1
PEPERANGAN paling besar yang
dihadapi manusia adalah,
peperangan
bagaimana mengalahkan Hawa
Nafsunya
sendiri! Karena di sanalah
manusia
bisa memilih untuk dirinya
menjadi
malaikat, ataukah menjadi
setan...!
Kalau kau mau menjadi seorang
Pendekar, jadilah yang baik!
Kalau kau
sudah mengetahui tujuan
kehidupan ini
adalah untuk mati, maka isilah
jalan
hidupmu dengan amal kebaikan...!
Mengumbar nafsu tak lebih dari
menjerumuskan dirimu sendiri ke
dalam
api. Dan kalau kau sudah tahu
api itu
panas. Jangan coba kau menja-
mahnya...!"
Gadis ini manggut-manggut se-
orang diri, dan terdengar ia
menghela
nafas seraya membuka sepasang
kelopak
matanya.
Dia seorang gadis berwajah can-
tik rupawan. Kecantikan alami
yang
telah dianugerahkan Tuhan
padanya.
Wajah ayunya menampilkan
kesegaran
setiap mata yang memandang.
Dialah
.... RORO CENTIL. Sang Pendekar
Wanita
Pantai Selatan...!
Gadis ini duduk di ujung tebing
karang, menghadap ke laut lepas.
Di
bawahnya mendebur keras
ombak-ombak
laut Pantai Selatan. Sementara
burung-
burung camar beterbangan di atas
buih-
buih air dan ombak, seperti tak
mengenal takut akan kena
terhantam
gelombang dahsyat itu.
Gadis ini tengah duduk tafakur
mengingat wejangan dari
guru-gurunya.
Yang kesemuanya menitik beratkan
pada
sifat-sifat kependekaran.
Setelah si Maling Sakti alias
Jarot Suradilaga. Kemudian Ki
bayu
Seta alias si Pendekar Bayangan.
Kemudian yang terakhir adalah
seorang
guru yang berjulukan si Manusia
Aneh
Pantai Selatan.
Yang belakangan ini adalah
memang seorang yang aneh sesuai
dengan
julukannya...Karena sang Guru
tak
diketahui jelas jenis
kelaminnya.
Apakah wanita, apakah laki-laki.
Yang
jelas Guru Roro Centil adalah
seorang
BANCI.
Sejak Roro Centil berhasil
menumpas empat tokoh golongan
hitam,
yang bergelar Empat Iblis Kali
Progo,
gadis Pendekar yang berwatak
aneh ini
kembali menghilang bagai ditelan
bumi.
Tentu saja keadaan di Rimba
Persilatan
jadi heboh .. . !
Nama Roro Centil si Pendekar
Wanita Pantai Selatan telah
menjadi
pembicaraan di mana-mana. Bahkan
pendekar sampai ke beberapa
tempat.
Kehebatan ilmunya yang amat
menge-
rikan, dan kemunculannya yang
bagaikan
menjelma di kalangan Rimba
Hijau,
membuat kaum penjahat mulai
menjadi
kebat-kebit hatinya. Tentu saja
hal
itu membuat kekhawatiran, karena
periuk nasinya telah terancam
kepunahan. Karena mereka sadar
kalau
periuk nasi itu mereka dapatkan
dengan
jalan tidak halal. Yaitu dengan
memeras penduduk. Merampok,
membegal
dan bahkan terkadang
membunuh!... demi
keuntungan yang berlipat ganda.
Tapi di samping itu kaum
golongan Putih, juga setiap
insan yang
rindukan ketenteraman, merasa
amat
gembira dengan munculnya seorang
Pendekar Pembela Keadilan.
Bahkan
ternyata di banyak tempat Roro
Centil
juga diam-diam mulai mengamalkan
tugas
kependekarannya menegakkan
keadilan di
Jagat Raya ini.
Namun sejak setahun ini, tak ada
terdengar beritanya mengenai
sepak
terjang si Pendekar Wanita itu.
Membuat para kaum golongan
penjahat
mulai lagi membentangkan
sayap-sayap-
nya membuat kericuhan. Perbuatan
mereka kian brutal. Walaupun tak
kurang Kaum Pendekar lainnya
yang ber-
usaha memberantas bermacam
kejahatan.
Ke manakah gerangan lenyapnya si
Pendekar wanita Pantai Selatan
itu ...
Kiranya selama itu Roro Centil
kembali dalam gemblengan sang
Gurunya
si Manusia Aneh Pantai Selatan
alias
si Banci. Marilah sejenak kita
kembali
pada kisah setahun belakangan
ini, di
mana Roro Centil digembleng di
dasar
tebing pantai karang terjal itu
...
Agaknya si Manusia Aneh Pantai
Selatan itu kurang setuju dengan
ilmu
yang telah dipakai Roro menumpas
ke
Empat Iblis Kali Progo. Karena
Roro
mempergunakan jurus-jurus si
Dewa
Tengkorak yang keji. Kiranya
diam-diam
sang Guru selalu mengikuti sepak
terjang muridnya. Hingga ketika
Roro
kembali, sang Guru sudah
menegurnya.
"Roro...! Bukan aku
menyalah-
kanmu untuk mempergunakan
jurus-jurus
si Dewa Tengkorak. Akan tetapi
jurus
itu memang terlalu keji. Juga
dikhawatirkan orang akan
menyangka kau
muridnya si Dewa Tengkorak.
Karena
bukan mustahil manusia yang
mempunyai
banyak istri itu, juga
memberikan ilmu
itu pada istri-istrinya.
Seandainya
mereka yang berbuat untuk
kejahatan,
salah-salah kau yang dituduh
melakukan
kejahatan...!"
Demikian ujar si manusia banci
pada suatu hari. Roro Centil
manggut-
manggut mendengarkan petuah
gurunya.
"Memang sebenarnya kau
belum
kuizinkan untuk keluar dari
tempat
ini. Akan tetapi aku tengah
mencoba
menguji tindakanmu. Ternyata kau
tidak
menyelewengkan kepandaianmu
untuk
berbuat hal-hal yang tidak baik.
Seandainya kau pergunakan untuk
keja-
hatan, tentu sudah siang-siang
kau
kukirim ke Akhirat...!"
Kembali sang
Guru berkata dengan suara
dingin.
Bergidik juga Roro Centil.
Karena di luar sepengetahuannya,
si
nenek yang awet muda ini telah
mengikuti sepak terjangnya.
"Ilmu 10 Jurus Pukulan
Kematian
itu memang hebat. Akan tetapi
banyak
kelemahannya. Di samping
pada jurus
itu membahayakan bagi si
pemakainya.
Kini saatnya bagimu mempelajari
jurus-
jurus ciptaanku yang memang
menjadi
simpananku. Tentu saja akan
kuwariskan
padamu...! Cuma aku ingin kau
membunuhku terlebih dulu dengan
Ilmu
Ciptaan si Dewa Tengkorak
itu...!".
Ujar wanita banci itu. Terkejut
Roro
Centil mendengarnya.... hingga
sampai
ia berteriak kaget.
"Membunuhmu.
Guru...?". Sentak
Roro Centil hampir tak percaya.
Akan tetapi si Manusia Aneh
Pantai Selatan ini sudah
membentak
dengan keras.
"Benar...! Kau harus
membunuh-
ku...! Dan kau harus pergunakan
jurus-
jurus keji si Dewa Tengkorak itu
untuk
menyerangku....!"
Hening sejenak. Wanita Aneh itu
tiba-tiba mendongak ke atas
menatap
langit. Lalu terdengar suara
ter-
tawanya yang seperti geli. Akan
tetapi
seperti juga sebuah tangisan. Roro
Centil cuma bisa menatap dengan
mulut
ternganga. Sejuta pertanyaan
memenuhi
benaknya. Sanggupkah aku
melakukan-
nya...? Berfikir Roro. Serasa
permintaan yang tak masuk akal. Aneh,
dan menakutkan.
Akan tetapi detik itu juga telah
terdengar lagi bentakannya;
"Sekarang juga kau harus
melakukannya...! Kalau kau
berkeberatan, silahkan kau
keluar dari
tempat ini. Dan jangan kau akui
lagi
aku Gurumu. Tapi kalau kau
seorang
murid yang berbakti lekas kau
lakukan
itu, bocah tolol... !"
Di luar dugaan, tiba-tiba Roro
Centil bangkit berdiri. Sepasang
matanya menatap tajam pada
gurunya.
Dan ia sudah berkata dengan
tegas.
"Baik...! Aku akan turuti
perintahmu untuk membunuhmu.
Guru...!
Cuma kumohon kau maafkan aku
atas apa
yang aku lakukan ini...!".
Seraya berkata, Roro Centil
sudah menerjang dengan ganasnya.
Sebelah lengannya bergerak
menceng-
keram batok kepala si Banci. Dan
sebelah lagi meluncur mengarah
jantung. Akan tetapi dengan
perdengar-
kan tertawa cekikikan, si
Manusia Aneh
ini sudah pergunakan Jurus
Tarian
Bidadari Mabuk Kepayang. Yang
tentu
saja cuma dengan gerakan seperti
orang
menari itu, semua terjangan Roro
yang
ganas itu dapat terhindar. Jurus
demi
jurus berlalu. Namun kesemua
gerakan
terjangan Roro Centil juga tak
mampu
menembus atau membuat tubuh si
manusia
Banci ini kena terhantam.
Membuat Roro Centil semakin
penasaran. Dan segera lakukan
terjangan yang lebih dahsyat
lagi.
Sehingga seandainya sedikit saja
si Manusia Aneh Pantai Selatan
lengah
tak ampun lagi nyawanya akan
melayang
seketika.
Ternyata hal itu justru membuat
Roro semakin kagum. Karena
dengan
mudah saja sang Guru dapat
mengelakkan
setiap serangan.
Jurus keenam dan ketujuh telah
segera dilancarkan. Roro Centil
memekik keras disertai terjangan
hebat. Agaknya kali ini si
manusia
Banci itu seperti lengah. Roro
sendiri
terkesiap. Namun ia tak mungkin
untuk
merobah serangan...
Buk... ! Terjangan hebat itu tak
dapat dielakkan sang Guru.
Tubuhnya
kena terhantam, telak. Serangan
kedua
dan ketiga menyusul pula. Roro
sudah
pejamkan mata tak tega melihat
nasib
sang Guru, yang jadi
terhuyung-huyung
mau roboh.
Akan tetapi di luar dugaan
tenaga pukulannya tiba-tiba
telah
berbalik menghantam lagi ke arah
Roro
Centil. Terkesiaplah gadis ini.
Untunglah dengan letikkan
tubuhnya
bersalto beberapa kali, Roro
Centil
berhasil menghindar.
Namun akibatnya adalah sangat
mengerikan. Karena hantaman
balik dari
tenaganya telah membuat
ambruknya
karang di belakangnya. Yang
segera
saja terdengar suara bergemuruh
ketika
batu karang itu hancur.
Masih beruntung Roro Centil
keburu mengelak. Seandainya ia
tidak
waspada, maka tubuhnya sudah
dapat
dipastikan akan hancur luluh tak
berbentuk lagi.
Pada saat itulah terdengar suara
tertawa mengikik dari si Manusia
Aneh
Pantai Selatan itu. Tertawa yang
geli
sekali. Sehingga
terpingkal-pingkal
sampai air matanya bercucuran.
Roro
jadi melengak heran. Ia sudah
jejakkan
lagi kakinya di atas batu. Dan
dengan
sepasang mata melotot tak
berkedip,
saksikan Gurunya yang bertingkah
aneh
itu. Terdengar lagi suaranya
yang
bercampur geli.
"Hi hi hi... hi hi hi...
Ternyata Ilmu si Dewa Tengkorak
tak
mampu membunuhku! Dan tak mampu
melawan kehebatan ilmu Bidadari
Mabuk
Kepayangku ini. Hi hi hi... hi
hi...
Bagus, muridku! Kau telah penuhi
permintaanku. Cukuplah sudah.
Tahukah
kau ilmu apa yang kupergunakan
barusan...?". Tanya sang Guru
dengan
suara dingin. Roro Centil
gelengkan
kepalanya.
"Hi hi hi... Itulah Ilmu
Ikan
Hiu Balikkan Ekor...! Hebat
bukan...?". Roro jadi
mengangguk-
angguk dengan kagum, serta
mengakui
kehebatannya.
Kembali sang Guru tertawa geli
cekikikan. Seakan-akan merasa
bangga
sekali dengan ilmu ciptaannya.
Seraya
ia sudah berkata lagi;
"Jurus-jurus si Dewa
Tengkorak
yang terdapat dari dalam
potongan
gagang Tombak itu memang hebat.
Akan
tetapi bila dilawan dengan jurus
Ikan
Hiu Balikkan Ekor, akan sama
dengan
membunuh dirinya sendiri.
Ketahuilah
Roro, aku amat puas punya murid
seperti kau. Akan tetapi kuminta
agar
kau tidak mempergunakan
ilmu-ilmuku
untuk hal yang tidak amat
mendesak...!".
Roro manggut-manggut dengan
perlihatkan senyumnya.
"Tentu saja pesan Guru itu
akan
hamba junjung tinggi.
Percayalah, aku
tak akan mempergunakannya untuk
hal
yang bertentangan dengan
kepende-
karan...!".
"Bagus, Roro...! Kini
tunggulah
sebentar. Akan kutunjukkan
sebuah
senjata istimewa yang telah ku
ciptakan sebagai pelampiasan
rasa
keinginanku menjadi
wanita...!"
