Pengemis Binal 12 - Petaka Kerajaan Air(2)








4

Bangunan papan yang telah hancur itu didi-
rikan kembali. Sebuah bangunan persegi empat yang
sangat sederhana dan berkesan tergesa-gesa ketika di-
buat ini terletak di tengah-tengah Kapal Rajawali.

Layar yang terbuat dari kain merah dan kun-
ing terbentang lebar di tiang-tiang layar. Tampak
menggembung oleh tiupan angin. Dilihat dari kejauhan
Kapal Rajawali memperlihatkan keindahannya. Tam-
pak gagah mengarungi Laut Selatan yang luas.
Raka Maruta dan Kakek Wajah Merah berdiri
di anjungan. Mereka berpegangan pada pagar pemba-
tas sisi kapal. Sikap Raka Maruta kepada Kakek Wajah
Merah tampak hormat sekali. Tak heran, karena Raka
Maruta telah diangkat sebagai murid oleh kakek itu.
Dan, pemuda berwajah lembut yang bergelar Pendekar
Kipas Terbang ini telah mewarisi beberapa ilmu keta-
biban dari guru barunya.
"Karena kita tak tahu di mana Kerajaan Air
berada, haruskah kita mengarungi seluruh penjuru
Laut Selatan ini, Kek...?" kata Pendekar Kipas Terbang
sambil menatap debur-debur ombak yang menghan-

tam lambung kapal.
"Apa yang kita lakukan memang untung-
untungan. Tapi, aku yakin Kerajaan Air akan dapat di-
temukan. Mungkin kerajaan itu berada di sebuah pu-
lau yang terletak di Laut Selatan ini. Aku tidak sepen-
dapat dengan Datuk Risanwari yang mengatakan ka-
lau Kerajaan Air berada di dasar laut. Mana mungkin
seorang manusia, dapat hidup di dalam air?"
"Kalau begitu, kita mesti menyinggahi setiap
pulau yang kita jumpai?" ujar Raka Maruta seraya me-
natap wajah si Kakek Wajah Merah.
"Ya. Kau keberatan?"
"Tidak!" sahut Raka Maruta cepat. "Demi Su-
ropati dan Anggraini Sulistya, apa pun akan kulaku-
kan."
"Kau sudah cukup banyak berkorban untuk
mereka, Maruta."
Mata Pendekar Kipas Terbang menerawang
jauh menatap garis kaki langit. Siraman cahaya men-
tari tak terasa panas. Hembusan angin melemahkan
sengatannya.
"Sebenarnya aku masih mempunyai seorang
ayah. Tapi, beliau meninggalkan keluarga ketika usia-
ku belum genap lima belas tahun. Karena kepergian
ayah itulah, ibuku sakit-sakitan, hingga kemudian
meninggal dunia...," tanpa diminta Raka Maruta men-
ceritakan tentang dirinya. "Jadilah aku hidup sebatang
kara. Untuk menghilangkan kesepian aku mempelajari
'Kitab Penyuci Kalbu' pening-galan ayahku. Kata be-
liau, kitab itu merupakan warisan leluhur. Aku harus
menjaganya dengan baik, sampai pada saatnya  nanti
aku harus mewariskannya lagi kepada keturunan-
ku...."
Kakek Wajah Merah mendengarkan cerita
Pendekar Kipas Terbang dengan penuh perhatian. Ta-

bib pandai itu memang telah menaruh perasaan suka
sejak pertemuannya dengan Raka Maruta di Bukit Ra-
wangun.
"Setelah berhasil menguasai ilmu 'Kalbu Su-
ci', kemudian aku mengembara. Karena tinggal di ru-
mah seorang diri membuatku tidak kerasan. Aku lalu
berjumpa dengan Kipas Sakti. Dia sangat baik terha-
dapku. Bahkan bersedia mengangkatku sebagai murid.
Setelah aku berpisah dengan tokoh hebat itu, aku me-
rasa sebatang kara lagi. Saat berjumpa dengan Suro-
pati-lah  aku benar-benar dapat merasakan kebaha-
giaan. Banyak pelajaran ku  peroleh  darinya. Suropati
juga sebatang kara. Sejak kecil dia hidup sebagai ge-
landangan dan berteman dengan para pengemis. Tapi,
yang membedakan aku dengan Suropati adalah perihal
sikap dan pandangannya tentang hidup. Dalam hidup
tanpa sanak-saudara aku bersedih pilu dan merasa
sebagai orang yang sangat malang. Namun tidak bagi
Suropati.
Di masih dapat tersenyum ketika perutnya
lapar melilit-lilit. Suropati masih dapat tertawa senang
ketika cobaan datang bertubi-tubi. Dia dapat menik-
mati kebahagiaan dalam penderitaannya. Semua itu
memberikan pelajaran kepadaku. Sampai akhirnya
timbul pengertian dalam diriku, bahwa apa pun yang
ditimpakan Tuhan kepada manusia mesti disyukuri."
"Lalu, kenapa kau bersedia mengorbankan di-
ri demi Suropati? Apakah karena alasan yang kau ke-
mukakan tadi?" tanya Wajah Merah, ingin membuka
isi hati Raka Maruta lebih dalam.
"Itu hanya sebagian alasan. Selain Suropati
telah kuanggap sebagai adik kandungku sendiri, aku
juga punya kewajiban untuk menolong setiap orang
yang membutuhkannya...."
"Tentang Anggraini Sulistya, apakah kau juga

bersedia menolongnya karena gadis itu sedang mem-
butuhkan pertolongan?"
"Ya."
"Hanya karena itu?" desak Kakek Wajah Me-
rah seperti tak percaya.
Raut wajah Raka Maruta tiba-tiba berubah.
Dia tersipu dan tak berani bertatap mata dengan ka-
kek Wajah Merah. Raka Maruta hanya menundukkan
kepala untuk beberapa saat.
Kakek Wajah Merah tersenyum tipis. Melihat
sikap Raka Maruta, tahulah tabib pandai itu kalau Ra-
ka Maruta menyimpan perasaan suka terhadap
Anggraini Sulistya. Bukan sekadar perasaan suka se-
bagai seorang sahabat, tapi lebih dari itu.

Suropati yang berdiri di buritan kapal mena-
tap langit biru berhiaskan gumpalan awan perak. Da-
lam hatinya tersimpan rasa syukur yang sangat. Kakek
Wajah Merah dan Raka Maruta telah bersedia mem-
bantunya menghilangkan pengaruh racun Jarum Mati
Sekejap yang telah bercampur dengan cairan darah-
nya.
Ketika Suropati membalikkan badan menatap
bangunan papan di tengah kapal, di mana Anggraini
Sulistya berada, Suropati teringat kata-kata gadis itu
saat di puncak Bukit Rawangun.
"Anggraini Sulistya mengatakan kalau inang
pengasuhnya telah menitipkan aku kepada seorang ne-
layan sahabatnya. Tapi, yang ku tahu sejak kecil aku
dipelihara seorang kakek penjual obat..," kata Suropati
dalam hati. "Mungkinkah dia telah membawaku dari
Kerajaan Pasir Luhur ke Kadipaten Bumiraksa di Kera-
jaan Anggarapura, lalu meninggalkan mata pencarian-
nya dan berganti menjadi seorang penjual obat? Tapi,
kenapa dia tak pernah bercerita? Mungkinkan dia sen-

gaja menyembunyikan jari diriku sebenarnya. Ah, ka-
sihan Pak Tua penjual obat itu.... Sebelum aku dapat
membalas jasa-jasanya, dia keburu meninggal. Entah
dia orangtua kandungku atau bukan, aku akan selalu
mengingat budi baiknya sampai mati..."
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepalanya.
Padahal dia tak merasa gatal. Kebiasaan buruk itu ter-
nyata tak pernah dapat ditinggalkannya.
Kapal Rajawali terus bergerak mengarungi
Laut Selatan. Percikan air laut naik ke geladak. Tiba-
tiba, angin yang semula bertiup ke arah tenggara ber-
ganti haluan dengan cepat. Layar-layar kapal memper-
dengarkan suara meledak-ledak karena dihantam
hembusan angin kencang dari dua arah. Akibatnya la-
ju kapal terhambat. Sebentar kemudian, kapal besar
itu, terombang-ambing dimainkan lidah-lidah ombak
yang mengganas!
"Lindungi Anggraini Sulistya, Suro!" teriak
Kakek Wajah Merah sambil berlari ke tiang layar.
Sementara Pengemis Binal memasuki bangu-
nan papan di tengah kapal, Kakek Wajah Merah dan
Raka Maruta berusaha keras menguasai keadaan den-
gan menurunkan layar. Namun, usaha Kakek Wajah
Merah dan Raka Maruta tak banyak membantu. Lam-
bung kapal terpukul dari sisi kanan dan kiri oleh li-
dah-lidah ombak. 
Seiring hembusan angin kencang menderu-
deru, langit yang semula cerah berubah gelap. Gumpa-
lan awan bergerak cepat menutupi matahari. Kilatan
petir pun terlihat susul-menyusul!
"Ya, Tuhan...," desis Pendekar Kipas Terbang.
Pakaian pemuda berwajah lembut itu basah kuyup
oleh terpaan air laut yang menyerbu naik ke geladak.
Wajahnya pucat pasi membayangkan malapetaka yang
akan segera menimpa. Tubuh Raka Maruta pun terlon-

tar ke sana kemari terbawa gerakan  kapal yang di-
mainkan lidah-lidah ombak ganas!
Keadaan Kakek Wajah Merah tak jauh berbe-
da. Tapi, masih untung dia dapat berpegangan pada
tiang layar. Tubuhnya tidak terlontar walau semburan
air kerap memukul. Namun, keadaan yang mengun-
tungkan tabib pandai itu tidak berlangsung lama. Ti-
ba-tiba tiang layar patah pada pangkalnya. Akibatnya,
tubuh Kakek Wajah Merah terhempas bersama lidah
ombak yang naik ke geladak.
"Bertahanlah agar tidak terlontar ke laut,
Kek...!" teriak Pendekar Kipas Terbang, menunjukkan
kekhawatirannya. Padahal dirinya sendiri berada da-
lam kesulitan. 
Sementara itu, di dalam bangunan papan,
Suropati dan Anggraini Sulistya saling berpelukan.
"Haruskah kita mati di tengah laut ini, Su-
ro...?" ujar Anggraini Sulistya dengan menyimpan rasa
takut.
"Hush! Tak  baik berpikiran yang macam-
macam! Yakinlah bahwa dengan Kekuasaan Yang di
Atas, kita akan selamat!"
"Aku berdoa untukmu, Adikku.... Apa pun
yang terjadi kau harus dapat menghadap Ayahanda
Prabu!"
Seiring deru ombak yang menghempas lam-
bung kapal begitu keras, tubuh Suropati dan Anggraini
Sulistya pun terlontar, dan membentur dinding kiri
kanan bangunan papan secara bergantian. Lalu...
Braaakkk!
Bangunan papan di tengah kapal hancur be-
rantakan terhantam lidah ombak raksasa. Tubuh Su-
ropati dan Anggraini Sulistya terlempar keluar. Malang
bagi mereka, sudah tak mempunyai kepandaian apa-
apa. Keduanya tercebur ke dalam laut, lalu hilang dari

pandangan!
"Aini...!"
"Suro...!"
Raka Maruta dan Kakek Wajah Merah yang
melihat kelebatan tubuh kedua muda-mudi itu masih
sempat berteriak. Sayang, teriakan itu tak membawa
manfaat apa-apa. Tubuh Suropati dan Anggraini Sulis-
tya tetap lenyap tergulung ombak ganas!
Ingin sekali Raka Maruta dan Kakek Wajah
Merah memberikan pertolongan. Tapi mana mungkin?
Menolong diri sendiri saja mereka tak mampu, apalagi
membantu Suropati dan Anggraini Sulistya yang telah
lenyap terbawa keganasan Laut Selatan!
Dan, keganasan alam itu tampaknya belum
puas kalau Kapal Rajawali masih utuh. Angin berhem-
bus semakin kencang laksana tiupan angin topan. Li-
dah ombak pun menjulang tinggi melebihi dua batang
pohon kelapa. Lalu, kumpulan air yang mempunyai
tenaga sangat kuat itu menghantam lambung Kapal
Rajawali dengan telak!
Braaakkk!
Kuasa Tuhan juga yang menentukan sega-
lanya. Termasuk hidup matinya manusia. Lambung
Kapal Rajawali terbelah. Raka Maruta dan Kakek Wa-
jah Merah terlontar jauh lalu lenyap menyusul keper-
gian Suropati dan Anggraini Sulistya.

