Pengemis Binal 13 - Dendam Ratu Air(1)



DENDAM RATU AIR

Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo


Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


Serial Pengemis Binal 
dalam episode: 
Dendam Ratu Air
128 hal.



1

Hembusan, angin kencang menderu-deru tiada
henti. Gelombang air laut pun terbentuk, menimbul-
kan gemuruh dahsyat seiring terlemparnya lidah-lidah
ombak yang tinggi menjulang seperti hendak mengga-
pai langit. Ketika angin berhembus lebih kencang, li-
dah-lidah ombak semakin meninggi. Suara gemuruh
lebih dahsyat terdengar.
Wajah sang Candra hadir memancarkan cahaya
keemasannya. Pasang naik air laut telah mencapai titik
puncak. Hembusan angin perlahan melemah. Tinggal
desiran kecil yang tidak bertenaga. Permukaan air taut
menjadi tenang. Riak-riak putih sesekali menimpali
alunan ombak yang tak seberapa besar. Keganasan
Laut Selatan telah pergi.
Nun jauh di sana, terlihat sebuah titik hitam ber-
gerak meluncur cepat lalu diam tak bergerak. Titik hi-
tam itu ternyata sesosok manusia! Dalam keadaan te-
lentang tubuhnya mengambang di permukaan air. Dia
mengenakan pakaian serba biru. Rambutnya putih
panjang dan awut-awutan. Rongga mata orang ini san-
gat cekung. Pipinya yang telah dipenuhi keriput mele-
sak ke dalam. Tulang rahangnya menonjol. Sudut bi-
birnya yang sebelah kiri tertarik ke bawah.
Saat lidah ombak kecil membentur tubuh sosok
ini, belahan bajunya tersingkap. Tampaklah sebagian
payudaranya yang tipis menggantung layu. Dia ternya-
ta seorang nenek!
Tiba-tiba kelopak mata si nenek terbuka. Bersa-
maan dengan itu, kedua telapak tangan dan kakinya
mengibas. Pelan saja. Tapi, akibat yang ditimbulkan-
nya sungguh luar biasa. Tubuh nenek  itu meluncur,
cepat bagai lesatan anak panah lepas dan busur!

Ketika jarak yang dilalui telah mencapai lima pu-
luh tombak, luncuran tubuh si nenek menjadi pelan,
lalu berhenti sama sekali. Kembali kelopak mata wani-
ta tua ini terpejam. Kini terlihat bibirnya yang mencong
komat-kamit merapal mantera. Sebentar kemudian...
"Sebelum bumi dijadikan tempat berpijak, adalah
gumpalan es padat yang terus berputar. Seiring berla-
lunya waktu gumpalan es mencair hingga terbentuk
daratan. Es yang mencair adalah air! Separo lebih ba-
gian bumi adalah air! Tak satu pun makhluk di bumi
dapat hidup tanpa air! Air adalah sumber hidup. Ke-
kuatan air pun sanggup menghancurkan gunung, me-
nenggelamkan daratan! Air sanggup membuat dunia
jadi kiamat! Maka, sang Ratu Air pun memiliki kekua-
tan luar biasa. Sang Ratu Air memiliki sebagian kuasa
jagat. Maka, dengan itu sang Ratu Air memanggil
Makhluk Penyelamat Jiwa...!"
Aneh sekali! Walau si nenek mengucapkan begitu
banyak kata, tak sepercik pun air laut masuk ke dalam
mulutnya. Tubuhnya terus mengapung seperti sedang
terbaring di tempat tidur. Tiba-tiba....
Byaaarrr...!
Tubuh si nenek terlontar ke atas, lalu jatuh lagi
ke permukaan air dalam keadaan tengkurap dan tetap
mengapung! Melalui cahaya rembulan tampaklah ka-
lau punggung si nenek ternyata berlubang!
Lubang luka itu sangat mengerikan. Menganga
selebar dua telapak tangan. Dagingnya membeliak ba-
nyak yang terbuang. Namun, tulang belakangnya tetap
utuh, membujur kaku seperti titian sungai. Selampir
kain baju biru si nenek yang koyak menyatu dengan
garis pinggir luka. Dari garis pinggir luka inilah sera-
but-serabut otot menyembul keluar.
"Makhluk Penyelamat Jiwa! Dari derita yang telah
menghunjam dalam sang Ratu Air merindukan dara-

tan! Karenanya, bawa aku ke pantai sebelah utara...!"
Suara yang keluar dari mulut si nenek terdengar
menggelegar, menimbulkan gaung aneh. Belum selesai
gaung yang terdengar, mendadak tubuh si nenek mele-
sat cepat. Padahal gerakan kedua tangannya yang ter-
pentang maupun pergelangan kakinya yang terbujur
tidak terlalu kuat
Sebentar kemudian, garis pantai telah terlihat.
Bibir si nenek yang mencong memperlihatkan seringai
aneh. Tampaklah sebagian gusinya yang merah darah
tanpa gigi.
"Hua... ha... ha...! Jagat kelam berlumur air hi-
tam membuat gelap dunia. Dalam kepekatan nafsu
layak dipentang. Hasrat larut dengan angkara murka.
Sang Ratu Air kembali datang dengan kekuatannya.
Kedahsyatan akan segera menyeruak! Bumi terbelah
menenggelamkan musuh-musuh laknat... Biar hilang
amarah ini! Biar hilang dendam kesumat ini! Hua...
ha... ha,..!"
Usai berucap, wanita tua itu lalu menepuk per-
mukaan air. Tepukan yang dialiri kekuatan tenaga da-
lam ini menimbulkan gelombang permukaan air besar.
Terlihat tubuh si nenek melenting tinggi. Setelah ber-
putaran di angkasa, kemudian meluncur deras ke ba-
wah laksana bintang jatuh. Tak terdengar suara ketika
telapak kakinya mendarat di hamparan pasir.
"Sang Ratu Air telah menyentuh daratan! Ungka-
pan terima kasih layak dihaturkan kepada Makhluk
Penyelamat Jiwa...." 
Si nenek memusatkan pandangannya ke satu ti-
tik air laut yang terdapat sebuah gelombang kecil. Ke-
mudian, tubuhnya dibungkukkan memberi penghor-
matan. Pada titik pandangan si nenek mendadak terli-
hat gelombang air membesar. Lalu....
Byaaarrr...! 

Sesosok makhluk besar berkulit hitam legam
muncul dari dalam air. Makhluk hitam ini melayang ke
atas dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Tam-
paklah sosok sebenarnya makhluk itu. Seekor ikan
paus!
"Terima kasih, Makhluk Penyelamat Jiwa...," kata
si nenek sambil menegakkan kembali tubuhnya. Ma-
tanya yang cekung menatap kepergian ikan paus. Ikan
raksasa itulah yang tadi telah membantunya mencapai
pantai,
Tak lama kemudian, dari mulut si nenek keluar
tawa nyaring. Tawa yang menyiratkan suatu kegembi-
raan. 
Blaarrr...!
Timbul julangan ombak tinggi. Begitu ujung lidah
ombak menyentuh permukaan air, tubuh si nenek te-
lah lenyap. Namun, suara tawanya masih  terdengar
hingga beberapa lama....

***

Desa Tanjunganom terletak di pesisir Pantai Sela-
tan. Desa yang biasanya ramai, malam ini tampak
sunyi senyap. Yang terdengar hanya suara-suara bina-
tang malam dan serangga tanah.
Di malam yang dingin dan menusuk tulang ini
dari ujung desa sebelah barat terlihat berkelebat seso-
sok bayangan. Karena gelap, gerakan bayangan ini
seolah-olah dapat menghilang. Ketika sampai di depan
sebuah rumah yang halamannya diterangi lampu sen-
tir, sosok bayangan menghentikan gerak tubuhnya.
Dia seorang nenek bermuka seram. Rambutnya yang
putih panjang tergerai tak karuan. Sebagian menutupi
wajahnya, sebagian lagi menutupi punggung yang ter-
dapat luka menganga!

