Pengemis Binal 14 - Prahara di Kuil Saloka(1)



PRAHARA DI KUIL SALOKA


Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit


Serial Pengemis Binal 
dalam episode: 
Prahara Di Kuil Saloka
128 hal.




1

Kakek berjubah putih ini menajamkan penden-
garan. Bola matanya tampak membesar. Alisnya yang
telah memutih saling bertaut. Tapi, desir angin dan ce-
racau burung menenggelamkan suara aneh yang tadi
didengarnya. Dia lebih mempertajam lagi pendenga-
rannya. Sayang, suara aneh itu kini benar-benar telah
lenyap.
"Hmm.... Ada orang usil yang sengaja memper-
mainkan diriku. Menilik kepandaiannya mengirimkan
suara jarak jauh, dia tentu seorang tokoh yang tidak
boleh dipandang remeh. Siapa dia? Hampir semua to-
koh sakti di wilayah selatan ini telah kukenal. Tokoh
yang satu ini tampaknya masih sangat asing bagiku...,"
kata si kakek kepada dirinya sendiri.
Tokoh  tua yang berusia tujuh puluh tahunan
ini berdiri mematung dengan kening berkerut. Hembu-
san angin lereng bukit mempermainkan jubah yang di-
kenakannya. Rambutnya yang putih panjang dan di-
kuncir tampak bergoyang-goyang. Rambutnya yang
putih panjang dan dikuncir tampak bergoyang-goyang.
Dalam usianya yang sudah tidak muda lagi tubuh ka-
kek ini masih kelihatan tegap. Wajahnya halus berse-
mu merah sehat. Kakinya kokoh mencengkeram tanah,
menopang tubuhnya yang tinggi besar.
Baru saja timbul niatan si kakek untuk berlalu
dari tempat itu, tiba-tiba suara aneh yang tadi diden-
garnya muncul kembali. Kali ini malah lebih keras.
Kening si kakek berkerut semakin kentara. Wa-
lau hatinya diliputi perasaan tak enak, dia tetap berta-
han di tempatnya. Suara aneh yang didengar kakek
berjubah putih ini ternyata sebuah syair.


Orang bijaksana tahu ke mana mesti berkaca 
Apa yang dilihat, didengar, dan dirasa 
Memberikan makna tentang hidup dan
kehidupan, manusia dan kemanusiaan,
serta Tuhan dan peribadatan 
Semua peristiwa yang mendatangkan musibah
ataupun anugerah, kesusahan 
ataupun kesenangan, penderitaan ataupun ke-
bahagiaan 
Adalah cermin di mana orang bijaksana berkaca

Selain mengabdi kepada diri sendiri sebagai 
wujud usaha untuk dapat terus hidup
Orang bijaksana menghaturkan sembah dan 
baktinya kepada zat tunggal yang berkuasa
atas segalanya
Adalah Tuhan yang menciptakan pola dan, 
aturan bagaimana manusia bertindak dan ber-
pikir
Dari situ, orang bijaksana tahu
bahwa langkah kaki mesti lurus ke depan, 
pikiran mesti mengacu ke atas, dan sikap mesti
mengikuti rasa pengabdian 
sebagai makhluk ciptaan Sang Penguasa Tung-
gal

Lain itu, orang bijaksana tak akan pernah ber-
pangku tangan
Karena kebenaran mesti dijunjung dan keadilan
mesti ditegakkan
Makin bertambah usia, makin bijaksanalah dia
Makin tua, makin mengertilah dia
Orang bijaksana selalu bertanya :
Benarkah langkah kakiku telah lurus ke depan?
Benarkah pikiranku telah mengacu ke atas?

Benarkah sikapku telah mengikuti garis ciptaan
Tuhan?
Tanda tanya harus selalu ada
Karena, memang tak banyak yang dimengerti
oleh manusia
Amatlah sulit menjadi manusia yang mengerti
kodratnya sebagai manusia

Panas telinga si kakek mendengar rentetan kata
yang begitu panjang.
"Sombong sekali orang itu," pikirnya. "Aku bu-
kan lagi anak bau pupuk lempuyang yang harus diatur
dan diarahkan. Petuah dan nasihat memang baik Tapi,
dia mesti tahu kepada siapa nasihat itu diberikan.
Hmm.... Diriku yang sudah bau tanah ini tak perlu dis-
indir-sindir begitu rupa...."
Terbawa rasa penasarannya, kakek berjubah
putih  berlari ke utara mengikuti jalan setapak yang
membujur di lereng bukit. Keningnya kembali berke-
rut. Di sana asal syair dilantunkan. Tapi, tak dijumpai
orang yang dicarinya. Malah ada seorang bocah kecil
berumur sekitar dua belas tahun menghalangi langkah
kakinya. Kerut di kening si kakek segera memudar.
Senyum manis ganti mengembang di bibirnya.
"Hei, Bocah! Tahukah kau ke mana perginya
seseorang yang tadi berada di tempat ini?" tanya si ka-
kek ramah sekali.
Bocah laki-laki yang mengenakan rompi kuning
dan bercelana sebatas lutut tampak menggelengkan
kepala. Anting besar yang menghiasi daun telinga ki-
rinya bergoyang-goyang.
"Dari tadi yang berada di tempat ini hanya aku
seorang," kata bocah itu. Sikapnya tidak nampak dia
sedang bermain-main.
"Hmm.... Kalau benar apa yang dikatakan bo-

cah ini, empu syair itu tentu ingin memamerkan ilmu
memindahkan suaranya untuk membuatku jadi pena-
saran," pikir si kakek
"Aku tahu hatimu tak tenang," si bocah tiba-
tiba berkata. "Tapi, orang yang kau cari sebenarnya
sudah ada di sini."
"Heh?! Apa maksudmu, Bocah?"
"Jarang ada orang yang mengakui kalau dirinya
tidak tahu. Kebanyakan orang menganggap dirinya
serba tahu. Malah, dalam ketidaktahuannya dia sering
merasa tahu. Hanya ada satu sebutan yang pantas di-
berikan kepadanya, yakni 'manusia berotak kerbau'"
Si kakek tentu saja terkejut mendengar perka-
taan itu. Bagaimana mungkin seorang bocah berumur
dua belas tahun bisa merangkai kata-kata bijak seperti
ini? Alis putih si kakek pun kembali bertaut. Lama di-
pandanginya wajah si bocah.
"Berpikir dan merenung memang baik. Tapi,
terlalu lama berpikir membuat benak jadi kusut. Se-
dangkan benak yang kusut cenderung membuat hati
jadi kalut. Kalau sudah begitu, tak tetap lagi tujuan
kaki melangkah dan ke mana perbuatan mesti diarah-
kan," lanjut si bocah dengan arifnya.
"Aku tahu kau punya kepandaian, Bocah. Tapi,
tak perlu kepandaianmu itu kau pamerkan di hada-
panku. Aku sudah tua. Dalam usiaku ini banyak su-
dah pelajaran hidup yang kudapat. Maka dari itu, jan-
gan sok pandai menasihati kakek-kakek ini...."
"Ha ha ha...!" si bocah tertawa bergelak. Bahu
dan kepalanya bergoyang-goyang, membuat anting pe-
rak besar di telinga kirinya ikut bergoyang. "Lucu...,
lucu sekali. Dunia mungkin akan tertawa bila menden-
gar apa yang kukatakan kepadamu. Tapi biarlah! Ha
ha ha...."
Selagi bocah beranting perak tertawa terbahak-

bahak, si kakek berkelebat hendak meneruskan men-
cari si empunya syair. Tapi, walau dia telah mengikuti
jalan setapak hingga mencapai setengah lingkaran bu-
kit, usahanya tak menampakkan hasil.
"Hmm.... Benar-benar sial nasibku hari ini. Se-
telah mendapat sindiran dari kata-kata syair, berjum-
pa pula dengan bocah edan yang berlaku sok pandai."
Kakek berjubah putih ini menggerutu panjang-
pendek Ketika dia hendak melanjutkan langkahnya,
pandangannya bertumbuk pada bocah beranting perak
yang enak-enakan duduk di atas pohon. Dahan yang
dijadikan tempat duduk tampak melengkung menahan
berat tubuhnya. Padahal dahan pohon itu cukup besar
untuk dapat menahan tubuh kerbau sekalipun. Tapi,
kenapa hanya menahan tubuh si bocah yang tak sebe-
rapa besar malah melengkung dan terayun-ayun?
"Bocah aneh...," kata si kakek dalam hati. "Se-
jak semula aku menduga dia bukan bocah sembaran-
gan. Tapi kalau dia mau berbuat macam-macam, aku
akan memberi pelajaran."
"Ha ha ha...!" suara tawa terdengar dari mulut
si bocah. "Sebenarnya yang kau cari itu siapa, Banja-
ranpati?"
Kakek berjubah putih langsung tercekat men-
dengar namanya disebut. Parasnya yang semula cerah
berubah mengelam.
"He, Bocah! Kau menyebut nama orang tua
tanpa sedikit pun menaruh hormat. Agaknya kau me-
rasa punya kepandaian yang patut dibanggakan," ujar
si kakek sambil menahan geram.
"Jadi, aku tidak boleh menyebut namamu lang-
sung? Haruskah aku memanggil dengan gelarmu yang
cukup panjang itu, Bayangan Putih Dari Selatan?"
"Hmm.... Rupanya kau telah mengenal siapa di-
riku, Bocah. Walau dirimu masih bau kencur, jelas se-