***

Tak satu pun kekuatan yang sanggup meng-
halangi kehendak Tuhan. Tuhan mempunyai kekua-
saan penuh terhadap putaran roda kehidupan di alam
fana dan alam barzah. Karena, memang Dia-lah Sang
Pencipta Yang Maha Hebat. Dia berhak secara mutlak
untuk menimpakan anugerah ataupun petaka terha-

dap seluruh hasil ciptaan-Nya.
Salah satu contoh kekuasaan Tuhan adalah
apa  yang dialami Suropati, Anggraini Sulistya, Raka
Maruta, dan Kakek Wajah Merah. Begitu Kapal Raja-
wali yang mereka tumpangi hancur berantakan, tiba-
tiba langit kembali cerah. Angin berhembus perlahan.
Gulungan ombak ganas perlahan-lahan melemah,
hingga tinggal riak-riak kecil yang bergerak pelan.
Keadaan kembali seperti semula.
Tubuh Raka Maruta dan Kakek Wajah Merah
mengapung dengan berpegangan pada kayu pecahan
kapal. Samar-samar mereka melihat Suropati berusa-
ha tetap mengapung sambil terus memeluk tubuh
Anggraini Sulistya.
"Terima ini, Suro...!" teriak Raka Maruta se-
raya melontarkan kayu yang dipegangnya.
Bilah papan yang cukup besar itu meluncur
ke permukaan air, dan langsung ditangkap Suropati
dengan susah-payah karena tenaganya telah terkuras.
Apalagi Anggraini Sulistya yang berada dalam pelu-
kannya tengah tak sadarkan diri.
Sewaktu Raka Maruta dan Kakek Wajah Me-
rah berenang ke arah Suropati, dari arah utara melun-
cur sebuah kapal yang layarnya terbuat dari bentan-
gan kain hitam.
Melihat kehadiran kapal itu  timbul harapan
di hati Raka Maruta, Kakek Wajah Merah, dan Suropa-
ti. Mereka pikir, inilah kuasa Tuhan untuk memberi-
kan pertolongan.
Tapi, benarkah kapal layar itu datang untuk
memberikan pertolongan? Ternyata tidak! Di anjungan
kapal berdiri sosok Lelaki  Genit Mata Banci dan Tiga
Dara Bengal. Mereka tertawa terbahak-bahak meng-
gambarkan kegembiraan yang meluap....
Di tepi geladak kapal berjajar belasan anggota

Partai Iblis Ungu. Mereka berdiri tegak dengan busur
panah terentang. Tiga Dara Bengal tampak siap sedia
untuk memberikan aba-aba. Bila ketiga gadis yang
punya tingkah laku aneh itu tampak riang gembira,
belasan anggota Partai Iblis Ungu lainnya tidak. Mere-
ka yang berpakaian serba ungu juga itu berdiri dalam
keadaan tegang.
Suropati dan kawan-kawannya  yang melihat
kapal terus melaju cepat terkejut bukan main. Apalagi
setelah moncong kapal tinggal belasan tombak dari
tempat mereka berada.
"Celaka!" keluh Raka Maruta. "Mereka akan
menabrak kita...."
"Kita mesti menyelam!" sahut Kakek Wajah
Merah.
Buru-buru Raka Maruta dan Kakek Wajah
Merah memegang bahu Suropati yang masih memeluk
erat tubuh Anggraini Sulistya.
Byaarrr...! 
Kapal layar hitam melesat makin cepat. Dan,
lenyaplah sosok Suropati dan kawan-kawannya. Tawa
tergelak-gelak keluar dari mulut Tiga Dara Bengal dan
Lelaki Genit Mata Banci.
Ketika sosok Suropati dan kawan-kawannya
muncul lagi di permukaan air, Tiga Dara Bengal lang-
sung memberi aba-aba untuk menghujani mereka
dengan anak panah!
Cepat Raka Maruta mengambil kipas baja pu-
tih yang terselip di balik pakaiannya. Kakek Wajah Me-
rah pun demikian. Tabib pandai itu menggenggam se-
ruling merah yang menjadi senjata andalannya di tan-
gan kanan.
Srat! Srat!
Trang! Trang!
Belasan anak panah rontok terkena benturan

senjata Pendekar Kipas Terbang dan Kakek Wajah Me-
rah. Namun, hujan anak panah tak pernah berhenti.
Kibasan senjata Raka Maruta dan Kakek Wa-
jah Merah menimbulkan suara menderu-deru. Mereka
mesti melindungi diri sendiri dan Suropati serta
Anggraini Sulistya.
"Jangan bunuh Raka Maruta!" teriak Ari
Sambita tiba-tiba.
"Tidak!" sahut Ajeng Menur. "Mereka semua
harus mati!"
"Benar kata Sambita!" Andan Sari menimpali.
"Raka Maruta jangan dibunuh!" Tenaganya
masih bisa kita pergunakan!"
Melihat Tiga Dara Bengal bersitegang, Lelaki
Genit Mata Banci tertawa bergelak.
"Bunuh saja mereka semua!" teriak tokoh tua
berkelakuan aneh itu.
"Kau jangan macam-macam, Monyet Buduk!"
umpat Ari Sambita kepada Lelaki Genit Mata Banci.
"Keparat! Mestinya kau tidak memanggilku
dengan sebutan itu!"
Ari Sambita tak mempedulikan ucapan Lelaki
Genit Mata Banci. Gadis itu memberi perintah kepada
belasan anggota Partai Iblis Ungu yang masih membi-
dikkan anak panah.
"Jangan arahkan anak panah pada Raka Ma-
ruta, Goblok!" kata Ari Sambita marah-marah.
Yang diperintah bingung sesaat. Tapi, mereka
terus saja membidikkan anak panah tanpa mempedu-
likan Ari Sambita, Andan Sari yang mencak-mencak
pun tak pula mereka perhatikan. Puluhan anak panah
terus melesat menuju sasaran!
Darah segar mulai merembes menodai air
laut. Sampai di mana pun usaha keras Raka Maruta
dan Kakek Wajah Merah, kemampuan manusia ada

batasnya. Sebatang anak panah menancap di bahu kiri
Raka Maruta. Satu lagi menancap di bahu kanan Ka-
kek Wajah Merah.
Cairan darah yang terus keluar membuat te-
naga Raka Maruta dan Kakek Wajah Merah terkuras.
Akibatnya, sebatang anak panah lagi menancap di tu-
buh mereka. Malang bagi Suropati dan Anggraini Su-
listya. Karena perlindungan Raka Maruta dan Kakek
Wajah Merah mengendur, beberapa anak panah me-
nancap di tubuh muda-mudi itu.
Pada keadaan genting di mana Malaikat Ke-
matian sudah berada di depan mata, seberkas cahaya
kehijau-hijauan tiba-tiba meluruk datang ke arah Su-
ropati dan kawan-kawannya. Begitu menyentuh tubuh
para pendekar itu, cahaya kehijau-hijauan berpendar
semakin kuat. Suatu keanehan terjadi! Bersamaan le-
nyapnya pendaran cahaya lenyap pula tubuh Suropati,
Anggraini Sulistya, Raka Maruta, dan Kakek Wajah
Merah.
Semua penumpang kapal layar hitam terpe-
rangah. Mereka tak melihat adanya cahaya kehijau-
hijauan yang membawa tubuh Suropati dan kawan-
kawannya. Yang mereka lihat hanyalah ombak besar
yang tiba-tiba muncul di depan para pendekar itu. Dan
ketika ombak besar lenyap, mereka tak melihat sosok
Suropati dan kawan-kawannya.
"Turunkan perahu kecil!" perintah Lelaki Ge-
nit Mata Banci. "Cari Anjing-anjing itu sampai dapat.
Dan, bunuh mereka semua!"
"Kecuali Raka Maruta!" sahut Ari Sambita.
"Tidak! Bunuh saja mereka semua!" pekik
Ajeng Menur.
"Kecuali Raka Maruta, Goblok!" timpal Andan
Sari.
"Kau yang goblok, Sari!" sela Lelaki Genit Ma-

ta Banci. "Mereka semua musuh kita! Mereka harus
mati semua!" 
Selagi keempat orang itu bersitegang, belasan
anggota Partai Iblis Ungu telah menurunkan empat pe-
rahu kecil. Dengan menggunakan perahu itulah mere-
ka berputar-putar mencari sosok Suropati dan kawan-
kawannya. Tapi, hingga beberapa lama usaha manu-
sia-manusia sesat itu tak membuahkan hasil.
Akhirnya, mereka kembali ke kapal dengan
dugaan Suropati dan kawan-kawannya telah menemui
ajal tenggelam di Laut Selatan...

***

Di sebuah ruang pemujaan....
Seorang nenek tua renta duduk bersila den-
gan kelopak mata terpejam. Karena begitu renta, wu-
jud si nenek tampak sangat mengerikan. Walau tu-
buhnya telah dibungkus pakaian indah berwarna biru-
biru, wajahnya yang seram itu tak sedikit pun tersa-
mar. Rongga matanya sangat dalam. Pipinya keriput
tak karuan. Sudut bibirnya yang sebelah kiri tertarik
ke bawah.
Dalam semadinya, si nenek mendengar suara
mendengung seperti ribuan lebah terbang mengelilin-
ginya. Suara dengungan itu terdengar bersahut-
sahutan dengan gemerincing lonceng sebuah kereta
kuda. Ketika suara aneh itu terdengar makin keras,
tubuh si nenek bergetar. Tapi, getaran tubuhnya sege-
ra lenyap bersamaan dengan hilangnya suara aneh.
"Sang Ratu...." gumam si nenek melalui tena-
ga batin.
Terdengarlah sahutan suara tanpa wujud.
"Putri Air.... Aku datang hendak menanyakan keadaan
tiga lelaki yang kutitipkan kepadamu."

"Mereka baik-baik saja, Ratu. Hamba telah
merawat luka-luka mereka dengan sepenuh kemam-
puan hamba."
"Bagus! Bila telah sembuh, antarkan mereka
ke tempat yang diinginkan. Satu pesanku, jangan kau
langgar lagi pantanganmu...."
"Hamba akan mengingatnya, Ratu..."
Tiba-tiba, suara dengungan yang saling ber-
sahutan dengan suara lonceng kereta muncul kembali.
Semakin lama semakin pelan, lalu lenyap....
Si nenek membuka kelopak matanya. Seben-
tar kemudian dia tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Apakah pedulimu, Tikus Bu-
suk?! Perjanjian tinggal perjanjian! Aku tak mau kau
jadikan budak seumur hidup!"

