Pengemis Binal 7 - Dendam Para Pengemis(2)


Sang Baskara kembali ke peraduannya. Perla-
han-lahan gelap menerpa bumi. Kehidupan malam se-
gera dimulai. Cahaya lampu-lampu minyak menyinari
kota Kadipaten Bumiraksa.
Seorang remaja tampan berpakaian penuh
tambalan tampak berjalan sambil bersungut-sungut.
Sebentar-sebentar dia mengayunkan tongkat kayunya.
Beberapa pemuda berpakaian penuh tambalan berlari
lari kecil mengikuti langkah remaja tampan yang tak
lain Suropati atau si Pengemis Binal.
"Tunggu dulu, Suro! Kau hendak ke maha?!"
tanya salah seorang pemuda yang mengikuti Suropati.
"Monyet-monyet Kudisan! Kentut Busuk! Kena-
pa kalian mengikutiku?!" hardik Suropati seraya mem-
balikkan badan dan mengacungkan tongkatnya.
"Eit! Jangan marah dulu, Suro! Kami bermak-
sud baik."
"Maksud baik gundul  mu  itu! Aku tidak ingin
nyawa kalian melayang sia-sia. Aku akan menghadapi
Margana Kalpa seorang  diri. Kalian tak perlu ikut
campur. Carilah Kakek Gede Panjalu, dan tegakkan
kembali Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti!" 
"Hei! Kau pemimpin kami, Suro. Masa' Kakek
Gede yang harus mengumpulkan orang-orang  kita
yang tersebar di berbagai tempat. Ah, yang benar saja!"
sahut si pemuda bersikeras.
"Aku tidak bercanda! Malam ini juga aku akan
ke Bukit Bangau. Segeralah kalian pergi mencari Ka-
kek Gede."

"Bukan hanya kau yang punya dendam, Suro.
Kami semua turut merasa kehilangan. Untuk itu, per-
kenankanlah kami ikut menggempur Perkumpulan
Bangau Sakti yang diketuai si keparat Margana Kalpa"
Pengemis Binal jadi geregetan mendengarnya.
Dengan gigi gemelutukan menahan marah, dia menga-
cungkan tongkatnya tinggi-tinggi.
"Sudah kubilang kalian tak usah ikut campur!
Bila masih bandel, tongkat ini akan menghajar kalian!"
"Kalau mau menghajar ya silakan. Kami akan
tetap ikut bersamamu ke Bukit Bangau!" teriak pemu-
da yang lain.
Suropati gemas bukan main melihat kenekatan
anak buahnya. Berulang kali dia menggedruk tanah
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kalian mau pergi atau tidak?!" bentak remaja
konyol itu kemudian.
"Tidak!" sahut para pemuda yang berdiri tegak
di hadapan Suropati dengan sangat kompak.
Pengemis Binal memutar tongkatnya menyeru-
pai baling-baling. Timbullah deru angin yang menya-
kitkan gendang telinga.
"Kalau kalian tidak segera pergi, tongkat ini
akan bicara!" ancam remaja konyol itu.
"Ha-ha-ha...!"
Yang diancam bukannya takut. Mereka malah
tertawa terbahak-bahak. Tentu saja hal itu membuat
Suropati semakin marah. Dia meloncat. Dan.... 
Buk...! Buk...! Taak...! Taak...!
Terdengar jerit kesakitan saling bersahutan. Pa-
ra pemuda yang nekat itu melonjak-lonjak memegangi
pantatnya yang bagai dihajar cambuk api. Sebagian la-
gi melolong keras mendekap kepalanya yang benjol se-
besar telur ayam. 

"Ha-ha-ha...."
Pengemis Binal tertawa terpingkal-pingkal se-
perti melihat lelucon.
"Mampus kalian!"
Remaja konyol itu melangkahkan kaki berlalu
dari hadapan anak buahnya. Tapi belum genap sepu-
luh langkah, Suropati membalikkan badannya kemba-
li.
"Monyet Bau! Tikus Busuk! Kenapa kalian ma-
sih mengikutiku?!" maki remaja konyol itu. Tampak
para anak buahnya berjalan di belakangnya.
"Biarkan kami ikut bersamamu, Suro. Kami ju-
ga ingin melampiaskan sakit hati!"
Suropati menggaruk-garuk kepala, lalu mulut-
nya mulai menghitung.
"Satu, dua, tiga..., delapan! Nah, jumlah kali
ada delapan. Anak buah Margana Kalpa sangat ba-
nyak.  Ku  perkirakan  satu orang dari kalian mesti
menghadapi lima puluh lawan. Kalian berani?!" tan-
tang Suropati. 
"Berani!"
Terdengar  jawaban serempak. Anak buah Su-
ropati yang berjumlah delapan orang itu tampak ber-
semangat
"Baik! Kalau begitu, kalian berjalanlah di de-
pan! "
Mendengar ucapan Suropati, para pemuda itu
melonjak kegirangan. Mereka berbaris lalu berjalan mi-
rip prajurit yang akan maju ke medan perang. Tawa
Pengemis Binal kontan meledak. Dalam keadaan masih
tertawa dia meloncat! Lalu...
Sret...! sret...! Sret...! Sret...!
Dengan kecepatan kilat yang sulit diikuti pan-
dangan mata, remaja konyol itu melepas seluruh pa-

kaian anak buahnya. Para pemuda yang nekat itu tak
merasa telah dipermainkan. Mereka terus berjalan da-
lam keadaan telanjang bulat!
Tentu saja mereka segera jadi bahan perhatian
orang-orang di tempat itu. Para wanita menjerit keras
seraya mendekap wajahnya. Ketika mendengar jeritan
itulah, anak buah Suropati baru menyadari keadaan
mereka.
Serta-merta kedelapan pemuda nekat itu du-
duk meringkuk di atas tanah. Mereka tidak berani
menggerakkan tubuh sedikit pun. Hanya mata mereka
yang jelalatan berusaha mencari pakaiannya.
Suropati tertawa terpingkal-pingkal.
"Kini kalian tak dapat mengikutiku lagi. Maaf,
ya? Itu kulakukan karena aku merasa sayang pada
nyawa kalian...."
Remaja konyol itu lalu melangkah tenang den-
gan kedua tangan tertangkup di belakang, membawa
tumpukan pakaian anak buahnya. Setelah berjalan
agak jauh Suropati menjatuhkan tumpukan pakaian
yang dibawanya ke tanah. Pengemis Binal kemudian
segera menghemposkan tubuhnya dan berlari cepat
meninggalkan tempat itu.
Pintu gerbang kota Kadipaten Bumiraksa telah
terlewati. Mendadak, sebuah teriakan menghentikan
langkah kaki Suropati.
"Suro...!"
Sesosok bayangan berkelebat. Ternyata In-
gkanputri yang hadir di hadapan Suropati.
Tentu saja remaja konyol itu terkejut. Seta-
hunya Ingkanputri telah jatuh di lorong jebakan di
Lembah Tengkorak....
"Kau... kau hantu gentayangan?" kata Pengemis
Binal tergagap.

"Bukan! Ini aku Ingkanputri, Suro!"
"Kau tidak mati?" Suropati menatap penuh he-
ran.
"Tidak!"
"Kau tidak sedang dipengaruhi ilmu sihir?" 
"Tidak!" Ingkanputri menggelengkan kepalanya
keras-keras.
"Apa buktinya?" tanya Suropati.
Cup!
Suropati meraba pipinya yang terasa hangat,
Ingkanputri telah mengecupnya!
"He-he-he...." Pemuda itu tertawa senang.
"Nikmat, Putri. Cobalah sekali lagi."
Plak...!
Untuk kedua kali, Suropati meraba pipinya.
Bukan rasa nikmat yang dia dapatkan. Ingkanputri te-
lah menamparnya!
"Uh! Begitu saja marah...," gerutu remaja ko-
nyol itu. "Nggak baik lho seorang gadis gampang naik
darah. Nanti bisa susah jodoh!"
"Biar!" hardik Ingkanputri dongkol.
"Eh, kenapa kau memanggilku?" tanya Penge-
mis Binal kemudian.       
"Kau hendak ke mana?!" bentak Ingkanputri,
pura-pura masih sewot. Padahal hatinya sangat se-
nang. Dia telah berjumpa dengan pujaan hatinya.
"Bicaramu kok ketus begitu, sih?" sahut Suro-
pati tak senang.
"Biar mulutmu tidak lancang bicara! Sekarang
jawab pertanyaanku. Kau hendak ke mana?" 
"Kau mau ikut?"
"Jangan pura-pura bloon! Jawab pertanyaan-
ku." 
"Iyalah, Nenek Cerewet! Aku hendak ke Bukit

Bangau!" 
"Ke Bukit Bangau?"
"Ya. Aku akan mencincang tubuh si bedebah
Margana Kalpa. Dia telah membunuh ratusan anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti di Bukit Panga-
lasan!" geram Suropati dengan penuh kemarahan. Wa-
jah remaja itu mendadak jadi muram.
"Kita bisa menghadapi manusia busuk itu ber-
sama-sama, Suro," usul Ingkanputri.
"Aku tak mau orang lain ikut terlibat."
"Apa maksudmu?"
"Kepandaian Margana Kalpa yang berjuluk Ma-
laikat Bangau Sakti sangat tinggi. Kau tak boleh celaka
di tangan manusia iblis itu, Putri...."
Hati Ingkanputri jadi diliputi rasa haru ber-
campur  senang mendengar ucapan Pengemis Binal.
Secara tidak langsung Suropati telah menunjukkan
perhatiannya kepada dirinya.
"Tapi, aku mesti membalaskan rasa dendam di
hatiku," ucap gadis cantik itu.
"Kau juga punya urusan dengannya?"
"Tentu! Margana Kalpa selain telah membunuh
Kak Anjarweni, juga telah menghilangkan nyawa Resi
Agaswara yang sangat menyayangi ku."
"Resi Agaswara? Siapa dia?" tanya Suropati in-
gin tahu.
Ingkanputri lalu menceritakan perihal sang Re-
si yang telah membebaskan dirinya dari pengaruh ilmu
sihir. Pertempuran tokoh tua itu dengan Margana Kal-
pa dan pertemuannya dengan Wirogundi serta Gede
Panjalu. Wajah Suropati terlihat sedikit bersinar
"Rupanya Wirogundi dan Kakek Gede masih hi-
dup...," gumam Pengemis Binal.
"Jadi, kau tahu Anjarweni telah meninggal dari

pemberitahuan mereka, Putri?"
"Ya," jawab Ingkanputri pendek.
Mata Suropati mengerjap, remaja konyol itu la-
lu menggaruk-garuk kepala.
Tiba-tiba, terdengar lantunan seuntai syair.... 

Dunia jadi indah ketika cinta merebak dalam
dada 
Jiwa seakan di swargaloka 
Hidup di antara tebaran bunga, sejukkan rasa 
Harapan lebur bersama bahagia yang membuat
lena
Tapi, bila sang kekasih telah bersaing dalam
dua hati
Segala angan luruh jadi asa mati
Simpati berubah benci
Yang ada hanyalah amarah untuk segera men-
gakhiri....

Sambil menggaruk-garuk kepala, Pengemis Bi-
nal menebar pandangan.
"Sebuah syair yang bagus. Siapa gerangan si
empunya kata-kata?" gumam remaja konyol itu.
"Pendekar Wanita Gila," desah Ingkanputri ke-
tika melihat sesosok bayangan berkelebat dibarengi
tawa panjang. 
Kening Suropati berkerut menatap kehadiran
seorang gadis cantik berpakaian putih-kuning. Gadis
itu tertawa terbahak-bahak sambil menuding dirinya.
"Dewi Ikata...," desis Suropati seraya meng-
hambur ke arah gadis cantik di hadapannya. Tapi.... 
Plaaakkk...!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Pen-
gemis Binal. Suropati jatuh terpelanting.

"Aku benci kau, Suro!" jerit Dewi Ikata dengan
sinar mata nyalang. Tampaknya dia marah melihat pu-
jaan hatinya bersama gadis lain.
"Kau.... Kenapa menamparku, Ika?" Suropati
bangkit berdiri lalu berjalan mendekati Dewi Ikata.
"Jangan mendekatiku!" hardik Pendekar Wanita
Gila. 
Tapi, Suropati tak mempedulikan. Dia malah
berusaha memeluk gadis cantik itu. 
Plaaakkk...!
Kembali Pengemis Binal terpelanting jatuh.
Tamparan keras mendarat di pipinya. Kalau saja rema-
ja konyol itu tidak melindungi diri dengan tenaga da-
lam, rahangnya tentu akan remuk dihantam tamparan
Dewi Ikata.
"Kau... kau kenapa, Ika? Ini aku Suropati!"
Ucapan Pengemis Binal tak mendapat tangga-
pan baik. Dewi Ikata cuma mendengus keras seraya
menerjang. Sayang tendangan Dewi Ikata ditangkis
oleh Ingkanputri. Dia tidak tega melihat Suropati dis-
akiti gadis cantik yang rada sinting itu.
"Huh! Monyet Buduk yang hanya bisa merebut
kekasih orang lain!" maki Pendekar Wanita Gila sambil
menatap Ingkanputri dengan sinar mata benci.
"Apa maksudmu?" tanya Ingkanputri tak men-
gerti. 
"Ha-ha-ha...."
Dewi Ikata tertawa terbahak-bahak sambil me-
natap langit.

