Pengemis Binal 19 - Pewaris Mustika Api(2)





4

Tersiram cahaya rembulan, tubuh Arya Wi-
rapaksi tergolek telentang tanpa daya. Kedua tan-
gannya terpentang dengan kaki kanan menekuk.
Wajahnya yang kotor membersitkan sebuah pen-
deritaan mendalam. Rambutnya begitu awut-
awutan, sehingga sama sekali tak menunjukkan
kalau dia adalah seorang putra mahkota. Apalagi,
pakaian kebesarannya telah penuh debu yang
lengket dengan keringat
Walau malam berhias wajah rembulan kee-
masan dan bertabur bintang gemerlapan, tapi Hu-
tan Wonokeling tetap terasa sunyi mencekam. Su-
ara burung hantu terdengar lamat-lamat disahuti
lolongan serigala. Sekejap kemudian, lolongan se-

rigala tak lagi terdengar. Hanya suara jangkrik
yang menggantikannya. Justru dari sinilah awal
dari peristiwa mengerikan.
Di bawah keremangan cahaya rembulan,
belasan ekor serigala mengendus-endus. Langkah
binatang-binatang buas itu menuju ke tubuh Arya
Wirapaksi yang masih terbaring di tanah. Salah
satunya tampak mengangkat kepala tinggi-tinggi.
Mulutnya memperdengarkan lolongan keras. Se-
dang yang lain bergerak mengitari tubuh si pemu-
da. Mata mereka berkilat-kilat dengan mulut ter-
buka. Lidah yang terjulur membuat air liur me-
netes-netes.
Tampak kemudian, salah satu dari hewan
liar itu mendengus, lalu menjilati telapak tangan
Arya Wirapaksi. Merasa tak ada sambutan dari si
pemuda, serigala itu melolong tinggi. Kemudian,
cepat sekali moncongnya bergerak.
Krasss!
Darah mengucur membasahi tanah saat
pergelangan tangan kanan Arya Wirapaksi digigit.
Tapi sebelum sebagian dagingnya terkoyak, men-
dadak tubuh Arya Wirapaksi menggeliat. Perlahan
kelopak matanya terbuka. Begitu kesadarannya
kembali, rasa pedih di pergelangan tangannya se-
gera terasa.
"Hup!"
Tanpa sadar, Arya Wirapaksi meloncat,
membuat gigitan serigala melepas. Tapi, dia mesti
merelakan sebagian dagingnya terkoyak. Darah
mengucur semakin deras disertai rasa pedih bu-
kan main.

Arya Wirapaksi menggembor keras, melihat
dirinya telah dikepung belasan serigala. Bukan ta-
kut yang ada dalam hatinya, melainkan amarah
meluap. Namun ketika tubuhnya hendak digerak-
kan untuk menghalau hewan-hewan itu, kepa-
lanya  terasa pening. Pandangannya berkunang-
kunang, membuat berdirinya tak lagi sempurna.
Kedua kakinya menekuk seperti terlalu berat me-
nyangga beban.
Sekejap mata kemudian, tubuh Arya Wira-
paka jatuh berdebam ke tanah. Pada saat yang
sama, seekor serigala yang paling besar mener-
kamnya. Maka kini, sunyi malam terpecah oleh
suara hiruk-pikuk para serigala yang melolong-
lolong seperti terbawa oleh luapan rasa gembira.
Arya Wirapaksi berkutat melawan maut.
Taring serigala yang seruncing ujung pedang siap
mencabik-cabik tubuhnya!
Tubuh Arya Wirapaksi terbanting ke sana-
sini. Pakaiannya mulai ternoda cairan darah segar.
Pergelangan tangan kirinya turut terluka. Namun
ketika tiba-tiba pening di kepalanya lenyap....
"Heaaa...!"
Si pemuda memekik nyaring. Dan menda-
dak tubuh serigala besar yang menggelutinya me-
layang deras, membentur tebing. Terdengar lolon-
gan panjang yang amat menggidikkan. Serigala itu
mati dengan tubuh remuk!
Cepat sekali Arya Wirapaksi bangkit. Di-
pandanginya belasan serigala yang masih menge-
pungnya. Kemudian, sambil menggembor keras
pemuda itu bergerak memutar amat cepat.

"Hauungngng...!"
Terdengar lolongan panjang saling sahut.
Tubuh belasan serigala kontan terlontar jauh, dan
jatuh berdebam di atas tanah. Mereka melolong-
lolong terus seraya mengambil langkah seribu.
Begitu lolongan serigala lenyap tertelan ke-
sunyian malam, Arya Wirapaksi jatuh terduduk
seketika. Dahinya dibentur-benturkan ke tanah.
Seperti orang kehilangan ingatan, dia lalu menan-
gis mengguguk. Bahunya naik turun. Air mata
mengalir deras menganak sungai.
"Ya, Tuhan..,," sebut Arya Wirapaksi. "Dosa
apa yang telah kuperbuat, sehingga Kau menja-
tuhkan kutuk seperti ini...?"
Pemuda ini kembali membentur-benturkan
lagi dahinya ke tanah.
"Aku telah melukai orang.... Aku telah
membunuh orang...." lanjutnya, merintih-rintih.
Arya Wirapaksi menatap kedua tangannya
dengan penuh linangan air mata.
"Akan kupotong tangan terkutuk ini! Akan
kupotong tangan terkutuk ini...!" jeritnya, keras.
Seperti orang kesetanan, Arya Wirapaksi
berlari mendekati tebing. Lalu dia meloncat masuk
ke gua. Begitu di dalam, tubuhnya bergetar laksa-
na terserang demam ganas. Matanya nanar me-
mandang setiap jengkal lantai dan dinding gua
yang bersinar terang. Ketika tatapannya tertuju
pada sebuah lorong sempit tempat berpendarnya
cahaya yang menerangi gua, tubuh si pemuda
menjadi lemas seketika. Kakinya menekuk, lalu ja-
tuh terduduk. Air matanya mengalir lagi. Bahunya

naik turun terbawa isakan tangisnya. Ditatapnya
lekat kedua telapak tangannya, yang ternyata biru
kemerahan.
"Akan kupotong tangan terkutuk ini...!" de-
sis Arya Wirapaksi.
Kini pandangan si pemuda beredar lagi. Ta-
pi, hanya kekecewaan yang didapatkan. Apa yang
dicarinya ternyata tak ditemukan. Tiba-tiba, bola
matanya yang semerah darah membersitkan ca-
haya aneh. Bertepatan dengan mulutnya yang
memekik, kedua tangannya dihantamkan ke lantai
gua yang berupa batu keras!
Blammm...! 
Ruangan gua kontan berguncang laksana
terjadi gempa. Bagian atas gua runtuh. Sementara
dinding di kanan-kirinya penuh retakan. Sedang
batu-batu yang  berserakan di lantai berpentalan,
menimbulkan suara gemuruh dahsyat.
Saat guncangan telah reda, tubuh Arya Wi-
rapaksi telah tertimbun bebatuan. Pemuda ini me-
narik napas panjang, lalu menghentakkan tubuh-
nya. Sekali lagi, timbul suara gemuruh. Batu-batu
yang menimbun tubuhnya pun ambyar!
Dengan sinar mata merah berkilat-kilat,
Arya Wirapaksi menatap kedua telapak tangannya
yang tetap seperti semula. Berwarna biru kemera-
han!
"Eyang...," desahnya. "Tolonglah aku,
Eyang. Aku tak mau menjadi pembunuh kejam.
Tangan ini tangan terkutuk! Aku harus memo-
tongnya...!"
Arya Wirapaksi meloncat ke sudut gua. Dis-

ingkirkannya bebatuan yang bertumpuk. Lalu, di-
angkatnya sebuah peti perak. Peti itu didekapnya
beberapa lama. Kemudian tutupnya dibuka. Peti
perak berisi sebuah kitab, dan secarik kertas ku-
sam berwarna kekuningan. Arya Wirapaksi men-
gambil kertasnya. Dengan mata berlelehan air ma-
ta dibacanya tulisan yang tertera. Bunyinya :

Untuk yang berjodoh. Cuci tanganmu setiap
selesai membaca kitab ini. Jangan sebarkan hal ini
kepada siapa pun!

"Eyang...," sebut Arya Wirapaksi. "Aku lupa
menuruti perintahmu. Aku lupa mencuci tangan
setiap selesai membaca kitab warisanmu. Aku tak
tahu bila kitab warisanmu mengandung racun,
yang kini telah mempengaruhi kerja otakku. Mes-
tinya, aku mati. Tapi karena aku begitu cepat
menguasai ilmu 'Mustika Api', kematian itu tidak
segera menjemputku. Hal inilah yang membuatku
menderita, Eyang...."
Air mata Arya Wirapaksi kian menganak
sungai lagi.
"Setiap racun itu bekerja, aku berubah
menjadi makhluk kejam yang haus darah. Aku lu-
pa segala-galanya! Aku menjadi iblis yang pantas
dijebloskan ke dasar neraka!"
Beberapa kali Arya Wirapaka membaca tuli-
san di kertas yang digenggamnya. Kemudian, ker-
tas itu dimasukkan kembali ke peti. Lalu dari da-
lam peti dikeluarkannya kitab bersampul putih
yang bertuliskan 'Kitab Pemecahan Lukisan Mus-

tika Api.' Sedang di bagian bawahnya berderet hu-
ruf-huruf yang lebih kecil. Bunyinya :

Ciptaan Arya Balambang Jenar pendiri Di-
nasti Anggarapura. Untuk diwariskan kepada yang
berjodoh.

"Eyang Balambang Jenar...," sebut Arya Wi-
rapaksi. "Tidakkah kau lihat cucu buyutmu yang
menderita ini? Bunuh saja aku, Eyang! Aku tidak
mau menjadi pembunuh. Aku telah melalaikan pe-
rintahmu. Atau, potong saja kedua tanganku ini!"
Arya Wirapaksi meluruskan kedua tangan-
nya ke depan, membuat 'Kitab Pemecahan Lukisan
Mustika Api' terjatuh. Pemuda ini menunggu bebe-
rapa lama. Tentu saja, tidak ada seorang pun yang
datang untuk memotong tangannya.
"Kenapa kau tidak segera membunuhku
atau memotong saja kedua tanganku ini,
Eyang...?!" teriak Arya Wirapaksi. Suaranya me-
mantul di dinding gua, menciptakan gema pan-
jang.
Karena tak ada yang menyahuti ucapannya,
Arya Wirapaksi menggeram marah. Dipungutnya
'Kitab Pemecahan Lukisan Mustika Api'. Ditatap-
nya kitab itu sebentar, lalu dilemparkan ke atas.
Sebelum kitab itu jatuh ke lantai gua, ke-
dua tangan Arya Wirapaksi berkelebat, menepuk
kitab yang tengah melayang.
Bed!
Blarrr...!
Seketika terdengar suara menggelegar. Per-

cikan api menebar ke segala arah. 'Kitab Pemeca-
han Lukisan Mustika Api' pun hancur menjadi de-
bu!
"Eyang...!" pekik Arya Wirapaksi. "Aku telah
menghancurkan kitab warisanmu. Itu berarti aku
telah menghinamu. Tidakkah sekarang kau mur-
ka?! Bunuh saja aku! Bunuh aku, Eyang...!"
Arya Wirapaksi terus berteriak-teriak seperti
orang gila. Tapi rasa kecewa semakin menggeluti
jiwanya. Ditendangnya peti perak tempat kitab wa-
risan Arya Balambang Jenar, hingga hancur be-
rantakan.
"Bunuh aku, Eyang...! Bunuh aku,
Eyang...!"
Dengan pandangan berkilat, Arya Wirapaksi
menatap lorong gua yang memancarkan cahaya te-
rang.
"Bunuh saja aku, Eyang...! Atau, aku akan
menghancurkan 'Gua Api' ini!" teriaknya lagi.
Arya Wirapaksi diam beberapa lama. Dan
mendadak, tubuhnya bergetar. Rahangnya meng-
gembung, hingga membentuk balok persegi empat
Giginya bertaut rapat memperdengarkan bunyi
gemeletuk. Matanya yang merah semakin meme-
rah, membersitkan cahaya berkilau.
"Gua ini benar-benar akan kuhancurkan,
Eyang...!"
Belum hilang gema suaranya, Arya Wiija-
paksi menggembor begitu keras, membuat ruan-
gan gua berguncang. Batu-batu yang berserakan
di lantai tampak berpentalan. Lalu, pemuda ini
memutar tubuh amat cepat, hingga berubah men-

jadi bayangan putih yang kemudian memancarkan
cahaya gemerlap amat menyilaukan mata!
Blammm...!
Ledakan dahsyat membahana di angkasa.
Bagian atas gua benar-benar runtuh. Dinding-
dinding yang telah retak kontan jebol menjadi pe-
cahan-pecahan kecil. Akibatnya, tubuh Arya Wira-
paksi tertimbun bebatuan.
Di luar gua, binatang-binatang malam
memperdengarkan suara gaduh. Burung-burung
hantu terbang ke angkasa mencari tempat yang le-
bih tenang. Binatang lain pun tak urung terkejut,
langsung melarikan diri.
Perlahan-lahan kesunyian kembali men-
cengkeram Hutan Wonokeling. Dingin terasa me-
nusuk tulang sumsum saat udara dipenuhi kabut.
Gelap malam hanya tersamar oleh cahaya keema-
san Sang Candra.
'Gua Api' yang telah runtuh menampakkan
gerakan aneh. Sedikit demi sedikit, bebatuan ter-
guling ke bawah tebing. Di antara batu yang berse-
rakan, menyembul pergelangan tangan. Disusul
kemudian, sesosok tubuh bangkit berdiri. Pakaian
yang dikenakannya telah compang-camping kotor
berdebu. Rambutnya yang panjang tampak lengket
kusam dan awut-awutan. Raut wajah dan sorot
matanya mengandung ancaman kematian!
Untuk beberapa lama, sosok tubuh itu ber-
diri tegak di tempatnya. Ditatapnya wajah rembu-
lan dan bintang-gemintang di langit. Ditatapnya
ranting-ranting pohon yang meliuk-liuk tertiup an-
gin. Lalu, dia memekik nyaring seraya berkelebat,

menembus kegelapan malam. Dia adalah Arya Wi-
rapaksi!

