Pengemis Binal 13 - Dendam Ratu Air(2)




4

Walau hampir semua mata menatap tajam ke
arahnya, tapi sikap gadis ini tenang-tenang saja. Bebe-
rapa lelaki yang mencoba menarik perhatiannya den-


gan berbicara keras sama sekali tak dihiraukan. Gadis
itu terus menyantap pesanannya tanpa menghiraukan
suasana di sekelilingnya.
Wajar saja bila hampir seluruh pengunjung kedai
menaruh perhatian terhadap gadis ini. Selain cantik,
tubuhnya pun terlihat padat berisi. Pakaiannya yang
merah mencolok amat bagus dilihat. Kulitnya putih
mulus. Rambut gadis ini diikat ke atas dengan sehelai
kain kuning, hingga anak-anak rambutnya yang tersi-
bak memperlihatkan sebagian leher belakangnya yang
jenjang indah. Saat gadis ini menggerakkan kepala,
anting-antingnya bergoyang, kilauan permata itu se-
makin menarik perhatian orang.
"Pak Tua...," panggil si gadis cantik kepada pe-
layan yang baru saja menghidangkan pesanan salah
seorang pengunjung kedai.
"Iya, Den...," jawab pelayan itu menghampiri si
gadis. 
"Teh manis tambah." 
"Iya, Den...."
Pelayan tua itu melangkah pergi hendak menuju
dapur. Tapi, tiba-tiba terdengar panggilan keras. "Pak
Tua!"
Pelayan tua itu menoleh ke arah asal suara. Di
sudut ruangan tampak seorang pemuda tampan ber-
pakaian coklat bergaris-garis hitam melambaikan tan-
gannya. Segera pelayan tua ini menghampiri.
"Ada apa, Den?"
"Mendekatlah kemari," pinta pemuda tampan itu. 
Pelayan tua melangkah lebih dekat. Si pemuda
mendekatkan wajahnya ke telinga si pelayan. Entah
apa yang dibisikkan. Si pelayan tampak manggut-
manggut sedang tangannya menggenggam kencang ba-
rang pemberian pemuda tampan.
Tak lama kemudian, pelayan tua itu datang

membawakan teh manis. Pesanan si gadis cantik.
"Dari Aden yang duduk di sudut kiri itu," kata pe-
layan kedai kepada si gadis seraya menyodorkan sehe-
lai kertas.
Gadis cantik itu hanya tersenyum tipis. Tak dite-
rimanya kertas yang disodorkan kepadanya. Alis pe-
layan tua bertaut. Kertas pemberian pemuda tampan
diletakkan di sisi gelas yang berisi teh manis. Lalu, bu-
ru-buru pelayan ini pergi ke belakang.
Si gadis melirik. Dari sudut matanya dia melihat
pemuda tampan itu tersenyum ke arahnya. Senyum
itu terlihat ramah. Sinar matanya pun tak menunjuk-
kan sikap kurang ajar. Hal ini mengingatkan si gadis
pada.....
"Ah...," tiba-tiba dara cantik ini mendesah. "Kalau
berjumpa, tak kulewatkan kesempatan menjitak pe-
muda konyol itu." Sebersit senyum manis mengem-
bang di bibirnya.
Dengan malas-malasan dara cantik ini meraih
kertas di meja. Perlahan tangannya membuka lipatan.
Beberapa kata tertulis amat rapi di sana. Hanya orang
terpelajarlah yang dapat membuatnya. Tulisan itu ber-
bunyi:

Nona sangat cantik
Dengan baju merah
Laksana Bunga Dewi
Yang terindah....
Saka Purdianta.

Mendadak wajah si gadis merona merah. Buru-
buru dia menunduk, karena beberapa lelaki yang me-
lihat perubahan raut wajahnya semakin menatap ta-
jam.
Tak mau menjadi perhatian, dara cantik ini sege-

ra bangkit dari duduknya. Teh manis pesanannya sa-
ma sekali tak disentuh. Usai membayar hidangan dia
lalu berjalan pergi dengan langkah-langkah le-bar.
"Nona...! Nona...!"
Panggilan itu tak dihiraukan oleh si gadis. Begitu
sampai di tepi jalan, dara cantik ini menghemposkan
tubuh dan berlari cepat dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh.
Tapi sampai di pinggir kota, pada sebuah kelokan
jalan sepi, dia menghentikan lesatan tubuhnya. Gadis
itu tahu kalau dirinya sedang diikuti seseorang.
"Apa perlumu?!" bentak gadis cantik berbaju me-
rah ini kepada pemuda tampan yang tiba-tiba telah
berdiri di hadapannya.
"Saya Saka Purdianta. Orang-orang di Kerajaan
Pasir Luhur memberiku gelar si Dewa Guntur. Saya
memang berasal dari sana. Saya tahu Nona memiliki
kepandaian hebat. Senang rasanya hati ini bila dapat
berkenalan dengan Nona," ucap si pemuda dengan ba-
dan sedikit dibungkukkan.
Mendengar kalimat yang cukup sopan dan berke-
san menghormat itu, si gadis merasa tak perlu lagi
memasang wajah angker. 
"Namaku Ingkanputri," katanya lunak.
"Gelar Nona?"
Gadis yang bernama Ingkanputri tampak berpi-
kir. Dia teringat pada surat yang diterimanya dari si
pemuda.
"Kau bisa menyebutku dengan 'Dewi Baju Me-
rah'."
"Hmmm.... Nona memang pantas sekali memakai
baju berwarna merah. Sangat tepat bila bergelar Dewi
Baju Merah. Sesuai dengan keadaan Nona, dan..."
Pemuda tampan yang mengaku bergelar si Dewa
Guntur ini tak melanjutkan kalimatnya. Telinganya

yang tajam tiba-tiba mendengar suara jerit kesakitan
dari sebelah utara jalan.
"Tampaknya di sana sedang berlangsung sebuah
pertempuran," kata Saka Purdianta kemudian.
Ingkanputri yang juga mendengar jerit kesakitan
itu tak menimpali  perkataan si pemuda. Tubuhnya
langsung berkelebat pergi menuju arah utara.

***

Di tepi sungai kecil, tak seberapa jauh dari Kota
Kadipaten Bumiraksa, sebuah pertempuran sengit ten-
gah berlangsung. Empat lelaki kekar tampak sedang
dikeroyok oleh belasan lelaki berpakaian penuh tamba-
lan yang memegang senjata tongkat. Melihat jurus
yang dimainkan, belasan orang ini tak lain dari anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti.
"Empat Begundal Dari Gua Larangan! Tampak-
nya kalian memang iblis-iblis laknat! Kalian patut di-
enyahkan dari muka bumi!" hardik salah seorang pen-
gemis yang berambut riap-riapan.
Tongkat di tangan orang ini berkelebat cepat. Ta-
pi, sambaran pedang anggota Empat Begundal Dari
Gua Larangan yang bernama Gentho lebih cepat lagi.
Crash...!
"Wuaaahhh...!"
Tubuh pengemis berambut riap-riapan ini terhen-
ti mendadak. Kakinya bergoyang-goyang. Lalu, tubuh
itu jatuh berdebum di tanah dalam keadaan tanpa ke-
pala!
"Bangsat! Iblis Keparat!" umpat pengemis yang
lain. Namun belum sempat dia membalas kematian
temannya, terdengar suara siutan nyaring.
Crash...!
"Ouuwww...!"

Orang ini pun tewas menyusul temannya ke alam
baka. Pinggangnya terbabat putus oleh pedang anak
buah Gentho yang bernama Tunggul. Darah semakin
membanjir di ajang pertempuran. Tubuh lima anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti bergeletakan di
tanah tanpa nyawa.
Empat  Begundal Dari Gua Larangan memutar
pedang, menyebar kematian. Mereka laksana Malaikat
Pencabut Nyawa yang haus darah! Dalam waktu sing-
kat belasan anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti yang mengeroyoknya tinggal tiga Orang saja.
Tampaknya, orang-orang ini pun tak akan dapat ber-
tahan lebih lama lagi.
"Monyet-monyet Buduk! Hadapi Dewi Baju Me-
rah! Hiaaattt...!"
Teriakan ini terdengar menggelegar, Empat Be-
gundal Dari Gua Larangan langsung terkesiap. Akibat-
nya, serangan mereka yang ditujukan kepada tiga
orang anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
terhenti seketika
Tak...! Takk...! Takkk...!
Dhes...!
Tongkat di tangan tiga lelaki berpakaian penuh
tambalan tepat mengenai kepala tiga orang lawannya.
Yang seorang lagi terhantam pukulan bayangan merah
yang baru muncul. Kontan tubuh Empat Begundal Da-
ri Gua Larangan ambruk ke tanah.
"Lenyap sudah empat perusuh Kota Kadipaten
Bumiraksa," ujar Ingkanputri yang menyebut dirinya
Dewi Baju Merah.
Tak diduga oleh gadis ini dan ketiga anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti, tubuh Tunggul,
Gangsar, dan Boma yang telah diam terbaring di tanah
tiba-tiba saja bergerak-gerak. Tangan mereka memun-
gut pedang yang tergeletak di sisi tubuh. Tiga lelaki

kekar ini lalu bangkit berdiri dengan kepala retak me-
lelehkan darah segar!
Gentho yang merupakan pemimpin dari Empat
Begundal Dari Gua Larangan menyusul bangkit den-
gan pedang di tangan. Dada lelaki brewokan ini tam-
pak melesak ke dalam akibat pukulan Dewi Baju Me-
rah.
Tentu saja Ingkanputri dan tiga pengemis anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti terkejut bu-
kan main. Bila melihat luka Empat Begundal Dari Gua
Larangan, mustahil orang-orang ini dapat bertahan hi-
dup. Tapi, kenyataannya mereka dapat berdiri tegak
dengan geram kemarahan yang hebat. Apakah Empat
Begundal Dari Gua Larangan memiliki nyawa rangkap?
Atau, mereka memiliki ilmu kepandaian yang sudah
sedemikian tingginya, hingga dapat bertahan hidup
walau telah menderita luka parah?
Sebenarnya di dunia ini tidak ada satu pun ma-
nusia yang mempunyai nyawa rangkap. Demikian pula
halnya dengan Empat Begundal Dari Gua Larangan.
Ilmu kepandaian mereka juga tidak setinggi yang didu-
ga lawan-lawannya. Peristiwa di rumah papanlah yang
membuat Empat Begundal Dari Gua Larangan terlihat
sedemikian hebat. Sinar perak yang terpancar dari ke-
dua mata nenek seram, yang semula berwujud seorang
gadis cantik telah membuat Empat Begundal Dari Gua
Larangan memiliki kemampuan luar biasa.
"Kadal-Kadal Busuk! Walau kalian memiliki ke-
saktian setinggi langit, hukuman akan tetap dijatuh-
kan! Aku memiliki kuasa dari Gusti Adipati!" pekik In-
gkanputri seraya meluruk maju.
Gerakan dara cantik ini segera diikuti oleh tiga
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. In-
gkanputri melesat dengan jurus 'Memukul Bayangan'
hasil ajaran gurunya yang bergelar Dewi Tangan  Api.

