Pengemis Binal 18 - Tengkorak Kaki Satu(2)







Malam larut terbawa putaran waktu. La-
mat-lamat suara burung hantu dapat ditangkap
telinga Sawung Permadi bagai rintihan iblis nera-
ka. Kakek ini duduk terpekur di lantai papan bera-
las tikar pandan. Ketika terdengar ketukan halus
di daun pintu, segera dia bangkit.
"Masuklah, Gurdi...," ujar Sawung Permadi
setelah tahu orang yang muncul adalah Bantar
Gurdi.
Hati-hati sekali Bantar Gurdi menutup
daun pintu yang dibuka gurunya. Dia seperti tak
mau kehadirannya diketahui murid lainnya.
"Apa yang hendak kau bicarakan, Gurdi?
Dan, kenapa kau meminta waktu untuk bicara
pada tengah malam begini?" tanya Sawung Perma-
di, setelah Bantar Gurdi duduk bersila di hada-
pannya.
"Ternyata, apa yang Guru katakan tadi sore
ada benarnya."
"Maksudmu?"
"Raksa Wijaya...," kata Bantar Gurdi dengan
kepala berpaling ke kiri, seperti sedang memperta-
jam pendengaran.
"Kenapa dengan Raksa Wijaya?" tanya Sa-
wung Permadi. "Sikapmu jadi aneh, Gurdi."
"Raksa Wijaya memang patut dicurigai.
Guru."
"Kau punya alasan kuat?"
"Tadi sore di pringgitan, dia sengaja mengo-
rek keterangan dariku. Dia bertanya tentang ilmu
'Tapak Putih' andalan Guru. Aku menjawab sejauh
yang  ku tahu. Tampaknya dia kecewa. Lalu, dia
bertanya di mana ruang baca pribadi Guru."
"Kau jawab?"
"Ya!  Kujawab apa adanya. Maafkan aku.
Guru. Aku menyadari bahwa sebenarnya itu tidak
boleh. Tapi kusengaja, karena aku telah menyusun
siasat untuk membuka kedoknya."
Wajah Sawung Permadi terlihat menegang.
"Apakah Guru mempunyai kitab yang berisi
ilmu 'Tapak Putih'?" tanya Bantar Gurdi kemu-
dian.
"Apa maksud pertanyaanmu itu, Gurdi?"
"Maaf, Guru. Aku tidak mempunyai maksud
buruk. Hanya aku mempunyai dugaan kalau Rak-
sa Wijaya bermaksud mencuri kitab seperti yang
kusebutkan tadi."
Sawung Permadi mengangguk-angguk.

"Kata-katamu ada benarnya juga, Gurdi.
Karena kau tak dapat memberi keterangan rinci
tentang ilmu 'Tapak Putih', maka Raksa Wijaya
mencari cara lain untuk dapat mengetahui seluk-
beluk ilmu 'Tapak Putih'...," katanya dengan ken-
ing berkerut. "Sejak semula aku sudah tahu bila
pemuda itu sengaja menyembunyikan kepan-
daian."
"Maksud, Guru?"
''Pertemuanmu dengan Raksa Wijaya ke-
mungkinan besar sengaja diatur sedemikian rupa.
Pemuda itu pura-pura bertempur melawan para
perampok, lalu kau datang memberi bantuan. Se-
benarnya dia tidak terdesak. Hanya pura-pura ter-
desak. Setelah dapat berkenalan denganmu, dia
menunjukkan itikad baiknya untuk berguru di
perguruan ini."
"Ya. Mungkin benar demikian...," angguk
Bantar Gurdi. "O ya. Guru tadi belum menjawab
pertanyaanku. Apakah Guru mempunyai kitab
yang berisi ilmu 'Tapak Putih'?"
"Punya. Kitab itu ku susun sendiri. Sepekan
yang lalu, baru selesai setelah memakan waktu
hampir enam bulan."
"Apakah kitab itu Guru simpan di tempat
yang aman?"
"Di rak buku itu."
Bantar Gurdi menatap rak buku yang di-
tunjukkan Sawung Permadi. Ada banyak buku di
situ. Namun sulit menentukan, yang mana Kitab
Ilmu Tapak Putih.
"Besok kita jebak Raksa Wijaya, Guru," ujar

Bantar Gurdi kemudian.
"Caranya?"
"Sebelum matahari terbit, hendaknya Guru
memberitahu para murid bila akan pergi ke suatu
tempat. Dan, baru sore harinya dapat kembali...,"
cetus Bantar Gurdi. "Aku yakin, Raksa Wijaya
akan memanfaatkan kesempatan ini. Dia akan
masuk ke kamar Guru. Dan, dia tak akan me-
nyangka bila Guru masih berada di perguruan ini."
"Gagasan yang bagus," puji Sawung Perma-
di. "Tapi, aku mesti memindahkan Kitab Ilmu Ta-
pak Putih terlebih dahulu."
"Kurasa itu tidak perlu. Guru. Biarkan Rak-
sa Wijaya memegang kitab yang diinginkannya,
agar kita bisa menangkap basah. Kalau tidak de-
mikian, bisa saja dia berkelit. Dia mungkin berala-
san hendak membersihkan kamar Guru ini."
Kembali Sawung Permadi mengangguk-
angguk.

***

Seperti yang telah direncanakan, pagi-pagi
sekali Sawung Permadi berpamitan kepada murid-
muridnya untuk pergi ke suatu tempat. Katanya,
ada urusan yang harus diselesaikan sendiri. Para
murid Perguruan Tapak Putih pun menganggap-
nya sebagai suatu hal yang biasa, walau tahu
bahwa sudah beberapa tahun Sawung Permadi tak
pernah keluar dari perguruan.
"Aku harus dapat memanfaatkan kesempa-
tan ini...," kata batin Raksa Wijaya yang tak tahu

bila kepergian Sawung Permadi adalah siasat un-
tuk membuka kedoknya. "Lelaki tua itu mengata-
kan bahwa kembalinya baru sore hari nanti. Be-
rarti, masih banyak waktu."
Sementara para murid Sawung  Permadi
berlatih di halaman, Raksa Wijaya tampak men-
gendap-endap di dalam perguruan. Di depan ka-
mar Sawung Permadi, langkahnya dihentikan. Di-
tebarkannya pandangan. Ditajamkan pula pen-
dengarannya. Merasa keadaan aman, didorongnya
daun pintu yang tak terkunci.
Perlahan sekali Raksa Wijaya menutup
kembali pintu kamar. Kembali pandangannya me-
nebar. Dan pemuda itu bersorak girang dalam hati
ketika matanya melihat jajaran buku di rak. Satu
persatu dibacanya judul yang tertera pada sampul
buku. Ketika didapatinya Kitab Ilmu Tapak Putih,
senyum puas tersungging di bibirnya.
Namun, betapa terkejutnya Raksa Wijaya,
ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seketika se-
raut wajah tua memandang tajam ke arahnya.
"Guru...," desis Raksa Wijaya, mencoba ber-
sikap wajar.
"Letakkan kitab yang kau pegang, Wijaya!"
bentak lelaki tua yang tak lain Sawung Permadi.
"Ah! Aku tak bermaksud apa-apa. Guru...."
"Jangan memanggilku 'guru'! Kapan aku
mengangkatmu sebagai murid?!"
"Guru, aku hanya bermaksud membersih-
kan kamar ini...," kilah Raksa Wijaya seraya me-
nurunkan kain lap yang terselampir di pundaknya,
"Tak perlu mencari alasan macam-macam!"

bentak Sawung Permadi lagi. "Letakkan kembali
kitab yang kau pegang! Dan, katakana siapa diri-
mu?!"
Mendengar kata-kata keras Sawung Perma-
di, sadarlah Raksa Wijaya bala dirinya telah terje-
bak. Karena tak ada cara lain untuk dapat melo-
loskan diri, diterjangnya Sawung Permadi dengan
nekat! Kaki kanannya yang terjulur siap meluluh-
lantakkan tubuh tua Sawung Permadi.
"Matilah kau, Sapi Tua!"
Sawung Permadi meloncat dari ambang pin-
tu, membuat tendangan Raksa Wijaya hanya men-
genai angin kosong. Sambil memegang erat Kitab
Ilmu Tapak Putih di tangan kiri, pemuda itu mem-
berikan serangan susulan.
Kali ini, Sawung Permadi terkejut. Pukulan
Raksa Wijaya menimbulkan  suara bersiut keras
yang menyakitkan gendang telinga. Segera lelaki
tua ini meloncat jauh ke samping kiri. Namun, be-
gitu kakinya menginjak tanah, tubuh Raksa Wi-
jaya berkelebat cepat hendak melarikan diri.
"Mau lari ke mana kau, Durjana?!" bentak
Sawung Permadi, geram bukan main.
Sawung Permadi memekik seraya meng-
hempos tubuhnya. Kembali kakek itu terkejut. Il-
mu meringankan tubuh pemuda itu ternyata san-
gat hebat. Hanya dalam beberapa kali loncatan sa-
ja, dia telah melewati halaman belakang pergu-
ruan.
"Benar  dugaanku bila pemuda itu sengaja
menyembunyikan kepandaian," batin Sawung
Permadi seraya mengerahkan seluruh kemampuan

untuk dapat mengejar Raksa Wijaya.

4

Raksa Wijaya terkesiap melihat sesosok
bayangan meluncur cepat dari depan dengan se-
buah tendangan  maut. Segera kakinya menjejak
tanah, membuat tubuhnya melenting tinggi. Pe-
muda itu mendengus gusar saat tahu kalau sosok
bayangan itu ternyata Bantar Gurdi.
"Jangan terkejut, Wijaya!" ujar Bantar Gur-
di. "Sudah tidak ada lagi tali persahabatan di anta-
ra kita!"
"Hmm.... Rupanya kau yang mengatur sia-
sat untuk menjebakku...," sahut Raksa Wijaya
dengan geram kemarahan. "Benar yang kau kata-
kan. Sudah tak ada lagi tali persahabatan di anta-
ra kita. Maka dari itu, hari ini aku berniat mem-
bunuhmu!"
"Silakan kalau kau mampu!"
"Jangan menyesal, Bangsat!"
Namun sebelum Raksa Wijaya menerjang
Bantar Gurdi, sesosok bayangan berkelebat hen-
dak menggedor punggungnya. Sigap sekali pemuda
berambut keriting ini berkelit dengan membuang
tubuhnya ke samping. Tapi sinar matanya jadi
nyalang begitu mengetahui kalau si penyerang ter-
nyata Sawung Permadi alias Pendekar Tapak Pu-
tih.
"Kembalikan kitab yang kau bawa itu, Dur-
jana!" bentak Sawung Permadi.

Semakin nyalang pandangan Raksa Wijaya.
Rasa gentar membayang jelas di matanya. Semen-
tara sekitar dua puluh lima murid Perguruan Ta-
pak Putih sudah bergerak mengepung.
"Sawung Permadi ternyata hanya seorang
pengecut. Beraninya hanya main keroyok!" ejek
Raksa Wijaya, menutupi isi hatinya.
Bantar Gurdi maju dua langkah, mendahu-
lui gurunya. 
"Tidak akan ada pengeroyokan, Wijaya.
Akulah yang akan meremukkan kepalamu!"
Di ujung kalimatnya, Bantar Gurdi meng-
hantamkan telapak tangannya ke dada Raksa Wi-
jaya. Sayang, pemuda itu telah meloncat ke samp-
ing kiri dengan tetap memegang erat Kitab Ilmu
Tapak Putih.
Pertempuran sengit segera berlangsung.
Berkali-kali Bantar Gurdi dibuat terkejut oleh se-
rangan-serangan Raksa Wijaya yang amat mema-
tikan. Sungguh tak terduga kalau sahabatnya itu
mempunyai kepandaian sedemikian hebat.     
Sesaat kemudian, tubuh Raksa Wijaya tam-
pak melenting ke atas, Setelah bersalto dua kali di
udara, tubuhnya berputar sambil menyarangkan
tendangan melingkar. 
Wuuutt...! 
"Heh...?!"
Bantar Gurdi terkesiap melihat kecepatan
gerak pemuda bertubuh tinggi-tegap itu. Dengan
menjatuhkan diri ke tanah, tendangan yang men-
garah ke kepalanya bisa dihindari. Tapi ketika
Raksa Wijaya mengirim serangan susulan....

Dukk...!
"Argh...!"
Tubuh Bantar Gurdi melintir ke kiri ketika
tubuhnya terbentur telapak kaki Raksa Wijaya.
Pandangannya jadi berkunang-kunang. Tulang
bahu kirinya terasa hendak remuk. Namun pemu-
da itu malah menggeram marah. Seketika diter-
jangnya kembali walau tahu kepandaiannya kalah
tinggi.
"Minggirlah, Gurdi!" teriak Sawung Permadi,
tak ingin melihat muridnya menderita kekalahan
lebih parah.
Bantar Gurdi meloncat dari ajang pertem-
puran. Sedangkan Raksa Wijaya menatap tajam
sosok Sawung Permadi yang melangkah meng-
hampirinya.
"Kembalikan kitab yang kau bawa itu, Wi-
jaya! Dan, ceritakan siapa dirimu sebenarnya...,"
ujar Sawung Permadi dengan suara lembut,. me-
nutupi amarahnya. "Bila kau turuti kata-kataku,
aku akan membiarkan mu pergi dari tempat ini."
"Kau saja yang pergi dari tempat ini, Sapi
Tua!"
Sawung Permadi mendengus gusar men-
dengar makian Raksa Wijaya itu.
"Rupanya hatimu benar-benar telah tertu-
tup iblis, Wijaya!" balasnya dengan mata berkilat.
Sekitar dua puluh lima murid Perguruan
Tapak Putih turut naik pitam mendengar kata-
kata Raksa Wijaya. Namun karena tak mendapat
perintah menyerang dari Sawung Permadi, mereka
hanya berdiri di tempat masing-masing. Sementa-

ra, Raksa Wijaya dan Sawung Permadi yang berdiri
berhadapan tampak saling tatap dengan kuda-
kuda kokoh.
"Heaaa...!"
Tubuh Raksa Wijaya meluncur cepat den-
gan kaki kanan mengarah dada Sawung Permadi.
Namun, tenang saja kakek itu  mengegos ke kiri.
Lalu, tangan kanannya menghantam tulang kering
kaki si pemuda.
Tak!
"Horeee...!"
Seluruh murid Perguruan Tapak Putih ber-
sorak gembira melihat guru mereka berhasil men-
jatuhkan lawan hanya dalam satu gebrakan. Rak-
sa Wijaya tampak terduduk di tanah sambil me-
ringis kesakitan.
Tak mau dipecundangi untuk kedua ka-
linya, segera si pemuda mengalirkan seluruh ke-
kuatan tenaga dalam ke pergelangan tangan ka-
nan. Sementara Sawung Permadi tersenyum tipis
melihat Raksa Wijaya bangkit seraya menghentak-
kan telapak tangan kanan ke depan!
Wuusss...!
Tanpa merubah kedudukan tubuhnya, Sa-
wung Permadi mengibaskan ujung lengan jubah-
nya. Seketika timbul tiupan angin dahsyat mema-
pak selarik sinar hijau yang meluncur dari telapak
tangan si pemuda.
Splassshhh!
Sinar itu jadi melenceng arahnya membuat
beberapa murid Sawung Permadi berloncatan. Ka-
rena, sinar hijau itu menuju ke arah mereka!

