laut, yang meminta perlindungan
pada
Wira Pati. Tentu saja Wira Pati
yang
masih menjabat Tumenggung itu,
tak
menolaknya. Karena di samping
Daeng
punya banyak harta benda hasil
rampokan, juga seorang yang
royal.
Bagi Wira Pati, menyembunyikan
seorang
penjahat, yang banyak
menguntungkan
adalah kesempatan baik yang tak
boleh
disia-siakan. Demikianlah...
hingga
beberapa tahun kemudian, ketika
Wira
Pati naik pangkat menjadi
Senapati,
Daeng telah diangkat menjadi
Bupati
dengan izinnya, yaitu untuk
mengisi
kekosongan Gedung Bupati lama di
daerah wilayah Kadipaten Karang
Sembung. Karena dengan kematian
mendadak sang bupati lama itu.
Hubungan baik sang Bupati yang
bergelar Ki Ageng Panuluh itu
dengan
si Tiga Paderi Lereng Gunung
Wilis,
ternyata berkisar antara
perampokan
dan pemerkosaan. Yang dilakukan
dengan
sembunyi-sembunyi. Karena si
Tiga
Paderi itu adalah sebenarnya
paderi
samaran yang dalam pelarian.
Ternyata
Kuti telah berhasil merebut
sebuah
kitab Pusaka dari Biara Welas
Asih di
lereng Gunung Wilis.
Kitab pusaka itu adalah kitab
titipan seseorang bernama
Gurnamh
Singh, seorang dari Nepal. Kuti
sendiri adalah seorang keturunan
Nepal.
Setelah merampas kitab itu dari
tangan paderi-paderi Biara Welas
Asih,
mereka melarikan diri, hingga
tiba di
kawasan Kadipaten Karang
Sembung. Di
sini ia menyamar sebagai tiga
orang
paderi.
Demikianlah... kedatangan mereka
menemui Daeng Panuluh beberapa
hari
yang lalu, adalah untuk
merundingkan
sesuatu dengan pekerjaan jahat
yang
mereka lakukan dengan sembunyi-
sembunyi. Sekalian melaporkan
tentang
munculnya tokoh persilatan
Pendekar
Wanita Roro Centil pada sang
Bupati
Daeng Panuluh. Ternyata di sana
mereka, telah mendengar
kericuhan
dengan munculnya seorang pemuda
berbaju putih, yang diam-diam
telah
menyelidiki ulah tingkah sang
Bupati.
Pemuda itu cuma memberikan
ancaman
saja, lalu menghilang.
Oleh sebab itu kedua paderi Kebo
Ireng dan Lembu Alas sengaja
diperintahkan sang bupati Daeng
untuk
menjaga Gedungnya. Dikhawatirkan
ada
sesuatu yang bakal terjadi di
luar
dugaan. Sementara Kuti kembali
beroperasi.
Ternyata Kuti mengambil
keuntungan lain dari pekarjaan
jahat,
atas kerja sama dengan Daeng.
Yaitu
memperkosa wanita untuk
kepentingan
kepuasan nafsu bejatnya. Juga
karena
ia mempelajari suatu ilmu aneh
dari
Kitab Pusaka yang dicurinya.
Rambut
aslinya memang telah dicukur
gundul,
dalam rangka penyamarannya. Tapi
ia
mempergunakan rambut palsu, dan
menggunakan topeng, ketika
melakukan
kejahatan.
Demikianlah... dua hari yang
lalu ketika ia beroperasi
sendiri, ia
berhasil menculik seorang gadis
dari
satu keluarga yang cukup berada.
Terpaksa ia membunuh ayah gadis
itu,
serta beberapa orang pengawal
gedung.
Dan melarikan diri di tengah
malam
buta. Tentu saja tak lupa
menguras
harta benda si pemilik gedung.
Namun ia telah dikejar oleh
seseorang, hingga terjadi
pertarungan.
Dengan menggunakan kelicikannya
menyandra gadis itu, ia berhasil
melarikan diri.
Lalu sembunyi di sebuah makam
kuno. Di sana ia bebas berbuat
semuanya. Karena makam kuno itu
adalah
peninggalan dari Kerajaan, yang
banyak
terdapat lubang rahasia. Di
bawah
makam ternyata ada sebuah lubang
yang
menuju ke ruangan rahasia di
bawah
tanah. Di sanalah ia
melampiaskan
nafsu bejatnya. Di samping
mempelajari
ilmu sesat dari Kitab Ular yang
dirampasnya.
Sementara si laki-laki berbaju
putih yang mengejarnya, telah
kehilangan jejak. Ternyata
laki-laki
berbaju putih itu Ginanjar
adanya.
Yaitu murid si Pendekar Bayangan
Ki
Bayu Seta. Tanpa sengaja Ginanjar
dapat berjumpa dengan Roro
Centil,
yang menyamar sebagai seorang
pemuda
berwajah pucat. Tentu saja hal
itu
membuat mereka jadi amat
bergirang
hati. Terlebih-lebih pemuda itu.
Karena memang Ginanjar telah
memenuhi
undangan Roro Centil untuk
datang pada
tahun ini, sejak pertemuannya
setahun
belakangan. Tujuannya ke Pantai
Selatan, jadi tertunda, karena
ia
terlibat dalam penyelidikan
kejadian-
kejadian di wilayah Kadipaten
Karang
Sembung.
Lenyapnya si paderi palsu di
makam kuno, membuat Roro Centil
berhasrat untuk menyelidiki.
Hingga ia
berhasil menjebak Kuti keluar
dari
tempat persebunyiannya. Roro
memang
berotak cerdas, walaupun
terkadang
suka kumat penyakit
ugal-ugalannya,
yang disebabkan ia pernah cidera
pada
bagian kepalanya terkena
terjangan
kaki-kaki kuda pada usia kanak-
kanaknya. Dan ditambah
gemblengan
keras dari Gurunya si Manusia
Aneh
Pantai Selatan alias si manusia
Banci.
Sehingga Roro berwatak aneh.
Yang
terkadang orang sulit menerkanya.
Suara-suara rintihan di malam
gelap, di dalam makam yang
banyak
berjajar kuburan-kuburan lama
itu,
bukannya membuat Roro jadi
takut.
Bahkan semakin penasaran untuk
mengetahui setan apakah yang
berada di
situ, untuk menakut-nakuti
orang.
Terpaksa ia mendekam di sisi
makam,
dengan memandang tajam ke arah
setiap
tempat. Kembali terdengar suara
rintihan yang terkadang
samar-samar,
namun terkadang agak keras.
Walaupun
bulu kuduk Roro Centil agak
bergidik
seram, tetap penasaran. Dan
mendekari
suara yang samar-samar itu,
dengan
beringsut perlahan. Akhirnya ia
mengetahui suara itu berasal
dari
dalam gundukan kuburan yang
cungkupnya
terbuat dari batu.
"Tak mungkin orang yang
sudah
mati masih bisa menangis, atau
merintih...! Pasti ada orang di
dalam.
Atau mungkin juga di sinilah
sarang
tempat sembunyi si paderi gila
itu...!". Desis Roro dengan
suara
perlahan. Entah mengapa Roro
amat
yakin akan adanya lubang rahasia
di
makam itu. Segera ia
meraba-raba.
Seperti mencari sesuatu yang
dapat
memungkinkan adanya lubang pintu
masuk
ke dalam kuburan.
Namun tak dijumpainya. Akhirnya
Roro dapat akal. Segera saja ia
tempelkan telapak tangannya pada
batu
sungkup kuburan itu. Dan alirkan
tenaga dalamnya yang berhawa
panas.
Hingga batu sungkup kuburan itu
tampak
kepulkan asap tipis.
Sementara itu di dalam ruangan
bawah tanah, Kuti mengumbar
nafsu
buasnya... Ternyata di samping
mempraktekkan ilmu sesatnya,
Kuti juga
seorang yang amat sadis. Wanita
korbannya telah disiksanya
terlebih
dulu. Yaitu dengan mengigiti
sekujur
tubuh sang korban hingga
luka-luka.
Tentu saja bagaikan seekor
kambing
yang mau disembelih, sang korban
merintih kesakitan. Tubuh yang
telah
ditotoknya itu cuma bisa
menggeliat-
geliat menahan sakit yang amat
sangat.
Hal mana ternyata ia turuti dari
dalam
Kitab Ular itu. Wanita itu
ternyata
bukan wanita biasa, karena ia
juga
memiliki kepandaian ilmu silat,
dan
bertenaga dalam cukup baik. Hal
itulah
yang membuat Kuti gembira. Karena
menurut Kitab Ular yang akan
menambah
tenaga dalam orang yang
mempraktek-
kannya, adalah diutamakan wanita
itu
gadis yang memiliki tenaga
dalam.
