Pengemis Binal 17 - Misteri Pusaka Pedang Gaib(2)



4

Pagi merayap menjelang siang. Sebuah ke-
dai nasi yang berada di pinggir kota Kadipaten
Bumiraksa masih saja terlihat ramai oleh pengun-
jung yang hendak sarapan. Daya tariknya mung-

kin berasal dari si pemilik kedai, seorang janda
muda berparas lumayan dan bertubuh sintal-
montok. Maka tak heran apabila yang datang se-
bagian besar adalah para lelaki hidung belang
yang ingin cuci mata dan berbuat iseng. Nada bi-
cara mereka sungguh tak enak didengar. Selain
keras, juga penuh kata-kata tak sopan. Namun, si
pemilik kedai agaknya sudah terbiasa menghada-
pi orang-orang macam mereka. Sikapnya tenang-
tenang saja. Namun bila ada yang masih berbuat
jahil, dia berusaha menangkisnya dengan kata-
kata sopan tanpa menyinggung perasaan.
"Hmm.... Masakanmu sungguh enak. Pad-
mi...," puji seorang lelaki kekar berkumis tebal
melintang sambil mengerling penuh arti ke arah
pemilik kedai.
Namun si janda yang bernama Padmi tak
ambil peduli. Wanita ini terus saja menyeduh ko-

pi. Suara denting beradunya gelas dan sendok
adukan terdengar jelas.
"Padmi sudah tidak perlu pujian semacam
itu, Gatra...," sahut lelaki kerempeng yang duduk
di kiri lelaki berkumis tebal bernama Gatra.
"Mana ada perempuan tak butuh pujian?"
tukas Gatra.
"Huh! Kau ini bodoh amat" ujar lelaki ke-
rempeng, di dekat telinga Gatra. "Semua orang
sudah tahu kalau masakan Padmi enak. Jadi, tak
perlu mengatakannya lagi!"
Gatra menatap wajah temannya, lalu men-
gedipkan sebelah matanya.
"Kalau kau ingin memuji, katakan saja ka-
lau Padmi itu cantik, menarik, dan tak pantas
menjadi penjual nasi...," lanjut lelaki kerempeng.
"Lalu, pantasnya jadi apa, Sarpan?" tanya
Gatra, pura-pura tak mengerti.
"Katakan bila Padmi itu lebih pantas jadi
istrimu!" sahut lelaki kerempeng bernama Sarpan.
"Ha ha ha...!"
Gatra tertawa bergelak. Empat lelaki lain-
nya langsung menyambuti dengan tawa tak kalah
keras.
"Ya..., ya! Padmi memang lebih pantas jadi
istriku...," angguk Gatra sambil memelintir ku-
misnya.
Sementara, si pemilik kedai yang menjadi
bahan pembicaraan tetap tak mau ambil peduli.
Kopi seduhnya segera diulurkan kepada seorang
remaja tampan berpakaian putih bersih tapi pe-
nuh tambalan yang duduk di kursi bambu paling

ujung.
"Hei?! Bukankah aku tadi minta tambah
kopi? Kenapa kau layani dia dulu, Padmi?!" ben-
tak Sarpan.
"Ini sedang kubuatkan, Kang...," sahut
Padmi, kalem. Tangannya sibuk mencari kopi lagi.
"Aku mau yang itu!" Sarpan menunjuk se-
cangkir kopi yang berada di hadapan remaja tam-
pan berpakaian penuh tambalan.
"Bersabarlah sedikit, Kang...," pinta Padmi.
Nada suaranya sopan sekali. "Ini juga hampir se-
lesai. "
Walau melihat si pemilik kedai memperce-
pat seduhan kopinya, tapi Sarpan tetap ngotot.
"Sudah kubilang, aku mau kopi yang itu!"
katanya sambil menunjuk lagi secangkir kopi
yang diinginkannya.
Remaja tampan berpakaian penuh tamba-
lan tersenyum tipis.
"Silakan, Orang Baik...," ucapnya sambil
menggeser cangkir kopinya ke hadapan Sarpan.
"Nah, ini baru enak...!" sambut Sarpan se-
raya mengulurkan tangannya untuk menuang
kopi ke cawan.
Tapi, alangkah kagetnya lelaki kerempeng
ini. Ketika tangannya hampir menyentuh cangkir,
mendadak cangkir berisi kopi panas itu bergeser.
Padahal tidak ada yang menyentuhnya.
"Kau kenapa, Sarpan?" tanya Gatra.
"Ah, tidak!" cepat lelaki kerempeng itu me-
nyahut. Malu juga hatinya jadi pusat perhatian.
"Silakan.... Kenapa hanya dilihat saja?"

sindir si remaja tampan sambil menerima kopinya
yang baru.
Sarpan mendengus. Segera disambarnya
cangkir kopi yang ada di hadapannya. Tapi....
Srettt! 
"Bedebah!"
Lagi-lagi cangkir kopi itu bergeser. Maka,
naik pitamlah Sarpan. Dia tahu kalau sedang di-
permainkan.
"Hm.... Rupanya ada orang yang belum
kenal Raden Mas Sarpan Sastro Manggolo yang
bergelar Harimau Kerempeng Jagoan Minum...,"
gumam Sarpan seraya bangkit berdiri dan mende-
lik ke arah si remaja tampan.
"He he he...," remaja tampan berpakaian
penuh tambalan malah tertawa terkekeh. "Benar-
kah kau Harimau Kerempeng Jagoan Minum?"
"Ya! Maka dari itu, sebaiknya segera me-
nyingkir!" usir Sarpan, sombong sekali.
"Aduh, sayang sekali...," keluh si remaja
tampan tiba-tiba. "Jauh-jauh aku datang kemari
memang hendak menemui orang yang bergelar
Harimau Kerempeng Jagoan Minum. Setelah ber-
temu, eh, dia malah mengusirku...."
"Benar kau bermaksud menemuiku?" tanya
Sarpan penuh selidik.
"Ya. Aku ingin menantang minum." Men-
dengar jawaban si remaja tampan, Sarpan dan
teman-temannya tertawa terbahak-bahak.
"Kau layani saja dia, Sarpan. Sekaligus beri
pelajaran!" usul lelaki berikat kepala batik yang
duduk di samping Gatra.

"Benar, Bawor. Aku memang harus mem-
berinya pelajaran!" sambut Sarpan, cepat.
Sementara, si remaja tampan malah terse-
nyum-senyum.
"Jadi kau menerima tantanganku?" ujar-
nya, meminta kepastian.
"Di sini tidak jual arak!" sergah Padmi,
yang mencuri dengar pembicaraan.
"Kami bukan mau minum arak, tapi mau
minum kopi. Bukankah begitu, Harimau Kerem-
peng Jagoan Minum yang baik hati?" tukas rema-
ja tampan itu.
"Ha ha ha...!" Sarpan tertawa bergelak.
"Rupanya kau bocah edan yang berlaku sok wa-
ras! Mana ada orang bertanding minum, tapi yang
diminum kopi?!"
"Kau menolak tantanganku?"
"Tidak! Aku terima. Tapi, kau yang bayar!"
Bibir si remaja tampan menyungging se-
nyum.
"Kita sama-sama mempunyai kopi panas.
Siapa yang paling cepat menghabiskannya, dialah
yang menang."
Mendelik mata Sarpan mendengar ucapan
calon lawannya. Lebih mendelik lagi ketika meli-
hat kopi di hadapannya masih mengepulkan asap
panas. Bagaimana dia bisa minum kopi sepanas
itu?
"Ayo, Sarpan! Tunggu apa lagi?!" lelaki
yang bernama Bawor mengompori.
"Segera kau beri pelajaran bocah edan itu!"
timpal Gatra.

"Ayo! Kenapa bengong, Sarpan?" tambah
yang lain.
Sementara teman-temannya bersorak-
sorak memberi semangat, bibir Sarpan malah me-
rengut. Pandangan matanya sayu.
"Aduh! Bagaimana ini? Aku tidak mau ber-
buat konyol!" rungutnya dalam hati.
Remaja tampan berpakaian penuh tamba-
lan seperti tak peduli pada sikap Sarpan.
"Sekarang akan kalian saksikan sebuah
pertandingan minum kopi panas...," kata si pe-
muda sambil menatap wajah teman-teman Sar-
pan bergantian. "Setelah hitungan ketiga, aku dan
Sarpan akan segera mengangkat cangkir. Satu...,
dua..., tiga!"
Tenang saja si remaja tampan memegang
cangkir berisi kopi panas. Diliriknya Sarpan yang
masih duduk termangu.
"Kau sudah kalah sebelum bertanding, Ha-
rimau Kerempeng Jagoan Minum yang baik ha-
ti...," ejeknya.
"Siapa bilang?" tukas Sarpan bergegas.
Lelaki berumur sekitar empat puluh tahun
ini akhirnya memberanikan diri juga. Cepat sekali
cangkir di hadapannya disambar. Lalu, isinya di-
tenggak sampai tandas!
"Wuah...!" jerit Sarpan setelah cangkir ko-
pinya diletakkan.
Selagi lelaki kerempeng  itu berjingkrak-
jingkrak karena kepanasan, si remaja tampan ter-
tawa terkekeh-kekeh.
"Rasakan itu! Kalau orang mau menang

sendiri, begitulah akibatnya!"
Usai berkata, si remaja tampan turut me-
nenggak kopi panasnya. Gerakannya perlahan
sekali. Bahkan, matanya terlihat merem-melek,
seperti tengah merasakan kenikmatan luar biasa.
"Bocah edan! Anak Gondoruwo! Tunggu
pembalasanku! Wuah...!" maki Sarpan seraya ber-
lari terbirit-birit sambil mendekap mulutnya yang
terasa nyonyor. Teman-temannya turut keluar da-
ri kedai, mengejar Sarpan yang terus berlari sam-
bil mendekap mulutnya.
Remaja tampan berpakaian penuh tamba-
lan itu pun mendelik.
"Hei! Hei! Jangan pergi!" teriaknya tanpa
ada yang menyahuti. "Aduh! Mati aku! Siapa yang
mesti membayar makanan bergajul-bergajul ta-
di?"
"Tentu saja kau yang harus bayar! Karena
ulahmu mereka semua lari!" sambar si pemilik
kedai, ketika remaja tampan itu kebingungan
sambil garuk-garuk kepala.
"Iya. Tapi..., tapi...."
"Ayo! Kau tidak mau bayar?!" tuding pemi-
lik kedai, marah.
"Eh..., eh...," si remaja tampan gelagapan.
Kepalanya digaruk semakin keras.
Mendadak, muncul seorang lelaki tinggi te-
gap berpakaian kuning-coklat. Wajahnya tampan,
dihiasi kumis tipis. Rambutnya diikat sehelai kain
putih.
"Aku yang akan bayar semuanya!"
Begitu duduk di kursi bambu, lelaki beru-

mur sekitar tiga puluh lima tahun ini langsung
membuka suara.
Si janda pemilik kedai menatap wajah
orang yang baru datang. Melihat kesungguhan le-
laki berkumis tipis itu, padamlah api amarahnya.
"Eh! Kau begitu baik hati. Siapa...."
Si remaja tampan tak melanjutkan bica-
ranya. Matanya melotot melihat wajah lelaki ber-
kumis tipis.
"Bukankah kau Senopati Guntur Selaksa?"
lanjutnya, setelah mengenali lelaki yang baru da-
tang.
"Ya. Aku diutus Baginda Prabu Singgalang
Manjunjung Langit untuk menyusulmu, Suro...,"
ujar lelaki berkumis tipis yang memang Senopati
Guntur Selaksa, Panglima Perang Kerajaan Pasir
Luhur.
Remaja tampan garuk-garuk kepala lagi.
Melihat kebiasaannya ini, siapa lagi dia kalau bu-
kan Suropati yang dikenal sebagai Pengemis Bi-
nal, Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti.
"Kepergianmu yang tanpa pamit membuat
resah Baginda Prabu. Apalagi, Tuan Putri Sekar
Tunjung Biru. Bahkan apabila kau tak juga kem-
bali ke istana, Anggraini Sulistya akan mencari-
mu, Suro...," lanjut Senopati Guntur Selaksa.
"Lho?  Bukankah Anggraini Sulistya telah
berbahagia bersama Raka Maruta?" tukas Suro-
pati dengan kening berkerut.
"Ya. Tapi dia sangat menyayangimu, Suro.
Sepertinya, dia tak mau berpisah denganmu ba-

rang sekejap...," ungkap Senopati Guntur Selaksa
penuh kesungguhan. "Dan lagi, kupikir kau sebe-
narnya tak perlu kembali ke Kerajaan Anggarapu-
ra. Kau putra mahkota Kerajaan Pasir Luhur, Su-
ro. Kau berhak menikmati semua kemewahan di
negeri yang dipimpin ayahandamu." (Cerita ten-
tang asal-usul Suropati yang ternyata putra Pra-
bu Singgalang Manjunjung Langit, silakan baca
episode: "Pemberontakan Subandira").
"Aku senang tinggal di istana. Tapi aku ha-
rus tahu diri, Paman. Aku mempunyai sebuah
perkumpulan yang anggotanya orang-orang
miskin dan telantar. Aku pemimpin mereka. Ten-
tu saja mereka membutuhkan aku...."
"Aku bisa mengerti. Tapi, entah Prabu
Singgalang Manjunjung Langit."
"Aku berjanji, suatu saat akan kembali ke
Istana Pasir Luhur. Tapi yang jelas, kedatanganku
bukan untuk mencari kemewahan ataupun ke-
nikmatan duniawi. Aku datang karena mempu-
nyai orangtua yang patut mendapatkan darma-
baktiku."
Senopati itu tampak merenung sejenak.
Ketika si janda pemilik kedai menawarkan mi-
num, lelaki gagah ini cuma menggeleng. Lalu, di-
tatapnya wajah Pengemis Binal dalam-dalam.
"Baiklah, Suro. Aku tidak akan memaksa-
mu untuk kembali ke istana. Mudah-mudahan
Baginda Prabu, Tuan Putri Sekar Tunjung Biru,
dan kakak-mu Anggraini Sulistya mau mengerti
keadaan-mu...," desah lelaki itu.
Bibir Suropati menyungging senyum. Ke-

mudian dia garuk-garuk kepala. Remaja tampan
yang rambutnya dibiarkan tergerai ini lantas balik
menatap senopati itu.
"Kalau Paman Selaksa tak mau minum
apa-apa, sebaiknya kita pergi. Tentu saja Paman
yang bayar. Aku hanya punya ini." Pengemis Bi-
nal menunjukkan sekeping uang logam. "Uangku
tak cukup untuk membayar makanan yang diha-
biskan bergajul-bergajul tadi."
Senopati Guntur Selaksa mengangguk.

