Pengemis Binal 20 - Asmara Putri Racun(2)



4

Di antara belasan orang kasar itu terlihat si

gemuk dan si kurus yang telah berpakaian leng-
kap kembali. Wajah kedua orang yang bam saja
dipermainkan Pengemis Binal itu terlihat tegang
dan menampakkan sebuah ancaman kematian.
Begitu melihat Suropati masih duduk di tempat-
nya, si gemuk menggembor seraya menuding.
"Itulah bocah edan itu!"
Lima orang lelaki menghampiri Pengemis
Binal serempak. Sedang yang lainnya, mengikuti
si kurus yang menghampiri pemuda tampan ber-
pakaian ungu-hitam.
Dengan datangnya belasan lelaki bertam-
pang bengis itu, pengunjung kedai jadi panik.
Yang bernyali kecil segera membayar sejumlah
uang sebagai pengganti arak yang telah diminum,
lalu beranjak pergi dengan tergopoh-gopoh.
Si gemuk yang air mukanya masih keruh
dan tampak mendongkol sekali, tanpa berkata

apa-apa langsung melayangkan telapak tangan
kanannya untuk menampar Pengemis Binal. Tapi
sebelum tangannya yang besar dan berbulu lebat
mengenai sasaran, dia menjerit kesakitan dengan
bola mata melotot lebar!
"Auw...! Aduh...!" 
Di tengah jerit kesakitan si gemuk, terden-
gar suara berdebam. Tubuhnya yang hampir se-
besar kerbau terbanting ke lantai dengan amat
kerasnya. Beberapa pengunjung kedai yang masih
berada di tempatnya tertawa geli melihat si gemuk
yang menggelepar-gelepar berusaha bangun, tapi
mendapat kesulitan karena dia jatuh dengan pe-
rut di bawah. Ketika berhasil bangun, terlihat
mulutnya berdarah. Empat buah giginya telah
tanggal karena membentur lantai yang keras.
Puspita atau si Pedang Perak cuma terse-
nyum-senyum saja. Gadis cantik ini  dapat meli-
hat bagaimana Pengemis Binal menelikung perge-
langan tangan si gemuk, lalu menghempaskannya
ke lantai.
"Kubunuh kau! Kubunuh kau!" ancam si
gemuk seraya mencabut golok yang disandangnya
di pinggang.
Pengemis Binal tersenyum kecil walau re-
maja konyol ini melihat bahaya mengancam ji-
wanya. Timbul suara berdesing ketika golok si
gemuk berkelebat. Namun sebelum kepala Pen-
gemis Binal terpenggal, tubuhnya yang besar ja-
tuh ke lantai lagi. Kali ini terdengar berdebam le-
bih keras. Orang-orang yang menyaksikan peris-

tiwa ini terkejut bukan main. Apalagi si gemuk
sudah tak bangun-bangun lagi. Dia pingsan.
Agaknya ketika sambaran golok hampir mengenai
sasaran, Pengemis Binal berhasil menendang pe-
rut si gemuk, hingga dia jatuh telentang. Karena
kepalanya membentur lantai cukup keras, kesa-
darannya jadi hilang.
"Kita bunuh dia! Kita bunuh dia!" teriak
teman-teman si gemuk seraya mencabut golok
masing-masing. Si kurus dan beberapa temannya
yang semula menghampiri pemuda tampan ber-
pakaian ungu-hitam pun turut mengepung Suro-
pati.
Melihat gelagat kurang baik yang kemung-
kinan besar akan terjadi pertumpahan darah, pa-
ra pengunjung kedai yang tertinggal kontan me-
nyingkir. Tidak terkecuali para pelayan dan pemi-
lik kedai. Sementara, si kurus yang digeluti ama-
rah luar biasa melihat temannya telah tergeletak
tak berdaya segera memberi aba-aba kepada te-
man-temannya.
"Cincang tubuhnya!"
Tapi sebelum Pengemis Binal benar-benar
dihujani sambaran golok, terdengar teriakan lan-
tang. "Hentikan...!" 
Suara bentakan itu amat keras dan berwi-
bawa, terlebih lagi dialiri tenaga dalam. Hingga,
orang-orang yang mendengarnya jadi terpaku di
tempatnya tanpa tahu apa yang harus diperbuat.
Hebatnya, beberapa golok yang sudah dibabatkan
pun tampak berhenti di udara.

Suropati dan Puspita melihat kehadiran
seorang lelaki tua bertubuh tinggi-besar. Dia ber-
diri berkacak pinggang di pintu kedai. Wajah ka-
kek itu penuh bulu kasar. Begitu juga dengan ku-
lit tubuhnya. Dahi dan kedua pipinya terdapat
banyak sekali luka goresan senjata tajam. Ram-
butnya yang panjang dikuncir jadi dua. Pakaian-
nya yang mirip jubah berwarna kuning tampak
kotor sekali. Dia adalah Prajna Singh!
"Pergi kalian semua!" usir kakek yang be-
rasal dari India itu.
Belasan lelaki kasar yang agaknya telah
mengenal siapa Prajna Singh tampak terkejut se-
kali. Tanpa pikir panjang lagi mereka segera ke-
luar kedai. Tubuh si gemuk yang belum sadar da-
ri pingsannya mereka seret beramai-ramai.
"Ya! Ya! Keluarlah kalian semua!" pemuda
tampan berpakaian ungu-hitam turut angkat bi-
cara diselingi tawa terkekeh-kekeh. Bola matanya
membesar dan kedua tangannya tiada henti
menggebah-gebah seperti sedang mengusir ayam.
"Hayo! Cepat keluar semua! Keluar!" tambahnya
tanpa mempedulikan beberapa lelaki kasar masih
sempat menatap tajam ke arahnya dengan penuh
ancaman.
Prajna Singh menatap sebentar ke wajah si
pemuda tampan. Tahu dia sedang mabuk, kakek
bermuka buruk mengalihkan pandangan. Dita-
tapnya Pengemis Binal dan Puspita yang duduk
berdampingan. Tapi, agaknya dia tak bercuriga
apa-apa.

"Mana pemilik kedai ini?!" teriak Prajna
Singh dengan suara keras seperti guntur.
"Ya... ya... ya...," terdengar suara si gendut
pemilik kedai yang muncul tiba-tiba dari bawah
meja. Tubuhnya gemetar dan dibanjiri keringat
dingin. Agaknya lelaki ini terserang rasa takut
yang sangat. "Maaf... maaf, Tuan.... Aduh...!"
Ucapan pemilik kedai dihentikan oleh jerit
kesakitannya sendiri. Tanpa tahu apa yang terja-
di, dia merasa tubuhnya limbung ke kanan dan
jatuh berdebam di lantai. Prajna Singh telah me-
namparnya. Untung tamparannya hanya meng-
gunakan tenaga luar, hingga kepala pemilik kedai
tidak sampai pecah.
Mendadak, dari ruang dalam muncul pe-
layan setengah baya dengan pisau pemotong dag-
ing di tangan. Dia meloncat kencang sekali hen-
dak membacok dada Prajna Singh. Tapi....
Creppp...!
"Wuahhh...!"
Cepat sekali gerakan Prajna Singh. Tahu-
tahu kelima jari tangannya telah menancap di ba-
tok kepala si pelayan. Saat Prajna Singh meng-
gembor, tiba-tiba tubuh si pelayan terangkat naik
dalam keadaan tegak lurus dengan kaki terjulur
ke atas. Satu kejap mata kemudian, tubuh si pe-
layan telah terkulai layu menjadi selembar kulit
tanpa daging dan tulang!
"Ha ha ha...! Kerbau dungu! Kenapa kau
hendak membokong Prajna Singh, hah?! Kau ra-
sakan sekarang ilmu 'Lima Jari Pencabut Jiwa'-

ku. Ha ha ha...!"
Betapa terperanjatnya Suropati dan Puspi-
ta menyaksikan kehebatan kakek tinggi-besar ini.
Bagaimana mungkin tubuh manusia yang meng-
gumpal besar terdiri dari daging, tulang, darah,
dan lain sebagainya bisa diubah jadi selembar ku-
lit tipis bagai lembaran kertas saja layaknya? Pe-
muda tampan berpakaian ungu-hitam yang ten-
gah mabuk pun tak kalah terperanjatnya. Dia
sampai menjomblak bangkit dari duduknya den-
gan mulut terbuka lebar.
"Kau telah mempermainkan dua anak bua-
hku, Keparat! Agaknya kau pun harus merasakan
ilmu 'Lima Jari Pencabut Jiwa'!"
Di ujung kalimatnya, Prajna Singh meng-
hampiri pemilik kedai yang masih merintih kesa-
kitan di lantai sambil mendekap pipinya yang me-
rah matang. Mulutnya terlihat berlelehan darah
segar. Dapat dipastikan tidak kurang lima giginya
telah tanggal.
Sebelum Prajna Singh melakukan pembu-
nuhan lagi, cepat Pengemis Binal meloncat untuk
menghadang langkah Prajna Singh.
"Tahan...!" sergah Pengemis Binal. "Bukan
dia yang bersalah. Akulah yang mempermainkan
anak buahmu!"
Prajna Singh menatap tajam seraut wajah
tampan di hadapannya. Namun, kepalanya segera
menggeleng-geleng. "Bukan... bukan kau. Pemilik
kedai itulah yang telah menelanjangi anak bua-
hku!"

"Bukan dia! Juga bukan pemilik kedai. Ta-
pi, akulah orangnya. Aku yang menelanjangi anak
buahmu tadi...!"
Pengemis Binal terkesiap. Pemuda tampan
berpakaian ungu-hitam tiba-tiba meloncat dan
mendarat di depan Prajna Singh, membelakangi
Pengemis Binal. Suropati mengerutkan  kening.
Walau remaja konyol itu telah menduga bila si
pemuda tampan memiliki ilmu silat, tapi melihat
loncatannya yang gesit tadi, dia sempat terkagum
dalam hati. Apalagi gerakan itu dilakukan dalam
keadaan mabuk.
"Persetan! Minggir kau!" usir Prajna Singh
seraya menghantam dada si pemuda tampan.
Namun, pemuda yang masih dipengaruhi minu-
man keras ini dapat bergerak gesit. Tubuhnya
melenting ke kiri, hingga hantaman Prajna Singh
hanya mengenai tempat kosong.
Prajna Singh mendengus gusar. Karena
penasaran, dia majukan tubuhnya selangkah. La-
lu, tangan kirinya berkelebat hendak mengulang
hantamannya yang gagal. Selagi pemuda tampan
berpakaian ungu-hitam melangkah mundur, tan-
gan kanan Prajna Singh bergerak dua kali lebih
cepat dari kelebatan tangan kirinya. Pengemis Bi-
nal yang melihat gerak tipu ini jadi terkesiap me-
lihat jemari tangan Prajna Singh yang besar-besar
berbulu hendak mencengkeram batok kepala si
pemuda. Pengemis Binal tak dapat membayang-
kan bagaimana akibatnya bila si pemuda menjadi
korban ilmu 'Lima Jari Pencabut Jiwa'. Namun,

kekhawatiran Pengemis Binal sebenarnya tak per-
lu karena si pemuda walau tengah mabuk tapi
masih dapat membaca tipuan lawan. Bahkan....
Bukkk...!
"Hekkk...!"
Pemuda tampan berpakaian ungu-hitam
merundukkan tubuhnya untuk menghindari
cengkeraman jemari tangan kanan Prajna Singh.
Lalu, dengan kecepatan luar biasa dia berhasil
menyarangkan tendangan ke perut kakek tinggi
besar itu.
Prajna Singh mengumpat panjang-pendek.
Bola matanya melotot besar seperti hendak keluar
dari rongganya. Kakek ini seperti tak percaya pa-
da apa yang baru terjadi. Bagaimana mungkin
seorang pemuda mabuk bisa menendang perut-
nya sampai dia tersurut tiga tindak ke belakang?
"Haram jadah!" umpat Prajna Singh. Bebe-
rapa saat lamanya kakek ini masih menggerutu
panjang-pendek. Tiba-tiba dia teringat pengala-
mannya tempo hari di gua tempat tinggalnya di
mana ada seorang pemuda mampu menghancur-
kan senjata cambuk tulangnya.
"Kupikir aku telah berhasil melipatganda-
kan ilmu kepandaianku. Tapi, kenapa banyak to-
koh muda yang membuat diriku merasa lemah?
Apakah di rimba persilatan telah bermunculan
tokoh-tokoh muda  yang amat sakti?" kata hati
Prajna Singh.
Mendadak, lima orang lelaki berpakaian
serba putih dan menyandang pedang di punggung

masuk ke kedai. Wajah mereka sama-sama halus.
Anehnya, walau umur mereka belum genap tiga
puluh tahun, tapi alis mereka telah memutih. Sa-
lah seorang dari mereka langsung berseru dan
menuding ke arah pemuda tampan berpakaian
ungu-hitam. "Itu dia pembunuh itu!" Mendengar
tuduhan itu, wajah si pemuda kontan memucat
Namun, cepat pemuda ini membentak lantang.
"Siapa yang kau tuduh membunuh?!"
"Hei! Kau jangan mungkir!" sergah lelaki
yang bam saja melempar tuduhan. "Kawan-
kawan, bukankah dia juga yang merampok se-
kantung uang emas Danang Burgundi?"
Tanpa menunggu tanggapan dari keempat
temannya, lelaki yang sebenarnya adalah Ketua
Partai Alis Putih ini merangsek dengan pedang
terhunus. Sementara, pemuda tampan berpa-
kaian ungu-hitam mendengus. Dengan gerakan
sedikit sempoyongan, dia melompat ke pintu. Ge-
rakan yang dilakukan ini cepat sekali, hingga tu-
buhnya laksana dapat lenyap. Lelaki yang sedang
menyerangnya pun terperangah karena sasaran
tusukan pedangnya telah lenyap mendadak. Satu
kejap mata kemudian, terdengar ringkik kuda
panjang sekali yang disusul derap kaki kuda yang
dipacu amat cepat
Pengemis Binal yang merasa penasaran
pada si pemuda cepat memberi isyarat kepada
Puspita. Kedua muda-mudi ini meloncat keluar
kedai hampir bersamaan. Di depan kedai, Penge-
mis Binal tak melihat lagi kuda merah gagah dan

bagus yang tadi dilihatnya sebelum memasuki
kedai. Rupanya kuda itu milik pemuda tampan
berpakaian ungu-hitam yang kini telah digunakan
untuk melarikan diri.
"Kita kejar pemuda itu, Puspita!" ajak Su-
ropati seraya meloncat ke punggung kuda.
Tanpa berkata apa-apa Puspita menuruti
ajakan Suropati. Gadis ini turut meloncat ke
punggung kudanya. Lalu, memacunya dengan ce-
pat, menyusul kuda Suropati yang lebih dulu me-
lesat

***

Pemuda yang wajahnya masih tampak mu-
ram ini terus memacu kudanya bagai orang kese-
tanan. Lari kuda yang sudah cepat, dia rasa ma-
sih kurang cepat Pantat kuda dipukulinya berka-
li-kali. Hingga, kuda gagah berbulu merah indah
itu meringkik-ringkik terus di sepanjang jalan.
"Cepatlah...! Cepatlah...!" teriak si pemuda,
menyimpan kekhawatiran yang sangat.
Gelap sudah menyelimuti bumi tatkala ku-
da si pemuda menginjakkan kaki di tepi  gurun
kecil yang orang Kadipaten Tanah Loh menyebut-
nya Gurun Angkara.
Cahaya rembulan yang dalam bulatan pe-
nuh menyiram permukaan pasir dengan bebas-
nya. Walau malam telah tiba, tapi pandangan ma-
ta masih dapat melihat sampai puluhan tombak
ke depan. Karena, gelap tak begitu berkuasa.