Selesai menyiksanya dengan
gigitan-
gigitan di sekujur tubuh gadis
itu,
Kuti segera mencekoknya dengan
pel
ramuan yang dibawanya dari
Nepal. Pel
perangsang, yang punya pengaruh
luar
biasa. Hingga tak lama
berselang,
terjadilah perubahan-perubahan
pada
sikap sang korban.
Di malam yang lengang dan
menyeramkan itu, seperti ada
hawa aneh
yang membuat seekor serigala buas,
harus tunduk pada seekor
kambing... Di
mana sang kambing seperti
kerasukan
setan menerkam sang serigala dan
melumatnya dengan lahap....
Napasnya
tampak tinggal satu-satu.
Sepasang
matanya kian meredup. Akhirnya
tubuh
yang telah tak bertenaga itu,
diam tak
bergeming lagi.
Sementara cuaca malam semakin
mencekam. Beberapa ekor
kelelawar yang
lewat membuat Roro cukup
terkejut.
Batu sungkup kuburan itu telah
berubah
menjadi panas. Dan rumput-rumput
serta
lumut yang tumbuh di batu itu
seketika
menjadi kering.
Sekonyong-konyong Kuti rasakan
udara di dalam ruangan bawah
tanah itu
menjadi panas. Ia sudah balikkan
tubuhnya yang rebah
tertelungkup.
Sementara ia menyeka peluhnya,
laki-
laki bertubuh jangkung ini
merasa
perlu membuka lubang hawa di
atas
langit-langit ruangan. Segera ia
sudah
sambar jubahnya, dan beranjak
dari
pembaringan. Gerakannya telah
berubah
menjadi ringan. Dan hal itu
memang
selalu bertambah setiap ia
mempraktekkan ajaran pada Kitab
Ular
itu. Ia sudah segera gerakkan
kaki
menuju tangga batu ke atas. Hawa
panas
itu membuat ia berkeringat, dan
ia
perlukan hawa segar yang masuk.
Sesaat
kemudian lengannya telah
bergerak,
memutar sebuah batu persegi. Dan
segera saja sungkup batu di
atasnya
terbuka. Ia melongok sejenak
keluar
untuk menghirup udara segar. Akan
tetapi Kuti jadi terkejut,
karena di
samping batu kuburan telah
tergolek
sesosok tubuh.
"Aih...!? Seorang wanita
...!".
Desisnya dengan suara tertahan.
Dari
keremangan cahaya bulan yang
sudah
tersembul di balik dedaunan,
jelas
tidak salah apa yang telah
dilihatnya.
Kuti berfikir cepat. Sebelah
lengannya
telah bergerak cepat untuk
menotoknya.
Hingga amanlah ia dari
kekhawatiran.
Selanjutnya tanpa ayal lagi, ia
sudah pondong tubuh wanita itu
memasuki ruangan di bawah tanah,
dengan menuruni anak tangga dari
batu.
Dan sekejap ia sudah baringkan
tubuh itu di pembaringan.
Sepasang
matanya menatap tajam pada sosok
tubuh
yang baru di bawanya itu, dan
dengan
liar pandangannya merayapi
sekujur
tubuh itu.
Wajahnya pun segera tampilkan
senyuman menyeringai. Terdengar
desis
suaranya seperti berbisik...
"Bagus...! Pucuk dicinta,
ulam
pun tiba...! He he he... tak
susah-
susah aku mencarinya. Ternyata
si
Pendekar Wanita itu telah
antarkan
dirinya padaku ...!". Akan
tetapi
memandang pada sosok tubuh
wanita
korbannya di pembaringan itu,
Kuti
jadi mendengus.
"Heh...! Gadis ini sudah
tak
berguna. Biarlah ia berkubur di
sini!
Aku perlu ganti
suasana...!". Gumam
Kuti. Pada saat itu terdengar
suara
teriakan dari atas ruangan.
"Heiii...! Paderi Palsu...!
Keluarlah kau ...!" Kiranya
yang
berteriak adalah Ginanjar. Yang
telah
mencari Roro, dan menduganya
pergi ke
makam kuno ini.
Ginanjar memang belum mengetahui
adanya ruangan di bawah tanah
itu. Ia
berteriak dari sisi makam. Apa
lagi
pemuda ini memang seorang yang
paling
takut dengan hantu. Hingga ia
berteriak dari sisi makam saja.
Karena
ia tak melihat adanya Roro
Centil,
sengaja ia mencoba berteriak.
Dengan
harapan siapa tahu, si penculik
gadis
itu dapat dijumpai, dan keluar
dari
tempat persembunyiannya.
Tentu saja hal itu membuat Kuti
jadi terkesiap. Segera ia telah
pondong tubuh Roro. Dan dengan
kebingungan, ia mencari jalan
lain
untuk keluar dari ruangan bawah
tanah
itu. Beruntung ia menjumpainya.
Dan
segera saja bergerak memasuki
lorong
gelap, yang tersembunyi itu.
Obor
kecil penerang kamar itu telah
dimatikannya terlebih dulu.
Demikianlah, Kuti berhasil
keluar dari makam kuno itu
dengan
melalui jalan rahasia. Dan
menyembul
di luar makam. Dari sana ia
segera
berkelebat cepat untuk segera
pergi
menuju ke arah Gedung kuno,
tempat
tinggalnya selama ini.
Di kamar tertutup gedung kuno
itu, Kuti sudah segera akan
lakukan
penyiksaan terhadap Roro. Akan
tetapi
ia batalkan, karena ia amat
menyayangi
kemontokan tubuh si Pendekar
Wanita
Pantai Selatan. Sayang ia tak
berhasil
mencapai maksudnya, karena Roro
memakai benda dari lapisan baja
yang
sukar dibukanya. Sepasang kaki
Roro
seperti sepasang kaki area batu,
yang
sukar disingkirkan. Hingga
terpaksa
Kuti kembali menotoknya. Dan
diting-
galkannya tubuh gadis pendekar
Wanita
itu. Ia bermaksud menghubungi
kedua
adiknya. Pada saat Kuti pergi,
ia
berpesan pada seorang kacung tua
bernama Tonga, agar menjaga
kamarnya.
Kacung tua itu adalah seorang
laki-
laki berperawakan kecil. Dengan
muka
lancip, dan tulang pelipis
menonjol
keluar. Berbicara dengan kacung
itu,
Kuti hanya memakai bahasa
isyarat,
karena si kacung itu seorang
yang tuna
wicara alias gagu.
Selesai berpesan, Kuti beranjak
pergi dengan cepat. Namun pada
saat
itu Roro Centil telah gerakkan
tubuhnya melepaskan totokan. Dan
sesuatu yang amat berharga,
ternyata
telah tertinggal di bawah kasur
pembaringan Kuti. Yaitu Kitab
Ular.
Roro Centil segera membenahi
pakaiannya, dan benahi pula
kitab yang
ditemukannya itu. Lalu masukkan
dalam
buntalannya. Selanjutnya ia
telah
keluar dari kamar itu dengan
melalui
jendela, dan berkelebat cepat
tinggalkan gedung itu.
Tapi di belakang gedung yang
dilewatinya, ia bertabrakan
dengan si
Kacung tua Tonga yang gagu itu,
hingga
buntalannya terlepas.
Terkejut Roro Centil ketika
tahu-tahu dengan gerakan cepat,
si
kacung gagu itu telah menyambar
buntalan pakaiannya. Dan
selanjutnya
dibawa kabur. Serentak Roro
sudah
mengejarnya dengan keluarkan
bentakan;
"He!? Kunyuk tua...!
Kembalikan
buntalanku...!". Teriak
Roro seraya
mengejar. Ternyata si kacung
gagu itu
punya gerakan cepat dan lincah.
Larinya tidak menuju ke satu
arah,
akan tetapi berkelebatan dengan
berputar-putar, seperti mengajak
Roro
main kucing-kucingan. Pada
sebuah
tikungan si laki-laki bertubuh
kecil
kurus itu menghilang.
4
RORO Centil membentak keras
"Awas kau, monyet tua...!
Kalau
berhasil kutangkap jangan
salahkan aku
kalau kuberbuat kejam
...!". Tiba-tiba
melayang sebuah benda ke arah
Roro.
Dengan cepat si Pendekat Wanita
ini
menyambuti. Ternyata adalah
buntalan
pakaiannya.
Terlihat bayangan si kacung tua
itu kembali berkelebat dari
balik
semak, lalu sekejap telah
menghilang.
Roro Centil tak berusaha
mengejarnya,
akan tetapi memeriksa isi
buntalannya.
Terkejut Roro, karena Kitab Pusaka
berkulit ular yang diselipkan di
dalam
buntalan itu telah lenyap.
"Setan alas...!"
Memaki Roro.
Seraya berkelebat mengejar ke
arah si
kacung tua itu melarikan diri.
