Pengemis Binal 19 - Pewaris Mustika Api(1)



Serial Pengemis Binal



Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Editor: Puji S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
 
Serial Pengemis Binal 
dalam episode: 
Pewaris Mustika Api
128 hal.

1

Malam pekat. Bintang malam bersenandung
merdu, menciptakan tembang-tembang alami. Si-
nar rembulan dan bintang-bintang mengguyur Is-
tana Anggarapura.
Di dalam istana, tepatnya di salah satu
ruangan, seorang pemuda berpakaian kebesaran
kerajaan menutup sampul Kitab Riwayat Kerajaan
Anggarapura dengan kening berkerut. Setelah
menghela napas panjang, perlahan-lahan tangan-
nya membuka kitab bersampul kuning lagi. Seper-
tinya ada sesuatu yang tak bisa dicerna akalnya.
Kerut di keningnya semakin kentara kini. Jajaran
huruf dalam petak-petak di halaman terakhir
membuatnya bertanya-tanya.
"Silsilah ini menunjukkan kalau Ayahanda
Prabu Arya Dewantara adalah keturunan kelima
dari Wangsa (pendiri/penguasa kerajaan) Anggarapura.
Aku sendiri keturunan keenam. Tapi, kenapa na-
ma eyang buyutku yang mendirikan wangsa ini ti-
dak tercantum? Tempatnya yang terletak di sisi
paling atas hanya berupa kotak kosong. Lupa atau
memang sengaja tak ditulis?" gumam si pemuda,
tercenung.
Ingatan si pemuda langsung mengembara,
menerawang jauh.
"Candi Palutan.... Di sanalah abu leluhurku
yang pernah memerintah Kerajaan Anggarapura
disemayamkan. Di sudut-sudut candi yang meru-
pakan tempat abu jenazah leluhurku. Dan di sana,

ternyata hanya ada tiga guci. Seharusnya empat!
Yakni guci yang berisi abu jenazah pendiri wangsa
ini sampai keturunan yang ketiga. Lalu, di mana
yang satu lagi?"
Kening si pemuda makin berkerut dalam.
Kepalanya manggut-manggut tak jelas.
"Aku harus menanyakan hal ini kepada
Ayahanda Prabu...," pikir si pemuda kemudian.
"Hmmm.... Kalau ini memang suatu rahasia,
mungkinkah beliau bersedia menjelaskannya pa-
daku? Rahasia.... Rahasia apa? Memang sama se-
kali tidak beralasan bila seorang pendiri wangsa
tidak dicantumkan namanya dalam garis keturu-
nan. Ah! Lebih baik ku coba  mencari keterangan
dulu. Barangkali ada beberapa buku di perpusta-
kaan ini yang dapat memberi penjelasan..."
Mengikuti kata hatinya, si pemuda ini sege-
ra menghampiri rak buku yang berdiri di sudut ki-
ri ruangan, berhadapan dengan pintu. Debu
menghambat jalan pernapasannya ketika jajaran
buku dipindahkan. Namun, dia tak peduli dan la-
rut dalam kesibukannya. Buku-buku yang semula
rapi berjajar, sekarang jadi berantakan. Beberapa
buah tampak jatuh ke lantai.
Kesibukan pemuda berpakaian kebesaran
kerajaan itu baru terhenti ketika tangan kanannya
memegang buku bersampul putih yang bertuliskan
'Ruang Rahasia Dalam Istana Anggarapura'. Seper-
ti kejatuhan rembulan, matanya kontan berbinar.
Kakinya melangkah dengan tatapan tak lepas dari
halaman buku di tangannya.
"Istana ini mempunyai sebelas ruang raha-

sia...," gumamnya setelah selesai membaca.
"Ruang rahasia kesatu sampai kesepuluh, aku te-
lah tahu. Terutama, ruang-ruang bawah tanah.
Tapi, yang kesebelas ini...."
Pemuda itu membolak-balik lagi beberapa
halaman belakang buku yang tidak seberapa tebal.
Dipandanginya denah-denah yang ada tanpa ber-
kedip sedikit pun. Dicobanya untuk terus dapat
memahami keterangan-keterangan yang ada.
Mendadak, pemuda tampan yang merupa-
kan putra mahkota Kerajaan Anggarapura ini me-
lonjak girang.
"Aku tahu sekarang!" ujar pemuda yang se-
sungguhnya bernama Arya Wirapaksi dalam hati.
"Ayahanda Prabu selalu melarang aku untuk me-
masuki perpustakaan ini, kiranya ada sesuatu
yang dirahasiakan. Mudah-mudahan tak ada yang
tahu dengan kehadiranku di sini...."
Pandangan si pemuda beredar ke segala
arah. Langit-langit ruangan, ratusan buku yang
tertata di rak, lantai, meja-kursi, semua tak ada
yang luput dari perhatiannya. Dengan senyum ti-
pis tersungging di bibir, dikuncinya pintu dari da-
lam. Baru kemudian, dibacanya lagi beberapa ha-
laman buku di tangannya. Lalu, dihampirinya su-
dut ruangan sebelah kiri pintu. Diketuk-ketuknya
lantai dengan jemari tangannya.
"Inilah ruang rahasia kesebelas...," pikir
Arya Wirapaksi seraya mencampakkan buku di
tangannya begitu saja.
Pemuda ini lalu mengurutkan pandangan
dari sudut lantai, hingga ke sudut langit-langit.

Karena tak menemukan apa-apa, telapak tangan-
nya digunakan untuk meraba. Ketika menemukan
permukaan dinding yang sedikit berlubang sebesar
jari kelingking, lubang itu dijentiknya dengan ku-
ku. Debu putih menebar.
Segera Arya Wirapaksi meloncat ke bela-
kang. Namun, dia tak mampu berdiri tegak, kare-
na tiba-tiba lantai tempat kakinya berpijak berde-
rak-derak
"Astaga...!" sentak Arya Wirapaksi saat di
hadapannya terpampang sebuah lubang persegi
bergaris melintang, sekitar empat jengkal. Lubang
itu  muncul akibat bergesernya lantai di sudut
ruangan. Dia kaget karena dari dalam lubang me-
nyembur serat-serat cahaya amat menyilaukan.
Hingga, ruangan yang semula hanya terang pada
beberapa tempat yang berlampu, kini semua jadi
terang-benderang.
Arya Wirapaksi berjongkok di bibir lubang.
Dicobanya untuk melihat ke dalam. Tapi, cahaya
yang memendar terlalu kuat. Matanya seakan-
akan jadi buta.
"Apa pun yang terjadi, aku harus tahu ra-
hasia yang ada di ruang bawah tanah ini...," tan-
das hati si pemuda seraya memungut sebuah bu-
ku tua bersampul hitam yang dianggap tidak begi-
tu penting. Buku itu lalu dilemparkan ke dalam
lubang.
Lama Arya Wirapaksi  menunggu suara ja-
tuhnya buku pada dasar lubang. Ketika terdengar,
suara itu amat pelan. Bahkan hampir tak dapat
dipastikan, sampai di mana kedalaman lubang. Si

pemuda melongokkan kepalanya lagi. Tapi karena
memaksakan diri, matanya jadi pedih.
Arya Wirapaksi memutar akal. Sambil me-
mejamkan mata, diraba-rabanya pinggiran lubang
bagian bawah. Karena jangkauannya kurang pan-
jang, segera diambilnya palang pintu. Dengan bi-
lah kayu panjang itulah dia mengetuk-ngetuk
pinggiran lubang bagian bawah yang semula luput
dari jangkauan tangannya.
"Hmmm.... Ujung kayu ini seperti memben-
tur undak-undakan. Mungkinkah ini sebuah tang-
ga lantai?" gumam Arya Wirapaksi, berkata pada
diri sendiri.
Pemuda ini lalu mengetuk-ngetukkan ujung
kayunya lebih jauh.
"Yah! Ini sebuah tangga lantai! Berarti aku
dapat masuk!"
Diiringi luapan rasa gembira, Arya Wirapak-
si melemparkan kayu di tangannya ke bawah. Lalu
hati-hati sekali, dimasukinya mulut lubang. Tu-
buhnya terayun-ayun kini. Kakinya mencoba
menggapai tempat berpijak yang berupa tangga
lantai. Setelah ujung kakinya menyentuh tempat
yang diinginkan, barulah pegangannya pada bibir
lubang dilepaskan.
"Hup...!"
Hampir saja Arya Wirapaksi terpeleset, un-
tung masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.
Untuk melindungi matanya dari pendaran cahaya
yang amat menyilaukan, ujung lengan bajunya di-
gunakan sebagai tabir.
Perlahan-lahan, si pemuda menuruni tang-

ga. Karena pandangannya tak bebas, beberapa kali
dia hampir terpeleset. Apalagi, tangga yang dituru-
ni amat panjang. Sementara pendaran cahaya dari
bawah semakin lama semakin kuat, membuat ke-
lopak matanya tak dapat dibuka. Sehingga, dia ki-
ni berjalan seperti orang buta. Kaki kanannya sela-
lu terjulur ke depan lebih dahulu, untuk mencari
tempat pijakan.
Sepenanakan nasi kemudian, kaki Arya Wi-
rapaksi menginjak lantai datar. Namun, kelopak
matanya masih belum mampu dibuka. Cahaya
yang berpendar kini terasa berhawa panas. Seku-
jur tubuhnya telah bermandikan keringat. Pakaian
kebesarannya yang berwarna putih dengan garis-
garis hitam tampak lengket dengan kulitnya. Dan
tanpa sepengetahuannya, ketika kakinya mengin-
jak lantai datar tadi, lubang tempat dia masuk
yang berada di dalam ruang perpustakaan telah
menutup dengan sendirinya.
Setelah melangkah beberapa tindak di lan-
tai datar, Arya Wirapaksi memaksakan diri mem-
buka kelopak matanya. Dengan menggunakan
ujung lengan baju sebagai tabir, dicarinya asal
pendaran cahaya. Ternyata, cahaya yang amat
menyilaukan itu berasal dari lubang sebesar dua
jengkal pada dinding yang agaknya terbuat dari
marmer.
"Biar tak menghambat perjalanan, aku ha-
rus menutup lubang itu," cetus Arya Wirapaksi.
Walau terasa pedih, tapi pemuda ini terus
membuka kelopak matanya untuk mencari sesua-
tu yang bisa digunakan sebagai penutup lubang.

