekik keras. Pe-
dang di tangannya terlontar ke udara ketika
membentur kipas baja putih. Belum sempat dia
mengawali serangannya, kipas baja putih telah
melesat sangat cepat.
"Argh...!"
Karma Salodra bergerak mundur tiga lang-
kah. Tangannya mendekap bahu kiri yang koyak
lebar terpapas senjata Raka Maruta. Cairan darah
merembes dari sela-sela jemari.
Tiba-tiba mata Malaikat Baju Putih bersi-
nar aneh. "Diamlah di tempatmu, Maruta!" perin-
tahnya dengan dilambari ilmu sihir.
Rupanya ilmu sihir lelaki berambut dikucir
itu mempunyai kekuatan hebat. Raka Maruta

termangu di tempatnya. Kipas baja putih yang
masih melayang di udara langsung jatuh ke tanah
karena tak dikendalikan lagi.
Melihat kesempatan bagus ini, Malaikat
Baju Putih menyorongkan kedua telapak tangan-
nya ke depan. Dua larik sinar kuning meluruk ke
arah Raka Maruta yang masih berdiri terpaku!
Wuuusss...!
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat membahana di angkasa.
Bebatuan bercampur gumpalan tanah berhambu-
ran. Tubuh Pendekar Kipas Terbang mencelat dan
jatuh berdebam ke tanah. Tapi, dia segera bangkit
berdiri tanpa mengalami cedera yang berarti. Tu-
buhnya hanya terhempas akibat guncangan bu-
mi. Agaknya, ada orang yang telah memapaki pu-
kulan jarak jauh Karma Salodra.
"Aku menduga kaulah orang suruhan I Ha-
lu Rakryan Subandira yang membunuh ayahku,
Salodra!" ujar Saka Purdianta atau Dewa Guntur.
Pemuda ini tiba-tiba saja muncul.
"Hmm.... Kau hendak mencampuri urusan
orang, Saka!" sahut Karma Salodra. "Kenapa kau
menyelamatkan Raka Maruta? Apakah kini kau
telah menjadi orang baik-baik untuk menebus
semua dosamu?"
"Jangan banyak bacot! Akui saja kalau kau
yang telah membunuh ayahku!"
"Ha ha ha...!" Malaikat Baju Putih tertawa
bergelak. Namun, segera terhenti karena darah
terus mengucur dari luka di bahu kirinya. "Aku
tak punya waktu bermain-main dengan kalian!"

Karma Salodra menghemposkan tubuhnya
untuk berlalu dari hadapan Saka Purdianta dan
Raka Maruta.
"Mau lari ke mana kau?!" bentak Dewa
Guntur seraya meloncat tinggi. Dihadangnya ge-
rakan Karma Salodra.
Duk...!
Kepalan tangan Saka Purdianta memben-
tur siku kanan Karma Salodra. Begitu menginjak
tanah, Saka Purdianta meloloskan pedang yang
terselip di pinggang.
"Aku ingin kau mengakui bahwa kau yang
membunuh ayahku, Salodra!" ujar Dewa Guntur
sambil menudingkan ujung pedangnya ke muka
Karma Salodra.
Malaikat Baju Putih tersenyum tipis. "Ka-
lau benar aku yang membunuh ayahmu, kau
mau apa? Bukankah Tumenggung Sangga Perco-
na itu kakek-kakek lamban yang sudah patut ma-
ti?"
"Bangsat!" umpat Dewa Guntur. Pedangnya
dikibaskan ke leher Karma Salodra. Tapi, lelaki
setengah baya itu telah lebih dulu meloncat ke
samping.
Ketika terjadi pertempuran antara Saka
Purdianta dengan  Karma  Salodra, Raka Maruta
mencari kipas baja putihnya yang tadi mencelat
jauh. Begitu didapatkan, dia segera turut mener-
jang Karma Salodra.
"Aku tak hendak membunuhmu, Salodra.
Kecuali kau terus melawan," ujar Pendekar Kipas
Terbang.