Kuda merah yang ditunggangi pemuda
berpakaian ungu-hitam ini tak mampu berlari
kencang lagi. Selain harus melewati permukaan
pasir yang tentu saja menyulitkan langkah kaki,
tenaganya juga sudah terkuras. Namun, si pemu-
da seperti tak mau tahu akan hal ini. Dia meng-
gebah-gebah kudanya terus. 
"Hei! Tunggu!"
Terkejut si pemuda mendengar teriakan
yang ditujukan kepada dirinya. Kepalanya kontan
menoleh ke belakang. Jadi lega hatinya setelah
tahu orang yang memanggilnya tak lain dari re-
maja tampan berpakaian penuh tambalan yang
dijumpainya di Kedai Melati. Walau samar-samar,
tapi si pemuda masih bisa mengenalinya. Remaja
tampan itu adalah Suropati atau Pengemis Binal.
Dia memacu kudanya cepat sekali. Beberapa
tombak di belakangnya, tampak Puspita juga
memacu kudanya tak kalah cepat
Pemuda tampan berpakaian ungu-hitam
menghentikan langkah kudanya. Dan, sengaja
menunggu. Setelah kuda Suropati dan Puspita
berhenti di hadapannya, pemuda yang memakai
ikat kepala merah ini berseru, "Aku sudah men-
duga bila kau akan menyusulku, Suro!"
"Kau mengenalku?" kejut Pengemis Binal
sambil menenangkan kudanya yang menghentak-
hentakkan kaki ke permukaan pasir.
Pemuda tampan berpakaian ungu-hitam
tersenyum manis. "Kenapa tidak? Aku mengenal-
mu dengan baik, Suro. Bukankah kau Pemimpin

Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti? Putra Raja
Pasir Luhur yang bernama Prabu Singgalang
Manjunjung Langit!"
Keterkejutan Pengemis Binal berlipat dua
mendengar tebakan si pemuda yang sangat jitu.
Bagaimana pemuda itu bisa tahu bila dirinya ada-
lah putra seorang raja? Padahal remaja konyol ini
tak pernah mengatakan kepada siapa pun, dan
hanya beberapa gelintir orang saja yang tahu ten-
tang jati dirinya yang sebenarnya.
"Kau siapa?" tanya Pengemis Binal dengan
penuh kesungguhan. Suaranya terdengar seten-
gah membentak.
Pemuda tampan berpakaian ungu-hitam
tersenyum lagi. "Ingatkah kau pada orang yang
pernah membersihkan darahmu dari pengaruh
racun ganas yang membuat seluruh ilmu kesak-
tianmu hilang?"
"Kusuma?" kejut Suropati bagai disambar
petir. Bukan matanya saja yang mendelik, mulut-
nya juga ternganga lebar untuk beberapa saat.
Setelah otaknya dapat bekerja normal kembali,
remaja konyol ini menggaruk-garuk kepalanya
yang tak gatal.
"Kenapa kau, Suro? Kau kemasukan setan
di mana?" goda si pemuda tampan yang merasa
geli melihat sikap Suropati.
"Benarkah kau Kusuma yang bergelar Putri
Racun?" desis Pengemis Binal seraya menajam-
kan pandangan, menatap wajah si pemuda lekat-
lekat

Pemuda tampan berpakaian ungu-hitam
melepas ikatan kepalanya. Rambut yang tersem-
bunyi di balik kain ikat kepala langsung tergerai
panjang ke punggung. Tampak kemudian, seraut
wajah cantik bulat-telur milik Kusuma alias Putri
Racun. Gadis ahli racun yang tengah menyamar
ini tak menampakkan lagi rasa gelisahnya seperti
yang tadi ditunjukkan ketika memacu kuda den-
gan kencang.
Pengaruh minuman keras juga hilang. Se-
pertinya ketika mabuk di kedai dia hanya berpu-
ra-pura.
Suropati yang merasa tertipu penglihatan-
nya tampak tertawa terkekeh-kekeh. "He he he....
Mungkin mataku ini sudah lamur. Atau, otakku
memang amat bebal, hingga begitu mudah melu-
pakan ciri-ciri orang...."
Di ujung kalimatnya, Pengemis Binal
menggaplok kepalanya sendiri. Puspita yang du-
duk di punggung kuda di sisi kirinya menatap
dengan kening berkerut. Gadis ini sering merasa
heran melihat perbuatan Suropati yang kadang-
kadang seperti orang gila. Namun, dia cepat me-
maklumi kekonyolan Pengemis Binal.
"Apakah dia yang disebut Putri Racun, Su-
ro?" tanya Puspita.
"Ya. Dialah Putri Racun itu," beri tahu Su-
ropati. Matanya  tak lepas menatap seraut wajah
cantik milik Kusuma yang baru saja melakukan
penyamaran.
"Kalau begitu, ajaklah dia segera ke Penda-

pa Kadipaten Bumiraksa, Suro. Arya Wirapaksi
harus segera diselamatkan!"
Pengemis Binal menatap wajah si Pedang
Perak sebentar, lalu dilemparkannya senyum ma-
nis ke arah Kusuma. "Aku sungguh tak menduga
bila pemuda tampan yang air mukanya menun-
jukkan kesedihan itu adalah kau, Kusuma...,"
ujarnya.
Seperti diingatkan akan sebuah peristiwa
yang amat memilukan, tiba-tiba mengelam paras
Kusuma. Untuk beberapa saat gadis yang baru
saja melakukan penyamaran ini tertunduk dalam.
"Eh, kau kenapa, Kusuma?" tanya Penge-
mis Binal, heran.
Putri Racun tak memberi jawaban. Diten-
gadahkan wajahnya untuk menatap bulatan rem-
bulan yang bercahaya kuning keemasan. Penge-
mis Binal tercekat. Dia sempat melihat kesedihan
dan sorot mata Putri Racun yang redup. Air muka
keruh yang ditampakkan di kedai terlihat lagi.
"Kau tentu punya masalah berat, Kusu-
ma...," tebak Pengemis Binal. "Apakah itu ada
hubungannya dengan tuduhan lima orang lelaki
berpakaian serba putih tadi?"
Putri Racun melompat dari punggung ku-
da. Dituntunnya kuda merah itu untuk keluar la-
gi dari Gurun Angkara. Suropati dan Puspita yang
tersentuh perasaannya berbuat serupa. Mereka
bertiga berjalan beriringan. Tiga kuda mereka
tampak lebih tenang karena sudah tidak ada lagi
beban di punggung.

"Sebetulnya kedatanganku ke kota Kadipa-
ten Tanah Loh memang sengaja untuk mencari-
mu, Kusuma," beri tahu Suropati. "Kau tentu su-
dah mendengar nama Arya Wirapaksi. Putra
mahkota Prabu Arya Dewantara itu berhasil men-
guasai ilmu kesaktian dahsyat. Sayang, dia tak
mampu lagi berpikir waras karena otaknya telah
tercampuri racun. Dalam waktu empat hari ini,
bila tak segera ditolong, nyawanya akan me-
layang. Kukira hanya kau yang mampu menyem-
buhkannya, Kusuma. Kakek Wajah Merah pun
tak dapat berbuat banyak."
"Benar. Kau harus menolong Arya Wira-
paksi, Kusuma," tegas Puspita. "Arya Wirapaksi
adalah harapan seluruh rakyat Anggarapura. Kita
berangkat ke Pendapa Kadipaten Bumiraksa se-
karang."
"Tidak perlu tergesa-gesa, Puspita," cegah
Suropati, berbisik di dekat telinga si Pedang Pe-
rak. "Tidakkah kau tahu Putri Racun sedang
menghadapi masalah berat? Lihatlah wajah mu-
rung itu."
Puspita mengangguk. Tampaknya gadis ini
bisa mengerti keadaan. Sementara, Suropati
mengajak Kusuma untuk duduk di batang pohon
besar yang telah tumbang, belasan tombak dari
pinggir Gurun Angkara.
"Ceritakan apa yang terjadi, Kusuma. Aku
sahabatmu. Aku pasti akan membantu meme-
cahkan masalahmu. Aku pernah berhutang nya-
wa padamu," ujar Pengemis Binal, menawarkan

jasa.
Kusuma menatap wajah Suropati sebentar,
lalu gadis ini mulai bercerita. "Sepekan yang lalu,
ketika aku hendak memasuki kota Kadipaten Ta-
nah Loh, aku berjumpa dengan gerombolan pe-
rampok yang merupakan anggota dari Partai Alis
Putih. Mereka dipimpin langsung oleh ketuanya
yang bernama Gayat Ngalim. Mereka merampas
sekantung uang emas milik punggawa kadipaten,
yang kemudian diketahui bernama Danang Bur-
gundi. Karena Danang Burgundi hanyalah seo-
rang punggawa bertubuh tambun yang tak sebe-
rapa memiliki kepandaian bela diri, dia mesti me-
relakan hartanya dirampas oleh orang-orang Par-
tai Alis Putih. Aku saksikan dengan mata kepala
sendiri kesaktian Gayat Ngalim. Dia menakut-
nakuti Danang Burgundi dengan memotong per-
gelangan tangannya sendiri lalu menyambungnya
kembali tanpa meninggalkan bekas luka sedikit
pun. Aku membatalkan niat untuk menolong Da-
nang Burgundi karena kupikir punggawa itu tak
dilukai atau disiksa. Lagi pula, aku penasaran
melihat kesaktian Gayat Ngalim yang diperguna-
kan di jalan sesat. Aku bermaksud menakluk-
kannya di sarangnya sendiri dengan disaksikan
seluruh anak buahnya. Agar bisa dijadikan pela-
jaran bagi mereka untuk menghentikan perbua-
tan jahat mereka selamanya. Tapi...."
Putri Racun menghela napas panjang. Ga-
dis ini seakan-akan ingin mengeluarkan seluruh
beban batinnya lewat udara yang keluar deras da-

ri lubang hidungnya.
"Ketika aku datangi sarang Partai Alis Pu-
tih, tak seorang pun yang kujumpai. Di sebuah
ruang lebar seperti tempat pemujaan, tergeletak
di atas altar kantung sulam berisi uang emas mi-
lik Danang Burgundi. Kantung itu segera kuambil
untuk kuserahkan kembali kepada pemiliknya.
Sekeluar dari sarang Partai Alis Putih yang cukup
jauh dari kota Kadipaten Tanah Loh, aku melihat
kuda  merah tengah merumput. Aku mengenali
kuda itu sebagai milik Danang Burgundi ketika
dia tengah dirampok orang-orang Partai Alis Pu-
tih. Aku naiki kuda itu, dan memacunya ke kota
Kadipaten Tanah Loh. Kupikir aku bisa mengem-
balikan uang emas dan kuda merah kepada pemi-
liknya. Namun di tengah jalan aku berpapasan
dengan beberapa orang anak buah Gayat Ngalim.
Mereka langsung meneriakiku, sebagai pencuri.
Karena aku tak mau berurusan dengan cecunguk
yang tak tahu apa-apa, aku memacu kuda terus.
Tapi, apa yang terjadi sungguh membuatku terke-
jut dan menjadi khawatir bercampur sedih. Ba-
nyak punggawa kadipaten berkumpul di rumah
Danang Burgundi. Mereka datang melayat Da-
nang Burgundi yang ternyata telah mati! Melihat
aku naik kuda merah dan membawa kantung
uang, emas Danang Burgundi, orang-orang lang-
sung menjatuhkan tuduhan kepadaku. Aku beru-
saha menjelaskan, tapi tak seorang pun percaya.
Karena, orang-orang Partai Alis Putih yang ba-
nyak melayat di tempat itu semua menyatakan

bahwa akulah yang merampok Danang Burgundi
dan kemudian membunuhnya."
"Lalu karena kau dikejar-kejar prajurit ka-
dipaten, kau melakukan penyamaran, begitu?" se-
la Pengemis Binal.
"Ya. Tapi, aku tak mau meninggalkan kota
karena aku mesti membersihkan nama baikku.
Dan, kupikir semua ini pasti didalangi oleh Gayat
Ngalim."
"Apakah kau pernah bentrok dengan Ketua
Partai Alis Putih itu sebelumnya?" Puspita turut
bertanya.
Putri Racun tak segera menjawab. Melihat
Suropati dan Puspita menunjukkan keinginta-
huannya, gadis ini melanjutkan bicaranya juga.
"Beberapa kali aku bertatap muka dengan Gayat
Ngalim. Dia ingin memperistri diriku. Tapi, aku
menolak karena...."
"Karena apa?" buru Pengemis Binal yang
melihat perubah air muka Putri Racun yang ma-
kin keruh.
"Aku telah mempunyai kekasih," jawab Pu-
tri Racun, lirih sekali.
Pengemis Binal menatap lekat wajah Ku-
suma. Yang ditatap segera menunduk, Pengemis
Binal jadi maklum. Walau usia Kusuma telah le-
bih dari satu abad, tapi jiwa dan raganya masih
muda. Wajar bila dia terlibat jalinan asmara den-
gan seorang pemuda.
"Siapa kekasihmu itu?" tanya Suropati, in-
gin tahu.