"Hmmm... Mudah-mudahan apa yang kuperlukan
dapat  ku peroleh  sekarang juga...," gumam nenek ini
sebelum mengetuk daun pintu. 
Tok! Tok!
Tidak ada sahutan dari dalam rumah.
Si nenek mengetuk daun pintu lagi, lebih keras.
Terdengar gerutuan dari mulut seorang wanita. Dis-
usul suara derit dipan kayu yang bergoyang.
"Siapa...?" tanya suara wanita dari dalam rumah.
"Aku ada perlu. Segera bukakan pintu...," sahut
si nenek, kalem.
Suasana hening kembali. Wanita pemilik rumah
seperti sedang berpikir. Namun karena suara yang di-
dengarnya tadi adalah suara seorang nenek, dia segera
menyeret kakinya mendekati daun pintu. Mungkin ne-
nek itu memang membutuhkan pertolongan, pikirnya.
Ketika jemari tangan wanita pemilik rumah telah
menyentuh palang pintu yang terbuat dari kayu, seje-
nak ia menjadi ragu. Malam-malam begini, biasanya
hantu senang berkeliaran. Jangan-jangan suara yang
didengarnya adalah.... 
"Cepat buka pintu.... Aku bukan hantu! Aku ma-
nusia!" ujar si nenek yang berdiri di ambang pintu. Ka-
ta-katanya seperti mengisyaratkan kalau dia dapat
membaca pikiran orang.
"Kau siapa?" tanya wanita pemilik rumah,
"Aku nenek yang tinggal di pulau kecil di sebelah
selatan desa ini."
"Siapa?"
"Ratu Air," jawab si nenek menyebut dirinya.
Wanita pemilik rumah yang mendengar jawaban
si nenek langsung mengangakan mulutnya. Sesaat dia
berdiri mematung seperti orang kehilangan ingatan.
Namun begitu kesadarannya kembali, wanita ini segera
berlari ke biliknya. Dibangunkan suaminya yang terti-

dur lelap. Wanita ini jadi panik  ketika melihat sua-
minya tak mau bangun. Malah, umpatan yang dia te-
rima. Tiba-tiba.... 
Braaakkk...!
Terdengar benturan keras pada daun pintu. Wa-
nita pemilik rumah dihantam keterkejutan. Terbawa
rasa ingin tahu, dia berlari ke depan. Terlihatlah oleh-
nya seorang nenek bertampang seram berdiri di am-
bang pintu yang telah jebol.
"Kau... kau...," ucap wanita ini dengan tangan
menuding. Bola matanya melotot lebar.
"Hua... ha... ha...!" tawa si nenek cukup keras.
"Sudah kukatakan, aku ada perlu denganmu. Kenapa
kau tak segera membuka pintu?!"
Dari dalam bilik tiba-tiba muncul seorang lelaki
dengan senjata parang di tangan. Senjata tajam yang
mengkilat tertimpa sinar lampu damar ini berkelebat
ke arah si nenek yang baru saja menjebol pintu.
Cuuusss,,,!
"Aaaa...!"
Malang bagi lelaki itu. Sebelum parangnya me-
nyentuh sasaran, jari telunjuk jari kanan si nenek
mengucur air seperti pancuran. Anehnya, kucuran air
ini bisa berubah tegang seperti anak panah. Ujungnya
menancap di dahi si lelaki hingga tembus ke belakang
kepala!
Bruukkk!
Tubuh lelaki itu jatuh terjengkang. Dia masih
sempat mendekap dahinya yang bolong sebelum ajal
menjemput. Parang yang semula dipegangnya terlem-
par ke lantai hingga menimbulkan suara bergemerinc-
ing.
Melihat suaminya terbujur tanpa nyawa, wanita
pemilik rumah menjerit ngeri. Dia berlari menghambur
lalu memeluk tubuh suaminya seraya mengguncang-

guncangkannya.
Wanita ini tampaknya tidak mempercayai apa
yang baru saja dilihatnya. Tubuh suaminya terus saja
diguncang-guncangkan, berharap suaminya akan ban-
gun. Ratap tangis dan jerit memanggil- manggil sebuah
nama merobek malam yang sunyi.
Namun, wanita malang ini tak bisa terus berbuat
demikian. Si nenek telah mencengkeram tengkuknya
dan menatap wajahnya dalam-dalam.
"Kau punya bayi?" tanya si nenek setengah mem-
bentak. 
Hanya isakan tangis yang didengar si nenek. Wa-
nita tua ini mendengus. Bau busuk menyebar dari lu-
bang luka di punggungnya.
"Kau punya bayi?" ulang si nenek.
"Ti... tidak...." 
Mendengar jawaban terputus itu, si nenek meng-
geram. Dicampakkannya dengan kasar tubuh wanita
pemilik rumah. Kepala wanita itu membentur lantai.
Terdengar erangan pendek. Setelah menggeliat, tubuh-
nya diam tak bergerak-gerak lagi. Ternyata kepalanya
telah pecah bersimbah darah.
Si nenek menatap sejenak dua mayat yang bera-
da di hadapannya. Dia lalu melangkah ke dalam bilik.
Matanya jadi bersinar nyalang. Apa yang diinginkan-
nya ternyata tidak ada.
Bersama suara geraman yang keluar dari mulut-
nya, wanita tua ini berkelebat keluar rumah. Sesampai
di halaman dia mendongakkan kepala dan memen-
tangkan kedua tangannya ke atas. Cahaya rembulan
yang menerpa membuat bola mata nenek ini meman-
carkan sinar berkilat.
Bibir mencong si nenek tampak berkomat kamit.
Bersamaan dengan kaki kanannya yang ditarik ke be-
lakang, kedua tangannya yang terpentang menghentak

ke atas.
Dari telapak tangan itu melesat dua larik sinar
perak, dan menyusup tepat di genangan air pantai
yang berada tiga puluh tombak dari hadapannya. Keti-
ka si nenek mengangkat kedua tangannya, genangan
air yang terselubungi sinar perak ikut terangkat. Ge-
nangan air itu meluruk ke utara dengan kecepatan
tinggi laksana air bah diturunkan dari langit!
Byaaarrr...!
Genangan air besar menghantam empat rumah
yang berada jauh di sana hingga roboh. Permukaan
tanah terguncang seperti terjadi gempa. Genangan air
pun meluber dan menghantam beberapa rumah di se-
kitarnya. Malam yang sunyi terobek-robek suara hi-
ruk-pikuk. Apalagi setelah terdengar teriakan-teriakan.
"Banjir...!"
"Banjir...!"
Bunyi kentongan saling bersahutan. Puluhan
manusia berlarian keluar dari rumah. Jerit ngeri para
wanita terdengar menyayat hati.
Pada saat itulah si nenek pembuat petaka men-
dengar tangisan bayi. Ya, suara tangisan bayi! Berarti
ada salah seorang penduduk Desa Tanjunganom yang
memiliki bayi. Dan, bayi itulah yang dibutuhkan!

***

Tengah malam telah lewat. Berganti dengan din-
gin mencekam suasana dini hari. Seiring air but yang
mulai pasang surut, hembusan angin berganti arah.
Nenek bertampang seram menengadahkan wajah
menghadap ke hamparan langit luas. Walau berdiri
dengan tubuh bongkok, tapi kedua kakinya kokoh
kuat mencengkeram bumi.
Perlahan-lahan tangan kiri si nenek terpentang

ke atas. Disusul kemudian dengan tangan kanannya
yang memegang sosok bayi yang baru saja diculiknya.
Bayi ini sudah tidak lagi mengeluarkan raungan tan-
gis. Mungkin sudah terlalu lelah. Namun, yang jelas
anak manusia yang baru seminggu menghirup udara
dunia ini masih hidup. Tubuhnya hangat dan hembu-
san nafasnya teratur.
"Upacara penyembahan akan segera dilangsung-
kan. Korban telah siap di atas kepala. Sang Ratu Air
memiliki sebagian kuasa jagat. Dengan bantuan peng-
huni alam kelam, sang Ratu Air akan kembali kepada
kejayaannya...!"
Usai berucap, telunjuk jari tangan kiri si nenek
diluruskan. Terdengar dengus pendek dari mulutnya.
Setelah bibirnya yang mencong berkomat-kamit, men-
dadak,... 
Cuuusss...!
Dari ujung telunjuk jari tangan kiri wanita tua ini
meluncur selarik sinar perak. Dan, tepat menembus
tengkuk sang jabang bayi!
Sebelum darah segar meleleh dari lubang luka di
tengkuk, si nenek bergerak cepat. Lubang luka itu di-
pagutnya dengan bibirnya yang mencong!
Tubuh sang bayi tak memperlihatkan gerakan-
gerakan lagi walau cairan darahnya sedang dihisap.
Nyawa makhluk kecil ini telah melayang begitu men-
dapat luka di tengkuknya. Dengan penuh nafsu si ne-
nek terus menghisap cairan darah sang jabang bayi,
hingga habis tak tersisa.
Bayi tanpa nyawa itu dicampakkan begitu saja
seperti membuang barang tak berguna. Senyum men-
gembang di bibir mencong si nenek yang belepotan da-
rah segar. Lalu...
Byuuurrr...! 
Pelan saja kedua telapak kakinya menghentak

pasir pantai. Tapi, cukup untuk membuat tubuh si
nenek melayang tinggi dan tercebur ke laut
Timbul putaran gelombang bersama air yang
bermuncratan. Tubuh si nenek lenyap. Entah apa yang
dilakukannya di dalam air. Yang jelas, manusia kejam
ini tak juga muncul ke permukaan air hingga sepemi-
num teh lamanya.
Saat putaran gelombang air laut muncul kembali,
melesat sesosok tubuh dan mendarat di hamparan pa-
sir pantai. Sosok tubuh ini tak lain nenek yang baru
saja meminum darah bayi. Dia menatap lurus ke per-
mukaan air laut. Luka menganga yang terdapat pada
punggung si nenek telah lenyap!
Lubang luka telah menutup. Kulit pada bagian
belakang tubuhnya telah rata. Tak sedikit pun ada be-
kas luka di situ. Hanya baju birunya yang tetap koyak
selebar dua telapak tangan.
Sebuah tawa nyaring penuh luapan kegembiraan
membahana. Begitu terhenti, tubuh si nenek berputar
laksana gangsing yang ditarik benang sangat kuat.
Srashhh...! Srashhh...!
Dari putaran tubuh si nenek muncul gulungan
air besar. Gulungan air itu bermuncratan ke segala
penjuru.
Sesaat kemudian si nenek menghentikan gerakan
tubuhnya. Pandangan wanita tua itu kini tertuju ke sa-
tu titik di permukaan air laut.
"Terima kasih... terima kasih, Makhluk-makhluk
Penyembuh Luka...," kata si nenek dengan tangan ter-
pentang ke atas seperti sedang menghiba. "Dengan ke-
kuatan sang Ratu Air yang akan menemukan ke-
jayaannya kembali, abadilah kau Makhluk-makhluk
Kerajaan Air!"
Kemudian, tubuh wanita tua ini berkelebat le-
nyap! 

