Pengemis Binal 11 - Dewa Guntur(2)




Sang Dewi Malam mengambang di langit hitam.
Perguruan Pedang Kencana tampak lengang. Para mu-
rid sebagian besar tengah beristirahat di biliknya mas-
ing-masing. Pintu gerbang halaman depan tertutup ra-
pat. Hanya empat orang pemuda yang tampak berjaga-
jaga di depan pintu padepokan yang dibangun seperti
rumah joglo.
Di ruang belakang, seorang gadis tengah sibuk
meramu dedaunan obat. Wajah gadis itu cukup cantik.
Namun terlihat lugu sekali. Rambutnya hitam panjang
dikepang dua. Lampu damar yang bercahaya terang
menggambarkan lekuk liku tubuh si gadis yang padat
berisi. Buah dadanya tampak membusung. Karena dia
mengenakan kebaya, belahan daging kenyal itu terlihat

jelas. Pinggangnya ramping dengan pinggul besar me-
nantang. Kain yang dikenakannya sedikit naik, sehing-
ga menampakkan sepasang betis yang indah.
Tangan si gadis sangat cekatan meramu de-
daunan obat yang berserak di meja. Tak lama kemu-
dian, dia menuang air rebusan dedaunan ke dalam ge-
las kecil. Dibawanya keluar gelas itu dengan menggu-
nakan nampan.
"Eyang...," panggil gadis itu setelah sampai di
depan bilik Ki Ageng Manik Rei.
"Masuklah, Pertiwi...," terdengar sahutan dari
dalam. 
Gadis yang dipanggil Pertiwi ini membuka pin-
tu. Diletakkannya nampan di hadapan Ki Ageng Manik
Rei yang sedang duduk bersila di atas tikar pandan.
Ki Ageng Manik Rei langsung meminum air re-
busan dedaunan obat yang diramu muridnya. Kedua
mata tokoh tua itu menyipit ketika merasakan pahit.
Buru-buru dia menyambut kendi berisi air putih yang
disodorkan Pertiwi.
"Pahit, Eyang?" tanya gadis itu seraya meneri-
ma kendi kembali. Kemudian, diletakkannya  di meja
pojok ruangan.
"Tentu saja pahit, Pertiwi...," kata Ki Ageng Ma-
nik Rei setelah mengusap bibirnya dengan ujung len-
gan jubah. "Tapi, sesuatu yang manis biasanya me-
mang harus ditebus dengan kepahitan dulu. Sama
halnya dengan kebahagiaan. Kebahagiaan akan datang
apabila seseorang telah mengalami penderitaan. Na-
mun, terkadang kebahagiaan tak kunjung datang wa-
lau seseorang telah melakukan pengorbanan. Di sini-
lah orang itu diuji ketabahannya atas cobaan yang di-
berikan Tuhan."
"Saya mengerti, Eyang."

Pertiwi mengambil nampan. Ia hendak beranjak
keluar ruangan. Tapi, Ki Ageng Manik Rei segera men-
cegah.
"Ada apa, Eyang?"
"Aku merasa malam ini tidak seperti bi-
asanya...."
"Maksud, Eyang?"
"Apakah kau tidak merasakan sesuatu, Pertiwi?
Perasaan wanita biasanya lebih peka."
"Saya tidak merasakan apa-apa. Hanya, udara
malam ini memang terasa lebih dingin," sahut Pertiwi.
"Kau tidak merasakan hal yang aneh?" tegas Ki
Ageng Manik Rei. 
"Tidak."
"Ehm.... Mudah-mudahan firasatku yang sa-
lah," gumam kakek itu kemudian ketika melihat gelen-
gan kepala Pertiwi.
"Firasat apa, Eyang?" tanya Pertiwi ingin tahu.
"Ah, tidak. Segeralah kau beristirahat di bilik-
mu. Hari sudah larut malam...."
Pertiwi segera keluar ruangan. Setelah menutup
daun pintu, gadis itu tampak termangu.
"Tidak seperti biasanya Eyang Manik Rei bersi-
kap seperti itu. Raut wajahnya seperti menggambarkan
kekhawatiran yang sangat. Ada apa, ya?" gumam gadis
itu seorang diri.
Pertiwi berjalan sambil berpikir-pikir. Sesampai
di biliknya, dia merebahkan tubuh di pembaringan.
Tapi, kelopak matanya tak mau diajak terpejam.
Bayangan-bayangan buruk tiba-tiba saja muncul di
benaknya.
"Aneh.... Kenapa perasaanku menjadi tidak
enak?" Pertiwi menjadi gelisah bukan main.
Sementara di luar sepi memagut. Hawa dingin

laksana menjerat  tulang. Jangkrik dan satwa-satwa
tanah lainnya tak memperdengarkan suaranya. Ketika
gumpalan awan menutupi bulan, pelataran Perguruan
Pedang Kencana jadi gelap pekat.
Empat pemuda yang berjaga di depan pintu pe-
depokan mendongak ke atas. Mereka seperti me-
nyayangkan sang Dewi Malam yang menghilang di ba-
lik awan.
"Banyak benar gumpalan awan di langit. Apa-
kah hari akan turun hujan?" kata salah seorang dari
mereka.
"Mungkin tidak. Malam ini udara sangat dingin.
Hujan akan turun bila udara terasa gerah," sahut te-
mannya.
"Kenapa bulu kudukku tiba-tiba meremang?"
temannya yang lain menimpali.
"Aku juga. Perasaanku terasa tak karuan...." 
"Mungkinkah akan terjadi sesuatu yang tak ki-
ta inginkan?"
Di atas, gumpalan awan semakin bertumpuk-
tumpuk. Tiba-tiba terdengar suara bergemuruh. Se-
makin lama semakin keras. Lalu, cahaya kilat  me-
nyambar. Dan....
Blaaarrr...!
Petir menerjang padepokan. Bangunan yang
mirip rumah joglo besar itu langsung hancur beranta-
kan. Genteng berhamburan ke segala penjuru angin.
Pilar-pilar kayu jati roboh. Dindingnya yang terbuat
dari bilah-bilah papan tak luput dari kehancuran!
Jerit kesakitan para murid yang tubuhnya ter-
tindih kayu-kayu bangunan segera membahana. Sunyi
malam dipecahkan suara hiruk-pikuk. Belasan pemu-
da yang dapat menyelamatkan diri dari reruntuhan
berloncatan ke pelataran. Namun belum sempat mere-

ka menarik napas lega, jarum-jarum hitam telah mem-
buat tubuh mereka kejang, lalu menggelosor ke tanah
dalam keadaan tanpa nyawa!
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa terbahak-bahak. Perla-
han-lahan gumpalan awan di langit lenyap. Sang Dewi
Malam menampakkan diri kembali. Terlihatlah kini so-
sok si pemilik suara tawa. Dia mengenakan pakaian
penuh tambalan. Rambutnya yang hitam panjang di-
biarkan tergerai. Hembusan angin malam memper-
mainkannya. Matanya berkilat tajam penuh ancaman
kematian.
"Ki Ageng Manik Rei...!" teriak sosok itu yang
ternyata seorang remaja tampan. "Saya datang hendak
menjajal kepandaian!"
Tak terdengar suara jawaban. Tapi tak lama
kemudian dari puing-puing reruntuhan muncul seso-
sok bayangan. Sosok itu berkelebat cepat dan menda-
rat tepat tiga tombak di hadapan di hadapan si remaja
tampan.
Beberapa  lama  Ki Ageng Manik Rei menatap
puing-puing padepokannya. Hatinya terpukul bukan
main. Terlebih saat dia mengetahui tak satu pun para
muridnya yang selamat. Puluhan orang mati dengan
tubuh tergencet reruntuhan bangunan. Belasan lain-
nya berserakan di pelataran dengan mulut menganga
dan mata mendelik, terkena serangan jarum-jarum hi-
tam.
Si remaja tampan tertawa bergelak melihat ke-
lakuan Ki Ageng Manik Rei. Terkejutlah Ki Ageng Ma-
nik Rei saat melihat lebih jelas wajah tokoh muda itu.
"Kau... kau...," Ki Ageng Manik Rei tergagap. 
"Ha ha ha...! Tampangmu mirip kerbau tua
yang mendekati liang kubur, Manik Rei. Apakah kau

kaget melihat kehadiranku? Lihat baik-baik wajahku!
Jangan sampai kau salah lihat!"
Ki Ageng Manik Rei mempertajam penglihatan-
nya. Apa yang dilihatnya tetap seperti semula. Sosok
yang sedang berdiri di hadapannya adalah Suropati
atau si Pengemis Binal, Pemimpin Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti!
"Ah, tak mungkin...!" Ki Ageng Manik Rei mem-
bantah dalam hati. "Bagaimana mungkin tokoh muda
yang sangat kesohor sebagai seorang pendekar perkasa
dapat melakukan tindakan sebiadab ini? Apakah dia
telah menjadi budak iblis?"
"Ha ha ha...! Apa yang sedang kau pikirkan,
Manik Rei. Matamu tak salah melihat. Aku memang
Suropati, Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Sekali lagi kukatakan, kedatanganku ke sini
adalah untuk menjajal kepandaianmu. Maaf bila hal
ini sangat mengejutkanmu!"
"Aku tak peduli siapa kau, Anak Muda! Kucin-
cang tubuhmu untuk kujadikan santapan anjing.!"
"Ha ha ha...! Lakukan bila kau mampu, Manik
Rei!"
"Matilah kau, Gembel Busuk!"
Dengan hawa amarah memenuhi isi dada, KI
Ageng Manik Rei mencabut Pedang Kencananya. Pe-
dang baja bersepuh emas itu langsung memancarkan
cahaya gemerlap saat cahaya rembulan menimpa.
Cahaya gemerlap itu melengkung, dan menjadi
lingkaran besar tatkala Ki Ageng Manik Rei mengge-
rakkan tangan kanannya. Gemuruh keras terdengar.
Lalu, berubah menjadi suara desingan yang sanggup
menggetarkan isi dada.
Si remaja tampan segera meloncat ke samping
ketika kelebatan cahaya keemasan menghujam ke

arahnya. Tapi, ujung pedang Ki Ageng Manik Rei terus
memburu. Sebentar kemudian tubuh si remaja tampan
telah terkurung cahaya keemasan!
"Jurus 'Desingan Pedang Membelah Gunung'
hanya cocok untuk menyembelih seekor babi, Manik
Rei!"
Walau Malaikat Kematian sedang mengincar
nyawanya, si remaja tampan masih sempat berkata
demikian. Sadarlah Ki Ageng Manik Rei, kelebatan pe-
dangnya hanya dapat mengurung lawan tanpa mampu
melukai.
"Keluarkan seluruh kemampuanmu, Manik
Rei!" tantang si remaja tampan.
"Baik! Terimalah jurus 'Letusan Pedang Meron-
tokkan langit'!"
"Ha ha ha.... Nama jurus pedangmu sangat he-
bat. Sampai di mana kehebatannya, ingin kulihat!"
Ki Ageng Manik Rei menggeram laksana hari-
mau terluka. Cepat dia merubah gerakan jurus pe-
dangnya. Wujud pedang mendadak lenyap menjadi ki-
latan cahaya keemasan. Setiap tebasan yang dilakukan
tokoh tua itu menimbulkan suara ledakan dahsyat.
Apabila Ki Ageng Manik Rei membarengi kelebatan pe-
dangnya dengan teriakan, bumi terasa berguncang!
Si remaja tampan terperangah. Namun, senyum
lebar segera mengembang. Tokoh muda itu melenting
ke atas lalu keluar dari kurungan cahaya keemasan.
"Matilah kau!" teriak Ki Ageng Manik Rei. Pe-
dang di tangan Ketua Perguruan Pedang Kencana itu
mengejar, berusaha membabat pinggang si remaja
tampan. Namun selarik sinar hitam meluncur cepat!   
Trang...! 
Ki Ageng Manik Rei terkejut bukan main bagai
disambar geledek di siang bolong. Pedang Kencananya

lepas dari pegangan. Dan, terlontar entah ke mana....
"Ha ha ha...! Bagaimana, Manik Rei? Apakah
harus kita lanjutkan pertempuran ini? Kalau kau tidak
sanggup, segera berlututlah di hadapanku!"
"Bedebah! Iblis Laknat! Aku akan mengadu jiwa
denganmu!" Ki Ageng Manik Rei berang sekali. Wajah-
nya merah padam menahan amarah
"Kau tak layak mengadu jiwa denganku. Kau
yang sudah loyo hanya pantas bergelut dengan babi
betina. Ha ha ha...!" 
Mendengar ucapan yang begitu kasar, darah Ki
Ageng Manik Rei naik sampai ke ubun-ubun. Walau
sebenarnya dia tokoh tua yang tidak gampang naik da-
rah, tapi karena dihina sedemikian rupa, meledak juga
amarahnya. Dengan nekat dia menerjang si remaja
tampan
Yang diserang hanya tertawa keras. Secepat ki-
lat tubuhnya meluncur.
Plaaakkk...!
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Ki
Ageng Manik Rei. Walau si remaja tampan hanya men-
gerahkan seperdelapan dari kekuatan tenaga dalam-
nya, namun sanggup melontarkan tubuh Ki Ageng
Manik Rei. Kakek itu jatuh bergulingan di atas tanah.
"Kuremukkan tulang belulang mu!" teriak tokoh
tua itu seraya bangkit berdiri dan menerjang dengan
kalap.
Melihat tendangan lurus yang mengarah ke ulu
hati, si remaja tampan sama sekali tak berkelit. Dia te-
tap berdiri tegak di tempatnya. Ketika telapak kaki Ki
Ageng Manik Rei tinggal sejengkal lagi dari sasaran,
tangan kanan si remaja tampan berkelebat menangkap
pergelangan kaki lawan!
Wuuusss...!