Blarrr...!
Karena gerakan murid-murid Perguruan
Tapak Putih cukup cepat, maka ancaman maut itu
hanya menghantam tempat kosong. Suara  meng-
gelegar terdengar ketika sinar hijau itu terus me-
luncur dan menghantam sebatang pohon besar.
Seluruh murid Sawung Permadi terperangah dan
berdecak kagum melihat pohon sebesar dua rang-
kulan manusia dewasa itu hancur-berantakan,
menjadi serpihan kecil yang beterbangan ditiup
angin.
"Hebat..., hebat...," sindir Sawung Permadi.
"Walau umurmu belum seberapa, tak ada gunanya
kau mencuri Kitab Ilmu Tapak Putih. Karena, il-
mumu sendiri sudah cukup hebat. Atau barangka-
li kau diperalat orang, Wijaya?"
"Tak perlu mengumbar kata, Sapi Tua!"
hardik Raksa Wijaya. "Biarkan aku pergi agar kau
tak menyesal melihat aku menjatuhkan tangan
maut!"
"Aku akan membiarkan kau pergi, asal kau
tinggalkan kitab yang ada di tangan kirimu itu."
"Baik! Terimalah ini!"
Raksa Wijaya maju empat langkah. Tapi
bukan kitab yang diberikannya, melainkan sebuah
tendangan yang tertuju ke rusuk kiri Sawung Per-
madi!
Wuuttt...!
"Durjana! Rupanya kau benar-benar me-
maksaku!" ujar Sawung Permadi sambil menghin-
dari tendangan.
Pertempuran seru sudah tak dapat dihinda-

ri lagi. Raksa Wijaya menyerang ganas dengan pu-
kulan dan tendangan mematikan. Tangan kanan-
nya yang dialiri tenaga dalam penuh tampak beru-
bah hijau. Ketika tangan itu mengibas, timbul sua-
ra gemuruh keras.
Semua mata memandang pertarungan den-
gan perasaan menggiris. Tapi Sawung Permadi
yang sudah kenyang makan asam garam rimba
persilatan masih dapat menyungging senyum di
bibir. Kedua tangannya pun berubah putih seperti
dilumuri kapur. Suara gemuruh juga timbul, apa-
bila tangannya bergerak.
"Hmmm.... Kiranya Sawung Permadi telah
mengeluarkan ilmu Tapak Putih'-nya...," kata batin
Raksa Wijaya sambil terus memberi perlawanan.
Raksa Wijaya terkejut ketika tiba-tiba tan-
gan Sawung Permadi menimbulkan bayang-bayang
putih. Saat itu juga, tangan kanan itu seperti ber-
tambah jumlah.
"Wajahmu pucat, Wijaya. Agaknya kau mu-
lai merasa ngeri," ejek Sawung Permadi. "Jangan
nekat! Serahkan kitab di tangan kirimu itu!"
Raksa Wijaya tak mempedulikan kata-kata
Sawung Permadi, kendati sudah merasa kewala-
han. Malah diserangnya kakek itu lebih ganas.
Namun, apa yang diharapkannya tak juga kesam-
paian. Sawung Permadi tetap berada di atas angin.
Hingga pada suatu kesempatan....
Desss...! 
"Argh...!"
Raksa Wijaya memekik. Tubuhnya terlem-
par tiga tombak ketika pukulan Sawung Permadi

bersarang telak di bahu kirinya. Kitab Ilmu Tapak
Putih kontan melayang tinggi di udara.
Bantar Gurdi yang menyaksikan kejadian
itu segera meloncat. Disambarnya kitab yang ditu-
lis oleh gurunya.
"Kusimpan dulu kitab ini di tempat yang
aman. Guru!" teriak Bantar Gurdi seraya berlari ke
perguruan.
Sawung Permadi tak sempat menyahuti ka-
ta-kata muridnya, karena Raksa Wijaya sudah
kembali menyerang dengan pukulan jarak jauh.
Kakek itu segera meloncat menghindar. 
Melihat kesempatan, Raksa Wijaya segera
menyusul Bantar Gurdi.
Tanpa mempedulikan tulang bahunya yang
remuk, Raksa Wijaya menggembor keras ketika
melihat dua murid Sawung Permadi mencoba
menghadang.
"Mati kau...!" pekik pemuda itu seraya
menghentakkan tangan kanannya.
Dess...! 
"Aaa...!"
Jerit kematian terdengar menyayat hati
tatkala pukulan jarak jauh Raksa Wijaya mengenai
sasaran. Melihat temannya mati dengan tubuh
membiru, pemuda yang menghadang lari Raksa
Wijaya terkejut dengan mata melotot. Namun pe-
muda itu pun tak dapat menghirup udara segar
lagi, karena....
Prak! 
"Aaa...!"
Tendangan Raksa Wijaya  telah membuat

pecah kepala orang yang menghadang.
Sementara, Raksa Wijaya sendiri tak dapat
melanjutkan maksudnya untuk mengejar Bantar
Gurdi yang membawa Kitab Ilmu Tapak Putih, ka-
rena Sawung Permadi telah berdiri tegak empat
tombak di hadapannya.
"Katakan siapa dirimu! Dan, apa maksud-
mu mencuri Kitab Ilmu Tapak Putih!" bentak Sa-
wung Permadi. 
"Kau tak perlu tahu! Biarkan aku lewat, Sa-
pi Tua!"
Usai berkata, Raksa Wijaya melenting tinggi
ke udara. Kakinya  terjulur hendak mendaratkan
tendangan ke dada Sawung Permadi. Namun, si-
gap sekali kakek itu mengegos ke samping. Dan
seketika tubuhnya memutar sambil menggedor
punggung Raksa Wijaya
Desss...!
"Argh...!"
Untuk kedua kalinya Raksa Wijaya meme-
kik kesakitan.  Tubuhnya kontan terjerembab ke
tanah. Susah payah dia bangkit. Kakinya goyah
seperti tanpa tenaga lagi. Darah segar mengalir da-
ri sudut bibir dan lubang hidungnya.
"Jangan nekat, Wijaya!" sergah Sawung
Permadi yang melihat Raksa Wijaya hendak me-
nerjang lagi. 
"Kita mati bersama-sama, Sapi Tua!" Den-
gan teriakan keras pemuda ini menghantamkan
pukulan ke dada Sawung Permadi. Namun gera-
kannya  tetap terlihat lemah, sehingga mudah se-
kali dapat dihindari kakek itu. Raksa Wijaya yang

sudah gelap mata menjadi semakin nekat. Dis-
erangnya Sawung Permadi tanpa mempedulikan
luka dalamnya.
"Pemuda nekat macam kau memang tak bi-
sa dikasih hati lagi, Wijaya!" ujar Sawung Permadi.
"Terimalah pukulan 'Tapak Putih' ini!"
Begitu selesai kata-katanya, tubuh Sawung
Permadi melayang ke udara. Kedua kakinya mene-
kuk seperti orang berlutut. Sementara tangan ki-
rinya merapat di dada. Sedangkan tangan kanan-
nya terjulur lurus ke depan. Gerakan itu dilaku-
kan amat cepat, sehingga Raksa Wijaya tak me-
nyadari adanya bahaya yang sedang mengancam
jiwanya! Dan.... 
Desss...! 
"Aaa...!"
Telapak tangan kanan Sawung Permadi te-
pat membentur dada Raksa Wijaya. Pemuda itu
pun memekik keras. Tubuhnya jatuh telentang.
Kain bajunya yang terbakar memperlihatkan da-
danya yang terdapat tanda putih menyerupai tela-
pak tangan.
"Hei?!"
Seluruh murid Sawung Permadi terkejut
luar biasa ketika tiba-tiba tubuh Raksa Wijaya be-
rubah menjadi serbuk putih yang segera terbang
tertiup angin.
Tanpa mempedulikan murid-muridnya yang
tengah tertegun, Sawung Permadi berlari masuk ke
perguruan. Dikitarinya seluruh ruangan. Tapi, so-
sok Bantar Gurdi tak dapat ditemukannya.
"Hmmm.... Mungkin pemuda itu ada di da-

lam kamarku...," pikir Sawung Permadi. "Dia tentu
sedang mengamankan Kitab Ilmu Tapak Putih."
Segera Sawung Permadi masuk ke kamar-
nya. Tapi, sosok Bantar Gurdi tetap tak ditemu-
kannya.
"Mungkinkah dia melarikan kitab yang baru
ku susun itu?" tanya Sawung Permadi kepada diri
sendiri. "Ah! Kukira tidak. Aku tahu tabiat Bantar
Gurdi. Dia tak mungkin mengkhianatiku...."
Sawung Permadi tercenung sejenak. Ketika
matanya melihat rak buku, cepat dicarinya Kitab
Ilmu Tapak Putih di tempat itu. Tapi, hanya keke-
cewaan yang ditemukan Sawung Permadi.
Bergegas lelaki tua ini keluar perguruan.
Seluruh muridnya segera dikumpulkan. Tapi, tak
ada satu pun yang tahu, ke mana perginya Bantar
Gurdi.
"Hmmm.... Kalau ternyata Bantar Gurdi
mengkhianatiku, alangkah bodohnya aku ini...,"
sesal Sawung Permadi.
Kakek itu lalu memerintahkan seluruh mu-
ridnya untuk mencari Bantar Gurdi yang memba-
wa Kitab Ilmu Tapak Putih.
"Cari dia sampai dapat. Seret ke hadapan-
ku!" ujar Sawung Permadi dengan suara geram.
"Sebelum kalian berangkat, kubur mayat-mayat
itu."

***

Kedatangan Suropati dan Intan Melati di
Perguruan Tapak Putih hanya disambut kesu-

nyian. Mereka mengitari bangunan perguruan,
namun tetap disambut sunyi. Tak satu pun manu-
sia dijumpai.
"Kau yakin Sawung Permadi paman guru
ayahmu itu tinggal di tempat ini, Intan?" tanya Su-
ropati dalam keheranannya.
"Ya. Beliau tinggal di dekat Hutan Kalirang.
Bukankah kita telah berada di tempat yang be-
nar?" tukas Intan Melati. "Menurut ayah dan ibu-
ku, Eyang Sawung Permadi telah mendirikan Per-
guruan Tapak Putih sekitar lima belas tahun yang
lalu. Walau perguruan ini tak ada papan namanya,
tapi aku yakin inilah tempatnya."
"Tapi, kenapa tak seorang pun kita jumpai?" 
"Aku juga heran. Mungkinkah mereka pin-
dah tempat?" Intan Melati memberikan dugaan.
Pengemis Binal diam. Diperhatikannya be-
kas-bekas telapak kaki di halaman belakang.
"Tempat ini baru saja digunakan untuk ber-
latih silat..," katanya.
"Sebaiknya kita masuk ke perguruan, Suro,"
cetus Intan Melati. "Barangkali di dalam ada orang
yang bisa memberi keterangan."
Ganti Pengemis Binal yang mengekor lang-
kah Intan Melati. Namun bam menginjak teras.
"Jangan lancang masuk ke tempat  orang
tanpa ijin!"
Sebuah teriakan yang berasal dari mulut
seseorang, membuat kedua anak muda ini terke-
jut. Mereka langsung berbalik. Dan tahu-tahu di
halaman telah berdiri seorang lelaki tua berjubah
putih. Sorot matanya tajam menyelidik, namun

raut wajahnya membersitkan sifat welas asih.
Suropati dan Intan Melati menatap kakek
berjubah tanpa berkedip. Mereka lalu bergerak
mendekati.
"Benarkah ini Perguruan Tapak Putih, Kek?"
tanya Pengemis Binal.
"Kenapa?" selidik kakek berjubah putih.
"Aku mengantar temanku ini untuk mencari
paman guru ayahnya yang bernama Sawung Per-
madi."
Si kakek mengalihkan pandangan ke sosok
Intan Melati.
"Siapa nama ayahmu. Dan, kau berasal dari
mana?"
"Ayahku bernama Rama Ludira alias Pende-
kar Hati Putih. Aku datang dari Pulau Karang."
Mendengar jawaban itu, kakek berjubah pu-
tih mengerutkan kening.
"Siapa namamu?" tanyanya lagi. 
"Intan Melati."
"Intan Melati?" desis si kakek. "Rupanya
kau tak salah datang ke sini, Intan. Akulah orang
yang kau cari."
"Eyang!" pekik Intan Melati seraya berham-
bur memeluk si kakek yang memang Sawung Per-
madi.
"Maafkan aku, Intan...," desah Sawung
Permadi sambil merenggangkan pelukan Intan Me-
lati. "Aku bersikap tak ramah padamu. Karena,
aku tak mengenalimu lagi. Usiamu baru dua tahu,
ketika aku pergi ke Hutan Kalirang ini. Dan lagi,
Intan. Aku sedang menghadapi masalah besar, se-

hingga membuatku selalu merasa curiga."
Sawung Permadi merasakan dadanya ba-
sah. Rupanya air mata Intan Melati telah mengalir
deras. Kakek itu lantas mengajak kedua tamunya
masuk ke perguruan.
"Kenapa kau menangis, Intan?" tanya Sa-
wung Permadi, setelah berada di dalam ruangan.
"Perguruan Hati Putih telah hancur,
Eyang...," papar Intan Melati sambil menahan isa-
kan tangis.
Memerah wajah Sawung Permadi menden-
gar berita itu.
"Benar apa yang kau katakan, Intan?" ta-
nyanya seperti tak percaya.
"Benar, Eyang. Bahkan, Eyang Saka Perma-
di dan Ibunda Nawangsih telah meninggal...."
Intan Melati lalu menceritakan apa yang ter-
jadi di Pulau Karang. Gadis itu menutup ceritanya
dengan sebuah permintaan.
"Mohon Eyang Sawung Permadi sudi mem-
bantu Intan Melati membalas kebiadaban Tengko-
rak Kaki Satu."
"Tentu saja, Intan. Aku pun merasa kehi-
langan...," sambut Sawung Permadi. Kesedihan je-
las membayang di matanya. 
"Apakah kau mengenal orang yang bergelar
Tengkorak Kaki Satu itu, Kek?" tanya Pengemis
Binal.
Sawung Permadi menggeleng. Lalu, ditatap-
nya lekat-lekat wajah remaja tampan di hadapan-
nya.
"Kau belum memperkenalkan dirimu, Anak