Dan dia bisa tersenyum senang saat melihat se-
bongkah batu cukup besar tergolek tak jauh dari
bibir lubang.
Segera Arya Wirapaksi mendorong batu itu
dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Maka
kini batu itu dapat digunakan sebagai penutup lu-
bang. Cahaya yang sangat menyilaukan kini le-
nyap sudah. Hanya tinggal serat-serat cahaya ke-
biruan yang menyeruak dari pinggiran batu. Serat-
serat cahaya yang tersisa itulah yang membuat
ruang tidak jadi gelap-gulita.
"Luar biasa!" desah Arya Wirapaksi. "Sung-
guh luar biasa! Aku tak tahu cahaya itu berasal
dari mana. Tapi yang jelas, bukan cahaya mataha-
ri. Cahaya matahari tidak akan berpendar sehebat
itu di lorong bawah tanah seperti ini. Setelah aku
mengitari ruang rahasia ini, aku pasti akan mene-
liti, dari mana asal cahaya...."
Begitu membalikkan badan untuk melan-
jutkan langkah, Arya Wirapaksi terperanjat. Dalam
sekejap mata, keringat dingin kontan keluar ber-
cucuran. Bahkan bulu kuduknya meremang. Tan-
pa sadar kakinya tersurut mundur dua tindak
"Ya, Tuhan...," sebut Arya Wirapaksi dengan
pandangan nanar.
Di atas lantai marmer berundak tiga sap,
tampak rangka manusia yang masih utuh tengah
bersila. Di sekitar tempat rangka itu duduk terda-
pat serpihan-serpihan kain kekuningan yang
hampir hancur menjadi debu
Arya Wirapaksi menguatkan hatinya untuk
melawan rasa takut yang menjalari hatinya. Syu-

kurlah di situ tidak terdapat lagi sesuatu yang le-
bih mengerikan. Di depan rangka manusia hanya
terdapat sebilah pedang tanpa sarung. Agaknya
tak ada suatu yang istimewa, dan agaknya hanya
pedang biasa. Sedang pada dinding di belakang
rangka, terdapat ukiran bergambar sepuluh ekor
monyet yang sedang duduk bersila. Hanya sikap
bersila masing-masing yang berlainan. Ada yang
menggunakan lutut sebagai tumpuan. Ada pula
yang bertumpu pada pinggang dan bahu kiri. Bah-
kan pada gambar yang kesepuluh, tampak terba-
lik. Kepala di bawah, sementara kakinya yang ber-
sila berada di atas.
Seperti tanpa bosan, Arya Wirapaksi men-
gamati terus gambar-gambar itu. Walau tak tahu
apa maknanya, tapi hatinya amat tertarik. Apalagi
setelah membaca tulisan yang terukir di kiri gam-
bar yang berbunyinya: 

Api mustika rahasia adalah sumber kekua-
tan. Bila tidak berjodoh, jangan penasaran kalau
binasa memasuki pintuku.

Kening Arya Wirapaksi berkerut, mencoba
mengikuti arti dari tulisan itu. Dan melihat ukiran
sepuluh monyet di dinding marmer, dia dapat me-
mastikan bila pembuatnya tentu seorang tokoh
amat sakti. Maka, sudah sepatutnya bila Arya Wi-
rapaksi menghormatinya. Untuk itu, dia menja-
tuhkan diri di depan rangka.
"Aku  bernama  Arya Wirapaksi...," katanya
dengan suara merendah, tak ingin menunjukkan

kalau dirinya adalah putra seorang raja. "Hanya
karena kebetulan atau mungkin sudah menjadi
takdir  Tuhan, aku dapat menjumpai jenazah
Eyang di tempat ini. Aku bermaksud mengubur-
kan jenazah Eyang, agar selanjutnya kau dapat
beristirahat dengan tenang...."
Usai menunduk hormat, mendadak bulu
kuduk Arya Wirapaksi meremang lagi. Entah dari
mana datangnya, mendadak angin dingin berhem-
bus. Namun semua itu tak dipedulikan. Pemuda
ini bangkit. Segera dikitarinya ruangan marmer
yang cukup lebar itu.
Kini bibir si pemuda tersenyum senang ke-
tika mendapati permukaan tanah tidak tertutup
lantai marmer. Luasnya sekitar sepuluh kali tiga
kaki. Agaknya, tanah itu sengaja tidak ditutupi
marmer sebagai tempat penguburan mayat.
Segera Arya Wirapaksi memungut pedang
yang tergeletak di depan rangka manusia yang
masih dalam keadaan seperti semula. Dengan
menggunakan pedang digalinya permukaan tanah
yang baru ditemukan. Lega hati si pemuda saat
mengetahui kalau tanah yang digalinya ternyata
amat lunak. Hingga, dia dapat bekerja dengan ce-
pat. 
Tiba-tiba.... 
Tang!
Mendadak terdengar suara beradunya
ujung pedang dengan benda keras. Mungkin besi.
Untuk mendapat kepastian, Arya Wirapaksi segera
menggerakkan ujung pedangnya lebih cepat saat
menggali kembali.

Begitu lubang yang tercipta makin lebar,
ternyata benda keras dalam tanah itu memang se-
buah peti besi. Bergegas Arya Wirapaksi mengang-
katnya. Dan kembali si pemuda terkejut. Karena di
bawah peti besi itu terdapat sebuah peti lagi. Tapi
bukan dari besi, melainkan dari tembaga.
Terdorong rasa ingin tahunya, Arya Wira-
paksi mengeluarkan juga peti tembaga itu. Maka
kini terlihat kalau kedua peti yang didapatkannya
sama besar. Tingginya kira-kira dua kaki.
Arya Wirapaksi mengamati sebentar, sebe-
lum membuka. Karena tutup peti besi tidak dikun-
ci, maka tanpa mengalami kesulitan dia dapat
membukanya. Ternyata, kedalaman peti itu dang-
kal, tidak sampai setengah kaki. Bagian tengahnya
tersekat lempengan besi lagi.
Arya Wirapaksi dapat memastikan kalau
bagian atas peti berongga. Tapi, dia tak hendak
membukanya. Perhatiannya justru tertuju pada
sehelai kertas tua yang terdapat di dasar peti. Ker-
tas tua hampir lapuk yang bertuliskan:
Silakan baca tulisan di baliknya.
Cepat Arya Wirapaksi membalik kertas yang
dipegangnya. Kini, tampak jajaran huruf yang ter-
pampang lebih kecil daripada yang di depan. Wa-
lau hampir terhapus, tapi masih dapat dibaca.

Mustika Api diwariskan kepada yang berjo-
doh. Hanya, hendaknya orang itu mempunyai sifat
welas-asih. Kuburkan dahulu jenazahku sebagai
layaknya seorang murid menguburkan jenazah gu-
runya.


Di bawah tulisan itu tertera tulisan lagi ber-
huruf lebih kecil. Bunyi baris atasnya:

Cara-cara membuka peti serta mengubur je-
nazahku.

Setelah membaca tulisan itu, Arya Wirapak-
si semakin yakin bila pada lapisan peti bagian atas
yang berongga memang ada sesuatu.
"Aku hanya kasihan pada kerangka jena-
zahnya yang telantar dan tertarik pada surat-surat
wasiatnya. Aku tak berniat menyerakahi harta pu-
sakanya," desah pemuda itu, perlahan sekali.
Dengan cermat Arya Wirapaksi membaca
cara mengubur jenazah yang tinggal tulang-
belulang itu. Tidak dipedulikannya sudah berapa
lama dia berada di ruang bawah tanah. Tidak di-
pedulikan pula kalau perutnya sudah mulai ke-
roncongan. Tatapan matanya tak lepas dari bari-
san huruf yang terpampang di atas kertas.

Apabila kau bersungguh-sungguh hendak
menguburkan jenazahku, galilah lubang sedalam
lima kaki lagi. Karena dengan bersemayam di tem-
pat yang lebih dalam, aku dapat bebas dari segala
gangguan rayap dan serangga tanah lainnya.

Tanpa berpikiran macam-macam, Arya Wi-
rapaksi menggali lubang lagi lebih dalam. Namun,
kali ini tanah yang digali bercampur bebatuan.
Maka tak urung peluhnya membanjiri wajahnya.

Padahal, tenaganya cukup kuat, sebagai pemuda
yang pernah digembleng ilmu silat dan tenaga da-
lam.
Tang!
Ketika hampir menggali sedalam lima kaki,
tiba-tiba ujung pedang yang dipegang Arya Wira-
paksi  membentur benda keras hingga menimbul-
kan suara berdentang nyaring. Ketika ingat penga-
lamannya menemukan dua peti besi dan tembaga,
Arya Wirapaksi semakin semangat menggali.
"Luar biasa! Benar-benar, luar biasa!" gu-
mam Arya Wirapaksi, ketika mendapati sebuah pe-
ti kecil yang tingginya sekitar satu kaki. "Entah,
apa lagi yang tersimpan di dalam tanah ini...."
Peti yang ditemukan Arya Wirapaksi kali ini
terbuat dari perak. Dan mudah pula dia dapat
membukanya. Kini, kembali didapati sehelai kertas
berisi tulisan.
Arya Wirapaksi terperangah. Namun, dalam
hati dia bersorak girang. Surat dari dalam peti ke-
cil itu berbunyi:

Sungguh kau memang orang jujur. Terima
kasih atas jasamu ini. Maka, sudah layak bila aku
membalas kebaikanmu, dengan memberikan raha-
sia pemecahan 'Lukisan Mustika Api' yang kuukir di
belakang jenazahku....

Sejenak Arya Wirapaksi berhenti membaca.
Ditatapnya ukiran sepuluh monyet di dinding yang
berada di samping kirinya. Walau tak tahu mak-
nanya, tapi dugaannya semula benar kalau gam-

bar-gambar itu mengandung suatu rahasia. Sete-
lah mengusap peluh di dahinya, pemuda itu me-
lanjutkan.