Hanya dengan sentakan pelan tubuh Ki Ageng
Manik Rei dilontarkan, lalu jatuh berdebam di atas ta-
nah. Saat dia hendak bangkit sebuah totokan jarak
jauh menghentikan gerakannya. Akibatnya, tubuh to-
koh tua itu terpuruk lemas seperti selembar karung
basah.
Makian yang hendak keluar dari mulut Ki
Ageng Manik Rei langsung terhenti ketika sebuah toto-
kan kembali menghujam telak mengenai pangkal le-
hernya. 
"Eyang...!"
Seorang gadis menghambur datang dan meme-
luk tubuh Ki Ageng Manik Rei. Dia menangis tersedu-
sedu menyangka tokoh tua itu telah mati.
"Ha ha ha...!" si remaja tampan tertawa berge-
lak.  "Ki Ageng Manik Rei yang gagah perkasa belum
mati, Manis. Kau tak perlu menangisinya."
Gadis yang tak lain Pertiwi itu menatap wajah
si remaja tampan dengan sinar mata berapi-api. Yang
ditatap balas memandang dengan tatapan mata yang
begitu kurang ajar. Apalagi tubuh Pertiwi hanya ter-
bungkus pakaian koyak-koyak. Gadis itu baru saja
dapat melepaskan diri dari reruntuhan bangunan yang
menghimpit tubuhnya.
"Mendekatlah kemari, Manis...," kata si remaja
tampan.
Pertiwi mendengus keras. Cepat dia menerjang.
Tapi, totokan jarak jauh menghentikan gerakannya.
Tubuh gadis itu jatuh berdebam ke tanah dan tak
mampu bergerak lagi.
Si remaja tampan tertawa penuh kemenangan.
Dia melangkah mendekati Ki Ageng Manik Rei. Tubuh
tokoh tua itu diseret, kemudian disandarkan ke seba-
tang pohon. Ki Ageng Manik Rei mendelik tanpa mam-

pu berbuat apa-apa. Dia tak tahu apa yang akan di-
perbuat si remaja tampan.
"Kau ingin melihat sebuah pertunjukan bagus,
Manik Rei?" tanya si remaja tampan sambil mengusap-
usap rambut putih Ki Ageng Manik Rei.
Karena kakek itu hanya diam saja, si remaja
tampan menggerakkan kaki kanannya. Hendak diten-
dangnya kepala Ki Ageng Manik Rei. Melihat itu, mata
Ki Ageng Manik Rei langsung terpejam rapat. Ia pasrah
menerima kematian! 
"Eyang...!"
Jerit Pertiwi memecah keheningan. Gadis itu
menarik napas lega ketika tendangan si remaja tampan
terhenti di udara.
"Ha ha ha....!"
Sambil tertawa-tawa, si remaja tampan men-
jambak rambut Pertiwi. Diseretnya tubuh gadis itu ke
hadapan Ki Ageng Manik Rei.
"Sebuah pertunjukan bagus akan segera kau
saksikan, Manik Rei...," kata si remaja tampan. Dia la-
lu duduk berjongkok di sisi tubuh Pertiwi. Ditatapnya
wajah gadis yang sudah tak berdaya itu. Sesaat kemu-
dian.... 
"Ouuuwww...!"
Pertiwi menjerit keras. Dia merasa buah da-
danya laksana dijepit batang baja panas. Amarah dari
rasa takut bercampur aduk dalam dadanya. Ingin ra-
sanya dia memenggal kepala si remaja tampan. Namun
apa daya, bergerak saja dia tak mampu.
"Ayo, menjeritlah yang lebih keras, Manis.... Bi-
ar dedengkot tokoh tua itu tahu kalau di hadapannya
sedang berlangsung pertunjukan yang barangkali bisa
membangkitkan gairah mudanya!",
Usai berkata demikian, si remaja tampan

menggerakkan tangan. Kebaya yang dikenakan Pertiwi
langsung robek lebar di bagian depan. Akibatnya, buah
dada gadis itu menyembul keluar.
Si remaja tampan tertawa terbahak-bahak. Se-
mentara kelopak mata Ki Ageng Manik Rei terpejam
rapat. Dia tak sanggup melihat adegan yang berlang-
sung di hadapannya. Isi dada Ketua Perguruan Pedang
Kencana itu terasa mau meledak karena menahan
amarah.
Plaaakkk...!
Sebuah tamparan mendarat telak di pipi kanan
Ki Ageng Manik Rei. Tubuh tokoh tua itu langsung ter-
pelanting. Namun, si remaja tampan segera menyeret-
nya kembali. Disandarkannya tubuh tua itu di tempat
semula. 
"Kenapa kau enak-enakan tidur, Manik Rei?!"
bentak si remaja tampan. "Sudah kubilang, kau harus
menyaksikan pertunjukan yang akan segera berlang-
sung di hadapanmu!"
Si remaja tampan membalikkan badan, lalu di-
jambretnya kain yang dikenakan Pertiwi. Jerit ngeri
gadis itu mengiringi jatuhnya air mata Ki Ageng Manik
Rei.
Melalui cahaya rembulan yang temaram, si re-
maja tampan menggerayangi tubuh mulus Pertiwi den-
gan pandangan matanya. Kemudian dia berjongkok.
Dengus napas si remaja tampan yang memburu
segera lenyap ditelan jerit kesakitan Pertiwi. Ki Ageng
Manik Rei memejamkan mata rapat-rapat. Namun, ha-
tinya terasa perih bagai disayat seribu mata pedang.
Jeritan Pertiwi serasa mencabik-cabik seluruh isi dada
Ki Ageng Manik Rei....
Malam semakin larut. Sang Dewi Malam masih
setia menghiasi langit kelam. Bintang-bintang menge-

dipkan matanya, seakan turut berduka atas peristiwa
berdarah yang menimpa Perguruan Pedang Kencana.
Usai melampiaskan nafsu bejatnya, si remaja
tampan mendekati Ki Ageng Manik Rei. Dielus-elusnya
rambut putih tokoh tua itu. Senyum mengejek terlihat
menghiasi bibirnya.
"Manik Rei, maaf atas kejadian yang menimpa
perguruan silatmu. Kau tentu menyesali perbuatanku,
bukan? Kau ingin membalaskan sakit hati muridmu
dan dirimu sendiri. Kau ingin mencabik-cabik tubuh-
ku?"
Si remaja tampan lalu tertawa bergelak. Ki
Ageng Manik Rei menatapnya dengan pandangan pe-
nuh hawa dendam. Pemuda itu dengan tenangnya ma-
lah menepuk-nepuk bahu Ki Ageng Manik Rei.
"Untuk membalas dendam, kau tak mungkin
dapat mengalahkan aku, Manik Rei, Tapi jangan kha-
watir...," si remaja tampan menarik napas panjang.
Diusapnya dahi Ki Ageng Manik Rei. "Kau punya otak,
Manik Rei! Walau sudah usang, tapi mungkin masih
bisa diajak berpikir. Untuk membalaskan sakit hatimu
mudah saja. Rimba persilatan banyak memiliki tokoh
sakti. Kau bisa minta bantuan mereka. Aku menung-
gumu di atas geladak Kapal Rajawali yang tertambat di
Pantai Pasir Putih. Besok tengah malam, kau gunakan
pedangmu untuk memenggal kepalaku. Ingat! Besok
malam di Kapal Rajawali!"
Usai mengucapkan kalimatnya, si remaja tam-
pan membebaskan totokan di tubuh Ki Ageng Manik
Rei. Tokoh tua itu langsung menggeram keras dan me-
lompat tinggi. Namun sayang, sosok si remaja tampan
telah menghilang di kegelapan malam.
Ki Ageng Manik Rei berdiri terpaku menatap
tubuh telanjang Pertiwi yang tergeletak pingsan. Kea-

daan gadis itu sangat mengenaskan. Rambutnya yang
semula dikepang dua telah terburai tak karuan. Kelo-
pak mata dan bibirnya membiru. Sekujur tubuhnya
menampakkan luka memar. Namun yang membuat
hati Ki Ageng Manik Rei sangat terpukul adalah
adanya darah segar mengalir dari selangkangan Perti-
wi!
"Suropati keparat...!" umpat Ki Ageng Manik
Rei. Suaranya terdengar menggelegar di angkasa. Men-
dadak, tokoh tua itu melompat dan menghantamkan
kepalan tangannya ke sebatang pohon besar.
Dum...!
Pohon itu tumbang. Ki Ageng Manik Rei masih
belum puas. Kaki kanannya digedrukkan ke tanah
sampai amblas sebatas lutut.
"Suropati keparat...! Tuhan mengutuk perbua-
tanmu yang kejam! Neraka jahanam akan merejam tu-
buhmu! Tunggu pembalasanku, Pengemis Binal...!"

4

Sengaja Wirogundi tak lewat pintu gerbang is-
tana. Dia tahu di bagian depan pengawalan tentu san-
gat ketat. Namun ketika telah melompat tembok ben-
teng setinggi dua tombak, Wirogundi terkejut. Sebuah
teriakan menghentikan langkahnya.
"Siapa?!"
Teriakan itu segera disusul dengan kelebatan
dua sosok bayangan. Cepat-cepat Wirogundi bersem-
bunyi di balik rimbunan pohon-pohon taman. Ternyata
pengawalan di bagian belakang istana tak kalah ketat-
nya.
"Aku tadi melihat sesosok bayangan melompati

tembok benteng. Apakah kau juga melihatnya, Di?"
tanya salah satu dari kedua penjaga.
"Ya. Karena itulah, aku mengikuti langkahmu,"
jawab temannya.
"Sebaiknya kita melapor pada kepala penjaga."
"Jangan! Kita pastikan dulu yang masuk ke sini
adalah manusia. Bagaimana kalau setan?" temannya
berkeberatan.
"Bodoh! Kau masih saja terlalu percaya pada
tahayul!" bentak penjaga yang lebih tua.
"Tidak! Ugh...!"
Mendadak saja, tubuh penjaga yang lebih muda
terpuruk ke tanah dan tak mampu bergerak lagi. Bebe-
rapa totokan jarak jauh ternyata tepat mengenai sasa-
ran.
"Kau kenapa, Di?"
Temannya segera memeriksa. Namun sebelum
dia menyadari keadaan, beberapa aliran darahnya te-
lah terhenti. Dia pun jatuh menggelosor di atas tubuh
temannya.
Wirogundi hendak beranjak dari tempat per-
sembunyian. Tapi dia mendengar suara memanggil-
manggil, disusul dengan suara derap langkah kaki.
Sekurang-kurangnya sepuluh orang sedang berlari ke
arahnya.
"Celaka!" pilar Wirogundi. "Aku telah ketahuan.
Tapi, aku tak boleh gagal...."
Wirogundi menghemposkan tubuhnya. Dia me-
lesat ke atas atap istana. Teriakan-teriakan penjaga
tak dipedulikan lagi. Karena tak mau wajahnya dikena-
li, Wirogundi segera menyobek kain lengan ba-junya.
Digunakannya kain itu untuk menutupi sebagian wa-
jahnya.
"Siapa kau?!"

