Pengemis Binal 12 - Petaka Kerajaan Air(1)




PETAKA KERAJAAN AIR


Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Tuti S,
Pengolah cerita oleh S. Pranowo



Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pengemis Binal 
dalam episode: 
Petaka Kerajaan Air
128 hal.


1

Bukit Rawangun memang tidak seberapa
subur. Sebagian besar daratannya berupa bebatuan
padas. Bila dilihat dari kejauhan puncak bukit tampak
datar. Pepohonan jarang tumbuh di sana. Bahkan, se-
bagian besar telah meranggas. Saat ini memang sedang
musim kemarau. Terpaan sinar mentari terasa begitu
terik dan menyengat
Namun, dari keadaan bukit yang tak bersa-
habat itu terkandung daya tarik tersendiri. Sebuah ali-
ran sungai membelah lambung bukit. Di tepi sungai
banyak didirikan kemah-kemah yang sepertinya senga-
ja dipakai untuk jangka waktu lama. Dalam kemah-
kemah itulah para pencari batu mulia bertempat ting-
gal. Dasar Sungai Bukit Rawangun memang banyak
menyimpan kekayaan alam tersebut.
Mentari tepat di atas kepala ketika tiga sosok
bayangan berkelebat cepat. Gerak tubuh mereka san-
gat ringan. Sedikit pun tak terdengar suara saat kaki
mereka menginjak permukaan tanah. Bahkan, tiga so-
sok bayangan itu dapat melayang puluhan tombak
jauhnya bagai lesatan burung walet.
Sesampai di puncak bukit, di muka mulut se-
buah gua yang tidak seberapa lebar, tiga sosok bayan-
gan itu berhenti. Tampaklah kini rupa mereka sesung-
guhnya. Ternyata, gadis-gadis cantik yang semuanya
berpakaian ungu. Selendang sutera merah membelit
pinggang ramping mereka. Ujung-ujung selendang di-
hiasi rumbai-rumbai jalinan benang keemasan.
Anting yang mereka kenakan tampak berki-
lauan saat sinar mentari menerpa. Bentuknya lingka-
ran kecil, ada pernik intan pada bagian bawahnya.
Usia ketiga gadis cantik itu belum genap dua puluh

tahun.
Melihat penampilan mereka, dapat dipastikan
ketiganya bukan termasuk para pencari batu mulia
yang banyak tinggal di sekitar aliran sungai. Siapa me-
reka? Yang rambutnya diikat dengan pita kuning ber-
nama Ajeng Menur, dan yang berpita putih Andan Sari,
sedangkan yang berpita hijau adalah Ari Sambita. Ke-
tiganya merupakan anak angkat Wiranti, Ketua Partai
Iblis Ungu yang telah mati di tangan Suropati atau
Pengemis Binal. Pendekar muda itu dibantu oleh Kipas
Sakti dan Yaniswara.
Seperti pernah diceritakan sebelumnya pada
serial Pengemis Binal episode "Tabir Air Sakti", Wiranti
bersama belasan anggota partainya datang dari Kera-
jaan Saloka Medang ke wilayah Kerajaan Anggarapura.
Mereka hendak merebut barang kepunyaan seorang
Brahmana yang bernama Tuhisa Brama yang diti-
tipkan pada Ekspedisi Kencana Mega. Barang titipan
itu adalah sebotol kecil  Air Sakti. Usaha Wiranti dan
anak buahnya menemui kegagalan, walau mereka ber-
hasil membunuh Tuhisa Brama dan Lodra Sawala,
ayah Yaniswara yang merupakan pemilik Ekspedisi
Kencana Mega.
Kini kedatangan Ajeng Menur, Andan Sari,
dan Ari Sambita ke puncak Bukit Rawangun berke-
naan dengan kematian orangtua angkat mereka.
"Menur, apakah keterangan yang kau dapat,
bisa dipercaya?" tanya Andan Sari. 
"Pertanyaanmu seperti menyembunyikan se-
suatu," jawab Ajeng Menur sambil menatap tajam wa-
jah Andan Sari.
"Apa maksudmu?" 
"Kau menyangsikan kemampuanku."
"Tidak." Andan Sari menggelengkan kepa-
lanya.

"Kalau memang kata itu keluar dari lubuk ha-
timu, seharusnya kau turut yakin orang yang kita cari
berada di sini. Tak perlu kau menanyakannya!"
Andan Sari tak menimpali perkataan Ajeng
Menur. Dia cuma mendengus. Dan, dengusan itu diar-
tikan lain oleh Ajeng Menur. Matanya mendelik karena
merasa tersinggung.
"Menyesal aku mengajakmu kemari, Sari. Se-
karang baru aku tahu kakimu ternyata sangat berat
diajak melangkah dan tenagamu pun mahal har-
ganya...."
"Menur!" Ari Sambita menegur.
"Apa? Kau juga menyangsikan kemampua-
nku?" kemarahan Ajeng Menur beralih.
"Ah, kau terlalu gampang naik darah, Menur.
Sebetulnya maksud Andan Sari baik...."
"Kau bilang baik?" sela Ajeng Menur dengan
suara ketus.
"Sudah beberapa kali dia menanyakannya.
Dan, telah kukatakan kalau murid Kipas Sakti berada
di dalam gua itu. Apakah aku harus menyeretnya dulu
keluar baru kalian percaya?"
"Jangan membesar-besarkan masalah sepele,
Menur"
"Masalah sepele apa?" bentak Ajeng Menur.
"Huh... Dasar keras kepala." 
Mendengar ucapan Ari Sambita yang bernada
mencemooh, Ajeng Menur tercekat "Rupanya kau ber-
sekongkol dengan Andan Sari" kata gadis itu seraya
menuding wajah Ari Sambita.
"Kunyuk Dekil. Rupanya kau senang menan-
tang perkara"
Selesai berkata demikian, Ari Sambita mengi-
baskan telapak tangan kanannya. Ia hendak menu-
runkan telunjuk jari Ajeng Menur yang menuding. 

Wusss...! 
Serangkum angin pukulan berhawa panas
menerpa. Ajeng Menur melompat ke belakang. Cepat
dia menyerampang kaki Ari Sambita. Tapi, gadis itu te-
lah menduga akan datangnya serangan. Dia meloncat
lalu menampar wajah Ajeng Menur. Sayang, gadis itu
berhasil menghindar.
Telapak tangan Ari Sambita hanya mengenai
tempat kosong. Melihat keadaan yang mulai memanas,
buru-buru Andan Sari menengahi. Tubuhnya berkele-
bat menangkis lengan Ari Sambita yang hendak me-
mukul dada Ajeng Menur.
"Tahan!"
"Minggir kau, Sari!" geram Ari Sambita.
"Kalau kalian terus menuruti hati panas, ma-
na bisa kita menunaikan kewajiban?!"
"Kewajiban itu waktunya tidak mendesak. Bi-
ar kuhajar dulu Ajeng Menur yang keras kepala ini!"
"Kau juga keras kepala, Sambita!" bentak An-
dan Sari jengkel.
"Minggir, kau!"
Ari Sambita mendorong dada Andan Sari
hingga gadis itu terhuyung-huyung.
"Kepala batu! Mestinya kau tidak usah ikut
kemari. Hanya menambah persoalan saja!" kata Andan
Sari.
"Kau pun seharusnya tidak usah ikut!" ben-
tak Ajeng Menur.
Andan Sari menoleh. Gadis yang juga mem-
punyai sifat keras kepala itu merasa ucapan Ajeng Me-
nur sengaja memancing permusuhan. Maka, tanpa ba-
sa-basi lagi dia maju selangkah. Telapak tangan ka-
nannya melayang cepat. 
Keadaan jadi semakin tak karuan. Ajeng Me-
nur dan Andan Sari saling serang. Kali ini mereka

sungguh-sungguh untuk segera dapat menjatuhkan
lawan. Ari Sambita  yang mencoba menengahi malah
terbawa keadaan. Akhirnya tiga gadis cantik itu terli-
bat pertempuran seru. Tak seorang pun dari mereka
yang menganggap salah seorang saudaranya sebagai
teman. Mereka saling gempur hanya untuk menuruti
kekerasan hati masing-masing.
Sifat ketiga gadis anggota Partai Iblis Ungu itu
memang aneh. Tak mengherankan kalau tokoh-tokoh
persilatan di Kerajaan Saloka Medang menjuluki mere-
ka Tiga Dara Bengal. Ilmu kepandaian mereka cukup
tinggi. Namun, tidak jelas apakah mereka termasuk go-
longan putih atau hitam. Walau partai mereka meru-
pakan partai sesat, namun seringkali ketiganya bersi-
kap sebagai seorang pendekar pembela kebenaran. Ta-
pi, yang lebih sering mereka melakukan pembunuhan
kejam tanpa ter-lebih dahulu memandang kesalahan
orang.
"Monyet Buduk! Pantas seluruh anggota par-
tai tak menyetujui kau menjadi ketua. Kelakuanmu
sangat menyebalkan, seperti kentut busuk!" ejek Ajeng
Menur kepada Ari Sambita.
"Kau kira anggota partai senang mengang-
katmu menjadi ketua, Babi Jelek?!" balas Ari Sambita.
"Cih! Bisamu cuma berdandan dan ngorok berkepan-
jangan!" 
"Bangsat!" 
Ajeng Menur melancarkan tendangan ke arah
kepala Ari Sambita. Tentu saja yang menjadi sasaran
tak mau kalah. Kedudukannya segera digeser ke samp-
ing, lalu kedua telapak tangannya bergantian ngebut!
"Kubakar kau hidup-hidup...!" teriak Ari
Sambita.
"Kuremukkan kepalamu dulu!"
Serangkaian angin pukulan yang memancar-