Sedangkan ketiga pengemis sama-sama memutar
tongkat memainkan jurus 'Tongkat Memukul Anjing'.
Pertempuran sengit segera berlangsung. Luka
yang diderita Empat Begundal Dari Gua Larangan
tampaknya memang tak berpengaruh apa-apa. Tubuh
mereka tetap dapat berkelebat cepat. Pedangnya pun
menyambar-nyambar laksana empat tangan Malaikat
Kematian yang siap menjemput ajal.
Sementara itu, duduk di dahan pohon yang cu-
kup tinggi Saka Purdianta tenang-tenang saja menon-
ton pertempuran yang tengah berlangsung. Beberapa
kali bibirnya menyunggingkan senyum. Decak kagum
pun keluar dari mulutnya.
"Hmmm.... Ingkanputri tak hanya berwajah can-
tik. Ilmu kepandaiannya juga hebat. Dewa Guntur
memang beruntung dapat berkenalan dengannya. Apa-
lagi kalau dia mau jadi...."
Senyum di bibir Saka Purdianta mengembang le-
bar. Pemuda tampan ini semakin asyik menikmati ton-
tonan gratis yang sangat menyenangkan hatinya itu.
Kekaguman Saka Purdianta terlihat jelas di matanya,
tatkala Ingkanputri melambari jurus 'Memukul Bayan-
gan'-nya dengan ilmu 'Pukulan Api Neraka'. Tangan
Ingkanputri terlihat merah membara dan menyebarkan
hawa panas.
"Makan ini!" pekik Dewi Baju Merah seraya
menghantamkan pukulan ke kepala Gentho.
Sayang, gerak tubuh lelaki brewokan itu ternyata
mengandung tipuan-tipuan aneh. Ingkanputri terpe-
rangah. Dia sangat yakin kepalan tangan kanannya
benar-benar mengenai kepala Gentho. Tapi, justru per-
gelangan tangannya sendiri yang terasa ngilu. Karena
tak mau mendapat celaka, dara cantik ini segera
menghemposkan tubuhnya ke atas seraya mengi-
baskan kedua telapak tangan.

Wooosss...!
Angin pukulan berhawa sangat panas menerpa
tubuh Gentho. Tak ada jerit kesakitan keluar dari mu-
lut lelaki itu. Padahal, rambut dan pakaian yang dike-
nakannya hangus terbakar! 
"Akhhh...!"
Tiba-tiba saja lengking mengerikan membahana
keras. Tapi, bukan berasal dari mulut Gentho. Cepat
Dewi Baju Merah menolehkan kepala. Tampak olehnya
seorang pengemis bertubuh tinggi kurus mendekap
dadanya yang tertusuk pedang lawan. Mata lelaki itu
mendelik menahan sakit. Dia masih mencoba mengge-
rakkan tongkatnya tatkala sebuah sambaran pedang
tertuju ke arahnya lagi.
Tesss...!
Tongkat di tangan pengemis ini terbabat putus.
Tak ayal lagi, sambaran pedang terus berkelebat cepat.
Sebentar kemudian, sebuah benda bulat menggelind-
ing ke tanah. Disusul suara gedebuk yang berasal dari
tubuh si pengemis yang ambruk tanpa kepala!
"Keparat! Kalian benar-benar Iblis Laknat!" geram
Dewi Baju Merah.
Tanpa digerakkan dengan tangan, sehelai kain
kuning yang mengikat rambut dara cantik ini terlepas
dengan sendirinya. Anak-anak rambutnya kemudian
menyatu dan mengejang kaku.
"Heaaa...!"
Saka Purdianta atau si Dewa Guntur yang me-
nyaksikan pertempuran dari atas pohon semakin ber-
tambah senang. Binar di matanya terlihat jelas; akibat
rasa kagum yang terus memuncak.
Rambut Ingkanputri yang hitam panjang dapat
bergerak demikian hebat. Selain mampu meluncur ce-
pat dengan tusukan bagai tombak, juga bisa menyam-
bar dengan ketajaman tak kalah dari sebilah pedang.

Empat Begundal Dari Gua Larangan kini merasakan
kehebatan ilmu 'Rambut Penyambar Sukma' yang se-
dang diterapkan Ingkanputri. Tapi, empat lelaki kekar
ini sama sekali tak terpengaruh. Mereka semakin
memperhebat gempurannya. Pedang keempatnya me-
nyambar-nyambar mengundang hawa kematian.
Walau Ingkanputri yang senang memakai gelar
Dewi Baju Merah ini telah mengeluarkan seluruh ilmu
kepandaiannya, dia tetap tak mampu menghentikan
keganasan Empat Begundal Dari Gua Larangan. Apa-
lagi dara cantik ini harus membantu dua anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang terdesak he-
bat.
Melihat hal demikian, Saka Purdianta masih te-
tap duduk tenang-tenang di dahan pohon. Sedikit pun
tak tergerak hatinya untuk menolong. Pemuda tampan
ini memang menyimpan rasa tak suka pada seluruh
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Hal itu
terbawa oleh rasa bencinya yang mendalam terhadap
Suropati atau Pengemis Binal. Benci bercampur lua-
pan rasa dendam! Baginya, Suropati dan anak buah-
nya adalah orang-orang yang layak dikubur secepat
mungkin. 
"Argh...!"
Terlihat, tubuh Ingkanputri terpelanting ke ka-
nan. Bahu kirinya terkena tendangan Gentho, Pemim-
pin Empat Begundal Dari Gua Larangan.
Belum sempat gadis ini berdiri tegak, pedang
Gentho bersama Tunggul telah mengirimkan tusukan
maut. Pedang Gentho mengarah ke dada, sedang pe-
dang Tunggul tertuju ke dahi.  
Saka Purdianta yang hatinya telah tercuri oleh
Ingkanputri jadi terkesiap. Tentu saja dia tak mau me-
lihat dara cantik itu mati. Tapi, ketika pemuda tampan
ini hendak menghemposkan tubuhnya, se-sosok

bayangan berkelebat sangat cepat menyambar tubuh
Dewi Baju Merah.
"Bangsat...!" umpat Saka Purdianta dalam hati.
Sosok yang menyelamatkan Ingkanputri adalah
Suropati atau Pengemis Binal, musuh besarnya!
"Suro...," desis Ingkanputri setelah tubuhnya di-
turunkan pemuda itu.
Tapi, rasa syukur dan terima kasih yang terpan-
car dari tatap mata dara cantik ini tak mendapat per-
hatian dari Pengemis Binal. Begitu dapat menyela-
matkan jiwa Ingkanputri, Pemimpin Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti itu langsung menerjang Empat
Begundal Dari Gua Larangan.
"Kerbau-Kerbau Liar! Rupanya kalian yang berju-
luk Empat Begundal Dari Gua Larangan! Membunuh
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti sama
saja dengan menusuk jantung murid si Periang Ber-
tangan Lembut!" ujar Pengemis Binal sambil melancar-
kan serangan beruntun kepada Gentho dan teman-
temannya.
Begitu cepat gerakan murid si Periang Bertangan
Lembut ini. Tubuh Empat Begundal Dari Gua Laran-
gan tahu-tahu telah terlempar sejauh empat tombak.
Pedang mereka pun terlontar lepas dari pegangan dan
melesat jauh entah ke mana.
Pada gebrakan pertama itu, tendangan Suropati
bersarang di punggung Gentho dan dada Tunggul. Ke-
palan tangan kanannya menghantam kepala Gangsar.
Sementara siku pendekar muda ini berhasil menyodok
dagu Boma. Jurus 'Pengemis Menghiba Rembulan'
yang dilambari pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi
membuat Empat Begundal Dari Gua Larangan tak
mampu berbuat apa-apa.
Tapi, Pengemis Binal agaknya dihantam keterke-
jutan yang luar biasa. Mata tokoh muda ini mendelik

dengan alis bertaut rapat. Menurut perkiraannya, Em-
pat Begundal Dari Gua Larangan tak mungkin dapat
bertahan dari kematian. Tapi, kenyataan yang dihada-
pinya sungguh berbeda. Empat lelaki kekar itu justru
menggeram hebat laksana harimau berada pada pun-
cak kemarahannya. Begitu bangkit, mereka langsung
menerjang melancarkan serangan bertubi-tubi dengan
tubuh penuh luka.
Melihat pemimpinnya dikeroyok, dua anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti segera memban-
tu. Tongkat di tangan mereka meluruk cepat berlam-
barkan jurus 'Tongkat Mengejar Kucing'. Ingkanputri
pun tak mau tinggal diam. Dara jelita itu langsung
mengerahkan seluruh kekuatan ilmu 'Pukulan Api Ne-
raka'-nya, sehingga ajang pertempuran benar-benar
diselimuti hawa panas!
Tampaknya pertempuran itu akan berlangsung
lama. Empat Begundal Dari Gua Larangan seperti
mempunyai ilmu anti mati. Tentu saja Suropati merasa
jengkel dan semakin dipanasi hawa amarah. Namun
sebelum Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini melancarkan Ilmu Totokan Delapan Belas Ta-
pak Dewa, tiba-tiba terdengar suitan nyaring.
Kepala Empat Begundal Dari Gua Larangan tam-
pak menggeleng-geleng. Begitu terdengar suitan yang
kedua, empat lelaki kekar itu langsung berkelebat me-
ninggalkan ajang pertempuran.
"Bangsat! Mau lari ke mana kau?!" hardik Pen-
gemis Binal seraya berlari mengejar. Ingkanputri dan
dua pengemis bertongkat juga ikut mengejar.
Blaaarrr...! 
Blaaarrr...!
Terdengar ledakan dahsyat dua kali membahana
di angkasa. Suropati, Ingkanputri dan dua pengemis
bertongkat membentur kekuatan kasatmata yang tiba-

tiba muncul di belakang Empat Begundal Dari Gua La-
rangan. Kekuatan kasatmata itu mampu melontarkan
tubuh Ingkanputri dan Suropati beserta dua anak
buahnya sampai belasan tombak jauhnya.
Malang bagi dua orang anak buah Suropati. Begi-
tu jatuh berdebam di tanah, tubuh para pengemis itu
langsung berkelojotan meregang nyawa. Dari mulut,
lubang hidung, dan telinga mereka meleleh darah kehi-
tam-hitaman.
Sedangkan tubuh Suropati berputaran di udara
dan dapat mendarat dengan sigap. Tapi, tak urung da-
da remaja berpakaian putih penuh tambalan itu terasa
sesak. Keadaan Ingkanputri tak jauh berbeda dengan
Suropati. Dia juga dapat mendarat dengan sigap. Na-
mun, tanpa disadari, benda persegi empat yang berada
di balik bajunya melesat jauh. Dan, kebetulan menuju
ke arah Saka Purdianta yang masih  duduk di dahan
pohon. 
"Hup...!"
Saka Purdianta berhasil menangkap benda per-
segi empat yang melesat ke arahnya. Sekejap kemu-
dian, pemuda tampan ini bersorak girang dalam hati.
Bola matanya berkilat aneh. Benda yang berada di
tangannya adalah sebuah kitab.  Pada kulit depannya
tertera tulisan: Selaksa Dewa Turun Ke Bumi.
"Hmmm... Melihat judulnya, kitab ini tentu berisi
pelajaran ilmu kesaktian," batin Saka Purdianta. "Un-
tuk membuat perhitungan dengan Suropati masih ba-
nyak waktu. Sebaliknya aku segera pergi dari tempat
ini."
Berpikir demikian, Saka Purdianta segera melen-
tingkan tubuh dan melesat pergi. Sayang....
"Hai...!"
Pengemis Binal terpekik. Matanya sempat melihat
kelebatan tubuh Saka Purdianta.

"Dewa Guntur Keparat! Jangan lari!" hardik Su-
ropati bergegas mengejar. Namun, bayangan Saka
Purdianta telah hilang. Tertelan rimbunan pohon yang
tumbuh subur di tepi sungai.