5

Suropati menggeliat lalu mengucak-ucak ma-
tanya. Begitu dapat melihat  dengan jelas, remaja ko-
nyol itu mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah
kamar yang menyebarkan aroma harum.
"Berada di nirwanakah aku?" gumam Suropa-
ti.
Remaja konyol itu turun dari pembaringan.
Tubuhnya berputar pelan. Semua yang menjadi sasa-
ran pandangannya berwarna serba biru. Ketika mem-
perhatikan keadaan dirinya sendiri, dia menggaruk-
garuk kepala dengan kening berkerut.
"Aneh.... Ke mana anak-anak panah yang
menancap di tubuhku? Luka-lukaku telah terbalut pu-
la, dan sama sekali tidak terasa sakit..."
Pengemis Binal meraba-raba pakaian bagus
yang dikenakannya. Semula dia mengenakan pakaian

compang-camping. Tentu ada orang yang telah meng-
gantinya, pikir remaja konyol itu
Sewaktu Suropati masih terheran-heran me-
lihat keadaan dirinya, pintu ruangan terkuak. Muncul-
lah seorang wanita setengah baya mengenakan pa-
kaian serba biru. Dandanannya sangat menor. Sikap-
nya tampak genit. Namun, sorot matanya tajam bagai
sanggup menembus jantung Suropati.
Wanita setengah baya itu meletakkan nam-
pan berisi makanan di atas meja yang berada di sisi
pembaringan. Ketika melakukan itu, pinggulnya yang
besar bergoyang. Darah Suropati berdesir aneh. Ma-
tanya sempat melihat payudara wanita setengah baya
yang menyembul karena bajunya tak terkancing.
"Makanlah...," kata wanita berpakaian biru.
Dia tidak beranjak pergi. Malah duduk di kursi yang
berada di sudut kamar.
Suropati menatap sosok wanita itu lebih sek-
sama. Lalu, pandangannya dialihkan pada hidangan di
atas meja. Walau dia lapar, nafsu makannya tak bang-
kit. Suropati teringat suguhan Saka Purdianta di Kapal
Rajawali yang dibubuhi Puyer Perangsang.
"Kenapa bengong saja?" tanya wanita yang
duduk di sudut kamar. "Hidangan itu untukmu. Ma-
kanlah..."
"Di mana teman-temanku?" Suropati teringat
Anggraini Sulistya, Raka Maruta, dan Kakek Wajah
Merah.
"Makanlah dulu! Nanti kuberitahu...." 
"Aku tidak lapar." 
"Perlu kusuapi?"
Wanita setengah baya tersenyum penuh arti.
Matanya mengerjap-ngerjap. Sesaat jantung Pengemis
Binal berdegup lebih kencang. Tapi, segera dianggap-
nya sikap wanita itu sebagai angin lalu.

"Kau tidak mau makan. Apa perlu kusuapi,
heh?" ulang wanita setengah baya.
"Nanti juga aku makan sendiri. Cobalah kau
ceritakan bagaimana aku bisa sampai di sini. Dan di
mana teman-temanku, Nisanak?"
"Panggil aku Kica...."
"Yah, Kica. Cobalah kau bercerita kepada-
ku..."
Kica berjalan mendekati Suropati, lalu duduk
di tepi pembaringan. Perasaan Suropati jadi semakin
tak enak.
"Duduklah, Suro...."
"Kau tahu namaku?" tanya Suropati kehera-
nan.
"Jangan berprasangka buruk! Kami semua
yang berada  di sini diperintahkan untuk melayanimu
dengan baik. Maka dari itu, duduklah yang enak. Aku
akan segera bercerita...."
Dengan hati tak karuan, akhirnya Pengemis
Binal duduk juga di tepi pembaringan. Kica melempar
senyum sebelum berkata.
"Kau sangat beruntung, Suro...." 
"Beruntung?" Suropati memandang Kica ta-
jam-tajam.
"Ya. Sang Ratu berkenan menolongmu dan
menempatkanmu di sini."
"Siapa 'Sang Ratu' itu?"
"Nyai Catur Asta, Penguasa Kerajaan Silu-
man," Kica mengucapkannya dengan penuh rasa se-
gan.
"Jadi... jadi aku sekarang berada di Kerajaan
Siluman?"
"Apakah kau lihat aku seperti siluman?" Kica
tersenyum seraya menunjuk dadanya sendiri.
"Tidak."

"Kalau tidak, kenapa kau menduga berada di
Kerajaan Siluman? Jangan berpikiran yang macam-
macam, Suro!"
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepalanya.
"Sang Ratu memerintahkan junjunganku un-
tuk merawatmu dengan baik. Kau harus berterima ka-
sih kepadanya."
"Siapa junjunganmu?" 
"Ratu Air."
"Ratu Air?!" Suropati terkejut. Tapi, senyum
lebar segera mengembang di sudut hatinya. "Apa hu-
bungannya Ratu Air dengan Putri Air?"
"Ratu Air ya Putri Air."
"Jadi, aku sekarang ini berada di Kerajaan
Air?!" Suropati hampir saja melonjak kegirangan.
"Ya. Tapi sayang, Kerajaan Air telah hancur
beberapa tahun lalu...."
"Kenapa?"
Kica menatap tajam wajah Suropati.
"Mestinya aku tidak boleh bercerita tentang
Kerajaan Air. Tapi, aku kira Ratu Air tak akan tahu...."
"Kalau begitu, kau mau bercerita kepadaku?"
tegas Suropati.
"Berjanjilah untuk tak membuka mulut!"
"Ya, aku berjanji."
Senyum manis mengembang di bibir Kica.
Beberapa kali dia mengerjapkan mata. Saat wanita se-
tengah baya yang masih kelihatan cantik jelita itu me-
narik napas panjang, buah dadanya membusung. Da-
rah Suropati berdesir tak karuan. Jantungnya pun
berdegup lebih kencang. Namun, dia mencoba bersikap
tenang.
Mulailah Kica bercerita.
"Puluhan tahun yang lalu Ratu Air mendiri-
kan Kerajaan Air dengan bantuan sang Ratu. Ratu Air

dapat mewujudkan impiannya untuk dapat memiliki
sebuah istana. Tanpa bantuan sang Ratu, tentu saja
impian Ratu Air tak akan terwujud. Walau Ratu Air
memiliki kesaktian luar biasa, tapi dia tetap manusia
biasa. Untuk membangun istana yang diimpikannya
dibutuhkan waktu puluhan tahun. Ratu Air tak mau
membuang-buang waktu. Dia membuat perjanjian
dengan sang Ratu. Akhirnya, sang Ratu dapat mewu-
judkan impian Ratu Air dalam waktu singkat. Namun,
semua itu mesti ditebus dengan pengabdian Ratu Air
selama hidupnya. Dan, sang Ratu menetapkan satu
pantangan yang tak boleh dilanggar oleh Ratu Air....."
"Pantangan apa itu?"
"Ratu Air tidak boleh menyentuh seorang
pria."
"Lalu, karena Ratu Air melanggar pantangan-
nya, sang Ratu menghancurkan Kerajaan Air?"
"Tepat! Ratu Air harus bersusah payah mem-
bangunan Kerajaan Air-nya lagi."
"Tanpa bantuan sang Ratu?"
"Ya. Ratusan wanita pekerja paksa diperas
tenaganya oleh Ratu Air untuk membangun istana di
bawah tanah."
"Hah?!"
"Jangan heran!"
Suropati menggaruk-garuk kepalanya.
"Jadi, sekarang perjanjian sang Ratu dengan
Ratu Air sudah tidak ada lagi?" 
"Masih."
"Kenapa begitu?" Suropati jadi tak mengerti.
"Istana yang hendak dibangun Ratu Air bera-
da di wilayah kekuasaan sang Ratu. Tentu saja dia ha-
rus tunduk kepada sang Ratu."
"Lalu, di mana ketiga temanku?"
Kica tampak berpikir sebentar, lalu cetusnya,

"Kedua teman laki-lakimu berada di kamar sebelah.
Sedang yang perempuan dibawa sang Ratu ke Kera-
jaan Siluman...."
"Ke Kerajaan Siluman?"
"Ya."
Suropati menarik napas panjang. Lalu di-
hembuskannya udara dalam paru-parunya dengan de-
ras. Suara desahnya keluar dari mulut.
"Sang Ratu tidak akan membuat celaka
orang-orang yang tak bersalah. Yakinlah...."
Mendengar perkataan Kica, hati Pengemis Bi-
nal jadi sedikit lega. Remaja konyol itu kemudian te-
ringat cairan darahnya yang telah tercampur racun
ganas. Hal demikian mengingatkan dirinya pada Putri
Racun yang harus dia cari.
"Apakah Ratu Air mempunyai saudara seper-
guruan yang bergelar Putri Racun?" tanya Suropati
kemudian.
"Ya. Tapi, sekarang Putri Racun berada di Ke-
rajaan Siluman. Dia di sana sejak puluhan tahun yang
lalu. Tenaganya dibutuhkan oleh sang Ratu."
"Dari mana kau tahu?"
"Sejak kecil aku diangkat murid oleh Ratu Air.
Tentu saja aku tahu perihal saudara seperguruan gu-
ruku." 
"Sekarang pertemukan aku dengan kedua
teman laki-lakiku," pinta Suropati.
"Tunggu dulu! Kau belum...."
"Belum apa? Makan?" 
"Bukan! Maksudku belum...." 
"Belum apa? Katakan saja!" desah Pengemis
Binal.
"Belum mengungkapkan terima kasihmu ke-
padaku...," Kica menggantung ucapannya.  
"Dengan apa?" sergah Suropati tak sabar.

Tanpa diduga Kica memeluk tubuh Suropati.
Dihempaskannya Pemimpin Perkumpulan Tongkat
Sakti itu ke pembaringan. Tentu saja Suropati berusa-
ha melawan, tapi pelukan Kica sekuat jepitan baja.
Pengemis Binal yang tak bisa menyalurkan tenaga da-
lam cuma dapat mengeluh.
"Ap... apa yang kau lakukan? Kau jangan
menyentuhku. Istana Kerajaan Air yang sedang diban-
gun akan hancur lagi. Sang Ratu akan murka...."
"Hush! Pantangan itu hanya berlaku bagi Ra-
tu Air. Aku tidak! Ehm..."
Kica memeluk tubuh Suropati makin erat, Bi-
bir remaja tampan itu pun dipagutnya penuh nafsu.
Perlakuan Kica terlihat sangat kasar.
"Oh...! Jangan...! Jangan lakukan itu...!"
"Bersikaplah manis, Suro. Kita akan mereguk
kenikmatan...."
"Tidak!"
Kica mendengus. Ditatapnya wajah Pengemis
Binal dengan mata mendelik. Tapi, kekerasan di wa-
jahnya segera redup. Dengan penuh nafsu diciuminya
lagi bibir Suropati. Keluh kesah Pengemis Binal tak di-
pedulikannya.
Sebelum Kica berbuat lebih jauh, tiba-tiba
terdengar teriakan memanggil.
"Kica...!"
Buru-buru Kica melepaskan pelukannya.
Dengan tergesa-gesa pula dia merapikan pakaiannya
yang kusut. Lalu, dibukanya pintu dan berlalu dari
kamar Suropati.
"Kau dari mana, Kica?" tanya seorang nenek
tua renta ketika Kica sampai di sebuah lorong. Nenek
tua renta itulah yang dipanggil Ratu Air atau Putri Air.
"Mengantarkan makanan untuk Suropati...,"
jawab Kica dengan kepala tertunduk. Jawaban itu ter-

dengar lemah, terbawa rasa takut yang mendera hati
Kica. Seandainya Ratu Air tahu apa yang barusan di-
perbuatnya terhadap Suropati, dia tentu akan dijatuhi
hukuman mati.
Ratu Air mendehem. Matanya bersinar tajam
penuh selidik. "Mengantarkan makanan saja kenapa
begitu lama?"
"Suropati tidak mau makan. Hamba harus
membujuknya...."
"Ehm.... Begitu?"
"Hamba, Ratu...."
Ratu Air mengangguk-angguk.
"Segera awasi para pekerja. Awas! Jangan kau
sakiti Atika dan Sinta dengan cambukmu lagi. Aku tak
ingin gadis kembar itu mati sebelum Istana Air selesai
dibangun!"
"Hamba, Ratu...."
Kica membungkukkan tubuhnya dalam-
dalam sebelum berlalu dari hadapan Ratu Air. Ketika
Kica berjalan pergi dia masih sempat melihat sosok Ra-
tu Air berubah wujud. Sikap berdiri Ratu Air yang se-
mula melengkung ke depan menjadi tegak menantang.
Rambut putihnya yang riap-riapan berubah hitam pe-
kat dan tergerai indah. Dan saat Ratu Air menatap ke
arah Kica, tampaklah wajah Ratu  Air telah berubah
cantik jelita!
Namun, apa yang dilihat Kica tak membuat
wanita setengah baya itu terkejut. Sejak lama Kica te-
lah tahu Ratu Air mempunyai kesaktian yang luar bi-
asa. Perubahan yang terjadi pada diri Ratu Air barusan
adalah pameran sebagian dari ilmu kesaktiannya.
Kica terus berjalan menuju tempat para pe-
kerjaan paksa. Tapi, hati Kica tak luput dari gangguan
tanda tanya.
"Aku tidak melihat alasan pasti kenapa Ratu