Sengaja
Roro Centil mengambil arah yang
bukan
jurusannya, ternyata membawa
hasil
memuaskan. Justru si pancuri
kitab itu
telah kelihatan oleh Roro.
Bagus...!
Biarlah! Ingin kutahu, ke mana
gerangan ia akan pergi...
berkata
dalam hati. Segera dia sembunyi
dan
mengintai
Sementara kacung gagu itu tampak
tersenyum-senyum sendiri sambil
ber-
siul-siul. Tiba-tiba terdengar
suaranya;
"He he he... akhirnya
kudapatkan
juga Kitab Ular ini. Kalau aku
tak
kebetulan mengintip ke dalam
kamar,
tak kuketahui kalau si paderi
palsu
bernama Kuti itu meninggalkan
Kitab
rampasannya yang sedang dibenahi
si
wanita tawanannya. Akhirnya
kesaba-
ranku membawa hasil
memuaskan...!".
Seraya berkata laki-laki itu
sudah
kembali bersiul-siul dengan
senang.
Dan melangkah seenaknya. Namun
selang
tak lama, ia telah berkelebat
cepat.
Dan yang dituju adalah arah
makam
Kuno.
Terkejut Roro Centil mengetahui
kalau si kacung gagu itu ternyata
dapat berbicara. Ternyata
manusia itu
hanya berpura-pura gagu saja,
dan
telah lama mengincar Kitab di
tangan
Kuti. Entah dengan akal
bagaimana
hingga ia bisa menjadi kacung di
Gedung Kuno itu. Dan
berpura-pura
menjadi seorang kacung tua yang
gagu
dan kelihatan tolol.
Roro cepat mengejar, dan terus
membuntuti. Akhirnya ia
mengetahui
kalau si kacung bernama Tonga
itu
mempunyai tempat sembunyi di
lubang
rahasia di dalam kuburan ...
Ternyata Roro tidak terus
mengejar. Tapi setelah
mengingatkan
tempat itu, ia segera berkelebat
pergi. Biarlah…! Kelak kita
merebutnya
lagi. Yang penting aku telah
mengetahui tempat
pesembunyiannya.
Berfikir Roro dalam benaknya,
seraya
meneruskan berkelebat
meninggalkan
tempat itu.
Demikianlah hingga Roro muncul
lagi di saat terjadi pertarungan
antara kedua wanita, si wanita
bertongkat Naga dan muridnya
yang
berbaju merah, dengan si ketiga
paderi
palsu.
Ternyata Roro Centil telah
bersahabat dengan gadis baju
merah
itu. Bahkan sudah beberapa hari
mereka
tidur di penginapan satu kamar.
Demikianlah kisah belakangan
ini, hingga ketika Kuti kembali
ke
Gedung Kuno itu, Roro Centil
telah
bebas kembali.
"Kita harus cari tempat
sembunyi
yang aman. Dan mengenai Kitab
itu,
biarlah urusanku untuk
merampasnya
kembali...!" Berkata Kuti
pada kedua
adiknya.
Kebo Ireng dan Lembu Alas cuma
bisa mengangguk. Akan tetapi
diam-diam
mereka agak mendongkol pada sang
kakak, yang mempelajari isi
kitab
pusaka itu tanpa
mengikutsertakan
mereka. Bahkan menjamahpun
mereka
tidak pernah.
Sementara itu Roro Centil
dipenginapan telah menceritakan
pada
si Tongkat Seribu Racun mengenai
Kitab
Ular itu. Tentu saja membuat si
wanita
tua itu menjadi kecewa. Akan
tetapi
juga bergirang hati, karena
benda itu
sudah berpindah tangan dari si
tiga
manusia yang dibencinya. Walau
ia
tetap berniat untuk merebut
kembali
kitab itu. Sayang si wanita tak
mau
menceritakan tentang isi kitab
itu
pada Roro, sehingga Roro Centil
tak
banyak bertanya apa-apa.
Memang Roro pernah membuka isi
kitab itu, tapi tak mengerti
akan
tulisannya. Karena
huruf-hurufnya amat
asing baginya.
Menjelang pagi, Roro Centil
mohon diri untuk menemui
Sentanu, si
laki-laki penunggang kuda.
Ternyata
gadis berbaju merah yang bernama
Roro
Dampit itu, ingin turut serta.
Roro
tak dapat menolaknya. Sementara
sang
guru si gadis baju merah cuma
mengangguk memberi izin.
Tak berapa lama keduanya segera
berangkat. Tampaknya kedua gadis
itu
amat akrab. Memang Roro Dampit
merasa
simpati pada Roro Centil. Di
samping
nama depan mereka yang sama ...
Keadaan di rumah kediaman
Sentanu ternyata tengah berduka
cita.
Karena sang wanita tua yang
malang itu
telah meninggal dunia. Akibat
tekanan
perasaan yang luar biasa.
Penguburan
jenazah ibunya baru saja selesai
pagi
tadi.
Beberapa orang yang telah
berdatangan menyampaikan rasa
duka
cita, telah kembali pulang. Kini
tinggal Sentanu seorang diri di
rumah
tua peninggalan orang tuanya.
Saat
itulah Roro Centil dan si gadis
baju
merah memasuki halaman rumah
laki-laki
itu. Tentu saja membuat Sentanu
jadi
melengak. Segera ia telah mengenali
si
wanita Pendekar Pantai Selatan
ini,
dan berdiri menyambutnya. Roro
Centil
segera memperkenalkan laki-laki
itu
pada si gadis baju merah, Roro
Dampit.
Lama mereka berbincang-bincang.
Roro
pun mengisahkan tentang
penyelidik-
kannya. Yang sudah menemui
titik-titik
terang, yaitu adanya tiga orang
paderi
yang pernah mau membunuh Sentanu
itu,
telah dicurigai Roro Centil.
Namun ia
masih perlu mencari data-data
lain
yang lebih kuat.
"Aku turut berduka cita
atas
meninggalnya ibumu, sobat
Sentanu...!
Semoga kau dapat menguatkan
imanmu,
karena semua manusia toh pada
akhirnya
akan mati. Dan kematian itu
adalah
wajar, karena semua manusia
sebenarnya
telah ditakdirkan
hidup-matinya..."
Berkata Roro Centil, menghibur
laki-
laki itu dari kesedihannya.
Laki-laki
tampak berkumis kecil itu cuma
tersenyum tawar, walau
sebenarnya
hatinya remuk redam. Karena
kematian
ibunya justru akibat tekanan
perasaan
karena orang tua itu tak kuat
mendengar cemooh kiri dan kanan.
Apa
lagi tuduhan demi tuduhan pada
Sentanu. Membuat wanita tua itu
semakin menderita korban
perasaan,
walaupun ia mengetahui tak
mungkin
anak laki-lakinya berbuat sekeji
itu.
Segala perasaan itu dipendam
orang tua
yang malang itu, hingga ia jatuh
sakit.
Dan wafat dalam keadaan
menderita kepedihan hati yang
terus-
menerus. Semua kematian itu
memang
takdir, akan tetapi siapa yang
tak
akan berduka melihat penderitaan
orang
tua yang amat dicintainya? Semua
itu
adalah akibat fitnahan keji!
Sementara diam-diam Roro Dampit
agak memperhatikan laki-laki
gagah
itu. Entah mengapa di hati gadis
itu
ada timbul semacam perasaan
aneh.
Seolah ia turut merasakan
kesedihan
Sentanu...
Selang tak berapa lama Roro
Centil pun mohon diri. Sejenak
si
gadis baju merah melirik pada
laki-
laki itu yang kebetulan Sentanu
pun
tengah melihat padanya.
Kedua pasang
mata pun saling beradu menatap.
Namun
cepat-cepat Roro Dampit
menundukkan
wajah. Dan tiba-tiba saja
hatinya jadi
berdebaran secara aneh. Ketika
tubuh
kedua gadis itu telah tak
kelihatan
lagi, Sentanu mengeluarkan
kudanya.
Dan sekejap telah melompat ke
punggung
kuda. Untuk selanjutnya
memacunya
pergi entah menuju ke mana ...
Matahari telah semakin tinggi,
dengan panasnya yang amat terik,
membuat setiap tubuh akan merasa
kegerahan, dan keluarkan
keringat.
Penginapan yang di bagian
bawahnya
adalah sebuah restoran kecil,
tampak
hari itu ramai dikunjungi orang.
Akan
tetapi tanpa menoleh ke kiri dan
ke
kanan, seorang wanita tua, telah
keluar dari rumah penginapan
itu. Dan
berjalan dengan cepat, seperti
ada
suatu keperluan yang amat
penting.
Kepergian wanita tua itu
ternyata telah dibuntuti oleh
tiga
orang laki-laki yang memakai
tudung.