Apabila rongga pada peti besi dibuka, dari
dalamnya akan menyambar sepuluh batang jarum
beracun yang amat halus, tapi amat mematikan.
Dan apabila peti tembaga yang dibuka, akan dida-
pati surat dan peta. Tapi, surat dan peta itu palsu.
Malah mengandung racun yang amat jahat. Semua
itu hanyalah untuk menghukum serta mengajar
adat orang tamak yang mementingkan nafsunya
sendiri. Pusaka yang asli berada di dalam peti pe-
rak ini!

Berulang kali Arya Wirapaksi menyebut as-
ma Tuhan. Kalau saja sejak semula hanya keingi-
nannya buruk, nyawanya tentu tak akan tertolong
lagi. Tulisan yang tertera pada kertas di tangannya
tampaknya bukan bualan semata. Dan hal ini dis-
adari betul.
Tanpa mau menyia-nyiakan waktu, segera
pemuda itu merapikan lubang galiannya. Lalu, di-
kuburnya tulang-belulang manusia yang dapat di-
pastikan adalah seorang tokoh cerdik-pandai.
Setelah permukaan tanah diratakan, Arya
Wirapaksi memberi penghormatan beberapa kali.
Dan kini, selesailah pekerjaannya sebagai ‘ahli wa-
ris’.
Untuk sesaat pemuda itu bingung, apa yang
harus diperbuatnya lagi. Dipandanginya tiga peti
yang berada tak jauh darinya. Untuk membuat

kuburan yang telah dibuatnya menjadi lebih rapi,
dia bermaksud memindahkan peti besi dan temba-
ga ke pojok ruangan. Namun, ketika kedua peti itu
didorongnya....
Blakkk!
"Ohh...?"
Arya Wirapaksi terkejut saat lantai ruangan
yang miring, membuat kedua peti itu meluncur le-
pas dari pegangannya. Saat membentur dinding
marmer,  tutup-tutupnya menjeplak terbuka. Saat
itu pula, dari dalam peti meluncur beberapa sinar
putih keperakan ke arahnya.
"Hup!"
Tanpa sadar pemuda itu meloncat, sehingga
nyawanya selamat. Walau loncatannya tidak lebih
dari satu depa, tapi dia telah terhindar dari jarum-
jarum beracun yang menebar dari dalam peti.
Namun belum hilang keterkejutan Arya Wi-
rapaksi, peti besi dan tembaga yang membentur
dinding marmer tiba-tiba meledak hancur. Tenaga
ledakannya cukup kuat, membuat tubuh Arya Wi-
rapaksi sampai terlontar tiga tombak. Begitu jatuh
di tanah, untunglah dia tak mengalami cedera.
"Luar biasa! Luar biasa!" desis Arya Wira-
paksi berulang kali seraya bangkit berdiri. "Orang
ini agaknya sangat berhati-hati. Dia tak mau ben-
da pusakanya jatuh ke tangan orang jahat."
Perlahan-lahan, Arya Wirapaksi membuka
peti tutup peti perak. Dan saat itu pula timbul
kekhawatiran kalau peti itu mengandung sesuatu
yang dapat membunuhnya. Tapi, cepat-cepat di-
usirnya pikiran-pikiran buruk saat dari dalam peti

telah didapatinya secarik kertas tua namun cukup
kuat, tak seperti beberapa kertas yang ditemukan-
nya sebelum ini
Kening si pemuda berkerut ketika membaca
deretan huruf yang terpampang di hadapannya.
Bakarlah kertas ini! Begitu bunyinya.
Hanya karena terbawa rasa keingintahuan-
nya, Arya Wirapaksi lalu mengambil dua butir ba-
tu kering yang tergolek di tanah. Dengan tenaga
dalamnya, kedua batu itu dibentur-benturkan
sampai memercikkan bunga api yang langsung
membakar kertas yang baru didapatkannya. Se-
bentar saja, kertas yang lebarnya tak lebih dari sa-
tu kaki persegi itu telah terbakar habis. Anehnya
hasil pembakaran tidak berupa abu, melainkan te-
tap berupa kertas yang kali ini bertuliskan huruf-
huruf putih halus dan sangat indah. Bibir Arya Wi-
rapaksi bergetar ketika membaca.

Sekarang kau benar-benar telah menjadi ahli
warisku. Langkah pertama, kau harus memasuki
lubang tempat cahaya yang amat menyilaukan ber-
pendar. Tak usah ragu atau takut. Cahaya itu tidak
mengandung kekuatan jahat. Justru, itulah sumber
'Mustika Api'. Telusurilah terus lorong-lorong yang
ada. Maka, kau akan sampai di sebuah lamping ju-
rang. Dari situ, akan kau dapati sebuah terowongan
yang ditutupi pohon dan rerumputan. Masuklah.
Dan kau akan sampai di sebuah gua. Itulah Gua
Api. Tinggallah di situ sampai kau dapat menguasai
ilmu 'Mustika Api'. 'Kitab Pemecahan Lukisan Mus-
tika Api' berada di rongga peti perak. Untuk mem-

bukanya, geserlah kuping peti ke kanan. Sekian.
Arya Balambang Jenar 
Pendiri Dinasti Anggarapura

Betapa terkejutnya Arya Wirapaksi setelah
mengetahui, siapa orang yang menulis surat Ru-
panya dia tak lain dan tak bukan dari eyang
buyutnya sendiri, yang kerangkanya telah diku-
burkan.
"Hmm.... Kemungkinan besar Eyang Ba-
lambang Jenar bermaksud melepaskan diri dari
kehidupan duniawi. Kemungkinan besar pula,
namanya tidak tercantum dalam Kitab Riwayat Ke-
rajaan Anggarapura atas permintaannya sendiri...,"
pikir Arya Wirapaksi.
Untuk kesekian kalinya Arya Wirapaksi di-
hantam keterkejutan. Kertas yang berada di tan-
gan kanannya tiba-tiba ambyar menjadi abu. Sege-
ra dia berlutut di depan makam Arya Balambang
Jenar yang tadi dibuatnya. Dihaturkannya sembah
beberapa kali. Tak lupa, dipanjatkannya doa-doa.
Kini si pemuda membuka peti perak. Begitu
terbuka, Arya Wirapaksi berseru girang. Karena
ternyata, rongga yang terdapat di peti itu berisi se-
buah kitab. Di atas kitab didapatkan kertas bertu-
liskan :

Untuk yang berjodoh. Cuci tanganmu setiap
selesai membaca kitab ini. Jangan sebarkan hal ini
kepada siapa pun!

"Sungguh luar biasa kecerdikan Eyang Ba-

lambang Jenar ini," puji Arya  Wirapaksi. "Kalau
beliau sangat mengkhawatirkan kitabnya jatuh ke
tangan orang jahat, berarti kitab ini tentu berisi
ilmu kesaktian yang dahsyat..."

2

Sinar mentari pagi menyapa bunga-bunga
liar di tepi Hutan Wonokeling. Hembusan angin
mengelus pucuk-pucuk pepohonan yang rindu te-
rusik. Manakala burung-burung mendendangkan
nyanyian alam, sepi tak lagi berkuasa.
Seorang remaja tampan berpakaian putih
penuh tambalan agaknya tak pernah bosan me-
mandangi bunga-bunga yang tumbuh di antara
tonjolan akar pohon-pohon besar dan sulur-sulur
yang merambat penuh duri. Daunnya kecil-kecil
berwarna kuning-kecoklatan. Dilihat sepintas lalu,
seperti tengah meranggas. Namun justru dari situ-
lah keindahan kelopak bunga yang sedang mekar
ini. Maka, wajar saja bila remaja tampan berambut
panjang tergerai ini berdiri lama di tempatnya.
Perhatiannya tak pernah lepas dari keindahan
bunga yang beraneka warna.
"Bunga.... Keindahan bunga selalu mengin-
gatkanku pada kecantikan seorang gadis...," gu-
mam si remaja. "Ah! Kenapa tiba-tiba aku teringat
Dewi Ikata?! Apakah gadis cantik putri tunggal
Adipati Danubraja itu ingat pada diriku pula?
Apakah dia masih memelihara bunga-bunga cinta
dalam dirinya? Cinta? Ha ha ha...!" mendadak re-

maja tampan ini tertawa bergelak mirip orang gila.
"Cinta? Hatiku seperti digelitik bila mendengar ka-
ta cinta. Sampai kapankah aku berhenti bermain-
main dengan cinta? Apakah aku tidak punya kese-
tiaan? Di taman Keputren Bumiraksa, aku pernah
mengucap kata cinta dan janji-janji indah. Tapi
kenyataannya, setelah Dewi Ikata jauh dari sisiku,
aku berpaling dan bermain cinta dengan gadis
lain. Inikah yang namanya kesetiaan?"
Si remaja mendongak. Pertanyaannya se-
perti ditujukan pada langit atau mungkin burung-
burung yang sedang mengangkasa. Sementara,
langit diam dan burung-burung pun sedikit pun
tak peduli. Kini pemuda itu menggaruk kepalanya
yang tak gatal.
"Dasar mata bongsang! Pantas orang men-
juluki sebagai Pengemis Binal!" kata remaja tam-
pan ini seperti mengutuk diri sendiri. Kembali dia
menggaruk kepalanya lagi. "Tidak! Aku tidak me-
nyesal dijuluki orang Pengemis Binal. Justru aku
malah senang! Ha ha ha...!"
Sewaktu remaja tampan yang tangan ka-
nannya menenteng tongkat butut ini tertawa ber-
gelak muncul seorang gadis cantik yang berjalan
ke arahnya. Keningnya berkerut melihat si remaja
terus tertawa-tawa.
"Huh! Menyesal aku ikut denganmu, Suro!"
dengus si gadis, kesal.
Remaja yang ternyata Suropati alias Penge-
mis Binal menoleh. Ditatapnya sosok gadis berpa-
kaian serba putih itu. Melihat bibir si gadis yang
cemberut, Suropati malah tersenyum-senyum.