Air merubah wujudnya. Dia tentu mempunyai maksud
tertentu. Tapi, apakah maksud  Ratu Air itu untuk....
Ah! Tak mungkin dia berani melakukannya. Dia sudah
cukup mendapat pelajaran dari sang Ratu..." 
Pengemis Binal terkejut mendapati daun pin-
tu kamarnya diketuk orang. Lamunannya seketika
buyar.
"Suro..." 
Suropati tak menyahut. Dia menyangka orang
yang menyebut namanya adalah Kica. Tapi, kening Su-
ropati jadi berkerut. Suara yang terdengar amat berbe-
da dengan suara Kica.
Suara itu begitu lembut dan mempunyai geta-
ran aneh yang sanggup mendebarkan hati Suropati.
Siapa empunya suara itu? Bidadarikah?
Tak ada niat Suropati untuk membuka daun
pintu. Tapi karena pintu itu tak terkunci, akhirnya da-
pat juga dibuka dari luar. Terpampanglah di depan
mata Suropati seorang gadis cantik jelita yang terse-
nyum ramah kepadanya.
Mata Pengemis Binal terbeliak. Sosok gadis
cantik yang berdiri di hadapannya mengingatkan Pe-
mimpin Perkumpulan Tongkat Sakti itu kepada Dewi
Ikata. Gadis itu tengah menjenguk ibunya yang sedang
sakit di kota Kadipaten Bumiraksa.
"Suro...." 
Mendengar namanya disebut, lamunan Suro-
pati langsung buyar. Sambil menggaruk-garuk kepala
remaja konyol itu lalu menatap keindahan yang berada
di hadapannya. "Kau siapa?"
Si gadis tersenyum manis. Matanya mengerl-
ing indah menakjubkan. Kontan Suropati merasakan
sebagian hatinya hilang terbawa senyum dan kerlingan
itu.
"Kau bidadari?" tanya Suropati lagi dengan

konyolnya.
"Apakah aku seperti bidadari?" si gadis kem-
bali mengerjapkan matanya.
"Jadi, kau bukan bidadari?" 
"Terserah apa katamu!" 
"Ehm...," Suropati menggumam pelan. 
"Ehm... apa?"
"Kau... sangat cantik. Namamu?"
"Hik hik hik...!" si gadis cantik tertawa mengi-
kik.
"O.... Namamu hik hik hik?" ujar Suropati
sambil menahan senyum.
Si gadis tersenyum lebar. Deretan giginya
yang putih bersih bak mutiara berjajar terlihat oleh
Suropati. Debar di hati Suropati pun semakin terasa.
Walau Suropati sudah amat sering berjumpa dengan
gadis cantik, tapi gadis yang berdiri di hadapannya itu
mempunyai pesona tersendiri.      
"Suro...," panggil gadis cantik itu mesra. 
"Apa?"
"Kau tampan sekali...." 
"Semua gadis mengatakan aku demikian,"
sambut Suropati dengan agak menyombongkan diri.
"Uh! Sombong!" rungut si gadis.
"Jangan marah! Nanti cantikmu hilang. Kau
belum menyebutkan namamu," Suropati mengingatkan
pertanyaannya yang belum terjawab.
"Pentingkah itu bagimu?"
"Tentu. Biar aku bisa memanggilmu."
"Panggil saja dengan 'Putri'," si gadis cantik
menyebutkan namanya dengan suara ditekan.
"Putri apa?" tanya Suropati tak jelas.
"Putri Air."
"Hah?!"
Mata Pengemis Binal langsung terbeliak lebar.

Dia dihantam keterkejutan yang sangat!
"Eh..., kau kenapa?" si gadis cantik meman-
dang Suropati dengan wajah keheranan.
"Benar... benarkah kau Putri Air?"
"Ya. Kenapa? Apakah terdengar aneh di telin-
gamu?"
Tak ada jawaban dari mulut Suropati. Dia
menundukkan kepalanya. Benarkah gadis cantik jelita
itu Putri Air? Suropati menduga usia Putri Air tentu
seratus tahun lebih. Tapi, kenapa dia bisa berwujud
demikian cantik? Apakah Suropati tidak salah lihat?
Atau, barangkali Putri Air memiliki ilmu 'Awet Muda'
yang sangat hebat?
Melihat Suropati terus tertunduk dan melen-
guh-lenguh macam kerbau habis dicocok hidungnya,
Putri Air berjalan lebih dekat. Dia lalu duduk di tepi
pembaringan. Dibelainya rambut Suropati yang hitam
panjang.   
"Akulah yang merawat luka-luka di tubuhmu,
Suro. Bila kau buka balutannya, tak akan kau temu-
kan bekas-bekasnya...."
"Kau pula yang mengganti pakaianku?"
"Ya."
"Jadi, kau sempat menelanjangiku?" Suropati
melototkan matanya.
"Kenapa? Kau tak suka?" Suropati terdiam.
Getar-getar dalam hatinya berubah menjadi rasa ngeri.
Belaian Ratu Air pada rambutnya pun menjadikan tu-
buh pemuda itu menggigil. Keringat dingin mengucur
deras....
Ketika jemari Ratu Air bergerak makin berani,
Suropati meloncat. Rasa ngeri terbayang jelas di ma-
tanya. Ratu Air cuma tersenyum.
"Kau kenapa? Kau tidak suka padaku?
Atau...." 

Tiba-tiba, Ratu Air menarik kain yang menu-
tupi tubuh bagian bawahnya. Betis dan sebagian pa-
hanya langsung terlihat. Putih mulus seperti milik pe-
rawan tujuh belas tahun. Belum cukup berbuat demi-
kian, Ratu Air mendesah pendek seraya mengangkat
wajahnya. Buah dadanya yang besar menantang lang-
sung menyembul dari bajunya yang tak terkancing.
Akibatnya jakun Suropati terlihat naik-turun.
"Ssshhh.... Mendekatlah kemari, Suro...," bi-
sik Ratu Air seraya melambaikan tangannya dan men-
gerling penuh arti.
Melihat sikap yang menantang itu, pikiran
Suropati jadi tak karuan. Tapi, remaja konyol itu sege-
ra teringat akan Kebesaran Tuhan. Di matanya lalu
berkelebat bayangan Periang Bertangan Lembut, gu-
runya yang telah meninggal.
"Suro..., di dunia ini ada banyak keanehan.
Ada dua penyebab kenapa suatu benda atau kejadian
menjadi aneh. Pertama, benda atau kejadian itu me-
mang dikehendaki Tuhan untuk menjadi aneh. Kedua,
pandangan manusia sendiri yang terkecoh untuk men-
jadikannya sebagai sesuatu yang aneh. Bila penyebab
kedua yang terjadi, keanehan itu akan hilang dengan
keteguhan iman yang berasal dari kekuatan batin."
Mengingat  kata-kata mendiang gurunya itu,
Suropati sadar kalau dia mempunyai kemampuan me-
nolak kekuatan sihir. Tapi sanggupkah dia menghim-
pun kemampuannya itu, sementara racun Jarum Mati
Sekejap masih bersemayam dalam aliran darahnya?
Kini, bayangan Datuk Risanwari-lah yang
muncul di benak Suropati. Di Bukit Hantu tokoh sakti
itu pernah mengatakan kalau ilmu kepandaian Suro-
pati telah musnah seluruhnya, tapi hanya yang ber-
sumber pada pengerahan tenaga dalam atau pe-
nyaluran hawa murni. Kalau begitu, Suropati masih

dapat menghimpun kekuatan batinnya!
Ketika Ratu Air merintih-rintih kecil sambil
membuka kedua pergelangan kakinya lebar-lebar
sampai kain bawah tubuhnya tersingkap semua, ce-
pat-cepat Suropati menutup kelopak matanya. Sesaat
hening dirasakan oleh Suropati. Lalu, pikirannya ter-
bawa ke suatu tempat yang maha luas, namun tak te-
risi apa-apa! Dalam kekosongan pikiran itulah kekua-
tan batin Suropati terhimpun. Hingga, saat dia mem-
buka kelopak matanya kembali....
"Ya, Tuhan...!" sebut Suropati.
Wujud Ratu Air yang cantik jelita telah beru-
bah menjadi nenek tua renta berwajah mengerikan.
Suropati terkejut bukan main. Tanpa sadar kakinya
bergerak-gerak seperti hendak lari.
Ketika Ratu Air merintih panjang sambil
memberi tatapan sayu, Suropati berkata dengan nada
memelas, "Aku mohon dengan sangat, pergilah kau,
Ratu. Aku sudah tahu wujudmu yang asli...:" 
Mendengar ucapan itu, Ratu Air langsung ter-
cekat. Sadarlah dia kalau kekuatan sihirnya dapat di-
musnahkan Pengemis Binal. Namun karena hasrat
yang menggelora dalam hatinya tak dapat di-bendung
lagi, Ratu Air menerkam Suropati!
Pergumulan seru terjadi. Dengan sekuat te-
naga Suropati  berusaha menepis pelukan Ratu Air.
Tapi, kedua tangan nenek yang sudah lupa diri ini se-
kuat jepitan baja. Sampai di manapun usaha Suropati
untuk melepaskan diri, dia hanya menemui kegagalan.
Bahkan, karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga,
jantungnya terasa amat sakit bagai diremas-remas.
Rupanya racun Jarum Mati Sekejap langsung bekerja
begitu Suropati mengerahkan tenaga terlalu banyak.
"Kau sangat tampan, Suro...," desis Ratu Air
sambil meraba-raba dada Suropati yang bidang. Suara

yang keluar dari mulutnya terdengar mengorok seperti
rintihan orang menjelang ajal.
"Jangan...!" keluh Suropati. "Jangan lakukan
semua ini, Ratu. Ingat Kerajaan Air-mu. Istana yang
sedang kau bangun akan hancur. Sang Ratu akan
murka...."
Ratu Air tercekat. Matanya mendelik. Namun,
sebentar kemudian bibirnya yang pencong menunjuk-
kan seringai aneh. Tatapan matanya, pun kembali me-
redup.
Suropati melihat kesempatan itu untuk mele-
paskan diri. Pengemis Binal bergegas meloncat turun
dari pembaringan. Namun, seberkas cahaya putih ben-
ing meluruk ke arah tubuhnya!
Byarrr!
Seberkas cahaya putih bening yang tepat
mengenai sasaran berubah menjadi guyuran air. Kon-
tan Pengemis Binal basah kuyup.
"Ha ha ha...!" Ratu Air tertawa bergelak. "Mau
lari ke mana kau, Suro?! Kau harus melayaniku seka-
rang juga!"
Perlahan saja Ratu Air mengibaskan telapak
tangan kanannya. Dan, seberkas cahaya putih bening
kembali meluruk ke arah tubuh Suropati! 
Byaaarrr...!
Cahaya yang berubah menjadi guyuran air
tersebut kali ini dapat menyeret tubuh Pengemis Binal.
Dan, jatuhlah dia ke dalam pelukan Ratu Air! Suropati
benar-benar tak berdaya menghadapi wanita itu.
Ratu Air tertawa bergelak kembali. Kali ini le-
bih keras.
"Biarlah Nyai Catur Asta melihat perbuatan-
ku. Aku tak peduli! Aku membangun Istana Air atas
kemampuanku sendiri. Dia tak perlu ikut campur uru-
sanku!" 