Muda. Menilik pakaianmu yang penuh tambalan
dan tongkat yang kau bawa, apakah kau anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti?"
"Benar dugaanmu, Kek...," sahut Pengemis
Binal. "Aku yang bodoh bernama Suropati."
Terkejut Sawung Permadi mendengar uca-
pan Suropati.
"Kau Suropati yang bergelar Pengemis Binal
itu? Kau Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti?" sentaknya penuh keterkejutan, sekali-
gus merasa kagum.
Pengemis Binal mengangguk lemah.
"Tak kusangka bila pendekar besar itu ter-
nyata masih belum seberapa umurnya. Tapi, kebe-
tulan sekali kau datang ke sini, Suro...," desah
Sawung Permadi. 
"Suropati telah menyatakan kesediaannya
untuk turut menumpas Tengkorak Kaki Satu,
Eyang," sela Intan Melati yang sudah bisa men-
gendalikan tangisnya.
"Hmmm.... ya! Tapi, ada satu masalah lagi
yang membutuhkan uluran tanganmu, Suro."
"Masalah apa itu, Kek?"
"Kau tentu telah melihat bekas-bekas per-
tempuran di luar perguruan...."
Sawung Permadi lalu menceritakan perihal
hilangnya Kitab Ilmu Tapak Putih.
"Seluruh muridku telah kusebar. Bahkan,
aku sendiri turut mencari. Tapi, Bantar Gurdi mu-
rid murtad itu tak dapat kutemukan."
"Apakah Kakek dapat mengemukakan ala-
san, mengapa Bantar Gurdi melarikan Kitab Ilmu

Tapak Putih?"
"Aku tidak tahu...," sahut Sawung Permadi
mendesah. Matanya menerawang. "Tapi, kemung-
kinan besar hal ini bermula dari datangnya Raksa
Wijaya...."
"Siapa dia, Eyang?" tanya Intan Melati.
"Dia adalah sahabat Bantar Gurdi yang di-
ajak ke perguruan ini agar aku bersedia mengang-
katnya sebagai murid. Aku menerima kehadiran
pemuda itu. Tapi, tidak sebagai murid. Dia kua-
nggap sebagai pelayan biasa yang tugasnya men-
cari air dan menjaga kebersihan perguruan. Ban-
tar Gurdi tampaknya suka sekali pada pemuda itu.
Sehingga, dia kerap membujukku agar aku berse-
dia menurunkan ilmu kesaktian pada Raksa Wi-
jaya. Namun, aku tetap pada pendirianku semula.
Karena, aku mempunyai firasat kalau Raksa Wi-
jaya adalah setitik api yang sanggup mengundang
api besar untuk membakar perguruan ini. Hanya
sayangnya, aku tak bisa mengusir pemuda itu,
mengingat kebaktian dan kesetiaan Bantar Gurdi
selama sepuluh tahun, menjadi muridku."
"Dan, ternyata Bantar Gurdi telah
mengkhianati Kakek...," sambung Pengemis Binal.
"Sampai akhirnya, Bantar Gurdi turut men-
curigai Raksa Wijaya. Dia lalu menyusun rencana
untuk menjebak pemuda itu," lanjut Sawung Per-
madi seperti tak memperhatikan ucapan Pengemis
Binal. "Tadi pagi, aku memergoki Raksa Wijaya
hendak mencuri kitab Ilmu Tapak Putih. Ketika
aku bertempur dengan pemuda itu, kitab yang di-
bawanya terlepas dari pegangan. Bantar Gurgi lan-

tas menyambarnya. Dia mengatakan hendak me-
nyimpan di tempat aman. Tapi..., nyatanya malah
melarikan kitab itu."
"Aku akan membantumu, Kek. Hanya
sayang, aku tak dapat meminta bantuan anak bu-
ahku untuk turut mencari Bantar Gurdi. Karena,
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ja-
rang yang berada di sekitar sini," jelas Suropati.
"Apakah ada kemungkinan Kitab Ilmu Ta-
pak Putih berhubungan dengan Tengkorak Kaki
Satu?" tanya Intan Melati, menyatakan gagasan-
nya.
"Bantar Gurdi adalah pemuda baik. Tak
mungkin punya hubungan dengan tokoh sesat
itu," tukas Sawung Permadi.
"Nyatanya, bukankah dia telah berkhianat?"
Mendengar ucapan Intan Melati, Sawung Permadi
terdiam. Ditariknya napas panjang, lalu dihem-
buskan deras-deras.
"Kenapa semua ini mesti terjadi...," desah-
nya.
"Perguruan Hati Putih telah hancur. Saka
Permadi kakakku telah meninggal. Nawangsih....
Dan, kasihan sekali Rama Ludira...."
Orang tua itu merenung dengan air muka
keruh. Berat sekali beban yang dipikulnya kini.
"Tidak ada gunanya menyesali sesuatu yang
telah terjadi," gumam Pengemis Binal.
"Benar!" sambut Intan Melati cepat. Semen-
tara, kening Sawung Permadi berkerut. Dia tahu
gumaman Pengemis Binal ditujukan kepadanya.
Tapi, dia pun segera mengakui kebenaran ucapan

remaja konyol itu.
"Kau benar, Suro," ujar Sawung Permadi
kemudian.

5

Langkah kaki Bantar Gurdi telah jauh me-
ninggalkan Hutan Kalirang. Jauh pula meninggal-
kan Perguruan Tapak Putih. Udara sejuk sore hari,
bertolak-belakang dengan suasana hati pemuda ini
yang galau, kalut, bercampur bingung. Berkali-kali
dirabanya Kitab Ilmu Tapak Putih yang berada di
lipatan bajunya.
"Maafkan aku. Guru...," desah pemuda ber-
pakaian serba putih itu. "Aku telah membuat Guru
kecewa. Tapi, aku melakukannya hanya karena
terpaksa. Keadaanlah yang membuatku berbuat
seperti ini.... Aku terpaksa sekali...."
Dengan langkah gontai, Bantar Gurdi berja-
lan menuju Lembah Batuliman. Disusurinya aliran
sungai yang menuju ke lembah penuh bebatuan
itu. Sinar mentari terhalang kerimbunan pohon
membuat suasana terlihat remang menghampar di
depan mata pemuda itu.
Tengah si pemuda melangkah, mendadak.... 
"Heh...?!"
Dari atas pohon tiba-tiba terdengar suara
bersiut, yang disusul meluncurnya dua tubuh ma-
nusia. Bantar Gurdi terkesiap. Ditatapnya dua le-
laki berpakaian hitam ringkas yang telah berdiri di
hadapannya.

"Kenapa kau datang, Gurdi?" selidik lelaki
yang berdiri di sebelah kiri. Kepalanya plontos
tanpa rambut sehelai pun.
"Katakan kepada tuanmu kalau aku datang
hendak menyerahkan Kitab Ilmu Tapak Putih," ja-
wab Bantar Gurdi, mencoba bersikap tenang. Dia
tahu, dua lelaki penghadangnya adalah begundal-
begundal Tengkorak Kaki Satu.
"Secepat ini?" tukas lelaki yang di kanan,
seperti tak percaya. Berbeda dengan temannya,
orang ini berambut panjang yang dibiarkan terge-
rai di punggung.
"Tak perlu heran! Aku tak ingin Nawangsih
terlalu lama dalam cengkeraman Tengkorak Kaki
Satu!" tandas Bantar Gurdi. Suaranya berat dan
seperti menyimpan kemarahan.
"Tak mudah untuk menemui Ketua kami,
Gurdi!" bentak lelaki berkepala plontos.
"Kalau aku membawa ini, masihkah kalian
berani menghalangiku?!" tukas Bantar Gurdi se-
raya mengeluarkan kitab bersampul putih dari li-
patan bajunya.
Mata dua anak buah Tengkorak Kaki Satu
itu  kontan melotot, berusaha membaca tulisan
yang tertera pada sampul kitab di tangan Bantar
Gurdi. Karena berdiri di tempat remang-remang,
mereka jadi kesulitan.
"Ini adalah Kitab Ilmu Tapak Putih," jelas
Bantar Gurdi, tanpa diminta.
Tapi, tampaknya dua anak buah Tengkorak
Kaki Satu tak mau percaya begitu saja.
"Biar kuperiksa dulu kitab itu!" pinta lelaki

gondrong, membentak.
Bantar Gurdi maju dua langkah. Lalu kitab
di tangannya disorongkan ke depan mata lelaki
gondrong. "Baca baik-baik!" ujarnya
Tak diduga, rupanya lelaki gondrong beru-
sia sekitar empat puluh tahun itu tersinggung
mendapat perlakuan demikian. Tanpa berkata
apa-apa, ditonjoknya perut Bantar Gurdi.
"Uts..!"
Dugh!
Murid utama Sawung Permadi meloncat ke
belakang, tapi tak urung tetap tertonjok juga. Me-
rah padam wajah pemuda itu jadinya.
"Orang-orang Tengkorak Kaki Satu memang
sangat menyebalkan!" geramnya. Lalu, diterjang-
nya lelaki gondrong yang menyerangnya.
"Tahan...!"
Terdengar suara keras menggelegar, mem-
buat gerakan Bantar Gurdi kontan terhenti. Segera
pemuda itu menebar pandangan. Ketika tahu di
bawah pohon besar berdiri sosok manusia berwu-
jud mengerikan, dia mendengus.
"Aku datang untuk menebus Nawangsari!"
kata Bantar Gurdi, setengah membentak.
Sosok manusia yang berdiri di bawah pohon
tertawa bergelak. Wajahnya yang hampir tak ber-
kulit tersamar oleh keremangan. Tapi, justru itu
yang mengundang rasa ngeri. Tubuhnya yang ku-
rus tinggi terbalut jubah warna hitam. Kaki kirinya
yang tanggal sampai pangkal paha, ditopang seba-
tang tongkat. Melihat wujud orang ini, dapat di-
pastikan kalau dia adalah Tengkorak Kaki Satu.

"Kau datang untuk menebus Nawangsari
kekasihmu itu, Gurdi?" ujar Tengkorak Kaki Satu
disertai tawa panjang. "Berani benar kau, Gurdi?!
Apakah kau sudah tahu kelemahan ilmu Sawung
Permadi?"
"Itu aku tak tahu. Tapi, kedatanganku ke
sini dengan membawa Kitab Ilmu Tapak Putih."
Mendengar ucapan Bantar Gurdi, Tengko-
rak Kaki Satu tertawa bergelak lagi.
"Serahkan kitab itu, baru kau dapat mene-
mui Nawangsari!"
"Aku tidak bodoh! Tunjukkan dulu Nawang-
sari. Bila dia dalam keadaan tak kurang suatu
apa, kau boleh memiliki kitab yang kubawa ini."
"Hmm.... Rupanya kau pemuda berani,
Gurdi. Tapi, tahukah kau kalau aku dapat dengan
mudah membunuhmu? Dua lelaki di belakangmu
itu saja sudah cukup mampu memenggal kepala-
mu...," gertak Tengkorak Kaki Satu. "Maka kalau
mau, aku bisa merampas kitab yang ada di tan-
ganmu, sekaligus mencabut nyawamu. Tapi, aku
masih mau berbaik hati padamu. Serahkan kitab
itu. Dan kau dapat menemui Nawangsari sekarang
juga."
Bantar Gurdi tampak berpikir. Merasa di-
rinya dalam keadaan tak menguntungkan, akhir-
nya diturutinya perintah Tengkorak Kaki Satu.
"Terimalah!" ujar Bantar Gurdi seraya me-
lemparkan Kitab Ilmu Tapak Putih.
Tengkorak Kaki Satu menyambar kitab itu
diiringi tawa meledak-ledak. Setelah membaca tu-
lisan di sampul kitab dan meneliti beberapa hala-

man depan, dia dapat memastikan kalau Bantar
Gurdi tidak menipu.
"Ada gua di utara Lembah Batuliman ini.
Kau bisa menjemput Nawangsari di sana!" ujar
Tengkorak Kaki Satu kemudian.
"Aku bisa memegang kata-katamu?" tukas
Bantar Gurdi, menyatakan kesangsiannya.
"Terserah kau! Yang jelas, aku masih mau
berbaik hati padamu!"
Bantar Gurdi mendengus dengan hati pa-
nas. Darahnya mendidih, tapi tak bisa berbuat
apa-apa. Disadari betul, dia tak akan mampu me-
lawan Tengkorak Kaki Satu. Memang lebih baik
mengikuti kata-kata tokoh ini. Barangkali saja
Nawangsari berada di dalam gua yang ditunjukkan
manusia berjiwa iblis itu.
Namun baru saja Bantar Gurdi melangkah
tiga tindak, Tengkorak Kaki Satu mencegahnya.
'Tunggu dulu!" 
Mendengar kata itu, Bantar Gurdi terkesiap.
Perasaan waswas membayang di matanya. Apakah
Tengkorak Kaki Satu akan berbuat licik? Namun,
kekhawatirannya ternyata tak beralasan, ketika....
"Apakah Raksa Wijaya masih berada di Per-
guruan Tapak Putih?"
"Tidak!" jawab Bantar Gurdi, tegas.
Tengkorak Kaki Satu terdengar mendengus.
"Kau tahu dia di mana?"
"Di neraka!"
"Heh?!"
Terkejut Tengkorak Kaki Satu mendengar
jawaban Bantar Gurdi.

"Hmm.... Siapa yang membunuhnya?" ta-
nyanya seperti menyesali apa yang telah terjadi.
"Apakah pemuda itu salah satu anak
buahmu?" Bantar Gurdi balik bertanya.
"Ya! Dia telik sandi  ku. Karena kerjanya
lambat, maka aku memperalat mu...," jelas Teng-
korak Kaki Satu. "Apakah dia kepergok Sawung
Permadi? Dan kemudian, keparat itu membunuh-
nya?"
"Tepat! Tubuh Raksa Wijaya hancur-luluh
menjadi debu terkena pukulan 'Tapak Putih' guru-
ku!"
Usai berkata, Bantar Gurdi melanjutkan
langkahnya kembali. Dan, Tengkorak Kaki Satu
hanya memandangi punggung pemuda itu. Begitu
sosok pemuda itu lenyap dari pandangan, tong-
katnya digedrukkan ke tanah. Maka seketika tu-
buhnya melayang tinggi, lalu menghilang di balik
rimbunan daun.
Lelaki berkepala plontos dan temannya yang
berambut gondrong tampak saling pandang. Lalu,
mereka tertawa bergelak-gelak....

***

Gua di utara Lembah Batuliman....
Empat lelaki tampak berdiri merapat ke
dinding. Wajah mereka kasar-bengis, dan sama-
sama mengenakan pakaian serba hitam. Mereka
diam tak berkata apa-apa, tapi kelihatannya se-
dang menajamkan pendengaran.
"Auuww...!"

Saat terdengar jeritan seorang wanita dari
dalam gua, mereka tertawa bergelak. Tapi, tawa itu
segera terhenti ketika lelaki berkumis tebal ber-
sungut-sungut
"Uh! Lama benar si Kebo Ireng. Aku benar-
benar sudah tak tahan!" 
"Bersabarlah, Jalak Sewu...," ujar lelaki
yang memakai anting di telinga kiri. "Bukankah se-
telah ini, kau yang mendapat giliran?" 
"Ya! Tapi dia sudah kelewatan, Mahesa Ki-
rik! Aku bisa pingsan karena menahan hasrat!"
dengus lelaki berkumis tebal yang dipanggil Jalak
Sewu.
Mendengar kalimat itu, lelaki beranting
yang bernama Mahesa Kirik dan dua temannya
tertawa terbahak-bahak.
"Gila!" rutuk Jalak Sewu.
Sementara itu, di dalam ruangan gua, seo-
rang gadis tampak duduk meringkuk di dinding
gua yang penuh tonjolan batu. Seorang lelaki ber-
badan kekar tengah menjambak rambutnya untuk
memaksanya berdiri.
"Kau turuti permintaanku atau ku bentur-
kan kepalamu hingga pecah?!" bentak lelaki kekar
yang bernama Kebo Ireng. Tangannya semakin
kuat mencengkeram rambut si gadis.
"Bangsat!" umpat gadis berparas cantik itu.
"Kalau kau mau membunuh, bunuhlah sekarang!"
Kebo Ireng menggeram. Tangan kanannya
menghentak.
Duk!
"Aaak!"

