Pengemis Binal 8 - Tabir Air Sakti(2)




4

Sang baskara tenggelam di peraduannya. Langit
yang semula merah Jingga berubah kelam. Sang can-
dra hanya sanggup memberi cahaya temaram. Ketika
awan berarak mengabuti, gelap pun menerpa bumi
Di pintu gerbang Kotapraja Kerajaan Anggara-
pura dua orang penjaga tampak berdiri tegak. Dengan
senjata tombak dan perisai bundar warna emas mere-
ka kelihatan sangat gagah. Tubuh tinggi besar berhias
otot-otot yang menonjol serta sorot mata tajam me-
nambah kewibawaan mereka.
Dari dalam keremangan malam dua sosok
bayangan terlihat berkelebat. Kedua penjaga yang su-
dah sangat terlatih itu segera menyilangkan tombak. 
"Berhenti!" teriak salah seorang dari mereka.
Dua bayangan yang tak lain Suropati dan Yaniswara
segera melangkah perlahan. Suropati membungkuk se-
raya tersenyum tipis.
"Saya hendak menghadap Gusti Wirasantri...."
Para penjaga pintu gerbang memperhatikan dengan
seksama wajah Suropati dan Yaniswara.
"Ah, kau...," gumam salah seorang dari penjaga
itu. Lalu menarik tombaknya yang menyilang. Tinda-
kannya segera diikuti oleh temannya. "Silakan...," ucap
lelaki bertubuh tinggi tegap itu. Orang yang berdiri di
hadapannya ternyata Suropati yang sudah dia kenal.
Tanpa mau membuang waktu Suropati segera
menggandeng kembali lengan Yaniswara. Lalu berkele-
bat cepat memasuki kotapraja.
"Tampaknya kau sudah sangat ternama," ucap
Yaniswara sambil memperlambat gerakan kakinya.
"Hmmm.... Jadi, aku sudah tak perlu lagi mem-

perkenalkan diri kepadamu, bukan?"
"Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti terkenal
sampai ke Kerajaan Saloka Medang. Semula aku me-
nyangka pemimpinnya seorang tokoh digdaya yang
sangat berwibawa dan terkesan angker. Tapi, ternyata
dia tak lebih dari seorang remaja, konyol yang tingkah
lakunya macam orang gila," seloroh Yaniswara dengan
bibir mengejek.
"Namun kau suka, bukan?"
"Tidak!"
"He he he.... Kalau tidak suka, kenapa tadi kau
mau ku...."
Kalimat Suropati tak berlanjut karena jemari
Yaniswara telah mencubit pinggangnya. Terdengar jerit
kecil dari mulut Pengemis Binal.
"Uh! Cubitan mu mengingatkan ku pada...."
"Pada siapa?" sergah Yaniswara cepat.
"Ah, tidak!" Suropati menggelengkan kepalanya
kuat-kuat
"Kekasihmu?"
Suropati menggaruk-garuk kepalanya. Yanis-
wara jadi gemas. Sebuah cubitan dia hadiahkan lagi.
Kali ini bukan jeritan yang keluar dari mulut Pengemis
Binal, melainkan kata 'nikmat'. Tentu saja Yaniswara
jadi sewot. Gadis itu berjalan cepat meninggalkan Su-
ropati.
"Eh, kau marah?"
Yaniswara tak menjawab. Menoleh pun tidak.
Pengemis Binal tertawa terkekeh. "Kau hendak ke ma-
na?" tanyanya.
"Untuk menghadap Gusti Wirasantri, aku su-
dah tak perlu bantuanmu!" sentak Yaniswara.
"Baik. Tapi jalannya bukan ke situ...."
Mendengar ucapan Suropati, langkah Yaniswa-

ra langsung terhenti.
"Tempat kediaman Gusti Wirasantri berada di
sebelah sana. Mestinya tadi kau berbelok ke kanan,"
Suropati menunjukkan arah yang seharusnya ditem-
puh Yaniswara.
"Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" Yaniswara
kelihatan jengkel bukan main. Apalagi saat melihat
Suropati tersenyum-senyum sendiri.
"Habis cubitan mu membuatku linglung. He he
he "
Yaniswara menggerutu. Gadis itu cepat me-
langkah mengambil jalan yang telah dilaluinya. Saat
melihat belokan dia berlari kecil. Tapi, langkah gadis
cantik itu terhenti. Pengemis Binal telah mengamit len-
gannya.
"Malam-malam begini untuk menghadap seo-
rang punggawa tinggi kerajaan tidak sembarang orang
diperkenankan," beritahu Suropati.
"Aku akan nekat. Toh, tujuanku baik...."
"Tujuanmu memang baik. Tapi prasangka para
penjaga siapa yang tahu. Kalau sudah disangka pe-
rempuan nakal, baru tahu rasa," Suropati memelo-
totkan matanya.
"Uh! Kau yang membuat perjalananku kemari
keburu dihadang malam!" sungut Yaniswara.
"Baik, aku salah. Tapi aku akan membantumu.
Gusti Wirasantri sudah mengenal aku. Itu akan mem-
permudah urusan."
Yaniswara diam. Gadis itu tampak berpikir.
"Bagaimana? Kau terima tawaran baikku?" de-
sah Suropati.
Tanpa menunggu jawaban Yaniswara, Pengemis
Binal menggandeng lengan Yaniswara untuk diajak
berjalan. Gadis cantik itu hanya menurut saja.

Sementara itu, di sebuah ruangan lebar yang
diterangi lampu minyak berhias pernik-pernik indah
Gustri Wirasantri duduk di kursi berukir. Dia belum
mengganti pakaian kebesarannya. Malam memang be-
lum begitu larut, sehingga keinginan untuk pergi ke
pembaringan belum mengusik hatinya.
Dengan menyelonjorkan kedua kaki di atas me-
ja, punggawa kerajaan yang berkedudukan setingkat
dengan tumenggung itu tampak merenung. Sebatang
cangklong yang berisi tembakau bercampur candu di-
isapnya kuat-kuat. Asap putih bergulung-gulung me-
menuhi ruangan. Tapi segera lenyap keluar lewat lu-
bang-lubang angin.
Rambut lelaki gemuk yang tidak seberapa tinggi
itu telah berwarna dua. Digelung ke atas dengan hia-
san gelang emas. Tidak ada kerut di wajahnya, walau
dia telah berusia lima puluh tahun lebih.
Jabatan Gusti Wirasantri adalah pengurus pa-
jak kerajaan. Walaupun tugas sehari-harinya selalu
berhubungan dengan uang, tak sekalipun dia pernah
melakukan penyelewengan. Dalam catatan Prabu Arya
Dewantara pun nama Gusti Wirasantri masih terpeli-
hara bersih. Seluruh punggawa kerajaan mengenal
Gusti Wirasantri sebagai seorang aparat kerajaan yang
jujur dan penuh pengabdian.
"Siapa?" tanya lelaki gemuk berwajah halus itu
saat mendengar ketukan perlahan di pintu. 
"Hamba, Gusti...."
Terdengar jawaban yang dibarengi dengan ter-
bukanya daun pintu. Gusti Wirasantri menurunkan
kedua kakinya dari atas meja. Seorang kakek berpa-
kaian putih seperti pendeta berjalan tiga tindak setelah
menutup daun pintu kembali. Gusti Wirasantri men-
gangguk pelan membalas penghormatan si kakek.

"Kenapa kau kemari, Gisandra?" tanya Gusti
Wirasantri setelah mengisap cangklongnya.
Kakek yang dipanggil Gisandra membungkuk
"Ada berita penting yang hendak hamba sampaikan,
Gusti."
"Hmmm..."
"Di perbatasan Kademangan Maospati Ekspedi-
si Kencana Mega dicegat para perampok."
Mendengar penuturan itu mata Gusti Wirasan-
tri langsung terbeliak. Sesaat kemudian dia mengge-
brak meja seraya bangkit dari duduknya. "Dari mana
kau tahu hal itu, Gisandra?!"
"Salah seorang anak buah hamba melaporkan
kejadian itu. Menurut laporannya, Gerombolan Rantai
Maut telah membunuh seluruh pengawal barang Eks-
pedisi Kencana Mega."
"Lalu...."
"Entah bagaimana kejadiannya, seluruh anggo-
ta Gerombolan Rantai Maut sendiri menemui ajal.
Termasuk pemimpinnya yang bernama Barong Kala."
"Barang Tuhisa Brama yang hendak dikirimkan
kepadaku apakah lenyap?"
"Benar, Gusti...."
Gusti Wirasantri menghembuskan napas berat.
Rahangnya mengeras dan bahu lelaki gemuk itu terli-
hat naik turun. Dengan mata berkilat ditatapnya wajah
Gisandra. Tapi yang ditatap tersenyum tipis.
"Gusti Wirasantri tidak perlu gusar...," ucap
kakek berpakaian seperti pendeta itu. "Masih ada ke-
mungkinan barang Tuan Tuhisa Brama akan sampai
ke tangan Gusti Wirasantri."
Mendengar laporan itu, sinar mata Gusti Wira-
santri kembali meredup. Diisapnya cangklongnya kuat-
kuat.

"Katakan semua yang kau ketahui sejelas-
jelasnya, Gisandra!"
Dibentak-bentak demikian Gisandra mengang-
kat alisnya. Tapi kemudian dia menjelaskan juga me-
nurut apa yang didapat dari laporan anak buahnya.
"Ekspedisi Kencana Mega berangkat dari Kota-
praja Kerajaan Saloka Medang dengan dipimpin putri
tunggal Lodra Sawala. Dia bernama Yaniswara. Di an-
tara mayat yang bergelimpangan di perbatasan Kade-
mangan Maospati, gadis itu tidak ada. Besar kemung-
kinan dia melarikan diri dengan membawa barang
Tuan Tuhisa Brama."
"Apakah besar pula kemungkinannya gadis itu
akan menyampaikan barang yang dibawanya kepada-
ku?" tanya Gusti Wirasantri.
"Hamba yakin, Gusti. Orang-orang Ekspedisi
Kencana Mega mempunyai pengabdian yang tinggi ter-
hadap pekerjaannya. Karena itu, Gusti Wirasantri ti-
dak perlu khawatir."
Sampai di situ pembicaraan terhenti Gusti Wi-
rasantri kembali mengambil tempat duduknya. Setelah
meletakkan cangklong di meja, laki-laki itu tampak
berpikir.
"Kau tahu siapa yang membunuh para pengaw-
al barang Ekspedisi Kencana Mega bersama seluruh
anggota Gerombolan Rantai Maut?" tanya lelaki gemuk
itu kemudian
"Hamba tidak tahu. Tapi menurut penuturan
anak buah hamba, belasan wanita berpakaian serba
ungu telah melakukan perbuatan biadab itu."
"Hmmm... Siapa mereka?" gumam Gusti Wira-
santri. "Gisandra, yakinkah kau gadis yang bernama
Yaniswara itu selamat dari tangan maut mereka?"
"Seorang kakek sebaya dengan hamba yang

berpakaian ala pengemis telah menyelamatkannya,"
beritahu Gisandra
"Gede Panjalu, sesepuh Perkumpulan Pengemis
Tongkat Saktikah orang itu?" tebak Gusti Wirasantri
sedikit berharap.
"Bukan."
"Lalu, siapa?"
"Hamba tidak tahu. Namun menurut penuturan
anak buah hamba, ilmu kepandaian orang itu sangat
hebat...."
Tiba-tiba saja, Gusti Wirasantri tertawa terba-
hak-bahak. Tubuhnya yang gemuk sampai bergerak-
gerak membuat kursi yang didudukinya berderak. Gi-
sandra menatap dengan sinar mata tak mengerti.
"Air sakti...," gumam Gusti Wirasantri.
"Air sakti, Gusti?" Gisandra menegaskan.
"Ya. Barang Tuhisa Brama yang dikirimkan ke-
padaku itu adalah air sakti. Sebentar lagi seluruh to-
koh kerajaan akan bertekuk-lutut di hadapanku. Den-
gan demikian, tampuk pimpinan di Kerajaan Anggara-
pura akan berpindah ke tanganku. Ha ha ha...!"
Gisandra terperangah. "Apa maksud Gusti Wi-
rasantri?!"
Laki-laki gemuk itu tiba-tiba merasa begitu ter-
pojok. Dia telah membuka suatu rahasia. Dengan pan-
dangan aneh lelaki gemuk itu menatap wajah Gisandra
yang melangkah mundur satu tindak. Bentakan Gusti
Wirasantri kemudian mencegah niat kakek itu untuk
berlalu.
"Apa maksud Gusti Wirasantri sebenarnya?"
tanya Gisandra dengan suara bergetar.
"Gisandra...," panggil Gusti Wirasantri pelan.
"Hamba, Gusti."
"Di mata semua punggawa kerajaan aku mem-

punyai nama baik. Baginda Prabu pun menganggap
aku seorang punggawa yang sangat setia...," lanjut
Gusti Wirasantri perlahan. "Oleh karena itulah Gisan-
dra, kau tak perlu membuka mulut akan apa yang ba-
ru saja kau dengar."
Gisandra merenung sejenak. Lalu katanya, "Ta-
di Gusti Wirasantri mengatakan hendak membuat se-
luruh tokoh kerajaan bertekuk-lutut, dan tampuk
pimpinan Kerajaan Anggarapura akan berpindah ke
tangan. Gusti, apakah itu mengisyaratkan kalau Gusti
hendak melakukan pemberontakan?"
"Ha ha ha.... Untuk membentuk bala tentara
aku tak bisa. Hal itu akan mengundang kecurigaan.
Maka, melalui ilmu kesaktianlah aku akan menggu-
lingkan tahta Arya Dewantara. Ha ha ha...."
Gisandra terpekur. Dalam hati dia berkata,
"Tak kusangka orang yang selama ini ku junjung tinggi
ternyata seorang penjahat culas yang haus kekua-
saan...."
"Gisandra!"
Bentakan Gusti Wirasantri mengejutkan kakek
berpakaian seperti pendeta itu. "Hamba, Gusti...,"
ucapnya buru-buru.
"Seluruh muridmu ada berapa orang jumlah-
nya?"
"Sekitar lima puluh," sahut Gisandra agak ragu.
Dia merasakan maksud jelek Gusti Wirasantri dalam
pertanyaan itu.
"Huh! Jumlah yang terlalu kecil. Tapi, kuharap
kau bersedia membantu untuk mewujudkan impian
ku, Gisandra."
"Hamba bersedia membantu Gusti Wirasantri
dalam kebaikan."
"Apa maksudmu?"