***

Gelap yang menyelimuti bumi terusir tatka-
la Sang Baskara menyembul di bentangan kaki
langit timur. Kehangatan  sinarnya seolah mem-
buat hati seorang kakek yang tengah berjalan den-
gan siulan panjang menjadi riang. Pakaiannya
yang berwarna putih-kuning tampak kedodoran
membungkus tubuh kurusnya. Rambut putihnya
melambai-lambai ke mana arah angin meniupnya.
Tapi, sungguh aneh. Ternyata, wajah kakek ini
berwarna merah seperti buah tomat matang!
Begitu tiba di sebuah aliran sungai, kakek
ini menghentikan langkah. Dia lantas berjongkok,
langsung membasuh muka dengan air sungai. Di-
usap-usapnya beberapa kali. Namun, tetap saja
warna merah pada wajahnya tak mau hilang. Dan
itu sama sekali tidak dipedulikannya.
Setelah puas membasuh muka, kakek ini
lalu melanjutkan langkah kakinya. Bukan siulan
yang diperdengarkan kali ini, melainkan lantunan
sebuah tembang.

Semua kejadian tak lain dari kehendak ke-
kuasaan Gusti Whujud Howo Yang Maha Suci.
Aku adalah abdi ciptaan Gusti Whujud Howo
Yang Maha Suci. 
Aku pasrah terhadap kekuasaan Gusti Whu-
jud Howo Yang Maha Suci, kesempurnaan lahir ba-

tin. 
Tuhan tempat menyembah : "Hamengku Tri
Bawono" / "Bawono Pranoto" -  Hyang Whys-noe
Murti.
Junjunganku : Ayah dan Bunda.

Penguasa diri : Rahso(sesuatu yang lebih lembut
dari kalbu dan lebih peka dari rasa) Succi Diri Pribadi'.

Mendadak si kakek menghentikan tetem-
bangannya. Pendengarannya langsung ditajamkan.
Daun telinga kirinya tampak bergerak-gerak. Ma-
tanya menyipit. Tanpa sadar langkahnya terhenti.
"Hmmm.... Sekitar lima puluh tombak dari
tempatku berdiri, terbaring sesosok tubuh tanpa
daya. Dia tengah merasakan penderitaan hebat.
Berdosa aku bila tak segera menolongnya...."
Berpikir demikian, si kakek lalu mengempos
seluruh tenaganya. Ringan sekali tubuhnya me-
layang. Dan hanya dengan menjejak  tanah bebe-
rapa kali, dia telah sampai di tempat yang dituju.
"Suropati...!" desis si kakek begitu melihat
seorang remaja berpakaian putih penuh tambalan
tergeletak pingsan di tepi sungai.
Kening kakek ini berkerut ketika memeriksa
detak jantung si remaja yang memang Suropati.
Usai memeriksa aliran darah Pengemis Binal, si
kakek mendesah panjang. Kerut di keningnya ma-
kin kentara. Raut wajahnya mencerminkan kek-
hawatiran amat sangat.
"Kasihan sekali kau, Suro...," desah si ka-
kek. "Saat ini kau menderita rasa sakit yang hebat.

Tapi untuk menghilangkan rasa sakit itu, kau ju-
stru harus mengalami penderitaan yang lebih he-
bat. Mudah-mudahan kau dapat bertahan...."
Kakek berpakaian putih-kuning kedodoran
ini terkejut melihat darah menggumpal di telapak
tangan kanan Suropati. Segera diperiksanya kea-
daan Pengemis Binal.
"Astaga...!" pekiknya.
Telapak tangan kanan Suropati ternyata lu-
ka berlubang seperti tertembus sesuatu yang amat
tajam.
"Semoga Tuhan memberimu kekuatan, Su-
ro...."
Usai mengucap doa, kakek ini melepas ikat
pinggangnya yang terbuat dan kain kuning. Lalu
dengan ikat pinggang itu diikatnya kedua kaki Su-
ropati.
Terlihat kemudian, tubuh Suropati digan-
tung di dahan pohon dengan kaki di atas dan ke-
pala di bawah, berjarak dua jengkal dari permu-
kaan tanah. Si kakek menatapnya sambil terus
mendesah-desah. Mendadak...
Buk! Buk! Plak! Plak!
Beberapa bagian tubuh Suropati dipukul
dan ditampar berulang kali. Kontan Pengemis Bi-
nal siuman. Dan begitu merasakan tubuhnya tera-
sa sakit hebat, dia menjerit-jerit.
Tapi, si kakek tampaknya tak mau ambil
peduli. Tubuh Suropati dipukuli terus, membuat
jerit kesakitan pun membahana berkepanjangan.
Agaknya, pukulan si kakek dialiri tenaga dalam
tingkat tinggi. Kalau tidak demikian, bagaimana

mungkin Suropati bisa menderita kesakitan begitu
hebat?
Siksaan si kakek baru berhenti ketika Su-
ropati jatuh pingsan lagi. Anehnya, dari sekujur
tubuh Suropati yang lebam-lebam tampak menge-
pul asap putih. Dan setelah asap lenyap, si kakek
memberikan beberapa totokan. Lalu, dipandan-
ginya tubuh Pengemis Binal yang terayun-ayun.
"Kau memang bocah ajaib yang mempunyai
daya tahan luar biasa, Suro...," puji si kakek tulus.

***

Perlahan namun pasti, Sang Baskara men-
gikuti putaran sang waktu. Kehangatan sinarnya
berubah panas menyengat. Kini, Suropati mengge-
liat siuman. Begitu kelopak matanya membuka,
Pengemis Binal terkejut. Apa yang dilihatnya serba
terbalik. Dicobanya menjejakkan kaki. Dan dia
pun terkesiap merasakan tubuhnya terayun cepat.
Sadarlah Pengemis Binal kalau saat ini sedang di-
gantung terbalik
"Aduh! Setan alas! Kuntilanak bunting!"
maid Pengemis Binal seraya meronta-ronta. Kedua
tangannya yang terikat dihentak-hentakkan. Ter-
nyata, kain pengikatnya amat kuat Sehingga tena-
ga luar saja tak mampu membuatnya putus.
"Heaaah...!"
Tas!
Dengan mengerahkan tenaga dalam, baru-
lah Suropati dapat memutuskan tali pengikat tan-
gannya. Dan tubuhnya segera ditekuk untuk me-

lepas ikatan pada kakinya.
"Ohh...!"
Keluhan pendek keluar dari mulut remaja
tampan ini. Jemari tangan kanannya sulit dige-
rakkan, karena tepat di tengah telapaknya ada lu-
ka. Namun, dia memaksakan diri untuk dapat le-
pas dari tali yang menggantungnya. Dan....
Tas!
"Hup!"
Begitu menginjak tanah, Suropati mengeluh
lagi. Bibirnya meringis menahan sakit. Kedua tela-
pak kakinya yang melepuh membuatnya  tak
mampu berdiri tegak.
"Aneh...," pikir Pengemis Binal sambil
menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Walau tela-
pak tangan dan kaki terasa pedih, tapi kenapa se-
kujur tubuhku terasa dingin dan segar? Apakah
aku telah terbebas dari pengaruh ilmu 'Mustika
Api'?" tanya remaja tampan tapi konyol ini seraya
garuk-garuk kepala. "Pasti ada orang yang meno-
longku! Aku yakin itu dilakukannya selagi aku
pingsan. Namun, kenapa aku digantung terbalik?"
Sambil cengar-cengir remaja konyol ini
mengedarkan pandangan. Bola matanya kontan
membesar, ketika melihat seorang kakek tengah
duduk menekuk lutut bersandar pada batang po-
hon. Wajahnya tak terlihat, karena masuk di sela
kedua pahanya.
Suropati memperhatikan seksama kakek
berpakaian putih-kuning itu. Mendengar dengus
napasnya yang teratur, tahulah pemuda ini kalau
si kakek tengah tidur. Maka dengan berjingkat-

jingkat sambil menahan sakit, Suropati berjalan
menghampiri. Ditatapnya dari dekat wujud si ka-
kek beberapa lama.
"Kek...," panggil Pengemis Binal. Tak ada
sahutan. Si kakek tetap terlelap dalam tidurnya.
"Kek...," ulang Suropati, memperkeras
panggilannya.
Tetap tak ada sahutan. Malah kakek berpa-
kaian putih-kuning memperdengarkan suara ngo-
rok keras.
Pengemis Binal jadi gemas. Didekatkan mu-
lutnya ke telinga si kakek. Lalu....
"Kek..!" teriak Pengemis Binal, lantang.
Aneh! Teriakan Suropati yang sudah cukup
mampu untuk memecahkan gendang telinga, sama
sekali tak dapat membangunkan si kakek. Malah,
terdengar dengkuran keras, membuat Suropati
mendelik karena penasaran.
"Hmm.... Mau main-main dengan Pengemis
Binal. Baiklah! Aku layani kau, Kakek Bengal!"
Melihat aliran sungai yang tak jauh dari
tempatnya berdiri, Suropati bersorak girang dalam
hati.
"Akan kuceburkan kakek ini ke sungai
itu...," gumamnya mencerminkan niat konyol.
Pengemis Binal mengerahkan seluruh tena-
ganya untuk dapat mengangkat tubuh si kakek
yang masih saja tidur mendengkur sambil mene-
kuk lutut. Tapi hingga keringat membasahi seku-
jur tubuhnya, tubuh si kakek kurus itu tak mam-
pu diangkatnya.
"Setan alas!" maki Pengemis Binal.

Dicobanya sekali lagi untuk dapat men-
gangkat tubuh kakek berpakaian putih-kuning.
Kali ini, tenaga dalamnya dikerahkan. Tapi, men-
dadak si kakek menggeliat Lalu....
Brrot..! Thit..! 
Si kakek kentut! Malang bagi Suropati. Ka-
rena berjongkok dengan kepala menempel di ping-
gang si kakek, membuat udara 'beracun' itu cepat
terhirup hidungnya.
"Uh! Angsat au, Aek Sableng! Ua-ua unya
ulah acam-acam. Awas au...!" gerutu Pengemis Bi-
nal, sambil memencet batang hidungnya.
Namun lagi-lagi Suropati dibuat terkejut Ke-
tika melihat bagian bawah tubuhnya, matanya
kontan mendelik dan mulutnya menceracau tak
karuan. Ternyata celananya melorot dengan kolor
telah putus! Pantas remaja konyol ini tadi merasa
isis.
Mendidih darah Pengemis Binal dipermain-
kan sedemikian rupa. Setelah menyambung kem-
bali koloran celananya yang putus, matanya mena-
tap tajam sosok kakek berpakaian putih-kuning.
Karena orang yang dilihatnya masih tidur men-
dengkur, Pengemis Binal jadi celingukan. Pandan-
gannya kontan beredar ke berbagai penjuru.
"Benarkah kakek ini yang telah memu-
tuskan koloran celanaku?" tanyanya dalam hati.
"Kalau bukan dia, lalu siapa lagi?! Tapi, kenapa dia
masih tidur mendengkur seperti itu?"
Tanpa sadar, Suropati menggaruk-garuk
kepala. Lupa sudah remaja konyol ini pada rasa
pedih di telapak tangan dan kakinya. Lalu diamati

wajah si kakek. Tapi, dia tak dapat mengenali ka-
rena wajah si kakek tersembunyi di sela kedua pa-
hanya.
Mendadak, Pengemis Binal melonjak girang.
"Aku dapat akal sekarang! Aku dapat akal
sekarang!" soraknya.
Bergegas Suropati menyambung kembali ta-
li ikat pinggang yang barusan digunakan untuk
mengikat tangan dan kakinya. Tali itu lantas diikat
pada celana si kakek. Sedang, ujung yang satunya
diikat pada batang pohon. Kemudian sambil cen-
gar-cengir digelitiknya telinga si kakek dengan
bunga rumput.
Suropati tersenyum-senyum melihat si ka-
kek menggeliat-geliat kegelian. "Uh!" keluh si ka-
kek 
Melihat kakek berpakaian putih-kuning
menggeliat hendak bangun, Suropati menepuk ba-
hunya. "Haya...!" bentaknya.
Si kakek terkejut, dan kontan meloncat ber-
diri.
Brettt!
"Heh?!"
Mata si kakek kontan mendelik dengan mu-
lut terkatup rapat menahan geram. Celananya ro-
bek lebar pada bagian pantat karena diikat pada
batang pohon.
"Ha ha ha...!"
Pengemis Binal tertawa bergelak. Tapi rema-
ja konyol ini jadi tergagap-gagap waktu si kakek
menatap tajam ke arahnya.
"Eh...! Kau... kau bukankah Kakek Wajah

Merah...?"
"Bocah gendeng! Berani benar kau mem-
permainkan orang tua!" tegur si kakek, yang me-
mang si Wajah Merah. Dia adalah seorang tabib
pandai yang sudah cukup ternama di rimba persi-
latan.
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepala.
"Aku hanya berbuat timbal balik," kilahnya.
"Bukankah kau tadi juga memutuskan koloran ce-
lanaku, Kek?"
Si Wajah Merah tak menjawab. Matanya
mendelik. Mulutnya terkatup rapat. Dengan wajah
berwarna merah seperti buah tomat matang, tam-
pangnya malah tampak lucu walau sebenarnya in-
gin marah.
"Tak usah mungkirlah, Kek... Aku tahu per-
buatanmu!"
"Iya! Tapi, kau mengganggu tidurku!"
"Iya! Tapi, kau telah menggantung aku!"
sentak Suropati, menirukan nada bicara si kakek.
"Aku menggantungmu karena aku meno-
longmu!" sahut si Wajah Merah, tak kalah garang.
"Masa menolong orang dengan cara disiksa
seperti itu?!"
"Karena itulah cara satu-satunya untuk me-
lepas hawa panas yang bersemayam di tubuhmu!
Tolol!"
"Iya. Tapi, kau telah menyakitiku!"
"Tidak! Kalau aku menyakitimu, tentu kau
sudah mati sekarang!"
Dua anak manusia yang sama-sama punya
sifat keras kepala ini terlibat perdebatan sengit.