***

"Aku tadi sempat melihat bagaimana kau
meminum kopi panas. Kau hebat sekali, Suro...,"
puji Senopati Guntur Selaksa di tengah jalan, ke-
tika memasuki keramaian kota Kadipaten Bumi-
raksa.
"Ah, Paman terlalu memuji. Aku yang bo-
doh ini kebetulan memiliki ilmu 'Pukulan Salju
Merah'. Sehingga, mudah saja bagiku untuk
membuat kopi panas jadi dingin," tukas Pengemis
Binal, merendah. (Tentang  ilmu pemberian Nyai
Catur Asta ini, dapat disimak pada episode :
"Dendam Ratu Air").
"Tenaga dalammu juga hebat sekali, Suro.
Aku pun sempat melihat kau memindahkan
cangkir kopi di hadapan orang kerempeng tadi
hanya dengan memegang pinggiran meja."
"Ah! Jangan terus memuji, Paman. Bisa be-
sar kepalaku nanti." Pengemis Binal garuk-garuk
kepala untuk ke sekian kalinya. "Eh, Paman kok

tahu apa yang terjadi barusan di kedai?"
"Tentu saja aku tahu. Aku tadi duduk di
depan kedai. Hanya kau yang tak melihat."
"Kenapa Paman tak langsung menegurku?"
"Aku ingin tahu salah satu perbuatan ko-
nyol-mu. Ternyata.... He he he...."
Senopati Guntur Selaksa tertawa terkekeh-
kekeh. Dengan pakaian biasa yang sederhana,
orang tak akan tahu bila dia adalah seorang peja-
bat tinggi kerajaan. Walau baru beberapa pekan
mengenal Suropati, tapi sikapnya sudah sangat
akrab. Baginya, Suropati adalah seorang teman
menyenangkan. Tak heran apabila panglima pe-
rang ini kemudian minta diantar Suropati meli-
hat-lihat keramaian kota Kadipaten Bumiraksa.
Di sepanjang jalan, semakin tahulah Seno-
pati Guntur Selaksa kalau Suropati adalah seo-
rang pemimpin yang penuh perhatian kepada
anak buahnya. Hampir semua pengemis dan ge-
landangan yang dijumpai mengelu-elukan keda-
tangannya. Terlihat, bagaimana mereka sangat
membutuhkan sosok pemimpin seperti Suropati.
Walau sering berperilaku konyol, tapi bisa menja-
di seorang Dewa Penolong yang penuh welas asih.
"Kukira kau sudah cukup menghabiskan
waktumu untuk menemaniku, Suro...," cetus Se-
nopati Guntur Selaksa ketika matahari mulai ter-
puruk dari titik tengahnya.
"Aku selalu punya waktu untuk orang se-
baik Paman Selaksa...," balas Suropati.
"Sebaiknya aku minta diri untuk kembali
ke istana. Akan kucoba untuk memberi penger-

tian kepada Baginda Prabu Singgalang Manjun-
jung Langit tentang keberadaanmu di sini."
"Dalam waktu secepat ini, Paman? Tidak-
kah Paman ingin melihat-lihat wilayah Kerajaan
Anggarapura yang subur dan makmur, serta pen-
duduknya yang ramah-ramah? Aku akan mene-
mani-mu, Paman."
"Terima kasih, Suro. Apa kau lupa  kalau
aku adalah seorang pejabat? Aku tidak bisa ber-
laku seenak perutku sendiri. Banyak tugas yang
membutuhkan uluran tanganku."
"Baiklah kalau begitu. Sampaikan sembah-
sujudku kepada Ayahanda Prabu dan Ibunda Se-
kar Tunjung Biru. Serta, sampaikan salam ma-
nisku kepada Anggraini Sulistya dan Raka Maru-
ta. Semoga mereka menjadi pasangan bahagia se-
panjang masa."
Tepat di pasar hewan, Suropati mengan-
tarkan Senopati Guntur Selaksa untuk membeli
seekor kuda yang kuat. Dan dengan menunggang
kuda itu, Senopati Guntur Selaksa hendak kem-
bali ke Istana Pasir Luhur lewat jalan barat. Se-
dangkan Suropati sendiri hendak melanjutkan
perjalanannya ke puncak Bukit Pangalasan untuk
menemui Kakek Gede Panjalu alias Pengemis
Tongkat Sakti, sesepuh perkumpulan pengemis
yang dipimpinnya.

***

"Tolong...! Tolong...!"
Baru saja keluar dari kota Kadipaten Bu-

miraksa, Suropati dikejutkan oleh suara minta to-
long. Menyusul kemudian, tampak seorang gadis
tengah berlari-lari ketakutan.
Malang, langkah kaki si gadis terantuk ba-
tu. Tubuhnya tak terkendali lagi, lalu jatuh ter-
sungkur. 
Brukkk!
Pengemis Binal segera meloncat mengham-
piri, kemudian membantu si gadis untuk berdiri.
"Ada apa? Kenapa kau berlari ketakutan?"
tanya Suropati.
"Tolong...! Tolong aku, Tuan!" pinta si ga-
dis, gelagapan. Napasnya terdengar memburu.
Sementara keringatnya membanjir.
"Tenanglah.... Kau aman bersamaku," bu-
juk Pengemis Binal, menenangkan.
"Harimau...! Aku..., aku dikejar harimau,
Tuan!"
Di ujung kalimat si gadis, Suropati melihat
seekor harimau besar tengah berlari cepat menu-
ju ke arahnya. Segera pemuda ini meloncat,
menghadang lari harimau yang sudah melayang
menerkam.
"Pergi ke hutan sana, Harimau Usil!" ujar
Pengemis Binal seraya melancarkan tendangan.
Buk...!
Tubuh harimau itu kontan terpental dan
jatuh bergulingan terkena tendangan Suropati.
Ketika raja hutan itu bangkit, Suropati sudah
berkelebat sambil mengebutkan tongkatnya.
Tak!
"Graungr...!"

Hajaran Suropati cukup membuat harimau
besar lari pontang-panting, meninggalkan raun-
gan keras.
"Terima kasih..., terima kasih, Tuan...,"
ucap gadis yang baru ditolong.
"Jangan panggil 'Tuan'. Namaku Suropati,"
tukas Pengemis Binal sambil menatap wajah si
gadis.
Tersenyum senanglah remaja konyol ini.
Ternyata, gadis yang berdiri di hadapannya ber-
paras cantik. Walau memakai pakaian sederhana,
tapi kepadatan tubuhnya dapat dilihat. Rambut-
nya hitam-pekat sebahu. Bila ditaksir, umurnya
sekitar dua puluh tahun.
"Benarkah kau Suropati?" kejut si gadis ti-
ba-tiba.
"Ya. Kenapa?" sahut Suropati, balik ber-
tanya. 
"Kau..., kau Pemimpin Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti?"
"Ya. Tak senang berjumpa denganku?"
"Tentu saja aku senang, Tuan Suropati.
Aku...."
"Sudah kubilang, jangan panggil 'Tuan'.
Cukup panggil aku Suro...."
"Ya..., ya, Suro. Aku sangat senang ber-
jumpa denganmu. Ternyata, orang yang bernama
Suropati sangat tampan dan berkepandaian ting-
gi."
Pengemis Binal tersenyum-senyum men-
dengar pujian si gadis.
"Ah, kau juga cantik...," balasnya. "Siapa

namamu? Dan, bagaimana kau bisa dikejar-kejar
harimau?"
Mendengar pertanyaan Suropati, menda-
dak wajah si gadis berubah murung.
"Eh, kau kenapa? Menyesal berjumpa den-
ganku?" tanya si remaja dengan konyol. Kumat
sudah penyakit lamanya melihat seraut wajah
cantik.
Si gadis belum juga membuka suara,
membuat Pengemis Binal berkerut keningnya.
"Kau kenapa? Kau malu untuk memintaku
mengantarkanmu pulang?" lanjut si pemuda.
"Tidak. Aku tidak akan pulang lagi. Aku
mau mencari ayahku yang telah pergi meninggal-
kanku...," tutur si gadis tanpa diminta.
"Katakan siapa namamu dulu, baru berce-
rita," ujar Suropati.
"Namaku Swani. Dalam perjalanan mencari
ayahku, aku tersesat di hutan. Lalu, aku dikejar-
kejar seekor harimau. Untunglah kau datang me-
nolongku, Suro. Aku tidak tahu, bagaimana harus
membalas budi baikmu ini...."
''Aah.... Kau tidak perlu membalas budi,''
tukas Suropati. "Asal kau mau jadi temanku, aku
sudah senang."
"Benar?"
Pengemis Binal mengangguk. Diraihnya
tangan si gadis yang bernama Swani, lalu dicium-
nya. "Kau cantik sekali, Swani...," puji Suropati.
Si pemuda menatap wajah Swani dalam-dalam.
Sementara, yang ditatap menunduk malu.
"Kau sekarang hendak mencari ayahmu ke

mana?" tanya Pengemis Binal kemudian.
"Aku tak tahu," jawab Swani, pelan sekali.
"Kalau begitu, ikut aku saja. Aku akan
meminta bantuan anak buahku untuk turut
mencari ayahmu."
"Ah! Kau baik sekali. Suro."
"Jangan terlalu memuji. Untuk gadis se-
cantik kau, apa pun akan kulakukan,"
Suropati menggandeng tangan Swani. Dan,
gadis itu pun menurut saja ketika Suropati men-
gajak memasuki keramaian kota Kadipaten Bumi-
raksa. Berjalan bersama gadis cantik, Suropati
lupa pada tujuannya semula yang hendak pergi
ke puncak Bukit Pangalasan.

5

Resi Raga Pamungkas berlari bagai dikejar
setan. Walau luka di bahu kirinya sudah tak
mengucurkan darah lagi, tapi pedihnya masih te-
rasa menyengat. Pertapa ini menggigit bibir, beru-
saha menahan sakit. Ketika tubuhnya mulai
menggigil dan keringat deras mengucur, langkah-
nya berhenti.
"Agaknya, Pedang Hijau yang melukaiku
mengandung racun...," desah pertapa bertubuh
kurus kecil ini, "Aku harus bertindak cepat sebe-
lum kerja jantungku terganggu."
Segera Resi Raga Pamungkas mengambil
obat pulung dari lipatan kain jubahnya. Sebutir
ditelannya. Sebutir lagi diremas untuk kemudian

diborehkan pada luka di bahu kiri. Lalu dengan
kain sobekan lengan jubahnya, luka akibat ber-
tempur dengan Somagatra itu dibalutnya.
"Aku yakin, pemuda yang bernama Soma-
gatra itu terus mengejarku. Aku harus menghin-
darinya sampai dapat memastikan siapa yang te-
lah menyebar kabar bohong itu...," kata batin Resi
Raga Pamungkas kemudian. "Kurasa tempat yang
penting aman untuk bersembunyi adalah kota
yang ramai. Walau nanti aku kepergok, Somaga-
tra tak akan berani berbuat macam-macam. Ka-
rena, dia tentu takut perbuatannya akan diketa-
hui anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
lainnya."
Merasa mendapat gagasan bagus, Resi Ra-
ga Pamungkas melanjutkan langkahnya dengan
berlari menuju kota Kadipaten Bumiraksa, yang
memang tak seberapa jauh dari Bukit Ranuglagah
tempat pertapaannya.
Baru saja melewati pintu gerbang, Resi Ra-
ga Pamungkas bersorak girang dalam hati. Di de-
pan sana dari arah berlawanan, dia melihat seo-
rang pemuda tampan membawa sebatang tongkat
butut tengah berjalan bersama seorang gadis can-
tik berkebaya hijau.
"Hmm.... Kalau tidak salah aku melihat,
remaja tampan itu tentu Suropati alias Pengemis
Binal. Kebetulan! Aku bisa meminta perlindun-
gannya...," gumam Resi Raga Pamungkas, seraya
mempercepat langkahnya.
Sementara itu, Suropati yang sedang berja-
lan bersama Swani jadi terkejut melihat lelaki tua

berjubah itu berhenti melangkah. Lebih terkejut
lagi Swani. Gadis yang tampak lemah itu sampai
berlari ketakutan. Ketika Suropati hendak menge-
jar.
"Tolong aku, Suro...!"
Terpaksa Pengemis Binal mengurungkan
niatnya. Dibiarkannya gadis itu, karena lebih
mementingkan orang yang minta pertolongan.
Saat mengalihkan pandangan, remaja tampan ini
berseru kaget. Lelaki berjubah yang baru datang
tampak jatuh tersungkur di tanah sambil menge-
rang kesakitan.
"Kau kenapa, Pak Tua?" tanya Suropati se-
raya berjongkok di dekat lelaki tua berjubah yang
memang Resi Raga Pamungkas.
"Aduh! Tolong aku, Suro! Aku terserang ra-
cun!" keluh sang resi sambil mendekap balutan
luka di bahu kirinya. Rupanya, obat pulung yang
digunakan untuk mencegah menjalarnya racun
tak manjur.
Ketika meraba, Suropati merasakan suhu
tubuh lelaki tua ini meninggi. Cepat dibopongnya
tubuh Resi Raga Pamungkas lalu dibawanya ber-
lari ke Kuil Saloka yang menjadi tempat tinggal
para pengemis kota Kadipaten Bumiraksa.

