Sang Dewi Malam mengambang di
langit hitam.
Perguruan Pedang Kencana tampak
lengang. Para mu-
rid sebagian besar tengah
beristirahat di biliknya mas-
ing-masing. Pintu gerbang
halaman depan tertutup ra-
jaga di depan pintu padepokan
yang dibangun seperti
rumah joglo.
Di ruang belakang, seorang gadis
tengah sibuk
meramu dedaunan obat. Wajah
gadis itu cukup cantik.
Namun terlihat lugu sekali.
Rambutnya hitam panjang
dikepang dua. Lampu damar yang
bercahaya terang
menggambarkan lekuk liku tubuh
si gadis yang padat
berisi. Buah dadanya tampak
membusung. Karena dia
mengenakan kebaya, belahan
daging kenyal itu terlihat
jelas. Pinggangnya ramping
dengan pinggul besar me-
nantang. Kain yang dikenakannya
sedikit naik, sehing-
ga menampakkan sepasang betis
yang indah.
Tangan si gadis sangat cekatan
meramu de-
daunan obat yang berserak di
meja. Tak lama kemu-
dian, dia menuang air rebusan
dedaunan ke dalam ge-
las kecil. Dibawanya keluar
gelas itu dengan menggu-
nakan nampan.
"Eyang...," panggil
gadis itu setelah sampai di
depan bilik Ki Ageng Manik Rei.
"Masuklah,
Pertiwi...," terdengar sahutan dari
dalam.
Gadis yang dipanggil Pertiwi ini
membuka pin-
tu. Diletakkannya nampan di
hadapan Ki Ageng Manik
Rei yang sedang duduk bersila di
atas tikar pandan.
Ki Ageng Manik Rei langsung
meminum air re-
busan dedaunan obat yang diramu
muridnya. Kedua
mata tokoh tua itu menyipit
ketika merasakan pahit.
Buru-buru dia menyambut kendi
berisi air putih yang
disodorkan Pertiwi.
"Pahit, Eyang?" tanya
gadis itu seraya meneri-
ma kendi kembali. Kemudian,
diletakkannya di meja
pojok ruangan.
"Tentu saja pahit,
Pertiwi...," kata Ki Ageng Ma-
nik Rei setelah mengusap
bibirnya dengan ujung len-
gan jubah. "Tapi, sesuatu
yang manis biasanya me-
mang harus ditebus dengan
kepahitan dulu. Sama
halnya dengan kebahagiaan.
Kebahagiaan akan datang
apabila seseorang telah
mengalami penderitaan. Na-
mun, terkadang kebahagiaan tak
kunjung datang wa-
lau seseorang telah melakukan
pengorbanan. Di sini-
lah orang itu diuji ketabahannya
atas cobaan yang di-
berikan Tuhan."
"Saya mengerti,
Eyang."
Pertiwi mengambil nampan. Ia
hendak beranjak
keluar ruangan. Tapi, Ki Ageng
Manik Rei segera men-
cegah.
"Ada apa, Eyang?"
"Aku merasa malam ini tidak
seperti bi-
asanya...."
"Maksud, Eyang?"
"Apakah kau tidak merasakan
sesuatu, Pertiwi?
Perasaan wanita biasanya lebih
peka."
"Saya tidak merasakan
apa-apa. Hanya, udara
malam ini memang terasa lebih
dingin," sahut Pertiwi.
"Kau tidak merasakan hal
yang aneh?" tegas Ki
Ageng Manik Rei.
"Tidak."
"Ehm.... Mudah-mudahan
firasatku yang sa-
lah," gumam kakek itu
kemudian ketika melihat gelen-
gan kepala Pertiwi.
"Firasat apa, Eyang?"
tanya Pertiwi ingin tahu.
"Ah, tidak. Segeralah kau
beristirahat di bilik-
mu. Hari sudah larut
malam...."
Pertiwi segera keluar ruangan.
Setelah menutup
daun pintu, gadis itu tampak
termangu.
"Tidak seperti biasanya
Eyang Manik Rei bersi-
kap seperti itu. Raut wajahnya
seperti menggambarkan
kekhawatiran yang sangat. Ada
apa, ya?" gumam gadis
itu seorang diri.
Pertiwi berjalan sambil
berpikir-pikir. Sesampai
di biliknya, dia merebahkan
tubuh di pembaringan.
Tapi, kelopak matanya tak mau
diajak terpejam.
Bayangan-bayangan buruk
tiba-tiba saja muncul di
benaknya.
"Aneh.... Kenapa perasaanku
menjadi tidak
enak?" Pertiwi menjadi
gelisah bukan main.
Sementara di luar sepi memagut.
Hawa dingin
laksana menjerat tulang. Jangkrik dan satwa-satwa
tanah lainnya tak
memperdengarkan suaranya. Ketika
gumpalan awan menutupi bulan,
pelataran Perguruan
Pedang Kencana jadi gelap pekat.
Empat pemuda yang berjaga di
depan pintu pe-
depokan mendongak ke atas.
Mereka seperti me-
nyayangkan sang Dewi Malam yang
menghilang di ba-
lik awan.
"Banyak benar gumpalan awan
di langit. Apa-
kah hari akan turun hujan?"
kata salah seorang dari
mereka.
"Mungkin tidak. Malam ini
udara sangat dingin.
Hujan akan turun bila udara
terasa gerah," sahut te-
mannya.
"Kenapa bulu kudukku
tiba-tiba meremang?"
temannya yang lain menimpali.
"Aku juga. Perasaanku
terasa tak karuan...."
"Mungkinkah akan terjadi
sesuatu yang tak ki-
ta inginkan?"
Di atas, gumpalan awan semakin
bertumpuk-
tumpuk. Tiba-tiba terdengar
suara bergemuruh. Se-
makin lama semakin keras. Lalu,
cahaya kilat me-
nyambar. Dan....
Blaaarrr...!
Petir menerjang padepokan.
Bangunan yang
mirip rumah joglo besar itu
langsung hancur beranta-
kan. Genteng berhamburan ke
segala penjuru angin.
Pilar-pilar kayu jati roboh.
Dindingnya yang terbuat
dari bilah-bilah papan tak luput
dari kehancuran!
Jerit kesakitan para murid yang
tubuhnya ter-
tindih kayu-kayu bangunan segera
membahana. Sunyi
malam dipecahkan suara
hiruk-pikuk. Belasan pemu-
da yang dapat menyelamatkan diri
dari reruntuhan
berloncatan ke pelataran. Namun
belum sempat mere-
ka menarik napas lega,
jarum-jarum hitam telah mem-
buat tubuh mereka kejang, lalu
menggelosor ke tanah
dalam keadaan tanpa nyawa!
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa
terbahak-bahak. Perla-
han-lahan gumpalan awan di
langit lenyap. Sang Dewi
Malam menampakkan diri kembali.
Terlihatlah kini so-
sok si pemilik suara tawa. Dia
mengenakan pakaian
penuh tambalan. Rambutnya yang
hitam panjang di-
biarkan tergerai. Hembusan angin
malam memper-
mainkannya. Matanya berkilat
tajam penuh ancaman
kematian.
"Ki Ageng Manik
Rei...!" teriak sosok itu yang
ternyata seorang remaja tampan.
"Saya datang hendak
menjajal kepandaian!"
Tak terdengar suara jawaban.
Tapi tak lama
kemudian dari puing-puing
reruntuhan muncul seso-
sok bayangan. Sosok itu
berkelebat cepat dan menda-
rat tepat tiga tombak di hadapan
di hadapan si remaja
tampan.
Beberapa lama
Ki Ageng Manik Rei menatap
puing-puing padepokannya.
Hatinya terpukul bukan
main. Terlebih saat dia
mengetahui tak satu pun para
muridnya yang selamat. Puluhan
orang mati dengan
tubuh tergencet reruntuhan
bangunan. Belasan lain-
nya berserakan di pelataran
dengan mulut menganga
dan mata mendelik, terkena
serangan jarum-jarum hi-
tam.
Si remaja tampan tertawa
bergelak melihat ke-
lakuan Ki Ageng Manik Rei.
Terkejutlah Ki Ageng Ma-
nik Rei saat melihat lebih jelas
wajah tokoh muda itu.
"Kau... kau...," Ki
Ageng Manik Rei tergagap.
"Ha ha ha...! Tampangmu
mirip kerbau tua
yang mendekati liang kubur,
Manik Rei. Apakah kau
kaget melihat kehadiranku? Lihat
baik-baik wajahku!
Jangan sampai kau salah
lihat!"
Ki Ageng Manik Rei mempertajam
penglihatan-
nya. Apa yang dilihatnya tetap
seperti semula. Sosok
yang sedang berdiri di hadapannya
adalah Suropati
atau si Pengemis Binal, Pemimpin
Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti!
"Ah, tak mungkin...!"
Ki Ageng Manik Rei mem-
bantah dalam hati.
"Bagaimana mungkin tokoh muda
yang sangat kesohor sebagai
seorang pendekar perkasa
dapat melakukan tindakan
sebiadab ini? Apakah dia
telah menjadi budak iblis?"
"Ha ha ha...! Apa yang
sedang kau pikirkan,
Manik Rei. Matamu tak salah
melihat. Aku memang
Suropati, Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti. Sekali lagi kukatakan,
kedatanganku ke sini
adalah untuk menjajal
kepandaianmu. Maaf bila hal
ini sangat mengejutkanmu!"
"Aku tak peduli siapa kau,
Anak Muda! Kucin-
cang tubuhmu untuk kujadikan
santapan anjing.!"
"Ha ha ha...! Lakukan bila
kau mampu, Manik
Rei!"
"Matilah kau, Gembel
Busuk!"
Dengan hawa amarah memenuhi isi
dada, KI
Ageng Manik Rei mencabut Pedang
Kencananya. Pe-
dang baja bersepuh emas itu
langsung memancarkan
cahaya gemerlap saat cahaya
rembulan menimpa.
Cahaya gemerlap itu melengkung,
dan menjadi
lingkaran besar tatkala Ki Ageng
Manik Rei mengge-
rakkan tangan kanannya. Gemuruh
keras terdengar.
Lalu, berubah menjadi suara
desingan yang sanggup
menggetarkan isi dada.
Si remaja tampan segera meloncat
ke samping
ketika kelebatan cahaya keemasan
menghujam ke
arahnya. Tapi, ujung pedang Ki
Ageng Manik Rei terus
memburu. Sebentar kemudian tubuh
si remaja tampan
telah terkurung cahaya keemasan!
"Jurus 'Desingan Pedang
Membelah Gunung'
hanya cocok untuk menyembelih
seekor babi, Manik
Rei!"
Walau Malaikat Kematian sedang
mengincar
nyawanya, si remaja tampan masih
sempat berkata
demikian. Sadarlah Ki Ageng
Manik Rei, kelebatan pe-
dangnya hanya dapat mengurung
lawan tanpa mampu
melukai.
"Keluarkan seluruh
kemampuanmu, Manik
Rei!" tantang si remaja
tampan.
"Baik! Terimalah jurus
'Letusan Pedang Meron-
tokkan langit'!"
"Ha ha ha.... Nama jurus
pedangmu sangat he-
bat. Sampai di mana
kehebatannya, ingin kulihat!"
Ki Ageng Manik Rei menggeram
laksana hari-
mau terluka. Cepat dia merubah
gerakan jurus pe-
dangnya. Wujud pedang mendadak
lenyap menjadi ki-
latan cahaya keemasan. Setiap
tebasan yang dilakukan
tokoh tua itu menimbulkan suara
ledakan dahsyat.
Apabila Ki Ageng Manik Rei
membarengi kelebatan pe-
dangnya dengan teriakan, bumi
terasa berguncang!
Si remaja tampan terperangah.
Namun, senyum
lebar segera mengembang. Tokoh
muda itu melenting
ke atas lalu keluar dari
kurungan cahaya keemasan.
"Matilah kau!" teriak
Ki Ageng Manik Rei. Pe-
dang di tangan Ketua Perguruan
Pedang Kencana itu
mengejar, berusaha membabat
pinggang si remaja
tampan. Namun selarik sinar
hitam meluncur cepat!
Trang...!
Ki Ageng Manik Rei terkejut
bukan main bagai
disambar geledek di siang
bolong. Pedang Kencananya
lepas dari pegangan. Dan,
terlontar entah ke mana....
"Ha ha ha...! Bagaimana,
Manik Rei? Apakah
harus kita lanjutkan pertempuran
ini? Kalau kau tidak
sanggup, segera berlututlah di
hadapanku!"
"Bedebah! Iblis Laknat! Aku
akan mengadu jiwa
denganmu!" Ki Ageng Manik
Rei berang sekali. Wajah-
nya merah padam menahan amarah
"Kau tak layak mengadu jiwa
denganku. Kau
yang sudah loyo hanya pantas
bergelut dengan babi
betina. Ha ha ha...!"