"Kenapa aku, Intan? Kau marah?" tanyanya
dengan raut wajah polos seperti tak punya dosa.
"Tak kusangka Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti yang amat kesohor itu, be-
rotak tak waras...," sahut si gadis yang dipanggil
Intan, seenaknya.
"Apa kau bilang?" potong Suropati yang
memang dikenal sebagai Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti.
"Kau gila!" sahut Intan, cepat.
"Ha ha ha…!"
Melihat Suropati tertawa lagi, gadis berpa-
kaian serba putih mencak-mencak. Bibirnya ma-
kin membentuk kerucut. Rasa kesal dan marah je-
las membayang di matanya.
"Hei? Tampaknya kau marah, Intan?" ledek
Suropati.
Si gadis tak menjawab. Sinar matanya ma-
kin tajam menatap Pengemis Binal.
"Ahh.... Aku mentertawakan diriku sendiri.
Kenapa kau yang ribut, Intan?"
"Ya! Karena kau memang gila!"
"Aku tidak gila! Cuma rada-rada gila! Ha ha
ha...!" 
Selagi Suropati tertawa untuk kesekian ka-
linya, Intan memberengut sambil menggedrukkan
kakinya ke tanah, menumpahkan kekesalan. Lalu,
dia berlari meninggalkan Suropati yang masih ter-
bawa luapan kegembiraannya.
"Intan..,! Intan...!" teriak Suropati setelah
sadar kalau si gadis tidak ada lagi di dekatnya.
Segera remaja tampan namun berperilaku

konyol ini mengempos tenaga untuk dapat berlari
cepat. Diikutinya jalan setapak dengan tubuh me-
lesat cepat.
Sementara, Intan menjadi terkesiap ketika
menyadari sosok bayangan berkelebat di atas ke-
palanya. Tak mau tubuhnya bertubrukan, cepat
langkah kakinya dihentikan, Namun, bayangan
yang tak lain Suropati malah sengaja menubruk.
Secepatnya dipeluk gadis itu erat-erat.
"Uh! Lepaskan! Lepaskan aku!" pekik Intan
sambil meronta-ronta.
Pengemis Binal malah tersenyum senang.
Dipeluknya tubuh Intan lebih erat. Bahkan dike-
cupnya kening gadis cantik itu. Ketika kecupannya
hendak beralih tempat ke bibir, si gadis meronta
keras. Kaki kanannya diangkat. Dan....
"Aduhh...!"
Menjeritlah Suropati karena telapak kakinya
diinjak Intan.
"Aduh! Maaf.... Maafkan aku, Intan...," ucap
Pengemis Binal saat melihat si gadis menghunus
pedang di punggungnya.
"Sekali lagi kau berbuat kurang ajar, kubu-
nuh kau!" ancam Intan dengan mata mendelik ga-
rang.
"Hmm.... Kupikir kau senang bila ku...."
"Tidak!"
"Tapi dalam perjalanan beberapa hari ini,
bukankah kita sudah sering ber...."
"Sekarang tidak!" potong Intan lagi. Sua-
ranya ketus dan sinar matanya menyala-nyala.
"Ya, sudahlah kalau begitu. Kau tidak suka

padaku, aku pun tak akan memaksa. Sekarang,
aku hendak ke puncak Bukit Pangalasan. Kalau
mau ikut, aku tak keberatan. Tapi kalau tidak,
aku pun tak akan kecewa. Kau bisa kembali ke
Pulau Karang, tempat tinggalmu yang sunyi-sepi
jauh dari peradaban manusia itu!"
Mendengar kata 'Pulau Karang', raut wajah
si gadis berubah. Sinar matanya yang menyala-
nyala jadi meredup. Kemarahannya berubah jadi
rasa sedih mendalam. Dia teringat sebuah peristi-
wa yang amat memilukan hatinya. Tanpa terasa,
pedang di tangan kanannya jatuh ke tanah.
"Maafkan aku, Intan...," desis Pengemis Bi-
nal, menyadari kesalahannya. "Bukan maksudku
untuk mengingatkanmu pada peristiwa berdarah
itu. Aku hanya kelepasan bicara...."
Suropati memungut pedang yang terjatuh.
Lalu disarungkannya pedang itu ke punggung si
gadis. Kali ini, Intan diam saja ketika Suropati
mendekap bahunya.
"Seorang pendekar pantang mengeluarkan
air mata...," bisik Suropati.
Gadis cantik bernama lengkap Intan Melati
yang tak lain putri Rama Ludira atau Pendekar
Hati Putih itu menguatkan hatinya untuk memba-
las tatapan Suropati. Ditepisnya pelukan remaja
tampan itu. Lalu, kakinya melangkah menapaki ja-
lan setapak (Untuk mengetahui kisah perjumpaan
Intan Melati dengan Suropati, silakan baca serial
Pengemis Binal dalam episode: "Tengkorak Kaki
Satu").
"Hei? Masihkah kau marah padaku, Intan?"

tanya Suropati, lantang.
Intan Melati terus melangkah, seperti tak
mau peduli pada Suropati yang berjalan mengiku-
tinya. Sementara, si pemuda terlihat menggaruk
kepalanya yang tak gatal. Lalu kakinya melangkah
lebar, berjalan di sisi kanan Intan Melati.
"Aku tahu hatimu sedih, Intan...," uak Pen-
gemis Binal kemudian. "Aku bisa merasakannya.
Tapi, patutkah rasa sedih itu dibiarkan menggang-
gu pikiran? Apakah tidak lebih baik rasa sedih itu
disingkirkan dengan membuka mata lebar-lebar
bahwa di dunia ini masih banyak kesenangan yang
dapat diperoleh?"
Intan Melati menghentikan langkah. Dita-
tapnya wajah Pengemis Binal yang tidak menun-
jukkan kekonyolan.
"Aku tahu, apa yang kau katakan...," ka-
tanya. "Aku pun tidak larut dalam kesedihan. Aku
hanya merasa kasihan kepada orang-orang yang
kucintai yang kini telah tiada."
"Syukurlah kalau begitu. Tapi, segeralah lu-
pakan semua kenangan buruk di Pulau Karang.
Bukankah manusia jahat si pembuat malapetaka
itu telah mendapat balasan setimpal?"
Intan Melati diam ketika Suropati meling-
karkan lengannya ke bahu. Lalu, kaki mereka me-
langkah lagi.
"Sebelum ke puncak Bukit Pangalasan, aku
ingin mengajakmu ke kota Kadipaten Tanah Loh.
Dengan melihat keramaian kota, barangkali hati-
mu bisa lebih senang...," cetus Suropati.
"Kenapa tidak ke kota Kadipaten Bumirak-

sa?" tukas Intan Melati. 
"Emmm...."
"Emmm apa?"
"Tidak apa-apa. Tapi kukira, kau akan lebih
senang bila melihat keramaian kota Kadipaten Ta-
nah Loh," kilah Suropati.
Remaja konyol ini tentu saja tak mau men-
gajak Intan Melati ke kota Kadipaten Bumiraksa
karena khawatir akan berjumpa Dewi Ikata. Dan
ini kemungkinan besar akan membuat cemburu
putri tunggal Adipati Danubraja itu.
"Bagaimana? Kita ke kota Kadipaten Tanah
Loh?" tanya Suropati, melihat Intan Melati masih
berpikir-pikir.
"Yah.... Terserah kaulah...."
Mendengar putusan Intan Melati, Suropati
tersenyum senang. Tangan kirinya segera mereng-
kuh bahu gadis itu lebih erat. Lalu, dibawanya
berlari cepat

***

Sebuah kereta kuda melesat cepat. Sua-
ranya berderak-derak ketika melewati jalanan ber-
batu. Dilihat dari umbul-umbul yang dibawa pra-
jurit berkuda di depan, tampaknya orang yang be-
rada di dalam kereta adalah seorang pembesar Ka-
dipaten Tanah Loh.
Dan, memang demikianlah kenyatannya.
Dikawal delapan prajurit pilihan, Adipati Bara-
sangga berkenan melakukan perjalanan ke kota
Kadipaten Bumiraksa. Rara Anggi yang merupa-

kan istri Adipati Danubraja penguasa Kadipaten
Bumiraksa, adalah putri Adipati Barasangga. Ma-
ka sudah menjadi kewajaran apabila Adipati Bara-
sangga berkenan mengunjungi putrinya. Apalagi
mereka sudah cukup lama tak saling jumpa.
Ketika melewati sebuah jalan sempit di
ujung Dusun Pakiaplang, prajurit yang berkuda di
depan mengangkat kedua tangannya. Sedang um-
bul-umbul di tangan kanannya dikibaskan tiga
kali.
Seketika terdengarlah ringkik panjang kuda
yang saling sahut. Masing-masing segera meng-
hentikan langkah. Beberapa kuda masih terus me-
ringkik, karena terkejut akibat dihentikan secara
mendadak oleh penunggangnya.
"Ada apa?" tanya Adipati Barasangga, begitu
tirai kereta terbuka. Wajahnya yang sudah me-
nampakkan garis-garis usia di atas lima puluh ta-
hun masih terlihat berwibawa.
Seorang prajurit berkumis tebal yang mem-
bawa umbul-umbul meloncat dari punggung kuda.
Lalu dihampirinya Adipati Barasangga yang masih
berada di atas keretanya.
"Ampun, Gusti Adipati. Hamba terpaksa
menghentikan perjalanan, karena jalan di depan
terdapat lubang besar. Hamba khawatir kereta ku-
da Gusti Adipati akan terperosok...," lapor prajurit
berkumis tebal itu.
Adipati Barasangga mengangguk kecil, lalu
turun dari kereta. Kening lelaki gagah itu berkerut,
ketika melihat kubangan besar yang sudah cukup
menguburkan bangkai dua ekor gajah kira-kira se-

jauh sepuluh tombak. Di kanan-kiri kubangan
tampak berserakan batang-batang kayu yang
agaknya berasal dari tumbangnya pepohonan. Se-
mentara, beberapa pohon besar yang masih berdiri
tegak tampak meranggas. Daunnya menguning.
Bahkan sebagian besar telah berguguran.
"Jalan ini sepertinya baru saja kejatuhan
sebuah benda panas yang mempunyai kekuatan
dahsyat...," pikir Adipati Barasangga sambil men-
gedarkan pandangan. "Mungkinkah ada pecahan
bintang jatuh di sini? Melihat  bekas-bekasnya,
memang demikian. Tapi..., di manakah pecahan
bintangnya?"
Adipati Barasangga melangkah perlahan.
Dikitarinya kubangan sambil memeriksa keadaan
sekitarnya sampai beberapa jauh. Namun, apa
yang dicarinya tidak didapatkan. Akhirnya, dia
kembali ke jalan semula.
"Kita tidak punya waktu lagi...," ujar sang
adipati. "Lepaskan dulu kuda-kuda penarik ini. La-
lu, angkat keretanya untuk melewati kubangan
itu."
Cepat sekali delapan prajurit Kadipaten Ta-
nah Loh melaksanakan perintah junjungan mere-
ka. Namun ketika hendak mengikat kembali kedua
kuda penarik kereta ke tempatnya, tiba-tiba.... 
"Awas...!" teriak sang adipati. Delapan pra-
jurit yang menyandang pedang di punggung segera
melihat arah yang ditunjuk sang adipati. Wajah
mereka pun kontan menjadi pucat. Namun sebagai
prajurit terlatih, mereka segera menyadari kea-
daan. Saat itu pula mereka berloncatan dengan

