RAHASIA
ARCA BUDHA
Serial Pengemis Binal
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Pengolah cerita oleh S. Pranowo
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau
memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku
ini
tanpa izin tertulis dari
penerbit
Serial Pengemis Binal
dalam episode:
Rahasia Arca Budha
128 hal.
/DuniaAbuKeisel
1
Remaja tampan berpakaian putih
penuh tam-
balan itu menggeliat bangun dari
tidurnya. Kulit wa-
jahnya tampak kemerahan karena
diterpa sinar
mentari yang telah beranjak
naik. Sambil garuk-
garuk kepala, dia mengedarkan
pandangan. Ketika
tahu dirinya berada di tepi
sungai, bola matanya
kontan membesar.
"Huh! Alangkah bodohnya aku
ini! Menghar-
gai diri sendiri saja tak
bisa!" gerutu si remaja. "Ke-
napa aku mesti tidur di tempat
yang hanya layak di-
huni kodok dan kadal?"
Dengan kening berkerut tajam,
mendadak
remaja yang tampak konyol itu
menggaplok kepa-
lanya sendiri. "Kuntilanak
bunting! Agaknya, aku ini
memang berotak udang! Bila rasa
kantuk sudah
membebani pelupuk mata,
bagaimana aku bisa pi-
lih-pilih tempat? Bukankah tidur
di tepi sungai su-
dah layak untuk seorang pengemis
macam diriku?
Ya... ya, pengemis tidur bersama
kodok dan kadal...
cukup pantas... cukup
pantas..."
Sambil cengar-cengir, remaja
konyol itu
bangkit berdiri. Dia
kibas-kibaskan kain bajunya
yang berdebu. Mendadak, rasa
lapar menyerang. Pe-
rutnya memperdengarkan suara
berkeruyukan.
Tanpa pikir panjang, dia tanggalkan
seluruh
pakaiannya. Lalu, mencebur ke
dalam sungai. Se-
bentar kemudian, dua ekor ikan
gabus sebesar len-
gan telah berhasil ditangkapnya.
Sambil tertawa ter-
kekeh, dia menepi. Cepat dia
kenakan kembali pa-
kaiannya.
Setelah membuat perapian, remaja
berambut
panjang tergerai itu mulai
memanggang ikan gabus
yang sebelumnya telah dia
bersihkan. Di lain kejap,
matanglah dua ekor ikan
gabusnya. Kulit dan siak-
nya mengelupas, memperlihatkan
daging gemuk
kemerahan. Aromanya membuat
perut makin terasa
melilit-lilit. Namun saat si
remaja hendak menyan-
tap ikan panggangnya, tiba-tiba
terdengar suara di
belakangnya.
"Aku melihat asap membubung
di kejauhan.
Aku mencium aroma gurih
mengundang selera.
Apakah si empunya ikan panggang
bersedia memba-
gi kenikmatan?"
Remaja tampan yang tak lain
Suropati atau
Pengemis Binal menoleh ke
belakang. Terkesiap dia
seketika. Bukankah di
sekelilingnya tadi tidak ada
orang? Bagaimana di belakangnya
tiba-tiba telah
muncul seorang lelaki tua yang
tengah tersenyum-
senyum?
Suropati menatap penuh selidik.
Sementara,
si lelaki tua terus menyungging
senyum ramah.
Tanpa mempedulikan tatapan tajam
Suropati, dia
melangkah empat tindak, lalu duduk di hadapan
Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu.
"Siapa kau, Pak Tua?"
tanya Pengemis Binal.
Tatapannya tetap penuh selidik.
Lelaki tua yang muncul mendadak
itu men-
genakan baju merah dan celana
hijau. Bersepatu hi-
tam terbuat dari kain tebal.
Raut wajahnya jelas
menunjukkan bahwa dia bukan
orang Jawa. Ma-
tanya sipit dihiasi alis tipis
yang ujungnya menju-
lang ke atas. Rambutnya dikuncir
panjang. Dan, di
punggungnya melintang sebatang
pedang.
"Aku Kwe Kok Jiang. Apakah
kehadiranku ini
membuatmu tak senang, Anak
Muda?" ujar lelaki
tua berkulit putih.
Mendengar bicara orang asing
yang cukup
lancar itu, kening Suropati
berkerut. Setelah meng-
garuk kepalanya yang tak gatal,
dia berkata, "Agak-
nya, kau orang dari seberang
yang kesasar kemari,
Pak Tua. Tapi menilik
tutur-bahasamu, kau pasti
sudah cukup lama berada di tanah
Jawa."
"Benar apa yang kau
katakan, Anak Muda.
Aku pemilik Pulau The Lioe Tho
yang berada jauh di
seberang. Tepatnya, di Tiongkok.
Karena aku ada
maksud meminta budi terhadapmu,
maka aku tak
akan menutupi diri. Karena
tindak-tandukku di ma-
sa muda, orang-orang Tiongkok
memanggilku den-
gan sebutan Pendekar Sesat.
Ketika muda, aku me-
mang sering berbuat tanpa
berpikir panjang terlebih
dahulu. Setiap bertemu dengan
orang jahat, aku
pasti akan membunuhnya. Tak
peduli siapa dia, pe-
rampok kecil atau pejabat
kerajaan yang menyele-
wengkan uang rakyat. Tapi, itu
dulu. Sekarang, aku
hanyalah raga tua yang sudah tak
punya daya apa-
apa. Jangankan membunuh
perampok, membawa
badan sendiri saja rasanya sudah
sangat berat."
Mendengar ucapan Kwe Kok Jiang
yang ra-
mah dan penuh persahabatan,
lenyaplah kecurigaan
Suropati. Namun, dia tetap
menjaga kewaspadaan-
nya. Bagaimanapun juga, dia baru
kenal lelaki dari
tanah Tiongkok itu. Siapa tahu
di balik kehalusan
tutur katanya yang merendah,
tersimpan maksud
buruk.
"Hei! Hei! Kenapa kau
biarkan ikanmu menja-
di dingin?" Kwe Kok Jiang
mengingatkan.
Tawa Pengemis Binal hampir
meledak melihat
lelaki berkuncir itu memandang
ikan gabus di atas
daun pisang dengan hidung kembang-kempis, se-
dang bibirnya komat-kamit
pertanda air liurnya su-
dah mengucur. Karena tak ada
pikiran untuk men-
jahili, Pengemis Binal segera
menyodorkan salah sa-
tu ikan panggangnya.
"Ha ha ha...!" Kwe Kok
Jiang tertawa senang
menerima pemberian Suropati
"Sungguh kau anak
muda yang baik hati. Suatu
anugerah yang tiada ta-
ranya aku dapat berjumpa
denganmu…" pujinya,
agak berlebihan
Seperti orang yang puasa selama
tujuh hari,
Kwe Kok Jiang menggigit-gigit
daging ikan gabus
dengan lahap sekali. Sambil
meram-melek, dia men-
gunyah sampai mengeluarkan suara
kecapan lidah
yang cukup jelas ditangkap
telinga. Sebentar saja
daging ikan gabus hanya tersisa
tulang-belulangnya,
yang kemudian dilemparkan ke
bara api yang telah
padam.
"Lesat... Lesat
sekali…" desis Kwe Kok Jiang.
"Aku adalah orang pulau
yang telah banyak makan
bermacam-macam ikan, tapi tidak
pernah aku me-
rasakan ikan selezat
ini....!"
Suropati tersenyum tipis. Dia
tatap sebentar
ikan gabus yang baru termakan
setengah. Lalu, ikan
itu dia sodorkan pula kepada Kwe
Kok Jiang. Walau
rasa laparnya belum hilang
benar, tapi timbul kese-
nangan dalam dirinya melihat
kerakusan lelaki ber-
kuncir itu.
"Agaknya, kau tengah
menderita lapar hebat,
Pak Tua. Aku mengalah kepadamu.
Makanlah lagi
bagianku yang tinggal setengah
ini…."
Cepat sekali Kwe Kok Jiang
menyambar ikan
gabus yang disodorkan Suropati.
Sebelum menyan-
tapnya, dia masih sempat
mengeluarkan kata-kata
pujian lagi.
"Kau memang anak muda yang
baik hati. Be-
runtunglah aku yang tua-bangka
ini..."
Terkesiap Suropati melihat telapak tangan
Kwe Kok Jiang yang berwarna
kuning seperti dilu-
muri air kunyit. Semula dia tak
begitu memperhati-
kannya. Segera Suropati ingat
cerita guru perta-
manya mendiang Pragolawulung
atau Periang Ber-
tangan Lembut. Menurut cerita
kakek yang pernah
menjadi penasihat istana itu,
ada beberapa tokoh
rimba persilatan yang memiliki
tenaga dalam luar
biasa hebatnya, yang sanggup
menghancurkan ben-
da apa pun menjadi serbuk halus
berwarna-warni.
Bila telapak orang itu berwarna
merah, maka benda
yang dipukulnya akan menjadi
serbuk halus ber-
warna merah pula. Bila telapak
tangan berwarna hi-
jau, hijau pula serbuk halus
bekas pukulannya. Me-
lihat telapak tangan Kwe Kok
Jiang yang berwarna
kuning, apakah dia salah satu
dari beberapa orang
yang memiliki tenaga dalam luar
biasa itu?
Sementara Suropati terbawa
pikiran di be-
naknya, Kwe Kok Jiang tampak
menapuk-nepuk pe-
rutnya. Satu setengah ikan gabus
yang cukup besar
telah pindah ke dalamnya.
"Lezat... Lezat
sekali...," desis Kwe Kok Jiang
sambil menjilati bibirnya.
Lelaki tua itu lalu mengeluarkan
poci keramik
kecil dari saku bajunya yang
gedombrongan. Ketika
tutupnya dibuka, bau arak keras
menyebar, menu-
suk lubang hidung. Setelah
membasahi kerongkon-
gannya beberapa teguk, Kwe Kok
Jiang menyodor-
kan poci araknya kepada Pengemis Binal. Namun,
remaja tampan itu menggelengkan
kepala, tanda
menolak pemberiannya.
"Kenapa?" tanya Kwe
Kok Jiang dengan ken-
ing berkerut.
"Aku tidak biasa minum arak
yang terlalu ke-
ras, Pak Tua...," jawab
Pengemis Binal lembut, agar
tak menyinggung perasaan.
"Ha ha ha...! Kau memang
anak muda yang
baik hati. Ha ha ha...! Senang
sekali rasa hatiku da-
pat berjumpa denganmu. Tapi, aku
pelancong yang
tak mungkin makan milik orang
lain tanpa memberi
imbalan..."
Usai berkata, Kwe Kok Jiang
merogoh saku
celananya. Segera disodorkannya
sekeping uang
emas kepada Suropati.
"Ambillah...."
Kepala Pengemis Binal menggeleng
lagi. "Apa
yang kuberikan kepadamu sebagai
tanda persahaba-
tan. Aku tidak memerlukan uang
sebagai imbalan."
"Sungguhkah itu?" mata
Kwe Kok Jiang atau
Pendekar Sesat berbinar-binar. "Sungguhkah
bila
ikan yang kau berikan tadi
sebagai tanda persaha-
batan? Sungguhkah pula kau tidak
mau menerima
uangku?"
"Apalah arti ikan
pemberianku tadi, Pak Tua?"
sahut Pengemis Binal. "Ikan
itu aku dapat dari sun-
gai di mana setiap orang boleh pula
menangkapnya.
Dan kalau kau masih lapar, aku
bisa menangkap
beberapa ekor lagi
untukmu,"
"Ha ha ha...! Aku senang...
senang sekali ber-
jumpa denganmu. Kau memang anak
muda yang
sungguh-sungguh baik hati. Tapi,
aku tak bisa me-
nerima tawaran baikmu itu.
Perutku bisa jebol! Ha
ha ha...!"
Sambil tertawa bergelak, Kwe Kok
Jiang men-
gedarkan pandangan. Dilihatnya
puncak-puncak
bukit yang tinggi menjulang.
Dilihatnya barisan po-
hon bagai tonggak-tonggak hijau
yang dijajarkan.
Tak terkecuali, dilihatnya pula
aliran sungai berair
bening yang pada bagian tepinya
diseraki bebatuan.