Mendengar ucapan yang begitu
kasar, darah Ki
Ageng Manik Rei naik sampai ke
ubun-ubun. Walau
sebenarnya dia tokoh tua yang
tidak gampang naik da-
rah, tapi karena dihina
sedemikian rupa, meledak juga
amarahnya. Dengan nekat dia
menerjang si remaja
tampan
Yang diserang hanya tertawa
keras. Secepat ki-
lat tubuhnya meluncur.
Plaaakkk...!
Sebuah tamparan mendarat di pipi
kiri Ki
Ageng Manik Rei. Walau si remaja
tampan hanya men-
gerahkan seperdelapan dari
kekuatan tenaga dalam-
nya, namun sanggup melontarkan
tubuh Ki Ageng
Manik Rei. Kakek itu jatuh
bergulingan di atas tanah.
"Kuremukkan tulang belulang
mu!" teriak tokoh
tua itu seraya bangkit berdiri
dan menerjang dengan
kalap.
Melihat tendangan lurus yang
mengarah ke ulu
hati, si remaja tampan sama
sekali tak berkelit. Dia te-
tap berdiri tegak di tempatnya.
Ketika telapak kaki Ki
Ageng Manik Rei tinggal
sejengkal lagi dari sasaran,
tangan kanan si remaja tampan
berkelebat menangkap
pergelangan kaki lawan!
Wuuusss...!
Hanya dengan sentakan pelan
tubuh Ki Ageng
Manik Rei dilontarkan, lalu
jatuh berdebam di atas ta-
nah. Saat dia hendak bangkit
sebuah totokan jarak
jauh menghentikan gerakannya.
Akibatnya, tubuh to-
koh tua itu terpuruk lemas
seperti selembar karung
basah.
Makian yang hendak keluar dari
mulut Ki
Ageng Manik Rei langsung
terhenti ketika sebuah toto-
kan kembali menghujam telak
mengenai pangkal le-
hernya.
"Eyang...!"
Seorang gadis menghambur datang
dan meme-
luk tubuh Ki Ageng Manik Rei.
Dia menangis tersedu-
sedu menyangka tokoh tua itu
telah mati.
"Ha ha ha...!" si
remaja tampan tertawa berge-
lak. "Ki Ageng Manik Rei yang gagah perkasa
belum
mati, Manis. Kau tak perlu
menangisinya."
Gadis yang tak lain Pertiwi itu
menatap wajah
si remaja tampan dengan sinar
mata berapi-api. Yang
ditatap balas memandang dengan
tatapan mata yang
begitu kurang ajar. Apalagi
tubuh Pertiwi hanya ter-
bungkus pakaian koyak-koyak.
Gadis itu baru saja
dapat melepaskan diri dari
reruntuhan bangunan yang
menghimpit tubuhnya.
"Mendekatlah kemari,
Manis...," kata si remaja
tampan.
Pertiwi mendengus keras. Cepat
dia menerjang.
Tapi, totokan jarak jauh
menghentikan gerakannya.
Tubuh gadis itu jatuh berdebam
ke tanah dan tak
mampu bergerak lagi.
Si remaja tampan tertawa penuh
kemenangan.
Dia melangkah mendekati Ki Ageng
Manik Rei. Tubuh
tokoh tua itu diseret, kemudian
disandarkan ke seba-
tang pohon. Ki Ageng Manik Rei
mendelik tanpa mam-
pu berbuat apa-apa. Dia tak tahu
apa yang akan di-
perbuat si remaja tampan.
"Kau ingin melihat sebuah
pertunjukan bagus,
Manik Rei?" tanya si remaja
tampan sambil mengusap-
usap rambut putih Ki Ageng Manik
Rei.
Karena kakek itu hanya diam
saja, si remaja
tampan menggerakkan kaki
kanannya. Hendak diten-
dangnya kepala Ki Ageng Manik
Rei. Melihat itu, mata
Ki Ageng Manik Rei langsung
terpejam rapat. Ia pasrah
menerima kematian!
"Eyang...!"
Jerit Pertiwi memecah
keheningan. Gadis itu
menarik napas lega ketika
tendangan si remaja tampan
terhenti di udara.
"Ha ha ha....!"
Sambil tertawa-tawa, si remaja
tampan men-
jambak rambut Pertiwi.
Diseretnya tubuh gadis itu ke
hadapan Ki Ageng Manik Rei.
"Sebuah pertunjukan bagus
akan segera kau
saksikan, Manik Rei...,"
kata si remaja tampan. Dia la-
lu duduk berjongkok di sisi
tubuh Pertiwi. Ditatapnya
wajah gadis yang sudah tak
berdaya itu. Sesaat kemu-
dian....
"Ouuuwww...!"
Pertiwi menjerit keras. Dia
merasa buah da-
danya laksana dijepit batang
baja panas. Amarah dari
rasa takut bercampur aduk dalam
dadanya. Ingin ra-
sanya dia memenggal kepala si
remaja tampan. Namun
apa daya, bergerak saja dia tak
mampu.
"Ayo, menjeritlah yang
lebih keras, Manis.... Bi-
ar dedengkot tokoh tua itu tahu
kalau di hadapannya
sedang berlangsung pertunjukan
yang barangkali bisa
membangkitkan gairah
mudanya!",
Usai berkata demikian, si remaja
tampan
menggerakkan tangan. Kebaya yang
dikenakan Pertiwi
langsung robek lebar di bagian
depan. Akibatnya, buah
dada gadis itu menyembul keluar.
Si remaja tampan tertawa
terbahak-bahak. Se-
mentara kelopak mata Ki Ageng
Manik Rei terpejam
rapat. Dia tak sanggup melihat
adegan yang berlang-
sung di hadapannya. Isi dada
Ketua Perguruan Pedang
Kencana itu terasa mau meledak
karena menahan
amarah.
Plaaakkk...!
Sebuah tamparan mendarat telak
di pipi kanan
Ki Ageng Manik Rei. Tubuh tokoh
tua itu langsung ter-
pelanting. Namun, si remaja
tampan segera menyeret-
nya kembali. Disandarkannya
tubuh tua itu di tempat
semula.
"Kenapa kau enak-enakan
tidur, Manik Rei?!"
bentak si remaja tampan.
"Sudah kubilang, kau harus
menyaksikan pertunjukan yang
akan segera berlang-
sung di hadapanmu!"
Si remaja tampan membalikkan
badan, lalu di-
jambretnya kain yang dikenakan
Pertiwi. Jerit ngeri
gadis itu mengiringi jatuhnya
air mata Ki Ageng Manik
Rei.
Melalui cahaya rembulan yang
temaram, si re-
maja tampan menggerayangi tubuh
mulus Pertiwi den-
gan pandangan matanya. Kemudian
dia berjongkok.
Dengus napas si remaja tampan
yang memburu
segera lenyap ditelan jerit
kesakitan Pertiwi. Ki Ageng
Manik Rei memejamkan mata
rapat-rapat. Namun, ha-
tinya terasa perih bagai disayat
seribu mata pedang.
Jeritan Pertiwi serasa
mencabik-cabik seluruh isi dada
Ki Ageng Manik Rei....
Malam semakin larut. Sang Dewi
Malam masih
setia menghiasi langit kelam.
Bintang-bintang menge-
dipkan matanya, seakan turut
berduka atas peristiwa
berdarah yang menimpa Perguruan
Pedang Kencana.
Usai melampiaskan nafsu
bejatnya, si remaja
tampan mendekati Ki Ageng Manik
Rei. Dielus-elusnya
rambut putih tokoh tua itu.
Senyum mengejek terlihat
menghiasi bibirnya.
"Manik Rei, maaf atas
kejadian yang menimpa
perguruan silatmu. Kau tentu
menyesali perbuatanku,
bukan? Kau ingin membalaskan
sakit hati muridmu
dan dirimu sendiri. Kau ingin
mencabik-cabik tubuh-
ku?"
Si remaja tampan lalu tertawa
bergelak. Ki
Ageng Manik Rei menatapnya
dengan pandangan pe-
nuh hawa dendam. Pemuda itu
dengan tenangnya ma-
lah menepuk-nepuk bahu Ki Ageng
Manik Rei.
"Untuk membalas dendam, kau
tak mungkin
dapat mengalahkan aku, Manik
Rei, Tapi jangan kha-
watir...," si remaja tampan
menarik napas panjang.
Diusapnya dahi Ki Ageng Manik
Rei. "Kau punya otak,
Manik Rei! Walau sudah usang,
tapi mungkin masih
bisa diajak berpikir. Untuk
membalaskan sakit hatimu
mudah saja. Rimba persilatan
banyak memiliki tokoh
sakti. Kau bisa minta bantuan
mereka. Aku menung-
gumu di atas geladak Kapal
Rajawali yang tertambat di
Pantai Pasir Putih. Besok tengah
malam, kau gunakan
pedangmu untuk memenggal
kepalaku. Ingat! Besok
malam di Kapal Rajawali!"
Usai mengucapkan kalimatnya, si
remaja tam-
pan membebaskan totokan di tubuh
Ki Ageng Manik
Rei. Tokoh tua itu langsung
menggeram keras dan me-
lompat tinggi. Namun sayang,
sosok si remaja tampan
telah menghilang di kegelapan
malam.
Ki Ageng Manik Rei berdiri
terpaku menatap
tubuh telanjang Pertiwi yang
tergeletak pingsan. Kea-
daan gadis itu sangat
mengenaskan. Rambutnya yang
semula dikepang dua telah
terburai tak karuan. Kelo-
pak mata dan bibirnya membiru.
Sekujur tubuhnya
menampakkan luka memar. Namun
yang membuat
hati Ki Ageng Manik Rei sangat
terpukul adalah
adanya darah segar mengalir dari
selangkangan Perti-
wi!
"Suropati keparat...!"
umpat Ki Ageng Manik
Rei. Suaranya terdengar
menggelegar di angkasa. Men-
dadak, tokoh tua itu melompat
dan menghantamkan
kepalan tangannya ke sebatang
pohon besar.
Dum...!
Pohon itu tumbang. Ki Ageng
Manik Rei masih
belum puas. Kaki kanannya
digedrukkan ke tanah
sampai amblas sebatas lutut.
"Suropati keparat...! Tuhan
mengutuk perbua-
tanmu yang kejam! Neraka jahanam
akan merejam tu-
buhmu! Tunggu pembalasanku,
Pengemis Binal...!"
4
Sengaja Wirogundi tak lewat
pintu gerbang is-
tana. Dia tahu di bagian depan
pengawalan tentu san-
gat ketat. Namun ketika telah
melompat tembok ben-
teng setinggi dua tombak,
Wirogundi terkejut. Sebuah
teriakan menghentikan
langkahnya.
"Siapa?!"
Teriakan itu segera disusul
dengan kelebatan
dua sosok bayangan. Cepat-cepat
Wirogundi bersem-
bunyi di balik rimbunan
pohon-pohon taman. Ternyata
pengawalan di bagian belakang
istana tak kalah ketat-
nya.
"Aku tadi melihat sesosok
bayangan melompati
tembok benteng. Apakah kau juga
melihatnya, Di?"
tanya salah satu dari kedua
penjaga.
"Ya. Karena itulah, aku
mengikuti langkahmu,"
jawab temannya.
"Sebaiknya kita melapor
pada kepala penjaga."
"Jangan! Kita pastikan dulu
yang masuk ke sini
adalah manusia. Bagaimana kalau
setan?" temannya
berkeberatan.
"Bodoh! Kau masih saja
terlalu percaya pada
tahayul!" bentak penjaga
yang lebih tua.
"Tidak! Ugh...!"
Mendadak saja, tubuh penjaga
yang lebih muda
terpuruk ke tanah dan tak mampu
bergerak lagi. Bebe-
rapa totokan jarak jauh ternyata
tepat mengenai sasa-
ran.
"Kau kenapa, Di?"
Temannya segera memeriksa. Namun
sebelum
dia menyadari keadaan, beberapa
aliran darahnya te-
lah terhenti. Dia pun jatuh
menggelosor di atas tubuh
temannya.
Wirogundi hendak beranjak dari
tempat per-
sembunyian. Tapi dia mendengar
suara memanggil-
manggil, disusul dengan suara
derap langkah kaki.
Sekurang-kurangnya sepuluh orang
sedang berlari ke
arahnya.
"Celaka!" pilar
Wirogundi. "Aku telah ketahuan.
Tapi, aku tak boleh
gagal...."
Wirogundi menghemposkan
tubuhnya. Dia me-
lesat ke atas atap istana. Teriakan-teriakan
penjaga
tak dipedulikan lagi. Karena tak
mau wajahnya dikena-
li, Wirogundi segera menyobek
kain lengan ba-junya.
Digunakannya kain itu untuk
menutupi sebagian wa-
jahnya.
"Siapa kau?!"
Petir laksana menyambar tubuh
Wirogundi. Dia
terkejut setengah mati.
Tahu-tahu di hadapannya telah
berdiri seorang pemuda tampan
berambut pirang. Pa-
kaian yang dikenakannya indah
gemerlap. Lewat ca-
haya rembulan Wirogundi bisa
mengenali pemuda itu.