Yang tadi terlihat duduk di meja
rumah
makan. Tentu saja tak ada yang
curiga,
karena masing-masing sibuk
dengan
urusannya. Namun seorang pemuda
diam-
diam telah keluar pula dari
penginapan
itu. Kiranya si wanita tua itu
adalah
gurunya si wanita berbaju merah,
yaitu
si Tongkat Naga Seribu Racun.
Tubuhnya
berkelebat cepat, ketika tiba di
tempat yang sepi. Yang ditujunya
adalah ke tempat penguburan
jenazah
yang sudah tak pernah digunakan,
yaitu
Makam Kuno. Tapi belum lagi ia
tiba di
tempat tujuan, yang kira-kira
pada
jarak dua puluh tombak lagi,
tiga
sosok tubuh yang membuntutinya
telah
menghadang. Kiranya ketiga orang
bertudung itu mengambil jalan
memutar.
"Ha ha ha... berhenti dulu,
perempuan tua...! Kamu pasti
telah
memiliki Kitab Ular itu dari si
Roro
Centil. Serahkan kembali kitab
pusaka
itu pada kami! Kalau kau berani
membangkang, tahu sendiri
akibatnya...!". Teriak
salah seorang.
Sementara ia sudah melepas topi
tudungnya. Yang segera saja
diikuti
oleh kedua orang kawannya.
Ternyata
mereka adalah si Tiga Paderi
Lereng
Gunung Wilis.
Wanita tua bertongkat Naga ini
cuma mendengus. Walau pun ia
mengetahui bahwa Kitab itu tak
berada
di tangannya, mana mau si wanita
tokoh
dari lereng Merapi ini
membiarkan tiga
manusia jual lagak di depannya.
Memang sebenarnyalah si Tongkat
Naga Seribu Racun mempunyai
watak
angkuh. Apa lagi sudah
diketahuinya
seorang murid perempuannya tewas
oleh
ketiga paderi palsu ini, menurut
penuturan muridnya.
"Kalian paderi-paderi palsu
jangan bertingkah tengik di
hadapanku.
Sebelum mengurusi soal kitab,
mengapa
tak kau urusi dulu kesalahanmu
membunuh muridku?". Bentak
si wanita.
"Membunuh muridmu...?"
Teriak
Kuti dengan mata melotot. Tapi
ia
telah tertawa terbahak-bahak.
Dan
lanjutnya;
"Mengapa kau bisa menuduh
aku
yang membunuhnya? Dengan dalih
apa kau
bisa katakan kami yang
berbuat?" Tanya
Kuti.
"Heh! Belangmu sudah
ketahuan,
paderi palsu! Kau tak usah
memungkiri
lagi. Semua korban pemerkosaan
di
beberapa desa ini sudah tak
pelak lagi
adalah perbuatan kalian...! Kini
kita
teruskan lagi pertarungan
kemarin!
Kalian kira aku takut? Hi hi
hi...si
Tongkat Naga Seribu Racun tak
punya
kamus semacam itu...!".
Berkata wanita
lereng Merapi ini. Dan ia sudah
memutarkan tongkatnya di udara.
Tentu
saja ketiga paderi ini jadi naik
pitam. Dan serentak mengurung
wanita
itu. Si paderi pendek bernama
Lembu
Alas sudah segera keluarkan
senjata
Kipas Baja dan tasbih hitam.
Sementara
si paderi berkuiit hitam
mencabut
keluar sebuah seruling besi, yang
pada
salah satu ujungnya berbentuk
kepala
burung, dengan paruh yang
runcing.
Adapun Kuti cuma bertangan
kosong.
Ternyata kedua paderi itu telah
lebih dulu menerjang si wanita
bertongkat Naga, dengan disertai
bentakan bentakan keras.
Kipas baja si paderi yang pendek
yang berujung tajam itu
membersit
menyambar leher, sementara
tasbih
hitamnya pun meluncur deras
mengarah
kepala. Sedang si paderi
berkuiit
hitam Kebo Ireng pergunakan
seru-
lingnya menghantam dada. Wanita
Tokoh
Rimba Hijau dari lereng Merapi ini
cuma perdengarkan dengusan di
hidung.
Sekonyong-konyong ia telah
gerakkan
tongkatnya menyambar terjangan
itu,
dengan diiringi gerakan
menghindar ke
samping.
"WHUSSS...! Terpaksa si
paderi
pendek gagalkan serangannya, agaknya
ia tak mau adakan benturan
dengan
senjata lawan. Namun tasbihnya
bagai
bermata, terus mengejar si
wanita.
Terpaksa si wanita lereng Merapi
gerakkan gagang tongkatnya.
RRRTTT...! Tasbih hitam si
paderi itu ternyata telah
menggubat
tongkat lawan. Sementara
seruling besi
Kebo Ireng yang telah lolos dari
serangan pertama, telah kembali
merangkak dengan sengit.
Terkejut juga
si Tongkat Naga Seribu Racun.
Sebelah
lengannya segera menghantam
lengan si
paderi pendek yang mencekal
tasbih,
disertai bentakan keras.
WUTTT...! Terpaksa Lembu Alas
lepaskan jeratan tasbihnya, dan
dengan
gerakan sebat ia telah lompat ke
samping. Sementara itu serangan
dari
si paderi kulit hitam telah
dihalau
dengan asap beracun yang keluar
dari
kepala tongkat Naganya. Hingga
terpaksa Kebo Ireng melompat
mundur
sambil tutup hidungnya.
Demikianlah...
pertarungan berjalan dengan
seru. Saat
itu Kuti, si paderi tertua belum
bereaksi apa-apa. Ia cuma
perhatikan
jalannya pertarungan.
Tampaknya si wanita itu sudah
segera merobah gerakan
tongkatnya.
Kini terlihat kehebatan tongkat
Naganya. Wanita ini telah
mainkan
tongkatnya dengan
gerakan-gerakan
cepat, untuk mengaburkan
pandangan
lawan. Yang terlihat cuma
kelebatan
tongkatnya saja bagaikan seekor
naga
kecil yang tengah mengamuk
mengibaskan
ekor. Sementara kepala
tongkatnya
semburkan uap putih yang
menerjang
kedua lawan. Paderi pendek
terpaksa
gunakan kipasnya untuk mengusir
uap
yang terus mencecarnya, walau ia
berhasil menghindar, tak urung
ia
telah kena menghisap uap beracun
itu.
Hingga ia agak ayal sesaat.
Kesempatan
itu memang ditunggu si wanita
hebat
ini. Tiba-tiba dari balik uap
itu
telah meluncur deras ujung
tongkatnya
ke arah leher Lembu Alas. Terkejut
paderi ini. Namun ia masih bisa
melihat serangan mendadak itu.
Segera
ia jatuhkan diri
menghindar. Akan
tetapi ia tak dapat menghindari
hantaman telak dari lengan si
wanita
tua yang mengandung tenaga
dalam.
BLUK...! Si paderi pendek
perdengarkan teriakannya. Dan
tubuhnya
terlempar lima enam tombak.
Kuti menggeram gusar. Ia sudah
lompat maju menerjang, seraya
membentak keras;
"Perempuan tua...!
Terimalah
kematianmu...!". Bentakan
hebat itu
dibarengi dengan pukulan telapak
tangannya seraya beruntun.
Segera saja
segelombang tenaga yang tak
kelihatan
menerjang si wanita itu. Asap
beracun
seketika buyar kena terhantam,
sekaligus membuat tongkat si
wanita
tokoh lereng Merapi itu
terhantam
lepas. Dan pukulan kedua
menghantam
telak pada punggung wanita itu.
Terdengar pekik tertahan si
Tongkat
Naga Seribu Racun. Tubuhnya
terlempar
delapan tombak bergulingan. Kuti
tidak
berhenti sampai di situ saja,
karena
telah melesat memburunya, seraya
hantamkan lagi telapak
tangannya.
Akan tetapi si wanita tua itu
bukanlah tokoh kemarin sore, ia
telah
balikkan tubuh dengan mendadak,
ketika
rasakan sambaran angin di
belakangnya.
Dan dengan tenaga dalam yang ia
telah
salurkan di tangan, ia telah
papaki
serangan si paderi jangkung itu.
DWERRR...! Dua tenaga dalam
segera beradu keras.
Akibatnya terdengar teriakan
dari dua orang itu yang hampir
berbareng. Tubuh si paderi Kuti
terhuyung empat tindak, dan
jatuh
terduduk. Akan tetapi tubuh si
wanita
lereng Merapi terlempar lagi ber-
gulingan tujuh-delapan tombak,
ke arah
si paderi pendek. Kesempatan
baik itu
tak disia-siakan Lembu Alas.