Petir laksana menyambar tubuh Wirogundi. Dia
terkejut setengah mati. Tahu-tahu di hadapannya telah
berdiri seorang pemuda tampan berambut pirang. Pa-
kaian yang dikenakannya indah gemerlap. Lewat ca-
haya rembulan Wirogundi bisa mengenali pemuda itu.
Dia adalah Kapi Anggara atau Pendekar Asmara.
"Ehm.... Rupanya ada maling hendak masuk ke
istana. Buka kain di wajahmu dan menyerahlah!"
Tak ada perkataan yang menimpali ucapan Ka-
pi Anggara. Tubuh Wirogundi telah berkelebat mema-
suki keputren.
"Berhenti, Keparat...!" teriak Kapi Anggara.
Pemuda tampan berambut pirang itu segera
mengejar. Namun, tak disangka selarik sinar kebiru-
biruan meluncur ke arahnya.
"Ih...!"
Pendekar Asmara masih sempat menghindar.
Totokan jarak jauh Wirogundi mengenai angin kosong.
Pendekar Asmara bergegas meneruskan pengejaran-
nya. Sayang, sosok Wirogundi telah hilang.
"Siapa dia?" pikir  Kapi Anggara. "Pakaiannya
penuh tambalan. Mungkinkah dia anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti?"
Pemuda tampan berambut pirang itu segera
berlari mengelilingi keputren. Beberapa orang prajurit
bersenjata pedang terhunus mengikuti langkah ka-
kinya.
"Minta bala bantuan...!" perintah Kapi Angara.
"Amankan Baginda Prabu beserta Permaisuri!." 
Sementara itu, Wirogundi tengah berjingkat-
jingkat di sebuah lorong di mana pada sisi kiri dan ka-
nannya terdapat jajaran kamar yang saling berhada-
pan.
"Kamar-kamar ini bentuknya biasa-biasa saja.

Tentu milik dayang-dayang...," pikir Wirogundi. "Seo-
rang putri raja pasti menempati sebuah kamar yang
lebih bagus."
Ketika pemuda kurus itu melihat sebuah kamar
besar yang letaknya agak terpisah dari kamar-kamar
lain, dia menarik napas lega. Tapi, dari arah depan tak
kurang dua puluh orang prajurit berlari ke arahnya.
"Celaka!" desis Wirogundi. Cepat tubuhnya di-
balikkan. Pandangan matanya menjadi nanar ketika
mengetahui dirinya telah terkepung. Tanpa pikir pan-
jang, pemuda kurus itu menerjang. Tapi, kelebatan si-
nar perak memapak!
Wuuuttt..!
Tubuh Wirogundi melenting. Kelebatan sinar
perak  yang  hendak memenggal lehernya lewat di ba-
wah kaki. Belum sampai kaki Wirogundi menginjak
lantai, kelebatan sinar perak itu telah mengurung. Bu-
ru-buru Wirogundi menjatuhkan diri. Lalu kakinya
bergerak menyerampang! 
Trang...!
Untunglah Wirogundi segera menarik kakinya
kembali. Kalau tidak, kakinya tentu telah putus. Sinar
perak yang terus mengejarnya adalah sebilah pedang.
Pemiliknya seorang gadis cantik berpakaian ringkas
dan berwarna merah.    
Menyerahlah! Kau sudah terkepung!" ancam si
gadis.
Wirogundi menyebar pandangan. Di sisi kiri
dan kanannya telah berjajar enam puluh prajurit ber-
senjata tombak dan pedang terhunus. Wirogundi pun
mengenali gadis berpakaian merah ringkas yang se-
dang mengacungkan pedang perak ke arahnya. Dia
adalah Puspita atau si Pedang Perak. 
Sesosok  bayangan mendadak berkelebat dan

mendarat di sisi kanan Puspita. Dia adalah Kapi Ang-
gara. Pemuda tampan berambut pirang itu tersenyum
ke arah Wirogundi.
"Aku tahu kau tentu anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti!"
"Bukan!" Wirogundi berusaha menutupi jati di-
rinya.
Beberapa prajurit yang sudah tak sabar segera
menerjang Wirogundi. Namun, buru-buru dihentikan
oleh teriakan Kapi Anggara.
"Tahan! Jangan membuang nyawa sia-sia! Mal-
ing ini bukan maling sembarangan. Kalian tak akan
mampu merobohkannya!"
Kapi  Anggara kemudian menerjang Wirogundi
dengan sebuah tendangan ke arah dada. Wirogundi
menggeser kedudukannya. Tapi, kelebatan pedang
Puspita memaksanya untuk meloncat. Sebentar kemu-
dian telah terjadi pertempuran seru. Para prajurit yang
berada di tempat itu hanya menjadi penonton.
Tidak terlalu lama, Pendekar Asmara tiba-tiba
meloncat menghentikan serangan. Gerakannya itu di-
ikuti oleh Puspita. Dua pendekar muda ini saling ber-
pandangan sejenak. Lalu, ditatapnya tajam-tajam wa-
jah Wirogundi yang tertutup selembar kain sobekan
lengan bajunya. Wirogundi tampak terkesiap melihat
senyum yang mengembang di bibir kedua muda-mudi
di hadapannya.
"Aku sudah tahu siapa kau...," kata Kapi Ang-
gara dengan suara datar. "Baru saja kau mengelua-
rkan jurus 'Pengemis Menghiba Rembulan'. Jangan
menyangkal kalau kau anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti!"
"Bukan! Aku adalah Pendekar Patah Hati," sa-
hut Wirogundi asal-asalan, teringat panggilan si rema-

ja tampan terhadap dirinya di Danau Ular.
"Pendekar Patah Hati?!" ucap Kapi Anggara dan
Puspita hampir bersamaan.
"Ya. Aku Pendekar Patah Hati. Perbuatanku tak
ada sangkut pautnya dengan Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Aku berbuat atas nama pribadi...."
Selagi Wirogundi berkata demikian, pintu-pintu
kamar terkuak.
Belasan dayang-dayang lari berserabutan. Ke-
sempatan itu tak disia-siakan Wirogundi. Disambarnya
salah seorang dayang. Maksudnya, untuk dijadikan
sandera. Tapi kelebatan pedang Puspita menggagal-
kannya.
"Jahanam! Katakan apa maumu?! Tak perlu
mungkir, kau pasti anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti. Rupanya kau binatang yang hendak
mencemarkan nama baik perkumpulanmu sendiri!"
"Bukan! Kau salah ucap! Aku Pendekar Patah
Hati!"
Kapi Anggara tersenyum mengejek. "Huh! Kau
menyebut dirimu sebagai pendekar. Mana ada seorang
pendekar malam-malam begini masuk ke dalam istana
dengan tanpa izin!"
Empat sosok bayangan berkelebat datang. Ke-
dudukan Wirogundi semakin terkurung rapat. Dua
orang tokoh silat istana menatapnya dengan penuh ke-
siap-siagaan. Salah seorang yang mengenakan jubah
pendeta memegang kebutan di tangan kanan. Tasbih
kuning melingkari lehernya. Tokoh tua itu mempunyai
rambut dan janggut panjang berwarna putih. Seorang
lagi berperawakan tinggi besar. Hanya mengenakan
rompi kuning dan celana pendek sebatas lutut. Otot-
otot tubuhnya tampak bertonjolan keluar.
Sorot mata mereka sangat tajam. Wirogundi sa-

dar kepandaian kedua tokoh silat istana itu tentulah
tinggi. Terbukti dari kelebatan tubuh mereka yang be-
gitu ringan, hingga tak memperdengarkan suara ketika
menginjak lantai.       
Dua orang lagi yang baru hadir sepasang mu-
da-mudi tampan dan cantik. Pakaian yang dikenakan-
nya hanya berupa piyama. Tapi, Wirogundi dapat men-
genalinya. Yang laki-laki Arya Wirapaksi, sang Putra
Mahkota. Sedang yang wanita Rani Paramita, adik lain
ibu dari Arya Wirapaksi.
Melihat kehadiran Rani Paramita, semangat da-
lam hati Wirogundi menyala-nyala kembali. Dia men-
dengus pendek. Lalu, tubuhnya berkelebat sangat ce-
pat menyambar Rani Paramita!
"Heaaa...!"
Pedang di tangan gadis cantik itu memapak
luncuran tubuh Wirogundi. Cahaya keemasan melun-
cur datang. Terpaksa Wirogundi menghentikan gera-
kannya.
"Tangkap dia hidup-hidup!"
Pendekar Asmara memberi perintah. Ketika pa-
ra prajurit hendak ikut merangsek, dia mencegah.
"Tenaga kalian belum dibutuhkan. Tetaplah
bersiap siaga di tempat masing-masing!"
Usai berkata demikian, pemuda tampan be-
rambut pirang itu segera membantu teman-temannya
yang telah menyerang Wirogundi. Di antara gempu-
rannya dia masih sempat memberi perintah kepada
Rani Paramita.
"Tuan Putri, menyingkirlah. Kami sudah cukup
untuk menangkap penjahat ini."
"Terima kasih, Anggara. Aku ingin menjajal il-
mu pedangku."
Rani Paramita menolak permintaan Pendekar

Asmara. Dengan jurus 'Desingan pedang Membelah
Gunung', gadis cantik itu mencecar tubuh Wirogundi. 
Sementara itu kakek berjubah telah meloloskan
tasbihnya. Benda itu berkelebatan sangat cepat me-
nimbulkan desau angin dahsyat. Kebutannya pun ber-
gerak tak kalah cepat. Walau bulu-bulu kebutan san-
gat lembut, tapi kehebatannya sungguh luar biasa. Ke-
tika membentur dinding kamar, susunan batu bata
tebal itu langsung jebol!
Lelaki tinggi besar yang berotot gempal menye-
rang Wirogundi sambil menggeram-geram. Beberapa
kali cengkeramannya hampir meremukkan tulang be-
lulang anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu. Karena gerak tubuh Wirogundi yang gesitlah, pe-
muda itu dapat terhindar dari maut.
Namun sehebat-hebatnya Wirogundi, bila dike-
royok enam orang berilmu tinggi, tentu akhirnya dia
terdesak juga. Kelebatan pedang Rani Paramita dan
Puspita sudah cukup merepotkan. Terlebih ketika Arya
Wirapaksi berteriak nyaring, Wirogundi mendapati tu-
buhnya diselimuti hawa panas.
"Menyerahlah, Pendekar Patah Hati!" teriak Ka-
pi Anggara. "Kami tak ingin membunuhmu. Tapi bila
kau nekat, jangan salahkan kami!"
Wirogundi mendengus keras. Tentu saja dia tak
mau menyerah. Kalau tadi dia tidak mengeluarkan ju-
rus-jurus andalannya, karena takut jati dirinya keta-
huan, maka setelah tak ada pilihan lain dia segera
mengeluarkan gabungan jurus 'Pengemis Menghiba
Rembulan', 'Pengemis Menebah Dada', dan 'Pengemis
Meminta Sedekah'!
Kelebatan tubuh Wirogundi sudah sangat sulit
diikuti pandangan mata. Tangan dan kakinya bergerak
cepat. Si kakek berjubah kelihatan terkejut melihat

pameran kepandaian itu. Hingga, tanpa disadari dia
bergerak lamban. Akibatnya....
Des...! 
Dada tokoh tua itu terkena hantaman Wiro-
gundi. Walau hanya mempergunakan sepertiga tenaga
dalam, tapi sudah cukup untuk membuat si kakek
berjubah mengeluarkan jerit nyaring. Tubuhnya terlon-
tar lalu membentur dinding kamar hingga jebol! 
Para prajurit yang semula hanya menjadi pe-
nonton langsung bergerak menggempur. Mereka tak
lagi mempedulikan teriakan Kapi Anggara yang me-
nyuruhnya untuk tetap diam di tempat.
Pertempuran berlangsung semakin sengit.
Ruangan yang tidak seberapa lebar membuat gerakan
mereka kacau. Jerit kesakitan mengiringi para prajurit
yang roboh terkena pukulan dan tendangan Wirogun-
di.
Keadaan yang kacau membuat Pendekar Asma-
ra kebingungan. Dia berteriak menyuruh para prajurit
untuk menyingkir. Namun, teriakannya sia-sia belaka.
Para prajurit itu tetap nekat. Mereka tak mau menuru-
ti perintah Kapi Anggara yang bukan komandan pasu-
kan.
Pendekar Asmara mengumpat-umpat dalam ha-
ti. Disambarnya seorang prajurit, lalu dibawa ke luar
arena pertempuran. 
"Kau tahu tempat tinggal Senopati Risang Alit?"
tanya Pendekar Asmara, yang dibalas dengan anggu-
kan si prajurit. "Cepat kau ke sana! Katakan di istana
sedang terjadi kekacauan!"
Buru-buru si prajurit berlalu dari tempatnya.
Namun saat Kapi Anggara membalikkan badan, terke-
jutlah dia. Sosok Wirogundi telah lenyap.
"Rani Paramita diculik!" teriak Arya Wirapaksi.