"Aku merasa sangat
berhutang budi padamu,
Anak Muda...," ujar Kwe Kok
Jiang kemudian. "Ma-
ri... mari kau jelaskan
kepadaku. Ada maksud apa-
kah hingga kau berada di tempat
yang sunyi seperti
ini? Berilah aku tahu,
barangkali raga tua ini masih
mampu memberi bantuan...."
Bibir Suropati menyungging
senyum tipis.
Mendengar tawaran Kwe Kok Jiang
yang sudah da-
pat dipastikan bukan orang
sembarangan, cepat re-
maja tampan itu memutar otak.
Hendak diselidi-
kinya jati diri Kwe Kok Jiang
lebih jauh.
"Untuk menerangkan apa
maksudku datang
ke tempat ini, tidaklah sukar.
Tinggal membuka mu-
lut saja. Namun, bagaimana aku
menjelaskannya bi-
la aku belum mengetahui siapa
Pak Tua yang sebe-
narnya."
Kwe Kok Jiang menyahuti ucapan
Pengemis
Binal dengan tawa keras.
"Ha ha ha...! Sudah kuka-
takan tadi, aku Kwe Kok Jiang,
bergelar Pendekar
Sesat. Apakah kau lupa, Anak
Muda?"
"Tidak! Aku tidak lupa, Pak
Tua. Aku pun te-
lah tahu kau pemilik Pulau
Tho.... Thobolonto atau
apa, aku sulit
mengucapkannya...."
"Ha ha ha...!" Kwe Kok
Jiang tertawa lagi.
"Bukan Thobolonto, tapi Tho
Lioe Tho!"
"Ya, ya, Tho.... Tho....
Ah! Pokoknya aku tahu
kau pemilik pulau yang berada di
negeri seberang
itu...," memerah wajah
Suropati karena tak dapat
menirukan ucapan Kwe Kok Jiang.
"Aku tidak lupa
apa yang telah kau katakan tadi,
Pak Tua. Tapi, itu
saja belum cukup. Karena aku
benar-benar ingin
mengikat tali persahabatan
denganmu, apakah kau
bersedia menjelaskan siapa
dirimu lebih jauh, dan
apa pula tujuanmu datang ke
pulau Jawa ini?"
"Hmmm.... Selain baik hati,
rupanya kau bisa
berlaku cerdik, Anak Muda.
Ditanya tak menjawab,
malah balik bertanya. Tapi, tak
jadi apa. Karena aku
juga ingin mengikat tali
persahabatan denganmu,
aku mengalah. Akan kuceritakan
apa yang menjadi
tujuanku sehingga aku
meninggalkan tanah kelahi-
ranku, yang ribuan tombak
jauhnya dari sini...."
Pengemis Binal tersenyum senang.
Pancin-
gannya mengenai sasaran. Dia
edarkan dengan sek-
sama ucapan Kwe Kok Jiang yang
mulai bercerita.
"Tiga tahun yang lalu,
setelah mengarungi
lautan selama berbulan-bulan,
sampailah aku di ta-
nah subur dan berpenduduk
ramah-tamah ini. Tapi,
ketahuilah bahwa sebelumnya aku
telah menginjak-
kan kaki di tanah Tibet, dan
mendaki Pegunungan
Than Ala San. Kedatanganku ke
sana adalah untuk
mencari Arca Budha yang terbuat
dari emas mur-
ni...."
"Pak tua dapatkan arca
itu?" sela Pengemis
Binal.
Mendadak, Kwe Kok Jiang
mendengus gusar.
Ditatapnya wajah Pengemis Binal
lekat-lekat seperti
menyimpan rasa jengkel.
"Ada apa, Pak Tua? Kenapa
kau menatapku
seperti ini?" tanya
Pengemis Binal, tak mengerti.
"Bila aku bercerita, jangan
dipotong! Aku tak
suka!"
Mendengar bentakan Kwe Kok
Jiang, men-
geam paras Pengemis Binal. Walau
dalam hati dia
mengumpat-umpat, cepat dia
rangkapkan kedua te-
lapak tangannya ke depan dada
seraya berkata,
"Maaf... maaf, Pak Tua.
Bukan maksud hatiku un-
tuk memotong ceritamu. Hanya
karena aku sangat
tertarik, tak kuasa aku memendam
keinginan ber-
tanya...."
"Ha ha ha...!" Hilang
sudah rasa jengkel di ha-
ti Kwe Kok Jiang. Malah, dia
tertawa mendengar ka-
limat Pengemis Binal.
"Sungguh kau memang Anak
Muda baik hati yang pandai
menyusun kata-kata.
Senang rasa hatiku ini. Namun,
jangan sekali-kali
memotong ceritaku karena aku
bisa lupa kelanju-
tannya...."
"Ya. Ya, aku mengerti, Pak
Tua...."
Kwe Kok Jiang hendak melanjutkan
ceri-
tanya, tapi hingga beberapa lama
dia tak membuka
suara. Keningnya tampak berkerut
tajam seperti
tengah berpikir keras.
"Ada apa, Pak Tua?"
tanya Pengemis Binal
yang tak bisa menahan rasa ingin
tahunya.
Yang ditanya tak segera
menjawab. Mulutnya
mendesah terus. Mendadak, dia
mukul-mukul jidat-
nya.
"Bodoh! Bodoh sekali aku
ini! Kenapa aku
sangat pelupa?!" Kwe Kok
Jiang mengutuk diri sen-
diri.
Tahulah Suropati kenapa lelaki
berkuncir itu
jadi jengkel ketika ceritanya
terpotong tadi. Ru-
panya, dia punya penyakit cepat
lupa.
"Hei! Kau ingat ceritaku
tadi sampai di ma-
na?" tanya Kwe Kok Jiang
dengan bola mata mem-
besar.
Suropati ingin tertawa, tapi
cepat ditahannya
keinginan itu. Sambil
garuk-garuk kepala, dia berka-
ta, "Kau tadi bercerita
bahwa sebelum datang ke ta-
nah Jawa, kau datang ke Tibet
untuk mencari Arca
Budha di Pegunungan Tak
Beralasan...."
"Ya. Ya, aku ingat
sekarang. Aku mendaki Pe-
gunungan Than Ala San, bukan Tak
Beralasan.
Daya ingatmu tajam, tapi lidahmu
kaku, Anak Mu-
da...."
Suropati mengangguk-angguk. Tak
hendak
dia berkata-kata lagi. Takut Kwe
Kok Jiang kumat
penyakit lupanya.
Mendadak, mata Kwe Kok Jiang
berkilat ta-
jam. Sambil mendengus pendek,
dia sorongkan ke-
dua telunjuk jari tangan
kanannya untuk menusuk
mata Suropati!
Wuttt...!
Keterkejutan Suropati bukan
alang-kepalang
lagi. Tangan Kwe Kok Jiang yang
berkelebat amat
cepat tampaknya tidak main-main.
Dia benar-benar
ingin mencelakai Pemimpin
Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti itu!
Namun, Suropati bukanlah anak
kemarin
sore yang masih bau kencur.
Selama malang-
melintang di rimba persilatan
sudah cukup banyak
pengalamannya menghadapi
penyerang-penyerang
gelap. Karena tak pernah melepas
kewaspadaannya,
maka serangan mendadak Kwe Kok
Jiang masih ter-
baca olehnya. Yang membuat
remaja tampan itu
terkejut ialah kenapa Kwe Kok
Jiang bisa berbuat
sedemikian culas, padahal dia
seorang perantau tua
yang tentu saja membawa nama
baik negeri kelahi-
rannya.
Desss...!
Pekik kecil keluar dari mulut
Kwe Kok Jiang
ketika pergelangan tangannya
membentur kepalan
Suropati. Kontan luncuran dua
ujung jarinya mem-
belok arah dan hanya mengenai
tempat kosong di si-
si kiri kepala Suropati.
"Penjahat culas!" seru
Pengemis Binal.
Tak ada sahutan dari Kwe Kok
Jiang. Lelaki
berkuncir itu langsung
menyambung serangannya
yang gagal sambil berulang kali
menggembor keras.
Walau dalam keadaan duduk
bersila di dekat bekas
perapian, namun kedua tangan
lelaki berkuncir itu
mampu bergerak sedemikian cepat,
memperagakan
jurus-jurus silat yang memaksa
Suropati mening-
katkan kewaspadaannya.
Kedua tangan Kwe Kok Jiang mampu
menye-
rang cepat susul-menyusul tiada
henti laksana
guyuran air bah. Sementara,
Suropati yang juga du-
duk bersila tak jauh dari
hadapannya, beberapa kali
dihantam keterkejutan. Tak
kurang dari lima kali
dia memekik keras karena
pergelangan tangannya
bergetar dan terasa amat ngilu
ketika menangkis se-
rangan Kwe Kok Jiang. Benar
dugaan Suropati bila
lelaki berkuncir itu memiliki
tenaga dalam luar bi-
asa.
"Terkutuk kau, Pak
Tua!" maki Pengemis Bi-
nal seraya mengalirkan seluruh
kekuatan tenaga da-
lamnya ke kedua pergelangan
tangannya. Dengan
mempergunakan gerak tipu 'Pengemis
Meminta Se-
dekah' dia melakukan serangan
balik lebih berani.
Namun, seluruh gerak tipu yang
dilancarkan
remaja tampan itu berhasil
dipatahkan oleh Kwe
Kok Jiang. Bahkan, ujung-ujung
jari tangannya ber-
kelebat cepat luar biasa,
mengarah ke jalan darah
penting di leher dan dada
Suropati.
"Kentut busuk!" maki
Suropati lagi.
Cepat remaja tampan itu bangkit
dari duduk-
nya karena tak mampu menahan
serangan Kwe Kok
Jiang. Tapi....
Desss...! Brukkk..!
"Aduh...!"
Suropati jatuh terduduk karena
kaki kanan-
nya kena kait Kwe Kok Jiang.
Dan, meledaklah ama-
rah Suropati. Dengan pantat
masih menyentuh per-
mukaan tanah berbatu, dia
melakukan tendangan
dan pukulan yang disertai aliran
tenaga dalam pe-
nuh. Hingga, timbul suara
bersiur keras yang diser-
tai tiupan angin kencang-yang
membuat debu dan
kerikil beterbangan.
Melihat Pengemis Binal yang
menyerangnya
dengan sungguh-sungguh, Kwe Kok
Jiang malah ter-
tawa senang. Mendadak, kaki
kanannya menyapu
cepat. Sewaktu Pengemis Binal
mengangkat tubuh
untuk menghindar, cepat kepalan
tangannya me-
nyodok seraya melakukan sapuan
lagi. Itulah salah
satu gerakan dari jurus 'Buka Jendela Menengok
Bulan'.
Desss...! Brukkk...!
"Argh...!"
Suropati jatuh terjengkang
seraya memekik
kesakitan. Selain kakinya kena
sapu yang memper-
dengarkan suara gemeretak karena
terbenturnya tu-
lang dengan tulang, dia juga
merasakan dadanya se-
sak kena sodok kepalan tangan
kanan Kwe Kok
Jiang. Untunglah lelaki
berkuncir itu tidak memper-
gunakan seluruh kekuatan tenaga
dalamnya, se-
hingga Suropati tidak sampai
menderita luka berar-
ti. Hanya kepalanya yang terasa
pening karena jalan
napasnya berhenti mendadak.
"Cepatlah bangun! Keluarkan
seluruh ke-
mampuanmu!" bentak Kwe Kok
Jiang sambil men-
gulum senyum ejekan.
Cepat Suropati bangkit. Dalam
keadaan du-
duk berjongkok dia meraba
dadanya yang terasa pa-
nas. Terkejutlah dia ketika tahu
di kain bajunya ter-
dapat cap kepalan tangan berwarna kuning. Lebih
terkejut lagi dia saat kain
bajunya yang bercap itu
mendadak berlubang seperti habis
dibakar.
"Jangan salahkan aku bila
kau pulang ke ne-
gerimu hanya tinggal nama!"
sesumbar Suropati.
"Ha ha ha...!" Kwe Kok
Jiang tertawa bergelak.
"Sungguhkah kau mampu
mewujudkan kata-
katamu itu? Tak salah lagi! Tak
salah lagi! Kaulah
orang yang kucari! Segera kau
awali lagi serangan-
mu, agar aku semakin tahu siapa
kau!"