"Ah! Aku tak bisa memberitahukannya, Su-
ro...," tolak Putri Racun dengan wajah bersemu
merah. "Eh, kau belum mengenalkan temanmu
ini, Suro...," ujarnya kemudian sambil menunjuk
Puspita yang duduk di sisi kiri Pengemis Binal.
"Namanya Puspita dan bergelar si Pedang
Perak," beri tahu Pengemis Binal. "Temanku ini
sekarang sedang mengemban tugas dari Prabu
Arya Dewantara untuk mencari Arya Wirapaksi.
Aku sudah memberi tahu bahwa putra mahkota
itu berada di Pendapa Kadipaten Bumiraksa da-
lam perawatan Kakek Wajah Merah. Kau harus
mengeluarkan racun yang bersarang di otaknya,
Kusuma. Secepatnya!"
"Ya. Ya, aku pasti menolongnya kalau aku
mampu. Tapi, tahukah kau, Suro, bila hatiku be-
nar-benar sedih hari ini...."
"Jangan khawatir, Kusuma. Aku akan
membantu membersihkan nama baikmu. Akan
kupaksa Gayat Ngalim untuk mengakui perbua-
tan culasnya di depan para punggawa Kadipaten
Tanah Loh," janji Pengemis Binal dengan penuh
kesungguhan.
"Sebenarnya bukan itu yang membuat aku
jadi sebegini sedih, Suro...," desah Kusuma.
"Lalu apa?"
"Kekasihku pergi entah ke mana. Di saat-
saat seperti ini sebenarnya aku sangat merindu-
kan kehadirannya. Terlebih lagi, mengharapkan
bantuannya...."
Suropati mengambil napas panjang melihat

mata Putri Racun mulai berkaca-kaca.
"Aku turut merasakan kesedihanmu, Ku-
suma...," ujar Suropati dengan desah berat. "Aku
bisa merasakan bagaimana kesedihan sepasang
kekasih yang saling mencintai tiba-tiba harus
berpisah dan tak tahu kapan bisa berjumpa la-
gi...."
Putri Racun menyeka air matanya dengan
ujung lengan bajunya. Sementara, Puspita tam-
paknya juga terbawa dalam rasa sedih. Pendekar
Pedang Perak ini sebenarnya menaruh hati pada
Suropati sejak pertemuannya di sarang Perkum-
pulan Bidadari Lentera Merah. Tapi, dia tahu cin-
tanya tak mungkin terbalaskan karena Suropati
telah menaruh hati pada gadis lain. Teringat akan
perjalanan cintanya yang juga menyedihkan, Pus-
pita menundukkan kepala. Diam-diam gadis ini
juga meneteskan air mata.
"Kita ke Pendapa Kadipaten Bumiraksa se-
karang. Nyawa Arya Wirapaksi harus segera dis-
elamatkan," cetus Suropati tiba-tiba. "Setelah itu,
kita kembali ke kota Kadipaten Tanah Loh. Kalau
memang Gayat Ngalim adalah lelaki culas, kita
pasti akan dapat membuka kedoknya. Aku ber-
janji untuk membantu kesulitanmu, Kusuma...."
"Terima kasih, Suro...," ujar Putri Racun,
perlahan sekali.
"Tapi, kita belum membayar minuman di
Kedai Melati...," sahut Suropati sambil menggaruk
kepalanya.
"Sebelum pergi tadi, aku meletakkan se-

jumlah uang. Kupikir, itu sudah cukup untuk
membayar minuman kita bertiga," beri tahu Pus-
pita.
Suropati tersenyum. "Kalau begitu, kita
memang harus berangkat sekarang!" ujarnya se-
raya menggamit lengan Kusuma dan Puspita.

5

Suropati, Puspita, dan Kusuma memacu
kuda dengan cepat agar segera sampai di Pendapa
Kadipaten Bumiraksa. Perjalanan mereka tak se-
dikit pun mendapat kesulitan. Gelap malam tak
sampai membutakan mata. Karena, rembulan di
langit bercahaya cukup terang, menyiram bumi
walau hanya dalam temaram.
"Awasss…!" seru Pengemis Binal tiba-tiba. 
Cepat Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti ini mengekang kendali kuda. Begitu
kuda yang ditungganginya meringkik panjang se-
raya mengangkat kaki depan tinggi-tinggi, dan
melentingkan tubuhnya dengan kedua pergelan-
gan tangan terjulur lurus ke depan!
Blarrr...!
Timbul ledakan dahsyat tatkala kedua te-
lapak tangan Suropati bertumbukan dengan
bongkahan batu sebesar kerbau yang meluncur
deras dari arah depan. Laksana terhantam petir,
batu itu hancur berkeping-keping. Pecahannya
semburat ke berbagai penjuru menimbulkan letu-

pan-letupan kecil saat menimpa permukaan ta-
nah.
"Setan alas! Haram jadah!" umpat seorang
kakek berjubah kuning kotor yang berdiri tegak di
tengah jalan, kira-kira dua puluh tombak jarak-
nya dari hadapan Pengemis Binal yang telah
mendaratkan kakinya di tanah.
"Hmm.... Kiranya kau yang telah melem-
parkan batu tadi...," tebak Pengemis Binal dengan
tatapan tajam. "Tenagamu sungguh besar, Kek.
Sayang sekali kau gunakan untuk mengganggu
orang. Apakah tidak lebih baik tenagamu yang
besar itu kau manfaatkan dengan bekerja sebagai
buruh angkat barang?"
Kakek tinggi-besar yang tak lain dari Praj-
na Singh mendengus gusar mendengar ejekan
Pengemis Binal. Lebih gusar lagi hatinya karena si
remaja telah menunjukkan kekuatan tenaga da-
lamnya.
"Sebaiknya kau menyingkir dan jangan
menghalangi langkah kami, Prajna Singh!" ujar
Putri Racun dari punggung kuda. Gadis ini agak-
nya telah mengenal si kakek. "Kami tidak mem-
punyai urusan denganmu. Bila kau penasaran
akan peristiwa di kedai tadi, aku bisa memberi-
kan sejumlah uang kepada anak buahmu...."
Prajna Singh melangkah lima tindak ke de-
pan. Diperhatikannya wajah Putri Racun dengan
saksama. "Hmmm.... Menilik pakaian yang kau
kenakan, bukankah kau pemuda mabuk yang
mengaku telah mempermainkan dua anak bua-

hku? Melihat wajahmu yang sekarang menunjuk-
kan wajah se orang gadis, kupikir kau cukup
pandai menyamar. Hanya sayangnya, kini kau
membuka penyamaranmu sendiri. Aku jadi men-
genali siapa dirimu. Bukankah kau Kusuma alias
Putri Racun yang menjadi buronan prajurit kadi-
paten? Ya! Ya, aku yakin sekali! Ha ha ha...!"
Prajna Singh tertawa bergelak. 
Tubuhnya yang tinggi-besar tampak ber-
guncang-guncang. "Kini ada kesempatan bagiku
untuk mendapat hadiah! Sungguh ini suatu kebe-
tulan. Ha ha ha...!"
"He, Prajna Singh!" sebut Kusuma. "Aku
menghormatimu sebagai seorang tokoh tua yang
tentunya lebih matang berpikir dan dapat bertin-
dak bijaksana. Adakah kau tahu bila sebenarnya
aku menjadi korban fitnah keji. Aku sama sekali
tidak melakukan perbuatan jahat terhadap Da-
nang Burgundi. Apalagi membunuh punggawa
itu. Aku menduga Gayat Ngalimlah pelakunya.
Maka dari itu, tak perlu kau campuri urusan ini.
Biarkan aku pergi ke kota untuk membersihkan
nama baikku dan mengungkapkan kepada semua
orang peristiwa yang sebenarnya."
"Huh! Aku  tak peduli semua itu!" sahut
Prajna Singh. "Kau bersalah atau tidak, bukan
urusanku. Yang kutahu kau adalah buronan pra-
jurit kadipaten. Dan, sekarang aku hendak me-
nangkapmu karena aku mengincar hadiah!"
"Tua-bangka tak tahu malu!" maki Penge-
mis Binal. "Sudah tua bukannya lebih mende-

katkan diri pada Tuhan, malah menuruti nafsu
duniawi. Kau bisa menangkap Putri Racun, tapi
setelah kau nikmati dulu hadiahku ini!"
Secepat burung walet, tubuh Pengemis Bi-
nal melesat ke depan. Setelah bersalto dua kali di
udara,  remaja konyol ini melakukan gerakan
'Pengemis Meminta Sedekah'. Tapi, dia melaku-
kannya dengan terbalik. Tubuhnya yang mem-
bungkuk membelakangi Prajna Singh. Sedang ke-
dua tangannya tetap terjulur lurus ke depan. Da-
lam keadaan demikian, tubuh Pengemis Binal te-
tap dapat meluncur cepat. Sementara, Prajna
Singh terdengar menggembor keras. Kedua tan-
gannya yang besar dan berbulu dihentakkan ke
depan hendak menghantam pantat Pengemis Bi-
nal. Namun.....
Bruooottt..!
"Hukkk...!"
Walau dalam keremangan malam Puspita
dan Kusuma masih dapat melihat apa yang dila-
kukan Suropati. Sebelum kedua tangan Prajna
Singh menghantam pantatnya, Suropati kentut.
Lalu, dengan kecepatan luar biasa sekali, dia je-
jakkan kakinya ke belakang. Dan, tepat mengenai
perut Prajna Singh, hingga mulutnya terbuka le-
bar. Pada saat inilah, "udara beracun" Suropati
berhembus kencang menebarkan aroma bangkai
tikus!
"He he he...!" tawa kekeh Pengemis Binal
melihat Prajna Singh memencet batang hidung
sambil melangkah mundur beberapa tindak. "Ba-

gaimana, Kek?  Hadiah dariku apakah cukup
nikmat kau rasakan? Bila kau minta tambah, bi-
lang saja. Sungguh aku bukan orang pelit, kok...!"
Kemarahan Prajna Singh sudah tak dapat
digambarkan lagi. Darahnya mendidih naik sam-
pai ke ubun-ubun. Giginya bertaut rapat mem-
perdengarkan bunyi berkerotan. Rahangnya yang
dipenuhi bulu lebat berubah bentuk menjadi per-
segi empat. Sementara, kedua matanya melotot
lebar berwarna merah menyala.
Dalam kemarahannya, Prajna Singh meli-
hat tiga ekor kelelawar terbang di atas kepalanya.
Mendadak, kakek bertubuh tinggi-besar ini me-
nengadahkan kedua telapak tangannya ke atas.
Aneh! Lesatan tubuh tiga ekor kelelawar berhenti
di udara. Hanya sayapnya yang masih mengepak-
ngepak.
"Kubunuh kau, Bocah Edan!" sentak Praj-
na Singh seraya mengibaskan kedua telapak tan-
gannya ke depan.
Wusss...!
Pengemis Binal yang telah berdiri sekitar
lima belas tombak dari hadapan Prajna Singh
menjadi terkesiap. Tiga ekor kelelawar melesat
cepat ke arahnya. Remaja konyol ini tahu bila
satwa-satwa bersayap itu telah menjadi senjata
rahasia yang amat ampuh dan mengancam kese-
lamatan jiwa. Maka tanpa pikir panjang lagi, Pen-
gemis Binal sorongkan kedua telapak tangannya
ke depan. Dia kerahkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya. Akibatnya, bukan saja lesatan tiga

ekor kelelawar berhenti di udara, tapi lesatannya
malah berbalik arah. Meluncur deras mengarah
dada Prajra Singh dalam keadaan terbalik, kepala
di belakang dan ekor di depan!
"Edan!" pekik Prajna Singh dalam keterke-
jutannya. Karena tak mau kalah dalam memper-
lihatkan kekuatan tenaga dalam, Prajna Singh
menyorongkan pula kedua telapak tangannya ke
depan. Lesatan tiga ekor kelelawar berhenti men-
dadak, tepat di tengah-tengah antara tempat Pen-
gemis Binal dan Prajna Singh berdiri. Hingga be-
berapa tarikan napas, satwa-satwa bersayap  itu
hanya dapat mengepak-ngepakkan sayapnya tan-
pa dapat memindahkan kedudukan tubuhnya
yang melayang di udara. Karena tertindih dua ke-
kuatan tenaga dalam dahsyat, tubuh tiga ekor ke-
lelawar itu kemudian meledak hancur menjadi
serpihan daging kecil-kecil bagai habis dicacah
pisau yang amat tajam!
Walau Pengemis Binal telah banyak ber-
jumpa dengan tokoh-tokoh sakti, tapi melihat ke-
kuatan tenaga dalam Prajna Singh, remaja konyol
ini terkagum-kagum juga. Berbeda dengan Prajna
Singh sendiri. Melihat kehebatan Pengemis Binal,
bukan rasa kagum yang ada di hatinya, melain-
kan amarah yang makin meluap-luap. Dia merasa
malu karena sebagai tokoh tua kesaktiannya da-
pat diimbangi oleh seorang remaja tampan yang
tampak kebodoh-bodohan. Oleh sebab hatinya di-
penuhi amarah, lupa sudah Prajna Singh pada
tujuannya untuk menangkap Putri Racun. Dalam