"Tapi aku tetap akan membunuhmu, Bang-
sat!" sahut Malaikat Baju Putih di antara cecaran
serangan.
Menghadapi dua lawan bersenjata, kea-
daan Karma Salodra sangat payah. Apalagi luka
di bahu kirinya masih terus mengucurkan darah.
Itu membuat tenaganya semakin terkuras. Tak
sampai sepeminum teh, pedang Saka Purdianta
berhasil merobek punggung lawan. Raka Maruta
pun membuat luka di pinggang kiri.
"Keparat!" umpat Malaikat Baju Putih. Tu-
buhnya sudah berdiri sempoyongan. Pakaian
yang dikenakannya berlumuran darah. Tapi, tak
hendak dia menyerah. Tiba-tiba matanya berkilat
aneh, sementara tangan kanannya mengeluarkan
pisau kecil dari balik baju.
"Awas! Dia hendak mengeluarkan ilmu si-
hir!" Pendekar Kipas Terbang mengingatkan Dewa
Guntur.
Peringatan itu sebenarnya tak perlu. Dewa
Guntur  telah mengetahuinya. Maka sebelum
Karma Salodra mengeluarkan ilmu sihirnya, dia
telah berkelebat.
Crash...!
Jerit nyaring membahana di angkasa. Be-
berapa saat tubuh Karma Salodra tetap berdiri.
Namun ketika angin berhembus lebih kencang,
tubuh terbungkus pakaian putih noda darah itu
jatuh berdebam ke tanah dengan tanpa kepala!
Saka Purdianta menarik napas panjang.
Ditatapnya wajah Raka Maruta lekat-lekat. "Aku
tahu kau mencintai Anggraini Sulistya. Aku pun

tahu putri Baginda Prabu itu juga mencintaimu.
Tak ingin aku menghancurkan kebahagiaan ka-
lian."
Mendengar kata-kata Saka Purdianta, Raka
Maruta diam saja. Dia tak tahu akan mengu-
capkan apa. Yang jelas, Raka Maruta tahu benar
kalau Saka Purdianta patah hati. Cintanya pada
Anggraini Sulistya tak kesampaian.
"Kau sangat gagah, Maruta...," puji Dewa
Guntur dengan suara bergetar. "Anggraini Sulis-
tya pun cantik jelita. Kalian adalah pasangan
yang serasi. Dewa Guntur mengucapkan sela-
mat..."
Di ujung kalimatnya, Saka Purdianta ber-
kelebat pergi meninggalkan Raka Maruta. Pemuda
itu masih juga belum membuka suara. Hanya di-
pandanginya kepergian Saka Purdianta.

***

Di pinggir hutan jati jauh ke utara kotapra-
ja tampak pertempuran sengit. Seorang lelaki se-
tengah baya melawan seorang remaja tampan dua
puluh tahunan. Yang tua mengenakan jubah
kuning sedang yang muda berpakaian putih pe-
nuh tambalan dan bersenjatakan tongkat kayu
butut. Mereka adalah I Halu Rakryan Subandira
dan Suropati atau Pengemis Binal. Rupanya, Su-
ropati dapat menyusul I Halu Rakryan Subandira
yang melarikan diri setelah pasukannya terdesak.
Dilihat dari keadaan ajang pertempuran,
kedua petarung itu agaknya sudah sekian lama

saling serang. Di sana-sini terlihat kubangan di
tanah. Beberapa pohon jati telah tumbang. Ke-
mungkinan besar tertimpa pukulan jarak jauh
yang nyasar.
Pedang di tangan I Halu Rakryan Subandi-
ra berkelebatan sangat cepat. Setiap lelaki tua itu
membabat atau menusuk maka malaikat maut
pun mengintai nyawa lawannya.
Serangan I Halu Rakryan Subandira terka-
dang dapat dimentahkan dengan tangkisan tong-
kat Pengemis Binal. Suropati tak dapat berbuat
banyak ketika I Halu Rakryan Subandira menge-
butkan ujung lengan jubahnya.  Tubuh  remaja
konyol itu terjajar dua depa. Gelombang angin be-
sar yang timbul dari kebutan Pusaka Jubah Kun-
ing telah menghempaskan tubuhnya. Saat itulah I
Halu Rakryan Subandira melesat cepat dengan
ujung pedang diacungkan lurus ke depan.
Tas...! 
Untunglah Suropati masih sempat berkelit
ke samping. Tapi, tak urung tongkatnya mencelat
lepas dari pegangan ketika membentur pedang.
"Ha ha ha...!" I Halu Rakryan Subandira
tertawa penuh kemenangan. "Kini tamatlah ri-
wayatmu, Pengemis Binal. Akan kutusuk jan-
tungmu!"
Pengemis Binal meloncat tinggi ketika I Ha-
lu Rakryan Subandira meluruk maju. Dalam kea-
daan masih melayang di udara, dihantamkan te-
lapak kaki kanannya ke punggung kepala pen-
gawal istana tersebut.
Desss...!