Gisandra menatap tajam wajah junjungannya.
"Hamba menentang keinginan Gusti Wirasantri yang
hendak makar," ujarnya dengan berani.
Tiba-tiba, Gusti Wirasantri bangkit dari duduk-
nya seraya menggebrak meja hingga hancur berkeping-
keping. Tentu saja Gisandra terkejut. Kakek itu lang-
sung melangkah mundur. Namun, tanpa disangka ser-
pihan kayu meja melayang ke arahnya. 
Wuuuttt...! Tak...! 
Kalau saja Gisandra bukan tokoh berilmu tinggi
tentu dia sudah terbaring tanpa nyawa dengan kepala
remuk. Gusti Wirasantri tampak terperangah melihat
serangannya gagal, hanya dengan geseran tubuh Gi-
sandra yang seperti asal-asalan.
"Hmmm.... Bila kau tak bersedia membantuku,
jangan harap udara segar masih dapat kau hirup!" an-
cam Gusti Wirasantri.
"Di bawah pimpinan Prabu Arya Dewantara ra-
kyat Kerajaan Anggarapura sudah hidup aman dan
tenteram. Untuk apa Gusti Wirasantri hendak merebut
kekuasaan?" 
"Bangsat!"
Mata Gusti Wirasantri mendelik. Dengan sinar
mata nyalang ditatapnya Gisandra tajam-tajam
"Berdoalah sebelum maut menjemput, Kerbau
Tua!"
Gisandra tak melakukan tindakan apa pun.
Matanya terus memandang perubahan Wajah junjun-
gannya yang tiba-tiba terlihat buas laksana harimau
marah. Gusti Wirasantri mengangkat kedua pergelan-
gan tangannya. Gisandra langsung mengambil sikap
sedia. Junjungannya itu tampaknya sudah sampai pa-
da puncak kemarahannya untuk segera menjatuhkan
tangan maut

Kedua telapak tangan Gusti Wirasantri me-
nangkup di atas kepala, lalu perlahan-lahan turun.
Kemudian, dengan cepat dia bentangkan kembali. Ber-
samaan dengan itu kedudukan kakinya digeser hingga
setengah berjongkok. Ketika lelaki gemuk itu mengge-
ram seraya menghirup udara, suatu kekuatan kasat
mata yang mempunyai daya isap dahsyat menghunjam
ke arah Gisandra. 
"Argh...!"
Kakek berpakaian seperti pendeta itu mundur
setindak sambil mendekap dada. Jantungnya dirasa-
kan berdegup kencang. Pandangannya mengabur ka-
rena pening di kepala. Sadarlah Gisandra kalau dirinya
telah terkena ilmu kesaktian Gusti Wirasantri.
"Aku memberi kesempatan kepadamu untuk
mengucap doa, Kerbau Tua!"
Ucapan Gusti Wirasantri hanya dibalas dengan
dengusan keras. Lelaki gemuk itu kembali menggeram
seraya menghirup udara lebih kuat. Akibatnya, tubuh
Gisandra bergetar hebat. Seluruh kekuatan tenaga da-
lam yang telah dia salurkan tak mampu berbuat ba-
nyak. Tubuh Gisandra semakin bergetar hebat. Saat
kakek itu menyilangkan kedua telapak tangannya di
depan dada, asap tipis membumbung keluar dari teng-
kuk.
Srash...!
Butiran keringat muncrat dari sekujur tubuh
Gisandra. Pakaian yang dikenakan sampai berlubang-
lubang seperti habis dimakan rayap!
"Malaikat Kematian sudah berada di depan ma-
tamu!" desis Gusti Wirasantri. Dihirupnya udara lebih
kuat lagi dengan berlambarkan ilmu 'Penghisap Jagad'!
Dibarengi jeritan menggidikkan hati, suatu pe-
mandangan yang mengerikan segera terlihat. Yang

muncrat dari sekujur tubuh Gisandra bukan hanya
keringat tapi juga cairan kental berwarna merah. Da-
rah! Setelah mendengar suara mirip letupan cukup ke-
ras, dada kiri Gisandra jebol. Jantungnya terlontar dan
membentur tembok hingga lumat.
Dalam keadaan tanpa nyawa tubuh kakek itu
masih tetap berdiri di tempatnya. Namun usai Gusti
Wirasantri menarik ilmu 'Penghisap Jagad'-nya, tubuh
Gisandra langsung jatuh terjengkang.

***

Kedatangan Yaniswara bersama Suropati men-
gejutkan Gusti Wirasantri. Tapi setelah Yaniswara
memperkenalkan diri, senanglah hati punggawa kera-
jaan itu. Di ruangan luas yang terdapat di bagian de-
pan bangunan tempat tinggalnya, Gusti Wirasantri
menyambut kehadiran mereka dengan suka cita.
Seorang pelayan datang menyajikan hidangan.
Yaniswara jadi kikuk karena sambutan tuan rumah
yang dirasa terlalu berlebihan. Apalagi ketika memper-
hatikan keadaan dirinya yang berbaju koyak-koyak,
Yaniswara semakin tidak bisa bergerak bebas. Menye-
sallah dia kenapa sebelum menghadap Gusti Wirasan-
tri tidak mengganti baju terlebih dahulu.
Bila Yaniswara hanya berbicara seperlunya,
lain halnya dengan Suropati. Remaja konyol itu tam-
pak sangat gembira. Mulutnya tak henti-henti bicara
sambil menikmati hidangan yang memang sangat lezat.
Ketika meneguk arak wangi nomor satu, kekehan ta-
wanya terus terdengar.
Gusti Wirasantri yang sudah mengenal pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu menim-
pali kegembiraan Suropati dengan kata-kata bijak.

"Seorang tamu adalah raja bagi tuan rumah.
Sudah selayaknya dia dijamu sedemikian rupa. Hing-
ga, bila sang tamu telah kembali sikap baik tuan ru-
mah akan melekat terus dalam benaknya...."
"Tepat!" timpal Suropati setelah menghirup
aroma arak yang begitu memikat. "Hidangan tuan ru-
mah yang disajikan dengan ikhlas tak layak dibiarkan
begitu saja."
Sambil berucap demikian, Suropati menginjak
telapak kaki Yaniswara yang tampak salah tingkah.
"Ha ha ha...," tawa Gusti Wirasantri. "Ayolah,
Gadis Manis. Kenapa mesti sungkan-sungkan untuk
menikmati hidangan. Setelah melakukan perjalanan
yang demikian jauh, tidakkah kau ingin santai seje-
nak?"
"Terima kasih, Gusti...," ucap Yaniswara.
Pengemis Binal mengaduh dalam hati. Telapak
kakinya diganti digencet dengan keras oleh Yaniswara.
Walaupun apa yang dilakukan gadis cantik itu terjadi
di bawah meja besar yang tertutup kain sutera beren-
da, namun Gusti Wirasantri tahu. Lelaki gemuk itu
pun tertawa terbahak-bahak.
Setelah dirasa cukup berbasa-basi, Gusti Wira-
santri lalu menatap wajah Yaniswara lekat-lekat. "Aku
ikut berduka cita atas meninggalnya kedua puluh
orang anak buahmu di perbatasan Kademangan Maos-
pati. Aku sangat menghargai pengabdian pemuda-
pemuda perkasa itu. Kau pun sangat bertanggung ja-
wab untuk mengemban tugasmu, Gadis Manis...," ujar
lelaki itu dengan bersungguh-sungguh.
"Ah, kami hanya menjalankan apa yang sudah
menjadi kewajiban kami," kilah Yaniswara merendah.
Gadis cantik itu kemudian meletakkan kotak
kayu berukir yang dibawanya ke atas meja. Mata Gusti

Wirasantri menatap penuh kegembiraan. Dengan di-
iringi suara tawa yang lepas bebas, diraihnya kotak
kayu berukir itu.
"Selain uang yang telah kau terima dari Tuhisa
Brama, aku akan memberikan hadiah menarik kepa-
damu, Gadis Manis."
"Terima kasih, Gusti...," Yaniswara tersenyum
senang.
Perlahan-lahan tangan Gusti Wirasantri mena-
rik penjepit logam, lalu membuka tutup kotak kayu be-
rukir. Tapi lelaki gemuk itu jadi tercengang. Matanya
bersinar aneh.
"Apakah aku sedang menjumpai sebuah per-
mainan?" tanya laki-laki itu. Suaranya terdengar begi-
tu sumbang.
"Permainan apa, Gusti?" tanya Yaniswara tak
mengerti.
Gusti Wirasantri meletakkan kembali kotak
kayu berukir yang dipegangnya ke atas meja. Dengan
sebuah jentikan kecil benda itu  digeser ke hadapan
Yaniswara.
Gadis cantik itu pun terkejut. Kotak kayu beru-
kir yang telah dipertahankannya dengan memperta-
ruhkan nyawa ternyata kosong!
"Barang yang berada di dalam kotak kayu be-
rukir itu sangat berharga bagiku. Kau tak perlu mem-
buat permainan konyol ini, Gadis Manis," ucap Gusti
Wirasantri dengan suara berat.
Yaniswara tak mampu berucap. Matanya terus
menatap kotak kayu berukir di hadapannya. Peruba-
han raut muka Yaniswara yang memucat ditangkap
oleh Suropati. Remaja konyol itu langsung melongok-
kan kepalanya melihat ke dalam kotak kayu. Dia pun
menggaruk-garuk kepalanya melihat kotak kayu beru-

kir tak berisi apa-apa.
Menyaksikan sikap kedua tamu di hadapannya
yang seperti kerbau linglung, Gusti Wirasantri men-
dengus. Dia lalu bangkit dari duduknya.
"Cepat serahkan barang Tuhisa Brama kepada-
ku!" teriak laki-laki itu.
"Saya tak mengerti dengan semua ini, Gusti...,"
ucap Yaniswara dengan suara bergetar. "Tugasku
mengantarkan sebuah peti kayu besar. Tapi setelah
peti kayu besar itu pecah akibat ulah perampok, saya
hanya mendapati kotak kayu berukir ini."
"Jangan membual! Nyawamu tak lebih berharga
dari barang yang dikirimkan Tuhisa Brama kepadaku!"
Yaniswara bangkit dari tempat duduknya.
"Saya mengerti, Gusti. Tapi, mungkinkah saya
menggelapkan barang itu sementara saya telah meng-
hadap Gusti Wirasantri melalui pengorbanan seluruh
anak buah saya?!" Gadis cantik itu kelihatan begitu
gusar.
Mendengar ucapan Yaniswara yang ketus, mata
Gusti Wirasantri berkilat. Nafasnya menjadi berat oleh
luapan rasa marah. Namun, dia masih mencoba untuk
bersabar.
"Akan kuberikan hadiah besar kepadamu bila
kau bersedia menyerahkan barang kiriman Tuhisa
Brama...."
"Apa lagi yang harus kuberikan selain kotak
kayu berukir itu. Bila Gusti Wirasantri menginginkan
barang kiriman Tuan Tuhisa Brama yang lain, saya ti-
dak membawanya." Yaniswara tetap membantah.
Gusti Wirasantri menggedruk lantai hingga re-
tak. Seisi ruangan pun berguncang. Lalu, tanpa dis-
angka-sangka lelaki gemuk itu melayangkan telapak
tangan kanannya ke wajah Yaniswara. Dengan sigap

gadis itu berkelit. Selamatlah dia dari tamparan Gusti
Wirasantri.
Namun, hal itu membuat darah Gusti Wirasan-
tri mendidih. Setelah menghembuskan napas berat dia
membentak, "Serahkan barang yang ku maksud sebe-
lum aku benar-benar mencabut nyawamu!"
Melihat sikap Gusti Wirasantri yang tampaknya
tak main-main, Suropati melompat dan berdiri di ha-
dapan lelaki gemuk itu. Maksudnya hendak melerai
perselisihan. Tapi, kibasan telapak jangan Gusti Wira-
santri yang disertai tenaga dalam penuh melontarkan
tubuh Pengemis Binal hingga membentur dinding.
Remaja konyol itu mengaduh. Untunglah hawa
murni yang mengalir dalam tubuhnya sudah sedemi-
kian kuat Suropati tak mendapat luka dalam yang be-
rarti. Saat dia bangkit pemuda itu menggaruk-garuk
kepalanya melihat dinding yang tertimpa tubuhnya
ambrol.
Sesaat Pengemis Binal berdiri terpekur. Tak ta-
hu apa yang harus diperbuat. Yaniswara langsung me-
loncat ke hadapan remaja konyol itu.
"Kau tak apa-apa?" tanya gadis itu khawatir.
Pertanyaan itu tak mendapat jawaban. Gusti
Wirasantri telah menggeram laksana harimau marah.
"Akan kupatahkan batang lehermu, Pencuri Ke-
cil!"
Lelaki gemuk itu menjulurkan kedua tangan-
nya. Yaniswara berkelit. Namun, sebuah tendangan te-
lah menanti. Hingga....
Des...!
Gusti Wirasantri mendengus keras. Pergelangan
kakinya bergetar terkena tangkisan Suropati. Tahulah
lelaki gemuk itu kalau nama besar Pengemis Binal bu-
kan omong kosong belaka. Tapi karena Gusti Wirasan-