2

Kain layar telah digulung. Sauh pun sudah ditu-
runkan. Lambung kapal bergoyang pelan ketika ombak
kecil memukulnya. Usai sudah perjalanan yang mema-
kan waktu hampir seharian penuh.
Siraman mentari pagi terasa hangat menerpa ku-
lit. Angin bertiup sepoi basah mengelus relung sukma.
Di atas geladak kapal, seorang remaja tampan berpa-
kaian putih penuh tambalan tampak mementangkan
tangannya, lalu teriakan nyaring keluar dari mulutnya.
Begitu keras seakan segala beban yang semula menin-
dih jiwanya dapat keluar lepas bersama teriakannya
itu.
Dengan satu kali lompatan saja tubuh remaja ini
kemudian melayang jauh dan mendarat mulus di
hamparan pasir pantai. Dia kini melonjak-lonjak kegi-
rangan seperti anak kecil yang mendapat mainan. Se-
telah lonjakannya terhenti, kepalanya mendongak me-
natap mentari pagi. Bola mata remaja ini berkilat se-
nang. Senyum manis mengembang di bibirnya yang
kemerahan.
"Ha... ha... ha...!" 
Diiringi derai tawa yang lepas bebas remaja ber-
pakaian putih penuh tambalan itu menyaruk-nyaruk
butiran pasir. Tubuh remaja ini lalu melenting ke uda-
ra. Begitu mendarat, kedua tangan dan kakinya meng-
hentak-hentak memperagakan sebuah jurus silat. Ge-
rakannya sangat cepat hingga sulit diikuti pandangan
mata. Namun bagi seorang tokoh kawakan, gerakan
jurus remaja ini tentu dapat dikenali, karena sudah
tak asing lagi bagi tokoh-tokoh silat golongan atas. Ju-
rus 'Pengemis Meminta Sedekah'!
Tak lama kemudian, si remaja tampan meng-

hemposkan tubuhnya ke atas. Saat masih melayang di
udara, kaki kirinya ditekuk lalu ditarik ke belakang.
Kaki kanannya ditekuk condong ke depan seperti se-
dang berjongkok. Kedua telapak tangan remaja tampan
itu dihadapkan ke atas. Pandangannya lurus ke depan.
Ketika tubuh remaja ini tinggal satu depa lagi menyen-
tuh hamparan pasir, kedua pergelangan tangannya di-
tarik ke belakang sejajar pinggang, lalu dihentakkan
dengan cepat!
Wuuusss....!
Blaaarrr...!
Dua larik sinar kebiru-biruan melesat begitu ce-
pat. Bersamaan dengan ledakan dahsyat yang mengge-
legar tepat sepuluh tombak di depan si remaja tampan
butiran  pasir beterbangan hingga mengaburkan pan-
dangan. Bumi terasa bergoncang. Jauh di sana tiba-
tiba muncul ombak besar menghantam lambung kap-
al. 
Ketika butiran pasir telah memudar, di tempat itu
terbentuk sebuah kubangan yang sangat dalam. Cu-
kup untuk menguburkan bangkai tiga ekor gajah!
Melihat kehebatan pukulan jarak jauhnya, si re-
maja tampan mendekap wajah penuh rasa syukur.
Kemudian, tokoh muda yang berkepandaian cukup
tinggi ini menengadahkan wajah. Ungkapan rasa syu-
kur tampak dari kilatan bola matanya.
"Terima kasih, Tuhan.... atas kuasa-Mu, racun
Jarum Mati Sekejap tidak lagi bersemayam dalam da-
rahku. Ilmu kepandaianku telah kembali seperti sedia-
kala...," ucap si remaja tampan dengan sepenuh pera-
saan. "Aku Suropati alias Pengemis Binal akan dapat
mengemban kewajibanku lagi. Semoga kabut dan ba-
dai di rimba persilatan dapat terhalau..."
Ya, tokoh muda ini memang tak lain Suropati
atau Pengemis Binal, Pemimpin Perkumpulan Penge-

mis Tongkat Sakti. Dia baru saja mendapat ilmu ke-
pandaiannya lagi setelah lenyap akibat pengaruh ra-
cun Jarum Mati Sekejap. Di Kerajaan Siluman, Suro-
pati telah mendapat pengobatan dari Putri Racun,
Selagi remaja tampan ini terpekur, hanyut dalam
keharuan, dari geladak kapal berkelebat enam sosok
bayangan dan mendarat tepat satu tombak di bela-
kangnya. Empat orang di antaranya adalah wanita.
Yang seorang berpakaian ungu hitam. Rambutnya
yang hitam panjang digelung ke atas dengan hiasan
tusuk konde emas bermata berlian. Wajahnya bulat te-
lur, terlihat cantik rupawan. Padahal umurnya hampir
mencapai seratus lima puluh tahun!
Gadis ini bergelar Putri Racun. Karena tinggal di
Kerajaan Siluman, dia tidak ikut dalam putaran waktu.
Hal inilah yang menyebabkan dia tetap awet muda.
Hampir satu abad lamanya Putri Racun mengabdi
dengan setia kepada Nyai Catur Asta. Kini dia diperke-
nankan untuk kembali ke dunianya, ke alam fana ini,
setelah berhasil mengobati Suropati atau Anggraini Su-
listya yang juga terkena pengaruh racun Jarum Mati
Sekejap.
Di sisi kiri Putri Racun berdiri seorang gadis can-
tik berambut hitam pendek. Dia menatap Suropati
hampir-hampir tanpa berkedip. Gadis berusia sekitar
dua puluh tahun ini mengenakan pakaian gemerlap
seperti layaknya putri seorang pembesar kerajaan. Wa-
lau tampak kotor, tapi keindahannya tetap terlihat. 
Gadis inilah yang bernama Anggraini Sulistya.
Gelarnya, Putri Cahaya Sakti. Dia putri Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit, Penguasa Kerajaan Pasir Lu-
hur.
Di sisi kiri Anggraini Sulistya berdiri dua orang
gadis kembar. Pakaian yang dikenakan kedua gadis ini
tampak mengenaskan. Compang-camping tak karuan.

Tubuhnya kurus kering hingga tulang-belulangnya
bertonjolan. Wajahnya sebenarnya cantik. Karena kea-
daannya yang mengenaskan, kecantikannya jadi pu-
dar. Rambutnya saja yang masih sedap untuk dipan-
dang. Hitam panjang tergerai sampai ke pinggang. Na-
ma kedua gadis ini, Atika dan Sinta.
Atika dan Sinta baru saja terbebas dari kung-
kungan derita akibat kerja paksa selama tinggal di Ke-
rajaan Air. Wajar bila keadaannya tampak menyedih-
kan. Namun seperti orang yang baru lolos dari maut,
sorot mata gadis kembar ini memancarkan kebaha-
giaan yang sangat.
Di belakang empat gadis yang berjajar rapi itu
tampak dua orang lelaki. Yang muda berusia dua pu-
luh lima tahun. Wajahnya halus lembut seperti wajah
bayi. Pakaiannya putih kuning. Dadanya terlihat tegap
dan gagah. Dia adalah Raka Maruta atau Pendekar Ki-
pas Terbang.
Di sebelahnya berdiri seorang kakek dengan tu-
buh agak bungkuk. Wajah lelaki tua ini berwarna me-
rah seperti buah tomat matang. Karenanya, dia dijulu-
ki orang-orang persilatan si Wajah Merah. Kakek ini
seorang tabib pandai yang sudah cukup ternama.
Walau Pengemis Binal telah tahu di belakangnya
berdiri enam sosok manusia yang terus memperhati-
kannya, tapi dia tetap saja berlutut. Keningnya me-
nyentuh butiran pasir. Begitu pula dengan anak-anak
rambutnya yang tergerai bebas.
"Suro...," bisik Anggraini Sulistya seraya menge-
lus punggung Pengemis Binal
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut remaja
ini. Setelah menunggu sesaat, Anggraini Sulistya me-
nyambung ucapannya.
"Bila kau mau ke Kota Kadipaten Bumiraksa,
pergilah! Aku tak ikut."