kali kau bukanlah bocah sembarangan. Tapi biar hati
ini tak tambah penasaran, ada baiknya bila kau me-
nyebutkan nama. Dan siapa gurumu? Mungkin sekali
dia seorang sahabatku. Jadi, aku tak perlu berpra-
sangka buruk kepadamu...," kata si kakek yang me-
mang tak lain Banjaranpati atau Bayangan Putih Dari
Selatan, seorang tokoh tua yang cukup ternama di
rimba persilatan (Tentang sepak terjangnya, baca epi-
sode-episode awal Serial Pengemis Binal).
Mendengar ucapan kakek berjubah putih yang
berubah lembut, si bocah malah tertawa bergelak-
gelak. Waktu Banjaranpati memandangnya dengan so-
rot mata tajam karena merasa tersinggung, si bocah
menghentikan tawanya dan langsung meloncat ke ha-
dapan tokoh tua ini.
Terdengar suara berderak bersamaan dengan
telapak kaki si bocah yang menginjak tanah. Bayangan
Putih Dari Selatan menoleh. Terkejutlah dia. Dahan
pohon tempat si bocah duduk tiba-tiba patah. Patahan
salah satu ujung dahan yang jatuh ke tanah menancap
sedalam hampir setengahnya. Hal itu menambah
keyakinan Banjaranpati kalau bocah beranting perak
ini memang mempunyai ilmu kepandaian yang cukup
luar biasa dibanggakan.
Bayangan Putih Dari Selatan mendengus ketika
melihat si bocah tak segera memperkenalkan diri. Bo-
cah itu malah menatap wajahnya lekat-lekat seperti
sedang menyelidik.
"Bila tak ada maksud buruk, kenapa mesti me-
nyembunyikan nama?" ujar Banjaranpati kemudian
mencoba bersabar.
"Sebelum aku memperkenalkan diri, kau mesti
menjawab pertanyaanku lebih dulu, Banjaranpati.
Apakah kau masih mengingat mendiang gurumu yang
bergelar Raja Syair?" tanya si bocah dengan beraninya.

"Apa perlunya kau menanyakan itu?" sahut
Banjaranpati tak senang mendengar nama gurunya di-
bawa-bawa.
"Kalau kau tidak mau menjawab pertanyaanku,
aku pun keberatan untuk memperkenalkan diri. Itu
berarti, sampai mati pun kau tidak akan tahu siapa di-
riku sebenarnya!"
Kening Bayangan Putih Dari Selatan berkerut
dalam.
"Orang berbudi tak melupakan kebaikan orang.
Murid yang baik tak akan melupakan jasa gurunya,"
ujarnya seperti pada diri sendiri.
Mendengar kalimat itu, si bocah tertawa berge-
lak untuk ke sekian kalinya. Kontan hati Banjaranpati
jadi panas. Tapi sebelum dia berbuat sesuatu, sebuah
syair mengelus gendang telinganya.

Memanglah benar apa yang telah dikata 
Budi baik perlu dikenang sepanjang masa 
Namun, bagi orang Jawa yang mengerti adat 
Budi baik tak cukup dikenang sebagai jimat  
Bukan maksud hati meminta balas
Hanya yang perlu diingat jelas-jelas 
Petuah sang guru mesti menyatu dalam aliran
darah
Biar selalu terbawa ke mana kaki melangkah 
Tak patut pula orang berpangku tangan 
Melihat dunia dalam kekacauan 
Lebih baik mati sebagai kstaria
Daripada hidup berputih mata

Tanpa sadar Bayangan Putih Dari Selatan ter-
surut dua tindak ke belakang. Matanya membelalak
menatap si bocah. Sementara bibirnya bergetar seperti
orang sedang menggumam.

"Sebagai tokoh tua yang telah banyak menyak-
sikan keanehan di dunia, kau tak perlu terkejut, Ban-
jaranpati...," ujar si bocah yang baru saja melantunkan
syair.
"Apakah kau juga yang telah memperdengarkan
syair di lereng bukit sebelah sana?"
Mendengar pertanyaan Bayangan Putih Dari
Selatan, si bocah tersenyum tipis.
"Ya," jawabnya pendek.
"Tapi, kenapa di sana aku mendengar suaramu
seperti suara orang tua yang mengandung getaran-
getaran aneh?" tanya Banjaranpati lagi karena tak ya-
kin.
Si bocah kembali tersenyum.
"Bagi Raja Syair, perihal merubah warna atau
nada suara bukanlah soal yang sulit."
"Apa?!" Banjaranpati terkejut. "Jangan ngawur,
Bocah! Raja Syair adalah guruku yang telah meninggal
puluhan tahun yang lalu. Jangan mengaku-aku kalau
tidak ingin kupecahkan kepalamu!" ancamnya.
"Ha ha ha.... Kalau kau ingin menjadi murid
murtad, kau bisa melakukan itu!"
"Kau membuat aku penasaran saja, Bocah. Te-
rima salam perkenalanku!" ujar Banjaranpati seraya
melayangkan telapak tangan kanannya. Walau tidak
dilambari tenaga dalam penuh, tapi jangan dikira se-
rangan itu tidak berbahaya.
Si bocah malah tersenyum melihat serangan
Banjaranpati. Dia sama sekali tak membuat gerakan
untuk menghindar. Hanya, tangan kirinya yang men-
gibas pelan. Serangkum angin pukulan meluruk deras
menghentikan gerakan tangan Bayangan Putih Dari
Selatan. Bahkan sebelum kakek berjubah putih ini
menyadari keadaan.... 
Duk...!

Mata Bayangan Putih Dari Selatan tak dapat
menangkap gerak-gerik si bocah. Tahu-tahu dia mera-
sakan tubuhnya limbung karena pinggang kirinya te-
lah terpukul.
"Pukulan 'Tanpa Bayangan'...!" desis Banjaran-
pati.
Jurus aneh tersebut adalah ciptaan Raja Syair,
dan hanya diturunkan kepada muridnya. Kalau si bo-
cah dapat memainkannya, apakah di dunia ini ada dua
Raja Syair?
Selagi Banjaranpati diam termangu-mangu, si
bocah berkata.
"Raja Syair cuma satu. Dia telah meninggal pu-
luhan tahun yang lalu. Yang kau hadapi sekarang ada-
lah titisannya, Banjaranpati," ujarnya seperti dapat
membaca jalan pikiran Banjaranpati.
"Guru..," sebut Bayangan Putih Dari Selatan.
"Badan wujudku memang berupa bocah kecil
yang berumur dua belas tahun, tapi jiwaku tetap jiwa
Raja Syair. Karenanya aku tahu siapa kau. Aku datang
menemuimu karena ada sesuatu keperluan denganmu,
Banjaranpati."
"Guru.. "
Hilang sudah rasa penasaran di hati Banjaran-
pati. Melihat kesungguhan Raja Syair, kakek berjubah
putih itu segera menghaturkan hormat dengan berlu-
tut. Tapi, serangkum angin pukulan menahan gera-
kannya.
"Tak perlu peradatan macam-macam! Kalau
ada orang yang melihat kau berlutut di hadapan seo-
rang bocah, dia akan menertawakan mu. Bersikaplah
biasa saja seperti seorang kakek kepada cucunya."
Bayangan Putih Dari Selatan mengangguk pe-
lan. Sinar kegembiraan terpancar dari bola matanya.
"Sebelum aku mengatakan keperluan ku untuk

menemuimu, ada baiknya aku pastikan tentang kabar
yang kudengar. Benarkah kakak seperguruanmu, Aki
Barondeng, telah meninggal dunia?" tanya Raja Syair.
"Benar, Guru...!"
"Jangan panggil aku Guru! Panggil dengan na-
ma kecilku, Gisa Mintarsa atau singkat saja dengan
panggilan Gisa!" bentak guru Banjaranpati yang telah
menitis dalam tubuh seorang bocah.
"Baik..., Gisa. Aki Barondeng memang telah
mati di tangan Suropati atau Pengemis Binal. Namun,
kematian Aki Barondeng sesungguhnya tak layak dija-
dikan penyesalan. Dia meninggal karena mengikuti
hawa nafsunya untuk membalas dendam atas kema-
tian putranya yang bernama Brajadenta atau si Dewa
Maut, seorang pengkhianat kerajaan yang teramat ke-
jam," jelas Banjaranpati memberi penjelasan (Tentang
Aki Barondeng, baca episode: "Kemelut Kadipaten Bu-
miraksa" dan "Bidadari Lentera Merah").
"Hmm.... Mati untuk menebus kesalahan sendi-
ri memang tak layak disesali...," Gisa Mintarsa tampak
merenung sejenak. Lalu lanjutnya, "Aku dengar pula
kau menurunkan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Suk-
ma' kepada Suropati untuk menghadapi ilmu
'Penghisap Sukma' milik Aki Barondeng. Benar begitu,
Banjaranpati?"
"Benar. Kalau tindakan saya salah, saat ini juga
saya siap menerima hukuman," kata Banjaranpati
dengan kepala tertunduk dalam. Karena bagaimana-
pun dengan cara memberikan ilmu pada Suropati be-
rarti dia telah membantu untuk menghabisi nyawa ka-
kak seperguruannya sendiri.
"Ha ha ha...!" Raja Syair tertawa terbahak-
bahak. Anting perak besar yang menghiasi telinga ki-
rinya sampai bergoyang keras. "Aku sangat bangga
mempunyai murid sepertimu, Banjaranpati. Kau selalu

mengutamakan kebenaran dan keadilan di atas sega-
lanya. Aku tidak akan menjatuhkan hukuman kepa-
damu. Aki Barondeng mati karena jiwanya tidak ber-
sih. Sekarang, kenapa orang tidak bersalah mesti di-
hukum? Kau hanya sekadar perantara, Banjaranpati.
Sesungguhnya Tuhan juga yang berkehendak."
Usai mengucapkan kalimat-kalimatnya, raut
wajah Gisa Mintarsa tampak murung. Beberapa kali
dia diam terpaku dengan kepala tertunduk. Mau tak
mau, Bayangan Putih Dari Selatan ikut terbawa kea-
daan. Dia jadi diam terpekur.
"Sekarang juga kau mesti ke kota Kadipaten
Bumiraksa. Di  sana kau akan tahu apa yang harus
kau lakukan," ujar Raja Syair kemudian. Suaranya
terdengar begitu berat dan penuh tekanan.
Banjaranpati hanya dapat menatap bayangan si
bocah ketika tanpa pamit, Raja Syair berkelebat pergi
ke arah timur. Setelah terpaku sejenak, akhirnya ka-
kek berjubah putih ini segera berlalu menuju kota Ka-
dipaten Bumiraksa.

