lebar. Sementara itu si bocah
perempuan bernama Roro itu sudah
perdengarkan keluhannya, lalu
tubuhnya
roboh terguling dari atas batu
besar
itu.
Terperangah si Pendekar
Bayangan.... Sepasang matanya
terbelalak lebar melihat tubuh
Roro
terjungkal roboh akibat hantaman
telapak tangan si Dewa
Tengkorak.
Sementara dia sudah pegangi lagi
dadanya, yang seperti mau
meledak.
Pada jurus kesembilan dan
kesepuluh
itu tak dirasakan sedikitpun
pukulan
si Dewa Tengkorak mengenai
tubuhnya.
Akar tetapi Ki Bayu Sheta memang
telah
tak berdaya. Pukulan pada jurus
ke
tujuh tadi telah meremukkan
bagian
dalam tubuhnya. Tampak angin
pukulan
Dewa Tengkorak yang menyerempet
sedikit pada tubuhnya, telah
membuat
tubuh tua itu menjadi limbung
dan
segera roboh ke bumi. Sepasang
matanya
masih menatap pada Roro dan si
Dewa
Tengkorak Akan tetapi melihat
keadaan
si Dewa Tengkorak yang tetap
berdiri
tak bergeming diatas batu itu,
kakek
ini perlihatkan senyumannya
sambil
meringis memegangi dadanya.
* * * *
Rembulan semakin meninggi....
dan
malam semakin melarut. Suasana
di atas
Bukit Kera seperti penuh kemis-
teriusan. Karena kera-kera telah
lari
menjauh. Keadaan disekitar atas
bukit
itu seperti lengang, seolah
tiada lagi
kehidupan disana. Akan tetapi
menjelang siang disaat Matahari
sudah
menggelincir naik, tampak
sesosok
tubuh bergerak-gerak seperti
hidup.
Ternyata adalah si bocah
perempuan
tanggung bernama Roro itu. Satu
keanehan ternyat telah terjadi
diatas
bukit itu. Kalau kedua tokoh
Rimba
Persilatan itu mati secara aneh.
Bila
kematian Dewa Tengkorak adalah
dengan
posisi berdiri seperti tengah
melan-
carkan pukulan, adalah kematian
Bayu
Sheta si Pendekar Bayangan dalam
keadaan terduduk dengan mimik
wajah
seperti orang tertawa.
Roro belalakkan sepasang matanya
yang membulat mengitari keadaan
sekitarnya. Otaknya bekerja
cepat
memikirkan kejadian yang telah
menimpa
dirinya.
"He? masih hidupkah
aku..?"
Gumamnya lirih. Lengannya
bergerak
mencubit kulit tubuhnya, dan
dira-
sakannya sakit. Kenyataan itu
telah
membuat dia mengambil kesimpulan
bahwa
dirinya masih hidup. Segera
terbayang
ketika si Dewa Tengkorak
mencengkeram
batok kepalanya. Ingatannya
mendadak
lenyap, karena kepalanya
dirasakan
berkunang-kunang dan dia sudah jatuh
tak sadarkan diri.
Kini sepasang matanya jelalatan
menatap pada tiga sosok tubuh
yang
kesemuanya telah tak bergeming.
Melihat si Dewa Tengkorak yang
masih
berdiri tegak dengan posisi
orang
memukul dengan rentangkan
sebelah
tangannya, Roro jadi terpaku. "Masih
hidupkah si iblis tua bangka ini
?"
Desisnya pelahan. Dan tubuhnya
sudah
bergerak melompat berdiri.
Pertama-
tama yang diburunya adalah
kearah Ki
Bayu Sheta. Akan tetapi ketika
dia
menyentuh dan meraba tubuh si
Pendekar
Bayangan ternyata sudah tak
bernyawa
lagi. Tercenung si gadis
tanggung ini.
Air matanya sudah kembali
menggenang.
Lalu bergerak melompat kearah
mayat
gurunya si Maling Sakti
menatapnya
sejenak dan duduk bersimpuh
dengan
linangan air mata.
Tiba-tiba kembali dia palingkan
wajahnya menatap pada si Dewa
Tengkorak. Aneh!? Mengapa
manusia
iblis itu tak juga gerakkan
tubuh?
Apakah diapun sudah mati?
Berkata
dalam hati si gadis tanggung
ini. Dan
dengan sebat Roro sudah melompat
kehadapan mayat si Manusia
Jerangkong
itu. Nyatalah setelah
diperhatikan
kalau tubuh Si Dewa Tengkorak
pun
sudah tak bernapas lagi. Dan ke-
matiannya memang sungguh aneh.
Sementara Roro sendiri tengah
tercenung, karena dirasakannya
tu-
buhnya menjadi amat ringan
sekali
ketika melompat-lompat. Justru
beberapa kali dia hampir
terhuyung
jatuh karena merasa kelebihan
tenaga.
Tanpa disadari kalau sebenarnya
tenaga
dalamnya telah bertambah 10 kali
lipat.
Disamping merasa heran, juga
merasa sedih sekali melihat
semua
orang yang disayanginya telah
tewas.
Kini Roro palingkan wajahnya
menatap
pada sebuah lubang besar
dihadapannya.
Sesuatu tampak tersembul
ditengah
lubang yang hangus kehitaman
itu.
"Apakah itu bukannya Tombak
Pusaka si
Dewa Tengkorak? Bertanya
hatinya. Dan
Roro sudah beranjak mendekati.
Lalu
melompat kedalam lubang.
Benarlah apa
yang diduganya. Tak ayal dia
sudah
gerakkan tubuh membungkuk, dan
lengannya bergerak mencabut
benda itu
hingga tersembul seluruhnya
batang
Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak
itu.
Kini dia kembali
termangu-mangu....
Apakah yang akan dilakukannya
lagi?
Ternyata Roro berotak cerdas,
segera
dia berfikir kalau lubang besar
itu
pasti akibat hantaman lengan si
Dewa
Tengkorak. Apakah jurus kesepuluh
dari
ilmu pukulan sakti bernama 10
Jurus
Pukulan Kematian si Dewa
Tengkorak itu
justru membuat kematiannya?
Berfikir
Roro. Dan lubang ini adalah
diper-
gunakan untuk mengubur
jenazahnya?
Pikirnya lagi.
Namun Roro tak dapat
berlama-lama
untuk berfikir, karena dia sudah
bergerak melompat keluar dari
dalam
lubang. Dan selanjutnya Roro sudah
bekerja cepat untuk mengangkat
ketiga
jenazah .... Satu-persatu
dimasukkan
kedalam lubang besar itu. Tak
lama
ketiga jenazah sudah terbaring
mem-
bujur didalam lubang. Gadis
tanggung
ini memandanginya dengan
sepasang mata
berkaca-kaca. Hatinya kembali
berkata.
Kakek Bayu Sheta, guru... dan
kau
Dewa Tengkorak! Walaupun kalian
adalah
bermusuhan dimasa hidup, akan
tetapi
rupanya Tuhan sudah mentakdirkan
kalian wafat dalam waktu yang
hampir
bersamaan. Dan jasad kalian
terkubur
dalam satu lubang..! Sesaat Roro
sudah
tundukkan wajah dengan sepasang
mata
sudah menjadi basah oleh
genangan air
mata. Namun cuma sesaat, karena
Roro
sudah hapuskan air matanya. Lalu
mulailah bekerja cepat menguruk
lubang
kubur menutupi ketiga jenazah
itu de-
ngan tanah. Selang tak berapa lama
pekerjaannya pun selesailah
sudah.
Kini segunduk tanah telah
tersembul
diatas Bukit Kera. Dan seorang
dara
tanggung duduk bersimpuh
dihadapan
gundukan tanah itu. Bibirnya
berkemak-
kemik seperti memanjatkan doa.
Tak
berapa lama dia sudah bangkit
berdiri.
Lengannya mencekal sebatang
Tombak
Pusaka si Dewa Tengkorak yang
berwarna
hitam legam itu.
Setelah berfikir sejenak, tombak
itu segera ditancapkan ke atas
gundukan tanah setelah dengan
seolah
menjadikan tombak itu sebagai
batu
nisan. Lalu gadis tanggung itu
balikkan tubuh. Wajahnya
menengadah ke
langit dengan pejamkan mata, dan
terdengar suara helaan napasnya.
Tak
lama dia segera menindakkan kaki
melangkah meninggalkan gundukan
tanah
itu.... Akan tetapi baru sepuluh
langkah dia sudah hentikan lagi
tindakannya. Telinganya seperti
mendengar satu suara aneh yang
menyusup ke daun telinganya.
"Aiiih, bocah tolol...!
Tombak
Pusaka si Dewa Tengkorak itu
sungguh
sayang kalau dijadikan batu
nisan!
Mengapa tak kau bawa saja
sebagai
kenang-kenangan..?" Tentu
saja Roro
jadi melengak heran. Suara
siapakah
gerangan yang menyusup ke
telinganya?
Pikir Roro. Akan tetapi Roro
memang
tak perlu berfikir lebih jauh.
Hatinya
sedang dilanda kesedihan. Dia
berpendapat suara itu adalah
suara
hatinya sendiri. Oleh sebab itu
segera
dia balikkan tubuh, dan kembali
beranjak mendekati gundukan
tanah itu.
Dan sekali lengannya bergerak,
Tombak
Pusaka itu telah dicabutnya
lagi.
8
INGIN kencang membersit dari
arah
selatan... dan dari kejauhan
sudah
terdengar deburan-deburan ombak
yang
melanda karang. Dua sosok tubuh
itu
berlompat-lompatan saling kejar
dibarengi suara-suara bentakan
dan
tawa cekikikan. Ternyata mereka
adalah
dua orang wanita. Kalau yang
seorang
adalah seorang gadis tanggung
yang tak
lain adalah Roro adanya, tapi
yang
seorang lagi adalah seorang
wanita
berusia sekitar 30 tahun. Wanita
ini
memakai baju sutera warna merah.
Rambutnya memakai dua buah konde
dikiri-kanan yang kedua kondenya
dibeliti oleh pita berwarna
merah.
Sikapnya amat genit luar biasa.
Sementara pada lengannya terdapat
dua
potong benda sepanjang satu
depa. Ter-
nyata kedua benda itu tak lain
dari
tombak pusaka si Dewa Tengkorak,
yang
entah bagaimana telah menjadi
dua
bagian. Sementara si gadis
tanggung
bernama Roro itu tengah
mengejarnya
dengan melompat-lompat disertai
bentakan-bentakan keras.
"Hihihi... hihi... Tombak
Pusaka
ini toh bukan milikmu, mengapa
tak kau
biarkan aku yang
merawatnya..?"
Berkata si wanita genit itu.
Suaranya
terdengar aneh bagi pendengaran
Roro,
karena terkadang kecil terkadang
besar
mirip laki-laki. Si gadis
tanggung ini
plototkan matanya dengan wajah
gusar.
Beberapa puluh kali lompatan
sudah
dilakukan untuk mengejar wanita
yang
telah merebut potongan tombak
itu dari
tangannya, akan tetapi wanita
itu
mempunyai gerakan aneh. Hingga
selalu
dia tak berhasil merebut kembali
benda
itu. Kiranya sewaktu Roro
tinggalkan
Bukit Kera, diam-diam telah
dikuntit
oleh sesosok tubuh yang tak lain
dari
wanita aneh ini.
Ketika Roro ditengah perjalanan
berhenti untuk melepas lelah dan
duduk
dibawah pohon, lengannya telah
iseng
mempermainkan tombak hitam itu.