Suropati merasakan ciuman dingin mendarat
di pipinya. Kontan remaja konyol ini bergidik jijik.
Seumur hidup belum pernah dia dicium nenek-nenek
yang sedang dirasuki nafsu setan. Mimpi pun tidak!
Uh! Benar-benar menjijikkan!
Dengan satu sentakan pelan tubuh Suropati
terguling ke lantai. Ratu Air langsung menekannya
sambil terus menciumi!
"Uf...! Jangan, Ratu...!"
Tak ada kata yang menimpali ucapan Suropa-
ti. Akal sehat Ratu Air benar-benar telah tertutup ha-
srat hatinya yang semakin menggelora....
Namun sebelum sesuatu yang tak diinginkan
terjadi, mendadak saja tubuh Rata Air bergetar keras.
Terdengar jerit tertahan dari mulutnya.
"Pfef...!"
Suropati tak tahu apa yang sedang terjadi ke-
tika tiba-tiba pelukan Ratu Air terlepas. Sekejap mata
kemudian....
Bruummm...!
Tubuh Ratu Air melayang bagai dilontarkan
tangan raksasa. Tubuh nenek tua renta ini membentur
dinding ruangan hingga jebol!
Melihat dinding yang tebalnya dua jengkal sa-
ja dapat jebol, tentu tubuh Ratu Air ikut remuk. Tapi
ternyata tidak! Ratu Air dapat bangkit dengan sigap.
Tak ada keluh kesakitan keluar dari mulutnya. Hanya,
wajahnya berubah merah padam. Bola matanya melo-
tot seperti hendak keluar dari rongga.
"Bangsat!" umpat Ratu Air sambil menatap ke
tempat kosong dari balik reruntuhan dinding.
Nenek tua renta ini kemudian meluruskan ja-
ri tengah dan telunjuknya. Aneh! Dari kedua jari tan-
gan kanannya itu mengucur air bening!
Suropati yang melihat kejadian itu terperan-

gah. Tanpa sadar dia menggaruk-garuk kepala. Apalagi
setelah air bening yang mengucur dari kedua jari tan-
gan Ratu Air menegang, dan berubah menjadi bilah
pedang yang sangat tajam!
"Perjanjian kita kubatalkan sampai di sini.
Kau terlalu banyak mencampuri urusanku!" hardik
Ratu Air sambil terus menatap tempat kosong dari ba-
lik reruntuhan dinding.
Tiba-tiba terdengar suara bergemuruh keras.
Ratu Air buru-buru meloncat ke samping. Akibatnya....
Bruuummm!
Dinding ruangan jebol untuk kedua kalinya.
Entah dari mana datangnya kekuatan kasat mata yang
menghantam. Tapi yang jelas, kini Ratu Air tampak
meloncat-loncat sambil melakukan serangan ganas
dengan Pedang Air-nya.
Suropati mengerutkan kening, kepalanya
yang tidak gatal digaruk-garuk kembali. Apa yang ter-
jadi?
Dengan siapakah Ratu Air bertempur?
Akibat yang ditimbulkan oleh pertempuran
Ratu Air melawan wujud gaib itu benar-benar dahsyat.
Keempat dinding ruangan hancur semua. Atapnya me-
lesak runtuh. Debu bercampur pecahan batu dinding
beterbangan ke berbagai penjuru. Tentu saja keadaan
ini membahayakan jiwa Suropati.
Untunglah, Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini bisa cepat menyadari keadaan. Dia
meloncat keluar dari gelanggang pertempuran sebelum
pecahan-pecahan batu dinding menimpa tubuhnya.
"Aku menduga Ratu Air sedang bertempur
dengan Nyai Catur Asta. Ratu Air telah melanggar pan-
tangannya, yakni tak boleh menyentuh laki-laki...," bi-
sik Pengemis Binal kepada dirinya sendiri. "Aku jadi
ingin tahu wujud Nyai Catur Asta yang kasatmata itu.

Sesuai dengan namanya, benarkah dia memiliki empat
tangan? Ah, sebaiknya kucoba ilmu 'Mata Awas'-ku...."
Ilmu 'Mata Awas' adalah ilmu tembus pan-
dang hasil ajaran guru Pengemis Binal, si Periang Ber-
tangan Lembut. Karena ilmu ini tidak memerlukan pe-
nyaluran tenaga dalam ataupun hawa mumi, maka
Pengemis Binal dapat mengetrapkannya. Tapi.... Di an-
tara tebaran batu dinding dan debu tebal, mata Pen-
gemis Binal dapat melihat sosok Ratu Air yang sedang
melancarkan serangan bertubi-tubi. Namun sosok Nyai
Catur Asta tetap tak tampak.
Pengemis Binal tak dapat berpikir panjang la-
gi ketika dilihatnya sekujur tubuh Ratu Air meman-
carkan cahaya putih bening yang meluruk ke berbagai
penjuru!
Byaarr...!
Cahaya putih bening berubah menjadi guyu-
ran air ganas yang mempunyai daya hancur luar biasa.
Bangunan yang menjadi ajang pertempuran hancur
berkeping-keping. Dinding serta atapnya rata dengan
permukaan tanah.
Untung Suropati masih dapat menyelamatkan
diri. Dengan mengerahkan seluruh tenaga luarnya un-
tuk berlari cepat, remaja konyol ini dapat sampai di
tempat yang aman. Ketika dia menebar pandangan,
tahulah dia kalau dirinya ternyata berada di sebuah
pulau kecil yang sangat gersang. Sejauh mata meman-
dang hanya terlihat tonjolan-tonjolan batu karang dan
hamparan pasir luas. Tak ada satu batang pohon pun
yang tumbuh di atasnya, 
Tersiram cahaya mentari yang panas me-
nyengat, mata Suropati melihat sebuah tungku raksa-
sa yang dapat memanggang dua ekor gajah sekaligus.
Tungku raksasa ini terbuat dari susunan batu. Walau
tak ada lidah api yang terlihat, Suropati menduga ha-

wa di dalam tungku itu tentu sangat panas. Ini bisa
dibuktikan dari adanya asap kehitaman yang tiada
berhenti mengepul keluar.
Tiga puluh tombak dari tungku raksasa tam-
pak sebuah kubangan bergaris tengah setinggi orang
dewasa. Dari dalam kubangan berkelebat keluar empat
sosok bayangan biru. Ketika kelebatan empat bayan-
gan ini berhenti tak seberapa jauh dari ajang pertem-
puran, mereka hanya berdiri termangu-mangu tanpa
tahu apa yang harus diperbuat. Mereka hanya melihat
Ratu Air sedang bertempur. Tapi, mereka tak menge-
tahui lawan junjungannya.
Sesosok bayangan biru lain berkelebat datang
dan berhenti di sisi kanan empat wanita berpakaian
serba biru. Pengemis Binal memastikan sosok yang ba-
ru muncul itu adalah Kica.
"Apa yang terjadi, Kica?" tanya salah seorang
wanita berpakaian serba biru.
"Aku tak tahu. Tapi, tampaknya junjungan ki-
ta sedang bertempur melawan sang Ratu."
"Hah?!" keempat teman Kica terkejut bukan
main.
"Kalau junjungan kita kalah, tempat ini akan
hancur dan kita semua akan mati!" lanjut Kica.
"Kenapa Ratu Air bertempur dengan Nyai Ca-
tur Asta?" tanya teman Kica lainnya. Suaranya terden-
gar diliputi kekhawatiran yang sangat.
"Itu pun aku tak tahu. Tapi, aku menduga
Ratu Air kembali melanggar pantangannya. Kau ingat
tiga lelaki yang dititipkan Nyai Catur Asta kepada Ratu
Air? Mungkin sekali Ratu Air telah menyentuh dengan
disertai hawa nafsu terhadap salah seorang di antara
mereka...."
"Kalau benar demikian, apa yang harus kita
perbuat?"

"Tak ada. Tak ada yang dapat kita perbuat..."
"Jadi, kita hanya menunggu datangnya  Ma-
laikat Kematian?" ujar teman Kica dengan wajah me-
nampakkan kengerian.
"Ya."
6

Masih berada di pulau yang sama tampak tu-
buh Raka Maruta dan Kakek Wajah Merah terbujur
lemah. Mata keduanya terpejam rapat dengan telapak
tangan menempel di atas perut. Wajah kedua pendekar
itu pucat pasi seperti mayat. Tapi, napas mereka ma-
sih teratur. Inilah yang menunjukkan kalau mereka
masih hidup.
Anehnya, tubuh Raka Maruta dan Kakek Wa-
jah Merah mengapung di permukaan air danau kecil.
Tak ada gelembung air yang menopang tubuh kedua-
nya. Tapi, tubuh mereka dapat bertahan hingga tak
tenggelam.
Setelah Nyai Catur Asta menitipkan kedua
orang ini kepada Ratu Air, luka-luka di tubuh mereka
akibat hujan anak panah para anggota Partai Iblis Un-
gu memang mendapat perawatan yang baik. Tapi, sete-
lah itu Ratu Air yang mempunyai maksud makar ter-
hadap Nyai Catur Asta berkehendak menyingkirkan
Raka Maruta dan Kakek Wajah Merah!
Keduanya dibuat pingsan. Lalu, dalam kea-
daan tak berdaya tubuh mereka diletakkan di permu-
kaan air Danau Mati Dalam Hidup!
Setiap orang yang ditempatkan di Danau Mati
Dalam Hidup jangan harap dapat meloloskan diri. Wa-
lau mereka masih memiliki tanda-tanda kehidupan,
tapi tak akan dapat berbuat apa-apa sampai ajal men-
jemput!