Tapi, mereka segera menyadari keadaan. Pengemis
Binal cepat tahu diri. Apalagi si Wajah Merah ada-
lah salah satu tokoh yang pernah beberapa kali
menyelamatkan jiwanya. Maka, pemuda ini mera-
sa tak pada tempatnya bila melanjutkan kekonyo-
lannya.
"Eh, kau pergi dari Bukit Rawangun tentu
ada urusan penting, Kek?" tanya Pengemis Binal
kemudian. Kali ini suaranya terdengar lembut dan
merendah.
"Aku mencari Raka Maruta."
Mendengar jawaban si Wajah Merah, inga-
tan Pengemis Binal langsung tertuju pada seraut
wajah lembut milik pemuda gagah bergelar Pende-
kar Kipas  Terbang. Dia adalah salah seorang sa-
habat baiknya, yang telah diangkat murid oleh si
Wajah Merah. 
"Kau tahu di mana dia, Suro?" tanya si Wa-
jah Merah melihat Pengemis Binal termenung.
"Dia telah menikah."
"Menikah? Dengan siapa?"
"Anggraini Sulistya, kakakku."
Mendengar jawaban pendek Pengemis Binal,
si Wajah Merah mengangguk-angguk.
"Syukurlah kalau dia menikah dengan gadis
yang sangat dicintainya. Tentunya dia berbahagia
kini. Dia telah menjadi menantu seorang raja,"
gumam kakek ini seraya menatap wajah Pengemis
Binal. 
"Sebenarnya aku hendak menurunkan be-
berapa ilmu ketabiban lagi kepadanya. Mungkin
Raka Maruta lupa pada janjinya untuk datang ke

Bukit Rawangun."
"Raka Maruta tak mungkin lupa pada jan-
jinya. Aku tahu benar siapa dia," sahut Suropati.
"Kemungkinan besar dia belum punya waktu, ka-
rena Ayahanda Prabu Singgalang Manjunjung
Langit meminta bantuannya untuk mengurusi
pemerintahan."
"Jadi, kau telah berjumpa ayahmu itu, Su-
ro?"
Pengemis Binal mengangguk (Kisah Suropa-
ti dan Prabu Singgalang Manjunjung  Langit Raja
Pasir Luhur, bisa dibaca pada episode : "Sengketa
Orang-orang Berkerudung").
Mendadak, dalam benak Suropati berkele-
bat bayangan Intan Melati.
"Hmm.... Di mana putri Rama Ludira itu se-
karang?" tanya batinnya. "Aku harus segera men-
carinya. Aku khawatir ada apa-apa dengan diri
Adipati Barasangga yang harus ditolongnya."
Berpikir demikian, Suropati  lalu menatap
wajah kakek yang berdiri di hadapannya.
"Sekarang kau hendak ke mana, Kek? Aku
ada beberapa urusan yang harus segera diselesai-
kan. Tahukah kau, Kek. Ternyata kini ilmu Arya
Wirapaksi telah berlipat ganda. Namun sayang, dia
berubah jadi orang jahat..."
"Arya Wirapaksi? Putra mahkota Kerajaan
Anggarapura ini?" sentak si Wajah Merah. "Bagai-
mana kau bisa berkata seperti itu, sedang ku tahu
Arya Wirapaksi amat jarang keluar dari istana?"
Pengemis Binal mengedarkan pandangan
sebentar.

"Di tengah hutan ini. Tepatnya di depan gua
tebing sebelah sana, aku telah bentrok dengan
pemuda ini. Dia hendak membunuh Adipati Bara-
sangga!"
"Hah?! Sampai begitu gawatkah keadaan
Arya Wirapaksi? Jangan-jangan, dia terkena pen-
garuh kekuatan jahat yang membuatnya jadi lupa
diri...."
"Aku juga menduga begitu. Sebaiknya, tun-
dalah dulu usahamu untuk menemui Raka Maru-
ta, Kek..," usul Suropati. "Kau harus turut menya-
darkan Arya Wirapaksi. Baginda Prabu Arya De-
wantara tentu berduka bila mengetahui putranya
berubah jadi orang jahat."
Si Wajah Merah mengangguk. Suropati lalu
mengajak tabib pandai itu menyusuri aliran sungai
untuk mencari Intan Melati terlebih dahulu.
"Arya Wirapaksi tentu telah menghancurkan
gua itu sebelum pergi. Dengan ilmunya yang luar
biasa, hal itu mudah saja baginya...," pikir Penge-
mis Binal sambil melangkah. "Kalau dia pergi ke
tempat keramaian.... Ah! Jangan-jangan dia akan
menyebar maut..."
Terbawa pikiran di benaknya, Pengemis Bi-
nal mengajak si Wajah Merah pergi ke kota Kadi-
paten Bumiraksa. Karena, kota itulah tempat ke-
ramaian terdekat dengan Hutan Wonokeling. Pen-
gemis Binal menduga, Arya Wirapaksi telah berada
di sana.



5

Intan Melati tak tahu ke mana  mesti me-
langkah. Hatinya yang terpukul membuat pikiran-
nya jadi kacau. Kecewa dan amarah bercampur
aduk dalam batinnya. Tapi, dia tak tahu kepada
siapa kekecewaan dan kemarahan itu ditumpah-
kan. Kepada Suropati? Dewi Ikata? Adipati Bara-
sangga? Atau kepada Jaka Pamulang?
Berulang kali gadis ini mendesah panjang.
Hembusan napasnya berat. Pandangannya kosong
seperti telah kehilangan harapan. Langkah ka-
kinya terseok-seok. Semangatnya memang telah
lenyap entah ke mana. Sejak di Hutan Wonokeling
hingga sampai di pinggir kota Kadipaten Bumirak-
sa ini, tak secuil pun makanan masuk ke perut-
nya.
Bila teringat ucapan Jaka Pamulang, pedih
rasa hati Intan Melati. Pedihnya melebihi sayatan
selaksa pedang tajam!
"Semua orang di kota Kadipaten Bumiraksa
telah tahu kalau Suropati adalah kekasih Dewi
Ikata...."
Pandangan Intan Melati jadi tak jelas, kare-
na tertutup tirai air mata. Kepalanya menggeleng-
geleng. Dia ingin kata-kata Jaka Pamulang lepas
dari benaknya. Tapi, semakin berusaha melupa-
kan, semakin kuat kata-kata itu mengiang di telin-
ganya.
"Ya, Tuhan...," sebut Intan Melati kemudian.
"Kenapa aku mesti bersedih pilu? Kenapa

aku mesti menangisi sesuatu yang sebenarnya tak
pantas untuk ditangisi?" tanya hati gadis ini. "Aku
tak berhak apa-apa atas diri Suropati. Kenapa aku
mesti menangis ketika tahu dia telah menjadi ke-
kasih gadis lain? Aku harus tahu diri! Aku ini apa?
Bagai bumi dan langit bila dibanding Dewi Ikata,
yang katanya adalah putri seorang adipati...." 
"Intan...! Intan...!"
Mendadak terdengar suara panggilan,
membuat Intan Melati terkesiap. Dan dia melihat
sesosok bayangan berkelebat di hadapannya. Begi-
tu tahu siapa yang datang, Intan Melati segera
mengusap air matanya. Lalu dia berjalan tanpa
memberi perhatian.
"Intan...," panggil pemuda berpakaian putih-
kuning yang tak lain Jaka Pamulang.
"Kenapa kau menyusulku, Jaka Pamu-
lang?!" sentak Intan Melati dengan suara garang
dan bibir memberengut tak bersahabat.
"Aku telah mengantarkan Gusti Adipati Ba-
rasangga ke Pendapa Kadipaten Bumiraksa. Beliau
mengundangmu ke pendapa. Kau akan dikenalkan
dengan Dewi Ikata, Intan...."
"Apa untungnya berkenalan dengan gadis
itu?!"
Mendengar ucapan Intan Melati yang makin
ketus, kening Jaka Pamulang berkerut.
"Gadis ini agaknya kecewa kepada Suropati.
Aku harus dapat memanfaatkan kesempatan
ini...," kata si pemuda, dalam hati.    
"Minggir kau! Jangan halangi langkahku!"
usir Intan Melati melihat Jaka Pamulang terme-

nung di tempatnya.
"Kau hendak ke mana, Intan?" tanya Jaka
Pamulang sembari mundur beberapa langkah, ka-
rena Intan Melati hendak menerobos jalan.
"Apa pedulimu menanyakan tujuanku?! Aku
tidak punya urusan denganmu!"
"Maafkan aku, Intan. Kata-kataku di Hutan
Wonokeling itu mungkin sangat menyinggung pe-
rasaanmu...."
'Tidak ada yang perlu dimaafkan! Dan bila
kau mengikutiku terus, berarti kau telah membuat
kesalahan!"
Jaka Pamulang menatap wajah Intan Melati
lekat-lekat. Yang ditatap jadi jengah hingga mema-
lingkan muka.
"Kau cantik sekali, Intan...," gumam Jaka
Pamulang.
"Apa kau bilang?!" bentak Intan Melati.
Rupanya, gadis ini mendengar gumaman
pemuda yang berdiri di hadapannya.
Mengelam paras Jaka Pamulang mendengar
bentakan kasar Intan Melati. Tapi demi maksud
yang tersembunyi di benaknya, dia jadi nekat
"Tahukah kau, Intan. Kau sedang menuju
ke mana?" tanya Jaka Pamulang kemudian dengan
mata tak pernah bosan menjilati wajah cantik In-
tan Melati. Sikap kurang ajar jelas terpancar pada
sorot matanya.
"Sudah kubilang, aku tak suka kau men-
campuri urusanku!"
"Iya. Tapi, bila kau berjalan ke arah sana,
kau akan sampai di kota Kadipaten Bumiraksa."

Terkejut Intan Melati mendengar pemberi-
tahuan Jaka Pamulang. Karena terlalu lama ting-
gal di Pulau Karang yang terpencil, gadis ini jadi
tak seberapa tahu dunia luar. Untuk apa dia ke
kota Kadipaten Bumiraksa, sedang tujuannya ti-
dak ke sana? Jangan-jangan, dia nanti malah ber-
jumpa Dewi Ikata yang akan menambah sakit ha-
tinya saja. Walau belum kenal, tapi siapa tahu ma-
lah berjumpa tanpa sengaja.
Mengikuti pikiran di benaknya, Intan Melati
lalu berbalik dan melangkah kembali. Jaka Pamu-
lang menatap punggung si gadis dengan mata ber-
sinar-sinar. Dia senang, karena Intan Melati tak
jadi memasuki keramaian kota. Itu berarti, memu-
dahkan rencana yang telah tersusun di benaknya!
"Tunggu, Intan...!" teriak Jaka Pamulang se-
raya mengejar.
Mendadak, Intan Melati menghunus pedang
yang terselip di punggungnya.
"Kalau kau tidak mau pergi, jangan salah-
kan bila pedang ini mencabut nyawamu!"
Mendengar ancaman Intan Melati, Jaka
Pamulang pura-pura takut. Kakinya langsung ber-
gerak mundur dua langkah.
"Jangan main-main dengan senjata tajam,
Intan...," ucapnya dengan suara bergetar.
"Aku tidak main-main! Aku benar-benar
akan membunuhmu bila kau terus menguntit
langkahku!"
'Ya, ya... baiklah. Aku akan pergi."
Di ujung kalimatnya, Jaka Pamulang berba-
lik. Gerakannya seperti hendak berlalu meninggal-

kan Intan Melati. Tapi....
"Hup!"
Tiba-tiba Jaka Pamulang menjejak tanah.
Tubuhnya melayang cepat sekali dengan tangan
kanan terangkat sambil berjumpalitan, dida-
ratkannya totokan ke punggung Intan Melati yang
sama sekali tak pernah menyangka.
Tuk! Tuk!
"Ohh...!"
Intan Melati memang masih sempat menge-
gos ke kiri, tapi terlambat. Dua totokan Jaka Pa-
mulang terlalu cepat untuk dapat dimentahkan.
Sekejap mata kemudian, dia mengeluh pendek.
Pedangnya jatuh ke tanah, karena tiba-tiba tu-
buhnya jadi amat lemas.
Sebelum tubuh Intan Melati jatuh ke tanah,
bergegas Jaka Pamulang mengambil tindakan.
Disambarnya tubuh gadis yang sudah tiada daya
itu!
Seketika napas Jaka Pamulang terdengar
memburu. Bukan karena beban yang berada da-
lam pondongannya, tapi karena dorongan nafsu
menggelegak dalam jiwanya. Akibat luapan keingi-
nan yang begitu besar, Jaka Pamulang memperce-
pat langkah kakinya. Dikerahkannya seluruh ke-
mampuan lari cepatnya.
Matahari yang telah condong ke barat,
membuat panas tak lagi menyengat.  Kesejukan
angin yang berhembus pun mengelus rasa. Rant-
ing-ranting pohon meliuk gemulai bagai tarian pu-
tri jelita. Burung-burung tak bosan menggoda,
memperdengarkan nyanyian alam.

Kini Jaka Pamulang menurunkan tubuh In-
tan Melati di tebalnya rumput yang bernaung di
bawah rindang pohon besar. Nun jauh di sana, ter-
lihat puncak Bukit Pangalasan yang mulai terseli-
muti kabut
"Jahanam! Apa yang hendak kau perbuat?!"
bentak Intan Melati dengan kemarahan meluap-
luap.
Gadis ini mencoba menggerakkan beberapa
anggota tubuhnya, tapi tak mampu. Agaknya toto-
kan Jaka Pamulang cukup kuat untuk dipunah-
kan.
"Hmm.... Apa yang akan kuperbuat?!" ulang
Jaka Pamulang dengan bola mata membesar. "Ti-
dakkah kau sadar kalau dirimu amat menarik In-
tan? Kau cantik. Tubuhmu sintal. Siapa yang tak
akan tergiur memandangmu? Ha ha ha...!"
Tatapan Intan Melati jadi nyalang menyada-
ri apa yang akan diperbuat Jaka Pamulang terha-
dap dirinya.
"Bunuh saja aku!" pekiknya dengan air ma-
ta mulai berlinang.
"Kau minta dibunuh? Oh! Jangan, Intan!
Kau terlalu cantik untuk mati. Aku memintamu
agar kau bersedia menjadi istriku, Intan...," sahut
Jaka Pamulang penuh kemenangan.
"Tidak! Aku tak sudi menjadi istri lelaki bu-
suk macam kau!"
"Heh! Apa katamu?! Aku ini putra seorang
demang, Intan. Ayahku orang terpandang. Kukira,
aku pun cukup tampan. Alangkah bodohnya bila
kau menolak permintaanku...."