***

Tanpa berkata apa-apa Suropati membuka
balutan luka sang resi. Walau tidak seberapa le-
bar, tapi jelas menunjukkan pengaruh racun. Ku-
lit di sekitar luka tampak melepuh, berwarna biru

kehitaman.
Sigap sekali Pengemis Binal menotok bebe-
rapa jalan darah di tubuh Resi Raga Pamungkas.
Lalu, digedornya punggung pertapa itu.
"Hoekkh...!" Resi Raga  Pamungkas lang-
sung muntah darah berwarna kehitaman.
"Kendorkan seluruh urat-urat sarafmu,
Kek. Aku akan menyalurkan hawa mumi...," pinta
Pengemis Binal seraya menempelkan dua telapak
tangannya ke dada Resi Raga Pamungkas yang
duduk bersandar di dinding.
Sepeminum teh kemudian, wajah pucat
Resi Raga Pamungkas berangsur-angsur berubah
merah sehat. Sementara luka di bahu kirinya
tampak melelehkan cairan kental berwarna hijau.
"Cukup, Suro! Kukira, racun di tubuhku
telah berhasil keluar...," ujar sang resi.
Suropati menarik telapak tangannya dari
dada pertapa itu.
"Untung racunnya belum menyerang jan-
tungmu, Kek...," desah si remaja. "Kau siapa,
Kek? Dan, kenapa bisa sampai terluka seperti
ini?"
Resi Raga Pamungkas geleng-geleng kepa-
la.
"Kalau kau belum mengenalku, kenapa
menolongku?" tanyanya. Lelaki tua ini agaknya
ingin tahu isi hati Pengemis Binal.
"Kau datang ke hadapanku dalam keadaan
terluka, dan minta tolong. Lalu apa aku harus di-
am saja?"
Resi Raga Pamungkas tersenyum.

"Semoga Hyang Widhi membalas kebai-
kanmu, Suro...," doanya. Pertapa ini lalu memba-
lut kembali luka di bahu kirinya.
"Kau belum bercerita siapa dirimu? Dan,
bagaimana bisa terluka...?" pinta Pengemis Binal.
"Aku seorang pertapa yang tinggal di Bukit
Ranuglagah. Namaku Raga Pamungkas...."
"Raga Pamungkas?" potong Suropati. "Ka-
lau kau tinggal di Bukit Ranuglagah yang tidak
seberapa jauh dari kota Kadipaten, Bumiraksa
ini, kenapa aku belum pernah mendengar nama-
mu?"
"Di Bukit Ranuglagah, aku memang baru
tinggal beberapa pekan. Sebenarnya, aku berasal
dari Kerajaan Saloka Medang. Aku sama sekali
tak menyangka bila kehadiranku ada yang tak
menyukai. Tapi siapa orangnya, aku tak tahu."
"Maksud Kakek?"
"Ada orang jahat yang menyebarkan kabar
bahwa aku akan mewariskan sebuah senjata pu-
saka yang bernama Pusaka Pedang Gaib. Padahal
aku sendiri tak tahu-menahu perihal senjata pu-
saka itu. Jangankan memiliki, mendengar na-
manya saja baru kali itu."
"Lalu, kenapa Kakek bisa terluka?" kejar
Pengemis Binal, mulai tertarik pada cerita Resi
Raga Pamungkas.
"Tadi siang, di puncak Bukit Ranuglagah
menjadi ajang pertumpahan darah. Ada seorang
pemuda yang memenangkan pertarungan. Dia
kemudian memintaku untuk menyerahkan Pusa-
ka Pedang Gaib. Tentu saja aku tidak bisa menu-

ruti keinginannya. Dia lalu memaksaku sampai
terjadi pertempuran. Aku kalah dan terluka.
Sampai akhirnya, aku bertemu denganmu," papar
sang resi.
"Siapa pemuda itu?"
"Dia salah seorang anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti. Mungkin kau mengenal-
nya. Dia memperkenalkan diri bernama Somaga-
tra."
"Gatra?"  kejut Pengemis Binal. Kontan in-
gatannya tertuju pada peristiwa di kedai nasi
yang mengawali perjumpaannya dengan Senopati
Guntur Selaksa. "Apakah orangnya berkumis teb-
al dan umurnya sekitar empat puluh tahun?"
Resi Raga Pamungkas menggeleng. "Tadi
sudah kubilang, dia seorang pemuda. Dia tidak
berkumis dan umurnya sekitar dua puluh lima
tahun. Namanya bukan cuma Gatra, tapi Soma-
gatra."
"Somagatra...," gumam Pengemis Binal,
mencoba mengingat-ingat. "Bagaimana kau bisa
memastikan kalau dia anggota Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti! Sedangkan Kakek terluka
oleh senjata tajam? Seluruh anggota Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti pantang mengguna-
kan senjata tajam kalau tidak dalam keadaan ter-
paksa."
"Aku juga tahu. Tapi pemuda yang berna-
ma Somagatra juga membawa tongkat berkepala
naga. Sedangkan pedangnya, aku dapat memasti-
kan kalau itu milik Pendekar Pedang Hijau.
Mungkin sekali Somagatra berhasil merampas-

nya."
"Somagatra...," gumam Pengemis Binal lagi.
"Anggota Perkumpulan Tongkat Sakti berjumlah
ribuan. Aku tidak bisa mengenal mereka satu per-
satu."
"Kau harus membantu memecahkan per-
soalan ini, Suro. Sekaligus, untuk memulihkan
nama baik perkumpulanmu.''
Suropati mengangguk lemah. Keningnya
berkerut. Tanpa sadar remaja tampan berambut
panjang tergerai ini menggaruk kepalanya yang
tak gatal.
"Eh, bagaimana kau tadi bisa tahu kalau
aku Suropati. Sedangkan, kita belum pernah ber-
temu?" tanya si pemuda agak menyimpang dari
arah pembicaraan.
"Nama Suropati alias Pengemis Binal sudah
terkenal di rimba persilatan. Hanya orang dungu
atau kurang pergaulan saja yang belum menden-
gar namamu," jawab Resi Raga Pamungkas, terse-
lip sebuah pujian.
"Jadi, kau mengenal ciri-ciriku dari pembi-
caraan orang?"
Resi Raga Pamungkas mengangguk.
"Hmmm.... Rupanya aku sudah menjadi orang
termasyhur...," gumam Pengemis Binal. "Pantas
gadis bernama Swani yang kujumpai tadi sangat
senang bertemu denganku. Aku memang orang
terkenal...."
Bibir remaja konyol ini menyungging se-
nyum. Tapi, wajahnya mendadak berubah kelam.
"Aku tidak tahu kenapa Swani tiba-tiba

berlari ketika bertemu Resi Raga Pamungkas? Dia
tentu mempunyai sebuah urusan dengan pertapa
ini, sehingga membuatnya sangat terkejut, dan
menghindar, " gumamnya lagi sambil merunduk
dan manggut-manggut kepada Resi Raga Pa-
mungkas.
"Kenalkah kau pada seorang gadis yang
bernama Swani, Kek?"
"Swani? Swani siapa?" kening sang resi
berkerut.
"Gadis yang berjalan bersamaku ketika kau
datang meminta pertolongan."
Resi Raga Pamungkas tampak berpikir.
"Tidak..., tidak! Aku tidak mengenal gadis itu.
Memangnya ada apa, Suro?" jawabnya kemudian,
seraya bertanya.
"Tidakkah kau melihat keanehan pada diri
gadis yang kukatakan tadi? Dia berlari ketika kau
datang. Sepertinya dia sengaja menghindar."
"Ah! Kita kesampingkan dulu perihal gadis
itu, Suro. Yang penting sekarang adalah, bagai-
mana kita bisa mengetahui siapa orang yang telah
menyebar kabar bohong perihal Pusaka Pedang
Gaib. Dan, apa tujuan orang itu."
"Ya..., ya! Aku pasti membantumu, Kek.
Akan kucari pula Somagatra yang telah melukai-
mu."

***

Cahaya bulan sepenggal tak kuasa me-
nembus tebalnya awan. Kerlip bintang hanya be-

rupa titik-titik kecil yang timbul-tenggelam. War-
na hitam memenuhi langit. Gelap-pekat.
Walau malam sangat kelam dan dingin
menusuk tulang, keramaian kota Kadipaten Bu-
miraksa terus berlangsung. Di jalan, masih ba-
nyak orang berlalu-lalang dengan urusan masing-
masing. Lampu-lampu kios yang bersinar terang,
membuat gelap tak lagi berkuasa.
Sementara, di sebuah rumah pelacuran
yang terletak di ujung utara kota, belasan lelaki
tengah bersuka ria menenggak arak. Tiada henti
mereka membuka suara kasar. Tawa genit pada
wanita nakal pun membuat suasana semakin ma-
rak.
Namun, suara-suara yang terdengar lang-
sung terhenti ketika.... 
Brakkk!
Seorang pemuda berpakaian serba hitam
tiba-tiba menggebrak meja.
"Aku ingin kalian semua memasang telinga
baik-baik!" ujarnya seraya bangkit berdiri. "Aku
mempunyai sebuah kabar rahasia. Tapi, aku mau
berbaik hati untuk menyampaikannya kepada ka-
lian."
Semua mata tertuju pada sosok pemuda
yang sedang bicara. Wajah pemuda berumur seki-
tar dua puluh tahun itu dihiasi kumis dan jenggot
halus terawat rapi. Kulitnya putih. Dan di pung-
gungnya terikat sebuah benda panjang yang di-
bungkus kain hijau.
"Kalian tentu sudah mendengar berita ke-
hebatan Pusaka Pedang Gaib milik Resi Raga Pa-

mungkas yang tinggal di Bukit Ranuglagah," lan-
jut si pemuda. "Tadi siang, pertapa itu tidak jadi
mewariskan senjata pusakanya. Karena, tidak
ada orang yang dianggap cocok. Tapi, tahukah ka-
lian bila Resi Raga Pamungkas sesungguhnya
adalah manusia culas yang  hendak mengadu-
domba kaum rimba persilatan? Setelah terjadi
pertumpahan darah di puncak Bukit Ranuglagah,
dia malah melarikan diri dengan membawa senja-
ta pusakanya. Aku yang mengetahui kebusukan
pertapa itu lalu mengejarnya. Karena kecerdikan-
nya, dia bisa  meloloskan diri. Tapi, aku berhasil
merampas Pusaka Pedang Gaib miliknya...."
"Bocah gemblung! Kau jangan bicara nga-
wur di tempat ini!" potong seorang lelaki brewo-
kan bertubuh tambun. 
"Siapa yang mau percaya pada bocah ingu-
san macam kau?!" sambung lelaki lain.
Brakk...!
Mendadak, pemuda berpakaian serba hi-
tam menggebrak lagi meja di hadapannya. Kali ini
daun meja sampai pecah dan keempat kakinya
patah. Perbuatannya seperti sengaja memamer-
kan kekuatan tenaga dalamnya.
"Bodoh! Aku tidak akan menipu kalian se-
mua!" ujar si pemuda dengan suara lebih lantang.
"Apa kalian tak percaya kalau aku telah berhasil
merampas Pusaka Pedang Gaib dari tangan Resi
Raga Pamungkas?!"
"Apa buktinya? Dan, untuk apa kau pa-
mer-pamer segala?" tanya seorang pemuda ber-
muka bopeng yang duduk di sudut ruangan.

Pemuda berpakaian serba hitam menebar
pandangan sebentar. Lalu, dilepasnya ikatan
benda panjang terbungkus kain hijau di pung-
gungnya. Ternyata, benda itu sebatang pedang.
Ketika pedang dihunuskan, terbelalaklah semua
mata yang memandang. Maka pedang penuh uki-
ran dan memancarkan cahaya merah. Gagangnya
berbentuk kepala naga.
"Inilah Pusaka Pedang Gaib...," kata pemu-
da berpakaian serba hitam itu sambil menggerak-
kan sedikit pedang di tangan kanannya.
Wuusss...!
Crass!
"Heh...?!"
Ruangan jadi gaduh bernada terkejut keti-
ka seberkas cahaya merah yang berasal dari bilah
pedang melesat menghantam dinding, hingga
mengepulkan asap seperti tersiram air panas.
"Masihkah kalian semua tidak percaya pa-
da perkataanku?" tanya si pemuda.
Sekali lagi pemuda tampan berkulit putih
ini menggerakkan pedangnya. Sinar merah kem-
bali melesat, menimbulkan suara menderu. 
Wusss...!
Blarrr...! 
Kali ini timbul suara ledakan ketika seber-
kas cahaya merah yang lebih besar menghantam
dinding di sisi kiri si pemuda.
Suasana jadi bertambah gaduh saat dind-
ing yang terkena luncuran cahaya merah berlu-
bang sebesar gentong!
"Pusaka Pedang Gaib...," desis beberapa

orang yang berada di ruangan. 
"Benar-benar sebuah senjata pusaka yang
hebat..," desis yang lain. 
Semua orang membelalakkan mata dengan
mulut ternganga. 
"Pusaka Pedang Gaib ini akan menjadi mi-
lik salah seorang dari kalian," lanjut si pemuda. 
"Benarkah itu?" tanya beberapa lelaki, ber-
samaan.
"Benar!" jawab si pemuda sambil menya-
rungkan bilah pedangnya kembali. "Tapi, dengan
satu syarat." 
"Apa?" tanya beberapa lelaki lagi. 
"Tadi sudah kuceritakan tentang kebusu-
kan Resi Raga Pamungkas. Cari dia sampai dapat.
kepalanya akan kutukar dengan Pusaka Pedang
Gaib yang kubawa!" 
"Bagaimana kami bisa yakin kalau kau ti-
dak akan mengingkari janji?" tanya pemuda ber-
muka bopeng yang duduk di sudut ruangan.
"Dua hari lagi pada saat yang sama seperti
ini, aku akan kemari."
"Benar begitu?" cecar pemuda bermuka
bopeng.
"Aku tidak memintamu untuk menuruti
kemauanku. Tapi, aku akan menepati apa yang
telah kukatakan!"
Usai berkata, pemuda berpakaian serba hi-
tam mengeluarkan beberapa keping uang emas
dari saku bajunya. Begitu tangannya mengibas,
sinar-sinar keemasan melesat ke dinding!
Slap...!

Lima keping uang emas menancap di ba-
wah lubang  di dinding, membentuk garis tegak
lurus. Untuk ke sekian kalinya, orang-orang yang
berada di ruangan dibuat terperangah.
"Uang itu sebagai ganti kerusakan di si-
ni...," ujar pemuda berpakaian serba hitam, se-
raya ngeloyor pergi.
Sepeninggal si pemuda suara gaduh me-
landa ruangan. Beberapa lelaki sibuk menyusun
rencana bersama teman-temannya. Mereka lupa
pada arak yang masih tersedia di atas meja. Se-
mentara yang sudah telanjur masuk seperti men-
dapat kekuatan baru. Otak mereka menjadi jernih
kembali. Belasan wanita nakal jadi merengut ka-
rena tak dipedulikan.