Yang
segera mencobloskan Kipas
Bajanya yang
runcing itu seketika menembus
dada si
Tongkat Naga Seribu Racun. Darah
segar
segera barmuncratan ketika Lembu
Alas
mencabut senjatanya. Wanita ini
perdengarkan teriakan menyayat
hati.
Namun ia masih dapat bangkit
berdiri,
walau dengan tubuh terhuyung
limbung.
Sepasang matanya terbeliak
menatap
pada paderi Kuti. Sedang lengannya
tampak bergetar terangkat.
Agaknya ia
mau menggunakan tenaga
terakhirnya
untuk menyerang. Namun pada saat
itu
berkelebat bayangan si paderi
kulit
hitam, dari arah samping. Ujung
seruling besinya yang runcing
telah
meluncur deras ke arah leher wanita
hebat ini, dengan keluarkan
suara
membersit.
Indra si wanita Tongkat Naga
Seribu Racun agaknya sudah tidak
berfungsi lagi... sehingga ia
tak
dapat mengelakkan serangan ganas
itu.
JROS...! Ujung seruling besi
Kebo ireng telah amblas menembus
lehernya. Terdengar suara
seperti
orang muntah. Darah kembali
menyem-
burat, ketika si paderi kulit
hitam
itu menarik keluar senjatanya.
Sesaat tubuh wanita kosen ini
masih berdiri... namun tiba-tiba
tampak oleh bergetaran, dan
detik
berikutnya segera roboh ambruk
ke
tanah, dengan berkelojotan
mengerikan.
Lalu diam untuk selama-lamanya.
"Ha ha ha... bagus...!
Hayo,
kalian periksa tubuhnya. Cari
Kitab
Ular itu...!". Teriak Kuti
Segera saja
kedua paderi itu bergerak cepat
untuk
memeriksanya. Akan tetapi sudah
diraba
di sana-sini, tak ditemukan
apa-apa.
"Sial...! Ia tak
menyimpannya..!
Pasti berada pada murid
wanitanya.
Atau masih di tangan si Wanita
Pendekar Roro Centil...!".
Berkata
Kebo Ireng.
"Huh! Mengumbar tenaga
percuma
saja...! Aku yang sial terkena
hantamannya...!". Berkata
Lembu Alas
si paderi pendek menggerutu,
dengan
wajah masih menyeringai menahan
sakit
pada dadanya.
"Sudahlah...! Ayo, kita
pergi
dari sini...!" Teriak Kuti.
Segera
saja ketiganya telah berkelebatan
meninggalkan tempat itu.
Sayang mereka tak mengetahui
kalau si pemegang Kitab Ular ada
di
dalam Makam Kuno.
Makam Kuno itu memang makam yang
misterius. Karena banyak
lubang-
lubang rahasia berada di bawahnya.
Seperti tempat itu tempat memadu
kasih
saja layaknya. Karena tampak ada
dua
sejoli yang mirip suami istri,
telah
memasuki juga sebuah kuburan
yang
terbuka, dengan menggeser sebuah
batu
di balik rumpun. Entah siapa
mereka.
Kisahnya memang belum terungkap
di
sini...! Akan tetapi pada serial
Roro
Centil yang berjudul :
"Rahasia Kitab
Ular". Pembaca akan
mengetahui siapa
gerangan kedua suami istri itu.
Sementara itu di tempat kejadian
tadi, sepasang mata telah
mengikuti
semua kejadian pertarungan itu
hingga
akhirnya. Si pengintai itu
adalah
Mandra. Ternyata Mandra telah
pula
menguntit ketiga paderi itu
sejak dari
rumah tempat penginapan. Pemuda
ini
memang mencurigai akan
tindak-tanduk
tiga orang bertudung itu. Karena
ia
seperti pernah melihat wajah
serta
potongan tubuhnya. Ternyata
ketiga
orang itu benarlah orang yang
hari
kemarin dilihatnya berada di
rumah
gedung Bupati Daeng Panuluh.
Memang Mandra agak mencurigai
sang ayah. Yaitu Sengkuti alias
Carik
Desa itu yang sering mengunjungi
Bupati Daeng Panuluh. Juga ia
mencurigai sikap sang ayah,
ketika ia
akan mengajak adiknya pindah
sementara. Marni, adik kandung
Mandra
terpaksa dibawa ke rumah
majikannya.
Tempat ia bekerja. Pemuda ini
beranggapan bahwa adiknya akan
aman
berada di sana. Karena di
samping ia
memang jarang pulang, dan sering
menginap di tempat pekerjaannya,
Mandra bisa menjaga sang adik
dalam
situasi yang sedang genting itu.
Entah berapa kali Mandra
mengorek keterangan dari mulut
adiknya
untuk menceritakan siapa yang
telah
berbuat nista padanya. Akan
tetapi
Marni selalu membungkam. Memang
sejak
kejadian itu, Marni tak pernah
mau
bicara.
Hal mana membuat Mandra dapat
mengerti, karena Mandra
beranggapan
sang adik mengalami gangguan
perasaan,
akibat kejadian itu.
Mandra memang merasa bersalah
dalam hal ini, karena ia terlalu
mempercayakan adiknya pada sang
ayah,
yang memang sebenarnya ayahnya
bukanlah ayah kandungnya.
Karena ayah sebenarnya telah
meninggal sejak Marni masih
bayi.
Mereka berdua yang yatim piatu,
telah
dipungut oleh Sengkuti yang tak
mempunyai anak seorang pun dari
istrinya. Gagalnya Mandra
mendesak
Marni buka mulut, membuat Mandra
penasaran untuk menyelidiki sang
ayah,
ia memang melihat tingkah laku
ayahnya
yang aneh, ketika ia mengatakan
Marni
akan dibawanya ke tempat
majikannya
untuk tinggal sementara di sana.
Demikianlah, akhirnya Mandra
dapat
menangkap pembicaraan sang ayah
angkatnya pada sang Bupati.
Ternyata
mereka semua turut berkomplot
dengan
si ketiga paderi. Bahkan ia
melihat
sendiri ketika ketiga paderi itu
memasuki gedung sang bupati.
Nyaris
saja ia ketahuan, kalau tidak
ditolong
oleh seorang pemuda berbaju
putih tak
dikenal, yang rupanya ada di
belakungnya turut mangutip
pembicaraan
mereka. Ketika terdengar
bentakan dari
dalam ruangan, si pemuda itu
telah
menyambarnya, untuk dibawa
berkelebat
dari tempat itu.
Pemuda itulah yang bernama
Ginanjar. Ketiga paderi segera
mengejar mereka. Namun beruntung
mereka berdua dapat tempat
sembunyi
yang aman. Mereka pun berpisah.
Dan
Mandra kembali ke rumah
majikannya.
Tapi pemuda ini telah mengetahui
kalau
ayahnya terlibat dalam
penculikan para
gadis, juga perampokan, serta
pemerasan. Karena Mandra telah
mendengarnya dari penuturan si
pemuda
bernama Ginanjar itu.
Di depan matanya tadi ia telah
melihat ketiga paderi palsu itu
membunuh dengan keji si wanita
bertongkat naga, dengan melalui
pertarungan yang tidak adil.
Setelah merenung sejenak, pemuda
ini segera tinggalkan tempat
itu.
Ternyata ia kembali menuju ke
penginapan tadi.
Terkejut Mandra, ketika melihat
Sentanu berada di depan
penginapan.
Yang ternyata tengah
bercakap-cakap
dengan dua orang wanita.
Segera saja Mandra mengenali
akan si gadis baju merah. Karena
pemuda inilah yang membantu
mengubur
jenazah adik gadis itu beberapa
hari
yang lalu. Yaitu mayat wanita
yang
ditemukan di pematang sawah.
Sementara
Roro Centil sudah dapat
mengenali
pemuda itu anak Carik Desa, yang
pernah ia melihatnya ketika
sedang
bertarung bicara di dekat biara
rusak
tempo hari.
Segera saja Mandra menghampiri,
dan menjura hormat pada
ketiganya,
seraya berkata;
"Selamat berjumpa sobat
Sentanu,
dan nona-nona cantik...! Eh!
Bolehkah
aku mengetahui siapa adanya nona
ini,
adik Roro Dampit ...!".
Ujar Mandra
seraya melirik pada Roro Centil
yang
ditanya segera tampilkan
senyuman, dan
menyahuti, dengan dekatkan
wajahnya
pada telinga Mandra.
"Eh, pemuda tolol! Apakah
kau
tak mengetahui kalau nona ini
adalah
nona Pendekar Wanita Pantai
Selatan,
yang bernama Roro Centil...?
Mengapa
kau berlaku kurang sopan?"
Bisik si
wanita baju merah;
Tentu saja bisikan itu membuat
wajah Mandra jadi berubah kaget.
Dan
segera saja ia menjura sekali
lagi
pada Roro, seraya berkata;
"Oh! Maafkanlah aku yang
bodoh
ini. Hingga tak mengetahui
adanya nona
Pendekar Pantai Selatan di
sini...!".