***

2

Walau sinar mentari sedang bersinar terik, tapi
gelap tetap menyelimuti ruang goa ini. Hanya di bagian
mulut gua yang masih terlihat terang. Itu pun cuma
mencapai jarak satu tombak ke dalam. Selebihnya ke-
gelapan semata.
Namun bila ditelusuri lebih dalam, gua tersebut
mempunyai sebuah ruangan sempit di mana bagian
atasnya terdapat lubang sebesar telapak tangan orang
dewasa. Melalui lubang itulah sinar mentari dapat me-

nerobos masuk. Dan, tepat menerpa tubuh seorang
nenek tua renta!
Nenek itu sedang duduk bersila di atas tonjolan
batu runcing dengan tangan bersedekap. Tampaknya
dia mempunyai keseimbangan tubuh yang cukup sem-
purna. Rongga mata wanita tua itu sangat cekung. Pi-
pinya yang keriputan melesak ke dalam dengan tulang
rahang menonjol keluar. Bibirnya mencong, sudut se-
belah kiri tertarik ke bawah. Rambut putih panjang
dan awut-awutan. Pakaiannya yang dikenakannya ser-
ba biru. Penampilan nenek itu cukup menggidikkan
hati. Siapa lagi dia kalau bukan Ratu Air.
Sudah tiga hari penuh bekas Ratu Kerajaan Air
yang telah runtuh itu bersemadi di hadapan sebatang
tongkat yang ujungnya ditancapkan ke lantai gua.
Pangkal tongkat itu berbentuk kepala naga. Bagian
ujungnya yang menancap di lantai gua tampak terpe-
luntir sepanjang dua jengkal. Tertimpa biasan sinar
mentari yang menerobos dari atas gua, batang tongkat
memancarkan cahaya kehijau-hijauan. Dari cahaya
kehijauan itulah Ratu Air merasakan getaran-getaran
aneh yang terus merasuk ke dalam tubuhnya.
Tongkat itu memang bukan tongkat sembaran-
gan. Namanya Tongkat Sakti. Dan merupakan lam-
bang persatuan Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
Pembuat tongkat itu adalah Gede Panjalu atau Penge-
mis Tongkat Sakti, putra Datuk Risanwari yang men-
jadi pendiri Perkumpulan Pengemis Tongkat Naga yang
pernah berjaya pada puluhan tahun silam.
Oleh Gede Panjalu senjata ampuh itu diberikan
kepada Suropati atau Pengemis Binal, Ketua Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti. Suropati mengguna-
kannya sebagai lambang persatuan perkumpulan dan
disimpan di puncak Bukit Pangalasan, tempat bermu-
kim para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sak-

ti.
Dan kalau sekarang Tongkat Sakti jatuh ke
tangan Ratu Air. Pastilah tokoh jahat itu telah meram-
pas secara paksa. Ratu Air berniat menggunakan
Tongkat Sakti sebagai kekuatan untuk menggempur
Kerajaan Siluman milik Nyai Catur Asta yang telah
menghancurkan Kerajaan Air-nya (Baca episode :
"Dendam Ratu Air").
Suasana hening dalam ruangan gua itu pecah
ketika Tongkat Sakti bergetar. Semakin lama semakin
keras hingga lantai gua berderak-derak. Saat batang
Tongkat Sakti bergetar hebat, tiba-tiba ujung senjata
ampuh itu tercabut dari lantai gua lalu melesat mengi-
tari ruangan. Sesaat kemudian, ujungnya yang terpe-
luntir meluruk ke arah Ratu Air yang masih duduk
bersemadi.
Wuttt..!
Ketika ujung tongkat hampir menembus dada
Ratu Air, dari sekujur tubuh nenek berwajah mengeri-
kan itu memancar cahaya perak. Luncuran tongkat
berhenti di udara. Dan sebelum jatuh ke lantai, tangan
kanan  Ratu Air bergerak cepat menyambar batang
tongkat
"Hua ha ha...!" si nenek tertawa keras seraya
meloncat dari tempat duduknya. Batang tongkat di-
acungkannya tinggi-tinggi ke udara. "Nyai Catur Asta!
Kau tak lebih cerdik dari babi bunting yang terlalu ba-
nyak tidur! Pada hari kesatu purnama pertama Kera-
jaan Siluman-mu akan hancur lebur. Aku tahu kau te-
lah menurunkan ilmu 'Pukulan Salju Merah' kepada
anjing buduk Suropati. Tapi, jangan harap ilmu itu
akan sanggup menandingi kekuatan 'Sinar Perak Cair-
kan Wujud' yang telah kusempurnakan. Dengan Tong-
kat Sakti yang melipatgandakan kesaktian sang Ratu
Air, tubuh Suropati akan lumat menjadi air yang tak

lebih berharga dari air comberan! Itu berarti angkara
sang Ratu Air tak akan ada yang menghalangi lagi. Ji-
wa Nyai Catur Asta akan terlempar ke dunia gelap pe-
nuh siksa! Hua ha ha...!"
Ratu Air terus tertawa terbahak-bahak. Tawa
yang mengandung kekuatan dahsyat itu membuat seisi
ruangan gua bergoncang. Bebatuan yang semula ber-
serakan jadi berterbangan menghantam segala penjuru
dinding. Suara gemuruh yang memekakkan gendang
telinga terdengar hiruk pikuk.
"Ratu Air memiliki dendam membara laksana
magma gunung berapi. Dendam itu tertuju padamu,
Nyai Catur Asta! Tak akan puas hati ini sebelum den-
dam di hati terbalaskan!"
Usai melontarkan sumpahnya, si nenek berke-
lebat ke luar gua. Namun, matanya yang cekung seke-
tika terbelalak melihat seorang bocah berumur dua be-
las tahun berdiri tegak tak seberapa jauh dari mulut
gua. Si bocah mengenakan rompi kuning dan bercela-
na pendek sebatas lutut. Anting perak besar menghiasi
telinga kirinya.
"Selamat siang, Nek...," sapa si bocah ramah.
Ratu Air mendengus. Ditatapnya bocah tak di-
kenal itu dengan penuh selidik.
"Siapa kau?" tanyanya dengan angkuh.
Si bocah tersenyum. Bibir mungilnya lalu ber-
getar melantunkan syair.

Aku datang dari langit 
Turun ke bumi menghirup udara lagi
Datang ke sini mengikuti suara hati
Untuk menemui Ratu Air si nenek sakti

Aku datang dari langit 
Membawa titah suci 

Dari Hyang Widhi penguasa sejati
Untuk meluruskan jalan si ne....

"Cukup...!" hardik Ratu Air dengan muka me-
rah padam. "Makna kata-katamu memanaskan telinga.
Membuat tangan gatal untuk memecahkan kepalamu.
Sombong sekali kau, Bocah Ingusan! Kulitmu tipis. Tu-
langmu rapuh. Namun aku tahu di balik semua itu
tersimpan kekuatan. Karenanya, terimalah salam sang
Ratu Air!"
Belum hilang gema ucapannya, tongkat di tan-
gan kanan Ratu Air meluncur deras mengemplang ke-
pala si bocah.
"Uts!"
Cepat sekali bocah itu melangkah mundur dua
tindak. Sambaran tongkat hanya mengenai angin ko-
song. Kontan wajah Ratu Air semakin merah padam.
Matanya melotot liar, menatap si bocah seperti melihat
barang yang harus segera dimusnahkan.
Anehnya, si bocah malah cengar-cengir sambil
menggaruk pantatnya. Dan bersamaan dengan suara
geraman dari mulut Ratu Air, dia memejamkan mata.
Mulutnya mendesis seperti merasakan kenikmatan
yang benar-benar melenakan. Kemudian, dengan gera-
kan konyol dia membalikkan badan. 
Pruet! Brot...!
Si bocah kentut dengan pantat disorongkan ke
muka Ratu Air. Siapa yang tak akan meledak amarah-
nya melihat perbuatan kurang ajar itu? Ratu Air pun
mendengus keras. Dihantamnya pantat si bocah den-
gan Tongkat Sakti.
Namun, si bocah bergerak tangkas. Dia melon-
cat tinggi. Saat masih melayang di udara, bocah itu
menekuk tubuhnya. Lalu, kentut lagi.
Pruet! Thit..!