"Oh, Dewata Yang Agung.... Tak ada rasa sakit
yang melebihi sakit hati didera cemburu. Sembilu asma-
ra merejam kalbu. Membuat pilu... pilu... pilu...."


Usai mengucapkan kata-kata bernada sendu
itu Pendekar Wanita Gila menerjang Ingkanputri den-
gan sebuah serangan mematikan! 
Tentu saja murid Dewi Tangan Api berusaha
menghindar. Namun Dewi Ikata menghemposkan tu-
buhnya ke atas, lalu mendarat di belakang Ingkanputri
sambil melancarkan tendangan kilat.
Dees...! 
Gadis cantik itu merasakan punggungnya bagai
digedor palu godam. Ingkanputri terjerembab ke de-
pan. Kecepatan gerak Pendekar Wanita Gila tak dapat
diikuti Ingkanputri, hingga tendangannya tepat men-
genai sasaran.
"Aku akan membunuhmu, Monyet Buduk!"
hardik Dewi Ikata seraya menerjang Ingkanputri kem-
bali.
"Tahan!" teriak Suropati. Pemuda itu melompat
hendak menghentikan gerak Pendekar Wanita Gila.
Tubuh Dewi Ikata segera melenting ke atas. Se-
buah tendangan ditujukan ke arah Pengemis Binal!
Wuuuttt...!
Serangan itu hanya mengenai angin kosong.
Suropati telah menggerakkan kepalanya ke samping.
"Kenapa kau jadi kalap seperti itu, Ika?"
Ucapan Pengemis Binal tak mendapat jawaban.
Dewi Ikata meninggalkan remaja konyol itu yang berdi-
ri terbengong-bengong keheranan.
"Rasakan pukulanku, Monyet Buduk!" maki
Pendekar Wanita Gila. Bogem mentahnya meluncur ke
wajah Ingkanputri.
Gadis cantik murid Dewi Tangan Api itu berke-
lit. Kemudian, dia balas menyerang ketika melihat ke-
sungguhan Dewi Ikata menjatuhkan tangan maut. Tak
lama kemudian, dua gadis cantik itu telah saling gem-

pur. Mereka terlibat dalam sebuah pertempuran seru
"Aduh! Apa-apaan ini?" Suropati menggaruk-
garuk kepala kebingungan.
Remaja konyol itu menonton pertempuran yang
sedang berlangsung. Tanpa terasa dia menggaruk ke-
palanya semakin keras.
"Aduh!" keluh Pengemis Binal. Kulit kepalanya
terasa pedih karena terlalu keras digaruk.
Mendadak, remaja konyol itu tertawa terkekeh
sendiri.
"Inilah akibat ketampanan seorang lelaki. Dua
orang gadis bertempur untuk memperebutkannya. He-
he-he...."
"Hei! Kenapa kau malah tertawa, Suro?!" teriak
Ingkanputri sambil menghindari  serangan. "Kau se-
nang melihat kami bertempur?"
"Ya. He-he-he...."
Ingkanputri menggeram. Dia sudah tidak bisa
berkata-kata lagi. Dewi Ikata telah mencecarnya den-
gan serangan bertubi-tubi, hingga gadis cantik murid
Dewi Tangan Api itu kewalahan.
"Cium kakiku!" teriak Dewi Ikata seraya melan-
carkan sebuah tendangan melingkar.
Karena tak mempunyai kesempatan untuk ber-
kelit, Ingkanputri membuat tangkisan dengan perge-
langan tangan kanannya. 
"Ih...!"
Terdengar jerit kecil Pendekar Wanita Gila. Tu-
buhnya jatuh terjerembab dengan kaki kanan terasa
panas bagai tersengat api.
Sadarlah dia kalau tenaga dalamnya kalah se-
tingkat. Tapi, gadis setengah sinting itu tak mau men-
galah. Dia mencecar Ingkanputri dengan serangan be-
runtun. Ingkanputri jadi kerepotan ketika tiba-tiba

Dewi Ikata berubah bagai bayangan yang hampir kasat
mata.
Dees...! 
Bahu kiri Ingkanputri terkena bogem mentah
Pendekar Wanita Gila. Gadis cantik itu terdorong
mundur beberapa tindak.
Saat itulah Dewi Ikata berusaha mendaratkan
sebuah serangan kilat. Kaki kanannya meluncur deras
ke arah kepala Ingkanputri. Suropati yang berada tak
seberapa jauh dari arena pertempuran segera bertin-
dak cepat. Dengan sebuah tangkisan dia menghenti-
kan gerak kaki Pendekar Wanita Gila. Suropati tak
mau melihat gadis yang sangat disukainya terpelant-
ing, maka dia hanya mengerahkan seperdelapan dari
seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Padahal Dewi Ika-
ta melancarkan tendangan dengan sepenuh kemam-
puan. Akibatnya, tangan kanan Pengemis Binal mental
dan membentur jidat Ingkanputri!
"Aduh!" keluh gadis cantik itu.
Pendekar Wanita Gila jadi tertawa terbahak-
bahak. Sementara Ingkanputri bersungut-sungut.
"Kenapa kau memukul ku, Suro?"
"Eh, aku tak sengaja," sahut Suropati sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Kau membela dia, ya? Kau suka pada dia? Dia
mencintaimu, dan kau menerimanya, kan?"
"Tidak. Eh..., maksudku, tidak menolak. He
he...."
Mendengar ucapan konyol itu, Ingkanputri naik
pitam, langsung diterjangnya Pengemis Binal.
"Eh, jangan sewot, dong...!"
Suropati menepis kepalan tangan Ingkanputri.
Remaja Konyol itu lalu berkelebat cepat. Ingkanputri
terkejut bagai disambar petir di siang bolong. Tahu-

tahu Suropati telah memeluk tubuhnya seraya menda-
ratkan sebuah ciuman mesra.
"Ini baru enak. He-he-he...," ucap Pengemis Bi-
nal sambil tertawa terkekeh.
Ingkanputri merasa jengah. Serta-merta dia
menjitak kepala Suropati. Remaja konyol itu segera
melepaskan pelukannya. Dia tak mau kepalanya jadi
benjol. Tapi, Ingkanputri telah menerjang dengan se-
rangan beruntun.
Pengemis Binal berloncatan ke sana-ke  mari.
Dia masih sempat melakukan kebiasaannya, yakni
menggaruk-garuk kepala.        
Dewi Ikata yang melihat adegan Suropati men-
cium bibir Ingkanputri terdengar menggeram marah.
Dia ikut menerjang remaja konyol yang sebenarnya
sangat dicintainya itu. 
"Uh! Kenapa kalian mengeroyokku?!" teriak
Pengemis Binal. "Wadouw! Mati aku!"
Sambil menghindari serangan yang datang ber-
tubi-tubi, remaja konyol itu menggerutu panjang-
pendek. Namun melihat kesungguhan kedua penge-
royoknya, Suropati segera meloncat jauh dan men-
gambil langkah seribu.
Pengemis Binal berlari cepat tanpa sedikit pun
menolehkan kepalanya. Belum seberapa jauh jarak
yang ditempuh mendadak dia menghentikan langkah.
"Kenapa mereka tak mengejarku?" gumam re-
maja konyol itu heran. "Jangan-jangan kedua gadis
cantik itu saling gempur kembali...."
Karena digeluti rasa khawatir, Suropati segera
membalikkan badan dan berlari ke tempat semula. Da-
ri kejauhan dia melihat Dewi Ikata dan Ingkanputri
tampak berdiri berhadap-hadapan. Remaja konyol itu
lalu mencari tempat persembunyian untuk mencuri

dengar pembicaraan mereka.
"Barangkali kedua gadis cantik itu sedang be-
runding untuk bersama-sama  meminang  ku. He-he-
he...," kata hati Pengemis Binal sambil tersenyum seo-
rang diri. Dia jadi lupa pada tujuannya untuk pergi ke
Bukit Bangau.
"Kau mencintai Suropati, Putri?" tanya Dewi
Ikata. Nada ucapannya lebih menyerupai tuduhan. 
"Ya," jawab Ingkanputri pendek. "Haruskah kita
bertempur untuk mendapatkannya?"
"Bila perlu!" suara Ingkanputri terdengar begitu
tegas.
"Baik! Kalau begitu, jaga tubuhmu dari seran-
ganku!"
Usai mengucapkan kalimatnya, Dewi Ikata
langsung menerjang Ingkanputri. Dan gadis yang su-
dah menyiapkan diri itu segera memapaki serangan.
"Ih...!"
Dewi Ikata menarik pergelangan tangannya. Dia
tak mau berbenturan dengan kaki Ingkanputri. Tenaga
dalamnya kalah setingkat. Kalau sampai terjadi bentu-
ran, rasa sakit akan menerpanya.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tu-
buh ajaran gurunya yang bergelar Perangai Gila. Dewi
Ikata melancarkan serangan bertubi-tubi. Ingkanputri
segera melindungi tubuh dengan kekuatan tenaga da-
lam. Sesekali dia menyarangkan pukulan atau pun
tendangan. Lewat sepeminum teh, murid Dewi Tangan
Api itu meloncat jauh untuk menghentikan pertempu-
ran.
"Kau pernah mengatakan kalau dirimu murid
Perangai Gila, namun kenapa kau bisa memainkan ju-
rus 'Memukul Bayangan'?" tanya Ingkanputri heran.
"Eyang Perangai Gila memang guruku. Tapi,

aku juga punya guru yang bernama Arumsari atau
Dewi Tangan Api. Dialah yang mengajari  ku  jurus
'Memukul Bayangan'. Kenapa? Kau takut, Putri?" ejek
Dewi Ikata. 
"Tidak! Tapi, benarkah kau murid Dewi Tangan
Api?"
"Untuk apa aku bohong!" Sentak Dewi Ikata. 
"Kalau begitu, kita masih saudara seperguruan,
Ika."
"Apa?! Kau juga murid Eyang Arumsari?"
Ingkanputri mengangguk. Dewi Ikata tampak
berpikir. Lalu, dia menatap wajah Ingkanputri dalam-
dalam.
"Eyang Arumsari memang pernah bercerita ka-
lau aku punya kakak seperguruan. Namun aku tak
menyangka ternyata kau, Putri."
"Aku menyesal telah bertempur denganmu,"
ucap Ingkanputri sambil berjalan mendekati Dewi Ika-
ta.
"Akulah yang salah. Aku yang mengawali," kata
Pendekar Wanita Gila penuh keramahan. "Kau tahu,
Eyang Perangai Gila adalah kakak kandung Eyang
Arumsari. Sedangkan nama asli beliau adalah Sekar
Arum." 
Dua gadis cantik itu segera terlibat percakapan
serius. Mereka saling menceritakan pengalaman mas-
ing-masing. Suropati yang mencuri pembicaraan mere-
ka jadi menggerutu.
"Uh! Hanya membuang-buang waktu saja!" kata
remaja konyol itu seraya berlari cepat menuju Bukit
Bangau. Dia hendak melanjutkan niatnya membuat
perhitungan dengan Margana Kalpa.




5

Bukit Bangau terkepung sepi. Dingin malam
bagai menusuk tulang. Bulan sabit di langit membuat
kelam makin memagut. Desau angin terasa mengun-
dang rasa takut.
Pos penjagaan di pintu gerbang Perkumpulan
Bangau Sakti tampak lengang. Puluhan lelaki bersen-
jata golok di pinggang duduk terpuruk dalam kesu-
nyian. Tak ada kata yang terucap. Namun, indera me-
reka bekerja untuk dapat melaksanakan tugas sebaik-
baiknya.        
Ketika Galang Gepak atau si Bayangan Hitam
datang bersama barisan puluhan lelaki bersenjata go-
lok, para penjaga bangkit dari tempat duduknya. Ga-
lungking Saba langsung terbangun dari tidur ayamnya.
Lelaki setengah baya berjanggut panjang itu memimpin
anak buahnya untuk meninggalkan pos penjagaan. Pa-
ra penjaga baru akan menggantikan tugas mereka.
Sementara di dalam sebuah kamar mewah, di
atas ranjang berkain sutera, Margana Kalpa sedang
berbaring bersama dua orang gundiknya yang cantik
jelita dan bertubuh aduhai. Mereka tampak mesra me-
layani kehendak tuannya. Seorang membelai-belai
rambut Margana Kalpa. Seorang lagi terbaring di atas
dada lelaki berwajah pucat itu.
Margana Kalpa sendiri berbaring telentang me-
natap langit-langit kamar.
Tiba-tiba, lelaki berwajah pucat itu bangkit dari
tidurnya.
"Kita belum selesai, Kangmas," ucap seorang
gundik.