Dia adalah Kapi Anggara atau
Pendekar Asmara.
"Ehm.... Rupanya ada maling
hendak masuk ke
istana. Buka kain di wajahmu dan
menyerahlah!"
Tak ada perkataan yang menimpali
ucapan Ka-
pi Anggara. Tubuh Wirogundi
telah berkelebat mema-
suki keputren.
"Berhenti,
Keparat...!" teriak Kapi Anggara.
Pemuda tampan berambut pirang
itu segera
mengejar. Namun, tak disangka
selarik sinar kebiru-
biruan meluncur ke arahnya.
"Ih...!"
Pendekar Asmara masih sempat
menghindar.
Totokan jarak jauh Wirogundi
mengenai angin kosong.
Pendekar Asmara bergegas
meneruskan pengejaran-
nya. Sayang, sosok Wirogundi
telah hilang.
"Siapa dia?"
pikir Kapi Anggara. "Pakaiannya
penuh tambalan. Mungkinkah dia
anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat
Sakti?"
Pemuda tampan berambut pirang
itu segera
berlari mengelilingi keputren. Beberapa
orang prajurit
bersenjata pedang terhunus
mengikuti langkah ka-
kinya.
"Minta bala
bantuan...!" perintah Kapi Angara.
"Amankan Baginda Prabu
beserta Permaisuri!."
Sementara itu, Wirogundi tengah
berjingkat-
jingkat di sebuah lorong di mana
pada sisi kiri dan ka-
nannya terdapat jajaran kamar
yang saling berhada-
pan.
"Kamar-kamar ini bentuknya
biasa-biasa saja.
Tentu milik
dayang-dayang...," pikir Wirogundi. "Seo-
rang putri raja pasti menempati
sebuah kamar yang
lebih bagus."
Ketika pemuda kurus itu melihat
sebuah kamar
besar yang letaknya agak
terpisah dari kamar-kamar
lain, dia menarik napas lega.
Tapi, dari arah depan tak
kurang dua puluh orang prajurit
berlari ke arahnya.
"Celaka!" desis
Wirogundi. Cepat tubuhnya di-
balikkan. Pandangan matanya
menjadi nanar ketika
mengetahui dirinya telah
terkepung. Tanpa pikir pan-
jang, pemuda kurus itu
menerjang. Tapi, kelebatan si-
nar perak memapak!
Wuuuttt..!
Tubuh Wirogundi melenting.
Kelebatan sinar
perak yang
hendak memenggal lehernya lewat di ba-
wah kaki. Belum sampai kaki
Wirogundi menginjak
lantai, kelebatan sinar perak
itu telah mengurung. Bu-
ru-buru Wirogundi menjatuhkan
diri. Lalu kakinya
bergerak menyerampang!
Trang...!
Untunglah Wirogundi segera
menarik kakinya
kembali. Kalau tidak, kakinya
tentu telah putus. Sinar
perak yang terus mengejarnya
adalah sebilah pedang.
Pemiliknya seorang gadis cantik
berpakaian ringkas
dan berwarna merah.
Menyerahlah! Kau sudah terkepung!"
ancam si
gadis.
Wirogundi menyebar pandangan. Di
sisi kiri
dan kanannya telah berjajar enam
puluh prajurit ber-
senjata tombak dan pedang
terhunus. Wirogundi pun
mengenali gadis berpakaian merah
ringkas yang se-
dang mengacungkan pedang perak ke
arahnya. Dia
adalah Puspita atau si Pedang
Perak.
Sesosok bayangan mendadak berkelebat dan
mendarat di sisi kanan Puspita.
Dia adalah Kapi Ang-
gara. Pemuda tampan berambut
pirang itu tersenyum
ke arah Wirogundi.
"Aku tahu kau tentu anggota
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti!"
"Bukan!" Wirogundi
berusaha menutupi jati di-
rinya.
Beberapa prajurit yang sudah tak
sabar segera
menerjang Wirogundi. Namun,
buru-buru dihentikan
oleh teriakan Kapi Anggara.
"Tahan! Jangan membuang
nyawa sia-sia! Mal-
ing ini bukan maling
sembarangan. Kalian tak akan
mampu merobohkannya!"
Kapi Anggara kemudian menerjang Wirogundi
dengan sebuah tendangan ke arah
dada. Wirogundi
menggeser kedudukannya. Tapi,
kelebatan pedang
Puspita memaksanya untuk
meloncat. Sebentar kemu-
dian telah terjadi pertempuran
seru. Para prajurit yang
berada di tempat itu hanya
menjadi penonton.
Tidak terlalu lama, Pendekar
Asmara tiba-tiba
meloncat menghentikan serangan.
Gerakannya itu di-
ikuti oleh Puspita. Dua pendekar
muda ini saling ber-
pandangan sejenak. Lalu,
ditatapnya tajam-tajam wa-
jah Wirogundi yang tertutup
selembar kain sobekan
lengan bajunya. Wirogundi tampak
terkesiap melihat
senyum yang mengembang di bibir
kedua muda-mudi
di hadapannya.
"Aku sudah tahu siapa
kau...," kata Kapi Ang-
gara dengan suara datar.
"Baru saja kau mengelua-
rkan jurus 'Pengemis Menghiba
Rembulan'. Jangan
menyangkal kalau kau anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti!"
"Bukan! Aku adalah Pendekar
Patah Hati," sa-
hut Wirogundi asal-asalan,
teringat panggilan si rema-
ja tampan terhadap dirinya di
Danau Ular.
"Pendekar Patah
Hati?!" ucap Kapi Anggara dan
Puspita hampir bersamaan.
"Ya. Aku Pendekar Patah
Hati. Perbuatanku tak
ada sangkut pautnya dengan
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Aku berbuat atas
nama pribadi...."
Selagi Wirogundi berkata
demikian, pintu-pintu
kamar terkuak.
Belasan dayang-dayang lari
berserabutan. Ke-
sempatan itu tak disia-siakan
Wirogundi. Disambarnya
salah seorang dayang. Maksudnya,
untuk dijadikan
sandera. Tapi kelebatan pedang
Puspita menggagal-
kannya.
"Jahanam! Katakan apa
maumu?! Tak perlu
mungkir, kau pasti anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Rupanya kau
binatang yang hendak
mencemarkan nama baik
perkumpulanmu sendiri!"
"Bukan! Kau salah ucap! Aku
Pendekar Patah
Hati!"
Kapi Anggara tersenyum mengejek.
"Huh! Kau
menyebut dirimu sebagai
pendekar. Mana ada seorang
pendekar malam-malam begini
masuk ke dalam istana
dengan tanpa izin!"
Empat sosok bayangan berkelebat
datang. Ke-
dudukan Wirogundi semakin
terkurung rapat. Dua
orang tokoh silat istana
menatapnya dengan penuh ke-
siap-siagaan. Salah seorang yang
mengenakan jubah
pendeta memegang kebutan di
tangan kanan. Tasbih
kuning melingkari lehernya.
Tokoh tua itu mempunyai
rambut dan janggut panjang
berwarna putih. Seorang
lagi berperawakan tinggi besar.
Hanya mengenakan
rompi kuning dan celana pendek
sebatas lutut. Otot-
otot tubuhnya tampak bertonjolan
keluar.
Sorot mata mereka sangat tajam.
Wirogundi sa-
dar kepandaian kedua tokoh silat
istana itu tentulah
tinggi. Terbukti dari kelebatan
tubuh mereka yang be-
gitu ringan, hingga tak
memperdengarkan suara ketika
menginjak lantai.
Dua orang lagi yang baru hadir
sepasang mu-
da-mudi tampan dan cantik.
Pakaian yang dikenakan-
nya hanya berupa piyama. Tapi,
Wirogundi dapat men-
genalinya. Yang laki-laki Arya
Wirapaksi, sang Putra
Mahkota. Sedang yang wanita Rani
Paramita, adik lain
ibu dari Arya Wirapaksi.
Melihat kehadiran Rani Paramita,
semangat da-
lam hati Wirogundi menyala-nyala
kembali. Dia men-
dengus pendek. Lalu, tubuhnya
berkelebat sangat ce-
pat menyambar Rani Paramita!
"Heaaa...!"
Pedang di tangan gadis cantik
itu memapak
luncuran tubuh Wirogundi. Cahaya
keemasan melun-
cur datang. Terpaksa Wirogundi
menghentikan gera-
kannya.
"Tangkap dia
hidup-hidup!"
Pendekar Asmara memberi
perintah. Ketika pa-
ra prajurit hendak ikut
merangsek, dia mencegah.
"Tenaga kalian belum dibutuhkan.
Tetaplah
bersiap siaga di tempat
masing-masing!"
Usai berkata demikian, pemuda
tampan be-
rambut pirang itu segera
membantu teman-temannya
yang telah menyerang Wirogundi.
Di antara gempu-
rannya dia masih sempat memberi
perintah kepada
Rani Paramita.
"Tuan Putri, menyingkirlah.
Kami sudah cukup
untuk menangkap penjahat
ini."
"Terima kasih, Anggara. Aku
ingin menjajal il-
mu pedangku."
Rani Paramita menolak permintaan
Pendekar
Asmara. Dengan jurus 'Desingan
pedang Membelah
Gunung', gadis cantik itu
mencecar tubuh Wirogundi.
Sementara itu kakek berjubah
telah meloloskan
tasbihnya. Benda itu
berkelebatan sangat cepat me-
nimbulkan desau angin dahsyat.
Kebutannya pun ber-
gerak tak kalah cepat. Walau
bulu-bulu kebutan san-
gat lembut, tapi kehebatannya
sungguh luar biasa. Ke-
tika membentur dinding kamar,
susunan batu bata
tebal itu langsung jebol!
Lelaki tinggi besar yang berotot
gempal menye-
rang Wirogundi sambil
menggeram-geram. Beberapa
kali cengkeramannya hampir meremukkan
tulang be-
lulang anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
itu. Karena gerak tubuh
Wirogundi yang gesitlah, pe-
muda itu dapat terhindar dari
maut.
Namun sehebat-hebatnya
Wirogundi, bila dike-
royok enam orang berilmu tinggi,
tentu akhirnya dia
terdesak juga. Kelebatan pedang
Rani Paramita dan
Puspita sudah cukup merepotkan.
Terlebih ketika Arya
Wirapaksi berteriak nyaring,
Wirogundi mendapati tu-
buhnya diselimuti hawa panas.
"Menyerahlah, Pendekar
Patah Hati!" teriak Ka-
pi Anggara. "Kami tak ingin
membunuhmu. Tapi bila
kau nekat, jangan salahkan
kami!"
Wirogundi mendengus keras. Tentu
saja dia tak
mau menyerah. Kalau tadi dia
tidak mengeluarkan ju-
rus-jurus andalannya, karena
takut jati dirinya keta-
huan, maka setelah tak ada
pilihan lain dia segera
mengeluarkan gabungan jurus
'Pengemis Menghiba
Rembulan', 'Pengemis Menebah
Dada', dan 'Pengemis
Meminta Sedekah'!
Kelebatan tubuh Wirogundi sudah
sangat sulit
diikuti pandangan mata. Tangan
dan kakinya bergerak
cepat. Si kakek berjubah
kelihatan terkejut melihat
pameran kepandaian itu. Hingga,
tanpa disadari dia
bergerak lamban. Akibatnya....
Des...!
Dada tokoh tua itu terkena
hantaman Wiro-
gundi. Walau hanya mempergunakan
sepertiga tenaga
dalam, tapi sudah cukup untuk
membuat si kakek
berjubah mengeluarkan jerit
nyaring. Tubuhnya terlon-
tar lalu membentur dinding kamar
hingga jebol!
Para prajurit yang semula hanya
menjadi pe-
nonton langsung bergerak
menggempur. Mereka tak
lagi mempedulikan teriakan Kapi
Anggara yang me-
nyuruhnya untuk tetap diam di
tempat.
Pertempuran berlangsung semakin
sengit.
Ruangan yang tidak seberapa
lebar membuat gerakan
mereka kacau. Jerit kesakitan
mengiringi para prajurit
yang roboh terkena pukulan dan
tendangan Wirogun-
di.
Keadaan yang kacau membuat
Pendekar Asma-
ra kebingungan. Dia berteriak
menyuruh para prajurit
untuk menyingkir. Namun,
teriakannya sia-sia belaka.
Para prajurit itu tetap nekat.
Mereka tak mau menuru-
ti perintah Kapi Anggara yang
bukan komandan pasu-
kan.
Pendekar Asmara mengumpat-umpat
dalam ha-
ti. Disambarnya seorang
prajurit, lalu dibawa ke luar
arena pertempuran.
"Kau tahu tempat tinggal
Senopati Risang Alit?"
tanya Pendekar Asmara, yang dibalas
dengan anggu-
kan si prajurit. "Cepat kau
ke sana! Katakan di istana
sedang terjadi kekacauan!"
Buru-buru si prajurit berlalu
dari tempatnya.