"Bang... Huk!"
Ratu Air tak dapat melanjutkan umpatannya.
Bau busuk keburu masuk ke lubang hidungnya!
"Ha ha ha...!" si bocah tertawa terbahak-bahak
"Masing-masing orang mempunyai cara tersendiri un-
tuk menyampaikan salam. Bila Ratu Air menyampai-
kan salam berupa kemplangan tongkat, Raja Syair
menyampaikan salamnya berupa kentut berbau ha-
rum. Ha ha ha...!"
"Matilah kau, Bocah Edan!" hardik Ratu Air se-
raya mengayunkan tongkatnya. Kali ini sambaran
tongkat itu menimbulkan deru angin dahsyat.
Si bocah terkesiap. Tawanya langsung berhenti.
"Maaf! Maaf!" ucapnya sambil menghemposkan
tubuh tinggi-tinggi. Tapi, tongkat di tangan Ratu Air te-
rus memburu.
Wut...! Wut...!
"Hentikan! Hentikan!" teriak si bocah seperti
menyimpan rasa takut yang sangat.
Tapi, mana mungkin Ratu Air yang sudah di-
kuasai amarah itu mau menghentikan gempurannya.
Batang tongkat yang pangkalnya berbentuk kepala na-
ga terus mencecar tubuh si bocah.
"Hentikan! Hentikan!" teriak si bocah lagi. Tu-
buhnya terus berloncatan ke sana kemari. Deru angin
dari sambaran tongkat yang tak mengenai sasaran
membuat dedaunan gugur. Lalu berterbangan keras.
Ketika menyadari Ratu Air tak mungkin meng-
hentikan serangannya, si bocah meloncat jauh. Begitu
mendarat kedua kakinya terpentang  lebar mencipta-
kan kuda-kuda yang sangat kokoh.
"Matilah kau sekarang juga!" hardik Ratu Air.
Tubuh nenek ini meluncur cepat dengan pangkal tong-
kat tersorong ke depan.
Cepat si bocah mengibaskan kedua telapak

tangannya. Serangkum angin pukulan meluruk maju
menahan luncuran tubuh Ratu Air. Akibatnya, kaki
wanita tua itu terhenyak ke tanah. Tongkatnya terayun
ke belakang. Untung tidak lepas dari pegang-an. 
"Cukuplah kita main-main, Kinanti...," ujar si
bocah dengan raut wajah kesungguhan.
"Heh?! Kau tahu nama kecilku," Ratu Air terke-
jut bukan main. "Agaknya kau bocah yang tersusupi
roh seorang tokoh tua!" duga nenek ini.
"Tepat! Roh itu tak lain dari Gisa Mintarsa yang
bergelar Raja Syair."
"Hua ha ha...!" Ratu Air tertawa ngakak "Ru-
panya kau tidak puas menerima kematianmu puluhan
tahun yang lalu, Gisa! Bila sekarang kau datang ke
hadapanku dalam wujud seorang bocah, tentu kau
hendak menuntut balas. Tapi kenapa kau tak melayani
seranganku?"
Raja Syair tersenyum tipis. Ia tak menjawab
pertanyaan Ratu Air. Ingatannya sedang melayang ke
masa silam. Sekitar lima puluh tahun yang lalu Raja
Syair pernah berurusan dengan Ratu Air. Waktu itu
Ratu Air masih jaya dengan Kerajaan Airnya. Raja
Syair mempunyai tiga orang murid. Mereka bernama
Aki Barondeng atau si Mayat Hidup, Banjaranpati atau
Bayangan Putih Dari Selatan, dan Kenanga yang ber-
gelar Putri Syair Kehidupan.
Dalam pengembaraannya Raja Syair mendengar
kabar bahwa Kenanga berhasil ditaklukkan oleh Ratu
Air. Di Kerajaan Air, Kenanga dijadikan budak. Tentu
saja Raja Syair tak mau berpangku tangan. Dia datang
ke Kerajaan Air untuk membebaskan murid kesayan-
gannya.
Ratu Air adalah wanita cantik yang sangat licik.
Dengan tipu muslihatnya dia berhasil menawan Raja
Syair. Sejak itulah nama Raja Syair hilang dari rimba

persilatan. Aki Barondeng dan Banjaranpati berusaha
mencari gurunya. Sayang, daya upaya mereka sia-sia.
Hingga kemudian, dua orang saudara seperguruan itu
mendengar kabar kalau Raja Syair telah meninggal.
Oleh sebab apa atau dibunuh oleh siapa, mereka tidak
tahu.
Aki Barondeng dan Banjaranpati akhirnya
menghentikan pencarian mereka. Sedangkan Raja
Syair dan Kenanga kemudian benar-benar dibunuh
oleh Ratu Air. Karena kebesaran Tuhan, roh Raja Syair
yang penasaran dapat menyusup ke jasad seorang bo-
cah. Hingga, hari ini Raja Syair mengetahui kalau Ratu
Air sedang bersemadi di sebuah gua. Raja Syair yang
berjiwa pendekar tak mau mengusiknya. Dia menung-
gu sampai Ratu Air menyelesaikan semadi.
"Hei, Gisa!" bentak Ratu Air melihat Raja Syair
hanya berdiri termangu-mangu. "Bila kau memang da-
tang kepadaku untuk menuntut balas, tak ada gu-
nanya bersikap macam monyet kena sumpit. Segera
keluarkan ilmu kesaktianmu. Ratu Air akan melayani
dengan senang hati!"
"Bagiku, perkara balas dendam tak seberapa
penting," ujar Raja Syair sambil menatap wajah Ratu
Air lekat-lekat "Aku datang ke hadapanmu karena ada
urusan yang lebih penting..."
"Cepat kau katakan!" sela Ratu Air tak sabaran.
Raja Syair tersenyum tipis sebelum mengelua-
rkan kata-katanya.
"Dari dulu sikap dan sifatmu tak pernah beru-
bah. Angkuh, dan sangat membanggakan ilmu kesak-
tianmu. Tapi seperti yang kubilang tadi, perkara mem-
balas dendam bagiku tak seberapa penting."
"Cecurut busuk! Jangan mengumbar kata-kata
di hadapanku. Segera katakan apa yang kau inginkan!"
"Baik! Baik,  Kinanti. Aku meminta kepadamu

untuk melenyapkan pengaruh sihir dalam jiwa Empat
Begundal Dari Gua Larangan!" pinta Raja Syair.
"Hua ha ha...!" Ratu Air tertawa terbahak "Kau
ini lucu sekali, Gisa! Kau adalah musuhku. Tak ada
alasan bagiku untuk menuruti permintaanmu. Biarlah
empat lelaki itu menyebar kematian bagi para anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Tak perlu kau
turut campur. Kalau kau mau membalas dendam, ku-
layani sekarang juga!" sambut Ratu Air dengan ang-
kuhnya.
Melihat Ratu Air mengacungkan tongkat, Raja
Syair buru-buru mengangkat telapak tangan kanan-
nya.
"Tunggu dulu! Semakin bertambah usia semes-
tinya semakin pandai manusia mengendalikan hawa
nafsu. Nafsu buruk yang diumbar hanya akan menda-
tangkan siksa. Siksa yang tak hanya datang di dunia,
tapi juga di akhirat nantinya. Karena itu kau harus le-
bih mendekatkan diri kepada Tuhan, Kinanti. Usiamu
sudah mendekati liang kubur. Sebelum Malaikat Ke-
matian datang menjemput, sebaiknya kau menghenti-
kan perbuatan sesatmu."
"Tak ada yang bisa menghentikan keinginan
sang Ratu Air. Maka, tak perlu kau banyak bacot lagi,
Gisa! Terima kematianmu sekarang juga!" Ratu Air ge-
ram sekali, karena dinasihati begitu bijak oleh musuh-
nya. 
Usai berucap, Ratu Air langsung menerjang ga-
nas. Tongkat Sakti di tangannya melesat cepat mencari
jalan kematian di tubuh Raja Syair. Untuk beberapa
lama si bocah masih mampu mengimbangi gempuran
nenek sakti itu. Tapi setelah Ratu Air memperlihatkan
kembangan jurus yang dilambari dengan ilmu 'Sinar
Perak Cairkan Wujud', Raja Syair terperangah.
Ternyata kesaktian Ratu Air telah berlipat gan-

da. Amat jauh berbeda bila dibanding saat dia bertem-
pur dengan nenek sakti itu sekitar lima puluh tahun
yang lalu. Akibatnya, Raja Syair pun terdesak hebat!
Sewaktu Raja Syair menghemposkan tubuh un-
tuk menghindari bias sinar perak yang timbul dari te-
lapak tangan kiri Ratu Air, batang tongkat nenek ini
berkelebat cepat. Bagian pangkalnya yang berbentuk
kepala naga berhasil menyerempet bahu kiri Raja
Syair.
Srash...! 
"Argh...!"
Tubuh Raja Syair terpeluntir ke kanan. Tubuh-
nya terhuyung-huyung karena tak dapat menguasai
keseimbangan. Sebuah tendangan lagi mendarat tepat
di dadanya.
"Mati kau!" teriak Ratu Air. Diperhatikannya
tubuh Raja Syair yang mencelat jauh kemudian jatuh
terjerembab ke tanah.
Dengan susah payah Raja Syair bangkit berdiri.
Dari mulutnya menyemburkan darah segar. Raja Syair
menggeleng-gelengkan kepala berusaha mengusir ke-
gelapan yang mengaburi pandangan.
"Hua ha ha...!" Ratu Air tertawa bergelak-gelak
penuh kemenangan melihat keadaan lawannya. "Me-
mang ada gunanya kau datang ke hadapanku, Gisa.
Dengan bantuan Tongkat Sakti aku berhasil melipat-
gandakan kekuatan 'Sinar Perak Cairkan Wujud'. Un-
tuk mengetahui kehebatannya, kau telah menjadi ke-
linci percobaanku. Sekarang bersiap-siaplah. Kalau
masih mempunyai ilmu simpanan segera keluarkan
agar kau tak menyesal!"
Dua jari tangan kiri Ratu Air kemudian ditem-
pelkan di dahi. Tongkat Sakti di tangan kanannya diki-
ruskan di depan dada. Dalam waktu bersamaan, Raja
Syair mementangkan kedua kakinya dengan lutut se-