Akankah Raka Maruta dan Kakek Wajah Me-
rah menemui hari naasnya di tempat itu? Tampaknya
Tuhan berkenan mengirim sang penyelamat. Di tepi
Danau Mati Dalam Hidup terlihat dua orang wanita
berpakaian compang-camping sedang berdiri memper-
hatikan kedua orang yang mengapung itu.
Mereka adalah dua orang gadis kembar yang
mempunyai rambut hitam panjang tergerai indah.
Rupanya, ketika kelima pengawas kerja yang
juga merupakan murid Ratu Air keluar dari kubangan,
diam-diam Atika dan Sinta juga pergi. Tempat yang di-
tuju Atika dan Sinta adalah Danau Mati Dalam Hidup.
"Kita harus segera menolong mereka, Sin-
ta...," kata Atika kepada saudara kembarnya.
"Ya. Kita harus bertindak cepat sebelum inti
kekuatan tubuh kedua lelaki itu tersedot habis."
Atika dan Sinta berpandangan sejenak. Lalu
keduanya terlihat menganggukkan kepala. 
"Dengan berenang kita akan membawa mere-
ka ke tepi," ujar Sinta kemudian. 
"Jangan gegabah!" cegah Atika mengingatkan.
"Kenapa?" 
Atika tak memberikan jawaban. Dia berjong-
kok di tepi danau. Ujung jarinya lalu dimasukkan ke
dalam air. Sesaat gadis ini tak merasakan apa-apa, ke-
cuali hawa dingin yang menjalar dari telunjuk jarinya.
Namun....
"Ih...!"
Buru-buru Atika menarik jari tangannya yang
tercelup. Wajah gadis ini terlihat pucat dan diliputi ke-
terkejutan yang sangat 
"Kenapa kau, Tika?" Sinta mencemaskan
saudara kembarnya.
"Air danau ini mempunyai kekuatan gaib
yang hebat! Tiba-tiba saja tubuhku jadi lemas. Tena-

gaku seperti tersedot!"
"Benar begitu?"
"Ya. Tapi, kau tak usah membuktikannya.
Aku punya akal untuk menyelamatkan kedua lelaki
yang mengapung di permukaan air itu. Kita lemparkan
mereka ke atas dengan mempergunakan pukulan jarak
jauh, dengan begitu kita tak perlu menyeberangi da-
nau ini."
Sejenak Atika dan Sinta berdiri berdampingan
di tepi danau. Lalu.... 
"Heaaa...!"
Byarrr! 
Secara bersamaan kedua gadis kembar itu
menyorongkan kedua telapak tangannya ke permu-
kaan air danau. Empat larik sinar kebiruan-biruan
meluncur deras!
Genangan air danau muncrat hingga menim-
bulkan gelombang besar. Tubuh Raka Maruta dan Ka-
kek Wajah Merah terlontar ke atas. Sebelum tubuh ke-
dua pendekar ini jatuh lagi ke permukaan air, Atika
dan Sinta bertindak cepat. Mereka berkelebat me-
nyambar tubuh Raka Maruta dan Kakek Wajah Merah
yang masih melayang!
"Hup...!"
Atika dan Sinta mendarat dengan mulus di
tepi danau sebelah sana. Kedua gadis kembar ini lalu
meletakkan tubuh Raka Maruta dan Kakek Wajah Me-
rah di atas tanah berpasir. Setelah diberikan beberapa
totokan, Raka Maruta dan Kakek Wajah Merah meng-
geliat sadar dari pingsannya.
"Uh! Apa yang terjadi?" keluh Pendekar Kipas
Terbang sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Kakek
Wajah Merah terdengar mengambil napas panjang. Di-
cobanya menduga apa yang baru saja dialaminya.
"Tubuh kalian masih sangat lemah," kata Ati-

ka. "Akan kucoba mengembalikan inti kekuatan tubuh
kalian...."
Tanpa diminta Sinta segera mendudukkan
Kakek Wajah Merah. Atika melakukan hal yang serupa
kepada Pendekar Kipas Terbang.
Dengan menempelkan telapak tangan ke dada
kedua pendekar itu, Atika dan Sinta menyalurkan ha-
wa murni. Perlahan-lahan wajah Raka Maruta dan Ka-
kek Wajah Merah tampak memerah dan segar. Namun,
Sinta yang menyalurkan hawa murni kepada Kakek
Wajah Merah tersentak kaget. Wajah kakek di hada-
pannya berubah sangat merah seperti buah tomat ma-
tang!
"Eh, apa yang terjadi denganmu, Kek...?"
tanya Sinta keheranan.
Kakek Wajah Merah yang merasakan keadaan
tubuhnya kembali seperti sedia kala tampak terse-
nyum simpul.
"Kenapa?" Tabib pandai ini balik bertanya.
"Wajahmu.... Wajahmu, Kek...."
"Kenapa? Wajahku memang demikian. Sejak
lahir wajahku berwarna merah matang. Karenanya aku
dijuluki orang si Wajah Merah."
"Ooo...." 
Sinta melongo, lalu diliriknya saudara kem-
barnya. Atika sedang bercakap-cakap dengan Pendekar
Kipas Terbang.
Saat terdengar sebuah ledakan dahsyat yang
membuat bumi bergetar hebat, keempat anak manusia
itu mengarahkan pandangan ke satu titik. Di kejauhan
mereka melihat batu-batu karang berpentalan tak ka-
ruan.
"Siapa yang sedang bertempur?" tanya Pen-
dekar Kipas Terbang.
"Kita harus segera menyingkir! Nyai Catur As-

ta sedang murka. Mimpiku benar-benar akan menjadi
kenyataan...."
"Mimpi?" 
"Ya," jawab Atika. Gadis ini lalu menceritakan
perihal mimpinya tentang kehancuran Kerajaan Air.
"Jadi, aku sekarang berada di Kerajaan Air.
Lalu, siapa kalian berdua yang telah begitu baik meno-
longku dan Kakek Wajah Merah?"
"Tak ada waktu untuk menjawab. Sebaiknya
kita segera menyingkir. Di kubangan sebelah sana...,"
Atika menunjuk dengan ujung jarinya. "Ratusan wani-
ta pekerja paksa sedang membangun Istana Air. Tem-
patnya di bawah tanah. Sebaiknya kita menolong me-
reka terlebih dahulu...."

***

Pengemis Binal berdiri dengan wajah tegang.
Berkali-kali keluh panjang keluar dari mulutnya. Pan-
dangannya yang sudah dilambari ilmu 'Mata Awas' tak
pernah lepas dari ajang pertempuran, di mana Ratu Air
sedang berusaha sekuat tenaga mengalahkan kekua-
tan kasat mata yang berasal dari kemurkaan Nyai Ca-
tur Asta.
Tiba-tiba Pengemis Binal menggaplok kepa-
lanya sendiri. "Bodoh! Kenapa tidak kucoba ilmu
'Penembus Alam Gaib' warisan Kakek Wajah Merah?"
Memang, di Bukit Rawangun Suropati pernah
mendapat sebuah kitab yang berisi tentang petunjuk
untuk dapat melihat hal-hal yang berbau gaib. Kitab
itu pemberian si Wajah Merah. Di lereng Bukit Bangau,
Suropati telah mempelajarinya. Ilmu 'Penembus Alam
Gaib' pernah digunakan Suropati untuk  menumpas
Margana Kalpa atau Malaikat Bangau Sakti yang me-
miliki kesaktian luar biasa, karena tokoh itu dibantu

oleh arwah gurunya yaitu Dewa Tapak Hitam.
Dengan mengetrapkan ilmu 'Penembus Alam
Gaib' akhirnya Pengemis Binal dapat melihat wujud
Nyai Catur Asta. Penguasa Kerajaan Siluman ini ter-
nyata benar-benar mempunyai empat tangan, sesuai
dengan namanya. 
Namun begitu Nyai Catur Asta memiliki wajah
yang sangat cantik. Tubuhnya sintal, terbungkus pa-
kaian merah gemerlap seperti layaknya seorang ratu.
Rambutnya hitam mengkilat. Digelung ke atas dengan
berhiaskan tiga tusuk konde emas bermata intan. 
Gerak tubuh Nyai Catur Asta lemah gemulai.
Sangat berbeda dengan gerak tubuh Ratu Air yang
sangat cepat dan penuh nafsu membunuh. Tapi, da-
lam gerak yang kelihatan lamban itulah Ratu Air di-
buat terperangah. Serangannya yang gencar lak-sana
air bah tak pernah mengenai sasaran. Bahkan, Ratu
Air tampak terdesak!
"Yang mengingkari janji terhadap Nyai Catur
Asta layak untuk mendapat hukuman berat..," kata
Penguasa Kerajaan Siluman, Nyai Catur Asta.
"Mulutmu terlalu nyinyir, Keparat!" umpat
Ratu Air seraya menerjang dengan sambaran Pedang
Air.
Pelan saja Nyai Catur Asta mengegoskan tu-
buhnya ke samping. Lalu, dengan kekuatan penuh sa-
tu tangannya yang sebelah atas berkelebat cepat.
Weerrr!
Sebuah titik kecil berwarna kelabu muncul.
Titik kecil ini meluruk cepat dan mendadak berubah
menjadi gulungan angin dahsyat!
Ratu Air melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi.
Gulungan angin dahsyat itu pun melesat lalu meng-
hantam permukaan air laut
Blarrr!

Terciptalah gelombang ganas. Suaranya
menggelegar dengan disertai lidah ombak yang tiba-
tiba menjulang setinggi bukit. Ketika ombak ini meng-
hempas ke bawah, pinggiran pulau yang tertimpa me-
lesak hingga tergenang air laut.
"Bila janji terhadap Nyai Catur Asta diingkari
untuk kedua kalinya, hukuman yang tepat adalah ma-
ti!" kata Nyai Catur Asta lagi.
"Kau saja yang mati!" pekik Ratu Air, Nenek
tua renta itu mengibas-ngibaskan telapak tangan ki-
rinya. Bersamaan dengan suara dentuman keras se-
perti  gunung meletus, seberkas cahaya berpendar ke
berbagai penjuru. Pendaran cahaya putih bening ini
kemudian berubah menjadi guyuran air yang sangat
panas, dan meluncur deras dari atas ke arah Nyai Ca-
tur Asta! 
Byarrr...!
Air yang menimpa permukaan tanah berpasir
menciptakan danau selebar lima puluh tombak! Se-
mentara Nyai Catur Asta terlihat berdiri tegak di per-
mukaan air.
"Hukuman dijatuhkan!" teriak Nyai Catur As-
ta seraya memutar tubuhnya hingga menyerupai
gangsing.
Wraaammm...!
Genangan air bergulung-gulung menyerbu ke
arah Ratu Air! 
Ratu Air bergegas membuang Pedang Air-nya.
Dengan sigap dia menyorongkan kedua telapak tan-
gannya ke depan. Sebuah pukulan jarak jauh yang
disertai kekuatan tenaga dalam penuh meluncur de-
ras!
Wusss!
Genangan air yang meluncur ke arah Ratu Air
berkelok, dan menerpa kubangan di mana di dalamnya

terdapat ratusan wanita pekerja paksa!
Samar-samar terlihat Raka Maruta, Kakek
Wajah Merah, Atika, dan Sinta yang sedang berdiri di
pinggir kubangan tertimpa genangan air yang melen-
ceng arahnya.
Tubuh keempat orang itu terlontar jauh. Un-
tunglah mereka orang-orang yang berkepandaian cu-
kup tinggi, sehingga dapat berdiri tegak kembali tanpa
mengalami luka yang berarti.
Namun, mereka melihat kubangan yang se-
mula hendak mereka masuki, telah digenangai air.
Tentu saja ini berakibat matinya ratusan wanita peker-
ja paksa yang berada di dalamnya.
"Kita harus menolong Suropati dan Anggraini
Sulistya. Tapi, di mana mereka?" desah Pendekar Ki-
pas Terbang seraya menebar pandangan.
Si Wajah Merah menudingkan jari telunjuk-
nya ke satu arah. "Itu Suropati!" teriaknya girang. Ter-
lihat oleh tabib pandai ini sosok Pengemis Binal yang
sedang berlindung di balik julangan batu karang.
Raka Maruta dan Wajah Merah bergegas ber-
kelebat ke arah Suropati. Tindakan kedua pendekar ini
segera diikuti Atika dan Sinta.
"Syukurlah kau selamat, Suro...," kata Pen-
dekar Kipas Terbang telah berada di dekat Pengemis
Binal. 
Suropati hanya nyengir. Ditatapnya Raka Ma-
ruta dan Kakek Wajah Merah bergantian. Ketika pan-
dangannya tertuju pada Atika dan Sinta, Pengemis Bi-
nal menggaruk-garuk kepala.
"Siapa kalian?" tanya Suropati.
Atika dari Sinta tak menjawab. Mereka saling
bertatapan.
"Segera saja kita pergi dari tempat ini," kata
Atika kemudian.