Seluruh  prajurit langsung berhamburan men-
cari Wirogundi yang telah menculik Rani Paramita. Su-
ara hiruk-pikuk kembali terdengar. Sebentar kemudian
semua orang telah meninggalkan tempat itu, kecuali
Kapi Anggara.
Pemuda tampan berambut pirang ini melihat
sebilah bambu menancap di dinding salah satu kamar.
Didekatinya bilah bambu itu lalu dicabut. Kapi Angga-
ra membuka gulungan kulit kambing yang melilit bilah
bambu.

Maaf bila utusanku mengejutkan Tuan-tuan. Aku
sangat mencintai Rani Paramita. Terpaksa aku meng-
gunakan cara kasar ini. Karena, aku tak mau Baginda
Prabu Arya Dewantara menolak pinangan ku
Akan tetapi bila Baginda Prabu menjadi murka,
Tuan-tuan tak perlu khawatir. Ambillah Rani Paramita
di atas geladak Kapal Rajawali yang tertambat di Pan-
tai Pasir Putih besok tengah malam. Namun, Tuan-tuan
jangan datang lebih awal, karena Rani Paramita hanya
akan tinggal nama.
Suropati alias Pengemis Binal

Kapi Anggara membaca berulang kali tulisan
pada lembaran kulit kambing. Keningnya berkerut dan
alisnya bergerak naik. Dia heran bukan main. Kalau
saja yang dipegangnya bukan benda nyata, dia tentu
menyangka yang baru dihadapinya adalah mimpi.
"Suropati...," desis pemuda tampan berambut
pirang itu. "Apakah durjana yang baru saja menculik
Tuan Putri Rani Paramita adalah utusannya, seperti
yang dikatakan dalam lembaran kulit kambing ini?
Ehm... Durjana yang mengaku sebagai Pendekar Patah
Hati itu tentu anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat

Sakti. Aku sangat yakin! Tapi, siapa dia?"
Selagi Pendekar Asmara berpikir demikian, se-
sosok bayangan berkelebat datang. Berdirilah Puspita
atau si Pedang Perak di sisi pemuda tampan berambut
pirang itu.
"Durjana itu lenyap, Anggara. Kita harus segera
melaporkan kejadian ini kepada Baginda Prabu," beri-
tahu gadis cantik itu.
"Tunggu, Puspita. Kau baca ini...." Kapi Angga-
ra menyodorkan lembaran kulit kambing. Puspita
membaca tulisan yang tertera itu dengan rasa tak per-
caya.
"Tidak mungkin!" kata gadis  cantik itu setelah
selesai membaca. 
"Apanya yang tidak mungkin?" 
"Suropati tak mungkin berbuat seperti ini. Aku
mengenal Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Dia seorang pendekar sejati. Tak mungkin Suro-
pati berbuat hal yang dapat mencemarkan nama baik
perkumpulan dan dirinya sendiri...."
"Kau tahu, aku pun sahabat baik Suropati,
Puspita. Waktu kita bekerja sama menumpas pembe-
rontakan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah, cukup
banyak waktu bagi kita untuk mengenal siapa Suropa-
ti. Dia memang seorang pendekar sejati. Aku kira Ba-
ginda Prabu pun mengakui hal ini. Tapi.... Kau juga
harus tahu, Puspita. Setiap saat pribadi manusia bisa
berubah. Orang yang paling baik bisa menjadi orang
yang paling jahat," sergah Kapi Anggara.
"Hal itu tak akan terjadi pada Suropati!" Puspi-
ta bertahan pada pendapatnya.
"Apa alasanmu?" 
Puspita terdiam. Dia tak mampu menjawab per-
tanyaan Kapi Anggara. Pipi Pendekar Pedang Perak itu

tampak merona merah. Buru-buru dia menundukkan
kepala. Sayang, Kapi Anggara telah melihatnya.
"Kau membela Suropati, bukan?"
"Tidak!" sahut Pedang Perak segera.
Pendekar Asmara tersenyum tipis.
"Kau tidak menggunakan otakmu, Puspita. Kau
hanya menggunakan perasaanmu. Karena otakmu te-
lah tertutup oleh rasa cinta terhadap Suropati...." 
"Anggara...!" pekik Puspita. Wajah gadis cantik
itu merah membara. Ucapan Kapi Anggara dirasakan-
nya bagai mata pedang yang menusuk lubuk hati.
"Kenapa kau menipu dirimu sendiri, Puspita?" 
Plak...!
Tanpa disangka-sangka, Pedang Perak menda-
ratkan tamparan di pipi Pendekar Asmara. Pemuda
tampan berambut pirang itu terpelanting. Saat dia
bangkit terlihat bibirnya telah pecah dan melelehkan
darah segar.
"Kau katakan sekali lagi, aku akan membu-
nuhmu, Anggara!" ancam Pedang Perak.
Kapi Anggara mendengus. Dia melangkah tiga
tindak. Tampaknya pemuda itu hendak membalas
tamparan Puspita.
"Hei! Apa yang kalian lakukan?!" teriak seorang
lelaki gagah berpakaian prajurit
Dia adalah Senopati Risang Alit. Belasan praju-
rit berlari-lari di belakangnya. Tak lama muncul Arya
Wirapaksi dan dua tokoh silat istana.
Melihat kedatangan Senopati Risang Alit, Puspi-
ta segera menyodorkan lembaran kulit kambing yang
dibawanya. Lalu, dia berkelebat dari tempat itu dengan
membawa perasaan kesal.
Senopati Risang Alit, Arya Wirapaksi, dan dua
tokoh silat  istana  bergantian  membaca tulisan pada

lembaran kulit kambing. Mereka tampak terkejut dan
tak percaya. Terutama Senopati Risang Alit. Dia men-
genal benar siapa Pengemis Binal.
"Pada mulanya aku juga tak percaya, Alit...,"
ujar Kapi Anggara, menyebut langsung nama Senopati
Risang Alit. Dua orang tokoh muda itu memang bersa-
habat karib. "Tapi setelah kupikir kalau si durjana
yang menculik Tuan Putri Rani Paramita adalah anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti, aku sampai
pada kesimpulan bahwa Suropati telah berubah."
"Tapi kita tak boleh berbuat gegabah, Anggara.
Bentrok dengan Suropati sama halnya bermusuhan
dengan seluruh anggota Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti. Kau tahu mereka berjumlah ribuan orang
dan sangat setia kepada pemimpinnya."
"Tapi bila pemimpinnya telah menyeleweng dari
jalan kebenaran, apakah mereka masih akan setia?"
tanya Kapi Anggara, sangsi.
"Kita serahkan saja keputusannya pada Bagin-
da Prabu."
"Tepat!" sahut Arya Wirapaksi. "Malam ini juga
kita melapor kepada Ayahanda."

***

Rani Paramita berpasrah diri kepada Tuhan.
Dia tak mampu lagi menggerakkan anggota badannya.
Mengeluarkan sepatah kata pun juga tak dapat. Yang
masih bisa dilakukannya hanyalah memejamkan mata
rapat-rapat. Dinginnya malam terasa menusuk tulang.
Rani Paramita seperti dibawa melayang tinggi melawan
hembusan angin kencang.   
Sambil membopong tubuh putri Prabu Arya
Dewantara itu, Wirogundi melesat cepat. Dalam gelap

sosok tubuhnya tampak seperti kelebatan setan.
Hanya sesekali dia menginjak tanah, selebihnya adalah
melayang!
Tiba di tepi hutan kecil yang berada dalam ka-
wasan Danau Ular, gelegar petir tiba-tiba menyambar
di angkasa, mengejutkan Wirogundi. Namun dia tak
menghentikan kelebatan tubuhnya.
Wuuussss...!
Tiupan angin kencang laksana topan menghan-
tam tubuh Wirogundi dari depan. Akibatnya, tubuh
kurus anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
itu terpental. Namun dengan bersalto tiga kali di uda-
ra, dia dapat mendaratkan kakinya di permukaan ta-
nah. Tubuh Rani Paramita masih berada dalam bopon-
gannya.
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa membahana di angkasa.
Darah Wirogundi berdesir. Dia segera bersiap-siap
dengan mempertajam seluruh inderanya.
"Bagus, Pendekar Patah Hati! Kau telah melak-
sanakan tugasmu dengan baik!"
Melalui cahaya rembulan temaram, Wirogundi
menyebar  pandangan. Namun, tak didapatkannya si
empunya suara. 
"Siapa kau?!" bentak pemuda kurus itu kemu-
dian.
"Aku Suropati. Letakkan Rani Paramita di tem-
patmu berdiri. Dan segeralah kau kembali pada tapa-
mu, Pendekar Patah Hati!"
Wirogundi mendengus. Timbul kecurigaan da-
lam hatinya. Dia berdiam diri di tempatnya tanpa ber-
buat apa-apa. Tubuh Rani Paramita masih tetap dalam
bopongannya.    
"Hei! Pendekar Patah Hati! Apakah kau tidak

mendengar perintahku?!"
"Bagaimana aku tahu kalau kau Suropati. Kau
tak mau menampakkan diri!" sahut Wirogundi kebera-
tan. 
"Ha ha ha...!"
Suara tawa itu kembali membuat darah Wiro-
gundi berdesir. Tubuh Rani Paramita yang berada da-
lam pondongannya terasa bergetar. Walau tidak dialiri
tenaga dalam, suara tawa itu menimbulkan pengaruh
magis.
"Jangan mempermainkan aku!" hardik Wiro-
gundi. "Bila kau tak segera menampakkan diri, aku
akan mengembalikan Rani Paramita ke istana!"
Deru angin keras mendadak saja menyambar.
Wirogundi yang sudah siap siaga buru-buru menge-
rahkan ilmu memperberat tubuh. Saat hembusan an-
gin bertambah kencang, Wirogundi terkejut bukan
main. Di hadapannya tahu-tahu berdiri seorang remaja
tampan berambut panjang tergerai dan mengenakan
pakaian penuh tambalan.
"Suropati...!" desis Wirogundi.
Si remaja tampan tersenyum penuh kemenan-
gan. "Kau terkejut, Wiro?"
"Aneh-aneh saja kau, Suro. Apa maksudmu se-
benarnya? Setelah kudapatkan Rani Paramita, hendak
kau apakan putri Baginda Prabu Arya Dewantara ini?"
Wirogundi tak dapat menahan rasa ingin tahu
dan penasarannya.
"He he he.... Kau tak perlu khawatir, Saudara-
ku. Aku ada sedikit urusan dengannya. Gadis itu nanti
akan dijemput orang-orang istana."
"Kau harus memberi jaminan kepadaku kalau
Rani Paramita kembali ke istana dalam keadaan tak
kurang suatu apa."

"Jangan khawatir..." 
"Aku tak mau kau hanya bermanis mulut, Su-
ro! Untuk mendapatkan Rani Paramita, aku telah
mempertaruhkan segalanya. Bukan hanya nyawa, juga
nama baikku dan Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti," Wirogundi agaknya tidak rela begitu saja mele-
paskan Rani Paramita.
Si remaja tampan tersenyum. Ditepuk-
tepuknya bahu Wirogundi. "Kau bisa memegang kata-
kataku...." 
"Baik! Aku percaya. Tapi bila di kemudian hari
aku mendengar tentang keculasan mu, semoga Tuhan
menjatuhkan kutukan kepadamu, Suro."
Saat mengatakan itu, suara Wirogundi bergetar.
Dia berusaha sekuat tenaga menahan rasa harunya.
Bagaimanapun  juga dia merasa sayang bila Suropati
benar-benar mendapat kutukan Tuhan. Wirogundi
menggeleng-gelengkan kepalanya. Terbayang masa ke-
cilnya yang indah bersama Suropati.
"Kau menangis?" tanya si remaja tampan. "Kau
memang pantas dijuluki Pendekar Patah Hati, Wiro.
Jiwamu lemah. Mudah terbawa perasaan. Mudah-
mudahan dengan kembali bertapa di Danau Ular ji-
wamu akan lebih kuat. Tak mudah menangis seperti
ini...."
Si remaja tampan kemudian meraih tubuh Rani
Paramita. Wirogundi menyerahkannya walau dengan
hati berat. 
"Sampai jumpa, Pendekar Patah Hati!" 
Kalimat itu terus mengiang di telinga Wirogun-
di. Beberapa lama dia berdiri tak bergeming di tempat-
nya. Ketika kokok ayam terdengar samar-samar, baru-
lah Wirogundi sadar. Dia berada di tepi hutan kecil itu
seorang diri.