***

"Tunggu dulu, Orang Asing!" 
Seorang pemuda berpakaian serba hitam
menghentikan langkahnya. Ketika mendengar te-
riakan yang dituju untuk dirinya. Di balik kere-
mangan, matanya menatap tajam seorang lelaki
berumur sekitar tiga puluh tahun berpakaian
ringkas hijau-kuning. Rambutnya yang hitam
panjang diikat sehelai sutera merah.
"Ada urusan apa kau memanggilku?" seli-
dik pemuda berpakaian serba hitam.
"Namaku Danar Pangeran dan bergelar
Pendekar Pedang Hijau. Tapi, aku tak mungkin
memakai gelarku lagi karena ada orang culas
yang telah merampas senjata andalanku...," tutur

lelaki yang bahunya dibalut. Suaranya lembut
dan sopan. Dia tak lain memang Danar Pangeran
yang bergelar Pendekar Pedang Hijau. Balutan di
bahunya diakibatkan luka oleh sambaran pe-
dangnya sendiri, yang dirampas Somagatra di
puncak Bukit Ranuglagah.   
"Lalu, apa urusannya denganku?" tanya si
pemuda berpakaian serba hitam, dengan kening
berkerut.
"Aku baru datang dari rumah pelacuran
yang terletak di ujung utara kota ini. Di sana,
orang masih ramai membicarakan seorang pemu-
da berpakaian serba hitam yang membawa se-
buah senjata pusaka yang bernama Pusaka Pe-
dang Gaib. Menurut pembicaraan yang kudengar,
pemuda itu bersedia menukarkan pedang yang
dibawanya kepada orang yang dapat menyerah-
kan kepala Resi Raga Pamungkas....," tutur Danar
Pangeran, lebih panjang. "Aku menduga, pemuda
yang membawa Pusaka Pedang Gaib adalah kau,
bila menilik pakaianmu yang serba hitam. Keda-
tanganku hanya ingin menanyakan, apakah kau
benar-benar akan menyerahkan Pusaka Pedang
Gaib kepada orang yang berhasil menyerahkan
kepala Resi Raga Pamungkas?"
"Aku tak perlu menjawabnya. Tanyalah pa-
da dirimu sendiri, apakah orang seperti aku ini
bisa dipercaya atau tidak."
"Ha ha ha...!"
Mendengar nada ketus bicara pemuda ber-
pakaian serba hitam, Danar Pangeran tertawa
bergelak.

"Kau sepertinya menyimpan kesumat pada
Resi Raga Pamungkas, Orang Asing! Tapi, terus
terang aku tak percaya kau bersedia menukar
Pusaka Pedang Gaib dengan kepala pertapa kurus
kecil itu!" lanjut Pendekar Pedang Hijau.
"Percaya atau tidak, terserah kau. Aku tak
punya waktu untuk melayani orang usil seperti-
mu!"
Pemuda berpakaian serba hitam berbalik
untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, Danar Pan-
geran meloncat tinggi dan mendarat di hadapan-
nya.
"Kepandaian murahan tak perlu dipamer-
kan di hadapanku!" ejek pemuda berpakaian ser-
ba hitam.
"Ha ha ha...!" Danar Pangeran tertawa ber-
gelak. "Aku bukan bermaksud pamer kepandaian.
Aku hanya ingin menanyakan beberapa hal lagi
kepadamu. Karena semakin lama kulihat, dirimu
mempunyai daya tarik aneh.... Katakan siapa
kau?! Dan, bagaimana bisa mempunyai dendam
kesumat pada Resi Raga Pamungkas?"
"Kau tidak perlu tahu!" bentak pemuda
berpakaian serba hitam.
Danar Pangeran tertawa bergelak lagi. "Kau
tak mau memperkenalkan diri tak jadi apa. Asal,
tinggalkan pedang yang kau sandang di pung-
gungmu."
"Bangsat!" maki pemuda berpakaian serba
hitam seraya menghujamkan kepalan tangan ke
muka Danar Pangeran.
Mudah saja Danar Pangeran berkelit. Dan

sebelum pemuda yang sudah naik pitam itu men-
gawali lagi serangannya, Pendekar Pedang Hijau
meloncat dua tombak ke belakang.
"Sebenarnya aku tak hendak membuat
permusuhan denganmu, Orang Asing. Tapi bila
kau memaksa, aku pun bisa bersikap keras!"
dengus Danar Pangeran.
"Kau memakai gelar pendekar. Namun ke-
lakuanmu sungguh sangat memuakkan!" timpal
pemuda berpakaian serba hitam. "Kau terlalu
mencampuri urusan orang lain. Sifat busukmu
nampak jelas. Dan aku tak bisa menuruti keingi-
nanmu, untuk menyerahkan Pusaka Pedang Gaib
kecuali bila kau pergunakan untuk bunuh diri!"
Danar Pangeran mendengus marah men-
dengar kata-kata pemuda di hadapannya. Segera
pedangnya yang terselip di pinggangnya dilo-
loskan.
"Walau pedang ini pedang biasa yang tak
mempunyai kesaktian apa-apa, tapi cukup mam-
pu untuk merobek mulutmu!" ancam Danar Pan-
geran sambil menyorongkan pedang ke muka pe-
muda berpakaian serba hitam.
"Ucapanmu terbalik. Justru aku yang akan
merobek mulutmu, Pendekar Gadungan!"
Cepat sekali pemuda berpakaian hitam itu
menghunus Pusaka Pedang Gaib yang tersandang
di punggung. 
"Heh?!"
Danar Pangeran terperangah. Tanpa sadar
pemuda bersifat jumawa ini melangkah mundur
setindak, ketika melihat bilah Pusaka Pedang

Gaib di tangan pemuda berpakaian serba hitam
yang memancarkan cahaya merah menggidikkan
dan sangat menyilaukan mata. Walau Danar Pan-
geran memiliki senjata mustika yang bernama Pe-
dang Hijau, tapi pamornya tidak sehebat itu.   
"Aku akan menjadi raja pedang yang tak
tertandingi bila memiliki Pusaka Pedang Hijau...,"
gumam Danar Pangeran dalam hati. "Tapi, mam-
pukah aku merebutnya dari tangan pemuda asing
itu?"
Danar Pangeran tercenung di tempatnya.
Sementara pemuda berpakaian serba hitam tak
mau membuang-buang waktu lagi. Segera bilah
pedangnya digerakkan ke samping kanan.
Blarrr!
Wuss...!
Dibarengi sebuah ledakan, selarik sinar
merah meluncur deras ke arah Danar Pangeran!
Betapa terkejutnya Pendekar Pedang Hijau.
Segera pedangnya diputar untuk membentengi di-
ri.
Tras!
"Heh...?!"
Danar Pangeran kembali terkejut. Ternyata
pedangnya terpotong menjadi tiga bagian. Dan
sebelum dia menyadari keadaan, tiga larik sinar
merah meluncur lagi! 
"Uts...!"
Susah-payah Danar Pangeran membuang
diri, menghindari tiga larik sinar merah yang da-
tang beruntun. Tak mau mendapat kesulitan le-
bih  banyak, begitu bangkit segera diterjangnya

pemuda berpakaian serba hitam walau hanya
bersenjata sisa potongan pedangnya.
Pertempuran seru segera berlangsung. Un-
tunglah tempatnya sudah di pinggir kota, sehing-
ga tak mengundang perhatian orang, yang ke-
mungkinan bisa menjadi korban kedahsyatan Pu-
saka Pedang Gaib.
"Aku benar-benar tak punya waktu untuk
main-main denganmu, Pendekar Gadungan!" de-
sis pemuda berpakaian serba hitam seraya men-
gempos tubuh, menjauhi ajang pertempuran.
Menyangka lawan hendak melarikan diri,
Danar Pangeran segera mengejar. Namun, du-
gaannya keliru. Pemuda berpakaian hitam ternya-
ta malah menunggu luncuran tubuhnya. Ketika
sudah dekat, dia berbalik langsung ditiupnya bi-
lah senjata pusaka di tangannya!
Wuusss.,.!
Seberkas cahaya merah yang amat meng-
gidikkan berpendar. Danar Pangeran yang belum
bisa mengendalikan gerak tubuhnya terkejut se-
tengah mati. Akibatnya....
"Aaa...!"
Jeritan panjang Danar Pangeran membelah
kesunyian malam. Tubuhnya jatuh berdebam ke
tanah dalam keadaan terbakar!
"Itulah akibatnya bila terlalu mencampuri
urusan orang!" desis pemuda berpakaian serba
hitam ini. Setelah menyarungkan pedangnya
kembali, ditinggalkannya Danar Pangeran yang
masih menjerit-jerit melawan api yang menjilati
tubuhnya....


6

Wuuusss...!
Hembusan angin berhawa dingin menyen-
gat tiba-tiba menerpa tubuh Danar Pangeran. Api
yang menjalar di tubuh pemuda naas ini padam
seketika. Tapi, dia sudah tak kuasa lagi berdiri.
Dalam keadaan telentang, Pendekar Pedang Hijau
masih dapat melihat kehadiran seorang remaja
tampan berpakaian putih penuh tambalan ber-
sama seorang kakek berjubah putih.
"Suropati...," desis Danar Pangeran seraya
mengucek matanya yang hampir lengket terma-
kan api.
"Ya. Aku memang Suropati. Aku datang
bersama Resi Raga Pamungkas," kata remaja
tampan berpakaian putih penuh tambalan yang
memang Pengemis Binal. 
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti inilah yang telah memadamkan api yang
membakar tubuh Danar Pangeran. Disertai ilmu
'Pukulan Salju Merah' Suropati mengibaskan te-
lapak tangannya untuk membuat hembusan an-
gin berhawa dingin. 
"Aku..., aku Danar Pangeran...," kata Pen-
dekar Pedang Hijau, terbata-bata. 
"Ya. Aku masih dapat mengenalimu," sahut
Pengemis Binal seraya memeriksa keadaan Danar
Pangeran.
Mengenaskan sekali keadaan pemuda yang

terkena kedahsyatan Pusaka Pedang Gaib itu. Pa-
kaian yang dikenakannya musnah terbakar. Kulit
di sekujur tubuhnya melepuh. Kepalanya yang
tanpa rambut tampak mengelupas sebagian ku-
litnya. Wajahnya pun rusak, nyaris tak dapat di-
kenali.
Resi Raga Pamungkas berjongkok di sisi ki-
ri Danar Pangeran. Berkali-kali dia menyebut as-
ma Sang Penguasa Tunggal.
"Apa yang terjadi, Danar? Bagaimana kau
bisa seperti ini?" tanya Pengemis Binal.
Sorot mata remaja tampan ini menggam-
barkan kekhawatiran. Walau Danar Pangeran di-
kenal sebagai pendekar berangasan tapi tetap be-
raliran putih. Suropati pun mengenalnya. Walau-
pun tak begitu akrab. Dan Pengemis Binal me-
nyayangkan apabila Danar Pangeran keburu me-
ninggal.
"Aku tahu umurku tidak lagi panjang...,"
tutur Danar Pangeran. "Maukah kau menuruti
permintaanku, Suro...?"
"Ya. Kalau bisa, aku pasti akan melu-
luskannya...," sahut Suropati. Keharuan menye-
limuti hatinya. Dia tahu benar, nyawa Danar
Pangeran tak mungkin ditolong lagi.
"Aku minta kau merebut kembali Pedang
Hijau di tangan Somagatra...," pinta Danar Pange-
ran, menguatkan diri. "Daripada jatuh ke tangan
orang tak bertanggung jawab, musnahkan saja
pedang itu...."
"Ya. Aku akan merebut kembali Pedang Hi-
jau milikmu. Aku pun telah tahu kejahatan So-

magatra."
Dengan susah-payah Danar Pangeran me-
malingkan wajahnya untuk dapat menatap Resi
Raga Pamungkas.
"Aku tadi bertempur dengan seorang pe-
muda berpakaian serba hitam. Dia membawa Pu-
saka Pedang Gaib. Hati-hatilah kau, Resi Raga
Pamungkas.... Pemuda itu menginginkan kema-
tianmu. Siapa yang dapat memenggal kepalamu,
akan diberi senjata pusaka yang dibawanya....
Maafkan aku. Res.... Res...."
Sampai di situ ucapan Danar Pangeran
terhenti. Kepalanya terkulai ke samping kanan.
Suropati segera mengatupkan mulutnya yang
ternganga.
"Hyang Widhi Maha  Pengampun...," sebut
Resi Raga Pamungkas.

***

Pengemis Binal dan Resi Raga Pamungkas
telah mengubur jenazah Danar Pangeran di tepi
sungai yang cukup jauh dari pusat keramaian ko-
ta Kadipaten Bumiraksa.
"Untunglah kita tadi masih sempat men-
dengar penuturan Danar Pangeran...," ujar Resi
Raga Pamungkas ketika mereka kembali mema-
suki keramaian kota.
Pengemis Binal mengangguk lemah.
"Ternyata, Pusaka Pedang Gaib itu ada...,"
katanya, pelan sekali.
"Aku tidak mendengar bicaramu, Suro," be-

ritahu Resi Raga Pamungkas.
"Benar katamu, Kek. Kita beruntung masih
sempat mendengar penuturan Danar Pangeran.
Kita jadi tahu kalau Pusaka Pedang Gaib ternyata
memang ada. Entah, siapa pemiliknya. Tapi yang
jelas, senjata mustika itu sekarang dibawa pemu-
da yang telah membunuh Danar Pangeran. Menu-
rutnya, pemuda itu berpakaian serba hitam. Na-
mun, kita tak bisa menentukan, siapa dia. Kare-
na, ada banyak pemuda yang juga suka memakai
pakaian serba hitam...," jelas Suropati.
"Menurut Danar Pangeran, pemuda itu
hendak menukar Pusaka Pedang Gaib yang diba-
wa dengan kepalaku. Aneh...," desah Resi Raga
Pamungkas mengerutkan kening. "Sepertinya pe-
muda itu menyimpan dendam kesumat kepada-
ku. Padahal, aku merasa tidak punya musuh?
Sudah hampir dua puluh tahun aku mengasing-
kan diri dengan menjadi seorang pertapa...."
Suropati menggaruk-garuk kepala. Agak-
nya kalau sedang bingung remaja konyol ini suka
berbuat demikian.
"Benar katamu, Kek...," kata si pemuda
kemudian. "Peristiwa ini memang aneh. Kalau
pemuda itu benar-benar ingin membunuhmu, ke-
napa dia tidak langsung saja mencarimu. Bukan-
kah dia membawa Pusaka Pedang Gaib yang ko-
non memiliki kesaktian luar biasa?"        
"Ya. Itulah anehnya," sambut Resi Raga
Pamungkas. "Aku menduga, orang yang menye-
barkan kabar bohong bahwa aku akan mewa-
riskan Pusaka Pedang Gaib adalah pemuda yang