"Tidak! Kau bunuh saja aku!"
Menggeram Jaka Pamulang mendengar to-
lakan Intan Melati. Lalu, ditamparnya wajah gadis
cantik itu!
Plak!
Intan Melati menjerit. Tapi, Jaka Pamulang
tak ambil peduli. Malah dijambaknya rambut si
gadis.
"Aku bisa memaksamu agar kau sudi men-
jadi istriku, Intan! Kau pikirkan itu! Menerima
baik-baik, atau kau akan kusiksa terlebih dahu-
lu?!"
"Jahanam! Siapa takut kau siksa?! Lebih
baik mati daripada  menjadi istri orang yang tak
kucintai!" tegas Intan Melati dengan garang. Dia
berusaha menepis rasa takut yang ada di hatinya.
"Ha ha ha...!" Jaka Pamulang tertawa berge-
lak. "Cinta? Kau katakan cinta, Intan? Tidakkah
kau tahu, lelaki yang kau cintai adalah penjahat
yang suka mempermainkan gadis-gadis. Jangan
mimpi untuk bisa mendapatkan cinta Suropati, In-
tan! Dia hanya ingin mempermainkan dirimu. Se-
telah puas, dia akan pergi! Lain dengan diriku, In-
tan.... Aku tidak sedang main-main! Aku benar-
benar ingin menjadikan dirimu untuk jadi istri-
ku...."
"Tidak! Aku tidak cinta kepada siapa-siapa!"
"Jangan menipu diri sendiri, Intan. Bukan-
kah kau kecewa setelah tahu Suropati adalah ke-
kasih Dewi Ikata?"
Kali ini Intan Melati tak dapat menimpali
ucapan Jaka Pamulang. Si gadis kontan menangis

dengan mata terpejam. Dia ingat pada semua ke-
baikan Suropati. Tapi, dia jadi ragu setelah men-
dengar ucapan Jaka Pamulang. Benarkah Suropati
suka mempermainkan gadis-gadis? Benarkah di-
rinya akan dicampakkan setelah Suropati puas
mendapatkan apa yang diinginkan? Tidak! Hati
kecil Intan Melati menolak semua itu. Suropati tak
mungkin berbuat sekejam itu. Suropati adalah
seorang pendekar besar. Jadi, mana mungkin dia
menodai nama baiknya sendiri?!
"Kau sedang memikirkan permintaanku, In-
tan?" tanya Jaka Pamulang dengan suara lembut.
Pemuda ini telah rebah di sisi Intan Melati.
Tangan kanannya membelai rambut Intan Melati
yang tergerai karena ikatannya lepas.
Intan Melati membuka matanya. Melihat
Jaka Pamulang rebah di sisinya, dia jadi bergidik
ngeri.
"Kita akan menikmati malam pertama kita
di tempat ini, Intan. Kita akan segera menikah...,"
bujuk Jaka Pamulang.
"Tidak, Jaka.... Aku mohon, jangan lakukan
itu...," pinta Intan Melati dengan sinar mata keta-
kutan, saat Jaka Pamulang membelai-belai wajah
dan rambutnya.
"Aku tidak akan melakukannya sekarang,
asal kau menyanggupi permintaanku untuk men-
jadi istriku..."
"Tidak, Jaka.... Aku tidak mau menjadi istri
siapa-siapa. Aku... aku...."
"Jangan teruskan bicaramu, Intan!" potong
Jaka Pamulang. Matanya berkilat dan napasnya

memburu. "Aku katakan sekali lagi, bersediakah
kau jadi istriku?"
Intan Melati diam, dan hanya memperden-
garkan suara tangisnya. Jaka Pamulang menatap
wajahnya berlama-lama.
"Bagaimana, Intan? Kau sudah membuat
keputusan?" desak si pemuda.
"Maafkan aku, Jaka. Aku...."
"Heh! Kalau begitu, terpaksa aku memak-
samu!" sela Jaka Pamulang seraya menggerakkan
tangan kirinya. Dan....
Brettt!
"Auuuww...!"
Intan Melati menjerit ngeri ketika bajunya
koyak pada bagian dada setelah direnggut paksa
oleh Jaka Pamulang. Pemuda ini menatap tanpa
berkedip ke arah dua gundukan sekal yang terlihat
sebagian yang terpampang di hadapannya.
Sementara, air mata Intan Melati semakin
mengucur deras. Dalam pengaruh totokan, dia
sama sekali tak akan mampu mempertahankan
kehormatannya. Dengan mata terpejam, bibirnya
bergetar menyebut asma Tuhan berulang kali.
Jaka Pamulang yang sudah dirasuki nafsu
setan semakin mengumbar keinginannya. Dijelaja-
hinya setiap lekuk-liku tubuh Intan Melati dengan
pandangan buas. Lalu, direnggutnya kembali kain
berenda di dada Intan Melati.
Brettt!
Jeritan Intan Melati sama sekali tak dipedu-
likan. Mata Jaka Pamulang makin terbeliak lebar
menatap dua bukit kembar yang kini terlihat selu-

ruhnya. Jakunnya naik turun karena berulang kali
menelan ludah. Dengan napas menderu-deru, Ja-
ka Pamulang lalu membenamkan wajahnya di da-
da sekal Intan Melati yang terasa kenyal.
"Jangan, Jaka! Jangan...!" jerit Intan Melati.
Tapi, mana mungkin jeritan Intan Melati didengar-
kan Jaka Pamulang yang sudah hilang rasa ma-
nusiawinya. Di tempat sepi itu, si pemuda telah
berubah menjadi binatang.
Saat Intan Melati menjerit lebih keras, Jaka
Pamulang menggeram marah. Lalu, ditamparnya
gadis itu hingga pingsan!
"Sungguh kau amat cantik, Intan...," desis
Jaka Pamulang. "Hanya sayang, kau tak bersedia
menjadi istriku. Tapi tak apa. Bersedia atau tidak,
kau tetap akan menjadi istriku...."
Jaka Pamulang mendaratkan ciuman di
kening, kedua mata, kedua pipi Intan Melati. Lalu
dilumatinya bibir gadis itu dengan penuh nafsu.
Kemudian, wajahnya dibenamkan ke dada Intan
Melati.
Burung-burung yang bertengger di dahan
pohon menceracau keras. Mereka seperti mengu-
tuk perbuatan Jaka Pamulang yang bejat. Ditim-
pali desau angin, ceracau burung laksana umpa-
tan dan cacian memekakkan gendang telinga. Ta-
pi, Jaka Pamulang mana mau peduli? Gelegak naf-
sunya yang menghentak-hentak diumbarnya tanpa
mempedulikan keadaan sekelilingnya. Padahal... 
"Biadab!"
Mendadak terdengar sebuah bentakan ke-
ras. Dan tahu-tahu seorang gadis cantik berpa-

kaian biru laut sudah muncul di tempat itu.
Dengan tatapan jijik, gadis berambut dis-
anggul ke atas ini lalu berkelebat. Sekejap mata
kemudian....
Desss!
Brakkk!
"Aaah...!"
Terdengar pekik kesakitan saat tubuh Jaka
Pamulang melayang deras dan membentur batang
pohon. Terdengar suara gemeretak keras yang dis-
usul daun-daun yang berguguran.
Gadis yang baru saja melontarkan tubuh
Jaka ini cepat menanggalkan baju luarnya. Den-
gan baju itu ditutupinya tubuh Intan Melati yang
setengah polos.
Susah-payah Jaka Pamulang bangkit berdi-
ri. Kalau saja pemuda ini tidak mempunyai ilmu
cukup tinggi, tulang punggungnya tentu telah re-
muk saat membentur batang pohon tadi. Namun
begitu tahu siapa yang telah menggagalkan ruat
busuknya, matanya kontan mendelik. Bukan ge-
ram kemarahan yang ditunjukkan, tapi sinar mata
ketakutan!
"Pendekar Wanita Gila...!" desis Jaka Pamu-
lang seraya meloncat untuk mengambil langkah
seribu.
"Jahanam! Mau lari ke mana kau?!" bentak
gadis itu seraya melesat amat cepat
Jaka Pamulang terkejut setengah mati keti-
ka tahu-tahu langkahnya telah terhalang. Gadis
bersanggul itu ternyata mampu bergerak cepat se-
kali. Dalam satu loncatan saja, tubuhnya dapat

melayang sejauh lima tombak dengan kecepatan
laksana setan.
"Kau harus menebus dosa yang telah kau
perbuat, Keparat!" desis gadis bersanggul yang di-
panggil Pendekar Wanita Gila sambil berkacak
pinggang. Keremangan petang masih dapat me-
nunjukkan wajahnya yang ketus-galak, menyim-
pan amarah meluap.
Terbawa rasa takutnya, Jaka Pamulang
berbuat nekat. Tiba-tiba kepalan tangan kanannya
dihentakkan ke depan untuk menggedor dada si
gadis. Tapi.....
Plak..!
Tanpa dapat ditangkap mata gadis bersang-
gul menggerakkan tangannya. Dan tahu-tahu si
pemuda telah merasakan tubuhnya terpeluntir ke
kanan, lalu jatuh berdebam di tanah. Sinar mata
pemuda ini jadi amat nyalang, terbawa rasa takut-
nya. Disadari kalau dirinya tak akan mampu me-
lawan gadis bersanggul.
"Ampunkah aku, Pendekar...," ratap Jaka
Pamulang sembari berlutut di depan kaki gadis
bersanggul.
"Ha ha ha...!" mendadak si gadis tertawa
bergelak. Suaranya membahana di angkasa untuk
beberapa lama. "Rupanya kau takut mati di tangan
Pendekar Wanita Gila! Ha ha ha...! Kau tak perlu
khawatir, Bangsat! Aku tak akan membunuhmu.
Aku hanya akan mematahkan sebelah tanganmu!"
Gadis bergelar Pendekar Wanita Gila men-
cengkeram leher baju Jaka Pamulang. Jerit kesaki-
tan terdengar lagi. Untuk kedua kalinya, tubuh

Jaka Pamulang melayang deras, langsung mem-
bentur batang pohon. Daun-daun berguguran di-
iringi suara gemeretak kayu yang pecah.
Pendekar Wanita Gila melangkah pelan
mendekati Jaka Pamulang yang masih mengaduh
kesakitan. Tapi tanpa diduga, si pemuda meraup
butiran kerikil, lalu dilontarkan ke arah Pendekar
Wanita Gila!
Srattt...!
Gadis bersanggul ini menggeram. Kaki ka-
nannya cepat menjejak tanah seraya membusung-
kan dadanya. Aneh! Puluhan butir kerikil yang ter-
lontar tampak berhenti di udara, lalu berjatuhan
ke tanah.
Kontan mendelik mata Jaka Pamulang me-
lihat kehebatan si gadis. Apalagi ketika sanggulan
gadis berparas cantik ini lepas. Dan tiba-tiba,
rambutnya bergerak ke depan dalam keadaan
mengejang kaku.
Jaka Pamulang menggembor keras. Dengan
nekat diterjangnya Pendekar Wanita Gila yang
tampaknya akan menjatuhkan hukuman.
Dalam keremangan petang, terlihat rambut
panjang Pendekar Wanita Gila telah membelit per-
gelangan tangan kanan Jaka Pamulang yang hen-
dak mendaratkan pukulan. Dan....
Krakkk!
"Aaa...!"
Terdengar suara gemeretak tulang patah.
Lalu, disusul pekik kesakitan Jaka Pamulang.
Pendekar Wanita Gila melepas belitan ram-
butnya. Untuk kesekian kalinya, tubuh Jaka Pa-

mulang jatuh berdebam di tanah. Namun, kali ini
dia memperdengarkan raungan panjang tiada hen-
ti. Tubuhnya menggeliat-geliat karena tulang per-
gelangan tangan kanannya telah remuk!
"Sekarang kau pergilah, Jahanam!"
Buk!
Usai berkata, Pendekar Wanita Gila menen-
dang punggung Jaka Pamulang. Gadis ini lalu ter-
tawa bergelak. Matanya tak lepas menatap tubuh
Jaka Pamulang yang terlontar jauh, lalu bergulin-
gan di atas tanah. Sengaja seluruh kekuatan tena-
ga dalamnya tak dipergunakan. Kalau itu dilaku-
kan, tubuh Jaka Pamulang tentu akan hancur be-
rantakan.
Melihat Jaka Pamulang telah lari terbirit-
birit seperti dikejar setan, Pendekar Wanita Gila
memperkeras suara tawanya. Setelah puas, baru-
lah gadis ini menyanggul kembali rambutnya. Wa-
jahnya yang ketus-galak mendadak berubah manis
sekali, membuat kecantikannya semakin meman-
car.
Pendekar Wanita Gila segera membebaskan
pengaruh totokan di tubuh Intan Melati. Dipan-
danginya wajah si gadis dengan penuh rasa iba.
Seperti ingat sesuatu yang amat menyedihkan, ti-
ba-tiba air mata Pendekar Wanita Gila berlinang.
Dia menangis sesenggukan. Dibelainya rambut In-
tan Melati yang tergerai tak karuan.
"Uh...!" keluh Intan Melati yang tersadar da-
ri pingsannya.
Putri Rama Ludira ini mengerjap-
ngerjapkan matanya. Dia tersentak kaget. Tapi me-

lihat yang berada di dekatnya bukan Jaka Pamu-
lang, si gadis bernapas lega.
"Aku telah mengusir pemuda jahat itu, Adik
Manis...," jelas Pendekar Wanita Gila sambil me-
nyeka air matanya.
Intan Melati tak berkata apa-apa. Teringat
perbuatan Jaka Pamulang, dia menjerit keras. La-
lu kembali si gadis menangis mengguguk.
"Jangan menangis, Adikku. Tidak ada yang
ditakuti sekarang...," ujar Pendekar Wanita Gila
dengan suara lembut penuh kasih sayang. Melihat
Intan Melati terus menangis, air mata gadis ber-
sanggul ini mengalir lagi.
Dengan mata berkaca-kaca Intan Melati
memperhatikan keadaan tubuhnya. Tahu kalau
dirinya belum ternoda, dia menyebut kebesaran
Tuhan. Dengan mata tetap berkaca-kaca, pandan-
gannya dialihkan ke wajah gadis yang duduk di si-
sinya.
"Kaukah yang telah menolongku?" tanya In-
tan Melati.
Pendekar Warata Gila tersenyum. "Tuhan-
lah yang menolongmu. Aku hanya perantara...,"
ujarnya sambil menyeka air mata.
"Terima kasih, Kak. Aku tak tahu, bagaima-
na harus membalasnya nanti. Tapi, kenapa Kakak
menangis?" tanya Intan Melati penuh keluguan.
Seperti baru teringat pada sesuatu yang
amat penting, Pendekar Wanita Gila tersentak.
"Aku menangis?" gumamnya. Melihat Intan
Melati menatap lekat ke arahnya, mendadak gadis
ini tertawa bergelak.