kan cahaya kekuning-kuningan meluncur saling susul.
Namun Ajeng Menur telah menghempaskan tubuhnya
ke atas. Kemudian, dia melenting dengan gerakan yang
sangat cepat. Kakinya bergerak menendang kepala Ari
Sambita!
Wesss!
Serangan itu tak mengenai sasaran. Tapi,
sambaran anginnya membuat sikap berdiri Ari Sambi-
ta sempoyongan. Gadis itu menggeram gusar. Pandan-
gannya lalu beralih ke arah Andan Sari yang tertawa
bergelak.
"Apa yang kau tertawakan, Cacing Anil?!"
"Ha ha ha.... Kau lucu, Sambita!"
"Apanya yang lucu?!" 
"Masa' tidak merasa?" 
"Bedebah! Terima ini...!" Ari Sambita melan-
carkan pukulan jarak jauh ke arah Andan Sari. Se-
mentara, Ajeng Menur telah mengawali serangannya
lagi. Suasana siang di puncak Bukit Rawangun jadi hi-
rup-pikuk kembali. Terdengar suara teriakan-teriakan
kemarahan dan ledakan pukulan tenaga dalam yang
nyasar.
Tanpa disadari Tiga Dara Bengal itu, seorang
pemuda tampan berwajah lembut tengah mengikuti
pertempuran mereka dengan sinar matanya yang ta-
jam. Pakaian yang dikenakan pemuda itu dari bahan
sederhana berwarna putih kuning, kelihatan ringkas
membungkus tubuhnya yang kekar. Dia berdiri di bibir
gua yang di depannya terdapat sebongkah batu besar
setinggi manusia dewasa. Lewat sisi batu besar itulah
pemuda berwajah lembut memperhatikan jalannya
pertempuran.
Beberapa kali si pemuda terdengar menarik
napas panjang. Sepertinya dia menyesali tindakan ke-
tiga gadis cantik itu. Namun karena mereka memper-

tontonkan gerakan-gerakan silat tingkat tinggi, si pe-
muda berdiam diri saja di tempatnya. Dia pikir, sebuah
tontonan menarik yang tak bisa dilewatkan begitu saja. 
Pemuda berwajah lembut itu bergegas melon-
cat ke samping tatkala selarik cahaya kekuning-
kuningan meluncur ke arahnya. 
Blarrr!
Batu besar yang berada di depan mulut gua
hancur berantakan. Pecahan-pecahan batu berhambu-
ran bersama debu tebal.
"Hentikan dulu pertempuran ini!" teriak Ajeng
Menur.
Andan Sari dan Ari Sambita mengalihkan
pandangan. Sementara si pemuda telah berdiri di ba-
wah pohon yang meranggas.
"Itulah murid si Kipas Sakti!" tunjuk Ajeng
Menur.
Si pemuda terkejut jati dirinya telah dikenali.
Padahal dia belum tahu siapa ketiga gadis yang berdiri
angkuh tak seberapa jauh darinya.
"Aku memang murid Kipas Sakti," kata pe-
muda itu kemudian dengan sopan. "Nona bertiga ini
siapa? Dan, kenapa bertempur di puncak bukit ini?"
"Ha ha ha...!"
Tiga Dara Bengal tertawa bergelak. Mereka
saling berpandangan, lalu tertawa semakin keras.
"Kau lihat sendiri sekarang, Sari. Bukankah
benar yang kukatakan. Murid Kipas Sakti berada di
dalam gua itu. Kalau kalian setuju, kita cincang dia
sekarang juga!"
"Uts! Tunggu dulu!" cegah Ari Sambita.
"Sayang kalau dia harus mati cepat-cepat." 
"Kenapa?"
Ari Sambita tak menjawab. Dia hanya terse-
nyum-senyum dan mengerling ke arah Andan Sari.

"Benar kata Sambita. Murid Kipas Sakti itu
jangan dibunuh dulu. Bukankah dia.... Ha ha ha...!"
Tawa Andan San segera ditimpali Ari Sambita
dengan gelak tawa pula. Ajeng Menur hanya menden-
gus seraya menatap tajam wajah kedua saudaranya.
"Dasar mata ikan!" kata gadis itu.
"Apa kau sudah berubah jadi laki-laki, heh?!"
sahut Ari Sambita. "Atau, kau sudah tak bisa lagi me-
nilai ketampanan seorang lelaki? Barangkali juga kau
sok alim?"
"Tutup mulutmu! Kematian Ibunda Wiranti
harus kita balaskan secepat mungkin, biar anggota
partai bisa cepat menentukan siapa di antara kita yang
pantas menjadi ketua...."
"Bodoh!" cela Andan Sari. "Sambil membalas
dendam, kita dapat mengambil kesempatan untuk..."
"Untuk apa? Bersenang-senang dulu menuru-
ti nafsu kalian? Dasar perempuan murahan!"
Mendengar cacian Ajeng Menur, Ari Sambita
dan Andan Sari tidak tampak marah. Mereka malah
tertawa senang. Sewaktu Ajeng Menur menggeram
dengan mata mendelik, si pemuda maju selangkah.
"Nona bertiga belum memperkenalkan diri.
Tapi, sepertinya Nona bertiga ini mempunyai urusan
denganku. Urusan apa itu? Aku merasa belum pernah
berjumpa dengan kalian...."
"Ketahuilah, kami adalah Tiga Dara Bengal.
Kami anak-anak angkat Ketua Partai Iblis Ungu yang
telah dibunuh Suropati, yang dibantu oleh gurumu
dan Yaniswara!" sahut Andan Sari setelah menghenti-
kan tawanya.
"Urusannya denganku?" tanya si pemuda te-
tap tak mengerti.
"Goblok! Tentu saja kami hendak membalas
dendam! Kipas Sakti adalah musuh Partai Iblis Ungu.

Dan, kau sebagai muridnya harus ikut menanggung
akibatnya!"
"Ibu kalian mati karena perbuatannya yang
jahat. Aku menyayangkan bila kalian mengikuti jejak-
nya."
"Hei, Pendekar Kipas Terbang! Memang tak
baik di antara kita membuat permusuhan. Oleh sebab
itu, mendekatlah kemari. Jabat tanganku erat-erat..."
"Ya, memang tak baik kita membuat permu-
suhan. Kita bersahabat saja," timpal Ari Sambita sam-
bil mendahului langkah Andan Sari yang mendekati si
pemuda.
Ari Sambita mengulurkan tangan dengan se-
nyum ramah di bibirnya yang merekah. Si pemuda
berdiri terpaku. Tak tahu apa yang harus diperbuat-
nya.
Mendadak, Ari Sambita membuat gerakan
sangat cepat. Kaki kirinya bergerak menendang. Meli-
hat serangan mendadak itu, si pemuda buru-buru me-
langkah ke belakang dua tindak. Tapi, justru itu yang
diharapkan Ari Sambita. Dengan satu jejakan kecil di
tanah tubuhnya melayang dan mendarat di belakang si
pemuda seraya menghantam tengkuknya.
Dukkk!
Pemuda berwajah lembut masih sempat me-
nangkis. Namun, tiba-tiba tubuhnya limbung lalu ja-
tuh terjengkang. Rupanya Ari Sambita dapat mengait
kaki kanannya dengan mempergunakan telapak kaki
kiri. Gerak tipu gadis itu sangat lihai. Belum sempat si
pemuda bangkit berdiri, Ari Sambita telah menerkam-
nya! 
"Ap... apa yang kau...."
Perkataan pemuda berwajah lembut tak ber-
lanjut. Bibirnya telah dilumat penuh nafsu oleh Ari
Sambita. Tapi tanpa diduga gadis itu, Andan Sari me-

renggut rambutnya lalu disentakkan dengan keras.
Tubuh Ari Sambita terangkat dan jatuh ber-
gulingan sejauh lima tombak. Ketika bangkit berdiri
dia langsung menerjang Andan Sari.
"Keparat! Kubunuh kau!"
"Kaulah yang harus kubunuh!" balas Andan
Sari sambil berkelit dari jotosan Ari Sambita yang ter-
tuju ke dada.
Sementara pemuda yang bernama Raka Ma-
ruta atau Pendekar Kipas Terbang telah meloncat
bangkit. Tapi, serangkaian angin pukulan bergemuruh
menghunjam deras ke arahnya!
Blarrr...!
Permukaan tanah di mana Raka Maruta ber-
diri memuncratkan debu bercampur bebatuan yang
mengaburkan pandangan. Ketika keadaan kembali se-
perti semula, di puncak bukit tercipta kubangan da-
lam. Permukaan tanah di pinggirnya tampak me-
rengkah.
Raka Maruta yang baru saja terhindar dari
maut berdiri linglung. Sementara, Ajeng Menur yang
gagal dengan pukulan jarak jauhnya mengeluarkan
lengkingan tinggi sebelum menerjang!
"Bersabarlah, Nona! Kenapa kau bernafsu
membunuh?" kata Raka Maruta sambil menghindari
tendangan di dadanya.
Tak ada kata-kata yang menimpali ucapan
pemuda berwajah lembut itu. Ajeng Menur meloloskan
selendang merahnya. Kedua ujung selendang pun me-
liuk-liuk cepat laksana dua kepala ular.
Melihat selendang lembut itu berubah menja-
di senjata ampuh, Raka Maruta teringat pada senjata
andalan para anggota Perkumpulan Bidadari Lentera
Merah. Hanya bila selendang anggota Perkumpulan
Bidadari Lentera Merah bergerak ganas untuk segera