Tak
dinyana Roro berhasil menemukan
kejanggalan pada bagian tengah
tombak,
yang ternyata besinya agak tebal
dengan dua guratan melingkar. Rasa
penasarannya membuat dia memper-
hatikan, dan menyelidiki kedua
guratan
ditengah batang tombak. Ternyata
kemudian dia berhasil memutarkan
sebagian batang tombak, yang
ternyata
bagian tengahnya itu merupakan
sambungan. Sayang disaat dia
tengah
mau menyelidiki lebih lanjut
pada
bagian tengah tombak yang
berlubang,
telah berkelebatlah sebuah
bayangan
merah menyambar kedua potongan
tombak
itu. Tentu saja Roro jadi
terkejut,
karena tahu-tahu kedua potong
benda
ditangannya telah lenyap dan
berpindah
tangan. Dengan gusar dia
melompat dan
mengejar si bayangan merah.
Semakin
lama semakin menjauh, hingga
dari
mulai matahari separuhnya dari
atas
kepala hingga sampai menjelang
senja
mereka berkejaran.
Ternyata keduanya telah tiba
disatu daerah pantai. Itulah
daerah
Pantai Selatan, yang ombaknya
sebesar-
besar bukit bergulung-gulung
menye-
ramkan. Roro yang sedianya akan
kembali ke lereng Rogojembangan,
jadi
terkecoh karena mengejar si
wanita
aneh ini. Rasa penasarannya
serta
kemendongkolan hatinya untuk
kembali
merebut tombak itu membuat dia
tak
berhenti mengejar. Bahkan selama
berkejar-kejaran itu Roro telah
lancarkan serangan-serangan
hebat.
Tenaga dalamnya yang telah
bertambah
10 kali lipat itu amat
menguntungkan
Roro. Karena disamping tenaga
hantaman
lengannya menjadi berlipat
ganda, dia
juga dapat melakukan
lompatan-lompatan
mengejar si wanita genit itu.
Tekad Roro telah bulat untuk
merebut kembali Tombak Pusaka
itu.
Akan tetapi amat diherankan
karena
selalu saja serangannya lolos
tanpa
dapat mengenai sasarannya,
ataupun
menyentuh seujung rambutpun
tubuh
wanita aneh itu. Demikianlah
hingga
mereka telah tiba diatas tebing
karang
di Pantai Selatan.
"Hihihi... bocah manis!
Tenaga
dalammu amat hebat! Rupanya si
Dewa
Tengkorak telah mewariskan
tenaga
dalamnya padamu! kau sungguh
beruntung, bocah! Tapi... benda
ini
kau biarkanlah untukku! Aku akan
menyimpannya untuk
kenang-kenangan..!"
Berkata si wanita aneh itu
dengan
senyum genit dan menimang-nimang
benda
itu bahkan menciuminya. Roro
jadi
semakin mendongkol. Tiba-tiba dia
sudah lakukan bentakan keras
seraya
melompat menerjang.
"Kau boleh ambil benda itu
setelah kau dapat jatuhkan
aku!"
Bentaknya. Dan.... WHUK! WHUK..!
Dia
sudah kirimkan serangan dahsyat.
Lagi-
lagi terjadi keanehan, karena si
wanita itu cuma
melenggang-lenggokkan
tubuhnya seperti orang menari.
Namun
serangan beruntun Roro ternyata
telah
luput. Semakin menggebu
kepenasaran
Roro, hingga dia telah keluarkan
seluruh kepandaiannya menerjang
si
wanita aneh yang genit luar
biasa itu.
Suara-suara teriakan dan
cekikikan
terdengar silih berganti... Dan
diatas
bukit Pantai Selatan itu seperti
ada
dua bayangan saja yang terlihat
berkelebatan. Sementara di bawah
tebing suara deburan ombak
Pantai
Selatan yang bergulung-gulung berhem-
pasan menerjang batu karang.
Hingga
suatu saat tiba-tiba Roro
terpekik,
karena dia telah kelebihan
melompat
tanpa mampu menahan tubuhnya
lagi. Dan
terjerumuslah si gadis tanggung
itu ke
bawah tebing karang. Lalu
sekejap
tubuhnya telah lenyap ditetan
ombak
ganas...
"Hihihi... bagus! akan
kulihat
apakah kau mampu menyelamatkan
diri ?"
Berkata si wanita aneh. Dan
sekejap
tubuhnya telah melesat dari
situ, lalu
lenyap dibalik batu tebing yang
bertonjolan.
Tubuh Roro si bocah perempuan
tanggung itu timbul tenggelam
dihantam
ombak yang bergulung-gulung. Apakah
Roro akan mudah saja menghadapi
maut
yang akan merenggut nyawanya?
Tidak!
Kekerasan hatinya telah
mengalahkan
segalanya. Dengan patokan,
sebelum
ajal berpantang mati! Roro
berusaha
berenang, walau beberapa teguk
air
telah lewat masuk
tenggorokannya.
Segera teringat sepintas disaat
menggoda Ginanjar dengan
menyelam ke
dalam air, kemudian menarik kaki
bocah
laki-laki itu. Dan Ginanjar
berteriak-
teriak ketakutan.... Roro telah
disangka Hantu Air yang biasa
mengganggu orang mandi dekat air
terjun itu. Ingatan itu
membangkitkan
semangat Roro untuk bisa hidup.
Segera
diatahan napas, dan menyelam
sedalam
mungkin ke dalam air. Sepasang
matanya
dibentangkan lebar-lebar. Terasa
perih, karena air laut memang
asin
berbeda dengan air sungai. Namun
tekad
untuk hidup menggebu-gebu didada
Roro.
Dipaksakannya untuk tetap dapat
membuka matanya, hingga lambat
laun
rasa perih dimatanya itupun
sudah tak
terasakan lagi. Dengan berenang
cepat
dibawah air itu memang Roro
berhasil
menghindari arus dari ombak
ganas
diatas permukaan. Karang demi
karang
dibawah air terus dilewati.
Tiba-tiba tercekat hatinya
melihat ada sebuah terowongan
didasar
air. Bergegas dia berenang
kesana
dengan tenaga sekuat-kuatnya.
Dadanya
sudah terasa sesak karena
menahan
napas, tapi dengan sekuat tenaga
dia
mencoba bertahan.... Bagai
seekor ikan
Hiu yang meluncur diantara
ikan-ikan
kecil lainnya didasar laut itu,
tubuh
Roro sudah meluncur melewati
tero-
wongan. Ombak santar yang terasa
mengganggunya mendadak jadi
hilang.
Kembali dia enjot tubuh untuk
berenang
sekuat-kuatnya, karena tenaganya
sudah
teramat lemah. Dadanya terasa
semakin
sesak, seperti mau pecah.
Kekuatannya
untuk menahan napas sudah
mencapai
klimax, dan dia memang sudah tak
sanggup untuk bertahan lagi.
Terowongan itu sudah terlewati, akan
tetapi Roro sudah kehabisan
napas.
Untuk menyembul kepermukaan pun
sudah
tak sanggup. Terpaksa dia
biarkan
tubuhnya mengapung sendiri, dan
dua
tiga teguk air lewat kembali
masuk
ketenggorokannya....
Pandangannya sudah menjadi
gelap,
kepalanya terasa berat. Dan si
gadis
tanggung ini sudah pejamkan
matanya
karena tak mampu lagi untuk
membuka
matanya. Maut seperti akan
segera tiba
diruang matanya. Akan tetapi
takdir
agaknya belum menentukan sang
dara
tanggung itu harus mati didasar
air,
karena tampak tubuh yang sudah
tak
berdaya itu pelahan-lahan
melambung
keatas. Dan selang sesaat
antaranya
sudah tersembul kepermukaan air.
Roro
memang sudah hampir tak sadarkan
diri,
akan tetapi disaat kepalanya
menyembul
keatas permukaan air, masih terlintas
setitik fikiran jernih
dibenaknya.
Segera dia gerakkan kepala untuk
menghirup udara. Begitu temukan
udara
segar, semangat bocah perempuan
ini
timbul lagi. Segera digapaikan
kedua
lengannya agar tubuhnya dapat terus
mengapung, dan sedot udara
sebanyak-
banyaknya. Akhirnya diapun
membuka
sepasang matanya. Ternyata telah
ber-
ada dalam sebuah ruang didasar
tebing
karang terjal. Semangat hidupnya
kembali muncul. Segera dia
berenang ke
tepi dengan tubuh lemah lunglai,
dan
kakinya sudah menyentuh pasir
halus
ditempat yang dangkal. Terdengar
keluhan ketika tubuhnya
dijatuhkan
ketepi pasir dengan perasaan
lega, dan
Roro sudah pejamkan matanya
untuk
menarik napas dalam-dalam....
* * * *
Entah berapa lama dia berbaring
melepaskan kelelahan yang amat
luar
biasa, hingga sampai-sampai
bocah
perempuan itu tertidur lelap.
Ketika
Roro membuka matanya terkejutlah
dia,
karena melihat sesosok tubuh
yang tak
lain dari si wanita genit itu
telah
berdiri tersenyum menyeringai
dihadapannya. Dengan gusar Roro
sudah
gerakkan tubuh untuk bangkit
menyerang.....
Akan tetapi alangkah terkejutnya
dia mengetahui tubuhnya tak
dapat
digerakkan, bahkan dia sudah
dalam
keadaan terlentang diatas sebuah
pembaringan dari batu persegi
dengan
keadaan tubuh telanjang bulat.
"Hihihihi... hihi.. bocah
hebat!
bocah hebat..! Kau benar-benar
membuat
aku mengiri!" Terdengar si
wanita
genit itu berkata. Sepasang
matanya
menjalari sekujur tubuh Roro
dengan
senyum tersungging dibibirnya.
"Hehehe... aku memang sudah
pastikan kau tak akan
mampus..!"
Sambungnya lagi, seperti seorang
peramal yang sudah menentukan
nasib
manusia.
"Mampus atau tidak bukanlah
urusanmu! Mengapa kau perlakukan
aku
begini? Lepaskan aku! Dan mari
bertempur lagi! Apakah kau kira
aku
takut? Kau ternyata bisanya
bermain
curang, menawanku disaat aku tak
sadarkan diri..!" Teriak
Roro dengan
sepasang mata melotot tajam pada
si
wanita aneh itu. Sementara
hatinya
berdebaran, entah akan diapakan
tubuhnya yang telah dilucuti
seenaknya
begitu..?
"Hihihi... dalam bertempur
mengapa harus pakai segala macam
aturan? Kau sudah dapat
kukalahkan,
dan jadi tawananku! Mau kuapakan
saja
siapa mau larang? Hihihi...
hihi..!"
Kembali si wanita
terpingkal-pingkal
geli hingga tubuhnya sampai
bergun-
cangan. "Pakaianmu basah,
dan sedang
kujemur biar kering. Dan kau
terpaksa
kutotok dulu agar tidak menyu-
sahkanku..!" Ujar si wanita
aneh itu
sambil beranjak meninggalkan Roro
dengan melenggang-lenggok genit.
"Heeeiii!? Mau ke mana kau?
Bebaskan aku…!" Teriak Roro
sekuat-
kuatnya. Akan tetapi wanita itui
cuma
melirik genit, lalu menyelinap
masuk
ke sebuah ruangan goa. Roro
mengeluh.
Ya Tuhan, mengapa nasibku begini
jelek...? Tak berapa lama wanita
aneh
itu sudah kembali dengan membawa
sesuatu diatas piring dari
kerang
laut.