mengerahkan seluruh kemampuan ilmu merin-
gankan tubuh.
Pada saat yang sama dari utara tempat
rombongan itu berada, melesat bola api besar yang
amat menggidikkan. Sekejap kemudian....
Blarrrr...!
Saat itu pula terdengar ledakan bergemuruh
saat bola api yang melesat dari angkasa mendarat
ke permukaan tanah. Bumi pun berguncang.
Gumpalan tanah bercampur bebatuan membu-
bung tinggi, membuat pandangan jadi gelap. Dan
dari kegelapan itu, keluar percikan-percikan api
yang segera membakar rumput-rumput kering.
Begitu keadaan kembali seperti semula, di
jalan itu telah terbentuk satu kubangan lagi yang
lebih besar. Tidak terlihat lagi kereta kuda Adipati
Barasangga. Tidak ada lagi delapan kuda tunggan-
gan para prajurit pengawal. Mereka telah mati da-
lam keadaan mengenaskan menjadi potongan-
potongan kecil. Sementara, rumput-rumput di se-
kitarnya mati terjilati lidah api.
Adipati Barasangga tampak berdiri sem-
poyongan sekitar tiga puluh tombak dari pusat le-
dakan. Ketika terjadi ledakan tadi, lelaki gagah ini
terlontar. Untunglah tubuhnya kuat, sehingga ti-
dak mengalami cedera berarti. Namun sewaktu dia
hendak berjalan untuk mengetahui apa yang ter-
jadi, delapan prajuritnya berloncatan mendekati.
"Gusti Adipati tidak apa-apa?" tanya prajurit
berkumis, menunjukkan kekhawatirannya.
"Aku tidak apa-apa, Kambar. Hanya lecet-
lecet sedikit..," jelas sang adipati. "Agaknya ada

orang yang ingin membuat permusuhan dengan-
ku. Terlebih lagi, dia ingin membunuhku. Kita
tunda dulu perjalanan ke kota Kadipaten Bumi-
raksa. Kita cari manusia jahat itu."
"Ampun, Gusti Adipati...," sembah prajurit
berkumis yang dipanggil Kambar. "Tidakkah lebih
baik Gusti Adipati melanjutkan perjalanan? Ham-
ba khawatir akan terjadi apa-apa bila Gusti Adipati
mencari orang yang belum jelas. Dan lagi, bola api
besar yang menimbulkan ledakan itu apakah bu-
kan bintang jatuh? Jadi, tidak ada orang yang
bermaksud membuat celaka Gusti Adipati...."
"Bintang jatuh tidak seperti itu. Bendanya
tentu ada. Ini pasti perbuatan orang usil."
"Kalau begitu, orang itu pasti ilmunya san-
gat tinggi sekali...."
"Kau takut, Kambar?" potong sang adipati.
"Kuda kita telah mati semua. Perjalanan kita jadi
terhambat. Sambil mencari orang jahat itu, kita
berusaha pula mendapatkan kuda lagi."
Adipati Barasangga melangkah tenang. Se-
mentara delapan prajurit kadipaten mengikutinya.
Mereka berjalan ke utara, menuju asal luncuran
bola api.
Tanpa terasa, perjalanan mereka telah me-
masuki Hutan Wonokeling yang mempunyai ba-
nyak lembah berbatu. Di depan tebing yang terda-
pat lubang bergaris tengah dua depa, sang adipati
menghentikan langkahnya.
"Aneh sekali mulut gua di tebing itu...," gu-
mamnya. "Ada cahaya terang yang memancar dari
dalamnya. Kalau cahaya perapian atau obor tidak

akan seperti itu. Dan lagi, tak ada asap yang ke-
luar. Hmmm.... Gua itu pasti ada apa-apanya...."
Adipati Barasangga menatap wajah kedela-
pan prajurit yang berdiri di belakangnya.
"Kalian lihat gua itu. Apakah kalian juga
merasakan keanehannya?"
Yang ditanya tak menjawab. Tapi, sinar ma-
ta mereka sudah cukup memberi jawaban.
"Aku ingin dua orang dari kalian memeriksa
gua itu...," perintah sang adipati kemudian.
Dua orang prajurit tampak membungkuk
hormat, lalu berjalan mendekati tebing. Ringan se-
kali tubuh mereka ketika meloncat ke lamping teb-
ing di depan mulut gua. Padahal, jarak mulut gua
dari permukaan tanah tak kurang dari empat tom-
bak.
Bisa dilihat kalau mereka memiliki ilmu ke-
pandaian yang bisa diandalkan.
Dua prajurit itu menoleh sebentar ke arah
Adipati Barasangga. Melihat sang adipati memberi
isyarat tangan, mereka segera memasuki gua sete-
lah menghunus pedang untuk berjaga-jaga.
Pandangan Adipati Barasangga dan enam
prajurit yang tertinggal tak pernah lepas dari mu-
lut gua. Mereka sama-sama tegang. Hingga bebe-
rapa tarikan napas kemudian.... dari dalam gua
memancar cahaya yang lebih terang dan amat me-
nyilaukan. Lalu...
Blarrr...!
Betapa terkejutnya Adipati Barasangga dan
enam prajuritnya. Saat itu dari dalam gua melesat
berpencaran potongan-potongan daging dan serpi-

han kain, yang dibarengi ledakan. Begitu benda-
benda kecil itu jatuh ke tanah, semua yang me-
nyaksikan kejadian ini bergidik ngeri. Serpihan
kain yang jatuh ke tanah dapat dikenali sebagai
pakaian dua prajurit yang tadi memasuki gua!
Menyadari apa yang telah terjadi, enam pra-
jurit kadipaten segera meloncat ke depan untuk
melindungi sang adipati dengan pedang terhunus.
"Sebaiknya kita pergi dari tempat ini, Gusti
Adipati...," cetus salah seorang prajurit dengan
pandangan nanar.
"Tidak! Aku ingin tahu, apa yang ada di da-
lam gua itu...," tolak Adipati Barasangga seraya
berjalan mendekati tebing.
"Jangan, Gusti!" cegah prajurit berkumis
bernama Kambar. "Hamba mengkhawatirkan kese-
lamatan Gusti Adipati."
"Tapi, aku ingin tahu apa yang ada di dalam
gua itu."
Kambar tampak berpikir sejenak.
"Sebaiknya Gusti Adipati menunggu di sini.
Hamba yang akan memeriksa gua itu," cetus Kam-
bar.
"Aku akan bersamamu, Kambar...," sahut
seorang prajurit bertubuh tinggi besar.
Kambar menatap wajah temannya. Lalu,
mereka sama-sama membungkuk hormat kepada
Adipati Barasangga. Dan tanpa meminta persetu-
juan lagi, mereka meloncat bersama ke depan mu-
lut gua.
Namun baru saja mereka melangkah empat
tindak ke dalam.... 

Blarrr...!
Pancaran cahaya menyilaukan itu kembali
muncul dibarengi ledakan keras. Saat itu juga, tu-
buh Kambar dan temannya terlontar keluar men-
jadi potongan-potongan kecil seperti habis dirajang
pedang yang amat tajam.
"Kita pergi dari tempat ini, Gusti Adipati...,"
ujar prajurit yang berdiri di dekat Adipati Bara-
sangga.
Rasa ngeri kini jelas terpancar di mata sang
adipati. Lelaki gagah ini agaknya mulai dijalari ra-
sa takut. Namun sebelum kakinya melangkah....
"Ha ha ha...!"
Terdengar suara tawa keras yang meledak-
ledak. Saat yang sama, dari dalam gua berhembus
angin kencang. Adipati Barasangga dan empat pra-
jurit yang tertinggal tampak berdiri terhuyung-
huyung. Mereka seketika mengerahkan ilmu
memperberat tubuh agar tidak terlontar. Tapi, su-
ara tawa yang terdengar terasa meremas-remas
jantung. Aliran darah mereka jadi kacau. Gendang
telinga pun terasa hendak pecah. Hal ini membuat
pertahanan mereka goyah. Tiga tarikan napas ke-
mudian, empat prajurit tersurut mundur beberapa
tindak. Lalu....
"Aaah...!"
Tubuh mereka kontan terlontar jauh diiringi
jeritan menyayat hati!
Adipati Barasangga terkejut setengah mati
melihat seorang pemuda berpakaian putih berga-
ris-garis hitam keluar dari dalam gua. Rambut
pemuda itu panjang awut-awutan. Wajahnya yang

sebenarnya tampan, menjadi amat menakutkan.
Karena, bola matanya berwarna merah darah dan
seperti memancarkan cahaya api!
"Si... siapa kau?!" desis Adipati Barasangga.
Suaranya yang keras terdengar bergetar, akibat
deraan rasa takut.
Melihat si pemuda menatap tajam, adipati
Tanah Loh ini menghunus pedang pendeknya.
Namun, pedang itu terlihat bergoyang-goyang ka-
rena terbawa gerak tubuhnya yang gemetar.
"Ha ha ha...!" pemuda berambut awut-
awutan tertawa bergelak. "Aku tahu, kau adalah
seorang pembesar kadipaten. Oleh karena itulah
aku tidak membunuhmu. Tapi, agaknya aku ma-
sih perlu mencoba kehebatan ilmu 'Mustika Api'-
ku. Berdiamlah beberapa saat di tempatmu...."
Usai berkata, si pemuda memutar-mutar
kedua telapak tangannya di depan dada.
Saat itu pula Adipati Barasangga terkesiap
ketika di telapak tangan si pemuda tahu-tahu ter-
dapat bola api sebesar kepala kerbau. Bola api itu
semakin lama semakin besar, menyadarkan sang
adipati kalau nyawanya benar-benar terancam.
"Heaaa...!"
Pemuda berambut awut-awutan menggeram
keras seraya meloncat turun dari depan mulut
gua. Bola api yang kini telah sebesar kerbau dis-
angganya di tangan kanan. Sementara itu, Adipati
Barasangga menatap dengan sinar mata nyalang.
Timbul niatan untuk melarikan diri. Tapi, tiba-tiba
kakinya terasa kejang dan sama sekali tak dapat
digerakkan.