tri tak hendak berurusan dengan pendekar muda itu,
dia hanya menghardik.
"Minggir kau!"
Suropati terperangah. Tak pernah dia duga
punggawa kerajaan yang terkenal jujur dan penuh
pengabdian itu bisa bertindak demikian kasar. Namun,
Pengemis Binal tak punya waktu untuk berpikir. Gusti
Wirasantri telah menyerang Yaniswara dengan ganas.
Gadis itu pun terlihat sangat kerepotan.
"Hentikan kesalahpahaman ini!" teriak Suropa-
ti.
Namun, tak dihiraukan oleh Gusti Wirasantri.
Lelaki gemuk itu terus mencecar Yaniswara dengan se-
rangan bertubi-tubi. Api kemarahan Gusti Wirasantri
tampaknya sudah tak mungkin dipadamkan lagi. Pen-
gemis Binal segera membuat tangkisan saat tangan
kanan lelaki gemuk itu meluncur ke dada Yaniswara.
Kemudian, Suropati menyambar lengan Yaniswara se-
raya berlari cepat meninggalkan ruangan.
Gusti Wirasantri hendak mengejar. Tapi, tubuh
Pengemis Binal dan Yaniswara keburu hilang ditelan
kegelapan malam. Sesampai di depan sebuah candi
Suropati menghentikan langkah.
"Kita belum keluar dari kotapraja. Gusti Wira-
santri akan dapat menemukan kita," ujar Yaniswara di
antara nafasnya yang tersengal.
"Tenanglah.... Punggawa kerajaan itu tak akan
mengejar kita. Bila sampai ada orang tahu dia berlari-
lari di malam begini, wibawanya akan turun."
Suropati menggamit lengan Yaniswara untuk
memasuki bangunan candi. Mereka membuat perapian
lalu duduk di dekatnya untuk menghangatkan diri.
"Kenapa mesti jadi begini?" ucap Suropati pe-
lan. "Setelah mengantarmu menghadap Gusti Wirasan-

tri, kupikir aku akan mendapat hadiah darimu. Tapi,
kesulitanlah yang kudapat. Pukulan punggawa kera-
jaan itu pun membuat dadaku sesak."
Pengemis Binal lalu berpura-pura batuk. Ya-
niswara menggeser duduknya mendekati remaja ko-
nyol itu.
"Coba kau pijit punggungku. Biar nafasku sedi-
kit longgar," pinta Pengemis Binal.
Yaniswara langsung mengambil tempat di bela-
kang Suropati. Diturutinya permintaan remaja konyol
itu. Mata Pengemis Binal merem-melek merasakan je-
mari Yaniswara yang begitu lembut menyentuh pung-
gungnya. Namun, sebentar kemudian remaja konyol
itu bersungut-sungut.
"Aduh! Tekanan  mu kurang keras, Yani. Apa
yang kau lakukan itu bukan memijit, tapi mengelus...."
"Masa' begini kurang keras?" tanya Yaniswara
heran.
"Kurang."
Tak...!
Suropati terperanjat. Dirabanya bagian bela-
kang kepalanya. Mendadak saja Yaniswara telah men-
jitaknya.
"Aku bukan pesuruh yang bisa kau perintah
seenakmu!" rungut gadis cantik itu sambil menggeser
duduknya.
"Siapa bilang kau pesuruh?"
"Tapi, permintaanmu membuatku merasa se-
perti pesuruh!"
"Salah sendiri! Kenapa kau tidak menganggap
dirimu sebagai kekasih atau istriku?" ucap Suropati
tanpa rasa bersalah sedikit pun.
"Uh! Enak saja! Siapa sudi menjadi kekasih
atau istri orang sepertimu?!" Yaniswara melotot marah.

"Kau tak sudi?" goda Suropati.
"Tidak!"
"He he he...." Pengemis Binal tertawa terkekeh.
"Tapi tetap saja kau membutuhkan diriku, bukan?"
"Tidak!" bantah Yaniswara pasti.
"Baik. Kalau begitu, aku pergi...."
Habis berkata demikian, Suropati bangkit dari
duduknya lalu berjalan ke luar ruangan. Melihat itu
buru-buru Yaniswara mencegah.
"Kau marah?" tanya gadis cantik itu.
"Tidak. Hanya kesal saja. Tapi, aku akan tetap
pergi sekarang."
"Aduh, maafkan aku, Suro. Aku tadi cuma ber-
canda. "
"Bercanda?" Suropati memelototkan matanya
pura-pura marah.
"Ya," angguk Yaniswara pelan.
"Jadi, kau bermaksud mempermainkan diriku?" 
"Ya, eh, tidak...."
Suropati meraih tangan Yaniswara kemudian
meremasnya. Dihadiahkannya kecupan mesra di ken-
ing gadis cantik itu.
"Aku tadi cuma bercanda. Aku tidak akan me-
ninggalkan gadis secantik dirimu ketika sedang men-
dapat kesulitan," rayu Suropati.
"Terima kasih, Suro...."
Pengemis  Binal melepas pegangannya. Dia
kembali berjongkok di depan perapian untuk menggan-
ti ranting-ranting kering yang telah habis terbakar.
"Aku tak mengerti kenapa Tuan Tuhisa Brama
mengirim kotak kayu berukir yang kosong kepada
Gusti Wirasantri?" ucap Yaniswara setelah duduk ber-
sandar pada dinding candi. "Mungkinkah dia hendak
mencemarkan nama baik Ekspedisi Kencana Mega?"

"Orang yang kau sebut sebagai Tuan Tuhisa
Brama itu siapa?" tanya Suropati ingin tahu.
"Seorang brahmana yang tinggal di Kotapraja
Kerajaan  Saloka Medang. Namanya sangat terkenal.
Karena itu banyak pemuda yang berguru kepadanya."
"Lalu, dia mempunyai hubungan apa dengan
Gusti Wirasantri?"
"Menurut kabar yang kudengar sebelum aku
berangkat ke sini, Tuan Tuhisa Brama hendak mendi-
rikan sebuah padepokan. Dia mendapat sumbangan
uang yang sangat banyak dari Gusti Wirasantri. Seba-
gai tanda terima kasih, Tuan Tuhisa Brama berkenan
menghadiahkan sebuah barang yang katanya sangat
berharga kepada Gusti Wirasantri."
"Aneh...," desis Suropati sambil menggaruk-
garuk kepala.
"Hei! Kulihat rambutmu itu bersih dan bagus.
Kenapa kau sering menggaruk kepalamu?" tanya Ya-
niswara melihat kebiasaan buruk Pengemis Binal.
Buru-buru remaja konyol itu menarik tangan-
nya. Lalu nyengir mirip kuda sakit perut. "Nggak tahu,
ya? Tanganku inilah yang tak mau diam," kilah pemu-
da itu.
"Aku tadi mendengar kau berkata 'aneh'.
Apanya yang aneh?"
"Walaupun rakyat Kerajaan Anggarapura keli-
hatan hidup makmur, aman dan tenteram, tapi ban-
gunan keagamaan masih bisa dihitung dengan jari.
Untuk membangun tempat-tempat demikian memang
dibutuhkan dana yang besar. Anehnya, kenapa Gusti
Wirasantri malah menyumbangkan hartanya untuk
pembangunan sebuah padepokan di kerajaan tetang-
ga?"
"Kau pikir bagaimana?" Yaniswara ingin tahu

pendapat Suropati.
"Menurut dugaanku, Gusti Wirasantri pasti te-
lah membuat kesepakatan dengan Tuan Tuhisa Bra-
ma. Dengan kata lain, barang berharga yang dikirim-
kan kepada Gusti Wirasantri itu telah dibelinya dengan
dalih memberikan sumbangan."
"Hmmm.... Begitu... pantas Tuan Tuhisa Brama
sangat wanti-wanti agar barang yang dikirimnya sela-
mat sampai ke tangan Gusti Wirasantri," Yaniswara
mengangguk-angguk membenarkan.
"Apakah kau tahu barang apa sebenarnya itu?"
"Tidak. Tapi, tampaknya memang sangat ber-
harga. Sampai-sampai ayahku  memerintahkan aku
untuk mengepalai rombongan pengawal Ekspedisi
Kencana Mega mengirimkan barang itu. Dan lagi, aku
diberi sebuah rompi pusaka untuk menjaga keselama-
tanku. Padahal rompi itu merupakan salah satu benda
pusaka Prabu Mahindra Suikarnaka. Bukti kalau ba-
rang kiriman Tuan Tuhisa Brama sangat berharga ada-
lah adanya keinginan dari orang-orang Partai Iblis Un-
gu. Mereka sampai mengejar rombongan Ekspedisi
Kencana Mega hingga ke wilayah Kerajaan Anggarapu-
ra."
"Seberapa pun berharganya barang kiriman
Tuan Tuhisa Brama, kenyataannya kotak kayu berukir
itu kosong," bantah Suropati.
Tiba-tiba, sinar mata Yaniswara tampak aneh.
Dia melonjak bangkit berdiri lalu menghampiri Suropa-
ti. "Isi kotak kayu berukir itu tentu telah dicuri
orang...."
"Siapa?" sergah Suropati penuh rasa ingin ta-
hu.
"Ketika aku bertempur melawan orang-orang
Partai Iblis Ungu, aku terluka. Tapi sebelum pingsan

seseorang telah menyambar tubuhku. Dia merawat lu-
kaku.  Ku dapati  tubuhku terbaring di tepi sebuah
sungai. Aku menduga dia telah mencuri isi kotak kayu
berukir yang kubawa. Kecurigaan ku jatuh pada kakek
tua berpakaian penuh tambalan yang tadi sore kuta-
nyakan kepadamu..."
"Kau yakin?"
"Menilik sikapnya yang aneh karena dia tak
mau mengenalkan siapa dirinya, aku yakin dialah pen-
curinya," kata Yaniswara yakin sekali.
"Kalau begitu kita harus mencarinya."
"Tentu saja. Walau Ekspedisi Kencana Mega te-
lah hancur, tapi aku tak ingin perusahaan pengiriman
barang yang susah-susah didirikan ayahku itu me-
ninggalkan nama buruk."
"Kita tak perlu tergesa-gesa, bukan? Sambil
menunggu pagi, kita bisa.... He he he...," Suropati tak
melanjutkan ucapannya.
"Bisa apa?" desah Yaniswara tak sabar.
"Ah, masa' tidak tahu?"
"Tidak."
"Begini, lho...."
Sambil berkata demikian, Suropati memeluk
tubuh Yaniswara. Lalu melumat bibir gadis cantik
itu...

5

Seorang kakek berpakaian penuh tambalan
tampak berjalan mendekati sebuah kedai. Langkah
kakinya yang sedikit melompat-lompat membuat ram-
but kakek itu yang diikat besetan kulit bambu terayun
ke kiri dan ke kanan. Janggutnya yang panjang berki-

bar-kibar seperti untaian rambut jagung.
Sesampai di ambang pintu kedai seorang pe-
layan menghardiknya. Namun setelah si kakek mem-
perlihatkan segenggam uang logam di tangannya, pe-
layan itu manggut-manggut dan mempersilakan ta-
munya masuk.
"Arak yang paling baik!" teriak si kakek seraya
meletakkan uang logam yang digenggamnya. Terden-
garlah suara bergemerincing. Beberapa orang yang be-
rada di tempat itu memandang dengan kening berkerut
Tak lama kemudian seorang pelayan meletak-
kan pesanannya di atas meja. Si kakek memegang tan-
gannya lalu menyodorkan sekeping uang logam.
"Pernahkah kau mendengar nama Raka Maruta
yang bergelar Pendekar Kipas Terbang?" tanya si ka-
kek.
"Oh, pendekar muda itu...," jawab pelayan ke-
dai. 
"Kau tahu di mana dia?"
"Sekitar enam candra yang lalu nama Pendekar
Kipas Terbang banyak disebut orang. Dia telah berjasa
pada Kerajaan Anggarapura, karena ikut menumpas
pemberontakan Perkumpulan Bidadari Lentera Merah."
"Lalu, sekarang di mana?"
"Setelah bertempur melawan si Penghimpun
Angkara di Bukit Tengkorak, nama Pendekar Kipas
Terbang menghilang bagai ditelan bumi."
"Ada lagi yang ingin kau katakan tentang pen-
dekar muda itu?"
"Tidak."
Kakek berpakaian penuh tambalan menatap
sebentar wajah si pelayan, lalu menyodorkan lagi se-
keping uang logam. Si pelayan bergegas ngeloyor pergi
sambil menimang-nimang uang yang baru diterimanya.