***

Pedih rasa hati Suropati. Melebihi sayatan selak-
sa pedang tajam! Pemandangan yang terpampang di
hadapannya benar-benar mengenaskan. Belasan ang-
gota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti bergeletak-
kan di tanah tanpa nyawa. Mayat mereka berserakan
begitu saja seperti bangkai hewan. 
"Empat Begundal Dari Gua Larangan! Walau ka-
lian lari sampai ke ujung dunia, Suropati akan tetap
mengejar!" geram Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu.
Tanpa mempedulikan Ingkanputri yang terus
menatapnya, Pengemis Binal mengedarkan pandan-
gan. Terlihat olehnya kilatan benda tajam tertimpa si-
nar mentari. Pendekar muda ini bergegas berkelebat
untuk memungutnya. Ternyata benda tajam itu sebilah
pedang salah seorang dari Empat Begundal Dari Gua
Larangan yang tertinggal. Dengan mempergunakan pe-
dang itu Suropati membuat lubang besar di tepi sun-
gai.
Matahari sudah hampir terbenam tatkala Suro-
pati menyelesaikan pekerjaannya. Mayat belasan anak
buahnya telah dikuburkan. Lubang besar kembali ter-
tutup rata. 
"Suro...!" panggil Ingkanputri yang sedari tadi
cuma diam memperhatikan Pengemis Binal.
Suropati menoleh. Tatapannya terlihat kosong.
Tak seperti biasanya kalau melihat gadis cantik
dia akan tersenyum senang dan maunya nyosor saja.

Apa yang kali ini terlihat sangat bertolak belakang
dengan kebiasaannya itu. Suropati memang sedang
menyimpan kemarahan kepada Empat Begundal Dari
Gua Larangan.
"Aku tidak melihat Suropati sebagai sosok yang
pernah kukenal," gumam Dewi Baju Merah kepada di-
rinya sendiri.
Suropati yang sejak lama dikenalnya adalah si
periang yang sangat menyenangkan, walau dalam kea-
daan bagaimanapun. Ingkanputri tak habis pikir, ka-
lau hanya peristiwa pembunuhan yang sudah lazim
terjadi di rimba persilatan, kenapa meski membuat ha-
ti  bersedih  pilu seperti itu? Apakah karena tuntutan
tanggung jawab Suropati sebagai seorang pemimpin?
"Putri...," panggil Suropati pelan.
"Suro..."
"Wajahmu kusut. Apa yang sedang kau pikir-
kan?"
Mendengar pertanyaan itu, ingin rasanya In-
gkanputri tertawa sepuas-puasnya. Seharusnya ia
yang mengajukan pertanyaan tersebut. Bukan Suropa-
ti.
"Wajahmu tambah kusut. Bibirmu meringis aneh.
Ooo... aku tahu sekarang!" cetus Suropati tiba-tiba.
Suaranya terdengar begitu riang.
"Kau ini berkata apa, Suro?"
"Aku sangat yakin! Yakin sekali!"
"Eh, kau mulai ngelantur..." gerutu Ingkanputri
"Yang membuat aku jadi sangat yakin adalah
pinggulmu yang bergoyang-goyang itu. Bukankah
kau...." 
"Apa?!" bentak Dewi Baju Merah. Melihat Penge-
mis Binal yang tiba-tiba tersenyum genit, gatal rasanya
tangannya untuk mendaratkan tamparan ke pipi pe-
muda itu.

"Ayolah! Tunggu apa lagi? Kita cari tempat yang
lebih aman," ajak Pengemis Binal.
"Untuk apa?"
"Alah, jangan pura-pura! Lelaki jompo atau ku-
nyuk bangkotan pun tahu apa yang kau inginkan,"
ejek Suropati seraya mengedipkan matanya.
Ingkanputri mendelik. Napasnya tiba-tiba terse-
dak. Keadaan itu membuat dadanya membusung ke
depan.
"Nah, benar kataku, bukan?"
"Jangan main-main, Suro!"
"Siapa yang main-main? Aku benar-benar tahu
sekarang apa yang kau inginkan... "
"Apa?!" bentak Dewi Baju Merah dengan suara
lantang.
"Gadis-gadis memang suka berbuat aneh. Selalu
menutupi perasaan yang sebenarnya. Padahal,.. He he
he.... Padahal....."
Jemari tangan Ingkanputri terkepal kuat-kuat.
Siap hendak menonjok mulut Pengemis Binal yang
mulai kumat.
"Sssttt...!" Suropati menegakkan telunjuk jari ka-
nannya di bibir. "Mendekatlah kemari. Mumpung aku
juga lagi ingin..."
"Aku benar-benar tak tahu apa yang kau kata-
kan, Suro!"
"Jangan pura-pura! Bukankah kau ingin kupeluk
dan ku... " 
Plak...!
Trak...!
"Aduh...!"
Hilang sudah kesabaran Dewi Baju Merah. Tela-
pak tangan kanannya menampar pipi Suropati, sedang
tangan kirinya menghadiahkan jitakan. Tapi, Pengemis
Binal malah tertawa senang. Sewaktu Ingkanputri

hendak memberi hadiah lagi yang be-rupa tendangan,
tiba-tiba saja tubuhnya terasa limbung. Dan sebelum
dara cantik ini menyadari apa yang terjadi, telinganya
menangkap suara tawa terkekeh. Lalu... kehangatan
yang melenakan menyentuh bibirnya.
"Uh...! Ap... apaan ini? Uh...!"
"He he he...," tawa Pengemis Binal setelah melu-
mat bibir Dewi Baju Merah. "Ah-uh, ah-uh apa?! Kau
tak suka? Jangan sok alimlah!"
Suropati yang sudah benar-benar kumat gen-
dengnya memeluk Ingkanputri lebih erat. Mendapat
perlakuan kurang ajar itu, tentu saja dara cantik ini
marah bukan main. Dia meronta keras sambil menje-
rit-jerit. Tapi Pengemis Binal malah meledakkan ta-
wanya.
"Lepaskan, Suro...!" teriak Dewi Baju Merah sam-
bil memukuli punggung Suropati.
"He he he.... Pukulanmu nikmat, Putri. Teruskan
saja."   
"Bocah Gendeng!"
"Gendeng tapi tampan!" jawab Suropati konyol.
"Kayak monyet kecebur comberan!"
"Tapi kau suka!" 
"Siapa bilang?!" 
"Aku!"
Mendadak, Pengemis Binal mendorong tubuh In-
gkanputri hingga jatuh telentang. Lalu Suropati me-
nerkamnya. Tapi sebuah tamparan mendarat di pipi.
"Aduh...!"
Tamparan keras Dewi Baju Merah kali ini mem-
buat tubuh Pengemis Binal terpelintir. Kemudian jatuh
bergulingan di atas tanah. Begitu dia bangun, bibirnya
meringis-ringis menahan sakit. Pipi kiri Suropati beng-
kak dan bergambar guratan lima jari. Untung giginya
tidak ada yang tanggal. Itu adalah peringatan bagi Su-

ropati agar tidak melanjutkan perbuatan kurang ajar-
nya.
Dewi Baju Merah tiba-tiba teringat sesuatu. Wa-
jahnya menampakkan kekhawatiran yang sangat, Dara
cantik ini bergegas meraba-raba bajunya. Tapi, tak dia
temukan apa yang dicari.
"Hei! Apa yang kau lakukan?!" tanya Pengemis
Binal yang sudah bisa menguasai rasa sakitnya. "He he
he.,. Mari aku bantu meraba-raba...."
Ingkanputri tak menanggapi gurauan Suropati.
Tatap matanya terlihat begitu nanar. "Kau mengambil
sesuatu dari balik bajuku, Suro?" tanyanya dengan
wajah tegang.
"Mengambil apa? Dua bulatan di balik bajumu
itu masih utuh. Masa' tidak merasa?" sahut Suropati
sambil tersenyum-senyum.
"Aku sungguh-sungguh!" Ingkanputri kelihatan
begitu jengkel.
"Aku juga sungguh-sungguh!"
"Kau tahu Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi
warisan Panglima Pranasutra?"
"Ada apa dengan kitab itu? Bukankah kau per-
nah membawanya ke puncak Bukit Pangalasan untuk
meminta petunjuk Kakek Gede Panjalu?"
"Kitab itu hilang!"
"Apa?"
"Hilang, Tolol!" sambar Dewi Baju Merah.
"Aku tidak mencuri!" Suropati menggeleng-
gelengkan kepalanya.
Ingkanputri terdiam. Dicobanya mengingat-ingat
peristiwa yang baru saja dialaminya.
"Ah, kemungkinan besar kitab itu terlontar ketika
tubuhku membentur kekuatan kasatmata yang men-
dadak muncul di belakang Empat Begundal Dari Gua
Larangan. Tapi, kitab itu terlontar ke mana?" gumam

dara cantik itu.
Ingkanputri mengeluarkan kesimpulan. Ketika
dara cantik ini hendak beranjak dari tempatnya, Pen-
gemis Binal menyilangkan tangan kanan untuk meng-
halangi.
"Aku tidak mau bergurau!" bentak Ingkanputri
ketus. 
"Aku juga tidak sedang bergurau. Bila kau men-
cari Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi, tidak akan
kau temukan di tempat ini. Aku tahu siapa yang mem-
bawanya."
"Pemuda berbaju coklat yang bersembunyi di atas
pohon itu?" duga Dewi Baju Merah, teringat pada Saka
Purdianta.
"Tepat! Kitab warisan Panglima Pranasutra jatuh
ke tangan pemuda itu. Makanya putra Tumenggung
Sangga Percona itu buru-buru melarikan diri. Ketika
aku mengejar, terlihat olehku tangan kanan-nya
menggenggam sesuatu. Aku dapat memastikan barang
yang digenggamnya itu adalah Kitab Selaksa Dewa Tu-
run Ke Bumi."
"Kalau begitu, kita harus segera mengejarnya!"
"Uts! Tunggu dulu!" cegah Pengemis Binal buru-
buru melihat Dewi Baju Merah hendak mengerahkan
ilmu lari cepatnya. "Susah sekali mencari pemuda yang
bernama Saka Purdianta itu. Dia mempunyai Ilmu pe-
nyamaran yang sangat hebat"
"Kau sudah mengenalnya?"
"Tentu saja. Bisa dibilang dia itu musuh besarku.
Di balik ketampanan dan kehalusan tutur katanya,
tersimpan jiwa iblis!"
Suropati lalu menceritakan peristiwa di atas ge-
ladak Kapal Rajawali, di mana Saka Purdianta pernah
melukainya dengan Jarum Mati Sekejap. Termasuk fit-
nah keji yang dilakukan pemuda yang bergelar si Dewa

Guntur itu. (Tentang peristiwa ini silakan baca episode:
"Cinta Bernoda Darah dan Dewa Guntur"). 
"Apa yang harus kita perbuat sekarang?" tanya
Dewi Baju Merah. Gadis itu tampak kebingungan dan
khawatir sekali karena kehilangan kitabnya.
"Hmmm...," Suropati tersenyum penuh arti. "Apa
yang harus kita lakukan sekarang? Sebuah pertanyaan
yang terlalu mudah untuk dijawab. Lebih baik kita...."
"Gendengmu mulai kumat lagi!" tukas Ingkanpu-
tri.
Suropati menggaruk-garuk kepala. Tapi senyum-
nya tetap mengembang di bibir.
"Kau tidak suka padaku, Putri?" tanya remaja
konyol ini kemudian. 
Dewi Baju Merah gelagapan. Cepat-cepat diha-
launya perasaan tak enak yang mengabuti pikirannya.
Ingatannya melayang ke Pendapa Kadipaten Bumirak-
sa. Lalu, berkelebatan bayangan Dewi Ikata di depan
matanya. Ingkanputri tahu pasti putri tunggal Adipati
Danubraja itu menaruh hati pada Suropati. Namun,
haruskah Ingkanputri menipu diri sendiri kalau dia ju-
ga menaruh hati pada orang yang sama? Haruskah dia
mengalah atau malah berjuang keras untuk menda-
patkan cinta Suropati?
"Kau melamun?" tegur Suropati.
Pertanyaan Pengemis Binal membuat Dewi Baju
Merah tersentak. Ditatapnya wajah tampan di hada-
pannya lekat-lekat.
"Kau mencintai Dewi Ikata, Suro?" tanya dara
cantik ini tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Aku turut bahagia seandainya
kau menerima cinta saudara seperguruanku itu," kata
Dewi Baju Merah pelan sekali. Ada rasa perih di dalam
hatinya. 