"Baiklah! Pertama, akan
kupatahkan tangan
kananmu. Lalu, tangan kirimu. Terakhir,
kutendang
pantatmu sampai kau kentut lewat
mulut!"
Kwe Kok Jiang tertawa
terbahak-bahak men-
dengar ancaman Pengemis Binal
yang konyol. Na-
mun, lelaki berkuncir itu tak
dapat duduk enak-
enakan lagi karena Pengemis
Binal telah mencecar-
nya dengan serangan berbahaya.
Hebat sekali Kwe Kok Jiang.
Walau dalam
keadaan duduk bersila, tapi
mampu mematahkan
serangan Pengemis Binal yang
dilancarkan sepenuh
hati. Hingga, wajah Pengemis
Binal terlihat merah-
padam karena menahan rasa
jengkel.
"Terimalah salam perpisahan
ini, Pak Tua!"
Tiba-tiba, Pengemis Binal
melentingkan tu-
buh-nya ke atas. Setelah
bersalto tiga kali di udara,
tubuhnya berkelebat cepat dengan
kedua telapak
tangan menyorong ke depan. Dia
melakukan gera-
kan 'Pengemis Menghiba Rembulan'
untuk meng-
hantam dada Kwe Kok Jiang!
"Kuterima dengan senang
hati, Anak Muda!"
ujar Kwe Kok Jiang, membalas
seruan Suropati.
Cepat sekali lelaki berkuncir
ini menghentak-
kan kedua telapak tangannya ke
depan. Sepertinya
dia tak begitu memikirkan akibat
yang akan terjadi.
Luncuran tubuh Suropati tentu
saja menambah ke-
kuatan pukulannya. Namun, kenapa
Kwe Kok Jiang
berani memapaki?
Blarrr...!
"Argh...!"
Sebuah ledakan keras membahana
di angka-
sa. Disusul dua pekik kesakitan.
Tubuh Suropati
terlontar kembali ke udara.
Sementara, kaki Kwe
Kok Jiang yang tengah bersila
tampak melesak ke
dalam tanah sampai sebatas
pinggang!
2
"Ha ha ha...!" Kwe Kok
Jiang tertawa senang.
"Hebat... Hebat sekali kau,
Anak Muda. Beruntung
sekali raga tua ini dapat
berjumpa denganmu...."
Sambil mengeluarkan kata-kata
pujian, mata
lelaki berkuncir itu menatap
tanpa berkedip tubuh
Pengemis Binal yang tengah
bersalto di udara.
"Setan alas! Walau kau
sudah bangkotan, tapi
aku merasa masih perlu memberi
pelajaran kepa-
damu, Pak Tua!" ujar
Pengemis Binal begitu kakinya
mendarat di tanah.
"Oh! Tidak! Tidak! Kau
jangan salah sangka,
Anak Muda!" Kwe Kok Jiang
menggerak-gerakkan te-
lapak tangan kanannya di depan
wajah. "Aku hanya
ingin tahu seberapa tinggi kau
memiliki ilmu kepan-
daian. Kiranya, kau memang
pantas untuk menden-
gar riwayat Arca Budha.... Huk!
Huk!"
Kwe Kok Jiang menutup kalimatnya
dengan
batuk-batuk. Cepat dia menyeka
darah segar yang
mengalir dari sudut bibirnya.
Dia tak ingin luka da-
lamnya diketahui oleh Suropati.
Tapi, tampaknya
Suropati sudah mengetahui.
Setelah terjadi bentro-
kan tenaga dalam tadi, wajah Kwe
Kok Jiang me-
mang kelihatan pucat.
"Aku tahu kau terluka
dalam, Pak Tua...,"
ujar Suropati sambil berjalan
menghampiri. "Kalau
kau memang tidak bermaksud
buruk, aku bisa
memberi sedikit bantuan untuk
meringankan luka
dalammu."
"Terima kasih. Terima
kasih...," tolak Kwe Kok
Jiang sambil beringsut dari
tempat duduknya yang
telah menjadi kubangan sedalam
satu jengkal. Sete-
lah mendapatkan tempat duduk di
atas batu datar,
dia menyambung ucapannya, "Matamu cukup ta-
jam. Di balik ketajaman matamu,
juga tersimpan
banyak pengalaman. Tapi, kau tak
perlu khawatir,
Anak Muda. Aku tidak menderita
luka dalam parah.
Jantungku yang sudah tua
bergetar keras karena
tak mampu menerima goncangan
waktu terjadi ben-
trokan tenaga dalam tadi, namun
tak bakalan me-
renggut nyawaku...."
"Maafkan aku, Pak
Tua...."
"Hus! Tak perlu kau ucapkan
itu!" potong Kwe
Kok Jiang. "Seharusnya aku
yang meminta maaf!"
Dengan sikap tenang Suropati
duduk di ha-
dapan Kwe Kok Jiang. Mendengar
hembusan napas-
nya yang teratur, tahulah
Suropati bila lelaki tua itu
memang tidak menderita luka
dalam parah. Terpikir
di benak Suropati kemudian bila
Kwe Kok Jiang ti-
dak mempergunakan seluruh
kepandaian tenaga da-
lamnya waktu memapaki pukulannya
tadi. Kemung-
kinan besar lelaki berkuncir itu
tidak ingin membuat
Suropati celaka.
"Bila aku memang dianggap
cukup pantas
untuk mengetahui riwayat Arca
Budha, maka tak
perlu Pak Tua mengulur waktu
lagi. Karena, aku tak
bisa berdiam di tempat sunyi ini
terlalu lama," ujar
Suropati, sedikit mendesak.
"Ha ha ha...! Jangan
khawatir! Aku akan se-
gera meneeritakannya. Kau Anak
Muda yang baik
hati, juga berilmu tinggi.
Namun, kau mesti menye-
butkan nama berikut gelar
terlebih dulu...."
Kening Suropati berkerut. Tanpa
sadar dia
garuk-garuk kepala. Walau sudah
cukup lama dia
bercakap-cakap dengan Kwe Kok
Jiang, tapi dia be-
lum memperkenalkan diri.
"Aku yang bodoh ini bernama
Suropati. Te-
man-temanku memberikan julukan
padaku Penge-
mis Binal...," kenal
Suropati kemudian.
"Pengemis Binal?"
kejut Kwe Kok Jiang.
"Ya. Pak Tua tampak
terkejut. Apakah julu-
kanku terdengar aneh? Ya... ya,
memang aneh. Pen-
gemis... Binal.... Memang,
kedengaran aneh, tapi
aku suka!"
"Bukan! Bukan karena
julukanmu aku men-
jadi terkejut," sahut Kwe
Kok Jiang yang melihat Su-
ropati tampak berpikir sambil
garuk-garuk kepala.
"Aku tahu dari pembicaraan
orang bila Pengemis Bi-
nal adalah Pemimpin Perkumpulan
Pengemis Tong-
kat Sakti yang anggotanya
berjumlah ribuan orang.
Cukup lama aku mencari orang
yang berjuluk Pen-
gemis Binal itu untuk sekadar berkenalan, kalau
mungkin untuk mengikat tali
persahabatan. Tapi...
setelah berjumpa.... Sungguh tak
kusangka! Sung-
guh tak kusangka! Pengemis Binal
ternyata belum
seberapa umurnya...."
"Nada bicaramu seperti
menyesali sesuatu,
Pak Tua. Apakah kau kecewa
setelah mengetahui bi-
la Pemimpin Perkumpulan Pengemis
Tongkat Sakti
hanya seorang pemuda bodoh macam
diriku"
"Tidak...! Tidak...! Kau
jangan salah sangka,
Suro...," sahut Kwe Kok
Jiang, merubah panggilan-
nya. "Walau kau masih muda,
tapi kepandaianmu
sudah cukup tinggi. Kukira, kau
memang pantas
untuk memimpin Perkumpulan
Pengemis Tongkat
Sakti. Aku tahu dan sadar
sepenuhnya bila kau
mengeluarkan ilmu simpananmu
tadi, tak mungkin
sekarang ini aku masih dapat mendengar
gemericik-
nya air sungai dan melihat
indahnya panorama bu-
kit...."
"Jangan terlalu merendah,
Pak Tua. Aku tahu
bila tadi Pak Tua sengaja
mengalah…" sahut Penge-
mis Binal.
"Ha ha ha...! Rupanya, kau
seorang pemimpin
yang rendah hati, Suro. Sungguh
aku kagum kepa-
damu. Bila ada umur panjang, dan
aku dapat kem-
bali ke Pulau Tio Lioe Tho, akan
kuceritakan keha-
lusan budi Pengemis Binal. Agar,
menjadi suri-
tauladan anak-cucuku....."
"Ah! Pak Tua terlalu
berlebihan...," potong
Pengemis Binal memerah wajahnya
mendengar pu-
jian langsung Kwe Kok Jiang.
Pengemis Binal diam saja ketika
bahu kirinya
ditepuk-tepuk Kwe Kok Jiang.
"Sekarang, kau dengar
baik-baik. Aku akan
memulai ceritaku perihal Arca
Budha. Dengan satu
harapan, setelah kau mengetahui
riwayat arca yang
terbuat dari emas murni itu, kau
akan dapat meme-
tik sebuah hikmah yang mungkin
akan berguna da-
lam hidupmu."
Pengemis Binal
mengangguk-angguk.
"Menurut cerita guruku Tan
Hwe Liok yang
bergelar si Garuda Sakti, sekitar
dua ratus tahun
yang lalu, pada hari ulang tahun
rajaku, beliau
mendapat hadiah sebuah benda
yang seluruhnya
terbuat dari emas murni. Benda
itu adalah Arca
Budha. Yang memberinya adalah
tetua kami yang
telah berhasil menciptakan ilmu
silat yang saat ini
menjadi pegangan partai-partai
silat di tanah Tiong-
kok...."
Mendengar cerita Kwe Kok Jiang
ada menye-
but ilmu silat, giranglah hati
Pengemis Binal. Maka,
dia dengarkan penuh perhatian
cerita lelaki berkun-
cir itu selanjutnya.
"Ketika itu, raja kami
sudah berusia lanjut,
dan sama sekali tak mengetahui
rahasia yang terda-
pat di balik keindahan Arca
Budha. Akhirnya, arca
itu jatuh ke tangan putra raja
yang kemudian men-
duduki singgasana ayahandanya.
Karena keelokan
Arca Budha, dia pun sangat
menyukai benda pem-
berian tetua kami itu."
Kwe Kok Jiang menghentikan
ceritanya. Dia
keluarkan poci kecil arak yang
tersimpan di kantong
bajunya. Ditawarinya Suropati,
tapi remaja tampan
itu menolak lagi.
"Terima kasih, Pak Tua. Sudah
kubilang di
muka, aku tak biasa minum arak
keras."
Bibir Kwe Kok Jiang menyungging
senyum.
Ditatapnya wajah Suropati
lekat-lekat. Setelah me-
nenggak araknya, dia melanjutkan
ceritanya.
"Pada tahun kelima setelah
putra mahkota
menjadi raja, tetua kami yang
menghadiahkan Arca
Budha meninggal dunia karena
penyakit tua. Seta-
hun kemudian, salah seorang
muridnya menyiarkan
cerita bahwa di balik keelokan
Arca Budha tersim-
pan tanda-tanda rahasia mengenai
suatu tempat, di
mana pada tempat itu terdapat
sesuatu yang luar
biasa sekali. Sebentar saja,
seluruh negeri kami
menjadi gempar, terutama
orang-orang yang berke-
cimpung di rimba persilatan. Hingga, bangkitlah
nafsu buruk manusia. Mereka
berlomba-lomba un-
tuk dapat memasuki istana dan
mencuri Arca Bud-
ha. Sampai akhirnya, walau
penjagaan istana sudah
diperkuat. Arca Budha lenyap
juga.
Tidak ada yang tahu ke mana
lenyapnya arca
itu. Hingga dua ratus tahun
kemudian, guruku Sing
Eng Tan Whe Liok memperoleh
keterangan bahwa
Arca Budha berada di Tibet,
tepatnya di tanah Pegu-
nungan Than Ala San. Guruku lalu
memerintahkan
aku pergi ke sana..."
"Seorang diri?"