"Apa itu..?" Tanya
Roro dengan
mata membeliak. Dia sudah merasa
yakin
kalau si wanita yang telah
menawannya
itu pasti akan menyiksanya.
"Hihihi... ini makanan
untukmu!"
Sahutnya, seraya mendekati Roro.
"Kau perlu mengganjal perut
agar
tidak mampus..!" Sambungnya
lagi.
"Tidak! aku tak sudi! Siapa
sudi
diberi makan olehmu? Biarkan
saja aku
mampus, apa perdulimu..?"
Teriak Roro
dengan wajah cemberut
kesal.
"Tidak! tidaaak! Aku tak
sudi!
lepaskan aku..!" Teriak
Roro, seraya
kerahkan tenaga untuk melompat
bangun,
dan gerakkan kepalanya menepis.
Akan
tetapi sedikitpun tubuhnya tak
dapat
digerakkan, cuma kepalanya saja
yang
bisa bergerak, akan tetapi
itupun
hampir tak bertenaga.
Namun makanan itu memang sudah
masuk ke mulut Roro ketika si
wanita
itu dengan paksa telah
menjejalkannya.
Mendelik sepasang mata Roro,
dan...
Fruuuhh..! Roro sudah semburkan
lagi makanan itu dari mulutnya.
Rasa
anyir dan bau memuakkan itu
membuat
dia mau muntah.
9
"Hihihi.... baiklah, kalau
kau
tak mau makan akan tahu sendiri
apa
akibatnya!" Berkata si
wanita itu
seraya lengannya bergerak ke
bawah
pembaringan batu! Dan sekejap
lengannya telah mencekal sebuah
bumbung bambu. Dengan
cengar-cengir
sumbat bumbung bambupun dibuka,
dan
tuangkan isinya keperut Roro...
Terpekik si gadis tanggung ini,
karena
segera puluhan ekor binatang
Kalajengking telah merayap diatas
perutnya. Berteriak-teriak dia
dengan
ketakutan, dan gerakkan tubuh
untuk
meronta. Akan tetapi tubuhnya
tak
dapat bergerak sama sekali.
"Tidaaak!
tidaaak..! oh, aduuh!
tolooong..!
hiiii... auuuw..!" Hampir
gila rasanya
Roro karena takutnya. Akan
tetapi si
wanita itu justru mengikik
tertawa
dengan terpingkal-pingkal.
"Baik, baik..! aku mau
makan..!
aku mau makan..!" Akhirnya
Roro
berteriak dengan wajah pucat
ketakutan, terasa geli dan
takutnya
bukan buatan terhadap binatang
itu
yang seperti menggelitik kulit
perutnya.
"Bagus! Nah, begitu..!
barulah
kau seorang bocah yang
baik!" Ujar si
wanita dengan tampilkan senyum
kemenangan. Dan segera diraupnya
binatang itu untuk dimasukkan
kedalam
bumbung bambu, lalu menutup
sumbatnya
dan letakkan kembali ke bawah
pem-
baringan.
Demikianlah, akhirnya Roro mau
disuapi makanan aneh itu, yang
ternyata adalah lumut laut.
Siapakah sebenarnya si wanita
yang bersuara aneh mirip
laki-laki dan
terkadang wanita itu? Ternyata
tak
lain dari seorang tokoh Rimba
Hijau
yang sudah lama mengurung diri
digoa
dasar tebing Pantai Selatan.
Dialah
yang berjulukan si Manusia Aneh
Pantai
Selatan, atau orang menjulukinya Si
MANUSIA BANCI. Karena memang
sebena-
rnyalah wanita genit itu
bukanlah
seorang wanita, melainkan
seorang
wadam alias Banci. Tubuhnya
memang
amat mirip dengan wanita. Akan
tetapi
sebenarnya tidaklah demikian,
karena
kepandaiannya merias dirilah yang
membuat dia mirip sekali dengan
wanita.
Roro yang sudah merasa bosan
berada dipembaringan batu dengan
tubuh
terlentang itu seperti tak
digubris
permintaannya untuk membebaskan
toto-
kan si manusia Banci itu.
Demikianlah,
entah sudah berapa hari berapa
malam,
Roro tak dapat berkutik. Entah
berapa
puluh kali makanan yang
memuakkan itu
masuk ke perutnya. Namun lama
kelamaan
dia sudah biasa. Roro memang
sudah
berupaya untuk melepaskan diri,
akan
tetapi si Manusia Banci itu
selalu
mengulangi menotoknya, hingga
dia tak
dapat berbuat apa-apa selain
mengeluh
memikirkan nasibnya.
Satu hal yang membuat Roro tak
habis pikir adalah si manusia
aneh itu
sering menimang-nimang kedua
potong
benda yang telah direbut dari
tangan-
nya, yaitu potongan tombak
Pusaka
milik si Dewa Tengkorak.
Terkadang si
Banci itu tertawa-tawa sendiri,
tapi
terkadang menangis tersedu-sedu
dengan
air mata bercucuran. Membuat
Roro jadi
kasihan. Entah ada rahasia apa
dibalik
keanehannya itu.
Roro semakin menyadari kalau
wanita dihadapannya itu bukan
wanita,
tapi juga bukan laki-laki.
Terbukti
suatu ketika, tampak seorang
gadis
cantik sekali memasuki ruangan
kamarnya. Terperangah Roro,
karena
gadis cantik itu tak mengenakan
pakaian sama sekali alias
telanjang
bulat... Rambutnya terurai,
dengan
sepasang mata redup, bak
bidadari
bangun tidur layaknya.
Langkahnya
lemah gemulai dengan perlihatkan
senyumnya yang menawan hati.
"Hihihi... Roro! Coba
lihatlah aku
baik-baik! Apakah aku
cantik..?"
Bertanya si gadis cantik itu.
Barulah
Roro sadar kalau gadis cantik itu
tak
lain dari si wanita aneh. Segera
saja
dia mengangguk dengan tersenyum.
"Kau amat cantik sekali,
bibi..!"
Menyahut Roro seraya
manggut-manggut.
"Apakah aku amat mirip
dengan
perempuan..?" Tanyanya
lagi. Tentu
saja pertanyaan itu membuat dia
ternganga, karena jelas wanita
itu
seorang perempuan, mengapa
bertanya
demikian? Pikir Roro. Namun dia
tak
berani memastikan apakah si bibi
itu
seorang perempuan, karena
terkadang
memang agak mirip dengan
laki-laki.
Dan kesemuanya itu membuat dia
jadi
bingung, tapi segera menjawab.
"Hihihi... kau mirip sekali
dengan perempuan, dan bukankah
kau...
kau memangnya bukannya seorang
perempuan seperti aku..?"
Tanya Roro
yang tak dapat menyembunyikan
apa yang
dilihatnya. Akan tetapi
jawabannya
adalah wanita ini menatapnya
tajam-
tajam dengan sepasang matanya
yang
berkaca-kaca. Dan terdengar
suaranya
yang bercampur isak.
"Ah,... seandainya aku
memang
seorang perempuan, tidaklah aku
menderita begini..!" Dan
dia sudah
balikkan tubuh lalu lengannya menyam-
bar jubah yang biasa
dikenakannya. Tak
lama dia sudah lepaskan dua buah
benda
dari tubuhnya, seraya beranjak
menghampiri Roro. "Kau
lihatlah! Benda
ini adalah hasil ciptaanku yang
kubuat
sedemikian rupa, karena aku memang
ingin sekali menjadi seorang
wanita!"
Berkata si manusia banci.
Barulah Roro
tersadar kalau si wanita aneh
itu
memang bukan wanita dan bukan
laki-
laki. Karena segera tampak
dadanya
yang rata. Benda-benda itu telah
membuatnya mirip dengan wanita
yang
seperti tak mengenakan busana.
"Oh..!?" Tersentak
Roro, dan
kembali dia manggut-manggut
dengan
hati yang mulai mencair, karena
segera
timbul rasa kasihan pada si bibi
itu.
"Benda-benda ini kelak akan
kuhadiahkan padamu,
Roro..!" Berkata
si manusia Banci, yang kembali
sudah
perlihatkan wajah cerah.
Beberapa bulan sudah Roro
tinggal
diruang goa di dasar tebing
karang
Pantai Selatan itu. Dan selama
itu
Roro telah diperlakukan secara
aneh.
Tubuhnya dibalur dengan berbagai
macam
ramuan. Dan setiap pagi
tentu akan
menerima makanan memuakkan dari
lumut
laut. Keanehan-keanehan yang
dilakukan
terhadap Roro ternyata mempunyai
maksud tertentu. Bahkan berbagai
macam
ramuan telah disuguhkan Roro
yang
ternyata telah dicampur oleh
makanan
dari lumut laut itu. Hingga
tanpa
disadari Roro telah memakan
beberapa
ramuan yang langka dan jarang
terdapat
didunia, yaitu ramuan awet muda.
Karena sebenarnya si Manusia
Banci itu
telah mencapai usia 60 tahun
lebih,
tapi kenyataannya bagaikan seorang
yang masih berusia tiga puluh
tahun.
Si Manusia Banci memang amat
berharap
pada Roro agar menjadi muridnya,
dan
mewarisi segenap ilmu
kepandaiannya.
Itulah sebabnya Roro
diperlakukan
secara aneh, untuk segera dapat
menerima ilmu-ilmunya.
Demikianlah.... Roro si bocah
perempuan yang berusia sekitar
lima
belas tahun itu telah resmi
menjadi
murid si Manusia Banci atau si
Manusia
Aneh Pantai Selatan. Tak
seorangpun
mengetahui adanya Roro di Pantai
Selatan itu, yang tengah
digembleng
berbagai ilmu kedigjayaan oleh
si
Manusia Banci. Bahkan Roro
mempelajari
juga jurus-jurus maut si Dewa
Tengkorak yang bernama 10 Jurus
Pukulan Kematian. Ternyata
didalam
Tombak Pusaka si Dewa Tengkorak
itu
ada tersimpan segulung kertas
yang
berisikan tulisan rahasia dari
ilmu-
ilmu si Dewa Tengkorak, yaitu 10
Jurus
Pukulan Kematian itu. Dan Roro
telah
mempelajarinya dari gurunya yang
aneh
itu. Satu hal yang baru
dimengerti
Roro, adalah ternyata si Dewa
Tengkorak adalah laki-laki
pujaannya
yang telah membuat sang guru
tergila-
gila padanya. Namun si Dewa
Tengkorak
tak mengacuhkan
"cinta" nya. Ternyata
walaupun si Dewa Tengkorak
memang
banyak mempunyai isteri, si
Manusia
Banci ini tetap menaruh cinta
yang
sedalam lautan. Walaupun cintanya
tak
kesampaian.
Memang satu kejadian yang amat
tragis dalam kisah manusia yang
memburu cinta. Akan tetapi
takdir
memang harus disadari oleh
setiap
manusia. Karena Tuhan memang
telah
mengkodratkan diri manusia
masing-
masing dengan keadaannya....
* * * *
Bagaimanakah dengan nasib
Ginanjar sepeninggal Roro yang
telah
pergi diam-diam untuk menyusul
Ki Bayu
Sheta? Ternyata si pemuda
tanggung ini
telah mencari-carinya ke setiap
tempat. Namun tak membawa hasil.