"Putri..." panggil Suropati begitu lembut.
Getar-getar aneh menjalar di hati Ingkanputri.
Panggilan Pengemis Binal barusan terasa sangat me-
nyentuh. Inikah kekuatan cinta itu?
Dewi Baju Merah diam membisu. Mulutnya ter-
kunci rapat. Dia teringat lagi pada sosok Dewi Ikata.
Perilaku Dewi Ikata yang seperti orang gila dikarena-
kan  gadis itu terlalu memikirkan Suropati. Ketika te-
ringat kebaikan gadis yang bergelar Pendekar Wanita
Gila itu, sebutir mutiara bening bergulir di sudut mata
Ingkanputri.
Dara cantik ini merasa sangat kasihan kepada
Dewi Ikata. Tapi sebagai seorang wanita yang berpera-
saan halus, Ingkanputri tak dapat menipu diri sendiri.
Jauh di lubuk hatinya dia mencintai Suropati.
"Kau menangis, Putri?" tanya Pengemis Binal tak
mengerti. Dan, ketidak mengertian itu semakin ber-
tambah tatkala Ingkanputri tersurut dua langkah ke
belakang, lalu berkelebat pergi sambil mendekap wa-
jahnya.
Suropati menggaruk-garuk kepala. Remaja ko-
nyol ini hanya menatap bayangan Dewi Baju Merah
yang hilang dari pandangan. Dia tak berusaha menge-
jar. "Ah, ada-ada saja...," gumamnya pelan.

***

5

Nenek berwajah seram ini memandang sinis Em-
pat Begundal Dari Gua Larangan lewat sudut matanya
yang cekung. Bibirnya yang mencong menampakkan
seringai aneh.  Seiring suara gumaman tak jelas dari
mulutnya, kedua telapak tangannya digerak-gerakkan

ke depan.
Wuuuiss...!
Seberkas  sinar perak menyebar lalu menyelu-
bungi tubuh Empat Begundal Dari Gua Larangan. Mu-
lut keempat lelaki itu terbuka lebar mengeluarkan
erangan panjang. Kepalanya mendongak dengan bola
mata  melotot. Sementara tangan mereka mengibas-
ngibas seperti sedang mengusir rasa sakit.
"Hua... ha... ha.,!"
Si nenek tertawa bergelak-gelak seraya menarik
kedua tangannya ke belakang. Sinar perak yang me-
nyelubungi tubuh Empat Begundal Dari Gua Larangan
langsung lenyap, berganti dengan hembusan angin
yang melenakan. Empat Begundal Dari Gua Larangan
jatuh terduduk.
Sebelum kening mereka menyentuh permukaan
tanah, si nenek menggerakkan lagi telapak tangannya.
Serangkum angin pukulan membuat Empat Begundal
Dari Gua Larangan tetap duduk dengan punggung te-
gak. Sinar mata mereka berkilat, tapi menunjukkan
kepatuhan.
"Ternyata ilmu kalian belum dapat diandalkan
untuk menjalankan tugas. Suropati terlalu sakti. Wa-
lau kalian tak mungkin mati cepat, tapi ajal tetap akan
menjemput. Tubuh kalian akan hancur berkeping-
keping terkena ilmu 'Totokan Delapan Belas Tapak
Dewa'! Namun, sebagai abdi setia sang Ratu Air, kalian
tak perlu khawatir. Aku telah membuat kebal tubuh
kalian.  Sinar perak tadi akan membuat pukulan dan
tendangan terasa seperti pijatan perawan. Sambaran
golok dan pedang akan terasa seperti sabetan lidi bo-
cah lima tahun. Hua... ha... ha...!"
Si nenek tertawa bergelak-gelak lagi. Payuda-
ranya yang kempes menggantung bergoyang ke kiri
dan ke kanan. Entah kenapa wanita tua ini memamer-

kan barang yang sudah tak berharga itu. Padahal, le-
laki tua pun akan menutup mata rapat-rapat bila dis-
uruh melihatnya.
"Hari ini kita lupakan dulu bocah gendeng yang
bergelar Pengemis Binal  itu. Malam nanti kita akan
menyatroni puncak Bukit Pangalasan. Ada senjata
mukjizat yang harus kita ambil di sana. Aku yakin,
senjata itu akan mampu menghadapi cakra milik Sun-
dal Laknat Nyai Catur Hasta!"

***

Sepanjang perjalanan, berulang kali Putri Racun
mengerutkan kening. Banyak perubahan terjadi di atas
dunianya. Beberapa lembah dan ngarai yang dulu per-
nah dilaluinya, kini lenyap telah rata dengan permu-
kaan tanah di sekitarnya. Hutan-hutan menjadi per-
kampungan. Manusia pun semakin bertambah jum-
lahnya. Tak bisa dihindari, kerajaan kecil pun ber-
munculan. Tanah Jawa semakin ramai saja.
Wajar  bila  Putri Racun merasa takjub ataupun
heran. Selama tinggal di Kerajaan Siluman, Nyai Catur
Asta tak pernah sekali pun mengizinkan Putri Racun
pergi melihat dunianya. Sementara satu abad lebih Pu-
tri Racun tinggal di Kerajaan Siluman.
Kini, wanita berusia sekitar seratus lima puluh
tahun yang masih cantik jelita itu berjalan mendaki
sebuah bukit. Bola matanya bergerak mengedarkan
pandangan. Di sisi kanan dan kirinya pohon-pohon
tampak tumbuh subur. Semak-belukar membuat pe-
mandangan jadi serba hijau. Ketika mendongak, Putri
Racun menikmati sejenak langit putih yang disinari
cahaya sang baskara di sore hari. "Hanya langit dan
mataharilah yang tetap seperti dulu", bisik Putri Racun
dalam hati.

Tiba-tiba dari arah tenggara angin berhembus
sangat kencang. Muncullah suara bersiutan yang
membuat gendang telinga jadi pekak. Semakin lama
suara itu semakin kencang. Tiupan angin pun bertam-
bah bergemuruh. Putri Racun terpaksa menarik kaki
kirinya ke belakang. Dengan tangan bersedekap dia
mengerahkan ilmu untuk memperberatkan tubuh.
Gemuruh angin kencang itu semakin dahsyat.
Beberapa batang pohon kecil tercabut dari dalam ta-
nah lalu melayang jauh entah ke mana. Ranting-
ranting pohon  besar meliuk dan berpatahan. Rambut
Putri Racun sampai terlepas dari sanggulnya. Rambut
panjang itu berkibar-kibar ditiup angin. Wajah dan se-
kujur tubuh gadis jelita ini terasa seperti ditampari.
Pedih! Untung pakaiannya yang berwarna ungu hitam
adalah pakaian mustika pemberian Nyai Catur Asta,
hingga dapat bertahan untuk tak terkoyak.
"Aneh...," pikir Putri Racun. "Semula aku mera-
sakan hembusan angin lemah bertiup dari arah timur.
Kenapa tiba-tiba menjadi kencang dan bahkan beru-
bah arah? Ada sesuatu yang tak sewajarnya terjadi. Di
seberang sana tentu ada manusia sakti yang sengaja
hendak menggangguku. Hmmm.... Siapa pun orang-
nya, aku harus dapat bersitatap...."
Sigap sekali Putri Racun menggeser kaki kirinya
semakin lebar. Dengan badan setengah membungkuk
gadis jelita ini mengerahkan seluruh tenaga dalam.
Kedua tangannya yang telah ditarik ke belakang sejajar
pinggang tiba-tiba menghentak ke depan dengan tela-
pak terbuka.
Wuuusss...!
Begitu angin pukulan Putri Racun meluruk, ge-
muruh di angkasa terdengar makin keras. Hembusan
angin kencang dari tenggara langsung terhenti. Tapi,
hanya sebentar. Putri Racun seketika tercekat.

Angin yang menerpa tubuhnya terasa semakin
kencang. Kedua telapak kakinya tersurut ke belakang
satu depa. Keterkejutan gadis jelita ini terlihat jelas di
matanya tatkala langit berubah gelap. Awan berarak
menutupi sinar mentari. Kilatan-kilatan petir me-
nyambar-nyambar.
"Orang yang berada di seberang sana benar-
benar memiliki kesaktian luar biasa. Tak sanggup aku
menghentikan hembusan angin kencang ini. Haruskah
aku mati tersambar petir?" batin Putri Racun. "Ah, ke-
napa aku jadi bodoh? Kepandaian manusia ada batas-
nya. Selama masih ada usaha, jalan pasti terbentang.
Kenapa tidak kucoba dengan 'Pukulan Racun Pembuat
Serbuk'?"
Putri Racun segera menyalurkan seluruh tenaga
dalamnya ke kedua tangan. Kali ini disertai dengan
kekuatan batin. Begitu gadis jelita ini mencengkeram
tanah lebih kuat, secepat kilat kedua pergelangan tan-
gannya berubah ungu. Hawa dingin menyebar. Aneh-
nya, semak belukar dan dedaunan malah terkulai layu!
Inilah kehebatan ilmu 'Pukulan Racun Pembuat Ser-
buk'! 
"Hei, orang usil di seberang sana!" teriak Putri
Racun dengan suara lantang. "Kematian memang sela-
lu berkenaan dengan takdir Yang Kuasa. Jarang ada
manusia yang mau mati cepat-cepat. Tapi bila Malaikat
Kematian terlalu dini datang karena diancam seseo-
rang. Manusia demikian haruslah menerima kutukan!"
Putri Racun menarik napas panjang. Ditung-
gunya perubahan yang mungkin terjadi. Namun angin
malah berhembus semakin kencang. Lidah-lidah petir
di langit terjulur makin dekat ke tempat Putri Racun
berada. Kontan gadis jelita ini mendengus marah. Ke-
dua telapak tangannya disorongkan ke depan dengan
kekuatan penuh.

Wuuusss.!
Blaaarrr,..!
Begitu terjadi ledakan dahsyat, gumpalan awan
di langit langsung buyar. Sinar mentari kembali mene-
robos masuk dan menerangi permukaan bumi. Yang
terlihat kini bukan permukaan bukit yang hijau subur.
Gumpalan tanah bercampur bongkahan batu tampak
melayang ke angkasa dengan memperdengarkan ge-
muruh keras.
Saat bumi berhenti berguncang, belasan tombak
dari hadapan Putri Racun terpampang pemandangan
menggidikkan. Batang-batang pohon besar yang semu-
la berdiri menjulang kini berubah menjadi serbuk ha-
lus berwarna ungu!
Pemuda tampan berbadan kekar ini terkejut bu-
kan main. Hembusan angin kencang yang berasal dari
Ilmu 'Tapak Dewa Guntur Satukan Badai' miliknya ti-
ba-tiba berbalik arah, dan menghantam dirinya sendi-
ri. Pemuda itu jatuh berdebam di tanah setelah terba-
wa melayang sejauh tiga puluh tombak lebih.
Susah payah dia mencoba bangkit. Namun selu-
ruh kekuatan tubuhnya bagai telah lenyap. Tak ada
kemampuan lagi untuk bergerak sedikit pun. Pakaian
yang dikenakannya hampir hancur. Sakit yang dirasa-
kannya pun tak dapat digambarkan lagi. Rasanya, ma-
ti lebih baik daripada menanggung derita begitu. 
"Oh, sungguh malang tubuh yang satu ini. Kein-
ginan hati cuma menjajal kepandaian gadis cantik di
seberang sana. Tapi apa daya? Setan-setan keparat ju-
stru membantunya. Namun sebagai manusia, pantang
bagi Dewa Guntur untuk menyerah...."
Pemuda ini lalu mencoba mengumpulkan hawa
murninya. Rasa sakit malah semakin mencacah-cacah
sekujur tubuh. Dikuatkan hatinya untuk tak menjerit.
Dan ketika dia mengulang usahanya, darah kental