Kakek berpakaian penuh tambalan menenggak
arak pesanannya sampai tandas. Setelah itu dia beran-
jak pergi dengan meninggalkan beberapa keping uang
logam di atas meja. Begitu melewati pintu kedai, dua
orang anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
yang kebetulan berada tak jauh dari kedai tampak sal-
ing berbisik.
"Bukankah itu orang yang dicari Suropati?"
"Hush! Jangan keburu berpikir demikian," ban-
tah temannya.
"Kau lihat penampilannya. Sama dengan ciri-
ciri yang disebutkan pemimpin kita. Rambutnya putih
kotor diikat besetan kulit bambu. Janggutnya panjang.
Walau berpakaian penuh tambalan, tampaknya dia
bukan anggota perkumpulan kita."
Dua orang anggota Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu langsung terdiam saat kakek yang
menarik perhatian mereka berjalan mendekati.
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya kakek itu.
Yang ditanya gelagapan. Tak mampu memberi-
kan jawaban. Namun, salah seorang dari anak buah
Suropati itu segera berkata, "Tampaknya Pak Tua bu-
kan anggota Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti...."
"Apakah setiap orang yang berpakaian penuh
tambalan harus menjadi anggota perkumpulan itu?"
tanya si kakek.
Usai berkata demikian, dia membalikkan badan
lalu berjalan sambil meloncat-loncat, membuat jalinan
rambutnya terayun-ayun. Dua orang anggota Perkum-
pulan Pengemis Tongkat Sakti segera berlari cepat me-
nuju sebuah candi yang terletak di pinggir kotapraja.
"Suro...! Suro...!"
"Hush! Mulutmu jangan berteriak sekeras itu!"
hardik Pengemis Binal setelah keluar dari bangunan

candi dan mendapati dua orang anak buahnya.
"Tampaknya anak buahmu sudah menemukan
orang yang kita cari," timpal Yaniswara yang mengekor
langkah Suropati.
"Bagaimana dengan tugas yang kuberikan ke-
padamu?" tanya Pengemis Binal pada anak buahnya.
"Pagi-pagi setelah kau menemuiku, aku menga-
jak teman-teman untuk menyebar ke seluruh tempat
di kotapraja. Tapi, aku sendirilah yang menemukan
orang yang kau cari...."
"Apakah aku tidak ikut menemukan?" kata
anak buah Suropati yang satunya sambil menyodok
pinggang temannya.
"Yah, kita berdua yang menemukan orang itu,"
ralat temannya buru-buru.
"Hush! kalian hanya mengulur-ulur waktu sa-
ja!" bentak Pengemis Binal.
"Ya. Benar katamu, Suro. Orang yang kau cari
itu memang berada di sekitar kotapraja. Aku menjum-
painya saat dia keluar dari kedai dekat toko kelontong
di sebelah kiri pertigaan."
"Lalu, kau berbuat apa?"
"Aku tidak berbuat apa-apa. Seperti yang kau
pesan. Aku membiarkan orang itu pergi," sahut anak
buah Suropati sambil tersenyum senang. Gembira ka-
rena telah melaksanakan petunjuk pemimpinnya.
"Ke mana?"
"Dari pertigaan dia berjalan ke arah utara."
"Baik. Sekarang pergilah kau bersama teman-
mu dari tempat ini...."
Mendengar perintah Suropati, dua orang anggo-
ta Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti itu bergegas
melangkah pergi. Sepeninggal mereka, Yaniswara me-
mandang wajah Pengemis Binal yang tampak sedang

berpikir.
"Kau memikirkan apa lagi, Suro? Selekasnya ki-
ta mengejar pencuri barang kiriman Tuan Tuhisa Bra-
ma itu."
"Jangan gegabah! Gusti Wirasantri sejak keja-
dian semalam telah mengira kita menggelapkan ba-
rangnya. Kukira dia sudah menyebar orang-orangnya
untuk mencari kita," tolak Suropati mengajukan ala-
san.
"Lalu?"
"Karena aku tidak kepergok, ku perintah anak
buahku untuk mencari jejak pengemis aneh itu."
"Dan sekarang jejaknya telah ketemu. Apa yang
harus kita perbuat?" tanya Yaniswara ingin tahu ren-
cana Suropati selanjutnya.
"Kita tetap akan mengejar pengemis aneh itu.
Tapi orang-orang Gusti Wirasantri tak boleh tahu. Kita
berlari memutar melewati pinggiran kotapraja. Orang
yang kita cari pergi ke arah utara. Kita akan mengha-
dang perjalanannya di suatu tempat."
"Pikiran yang jitu!" puji Yaniswara.
Tak lama kemudian, kedua tokoh muda itu ber-
lari cepat mengandalkan ilmu meringankan tubuh. Me-
reka berlari melewati pinggiran kotapraja seperti ren-
cana Suropati. Di sebuah jalan kecil di mana terdapat
belokan bercabang dua, Pengemis Binal mengajak Ya-
niswara menghentikan langkah. Mereka bersembunyi
di balik semak-semak yang banyak terdapat di pinggir
jalan.
Beberapa lama kemudian, seorang kakek ber-
pakaian penuh tambalan tampak berjalan sambil me-
lompat-lompat.
"Nah, itu dia!"
Yaniswara meloncat dari tempatnya bersem-

bunyi. Suropati hendak mencegah, tapi terlambat.
"Hei! Kita berjumpa lagi, Bocah Manis," kata si
kakek tanpa menghentikan langkahnya
Yaniswara yang merasa sudah dua kali dipe-
cundangi langsung meloncat ke hadapan kakek berpa-
kaian penuh tambalan.
"Hentikan langkahmu, Pak Tua!"
Perintah Yaniswara tidak digubris. Si kakek te-
rus melompat-lompat. Yaniswara terdengar mendengus
marah. Digedornya dada kakek berpakaian penuh
tambalan itu. Tapi, si kakek hanya mengibaskan tela-
pak tangan. Namun akibatnya sungguh di luar du-
gaan. Walau telapak tangan kakek itu tak menyentuh
Yaniswara, tubuh gadis cantik itu terlontar hingga lima
tombak.
Setelah bersalto beberapa kali di udara, Yanis-
wara sudah tak melihat batang hidung kakek berpa-
kaian penuh tambalan.
"Suro...!"
Yaniswara berteriak keras. Namun, yang di-
panggil ternyata sudah tak ada di tempatnya.
Suropati berlari cepat mengandalkan kemam-
puan ilmu meringankan tubuhnya. Dikejarnya bayan-
gan kakek berpakaian sama seperti dirinya.
"Uh! Ilmu kepandaian kakek itu ternyata sangat
hebat," keluh Pengemis Binal dalam hati.
Si kakek pun mengerahkan seluruh ilmu me-
ringankan tubuhnya untuk dapat meninggalkan Suro-
pati. Hingga beberapa saat lamanya jarak mereka be-
lum berubah.
Di siang hari bolong di mana terik mentari begi-
tu menyengat, wujud Pengemis Binal dan si kakek
aneh berubah menjadi dua sosok bayangan. Kalau saja
mereka berlari di malam hari, orang awam yang meli-

hatnya tentu akan mengira sebagai kelebatan setan.
"Berhenti kau, Pak Tua!" teriak Suropati.
Tapi, yang diteriaki sama sekali tak menggu-
bris. Kakek itu terus berlari tanpa sedikit pun menge-
luarkan suara. Pengemis Binal mengumpat-umpat tak
karuan. Pada suatu kesempatan, remaja konyol itu
menendang batu sebesar kepalan tangan. Batu melun-
cur deras melebihi kecepatan lari si kakek. 
Zebs...!
Pengemis Binal terkejut luar biasa. Batu yang
membentur punggung si kakek ternyata tak berpenga-
ruh apa-apa. Hanya menimbulkan bunyi seperti bara
api tersiram air. Padahal, batu yang dilontarkan oleh
tendangan Suropati itu sudah cukup untuk meremuk-
kan kepala seekor banteng.
Pada saat melakukan serangan  gerakan kaki
Pengemis Binal menjadi terhambat. Mau tak mau ke-
cepatan lari remaja konyol itu berkurang. Suropati jadi
tertinggal. Akhirnya, pada suatu kelokan jalan bayan-
gan si kakek menghilang dari pandangan.
Tinggallah remaja konyol itu berdiri terpaku
sambil menggaruk-garuk kepalanya. Suropati kehilan-
gan jejak. Tapi saat dia melihat sebuah bangunan yang
dikelilingi tembok setinggi dua depa, Suropati me-
nyunggingkan senyum dengan mata bersinar.
"Kakek tua itu tentu masuk ke bangunan milik
Mak Werti itu," ucap remaja konyol itu dalam hati.
"Uh! Tua-tua masih banyak tingkah...."
Sambil terus tersenyum-senyum, Pengemis Bi-
nal memasuki pelataran bangunan yang ternyata se-
buah rumah pelacuran.
"Siang-siang begini kenapa masih saja banyak
cewek cantik yang ngantri?"
Gerutuan remaja konyol itu sempat ditangkap

beberapa wanita piaraan Mak Werti. Mereka langsung
menghambur ke arah Suropati.
"Eit! Sebentar-sebentar! Aku ingin tanya, apa-
kah kalian melihat seorang kakek berpakaian persis
seperti diriku masuk kemari?" tanya Pengemis Binal
sambil menepis tangan seorang wanita yang meraba
dadanya.
"Walau pakaianmu penuh tambalan, tapi kau
sangat tampan. Tentu uangmu banyak. Ayolah,
Sayang. Mampir dong ke dalam," goda si wanita.
"Hush! Kalau mau mampir sih gampang. Tapi
jawab dulu pertanyaanku," ujar Suropati.
"Aku tidak mendengar apa yang kau tanyakan,"
wanita itu tersenyum genit.
Terpaksa Pengemis Binal mengulang kembali
pertanyaannya, setelah sebelumnya menggerutu pan-
jang pendek.
"Dia ayahmu?" tanya si wanita kemudian.
"Bukan."
"Lalu, kenapa kau cari?"
"Tak perlu kau bertanya-tanya  Jawab perta-
nyaanku, Tolol!" bentak Suropati jengkel. 
"Uh! Begitu saja marah?"
"Kau lihat atau tidak orang yang kucari itu?!"
ucap Suropati setengah membentak.
"Ya., ya, aku melihatnya. Bukankah begitu te-
man-teman?" kata si wanita kepada teman-temannya.
Yang dijawab dengan anggukan dengan senyum genit.
"Lalu, di mana dia?" tanya Suropati begitu ber-
nafsu.
"Dia sedang bersenang-senang."
"Bersenang-senang?" kening Suropati berkerut
"Ya. Dia telah membawa salah seorang di antara kami.
Lalu masuk ke ruang dalam," jawab si wanita asal

ucap.
Mendengar itu, teman-temannya langsung ter-
tawa lebar. Tapi tampaknya Pengemis Binal memper-
cayai jawaban si wanita. Remaja konyol itu bergegas
melangkah ke ruangan besar.
"Uh! Ramai banget...," gumam Suropati sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
Suropati berusaha menemukan orang yang di-
carinya. Banyak para lelaki berada di tempat itu. Me-
reka sedang minum-minum dengan dikelilingi wanita-
wanita cantik berdandan menor. Rumah pelacuran mi-
lik Mak Werti memang tidak mengenal siang atau pun
malam. Tempat maksiat itu selalu ramai dikunjungi
para lelaki hidung belang.
Pengemis Binal terus menyebar pandangan
sambil berjalan berkeliling. Namun, si kakek aneh tak
ditemukannya. Remaja konyol itu lalu melangkah me-
masuki ruangan lebih dalam. Ketika sampai di sebuah
gang di mana terdapat kamar-kamar yang saling ber-
hadapan, Suropati menggaruk-garuk kepalanya untuk
kesekian kali.
"Mungkinkah kakek tua itu sudah masuk ke
dalam salah satu kamar ini?"
Remaja konyol itu berjalan berjingkat. Ketika
telinganya menangkap suara aneh yang timbul dari da-
lam kamar di sisi kanannya, Suropati menghentikan
langkah, lalu mengintip dari lubang kunci. 
"Wuiiihhh...!"
Tanpa sadar remaja konyol itu berucap demi-
kian. Dia pun semakin asyik mengintip. Karena dirasa
kurang leluasa, Suropati celingukan. Matanya melihat
sebuah dingklik. Benda itu langsung saja diangkatnya
dan diletakkan di depan pintu. Kemudian, melalui lu-
bang angin yang terdapat di atas pintu Pengemis Binal

meneruskan perbuatannya mengintip adegan yang se-
dang berlangsung di dalam kamar.
Mata remaja konyol itu terbelalak lebar, seper-
tinya tak mau diajak berkedip. Adegan yang terpam-
pang di depan matanya sanggup untuk melupakan tu-
juan Suropati datang ke tempat ini.
Glodak...!
"Aduh...!"
Dingklik tempat berdiri Pengemis Binal tergul-
ing. Tubuh remaja konyol itu pun terpelanting ke ka-
nan. Tak ayal lagi, kepalanya membentur tiang pintu.
Kemudian jatuh tersungkur di lantai.
Karena tak mau ketahuan orang kalau dia se-
dang mengintip, Suropati langsung mengambil langkah
seribu.
Belum seberapa jauh Suropati berlari dari ru-
mah pelacuran Mak Werti yang terletak di pinggir ko-
tapraja, telinganya menangkap suara pertempuran.
Remaja konyol itu mempercepat langkah kakinya. Ter-
lihat olehnya sebuah pertempuran yang cukup sengit
antara Yaniswara melawan kakek yang baru saja dike-
jarnya.
"Akui saja perbuatanmu, Pak Tua!" hardik Ya-
niswara di sela-sela serangannya.
Si kakek tertawa terkekeh memperlihatkan gu-
sinya yang tanpa gigi. Saat tendangan Yaniswara ber-
kelebat cepat, dia hanya merundukkan badan. Kemu-
dian, dengan gerakan yang tampak asal-asalan perge-
langan tangan kirinya diangkat.
Duk...!
Tubuh Yaniswara terpelanting ke kanan. Ten-
dangannya seperti membentur tembok baja. Gadis can-
tik itu terdengar menggeram gusar. Diserangnya si ka-
kek dengan bertubi-tubi.