menjatuhkan lawan, selendang di tangan Ajeng Menur
memperlihatkan gerakan-gerakan indah. Tapi, justru
dari gerakan-gerakan indah itulah kehebatan jurus
yang sedang diperagakan Ajeng Menur dirasakan oleh
Raka Maruta.
Beberapa lama Raka Maruta terkurung kele-
batan cahaya merah yang timbul dari gerakan selen-
dang Ajeng Menur. Namun, Raka Maruta bukanlah
seorang pendekar kemarin sore. Dia dapat me-layani
serangan Ajeng Menur  hingga beberapa jurus dengan
tanpa melakukan perlawanan yang berarti.
"Bangsat!" umpat Ajeng Menur merasa dire-
mehkan. "Balas seranganku. Biar kau tak menyesal
nanti!"
"Aku tidak mempunyai urusan denganmu,
Nona. Kenapa aku harus menyerangmu?"
"Goblok! Kipas Sakti adalah musuh besar Par-
tai Iblis Ungu. Sebelum aku membunuhnya, aku akan
membunuhmu terlebih dahulu. Dengan demikian tua
bangka itu pasti memperlihatkan batang hidungnya!" 
Selesai berucap, Ajeng Menur melontarkan ja-
rum-jarum beracun ke arah Raka Maruta. Pemuda
berwajah lembut itu tak terlihat bergerak menghindar.
Namun, tanpa diduga Ajeng Menur tahu-tahu puluhan
jarum beracun yang dilontarkannya rontok di tanah.
"Aku tidak ingin bertempur denganmu, No-
na...," kata Raka Maruta yang telah memegang sebuah
kipas baja putih. Kibasan senjata itulah yang meron-
tokkan senjata rahasia Ajeng Menur.
"Terserah kau bila tak mau membalas seran-
ganku. Tapi aku akan tetap membunuhmu!"  
Selendang Ajeng Menur meliuk ke atas. Lalu,
ujungnya yang terdapat rumbai-rumbai meluncur de-
ras ke batok kepala Raka Maruta!
"Maaf..," kata Pendekar Kipas Terbang seraya

mengibaskan senjata andalannya. Selarik sinar perak
melengkung semakin besar, kemudian meluruk ke
arah selendang.
Sraattt!
Ajeng Menur menjerit gusar. Selendangnya
terpental dan koyak pada bagian ujung. Tahulah gadis
itu kalau kepandaian Raka Maruta beberapa tingkat di
atasnya.
"Perempuan-perempuan edan!" umpat Ajeng
Menur ketika melihat Ari Sambita dan Andan Sari ma-
sih bertempur mempertahankan kekerasan kepalanya
masing-masing. "Lawanmu bukan saudara sendiri,
Goblok! Tapi murid Kipas Sakti itu!"
Rupanya, ketika Ajeng Menur bertempur me-
lawan Raka Maruta, Ari Sambita dan Andan Sari pun
terlibat pertempuran sengit. Mereka memperebutkan
seorang pemuda. Ari Sambita menerjang Andan Sari
yang hendak merebut Raka Maruta dari tangannya. 
Ari Sambita dan Andan Sari langsung meng-
hentikan gempurannya. Kaget juga mereka disadarkan
dengan cara seperti itu. Setelah memandang wajah
Ajeng Menur yang pucat, mereka bergegas menerjang
Raka Maruta.
"Kulumpuhkan dulu tangan dan kakimu baru
kita bermesra-mesraan, Tampan...!" kata Ari Sambita
seraya melancarkan totokan.
"Jangan pedulikan ocehannya. Kau harus jadi
kekasihku dulu sebelum ajal menjemputmu!" sahut
Andan Sari yang telah meloloskan selendang dari ping-
gangnya. Selendang itu meliuk untuk menjerat tubuh
Raka Maruta.
Menepis dua serangan yang bersamaan terse-
but, Pendekar Kipas Terbang meloncat tinggi. Sayang,
selendang Ajeng Menur memapaknya dari atas untuk
menghancurkan batok kepala!

2

Saat sampai di lereng Bukit Rawangun, suhu
tubuh Suropati yang berada dalam pondongan Kakek
Wajah Merah meninggi. Kaki dan tangannya pun men-
gejang.
"Aduh, Kek...!" keluh Suropati. "Turunkan
aku."
"Sebentar lagi kita akan sampai."
"Aku tak tahan. Aku mau muntah...."
Buru-buru Kakek Wajah Merah menurunkan
tubuh Suropati. Begitu menyentuh tanah, remaja ko-
nyol itu berjongkok dengan punggung melengkung ke
bawah. 
"Uookkk...!"
Cairan kental putih berbusa-busa keluar dari
mulut Suropati. Cukup lama dia menguras isi perut-
nya. Ketika keringat sudah membanjir, Suropati mera-
sakan tubuhnya sangat ringan dan pandangannya
berputar-putar. Kemudian, dia mengeluarkan keluhan
pendek dan jatuh pingsan!    
"Astaga!" pekik Kakek Wajah Merah. Tidak
disangkanya racun yang terdapat pada Puyer Perang-
sang masih bersemayam dalam tubuh Pengemis Binal.
Dengan cekatan Kakek Wajah Merah menotok
beberapa aliran darah di bawah pusar Suropati, seperti
yang dilakukannya saat berada di atas geladak Kapal
Rajawali. Setelah lambung Suropati terisi beberapa bu-
tir pil yang dimasukkan kakek itu dengan dorongan
tenaga dalam, barulah kelompok mata Suropati terbu-
ka.
"Bagaimana keadaanmu sekarang, Suro?"
tanya Kakek Wajah Merah.
"Lebih baik, Kek...."

"Syukurlah.... Kita lanjutkan perjalanan."
"Kepalaku masih pusing," keluh Suropati se-
gera memegangi kepalanya.
"Nanti juga hilang. Pengaruh Puyer Perang-
sang yang kau telan telah hilang. Kau tak perlu khawa-
tir. Aku telah mengulang pengobatannya terhadapmu."
Pengemis Binal menurut saja ketika Kakek
Wajah Merah membimbingnya berdiri. Keringat masih
mengucur deras dari sekujur tubuh Suropati.
"Saka Purdianta keparat!" umpat remaja ko-
nyol itu tiba-tiba, ketika teringat kelicikan Saka Pur-
dianta yang telah meracuninya dengan Puyer Perang-
sang.
Gigi Suropati  gemeretak menahan marah.
Wajahnya yang tampan mengeras dengan rahang
menggembung. Terlebih saat teringat ilmu kepan-
daiannya yang telah musnah akibat Jarum Hitam Saka
Purdianta yang bersarang di pelipis kanannya.
"Lupakan dulu perihal Saka Purdianta, Su-
ro...," bujuk Kakek Wajah Merah dengan suara lembut.
"Anggraini Sulistya memintaku dengan sangat untuk
mempertemukan kau dengannya. Karena itu, kita ha-
rus ke puncak bukit secepatnya. Kasihan Anggraini
Sulistya."
Suropati menatap wajah tabib pandai yang
berdiri di hadapannya. "Jadi, putri Prabu Singgalang
Manjunjung Langit itu masih hidup. Bukankah... bu-
kankah dia...."
"Benar, Suro. Anggraini Sulistya juga terpen-
garuh racun Jarum Mati Sekejap. Saka Purdianta pula
yang membuat ulah. Tapi, kau tak perlu terlalu khawa-
tir. Anggraini Sulistya dapat bertahan dari kematian
karena Raka Maruta telah menolongnya."
"Dengan menghilangkan racun itu?" duga Su-
ropati....

"Tidak. Hanya memperlemah daya kerjanya.
Darah Raka Maruta yang telah bercampur Air Sakti
dapat memperpanjang usia Anggraini Sulistya," berita-
hu Kakek Wajah Merah.
"Benarkah demikian?"
"Kau akan melihat sendiri keadaannya sete-
lah kita sampai di puncak bukit."
Seperti tak sabaran, Wajah Merah lalu me-
rengkuh pinggang Suropati. Diangkatnya tubuh remaja
konyol itu untuk dibawa berlari cepat dengan mengan-
dalkan ilmu meringankan tubuh.

***

Sementara itu, pertempuran Raka Maruta
dengan Tiga Dara Bengal di puncak Bukit Rawangun
masih berlangsung sengit Tiga Dara Bengal telah
mengganti selendang mautnya dengan seutas tali yang
pada bagian ujung terdapat sebilah besi runcing.
Gerakan Andan Sari, Ari Sambita, dan Ajeng
Menur tampak aneh. Tubuh ketiga gadis cantik itu
bergerak sempoyongan. Bahkan, sesekali seperti hen-
dak jatuh ke tanah. Namun ketika tiga utas tali yang
mereka pegang saling bertautan di udara, Pendekar
Kipas Terbang jadi kebingungan. Bilah-bilah besi runc-
ing yang terdapat pada ujung tali meluncur cepat su-
sul-menyusul. Walau jumlahnya cuma tiga, saat ber-
luncuran sangat cepat seperti menjadi puluhan.
Ciut juga nyali Raka Maruta waktu bahu ka-
nannya terserempet. Meski hanya bajunya yang koyak,
tapi pemuda berwajah lembut itu segera tersadar. Dia
tak mungkin terus bergerak menghindar tanpa sekali
pun membalas serangan.
'"Jurus Jala Iblis Mabuk' akan membuatmu
terlena dalam pelukanku, Tampan...," kata Ari Sambi-