benaknya dipenuhi keinginan untuk membunuh
Pengemis Binal. Maka sambil berseru nyaring
yang memekakkan gendang telinga, dia meloncat
ke depan. Jemari-jemari tangannya terjulur lurus-
lurus. Hendak diterapkannya ilmu 'Lima Jari Pen-
cabut Nyawa' yang telah dikuasainya dengan
sempurna.
Suropati yang sudah melihat kedahsyatan
ilmu andalan Prajna Singh waktu di Kedai Melati,
tak menjadi gugup. Dia mencabut tongkat butut
yang terselip di pinggangnya. Lalu, tongkat yang
terbuat dari kayu tak berharga itu dia gunakan
untuk menahan gerakan Prajna Singh.
Wuttt...!
Tongkat Suropati meluncur lurus ke depan
untuk memapaki pergelangan tangan Prajna
Singh. Namun, Suropati berseru kaget ketika
ujung tongkatnya membentur telapak tangan kiri
Prajna Singh. Tongkat kayu itu hancur-luluh
menjadi serbuk halus tiada tersisa. Telapak tan-
gan kanan Suropati pun terasa panas luar biasa
bagai tersengat bara api. Walau tongkat Suropati
hanya terbuat dari kayu tak berharga, tapi dialiri
tenaga dalam tingkat tinggi. Namun, kenapa begi-
tu mudah Prajna Singh membuatnya hancur-
luluh?
Tak ada kesempatan berpikir panjang bagi
Suropati. Tangan kiri Prajna Singh yang baru saja
memperlihatkan kehebatannya, terus melesat he-
bat hendak mencengkeram batok kepala. Tak
mau tubuhnya berubah menjadi selembar kulit

tanpa daging dan tulang, cepat Suropati melen-
tingkan tubuhnya ke belakang. Begitu kakinya
menginjak tanah, dia miringkan tubuhnya. Lalu,
lewat gerakan 'Pengemis Menghiba Rembulan', dia
sorongkan kedua telapak tangannya. Maksudnya
untuk menghantam dada Prajna Singh. Tapi,
tampaknya si kakek telah menduga serangan Su-
ropati. Sebelum dadanya terhantam, dia tarik ke-
dua tangannya bersamaan. Suropati memekik
nyaring ketika kedua pergelangan tangannya ke-
na tangkap Prajna Singh!
"Kuremukkan tanganmu dulu, Monyet
Bau!" ujar Prajna Singh seraya menekan kedua
tangan Suropati dengan penyaluran tenaga dalam
lebih tinggi.
Sekali lagi Suropati memekik. Kusuma dan
Puspita yang melihat kejadian ini terkejut. Namun
sebelum mereka berbuat sesuatu untuk menolong
Suropati, tiba-tiba terdengar suara berdebam.
Tubuh Prajna Singh jatuh telentang di tanah
hingga melesak satu jengkal ke dalam.
Apa yang terjadi? Rupanya sebelum perge-
langan tangan Suropati hancur kena remas Praj-
na Singh, dia masih sempat menggerakkan dua
telunjuk jarinya untuk menotok jalan darah besar
di lipatan siku Prajna Singh. Totokan yang dilam-
bari kekuatan ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak
Dewa' itu membuat cengkeraman Prajna Singh
terlepas. Akibatnya bukan hanya sampai di situ.
Karena terhantam keterkejutan luar biasa, Prajna
Singh meloncat mundur. Tapi, Suropati berhasil

pula menyarangkan pukulan ke dadanya, hingga
membuatnya jatuh berdebam ke tanah dalam
keadaan telentang.
"He he he...!"  tawa kekeh Pengemis Binal.
"Cepatlah bangun, Kek. Aku khawatir tubuhmu
yang bau itu akan dikerumuni semut!"
"Keparat..! Huk! Huk!" umpatan Prajna
Singh dihentikan oleh batuk. Darah kental meng-
genang di rongga mulutnya. Saat bangkit, kakek
yang sebenarnya seorang bangsawan dari tanah
India ini terperangah. "Tanganku...! Tanganku...!"
pekiknya berulang kali sambil berusaha mengge-
rakkan kedua pergelangan tangannya. Tapi, tan-
gan yang telah terkena sebagian kekuatan dari
ilmu totokan 'Delapan Belas Tapak Dewa' itu su-
dah tak dapat digerakkan lagi. Kaku-kejang se-
perti batang kayu kering!
"Jalan darah besar di lipatan sikumu telah
hancur, Kek!" beri tahu Pengemis Binal. "Hanya
dengan perawatan yang tekun dan memakan
waktu paling cepat setahun, kau akan dapat me-
normalkan lagi kerja tanganmu. Tapi, kau tak
mungkin dapat mempergunakan lagi ilmu kejam
yang kau sebut sebagai ilmu 'Lima Jari Pencabut
Jiwa'!"
Mendengar penuturan Pengemis Binal, pu-
cat pasilah wajah Prajna Singh. Ilmu 'Lima Jari
Pencabut Jiwa' dipelajarinya selama dua puluh
tahun. Dan untuk menyempurnakannya, dia te-
lah membunuh bayi tak berdosa ratusan jumlah-
nya. Kalau sekarang ilmu itu musnah, maka be-

tapa kecewa hati Prajna Singh. Tak malu-malu la-
gi dia berjingkrak-jingkrak karena kerja otaknya
tiba-tiba jadi terganggu.
"Bangsat! Keparat! Bedebah!" makinya
sambil terus berjingkrak-jingkrak.
"Pergilah!" bentak Suropati.
"Apa?! Kau menyuruh aku pergi? Ha ha
ha...! Lucu... lucu sekali kau ini, Bocah Gem-
blung!" ujar Prajna Singh sambil menatap tajam
wajah Suropati. "Kau baru saja mencelakakanku.
Kau menyuruh aku pergi. Alangkah lucunya hal
ini. Hanya orang gila yang mau melakukannya.
Tapi, aku mau pergi asal telah kupecahkan dulu
batok kepalamu!"
Di ujung kalimatnya, Prajna Singh mem-
buat tendangan melingkar. Namun, mudah saja
Pengemis Binal menghindar. Hanya dengan me-
runduk sedikit, kepalanya terlepas dari sasaran
tendangan Prajna Singh.
"Pergilah!" ujar Pengemis Binal sekali lagi.
"Ya! Ya, aku akan pergi...," sahut Prajna
Singh. "Aku segera pergi ke alam baka, tapi harus
bersamamu!"
Karena tak mungkin dapat membalas sakit
hatinya, Prajna Singh bermaksud mengajak Suro-
pati mati bersama-sama. Dia tubruk Suropati
dengan maksud untuk mengadu kepala!
Prakkk...!
"Argh...!"
Suropati yang dapat membaca maksud
Prajna Singh, membentengi kepalanya dengan se-

luruh kekuatan tenaga dalamnya. Prajna Singh
yang sudah tak dapat menyalurkan tenaga dalam
dengan sempurna menjerit kesakitan. Tubuhnya
kembali jatuh berdebam ke tanah. Masih untung
kepalanya tidak pecah. Namun, karena sudah ge-
lap mata, dia meloncat bangkit hendak mengu-
langi lagi perbuatannya. Tapi dia hanya mampu
berdiri satu kejap mata. Tubuhnya jatuh lagi ke
tanah. Pingsan!
"Kita lanjutkan perjalanan!" ujar Suropati
seraya menghampiri kudanya, dan memacunya ke
arah Pendapa Kadipaten Bumiraksa.
Kusuma dan Puspita saling pandang seje-
nak. Kedua gadis ini segera memacu kuda mas-
ing-masing. Hanya desau angin dan suara bina-
tang malam yang menemani mimpi buruk Prajna
Singh....
Terik sinar mentari yang memayung tepat
di atas kepala terasa menyengat kulit. Hembusan
angin tak mampu meredakan sengatannya. Pa-
nas! Hingga, peluh Kusuma dan Puspita yang du-
duk di punggung kuda coklat tampak berlelehan.
Suropati pun demikian. Namun, mereka tak pe-
duli pada hawa panas yang laksana membakar.
Mereka memacu kuda dengan cepat untuk men-
gejar waktu demi keselamatan Arya Wirapaksi
yang tengah terbaring tiada daya di Pendapa Ka-
dipaten Bumiraksa.
Mendadak, hawa panas terusir karena an-
gin kencang berhembus. Hembusan angin ken-
cang itu bukan saja mengusir hawa panas, tapi

juga sanggup mengejutkan kuda Suropati yang
melaju di depan. Dibarengi ringkikan panjang,
kuda Suropati yang menghentikan langkah ka-
kinya. Kuda yang ditunggangi Kusuma dan Puspi-
ta juga berlaku serupa. Sementara, hembusan
angin bertambah kencang, bertiup dari arah de-
pan. Hingga, Suropati dan kedua temannya mera-
sakan wajah mereka bagai ditampar-tampar.
"Hmm.....Hembusan angin ini tidak wa-
jar...," pikir Pengemis Binal. "Jauh di depan sana
tentu ada manusia usil yang sengaja memamer-
kan kepandaian. "
Wajah Pengemis Binal dan Puspita terlihat
tegang. Mereka sama-sama mengerahkan ilmu
memperberat tubuh agar tak terlontar oleh hem-
busan angin yang semakin lama semakin ken-
cang. Sementara, kuda kedua tokoh muda itu
tampak terseret ke belakang. Cepat Suropati dan
Puspita menahannya. Berbeda benar dengan Ku-
suma. Gadis cantik itu tampak menyungging se-
nyum manis di bibir.
"Tak perlu main-main, Saka!" teriak Kusu-
ma dengan perasaan girang. "Tampakkan dirimu.
Jangan membuat kedua sahabatmu jadi penasa-
ran!"
Seperti kedatangannya, hembusan angin
kencang itu lenyap secara mendadak. Tentu saja
Suropati dan Puspita terkesima. Mereka menatap
wajah Kusuma lekat-lekat.
"Siapa yang baru saja berbuat usil, Kusu-
ma?" tanya Pengemis Binal.

"Kau akan segera tahu, Suro," jawab Putri
Racun, cepat.
Suropati terkesiap ketika telinganya me-
nangkap suara tawa meledak-ledak.
"Ha ha ha...! Suropati yang gagah perkasa!
Hari ini kita berjumpa lagi. Namun, aku mesti
berpikir seribu kali untuk melanjutkan urusan
lama kita. Aku yang bodoh ini merasa bersalah.
Dan, dengan penuh kerendahan hati aku memin-
ta kata maaf. Namun, terus terang jauh di dasar
lubuk hatiku tersimpan keinginan untuk menjajal
kepandaianmu. Apakah kau bersedia melaya-
ninya, Suro?"
"Saka Purdianta...!" kejut Pengemis Binal
melihat kehadiran seorang pemuda tampan ber-
pakaian coklat bergaris-garis hitam.
"Ya! Penglihatanmu tak salah, Suro! Aku
memang Saka Purdianta atau si Dewa Guntur.
Bagaimana? Apakah kau bersedia melayani tan-
tanganku hari ini?"
"Saka!" teriak Kusuma tiba-tiba. "Jangan
main-main! Aku tak suka perbuatanmu ini!"
"Ha ha ha...!" Saka Purdianta tertawa ber-
gelak melihat Putri Racun menghampirinya. "Ke-
kasihku, jangan kau khawatirkan keselamatanku.
Aku yakin akan dapat mengimbangi kesaktian
Pengemis Binal!"
"Tidak! Ini  bukan saatnya untuk main-
main!"
Saka Purdianta tertawa bergelak lagi. Lalu,
disambarnya tubuh Putri Racun, dan dihadiah-

kan ciuman mesra di keningnya.
Melihat adegan itu, tentu saja Suropati ter-
kejut. Bagaimana mungkin Saka Purdianta bisa
menghadiahkan ciuman tanpa ditolak oleh Ku-
suma?
"Jangan-jangan Kusuma telah termakan ti-
pu muslihat Saka Purdianta?" pikir Pengemis Bi-
nal, merasa curiga. Karena, setahunya Saka Pur-
dianta adalah pemuda licik.
Suropati bertambah heran tatkala Kusuma
dan Saka Purdianta menghampirinya sambil ber-
gandengan tangan.
"Kalian... kalian...," ujar Pengemis Binal ge-
lagapan, seperti tak percaya pada penglihatannya
sendiri.
"Sudah kukatakan kepadamu, aku meno-
lak pinangan Gayat Ngalim karena aku sudah
mempunyai kekasih, Suro. Saka Purdianta inilah
kekasihku."
Perkataan Putri Racun yang disampaikan
dengan rasa bangga membuat Pengemis Binal me-
longo. "Tahukah kau, Kusuma, bila... bila...,"
ucapannya tetap gelagapan. Remaja konyol ini
hendak mengatakan sifat-sifat buruk Saka Pur-
dianta, tapi tak sampai hati. Karena, Putri Racun
tampak sudah begitu lengket.
"Ha ha ha...!" Saka Purdianta tertawa ber-
gelak. "Lupakan tantanganku barusan, Suro! Aku
cuma bercanda. Aku ingin menjadi sahabatmu,"
Saka Purdianta menyodorkan tangan ka-
nannya. Mau tak mau Suropati mesti menyam-

butnya. Begitu telapak tangan dua tokoh muda
ini bersalaman, terdengar suara gemeretak seperti
ranting patah. Kusuma dan Puspita terkejut. Te-
lapak tangan Saka Purdianta dan Suropati yang
saling menempel erat mengepulkan asap putih
yang memendarkan hawa panas. Rupanya mere-
ka tengah mengadu kekuatan.
Diam-diam Suropati terperanjat. Telapak
tangan kanannya terasa bagai terjepit balok baja
yang amat kuat. Walau remaja konyol ini telah
menambah kekuatan tenaga dalamnya hingga
sampai ke puncaknya,  rasa sakit tetap mendera
telapak tangan kanannya. Nyatalah bahwa tenaga
dalam Saka Purdianta lebih unggul.
Tenaga dalam Saka Purdianta memang te-
lah berlipat ganda sejak pemuda ini minum darah
Prajna Singh beberapa hari yang lalu. Namun, dia
tak menyadari kalau tenaga dalamnya lebih un-
ggul. Walau merasa kesakitan, tapi bibir Suropati
menyungging senyum. Senyum inilah yang mem-
buat Saka Purdianta tertipu.
"Ha ha ha...!" Saka Purdianta tertawa ber-
gelak lagi seraya menarik telapak tangan kanan-
nya. "Hebat.. kau hebat sekali, Suro," pujinya
dengan sungguh-sungguh. "Aku akan bangga se-
kali bila menjadi sahabat seorang tokoh muda
sakti sepertimu."
Suropati menggaruk kepalanya yang tak
gatal ketika Saka Purdianta membungkuk dalam
ke arahnya.
"Lupakan masa lalu kita, Suro. Aku me-

