SEPASANG RACUN API
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Sepasang Racun Api
128 hal.
/DuniaAbuKeisel
1
Di bawah siraman sinar mentari
pagi, re-
maja tampan ini keluar dari
keramaian Pelabuhan
Loceret. Terbawa luapan rasa
gembira, dia mem-
buat langkah meloncat-loncat.
Sesekali menatap
langit perak nan cerah.
Pakaiannya yang putih
penuh tambalan tampak berkibaran
manakala
angin laut berhembus lebih
kencang.
"Usai sudah sebuah
perjalanan yang cukup
melelahkan...," gumam si
remaja, menyatakan ke-
gembiraannya. "Dengan
menumpang kapal milik
Adipati Barasangga, dapatlah aku
menginjakkan
kaki di Negeri Pasir Luhur ini.
Aku akan ke Ka-
tumenggungan Lemah Abang. Kusuma
dan Saka
Purdianta akan menikah. Namun,
aku tak perlu
tergesa-gesa untuk menghadiri
pesta pernikahan
mereka. Aku masih punya banyak
waktu untuk
menuruti ke mana kakiku
melangkah. Barangkali
ada gadis cantik yang bersedia
menemaniku. He
he he...."
Remaja tampan yang tak lain si
Pengemis
Binal Suropati ini tertawa
terkekeh. Kakinya terus
terayun. Pelabuhan Loceret
semakin jauh diting-
galkan. Tanpa terasa dan tanpa
disadari pula, dia
telah sampai di kaki sebuah
gunung. Untuk bebe-
rapa lama, dia nikmati hawa
pegunungan yang
sejuk segar. Angin bertiup dari
tenggara mengge-
rakkan ranting pepohonan, hingga
meliuk gemu-
lai laksana lambaian tangan
bidadari yang men-
gajak Suropati guna melanjutkan
langkah kemba-
li.
Sambil menggaruk kepalanya yang
tak gat-
al, mendadak Suropati
mengernyitkan hidung. Di
antara kicauan burung parkit
aneka warna, telin-
ga Suropati yang tajam menangkap
suara teria-
kan gusar yang kerap ditimpali
suara ledakan.
"Hmmm.... Aku mendengar
suara orang se-
dang bertempur. Bentrokan tenaga
dalam mereka
menimbulkan ledakan keras,
pertanda mereka
bukan orang sembarangan. Bodoh
sekali aku bila
melewatkan tontonan yang mengasyikkan
itu."
Mengikuti pikiran di benaknya,
bergegas
Suropati menjejak tanah. Angin
berhembus ken-
cang saat tubuh pemimpin
Perkumpulan Penge-
mis Tongkat Sakti ini melesat
cepat, hingga beru-
bah menjadi bayangan putih yang
hampir tak da-
pat diikuti pandangan mata.
Jarak dua ratus tombak
terlampaui hanya
dalam beberapa kejap mata.
Setelah melewati le-
reng berbatu yang dijalari semak
belukar, Suropa-
ti telah berada di bibir tebing
yang sangat curam.
Di balik bongkahan batu cadas,
Suropati
mengarahkan pandangan ke bawah.
Di atas ta-
nah datar yang cukup luas,
terlihat dua sosok
bayangan tengah berkelebat
saling mengirim se-
rangan. Dua bayangan itu
berputar-putar, me-
lenting tinggi ke atas, dan
timbul ledakan keras
bila keduanya meluncur lurus ke
depan dengan
arah berlawanan. Sudah dapat
dipastikan bila
mereka adalah dua tokoh rimba
persilatan jajaran
atas.
Suropati tak dapat mengenali
karena me-
reka berkelebat terus tiada
henti. Wujud mereka
tampak seperti dua gumpal asap
yang melayang
di udara. Yang satu berwarna
coklat, satunya lagi
berwarna kuning.
"Kelebatan tubuh dua orang
yang tengah
baku hantam itu menimbulkan
tiupan angin ken-
cang. Ranting-ranting pohon di
sekitar ajang per-
tempuran sampai berpatahan. Aku
yang berada
dua puluh tombak dari tempat
pertempuran me-
reka pun dapat merasakan tiupan
angin kencang
itu. Wajahku terasa bagai
ditampar-tampar...,"
kata hati Suropati.
"Semakin gencar mereka me-
nyerang, semakin hebat mereka
menunjukkan il-
mu kepandaian, bertambah besar
keinginanku
untuk mengetahui siapa mereka
sebenarnya.
Hmmm.... Selama beberapa hari di
atas kapal,
aku hanya dapat melihat langit
dan air laut yang
sangat membosankan. Sekaranglah
saatnya aku
menghibur diri dengan melihat
pertempuran dah-
syat yang sangat menarik
itu."
Tanpa sadar, Suropati menggerak-
gerakkan kedua tangannya
mengikuti kelebatan
dua sosok bayangan yang tengah
mengukur ke-
kuatan di bawah tebing. Tanpa
sadar pula, Suro-
pati telah memusatkan pikirannya
untuk meme-
cahkan serangan-serangan yang
dilancarkan oleh
kedua bayangan itu. Hingga,
sebentar saja Suro-
pati sudah merasa dirinya ikut
turun ke dalam
medan pertempuran.
Tatkala mentari telah bergerak
memang-
gang tegak lurus dengan
permukaan tanah, kepa-
la Suropati mengeluarkan
asap tipis. Mengikuti
gerak serangan dua sosok
bayangan yang tengah
bertempur seru, Suropati terbawa
dalam rasa te-
gang luar biasa. Dua sosok
bayangan itu seakan
telah menggabungkan kekuatan
untuk menye-
rang dirinya secara bersamaan.
Lewat akal piki-
ran, Suropati mengeluarkan
seluruh ilmu kepan-
daian yang dipelajarinya dari
Periang Bertangan
Lembut maupun Pengemis Tongkat
Sakti.
Asap yang mengepul dari kepala
Suropati
terlihat makin tebal. Walau akal
pikiran remaja
tampan ini telah mengeluarkan
rangkaian jurus
'Tangan Sakti' dan 'Tongkat
Sakti', namun dia tak
mampu memecahkan
serangan-serangan dua
bayangan yang terus bertempur di
bawah tebing.
Bahkan, Suropati merasa terdesak
hebat!
Tubuh Suropati bergetar seperti
terserang
demam. Asap yang mengepul dari
kepalanya
membubung dan makin terlihat
nyata. Keringat
bercucuran membasahi pakaiannya.
Sementara,
udara yang semula terasa sejuk
berubah panas
membakar.
Setelah memutar otak
berkali-kali, barulah
Suropati merasa tenang. Asap
yang mengepul dari
kepalanya menipis sedikit demi
sedikit. Getaran
tubuhnya turut terhenti. Hanya
kedua tangannya
yang terus bergerak-gerak
mengikuti jurus-jurus
yang diciptakannya tanpa
sengaja.
Blarrr...!
Tiba-tiba, terdengar sebuah
ledakan dah-
syat yang membahana beberapa
lama. Di antara
gumpalan tanah dan bebatuan yang
berhambu-
ran ke berbagai penjuru, dua
bayangan yang ten-
gah bertempur tampak terlontar
tinggi. Setelah
berjumpalitan beberapa kali di
udara, mereka
sama-sama mendarat di tanah
dengan sigap.
Kini, dapat dilihat dengan jelas
sosok me-
reka yang sebenarnya. Yang
menghadap ke timur
seorang kakek tujuh puluh
tahunan. Kepalanya
diikat dengan besetan kulit pohon
kasar berduri.
Wajahnya yang sudah keriputan
dihiasi kumis
dan jenggot putih panjang yang
terjuntai sampai
ke perut. Tubuh bagian atasnya
terbungkus rom-
pi kuning. Hingga, dapat
terlihat bila dia tak
punya tangan! Kedua bahunya rata
dan tak tam-
pak bekas luka, pertanda cacat
yang dimilikinya
dibawa sejak lahir.
Orang kedua yang menghadap ke
barat,
berdiri lima tombak dari hadapan
kakek tanpa
lengan, tampak
menggoyang-goyangkan kepala.
Dari sikapnya itu dapat
diartikan bila dia tengah
mempertajam pendengaran. Seperti
lawannya, dia
juga mempunyai cacat bawaan. Dia
tidak mem-
punyai mata! Tempat di bawah
kedua alisnya
tampak rata. Dapat dipastikan
bila tak pernah
melihat keindahan dunia sejak
lahir. Sementara,
tubuhnya yang kurus kering terbungkus
pakaian
kumal dan compang-camping.
Anehnya, kakek
yang juga berumur tujuh puluh
tahunan itu ber-
diri di atas dua tempurung
kelapa hitam mengki-
lat.
"Dewa Peramal...,"
desis Suropati waktu
memperhatikan sosok kakek buta.
"Dalam perja-
lananku berkunjung ke istana
Pasir Luhur, kakek
itu pernah memberikan ramalannya
kepadaku.
Ramalan yang diberikan beberapa
purnama yang
lalu itu sangat tepat. Sungguh
aku beruntung da-
pat bertemu lagi
dengannya." (Tentang pertemuan
Suropati dengan Dewa Peramal,
silakan baca
serial Pengemis Binal dalam
episode: "Sengketa
Orang-Orang Berkerudung").
"Hmmm.... Susah payah aku
datang ke
tempat ini, jauh-jauh aku
menempuh jarak ri-
buan tombak untuk memenuhi
undanganmu, ki-
ranya kau sama sekali tak mengecewakan
aku.
Kau memiliki kepandaian begitu
hebat. Pantas
kau mengundang aku untuk mengadu
tebalnya
kulit kerasnya tulang. Lengah
sedikit saja, badan
tua ini pasti sudah hancur lebur
terkena puku-
lanmu, sahabatku Peramal
Buntung...," ujar De-
wa Peramal, memecah suasana yang
berubah
sunyi.
"Ha ha ha...!" kakek
yang disebut Peramal
Buntung tertawa bergelak.
"Aku tahu kau memuji
dengan tulus, sahabatku Dewa
Peramal. Tapi,
sungguh aku tak membutuhkan
pujianmu itu.
Bukan aku tak suka, hanya aku takut
kepalaku
bengkak membesar. Kalau rasa
congkak dan
sombong telanjur menggeluti
diriku, aku takut
kepalaku akan meledak. Ha ha
ha...! Tak perlu
kau merendah pula, sahabatku
Dewa Peramal.
Seandainya kau mau, yang hancur
lebur pastilah
tubuhku yang buruk rupa
ini...."
"Ya..., ya, mungkin ada
benarnya juga apa
yang kau katakan. Tapi, mungkin
tak salah pula
apa yang kukatakan. Yang jelas,
kau sudah dapat
mengukur ketinggian ilmuku, yang
tentu saja
masih jauh dari kesempurnaan.
Kuharap kau cu-
kup puas. Sekarang, izinkan aku
pergi karena...."
"Uts! Tunggu dulu!"
cegah Peramal Bun-
tung waktu melihat Dewa Peramal
hendak me-
ninggalkan tempat.
"Pertempuran tadi hanya pe-
manasan saja. Aku tahu kau
sengaja menyimpan
ilmu kesaktian. Jangan sungkan-sungkan lagi
untuk kau keluarkan di
hadapanku. Karena, tak
akan puas hati ini bila belum
melihat siapa di an-
tara kita yang lebih
unggul."