berwarna ungu menyembur dari mulut. Jantungnya
meletup-letup aneh. Pening di kepalanya laksana pu-
kulan palu godam puluhan kati. Tubuh pemuda itu ti-
ba-tiba mengejang. Sadarlah pemuda ini kalau dia se-
dang menderita luka dalam yang amat parah.
"Kemungkinan besar riwayat Dewa Guntur akan
berakhir di sini. Bila benar itu terjadi, Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi harus turut musnah. Aku tak
mau kitab wasiat itu jatuh ke tangan Suropati...."
Pemuda tampan ini berusaha menggerakkan tan-
gan kanannya untuk meraih sebuah kitab yang terikat
kuat di perutnya. Namun seperti tadi juga, usahanya
sia-sia belaka.
"Oh, pupus sudah harapan. Menggerakkan tan-
gan saja tak mampu. Apalagi yang diinginkan kecuali
Malaikat Kematian. Maka, datanglah dengan cepat!
Badan lumpuh ini sudah tak tahan didera sakit berke-
panjangan."
Pemuda tampan  itu memejamkan mata rapat-
rapat. Tampaknya dia sudah pasrah menerima ajal.
Namun, apa yang diinginkannya tak juga terjadi. Ada
kekuatan aneh yang tiba-tiba menyusup masuk lewat
pusat. Kekuatan aneh itu semakin lama semakin tera-
sa, membuat nafasnya  menjadi  longgar. Jantungnya
yang meletup-letup kembali berdetak normal. Pusing di
kepalanya pun sirna mendadak,
"Ada kekuatan sakti yang membantuku. Tapi, be-
rasal dari mana?" Hati pemuda itu bertanya-tanya. Ma-
tanya melihat ke bagian perutnya. "Ah, tahulah aku
sekarang. Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi memang
kitab warisan yang amat ampuh. Kitab itu mempunyai
kekuatan gaib yang mampu menyembuhkan luka da-
lam."
Sakit di sekujur tubuh telah lenyap. Hawa mur-
ninya pun dapat mengalir seperti sedia kala. Dengan

demikian  pemuda itu dapat menyalurkan tenaga da-
lamnya untuk membantu jejakan kaki di tanah.
Saat tubuh si pemuda melesat ke udara, dia ber-
salto empat kali lalu mendarat sigap dengan kaki ter-
pentang lebar. Matanya tampak berkilat aneh.
"Ha... ha... ha...!" Tokoh muda ini tertawa terba-
hak-bahak. "Dengan kitab Selaksa Dewa Turun  Ke
Bumi, apalagi yang mesti ditakuti. Biar seribu Suropati
datang meluruk, akan kubelah langit dan kutimpakan
pada tubuh manusia durjana itu!"
Tawa si pemuda berhenti mendadak. Sesosok
bayangan  ungu berkelebat datang dan berhenti tepat
empat tombak di hadapannya.
"Jauh-jauh aku berlari mengitari bukit ternyata
manusia sok itu berada di sini...," ujar sosok yang baru
hadir. Dia adalah Putri Racun. "Dapat saja manusia
mempunyai kesaktian setinggi langit, tapi apalah guna
kesaktian itu bila hanya untuk dipamerkan? Kutuk
Tuhan berlaku untuk semua manusia berjiwa iblis." 
Si pemuda menatap tajam wajah cantik yang be-
rada di hadapannya. 
"Pepatah orang terdahulu memang patut dijadi-
kan suri tauladan. Tapi, manusia mempunyai sifat lu-
pa. Mata lahir dan mata batin bisa saja tertutup oleh
keinginan buruk. Beruntunglah manusia itu bila ma-
sih ada yang mau mengingatkan. Aku Saka Purdianta
yang bergelar si Dewa Guntur, dengan ini menyatakan
penyesalan yang sedalam-dalamnya. Kata maaf patut
dimintakan. Rasa hormat layak dipersembahkan...." 
Saka Purdianta menjura hormat beberapa kali
dengan tubuh dibungkukkan dalam-dalam. Putri Ra-
cun tersenyum tipis. Pandangan matanya yang semula
berkilat berubah redup.
"Syukurlah  bila kau menyadari kesalahanmu.
Kesadaran membuat manusia jadi mengerti apa yang

mesti dikerjakan dan ditinggalkan."
"Tunggu dulu, Nona...," cegah Saka Purdianta
saat melihat Putri Racun hendak meninggalkannya.
"Tidakkah Nona sudi meninggalkan nama beserta  ge-
lar. Biar dapat Saka Purdianta yang bodoh ini terus
mengingat petuah Nona."
"Nama bagiku tak penting. Tapi bila kau mau
memanggilku, aku bergelar Putri Racun."
Usai berkata, Putri Racun menjejak tanah. Tu-
buhnya melayang hilang dari pandangan. Saka Pur-
dianta berdecak kagum. Sehari ini dia telah berjumpa
dengan dua orang gadis yang sama cantik dan berke-
pandaian tinggi pula. Ingkanputri dan Putri Racun!
Tiba-tiba sosok Anggraini Sulistya membayang di
kelopak matanya.
"Hmmm.... Bila Suropati dapat selamat dari pen-
garuh racun Jarum Mati Sekejap, ada kemungkinan
putri Prabu Singgalang Manjunjung Langit itu juga lu-
put dari kematian. Perasaanku mengatakan dia sedang
mengarungi lautan untuk kembali ke Istana Pasir Lu-
hur. Alangkah baiknya bila aku menyusul."
Pemuda ini lalu menatap lurus ke timur di mana
sosok Putri Racun berkelebat lenyap. "Putri Racun! Se-
buah gelar yang cukup menggidikkan, tapi orangnya
sangat cantik. Melihat kesaktiannya, gatal tanganku
untuk dapat menaklukkannya. Hmmm.... Tunggulah
saatnya, Putri Racun! Dewa Guntur pantang menye-
rah. Takkan puas hati ini sebelum melihat gadis-gadis
cantik berilmu tinggi bertekuk lutut di bawah kaki De-
wa Guntur. Ha... ha... ha...! "


***



6

Malam ini dingin terasa menusuk sampai ke tu-
lang sumsum. Puncak Bukit Pangalasan mulai terseli-
muti kabut. Jajaran rumah sederhana tempat bermu-
kim para anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sak-
ti terlihat samar-samar, walau bulan purnama menyi-
nari bumi. Cahaya keemasannya mampu menembus
tebalnya kabut.
Empat sosok bayangan itu berkelebat cepat lak-
sana menyatu dengan hembusan angin. Sesampainya
di depan rumah yang terbuat dari susunan batu, me-
reka menghentikan langkah. Seorang di antara mereka
yang brewokan maju tiga langkah. Dihantamkannya
daun pintu dengan kedua telapak tangan,
Timbul suara gemeretak amat keras. Daun pintu
pecah berkeping-keping. Lelaki brewokan ini menden-
gus. Tubuhnya berkelebat masuk hendak mengambil
sebatang tongkat yang terdapat di pojok ruangan. Na-
mun sebelum niat itu terlaksana, serangkum angin
pukulan meluruk datang dan menghantam tepat da-
danya
Desss...!
Tubuh orang ini terlontar keluar ruangan, lalu
menerpa ketiga temannya yang berdiri menunggu. Aki-
batnya, empat lelaki itu jatuh bergulingan.
"Malam-malam begini naik ke puncak Bukit Pan-
galasan untuk mencuri Tongkat Sakti hanya pantas di-
lakukan oleh manusia yang telah bosan hidup!" ujar
kakek bongkok yang tiba-tiba telah berdiri di ambang
pintu.
Mata kakek yang tak lain Gede Panjalu, sesepuh
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini, menatap ta-
jam ke depan. Sejurus dengan pandangannya terlihat

empat sosok tubuh telah berdiri dengan sigap.
"Hmmm.... Bila kalian tak mati terhantam
'Pukulan Sakti' -ku, alangkah baiknya nasib kalian.
Tapi, nasib baik tak selalu menyertai manusia. Apalagi
bila manusia itu punya perilaku menyimpang!"
Tak ada kalimat yang menimpali ucapan si kakek
Empat sosok lelaki kekar yang berdiri di hadapannya
cuma mendengus. Secara bersamaan, mereka kemu-
dian menyorongkan kedua telapak tangan ke depan.
Gede Panjalu terkesiap. Namun, kakek bongkok
ini segera menyadari keadaan. Cepat cepat ditariknya
kedua belah tangan sejajar pinggang. Lalu, dihentak-
kannya ke depan menyambut delapan larik sinar perak
yang berkilat menggidikkan.
Wuuusss...!
Blaaarrr...!
Bersamaan dengan timbulnya suara ledakan,
bumi berguncang bagai dilanda gempa. Empat sosok
tubuh terlontar jauh ke bawah bukit kemudian bergu-
lingan menuruni lereng. Satu sosok tubuh lagi terlihat
mencelat dan membentur rumah susunan batu hingga
jebol.
"Empat manusia sesat! Apabila kalian belum juga
mati terkena hantaman 'Pukulan Sakti'-ku, berarti ka-
lian mempunyai nyawa rangkap!" ujar Gede Panjalu
sambil mendekap dadanya yang sesak. Cairan darah
menetes dari sudut bibirnya. Juga dari lubang hidung
dan telinga
"Bila Tongkat Sakti tak diperkenankan berpindah
ke tangan sang Ratu Air, nama besar sesepuh Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti hanya akan tinggal
kenangan semata!"
Tiba-tiba saja muncul sesosok tubuh terbungkus
pakaian serba biru. Nenek tua renta ini berwajah begi-
tu mengerikan. Bibirnya yang mencong mengulum se-

nyum mengejek. Sedangkan matanya yang cekung
menatap Gede Panjalu lekat-lekat.
"Siapa kau?!" bentak Gede Panjalu. "Mendengar
tutur katamu, agaknya kau pemimpin dari empat pen-
curi nekat itu!"
"Hua... ha... ha...!" Si nenek tertawa keras. "Bila
raga telah menderita luka, masihkah sifat keras kepala
tetap dipertahankan? Serahkan Tongkat Sakti! Nyawa
pasti selamat!"
"Sejengkal pun tak hendak hati Gede Panjalu un-
tuk mundur. Lambang persatuan Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti mesti dipertahankan meski  ajal
taruhannya!"
"Baik, kalau itu maumu! Mati sebagai seorang
ksatria memang layak diimpikan oleh para pendekar.
Tapi sebelum Malaikat Kematian benar-benar datang,
manusia waras harus menggunakan pikirannya. Dari-
pada mati konyol, lebih baik menatap dunia yang ma-
sih penuh keindahan!" sahut nenek berwajah seram
itu menyambuti tantangan Gede Panjalu.
"Kata-katamu semakin menyakitkan telinga. Aku
tak tahu siapa kau. Tapi, aku dapat memastikan kalau
kau tak lebih baik dari penjahat culas yang gemar
mencuri barang orang lain!"
"Bangsat!" umpat si nenek seraya menyalurkan
seluruh tenaga dalam ke pergelangan tangan. "Kau bo-
leh bangga dengan 'Pukulan Sakti' -mu. Namun keta-
huilah kematian sudah lekat di pelupuk mata. Terima-
lah 'Sinar Perak Cairkan Wujud'!"
Begitu kedua telapak tangan si nenek menyorong
ke depan, dua larik sinar perak yang membias menyi-
laukan mata meluruk ke arah Gede Panjalu. Tokoh tua
yang sudah kenyang makan asam garam rimba persi-
latan itu mengibaskan kedua telapak tangannya di de-
pan dada. Timbul gemuruh angin dahsyat yang mem-