Pengemis Binal hanya menonton pertempuran
itu. Ia hendak mengukur sampai di mana kehebatan si
kakek. Dan, remaja konyol itu terdengar berdecak ka-
gum menyaksikan si kakek yang terus tertawa tanpa
sekali pun membalas serangan Yaniswara. Padahal ga-
dis cantik itu telah mengeluarkan semua kemampuan-
nya.
"Bangsat kau!" umpat Yaniswara. "Kenapa kau
hanya berputar-putar saja seperti kentut busuk tak
dapat keluar dari dalam celana?!"
"Lalu maumu apa, Bocah Manis?" tanya si ka-
kek dengan tersenyum.
"Balas seranganku!"
"He he he...."
"Jangan tertawa! Bau mulutmu membuatku
mau muntah!" Yaniswara geram sekali melihat tingkah
si kakek.
"Ah! Masa'?" goda kakek berpakaian penuh
tambalan.
Habis berkata demikian, mendadak si kakek
memutar tubuh. Lalu berkelebat hendak meninggalkan
arena pertempuran. Suropati yang melihat tindakan
itu tak mau tinggal diam lagi.
Secepat kilat remaja konyol itu memapaki lun-
curan tubuh si kakek dengan menyorongkan kedua te-
lapak tangannya. Kakek berpakaian penuh tambalan
tampak terkejut. Karena sudah tak dapat lagi mengen-
dalikan gerakan tubuhnya, kedua telapak tangannya
didorong ke depan menyambuti serangan Suropati.
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat membahana di angkasa hing-
ga menimbulkan tiupan angin kencang. Daun-daun
pohon di sekitar tempat itu berguguran dengan ranting
terhempas bagai diserang angin topan. Bahkan, tubuh

Yaniswara jatuh berguling-guling di atas tanah.
Sementara itu, pemandangan yang lebih men-
gerikan segera terlihat. Tubuh si kakek terlontar deras
dan membentur sebatang pohon besar hingga tum-
bang. Pengemis Binal sendiri terhempas ke atas kemu-
dian jatuh berdebam di atas tanah. Saat remaja konyol
itu bangkit, tanah tempat jatuh tubuhnya berkubang
beberapa jengkal. Beberapa saat Suropati berdiri ter-
huyung-huyung. Darah segar meleleh dari sudut bibir-
nya.
Si kakek tampak berjalan gontai menghampiri
remaja konyol itu. Setelah mengusap lelehan darah di
sudut bibirnya dengan ujung lengan baju, dia tertawa
terkekeh.
"Hebat..., hebat...," puji si kakek.
Pengemis Binal menatap wajah kakek yang te-
lah berdiri tiga tombak dari hadapannya. Lalu buru-
buru dipasangnya wajah angker. "Kembalikan barang
yang kau bawa!" bentak Suropati dengan galaknya.
"Aneh...," ucap si kakek tak mengerti. "Yaniswa-
ra pun berkata seperti itu kepadaku."
"Jangan pura-pura bodoh! Kau telah mencuri
barang yang dipercayakan pengirimnya kepada Ekspe-
disi Kencana Mega!"
"He he he.... Tuduhanmu tidak pada tempat-
nya, Bocah Bagus. Aku tidak mengenal siapa dirimu.
Tapi, tampaknya kau sangat berkepentingan sekali
dengan perusahaan pengiriman barang itu," si kakek
terus mencoba berkelit.
"Huh! Kau tentu telah mendengar kebesaran
nama Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti. Akulah
pemimpinnya!" Suropati berusaha menyombongkan di-
ri. Ingin dilihatnya tanggapan kakek berpakaian penuh
tambalan.

"Oh, jadi kau adalah Suropati atau si Pengemis
Binal itu?" ujar si kakek manggut-manggut. Ada rasa
kagum terpancar dari matanya. "Pantas..., pantas kau
sangat hebat..."
"Jangan berceloteh macam-macam. Segera kau
kembalikan barang yang bukan menjadi milikmu!"
bentak Suropati untuk menutupi rasa senangnya ka-
rena telah dipuji.
"Kau salah tuduh, Bocah Bagus...."
Pada saat itu Yaniswara yang berdiri tak sebe-
rapa jauh dari si kakek terlihat menghemposkan tu-
buhnya. Dengan kekuatan penuh diterjangnya kakek
berpakaian penuh tambalan.
Tampaknya si kakek sama sekali tak menyadari
keadaan itu. Tubuhnya tak bergeming sedikit pun.
Hingga....
Des...!
Punggung si kakek dengan telak terkena ten-
dangan Yaniswara. Namun, akibatnya sungguh di luar
dugaan. Kakek itu tetap berdiri tegak di tempatnya
sambil mengulum senyum di bibir. Sedangkan tubuh
Yaniswara terlontar lalu bergulingan di atas tanah
sambil mengaduh kesakitan.
"Sudah kubilang, tuduhan kalian tidak pada
tempatnya. Kenapa kalian tetap nekat?" ucap kakek
penuh kesungguhan.
"Kau jangan mungkir, Pak Tua!" teriak Yanis-
wara. Gadis itu sudah bangkit berdiri sambil mende-
kap dadanya yang sesak.
Si kakek menoleh. "Anak muda memang keras
kepala. Terpaksalah aku memperkenalkan diri," ujar-
nya kemudian.
Kakek berpakaian penuh tambalan lalu berja-
lan ke bawah pohon besar. Dia duduk bersila bera-

laskan rumput yang kebetulan tumbuh lebat. Suropati
dan Yaniswara berjalan menghampiri.
"Bagus!" kata si kakek. "Kemarilah kalian. Tak
usah ragu. Aku tak akan menipu."
Suropati dan Yaniswara saling berpandangan.
Karena melihat kesungguhan di wajah si kakek, mere-
ka kemudian duduk bersila di hadapan kakek berpa-
kaian penuh tambalan.
"Kenapa kalian ingin mengenalku? Aku sendiri
sudah tak begitu peduli akan namaku...," kata si ka-
kek membuka pembicaraan. "Tapi, tokoh-tokoh tua di
Kerajaan Saloka Medang biasa menyebutku sebagai
Kipas Sakti...."
"Kipas Sakti?!" desis Suropati dan Yaniswara
bersamaan.
"Ya. Aku adalah sahabat ayahmu, Yaniswara." 
"Kenapa Ayah tidak pernah bercerita tentang
dirimu, Pak Tua?"
"Aku sudah lama mengasingkan diri. Mungkin
ayahmu pun sudah lupa kepada diriku. Namun, men-
jelang kau mendapat tugas untuk mengantarkan ba-
rang titipan Tuan Tuhisa Brama, ayahmu datang ke-
padaku untuk mengawal rombongan yang kau pim-
pin."
"Mengawalku?" tanya Yaniswara sangat heran.
"Ya. Aku menerima permintaan ayahmu. Kebe-
tulan aku juga hendak melakukan perjalanan ke wi-
layah Kerajaan Anggarapura. Aku sudah rindu pada
muridku."
"Siapa murid Pak Tua itu?" sela Pengemis Binal.
"Dia bernama Raka Maruta."
"Raka Maruta? Apakah dia bergelar Pendekar
Kipas Terbang?"
"Tepat! Kenapa? Apakah kau mengenalnya?"

tanya si kakek begitu mendesak.
"Bukan hanya mengenal. Raka Maruta adalah
sahabatku yang paling baik. Dia pernah berjasa me-
nyelamatkan nyawaku dengan mengorbankan di-
rinya...."
"Hah?! Apa katamu? Mengorbankan diri? Berar-
ti dia telah mati?" Wajah kakek berpakaian penuh
tambalan tampak berubah pias.
"Tidak. Tapi, dibilang hidup pun tidak. Bersama
Kakek Wajah Merah, Raka Maruta telah mati suri. Tu-
buh mereka sekarang berada di sebuah gua di Bukit
Rawangun."
Mendengar penuturan Suropati, kakek yang
mengenalkan dirinya sebagai Kipas Sakti itu langsung
beranjak dari tempat duduknya. "Kita ke sana seka-
rang!" ajaknya.
Buru-buru Pengemis Binal mencegah. "Untuk
ke Bukit Rawangun masih banyak waktu. Kau mesti
menjelaskan terlebih dahulu tentang barang kiriman
Tuan Tuhisa Brama, Pak Tua...."
Kipas Sakti duduk bersila kembali di tempat-
nya. Dihelanya napas panjang beberapa kali untuk
menenangkan hatinya. "Sebenarnya, kewajibanku un-
tuk mengawal barang kiriman Tuan Tuhisa Brama te-
lah selesai...."
"Belum, Pak Tua!" sela Yaniswara. "Kotak kayu
berukir yang kuserahkan kepada Gusti Wirasantri ter-
nyata kosong. Dan aku curiga kepadamu, Pak Tua."
Kipas Sakti tersenyum kecil. "Setelah aku ber-
cerita panjang lebar ternyata kau tetap saja berpra-
sangka buruk kepadaku, Yaniswara."
"Keadaanlah yang memaksa aku berpikir demi-
kian. Bukankah kau yang menolongku saat aku terlu-
ka oleh senjata orang-orang Partai Iblis Ungu. Karena

aku pingsan, kau mencuri isi kotak kayu berukir yang
kubawa," Yaniswara tetap pada tuduhannya semula.
Kening Kipas Sakti berkerut. Terdengar desah
panjang keluar dari mulutnya. "Anak muda memang
keras kepala...," ucapnya dengan suara berat. "Aku
memang benar telah menolongmu, Yaniswara. Tapi,
tahukah kau ayahmu membuat rencana lain untuk
mengantarkan barang Tuan Tuhisa Brama kepada
Gusti Wirasantri?"
"Apa maksudmu? Bukankah ayahku telah di-
bunuh oleh Wiranti sesaat setelah aku berangkat ke
Kotapraja Kerajaan Anggarapura?"
"Itu pun salah satu rencana dari ayahmu."
"Maksudmu?" Yaniswara benar-benar tak habis
pikir.
"Ayahmu telah mencium keinginan orang-orang
Partai Iblis Ungu. Dia lalu menyuruh salah seorang
anak buahnya untuk menyamar sebagai dirinya. Jadi,
yang dibunuh oleh Wiranti itu bukan ayahmu."
"Oh...."
Yaniswara mendekap mulutnya. Matanya ber-
kaca-kaca karena rasa bahagia yang mengalir dalam
hati.
"Syukurlah kau selamat, Ayah," gumam gadis
cantik itu lirih.
Namun, dengan cepat gadis cantik itu mengha-
pus air matanya. Dipandangnya wajah Kipas Sakti le-
kat-lekat. "Kotak kayu berukir yang kubawa ternyata
kosong, Pak Tua. Dan aku tetap curiga kepadamu."
"Mengenai hal itu aku benar-benar tak tahu,
Yaniswara," kakek berpakaian penuh tambalan beru-
saha meyakinkan Yaniswara dengan kebenaran uca-
pannya.
"Huh! jangan bersandiwara!"

"Sebentar...," sela Suropati menenangkan Ya-
niswara yang tiba-tiba jadi kalap. "Tampaknya tudu-
han kita memang keliru, Yani."
"Bagaimana kau bisa berkata begitu?" Yaniswa-
ra kelihatan tidak senang melihat pembelaan Suropati.
"Menurut jalan pikiranku, ayahmu telah mem-
buat rencana yang sangat matang."
"Rencana apa?"
"Ketika kau berangkat sesungguhnya barang
yang kau kawal itu tidak ada. Kau hanya mengawal pe-
ti besar berisi kotak kayu berukir yang kosong...."
"Lalu?"
"Kotak kayu berukir yang berisi barang Tuan
Tuhisa Brama telah diantarkan sendiri oleh ayahmu."
"Apa gunanya ayahku meminta Pak Tua ini un-
tuk ikut mengawal rombongan Ekspedisi Kencana
Mega?" Yaniswara belum juga bisa menerima.
"Ayahmu telah mencium maksud buruk orang-
orang Partai Iblis Ungu, hendak mencegahnya. Karena
khawatir akan keselamatan dirimu, ayahmu meminta
Pak Tua ini untuk mengawalmu."
Mendengar penuturan Suropati, Yaniswara
tampaknya bisa memahami keadaan itu. Menyesallah
dia telah menuduh yang bukan-bukan terhadap Kipas
Sakti.
"Lodra Sawala memang hebat. Otaknya sangat
cemerlang...," puji Kipas Sakti menyebut nama ayah
Yaniswara.
"Kalau memang dugaanmu itu benar Suro, kita
harus menjelaskan duduk persoalannya kepada Gusti
Wirasantri," ujar Yaniswara seraya menatap wajah Su-
ropati.
"Ah, ayahmu bisa menyelesaikannya sendiri,
Bocah Manis. Kalau kau berkeinginan menghadap

punggawa Kerajaan Anggarapura itu, kau bisa berang-
kat sendiri. Aku akan mengajak Suropati ke Bukit Ra-
wangun," sela Kipas Sakti. Agaknya dia sudah tak sa-
bar ingin melihat keadaan muridnya.
Pengemis Binal menggaruk-garuk kepalanya.
"Uh! Apa enaknya pergi dengan kakek peot ini? Lebih
baik aku mengantar Yaniswara terlebih dahulu," ucap
Suropati dalam hati.
Remaja konyol itu lalu menatap wajah Kipas
Terbang dan Yaniswara bergantian.
"Kau tidak mau mengantarku, Suro?" tanya
Yaniswara.
"Oh, tentu mau, Sayang...."
"Hush!" bentak Kipas Sakti. "Kau harus ikut
aku ke Bukit Rawangun, Bocah Bagus," si kakek ber-
sikeras.
"Yah, baiklah, Pak Tua. Tapi kau ikut aku dulu
mengantar Yaniswara menghadap Gusti Wirasantri,"
Suropati mengajukan pilihan.
Sejenak Kipas Sakti tampak diam berpikir. Na-
mun segera dia menganggukkan kepalanya menyetujui
permintaan Pengemis Binal.