Selesai berkata, sang Guru telah
kembali berkelebat ke dalam
ruangan
kamar Goa. Roro Centil cuma bisa
memperhatikan tingkah laku
Gurunya,
yang seperti amat sibuk sekali.
Diam-
diam ia menghela napas. Semoga saja
sang Gurunya yang aneh ini tidak
berubah lagi wataknya. Hingga
Roro
harus lebih hati-hati lagi untuk
menghadapinya. Tak lama si
Manusia
Banci telah kembali lagi.
Ternyata di
tangannya membawa sepasang
senjata
aneh. Senjata itu berbentuk rantai
dengan bandulnya.
Tapi bentuk kedua bandulannya
itu amat lucu, karena amat mirip
dengan sepasang payudara wanita,
lengkap dengan ujung putiknya.
Sang Guru sudah berikan sepasang
senjata itu pada si murid.
Seraya
berkata;
"Roro...! Senjata ini belum
pernah kupergunakan di luar.
Kaum
Rimba Hijau tak seorang pun yang
mengetahuinya selain kau! Nah
kau
boleh teliti sepasang senjata
itu
sementara aku akan mempersiapkan
jurus-jurus pelajaran yang akan
kau
mulai pada malam nanti...
!".
Selesai berkata sang Guru sudah
kembali berkelebat masuk ruangan
kamar
goa karang itu, untuk
selanjutnya
tidak keluar lagi.
"Senjata aneh...!"
Gumam Roro.
Seraya memperhatikan, meneliti,
dan
membolak-balikkan senjata itu.
Ternyata bandulan senjata itu
terbuat
dari baja tipis. Yang aneh
adalah
warnanya amat mirip dengan kulit
manusia. Sedang rantainya
terdapat
tujuh buah, dengan pada ujungnya
terdapat gagang dari baja
berkilat
berwarna putih. Pada ujung putik
itu
terdapat lima buah lubang kecil.
Roro yang tak mengetahui
kegunaannya coba memutarkan
senjata
itu. Tiba-tiba terdengarlah
suara
berdengung tiada putusnya,
seperti
suara ratusan atau ribuan tawon.
Terkejut Roro Centil. Ketika ia
coba
menyalurkan tenaga dalamnya pada
sepasang senjata itu, segera
membersit
angin panas yang luar biasa.
Namun
Roro telah lindungi dirinya
dengan
aliran tenaga dalam berhawa
dingin,
sehingga pengaruh itu tak
terasa. Akan
tetapi bila dipakai untuk
menyerang
lawan amatlah berbahaya. Selang
sesaat, Roro hentikan
permainannya.
Dan coba pegang sepasang
bandulannya.
Ternyata bandulan senjata itu
tidak
lagi keras melainkan lunak,
mirip
sebuah bola karet saja.
Diam-diam Roro
Centil menyenangi sepasang
senjata
itu, yang tentunya tak begitu
berbahaya, jika dipergunakan
untuk
menghajar batok kepala sebangsa
keroco. Paling-paling orangnya
bisa
pusing tujuh keliling ... !
"Hi hi hi... Senjata yang
lucu
ini akan kuberi nama Si Rantai
Genit...!" Berseru Roro
dengan wajah
tampak girang sekali.
Demikianlah... sampai setahun
Roro Centil berdiam di
dasar lubang
tebing karang Pantai Selatan.
Dan
selama itu tiada seorang pun
mengetahui kalau si Pendekar
Wanita
Pantai Selatan Roro Centil,
kembali
digembleng oleh si manusia
Banci.
Hingga suatu hari...
"Roro...! Sebenarnya aku
telah
terkena pukulan beracun dari
paderi-
paderi Biara Welas Asih, di
lereng
Gunung Wilis. Pukulan itu amat
menyesakkan dadaku. Akan tetapi
aku
inginkan kau tidak membalas
dendam.
Kuharap kau lupakan saja hal
itu.
Sebenarnya memang aku amat
mencintai
si Dewa Tengkorak...! Akan
tetapi dia
tak pernah menghiraukan diriku.
Walau
demikian sampai mati aku akan
tetap
mencintainya. Kini dia telah
mati. Dan
hanya wariskan tombak Hitam ini.
Aku
sudah cukup berbahagia bila
kelak aku
mati ditemani
senjatanya...!". Berkata
si Manusia Aneh Pantai Selatan,
seraya
menimang-nimang tombak hitam si
Dewa
Tengkorak, yang telah
disambungkan
kembali.
Roro Centil cuma bisa menatap
lalu tundukkan kepala sambil
ter-
cenung, walau diam-diam ia
terkejut
mendengar Gurunya terkena
pukulan
beracunnya paderi-paderi Gunung
Wilis.
Setelah termenung beberapa saat,
si
manusia banci itu tiba-tiba
tertawa
geli sekali... tapi kemudian
menangis
terisak-isak. Hingga air matanya
bercucuran.
Membuat Roro Centil jadi ter-
paku, tapi sudah segera
menghiburnya.
Roro menyadari kalau sang Guru
ini
telah terkena penyakit cinta,
yang
telah dipendamnya berpuluh
tahun.
Sehingga terkadang membuat si
manusia
banci ini bersikap manis
terhadapnya
namun terkadang membentak kasar.
Juga
adat dan kelakuannya aneh-aneh.
Tentu
saja Roro sudah hapal dengan
perilaku
gurunya.
"Sudahlah Guru...! Bukankah
aku
berada di sini menemanimu...!
Aku akan
tetap bersamamu sampai
kapanpun...
Kalau kau menghendaki...!."
Ujar Roro
Centil. Tapi tiba-tiba sang Guru
bahkan membentak.
"Bocah tolol! Sejak kapan
kau
berubah jadi tolol...? Hm,
dengan kau
berdiam di sini menungguiku,
bukankah
sama saja artinya dengan kau
mengubur
diri? Kalau kau mau mati baiknya
matilah saja...!" Seraya
berkata,
lengan si manusia Banci sudah
berkelebat menghantam kepala
Roro.
Akan tetapi sedikitpun Roro Centil
tidak mengelak. Tentu saja hal
itu
membuat si Manusia Aneh jadi
melengak.
Dan dengan geram, menahan
kembali
serangannya. Ternyata si manusia
aneh
itu telah mendelik heran pada
Roro.
"Mengapa kau tidak menge-
lak...?". Tanyanya. Roro
Centil tiba-
tiba tertawa geli sekali. Kini
si
manusia aneh itu yang menatap
dengan
pandangan aneh pada muridnya.
"Kalau aku mengelak berarti
aku
tolol...! Makanya aku lebih baik
memilih mati daripada hiduppun
ternyata jadi manusia tolol.. .!
Hi hi
hi. . . Apakah pendapatku itu
betul.
Guru...?". Tentu saja
jawaban Roro
membuat si manusia banci jadi
terpaku
bingung. Akan tetapi selang tak
lama
ia sudah tertawa gelak-gelak.
"Hi hi hi ... hi hi .. .
Bocah
to...eh! Ya! ya ... kau memang
bocah
tolol ... ! Tapi cerdik...!
Kalau aku
menghadapimu bicara terus
menerus,
bisa-bisa aku yang jadi
tolol...!
Sebaiknya besok pagi kau boleh
tinggalkan tempat ini. Dan
jangan
kembali lagi...!" Ujarnya
tiba-tiba
dengan tatapan tajam, dan suara
dingin. Terkejut Roro mendengar
kata-
kata Gurunya.
Akan tetapi Roro Centil sudah
segera bersujud mencium kaki
Gurunya
seraya berkata.
"Kalau kau menghendaki aku
pergi, tentu saja aku tak dapat
menolaknya. Guru...! Akan tetapi
berat
rasanya hatiku. Selama ini kau
telah
menumpahkan segala
pikiranmu untuk
mewariskan segenap ilmu padaku.
Aku
berjanji akan mempergunakan
segenap
kepandaian itu untuk membela
panji-
panji keadilan. Dan
menegakkannya di
atas jagat raya ini. Walaupun
harus
aku berkorban jiwa sekalipun.
Dan
kumohon kau dapat memaafkan
segala
kebodohanku selama ini,
Guru!".
Si Wanita banci ini cuma terdiam
menatap langit. Lagi-lagi air
matanya
mengalir membasahi kedua
pipinya.
Wajahnya yang cantik itu
menampilkan
kesedihan yang luar biasa. Akan
tetapi
ia sudah berkata lirih...
"Roro...! Kau pergilah
besok
sebelum matahari terbit. Dan
perpisahan ini adalah saat
terakhir
kau bisa bicara padaku. Karena
mulai
hari ini aku telah menutup semua
pendengaran dan penglihatanku
dari
dunia persilatan. Aku ingin mati
terkubur di tempat ini. Karena
aku
sudah puas mempunyai murid
semacammu.
Secantikmu. Juga secerdikmu...!
Nah!
Kini sudah waktunya aku
bersemadi.
Kuharap kau takkan menggangguku
lagi...!" Selesai berkata
si Manusia
Aneh Pantai Selatan segera
beranjak
masuk ke kamar goa tempat ia
biasa
bersemadi. Lalu menutup pintu
batu,
untuk selanjutnya telah tak
terdengar
lagi suaranya.
Roro Centil menatap dengan
pandangan mata redup. Tampak
setetes
air bening mengalir membasahi
pipi.
Roro tak dapat menahan harunya.
Sementara suara deburan ombak
terdengar lapat-lapat dari dalam
rongga di dasar tebing itu.
Pelahan-
lahan Roro bangkit berdiri, lalu
melangkah beberapa tindak
mendekati
tepi air. Di sana ia berhenti
untuk
memandang riak gelombang di
bawah
kakinya. Dan terdengarlah suara
helaan
napasnya.
"Guru...! Betapa berat
penderitaanmu, walau aku tak
mengetahui..." Gadis ini menggumam
lirih. Seraya menyeka air
matanya.
Burung-burung camar di atas
langit tampak bersileweran tiada
putusnya. Roro Centil
tersenyum...
Betapa iapun sudah merindukan
untuk
kembali ke alam bebas.
Namun sebelum pergi besok Roro
ingin sekali bermain
gelombang...Suara
debur ombak itu membuat ia ingin
menikmati alunan
gelombang-gelombang
raksasa itu. Segera saja ia
telah
membuka pakaiannya.
Karena tak ada seorang pun yang
melihat, Roro telah bertelanjang
bulat. Dilemparkannya pakaiannya
di
atas seonggok batu. Dan
terjunkan kaki
ke air. Dengan melangkah
perlahan ke
depan, semakin lama air semakin
dalam,
hingga sebatas dada. Yang
akhirnya
Roro menyelam. Gerakan di bawah
air
itu amat disukai Roro. Sepasang
matanya telah menjadi biasa
untuk
melihat di bawah permukaan.
Segera
terlihat terowongan dari
kejauhan.
Roro hentakkan kaki dan
tangannya.
Meluncurlah tubuhnya, sekejap
telah
tiba di mulut terowongan di
bawah
air...Di sana ia mempercepat
gerakannya. Hingga tak lama kemudian
ia telah berada di luar ruangan
rongga, di bawah tebing karang.
Terlihat di atas Roro riak
gelombang
yang besar-besar. Agaknya Roro
Centil
memang sengaja menuju ke
permukaan.
Hempasan gelombang segera
menghantam
tubuhnya. Akan tetapi gadis ini
telah
kerahkan kekuatan tenaga
dalamnya, dan
meluncur ke permukaan ...
Itulah salah satu jurus dari
jurus Ikan Hiu mengejar Mangsa.
Dan
hebat akibatnya. Dalam sekejap
tubuh
Roro Centil telah mencelat
keluar dari
permukaan. Ketika turun lagi
sepasang
kakinya telah hinggap di atas
gelombang. Aneh...! Tubuh Roro
tidak
tenggelam. Bahkan Roro seperti
tengah
menari-hari di atas gelombang.
Seolah
tubuhnya timbul tenggelam. Namun
gadis
ini tampak asyik menikmati
alunan
ombak yang membuai-buai itu.
Sementara
suara deburan-deburan keras
membahana,
ketika gelombang-gelombang
raksasa itu
menghempas di batu karang.
Roro pejamkan
matanya. Dan
terbayanglah semua impian
indahnya.
Suka dukanya...yang telah jadi
kenyataan. Kini ia telah
menguasai
ilmu yang amat langka di jagat ini.
Semua itu berkat latihan dan
bimbingan
Gurunya si Manusia Aneh Pantai
Selatan. Permainan menari-nari
di atas
ombak itu amatlah disukai Roro.
Dan
hal itu tak berlangsung lama.
Karena
sebentar kemudian hari sudah
menjelang
senja. Matahari telah semakin
meng-
gelincir di tepi cakrawala. Roro
Centil segera melompat tinggi
tujuh
tombak di atas gelombang.
Tampaklah
keindahan tubuhnya yang padat
berisi.
Bentuk tubuh yang jarang
dipunyai
gadis-gadis lain. Roro memang
Roro...!
Walau banyak nama seperti
dirinya di
atas dunia ini, tapi RORO CENTIL
cuma
satu! Dialah si Pendekar Wanita
Pantai
Selatan. Yang berwajah ayu
rupawan.
Berwatak aneh sukar diterka.
Lincah
jenaka banyak akalnya. Siapa pun
pemuda yang melihat, pasti akan
menggandrunginya.