bentur biasan cahaya perak. Namun, Gede Panjalu
terkejut bukan main. Biasan cahaya perak yang melu-
ruk ke arahnya malah berpendar semakin lebar.
Blaaammm...!
Sebelum biasan cahaya perak menyentuh tubuh-
nya, Gede Panjalu masih sempat menghentakkan ke-
dua telapak tangan yang disaluri seluruh tenaga sak-
tinya. Tapi bersamaan dengan timbulnya ledakan dah-
syat yang membahana di angkasa, tubuh Gede Panjalu
mencelat ke belakang dan membentur dinding rumah
hingga jebol. Tempat tinggal sesepuh Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti itu pun berderak-derak hen-
dak roboh.
Tubuh Gede Panjalu jatuh terjerembab ke tanah.
Dari sekujur tubuhnya mengalir darah segar. Dia men-
coba bangkit berdiri, tapi Gede Panjalu kembali ter-
jungkal mencium tanah. Agaknya kakek ini menderita
luka dalam yang amat parah.
"Hua... ha... ha...! Beruntunglah kau, Gede Panja-
lu. Daging keriputmu itu ternyata mampu bertahan
untuk tak meleleh menjadi air. Padahal, sebongkah ba-
tu sebesar gajah pun akan menjadi air bila terkena
'Sinar Perak Cairkan Wujud'!" kata si nenek sombong
kembali. Wanita tua ini sendiri tetap berdiri tegak di
tempatnya tanpa sedikit pun menderita luka dalam.
Si nenek lalu melangkah masuk ke rumah susu-
nan batu. Ditatapnya sebentar Tongkat Sakti yang ter-
geletak di lantai. Sesaat kemudian, dia tertawa berge-
lak. Namun sebelum tangannya berhasil menyentuh
lambang persatuan Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu, sebuah seruan menghentikan gerakannya.
"Hentikan perbuatanmu itu, Maling!" Terdengar
teriakan keras yang dibarengi kelebatan tubuh belasan
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Mas-
ing-masing mereka memegang senjata tongkat, yang

langsung dihujamkan ke tubuh si nenek.
"Sang Ratu Air meminta korban!" teriak si nenek.
Telapak tangannya mengibas dengan dilambari kekua-
tan 'Sinar Perak Cairkan Wujud'
Weeesss...! 
Biasan sinar perak menggidikkan berpendar. Tu-
buh belasan pengemis bersenjata tongkat yang masih
melayang di udara tiba-tiba jatuh berdebam ke lantai.
Sekejap mata kemudian, tubuh orang-orang malang
itu lenyap. Sebagai gantinya permukaan lantai dige-
nangi air kental berwarna kemerah-merahan!
"Hua... ha... ha...!" Si nenek tertawa penuh ke-
menangan. "Kesaktian sang Ratu Air terlalu tinggi un-
tuk kalian hadapi. Mati sia-sia patut diterima oleh
orang-orang nekat seperti kalian...."
Cepat sekali tangan si nenek lalu menyambar
Tongkat Sakti. Tubuhnya berkelebat pergi dengan me-
ninggalkan suitan nyaring. Sementara itu, empat sosok
tubuh yang tadi datang lebih awal segera berkelebat
mengikuti bayangan si nenek.
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Gede
Panjalu mencoba bangkit. Tapi, tubuhnya terasa berat
bagai ditindih batu ratusan kati. Dalam keadaan berte-
lungkup kakek bongkok ini segera memusatkan piki-
ran untuk dapat mengumpulkan hawa murni.
Akhirnya, sesepuh perkumpulan para pengemis
itu dapat duduk bersila, Selagi dia berusaha keras
mengatasi luka dalamnya, puluhan orang berpakaian
penuh tambalan bermunculan datang dan mengeru-
muninya.
"Tinggalkan aku seorang diri!" perintah Gede Pan-
jalu tanpa membuka kelopak mata.
Seluruh anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti yang baru hadir segera meninggalkan kakek itu.
Sinar mata mereka membersitkan rasa duka yang

mendalam atas musibah yang baru saja terjadi.
Malam kembali sunyi. Cahaya purnama samar-
samar menyirami puncak Bukit Pangalasan, Hembu-
san angin semakin menusuk tulang. Saat terdengar
tekur burung hantu, sesosok bayangan berkelebat. So-
sok itu berhenti di hadapan Gede Panjalu yang masih
duduk bersila.
"Hmmm.... Tampaknya malapetaka datang me-
nimpa...," gumam sosok yang  baru hadir. "Sesepuh
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini menderita
luka dalam yang parah. Aku bisa merasakan aliran da-
rahnya yang kacau."
Nenek berpakaian serba hijau yang berdiri di ha-
dapan Gede Panjalu terlihat mengerutkan kening.
Rambutnya yang masih hitam dibiarkan terbawa hem-
busan angin. Walau sudah tua, wanita itu masih me-
miliki tubuh sintal. Pinggangnya ramping dengan ping-
gul besar menantang. Dadanya membusung seperti mi-
lik gadis usia dua puluh tahunan. Keriput di wajahnya
tak membuat kecantikannya tersamar.
Sambil menarik napas panjang, nenek itu me-
langkah tiga tindak. Ditempelkannya telapak tangan
kanannya ke kepala Gede Panjalu.
"Tak usah terkejut, Gede...,'" kata wanita tua itu.
"Aku tak mempunyai maksud buruk. Sebagai manusia,
sudah selayaknya kita untuk saling tolong-menolong."
Telinga Gede Panjalu dapat menangkap ucapan si
nenek. Kakek bongkok itu diam saja ketika hawa mur-
ni mengalir dari batok kepalanya. Hawa itu membuat
rasa sakit yang mendera tubuhnya berangsur-angsur
lenyap.
Ketika si nenek telah menarik telapak tangannya
kembali, Gede Panjalu membuka kelopak mata.
"Arumsari,.," desisnya.
"Ya. Aku memang Dewi Tangan Api, Gede...," sa-

hut si nenek menyebutkan gelarnya. "Kau jangan ber-
gerak dulu. Aku takut kepalamu akan pecah bila hawa
murni yang kusalurkan berbalik."
"Kau kira aku ini anak kemarin sore. Tanpa kau
peringatkan, aku sudah tahu."
"Syukurlah bila kau belum pikun...," ucap si ne-
nek pelan. "Aku tidak mau tahu apa yang sedang ter-
jadi denganmu. Tapi sebagai tanda terima kasih kare-
na  aku telah menolongmu, sebaiknya kau tunjukkan
di mana Suropati berada!"
"Kenapa kau mencarinya?" tanya Gede Panjalu.
"Sebenarnya aku keberatan untuk menjawab per-
tanyaan itu. Tapi baiklah. Aku memandangmu sebagai
seorang sahabat. Akan kukatakan keperluanku men-
gapa mencari Suropati."
"Apa?" desak Gede Panjalu. Walau dia sudah
mengenal Arumsari, tapi khawatir juga hatinya men-
gingat musibah yang baru saja terjadi. Jangan-jangan
nenek ini pun mau mencari masalah,
"Kau tak perlu berprasangka buruk, Gede! Ke-
cuali bila Suropati mempunyai perangai buruk," ujar si
nenek seperti dapat membaca pikiran Gede Panjalu.
"Dewi Ikata, muridku, siang tadi pulang ke Pendapa
Kadipaten dengan membawa seorang bayi. Setelah
menyerahkan kepada ibunya, dia pergi sampai seka-
rang ini. Padahal aku bermaksud mengajarkan ilmu
'Rambut Penyambar Sukma' kepadanya malam ini ju-
ga."
"Lalu, apa hubungannya Suropati dengan mu-
ridmu itu?"
"Aku dengar siang tadi Suropati berada di Kuil
Saloka dan bertemu dengan Dewi Ikata. Aku menduga
Suropati melarikan putri tunggal Adipati Danubraja
itu."
"Untuk apa Suropati melarikan Dewi Ikata?"

tanya Gede Panjalu tak mengerti.       
"Bodoh sekali kau, Gede. Apa kau tidak bisa
membaca tabiat muridmu sendiri. Suropati punya sifat
mata keranjang hingga dia dijuluki Pengemis Binal!
Kalau sampai ketahuan bocah gendeng itu berbuat
macam-macam terhadap Dewi Ikata, tak segan-segan
aku memotes kepalanya!" sambar Dewi Tangan Api.
"Nah, sekarang kau sudah tahu persoalannya. Cepat
tunjukkan di mana Suropati berada!"
"Aku tak tahu. Dia tak berada di sini."
"Aku tak percaya!" sergah Arumsari. Matanya
memandang tak senang.
"Kau lihat bangunan di belakangmu itu. Kalau
Suropati berada di sini, tak mungkin bangunan itu bi-
sa hampir roboh karena disatroni orang jahat," Gede
Panjalu membela diri.
"Hmmm, Ucapanmu ada benarnya juga, Gede.
Aku minta pamit sekarang..."
"Tunggu dulu!" cegah Gede Panjalu melihat Dewi
Tangan Api hendak berlalu.
"Di tempat ini aku sudah tak punya kepentingan
lagi. Tak perlu kau menghambat langkahku!" dengus
Arumsari.
"Aku akan sangat berterima kasih seandainya
kau bersedia mengatakan kepada Suropati, kalau
Tongkat Sakti telah hilang dicuri orang yang menyebut
dirinya sang Ratu Air," pinta Gede Panjalu.
"Persetan dengan Tongkat Sakti ataupun tongkat
pengorek sampah! Yang penting, aku mesti menda-
patkan Dewi Ikata...."
Usai berkata, Dewi Tangan Api menghemposkan
tubuhnya, lalu berkelebat lenyap menuruni bukit.
Gede Panjalu cuma dapat menatapnya.

***

7

Wirogundi berjalan mengikuti arus sungai den-
gan kepala tertunduk. Bila menjumpai batu besar yang
menghalangi langkahnya, ditendangnya batu itu hing-
ga terlontar jauh. Sinar mata pemuda kurus anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini masih saja
membersit kedukaan.
"Tak dapat aku mengawali lagi tapa brata-ku se-
lama  empat puluh hari empat puluh malam...," ka-
tanya dalam hati. "Kedatangan Suropati ke Danau Ular
untuk memintaku menculik Rani Paramita selalu
membayang dalam ingatanku. Aku khawatir Suropati
berbuat yang tidak-tidak."
Pemuda ini terus berjalan dengan membawa du-
ka hatinya. Sesekali dia mendongak menatap langit bi-
ru. Rasa sedih semenjak kehilangan Anjarweni tak
pernah lepas dari jiwanya.
Wirogundi menjalani tapa brata atas perintah
Gede Panjalu untuk menghilangkan bayangan Anjar-
weni yang selalu membayanginya.  Di Danau Ular, di
mana dia melakukan tapa brata, Wirogundi didatangi
Saka Purdianta si Dewa Guntur. Dengan menyamar
sebagai Suropati, Saka Purdianta berhasil menyuruh
Wirogundi untuk menculik Rani Paramita.
Setelah putri Prabu Arya Dewantara itu dipa-
srahkan kepada Saka Purdianta, Wirogundi menjalani
tapa bratanya kembali. Tapi baru memasuki hari keti-
ga, dia dikejar-kejar perasaan tak enak. Akhirnya Wi-
rogundi memutuskan untuk menggagalkan tapa bra-
tanya.
Sama sekali Wirogundi tidak tahu kalau yang
menyuruhnya  menculik Rani Paramita ternyata bu-
kanlah Suropati. Karena ketidaktahuannya inilah dia