"Aku bosan dengan permainan seperti ini. Ka-
lian tidak sepandai Indarwa."
"Itu karena Kangmas masih tergoda oleh
bayangannya."
Seorang gundik beranjak dari ranjang. Kemu-
dian berdiri di hadapan Malaikat Bangau Sakti dalam
keadaan tanpa selembar benang menempel di tubuh-
nya. Dengan mata terpejam dia mendesah perlahan.
Margana Kalpa menatap sejenak pemandangan indah
yang menggugurkan kekuatan iman itu.
"Kemarilah kau!" perintah Margana Kalpa.
Mendengar ucapan tuannya, si gundik lang-
sung menghambur hendak memeluk. Tapi, tak pernah
dia duga telapak tangan kanan Margana Kalpa men-
cengkeram tengkuknya. Kemudian...
Bruuukkk...!
Malaikat Bangau Sakti melempar tubuh gun-
diknya hingga membentur dinding kamar.
Jerit ngeri terdengar dari mulut gundik yang
masih berada di atas ranjang. Wanita itu segera menu-
tup wajah dengan telapak tangan. Ngeri melihat tubuh
temannya menggelosor di lantai dengan kepala pecah
bersimbah darah.
"Kalian hanya babi-babi dungu yang tak mele-
bihi kepandaian Indarwa!"
Margana Kalpa menyebut nama kekasihnya
yang telah mati di tangannya sendiri. Indarwa berkein-
ginan makar dari perkumpulan. Kemudian, Malaikat
Bangau Sakti melangkah keluar kamar. Dia menuju
ruangan sempit di mana terdapat sebuah pintu batu.
"Kukira sekarang hari sudah lewat tengah ma-
lam...," gumam lelaki berwajah pucat itu. "Dengan ilmu
Resi Agaswara yang telah ku  hisap, aku akan segera
membangkitkan arwah guruku."

Margana Kali menginjak sebongkah batu yang
terletak di samping pintu. Dengan sebuah dorongan
halus pintu batu bergeser. Hawa magis terasa mem-
bayangi tatkala Margana Kalpa memasuki ruangan.
Setelah ketua Perkumpulan Bangau Sakti itu
menyalakan obor-obor di pojok ruangan, cahaya terang
menerpa. Terlihat ruangan berdinding batu itu kosong
melompong. Tak ada satu barang pun kecuali sebuah
peti mati yang disandarkan berdiri di dinding.
Perlahan-lahan Malaikat Bangau Sakti membu-
ka penutup peti mati yang terbuat dari kayu besi tua.
Bau busuk segera menyebar. Margana Kalpa hanya
sedikit menggelengkan kepala. Sepertinya dia sudah
terbiasa oleh bau busuk yang dihirupnya.
Malaikat Bangau Sakti kemudian melangkah
mundur lima tindak. Ditatapnya berlama-lama bangkai
manusia yang terpampang di hadapannya. Wujud
bangkai itu sudah sangat mengenaskan dan tak dapat
dikenali lagi. Dagingnya telah membusuk, menampak-
kan ulat-ulat kecil yang sedang berpesta-pora.
"Guru...," gumam Margana Kalpa. Lelaki itu te-
lah duduk bersimpuh seraya membenturkan jidatnya
ke lantai tiga kali. "Aku akan membangkitkan arwah-
mu."
Malaikat Bangau Sakti merubah sikap duduk-
nya menjadi bersila. Kedua tangan bersedekap di de-
pan dada dan mata terpejam rapat. Lelaki itu segera
memusatkan seluruh kekuatan batinnya untuk men-
capai alam nirwana.
Tak lama kemudian, Margana Kalpa membuka
matanya. "Agaswara keparat!" umpatnya. Suara yang
keluar menggema keras terpantul oleh dinding batu.
Rupanya, Malaikat Bangau Sakti menemui ke-
gagalan untuk membangkitkan arwah gurunya. Selu-

ruh ilmu kesaktian Resi Agaswara yang terhisap oleh-
nya tak mengikutkan ilmu 'Pembangkit Arwah.' Se-
hingga maksud hati Margana Kalpa tak kesampaian.
Apa yang terjadi memang demikian halnya.
Jauh hari sebelum Resi Agawara terkena ilmu 'Sakti
Penghisap Daya' milik Malaikat Bangau Sakti, dia telah
melenyapkan ilmu 'Pembangkit Arwah'-nya. Resi itu te-
lah mencium maksud Margana Kalpa yang ingin mem-
bangkitkan arwah gurunya.
Hingga beberapa lama hati Margana Kalpa ma-
sih diliputi hawa amarah. Tapi, dia segera sadar kalau
amarahnya tak akan memperbaiki keadaan. Lelaki
berwajah pucat itu lalu memusatkan kekuatan batin
kembali. Dia berusaha berbicara dengan arwah gu-
runya.
"Guru, aku tak dapat mewujudkan keinginan-
mu untuk kembali ke alam fana. Ilmu 'Pembangkit Ar-
wah’ telah lenyap dari muka bumi," adu Margana Kal-
pa melalui hubungan batin.
Tak ada suara yang dapat ditangkap indera
enam lelaki berwajah pucat itu.
"Maafkan aku, Guru...," kata batin Malaikat
Bangau Sakti.
"Margana Kalpa!"
Margana Kalpa yang duduk bersemadi bergetar
hebat. Dewa Tapak Hitam menyebut namanya dari
alam gaib.
"Maafkan aku, Guru...."
"Kau tak dapat membangkitkan arwahku tak
jadi apa. Aku pun menyadari badan kasar  ku  telah
membusuk. Aku tak mungkin lagi menyusup di da-
lamnya. Untuk menyusup ke badan orang lain, aku
tak sudi. Aku tak mau hidup dalam jasad  orang
lain...."

"Lalu, apa kehendak Guru kemudian?" tanya
Margana Kalpa.
"Aku harus menerima keadaanku yang seka-
rang. Tak dapat berkumpul dengan jiwa-jiwa gaib lain.
Juga tak bisa kembali ke alam nyata."
"Tapi Guru akan tetap membantu untuk mewu-
judkan cita-citaku, bukan?" Margana Kalpa kelihatan
sangat cemas. Dia memang sangat membutuhkan ban-
tuan gurunya. 
"Ya."
Sampai di situ hubungan batin guru dan murid
terhenti. Margana Kalpa bangkit dari duduknya. Ke-
mudian dia tertawa terbahak-bahak....
Sesosok bayangan berkelebat cepat mengitari
benteng Perkumpulan Bangau Sakti. Bayangan itu
naik ke atas pohon yang tinggi menjulang tak jauh dari
dinding benteng. Dalam cahaya temaram terlihatlah
bayangan itu tak lain si Pengemis Binal.
"Tempat kediaman Margana Kalpa tampaknya
dijaga sangat ketat...," gumam remaja konyol itu sam-
bil melihat ke dalam benteng dari atas puncak pohon.
Walaupun dahan yang diinjaknya tak lebih besar dari
jempol jari tangan, tapi dahan itu sama sekali tak me-
lengkung menahan tubuh Suropati. Kenyataan itu me-
nunjukkan ilmu meringankan tubuh remaja konyol ini
sudah mencapai kesempurnaan.
"Tapi, jangan dikira aku tak dapat menembus
penjagaan yang sedemikian ketat itu...."
Pengemis Binal menimang-nimang tongkat
kayu yang dibawanya. Kemudian.... Remaja konyol itu
meloncat. Tubuhnya melayang di atas benteng yang
tingginya tak kurang dari tiga tombak. Ketika Suropati
mendaratkan kaki di tanah, tak sedikit pun suara yang
timbul.

"Aman...," bisik Suropati kepada diri sendiri.
"Sekarang aku akan memasuki tempat kediaman Mar-
ga Kalpa."
Selagi remaja konyol itu hendak menghem-
poskan tubuhnya kembali, tiba-tiba sebuah teriakan
mengejutkannya. 
"Hei...! Si...."
Dua orang lelaki bertampang kasar yang me-
mergoki kehadiran Pengemis Binal terperangah kaget.
Mereka berdiri kaku di tempatnya.
Rupanya, dengan gerak cepat yang sulit diikuti
pandangan mata, Suropati menjentikkan dua biji keri-
kil. Dan tepat mengenai sinus pusat urat syaraf tubuh
anggota Perkumpulan Bangau Sakti.
Apa yang dilakukan Pengemis Binal hanya da-
pat dilakukan tokoh-tokoh rimba persilatan jajaran
atas. Menotok jalan darah dengan sebutir kerikil harus
memperhitungkan terlebih dahulu kekuatan tubuh la-
wan. Apabila salah perhitungan, bukan mustahil keri-
kil itu akan bersarang di tubuh sasaran. Atau, mung-
kin tak berpengaruh apa-apa karena tenaga dalam
yang di lontarkan melalui kerikil kurang kuat. Sebab
itulah tak sembarang tokoh rimba persilatan dapat me-
lakukannya.
Sebentar kemudian, tubuh Suropati berubah
jadi bayangan yang berkelebat cepat. Pemuda itu me-
masuki bagian belakang bangunan dengan membuka
genteng. Pengemis Binal lalu berjalan mengendap me-
meriksa setiap ruangan yang ada. Saat remaja konyol
itu keluar dari sebuah lorong sempit, dia melihat
bayangan Margana Kalpa sedang berjalan cepat.
"Aku datang untuk membuat perhitungan den-
ganmu. Manusia Busuk!" hardik Suropati seraya
menghadang langkah Malaikat Bangau Sakti.

Margana Kalpa terkejut bagai disambar petir
melihat kehadiran Suropati. Padahal dia sudah meme-
rintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan
ketat disekitar benteng.
Tapi untuk menutupi keterkejutannya, Malai-
kat Bangau Sakti mencoba tertawa dan mengeluarkan
kata-kata ejekan.
"Bocah Gendeng! Kebetulan sekali kau datang.
Aku sedang membutuhkan tumbal seorang bocah geb-
lek sepertimu!"
"Huh! Jangan banyak bacot!" sahut Pengemis
Binal  dengan lantang. "Perbuatan biadab yang telah
kau lakukan di puncak Bukit Pangalasan hendak ku-
buat perhitungan. Aku menantangmu duel satu lawan
satu!"
"Ha-ha-ha...!"
Malaikat Bangau Sakti tertawa terbahak-bahak.
Sangat menggelikan baginya melihat seorang remaja
berani berkata demikian terhadapnya.
"Ketawa mu menebarkan bau busuk!" ejek Su-
ropati. "Aku menunggumu sekarang juga di lereng bu-
kit!"
Remaja konyol itu kemudian menghemposkan
tubuh berlalu dari tempat itu. Gerakannya begitu ce-
pat hingga seperti lenyap.
Melihat pameran ilmu meringankan tubuh yang
sedemikian hebat, Margana Kalpa mendengus. Mau
tak mau timbul rasa kagum juga dalam hatinya. Lelaki
berwajah pucat itu keluar dari tempat tinggalnya. Keti-
ka berpapasan dengan  anak buahnya, mereka segera
menerima caci maki pedas.
Tak lama kemudian, Malaikat Bangau Sakti
menyusul kepergian Pengemis Binal....
Di antara keremangan malam Suropati duduk

bersila dalam sikap bersemadi. Hembusan nafasnya
sangat teratur bagai orang tidur. Satu depa dari hada-
pan remaja konyol itu, tongkat kayu berkepala naga
dia tancapkan ke tanah. Sang bayu malam memainkan
anak-anak rambut Pengemis Binal yang tergerai. Di
atas langit kelam. Hanya cahaya temaram bulan sabit
dan kemerlip bintang menabur di lereng Bukit Bangau
bertanah datar itu.
Tak ada suara yang terdengar tatkala dua
bayangan mendarat tiga tombak dari hadapan Suropa-
ti. Mereka adalah Galungking Saba atau si Penyedot
Arwah dan Galang Gepak atau Bayangan Hitam. Ke-
duanya orang suruhan Margana Kalpa.
"Bocah Gendeng! Beraninya menantang Sang
Ketua!" kata Galungking Saba seraya menatap tajam
wajah Suropati. "Kau malah enak-enakan tidur di sini.
Bangun kau!"
Lelaki bertubuh kekar itu berteriak keras. Tapi
tak ada tanggapan dari Pengemis Binal. Dia tetap diam
di tempatnya, tak bergeming sedikit pun.
Melihat sikap yang demikian tak peduli, Ga-
lungking Saba berjalan mendekat. Kemudian kaki ka-
nannya bergerak cepat!
"Makan tongkatmu, Bocah Gendeng!"
Lelaki bertubuh kekar itu melakukan tendan-
gan ke batang tongkat Suropati yang menancap di ta-
nah. 
"Oaaahhh...!" 
Pengemis Binal menguap lebar-lebar dengan
mata masih terpejam rapat, kemudian menjatuhkan
diri. Akibatnya, tongkat yang meluncur hendak meng-
geprak kepalanya melintas lewat di atasnya. Dengan
gerakan mirip orang menggeliat Suropati berhasil me-
nangkap batang tongkat. Lalu seperti tak pernah men-

galami suatu apa pun, remaja konyol itu berbaring te-
lentang di atas tanah. Terdengar suara dengkuran
orang yang tertidur lelap.
Tentu saja Galungking Saba terkejut bukan
main melihat sikap Suropati. Demikian juga halnya
Galang Gepak. Karena terbawa rasa penasaran, lelaki
berjanggut panjang itu menghemposkan tubuhnya ke
atas. Dengan kaki kanan sedikit diangkat dia berusaha
menghantam dada Pengemis Binal! 
"Heaaa...!"
Sebuah teriakan nyaring mengiringi gerakan
Galang Gepak. Tapi, Suropati tak sedikit pun mengge-
rakkan tubuhnya. Padahal, telapak kaki Bayangan Hi-
tam dengan kekuatan tenaga dalam penuh tinggal se-
jengkal lagi mencapai sasaran.
Bluuusss...!
Dalam keadaan genting Pengemis Binal meng-
geliat memiringkan tubuhnya. Kaki kanan Galang Ge-
pak menancap ke tanah sampai sebatas lutut!
Belum sempat lelaki berjanggut panjang itu
menyadari keadaan, dengan gerakan ringan, tongkat
Suropati menghantam telak pergelangan kaki kanan
Galang Gepak.
Jerit kesakitan membahana di angkasa. Bayang
Hitam mendekap kakinya yang remuk. Tak ayal lagi,
lelaki berjanggut panjang itu menggeram marah. Tela-
pak tangannya menghujam dengan ilmu 'Pukulan
Penghempas Gunung.'
Blaaammm...!
Ledakan dahsyat membahana. Bebatuan ber-
campur gumpalan tanah berpentalan. Terlihatlah ta-
nah tempat mendaratnya pukulan Galang Gepak ber-
lubang sangat dalam. Sanggup untuk menguburkan
seekor gajah.