Mendengar ucapan Peramal Buntung
yang
penuh makna tantangan, Dewa
Peramal mende-
sah panjang, seperti menyesali
sikap yang ditun-
jukkan Peramal Buntung.
"Apa guna kepandaian bila
hanya diguna-
kan unggul-unggulan, yang pasti
menyimpan
maksud menonjolkan nama? Apabila
nama sudah
menonjol dan termasyhur, apakah
hati tidak akan
terkotori oleh sifat sombong?
Jika sifat sombong
telah membuat noda, tidakkah
timbul penyakit iri
dengki dan selalu ingin
menjatuhkan orang lain?
Apakah sifat buruk tidak selalu
diikuti oleh sifat
buruk lainnya?"
Mendapat sindiran itu, Peramal
Buntung
mendengus gusar. Namun,
cepat dia tutupi ha-
tinya yang tersinggung dengan
tawa panjang. "Ha
ha ha...! Sungguh aku kagum
kepadamu, Saha-
bat. Selain rendah hati, kau pun
pandai menyu-
sun kata-kata. Namun, tetap
belum puas hatiku,
mati pun aku akan penasaran,
bila belum melihat
siapa di antara kita yang lebih
unggul...."
Di ujung kalimatnya, Peramal
Buntung
mengangguk. Gerakannya pelan
saja dan seperti
tak mempunyai maksud apa-apa.
Namun menda-
dak....
Serrr...!
Besetan kulit pohon besar
berduri yang
melingkar di kepala Peramal
Buntung melesat ce-
pat mengarah jidat Dewa Peramal!
"Terpaksa aku melayani
seranganmu, Sa-
habat!" ujar Dewa Peramal.
Perlahan kakek buta itu
mengangkat kaki
kanannya. Tempurung kelapa yang
melekat di te-
lapak kakinya tiba-tiba
meluncur, memapaki ikat
kepala Peramal Buntung!
Prang...!
Terdengar suara berdentang
seperti dua
senjata tajam beradu. Bunga api
berpercikan ke
berbagai penjuru, namun hanya
terlihat samar-
samar karena tertelan cahaya
terang mentari. Be-
setan kulit pohon besar kasar
berduri terpental
balik, dan kembali melingkar di kepala Peramal
Buntung. Sementara, tempurung
kelapa hitam
mengkilat juga kembali melekat
ke telapak kaki
kanan Dewa Peramal.
"Hebat...! Hebat...!"
puji Peramal Buntung.
"Kaulah yang lebih hebat,
Sahabatku...,"
sahut Dewa Peramal.
"Ha ha ha...! Kau memang
pandai merang-
kai kata-kata. Ha ha
ha...!"
Peramal Buntung tertawa panjang.
Perut-
nya yang gendut tiba-tiba
mengempis. Suropati
yang mengintip di atas tebing
terperangah. Dari
mulut Peramal Buntung yang
terbuka lebar, ber-
lesatan titik api biru bagai
ribuan kunang-
kunang. Semuanya menuju ke arah
Dewa Peram-
al! Sementara, Dewa Peramal
sendiri cuma mema-
lingkan kepala ke kanan.
Sepertinya dia tak tahu
bila bahaya tengah mengancam
nyawanya. Titik
api biru mirip kunang-kunang
yang keluar dari
mulut Peramal Buntung walau
tidak menebarkan
hawa panas, bukan berarti tidak
mengandung
ancaman kematian. Lesatan titik
api biru itu
mampu menembus balok baja
setebal satu jeng-
kal! Bisa dibayangkan, betapa
mudahnya untuk
menembus tubuh Dewa Peramal yang
cuma terdi-
ri dari tulang terbungkus kulit! Apalagi, titik
api
biru itu berjumlah ribuan!
Suropati tak kuasa membayangkan
akibat
yang akan dialami oleh Dewa
Peramal. Karena tak
ingin melihat pertumpahan darah,
Suropati hen-
dak memberikan pertolongan, atau
paling tidak
memberi peringatan kepada Dewa
Peramal yang
buta. Namun sebelum dia berbuat
sesuatu....
"Ilmu 'Api Dingin Menyerbu
Mangsa'!" seru
Dewa Peramal. "Saatnya aku
mengeluarkan aji
'Inti Es Kobarkan
Api'!"
Ketika ribuan titik api biru
kurang dari sa-
tu jengkal untuk menghujam ke
sasaran, menda-
dak Dewa Peramal mengibaskan
kedua telapak
tangannya dengan cara disilangkan
di depan da-
da.
Terdengar letupan-letupan kecil
yang dis-
usul suara mendesis seperti bara
api tersiram air.
Asap putih bening yang mengepul
dari kedua te-
lapak tangan Dewa Peramal
memukul balik titik-
titik api biru yang keluar dari
mulut Peramal
Buntung!
"Haya...!"
"Heh...?!"
Peramal Buntung dan Dewa Peramal
sama-
sama terhantam keterkejutan.
Suropati yang me-
nyaksikan adu ilmu kesaktian itu
tampak mele-
letkan lidah karena terperangah
sekaligus kagum.
Titik-titik api biru tak
semuanya dapat di-
halau oleh Dewa Peramal.
Pakaiannya yang sudah
compang-camping semakin banyak
berlubang ter-
tembus oleh titik-titik api
biru. Sementara, di be-
berapa bagian tubuhnya
mengepulkan asap. De-
wa Peramal tersurut mundur dua
langkah. Kalau
saja tubuhnya tidak terlindungi
oleh tenaga da-
lam tingkat tinggi, dapat
dibayangkan bila nyawa
kakek buta ini akan segera
melayang ke alam ba-
ka.
Di bagian lain, Peramal Buntung
tampak
tersurut mundur dua langkah
pula. Kedua perge-
langan kakinya terbungkus
gumpalan es setinggi
lutut. Hanya dalam satu kejap
mata, gumpalan es
itu pecah. Anehnya, kain celana
Peramal Buntung
lantas mengepulkan asap dan
terbakar!
"Ha ha ha...! Hebat!
Hebat!"
Sambil tertawa, Peramal Buntung
mengi-
baskan telapak tangan kanannya
ke bawah. Tim-
bul tiupan angin dingin. Api
yang membakar kain
celananya kontan padam.
Untuk beberapa lama, Peramal
Buntung
dan Dewa Peramal berdiri
mematung di tempat
masing-masing. Mereka sama-sama
tak mendapat
cedera yang berarti. Sementara,
mentari telah
bergeser ke sudut barat. Senja
akan segera tiba
untuk menyambut datangnya sang
dewi malam.
"Ha ha ha...!" Peramal
Buntung tertawa
bergelak. "Sungguh hebat
ajian 'Inti Es Kobarkan
Api' milikmu, Dewa Peramal. Aku
kagum. Aku ka-
gum.... Ha ha ha...!"
"Hmmm.... Aku tak tahu
makna suara ta-
wamu, Sahabatku Peramal
Buntung," sahut Dewa
Peramal, bernada sedih.
"Kau berkata kagum
akan ajian yang kumiliki. Namun,
ada kemungki-
nan kata-katamu itu hanya
bermaksud meleceh-
kan dan merendahkan aku yang
sudah bau tanah
ini...."
"Hus! Kau jangan keburu
menaruh pra-
sangka buruk. Mulutku mengucap
kata pujian.
Hatiku demikian pula. Puluhan
tahun aku men-
dalami ilmu 'Api Dingin Menyerbu
Mangsa', ki-
ranya ilmu andalanku ini hanya
dapat mengim-
bangi aji "Inti Es Kobarkan
Api' milikmu. Aku me-
nyatakan kekagumanku setulus
hatiku...."
"Kini, sudah kau lihat dan
kau rasakan bi-
la sudah tak ada gunanya lagi
melanjutkan per-
tempuran. Maka, izinkan aku
untuk meninggal-
kan tempat..."
"Tunggu dulu!"
"Apa lagi yang kau
inginkan, Sahabatku
Peramal Buntung? Bukankah telah
terbukti bila
ilmu kita berimbang?"
"Belum! Belum ada bukti
bila ilmu kita be-
rimbang!" dengus Peramal
Buntung dengan nada
keras penuh kesungguhan.
"Di Negeri Pasir Luhur
ini, kaum rimba persilatan
mengenal kita sebagai
dua orang peramal. Ilmu
kesaktian kita boleh be-
rimbang, tapi... kita belum
mengadu ketajaman
indera keenam...."
Bibir Dewa Peramal yang peot
menyung-
gingkan senyum tipis. Kepalanya
bergerak pelan
ke kanan. Sementara, kaki
kanannya yang bera-
las tempurung kelapa menjejak
tanah tiga kali.
Tok! Tok! Tok!
"Bila cara itu dapat
meredam rasa penasa-
ran di hatimu, aku terima
tantanganmu."
Mendengar kalimat tegas Dewa
Peramal,
Peramal Buntung tertawa bergelak.
"Ha ha ha...!
Seorang tokoh ternama macam dirimu memang
tak patut menolak tantangan.
Bertambah lagi ra-
sa kagumku kepadamu, sahabatku
Dewa Peramal
yang berjiwa ksatria...."
Dewa Peramal diam. Kepalanya
tetap ber-
paling ke kanan. Walau kakek ini
tak punya ma-
ta, Suropati yang bersembunyi di
balik bongka-
han batu cadas terkesiap. Hati
kecil Suropati
mengatakan bila dirinya telah
diketahui oleh De-
wa Peramal. Lebih terkesiap lagi
Suropati mana-
kala....
"Kau tentu tahu bila sedari
tadi ada orang
yang mengintip kita, sahabatku
Dewa Peramal...,"
ujar Peramal Buntung. Mata kakek
berompi kun-
ing ini menatap lurus ke atas
tebing tempat Suro-
pati bersembunyi. "Hei,
Bocah!" teriaknya. "Tu-
runlah ke sini! Sudah tiba
waktumu untuk me-
nampakkan batang hidung!"
Suropati menarik napas panjang
untuk
menghalau keterkejutannya. Bukan
mustahil bila
dia telah diketahui oleh Peramal
Buntung dan
Dewa Peramal sejak awal
kedatangannya. Maka
karena tak mau dikatakan
pengecut bernyali ciut,
Suropati beringsut dari balik
bongkahan batu ca-
das, lalu meloncat ke bawah.
Tanpa kesulitan dia
mendarat di tanah, walau dia
meloncat dari ke-
tinggian sepuluh tombak lebih!
"Ha ha ha...! Bagus!
Bagus!" ujar Peramal
Buntung di sela-sela tawanya.
"Dengan kebera-
nian dan kegesitan yang baru kau
tunjukkan tadi,
kau cukup pantas mendapat
acungan jempol, Bo-
cah Bagus."
Mulut Suropati terkatup rapat.
Ditatapnya
wajah Dewa Peramal dan Peramal
Buntung ber-
gantian. Suropati tak dapat
menyembunyikan pe-
rasaannya yang berdebar tegang.
Dia tak tahu
apa yang akan diperbuat oleh dua
tokoh tua yang
tengah mengadu ilmu kepandaian
itu terhadap-
nya. Namun, cepat Suropati
menghalau bayangan
buruk di benaknya. Walau Peramal
Buntung se-
dikit punya sifat sombong dan
keras kepala, dia
tak perlu khawatir kakek tak
punya lengan itu
akan membuatnya celaka. Suropati
juga tak me-
naruh rasa curiga terhadap Dewa
Peramal yang
tampaknya punya perilaku lebih
halus dan ber-
budi. Maka, tenang-tenang saja
Suropati berjalan
mendekati.