Ketika tubuhnya meluncur lagi ke
bawah di mana gelombang raksasa
itu
segera menyambutnya, tubuh gadis
yang
bugil itupun lenyap. Seperti
telah
ditelan ombak. Namun di bawah
air,
Roro Centil telah berenang
menyibak
derasnya arus. Tubuhnya meluncur
deras
bagaikan seekor ikan hiu, dan
berseliweran di antara
karang-karang
yang menonjol. Selang sesaat, ia
telah
kembali memasuki terowongan di
bawah
air itu. Dan dengan sekali
menggenjot
tubuh...Roro Centil kembali
tersembul
di permukaan. Kini ia telah
berada
kembali di dalam ruangan rongga,
di
bawah tebing karang. Setelah
menghirup
napas dalam-dalam, Roro beranjak
ke
darat. Sepasang kakinya melangkah
perlahan di dasar air berpasir
sebatas
betis. Lalu dengan gerakan
ringan,
Roro melompat ke darat. Sepasang
kakinya melangkah perlahan di
dasar
air berpasir sebatas betis. Lalu
dengan gerakan ringan, Roro
melompat
ke darat. Selanjutnya ia telah
segera
mengenakan lagi pakaiannya.
Menge-
ringkan rambutnya, dengan duduk
di
atas batu. Kali ini tampaknya
Roro
telah puas. Besok ia sudah
tinggalkan
tempat ini. Tempat tersembunyi
yang
telah menjelmakan dirinya
menjadi
seorang gadis Pendekar Perkasa.
Walau
diam-diam Roro Centil menghela
napas.
Karena segera terpikirkan akan
banyaknya perintang kelak di
Rimba
Persilatan yang bakal ia hadapi.
Tapi
disanalah ia dapat mendarma
buktikan
ilmunya untuk memperjuangkan
keadilan.
Membela si lemah dari
cengkeraman si
kuat yang sewenang-wenang.
Menegakkan
panji keadilan di atas bumi ini.
Yang
semua itu adalah dengan taruhan
nyawa.
Demikianlah... Matahari sudah
agak meninggi. Akan tetapi Roro
Centil
masih tetap duduk di atas tebing
karang Pantai Selatan. Sepasang
matanya menghadap menatap
hamparan
lautan luas. Sementara hempasan
angin
laut, membuat rambut dan pakaian
sutera hijaunya melambai-lambai
diterpa angin. Juga ujung ikat
kepalanya yang berwarna abu-abu
itu
tak mau diam berkibaran.
Sedang di dekat kakinya,
tergeletak sebuah buntalan dari
sutera
tebal berwarna hitam. Adapun
sepasang
senjatanya terselip di
kiri-kanan pada
ikat pinggang, yang terbuat dari
kulit
ular. Roro Centil ternyata
memakai
pakaian yang singsat. Celana
pangsinya
yang berwarna hijau tua, lebih
tua
dari pakaiannya. Tampak pada
ujung
celananya terbelit tali sepatu
rumput
yang dikenakannya.
Selang beberapa saat setelah
mengenang tempat yang bakal tak
disinggahinya lagi, Roro Centil
segera
beranjak bangun berdiri.
Sementara
lengannya sudah bergerak
menyambar
buntalan pakaiannya. Pada
buntalan itu
sang Guru banyak membekali
bermacam
pakaian, juga sekotak kecil
perhiasan.
Kesemuanya telah disediakan sang
guru di muka pintu kamar. Bahkan
ketika Roro Centil berpamit tak
ada
sedikitpun suara gurunya
menyahuti.
Roro cuma bisa menghela napas.
Karena ia sudah mengenal watak
gurunya
yang aneh. Dan ia pun tak banyak
buang
waktu lagi, segera sambar
buntalannya
yang tadi baru saja dibukanya untuk
dilihat isinya. Setelah menutup
pintu
lubang terowongan di atas tebing
karang itu, Roro tidak segera
berlalu,
tapi beranjak ke tepi tebing.
Di sana ia duduk menghadap laut.
Dan mengingat semua wejangan
dari Guru
gurunya. Yang kesemuanya menitik
beratkan pada sifat-sifat kependekan-
ran. Betapa Roro sudah terlalu
menghayati akan semua itu. Namun
Roro
Centil memang berwatak aneh. Dan
orang
akan sukar menduga isi hati yang
terkandung di jiwanya.
Namun dasar-dasar kebenaran,
serta jiwa ksatria, kiranya tak
mungkin terlupakan oleh si
Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini.
Karena
mengharungi atau terjun ke Dunia
Rimba
Hijau akan banyak kemelut dan
bermacam
rintangan yang bakal dihadapi.
Namun
dengan jiwa yang kokoh itu, Roro
Centil tidaklah menjadi manusia
yang
mengecewakan di mata kaum
golongan
Pendekar.
Ketika itu Roro Centil sudah
berkelebat meninggalkan tebing
karang,
dihantarkan oleh tiupan angin
laut
yang membersit dedaunan. Tubuh
gadis
pendekar yang cantik itu sebentar
saja
telah berkelebat semakin jauh,
tinggalkan Pantai Selatan. Akan
tetapi
tanpa disadari sesosok tubuh
yang
sejak tadi memperhatikan dari
kejauhan, diam-diam terus
menguntit-
nya. Sosok tubuh itu adalah
seorang
pemuda berbaju putih. Berwajah
cukup
tampan, dengan kumis kecil di
atas
bibirnya.
Tentu saja gerakannya kalah
cepat dengan Roro, sehingga
sebentar
saja ia telah jauh tertinggal.
Akan
tetapi di sebuah tempat, ia
berhenti,
dan bersuit keras.
Tiba-tiba bergerak muncul seekor
kuda berwarna hitam legam
menghampiri,
dengan derap langkahnya yang
terdengar
memijak tanah, menyibak
rerumputan.
"Antasena...!
Cepatlah...!". Si
laki-laki itu berseru girang
melihat
kudanya. Dan segera saja telah
melompat ke atas punggungnya.
"Ayo! Antasena...! Kau
susullah
gadis cantik itu...!".
Berkata si
laki-laki. Dan sekejap kemudian
derap
kaki-kaki kuda sudah terdengar
terbawa
angin, ketika si laki-laki itu
memacunya dengan cepat.
Agaknya Roro Centil mengetahui
adanya seekor kuda dengan
penunggang
kudanya di belakang. Karena ia telah
mendengar suara ringkik kuda
serta
derapnya di kejauhan.
"Siapakah...?" Gumam
Roro seraya
berpaling, dan perlambat
larinya.
Melihat seekor kuda yang dipacu
begitu
cepat membuat Roro Centil ingin
mengetahui ada hal apakah
gerangan.
Tapi diam-diam ia telah melompat
ke
balik semak dengan cepat.
Sepasang
matanya tertuju pada si
penunggang
kuda, yang sebentar lagi akan
tiba
melewatinya. Beberapa saat
antaranya,
segera saja kuda telah tiba.
Ternyata
sang kuda itu terus melewatinya.
Sekilas Roro sudah dapat
memperhatikan
wajah si penunggangnya.
Kira-kira
jarak dua puluh tombak, kuda itu
dihentikan. Terdengar suara
binatang
itu meringkik panjang. Dan
terlihat si
penunggangnya memutarkan kudanya
ke
beberapa arah. Tampak wajahnya
menampilkan kekecewaan. Sepasang
matanya seperti mencari jejak
orang
yang diburunya. Tentu saja hal
itu
membuat Roro Centil diam-diam
menduga
dalam hati.
"Apakah ia mencariku...?".
Desisnya perlahan. Memandang
wajah
orang, agaknya Roro tidak curiga
kalau
si penunggang kuda itu ada
berniat
jahat. Namun sengaja Roro tak
mau
menampakkan diri.
Setelah berputar-putar beberapa
kali, laki-laki itupun kembali
memacu
kudanya ke arah depan, melewati
hutan
bambu. Diam-diam kini Rorolah
yang
membuntuti.
Kira-kira sepemakanan nasi si
penunggang kuda itu telah
berhenti di
sebuah biara rusak yang sudah
tak
digunakan lagi. Akan tetapi pada
saat
itu telah berkelebat sesosok
tubuh ke
hadapan si penunggang kuda.
Tentu saja
membuat laki-laki itu terkejut.
Namun
si penghadang itu telah
membentak
keras.
"Sentanu...! Kau tak dapat
melarikan diri dariku...!".
Ternyata
si pendatang itu seorang pemuda
tegap,
berwajah gagah, tanpa kumis dan
jenggot. Raut mukanya agak
kasar.
Berkulit kecoklatan. Laki-laki
ini
mengenakan baju abu-abu
berlengan
pendek, dengan bagian dadanya
terbuka.
Menampakkan dadanya yang bidang.
Celananya berwarna hitam. Tanpa
memakai alas kaki. Sepasang mata
pemuda ini membersit tajam
menatap
orang di hadapannya.
"Turunlah Sentanu...! Kau
harus
mempertanggungjawabkan
perbuatanmu..!"
Bentaknya sekali lagi.
Adapun si laki-laki berkumis
kecil yang menunggang kuda itu,
jadi
kerutkan sepasang alisnya,
dengan
menatap heran. Ia sudah mengenal
siapa
si penghadang itu.
"Hm! Mandra...! Apakah
kesala-
hanku...?". Bertanya
laki-laki itu.
"Keparat...! Kau masih juga
berpura-pura? Perbuatanmu sudah
tercium jelas. Apakah dengan
telah kau
nodainya adikku Marni, kau mau
kabur
begitu saja...? Kiranya
peristiwa
akhir-akhir ini yang melanda
beberapa
desa di sekitar wilayah
Kadipaten
Karang Sembung, adalah akibat
ulah
perbuatanmu...!". Bentak
Mandra.
Keruan saja wajah Sentanu jadi
merah
padam mendengar tuduhan itu.
"Gila...! Apa-apaan kau
Mandra...! Kuakui kau anak Carik
Desa.
Tapi tuduhanmu itu tidak
beralasan,
dan di luar batas! Aku manusia
yang
masih punya martabat dan harga
diri.
Mengapa datang-datang kau
melakukan
tuduhan sekeji itu?".
Teriak Sentanu,
seraya melompat dari kudanya.
Akan tetapi Mandra hanya
tersenyum sinis. Sepasang
matanya
tetap menatap Sentanu dengan
berapi-
api.
"Martabat...? Harga
diri...? Ha
ha ha... Semuanya hanya pepesan
kosong
belaka. Apakah dengan dalih
bahwa kau
bekas seorang perwira Kerajaan
Medang,
lalu membuat orang lain harus
menghormatimu? Ha ha ha... di
mata
penduduk, kau tak lebih dari
seorang
manusia yang kehilangan
martabatnya.
Mengapa kau masih
menyebut-nyebut
tentang martabat dan harga diri?
Penduduk semua tahu kalau ayahmu
mati
di tiang gantungan, karena
dianggap
memberontak. Dan kau ... ha ha
ha kau
karena diketahui anak seorang
Senapati
yang sudah tak berharga lagi, telah
dipecat dari keprajuritanmu.
Makanya
kau bergentayangan. Kasihan
ibumu yang
sudah tua itu. Dia cuma bisa
mengusap
dada memikirkan semua nasib yang
menimpa. Dan bisa-bisa mati
meleras,
kalau mengetahui anaknya adalah
seorang tukang pemerkosa kelas
wahid...!".
"CUKUP...! Mulutmu perlu
dihajar, Mandra...! Jangan kau
bawa-
bawa ayahku! Jangan kau
bawa-bawa
kedua orang tuaku! Kau telah
memfitnah
orang. Demi Tuhan aku tidak
melakukan
apa-apa...!" Teriak Sentanu
dengan
wajah pucat. Giginya gemeletuk
menahan
geram. Tiba-tiba ia telah
berteriak
lagi dengan mengeluarkan
kata-kata
keras.
"Sebutkanlah Mandra...!
Siapa
biang keladi yang telah
memfitnahku,
dan menjatuhkan martabat
almarhum
ayahku...? Pasti akan kurobek
mulutnya. Ketahuilah olehmu.
Ayahku
bukanlah mati di tiang gantungan
karena berkhianat, melainkan
tewas
dalam peperangan menumpas
sisa-sisa
pemberontak di utara. Dan aku
memang
telah sengaja keluar dari
keprajuri-
tanku, bukan karena aku
dipecat...!
Seandainya kau tidak percaya,
silahkan
datang menghadap Baginda Raja
Medang.
Beliau pasti akan membentangkan
perihal ayahku itu. Sedang mengenai
tuduhanmu itu, apakah kau punya
bukti
bahwa aku yang telah menodai
adikmu
Marni? Juga mengenai pemerkosaan
yang
melanda di beberapa desa, apakah
kau
punya bukti bahwa aku yang telah
melakukannya...? Hm! Mandra...!
Berfikir lah yang jernih.
Agaknya kau
terkena tenung orang. Mengapa
tak
hujan, tak angin tahu-tahu kau
menuduh
orang sem-barangan...?". Suara
lantang
Sentanu agaknya membuat pemuda
bernama
Mandra itu terhenyak seketika.
Akan
tetapi ia sudah berkata;
"Bukti memang belum
kudapatkan
yang jelas. Akan tetapi orang
desa
Tambak Segoro telah menduga kau
yang
telah melakukannya. Karena
adikku
Marni berada di kamarmu. Telah
dua
hari ini aku mencarimu ke
mana-mana.