Bayangan Hitam menatap kubangan itu sambil
berdiri dengan kaki kanan menggantung. Galungking
Saba berjalan mendekat.
"Sudah matikah Bocah Gendeng itu?"
"Aku tak tahu," jawab Galang Gepak. "Tapi, ma-
taku melihat ilmu 'Pukulan Penghempas Gunung’ tepat
mengenai sasaran."
"Jadi, Bocah Gendeng itu sudah mati. Tubuh-
nya hancur berkeping-keping bercampur dengan batu
dan gumpalan tanah!"
Bayangan Hitam tak menjawab. Dia meringis
merasakan sakit yang menerpa kaki kanannya. Tulang
serta urat-uratnya telah rusak oleh kemplangan tong-
kat Suropati.
Saat itulah terdengar suara dengkuran keras.
Galungking Saba dan Galang Gepak langsung menoleh
ke arah asal suara.     
"Keparaaatt!" umpat Galang Gepak.
Pengemis Binal tertidur di atas tanah sambil
memeluk tongkat. Serta-merta lelaki bertubuh kekar
itu melancarkan pukulan jarak jauh. Untuk kedua kali
ledakan dahsyat membahana di angkasa. Lontaran ba-
tu dan gumpalan tanah lebih hebat. Kubangan yang
ditimbulkan pun terlihat lebih dalam.
"Ha-ha-ha...!"
Tiba-tiba, terdengar suara tawa berkepanjangan
yang mengejutkan Galang Gepak dan Galungking Sa-
ba.
"Dengan ilmu 'Arhat Tidur' dalam keadaan ma-
ta terpejam pun aku bisa membunuh kalian!" ucap Su-
ropati yang telah berdiri gagah dengan memegang
tongkat di tangan kanan. "Dua Manusia Busuk, kaki
tangan Margana Kalpa keparat! Sebaiknya kalian ber-
lutut di hadapanku. Kemudian memotong tangan ka-

nan kalian sendiri, daripada aku mengirim nyawa ka-
lian ke neraka!"
"Ha-ha-ha...," tawa Galungking Saba. "Uca-
panmu sungguh lucu, Bocah Gendeng! Kau kira diri-
mu malaikat yang sedang turun ke bumi. Tak tahukah
kau sedang berhadapan dengan Galungking Saba dan
Galang Gepak. Penguasa seluruh tokoh sesat di wi-
layah timur dan barat!" balas lelaki itu keras.
"Kebetulan kalau begitu! Untuk mengurangi
keangkaramurkaan di bumi, aku akan segera menge-
nyahkan kalian!"
Pengemis Binal langsung menerjang dengan pu-
taran tongkat dalam jurus 'Tongkat Memukul Anjing’
Serangan remaja konyol yang mengarah ba-
gian-bagian tubuh berbahaya Galungking Saba dan
Galang Gepak itu menimbulkan siutan angin tajam.
Tapi, yang diserang bukanlah tokoh kemarin sore. Ga-
lungkin Saba dan Galang Gepak sudah kenyang ma-
kan asar garam rimba persilatan. Dengan serangan-
serangan yang tak kalah berbahaya mereka berusaha
secepat mungkin menjatuhkan tangan maut.
Wuuuttt...!
Tongkat di tangan Suropati bergerak dengan
kecepatan kilat mengemplang kepala Galungking Saba.
Tapi dengan sebuah gerakan ringan, lelaki berjanggut
panjang itu dapat menghindari serangan.
Akibatnya justru dirasakan oleh Galang Gepak.
Ujung tongkat Pengemis Binal terus meluncur deras
mengarah ke jantungnya! Lelaki yang telah terluka ka-
ki kanannya bergegas menjatuhkan diri ke tanah un-
tuk menyelamatkan diri. Lalu secepat kilat dia mem-
buat tendangan melingkar dengan kaki kiri, berusaha
menjatuhkan Suropati! 
"Argh...!"

Bayangan Hitam tak pernah tahu bagaimana
kejadiannya.  Gerakan kaki kirinya tiba-tiba terhenti
dan dia merasakan sakit luar biasa. Tatkala Galang
Gepak hendak berdiri tegak tubuhnya mendadak jatuh
kembali. Darah mengucur dari betis kaki kirinya. Sa-
darlah dia kalau ujung tongkat Suropati telah menem-
bus dan menghancurkan tulang di pergelangan ka-
kinya itu.
"Bedebah!"
Lelaki bertubuh kekar itu beringsut untuk se-
gera mengawali serangannya kembali. Sebetulnya den-
gan kedua kaki terluka parah dia tak sanggup berdiri
tegak. Namun karena terbawa hawa amarah yang me-
luap-luap tokoh sesat itu jadi nekat. Tubuhnya dengan
ditopang tangan. Kemudian dia menyerang Pengemis
Binal secara membabi buta.
Suropati yang sedang bertempur melawan Ga-
lungking Saba hanya tersenyum mengejek melihat se-
rangan-serangan Galang Gepak.
"Rupanya kau kerbau tua yang tak tahu diri,
Manusia Busuk!" ujar Pengemis Binal seraya menghin-
dar dari tendangan Galungking Saba.
"Keparat!" umpat Galang Gepak. Telapak tan-
gan kanannya didorong dengan disertai seluruh kekua-
tan tenaga dalam. 
Wuuusss...!
Sinar kuning yang ditimbulkan hanya menge-
nai angin kosong. Sementara Suropati telah memutar
tongkatnya dengan cepat hingga menyerupai baling-
baling. Kemudian meluncur deras ke dada Galang Ge-
pak.
Bluuusss...!
Lelaki bertubuh kekar itu menggeliat kesakitan.
Tak ada keluhan yang keluar dari mulut. Jantungnya

telah lebur hancur tertembus ujung tongkat Pengemis
Binal!
Namun, akibat lain mesti ditanggung remaja
konyol itu. Punggungnya menjadi sasaran pukulan Ga-
lungking Saba yang menggedor bagai hujaman godam.
Tubuh Suropati terlontar lalu bergulingan di atas ta-
nah. Beberapa saat dia hanya bisa terbaring telentang
dengan napas terengah-engah. Dari mulutnya me-
nyembur darah segar.
Remaja konyol itu bangkit berdiri dengan ber-
topang pada tongkat. Suropati mendengus keras bagai
banteng terluka.
"Ha-ha-ha...!"
Galungking Saba atau si Penyedot Arwah terta-
wa terbahak-bahak melihat sikap berdiri Pengemis Bi-
nal. Kedua kaki remaja konyol itu gemetar menopang
berat tubuhnya.
"Sekarang bisa dibuktikan kebenaran kata-
katamu, Bocah gendeng! Kau atau aku yang harus ber-
lutut dan memotong tangan kanannya sendiri!" ejek
Galungking Saba
"Jangan salah kira, Manusia Busuk!" sahut Su-
ropati lantang. "Bangkai temanmu yang tergeletak di
tanah itu sudah merupakan bukti kalau kau harus
mengikuti kata-kataku!"
Galungking Saba terkekek.
"Kau terlalu sombong, Bocah Gendeng! Aku bi-
sa menghargai keberanianmu untuk menantang Sang
ketua. Namun, aku ingin tahu apakah kau sanggup
menghadapi ilmu 'Penghisap Darah'-ku!" 
Usai mengucapkan kalimatnya, lelaki berjang-
gut panjang itu membuka kakinya. Dengan kedudukan
badan sedikit merunduk dia menarik perlahan-lahan
kedua tangannya ke belakang.

Suropati sudah siap sedia dengan ilmu 'Kalbu
Suci Penghempas Sukma.' Mata terpejam dan tangan
bersedekap. Pemuda itu tengah mengumpulkan selu-
ruh kekuatan batinnya.
Galungking Saba menghentakkan telapak tan-
gannya ke depan. Suatu kekuatan kasat mata yang
berdaya isap menggempur cahaya kebiruan yang ter-
pancar dari sekujur tubuh Suropati.
Tak ada suara yang ditimbulkan oleh perte-
muan dua kekuatan hebat itu. Hanya keluhan lirih
terdengar dari mulut Galungking Saba. Lelaki berjang-
gut panjang itu terperangah. Ilmu pamungkasnya tak
berakibat apa-apa terhadap Suropati.
Penyedot Arwah berusaha menambah kekuatan
tenaga dalamnya sampai ke puncak. Tapi, tindakan itu
hanya menambah rasa sesak dalam dadanya. Menda-
dak, lelaki berjanggut panjang itu melepas ilmu
'Penghisap Darah'-nya. Kemudian, dengan nekat me-
nerjang Suropati.
Blaaarrr...!
Timbul ledakan dahsyat ketika tubuh Galungk-
ing Saba membentur inti  kekuatan ilmu 'Kalbu Suci
Penghempas Sukma' milik Pengemis Binal.
Bau anyir segera menyebar. Wujud Galungking
Saba sudah tak dapat dikenali lagi. Tubuhnya menjadi
serpihan daging yang tak mungkin disatukan.
Suasana malam di lereng Bukit Bangau menja-
di hening. Desau angin terdengar mengelus gendang
telinga. Lambat-lambat binatang malam memamerkan
suaranya.
Tapi, keheningan itu segera pecah oleh suara
tawa berkepanjangan. Disusul dengan kelebatan
bayangan hitam yang berhenti tepat empat tombak di
hadapan Suropati. Pemuda itu sedang duduk bersila

untuk mengatasi luka dalam akibat pukulan Galungk-
ing Saba.
"Ilmu kesaktianmu memang hebat, Bocah Gen-
deng! Tapi dalam keadaan luka dalam seperti itu, aku
akan segera dapat mengirim nyawamu ke neraka!"
Terdengar ucapan Margana Kalpa. Pengemis
Binal membuka matanya kemudian meloncat bangkit!
"Nyawa sekian ratus pengemis yang tinggal di
Bukit Pangalasan menuntut ku untuk segera merejam
tubuhmu, Manusia Busuk!" geram Suropati penuh
kemarahan.
Margana Kalpa tertawa terbahak-bahak.
"Kau memang dapat mengalahkan dua anak
buahku yang berilmu tinggi. Tapi, jangan kau kira
akan dapat mengalahkan aku, Bocah Gendeng!"
"Demi arwah para pengemis yang telah kau bu-
nuh, aku akan mewujudkan keinginan mereka untuk
melumat tubuhmu, Margana Kalpa keparat!"
Suropati menerjang Malaikat Bangau Sakti
dengan tongkat berputar cepat dalam jurus 'Tongkat
Memukul Anjing'. Margana Kalpa memapaki dengan
jurus 'Bangau Sakti Membelah Mega'
"Uts...!"
Pengemis Binal menghentikan luncuran tong-
katnya seraya berkelit ke samping. Secara mendadak
ujung jari tangan kanan Margana Kalpa yang mengun-
cup berkelebat berusaha menggetok kepalanya.
Senyum ejekan segera mengembang di bibir
Malaikat Bangau Sakti. Gerakannya itu hanya suatu
tipuan. Dia lalu menyodokkan telapak kakinya ke dada
Suropati,
Dhes...!
Remaja konyol itu menangkis dengan tongkat.
Namun, kaki kanan Margana Kalpa tetap meluncur de-

ras. Mau tak mau Pengemis Binal harus membuat
tangkisan dengan pergelangan tangan.
Ketika terjadi benturan tenaga, tiba-tiba telapak
kaki Margana Kalpa menempel di lengan Suropati.
Lalu, tubuh lelaki berwajah pucat itu melayang
menggetok dahi!
"Ih...!"   
Jerit kecil dikeluarkan Pengemis Binal. Untun-
glah dia masih sempat meloncat mundur. Kalau tidak,
isi kepalanya tentu akan berhamburan keluar.
"Keluarkan jurus andalanmu, Gembel Kudi-
san!" tantang Margana Kalpa dengan penuh keponga-
han.
Tanpa berkata-kata, Suropati segera mengga-
bungkan jurus 'Tongkat Memukul Anjing' dengan
rangkaian jurus 'Tongkat Sakti,' yakni jurus 'Tongkat
Menghajar Maling' dan 'Tongkat Mengejar kucing'.
Kelebatan tongkat di tangan Pengemis Binal
sudah tak dapat lagi diikuti pandangan mata. Ujung
tongkat seakan mempunyai indera penglihatan untuk
mencari jalan kematian di tubuh lawan. Melihat seran-
gan yang sedemikian hebat, Margana Kalpa segera
mengeluarkan jurus-jurus bangau saktinya.
Hingga lewat sepeminum teh pertarungan sen-
git itu masih berjalan seimbang. Namun setelah Suro-
pati melembari gerak tongkatnya dalam jurus
'Pengemis Menghiba Rembulan,' Margana Kalpa tam-
pak terdesak.
"Kentut Busuk! Rupanya aku tak boleh me-
mandang rendah kepadamu!" ucap Margana Kalpa di
antara cecaran tongkat lawan.
"Siapa suruh kau memandang rendah kepada-
ku! Segera kau temui nenek moyangmu di alam baka!"
Ujung tongkat Suropati meluncur cepat tertuju