6

Sang baskara telah condong ke barat. Sinarnya
redup membuat panas tidak lagi menyengat. Langit ce-
rah berwarna keperakan. Tidak ada gumpalan awan
yang terlihat.
Seorang lelaki setengah baya turun dari pung-
gung kuda. Tubuhnya kekar dibungkus pakaian kun-
ing dengan selempang berwarna merah. Di pinggang

kanannya terikat bungkusan kain hitam. Saat lelaki
berwajah halus dengan sorot mata tajam itu melang-
kahkan kaki memasuki pelataran tempat tinggal Gusti
Wirasantri, seorang pelayan berlari mendekati.
"Tuan siapa, dan ada keperluan apa?" tanya pe-
layan itu ramah.
"Saya Lodra Sawala. Katakan kepada Gusti Wi-
rasantri, barang kiriman Tuan Tuhisa Brama telah
sampai."
Si pelayan membungkuk. Lalu berlari dari ha-
dapan Lodra Sawala. Tak lama kemudian terdengar
suara tawa terbahak-bahak Lodra Sawala menatap ke-
hadiran Gusti Wirasantri.
"Saya hendak menyampaikan barang kiriman
Tuan Tuhisa Brama, Gusti," lapor pemilik Ekspedisi
Kencana Mega itu.
Gusti Wirasantri tak segera mempersilakan Lo-
dra Sawala masuk. Lelaki gemuk itu memperhatikan
sekujur tubuh tamunya.
"Kemarin anak gadismu menyampaikan kepa-
daku kotak kayu berukir yang kosong. Apakah keda-
tanganmu ini hendak memperbaiki kesalahan?"
"Benar, Gusti. Untuk mengecoh para perampok,
Yaniswara saya tugaskan membawa kotak kayu ko-
song. Sedangkan yang berisi barang Tuan Tuhisa Bra-
ma, sayalah yang membawanya." 
"Ha ha ha...!"
Gusti Wirasantri tertawa terbahak-bahak. Pe-
rutnya yang buncit terlihat naik-turun.
"Masuklah..., masuklah kau, Orang Baik...,"
punggawa kerajaan itu membentangkan tangannya
dengan tubuh sedikit membungkuk. Lodra Sawala pun
berjalan menuju tempat yang ditunjukkan.
Setelah duduk saling berhadapan di depan me-

ja besar dalam ruangan depan rumah Gusti Wirasan-
tri, Lodra Sawala melepas ikatan di pinggang  kanan-
nya. Bungkusan kain hitam diletakkan di atas meja.
Dibukanya kain pembungkus. Lalu, Lodra Sawala me-
nyorongkan kotak kayu berukir ke hadapan Gusti Wi-
rasantri. Lelaki gemuk itu pun menerimanya dengan
penuh kegembiraan.
Tutup kayu berukir dibuka. Gusti Wirasantri
mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna putih ben-
ing. Besarnya tak lebih dari ibu jari tangan manusia
dewasa. Diamatinya botol kecil itu dengan seksama.
"Ha ha ha...," tawa lelaki gemuk itu terdengar
gembira. "Dengan air sakti ini sebentar lagi cita-citaku
akan tercapai. Ha ha ha...."
Tatkala Gusti Wirasantri tertawa terbahak-
bahak dengan kelopak mata hampir terpejam, berkele-
bat sesosok bayangan menyambar botol kecil yang di-
pegang lelaki gemuk itu.
Tawa Gusti Wirasantri langsung terhenti. Ma-
tanya berapi-api menatap seorang kakek kurus tinggi
berjubah putih yang tiba-tiba hadir di tempat itu.
"Tuhisa Brama!" desis Gusti Wirasantri sambil
terus menatap tubuh brahmana yang berdiri di pojok
ruangan.
Lodra Sawala pun menatap Tuhisa Brama den-
gan pandangan tak mengerti. Tanpa sadar dia bangkit
dari duduknya.
"Kenapa Tuan Tuhisa Brama menyusul kema-
ri?"
Pertanyaan pemilik Ekspedisi Kencana Mega itu
tak mendapat jawaban. Gusti Wirasantri sudah keburu
membentak.
"Kembalikan air sakti itu kepadaku, Tuhisa
Brama!"

Yang dibentak cuma tersenyum. Lalu, mema-
sukkan botol kecil yang dipegangnya ke dalam jubah.
"Hei! Kau jangan culas!" hardik Gusti Wirasan-
tri. "Bukankah aku telah membeli air sakti itu?!"
Tuhisa Brama segera mengeluarkan sekantung
uang emas dari balik jubahnya. Dilemparkannya kan-
tung uang itu ke atas meja. "Aku akan menjaga kesu-
cian padepokan yang akan kudirikan, Wirasantri. Aku
tak hendak menjual barang kumiliki kepada orang
yang akan mengkhianati bangsanya."
"Heh! Apa maksudmu, Tuhisa Brama?" Gusti
Wirasantri mendelik.
"Aku membatalkan perjanjian kita." Mendengar
itu, Gusti Wirasantri menggeram marah. Tanpa banyak
kata diterjangnya Tuhisa Brama.
Tapi, terjangannya hanya mengenai angin ko-
song. Tubuh Tuhisa Brama telah berkelebat lebih ce-
pat.
Saat Gusti Wirasantri hendak menerjang kem-
bali, muncullah Senopati Risang Alit bersama lima
orang prajurit kerajaan.
"Tuan Tuhisa Brama telah membuka kedokmu,
Wirasantri. Karena itu, kau menyerahlah!" ujar Seno-
pati Risang Alit penuh wibawa.
Walaupun perwira kerajaan itu masih berusia
muda, tapi tampak sangat berwibawa. Suara yang ke-
luar dari mulutnya dirasakan Gusti Wirasantri bagai
sambaran petir.
Dua orang prajurit kerajaan yang datang ber-
sama Senopati Risang Alit berjalan mendekati Gusti
Wirasantri. Namun, kibasan telapak tangan lelaki ge-
muk itu melontarkan tubuh mereka hingga memben-
tur dinding ruangan. Seketika itu juga nyawa mereka
melayang dengan kepala remuk bersimbah darah.

Tiga prajurit yang tertinggal hendak menerjang,
tapi dicegah oleh Senopati Risang Alit. Perwira kera-
jaan itu melangkah maju dua tindak.
"Keinginanmu untuk merebut kekuasaan telah
terbukti sekarang. Menyerahlah kau, Wirasantri.
Mungkin Baginda Prabu berkenan menjatuhkan hu-
kuman yang lebih ringan!"
"Ha ha ha...!" Gusti Wirasantri tertawa. "Tang-
kaplah aku kalau kau mempunyai kemampuan, Ri-
sang Alit!" tantang lelaki gemuk itu.
"Baik, kalau itu kemauanmu. Aku akan meng-
gunakan kekerasan!"
Kedua tangan Senopati Risang Alit dijulurkan
ke depan, seperti hendak mencengkeram leher Gusti
Wirasantri. Tapi.... 
Wuuusss...!
Gusti Wirasantri pun menyorongkan kedua te-
lapak tangannya ke depan. Sinar keperakan meluncur
deras menapaki tubuh Senopati Risang Alit. Dan, tam-
paknya perwira kerajaan itu tak sempat lagi menghin-
dari pukulan jarak jauh Gusti Wirasantri.
Blaaammm...!
Ledakan dahsyat terdengar. Seisi ruangan ber-
guncang. Hiasan-hiasan yang menempel di dinding
berjatuhan. Bahkan, atap ruangan jebol dengan gen-
teng berhamburan tak karuan. Tubuh Senopati Risang
Alit sendiri hanya terhuyung tanpa sedikit pun menga-
lami luka dalam. Tuhisa Brama telah memapaki puku-
lan jarak jauh Gusti Wirasantri.
"Bangsat!" umpat lelaki gemuk itu. "Rupanya
kau benar-benar manusia culas, Tuhisa Brama!"
"Kata-katamu itu lebih tepat kau tujukan kepa-
da dirimu sendiri, Wirasantri," balas Tuhisa Brama.
Sementara itu, Lodra Sawala yang belum men-

getahui apa sesungguhnya yang sedang terjadi tampak
kebingungan. Dan hal itu ditangkap Tuhisa Brama.
"Kau mendekatlah kemari, Lodra Sawala...," ka-
ta sang brahmana. "Ketahuilah, lelaki gemuk yang
berdiri tak jauh darimu itu hendak makar terhadap
Kerajaan Anggarapura. Dengan air sakti yang telah ku
percayakan  pengirimannya kepadamu, dia hendak
menaklukkan semua tokoh sakti di kerajaan ini."
Mendengar penuturan itu, Lodra Sawala lang-
sung meloncat ke dekat Tuhisa Brama yang berdiri di
samping Senopati Risang Alit. Sedangkan tiga orang
prajurit kerajaan bersenjata tombak tampak siap-siap
di depan mereka. Tapi setelah Senopati Risang Alit
memberikan isyarat, ketiga prajurit itu berjalan untuk
menghadang pintu.
Gusti Wirasantri tertawa bergelak.
"Sebentar lagi Dewa Kematian akan berpesta
darah!"
Selesai berkata demikian, lelaki gemuk itu me-
mutar kedua telapak tangannya. Timbullah gulungan
angin dahsyat yang menghujam ke arah orang-orang
yang berada di ruangan itu.
Wuuusss...!
Secara bersamaan Senopati Risang Alit, Tuhisa
Brama, dan Lodra Sawala meloncat jauh. Malang bagi
tiga orang prajurit yang berdiri di ambang pintu. Mere-
ka tidak sempat menghindar. Tubuh ketiganya terbawa
gulungan angin dahsyat yang timbul dari putaran tela-
pak tangan Gusti Wirasantri. Hingga, ketiga lelaki naas
itu terhempas ke belakang dan jatuh berdebam di atas
tanah keras dalam keadaan tanpa nyawa!
"Kau sudah kelewat kejam, Wirasantri!" bentak
Senopati Risang Alit seraya menerjang.
Tapi,  Gusti Wirasantri telah meluncur ke atas

bagai lesatan anak panah lepas dari busur. Tubuh le-
laki gemuk itu terus melesat melewati atap ruangan
yang jebol.
"Mau lari ke mana kau?!" teriak Senopati Ri-
sang Alit.
Perwira kerajaan itu berlari cepat meninggalkan
ruangan dengan melewati pintu. Namun, tampaknya
Gusti Wirasantri tak hendak melarikan diri. Lelaki ge-
muk itu berdiri tegak di pelataran yang cukup lapang.
"Ha ha ha...! Tangkaplah aku kalau kau mam-
pu, Risang Alit!"
Tak ada kata-kata yang menimpali ucapan
Gusti Wirasantri. Senopati Risang Alit telah mencabut
pedang dari sarungnya. Lalu, dicecarnya tubuh Gusti
Wirasantri dengan bertubi-tubi.
Sambil terus tertawa lelaki gemuk itu memba-
las serangan Senopati Risang Alit. Serangannya tak ka-
lah berbahaya. Terlihat  walaupun hanya mengandal-
kan tangan kosong, baru beberapa gebrakan Gusti Wi-
rasantri sudah dapat mendesak Senopati Risang Alit.
"Bantu aku, Tuan Tuhisa Brama!" teriak perwi-
ra kerajaan itu.
Sang brahmana langsung menghemposkan tu-
buhnya. Namun, seberkas sinar keperakan memapaki. 
Blaaarrr...!
Tubuh Tuhisa Brama terlontar lalu jatuh bergu-
lingan di atas tanah. Dari sudut bibirnya mengalir da-
rah segar. Untunglah brahmana itu tidak mengalami
luka dalam yang cukup berarti. Dia telah membentengi
tubuhnya dengan tenaga dalam. Setelah bangkit berdi-
ri langsung diterjangnya Gusti Wirasantri kembali.
"Kau mempunyai nyawa rangkap juga, Kerbau
Tua!" ejek Gusti Wirasantri di antara kelebatan pedang
Senopati Risang Alit.

Sebuah tendangan Tuhisa Brama mengarah ke
dada Gusti Wirasantri. Dengan hanya sedikit mengges-
er tubuhnya, lelaki gemuk itu dapat menghindari se-
rangan. Bahkan ketika dia bergerak mundur untuk
menghindari sabetan pedang Senopati Risang Alit,
Gusti Wirasantri sempat menghadiahkan sebuah caka-
ran. 
Bret...!
Jubah putih Tuhisa Brama koyak lebar berikut
kulit dadanya. Darah segar pun merembes!
Gusti Wirasantri tertawa terbahak-bahak. Pada
suatu kesempatan, dia menghemposkan tubuhnya lalu
mendarat di atas pedang Senopati Risang Alit yang se-
dang berkelebat cepat. Sungguh suatu pertunjukan il-
mu meringankan tubuh yang sangat hebat!
Tentu saja Senopati Risang Alit terkejut bukan
main. Belum sepenuhnya dia menyadari apa yang ter-
jadi, sebuah tendangan bersarang tepat di dadanya.
Des...!
Tubuh perwira kerajaan itu terhempas ke tanah
dengan mulut menyemburkan darah segar. Saat dia
hendak bangkit, rasa sesak begitu menyiksa dadanya.
Terpaksa senopati muda itu menjauhi arena pertempu-
ran, ia hendak duduk bersemadi mengumpulkan hawa
murni untuk mengatasi luka dalamnya.
Melihat keadaan itu, Lodra Sawala yang sedari
tadi cuma diam saja langsung menerjang Gusti Wira-
santri untuk membantu Tuhisa Brama.
Saat itulah Suropati bersama Yaniswara dan
Kipas Sakti muncul. Melihat pertempuran yang sedang
berlangsung, mereka hanya saling berpandangan tan-
pa tahu apa yang harus diperbuat.
"Senopati Risang Alit...," desis Suropati ketika
melihat Senopati Risang Alit yang duduk bersila den-

gan mata terpejam rapat.
Suropati tahu perwira kerajaan itu tengah
menderita luka dalam. Maka, Pengemis Binal segera
menyalurkan hawa murni ke tubuh Senopati Risang
Alit untuk membantu penyembuhannya. Beberapa ta-
rikan napas kemudian perwira kerajaan itu membuka
kelopak matanya.
"Suropati...," gumam Senopati Risang Alit saat
melihat Pengemis Binal duduk bersila dengan kedua
telapak tangan menempel di dadanya.
"Apa yang terjadi?" tanya Suropati seraya me-
narik tangannya.
Senopati Risang Alit lalu dengan singkat menje-
laskan apa yang telah terjadi di tempat itu.
"Jadi, Gusti Wirasantri hendak melakukan
pemberontakan?" tegas Suropati.
"Benar, Suro. Maka dari itu, bantulah aku me-
nangkap pengkhianat itu."
Suropati langsung menyanggupi permintaan
itu. Tanpa basa-basi lagi diterjangnya Gusti Wirasan-
tri. Yaniswara tampak telah bertempur juga membantu
ayahnya.
"Untuk ke Bukit Rawangun, kau harus mem-
bantuku menangkap orang ini, Pak Tua!" teriak Suro-
pati kepada Kipas Sakti yang masih berdiri menyaksi-
kan jalannya pertarungan.
"Baik, Bocah Bagus!" balas kakek berpakaian
penuh tambalan. Kemudian, digempurnya Gusti Wira-
santri dengan pukulan dan tendangan.
Senopati Risang Alit tercenung sejenak di tem-
patnya. Karena rasa tanggung jawab yang diembannya
untuk menjalankan tugas, dia lalu ikut menerjang
Gusti Wirasantri. Padahal luka dalamnya belum sem-
buh benar.