nyesal dengan perbuatanku dahulu yang selalu
memusuhimu...," ujar Saka Purdianta, penuh ke-
rendahan hati.
"Sungguhkah kau telah sadar untuk men-
jadi manusia yang menjunjung tinggi nilai kebe-
naran dan keadilan?" tanya Suropati sedikit ragu.
Tapi, di lubuk hatinya tersimpan rasa lega. Rema-
ja konyol ini tak dapat membayangkan apa yang
terjadi di rimba persilatan seandainya Saka Pur-
dianta yang begitu tinggi ilmunya tetap menjadi
orang jahat
"Kematian ayahkulah yang membuka mata
hatiku. Baginda Prabu Singgalang Manjunjung
Langit berkenan mengangkatku sebagai Tumeng-
gung Lemah Abang menggantikan ayahku sendiri,
walau beliau tahu bila ayahku adalah seorang
pengkhianat," tutur Saka Purdianta.
"Itu karena kau ikut berjasa dalam usaha
memadamkan api pemberontakan yang disulut
oleh I Halu Rakryan Subandira," sahut Suropati.
(Baca serial Pengemis Binal dalam episode :
"Pemberontakan Subandira").
"Untuk menjadi seorang tumenggung yang
memimpin orang banyak tentu saja aku membu-
tuhkan seorang pendamping. Lalu, aku ingat seo-
rang gadis cantik yang dulu pernah kutemui dan
pernah memberi pelajaran kepadaku. Karena ke-
sombongan dan kecongkakanku, waktu itu aku
menjajal ilmu kesaktiannya. Namun, aku malah
ketemu batunya. Aku kalah dan hampir mati ka-
lau saja aku tidak membawa Kitab Selaksa Dewa

Turun ke Bumi yang mempunyai khasiat pe-
nyembuhan luar biasa. Gadis itu adalah Kusu-
ma...," Saka Purdianta melirik wajah Putri Racun.
Disunggingnya senyum manis. "Kusuma bersedia
menjadi istriku asal aku mau berjanji untuk men-
jadi orang baik-baik sampai badan tiada bernya-
wa. Aku yang telah menyadari semua perbuatan
jahatku, langsung saja menyetujui permintaan-
nya. Maka kau tak perlu khawatir, Suropati. Aku
bukanlah Saka Purdianta yang dulu pernah kau
kenal..."
Suropati menggangguk-angguk  mendengar
penuturan Saka Purdianta. Digaruknya lagi kepa-
lanya yang tak gatal. Sementara, Saka Purdianta
meraih bahu Putri Racun, lalu mereka berciuman.
"Sontoloyo!" desis Suropati melihat adegan
mesra yang berlangsung di hadapannya.
Puspita terkejut ketika  tiba-tiba Suropati
memeluknya dengan erat, dan mendaratkan ci-
uman di bibirnya.
"Uh! Apa-apaan kau, Suro!" hardik Puspita
dengan galak.
"He he he...," Suropati tertawa terkekeh-
kekeh. "Saka Purdianta dan Kusuma saling berci-
uman. Apakah kau tidak ingin seperti mereka?"
"Tidak!" bentak Puspita semakin galak.
Suropati melihat wajah Puspita merah-
padam. Remaja konyol ini menggaruk kepalanya
lagi sambil cengar-cengir.
"Kita lanjutkan perjalanan sekarang...,"
ajak Kusuma tiba-tiba. Saka Purdianta yang ber-

diri di sisi kirinya cuma senyum-senyum melihat
kebiasaan Pengemis Binal.
"Ya! Secepatnya kita ke Pendapa Kadipaten
Bumiraksa!" sahut Puspita.
Kusuma melirik Saka Purdianta. "Kau ten-
tu bersedia ikut, Saka. Setelah aku menolong
Arya Wirapaksi, aku akan meminta bantuan-
mu...."
"Ya!" sahut Dewa Guntur, cepat. Pemuda
ini memang telah tahu bila Kusuma terperangkap
dalam masalah sulit.

***

Pendapa Kadipaten Bumiraksa....
Di sebuah kamar cukup luas, tubuh Arya
Wirapaksi terbaring lemah tiada daya. Wajahnya
pucat-pasi seperti mayat. Kelopak mata dan bi-
birnya terkatup rapat. Sementara, Putri Racun
tampak memeriksa keadaan putra Prabu Arya
Dewantara itu. Tak jauh dari pembaringan terli-
hat Suropati, Saka Purdianta, Puspita, si Wajah
Merah, Dewi Ikata, Adipati Danubraja, dan Adipa-
ti Barasangga.
"Bagaimana, Kusuma?" tanya Suropati se-
telah Putri Racun cukup lama memeriksa kea-
daan Arya Wirapaksi.
"Ramuan obat-obatan saja tak akan dapat
menolong jiwa Arya Wirapaksi...," beri tahu Ku-
suma dengan suara lirih.
"Aku membutuhkan seseorang yang mem-

punyai kekuatan tenaga dalam luar biasa. Racun
dalam otak Arya Wirapaksi hanya dapat dikelua-
rkan lewat dorongan tenaga dalam."
"Aku bersedia membantumu," tawar Pen-
gemis Binal, sungguh-sungguh.
Putri Racun menatap lekat wajah Suropati.
Gadis cantik ini lalu menggeleng. "Tak mungkin,
Suro...," desisnya.
"Kenapa? Kenapa tak mungkin?" tanya Su-
ropati dengan kening berkerut.
"Racun dalam otak Arya Wirapaksi me-
mang dapat dikeluarkan dengan dorongan tenaga
dalam. Tapi, otaknya akan ikut tercuci. Arya Wi-
rapaksi tak akan mempunyai keinginan membu-
nuh lagi. Tapi, dia akan lupa pada keadaan seke-
lilingnya, termasuk dirinya sendiri. Mengingat
nama sendiri pun dia tak akan mampu. Karena,
otaknya ikut tercuci"
Semua yang mendengar penjelasan Putri
Racun terkejut. Tak terkecuali si Wajah Merah
yang sudah cukup terkenal sebagai seorang tabib
pandai.
"Arya Wirapaksi dapat disembuhkan seper-
ti sediakala, tapi membutuhkan pengorbanan...,"
lanjut Putri Racun.
"Pengorbanan apa? Aku juga bersedia?"
sahut Pengemis Binal.
Putri Racun tersenyum tipis, lalu mengge-
leng. "Tugasmu sebagai seorang pendekar yang
memimpin Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti
masih banyak, Suro."

"Apa maksudmu, Kusuma?" tanya Suropa-
ti, semakin penasaran.
"Bila kau membantuku untuk menyem-
buhkan Arya Wirapaksi seperti sediakala, seba-
gian tenaga dalammu akan terhisap. Itu berarti
ilmu kesaktianmu akan berkurang...."
Selagi Pengemis Binal garuk-garuk kepala,
Saka Purdianta menepuk bahu Putri Racun se-
raya berkata, "Aku bersedia membantumu, Keka-
sihku...."
Putri  Racun menatap lekat wajah Saka
Purdianta. Gadis ini seperti tak mempercayai
ucapan si Dewa Guntur.
"Beberapa hari yang lalu, aku minum da-
rah seorang pelarian dari tanah India yang ber-
nama Prajna Singh...."
"Prajna Singh? Kakek tinggi-besar yang pe-
nuh bulu itu?" sela Putri Racun.
"Rupanya kau telah mengenalnya, Prajna
Singh memang bertubuh tinggi-besar dan berbulu
lebat. Aku minum darahnya tanpa sengaja. Waktu
itu aku tengah mengintai Prajna Singh yang se-
dang bertempur dengan Prabandari, seorang ne-
nek tua-renta bekas istrinya. Prabandari mati,
namun Prajna Singh terkena sambitan kapak be-
racun," cerita Saka Purdianta. "Selagi Prajna
Singh berusaha menghilangkan racun dalam tu-
buhnya, aku keluar dari persembunyianku. Tak
dapat kupungkiri bila aku ingin memiliki kitab
yang tiba-tiba meloncat keluar dari saku baju
Prajna Singh. Namun, kakek sakti itu melihat ke-

lebatan tubuhku.  Serta-merta dia mengibaskan
tangannya.  Mendadak, pandanganku jadi gelap
ketika segumpal darah masuk ke mulutku. Aneh-
nya, setelah aku siuman, aku merasakan tenaga
dalamku menjadi berlipat ganda. Karena itulah
aku bersedia mengorbankan sebagian tenaga da-
lamku, Kusuma. Demi sang putra mahkota Arya
Wirapaksi. Demi kau pula, Kekasihku. Biar kau
bertambah yakin bila aku telah menjadi orang
baik-baik kini...."
Putri Racun terkesima mendengar ucapan
si Dewa Guntur. Dipeluknya pemuda itu dengan
erat. Rasa haru merebak di dalam dadanya.
Sebentar kemudian, tubuh Arya Wirapaksi
yang terbaring lemah telah duduk tegak di pem-
baringan. Kusuma menempelkan kedua telapak
tangannya ke dahi putra Prabu Arya Dewantara
itu. Sementara, kedua telapak tangan Saka Pur-
dianta menempel di belakang kepalanya.
Peluh membanjiri wajah Putri Racun yang
cantik jelita. Saka Purdianta pun bermandi kerin-
gat. Tubuh pemuda itu tampak bergetar hebat ka-
rena tenaga dalamnya terhisap!
Semua yang menyaksikan usaha penyem-
buhan itu mengambil napas lega saat Putri Racun
berkata, "Cukup!"
Saka Purdianta bernapas lega juga karena
tidak begitu banyak tenaga dalamnya yang terhi-
sap. Dengan dibantu Putri Racun, dia lalu mem-
baringkan tubuh Arya Wirapaksi lagi.
"Sepekan kemudian, Arya Wirapaksi boleh

kembali ke istana. Dia butuh waktu untuk men-
gumpulkan kekuatannya kembali," beri tahu Putri
Racun seraya turun dari pembaringan.
Selagi semua orang terbawa dalam suasana
gembira, Pengemis Binal tampak celingukan.
"Siapa yang kau cari, Suro?" tanya Dewi
Ikata atau Pendekar Wanita Gila, putri tunggal
Adipati Danubraja atau cucu Adipati Barasangga.
"Intan Melati. Aku tak melihat Intan Melati.
Di mana gadis itu?"
"Kemarin dia dijemput oleh ayahnya," beri
tahu Dewi Ikata.
"Rama Ludira?"
"Huh! Kenapa kau tampak begitu memper-
hatikan gadis itu, Suro?" rungut Dewi Ikata.
"Ah, tidak! Aku hanya bertanya saja. Kalau
dia sudah dijemput ayahnya, syukurlah.... Kau
jangan cemburu, Ika. Kau tahu hatiku ada di ma-
na?"
Dewi Ikata yang mengerti maksud ucapan
Pengemis Binal tersenyum senang. Gadis ini lalu
menghambur. Dipeluknya tubuh Pengemis Binal
dengan erat tanpa malu bila banyak orang berada
di sekitarnya.
Sewaktu semua orang tertawa melihat Dewi
Ikata menciumi pipi Pengemis Binal, Puspita me-
nundukkan kepala. Terbersit rasa sedih di ha-
tinya. Gadis ini semakin tahu cintanya pada Su-
ropati tak akan terbalaskan. Namun, bayangan
Kapi Anggara atau Pendekar Asmara tiba-tiba
berkelebat di benaknya. "Pemuda itu mencintai-

ku. Aku tak akan menyia-nyiakan cintanya. Ku-
pikir dia juga bisa menjadi suami yang baik...,"
katanya dalam hati.
Mendadak, seorang prajurit penjaga datang
untuk menghadap Adipati Danubraja. Kedatan-
gan lelaki itu seperti  membawa sebuah berita
penting.
"Ada apa, Prajurit?" tanya sang adipati,
berwibawa.
"Seorang lelaki berkuda datang ke penda-
pa. Dia mengaku sebagai utusan Prabu Singga-
lang Manjunjung Langit Raja Pasir Luhur," tutur
prajurit
"Tujuannya?" 
"Dia mencari Saka Purdianta yang bergelar
Dewa Guntur. Ada sesuatu yang harus segera di-
sampaikan."
Usai si prajurit memberi laporan, Adipati
Danubraja mengarahkan pandangan ke Saka
Purdianta yang berdiri tak jauh darinya. "Segera
temui utusan itu...," ujarnya.
"Terima kasih, Gusti Adipati...," Saka Pur-
dianta membungkuk hormat kemudian keluar
ruangan.
Di pintu gerbang pendapa, Saka Purdianta
menjumpai seorang lelaki setengah baya yang
berdiri di sisi kuda putih. Saka Purdianta menge-
nalnya sebagai salah seorang kepercayaan Prabu
Singgalang Manjunjung Langit. Lelaki setengah
baya itu sering diutus ke Katumenggungan Le-
mah Abang semasa ayah Saka Purdianta, Tu-

menggung Sangga Percona, masih hidup.
"Kau mencariku, Gambang?" tanya Saka
Purdianta.
Gambang mengangguk. Tanpa berkata apa-
apa dia mengeluarkan gulungan kertas kecil dari
saku dalam jubah yang dikenakannya. Gulungan
kertas itu lalu disodorkan kepada Saka Purdianta.