Menjelang pagi segera teruskan
pencariannya ke tempat-tempat
dimana
Roro biasa berlatih. Akan tetapi
tetap
saja tak dijumpai si gadis
tanggung
yang bengal itu. Akhirnya
Ginanjar
memutuskan untuk tetap berdiam
menunggu datangnya si Maling
Sakti
guru Roro, atau paman gurunya
itu. Se-
lama itu Ginanjar selalu
berlatih
memperdalam kepandaiannya yang
telah
diajarkan si Pendekar Bayangan.
Namun selama lebih dari satu
bulan, tetap saja tak ada orang
yang
datang menyambangi pondoknya
dilereng
Rogojembangan itu. Baik Roro
maupun
sang paman gurunya si Maling
Sakti tak
memunculkan diri. Akhirnya
Ginanjar
bertekad turun gunung. Tujuannya
adalah mencari dimana adanya Roro
saudara seperguruannya itu.
Sekalian
mencari tahu tentang paman
gurunya,
yang menurut gurunya berada di
wilayah
Kota Raja.
Memikir demikian Ginanjar segera
berkemas untuk membuntal
pakaiannya.
Akan tetapi terkejut pemuda
tanggung
ini ketika menemukan secarik
kertas
bertulisan dibawah pakaiannya.
Ternyata adalah sebuah surat
dari Ki
Bayu Sheta yang diperuntukkan
padanya.
Surat itu mengatakan agar
Ginanjar
segera berangkat bersama Roro ke
Kota
Raja, bila sang paman guru alias
si
Maling Sakti tak juga datang
dalam
waktu satu bulan. Disana Ginanjar
disuruh mencari seorang sahabat
sang
guru yang berdiam di wilayah
Kota
Raja, bernama Ronggo Alit. Untuk
menjumpainya adalah tidak sulit,
karena Ronggo Alit membuka
sebuah
warung yang berdagang
obat-obatan.
Ronggo Alit adalah bekas anggota
Partai Kaum Pengemis, yang sejak
Partai itu dibubarkan dia
membuka
usaha demikian di wilayah Kota
Raja.
Ginanjar dan Roro diharapkan
dapat tinggal digedung kediaman
sahabatnya itu untuk sementara
waktu.
Termenung sejenak bocah
laki-laki
tanggung itu. Lalu diteruskannya
membaca surat. Ternyata diakhir
kalimat si Pendekar Bayangan ada
menitipkan kata-kata untuk sang
sahabat, yang disuruhnya
Ginanjar dan
Roro memanggilnya
"Paman". Dan pada
kalimat yang paling akhir adalah
Ginanjar telah diwariskan sebuah
Pedang Pusaka. Yaitu pedang
pusaka
milik sang guru. Kemudian
ditunjukkan
dalam surat tempat
penyimpanannya.
Kembali termenung Ginanjar, lalu
segera dilipatnya surat itu
dimasukkan
kesaku bajunya sebelah dalam.
Tak lama
dia sudah bangkit berdiri, dan
segera
menghampiri sebuah rak diatas
tempat
tidur gurunya. Disanalah dia
menemukan
sebuah pedang yang gagangnya
terbuat
dari perak berkilauan. Sarung
pedangnya berukir seekor naga.
Tampak
wajah Ginanjar menampilkan wajah
girang. Akan tetapi juga
bersedih,
karena sampai kini tak diketahui
nasib
gurunya, juga nasib Roro dan
sang
paman gurunya. Namun segera
pemuda
tanggung ini cepat berkemas.
Beberapa
keping uang ternyata telah
diselipkan
juga dekat sarung pedang. Dia
dapat
mempergunakannya bila mana
perlu.
Agaknya Ki Bayu Sheta telah
mempersiapkan terlebih dulu
sebelum
keberangkatannya.
Ketika matahari sudah hampir
berada diatas kepala, Ginanjar
sudah
tinggalkan pondok dilereng
Gunung
Rogojembangan itu. Terasa sedih
juga
hatinya karena hampir sepuluh
tahun
sejak dia diambil si Pendekar
Bayangan
dari sebuah rumah yatim piatu,
dia
dididik ditempat ini oleh Ki
Bayu
Sheta. Hingga dia merasa sang
guru
sebagai orang tuanya sendiri.
Dari
sang guru diketahuinya bahwa
orang
tuanya telah meninggal. Tak
diketahui
jelas siapa dan dimana
meninggalkan
ayah ibunya, karena Ginanjar
memang
tak pernah menanyakannya. Tak
lama
bocah laki-laki tanggung itu
telah
berkelebat cepat menuruni lereng
Rogojembangan. Dengan bekal
keyakinan
untuk suatu ketika dia dapat
menjumpai
Roro saudara seperguruannya.
Angin pegunungan berhembus sejuk
seperti mengantarkan
kepergiannya yang
tentu saja akan banyak menimba
pengalaman kelak ditempatnya
yang
baru.
10
SEJAK ditangkapnya Adipati Haryo
Gawuk dan dijatuhi hukuman
gantung
oleh Baginda Raja Kerajaan
Medang.
Wilayah sekitar kekuasaan
Kadipaten
itu menjadi aman. Tiada lagi
pemerasan-pemerasan yang
dilakukan
oleh para petugas pajak dan para
petani dan pedagang. Rakyat amat
berterima kasih pada pihak
Kerajaan
yang telah menindak tegas
abdi-abdi
Kerajaan yang menyeleweng.
Bahkan
mereka juga dapat bernapas lega,
ka-
rena tidak didengarnya lagi
bencana-
bencana seperti perampokan,
pemer-
kosaan para gadis atau
pemerasan-
pemerasan lainnya. Rakyat
kembali
bekerja dengan tekun menggarap
sawah
ladang pertaniannya.
Para saudagar tak lagi meng-
khawatiri akan adanya perampasan
harta
bendanya, serta bermacam
kesulitan
yang sering dihadapi. Dan pada
beberapa bulan kemudian, segera
diadakan pengangkatan Adipati
baru
pengganti Adipati Haryo Gawuk.
Tentu
saja rakyat menyambut dengan
gembira,
karena mereka berharap Adipati
pengganti ini benar-benar
memper-
hatikan akan kesejahteraan
rakyat
wilayahnya. Dalam upacara
pengangkatan
Adipati baru ini ternyata telah
diadakan hiburan yang sengaja
diadakan
untuk menghibur rakyat. Berita
adanya
hiburan diwilayah Kadipaten
Banjar
Mangu segera tersiar ke beberapa
daerah. Dan sudah tersiar
beritanya
bahwa yang akan menjabat sebagai
Adipati di wilayah itu adalah
seorang
laki-laki yang masih berusia
cukup
muda, yaitu sekitar 30 tahun.
Bernama
SURA NINGRAT.
Pesta berlangsung meriah saat
itu, dan sukurlah tak terjadi
suatu
keributan, karena para lasykar
keamanan Kadipaten menjaga
dengan
ketat. Agaknya sejak
ditangkapnya
Adipati Haryo Gawuk, para
begundal
yang biasa mengganggu rakyat
segera
menyingkir jauh-jauh.
Demikianlah...
dengan resmi Adipati Sura
Ningrat
berhak menguasai beberapa wilayah,
yang kemudian sejak dalam masa
pemerintahannya, rakyat hidup
sejahtera aman sentausa. Bahkan
telah
ditingkatkannya taraf hidup kaum
pe-
tani yang ternyata banyak
membantu
Kerajaan dalam urusan pangan.
* * * *
Pemerintahan Sura Ningrat
sebagai
Adipati ternyata mengalami masa
kejayaan sampai lebih dari lima
belas
tahun. Sayang Adipati yang gagah
dan
bertanggung jawab serta
disenangi
rakyatnya itu tak berumur
panjang.
Adipati Sura Ningrat wafat dalam
usia
cukup muda. Kesedihan melanda
rakyat
disekitar wilayahnya, yang
mengalami
masa berkabung sampai
berlarut-larut.
Ternyata kemudian pengganti
Adipati Sura Ningrat adalah
seorang
yang berbeda wataknya dengan
Sura
Ningrat. Yaitu Adipati LAKSONO.
Peraturan-peraturan yang telah
dibina
Adipati Sura Ningrat telah
banyak yang
dirobah, dan ternyata cukup
membe-
ratkan rakyat dengan pajak yang
cukup
tinggi. Akan tetapi karena sang
Adipati ini masih ada
hubungannya
dengan Baginda Raja Kerajaan
Medang
rakyat tak dapat berbuat
apa-apa.
Walaupun keadaan rakyat jadi
cukup menderita namun tak urung
sudah
pula berjalan masa pemerintahan
sang
Adipati itu sampai lebih dari
tujuh
tahun. Dan pada masa
pemerintahan
Adipati Laksono inilah kisah ini
terjadi.
Kemunculan empat orang yang
menamakan diri nya EMPAT IBLIS
KALI
PROGO telah menambah penderitaan
rakyat disekitar wilayah
Kadipaten
Banjar Mangu. Ternyata keempat
manusia
berkepandaian tinggi itu
mendiami
gedung Kadipaten yang menghadap
kearah
barat. Sukar untuk ditolak
kedatangan
keempat orang itu yang telah
menghadap
pada sang Adipati sebagai tamu
terhormat. Karena disamping
ilmunya
yang tinggi, kedatangannya
adalah atas
utusan seorang pembesar
Kerajaan, yang
katanya untuk membantu menjaga
keamanan diwilayah itu Karena
disinyalir adanya desas-desus
tentang
pembangkangan rakyat atas
tindakan
sang Adipati Laksono. Memang
Adipati
itu pernah mengirim utusan ke
Kota
Raja berkenaan dengan keadaan
situasi
di wilayahnya. Ternyata ada
segolongan
penduduk yang diam-diam menaruh
kebencian pada sang Adipati
Yaitu berdasarkan sakit hati,
karena seorang anak gadis dari
penduduk telah dipaksanya
menjadi
istrinya. Tentu saja dengan
janji-
janji yang muluk.
Akan tetapi baru belakangan
diketahui kalau gadis itu cuma
jadi
permainannya saja. Dan setelah
bosan,
segera dikembalikan pada orang
tuanya
dengan alasan yang tak masuk
akal.
Karena si wanita itu dituduh
mencuri
perhiasan istri tuanya. Dilain
pihak
ternyata mulai bermunculan para
pemuda
yang menentang secara sembunyi-
sembunyi, karena ketidak adilan
sang
Adipati dalam menjalankan
pemerin-
tahannya. Bahkan mulai terasa
keadaan
yang tidak aman.
Usia sang Adipati Laksono itu
sudah mencapai hampir lima puluh
tahun. Seharusnya sudah diadakan
penggantian sesuai
undang-undang.
Kalau bukan keturunannya sendiri
yang
menggantikannya, tentu masih
kerabat-
nya. Atau kalau tak ada
kerabatnya
tentu orang lain atas pilihan
dari
rakyat yang dipandang berwibawa
untuk
menduduki jabatan tersebut.
Bercokolnya empat orang yang
mempunyai gelaran menyeramkan
itu
ternyata menambah keresahan
rakyat
diwilayah itu. Mulailah banyak
terjadi
kekerasan dan pertumpahan darah.
Dan
kesemuanya itu bila terjadi, tak
ada
keputusan yang adil terhadap
rakyat
dari Adipati Laksono. Setelah
bermacam
persoalan itu langsung saja
terkubur
ke laut....
* * * *
Hari masih siang... akan tetapi
wilayah Kota Raja telah ramai
dikunjungi orang dari berbagai
tempat.