Si gadis menjerit nyaring, karena kepalanya
dibenturkan ke dinding gua. Bahkan tanpa berka-
ta apa-apa lagi, lelaki kekar menampar si gadis
hingga jatuh tertelungkup. 
Bret..!
Sekali sambar, kain baju si gadis robek le-
bar, membuat jakun lelaki kekar itu kontan naik
turun karena menelan ludah berkali-kali. Matanya
melotot lebar, melihat kulit punggung si gadis yang
halus mulus. Karena tak dapat mengendalikan
hawa nafsunya, Kebo Ireng menerkam. Namun, si
gadis cepat beringsut ke kiri, membuat terkaman
itu hanya mengenai tempat kosong. Bahkan jidat
lelaki kekar itu membentur lantai gua yang berba-
tu-batu! 
"Keparat...!" geram Kebo Ireng. Maksud hati
si gadis untuk melarikan diri tak tersampaikan ka-
rena Kebo Ireng berhasil memegangi kain bagian
bawahnya. Namun....
"Hih...!" 
Dugh...!
"Aaakh...!"        
Sekali lagi lelaki kekar yang telah diselimuti
nafsu itu mengaduh kesakitan. Kepalanya kena
tendangan yang dilepaskan si gadis. 
Sambil memegangi bagian kepalanya yang
sakit, Kebo Ireng menghunus golok yang terselip di
pinggangnya. Namun, gadis berparas ayu ini bu-
kannya takut, malah dadanya dibusungkan. 
"Mau bunuh? Bunuhlah! Lebih baik mati
daripada jadi korban kebejatan lelaki!" sentak si
gadis.

"Hmm.... Rupanya kau benar-benar perem-
puan yang tak takut mati. Baiklah, ku turuti per-
mintaanmu!" desis Kebo Ireng.
Di ujung kalimatnya, lelaki kekar berpa-
kaian serba hitam itu menyabet goloknya. Mata si
gadis kontan terpejam. Hatinya sudah pasrah un-
tuk menerima kematian. Tapi....
Wekkk...!
Golok Kebo Ireng hanya merobek baju gadis
berparas cantik yang masih memejamkan ma-
tanya. Dia belum menyadari kalau bagian tubuh-
nya yang terlarang telah terbuka. Sementara lelaki
kekar yang melihat pemandangan menggiurkan di
depannya tanpa sadar membuang goloknya. Lalu,
diterkamnya si gadis dengan penuh nafsu!
"Ough...! Jangan...!" teriak si gadis di antara
ciuman Kebo Ireng.
Lelaki kekar yang sudah lupa diri itu segera
menjatuhkan tubuh si gadis ke lantai gua. Namun
sebelum sempat menggumulinya, terdengar suara
ribut dari mulut gua. Maka dengan kesal dihem-
paskannya tubuh si gadis.
"Pasti Tengkorak Kaki Satu yang datang,"
pikirnya. "Jangan-jangan perbuatanku mengun-
dang amarahnya. Hiii...! Aku tak mau mati ko-
nyol!"
Kebo Ireng segera meninggalkan si gadis
yang masih tergeletak di lantai gua. Begitu tiba di
luar, dia menggeram marah, ketika tahu orang
yang datang bukan Tengkorak Kaki Satu. Melain-
kan, seorang pemuda berpakaian serba putih yang
tak lain dari Bantar Gurdi.

"Hei! Kenapa kalian tidak segera membe-
reskan pemuda itu?! Kedatangannya mengganggu
keasyikanku saja!" bentak Kebo Ireng kepada em-
pat temannya yang tengah bersitegang dengan
Bantar Gurdi.
"Kau bicara hanya menyebar bau jengkol
saja, Monyet! Kalau pemuda ini tidak punya ke-
pandaian, dia tentu sudah mati dari tadi!" bentak
Mahesa Kirik yang telah menghunus golok.
"Sebenarnya aku kemari tidak untuk mem-
buat permusuhan dengan kalian. Aku hanya ber-
maksud menjemput Nawangsari, kekasihku!" ser-
gah Bantar Gurdi.
"Kau bisa membawa Nawangsari. Tapi, sete-
lah gadismu itu dapat memuaskan kami. Ha ha
ha...!"
Bantar Gurdi kontan mendengus gusar.
Dengan mata berkilat-kilat ditatapnya lelaki kekar
berbaju rompi yang sedang tertawa bergelak.
"Kau apakan Nawangsari?!" bentak Bantar
Gurdi, penuh luapan amarah. 
Wuuuttt..!
Bukan kata-kata yang menimpali ucapan
Bantar Gurdi, melainkan sabetan golok Jalak Se-
wu. Namun cepat sekali Bantar Gurdi mengegos ke
kiri. Sebelum golok lelaki berkumis itu menyambar
lagi, pemuda ini telah memutar tubuhnya sambil
melepas tendangan menyilang!
Desss...!
"Argh...!" 
Jalak Sewu terbanting keras disertai teria-
kan kesakitan begitu dadanya tepat terkena ten-

dangan.
Goloknya terlepas dari cekalan. Terdengar
suara berdenting nyaring tatkala golok itu mem-
bentur dinding gua.
Bantar Gurdi yang sudah dikuasai amarah,
menggembor keras. Dia sangat khawatir bila Na-
wangsari kekasihnya telah dinodai oleh anak buah
Tengkorak Kaki Satu. Maka tanpa pikir panjang
lagi, diterjangnya tiga lelaki bergolok yang berdiri
tak jauh darinya. 
"Heaaat..!"
Pertempuran sengit segera berlangsung.
Bantar Gurdi adalah murid utama Perguruan Ta-
pak Putih. Maka ilmu kepandaiannya tidak bisa
dipandang rendah. Sebentar saja, tiga orang la-
wannya telah terdesak.
Melihat hal demikian, Kebo Ireng yang tadi
hendak menodai Nawangsari meloncat untuk
memberi bantuan. Sementara, Jalak Sewu yang
baru kena tendang juga turut membantu.
Tapi, agaknya mereka bukanlah lawan
seimbang bagi Bantar Gurdi. Lima jurus kemu-
dian, dua orang sudah memekik nyaring melepas
nyawa dengan kepala pecah, dan dada amblong.
Mereka terkena pukulan Bantar Gurdi yang dialiri
tenaga dalam penuh!
Tiga orang yang tersisa menjadi pucat wa-
jahnya. Mereka bermaksud melarikan diri, tapi
Bantar Gurdi tak hendak melepaskan mereka. Sa-
tu persatu nyawa mereka melayang ke alam baka
oleh pukulan Bantar Gurdi yang bergerak cepat
bukan main.

"Nawangsari...! Nawangsari...!" teriak Bantar
Gurdi setelah menghabisi lawan-lawannya.
Pemuda ini berlari bagai orang kehilangan
ingatan, memasuki gua.
Bantar Gurdi terhenyak. Langkahnya ter-
henti ketika menyaksikan tubuh gadis berparas
cantik tengah tergolek pingsan lantai gua.
"Nawangsari...!" pekik Bantar Gurdi seraya
mengguncang-guncangkan bahu si gadis. "Apa
yang terjadi? Apa yang terjadi, Nawangsari? Kena-
pa pakaianmu seperti ini?"
Perlahan-lahan kelopak mata si gadis ter-
buka. Melihat seraut wajah yang sudah dikenalnya
dengan akrab, gadis bernama Nawangsari menjerit
seraya menghambur dalam pelukan pemuda yang
dikasihinya.
"Kakang.... Cepatlah bawa aku pergi. Aku
takut...."
"Tenanglah, Nawangsari. Lelaki-lelaki jaha-
nam itu telah kubunuh semua. Ceritakan apa yang
telah mereka perbuat terhadapmu...," ujar Bantar
Gurdi penuh bayangan buruk.
"Kakang.... kakang Gurdi tak perlu khawa-
tir. Aku masih suci. Mereka belum...."
"Benarkah itu?" potong Bantar Gurdi, ingin
meyakinkan.
"Percayalah, Kakang...."
Dengan penuh haru, Bantar Gurdi memeluk
erat tubuh Nawangsari. Diciumnya kedua pipi ke-
kasihnya.
"Apa pun akan kulakukan untukmu, Keka-
sihku. Aku..., aku tak mungkin hidup tanpa diri-

mu...."
Nawangsari tersenyum bahagia. Dibalasnya
pelukan Bantar Gurdi penuh kemesraan.

6

"Apakah tidak lebih baik kita berbagi tugas
saja?" cetus Intan Melati di atas punggung kuda
berbulu coklat ketika meninggalkan Perguruan
Tapak Putih. Mengapit di kanan-kirinya, Suropati
dan Sawung Permadi. Mereka menunggang kuda
berbulu coklat pula.
"Kupikir memang begitu," sahut Pengemis
Binal. "Aku dan Intan Melati mencari keterangan
tentang keberadaan Tengkorak Kaki Satu. Semen-
tara, Kakek Sawung Permadi mencari Bantar Gur-
di yang melarikan Kitab Ilmu Tapak Putih."
"Hmm.... Begitu juga bagus,"  gumam Sa-
wung Permadi. "Kita berpisah sekarang. Tapi, jan-
gan lupa. Dua hari lagi kita bertemu di Desa Wa-
rangan."
Usai berkata, Pendekar Tapak Putih meng-
gebah kudanya. Dan dengan kudanya kakek ber-
jubah putih itu pun melesat meninggalkan Intan
Melati dan Suropati.
"Sebaiknya kita ke utara saja, Suro," usul
Intan Melati lagi. "Kudengar di sekitar Lembah Ba-
tuliman banyak bercokol penjahat. Kita bisa men-
cari keterangan di sana."
"Apakah tidak ada kemungkinan manusia

berhati iblis itu masih berada di Pulau Karang?"
"Kukira tidak. Pulau Karang amat tandus.
Hampir semua daratannya dipenuhi batu karang.
Untuk dapat menyambung hidup, orang yang ber-
diam di situ harus bekerja keras mencari ikan di
laut. Orang jahat seperti Tengkorak Kaki Satu dan
anak buahnya, tentu tak  akan mau bersusah-
payah."
"Kau belum menjelaskan alasan apa yang
membuat Tengkorak Kaki Satu menghancur-
leburkan Perguruan Hati Putih dan membunuh
beberapa keluarga dekatmu... "
"Aku tak tahu. Sejak aku kecil, keluargaku
telah mengasingkan diri. Entahlah kalau manusia
yang berjuluk Tengkorak Kaki Satu itu musuh la-
ma ayahku."
"Tapi yang jelas, dia adalah orang jahat. Kita
akan memberi pembalasan yang setimpal dengan
kejahatannya. Sekaligus, membebaskan ayahmu
yang telah terkena ilmu 'Penghilang Akal'."
"Kita ke Lembah Batuliman sekarang."
"Uts! Tunggu dulu!"
Suropati mencegah Intan Melati yang hen-
dak memacu kudanya.
"Ada apa lagi, Suro?"
Suropati seperti tak mendengar pertanyaan
Intan Melati. Dipandangnya punggung gadis itu
yang bergerak-gerak terbawa langkah kuda. Meli-
hat Pengemis Binal menghentikan kudanya, Intan
Melati menoleh sambil melambaikan tangan.
"Ayolah...! Lihat! Matahari sudah naik. Aku
tak mau sesampai di Lembah Batuliman, hari te-

lah gelap."
Pengemis Binal seolah tak mendengar kata-
kata Intan Melati. Malah dia turun dari punggung
kudanya. Dihampirinya gadis yang sudah meng-
hentikan kudanya dengan sikap tak sabaran.
"Ada yang ingin kukatakan padamu, In-
tan...," kata Pengemis Binal dengan suara lembut
Pandangannya tak lepas dari wajah Intan Melati.
"Aku tak mau berbuat konyol, Suro!" rungut
Intan Melati. "Kalau ingin mengatakan sesuatu,
sambil memacu kuda kan bisa?!"
"Iya. Tapi ini lain, Intan," Suropati bersike-
ras.
Kening Intan Melati berkerut
"Katakan saja sekarang...," katanya, sema-
kin tak sabar.
"Turunlah dari kudamu!"
"Untuk apa?" 
"Nanti kau tahu sendiri."
Dengan hati kesal, akhirnya Intan Melati
menuruti juga permintaan Pengemis Binal. Gadis
itu meloncat dari punggung kuda.
Pengemis Binal tersenyum senang. Digan-
dengnya tangan gadis itu menuju ke tempat yang
terlindung dari sengatan sinar matahari.
"Kau ini aneh sekali, Suro...?" desah Intan
Melati kemudian. "Apa yang hendak kau katakan?
Apakah suatu rahasia?"
Suropati menatap aneh wajah Intan Melati.
Seolah ada sesuatu yang mendorongnya bersikap
demikian. Entah, apa itu.
"Kau cantik sekali, Intan...," desah si pemu-

da. Lalu, direngkuhnya bahu gadis itu.
Intan Melati segera menyadari adanya gela-
gat tak baik dari Pengemis Binal yang mulai kumat
sifat gendengnya. Sedikit kasar, ditepisnya tangan
Suropati.
Tapi, Pengemis Binal bergerak lebih cepat.
Hanya dalam satu sentakan saja, tahu-tahu tubuh
Intan Melati telah jatuh dalam dekapannya.
"Apa yang kau lakukan, Suro?!" bentak In-
tan Melati sambil meronta.
Tapi, dekapan Suropati sekuat jepitan baja.
Tak kuasa Intan Melati melepaskan diri. Malah tak
kuasa pula dia menolak tatapan si pemuda. Justru
dalam hati, gadis ini merasa berbunga dalam de-
kapan pemuda yang mulai mencuri sekeping ha-
tinya. 
"Kau cantik sekali, Intan...." Usai berbisik,
Suropati mendaratkan ciuman di bibir Intan Mela-
ti. Gadis ini tersentak kaget, tapi tak bisa berbuat
apa-apa. Ketampanan dan perbawa Suropati terla-
lu kuat untuk dapat dilawan. Malah kalau perlu
tak perlu dilawan, tapi disambut dengan hangat.
Remaja konyol itu pun segera memagut bi-
bir Intan Melati, lebih ganas membuat tubuhnya
menggelinjang. Baru kali inilah gadis itu merasa-
kan sesuatu yang indah dari seorang pemuda.
Hingga akhirnya Intan Melati terlena....
"He he he...."
Suropati melepas ciumannya seraya tertawa
terkekeh-kekeh melihat mata Intan Melati terpe-
jam.
"Rupanya kau merasa terbuai, ya?"