dikit ditekuk. Kedua pergelangan tangannya menyilang
di depan dada. Melihat sikap ini, Raja Syair tampaknya
akan mengeluarkan ilmu andalan.
"Jagat gelap memberi kekuatan kepada sang
Ratu Air. Hari ini 'Sinar Perak Cairkan Wujud' akan
meminta korban!"
Ratu Air mengangkat Tongkat Sakti ke atas ke-
pala. Lalu, telapak tangan kirinya disorongkan ke de-
pan dengan kekuatan penuh.
Weeesss...!
Seberkas sinar perak yang menyilaukan mata
berpendar. Sinar yang dilambari seluruh kekuatan
sakti Ratu Air itu meluruk deras ke arah Raja Syair.
"'Tapak Suci Singkirkan Badai!" teriak Raja
Syair seraya menepukkan kedua telapak tangannya.
Jurus andalan itu yang dipergunakannya untuk
menghadapi gempuran sinar perak Ratu Air.
Blarrr...!
Diiringi suara menggelegar keras tubuh Raja
Syair memancarkan seberkas cahaya kuning. Cahaya
yang timbul dari penerapan ilmu 'Tapak Suci Singkir-
kan Badai' itu membentur sinar perak yang memendar
dari telapak tangan lawan.
Sebuah ledakan dahsyat menggelegar. Sinar pe-
rak membias ke berbagai penjuru seperti membentur
dinding baja yang sangat kuat. Sebagai biasan sinar
perak menerabas pohon dan bebatuan yang banyak
terdapat di tempat itu. Akibatnya sungguh mengeri-
kan. Dalam sekejap mata, pohon dan bebatuan yang
tertimpa sinar langsung berubah wujud menjadi cairan
kental berwarna keputih-putihan.
Sementara saat terjadi ledakan dahsyat, cahaya
kuning yang memancar dari sekujur tubuh Raja Syair
berbalik arah menghantam pemiliknya sendiri. Naas
bagi bocah titisan itu. Tubuhnya mencelat ke udara se-

tinggi pohon kelapa. Kemudian, jatuh berdebam di ta-
nah dan tak bergerak-gerak lagi.
"Hua ha ha...!" kesekian kalinya Ratu Air terta-
wa bergelak-gelak. Ketika terjadi bentrokan dua tenaga
sakti tadi tubuh nenek ini tetap berdiri tegak di tem-
patnya. Pertanda, ilmu kesaktianya berada beberapa
tingkat lebih tinggi dari ilmu kesaktian Raja Syair.
"Sungguh malang nasib Gisa Mintarsa...," ujar
Ratu Air bicara sendiri. "Baru saja dapat menghirup
udara segar kembali, jiwanya mesti melayang untuk
kedua kali. Hua ha ha...!"
Selagi Ratu Air tertawa mengikuti suara hatinya
yang penuh luapan kegembiraan, sesosok bayangan
ungu berkelebat cepat. Bayangan itu menyambar tu-
buh Raja Syair.
"Heh!"
Ratu Air terkesiap. Tawanya berhenti menda-
dak. Walau sudah tua, tapi matanya masih cukup
awas. Dia melihat gerakan si bayangan ungu. Kontan
kakinya menjejak tanah untuk mengejar. Namun
bayangan itu keburu lenyap dengan membawa tubuh
Raja Syair.
"Bangsat!" umpat Ratu Air. "Siapa pula tokoh
usil yang berani mencampuri urusanku ini? Hmm....
Pada saatnya nanti aku pasti akan memecahkan batok
kepalanya!"
Dengan penuh rasa kesal Ratu Air kemudian
berkelebat ke arah utara. Dia hendak menuju kota Ka-
dipaten Bumiraksa.


***




3

Perjalanan sang Baskara telah sampai di ben-
tangan kaki langit sebelah barat. Peredaran sinarnya
menciptakan warna kuning keemasan. Walau hanya
terlihat setengah lingkaran, tapi terang masih setia
menemani bumi.
Di sore yang cerah ini seorang gadis bertubuh
langsing tampak duduk bersandar pada sebatang po-
hon di pinggir kota Kadipaten Bumiraksa. Mata gadis
berwajah cantik itu menatap lurus ke aliran sungai
yang berada tak jauh di hadapannya. Berulang kali ke-
luar desahan dari mulutnya. Parasnya membersitkan
sebuah kesedihan.
Ketika angin bertiup lebih kencang, anak-anak
rambutnya yang terurai panjang tersibak dan menutu-
pi sebagian wajahnya. Namun, dia tak ambil peduli.
Pandangannya tetap dilayangkan lurus ke depan,
hampir-hampir tiada berkedip. Gadis cantik itu adalah
Dewi Ikata atau Pendekar Wanita Gila.
Ingatan putri tunggal Adipati Danubraja itu tak
pernah lepas dari peristiwa yang baru saja dialaminya.
Di depan Kuil Saloka dia tak mampu menyelamatkan
nyawa dua orang anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti, karena kedatangannya terlambat. Dua
orang anak buah Suropati atau Pengemis Binal itu ma-
ti di tangan Empat Begundal Dari Gua Larangan. Dan,
sikap Suropatilah yang membuat sedih hati Dewi Ika-
ta. Suropati seperti menimpakan kesalahan atas kema-
tian dua anak buahnya pada murid si Perangai Gila itu
(Baca episode : "Dendam Ratu Air").
"Suro...," gumam Pendekar Wanita gila, menye-
but nama pemuda yang menjadi pujaan hatinya. "Mati
hari ini atau besok bagiku sama saja. Tapi aku tak

mau mati dalam kesedihan karena orang menyalahkan
diriku, walau sebenarnya aku sendiri tidak bersalah.
Suro, aku tahu tanggung jawabmu sebagai seorang
pemimpin adalah sangat besar. Karenanya, aku ingin
sekali meringankan bebanmu. Namun...."
Gumaman gadis cantik ini terhenti bersamaan
butiran mutiara bening yang menitik dari sudut ma-
tanya. Pandangannya yang kosong tetap terarah lurus
ke depan. Dia sama sekali tak menyadari kalau di
sampingnya telah berdiri seorang lelaki berperawakan
tegap. Rasa sedih membuat kewaspadaan Dewi Ikata
lenyap. Untunglah orang yang datang itu tidak mem-
punyai maksud buruk.
"Tuan Putri...," sapa lelaki berperawakan tegap.
Dewi Ikata tersentak kaget. Tanpa sadar dia
meloncat bangkit. Tapi setelah mengetahui siapa orang
yang mengejutkannya, hatinya menjadi lega.
"Kau mengejutkan aku saja, Campa!" ujar Pen-
dekar Wanita Gila dengan suara ketus.
"Maafkan saya, Tuan Putri. Saya tidak sengaja,"
kilah lelaki yang dipanggil 'Campa'. Dia adalah salah
satu orang kepercayaan Adipati Danubraja, ayahanda
Dewi Ikata.
"Hmm.... Aku tahu maksudmu datang kemari..
Bukankah kau diutus ayahanda untuk memintaku
kembali ke pendapa kadipaten?"
"Benar, Tuan Putri. Gusti Adipati berpesan agar
Tuan Putri secepatnya kembali ke pendapa kadipaten.
Ibunda Rara Anggi masih belum sembuh benar dari
sakitnya. Selain dari itu, kemarin malam seorang ne-
nek berilmu tinggi marah-marah di hadapan Gusti
Adipati. Nenek itu kecewa karena kedatangannya tidak
menjumpai Tuan Putri."
"Hmm.... Orang itu tentu guruku yang pertama,
Arumsari atau Dewi Tangan Api. Aku mendengar kabar

kalau nenek sakti itu sedang mencari-cari diriku," kata
Pendekar Wanita Gila dalam hati.
"Sebaiknya Tuan Putri pulang ke pendapa ka-
dipaten sekarang. Kasihan Ibunda Rara Anggi. Sejak
kepergian Tuan Putri, beliau terus-menerus menyebut
nama Tuan Putri," ujar Campa.
"Campa, aku tahu kau adalah utusan ayahan-
da yang sangat setia mengemban tugas. Tapi, ada
baiknya bila kau kembali ke pendapa kadipaten. Kata-
kan kepada ayahanda kalau aku tidak lama lagi akan
pulang," pesan Dewi Ikata. Rasanya dia memang eng-
gan untuk pulang ke rumah dalam waktu dekat ini. 
"Besok?"
"Entah besok, entah lusa. Yang jelas tidak akan
lama. Sampaikan saja apa yang kukatakan kepada
ayahanda."
"Bagaimana dengan Ibunda Rara Anggi?" tanya
Campa khawatir.
Mendengar ucapan Campa ini, Dewi Ikata jadi
tercenung. Beberapa lama gadis itu diam termenung,
Dewi Ikata tahu sakit yang diderita ibunya tidaklah pa-
rah. Hanya sakit biasa yang kemungkinan besar kare-
na memendam rasa rindu terhadap putrinya. Tapi,
yang membuat Dewi Ikata jadi serba salah adalah si-
kap beliau yang selalu mengkhawatirkan keadaan di-
rinya.  Dari rasa khawatir itulah ibu Dewi Ikata jatuh
sakit.
Tiba-tiba Pendekar Wanita Gila tersenyum-
senyum sendiri.
"Kau kembalilah ke pendapa kadipaten, Campa.
Katakan kepada ibunda bahwa putri tunggalnya telah
memiliki ilmu kesaktian hebat. Jadi, beliau tak perlu
merasa khawatir akan keselamatan diriku."
Melihat Pendekar Wanita Gila tersenyum-
senyum, kening Campa berkerut.