membuat keputusan untuk mencari Suropati guna
meminta penjelasan. Wirogundi merasa berdosa bila
belum melihat bukti kalau Suropati tidak berbuat ja-
hat terhadap Rani Paramita.
"Biarlah Kakek Gede Panjalu menghukumku le-
bih berat lagi karena aku mengabaikan perintahnya,
asal aku dapat memastikan Rani Paramita dalam kea-
daan selamat tak kurang suatu apa...,", desah Wiro-
gundi.
Pemuda kurus ini menghentikan langkah. Ke-
ningnya berkerut mendengar sesuatu yang dirasakan-
nya ganjil. Wirogundi segera membuat langkah-
langkah lebar menuju sumber suara. Sebentar kemu-
dian, parasnya tampak semakin keruh. Terlihat oleh-
nya seorang gadis cantik berbaju merah-merah sedang
menghantam-hantamkan kepalan tangannya ke bong-
kahan batu besar.   
"Ingkanputri...!" desis Wirogundi.
Gadis yang disebut namanya itu menoleh. Tapi,
dia cuma menatap kedatangan Wirogundi dengan se-
belah mata. Rupanya gadis ini sedang dilanda rasa
kesal.        
"Apa yang sedang kau lakukan, Putri?" tanya Wi-
rogundi. Pemuda kurus ini sudah mengenal Ingkanpu-
tri dengan baik. Gadis cantik itu memang saudara se-
perguruan Anjarweni, kekasihnya yang telah mening-
gal di tangan Malaikat Bangau Sakti.
"Kau harus membantuku, Wiro...," pinta Ingkan-
putri.
"Katakan saja apa yang kau inginkan. Bila Tuhan
berkehendak, kesulitanmu pasti dapat teratasi."
Ingkanputri tersenyum. Wirogundi memandang-
nya dengan perasaan kagum. Ingkanputri memang ga-
dis yang sangat menarik, pikirnya. Tiba-tiba terlintas
bayangan Anjarweni di benak Wirogundi. Sinar mata

pemuda itu pun kembali meredup.
"Eh, apa yang sedang kau pikirkan, Wiro?" tanya
Ingkanputri melihat Wirogundi tercenung.
"Ah, tidak. Aku merasa sangat senang berjumpa
denganmu. Dengan memakai baju merah, kau keliha-
tan sangat cantik...," dusta Wirogundi untuk menutupi
perasaan sedihnya. 
"Hmmm.... Benar begitu?"
Wirogundi menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, mulai sekarang kau bisa menye-
butku sebagai Dewi Baju Merah."
"Ya. Kau memang pantas memakai gelar itu; Kau
pun bisa menyebutku sebagai Pendekar Patah Hati." 
Mendengar perkataan Wirogundi, ingin rasanya
Ingkanputri tertawa. Tapi, keinginan itu ditahannya.
Dia tak mau melihat Wirogundi tersinggung. Pendekar
Patah Hati? Sebuah gelar yang menggelikan, pikirnya.
"Katanya kau mau meminta bantuanku. Bantuan
apa?" tanya Wirogundi kemudian.
"Kau tentu sudah mengenal Resi Agaswara. Be-
liau meninggal setelah bertempur dengan Malaikat
Bangau Sakti; Sebelum maut datang menjemput, be-
liau berpesan kepadaku untuk datang ke Bukit Selak-
sa Mambang. Di sana aku mendapatkan Kitab Selaksa
Dewa Turun Ke Bumi. Namun kitab itu kini jatuh ke
tangan pemuda bernama Saka Purdianta atau si Dewa
Guntur. Nah, bantuan yang aku perlukan adalah un-
tuk mendapatkan kembali kitab warisan Panglima
Pranasutra itu, Wiro..." Dewi Baju Merah menjelaskan
kesulitan yang dihadapinya. (Tentang Resi Agaswara,
baca episode: "Malaikat Bangau Sakti dan Dendam Pa-
ra Pengemis").Pendekar Patah Hati mengerutkan ken-
ing. 
Tapi dicobanya untuk tersenyum. "Aku bersedia
membantumu, Putri. Tapi tidak sekarang. Aku harus

mencari Suropati terlebih dahulu."
Mendengar nama pemuda pujaannya disebut, be-
rubahlah paras Dewi Baju Merah. Namun, cepat-cepat
diusirnya perasaan galau yang muncul mendadak itu.
"Untuk apa kau mencari Suropati, Wiro? Tentu
kau mempunyai urusan yang sangat penting," kata In-
gkanputri ingin tahu.
"DI Danau Ular Suropati memerintahkan aku un-
tuk menculik Rani Paramita, putri Prabu Arya Dewan-
tara. Sebelumnya dia menjamin tak akan membuat ce-
laka gadis itu. Namun, sekarang aku merasa ragu. Ka-
renanya aku hendak mencari Suropati untuk meminta
partanggungjawabannya."
Mendengar nada bicara Pendekar Patah Hati yang
sungguh-sungguh, Dewi Baju Merah malah tertawa ge-
li. Tentu saja Wirogundi merasa heran. Matanya mena-
tap wajah Ingkanputri tanpa berkedip.
"Kenapa kau tertawa? Bukankah tidak ada yang
lucu?" kilah Pendekar Patah hati
"Ketahuilah, Wiro. Kau telah termakan tipu mus-
lihat penjahat yang sangat cerdik dan culas. Yang
memberi perintah untuk menculik Rani Paramita bu-
kan Suropati..."
"Ah, tidak! Aku yakin dia Suropati!" sela Wiro-
gundi dengan wajah tegang. 
Bibir Ingkanputri menyunggingkan senyum. "Kau
tidak percaya boleh saja. Tapi bila kau datang ke kota-
praja, kau akan tahu kebenarannya. Orang-orang di
kotapraja masih ramai membicarakan perihal penculi-
kan Rani Paramita. Semua tahu kalau gadis itu diculik
salah seorang anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti. Dan kau telah mengakuinya, Wiro. Tapi, kau tak
perlu khawatir. Prabu Arya Dewantara tak akan men-
jatuhkan hukuman  kepadamu. Kau cuma diperalat
oleh orang jahat"

"Aku bisa mempercayai kata-katamu?" tanya Wi-
rogundi tak percaya.
"Kenapa tidak? Penjahat cerdik dan culas yang
telah mengelabuimu adalah orang yang sekarang
membawa Kitab Selaksa Dewa Turun Ke Bumi."
"Saka Purdianta?"
"Ya. Menurut Suropati, dia memang mempunyai
ilmu penyamaran yang hebat. Kau yang sudah sangat
akrab dengan Suropati pun dapat dikecohnya. Penya-
marannya sebagai Suropati benar-benar sempurna." 
"Keparat!" umpat Pendekar Patah Hati.
"Lalu, apa yang diperbuat Saka Purdianta terha-
dap Rani Paramita?"
"Kau tak perlu cemas. Rani Paramita selamat tak
kurang suatu apa. Kedok Saka Purdianta pun sudah
terbongkar." (Baca serial Pengemis Binal episode: "De-
wa Guntur").
"Tokoh-tokoh kerajaan tidak menangkapnya?"
"Aku tidak tahu. Yang jelas, Saka Purdianta me-
miliki kesaktian luar biasa. Kemungkinan besar tokoh-
tokoh kerajaan gagal menangkapnya. Hingga Saka
Purdianta masih dapat berkeliaran bebas...," cetus
Dewi Baju Merah. "Sebenarnya aku kemarin berjumpa
dengan penjahat itu di sebuah di Kota Kadipaten Bu-
miraksa. Karena aku merasa tak mempunyai urusan
dengannya, maka aku tak bertindak apa-apa. Tapi, se-
karang aku ingin sekali memecahkan batok kepala ja-
hanam itu!"
"Hmmm... Tampaknya kita memang harus cepat-
cepat turun tangan. Orang yang sudah dirasuki iblis
tak akan pernah puas sebelum melihat orang lain
sengsara."
"Tepat! Kita tak bisa membiarkan Saka Purdianta
semakin mengumbar hawa nafsunya. Aku khawatir
penjahat culas itu keburu mempelajari isi Kitab Selak-

sa Dewa Turun Ke Bumi. Bila ilmu kesaktian-nya ber-
tambah, rimba persilatan akan dilanda malapetaka be-
sar," dukung Ingkanputri atas ajakan Wirogundi itu.
"Apakah sekarang ini Suropati juga sedang men-
cari Saka Purdianta?" tanya Wirogundi.
"Aku menduga dia tidak sedang melakukan hal
itu. Mungkin Suropati sedang mencari Empat Begun-
dal Dari Gua Larangan."
"Kenapa?"
"Mereka telah membunuh belasan anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti."
Pendekar Patah Hati tercenung. "Selalu saja ada
orang yang mengganggu ketenteraman para penge-
mis...," katanya dalam hati. Pemuda kurus ini lalu me-
natap wajah Dewi Baju Merah dalam-dalam.
"Sebenarnya aku harus membantu Suropati un-
tuk mencari Empat Begundal Dari Gua Larangan. Tapi
karena masalah Saka Purdianta yang melarikan Kitab
Selaksa Dewa Turun Ke Bumi bukan masalah kecil pu-
la, sebaiknya aku memang harus membantumu, Pu-
tri."
"Kalau begitu kita berangkat sekarang" ajak In-
gkanputri. Gadis itu merasa senang karena Wirogundi
ternyata mau membantunya.
"Sebentar.... Seperti kau katakan tadi, Saka Pur-
dianta mempunyai ilmu penyamaran yang hebat. Tapi,
sehebat-hebatnya ilmu penyamaran seseorang, sifat
lahirnya tidak akan ikut tersamar. Begitu pula dengan
ilmu kesaktiannya. Apakah kau tahu ciri-ciri khusus
yang terdapat pada diri Saka Purdianta, Putri?"
Dewi Baju Merah terdiam. Otaknya dipaksa un-
tuk berpikir keras.
"Hmmm.... Kalau sifat lahir Saka Purdianta, san-
gat sulit untuk ditebak. Tindak-tanduknya sangat so-
pan, tutur bahasanya halus dan sangat terpelajar. Ta-

pi, dia juga bisa berubah sebagai manusia kejam yang
tidak mempunyai peri kemanusiaan sama sekali."
"Tentang Ilmu kesaktiannya?" 
"Nah, Ilmu kesaktian Saka Purdianta inilah yang
mungkin dapat membuka kedoknya. Kalau dia ber-
tempur dengan tokoh sakti pilih tanding, dia mampu
membuat langit yang semula cerah menjadi gelap pe-
kat. Kemudian timbul kilatan-kilatan petir yang sangat
berbahaya. Tapi ini baru kabar yang kudengar. Ten-
tang kebenarannya, aku belum pernah membuktikan."
Pendekar Patah Hati mengangguk-angguk.
"Saat ini anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti telah mencapai seribu orang lebih. Aku akan
meminta bantuan mereka. Mudah-mudahan Saka
Purdianta bisa cepat kita temukan," ujar pemuda itu.
"Kalau di wilayah Kerajaan Anggarapura penjahat
culas itu tidak kita temukan, kemungkinan besar dia
telah kembali ke negeri asalnya Pasir Luhur. Kita akan
terus memburunya sampai ke sana. Bukankah begitu,
Wiro?" Ingkanputri tampaknya tak mau kehilangan
buruannya itu. Apalagi ketika dia teringat pada kitab
wasiat yang dicuri Saka Purdianta.
"Ya," jawab Wirogundi pendek.