Wusss...!
Si pemuda kini telah melontarkan bola
apinya ke atas. Setelah berputaran sejenak, bola
api itu pun meluncur deras hendak menimpa tu-
buh sang adipati yang sudah tak dapat berbuat
apa-apa. Agaknya, dia telah terkena totokan jarak
jauh si pemuda.
Kini, nyawa Adipati Barasangga benar-
benar bagai telor di ujung tanduk. Bola api sebesar
kerbau tinggal dua depa lagi untuk melumatkan
tubuhnya. Mendadak...
Bet!
"Ha ha ha...!"
Si pemuda tertawa bergelak seraya menyo-
rongkan tangan kirinya ke depan. Seketika, timbul
kekuatan kasat mata yang menghentikan luncuran
bola api, membuat benda bulat yang memancar-
kan cahaya panas itu melayang sekitar satu depa
dari kepala sang adipati.
Keringat Adipati Barasangga mengucur de-
ras. Tubuhnya bagai berada dalam pembakaran.
Panas yang dirasakannya benar-benar akan mem-
buat tubuhnya meleleh perlahan-lahan.
"Ha ha ha...!" si pemuda tertawa dengan
tangan kiri tetap terjulur ke depan. "Nikmatilah bo-
la panas itu, Orang Tua! Tapi, kau tak usah kha-
watir. Bola api itu akan terus melayang. Bila kau
mampu bertahan dalam lima puluh tarikan napas,
maka aku akan membiarkanmu pergi dari tempat
ini."
Pucat-pasi wajah Adipati Barasangga. Ba-
gaimana dia bisa bertahan, sedang ujung-ujung

rambutnya sudah mulai terbakar?
"Keparat! Tidakkah kau tahu siapa aku?!"
gertak sang adipati setelah mengumpulkan selu-
ruh keberaniannya. Bagaimanapun dia seorang
pemimpin. Maka, pantang bersikap pengecut
"Siapa kau? Ha ha ha...!" si pemuda tertawa
makin keras. "Menilik pakaian yang dikenakan,
kau pasti seorang pembesar kadipaten. Tapi, apa
guna pangkat dan kedudukan bila tak punya il-
mu? Kalau kau tak mampu bertahan, kematian itu
lebih baik bagimu. Seorang pemimpin harus mem-
punyai ilmu yang pilih tanding...."
"Keparat..!"
Umpatan sang adipati hanya ditimpali tawa
si pemuda. Begitu tawanya berhenti.
"Lima puluh... empat sembilan... empat de-
lapan... empat tujuh...."
Kini, Malaikat Kematian benar-benar telah
siap mencabut nyawa sang adipati....

3

"Luar biasa...!" desah Suropati bernada tak-
jub. "Bola api yang melesat di angkasa tadi tentu
jatuh di sini."
Intan Melati turut memperhatikan kuban-
gan tanah yang menghalangi jalan, baru kemudian
menggelengkan kepala. Selain mencium bau sesu-
atu yang terbakar, dia juga mencium bau anyir da-
rah. Dan gadis ini memekik kecil ketika melihat
banyak potongan daging bertebaran.

"Suro...!" panggil Intan Melati, berteriak.
"Ada apa, Intan?" Pengemis Binal langsung
meloncat ke dekat si gadis.
"Kau lihat itu...," tunjuk Intan Melati.
"Hm.... Yah! Aku juga melihatnya. Itu daging
kuda. Kau tak perlu takut. Agaknya, bola api yang
melesat dari arah utara tadi mempunyai kekuatan
dahsyat. Aku menduga, tidak kurang dari lima
ekor kuda telah mati di sini."
"Kalau ada kuda sebanyak itu, pastilah se-
buah rombongan. Lalu, di mana para penung-
gangnya?"
"Kupikir, mereka dapat menyelamatkan diri.
Dan kemungkinan besar, mereka menuju ke utara
untuk mencari asal bola api itu."
"Kau yakin?"
"Akan kita buktikan. Aku juga ingin tahu,
siapa biang keladi dari semua ini. Ini bukan keja-
dian alam biasa. Tapi, dibuat oleh orang berilmu
tinggi."
"Kita tidak jadi ke kota Kadipaten Tanah
Loh?"
"Jadi. Tapi, kita tunda dulu."
Pengemis Binal lalu mengajak Intan Melati
berlari cepat ke utara, langsung memasuki Hutan
Wonokeling. Agaknya dalam perjalanan, muda-
mudi ini sempat melihat luncuran bola api yang
menghancurkan kereta Adipati Barasangga dan
membunuh kuda-kuda prajuritnya.
Karena tak sabar, Suropati menggendong
Intan Melati. Dibawanya gadis itu meloncat-loncat
di tanah berbatu. Dan Pengemis Binal mengerah-

kan seluruh kemampuan lari cepatnya saat men-
dengar tawa meledak-ledak dari tengah hutan.
Saat itu juga Suropati menurunkan tubuh
Intan Melati begitu melihat seorang lelaki berpa-
kaian adipati tengah bergelut melawan maut Tepat
di atas kepala lelaki itu, melayang sebuah bola api
besar yang amat mengerikan. Keadaannya sudah
payah. Sebagian rambut dan bajunya sudah mulai
terjilat api. Sementara, seorang pemuda berambut
awut-awutan tertawa kegembiraan tanpa henti
menyaksikan keadaan calon korbannya.
"Biadab!" seru Suropati. Seketika tubuhnya
melesat sambil menghentakkan kedua telapak
tangan ke depan.
Wuuttt...!
Blarrrr...!
Sebuah ledakan terdengar memantul dari
tebing ke tebing, saat dua larik sinar kebiruan
yang melesat dari telapak tangan Pengemis Binal
menghantam bola api. Saat itu pula bola api itu
ambyar dengan lidah-lidahnya yang menebar ke
berbagai penjuru. Pada waktu yang hampir bersa-
maan, Suropati menyambar tubuh lelaki berpa-
kaian adipati itu.
Dengan kecepatan mengagumkan pula, ta-
hu-tahu Suropati telah membawa tubuh orang
yang ditolongnya menjauhi pusat ledakan tadi.
Dan begitu sosok itu diturunkan ke tanah....
"Gusti Adipati Barasangga!" sebut Suropati,
setelah mengenali lelaki yang baru ditolongnya.
Sementara, Intan Melati tampak menghampiri.
"Ya. Aku Adipati Barasangga. To... longlah

aku, Anak Muda. Aku...."
Sang adipati tak dapat melanjutkan kali-
matnya karena pandangannya mendadak kabur.
Bersamaan dengan itu lelaki yang tak lain pengua-
sa Kadipaten Tanah Loh ini terkulai pingsan dalam
dekapan Pengemis Binal.
"Dia tak mengalami luka berarti. Dia hanya
tak mampu menahan hawa panas. Carilah sungai
di dekat sini. Mandikan dia...," ujar Suropati sam-
bil menatap Intan Melati.
Mata si gadis kontan mendelik. "Apa kau bi-
lang? Aku memandikannya?" potongnya dengan
suara ketus.
"Tolonglah Adipati Barasangga ini. Kalau
tubuhnya tak segera menyentuh air, aku khawatir
nyawanya tak akan tertolong lagi."
"Keparat!"
Begitu ucapan Suropati selesai, terdengar
suara bentakan penuh kemarahan. Tampak kini
pemuda berambut awut-awutan  ini  melangkah
dengan mata merah menyala-nyala. Agaknya, dia
hendak melampiaskan kemarahannya kepada Su-
ropati.
"Selamatkan Adipati Barasangga. Aku akan
menghadapi manusia kejam itu," ujar Pengemis
Binal lagi.
"Baiklah. Tapi kau harus hati-hati, Suro...,"
sahut Intan Melati seraya menyambar tubuh sang
adipati.
"Kurang ajar! Berani benar kau mencampuri
urusanku!" gertak pemuda berambut awut-
awutan.

Suropati menggaruk kepalanya sebentar.
Mulutnya yang terbuka hendak bicara mendadak
terkatup kembali. Matanya mendelik ke arah si
pemuda. Walau wajah yang terpampang di hada-
pannya amat kotor, tapi Pengemis Binal masih da-
pat mengenalinya.
"Kau... kau Arya Wirapaksi...?" desis Suro-
pati seperti tak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Ha ha ha...!" si pemuda tertawa bergelak
"Aku tidak mengenal, siapa itu Arya Wirapaksi!
Aku adalah pewaris Eyang Arya Balambang Jenar.
Aku adalah pewaris ilmu 'Mustika Api'...!"
Pengemis Binal mengerjap-ngerjapkan ma-
tanya. Apa yang dilihatnya tetap tak berubah. Pe-
muda yang berdiri di hadapannya adalah Arya Wi-
rapaksi, putra mahkota Kerajaan Anggarapura.
Suropati yakin benar akan penglihatannya kini.
Tapi, kenapa Arya Wirapaksi tak mau mengakui
dirinya sendiri? Apakah dia sakit ingatan? Atau,
dia memang bukan Arya Wirapaksi?
"Tidak! Dia benar Arya Wirapaksi. Aku kenal
betul akan dirinya!" tegas Suropati dalam hati.
"He?! Kenapa kau bengong?! Agaknya kau
telah melihat lubang kematian di depan matamu.
Kau akan segera merasakan kehebatan ilmu
'Mustika Api'!" bentak si pemuda yang memang
Arya Wirapaksi menggerak-gerakkan kedua tela-
pak tangannya di depan dada.
"Tunggu!" cegah Pengemis Binal. "Tidakkah
kau mengenaliku, Wirapaksi? Aku Suropati. Aku
sahabatmu..."
"Aku tidak kenal kau! Aku tidak kenal pula