ta.
"Tidak. Aku yang akan memilikinya terlebih
dahulu!" sahut Andan Sari.
Mendengar ucapan dua saudaranya itu, hati
Ajeng Menur jadi panas. Walau bukan gadis baik-baik,
tapi dia masih mempunyai rasa malu untuk memperli-
hatkan nafsunya. Maka ketika melihat serangan 'Jala
Iblis Mabuk' mulai mengendor, Ajeng Menur segera
memperingatkan kedua saudaranya. 
"Jangan bodoh! Lawan kita belum roboh. Ke-
napa kalian mau memperebutkannya?!"
"Aku tidak bodoh, Menur!" sahut Ari Sambita.
"Sebentar lagi si tampan itu akan rebah. He he he..."
"Dia milikku!" pekik Andan Sari marah.
"Perempuan Liar!" tukas Ajeng Menur. "Pu-
satkan tenaga kalian untuk menyudahi murid Kipas
Sakti itu. Setelah itu, terserah kalian dia akan kita
apakan..."
Ari Sambita dan Andan Sari mendengus ber-
samaan. Kemudian, tubuh mereka melenting. Dua bi-
lah besi runcing meluncur deras ke arah Raka Maruta!
Pendekar Kipas Terbang mengibaskan senjata
andalannya. Sinar keperakan yang meluncur dalam
bentuk melengkung hanya  dapat menggetarkan tali
senjata Ari Sambita dan Andan Sari. Dua bilah besi
runcing tetap berkelebat untuk segera menyate tubuh
Raka Maruta! 
"Uts...!"
Terpaksa Pendekar Kipas Terbang menjatuh-
kan diri ke tanah, lalu melepas kipas baja putih di tan-
gannya!
Jerit ngeri keluar dari mulut Ari Sambita dan
Andan Sari. Kipas Raka Maruta berkelebatan mengu-
rung tubuh mereka. Kalau saja Ajeng Menur tidak
memberikan bantuan, dapat dipastikan kedua gadis

itu akan berdiri dalam keadaan telanjang karena sam-
baran kipas Raka Maruta.
Senjata yang terbuat dari lempengan baja pu-
tih itu dapat bergerak sedemikian rupa lewat pengen-
dalian jarak jauh. Karena Pendekar Kipas Terbang tak
mau membuat lawan terluka, dia hanya mengoyak-
ngoyak bajunya. Kini jerit ngeri bercampur marah ke-
luar juga dari mulut Ajeng Menur. Baju yang dikena-
kan gadis itu mulai koyak-koyak pula. Itulah keheba-
tan jurus andalan Pendekar Kipas Terbang yang ber-
nama 'Kipas Terbang Membelah Angin'!
Sewaktu Tiga Dara Bengal tengah kerepotan,
tiba-tiba saja muncul sesosok bayangan yang langsung
menyerang Raka Maruta.
Dhes...! 
"Argh...!"
Punggung kiri Pendekar Kipas Terbang ter-
hantam pukulan dengan telak. Akibatnya, pemuda
berwajah lembut itu jatuh tertelungkup.
Tatkala dia bangkit, darah segar perlahan-
lahan merembes dari sudut bibirnya. Sambil mengu-
sap noda darah dengan ujung lengan baju, Raka Maru-
ta mengedarkan pandangan. Sedikit lega hatinya meli-
hat kipas baja putihnya berada tak jauh darinya, terge-
letak di bawah pohon dalam keadaan menancap di ta-
nah.
Sewaktu Raka Maruta memungut senjata an-
dalannya, Tiga Dara Bengal tertawa senang mendapati
kehadiran seorang lelaki tua berusia sekitar enam pu-
luh tahun. Kakek itu mengenakan pakaian merah
mencolok.  Ada selendang membelit pinggangnya.  Tu-
buhnya tinggi ramping dan berkulit putih. Rambutnya
yang telah berwarna dua diikat sehelai sutera kuning.
Dia berdiri sambil tersenyum-senyum. Matanya mena-
tap nakal ke arah Raka Maruta. Dan saat dia mengu-

sap peluh yang bergulir di dahinya dengan sapu tan-
gan, gerakannya tampak sangat genit  dan seperti di-
buat-buat.
"Pergilah kalian dari sini...," kata kakek itu
kemudian. Perkataannya ditujukan pada Tiga Dara
Bengal.
Gadis-gadis yang sudah mengenal siapa si
kakek, tampak merengut. Terutama Ari Sambita dan
Andan Sari. Kakek yang baru datang ini  tentu akan
merebut Raka Maruta yang sedang mereka incar. Si
kakek itu memang mempunyai kelainan. Nafsunya
akan timbul jika melihat pemuda tampan.
Kakek berpakaian merah mencolok itu adalah
sahabat Wiranti, ibu angkat Tiga Dara Bengal. Entah
ada urusan apa hingga dia datang jauh-jauh dari Ko-
tapraja Saloka Medang ke Bukit Rawangun.
"Terima kasih, kau telah menolongku. Tapi
aku tak mau pergi. Aku masih mempunyai urusan
dengan pemuda tampan itu," kata Ari Sambita menco-
ba bersikap ramah.
Si kakek tertawa bergelak menyambuti uca-
pan Ari Sambita.
"Edan... edan.... Apakah kau ingin mati, heh?!
Kalau kau tidak mau pergi, aku akan membunuhmu!
Sungguh, aku akan membunuhmu!"
"Kakek Banci!" maki Andan Sari seraya maju
beberapa langkah. "Kau tak bisa merebut pemuda itu
dari tanganku! Aku yang datang ke sini terlebih dahu-
lu. Akulah yang akan memilikinya!"
"Ha ha ha...!"
Si kakek kembali tertawa keras. Kedua tan-
gannya tampak melambai genit dan matanya mengerl-
ing ke arah Raka Maruta yang sedang berdiri sambil
mengusap-usap punggungnya yang baru saja terkena
pukulan.

"Hei, Sari...," ucap si kakek. Ditatapnya tajam
wajah Andan Sari. "Dengan dibantu kedua saudaramu
saja kau tidak mampu merobohkan pemuda tampan
itu. Apalagi yang harus kau lakukan kalau tidak segera
minggat dari tempat ini?!"
"Dasar Lelaki Genit Mata Banci!" pekik Andan
Sari menyebut gelar si kakek.
Terlihat tokoh tua itu mengibas-ngibaskan
kedua telapak tangannya. Dan, timbullah serangkaian
angin pukulan yang menderu-deru bagai tiupan angin
topan.
Tiga Dara Bengal masih mencoba bertahan
dengan mengerahkan ilmu memperberat tubuh. Tapi,
deru angin yang timbul dari telapak tangan Lelaki Ge-
nit Mata Banci terlalu kencang. Tubuh Tiga Dara Ben-
gal terlontar jauh secara bersamaan!
"Ha ha ha...! Kalau tidak ingat ibu kalian ada-
lah sahabat baikku, nyawa kalian akan melayang se-
karang juga!"
Tiga Dara Bengal tak menimpali perkataan
Lelaki Genit Mata Banci. Mereka sibuk mengusap-usap
bagian tubuhnya yang sakit akibat berbenturan den-
gan permukaan tanah. Rupanya, Lelaki Genit Mata
Banci telah melancarkan 'Pukulan Topan Menyibak
Samudera' tadi.
Dan ketika ketiga gadis cantik itu sudah da-
pat menguasai keadaan, mereka mendengus. Lalu ber-
kelebat cepat meninggalkan tempat tersebut. Terpaksa-
lah keinginan mereka untuk membalas dendam se-
mentara waktu dikuburkan.
"Kau sangat hebat, Tampan...," puji Lelaki
Genit Mata Banci. "Sebaiknya kau ikut denganku. Aku
akan memperhebat kemampuanmu."
"Aku tidak mengenalmu. Kenapa aku harus
ikut?" sahut Pendekar Kipas Terbang menyelidik.

Dongkol juga hati pemuda berwajah lembut
itu karena bokongan Lelaki Genit Mata Banci. Pukulan
yang bersarang di punggung kirinya memang tidak
mengakibatkan luka dalam yang berarti, tapi cukup
untuk membuat pandangannya berkunang-kunang.
"Ayolah, Tampan.... Dengan ikut bersamaku,
kau akan merasa bahagia setiap saat. Aku akan men-
curahkan seluruh kasih sayangku padamu."
Melihat Lelaki Genit Mata Banci melangkah
mendekatinya, Raka Maruta bergerak mundur. Apalagi
ketika kedua tangan tokoh tua itu terkembang hendak
memeluk. Raka Maruta bergidik jijik. Buru-buru dia
meloncat jauh saat tangan Lelaki Genit Mata Banci
hampir menyentuh tubuhnya.
"Kenapa kau menjauh dariku, Tampan?"
tanya Lelaki Genit Mata Banci dengan suara mendesis.
Mata tokoh tua itu mengerjap-ngerjap. Bibir-
nya terlihat basah karena jilatan lidahnya sendiri.
"Sebaiknya kau pergi saja, Pak Tua...," ucap
Pendekar Kipas Terbang. Suaranya terdengar lembut
dan sopan.
Namun tanpa diduga pemuda berwajah lem-
but itu, Lelaki Genit Mata Banci berkelebat sangat ce-
pat. Serangkum angin pukulan berhawa dingin me-
nyentuh bahu kanannya!
Raka Maruta mengeluh pendek. Cairan da-
rahnya tiba-tiba seperti membeku hingga tubuhnya ja-
di kaku. Tapi sebelum Lelaki Genit Mata Banci menja-
tuhkannya, dengan susah payah Raka Maruta melon-
cat jauh.
Begitu telapak kakinya menyentuh tanah,
Pendekar Kipas Terbang langsung menyalurkan hawa
murni di bahu kanan. Sekejap kemudian, rasa kaku di
sekujur tubuhnya lenyap.
Lelaki Genit Mata Banci tertawa keras. Lalu