di antara dua mata Margana Kalpa! Dan, tampaknya
lelaki berwajah pucat itu sudah tak mungkin lagi
menghindar. Tapi ketika ujung tongkat Suropati ting-
gal seusap lagi mencapai sasaran, mendadak tangan
kanan Pengemis Binal kesemutan. Senjata andalannya
membentur sesuatu yang kasat mata.
Beberapa saat remaja konyol itu diliputi kehe-
ranan. Namun mengingat siapa yang sedang dihada-
pinya, Suropati menduga hal demikian adalah berkat
ilmu kesaktian yang dimiliki lawan. Menyadari hal itu
Suropati segera melakukan serangan yang lebih hebat.
Hingga, pada suatu kesempatan Margana Kalpa
tak mungkin lagi dapat menghindar. Namun, tiba-tiba
tubuh lelaki berwajah pucat itu melayang ke atas den-
gan sendirinya. Sambaran tongkat Suropati tak men-
genai sasaran.
"Manusia  busuk itu seperti dilindungi sesuatu
yang kasat mata," gumam Pengemis Binal dalam hati.
Pemuda itu segera meloncat ke belakang men-
jauhi arena pertempuran. Dengan menggunakan ilmu
'Mata Awas'-nya Suropati berusaha mencari tahu pe-
lindung Margana Kalpa.
"Ah, mata batinku tak dapat melihat apa-apa,"
keluh Pengemis Binal. "Tapi sepertinya manusia busuk
itu dilindungi arwah seseorang."
Dugaan remaja konyol itu memang tepat. Se-
sungguhnya, arwah Dewa Tapak Hitam-lah yang me-
lindungi Margana Kalpa.
"Hei! Kenapa kau menghentikan seranganmu
Bocah Gendeng?!" bentak Margana Kalpa. "Apa kau
sedang berpikir untuk menyerah dan bertekuk lutut
kepadaku?"
"Justru kaulah yang harus bertekuk-lutut ke-
padaku!"

Suropati menerjang kembali. Keanehan-
keanehan segera muncul berulang kali. Setiap seran-
gan Pengemis Binal hendak mengenai sasaran, tubuh
Malaikat Bangau Sakti bergerak menghindar dengan
sendirinya
Bertempur dalam rasa heran justru memperle-
mah gempuran Suropati. Dia menjadi lengah. Hingga
kemudian....
Dhes...! Dhuk...!
"Argh...!"
Siku Margana Kalpa tepat bersarang di dada
kanan Pengemis Binal. Dan, sebuah patokan jari tan-
gan yang menguncup menghujam di bahu kiri.
Pertahanan Suropati jebol. Malaikat Bangau
Sakti dapat dengan mudah menjadikannya bulan-
bulanan. Seiring berlalunya malam yang hampir lewat
untuk menyambut datangnya fajar, tubuh Suropati
terlempar ke sana-ke mari menerima hajaran Margana
Kalpa yang kalap.
"Sekarang aku akan benar-benar menyudahi
riwayatmu, Gembel Kudisan!"
Malaikat Bangau Sakti menatap tubuh Penge-
mis Binal yang bergulingan di atas tanah. Dengan ke-
dua kaki sedikit ditekuk Margana Kalpa lalu melontar-
kan pukulan jarak jauh. 
Blaaarrr...!
Untunglah Suropati masih sempat meloncat.
Pukulan jarak jauh lawan hanya membuat kubangan
di tanah.     
Malaikat Bangau Sakti menatap sinis Pengemis
Binal yang berdiri limbung. Diiringi dengusan keras le-
laki berwajah pucat itu menggedruk bumi dengan kaki
kanannya. Permukaan tanah di depan Margana Kalpa
terkuak dan membuat retakan hendak menjepit tubuh

Suropati!
Dengan sisa-sisa tenaga remaja konyol itu hen-
dak meloncat. Tapi, seberkas cahaya kelabu yang me-
luncur dari telapak tangan Margana Kalpa telah me-
nahannya. Maut benar-benar mengintai!
"Heaaa...!"
Pengemis Binal membentangkan kedua kakinya
yang berada di mulut retakan. Remaja konyol itu beru-
saha menyatukan kembali permukaan tanah yang ter-
kuak.
Suara gemeretakan timbul ketika tepi retakan
bergerak melebar. Tampaklah kedua kaki Suropati se-
makin terpentang. Dia tak mampu menutup kembali
retakan tanah yang akan menjerumuskan tubuhnya!
Tawa Malaikat Bangau Sakti membahana di
angkasa.
"Lubang Neraka telah menantimu, Gembel Ku-
disan!"
Suropati segera teringat pada ilmu sihirnya
yang diajari Periang Bertangan Lembut. Setelah men-
gumpulkan segenap kekuatan batinnya, remaja konyol
berteriak lantang. "Hentikan permainan ini, Margana
Kalpa!"
Otak Malaikat Bangau Sakti mendadak jadi lin-
glung. Cahaya kelabu yang timbul dari telapak tan-
gannya memudar.
"Hup...!"
Kesempatan yang datang hanya sekejap itu tak
disia-siakan Suropati. Dia segera meloncat dari reta-
kan tanah yang hendak menenggelamkannya.
"Manusia Busuk! Kau rasakan ilmu totokan
'Delapan Belas Tapak Dewa,!"
Begitu berhasil menjejakkan kaki di tanah ko-
song, tubuh Pengemis Binal meluncur deras ke arah

Margana Kalpa. Ujung jarinya siap melancarkan toto-
kan maut!
Namun, mendadak saja Malaikat Bangau Sakti
mengibaskan tangan, timbullah cahaya kelabu yang
melindungi tubuhnya.
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat timbul ketika ujung jari Pen-
gemis Binal menyentuh pusat kekuatan ilmu 'Benteng
Kelabu' milik Margana Kalpa.
Akibat buruk segera diterima Suropati. Tubuh
remaja konyol itu terlontar dalam keadaan tak sadar-
kan diri.
Tatkala tubuh tak berdaya itu melayang di uda-
ra, sesosok bayangan berkelebat cepat dan menyam-
barnya. Sosok bayangan itu lenyap meninggalkan Ma-
laikat Bangau Sakti yang sedang tertawa terbahak-
bahak....

6

Di perbatasan wilayah Kadipaten Tanah Loh
dan Bumiraksa, barisan pengemis bersenjata tongkat
yang berjumlah sekitar seratus orang tampak berjalan
mengikuti aliran sungai. Mereka dipimpin oleh Gede
Panjalu dan Wirogundi yang berjalan di depan.
"Untuk pergi ke Bukit Bangau apakah tidak le-
bih baik kita menanti kehadiran Suropati? Bagaima-
napun juga dia pemegang kendali Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti," kata Wirogundi sambil menatap
langit cerah pagi itu.
"Dengan berjalan berbaris seperti ini, kita bisa
mengundang perhatian remaja konyol itu agar segera
bergabung bersama kita. Kalau sudah melakukan pen-

gembaraan, dia sangat sulit dicari. Bukankah kau juga
tahu sendiri, Wiro?" ucap Gede Panjalu yang berjalan
di sisi kanan Wirogundi.
"Apakah ada kemungkinan Suropati telah tahu
peristiwa di puncak Bukit Pangalasan, kemudian dia
menggempur sarang Perkumpulan Bangau Sakti seo-
rang diri?"
"Kemungkinan itu sangat mungkin terjadi.
Hampir semua tokoh rimba persilatan telah tahu peris-
tiwa yang sangat menghebohkan itu. Aku kira Suropati
pun demikian halnya. Tapi, kenapa dia tidak mengum-
pulkan sisa-sisa anggota perkumpulannya dulu? Ah,
mungkin didorong oleh jiwa ksatrianya untuk mem-
buat perhitungan sendiri dengan Margana Kalpa,"
Gede Panjalu menduga-duga.
Barisan pengemis itu terus berjalan menyusuri
tepian sungai. Ketika lewat pinggiran kota Kadipaten
Bumiraksa, sekitar delapan puluh orang anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti lainnya bergabung.
Seorang di antaranya langsung menghadap
Gede Panjalu. Ia menceritakan perihal Suropati yang
telah pergi ke Bukit Bangau seorang diri.
"Benar dugaanku. Suropati telah mengikuti jiwa
ksatrianya untuk membuat perhitungan sendiri den-
gan Margana Kalpa. Ia tak mau melibatkan anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti," ujar Gede Pan-
jalu.
"Suropati sangat hebat. Aku yakin dia akan da-
pat mengatasi Margana Kalpa si keparat itu," sahut
Wirogundi penuh keyakinan.
"Belum tentu, Wiro...," ujar Gede Panjalu. "To-
koh beraliran sesat mempunyai sifat kejam dan sangat
licik. Aku khawatir Suropati jatuh dalam jebakannya.
Sifat nekat remaja konyol itu akan dapat merugikan

diri sendiri. Sebaiknya kita segera mempercepat lang-
kah, Wiro."
Wirogundi langsung memberi aba-aba kepada
barisan di belakangnya. Dan, seluruh anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti bergegas untuk
mencapai tempat tujuan. Dendam membara dalam diri
mereka sanggup membakar semangat tempur, untuk
segera melenyapkan seluruh anggota Perkumpulan
Bangau Sakti.
Ketika matahari telah memayung di atas kepala
dan barisan Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti te-
lah menyeberangi sungai, Gede Panjalu berkata kepa-
da Wirogundi, "Aku mendengar sebuah bisikan gaib.
Kau pimpinlah anggota perkumpulan kita, Wiro. Aku
akan mengikuti bisikan gaib itu terlebih dahulu..."
Kakek bongkok yang bergelar Pengemis Tongkat
Sakti itu lalu berlari menyusuri tepi hutan yang tidak
seberapa luas. Langkah kakinya sangat cepat. Setiap
dia menjejak tanah, tubuh Gede Panjalu akan me-
layang sepuluh tombak lebih. Malah terkadang tubuh
kakek bongkok itu melesat tinggi di udara bagai seekor
burung walet. Itulah khasiat buah pala ajaib yang te-
lah dimakan Gede Panjalu. Ilmu kesaktian kakek
bongkok itu jadi berlipat ganda.
Di sebuah tanah datar yang agak masuk ke da-
lam hutan Gede Panjalu menghentikan larinya. Tam-
pak seorang kakek tua renta yang berpakaian ala ka-
darnya. Rambut kakek itu telah memutih semua, ter-
gerai panjang menutupi wajah. Ujung-ujung rambut
menyebar di atas permukaan batu besar di mana ka-
kek itu duduk bersila.
"Ayah...," gumam Gede Panjalu seraya berjalan
mendekat. Dia berlutut di hadapan kakek tua renta
yang memberikan bisikan gaib itu.    