"Kita berdua sama-sama
belum mengetahui
asal-usul bocah bagus ini.
Bagaimana kalau kita
mengadu tebakan sampai di mana ketinggian il-
mu kepandaiannya, sahabatku Dewa
Peramal?"
tawar Peramal Buntung.
"Kau jangan mengambil
keuntungan dari
cacat yang kumiliki, sahabatku
Peramal Bun-
tung," sahut Dewa Peramal.
"Dengan melihat ben-
tuk tubuh dan penampilan bocah
bagus ini, kau
tentu lebih leluasa memberikan
tebakan...."
"Ha ha ha...! Tak perlu kau
mendesah dan
menggerutu, menyesali cacat
matamu, sahabatku
Dewa Peramal. Bukankah kau bisa
mendengar
dan meraba?"
Dewa Peramal tampak berpikir
sejenak, la-
lu dengan suara lembut dia
berkata kepada Suro-
pati, "Berjalanlah di
hadapanku, Bocah Bagus...,"
Karena ingin tahu apa yang akan
diperbuat
oleh Dewa Peramal, Suropati
segera mengayun-
kan langkah. Ketika sampai di
hadapan Dewa Pe-
ramal, dia berhenti. Setelah
menunggu beberapa
tarikan napas, Suropati jadi
heran. Dewa Peramal
tak berbuat apa-apa. Hanya
batang hidungnya
yang bergerak naik turun.
"Cepatlah berlalu!"
usir Dewa Peramal
sambil mengibaskan tangannya.
Suropati merasakan dorongan
angin keras
yang membuat tubuhnya terjajar
ke samping kiri,
sejauh satu tombak dari
kedudukan semula.
Melihat perilaku aneh Dewa
Peramal, Su-
ropati jadi curiga. "Kau
kenapa, Kek?" tanyanya,
heran. "Aku tidak kentut.
Kenapa hidungmu
kembang kempis seperti mencium
bau busuk?"
Dewa Peramal tak menjawab.
Suropati
tambah curiga dan heran. Dia
tepuk pantatnya
sendiri, lalu telapak tangan
kanannya yang dibuat
menepuk didekatkan ke hidung.
Sambil menaik-
kan alis, dia berkata,
"Betul, Kek! Aku tidak ken-
tut! Kau mencium bau apa?"
Melihat ulah konyol Suropati
yang terus
mengendus-endus bau pantatnya
sendiri, Peramal
Buntung tertawa terbahak-bahak.
Sementara, air
muka Dewa Peramal yang semula
bening cerah
berubah keruh mengelam.
"Aku seperti pernah mencium
bau tubuh-
mu, Bocah Bagus," beri tahu
Dewa Peramal. "Ta-
pi, aku lupa di mana pernah
berjumpa dengan-
mu."
"Oh! Jadi, kau tadi tidak
mencium bau
kentut. Tapi kenapa hidungmu
kembang kempis,
apakah bau tubuhku seperti
kentut?" ujar Suro-
pati, konyol.
Dewa Peramal tak memperhatikan
ucapan
Suropati. Dia berkata kepada
dirinya sendiri. "Ah!
Tidak! Otakku sudah terlalu tua
untuk dapat
mengingat banyak kejadian."
Lewat ucapan itu, Suropati tahu
bila Dewa
Peramal benar-benar telah lupa
bila pernah ber-
jumpa dengannya. Suropati pun
tak berkata apa-
apa lagi. Jika dia mengenalkan
diri, yang akan
mengingatkan Dewa Peramal
tentang perjum-
paannya, Suropati takut
perkataannya akan
membuat sikap tak adil. Biarlah
Dewa Peramal
dan Peramal Buntung tetap tak
tahu siapa di-
rinya, agar tebakan mereka nanti
benar-benar
hanya bersumber dari ketajaman
indera keenam.
"Apakah adu tebakan ini
sudah bisa dimu-
lai, sahabatku Dewa
Peramal?" tanya Peramal
Buntung kemudian.
"Ya. Ya, kau bisa
memulainya terlebih du-
lu," sahut Dewa Peramal
yang tetap tak dapat
mengingat perjumpaannya dengan
Suropati.
Peramal Buntung mengerjapkan
kelopak
matanya tiga kali. Lalu,
dipandangnya wajah Su-
ropati beberapa lama.
"Bocah ini mempunyai tu-
lang bagus, dasar tenaga dalam
hebat, dan memi-
liki kekuatan batin yang sulit
diukur. Selain
mempunyai jurus-jurus silat
tingkat tinggi dan
ilmu kesaktian dahsyat, dia juga
mendalami ilmu
sihir. Bila dia berlatih dengan
tekun, dua tahun
kemudian, kita-kita yang sudah
kenyang makan
asam garam rimba persilatan ini
tak akan mampu
menghadapinya."
Begitu usai Peramal Buntung
mengelua-
rkan tebakannya, Dewa Peramal
menghentakkan
kaki kanannya ke tanah tiga
kali.
Tok! Tok! Tok!
Lalu dia berujar, "Hmmm....
Jangan kata
dua tahun. Sekarang pun di
antara kita berdua
tak akan mampu menghadapinya lewat
dua pu-
luh jurus!"
Terkejut Peramal Buntung
mendengar te-
bakan Dewa Peramal. Melihat
kesungguhan ka-
kek buta itu, dia menggerendeng
sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Kemudian,
ditatapnya le-
kat-lekat wajah Suropati.
"Hei, sahabatku Dewa Peramal!
Kau jangan
berucap ngawur! Aku khawatir
tebakanmu hanya
akan menjatuhkan nama besarmu
saja," tegur Pe-
ramal Buntung. "Aku tahu
bocah ini berilmu ting-
gi, tapi jelas dia masih bau
kencur. Aku, Peramal
Buntung, bila dalam dua puluh
jurus dapat diro-
bohkan olehnya, aku rela menjadi
budak pengi-
ringnya seumur hidup! Tapi, bila
dia tak mampu
atau bahkan jatuh bertekuk lutut
di hadapanku,
kau akan berbuat bagaimana,
sahabatku Dewa
Peramal?"
"Kepalaku akan kuserahkan
kepadamu,"
sahut Dewa Peramal, tegas.
Mendengar pertaruhan itu, hati
Suropati
bergetar. Bila dia tak segera
menengahi, tidak
mustahil di antara Dewa Peramal
dan Peramal
Buntung yang mengaku sebagai dua
orang saha-
bat, benar-benar akan timbul api
permusuhan
hebat. Maka, tanpa pikir panjang
lagi Suropati
melangkah maju seraya berkata,
"Saya yang bo-
doh dan sungguh-sungguh kurang
pengalaman
ini tak sanggup menerima
pertaruhan Kakek ber-
dua. Harap Kakek berdua mencari
pertaruhan
yang lain saja...."
"Bocah bagus! Bocah
bagus!" desis Dewa
Peramal. "Sungguh mulia
hatimu. Tak menyesal
aku mengunggulkan dirimu di atas
sahabatku Pe-
ramal Buntung. Dari masih
kanak-kanak sampai
tua renta begini, aku sangat
percaya pada bisikan
hatiku sendiri. Tak dapat aku
menarik pertaru-
han ini. Aku pantang menjilat
ludah yang telah
kutumpahkan."
"Tapi, Kek...."
Suropati hendak mengucapkan
Sesuatu,
namun keburu disela oleh Peramal
Buntung. "Tak
perlu kau khawatir, Bocah Bagus!
Kalau nanti
aku yang menang, tak bakalan aku
memenggal
kepala sahabatku sendiri.
Cukuplah kaum rimba
persilatan mengetahui bila
tebakan Peramal Bun-
tung berada satu tingkat di atas
Dewa Peramal."
Kalimat Peramal Buntung
diucapkan den-
gan penuh keyakinan. Kemenangan
seperti telah
membayang di pelupuk matanya.
Melihat sikap
menunjukkan kesombongan itu,
dalam diri Suro-
pati timbul rasa tidak suka.
Namun demikian, ha-
tinya menjadi lega. Kalau memang
Peramal Bun-
tung mampu memetik kemenangan,
Dewa Peram-
al tidak akan mendapat celaka.
"Bocah bagus, sudah siapkah
kau untuk
mengawali pertempuran?"
ujar Peramal Buntung,
sedikit memandang rendah.
"Kau lawanlah dengan
tenang, Bocah Ba-
gus. Segala akibatnya, aku yang
menanggung,"
sahut Dewa Peramal.
Sejenak Suropati menatap wajah
Dewa Pe-
ramal yang tengah menyunggingkan
senyum. Wa-
lau hanya sebuah senyuman, tapi
mampu mem-
buat tenang pikiran Suropati.
Bahkan, terasa se-
perti menambah kekuatan.
"Saya turuti anjuran Kakek...," ujar Suro-
pati. Remaja tampan ini lalu
membalikkan badan
untuk dapat berhadapan dengan
Peramal Bun-
tung. Jantung Suropati berdegup
lebih kencang
manakala bersirobok pandang
dengan Peramal
Buntung. Mengingat kehebatan
Peramal Buntung
yang telah ditunjukkan saat
bertempur dengan
Dewa Peramal, timbul rasa giris
di hati Suropati.
Namun karena tak mau
mengecewakan Dewa Pe-
ramal yang telah menjagokan dan
menaruh ke-
percayaan kepadanya, cepat
Suropati menenang-
kan perasaannya.
Mengikuti peradatan di rimba
persilatan,
Suropati membungkuk hormat. Dia
tidak mau
menyerang terlebih dahulu
sebelum lawan berada
dalam kesiap-siagaan.
"Silakan Peramal Buntung
mulai...," ujar
Suropati dengan suara bergetar
karena ucapan-
nya dibarengi usaha menghimpun
tenaga dalam.
"Ha ha ha...! Tak perlu
mengikuti tetek-
bengek aturan rimba persilatan,
Bocah Bagus.
Aku yang lebih tua memberi
kesempatan kepa-
damu untuk menyerang lebih
dulu!"
"Baiklah kalau itu yang
Kakek mau!"
Di ujung kalimatnya, Suropati
menerjang
dengan memainkan jurus 'Pengemis
Meminta Se-
dekah'. Sengaja dia tak
mempergunakan tongkat
yang terselip di ikat
pinggangnya karena Peramal
Buntung tak mungkin bertempur
dengan bantuan
senjata.
Sementara Suropati dan Peramal
Buntung
telah mengawali pertempuran,
mentari telah teng-
gelam separuh di garis cakrawala
barat. Karena
lembah yang dijadikan ajang
pertempuran dibata-
si tebing tinggi dan banyak
ditumbuhi pohon,
keadaan jadi remang-remang.
Selain mengandal-
kan ketajaman mata, Suropati dan
Peramal Bun-
tung mesti membuka telinga
lebar-lebar. Keleba-
tan kaki dan tangan yang
mengirim serangan, se-
ringkali tak terlihat oleh
pandangan mata.
Lewat sepuluh jurus kemudian,
Suropati
hanya dapat bertahan tanpa mampu
membalas
serangan. Walau tak punya
tangan, Peramal Bun-
tung benar-benar dapat
menunjukkan jati dirinya
sebagai tokoh tua jajaran atas.