"Ah, mudah-mudahan Tuhan selalu melindungi
umatnya yang benar. Dan semoga apa yang diperbuat
Suropati adalah dalam usahanya menegakkan kebena-
ran serta keadilan...," ucap pemuda kurus itu penuh
harap
Wirogundi kemudian berkelebat menuju Danau
Ular. Ia hendak memulai kembali tapanya selama em-
pat puluh hari empat puluh malam.

***

Sang Raja Siang baru menampakkan diri di
ufuk timur. Hangatnya terasa menerpa bumi. Ranting-
ranting pohon menggeliat. Butiran embun bertetesan
ke hamparan rumput. Kicau burung bersahutan riang
mengawali kehidupannya hari ini.
Berulangkali Ki Ageng Manik Rei menasihati
Pertiwi yang sudah kehilangan semangat hidup. Ke-
hormatannya yang terenggut dengan paksa membuat
gadis itu patah hati. Semangat hidupnya pun ikut
hancur. Dalam perjalanan dari padepokan Perguruan
Pedang Kencana ke  lereng Bukit Pangalasan saat ini
hampir tiada henti Pertiwi meneteskan air mata. 
"Tangis memang bisa meringankan beban, tapi
tak menyelesaikan masalah...!" bujuk Ki Ageng Manik
Rei kembali dengan suara lembut. "Kau tahu, Pertiwi.
Sesuatu yang berlebihan itu tak baik."
Pertiwi tak membuka suara. Tangisnya menim-
pali perkataan Ki Ageng Manik Rei.
"Cobaan bagi Perguruan Pedang Kencana me-
mang berat. Tapi, yakinlah semua ini pasti  ada hik-
mahnya." 
"Eyang...," sela Pertiwi seraya menatap wajah Ki
Ageng Manik Rei. Namun, gadis itu segera tertunduk

kembali. Tak kuasa ia mengeluarkan isi hatinya.
"Apakah kau merasa dirimu tak lagi berguna,
Pertiwi?" ucap Ki Ageng Manik Rei sambil mengelus
rambut muridnya itu. "Aku ikut menanggung beban-
mu. Kau tidak sendirian. Hanya orang picik yang mau
mati sia-sia. Kalaupun kau ingin mati, matilah sebagai
seorang pendekar. Jasa-jasamu akan selalu dikenang
orang...."
Sambil terus menasihati muridnya, Ki Ageng
Manik Rei mendaki Bukit Pangalasan. Pertiwi mengi-
kuti langkah gurunya dengan menahan isak tangis.
Lama-lama timbul perasaan malu dalam diri gadis itu.
Dulu dia datang ke Perguruan Pedang Kencana untuk
belajar ilmu olah kanuragan. Pertiwi ingin menjadi seo-
rang wanita yang kuat.
Aku harus tegar! Aku harus bisa membalas sa-
kit hatiku ini Begitu kini hati kecilnya berkata. Lama-
kelamaan tangis Pertiwi pun berhenti dengan sendi-
rinya. 
Sesampainya di puncak Bukit Pangalasan, Ki
Ageng Manik Rei langsung menemui Gede Panjalu. Di-
ceritakannya panjang lebar perihal peristiwa berdarah
yang menimpa Perguruan Pedang Kencana.
Gede Panjalu mendengarkan  dengan kening
berkerut. Begitu selesai cerita Ki Ageng Manik Rei, wa-
jah Gede Panjalu tampak begitu muram.
"Bila Gede tak mempercayai cerita ku, salah sa-
tu korban kebiadaban Suropati sekarang berada di si-
ni." 
"Aku percaya.... Aku percaya kau tak akan ber-
bohong kepadaku, Manik Rei."
"Lalu apa tindakanmu, Gede?"
"Tentu saja yang salah harus dihukum...," kata
Gede Panjalu dengan suara berat. "Bila benar Suropati

melakukan perbuatan biadab itu, hukuman yang layak
dijatuhkan kepadanya hanyalah hukuman mati."
"Suropati mengatakan, dia menungguku di atas
geladak Kapal Rajawali yang tertambat di Pantai Pasir
Putih nanti tengah malam...."
"Baik. Tepat tengah malam kita berada di sana.
Tapi kuminta kau tidak boleh gegabah. Terus terang,
hati kecilku sulit mempercayai peristiwa ini."
"Jadi...."
"Kau tak perlu khawatir, Manik Rei. Siapa yang
salah tetap akan mendapat hukuman."

5

Cahaya rembulan yang ditingkahi kedip bintang
menyirami geladak Kapal Rajawali. Ombak kecil mem-
bentur lambung kapal. Putaran waktu hampir menca-
pai titik tengah malam. Angin dingin berhembus pelan.
Duduk berhadapan meja, Suropati dan Rani
Paramita. Wajah mereka tampak pucat. Suropati tidak
tahu apa yang terjadi pada dirinya setelah dia jatuh
pingsan akibat serangan gelombang tawa yang dilan-
carkan Saka Purdianta di lereng Bukit Hantu.
Ketika dia sadar, didapati dirinya telah duduk
di kursi kayu berukir berbantalan empuk. Di hada-
pannya duduk seorang gadis cantik mengenakan
piyama kuning. Suropati mengenalinya sebagai putri
Prabu Arya Dewantara yang bernama Rani Paramita.
"Kenapa aku di sini?" gumam Suropati pada di-
rinya sendiri.
Rani Paramita menatap sejenak wajah remaja
tampan di hadapannya. Lalu pandangannya menyebar
berkeliling. Tindakan itu segera diikuti Suropati. 

"Kenapa aku berada di sini?" desis Rani Parami-
ta, mengulang kalimat Suropati. Pemuda itu  sendiri
menggaruk-garuk kepalanya sambil menatap bangu-
nan papan di tengah kapal yang tinggal puing-puing.
"Ehm.... Angin pukulan yang sangat dahsyat te-
lah menghancurkannya," gumam Pengemis Binal. 
Remaja konyol itu lalu beranjak dari tempat
duduknya, tapi  kedua kakinya terasa sangat lemas.
Dia jatuh terduduk kembali.
"Kenapa Tuan Putri berada di sini?" tanya Su-
ropati kemudian kepada Rani Paramita.
Gadis cantik itu menggelengkan kepalanya.
"Seseorang telah menculik ku...."
"Apa?"
"Aku diculik salah seorang anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti. Penculik itu tentu orang
suruhanmu!"
Tatap mata Rani Paramita berubah nyalang. Te-
lapak tangannya mengepal. Dipandangnya Pengemis
Binal dengan kebencian yang menggelegak.
"Eh.... Kau kenapa?" kata Suropati gugup.
"Jangan pura-pura! Kau tentu mempunyai
maksud busuk. Aku tak peduli nama besarmu. Kure-
mukkan kepalamu sekarang juga!"
Rani Paramita bangkit berdiri untuk menerjang
Suropati. Namun, dia pun merasakan kedua kakinya
lemas. Gadis cantik itu jatuh terduduk di kursinya
kembali.
"Sabarlah, Tuan Putri...," bujuk Pengemis Binal.
"Saya tak tahu apa yang Tuan Putri maksudkan...."
"Keparat! Kau masih saja berpura-pura! Kau
sengaja menotok aliran darah di kakiku."
"Tidak! Sungguh mati saya tidak melakukan hal
itu. Saya tidak akan berani...."

Rani Paramita tak mendengarkan ucapan Su-
ropati. Dia sedang mengalirkan hawa murni ke perge-
langan kakinya. Perlahan-lahan suatu hawa hangat tu-
run dari pusar, mengalir lancar hingga ke telapak kaki.
Tapi, ketika dia hendak bangkit kedua  pergelangan
kakinya masih terasa lemas.
"Bangsat! Bebaskan totokanmu!" hardik Rani
Paramita.
"Saya tidak menotok Tuan Putri..." 
"Lalu, apa yang kau lakukan terhadapku?!" 
"Saya tidak tahu. Kedua kaki saya juga terasa
lemas," Suropati menggaruk-garuk kepalanya. "Mung-
kin ada orang jahat yang telah...."
"Kaulah orang jahat itu!" potong Rani Paramita. 
"Aduh! Saya benar-benar tidak tahu. Saya be-
rada di sini pun karena diculik!"
Melihat raut wajah Pengemis Binal yang tam-
pak sungguh-sungguh, Rani Paramita mengerutkan
kening. Jadi, anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti yang telah menculik dirinya bukan suruhan Su-
ropati. Lalu, siapa orang itu? Pikir Rani Paramita.
Dalam keheningan itu tiba-tiba muncul seorang
wanita setengah baya. Dia mengenakan kebaya dan
berkain dengan corak lembut. Wajah wanita itu tam-
pak murung. Garis-garis ketuaan tampak jelas di wa-
jahnya. Dia membawa nampan berisi guci arak dan ti-
ga buah gelas perak. Hidung Suropati kembang kempis
mencium aroma arak yang harum. Remaja konyol itu
seperti baru disadarkan kalau perutnya melilit-lilit oleh
deraan rasa lapar.
Namun, Suropati tercekat setelah mengenali
wanita setengah baya yang memberi suguhan itu. Dia
adalah inang pengasuh Anggraini Sulistya. Rupanya,
dia tidak ikut jadi korban keganasan Saka Purdianta

saat terjadi peristiwa berdarah di atas kapal ini.
Buru-buru Suropati mencegah ketika wanita
setengah baya itu hendak berlalu.
"Sebentar, Mbok! Aku ingin menanyakan sesua-
tu kepadamu...."
Lewat cahaya rembulan yang temaram wanita
setengah baya menatap wajah Suropati. Tiba-tiba saja
dia menggelengkan kepala, lalu berlari menuju sebuah
lubang yang terdapat di buritan. Dituruninya anak
tangga dengan tergesa-gesa, seperti dikejar rasa takut
yang sangat.
Rani Paramita dan Suropati mengikuti keper-
gian wanita setengah baya itu dengan pandangan ma-
ta.
Sesosok bayangan berkelebat. Berdirilah di ha-
dapan Rani Paramita dan Suropati seorang pemuda
tampan berpakaian kuning coklat dengan garis-garis
hitam. Dia melempar senyum seraya membungkukkan
badan dalam-dalam.
"Saka Purdianta...!" desis Rani Paramita
"Benar, apa yang Adi Rani lihat. Saya memang
Saka Purdianta...."
Hidung Pengemis Binal berkernyit. Ingatannya
melayang ke lereng Bukit Hantu di mana Saka Pur-
dianta telah menculiknya.
"Hei, Orang Jelek! Apa maksudmu membawaku
kemari?!" tukas remaja konyol itu.
Saka Purdianta menyunggingkan senyum tipis,
"Kau bisa memanggilku 'Saka', Suro. Dan, to-
long jangan terlalu berprasangka buruk. Aku tahu sia-
pa kau. Seorang Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti yang kesohor. Mana berani aku bermak-
sud buruk kepadamu?"
"Tapi...."

"Sudah kubilang, jangan berprasangka buruk.
Suatu kehormatan bagiku dapat menjamu seorang
pendekar muda yang gagah perkasa. Juga suatu ke-
hormatan pula aku dapat mendatangkan Tuan Putri
Rani Paramita di atas geladak Kapal Rajawali ini...."
"Jadi, orang yang telah menculik ku itu utusan
mu, Saka!" bentak Rani Paramita.
"Uts! Jangan marah-marah dulu, Adi Rani. Bu-
kankah kau ingin menjajal ilmu kepandaianmu dengan
salah seorang tokoh Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti? Justru saya telah mempertemukan Adi Rani
dengan pemimpin perkumpulan itu."
Mendengar perkataan Rani Paramita dan Saka
Purdianta, hati Pengemis Binal bertanya-tanya. Bila
Saka Purdianta bermaksud mempertemukan Rani Pa-
ramita dengan Suropati untuk menjajal kepandaian,
bukankah Saka Purdianta telah tahu ilmu kepandaian
Suropati telah musnah? Saka Purdianta tentu mem-
punyai maksud tersembunyi. Apalagi tadi dia menden-
gar tuduhan Rani Paramita kepada pemuda itu. Du-
gaan Suropati jadi semakin kuat. Saka Purdianta telah
menculik Rani Paramita dengan memperalat seorang
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
Tiba-tiba Saka Purdianta menepukkan telapak
tangannya. Wanita setengah baya yang tadi menyu-
guhkan arak tampak keluar dari ruang bawah geladak.
Tangannya menyangga nampan besar. Aneka masakan
lezat mengundang selera terdapat di atasnya. Sejenak
Suropati lupa pada masalah yang dihadapi. Perutnya
yang keroncongan kembali menghentak-hentak. 
"Silakan... silakan..." kata Saka Purdianta sete-
lah wanita setengah baya berlalu. "Untuk menghilang-
kan prasangka buruk dari Tuan-tuan Pendekar yang
budiman, saya menjamu dengan sebaik-baiknya." 