"Apa?!"
Suropati melompat lalu menatap wajah Putri Ca-
haya Sakti dengan sinar nyalang. "Kenapa kau tak
ikut?" tanyanya heran.
Anggraini Sulistya tiba-tiba tertawa. Tawa gadis
ini pun segera disahut dengan suara tawa dari kelima
orang yang berdiri di belakangnya.
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepala. Tak ta-
hu apa yang mereka tertawakan. Bola matanya tampak
berputar-putar. Akhirnya, dia melenguh-lenguh seperti
kerbau dicocok hidungnya.
"Apa yang kalian tertawakan?!" sentak remaja
tampan ini.
"Hik hik hik... Kau tahu monyet dibedaki, Suro?"
goda Anggraini Sulistya.
"Seperti aku?" tebak Suropati sekenanya. 
"Ya. Hik hik hik...!"
Buru-buru Pengemis Binal meraba wajahnya.
Nah, tahulah dia kalau kening dan kedua pipinya di-
tempeli butiran pasir tebal. Juga ujung hidungnya.
"Sialan!" umpat remaja konyol ini sambil mem-
bersihkan wajah dengan ujung lengan bajunya. "Eh,
kau tadi mengatakan tak mau ikut ke Kota Kadipaten
Bumiraksa, kenapa?" lanjutnya mengulang pertanyaan
tadi.
Mendengar pertanyaan itu, Putri Cahaya Sakti
mencibir. "Siapa yang sudi ikut dengan bocah gem-
blung sepertimu?! Di sana kau tentu akan berbuat
seenak perutmu sendiri. Ngaku saja kalau kau ingin
bermesra-mesraan dengan kekasihmu itu!"
"Siapa?"
"Dewi Ikata!"
"Ha ha ha...!" Pengemis Binal tertawa bergelak.
"Kalau ya, kau mau apa? Bukankah dia cantik, baik
hati, halus lembut tutur katanya, berilmu tinggi, putri

seorang bangsawan, dan...." 
"Sudah... sudah...!" sela Anggraini Sulistya. "Se-
tinggi apa pun kau memujinya,  Dewi Ikata dijuluki
orang sebagai Pendekar Wanita Gila! Hik hik hik....
Ternyata Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti yang kesohor seantero jagat punya kekasih gi...."
"Sudah... sudah...!" ganti Suropati yang menyela.
"Gila sedikit nggak apa-apa. Pokoknya nggak sungguh-
sungguh gila. Yang penting lagi, dia cantik! Titik!"
Remaja ini tampak nyengir, lalu menyebar pan-
dangan. Semua orang yang melihat ke arahnya terse-
nyum-senyum. Tanpa sadar Suropati menggaruk-
garuk kepalanya yang tak gatal.
"Kalian semualah yang gila!" rungut Pengemis Bi-
nal dalam hati.
Selagi Suropati cengar-cengir mencari cara untuk
dapat memaksa Anggraini Sulistya menuruti kemaua-
nnya, Raka Maruta berjalan tenang menghampiri lalu
menepuk bahu Suropati.
"Aku dan Anggraini Sulistya telah membuat ren-
cana lain, Suro...," kata pemuda berwajah lembut ini,
seperti tahu isi hati Pengemis Binal.
"Apa?"
"Aku dan Anggraini Sulistya akan kembali ber-
layar."
"Hah?!"
Mata Suropati mendelik menatap wajah Raka
Maruta. Orang yang belum kenal betul dengan remaja
konyol ini tentu mengira dia memiliki otak udang. Si-
kapnya memang sering kali menjengkelkan dan tam-
pak sangat bodoh. Tapi bagi yang sudah mengenalnya
dengan baik, sikap konyol Suropati justru mendatang-
kan keasyikan tersendiri. Termasuk Raka Maruta.
Melihat Suropati terkejut, pemuda yang bergelar
Pendekar Kipas Terbang itu malah tersenyum senang.

Tentu saja Suropati merengut marah. Tapi setelah re-
maja konyol ini berulah macam-macam, Putri Cahaya
Sakti segera mendekat.
"Raka Maruta bersedia mengantarku  pulang ke
istana Ayahanda Prabu...," bisik Anggraini Sulistya di
dekat telinga Pengemis Binal.
"Hah?!" Mata Suropati mendelik lebih lebar. "Ja-
di, kau benar-benar tak mau ikut ke Kota Kadipaten
Bumiraksa?"
Anggraini Sulistya mengangguk. "Seharusnya kau
ikut denganku, Suro. Ayahanda Prabu tentu sangat
merindukanmu. Apalagi Ibunda Sekar Tunjung Bi-
ru...."
Suropati tampak berpikir sebentar, lalu kepa-
lanya menggeleng lemah.
"Aku pasti akan datang selama Tuhan berkenan
memberikan umur panjang. Kalau memang benar Pra-
bu Singgalang Manjunjung Langit adalah ayah kan-
dungku dan aku lahir dari rahim Gusti Ratu Sekar
Tunjung Biru, sembah sujudku untuk beliau ber-
dua...."
"Aku sangat yakin kau adalah adik kandungku,
Suro. Kenapa kau masih ragu? Kau putra Ayahanda
Prabu Singgalang Manjunjung Langit," sergah Anggrai-
ni Sulistya.
Sebenarnya, Suropati pun ingin sekali bisa men-
jumpai Prabu Singgalang Manjunjung Langit yang di-
katakan Anggraini Sulistya sebagai ayahnya. Tapi, se-
jak racun Jarum Mati Sekejap dapat dikeluarkan dari
dalam tubuhnya, Suropati mempunyai firasat buruk.
Dan firasat buruk itu mampu mengalahkan keinginan
Suropati untuk berjumpa dengan Prabu Singgalang
Manjunjung Langit. Terbayang dalam benak Suropati
sebuah malapetaka besar akan menimpa para anggota
Perkumpulan  Pengemis Tongkat Sakti yang berada di

Kota Kadipaten Bumiraksa. Sebagai pemimpin tentu
saja Suropati harus turun tangan.
"Ya... ya...! Aku pasti... akan datang untuk meng-
hadap beliau. Tapi, tidak sekarang. Sampaikan saja sa-
lamku. Aku berdoa untuk kesehatan beliau...," kata
Suropati akhirnya.
Anggraini Sulistya menatap wajah Suropati da-
lam-dalam. Mendadak matanya berkaca-kaca. Tanpa
dapat dibendung lagi setitik mutiara bening bergulir
membasahi pipinya.
"Suro...," desis Putri Cahaya Sakti seraya ber-
hambur memeluk Pengemis Binal. "Sebenarnya aku
ingin terus bersama denganmu, Adikku. Tapi bila aku
meninggalkan istana terlalu lama, Ayahanda Prabu
tentu cemas memikirkan aku. Apalagi Ibunda.... Beliau
sering terbangun dari tidurnya karena mimpi buruk.
Aku tidak tega meninggalkannya terlalu lama...." 
Mau tak mau Suropati ikut terbawa dalam keha-
ruan. Tapi, firasat buruk dalam diri Suropati benar-
benar mampu mengalahkan kepentingan pribadinya.
Sementara Putri Cahaya Sakti cuma dapat memeluk
erat tubuh Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini. Tangisnya terisak-isak dan air matanya men-
galir deras.
Putri Racun, Atika, dan Sinta tampak menatap
bentangan kaki langit nun jauh di sana. Mereka tak
sanggup melihat kesedihan Anggraini Sulistya, Si Wa-
jah Merah menundukkan kepala. Selama Anggraini
Sulistya tinggal beberapa hari di Bukit Rawangun, ka-
kek ini telah berusaha mati-matian untuk dapat me-
nyelamatkan jiwa gadis ini yang terkena racun Jarum
Mati Sekejap. Selama beberapa hari itulah Kakek Wa-
jah Merah lebih mengenal kepribadian Anggraini Sulis-
tya. Kini melihat gadis itu menangis tersedu-sedu, pe-
rih juga rasa hati si Wajah Merah.