Apa lagi melihat sejak
kedatanganmu,
kau jarang berada di rumah.
Kecurigaan
penduduk tertuju padamu. Mereka
punya
dugaan kuat kejadian-kejadian di
luar
tentang pemerkosaan yang semakin
santar itu dilakukan olehmu.
Sebabnya... entahlah, mungkin mereka
beranggapan kau anak seorang
Senapati
yang tak bermoral. Dan mati
dalam
keadaan hina, sebagai
pemberontak
Kerajaan. Tentu anaknya pun
bukan
orang baik-baik. Atas dasar
itulah aku
turut menuduhmu, Sentanu...!
Walau pun
kau adalah sahabatku, tapi itu
dulu di
waktu kecil. Keadaan sekarang
mana aku
tahu...? Aku cuma sekali sekali
saja
datang ke rumah. Karena sibuk
dengan
pekerjaanku sebagai pandai besi.
Mengetahui keadaan adik
kandungnya
bernasib demikian, siapa yang
sanggup
menahan diri...?". Ujar
Mandra.
Sementara Sentanu jadi terce-
nung. Memang ia jarang berada di
rumah. Karena disebabkan para
penduduk
bersikap sinis padanya. Entah
mengapa.
Kini jelaslah sudah
persoalannya.
Ternyata Sentanu telah difitnah
orang.
Memang ia ada mendengar berita
tentang
adanya banyak kejadian
pemerkosaan di
beberapa desa. Sebenarnya ia
memang
berniat menyelidiki.
2
KINI mendengar bahwa dua hari
yang lalu ada bukti bahwa Marni
berada
di kamarnya, membuat Sentanu
jadi
termangu-mangu. Apakah
sebenarnya yang
telah terjadi? Siapakah manusia jail
yang memfitnah dirinya?
Tiba-tiba Sentanu sudah menatap
Mandra dengan tajam, lalu
berkata;
"Mandra...! Kita pernah
bersa-
habat, walaupun itu di waktu
kita
kecil. Aku sudah bentangkan yang
sejujurnya tentang diriku. Juga
sekaligus menceritakan yang
sebenarnya
tentang ayahku. Terserah kau...!
Apakah kau akan mempercayaiku,
ataukah
mempercayai dugaan penduduk yang
telah
menuduh keluargaku sekeji itu.
Jelasnya ada yang sengaja
mengail di
air keruh. Orang yang makan
nangka,
aku yang terkena getahnya. Baiklah!
Berilah aku waktu tiga bulan untuk
menyelidiki kasus ini.
Seandainya aku
tak berhasil membongkar siapa
yang
telah melibatkan diriku dalam
kejahatan ini, aku rela menerima
hukuman darimu. Walau aku tak
bersalah...!".
Selesai berkata Sentanu telah
melompat kembali ke atas kudanya.
Sementara Mandra cuma bisa
terpaku di
tempatnya. Tapi kemudian
terdengar ia
berkata;
"Baik...! Aku pun akan coba
menyelidiki. Kalau ternyata kau
bersalah, jangan harap kau bisa
meloloskan diri dariku. Tapi
kalau
ternyata kau tak bersalah, aku
cabut
lagi tuduhanku...!" Selesai
berkata
Mandra segera tinggalkan tempat
itu.
Ternyata ia juga membawa kuda
yang
disembunyikan tak jauh di
belakang
biara rusak. Segera tak lama
kemudian
terdengar derap kaki-kaki kuda
yang
mencong-klang cepat menuju ke
arah
utara. Sekejap antaranya telah
menghilang di balik tikungan.
Sentanu
cuma menatap dengan pandangan
kosong.
Baru saja ia mau memutar kuda
untuk
lanjutkan perjalanan, telah
berkelebat
tiga sosok tubuh dari samping biara
rusak. Belum lagi Sentanu sempat
melihat tegas, salah seorang
telah
melesat ke arahnya. Dan
sekaligus
menghantam laki-laki ini dengan
pukulan lengannya. Kejadian tak
terduga itu membuat Sentanu tak
sempat
berkelit. Segera saja dengan
per-
dengarkan teriakan tertahan,
tubuhnya
jatuh terlempar dari atas kuda.
Kuda
tunggangannya meringkik panjang
bebe-
rapa kali, lalu mencongklang
kabur.
Sentanu cepat berusaha bangkit.
Dan
pada saat itu tiga sosok tubuh
tampak
mendekatinya dengan
langkah-langkah
bagai malaikat maut yang siap
mencabut
nyawa.
"He he he...Kakang Kuti!
Untuk
mencabut nyawa si pemerkosa ini
sebaiknya serahkan saja
padaku...!".
Berkata salah seorang yang
berjubah
kuning, berkulit hitam. Wajahnya
kaku
dan seram, tanpa kumis dan
jenggot.
Rambutnya panjang sebatas bahu,
dan
terlihat kaku. Memakai ikat
kepala
dari kain hitam.
"Silahkan saja...! Tapi
jangan
dibunuh cepat-cepat. Kalau bisa
jangan
sampai mengalirkan darah...! Ha
ha
ha...!". Menyahuti yang
bertubuh
jangkung. Memakai jubah warna
hitam.
Orang ini berwajah kasar, dengan
hidung yang melengkung. Sedang
di
bawah hidungnya terdapat kumis
tebal
yang melintang. Dagunya bekas
brewok
yang sudah klimis dikerok. Orang
ini
pun berambut gondrong, yang
tampak
awut-awutan. Ikat kapalanya dari
kulit
buaya. Sedang yang seorang lagi
ternyata bertubuh pendek, bulat.
Berkepala besar. Dengan rambut
gondrongnya berwarna coklat.
Mukanya
lebar, dengan sepasang mata yang
sipit. Wajahnya menampilkan
senyum
yang tak sedap dipandang. Di
lehernya
tergantung seuntai tasbih
berwarna
hitam. Jubah yang dipakainya
berwarna
ungu. Sewarna dengan ikat
kepalanya
yang lebar.
Sentanu dengan menyeringai kesa-
kitan meraba punggungnya,
memandang
pada ketiga manusia yang berdiri
di
hadapannya.
"Siapakah kalian...? Apa
kesalahanku? Mengapa kalian mau
membunuhku?". Bertanya
Sentanu, yang
segera sudah dapat berbangkit
untuk
berdiri. Akan tetapi jawabannya
adalah
suara tertawa berbareng, yang
terbahak-bahak.
"Ha ha ha ... ha ha ...
Lucu
sekali pertanyaannya. Masakan
perbua-
tanmu yang telah kau lakukan
sampai
tidak ingat lagi? Kemana pun kau
pergi
pasti akan diancam kematian.
Karena
semua orang sudah mengetahui
siapa
adanya kau? Untuk manusia tukang
memperkosa wanita semacam kau
sebaiknya diberi hukuman
setimpal.!"
Berkata si pendek berjubah ungu,
yang
berambut coklat.
"Akulah yang pertama akan
menghukummu manusia
tengik...!".
Seraya berkata lengan si laki-laki
berjubah kuning berkulit hitam
itu
sudah gerakkan lengannya
meluncur
untuk menotok Sentanu. Akan
tetapi
tiba-tiba ia telah menjerit
kaget,
karena sebutir batu kecil telah
menghantam pergelangan
tangannya.
Hingga tak ampun lagi lengannya
jadi
kesemutan tak dapat digunakan
lagi. Ia
sudah melompat mundur dengan
wajah
pias. Sementara kedua kawannya
juga
jadi terkejut.
Pada saat itulah terdengar suara
tertawa wanita, yang disusul
dengan
berkelebatnya sesosok tubuh
berbaju
hijau. Dan di hadapan mereka
telah
berdiri seorang gadis cantik ayu
rupawan. Siapa lagi kalau bukan
Roro
Centil. Kiranya melihat keadaan
Senanu
yang walau belum dikenalnya,
Roro
berniat melindungi laki-laki
itu, yang
belum dapat dipastikan
kesalahannya.
Sejak bertarung mulut dengan
Mandra, hingga sampai kedatangan
ketiga manusia ini, Roro Centil
terus
mengikutinya dari tempat persem-
bunyiannya. Dengan membuka mata
dan
memasang telinga mendengarkan
setiap
pembicaraan orang.
Melihat yang muncul adalah
seorang gadis cantik, laki-laki
bertubuh tinggi jangkung
berjubah
hitam itu segera menjura.
"Oh, selamat berjumpa
nona...!
Gerangan siapakah anda? Kami
Tiga
Paderi dari Lereng Gunung Wilis
merasa
terkejut, karena nona
menghalangi kami
membunuh manusia durjana
ini...!".
Berkata si jangkung berkumis
tebal,
seraya perkenalkan diri. Akan
tetapi
hal itu membuat Roro Centil jadi
melengak, dan naikkan alisnya.
"Kalian Tiga Paderi Lereng
Gunung Wilis?". Tanya Roro
heran.
"Setahuku paderi berkepala
gundul plontos. Mengapa kalian
berambut gondrong menakutkan?
Aneh...!
Apa aku tak salah
dengar...?!". Ujar
Roro selanjutnya. Tampaknya
wajah Kuti
si jangkung itu jadi agak
berubah.
Seperti ada kesalahan yang perlu
diralat. Sementara kedua orang
kawannya saling berpandangan.
Namun
Kuti tiba-tiba telah tertawa
terbahak-
bahak, seraya ujarnya;
"Ha ha ha...Kami memang
tengah
menyaru dengan menggunakan
rambut
palsu...! Maaf, nona. Anda boleh
lihat
sendiri kepala kami...!".
Seraya
berkata Kuti telah menjambak
rambut
kepalanya, hingga terlepas.
Benarlah!
Ternyata kepala Kuti memang tak
berambut sama sekali, alias
gundul
plontos. Hal tersebut diikuti
kedua
kawannya, yang segera menjambak
rambutnya masing-masing. Hingga ter-
lihatlah ketiganya adalah
benar-benar
tiga orang paderi.
"Nah...! Apakah anda kini
percaya kalau kami tiga orang
paderi...?". Tanya Kuti.
Roro jadi
tersenyum, dan berkata;
"Baik...! baik...! Aku
percaya
kalau kalian adalah paderi. Akan
tetapi menghukum seseorang yang
belum
jelas kesalahannya adalah tidak
dibenarkan..."
Melengak ketiga paderi itu. Akan
tetapi Kuti si paderi tertua di
antara
kedua kawannya telah kembali
buka
suara;
"Dia telah memperkosa, lalu
pergi menghilang. Bagaimana kami
bisa
jelas-jelas menangkapnya? Kalau
saksinya adalah semua penduduk
sedesa,
apakah anda mau mengatakan bahwa
manusia ini belum juga jelas
kesalahannya ... ?".
Termenung sejenak Roro Centil.
Akan tetapi ia sudah berkata;
"Aku memang belum
mengetahui
jelas duduk perkaranya. Tapi
yang
berhak memberi hukuman adalah
yang
berwenang. Kalau di desa, tempat
ia
dituduh ada seorang Carik,
dialah yang
wajib menghukumnya. Mengapa
harus anda
yang memberi hukuman...?
Setahuku,
tadi anak Carik desa yang
bernama
Mandra, telah membuat keputusan.
Yaitu
memberi kesempatan pada orang
ini
selama tiga bulan, untuk dia
mencari
orang yang memfitnah nya. Jadi
hal itu
adalah suatu keputusan yang
sudah
disetujui. Karena korban
pemerkosaan
adalah adiknya sendiri yang
bernama
Marni. Nah...! Berdasarkan hal
itu aku
mohon anda tidak lagi mengganggu
pemuda ini. Dan biarkan ia
berurusan
dengan anak Carik Desa itu
sendiri...!". Kata-kata
Roro terdengar
lantang dan tandas. Sehingga
ketiga
paderi ini cuma bisa tercenung.
"Baiklah! Kalau begitu,
nona.
Sebenarnya kami Tiga Paderi
Lereng
Gunung Wilis merasa harus
melenyapkan
setiap kekotoran di dunia.
Karena
melenyapkan kekotoran itu
merupakan
amal kebaikan ... !".
Berkata Kuti.
"Benar...! Tapi apakah
harus
selalu dengan membunuh...?
Bagaimana
kalau ternyata yang berbuat itu
bukanlah si orang yang tertuduh
ini?
Bukankah akan menambah
dosa?". Ujar
Roro Centil dengan tandas.
Agaknya untuk bertarung bicara,
Kuti harus mengalah. Segera ia
membungkuk menjura lagi.
"Terima kasih
atas penjelasan nona. Kami
sungguh
amat bergirang hati dapat
berkenalan
dengan nona yang ternyata
berpandangan
luas. Sayang kami tiada
mendengar akan
keputusan laki-laki anak carik
desa
itu. Yang memberikan kesempatan
padanya untuk membela diri
dengan
mencari orang yang memfitnahnya.
Walau
hal itu belum tentu benar, tapi
anak
carik desa itu telah berlalu
bijaksana...! Bolehkah kiranya
kami
mengetahui siapa gerang-an
nona...?".
Bertanya Kuti.
"Ah, aku orang biasa yang
tak
ternama. Namaku Roro
Centil...!".
Sahut Roro. Akan tetapi
penjelasan itu
membuat si ketiga paderi jadi
terkejut. Tanpa terasa mereka
telah
segera berseru hampir berbareng.
"Ha...? Jadi andakah si
Pendekar
Wanita Pantai Selatan . ..