Roro Centil jadi tersenyum.
Namun sudah pura-pura cemberut
memarahi si gadis baju merah.
Gadis
ini cuma tertawa saja. Sementara
Roro
Centil sudah berkata;
"Ah, sahabatku ini terlalu
menyanjung aku...sobat Mandra.
Senang
sekali kita dapat berkumpul...!
Bukankah begitu sobat
Sentanu...?".
Ujar Roro Centil seraya
palingkan
kepala menatap si laki-laki berkumis
kecil itu.
Sentanu cuma manggut-manggut,
dan tersenyum hambar. Agaknya ia
masih
mendongkol pada Mandra. Apalagi
sampai
saat ini Sentanu belum bisa
melacak
siapa sebenarnya yang telah
menodai
Marni, adik kandungnya pemuda
bernama
Mandra itu.
Akan tetapi wajah Mandra tiba-
tiba menampakkan perubahan
mendadak.
Dan ia sudah segera berkata.
"Sobat Sentanu...!
Sementara aku
mencabut dulu tuduhanku padamu,
mengenai kasus adikku Marni. Ada
satu
berita yang perlu kusampaikan
pada
kalian...!".
"Berita apakah...?".
Roro Centil
sudah mendahului bertanya.
Tampak Mandra menghela napas.
Mandra memang telah mengetahui
kalau
si wanita bertongkat yang tewas
itu
ada hubungannya dengan kedua
gadis
ini. Karena ia memang telah
melihat
ketiga wanita tersebut menginap
di
penginapan ini semalam. Segera
saja ia
menceritakan apa yang telah
terjadi
beberapa saat yang lalu.
Terkejut Roro
Dampit, seketika wajahnya
menjadi
pucat mendengar penuturan Mandra
yang
mengatakan tentang pertarungan
seorang
wanita tua bertongkat Naga
dengan tiga
orang paderi. Segera saja ia
telah
melompat masuk ke dalam
penginapan.
Di sana ia telah memeriksa
keadaan di dalam kamar, yang
ternyata
Gurunya si Tongkat Naga Seribu
Racun
sudah tidak ada. Dan terkejut si
gadis
baju merah ketika melihat
sepucuk
surat singkat tergeletak di
meja. Dari
surat itu segera ia mengetahui
kalau
sang Guru pergi ke Makam Kuno,
mencari
jejak si pencuri Kitab Ular.
Sesaat ia telah kembali keluar.
Dilihatnya ketiga orang
sahabatnya itu
masih berada di tempat. Dan
tengah
menatap padanya.
Tak banyak berkata, si gadis
baju merah telah segera menarik
lengan
Mandra. Dengan suara terisak
masih
sempat berkata;
"Cepat...! Tunjukkan aku di
mana
beliau tewasnya...".
Mandra hanya bisa mengangguk,
dan segera beranjak pergi
setengah
berlari diikuti si gadis baju
merah.
Roro Centil dan Sentanu segera
mengikuti di belakang.
Beberapa pengunjung rumah makan,
yang kebetulan melihat, cuma
bisa
bertanya-tanya karena tak
mengetahui
mengapa keempat orang itu
berlarian
dengan tergesa-gesa. Setelah
melewati
ujung desa, dan mengambil jalan
terdekat menuju arah Makam Kuno
itu,
segera telah terlihat sesosok
tubuh
terkapar tak bergerak dengan
tubuh
bersimbah darah. Si gadis baju
merah
perdengarkan jeritan menyayat,
dan
berlari mendahului untuk
menubruk
mayat gurunya. Dan sekejap
kemudian ia
telah tenggelam dalam ratap
tangis
yang memilukan. Setelah kematian
adiknya, kini kematian sang Guru
yang
dicintainya. Betapa tidak hancur
hati
dan perasaan gadis itu ...
Suasana kesedihan itu amat
terasa sekali pada ketiga orang
yang
mendengar dan menyaksikannya.
Selang
sesaat, setelah tangis Roro
Dampit
agak mereda, Roro Centil segera
mendakati gadis itu, dan
menghiburnya.
Demikianlah... akhirnya jenazah
si Tongkat Naga Seribu Racun
dikebumikan di tempat itu juga
dengan
upacara sederhana.
Saat itu hari telah menjelang
senja. Pelahan-lahan udara mulai
menjadi agak teduh, karena sang
mentari telah tinggal sedikit
lagi
lenyap di balik bukit.
Keempat orang itu segera
tinggalkan tempat yang membawa
kesedihan itu ...
Mandra mengambil kesempatan
untuk mengajak mereka bermalam
di
rumah majikannya. Yang ternyata
tak
ditolak oleh ketiga sahabat itu.
Namun
dipersimpangan jalan Sentanu
minta
izin untuk menjemput kudanya
terlebih
dulu, dan berjanji akan menyusul
belakangan. Semuanya menyetujui.
Demikianlah, Sentanu segera
bergegas
pergi dengan langkah cepat.
Sementara
Mandra meneruskan perjalanannya
dengan
ditemani kedua gadis yang
cantik-
cantik itu.
Kira-kira menjelang malam baru
saja menyibak, mereka telah tiba
ke
tempat yang dituju. Dan beberapa
saat
antaranya Sentanu pun telah
menyusul.
Yang ternyata laki-laki tampak
berkumis kecil itu telah
mengetahui
tempat di mana Mandra menginap,
di
rumah majikannya. Malam itu
mereka
tampak duduk berbincang-bincang.
Ternyata ditemani dengan majikan
Mandra, yang juga duduk dan turut
serta terlibat dalam
pembicaraan.
Akhirnya Marni mulai dikorek
keterangannya. Atas desakan dan
bujukan Roro Centil, akhirnya
adik
perempuan Mandra mau juga buka
suara.
Terkejutlah Mandra. Juga yang
lainnya,
mengetahui pengakuan Marni
adalah Sang
ayah angkatnya alias laki-laki
bernama
Singkuti itulah, yang telah
memberikan
Marni pada sang Bupati Daeng
Panuluh
untuk dijadikan pemuas nafsunya.
Tentu saja dengan imbalan besar.
Dan yang membuat Mandra semakin
berang
adalah sang ayah angkat yang
sudah
dianggapnya ayahnya sendiri itu,
juga
menggagahi anak angkat, atau
anak
asuhnya sendiri. Dan memberikan
ancaman akan membunuhnya, bila
berani
mengadukan hai itu pada siapa
saja.
Terutama kakaknya, Mandra.
"Manusia keparat...! Aku
memang
sudah mencurigainya...!
Benar-benar
iblis yang bermuka
manusia...!" Memaki
Mandra dengan geram.
Betapa marahnya Mandra sukarlah
dapat dibayangkan... Namun Roro
Centil
dapat segera menahannya ketika
malam
itu juga Mandra akan segera
mencari
ayah angkatnya. Demikianlah...
Akhir-
nya terbuka juga rahasia kemelut
yang
hampir-hampir saja menjadikan
Sentanu
korban dari fitnahan keji.
Ternyata si
Carik Desa itulah yang telah
membawa
Marni ke kamar Sentanu, yang
memang
jarang ditiduri.
Mandra membenamkan kepalanya
pada kedua lengannya. Tubuhnya
tampak
tergetar hebat. Dengan nafasnya
yang
terlihat memburu. Betapa susah
tampaknya ia menenangkan hatinya
yang
bergemuruh. Namun selang sesaat,
Mandra sudah kembali tenang. Tak
lama
ia sudah bangkit, dengan
sepasang
matanya menatap pada Sentanu.
"Sentanu...! Maafkanlah
semua
kesalahanku yang terlalu
mempercayai
hasutan-hasutan keji ayah
angkatku.
Sehingga aku telah menuduhmu
dengan
serampangan...!". Berkata
Mandra,
seraya mengajaknya berjabatan
tangan.
Sentanu tersenyum. Lengannya cepat
bergerak untuk menjawab tangan
Mandra,
seraya ia berkata;
"Tak apalah Mandra...!
Semua
manusia mempunyai kekhilapan dan
kesalahan. Semoga kita dapat terus
bersahabat sampai kapanpun
...!".
"Terima kasih,
Sentanu...!".
Ujar pemuda pandai besi itu,
seraya
mengepal erat lengan sahabatnya,
seperti enggan melepaskan lagi.
Isteri majikan Mandra yang ramah
tamah itu telah membawa lagi
seteko
air kopi manis, seraya
menuangkannya
lagi pada gelas-gelas yang
kosong.
Tampaknya suasana malam itu amat
meriah. Ditambah persoalan yang
selama
ini membeku, kini telah menjadi
cair
dengan terbukanya tabir semua
persoalan yang hampir menemui
jalan
buntu.
Malam pun semakin melarut juga.