Saka Purdianta,
Saat ini warga Katumenggungan Lemah
Abang membutuhkan seorang pemimpin yang be-
nar-benar dapat bertindak sebagai pemimpin. Se-
peninggal ayahmu, Patih Bayu Ardi yang sudah
lanjut usia tak dapat menjalankan tampuk pimpi-
nan di katumenggungan dengan baik. Maka dari
itu, segeralah kau jalankan tugasmu sebagai seo-
rang tumenggung. Jangan kecewakan warga Ka-
tumenggungan Lemah Abang.
Prabu Singgalang Manjunjung Langit

Usai membaca tulisan di atas kertas, ken-
ing Saka Purdianta berkerut. Ditariknya napas
panjang, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Pemu-
da tampan ini terkejut ketika seseorang menepuk
bahunya.
"Wajahmu terlihat muram. Ada apa, Saka?"
tanya Suropati yang datang menyusul.
Saka Purdianta menatap wajah Pengemis
Binal, lalu bibirnya bergetar. "Hari ini juga aku
harus ke Katumenggungan Lemah Abang."
"Prabu Singgalang Manjunjung Langit yang

memerintahkanmu?"
"Ya."
"Bagaimana dengan Kusuma? Kalian baru
berjumpa, masa harus berpisah lagi? Kau tahu
bila Kusuma sedang menghadapi masalah sulit?
Dia dituduh membunuh seorang punggawa Kadi-
paten Tanah Loh yang bernama Danang Burgun-
di."
"Aku sudah tahu. Aku menemui dia sebe-
narnya untuk membantu mengatasi masalahnya
itu. Tapi, sekarang aku tak punya waktu lagi. Aku
percaya kepadamu, Suro. Aku yakin bila kau
akan menolong Kusuma."
Di ujung kalimatnya, Saka Purdianta
membalikkan badan, lalu berkelebat lenyap. Su-
ropati cuma dapat menggeleng-geleng kepala.
Remaja konyol ini terkesiap ketika telinganya me-
nangkap pesan Saka Purdianta yang dikirim me-
lalui bisikan jarak jauh.
"Setelah urusan Kusuma dapat diselesai-
kan, suruh dia datang ke Katumenggungan Le-
mah Abang. Aku akan menyiapkan upacara per-
nikahanku dengannya. Bila ada waktu, datanglah
di hari yang paling membahagiakan dalam hi-
dupku itu, Suro."
Suropati mengangguk-angguk.  "Semoga
keinginanmu itu terlaksana, Saka...," doanya.





6

Gayat Ngalim adalah seorang pemuda be-
rumur dua puluh delapan tahun. Tubuhnya tinggi
tegap dan berdada bidang. Wajahnya cukup tam-
pan. Hanya yang tampak aneh, bulu alisnya ber-
warna putih. Seluruh anggota Partai Alis Putih
memang memiliki ciri demikian. Tak terkecuali
Gayat Ngalim yang diangkat menjadi ketua.
Pemuda yang beberapa waktu lalu menge-
nali penyamaran Putri Racun di Kedai Melati itu
kini tampak berdiri mondar-mandir di sebuah
ruangan lebar di sarang Partai Alis Putih. Hatinya
sedang galau. Ada sesuatu yang tak mengenak-
kan pikirannya.
"Kusuma...," desisnya seraya menghenti-
kan langkah kakinya yang hampir kesemutan ka-
rena terlalu lama dibuat mondar-mandir. "Kau ki-
ra menolak cinta Gayat Ngalim tak akan menim-
bulkan masalah. Kau keliru, Kusuma. Andai tem-
po hari kau terima pinanganku, kau tak akan
mendapat susah. Prajurit kadipaten dan beberapa
tokoh sakti rimba persilatan tak akan mencari-
cari dirimu. Tapi, sesungguhnya aku merasa ka-
sihan padamu, Kusuma...."
Mata Gayat Ngalim menerawang. Tatapan-
nya kosong. Mendadak, pemuda berpakaian serba
putih ini menggeram. Suara cicak di dinding
membuat sakit gendang  telinganya. Dia merasa
diejek. Kontan amarah Gayat Ngalim meledak.

Dipelototinya cicak di dinding yang berada dua
depa dari hadapannya.
"Pergilah ke neraka, Bangsat!" umpat Gayat
Ngalim seraya meludah. "Cuah!"
Gumpalan air ludah meluncur cepat, me-
nerpa tubuh cicak yang sebenarnya tak berdosa
apa-apa. Akibatnya cukup mengejutkan. Bukan
saja tubuh cicak yang lumat, tapi dinding tempat
rayapannya tampak berlubang dan mengepulkan
asap putih.
"Kusuma...," desis Gayat Ngalim sambil
mendekap wajahnya yang mengelam.
Berulang kali Gayat Ngalim menyebut na-
ma kecil Putri Racun. Rasa hatinya yang tak ka-
ruan membuat kewaspadaannya berkurang.
Hingga tanpa disadarinya, seorang gadis berpa-
kaian pelayan telah berdiri di belakangnya. Un-
tunglah gadis itu tidak bermaksud jahat. Dia da-
tang untuk mengantarkan baki yang di atasnya
terdapat segelas arak merah.
"Arak yang Tuan inginkan telah siap...,"
ujar gadis pelayan.
Gayat Ngalim terkejut. Tapi melihat yang
datang adalah orang suruhannya, cepat ditepis-
nya perasaannya yang hendak marah. Dikem-
bangkannya senyum lebar, lalu menyambut arak
pemberian gadis pelayan.
"Nikmat sekali, Dara...," desis Gayat Ngalim
usai menenggak araknya hingga tandas.
"Saya mohon diri, Tuan..." ujar gadis pe-
layan setelah Gayat Ngalim meletakkan gelas arak

ke atas baki yang dibawanya.
"Eit! Tunggu dulu!" cegah Gayat Ngalim.
Matanya menatap tajam wajah gadis pelayan ber-
nama Dara.
"Ada apa lagi, Tuan?" tanya Dara. Gadis ini
merasa tak enak menerima tatapan mata Gayat
Ngalim yang sepertinya menyimpan maksud ter-
sembunyi.
"Hmmm.... Kau cukup cantik, Dara," puji
Gayat Ngalim sambil melempar kerlingan mata.
Hati Dara semakin tak enak. Gadis ini tahu
makna kerlingan tuannya. Sambil menunduk,
mulutnya berucap, "Saya hanya gadis biasa,
Tuan. Tuan tak perlu memuji. Kalau tak ada tu-
gas lagi, izinkan saya meninggalkan tempat..."
"Uts! Jangan tergesa-gesa!" cegah Gayat
Ngalim lagi. "Aku ingin menceritakan sesuatu ke-
padamu, Dara...."
"Itu tidak perlu, Tuan. Saya takut tidak bi-
sa menyimpan rahasia."
"Apa yang akan kuceritakan bukan sesuatu
yang rahasia, Dara. Hanya suatu hal yang ba-
rangkali saja ada gunanya bagimu."
Walau masih diliputi rasa tak enak, Dara
menurut saja ketika Gayat Ngalim membimbing-
nya memasuki ruangan yang lebih kecil. Dengan
duduk di kursi saling berhadapan, Gayat Ngalim
membuka ceritanya.
"Beberapa bulan yang lalu, aku bertemu
dengan seorang gadis cantik, Namanya, Kusuma
dan bergelar Putri Racun. Jelas dia mempunyai

ilmu yang sangat tinggi. Maka, tak segan aku un-
tuk meminta dia agar bersedia menjadi istriku.
Namun, dia menolak. Katanya, dia telah mempu-
nyai kekasih...," Gayat Ngalim menarik napas
panjang. Ditatapnya wajah Dara lekat-lekat "Da-
pat kau bayangkan betapa sakit hatiku, Dara.
Seandainya dadaku disayat pedang tajam, pedih-
nya tak akan dapat menyamai rasa hatiku saat
ini...."
"Di kota ini, nama Tuan cukup ternama.
Tuan juga seorang pemuda kaya. Masih banyak
gadis cantik yang mau menjadi istri Tuan. Lupa-
kan saja gadis yang bernama Kusuma itu. Dengan
membuka pintu hati kepada gadis lain, Tuan pas-
ti dapat menyembuhkan luka hati Tuan...," tutur
Dara.
"Sungguh pandai kau bertutur kata, Dara,"
puji Gayat Ngalim. "Terima kasih atas nasihatmu.
Memang benar. Aku mesti membuka pintu hatiku
untuk gadis lain...."
Gayat Ngalim meraih jemari tangan Dara,
lalu dikecupnya dengan lembut "Kau cukup can-
tik, Dara...," lanjut Gayat Ngalim. "Bersediakah
kau menggantikan tempat Kusuma di hatiku?"
"Tuan jangan mengajak bercanda. Saya
hanya seorang gadis biasa yang tak mempunyai
kepandaian apa-apa…," ujar Dara sambil menarik
tangannya yang diremas oleh Gayat Ngalim.
"Aku... aku ingin...," ujar Gayat Ngalim,
terputus-putus. Mendadak, mata pemuda ini jela-
latan. Pandangannya tertuju pada belahan kebaya

Dara yang terbuka, sehingga memperlihatkan se-
bagian kulit dadanya yang halus-mulus.
"Hari mulai larut malam. Ijinkan saya mo-
hon diri, Tuan...," ujar Dara. Gadis ini terkejut ke-
tika pandangannya membentur penglihatan Gayat
Ngalim yang memelototi belahan kebayanya. "Ke-
napa Tuan melihatku seperti ini? Saya mohon diri
sekarang...."
Gayat Ngalim menyambar tangan Dara
yang hendak beranjak dari tempat duduknya.
"Malam ini aku membutuhkan dirimu, Dara...,''
dengan napas menderu.
"Apa maksud Tuan?!" sentak Dara, merasa
tersinggung akan ucapan Gayat Ngalim.
"Hmmm.... Kau memang cantik, Dara. Aku
baru menyadari kecantikanmu saat sekarang.
Malam ini kau temani aku. Harus! Kau tidak bo-
leh menolak!"
"Tidak Tuan!" tolak Dara, tegas. "Bukankah
Tuan sudah tahu bila beberapa pekan yang lalu
saya telah menikah. Saya bekerja di sini hanya
untuk melunasi hutang orang tua saya. Tuan ti-
dak berhak berbuat semau hati Tuan terhadap
saya!"
"Sungguh berani ucapanmu itu, Dara!"
bentak Gayat Ngalim. "Tidakkah kau tahu aku ini
siapa?! Aku bisa membunuhmu tanpa menyentuh
tubuhmu terlebih dahulu!"
Usai berkata, Gayat Ngalim menggelengkan
kepalanya ke kanan. Gelengan kepala yang diser-
tai kekuatan tenaga dalam ini menimbulkan

hembusan angin kencang. Beberapa cicak yang
merayap di dinding kontan jatuh ke lantai dan tak
berkutik lagi. Mati!
Terkesiap Dara melihat kesaktian tuannya.
Tapi, gadis ini sama sekali tidak menjadi takut,
malah dipelototinya wajah Gayat Ngalim. "Kalau
mau bunuh, silakan! Tapi, Tuan tak akan lepas
dari pengadilan Gusti Adipati!" ujarnya dengan
berani.
"Ha ha ha...!" Gayat Ngalim tertawa berge-
rak. "Tahu apa kau tentang pengadilan?! Adipati
Barasangga tak berada di pendapa. Dia ada uru-
san dengan menantunya di Kadipaten Bumirak-
sa."
"Tapi bila Tuan tetap hendak berbuat jahat
terhadap saya, pada saatnya nanti barang busuk
akan tercium juga baunya!"
"Tak perlu banyak cakap lagi, Dara! Segera
pergi ke kamarku!"
"Cih! Saya bukan perempuan jalang! Nyata-
lah bila Gayat Ngalim Ketua Partai Alis Putih
mempunyai sifat buruk!" cela Dara, semakin be-
rani. "Kau telah menjerat ayahku dengan hutang
berbunga tinggi! Dan, kini kau pun hendak mem-
permainkan diriku. Dasar lelaki jahanam!"
Dara mundur beberapa langkah, lalu
membalikkan badan hendak meninggalkan Gayat
Ngalim.
"Tidak mudah menolak keinginan Gayat
Ngalim!"
Sebelum langkah kaki Dara mencapai pin-

tu, Gayat Ngalim meloncat seraya menjambret
kain kebaya Dara. Gayat Ngalim tertawa bergelak
sambil memegang sobekan kain kebaya Dara.
Sementara, Dara memekik karena terkejut. Meli-
hat kulit bahunya terbuka, dia segera mengang-
kat kaki untuk berlari. Tapi, gerakan Gayat Nga-
lim lebih cepat. Kain baju Dara robek lagi. Karena
tarikan Gayat Ngalim cukup kuat, tubuh Dara
kali ini sampai terpelanting ke kanan. Untung dia
masih dapat menjaga keseimbangan tubuhnya,
sehingga tidak sampai jatuh tersungkur.
"Hmmm.... Kulitmu cukup mulus, Dara.
Mungkin tak kalah mulus bila dibanding dengan
kulit Kusuma...," ujar Gayat Ngalim dengan pan-
dangan menyala-nyala karena desakan hawa naf-
sunya.
Sementara, Dara yang tadi memperlihatkan
keberaniannya telah menjadi sangat ketakutan.
Dia duduk meringkuk di sudut ruangan sambil
mendekap dadanya yang terbuka. Gadis ini bisa
membayangkan apa yang akan diperbuat Gayat
Ngalim kepada dirinya. Maka, cepat dia kumpul-
kan lagi seluruh keberaniannya. Dipelototinya lagi
Gayat Ngalim.
"Jahanam! Aku sudah punya suami! Jan-
gan berlaku kurang ajar!" hardik Dara.
Tapi, Gayat Ngalim malah tertawa bergelak.
Sekali renggut tanggallah sisa kain kebaya yang
dipakai Dara.
"Aku tuanmu. Kau harus menuruti segala
yang kumau!" ujar Gayat Ngalim sambil menjilati