Namun saat Kapi Anggara
membalikkan badan, terke-
jutlah dia. Sosok Wirogundi
telah lenyap.
"Rani Paramita
diculik!" teriak Arya Wirapaksi.
Seluruh prajurit langsung berhamburan men-
cari Wirogundi yang telah
menculik Rani Paramita. Su-
ara hiruk-pikuk kembali
terdengar. Sebentar kemudian
semua orang telah meninggalkan
tempat itu, kecuali
Kapi Anggara.
Pemuda tampan berambut pirang
ini melihat
sebilah bambu menancap di
dinding salah satu kamar.
Didekatinya bilah bambu itu lalu
dicabut. Kapi Angga-
ra membuka gulungan kulit
kambing yang melilit bilah
bambu.
Maaf bila utusanku mengejutkan
Tuan-tuan. Aku
sangat mencintai Rani Paramita.
Terpaksa aku meng-
gunakan cara kasar ini. Karena,
aku tak mau Baginda
Prabu Arya Dewantara menolak
pinangan ku
Akan tetapi bila Baginda Prabu
menjadi murka,
Tuan-tuan tak perlu khawatir.
Ambillah Rani Paramita
di atas geladak Kapal Rajawali
yang tertambat di Pan-
tai Pasir Putih besok tengah
malam. Namun, Tuan-tuan
jangan datang lebih awal, karena
Rani Paramita hanya
akan tinggal nama.
Suropati alias Pengemis Binal
Kapi Anggara membaca berulang
kali tulisan
pada lembaran kulit kambing.
Keningnya berkerut dan
alisnya bergerak naik. Dia heran
bukan main. Kalau
saja yang dipegangnya bukan
benda nyata, dia tentu
menyangka yang baru dihadapinya
adalah mimpi.
"Suropati...," desis
pemuda tampan berambut
pirang itu. "Apakah durjana
yang baru saja menculik
Tuan Putri Rani Paramita adalah
utusannya, seperti
yang dikatakan dalam lembaran
kulit kambing ini?
Ehm... Durjana yang mengaku
sebagai Pendekar Patah
Hati itu tentu anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Aku sangat yakin! Tapi,
siapa dia?"
Selagi Pendekar Asmara berpikir
demikian, se-
sosok bayangan berkelebat
datang. Berdirilah Puspita
atau si Pedang Perak di sisi
pemuda tampan berambut
pirang itu.
"Durjana itu lenyap,
Anggara. Kita harus segera
melaporkan kejadian ini kepada
Baginda Prabu," beri-
tahu gadis cantik itu.
"Tunggu, Puspita. Kau baca
ini...." Kapi Angga-
ra menyodorkan lembaran kulit
kambing. Puspita
membaca tulisan yang tertera itu
dengan rasa tak per-
caya.
"Tidak mungkin!" kata
gadis cantik itu setelah
selesai membaca.
"Apanya yang tidak
mungkin?"
"Suropati tak mungkin
berbuat seperti ini. Aku
mengenal Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti. Dia seorang pendekar
sejati. Tak mungkin Suro-
pati berbuat hal yang dapat
mencemarkan nama baik
perkumpulan dan dirinya
sendiri...."
"Kau tahu, aku pun sahabat
baik Suropati,
Puspita. Waktu kita bekerja sama
menumpas pembe-
rontakan Perkumpulan Bidadari
Lentera Merah, cukup
banyak waktu bagi kita untuk mengenal
siapa Suropa-
ti. Dia memang seorang pendekar
sejati. Aku kira Ba-
ginda Prabu pun mengakui hal
ini. Tapi.... Kau juga
harus tahu, Puspita. Setiap saat
pribadi manusia bisa
berubah. Orang yang paling baik
bisa menjadi orang
yang paling jahat," sergah
Kapi Anggara.
"Hal itu tak akan terjadi
pada Suropati!" Puspi-
ta bertahan pada pendapatnya.
"Apa alasanmu?"
Puspita terdiam. Dia tak mampu
menjawab per-
tanyaan Kapi Anggara. Pipi
Pendekar Pedang Perak itu
tampak merona merah. Buru-buru
dia menundukkan
kepala. Sayang, Kapi Anggara
telah melihatnya.
"Kau membela Suropati,
bukan?"
"Tidak!" sahut Pedang
Perak segera.
Pendekar Asmara tersenyum tipis.
"Kau tidak menggunakan
otakmu, Puspita. Kau
hanya menggunakan perasaanmu.
Karena otakmu te-
lah tertutup oleh rasa cinta
terhadap Suropati...."
"Anggara...!" pekik
Puspita. Wajah gadis cantik
itu merah membara. Ucapan Kapi
Anggara dirasakan-
nya bagai mata pedang yang
menusuk lubuk hati.
"Kenapa kau menipu dirimu
sendiri, Puspita?"
Plak...!
Tanpa disangka-sangka, Pedang
Perak menda-
ratkan tamparan di pipi Pendekar
Asmara. Pemuda
tampan berambut pirang itu
terpelanting. Saat dia
bangkit terlihat bibirnya telah
pecah dan melelehkan
darah segar.
"Kau katakan sekali lagi,
aku akan membu-
nuhmu, Anggara!" ancam
Pedang Perak.
Kapi Anggara mendengus. Dia
melangkah tiga
tindak. Tampaknya pemuda itu
hendak membalas
tamparan Puspita.
"Hei! Apa yang kalian
lakukan?!" teriak seorang
lelaki gagah berpakaian prajurit
Dia adalah Senopati Risang Alit.
Belasan praju-
rit berlari-lari di belakangnya.
Tak lama muncul Arya
Wirapaksi dan dua tokoh silat
istana.
Melihat kedatangan Senopati
Risang Alit, Puspi-
ta segera menyodorkan lembaran
kulit kambing yang
dibawanya. Lalu, dia berkelebat
dari tempat itu dengan
membawa perasaan kesal.
Senopati Risang Alit, Arya
Wirapaksi, dan dua
tokoh silat istana
bergantian membaca tulisan pada
lembaran kulit kambing. Mereka
tampak terkejut dan
tak percaya. Terutama Senopati
Risang Alit. Dia men-
genal benar siapa Pengemis
Binal.
"Pada mulanya aku juga tak
percaya, Alit...,"
ujar Kapi Anggara, menyebut
langsung nama Senopati
Risang Alit. Dua orang tokoh
muda itu memang bersa-
habat karib. "Tapi setelah
kupikir kalau si durjana
yang menculik Tuan Putri Rani
Paramita adalah anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti, aku sampai
pada kesimpulan bahwa Suropati
telah berubah."
"Tapi kita tak boleh
berbuat gegabah, Anggara.
Bentrok dengan Suropati sama
halnya bermusuhan
dengan seluruh anggota
Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti. Kau tahu mereka
berjumlah ribuan orang
dan sangat setia kepada
pemimpinnya."
"Tapi bila pemimpinnya
telah menyeleweng dari
jalan kebenaran, apakah mereka
masih akan setia?"
tanya Kapi Anggara, sangsi.
"Kita serahkan saja
keputusannya pada Bagin-
da Prabu."
"Tepat!" sahut Arya
Wirapaksi. "Malam ini juga
kita melapor kepada
Ayahanda."
***
Rani Paramita berpasrah diri
kepada Tuhan.
Dia tak mampu lagi menggerakkan
anggota badannya.
Mengeluarkan sepatah kata pun
juga tak dapat. Yang
masih bisa dilakukannya hanyalah
memejamkan mata
rapat-rapat. Dinginnya malam
terasa menusuk tulang.
Rani Paramita seperti dibawa
melayang tinggi melawan
hembusan angin kencang.
Sambil membopong tubuh putri
Prabu Arya
Dewantara itu, Wirogundi melesat
cepat. Dalam gelap
sosok tubuhnya tampak seperti
kelebatan setan.
Hanya sesekali dia menginjak
tanah, selebihnya adalah
melayang!
Tiba di tepi hutan kecil yang
berada dalam ka-
wasan Danau Ular, gelegar petir
tiba-tiba menyambar
di angkasa, mengejutkan
Wirogundi. Namun dia tak
menghentikan kelebatan tubuhnya.
Wuuussss...!
Tiupan angin kencang laksana
topan menghan-
tam tubuh Wirogundi dari depan.
Akibatnya, tubuh
kurus anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti
itu terpental. Namun dengan
bersalto tiga kali di uda-
ra, dia dapat mendaratkan
kakinya di permukaan ta-
nah. Tubuh Rani Paramita masih
berada dalam bopon-
gannya.
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa membahana
di angkasa.
Darah Wirogundi berdesir. Dia
segera bersiap-siap
dengan mempertajam seluruh
inderanya.
"Bagus, Pendekar Patah
Hati! Kau telah melak-
sanakan tugasmu dengan
baik!"
Melalui cahaya rembulan temaram,
Wirogundi
menyebar pandangan. Namun, tak didapatkannya si
empunya suara.
"Siapa kau?!" bentak
pemuda kurus itu kemu-
dian.
"Aku Suropati. Letakkan
Rani Paramita di tem-
patmu berdiri. Dan segeralah kau
kembali pada tapa-
mu, Pendekar Patah Hati!"
Wirogundi mendengus. Timbul
kecurigaan da-
lam hatinya. Dia berdiam diri di
tempatnya tanpa ber-
buat apa-apa. Tubuh Rani
Paramita masih tetap dalam
bopongannya.
"Hei! Pendekar Patah Hati!
Apakah kau tidak
mendengar perintahku?!"
"Bagaimana aku tahu kalau
kau Suropati. Kau
tak mau menampakkan diri!"
sahut Wirogundi kebera-
tan.
"Ha ha ha...!"
Suara tawa itu kembali membuat
darah Wiro-
gundi berdesir. Tubuh Rani
Paramita yang berada da-
lam pondongannya terasa
bergetar. Walau tidak dialiri
tenaga dalam, suara tawa itu
menimbulkan pengaruh
magis.
"Jangan mempermainkan
aku!" hardik Wiro-
gundi. "Bila kau tak segera
menampakkan diri, aku
akan mengembalikan Rani Paramita
ke istana!"
Deru angin keras mendadak saja
menyambar.
Wirogundi yang sudah siap siaga
buru-buru menge-
rahkan ilmu memperberat tubuh.
Saat hembusan an-
gin bertambah kencang, Wirogundi
terkejut bukan
main. Di hadapannya tahu-tahu
berdiri seorang remaja
tampan berambut panjang tergerai
dan mengenakan
pakaian penuh tambalan.
"Suropati...!" desis
Wirogundi.
Si remaja tampan tersenyum penuh
kemenan-
gan. "Kau terkejut,
Wiro?"
"Aneh-aneh saja kau, Suro.
Apa maksudmu se-
benarnya? Setelah kudapatkan
Rani Paramita, hendak
kau apakan putri Baginda Prabu
Arya Dewantara ini?"
Wirogundi tak dapat menahan rasa
ingin tahu
dan penasarannya.
"He he he.... Kau tak perlu
khawatir, Saudara-
ku. Aku ada sedikit urusan
dengannya. Gadis itu nanti
akan dijemput orang-orang
istana."
"Kau harus memberi jaminan
kepadaku kalau
Rani Paramita kembali ke istana
dalam keadaan tak
kurang suatu apa."
"Jangan
khawatir..."
"Aku tak mau kau hanya
bermanis mulut, Su-
ro! Untuk mendapatkan Rani
Paramita, aku telah
mempertaruhkan segalanya. Bukan
hanya nyawa, juga
nama baikku dan Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti," Wirogundi agaknya
tidak rela begitu saja mele-
paskan Rani Paramita.
Si remaja tampan tersenyum.
Ditepuk-
tepuknya bahu Wirogundi.
"Kau bisa memegang kata-
kataku...."
"Baik! Aku percaya. Tapi
bila di kemudian hari
aku mendengar tentang keculasan
mu, semoga Tuhan
menjatuhkan kutukan kepadamu,
Suro."
Saat mengatakan itu, suara
Wirogundi bergetar.
Dia berusaha sekuat tenaga
menahan rasa harunya.
Bagaimanapun juga dia merasa sayang bila Suropati
benar-benar mendapat kutukan
Tuhan. Wirogundi
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Terbayang masa ke-
cilnya yang indah bersama
Suropati.
"Kau menangis?" tanya
si remaja tampan. "Kau
memang pantas dijuluki Pendekar
Patah Hati, Wiro.
Jiwamu lemah. Mudah terbawa
perasaan. Mudah-
mudahan dengan kembali bertapa
di Danau Ular ji-
wamu akan lebih kuat. Tak mudah
menangis seperti
ini...."
Si remaja tampan kemudian meraih
tubuh Rani
Paramita. Wirogundi
menyerahkannya walau dengan
hati berat.
"Sampai jumpa, Pendekar
Patah Hati!"
Kalimat itu terus mengiang di
telinga Wirogun-
di. Beberapa lama dia berdiri
tak bergeming di tempat-
nya. Ketika kokok ayam terdengar
samar-samar, baru-
lah Wirogundi sadar. Dia berada
di tepi hutan kecil itu
seorang diri.