"Jangan bermulut manis!" sela Rani Paramita.
"Kau telah membuat kedua pergelangan kakiku lum-
puh! Siapa yang mau mempercayaimu?!"
Saka Purdianta tersenyum tipis. Dia mengi-
baskan telapak tangan kanan dan kirinya. Pada setiap
persendian kaki Suropati dan Rani Paramita tiba-tiba
terasa seperti digigit semut. Kedua kaki mereka dapat
digerakkan lagi!
Sesungguhnya Saka Purdianta telah menan-
capkan beberapa batang jarum di persendian kaki Su-
ropati dan Rani Paramita, sehingga syaraf gerak mere-
ka yang menuju ke kaki terganggu. Karena itulah, ke-
dua pergelangan kaki mereka lumpuh. Ketika Saka
Purdianta mengibaskan kedua telapak tangannya, ja-
rum-jarum itu tercabut.
Saka Purdianta menuang arak ke dalam gelas
perak. Lalu disodorkannya ke hadapan Suropati dan
Rani Paramita.
Mencium aroma wangi arak, Suropati tanpa
sungkan-sungkan lagi menenggaknya sampai tandas.
Saka Purdianta tersenyum puas. Rani Paramita sama
sekali tak menyentuh arak yang disuguhkan, Suropati
lalu menggaruk-garuk kepala sambil menatap aneka
masakan lezat di hadapannya.
"Apakah... apakah aku boleh menikmati?
Ehm...."
"Tentu! Tentu saja boleh. Semua ini jamuan un-
tuk Tuan Pendekar...," kata Saka Purdianta sambil
menyunggingkan senyum lebar.
Deraan rasa lapar yang hebat membuat otak
Suropati tak mampu berpikir jernih lagi. Tanpa mena-
ruh sak wasangka dilahapnya hampir semua hidan-
gan. Rani Paramita yang menatapnya dengan kening
berkerut tak dipedulikan.

"Dasar pengemis edan!" umpat Rani Paramita
dalam hati.
Setelah selesai, sambil menggumam puas Suro-
pati mengelus perutnya yang membuncit. Saka Pur-
dianta menatapnya dengan sinar mata penuh keme-
nangan. Lalu, pemuda tampan itu tertawa terbahak-
bahak.
"Eh, apa yang kau tertawakan, Saka?" tanya
Suropati.
Saka Purdianta tak menjawab. Suara tawanya
malah terdengar semakin keras. Rani Paramita merasa
curiga. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya. Tapi,
kelebatan jemari tangan Saka Purdianta menghentikan
gerakan gadis cantik itu. Tubuh Rani Paramita kaku
mendadak!
"Ap... apa yang kau lakukan?" tanya Rani Pa-
ramita tergagap.
Gadis itu memandang Saka Purdianta dengan
penuh kebencian. Benar dugaan Rani Paramita, Saka
Purdianta mempunyai maksud tak baik. Sayang, kesa-
daran itu datangnya terlambat. Saka Purdianta telah
berkelebat lenyap meninggalkan geladak Kapal Rajawa-
li. Sementara itu, Suropati tersedak-sedak dengan
pandangan nyalang.
Suropati berusaha menghalau gejolak aneh
yang menghantui benaknya. Hasrat kelelakiannya
mendadak melonjak-lonjak. Suropati menggelengkan
kepala berulang kali. Namun, bayang-bayang keinda-
han tubuh seorang gadis di pelupuk matanya tak da-
pat hilang. Remaja konyol itu kemudian menjambak-
jambak rambutnya sendiri. Wajahnya tampak merah
merona dan sekujur tubuhnya dibanjiri keringat!
"Oh.... Apa yang terjadi?" gumam Suropati. Di-
tatapnya wajah Rani Paramita yang duduk kaku di ha-

dapannya. Sekejap kemudian, dia berteriak dengan
suara serak. "Pergilah cepat!"
Mendengar perintah Suropati, Rani Paramita
menatap tak mengerti.
"Pergi cepat!" ulang Suropati.
"Kau kenapa?" tanya Rani Paramita kebingun-
gan.
"Aku terkena pengaruh Puyer Perangsang!"
Rani Paramita terkejut bukan main. Bayangan
buruk segera hadir dalam benaknya. Dia yang tak bisa
menggerakkan anggota badannya jadi sangat gelisah.
Apalagi setelah melihat raut wajah Suropati berubah
tegang. Dengus nafasnya menderu-deru bagai banteng
marah. 
"Saka Purdianta keparat!" umpat Suropati
sambil menggebrak meja. Piring dan gelas yang berada
di atasnya langsung berpentalan.
Mata Suropati melotot semakin lebar. Jantung-
nya terasa sangat sakit. Ketika menggebrak meja tadi
dia lupa kalau kepandaiannya telah musnah. Akibat-
nya, racun Jarum Hitam yang mencampuri cairan da-
rahnya langsung menerjang jantung!
"Cepat! Tuan Putri, pergilah!" teriak remaja ko-
nyol itu.
Puyer Perangsang yang dicampurkan Saka Pur-
dianta ke dalam arak dan makanan hampir menghan-
curkan akal sehat Suropati. Mulutnya mendesis-desis
tak karuan. Dia menggeleng-gelengkan kepala semakin
keras. Tapi, keinginan buruk dalam hatinya terus
menghentak-hentak. Sementara Rani Paramita tak ka-
lah kalutnya.
"Aku... aku tak bisa pergi dari sini, Suro...," ka-
ta putri Prabu Arya Dewantara itu. Kengerian ter-
bayang jelas di matanya.

"Tuan Putri harus pergi! Aku tak ingin berbuat
dosa terhadap Tuan Putri. Pengaruh Puyer Perangsang
hanya dapat dipunahkan dengan melakukan hubun-
gan suami-istri. Dan aku tidak ingin melakukan per-
buatan keji itu. Pergilah Tuan Putri, sebelum pengaruh
Puyer Perangsang sampai pada puncaknya...."
"Aku ditotok Saka Purdianta." 
"Apa?"
Remaja konyol itu bangkit dari duduknya. Den-
gus  nafasnya  terdengar panjang-panjang. Sorot mata
Suropati yang semula berapi-api berubah redup. Se-
mua bayangan ngeri yang menghantui pikirannya
mendadak lenyap, berganti dengan keindahan yang
mempesonakan.
"Kau cantik sekali...," desis Suropati seraya
membelai anak-anak rambut Rani Paramita,
"Biadab! Saka Purdianta biadab!" jerit Rani Pa-
ramita. Suaranya menerobos debur ombak yang sese-
kali terdengar keras memecah keheningan.
"Ah! Aku...," Pengemis Binal seperti baru tersa-
dar akan sesuatu.
Sorot mata remaja konyol itu kembali nyalang.
Ditekannya kedua pelipisnya. Bagian pelipis kanannya
serasa lunak seperti tiada bertulang.
"Ya, Tuhan...," gumam Suropati sambil menun-
dukkan kepala dalam-dalam. "Pengaruh racun Jarum
Hitam dalam darahku belum lenyap. Kini Puyer Pe-
rangsang akan menggelapkan mataku. Tidak! Ini tidak
boleh terjadi!"
Remaja konyol itu berteriak lantang, lalu berla-
ri-lari  mengelilingi  geladak Kapal Rajawali. Suropati
terlihat bagai orang yang kehilangan akal sehat "Tidak!
Ini tidak boleh terjadi! Aku harus bisa mengalahkan
pengaruh racun dalam tubuhku!"

Suropati berlari semakin kencang. Tapi akhir-
nya dia jatuh terduduk sambil mendekap dada kirinya.
Setelah mengeluarkan umpatan tak karuan, dia duduk
bersila dengan mata terpejam rapat.
Dicobanya menghimpun kekuatan batin untuk
menghalau keinginan birahi yang mengabuti benak-
nya.
Namun, sebentar kemudian.... Jerit keras
membarengi terbukanya kelopak mata Suropati. Rema-
ja konyol itu berjalan tiga tindak. Diterkamnya tubuh
Rani Paramita yang masih duduk di kursi!
"Jangan...!" teriak Rani Paramita.
Tapi, teriakan itu hanya dianggap angin lalu
oleh Pengemis Binal. Dengan ganas dia menciumi bibir
Rani Paramita. Kemudian direnggutnya piyama gadis
cantik itu hingga koyak....

6

Lima bayangan berkelebat cepat menyusuri
Pantai Pasir Putih. Dalam gelap malam yang hanya di-
terangi cahaya rembulan gerak tubuh mereka laksana
kelebatan setan. Hampir tak dapat diikuti oleh pan-
dangan mata.
Ketika sampai di sisi julangan batu karang
tinggi, mereka menghentikan langkah. Didakinya ju-
langan batu karang itu. Seorang di antara mereka ada-
lah wanita muda yang berparas cantik. Di punggung-
nya terselip sebilah pedang. Gagangnya melintang di
bahu kanan. Sorot mata gadis itu sangat tajam. Pa-
kaian merah ringkas yang dikenakannya memperli-
hatkan lekuk liku tubuhnya. Dialah Puspita atau yang
lebih dikenal dengan julukan Si Pedang Perak.

Di sisi kanan Pendekar Pedang Perak itu seo-
rang pemuda tampan berambut pirang menatap ke ke-
jauhan. Bibirnya yang merah seperti bibir wanita tam-
pak bergetar. Dia mengangkat telunjuk jari kanannya,
menunjuk Kapal Rajawali yang tertambat agak ke ten-
gah laut. 
"Itu kapal yang kita cari...."
Tak ada sahutan  yang menimpali perkataan
Kapi Anggara atau Pendekar Asmara.
Seorang pemuda yang juga tak kalah tampan
namun berpakaian lebih sederhana, menatap wajah-
nya sebentar. "Kita ke sana sekarang...."
"Jangan, Gusti. Belum waktunya. Tindakan
yang tak mengikuti perhitungan hanya akan mencela-
kakan Tuan Putri Rani Paramita...," cegah seorang ka-
kek yang mengenakan jubah. Ikat kepala putih yang
dikenakannya tampak lepas bagian ujungnya. Namun,
dengan cekatan dia membenarkan. Setelah itu, dia
menatap kakek tinggi besar yang berdiri di sebelahnya.
"Sebaiknya kita memang menunggu beberapa
saat lagi...," kata si kakek tinggi besar.
Dia hanya mengenakan rompi dan celana pen-
dek sebatas lutut. Udara dingin malam sama sekali tak
membuat tubuhnya menggigil. Padahal bentuk pa-
kaian  yang dikenakannya membuat hembusan angin
bebas menyentuh kulitnya. Dia Bima Glondor. Semasa
muda dijuluki si Pegulat Maut. Selain memiliki ilmu si-
lat tinggi, dia juga ahli memainkan ilmu bela diri gulat.
Dia pernah berguru kepada seorang petualang dari da-
ratan Mongolia.
"Bagaimana, Anggara?" tanya si pemuda tam-
pan yang berpakaian lebih sederhana kepada Pendekar
Asmara.
"Benar perkataan kakek berdua ini, Wirapak-

si...," jawab pemuda tampan berambut pirang itu.
Arya Wirapaksi merupakan Putra Mahkota Ke-
rajaan Anggarapura. Kedua pemuda itu memang ber-
sahabat karib. Mereka sering berlatih silat bersama.
Sebenarnya Arya Wirapaksi dilarang oleh ayahan-
danya, tapi dia tetap ngotot untuk ikut membebaskan
Rani Paramita dari tangan penculik.
Mendadak, sesosok bayangan berkelebat. Ber-
dirilah di tempat itu seorang pemuda gagah berkumis
yang menyandang sebilah pedang di punggung.
"Aku telah memeriksa keadaan di sekitar Pantai
Pasir Putih ini. Tidak ada sesuatu pun yang mencuri-
gakan. Kita tidak akan terjebak," kata pemuda yang
baru muncul. Dia adalah Senopati Risang Alit.
"Kalau begitu kita serbu Kapal Rajawali seka-
rang!" sahut Arya Wirapaksi, yang segera dibalas den-
gan anggukan kepala Senopati Risang Alit.
Ketiga orang yang lainnya pun menampakkan
persetujuan. Tapi, tidak demikian dengan Puspita. Wa-
jah gadis itu tampak semakin kusut. Tokoh-tokoh is-
tana yang berada di tempat itu tak memperhatikannya.
Mereka segera menghemposkan tubuh mengikuti gera-
kan Senopati Risang Alit.
"Hei, tunggu!" teriak Puspita.
Senopati Risang Alit menoleh. Dia menghenti-
kan langkah kakinya. "Ada apa, Puspita?"
"Dengan menyerbu bersama-sama, apakah hal
ini bukan suatu tindakan gegabah?" 
"Percayalah kepadaku. Tidak akan terjadi apa-
apa." 
"Bagaimana kau bisa yakin seperti itu, Alit?" 
"Aku telah menyelidikinya. Di Kapal Rajawali
aku mendapatkan Tuan Putri Rani Paramita sedang
duduk tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Aku juga

melihat Suropati...."
"Suropati? Jadi, benar Tuan Putri diculik orang
suruhannya...," kata Puspita menyimpan keterkejutan.
"Sedang apa dia? Apakah dia sedang menunggu keda-
tangan kita?"
"Tampaknya tidak. Ketika aku mengintai, Pe-
mimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu se-
dang berlari-lari di atas geladak kapal. Sepertinya dia
telah hilang ingatan."
"Ah, kita tak bisa membuang-buang waktu...,"
sela Kapi Anggara.
"Kita segera menyelamatkan Tuan Putri. Buang
pikiran buruk dari benakmu, Puspita,"
Senopati Risang Alit menghemposkan tubuhnya
kembali. Semua tokoh istana langsung mengikuti, ter-
masuk Puspita. Namun, hati pendekar pedang itu tak
lepas dari kungkungan tanda tanya.