Kedua kakinya
berkelebat ke sana sini, hingga
terlihat seperti
bertambah banyak. Setiap
mengirim serangan,
timbul suara berkesiur yang
menimbulkan tiupan
angin kencang. Mulut Peramal
Buntung juga tu-
rut ambil bagian. Beberapa kali
meniup. Hingga,
sekujur tubuh Suropati terasa
pedih seperti dis-
ayat-sayat pedang.
Untunglah Suropati cepat
menyadari kea-
daan, cepat dia mainkan
rangkaian jurus 'Tangan
Sakti', 'Pengemis Meminta
Sedekah, 'Pengemis
Menghiba Rembulan', dan
'Pengemis Menebah
Dada'. Lewat tujuh belas jurus
kemudian, kedu-
dukan tetap berimbang.
Kalau saja Suropati tak
mengintip lebih du-
lu pertempuran Peramal Buntung
dengan Dewa
Peramal, sulit baginya untuk
dapat bertahan dari
gempuran Peramal Buntung.
"Ha ha ha...! Tampaknya kau
tak akan
mampu merobohkan aku dalam dua
puluh jurus,
Bocah Bagus!" seru Peramal
Buntung tanpa
menghentikan serangan. Dan,
mulailah kakek be-
rompi kuning ini menghitung
jurus yang telah
dimainkan. "Delapan
belas..., sembilan belas...."
Wusss...!
Tiba-tiba, tubuh Suropati
melenting tinggi
menjauhi ajang pertempuran.
Lalu, perlahan-
lahan jatuh ke tanah dalam
keadaan telentang
dan tak bergerak sama sekali!
"Heh?! Apa yang
terjadi?" seru Dewa Pe-
ramal, kaget. "Walau aku
buta, tapi aku tahu bila
Peramal Buntung masih belum
mampu menda-
ratkan tendangan. Tapi, kenapa
tubuh bocah itu
melenting tinggi lalu jatuh ke
tanah dan tak ban-
gun lagi?"
Dengan wajah tegang, Dewa
Peramal mena-
jamkan pendengaran. Namun, tak dapat diden-
garnya gerakan tubuh Suropati
yang tengah ter-
baring telentang seperti orang
kehabisan tenaga.
"Hei, apa yang kau perbuat,
Bocah Ba-
gus?!" tegur Peramal
Buntung yang tak dapat pu-
la menyembunyikan
keterkejutannya.
Dewa Peramal dan Peramal Buntung
sama-
sama terkesiap tatkala telinga
mereka menangkap
suara mendengkur pertanda ada
orang yang ten-
gah terlelap tidur. Mereka jadi
melengak heran
dan tak habis pikir. Suara
mendengkur itu beras-
al dari kerongkongan Suropati!
"Bagaimana ini?! Bagaimana
ini?!" Peramal
Buntung mencak-mencak.
"Pertempuran masih
kurang satu jurus lagi, kenapa
bocah itu jatuh
tertidur?"
Dewa Peramal yang lebih peka
cepat me-
nyadari keadaan. Dengan suara
kalem dia me-
nyahuti ucapan Peramal Buntung.
"Tak perlu kau
menggerutu seperti orang
kebakaran jenggot, sa-
habatku Peramal Buntung.
Pertempuran tetap
berlanjut. Silakan kau serang
lagi lawanmu itu!"
"Tidak mungkin! Tidak
mungkin!" tolak Pe-
ramal Buntung. "Mana dapat
aku menyerang
orang yang tengah tidur
pulas?"
"Hmmm.... Kau tak perlu
ragu, Sahabat.
Tidakkah kau tahu bila lawanmu
itu tengah men-
geluarkan salah satu
ilmunya?"
Mendengar ucapan Dewa Peramal,
Peramal
Buntung mengerutkan kening.
Ditatapnya tubuh
Suropati yang masih terbaring di
tanah. Dengku-
rannya terdengar makin keras,
pertanda tidurnya
makin pulas.
Sedikit ragu Peramal Buntung
mendekati
tubuh Suropati. Ditatapnya
beberapa lama wajah
Suropati. Kelopak matanya
terpejam rapat. Bibir-
nya bergetar seirama suara
dengkuran yang me-
lewati kerongkongan.
"Hmmm.... Kalau benar bocah
ini tengah
mengeluarkan salah satu ilmunya, bolehlah aku
menyerang...."
Berpikir demikian, Peramal
Buntung men-
gangkat kaki kanannya
tinggi-tinggi. Hendak diin-
jaknya paha Suropati. Karena
masih bimbang, dia
tidak mengerahkan seluruh
tenaganya. Namun,
jangan dikira injakan Peramal
Buntung tidak ber-
bahaya. Batu sebesar kepala
kerbau pun akan
mampu dibuat hancur!
"Oahhh...!"
Blusss...!
Sebelum injakan Peramal Buntung
menge-
nai sasaran, mendadak Suropati
menguap seraya
menggeser tubuh. Akibatnya, kaki
kanan Peramal
Buntung hanya mampu membuat
lubang di ta-
nah!
Peramal Buntung geleng-geleng
kepala. Ki-
ni, yakinlah kakek ini bila
lawannya memang ten-
gah mengeluarkan salah satu ilmu
yang cukup
aneh dan belum pernah dia lihat
sebelumnya.
"Jangan ragu-ragu lagi,
sahabatku Peramal
Buntung! Segera serang lawanmu
itu!" teriak De-
wa Peramal.
"Ya..., ya! Tapi, jangan
salahku aku bila
bocah ini mendapat celaka!"
sahut Peramal Bun-
tung.
"Jangan takabur! Segera
buktikan uca-
panmu bila kau memang
mampu!"
Panas telinga Peramal Buntung
mendengar
ucapan Dewa Peramal yang sedikit
mengejek. Ma-
ka tanpa pikir panjang lagi dan
meninggalkan se-
gala peradatan, dia menggembor
keras seraya
mengirim tendangan beruntun
tujuh kali!
Dengan gerakan ngawur dan
menguap be-
berapa kali, tubuh Suropati
bergeser ke sana sini.
Bila diperhatikan, semua gerakan
Suropati sama
sekali tak terkendali oleh akal
pikiran. Tapi, ha-
silnya sungguh membuat Peramal
Buntung men-
delikkan mata karena terkejut.
Empat tendan-
gannya hanya mengenai tempat
kosong. Tiga ten-
dangan lainnya menerpa permukaan
tanah hing-
ga menimbulkan ledakan keras
yang membuat
debu dan batu kerikil
beterbangan.
Terbawa rasa penasaran, Peramal
Buntung
jadi lupa diri. Dia alirkan
seluruh kekuatan tena-
ga dalam ke kaki kanannya. Lalu
dengan kecepa-
tan yang sulit diikuti pandangan
mata, dia mengi-
rim tendangan yang mengarah
kepala Suropati!
Namun bertepatan dengan itu,
Suropati
menguap lebar. Mendadak,
tubuhnya melesat,
melebihi kecepatan tendangan
Peramal Buntung!
Wuttt...!
Peramal Buntung segera sadar bila
jiwanya
terancam. Namun, kesadarannya
datang terlam-
bat. Telapak tangan Suropati
yang telah berubah
merah membara meluncur cepat
untuk segera
mendarat di dada Peramal
Buntung!
Blarrr...!
Sebuah ledakan dahsyat membahana
di
angkasa. Salju tipis berwarna
merah menebar di
mana-mana. Peramal Buntung dapat
bernapas le-
ga karena Dewa Peramal telah
memapaki pukulan
Suropati.
"Kau telah kalah, sahabatku
Peramal Bun-
tung," ujar Dewa Peramal di
antara dengus na-
pasnya yang memburu. Untuk
memapaki puku-
lan Suropati, kakek buta ini
telah mengerahkan
seluruh kekuatan tenaga
dalamnya.
"Ya...! Ya, aku memang
kalah," aku Peram-
al Buntung dengan wajah pucat
pasi. "Kau me-
nang dalam taruhan ini,
sahabatku Dewa Peram-
al. Oleh karenanya, aku harus
menepati janjiku
untuk menjadi budak pengiring
bocah bagus
ini...."
Dewa Peramal cuma diam. Kakek
buta ini
tengah mengatur jalan napas dan
peredaran da-
rahnya yang kacau. Untung dia
tak mengalami
luka dalam. Sementara, Peramal
Buntung tampak
mengedarkan pandangan.
"Heh?! Di mana bocah
itu?" kejut Peramal
Buntung karena tak melihat sosok
Suropati.
2
Gelap malam telah berkuasa atas
segala isi
mayapada. Sang candra bagai
kuning telur yang
melayang tertangkup bentangan
langit hitam tia-
da bertepi. Cahayanya hanya
mampu membuat
temaram di permukaan lembah ini.
Kesunyian te-
rasa mencekam manakala burung
gagak berkaok,
sesekali ditimpali tekur burung
hantu.
Sesuatu yang menyeramkan telah lekat
menyatu dengan kesunyian lembah.
Permukaan
tanah tak lagi tampak karena
tulang kerangka
manusia menyebar rata. Di tengah
lembah, di
atas tebaran tulang berwarna
putih meletak, du-
duk bersila seorang lelaki tua
berambut panjang
riap-riapan. Rongga matanya amat
cekung mele-
sak ke dalam. Hidungnya besar
bengkok seperti
buah mente layu. Bibirnya yang
terkatup lebih le-
bar dari ukuran manusia biasa,
dan tampak pen-
cong salah satu sudutnya.
Diiringi desau angin dingin
malam yang
mendirikan bulu roma, tubuh
lelaki berwajah bu-
ruk ini bergetar. Dari lubang
hidung, telinga, dan
mulutnya mengeluarkan gumpalan
asap biru.
Gumpalan asap biru itu terus
mengepul seirama
dengan hembusan napas.
Tampak kemudian, si muka buruk
mere-
mas-remas jemari tangannya sendiri.
Semakin
lama gerakan meremas lelaki
berambut riap-
riapan ini semakin cepat.
Mendadak..., dari tum-
pukan tulang-tulang yang menebar
rata di seki-
tarnya keluar gumpalan api biru!
Sambil mengeluarkan suara
menggeram, si
muka buruk membuka mulutnya yang
lebar dan
pencong. Dan, gumpalan api biru
yang keluar dari
tumpukan tulang tersedot masuk
ke mulutnya!
Semakin lama semakin banyak
gumpalan api biru
yang masuk ke mulut lelaki yang
tengah menda-
lami ilmu sesat ini.
Di bagian lain, sekitar dua
tombak dari ke-
dudukan lelaki bermuka buruk,
seorang nenek
bongkok tampak duduk bersila
pula di atas tum-
pukan tulang. Nenek yang roman
mukanya me-
nunjukkan sifat kejam ini juga
tengah menyedot
gumpalan api biru yang mengepul
dari tumpukan
tulang di sekitar tempat
duduknya.
Tiba-tiba, tubuh lelaki bermuka
buruk
yang tak lebih dari seorang
kakek tua renta me-
layang dengan memperdengarkan
suara mende-
sis. Gerakan ini segera diikuti
oleh si nenek bong-
kok yang duduk di samping
kirinya. Untuk bebe-
rapa lama tubuh mereka tetap
melayang di udara
setinggi satu tombak dari
tumpukan tulang.
Sewaktu kakek dan nenek ini
membuka
kelopak mata, dua pasang sinar
biru berkerede-
pan menyorot bagai pelita yang
mencoba mengha-
lau kegelapan malam.