?".
"Oh, beruntung sekali kami
dapat
berjumpa dengan nona pendekar.
Mengenai masalah ini kami yakin,
nona
Pendekar dapat membantu
menyelesai-
kannya...!". Ujar Kuti.
Roro Centil
cuma tersenyum, dan
manggut-manggut.
Adapun Kuti segera memberi
isyarat
pada kedua paderi kawannya, dan
ia
mendahului berkata;
"Baiklah, nona Pendekar
Roro
Centil. Kami mohon diri. Dan
tentu
saja mengenai urusan laki-laki
ini
kami tak berniat mencampurinya
lagi...!". Selesai berkata,
kembali
ketiga paderi itu menjura. Dan
selanjutnya telah berkelebat
pergi
dengan cepat.
Roro segera palingkan kepala
pada Sentanu, yang tengah
menatapnya,
dengan pandangan kagum juga
terpesona.
Segera ia sudah menjura pada
Roro,
seraya berkata;
"Terima kasih atas
pertolongan
anda; nona Pendekar...! Sungguh
tak
mengira kalau aku dapat berjumpa
dan
berkenalan dengan seorang
Pendekar
Wanita, yang namanya telah
dikenal di
kalangan Rimba Hijau . ..
!".
"Hi hi hi ... . Sudahlah,
jangan
terlalu berbasa-basi, sobat ...
eh,
kau bernama Sentanu,
bukan?". Tanya
Roro dengan menatap tajam wajah
orang.
Yang ditatap jadi kikuk, tapi
segera
menjawab;
"Benar...! Sebenarnya aku
memang
tengah mencari nona Pendekar
yang
khabarnya berada di pantai
Selatan.
Entah sudah beberapa tempat aku
kunjungi di Pantai Selatan ini,
Akan
tetapi ketika aku melihat anda
duduk
di ujung tebing karang itu,
entah
mengapa aku jadi ragu...!".
Roro jadi
kerutkan alisnya.
"Jadi kau telah sejak lama
mengetahui aku duduk di atas
tebing...? Dan mengapa kau jadi
ragu...?" Tanya Roro dengan
lagi-lagi
menatap tajam pada Sentanu.
Laki-laki
berkumis kecil ini, jadi
tersipu-sipu
dan tampak gugup.
"Apakah kau ragu kalau aku
bukan
orang yang kau cari?".
Ulang Roro.
"Be...benar, nona Pendekar
...!
Karena hampir lebih dari setahun
ini
tak ada khabar berita di mana
adanya
nona Pendekar...".
Tampaknya Sentanu
seperti menyembunyikan sesuatu.
Tapi
tak berani mengatakannya.
Padahal,
Sentanu telah melihat tanpa
sengaja
dengan mata kepala sendiri, di
mana
ketika senja itu Roro Centil
tengah
bermain gelombang di bawah
tebing
karang, dengan menari-nari
bagaikan
seorang dewi lautan. Sentanu
telah
menyangka Roro adalah Nyai Roro
Kidul,
yang ada dalam dongeng rakyat.
Karena
mustahil bila hal semacam itu
dilakukan oleh seorang manusia.
Dengan
nekat, Sentanu segera menuruni
tebing
karang untuk melihat lebih
dekat.
Gerakan tubuh semampai tanpa
busana
itu membuat Sentanu bagaikan melihat
seorang bidadari yang sedang
mandi.
Hingga ia benar-benar terpesona
dibuatnya. Sayang waktu itu tak
berlangsung lama ... Dan sang
bidadari
telah kembali lenyap seperti
ditelan
gelombang. Laki-laki ini jadi
penasaran. Semalam-malaman ia
tak bisa
tidur. Ternyata ia belum pergi
jauh
dari tebing karang itu.
Esoknya, pagi-pagi sekali ia
telah kembali naik ke atas
tebing
karang. Dan di sanalah ia
melihat Roro
Centil sedang termangu-mangu.
Jelas
dan tak mungkin salah dengan apa
yang
telah dilihatnya senja kemarin.
Wajah
dan potongan tubuh gadis itu
amat
serupa dengan sang bidadari yang
bermain di atas gelombang.
Sehingga diam-diam ia terus
mengintai...Dan tatkala Roro
beranjak
untuk meninggalkan Pantai
Selatan.
Sentanu segera bergegas
mengikuti.
Beruntung Roro melewati tempat
kudanya
dilepas mencari rumput. Sehingga
Sentanu dapat cepat memanggil
sang
kuda tunggangan. Dan memacunya
cepat
untuk menyusul Roro. Hingga
akhirnya
ia berjumpa dengan Mandra. Dan
hampir
saja ia jadi korban dibunuh si
tiga
orang paderi, kalau tak datang
Roro
yang membelanya.
"Ada hal apakah kau mencari
diriku...?". Tanya Roro
tiba-tiba.
Membuat Sentanu yang sedang
termenung
jadi terkejut.
Segera ia menyahuti dengan suara
tergagap;
"Anu… nona Pendekar ... Eh,
ma-
rilah kita bicara sambil duduk
di
sana, agar dapat leluasa kita
bercakap-cakap...!".
Berkata Sentanu
seraya menunjuk ke lantai biara.
Roro
Centil mengangguk. Dan segera
keduanya
beranjak ke sisi biara rusak
itu.
Selanjutnya sudah duduk
berhadapan.
Ternyata Sentanu telah
mengeluarkan sebuah benda, yang
telah
lama disimpannya. Benda itu
adalah
sebuah kalung, dengan rantai
terbuat
dari baja putih. Sedang
bandulannya
terbuat dari gading berbentuk
hati.
Pada bagian tengah gading itu,
terukir
sebuah huruf "R".
Benda itu
diperlihatkan pada Roro.
Tampaknya Roro Centil jadi
terkejut. Segera ia raih benda
itu
dari tangan Sentanu. Sepasang
matanya
menatap tajam dan meneliti benda
dan
bandulannya itu. Segera saja ia
telah
berkata setengah berteriak;
"Benda ini milikku...Dari
mana
kau menemukannya ... ?".
Tanya Roro.
"Ceritanya panjang
sekali...!
Kalau nona Pendekar mau
mendengarkan-
nya, aku pasti akan
menceritakan-
nya...!" Ujar Sentanu.
Seraya menghela
nafas lega. Kini keyakinannya
semakin
jelas, bahwa benarlah kalung
yang
ditemukannya kurang lebih dua
belas
tahun yang lalu itu pasti
pemiliknya
seorang anak perempuan.
Diam-diam wajah Sentanu menam-
pilkan kegembiraan. Akhirnya ia
dapat
mengetahui siapa pemilik kalung
bertuliskan huruf "R"
itu. Segera
Sentanu menceritakan asal
penemuan
kalung itu. Yaitu yang
ditemukannya
ketika ia masih menjadi Perwira
Kerajaan. Dalam pengejaran
mencari
jejak si Maling Sakti yang
menjadi
buronan Kerajaan. Rombongannya
melewati sebuah jalan desa, yang
telah
bergabung dengan rombongan
Tumenggung
Wira Pati. Tumenggung Wira Pati
adalah
pamannya. Dari jauh ia sudah
melihat
adanya beberapa ekor kambing
tergeletak di jalan sunyi itu.
Ia
bersama empat orang Prajurit
berkuda
berada di bagian belakang
Rombongan
berkuda pamannya. Karena Sentanu
memang tadi tidak melalui jalan
itu,
jadi tak hapal akan jalannya.
Sedangkan rombongan berkuda
Tumenggung
Wira Pati ternyata tidak
berhenti,
bahkan terus menerjang beberapa
ekor
kambing yang bergelimpangan itu.
Sekaligus Sentanu dapat melihat
adanya
seorang bocah tertelungkup
memeluk
seekor kambing yang telah tak
berkutik. Namun mana ia bisa
menahan
rombongan di hadapannya. Sedang
yang
paling depan adalah pamannya,
alias
Tumenggung Wira Pati. Sentanu
berada
di tengah pasukan berkuda.
Terpaksa
iapun melewati di mana
kambing-kambing
itu terkapar. Hingga sekejap
saja
rombongan mereka pun telah jauh
dari
jalan desa yang sunyi itu. Akan
tetapi
Sentanu tak lama kembali lagi
bersama
keempat prajurit bawahannya.
Memang ia
agak penasaran, apakah
penglihatannya
sekilas tadi itu hanya
fatamorghana
saja, ataukah sesungguhnya.
Sehingga
ia dengan keempat orang
bawahannya
sengaja memisahkan diri, dari
pasukan
Tumenggung Wira Pati. Dan
kembali lagi
untuk melihat keadaan di jalan
desa
itu. Seandainya benar di sana
tergeletak seorang bocah,
pastilah tak
akan membuat Sentanu penasaran.
Akan
tetapi Sentanu dan keempat
prajurit
bawahannya tidak mendapatkan ada
seorang anak manusia di tempat
kambing-kambing yang telah
tergeletak
tak bernyawa itu. Bahkan keempat
prajurit diperintahkan memeriksa
keadaan sekitarnya. Namun tak
dijumpai
siapa-siapa.
Demikianlah, akhirnya Sentanu
beranggapan kambing-kambing yang
mati
itu adalah beberapa ekor kambing
yang
kebetulan lewat di jalan desa
yang
sempit itu. Akan tetapi,
terkejut
Sentanu ketika melihat sebuah
benda
berkilat tak jauh dari kaki-kaki
kambing yang mati. Ia segera
turun
dari kudanya. Dan meraih benda
itu...
Ternyata benda itu adalah kalung
berbentuk hati dan dengan
bertuliskan
huruf "R" di tengah
bandulannya.
Sentanu telah menyimpan benda
itu.
Akan tetapi ia telah
berkeyakinan
bahwa benarlah apa yang telah
dilihatnya bahwa adanya seorang
bocah
yang tertelungkup memeluk seekor
kambing, yang telah diterjang
terus
oleh Tumenggung Wira Pati.
Bertambah
gusar dan mendongkolnya Sentanu,
ketika setelah berfikir keras
dengan
masalah itu, punya dugaan kuat bahwa
rombongan berkuda sang paman
telah
menerjang dua kali di tempat
kambing-
kambing itu berserakan.
Mustahil bila
baru pertama kali, karena ketika
Sentanu dan rombongannya yang
memang
baru sekali melewati tempat itu,
telah
melihat bahwa kambing-kambing
itu
telah tergeletak berserakan.
Berarti
ketika rombongan Tumenggung
lewat yang
pertama, telah menerjang
sekumpulan
kambing dengan seorang bocah
peng-
gembalanya. Dan yang kedua
kalinya,
ketika kembali, telah menerjangnya
lagi tanpa menghiraukan nyawa
orang,
apa lagi binatang. Mengingat
demikian
Sentanu jadi membenci sang
paman,
alias Tumenggung Wira Pati.
Namun anehnya, kalungnya dikete-
mukan, tapi bocah si
penggembalanya
tak ada. Sentanu punya dugaan
kuat
kalau si bocah penggembala
kambing itu
seorang bocah perempuan. Dan
Sentanu
berpendapat, bahwa bocah
penggembala
itu pasti telah ada yang
menolong.
Namun itu cuma dugaan. Dan entah
mengenai hidup dan matinya si
bocah
pengembala itu. Sentanu tak
mengetahui. Namun sampai lebih
dari
dua belas tahun ternyata Sentanu
masih
menyimpan benda itu. Dengan
harapan
dapat menemukan si pemiliknya
kelak...
Demikianlah Sentanu mengakhiri
penutu-
rannya.
Adapun Roro Centil mendengar-
kannya dengan termangu-mangu.
Tiba-
tiba ia telah membuka ikat
kapalanya.
Dan meraba sebuah bekas luka di
sudut
dahi dekat rambutnya. Luka itu
adalah
bekas terkena terjangan
kaki-kaki
kuda, menurut Gurunya atau paman
angkatnya, yaitu si Maling
Sakti.
Dengan sepasang mata masih
menatap
kosong, Roro berkata; "Aku
punya luka
kecil di dahiku ini, menurut
mendiang
guruku dahulu, adalah bekas kena
terjangan kaki-kaki
kuda...!".
"Kalau benar benda itu
adalah
milikmu, berarti kaulah si bocah
penggembala kambing pada dua
belas
tahun lebih yang silam...!"
Ujar
Sentanu dengan wajah girang.
Tampaknya
Roro sulit mengingat-ingat kisah
lalu
itu. Namun setelah beberapa saat
terdiam, terdengarlah Roro
menghela
napas, dan ujarnya...
"Benar, sobat Sentanu...!
Aku
mulai ingat. Kala itu aku
menggemba-
lakan kambing-kambing pamanku.
Dan
saat itu ada sepasukan berkuda
yang
datang, dan tahu-tahu sudah
berada di
hadapanku. Aku sempat melompat
ke
parit. Namun kambing-kambingku
telah
berserakan dengan keadaan
menyedihkan.
Cuma dua ekor saja yang tinggal
hidup.
Itupun dalam keadaan patah kaki.
Aku
memang tak mampu mengingat
berapa
jumlah semua kambing-kambingku.
Namun
yang kuingat adalah kematian si
Putih,
kambing kesayanganku yang belum
lama
dibelikan ayah. Yaitu sebelum
ada
berita gugurnya ayahku di medan
perang. Bahkan mayatnya saja aku
tak
mengetahui...!"
Sampai di sini Roro Centil
menyeka air matanya yang telah
meleleh
turun membasahi kedua pipinya.