Pengemis Binal tak mampu
menahan diri untuk tak bertanya.
Untunglah, Kwe
Kok Jiang tak marah. Dengan
suara lembut dia
menjawab pertanyaan Pengemis
Binal.
"Ya. Kalau aku membawa
teman, aku khawa-
tir terjadi bentrokan di
kalangan kami sendiri. Dan
ternyata, aku salah
duga...."
Mendadak, hembusan napas Kwe Kok
Jiang
menjadi lebih cepat. Lalu,
dengan nada tinggi dia
melanjutkan ceritanya.
"Di Pegunungan Than Ala San
telah terdapat
banyak orang rimba persilatan.
Tokoh-tokoh utama
Butong Pay, Kongtong Pay, dan
Tjenghong Pay turut
campur tangan...."
"Bu... Butong Pay, Kong...
Kongtong Pay? Apa
itu?" Pengemis Binal
bertanya karena Kwe Kok Jiang
mengucapkan istilah yang tak dia
mengerti
Sambil mengulum senyum, Kwe Kok
Jiang
menjelaskan. "Butong Pay,
Kongtong Pay, dan
Tjenghong Pay adalah partai
silat ternama yang
mempunyai pengaruh besar di
negeri Cina. Namun,
aku sedikit bersyukur karena
tokoh-tokoh Siauwlim
Pay tak ikut datang di
Pegunungan Than Ala San.
Rupanya, pendekar-pendekar
shaolin sengaja meng-
hindari pertumpahan
darah...."
"Lalu?"
"Pegunungan Than Ala San
benar-benar ban-
jir darah. Ratusan nyawa
melayang sia-sia. Hingga,
di Pegunungan Than Ala San
tinggal dua manusia
yang sama-sama telah terluka.
Aku dan seorang jago
silat tua bernama Auwyang Nan
Ie. Kami tidak me-
lanjutkan pertempuran karena
Arca Budha yang ter-
geletak di puncak tonjolan batu
bersalju amat tinggi
tiba-tiba lenyap.
Aku dan Auwyang Nan Ie saling
berlomba
mencari ke mana lenyapnya arca
itu. Kami sama-
sama mengitari Pegunungan Than
Ala San, sampai
bisa dikatakan tak ada sejengkal
tanah pun yang be-
lum kami jamah. Tapi, Arca Budha
benar-benar tak
dapat kami temukan.
Sambil membawa rasa jengkel dan
amarah,
aku menuruni Pegunungan Than Ala
San. Karena
kelelahan dan luka-luka di
tubuhku, aku jatuh
pingsan. Sewaktu kesadaranku
hilang itulah aku
mendapat petunjuk...."
"Petunjuk apa?"
Mata Kwe Kok Jiang mendelik
mendengar
pertanyaan Suropati. "Tak
perlu kau bertanya! Pasti
akan kuceritakan semuanya!"
Mendengar bentakan lelaki
berkuncir itu, Su-
ropati cuma dapat cengar-cengir
sambil garuk-garuk
kepala.
"Tetua kami yang
menghadiahkan Arca Bud-
ha kepada sang raja datang
kepadaku dalam mimpi.
Beliau memberitahukan bahwa arca
yang terbuat
dari emas murni itu dilarikan
orang ke tanah Jawa.
Karena aku percaya pada petunjuk
yang da-
tang lewat mimpi itu, aku datang
ke sini. Namun
hingga tiga tahun, tak juga
kudapatkan titik terang
di mana Arca Budha berada."
Kwe Kok Jiang menutup ceritanya
dengan ta-
rikan napas panjang. Kerut-kerut
di wajahnya se-
makin kentara.
"Pak tua jauh-jauh mencari
Arca Budha, bah-
kan rela mengorbankan nyawa, apakah arca itu
sangat berarti bagi Pak
Tua?" selidik Pengemis Binal.
Kepala Kwe Kok Jiang menggeleng
lemah.
"Sebenarnya, aku tidak
tertarik untuk memiliki arca
itu...," ujarnya dengan
suara bergetar.
"Lalu, kenapa Pak Tua
datang ke Pegunungan
Than.... Than Ala San, bertempur
melawan ratusan
orang, bahkan bersusah-payah
datang ke tanah Ja-
wa ini?"
"Aku hanya menuruti amanat
guruku. Kata
beliau, kelangsungan hidup
rakyat Cina tersimpan
di balik keelokan Arca Budha.
Maka dari itu, Arca
Budha tak boleh jatuh ke tangan
orang jahat...."
"Benarkah itu, Pak
Tua?"
"Buat apa aku berbohong.
Kalau aku me-
nyimpan maksud-maksud tertentu
untuk memiliki
Arca Budha secara pribadi,
biarlah petir menyam-
barku sekarang juga."
Pengemis Binal mengangguk-angguk
men-
dengar kesungguhan ucapan Kwe
Kok Jiang. Untuk
beberapa lama remaja tampan itu
merenung.
"Kau pasang lagi telingamu,
Suro. Ceritaku
belum selesai!"
Terkesiap Pengemis Binal
mendengar ucapan
Kwe Kok Jiang yang setengah
membentak. Cepat dia
anggukkan kepala seraya berkata,
"Ya. Ya, lanjutkan
ceritamu, Pak Tua. Aku akan
mendengarkan penuh
perhatian...."
Setelah meneguk sisa araknya,
Kwe Kok Jiang
mulai bercerita lagi.
"Sekitar dua puluh tahun yang
lalu, kaum rimba persilatan di
tanah Tiongkok di-
gemparkan oleh adanya sebilah
pedang peninggalan
seorang tetua kami yang memiliki
kepandaian seten-
gah dewa. Menurut cerita yang
kudengar, pedang itu
ujungnya melengkung berbentuk
patuk Burung
Hong. Ujung pedang itu dapat
dipakai untuk meni-
kam ataupun menggaet senjata
lawan. Oleh kare-
nanya, pedang itu diberi nama
Pedang Burung
Hong.
Ketika itu, banyak sekali orang
gagah yang
saling mempertahankan jiwa untuk
memperebutkan
pedang tersebut. Auwyang Nan Ie
juga ikut di antara
mereka."
"Apakah karena pedang itu
berbentuk patuk
Burung Hong sehingga orang-orang
sedemikian ber-
nafsu untuk memilikinya?"
tanya Suropati walau se-
benarnya dia tak tahu bagaimana
bentuk Burung
Hong itu.
"Bukan! Bukan karena itu!
Kalau hanya pe-
dang berbentuk patuk Burung
Hong, mudah saja
orang membuatnya."
"Lalu, apa keistimewaannya,
Pak Tua?"
"Di seluruh badan Pedang
Burung Hong ter-
dapat ukiran-ukiran yang
melukiskan gerakan ilmu
silat ciptaan tetua kami yang
meninggalkan pedang
itu sendiri."
"Kau katakan tadi, tetua
kau itu memiliki ke-
pandaian setengah dewa. Karena
itukah orang-orang
sangat bernafsu untuk memiliki
pedang pe-
ninggalannya?"
"Tepat!"
"Siapa namanya?"
"Sampai sebegitu jauh, dan
walau orang-
orang rimba persilatan telah
bersitegang untuk
memperebutkan pedang pusaka
peninggalannya, tak
seorang pun yang tahu siapa nama
tetua kami itu."
Suropati mengangguk-angguk,
tanda menger-
ti. Tak hendak dia menyambung
pertanyaannya.
Sementara, kening Kwe Kok Jiang
tampak berkerut
rapat. Berulang kali lelaki
berkuncir itu menarik na-
pas panjang.
"Celaka! Celaka!" seru
Kwe Kok Jiang seraya
menggaplok kepalanya sendiri
berulang kali
"Eh! Eh! Kenapa kau, Pak
Tua!" kejut Penge-
mis Binal.
"Aku lupa! Aku lupa!
Ceritaku tadi sampai di
mana?"
Kontan perut Pengemis Binal
terasa sakit ka-
rena menahan tawa. Rupanya,
penyakit lupa Kwe
Kok Jiang sedang kumat.
Terbersit rasa kasihan di
hati Pengemis Binal melihat
lelaki berkuncir itu te-
rus menggaplok-gaplok kepalanya
sendiri.
"Sudahlah, Pak Tua! Aku
tahu sampai di ma-
na ceritamu tadi," ujar
Pengemis Binal kemudian.
"Ya. Ya, kau memang cerdas. Tapi...," mata
Kwe Kok Jiang mendelik.
"Bukankah kau tadi telah
memotong ceritaku, sehingga aku
jadi lupa untuk
melanjutkannya?"
"Ya. Aku salah, Pak
Tua...," aku Pengemis Bi-
nal. "Tapi, kau tak perlu
marah-marah...."
Kwe Kok Jiang mendengus gusar. "Awas
kau
ulangi sekali lagi, kutonjok
mulutmu yang bawel
itu!" ancamnya. "Cepat
katakan sampai di mana aku
tadi bercerita!"
Pengemis Binal menggaruk
kepalanya yang
tak gatal, lalu berkata,
"Kau tadi menceritakan keis-
timewaan Pedang Burung
Hong...."
"Ya, benar!" potong
Kwe Kok Jiang, cepat. Se-
telah mengisi paru-parunya
dengan udara segar se-
banyak mungkin, dia melanjutkan
ceritanya, "Aku
ingat betul. Ketika itu, Auwyang
Nan Ie dan bebera-
pa tokoh tingkat atas lainnya
tengah terlibat per-
tempuran hebat. Berkali-kali
Pedang Burung Hong
berpindah tangan. Sampai
akhirnya, pedang itu ja-
tuh ke tangan seorang ahli yoga
India bernama Ma-
hicha Kapoor...."
"Jadi, Auwyang Nan Ie dan
yang lainnya bisa
dirobohkan oleh orang itu?
Eh...!"
Suropati mendekap mulutnya
karena kelepa-
san bicara, memotong cerita Kwe
Kok Jiang. Tapi
tampaknya, lelaki berkuncir itu
tak menjadi naik pi-
tam. Dengan senang hati
dijawabnya pertanyaan
Suropati.
"Pada waktu itu, Auwyang
Nan Ie belum sah
memegang gelar ahli silat kelas
utama. Tapi, kepan-
daiannya sudah luar biasa
sekali. Jangankan satu
Mahicha Kapoor, sepuluh orang
seperti dia pun be-
lum tentu dapat
mengalahkannya."
Kwe Kok Jiang hendak minum
araknya lagi.
Tapi, dia kecewa karena poci
araknya telah kosong.
Sambil menggerutu, dia lemparkan
poci arak kosong
itu ke dalam sungai.
"Auwyang Nan Ie dan
orang-orang gagah da-
ratan Tionggoan itu sebenarnya
bukan dikalahkan
oleh si ahli yoga Mahicha
Kapoor. Mereka kena tipu-
muslihat yang sangat licin.
Malangnya, tak seorang
pun di antara mereka yang
mengetahui bagaimana
orang seh Mahicha Kapoor itu
menjalankan tipuan-
nya.
Selama lima tahun, jago-jago
silat daratan
Tionggoan berusaha menemukan
Mahicha Kapoor
dan merampas Pedang Burung Hong
dari tangan-
nya. Karena tak mendapatkan
hasil, kami semua
menjadi putus asa Akhirnya,
timbul anggapan bah-
wa Mahicha Kapoor telah
mengasingkan diri untuk
mempelajari rahasia ilmu silat
yang terdapat pada
ukiran di badan Pedang Burung
Hong.
Hingga lima tahun selanjutnya,
tersiar kabar
dari tanah India bahwa ukiran
pada badan Pedang
Burung Hong bukan rahasia
pelajaran ilmu silat,
melainkan petunjuk akan adanya
sebuah tempat
yang menyimpan sesuatu yang amat
luar biasa.
Orang-orang rimba persilatan
geger lagi. Pertempu-
ran kembali berkecamuk. Darah
kembali tumpah.
Satu sama lain saling bunuh.
Kawan berubah jadi
lawan. Tokoh-tokoh tua yang
semula telah menga-
singkan diri pun turut campur.
Kala itu, daratan
Tiongkok benar-benar banjir
darah...."
Wajah Kwe Kok Jiang terlihat
muram. Dita-
riknya napas panjang beberapa
kali. Agaknya, dia
tengah menyesali peristiwa
berdarah yang sedang
diceritakannya.