Perlahan-lahan tubuh me-
reka turun kembali dalam keadaan
tetap duduk
bersila di atas tumpukan tulang.
"Hmmm.... Hanya manusia
yang sudah bo-
san hidup berani memasuki tempat
kediaman Se-
pasang Racun Api," ujar
kakek muka buruk den-
gan suara dingin bergetar.
Mendadak, dari balik pepohonan
melesat
empat sosok bayangan. Salah
seorang dari mere-
ka langsung meneriakkan
kata-kata, "Antek-antek
Pesanggrahan Pelangi! Jiwa
kalian kotor busuk!
Layak menjadi penghuni neraka
jahanam!"
Begitu kata-kata itu selesai
diteriakkan, di
hadapan kakek dan nenek yang tak
lain Sepasang
Racun Api telah berdiri tegak
empat orang gadis
berpakaian serba putih. Rambut
mereka sama-
sama digelung ke atas dengan
dihiasi tusuk
konde yang terbuat dari gading.
Pinggang mereka
yang ramping terbelit selendang
sutera. Satu di
antaranya berwarna merah, sedang
yang lainnya
berwarna kuning.
"Hmmm.... Kiranya yang
datang mengan-
tarkan nyawa adalah orang-orang
Istana Langit!"
ujar nenek bongkok, mengejek dan
sangat me-
mandang rendah. "Kebetulan
sekali kalian da-
tang. Karena tak akan
susah-susah kami menja-
lankan perintah Siluman
Ragakaca!"
"Sombong sekali kau, Hantu
Bongkok!"
sentak gadis berselendang merah,
yang agaknya
menjadi pemimpin ketiga temannya.
"Kalau
tuanmu hanya mengandalkan dirimu
dan sua-
mimu, Hantu Jangkung, tidak
bakalan Pe-
sanggrahan Pelangi mampu
menggulingkan Ista-
na Langit!"
"Ha ha ha...!" kakek
muka buruk tertawa
seraya meloncat berdiri. Tampak
tubuhnya yang
kurus tinggi berbalut jubah
hitam gedombrongan.
"Aku, Hantu Jangkung, kalau
tidak dapat melu-
matkan tubuh kalian malam ini
juga, aku akan
memakan jantungku sendiri!"
Nenek berjuluk Hantu Bongkok
bergegas
meloncat, dan berdiri berjajar
di samping kiri su-
aminya, Hantu Jangkung.
Sementara, ketiga ga-
dis berselendang kuning langsung
bergerak men-
gitari. Semakin lama semakin
cepat, hingga men-
jadi bayang-bayang putih bening
yang terus ber-
kelebat mengitari Sepasang Racun
Api.
Gadis berselendang merah menjejak
tanah.
Setelah tubuhnya melenting
setinggi tiga tombak,
tiba-tiba menukik tajam! Masuk
ke cahaya putih
bening yang dibuat oleh ketiga
temannya!
Sepasang Racun Api yang berada
di tengah
lingkaran mengangkat kedua
tangannya seraya
diputar. Suara menggembor keras
terdengar me-
mekakkan gendang telinga, lalu
disusul sebuah
ledakan dahsyat yang membuat
sebagian batu
tebing lembah ambrol!
Gumpalan api biru
menyembur-nyembur
dari pusat ledakan, membuat
terang permukaan
lembah. Terdengar tiga jeritan
panjang susul me-
nyusul. Tubuh tiga gadis
berselendang kuning
terlontar ke arah tiga penjuru
angin. Begitu jatuh
ke tanah, tubuh mereka langsung
membengkak
lalu lumer menjadi cairan kental
biru yang mene-
barkan bau busuk!
Sementara, gadis berselendang
merah yang
mempunyai ilmu lebih tinggi dari
ketiga temannya
tampak mencelat tegak lurus
dengan permukaan
tanah. Di bawahnya, Sepasang
Racun Api masih
memutar-mutar kedua tangan
mereka. Dan,
gumpalan api biru terus mengepul
tiada henti!
Tak mau jatuh ke dalam kobaran
api yang
mengandung racun ganas, gadis
berselendang
merah cepat mengibaskan dua
lengan bajunya.
Bersamaan dengan bersiutnya
angin, tubuh gadis
berpakaian putih ini melenting,
lalu mendarat se-
jauh tiga tombak dari hadapan
Sepasang Racun
Api.
"Ha ha ha...!" Hantu
Jangkung tertawa ber-
gelak. "Ilmu 'Putaran
Penghancur Jiwa' belum
sempurna kalian kuasai. Kenapa
mesti ditunjuk-
kan kepada Sepasang Racun
Api?!"
Gadis berselendang merah tak
menjawab.
Sambil berdiri gontai dia
mengusap darah yang
meleleh dari sudut bibirnya.
Gadis berwajah can-
tik ini berseru kaget saat tahu
telapak tangannya
telah berubah menjadi hitam
legam seperti arang!
"Hmmm.... Kalau tidak salah
aku melihat,
bukankah kau Putri Ayu
Jelita?" ujar Hantu
Bongkok. "Kalau tidak salah
pula, kau Ratu Ista-
na Luar? Sayang sungguh
sayang... Tubuhmu
yang montok dan wajahmu yang
memang ayu jeli-
ta akan segera bengkak, lalu
lumer menjadi cai-
ran kental biru berbau busuk!
Sama persis den-
gan ketiga anak buahmu yang
telah dijemput aj-
al!"
Gadis berselendang merah yang
memang
Putri Ayu Jelita, mendelikkan
mata penuh pera-
saan ngeri. Bibirnya bergetar
tak mampu mengu-
cap kata-kata. Warna hitam kedua
telapak tan-
gannya telah menjalar sampai ke
siku!
"Kau telah terkena 'Racun
Pencair Raga',
Putri Ayu Jelita," ujar
Hantu Jangkung. "Bila se-
kujur tubuhmu telah menghitam,
kau akan men-
galami siksaan hebat. Karena
tubuhmu kuat, kau
akan mati perlahan-lahan.
Setelah warna hitam
berubah biru, tubuhmu yang
sintal montok itu
akan mencair! Ha ha ha...!"
Perasaan ngeri semakin membayang
di ma-
ta Putri Ayu Jelita. Mengingat
jiwanya sudah tak
mungkin tertolong lagi, gadis
ini menjadi nekat!
"Aku mengadu jiwa dengan
kalian, Antek-
antek Pesanggrahan
Pelangi!"
Putri Ayu Jelita mengempos
tenaga. Dia
alirkan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya ke te-
lapak tangan kanannya, tapi...
gadis cantik ini
malah memekik kesakitan. Tenaga
dalamnya tak
dapat dikuasainya lagi, memutar
balik lalu meng-
hantam isi dadanya sendiri!
Tahulah Putri Ayu Jelita bila
racun yang
bersarang di tubuhnya
benar-benar ganas dan
mengandung kekuatan aneh yang
sangat mema-
tikan. Mengingat dirinya tak
akan lama lagi
menghirup udara dunia, gadis
cantik ini mener-
jang kalap. Mengirim empat
pukulan dan dua
tendangan beruntun. Tapi karena
tanpa disertai
pengerahan tenaga dalam,
serangan itu tak berar-
ti apa-apa bagi Sepasang Racun
Api!
Pukulan dan tendangan Putri Ayu
Jelita
tepat mengenai sasaran. Namun,
gadis ini malah
menjerit kesakitan. Tubuhnya
terlontar, lalu jatuh
berdebam ke tanah! Dan..., tak
bergerak-gerak la-
gi!
"Hmmm.... Kau cuma pingsan,
Putri Ayu
Jelita...," ujar Hantu
Jangkung. "Aku akan mem-
percepat kematianmu!"
Di ujung kalimatnya, Hantu Jangkung
mengibaskan telapak tangan
kanannya. Segumpal
api biru melesat mengeluarkan
suara menderu
ganas!
Namun sebelum tubuh Putri Ayu
Jelita be-
nar-benar lumat menjadi cairan
kental biru, seso-
sok bayangan berkelebat
menyambar. Gumpalan
api biru hanya menerpa permukaan
tanah, mem-
buat tumpukan tulang di
sekitarnya berhambu-
ran ke mana-mana....
* * *
Dengan membopong tubuh Putri Ayu
Jeli-
ta, sesosok bayangan ini terus
berkelebat menyi-
bak kegelapan malam. Setelah
sampai di kaki gu-
nung, tampak sebuah kuil tua tak
terurus. Si
bayangan menghentikan kelebatan
tubuhnya.
Ternyata, dia si Pengemis Binal
Suropati!
Mendadak, dari dalam kuil
terdengar suara
mendehem, lalu disambung
kata-kata sambutan.
"Walau aku telah kalah
mengadu tebakan dengan
Dewa Peramal, kiranya aku masih
mampu mem-
baca bisikan alam. Tak mau aku
menunggu di
kuil bobrok ini. Tuan Muda-ku
telah datang...."
Suropati mengerutkan kening. Dia
men-
genal warna suara yang terdengar
dari dalam
kuil. "Peramal Buntung...,"
desis remaja tampan
ini.
"Ya..., ya, aku memang
Peramal Buntung,
Tuan Muda," sahut suara
dari dalam kuil. "Cepat-
lah masuk. Udara dingin malam
amat jahat. Lagi
pula, kau membawa sesuatu yang
berat. Kalau ti-
dak salah aku menebak, sesuatu
itu pastilah
orang yang tengah
terluka...."
Lewat sudut matanya Suropati
menatap
wajah gadis dalam bopongannya
yang tampak pu-
cat pasi. Dia tersentak kaget
waktu mengetahui
kedua pergelangan tangan si
gadis berwarna hi-
tam legam. Maka tanpa pikir
panjang lagi, Suro-
pati melompat masuk ke kuil.
Ruang depan kuil gelap gulita.
Tapi setelah
Suropati mengambil jalan di
lorong sebelah kiri,
dia menemukan biasan cahaya yang
berasal dari
perapian. Suropati melanjutkan
langkah. Dan,
tampak oleh remaja tampan ini
seorang kakek
buntung mengenakan rompi dan
celana kuning.
Kakek yang kepalanya dilingkari
besetan kulit
pohon kasar berduri itu tengah
duduk bersila di
sisi kanan perapian.
"Hmmm.... Benar dugaanku
bahwa yang
datang adalah Tuan Muda-ku.
Benar dugaanku
pula bila Tuan Muda-ku membawa
orang yang
tengah terluka," ujar kakek
berompi kuning yang
tak lain Peramal Buntung.
"Cepat kau turunkan
tubuh orang dalam boponganmu
itu, Tuan Mu-
da...."
Dengan pandangan tak lepas dari sosok
Peramal Buntung, Pengemis Binal
membaringkan
tubuh Putri Ayu Jelita ke lantai
kuil. Sewaktu
mengalihkan pandangan,
terkejutlah remaja tam-
pan ini. Sekujur tubuh si gadis
berwarna hitam
legam. Hanya tersisa pada bagian
wajahnya. Pen-
gemis Binal baru mengerti bila
warna hitam legam
itu menjalar dari kedua lengan
si gadis.
Tanpa mempedulikan Peramal
Buntung,
bergegas Suropati memeriksa
keadaan Putri Ayu
Jelita. Keluh-kesah segera
keluar dari mulut Su-
ropati.
"Racun.... Racun...,"
desah Pengemis Binal,
seperti menyesali keadaan.