Intan Melati kontan membuka kelopak ma-
tanya. Jengah sekali dia melihat Suropati yang
berdiri sambil menggaruk-garuk kepala, Gadis itu
jadi merengut.
"Edan..!" makinya.
Suropati tetap saja tertawa terkekeh sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
"Apa yang hendak kau katakan, heh?! Da-
sar akal bulus!" maki Intan Melati lagi.
"Tapi kau juga senang, bukan?" kilah Pen-
gemis Binal.
"Siapa bilang?!"
"Tak perlu menipu diri sendiri. Matamu
yang terpejam tadi merupakan bukti kalau telah
terlena...."
Intan Melati mendengus. Kemarahannya di-
perlihatkan. Tapi, hati kecilnya mengakui kebena-
ran ucapan Pengemis Binal. Hanya karena tak
mau terus jadi korban kekonyolan Pengemis Binal,
segera dia melompat ke punggung kudanya. Dipa-
cunya kuda itu amat cepat.
"Hei! Tunggu!"
Suropati berteriak seraya melompat ke
punggung kudanya sendiri. Dikejarnya kuda Intan
Melati yang berlari ke utara.
"Di mana-mana, anak gadis sama saja. Su-
ka menipu diri sendiri! Bibirnya cemberut, wajah-
nya ketus, tatapannya tajam. Tapi, sesungguhnya
hatinya berbunga-bunga. Semua pura-pura benci
padaku, Tapi, dalam hati berkata cinta. Ha ha
ha...!"
Pengemis Binal tertawa terbahak-bahak.

Kudanya segera dipacu bagai orang gila. Sifatnya
yang ugal-ugalan membuat siapa saja ingin menji-
tak kepalanya sampai benjol. Tak heran apabila
remaja konyol itu dijuluki teman-temannya seba-
gai Pengemis Binal.

***

Sing! Sing!
Cepat Sawung Permadi menarik tali kekang,
membuat kuda coklatnya meringkik panjang keti-
ka meluncur dua buah benda yang menimbulkan
suara mendesing tajam. Kedua kaki depan bina-
tang itu terangkat tinggi ke atas dalam keterkeju-
tan luar biasa. Dan tubuh tua Sawung Permadi
terlihat terlontar. Tapi, sigap sekali dia mendarat di
tanah. 
Tap! Tap!
Sementara  kuda coklat masih meringkik-
ringkik, Sawung Permadi memandang dua bilah
tombak yang menancap di batang pohon.
"Hmm.... Ada orang jahat yang sengaja hen-
dak membuat permusuhan denganku...," gumam
Sawung Permadi. Sambil mengelus-elus kepala
kuda coklatnya, pandangannya menebar ke seke-
liling.
Tak lama, dari balik pepohonan di kiri jalan
muncul dua lelaki setengah baya sama-sama me-
makai pakaian serba hitam. Yang seorang berkepa-
la plontos tanpa rambut, sedang yang satu lagi be-
rambut panjang.
"Maaf bila kami mengganggu perjalananmu,

Permadi...," ucap lelaki gondrong. Kata-katanya
terdengar mengejek.
"Kami terpaksa melakukannya karena ingin
menyampaikan sesuatu...," sambung lelaki berke-
pala plontos.
Di ujung kalimatnya, lelaki berkepala plon-
tos itu melemparkan kotak  kayu yang ditenteng-
nya.
Tap! 
Sigap sekali Sawung Permadi menangkap-
nya. Ketika hendak melempar balik, lelaki plontos
mengangkat tangan kanannya.
"Jangan! Kotak itu berisi sebuah kejutan
untukmu. Jangan berprasangka buruk dulu. Ko-
tak itu tak akan mencelakakan mu!"
"Kalian siapa?!" tanya Sawung Permadi,
menyelidik.
"Buka dulu kotak yang kau bawa itu. Baru
kami akan memperkenalkan curi," lanjut lelaki
plontos.
Sawung Permadi mendengus. Ditatapnya
kotak kayu yang berada di tangannya. Karena ma-
sih curiga, dibukanya kotak itu dengan hati-hati.
"Heh?!"
Betapa terkejutnya Sawung Permadi setelah
mengetahui isi kotak yang tak lain kepala Bantar
Gurdi!
Dengan  sinar mata berkilat, Sawung Per-
madi melemparkan kotak berisi kepala itu ke ta-
nah.
Brakkk!
Timbul suara keras ketika kotak kayu

menghantam tanah. Sawung Permadi yang merasa
dikhianati, rupanya masih menyimpan kemarahan
walau telah tahu Bantar Gurdi hanya tinggal kepa-
la tanpa badan.
Siapa yang membunuh Bantar Gurdi? Siapa
lagi kalau bukan kedua lelaki anak buah Tengko-
rak Kaki Satu yang kini berada di hadapan Sa-
wung Permadi.
Kedua lelaki ini memang berhasil menyer-
gap Bantar Gurdi, ketika tengah berjalan bersama
Nawangsari. Tentu saja, hal itu dilakukan atas pe-
rintah Tengkorak Kaki Satu.
Semula, Bantar Gurdi memberi perlawanan
berarti. Namun lambat laun dia terdesak juga.
Hingga akhirnya menemui ajal di tangan kedua
anak buah Tengkorak Kaki Satu. Nawangsari sen-
diri tewas setelah terkena pukulan nyasar kedua
tokoh sesat itu. Dengan kejamnya, kedua lelaki itu
memenggal kepala Bantar Gurdi, atas perintah
Tengkorak Kaki Satu.
"Siapa yang berbuat sekejam ini? Dan, siapa
yang mengambil Kitab Ilmu Tapak Putih?" tanya
Sawung Permadi dengan kemarahan meluap.
"Mudah saja menjawab pertanyaanmu itu,
Orang Tua. Tapi, tidakkah kau ingin mengenal
siapa kami?" kata lelaki gondrong.
Sawung Permadi mendengus.
"Aku bernama Sonapari. Sedang saudaraku
yang berkepala plontos ini bernama Gendon...,"
sambung lelaki gondrong. "Kami datang atas perin-
tah Tengkorak Kaki Satu."
"Tengkorak Kaki Satu...!" sentak Sawung

Permadi, teringat cerita Intan Melati tentang ke-
hancuran Perguruan Hati Putih di Pulau Karang.
"Selain untuk menyampaikan kepala Bantar
Gurdi muridmu yang bodoh itu, kami juga diperin-
tah untuk menyampaikan ini!"
Di ujung kalimatnya, lelaki gondrong ber-
nama Sonapari melempar sebilah pisau kecil.
Set!
Clap!
Pisau itu meluncur cepat, dan menancap di
depan kaki Sawung Permadi.
"Di Lembah Batuliman, kita pasti akan ber-
jumpa lagi. Selamat tinggal, Permadi.
Sawung Permadi alias Pendekar Tapak Pu-
tih tak mempedulikan lagi ucapan Sonapari segera
saja kakinya menjejak tanah membuat bumi ber-
getar. Sedangkan pisau yang menancap di depan
kaki Sawung Permadi tampak mencelat ke atas.
Dan sebelum jatuh ke tanah, kakek itu cepat me-
nyambarnya.
Untuk beberapa lama Sawung Permadi
mengamati pisau yang gagangnya berhias tempu-
rung kepala manusia itu. Diketuk-ketuknya ga-
gang pisau, lalu hiasannya diputar ke kiri. Dan se-
gera didapatinya kertas merah yang digulung kecil
terselip di dalam gagang pisau.

Sawung Permadi,
Di antara kita tersimpan urusan lama. Maaf,
bila aku telah membunuh kakakmu yang bernama
Saka Permadi. Rama Ludira muridnya berada di
tanganku pula. Untuk menyelesaikan urusan lama

kita, kau harus datang di Lembah Batuliman ten-
gah malam nanti.
Tengkorak Kaki Satu

Air muka Sawung Permadi kontan berubah
keras setelah membaca tulisan yang tertera di ker-
tas merah. Pandangannya segera menebar ke seke-
liling. Tapi, Sonapari dan lelaki plontos bernama
Gendon sudah tak ada lagi di tempatnya. Usai me-
nyampaikan pesan Tengkorak Kaki Satu tadi, me-
reka memang telah pergi.
"Siapa tokoh yang menyebut dirinya sebagai
Tengkorak Kaki Satu itu?" tanya Sawung Permadi
dalam hati. "Jelas dia menyimpan api dendam di
dadanya. Tapi, kenapa ditujukan kepadaku se-
dangkan aku sendiri tak mengenalnya?"
Dengan benak dijejali berbagai pertanyaan,
lelaki tua ini menghampiri kudanya yang kini tam-
pak merumput di pinggir jalan. Namun niatnya di-
urungkan untuk naik, karena kuda itu terlihat ra-
kus memakan rumput pertanda merasa amat la-
par.
"Tengkorak Kaki Satu tentu ada hubungan-
nya dengan Kitab Ilmu Tapak Putih...," pikir Sa-
wung Permadi kemudian. "Raksa Wijaya yang telah
kubunuh tempo hari, tentu salah satu telik san-
dinya. Dan Bantar Gurdi muridku pun berhasil di-
peralat sebelum dibunuhnya. Hmm.... Dendam da-
lam dada Tengkorak Kaki Satu memang jelas ditu-
jukan kepadaku. Tapi, apa penyebabnya? Heran
juga aku melihat Bantar Gurdi bisa dipengaru-
hinya."

Kini lelaki tua ini segera menaiki punggung
kudanya.
"Aku harus ke Lembah Batuliman seka-
rang...," ujarnya. "Persetan dengan hari tengah
malam, Aku harus tahu dulu, siapa itu Tengkorak
Kaki Satu!" 
Sebentar kemudian, Sawung Permadi telah
memacu kudanya amat cepat. Debu mengepul
tebal di setiap jalan yang dilaluinya.

***

Matahari sudah hampir terbenam ketika
kakek berjubah putih itu sampai di aliran sungai
yang menuju Lembah Batuliman. Tak ingin keha-
dirannya diketahui orang, dia meloncat dari pung-
gung kuda. Segera diikatnya tali kuda di batang
pohon. Baru kemudian dia berjalan menyusuri te-
pian sungai.
Namun  belum seberapa jauh lelaki tua itu
melangkah, sekitar dua puluh lelaki berpakaian
serba hitam bermunculan dari balik pepohonan.
"Orang tua tak tahu diuntung! Seharusnya
kau datang tengah malam nanti!" hardik salah
seorang pencegat.
"Hmm.... Kalian tentu anak buah Tengkorak
Kaki Satu...," gumam Sawung Permadi menebak.
"Katakan siapa sebenarnya pemimpin kalian itu!"
"Sebenarnya pemimpin kami itu akan mem-
perkenalkan dirinya tengah malam nanti. Tapi ka-
rena kau datang lebih awal, jangan menyesal kalau
ternyata golok kami akan membuatmu mati pena-

saran!"
"Lakukan saja kalau merasa mampu!"
Sama sekali Sawung Permadi tak gentar
mengetahui dirinya telah dikepung dua puluh lela-
ki yang semuanya telah menghunus golok.
"Chiaaa...!"
Salah seorang anak buah Tengkorak Kaki
Satu merangsek maju dengan bacokan mengarah
kepala. Pada saat yang sama tangan Sawung Per-
madi memutih seperti dilumuri kapur. Lalu diser-
tai dengusan keras, tubuhnya berkelebat cepat
menangkap bilah golok yang menghujam ke arah-
nya!
Bletak...!
"Ouw...!"
Seluruh anak buah Tengkorak Kaki Satu
terperangah melihat tangan kanan Sawung Per-
madi sanggup mematahkan mata golok di tangan
penyerangnya yang sebenarnya tajam bukan main.
Belum juga si penyerang berpikir lebih jauh, kaki
Sawung Permadi telah mengibas cepat.
Desss!
"Aaakh...!"
Tubuh pemilik golok itu mencelat disertai
teriakan kesakitan. Masih untung Sawung Permadi
hanya menggunakan beberapa bagian tenaga da-
lamnya, hingga orang itu cuma jatuh pingsan.
"Aku tak hendak membunuh kalian. Hanya
saja, kalian harus mengatakan siapa Tengkorak
Kaki Satu itu. Atau, panggil saja manusia iblis itu
kemari!" ujar Sawung Permadi dingin menggetar-
kan. 

"Serang...!"
Namun kata-kata kakek itu tak disambut
dengan teriakan keras oleh lima orang lelaki yang
menerjang bersamaan. Ketajaman golok mereka
siap mengundang Malaikat Kematian!
"Bodoh! Kalian hanya mencari mati!" 
Sambil berkata demikian, Sawung Permadi
bergerak memutar dengan bertumpu pada ujung
ibu jari kaki kanan. 
Des! Des!
Terdengar suara berdebuk lima kali. Lalu,
terlihat tubuh lima lelaki bersenjata golok terpen-
tal, terhantam telapak tangan Sawung Permadi.
Namun agaknya Sawung Permadi memang,
tak  berniat  membunuh para begundal Tengkorak
Kaki Satu. Mereka hanya dibuat pingsan.
"Panggil Sonapari dan Gendon!" perintah
seorang lelaki bergolok yang berdiri di bawah po-
hon. Melihat orang yang diperintahnya berlari
memasuki Lembah Batuliman, dia segera memberi
aba-aba kepada yang lainnya untuk mengeroyok
Sawung Permadi.
"Serbu...!"
Kembali tubuh Sawung Permadi berkeleba-
tan cepat hingga menjadi bayang-bayang putih
yang hampir tak terlihat. Satu tarikan napas ke-
mudian....
Trang! Trang!
"Heh...?!"
Terdengar suara berdentang keras yang di-
barengi potongan-potongan golok beterbangan di
udara. Seluruh anak buah Tengkorak Kaki Satu

berdiri terpaku di tempatnya. Mata mereka melo-
tot, melihat golok masing-masing tinggal gagang
saja.
Belum sempat mereka menyadari keadaan,
Sawung Permadi telah melancarkan totokan be-
runtun. Begitu cepat gerakannya. Dan....
Tuk! Tuk!
"Aaahh...!"
Kini, tubuh seluruh lelaki berpakaian serba
hitam itu benar-benar dibuat kaku tanpa mampu
bergerak sedikit pun.
Sawung Permadi menjambak rambut lelaki
yang berdiri kaku di dekatnya.
"Katakan, siapa sebenarnya Tengkorak Kaki
Satu itu!"
"Aku..., aku tak tahu...," Ucap lelaki brewo-
kan yang rambutnya dijambak Sawung Permadi.
"Jangan dusta! Atau kau lebih suka kalau
kepalamu kupecahkan?"
"Sungguh aku tak tahu. Aduh! Lepaskan
aku!"
Melihat lelaki brewokan mengaduh kesaki-
tan, Sawung Permadi bukannya melepas, tapi ma-
lah memperkeras jambakannya.
"Aduh! Ouw! Aku..., aku benar-benar tak
tahu...."
"Jangan dusta, Keparat!"
"Sungguh aku tak dusta. Kau bunuh pun,
aku tak akan dapat mengatakan siapa Tengkorak
Kaki Satu itu. Kami semua baru satu bulan men-
jadi anak buahnya, kecuali Sonapari dan Gendon."
Mendengar penuturan itu, Sawung Permadi

mendengus. Didorongnya tubuh lelaki brewokan
hingga jatuh berdebam di tanah.
"Jadilah orang baik-baik sebelum ajal men-
jemput kalian," ujar Sawung Permadi seraya me-
langkah dari tepi sungai. Dimasukinya Lembah
Batuliman yang terkenal sebagai tempat persem-
bunyian para penjahat

***

"Haram jadah kau, Sawung Permadi!"
Sawung Permadi menghentikan langkahnya
ketika tiba-tiba terdengar makian keras menggele-
gar. Kakek ini mendengus gusar melihat kehadiran
dua lelaki setengah baya yang tak lain dari Sona-
pari dan Gendon. Mereka berkacak pinggang den-
gan wajah garang.
"Kebetulan sekali kalian datang, Tikus-tikus
Busuk!" desis Sawung Permadi. Matanya meman-
dang tajam pada dua sosok manusia yang berdiri
tiga tombak di hadapannya. "Sengaja aku meme-
nuhi undangan tuanmu lebih awal. Karena, aku
tak kuasa menahan keinginanku untuk mengenal
dirinya terlebih dahulu. Terlebih lagi, aku ingin se-
gera memecahkan batok kepalanya!"
"Ha ha ha...!"
Sonapari dan Gendon tertawa bergelak.
"Apakah ucapanmu tak keliru, Tua Bangko-
tan?!" cela Sonapari. "Kau datang lebih awal Bu-
kankah itu berarti ingin cepat menghadap penjaga
pintu neraka?"
"Sungguh lucu ucapanmu itu, Kadal Buduk!