"Ah, mudah-mudahan Tuhan
selalu melindungi
umatnya yang benar. Dan semoga
apa yang diperbuat
Suropati adalah dalam usahanya
menegakkan kebena-
ran serta keadilan...,"
ucap pemuda kurus itu penuh
harap
Wirogundi kemudian berkelebat
menuju Danau
Ular. Ia hendak memulai kembali
tapanya selama em-
pat puluh hari empat puluh
malam.
***
Sang Raja Siang baru menampakkan
diri di
ufuk timur. Hangatnya terasa
menerpa bumi. Ranting-
ranting pohon menggeliat.
Butiran embun bertetesan
ke hamparan rumput. Kicau burung
bersahutan riang
mengawali kehidupannya hari ini.
Berulangkali Ki Ageng Manik Rei
menasihati
Pertiwi yang sudah kehilangan
semangat hidup. Ke-
hormatannya yang terenggut
dengan paksa membuat
gadis itu patah hati. Semangat
hidupnya pun ikut
hancur. Dalam perjalanan dari
padepokan Perguruan
Pedang Kencana ke lereng Bukit Pangalasan saat ini
hampir tiada henti Pertiwi
meneteskan air mata.
"Tangis memang bisa
meringankan beban, tapi
tak menyelesaikan
masalah...!" bujuk Ki Ageng Manik
Rei kembali dengan suara lembut.
"Kau tahu, Pertiwi.
Sesuatu yang berlebihan itu tak
baik."
Pertiwi tak membuka suara.
Tangisnya menim-
pali perkataan Ki Ageng Manik
Rei.
"Cobaan bagi Perguruan
Pedang Kencana me-
mang berat. Tapi, yakinlah semua
ini pasti ada hik-
mahnya."
"Eyang...," sela
Pertiwi seraya menatap wajah Ki
Ageng Manik Rei. Namun, gadis
itu segera tertunduk
kembali. Tak kuasa ia
mengeluarkan isi hatinya.
"Apakah kau merasa dirimu
tak lagi berguna,
Pertiwi?" ucap Ki Ageng
Manik Rei sambil mengelus
rambut muridnya itu. "Aku
ikut menanggung beban-
mu. Kau tidak sendirian. Hanya
orang picik yang mau
mati sia-sia. Kalaupun kau ingin
mati, matilah sebagai
seorang pendekar. Jasa-jasamu
akan selalu dikenang
orang...."
Sambil terus menasihati
muridnya, Ki Ageng
Manik Rei mendaki Bukit
Pangalasan. Pertiwi mengi-
kuti langkah gurunya dengan
menahan isak tangis.
Lama-lama timbul perasaan malu
dalam diri gadis itu.
Dulu dia datang ke Perguruan
Pedang Kencana untuk
belajar ilmu olah kanuragan.
Pertiwi ingin menjadi seo-
rang wanita yang kuat.
Aku harus tegar! Aku harus bisa
membalas sa-
kit hatiku ini Begitu kini hati
kecilnya berkata. Lama-
kelamaan tangis Pertiwi pun
berhenti dengan sendi-
rinya.
Sesampainya di puncak Bukit
Pangalasan, Ki
Ageng Manik Rei langsung menemui
Gede Panjalu. Di-
ceritakannya panjang lebar
perihal peristiwa berdarah
yang menimpa Perguruan Pedang
Kencana.
Gede Panjalu mendengarkan dengan kening
berkerut. Begitu selesai cerita
Ki Ageng Manik Rei, wa-
jah Gede Panjalu tampak begitu
muram.
"Bila Gede tak mempercayai
cerita ku, salah sa-
tu korban kebiadaban Suropati
sekarang berada di si-
ni."
"Aku percaya.... Aku
percaya kau tak akan ber-
bohong kepadaku, Manik
Rei."
"Lalu apa tindakanmu,
Gede?"
"Tentu saja yang salah
harus dihukum...," kata
Gede Panjalu dengan suara berat.
"Bila benar Suropati
melakukan perbuatan biadab itu,
hukuman yang layak
dijatuhkan kepadanya hanyalah
hukuman mati."
"Suropati mengatakan, dia
menungguku di atas
geladak Kapal Rajawali yang
tertambat di Pantai Pasir
Putih nanti tengah
malam...."
"Baik. Tepat tengah malam
kita berada di sana.
Tapi kuminta kau tidak boleh
gegabah. Terus terang,
hati kecilku sulit mempercayai
peristiwa ini."
"Jadi...."
"Kau tak perlu khawatir,
Manik Rei. Siapa yang
salah tetap akan mendapat
hukuman."
5
Cahaya rembulan yang ditingkahi
kedip bintang
menyirami geladak Kapal
Rajawali. Ombak kecil mem-
bentur lambung kapal. Putaran
waktu hampir menca-
pai titik tengah malam. Angin
dingin berhembus pelan.
Duduk berhadapan meja, Suropati
dan Rani
Paramita. Wajah mereka tampak
pucat. Suropati tidak
tahu apa yang terjadi pada
dirinya setelah dia jatuh
pingsan akibat serangan
gelombang tawa yang dilan-
carkan Saka Purdianta di lereng
Bukit Hantu.
Ketika dia sadar, didapati
dirinya telah duduk
di kursi kayu berukir
berbantalan empuk. Di hada-
pannya duduk seorang gadis
cantik mengenakan
piyama kuning. Suropati
mengenalinya sebagai putri
Prabu Arya Dewantara yang
bernama Rani Paramita.
"Kenapa aku di sini?"
gumam Suropati pada di-
rinya sendiri.
Rani Paramita menatap sejenak
wajah remaja
tampan di hadapannya. Lalu
pandangannya menyebar
berkeliling. Tindakan itu segera
diikuti Suropati.
"Kenapa aku berada di
sini?" desis Rani Parami-
ta, mengulang kalimat Suropati.
Pemuda itu sendiri
menggaruk-garuk kepalanya sambil
menatap bangu-
nan papan di tengah kapal yang
tinggal puing-puing.
"Ehm.... Angin pukulan yang
sangat dahsyat te-
lah menghancurkannya,"
gumam Pengemis Binal.
Remaja konyol itu lalu beranjak
dari tempat
duduknya, tapi kedua kakinya terasa sangat lemas.
Dia jatuh terduduk kembali.
"Kenapa Tuan Putri berada
di sini?" tanya Su-
ropati kemudian kepada Rani
Paramita.
Gadis cantik itu menggelengkan
kepalanya.
"Seseorang telah menculik
ku...."
"Apa?"
"Aku diculik salah seorang
anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti.
Penculik itu tentu orang
suruhanmu!"
Tatap mata Rani Paramita berubah
nyalang. Te-
lapak tangannya mengepal.
Dipandangnya Pengemis
Binal dengan kebencian yang
menggelegak.
"Eh.... Kau kenapa?"
kata Suropati gugup.
"Jangan pura-pura! Kau
tentu mempunyai
maksud busuk. Aku tak peduli
nama besarmu. Kure-
mukkan kepalamu sekarang
juga!"
Rani Paramita bangkit berdiri
untuk menerjang
Suropati. Namun, dia pun
merasakan kedua kakinya
lemas. Gadis cantik itu jatuh
terduduk di kursinya
kembali.
"Sabarlah, Tuan
Putri...," bujuk Pengemis Binal.
"Saya tak tahu apa yang
Tuan Putri maksudkan...."
"Keparat! Kau masih saja
berpura-pura! Kau
sengaja menotok aliran darah di
kakiku."
"Tidak! Sungguh mati saya
tidak melakukan hal
itu. Saya tidak akan
berani...."
Rani Paramita tak mendengarkan
ucapan Su-
ropati. Dia sedang mengalirkan
hawa murni ke perge-
langan kakinya. Perlahan-lahan
suatu hawa hangat tu-
run dari pusar, mengalir lancar
hingga ke telapak kaki.
Tapi, ketika dia hendak bangkit
kedua pergelangan
kakinya masih terasa lemas.
"Bangsat! Bebaskan
totokanmu!" hardik Rani
Paramita.
"Saya tidak menotok Tuan
Putri..."
"Lalu, apa yang kau lakukan
terhadapku?!"
"Saya tidak tahu. Kedua
kaki saya juga terasa
lemas," Suropati
menggaruk-garuk kepalanya. "Mung-
kin ada orang jahat yang
telah...."
"Kaulah orang jahat
itu!" potong Rani Paramita.
"Aduh! Saya benar-benar
tidak tahu. Saya be-
rada di sini pun karena
diculik!"
Melihat raut wajah Pengemis
Binal yang tam-
pak sungguh-sungguh, Rani
Paramita mengerutkan
kening. Jadi, anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti yang telah menculik
dirinya bukan suruhan Su-
ropati. Lalu, siapa orang itu?
Pikir Rani Paramita.
Dalam keheningan itu tiba-tiba
muncul seorang
wanita setengah baya. Dia
mengenakan kebaya dan
berkain dengan corak lembut.
Wajah wanita itu tam-
pak murung. Garis-garis ketuaan
tampak jelas di wa-
jahnya. Dia membawa nampan
berisi guci arak dan ti-
ga buah gelas perak. Hidung
Suropati kembang kempis
mencium aroma arak yang harum.
Remaja konyol itu
seperti baru disadarkan kalau
perutnya melilit-lilit oleh
deraan rasa lapar.
Namun, Suropati tercekat setelah
mengenali
wanita setengah baya yang
memberi suguhan itu. Dia
adalah inang pengasuh Anggraini
Sulistya. Rupanya,
dia tidak ikut jadi korban
keganasan Saka Purdianta
saat terjadi peristiwa berdarah
di atas kapal ini.
Buru-buru Suropati mencegah
ketika wanita
setengah baya itu hendak
berlalu.
"Sebentar, Mbok! Aku ingin
menanyakan sesua-
tu kepadamu...."
Lewat cahaya rembulan yang
temaram wanita
setengah baya menatap wajah
Suropati. Tiba-tiba saja
dia menggelengkan kepala, lalu
berlari menuju sebuah
lubang yang terdapat di buritan.
Dituruninya anak
tangga dengan tergesa-gesa,
seperti dikejar rasa takut
yang sangat.
Rani Paramita dan Suropati
mengikuti keper-
gian wanita setengah baya itu
dengan pandangan ma-
ta.
Sesosok bayangan berkelebat.
Berdirilah di ha-
dapan Rani Paramita dan Suropati
seorang pemuda
tampan berpakaian kuning coklat
dengan garis-garis
hitam. Dia melempar senyum
seraya membungkukkan
badan dalam-dalam.
"Saka Purdianta...!"
desis Rani Paramita
"Benar, apa yang Adi Rani
lihat. Saya memang
Saka Purdianta...."
Hidung Pengemis Binal
berkernyit. Ingatannya
melayang ke lereng Bukit Hantu
di mana Saka Pur-
dianta telah menculiknya.
"Hei, Orang Jelek! Apa
maksudmu membawaku
kemari?!" tukas remaja
konyol itu.
Saka Purdianta menyunggingkan
senyum tipis,
"Kau bisa memanggilku
'Saka', Suro. Dan, to-
long jangan terlalu berprasangka
buruk. Aku tahu sia-
pa kau. Seorang Pemimpin
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang kesohor. Mana
berani aku bermak-
sud buruk kepadamu?"
"Tapi...."
"Sudah kubilang, jangan
berprasangka buruk.
Suatu kehormatan bagiku dapat
menjamu seorang
pendekar muda yang gagah
perkasa. Juga suatu ke-
hormatan pula aku dapat
mendatangkan Tuan Putri
Rani Paramita di atas geladak
Kapal Rajawali ini...."
"Jadi, orang yang telah
menculik ku itu utusan
mu, Saka!" bentak Rani
Paramita.
"Uts! Jangan marah-marah
dulu, Adi Rani. Bu-
kankah kau ingin menjajal ilmu
kepandaianmu dengan
salah seorang tokoh Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti? Justru saya telah
mempertemukan Adi Rani
dengan pemimpin perkumpulan
itu."
Mendengar perkataan Rani
Paramita dan Saka
Purdianta, hati Pengemis Binal
bertanya-tanya. Bila
Saka Purdianta bermaksud
mempertemukan Rani Pa-
ramita dengan Suropati untuk
menjajal kepandaian,
bukankah Saka Purdianta telah
tahu ilmu kepandaian
Suropati telah musnah? Saka Purdianta
tentu mem-
punyai maksud tersembunyi.
Apalagi tadi dia menden-
gar tuduhan Rani Paramita kepada
pemuda itu. Du-
gaan Suropati jadi semakin kuat.
Saka Purdianta telah
menculik Rani Paramita dengan
memperalat seorang
anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti.
Tiba-tiba Saka Purdianta
menepukkan telapak
tangannya. Wanita setengah baya
yang tadi menyu-
guhkan arak tampak keluar dari
ruang bawah geladak.