Pendekar Kipas Terbang pun demikian. Sejak
bertemu dengan Anggraini Sulistya, timbul getar-getar
aneh dalam dirinya. Getar-getar aneh itu selalu men-
desaknya untuk dapat memberikan apa yang terbaik
bagi Anggraini Sulistya. Dia tak mau melihat Anggraini
Sulistya bersedih hati. Raka Maruta ingin selalu me-
nyenangkan gadis itu. Sekarang pun demikian. 
Tapi  bagaimana? Kalau kata-kata hiburan, dia
tak bisa merangkainya. Raka Maruta memang pemuda
yang sangat pendiam, juga pemalu. Adakah sesuatu
yang dapat membuat Anggraini Sulistya, bahagia? Ra-
sanya, Raka Maruta kalau diminta untuk menyeberan-
gi lautan api atau mencebur ke kawah gunung berapi
pun dia akan sanggup melakukannya. Asal hal ini da-
pat membuat bahagia Anggraini Sulistya. Lama Raka
Maruta termenung. 
"Sudahlah, Aini...," kata Suropati sambil mereng-
gangkan pelukan Anggraini Sulistya. Ditatapnya wajah
gadis itu dengan penuh rasa kasih. "Aku tahu pera-
saanmu. Tapi, kau juga mesti tahu kalau aku mempu-
nyai kewajiban yang tidak bisa kutinggalkan dalam
waktu dekat ini...."
Seperti tak memperhatikan perkataan Suropati,
Putri Cahaya Sakti menoleh ke arah Raka Maruta.
"Kita berangkat sekarang, Maruta...," ucap
Anggraini Sulistya pelan sekali.
Pendekar Kipas Terbang menatap wajah Penge-
mis Binal sejenak. "Aku minta pamit, Suro...."
Suropati mengangguk. "Jaga Anggraini Sulistya
baik-baik, Maruta...."
Pendekar Kipas Terbang pun mengangguk. Sete-
lah mengucap salam perpisahan kepada Putri Racun,
Atika, Sinta, dan juga Kakek Wajah Merah, pemuda
berwajah lembut ini melangkahkan kaki mengikuti
Anggraini Sulistya menuju kapal.

Sebentar saja layar telah dibentangkan kembali.
Sauh pun ditarik. Kapal layar merah siap untuk men-
garungi lautan menuju wilayah Kerajaan Pasir Luhur.
"Suatu hari nanti aku akan datang ke Bukit Ra-
wangun untuk melanjutkan pelajaran darimu, Kek...!"
teriak Pendekar Kipas Terbang kepada Kakek Wajah
Merah.
Si Wajah Merah melambaikan tangannya Sedih
juga  hatinya berpisah dengan muridnya yang belum
tuntas mendapat pelajaran itu. Memang, selama ting-
gal di Bukit Rawangun Raka Maruta telah diangkat
murid oleh Kakek Wajah Merah untuk menerima aja-
ran ilmu ketabiban.
Begitu kapal layar merah berlayar semakin jauh
dan pandangan, Pengemis Binal menggaruk-garuk ke-
pala. Sesaat kemudian keluar desahan dari mulutnya.
Tapi, apalah arti perpisahan bagi remaja konyol ini.
Memang benar perpisahan mendatangkan rasa sedih.
Namun haruskah rasa sedih itu dibiarkan berlarut-
larut?
Ada perjumpaan, tentu ada perpisahan. Ada ke-
bahagiaan, tentu ada penderitaan. Begitulah penger-
tian yang selalu melekat dalam diri Suropati. Karena
pengertian inilah, di mana pun dan dalam keadaan
apa pun, Suropati tak pernah membiarkan rasa sedih
terus mencengkeram jiwanya.
"Kita berangkat sekarang...," ajak pendekar muda
ini kemudian kepada keempat orang yang masih berdi-
ri tak seberapa jauh darinya.
"Ya," sahut Kakek Wajah Merah. "Tak ada gu-
nanya kita berdiri termangu-mangu di tempat ini...."
Tabib pandai ini melangkah santai tanpa mem-
pedulikan Suropati, Putri Racun, Atika maupun Sinta. 
"Eh, kau mau ke mana, Kek?" cegah Pengemis
Binal. "Tidakkah kau ikut denganku ke Kota Kadipaten

Bumiraksa?"
Si Wajah Merah tak menjawab. Menoleh pun ti-
dak. Langkah kakinya diperlebar sambil sesekali me-
nyaruk butiran pasir. Melihat sikap acuh ini, kontan
hati Pengemis Binal mendongkol. Cepat dia menen-
dang batu karang yang berada di depan kakinya.
Dukkk...!
Batu bergerigi sebesar kepala orang dewasa itu
meluncur deras ke pantat Kakek Wajah Merah. Tabib
pandai ini tak sedikit pun memperlihatkan gerakan
untuk menghindar. Malah, dia menekuk pinggang se-
hingga pantatnya yang tepos menyembul ke belakang.
Bruoottt...!
Bersamaan dengan suara kentut yang terdengar
'merdu', batu karang yang ditendang Suropati jatuh ke
hamparan pasir. Aneh? Tidak! Bagi si Wajah Merah
yang memiliki kepandaian tinggi, kentut pun bisa diali-
ri tenaga dalam.
"He he he...!" Kakek Wajah Merah tertawa terke-
keh tanpa menoleh. "Kalau kau ada perlu denganku,
datanglah ke Bukit Rawangun, Suro...!"
Belum sempat Pengemis Binal menyahut, tubuh
Kakek Wajah Merah telah berkelebat sangat cepat.
Dan, hilang dari pandangan.
"Kalian ikut aku sekarang...," ajak Suropati ke-
mudian. Kakinya melangkah, tapi segera terhenti kem-
bali. Putri Racun, Atika, dan Sinta tak beranjak dari
tempatnya berdiri.
"Aku dan Sinta sudah sepakat untuk kembali ke
kampung halaman, Suro...," kilah Atika.
Mata Pengemis Binal mendelik. "Kalian juga tak
mau ikut ke Kota Kadipaten Bumiraksa?!"
"Ya," sahut Sinta.
"Bodoh!"
"Tidak! Kalau aku ikut denganmu, justru orang

akan mengatakan aku bodoh. Hampir tiga tahun aku
meninggalkan kedua orangtua ku. Sekaranglah aku
ingin pulang untuk menengok mereka."
"Benar," timpal Atika seraya menggamit lengan
saudara kembarnya.
Suropati hanya dapat menatap kepergian mereka
tanpa mampu berbuat apa-apa. Sewaktu menoleh, un-
tuk kesekian kalinya mata Suropati mendelik. Putri
Racun pun telah berkelebat lenyap!

***

Jalan kecil di pinggir hutan yang tak seberapa
jauh dari Kota Kadipaten Bumiraksa ini biasanya ra-
mai dilewati orang. Tapi, di pagi yang cerah ini tampak
lengang. Orang-orang lebih suka mengambil jalan me-
lingkar yang tentu saja lebih jauh. Mereka merasa ta-
kut karena jalan yang biasa dilalui itu telah dikuasai
oleh Empat Begundal Dari Gua Larangan.
Ceracau burung terdengar lamat-lamat di dalam
hutan. Satwa-satwa itu terkejut melihat empat sosok
bayangan berkelebat. Suara gaduh terdengar saat
keempat bayangan ini menginjak semak-semak. Di de-
pan sebuah rumah papan mereka berhenti. 
"Hasil kita hari ini cukup banyak, Tunggul. Un-
tuk sementara simpan saja di tempat ini," kata lelaki
brewok yang mengenakan ikat kepala hitam.
Orang yang dipanggil Tunggul segera memasuki
rumah gadang. Barang yang membebani pundaknya
ditaruh di dalam bangunan papan itu. Tunggul kemu-
dian kembali menghadap lelaki berikat kepala hitam.
"Pergilah ke tepi hutan! Barangkali ada prajurit
kadipaten yang menguntit langkah kita!" kata lelaki be-
rikat kepala hitam memberi perintah.
"Sebaiknya Gangsar ikut denganku. Untuk berja-

ga-jaga. Barangkali dugaanmu tepat, Gentho..."  pinta
Tunggul. Lelaki berbadan kekar ini lalu melambaikan
tangannya. Lelaki lain yang dipanggil Gangsar segera
mengikuti langkah kaki Tunggul.
Gentho yang merupakan pemimpin dari teman-
temannya mengajak lelaki yang masih berdiri di hada-
pannya untuk memasuki rumah papan. Tapi, lelaki ini
menolak.
"Kenapa kau suruh Tunggul ke tepi hutan? Bah-
kan kau perbolehkan dia mengajak Gangsar. Bukan-
kah setiap jalan di pinggir hutan ini telah dijauhi orang
semenjak Empat Begundal Dari Gua Larangan berco-
kol di sini?" kata lelaki itu tak senang.
"Yah, barangkali saja ada beberapa orang prajurit
kadipaten yang punya nyali besar. Kita harus menjaga
segala kemungkinan, Boma...," kilah Gentho.
"Kau takut?" cibir Boma. Gentho mendengus.
"Gunakan otakmu itu, Goblok! Kita ini memang
perampok yang tak takut mati. Tapi bila kita tertang-
kap prajurit kadipaten, kita akan disiksa. Ingat itu,
Boma! Kita akan disiksa! Empat Begundal Dari Gua
Larangan telah membuat resah penduduk kota, Gusti
Adipati tentu murka. Kita akan disiksa setengah mati
setengah hidup!"
Mendengar ucapan Gentho yang berapi-api, hati
Boma jadi ciut juga. Apalagi ketika melihat mata Gen-
tho mendelik, hilanglah seluruh keberaniannya. Buru-
buru dia menguntit langkah kaki Gentho yang mema-
suki rumah papan. Tapi....
Gentho dan Boma terkesiap. Telinga mereka me-
nangkap suara gemerosokan yang timbul dari langkah
kaki orang menginjak semak-semak. Kedua lelaki ini
segera siap siaga untuk menghadapi segala kemungki-
nan yang terjadi. Namun, rasa gusar yang mendera ha-
ti lenyap seketika tatkala tahu kalau yang datang ada-