Dialah Datuk Risanwari. Seorang tokoh sakti
yang pernah berjaya dengan Perkumpulan Pengemis
Tongkat Naga puluhan tahun silam. Datuk Risanwari
merupakan ayah kandung Gede Panjalu.
"Bangkitiah, Gede...," desak Datuk Risanwari
dengan suara mirip rintihan orang sakit
Gede Panjalu duduk bersila di hadapannya. Da-
tuk Risanwari menatap sejenak wajah putra kandung-
nya dari balik riap-riapan rambut.
"Aku sengaja mengundangmu kemari untuk
menyampaikan wasiat yang harus kau emban sampai
akhir hayatmu," ucap Datuk Risanwari pelan.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu Gede
Panjalu dikejutkan oleh adanya gulungan kulit hari-
mau dalam telapak tangannya. Datuk Risanwari me-
nyuruhnya untuk membaca tulisan yang tertera di da-
lam gulungan kulit harimau. Gede Panjalu pun segera
melepas tali ikatan gulungan kulit itu.
Benda wasiat itu sebenarnya telah jatuh ke
tangan Margana Kalpa yang berhasil memperolehnya
dari Galungking Saba dan Galang Gepak yang berhasil
merebut dari tangan Ingkanputri. Margana Kalpa ber-
maksud memusnahkannya. Tapi, maksud hati lelaki
itu tak kesampaian. Gulungan kulit harimau tersebut
tiba-tiba menghilang.
Sesungguhnya benda wasiat itu berisi kekuatan
gaib. Benda itu mempunyai daya tolak terhadap orang
yang bermaksud jahat padanya. Benda wasiat itu ke-
mudian kembali ke pangkuan Datuk Risanwari yang
berdiam di Bukit Hantu. Setelah mengetahui Suropati
gagal menyampaikan wasiatnya, Datuk Risanwari ak-
hirnya menyampaikan sendiri gulungan kulit harimau
itu kepada Gede Panjalu.
"Kau telah mengerti isi yang tersirat di dalam-

nya Gede?" tanya Datuk Risanwari kemudian. Dilihat-
nya Gede Panjalu usai membaca tulisan dalam gulung
kulit harimau.
"Sudah...," jawab Gede Panjalu lirih seraya
mengikat kembali gulungan kulit harimau dengan tali. 
Benda wasiat itu tiba-tiba lenyap dan berada
dalam genggaman Datuk Risanwari. Gede Panjalu ter-
perangah sejenak. Kepergian gulungan kulit harimau
sama seperti kemunculannya tadi.
"Gede...," ucap Datuk Risanwari, "Untuk men-
gemban tugas pertama mu, datanglah ke sebuah gua
yang terletak di lereng sebelah utara Bukit Bangau."
Usai mengucapkan kalimatnya, tubuh Datuk
Riwansari melayang dalam keadaan tetap duduk bersi-
la. Kemudian tanpa mengucapkan kata-kata perpisa-
han melesat cepat menghilang dari tempat itu.
Gede Panjalu duduk tertegun. Setelah teringat
kembali pesan Datuk Risanwari kepadanya, kakek
bongkok itu segera bangkit berdiri. Gede Panjalu berla-
ri cepat menyusul barisan anggota Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti. Ia hendak menyampaikan pesan
kepada Wirogundi, setelah itu Gede Panjalu menghem-
poskan tubuhnya kembali untuk menuju suatu tempat
yang ditunjukkan Datuk Risanwari.
Dalam perjalanan benak Gede Panjalu tak per-
nah lepas dari kalimat-kalimat yang tertera di dalam
gulungan kulit harimau. Terutama bagian terakhir
yang berbunyi:

Adalah Dewata Agung Yang Maha Adil. Dia te-
lah menurunkan seorang anak ajaib yang sanggup me-
nyibak gelap. Dalam tubuhnya tersimpan kebangkitan
dari kebenaran dan keadilan. Tugas pelindung tua ada-
lah memberi cahaya.


"Kalimat itu menyiratkan kalau aku harus se-
nantiasa memberi dorongan kepada Suropati. Bila dia
dalam keadaan kacau di mana jiwa bergelut dengan
nafsu buruk, aku harus dapat mengingatkannya,"
ucap Gede Panjalu dalam hati.
Gerak tubuh kakek bongkok itu sudah tak da-
pat dikatakan sedang berlari lagi. Tubuhnya melesat
sedemikian cepat. Hanya sesekali menginjak tanah.
Ketika matahari agak condong ke barat, Gede
Panjalu telah sampai di mulut gua yang terletak di le-
reng sebelah utara Bukit Bangau. Padahal bila ditem-
puh dengan perjalanan kuda ia akan sampai di tempat
itu pada hari menjelang malam.
Waktu Gede Panjalu memasuki mulut gua tam-
paklah seorang kakek berumur sekitar tujuh puluh ta-
hun, sebaya dengan dirinya. Lelaki itu duduk bersila.
Pakaiannya yang serba putih mirip jubah seorang pen-
deta. Rambutnya yang telah memutih semua dikuncir
menjadi satu jalinan panjang. Di hadapannya terlihat
seorang remaja tampan berpakaian penuh tambalan.
Gede Panjalu bergegas berjalan mendekat. Dia
menjura hormat kepada tokoh tua yang tak lain Banja-
ranpati, yang bergelar Bayangan Putih Dari Selatan
"Suropati terluka parah...," ucap Banjaranpati
setelah membalas penghormatan Gede Panjalu.
Kakek berpakaian serba putih itulah yang telah
menyelamatkan Pengemis Binal tatkala tubuhnya ter-
lontar terbentur pusat kekuatan ilmu 'Benteng Kelabu'
milik Margana Kalpa.
Teringat akan wasiat Datuk Risanwari, Gede
Panjalu segera memeriksa keadaan Suropati. Kakek
bongkok itu menjadi terperanjat kaget.
"Keadaan bocah bagus itu sangat menge-

naskan...," lanjut Banjaranpati. "Dia akan menjadi
orang yang mati dalam hidupnya. Inti kekuatan tu-
buhnya telah musnah. Hanya keajaibanlah yang dapat
menyembuhkannya."     
Gede Panjalu mendesah panjang. Diusapnya
dahi Suropati dengan lembut. Tak ada tanggapan dari
remaja konyol itu. Tubuhnya terbujur kaku seperti
mayat.
"Mungkinkah buah pala ajaib akan dapat men-
gembalikan keadaan Suropati?" tanya Gede Panjalu
dalam hati. "Bila buah pala ajaib itu dapat melipat
gandakan kepandaian seseorang, kenapa tak dapat
mengembalikan ilmu kesaktian yang telah musnah?"
Perlahan-lahan Gede Panjalu mengeluarkan se-
butir buah berwarna coklat kemerahan dari balik ba-
junya. Setelah menatap sejenak buah yang dipegang-
nya, Gede Panjalu mengusap bibir Suropati. Didorong-
nya dengan kekuatan tenaga dalam agar buah pala
ajaib masuk ke dalam lambung Pengemis Binal.
Tak lama kemudian, tubuh Suropati mengejang
seraya menggelepar-gelepar bagai seekor banteng habis
disembelih. Tubuh remaja itu lalu diam tak bergeming
dengan bermandi keringat.
"Uh...!"
Suara keluhan keluar dari mulutnya ketika Su-
ropati bangkit. Hanya bayangan hitam yang pertama
terlihat. Setelah dia menggeleng-gelengkan kepalanya,
tampaklah dengan jelas wajah Banjaranpati dan Gede
Panjalu yang duduk bersila di hadapannya.
"Kek...!" jerit Suropati. Pemuda itu mendekap
pangkuan Gede Panjalu. "Maafkan aku, Kek. Aku tak
dapat menyampaikan wasiat Datuk Risanwari kepa-
damu." 
Gede Panjalu mengelus rambut Pengemis Binal

dengan lembut. "Kau tak perlu merasa bersalah, Suro.
Keadaanlah yang membuatmu tak bisa melaksanakan
kewajibanmu. Kau pun tak perlu menyesal, Suro. Da-
tuk Risanwari telah menyampaikan wasiatnya sendiri
kepadaku."
Perlahan-lahan Suropati mengangkat kepa-
lanya. Saat itulah dia merasakan suatu keanehan. Tu-
buhnya terasa sangat ringan, seperti segumpal kapas
yang diterbangkan hembusan angin.
"Tuhan benar-benar menunjukkan kua-
sanya...," ucap remaja itu dalam hati. "Ilmu kesaktian-
ku telah kembali. Berarti Tuhan mendengarkan doa
dan kepasrahan ku."
Memang, kuasa Tuhan sering kali tak dapat
terpikirkan oleh otak manusia. Seseorang yang sudah
sekarat menghadapi sakratul maut akan menjadi sehat
kembali jika Dia menghendakinya. Tak ada satu pun
kekuatan yang sanggup menghalangi kehendak-Nya
Matahari telah condong ke barat ketika Suropa-
ti, Banjaranpati, dan Gede Panjalu keluar dari dalam
gua. Mereka sejenak menatap langit yang putih bersih.
Kemudian, melangkahkan kaki hendak menyambut
kedatangan barisan  anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang hendak menggempur sarang Per-
kumpulan Bangau Sakti.
"Kakek Banjaranpati telah berulangkali menye-
lamatkan diriku. Entah dengan apa aku akan memba-
las budi baiknya...," gumam Suropati dalam hati. "Ka-
kek Gede Panjalu pun demikian. Aku tak mungkin da-
pat melupakan kebaikannya."
"Kita akan segera melakukan pertempuran hi-
dup dan mati, tapi bukan atas kobaran dendam, Suro."
ujar Gede Panjalu mengingatkan. "Atas nama kebena-
ran dan keadilan untuk melenyapkan keangkara mur-

kaan di muka bumilah, kita melakukannya...."
Suropati mengangguk. Kemudian menggaruk-
garuk kepalanya. Itulah kebiasaan pemuda ini.
"Sebaiknya Kakek berdua berangkat terlebih
dahulu...," usul remaja tampan itu kemudian sambil
menatap wajah Gede Panjalu dan Banjaranpati bergan-
tian. "Aku akan secepatnya menyusul. Aku harus
mempelajari Kitab Penembus Alam Gaib warisan Kakek
Wajah Merah untuk membuka tabir kesaktian Marga-
na Kalpa," Suropati mengajukan alasannya.

***

Setelah melepas rindu kepada ayah dan ibun-
danya, Dewi Ikata bersama Ingkanputri bermaksud
pergi ke Bukit Bangau. Dewi Ikata yang sangat suka
dijuluki Pendekar Wanita Gila ikut berduka waktu
mendengar cerita Ingkanputri tentang peristiwa tragis
di puncak Bukit Pangalasan. Timbullah rasa dendam
dalam diri putri tunggal Adipati Danubraja itu. Kakak
seperguruannya, Anjarweni, ikut menjadi korban ke-
ganasan Margana Kalpa. Sedangkan Ingkanputri yang
sejak semula sudah sangat mendendam terhadap Mar-
gana Kalpa merasa gembira karena perjalanannya ke
Bukit Bangau ada yang menemani.
Ketika mereka sampai di pinggir hutan kecil tak
seberapa jauh dari Bukit Bangau, Dewi Ikata dan In-
gkanputri menghentikan langkah.
"Aku mendengar suara orang mengamuk di da-
lam hutan sana," ujar Dewi Ikata.
"Aku juga mendengar. Mungkin sedang terjadi
pertempuran dahsyat!" timpal Ingkanputri.
"Sepertinya memang demikian, Putri."
"Sebaiknya kita tak perlu menghiraukan. Hanya

akan menghambat perjalanan kita."
"Ah, perasaanku tak enak, Putri. Apakah tidak
lebih baik kita melihatnya dulu?"
"Terserah kaulah. Aku tak mau ikut campur
dengan urusan orang lain...."
Mendengar ucapan itu, Dewi Ikata langsung
menghemposkan tubuhnya. Ingkanputri menatap ke-
pergian gadis berumur tujuh belas tahun itu sebentar
kemudian berlari mengejar.
Sementara itu, di dalam hutan di mana terda-
pat pepohonan besar yang tinggi menjulang, Sekar
Arum atau si Perangai Gila tengah duduk bersimpuh
sambil menangis meraung-raung.
"Oh, Agaswara.... Mestinya aku mengerti kalau
kau telah insaf. Kau memang orang jahat. Tapi pintu
taubat tetap terbuka lebar untukmu!"
Wanita kurang waras itu kemudian melonjak-
lonjak dan berhenti dari menangisnya.
"Manusia berhati iblis selamanya akan dilumuri
nafsu iblis. Neraka menganga untuk menyambut ke-
hadirannya, Agaswara. Kau telah merusak jiwaku. Kau
telah merusak jalan hidupku. Kau telah merusak sega-
la-galanya. Kau layak mati, Agaswara! Aku akan
menghancurleburkan tubuhmu!"
Usai mengucapkan kalimatnya, Perangai Gila
melontarkan pukulan jarak jauh.
Sebatang pohon sebesar tiga rangkulan manu-
sia dewasa tumbang dengan pangkal hangus bagai ter-
bakar.
"Ha-ha-ha...!"
Perangai Gila tertawa terbahak-bahak. Kemu-
dian, dia menari-nari gembira seperti anak kecil yang
baru saja mendapat mainan.
"Kau memang layak untuk dibunuh, Agaswara!

Kau layak untuk ditenggelamkan ke dasar neraka Ja-
hanam!"
Wanita kurang waras itu kembali merobohkan
sebatang pohon besar dengan pukulan jarak jauhnya.
Lalu, tubuhnya dihemposkan dan hinggap di puncak
sebatang pohon. Seperti sedang bertempur, dia mem-
peragakan sebuah jurus silat. Kaki dan tangannya
bergerak cepat berlambarkan tenaga dalam. Hingga....
Prak...! Prak...! Krash...! Krash...!
Ranting serta dedaunan beterbangan terkena
sambaran angin pukulan Perangai Gila.
Ketika Dewi Ikata dan Ingkanputri tiba di tem-
pat itu, Perangai Gila sudah duduk bersimpuh di atas
tanah sambil menangis meraung-raung.
"Eyang...," panggil Dewi Ikata.
Perangai Gila menoleh. "Kau Dewi Ikata?"
"Ya, Eyang."
"Ika...," Perangai Gila menghambur memeluk
muridnya.
Perangai Gila kemudian mengeluarkan suara
tangis yang semakin menjadi-jadi. Dewi Ikata pun tak
kuasa menahan air mata. Dia menangis sambil meme-
luk erat gurunya.
Ingkanputri yang berdiri tak seberapa jauh dari
mereka jadi ikut terharu melihatnya. Tapi waktu meli-
hat guru dan murid itu merubah tangisnya menjadi
tawa kegembiraan, gadis itu pun mengumpat-umpat
dalam hati. "Dasar gila!" makinya jengkel
"Kau Dewi Ikata, bukan?" kata Perangai Gila
kemudian.
"Kau kira siapa, Eyang?" tanya Dewi Ikata. 
"Kukira Agaswara. He-he-he...."
"Bukan!"
"Eh, tidak! Kau memang Agaswara!" Sekar

Arum tiba-tiba marah kembali.
Perangai Gila melontarkan tubuh Dewi Ikata
hingga membentur sebatang pohon besar. Lalu, dike-
jarnya seraya melancarkan pukulan jarak jauh.
Blaaammm...!
Untunglah Dewi Ikata masih sempat meloncat.
Kalau tidak, tubuhnya tentu akan lumat menggantikan
batang pohon yang kemudian tumbang.
"Agaswara! Kau jangan lari!" teriak Perangai Gi-
la seraya menerjang Dewi Ikata.
Putri tunggal Adipati Danubraja itu segera ber-
lompatan ke sana kemari menghindari serangan gu-
runya. Tapi, dalam suatu kesempatan bahunya terke-
na tendangan. Tubuh Dewi Ikata jatuh bergulingan di
atas tanah.
Ingkanputri jadi tidak tega melihatnya. Segera
dihadangnya gerakan Perangai Gila yang sedang kalap. 
"Hei! Siapa kau?!" hardik wanita kurang waras
itu.
"Aku sahabat Dewi Ikata, Perempuan Jelek!
Kau tak perlu memperlakukan muridmu seperti itu!"
"Jadi, kau sahabatnya Agaswara?"
"Apakah yang kau maksud Resi Agaswara?" te-
gas Ingkanputri.
"Ya!"
"Dia sudah meninggal, Nenek Kotor!"
"Uh! Apa?" 
"Budeg!"  
"Kau yang budeg!" sembur Perangai Gila kalap.
"Dasar sinting! Tapi, kau tak perlu menyebut-
nyebut lagi nama Resi Agaswara. Dia sudah tenang di
alam nirwana."
"Benar katamu itu?" tanya Perangai Gila me-
nampakkan kesungguhan.