Ternyata hari itu adalah hari
bersuka
ria, karena malam nanti akan
diadakan
pesta keramaian dengan meriah
diberbagai tempat untuk
menyambut hari
ulang tahun Kerajaan Medang.
Seorang pemuda gagah berpakaian
serba putih berjalan agak kaku
mema-
suki tempat keramaian. Di
pinggangnya
terserang sebuah pedang yang
gagang
sarungnya sengaja dibungkus oleh
secarik kain agar tak begitu
menyolok.
Sebentar-sebentar langkahnya
terhenti
untuk memandang atau
memperhatikan
orang-orang yang berlalu-lalang.
Keba-
nyakan yang diperhatikannya
adalah
seorang wanita atau gadis.
Siapakah
gerangan pemuda gagah ini...?
Ternyata
tak lain dari Ginanjar adanya.
Murid
si Pendekar Bayangan Ki Bayu
Sheta ini
telah berdiam di Kota Raja
selama
hampir dua tahun dirumah sahabat
gurunya Ronggo Alit. Ternyata
untuk
menemukan rumah sang
"paman" itu tak
begitu sulit.
Agaknya Ginanjar cukup betah
berdiam dirumah Ronggo Alit,
yang
ternyata telah menerima
kedatangannya
dengan ramah tamah. Tenaga anak
muda
ini cukup dibutuhkan, sehingga dapat
membantu-bantu pekerjaannya,
disamping
menambah pengertiannya akan ilmu
obat-
obatan. Agaknya Ronggo Alit
telah
mengetahui akan prihal
perjanjian Ki
Bayu Sheta sahabatnya itu dengan
si
Dewa Tengkorak. Akan tetapi tak
menceritakannya pada Ginanjar.
Cuma
terlihat Ronggo Alit menghela
napas
dengan menampilkan wajah sedih.
Pertanyaan Ginanjar tentang sang
paman
gurunya yang bernama si Maling
Sakti
itupun dijawabnya dengan
menggeleng
kepala, walau dia telah
mengetahui
keadaan sebenarnya. Ternyata
Ronggo
Alit telah dipesan sebelumnya
oleh Si
Maling Sakti alias Jarot
Suradilaga
harus mencampuri urusan si
Pendekar
Bayangan. Namun tak mau
melibatkan
orang lain. Dengan tidak
munculnya ke-
dua tokoh bekas Ketua Partai Kaum
Pengemis itu, sudah dipastikan
tewas.
Demikianlah untuk menutupi
kesedihan hatinya, Ronggo Alit
sengaja
menyibukkan dengan urusannya.
Dan
Ginanjar giat membantu usahanya
selama
ini. Namun dalam setiap
kesempatan
selalu Ronggo Alit menyuruh Ginanjar
mencari dan menyelidiki kemana
perginya saudara seperguruannya
yang
bernama Roro itu, sambil mencari
bahan
obat-obatan. Akan tetapi sampai
hampir
dua tahun tetap saja tak ada
beritanya. Dalam usia Ronggo
Alit yang
semakin menua dan tiadalah orang
tua
itu mempunyai anak laki-laki,
Ginanjar
merasa berat untuk
meninggalkannya.
Walau hatinya sudah menggebu
untuk
pergi mengembara mencari saudara
seperguruannya.
Hari itu Ginanjar telah minta
izin untuk melihat keramaian,
serta
menyelidiki siapa tahu bisa
menemukan
Roro. Karena dengan adanya
keramaian
diberbagai tempat diwilayah Kota
Raja
itu, akan banyak pengunjung
berdatangan. Demikianlah,
Ginanjar
yang telah menjadi seorang
pemuda
remaja itu, pasang mata meneliti
setiap wanita atau gadis yang
berlalu
lalang ditengah keramaian pasar.
"Ah, seandainya Roro masih
hidup
dan aku menjumpainya, tentu aku
akan
pangling. Pasti dia sudah
menjadi
seorang gadis yang cantik
jelita..!"
Desis suara Ginanjar pelahan
sambil
termangu-mangu. Namun sesaat dia
sudah
beranjak ke tengah pasar untuk
menyelidiki lebih banyak, serta
melihat persiapan keramaian
malam
nanti.
Menjelang agak senja suasana
dikota itu semakin ramai.
Ginanjar
yang merasa perutnya lapar,
segera
memasuki sebuah restoran yang
paling
ramai. Sementara memesan makanan
sepasang matanya selalu
jelalatan
memperhatikan setiap pengunjung
wanita. Namun tetap saja orang
yang
dicarinya tak kelihatan. Selesai
bersantap Ginanjar segera
ayunkan
langkah lagi... Kali ini yang
ditujunya adalah ke tempat yang
agak
sepi dibelakang pasar. Karena
ditempat
sepi ini dia berpendapat dapat
menemukan ilham untuk mencari ke
arah
mana disekitar wilayah Kota Raja
itu.
Tiba-tiba diujung sebuah gang
terdengar suara teriakan, namun
sesaat
kembali melenyap. Seperti suara
teriakan seorang wanita...?
Berkata
Ginanjar dalam hati. Karena yang
tengah dicarinya adalah seorang
wanita, tentu saja dia sudah
bergegas
untuk melihat. Lorong dibelakang
pasar
itu tampak sunyi. Akan tetapi
sepasang
mata si pemuda ini telah melihat
sesuatu yang bergerak-gerak,
yang
ternyata adalah sepasang kaki.
Seperti
sosok tubuh seseorang yang baru
saja
diseret masuk ke sebuah pintu
rumah
petak. Ginanjar jadi curiga, dan
segera berkelebat melompat
dengan tak
menimbulkan suara. Dari sebuah
jendela
kecil dia telah melihat apa yang
tengah terjadi sebenarnya.
Sepasang
mata pemuda ini jadi melotot
dengan
wajah gusar, karena terlihat
tiga
orang laki-laki berwajah penuh
cambang
bauk tengah berusaha membukai
pakaian
seorang gadis yang telah dibekap
mulutnya.
"Hai! lepaskan dia..!"
Ginanjar
telah keluarkan bentakan keras
seraya
melompat ke depan pintu. Tentu
saja
membuat ketiga laki-laki itu
jadi
terkejut, dan serentak sudah
mencabut
senjata dari balik pakaiannya.
Tanpa
keluar suara dua orang telah
menerjang
keluar setelah yang seorang
memberi
isyarat. Pemuda ini memang baru
pertama kalinya mengalami
pertarungan,
sepasang matanya dipergunakan
baik-
baik. Dan dengan gesit dia sudah
berhasil mengegos serta tepiskan
tangannya membuat kedua serangan
itu
luput.
Dan bahkan dengan cepat sekali
sepasang lengannya kembali
bergerak
menghantam...
BUK! BUK...!
Terdengar keduanya mengeluh
dibarengi dengan robohnya tubuh
si
penyerang. Melihat kedua
kawannya
jatuh nyusruk dengan cuma
beberapa
jurus, si laki-laki yang satunya
ini
melompat menerjang dengan belati
panjangnya. Namun Ginanjar
memang te-
lah mempersiapkan diri dari
segala
kemungkinan. Tubuhnya melompat
ke
samping. Sebelah kakinya
bergerak
menghantam perut orang itu.
BEKK!
Terdengar suara laki-laki itu
mengeluh, dan tubuhnya sudah
terhuyung. Sebelah lengannya
memegangi
perutnya yang jadi mulas dengan
wajah
menyeringai kesakitan.
"Keparrat..!" Berdesis
suara
orang itu, seraya tiba-tiba
putarkan
tubuh untuk mengirim serangan
beruntun
menabas kaki dan menusuk ke arah
tenggorokan.
Ginanjar gerakkan kakinya untuk
melompat, sambil doyongkan tubuh
ke
belakang. Loloskan serangan itu.
Tiba-
tiba dia telah keluarkan
bentakan
keras, dan kirimkan pukulan
jarak
jauh.
BUK..!
Laki-laki itu terhuyung ke
belakang mau jatuh, dan saat itu
sebelah kaki pemuda itu telah
menghantam telak mengenai
dadanya.
DHESS…!
Tak ampun laki-laki brewok itu
roboh terjungkal. Sementara dua
kawannya telah bangkit lagi.
Melihat
si pemuda berdiri tegak dengan
bertolak pinggang, nyalinya
sudah
luntur. Serentak mereka segera
melarikan diri. Sedangkan si lelaki
barusan sudah bangkit lagi
dengan
belati panjangnya, segera
ngeloyor
pergi dengan terhuyung-huyung
menyusul
kedua kawannya.
Ginanjar perlihatkan senyumnya,
lalu balikkan tubuh untuk
melihat
wanita tadi. Tampak seorang
gadis yang
berwajah cukup cantik tengah
menatapnya disudut ruangan.
Wajahnya
pucat, rambutnya kusut masai.
Sementara kedua lengannya
disilangkan
diatas dada menutupi payudaranya
yang
sedikit tersembul, karena
pakaiannya
telah robek sebagian.
"Ah, te... terima kasih
atas
pertolonganmu tuan..!"
Berkata si
gadis dengan mengangguk, seraya
perlihatkan senyumannya. Sekilas
pandangan mata Ginanjar mampir
juga ke
arah bagian yang sedikit terbuka
itu,
tapi segera palingkan
pandangannya ke
lain arah.
"Sudahlah! Siapa namamu?
dan
dimanakah rumahmu..?"
Bertanya
Ginanjar.
"Namaku... Kasmini!
Rumahku...
ng... cukup jauh dari belakang
pasar
ini!" Menyahut si gadis.
Lalu
ceritakan kejadiannya secara
singkat
pada Ginanjar hingga dia disekap
ditempat kosong itu. Karena
khawatir
kalau para bajingan itu mengganggi
lagi, terpaksa Ginanjar mengan-
tarkannya untuk kembali ke
rumahnya.
Dalam perjalanan Kasmini segera
ceritakan tentang keadaan
hidupnya.
Terperangah pemuda itu
mendengarnya,
karena ternyata Kasmini seorang
gadis
piatu yang cuma hidup berdua
dengan
seorang kakeknya, yang sudah
teramat
tua dan sakit-sakitan. Kasmini
terpaksa mencari nafkah dengan
membantu-bantu orang, seperti
mencuci
pakaian dan lain-lain. Akan
tetapi dia
hanya menerima upah saja. Boleh
diumpamakan sebagai pembantu
yang ti-
dak tetap. Kepergiannya adalah
untuk
membeli obat sepulang dari
bekerja,
karena penyakit sang kakek
kambuh
lagi. Akan tetapi telah terjadi
kejadian seperti yang dialaminya
tadi,
yang dilakukan oleh para
begundal
pasar yang sudah lama
mengincarnya.
11
MENUNGGU kedatangan seorang cucu
perempuannya bagi seorang kakek
tua
renta tanpa daksa dan penyakitan
selama hampir satu hari, adalah
sungguh membuat rasa bosan dan
serba
salah. Dibagian belakang
reruntuhan
gedung tua yang sudah tak
terawat lagi
terdengar suara keluhan dan
rintihan
yang mengenaskan. Seorang kakek
tua
renta duduk setengah terbaring
diatas
lantai, bertilam kain yang penuh
tambalan. Sungguh mengenaskan
hati
melihatnya, karena sang kakek
itu
bertubuh cacad. Yaitu kedua
belah
kakinya buntung sebatas dengkul.
Laki-laki tua kurus kering itu
perdengarkan keluhannya yang
menghiba.
"Kasminiiii..! ah,
kemanakah
engkau cucuku." Keluhnya
dengan suara
lirih hampir tak terdengar.