***

Suropati sudah kehilangan akhlak kemanu-
siaannya lagi. Dengan penuh nafsu dia menghem-
paskan tubuh Rani Paramita ke geladak. Piyama yang
dikenakan gadis cantik itu sudah tak karuan lagi wu-
judnya. Di sana-sini telah koyak lebar, memperli-
hatkan kemulusan kulitnya. Ketika Suropati menden-
gus keras sambil berusaha menanggalkan sisa-sisa
kain yang menempel di tubuh, Rani Paramita hanya
dapat memejamkan mata. Dalam hati dia menyebut
kebesaran nama Tuhan. Dia sudah tak mampu lagi
untuk berteriak keras. Tenggorokannya telah kering.
"Kau cantik sekali...," desis Suropati sambil
mencium leher Rani Paramita yang jenjang. Kemudian,
remaja konyol yang telah terpengaruh Puyer Perang-

sang itu menindih tubuh Rani Paramita. Dan, tampak-
nya gadis itu hanya dapat mengeluh panjang. Totokan
yang dilakukan Saka Purdianta telah menghilangkan
seluruh tenaganya.
Pada saat genting di mana kehormatan Rani
Paramita hampir terenggut, dua sosok bayangan ber-
kelebat sangat cepat. Yang satu melancarkan tendan-
gan ke arah kepala Suropati. Sedang yang lain melun-
cur dengan kedua tangan terbuka seperti hendak me-
remukkan tubuh Suropati.
"Mati kau, Gembel Busuk!" teriak bayangan
yang di sebelah kiri.
Sosok yang sedang melancarkan tendangan itu
tak mendapat kesulitan apa-apa untuk segera menca-
but nyawa Suropati. Namun tak pernah dia duga, satu
kelebatan sinar perak yang dibarengi suara mendesing
menghentikan gerakannya. Cepat pergelangan kakinya
ditarik ke kiri karena tak mau kaki kanannya terbabat
putus. Tubuh orang itu terjerembab ke geladak kapal
lalu bergulingan.
Orang kedua bernasib sial. Dia terlalu bernafsu
untuk segera menyudahi riwayat Suropati. Ketika je-
mari tangannya hampir menyentuh tengkuk Suropati,
kilatan pedang berwarna perak menyambar. Dia masih
sempat menarik tangan kanannya. Tapi, tangan ki-
rinya terlambat. Kelingkingnya terbabat putus! Jerit
kesakitan mengiringi meluncurnya cairan darah.
"Bangsat...!" umpat Bima Glondor atau si Pegu-
lat Maut Di hadapannya berdiri Puspita dengan pedang
terhunus. "Kenapa kau melukai ku?!"
"Tidak seorang pun boleh membunuh Suropa-
ti!" kata Puspita dengan suara ketus.
"Tapi... tidakkah kau melihat apa yang sedang
dilakukannya? Dia pantas untuk menerima hukuman

mati!"
Puspita menoleh. Dilihatnya Suropati masih
menggumuli tubuh Rani Paramita. Puspita langsung
menjerit histeris. Dia jatuh terduduk. Tangan kirinya
mendekap wajah. Tak mampu melihat adegan yang
mengiris-iris hatinya itu.
Suropati seperti tak sadar kalau  di tempat itu
tidak lagi sepi. Lima orang tokoh istana telah hadir.
Satu cengkeraman Kapi Anggara yang mendarat di
tengkuk Suropati menghentikan gerakan remaja ko-
nyol itu.
"Mati kau!" pekik Kapi Anggara seraya melem-
parkan tubuh Pengemis Binal
Braaakkk...! 
Tak ayal lagi, tubuh remaja konyol itu melayang
tinggi lalu membentur geladak kapal dengan keras. Dia
masih mencoba bangkit. Tapi hanya sanggup men-
gangkat tangan kanannya. Darah menyembur deras
dari mulutnya. Dibarengi keluh pendek, tubuh Suropa-
ti jatuh terkulai. Pingsan!
Senopati Risang Alit dart Arya Wirapaksi saling
berpandangan. Mereka menghampiri tubuh Rani Pa-
ramita yang masih tergeletak di atas geladak kapal.
Begitu totokan di tubuhnya bebas, gadis cantik itu
memeluk Arya Wirapaksi dan menumpahkan tangis-
nya di dada putra mahkota itu.
"Sudahlah, Rani...," kata Arya Wirapaksi. "Ben-
cana telah lewat. Kau selamat, Adikku."
Pemuda tampan itu melepaskan pelukan Rani
Paramita. Bajunya kemudian dilepas untuk dipakaikan
ke tubuh Rani Paramita yang hampir polos.
"Kita bawa Suropati ke istana," kata Arya Wira-
paksi. "Biar Ayahanda Prabu sendiri yang menentukan
hukuman baginya."

Bima Glondor yang sudah bisa mengatasi rasa
sakit di sekeliling tangannya langsung memanggul tu-
buh Suropati. "Kita berangkat sekarang," katanya.
Tiga sosok bayangan menghentikan langkah
Bima Glondor. Di tempat itu muncul Gede Panjalu ber-
sama Ki Ageng Manik Rei dan Pertiwi.
"Turunkan tubuh muridku!" perintah Gede
Panjalu dengan suara berat
Bima Glondor menatap tajam wajah sesepuh
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu. "Aku harus
membawanya ke istana."
"Tidak! Dia muridku. Aku yang akan menjatuh-
kan hukuman terhadapnya!"
"Dia hampir saja merenggut kehormatan Tuan
Putri Rani Paramita. Hukuman apa yang hendak kau
jatuhkan kepadanya?"
Kening Gede Panjalu berkerut. Wajahnya yang
sudah tua tampak semakin tua. "Ehm.... Suropati be-
nar-benar telah menjadi binatang jalang."
Gede Panjalu menyebar pandangan sebentar.
Begitu dilihatnya para tokoh istana hadir di tempat itu,
Gede Panjalu mengangkat tangan kanannya yang me-
megang tongkat. Dengan lantang lalu dia berkata, "Aku
telah mengangkat Suropati menjadi Pemimpin Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Kalau kini perbua-
tannya menyimpang dari jalan kebenaran, aku juga
yang akan mencopot kewenangannya. Dan melihat ke-
biadabannya aku sendiri yang akan menjatuhkan hu-
kuman terhadapnya!"
"Tidak..!" tiba-tiba Puspita memekik
Sinar mata gadis itu berubah nyalang. Pera-
saan cinta dalam hatinya terhadap Suropati telah
mengalahkan akal sehatnya. Dengan berani dia mena-
tap wajah Gede Panjalu.

"Seorang pendekar budiman seharusnya bisa
mengendalikan perasaan pribadinya," kata Gede Panja-
lu.
"Justru itu, seorang pendekar budiman tidak
boleh bertindak gegabah. Benarkah Suropati telah me-
lakukan perbuatan jahat? Apakah dia tidak sedang da-
lam pengaruh orang lain?"
"Bukti dan saksi sudah cukup untuk menja-
tuhkan hukuman bagi Suropati...," kata Ki Ageng Ma-
nik Rei. "Suropati telah menghancurkan Perguruan
Pedang Kencana. Bahkan, di depan mataku Suropati
menodai seorang muridku yang kini berdiri di sam-
pingku."
"Tapi..."
"Sudahlah, Puspita...," sambung Kapi Anggara.
"Suropati telah berubah menjadi penjahat. Dia bukan
sahabat kita seperti hari-hari lalu. Tidakkah kau meli-
hat dia hampir saja menodai Tuan Putri Rani Paramita,
Puspita?"
Tidak ada lagi yang berkata-kata. Rani Parami-
ta pun belum mampu membuka suara untuk menje-
laskan perkara yang sebenarnya. Gadis itu masih da-
lam keadaan gugup dan sangat terkejut akan kejadian
yang menimpa dirinya.
Gede Panjalu lalu segera memberi isyarat kepa-
da Bima Glondor untuk menurunkan tubuh Suropati.
Begitu tubuh Pengemis Binal menyentuh geladak,
Gede Panjalu melompat dengan tongkat tertuju lurus
ke depan. Tapi kakek berjubah yang bernama Prana-
sanca menghadang.
"Baginda Prabu Arya Dewantara yang berhak
menghukumnya," kata tokoh tua itu.
Gede Panjalu mendengus. Dia merasa tersing-
gung. Dengan teriakan serak, kakek bongkok itu mem-

bentak "Minggir kau! Suropati muridku. Bagi seorang
murid yang murtad, yang berhak menjatuhkan huku-
man adalah gurunya!"
"Tapi, Suropati hampir saja membuat celaka
Tuan Putri Rani Paramita!"
Mendengar ucapan yang bernada menantang
itu, darah Gede Panjalu bergolak. Sebetulnya dia bu-
kanlah tokoh tua yang gampang naik pitam. Namun
karena hatinya terpukul mendapati kenyataan Suropa-
ti telah menyimpang dari kebenaran, Gede Panjalu jadi
mudah tersinggung. Dan tanpa diduga Pranasanca,
kakek bongkok itu menggerakkan ujung tongkatnya!
Tak...!
Wajah Pranasanca pucat pasi. Ujung tongkat
Gede Panjalu melakukan totokan lihai ke dada kiri.
Tapi, kelebatan benda kecil berwarna kekuningan,
membuat tongkat Gede Panjalu bergetar. Bagian
ujungnya melenceng dari sasaran. Tak urung, lengan
kiri atas Pranasanca terserempet. Kakek berjubah itu
mengeluh kesakitan. Sekujur tubuhnya terasa panas
laksana dialiri api neraka!
"Saya menghormati Kakek Gede Panjalu seba-
gai sesepuh Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti...,"
kata Kapi Anggara seraya menjura. Dialah yang telah
menggagalkan serangan Gede Panjalu dengan melon-
tarkan sebuah senjata rahasia dari baja pipih berwar-
na kuning.
"Apa maksudmu, Anggara? Apakah kau juga
akan menghalangiku untuk menghukum Suropati?"
tanya Gede Panjalu marah.
"Kami adalah pengemban titah Baginda Prabu
Arya Dewantara. Kami harus menyelamatkan Tuan Pu-
tri Rani Paramita dan menangkap penculiknya. Dia
akan kami hadapkan pada pengadilan istana. Baginda