Karena lelaki berkuncir itu tak
juga berkata-
kata lagi, Suropati memberanikan
diri untuk ber-
tanya.
"Sekarang, Pedang Burung
Hong itu berada di
mana, Pak Tua?"
Sebelum menjawab Kwe Kok Jiang
menatap
wajah Pengemis Binal
lekat-lekat, seakan ingin me-
longok isi hati remaja tampan
itu lewat bola ma-
tanya.
"Pedang pusaka itu jatuh ke
tangan Auwyang
Nan Ie," beri tahu Kwe Kok
Jiang. Lelaki tua itu lalu
terbatuk beberapa kali sampai
badannya membung-
kuk-bungkuk.
"Kau tak apa-apa, Pak
Tua?" tanya Suropati,
khawatir.
Kepala Kwe Kok Jiang menggeleng
lemah.
"Aku batuk bukan karena
terluka dalam. Aku batuk
karena digerogoti usia
tua," jawabnya, lalu disam-
bung dengan pertanyaan,
"Tahukah kau, Suro, bila
Arca Budha dan Pedang Burung
Hong mempunyai
hubungan?"
Pengemis Binal mengangkat bahu,
lalu garuk-
garuk kepala. Kebiasaan remaja
tampan itu tak
membuat Kwe Kok Jiang jengkel.
Malah, dia tertawa
senang.
"Ha ha ha...! Rupanya, kau
mempunyai ke-
biasaan aneh, Suro. Ha ha
ha...!"
"Ah! Jangan tertawa-tawa
dulu, Pak Tua. Se-
geralah ceritakan apa hubungan
Arca Budha dan
Pedang Burung Hong...,"
buru Pengemis Binal, agar
Kwe Kok Jiang segera
menghentikan tawanya.
"Sebenarnya, aku tak tahu
kalau Arca Budha
dan Pedang Burung Hong mempunyai
hubungan...,"
Kwe Kok Jiang melanjutkan
ceritanya. "Ketika aku
berpamitan kepada guruku Sing
Eng Tan Hwe Liok,
untuk pergi ke tanah Jawa,
beliau memberitahukan
bahwa rahasia yang terdapat pada
Arca Budha
hanya dapat dipecahkan dengan
membaca ukiran di
badan Pedang Burung Hong."
"Rahasia tentang sebuah
tempat yang terda-
pat sesuatu yang sangat luar
biasa itu?"
"Ya."
Usai menjawab pendek, mendadak
Kwe Kok
Jiang mengerutkan kening. Bola
matanya tampak
membesar, dan wajahnya menegang.
Rupanya, dia
tengah menajamkan pendengaran.
"Ada orang yang menguping
pembicaraan ki-
ta...," beri tahu Kwe Kok
Jiang, setengah berbisik.
"Ya. Aku juga mendengar
suara mencuriga-
kan," tegas Pengemis Binal.
Cepat sekali Kwe Kok Jiang
mengempos tu-
buh seraya berteriak lantang. "Bangsat!
Jangan lari!"
Bergegas Pengemis Binal
mengikuti kelebatan
tubuh lelaki berkuncir itu. Diloncatinya beberapa
tonjolan batu besar yang
terdapat di tepi sungai. Ke-
tika langkah kakinya memasuki
hutan kecil, sosok
Kwe Kok Jiang lenyap dari pandangannya.
"Huh! Cepat benar lari
orang tua itu!" gerutu
Pengemis Binal seraya
menghentikan langkah ka-
kinya.
Untuk beberapa lama remaja
tampan itu ce-
lingukan, tapi jejak Kwe Kok
Jiang yang tengah
mengejar si pencuri dengar tetap
tak ditemukannya.
Terbawa rasa penasaran, Suropati
melanjutkan
langkahnya memasuki hutan kecil
itu.
3
Di atas garis cakrawala sebelah
barat, sang
Baskara tegak menantang, namun
telah melemah
sinarnya terbawa putaran waktu
sore hari. Langit bi-
ru bagai layar lebar
dipentangkan berhias gum-
palan awan perak, bergerak
lembut terbawa hembu-
san angin
Walau udara terasa segar, tapi
Kwe Kok Jiang
bermandikan peluh. Lebih dari
dua peminuman teh
dia berlari cepat mengerahkan
seluruh daya ke-
mampuannya. Ilmu meringankan
tubuh lelaki ber-
kuncir yang datang dari tanah
Tiongkok itu sudah
sedemikian tinggi, hingga sekali
menjejak tanah, ja-
rak empat-lima tombak
terlampaui. Tubuhnya yang
terbungkus pakaian merah-hijau
berubah menjadi
bayangan yang hampir tak dapat
diikuti pandangan
mata.
Begitu keluar dari hutan kecil
yang banyak
diseraki tonjolan batu cadas,
Kwe Kok Jiang meng-
hentikan gerakan tubuhnya.
Diedarkannya pandan-
gan ke empat penjuru angin.
Dengan kening berke-
rut dia lalu berjongkok di
tengah jalan cukup lebar
yang di kanan-kirinya banyak
ditumbuhi pohon per-
du.
"Hmmm.... Banyak sekali
bekas tapak kaki
kuda di sini. Tidak ada jejak
kaki manusia satu pun.
Agaknya, si keparat pencuri
dengar itu memang bu-
kan orang sembarangan...,"
kata hati Kwe Kok Jiang.
Perantau dari Cina itu lalu
menapaki jalan
menuju utara. Dengan pandangan
mata tertuju lu-
rus ke depan, dia pertajam
indera pendengarannya.
Peluh yang membanjir di sekujur
tubuhnya tak bisa
hiraukan sama sekali. Kwe Kok
Jiang terus melang-
kah dengan kewaspadaan penuh.
Mendadak, terdengar suara
gemerisik dari
arah kanan jalan yang berupa
hutan. Langkah Kwe
Kok Jiang kontan terhenti. Untuk
beberapa lama le-
laki berkuncir itu berdiri
mematung. Dia pasang in-
dera pendengarannya lebih tajam.
"Aku tahu bukan hewan yang
ada di sana.
Suara gemerisik yang kudengar
adalah langkah ma-
nusia yang menginjak
semak-belukar. He, kau orang
yang sedang bersembunyi,
segeralah tam-pakkan
batang hidungmu bila kau tak mau
dikatakan seba-
gai pengecut bernyali
tikus!" teriak Kwe Kok Jiang
dengan bahasa Jawa.
Lelaki berkuncir itu berdiri
mematung di tem-
patnya, namun tak ada sahutan
yang dia dengar.
Setelah menunggu beberapa
tarikan napas, dia
mengulang teriakannya.
"Seorang pengecut
senantiasa diperbudak
oleh rasa takut. Namun, aku
percaya bila kau bukan
pengecut. Keluarlah kau segera!
Aku Kwe Kok Jiang
akan menyambut dengan baik bila
kedatanganmu
punya maksud baik pula!"
Di ujung kalimat Kwe Kok Jiang,
mendadak
hembusan angin bertambah
kencang, yang dibarengi
suara gelak tawa berkepanjangan.
Ranting-ranting
pohon bergoyang keras.
Akibatnya, dedaunan ber-
guguran.
Kwe Kok Jiang terkesiap
merasakan jantung-
nya berdegup lebih cepat dan gendang
telinganya
bagai ditepuk-tepuk. Cepat
lelaki berkuncir itu men-
gerahkan hawa murni untuk
membentengi diri dari
serangan suara tawa yang dialiri
tenaga dalam.
"Aku tahu bila kau bukan
tokoh sembaran-
gan. Namun aku tak habis
mengerti, kenapa kau
menunjukkan permainan anak kecil
seperti ini...?!"
ejek Kwe Kok Jiang dengan suara
keras menggelegar
karena dialiri tenaga dalam
pula.
Suara tawa yang terdengar dari
dalam hutan
berhenti mendadak. Hembusan
angin kembali me-
lemah. Daun-daun tak lagi berguguran.
Namun....
Wuttt...!
"Haya...!"
Sebuah benda hitam sebesar
kepalan tangan
melesat cepat hendak menghantam
kepala Kwe Kok
Jiang. Bergegas lelaki berkuncir
yang sudah matang
pengalaman itu mengempos tubuh.
Sambil bersalto
di udara, dia menangkap benda
hitam yang dituju-
kan untuk merenggut jiwanya.
Slap...!
Begitu menginjak tanah, Kwe Kok
Jiang men-
dengus gusar. Tangan kanannya
menggenggam batu
kali yang keras.
"Hmm.... Kiranya, aku telah
salah menduga.
Ternyata, kau benar-benar
seorang pengecut!"
Usai berkata, raut wajah Kwe Kok
Jiang me-
negang. Sambil menggeram laksana
harimau pada
puncak kemarahannya, dia meremas
batu kali di
tangannya. Karena remasan Kwe
Kok Jiang disertai
pengerahan tenaga dalam, batu
kali itu kontan han-
cur luluh menjadi serbuk halus
berwarna kuning!
"Keluar kau, Keparat!"
Umpatan Kwe Kok Jiang dibarengi
kelebatan
tangan kanannya yang melemparkan
serbuk halus
berwarna kuning. Jangan dikira
serbuk halus itu ti-
dak berbahaya. Lesatannya yang
mengarah ke da-
lam hutan menimbulkan suara
mendengung keras
seperti ada ribuan lebah sedang
terbang.
"Heaaa...!"
Terdengar pekikan nyaring yang
dibarengi ke-
lebatan sesosok bayangan. Begitu
bayangan itu
mendarat di tanah, dari dalam
hutan terdengar sua-
ra gemeretakan. Disusul suara
berdebum keras ka-
rena ada dua batang pohon
sepelukan manusia de-
wasa tumbang bersamaan. Rupanya,
serbuk halus
yang dilemparkan Kwe Kok Jiang
bisa menjadi sen-
jata setajam pedang yang sanggup
menebas batang
pohon!
"Ha ha ha...! Hebat...!
Hebat..,!" puji seorang
lelaki tua yang baru muncul
disertai tawa panjang.
"Beberapa tahun aku tak
berjumpa denganmu. Kau
makin hebat saja, Kok
Jiang...."
Mendengar kalimat yang diucapkan
dalam
bahasa Cina itu, Kwe Kok Jiang
cuma mendengus.
Ditatapnya tanpa berkedip lelaki
tua yang berdiri
sekitar empat tombak dari
hadapannya.
Lelaki yang baru menghindari
bahaya maut
itu berkulit putih, sama dengan
kulit Kwe Kok Jiang.
Bentuk pakaiannya pun sama
persis. Hanya war-
nanya yang berbeda. Pakaian Kwe
Kok Jiang ber-
warna merah-hijau, sedang lelaki
bertubuh tinggi-
besar itu warna pakaiannya
kuning-coklat. Wajah-
nya yang sudah keriputan dihiasi
kumis dan jenggot
putih panjang sampai ke dada.
Alis di atas matanya
yang sipit juga telah memutih.
Di punggungnya ter-
selip sebatang pedang. Tangan
kanannya menggeng-
gam erat sebuah kebutan,
bentuknya seperti alat tu-
lis Cina berukuran besar.
Setelah dapat mengenali siapa
lelaki tinggi-
besar itu, terkejutlah Kwe Kok
Jiang. Tanpa sadar
mulutnya mendesis.
"Auwyang Nan Ie...."
"Ha ha ha...!" lelaki
tinggi-besar yang memang
Auwyang Nan Ie tertawa bergelak.
"Walau usiamu
sudah bau tanah, rupanya matamu
belum lamur,
Kok Jiang. Syukurlah bila kau
masih dapat menge-
naliku...."
Karena Auwyang Nan Ie berkata
dalam baha-
sa Cina, maka Kwe Kok Jiang
menyahuti dalam ba-
hasa Cina pula.
"Kau telah mengarungi
samudera luas ribuan
tombak jauhnya. Apakah
kedatanganmu ke tanah
Jawa ini mempunyai urusan
penting, atau sekadar
merantau untuk memperluas
wawasan?"
"Kau bertanya seperti orang
bodoh yang buta
pengetahuan, Kok Jiang.
Jauh-jauh aku datang ke
tanah Jawa tentu saja karena
urusan penting. Tiga
tahun yang lalu, kudengar kabar
bahwa kau pergi ke
pulau ini. Maka, cepat-cepat aku
menyusulmu...."