Tangannya menyangga nampan
besar. Aneka masakan
lezat mengundang selera terdapat
di atasnya. Sejenak
Suropati lupa pada masalah yang
dihadapi. Perutnya
yang keroncongan kembali
menghentak-hentak.
"Silakan...
silakan..." kata Saka Purdianta sete-
lah wanita setengah baya
berlalu. "Untuk menghilang-
kan prasangka buruk dari
Tuan-tuan Pendekar yang
budiman, saya menjamu dengan
sebaik-baiknya."
"Jangan bermulut
manis!" sela Rani Paramita.
"Kau telah membuat kedua
pergelangan kakiku lum-
puh! Siapa yang mau
mempercayaimu?!"
Saka Purdianta tersenyum tipis.
Dia mengi-
baskan telapak tangan kanan dan
kirinya. Pada setiap
persendian kaki Suropati dan
Rani Paramita tiba-tiba
terasa seperti digigit semut.
Kedua kaki mereka dapat
digerakkan lagi!
Sesungguhnya Saka Purdianta
telah menan-
capkan beberapa batang jarum di
persendian kaki Su-
ropati dan Rani Paramita,
sehingga syaraf gerak mere-
ka yang menuju ke kaki
terganggu. Karena itulah, ke-
dua pergelangan kaki mereka
lumpuh. Ketika Saka
Purdianta mengibaskan kedua
telapak tangannya, ja-
rum-jarum itu tercabut.
Saka Purdianta menuang arak ke
dalam gelas
perak. Lalu disodorkannya ke
hadapan Suropati dan
Rani Paramita.
Mencium aroma wangi arak,
Suropati tanpa
sungkan-sungkan lagi
menenggaknya sampai tandas.
Saka Purdianta tersenyum puas.
Rani Paramita sama
sekali tak menyentuh arak yang
disuguhkan, Suropati
lalu menggaruk-garuk kepala
sambil menatap aneka
masakan lezat di hadapannya.
"Apakah... apakah aku boleh
menikmati?
Ehm...."
"Tentu! Tentu saja boleh.
Semua ini jamuan un-
tuk Tuan Pendekar...," kata
Saka Purdianta sambil
menyunggingkan senyum lebar.
Deraan rasa lapar yang hebat
membuat otak
Suropati tak mampu berpikir
jernih lagi. Tanpa mena-
ruh sak wasangka dilahapnya
hampir semua hidan-
gan. Rani Paramita yang
menatapnya dengan kening
berkerut tak dipedulikan.
"Dasar pengemis edan!"
umpat Rani Paramita
dalam hati.
Setelah selesai, sambil
menggumam puas Suro-
pati mengelus perutnya yang
membuncit. Saka Pur-
dianta menatapnya dengan sinar
mata penuh keme-
nangan. Lalu, pemuda tampan itu
tertawa terbahak-
bahak.
"Eh, apa yang kau
tertawakan, Saka?" tanya
Suropati.
Saka Purdianta tak menjawab.
Suara tawanya
malah terdengar semakin keras.
Rani Paramita merasa
curiga. Gadis itu beranjak dari
tempat duduknya. Tapi,
kelebatan jemari tangan Saka
Purdianta menghentikan
gerakan gadis cantik itu. Tubuh
Rani Paramita kaku
mendadak!
"Ap... apa yang kau
lakukan?" tanya Rani Pa-
ramita tergagap.
Gadis itu memandang Saka
Purdianta dengan
penuh kebencian. Benar dugaan
Rani Paramita, Saka
Purdianta mempunyai maksud tak
baik. Sayang, kesa-
daran itu datangnya terlambat.
Saka Purdianta telah
berkelebat lenyap meninggalkan
geladak Kapal Rajawa-
li. Sementara itu, Suropati
tersedak-sedak dengan
pandangan nyalang.
Suropati berusaha menghalau
gejolak aneh
yang menghantui benaknya. Hasrat
kelelakiannya
mendadak melonjak-lonjak.
Suropati menggelengkan
kepala berulang kali. Namun,
bayang-bayang keinda-
han tubuh seorang gadis di
pelupuk matanya tak da-
pat hilang. Remaja konyol itu
kemudian menjambak-
jambak rambutnya sendiri.
Wajahnya tampak merah
merona dan sekujur tubuhnya
dibanjiri keringat!
"Oh.... Apa yang
terjadi?" gumam Suropati. Di-
tatapnya wajah Rani Paramita
yang duduk kaku di ha-
dapannya. Sekejap kemudian, dia berteriak
dengan
suara serak. "Pergilah
cepat!"
Mendengar perintah Suropati,
Rani Paramita
menatap tak mengerti.
"Pergi cepat!" ulang
Suropati.
"Kau kenapa?" tanya
Rani Paramita kebingun-
gan.
"Aku terkena pengaruh Puyer
Perangsang!"
Rani Paramita terkejut bukan
main. Bayangan
buruk segera hadir dalam
benaknya. Dia yang tak bisa
menggerakkan anggota badannya
jadi sangat gelisah.
Apalagi setelah melihat raut
wajah Suropati berubah
tegang. Dengus nafasnya
menderu-deru bagai banteng
marah.
"Saka Purdianta
keparat!" umpat Suropati
sambil menggebrak meja. Piring
dan gelas yang berada
di atasnya langsung berpentalan.
Mata Suropati melotot semakin
lebar. Jantung-
nya terasa sangat sakit. Ketika
menggebrak meja tadi
dia lupa kalau kepandaiannya
telah musnah. Akibat-
nya, racun Jarum Hitam yang
mencampuri cairan da-
rahnya langsung menerjang
jantung!
"Cepat! Tuan Putri,
pergilah!" teriak remaja ko-
nyol itu.
Puyer Perangsang yang
dicampurkan Saka Pur-
dianta ke dalam arak dan makanan
hampir menghan-
curkan akal sehat Suropati.
Mulutnya mendesis-desis
tak karuan. Dia
menggeleng-gelengkan kepala semakin
keras. Tapi, keinginan buruk
dalam hatinya terus
menghentak-hentak. Sementara
Rani Paramita tak ka-
lah kalutnya.
"Aku... aku tak bisa pergi
dari sini, Suro...," ka-
ta putri Prabu Arya Dewantara
itu. Kengerian ter-
bayang jelas di matanya.
"Tuan Putri harus pergi!
Aku tak ingin berbuat
dosa terhadap Tuan Putri.
Pengaruh Puyer Perangsang
hanya dapat dipunahkan dengan
melakukan hubun-
gan suami-istri. Dan aku tidak
ingin melakukan per-
buatan keji itu. Pergilah Tuan
Putri, sebelum pengaruh
Puyer Perangsang sampai pada
puncaknya...."
"Aku ditotok Saka
Purdianta."
"Apa?"
Remaja konyol itu bangkit dari
duduknya. Den-
gus nafasnya
terdengar panjang-panjang. Sorot mata
Suropati yang semula berapi-api
berubah redup. Se-
mua bayangan ngeri yang
menghantui pikirannya
mendadak lenyap, berganti dengan
keindahan yang
mempesonakan.
"Kau cantik
sekali...," desis Suropati seraya
membelai anak-anak rambut Rani
Paramita,
"Biadab! Saka Purdianta
biadab!" jerit Rani Pa-
ramita. Suaranya menerobos debur
ombak yang sese-
kali terdengar keras memecah
keheningan.
"Ah! Aku...," Pengemis
Binal seperti baru tersa-
dar akan sesuatu.
Sorot mata remaja konyol itu
kembali nyalang.
Ditekannya kedua pelipisnya.
Bagian pelipis kanannya
serasa lunak seperti tiada
bertulang.
"Ya, Tuhan...," gumam
Suropati sambil menun-
dukkan kepala dalam-dalam.
"Pengaruh racun Jarum
Hitam dalam darahku belum
lenyap. Kini Puyer Pe-
rangsang akan menggelapkan
mataku. Tidak! Ini tidak
boleh terjadi!"
Remaja konyol itu berteriak
lantang, lalu berla-
ri-lari mengelilingi
geladak Kapal Rajawali. Suropati
terlihat bagai orang yang
kehilangan akal sehat "Tidak!
Ini tidak boleh terjadi! Aku
harus bisa mengalahkan
pengaruh racun dalam
tubuhku!"
Suropati berlari semakin
kencang. Tapi akhir-
nya dia jatuh terduduk sambil
mendekap dada kirinya.
Setelah mengeluarkan umpatan tak
karuan, dia duduk
bersila dengan mata terpejam
rapat.
Dicobanya menghimpun kekuatan
batin untuk
menghalau keinginan birahi yang
mengabuti benak-
nya.
Namun, sebentar kemudian....
Jerit keras
membarengi terbukanya kelopak
mata Suropati. Rema-
ja konyol itu berjalan tiga
tindak. Diterkamnya tubuh
Rani Paramita yang masih duduk
di kursi!
"Jangan...!" teriak
Rani Paramita.
Tapi, teriakan itu hanya
dianggap angin lalu
oleh Pengemis Binal. Dengan
ganas dia menciumi bibir
Rani Paramita. Kemudian
direnggutnya piyama gadis
cantik itu hingga koyak....
6
Lima bayangan berkelebat cepat
menyusuri
Pantai Pasir Putih. Dalam gelap
malam yang hanya di-
terangi cahaya rembulan gerak
tubuh mereka laksana
kelebatan setan. Hampir tak
dapat diikuti oleh pan-
dangan mata.
Ketika sampai di sisi julangan
batu karang
tinggi, mereka menghentikan
langkah. Didakinya ju-
langan batu karang itu. Seorang
di antara mereka ada-
lah wanita muda yang berparas
cantik. Di punggung-
nya terselip sebilah pedang.
Gagangnya melintang di
bahu kanan. Sorot mata gadis itu
sangat tajam. Pa-
kaian merah ringkas yang
dikenakannya memperli-
hatkan lekuk liku tubuhnya.
Dialah Puspita atau yang
lebih dikenal dengan julukan Si
Pedang Perak.
Di sisi kanan Pendekar Pedang
Perak itu seo-
rang pemuda tampan berambut
pirang menatap ke ke-
jauhan. Bibirnya yang merah
seperti bibir wanita tam-
pak bergetar. Dia mengangkat
telunjuk jari kanannya,
menunjuk Kapal Rajawali yang
tertambat agak ke ten-
gah laut.
"Itu kapal yang kita
cari...."
Tak ada sahutan yang menimpali perkataan
Kapi Anggara atau Pendekar
Asmara.
Seorang pemuda yang juga tak
kalah tampan
namun berpakaian lebih
sederhana, menatap wajah-
nya sebentar. "Kita ke sana
sekarang...."
"Jangan, Gusti. Belum
waktunya. Tindakan
yang tak mengikuti perhitungan
hanya akan mencela-
kakan Tuan Putri Rani
Paramita...," cegah seorang ka-
kek yang mengenakan jubah. Ikat
kepala putih yang
dikenakannya tampak lepas bagian
ujungnya. Namun,
dengan cekatan dia membenarkan.
Setelah itu, dia
menatap kakek tinggi besar yang
berdiri di sebelahnya.
"Sebaiknya kita memang
menunggu beberapa
saat lagi...," kata si
kakek tinggi besar.
Dia hanya mengenakan rompi dan
celana pen-
dek sebatas lutut. Udara dingin
malam sama sekali tak
membuat tubuhnya menggigil.
Padahal bentuk pa-
kaian yang dikenakannya membuat hembusan angin
bebas menyentuh kulitnya. Dia
Bima Glondor. Semasa
muda dijuluki si Pegulat Maut.
Selain memiliki ilmu si-
lat tinggi, dia juga ahli
memainkan ilmu bela diri gulat.
Dia pernah berguru kepada
seorang petualang dari da-
ratan Mongolia.
"Bagaimana, Anggara?"
tanya si pemuda tam-
pan yang berpakaian lebih
sederhana kepada Pendekar
Asmara.
"Benar perkataan kakek
berdua ini, Wirapak-
si...," jawab pemuda tampan
berambut pirang itu.
Arya Wirapaksi merupakan Putra
Mahkota Ke-
rajaan Anggarapura. Kedua pemuda
itu memang ber-
sahabat karib. Mereka sering
berlatih silat bersama.
Sebenarnya Arya Wirapaksi
dilarang oleh ayahan-
danya, tapi dia tetap ngotot
untuk ikut membebaskan
Rani Paramita dari tangan
penculik.
Mendadak, sesosok bayangan
berkelebat. Ber-
dirilah di tempat itu seorang
pemuda gagah berkumis
yang menyandang sebilah pedang
di punggung.
"Aku telah memeriksa
keadaan di sekitar Pantai
Pasir Putih ini. Tidak ada
sesuatu pun yang mencuri-
gakan. Kita tidak akan
terjebak," kata pemuda yang
baru muncul. Dia adalah Senopati
Risang Alit.
"Kalau begitu kita serbu
Kapal Rajawali seka-
rang!" sahut Arya
Wirapaksi, yang segera dibalas den-
gan anggukan kepala Senopati
Risang Alit.