Prabu yang akan menjatuhkan hukuman baginya...." 
Gede Panjalu menggeram keras. Sebelum dia
melakukan sesuatu, Rani Paramita mengeluarkan sua-
ra lirih di antara isak tangisnya. "Suropati tidak men-
culik ku...."
Hampir-hampir kalimat itu tidak terdengar. Ta-
pi walau lemah, cukup mampu untuk mengejutkan
semua yang berada di atas geladak Kapal Rajawali
"Apa maksudmu, Rani?" tanya Arya Wirapaksi
sambil menatap tajam wajah adiknya. Cahaya rembu-
lan memperlihatkan mata Rani Paramita masih berka-
ca-kaca.
"Suropati tidak tahu apa-apa. Dia tidak mencu-
lik ku. Dia tadi terkena pengaruh Puyer Perangsang...."
Kembali keterkejutan melanda. Arya Wirapaksi
memegang bahu adiknya. "Benar apa yang kau kata-
kan itu, Rani?"
Rani Paramita mengangguk. Diceritakannya ke-
jadian yang baru saja dialaminya di atas geladak Kapal
Rajawali. Dengan suara terbata-bata, dia menutup ce-
ritanya. "Saka Purdianta adalah biang keladinya...."
Semua orang menarik napas lega. Kiranya Su-
ropati telah menjadi korban sebuah rencana busuk.
Dan selagi semua orang menatap tubuh Suropati yang
masih terbujur pingsan di atas geladak, Ki Ageng Ma-
nik Rei melompat ke tengah arena.
"Apakah kalian semua telah menganggap Suro-
pati tidak bersalah? Lalu, siapa yang telah menghan-
curkan Perguruan Pedang Kencana dan membunuh
sekian banyak muridku? Dan, siapa pula yang telah
menodai Pertiwi? Apakah setan laknat yang menyamar
sebagai Suropati? Tapi, mataku belum lamur. Pertiwi
pun akan mengatakan kalau penjahat busuk itu Suro-
pati

"Benar apa yang dikatakan Eyang Guru! Bajin-
gan culas itu sudah selayaknya mati!" teriak Pertiwi
dengan penuh kemarahan.
Murid Ki Ageng Manik Rei itu segera menghu-
nus pedangnya. Dengan sekuat tenaga, dia menghim-
pun seluruh kekuatannya ke tangan kanan yang me-
megang pedang. Lalu....
"Jangan...!"
Rani Paramita menjerit ngeri. Tak tahan dia
melihat kelebatan pedang Pertiwi yang menghujam se-
cepat kilat ke arah tubuh Suropati yang tak berdaya....

***

Cahaya temaram rembulan tersibak oleh kila-
tan warna keemasan yang memancar dari bilah pedang
Pertiwi. Tak ada yang menduga gadis itu akan melaku-
kan perbuatan demikian. Semua orang hanya berdiri
terpaku dengan mulut ternganga. Ki Ageng Manik Rei
sendiri tak kalah terkejutnya. Walau kakek itu sangat
mengharapkan Suropati dijatuhi hukuman mati, tapi
melihat keadaan Pertiwi, bergidik juga dia.
Ki Ageng Manik Rei tak dapat membayangkan
kemarahan orang-orang yang berada di sekelilingnya.
Padahal mereka masih belum yakin benar akan kesa-
lahan Suropati. Namun, untungnya sebelum ajal men-
jemput Suropati, sesosok bayangan berkelebat! 
Trang...! 
"Argh...!"
Seruling merah di tangan sosok bayangan me-
nangkis sambaran pedang Pertiwi. Malang bagi Pertiwi.
Sorongan tongkat Gede Panjalu yang digerakkan den-
gan tenaga bawah sadar membentur punggungnya.
Tubuh Pertiwi langsung jatuh berdebam dan pedang-

nya mencelat tercebur ke laut
"Suropati harus ma... ti...!"
Kalimat itu keluar dari mulut Pertiwi bersa-
maan dengan menyemburnya darah segar. Sekejap
mata kemudian, tubuh gadis itu terkulai lemas dalam
keadaan pingsan.
Sementara itu, sosok yang telah menyela-
matkan nyawa Suropati berjongkok di sisi remaja ko-
nyol itu. Dengan cekatan dia membuat beberapa toto-
kan. Terdengar Suropati mengeluh pendek. Tapi begitu
tersadar dari pingsannya, dia memukul-mukul dada.
"Jangan biarkan aku tersiksa seperti ini! Cepat
bunuh aku! Cepat...!"
Pengemis Binal memukul-mukul dadanya se-
makin keras. Dari mulutnya keluar busa putih. Sosok
yang berjongkok di sisi Suropati segera menotok jalan
darah di kedua pangkal lengan remaja konyol itu.
"Kakek Wajah Merah!" desis Suropati menatap
wajah orang yang telah melumpuhkan kedua tangan-
nya. 
"Tenanglah, Suro...," kata sosok yang baru
muncul.
Dia memang si Wajah Merah. Seorang tabib
pandai yang berusia sekitar tujuh puluh tahun. Kakek
itu mengenakan pakaian kuning ringkas. Rambutnya
yang putih dibiarkan riap-riapan. Sebagian menutupi
wajahnya yang berwarna merah seperti buah tomat
matang.
"Bunuh saja aku, Kek...," pinta Pengemis Binal
lagi. "Aku telah terkena Puyer Perangsang. Aku tak bi-
sa menyentuh seorang wanita, karena kelelakian ku
akan lumpuh. Aku tak mau hal itu terjadi. Ini lebih
mengerikan daripada kematian...."
Mulut Suropati semakin berbusa. Dengan lem-

but, si Wajah Merah menyekanya.
"Kau belum terlambat, Suro...," kata tabib pan-
dai itu.
Ditotoknya beberapa aliran darah di bawah pu-
sar Suropati. Jerit keras memecah keheningan malam.
Ketika mulut Suropati terbuka lebar, Wajah Merah
memasukkan beberapa buah pil. Kemudian, diurutnya
pangkal leher Suropati. Pil-pil itu langsung meluncur
ke lambung.
Si Wajah Merah bangkit berdiri. Sedangkan Su-
ropati jatuh pingsan lagi. Semua mata menatap tubuh
remaja konyol itu yang terbujur lemah.
"Apa yang terjadi?" tanya si Wajah Merah. "Ke-
napa. kalian hanya diam saja ketika seorang pendekar
besar hendak menemui ajal?"
Tak ada yang mengeluarkan suara. Si Wajah
Merah mendehem. Ditatapnya Gede Panjalu. "Apa yang
terjadi dengan muridmu, Gede?" 
Dengan suara berat Gede Panjalu menceritakan
tindakan Suropati yang telah melakukan serangkaian
perbuatan biadab. Beberapa orang lainnya menyam-
bung cerita kakek bongkok itu.
"Tidak mungkin!" bantah Wajah Merah. "Seseo-
rang tentu telah memfitnahnya. Kehadiranku di sini
memang untuk mencari Suropati. Dia telah terkena ra-
cun Jarum Hitam. Orang-orang di wilayah Selatan me-
namakan jarum itu sebagai Jarum Mati Sekejap. Siapa
saja yang terkena akan mati dalam sekejap mata. Tapi,
tidak dengan Suropati. Dia memiliki sebuah keajaiban.
Namun, aku mempunyai dugaan seluruh ilmu kepan-
daiannya telah musnah seperti yang menimpa
Anggraini Sulistya, putri Prabu Singgalang Manjunjung
Langit, Penguasa Kerajaan Pasir Luhur. Raka Maruta
membawa gadis itu ke Bukit Rawangun untuk menda-

pat pertolonganku. Karena meminum darah Raka Ma-
ruta yang telah bercampur Air Sakti, maka jiwa
Anggraini Sulistya masih dapat diselamatkan......."
Si Wajah Merah menghentikan bicaranya se-
bentar.  Diperhatikannya perubahan raut muka orang-
orang yang berdiri di sekelilingnya    
"Yang melukai Suropati dan Anggraini Sulistya
adalah orang yang sama. Menurut penuturan Anggrai-
ni Sulistya, orang itu bernama Saka Purdianta, putra
Tumenggung Sangga Percona. Saka Purdianta telah
memanfaatkan kelemahan Suropati untuk menjatuh-
kan fitnah kepadanya. Dia ingin menghabisi riwayat
Suropati yang sudah tak mempunyai ilmu kepandaian
apa-apa lagi...."
"Kalau begitu, Saka Purdiantalah yang telah
mempengaruhi salah seorang anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti untuk menculik Tuan Putri
Rani Paramita. Tapi, anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu sangat lihai. Bagaimana Saka Pur-
dianta bisa mempengaruhinya?" sahut Kapi Anggara.
"Apakah ada dua Suropati?" kata Ki Ageng Ma-
nik Rei. "Aku berani bersumpah orang yang telah
menghancurkan Perguruan Pedang Kencana adalah
Suropati! Dia pula yang telah menodai Pertiwi!"
Tiba-tiba terdengar keluhan panjang dari dalam
ruang bawah geladak muncul seorang wanita setengah
baya dengan langkah sempoyongan. Sekujur tubuhnya
bersimbah darah. Dialah inang pengasuh Anggraini
Sulistya.
"Tuan-tuan..." kata wanita itu dengan suara
bergetar oleh deraan rasa sakit.
Inang pengasuh Anggraini Sulistya yang sudah
di ambang  maut jatuh terkulai ke geladak. Semua
orang langsung berlompatan mengerumuni.

"Tuan-tuan... Suropati tidak bersalah. Ja... jan-
gan bunuh dia...! Sa... Saka Purdianta... adalah..."
Bruk...! 
"Inang pengasuh Anggraini Sulistya tak mampu
meneruskan kalimatnya. Kedua matanya mendelik.
Tangan kanannya yang memegang sebuah benda lem-
but mengacung ke atas. Tapi segera terkulai karena
nyawanya telah dijemput Malaikat Kematian.
Sebenarnya, wanita itu baru saja mendapat
siksaan keji dari Saka Purdianta. Semula wanita itu
berada di bawah ancaman Saka Purdianta. Tapi sete-
lah mengetahui Saka Purdianta mempunyai rencana
yang sangat keji, dia memberanikan diri mencuri to-
peng pemuda itu untuk membuka kedoknya. Malang,
Saka Purdianta berniat membunuhnya. Inang penga-
suh Anggraini Sulistya disiksa. Tapi, Tuhan berkenan
memperpanjang usianya sampai dia dapat menjumpai
orang-orang yang berkumpul di atas geladak kapal.

***

"Topeng...!" desis Kapi Anggara setelah mereng-
gut benda tipis lembut yang berada dalam genggaman
inang pengasuh Anggraini Sulistya "Mungkin Saka
Purdianta menggunakan topeng ini untuk menyamar
sebagai Suropati?"
"Kau kenakan topeng itu ke wajahmu, Angga-
ra!" kata Puspita dengan tak sabar. Hati pendekar pe-
dang ini jadi senang. Tabir kejahatan yang menimpa
Suropati telah terkuak.
Kapi Anggara menatap topeng di tangannya.
Topeng itu terbuat dari getah pohon karet yang sangat
halus. Sepertinya dibuat oleh seorang yang sangat ahli.
Ketika Kapi Anggara mengenakannya, semua orang

yang melihat langsung terperangah. Wajah Kapi Ang-
gara telah berubah. Persis wajah Suropati atau si Pen-
gemis Binal!
"Saka Purdianta keparat...!" teriak Ki Ageng
Manik Rei. Dia menyebar pandangan. Tentu saja yang
dicari sudah tak ada. Saka Purdianta telah meninggal-
kan Kapal Rajawali sebelum para tokoh istana tiba di
tempat itu.
Ki Ageng Manik Rei pun berkelebat seraya me-
nyambar tubuh Pertiwi yang masih tergeletak pingsan.
Dia berlalu dengan membawa kemarahan yang me-
luap-luap. Orang-orang yang ditinggalkannya tampak
celingukan, mencari sosok Suropati yang juga telah le-
nyap! 
"Si Wajah Merah membawanya ke Bukit Ra-
wangun," kata Gede Panjalu dengan suara lirih, na-
mun membersitkan sebuah kelegaan. "Aku percaya ta-
bib pandai itu akan dapat mengeluarkan racun yang
bersemayam dalam tubuh Suropati."
Suasana hening. Satu persatu tokoh-tokoh
rimba persilatan itu meninggalkan kapal. Tampak dari
kejauhan Kapal Rajawali memantulkan warna kekun-
ing-kuningan karena tertimpa cahaya rembulan. Debur
ombak Pantai Pasir Putih menderu-deru. Laut Selatan
mulai mengganas....




SELESAI



Ke manakah perginya Saka Purdianta setelah dia
memfitnah Suropati dengan mempergunakan topeng
yang mirip dengan wajahnya? Dan siapa sesungguh-
nya yang berhasil menyembuhkan Suropati?


Ikuti serial Pengemis Binal selanjutnya :
PETAKA KERAJAAN AIR