Rambut
dikepalanya sudah tinggal
beberapa
lembar, wajahnya cekung pucat.
Karena
disamping lapar, si kakek itu
memang
dalam keadaan sakit. Selang tak
berapa
lama terdengar suara-suara
diluar
berbisik-bisik.
"Inilah tempat tinggalku..!
Marilah masuk! Aku harus
memberikan
nasi ini dulu pada kakek, dan
meminumkan obat!" Terdengar
suara
wanita. Laki-laki tua ini
gerakkan
pelupuk matanya, lalu membuka
sepasang
matanya yang cekung ke dalam.
Tak lama sudah tersembul dipintu
sesosok tubuh, yang tak lain
dari
Kasmini adanya. Dilengannya
tercekal
sebuah bungkusan berisi nasi dan
lauk-
pauknya. Serta sebungkus obat.
"Kasmini... kau sudah
pulang
cucuku.. ? Siapakah tetamu
diluar? Ah,
mengapa tak kau suruh masuk..?"
Bertanya sang kakek dengan suara
lemah. Pendengaran tuanya
ternyata
masih cukup tajam, karena
disamping
suara Kasmini ada pula
didengarnya
suara seorang laki-laki.
Sementara
Ginanjar yang berada diluar
merasa tak
enak hati bila tak menjenguk
kakek
sang gadis yang telah
ditolongnya itu.
Bahkan ditengah perjalanan telah
pula
membelikan obat dan dua bungkus
nasi.
Sesaat dia sudah beranjak
kedalam
ruangan yang sempit dan kotor
penuh
sarang laba-laba itu.
"Kakek..! Tuan inilah yang
telah
menolongku, dan membelikan obat
serta
dua bungkus nasi ini untuk
kita!"
Berkata Kasmini dengan berbisik
pada
telinga kakeknya. "Ah,
selamat... da.,
tang ke pondok burukku, tuan
muda..!
Terima... kasih atas budi baikmu
menolong cucuku..!" Berkata
si kakek
dengan suara lirih, dan
perlihatkan
senyumannya. Ternyat Kasmini
telah
berbisik-bisik menceritakan
secara
singkat kejadian yang
menimpanya.
Ginanjar yang telah berjongkok
dihadapan laki-laki tua itu cuma
bisa
manggut-manggut seraya berkata.
"Ah, kakek..! Sudahlah,
perto-
longanku itu tak berarti
apa-apa..!
Segeralah kau bersantap, dan
meminum
obat agar lekas sembuh!"
Ginanjar
berikan segenggam uang di lengan
sang
kakek, yang tak putus-putus
ucapkan
terima kasih. Selanjutnya sudah
berdiri lagi seraya menjura pada
si
kakek, dan menatap pada Kasmini.
"Maaf, aku tak dapat
berlama-lama
lagi, karena ada hal lain yang
harus
aku kerjakan..! Aku mohon diri!
Kelak,
kapan-kapan aku pasti akan
singgah
lagi kemari!" Berkata
Ginanjar. Wajah
si gadis tampak perlihatkan
kemuraman,
dan sepasang matanya sudah
berkaca-
kaca. Akan tetapi dia segera
mengang-
guk. Setelah menjura lagi pada
si
kakek, Ginanjar segera balikkan
tubuh
untuk beranjak keluar ruangan.
Baru
saja sembulkan tubuh dipintu, telah
terdengar bentakan keras diluar
halaman.
"Bagus! Eh pemuda ingusan!
kau
sudah jual lagak dihadapan
ketiga
kawanku! Apakah kau tahu
akibatnya?"
Ginanjar segera telah dikepung
oleh
empat orang yang bertampang
seram.
"Hen!? siapakah kalian
ini..?"
Tanya Ginanjar dengan naikkan
alisnya.
Keempat orang itu saling pandang
sesama kawannya, lalu terdengar
suara
tertawanya gelak-gelak.
"Hahaha... hahaha...
Rupanya kau
seorang pemuda ingusan yang baru
turun
gunung! Semua orang sudah
mengenal
siapa kami!" Berkata salah
seorang.
"Baik, pasanglah telingamu
lebar-
lebar! Kami adalah si EMPAT
IBLIS KALI
PROGO! Kami bertugas menjaga
keamanan
di wilayah Kota Raja ini! Tentu
saja
berhak menangkap atau membunuh
mampus
pengacau seperti kau!"
"Heh!" Mendengus
Ginanjar, dengan
turunkan alisnya.
"Apakah kesalahanku, hingga
kalian menyebutku pengacau?
Justru
kawanmu itulah yang telah
mengacau!
Mereka telah berusaha menyekap
gadis
ini untuk diperkosa! Mengapa
justru
aku yang dianggap pengacau ?"
Tanya
Ginanjar dengan hati mendongkol.
Keempat sosok tubuh dihadapannya
itu
pelototkan matanya dengan gusar.
"Justru kaulah yang mau
memperkosanya, lalu dihalangi
oleh
ketiga kawanku itu! Huh!
ternyata kau
mau membela diri dengan
menimpakan
kesalahan pada orang lain? Hayo
kawan-
kawan ringkus dia..!"
Bentak salah
seorang dari keempat Iblis Kali
Progo
yang bertubuh kekar berkulit
hitam
legam. Terperangahlah seketika
Ginan-
jar, karena mengapa justru dia
yang
dianggap mau memperkosa si gadis
yang
telah ditolongnya? Aneh!
Pikirnya.
Saat itu tiga orang dari mereka
telah
mencabut senjatanya dipinggang,
yaitu
golok-golok yang melengkung
lebar
berkilat-kilat. Kasmini
tiba-tiba
telah melompat kepintu seraya
ber-
teriak.
"Dusta! Kalian telah
membalikkan
kesalahan pada orang lain!
Ketiga
begundal pasar itu aku sudah
mengenalnya, dan telah beberapa
kali
membujukku untuk menuruti napsu
binatangnya! Kalau tak datang
tuan
muda ini tentu aku...
aku..." Kasmini
tak dapat teruskan kata-katanya.
Karena seketika dia sudah
gemetaran
dan menangis terisak-isak.
"Tutup mulutmu..!"
Tiba-tiba
membentak si tubuh kekar
berkulit
hitam. Dan dia sudah beri
isyarat
ketiga kawannya menerjang
Ginanjar.
Tiga buah golok berkelebat
menabasnya,
si gadis Kasmini perde garkan
jeritan
ketakutan. Akan tetapi dengan
seba si
pemuda itu sudah melompat
menghindar
dengan tubuh berjumpalitan
diudara.
Dan sudah menjauh sekitar lima
tombak.
Tentu saja keempat orang itu
segera memburu dengan wajah
bringas.
Sekejap saja mereka telah
mengurung si
pemuda itu lagi. Kini keempat
orang
yang berjulukan si Empat Iblis
Kali
Progo itu sudah siap dengan
senjata
terhunus. Mengetahui dirinya
dalam
bahaya, terpaksa Ginanjar pun mencabut
pedangnya dari pinggang.
"Bagus! Sebutkan siapa kau
dan
siapa gurumu bocah? Agar kami
tak
penasaran membunuhmu.."
Teriak salah
seorang yang bernama Tambi.
Yaitu
laki-laki berkulit hitam tadi.
"Benar! Kami si Empat Iblis
Kali
Progo tentu akan dapat
penghargaan
dari pihak Kerajaan kalau
berhasil
membunuh seorang pengacau yang
cukup
punya nama!" Teriak yang
bertubuh
pendek berhidung besar seperti
bengkak, dengan tertawa
menyeringai.
Dia ini bernama Begu Lowo.
Sedang yang
dua lagi bernama Reksa dan
Bangik.
"Hm, tak perlu macam-macam!
kalian majulah..!" Bentak
Ginanjar
dengan gusar. Dia rupanya sudah
geregetan sekali untuk menabas
kepala
orang yang telah memfitnahnya
itu.
Walaupun baru untuk kedua
kalinya ini
Ginanjar bertarung, tapi murid
si
Pendekar Bayangan ini memang tak
mengenal takut. Tentu saja
kata-kata
Ginanjar membuat mereka jadi
gusar,
dan segera menerjang dengan
berbareng.
TRANG! TRANG! TRANG!
Sebentar saja ditempat sunyi itu
telah terjadi pertarungan seru.
Ginanjar pergunakan pedangnya
untuk
menangkis setiap serangan.
Bahkan
balas menyerang dengan dahsyat.
Akan
tetapi keempat orang itu memang
berilmu tinggi, dan mereka maju
berempat. Dengan berkelebatan
saling
berganti mereka berlompatan
menghin-
dar, sedangkan yang lainnya
sudah
menerjang lagi disaat si pemuda
mencecar kawannya. Sekejap saja
sudah
terdengar suara
bentakan-bentakan dan
beradunya senjata tajam.
Sementara itu Kasmini cuma bisa
memandangi dengan mata terbeliak
bersimbah air mata. Sang kakek
ternyata telah beringsut ke
pintu
untuk melihat kejadian.
Terbelalak
sepasang mata tua itu sambil
geleng-
gelengkan kepala. Kasmini segera
memeluknya untuk segera
mengajaknya
kembali ke dalam. Pada saat
perta-
rungan itu terjadi, ternyata
sesosok
tubuh berindap-indap mendekati
belakang reruntuhan gedung tua
itu.
Ternyata tak lain dari salah
seorang
laki-laki yang tadi dihajar oleh
Ginanjar, dan melarikan diri.
Wajahnya
menyeringai tertawa melihat
kedua
orang ini tengah memperhatikan
perta-
rungan dengan wajah pucat.
Sekejap dia
sudah melompat ke pintu.
Lengannya
bergerak menarik lengan gadis
itu yang
jadi menyentak terlepas dari
pegangannya ke tubuh si kakek.
"Hehehe... Kasmini! ayo,
kau
ikutilah bersamaku! Biarkan
pemuda itu
mampus!"
"Hah!? tidak! tidaak!
lepaskan
aku..! kau... kau bajingan
keparat..!"
Berteriak-teriak Kasmini dengan
terkejut. Segera dia
meronta-ronta
untuk melepaskan cekalan
laki-laki
itu. Akan tetapi satu hantaman
pada
belakang lehernya membuat gadis
itu
mengeluh, dan pingsan tak
sadarkan
diri.
Terkejut sang kakek, yang
melihat
keadaan cucunya. Segera dia
beringsut
cepat seraya melompat untuk
menangkap
tubuh cucunya yang akan
dipondong si
laki-laki. "Jangan..!?
Jangan ganggu
cucuku... lepaskan..
dia..!" Teriaknya
dengan suara terengah. Akan
tetapi
satu hantaman telak telah
mengenai
dadanya.
BUK..! Terdengar si kakek
mengeluh, lalu tubuhnya ambruk
ke
lantai. Sekali bergerak si
laki-laki
brewok itu sudah memondong sang
gadis,
dengan perlihatkan wajah
menyeringai.
Namun diluar dugaan lengan si
kakek
kembali menyambar. Dan sebelah
kakinya
kena ditangkap. Agaknya dalam
keadaan
yang sedemikian fatal itu dia
sudah
tak hiraukan dirinya lagi.
Sisa-sisa
tenaganya dipergunakan untuk
membela
cucunya, walau dalam keadaan
sakit dan
tubuh tanpa daksa. Hantaman
lengan
laki-laki barusan itu telah
membuat
tulang iganya berderak patah.
Akan
tetapi semangatnya untuk
mempertahankan cucu perempuannya
bagaikan semangat seekor banteng
luka.