Dan suasana di rumah majikan
Mandra
itu mulai agak sunyi dari
orang-orang
yang bicara.
Menjelang pagi telah terdengar
suara gaduh di sisi jalan desa.
Dan
banyak orang berlari-lari ke
arah
rumah bengkel tempat Mandra
bekerja.
"Ada apakah...?"
Berkata Mandra
dengan terkejut. Ia baru saja
terjaga
dari tidurnya, karena sampai
lewat
tengah malam, pemuda ini tak
dapat
memicingkan matanya. Dan baru
bisa
tidur setelah mau menjelang
pagi.
Terkejut pemuda ini ketika
mengetahui
tak ada orang di rumah. Dan
suara
ribut-ribut di sisi jalan itu
mengundang pertanyaan. Segera
saja ia
telah melompat untuk berlari
memburu
ke arah bengkelnya. Terlihatlah
banyak
orang berkerumun di sisi tembok
bengkelnya.
"Ada apa...!? Ada apa
...!?".
Teriak Mandra, seraya menyeruak
masuk
di antara kerumuman orang.
Betapa
terkejutnya pemuda ini melihat
sesosok
tubuh yang terbujur tak bergerak
dengan sepasang mata membeliak
keluar.
Dan terlihat pada bagian dadanya
sebuah lubang bekas tusukan
senjata
tajam, dengan darah yang hampir
mengering. Sedang di atas
perutnya
terlihat sebuah topeng muka
berwarna
hitam, tergeletak. Yang membuat
Mandra
amat terkejut adalah mayat
laki-laki
itu tak lain dari mayat Carik
Desa,
alias Sengkuti atau ayah
angkatnya
sendiri.
Sementara di tembok bengkelnya
terdapat surat bertulisan :
Manusia tidak bermoral ini
memilih jalan hidupnya dengan
kematian!
Dia terlibat dengan enam kali
perampokan, sembilan kali
pemerkosaan
dan delapan kali pemerkosaan,
yang
mencemarkan nama baik
kepemimpinan
Bupati Ki Ageng Panuluh.
Senapati Kerajaan Medang
Wi RAPATI
Tercenung Mandra membaca tulisan
dari surat yang bertanda tangan
Senapati Kerajaan itu. Sementara
seseorang telah menepuk
pundaknya.
Ternyata Sentanu.
"Sudahlah Mandra, mari kita
segera urusi mayat ayah angkatmu
ini...!". Berkata Sentanu.
Mandra
palingkan kepala ke beberapa
arah,
ternyata Roro Centil, dan si
gadis
baju merah Roro Dampit, serta
adiknya
Marni telah berada di tempat
itu. Juga
kedua suami istri majikannya.
Pemuda ini anggukkan kepala.
Walaupun ia amat membenci sang
ayah
angkatnya ini, akan tetapi tetap
saja
ia bersedih hati. Karena tak
menyangka
sang ayah telah menjadi utusan
orang-
orang Kerajaan. Dan telah
menjadi
intaian yang berwajib selama
ini.
Bahkan sampai senapati Wirapati
turun
tangan.
Dilihatnya Marni, sang adik
tengah terisak dipeluk oleh si
Pendekar Wanita Roro
Centil. Setelah
menatap sejenak, segera ia
menyuruh
semua orang yang berkerumun itu
bubar.
Dan dengan cepat ia telah segera
pondong tubuh Carik Desa itu,
dan
dibawanya bergegas dengan
langkah
cepat menuju ke rumah
majikannya. Roro
Centil dan yang lainnya segera
mengikuti dari belakang.
Keadaan yang ramai di sisi jalan
itu pun mulai kembali sepi. Cuma
tinggal beberapa orang yang
masih
bercakap-cakap di seberang jalan
desa,
memperbincangkan kejadian itu.
Akan
tetapi penduduk desa telah
menjadi
tahu kalau Carik Desanya
ternyata
adalah seorang yang berkelakuan
tidak
baik. Dan memuji tindakan
Senapati
Kerajaan Medang yang turun
tangan
menumpas kejahatan manusia yang
bagai
musang berbulu ayam itu. Namun
hanya
sebagian penduduk saja yang cuma
menganggap sang Carik Desanya
yang
berbuat kesalahan dan menjadi
biang
kerusuhan selama ini. Karena
sebagian
lain dari penduduk telah mulai
mencium
jejak adanya tiga orang paderi
palsu,
yang juga bergentayangan
menyebar
kejahatan.
Tentu saja mereka tetap kurang
puas, karena belum adanya berita
tentang ketiga paderi palsu itu.
Di
antara desas-desus penduduk yang
kurang puas itu, ternyata Mandra
lebih-lebih kurang puas. Karena
ia
merasa Bupati Daeng Panuluh
terlibat
dalam urusan itu. Tapi mengapa
sampai
saat ini tak ada berita mengenai
diambilnya tindakan pada sang
Bupati
itu? Bahkan sampai beberapa hari
ini
sang Bupati tampak mulai sering
kelihatan berkeliling desa-desa
dengan
menunggang kuda. Dengan beberapa
pengawal Kerajaan di
belakangnya.
Dengan sikap seperti seorang
yang amat
berwibawa.
Tentu saja di setiap tempat,
penduduk mengangguk hormat. Apa
lagi
ketika suatu hari berkeliling
dengan
berkuda, bersama sang Senapati
Wira
Pati. Pasar-pasar yang ramai
penuh
dengan orang yang memenuhi jalan
itu,
segera menjadi terkuak untuk
mareka
segera menyingkir ke tepi,
ketika
kedua pembesar Kerajaan ini akan
lewat.
Sementara dari kerumunan para
pedagang dan pembeli, sepasang
mata
menatap tajam pada sang Senapati
yang
berwajah angker dan tampak
angkuh itu.
Itulah sepasang mata Sentanu.
Bekas seorang perwira Kerajaan
Medang.
Laki-laki ini gerakkan topi
tudungnya
untuk menutup wajahnya, ketika
kedua
orang penting itu lewat di
hadapannya.
Dan ia sudah membuka lagi topi
tudungnya, ketika mereka sudah
melewati tempat itu. Wajah
laki-laki
ini tampak memerah padam
memandang
punggung kedua manusia yang
lewat itu.
Lalu tak lama kemudian, segera
berlalu meninggalkan pasar yang
kembali ramai itu.
Tentu saja Sentanu mengetahui
akan tingkah laku dan akhlak
sang
Senapati Wirapati pamannya itu.
Yang
sebenarnya Wira Pati adalah adik
tiri
dari almarhum ibunya. Sejak Wira
Pati
masih menjabat Tumenggung,
Sentanu
sudah melihat akan watak-watak
buruk
laki-laki itu. Entah mengapa
tampaknya
Wira Pati seperti membencinya.
Apakah
karena ayahnya semasa masih
hidup, dan
masih menjabat sebagai Senapati
Kerajaan Medang sering
menasihatinya.
Karena memang baik Sentanu
maupun
ayahnya sering memergoki
Tumenggung
Wira Pati di tempat-tempat
pelacuran
dan perjudian.
Bahkan perbuatannya sudah tak
layak dilakukan oleh seorang
Tumenggung. Yang seharusnya
memberi
pengarahan pada rakyat, tapi
justru
dia sendiri tenggelam dalam arus
kemaksiatan. Untunglah sang ayah
seorang yang bijaksana, dan
masih
memandang adanya tali
persaudaraan,
hingga kelakuan-kelakuan buruk
Tumenggung Wira Pati tak
dilaporkan
pada Raja.
Yang membuat Sentanu tak
mengerti adalah tugas menyerang
pemberontak di utara, yang
menyebabkan
kematian sang ayah. Ternyata
belakangan baru diketahui oleh
Sentanu
kelau tak ada surat perintah
dari Raja
untuk ia memimpin anak buahnya
menyerang ke sana. Sayang orang
yang
mengetahui rahasia surat
perintah
palsu itu justru telah tewas
oleh
segerombolan perampok, yang
tiba-tiba
menyerang rumahnya. Di samping
ludas
seluruh harta bendanya, juga
keluarga
Perwira sahabat Sentanu itupun
dibantai habis. Sehingga Sentanu
tak
punya bukti untuk menuduh sang
paman.
Sejak diangkatnya Wira Pati
menjadi pengganti ayahnya
sebagai
Senapati Kerajaan, Sentanu tak
lama
segera mengundurkan diri dari
keprajuritan. Ia kembali ke
desa, di
mana sang ibunya hidup dengan
segala
kesederhanaan. Akan tetapi
sangat
mendongkol Sentanu, karena
ada
desas-desus dari penduduk bahwa
keluarnya ia dari keprajuritan
adalah
karena dipecat. Bahkan tewasnya
sang
ayah di medan pertampuran,
justru yang
didengarnya dari penduduk malah
karena
dianggap memberontak pada Raja.