Ingkanputri tak menjawab. Dia berjalan meng-
hampiri Dewi Ikata. Perangai Gila bergegas mengikuti.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Manis,"
kata wanita kurang waras itu bernada rayuan.
"Sudah kubilang kalau Resi Agaswara telah
meninggal. Kau saja yang tak mendengar."
"Oh..."
Perangai Gila menjatuhkan diri duduk berjong-
kok. Sinar matanya membayangkan kesedihan yang
sangat. Butiran mutiara bening bergulir di pipi wanita
yang sebetulnya sangat mencintai Resi Agaswara itu.
Kemudian, ditatapnya wajah Ingkanputri dalam-dalam.
"Aku ingat sekarang. Bukankah kau gadis yang
bersama Agaswara waktu kutemui di Kademangan
Maospati?" ujar nenek sinting itu.
"Ya. Aku pun ingat kau yang bersama Dewi Ika-
ta ketika akan menjatuhkan tangan maut terhadap
Eyang Agaswara," timpal Ingkanputri.
"Oh..., aku sangat menyesali perbuatanku wak-
tu itu." Perangai Gila lalu memanggil Dewi Ikata untuk
duduk di hadapannya. Wanita kurang waras itu me-
nyorongkan kedua telapak tangannya ke dada Dewi
Ikata. Disalurkannya seluruh hawa murni yang dimi-
liknya.
"Eyang...," desis Dewi Ikata. "Apakah kau mau
bunuh diri?"
"Aku akan menyusul kekasihku, Ika," ucap Pe-
rangai Gila sambil terus menempelkan kedua telapak
tangannya.
Mata Dewi Ikata bersinar nyalang. Semakin ke-
ras kekuatan yang berputar di sekitar pusarnya, se-
makin habislah tenaga dalam yang dimiliki Perangai
Gila. Bila tenaga inti di dalam tubuh wanita kurang
waras itu sampai habis, itu berarti kematian!

Tentu saja Dewi Ikata tak mau melihat gurunya
mati. Tapi jika dia menolak saluran hawa murni Pe-
rangai Gila, akibat yang sangat parah justru akan dite-
rima olehnya. Tenaga dalam gurunya yang berkekua-
tan penuh akan langsung menghantam dada Dewi Ika-
ta. Hal itu juga berarti kematian!
Dewi Ikata pun berkutat dengan perasaan giris.
Sampai akhirnya dia pasrah menerima saluran hawa
murni gurunya sampai tandas. Ketika putaran kekua-
tan di sekitar pusar gadis cantik itu melemah kemu-
dian menghilang, Perangai Gila menarik kedua tan-
gannya.
"Ha-ha-ha...," wanita kurang waras itu tertawa
lebar. "Aku mati tidak sia-sia. Muridku akan menjadi
seorang pendekar pilih tanding. Dan, aku pun akan
segera menyusulmu, Agaswara. Ha-ha-ha...."
Dalam keadaan duduk bersila Perangai Gila te-
rus tertawa. Sampai kemudian terhenti bersamaan
dengan nyawanya yang lepas dari raga.
"Eyang!" jerit Dewi Ikata seraya memeluk jasad
gurunya.
"Sudahlah, Ika...," ucap Ingkanputri mencoba
menenangkan. "Tak perlu kau sesali apa yang telah
terjadi. Tak ada yang patut disesali. Gurumu telah ter-
bebas dari siksaan yang mendera batinnya. Justru kau
harus menerima kepergiannya dengan penuh keikhla-
san."
"Eyang...," gumam Dewi Ikata sambil melepas
pelukannya.



***



7

Gede  Panjalu  dan Banjaranpati sudah berga-
bung dengan barisan anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Mereka mendaki Bukit Bangau dengan
penuh semangat.
"Kau sudah menemukan Suropati, Kek?" tanya
Wirogundi kepada Gede Panjalu.
"Sebentar lagi dia akan menyusul."
"Apakah tidak lebih baik kita ke sarang Per-
kumpulan Bangau Sakti terlebih dahulu untuk melihat
kesiapan lawan?" kata Gede Panjalu pada Banjaranpa-
ti.
"Sebaiknya memang begitu," ucap Banjaranpati
atau Bayangan Putih Dari Selatan.
Kemudian, dua tokoh tua jajaran atas itu
menghemposkan tubuhnya. Mereka berlari cepat hen-
dak mencapai benteng Margana Kalpa terlebih dahulu,
sebelum mencapai barisan anggota Perkumpulan Pen-
gemis  Tongkat Sakti tiba. Setibanya di sana mereka
tertegun melihat keadaan yang sunyi senyap.
"Margana Kalpa tentu sudah tahu Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti akan menggempur sarang
perkumpulannya. Tapi, mengapa dia tak membuat su-
atu persiapan? Bahkan, pintu gerbang benteng dibiar-
kan terbuka," ucap Gede Panjalu keheranan.
"Kita mesti berhati-hati, Gede. Aku menduga ini
sebuah siasat yang sudah diatur Margana Kalpa."
"Aku akan membuktikan sampai di mana kehe-
batan siasat Margana Kalpa itu!" dengus Gede Panjalu.
Gede Panjalu lalu menghemposkan tubuhnya
meloncati dinding benteng setinggi tiga tombak. Tapi

sewaktu tubuh kakek bongkok itu masih melayang di
udara, ratusan jarum beracun dan anak panah meng-
hujam ke arahnya!
Dengan memutar tongkat Gede Panjalu dapat
merontokkan senjata-senjata rahasia itu. Namun, tak
urung bajunya koyak lebar karena terserempet. Usaha
kakek bongkok itu untuk memasuki benteng Margana
Kalpa menemui kegagalan.
Ketika hujan jarum beracun dan anak panah
berhenti, tak seorang pun anggota Perkumpulan Ban-
gau Sakti yang tampak. Apa yang baru saja terjadi se-
perti digerakkan oleh kekuatan gaib.
"Betul kataku, Gede. Margana Kalpa memang
telah menyiapkan siasat jitu. Tapi, aku akan mencoba
menerobos pintu gerbang benteng yang terbuka itu!"
Bayangan Putih Dari Selatan segera mengerah-
kan ilmu meringankan tubuh. Wujudnya berubah
menjadi bayangan putih yang hampir kasat mata. Ta-
pi....
Swos...!
Baru sampai di ambang pintu gerbang benteng,
gerakan kakek berkuncir itu terhenti. Asap beracun
yang berwarna hitam pekat menghadang langkahnya.
"Ah, bagaimana kita bisa memasuki benteng
Margana Kalpa bila demikian halnya?" desah Gede
Panjalu seperti putus asa.
"Di dunia ini tak ada yang sempurna. Kita ha-
rus  mencari kelemahan dengan mengitari benteng,"
Bayangan Putih Dari Selatan memberi semangat
Banjaranpati kemudian berlari cepat. Setelah
menjumpai pohon besar yang tumbuh di sisi benteng,
dia naik dan melihat keadaan di dalam benteng.
"Ehm..., ratusan lelaki berwajah sadis telah
siap-siaga dengan panah di tangan. Jalan satu-

satunya untuk menembus penjagaan yang sedemikian
ketat adalah nekat!" putus kakek berkuncir itu.
Kemudian, dia meloncat turun dari atas pohon
dan langsung mengambil ancang-ancang.
Blaaammm...!
Pohon sebesar tiga rangkulan manusia dewasa
itu tumbang terkena pukulan jarak jauh Banjaranpati.
Lalu, dengan kekuatan raksasa kakek berkuncir itu
mengangkat batang pohon dan melemparkannya ke
dalam benteng.
Bersamaan dengan itu tubuhnya dihemposkan
untuk berlindung di balik luncuran batang pohon. Hu-
jan jarum beracun di antara luncuran anak panah
hanya menerpa batang pohon. Tak satu pun melukai
tubuh Banjaranpati. Kakek berkuncir itu dapat men-
daratkan kakinya dengan mulus di dalam benteng.
Barisan anak buah Margana Kalpa terkejut bu-
kan main melihat kakek berpakaian serba putih lang-
sung menggempur mereka. Kelebatan tangan dan kaki
Banjaranpati demikian cepat. Tak dapat diikuti pan-
dangan mata lagi. Memang, kakek berkuncir itu se-
dang memainkan ilmu 'Pukulan Tanpa Bayangan' yang
sudah sangat kesohor di rimba persilatan. Belasan
anak buah Margana Kalpa tahu-tahu tergeletak di atas
tanah sambil merintih kesakitan.
Sebelum pertempuran berlangsung lebih sengit,
sesosok bayangan hitam berkelebat dan menghentikan
gerak Banjaranpati.
Duuk...!
Sebuah tangkisan berhasil menggetarkan tu-
buh kakek berpakaian serba putih itu. Dia pun segera
meloncat jauh waktu ratusan jarum beracun meluncur
deras ke arahnya.
"Margana Kalpa!" desis Banjaranpati sambil

menatap wajah orang yang telah membokongnya.
Saat itulah terdengar suara gemuruh yang begi-
tu menggetarkan. Dinding benteng telah jebol. Batu-
batu besar yang semula tersusun rapi tampak beter-
bangan menimpa anak buah Margana Kalpa.
Gede Panjalu yang telah memakan buah pala
ajaib telah menghancurkan dinding benteng dengan
pukulan tenaga dalamnya yang berlipat ganda. Mau
tak mau Margana Kalpa pun terkejut. Setahunya Gede
Panjalu telah jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam
di Bukit Pangalasan.
"Huh! Kau belum mati juga, Orang Tua Bong-
kok!" hardik Margana Kalpa. Segera diperintahkan
anak buahnya untuk mengeroyok Gede Panjalu. Dia
sendiri langsung menerjang Banjaranpati.
"Kakek-kakek tak tahu diuntung! Dengan da-
tang ke Bukit Bangau berarti kau telah bosan hidup!"
"Dewa mengutuk keangkaramurkaanmu, Mar-
gana Kalpa!" sambut Banjaranpati.
Wuuuttt...!
Tendangan Margana Kalpa atau Malaikat Ban-
gau Sakti hanya mengenai angin kosong. Tapi, dia te-
lah menyusuli dengan pukulan ke arah dahi.
Bayangan Putih Dari Selatan berhasil menghin-
dar. Dia pun segera membalas serangan dengan ilmu
'Pukulan Tanpa Bayangan' yang sangat diandalkannya.
Sementara itu, barisan anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang dipimpin Wirogundi telah
sampai di depan pintu gerbang.
Beberapa orang di antaranya yang tak sabaran
langsung menggempur masuk. Namun, malang bagi
mereka. Kepulan asap hitam telah mengepung. Tubuh
mereka gosong dan berkelojotan di tanah meregang
nyawa.