"Menyusulku? Karena
apa?"
"Aku menduga kau mendapat
petunjuk di
mana Arca Budha berada. Tanpa
pikir panjang lagi,
aku segera meninggalkan daratan
Tionggoan. Sela-
ma tiga tahun, diam-diam aku mengawasi
segala ge-
rak-gerikmu. Dan ternyata,
dugaanku benar. Kau
mencari Arca Budha di tanah Jawa
ini."
Mendengar ucapan Auwyang Nan Ie,
kening
Kwe Kok Jiang kontan berkerut
rapat. "Pantas, se-
lama tiga tahun aku di tanah
Jawa, aku merasa se-
lalu dibuntuti orang. Kiranya,
orang itu adalah Au-
wyang Nan Ie...," kata hati
lelaki berkuncir itu.
"Hmmm... Kalau begitu, yang
mencuri dengar
ketika aku berbicara dengan
Suropati tadi adalah
kau!" bentak Kwe Kok Jiang
kemudian.
"Tepat!" sahut Auwyang
Nan Ie, cepat. "Tak
dapat aku pungkiri. Pencuri
dengar itu adalah aku.
Tapi kau jangan pongah dan
memandang rendah
kepadaku. Aku lari sampai ke
tempat ini bukan ka-
rena takut. Sengaja aku
memancingmu agar remaja
konyol bernama Suropati itu tak
mencampuri uru-
san yang akan kubicarakan
denganmu, Kok Jiang!"
"Urusan itu tentu ada
hubungannya dengan
Arca Budha," tebak Kwe Kok
Jiang dengan suara ke-
tus, menyiratkan rasa tak suka.
"Ha ha ha...! Tebakanmu
benar, tapi tak se-
penuhnya benar. Aku tahu selama
tiga tahun kau
berada di tanah Jawa, sama
sekali tak kau dapatkan
petunjuk perihal Arca Budha.
Sungguh aku me-
nyangka usahamu yang sia-sia itu, Kok Jiang....
Agar kau tak bertambah kecewa,
ada baiknya bila
kau kembali saja ke Pulau Tho
Lioe Tho. Memohon-
lah maaf kepada gurumu Sing Eng
Tan Hwe Liok.
Katakan bahwa kau telah gagal
menjalankan tugas.
Aku yakin, gurumu yang sudah
bangkotan itu tak
akan menjatuhkan hukuman
kepadamu...."
Mengelam paras Kwe Kok Jiang
mendengar
kalimat halus namun bermakna
sindiran yang di-
ucapkan Auwyang Nan Ie. Panas
seketika hati Kwe
Kok Jiang. Tapi, dicobanya untuk
bersabar diri. Dia
tahu dan sadar sepenuhnya,
membuat permusuhan
dengan Auwyang Nan Ie sama
halnya dengan meme-
lihara harimau buas di dalam
rumah.
"Terima kasih atas
nasihatmu. Nan Ie...," ujar
Kwe Kok Jiang kemudian.
"Sudah kepalang basah
bagiku untuk mengurungkan niat
mencari Arca
Budha. Biarlah Laut Selatan
menelanku bila aku
pulang ke Tho Lioe Tho hanya
membawa tangan
hampa."
"Ha ha ha...!" Auwyang
Nan Ie tertawa berge-
lak untuk kesekian kalinya.
"Sungguh pandai kau
menyusun kata-kata, Kok Jiang.
Sungguh berani
pula kau berkata seperti itu di
hadapanku. Kau ten-
tu masih ingat peristiwa di
Pegunungan Than Ala
San beberapa tahun yang lalu.
Setelah masing-
masing di antara kita membunuh
sekian banyak
orang, kita berhadap-hadapan
bagai dua ekor singa
yang sedang memperebutkan
mangsa. Sayang, kita
tak jadi bertempur. Arca Budha
keburu lenyap. Dan,
kita sama-sama turun gunung
membawa rasa kece-
wa. Tapi sekarang ini, Kok
Jiang, walaupun mangsa
yang akan kita perebutkan belum
ada, kita tetap
akan bertempur. Sudah tak kuasa
rasa hati ini me-
mendam keinginan untuk menjajal kepandaian pe-
milik Pulau Tho Lioe Tho, Shia
Hiap Kwe Kok Jiang!"
Mendengar tantangan Auwyang Nan
Ie, Kwe
Kok Jiang cuma tersenyum tipis.
Lalu katanya, "Aku
tahu pedang yang terselip di
punggungmu adalah
Pedang Burung Hong, Nan Ie.
Namun, agaknya naf-
su serakah telah memperbudak
akal sehatmu. Apa-
kah arti sebuah Arca Budha bila
dibandingkan den-
gan Pedang Burung Hong?"
"Hmm.... Jangan dikira aku
orang bodoh, Kok
Jiang. Aku telah mendengar semua
yang kau cerita-
kan pada si remaja konyol
Suropati. Ukiran pada
badan Pedang Burung Hong bukan
pelajaran ilmu
silat, melainkan peta petunjuk
akan adanya sebuah
tempat di mana terdapat sesuatu
yang amat luar bi-
asa. Aku pun telah tahu bila
Pedang Burung Hong
adalah kunci pembuka rahasia
yang terdapat pada
Arca Budha. Oleh karenanya, tak
dapat aku pungki-
ri bila kau sangat bernafsu
untuk memiliki arca
yang terbuat dari emas murni
itu."
"Sayang... sungguh
sayang..," desis Kwe Kok
Jiang. "Nafsu pribadi
memang bisa membuat manu-
sia lupa diri...."
"Hmm.... Kata-katamu
memanaskan telinga-
ku, Kok Jiang. Jangan sok alim!
Aku tahu benar
siapa kau! Susah-payah kau
mencari Arca Budha,
tentu bukan hanya sekadar
melaksanakan perintah
gurumu! Kau tentu menyimpan
maksud tersem-
bunyi! Kita sudah sama-sama tua
yang sebentar lagi
mendekam dalam tanah, kenapa
mesti menipu diri
sendiri?"
Kepala Kwe Kok Jiang menggeleng.
"Tidak!
Kau keliru. Nan Ie! Aku mencari
Arca Budha bukan
karena desakan nafsu pribadi.
Aku benar-benar
mengemban amanat guruku. Aku tak
ingin Arca
Budha jatuh ke tangan orang
jahat, yang hanya
akan menimbulkan pertumpahan
darah di daratan
Tionggoan."
"Ha ha ha...! Sungguh lucu
ucapanmu itu,
Kok Jiang. Pandai benar kau
bersilat lidah. Namun
tahukah kau, Kok Jiang, bila kau
teruskan niatmu
mencari Arca Budha, aku bukan
hanya akan men-
jajal kepandaianmu, malah akan
melemparkan nya-
wamu ke neraka!"
"Apa pun yang terjadi, Arca
Budha harus ku-
dapatkan!" tegas Kwe Kok
Jiang, tak menciut nyali
mendengar sesumbar Auwyang Nan
Ie.
"Hmm.... Sayang sekali bila
kau mati dan
bangkaimu tiada yang mengurusi.
Sungguh malang
nasib Kwe Kok Jiang yang
dijemput ajal di tanah
orang...."
Usai berkata, Auwyang Nan Ie
menarik kaki
kirinya ke belakang. Dengan
badan sedikit condong
ke depan, dia merapatkan tangan
kirinya ke dada.
Sedangkan tangan kanannya yang
memegang kebu-
tan diangkat ke depan wajah,
sejurus dengan pan-
dangan mata. Mendadak, bulu-bulu
kebutan menge-
jang kaku, hingga ujungnya jadi
lancip menyerupai
mata tombak. Rupanya, Auwyang
Nan Ie telah men-
galirkan tenaga dalam ke senjata
berbentuk alat tu-
lis Cina itu.
Kwe Kok Jiang yang sudah tahu
kehebatan
kebutan Auwyang Nan Ie, segera
meloloskan pe-
dangnya seraya memasang
kuda-kuda pula. Sesaat
kemudian, pedang Kwe Kok Jiang
tampak bergetar,
pertanda dialiri tenaga dalam.
Dan, Auwyang Nan Ie
dan Kwe Kok Jiang sama-sama
telah siap untuk
mengawali pertempuran....
"Heaaa...!"
"Haya...!"
Tubuh Auwyang Nan Ie dan Kwe Kok
Jiang
melesat bersamaan. Dalam keadaan
masih melayang
di udara, ujung pedang Kwe Kok
Jiang berusaha
menusuk dada Auwyang Nan
Ie. Sementara, Au-
wyang Nan Ie tentu saja tak mau
dipecundangi pada
gebrakan pertama. Cepat lelaki
tinggi besar yang
rambutnya digelung itu berkelit
ke kiri. Lalu, masih
tetap melayang di udara, dia
mengarahkan ujung
kebutannya ke tenggorokan Kwe
Kok Jiang!
Trang...!
Timbul cahaya berkeredepan
ketika kebutan
Auwyang Nan Ie membentur pedang
Kwe Kok Jiang.
Tangan kanan kedua jago silat
Cina itu sama-sama
bergetar dan terasa kesemutan.
Pedang Kwe Kok
Jiang terpental keras. Untung
tak sampai lepas dari
cekalan. Sementara, bulu-bulu
kebutan Auwyang
Nan Ie yang mengejang kaku
langsung melemas, tapi
tak selembar pun yang terbabat
putus.
Pedang Kwe Kok Jiang sebenarnya
termasuk
pedang pusaka yang dapat
membabat putus berba-
gai jenis barang logam. Namun
menghadapi kebutan
Auwyang Nan Ie, agaknya pedang
itu tak mampu
berbuat banyak.
Beberapa tarikan napas kemudian,
pertempu-
ran antara Auwyang Nan Ie dan
Kwe Kok Jiang telah
memuncak seru. Walau wujud
kebutan Auwyang
Nan Ie tampak biasa saja,
sebenarnya mempunyai
dua macam serangan yang luar
biasa dahsyatnya.
Pada serangan pertama, bulu-bulu
kebutan berga-
bung menjadi satu menyempai mata
tombak, yang
akan menusuk dengan tenaga
keras. Apabila seran-
gan yang pertama gagal,
bulu-bulu kebutan akan
terbuka untuk menusuk jalan
darah lawan dengan
tenaga lembek.
Selama Auwyang Nan Ie
malang-melintang di
rimba persilatan, jarang ada orang
yang mampu
menahan kedua serangan itu.
Namun, yang menjadi
sasaran kali ini bukan orang
sembarangan pula.
Kwe Kok Jiang cukup disegani
kawan maupun la-
wan karena dia mempunyai
kepandaian luar biasa,
hingga dia menjadi raja kecil di
Pulau Tho Lioe Tho.
Tiga puluh jurus kemudian,
bulu-bulu kebu-
tan Auwyang Nan Ie tampak
terbuka, dan tengah
menyambar wajah Kwe Kok Jiang.
Sementara, pe-
dang Kwe Kok Jiang sedang mengancam dada kiri
Auwyang Nan Ie, tapi berhasil
dikelitkan.
Pada saat yang berbahaya di mana
ribuan bu-
lu kebutan menyambar tanpa dapat
dielakkan lagi,
Kwe Kok Jiang tiba-tiba membuka
mulut seraya me-
niup sekuat tenaga!
Wusss...!
Di saat itu juga, bulu-bulu
kebutan tersapu
buyar, dan gagallah serangan
Auwyang Nan Ie. Ter-
nyata, Kwe Kok Jiang telah
menunjukkan kekuatan
tenaga dalamnya yang dahsyat.
Sewaktu Kwe Kok Jiang menghela
napas lega
karena berhasil menggagalkan
serangan lawan. Au-
wyang Nan Ie terkejut setengah
mati. Bulu-bulu ke-
butan yang tertiup buyar kontan
berbalik arah,
mengancam wajahnya sendiri,
bagai hujan ribuan
jarum!
Namun, bukan Auwyang Nan Ie
kalau dia tak
bisa mengendalikan gerakan
bulu-bulu kebutannya
sendiri. Sebelum senjata itu
benar-benar menyam-
bar wajahnya, cepat Auwyang Nan
Ie membalikkan
tangan kanannya seraya mengegos
tubuh ke kiri.