telah membunuh Danar Pangeran."
"Aku juga menduga demikian," tegas Pen-
gemis Binal. "Setelah tahu kau selamat dari keja-
ran orang yang menginginkan Pusaka Pedang
Gaib, pemuda itu membuat ulah baru. Jelasnya,
dia ingin membunuhmu dengan meminjam tan-
gan orang lain. Atau paling tidak, ingin mem-
buatmu menjadi repot karena dikejar-kejar
orang."
Resi Raga Pamungkas mengangguk-
angguk. "Sudah mulai terkuak sekarang tabir ten-
tang Pusaka Pedang Gaib...," lanjut Pengemis Bi-
nal. "Untuk membuat keadaan menjadi jernih, ki-
ta harus segera menemukan pemuda yang mem-
bawa senjata pusaka itu. Termasuk, mencari So-
magatra yang telah menyimpang."
Suropati dan Resi Raga Pamungkas  terus
berjalan memasuki kota Kadipaten Bumiraksa.
Karena hari sudah lewat tengah malam, suasana
jadi sunyi.
Suropati lantas mengajak Resi Raga Pa-
mungkas untuk beristirahat di Kuil Saloka. Perja-
lanannya  yang semula untuk mencari Somagatra
akan dilanjutkan keesokan harinya. Namun be-
lum sampai di  tempat tujuan.
Serrr...!
"Heh...?!"
Suropati dikejutkan oleh suara desir halus
yang meluncur dari arah belakang! Sejenak ma-
tanya mencari, lalu....
"Awas...!" teriak Pengemis Binal seraya me-
nyambar tubuh Resi Raga Pamungkas untuk di-

bawa meloncat tinggi.
Tadi ketika melirik, Suropati sempat meli-
hat beberapa sinar keperakan yang meluncur de-
ras. Untunglah dia cepat bertindak, sehingga si-
nar-sinar keperakan yang tak lain jarum-jarum
beracun hanya menyambar angin.
Begitu kaki mereka menginjak tanah kem-
bali, di tempat itu telah berdiri sepuluh orang le-
laki bersenjata trisula yang langsung mengepung.
"Membokong orang bukan perbuatan ksa-
tria!" sindir Pengemis Binal.
"Kami dari Partai Trisula Sakti bukan un-
tuk berurusan denganmu, Suropati...," kata pe-
muda bermuka bopeng di antara pengepung.
"Kami hanya hendak berurusan dengan Resi Raga
Pamungkas...."
Bersama sembilan temannya, pemuda bo-
peng itu memang sengaja mencari Raga Pamung-
kas setelah tahu kalau kepala pertapa itu dapat
ditukar dengan Pusaka Pedang Gaib.
"Hmm.... Tak pernah kusangka bila dalam
tubuh Partai Trisula Sakti bercokol manusia yang
tak bisa dipegang kata-katanya. Tidak hendak be-
rurusan denganku, tapi kenyataannya aku dis-
erang jarum beracun...," sindir Pengemis Binal la-
gi.
"Aku Bagus Kembara. Karena masih me-
mandang mukamu, maka kuminta kau menying-
kir dari tempat ini, Suropati...," ujar pemuda bo-
peng dengan sikap jumawa.
"Ketahuilah, Bagus Kembara.... Resi Raga
Pamungkas telah menjadi sahabat baikku. Saking

baiknya, sampai-sampai Resi Raga Pamungkas
menganggap urusannya adalah urusanku juga.
Maka dari itu, aku tak bisa meninggalkan pertapa
di sampingku ini. Apalagi sedang berhadapan
dengan kalian yang sengaja datang membawa
senjata. Dan tentunya, kalian mempunyai mak-
sud tak baik."
Sebelum Bagus Kembara menyahuti uca-
pan Pengemis Binal, Resi Raga Pamungkas unjuk
diri.
"Anak muda! Agaknya kau terkena hasutan
orang...," katanya kepada Bagus Kembara.
"Aku tidak kena hasut, Pak Tua! Aku sadar
apa yang sedang kulakukan! Aku tahu, kau ada-
lah penjahat culas yang bersembunyi di balik ju-
bah putihmu."
"Apa maksudmu, Anak Muda?" tanya Resi
Raga Pamungkas, tersinggung.
"Kabar yang santer terdengar mengatakan
kalau kau hendak mewariskan Pusaka Pedang
Gaib siang tadi di puncak Bukit Ranuglagah. Ter-
nyata, kau bukan hanya ingkar janji. Kau pun
punya maksud buruk hendak membuat kericu-
han di rimba persilatan."
Terkejut Resi Raga Pamungkas mendengar
penuturan Bagus Kembara.
"Hyang Widhi Maha Pengampun...," sebut-
nya. "Siapa yang mengatakan hal itu, Anak Mu-
da?"
Bagus Kembara tersenyum penuh ejekan.
"Orang yang berhasil merampas Pusaka
Pedang Gaib dari tanganmu," jawabnya.

Resi Raga Pamungkas dan Suropati saling
pandang.
"Rupanya, orang yang memusuhimu itu
sangat pandai membuat kabar bohong, Kek...,"
Kata Pengemis Binal. Lalu, pandangannya beralih
pada orang-orang  Partai Trisula Sakti, "Kalian
semua sudah kena hasutan. Resi Raga Pamung-
kas sama sekali tidak tahu-menahu tentang Pu-
saka Pedang Gaib. Ada orang yang memusuhinya.
Dia ingin meminjam tangan kalian untuk mem-
bunuh pertapa yang tak bersalah ini."
"Ha ha ha...!" Bagus Kembara tertawa ber-
gelak. "Tangan kami dipinjam pun tak mengapa.
Bukankah Pusaka Pedang Gaib imbalannya?"
Usai berkata, Bagus Kembara memberi
aba-aba kepada kesembilan temannya untuk me-
nyerang Resi Raga Pamungkas. Ujung-ujung tri-
sula tajam pun meluruk dari berbagai penjuru.
Tentu saja Suropati tak mau berpangku
tangan. Cepat tongkat bututnya diputar sambil
berkelebat melingkar!
Trang! Trang! Trang!
Serangan orang-orang Partai Trisula Sakti
menemui kegagalan. Tiga orang di antaranya ter-
kejut karena senjata yang dipegang telah jatuh ke
tanah terbentur tongkat Pengemis Binal. Namun,
mereka kemudian berteriak keras seraya merang-
sek ganas walau hanya dengan tangan kosong.
Sementara Bagus Kembara pun segera membantu
teman-temannya.
Pertempuran sengit tak bisa lagi dihindari.
Walau dalam keremangan malam, tapi gerakan

orang-orang Partai Trisula Sakti amat cepat dan
penuh tipuan mematikan. Terutama serangan
Bagus Kembara yang menjadi pemimpin.
Resi Raga Pamungkas mengeluarkan selu-
ruh daya kemampuan untuk dapat memperta-
hankan diri. Sementara, Pengemis Binal yang
membantunya terus memutar tongkat dengan pe-
rasaan heran. Setahunya, Partai Trisula Sakti
adalah partai lurus tempat bernaungnya para
pendekar muda. Tapi kenapa mereka bisa berbuat
ganas seperti ini? Apakah keinginan untuk memi-
liki Pusaka Pedang Gaib benar-benar telah mem-
butakan mata hati mereka?
Suropati tak punya waktu banyak untuk
berpikir, karena pengeroyoknya melakukan se-
rangan-serangan gencar. Segera remaja tampan
berpakaian putih penuh tambalan ini  memben-
tengi diri dengan jurus 'Tongkat Memukul Anjing'.
Lalu disusul jurus 'Tongkat Menghajar Maling'
dan 'Tongkat Mengejar Kucing'.
Tak! Tak! Tak! 
"Aaah...!"
Tak lebih sepeminum teh kemudian tiga
orang anggota Partai Trisula Sakti terpukul jatuh
oleh gebukan tongkat Pengemis Binal. Mereka
menjerit kesakitan saling sahut, sambil meme-
gangi bagian tubuh yang memar.
"Jangan gentar! Bunuh pertapa itu lebih
cepat!" ujar Bagus Kembara, memberi semangat
teman-temannya.
Tapi, maksud mereka tak juga terwujud
karena perlindungan yang diberikan Suropati be-

gitu rapat. Gusarlah hati Bagus Kembara seketika
dikeluarkannya jurus-jurus trisula yang lebih he-
bat.
Sewaktu Pengemis Binal sibuk melayani
serangan Bagus Kembaran, mendadak sesosok
bayangan berkelebat cepat ke arah Resi Raga Pa-
mungkas. Begitu dekat langsung dilancarkan to-
tokan ke punggung lelaki tua yang tengah meng-
hadapi tiga orang lawan.
Tuk! Tuk!
"Uh...!" keluh Resi Raga Pamungkas den-
gan tubuh lemas bagai tak bertenaga.
Sebelum tubuh pertapa ini benar-benar ja-
tuh  ke tanah, sesosok bayangan yang telah me-
lancarkan totokan segera menyambarnya.
"Hei! Lepaskan dia!" teriak Pengemis Binal.
Suropati sempat melihat kejadian itu. Tapi,
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
tak mampu mengejar, karena lima trisula telah
menghadang secara bersamaan.
Trang!
Suropati menangkis dengan tongkat yang
dialiri tenaga dalam penuh. Akibatnya, lima trisu-
la mencelat dan hilang tertelan kegelapan malam.
"Tinggalkan Suropati! Kejar penculik Resi
Raga Pamungkas!" perintah Bagus Kembara.
Pengemis Binal tak mau melewatkan ke-
sempatan. Segera tubuhnya digenjot. Dikejarnya
sosok bayangan yang telah melarikan Resi Raga
Pamungkas. Sementara, orang-orang Partai Trisu-
la Sakti mengikuti jauh di belakang. Tapi mereka
segera kehilangan jejak, tak tahu ke mana Suro-

pati berlari. Tak tahu pula ke mana Resi Raga
Pamungkas dilarikan.

***

Berkali-kali Resi Raga Pamungkas menye-
but asma Sang Penguasa Tunggal. Tubuhnya te-
rasa sangat lemas seperti tiada bertulang. Semen-
tara, orang yang melarikan pertapa itu  memper-
cepat kelebatan tubuhnya. Setelah cukup jauh
meninggalkan kota Kadipaten Bumiraksa, dia
berhenti di tepi sebuah aliran sungai. Langsung
dilemparkannya tubuh lelaki tua dalam pondon-
gannya.
Mata Resi Raga Pamungkas kontan bersi-
nar nyalang ketika tahu siapa yang telah melari-
kan dirinya.
"Somagatra...," desahnya. Lalu, pertapa ini
menyebut lagi asma Sang Penguasa Tunggal.
"Ha ha ha...!" sosok yang tak lain Somaga-
tra tertawa bergelak. "Ternyata matamu belum
lamur, Pak Tua. Aku memang Somagatra!"
"Apa maksudmu menculikku?!" tanya Resi
Raga Pamungkas, setengah membentak. Dikua-
tkan hatinya untuk melawan debar-debar dalam
dadanya. 
Somagatra tertawa bergelak lagi.
"Rupanya kau berhasil membujuk Suropa-
ti, Pak Tua! Tapi, manusia culas macam kau ku-
kira tak akan panjang umur. Kecuali, bila kau
menyerahkan Pusaka Pedang Gaib padaku. Maka,
umurmu akan ku perpanjang...."

"Bagaimana aku bisa meyakinkan bahwa
aku benar-benar tak tahu apa-apa tentang senja-
ta pusaka yang kau inginkan itu, Somagatra...?"
keluh Resi Raga Pamungkas.
"Aku tak butuh keyakinan! Aku butuh kau
menyerahkan Pusaka Pedang Gaib!"
"Hyang Widhi Maha Pengampun...," sebut
Resi Raga Pamungkas. "Sadarlah kau, Somagatra.
Bujukan setan telah merasuki jiwamu."
Mendengar ucapan sang resi, Somagatra
malah menendang punggung Resi Raga Pamung-
kas. Lelaki tua itu pun terpental, bergulingan di
tanah.
"Aku tak butuh perkataan macam-macam,
Pak Tua!" hardik Somagatra seraya berjongkok di
sisi tubuh sang resi yang telentang tak berdaya.
"Mumpung aku masih bisa berbaik hati, cepat ka-
takan mana Pusaka Pedang Gaib tersimpan?!"
Mendadak, terlintas gagasan bagus di be-
nak sang resi.
"Kembalilah ke kota Kadipaten Bumiraksa.
Di sana tersebar kabar baru. Kau akan tahu sen-
diri, di mana Pusaka Pedang Gaib berada," un-
gkap sang resi.
"Jangan menipuku, Pak Tua!" bentak So-
magatra.
"Sebenarnya berat untuk mengatakan. Ta-
pi, apa boleh buat? Aku masih ingin hidup...," ka-
ta sang resi, memasang wajah takut.
"Kau hendak berkata apa, Pak Tua?.'" kejar
Somagatra, mulai memuncak amarahnya.
"Pusaka Pedang Gaib dibawa seorang pe-

muda berpakaian serba hitam."
"Ha ha ha...!" Somagatra tertawa bergelak
lagi. "Hanya bocah ingusan yang mau percaya pa-
da tipuan macam ini, Pak Tua! Hih...!" 
Diegkh...! 
"Agkh...!"
Di ujung kalimatnya, Somagatra menya-
rangkan kepalan tangan ke wajah Resi Raga Pa-
mungkas. Keluh kesakitan terdengar memilukan
ketika darah segar mengalir dari bibir sang resi
yang robek. Belum cukup sampai di situ, Somaga-
tra menendang lagi tubuh pertapa itu. 
Dess!
"Aaakh...!"
Resi Raga Pamungkas terpental tiga tom-
bak.
"Aku beri kesempatan sekali lagi, Pak Tua.
Di mana kau simpan Pusaka Pedang Gaib?!"
tanya Somagatra. Suaranya penuh kegeraman.
"Hyang Widhi Maha Pengampun...," sebut
Resi Raga Pamungkas. "Sudah kukatakan pada-
mu, Pusaka Pedang Gaib dibawa seorang pemuda
berpakaian serba hitam." 
Plak...!
Somagatra menampar wajah sang resi. 
"Kau bunuh pun, hanya itu yang dapat ku-
katakan...," kata Resi Raga Pamungkas sambil
menahan rasa sakit yang mendera sekujur tu-
buhnya.
"Ada banyak pemuda berpakaian serba hi-
tam. Lantas, apa ciri lainnya, Pak Tua? Siapa pula
namanya?!" tanya Somagatra, keras. Agaknya dia

mulai percaya pada ucapan sang resi.
"Kembalilah ke kota Kadipaten Bumiraksa.
Tanyalah pada orang yang tahu...."
"Itu sama juga bohong, Pak Tua! Mungkin
kalau sudah kucungkil biji matamu, baru kau
mau mengatakannya!"
Somagatra menghunus bilah Pedang Hijau
yang tersandang di punggungnya. Sementara Resi
Raga Pamungkas kontan menutup mata. Bukan
karena takut, melainkan silau akibat pancaran
sinar Pedang Hijau.
"Kau lihat dulu pamor Pedang Hijau ini,
Pak Tua!" ujar Somagatra. "Biar kau tak menyesal
setelah matamu benar-benar kubuat buta!"
"Bunuh saja aku, Somagatra...," pinta Resi
Raga Pamungkas, lirih.
"Hmm.... Agaknya pertapa ini mengatakan
hal sebenarnya...," pikir Somagatra kemudian.
"Mungkin sekali bila aku ke kota Kadipaten Bu-
miraksa akan kudapatkan kabar tentang Pusaka
Pedang Gaib."
Mendapat gagasan demikian, Somagatra
segera mengangkat Pedang Hijau tinggi-tinggi,
siap membelah tubuh Resi Raga Pamungkas yang
sama sekali tidak berdaya karena pengaruh toto-
kan.
"Berdoalah sebentar, Pak Tua. Karena, aku
meluluskan permintaanmu yang ingin mati."        
Tangan Somagatra bergetar. Sementara,
Pedang Hijau siap mencabut nyawa sang resi. Ta-
pi.... 
"Tahan...!"