Melihat racun ganas yang telah
menjalar di
sekujur tubuh Putri Ayu Jelita,
Suropati sadar bi-
la dirinya tak akan mampu
berbuat banyak untuk
memberikan pertolongan. Walau
Suropati mem-
punyai ilmu pengobatan ajaran si
Wajah Merah,
tapi dia tak tahu racun jenis
apa yang telah me-
nyerang tubuh si gadis.
"Kek..., gadis ini terkena
racun ganas...,"
ujar Suropati kepada Peramal
Buntung, mengha-
rap bantuan.
Peramal Buntung beringsut dari
tempat
duduknya. Dan, kakek ini menjadi
kaget luar bi-
asa manakala tahu keadaan Putri
Ayu Jelita.
"Siapa yang telah
meracuninya?" tanya Pe-
ramal Buntung, setengah
berteriak.
"Aku tak tahu," jawab
Pengemis Binal. "Aku
menyambar tubuh gadis ini ketika
seorang kakek
tinggi jangkung berusaha
membunuhnya."
"Kakek tinggi
jangkung?"
"Ya."
"Dengan cara apa dia hendak
membunuh
gadis ini?"
"Dia mengibaskan telapak
tangan kanan-
nya. Dan, segumpal api biru
melesat hendak me-
nerpa tubuh gadis ini."
"Kakek yang kau sebutkan
itu apakah
mengenakan jubah hitam
gedombrongan?"
"Aku tak begitu
memperhatikan. Karena,
aku hanya kebetulan lewat."
"Di dekat kakek itu apakah
ada seorang
nenek bongkok?"
Pengemis Binal tampak berpikir
sejenak.
"Ya. Aku melihat sesosok
manusia di samping kiri
si kakek. Tapi, aku tak tahu
apakah dia seorang
nenek bongkok."
Peramal Buntung tak melanjutkan
perta-
nyaannya. Dia tatap warna hitam
legam di tubuh
Putri Ayu Jelita yang kini telah
menjalar sampai
ke pangkal tenggorokan. Tatapan
Peramal Bun-
tung menyiratkan rasa khawatir.
Demikian pula
Pengemis Binal yang duduk di
sampingnya.
"Bagaimana ini, Kek?"
tanya Suropati, se-
makin khawatir. Walau tidak
mengenal siapa si
gadis, tapi hati remaja tampan
ini tergerak untuk
memberikan pertolongan. Namun,
bagaimana ca-
ranya?
Suropati jadi bergidik ngeri
manakala hi-
dungnya mencium bau busuk mayat
yang berasal
dari tubuh Putri Ayu Jelita. Bau
busuk itu amat
tajam, mengalahkan bau asap yang
menebar dari
perapian.
Peramal Buntung yang lebih
matang pen-
galaman tak mempedulikan bau
busuk yang me-
nusuk lubang hidungnya. Dengan
jari kaki ka-
nannya, kakek buntung ini
memeriksa urat nadi
Putri Ayu Jelita. Dia rasakan
aliran darah si gadis
yang mulai kacau.
"Inilah ilmu sesat dari
Sepasang Racun
Api...," desis Peramal
Buntung. "Ilmu 'Racun Pen-
cair Raga'."
Peramal Buntung
menggeleng-gelengkan
kepala sebentar, lalu
melanjutkan kalimatnya.
"Ilmu 'Racun Pencair Raga'
jahat dan kejam seka-
li. Siapa pun yang terkena racun
yang bersumber
dari api biru ciptaan Sepasang
Racun Api, akan
menemui ajal dalam keadaan
mengerikan. Tu-
buhnya akan bengkak kemudian
berubah menja-
di cairan kental biru yang
berbau amat busuk...."
"Lalu, bagaimana cara
menolongnya, Kek?"
tanya Pengemis Binal, memburu.
"Kecuali mendapat obat
pemunah racun
dari Sepasang Racun Api, tidak
ada jalan lain un-
tuk menolongnya," jawab
Peramal Buntung den-
gan air muka keruh.
Suropati menggaruk kepalanya
yang tak
gatal. Pandangan mata pemimpin
Perkumpulan
Pengemis Tongkat Sakti ini
mendadak berkilat-
kilat. Dalam dadanya timbul
letupan api amarah
yang ditujukan kepada Sepasang
Racun Api.
"Untuk melatih ilmu 'Racun
Pencair Raga',
seseorang harus menjauhkan rasa
belas kasihan
dan perikemanusiaan. Dengan
menggunakan em-
pat ratus mayat manusia dan
menyedot hawa bu-
suk beracun dari dalamnya, ilmu
itu baru dapat
dikuasai dengan
sempurna...," jelas Peramal Bun-
tung. "Jika bukan orang
yang sudah hampir hi-
lang ingatan atau manusia yang
disusupi roh si-
luman, tidak bakalan ada orang
yang mau mem-
pelajari ilmu sesat ini."
"Kita harus segera mencari
orang yang ber-
juluk Sepasang Racun Api
itu!" cetus Suropati,
menggeram. "Kita harus
mendapatkan obat pe-
nawar racun ini dari
mereka!"
"Sudah terlambat...,"
desis Peramal Bun-
tung.
Menjomblak kaget Suropati ketika
melihat
separoh wajah Putri Ayu Jelita
telah dijalari war-
na hitam legam. Selagi remaja
berpakaian putih
penuh tambalan ini terbawa rasa
kalut dan benci
kepada Sepasang Racun Api,
mendadak dari luar
kuil terdengar suara....
Tok! Tok! Tok!
"Dewa Peramal...,"
desis Pengemis Binal.
Seperti ingat sesuatu yang amat
menggem-
birakan, tiba-tiba air muka
Peramal Buntung
yang semula keruh berubah cerah.
Matanya ber-
kilat memancarkan satu harapan.
"Sahabatku Dewa Peramal!
Cepatlah ma-
suk! Beruntunglah kau. Pada
usiamu yang sudah
mendekati liang kubur, tenagamu
masih dibu-
tuhkan orang," ujar Peramal
Buntung.
Tok! Tok! Tok!
Setelah terdengar suara
tempurung mem-
bentur tanah tiga kali, muncul
hembusan angin
bersiut yang mengibarkan rambut
Suropati dan
Peramal Buntung. Di lain kejap,
di dalam kuil te-
lah berdiri seorang kakek kurus
kering berpa-
kaian compang-camping. Rongga
matanya rata
dengan pipi alias tak punya
mata. Dewa Peramal!
"Aku datang mengikuti suara
hatiku. Aku
datang karena bisikan alam.
Kalau di sini tenaga-
ku memang benar dibutuhkan,
sungguh aku ma-
nusia yang beruntung. Menolong
sesama manusia
adalah pahala...."
Sambil berkata, Dewa Peramal
memaling-
kan wajahnya ke kanan kiri.
Seperti dapat meli-
hat, kakek buta ini melangkah
tiga tindak, lalu
duduk di sisi tubuh Putri Ayu
Jelita yang terbar-
ing telentang tiada daya.
Tanpa ada yang meminta atau menyuruh,
Dewa Peramal memeriksa keadaan
Putri Ayu Jeli-
ta dengan kedua tangannya yang
tinggal tulang
terbungkus kulit keriput. Batang hidung kakek
buta ini bergerak turun naik
karena mengendus
bau busuk.
"Kiranya Tuhan masih
memberi kesempa-
tan kepadaku untuk menanam budi
baik. Dengan
kehendak Tuhan pula,
mudah-mudahan aku bisa
menolong gadis ini...."
Usai berkata, Dewa Peramal
mengambil po-
ci kecil yang terikat di kain
celananya. Ketika tu-
tup poci diangkat, aroma arak
keras menebar.
Untuk sesaat bau busuk yang
keluar dari tubuh
Putri Ayu Jelita lenyap.
"Aku mau berbuat baik.
Tuhan pasti men-
gizinkan.... Aku mau
berbuat baik. Tuhan pasti
merestui..."
Sambil berkata demikian, Dewa
Peramal
menggoyang-goyangkan poci arak
di tangan ka-
nannya. Karena goyangannya
disertai aliran tena-
ga dalam, cairan arak bergolak
mendidih dan
mengepulkan asap dan api.
Suropati dan Peramal Buntung
cuma dapat
melongo melihat apa yang
diperbuat oleh Dewa
Peramal. Sementara, Dewa Peramal
lalu mengelu-
arkan sebuah bonggol akar
berwarna putih berki-
lat. Akar itu lalu dibuat
mengaduk cairan arak
panas di dalam poci.
Usai berbuat begitu, Dewa
Peramal men-
gangkat wajah seraya dipalingkan
ke kanan,
menghadap Pengemis Binal.
"Bocah bagus..., un-
tuk selanjutnya kaulah yang
harus menolong.
Minumkan arak ini. Sisanya untuk
menggosok
kulit gadis yang telah terjalari
racun ini."
Suropati segera menyambut poci
arak yang
disodorkan kepadanya. Terkesiap
remaja tampan
ini ketika merasakan badan poci
yang dingin se-
perti es. Padahal, cairan arak
yang berada di da-
lamnya baru saja mengepulkan
api!
Perlahan Dewa Peramal bangkit,
lalu ber-
kata kepada Peramal Buntung,
"Ada sesuatu yang
harus kubicarakan denganmu,
Sahabatku. Bisa-
kah kau meninggalkan tempat ini
sekarang juga?"
Peramal Buntung menggelengkan
kepala.
"Tidak! Aku telah bertemu
dengan Tuan Muda-ku.
Seumur hidupku aku akan
mengikutinya sebagai
budak pengiring."
Bibir Dewa Peramal
menyunggingkan se-
nyum. Kepalanya dipalingkan ke
kanan lagi,
menghadap Pengemis Binal.
"Bocah bagus.... Aku
memintakan izin Peramal Buntung
untuk pergi
bersamaku sekarang ini
juga."
Dengan pandangan tak mengerti,
Pengemis
Binal menatap wajah Dewa
Peramal. Sambil ga-
ruk-garuk kepala, dia menjawab
sekenanya,
"Ya..., ya!"
Begitu bibir Suropati terkatup
lagi, Dewa
Peramal berkelebat keluar kuil,
meninggalkan ti-
upan angin bersiut. Sementara,
Peramal Buntung
bergegas bangkit. Dia
membungkukkan badan di
hadapan Suropati.
"Terima kasih, Tuan
Muda...," ujar Peramal
Buntung, penuh penghormatan.
"Setelah urusan-
ku dengan Dewa Peramal selesai,
aku pasti akan
mencari Tuan Muda."
Pengemis Binal melongo tak
mengerti. Re-
maja tampan ini kembali
menggaruk kepalanya
yang tak gatal manakala Peramal
Buntung berke-
lebat menyusul Dewa Peramal.
3
Dengan hidung berkernyit,
Pengemis Binal
menatap wajah Putri Ayu Jelita.
Kepalanya kon-
tan menggeleng-geleng. Dia baru
menyadari bila
si gadis ternyata sangat elok
rupawan. Hanya
sayang, wajah si gadis telah
menghitam sebagian.
Sesaat Pengemis Binal bingung.
Dengan
cara apa dia meminumkan arak
penawar racun
pemberian Dewa Peramal?
Diminumkan begitu
saja, jelas tidak mungkin karena
kesadaran si ga-
dis telah lenyap. Dibantu dengan
aliran tenaga
dalam? Juga tidak mungkin.