"Tuan Putri...," sergahnya. Tapi junjungannya
tetap saja tersenyum-senyum sendiri.
"Tunggu apa lagi, Campa?! Kembalilah seka-
rang juga. Ibunda Rara Anggi tidak akan bersedih lagi.
Bukankah aku kemarin pulang ke pendapa kadipaten
membawa seorang bayi yang montok? Bayi itu akan
menjadi pengganti diriku!" (Baca episode: "Dendam Ra-
tu Air").
Campa memandang wajah Dewi Ikata dengan
sinar mata heran. Tapi, akhirnya mengertilah pungga-
wa kadipaten ini kenapa Dewi Ikata dijuluki orang se-
bagai Pendekar Wanita Gila. Rupanya putri tunggal
Adipati Danubraja itu mempunyai perangai aneh.
"Hei! Kenapa kau tidak segera menyingkir dari
tempat ini, Campa?!" bentak  Dewi Ikata. Wajahnya
tampak tegang karena menyimpan amarah.
"Tapi, Tuan Putri...," ujar Campa. "Saya tidak
berani kembali ke pendapa kadipaten tanpa mendapat
kepastian kapan Tuan Putri akan menyusul."
Dewi Ikatan menatap Campa dengan sinar ma-
ta berapi-api.
"Keparat!" umpatnya seraya menonjok mulut le-
laki yang berdiri di hadapannya itu.
Dengan mudah Campa menghindar. Namun,
tak disadari tindakan menghindari itu justru membuat
Dewi Ikata semakin marah. Sebelum Campa sempat
berkata-kata, Dewi Ikata telah mencecarnya dengan
serangan ganas.
"Tuan Putri! Tuan Putri...!" sergah Campa sam-
bil berloncatan menghindar ke sana kemari.
Pendekar Wanita Gila yang sedang kumat gen-
dengnya tak mempedulikan ucapan Campa. Dia terus
mencecar dengan pukulan dan tendangan yang cukup
berbahaya. Campa yang tidak berani membalas tentu
saja jadi kerepotan. Apalagi serangan Dewi Ikata tam-

paknya tidak main-main. Hingga, pada suatu kesem-
patan....
Desss...!
"Augkh...!"
Bahu kanan Campa tertimpa kepalan tangan
Dewi Ikata. Pukulan itu memang tidak dilambari tena-
ga dalam penuh, tapi cukup untuk membuat tubuh
Campa terpeluntir ke kiri lalu jatuh berdebam di ta-
nah.
Pendekar Wanita Gila tertawa bergelak.
"Kalau kau tetap nekat tak mau menyingkir da-
ri tempat ini, jangan salahkan aku bila tiba-tiba Malai-
kat Kematian  datang menjemput nyawamu!" ancam
gadis itu.
Susah payah Campa bangkit berdiri. Melihat
kesungguhan Dewi Ikata, punggawa kadipaten ini ter-
surut ke belakang dua tindak. Tapi ketika teringat tu-
gas yang harus diembannya, Campa tak mempeduli-
kan ancaman Pendekar Wanita Gila.
"Daripada mengecewakan Gusti Adipati dan
Gusti Rara Anggi, saya rela mati di tangan Tuan Putri,"
kata Campa sambil menatap wajah Dewi Ikata lekat-
lekat
"Ha ha ha...!" kembali Pendekar Wanita Gila ter-
tawa bergelak-gelak. "Kau memang seorang punggawa
yang setia, Campa. Kau patut mendapat kepercayaan
dari ayahanda. Tapi kalau kau tetap nekat, Malaikat
Kematian akan benar-benar datang menjemput nya-
wamu!"
Menerima ancaman yang bernada kematian itu,
nyali Campa tak menjadi ciut. Bahkan ketika melihat
pergelangan tangan kanan Dewi Ikata telah berubah
merah membara akibat ilmu 'Pukulan Api Neraka',
Campa sama sekali tak beranjak dari tempatnya berdi-
ri. 

"Hei, Campa!" hardik Pendekar Wanita Gila.
"Berpikirlah sekali lagi sebelum aku menjatuhkan tan-
gan maut terhadapmu!"
Campa menggeleng lemah.
"Tidak, Tuan Putri. Saya tetap pada pendirian
semula...."
Dewi Ikata mendengus. Kaki kirinya menjejak
tanah. Ringan sekali tubuh gadis ini melayang. Kepa-
lan tangan kanannya yang terkepal meluncur deras
hendak mengepruk kepala Campa.
Campa terlihat pasrah saja menerima kema-
tian. Ketika merasakan sambaran hawa panas tertuju
ke arahnya, Campa memejamkan mata. Kepalan tan-
gan kanan Dewi Ikata yang berwarna merah membara
terus meluncur tanpa tercegah lagi! Sebuah peristiwa
mengerikan akan terjadi. Namun...
Duk...!
Sesosok bayangan hijau berkelebat menangkis
pukulan Pendekar Wanita Gila. Selamatlah jiwa Cam-
pa.
"Bang..., eh...?"
Dewi Ikata tak melanjutkan umpatannya. Sosok
yang baru hadir itu adalah Arumsari atau Dewi Tangan
Api, gurunya yang pertama. Pantas nenek itu berani
menangkis pukulan Dewi Ikata. Karena jangankan len-
gan manusia, besi pun bisa lumer terkena pukulan pu-
tri tunggal Adipati Danubraja ini.
"Kau jangan sembarangan menjatuhkan tangan
maut, Ika!" ujar Dewi Tangan Api memperingatkan.
Nenek yang masih terlihat cantik dengan tubuh sintal
ini menatap muridnya dengan mata mendelik.
"Maafkan Ika, Eyang. Ika khilaf," kilah Pende-
kar Wanita Gila dengan kepala tertunduk.
"Ha ha ha...," Dewi Tangan Api tertawa lunak.
"Kau khilaf atau sedang kumat gendengmu?" katanya

dengan tersenyum.
Dewi Ikata tak dapat menjawab pertanyaan gu-
runya. Sementara Campa yang telah terbebas dari lu-
bang kematian hanya dapat berdiri termangu-mangu.
Namun, punggawa kadipaten ini jadi terkesiap ketika
Dewi Tangan Api menatapnya dengan mata mendelik.   
"Kau sudah kuselamatkan! Apa lagi yang kau
inginkan? Segera pergi dari tempat ini!" usir Dewi Tan-
gan Api.
"Maaf, Nek. Saya harus menjalankan tugas dari
Gusti Adipati Danubraja,!" sahut Campa dengan badan
terbungkuk memberi penghormatan. Bagaimanapun
Dewi Tangan Api telah menyelamatkan nyawanya. Ma-
ka, selayaknya Campa menghaturkan rasa hormat.
"Jangan bersikap bodoh, Punggawa! Aku telah
menghadap Adipati Danubraja. Urusan Dewi Ikata dis-
erahkan kepadaku. Maka, tak perlu lagi kau berada di
tempat ini. Kembalilah ke pendapa kadipaten. Kau te-
lah menjalankan tugas dengan baik. Adipati Danubraja
maupun Gusti Rara Anggi tidak akan kecewa. Lagi pu-
la, di pendapa kadipaten tenagamu lebih dibutuhkan,"
sahut Dewi Tangan Api.
"Benarkah demikian?" tanya Campa ragu.
"Nama besar Dewi Tangan Api menjadi jami-
nannya."
Melihat kesungguhan guru pertama Dewi Ikata,
Campa menganggukkan kepala. Tampaknya keteran-
gan Dewi Tangan Api cukup bisa dipercaya. Campa la-
lu menjura hormat dan memohon diri.
"Semoga Tuhan selalu bersama Tuan Putri Dewi
Ikata...," doa Campa untuk Pendekar Wanita Gila sebe-
lum pergi.
"Terima kasih, Campa. Maafkan perlakuan ka-
sarku barusan. Aku menyesal...," sahut Dewi Ikata.
"Sampaikan salamku pada ayahanda dan ibunda ka-

takan kalau beliau berdua tak perlu khawatir lagi ter-
hadap keselamatanku. Aku akan bersama guruku
sampai saatnya nanti kembali ke pendapa kadipaten."
Sekali lagi Campa membungkuk hormat. Lalu
membalikkan badan dan berlalu dari hadapan Dewi
Ikata serta Dewi Tangan Api.
"Kudengar kau telah berguru pada saudara
kandungku yang bergelar si Perangai Gila, Ika...," ujar
Dewi Tangan Api pada Dewi Ikata.
"Benar, Eyang. Tapi beliau sekarang sudah me-
ninggal."
"Kasihan sekali. Sekar Arum. Hidupnya tidak
bahagia. Sayang, pada hari-hari terakhirnya aku tidak
bisa menemani," desah Dewi Tangan Api dengan wajah
muram. Tapi dengan segera nenek ini berusaha men-
gusir rasa sedih dalam hatinya. Lalu, ditatapnya wajah
Dewi Ikata dalam-dalam.
"Kudengar pula sebelum meninggal si Perangai
Gila menyalurkan seluruh tenaga dalamnya ke tu-
buhmu. Benar begitu, Ika?" tanya Dewi Tangan Api,
yang rupanya mengetahui banyak apa yang dialami
muridnya selama dalam pengembaraan.
"Benar, Eyang. Sesungguhnya hal itu sama se-
kali tidak Ika inginkan. Karena, Ika tahu tindakan
Eyang Sekar Arum akan berakibat buruk terhadap di-
rinya sendiri. Tapi Ika tak bisa menolak...," tutur Pen-
dekar Wanita Gila. Sosok si Perangai Gila yang pernah
menyelamatkan nyawanya terbayang kembali dalam
ingatan putri tunggal Adipati Danubraja ini (Tentang si
Perangai Gila, baca episode : "Malaikat Bangau Sakti"
dan "Dendam Para Pengemis").
"Kematian tak perlu disesali, Ika. Cepat atau
lambat semua manusia pasti akan mengalaminya.
Yang perlu kita ingat adalah ke mana kaki mesti di-
langkahkan. Mengikuti jalan lurus atau menyimpang.