nama yang kau sebutkan itu!"
Di ujung kalimatnya. Arya Wirapaksi melu-
ruskan telunjuk tangan kirinya yang semula ber-
putar-putar di depan dada.
Slap!
"Uts!"
Pengemis Binal meloncat ke samping ketika
melihat selarik sinar bening meluruk ke dada kiri.
Sehingga luputlah dia dari totokan jarak jauh yang
dilancarkan pemuda berambut awut-awutan itu,
"Aku curiga, pasti ada sesuatu yang tak di-
inginkan telah terjadi pada diri Arya Wirapaksi...,"
kata batin Pengemis Binal. "Ilmunya tak mungkin
berkembang sedemikian cepat dalam waktu sing-
kat. Tentu ada orang sakti yang telah memindah-
kan seluruh tenaga saktinya ke tubuh Arya Wira-
paksi. Atau mungkin, Arya Wirapaksi telah mem-
pelajari sebuah kitab luar biasa, sehingga mem-
buat otaknya terganggu...?"
Selagi Pengemis Binal menduga-duga, Arya
Wirapaksi menggembor keras. Tahu-tahu, telapak
tangan  kirinya telah menyangga bola api sebesar
kerbau. Matanya yang berwarna merah darah se-
makin terlihat mengerikan.
"Mampuslah kau...!" pekiknya seraya me-
lemparkan bola api ke arah Pengemis Binal
Bergegas remaja tampan berpakaian putih
penuh tambalan itu meloncat. Tapi, alangkah ter-
kejutnya Pengemis Binal. Ternyata bola api yang
melayang di udara itu bisa dikendalilan oleh Arya
Wirapaksi. Bahkan kini terlihat mengejar ke mana
pun tubuh Suropati bergerak.

Karena terus diburu bola api besar yang
membawa hawa panas, keadaan Pengemis Binal
jadi kalang kabut. Keringat mengucur deras di tu-
buhnya. Matanya mendelik tajam melihat pohon-
pohon di sekitarnya mulai terbakar. Akibatnya,
Hutan Wonokeling kini berubah menjadi lautan
api.
Saat itu pula, Pengemis Binal mengempos
tubuhnya disertai pengerahan seluruh kemam-
puan ilmu meringankan tubuhnya. Ketika, bola api
melesat ke arahnya, dengan sigap dipasangnya
kuda-kuda. Dihirupnya udara dalam-dalam, se-
raya menarik pergelangan tangan hingga sejajar
pinggang
Sekejap mata kemudian, telapak tangan
remaja tampan itu telah berubah menjadi merah
membara. Namun anehnya, hawa yang ditimbul-
kannya terasa dingin menusuk tulang.
"Pukulan 'Salju Merah'...!" pekik Suropati
seraya menghentakkan kedua telapak tangannya
ke depan.
Wuuttt...!
Blarrr...!
Ledakan dahsyat kontan berkumandang ke
seantero Hutan Wonokeling. Bola api langsung
hancur dan lenyap tertimpa dua larik sinar merah
yang memendarkan hawa dingin. Ranting-ranting
pohon yang semula terjilati lidah api kini terseli-
muti salju berwarna merah. Walau matahari tepat
di atas kepala, namun udara terasa amat dingin.
Itulah kehebatan ilmu pukulan 'Salju Merah' milik
Pengemis Binal yang diturunkan oleh Nyai Catur

Asta padanya.
Melihat ilmu 'Mustika Api' mengalami kega-
galan, tubuh Arya Wirapaksi bergetar terbawa lua-
pan amarah. Giginya bertaut rapat memperden-
garkan bunyi bergemeletuk. Air mukanya tegang
dengan mata melotot. Kini kedua mata itu benar-
benar menyorotkan cahaya merah menggidikkan.
"Jahanam...!" geramnya.
Melihat wujud pemuda berambut awut-
awutan makin tampak mengerikan, tanpa sadar
Pengemis Binal tersurut mundur. Tangan kanan-
nya meraba tongkat butut yang terselip di ikat
pinggangnya. Dan dia jadi terkesiap ketika tubuh
Arya Wirapaksi tampak memancarkan cahaya pu-
tih yang amat menyilaukan mata.
"Aku ingin tahu, apakah kau mampu berta-
han dari ilmu 'Mustika Api' tingkat kesepuluh
ini...," tantang si pemuda. Perlahan-lahan kedua
belah tangannya dipentangkan, lalu bergerak naik.
Dan kini, bertemu di atas kepala.
Kini, terdengar suara mendesis ketika tela-
pak tangan Arya Wirapaksi mengepulkan asap pu-
tih. Saat mulut pemuda berpakaian putih dengan
garis-garis hitam itu menggembor keras, dari ke-
dua telapak tangannya yang bertaut di atas kepala
melesat bunga-bunga api ke arah Pengemis Binal!
"Hiyaaa...!"
Suropati meloncat tinggi seraya meloloskan
tongkat bututnya di tanah. Setelah berputaran be-
berapa kali, kedua kakinya mendarat mantap. Le-
satan bunga-bunga api itu memang berhasil di-
hindarinya. Namun dia jadi terkejut saat melihat

tanah tempat bunga-bunga api mendarat telah
berlubang-lubang dan menyemburkan api, yang
sepertinya keluar dari tenaga panas bumi.
Belum lama kaki Suropati mendarat, bun-
ga-bunga api telah melesat kembali lagi dari tela-
pak tangan Arya Wirapaksi. Mau tak mau Penge-
mis Binal mesti berjumpalitan untuk menyela-
matkan diri. Tapi, bunga-bunga api itu seperti tak
ada habisnya. Melesat terus, membuat lubang-
lubang di tanah yang kemudian menyemburkan
api berwarna kebiruan.
Mendapat serangan bertubi-tubi, Suropati
jadi kewalahan. Dia tak punya lagi tempat untuk
berpijak. Di sana-sini semburan api mengurung-
nya. Sekujur tubuhnya sudah terasa tersiram air
mendidih. Telapak kakinya yang beberapa kali
menginjak tanah pun mulai melepuh.
"Tanpa pukulan 'Salju Merah', tak mungkin
aku dapat bertahan...," pikir Suropati.
Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti ini lalu mengempos tubuhnya ke atas seraya
menghimpun seluruh kekuatan tenaga dalam. Da-
lam keadaan masih melayang di udara, dia meme-
kik nyaring. Telapak tangannya yang sudah dilam-
bari kekuatan  ilmu pukulan 'Salju Merah' diki-
baskan ke depan.
Pada saat yang sama, satu titik cahaya ke-
biruan telah meluncur dari ujung jari pemuda be-
rambut awut-awutan. Dan tiba-tiba saja menem-
bus telapak tangan Suropati. Akibatnya...
"Arghhh...!"
Suropati menjerit keras, merobek angkasa.

Sekujur tubuhnya kontan terasa panas membara
seperti dijalari api neraka. Dia kontan terjatuh ke
tanah yang telah menjadi lautan api. Namun begi-
tu, dia mampu menjaga keseimbangan tubuhnya,
hingga jatuhnya kaki lebih dulu.
"Hei! Mau lari ke mana kau?!" hardik Arya
Wirapaksi saat melihat Suropati seketika men-
gambil langkah seribu.
Dalam keadaan terluka, rupanya Pengemis
Binal tak mampu meladeni amukan pemuda be-
rambut awut-awutan. Dia tak mungkin melukai
pemuda yang dikenalnya sebagai Arya Wirapaksi,
putra mahkota Kerajaan Anggarapura. Lagi pula,
yang lebih penting adalah menyelamatkan jiwa
Adipati Barasangga lebih dulu. Soal urusan den-
gan pemuda itu, bisa dilanjutkan kapan saja.
Saat pemuda bertubuh tinggi tegap ini hen-
dak mengejar ke mana Suropati berlari, tiba-tiba.... 
"Aaah...!"
Arya Wirapaksi menjerit. Langkahnya ter-
henti. Kedua tangannya menekan kepala. Lalu, se-
perti orang gila dia menggedor-gedor dadanya sen-
diri.
"Ya, Tuhan...! Apa yang telah kulakukan?"
jerit si pemuda. "Aku telah melukai orang. Aku te-
lah membunuh orang. Eyang...! Maafkan aku,
Eyang...!"
Arya Wirapaksi langsung menangis mengge-
rung-gerung. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh
menggelosor ke tanah. Didekapnya lagi kepalanya
dengan kedua tangan. Dia menggembor seraya me-
loncat hendak bangkit, namun mendadak tubuh-

nya terkulai jatuh ke tanah lagi! Pandangan ma-
tanya kini gelap. Kepalanya terasa amat berat. Di-
rinya seperti terbawa pusaran air dahsyat yang
sama sekali tak mampu dilawannya.
Hutan Wonokeling kini terselimuti sunyi.
Hanya desau angin yang terdengar ditimpali kicau
burung. Api kebiruan yang menyembur dari dalam
tanah telah padam. Hangatnya sinar mentari yang
berkuasa mengelus mayapada. Tubuh Arya Wira-
paksi terbaring telentang, tergolek lemah seperti
selembar kain tiada berharga. Ingatannya lenyap
karena telah pingsan.

***

Di tepi sungai yang baru ditemukannya, In-
tan Melati jadi bingung. Ditatapnya tubuh Adipati
Barasangga yang telah diturunkannya di tanah.
Haruskah pakaian pembesar kadipaten itu ditang-
galkan? Atau tubuhnya disiram saja?
Intan Melati menempelkan punggung tela-
pak tangannya ke kening sang adipati. Terasa be-
tul kalau suhu badan lelaki ini amat tinggi.
"Ah, aku harus cepat memberi pertolongan,"
pikir Intan Melati. "Aku tak perlu memandikannya.
Kusiram saja tubuhnya dengan air."
Niat Intan Melati untuk mengambil air sun-
gai urung, karena Adipati Barasangga tampak
menggeliat sadar dari pingsannya.
"Uh! Panas sekali...," keluh sang adipati
sambil berusaha bangun, tapi tak mampu. Kedua
kakinya memang masih terkena pengaruh totokan.