mulutnya mendesis-desis tak karuan. "Kau lebih hebat
dari yang kukira, Tampan. Itu semakin membuat kein-
ginanku menggebu-gebu. Ha ha ha...!"
Belum terhenti tawa Lelaki Genit Mata Banci,
secepat kilat jemari tangannya bergerak melontarkan
totokan jarak jauh!
"Aku tak mempunyai urusan denganmu, Pak
Tua!" bentak Raka Maruta sambil berkelit. "Tapi bila
terpaksa, aku juga bisa bersikap keras kepadamu!"
Belum juga hilang gema ucapan pemuda ber-
wajah lembut itu, selarik sinar putih bening meluncur
cepat dan membentur pangkal lengan kanannya.
"Uh...!"
Keluhan Pendekar Kipas Terbang membarengi
tubuhnya yang mendadak gontai. Tangan kanannya
tak dapat digerakkan lagi. Sebelum sesuatu yang tak
diinginkannya terjadi, Raka Maruta bergegas memper-
gunakan tangan kirinya untuk membebaskan totokan
jarak jauh Lelaki Genit Mata Banci. Tapi....
Wuuuttt...!
Selarik sinar putih bening meluncur lurus.
Dan, bersarang tepat di pangkal lengan kiri Raka Ma-
ruta. Akibatnya, usaha untuk membebaskan totokan
di lengan kanannya tak menemui hasil. Malah tangan
kirinya ikut mengejang kaku.
"Ha ha ha...! Sekarang kau tahu kehebatan-
ku, Tampan. Tidakkah kau berkeinginan untuk men-
jadi muridku? Sekaligus menjadi... kekasihku. Ha ha
ha...!"
"Orang Edan! Aku laki-laki, kau pun laki-laki!
Jangan bicara ngawur!" Raka Maruta menggeram ma-
rah.
Pemuda itu lalu menghimpun hawa murni.
Ketika hawa panas terasa berputar-putar di sekitar
pusarnya, segera ditariknya napas panjang dan dis-

alurkannya hawa murni ke tubuh bagian atas. Namun,
hawa panas yang merambat berbalik seperti memben-
tur sesuatu. Pendekar Kipas Terbang terperangah. Ta-
hulah dia, totokan Lelaki Genit Mata Banci bukan to-
tokan sembarangan yang dapat dibebaskan hanya
dengan penyaluran hawa murni.
Saat Lelaki Genit Mata Banci melangkah den-
gan kedua tangan mengembang hendak memeluk, Ra-
ka Maruta meloncat ke belakang. Perasaan ngeri ter-
gambar jelas di matanya. Dia tak bisa mengeluarkan
kipas baja putihnya dari balik baju. Lalu, dengan apa
sekarang dia mempertahankan diri?
Belum sempat Pendekar Kipas Terbang berpi-
kir jernih, tubuh Lelaki Genit Mata Banci terlihat me-
layang dan bergerak cepat menerkamnya. Pendekar
Kipas Terbang dan Lelaki Genit Mata Banci terjerem-
bab ke tanah.

***

Di dalam gua Anggraini Sulistya terbujur le-
mah di atas lempengan batu besar. Pakaian yang dike-
nakannya sangat indah, memperlihatkan kalau dia pu-
tri seorang pembesar. Namun, pakaian itu kini telah
penuh noda kecoklatan dari cairan  darah yang men-
gering.
Wajah putri Prabu Singgalang Manjunjung
Langit itu pucat pasi seperti mayat. Bibirnya membiru
dengan kelopak mata terpejam rapat. Denyut kehidu-
pan nyaris hilang dari tubuh Anggraini Sulistya yang
tak bergerak sedikit pun.
Tatkala suhu badan Anggraini Sulistya mulai
meninggi, keringat mengalir dari dahinya. Lalu, perla-
han-lahan dari sekujur tubuhnya juga keluar butiran
keringat. Dan ketika rasa panas di tubuhnya mencapai

puncak, terdengar suara erangan gadis itu.
Kelopak mata Putri Cahaya Sakti membuka
perlahan. Bibirnya bergetar mengucapkan satu nama.
"Maruta...."
Panggilan itu tak ada yang menyahuti. Me-
mang, hanya dia seorang yang berada di dalam gua.
Dengan susah payah gadis itu bangkit berdiri.
Lalu berjalan terseok-seok ke mulut gua. Namun sebe-
lum keinginannya tercapai, tubuhnya telah jatuh ter-
kulai. Cairan darahnya yang bercampur racun jahat
Jarum Mati Sekejap terasa bergolak. Panas menyeli-
muti sekujur tubuh Anggraini Sulistya. Lewat getaran
yang hebat, racun Jarum Mati Sekejap bangkit kembali
untuk bekerja merusakkan jantung! 
"Maruta...," panggil Anggraini Sulistya sambil
merangkak mendekati mulut goa.
Pemandangan yang cukup memprihatinkan
segera terlihat. Berulang kali Anggraini Sulistya terja-
tuh. Hingga, gadis itu harus jatuh bangun untuk dapat
mencapai mulut gua. 
Berkat kuasa Tuhan-lah usaha Anggraini Su-
listya kemudian berhasil. Ditatapnya sebentar seba-
tang pohon meranggas yang berada tak seberapa jauh
dari mulut gua. Di bawah pohon itulah selama bebera-
pa pagi ini dia biasa duduk bersandar untuk menikma-
ti pemandangan di bawah bukit. Dengan melihat aliran
sungai jernih yang membelah lambung bukit, hati
Anggraini Sulistya merasa sedikit terhibur. Pikirannya
yang kacau karena memikirkan keadaan dirinya agak
terlupakan. Namun bila bayangan Suropati atau Pen-
gemis Binal berkelebat di depan matanya, pikiran yang
tak mengenakkan hati itu muncul kembali.
Maksud Anggraini Sulistya keluar gua adalah
untuk mencari Raka Maruta. Namun, terkejutlah hati
Anggraini Sulistya. Samar-samar matanya melihat Ra-

ka Maruta sedang bergelut dengan seorang kakek yang
mengenakan pakaian merah mencolok. Tak beberapa
jauh dari pohon meranggas yang ditatapnya
"Maruta...!" desis Anggraini Sulistya.
Pendekar Kipas Terbang yang sedang dicekam
perasaan ngeri dan jijik karena Lelaki Genit Mata Ban-
ci sedang menciuminya, tersentak kaget. Tak sengaja
matanya menatap tubuh Anggraini Sulistya yang ter-
baring di tanah dengan kepala terdongak memandang
ke arahnya.
"Pergi kau, Keparat...!" umpat Pendekar Kipas
Terbang kepada Lelaki Genit Mata Banci.
"Sebentar lagi, Tampan...!"
Lelaki Genit Mata Banci memeluk tubuh Raka
Maruta dengan erat. Dipagutnya bibir pemuda berwa-
jah lembut itu. Kontan  isi perut Raka Maruta terasa
diaduk-aduk. Mau muntah dia rasanya. Masih untung
bila tadi dia diciumi Ari Sambita yang berwajah cantik
dan berkulit halus-mulus. Tapi bila kini Lelaki Genit
Mata Banci yang menciuminya, itu berarti malapetaka.
"Uh..,! Lepaskan aku!"
"Tenanglah, Tampan. Kita nikmati dulu per-
mainan ini...." 
Sambil berkata demikian, tangan Lelaki Genit
Mata Banci berusaha merenggut lepas pakaian Pende-
kar Kipas Terbang.
"Maruta...!" jerit Anggraini Sulistya dengan
sepenuh tenaga. Pergelangan tangan kanannya yang
terangkat jatuh terkulai. Gadis itu jatuh pingsan ketika
golakan darahnya tiba-tiba menguat, hingga menyen-
takkan jantungnya. 
Pendekar Kipas Terbang berusaha keras me-
lepaskan diri dari cengkeraman nafsu Lelaki Genit Ma-
ta Banci. Dengan menyalurkan tenaga dalam ke kaki,
Raka Maruta menjejak tanah! 

Wuuussss!
Tubuh Lelaki Genit Mata Banci terbawa me-
layang. Tapi, tokoh tua itu malah tertawa senang. Ke-
dua tangannya memeluk Pendekar Kipas Terbang se-
makin erat. Hingga, saat tubuh mereka jatuh ke tanah
Raka Maruta tetap tak dapat melepaskan diri.
Kini, tubuh Lelaki Genit Mata Banci dan Pen-
dekar Kipas Terbang bergulingan menuruni bukit.
"Ehm.... Kau sangat menggairahkan...," kata
Lelaki Genit Mata Banci kemudian.
Perasaan ngeri dan jijik semakin terbayang di
mata Pendekar Kipas Terbang. Dia berusaha memeras
otak untuk dapat melepaskan diri dari kungkungan
nafsu aneh Lelaki Genit Mata Banci. Tapi, hanya jalan
buntu yang dia dapatkan. Otaknya tiba-tiba berubah
dungu. Kenyataan ini membuat Raka Maruta menjerit
ngeri.
Ketika Lelaki Genit Mata Banci sedang mene-
lanjangi Raka Maruta, sesosok bayangan berkelebat la-
lu mencengkeram tengkuk Lelaki Genit Mata Banci.
Melalui sentakan yang disertai tenaga dalam, tubuh
Lelaki Genit Mata Banci melayang seperti dilontarkan
tangan raksasa!
Pendekar Kipas Terbang yang telah terbebas
tampak berbinar matanya. Di hadapannya telah berdiri
seorang kakek berpakaian kuning. Berambut putih
riap-riapan, sebagian menutupi wajahnya yang merah
seperti buah tomat matang.
"Tolong aku,  Kek...," pinta Pendekar Kipas
Terbang.
Sosok yang baru nadir memperhatikan seben-
tar keadaan Raka Maruta yang masih terbaring di ta-
nah. Lalu, dengan mengurut kedua pangkal lengan
Raka Maruta, si kakek dapat melepaskan pengaruh to-
tokan Lelaki Genit Mata Banci.