"Ketika pasukan berkuda itu
lewat, aku bangkit dari dalam
parit,
dan menangis memeluki si Putih.
Kulihat kedua anaknya yang masih
kecil
dan lucu, telah mati dengan
menyedihkan...! Si Putih kudekap
erat.
Binatang tak berdosa itu
megap-megap.
Lidahnya terjulur penuh darah.
Tulang-
tulang tubuhnya telah remuk di
dalam.
Aku tak kuasa menahan
kesedihanku.
Hingga aku tak sadarkan diri
lagi,
ketika si putih melepaskan
nyawanya.
Selanjutnya aku tak ingat
apa-apa
lagi. Cuma yang kuingat ada
suara
gemuruh yang datang. Dan aku
terguling-guling di antara derap
kaki-
kaki kuda. Kurasakan mataku jadi
gelap, karena kepalaku terantuk
benda
keras. Dan selanjutnya aku sudah tak
tahu apa-apa lagi". Tutur
Roro. Dan
melanjutkan lagi...
"Belakangan baru
aku mengetahui, yaitu setelah
aku
dewasa. Guruku si Maling Sakti
alias
Jarot Suradilaga itulah yang
telah
menolongku. Dan mengangkatku
sebagai
murid. Aku pun telah menganggap
beliau
pamanku sendiri. Sayang...kurang
lebih
tiga tahun berselang, guruku
tewas
oleh si Dewa Tengkorak, juga
mertua
guruku, kakek Bayu Seta alias si
Pendekar bayangan. Selanjutnya
aku
berguru dengan seorang tokoh
aneh di
Pantai Selatan. Setahun yang
lalu
memang aku telah terjunkan diri
ke
Rimba Persilatan, membantu kaum
pendekar melenyapkan kejahatan.
Akan
tetapi aku kembali harus
menjalani
gemblengan selama lebih dari
setahun.
Dan baru hari ini aku keluar
dari
tempat perguruanku...!".
Demikian
tutur Roro Centil panjang lebar.
Sementara Sentanu cuma
manggut-manggut
mendengarkan dengan penuh
perhatian.
Kini jelaslah bahwa kalung yang
ditemukan itu milik Roro. Dan
diam-
diam Sentanu bersyukur juga
kagum,
yang ternyata si pemilik
kalung yang
ditemukan itu, adalah seorang
Pendekar
Wanita yang dikaguminya.
"Aku pun baru mengetahui
kalau
si Maling Sakti itu ternyata
adalah
seorang Pendekar Pejuang tanpa
pamrih.
Dan juga Ketua dari Partai Kaum
Pengemis, yang banyak berjasa
pada
Kerajaan. Bahkan ternyata
orang-orang
atau Pembesar Kerajaan diam-diam
hanya
mencari pangkat atau kedudukan
terhormat. Yang biasanya asal
main
tuduh saja. Bahkan tipu daya dan
fitnah keji pun tega ia
lontarkan,
demi untuk kelanggengannya duduk
di
kursi terhormat...!". Ujar
Sentanu.
Karena seketika ia pun teringat
pada Tumenggung Wira Pati, yang
sekarang telah menjabat sebagai
Senapati Kerajaan Medang.
Sentanu
memang ada menduga yang
menggembar-
gemborkan desas-desus kematian
ayahnya
ada hubungannya dengan Senapati
(pamannya) itu. Karena sebagai
perwira
Kerajaan, Sentanu sedikit banyak
mengetahui akan sepak terjang
dan
perbuatan Wira Pati.
Namun untuk menjaga agar tidak
menjadi kekacauan yang dapat
mencema-
rkan nama Kerajaan, sengaja
Sentanu
tutup mulut. Dan ia mengundurkan
diri
dari keprajuritan.
Cuma yang aneh, adalah ia
dituduh oleh banyak penduduk
desa
sebagai seorang yang membuat
keri-
cuhan. Dengan mengkambing
hitamkan
dirinya sebagai seorang
pemerkosa, dan
penculik gadis.
Hal ini membuat Sentanu jadi
bertekad menyelidiki biang
keladi
kericuhan yang telah mengadu
dombakan
ia dengan Mandra, sahabatnya.
Juga
menjadikan penduduk di desanya
sendiri
bersikap sinis terhadapnya.
Apa lagi kini dengan munculnya
Tiga Paderi Lereng Gunung Wilis,
yang
telah turut campur. Sentanu
merasa
harus berhati-hati. Karena bukan
mustahil akan banyak musuh yang
tanpa
sebab akan memusuhinya ...
Oleh sebab itulah Roro Centil
bersedia membantu Sentanu
menjernihkan
keadaan di beberapa desa yang
tengah
dilanda kemelut itu. Juga
melindungi
Sentanu dari kejahatannya
manusia yang
sengaja berniat memfitnahnya.
Bahkan
juga berniat melenyapkan
laki-laki tak
bersalah itu. Akhirnya sedikit
banyak,
Roro Centil dapat mengetahui
kisah
riwayat hidup Sentanu. Yang
ternyata
banyak liku-liku kehidupan yang
dialaminya.
Selang tak berapa lama, tampak
Sentanu bangkit berdiri, dan
keluarkan
suara suitan panjang. Suara
suitan itu
adalah untuk memanggil sang kuda
tunggangannya. Tak berapa lama,
terdengar suara derap kaki kuda
menghampiri, disusul suara
ringkikan-
nya. Dan segera saja muncul seekor
kuda hitam, yang tadi melarikan
diri.
Sentanu segera menghampirinya,
dan
menepuk-nepuk lehernya, seraya
berkata;
"Antasena! Marilah kita
tinggal-
kan tempat ini, aku harus
kembali
pulang dulu. Perasaanku tak
enak. Aku
akan menemui ibuku. Tentu beliau
mengharapkan
kedatanganku...!". Sang
kuda meringkik panjang seperti
mengerti akan kata-kata sang
majikan.
Sementara Roro Centil cuma
tersenyum
saja memperhatikan Sentanu.
"Aku tak dapat menemanimu,
kembali ke desa. Tapi tak usah
khawatir. Si tiga paderi itu
telah
berjanji tak akan mencampuri
urusan
ini. Silahkan kau berangkat. Aku
masih
ada sedikit urusan yang akan
kuselesaikan. Mungkin besok,
atau
malam nanti aku akan menyelidiki
situasi di sekitar tiga desa
terdekat.
Kuharap kau jangan tinggalkan
rumahmu.
Kelak aku pasti mencarimu di
desa
tempat kau berada. Atau kau
dapat
tanyakan pada Carik Desa di
wilayah
Kadipaten Karang Sembung...!".
Sentanu anggukkan kepalanya,
seraya melompat ke atas punggung
kudanya.
"Aku harus segera kembali,
nona
Pendekar, Roro Centil. Dan
sekali lagi
terima kasih atas bantuan
anda...!".
Dan setelah berpamit, Sentanu
sudah
hentakkan kakinya ke perut kuda.
Selanjutnya sang kuda telah
mencong-
klang lari dengan cepat. Roro
menatapnya hingga sampai
punggung
Sentanu tak kelihatan lagi.
Terdengar si gadis ini menghela
napas, seraya lengannya meraba
bandu-
lan kalungnya yang berbentuk
hati dan
bertulisan huruf "R"
pada bagian
tengahnya.
Bibir gadis ini sunggingkan
senyum senang. Tak lama
kemudian, ia
telah berkelebat pergi
tinggalkan
biara rusak itu.
Matahari semakin tinggi dengan
panasnya yang amat terik ...
Rumah gedung besar milik Bupati
Daeng Panuluh itu tampak sunyi.
Di
luar cuma ada dua orang penjaga,
yang
tampaknya amat mengantuk.
Sementara di
ruang dalam, tampak Ki Ageng
Daeng
Panuluh tengah asyik duduk di
kursi
goyang dengan mata meram melek.
Tubuhnya yang agak gemuk dan tanpa
mengenakan pakaian pada bagian
atasnya
itu, terlihat mengeluarkan
keringat.
Sebentar-sebentar ia mengipasi
tubuhnya dengan kipas dari bulu
burung
yang selalu tergenggam di
tangannya.
Sementara di ruang kamarnya
terdengar suara isak tersendat.
Suara
isak dari seorang gadis yang
telah
mengalami kenyataan hidup yang
amat
getir.
Lolos dari lubang buaya,
terperangkap di sarang macan.
Dia
seorang gadis yang masih muda.
Dengan
paras cantik. Berkulit kuning
langsat.
Tubuhnya dalam keadaan tertotok.
Sehingga ia tak dapat berbuat
apa-apa
selain terlentang di
pembaringan.
Malam tadi sesosok tubuh telah
membawanya melalui jalan rahasia
di
belakang gedung bupati Daeng
Panuluh
ini. Dan malam tadi seperti juga
malam
kemarin, ia telah menghadapi
hadirnya
sang harimau jantan. Yang dengan
mendenguskan napasnya telah
merencah
tubuhnya hingga seperti lumat.
Kini ia
tengah menunggu nasib apa
selanjutnya
yang akan menimpa.
Tengah ia termenung dengan
terisak-isak, pintu kamar
kembali
terbuka lebar. Lalu kembali
menutup
perlahan. Sepasang mata teduh
wanita
muda ini kembali membersitkan
sinar
gemerlapan di antara derai air
matanya. Dilihatnya sang harimau
jantan yang tampaknya belum puas
melahap tubuhnya itu telah
mendekatinya kembali.
Kain selimut penutup tubuhnya
itu telah kembali disingkapkan.
Dan
sepasang mata jalang laki-laki
ber-
tubuh agak gemuk itu menatap
wajahnya
serta merayapi sekujur tubuhnya.
Terdengar ia tertawa menyeringai
senang, seraya lengannya menelusuri
setiap lekuk liku tubuh wanita.
Sementara sang wanita telah
menggigit
bibirnya menahan geram.
Tiba-tiba ia
telah semburkan ludahnya hingga
membasahi wajah laki-laki itu.
"Fuah...! Kau meludahiku,
manis...? He he...ha ha ha...
". Daeng
Panuluh tertawa terbahak-bahak.
Sementara si wanita itu sudah
membuang
mukanya ke samping.
"Belum puaskah kau,
binatang...?
Mengapa tidak segera kau bunuh
aku?"
Desis wanita itu disela
isaknya.
Daeng Panuluh menyeka air ludah
yang melekat di wajahnya.
"Kau katakan aku
binatang...? Ha
ha he he he he...mungkin juga
benar,
tapi mungkin juga tidak. Aku
berikan
kelembutan padamu, mengapa kau
tolak?
Kau diantar kemari sudah bukan
gadis
lagi...! Kalau kau marah padaku
itu
salah besar, sayang ...! Tapi
tak
apalah ...! Sebentar kau akan
menjadi
jinak...!". Berkata
laki-laki itu.
Tiba-tiba ia telah beranjak
mendekati
meja di sudut kamar itu.
Lengannya
bergerak mengambil cawan berisi
air
yang telah disediakan. Tiba-tiba
dengan sebelah lengannya
laki-laki itu
telah menjambak rambut sang
wanita,
seraya berkata;
"Bukalah mulutmu sayang...!
Kau
minumlah air pelepas dahaga
ini...!".
Tentu saja sang wanita itu
berteriak
tertahan menahan sakit. Akan
tetapi
ketika mulutnya terbuka, cawan
berisi
air ramuan itu telah dicekokkan
padanya. Walaupun ia berusaha
meronta,
namun tak urung air ramuan itu
telah
masuk juga ke dalam
tenggorokannya.
Terdengar si laki-laki tertawa
terbahak-bahak. Dan lepaskan
jambakan
pada rambutnya. Wanita muda itu
terengah-engah kembali tergolek
di
pembaringan. Ia berusaha
mengangkat
lengannya tapi totokan pada
tubuhnya
tak mampu ia membukanya.
"Keparat...!
Bunuhlah aku, mengapa kau siksa
aku
terus menerus...?".
"Aku tidak menyiksamu,
manis...!
Sebentar tenagamu akan kembali
pulih.
Dan kau akan bertenaga seperti
seekor
harimau betina...! Ha ha he he
he..."
Namun wanita itu sudah tak
mendengarkan ocehan laki-laki
itu.
Sepasang matanya telah
dipejamkan.
Karena ia rasakan kepalanya
menjadi
pusing. Sepasang matanya
berkunang-
kunang, dan menjadi gelap. Dan
ada
hawa panas bergolak dalam
perutnya.
Tubuh wanita itu menggelinjang
menahan
hawa panas itu. Entah berapa
saat ia
tak tahu. Ketika samar-samar ia
melihat laki-laki itu tengah
meneguk
arak di hadapannya, ketika ia
membuka
sedikit kelopak matanya.
Aneh...! Hawa
kemarahannya seperti lenyap.
Totokan
pada tubuhnya seperti telah
punah...
Akan tetapi tak ada niat ia
untuk
melepaskan diri dari tempat itu.
Ia seperti mengharapkan sesuatu
yang menggebu dalam jiwanya.
Sepasang
matanya yang redup itu seperti
telah
menjadi tatapan mata liar dan
jalang.
Lengannya menggapai seperti
mencari
pegangan. Disertai rintihan
aneh, yang
mendesis dari mulutnya. Kini ia
merasa
seolah benar-benar menjadi
seekor
harimau betina yang sedang
berahi.