"Tuan hendak bangun? Tuan butuh air?"
tanya Intan Melati.
Gadis ini masih menampakkan kebingun-
gannya. Memang, baru kali ini dia menghadapi
orang yang membutuhkan pertolongan.
"Kau siapa?" tanya sang adipati, setelah me-
lihat sosok Intan Melati.
"Aku Intan Melati, Tuan. Aku teman Suro-
pati." Adipati Barasangga diam. Ingatannya me-
layang pada peristiwa yang baru dialami. Pada saat
inilah suhu tubuhnya terasa meninggi. Dia hendak
berjongkok untuk membebaskan pengaruh toto-
kan di kakinya, namun tak mampu. Karena, tena-
ganya telah terkuras.
"Kau bisa memulihkan jalan darah di kaki-
ku?" tanya sang adipati, setengah memohon.
"Akan ku coba, Tuan...."
Memang, Intan Melati adalah putri seorang
pendekar yang cukup ternama pada masanya. Tak
heran kalau dia mengerti tentang ilmu totokan.
Maka bergegas gadis ini memeriksa pergelangan
kaki sang adipati. Didapatinya lingkaran kecil ber-
warna biru di kedua paha lelaki itu. Dengan men-
gurut beberapa lama, jalan darah di kaki sang adi-
pati dapat dilancarkannya kembali.
"Terima kasih, Anak Manis...," ucap Adipati
Barasangga seraya menggerak-gerakkan pergelan-
gan kakinya yang kaku.
Tahu dirinya berada di tepi sungai, lelaki ini
segera mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan tu-
run ke tepi sungai. Dengan berendam beberapa
lama  di aliran sungai, rasa panas yang merejam

tubuhnya berangsur-angsur lenyap.
"Suropati...!"
Intan Melati berteriak girang ketika melihat
sebuah bayangan di kejauhan.
Namun, betapa kecewanya gadis ini ketika
menyadari kalau sosok yang hadir ternyata bukan
Suropati. Orang itu masih muda. Umurnya sekitar
dua puluh tahun. Wajahnya tampan. Alis tebal
tampak menambah kegagahannya. Rambut pan-
jang, diikat sehelai kain sutera merah. Pakaiannya
yang berwarna putih-kuning terbuat dari bahan
mahal.
"Kau... kau siapa?" tanya Intan Melati gela-
gapan, karena si pemuda terus memandang wa-
jahnya.
"Aku Jaka Pamulang, Nona...," sahut pemu-
da beralis tebal, memperkenalkan diri.
"Kenapa kau kemari?" tanya Intan Melati la-
gi. Kali ini disertai rasa curiga.
"Jangan berprasangka buruk terhadapku,
Nona...," ujar pemuda bernama  Jaka Pamidang
sambil membungkuk hormat. "Aku hanya kebetu-
lan lewat sini. Pada mulanya, aku hendak melihat
apa yang mengepul di tengah hutan sebelah sana.
Tapi, kini asap itu sudah tidak ada lagi. Kiranya
dugaanku meleset. Hutan Wonokeling tidak terba-
kar. Mungkin ada orang yang membuat pera-
pian...."
"He, Jaka Pamulang!" teriak Adipati Bara-
sangga seraya keluar dari air sungai.
Intan Melati jadi jengah dan malu, karena
secara tak sengaja melihat tubuh sang adipati

yang  setengah telanjang. Sementara, kening pe-
muda yang bernama Jaka Pamulang tampak ber-
kerut. Matanya tak lepas memandang sang adipati
yang sedang mengenakan pakaiannya yang tak la-
gi utuh.
"Kenapa Gusti Adipati berada di sini?" tanya
si pemuda saat sang adipati telah berada di dekat-
nya.
"Aku mengalami musibah, Jaka. Seluruh
pengawalku mati. Untunglah, aku sendiri masih
selamat...," tutur Adipati Barasangga, bernada se-
dih.
"Bagaimana itu bisa terjadi?"
"Seorang pemuda berilmu luar biasa telah
menjatuhkan tangan mautnya. Aku ditolong Suro-
pati dan temannya ini...," jelas sang adipati me-
nunjuk Intan Melati.
"O, jadi Nona teman Suropati. Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu. Maaf-
kan bila sikapku tadi tak sopan, Nona...," ucap Ja-
ka Pamulang sambil membungkuk dalam. Mengin-
gat kebesaran nama Suropati, agaknya pemuda ini
merasa perlu menaruh hormat terhadap Intan Me-
lati.
Mendapat penghormatan yang berlebihan,
Intan Melati jadi salah tingkah. Adipati Barasangga
yang telah terbebas dari siksaan rasa panas tam-
pak tersenyum.
"Terimalah penghormatan Jaka Pamulang,
Anak Manis. Dia adalah putra Demang Bulak Ka-
rang yang terletak di Kadipaten Tanah Loh," ujar
sang adipati.

"Eh, ya... ya...."
Melihat Intan Melati semakin salah tingkah,
Adipati Barasangga tersenyum lagi.
"Sekarang, kenalkan dirimu kepadanya...."
Intan Melati menunduk malu. Pikirannya
jadi tak menentu. Tapi setelah sadar kalau tengah
berhadapan dengan orang-orang terhormat, rasa
canggung diusirnya.
"Namaku Intan Melati...," ujar Intan Melati
kemudian.
"Hmm.... Sebuah nama indah...," puji Jaka
Pamulang. "Melihat pedang di punggungmu, kau
tentu putri seorang pendekar. Atau paling tidak,
murid seorang tokoh yang ahli memainkan senjata
pedang."
Intan Melati diam. Rasa canggung masih
menggeluti dirinya. Apalagi, Jaka Pamulang selalu
melempar senyum ke arahnya. Pikir Intan Melati,
pemuda itu tentu punya sifat mata keranjang.
"Di mana Suropati, Intan?" tanya Adipati
Barasangga dengan suara lembut. "Apakah dia
masih berhadapan dengan pemuda sakti di tengah
hutan sana?"
"Hamba tak tahu, Tuan. Tapi, hamba akan
menunggunya di sini...," jelas Intan Melati.
Adipati Barasangga menatap langit. Mata-
hari telah jauh condong ke barat. Berarti, petang
akan segera datang.
"Sebaiknya kau ikut aku ke kota Kadipaten
Bumiraksa, Intan. Karena, aku tidak bisa mene-
manimu di sini."
"Tapi, hamba mesti menunggu Suropati...,"

tolak Intan Melati, halus.
"Bagaimana kalau dia tidak segera datang?
Sedang kau bisa melihat sendiri bila hari hampir
petang. Tak baik gadis cantik sepertimu berada di
kegelapan. Apalagi, di tengah hutan seperti ini...."
Intan Melati diam merasakan kebenaran
ucapan Adipati Barasangga. Tapi teringat sosok
Suropati yang mengajaknya pergi ke kota Kadipa-
ten Tanah Loh, hatinya jadi bingung. Walau sering
berlaku konyol saat menggoda, namun sesung-
guhnya Pemimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu sudah mencuri hatinya. Intan Melati be-
lum ingin berpisah dengannya.
"Apa lagi yang kau pikirkan, Intan?" lanjut
sang adipati. "Setelah sampai di Pendapa Kadipa-
ten Bumiraksa, aku akan meminta Adipati Danu-
braja, menantuku agar mengirim beberapa tokoh
sakti untuk menghentikan kebrutalan pemuda be-
rambut awut-awutan itu. Tapi, mudah-mudahan
saja Suropati telah berhasil mengatasinya. Oleh
karena itu, sebaiknya kau ikut denganku, Intan.
Kalau Suropati tidak menemukanmu di tempat ini,
dia pasti akan mencari ke kota Kadipaten Bumi-
raksa. Karena, dia sering berada di sana. Ada gadis
cantik yang menjadi kekasihnya...."
Kontan Intan Melati terkesiap mendengar
penjelasan Adipati Barasangga.
"Kekasih?  Suropati punya kekasih?" ujar-
nya, gelagapan.
Melihat air muka Intan Melati yang berubah
keruh, kening Adipati Barasangga berkerut. Tapi
sebagai orang tua yang sudah matang pengala-

man, lelaki ini segera tahu apa yang ada di hati In-
tan Melati.
"Apakah Nona Intan Melati mengenal Suro-
pati belum lama?" tanya Jaka Pamulang. "Semua
orang di kota Kadipaten Bumiraksa telah tahu ka-
lau Suropati adalah kekasih Dewi Ikata."
"Oh...," Intan Melati mendekap mulutnya.
Hatinya seketika terasa pedih bak tersayat sembi-
lu.
"Benarkah Suropati punya kekasih yang
bernama Dewi Ikata? Kalau benar, lalu apa mak-
sud pendekar muda itu memberi begitu banyak
perhatian? Apakah aku sendiri yang salah menaf-
sirkan kebaikannya?" tanyanya kepada diri sendiri.
Tanpa terasa, butiran mutiara bening ber-
gulir dari sudut mata si gadis. Intan Melati tak da-
pat menipu diri sendiri. Dia mencintai Suropati.
Tapi, akankah dia berebut cinta dengan Dewi Ika-
ta?
"Dewi Ikata adalah putri Adipati Danubraja,
yang juga cucu Gusti Adipati Barasangga ini...,"
lanjut Jaka Pamulang. Pemuda ini seperti tak mau
tahu, apa yang terjadi pada diri Intan Melati.
Adipati Barasangga menatap wajah Jaka
Pamulang dalam-dalam. Ada rasa tidak suka yang
terpancar di sorot matanya. Sementara, si pemuda
tampaknya tak menyadari kesalahannya.
"Aku tadi kelepasan bicara. Kenapa kau ma-
lah melanjutkannya, Jaka?" desis sang adipati se-
raya mendekatkan mulutnya di telinga Jaka Pa-
mulang.
"Maafkan hamba, Gusti Adipati...," ucap Ja-

ka Pamulang kemudian. Walau badannya mem-
bungkuk ke arah Adipati Barasangga, tapi ma-
tanya melirik Intan Melati yang masih menunduk.
"Kau tidak harus meminta maaf padaku.
Kau tahu, siapa yang kau sakiti hatinya."
"Maafkan aku, Nona.... Eh...," pemuda ini
terkejut saat Intan Melati memandangnya dengan
mata berkaca-kaca.
Adipati Barasangga turut terkejut, ketika ti-
ba-tiba Intan Melati meloncat, dan berlari mening-
galkan tempat.
"Hei, Intan! Tunggu...!" teriaknya. Tapi, si
gadis tak mempedulikan lagi. Dia terus berlari
tanpa menoleh ke belakang.