Tendangan Suropati mengenai sasaran
dengan telak. I Halu Rakryan Subandira terjung-
kal, lalu bergulingan di tanah. Tapi dia segera
bangkit tanpa mengalami luka. Pusaka Jubah
Kuning yang dikenakan telah menyelamatkannya.
Pengemis Binal terkejut juga melihat la-
wannya bangkit begitu mudah. Padahal tendan-
gannya tadi dilambari seluruh kekuatan tenaga
dalam.
"Hmm.... Wajahmu pucat, Bocah Edan!
Agaknya kau sudah melihat Malaikat Kematian!"
ejek I Halu Rakryan Subandira.
"Tepat! Aku memang melihat Malaikat Ke-
matian. Namun, yang akan dia cabut adalah nya-
wamu!" balas Pengemis Binal.
I Halu Rakryan Subandira menggeram.
Diserangnya Suropati lebih ganas. Tapi dengan
mengandalkan jurus 'Pengemis Meminta Sede-
kah', remaja konyol itu mampu menepis semua
serangan. Bahkan berkali-kali tubuh I Halu Ra-
kryan Subandira kena pukulan atau tendangan.
Suropati pun bertambah penasaran. Pusaka Ju-
bah Kuning benar-benar membuat tubuh I Halu
Rakryan Subandira jadi kebal.
"Hmm.... Kenapa tak kugunakan ilmu toto-
kan 'Delapan Belas Tapak Dewa'?" pikir Suropati.
Merasa mendapat akal bagus, Pengemis
Binal bergegas menghemposkan tubuh menjauhi
ajang pertempuran. Begitu menginjak tanah, dia
satukan dua telunjuk jari tangannya di depan da-
da. Dikerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam
dan ilmu sihirnya. Tubuh Pengemis Binal berke-

lebat menjadi sebuah bayangan hampir kasatma-
ta.
Blab! Blab! Blab!
Bayangan Suropati mengitari tubuh I Halu
Rakryan Subandira yang cuma berdiri terpaku
karena terkena pengaruh sihir.
Namun, betapa terkejutnya Suropati. Keti-
ka melancarkan totokan, ujung jari telunjuknya
bagai membentur lempengan baja amat keras. Il-
mu totokan 'Delapan Belas tapak Dewa' ternyata
tak mempan.
"Ha ha ha...!" I Halu Rakryan Subandira
yang sudah lepas dari pengaruh sihir langsung
tertawa terbahak-bahak. "Kenapa kau malah me-
mijat-mijat tubuhku, Bocah Edan?!"
"Uh! Jubah Kuning yang dikenakan
pengkhianat itu benar-benar jubah pusaka...," ka-
ta hati Pengemis Binal. "Untuk mengalahkannya
aku harus menanggalkan jubah itu."
"Hei! Kenapa kau malah diam, Bocah
Edan?!" ejek I Halu Rakryan Subandira. "Apakah
kau berpikir untuk melepaskan aku? Atau,
mungkin kau ingin menjadi muridku?"
"Cih! Siapa sudi menjadi murid pengkhia-
nat busuk sepertimu?!" sahut Pengemis Binal.
Remaja konyol itu segera memusatkan seluruh
pikirannya untuk menghimpun kekuatan batin.
Begitu dapat, matanya langsung memancarkan
sinar aneh.
"Tanggalkan jubah yang kau pakai, Suban-
dira!" perintah Suropati dengan dilambari seluruh
kekuatan sihirnya.