lah Tunggul dan Gangsar.
Napas mereka terdengar memburu. Matanya jela-
latan tak karuan. Tapi anehnya, bibir mereka me-
nyunggingkan senyum
"Ada apa, Tunggul?!" tanya Gentho. Suaranya
lantang terbawa keingintahuan yang sangat.
"Di sana...," tunjuk Tunggul, lalu mengatur jalan
nafasnya.
"Bicara yang lengkap, Goblok!" bentak Gentho tak
sadar.
"Wanita cantik...," Gangsar yang bicara. Mata
Gentho mendelik. Begitu juga dengan Boma.
"Maksudmu di sana ada wanita cantik?" tebak
Boma mendahului Gentho yang hendak bertanya.
"Ya," sahut Tunggul dan Gangsar bersamaan.
Kontan Gentho tertawa bergelak. "Ha ha ha...!
Kenapa tidak kalian seret kemari?"
"Tanpa dipaksa pun dia mau datang kemari as-
al...," Tunggul menggantung ucapannya.
"Asal apa?" sahut Gentho tak sabaran.
"Asal kita berempat yang menjemputnya!"
"Ha ha ha...!" Gentho tertawa bergelak lagi. Ketiga
temannya ketawa menyambung. "Baik, kita jemput dia
sekarang...!" ajak Gentho kemudian. 

***

Di pinggir hutan di mana terdapat sebuah jalan
kecil yang menghubungkan Kademangan Maospati
dengan Kota Kadipaten Bumiraksa itu tampak lengang.
Seorang gadis cantik yang berusia dua puluh tiga ta-
hun berdiri mematung di tepi jalan. Sikap gadis ini ter-
lihat tenang-tenang saja, walau dia tahu daerah tem-
patnya berada kini telah dikuasai Empat Begundal Da-
ri Gua Larangan.

Mata si gadis menatap lurus ke dalam hutan. Se-
sekali mengerjap, membuat bola matanya yang hitam
legam bergerak-gerak indah. Bulu mata gadis itu len-
tik. Alisnya pun menggaris rapi seperti ditata seorang
ahli.
Saat angin bertiup kencang, pakaiannya yang
serba biru berkibar, lekuk liku tubuhnya jadi terlihat
jelas. Buah dadanya montok menantang. Pinggangnya
ramping pinggulnya cukup besar menggairahkan.
Rambut hitamnya digelung di atas dengan hiasan tu-
suk konde emas bermata berlian.
Bibir si gadis yang merah basah tampak me-
nyunggingkan senyum manis tatkala matanya me-
nangkap empat sosok lelaki berbadan tegap berlari-lari
menghampiri. Setelah sampai di hadapan si gadis, ter-
nyata empat sosok lelaki itu adalah Gentho, Boma,
Tunggul, dan Gangsar.
"Hmmm.... Inikah yang menamakan diri sebagai
Empat Begundal Dari Gua Larangan?" ujar si gadis
sambil mengerling genit.
"Ho ho ho...!" tawa Gentho. Matanya menjilati tu-
buh si gadis dengan liar. "Benar apa katamu, Manis....
Kami adalah Empat Begundal Dari Gua Larangan.
Namaku, Gentho Sastro Wardoyo!"
"Hik hik hik...," si gadis tertawa cekikikan.
"Agaknya kau adalah pemimpin dari teman-temanmu.
Tapi, namamu aneh. Aku bingung, mesti memanggil
apa?"
"Gentho. Den Mas Gentho," sahut Gentho cepat
"Kau cantik sekali. Siapa namamu?"
"Hmmm...." 
Si gadis menggerakkan bola matanya, lalu melen-
gos seperti jual mahal. Tapi, dia membusungkan da-
danya. Kontan mata Empat Begundal Dari Gua Laran-
gan melotot melihat payudara si gadis yang menyem-

bul besar, karena belahan bajunya tak di kancingkan.
"Si... siapa namamu?" tanya Tunggul, sedikit ge-
lagapan akibat jalan nafasnya  yang tiba-tiba terasa
buntu.
"Hmmm.... Kalian semua mau tahu namaku?"
tanya si gadis seraya membasahi bibirnya dengan li-
dah.
"Ya... ya...," sahut Empat Begundal Dari Gua La-
rangan. 
"Kinanti."
"Kinanti? Hmmm.... Nama yang sangat merdu di-
dengar," ucap Gentho. "Kinanti, kaukah yang meminta
dua temanku untuk menyuruh kami semua menjem-
putmu?"
"Ya. Kau keberatan?"
"Tidak. Justru aku malah senang."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Di dalam hutan
sana kau tentu mempunyai tempat tinggal. Aku...."
Ucapan si gadis terputus karena disela tawa Gen-
tho.
"Ha ha ha...! Ssshhh.... Kau cantik sekali. Apa
pun yang kau minta akan kuturuti. Termasuk mengi-
nap di tempat tinggalku." 
"Tapi, aku tak bisa lama-lama..." 
"Kenapa?" tanya Gentho kecewa.
"Hmmm...."
Si gadis membusungkan dadanya lagi. Lebih ke
depan. Napas Empat Begundal Dari Gua Larangan
langsung megap-megap seperti ikan terlalu lama di da-
rat. Pemandangan yang terpampang di hadapan empat
lelaki berbadan kekar ini benar-benar sangat menggai-
rahkan.
"Ssshhh...!" si gadis mendesis dengan kelopak
mata terpejam. Kaki kanannya diangkat. Pahanya yang
putih mulus menyeruak dari belahan kain birunya.

Gentho yang sudah tak mampu lagi mengendali-
kan hasrat hatinya segera menyambar tubuh si ga-
dis....

***

Di dalam rumah papan, si gadis didudukkan di
kursi kayu. Dengan penuh nafsu Gentho menci-
uminya. Tapi, si gadis mengelak.
"Uh! Jangan kasar begini!" sentak gadis cantik
itu. "Panggil ketiga temanmu kemari!"
"Untuk apa?" tanya Gentho sambil mengatur na-
fasnya yang memburu.
"Sudahlah.... Kalau kau ingin sesuatu dariku,
mestinya kau turuti permintaanku."
Buru-buru Gentho melangkah ke pintu lalu me-
manggil ketiga temannya yang tampak sedang me-
nunggu giliran. Begitu mendengar panggilan itu, cepat-
cepat mereka bergegas masuk.
"Pfeif... phuih... whuih...!"
Tak jelas apa yang hendak diucapkan Empat Be-
gundal Dari Gua Larangan. Mata keempat lelaki ini
tampak jelalatan memandang liar ke arah si gadis yang
tengah menengadahkan wajah sambil menyingkap
kain bajunya. Tapi ketika Empat Begundal Dari Gua
Larangan berjalan mendekat, si gadis menutup kemba-
li kain bajunya.
"Kalian mesti bersabar,..," ujar si gadis seraya
menatap penuh arti. "Berdirilah berjajar. Akan kutun-
jukkan kepada kalian sebuah pemandangan yang le-
bih... hmmm..."
Tanpa mengalihkan pandangan dari si gadis,
Empat Begundal Dari Gua Larangan segera melangkah
mundur. Mereka lalu dengan patuhnya berdiri berjajar.
Tunggul di ujung kiri dan Gentho di ujung kanan.