Dan, selamatlah Auwyang Nan Ie
dari bahaya maut.
"Hebat... hebat sekali kau,
Kok Jiang...," puji
Auwyang Nan Ie di antara dengus
napasnya yang
memburu. "Rupanya, telah
banyak kemajuan yang
kau peroleh."
"Tak perlu memuji, Nan Ie.
Pertempuran be-
lum selesai," sahut Kwe Kok
Jiang dengan napas
memburu pula.
"Baik! Baiklah, kita
lanjutkan permainan ini.
Untuk menghemat tenaga,
segeralah kau keluarkan
jurus-jurus andalanmu!"
Kwe Kok Jiang menggembor keras
sebelum
mengawali serangannya lagi.
Terdengar suara ber-
siut amat keras ketika pedang
lelaki berkuncir itu
berkelebat. Dengan menggunakan
jurus 'Membacok
Naga Menaklukkan Harimau' dia
membabat leher
Auwyang Nan Ie!
Wuttt..!
"Heaaa...!"
Walau mampu menghindar dari
babatan pe-
dang Kwe Kok Jiang yang mengarah
ke leher, napas
Auwyang Nan Ie tetap terasa
sesak karena ujung pe-
dang Kwe Kok Jiang tiba-tiba
menusuk ulu hati!
"Keparat!" umpat
Auwyang Nan Ie seraya me-
lompat empat tombak ke belakang.
Sewaktu tubuh lelaki
tinggi-besar itu me-
layang di udara, tangan kirinya
bergerak cepat melo-
loskan batang pedang yang
terselip di punggungnya.
Ujung pedang Kwe Kok Jiang yang
masih mengejar,
segera dia tangkis!
Trang...!
Dua senjata tajam berbenturan
amat keras.
Bunga api memercik ke berbagai
penjuru. Terkejut
tiada terkira Kwe Kok Jiang.
Dengan mata membela-
lak lebar dia memandang batang
pedangnya yang te-
lah terbabat putus, tinggal
setengah bagian.
Sementara, Auwyang Nan Ie
tertawa terba-
hak-bahak penuh kegembiraan.
Tubuh lelaki tinggi
besar itu tegak menantang dengan
sikap pongah.
Tangan kirinya mencengkeram erat
hulu pedang
bengkok yang di seluruh badannya
dipenuhi ukiran.
Pedang pusaka itu tiada lain
dari Pedang Burung
Hong!
Cepat Kwe Kok Jiang menghalau
keterkeju-
tannya. Namun, dia tak dapat
menyembunyikan wa-
jahnya yang memucat. Dengan
sinar mata ber-kilat-
kilat dia menatap wajah Auwyang
Nan Ie.
"Walau kau memegang Pedang
Burung Hong,
jangan harap kau dapat
merobohkan aku dengan
mudah!" geram Kwe Kok
Jiang.
"Hmm.... Hendak kulihat
seberapa tinggi kau
punya jurus tangan
kosong...," ejek Auwyang Nan Ie.
Serta-merta Kwe Kok Jiang
menggembor ke-
ras seraya membuang sisa
potongan pedangnya.
Langsung dia memasang kuda-kuda
dengan kedua
tangan dipentangkan di samping
dada. Jari-jarinya
yang menguncup ditekuk ke bawah,
seperti sikap
seekor kera yang sedang
berhadapan dengan sang
lawan. Tampaknya, Kwe Kok Jiang
hendak menge-
luarkan ilmu silat tangan kosong
bernama ‘Ilmu Si-
lat Tangan Lutung Salju’.
"Ha ha ha...! Kau
benar-benar lucu, Kok
Jiang! Sudah tua, masih mau main
monyet-
monyetan!"
Mendengar ejekan Auwyang Nan Ie,
tak kuasa
Kwe Kok Jiang mengendalikan
amarahnya. Darah-
nya naik sampai ke ubun-ubun,
hingga wajahnya
terlihat merah-padam.
"Lihat serangan. Nan
Ie!" teriak Kwe Kok
Jiang seraya mengempos tubuh.
Kedua tangannya
berkelebat, berusaha menotok
jalan darah penting di
tubuh Auwyang Nan Ie.
Pertempuran seru kembali
berlangsung. Jari-
jari tangan Kwe Kok Jiang yang
berwarna kuning
tampak mengerikan sekali. Setiap
berkelebat me-
nimbulkan suara gemuruh keras
yang memekakkan
gendang telinga. Namun
menghadapi kebutan dan
Pedang Burung Hong di tangan
Auwyang Nan Ie, il-
mu silat tangan kosong 'Ilmu
Silat Tangan Lutung
Salju' agaknya tak mampu
memberikan perlawanan
berarti. Sampai suatu ketika....
Crash...!
"Wuah...!"
Kwe Kok Jiang memekik kesakitan.
Darah se-
gar muncrat membasahi bumi.
Pergelangan tangan
kiri lelaki berkuncir itu
terbabat putus oleh ketaja-
man Pedang Burung Hong!
Sewaktu Kwe Kok Jiang melompat
mundur
sambil mendekap lengan kirinya
yang putus sebatas
siku, Auwyang Nan Ie menggembor
keras. Tubuhnya
berkelebat cepat. Bulu-bulu
kebutan yang menge-
jang kaku meluncur lurus,
mengarah ke dahi Kwe
Kok Jiang! Dan, ujung Pedang
Burung Hong menu-
suk cepat ke jantung lelaki
berkuncir itu!
Agaknya, Kwe Kok Jiang sudah
tiada mampu
lagi membela diri. Malaikat
kematian benar-benar
mengintai nyawanya!
4
Dalam keadaan gawat di mana
nyawa Kwe
Kok Jiang tinggal sekejapan mata
untuk segera me-
layang dari tubuhnya, tiba-tiba
sesosok bayangan
berkelebat amat cepat melebihi
kecepatan suara!
Trang...!
Dukkk...!
"Hah...?!"
Auwyang Nan Ie terperangah.
Pedang Burung
Hong di tangan kirinya membentur
sebuah benda
keras, hingga arah tusukannya
melenceng. Semen-
tara, siku kanannya juga membentur benda keras.
Akibatnya, bulu-bulu kebutan
buyar, dan melenceng
pula ke arah serangannya.
Dengan mata berkilat-kilat
karena luapan
amarah, Auwyang Nan Ie menatap
seorang remaja
tampan berpakaian putih penuh
tambalan. Remaja
tampan yang rambutnya dibiarkan
tergerai itu berdi-
ri tegak sambil
menggerak-gerakkan batang hidung-
nya, seperti tengah mengejek
Auwyang Nan Ie yang
hendak menjatuhkan tangan maut
terhadap orang
yang sudah tiada berdaya.
"Suropati...," desis
Auwyang Nan Ie dengan
pandangan tetap berkilat tajam.
"Ya. Aku memang Suropati,
Kunyuk Kudisan!"
aku si remaja yang memang
Suropati atau Pengemis
Binal.
Rupanya, kedatangan Suropati
tepat pada
waktunya. Ketika melihat ujung
Pedang Burung
Hong hendak menusuk jantung Kwe
Kok Jiang, ce-
pat dia berkelebat seraya
menangkis dengan mem-
pergunakan tongkat butut yang
dialiri tenaga dalam.
Karena Pedang Burung Hong adalah
sejenis pedang
mustika yang memiliki ketajaman
luar biasa, tong-
kat Suropati terbabat buntung.
Namun demikian,
arah tusukan Auwyang Nan Ie jadi
melenceng, dan
hanya mengenai tempat kosong di
sisi kanan Kwe
Kok Jiang. Sedang untuk
menggagalkan tusukan
ujung kebutan, Suropati berhasil
menyodok siku
kanan Auwyang Nan Ie dengan
telapak tangan ki-
rinya. Hingga, selamatlah nyawa
Kwe Kok Jiang dari
tusukan Auwyang Nan Ie dan
kebutan Auwyang Nan
Ie yang amat berbahaya.
"Bocah edan! Tunggu
waktunya kupenggal
kepalamu!" ancam Auwyang
Nan Ie dalam bahasa
Jawa.
Usai berkata, lelaki
tinggi-besar itu memba-
likkan badan, lalu berkelebat
lenyap, meninggalkan
Pengemis Binal yang berdiri
cengar-cengir sambil
menatap sisa potongan tongkat
bututnya.
Karena ingat sesuatu yang amat
penting, ce-
pat Pengemis Binal membalikkan
badan. Terlihat
Kwe Kok Jiang yang berdiri
terhuyung dengan wajah
pucat sambil mendekap lengan
kirinya yang bun-
tung. Darah segar menetes dari
sela-sela jari tangan
kanan lelaki berkuncir itu.
"Suro...," sebut Kwe
Kok Jiang seraya mengu-
lum senyum di bibir.
Pandangan lelaki berkuncir itu
semakin men-
gabur. Kedua kakinya goyah, tak
mampu menopang
berat badannya sendiri. Namun
sebelum dia jatuh
tertelungkup di tanah, cepat
Suropati menyambar.
Lalu, membaringkannya
perlahan-lahan di atas ta-
nah berumput, di bawah rimbunan
daun pohon be-
sar.
Melihat darah segar terus
menetes dari luka
di lengan kiri Kwe Kok Jiang, bergegas Suropati
mengambil tindakan. Ditotoknya
beberapa jalan da-
rah di atas luka babatan Auwyang
Nan Ie itu.
Kwe Kok Jiang mengeluh pendek,
dan jatuh
pingsanlah dia. Namun, Suropati
dapat bernapas le-
ga karena luka lelaki itu tidak
lagi meneteskan da-
rah.
Setelah meyakinkan bahwa luka
Kwe Kok
Jiang tidak mengandung racun,
Suropati mengedar-
kan pandangan. Segera dia
meloncat untuk memun-
gut potongan lengan Kwe Kok
Jiang yang tergeletak
di atas tanah.
Sebentar saja Suropati mengamati
potongan
lengan yang masih meneteskan
darah itu. Diha-
launya rasa ngeri dan jijik di
hatinya, lalu dia ham-
piri lagi tubuh Kwe Kok Jiang
yang tergeletak di ta-
nah berumput.
"Bekas potongan lengan
orang ini melintang
rata. Kakek Wajah Merah pasti
dapat menyambung-
nya. Aku harus cepat membawanya
ke Bukit Ra-
wangun...," kata Suropati
kepada diri sendiri.
Tergesa-gesa Suropati menyobek
kain lengan
bajunya untuk digunakan sebagai
pembungkus po-
tongan lengan Kwe Kok Jiang.
Potongan lengan itu
lalu dicengkeram erat di tangan
kiri. Dia alirkan ha-
wa dingin dengan mempergunakan
ilmu 'Pukulan
Salju Merah', agar potongan
lengan Kwe Kok Jiang
tidak cepat membusuk.
Tubuh Kwe Kok Jiang lalu
dipanggulnya.
Dan, berlarilah Suropati dengan
mengerahkan selu-
ruh kemampuannya. Hingga,
langkah kaki Pemim-
pin Perkumpulan Pengemis Tongkat
Sakti itu mele-
bihi kecepatan lari kuda yang
paling baik sekalipun!
Namun belum sampai setengah
penanakan
nasi Suropati berlari, tubuh Kwe
Kok Jiang yang di-
panggulnya menggeliat seraya
mengeluarkan kelu-
han pendek.
"Uh! Di mana aku...?"
keluh Kwe Kok Jiang.
"Tenanglah, Pak Tua. Aku
akan membawamu
ke seorang tabib pandai.
Mudah-mudahan lengan-
mu masih dapat disambung,"
ujar Pengemis Binal
seraya mempercepat kelebatan
tubuhnya.
"Kau... kau Suropati?"
"Ya. Kau tak perlu
khawatir. Aku sedang be-
rusaha menolongmu."
"Oh! Kau baik sekali, Suro.
Tapi, turunkan
aku...."
"Kenapa? Kita harus cepat
sampai ke Bukit
Rawangun. Kalau potongan
lenganmu keburu bu-
suk, Kakek Wajah Merah tak akan
dapat berbuat
apa-apa lagi."
"Aku tahu itu. Tapi,
cepatlah turunkan
aku...."