Kalau langkah telah mengikuti jalan lurus, kematian
bukan lagi sesuatu hal yang harus ditakutkan. Semoga
arwah si Perangai Gila diterima oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa."
Pendekar Wanita  Gila tertunduk dalam. Ha-
tinya turut berdoa untuk arwah si Perangai Gila yang
pernah menjadi gurunya.
"Ika...," panggil Dewi Tangan Api.
"Ya, Eyang."
"Kukira kau telah memiliki tenaga dalam yang
cukup sempurna. Karena itu, aku akan menurunkan
salah satu ilmu andalanku. Ilmu itu belum sempat ku-
berikan kepadamu karena kita keburu berpisah."
"Ilmu apa, Eyang?" tanya Dewi Ikata dengan
mata bersinar karena rasa senang.
"Ilmu 'Rambut Penyambar Sukma'."
Mata Dewi Ikata mengerjap pelan. Seulas se-
nyum tersungging di bibirnya. Gadis ini kemudian ber-
sujud di hadapan Dewi Tangan Api.

***

4

Senja merayap menyapa sang Dewi Malam. Ge-
lap menghantar kelam. Namun, sunyi malam di hala-
man Kuil Saloka telah terobek-robek. Jerit kematian
dan denting senjata tajam beradu menenggelamkan
suara-suara serangan malam.
Cahaya rembulan cukup terang untuk mem-
bantu mengenali siapa yang sedang bertempur. Tiga le-
laki kekar anggota Empat Begundal Dari Gua Larangan
tengah mengamuk ganas dengan pedang di tangan.
Mereka tak lain Tunggul, Boma, dan Gangsar. Sedang-

kan lawan-lawan mereka adalah belasan prajurit kadi-
paten bersenjata pedang dan tombak. Prajurit-prajurit
itu bertempur bahu membahu dengan dibantu pulu-
han anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
Dilihat dari kelebatan tubuh dan sambaran pe-
dang di tangan Tunggul, Boma, dan Gangsar tampak-
nya ketiga lelaki ini berada di atas angin. Telah belasan
tubuh lawan bergeletakan di tanah tanpa nyawa. Dan
tampaknya mereka akan terus menyebar kematian.
Tapi, para prajurit dan anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti bukanlah orang-orang bernyali ciut. Wa-
lau terdesak, mereka terus memberi perlawanan.
Para prajurit kadipaten itu memang mengem-
ban tugas dari Adipati Danubraja untuk menumpas
Empat Begundal Dari Gua Larangan. Keempat orang
itu telah banyak membuat kekacauan. Seperti yang
kali ini mereka lakukan dengan menyerang para pen-
gemis yang tidak bersalah apa-apa.
Di halaman samping kuil Saloka juga terlihat
sebuah pertempuran seru. seorang lelaki berewokan
sedang bertempur sengit melawan remaja tampan ber-
pakaian putih penuh tambalan. Lelaki brewokan yang
tak lain Gentho, Pemimpin Empat Begundal Dari Gua
Larangan ini terus mencecar si remaja tampan dengan
kelebatan pedangnya dalam jurus-jurus ampuh. Tapi
walau si remaja tampan hanya bertangan kosong, dia
cukup mampu melayani serangan Gentho. Bahkan,
beberapa kali kepala lawan nyaris kena pukul.
"Bangsat!" umpat Gentho. "Kucincang tubuhmu
menjadi serpihan daging!"
Remaja tampan itu cuma mendengus. Cepat
sekali dia kemudian menyodok perut Gentho dengan
telapak kaki kiri. Gentho berusaha menghindari den-
gan mempergunakan tebasan pedangnya. Tapi, telapak
tangan kiri si remaja justru mendarat di kepalanya. 

Plak...!
"Mati kau sekarang, Cecurut Busuk!" Terdengar
teriakan nyaring si remaja. Lalu, dengan kelebatan tu-
buh yang luar biasa cepat, tahu-tahu sebuah tendan-
gan bersarang di dada Gentho. Kontan tubuh lelaki be-
rewokan itu mencelat jauh dan jatuh terbanting di ta-
nah keras. Tapi, laki-laki itu dengan sigap segera
bangkit berdiri dan siap melanjutkan pertempuran.
Tiba-tiba, tiga jerit kesakitan terdengar dari ha-
laman depan Kuil Saloka. Si remaja tampan terkesiap.
Tiga orang anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti terlempar ke tanah dengan tubuh berlumuran
darah.
Remaja tampan itu menggeram marah. Sekejap
kemudian, tubuhnya melayang cepat. Dan....
Plak! Plak! Plak!
Tiga kali berturut-turut telapak tangan kanan
dan kiri si remaja berhasil mendarat di kepala Tung-
gul, Boma, dan Gangsar. Tiga lelaki itu mengaduh ke-
sakitan. Tubuh mereka terpelanting sebelum jatuh ter-
jerembab di tanah. Namun, seperti halnya dengan
Gentho, mereka pun dapat bangkit lagi tanpa kurang
suatu apa. Semua orang yang melihat kejadian ini jadi
terperangah kaget.
Si remaja pun terpaku keheranan. Telapak tan-
gannya tadi dialiri tenaga dalam penuh. Jangankan
tubuh manusia, batu sebesar kerbau pun akan hancur
berkeping-keping bila terkena tamparan. Kini, bagai-
mana mungkin Empat Begundal Dari Gua Larangan
bisa bertahan?
Sewaktu si remaja berdiri terpaku terbawa rasa
herannya, berkelebatan sesosok bayangan. Dengan
senjata pedang bayangan itu berusaha menebar leher!
"Awas, Suro...!" teriak beberapa orang anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.

Si remaja terkesiap. Sementara gerakan bayan-
gan itu sangat cepat. Nyawa si remaja tampan benar-
benar berada di ujung tanduk.
Duk...!
"Argh...!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu sesosok
bayangan putih berkelebat cepat memukul tengkuk
bayangan yang bersenjata pedang. Akibatnya, tubuh
lelaki berpedang itu jatuh tersungkur. Kini terlihat je-
las siapa dia. Ternyata Gentho, Pemimpin Empat Be-
gundal Dari Gua Larangan.
"Kakek Bayangan Putih Dari Selatan...!" seru si
remaja setelah tahu kalau penolongnya adalah seorang
kakek berjubah putih yang tak lain Banjaranpati.
"Tampaknya malapetaka telah terjadi di tempat
ini, Suro," kata Bayangan Putih Dari Selatan, menye-
but nama si remaja yang memang Suropati atau Pen-
gemis Binal.
"Kebetulan sekali kau datang, Kek. Tolong ban-
tu aku melenyapkan Empat Begundal Dari Gua Laran-
gan itu."
Bersamaan dengan selesainya ucapan Suropati,
Gentho bangkit dan langsung melancarkan serangan
untuk membabat pinggang. Kelebatan cahaya perak
itu menimbulkan suara mendesing. Tapi, kali ini Suro-
pati telah berada dalam kewaspadaan penuh. Dengan
sigap dia menghindar. Lalu ditendangnya pergelangan
lengan kanan Gentho yang memegang pedang.
Pertempuran sengit segera berlangsung kemba-
li. Dengan kedatangan Bayangan Putih Dari Selatan,
kini Suropati beserta anak buahnya dan belasan pra-
jurit kadipaten berada di atas angin. Namun, kesaktian
Empat Begundal Dari Gua Larangan benar-benar luar
biasa. Mereka dapat menahan pukulan dan tendangan
yang datang bertubi-tubi. Kemplangan tongkat, tusu-