Menghadapi lawan yang sekian banyaknya
Gusti Wirasantri memutar tubuhnya bagai gangsing.
Tiupan angin kencang laksana angin puting beliung
pun menerpa! 
Senopati Risang Alit dan kawan-kawannya me-
loncat jauh. Mereka tak mau tubuhnya terlontar.
Sementara para pengeroyoknya menghentikan
serangan, Gusti Wirasantri menggeram keras bagai
banteng terluka. Lelaki gemuk itu menghentikan puta-
ran tubuhnya kemudian membentangkan kedua tan-
gan ke atas. Ditariknya turun perlahan-lahan dengan
kedua kaki dibuka dan badan sedikit berjongkok. Gus-
ti Wirasantri menghirup udara sebanyak-banyaknya
dengan berlambarkan ilmu 'Penghisap jagad'!
Suatu kekuatan kasat mata berdaya isap dah-
syat menghujam ke arah Senopati Risang Alit dan ka-
wan-kawannya. Mereka tampak berdiri terpaku di
tempatnya. Tubuh mereka bergetar hebat  bagai dis-
erang demam.
"Ha ha ha....." Gusti Wirasantri tertawa gelak.
"Kerbau-kerbau dungu tiada berguna! Ajal ka-
lian sudah di depan mata!"
Lelaki gemuk itu lalu menghirup udara lebih
kuat. Akibatnya, jantung Senopati Risang Alit dan yang
lain berdegup lebih kencang. Dengan mengerahkan te-
naga dalam untuk membentengi diri, mereka mencoba
bertahan. Namun, cairan bening segera muncrat dari
sekujur tubuh mereka!
Setelah tertawa terbahak-bahak, Gusti Wira-
santri menghirup udara lebih kuat lagi. Cairan yang
muncrat dari sekujur tubuh Senopati Risang Alit dan
yang lainnya pun tidak lagi bening, melainkan merah
bercampur darah.
Di antara mereka yang sedang berkutat mela-

wan maut keadaan Yaniswaralah yang terlihat paling
mengenaskan.
Ilmu kepandaiannya memang paling rendah.
Gadis cantik itu sudah tidak mempunyai kemampuan
lagi untuk mempertahankan nyawa. Wajahnya terlihat
pucat pasi. Kedua kakinya menggantung lemah tanpa
tenaga.
Kekuatan kasat mata yang sedang menyeran-
glah yang membuat tubuh gadis itu tidak jatuh ke ta-
nah, ilmu 'Penghisap Jagad' milik Gusti Wirasantri se-
lalu mempunyai daya isap dahsyat, juga mampu mem-
buat tubuh lawan tetap berdiri tegak sampai ilmu ting-
kat tinggi itu dilepas oleh pemiliknya.
Pipi Yaniswara mulai menggembung menahan
cairan darah yang hendak keluar menyembur dari mu-
lutnya. Sementara dari lubang hidung telah memancar
darah segar. Gadis cantik itu mengenakan rompi pu-
saka hingga nyawanya tak segera melayang. Rompi
pusaka itu menahan jantung Yaniswara untuk tak ter-
lontar keluar dari dalam dadanya.
Keadaan Senopati Risang Alit tak jauh berbeda.
Luka dalam yang masih diderita perwira kerajaan itu
semakin membuat payah pertahanan tubuhnya. Pa-
kaian yang dikenakan punggawa muda itu sudah bo-
long-bolong oleh sentakan cairan darah yang muncrat.
Dengan  kepala terkulai, kedua kakinya mulai terlihat
menggantung lemah tanpa tenaga.
Keadaan Suropati, Kipas Sakti, Tuhisa Brama,
dan Lodra Sawala pun mulai terlihat payah. Karena
mereka memiliki tenaga dalam yang sudah sedemikian
tinggi, keadaannya masih lebih baik dibanding Yanis-
wara dan Senopati Risang Alit
Gusti Wirasantri tertawa terbahak-bahak. Sua-
ranya terdengar membahana di angkasa.

"Malaikat Kematian benar-benar akan berpesta
darah!" teriak lelaki gemuk itu lantang.
Kemudian dia menambah kekuatan ilmu
'Penghisap Jagad'-nya. Maut pun berada di depan ma-
ta Senopati Risang Alit dan kawan-kawannya.
Pada saat yang genting itu Suropati tiba-tiba te-
ringat pada ilmu sihir ajaran gurunya yang bergelar si
Periang Bertangan Lembut. Dengan mengerahkan sisa-
sisa kekuatannya, remaja konyol itu berteriak keras-
keras.
"Hentikan permainan ini!"
Gusti Wirasantri mendadak saja terlihat lin-
glung. Kekuatan daya ilmu 'Penghisap Jagad' pun le-
pas....
Kesempatan itu tidak disia-siakan Pengemis
Binal. Dengan sekejap mata dipungutnya dua butir ke-
rikil yang kebetulan berada di dekatnya. Lalu dilontar-
kan ke arah Gusti Wirasantri!
Serangan remaja konyol itu tepat mengenai sa-
saran. Dua butir kerikil masuk ke lubang hidung Gusti
Wirasantri dan menyumpal jalan pernafasannya. Se-
saat kemudian, tubuh lelaki gemuk itu terlihat gontai.
Suara ngorok terdengar dari mulutnya. Dengan meng-
hembuskan keras-keras udara dalam paru-parunya,
Gusti Wirasantri berusaha mengeluarkan dua butir ke-
rikil di dalam lubang hidungnya.
Belum juga usaha lelaki gemuk itu berhasil,
Suropati telah meluncur cepat dengan melancarkan
ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa'.
Blab...! Blab...! Blab...!
Tubuh Gusti Wirasantri masih tetap berdiri di
tempatnya. Tapi, dari delapan belas pusat aliran da-
rahnya memancar darah segar!
Kemudian, terdengar suara ledakan. Tubuh

punggawa kerajaan yang hendak memberontak itu
hancur menjadi serpihan daging berbau sangat any-
ir....

7

"Mendengar cerita kehebatan Wirasantri, aku
tak dapat membayangkan bagaimana kesaktiannya se-
telah dia meminum air sakti. Tentulah dia akan dapat
menaklukkan semua tokoh kerajaan ini. Keselamatan-
ku pun dapat terancam...," ujar Prabu Arya Dewantara
saat menjamu tokoh-tokoh yang telah berjasa menye-
lamatkan tampuk kepemimpinannya. "Untunglah Tuan
Tuhisa Brama melaporkan rencana keji Wirasantri itu.
Sehingga aku dapat memerintah Risang Alit untuk
menaklukkannya."
"Tapi, tanpa bantuan tokoh-tokoh yang duduk
di samping hamba ini rasanya tak mungkin dapat
menjalankan perintah Baginda Prabu," ucap Senopati
Risang Alit sambil menundukkan kepala.
Tampaknya, perwira kerajaan itu sudah dapat
mengatasi luka dalam yang dideritanya. Sebelum
menghadiri jamuan, seluruh tokoh yang habis bertem-
pur melawan Gusti Wirasantri telah ditempatkan da-
lam ruangan khusus untuk mendapat pengobatan dari
tabib-tabib kerajaan.
"Aku kagum kepadamu, Risang Alit...," ujar
Prabu Arya Dewantara. Orang nomor satu di Kerajaan
Anggarapura itu lalu menatap wajah Tuhisa Brama.
"Sebagai tanda terima kasihku atas jasa Tuan Tuhisa
Brama, aku akan memberi sumbangan untuk pem-
bangunan padepokan yang hendak Tuan Tuhisa Bra-
ma dirikan."

"Terima kasih, Yang Mulia," Tuhisa Brama
mengangkat kedua telapak tangannya ke depan dada.
"Dan kau, Suropati...," Prabu Arya Dewantara
kemudian menatap wajah Pengemis Binal.
"Hamba, Baginda Prabu."
"Kau telah berulang kali berjasa terhadap Kera-
jaan Anggarapura. Aku akan sangat senang sean-
dainya kau bersedia menjadi pengawal istana," Prabu
Arya Dewantara mengajukan tawaran.
"Terima kasih, Baginda Prabu. Bukannya ham-
ba menolak penghormatan Baginda Prabu. Namun,
orang-orang yang bernaung dalam Perkumpulan Pen-
gemis Tongkat Sakti lebih membutuhkan hamba...."
"Hmmm... Terserah kau, Suropati. Tapi bila kau
membutuhkan sesuatu, datanglah kepadaku. Aku
akan memberikan apa yang kau perlukan bila aku da-
pat memenuhinya."
"Terima kasih, Baginda Prabu," Suropati men-
jura untuk memberi hormat.
Setelah berbincang-bincang dan menikmati ja-
muan yang dihidangkan, Prabu Arya Dewantara me-
nyilakan para tamu kehormatannya untuk beristirahat
di ruangan yang telah disiapkan.
Pada tengah malam, Suropati dikejutkan oleh
ketukan pintu di kamarnya.
"Yaniswara...," desis remaja konyol itu. Dengan
penuh rasa gembira dia melangkah untuk membuka
daun pintu. Tapi yang muncul ternyata Tuhisa Brama.
"Aku ada perlu sedikit denganmu,  Suro," kata
brahmana itu.
Pengemis Binal mempersilakan Tuhisa Brama
duduk di kursi. Dia sendiri duduk di tepi pembaringan.
"Tuan Tuhisa Brama ada perlu apa? Kedatan-
gan Tuan begitu mengejutkan saya."

"Aku kagum kepadamu, Suro. Kau seorang
pendekar muda yang gagah perkasa. Semoga kebena-
ran dan keadilan selalu dapat kau tegakkan...," ujar
Tuhisa Brama dengan lembut. "Aku akan mengha-
diahkan sesuatu kepadamu."
"Hadiah?" Wajah Suropati tampak berubah se-
nang.
"Ya."
Tuhisa Brama mengeluarkan sebuah botol kecil
dari balik jubahnya. 
"Air sakti!" desis Suropati.
"Semoga air ajaib yang mempunyai khasiat luar
biasa ini dapat kau gunakan sebaik-baiknya, Suro...."
Rasa hati Pengemis Binal tak dapat digambar-
kan lagi saat menerima pemberian Tuhisa Brama. Re-
maja konyol itu tak mampu berucap apa-apa. Kebaha-
giaannya saat itu sanggup menerbangkan jiwanya ke
awang-awang....
Pagi-pagi sekali Tuhisa Brama berpamitan ke-
pada Prabu Arya Dewantara. Ia hendak kembali ke Ko-
tapraja Kerajaan Saloka Medang. Lodra Sawala pun
demikian. Ketika Pemilik Ekspedisi Kencana Mega itu
hendak mengajak putri tunggalnya, Yaniswara meno-
lak. Gadis cantik itu ingin mengembara beberapa lama
di wilayah Kerajaan Anggarapura. Namun, sesungguh-
nya hati Yaniswara telah terpaut pada Suropati. Dia
tak ingin berpisah terlalu cepat dengan remaja tampan
yang telah membuat mekar bunga-bunga cinta di ha-
tinya.
Akhirnya, Tuhisa Brama berangkat ke Kotapra-
ja Kerajaan Saloka Medang bersama Lodra Sawala. Se-
dangkan Yaniswara ikut Suropati dan Kipas Sakti pergi
ke Bukit Rawangun.
"Kenapa kau tidak ikut ayahmu pulang, Yani?"

tanya Pengemis Binal. Saat itu mereka sedang dalam
perjalanan menuju Bukit Rawangun.
Yaniswara tersipu. "Apa aku mengganggumu,
Suro?" tanyanya.
"Tidak. Tapi, aku kira ayahmu masih membu-
tuhkan tenagamu untuk membangun kembali Ekspe-
disi Kencana Mega."
"Dengan bantuan Prabu Mahindra Suikarnaka,
ayahku akan dapat mewujudkan cita-citanya kembali,"
kilah Yaniswara.
"Raja Kerajaan Saloka Medang itu?"
"Ya. Ketika aku menanyakan perihal rompi pu-
saka yang kupakai ini, Ayah mengatakan kalau dia se-
sungguhnya masih kerabat dekat Prabu Mahindra
Suikarnaka. Karena itu, saat Ayah memintanya beliau
memberikan rompi pusakanya ini."
"Alasanmu untuk ikut aku ke Bukit Rawanyun
apa?" tanya Suropati. Walau sebenarnya dia sudah da-
pat menebak apa yang ada dalam hati gadis cantik itu.
Kembali Yaniswara tersipu. "Rupanya kau tidak
suka bila aku berada di sisimu, Suro...."
"Uh! Siapa bilang? Justru aku malah sangat
senang."
"Lalu, kenapa kau bertanya yang tidak-tidak?"
"Bertanya yang tidak-tidak bagaimana?" Suro-
pati pura-pura tidak mengerti.
Yaniswara diam. Mulutnya terkatup rapat. Ru-
panya gadis itu ngambek. Suropati menggaruk-garuk
kepalanya.
"Begitu saja marah," goda Suropati. 
"Kau sangat menjemukan, Suro!" Yaniswara
merengut
"Masa'?"
"Kau tidak merasa?"