Ketiga orang yang lainnya pun
menampakkan
persetujuan. Tapi, tidak
demikian dengan Puspita. Wa-
jah gadis itu tampak semakin
kusut. Tokoh-tokoh is-
tana yang berada di tempat itu
tak memperhatikannya.
Mereka segera menghemposkan
tubuh mengikuti gera-
kan Senopati Risang Alit.
"Hei, tunggu!" teriak
Puspita.
Senopati Risang Alit menoleh.
Dia menghenti-
kan langkah kakinya. "Ada
apa, Puspita?"
"Dengan menyerbu
bersama-sama, apakah hal
ini bukan suatu tindakan
gegabah?"
"Percayalah kepadaku. Tidak
akan terjadi apa-
apa."
"Bagaimana kau bisa yakin
seperti itu, Alit?"
"Aku telah menyelidikinya.
Di Kapal Rajawali
aku mendapatkan Tuan Putri Rani
Paramita sedang
duduk tenang seperti tidak
terjadi apa-apa. Aku juga
melihat Suropati...."
"Suropati? Jadi, benar Tuan
Putri diculik orang
suruhannya...," kata
Puspita menyimpan keterkejutan.
"Sedang apa dia? Apakah dia
sedang menunggu keda-
tangan kita?"
"Tampaknya tidak. Ketika
aku mengintai, Pe-
mimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu se-
dang berlari-lari di atas
geladak kapal. Sepertinya dia
telah hilang ingatan."
"Ah, kita tak bisa
membuang-buang waktu...,"
sela Kapi Anggara.
"Kita segera menyelamatkan
Tuan Putri. Buang
pikiran buruk dari benakmu,
Puspita,"
Senopati Risang Alit
menghemposkan tubuhnya
kembali. Semua tokoh istana
langsung mengikuti, ter-
masuk Puspita. Namun, hati
pendekar pedang itu tak
lepas dari kungkungan tanda
tanya.
***
Suropati sudah kehilangan akhlak
kemanu-
siaannya lagi. Dengan penuh
nafsu dia menghem-
paskan tubuh Rani Paramita ke
geladak. Piyama yang
dikenakan gadis cantik itu sudah
tak karuan lagi wu-
judnya. Di sana-sini telah koyak
lebar, memperli-
hatkan kemulusan kulitnya.
Ketika Suropati menden-
gus keras sambil berusaha
menanggalkan sisa-sisa
kain yang menempel di tubuh,
Rani Paramita hanya
dapat memejamkan mata. Dalam
hati dia menyebut
kebesaran nama Tuhan. Dia sudah
tak mampu lagi
untuk berteriak keras.
Tenggorokannya telah kering.
"Kau cantik
sekali...," desis Suropati sambil
mencium leher Rani Paramita yang
jenjang. Kemudian,
remaja konyol yang telah
terpengaruh Puyer Perang-
sang itu menindih tubuh Rani
Paramita. Dan, tampak-
nya gadis itu hanya dapat
mengeluh panjang. Totokan
yang dilakukan Saka Purdianta
telah menghilangkan
seluruh tenaganya.
Pada saat genting di mana kehormatan
Rani
Paramita hampir terenggut, dua
sosok bayangan ber-
kelebat sangat cepat. Yang satu
melancarkan tendan-
gan ke arah kepala Suropati.
Sedang yang lain melun-
cur dengan kedua tangan terbuka
seperti hendak me-
remukkan tubuh Suropati.
"Mati kau, Gembel
Busuk!" teriak bayangan
yang di sebelah kiri.
Sosok yang sedang melancarkan
tendangan itu
tak mendapat kesulitan apa-apa
untuk segera menca-
but nyawa Suropati. Namun tak
pernah dia duga, satu
kelebatan sinar perak yang
dibarengi suara mendesing
menghentikan gerakannya. Cepat
pergelangan kakinya
ditarik ke kiri karena tak mau
kaki kanannya terbabat
putus. Tubuh orang itu
terjerembab ke geladak kapal
lalu bergulingan.
Orang kedua bernasib sial. Dia
terlalu bernafsu
untuk segera menyudahi riwayat
Suropati. Ketika je-
mari tangannya hampir menyentuh
tengkuk Suropati,
kilatan pedang berwarna perak
menyambar. Dia masih
sempat menarik tangan kanannya.
Tapi, tangan ki-
rinya terlambat. Kelingkingnya
terbabat putus! Jerit
kesakitan mengiringi meluncurnya
cairan darah.
"Bangsat...!" umpat
Bima Glondor atau si Pegu-
lat Maut Di hadapannya berdiri
Puspita dengan pedang
terhunus. "Kenapa kau
melukai ku?!"
"Tidak seorang pun boleh
membunuh Suropa-
ti!" kata Puspita dengan
suara ketus.
"Tapi... tidakkah kau
melihat apa yang sedang
dilakukannya? Dia pantas untuk
menerima hukuman
mati!"
Puspita menoleh. Dilihatnya
Suropati masih
menggumuli tubuh Rani Paramita.
Puspita langsung
menjerit histeris. Dia jatuh
terduduk. Tangan kirinya
mendekap wajah. Tak mampu
melihat adegan yang
mengiris-iris hatinya itu.
Suropati seperti tak sadar
kalau di tempat itu
tidak lagi sepi. Lima orang
tokoh istana telah hadir.
Satu cengkeraman Kapi Anggara
yang mendarat di
tengkuk Suropati menghentikan gerakan
remaja ko-
nyol itu.
"Mati kau!" pekik Kapi
Anggara seraya melem-
parkan tubuh Pengemis Binal
Braaakkk...!
Tak ayal lagi, tubuh remaja
konyol itu melayang
tinggi lalu membentur geladak
kapal dengan keras. Dia
masih mencoba bangkit. Tapi
hanya sanggup men-
gangkat tangan kanannya. Darah
menyembur deras
dari mulutnya. Dibarengi keluh
pendek, tubuh Suropa-
ti jatuh terkulai. Pingsan!
Senopati Risang Alit dart Arya
Wirapaksi saling
berpandangan. Mereka menghampiri
tubuh Rani Pa-
ramita yang masih tergeletak di
atas geladak kapal.
Begitu totokan di tubuhnya
bebas, gadis cantik itu
memeluk Arya Wirapaksi dan
menumpahkan tangis-
nya di dada putra mahkota itu.
"Sudahlah, Rani...,"
kata Arya Wirapaksi. "Ben-
cana telah lewat. Kau selamat,
Adikku."
Pemuda tampan itu melepaskan
pelukan Rani
Paramita. Bajunya kemudian
dilepas untuk dipakaikan
ke tubuh Rani Paramita yang
hampir polos.
"Kita bawa Suropati ke
istana," kata Arya Wira-
paksi. "Biar Ayahanda Prabu
sendiri yang menentukan
hukuman baginya."
Bima Glondor yang sudah bisa
mengatasi rasa
sakit di sekeliling tangannya
langsung memanggul tu-
buh Suropati. "Kita
berangkat sekarang," katanya.
Tiga sosok bayangan menghentikan
langkah
Bima Glondor. Di tempat itu
muncul Gede Panjalu ber-
sama Ki Ageng Manik Rei dan
Pertiwi.
"Turunkan tubuh
muridku!" perintah Gede
Panjalu dengan suara berat
Bima Glondor menatap tajam wajah
sesepuh
Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu. "Aku harus
membawanya ke istana."
"Tidak! Dia muridku. Aku
yang akan menjatuh-
kan hukuman terhadapnya!"
"Dia hampir saja merenggut
kehormatan Tuan
Putri Rani Paramita. Hukuman apa
yang hendak kau
jatuhkan kepadanya?"
Kening Gede Panjalu berkerut.
Wajahnya yang
sudah tua tampak semakin tua.
"Ehm.... Suropati be-
nar-benar telah menjadi binatang
jalang."
Gede Panjalu menyebar pandangan
sebentar.
Begitu dilihatnya para tokoh
istana hadir di tempat itu,
Gede Panjalu mengangkat tangan
kanannya yang me-
megang tongkat. Dengan lantang
lalu dia berkata, "Aku
telah mengangkat Suropati
menjadi Pemimpin Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
Kalau kini perbua-
tannya menyimpang dari jalan
kebenaran, aku juga
yang akan mencopot
kewenangannya. Dan melihat ke-
biadabannya aku sendiri yang
akan menjatuhkan hu-
kuman terhadapnya!"
"Tidak..!" tiba-tiba
Puspita memekik
Sinar mata gadis itu berubah
nyalang. Pera-
saan cinta dalam hatinya
terhadap Suropati telah
mengalahkan akal sehatnya.
Dengan berani dia mena-
tap wajah Gede Panjalu.
"Seorang pendekar budiman
seharusnya bisa
mengendalikan perasaan
pribadinya," kata Gede Panja-
lu.
"Justru itu, seorang
pendekar budiman tidak
boleh bertindak gegabah.
Benarkah Suropati telah me-
lakukan perbuatan jahat? Apakah
dia tidak sedang da-
lam pengaruh orang lain?"
"Bukti dan saksi sudah
cukup untuk menja-
tuhkan hukuman bagi
Suropati...," kata Ki Ageng Ma-
nik Rei. "Suropati telah
menghancurkan Perguruan
Pedang Kencana. Bahkan, di depan
mataku Suropati
menodai seorang muridku yang
kini berdiri di sam-
pingku."
"Tapi..."
"Sudahlah,
Puspita...," sambung Kapi Anggara.
"Suropati telah berubah
menjadi penjahat. Dia bukan
sahabat kita seperti hari-hari
lalu. Tidakkah kau meli-
hat dia hampir saja menodai Tuan
Putri Rani Paramita,
Puspita?"
Tidak ada lagi yang
berkata-kata. Rani Parami-
ta pun belum mampu membuka suara
untuk menje-
laskan perkara yang sebenarnya.
Gadis itu masih da-
lam keadaan gugup dan sangat
terkejut akan kejadian
yang menimpa dirinya.
Gede Panjalu lalu segera memberi
isyarat kepa-
da Bima Glondor untuk menurunkan
tubuh Suropati.
Begitu tubuh Pengemis Binal
menyentuh geladak,
Gede Panjalu melompat dengan
tongkat tertuju lurus
ke depan. Tapi kakek berjubah
yang bernama Prana-
sanca menghadang.
"Baginda Prabu Arya
Dewantara yang berhak
menghukumnya," kata tokoh
tua itu.
Gede Panjalu mendengus. Dia
merasa tersing-
gung. Dengan teriakan serak,
kakek bongkok itu mem-
bentak "Minggir kau!
Suropati muridku. Bagi seorang
murid yang murtad, yang berhak
menjatuhkan huku-
man adalah gurunya!"
"Tapi, Suropati hampir saja
membuat celaka
Tuan Putri Rani Paramita!"
Mendengar ucapan yang bernada
menantang
itu, darah Gede Panjalu
bergolak. Sebetulnya dia bu-
kanlah tokoh tua yang gampang
naik pitam. Namun
karena hatinya terpukul
mendapati kenyataan Suropa-
ti telah menyimpang dari
kebenaran, Gede Panjalu jadi
mudah tersinggung. Dan tanpa
diduga Pranasanca,
kakek bongkok itu menggerakkan
ujung tongkatnya!
Tak...!
Wajah Pranasanca pucat pasi.
Ujung tongkat
Gede Panjalu melakukan totokan
lihai ke dada kiri.
Tapi, kelebatan benda kecil
berwarna kekuningan,
membuat tongkat Gede Panjalu
bergetar. Bagian
ujungnya melenceng dari sasaran.
Tak urung, lengan
kiri atas Pranasanca
terserempet. Kakek berjubah itu
mengeluh kesakitan. Sekujur
tubuhnya terasa panas
laksana dialiri api neraka!
"Saya menghormati Kakek
Gede Panjalu seba-
gai sesepuh Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti...,"
kata Kapi Anggara seraya menjura.
Dialah yang telah
menggagalkan serangan Gede
Panjalu dengan melon-
tarkan sebuah senjata rahasia
dari baja pipih berwar-
na kuning.
"Apa maksudmu, Anggara?
Apakah kau juga
akan menghalangiku untuk
menghukum Suropati?"
tanya Gede Panjalu marah.
"Kami adalah pengemban
titah Baginda Prabu
Arya Dewantara. Kami harus
menyelamatkan Tuan Pu-
tri Rani Paramita dan menangkap
penculiknya. Dia
akan kami hadapkan pada
pengadilan istana. Baginda
Prabu yang akan menjatuhkan
hukuman baginya...."
Gede Panjalu menggeram keras.
Sebelum dia
melakukan sesuatu, Rani Paramita
mengeluarkan sua-
ra lirih di antara isak
tangisnya. "Suropati tidak men-
culik ku...."
Hampir-hampir kalimat itu tidak
terdengar. Ta-
pi walau lemah, cukup mampu
untuk mengejutkan
semua yang berada di atas
geladak Kapal Rajawali
"Apa maksudmu, Rani?"
tanya Arya Wirapaksi
sambil menatap tajam wajah
adiknya. Cahaya rembu-
lan memperlihatkan mata Rani
Paramita masih berka-
ca-kaca.