Sebuah teriakan membuat Somagatra
mengurungkan niatnya. Terkejutlah pemuda ini,
karena tak jauh darinya telah berdiri seorang re-
maja tampan berpakaian putih penuh tambalan
yang tak lain Suropati.
"Jangan mendekat, Suro!" hardik Somaga-
tra, menyembunyikan keterkejutannya. "Bila kau
mendekat kemari, tubuh pertapa ini akan kube-
lah jadi dua!"
"Hmm.... Kaukah yang bernama Somaga-
tra?" tanya Pengemis Binal, tenang. Pengemis Bi-
nal memang tak mungkin mengenali nama anggo-
tanya satu persatu.
"Ya! Menyingkirlah jauh-jauh dari tempat
ini kalau tak ingin melihat Resi Raga Pamungkas
mandi darah!"
"Kau tak pantas menjadi anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti, Somagatra. Letak-
kan senjatamu! Mungkin Kakek Gede masih bisa
mengampuni kesalahanmu...."
"Ha ha ha...!" Somagatra tertawa bergelak.
"Sejak kedatanganku di Bukit Ranuglagah, aku
keluar dari perkumpulan. Dan, aku pun tak lagi
mengenal siapa itu Kakek Gede!"
"Murid murtad!" geram Pengemis Binal.
Tapi, remaja tampan ini tak bisa berbuat
apa-apa, karena takut Somagatra benar-benar
akan melaksanakan ancamannya. Namun, men-
dadak bibir remaja yang sering berperilaku konyol
ini menyungging senyum. Dia teringat ilmu sihir
ajaran guru pertamanya yang bergelar Periang
Bertangan Lembut.

"Mendekatlah kemari, Somagatra!" perintah
Pengemis Binal. Tatapannya tajam menusuk di-
lambari kekuatan ilmu sihir.
Somagatra tampak bingung sejenak. Men-
dadak pikiran warasnya lenyap. Lalu, bagai ker-
bau dicocok hidungnya dia berjalan perlahan
menghampiri Pengemis Binal.
"Berikan pedangmu!" perintah Pengemis
Binal lagi.
Ketika Somagatra telah menyerahkan Pe-
dang Hijau, Pengemis Binal melepas pengaruh il-
mu sihirnya.
Somagatra kontan terkejut. Begitu tahu
Pedang Hijau tak lagi berada di tangannya, dia
segera berlutut.
"Ampun.... Ampun, Suro...," pinta Somaga-
tra, mengiba.
"Kau minta ampun? Agar tak kubunuh, be-
gitu?" tanya Pengemis Binal seraya membetot sa-
rung Pedang Hijau di punggung Somagatra.
"Ya..., ya. Aku minta ampun...," hiba So-
magatra disertai tetesan air mata.
Suropati menggeram. Lalu kakinya berge-
rak ke depan. Dan.... 
Desss!
"Aaakh…!"
Terpentallah tubuh Somagatra, begitu re-
maja tampan itu melepaskan tendangan.


7


Begitu bangkit, Somagatra menatap penuh
kebencian pada Pengemis Binal. Hilang sudah air
matanya yang tadi sempat menetes. Sekarang ju-
stru sifat angkuhnya yang terlihat. Pemuda ini-
berdiri berkacak pinggang walau sebenarnya tahu
bila tak akan menang melawan Pengemis Binal.
"Aku masih mau bermurah hati padamu,
Somagatra...," ujar Pengemis Binal, mencoba ber-
sabar. "Datanglah ke puncak Bukit Pangalasan.
Di hadapan Kakek Gede, akui semua kesalahaa-
mu...."
"Baiklah, Suro...," sahut Somagatra cepat
"Aku akan datang ke hadapan Kakek Gede."
Usai berkata, Somagatra berbalik. Lalu tu-
buhnya berkelebat menembus kegelapan malam.
"Kenapa kau malah menyuruh dia pergi,
Suro?" tanya Resi Raga Pamungkas, heran. Ma-
tanya terus menatapi kepergian Somagatra.
Suropati menatap sejenak wajah sang resi
yang lebam-lebam.
"Kalau Somagatra tidak menyadari kesala-
hannya, dan tidak pula menghadap Kakek Gede
untuk menerima hukuman, sampai ke ujung lan-
git pun dia akan kukejar...."
Sang resi mengangguk-angguk. Pengemis
Binal memungut Pedang Hijau yang tergeletak di
tanah.
"Inikah yang bernama Pedang Hijau milik
Danar Pangeran, Kek?" tanya Pengemis Binal
sambil menimang pedang di tangannya.
"Ya," jawab sang resi, pendek.

"Seperti pesan terakhir Danar Pangeran,
aku harus memusnahkan pedang ini."
"Jangan dulu, Suro!" cegah Resi Raga Pa-
mungkas.
Sambil menatap wajah sang resi, Suropati
garuk-garuk kepala.
"Sebaiknya pedang itu kau bawa dulu. Sia-
pa tahu, nanti ada gunanya...," lanjut sang resi.
"Tapi, aku tidak bisa bersenjata pedang,
Kek."
"Sudahlah... Turuti saja permintaanku...." 
"Baiklah...," ucap Pengemis Binal kemu-
dian.
Suropati lalu mengajak Resi Raga Pamung-
kas kembali ke Kuil Saloka. Sengaja mereka me-
lewati pinggiran kota walau gelapnya malam
hampir membutakan mata. Karena, Suropati
khawatir Resi Raga Pamungkas akan berjumpa
orang-orang yang menginginkan kematiannya.
Penghadangan orang-orang Partai Trisula Sakti
bisa dijadikan pelajaran.
"Kasihan sekali kau, Kek...," kata Pengemis
Binal di tengah jalan. "Setelah sampai di Kuil Sa-
loka nanti, aku akan meminta anak buahku un-
tuk merawat luka-lukamu."
"Kau terlalu baik, Suro...," sahut Pengemis
Binal. "Tapi, tak pada tempatnya di tengah malam
seperti ini kau membuat repot anak buahmu yang
sedang beristirahat"
"Kalau begitu, aku sendiri yang akan me-
rawat luka-lukamu, Kek. Seperti yang kulakukan
sore tadi. Aku ada sedikit ilmu pengobatan hasil

ajaran seorang tabib pandai bergelar si Wajah Me-
rah."
"Terima kasih, Suro. Lukaku hanya luka
luar yang tidak seberapa parah. Kau tak perlu
khawatir...."
Pada kokok ayam pertama, barulah Pen-
gemis Binal dan Resi Raga Pamungkas sampai di
Kuil Saloka yang terletak di sebelah selatan kota
Kadipaten Bumiraksa.

***

Semburat cahaya mentari berpendar di
ufuk timur. Pagi datang menghantar terang. Cua-
ca cerah. Tapi, tidak demikian isi hati Somagatra.
Pemuda ini diliputi rasa kesal bukan main. Se-
bab, selain gagal mendapatkan Pusaka Pedang
Gaib, Pedang Hijau di tangannya pun berhasil di-
rampas Pengemis Binal. Tak heran apabila wa-
jahnya terlihat sangat muram. Langkah kakinya
terseok, bagai orang tak punya semangat hidup.
"Aku tak habis mengerti, kenapa Suropati
membiarkan aku pergi? Padahal, dia telah tahu
perbuatan jahatku. Apakah dia mempunyai se-
buah rencana? Atau, dia memang berotak
udang?" kata batin Somagatra sambil melangkah
menyusuri sungai yang membujur di pinggir kota
Kadipaten Bumiraksa. "Suropati menyuruhku da-
tang menghadap Kakek Gede Panjalu di puncak
Bukit Pangalasan. Huh! Siapa sudi?!"
Somagatra terus melangkah memasuki ke-
sibukan kota yang baru mulai. Kini, jalannya tak

lagi terseok karena mendadak mendapat harapan
baru.
"Mudah-mudahan apa yang dikatakan Resi
Raga Pamungkas benar. Pusaka Pedang Gaib
memang dibawa seorang pemuda berpakaian ser-
ba hitam. Menurut pertapa itu, aku bisa mencari
keterangan di kota ini."
Somagatra melangkah lebih cepat. Namun,
baru saja melewati pintu gerbang, pemuda ini ter-
henyak. Di kejauhan, matanya melihat beberapa
pemuda tengah berjalan cepat seperti sedang
mencari sesuatu.
"Bukankah itu para pemuda yang tadi ma-
lam mengeroyok Suropati dan Resi Raga Pamung-
kas?" pikir Somagatra. "Aku tahu, mereka tentu
sedang mencari Resi Raga Pamungkas. Karena,
mereka juga menginginkan Pusaka Pedang Gaib.
Hm.... Aku akan mengorek keterangan dari mere-
ka...."
Merasa mendapat gagasan bagus, Somaga-
tra lalu berlari-lari mengejar rombongan pemuda
yang menghilang di tikungan jalan. 
"Tunggu dulu!, Teman!" teriak Somagatra
setelah beberapa tombak di belakang para pemu-
da yang tak lain para anggota Partai Trisula Sakti.
Para pemuda itu menghentikan langkah
dan berbalik. Tapi setelah melihat sosok Somaga-
tra yang berpakaian penuh tambalan mereka
mendengus penuh hinaan. Lalu mereka melan-
jutkan perjalanan.
"Hei! Tunggu dulu, Sahabat-sahabat Baik!"
Sembari berkata demikian, Somagatra me-

ngemposkan tubuhnya, langsung menghadang di
hadapan para pemuda itu.
"Pengemis Hina! Kau hendak mencari per-
kara rupanya?!" hardik pemuda yang berwajah
bopeng yang tak lain Bagus Kembara.
"Aku tahu jika para sahabat ini adalah
anggota Partai Trisula Sakti...," ujar Somagatra,
tenang. "Aku pun tahu, para sahabat ini tengah
mencari seseorang."
"Kau memanggil kami 'para sahabat'. Ka-
pan kami mengikat tali persahabatan denganmu,
Pengemis Hina?!" hardik Bagus Kembara lagi, le-
bih menyakitkan.
"Hem.... Tidak patutkah seorang anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti menjadi
sahabat kalian? Apakah Partai Trisula Sakti telah
menjadi sebuah partai yang begitu congkak? Pa-
dahal, aku tahu pasti kalau kalian membutuhkan
keterangan dariku...."
"Kau jangan bicara ngawur, Pengemis
Edan! Kita belum pernah mengenal. Kenapa kau
bisa mengatakan kalau kami membutuhkan kete-
rangan darimu?" 
"Seperti yang kukatakan di depan, aku ta-
hu bila kalian tengah mencari seseorang. Aku pun
tahu, di mana orang yang sedang kalian cari se-
karang." 
"Jangan hiraukan pemuda kurang waras
itu, Kembara!" ujar salah seorang teman Bagus
Kembara.
Tapi, agaknya Bagus Kembara tertarik pa-
da bicara Somagatra.