kulit mulus Dara dengan pandangan matanya.
"Tidak! Lebih baik mati daripada menuruti
kemauan anjing buduk macam kau!" pekik Dara.
Dengan sinar mata berkilat Dara bangkit
dari duduknya. Lalu, mendorong tubuhnya se-
kuat tenaganya. Maksudnya untuk membentur-
kan kepalanya ke dinding hingga pecah. Namun,
bukan permukaan dinding keras yang terbentur
kepala Dara, melainkan telapak tangan Gayat
Ngalim yang bisa membaca maksud Dara untuk
bunuh diri.
"Kau boleh melakukan apa saja termasuk
bunuh diri. Tapi, sebelumnya kau harus melaya-
niku dulu...," ujar Gayat Ngalim seraya memeluk
erat tubuh Dara, yang lalu mendaratkan ciuman-
ciuman ganas.
"Jangan! Jangan!" jerit Dara seraya meron-
ta-ronta sekuat tenaga. Tapi apa daya, tenaga
Gayat Ngalim terlalu kuat  untuk dapat dilawan
gadis lemah seperti dirinya.
Hanya lewat sentakan pelan, tubuh Dara
jatuh telentang di lantai. Tangan kanan Gayat
Ngalim berkelebat cepat. Dirobeknya kain bawah
Dara. Untuk beberapa saat Gayat Ngalim berdiri
terpaku di tempatnya. Jakunnya naik-turun me-
lihat pemandangan indah yang terpampang di
hadapannya.
"Ternyata kau cantik sekali, Dara...," desis
Gayat Ngalim.
Bergegas Dara menggulingkan tubuhnya ke
kiri ketika Gayat Ngalim menerkamnya. Namun,

gerakannya kurang cepat. Bahunya dapat dicekal.
Hingga, jatuhlah dia dalam pelukan erat Gayat
Ngalim yang telah dikuasai nafsu setan!
Dara tak mampu menjerit karena bibirnya
dipagut kuat-kuat oleh Gayat Ngalim. Jeritan Da-
ra baru terdengar ketika Gayat Ngalim mengalih-
kan sasaran ciumannya. Dengan  dengus napas
memburu dia berusaha melepas pakaiannya sen-
diri. Tapi, baru saja dia membuka kancing ba-
junya, tiba-tiba.....
"Lelaki bejat…!"
Terdengar sebuah makian. Disusul berke-
lebatnya sebuah bayangan yang langsung beru-
saha mendaratkan tendangan ke kepala Gayat
Ngalim!
Plak...!
Gayat Ngalim yang sudah dikuasai nafsu
birahinya ternyata masih mampu menepis seran-
gan dengan mengangkat telapak tangan kanan-
nya. Kaki si penyerang seperti membentur tembok
baja setebal satu depa. Namun, si penyerang yang
ternyata  Kusuma alias Putri  Racun tak menjadi
terkejut. Dia sudah menduga akan kehebatan la-
wan. Selagi Gayat Ngalim meloncat berdiri, cepat
dia sambung lagi serangannya dengan sebuah
pukulan mengarah ke dada!
"Kurang ajar!" geram Gayat Ngalim sambil
mengegos tubuh ke kiri. Tahu siapa yang menye-
rangnya, pemuda ini segera meloncat jauh. "Ta-
han!" serunya. 
Putri Racun tak melanjutkan lagi seran-

gannya.
Gadis yang berpakaian ungu-hitam ini sen-
gaja datang ke sarang Partai Alis Putih bukan un-
tuk membunuh Gayat Ngalim, tapi untuk me-
maksanya mengaku sebagai penyebar fitnah atas
pembunuhan Danang Burgundi.
Gayat Ngalim terkesiap. Putri Racun ter-
nyata tidak datang sendirian. Suropati dan Puspi-
ta berdiri tegak di kanan-kirinya. Gayat Ngalim
tak habis mengerti bagaimana mereka bisa masuk
ke sarangnya tanpa diketahui anak buahnya yang
melakukan penjagaan ketat?
Puspita segera melepas baju luarnya. Dan,
diberikannya kepada Dara yang terlihat menangis
sambil meringkuk memeluk lutut
"Pakailah. Dan, segeralah pergi dari tempat
ini," ujar Puspita.
Dara segera mengenakan baju luar pembe-
rian Puspita. Usai membenarkan  letak kain ba-
wahnya yang robek, dia berlari cepat keluar ruan-
gan. "Terima kasih.... Terima kasih...," ucapnya
tanpa menolehkan kepala. Agaknya rasa takut
begitu menggeluti jiwanya.
"Hmm.... Ada urusan apa kau datang ke
tempat kediamanku, Kusuma?" selidik Gayat Nga-
lim. "Kau datang bersama dua temanmu, apakah
mereka sengaja kau ajak untuk menjadi saksi
bersatunya cinta kita pada malam hari ini?"
"Dua temanku memang akan segera men-
jadi saksi. Mereka akan turut mendengar penga-
kuanmu atas pembunuhan yang kau lakukan ke-

pada Danang Burgundi!" tukas Putri Racun.
"Ha ha ha...!" Gayat Ngalim tertawa berge-
lak. "Sebenarnya aku hendak marah karena kau
telah menggangguku, tapi melihat wajahmu yang
cantik-jelita, amarahku lenyap mendadak. Ha ha
ha...! Aku bisa membersihkan nama baikmu, Ku-
suma. Asal kau bersedia menjadi istriku!"
"Cih! Tak tahu malu!" hardik Putri Racun
seperti orang jijik mendengar perkataan Gayat
Ngalim.
Sementara, Suropati yang mengenali Gayat
Ngalim sebagai lelaki yang tadi sore datang ke Ke-
dai Melati dan menjatuhkan tuduhan terhadap
Putri Racun, melangkah maju setindak.
"Cinta tak dapat dipaksakan...," ujarnya.
"Harap kau tahu itu. Kusuma tak bersalah apa-
apa, kenapa kau menjatuhkan fitnah keji kepa-
danya."
Gayat Ngalim menatap tajam wajah Pen-
gemis Binal. "Aku tahu kau Suropati Pemimpin
Perkumpulan Pengemis Tongkat Sakti...," ucap-
nya bernada sinis. "Kau katakan aku menjatuh-
kan fitnah terhadap Kusuma. Apakah kau telah
berpikir sebelum mengatakan itu? Tidak sadarkah
kau bila kau sendiri yang telah menjatuhkan fit-
nah atas diriku?"
"Jangan bersilat lidah, Ngalim!" hardik Su-
ropati.
"Ha ha ha...!" Gayat Ngalim tertawa berge-
lak lagi. "Siapa yang bersilat lidah, Suro? Kau tak
perlu membela orang yang bersalah. Kusuma ada-

lah seorang perampok dan pembunuh. Beberapa
anak buahku menjadi saksinya!"
"Hmmm.... Begitukah?" ujar Pengemis Bi-
nal. Otaknya segera diputar. "Aku tak akan mem-
bela orang yang bersalah. Tapi, aku belum yakin
bila Kusuma, sahabatku, benar-benar seorang pe-
rampok dan pembunuh. Bisakah kau menda-
tangkan beberapa anak buahmu yang kau kata-
kan dapat menjadi saksi?" 
Gayat Ngalim tampak berpikir sejenak.
"Baik. Aku akan mendatangkan mereka. Setelah
kau mendengar kesaksian mereka,  kau dan te-
manmu yang menyandang pedang di punggung
itu harus menyingkir dari tempat ini dan jangan
mencampuri urusanku lagi! Bagaimana?"
"Aku turuti tawaranmu. Aku dan Puspita
akan pergi setelah aku mendapat kepastian bila
Kusuma benar-benar seorang gadis jahat."
Di ujung kalimat Pengemis Binal, Gayat
Ngalim tersenyum tipis. "Tunggulah sebentar...,"
katanya seraya melangkahkan kaki, keluar ruan-
gan.
"Aku tak tahu apa rencanamu, Suro...,"
ujar Kusuma setelah sosok Gayat Ngalim menghi-
lang dari pandangan.
"Percayalah padaku, Kusuma. Aku tak
akan mencelakakanmu...," bisik Pengemis Binal
di dekat telinga Putri Racun.
Putri Racun tak melanjutkan pertanyaan-
nya lagi karena Gayat Ngalim keburu muncul ber-
sama empat pemuda yang kesemuanya berpa-

kaian serba putih, sama dengan Gayat Ngalim ke-
tua mereka. Bulu alis mereka juga berwarna pu-
tih.
"Palindung, kau wakili ketiga temanmu un-
tuk mengatakan apa yang kau ketahui tentang
peristiwa di tepi Hutan Jalonggrang...," perintah
Gayat Ngalim kepada pemuda berhidung pesek
yang berdiri di sisi kirinya.
Palindung menghirup udara dalam-dalam,
lalu ucapnya dengan suara berat, "Aku menyaksi-
kan sebuah perbuatan kejam. Aku menyaksikan
sebuah perampokan berdarah. Danang Burgundi
seorang punggawa kadipaten mati terbunuh sete-
lah sekantung uang emasnya dirampas...."
"Katakan siapa yang melakukan perbuatan
kejam itu!" perintah Gayat Ngalim dengan bibir
menyungging senyum kemenangan.
Palindung mengedarkan pandangan. Dita-
tapnya wajah Gayat Ngalim sejenak. Lalu, dita-
tapnya bergantian wajah Suropati dan Puspita.
Ketika menatap wajah Kusuma, dia langsung me-
nunjuk, "Gadis itulah yang telah merampok dan
membunuh Danang Burgundi!"
Putri Racun kontan menggeram marah
mendengar tuduhan yang ditujukan kepadanya.
Gadis ini hendak meloncat untuk menonjok mu-
lut Palindung, tapi Suropati mencegahnya.
"Tahan perasaanmu, Kusuma…!" bisik
Pengemis Binal, mempergunakan ilmu memin-
dahkan suara.
"Ha ha ha...!" Gayat Ngalim tertawa berge-

lak. "Kini kau telah mendengar penuturan saksi
mata yang melihat dengan mata kepala sendiri
bagaimana kejamnya Kusuma. Sayang, gadis can-
tik tapi punya perilaku buruk...."
"Aku belum yakin bila Kusuma adalah pe-
laku perampokan dan pembunuhan itu, Ngalim!"
tukas Pengemis Binal. "Tiga orang pemuda yang
kau ajak kemari itu belum mengatakan apa-apa."
Gayat Ngalim tersenyum tipis. Matanya
melihat ketiga teman Palindung satu persatu, lalu
katanya, "Benarkah apa yang di..."
"Tunggu!" sergah Pengemis Binal. "Aku
yang bertanya kepada mereka!"
Gayat Ngalim mendengus gusar. "Baik-
lah.... Kau boleh bertanya apa yang kau ingin ta-
hu, agar kau puas hatimu ketika meninggalkan
tempat ini...," ujarnya setelah terlebih dahulu
menahan amarahnya.
Pengemis Binal menatap tajam wajah tiga
pemuda yang berdiri berderet di sisi kiri Palin-
dung. Diam-diam remaja konyol ini mengerahkan
kekuatan ilmu sihirnya.
"Benarkah apa yang telah dikatakan oleh
teman kalian yang bernama Palindung itu?" tanya
Pengemis Binal kemudian. Suaranya datar saja.
Namun, di baliknya tersimpan kekuatan yang
memaksa tiga anak buah Gayat Ngalim untuk
mengatakan apa yang terjadi sebenarnya.
"Tidak!" jawab ketiga teman Palindung se-
rempak.
"Jadi, Palindung telah memberi kesaksian

palsu?"
"Ya!"
Mendengar jawaban ketiga anak buahnya,
mengelam paras Gayat Ngalim. Ketua Partai Alis
Putih ini hendak membentak, tapi suara Penge-
mis Binal keburu menghalangi niatnya.
"Diamlah kau, Gayat Ngalim! Kau telah
memberi kebebasan kepadaku untuk bertanya
kepada anak buahmu. Harap kau pegang kata-
katamu!"
Gayat Ngalim menggeram, tapi tak dapat
berbuat apa-apa ketika Pengemis Binal melan-
jutkan pernyataannya.
"Kau, yang berdiri di sebelah Palindung,"
tunjuk Suropati, "Ceritakan peristiwa yang sebe-
narnya!"
Pemuda yang dahinya terdapat luka gore-
san senjata tajam menarik napas panjang. Pemu-
da yang telah dipengaruhi sihir Suropati ini lalu
bercerita.
"Sepekan yang lalu, bersama ketiga teman-
ku, aku diajak Tuan Gayat Ngalim pergi ke pinggir
Hutan Jalonggrang. Sesuai rencana yang telah di-
atur oleh Tuan Gayat Ngalim, kami menghadang
laju kuda Danang Burgundi..."
"Bangsat! Hentikan ucapanmu!" pekik
Gayat Ngalim.
Cepat sekali Suropati melesatkan tubuh-
nya ketika melihat Gayat Ngalim hendak menya-
rangkan pukulan maut ke kepala pemuda yang
tengah bercerita.