Terdengar samar-samar suara
tertawa
yang membuat ia seperti seorang
buta
yang mencari-cari tongkat. Dan
ia
sudah segera dapatkan tongkat
itu,
untuk segera selanjutnya
berjalan
menyusuri relung-relung
kenikmatan,
yang penuh misteri.
Bagaikan seekor binatang buas,
yang membaui daging mentah,
harimau
betina itu melumat apa yang ada
di
hadapannya. Desah napasnya
memburu.
Seperti berpacu dengan
desah-desah
angin yang tak diketahui dari
mana
datangnya.
Daeng Panuluh perlahan bangkit
untuk duduk. Napasnya terengah.
Ia
terlalu banyak menenggak arak.
Selang
tak lama ia telah keluar dari
kamarnya. Dan kembali lemparkan
tubuhnya ke kursi goyang. Di
sana ia
duduk dengan kaki terjuntai,
dengan
pejamkan mata. Segera tubuh
laki-laki
agak gemuk itu terayun-ayun
membawanya
ke alam mimpi di balik awan.
Sesaat
antaranya telah terdengar suara
dengkurnya menggeros.
Saat malam menjelang datang,
rumah gedung Bupati Daeng
Panuluh
seperti semakin sunyi... Namun
sesosok
tubuh bagaikan bayangan hantu
tampak
berkelebat keluar dari belakang
gedung. Sosok tubuh itu seperti
memondong sesuatu yang dibawa
berkelebat dengan cepat. Dan
sesaat
antaranya kembali kesunyian
mencekam
malam yang gelap gulita...
Esok paginya, seorang penduduk
desa yang akan pergi ke sawah di
ujung
desa, jadi terkejut, karena
menjumpai
sesosok tubuh telah menjadi
mayat,
terperosok di pematang sawah.
Terkesiap seketika orang itu.
Segera
saja ia telah berlari sipat
kuping.
Paculnya telah dilemparkan dan
ditinggalkannya begitu saja.
Ternyata
ia berlari ke arah desa. Seraya
terdengar suaranya
berteriak-teriak;
"Toloooong...! Ada
pembunuhan..!
Ada mayat! Ada mayat di pematang
sawah
...!" Serentak saja
orang-orang desa
segera keluar. Tiga orang
laki-laki
telah melompat mendekatinya
seraya
bertanya;
"Mayat siapa...! Laki-laki
atau
perempuan...?" Tanya salah
seorang.
"Pe...perempuan...!",
Sahut si
petani itu dengan gagap. Ketiga
laki-
laki itu tersentak. Sementara
beberapa
orang segera berkerumun.
"Di mana...! Di pematang
sawah
sebelah mana...!", Tanya
lagi laki-
laki itu.
"Mari aku
tunjukkan...!" Ujar si
petani. Pada saat itu muncul pak
Carik
Desa.
"Ada apa lagi pagi-pagi
sudah
ribut...?". Tanya laki-laki
berusia 50
tahun itu. Segera si petani
menceritakan apa yang telah
dilihatnya...
Pak Carik tampak kerutkan
alisnya.
"Hm...! Lagi-lagi korban
pemerkosaan...! Mari kita lihat
... !"
Ujarnya. Dan serentak mereka
sudah
bergegas mengikuti si petani
yang
berjalan terlebih dulu.
3
TIDAK semua yang berkerumun itu
pergi untuk melihat. Terutama
wanita,
mereka cuma silih perbincangkan
dengan
sesama tetangga. Tapi seorang
wanita
ternyata telah bergegas menyusul
rombongan yang berlarian itu.
Dia
bukan penduduk tempat itu. Tapi
secara
kebetulan ketika sedang
menghirup
udara pagi, telah mendengar
suara
ribut-ribut. Ternyata di
seberang
jalan adalah sebuah penginapan.
Agaknya ia seorang pendatang
yang
telah menginap di penginapan
yang
cukup besar itu. Memang desa
ramai itu
pada bagian belakangnya adalah
terbentang kebun dan sawah
penduduk
yang luas. Wanita itu berbaju
merah,
dengan rambutnya dikepang dua.
Ternyata ia punya gerakan
lincah.
Dalam beberapa saat saja ia
telah
dapat menyusul rombongan yang
telah
jauh itu. Bahkan tak lama
rombongan di
hadapannya telah berhenti. Dan
tampak
mereka jadi sibuk, silih
berdesakan
untuk melihat mayat yang
terbujur di
pematang sawah.
Ternyata mayat itu benar seorang
wanita. Keadaannya amat
mengenaskan
sekali, karena tubuhnya matang
biru.
Dan tak mengenakan selembarpun
pakaian, hanya sehelai kain yang
membungkus tubuhnya. Beberapa
orang
yang melihat tidak mengenali
siapa
adanya wanita muda itu. Akan
tetapi
tiba-tiba si gadis berbaju merah
yang
tadi menyusul belakangan itu,
telah
terpekik kaget, seraya menubruk
mayat
wanita malang itu.
"Surti..!Surtiiiii..!"
teriaknya
histeris, dan ia sudah memeluki
mayat
yang sudah kaku di pematang
sawah itu,
dengan air mata bercucuran.
Semua yang memandang cuma
terpaku melihatnya. Pak Carik
menghela
napas. Sementara tiga laki-laki
tadi
cuma bisa tundukkan kepala
dengan hati
trenyuh mendengar suara tangis
si
wanita yang menyayat hati.
Di antara ketiga laki-laki itu
ternyata terdapat Mandra, anak
pak
Carik. Pemuda itu memandang pada
ayahnya. Sementara laki-laki
berusia
50 tahun itu sunggingkan senyum
sinis
padanya seraya berkata;
"Heh...! Apakah pendapatmu
dengan korban kali ini ... ? Apa
kau
tak juga yakin kalau semua ini
perbuatan si Sentanu itu ...
?".
Mandra menatap tajam pada
ayahnya. Alisnya bergerak
menyatu. Dan
dengan nada tegas ia telah
menjawab
pertanyaan sang ayah.
"Aku telah memberinya waktu
selama tiga bulan. Dan hal itu
adalah
suatu kebijaksanaan yang mutlak
bagi
kita untuk memberinya kesempatan
si
pelaku sebenarnya. Kita tak
dapat
menuduh orang dengan
semena-mena,
ayah...! Kalau seandainya ia
benar-
benar tak bersalah, akan kita taruh
di
mana muka kita...? Apa lagi ayah
adalah seorang Carik. Yang
tentunya
akan disorot tajam oleh mata
semua
penduduk...!". Laki-laki
tua yang
masih bertubuh kekar ini cuma
mendengus, dan berkata;
"Terserah dengan
keputusanmu,
Mandra. Segeralah kau bantu
mengurus
jenazah itu! Aku akan menemui
Bupati...!".
"Baik, ayah...!"
Menjawab Mandra
seraya palingkan kepala pada si
gadis
baju merah yang masih terbenam
dalam
tangis.
Pak Carik Desa bernama Sengkuti
ini, segera putar tubuhnya, dan
berlalu meninggalkan kerumunan
orang,
yang kian bertambah saja.
Ternyata di antara kerumunan
orang itu ada terdapat seorang
pemuda
berwajah pucat yang menyandang
buntalan di punggungnya.
Ketika laki-laki Carik Desa itu
bergegas tinggalkan tempat itu
si
pemuda diam-diam telah
mengikutinya.
Hingga tak lama sudah berada di
luar
desa.
Terkejut juga pemuda berwajah
pucat itu, ketika melihat
laki-laki
yang sudah diketahuinya Carik
Desa itu
ternyata mempergunakan ilmu lari
cepat. Kiranya ia punya gerakan
gesit.
Entah apa maksudnya si pemuda
itu
membuntuti laki-laki itu. Tapi
ketika
di tebuah tikungan, si pemuda
itu
telah kehilangan jejak.
"He...? Kemana gerangan ia
perginya...?" Desis suara
si pemuda.
Sementara ia sudah putar tubuh,
dan
palingkan kepala ke sana-kemari,
namun
tak juga dilihatnya orang yang
sedang
dibuntutinya. Tahu-tahu telah
berdesir
angin di belakang tubuhnya.
Terkejut
pemuda ini, namun dengan sebat
ia
sudah melompat ke samping dengan
gerakan kilat. Ternyata adalah
serangkum jarum senjata rahasia,
yang
nyaris saja mengenai
punggungnya.
Pemuda ini sudah keluarkan
bentakan
keras... ketika dilihatnya
sebuah
bayangan berkelebat melarikan
diri.
"Heii...! Berhenti
pengecut...!"
Teriaknya santar. Dan ia sudah
kelebatkan tubuhnya menyusul
bayangan
itu. Akan tetapi bayangan itu
pun
lenyap. Namun si pemuda sudah
dapat
menduga si penyerangnya ...
"Potongan tubuhnya mirip si
Carik Desa itu cuma kepalanya
terbungkus kain hitam. Tentu ia
menggunakan topeng... agar tak
dapat
dikenali...!". Desis suara
si pemuda.
Diam-diam si pemuda itu semakin
mencurigai orang yang dibuntuti.
Tiba-
tiba tiga sosok tubuh telah
bersembulan dari tiga penjuru.
Terkejut pemuda ini, karena ia
telah
mengenali siapa adanya ketiga
orang
yang telah mengurungnya itu.
Namun
tanpa bisa berfikir panjang lagi
ia
harus mengelakkan terjangan
salah
seorang yang menyerang dengan
kipas
baja berujung runcing. Si
penyerang
ini memakai tasbih hitam yang
tergantung di lehernya.
Rambutnya
gondrong berwarna coklat.
Dua serangan beruntun menerjang
mengarah leher, dan dada.
Membersit
angin keras, ketika senjata itu
lewat
beberapa senti dari kulit
lehernya.
Sedang serangan pukulan
selanjutnya
yang mengarah ke dada, telah ia
sambuti dengan hantaman telapak
tangannya.
Terdengar si penyerang yang
bertubuh pendek itu berteriak
tertahan, dan tubuhnya terlempar
ke
belakang tiga tombak. Namun
dengan
sebat ia telah bangkit berdiri
lagi.
Tampak ketiganya saling pandang.
Tiba-
tiba si laki-laki berjubah hitam
yang
bertubuh jangkung dan berkumis
tebal
itu telah melompat ke
hadapannya.
"Ha ha ha...boleh juga ilmu
tenaga dalammu anak muda...!
Gerakan
tubuhmu amat gemulai. Membuat
aku
ingin mencicipi kehebatan anda
...!".
Berkata ia dengan wajah tertawa
menyeringai. Ternyata orang ini
adalah
Kuti, si paderi Ketua dari Tiga
Paderi
Lereng Gunung Wilis.
Seraya berkata, ia telah tarik
keluar secarik kain sutra
berwarna
hijau dari balik jubahnya. Dan
dengan
sebat ia telah menerjang dengan
senjata yang tiba-tiba berubah
menjadi
kaku. Terkejut pemuda itu,
karena ia
baru melihat senjata aneh itu.
Terjangan ke arah dada dapat ia
hindarkan dengan lengkungan
tubuhnya
ke belakang, akan tetapi benda
itu
mendadak telah berubah kembali
menjadi
lemas, dan tahu-tahu telah
menyambar
ke arah kepala. Terkejut si
pemuda.
Namun sudah terlambat. Walaupun
ia
berhasil melindungi kepalanya,
namun
ikat kepalanya telah menjadi
terlepas...
Segera saja rambutnya terjuntai,
karena tanpa ikat kepala lagi.
Hal
mana membuat si ketiga manusia
di
hadapannya jadi tertawa
terbahak-
bahak.
"Ayo, telanjangi lagi
pakaiannya, biar tinggal kulit
dan
bulu...baru kita bikin
sate...!".
Teriak si laki-laki berjubah
kuning
yang bertubuh pendek. Tapi
ketiganya
jadi ternganga, karena tahu-tahu
tubuh
si pemuda berambut panjang itu
telah
berkelebat cepat sekali, dan
sekejap
saja telah lenyap.
"Kurang ajar...! Dia bisa
meloloskan diri...!".
Teriak si laki-
laki jubah ungu.
"Ayo, cepat kejar...!"
Teriak
Kuti. Akan tetapi harus mengejar
ke
mana, karena yang mau dikejar
sudah
tak kelihatan lagi. Kedua
kawannya
cuma bisa terpaku di tempat
dengan
kesima. Tampak Kuti seperti agak
mendongkol karena tak dapat
menangkap
pemuda itu. Terdengar ia
berkata;
"Aku menduga dia seorang
wanita...! Suara dan
gerak-geraknya
tak dapat aku dikelabuhi. Sayang
aku
tak dapat
menangkapnya...!".
"Eh...!? Jangan-jangan dia
si
Pendekar Wanita Pantai Selatan
yang
menyaru..." desis si laki-laki
pendek.
Tampak Kuti mengerutkan alisnya.
"Heh! Entahlah...! Tapi
kalau
benar dia, akan bisa
membahayakan diri
kita... Namun jangan khawatir
adik
Lembu Alas, dan Kebo Ireng...!
Justru
aku menginginkan sekali untuk
bisa
menawannya. Ha ha ha... "
Ujar Kuti,
dengan tertawa.
Tak berapa lama ketiga paderi
yang menyamar itu sudah
berkelebatan
pergi.
Beberapa hari kemudian...
Sebuah gedung kuno yang
tampaknya bekas peninggalan dari
Kerajaan itu terlihat sunyi.