Perubahan yang cepat terjadi pada diri Pen-
dekar  Warata  Gila membuat Intan Melati heran.
Keningnya berkerut. Air matanya berhenti menda-
dak. Dia jadi lupa pada peristiwa yang baru terjadi
atas dirinya.
"Kenapa kau menatapku terus, Adik Manis?
Namamu siapa?" tanya Pendekar Wanita Gila ke-
mudian.
"Kakak baik sekali. Tapi, kenapa Kakak ha-
bis menangis lalu tertawa?" Intan Melati tak mem-
berikan jawaban, malah balik bertanya.
Pendekar Wanita Gila tersenyum tipis.
"Lupakan apa yang baru kuperbuat," ujar-
nya dengan penuh kesungguhan. "Kau belum
mengenalkan siapa dirimu."
"Namaku Intan Melati."
"Namamu bagus sekali, Intan. Ayah dan
ibumu pastilah orang terpelajar. Di mana rumah-
mu? Dan, bagaimana peristiwa ini bisa terjadi?"
Intan Melati menghembuskan napas berat,
seakan tengah mengusir kesedihan yang meng-
gayuti  benaknya. Pendekar Wanita Gila agaknya
dapat memahami keadaan Intan Melati. Dengan
penuh kasih sayang dikenakannya pakaian luar
berwarna biru laut ke tubuh gadis malang itu un-
tuk menutupi bajunya yang robek di dada.
"Ibuku sudah meninggal. Ayahku sekarang
mungkin sedang mencariku, karena aku pergi tan-
pa sepengetahuannya...," tutur Intan Melati kemu-
dian.
"Dalam perjalananmu, lalu kau berjumpa
pemuda jahat itu?" tebak Pendekar Wanita Gila.

Intan Melati mengangguk.
"Ayahmu tentu sangat sedih, karena kau
tinggalkan, Intan. Kau harus kembali pada ayah-
mu. Kau harus minta maaf padanya..."
"Kupikir memang begitu. Aku tak tahu, apa
yang akan terjadi pada diriku seandainya Kakak
tidak datang menolongku."
"Jangan panggil 'Kakak'. Namaku Dewi Ika-
ta…"
Kontan mengelam paras Intan Melati men-
dengar ucapan Pendekar Wanita Gila.
"Kau... kau benar Dewi Ikata...?"
"Ya. Kenapa, Intan? Kau tak perlu khawatir.
Aku bukan orang jahat, walau aku bergelar Pende-
kar Wanita Gila. Kasihan sekali kau, Intan. Mau-
kah kau tinggal di Pendapa Kadipaten beberapa
lama?"
Intan Melati tak lagi memperhatikan ucapan
Pendekar Wanita Gila. Rasa cemburu kembali
menghantam jiwanya. Gadis ini merasa rendah di-
ri. Dia memang tak sebanding dengan Dewi Ikata.
Selain lebih cantik, Dewi Ikata juga mempunyai
ilmu lebih tinggi. Putri adipati lagi.
Memikirkan keadaannya sendiri, Intan Me-
lati lalu menangis lagi. Sementara Dewi Ikata atau
Pendekar Wanita Gila memandang heran.
"Kau menolak kuajak ke Pendapa Kadipaten
Bumiraksa, Intan?" tanya putri tunggal Adipati
Danubraja itu. "Tapi, kau tak perlu menangis, In-
tan. Kalau kau tidak mau, aku tak akan memaksa.
Mudah-mudahan ayahmu segera dapat menemu-
kanmu. Aku senang bersahabat denganmu, Intan.

Kalau kau butuh bantuan, datang saja ke Pendapa
Kadipaten Bumiraksa...."
"Terima kasih atas kebaikanmu, Kak..,"
ucap Intan Melati di sela-sela tangisnya. "Aku pergi
saja. Aku berdoa untuk kebahagiaan Kakak..."
"Kau hendak pergi ke mana?"
Intan Melati diam. Kepalanya tertunduk.
Gadis ini memang tidak tahu, ke mana hendak
pergi. Dia tak mungkin kembali ke Pulau Karang
tempat tinggalnya yang terpencil.
"Hari sudah mulai gelap, Intan. Aku tak
mau kejadian seperti tadi terulang lagi. Aku tak te-
ga melepasmu seorang diri. Ikutlah aku ke Penda-
pa Kadipaten Bumiraksa. Tinggallah selama kau
suka. Hingga sampai saatnya nanti, kau berjumpa
ayahmu...."
Mendengar tawaran baik Dewi Ikata, air ma-
ta Intan Melati malah mengalir deras. Bahunya
semakin terlihat naik turun, karena terbawa sedu-
sedan tangisnya.
Dewi Ikata memandang iba. Lalu, dibim-
bingnya Intan Melati untuk berdiri. Entah kenapa,
Intan Melati tak mampu menolak ketika Dewi Ikata
membawanya berjalan menuju kota Kadipaten
Bumiraksa.
Sepanjang perjalanan, Intan Melati terus
melelehkan air mata. Namun, Dewi Ikata tak henti-
hentinya menghiburnya. Tanpa diketahui putri
tunggal Adipati Danubraja, semua kata-kata bi-
jaknya yang mencerminkan kebaikannya justru
membuat kesedihan Intan Melati makin bertam-
bah.

Intan Melati semakin merasa dirinya tiada
berarti bila dibanding Dewi Ikata....

6

Seorang pemuda gagah menyandang pedang
di punggung keluar dari kedai minuman dengan
langkah sempoyongan. Matanya diucak-ucak se-
perti tak percaya kalau hari telah gelap. Berulang
kali dia bersendawa, mengeluarkan udara di perut
lewat mulut. Ditatapnya langit hitam yang berta-
bur bintang. Melihat Sang Candra bersinar putih,
pemuda berpakaian coklat-hitam ini tertawa ter-
bahak-bahak.
"Ha ha ha...! Sungguh kau cantik sekali,
Kekasihku. Aku merindukanmu siang dan malam.
Aku mencintaimu sepanjang hayatku. Tapi...."
Pemuda ini tak melanjutkan kalimatnya ke-
tika udara dari perutnya kembali keluar mengha-
langi bicaranya. Setelah berjalan beberapa tindak,
wajahnya ditengadahkan ke langit. Kedua tangan-
nya yang terpentang ke atas menunjukkan kalau
dirinya tengah mengiba.
"Kekasihku.... Huk! Huk! Kau pasti tahu,
seberapa besar cintaku padamu. Kau pasti tahu,
aku tak mungkin hidup tanpa dirimu. Tapi, kena-
pa kau pergi?! Kenapa kau berpaling dan mening-
galkan aku seorang diri? Tahukah kau, Kekasihku.
Kau telah merobek-robek hatiku. Kau telah meng-
hancurkan harapanku. Huk! Huk!"
Pemuda yang sudah dipengaruhi minuman

keras ini terus menceracau. Air mukanya menun-
jukkan  kesedihan amat sangat. Namun sebentar
kemudian, dia memperdengarkan suara tawa yang
meledak-ledak.
Di depan kedai minuman itu, kebetulan le-
wat seorang pemuda bertubuh kurus kecil.
"Kasihan sekali pemuda itu...," desah si pe-
muda sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku
akan mengantarnya pulang. Dalam keadaan seper-
ti itu, dia tentu tak tahu jalan."
Mengikuti pikiran di benaknya, pemuda
bertubuh kurus kecil itu segera mendekati pemuda
yang tengah mabuk. Baru saja pemuda kurus kecil
hendak memapah, tapi dengar kasar ditolak.
"Siapa kau?! Aku tidak butuh bantuanmu!"
bentak si pemuda pemabuk.
"Tenanglah, Badrowi. Aku Palungan. Aku
akan mengantarmu pulang."
"Kau Palungan? Ha ha ha...!" si pemuda
mabuk tertawa bergelak. "Syukurlah kau datang,
Sahabatku. Kau akan segera menjadi saksi di hari
bahagia ini. Aku akan menikah dengan Wilujeng.
Ha ha ha...!"
"Ya. Aku tahu, kau akan menikah. Tapi bu-
kan dengan Wilujeng. Kekasihmu itu telah me-
ninggal...," tutur pemuda bertubuh kurus kecil
bernama  Palungan, mencoba mengembalikan ke-
sadaran pemuda pemabuk yang dipanggil Badrowi.
"Apa?! Wilujeng telah meninggal? Bodoh
kau, Palungan!" maki Badrowi.
"Ya. Ya, Wilujeng tidak meninggal...," ucap
Palungan, untuk menyenangkan hati Badrowi.

"Ha ha ha…! Kau benar, Sahabatku. Wilu-
jeng memang tidak meninggal. Kau lihat itu!" tud-
ing Badrowi pada rembulan. "Dia tersenyum ke
arahku. Bukankah dia cantik sekali...?"
Kali ini Palungan tak mendengarkan ucapan
Badrowi. Dengan setengah memaksa, dipapahnya
pemuda mabuk itu untuk meninggalkan tempat.
Namun baru saja memasuki jalan lebar yang
membelah kota, mendadak langkah mereka terha-
dang oleh seorang pemuda berambut awut-awutan
dengan bola mata memancarkan cahaya merah
menakutkan.
"Siapa kau?!" bentak Palungan, karena me-
lihat pemuda yang menghadang seperti hendak
mengganggu.
"Uts! Tenanglah, Sahabatku...," sela Badro-
wi. "Kau lihat dia baik-baik. Bukankah dia Wilu-
jeng? Ya! Dia Wilujeng!"
Palungan mendekap bahu Badrowi kuat-
kuat, ketika pemuda mabuk ini hendak berham-
bur ke arah pemuda berambut awut-awutan.
"Kita ambil jalan lain saja, Badrowi...," bisik
Palungan saat pemuda berambut awut-awutan
menggeram dengan mata bercahaya merah sema-
kin menakutkan.
Susah-payah, diseretnya tubuh Badrowi.
Tapi baru saja membalikkan badan, Palungan ter-
kejut setengah mati karena tahu-tahu pemuda be-
rambut awut-awutan itu telah berdiri menghadang
lagi. Entah, kapan berkelebatnya.
"Siapa kau?! Biarkan kami lewat!" bentak
Palungan, setelah mengumpulkan seluruh kebe-

raniannya.
"Bodoh!" sahut Badrowi. "Sudah kubilang
tadi, dia itu Wilujeng. Biarlah dia mengikuti kita."
"Diamlah, Badrowi! Dia bukan Wilujeng. Dia
hendak mengganggu  kita," ujar Palungan seraya
menyeret tubuh temannya untuk diajak berlari.
Pemuda berambut awut-awutan mendengus
gusar. Dan sekali kakinya menjejak tanah, tubuh-
nya melesat. Lalu, tahu-tahu mendarat di hadapan
Palungan yang sedang dihantui rasa takut
Sementara itu, orang-orang yang kebetulan
berlalu-lalang mulai menghentikan langkah. Mere-
ka memperhatikan penampilan pemuda berambut
awut-awutan yang terlihat kotor sekali. Pakaian-
nya yang sebenarnya terbuat dari bahan mahal
penuh bercak yang berasal dari debu tanah. Wa-
jahnya yang sebenarnya tampan, jadi amat mena-
kutkan. Karena, bola matanya memancarkan ca-
haya merah. Melihat penampilan yang aneh ini,
cepat-cepat mereka melangkah lagi. Seolah, mere-
ka seperti habis berjumpa dengan sesosok mak-
hluk amat mengerikan.
"Aku tidak punya urusan denganmu. Biar-
kan aku lewat..," pinta Palungan dengan suara di-
lembutkan.
Pemuda berambut awut-awutan mengge-
leng-gelengkan kepalanya.
"Tolonglah aku...," desisnya. "Tunjukkan ja-
lan ke kotapraja...."
"Sana!" tunjuk Palungan, cepat. Hatinya se-
dikit lega. "Berjalanlah terus ke utara mengikuti ja-
lan ini. Kau akan segera sampai ke kotapraja."

"Terima kasih...."
Usai  berucap, pemuda berambut awut-
awutan berbalik. Namun baru melangkah tiga tin-
dak, tiba-tiba dia menggembor keras. Badannya
berbalik lagi.
Palungan terkejut setengah mati melihat
wajah pemuda berambut awut-awutan itu meng-
gambarkan kemarahan amat sangat. Cahaya me-
rah yang memancar dari matanya semakin terlihat
mengerikan.
"Aku tidak menipumu...," ujar Palungan pe-
nuh rasa takut. Dekapannya pada pinggang Ba-
drowi terlepas. "Benar aku tidak menipumu. Kota-
praja berjarak setengah hari dari sini...."
Seolah tak mendengarkan ucapan Palun-
gan, pemuda berambut awut-awutan itu mende-
kap kepalanya seperti sedang menderita pening
hebat. Sesaat kemudian, dia menggerendeng. Lalu,
tubuhnya melesat ke depan dengan tangan berke-
lebat cepat Palungan terkesiap. Cepat tangannya
memapak.
Prak..! 
"Aaakh...!"
Jerit panjang Palungan membahana, mero-
bek angkasa. Tubuh kurus pemuda naas ini ter-
pental dan jatuh ke tanah. Tulang tangan kanan-
nya patah, ketika menangkis tamparan pemuda
berambut awut-awutan. Namun, tak lama kemu-
dian kesadarannya segera lenyap.
"Huk! Huk! Kenapa kau lukai Palungan, Ke-
kasihku...?" oceh Badrowi dengan tubuh sem-
poyongan seraya menghunus pedangnya. "Ternya-

ta... ternyata kau bukan Wilujeng! Kau iblis! Kau
harus kubunuh!"
Melihat pedang Badrowi berkelebat, pemuda
berambut awut-awutan memekik panjang. Cepat
sekali tangan kanannya bergerak menangkap bilah
pedang yang mengancam nyawanya. Dan entah
bagaimana, tahu-tahu pedang itu telah berpindah
tangan.
"Huah...!"
Bletak..!
Walau otaknya masih terpengaruh minu-
man keras, tapi Badrowi dapat melihat bagaimana
pemuda berambut awut-awutan itu mematahkan
bilah pedangnya. Kontan mata pemuda mabuk ini
mendelik karena terkejut. Terbawa rasa takutnya,
badannya cepat membalik untuk berlari seken-
cang-kencangnya. Tapi sayang, baru dapat empat
langkah, kakinya terantuk batu.
Brukk!
"Aduhh...!"
Suara kesakitan mengiringi tubuh Badrowi
yang jatuh tertelungkup dengan kepala memben-
tur tanah kasar.
"Jangan! Jangan kau bunuh aku...!" pinta
Badrowi.
Pemuda berambut awut-awutan malah
menggeram marah. Tiba-tiba tubuhnya melenting.
Begitu menukik turun, telapak kaki kanannya siap
mendarat di kepala Badrowi!
"Jangan sembarang main bunuh, Iblis Ke-
jam!"
Mendadak terdengar sebuah teriakan yang