"Hmmm.... Kalian memang lelaki-lelaki penurut.
Aku sangat suka. Hua... ha... ha...!" si gadis tertawa
terbahak-bahak. Payudaranya yang besar menantang
tampak terguncang-guncang.
Terhantam hasrat hati yang semakin menggelora,
Empat Begundal Dari Gua Larangan tak dapat berdiri
tegak lagi. Kaki mereka bergeser dengan tubuh meng-
gigil. Mata melotot seperti mau keluar dari rongganya.
Napas mereka pun terdengar menderu-deru bagai ha-
bis berlari ratusan tombak jauhnya.
Gentho tak kuasa lagi menahan gelegak kelela-
kiannya. Dia maju selangkah. Lalu, tubuhnya berkele-
bat menerkam si gadis yang sedang tersenyum-
senyum.
Wuuusss...!
Serangkum angin pukulan  menahan gerakan
Gentho. Lelaki brewokan ini terjajar mundur tiga lang-
kah ke belakang. Sebelum dia tahu apa yang sedang
terjadi, mendadak terdengar suara bersiutan. Gentho
terkejut bagai disambar petir. Seluruh anggota badan-
nya tidak bisa digerakkan lagi, Kaku!
"Hua... ha... ha...!"
Tawa si gadis terdengar aneh. Matanya mendelik
berkilat-kilat. Tiga teman Gentho yang ditatap cuma
bisa melenguh-lenguh. Terdengar lagi suara bersuitan.
Tubuh teman-teman Gentho pun mendadak jadi kaku.
"Hua... ha... ha...!"
Tawa  si gadis terdengar meledak-ledak. Begitu
terhenti, dia mendengus. Mata Empat Begundal Dari
Gua Larangan terbeliak lebar. Bukan karena rangsan-
gan nafsu, melainkan melihat pemandangan yang begi-
tu mengejutkan.
Perlahan-lahan rambut si gadis yang semula hi-
tam  berkilau berubah jadi putih kekuning-kuningan.
Matanya yang indah tiba-tiba melesak ke dalam, ham-

pir-hampir tak terlihat lagi. Pipinya berubah peot ber-
gelambir. Bibirnya jadi keriput, sudutnya yang sebelah
kiri tertarik ke bawah. Lalu, seluruh kulitnya yang se-
mula halus mulus jadi berkerut-kerut kasar. Payudara
pun mengempes.
Empat Begundal Dari Gua Larangan disergap ra-
ta takut yang sangat. Apalagi ketika sosok nenek ber-
tampang seram di hadapan mereka itu melangkah
mendekati. Ingin rasanya empat lelaki berbadan tegap
ini lari sekencang-kencangnya. Tapi apa daya, bergem-
ing saja mereka tak mampu.
"Kalian akan segera menjadi abdi setia sang Ratu
Air," ujar nenek bertampang seram.
"Jjjggg... uf... iinrghiih...," suara ini keluar dari
mulut Gentho. Lidahnya yang kelu tak bisa lagi diajak
merangkai kata kata. Bola matanya berputar-putar
menyimpan rasa ngeri.
"Hua... ha... ha...!"
Si nenek tertawa bergelak-gelak seraya memen-
tangkan kedua tangannya ke atas. Tubuhnya tampak
bergetar seperti terserang demam hebat. Setelah ta-
wanya terhenti, kedua tangannya diturunkan kembali.
Bibirnya yang mencong kini berkomat-kamit.  Wajah
seram itu tampak mengelam. Semakin mengerikan. 
Srash...!
Dari rongga mata si nenek memancar delapan la-
rik sinar perak. Sinar-sinar itu menyusup masuk ke
bola mata Empat Begundal Dari Gua Larangan
"Khhhrrrggghhh...!"
Bola mata Empat Begundal Dari Gua Larangan
berputar-putar. Bulatan hitamnya tertarik ke atas,
hingga yang terlihat hanya putihnya saja. Mendadak,
tubuh keempat lelaki kekar ini bergetar hebat. Tapi,
semakin lama semakin lemah lalu diam tak bergerak
dengan kepala tertunduk

"Hua... ha... ha.... Kalian telah menjadi abdi setia
sang Ratu Air!" teriak si nenek lantang. "Pergilah ke
Kota Kadipaten Bumiraksa. Bunuh semua anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti! Bila berjumpa
dengan Suropati atau Pengemis Binal, bunuh sekalian
Kunyuk Busuk itu!"
Empat Begundal Dari Gua Larangan segera
membalikkan badan. Dengan sentakan pelan mereka
dapat berkelebat sangat cepat. Keluar dari rumah pa-
pan laksana melayang. Jelas, kepandaian Empat Be-
gundal Dari Gua Larangan telah berlipat ganda!

***

3

Kuil Saloka adalah bangunan tua yang terbuat
dari susunan batu. Entah berapa ratus tahun usianya.
Yang jelas, bangunan yang semula digunakan sebagai
tempat pemujaan ini telah rusak berat, bahkan nyaris
hancur. Bangunan pelengkap yang terletak di sisi be-
lakang sudah tak beratap lagi. Di sana-sini jamur dan
lumut menyebar rata. Hanya ruang utamanya yang
masih cukup baik. Di ruang yang cukup besar inilah
para pengemis dan gelandangan Kota Kadipaten Bumi-
raksa bertempat tinggal. Lantainya disapu bersih. Bila
malam, seratus orang lebih tidur di tempat ini.
Sang Baskara hampir tegak di atas kepala. Kuil
Saloka tampak sepi. Sejak pagi tadi para penghuninya
telah pergi ke pusat kota untuk melakukan mata pen-
cahariannya sehari-hari. Di teras kuil hanya terlihat
seorang lelaki tua dan seorang ibu yang sedang me-
nyusui bayinya. Seperti layaknya para pengemis, tu-
buh mereka pun kurus kering terbungkus pakaian pe-

nuh tambalan.
Si kakek duduk terpekur sambil menatap hampa-
ran tanah berdebu. Pandangannya kosong, seperti te-
lah bosan mengarungi hidup yang penuh derita. Se-
dangkan sang ibu berdiri menimang-nimang bayinya
yang mulai terlelap. Dari mulut wanita setengah baya
ini keluar lantunan tembang.

Setuhunipun mboten wonten Gusti ingkang sinem-
bah
Kajawi Gusti whujut howo ingkang maha suci 
Hyang Maha Suci.
Ingkang kinarya Duto Suci, utusan sipat kawoso
Ingih ingkang kasebat asma: sang Puspito Kresno,
Nenggih Risang Brahmono Jawodipo
Inggih sang Panembahan Senopati Agung ing Ma-
diyo Bawono
Ingkang minangka kinarya panutan pandoming
kawula
Den wajibaken manuntun mring marga pepadang
Lan kasampurnaning para kawula darah tura sing
suci
Artinya:
Sesungguhnya tidak ada Tuhan yang disembah
Kecuali Tuhan wujud yang maha suci
Tuhan Maha Suci
Sebagai Duta Suci, utusan berkuasa
Yang disebut dengan nama: sang Puspito Kresno
Juga, Risang Brahmono Jowodipo
Juga, sang Panembahan Senopati Agung di dunia
Yang dijadikan sebagai suri tauladan manusia 
Yang diwajibkan menuntun pada jalan kebenaran
Dan kesempurnaan manusia keturunan suci.

Usai tembang dilantunkan, sang jabang bayi ter-

lelap sudah. Sang ibu melangkah ke dalam kuil, se-
dang si lelaki tua tetap terpekur dalam duduk diam-
nya. Kakek ini akhirnya bosan juga. Dia bangkit lalu
menekuk pinggangnya yang pegal-pegal. Ketika mene-
gakkan kembali tubuhnya, tahu-tahu di depannya te-
lah berdiri empat lelaki kekar bertambang angker. Bola
mata mereka menatap si kakek dengan berkilat-kilat.
"Si... si...."
Kalimat si kakek tercekat di tenggorokan. Tiba-
tiba saja seorang lelaki di hadapannya melayangkan te-
lapak tangan. Dia mencoba mengelak, tapi....
"Aaahhh....!"
Tubuh si kakek terpental keras lalu membentur
dinding kuil. Kepalanya remuk bersimbah darah! Se-
saat lelaki naas ini meregang nyawa sebelum diam tak
bergerak lagi.
"Si... siapa kalian? Kenapa berbuat sekejam ini?!"
kata wanita setengah baya gelagapan.
Ibu yang baru saja menidurkan bayinya ini terke-
jut mendengar teriakan si kakek. Dia berlari keluar
dan menemukan tubuh temannya di tanah dalam kea-
daan mengerikan.
"Si... siapa kalian?" kata ibu itu sekali lagi.
Lelaki yang brewokan maju selangkah. Setelah
keluar dengus keras dari mulutnya, dia melayangkan
tangan kanan. Gerakannya sangat cepat
"Aaahhh..,!"
Tanpa dapat dihindari lagi, telapak tangan lelaki
ini menghantam kepala wanita setengah baya. Tubuh
ibu malang ini berpusing lalu membentur dinding kuil.
Begitu jatuh ke lantai, tak nampak gerakan sedikit pun
darinya. Mati dengan kepala remuk!
Lelaki brewokan lalu melangkah memasuki kuil.
Tiga temannya mengikuti di belakang. Sesaat mereka
menyebar pandangan. Terlihat di pojok ruangan sang