kan tombak, dan sambaran pedang pun tak membuat
tubuh mereka terluka. 
Tentu saja keadaan ini membuat Pengemis Bi-
nal dan Bayangan Putih Dari Selatan jadi penasaran.
Tapi sebelum dua pendekar ini mengeluarkan ilmu an-
dalan masing-masing, terdengar suara suitan nyaring.
Lalu, secara bersamaan Empat Begundal Dari Gua La-
rangan menghemposkan tubuh. Mereka mendarat di
belakang seorang nenek tua renta yang tahu-tahu te-
lah berdiri di tepi halaman depan Kuil Saloka.
"Ratu Air akan segera melampiaskan sebagian
dendam kesumatnya!" ujar nenek berpakaian serta bi-
ru itu. Suaranya terdengar begitu angkuh.
"Hmm.... Agaknya kau yang bergelar Ratu Air.
Melihat wujudmu yang buruk rupa itu, tak pantas kau
disebut 'Ratu'. Kau lebih tepat diberi julukan 'Tikus
Comberan'!" ejek Suropati dengan geram kemarahan.
Sementara, para anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti dan prajurit kadipaten menebar di kiri
dan kanannya. Bayangan Putih Dari Selatan berdiri
berdampingan dengan Suropati.
Ratu air tersenyum sinis. Pandangan matanya
terlihat sangat meremehkan lawan.
"Aku tahu kau telah memiliki ilmu 'Pukulan
Salju Merah'. Namun, jangan harap ilmu milik Nyai
Catur Asta itu sanggup menghadapi kekuatan 'Sinar
Perak Cairkan Wujud'!"
Mendengar kesungguhan dalam ucapan Ratu
Air, Pengemis Binal memberi isyarat kepada anak
buahnya dan para prajurit kadipaten untuk menying-
kir. Dan, tampaknya orang-orang itu pun menyadari
keadaan. Mereka segera menjauh dan mencari tempat
berlindung. Karena malapetaka justru akan menimpa
bila mereka tetap bertahan di halaman Kuil Saloka.
Kini Suropati dan Ratu Air saling beradu pan-

dang dengan wajah tegang. Empat Begundal Dari Gua
Larangan  tetap berdiri tegak di belakang Ratu Air.
Bayangan Putih Dari Selatan tampak mengerutkan
kening. Kakek ini tahu Suropati akan segera menga-
wasi pertarungan antara hidup dan mati.
"Suro...," panggil Bayangan Putih Dari Selatan.
Kakek itu tampak agak khawatir. Kakek berjubah pu-
tih ini memang mengetahui kalau Pengemis Binal
mempunyai ilmu kesakitan tinggi, tapi sering kali pe-
muda itu bertindak nekat tanpa perhitungan.
"Tenanglah, Kek...," kata Suropati berusaha
meyakinkan Bayangan Putih Dari Selatan akan tinda-
kannya. "Aku sedang mengemban tugas dari seorang
tokoh yang bernama Nyai Catur Asta. Aku akan mele-
nyapkan keangkaramurkaan Ratu Air. Karena urusan
ini tidak ada sangkut pautnya denganmu, sebaiknya
kau menyingkir saja, Kek..."
Bayangan Putih Dari Selatan menatap wajah
Pengemis Binal lekat-lekat.
"Menciptakan ketenteraman di rimba persilatan
adalah tanggung jawab bersama," katanya. "Bila dalam
rimba persilatan telah bercokol seorang pengacau, ma-
ka tugas untuk menyingkirkannya adalah kewajiban
bersama."
Pengemis Binal tak berkata-kata lagi. Dibalas-
nya tatapan Bayangan Putih Dari Selatan. Remaja ko-
nyol itu tak meragukan kepandaian kakek berjubah
putih yang berdiri di sampingnya. Kakek inilah yang
dulu pernah menurunkan ilmu 'Kalbu Suci Penghem-
pas Sukma' kepada dirinya. Kehebatan ilmu itu bukan
alang kepalang. Tampaknya kali ini pun Pengemis Bi-
nal akan menerima uluran tangan kakek itu lagi.
Ratu Air yang turut mendengar ucapan Bayan-
gan Putih Dari Selatan tadi terdengar tertawa terba-
hak-bahak.

"Banjaranpati," ujar nenek itu kemudian. "Me-
mang ada baiknya kau berada di pihak bocah gem-
blung itu. Biar sekalian kukirim nyawamu ke neraka,
menyusul gurumu yang bergelar Raja Syair. Ilmu
'Tapak Suci Singkirkan Badai' miliknya tak sanggup
menghadapi kehebatan 'Sinar Perak Cairkan Wujud'!"
Ratu Air lalu kembali tertawa keras dengan
pongahnya. Bayangan Putih Dari Selatan yang men-
dengar penuturan si nenek tampak mengerutkan ken-
ing heran. Baru tadi siang dia bertemu dengan Raja
Syair yang jiwanya telah menitis ke tubuh seorang bo-
cah. Bagaimana mungkin Ratu Air mengatakan kalau
dia telah membunuh bocah titisan itu? Tapi melihat
kesungguhan Ratu Air, kontan Bayangan Putih Dari
Selatan menggeram marah.
Lewat cahaya rembulan Ratu Air dapat melihat
wajah Bayangan Putih Dari Selatan berubah merah
padam. Hal itu justru membuat Ratu Air tertawa se-
makin keras. Lalu, dia mengangkat tongkat berkepala
naga di tangan kanannya tinggi-tinggi.
"Dengan Tongkat Sakti di tangan, sang Ratu Air
akan semakin banyak meminta korban!" teriak si ne-
nek lantang.
Suropati mengetahui tongkat yang dibawa Ratu
Air adalah lambang persatuan perkumpulannya, me-
mandang dengan sinar mata menyala. Apalagi setelah
teringat bagaimana Ratu Air merampas tongkat itu di
puncak Bukit Pangalasan. Pengemis Binal terdengar
mendengus  keras. Terlintas dalam benaknya sosok
Gede Panjalu yang terluka dalam parah. Beberapa
anak buahnya juga menemui ajal karena berusaha
mempertahankan Tongkat Sakti itu.
"Keparat kau, Nenek Muka Wewe!" umpat Su-
ropati keras.
Ratu Air tertawa untuk kesekian kalinya.

"Tak perlu banyak cincong lagi. Segera kelua-
rkan ilmu 'Pukulan Salju Merah' milik Nyai Catur Asta.
Aku ingin tahu apakah ilmu itu sanggup menandingi
kekuatan 'Sinar Perak Cairkan Wujud' yang telah ku-
sempurnakan!"
"Kalau begitu, bersiap-siaplah, Nenek Edan!"
Pengemis Binal mementangkan pergelangan
tangannya ke samping, lalu ditarik perlahan-lahan ke
depan untuk kemudian ditarik lagi ke belakang sejajar
pinggang. Begitu tenaga dalamnya tersalur, dari pang-
kal lengan Suropati memancar sinar merah yang san-
gat menyilaukan mata.
Bersamaan dengan itu Ratu Air mencengkeram
erat Tongkat Sakti dengan kedua tangannya. Suara
dengusan keluar dari mulut nenek itu. Dan, sinar ke-
hijauan yang memancar dari batang tongkat menyu-
sup masuk ke pergelangan tangan Ratu Air. Sebentar
kemudian, sekujur tubuh Ratu Air memancarkan sinar
perak kehijau-hijauan.
"Malaikat Kematian segera menjemput nyawa-
mu, Bocah Gemblung!" seru Ratu Air seraya menan-
capkan Tongkat Sakti di samping kirinya. Tongkat itu
amblas ke tanah hingga setengahnya.
Kemudian, kedua tangan Ratu Air ditarik ke be-
lakang sejajar pinggang. Sekejap saja dengan cepat se-
kali dihentakkan ke depan.
Wuusss...!
Seberkas sinar perak meluncur deras dari ke-
dua telapak tangan Ratu Air. Sinar itu membias lebar
dan meluruk sangat cepat.
Pengemis Binal yang telah menyalurkan selu-
ruh kekuatan ilmu 'Pukulan Salju Merah' ke kedua
pergelangan tangannya segera pula menghentakkan-
nya ke depan.
Wuuusss...!

Dari kedua telapak tangan Pengemis Binal me-
luncur sinar merah yang sangat menyilaukan mata.
Bayangan Putih Dari Selatan yang ingin membantu
Suropati bergegas pula menyorongkan kedua telapak
tangannya. Seberkas cahaya putih bening yang ber-
lambarkan ilmu 'Pukulan Tanpa Bayangan' turut me-
mapak biasan sinar perak Ratu Air.
Blarrr...!
Blarrr...!
Dua ledakan dahsyat memecah kesunyian ma-
lam. Halaman depan Kuil Saloka yang semula terang
benderang semakin terlihat terang. Tubuh Pengemis
Binal dan Bayangan Putih Dari Selatan mencelat jauh,
lalu jatuh bergulingan di atas tanah. Sementara Ratu
Air tetap berdiri tegak di tempatnya.
Di udara terlihat seberkas sinar perak men-
gambang. Pada waktu terjadi ledakan dahsyat tadi, si-
nar menggidikkan itu tertahan oleh dua berkas sinar
merah dan putih bening. Tapi, dua sinar yang timbul
dari kekuatan Pengemis Binal dan Bayangan Putih Da-
ri Selatan itu kemudian lenyap.
Belum dapat Pengemis Binal dan Bayangan Pu-
tih Dari Selatan bangkit berdiri, sinar perak yang men-
gambang di udara tiba-tiba meluruk ke arah mereka.
Itu berarti lubang kematian akan segera menelan jiwa
mereka!
"Kejahatan tidak selamanya menang!"
Terdengar sebuah seruan yang dibarengi kele-
batan dua sosok tubuh. Sosok-sosok bayangan itu
menyambar tubuh Pengemis Binal Dan Bayangan Pu-
tih Dari Selatan.
"Bangsat!" umpat Ratu Air yang hanya dapat
melihat dua sosok bayangan itu menghilang.
Sementara biasan sinar perak yang semula ter-
tuju ke tubuh Pengemis Binal dan Bayangan Putih Da-

ri Selatan langsung menghantam pepohonan. Peman-
dangan mengerikan segera terlihat. Pepohonan itu be-
rubah wujud menjadi cairan kental berwarna keputih-
putihan!

***