"Suropati tidak tahu
apa-apa. Dia tidak mencu-
lik ku. Dia tadi terkena
pengaruh Puyer Perangsang...."
Kembali keterkejutan melanda.
Arya Wirapaksi
memegang bahu adiknya.
"Benar apa yang kau kata-
kan itu, Rani?"
Rani Paramita mengangguk.
Diceritakannya ke-
jadian yang baru saja dialaminya
di atas geladak Kapal
Rajawali. Dengan suara
terbata-bata, dia menutup ce-
ritanya. "Saka Purdianta
adalah biang keladinya...."
Semua orang menarik napas lega.
Kiranya Su-
ropati telah menjadi korban
sebuah rencana busuk.
Dan selagi semua orang menatap
tubuh Suropati yang
masih terbujur pingsan di atas
geladak, Ki Ageng Ma-
nik Rei melompat ke tengah
arena.
"Apakah kalian semua telah
menganggap Suro-
pati tidak bersalah? Lalu, siapa
yang telah menghan-
curkan Perguruan Pedang Kencana
dan membunuh
sekian banyak muridku? Dan,
siapa pula yang telah
menodai Pertiwi? Apakah setan
laknat yang menyamar
sebagai Suropati? Tapi, mataku
belum lamur. Pertiwi
pun akan mengatakan kalau
penjahat busuk itu Suro-
pati
"Benar apa yang dikatakan
Eyang Guru! Bajin-
gan culas itu sudah selayaknya
mati!" teriak Pertiwi
dengan penuh kemarahan.
Murid Ki Ageng Manik Rei itu
segera menghu-
nus pedangnya. Dengan sekuat
tenaga, dia menghim-
pun seluruh kekuatannya ke
tangan kanan yang me-
megang pedang. Lalu....
"Jangan...!"
Rani Paramita menjerit ngeri.
Tak tahan dia
melihat kelebatan pedang Pertiwi
yang menghujam se-
cepat kilat ke arah tubuh
Suropati yang tak berdaya....
***
Cahaya temaram rembulan tersibak
oleh kila-
tan warna keemasan yang memancar
dari bilah pedang
Pertiwi. Tak ada yang menduga
gadis itu akan melaku-
kan perbuatan demikian. Semua
orang hanya berdiri
terpaku dengan mulut ternganga.
Ki Ageng Manik Rei
sendiri tak kalah terkejutnya.
Walau kakek itu sangat
mengharapkan Suropati dijatuhi
hukuman mati, tapi
melihat keadaan Pertiwi,
bergidik juga dia.
Ki Ageng Manik Rei tak dapat
membayangkan
kemarahan orang-orang yang
berada di sekelilingnya.
Padahal mereka masih belum yakin
benar akan kesa-
lahan Suropati. Namun, untungnya
sebelum ajal men-
jemput Suropati, sesosok
bayangan berkelebat!
Trang...!
"Argh...!"
Seruling merah di tangan sosok
bayangan me-
nangkis sambaran pedang Pertiwi.
Malang bagi Pertiwi.
Sorongan tongkat Gede Panjalu
yang digerakkan den-
gan tenaga bawah sadar membentur
punggungnya.
Tubuh Pertiwi langsung jatuh
berdebam dan pedang-
nya mencelat tercebur ke laut
"Suropati harus ma...
ti...!"
Kalimat itu keluar dari mulut
Pertiwi bersa-
maan dengan menyemburnya darah
segar. Sekejap
mata kemudian, tubuh gadis itu
terkulai lemas dalam
keadaan pingsan.
Sementara itu, sosok yang telah
menyela-
matkan nyawa Suropati berjongkok
di sisi remaja ko-
nyol itu. Dengan cekatan dia
membuat beberapa toto-
kan. Terdengar Suropati mengeluh
pendek. Tapi begitu
tersadar dari pingsannya, dia
memukul-mukul dada.
"Jangan biarkan aku
tersiksa seperti ini! Cepat
bunuh aku! Cepat...!"
Pengemis Binal memukul-mukul
dadanya se-
makin keras. Dari mulutnya
keluar busa putih. Sosok
yang berjongkok di sisi Suropati
segera menotok jalan
darah di kedua pangkal lengan
remaja konyol itu.
"Kakek Wajah Merah!"
desis Suropati menatap
wajah orang yang telah
melumpuhkan kedua tangan-
nya.
"Tenanglah, Suro...,"
kata sosok yang baru
muncul.
Dia memang si Wajah Merah.
Seorang tabib
pandai yang berusia sekitar
tujuh puluh tahun. Kakek
itu mengenakan pakaian kuning
ringkas. Rambutnya
yang putih dibiarkan
riap-riapan. Sebagian menutupi
wajahnya yang berwarna merah
seperti buah tomat
matang.
"Bunuh saja aku,
Kek...," pinta Pengemis Binal
lagi. "Aku telah terkena
Puyer Perangsang. Aku tak bi-
sa menyentuh seorang wanita,
karena kelelakian ku
akan lumpuh. Aku tak mau hal itu
terjadi. Ini lebih
mengerikan daripada
kematian...."
Mulut Suropati semakin berbusa.
Dengan lem-
but, si Wajah Merah menyekanya.
"Kau belum terlambat,
Suro...," kata tabib pan-
dai itu.
Ditotoknya beberapa aliran darah
di bawah pu-
sar Suropati. Jerit keras
memecah keheningan malam.
Ketika mulut Suropati terbuka lebar,
Wajah Merah
memasukkan beberapa buah pil.
Kemudian, diurutnya
pangkal leher Suropati. Pil-pil
itu langsung meluncur
ke lambung.
Si Wajah Merah bangkit berdiri.
Sedangkan Su-
ropati jatuh pingsan lagi. Semua
mata menatap tubuh
remaja konyol itu yang terbujur
lemah.
"Apa yang terjadi?"
tanya si Wajah Merah. "Ke-
napa. kalian hanya diam saja
ketika seorang pendekar
besar hendak menemui ajal?"
Tak ada yang mengeluarkan suara.
Si Wajah
Merah mendehem. Ditatapnya Gede
Panjalu. "Apa yang
terjadi dengan muridmu,
Gede?"
Dengan suara berat Gede Panjalu
menceritakan
tindakan Suropati yang telah
melakukan serangkaian
perbuatan biadab. Beberapa orang
lainnya menyam-
bung cerita kakek bongkok itu.
"Tidak mungkin!"
bantah Wajah Merah. "Seseo-
rang tentu telah memfitnahnya.
Kehadiranku di sini
memang untuk mencari Suropati.
Dia telah terkena ra-
cun Jarum Hitam. Orang-orang di
wilayah Selatan me-
namakan jarum itu sebagai Jarum
Mati Sekejap. Siapa
saja yang terkena akan mati
dalam sekejap mata. Tapi,
tidak dengan Suropati. Dia
memiliki sebuah keajaiban.
Namun, aku mempunyai dugaan
seluruh ilmu kepan-
daiannya telah musnah seperti
yang menimpa
Anggraini Sulistya, putri Prabu
Singgalang Manjunjung
Langit, Penguasa Kerajaan Pasir
Luhur. Raka Maruta
membawa gadis itu ke Bukit
Rawangun untuk menda-
pat pertolonganku. Karena
meminum darah Raka Ma-
ruta yang telah bercampur Air
Sakti, maka jiwa
Anggraini Sulistya masih dapat
diselamatkan......."
Si Wajah Merah menghentikan
bicaranya se-
bentar. Diperhatikannya perubahan raut muka orang-
orang yang berdiri di
sekelilingnya
"Yang melukai Suropati dan
Anggraini Sulistya
adalah orang yang sama. Menurut
penuturan Anggrai-
ni Sulistya, orang itu bernama
Saka Purdianta, putra
Tumenggung Sangga Percona. Saka
Purdianta telah
memanfaatkan kelemahan Suropati
untuk menjatuh-
kan fitnah kepadanya. Dia ingin
menghabisi riwayat
Suropati yang sudah tak
mempunyai ilmu kepandaian
apa-apa lagi...."
"Kalau begitu, Saka
Purdiantalah yang telah
mempengaruhi salah seorang
anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti untuk
menculik Tuan Putri
Rani Paramita. Tapi, anggota
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu sangat lihai.
Bagaimana Saka Pur-
dianta bisa mempengaruhinya?"
sahut Kapi Anggara.
"Apakah ada dua
Suropati?" kata Ki Ageng Ma-
nik Rei. "Aku berani
bersumpah orang yang telah
menghancurkan Perguruan Pedang
Kencana adalah
Suropati! Dia pula yang telah
menodai Pertiwi!"
Tiba-tiba terdengar keluhan panjang
dari dalam
ruang bawah geladak muncul
seorang wanita setengah
baya dengan langkah sempoyongan.
Sekujur tubuhnya
bersimbah darah. Dialah inang
pengasuh Anggraini
Sulistya.
"Tuan-tuan..." kata
wanita itu dengan suara
bergetar oleh deraan rasa sakit.
Inang pengasuh Anggraini
Sulistya yang sudah
di ambang maut jatuh terkulai ke geladak. Semua
orang langsung berlompatan
mengerumuni.
"Tuan-tuan... Suropati
tidak bersalah. Ja... jan-
gan bunuh dia...! Sa... Saka
Purdianta... adalah..."
Bruk...!
"Inang pengasuh Anggraini
Sulistya tak mampu
meneruskan kalimatnya. Kedua
matanya mendelik.
Tangan kanannya yang memegang
sebuah benda lem-
but mengacung ke atas. Tapi
segera terkulai karena
nyawanya telah dijemput Malaikat
Kematian.
Sebenarnya, wanita itu baru saja
mendapat
siksaan keji dari Saka
Purdianta. Semula wanita itu
berada di bawah ancaman Saka
Purdianta. Tapi sete-
lah mengetahui Saka Purdianta
mempunyai rencana
yang sangat keji, dia
memberanikan diri mencuri to-
peng pemuda itu untuk membuka
kedoknya. Malang,
Saka Purdianta berniat
membunuhnya. Inang penga-
suh Anggraini Sulistya disiksa.
Tapi, Tuhan berkenan
memperpanjang usianya sampai dia
dapat menjumpai
orang-orang yang berkumpul di
atas geladak kapal.
***
"Topeng...!" desis
Kapi Anggara setelah mereng-
gut benda tipis lembut yang
berada dalam genggaman
inang pengasuh Anggraini
Sulistya "Mungkin Saka
Purdianta menggunakan topeng ini
untuk menyamar
sebagai Suropati?"
"Kau kenakan topeng itu ke
wajahmu, Angga-
ra!" kata Puspita dengan
tak sabar. Hati pendekar pe-
dang ini jadi senang. Tabir
kejahatan yang menimpa
Suropati telah terkuak.
Kapi Anggara menatap topeng di
tangannya.
Topeng itu terbuat dari getah
pohon karet yang sangat
halus. Sepertinya dibuat oleh
seorang yang sangat ahli.
Ketika Kapi Anggara
mengenakannya, semua orang
yang melihat langsung
terperangah. Wajah Kapi Ang-
gara telah berubah. Persis wajah
Suropati atau si Pen-
gemis Binal!
"Saka Purdianta
keparat...!" teriak Ki Ageng
Manik Rei. Dia menyebar
pandangan. Tentu saja yang
dicari sudah tak ada. Saka
Purdianta telah meninggal-
kan Kapal Rajawali sebelum para
tokoh istana tiba di
tempat itu.
Ki Ageng Manik Rei pun
berkelebat seraya me-
nyambar tubuh Pertiwi yang masih
tergeletak pingsan.
Dia berlalu dengan membawa
kemarahan yang me-
luap-luap. Orang-orang yang
ditinggalkannya tampak
celingukan, mencari sosok
Suropati yang juga telah le-
nyap!
"Si Wajah Merah membawanya
ke Bukit Ra-
wangun," kata Gede Panjalu
dengan suara lirih, na-
mun membersitkan sebuah
kelegaan. "Aku percaya ta-
bib pandai itu akan dapat
mengeluarkan racun yang
bersemayam dalam tubuh
Suropati."
Suasana hening. Satu persatu
tokoh-tokoh
rimba persilatan itu
meninggalkan kapal. Tampak dari
kejauhan Kapal Rajawali
memantulkan warna kekun-
ing-kuningan karena tertimpa
cahaya rembulan. Debur
ombak Pantai Pasir Putih
menderu-deru. Laut Selatan
mulai mengganas....
SELESAI
Ke manakah perginya Saka
Purdianta setelah dia
memfitnah Suropati dengan
mempergunakan topeng
yang mirip dengan wajahnya? Dan
siapa sesungguh-
nya yang berhasil menyembuhkan
Suropati?
Ikuti serial Pengemis Binal
selanjutnya :
PETAKA KERAJAAN AIR
Emoticon