"Jangan gegabah!" teriak Wirogundi waktu me-
lihat beberapa anak buahnya yang lain hendak me-
nyusul.
Pemuda kurus itu lalu berlari memutar. Setelah
melihat dinding benteng yang ambrol di mana Gede
Panjalu tampak sedang bertempur, dia segera memberi
aba-aba.
Dengan perlindungannya beberapa anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti berhasil masuk
ke dalam benteng. Disusul oleh teman-temannya yang
lain.
"Margana Kalpa keparaaattt...!" hardik Wiro-
gundi. Diterjangnya Malaikat Bangau Sakti yang se-
dang bertempur melawan Banjaranpati.
"Rupanya kau juga punya nyawa rangkap,
Gembel Busuk!" bentak Margana Kalpa seraya melan-
carkan tendangan ke arah Wirogundi.
"Uts...!"
Sebuah gerakan indah diperagakan Wirogundi.
Waktu telapak kaki Margana Kalpa hampir mencapai
dadanya, tubuh pemuda itu melenting ke atas. Kemu-
dian bersalto beberapa kali dan langsung mendaratkan
pukulan ke arah lawan.
Malaikat Bangau Sakti terkejut bukan main.
Gerakan Wirogundi sedemikian cepat. Dia pun sudah
tak mempunyai kesempatan lagi untuk menghindar.
Tapi, tubuh lelaki berwajah pucat itu dapat bergerak
sendiri. Pukulan Wirogundi hanya mengenai angin ko-
song.
Banjaranpati yang melihat tubuh Margana Kal-
pa meluncur ke arahnya segera membentangkan kaki
melancarkan tendangan melingkar.
Dhes...!
Kakek berpakaian serba putih itu terkejut seka-

li. Tahu-tahu tubuhnya terlontar oleh pukulan lawan.
Padahal dia sudah yakin tendangannya yang akan ber-
sarang di tubuh Margana Kalpa.
Sambil menyeka darah segar yang meleleh dari
sudut bibirnya, Banjaranpati bangkit dalam rasa he-
ran. Demikian pula dengan Wirogundi. Dia juga terpa-
na keheranan melihat gerakan Margana Kalpa yang
sangat aneh.
Tapi, mereka segera menerjang kembali!

***

Sementara itu, Suropati yang berada di dalam
sebuah gua tampak menutup Kitab Penembus Alam
Gaib warisan Wajah Merah. Pemuda itu baru saja sele-
sai mempelajarinya.
"Untunglah aku telah memiliki ilmu 'Mata
Awas.' Jadi, tak sulit bagiku mempelajari isi kitab ini,"
gumam remaja konyol itu seraya berlari cepat mendaki
Bukit Bangau.
Belum seberapa jauh dia berlalu dari gua, seso-
sok bayangan melintas di hadapannya. "Hei!" teriak
Suropati.
Remaja konyol itu terperanjat kaget mendapati
seorang gadis cantik telah berdiri di hadapannya.
"Dewi Ikata...," gumam Pengemis Binal seraya
menghambur untuk memeluk. Tapi....
Plak...!
Sebuah tamparan mendarat di pipinya. "Kau ki-
ra aku ini apamu, Suro?!" bentak Dewi Ikata atau si
Pendekar Wanita Gila.
"Eh, bukankah kau kekasihku?!" kata Suropati
sambil meraba pipinya yang memerah.
"Kekasihmu?" Dewi Ikata menyipitkan matanya,

"Ya."
"He-he-he...." Dewi Ikata tertawa terkekeh. "Ke-
kasihmu yang nomor berapa?"
Pengemis Binal menggerak-gerakkan jemari
tangannya, berlagak seperti orang sedang menghitung.
"Ehm.... Satu, dua, tiga..., empat puluh..., lima pu-
luh..., seratus! Nah, kau kekasihku yang nomor sera-
tus, Ika. Eh, tidak. Kau kekasihku yang nomor satu!"
Dewi Ikata tertawa lebar menyaksikan kekonyo-
lan remaja tampan itu.
"Apa buktinya kalau aku kekasihmu yang no-
mor satu?" tanya Dewi Ikata kemudian.
Suropati berjalan mendekat dengan berjingkat-
jingkat mirip maling takut ketahuan. Lalu, dengan ke-
cepatan kilat dipeluknya tubuh Dewi Ikata seraya
menghadiahkan sebuah ciuman.
"Uh...!"
Dewi Ikata meronta. Tapi, pelukan Pengemis
Binal sangat erat.
"Aku akan menggempur sarang Perkumpulan
Bangau Sakti! Kau jangan menghalangiku, Suro!" te-
riak Pendekar Wanita Gila.
"Ssst...! Sebentar. Sarang perkumpulan itu su-
dah digempur para anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti bersama Gede Panjalu, Wirogundi, dan
Banjaranpati. Jadi, kita punya cukup waktu untuk
bermesra-mesraan sebelum membantu mereka...."
Tak ada kata yang keluar dari mulut Dewi Ika-
ta. Pengemis Binal telah melumat bibirnya dengan ga-
nas. Saat itulah sebutir batu sebesar kepalan tangan
meluncur dan menghantam kepala Suropati!
"Aduh!" jerit remaja konyol itu sambil mende-
kap kepalanya.
Waktu dia menoleh, Ingkanputri telah berada di

sampingnya dengan sinar mata berapi-api.
"Ah..., eh..., sebaiknya kita segera menyerbu
sarang Perkumpulan Bangau Sakti...," kata Pengemis
Binal sambil tetap mendekap kepalanya. Sedang tan-
gan kiri remaja konyol itu menggaruk-garuk pantat
Melihat Dewi Ikata dan Ingkanputri tetap berdi-
ri terpaku, Suropati jadi bersungut-sungut. Kemudian,
dia berlari cepat meninggalkan dua gadis yang sama
cantik itu.

***

Anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang sedang bertempur melawan anak buah Margana
Kalpa tampak berada di atas angin. Tentu karena me-
reka dibantu Gede Panjalu.
Setiap Gede Panjalu menggerakkan tongkatnya,
paling tidak empat orang lawan akan roboh ke tanah.
Hal itu membuat semangat tempur para pengemis
yang semua bersenjata tongkat semakin menyala-
nyala.
Tampaknya Perkumpulan Bangau Sakti berada
diambang kehancuran. 
Pertempuran antara Margana Kalpa melawan
Banjaranpati yang dibantu oleh Wirogundi berjalan tak
seimbang. Walaupun ilmu kepandaian Banjaranpati
dan Wirogundi sudah demikian tinggi, tapi mereka tak
dapat menyentuh tubuh lawan. Margana Kalpa dilin-
dungi oleh arwah gurunya yang bergelar Dewa Tapak
Hitam.
Buk...!
Punggung Banjaranpati menjadi sasaran ten-
dangan Malaikat Bangau Sakti.
Wirogundi harus menerima sebuah pukulan

yang bersarang di bahu kirinya.
Ketika itulah, sesosok bayangan berkelebat
menghadang gerakan Margana Kalpa.
"Akulah lawanmu, Keparat!"
Malaikat Bangau Sakti mendengus melihat ke-
hadiran Suropati. 
"Tempo hari kau bisa selamat, Bocah Gendeng!
Tapi, jangan harap nyawamu dapat bertahan seka-
rang!"
"Waktu di Bukit Pangalasan pun kau selamat,
Keparat!  Tapi, sekarang Malaikat Kematian benar-
benar akan menjemput mu!" Suropati tak kalah men-
gancam.
Suropati lalu memusatkan seluruh kekuatan
batinnya untuk mengetrapkan ilmu 'Mata Awas' yang
digabung dengan inti sari kekuatan gaib dari Kitab Pe-
nembus Alam Gaib warisan Wajah Merah.
Bayangan Dewa Tapak Hitam segera terlihat
oleh remaja konyol itu. Maka, tanpa mau membuang
waktu dia langsung menerjang! Margana Kalpa terkejut
melihat gerakan Suropati yang tidak tertuju kepada di-
rinya.
"Ah, apakah bocah gendeng itu bisa melihat
arwah Dewa Tapak Hitam, guruku yang melindungi-
ku?" tanya lelaki berwajah pucat itu kepada dirinya
sendiri.
"Segera kau gempur manusia keparat itu, Wi-
ro!" teriak Pengemis Binal sambil mencecar arwah De-
wa Tapak Hitam dengan putaran tongkat yang dilam-
bari kekuatan batin
Mendengar teriakan Suropati yang tampak se-
perti sedang main-main, Wirogundi terpekur sejenak.
Namun setelah otaknya dapat bekerja dengan baik, dia
langsung menerjang Margana Kalpa yang masih berdiri

terpaku.
"Heaaa...!"
Tongkat Wirogundi mengemplang kepala lelaki
berwajah pucat itu. Margana Kalpa tak mau larut den-
gan pikiran di benaknya. Cepat dia meloncat ke samp-
ing menghindari serangan.
Sementara itu, Banjaranpati yang juga sudah
bisa mengatasi luka dalamnya segera ikut menggem-
pur Margana Kalpa.
"Kentut Busuk! Beraninya hanya main ke-
royok!"
"Manusia sepertimu tak patut diberi muka!" te-
riak Wirogundi menyambuti. 
Sebuah tendangan melingkar mengarah ke da-
da Margana Kalpa. Tapi, lelaki berwajah pucat itu be-
rusaha mendahului dengan patukan ke jidat
Tongkat Wirogundi berkelebat ke arah pung-
gung Margana Kalpa. Mau tak mau lelaki berwajah pu-
cat itu menarik pergelangan tangan kanannya. Dengan
begitu gerakan tubuhnya untuk berkelit ke samping
dapat dilakukan dengan leluasa. Tapi....
Dhes...!
Tendangan Banjaranpati berbelok arah dan
menghajar pinggang Malaikat Bangau Sakti.
Tubuh lelaki berwajah pucat itu terhempas ke
tanah. Namun, dia segera meloncat bangkit sambil ber-
teriak memanggil gurunya.
Tentu saja arwah Dewa Tapak Hitam tak mam-
pu berbuat banyak. Dia sendiri sedang menghadapi se-
rangan kekuatan batin yang dilancarkan Suropati.
"Gurrruuu...!" teriak Margana Kalpa lagi. Sua-
ranya membahana ke seantero Bukit Bangau.
"Jangan berteriak macam orang gila, Keparat!"
umpat Wirogundi. Ujung tongkatnya disodokkan ke

dada Margana Kalpa.
Wuuuttt..!
Serangan itu tak mengenai sasaran. Malaikat
Bangau Sakti telah meloncat ke samping. Dengus ke-
ras segera keluar dari mulut lelaki berwajah pucat itu
saat Banjaranpati menghujamkan pukulan ke kepala.
Dengan menjatuhkan diri ke tanah Margana
Kalpa berhasil menghindari serangan. Dia pun meng-
geram seraya melentingkan tubuh ke atas, lalu mem-
peragakan jurus-jurus bangaunya.
Sementara itu, dengan sebuah pukulan yang
dialiri kekuatan batin Pengemis Binal berhasil meng-
hempaskan arwah Dewa Tapak Hitam. Lalu, secepat
kilat dia memutar tongkatnya. Ujungnya yang terpelin-
tir menghujam ke arah Malaikat Bangau Sakti.
Dees...!
Sebuah tangkisan menyelamatkan nyawa lelaki
berwajah pucat itu. Tapi, dia mesti merelakan urat-
urat tangan kirinya. Akibatnya Margana Kalpa hanya
dapat menggerakkan tangan kanan. Keadaan itu
membuatnya semakin terdesak hebat.
Dees...!
Pukulan Banjaranpati bersarang di dada lelaki
berwajah pucat itu. Dalam keadaan masih melayang di
udara, mulutnya menyemburkan darah segar. Sebelum
tubuh luka itu mendarat, Wirogundi telah memapaki.
"Ini untuk Anjarweni!" teriak pemuda bertubuh
kurus itu seraya menggebuk punggung Margana Kal-
pa.
Untuk kedua kalinya tubuh lelaki berwajah pu-
cat itu terlontar. Ingkanputri yang telah tiba di tempat
itu segera menghadiahkan sebuah tendangan.
"Ini untuk Eyang Agaswara!" teriak gadis cantik
itu.. Luncuran telapak kakinya bersarang di dada Ma-

laikat Bangau Sakti.
Kembali tubuh lelaki berwajah pucat itu me-
layang di udara. Kali ini Suropati atau si Pengemis Bi-
nal yang menghadiahkan sebuah sodokan tongkat ke
arah jantung.
"Ini untuk arwah para pengemis!" Tapi, remaja
konyol itu jadi terkejut. Sodokan tongkatnya hanya
mengenai angin kosong.
"Lho, kok hilang...," gumam Suropati kebingun-
gan.
Setelah dia mendongakkan kepala, tahulah dia
kalau seekor bangau raksasa berbulu hitam telah me-
nyambar tubuh Margana Kalpa.
"Ku  sate  tubuhmu, Bangau Usil!" teriak Suro-
pati. Tongkatnya dilemparkan ke arah bangau raksasa.
Wuuuttt...!
Dewi Ikata yang juga telah tiba di tempat itu
meloncat ke atas batang tongkat!
Sebuah pemandangan indah segera terlihat.
Tubuh Dewi Ikata yang berdiri tegak di atas batang
tongkat melesat cepat mengejar bangau raksasa yang
sedang menggondol tubuh tuannya. 
Tapi, pemandangan indah itu tidak berlangsung
lama. Ujung tongkat Suropati telah menembus tubuh
bangau raksasa. Bersamaan dengan itu Dewi Ikata me-
loncat ke udara seraya melancarkan pukulan jarak
jauh. 
Blaaarrr...!
Tubuh Margana Kalpa hancur berkeping-
keping.
Dewi Ikata mendarat di atas bangkai bangau
raksasa yang telah jatuh ke tanah.
"Ikaaaaaa...!" teriak Pengemis Binal kegirangan
Seraya menghambur ke arah gadis itu. Dipeluknya

Dewi Ikata lalu dihadiahkan ciuman mesra.



SELESAI



Bagaimanakah usaha Suropati menolong Raka Maruta
dan si Wajah Merah yang menderita mati suri....

Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
TABIR AIR SAKTI