Tapi, I Halu Rakryan Subandira yang tak
mau terkecoh untuk kedua kalinya ketika terma-
kan sihir Suropati saat menyerahkan Kitab Selak-
sa Dewa Turun Ke Bumi, segera mengebutkan ju-
bahnya tiga kali. Hasilnya sungguh luar biasa.
Bukan saja pengaruh sihir Suropati yang lenyap,
gelombang angin amat dahsyat pun meluruk.
Pengemis Binal berloncatan ke sana kemari
menghindari gelombang angin dahsyat. Jadi bebal
otaknya memikirkan cara untuk mengalahkan I
Halu Rakryan Subandira. Tapi dia tidak mau pu-
tus asa. Suropati teringat pada pesan Anggraini
Sulistya sebelum berangkat memburu kepala
pengawal istana yang hendak makar itu. Anggrai-
ni Sulistya meminjamkan padanya Keris Sengkelit
Bayu Geni yang merupakan benda pusaka kera-
jaan. Suropati dapat mempergunakan keris itu ji-
ka memang keadaan begitu mendesak dan kebe-
radaan Keris Sengkelit Bayu Geni sangat diperlu-
kan.
"Sekarang kita sama-sama memakai benda
mustika. Agaknya, pertempuran ini harus berak-
hir dengan kematian salah seorang di antara ki-
ta," ujar Pengemis Binal seraya mengacungkan
Keris Sengkelit Bayu Geni di tangan kanannya.
"Hmmm....  Walau umurmu masih bau
kandungan, tapi aku tahu kau memiliki kesaktian
hebat. Tak malu aku mati di tanganmu," sahut I
Halu Rakryan Subandira. Raut wajahnya terlihat
tenang-tenang saja. Tapi sesungguhnya jauh di
dalam hati lelaki tua itu merasa cemas juga. Dia
tahu pasti keampuhan keris pusaka kerajaan ter-

sebut.
I Halu Rakryan Subandira memasang ku-
da-kuda, Pengemis Binal memandang sebentar
pamor Keris Sengkelit Bayu Geni di tangannya.
Lalu saat I Halu Rakryan Subandira menerjang,
Pengemis Binal menghemposkan tubuh memapa-
ki tendangan lawan.
Pertempuran sengit berlangsung kembali.
Dalam beberapa kali gebrakan saja, I Halu Ra-
kryan Subandira berhasil dibuat sangat kerepo-
tan. Dan ketika Pengemis Binal memainkan jurus
'Pengemis Menebah Dada'....
Set...!
"Wuaah...!"
Mata I Halu Rakryan Subandira mendelik.
Sikunya tergores ketajaman Keris Sengkelit Bayu
Geni. Bayangan ngeri jelas terpancar di wajahnya.
Suropati terlihat kaget melihat perubahan
di tubuh lelaki berjubah kuning itu. Kulit tubuh I
Halu Rakryan Subandira sedikit demi sedikit me-
lepuh. Lalu, jerit kesakitan pun membahana di
angkasa. I Halu Rakryan Subandira ambruk ke
tanah. Lolongan yang lebih keras terdengar. Kulit
I Halu Rakryan Subandira yang melepuh tampak
mengelupas. Dan..., matilah pengkhianat itu den-
gan keadaan yang mengerikan.
Pengemis Binal bergidik ngeri. Dengan san-
gat hati-hati diambilnya Pusaka Jubah Kuning
yang dikenakan I Halu Rakryan Subandira. Begitu
jubah itu terlepas dari tubuhnya tak ada bekas-
bekas yang menempel akibat melepuhnya kulit
tubuh. Suropati kemudian bergegas kembali ke

istana.
Hampir bersamaan waktunya dengan ke-
matian I Halu Rakryan Subandira, prajurit kera-
jaan berhasil memukul mundur pasukan pembe-
rontak. Banyak yang melarikan diri. Tapi lebih
banyak yang mati di ajang pertempuran. Hanya
beberapa orang saja yang bersedia menyerahkan
diri untuk menjadi tawanan.
Anggraini Sulistya, Ingkanputri, Patih San-
ca Singapasa, Senopati Guntur Selaksa bersama
prajurit segera kembali ke kotapraja dengan
membawa kegembiraan.
Padamlah api pemberontakan di negeri Pa-
sir Luhur. Kebahagiaan Prabu Singgalang Man-
junjung Langit tak bisa digambarkan lagi. Selain
mendapatkan kembali putranya yang hilang keti-
ka masih bayi, juga dapat teratasi cobaan di nege-
rinya. Semua ini merupakan anugerah Tuhan
yang tak ternilai harganya. Sang Prabu pun ber-
kenan mengadakan pesta syukuran. Sekaligus
pesta pernikahan Anggraini Sulistya dengan Raka
Maruta alias Pendekar Kipas Terbang.

SELESAI