"Dengan apa kita pergi?" sahut Sinta. "Pulau
ini berada di tengah laut luas. Tanpa perahu atau kap-
al mustahil kita dapat meninggalkan tempat ini..."
Tiba-tiba saja terdengar suara tanpa wujud.
"Lihat ke tenggara. Di sana ada sebuah kapal. Pergilah
kalian...."
"Nyai Catur Asta...!" desis Atika dan Sinta
bersamaan.
Kedua gadis ini menoleh ke arah yang ditun-
jukkan suara tanpa wujud. Nun jauh di sana terlihat
sebuah kapal yang lambungnya berwarna merah.
Layarnya yang juga berwarna merah tampak meng-
gembung oleh tiupan angin. 
"Kita pergi sekarang. Nyai Catur Asta meno-
long kita...," kata Atika. 
Gadis itu segera berkelebat menuju kapal.
Sinta bergegas mengikuti. Namun, Raka Maruta dan si
Wajah Merah menatap Suropati dalam-dalam.
"Di mana Anggraini Sulistya?" tanya Raka
Maruta. .
"Dia dibawa Nyai Catur Asta ke Kerajaan Si-
luman," jawab Pengemis Binal.
"Siapa Nyai Catur Asta?" tanya Raka Maruta. 
"Yang sedang bertempur melawan Ratu Air
itu."
Mendengar jawaban Suropati, Raka Maruta
dan Kakek Wajah Merah mengalihkan pandangannya
ke gelanggang pertempuran.
Kening Raka Maruta berkerut. Dia tak meli-
hat apa-apa, kecuali semburan air bercampur beba-
tuan dan gumpalan tanah pasir. Namun, Kakek Wajah
Merah yang memiliki ilmu 'Penembus Alam Gaib' dapat
melihat sebuah pertempuran dahsyat sedang berlang-
sung antara dua tokoh sakti yang mempunyai kepan-
daian luar biasa. Yang satu nenek tua renta berpa-

kaian serba biru, dan yang seorang lagi adalah wanita
cantik.  Si Wajah Merah dihantam keterkejutan saat
matanya melihat si wanita cantik memiliki empat tan-
gan!
"Yang kau sebut Nyai Catur Asta apakah wa-
nita cantik yang memiliki empat tangan itu, Suro?"
tanya Kakek Wajah Merah. 
"Ya, Kek. Namanya saja Catur Asta," jawab
Pengemis Binal.       
Tiba-tiba, dari tengah ajang pertempuran me-
luncur genangan air laksana air bah turun dari langit! 
"Awas...!" teriak Wajah Merah. Tabib pandai
ini menyambar tubuh Pengemis Binal untuk dibawa
meloncat jauh. Raka Maruta langsung mengikuti.
Byarrr!
Kembali sebuah danau kecil terbentuk. Pulau
di mana Ratu Air bertempat tinggal benar-benar teran-
cam tenggelam!
"Tampaknya kita memang harus segera pergi
dari tempat ini," kata Kakek Wajah Merah begitu men-
daratkan tubuhnya.     
Tanpa meminta persetujuan Pendekar Kipas
Terbang, kakek yang mempunyai wajah mirip buah
tomat matang itu menyambar tubuh Pengemis Binal
kembali. Sebentar kemudian dia telah berada di gela-
dak kapal layar merah. Raka Maruta yang masih dili-
puti tanda tanya akhirnya mengikuti jejak kakek itu.
Atika yang telah berada di atas kapal lang-
sung menarik sauh. Sedangkan Sinta yang memegang
kemudi mengarahkan laju kapal ke utara.

***

Pertempuran antara Ratu Air melawan Nyai
Catur Asta masih berlangsung dengan seru. Kini tan-

gan kanan Nyai Catur Asta yang sebelah atas telah
memegang senjata cakra. Wujud kasatmata Penguasa
Kerajaan Siluman ini berdiri tegak. Wajahnya yang
cantik memancarkan sinar angker.
"Heh! Tampaknya dedemit busuk itu hendak
mengeluarkan ilmu pamungkas...," bisik Ratu Air da-
lam hati. Nenek tua renta ini bergegas memutar tu-
buhnya menghadap ke selatan. Begitu terlihat kelima
muridnya sedang berdiri termangu-mangu, segera diki-
rimnya sepuluh larik sinar kebiru-biruan melalui pan-
caran mata.      
"Ssshhhh...!"
Kica dan keempat temannya merasakan pedih
di mata. Kontan mereka memekik dengan kelopak ma-
ta terpejam rapat. Tapi begitu mereka membuka kelo-
pak matanya kembali, kelima wanita itu dapat melihat
sosok Nyai Catur Asta yang memegang senjata cakra.
"Ayo, cepat! Gempur dedemit busuk itu!" pe-
rintah Ratu Air kepada Kica dan keempat temannya.
Sejenak kelima wanita setengah baya itu me-
rasa ragu, namun akhirnya diterjangnya juga Nyai Ca-
tur Asta secara bersamaan.
Melihat terjangan itu, Nyai Catur Asta mengi-
baskan senjata cakranya. Terbentuklah lengkungan
sinar yang semakin membesar dan berwarna merah
menyala. Tubuh Kica dan keempat temannya yang ma-
sih melayang langsung terhantam. Keluh pendek ke-
luar dari mulut mereka....
Tubuh Kica dan keempat temannya terpental
jauh lalu tercebur ke laut. Dan, tenggelam!
"Keparat!" umpat Ratu Air seraya meluruskan
sepuluh jari tangannya. 
Sraattt!
Sepuluh Pedang Air meluncur deras bagai hu-
jan anak panah! Namun, Nyai Catur Asta hanya terse-

nyum simpul. Dia mengibaskan senjata cakranya dua
kali.
Dua lengkungan sinar merah memapak lun-
curan sepuluh Pedang Air. Terdengar ledakan dahsyat
melebihi salakan seribu petir!
Ratu Air terperangah. Matanya melotot dan
bibirnya yang pencong bergetar. Paras mukanya tam-
pak mengelam. Ternyata, sepuluh Pedang Air-nya me-
leleh. Tak kuasa menggempur lengkungan sinar merah
yang muncul dari kibasan senjata cakra Nyai Catur As-
ta.  
"Hukuman dijatuhkan! Hancurlah bersama
Kerajaan Air-mu!" teriak Nyai Catur Asta seraya me-
lemparkan senjata cakranya ke atas.
Langit yang semula cerah mendadak berubah
gelap gulita. Timbullah kilatan cahaya merah di langit.
Kilatan cahaya itu semakin lama semakin banyak,
menghujani Ratu Air yang masih berdiri dalam keter-
panaan! 
Blaarrr...!
Selarik sinar merah tepat menghantam pung-
gung Ratu Air. Walau nenek tua renta ini memiliki ke-
saktian luar biasa, tubuhnya terlontar juga. Sebelum
mendarat, selarik sinar merah lagi menghantam telak.
Blaarrr...!
Tubuh Ratu Air melesat dengan kecepatan ki-
lat. Begitu tercebur ke laut, gelombang yang sangat be-
sar bergolak. Air laut bagai diaduk-aduk tangan raksa-
sa. Gempa bawah laut terjadi. Getarannya sangat kuat.
Pulau di mana Ratu Air tinggal terlihat retak.
Kemudian, timbul ledakan maha dahsyat! Tepat di ten-
gah pulau muncul semburan air besar seperti mata air
raksasa. Beberapa kejap mata kemudian, di tempat itu
tak terlihat lagi gundukan tanah. Pulau Ratu Air teng-
gelam. Kerajaan Air pun musnah!

Dari geladak kapal layar merah, Pengemis Bi-
nal beserta Raka Maruta dan Kakek Wajah Merah ma-
sih dapat melihat kehancuran Kerajaan Air, walau
kapal yang mereka tumpangi telah melaju bermil-mil
jauhnya. Sementara Atika dan Sinta yang juga melihat
peristiwa itu langsung menyebut nama Tuhan. Kedua
gadis kembar itu sangat bersyukur berhasil terbebas
dari derita yang selama ini mengungkungnya.
Kapal layar merah terus melaju ke arah uta-
ra....
7

Pendekar Kipas Terbang tercekat. Matanya
melihat sebuah pantulan cahaya putih dan merah da-
tang dari sisi kiri geladak kapal.
"Astaga!" pekik pemuda berwajah lembut ini.
Pantulan cahaya itu ternyata berpendar dari kipas baja
putih dan seruling merah milik si Wajah Merah yang
tertimpa sinar mentari. "Tidakkah benda-benda ini
tenggelam di laut saat aku dan Kakek Wajah Merah
terluka oleh hujan anak panah orang-orang Partai Iblis
Ungu?"
Si Wajah Merah dan Suropati pun tak kalah
terkejut. Tapi, Atika segera menjelaskan.
"Semua ini karena kebaikan Nyai Catur Asta.
Dia  pula yang membisikkan letak kapal ini. Padahal,
tadi dia tentu sedang gencar-gencarnya menerima se-
rangan Ratu Air...."
Pengemis Binal menatap wajah Kakek Wajah
Merah seperti meminta persetujuan. "Aku harus me-
nemui Nyai Catur Asta sekarang," katanya. 
"Untuk apa?"
"Selain meminta kembali Anggraini Sulistya
yang dibawanya ke Kerajaan Siluman, juga untuk me-

minta pertolongan Putri Racun."
"Apakah Putri Racun berada di Kerajaan Si-
luman?"
"Ya. Salah seorang murid Ratu Air mengata-
kannya padaku. Aku sangat yakin Putri Racun akan
bersedia mengeluarkan racun Jarum Mati Sekejap
yang bersemayam dalam aliran darahku."
"Bagaimana kau bisa pergi ke Kerajaan Silu-
man, Suro?" tanya Raka Maruta sambil menyelipkan
kipas baja putih ke balik bajunya.
Pengemis Binal tersenyum. "Aku telah mem-
pelajari bagian terakhir dari Kitab Penembus Alam
Gaib pemberian Kakek Wajah Merah."
"Jadi, kau telah menguasai ilmu 'Ngrogoh
Sukma'?" sahut si Wajah Merah dengan wajah berbi-
nar.
"Aku memiliki ilmu 'Mata Awas' ajaran men-
diang guruku, si Periang  Bertangan Lembut. Dengan
dasar ilmu tembus pandang itu, mudah saja bagiku
untuk menguasai ilmu 'Ngrogoh Sukma'."
Pengemis Binal kemudian berjalan ke buritan.
Pemuda itu langsung duduk bersila dengan mata ter-
pejam. Pikirannya dipusatkan ke satu arah. Si Wajah
Merah dan Pendekar Kipas Terbang hanya mengikuti
dengan pandangan mata. Atika serta Sinta pun demi-
kian. Walau gadis kembar ini belum tahu siapa Suro-
pati, tapi mereka dapat menduga Suropati tentu memi-
liki ilmu kepandaian yang sangat tinggi.
Jiwa Pengemis Binal beserta badan wadagnya
terbawa melayang ke hamparan alang  tanpa batas
yang dipenuhi kabut kelabu. Lalu, kabut kelabu ini
berbaur dengan percikan-percikan sinar biru bening
seperti sinar bintang. Semakin lama kabut kelabu se-
makin pudar. Hingga, akhirnya lenyap dan berganti
dengan pancaran sinar terang. Tapi, pancaran sinar te-