"Yah, baiklah. Kuakui aku sangat menjemukan.
Tapi juga menggemaskan, bukan?" Suropati lalu terta-
wa.
Yaniswara jadi tersenyum mendengarnya. Kipas
Sakti memandang mereka berdua sambil menggerutu.
Orang tua berpakaian penuh tambalan ini agaknya iri
melihat keakraban sepasang sejoli itu.
Tak lama kemudian, ketiga orang itu mengge-
brak kuda pemberian Prabu Arya Dewantara. Kuda-
kuda berlari kencang menuju Bukit Rawangun. Na-
mun, di tengah perjalanan orang-orang Partai Iblis Un-
gu mencegat.
"Serahkan  air sakti yang kau bawa, Bocah
Gendeng!" bentak Wiranti, ketua partai sesat itu.
"Siang-siang begini rupanya kau sedang mengi-
gau, Nenek Bengal. Pakaianmu yang serba ungu men-
gingatkan aku pada buah terong!" sahut Suropati
sambil tersenyum.
Wiranti terdengar mendengus. Lalu perempuan
setengah baya itu memberi isyarat. Salah seorang anak
buahnya membuka dua buntalan bulat dan melem-
parkannya ke depan kuda Suropati.
Mata remaja konyol itu langsung mendelik. Ke-
terkejutan juga melanda Yaniswara dan Kipas Sakti.
Ternyata dua benda bulat yang dilemparkan seorang
anak buah Wiranti adalah kepala Tuhisa Brama dan
Lodra Sawala!
"Setan Alas! Kubunuh kau!" Yaniswara kalap
bukan main.
Dengan tangan kosong gadis cantik itu lang-
sung menerjang Wiranti. Karena hawa amarah yang
luar biasa, dia melakukan serangan membabi buta.
Sementara belasan anak buah Wiranti mengeroyok
Pengemis Binal dan Kipas Sakti.

Pertempuran sengit tak dapat dielakkan lagi.
Dengan jurus 'Pengemis Menghiba Rembulan' Suropati
berusaha mendesak lawan-lawannya yang bersenjata
besi berujung sebilah besi runcing.
Kemarahan juga telah mengaburi jiwa remaja
konyol itu. Kematian Tuhisa Brama yang telah meng-
hadiahkan air sakti kepadanya membuat Pengemis Bi-
nal menggeram-geram bagai harimau kelaparan. Den-
gan berani dia memapaki bilah-bilah besi runcing yang
meluncur ke arahnya.
Srat...! Srat...! Srat...!
Saat bilah-bilah besi runcing kurang sejengkal
lagi dari tubuh Suropati, remaja konyol itu berkelebat
cepat. Ditangkapnya tali-tali yang mengendalikan bilah
besi runcing. Lalu, dibetotnya dengan sekuat tenaga.
Lima orang anggota Partai Iblis Ungu terkejut
bukan main saat tubuhnya tertarik. Belum sempat me-
reka menyadari keadaan yang terjadi, tubuhnya telah
terlontar kembali dengan mulut menyemburkan darah
segar.
Rupanya,  Suropati telah memapaki luncuran
tubuh lawan-lawannya dengan pukulan jarak jauh da-
lam jurus 'Pengemis Menghiba Rembulan'.
Di bagian lain Kipas Sakti sudah mengeluarkan
senjata andalannya. Karena mengetahui Partai Iblis
Ungu adalah tempat bernaung tokoh-tokoh wanita be-
raliran sesat, kakek berpakaian penuh tambalan itu
ingin segera menyudahi riwayat mereka. Cepat bagai
kilat Kipas Sakti membabatkan senjata andalannya.
Jerit  kematian  pun membahana di angkasa
hingga mendirikan bulu roma. Lima orang anggota Par-
tai Iblis Ungu ambruk ke tanah dengan leher hampir
putus.
Wiranti sama sekali tak menduga anak buah-

nya dapat dirobohkan sedemikian mudah. Karena ke-
terkejutannya, wanita sesat itu melengking tinggi den-
gan mata terbelalak lebar. Kesempatan itu tak disia-
siakan Yaniswara. Dia menghadiahkan tendangan ke
rusuk kiri. Tapi....
Srat..!
Tali Wiranti membelit pergelangan kaki gadis
cantik itu. Bilah besi runcing yang terdapat pada
ujungnya melesat ke arah dahi.
Tampaknya, Malaikat Kematian akan segera
menjemput nyawa Yaniswara. Untunglah Suropati ber-
gegas mengambil tindakan penyelamatan. Tubuh re-
maja konyol itu meluncur cepat membentur Yaniswara
hingga jatuh tersungkur. Dengan demikian, bilah besi
runcing Wiranti hanya mengenai angin kosong.
Dalam keadaan masih terbaring di atas tanah,
Pengemis Binal menyambar tali yang membelit perge-
langan kaki Yaniswara. Kemudian membetotnya. Tentu
saja Wiranti tak mau melepaskan senjata andalannya
begitu saja. Segera dikerahkan seluruh tenaga dalam-
nya untuk melepaskan pegangan Suropati 
Teeerrr...!
Tali ketua Partai Iblis Ungu itu menegang. Dua
kekuatan tenaga dalam beradu. Kipas Sakti menden-
gus keras. Lalu, kedua tangannya yang sedang meme-
gang tali disatukan dengan perlahan-lahan.
Suropati terkejut merasakan hawa panas men-
jalar dari tali yang sedang dipegangnya. Tapi, dia tetap
mencoba bertahan. Apabila sampai pegangannya dile-
paskan, kematian akan mengancam jiwa Yaniswara
yang masih terbelit tali.
Keringat dingin mengucur dari tubuh Suropati.
Kedua tangannya tampak mengepulkan asap. Remaja
konyol itu akhirnya berbuat untung-untungan. Dengan

mengandalkan seluruh tenaga dalamnya, dia memba-
cok tali dengan telapak tangan kanan dimiringkan.
Terdengar jerit kesakitan. Tali hanya bergetar
keras. Tidak putus. Sisi bawah telapak-tangan kanan
Suropati terlihat mengucurkan darah segar.
"Ha ha ha...!"
Wiranti tertawa bergelak. Dibetotnya tali den-
gan kuat. Karena pegangan Pengemis Binal belum le-
pas, remaja konyol itu terlontar berikut tubuh Yanis-
wara.
Tubuh kedua muda-mudi itu meluncur deras
ke arah Wiranti. Sementara ketua Partai Iblis Ungu itu
telah menyiapkan pukulan jarak jauhnya!
Blaaarrr...!
Tubuh Wiranti terlihat gontai. Suropati dan Ya-
niswara jatuh ke tanah bagai dua lembar karung ba-
sah. Namun, mereka sedikit pun tak menderita luka
dalam. Kipas Sakti telah menyelamatkan nyawa mere-
ka dengan memapaki pukulan jarak jauh Wiranti.
Beberapa saat lamanya Wiranti berdiri terpaku
di tempatnya. Saat menyaksikan mayat anak buahnya
berserakan tiada sisa, wanita itu melengking tinggi-
tinggi.
"Kerbau-kerbau busuk! Kalian telah mengun-
dang kemarahanku!"
"Siapa suruh kau datang kemari kalau tak in-
gin melihat anak buahmu mati?!" ejek Pengemis Binal
sambil membalut telapak tangannya dengan sapu tan-
gan pemberian Yaniswara.
Kipas Sakti tertawa terkekeh. "Jauh-jauh  da-
tang dari Kotapraja Kerajaan Satoka Medang, kau
hanya mencari kesulitan, Wiranti...."
"Kerbau Busuk! Aku tak mempunyai urusan
denganmu!" bentak Wiranti. Lalu wajahnya dipaling-

kan ke arah Suropati. "Serahkan air sakti kepadaku,
Bocah Gendeng!"
"Cium pantat ku dulu!" balas Suropati.
Usai berkata demikian, Pengemis Binal memba-
likkan badan seraya menyorongkan pantatnya. Kemu-
dian digoyang-goyangkan.
Tentu saja Wiranti marah bukan main. Darah-
nya menggelegak naik sampai ke ubun-ubun. Dengan
bola mata melotot seperti hendak keluar dari rongga,
diterjangnya Suropati.
Pemuda itu tampak tenang-tenang saja. Setelah
menegakkan tubuhnya kembali Suropati bersedekap.
Remaja konyol itu sedang memusatkan kekuatan ba-
tinnya untuk menghimpun kekuatan semesta dengan
berlambarkan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma'!
Tatkala terjangan Wiranti hampir mengenai sa-
saran, sekujur tubuh Pengemis Binal memancarkan
cahaya kebiru-biruan. Lalu....
Blaaammm...!
Tubuh Wiranti yang membentur pusat kekua-
tan ilmu 'Kalbu Suci Penghempas Sukma' terlontar da-
lam keadaan terpisah-pisah! Menggiriskan sekali cara
kematian ketua Partai Iblis Ungu itu....
Usai membasmi wanita-wanita sesat yang ber-
naung dalam Partai Iblis Ungu, Suropati bersama Ya-
niswara dan Kipas Sakti melanjutkan perjalanan. Tak
henti-hentinya Pengemis Binal menghibur Yaniswara
yang sangat terpukul setelah mengetahui ayahnya me-
ninggal dunia.
"Kematian selalu berkenaan dengan takdir Tu-
han. Manusia memiliki tiga perjalanan hidup. Pertama,
manusia menjalani hidup awalnya di alam kandungan.
Kedua, manusia meneruskan hidupnya di alam fana
ini setelah melalui suatu peristiwa yang disebut kelahi-

ran. Ketiga, manusia meneruskan hidupnya lagi di
alam baka, setelah melalui jalan yang disebut kema-
tian...," ucap Suropati. "Karena itu Yani, kematian ti-
dak perlu disesali. Ayahmu mati karena memang harus
menjalani hidupnya yang ketiga. Semua itu hanyalah
karena kehendak Tuhan. Setiap manusia akan menga-
laminya juga nanti."
Yaniswara tak mampu mengucapkan sepatah
kata pun. Kalimat bijak Pengemis Binal sedikit  telah
meringankan perasaan sedihnya. Kipas Sakti pun be-
rusaha menghibur gadis cantik itu. Merasakan perha-
tian yang diberikan kepadanya, air mata Yaniswara
berhenti mengalir.
Hari sudah menjelang malam ketika mereka
sampai di puncak Bukit Rawangun. Kipas Sakti terce-
kat saat melihat tubuh Raka Maruta terbujur kaku di
samping tubuh Wajah Merah.
"Tenangkan hatimu, Pak Tua...," bujuk Suropa-
ti. "Aku akan mengembalikan roh muridmu bersama
Kakek Wajah Merah." 
Perlahan-lahan remaja konyol itu membuka tu-
tup botol kecil yang berisi air sakti. Air ajaib yang
mempunyai khasiat luar biasa itu diteteskannya di pu-
sar Raka Maruta. Pusar adalah jalan makanan saat
manusia hidup di alam kandungan. Kemudian, air
sakti diteteskan ke mulut pendekar muda berwajah
lembut itu. Karena, mulut adalah jalan makanan saat
manusia hidup di alam fana.
Pengemis Binal melakukan hal yang sama ter-
hadap Wajah Merah yang juga mati suri. Tak lama ke-
mudian, tubuh kedua anak manusia itu menggeliat.
Roh mereka telah kembali pada jasad kasarnya.
Setelah mengucapkan syukur dan terima kasih,
Wajah Merah langsung duduk bersila. Kakek itu hen-

dak mengumpulkan hawa murninya yang berpencar
karena sekian lama terbaring di atas batu tanpa berge-
rak sedikit pun.
Namun, apa yang dilakukan Raka Maruta sete-
lah tersadar dari mati surinya sungguh memprihatin-
kan. Pendekar muda berwajah lembut itu menggapai-
gapaikan kedua tangannya sambil berkeluh-kesah.
"Oh, aku lupa kalau mata Raka Maruta telah
buta akibat serangan si Setan Racun, salah seorang
dari Sepasang Abdi Penghimpun Angkara di Lembah
Tengkorak...," gumam Suropati.
Dia lalu meneteskan air sakti yang tersisa pada
kedua mata Raka Maruta. Sebentar kemudian, murid
Kipas Sakti itu pun dapat melihat kembali.
Kegembiraan menyelubungi gua di puncak Bu-
kit Rawangun itu. Usai melepas kerinduan kepada Ra-
ka Maruta, Kipas Sakti celingukan sambil meraba-raba
pakaiannya.
"Apa yang kau cari, Pak Tua?" tanya Suropati.
Pada mulanya Kipas Sakti tak mau menjawab
pertanyaan itu. Tapi setelah didesak, dia berkata juga.
"Gigi palsu ku hilang...."
Semua yang mendengar jawaban itu langsung
tertawa terbahak-bahak....


SELESAI