Duk...! 
Tuk...! Tuk...!
"Aaakh...!"
Pukulan Gayat Ngalim berhasil ditangkis
oleh Suropati. Gayat Ngalim pun tak dapat melan-
jutkan niatnya untuk membunuh anak buahnya
karena beberapa totokan Suropati keburu menda-
rat di tubuhnya. Hingga, menjadikannya tak da-
pat berbuat apa-apa lagi, kecuali berdiri tegak-
kaku bagai patung. Hanya bola matanya yang
bergerak jelalatan mengandung ancaman kema-
tian.
"Kau terima dulu hukuman itu, Ngalim...,"
ujar Suropati sambil menggaruk kepalanya. Pan-
dangan remaja konyol ini lalu beralih ke pemuda
yang berdiri di sisi kiri Palindung. "Lanjutkan ce-
ritamu!" perintahnya kali ini tanpa disertai kekua-
tan ilmu sihir. "Tak perlu takut. Dengan menga-
takan peristiwa yang sebenarnya, kau akan men-
gungkapkan kebusukan Gayat Ngalim. Itu berarti,
kau tak akan mempunyai ketua berwatak jahat.
Gayat Ngalim akan diadili pejabat kadipaten. Ke-
dudukannya sebagai Ketua Partai Alis Putih bisa
digantikan oleh orang yang lebih tepat."
"Ya. Kita harus mengatakan hal yang sebe-
narnya!" tegas Palindung tiba-tiba. "Teruskan ce-
ritamu, Warak!"
Semakin jelalatan saja mata Gayat Ngalim
mendengar ucapan  Palindung. Namun, pemuda
culas ini tak mampu berbuat apa-apa lagi. Bah-
kan, mengeluarkan suara pun tidak. Urat besar di

pangkal lehernya juga menjadi sasaran totokan
Suropati.
Sebelum pemuda yang dipanggil Warak
melanjutkan ceritanya, Putri Racun menyentuh
bahu Pengemis Binal. "Tidakkah lebih baik mere-
ka kita bawa saja untuk bersaksi di hadapan Pa-
tih Juna Kambang, Suro?"
Suropati menatap wajah Putri Racun seki-
las. Lalu, tanyanya kepada Palindung, "Kenapa
kau tadi memberi kesaksian palsu?"
"Aku dipaksa oleh Gayat Ngalim. Dia men-
gancam akan membunuh seluruh keluargaku,
termasuk aku sendiri. Ketiga temanku juga dian-
cam demikian. Tapi setelah melihat bagaimana
kau dengan mudah melumpuhkan Gayat Ngalim,
aku jadi tak takut lagi kepadanya. Aku yakin kau
akan melindungiku."
Pengemis Binal mengangguk-angguk. "Ka-
lian semua bersedia memberikan kesaksian atas
kelicikan Gayat Nalim dan membersihkan nama
baik Kusuma?"
"Kami bersedia!" jawab Palindung dan te-
man-temannya, serempak.
"Kita berangkat sekarang juga ke Pendapa
Kadipaten. Berikan kesaksian kalian di hadapan
Patih Juna Kambang."
Namun... sebelum Palindung dan ketiga
temannya mengikuti langkah Suropati, terdengar
bentakan keras. "Matilah kalian semua!"
Walau terkejut tapi Putri Racun masih
mampu bergerak cepat. Tubuh gadis ini melesat

ke depan memapaki seberkas cahaya putih yang
hendak menerpa tubuh Palindung dan ketiga te-
mannya!
Blarrrr...!
Sebuah ledakan dahsyat terdengar ketika
seberkas cahaya putih bertumbukan dengan ge-
lombang angin yang muncul dari kedua telapak
tangan Putri Racun. Lantai ruangan berguncang.
Keempat dindingnya tiba-tiba jebol. Palindung
dan ketiga temannya menggigil ketakutan melihat
Gayat Ngalim yang mendadak telah berdiri tegak
dengan kedua pergelangan tangan terjulur lurus
ke depan.
"Kalian semua harus mati di tempat ini!"
ancam Gayat Ngalim dengan sinar mata berkilat-
kilat. Bagaimana Ketua Partai Alis Putih ini bisa
terbebas dari pengaruh totokan Pengemis Binal?
Sebagai seorang ketua partai yang memim-
pin banyak orang, tentu saja Gayat Ngalim mem-
punyai ilmu kesaktian yang bisa diandalkan.
Gayat Ngalim juga menguasai ilmu 'Pemencar Ja-
lan Darah', sebuah ilmu memindahkan jalan da-
rah yang berasal dari wilayah selatan. Ilmu itu
dapat membuat pemiliknya tak mempan ditotok
karena jalan darah di tubuhnya dapat dipindah-
pindahkan sesuka hati. Kalau tadi Gayat Ngalim
sempat menjadi kaku-kejang karena totokan Su-
ropati, itu karena dia tidak sempat menerapkan
ilmu 'Pemencar Jalan Darah'-nya. Tapi setelah
beberapa saat waktu berlalu, Gayat Ngalim dapat
menghimpun hawa saktinya. Hingga, dia berhasil

menerapkan ilmu 'Pemencar Jalan Darah'-nya.
Dan, terbebaslah dia dari pengaruh totokan Pen-
gemis Binal.
"Kusuma, Puspita, lindungi keempat pe-
muda itu ke Pendapa Kadipaten!" ujar Suropati
ketika mendengar suara gaduh langkah kaki pu-
luhan anggota Partai Alis Putih.
"Kau sendiri bagaimana, Suro?" tanya Ku-
suma.
"Aku akan menyusul kalian dengan mem-
bawa Gayat Ngalim hidup-hidup! Cepatlah pergi
sebelum anak buah Gayat Ngalim tiba di tempat
ini!"
Kusuma dan Puspita yang telah tahu akan
kesaktian Pengemis Binal segera mengajak Palin-
dung dan ketiga temannya meninggalkan tempat.
Baru saja sosok tubuh mereka menghilang dari
pandangan, belasan pemuda anggota Partai Alis
Putih memasuki ruangan. Puluhan orang lainnya
berjaga-jaga di luar. Semua memegang pedang
terhunus.
Sementara, Gayat Ngalim yang hendak
mengejar kepergian empat anak buahnya, meng-
gembor keras karena kelebatan tubuh Pengemis
Binal menghalangi maksudnya.
"Kau dapat menyusul mereka setelah kau
berhasil kulumpuhkan dan anak buahmu me-
nyaksikan sifat burukmu!" ujar Pengemis Binal.
"Bangsat!" umpat Gayat Ngalim. Pemuda
ini lalu memerintahkan anak buahnya untuk me-
nyerang Suropati. "Bunuh dia!"

"Tahan...!" pekik Pengemis Binal dengan
suara lantang.
Belasan pemuda yang telah siap  memba-
batkan pedang masing-masing tampak terkejut
karena gendang telinga mereka bagai ditepuk.
Jantung mereka yang tiba-tiba berdegup lebih ce-
pat membuat mereka tersurut mundur.
"Ketua kalian yang bernama Gayat Ngalim
itu bukanlah orang baik-baik. Dia pemuda jahat
yang telah membunuh Danang Burgundi!" ujar
Suropati. "Aku akan membuktikan kejahatan ke-
tua kalian itu malam ini juga di Pendapa Kadipa-
ten."
"Bohong! Bunuh dia cepat! Dia seorang
pengacau!" tolak Gayat Ngalim.
Namun. tak seorang pun dari anggota Par-
tai Alis Putih yang menuruti perintah ketuanya.
Mereka tetap berdiri di tempat masing-masing.
Agaknya mereka percaya pada ucapan Suropati.
Dan, sesungguhnya mereka pun telah lama tak
suka pada Gayat Ngalim yang sering menunjuk-
kan perangai buruk.
"Tunggu apa lagi?! Cepat bunuh dia!" pe-
rintah Gayat Ngalim, lebih keras dan lantang.
Mengelam paras Gayat Ngalim mengetahui
tak seorang pun anak buahnya yang menjalankan
perintahnya. Sambil menggembor keras, pemuda
ini lalu menerjang Suropati!
"Kukira tanganku sendiri sudah mampu
untuk memecahkan batok kepalamu!"
"Uts!" Pengemis Binal berkelit ke samping,

menghindari kepalan tangan Gayat Ngalim yang
mengarah kepala. "Kau boleh bangga karena da-
pat terbebas dari pengaruh totokanku. Tapi, jan-
gan harap kau dapat lolos dari hukuman setelah
kupatahkan kedua kakimu!"
Cepat sekali Suropati mengempos tubuh.
Sebelum kepalanya membentur langit-langit
ruangan, dia bersalto, lalu kedua tangannya di-
buka lebar-lebar. Dengan gerakan 'Pengemis Me-
minta Sedekah' hendak ditangkapnya kedua kaki
Gayat Ngalim. Sayang, Gayat Ngalim telah melon-
cat jauh.
Namun sebelum Gayat Ngalim membalas
serangan, Suropati berteriak, "Tetaplah di tempat-
mu!"
Teriakan yang disertai kekuatan ilmu sihir
membuat Gayat Ngalim berdiri terpaku di tempat-
nya. Sebelum pemuda ini menyadari apa yang ter-
jadi, Suropati telah mencengkerak kedua lutut-
nya!
"Wuah...!"
Gayat Ngalim memekik kesakitan ketika ja-
ri-jari tangan Pengemis Binal menancap di tulang
lututnya. Para anggota Partai Alis Putih cuma da-
pat memandang dengan muka  melongo tatkala
Pengemis Binal berkelebat keluar ruangan dengan
membopong tubuh Gayat Ngalim yang sudah tak
sadarkan diri.



7

"Di tepi Hutan Jalonggrang, kami diperin-
tah untuk mencegat kuda Danang Burgundi. Se-
lagi Danang Burgundi marah-marah kepada ka-
mi, Gayat Ngalim menyambar kantung uang emas
yang terikat di pinggangnya. Setelah menampar
wajah Danang Burgundi, Gayat Ngalim menakut-
nakuti dengan memperlihatkan ilmu kesaktian-
nya...," tutur Warak ketika memberi kesaksian di
hadapan Patih Juna Kambang dan beberapa pe-
jabat tinggi kadipaten. "Gayat Ngalim memberi ta-
hu kepada kami bahwa ada orang yang tengah
mengintai perbuatan kami. Dia memerintahkan
agar kami cepat-cepat menyingkir. Sebelumnya
dia menyerahkan kantung uang emas yang telah
dirampasnya kepada kami, kami dipesan agar me-
letakkannya di atas altar sembahyang kami. Dia
berpesan pula agar kami memerintahkan seluruh
anggota Partai Alis Putih, meninggalkan tempat
kediaman. Dan, kami melaksanakannya dengan
baik."
"Tutup mulutmu, Warak!" teriak Gayat
Ngalim yang tampak duduk meringkuk di lantai
dengan kedua kaki berhias darah kering.
"Diam kau, Ngalim!" bentak Patih Juna
Kambang yang berusia enam puluh tahunan.
"Kami tak tahu apa rencana Gayat Ngalim
selanjutnya. Tapi keesokan harinya kami men-
dengar kabar bila Danang Burgundi telah me-

ninggal dibunuh orang. Kami berempat tentu saja
menjadi ketakutan karena khawatir dituduh se-
bagai pembunuh. Tapi, Gayat Ngalim mengatakan
bahwa kami harus mengatakan kepada semua
orang bahwa Kusuma-lah pelaku perampokan
dan pembunuhan itu."
Di ujung kalimat Warak, Suropati yang
berdiri di dekat Gayat Ngalim berkata, "Sekarang
sudah jelas bahwa Kusuma alias Putri Racun ti-
dak bersalah apa-apa. Dia telah menjadi korban
fitnah keji Gayat Ngalim...," Suropati lalu mene-
kan tengkuk Gayat Ngalim. "Kenapa kau lakukan
semua ini, Ngalim?!" tanyanya dengan suara berat
memaksa.
"Aku tidak melakukan apa-apa! Semua
yang dikatakan Warak adalah bohong!" pungkir
Gayat Ngalim.
"Tidak! Warak berkata yang sebenarnya!"
tegas Palindung yang duduk di sisi kanan Warak.
Dua temannya yang lain turut menegaskan. "Ya!
Warak berkata benar!"
"Kau dengar itu, Ngalim?" ujar Pengemis
Binal sambil tetap mencengkeram tengkuk Gayat
Ngalim. "Kau tak dapat berkelit lagi. Sekarang ka-
takan apa maksudmu dengan melempar  fitnah
pada Kusuma!"
Mendadak, Gayat Ngalim meneteskan air
mata. Dengan suara patah-patah dia berkata,
"Aku... aku mencintai Kusuma, tapi ditolaknya.
Aku jadi sakit hati...."
"Kau bunuh Danang Burgundi, lalu kau ja-

tuhkan tuduhan kepada Kusuma! Bukankah be-
gitu yang terjadi?"
Gayat Ngalim tak menjawab. Dia mendekap
wajahnya dengan kedua tangan. Pemuda ini lalu
menangis menggerung-gerung menyesali perbua-
tannya.
"Kini semuanya sudah jelas, Gusti Patih...,"
ujar Pengemis Binal dengan tubuh dibungkukkan
ke arah  Patih Juna Kambang. "Sudah jelas bila
Gayat Ngalim adalah seorang penjahat culas.
Gusti Patih tentu tahu hukuman apa yang pantas
untuk dijatuhkan kepadanya...."
Putri Racun yang duduk di kanan Puspita,
satu tombak dari tempat Gayat Ngalim, tampak
beringsut ke depan. Diserahkannya kantung emas
bersulam yang dibawanya kepada Patih Juna
Kambang. "Uang emas dalam kantung ini tak
berkurang sekeping pun. Semula saya bermaksud
menyerahkan kantung uang emas ini dan kuda
merah kepada pemiliknya, tapi Danang Burgundi
keburu meninggal..."
Patih Juna Kambang menerima kantung
uang emas tanpa berkata apa-apa.
"Sekarang, izinkan saya meninggalkan
tempat  ini, Gusti Patih...," mohon Putri Racun.
"Saya harus datang secepatnya ke Katumenggun-
gan Lemah Abang yang terletak di wilayah Kera-
jaan Pasir Luhur. Ada sesuatu yang harus saya
kerjakan di sana."
Putri Racun teringat pesan Saka Purdianta
yang disampaikan oleh Suropati di Pendapa Kadi-

paten Bumiraksa.
Patih Juna Kambang mengangguk. "Karena
urusanmu sudah selesai, aku tak dapat mena-
hanmu lagi."
Putri Racun membungkuk hormat. Bersa-
ma Suropati dan Puspita, gadis ini lalu pergi me-
ninggalkan Pendapa Kadipaten Tanah Loh. Patih
Juna Kambang yang memegang kendali pemerin-
tah selama Adipati Barasangga pergi, menjatuh-
kan hukuman mati terhadap Gayat Ngalim. Selu-
ruh anggota Partai Alis Putih yang mengikuti per-
sidangan di luar pendapa tampaknya dapat mene-
rima keputusan itu. Gayat Ngalim memang pan-
tas dihukum mati untuk menebus kelicikannya.

SELESAI

Segera menyusul!!!
Serial Pengemis Binal dalam episode:
MUSLIHAT CINTA SANG PANGERAN