dibarengi berkelebatnya sesosok bayangan mema-
pak gerakan pemuda berambut awut-awutan.
Takkk!
"Aaahhh...!"
Pemuda berambut awut-awutan itu kontan
memekik nyaring. Tubuhnya kontan terjajar den-
gan pergelangan kaki kanan terasa berdenyut
Sementara itu bayangan tadi telah menda-
rat mantap di tanah. Dan sosok yang ternyata seo-
rang pemuda berpakaian penuh tambalan itu me-
natap heran pada batang tongkatnya yang telah
patah jadi dua.
Di tempat lain, pemuda  berambut  awut-
awutan itu terus menjerit-jerit seperti tengah men-
derita sakit hebat. Dia menggedor-gedor dadanya
sendiri. Sementara, di sekitar tempatnya berdiri te-
lah hadir enam pemuda bersenjata tongkat. Mere-
ka sama-sama berpakaian penuh tambalan. Tong-
kat yang pangkalnya berbentuk kepala naga me-
nunjukkan kalau mereka adalah anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti.
"Arya Wirapaksi...," desis pemuda yang
tongkatnya telah patah, ketika mengenali pemuda
berambut awut-awutan yang sebenarnya memang
Arya Wirapaksi.
"Tolong aku! Tolong aku! Dia... dia hendak
membunuhku!" ceracau Badrowi sambil merang-
kak bangkit
Keenam anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti memandang nanar tubuh Palungan
yang tergolek di tanah dalam keadaan pingsan.
Mereka seperti tak mempercayai dengan pengliha-

tan  sendiri. Bagaimana mungkin Arya Wirapaksi
yang tak lain putra mahkota Kerajaan Anggarapu-
ra dapat berbuat demikian kejam? Melukai seo-
rang pemuda yang tak bersalah apa-apa!
"Tolong! Tolonglah aku! Dia hendak mem-
bunuhku!" ceracau Badrowi lagi.
Pemuda yang tongkatnya tinggal setengah
mendengus.
"Pergilah sana!" sentaknya.
Namun Badrowi masih tetap di situ sambil
mendekap pergelangan kakinya.
"Kalau kau tak ingin mati, cepatlah pergi!"
bentak pemuda berpakaian pengemis itu lagi.
"Ya...  ya, aku akan pergi. Terima kasih....
Terima kasih, Tuan Pendekar...," ucap Badrowi se-
raya berlari kesetanan, tak mempedulikan kakinya
yang berulang kali terantuk batu.
Sementara pemuda berambut awut-awutan
bernama Arya Wirapaksi masih menjerit-jerit sam-
bil  menggedor-gedor dadanya, keenam pemuda
anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti tadi
telah berkumpul.
"Kita harus membawa Arya Wirapaksi pergi
dari tempat ini," cetus pemuda yang tongkatnya
patah. "Kalau ketahuan prajurit kadipaten, peris-
tiwa ini akan membuat Baginda Prabu Arya De-
wantara murka. Beliau tentu malu dan marah
mengetahui putranya ditangkap prajurit kadipaten
karena melukai orang."
"Benar katamu, Ganda," sahut pemuda ber-
pakaian pengemis lainnya. "Tapi, bagaimana kita
bisa membawa Arya Wirapaksi pergi dari tempat

ini? Aku yakin dia memiliki ilmu amat tinggi. Kau
lihat bola matanya itu. Sinar merah yang meman-
car dari bola matanya menunjukkan kalau dirinya
menyimpan kekuatan dahsyat. "
Pandangan pemuda bernama Ganda yang
tongkatnya patah jadi nanar ketika beberapa war-
ga kota mulai berdatangan. Agaknya, mereka ter-
tarik untuk melihat Arya Wirapaksi yang terus
menjerit-jerit seperti orang gila.
Tanpa pikir panjang lagi, Ganda segera me-
loncat untuk mendaratkan totokan di tubuh Arya
Wirapaksi. Dan tampaknya, pemuda yang jalan pi-
kirannya terganggu itu tak menghindar. Hingga....
Tuk! Tuk!
Tubuh Arya Wirapaksi kontan terkulai le-
mas, begitu totokan Ganda bersarang tepat di
tempatnya.
Sebelum tubuh Arya Wirapaksi jatuh, Gan-
da cepat menyambarnya. Dibawanya tubuh putra
mahkota itu berlari keluar kota Kadipaten Bumi-
raksa. Sementara kelima temannya mengikuti di
belakang.
Sesampai di ujung utara kota yang sepi,
Arya Wirapaksi mengeluarkan keluhan.
"Uh! Lepaskan aku.... Aku hendak dibawa
ke mana...?"
"Tenanglah, Wirapaksi. Aku tidak bermak-
sud buruk. Aku membawamu berlari untuk meng-
hindari prajurit Kadipaten Bumiraksa," jelas Gan-
da sambil terus berlari.
"Apakah aku baru saja berbuat jahat...?"
"Ya. Kau baru saja melukai orang. Dan, ba-

nyak saksi mata melihatnya."
"Oh...," keluh Arya Wirapaksi. "Tubuhku
lemas sekali. Turunkan aku...."
Merasa telah mendapat tempat aman, Gan-
da  menuruti  permintaan Arya Wirapaksi. Diba-
ringkannya tubuh pemuda itu di tanah berumput
tebal. Sementara, di langit sana rembulan bulat
penuh memancarkan cahaya kuning keemasan.
Walau temaram, tapi mampu membuat bumi tak
terselimuti kepekatan.
Ganda dan teman-temannya memandangi
tubuh Arya Wirapaksi yang masih terkulai lemas.
Namun keenam pemuda ini jadi bergidik ngeri ke-
tika sinar merah di bola mata Arya Wirapaksi terus
memancar.
"Apa yang harus kita perbuat sekarang?"
tanya pemuda yang bajunya robek lebar di bagian
bahu.
"Bagaimana kalau kita membawanya ke
puncak Bukit Pangalasan? Sesuatu yang ganjil
tentu telah terjadi pada diri Arya Wirapaksi. Ba-
rangkali, Kakek Gede bisa menolong," cetus Gan-
da.
"Malam-malam begini kita mendaki bukit?"
sergah pengemis yang memakai ikat kepala merah
kumal.
"Kenapa tidak? Arya Wirapaksi adalah orang
terpenting di Kerajaan Anggarapura, setelah Ba-
ginda Prabu Arya Dewantara. Karena, dialah yang
kelak akan menjadi pemimpin kita. Pemimpin se-
luruh rakyat di negeri ini. Oleh karena itu, kita ha-
rus melakukan apa saja untuk menolongnya."

"Memangnya dia kenapa?" tanya teman
Ganda yang lain.
Pemuda yang Wajahnya tampak ketolol-
tololan ini sama sekali tak mengerti, apa yang ter-
jadi pada diri Arya Wirapaksi.
"Aku menduga, Arya Wirapaksi sakit inga-
tan."
"Sakit ingatan? Berarti dia gila?" sahut ke-
lima anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sak-
ti itu hampir serempak.
"Bukan begitu. Tapi...."
Ganda tak dapat melanjutkan kalimatnya.
Keningnya berkerut terbawa pikiran di benaknya.
"Ah, apa pun yang terjadi, kita harus mem-
bawa Arya Wirapaksi ke puncak Bukit Pangalasan.
Aku yakin, sesepuh perkumpulan kita akan dapat
menjelaskan apa yang terjadi pada diri Arya Wira-
paksi. Ayolah.... Daripada terlambat, lebih baik..."
Ucapan Ganda terputus, karena pemuda
bertubuh tinggi-kurus ini dihantam keterkejutan.
Ternyata, tubuh Arya Wirapaksi sudah tak ada lagi
di tempatnya. Lima anggota Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti yang lainnya pun turut terkejut.
Mereka segera mengedarkan pandangan. Keterke-
jutan mereka bertambah, saat menemukan Arya
Wirapaksi tengah berdiri tegak di tonjolan tanah
yang agak tinggi. Bagaimana mungkin Arya Wira-
paksi bisa berpindah tempat, selagi pengaruh toto-
kan di tubuhnya belum dilepaskan?
"Ha ha ha...!" Arya Wirapaksi tertawa berge-
lak. Suaranya berkumandang mendirikan bulu
roma. Dalam keremangan malam, bola matanya

yang memancarkan cahaya merah seakan dapat
merobek dada siapa saja yang melihatnya.
"Kau.... Kau tidak apa-apa, Wirapaksi...?"
tanya Ganda, gelagapan.
"Huh! Salah seorang di antara kalian pasti
telah menotok beberapa aliran darah di tubuhku.
Karena, aku telah menguasai ilmu 'Mustika Api',
totokan macam ini tak akan mampu melumpuh-
kan aku. Dan... kalian akan segera merasakan ke-
hebatan ilmu warisan Eyang Arya Balambang Je-
nar! Ha ha ha...!"
Racun dalam tubuh Arya Wirapaksi agak-
nya bekerja  lagi. Racun yang berasal dari Kitab
Pemecahan Lukisan Mustika Api itu membuat otak
Arya Wirapaksi dipenuhi keinginan membunuh.
Dan, pemuda ini pun tampaknya akan segera
menjatuhkan tangan maut terhadap Ganda dan
kelima temannya yang sebenarnya bermaksud
baik.
"Bersiap-siaplah kalian menerima kema-
tian...!" ujar Arya Wirapaksi seraya memutar-
mutar kedua telapak tangan di depan dada.
Keenam anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti menatap tak mengerti. Ketika dari
telapak tangan Arya Wirapaksi muncul bola api
yang memancarkan hawa panas, barulah mereka
menyadari keadaan. Nyawa mereka terancam! Na-
mun, mereka tak tahu apa yang harus dilakukan.
Memberi perlawanan? Atau, lari meninggalkan
tempat?
Kedua telapak tangan Arya Wirapaksi ber-
putar makin cepat. Maka bola yang terbentuk pun

makin membesar. Saat pemuda yang sudah lupa
diri ini menggembor keras, Ganda dan teman-
temannya tersurut mundur beberapa tindak kare-
na kaget. Malam yang tak lagi gelap, menerangi
wajah mereka yang pucat pasi.
"Sadarlah, Wirapaksi...," ujar Ganda, men-
coba bersikap tenang. "Kami adalah anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Perkumpulan
kami punya hubungan baik dengan ayahanda-
mu...."
"Ha ha ha...!" Arya Wirapaksi tertawa berge-
lak. "Aku tidak kenal siapa kalian! Aku tidak tahu-
menahu tentang perkumpulan yang kau sebutkan!
Tapi, kalian mesti tahu. Aku adalah pewaris ilmu
'Mustika Api'. Ha ha ha...!"
Sambil tertawa keras, Arya Wirapaksi me-
lontarkan bola api sebesar kerbau dari pengerahan
ilmu 'Mustika Api'.
Wuuttt!
Bergegas Ganda dan kelima temannya me-
loncat. Tapi... tubuh mereka yang melayang di
udara tiba-tiba berjatuhan ke tanah. Entah bagai-
mana caranya, mereka telah terkena totokan Arya
Wirapaksi yang amat lihai.
Mata para anggota perkumpulan pengemis
yang tinggal di kota Kadipaten Bumiraksa itu me-
lotot lebar menyadari dalam kengerian sangat. Bo-
la api sebesar kerbau yang memancarkan hawa
panas meluncur deras dari atas, siap menimpa tu-
buh mereka!
Namun pada saat yang gawat, melesat dua
sinar kuning langsung menghantam bola api itu.

Hingga....
Blarrrr...!
Sebuah ledakan membahana di angkasa,
membuat bumi berguncang. Bola api yang hendak
merenggut nyawa Ganda dan taman-temannya
langsung buyar.
Para pemuda berpakaian penuh  tambalan
itu masih belum bisa menggerakkan tubuh. Tapi,
mereka bersorak girang dalam hati melihat kehadi-
ran  dua gadis cantik yang salah seorang dikenal
sebagai Dewi Ikata atau Pendekar Wanita Gila.
Timbul harapan dalam diri Ganda dan teman-
temannya. Apalagi, mereka sudah tahu kehebatan
murid Dewi Tangan Api itu.
Sementara, mata Dewi Ikata yang datang
bersama Intan Melati tak berkedip memandang so-
sok pemuda berambut awut-awutan yang hampir
berhasil membunuh enam anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti.
"Arya Wirapaksi...!" desis Dewi Ikata, begitu
mengenali pemuda yang ilmunya baru saja dimen-
tahkan. "Benarkah kau Wirapaksi? Kenapa kau
hendak membunuh anak buah Suropati? Tidak-
kah kau tahu Suropati punya hubungan baik den-
gan ayahandamu?"
Arya Wirapaksi menjawab pertanyaan Pen-
dekar Wanita Gila dengan geram kemarahan. Se-
perti orang kalap, rambutnya dikibas-kibaskan se-
hingga menimbulkan tiupan angin kencang.
"Aku adalah pewaris ilmu 'Mustika Api'! Aku
adalah pewaris Eyang Arya Balambang Jenar!" pe-
kik Arya Wirapaksi sambil terus mengibas-

ngibaskan rambutnya. "Kalian harus merasakan
kedahsyatan ilmuku! Kalian harus mati di tempat
ini! Ha ha ha...!"
Di tengah gelak tawanya, Arya Wirapaksi
menepukkan kedua telapak tangannya di atas ke-
pala. 
Blarrr!
Gelegar dahsyat terdengar, mengiringi mele-
satnya bunga-bunga api yang menerangi kegela-
pan malam. Jangan dikira lesatan bunga-bunga
api itu tidak berbahaya. Justru, itulah puncak dari
kehebatan ilmu 'Mustika Api' warisan Arya Balam-
bang Jenar pendiri wangsa Anggarapura yang hi-
dup puluhan tahun silam.
Mata Ganda dan kelima temannya melotot
lagi. Dalam pengaruh totokan, tentu saja mereka
tak mampu menghindari lesatan bunga api yang
bertebaran ke berbagai penjuru. Sementara, Dewi
Ikata pun tampak bingung, bagaimana harus me-
nolong mereka. Karena pada saat yang sama, di-
rinya juga menjadi sasaran lesatan bunga api.
Intan Melati pun tampak berloncatan ke sa-
na kemari dalam perasaan ngeri. Permukaan ta-
nah tempat bunga-bunga api mendarat tampak
berlubang-lubang, kemudian menyemburkan api
berwarna kebiruan!
Jerit kesakitan terdengar menyayat hati, ke-
tika tubuh Ganda dan kelima temannya mulai ter-
jilat api.
"Hiaaa...!"
Diiringi pekikan nyaring, Pendekar Wanita
Gila melancarkan pukulan jarak jauh, tanpa pedu-

li kalau Arya Wirapaksi adalah putra mahkota Ke-
rajaan Anggarapura!
Wusss...!
Blarrr...!
Dewi Ikata dihantam keterkejutan luar bi-
asa. Dua larik sinar kuning yang melesat dari tela-
pak tangannya seperti membentur benteng gaib.
Sementara Arya Wirapaksi tetap berdiri tegak di
tempatnya. Bunga-bunga api makin banyak ber-
percikan.
Pandangan Dewi Ikata jadi nyalang. Telin-
ganya menangkap jerit kesakitan Intan Melati yang
kain bajunya mulai terbakar. Dewi Ikata semakin
bingung. Pikirannya kalut. Tak mungkin ilmu
'Pukulan Api Neraka' hasil ajaran Dewi Tangan Api
dipergunakannya. Kalau ilmu itu digunakan, maka
tempatnya berada benar-benar akan berubah men-
jadi lautan api, yang panasnya tiada terkira. Ini
sama saja dengan mempercepat kematian Intan
Melati, Ganda dan kelima temannya!
"Chiaaa...!"
Pada saat Pendekar Wanita Gila berada da-
lam kebingungannya, tiba-tiba terdengar pekik
nyaring amat keras yang disusul oleh hembusan
angin kencang. Tubuh para pemuda yang tergele-
tak di tanah sekonyong-konyong terlontar jauh.
Tapi, mereka jadi bernapas lega ketika mendarat di
tanah. Api yang menjilati tubuh tahu-tahu telah
padam. Bahkan, mereka merasakan hawa dingin
seperti berada di dekat bongkahan es amat besar.
Rupanya, tubuh mereka telah terbungkus salju ti-
pis berwarna merah.