"Kau hadapi dulu Manusia Edan itu, Kek...,"
kata Raka Maruta. "Aku akan menolong Anggraini Su-
listya!"
Hanya dengan dua kali loncatan pemuda
berwajah lembut itu telah berada di sisi tubuh
Anggraini Sulistya. Dibopongnya tubuh gadis malang
itu me-masuki gua.
Sementara itu, dengan amarah yang meledak-
ledak Lelaki Genit Mata Banci menerjang si kakek.
Tendangannya meluncur deras ke arah ulu hati! 
Weeesss...!  
Walau telapak  kaki Lelaki Genit Mata Banci
masih sedepa dari sasaran, si kakek telah merasakan
hawa pukulan dingin yang sanggup membekukan cai-
ran darahnya.
"Tahan seranganmu, Manusia Aneh!" pekik
kakek berbaju kuning seraya berkelit. Telapak tangan-
nya dikibaskan untuk mengusir hawa dingin yang me-
nyerbu datang.
"Kau layak dibunuh, Keparat!" timpal Lelaki
Genit Mata Banci. Kakinya berkelebat menyambung
serangannya yang gagal.
Kakek berbaju kuning yang tak lain adalah
Kakek Wajah Merah bergegas mengemposkan tubuh-
nya. Lelaki Genit Mata Banci tercekat. Gendang telin-
ganya bergetar kencang akibat suara bersiutan yang
muncul di atas kepalanya.
Belum sempat Lelaki Genit Mata Banci me-
nyadari keadaan sebatang seruling merah telah me-
mukul punggungnya!
"Argh...!"
Lelaki Genit Mata Banci jatuh tersungkur.
Matanya mendelik lebar ketika dia bangkit berdiri.
Namun saat mulutnya hendak berkata-kata, napasnya
tersedak lalu batuk-batuk. Darah segar merembes dari

sudut bibir.
"Selagi kau masih punya kesempatan untuk
bertobat, kenapa masih menuruti nafsu jahatmu yang
sangat aneh itu?" kata Kakek Wajah Merah.
"Huh! Apa pedulimu?!"
"Jelas aku peduli. Pemuda yang akan kau ja-
dikan pelampiasan nafsu busukmu adalah muridku!"
"Ha ha ha...! Sejak kapan kau mempunyai
seorang murid, Keparat?! Raka Maruta adalah murid
Kipas Sakti! Apa kau merebutnya? Ah, jangan-jangan
kau pun telah jatuh hati padanya. Ha ha ha...!"
"Ucapanmu terlalu kotor! Pergilah!" wajah ka-
kek berpakaian kuning menjadi semakin membara
oleh dorongan rasa marah.
"Kaulah yang harus pergi!"
Mendadak, Lelaki Genit Mata Banci melon-
tarkan benda bulat berwarna hitam ke arah Kakek Wa-
jah Merah!
Blaaarrr...!
Ledakan dahsyat terdengar ketika benda bu-
lat itu menyentuh tanah. Debu mengepul tebal dan be-
batuan berhamburan, ke segala penjuru. Bukit pun
berguncang bagai dilanda gempa.
Pada waktu gelap masih menyelimuti pan-
dangan, Lelaki Genit Mata Banci berkelebat melancar-
kan totokan maut! Namun walau indera penglihatan
Kakek Wajah Merah tak dapat melihat apa-apa, nalu-
rinya masih bekerja dengan baik.
Tubuh Kakek Wajah Merah melenting cepat
keluar dari kurungan debu tebal. Tapi, Lelaki  Genit
Mata Banci terus mengejar. Hingga....
"Aargh...!" 
Pekik kesakitan bukan keluar dari mulut Wa-
jah Merah, melainkan dari sosok penyerangnya. Saat
tokoh tua berkelakuan aneh itu meluruskan pergelan-

gan tangannya, untuk menotok jalan darah di pung-
gung lawan, tiba-tiba saja tubuh Kakek Wajah Merah
berbalik dan menyerampang siku Lelaki Genit Mata
Banci.
Terlihat kini wajah Lelaki Genit Mata Banci
yang pucat pasi. Pergelangan tangan kanannya meng-
gantung lemah seperti tiada bertulang lagi.
"Tunggu pembalasanku!" geram kakek itu pe-
nuh kemarahan. Tubuh Lelaki Genit Mata Banci lalu
berkelebat cepat meninggalkan lawannya.

***

Setelah membuat luka kecil di ujung jari te-
lunjuk dengan mempergunakan kipas baja putihnya,
Pendekar Kipas Terbang menotok beberapa aliran da-
rah  di tubuh Anggraini Sulistya yang dibaringkan di
atas lempengan batu besar.
Begitu Anggraini Sulistya menggeliat, Raka
Maruta segera memasukkan ujung jari telunjuknya
yang mengucurkan darah segar ke dalam mulut gadis
itu. 
Raka Maruta merasakan aliran darahnya ber-
desir lebih cepat ketika Anggraini Sulistya menghisap.
Namun, raut wajah Raka Maruta menggambarkan ke-
gembiraan yang sangat. Sementara suhu badan
Anggraini Sulistya berangsur-angsur turun.
"Terima kasih, Maruta...," bisik Anggraini Su-
listya setelah dirasakannya keadaan tubuhnya mem-
baik.
"Untuk sementara racun Jarum Mati Sekejap
tak akan mempengaruhi kerja jantungmu lagi."
Anggraini Sulistya beringsut untuk duduk.
Saat itulah dia melihat seorang remaja tampan berpa-
kaian penuh tambalan sedang duduk bersimpuh di sisi

lempengan batu. Sesaat mata Anggraini Sulistya terbe-
liak. Bibirnya tak mampu mengucapkan sepatah kata
pun.
"Aku Suropati, Aini...," kata remaja tampan
itu sambil beringsut mendekati Anggraini Sulistya.
"Suropati.... "
Dengan penuh luapan kegembiraan Anggraini
Sulistya menghambur memeluk Pengemis Binal. Me-
nangislah dia di dada pemimpin Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti itu.
"Syukurlah kau selamat, Aini...."
"Keadaanku tidak lebih baik dari mati dalam
hidup, Suro. Cairan darahku telah tercampur  racun
ganas. Kalau aku mati, pergilah ke Istana Kerajaan Pa-
sir Luhur. Katakan pada Prabu Singgalang Manjujung
Langit bahwa kau adalah putranya...."
"Tidak, Aini! Kau tak boleh mati! Kita akan
datang ke istana berdua. Darahku pun telah tercam-
pur racun ganas. Tapi, aku yakin akan dapat menge-
luarkan racun itu. Maka, kau pun harus yakin, Aini!
Kau akan selamat!"
Anggraini Sulistya menangis semakin keras.
Air matanya menganak sungai. Mata Suropati menjadi
pedih dan dipenuhi kabut air mata.
"Aini...," desis Suropati. "Apakah kau memang
kakakku? Apakah benar aku putra Prabu Singgalang
Manjunjung Langit?"
"Benar, Suro. Kau memang adikku. Kau putra
Ayahanda Prabu Singgalang Manjunjung Langit."
"Sejak bayi aku dipelihara seorang penjual
obat. Bagaimana kau dapat mengatakan semua itu,
Aini?" suara Suropati terdengar begitu sangsi ketika
mengucapkannya.
Anggraini Sulistya menahan isakan tangis-
nya. Setelah menatap wajah Pengemis Binal dalam-

dalam, ditariknya napas panjang. Lalu, segera diceri-
takannya perihal bayi Prabu Singgalang Manjunjung
Langit yang dibuang karena hasutan Patih Jaya Won-
gateleng. Pendekar Kipas Terbang turut mendengarkan
cerita itu dengan penuh perhatian.
"Putra Ayahanda Prabu yang dibuang mem-
punyai ciri khusus di tubuhnya. Inang pengasuhku
yang telah menitipkan bayi itu kepada seorang nelayan
sahabatnya mengatakan kalau sang jabang bayi mem-
punyai toh di punggung kirinya. Dan kau memiliki ciri
itu, Suro. Kau benar-benar adikku.,.," Anggraini Sulis-
tya menutup ceritanya dengan memeluk Suropati.
Kakek Wajah Merah yang telah berada di da-
lam gua memandangnya penuh haru. Tidak pernah
disangkanya Suropati yang berpakaian seperti penge-
mis dan bersifat konyol itu ternyata putra seorang raja.
"Hanya Putri Racun yang dapat menghilang-
kan racun dalam tubuh kalian," ujar Kakek Wajah Me-
rah kepada Suropati dan Anggraini Sulistya.
"Ke mana kita mesti menemuinya?" tanya Ra-
ka Maruta yang sangat mengkhawatirkan kedua saha-
batnya itu. Terlebih terhadap Anggraini Sulistya. Sejak
memberikan pertolongan terhadap gadis itu di geladak
Kapal Rajawali, timbul getar-getar aneh dalam diri Ra-
ka Maruta. Kemungkinan besar getaran-getaran itu
adalah rasa cinta. Karena rasa itulah, Raka Maruta
sangat mengkhawatirkan keadaan Anggraini Sulistya.
Sampai-sampai dia rela meminumkan darahnya kepa-
da gadis itu agar mampu bertahan hidup. Darah Raka.
Maruta yang telah bercampur Air Sakti dapat memper-
lemah daya kerja racun Jarum Mati Sekejap.
"Sayang, aku tak tahu di mana Putri Racun
berada," desah Kakek Wajah Merah dengan wajah me-
rah.
"Untuk mencari Putri Racun, kita dapat me-

nanyakannya pada Putri Air," sahut Suropati.
"Bagaimana kau tahu, Suro?"
"Menurut penuturan Datuk Risanwari, Putri
Racun dan Putri Air adalah saudara seperguruan.
Hanya, keduanya mendapat ilmu yang berbeda dari
guru mereka. Tapi...."
Raut wajah Pengemis Binal yang semula ce-
rah berubah kusam. Bibirnya terkatup tak mampu
meneruskan perkataannya.
"Tapi apa, Suro?" tanya Kakek Wajah Merah.
"Kau tentu sudah tahu, Kek. Usia Putri Racun
dan Putri Air telah lebih dari seratus tahun. Datuk Ri-
sanwari pun tak yakin apakah kedua tokoh itu masih
hidup. Namun, dalam hati kecilku tersimpan harapan
Putri Racun mempunyai murid yang mewarisi ilmu ke-
pandaiannya. Terhadap Putri Air pun demikian pula.
Mudah-mudahan muridnya bisa menunjukkan di ma-
na tempat tinggal orang yang harus kita cari..."
"Kalau begitu, besok pagi-pagi kita berang-
kat!" putus Kakek Wajah Merah. Semangatnya tiba-
tiba menggelegak.
"Putri Air tinggal di Kerajaan Air. Menurut
penuturan Datuk Risanwari, tidak tertutup kemungki-
nan Kerajaan Air berada di dasar Laut Selatan.... "