Tapi, aku ingin mendengar satu lagi leluconmu.
Berceritalah tentang Tengkorak Kaki Satu, tuanmu
itu!"
"Baik..., baiklah. Aku turuti permintaan-
mu...," kata Sonapari dengan sudut kiri bibir terta-
rik ke atas. Mengejek. "Tengkorak Kaki Satu ada-
lah batu besar yang akan menindih tubuhmu
hingga remuk. Tengkorak Kaki Satu adalah peme-
gang kuasa Malaikat Kematian untuk mencabut
nyawamu! Tapi, hari ini dia telah menyerahkan
kekuasaannya kepada kami yang akan mengirim
nyawamu ke neraka!"
"Ha ha ha...!" Sawung Permadi tertawa ber-
gelak. "Lucu..., lucu sekali ucapanmu itu, Kadal
Buduk! Tak dapat aku menahan tawaku ini."
"Jangan tertawa puas dulu! Masih ada lelu-
conku lagi. Inilah dia...!" sergah Sonapari, seraya
menyabetkan telapak tangan kanannya ke depan. 
Set!
Seketika selarik sinar  tipis berwarna biru
meluncur deras, hendak memotong pinggang Sa-
wung Permadi.
Namun, si kakek telah meloncat ke atas,
membuat sinar itu terus meluncur. 
Blarrr....!
Sinar itu langsung memapas batang pohon
serangkulan manusia dewasa hingga patah. Na-
mun sebelum pohon itu tumbang, cepat sekali Sa-
wung Permadi menjejak tanah. Tubuhnya seketika
melesat laksana luncuran anak panah, lalu men-
darat di atas ranting pohon yang hendak tumbang.
Terlihat kemudian, batang pohon yang su-

dah miring perlahan-lahan tegak kembali. Semen-
tara, Sawung Permadi berdiri tegak di atasnya.
Sonapari terperangah melihat kehebatan
pendiri Perguruan Tapak Putih itu. Namun sebagai
orang yang telah lama berkecimpung di rimba per-
silatan, cepat ditepisnya rasa kagumnya,
"Tubuhmu memang seringan kapas. Tenaga
dalammu pun cukup hebat. Tapi, dapatkah ke-
pandaian yang kau miliki itu menahan gempuran-
ku?" leceh lelaki gondrong itu.
Saat itu pula Sonapari menyabetkan kedua
telapak tangannya berkali-kali. Maka belasan larik
sinar biru tipis meluncur deras memapas bagian
bawah batang pohon bergantian. 
Blarrr! 
Blarrr...!
Timbul suara dentuman keras belasan kali.
Sedangkan batang pohon terpotong-potong dari
bawah, hingga tingginya yang semula menyamai
tinggi pohon kelapa menjadi pendek, dan semakin
pendek.
Sawung Permadi yang berada di atas pohon
pun terbawa turun. Ketika batang pohon hampir
habis terpapasi larikan sinar biru tipis, cepat lelaki
tua itu meloncat ke belakang. Begitu kakinya men-
ginjak tanah, kedua telapak tangannya menghen-
tak ke depan!
Wuusss...!
Seketika batang pohon yang tinggal dahan
bagian atas beserta rimbunan daunnya, terbawa
gelombang angin dahsyat, melesat ke arah Sona-
pari.

Wuuttt!
Segera lelaki berambut gondrong itu meng-
hentakkan kedua telapak tangannya ke depan. Ta-
pi, batang pohon yang berdaun rimbun itu terus
meluncur ke arahnya. Pucatlah wajah Sonapari.
Namun sebelum tubuhnya tergencet lumat, te-
mannya yang berkepala plontos segera bertindak.
Dia meloncat ke samping Sonapari seraya meng-
hentakkan kedua telapak tangannya ke depan. 
Zlap!
Untuk beberapa lama batang pohon ber-
daun rimbun tertahan di udara. Tapi begitu Sa-
wung Permadi menambah kekuatan tenaga da-
lamnya, batang pohon itu meluncur lagi ke arah
Sonapari dan Gendon!
"Celaka!" pekik mereka, bersamaan.
Bergegas mereka meloncat agar tak tergen-
cet batang pohon berdaun rimbun. Namun gera-
kan  mereka yang dilakukan dengan melepaskan
kekuatan tenaga dalam, membuat batang pohon
meluncur lebih cepat! Dan....
Glarrr...!
"Aaa...!"
Bumi bergetar ketika batang pohon berdaun
rimbun jatuh ke tanah. Suaranya menggelegar
amat keras. Ketika debu yang mengabuti pandan-
gan telah sirna, terlihat tubuh Sonapari dan Gen-
don tergencet cabang-cabang pohon besar yang ja-
tuh melesak ke dalam tanah. Mata mereka sama-
sama melotot dengan mulut ternganga. Mereka
mati mengenaskan!
Sawung Permadi menghela napas panjang.

Dipandangnya sebentar mayat Sonapari dan Gen-
don. Lalu pendengarannya dipertajam. Karena tak
mendengar adanya gerakan manusia lain, segera
langkahnya dilanjutkan. Disusurinya Lembah Ba-
tuliman.
"Manusia keparat Tengkorak Kaki Satu!
Tampakkan batang hidungmu! Inilah aku Sawung
Permadi!"
Suara Pendekar Tapak Putih menggema di
antara tebing-tebing lembah, namun segera lenyap
terbawa hembusan angin. Ketika berteriak lagi,
hanya gema yang kembali muncul. Sedangkan wu-
jud Tengkorak Kaki Satu tetap tak tampak....

7

"Tunggu...! Tunggu...!" teriak Pengemis Bi-
nal seraya menggebah-gebah kudanya agar dapat
berlari lebih kencang.
Tapi, remaja konyol itu hanya mendapatkan
kekecewaan. Kuda Intan Melati terus melaju di de-
pan, meninggalkan debu yang mengepul tebal
menghalangi pandangan dan menyumbat jalan
napasnya.
"Kalau terus begini, bisa-bisa aku mati ke-
habisan napas" gumam Suropati.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini kemudian menjepit perut kuda lebih erat
Dengan kedua tangan memeluk leher kuda, kedua
kakinya lalu  ditarik ke atas sedikit demi sedikit.
Saat telapak kakinya telah menginjak punggung

kuda, Suropati melepaskan pelukan seraya mene-
gakkan tubuh.
Kini Suropati telah berdiri di punggung ku-
da dengan tongkat bersilang di dada. Padahal kuda
coklat itu tengah berlari kencang!
Dengan berdiri di atas punggung kuda, na-
pas Pengemis Binal jadi lebih longgar. Kini pemuda
itu dapat melihat sosok Intan Melati yang berkuda
di depan.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak demikian, Pengemis Binal
menjejak punggung kuda. Saat itu pula tubuh re-
maja konyol ini melesat cepat melebihi luncuran
anak panah yang lepas dari busur. Setelah bersal-
to tiga kali di udara, Pengemis Binal mendarat em-
pat tombak di hadapan kuda Intan Melati yang te-
rus berlari kencang.
"Gila!" pekik Intan Melati, melihat keheba-
tan ilmu meringankan tubuh Suropati.
Kekaguman Intan Melati digeluti rasa kha-
watir. Tubuh Suropati yang berdiri tegak di depan,
pasti akan tertabrak kudanya. Sementara, laju ku-
danya tak mungkin dihentikan. Kalau itu dilaku-
kan, kudanya akan terkejut seraya mengangkat
kaki depan tinggi-tinggi. Dan, bukan mustahil tu-
buhnya terlontar!
"Minggir, Suro...!" teriak Intan Melati sekuat
tenaga saat kudanya tinggal beberapa jengkal lagi
di hadapan Suropati siap menabrak.
"Haya...!"
Sekali lagi Suropati berteriak demikian. Lalu
tahu-tahu tubuhnya melenting ke atas amat cepat. 

Tap! 
"Heh?!"
Intan Melati terkejut luar biasa ketika mera-
sakan pelukan pada pinggangnya.
"Aku numpang di kudamu, Intan...."
Mendengar bisikan itu, Intan Melati meno-
leh. Dari sudut matanya, terlihat wajah tampan
Suropati yang tengah tersenyum. Gadis ini tak ha-
bis pikir, bagaimana mungkin Suropati mampu
mendarat dalam keadaan duduk di punggung ku-
da tanpa membuat terkejut kuda itu sendiri?
Kuda yang ditunggangi dua anak manusia
itu meringkik, ketika Intan Melati menarik tali ke-
kang untuk menghentikan laju kuda. 
"Hup!"
Begitu kuda milik Intan Melati berhenti ber-
lari, Suropati menggenjot lagi tubuhnya. Setelah
berputaran beberapa kali, pemuda itu hinggap di
punggung kudanya sendiri yang berlari di bela-
kang!
"Gila!" pekik Intan Melati untuk kedua ka-
linya.
Sementara, Pengemis Binal tampak mem-
perlambat laju kudanya, lalu menghentikannya.
"Kemarilah...," pinta remaja konyol ini diiku-
ti lambaian tangan.
Dengan pandangan terkagum-kagum, Intan
Melati  menjalankan kudanya perlahan. Dihampi-
rinya Suropati yang tengah nongkrong santai di
punggung kudanya sendiri.
"Hebat sekali kau, Suro...," puji Intan Mela-
ti.

Suropati cengar-cengir dengan mata men-
gerjap-ngerjap. Wajah remaja tampan ini sungguh
jadi tampak lucu. Bahkan mirip orang kurang wa-
ras.
"Bukannya aku hendak pamer kepandaian,
Intan...," ujarnya. "Aku tadi berteriak-teriak, tapi
tak pernah kau pedulikan. Agaknya kau masih
marah padaku. Lalu, aku berbuat demikian karena
aku ingin bicara."
"Bicara lagi! Bicara lagi!" sentak Intan Mela-
ti, teringat perbuatan Suropati yang menciumnya
dengan akal bulus ingin bicara.
"Rupanya kau benar-benar marah, Intan...,"
desah Pengemis Binal. "Aku minta maaf...."
Bibir Intan Melati menyungging senyum.
"Aku sudah tak marah lagi, Suro. Kau tak
perlu minta maaf, karena kau tidak bersalah."
Suropati menggaruk kepalanya sebentar.
"Benar dugaanku. Kau cuma pura-pura ma-
rah. Dan, aku pun tahu bila sekarang kau ingin
kucium lagi"
"Ngawur! Berani kau lakukan itu, kutang-
galkan hidungmu!" ancam Intan Melati sambil me-
raba gagang pedang yang terselip di punggung.
"Sungguh kau tak ingin ku cium? Jangan-
jangan kau nanti menyesal. Ayolah, mumpung aku
juga lagi ingin...," goda Pengemis Binal.
Sring...!
Intan Melati benar-benar menghunus pe-
dangnya, langsung menodongkannya ke muka
Pengemis Binal. Tapi, Suropati malah tertawa ter-
kekeh-kekeh seraya mendekatkan ujung hidung-

nya ke ujung pedang Intan Melati.
"Kalau kau ingin melihat wajah orang yang
paling kau sukai jadi buruk, tanggalkan saja ba-
tang hidungku...," tantangnya.
Gemas sekali Intan Melati mendengar kata-
kata Pengemis Binal. Ingin rasanya dia membabat
habis batang hidung Suropati. Tapi..., entah kena-
pa dia tak mampu melaksanakan ancamannya.
Ada sebuah bisikan yang mengatakan kalau dia
menyukai remaja tampan yang kini menatapnya
tanpa berkedip.
"Sudah! Sudah! Aku tak ingin bergurau la-
gi!" ujar Intan Melati sambil menyarungkan pe-
dangnya kembali. "Hari hampir gelap. Kegelapan
hanya akan menyulitkan perjalanan kita. Sedang
aku sendiri tidak begitu paham jalan-jalan di seki-
tar sini. Aku masih perlu bertanya kepada orang
tentang letak Lembah  Bukitliman. Dan agaknya,
kau pun jadi orang asing di tempat ini, Suro." 
"Uts! Tunggu dulu!" cegah Pengemis Binal,
melihat Intan Melati hendak menghela kudanya la-
gi.
"Apa lagi?!" bentak Intan Melati melotot. "Ki-
ta diburu waktu, Suro!"
"Kenapa kau marah-marah terus, Intan?
Kau tak suka padaku?" tukas Suropati.
Intan Melati diam saja.
"Kau bilang tadi, kegelapan hanya akan
menyulitkan. Kukira, itu tidak tepat."
"Maksudmu?" tanya Intan Melati, terlihat
sungguh-sungguh.
"Kegelapan justru membuat kita mudah un-

tuk...."
"Untuk apa?" kejar Intan Melati, melihat Su-
ropati tidak segera melanjutkan kalimatnya.
"Kau jadi penasaran, Intan?"
"Huh! Aku benar-benar tak ingin bergurau
lagi! Katakan, apa maksudmu?!"
"Ya..., ya!" tukas Pengemis Binal dengan
ujung hidung dinaikkan. "Aku justru senang kalau
sesampai di Lembah Batuliman nanti hari telah ge-
lap."
"Kenapa?"
"Kegelapan membuat kita menjadi tak cang-
gung lagi untuk bermesra-mesraan...."
"Gila!" rutuk Intan Melati seraya cepat
membedal kudanya. 
Suropati berteriak-teriak. Namun tak lagi
dipedulikan gadis itu. Kali ini Intan Melati benar-
benar kesal. Godaan Suropati dianggap sudah ke-
terlaluan

***

Lembah Batuliman....
Di dalam sebuah gua di lamping jurang,
Tengkorak Kaki Satu menutup halaman terakhir
Kitab Ilmu Tapak Putih. Lelaki yang wajahnya nya-
ris berupa tulang ini bangkit dari duduknya. Den-
gan tongkat sebagai pengganti kaki kirinya yang
buntung dia berjalan ke bibir gua. Kepalanya me-
nengadah, melihat langit hitam bertabur bintang.
Awan putih tipis tampak mengabuti rembulan
yang memancarkan cahaya kuning keemasan.