Sementara, api yang menyembur-nyembur
dari permukaan tanah, berasal dari panas bumi
akibat kekuatan ilmu 'Mustika Api', telah padam.
Sebagai gantinya, permukaan tanah telah diseraki
butiran-butiran salju berwarna merah.
"Suro...!" pekik Intan Melati ketika melihat
siapa yang telah melumpuhkan ilmu 'Mustika Api'.
Namun, gadis ini segera menutup mulutnya
dengan telapak tangan seperti orang telah kelepa-
san bicara.
"Intan...!" sambut Pengemis Binal yang da-
tang bersama si Wajah Merah.
Melihat Suropati hendak berhambur meme-
luknya, Intan Melati meloncat mundur.
"Jangan, Suro...! Kau...."
"Aku kenapa?" sela Suropati bertanya tak
mengerti.
"Lihatlah itu...."
Pengemis Binal melihat tempat yang ditun-
jukkan Intan Melati. Kontan wajah remaja konyol
ini jadi pucat. Matanya mendelik. Tapi, keterkeju-
tannya segera disembunyikan dengan tawa terke-
keh-kekeh walau terdengar hambar.
"Aku tak tahu kau berada di sini, Ika...,"
ujar Pengemis Binal sambil menatap Pendekar
Wanita Gila yang berdiri mematung di bawah po-
hon.
Suropati yang baru saja menerapkan ilmu
pukulan 'Salju Merah' untuk menolong anak
buahnya tampak cengar-cengir sambil garuk-
garuk kepala. Tak bisa dibayangkan, bagaimana
jengkelnya hati Dewi Ikata bila Intan Melati berse-

dia dipeluknya.
"Awas, Suro...!"
Teriakan si Wajah Merah membuat Penge-
mis Binal, mendadak tersentak. Bola-bola api tam-
pak melesat menuju ke arahnya. Bergegas Suropa-
ti meloncat tinggi. Tapi begitu mendarat di permu-
kaan tanah lagi....
Prashh...!
"Aaahh...!"
Remaja konyol ini memekik kesakitan. Tela-
pak kakinya yang melepuh terasa amat pedih.
Sementara, Arya Wirapaksi menggeram-
geram laksana banteng yang berada pada puncak
kemarahannya. Kedua telapak tangannya dikibas-
kibaskan membuat bola-bola api kecil kembali me-
luncur. Bukan hanya Suropati yang menjadi sasa-
ran, tapi juga Intan Melati, Dewi Ikata, dan si Wa-
jah Merah!
"Gunakan pukulan 'Salju Merah'-mu lagi,
Suro!" teriak si Wajah Merah.
"Hup!"
Cepat sekali Suropati melenting. Dan dalam
keadaan masih melayang di udara, kekuatan tena-
ga dalamnya dihimpun untuk dialirkan ke tangan
kiri. Sengaja tangan kanannya tak ikut dialiri, ka-
rena lukanya masih belum sembuh walau telah
diobati si Wajah Merah.
Bed!
Saat itu pula Pengemis Binal mengibaskan
telapak tangan kirinya beberapa kali. Seketika
timbul gelombang angin dahsyat yang memendar-
kan hawa dingin. Bahkan di tempat itu kini laksa-

na terjadi hujan salju merah.
Namun, Pengemis Binal terperangah. Bola-
bola api kecil yang melesat dari telapak tangan
Arya Wirapaksi ternyata tak mau padam, terus
meluncur membuat serangan mematikan. Permu-
kaan tanah tempat mendarat bola api kecil jadi
berlubang-lubang dan menyemburkan api berwar-
na kebiruan lagi. Agaknya, Arya Wirapaksi berhasil
menarik panas bumi untuk kedua kalinya. Dan itu
berarti mengancam nyawa orang-orang yang bera-
da di sekitarnya!
Kembali Suropati mengibaskan telapak tan-
gan kirinya. Tapi, tindakannya tak menghasilkan
apa-apa. Butiran salju berwarna merah yang di-
timbulkan tampak lumer, terjilat api kebiruan
yang muncul dari dalam tanah!
"Hmm.... Haruskah aku menyerang Arya
Wirapaksi?" tanya Pengemis Binal kepada diri sen-
diri.
Dengan bertumpu pada jari-jari kaki, Pe-
mimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti ini
berloncatan ke sana kemari untuk menghindari
bola-bola api kecil yang terus menghujaninya.
"Apa yang harus kita perbuat, Kek...?!" te-
riak Pengemis Binal dalam kebingungannya.
"Bertahanlah, Suro, Aku akan berusaha
mendekati Arya Wirapaksi!" sahut si Wajah Merah.
Bed! Bed!
Sigap sekali tabib pandai ini menyampok
beberapa bola api yang menuju ke arahnya dengan
tangan telanjang. Bola-bola api itu terlontar, dan
amblas ke dalam tanah. Namun sebagai gantinya,

menyembur api berwarna kebiruan.
Si Wajah Merah tak mempedulikannya. Tu-
buhnya telah digenjot dengan mengerahkan selu-
ruh ilmu meringankan tubuhnya.
Sementara itu, Arya Wirapaksi yang kalap
seperti tak tahu akan datangnya bahaya. Telapak
tangannya terus dikibas-kibaskan. Dan ini mem-
buat si Wajah Merah tersenyum senang. Kedua
tangannya terjulur ke depan, untuk mendaratkan
totokan, Tapi....
Blarrr...!
"Aaakh...!"
Si Wajah Merah memekik nyaring ketika
luncuran tubuhnya membentur kekuatan kasat
mata yang melindungi diri Arya Wirapaksi. Melihat
keadaan ini cepat sekali Suropati berkelebat.
Langsung disambarnya tubuh si Wajah Merah
yang terlontar balik di udara. Maka, selamatlah
kakek ini dari semburan api kebiruan yang akan
membakar tubuhnya bila jatuh ke tanah.
"Kau tak apa-apa, Kek...?" tanya Suropati
penuh rasa khawatir, setelah membawa tubuh si
Wajah Merah belasan tombak jauhnya dari hada-
pan Arya Wirapaksi.
"Tidak apa-apa bagaimana? Jelas aku luka
dalam, Goblok!" maki si Wajah Merah.
Pengemis Binal garuk-garuk kepala seben-
tar. "Cobalah duduk bersila. Aku akan menyalur-
kan hawa murni ke tubuhmu..?."
"Goblok!" maki Wajah Merah lagi. "Sewaktu
kau lakukan itu, Arya Wirapaksi akan membunuh
kita dengan bola api mautnya!"

Suropati cengar-cengir. Selagi remaja konyol
ini garuk-garuk kepala, si Wajah Merah memun-
tahkan darah segar. Merasakan suhu tubuh si Wa-
jah Merah yang meninggi, sinar mata Suropati jadi
nyalang.
"Kau tak boleh mati, Kek!" ujarnya ketolol-
tololan. "Kalau kau mati, siapa nanti yang akan
membebaskan pengaruh jahat dalam diri Arya Wi-
rapaksi?!"
"Aku tidak akan mati, Goblok! Ini hanya lu-
ka dalam ringan!" jelas si Wajah Merah sambil
mendekap dadanya yang sesak. Pada saat yang
sama....
"Aaakh...!"
Dua anak manusia yang usianya jauh ber-
beda itu jadi terkejut ketika mendengar suara jeri-
tan. Terlihat di sana, baju Intan Melati tampak ter-
jilat api! Gadis itu meloncat-loncat kepanasan. Ta-
pi, kakinya justru menginjak api kebiruan yang
menyembur dari dalam tanah!
"Intan...!" pekik Suropati dengan suara se-
rak parau.

7

Tanpa mempedulikan telapak kakinya yang
melepuh, Pengemis Binal menjejak tanah keras-
keras. Karena mengerahkan seluruh kemampuan-
nya saat tubuh remaja konyol ini melesat, berubah
menjadi bayangan putih yang hampir tak dapat di-
tangkap indera penglihatan.

Wesss...!
Saat yang sama, beberapa bola api kecil me-
luncur deras hendak memapaki gerakan Suropati.
Seketika Pengemis Binal mengalirkan kekuatan
tenaga dalam ke kedua kakinya. Dengan mengan-
dalkan ilmu pukulan 'Salju Merah' yang diperoleh
dari Nyai Catur Asta, ditendangnya bola-bola api
yang mengancam jiwanya. Bahkan salah satunya
dipergunakannya sebagai pijakan untuk dapat me-
lenting.
Begitu berada di udara, Suropati mengi-
baskan telapak tangan kirinya yang juga dilambari
ilmu pukulan 'Salju Merah'. Maka lidah api yang
menjilati pakaian Intan Melati kontan padam. Tapi
bersamaan dengan itu, Intan Melati mengeluh
pendek. Lalu, tubuhnya terkulai lemas. Pingsan!
Suropati yang tengah menukik turun sece-
pat kilat menyambar tubuh Intan Melati. Kalau ti-
dak, tubuh gadis itu akan jatuh ke tanah yang di-
penuhi semburan api kebiruan. Secepat kilat pula,
Pengemis Binal membawa Intan Melati ke tempat
aman.
"Periksalah keadaan gadis ini, Kek..," pinta
Suropati setelah meletakkan tubuh Intan Melati di
dekat si Wajah Merah.
Si Wajah Merah mengerutkan kening meli-
hat tubuh Intan Melati yang terbungkus salju tipis
berwarna merah. Segera diperiksanya  detak jan-
tung dan aliran darah si gadis.
"Bagaimana, Kek?" tanya Suropati, me-
nyimpan kekhawatiran.
"Dia tak apa-apa. Hanya telapak kaki dan

sebagian kulit punggungnya terluka bakar," jelas si
Wajah Merah.
"Aku titip keselamatan Intan Melati kepa-
damu, Kek.  Aku akan menghentikan keganasan
Arya Wirapaksi."
Tanpa menunggu jawaban, Pengemis Binal
segera meloncat. "Bertahanlah, Ika! Berusahalah
mendekati dia!" teriak Pengemis Binal di antara
suara gemuruh.
Mendengar teriakan itu, Dewi Ikata yang
dari tadi memang telah berusaha mendekati Arya
Wirapaksi tampak menatap galak pada Suropati.
"Rupanya Intan Melati itu kekasihmu yang
baru, Suro?!" hardiknya sambil meloncat-loncat
menghindari bola-bola api yang datang seperti tak
ada habisnya.
"Lupakan dulu rasa cemburumu, Ika!" tu-
kas Suropati. "Turuti saja ucapanku. Dekati Arya
Wirapaksi!"
"Tanpa kau suruh, aku sudah berusaha se-
dari tadi, Bodoh!"
"Eh?! Kau katakan aku bodoh, Ika?! Ya,
memang aku bodoh. Tapi, aku cukup pintar untuk
berbuat seperti ini...."
Sambil menghindari beberapa bola api yang
meluncur ke arahnya, Pengemis Binal meloncat
mendekati Dewi Ikata. Dan tanpa diduga, Suropati
merengkuh pinggang gadis cantik yang suka me-
makai gelar Pendekar Wanita Gila ini. Lalu, diba-
wanya Dewi Ikata melesat, mendekati Arya Wira-
paksi yang masih mengibas-ngibaskan kedua tela-
pak tangannya untuk menggerakkan bola-bola api

ciptaannya.
Setelah berhasil menjatuhkan belasan bola
api ke tanah, Pengemis Binal melontarkan tubuh
Dewi Ikata sekuat tenaga. Tentu saja Dewi Ikata
terkejut setengah mati. Sudah gilakah Suropati?
Masakan dia melontarkan tubuh Dewi Ikata ke
arah Arya Wirapaksi? Bukankah itu sama saja
dengan membunuh si gadis?
Tidak! Suropati tidak gila! Dia ingin mem-
buktikan kalau dirinya juga tidak bodoh seperti
yang dikatakan Dewi Ikata. Dia paham benar akan
ketinggian ilmu putri tunggal Adipati Danubraja
itu. Perbuatan yang kelihatannya konyol tadi su-
dah diperhitungkannya!
Dan memang tepat perhitungan Suropati.
Karena tak mau terluka dalam jika terbentur ke-
kuatan kasat mata yang  melindungi tubuh Arya
Wirapaksi, Pendekar Wanita Gila melenting dan
melesat di atas kepala Arya Wirapaksi mengguna-
kan gerakan 'Ikan Terbang Membelah Laut' ajaran
guru keduanya yang bergelar si Perangai Gila.
Selagi perhatian Arya Wirapaksi terpecah
karena bola matanya menatap lesatan tubuh Dewi
Ikata, Pengemis Binal menggembor keras. Menda-
dak, dari sekujur tubuh remaja konyol ini meman-
car cahaya kebiru-biruan. Lalu....
Blarrr...!
Cahaya kebiru-biruan merupakan wujud
dari ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma' seketika
membentur kekuatan kasat mata yang melindungi
tubuh Arya Wirapaksi.
Karena Suropati hanya mengerahkan seten-

gah bagian ilmu hasil wejangan Bayangan Putih
Dari Selatan, akibatnya sungguh membuat terke-
jut Dewi Ikata, si Wajah Merah, dan enam anggota
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti yang me-
nyaksikan peristiwa itu dari kejauhan. Tubuh Pen-
gemis Binal tampak terlontar balik laksana dilem-
parkan tangan raksasa. Kalau saja tidak memben-
tur batang pohon, tubuhnya tentu melesat pulu-
han tombak jauhnya.
Brakkk!
"Aaahh...!"
Pekik kesakitan Suropati tersamar oleh sua-
ra gemeretak batang pohon yang retak. Sebentar
kemudian, batang pohon sebesar dua rangkulan
manusia dewasa itu tumbang, memperdengarkan
suara gemuruh keras hingga membuat bumi ber-
getar!
Namun, tindakan  Suropati membuahkan
hasil. Arya Wirapaksi tampak terjajar lima langkah
ke belakang. Kibasan tangannya kontan berhenti.
Dan itu berarti, kekuatan kasat mata yang melin-
dungi tubuhnya telah lenyap.
Melihat kesempatan bagus, Pendekar Wani-
ta Gila meloncat hendak melancarkan totokan. Ta-
pi, loncatannya terhenti oleh pekik keras Arya Wi-
rapaksi yang mengandung kekuatan dahsyat.
Brukkk!
Tubuh Pendekar Wanita Gila kontan jatuh
berdebam ke tanah. Sementara, Arya Wirapaksi
tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah
mengeluarkan jeritan panjang, dia meloncat jauh,
lalu lenyap dalam kegelapan malam.