Sayang... semua yang
dilakukannya
itu tak berarti apa-apa. Bahkan
dengan
sekali kaki si laki-laki brewok
itu
bergerak, terlemparlah tubuh si
kakek
bergulingan ke tengah ruangan.
Dan
baru berhenti ketika membentur
tembok.
Terdengar suara teriakan parau
menyayat hati, yang
kedengarannya amat
lemah sekali. Tampak tubuh tua
renta
itu menggeliat sejenak, lalu
terdiam.
Ternyata nyawanya telah melayang
dengan seketika. Tulang-tulangnya
yang
telah rapuh itu tak kuat untuk
beradu
dengan tembok tebal. Bahkan
belakang
batok kepalanya telah rengat
mencucurkan darah. Tewaslah sang
kakek
dengan keadaan yang menyedihkan,
tanpa
diketahui lagi oleh sang cucu
perempuannya yang telah tak sadarkan
diri...
"Hehehe... kakek tua renta!
Kau
memang sudah sepantasnya
mampus..!"
Mendesis si laki-laki itu dengan
wajah
geram menatap tubuh si kakek
yang
sudah tak berkutik lagi. Tak
ayal
segera dibalikkan tubuh, untuk
bekelebat tinggalkan tempat itu.
Sementara pertarungan terus
berlangsung hingga belasan
jurus.
Ginanjar telah mendengar suara
te-
riakan Kasmini, akan tetapi
untuk
melepaskan diri dari rangsakan
keempat
manusia itu teramat sulit.
Salah-salah
nyawa bisa melayang. Karena
terjangan-
terjangan golok mereka
benar-benar
sebat dan sulit untuk dihindari.
Beruntunglah Ginanjar mencekal
pedang.
Dan dengan pedangnya dia dapat
menangkis setiap serangan.
Ternyata
Ginanjar memang kalah dalam
pengalaman
bertarung. Jurus-jurus gerak
tipu
keempat lawannya terkadang
membingung-
kan. Hingga kini dia lebih
banyak
bertahan dari pada menyerang.
"Hahaha... biarkan saja
gadismu
itu tak usah kau urusi! Kalau
kau
mampus toh banyak orang lain
yang
mengurusi..!" Mengejek
Tambi si laki-
laki kekar berkulit hitam.
Ginanjar
tak perdulikan ocehan orang.
Segera
dia mulai mencari jalan
memecahkan
serangan mereka. Untunglah
otaknya
cerdas. Segera teringat dia akan
beberapa jurus yang cukup ampuh
yang
pernah dipelajari. Tiba-tiba dia
telah
merobah sikap tempurnya. Kini
gerakkan
pedang memutar dahsyat hingga
keluarkan angin pusaran yang
menderu.
Inilah jurus Naga Membuyarkan
Awan.
Terkejut juga si Empat Iblis
Kali
Progo, segera mereka mundur
beberapa
langkah dengan pasang kuda-kuda.
Lalu
salah seorang memberi isyarat
untuk
segera bergerak memutar, dan
berlom-
patan dengar gerakan menyilang.
Sementara setiap gerakan
melompat
selalu diiringi dengan tebasan,
ke
arah kaki. Mau tak mau Ginanjar
sambil
putarkan pedangnya berlompatan
menghindari serangan-serangan
yang
datang bergantian itu. Tampak
keringat
anak muda itu telah mengucur
deras.
Baru pertama kali bertarung
sudah
menemukan lawan yang tangguh,
bahkan
dikeroyok empat orang. Membuat
pemuda
Lereng Rogojembangan ini jadi
benar-
benar memeras keringat.
Tiba-tiba dia
sudah perdengarkan
bentakan-bentakan-
nya. Kini sebelah lengannya
dipergunakan menghantam ke arah
setiap
tubuh yang berkelebat menabaskan
senjata ke arah kakinya.
Hal tersebut rupanya telah
dimaklumi oleh si Empat Iblis
Kali
Progo. Segera gerakan mereka
berubah
arah. Kini menyerang secara
bergantian
ke arah kepala, dengan lompatan-
lompatan tingginya. Bersyiuran
angin
dari setiap tebasan golok lawan
mengarah kepalanya. Ginanjar
jadi
kertak gigi menahan amarah. Kini
sepasang pedangnya bergerak
lebih
cepat menghantam dan menghalau
setiap
serangan. Hasilnya memang cukup
memuaskan. Karena segera tampak
keempat orang lawannya terdesak
mundur. Gerakan-gerakan
pedangnya
adalah yang dinamakan jurus Naga
Mengamuk Menerjang Taufan. Tentu
saja
dengan menggunakan jurus ini
Ginanjar
telah mengeluarkan banyak
tenaga.
Namun segera terdengar teriakan
tertahan dari salah seorang
lawan.
BRET...! Tebasan pedangnya yang
bergulung-gulung itu berhasil
merobek
pundak salah seorang lawan
berikut
tersobeknya daging lengannya.
Darah
menyemburat, dan laki-laki
bernama
Begu Lowo itu meringis memegangi
lukanya dan melompat mundur dua
tombak. Tiga orang kawannya
menggerung
keras. Dan menerjang dengan
tebasan-
tebasan gencar dengan arah yang
tidak
bersamaan. Ada yang mengarah
leher,
ada yang mengarah pinggang dan
mengarah ke kaki. Serangan
serentak
itu dibarengi dengan
hantaman-hantaman
sebelah lengannya yang bertenaga
dalam
kuat.
Tersentak Ginanjar. Kali ini dia
harus tak boleh salah
perhitungan.
Tubuhnya segera melompat
melambung
setinggi dua tombak. Pedangnya
dipergunakan menangkis setiap
serangan, sambil elakkan tubuh
mengegos. Tapi kali ini satu
tabasan
tak berhasil dihindari. Ketika
tubuhnya meluncur turun, satu
hantaman
lengan membuat tubuhnya doyong
ke
belakang. Dan saat itu
dipergunakan
Tambi untuk menabaskan goloknya.
BRET!... Nyaris pinggang
Ginanjar
putus tertabes, pada saat itu
tak
meluncur sebutir batu kerikil
menghantam golok Tambi hingga
terpental...
TANGNG...!
Terkesiap laki-laki bernama
Tambi
itu, karena lengannya bergetar
kesemutan. Dan dia tak dapat
menahan
genggaman goloknya lagi, yang
segera
terlepas terpental. Dengan
terperanjat
dia sudah melompat mundur. Akan
tetapi
tiba-tiba tubuhnya kembali
terlempar
ke depan dengan perdengarkan
teriakan
parau menyayat hati, lalu roboh
meregang nyawa dengan
menggeliat-
geliat. Sesaat kemudian dia
sudah
tewas.
12
MELOMPATLAH seorang dari Empat
Iblis Kali Progo untuk memburu
kearah
kawannya yang satu ini. Setelah
memeriksa betapa terperanjatnya
ketika
melihat pada leher sang kawan,
te-
dapat dua buah lubang sebesar
jari
tangan yang mengucurkan darah.
Siapakah yang telah
menyerangnya?
Sentak hatinya. Tiba-tiba
berkele-
batlah sebuah bayangan hijau ke
tengah
kalangan dibarengi dengan suara
tertawa mengikik merdu. Dan
sesosok
tubuh telah berdiri di situ.
"Hihihi...hihi... tak tahu malu
mengeroyok seorang pemuda yang
belum
tentu kesalahannya! Rupanya aku
amat
beruntung sekali dapat
berkenalan
dengan anda yang bernama besar!
Ternyata kalianlah yang
menamakan diri
Empat Iblis Kali Progo...!"
Bukan saja
tiga pasang mata Iblis Kali
Progo itu
saja yang terbelalak, akan
tetapi
sepasang mata Ginanjar pun
terbelalak
dengan tubuh terpaku melihat
munculnya
seorang gadis yang bertubuh
semampai,
berpinggang langsing, dengan
rambut
beriapan. Siapakah wanita ini
adanya..? Gumam Ginanjar dalam hati.
Dia tak dapat menatap wajah
orang,
karena sosok tubuh itu membe-
lakanginya.
Akan tetapi tiba-tiba wanita itu
sudah balikkan tubuh menatapnya.
"Hihihi... kau
menyingkirlah,
anak muda! Biar aku yang
mengirim
nyawa mereka ini ke
akhirat!"
Terperangah Ginanjar, karena
hampir
saja dia menyebut nama Roro.
Akan
tetapi wajah wanita itu tampak
kaku
dan pucat. Sepasang matanya
sipit
dengan hidung agak besar. Namun
mempunyai perawakan yang hampir
mirip
dengan saudara seperguruannya
itu.
Bahkan suaranya bernada mirip
sekali.
Akan tetapi dia sudah
mengangguk, dan
segera melompat ke tepi.
Sementara
hati Ginanjar berkecamuk
sendiri,
ketiga orang dari Empat Iblis
Kali
Progo itu telah perdengarkan
bentakannya.
"Heh! Kiranya kau yang
telah
membokong saudaraku..?"
Bentak salah
seorang. "Membokong..?
Hihihi...
hihi.. dalam bertarung tak ada
urusan
dengan segala macam aturan! Apa
lagi
menghadapi manusia keji semacam
kalian
yang sudah aku dengar keja-atannya!
Berapa orang gadis didesa
wilayah
Kadipaten Banjar Mangu yang
telah
kalian perkosa? Dan berapa orang
dari
rakyat yang tak bersalah telah
kalian
aniaya..? Dan ternyata kalian
sendiri
telah mengeroyok seorang pemuda
yang
belum tentu bersalah!"
Berkata wanita
itu dengan suara lantang.
"Kurang ajar! mulutmu harus
dihajar dengan ini !"
Teriak Reksa
yang sudah menerjang diikuti
kedua
orang kawannya. Berkelebatan
tiga buah
golok yang berkilatan menabas
dan
merencah tubuhnya. Akan tetapi
dengan
gerakan tubuh terhuyung
kesana-kemari
serangan mereka sekejapan telah
lolos.
Terkejut bukan main mereka,
karena
tampaknya si wanita ini bukannya
menggelakkan diri, akan tetapi
terhuyung-huyung bagai orang
mabuk.
Namun nyatanya serangan mereka
telah
terelakkan dengan mudah.
Segeralah mereka merobah gerakan
dengan gerakan memutari tubuh si
wanita itu. Sementara
senjata-senjata
mereka membuat gerakan menebas
dan
menusuk secara bergantian,
disertai
bentakan-bentakan keras yang
menga-
caukan konsentrasi lawan. Akan
tetapi
tampaknya hal itu tak membawa
hasil,
karena justru si wanita
pergunakan
jurus yang aneh. Sepasang
lengannya
bergerak mengibas keberapa arah.
Terkejutlah ketiga Iblis Kali
Progo
ini. Karena segera merasai
segelombang
angin panas telah menerjangnya.
Tampak
serangan mereka mulai kacau.
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa mengikik
si
wanita. Tahu-tahu tubuhnya telah
lenyap, karena terbungkus oleh
asap
kabut yang menghalangi pandangan
me-
reka.
Ginanjar yang menyaksikan jalan-
nya pertarungan jadi berseru
kagum,
karena tubuh si wanita bagaikan
bayangan telah berada diluar
kepungan
tanpa setahu ketiga lawannya.
Dan saat
berikutnya, sudah terdengar
suara
jeritan-jeritan menyayat hati.
Karena
lengan si wanita telah bergerak
cepat
sekali dibarengi kelebatan tubuhnya.