Mendengar permintaan Kwe Kok
Jiang yang
memelas, Suropati menghentikan
kelebatan tubuh-
nya. Ketika itu kaki Suropati
telah menginjak daerah
perbatasan wilayah Kademangan
Maospati dengan
kota Kadipaten Bumiraksa.
Setelah membaringkan tubuh Kwe
Kok Jiang
di tepi sungai yang kebetulan
ditumbuhi rumput
tebal, Suropati bertanya dengan
kening berkerut.
"Ada apa, Pak Tua?"
Bibir Kwe Kok Jiang tersenyum
tipis. Ditatap-
nya sebentar wajah Suropati.
Mengetahui luka di
lengan kirinya sudah tak
meneteskan darah lagi, dia
tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Selain baik
hati, kau juga pan-
dai, Suro.... Aku senang dan
bangga sekali dapat
bersahabat dengan anak muda
macam dirimu..."
Usai berkata, Kwe Kok Jiang
beringsut du-
duk. Sementara, Pengemis Binal
menatap wajah le-
laki berkuncir itu dengan kening
berkerut.
"Kalau hanya hendak
mengatakan itu, kenapa
kau minta diturunkan?"
Kepala Kwe Kok Jiang menggeleng
lemah.
"Tahukah kau, Suro, bila
tindakanmu ini
membahayakan jiwamu?"
"Maksud, Pak Tua?"
"Auwyang Nan Ie melarikan
diri melihat keda-
tanganmu. Bukan berarti dia
takut kepadamu, Suro.
Bisa saja saat ini dia
mengikutimu, lalu mengirim
serangan gelap."
"Jadi, orang yang telah
melukaimu itu adalah
Auw.... Auwyang Nan Ie?"
"Ya. Dan, pedang bengkok
yang dibawanya
adalah Pedang Burung Hong.
Selama tiga tahun dia
mengintai gerak-gerikku di tanah
Jawa ini tanpa di-
ketahui. Dialah si pencuri
dengar ketika aku berceri-
ta kepadamu perihal rahasia Arca
Budha. Auwyang
Nan Ie berilmu tinggi. Sayang,
dia punya sifat licik
dan keji. Oleh karena itu,
tinggalkan aku di tempat
ini, Suro. Aku tak ingin kau
ikut celaka...."
"Ah! Kau jangan memikirkan
itu dulu, Pak
Tua. Saat ini kau butuh
pertolongan. Aku harus
membawamu ke Bukit
Rawangun!"
"Kau tidak takut bila
sewaktu-waktu Auwyang
Nan Ie mencegat langkahmu?"
"Sudah kubilang, Pak Tua
lak perlu memikir-
kan itu dulu. Yang harus
dipikirkan adalah bagai-
mana caranya agar lengan Pak Tua
yang terpotong
bisa disambung lagi "
Mata Kwe Kok Jiang menatap lekat
bungku-
san panjang di genggaman tangan
kiri Suropati.
Bungkusan itu terlapisi
bunga-bunga es berwarna
merah. Kwe Kok Jiang baru sadar
bila hawa dingin
yang dirasakannya berasal dari
bungkusan di tan-
gan Suropati itu.
"Itu lenganku?" tanya
Kwe Kok Jiang, menun-
juk bungkusan kain penuh
tambalan yang menye-
barkan hawa dingin.
"Ya," jawab Pengemis
Binal. "Agar potongan
lenganmu ini tak cepat membusuk,
aku meng-
alirkan hawa dingin. Memangnya
kenapa, Pak Tua?
Kau ragu bila potongan lenganmu
bisa disambung
lagi?"
"Tidak! Tidak! Aku salah
memperhitungkan
kepandaianmu. Kau memiliki
tenaga dalam yang
hebat. Bagaimana kau bisa
mengalirkan hawa di-
ngin, hingga timbul bunga-bunga
es di potongan
lenganku itu?"
"Aku mempunyai ilmu 'Pukulan
Salju Me-
rah','' beri tahu Pengemis
Binal, tak sedikit pun
punya maksud untuk memamerkan
kepandaiannya.
Kepala Kwe Kok Jiang
mengangguk-angguk.
Walau rasa pedih di lengan
kirinya amat menyiksa,
dia masih mampu menampakkan
senyum manis,
bahkan tertawa-tawa pula.
"Ha ha ha...! Bertambahlah
keyakinanku. Tak
menyesal aku telah menceritakan
perihal rahasia
Arca Budha. Aku tahu kau bisa
menahan nafsu bi-
rahimu, Suro. Sekarang, aku pun
tahu bila kau le-
bih hebat dari yang kukira
sebelumnya...."
"Kau jangan memuji
berlebihan, Pak Tua. Bi-
sa pecah kepalaku nanti!"
potong Pengemis Binal.
"Tidak! Tidak! Aku memuji
karena kau me-
mang pantas untuk dipuji,"
ujar Kwe Kok Jiang
sungguh-sungguh. "Aku
beritahukan sekali lagi ke-
padamu, Suro. Kalau Arca Budha
jatuh ke tangan
orang jahat, dan orang itu dapat
membuka raha-
sianya dengan membaca ukiran
yang terdapat di ba-
dan Pedang Burung Hong, maka
daratan Tionggoan
terancam kiamat! Kalaupun lengan
kiriku dapat dis-
ambung, tentu tak akan dapat berfungsi
lagi karena
urat sarafnya telah putus. Itu
berarti, telah berku-
rang kemampuanku untuk
melanjutkan usahaku
mencari Arca Budha...."
"Jangan khawatir, Pak Tua.
Aku bersedia
membantumu," tawar Pengemis
Binal, cepat.
Kembali Kwe Kok Jiang tersenyum.
"Sung-
guhkah itu?"
"Kalau aku mampu."
"Ha ha ha...!" Kwe Kok
Jiang tertawa bergelak.
"Mati sekarang pun aku rela
asal Arca Budha tidak
jatuh ke tangan orang jahat
macam Auwyang Nan Ie.
Seandainya usiaku tidak panjang,
tetaplah kau cari
Arca Budha. Aku yakin arca itu
berada di tanah Ja-
wa ini...."
"Kau jangan berkata yang
bukan-bukan, Pak
Tua!" sela Pengemis Binal.
"Aku tidak main-main, Suro.
Bila Arca Budha
telah kau dapatkan, dan aku
sudah terbujur kaku
menjadi mayat, musnahkan arca
itu!"
"Ah! Soal itu bisa
dipikirkan nanti, Pak Tua.
Aku harus secepatnya membawamu
ke Bukit Ra-
wangun. Kau lihat tubuhku yang
sudah bermandi-
kan peluh. Aku tak mungkin
terus-menerus menga-
lirkan hawa dingin ke potongan
lenganmu ini...."
"Ya. Ya, aku tahu...."
Kalimat Kwe Kok Jiang terputus
karena Suro-
pati keburu menyambar tubuhnya
untuk kemudian
dipanggul lagi, dan dibawa
berlari eepat.
* * *
Hangat sinar mentari pagi
menerpa wajah ga-
dis berpakaian serba merah itu.
Gelungan rambut-
nya tampak bergoyang-goyang
karena angin ber-
hembus cukup kencang. Tenang
sekali kakinya me-
langkah menghampiri seorang
nelayan tua yang ten-
gah membenarkan ikatan
perahunya.
"Di pagi yang cerah seperti
ini adalah waktu
yang tepat untuk
berpelesir," kata si gadis yang tia-
da lain dari Ingkanputri atau
Dewi Baju Merah.
Terkejut si nelayan tua
mendengar kata-kata
itu. Kontan dia menghentikan
kesibukannya. Dipan-
dangnya wajah cantik Ingkanputri
dengan kening
berkerut.
"Nona hendak pelesir ke
mana? Kenapa hanya
seorang diri saja?" tanya
nelayan tua berpakaian
amat sederhana dan di beberapa
tempat terdapat
tambalan.
"Aku memang seorang diri,
Kek. Memangnya
kenapa?" Ingkanputri balik
bertanya.
Nelayan tua menatap lekat wajah
Ingkanputri.
Ada rasa khawatir terpancar dari
sorot matanya.
Sementara, tak seberapa jauh
dari lelaki tua itu ber-
diri, beberapa perahu tampak
menepi.
Melihat tatapan khawatir nelayan
tua, In-
gkanputri tersenyum tipis. Badan
perahu lelaki tua
itu ditepuknya perlahan. Karena
dialiri tenaga da-
lam, tepukan Ingkanputri sudah
sanggup menggeser
badan perahu beberapa jengkal.
Sengaja Ingkanputri
menunjukkan kepandaiannya agar
nelayan tua tidak
menganggap dirinya sama dengan
kaum wanita ke-
banyakan, yang umumnya lemah.
"Hah?! Tidak! Tidak
apa-apa...," kejut nelayan
tua menyaksikan kekuatan
Ingkanputri.
"Dengan mengikuti arus
Sungai Balirang, aku
bisa sampai di kota Ngadiluwih
lebih cepat," Ingkan-
putri memberi tahu tujuannya.
"Kota Ngadiluwih?"
seru nelayan tua karena
terkejut.
"Ya. Sambil berpelesir, aku
hendak ke kota
Ngadiluwih. Aku hendak menyewa
perahumu, ke-
napa kau terkejut, Kek? Apakah
kau tak tahu letak
kota itu?''
Sebelum menjawab pertanyaan Dewi
Baju
Merah, nelayan tua menelan ludah
karena tenggo-
rokannya terasa kering mendadak.
"Nona, bisa dika-
takan aku adalah penduduk tertua
di daerah ini.
Jangankan letak kota Ngadiluwih
yang terkenal ra-
mai, daerah pedalaman yang amat
terpencil pun aku
tahu. Hingga untuk mencari kota
itu, bagiku sama
dengan membalikkan telapak
tangan...."
"Nah! Kalau tahu, kenapa
banyak bicara? Apa
kau takut aku akan membayar
murah?" sela In-
gkanputri, sedikit mendongkol.
"Bukan! Bukan karena itu,
Nona!" kepala ne-
layan tua menggeleng cepat.
"Aku bukanlah manu-
sia yang mengagung-agungkan
uang. Aku tahu Nona
bukan orang sembarangan. Tidak
dibayar pun aku
bersedia mengantarkan ke mana
Nona hendak ber-
pelesir. Hanya...
hanya...."
"Hanya apa?" buru
Ingkanputri mendengar
nelayan tua tergagap.
"Hanya... di tengah
perjalanan yang kira-kira
berjarak setengah hari
perjalanan perahu, di suatu
tanah lebih yang orang-orang
memberi nama Pulau
Belut, sekitar enam bulan yang
lalu telah dihuni se-
jenis siluman..."
"Siluman? Siluman
apa?" tanya Ingkanputri,
agak terkejut.
Kepala nelayan tua
menggeleng-geleng lagi.
Kerut-kerut di wajahnya makin
terlihat jelas. De-
ngan paras memucat dia berkata.
"Aku tak tahu si-
luman apa. Hanya, menurut
beberapa penduduk
yang pernah menyaksikan, datang
dan perginya si-
luman itu cepat sekali, seperti angin. Dan siluman
itu suka mengganggu orang-orang
yang kebetulan
lewat di sekitar Pulau Belut.
Terutama mengganggu
kaummu, para perempuan. Maka
Nona, bukan mak-
sudku untuk menakut-nakuti, aku
hanya me-
nyayangkan bila terjadi apa-apa
dengan diri Nona.
Lebih baik urungkanlah niatmu
itu. Kalau kau me-
mang ingin pergi ke kota
Ngadiluwih, lewatlah jalan
darat. Aku bisa menunjukkan
kepadamu seekor ku-
da gagah dan kuat yang dapat kau
beli."
Mendengar keterangan nelayan
tua, hampir
saja Dewi Baju Merah tertawa.
Karena tak ingin
membuat lelaki yang rambutnya
telah memutih se-
mua itu tersinggung, cepat Dewi
Baju Merah men-
gendalikan diri. Namun
tiba-tiba, timbul keinginan
untuk berjumpa dengan 'Siluman'
yang dikatakan
nelayan tua itu.
"Kakek yang baik,"
kata Ingkanputri kemu-
dian, "Maafkan kalau aku
telah menyinggung pera-
saanmu. Biasanya, berapa kau
terima upah dari
Emoticon