***

Suasana sunyi yang menyelimuti tanah da-
tar yang terletak di ujung utara kota Kadipaten
Bumiraksa. Hanya desau angin yang terdengar la-
mat-lamat disahuti rintih kesakitan Pengemis Bi-
nal.
"Ika...! Tolong aku, Ika...!" teriak Suropati
dengan suara memelas.
Dewi Ikata berjalan mendekati. Kening gadis
cantik ini berkerut melihat Suropati yang terus
merintih-rintih.
"Kau terluka dalam parah, Suro?" tanyanya,
menunjukkan kekhawatiran.
"Punggungku sakit sekali, Ika. Mungkin tu-
lang belakangku patah. Cobalah periksa...."
Dewi Ikata berjongkok di belakang Suropati
yang tengah menanggalkan bajunya. Lewat cahaya
rembulan, Dewi Ikata memeriksa keadaan pung-
gung si remaja konyol.
"Tulang belakangmu masih utuh, Suro. Di
punggungmu hanya ada luka memar. Kukira ini
tidak berbahaya," jelas Pendekar Wanita Gila.
"Uh! Jangan dilihat saja. Tapi, rabalah...,"
pinta Pengemis Binal sambil menampakkan ringis
kesakitan.
Sementara Dewi Ikata meraba-raba, Suro-
pati tersenyum senang. Matanya meram-melek,
merasakan kenikmatan.
"Tidak, Suro! Kau tidak terluka apa-apa.
Hanya luka memar saja," beri tahu Dewi Ikata lagi.
"Uh! Kau kurang teliti memeriksanya. Ganti

rabaanmu dengan pijitan!"
Karena terbawa rasa khawatirnya, Dewi Ika-
ta menuruti permintaan Suropati. Remaja konyol
ini pun menikmati pijitan jari-jari lembut milik
Dewi Ikata.
"Ah.... Nikmat sekali...," desis Pengemis Bi-
nal tanpa sadar.
"Apa kau bilang?!" kejut Pendekar Wanita
Gila. Sadarlah gadis cantik ini kalau dirinya telah
termakan kekonyolan Suropati.
"Aku rindu sekali padamu, Ika...," bisik
Pengemis Binal.
Mendengar rayuan itu, Pendekar Wanita Gi-
la bukannya senang, tapi malah merengut marah.
Matanya mendelik. Hendak ditamparnya wajah
Pengemis Binal. 
"Eit! Jangan marah begitu!" ujar Suropati
seraya meloncat bangkit.
Suropati tak dapat meneruskan maksud-
nya, karena si Wajah Merah keburu datang. Me-
nyusul kemudian, enam anggota Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti. Rupanya, pengaruh toto-
kan di tubuh mereka telah dilepas oleh si Wajah
Merah.
"Di mana Intan Melati?" tanya Pengemis Bi-
nal. Si Wajah Merah menuding. Intan Melati tam-
pak duduk bersimpuh tak seberapa jauh dari tem-
pat si Wajah Merah berdiri.
"Kasihan dia. Untuk beberapa hari, dia tak
dapat berjalan. Telapak kakinya terluka bakar cu-
kup parah," tutur si Wajah Merah.
"Tapi bisa sembuh seperti sedia kala, bu-

kan?" sahut Pengemis Binal.
Si Wajah Merah mengangguk. "Dia akan
sembuh seperti sedia kala. Tak akan ada bekas lu-
ka di kulitnya. Hanya saja, itu membutuhkan wak-
tu beberapa pekan. Aku telah membantunya den-
gan memborehkan ramuan obat yang selalu kuba-
wa."
"Syukurlah kalau begitu. Intan Melati tak
akan kehilangan kemulusan kulitnya," ucap Suro-
pati sambil mengenakan bajunya. 
"Kemulusan kulitnya?" sahut Dewi Ikata.
"Berarti, kau pernah meraba-rabanya, Suro?!"
Melihat Pendekar Wanita Gila merengut ma-
rah, Suropati malah tertawa terkekeh-kekeh. "Bu-
kankah kau tadi juga meraba-raba punggungku,
Ika?" godanya.
Remaja konyol ini memang tak menderita
luka dalam, walau punggungnya telah membentur
batang pohon besar hingga tumbang.
"Tapi, aku.... Bukankah aku kekasihmu,
Suro?"
"Siapa yang bilang bila kau kekasihku?"
sergah Pengemis Binal.
"Kau... kau lupa pada janjimu, Suro...?"
ucap Dewi Ikata kaget. Pipi gadis cantik ini merona
merah dengan mata terbelalak lebar.
"Janji? Janji apa?" tukas Pengemis Binal
dengan wajah dibuat sungguh-sungguh, seperti te-
lah lupa pada janji yang pernah diucapkannya di
taman keputren Kadipaten Bumiraksa.
Termakan kekonyolan Pengemis Binal,
mendadak Dewi Ikata melelehkan air mata. Ingin

sekali gadis ini menghajar Pengemis Binal yang
bersifat mata bongsang. Tapi, itu tak dilakukannya
karena malu dilihat orang. Entah bila di tempat itu
tak ada orang lain. Barangkali Pengemis Binal
akan diserangnya habis-habisan.
"He he he...," Suropati malah tertawa ter-
kekeh. "Kau menangis, Ika. Berarti kau takut kehi-
langan diriku. Aku senang, Ika. Aku tadi kan
hanya bercanda."
Sementara itu, Intan Melati yang mendengar
ucapan Suropati langsung menundukkan kepala.
Rasa sedih memukul hatinya lagi. Ternyata, benar
apa yang dikatakan Jaka Pamulang. Suropati ada-
lah kekasih Dewi Ikata.
Dalam kesedihan itu, di benaknya ter-
bayang wajah Rama Ludira, ayahnya. Tiba-tiba ga-
dis ini merindukan orang yang sangat mengasi-
hinya itu.
"Ayah...," desah Intan Melati. "Maafkan In-
tan, Ayah. Intan telah pergi tanpa izin...."
Sementara Intan Melati membayangkan
masa-masa indah bersama ayahnya, Suropati
tampak menggaruk-garuk kepalanya yang tak gat-
al. Remaja konyol ini tahu, apa yang berkecamuk
di hati Intan Melati. Tapi, dia bingung mesti ber-
buat apa. Yang bisa dilakukannya hanya garuk-
garuk kepala yang merupakan kebiasaan sangat
menyebalkan!
"Telah kau pikirkan bagaimana mengatasi
keadaan Arya Wirapaksi, Suro?"
Mendengar pertanyaan si Wajah Merah,
Pengemis Binal cengar-cengir. Ditatapnya wajah

Dewi Ikata.
"Bagaimana menurut pendapatmu, Ika?"
tanyanya untuk meredakan kekesalan hati Dewi
Ikata.
"Aku tak tahu!"
Suropati mendesah panjang mendengar na-
da ketus bicara Pendekar Wanita Gila.
"Malam makin larut Bagaimana kalau kita
beristirahat dulu di rumahmu, Ika? Kau tak ber-
keberatan, bukan? Dalam keadaan lelah seperti
ini, kita semua tak mungkin dapat berpikir jernih."
Dewi Ikata tak menjawab. Tapi, itu diartikan
sebagai persetujuan oleh Suropati. Remaja konyol
ini melangkah untuk membopong Intan Melati
yang tak bisa jalan sendiri. Namun, langkahnya
terhenti karena....
"Bunuh saja aku, Eyang! Bunuh saja aku,
Eyang!"
Terdengar teriakan keras yang muncul dari
kegelapan. Suara itu kemudian terdengar lamat-
lamat
"Tolonglah aku.... Tolonglah aku...."
Begitu kembali terdengar teriakan keras,
mendadak muncul sesosok tubuh berjalan sem-
poyongan sambil mendekap kepala.
"Arya Wirapaksi...!" desis semua orang yang
ada di tempat itu.
"Ya. Aku memang Arya Wirapaksi...," sahut
pemuda yang baru datang. "Tolonglah aku.... Aku
telah terkena racun jahat. Racun itu merubah di-
riku jadi manusia kejam yang penuh nafsu mem-
bunuh. Tolonglah aku...."

Arya Wirapaksi tak dapat melanjutkan ka-
limatnya. Mendadak saja suaranya tercekat di
tenggorokan karena pening di kepalanya menghe-
bat. Tubuh putra mahkota ini kemudian jatuh ter-
kulai di tanah dalam keadaan pingsan!
Semua yang melihat saling pandang.
"Kau harus cepat menolongnya, Kek!" ujar
Pengemis Binal.
Si Wajah Merah cepat meloncat ke arah
Arya Wirapaksi. Dan kakek ini pun terkesiap keti-
ka memeriksa keadaan putra mahkota itu. Suhu
badan pemuda itu amat tinggi seperti habis keluar
dari tungku pembakaran.
"Mendekatlah kemari, Suro...."
Bergegas Pengemis Binal menuruti permin-
taan si Wajah Merah. Dewi Ikata dan enam anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti turut
mendekat. Hanya Intan Melati yang masih duduk
bersimpuh di tempatnya.
"Aku tidak bisa menyentuhnya, Suro. Suhu
badannya panas sekali," jelas si Wajah Merah.
"Bantulah aku dengan ilmu pukulan 'Salju Merah'-
mu." 
Serta-merta Suropati menarik napas pan-
jang. Bersama udara yang keluar dari lubang hi-
dung, dialirkannya tenaga dalam ke telapak tan-
gan kiri. Dengan ilmu pukulan 'Salju Merah', Pen-
gemis Binal membuat selubung salju tipis di tubuh
Arya Wirapaksi.
Cepat sekali si Wajah Merah membuat be-
berapa totokan. Diperiksanya detak jantung dan
aliran darahnya.

"Celaka...!" desah si Wajah Merah dengan
peluh membanjir di seputar dahinya.
"Ada apa, Kek?" tanya Pengemis Binal, kha-
watir.
"Aku tak sanggup mengeluarkan racun da-
lam tubuh pemuda ini...." 
"Kenapa?"
"Racunnya telah masuk ke otak dan mem-
pengaruhi jaringan sarafnya."
"Apakah itu berarti Arya Wirapaksi akan
menjadi orang jahat sepanjang hidupnya?" buru
Pengemis Binal.
Si Wajah Merah mengangkat bahu. "Aku tak
tahu. Tapi yang pasti, nyawanya tak akan lebih da-
ri dua pekan bersemayam dalam raganya."
"Kau harus berusaha menolongnya, Kek!
Dia putra mahkota! Kelak, dialah yang memimpin
Kerajaan Anggarapura! Dia tidak boleh mati!" pinta
Pengemis Binal terbawa kekalutannya.
Bagaimanapun juga, Pemimpin Perkumpu-
lan Pengemis Tongkat Sakti ini mempunyai hu-
bungan baik dengan Prabu Arya Dewantara. Maka,
pantas saja bila menunjukkan rasa khawatirnya
atas keadaan putra mahkota itu.
"Aku bisa saja memperpanjang usia Arya
Wirapaksi dengan memberikan beberapa ramuan
obat. Tapi, racun jahat dalam tubuhnya masih
akan tetap bekerja. Bila ini kulakukan, sama saja
menyiksa jiwa Arya Wirapaksi. Dia akan hidup
dengan otak setengah gila. Bila kumat, dia akan
lupa pada diri sendiri. Dan benaknya dipenuhi
keinginan untuk membunuh," jelas si Wajah Me-

rah.
Mengelam paras Pengemis Binal mendengar
penuturan si Wajah Merah. Tapi, setitik sinar te-
rang terbesit di hati remaja konyol ini.
"Putri Racun...!" desisnya. "Putri Racun pas-
ti bisa melepaskan racun yang menyerang Arya
Wirapaksi!"
"Mungkin saja dia mampu. Tapi, kita hanya
punya waktu dua pekan untuk mencarinya," kata
si Wajah Merah.
"Aku akan menyebar seluruh anggota Per-
kumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Mudah-
mudahan berhasil...."
"Sebaiknya kita bawa Arya Wirapaksi ke
Pendapa Kadipaten," cetus Dewi Ikata kemudian.
"Ya. Itu usul yang bagus!" sahut Pengemis
Binal. "Kau bopong tubuh Arya Wirapaksi, Kek.
Aku akan membopong Intan Melati."
Mendelik mata Dewi Ikata mendengar uca-
pan Suropati. Ketika Pengemis Binal hendak me-
langkah, Dewi Ikata mendahului. Disambarnya In-
tan Melati, lalu dibawa berlari cepat.
"Cepat ikuti aku!" teriak Dewi Ikata dari ke-
jauhan.
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepala
dengan senyum getir.
"Ayo, Suro! Tunggu apa lagi?" ujar si Wajah
Merah sambil membopong tubuh Arya Wirapaksi
untuk dibawa berlari mengikuti Dewi Ikata.
"Kalian tak perlu ikut...," cegah Pengemis
Binal saat melihat enam anak buahnya hendak
berlalu dari tempatnya.

"Siapa yang mau ke Pendapa Kadipaten?
Lebih enak tidur di Kuil Saloka!" cibir Ganda, se-
raya mengempos tubuhnya. Pemuda itu cepat ber-
lari meninggalkan tempat ini diikuti kelima teman-
nya.
Suropati garuk-garuk kepala sebentar, lalu
turut berkelebat menembus kegelapan malam.
Dapatkah Arya Wirapaksi terbebas dari ra-
cun ganas yang membuatnya lupa diri?


SELESAI


Segera terbit!!!
Serial Pengemis Binal dalam episode:
ASMARA PUTRI RACUN