Sekejapan saja tubuh tiga
manusia dari
Empat Iblis Kali Progo itu telah
roboh
ke tanah dengan berkelojotan
meregang
nyawa. Tak berapa lama tiga
manusia
itu sudah lepaskan nyawa masing-
masing, dan berkaparan ditanah
dengan
bersimbah darah. Sesaat ketika
asap
kabut mulai menipis kembali
tubuh
wanita itu telah lenyap entah
kemana...
Terkejut Ginanjar dengan mata
terbelalak lebar. Seperti
melihat
hantu saja layaknya. Kejadian
itu
berlalu begitu cepat,
sampai-sampai
pandangan matanya tak dapat
mengikuti
kelebatan tubuh si wanita. Dan
tahu-
tahu sudah lenyap.
Sejenak membuat Ginanjar jadi
terpaku. Akan tetapi tubuhnya
sudah
berkelebat melompat menghampiri
ketiga
mayat. Ketika memeriksanya,
ternyata
pada masing-masing leher mereka
terdapat dua buah lubang sebesar
jari-
jari tangan. Tersentak dia
seketika.
Hatinya berseru kagum, akan
tetapi
juga ngeri. Karena dengan tangan
kosong saja si wanita itu telah
berhasil merobohkan ketiga
lawannya.
Menandakan betapa tingginya ilmu
si
wanita itu. Bahkan tadi dia telah
berhasil diselamatkan nyawanya
oleh si
wanita misterius itu yang
mempergunakan sambitan dengan
batu
kerikil.
Entah dimana suaranya, tahu-tahu
telah terdengar lapat-lapat
suara
tertawa mengikik si wanita itu
dibarengi kata-kata...
"Hihihi... hihi... anak
muda!
Segeralah kau bawa pulang
gadismu itu!
Dia berada diujung jalan yang
menuju
kehutan...!" Tentu saja
kata-kata itu
membuat terkejut Ginanjar,
karena
jelas ditujukan kepadanya. Aneh
nya
suara itu seperti menyusup masuk
ketelinganya. Sesaat Ginanjar
sudah
melompat dari situ, akan tetapi
tiba-
tiba dia kembali putarkan tubuh
ketika
teringat akan si kakek tua
renta. Dan
kembali berkelebat ke arah
reruntuhan
gedung tua... Sekejap dia sudah
berdiri dimuka pintu.
Terbelalaklah
matanya melihat sosok tubuh sang
kakek
yang sudah terkapar bersimbah
darah
tanpa berkutik lagi.
"Hah!? kakek..!" Dia
sudah
melompat menghampiri. Tercenung
seketika Ginanjar menatap mayat
kakek
tua renta tanpa daksa yang telah
tewas
dengan keadaan mengerikan itu.
Tak
terasa sepasang matanya sudah
berkaca-
kaca... Akan tetapi tak lama
pemuda
itu sudah berkelebat tinggalkan
reruntuhan gedung tua itu.
* * * *
"Kasmini...!"
Berteriak Ginanjar dengan suara
parau, ketika melihat sesosok
tubuh
tergeletak disisi jalan dengan
keadaan
tubuh hampir telanjat bulat.
Kerena
pakaiannya sudah robek-robek
disana-
sini. Tak jauh dari tubuh gadis
itu
terkapar sesosok tubuh laki-laki
bre-
wok yang tak bernyawa lagi.
Ternyata
tak lain dari laki-laki yang
pernah
dihajarnya tadi dibelakang
pasar.
Dipandanginya mayat laki-laki
itu.
Segera Ginanjar teringat
kejadian
tadi. Sekilas memang dia melihat
suara
teriakan sang gadis, lalu
melihat sang
dara ini dalam pondongan
laki-laki.
Akan tetapi saat itu dia tengah
menghadapi terjangan-terjangan
si
Empat Iblis Kali Progo yang
mengancam
jiwanya, hingga dia tak berdaya
untuk
berbuat apa-apa selain bertarung
mempertahankan nyawanya....
Keadaan tubuh laki-laki brewok
itu amat mengerikan, karena
tulang
dadanya remuk dan patah-patah
mencuat
keluar. Sedangkan
selangkangannya ber-
simbah darah. Terperangah
seketika
Ginanjar. Akan tetapi Ginanjar
sudah
alihkan tatapannya pada gadis
itu
lagi. "Kasmini..!"
teriaknya lirih,
seraya guncang-guncangkan tubuh
sang
gadis. Kasmini tampak membuka
sepasang
matanya. Ketika melihat siapa
yang
telah berada dihadapannya,
segera saja
gadis itu berteriak girang
seraya
memeluk pemuda itu dengan erat
sambil
menangis terisak-isak.
"Sudahlah adik..! bahaya
telah
lewat! kau telah
selamat...!" Berkata
Ginanjar dengan wajah memerah,
dan
jantungnya terasa bergetar
karena
keadaan tubuh sang gadis dalam
keadaan
sedemikian rupa. Bahkan sepasang
payudaranya yang terbuka memutih
padat
itu menekan erat ke dadanya.
"Kau... kau benahilah
pakaianmu,
Kasmini...!" Ujar Ginanjar
lirih,
seraya mendorong tubuh si gadis.
"Ahh...?" Tersentak
sang gadis
itu ketika menyadari keadaan
tubuhnya.
Segera dia beringsut untuk
merapihkan
sobekan bajunya yang menyingkap
dadanya.
Sementara sepasang matanya telah
menatap ke arah sesosok mayat
laki-
laki brewok yang dikenalnya.
Segera
Kasmini teringat akan kejadian
yang
menimpanya. "Oh, kaukah
yang telah
menolongku, tuan muda..? Dan...
bagaimana dengan nasib
kakekku..?"
Bertanya Kasmini seraya
palingkan
wajah menatap Ginanjar. Pemuda
ini
cuma tundukkan wajah sambil
menggeleng.
"Bukan aku yang telah
menolongmu..! Sayang, kakekmu
yang
malang itu sudah tewas..!"
Ujarnya
dengan suara lirih.
"Ah., kakek...!"
Sentak sang
gadis dengan sepasang mata
terbelalak.
Dan dia sudah terisak-isak lagi
dengan
air mata bercucuran.
"Kalau bukan kau yang
menolongku,
lalu siapa kah...?" Tanya
si gadis
tiba-tiba, yang segera
menengadahkan
wajahnya menatap pada Ginanjar.
"Seorang wanita yang
berilmu amat
tinggi...! Entah siapa aku tak
mengetahui...!" Sahut
Ginanjar dengan
suara lirih, seraya bangkit
berdiri
dan tatapkan matanya jauh ke
arah
depan. Tercenung sang gadis
tanpa
dapat berkata apa-apa. Desir
angin
yang lewat ditempat itu
menyibakkan
rambutnya. Dan Ginanjar masih
berdiri
memandang jauh kearah sana,
sementara
hatinya dilanda dengan berbagai
macam
pertanyaan. Kemanakah gerangan
wanita
itu ? Siapa-kah dia..? Suaranya
amat
mirip dengan Roro, akan tetapi
dia
bukan Roro! Karena aku masih
ingat
betul pada raut wajahnya...!
Bertanya-
tanya hati si pemuda ini dengan
tatapan mata seperti tak
berkedip.
Entah apa yang ditatapnya. Tapi
yang
jelas wajah cantik saudara
seperguruannya itu yang
berkelebatan
diruang matanya....
* * * *
Tahu-tahu sesosok tubuh telah
berkelebat ke hadapannya.
Terkesiap
pemuda itu, karena sosok tubuh
wanita
yang menolongnya telah berada
ditempat
itu.
Hihihi... mengapa melamun anak
muda..? Gadismu itu amat cantik!
Mengapa tak kau bawa pulang..?
Hari
sudah semakin senja! Pulanglah!
Ajaklah dia ke tempat tinggalmu.
Dan
berilah perlindungan
padanya..!"
Ujarnya, seraya berpaling
menatap
Kasmini. "Jenazah kakekmu
itu kulihat
sudah ada yang mengurusnya! Kau
nona
manis tak perlu
mengkhawatirkannya
lagi, dia sudah tenang di Alam
Baka...!" Ujar si wanita
itu dengan
suara terdengar merdu.
Cepat-cepat
Kasmini bangkit berdiri lalu
menjura
seraya ucapkan terima kasih atas
pertolongannya. Melihat mayat
laki-
laki brewok itu dan keadaan
dirinya
yang masih utuh serta penjelasan
Ginanjar, segera tahulah dia
kalau
wanita inilah yang telah menye-
lamatkannya dari bencana.
Ginanjar pun
segera menjura hormat.
"Terima kasih atas
bantuanmu,
nona Pendekar..! Bolehkan aku
menge-
tahui siapa nama nona
Pendekar...?"
Tanya Ginanjar dengan amat
hati-hati.
Sementara tatapan matanya tak
lepas
memperhatikan wajah wanita itu.
"Hihihi... namaku..."
Wanita itu
tak meneruskan kata-katanya,
karena
lengannya sudah bergerak
mengupas
kulit mukanya. Ternyata dia
memakai
kulit muka palsu dari bahan
karet yang
lunak dan tipis. Segera
terpampang
seraut wajah yang cantik
jelita...
"Roro..!" Teriak
Ginanjar tiba-
tiba, dan sepasang mata Ginanjar
sudah
membeliak menatapnya.
"Hihihi... aku bukan Roro!
Siapa
bilang aku Roro..? Kalau
ditambahi
Centil barulah betul! Namaku
memang
Roro Centil..!" Berkata
gadis cantik
itu dengan tertawa mengikik
merdu. Dan
sebelum Ginanjar sempat berkata
apa-
apa, tubuh sang dara cantik itu
sudah
berkelebat cepat. Sekejap saja
sudah
lenyap dari hadapan mereka.
Ginanjar
baru tersadar dari
terperangahnya, dan
segera berkelebat mengejar.
"Rorooooo...!
Rorooooooo...!"
Berteriak-teriak Ginanjar. Akan
tetapi
tubuh sang gadis cantik itu
sudah tak
kelihatan lagi. Pemuda ini
kembali
berdiri terpaku menatap ke
depan, lalu
tundukkan wajahnya. Setitik air
bening
membersit turun dari sudut
matanya.
Entah apa yang dirasakannya
kini,
gembira ataukah bersedih…? Dia
telah
berhasil menjumpai Roro. Akan
tetapi
Roro yang telah muncul
dihadapannya
sudah bukan Roro yang dulu lagi,
melainkan Roro Centil yang
ilmunya
susah diukur tingginya...
Angin senja berhembus pelahan,
menyibak rambut didahi pemuda
lereng
Rogojembangan itu. Ketika
sepasang
lengan halus menggamit tangannya
dan
mencekalnya erat-erat, Ginanjar
baru
tersadar. Sepasang kakinya pun
be-
ranjak melangkah...
Ditinggalkannya
tempat yang telah membawa
kenangan itu
dengan hati masygul, akan tetapi
bibir
sang pemuda telah sunggingkan
se-
nyuman. Senyum yang amat
trenyuh,
karena telah mengingat lagi akan
kisah-kisah indah yang lucu di
air
terjun, di lereng Rogojembangan.
Sayup-sayup seperti ada
terdengar
suara menyusup ke telinganya.
"Ginanjar..! kalau ada
kesem-
patan, datanglah ke Pantai
Selatan
tahun depan! Aku berada
disana..! Oh,
ya... jagalah gadismu
baik-baik...!"
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
T A M A T
Emoticon