"Kalau kau memang bisa membantu kami,
katakan dulu siapa yang sedang kami cari?" tanya
pemuda berwajah bopeng.
Somagatra kontan tersenyum. "Agaknya
para pemuda ini tidak tahu bila akulah yang telah
melarikan Resi Raga Pamungkas semalam...," ka-
tanya dalam hati.
Somagatra lantas memasang wajah sung-
guh-sungguh.
"Bukankah orang yang kalian cari itu ada-
lah Resi Raga Pamungkas?"
"Hei! Bagaimana kau tahu itu?" kejut Ba-
gus Kembara.
Bibir Somagatra menyungging senyum lagi.
"Hal itu aku tak bisa mengatakannya. Tapi
yang jelas, aku bersedia membantu kalian."
"Ikut mencari Resi Raga Pamungkas?"
tanya teman Bagus Kembara yang lainnya.
"Tidak. Aku hanya ingin menunjukkan, di
mana pertapa itu sekarang bersembunyi," jawab
Somagatra.
"Jangan mendustai kami, Pengemis Jelek!"
hardik Bagus Kembara. "Semalam Resi Raga Pa-
mungkas dilarikan orang. Bagaimana kau bisa
mengatakan bila pertapa itu sedang bersem-
bunyi?"
"Resi Raga Pamungkas tidak dilarikan
orang. Melainkan, diselamatkan! Dan kini pertapa
itu memang sedang bersembunyi."
"Bagaimana kau tahu itu?" selidik  Bagus
Kembara.
"Maaf. Aku tak bisa mengatakannya. Tapi,

aku bisa memberitahu tempat persembunyian Re-
si Raga Pamungkas."
"Di mana?" kejar Bagus Kembara, mulai
percaya
"Katakan dulu, kenapa kalian mencari per-
tapa itu?! Apakah ada hubungannya dengan Pu-
saka Pedang Gaib?"
"Hmm.... Kelihatan belangmu sekarang,
Pengemis Hina!" ejek Bagus Kembara tiba-tiba.
"Jangan berprasangka buruk dulu! Aku
sama sekali tidak ingin memiliki Pusaka Pedang
Gaib. Bukankah kalian tahu, aku adalah anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat  Sakti? Pantang
bagiku mempergunakan senjata tajam. Apalagi,
mencari-carinya."
"Lalu, apa maksud pertanyaanmu tadi?"
"Aku hanya ingin tahu saja. Terus terang,
aku penasaran karena beberapa pekan ini nama
Resi Raga Pamungkas tiba-tiba menjadi sangat
termasyhur."
"Hmm.... Baiklah kalau begitu, kujawab
pertanyaanmu. Tapi, bila kau ternyata menipu,
kami tak segan mencincang tubuhmu!"
"Sebenarnya kau tak perlu mengancam,
Sahabat...," ujar Somagatra dengan tenang. "Ja-
wab saja pertanyaanku, kenapa kalian mencari
Resi Raga Pamungkas?"
Bagus Kembara mengambil napas panjang.
"Ada orang yang mau menukar kepala pertapa itu
dengan Pusaka Pedang Gaib."
"Hmm.... Menyesal aku kenapa tadi malam
aku tidak cepat-cepat saja memenggal kepala Resi

Raga Pamungkas...," kata batin Somagatra. "Se-
karang itu sudah tidak mungkin dilakukan, kare-
na pertapa itu dalam perlindungan Suropati."
"Hei! Kenapa kau diam, Pengemis Hina?!
Sekarang katakan di mana Resi Raga Pamungkas
bersembunyi?!" sentak Bagus Kembara.
"Dia disembunyikan Suropati alias Penge-
mis Binal. Kalau mau mencari Resi Raga Pa-
mungkas, cari saja Suropati. Paksa dia untuk
mengatakannya!"
Usai berkata, Somagatra berlari mening-
galkan Bagus Kembara dan teman-temannya. Ge-
rakannya cepat sekali karena mempergunakan
ilmu meringankan tubuh.
"Bangsat! Pengemis Edan Keparat!" umpat
Bagus Kembara.
"Kita sudah kena tipu mentah-mentah,
Kembara!" sahut salah seorang teman pemuda
bermuka bopeng itu.
"Tidak! Dia tidak menipu!" sanggah Bagus
Kembara.
"Maksudmu?" 
"Keterangannya yang membuatku naik pi-
tam. Kalau Resi Raga Pamungkas disembunyikan
Suropati, bagaimana mungkin kita bisa memeng-
gal kepala pertapa itu? Sedang memaksa Suropati
bicara saja kita tak akan mampu!"
"Aku ada gagasan...," teman Bagus Kemba-
ra yang lain menyela.
"Gagasan apa?"
"Kita tak perlu susah-susah mencari Resi
Raga Pamungkas. Kita langsung saja merebut Pu-

saka Pedang Gaib dari pemuda berpakaian serba
hitam itu pada hari yang dijanjikannya. Besok
malam!"
"Ya..., ya! Sebuah gagasan bagus!"
Bagus Kembara lalu mengajak teman-
temannya pergi dari tempat itu. Namun sama se-
kali tak terduga, karena ternyata ada seseorang
yang telah menguping bicara mereka barusan.
Orang itu bersembunyi di atas atap kios kelon-
tong di dekat mereka berdiri. Begitu hilang sosok
para anggota Partai Trisula Sakti itu, si pencuri
dengar meloncat turun, dan berjalan lenggang-
kangkung. Ternyata, dia adalah Somagatra!

***

Suropati berjalan sambil menyeret tongkat
bututnya. Tatapan matanya menerawang jauh.
Beberapa anggota Perkumpulan Pengemis Tong-
kat Sakti yang menyapanya hanya dijawab ang-
gukan kepala. Bingung memang Suropati memi-
kirkan masalah yang sedang dihadapi. Walau ti-
dak langsung menyangkut dirinya, tapi jiwa ke-
pendekarannya terpanggil. Dan hal itu membuat-
nya tak bisa berpangku tangan untuk membiar-
kan Resi Raga  Pamungkas menghadapi masalah
sulit seorang diri.
Langkah kaki Suropati terhenyak ketika
melewati sebuah penginapan bertingkat tiga.
Pandangan matanya menangkap sosok gadis can-
tik berkebaya hijau yang tengah berjalan setengah
berlari seperti ada sesuatu yang ditakutinya. Ter-

bawa rasa ingin tahu, cepat Pengemis Binal men-
gejar. Namun tiba-tiba sosok si gadis lenyap di
sebuah kelokan jalan.
"Hmm.... Kalau tak salah penglihatanku,
gadis itu tentu Swani...," gumam Pengemis Binal
teringat pada gadis yang pernah ditolongnya dari
kejaran seekor harimau beberapa hari yang lalu.
"Aneh sekali gadis itu. Ketika berjumpa Resi Raga
Pamungkas, dia melarikan diri. Sepertinya dia di-
hantam oleh keterkejutan yang sangat. Aku men-
duga bila dia sengaja menghindar. Hmmm..., Ta-
bir apakah yang menyelimuti diri gadis itu?"
Mengikuti perasaan hatinya, Suropati ber-
putar-putar untuk mencari Swani yang tadi sem-
pat dilihatnya, Tapi hingga keringat mengucur de-
ras, sosok gadis itu tetap tak dijumpainya. Swani
seperti lenyap ditelan bumi.
"Ketika berjumpa denganku, sepertinya ga-
dis itu sengaja menyembunyikan kepandaian. Ta-
pi, kenapa dia berlari ketika ada seekor harimau
mengejar? Apakah dia sengaja hendak mengela-
bui aku? Lalu, apa maksudnya?"
Selagi Pengemis Binal diliputi berbagai
tanda tanya, seorang pemuda bertubuh jangkung
berlari menghampirinya.
"Ada apa, Ganda?" tanya Pengemis Binal,
ketika matanya menatap sosok pemuda berpa-
kaian penuh tambalan yang berdiri di hadapan-
nya itu.
"Kabar yang kau inginkan telah kuda-
patkan, Suro!" ujar pemuda yang dipanggil Gan-
da.

"Pusaka Pedang Gaib benar-benar ada?"
"Ya! Seperti yang kau katakan semula, sen-
jata pusaka itu dibawa oleh seorang pemuda ber-
pakaian serba hitam," tutur Ganda penuh ke-
sungguhan.
"Dari mana kau mendapat kabar itu?"
tanya Pengemis Binal untuk lebih memastikan.
"Hampir semua tokoh persilatan yang kebe-
tulan berada di kota Kadipaten Bumiraksa tahu
kalau pemuda berpakaian serba hitam itu muncul
kemarin malam di rumah pelacuran milik Mak
Gatri. Dia bersedia menukar senjata mustika yang
dibawanya kepada siapa pun yang dapat menye-
rahkan kepala Resi Raga Pamungkas."
"Lalu, kenapa pemuda itu akan muncul la-
gi?"
"Besok malam di tempat yang sama!"
"Kau yakin?"
"Itulah kabar yang kudengar. Aku tidak bi-
sa memastikan kebenarannya. Tapi, tampaknya
semua orang percaya."
Pengemis Binal mengangguk-angguk.
"Terima kasih, Ganda...," ucap Suropati
kemudian.
Setelah Ganda meninggalkan tempat, Su-
ropati bersorak girang. Apa yang dikatakan Ganda
membuat kegelapan yang menyelimuti pikirannya
pudar. Tapi, teringat pada Resi Raga Pamungkas,
kening Pengemis Binal langsung berkerut.
"Bila benar kabar yang disampaikan Gan-
da, nyawa Resi Raga Pamungkas semakin teran-
cam...," pikir Pengemis Binal. "Aku tak bisa mem-

biarkan pertapa itu seorang diri di Kuil Saloka.
Aku harus menyembunyikannya di tempat yang
lebih aman."
Bergegas Pengemis Binal melangkah. Nya-
wa Resi Raga Pamungkas seperti menjadi tang-
gungannya kini. Dia tak akan membiarkan ada
orang mengganggu pertapa itu. Apalagi, mengin-
ginkan kematiannya!

8

Cuaca malam ini tidak seperti kemarin.
Langit bersih, tak segumpal awan terlihat. Hingga,
bulan sepotong masih mampu membuat terang
mayapada. Kedip bintang bagai tebaran intan di
layar hitam. Sementara, udara sejuk terasa men-
gelus kulit.
Dengan langkah pasti, seorang pemuda
berpakaian serba hitam memasuki pelataran ru-
mah pelacuran milik Mak Gatri yang terletak di
ujung utara kota Kadipaten Bumiraksa. Di pung-
gungnya, terikat sebuah benda panjang yang di-
bungkus kain hijau. Namun, pemuda ini terke-
siap ketika....
"Serahkan Pusaka  Pedang Gaib yang kau
bawa, Orang Asing!"
Mendadak terdengar bentakan yang dis-
usul munculnya belasan pemuda bersenjata tri-
sula dari samping kiri bangunan. Jelas, para pe-
muda itu anggota dari Partai Trisula Sakti. Bagus
Kembara yang berwajah bopeng tampak di antara

mereka.
"Orang-orang edan!" bentak pemuda ber-
pakaian serba hitam. "Adakah kalian membawa
kepala Resi Raga Pamungkas?!"
"Untuk mendapatkan Pusaka Pedang Gaib,
kami tak perlu membawa kepala resi itu!" sahut
Bagus Kembara, pongah.
"Hmm.... Berarti kalian ingin merampas
Pusaka Pedang Gaib secara paksa...."
"Tepat! Kami merasa tak perlu berbasa-basi
lagi. Serahkan buntalan kain hijau di punggung-
mu!"
"Ambillah sendiri!"
Sambil berkata, pemuda berpakaian serba
hitam mengedarkan pandangan. Orang yang
mengepungnya ternyata bukan belasan orang la-
gi. Lebih dari tiga puluh! Selain para anggota Par-
tai Trisula Sakti, di tempat itu telah muncul to-
koh-tokoh silat lainnya.
Sebentar kemudian, tiga orang lelaki seten-
gah baya maju dua langkah. Mereka sama-sama
memegang tombak pendek.
"Kami adalah Tiga Saudara Tombak
Maut...," kata lelaki di tengah memperkenalkan
diri. "Seperti yang kau katakan, kami akan men-
coba mengambil Pusaka Pedang Gaib di pung-
gungmu, Orang Asing!"
Pemuda berpakaian serba hitam menden-
gus pendek ketika tiga lelaki yang berdiri di hada-
pannya menerjang secara bersamaan.
Wuuttt...!
Tiga ujung tombak pendek meluncur deras

mencari jalan kematian di tubuh si pemuda. Na-
mun hanya dengan menggeser kakinya sedikit se-
rangan itu berhasil dihindari. Lalu, cepat sekali
tubuhnya berkelebat memutar! 
Prak! Prak! Prak!
"Aaa...!"
Terdengar suara berderak tiga kali, seperti
benda keras yang terpukul pecah. Diiringi jerit
menyayat hati, tubuh tiga lelaki bersenjata tom-
bak pendek jatuh ke tanah. Mereka menggeliat
sebentar,  lalu diam untuk selama-lamanya den-
gan kepala pecah berlumur darah!
Melihat kejadian itu, semua mata menun-
jukkan pandangan kaget. Sementara, pemuda
berpakaian serba hitam mengedarkan pandangan
sekali lagi.
"Berpikirlah masak-masak untuk meram-
pas Pusaka Pedang Gaib. Aku sudah menawarkan
kepada kalian untuk menyerahkan kepala Resi
Raga Pamungkas. Kenapa malah nekat?" kata
pemuda ini dingin.
"Memenggal kepala Resi Raga Pamungkas
atau memenggal kepalamu, kukira sama saja!"
sahut seorang lelaki bertubuh gempal. "Ayo, kita
kerubuti pemuda itu!"
"Heaaa...!"
Lima orang lelaki segera menerjang ketika
lelaki bertubuh gempal yang bersenjata pedang
meluruk maju.
Pemuda berpakaian serba hitam mengge-
ram marah. Cepat dihunusnya Pusaka Pedang
Gaib yang menimbulkan suara berdesing dibaren-

gi berpendarnya cahaya merah menggidikkan. La-
lu....
Cras! Cras!
"Aaa...!" 
Jerit kematian amat keras langsung mem-
bahana di angkasa ketika si pemuda menge-
butkan pedangnya. Enam tubuh manusia jatuh
berdebuk di tanah. Mereka mati dengan dada
mengepulkan asap seperti habis terbakar.
Selagi orang membelalakkan mata melihat
kedahsyatan Pusaka Pedang Gaib, pemuda ber-
pakaian serba hitam sudah meloncat meninggal-
kan tempat.
"Kejar...!" teriak Bagus Kembara kepada
teman-temannya.
Namun, pemuda bermuka bopeng ini jadi
kecewa, karena tak satu pun anggota Partai Tri-
sula Sakti yang menjalankan perintahnya. Agak-
nya, nyali mereka telah hilang melihat sembilan
orang mati dalam keadaan mengerikan.
"Manusia-manusia bodoh! Kalian memang
tak pantas memiliki Pusaka Pedang Gaib!" geram
Bagus Kembara, seraya meloncat untuk mengejar
pemuda berpakaian serba hitam yang telah pergi.
Sementara itu, pemuda berpakaian  serba
hitam terus berlari mengandalkan seluruh ilmu
meringankan tubuhnya. Tanpa disadari, seorang
remaja bersenjata tongkat berlari cepat di bela-
kangnya.
"Bangsat!" umpat pemuda berpakaian ser-
ba hitam begitu sadar kalau ada yang mengiku-
tinya. Larinya segera dihentikan. "Kenapa kau