Tapi dua
orang bujang tua tampak tengah
menyapu
halaman, Salah seorang melihat
ke
pintu gedung yang tertutup. Lalu
mendekati kawannya.
"Apakah ketiga pendeta ada
di
dalam...?". Tanya laki-laki
jongos
itu. Sang kawan hentikan menyapu
seraya berpaling pada kawannya,
dan
melirik ke arah pintu gedung.
Lalu
menjawab pelahan.
"Tampaknya mereka pergi...!
Ada
apakah kau tanyakan
mereka...?". Tanya
sang kawan.
"Eh! Ahu... Tadi sebelum
kau
bangun, aku telah lebih dulu
membersihkan lantai, tiba-tiba
datang
seseorang yang memanggilku dari
halaman. Aku segera
menghampiri...!".
"Laki-laki atau wanita
orang
itu...?". Menyela si jongos
kawannya.
"Seorang wanita tua. Tapi
tampaknya bukan wanita
sembarangan.
Karena ia membawa tongkat
berkepala
naga. Ia menanyakan siapa
penghuni
gedung ini...! Aku mengatakan
penghuninya tiga orang paderi
atau
pendeta. Orang tua itu manggut-
manggut, lalu berangkat pergi
setelah
mengucapkan terima kasih
...!".
"Kau tidak tanyakan ia
mencari
siapa...?". Tanya sang
kawan. Laki-
laki jongos itu cuma
menggelengkan
kepala.
"Cuma anehnya sepasang
matanya
tampak berkilatan tajam. Seperti
ia
tengah menyelidiki si penghuni
gedung
ini ...!". Sambungnya lagi.
"Jangan-jangan ia bakal
kembali
lagi ...!". Berkata sang
kawan.
"Entahlah..."
Menyahuti ia,
seraya beranjak untuk meneruskan
lagi
pekerjaannya. Tapi tiba-tiba
sepasang
mata kacung ini jadi terbelalak
lebar,
karena dilihatnya wanita
bertongkat
yang tadi pagi datang itu
ternyata
sedang berdiri di bawah pohon
tak jauh
di luar halaman. Dengan sepasang
matanya menatap ke arah gedung.
Tampak si kacung ini cepat-cepat
menyelesaikan pekerjaannya. Lalu
buru-
buru masuk ke samping emperan
gedung
kuno itu. Sang kawanpun telah
selesai
dengan pekerjaannya. Dan tak
lama
beranjak masuk berselang tiga
orang
paderi itu telah kembali. Hati
si
kacung ini jadi kebat-kebit.
Tampaknya
bakal terjadi sesuatu ...
Pikirnya.
Benarlah! Baru saja ketiga
paderi itu memasuki halaman. Si
wanita
bertongkat naga itu telah
berkelebat
dari tempat ia berdiri seraya
perdengarkan bentakan keras.
"Tunggu pencuri-pencuri
busuk..!
Kiranya kalian berada di sini
...!".
Dan sekelebat si wanita itu
telah melompat di hadapan si
tiga
paderi. Ternyata Kuti, Kebo
Ireng dan
Lembu Alas. Mereka tidak lagi
mengenakan rambut palsu. Akan
tetapi
dengan kepala yang licin, alias
gundul
plontos.
"Siapakah kau, perempuan
tua...?
Kami tak mengenalmu. Mengapa
tiba-tiba
kau tuduh kami sebagai
pencuri...?".
Bertanya Kuti. Akan tetapi
diam-diam
ia terkejut karena ia segera
mengetahui siapa adanya wanita
tua
itu.
"Heh...! Paderi-paderi
palsu...!
Kau kira dengan penyamaranmu
itu, bisa
kau sembunyi dari mata tuaku...?
Kembalikan Kitab Ular yang kau
curi
itu...!".
"Kitab Ular yang
manakah...?
Jangan-jangan kau orang sinting!
Kami
adalah orang-orang yang berjalan
di
atas kesucian. Mengapa kau tuduh
kami
sebagai pencuri?". Akan
tetapi si
wanita itu telah gerakkan
tongkatnya,
seraya membentak...
"Setan Keparat...! Manusia
manusia tengik semacam kalian
memang
seharusnya mampus
siang-siang...!"
WUT! WUT! WUT...!
Si wanita telah menerjang dengan
tongkat berkepala Naganya. Hebat
sambaran tongkat itu, karena di
samping serangannya amat ganas,
dari
ujung tongkat itu membersit
keluar
asap tipis yang mengandung
racun.
Kiranya memanglah wanita itu
yang berjulukan si Tongkat
Seribu
Racun. Dengan menghindari
serangan
ganas itu, Kuti membentak. Kali
ini ia
sudah tak lagi menutupi rahasia
dirinya.
"Bagus...! Tongkat Seribu
Racun!
Agaknya kau jauh-jauh dari
lereng
Merapi cuma untuk mengejar kitab
itu?
Akan kuberikan kalau kau sudah
tinggalkan nyawamu, dan
berangkat ke
Akhirat...!" Seraya
berkata, Kuti
telah mengirim pukulan telapak
tangannya. WUT...! Si wanita
cepat
menghindar, seraya mendengus.
"Setan Keparat...! Akhirnya
kau
mengakui juga! Paderi-paderi
semacammu
bisa mencemarkan nama baik
paderi yang
lainnya...! Apa lagi Kitab Ular
itu
berada padamu...!" Berkata
si Tongkat
Seribu Racun, seraya mengibaskan
lengan jubahnya. Dan dibarengi
bentakan, ia telah menerjang
lagi
dengan tongkatnya. Kuti yang
dicecar
terus, memberikan perlawanannya.
Dengan gerakan jungkir-balik di
udara,
ia telah mampu mengelakkan
serangan-
serangan dahsyat itu. Akan
tetapi ia
harus menahan napas, karena asap
tipis
yang mengandung racun itu bila
tersedot bisa membahayakan
dirinya.
Sementara Lembu Alas dan Kebo
Ireng telah segera mempersiapkan
diri
untuk menerjang. Akan tetapi
pada saat
itu berkelebat sebuah bayangan
merah
disertai bentakan...!
"Paderi-paderi keparat...!
Jangan main kerubutan! Sungguh
tak
tahu malu...!". Suara
bentakan itu
disusul dengan serangan mendadak
pada
si pendek Lembu Alas, yang sudah
akan
menerjang dengan tasbih dan
kipas
bajanya.
Ternyata yang datang dan
menyerang adalah seorang gadis
berbaju
merah. Yaitu gadis yang beberapa
hari
yang lalu menangisi kematian
seorang
wanita muda di pematang sawah.
Yang
tewas itu adalah adik
seperguruannya.
Melihat kedatangan gadis berbaju
merah itu, si wanita bertongkat
berseru girang.
"Bagus, muridku...!
Ternyata kau
kiranya! Bantulah aku menghajar
paderi-paderi palsu ini...!
Mereka
adalah si pencuri Kitab Ular
dari
biara Welas Asih, di lereng Gunung
Wilis.".
"Mereka juga biang keladi
penculikan gadis-gadis, Guru.
Kita
harus membalas dendam. Surti
adikku
telah tewas beberapa hari yang
lalu...! Perbuatan siapa lagi
kalau
bukan perbuatan tiga manusia
licik
ini...!". Teriak si wanita
baju merah.
"Hah...!?" Seketika si
wanita
ini jadi tersentak kaget. Akan
tetapi
sudah terdengar bentakan.
"Kurang ajar...!".
Dari mana kau
bisa menuduh kami penculik
gadis-
gadis,...! dan membunuh
adikmu... !?".
Bentak Kuti geram. Sementara ia
sudah melompat mundur tiga tombak,
diikuti kedua paderi lainnya.
"Aku yang
memberitahukan...!"
Tiba-tiba terdengar suara di
belakang.
Ketika mereka menoleh, ternyata
telah
berdiri entah sejak kapan,
seorang
gadis cantik rupawan berbaju
hijau.
Piaslah wajah si tiga paderi
itu.
Karena ia segera dapat
mengetahui
kalau orang itu adalah si
Pendekar
Wanita Pantai Selatan, Roro
Centil.
Tiba-tiba Kuti telah memberi
isyarat,
dan sekejap kemudian mereka
telah
melesat kabur dengan memasuki
Gedung
kuno itu lewat jendela.
Terkejut si wanita bertongkat
Naga, dan muridnya. Mereka sudah
segera akan bergerak mengejar,
namun
Roro Centil sudah berkata
menghalangi.
"Biarkanlah ketiga
tikus-tikus
busuk itu, bibi...! Mereka tak
akan
lari jauh. Karena kitab Ularnya
telah
berada di tanganku...!".
Tentu saja kata-kata Roro itu
membuat si Tongkat Naga Seribu
Racun
jadi melengak.
"Benarkah, bocah manis...!
Dan
siapakah kau...? Kau mengenal
dengan
muridku?". Tanya si wanita
itu.
"Guru...! Dia bernama Roro
Centil, yang dikenal di kalangan
Rimba
Hijau, dijuluki si Pendekar Wanita
Pantai Selatan ...!".
Tiba-tiba si
gadis baju merah telah
mendahului
menyahuti. Terkejut juga si
Tongkat
Naga Seribu Racun. Tapi ia telah
segera tertawa gelak-gelak.
"Bagus...! bagus...! Sungguh
pertemuan yang tidak terduga.
Tapi aku
masih penasaran dengan kata-katamu
yang mengatakan bahwa Kitab Ular
ada
di tanganmu! Dapatkah kau
menunjuk-
kannya padaku ... ?". Tanya
si wanita.
Roro Centil tersenyum manis,
seraya ujarnya;
"Sabarlah, bibi...! Marilah
kau
singgah ke tempatku. Banyak yang
akan
kuceritakan. Sekalian mengenai
kematian muridmu...!".
Agaknya wanita ini baru sadar
akan hal itu. Ia sudah menyahuti
dengan tergopoh-gopoh.
"Baik...!
baik...! Tentu aku bersedia...!
Heh!
Manusia-manusia binatang itu tak
akan
lepas dari tanganku kelak.
Tunggulah...!". Seraya
berkata ia
sudah palingkan kepala pada
gedung
kuno itu dengan tatapan tajam.
Sinar
matanya seperti membersit bagai
sepasang mata serigala liar.
Tak berapa lama tampak ketiga
wanita itu telah berkelebat
pergi dari
halaman gedung kuno itu. Yang
kembali
jadi sunyi.
Sementara itu si paderi bernama
Kuti di dalam gedung, jadi
kelabakan,
ketika mengetahui kitab yang tak
pernah ketinggalan, dan selalu
berada
di saku jubahnya, ternyata telah
lenyap. Tentu saja semua
pembicaraan
di luar, telah di dengarnya.
Hingga
ketika ketiga wanita itu
berlalu,
dengan diam-diam Kuti telah
berkelebat
membuntuti. Kira-kira
sepeminuman teh,
segera ia dapat melihat ketiga
wanita
itu memasuki sebuah penginapan
yang
telah dikenalnya. Tampak ia
tersenyum
sinis. Lalu berkelebat lagi
menjauhi
tempat itu, kembali ke gedung
kuno.
Lembu Alas dan Kebo Ireng masih
duduk
bersila di lantai ruangan tengah.
Ketika didengarnya suara orang
masuk.
Yang tak lama kemudian segera
muncul
sang kakak tertuanya.
"Hm! Mereka menginap di
penginapan Sugih Waras...!.
Gila! Kita
harus cari akal untuk merebut
kembali
kitab itu...!". Berkata
Kuti. Tampak
wajahnya menampilkan
kemendongkolan
luar biasa.
"Mengapa kitab curian itu
bisa
berada di tangan si wanita
Pendekar
itu...?". Bertanya Lembu
Alas, si
paderi pendek.
"Benar, kakang Kuti...!
Mengapa
bisa demikian? Bukankah kau
telah
menotoknya? Aneh...! Mengapa
bisa dia
membebaskan diri...?".
Tanya Kebo
Ireng dengan penasaran.
"Ah, dasar aku yang lagi
sial...! Wanita Pendekar itu
telah
menipuku...! Tapi dia memang
gadis
yang punya keberanian luar
biasa...!".
Mengutuk Kuti, tapi juga ia
memuji
akan kecerdikan lawan. Segera
Kuti
menceritakan pengalamannya, yang
ternyata hanya Kuti saja yang
tahu.
Kiranya peristiwanya adalah
demikian ...
Seperti diketahui, ketika
beberapa hari yang lalu, seorang
pemuda berhasil meloloskan diri
dari
tangan ketiga paderi itu. Mereka
segera pergi ke tempat yang
memang
telah menjadi periuk nasinya.
Yaitu
tempat kediaman sang Bupati
Daeng
Panuluh. Bupati Daeng Panuluh
ternyata
telah bersahabat baik dengan
mereka
ketiga paderi. Sebenarnya boleh
dikatakan sang bupati yang
bergelar Ki
Ageng Panuluh itu bukanlah
seorang
bupati. Dia baru beberapa bulan
di
tempat itu, sejak Bupati yang
lama
meninggal secara mendadak. Dia
kesempatan menjadi
pengganti
Bupati itu diperoleh dari
seorang Senapati Wira Pati.
Senapati
Wira Pati telah dikenal Ki Ageng
Panuluh, yang sebenarnya bernama
panggilan Daeng itu, sejak sang
Senapati masih menjabat
Tumenggung.
Daeng adalah bekas seorang
perompak
Emoticon