rang ini pun berangsur-angsur lenyap. Pada saat ham-
paran ruang tanpa batas hanya dihiasi tebaran kabut
putih tipis, mata Pengemis Binal menangkap sosok
Anggraini Sulistya. Tampaknya Anggraini Sulistya pun
sedang menantikan kehadiran Pengemis Binal.
"Sura..!" pekik Anggraini Sulistya seraya
menghambur memeluk Suropati. "Aku sangat bahagia
kau ternyata segera datang, Suro. Putri Racun sedang
menunggumu...."
"Bagaimana dia bisa tahu aku akan datang?"
"Nyai Catur Asta yang mengatakannya. Ayo-
lah, Suro. Kau harus segera mendapat pengobatan dari
Putri Racun."
Dengan tak sabar Anggraini Sulistya meng-
gamit lengan Pengemis Binal. Sampai di suatu tempat,
mata Suropati tak berkedip menatap sesosok gadis
cantik yang berusia dua puluh tahunan. Dia hanya
mengenakan pakaian sederhana, warnanya kuning
tua. Selendang coklat membelit pinggangnya yang
ramping.
"Siapa itu?" tanya Pengemis Binal kepada
Anggraini Sulistya. 
"Putri Racun." 
"Hah?!"
Mulut Pengemis Binal menganga lebar. Ba-
gaimana remaja konyol ini tidak heran? Menurut taksi-
rannya, usia Putri Racun tentu tak berbeda jauh den-
gan Putri Air atau Ratu Air. Kalau Ratu Air telah men-
jadi nenek tua renta bertampang seram, bagaimana
Putri Racun masih sedemikian cantik?
"Kau heran melihat wujudku, Suro?" ujar ga-
dis cantik di hadapan Pengemis Binal.
Suropati menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. Tak ada kata yang keluar dari mulut pe-
muda itu. Hanya matanya terus menatap wajah si ga-

dis.
"Aku memang Putri Racun, Suro...," lanjut si
gadis cantik. "Usiaku sesuai dengan taksiranmu. Tak
berbeda jauh dengan Ratu Air. Tapi, di Kerajaan Silu-
man ini aku tak ikut dalam putaran waktu. Jadi aku
bisa tetap awet muda."
"Ooo...," Pengemis Binal melongo. Kebiasaan-
nya  dilanjutkan, yaitu menggaruk-garuk kepala yang
tidak gatal.
Suropati  kemudian  dibawa Putri Racun ke
suatu tempat di mana terdapat banyak sekali tong
kayu besar yang agaknya digunakan tempat mandi be-
rendam.
"Buka bajumu!" perintah Putri Racun. Melihat
kesungguhan gadis cantik itu, Pengemis Binal segera
melepas bajunya. "Celanamu sekalian....". 
"Apa?!"   
Mata Suropati mendelik. Wajahnya merah
padam. Walau konyol, tapi remaja ini tak cukup berani
untuk tampil telanjang di hadapan seorang gadis.
"Kenapa tak menuruti perintahku? Kau tak
mau mendapat pengobatan dariku?" tanya Putri Ra-
cun. 
"Ayolah, Suro. Buka celanamu...," timpal
Anggraini Sulistya. "Putri Racun tak akan berbuat ja-
hat. Barusan aku juga demikian."
"Jadi, kau telah mendapat pengobatan da-
rinya?"
"Ya."
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepala. Se-
telah menatap wajah Putri Racun dan Anggraini Sulis-
tya bergantian, akhirnya mau juga dia menanggalkan
celananya. Untunglah Pengemis Binal mengenakan
cawat, sehingga 'miliknya' tidak sempat melongok ke-
luar.

"Cawat ini tidak perlu kutanggalkan, bukan?"
kata Suropati sambil nyengir kuda.
Putri Racun mengangguk. Ditudingnya salah
satu tong kayu. "Berendamlah di sana!" perintahnya
lagi.
Kembali mata Pengemis Binal mendelik. Tong
kayu yang ditunjukkan Putri Racun berisi air berwarna
merah darah. Permukaannya dipenuhi gelembung-
gelembung dan riak putih. Sesekali timbul letupan-
letupan kecil. Asap tampak mengepul keluar. Agaknya
air merah darah dalam tong kayu itu sedang mendidih.
Tentu saja Suropati tak mau direbus hidup-hidup!
Maka, dia bertahan di tempatnya.
"Rupanya kau sangat Bandel, Suro!" ucap Pu-
tri Racun melihat Pengemis Binal terus berdiri sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Aku tak mau mati!" teriak Suropati.
"Siapa yang mau membunuhmu?" sergah
Anggraini Sulistya. Gadis ini segera mendekati tong
kayu. Jari telunjuk kanannya dicelupkan ke air merah
darah.
"Air itu tak panas?" tanya Suropati "Kau lihat
jariku tak apa-apa, bukan?" Anggraini Sulistya menun-
jukkan telunjuk jari kanannya ke hadapan Suropati.
Pengemis Binal menatap wajah Putri Racun
sebentar, lalu tangannya dicelupkan ke dalam air me-
rah darah. Ternyata air itu dingin!
"Segeralah berendam, Suro!" terdengar perin-
tah Putri Racun. "Air itu berisi campuran berbagai ra-
cun ganas. Tapi, kau tak perlu khawatir. Racun dalam
tubuhmu akan melawannya. Karena kekuatannya
yang seimbang, kedua racun itu akan musnah."
Mata Pengemis Binal langsung berbinar. Se-
nyum lebar mengembang di bibirnya. Dengan tak sa-
bar dia mencebur ke dalam tong kayu yang berisi air

merah darah.
Beberapa lama kemudian, warna air memu-
dar. Kembali bening seperti sebelum Putri Racun men-
campurinya dengan berbagai jenis racun ganas.
Usai berendam, Suropati berbaring telentang
di atas meja panjang. Putri Racun menusukkan pulu-
han batang jarum emas ke seluruh pusat aliran darah
penting di tubuh Suropati. Selesai dengan pekerjaan-
nya, tubuh remaja konyol ini bergetar. Namun hanya
sebentar. Setelah jarum-jarum emas dicabut, Suropati
merasakan tubuhnya sangat ringan.
Sekali lagi Pengemis Binal berendam dalam
air tong kayu. Tapi, kali ini airnya berwarna hijau ge-
lap. Usai berendam giranglah Suropati. Pemuda itu
merasakan putaran hawa murni di tubuhnya bergerak
normal. Berarti dia sudah dapat menyalurkan  tenaga
dalam! 
"Terima kasih, Putri...," ucap Pengemis Binal.
Dia telah mengenakan pakaiannya kembali. "Ilmu ke-
pandaianku sudah kembali seluruhnya. Budi baikmu
akan kuingat sepanjang masa..." 
Pengemis Binal membungkukkan tubuhnya
dalam-dalam. Putri Racun hanya tersenyum. Sementa-
ra Anggraini Sulistya menatap haru. Gadis  itu lalu
menghambur memeluk Suropati.
"Kita telah terbebas dari pengaruh racun Ja-
rum Mati Sekejap, Adikku...."
Tempat itu tiba-tiba dipenuhi suara dengun-
gan seperti ribuan lebah terbang. Semakin lama sema-
kin keras, berbaur dengan suara gemerincing lonceng.
Kemudian, samar-samar dari kejauhan tampak melun-
cur sebuah kereta merah yang ditarik empat ekor kuda
berbulu putih. 
"Nyai Catur Asta...!" desis Putri Racun. Kini,
di hadapan mereka terlihatlah sosok Nyai Catur Asta

yang duduk di kereta kuda. Senyum manis mengem-
bang di bibirnya yang merah basah.
"Putri Racun...," ujar Nyai Catur Asta kemu-
dian. "Karena kau telah puluhan tahun mengabdi ke-
padaku tanpa sekalipun berbuat kesalahan, maka kau
kuizinkan untuk pergi dari Kerajaan Siluman. Terima
kasih atas jasa-jasamu, Putri...." 
Putri Racun tak mengucapkan kata sepatah
pun. Dia hanya membungkukkan tubuh dalam-dalam.
Sementara Nyai Catur Asta menatap Suropati dan
Anggraini Sulistya.
"Kalian tak perlu lama-lama tinggal di tempat
ini. Putri Racun akan pergi bersama kalian," ujar Ratu
Kerajaan Siluman itu.
Begitu usai kalimat Nyai Catur Asta, geme-
rincing lonceng kereta terdengar. Empat kuda putih
pun melesat pergi. Diiringi suara dengungan yang se-
makin lama semakin perlahan, kemudian lenyap sama
sekali.
Anggraini Sulistya dan Putri Racun terkesiap.
Telinganya menerima perintah
"Pejamkan mata kalian, dan kosongkan piki-
ran. Aku akan mengantar kalian ke kapal layar me-
rah."
Anggraini Sulistya dan Putri Racun tahu ka-
lau itu suara Nyai Catur Asta. Maka, mereka segera
mengikuti perintahnya. Kini Pengemis Binal yang ter-
kesiap. Tahu-tahu sosok Anggraini Sulistya dan Putri
Racun telah hilang dari pandangan.
"Mereka tentu telah dikirim Nyai Catur Asta
ke alam nyata," pikir Suropati. Segera pemimpin Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini menghimpun
kekuatan batinnya....

***


Di atas geladak kapal layar merah, Suropati
tampak bercakap-cakap dengan Anggraini Sulistya.
Muda-mudi ini telah kembali ke alam nyata bersama
Putri Racun yang cantik jelita.
Dengan bantuan Nyai Catur Asta, akhirnya
Anggraini Sulistya dan Putri Racun dapat sampai di ge-
ladak kapal layar merah. Juga, jiwa Suropati beserta
badan wadagnya berhasil muncul lagi di buritan dalam
keadaan duduk bersila.
"Kenapa laju kapal menuju utara, Suro?"
tanya Anggraini Sulistya setelah kapal layar merah
mengarungi lautan beberapa lama.
"Kita akan ke Kota Kadipaten Bumiraksa," ja-
wab Pengemis Binal pelan.    
"Kenapa mesti ke sana? Seharusnya kita ke
Istana Kerajaan Pasir Luhur. Ayahanda Prabu akan
sangat berbahagia bila mengetahui putranya telah
kembali...."
"Sebenarnya aku pun sangat ingin bertatap
muka dengan Prabu Singgalang Manjunjung Langit.
Aku ingin tahu bagaimana rupa orang yang kau sebut
sebagai ayahku itu. Tapi...," Suropati menggantung
ucapannya, hingga Anggraini Sulistya penasaran.
"Tapi apa?" sergah gadis itu. 
"Kau pernah berjumpa dengan Dewi Ikata
yang bergelar Pendekar Wanita Gila?" Bukannya men-
jawab pertanyaan itu, Suropati malah mengajukan per-
tanyaan lain.
"Pernah. Di atas geladak Kapal Rajawali."
"Dewi Ikata adalah putri tunggal Adipati Da-
nubraja. Aku mempunyai firasat buruk. Mungkin ter-
jadi sesuatu yang tak diinginkan di Kota Kadipaten
Bumiraksa. Dan, Dewi Ikata membutuhkan perto-
longanku."

Sejenak Anggraini Sulistya terdiam. Tapi, ke-
mudian dia mencibirkan bibir. "Katakan saja kau rindu
pada gadis itu! Tak perlu cari alasan macam-macam!"
ujarnya.
Pengemis Binal hanya tersenyum kecut. Lalu
menggaruk-garuk kepalanya.



SELESAI



Segera terbit:
DENDAM RATU AIR