"Hari belum sampai tengah malam. Tapi,
aku yakin Sawung Permadi telah berada di lembah
ini...," gumam Tengkorak Kaki Satu. "Apakah
orang-orangku tidak mampu menghadapi si tua
bangka keparat itu? Hmm.... Umurmu hanya ting-
gal beberapa tarikan napas saja, Sawung Permadi!
Rahasia kesaktian ilmu 'Tapak Putih'-mu sudah
kuketahui."
Tengkorak Kaki Satu menatap sejenak kitab
bersampul putih di tangannya. Lalu dia meniti ba-
tang pohon yang tumbuh menjorok di lamping ju-
rang dekat bibir gua. Begitu berada di ujung po-
hon, tubuhnya digenjot. 
Tap!
Dan ringan sekali Tengkorak Kaki Satu
mendarat di bibir jurang, sekitar sepuluh tombak
di atas mulut gua yang semula ditempati. 
"Kiranya kau yang disebut Tengkorak Kaki
Satu!"
Tengkorak Kaki Satu terkejut, ketika tiba-
tiba mendengar suara menyambutnya yang diba-
rengi kelebatan bayangan putih turun dari atas
pohon. Pandangan lelaki buntung itu ditajamkan
untuk mengenali sosok manusia yang baru mun-
cul. Begitu dapat memastikan, Tengkorak Kaki Sa-
tu langsung tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Tak salah dugaanmu, Sawung
Permadi! Aku memang Tengkorak Kaki Satu. Aku
sengaja mengundangmu kemari. Tapi, agaknya
kau datang lebih awal. Sungguh besar nyalimu...." 
Kakek berjubah putih yang tak lain Sawung
Permadi tampak memajukan kaki kanannya se-

langkah.
"Kupikir itu memang lebih baik. Datang le-
bih awal, untuk membasahi cecoro-cecoro anak
buahmu. Lalu, memecahkan batok kepalamu sen-
diri," balas Sawung Permadi dengan pandangan
berkilat tertuju ke sosok mengerikan yang berdiri
sekitar tiga tombak dari hadapannya.
"Ha ha ha...!" Tengkorak Kaki Satu tertawa
bergelak lagi. "Sungguh kau masih memiliki sifat
seperti dua puluh tahun yang lalu, Permadi. Kau
pemberani dan amat keras kepala!"
"Apa maksudmu?" Sawung Permadi terkejut
mendengar ucapan Tengkorak Kaki Satu.
"Apa maksudku? Ha ha ha...! Agaknya kau
masih belum bisa menerka, siapa sebenarnya aku
ini, Permadi. Cobalah layangkan ingatanmu pada
peristiwa berdarah di Bukit Tuntang dua puluh
tahun lalu."
"Tak perlu berkata macam-macam! Segera
perkenalkan dirimu!"
Tengkorak Kaki Satu tertawa lagi menden-
gar bentakan Sawung Permadi. "Di Bukit Tuntang,
kau dan kakakmu, Saka Permadi, telah memper-
daya seorang pemuda bernama Jaka Bagus. Kau
patahkan kaki kirinya. Sedangkan kakakmu me-
nebarkan Racun Pelenyap Daging. Tubuh Jaka
Bagus pun rusak mengerikan…"
"Tak mungkin kau Jaka Bagus itu!" sergah
Sawung  Permadi, mulai dapat menerka siapa
Tengkorak Kaki Satu itu.
Ingatan lelaki ini segera terbawa ke masa
dua puluh tahun yang lampau. Kala itu bersama

Saka Permadi kakaknya, kakek ini memang per-
nah bertempur melawan pemuda tampan bernama
Jaka Bagus di Bukit Tuntang. Terpaksa Saka Per-
madi dan Sawung Permadi mengeroyok pemuda
itu karena memiliki kesaktian lebih tinggi.
Jaka Bagus dapat dikalahkan. Tubuhnya
terbaring di tanah dalam keadaan mengerikan.
Kaki kirinya tanggal hingga ke pangkal paha. Dag-
ing di tubuhnya pun hampir lumat, terkena Racun
Pelenyap Daging. Semua itu dilakukan Permadi
bersaudara karena dorongan dendam meluap, Ja-
ka Bagus telah menodai dan membunuh adik Saka
Permadi dan Sawung Permadi yang bernama Ayu
Gandari.
Melihat Sawung Permadi berdiri terpaku di
tempatnya, Tengkorak Kaki Satu mendengus.
"Rupanya kau sudah teringat peristiwa ber-
darah di Bukit Tuntang itu, Sawung Permadi...,"
ujarnya dengan suara geram. "Malaikat Kematian
masih bermurah hati untuk tak segera mencabut
nyawa Jaka Bagus. Pemuda itu masih hidup, tapi
dalam wujud menakutkan. Kau pandang aku baik-
baik, Sawung Permadi.... Akulah Jaka Bagus! Aku
rela hidup dalam keadaan seperti ini, karena me-
nyimpan dendam maha hebat!"
"Tak mungkin! Tak mungkin!" pekik Sa-
wung Permadi.
"Apanya yang tak mungkin, Keparat?! Dua
puluh tahun lamanya aku terus tinggal di Bukit
Tuntang untuk memperdalam ilmu kesaktian. Ak-
hirnya, kemauan keras  ku tak sia-sia. Saka Per-
madi telah kubunuh di Pulau Karang. Kuhancur-

kan pula Perguruan Hati Putih. Dan ketika aku
berniat membunuhmu, rupanya kau telah memili-
ki ilmu kesaktian hebat yang bernama 'Tapak Pu-
tih'. Tapi, aku tak lagi gentar. Ilmu 'Tapak Putih'
telah kuketahui rahasianya."
Di ujung kalimatnya, Jaka Bagus alias
Tengkorak Kaki Satu mengeluarkan kitab bersam-
pul putih dari balik kain hitam yang membelit tu-
buhnya.
Sawung Permadi terkesiap ketika tahu ka-
lau itu adalah Kitab Ilmu Tapak Putih.
"Kembalikan kitab itu, Iblis!" perintah Sa-
wung Permadi.
Tengkorak Kaki Satu tertawa bergelak. Tan-
gan kanannya mengacung ke atas disertai tenaga
dalam amat tinggi. Sekejap mata kemudian, kitab
Ilmu Tapak Putih telah hancur teremas menjadi
bubuk putih.
Mendidih darah Sawung Permadi melihat
kitab yang disusunnya selama bertahun-tahun te-
lah musnah.
"Iblis laknat! Di Bukit Tuntang kau boleh
selamat. Tapi kejadian itu tak akan terulang lagi di
Lembah Batuliman ini!" dengus lelaki tua itu. Ru-
panya dia telah yakin kalau Tengkorak Kaki Satu
memang Jaka Bagus.
Tengkorak Kaki Satu mendengus pendek
melihat Sawung Permadi memutar-mutar kedua
tangannya di depan dada. Keremangan malam ter-
sibak ketika kedua pergelangan tangan Sawung
Permadi memancarkan cahaya putih gemerlapan.
Dalam waktu beberapa kejap mata saja, wu-

jud cahaya putih menyerupai telapak tangan ber-
tambah banyak. Saat Sawung Permadi menggem-
bor keras, telapak-telapak tangan ciptaannya me-
luruk ke arah Tengkorak Kaki Satu. 
Zeb! Zeb!
Telapak-telapak tangan itu menggempur da-
ri berbagai penjuru pertahanan Tengkorak Kaki
Satu. Masing-masing telapak tangan seperti mem-
punyai nyawa. Melesat ke sana kemari, menimbul-
kan  suara angin tajam yang seringkali dibarengi
ledakan.
Tengkorak Kaki Satu yang telah mengetahui
rahasia ilmu 'Tapak Putih' memutar tubuhnya
amat cepat. Tongkat di tangan kirinya berkelebat
memperdengarkan suara mendengung bagai ri-
buan lebah marah. Sesaat kemudian, wujud Teng-
korak Kaki Satu menghilang dari pandangan. Se-
bagai gantinya, terbentuk gulungan sinar hitam
yang terus mengepulkan uap berwarna hitam pula.
Lalu.... 
Blaaarrr...!
Sekitar dua puluh telapak tangan berwarna
putih meledak buyar serta berbenturan dengan gu-
lungan cahaya hitam yang merupakan wujud lain
Tengkorak Kaki Satu.
Slap!
Gulungan cahaya hitam itu lalu melesat ce-
pat ke arah Sawung Permadi yang tengah dalam
keterkejutan, karena ilmu 'Tapak Putih'-nya dapat
dilumpuhkan. Namun bagaimanapun terkejutnya,
dia adalah tokoh tua yang sudah matang pengala-
man. Sejenak saja keterkejutan menguasai dirinya,

sebentar kemudian kesadarannya segera pulih.
"Heaaa...!"
Sawung Permadi yang dapat mengetahui
adanya bahaya mengancam jiwa, cepat mengem-
pos tubuhnya tinggi-tinggi. Sambil bersalto di uda-
ra, kedua tangannya dihentakkan ke arah gulun-
gan sinar hitam.
Zeb! Zeb!
Dua telapak tangan berwarna putih berki-
lauan meluncur deras, seakan-akan merupakan
dua telapak tangan Sawung Permadi yang tanggal.
Padahal itu hanya sinar putih berwujud telapak
tangan. Sejurus kemudian.... 
Blaaarrrr...!
Sunyi malam kembali terobek saat terden-
gar lagi suara menggelegar. Dua telapak tangan
putih berkilauan tepat membentur gulungan sinar
hitam.
Untuk kedua kalinya Sawung Permadi di-
hantam keterkejutan. Sekitar sepuluh tombak dari
tempatnya berdiri, Tengkorak Kaki Satu tetap ber-
diri tegak dengan punggung membelakangi. Ujung
tongkatnya menyentuh tanah, sebagai pengganti
kaki kirinya. Perlahan-lahan lelaki bertampang se-
ram ini membalikkan badan.
Dengan bantuan cahaya rembulan, Sawung
Permadi dapat melihat seringai aneh di bibir Teng-
korak Kaki Satu. Seringai itu lalu berubah jadi ta-
wa meledak-ledak.
"Ha ha ha...! Hanya sampai di sinikah kehe-
batan ilmu 'Tapak Putih'-mu, Permadi?!"
"Jangan keburu senang dulu, Keparat!" sa-

hut Sawung Permadi. "Terimalah puncak dari ilmu
andalanku ini!"
Di ujung kalimatnya, Sawung Permadi me-
narik kedua pergelangan tangan hingga sejajar
pinggang, lalu menyorongkannya ke depan. Perla-
han saja gerakannya. Namun..... 
Wusss...!
Seketika timbul suara bersiut amat keras,
yang apabila didengar orang biasa dapat meme-
cahkan gendang telinga. Suara bersiut itu memba-
rengi melesatnya sepuluh telapak tangan putih
yang empat kali lebih besar daripada yang tadi ter-
lihat, dan terdiri dari lima baris. Dua di depan, dua
lagi di belakang, hingga membentuk barisan tan-
gan bersap lima. Kecepatan lesatnya pun tak terki-
ra, melebihi kecepatan anak panah!
Wuuttt...!
Sekali lagi, Tengkorak Kaki Satu memutar
tubuhnya dengan tongkat berkelebatan. Sosok le-
laki bertampang seram ini hilang, berganti gulun-
gan sinar besar yang mengepulkan uap lebih
menggidikkan lagi. Lalu......
Blaarrr!
Gelegar dahsyat terdengar lima kali bertu-
rut-turut membuat bumi berguncang. Daun-daun
pohon di sekitar ajang pertarungan kontan bergu-
guran. Ranting dan dahan berpatahan. Bahkan,
beberapa pohon tercabut dari dalam tanah, terlon-
tar hingga belasan tombak jauhnya.
Namun, sungguh mengherankan keadaan
Tengkorak Kaki Satu. Dia tampak berdiri tegak da-
lam keadaan tak kurang suatu apa. Padahal keku-

atan ilmu 'Tapak Putih' yang dilancarkan Sawung
Permadi barusan sudah sanggup menghancurkan
sebuah bukit karang setinggi pohon kelapa!
Kontan pucat pasi wajah Sawung Permadi
melihat ilmu pamungkasnya tak mampu mero-
bohkan lawan. Keringat dingin mengucur di seku-
jur tubuhnya. Peluh sebesar biji jagung pun mele-
leh dari keningnya. Saat itu juga kakek berjubah
putih ini jadi punya pikiran yang bukan-bukan.
Apakah Tengkorak Kaki Satu itu adalah roh Jaka
Bagus yang hendak menuntut balas? Dan karena
berupa roh, dia tentu tak mungkin dibinasakan?
"Aku tahu rasa heran bercampur gentar te-
lah  menyelimuti hatimu, Permadi!" leceh Tengko-
rak Kaki Satu, pongah. "Aku tahu, kau terbayang
peristiwa berdarah di Bukit Tuntang. Agaknya pe-
ristiwa itu akan berbalik rupa di Lembah Batuli-
man ini. Akulah kini yang akan mengoyak-ngoyak
tubuhmu, dan menjadikan wajahmu lebih buruk
dari yang kupunya. Ha ha ha...! Kulihat tubuhmu
gemetar, Permadi! Apakah terpikir olehmu niatan
untuk melarikan diri?"
"Huh! Aku tak takut mati! Kedua tanganku
telah seringkali berlumur darah manusia-manusia
iblis sepertimu. Tapi kalau kedua tanganku berlu-
mur darahku sendiri, tak akan pernah ada penye-
salan dalam diri ini. Apa beda mati esok atau seka-
rang, kalau sebelum mati orang bertindak sebagai
pecundang?"
"Sungguh bagus ucapanmu, Permadi.
Agaknya kau telah merasa bahwa ajalmu telah de-
kat kini."

Sawung Permadi tak menyambuti kata-kata
Tengkorak Kaki Satu lagi. Segera dipasangnya ku-
da-kuda, ketika melihat manusia bertampang iblis
itu telah menggebrak dengan putaran tongkatnya.
"Hup!"
Si kakek menggenjot tubuh sekitar tiga
tombak dari permukaan tanah. Lalu dengan gera-
kan 'Lingkaran Trenggiling Melesat', tubuhnya ber-
salto di udara dalam keadaan menekuk. Saat ter-
julur lurus kembali, kedua tangannya menghentak
ke depan!
"Uts...!"
Tengkorak Kaki Satu yang melihat adanya
bahaya mengancam dari belakang, segera menggu-
lingkan tubuh ke tanah. Tongkatnya berkelebat
cepat, menghajar pergelangan tangan kiri Sawung
Permadi.    
Prak...!
"Wuaaah...!"
Sawung Permadi berdiri limbung setelah
menjerit keras. Tangan kirinya menggelantung le-
mas karena tulang di atas sikunya telah remuk.
"Sekarang tangan kananmu yang akan ku-
hancurkan, Permadi!" ancam Tengkorak Kaki Sa-
tu. 
Wuuttt...! 
"Uts...!"
Sawung Permadi cepat berkelit ke kiri, keti-
ka Tengkorak Kaki Satu menyambar. Tapi justru
gerakannya membuat Tengkorak Kaki Satu terse-
nyum senang. Tubuh Sawung Permadi yang ber-
geser cepat, dipapaki dengan sebuah tendangan.