***

Suropati telah memasuki setiap jengkal tempat di
Kota Kadipaten Bumiraksa, tapi sosok Empat Begun-
dal Dari Gua Larangan tak juga ditemukan. Bahkan,
ratusan anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang telah dia sebar pun tak dapat  menunjukkan  di
mana para pembunuh kejam itu berada.
"Keparat! Tikus-tikus busuk yang sok Jago!" um-
pat Pengemis Binal. "Di pinggir sungai sebelah sana
kalian memang masih mempunyai nasib baik, karena

dibantu oleh seorang tokoh sakti. Tapi kalau nanti kita
bertemu kembali, jangan harap kalian dapat menghi-
rup udara segar. Kedua daun telinga kalian akan ku-
potong. Mulut kalian akan kusumpal dengan kotoran
anjing. Setelah itu, kedua kaki dan tangan kalian akan
kupatahkan. Terakhir kepala kalian akan kupenggal!"
Namun kemudian. Suropati menggaruk-garuk
kepalanya Sambil cengar-cengir.
"Ah, tidak! Hukuman itu terlalu kejam. Aku tidak
akan menyiksa Empat Begundal Dari Gua Larangan.
Toh, di akhirat nanti mereka akan mendapat pengadi-
lan Tuhan. Aku kira neraka jahanam sangat pantas
untuk tempat tinggal mereka. Tapi, mereka akan tetap
mendapat hukuman mati dariku!"
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepalanya lagi.
Langkah kakinya menuju ke utara, keluar dari Kota
Kadipaten Bumiraksa. Berjalan dalam siraman sinar
mentari siang membuat peluh menghiasi wajahnya.
Lengan bajunya dikibas-kibaskan untuk mengusir ha-
wa gerah. Dengan perasaan kesal, ditendangnya se-
bongkah batu yang kebetulan menghalangi  langkah-
nya. Batu itu melesat jauh dan hilang entah ke mana. 
Di sebuah jalan setapak, Pengemis Binal mena-
jamkan pendengarannya. "Hmmm.... Aku mendengar
suara gemerincing lonceng kereta kuda dan suara den-
gungan seperti ribuan lebah sedang menuju kemari...."
Alis Suropati bertaut. Suara aneh yang didengar-
nya semakin terdengar jelas.
"Aku seperti pernah mendengar suara seperti ini.
Ya! Di Kerajaan Siluman! Mungkinkah Nyai Catur Asta
bermaksud menjumpaiku? Ada urusan apa?"
Selagi Pengemis Binal bertanya-tanya sendiri, se-
sosok wanita cantik tiba-tiba muncul di hadapannya.
Wanita itu mengenakan pakaian merah gemerlap
layaknya seorang ratu. Rambutnya hitam mengkilat.

Digelung ke atas dengan hiasan tiga tusuk konde emas
bermata intan.
"Suro...," panggil wanita cantik yang baru me-
nampakkan diri itu.
Pengemis Binal terkesiap. "Nyai Catur Asta...,"
desisnya sambil menatap lekat-lekat wanita cantik di
hadapannya.
"Sengaja aku datang dari Kerajaan Siluman un-
tuk menjumpaimu. Aku membutuhkan pertolongan-
mu...," kata Nyai Catur Asta. Ternyata, wanita cantik
yang datang dari alam gaib itu mempunyai empat tan-
gan!
Suropati menggaruk-garuk kepalanya. Ini adalah
kebiasaan pemuda itu. "Saya ini orang bodoh, Nyai. Bi-
la dibandingkan dengan Nyai, kepandaian saya seperti
bumi dengan langit. Mana saya dapat membantu
Nyai?"
Mendengar perkataan Pengemis Binal yang me-
rendah, Nyai Catur Asta tersenyum tipis.
"Orang berbudi luhur memang selalu rendah ha-
ti. Sedapat-dapatnya malah menyembunyikan kepan-
daian. Tapi, aku benar-benar membutuhkan ban-
tuanmu, Suro. Kerajaan Siluman terancam malapeta-
ka. Seorang tokoh wanita jahat  telah bangkit dengan
seluruh kekuatannya. Dia akan menggempur Kerajaan
Siluman dalam waktu dekat ini."
"Kalau Nyai Catur Asta yang memiliki kesaktian
sedemikian tinggi tidak mampu melindungi Kerajaan
Siluman-nya, aku tidak bisa membayangkan, betapa
tingginya ilmu kesaktian tokoh wanita jahat itu...," ka-
ta Suropati. "Siapakah tokoh wanita jahat itu, Nyai?"
"Tokoh wanita jahat itu tidak lain dari Ratu Air."
"Lho, bukankah Ratu Air telah mati bersama
hancurnya Kerajaan Air?" Suropati jadi tak habis men-
gerti.

"Tidak. Ternyata aku salah memperhitungkan ke-
saktian Ratu Air. Dia lebih sakti dari yang kukira. Me-
mang benar Kerajaan Air-nya hancur, tapi Ratu Air ti-
dak mati. Sekarang dia telah mempunyai empat pengi-
kut yang diberinya ilmu kesaktian. Mereka berjuluk
Empat Begundal Dari Gua Larangan."
"Pantas empat tikus busuk itu mempunyai ke-
pandaian hebat. Ternyata Ratu Air ada di belakang
mereka...," ujar Suropati sambil mengangguk-
anggukkan kepala. "Maaf, Nyai. Aku bertanya hanya
karena terbawa rasa ingin tahu saja. Apakah Nyai me-
rasa tidak mampu menghadapi Ratu Air dan keempat
pengikutnya?"
Bibir Nyai Catur Asta menampakkan senyum ti-
pis.
"Ratu Air tahu kelemahanku. Pada hari kesatu
purnama pertama aku harus bersemadi sehari penuh.
Saat itulah semua ilmu kesaktianku lepas. Ini meru-
pakan kesempatan baik bagi Ratu Air untuk membalas
dendam. Apalagi dia telah memiliki senjata  ampuh
yang berupa tongkat berkepala naga. Namanya Tong-
kat Sakti."
"Tongkat Sakti?!" Pengemis Binal langsung ter-
cekat. "Bukankah tongkat itu milik Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti yang sekarang berada di puncak
Bukit Pangalasan? Bagaimana bisa jatuh ke tangan
Ratu Air?" tanyanya tak percaya.
"Semalam Ratu Air telah merampasnya."
Bukan main terkejutnya Suropati. Sampai-
sampai matanya terbeliak dengan mulut terbuka. "La-
lu... lalu bagaimana dengan Kakek Gede Panjalu?"
"Kakek bongkok yang merupakan guru penyam-
bungmu itu tidak kuasa menahan kekuatan 'Sinar Pe-
rak Cairkan Wujud'. Bahkan belasan anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti yang mencoba mengha-

langi mati di tangan wanita jahat itu."
"Keadaan Kakek Gede Panjalu sekarang?" Suro-
pati kelihatan begitu khawatir.
"Untunglah seseorang datang menolong dengan
menyalurkan hawa murni kepadanya. Tapi, sesepuh
perkumpulan pengemis itu tidak akan mampu menya-
lurkan tenaga dalam sekitar satu minggu lamanya."
"Keparat!" umpat Pengemis Binal. Giginya geme-
letukkan menahan marah. Napasnya pun terdengar
memburu, "Rupanya biang keladi dari semua peristiwa
ini adalah Ratu Air. Empat Begundal Dari Gua Laran-
gan yang telah menyebar kematian pada anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu pun tentu atas
perintahnya."
"Jadi, kau setuju untuk membantu menyela-
matkan Kerajaan Siluman dari gempuran Ratu Air dan
keempat pengikutnya?" tegas Nyai Catur Asta meminta
kepastian Suropati. 
"Ya, Nyai," jawab Pengemis Binal tanpa pikir pan-
jang lagi. "Sebelum hari kesatu purnama pertama, aku
akan membuat perhitungan dengan wanita jahat itu!"
Bibir Nyai Catur Asta tersenyum senang. "Ulur-
kan tangan kananmu kemari, Suro...," pintanya kemu-
dian.
"Untuk apa, Nyai?" tanya Pengemis Binal tak
mengerti.
"Sudahlah. Kau turuti saja permintaanku."
Seperti terkena sihir, Suropati mengulurkan tan-
gan kanannya. Nyai Catur Asta memegang tangan itu.
Kemudian, ibu jarinya menekan nadi yang terletak di
pangkal lengan Suropati. Remaja konyol itu tampak
cengar-cengir merasakan telapak tangan Nyai Catur
Asta yang sedingin es.
"Apa yang sedang kau lakukan, Nyai?" tanya Su-
ropati ketolol-tololan.

Nyai Catur Asta tak menjawab. Sebentar kemu-
dian, wajah Ratu Kerajaan Siluman ini berubah te-
gang. Suropati masih saja cengar-cengir. Tapi ketika
dari ibu jari Nyai Catur Asta mengalir hawa sedingin
es, Suropati terkejut. Wajahnya ikut berubah tegang.
Karena secara mendadak tubuhnya menggigil kedingi-
nan.
"Apa yang sedang kau lakukan, Nyai?" tanya
Pengemis Binal lagi. Kali ini dia kelihatan sungguh-
sungguh.
Nyai Catur Asta tetap tak memberikan jawaban.
Tiba-tiba Suropati menjerit keras. Cairan otaknya tera-
sa menggumpal dan berputar-putar tak karuan.
"Bertahanlah...," ujar Nyai Catur Asta.
"Aku... aku tak tahan, Nyai. Argh...!"
Kepala Suropati terasa bagai dipukuli palu go-
dam. Seluruh pembuluh darahnya berdenyut-denyut.
Jantungnya pun berdegup sangat kencang. Ini mem-
buat dadanya terasa sesak dan jalan nafasnya  ter-
ganggu. Tapi sebelum Suropati jatuh ping-san, hawa
sejuk yang melenakan mengalir dari ibu Jari Nyai Ca-
tur Asta. Suropati pun bisa bernapas lega.
"Sekarang kau telah siap untuk menghadap Ratu
Air," kata Nyai Catur Asta seraya melepaskan pegan-
gannya pada tangan Pengemis Binal.
"Apa yang baru saja kau lakukan ini, Nyai?"
tanya Pengemis Binal sambil  menatap nadinya yang
semula dipegang Nyai Atur Asta. Remaja konyol ini
terkejut saat melihat pada kulit di pangkal lengannya
terdapat bulatan warna merah sebesar biji delima. Di-
gosok-gosoknya bulatan merah itu, tapi tak dapat hi-
lang.
"Aku telah menurunkan ilmu 'Pukulan Salju Me-
rah' kepadamu, Suro. Bulatan merah pada tanganmu
itu sebagai tandanya. Seumur hidupmu tanda itu tak

akan hilang. Bukan hanya menempel pada kulit, tapi
juga tembus sampai ke tulang," beritahu Nyai Catur
Asta tentang apa yang baru saja dilakukannya.      
Suropati masih saja menggosok-gosok bulatan
merah pada tangannya. Tampaknya remaja konyol ini
tak mempercayai ucapan Nyai Catur Asta. Setelah ku-
litnya terasa panas, barulah dia merasakan kebenaran
dari ucapan Ratu Kerajaan Siluman itu.
"Bila memang benar Nyai telah menurunkan ilmu
'Pukulan Salju Merah', Suropati layak menghaturkan
beribu-ribu terima kasih. Budi baik Nyai tak akan ter-
lupakan sepanjang masa...," kata Pengemis Binal sam-
bil membungkukkan badan.
"Tak perlu berbasa-basi segala. Yang penting kau
mesti menemukan Ratu Air sebelum hari kesatu pur-
nama pertama."
"Tapi, aku belum tahu kehebatan ilmu 'Pukulan
Salju Merah' yang telah Nyai turunkan kepadaku. Da-
patkah Nyai menggambarkannya?" pinta Suropati.
"Pada saatnya nanti kau akan tahu sendiri.
Hanya satu pesanku, gunakan pada keadaan yang ter-
desak. Selain itu jangan. Akibatnya akan sangat men-
gerikan," pesan Nyai Catur Asta mewanti-wanti.
Pengemis Binal mengangguk-anggukkan kepala.
Sekejap kemudian, sosok Nyai Catur Asta lenyap dari
pandangan. Telinga Suropati pun menangkap suara
gemerincing lonceng kereta kuda yang saling bersahu-
tan. Diselingi suara dengungan seperti ribuan lebah
terbang. Semakin lama suara itu semakin pelan, ke-
mudian lenyap sama sekali.



SELESAI


Segera terbit:
PRAHARA Di KUIL SALOKA