3

Atika tersentak dari tidurnya. Begitu terlihat
langit-langit kamar tersiram cahaya temaram, dia
langsung menarik selimut yang menutupi tubuh. Gadis
itu lalu duduk di tepi pembaringan. Ditatapnya api ke-
cil lentera yang berada di balik tabir biru.
Cukup lama Atika tercenung menatap api ke-
cil yang menyala tenang itu. Lewat tabir biru sinarnya

menerobos, membuat rona-rona kuning pada dinding
ruangan yang juga berwarna biru.
Ketika merasakan hawa dingin malam mene-
robos masuk ruangan, Atika membaringkan tubuhnya
kembali. Selimut pun dilebarkan untuk memberikan
kehangatan. Lalu dicobanya untuk memejamkan mata,
tapi tak mampu. Kegelisahan menghantui perasaan-
nya. Berulang kali dia mendesah. Langit-langit ruan-
gan yang ditatapnya seperti menampilkan bayang-
bayang aneh.
"Tika...."
Atika terkejut. Terdengar sebuah suara me-
manggil namanya. Namun, dia segera tahu kalau
panggilan itu berasal dari Sinta, saudara kembarnya.
"Tika...."
Suara itu terdengar lagi. Kali ini dibarengi
dengan ketukan di daun pintu. Buru-buru Atika be-
ranjak dari pembaringan. Saat daun pintu telah ter-
kuak, dilihatnya wajah Sinta yang tampak tegang.
"Ada apa, Sinta?" tanya Atika.
Sinta tak memberikan jawaban. Dia langsung
menerobos masuk lalu duduk di tepi pembaringan
sambil mendekap wajahnya. Atika yang melihat sikap
aneh saudara kembarnya bergegas menghampiri. Ter-
lebih dulu ditutupnya daun pintu.
"Apa yang terjadi denganmu, Sinta?" tanya
Atika kembali.
"Aku takut sekali...," suara Sinta begitu geme-
tar.
"Takut? Takut apa?"
"Malapetaka akan datang. Kerajaan Air han-
cur. Tempat ini akan digenangi banjir darah dan se-
mua orang yang tinggal di sini akan mati!"
"Apa? Kau mengigau, Sinta?" kata Atika, tak
mempercayai ucapan saudara kembarnya.

Keluhan  pendek terdengar dari mulut Sinta.
Dia teringat mimpi yang baru saja membangunkannya
dari tidur. Selagi Sinta mendesah, Atika menepuk ba-
hunya.
"Kau baru saja bermimpi, Sinta..,."
Sinta mendongak. Ditatapnya wajah Atika da-
lam-dalam. "Mimpi itu sangat aneh, Tika. Seperti be-
nar-benar terjadi. Aku dapat merasakannya!"
"Tenangkan dulu perasaanmu, kemudian ba-
ru kau bercerita. Mungkin mimpimu itu seperti mimpi-
ku barusan...."
"Kau juga bermimpi?"
"Ya."
"Juga tentang malapetaka yang menimpa Ke-
rajaan Air?"
"Sebaiknya kau yang bercerita dulu, Sinta,"
elak Atika.
"Mimpi itu sangat mengerikan...," Sinta mena-
rik napas panjang. Hendak diusirnya kegalauan yang
masih menyelimuti hatinya.
"Kau mau minum dulu?" Atika menawarkan.
Sinta meraih lengan Atika yang hendak be-
ranjak dari pembaringan. Setelah Atika duduk kemba-
li, Sinta berkata, "Kalau kita mati, aku berharap terle-
bih dahulu lepas dari kungkungan ini..."
"Sinta...."
Atika menatap wajah saudara kembarnya.
Mutiara bening meleleh dari sudut matanya. Sinta pun
menatap haru, lalu dipeluknya tubuh Atika. Sesaat
kemudian kedua gadis kembar itu menangis. Sedu-
sedannya terdengar hingga beberapa lama.
"Tika, aku benar-benar tak mau mati di tem-
pat ini," keluh Sinta kemudian.
"Aku pun demikian, Sinta...."
"Sssttt...!" Sinta melintangkan jari telunjuk

kanannya ke bibir. "Jangan-jangan Ratu Air menden-
gar pembicaraan kita...."
"Kau takut?"   
"Siapa yang tak takut dipanggang hidup-
hidup di atas tungku raksasa?"
"Oh, Sinta...," gumam Atika dengan suara
memelas. "Betapa malangnya nasib kita."
"Kita akan selalu bersama-sama, Tika. Hanya
maut yang dapat memisahkan kita."
"Tapi, aku tidak mau mati secepat ini."
"Mudah-mudahan Tuhan melindungi kita...."
Atika dan Sinta berpelukan erat. Sebenarnya
wajah kedua gadis kembar itu sangat cantik. Namun
karena penderitaan yang mereka alami selama ini, ma-
ta indah mereka tampak cekung. Tulang pipi dan ra-
hang terlihat jelas. Tubuh keduanya pun kurus kering.
Hanya satu keindahan yang masih tergambar pada diri
Atika dan Sinta, yaitu rambut mereka yang panjang
dan berwarna hitam pekat terjuntai hingga mencapai
pinggang.
Sewaktu kedua gadis kembar itu masih ber-
pelukan, terdengar lonceng bergemerincing nyaring.
Suaranya menggema berkepanjangan.     
"Sudah saatnya kita beranjak dari pembarin-
gan," kata Atika sambil melepas pelukan.
"Sampai kapan penderitaan ini akan berak-
hir?" desah Sinta.
"Berdoalah...."
"Apakah sampai ajal menjemput?"
"Jangan berpikir sampai ke situ. Yang pent-
ing, kita jalani tugas kita hari ini," Atika berusaha me-
nenangkan saudara kembarnya. Meskipun jauh di lu-
buk hatinya sendiri dia pun merasa begitu risau.

***


Di sebuah dataran yang penuh tonjolan batu
karang tampak ratusan wanita digiring oleh teriakan-
teriakan keras yang bernada memerintah. Para wanita
itu berjalan lesu dengan kepala tertunduk. Tubuh me-
reka kurus kering. Pakaian yang mereka kenakan pun
terlihat sangat memprihatinkan. Compang-camping
dan hanya sekadar menutupi bagian-bagian yang ter-
penting di tubuhnya.
Ditimpa pendaran cahaya mentari fajar kun-
ing keemasan, para wanita pekerja paksa itu berjalan
menuju sebuah kubangan yang sangat dalam. Ketika
terdengar suara memerintah, satu persatu mereka
memasuki kubangan. Atika dan Sinta berada di antara
mereka.
Lima orang wanita setengah baya berdiri di
atas julangan batu karang. Mereka mengawasi  para
pekerja paksa yang sedang memasuki tempat kerjanya.
Lima wanita setengah baya itu mengenakan pakaian
serba biru. Dandanannya sangat menor. Wajah berbe-
dak tebal dengan bibir merah basah karena olesan gin-
cu. Rambut mereka digelung ke atas, berhias tusuk
konde emas bermata berlian. Di tangan kanan masing-
masing sebuah cambuk panjang sesekali meledak-
ledak menyuruh para pekerja untuk segera memasuki
kubangan.
Ketika terlihat seorang pekerja duduk di tepi
kubangan dengan badan menggigil, salah seorang dari
lima wanita itu meloncat. Gerakannya sangat ringan.
Sekejap saja dia telah berada di dekat wanita yang se-
dang duduk menggigil.
"Kau kenapa?!" tanya wanita setengah baya
dengan bentakan keras.
"Saya sakit...," jawab si pekerja ketakutan.
"Sakit apa?"