Desss! 
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan keras Sawung Permadi
saat tendangan Tengkorak Kaki Satu tepat meng-
hajar pinggangnya. Belum sampai tubuh si kakek
jatuh ke tanah, sebuah tendangan lagi bersarang
di dadanya!
"Eyang...!"
Sebuah teriakan membarengi tubuh Sa-
wung Permadi yang mencelat bagai segumpal ka-
pas tertiup angin kencang. Saat tubuhnya jatuh
berdebam di tanah, sesosok bayangan putih men-
gejar.
Suara tangis menggerung kini memenuhi
permukaan lembah. Seorang gadis berpakaian
serba putih tampak memeluk tubuh lemah Sa-
wung Permadi dengan air mata menganak sungai.
"Tinggalkan Eyang, Intan...!" perintah Sa-
wung Permadi kepada gadis yang ternyata Intan
Melati.
"Tidak, Eyang! Aku harus menolong Eyang!"
"Jangan bodoh! Manusia iblis itu akan
membunuhmu! Cepat lari! Argh!" ujar  Sawung
Permadi seraya mendekap dadanya. Mulutnya ter-
buka, dan segera menyemburkan darah berwarna
kehitam-hitaman.
Intan Melati menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. Gadis ini merasa terharu melihat keadaan
lelaki tua paman guru ayahnya. Teringat dia keja-
dian Pulau Karang. Teringat saat-saat terakhir Sa-
ka Permadi, kakak Sawung Permadi menutup ma-
ta. Haruskah Intan Melati menyaksikan pula saat-

saat terakhir Sawung Permadi menutup mata?
Sementara itu, Tengkorak Kaki Satu tertawa
bergelak-gelak penuh kepuasan. Perlahan namun
pasti, kakinya melangkah menghampiri tubuh le-
mah Sawung Permadi yang berada dalam pelukan
Intan Melati Matanya berkilat-kilat. Timbul niatan
dalam dirinya untuk menghabisi Sawung Permadi
dan Intan Melati secara bersamaan. Tangan kanan
lelaki bertampang mengerikan itu pun telah mem-
persiapkan pukulan jarak jauh. Tapi...
"Tak tahu aturan! Hendak membunuh
orang yang sudah tak berdaya adalah perbuatan
amat keji!"
Tengkorak Kaki Satu mendengus seraya
menoleh. Tahu-tahu di samping kanan sejauh lima
tombak telah berdiri seorang remaja tampan ber-
pakaian penuh tambalan. Sebatang tongkat butut
tampak berada di tangan kanan.
"Siapa kau?!" bentak Tengkorak Kaki Satu.
"Aku Suropati. Datang hendak menghenti-
kan perbuatan keji," aku si remaja yang memang
Suropati alias Pengemis Binal.
Mendengar ucapan Pengemis Binal, Tengko-
rak Kaki Satu tertawa bergelak. Sementara, Sa-
wung Permadi telah muntah darah lagi. Si pemuda
yang tahu kakek berjubah putih itu menderita lu-
ka dalam cukup parah, segera memberi bisikan
dengan cara mengirim suara jarak jauh.
"Jangan menyerah pada kematian. Segera
atur pernapasan. Gunakan hawa sakti untuk
mengatasi luka dalammu."
Mendengar bisikan yang ditujukan kepada

dirinya, Sawung Permadi menguatkan tekad. Dan
dengan susah-payah serta pertolongan Intan Mela-
ti, dia akhirnya dapat duduk bersila. Tangan ka-
nannya menekan lutut. Tapi, tangan kirinya tam-
pak menggantung lemah, karena tulangnya telah
remuk terhantam tongkat Tengkorak Kaki Satu.
"Hmm.... Agaknya di Lembah Batuliman ini
aku akan berpesta darah...," gumam Tengkorak
Kaki Satu pongah. Kedua matanya yang amat ce-
kung menatap tajam ke sosok Pengemis Binal.
Melihat Tengkorak Kaki Satu telah mema-
sang kuda-kuda, Suropati turut memasang kuda-
kuda. Walau remaja tampan ini belum tahu masa-
lah apa yang membuat Tengkorak Kaki Satu dan
Sawung Permadi menjadi bermusuhan, tapi diya-
kini kalau lelaki berwajah mengerikan itu adalah
manusia kejam yang patut dilenyapkan dari muka
bumi. Maka, begitu Tengkorak Kaki Satu membu-
ka serangan tak sungkan-sungkan lagi Suropati
menyambutnya.
Lembah Batuliman kini kembali menjadi
ajang pertempuran sengit. Tongkat di tangan Pen-
gemis Binal dan Tengkorak Kaki Satu sama-sama
berkelebatan, mencari jalan kematian di tubuh sa-
tu sama lain. Walau Tengkorak Kaki Satu adalah
orang cacat yang hanya mempunyai kaki satu, tak
urung membuat kagum Pengemis Binal melihat
kehebatan jurus-jurusnya.
Sebaliknya, Tengkorak Kaki Satu pun demi-
kian. Dia tak dapat menyembunyikan kekagu-
mannya. Suropati yang belum genap berusia dua
puluh tahun, telah dapat memperlihatkan kepan-

daian luar biasa!
Pada satu kesempatan, tubuh Suropati me-
lesat ke atas dengan kedua tangan terpentang le-
bar. Saat berada di udara, kedua tangannya dis-
atukan. Telapak tangannya terbuka menghadap ke
atas. Inilah gerakan 'Pengemis Meminta Sedekah'
yang memiliki kehebatan tak terkira. Tongkat bu-
tut yang terjepit jari telunjuk dan tangan kanan
tampak meluncur, mengarah di antara dua mata
Tengkorak Kaki Satu.
Tengkorak Kaki Satu terkesiap. Segera tu-
buhnya berputar hingga membentuk gulungan si-
nar hitam. Sementara, Pengemis Binal pun dibuat
terkesiap juga. Lalu...
Blarrr...!
Ujung tongkat Pengemis Binal membentur
gulungan sinar hitam, menimbulkan ledakan ke-
ras. Hampir saja tongkat itu terlepas dari pegan-
gan. Namun tak urung telapak tangannya terasa
seperti digigit ribuan semut.
"Hmm.... Manusia jahat itu dapat menyatu-
kan kekuatan ilmu sihir dengan tenaga dalam," pi-
kir Pengemis Binal. "Akan ku gempur dulu kekua-
tan ilmu sihirnya dengan kekuatan ilmu sihir pu-
la...."
Cepat Suropati memusatkan kekuatan ba-
tinnya pada satu titik. Dihimpunnya kekuatan si-
hir hasil ajaran mendiang si Periang Bertangan
Lembut. Kemudian.....
"Lenyap!"
Terdengar bentakan Pengemis Binal yang
nyaring. Dan dibarengi gedrukan kaki Suropati,

putaran tubuh Tengkorak Kaki Satu terhenti. Aki-
batnya, gulungan sinar hitam beruap hitam le-
nyap.
Melihat lawan berdiri terpaku karena dihan-
tam keterkejutan, Suropati segera memanfaatkan
kesempatan ini. Digunakannya gerak tipu
'Pengemis Menghiba Rembulan'. Tubuh Pengemis
Binal cepat meluncur ke atas dengan kedua tela-
pak tangan tengadah di depan wajah. Gerakan ini
seperti tidak melakukan serangan. Kehebatannya
memang terletak pada gerak lanjutannya.
Sementara itu, Tengkorak Kaki Satu tampak
melentingkan tubuhnya dengan tongkat terjulur
lurus ke depan. Pada saat itulah tiba-tiba Suropati
merundukkan  tubuhnya. Dalam keadaan masih
melayang di udara, kaki kanannya bergerak me-
mutar.
Tengkorak Kaki Satu mengira Suropati hen-
dak mendaratkan tendangan. Maka tongkatnya
yang gagal menusuk kepala Suropati kini diguna-
kan untuk mengemplang kaki. Tapi....
Prak...! 
"Wuah...!"
Tengkorak Kaki Satu jatuh berdebam di ta-
nah. Tulang bahu kanannya remuk terhantam
tongkat Pengemis Binal. Terbawa kemarahan yang
meluap, tokoh tua itu jadi nekat. Tubuhnya kem-
bali melesat cepat dengan ujung tongkat tertuju ke
jantung.
Tapi, Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti telah menggeser tubuhnya ke samp-
ing kiri. Lalu, dimainkannya jurus ‘Tongkat Meng-

hajar Maling’.
Prak!
"Aaakh...!"
Sekali lagi jerit kesakitan keluar dari mulut
Tengkorak Kaki Satu. Punggungnya terhantam
tongkat Pengemis Binal!
Tubuh Tengkorak Kaki Satu jatuh bergulin-
gan. Kerudungnya lepas. Saat berdiri, terlihat ka-
lau kepalanya yang tanpa kulit. Wajahnya yang se-
ram semakin nampak menyeramkan. Mendadak,
tokoh tua itu bersuit nyaring. Lalu.... 
"Heaaa...!"
Nekat sekali Tengkorak Kaki Satu mengem-
pos tubuhnya kembali. Sementara Suropati pun
mengempos tubuhnya untuk memapaki. Remaja
tampan ini sama sekali tak menduga kalau Teng-
korak Kaki Satu hanya bermaksud memecah per-
hatiannya. Karena, pada saat itu meluncur sosok
bayangan  putih dengan ujung pedang mengarah
ke tengkuk Pengemis Binal!
Wuuutt....!
Untung, pada saat yang gawat berkelebat
sosok bayangan putih lainnya menyelamatkan
nyawa Pengemis Binal.
Trang!
Tak!
Pedang yang hendak menusuk tengkuk
Pengemis Binal tertangkis. Sementara, tongkat
Pengemis Binal berbenturan dengan tongkat Teng-
korak Kaki Satu.
"Ayah...!"
Sosok bayangan putih yang ternyata Intan

Melatilah yang memberi pertolongan kepada Pen-
gemis Binal. Gadis itu berdiri dengan pandangan
nanar. Di hadapannya, terlihat lelaki setengah
baya berpakaian serba putih tengah memandang
tak berkedip. Tangannya yang memegang sebilah
pedang bergetar seperti menyimpan kemarahan.
Dia tak lain dari Rama Ludira, ayah Intan Melati
yang terkena pengaruh ilmu 'Penghilang Akal' mi-
lik Tengkorak Kaki Satu.
"Bunuh gadis di hadapanmu itu, Ludira!"
perintah Tengkorak Kaki Satu kemudian.
Sementara Rama Ludira menyerang pu-
trinya sendiri, Suropati segera menggempur Teng-
korak Kaki Satu. Pertempuran yang lebih seru se-
gera berlangsung.
Lewat lima jurus kemudian, Rama Ludira
berhasil mendesak Intan Melati. Gadis cantik ini
tak mampu berbuat banyak menghadapi serangan
maut ayahnya yang sudah lupa segala-galanya.
"Suro...!" pekik Intan Melati, seperti hendak
meminta bantuan.
Pengemis Binal yang kala itu telah berhasil
mendesak lawan, dapat melihat keadaan Intan Me-
lati yang terancam. Segera remaja tampan ini me-
loncat ke belakang.
Tengkorak Kaki Satu tak ingin lawannya le-
pas. Cepat dia mengejar. Sayang, dia tak tahu ka-
lau Pengemis Binal telah menghimpun kekuatan
semesta.
Tubuh remaja itu kini memancarkan cahaya
kebiru-biruan. Inilah salah satu ilmu andalan Pen-
gemis Binal yang bernama 'Kalbu Suci Penghem-

pas Sukma' yang diperoleh dari seorang tokoh tua
bergelar Bayangan Putih Dari Selatan. Sesaat ke-
mudian.... 
Blarrr...!
Terdengar suara menggelegar. Tengkorak
Kaki Satu yang membentur inti kekuatan ilmu
'Kalbu Suci Penghempas Sukma' tak dapat lagi
mempertahankan nyawa. Tubuhnya kontan terlon-
tar dalam keadaan hancur menjadi potongan-
potongan kecil!
"Bantu aku, Suro...!" teriak Intan Melati.
Saat itu, pedang Rama Ludira sudah berke-
lebat cepat hendak menusuk ulu hati Intan Melati.
Tapi....
"Ohh...?"
Pada waktu nyawa Intan Melati benar-benar
akan dijemput Malaikat Kematian, Rama Ludira
menghentikan serangannya disertai keluhan. Ke-
pala lelaki setengah baya ini menggeleng-geleng.
Pedangnya lepas terjatuh ke tanah.
"Intan...!" sebut Rama Ludira.
"Ayah! Kau telah sadar, Ayah?!" sambut In-
tan Melati.
"Di manakah kita ini, Intan?"
Melihat Rama Ludira menebar pandangan
seperti orang linglung, Intan Melati segera tahu ka-
lau ayahnya telah terbebas dari pengaruh ilmu
'Penghilang Akal'. Dan sesungguhnya, memang
demikian. Kematian Tengkorak Kaki Satu di tan-
gan Pengemis Binal telah melenyapkan pengaruh
ilmu 'Penghilang Akal'.
Sewaktu Rama Ludira dan Intan Melati sal-

ing peluk dalam tangis kebahagiaan, Pengemis Bi-
nal menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ketika
remaja ini melihat sosok Sawung Permadi yang
tengah duduk bersila, segera dihampirinya. Lalu,
dibantunya kakek itu dalam menyalurkan hawa
sakti.

***

Dalam siraman sinar mentari pagi, tiga ekor
kuda tampak berlari pelan keluar dari Lembah Ba-
tuliman. Yang di depan ditunggangi dua orang le-
laki. Mereka adalah Sawung Permadi dan Rama
Ludira
Tangan kiri Sawung Permadi bergayut di
dada  terselempang kain putih. Wajahnya masih
tampak pucat, tapi luka dalamnya sudah tak
membahayakan jiwanya lagi. Sementara, Rama
Ludira menopang punggung Ketua Perguruan Ta-
pak Putih itu agar dapat duduk tegak
"Apakah kau hendak kembali ke Pulau Ka-
rang?" tanya Suropati yang berkuda di sisi kanan
Intan Melati.
"Tidak. Sejak peristiwa berdarah itu, kupikir
Pulau Karang bukan lagi tempat yang menyenang-
kan," jawab Intan Melati. Agaknya gadis ini sudah
tak marah lagi pada Suropati.
"Lalu, kau mau ke mana?" tanya Suropati.
"Terserah ke mana Ayah mengajak." 
"Tidak ingin ikut denganku?" 
"Ke mana?"
"Ke mana?" ulang Suropati. "Yang jelas bu-

kan ke neraka."
Intan Melati tersenyum. 
Tanpa sepengetahuan Rama Ludira dan
Sawung Permadi, gadis ini meloncat dari punggung
kuda.
Suropati berlaku serupa. Sementara kuda
kedua lelaki itu terus berlari, Intan Melati dan Su-
ropati saling berpelukan. Mereka berciuman. La-
ma... sekali.

  SELESAI 


Segera terbit episode:
PEWARIS MUSTIKA API