bayi terbangun dari tidurnya. Kedua tangan dan ka-
kinya menghentak-hentak. Kemudian, suara tangisnya
terdengar melengking tinggi.
Empat lelaki bertampang angker cuma menden-
gus. Mereka melangkah keluar kuil karena tak mene-
mukan apa yang dicari. Baru saja sampai di halaman,
sebuah bentakan menghentikan langkah keempatnya.
"Cecurut-cecurut Busuk! Tanpa susah-susah
mencari akhirnya tampak juga batang hidung kalian!" 
Seorang gadis cantik berpakaian putih kuning
melangkah santai. Tubuhnya langsing. Rambutnya
yang hitam panjang diikat dengan sapu tangan merah.
Pandangannya yang sangat tajam menyimpan amarah.
Mendengar bentakan gadis ini, empat lelaki kekar
menggeram gusar. Yang brewokan melangkah ke de-
pan.
"Siapa kau?!" sentak lelaki itu. Suaranya terden-
gar sengau dan mengandung getaran aneh.
"Ha ha ha...!" si gadis tertawa lebar. "Aku Dewi
Ikata! Akulah wakil Adipati Danubraja yang akan sege-
ra menjatuhkan hukuman mati terhadap kalian!" 
Selagi empat lelaki kekar menggeram marah, De-
wi Ikata terkesiap. Telinganya menangkap suara tangis
bayi dari dalam kuil. Gadis ini menatap ke depan kuil.
Terlihat olehnya noda darah segar menempel di dind-
ing bangunan itu. Tahulah dia kalau di tempat ini baru
saja terjadi pembunuhan keji.
"Empat Begundal Dari Gua Larangan memang ib-
lis-iblis laknat yang haus darah!" geram Dewi Ikata
yang bergelar Pendekar Wanita Gila.
Putri tunggal Adipati Danubraja ini segera meng-
hemposkan tubuhnya. Gerakannya ringan dan cepat.
Tubuh langsing itu melayang di atas kepala Empat Be-
gundal Dari Gua Larangan, dan mendarat tepat di am-
bang pintu kuil. Dewi Ikata bergegas masuk ke dalam

kuil untuk mengambil sang bayi. Begitu berada dalam
dekapan gadis cantik itu, sang Jabang bayi langsung
terdiam dari tangisannya. Mungkin dia merasa aman
berada dalam dekapan Dewi Ikata.
"Keparat! Cecurut-cecurut Kudisan!" umpat Pen-
dekar Wanita Gila setelah sampai di teras kuil kembali.
Sosok Empat Begundal Dari Gua Larangan sudah
tak tampak lagi. Tentu saja hal itu membuat Dewi Ika-
ta kesal. Sudah beberapa hari ini dia mendengar kega-
nasan Empat Begundal Dari Gua Larangan yang suka
merampas harta penduduk kota. Maka setelah tahu
buruannya lenyap, Dewi Ikata pun marah bukan main.
Tapi begitu dilihatnya wajah sang bayi cukup
montok dan lucu, Dewi Ikata lupa pada kemarahan-
nya. Gadis ini tertawa terkekeh sambil menimang-
nimang bayi dalam bopongannya. Sang bayi pun tam-
paknya senang-senang saja. Bibirnya yang mungil me-
nyunggingkan senyum.
"He he he.... Kau tampan sekali, Sayang...," ujar
Pendekar Wanita Gila. "Namamu siapa? Mau nggak
ikut ke Pendapa Kadipaten? Tentu mau, ya? Heh, apa?
Nggak mau? Oo... mau sama ibumu? Aduh, Sayang....
Ibumu sudah meninggal. Ikut Ika saja, ya?"
Rupanya kegilaan Dewi Ikata sedang kambuh.
Dia terus bicara sendiri dan sesekali tertawa terkekeh.
Mata sang bayi pun berbinar-binar senang.
Tanpa disadari Pendekar Wanita Gila, di halaman
kuil telah berdiri seorang remaja tampan berpakaian
putih penuh tambalan. Remaja ini memandang tingkah
laku Dewi Ikata dengan kening berkerut. Alisnya yang
tebal ikut bertaut.
"Dewi Ikata punya anak?" gumam remaja tampan
itu. "Ah, masa'? Punya suami saja belum! Tapi, ba-
rangkali ia punya anak namun tak punya suami. Ah,
mana bisa? Bisa saja!" Tiba-tiba remaja ini menampar

kepalanya sendiri. "Bodoh! Aku tahu siapa Dewi Ikata.
Luar dalam. Sedalam-dalamnya. "Ikkkaaa...!" teriaknya
lantang.
Tentu saja Pendekar Wanita Gila terkejut. Dia
tengah asyik dengan bayi dalam dekapannya. Namun
begitu tahu siapa yang memanggil, senyum manis
mengembang di bibirnya.
"Surrrooo...!" teriak Dewi Ikata seraya berhambur
ke arah si remaja tampan yang memang Suropati atau
Pengemis Binal. Dewi Ikata yang sedang kambuh kegi-
laannya lupa kalau dia tengah membopong bayi. Ke-
dua tangannya yang terjulur ke depan membuat tubuh
mungil sang bayi terlontar.
Suropati yang melihat kejadian ini segera men-
gambil tindakan. Secepat kilat tubuhnya meluncur.
Dukkk!
"Aduh...!"
Kepala remaja konyol ini terantuk batu kuil dan
jatuh dalam keadaan tengkurap. Tapi, tindakan sangat
cepat namun tanpa perhitungan ini membuahkan ha-
sil. Tubuh mungil sang bayi jatuh di punggung Penge-
mis Binal. Lengket seperti diberi perekat!
"Oeee...!"
Sang bayi menjerit keras. Bukan jerit tangis ka-
rena terkejut, melainkan jerit karena merasa senang.
Pendekar Wanita Gila yang menyadari kesala-
hannya segera meraih sang bayi Ditimang-timangnya
bayi mungil itu. Sementara Suropati yang masih
menggelosor ditanah meraba-raba kepalanya yang ben-
jol. Saat itulah dia mencium bau anyir darah. Bergegas
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini
meloncat bangkit. Matanya terbelalak melihat dua
anggota perkumpulannya mati dengan keadaan men-
genaskan.
"Biadab...!" geram Suropati.

Lupa sudah remaja konyol ini kepada keberadaan
Dewi Ikata. Satu persatu dibawanya mayat dua anggo-
ta perkumpulannya ke halaman belakang kuil. Lalu,
digalinya tanah untuk dijadikan makam.
"Suro...," panggil Dewi Ikata setelah Pengemis Bi-
nal menguburkan dua mayat itu. Remaja konyol ini
duduk terpekur di bawah pohon trembesi.
Melihat kehadiran Pendekar Wanita Gila yang
masih menimang-nimang sang bayi, Suropati menatap
hambar.
"Aku tidak akan menuduhmu melakukan perbua-
tan kejam ini. Tapi, kenapa kau membiarkan dua
orang anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
dibantai?" sentak Pengemis Binal.
"Maaf, Suro.... Aku datang terlambat," kilah Dewi
Ikata seraya menghentikan gerakan tangannya. Sang
bayi tampak terlelap dalam tidurnya.
"Kau tahu siapa biang keladi pembunuh ini?"
"Empat Begundal Dari Gua Larangan."
Pengemis Binal bangkit dari duduknya. Tanpa
berkata apa-apa lagi Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini menjejak tanah. Tubuhnya berkele-
bat lenyap.
"Surrrooo...!"
Panggilan Dewi Ikata hanya disambar angin yang
berhembus kencang. Untung sang bayi yang tidur da-
lam dekapannya tidak terbangun. Hanya, kedua tan-
gan sang bayi menggeliat kecil. 
"Suro..,," desis Pendekar Wanita Gila. "Tampak-
nya kau sudah tak suka lagi padaku. Mungkin sekali
kau jadi membenciku. Tapi, Suro.... Seharusnya kau
bisa mengerti. Aku pun tidak mengharapkan peristiwa
ini terjadi."
Butiran mutiara bening bergulir dari sudut mata
Dewi Ikata. Semakin lama semakin deras. Tangisnya

terdengar terisak-isak. Agaknya, jiwa putri tunggal
Adipati Danubraja ini terpukul melihat sikap Suropati
yang seperti menimpakan kesalahan kepadanya.
Berulang kali Dewi Ikata menyebut nyebut nama
Pengemis Binal. Mendadak, melintas di matanya masa-
masa indah yang pernah dilewatinya bersama remaja
tampan itu. Masa-masa indah di mana mereka saling
memadu kasih. Saat itu penuh canda.
Begitu membahagiakan!
"Oh, Suro...," desis Dewi Ikata untuk kesekian
kalinya.
Gadis cantik jelita ini lalu melangkah gontai me-
ninggalkan Kuil Saloka. Ditatapnya wajah sang bayi
yang masih tertidur lelap dalam dekapan. Sekejap di-
ciumnya kening sang bayi. Air matanya telah berhenti
mengalir.
"Kau tampan sekali...," kata Dewi Ikata sambil
mengelus bibir sang bayi. "Kau jangan bersedih, ya?
Relakan ibumu pergi. Tak perlu disesali. Sekarang dia
telah berada di tempat yang paling membahagiakan di
sisi Tuhan. Aku akan membawamu ke Pendapa Kadi-
paten. Ibunda Rara Anggi tentu akan senang melihat-
mu. Ibunda Rara Anggi sangat baik. Kau akan baha-
gia...."
Dewi Ikata terus melangkah dengan membawa
perasaan sedih.

***