Setiap benda cair
yang dialiri tenaga dalam hanya
akan berakibat
dua macam. Menjadi dingin beku
atau mendidih
panas. Cairan yang telah membeku
menjadi gum-
palan atau telah mendidih panas,
mustahil dapat
dimasukkan ke lambung orang yang
tengah ping-
san.
Suropati nyengir kuda sambil
garuk-garuk
kepala. "Hanya ada satu
cara.... Hanya ada satu
cara...," desisnya.
"Tapi...."
Semakin keras Pengemis Binal
menggaruk
kepalanya yang tak gatal.
Mengingat jiwa si gadis
yang makin mendekati bahaya,
segera remaja
tampan ini mengambil keputusan.
Dihirupnya
arak dalam poci yang telah
menjadi dingin. La-
lu..., dia tempelkan mulutnya ke
mulut Putri Ayu
Jelita.
Begitu dua pasang bibir bertemu,
otak
Pengemis Binal jadi linglung.
Bibir Putri Ayu Jeli-
ta terasa lembut, hangat, dan
sungguh bisa
membuat orang terlena.
"Dasar mata bongsang!"
rutuk Pengemis
Binal kepada dirinya sendiri
dalam hati.
Cepat remaja tampan ini menghalau
piki-
ran mesum di benaknya. Dengan
bibir saling me-
lekat, Pengemis Binal mendorong
masuk arak
yang menggenang di rongga
mulutnya.
"Syukurlah....
Syukurlah...," desis Penge-
mis Binal usai melakukan
pekerjaan yang dirasa
amat berat itu.
Sambil terus menggaruk kepalanya
yang
tak gatal, remaja yang sering
berperilaku konyol
itu menatap sekujur tubuh Putri
Ayu Jelita yang
menghitam. Tugasnya sekarang
adalah menggo-
sok kulit si gadis dengan sisa
arak dalam poci.
Dan..., menggosok sekujur tubuh
si gadis tentu
saja harus menanggalkan
pakaiannya!
"Gila!" rutuk
Suropati. "Kalau aku menang-
galkan pakaian gadis ini, wuih,
jangan-jangan ada
setan lewat lalu menggodaku
untuk... untuk....
Walah!"
Plok! Plok!
Seperti telah kehilangan
ingatan, Pengemis
Binal menggaplok kepalanya
sendiri dua kali.
Namun dengan berbuat demikian,
pikiran buruk
di benaknya segera lenyap.
Bergegas remaja konyol ini
mengambil sa-
pu-tangan dekil dari saku
bajunya, lalu dice-
lupkan ke dalam poci yang berisi
arak penawar
racun. Dengan lembut, Pengemis
Binal mengusap
wajah Putri Ayu Jelita yang
telah menghitam se-
bagian. Pengemis Binal kontan
tersenyum senang.
Terkena usapan saputangan yang
telah dibasahi
arak, kulit wajah Putri Ayu
Jelita kembali ke
asalnya. Halus, mulus, putih
bersemu merah se-
hat!
Pengemis Binal lalu mengusapkan
sapu-
tangannya ke leher Putri Ayu
Jelita. Kedua perge-
langan tangan dan kaki. Tapi,
kini timbul satu
kesulitan lagi. Bagaimana cara
mengusap bagian
tubuh yang tertutup pakaian?
"Ya, Tuhan...," sebut
Pengemis Binal. "Aku
tidak berniat jahat. Aku hendak
menolong gadis
ini. Bila caraku ini kelihatan
tak senonoh, sudilah
kau memberi ampunan...."
Sambil menengadahkan wajah,
tangan Su-
ropati bergerak... membuka
kancing baju Putri
Ayu Jelita. Dan, mulailah remaja
konyol ini men-
gusap dada si gadis. Sewaktu
tangannya menyen-
tuh dua bulatan kenyal, jantung
Suropati berde-
gup kencang. Darah mudanya
berdesir aneh. Je-
mari tangan Suropati jadi
bergetar. Namun, dia
tak mau berhenti memberi
pertolongan. Dibu-
kanya pakaian Putri Ayu Jelita.
Dan..., jemari
tangan Suropati yang menjepit
saputangan terus
bergerak ke bawah..., dan terus
ke bawah...
"Uh...!"
Pengemis Binal melonjak kaget
sewaktu
mulut Putri Ayu Jelita
mengeluarkan suara kelu-
han. Segera Pengemis Binal
beringsut menjauh
setelah mengetahui si gadis
telah siuman.
"Bagaimana aku ini?"
seru Putri Ayu Jelita
seraya bangkit duduk.
Untunglah gadis ini punya daya
ingat kuat
dan pengalaman cukup luas.
Mengetahui ada
orang duduk tak jauh darinya,
sementara pa-
kaiannya tersingkap di beberapa
bagian, dia tak
menjadi kaget ataupun naik
pitam, Putri Ayu Jeli-
ta sadar bila orang yang duduk
tak jauh darinya
sama sekali tak bermaksud buruk.
Bahkan, telah
memberi pertolongan melenyapkan
racun yang
bersarang di tubuhnya.
"Maafkan aku,
Nona...," ujar Suropati, tak
berani menatap Putri Ayu Jelita.
"Sebagian kulit
tubuhmu masih ada yang berwarna
hitam. Kau
basuhlah dengan arak yang ada di
sampingmu."
Sejenak Putri Ayu Jelita melihat
keadaan
kulit tubuhnya sendiri.
Mengetahui kebenaran
ucapan Suropati, dia langsung
menyambar poci
berisi arak. Dengan menggunakan
saputangan
yang telah dicelupkan ke cairan
arak itu, Putri
Ayu Jelita mengusap-usap
beberapa bagian tu-
buhnya yang masih menghitam.
Sebentar kemudian, Putri Ayu
Jelita benar-
benar telah terbebas dari
pengaruh 'Racun Pen-
cair Raga'. Dan, tak bisa
digambarkan lagi betapa
gembira hati gadis ini mengetahui jiwanya telah
terselamatkan. Usai merapikan
pakaiannya, dia
bersujud di hadapan Pengemis
Binal yang tampak
memalingkan muka karena jengah.
"Terima kasih.... Tuan
telah menolong
saya...," ujar Putri Ayu
Jelita.
Perlahan Pengemis Binal
membalikkan wa-
jah seraya menatap Putri Ayu
Jelita yang tengah
bersujud. "Hei! Hei!"
tegurnya. "Kau tak perlu ber-
sikap seperti ini. Yang
memberikan arak obat itu
Dewa Peramal. Berterima kasihlah
kepadanya."
Mendengar ucapan Pengemis Binal,
Putri
Ayu Jelita mengangkat badannya.
Melihat seraut
wajah tampan milik Pengemis
Binal, Putri Ayu Je-
lita kontan menunduk malu.
Sementara, Penge-
mis Binal sendiri cuma
cengar-cengir.
"Siapa namamu?" tanya
Suropati yang mu-
lai kumat sifat mata
bongsangnya.
"Aku...."
Putri Ayu Jelita tak melanjutkan kalimat-
nya. Seperti melihat sesuatu
yang amat mena-
kutkan, paras gadis cantik ini
berubah tegang.
Ditatapnya sejenak wajah
Pengemis Binal, lalu
bangkit dan berkelebat keluar
kuil.
"Hei! Kau belum menyebutkan
namamu!"
teriak Pengemis Binal seraya
meloncat mengejar.
Namun, hanya kegelapan malam
yang di-
temui Pengemis Binal. Putri Ayu
Jelita telah le-
nyap, entah berkelebat ke arah
mana.
"Kalaupun punya urusan
sangat penting,
kenapa menyebutkan nama saja tak
sempat?!" ge-
rutu Suropati.
Mendadak, remaja konyol ini
terhenyak
langkahnya. Telinganya menangkap
suara bisikan
yang dikirim dari jarak jauh.
"Putri Ayu Jelita. Ya...,
ya! Kau memang
pantas memakai nama
itu...," desis Suropati
sambil menggaruk kepalanya yang
tak gatal.
* * *
"Sahabatku Dewa Peramal,
apa maksudmu
mengajak aku kemari?" tanya
Peramal Buntung
yang telah berada di puncak
bukit berbatuan.
Dewa Peramal tak segera
menjawab. Dia
hanya memukulkan tempurung
kelapa yang me-
lekat di kakinya beberapa kali
ke permukaan ba-
tu. Sementara, lamat-lamat
terdengar kokok ayam
alas, pertanda hari akan segera
menyingsing fa-
jar.
"Sahabatku Dewa
Peramal," sebut Peramal
Buntung lagi. "Bila kau tak
segera menyampaikan
maksudmu, berarti membuang-buang
waktu saja.
Kita telah meninggalkan seorang
gadis yang ten-
gah bergelut dengan maut di
dalam kuil. Andai
saja obat yang kau berikan tiada
manjur, apakah
ini bukan perbuatan dosa?"
"Jangan khawatir, sahabatku
Peramal
Buntung...," sahut Dewa
Peramal. "Obat yang ku-
tinggalkan pastilah manjur.
Jangankan cuma
'Racun Pencair Raga', semua
racun paling ganas
di dunia ini pun bila
digabungkan tak akan mam-
pu melawan khasiat Akar Kayangan
milikku."
"Bicaramu begitu
meyakinkan. Suatu saat
aku pasti akan membuktikan
kebenaran uca-
panmu ini, sahabatku Dewa
Peramal."
"Boleh.... Boleh...,"
sahut Dewa Peramal.
"Namun, saat ini bukanlah
waktu yang tepat un-
tuk membicarakan Akar
Kayangan."
"Menilik gaya bicaramu yang
penuh ke-
sungguhan, aku jadi penasaran
untuk segera
mengetahui apa yang ingin kau
sampaikan kepa-
daku hingga mengajakku datang ke
puncak bukit
ini...."
Dewa Peramal diam. Kepalanya
berpaling
ke kanan.
"Sahabatku Dewa Peramal...,
bila kau diam
saja, rasa penasaran dalam
diriku akan bertam-
bah. Bila rasa penasaran itu
sudah bertumpuk
dan membuat dadaku sesak, tidak
ada alasan ba-
giku untuk tidak kembali ke
kuil."
"Sabarlah...," sahut
Dewa Peramal. "Aku
mengajakmu datang ke tempat ini
bukan hanya
untuk menyampaikan sesuatu, tapi
juga untuk
meminta bantuanmu...."
Ganti Peramal Buntung yang diam
membi-
su. Kumis dan jenggotnya yang
panjang berkibar-
kibar tertiup angin.
"Beberapa kali aku berada
di puncak bukit
ini, aku mendengar sesuatu yang
aneh. Karena
aku tak dapat melihat, aku tak
dapat memastikan
itu keanehan apa," lanjut
Dewa Peramal.
"Lalu kau ajak aku kemari
agar aku dapat
melihat keanehan yang kau
katakan itu, dan
mengatakannya kepadamu?"
"Ya. Itulah bantuan yang
kuharapkan dari-
mu...," tegas Dewa Peramal.
"Sekarang, arahkan
pandanganmu ke selatan,
sahabatku Peramal
Buntung...."
Peramal Buntung segera menuruti
perka-
taan Dewa Peramal. Kening kakek
berompi kun-
ing ini segera berkerut rapat.
"Kau minta aku
mengarahkan pandangan ke
selatan. Sekarang,
aku sudah menurutinya. Tapi tak
ada yang dapat
kulihat, kecuali jajaran gunung
yang terselimuti
kabut...."