mengikutiku, heh?! Apakah kau merasa punya
nyawa rangkap, sehingga berani berbuat nekat?!"
Usai berkata, si pemuda berbalik. Dan dia
kontan tersurut mundur karena terkejut. Ma-
tanya melihat sosok remaja tampan yang berdiri
di belakang Bagus Kembara.
"Suropati...," desisnya.
Karena keterkejutan yang luar biasa, tanpa
sadar pemuda berpakaian serba hitam tersurut
mundur lagi. Dan sebelum si remaja tampan me-
langkah menghampirinya, cepat dia kembali ber-
balik seraya berlari cepat bagai habis melihat se-
tan.
"Hai! Tunggu dulu!" cegah remaja tampan
berpakaian penuh tambalan yang memang Suro-
pati.
Pemuda berpakaian serba hitam tak mau
ambil peduli. Dia terus menggenjot tubuh untuk
segera dapat meninggalkan Suropati yang berlari
di belakangnya.
Sepuluh tarikan napas kemudian, Penge-
mis Binal menghempos tubuh ke atas. Setelah
bersalto tiga kali di udara, kakinya mendarat di
depan pemuda berpakaian serba hitam yang ma-
sih berlari cepat.
Karena bingung, pemuda berpakaian serba
hitam menghunus Pusaka Pedang Gaib yang tadi
telah disarungkan. Lalu dalam keadaan masih
meluncur ke depan, senjata pusaka di tangannya
ditebaskan.
Wut...!
Sigap sekali Pengemis Binal mengegoskan

tubuhnya. Tapi Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti kontan terkejut karena sekujur tu-
buhnya tiba-tiba terasa sangat panas bagai dijala-
ri api.
Lebih terkejut lagi ketika melihat sebagian
lengan bajunya mengepulkan asap, lalu muncul
lidah api!
Buru-buru Pengemis Binal menepis-nepis
kain bajunya yang terbakar disertai pengerahan
ilmu 'Pukulan Salju Merah' yang berhawa dingin.
Lidah api langsung lenyap, meninggalkan lubang
bergaris hitam di lengan bajunya.
"Hmm.... Pusaka Pedang Gaib ternyata be-
nar-benar senjata pusaka yang amat mengeri-
kan...," kata batin Suropati. "Walau pendaran si-
narnya tak mengenaiku, tapi sanggup membuat
bajuku terbakar. Aku harus berhati-hati."
Sewaktu Suropati berdiri terpaku di tem-
patnya, pemuda berpakaian serba hitam mencoba
mengambil langkah seribu lagi. Tapi, mendadak
sesosok bayangan memapaki luncuran tubuhnya
yang masih menghunus pedang.
"Wuaah...!"  
Jerit kematian merobek kesunyian malam.
Pengemis Binal terkejut melihat tubuh Bagus
Kembara telah terbaring di tanah dalam keadaan
terpotong dua dan tahu-tahu mengepulkan asap
hitam.
"Aku tahu benar bila pemuda berpakaian
serba hitam itu hanya sedikit menggerakkan pe-
dang yang dibawanya. Kenapa tubuh Bagus Kem-
bara yang menerjangnya tiba-tiba terbelah dua?

Pusaka Pedang Gaib benar-benar senjata yang
mengandung kesaktian luar biasa...," kata batin
Pengemis Binal.
Sementara, pemuda berpakaian serba hi-
tam telah menggenjot tubuh untuk dapat mening-
galkan Suropati. Namun....
"Serahkan pedang yang kau bawa, Orang
Asing!"
Sebuah teriakan yang dibarengi kelebatan
empat benda kecil putih mengkilat membuat pe-
muda berpakaian serba hitam itu terhenyak den-
gan langkah terhenti. Namun secepat kilat pe-
dangnya diputar.
Trang...!
Saat itu juga, rontohlah benda-benda kecil
berupa pisau kecil yang mengancam jiwanya.
Menggeramlah Suropati melihat siapa yang
telah melemparkan senjata rahasia itu. Dia tak
lain Somagatra!
"Kau kuperintahkan untuk pergi mengha-
dap Kakek Gede. Lantas kenapa masih berada di
sini, Somagatra?!" bentak Pengemis Binal.
"Aku akan menghadap Kakek Gede, setelah
mendapatkan Pusaka Pedang Gaib, Suro!" sahut
Somagatra berani.
"Kau tahu bila seluruh anggota perkumpu-
lan kita pantang memiliki senjata tajam?!"
"Ya. Aku tahu benar hal itu. Tapi bila kau
pun menginginkan Pusaka Pedang Gaib, kenapa
aku tidak?" ujar Somagatra semakin berani.
Dituduh demikian, Pengemis Binal men-
dengus gusar.

"Aku akan menjatuhkan hukuman sendiri
bila kau tak segera pergi dari tempat ini untuk
menghadap Kakek Gede!"
"Ha ha ha...!"
Somagatra tertawa bergelak. Matanya meli-
rik ke kiri. Tahu pemuda berpakaian serba hitam
lengah, cepat tongkatnya disodokkan mengarah
ke ulu hati. Gerakannya tidak main-main karena
disertai seluruh kekuatan tenaga dalam tinggi.
Tampaknya pemuda berpakaian serba hi-
tam pun tak akan mampu menghindar lagi. Ta-
pi...
"Hauuum...!"
Mendadak berkelebat sesosok bayangan lo-
reng menerkam tubuh Somagatra! Ketika jatuh
berdebam ke tanah, pemuda itu sudah bergelut
dengan seekor harimau besar.
Pergulatan tidak berlangsung lama. Hari-
mau loreng tiba-tiba meraung keras, lalu tubuh-
nya menggelepar dijemput Malaikat Kematian.
Sementara tubuh Somagatra sendiri pun tampak
terbujur kaku dengan luka lebar di leher bekas
gigitan harimau yang telah menyelamatkan pe-
muda berpakaian serba hitam.
"Rimang...!" pekik si pemuda seraya ber-
hambur memeluk tubuh harimau loreng yang te-
lah diam tak bergerak lagi. Dicabutnya sebilah pi-
sau kecil hasil tikaman Somagatra yang menan-
cap di jantung harimau itu.
Suropati hanya dapat memandang si pe-
muda yang tengah menangis tersedu-sedu. Rema-
ja tampan ini terperangah karena tangis yang ter-

dengar adalah tangis seorang wanita!
Mata Suropati terbelalak ketika melihat
Wajah si pemuda yang telah terangkat. Agaknya
kumis dan jenggotnya lepas ketika menciumi
bangkai macan loreng.
"Rimang...! Rimang...!" panggil si pemuda.
"Kenapa kau meninggalkan aku, Rimang? Tidak-
kah kau ingin melihat aku bahagia, karena ber-
hasil membalaskan sakit hati Ibunda Sawitri?"
Suropati mempertajam penglihatannya.
Beberapa kali matanya mengerjap. Tapi sosok
yang terlihat tetap tak berubah. Sosok pemuda
yang dikenali Pengemis Binal sebagai seorang ga-
dis.
"Swani...," desis Pengemis Binal seperti tak
yakin pada penglihatannya sendiri.
Sosok gadis yang menyamar sebagai pe-
muda memang tak lain dari Swani. Gadis itu me-
natap Pengemis Binal. Air mata masih berlelehan.
Pipinya memerah. Dan, bahunya terguncang-
guncang karena menahan isakan tangis. 
"Maafkan aku, Suro...," ucap Swani. "Tem-
po hari aku telah mengelabuimu. Semula, aku in-
gin menghasutmu untuk turut memusuhi Resi
Raga Pamungkas. Tapi, orang jahat itu keburu
menampakkan diri. Sehingga aku berlari meng-
hindarinya...."
"Jadi, harimau yang mengejarmu itu sebe-
narnya binatang peliharaanmu?" tanya Pengemis
Binal, sambil melangkah mendekati Swani.
Si gadis mengangguk lemah. Isakan tan-
gisnya terdengar lagi.

"Kau katakan tadi hendak menghasutku
untuk turut memusuhi Resi Raga Pamungkas.
Berarti, kau menyimpan api permusuhan pada
pertapa itu. Bagaimana asal mulanya?"
Swani menyeka air matanya. "Dua puluh
tahun yang lalu, Raga Pamungkas bertemu seo-
rang gadis bernama Sawitri. Mereka lalu terlibat
jalinan asmara. Sawitri mengandung. Tapi..., tapi
kemudian Raga Pamungkas mengkhianatinya.
Dia pergi meninggalkan tanggung jawab...," tutur
gadis ini sambil mengucurkan air mata. "Sawitri
pun merana. Timbul rasa bencinya terhadap
orang yang semula sangat dicintainya. Setelah
bayinya lahir, dia memberi nama Swani. Dan
Swani itu adalah aku, Suro..,."
Swani tak kuasa melanjutkan ceritanya.
Gadis ini menangis menggerung-gerung. Didekap-
dekap-nya mayat harimau loreng yang telah ter-
bujur kaku.
"Oleh sebab itu kau lalu memusuhi Resi
Raga Pamungkas?" tanya Pengemis Binal, diliputi
rasa haru.
"Ya," jawab Swani, cepat. "Ibuku kemudian
meninggal karena kesedihannya. Sebelumnya, be-
liau mewariskan Pusaka Pedang Gaib kepadaku.
Aku pun berjanji dalam hati, untuk membalaskan
sakit hati ibuku. Aku harus membunuh Resi Raga
Pamungkas. Tapi, aku tak kuasa melakukannya
sendiri. Karena, bagaimanapun juga dia ayah-
ku...."
Pengemis Binal menghela napas panjang
berulang kali. Tanpa sadar, kepalanya yang tak

gatal digaruk-garuk. Cerita Swani begitu menyen-
tuh perasaannya.
"Tapi..., tapi aku akan tetap membunuh-
nya!" tandas Swani tiba-tiba.
Suropati terkejut ketika mendadak di tem-
pat itu muncul lelaki tua berjubah dan bersorban
putih yang tak lain Resi Raga Pamungkas. Agak-
nya, pertapa itu telah menguping cerita Swani....
"Anakku...," desis sang resi. "Aku menyada-
ri kesalahanku, Nak. Makanya kemudian aku
menjadi seorang pertapa...."
"Pertapa palsu!" sahut Swani seraya me-
mungut  Pusaka Pedang Gaib yang tergeletak di
sisinya.
"Jangan...!" teriak Pengemis Binal melihat
Swani tiba-tiba menerjang Resi Raga Pamungkas.
Rupanya, sang resi masih belum ingin mati
cepat. Tahu bahaya mengancam jiwanya, segera
dia meloncat seraya menyambar Pedang Hijau
yang terikat di punggung Pengemis Binal. Saat itu
juga pedang di tangannya dikebutkan.
Trang! Trang! Trang!
Terdengar benturan keras yang memekak-
kan gendang telinga. Percikan api membuat gelap
tersibak.
Resi Raga Pamungkas terkejut luar biasa
ketika tahu Pedang Hijau di tangannya telah ter-
potong menjadi tiga bagian yang berjatuhan di
bawah kakinya. Dan sebelum dia menyadari kea-
daan, Pusaka Pedang Gaib di tangan Swani berke-
lebat amat cepat!
Suropati terkesiap. Walau dalam kegelapan

malam, tapi matanya cukup tajam untuk dapat
melihat apa yang akan diperbuat Swani. Sebelum
Pusaka Pedang Gaib memenggal kepala Resi Raga
Pamungkas, cepat sekali tubuhnya melesat!
Pengemis Binal berhasil menyambar tubuh
sang  resi. Tubuh mereka bergulingan di tanah.
Namun, Suropati dapat bernapas lagi, karena
usahanya tak sia-sia. Kelebatan Pusaka Pedang
Gaib di tangan Swani hanya mengenai angin ko-
song.
"Kau sadar terhadap apa yang telah kau
perbuat, Swani...?" ujar Suropati seraya bangkit
berdiri, melindungi Resi Raga Pamungkas yang
masih merangkak bangun di belakangnya.
"Kau tak perlu ikut campur, Suro!" sentak
Swani sambil mengacungkan pedang pusaka di
tangannya. "Ini urusan keluarga! Tak ada sang-
kut-pautnya denganmu!"
"Resi  Raga Pamungkas adalah ayahmu,
Swani. Dialah pengukir jiwa-ragamu. Kenapa kau
masih ingin membunuhnya, padahal dia telah
menyadari kesalahannya?" bujuk Suropati.
"Tidak...!" jerit Swani keras. "Dia bukan
ayahku! Dia mesti kubunuh...!"
"Swani...!" desis Suropati, ikut terbawa
keadaan. Sebelum remaja tampan ini berbuat se-
suatu untuk menenangkan kekalutan Swani,
mendadak Resi Raga Pamungkas mencekal ba-
hunya.
"Aku memang manusia banyak dosa, Su-
ro...," desah sang resi, lirih. "Mungkin sudah men-
jadi takdirku untuk mati di tangan putriku sendi-

ri...."
Mulut Suropati seperti terbungkam. Dia
tak mampu mengucapkan kata-kata lagi. Pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini pun
tak dapat mencegah, ketika Resi Raga Pamungkas
maju tiga tindak.
"Anakku...," desah sang resi dengan mata
berkaca-kaca. "Dosaku pada Sawitri ibumu, me-
mang terlalu besar untuk dapat dimaafkan. Aku
rela mati sekarang, Swani. Mungkin dengan ke-
matianku ini, dadamu akan lapang untuk mem-
beri kata maaf...."
Dengan sinar mata nanar, Swani menatap
Resi Raga Pamungkas yang berdiri menunduk di
hadapannya. Agaknya sang resi benar-benar telah
siap menyambut datangnya Malaikat Kematian.
Namun pedang pusaka di tangan Swani
terlihat bergetar.
"Ohh...!"
Bersamaan suara keluhan pendek, pedang
itu jatuh ke tanah.  Dan, Swani sendiri lalu ber-
hambur memeluk sang resi....
"Maafkan Swani, Ayah.... Maafkan Swani,
Ayah...," ucap Swani dengan air mata menganak
sungai. Agaknya melihat kepasrahan Resi Raga
Pamungkas, gadis ini jadi tak tega untuk menja-
tuhkan tangan maut.
"Anakku...," desis sang resi. Dibalasnya pe-
lukan  Swani erat-erat. Air mata yang coba dita-
hannya pun jebol sudah.
Melihat ayah dan Anak saling berpelukan
dengan cucuran air mata, Pengemis Binal mende-

sah panjang. Hatinya kontan tersentuh haru. Se-
belum air matanya ikut menetes, cepat kepalanya
berpaling. Lalu dia berjalan perlahan meninggal-
kan Resi Raga Pamungkas dan Swani yang sama-
sama menangis dalam kebahagiaan....


SELESAI


Segera terbit!!! episode:
TENGKORAK KAKI SATU