"Tidak  tahu. Tapi, badan saya sangat panas
dan tidak bertenaga..."
"Ehm... Tidak bertenaga. Benar demikian?"
"Benar," pekerja itu menganggukkan kepa-
lanya kuat-kuat.
Mendadak, cambuk di tangan wanita seten-
gah baya melecut dan menerpa punggung wanita pe-
kerja. Dibarengi suara jerit kesakitan tubuh wanita
naas itu terlontar tinggi. Lalu, masuk ke mulut tungku
raksasa yang berada sekitar tiga puluh tombak dari
kubangan. Walau tak ada lidah api terlihat di dalam
tungku raksasa itu, tapi jangan dikira tak dapat me-
renggut nyawa. Di dasar tungku terdapat lubang sebe-
sar cawan. Dari lubang itulah menyembur uap panas
yang berasal dari tenaga panas bumi. Hingga, begitu
tubuh si wanita naas masuk ke dalam tungku, wujud-
nya langsung berubah jadi arang. Kemudian sirna
menjadi abu yang diterbangkan angin!
"Kejam...!" desis Atika dan Sinta bersamaan.
Kedua gadis kembar itu berdiri di sisi kubangan. 
Wanita setengah baya berpakaian biru meno-
leh. "Apa yang kalian katakan?!" sentaknya marah.
"Perbuatanmu sangat kejam...," kata Atika
perlahan.
Terdengar dengusan geram pengawas para
pekerja. Sekali dia mengerakkan tangan kanan, dua
ledakan terdengar keras. Cambuknya meluncur dan
menimpa pinggang Atika!
"Argh...!"
Hanya keluhan pendek yang keluar dari mu-
lut Atika. Tubuh gadis itu masih tetap berdiri tegak di
tempatnya.
"Bangsat! Punya kepandaian juga kau ru-
panya!" wanita setengah baya menggeram.
Empat ledakan terdengar berturut-turut.

Cambuk di tangan pengawas para pekerja itu melun-
cur lebih ganas. Tapi Sinta telah memeluk tubuh sau-
dara kembarnya. Akibatnya, Sinta yang jadi korban.
Gadis itu menahan jeritannya, walau dia merasa tu-
buhnya bagai disiram air mendidih yang panas luar bi-
asa. Dan ketika si pengawas berulang kali mencambu-
ki Sinta dan Atika, tubuh kedua gadis kembar itu tetap
berdiri tegak di tempatnya. Tampaknya mereka memi-
liki tenaga dalam yang cukup bisa diandalkan. Itulah
yang membuat tubuh mereka tidak terlontar masuk ke
mulut tungku raksasa. "Hentikan, Kica!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang me-
lengking tinggi. Di tempat itu telah hadir seorang ne-
nek tua renta. Menilik keadaan tubuhnya, usia seratus
lima puluh tahun sangat tepat untuknya. Nenek itu
juga berpakaian serba biru.
Wajahnya terlihat sangat mengerikan. Kedua
matanya cekung sekali, sehingga bola matanya ham-
pir-hampir tak terlihat. Pipinya penuh gurat-gurat ke-
riput. Sementara sudut bibir sebelah kiri tertarik ke
bawah.
Di belakang nenek bertampang mengerikan
itu, empat orang pengawas wanita berdiri angkuh den-
gan cambuk di tangan.
Wanita yang dipanggil Kica buru-buru mem-
bungkukkan badan ke arah nenek berwajah seram.
"Dua gadis ini hendak membangkang, Ratu...,"  lapor-
nya penuh hormat.
"Membangkang? Ehm.... Aku tidak melihat
mereka membangkang, Kica. Biarkan mereka masuk
ke tempat kerjanya. Tenaga mereka kuat. Itu yang kita
butuhkan."
Kica membungkukkan badannya lagi. Lalu di-
tatapnya wajah Atika dan Sinta. Apa yang dikatakan
nenek berwajah seram memang benar. Atika dan Sinta

bukan hendak membangkang. Mereka hanya mencela
tindakan Kica yang keterlaluan.
"Cepat masuk ke dalam kubangan!" bentak
Kica dengan galaknya.    
Ribuan tombak jauhnya dari tempat Atika
dan Sinta berada, tepatnya di Bukit Rawangun, Lelaki
Genit Mata Banci tampak keluar dari tenda. Dengan
air sungai yang jernih dibasuh wajahnya. Pergelangan
tangan kanan kakek itu terasa ngilu, walau hampir
semalaman dia berusaha menyembuhkannya.
Beberapa orang pencari batu mulia menyapa
kakek itu, namun Lelaki Genit Mata Banci tak mempe-
dulikannya. Menoleh pun tidak. Giginya bertaut erat
memperdengarkan bunyi gemeletukkan. Wajahnya
yang pucat berubah tegang.
"Lelaki muka tomat itu telah pergi. Aku tak
mungkin menunggu di sini...," kata Lelaki Genit Mata
Banci dalam hati. "Pagi-pagi sekali aku melihatnya
menuruni bukit. Tampaknya dia akan pergi ke selatan.
Aku harus mengikutinya sekarang. Sakit dalam hati ini
harus terbalaskan...."
Baru saja Lelaki Genit Mata Banci mengem-
poskan tubuh, matanya menangkap kelebatan tiga so-
sok bayangan ungu.
"Tiga Dara Bengal...," gumam tokoh tua itu.
"Kenapa mereka menaiki bukit? Apa mereka belum ta-
hu semua penghuni gua telah pergi?"
Mengikuti perasaan hatinya, Lelaki Genit Ma-
ta Banci mengejar bayangan Tiga Dara Bengal. Sesam-
pai di mulut gua yang terdapat di puncak bukit, Tiga
Dara Bengal menghentikan langkah. Lelaki Genit Mata
Banci langsung menegur.
"Kenapa kalian kembali?"
Tiga Dara Bengal terlihat terkejut mendapati
kehadiran Lelaki Genit Mata Banci. Jangan-jangan to-

koh tua itu akan mengusir mereka lagi..., begitu pikir
Tiga Dara Bengal. Tapi, segera mereka melihat senyum
bersahabat dari Lelaki Genit Mata Banci.
"Urusanku belum selesai, Pak Tua," kata
Ajeng Menur mewakili kedua saudaranya.
"Jangan panggil aku 'Pak Tua'!" bentak Lelaki
Genit Mata Banci dengan wajah cemberut.
"Lalu, dengan apa?" Ajeng Menur menge-
rutkan keningnya.
"Terserah! Pokoknya jangan 'Pak Tua'!"
Ajeng Menur berpikir sebentar, "Aku punya
urusan besar. Tak punya waktu untuk berpikir ma-
cam-macam!" katanya kemudian dengan tak sabar.
"Ha ha ha...!" Lelaki Genit Mata Banci tertawa
terbahak-bahak, "Kau lucu, Menur! Kau memerlukan
bantuanku. Kenapa bersikap keras? Mestinya kau
menghormat dan memanggilku sebagai 'Tuan Besar'!"
"Huh! Siapa sudi?!" rungut gadis cantik itu.
"Yah! Terserah kau saja...."
Lelaki Genit Mata Banci melangkah perlahan,
lalu bersandar pada sebatang pohon meranggas. Si-
kapnya tampak acuh tak acuh terhadap Tiga Dara
Bengal. Namun ketika dia melihat ketiga gadis itu me-
masuki gua, tawanya langsung meledak.
"Hanya tahi dan bekas tempat kencing yang
akan kalian temui, Setan-Setan Bengal!" ejek Lelaki
Genit Mata Banci.
Tiga Dara Bengal keluar dari gua dengan wa-
jah kusam. Orang yang mereka cari sudah tak ada lagi.
"Sudah kubilang, kalian membutuhkan ban-
tuanku! Kenapa masih keras kepala?!"
"Di mana Raka Maruta, Pak Tua?" tanya
Ajeng Menur.
"Kau masih saja memanggilku dengan sebu-
tan itu!"      

"Yah, di mana Raka Maruta, Tuan Besar?"
Ajeng Menur mengucapkan panggilan 'Tuan Besar'
dengan nada yang begitu mengejek.
Lelaki Genit Mata Banci malah tertawa se-
nang. "Bagus! Untuk selanjutnya kau bisa memanggil-
ku dengan sebutan itu....."
"Selama kau tidak membuat kesulitan."
"Tentu..., tentu..,! Mulai saat ini aku akan
membantu kalian. Dan, sebagai timbal baliknya kalian
pun harus bersedia membantuku. Tapi, dalam bantu-
membantu ini akulah yang jadi pemimpin!"
"Huh! Enak saja!" tukas Tiga  Dara Bengal
hampir bersamaan.
"Terserah kalian, mau apa tidak. Yang jelas
aku tahu di mana Raka Maruta berada. Juga musuh
besar Partai Iblis Ungu, yakni Suropati!"
"Benar itu?" mata Ari Sambita berbinar.
"Panggil aku 'Tuan Besar'!"
"Ya, Pak Besar! Kau...."
"Goblok! Jangan salah ucap!" Lelaki Genit
Mata Banci memelototkan matanya lebar-lebar.
"Ya..., ya...! Tuan Besar! Apa kau benar-benar
tahu di mana Raka Maruta dan Suropati berada?"
"Ikut aku...."
Lelaki Genit Mata Banci membalikkan badan.
Sebetulnya dia hendak menuruni bukit. Tapi, niatnya
diurungkan ketika melihat Tiga Dara Bengal tetap ber-
diri di tempatnya.
"Ikuti aku, Goblok!" bentak kakek itu.   
"Tak sudi!" tukas Andan Sari. 
"Kenapa?"
"Kami tak percaya pada omongan konyolmu!"
"Aku benar-benar tahu di mana Raka Maruta
dan Suropati berada. Tadi, pagi-pagi sekali mereka
pergi bersama si Wajah Merah dan seorang gadis can-

tik."
"Ke mana?" tanya Andan Sari. Karena dilihat-
nya Lelaki Genit Mata Banci tampak bersungguh-
sungguh.
"Sudahlah.... Ikuti langkahku!"
Tubuh Lelaki Genit Mata Banci berkelebat
menuruni bukit. Tiga Dara Bengal saling berpandan-
gan. Merasa kata-kata Lelaki Genit Mata Banci dapat
dipercaya, akhirnya ketiga gadis berpakaian ungu itu
sepakat mengikuti bayangan Lelaki Genit Mata Banci.