"Sabarlah, sahabatku
Peramal Buntung.
Kalau kau belum melihat apa-apa,
berarti keane-
han itu belum muncul. Tetaplah
kau arahkan
pandanganmu ke selatan."
Melihat kesungguhan sahabatnya,
Peramal
Buntung membuka mata lebar-lebar
ke arah sela-
tan. Setelah menunggu beberapa
saat, kakek be-
rompi kuning ini terkesiap.
Telinganya menang-
kap suara mendesis yang datang
dari langit di
mana dia mengarahkan pandangan.
Sebenarnya
suara itu amat pelan. Tokoh
silat tingkat menen-
gah pun tak akan mampu
mendengarnya.
"Kau dengar suara itu,
sahabatku Peramal
Buntung?" tanya Dewa
Peramal yang mempunyai
pendengaran tajam.
"Ya. Aku mendengar suara
mendesis seper-
ti ular tengah meleletkan lidah.
Tapi, aku tak me-
lihat apa-apa...," jawab
Peramal Buntung.
"Tetaplah kau arahkan
pandangan ke sela-
tan. Aku yakin keanehan itu akan
segera dapat
kau lihat..."
Bersamaan dengan selesainya
ucapan De-
wa Peramal, suara mendesis yang
terdengar dari
langit sebelah selatan lenyap.
Peramal Buntung
kembali terkesiap. Matanya
terbelalak dan tak
berkedip-kedip lagi.
"Aku dapat mendengar
jantungmu yang
berdetak lebih cepat," ujar
Dewa Peramal. "Apa-
kah gerangan yang kau lihat,
sahabatku Peramal
Buntung?"
Tanpa mengalihkan pandangan,
Peramal
Buntung berkata, "Aku
melihat tujuh larik warna
berlainan yang melesat dari
langit selatan..., me-
nembus kabut, dan jatuh di
lereng gunung yang
terdekat dengan bukit yang kita
tempat ini...."
"Tujuh larik warna?"
kejut Dewa Peramal.
"Yang kau maksud apakah
warna pelangi?"
"Begitulah..., tapi tunggu
sebentar...."
Dewa Peramal diam. Namun, kakek
buta
ini tak mampu menyembunyikan
perasaan te-
gang. Tak pernah ada cerita atau
riwayat yang
mengatakan bahwa kemunculan
pelangi akan di-
dahului oleh suara mendesis
seperti ular yang se-
dang meleletkan lidah. Timbul
pikiran di benak
Dewa Peramal, pelangi yang
dilihat Peramal Bun-
tung pasti bukan pelangi yang
sewajarnya!
Maka dengan hati berdebar-debar,
Dewa
Peramal menunggu apa yang akan
dikatakan oleh
Peramal Buntung selanjutnya.
Dan, dua kejap
mata kemudian....
"Dari ujung pelangi yang
sebelah atas, me-
lesat gumpalan api
biru...," beri tahu Peramal
Buntung. "Jumlahnya ada
dua. Dalam kedudu-
kan sejajar, gumpalan api biru
itu menembus ka-
but..., dan mendarat di lereng
gunung...."
"Kita ke sana!" cetus
Dewa Peramal terba-
wa rasa ingin tahu.
"Sebaiknya memang
begitu," terima Peram-
al Buntung.
Tanpa pikir
panjang lagi, dua kakek yang
sama-sama punya cacat bawaan
lahir ini berkele-
bat menuruni bukit. Tubuh mereka
melesat cepat
berubah menjadi asap yang
menyatu dengan
hembusan angin
Cacat mata yang dimiliki Dewa
Peramal
sama sekali tak menyulitkan
kelebatan tubuhnya.
Lewat pendengarannya yang tajam
luar biasa, dia
bisa mengetahui jalan mana yang
harus ditempuh
agar tak menabrak sesuatu atau
terpeleset jatuh
ke dalam jurang. Lagi pula,
Peramal Buntung
berkelebat di depan. Jadi, dia
bisa mengekor jejak
suara yang diperdengarkan oleh
sahabatnya itu.
Tak seberapa lama kemudian,
manakala
semburat cahaya mentari memancar
di ufuk ti-
mur, Peramal Buntung dan Dewa
Peramal telah
menginjakkan kaki di tempat yang
mereka tuju.
Peramal Buntung mengajak
sahabatnya bersem-
bunyi di balik pepohonan.
Sementara, Dewa Pe-
ramal pun menurut saja.
"Aku melihat Sepasang Racun
Api tengah
duduk bersila saling
berhadapan," bisik Peramal
Buntung. "Tangan kanan
Hantu Bongkok me-
nempel di bahu kiri Hantu
Jangkung. Demikian
pula sebaliknya."
"Mereka sedang melatih ilmu
'Racun Pen-
cair Raga'?" tanya Dewa
Peramal.
"Kemungkinan besar memang
begitu," ja-
wab Peramal Buntung. "Di
sekitar mereka berse-
rakan tulang-belulang manusia.
Dan... dari sela-
sela tulang-belulang itu
mengepul gumpalan api
biru..., lalu masuk ke rongga
mulut mereka...."
"Astaga!"
"Tenanglah. Kini, tubuh
mereka tampak
bergetar..., melayang..., turun
lagi..., mereka
membuka mata!"
Sekitar sepuluh tombak dari
tempat per-
sembunyian Peramal Buntung dan
Dewa Peramal,
tampak dua sosok manusia
berjubah hitam bang-
kit dari duduk. Yang satu seorang
kakek bermuka
buruk dan bertubuh tinggi
jangkung. Satunya lagi
seorang nenek bertubuh bongkok.
Mereka me-
mang Sepasang Racun Api. Hantu
Jangkung dan
Hantu Bongkok!
"Memang banyak untungnya
bila kita men-
gabdikan diri kepada Siluman
Ragakaca. Pe-
sanggrahan Pelangi benar-benar
sebuah tempat
kediaman yang maha hebat. Ketika
masuk tadi,
aku merasa kekuatanku bertambah.
Apakah kau
juga begitu, istriku Hantu
Bongkok?" ujar Hantu
Jangkung.
"Ya. Aku juga merasa
kekuatanku menjadi
berlipat ganda," sahut
Hantu Bongkok. "Ini semua
karena kebaikan Siluman
Ragakaca. Memang, tak
percuma kita mengabdi
kepadanya...."
"Bahkan, dia pun memberi
petunjuk cara
menggabungkan kekuatan kita.
Dan, kita telah
berhasil melakukannya tadi. Ilmu
'Racun Pencair
Raga' tak mungkin ada
tandingannya lagi. Ha ha
ha...!"
Hantu Bongkok menimpali tawa
suaminya
dengan tawa pula. Sepasang Racun
Api larut da-
lam kegembiraan tanpa tahu bila
mereka tengah
diintai.
"Istriku Hantu
Bongkok...," sebut Hantu
Jangkung kemudian.
"Ya, suamiku Hantu
Jangkung..,," sahut
Hantu Bongkok.
Mata Hantu Jangkung mengerling
penuh
arti. "Keluar dari
Pesanggrahan Pelangi, kita men-
dapat tambahan tenaga baru.
Tidakkah kau ingin
menjajal tenaga baru itu,
istriku Sayang...?"
"Itulah yang sebenarnya
ingin kukatakan
kepadamu, suamiku
Tercinta...."
Hantu Jangkung tertawa bergelak.
Menda-
dak, kakek buruk rupa ini
menerkam tubuh Han-
tu Bongkok hingga terjatuh di
atas tumpukan tu-
lang. Dan tampaknya, Hantu
Bongkok pasrah sa-
ja mendapat perlakuan kasar Hantu Jangkung.
Dia biarkan bibirnya
digigit-gigit. Dia biarkan
buah dadanya diremas-remas. Dia
biarkan pula
jubahnya ditanggalkan....
Tubuh Sepasang Racun Api melekat
erat,
dan bergulingan di atas tumpukan
tulang!
Peramal Buntung yang melihat
adegan itu
cepat memalingkan muka seraya
mengucap sum-
pah serapah dalam hati.
Sementara, Dewa Pe-
ramal yang tak dapat melihat
berkali-kali menarik
napas panjang dengan kening
berkerut rapat.
"Aku mendengar Sepasang
Racun Api hen-
dak menjajal tenaga, tapi kenapa
aku tidak men-
dengar suara orang
bertempur?" ujar Dewa Pe-
ramal, heran. "Aku malah
mendengar suara orang
mengerang, menjerit,
mendesis-desis, dan dengus
napas memburu...."
"Hus! Mereka sedang
bertempur. Seru dan
luar biasa sekali!"
beritahu Peramal Buntung.
"Bahkan, mereka sedang
mengadu senjata!"
"Ah! Yang benar saja!"
seru Dewa Peramal,
tak percaya. "Aku tak
mendengar dentingan sen-
jata tajam ataupun benturan
senjata lainnya."
"Aku tidak bohong!"
seru Peramal Buntung
pula. "Mereka memang sedang
mengadu senjata
masing-masing. Senjata yang
letaknya di bawah
perut!"
Mengelam paras Dewa Peramal
seketika
mendengar ucapan Peramal
Buntung. "Jadi...,
mereka sedang
melakukan...."
"Ya!" sahut Peramal
Buntung.
"Tak tahu malu! Tua-tua
masih butuh begi-
tuan...," gerutu Dewa
Peramal. "Kita pergi saja!"
"Jangan dulu!"
"Kenapa? Kau senang
mengintip mereka?"
"Bukan begitu! Kita telah
mendengar pem-
bicaraan mereka, sudah jelas
bila mereka telah
menjadi kaki tangan Siluman
Ragakaca. Kita wa-
jib mengenyahkan manusia-manusia
busuk yang
menjadi alat pengumbar nafsu
jahat penguasa
Pesanggrahan Pelangi itu!"
Dewa Peramal
menggeleng-gelengkan kepa-
la. Peramal Buntung menatap
heran.
"Kenapa kau menolak,
sahabatku Dewa Pe-
ramal?" tanya Peramal
Buntung dengan alis ber-
kerut. "Bukankah kau punya
Akar Kayangan yang
katamu tak mempan segala jenis
racun? Kenapa
mesti takut pada ilmu 'Racun
Pencair Raga' mere-
ka?"
Kepala Dewa Peramal menggeleng-geleng
lagi. "Bukan aku menolak
untuk melenyapkan
manusia kejam yang penuh dosa.
Aku tahu sela-
ma Sepasang Racun Api menjadi
kaki tangan Si-
luman Ragakaca, mereka akan
berbuat jahat
seumur hidup. Tapi tahukah kau,
sahabatku Pe-
ramal Buntung, bila aku punya
pantangan mem-
bunuh orang?"
"Kenapa?"
"Itulah sumpahku sebelum
aku belajar il-
mu meramal peruntungan orang.
Aku tidak mau
termakan sumpahku sendiri."
Peramal Buntung mengerutkan
kening.
Namun, kakek berompi kuning ini
bisa menyadari
pula alasan Dewa Peramal.
"Lalu, bagaimana
baiknya sekarang? Haruskah aku
menggempur
mereka seorang diri?"
ujarnya kemudian.
"Jangan! Mereka baru keluar
dari Pe-
sanggrahan Pelangi. Bukan aku meragukan ke-
mampuan mu, sahabatku Peramal
Buntung. Tapi,
kau mesti menyadari bagaimana
Pesanggrahan
Pelangi itu...."
Emoticon