Dan
sang ayah diberitakan penduduk
telah
mati di tiang gantungan.
Hal itulah yang membuat Sentanu
tak habis mengerti. Hingga ia
jarang
berdiam di rumah, karena ia
enggan
menghadapi wajah wajah sinis
semua
tetangganya. Kasihan sang
ibundanya,
yang tak kuat menahan perasaan
berlarut-larut, akhirnya jatuh
sakit.
Apa lagi mendengar Sentanu
terlihat
dengan kasus pemerkosaan.
Wanita malang itu kini telah
meninggal dunia. Dan Sentanu
merasa
perlu untuk mengungkap kasus
yang
telah menyeret dirinya. Kini
kasus itu
sedikit demi sedikit telah mulai
terungkap. Cuma satu hal yang
masih
menjadi teka-teki bagi Sentanu.
Yaitu
siapakah manusianya yang telah
mencemarkan nama baik
keluarganya
itu...? Ia memang mencurigai
pamannya
sendiri yaitu Senapati Wira
Pati.
Namun Sentanu memang tak dapat
berbuat apa-apa. Ia telah
menjadi
rakyat jelata. Berurusan dengan
Wira
Pati sama dengan berurusan
dengan
pihak Kerajaan. Harga diri dan
martabatnya telah cemar di
tempat
tinggal almarhum orang tuanya.
Sentanu
merasakan hidupnya penuh dengan
kehambaran. Seolah tiada lagi
gairah
untuk hidup. Akan tetapi tak
sampai
membuat Sentanu putus asa. Cuma
ia
bertekad untuk secepatnya pergi
tinggalkan desanya. Dan entah ke
mana
tujuannya, ia sendiri tak
mengetahui.
Demikianlah... laki-laki ini
berjalan dengan gontai. Topi
tudungnya
ia benamkan dalam-dalam di
kepalanya.
Cuma sepasang matanya saja yang
terlihat menatap tanah.
Memandang
ujung-ujung kakinya yang
menyusuri
jalan-jalan setapak ...
Mandra yang merasa kurang puas,
dengan tidak diambilnya tindakan
pada
si Bupati Daeng Panuluh, telah
langkahkan kakinya menuju ke
arah
gedung Kadipaten. Sengaja pemuda
ini
mengambil arah memutar, melalui
jalan
setapak.
Kira-kira separuh lagi perja-
lanan, ia mendengar derap suara
kaki
kuda yang jauh di belakangnya.
Cepat
sekali pemuda ini berkelebat
untuk
sembunyi. Ingin sekali ia
melihat
siapakah gerangan si penunggang
kuda
di belakangnya itu, yang
sebentar lagi
akan melewati jalan setapak ini.
Tak lama kemudian segera
terlihat seorang penunggang
kuda,
dengan pakaian gemerlapan. Dari
sutra
kuning dan hijau. Ikat kepalanya
memakai perhiasan berukir
dibagian
depan. Tampak berkibaran mantel
berbulu, yang indah di belakang
punggungnya. Sekelebat saja
Mandra
telah mengetahui laki-laki
penunggang
kuda yang berusia 40 tahun itu
adalah
Senapati Wira Pati.
Ternyata laki-laki itu
menjalankan kudanya tidak
terlalu
cepat. Sebentar kemudian telah
melewati dimana Mandra
bersembunyi.
Sepasang mata pemuda ini
memperhatikannya hingga jauh.
Terlihat
di belakang punggung Senapati
ini
terselip sebuah tombak pendek
yang
digubat dengan kain sutera
merah, yang
berkibaran tertiup angin.
"Hah...!? Mau ke mana
Senapati
itu...?". Gumam Mandra.
Seraya ia
sudah beranjak untuk diam-diam
membuntutinya.
Demikianlah, pemuda itu segera
menguntitnya dengan hati-hati.
Karena
ia yakin sang Senapati itu pasti
seorang yang berilmu tinggi.
Ternyata tujuannya adalah rumah
gedung sang Bupati Daeng Panuluh.
Sebentar kemudian ia telah
memasuki pekarangan yang luas
itu. Dua
orang penjaga segera menjura
hormat.
Dan menuntun kuda sang Senapati
untuk
segera ditambatkan. Di pintu
masuk
kembali seorang penjaga menjura,
dan
mempersilahkan Pembesar Kerajaan
itu
memasuki ruangan pendopo.
Tampaknya ruangan depan itu
sunyi. Wira Pati terlihat
mengerutkan
alisnya. Ketika tak lama muncul
seorang pembantu wanita dari
dalam,
yang segera menghampiri dengan
membungkuk-bungkuk.
"Ke mana
Ndoromu...!?". Bertanya
Wira Pati. Wanita tua itu
menghaturkan
sembah seraya berkata;
"Ampun Ndoro Gusti Senapati...
Anu...Ndoro Panuluh sedang tidak
ada.
Beliau belum lama pergi
berkuda...!
Silahkan duduk Ndoro Gusti
Senapati.
Mungkin sebentar akan
kembali...!".
Ujar si pembantu wanita tua itu,
seraya kemudian mengundurkan
diri
kembali ke belakang.
Senapati Wira Pati tak berkata
sepatahpun. Segera ia beranjak
untuk
duduk di kursi tamu. Sepasang
matanya
tampak memandang ke segala penjuru,
seperti meneliti ruangan yang
besar
itu. Angin yang bertiup agak
keras
telah masuk ke dalam ruangan,
menyingkapkan tirai-tirai kain
jendela. Udara tampak agak
sejuk.
Laki-laki ini membuka belahan
bajunya
sebatas pusar. Dan letakkan
tombak
pendek yang selalu dibawanya itu
di
atas meja. Lalu terdengar ia
menghela
napas. Tapi sepasang matanya
jadi
menatap tertegun, melihat sebuah
betis
yang tersingkap dari sesosok
tubuh
yang menggeletak di pembaringan.
Angin keras yang menyeruak masuk
dari jendela tadi telah
menyingkapkan
kain tirai penutup kamar, yang
pintunya terbuka. Sehingga
pemandangan
yang sekilas itu telah tidak
luput
dari tatapan Wira Pati. Tentu saja
sepasang matanya jadi
berkilatan. Dan
segera saja ia sudah tampakkan
senyumnya. Seraya sudah beranjak
bangun berdiri. Lalu langkahkan
kaki
menuju kamar. Kain tirai itu
disibakkan, lalu sekejap sudah
tertutup lagi. Tubuh Senapati
itupun
lenyap di balik tirai kamar.
Sementara
si pembantu wanita tua telah
sembulkan
kepalanya di balik pintu ruangan
belakang. Dengan menatap pada
tempat
duduk tamu yang kosong.
Lalu buru-buru kembali ke
belakang menemui kawan
pembantunya.
Dan tampak ia berbisik-bisik
pada
wanita kawannya.
Sang kawan cuma bisa belalakkan
matanya. Lalu terlihat ia
membentangkan lengannya, seperti
merasa tak mampu berbuat
apa-apa.
Selanjutnya mereka sudah kembali
bekerja. Walau sesekali melirik
ke
ruangan depan. Namun tempat
duduk tamu
itu masih tetap saja kosong.
Wira Pati terpaku memandang
sesosok tubuh yang tergolek di
hadapannya. Ternyata seorang
gadis
berparas cantik. Bagaikan
sekuntum
bunga yang menunggu sang kumbang
untuk
siap dihisap madunya. Sepasang
mata
laki-laki ini sudah segera
menelusuri
lekuk-liku sang tubuh yang
terbungkus
selembar kain sutera tipis itu.
Seperti seekor serigala yang
melihat mangsa di hadapannya,
sang
Senapati telah menelan air
liurnya.
Lengan sang senapati telah
terjulur
untuk menyibak kain selimut
pembungkus
tubuh mulus itu. Tampak terdengar
gadis itu mengeluh, seperti
mengerang.
Lalu terdengar mendesis. Agaknya
seperti baru tersadar dari
tidurnya.
Kelopak matanya tampak mulai
bergerak
untuk terbuka sedikit. Namun
seperti
sukar ia membuka seluruhnya.
Bahkan
tampak ia berusaha menggerakkan
tubuh
dan lengannya. Terkejut juga
sang
Senapati, yang kemudian baru
sadar
kalau gadis itu dalam keadaan
tertotok.
Segera ia telah gerakkan lengan-
nya membuka totokan. Yang
kemudian
barulah gadis itu mampu gerakkan
tangan dan kakinya. Pantas...!
Menggumam Wira Pati dalam hati.
Gadis
ini pasti telah disediakan
buatku.
Tapi ia sengaja telah
menotoknya, agar
tak menyulitkan. Ha ha ha ... si
Daeng
memang pandai memilihkan yang
baik
untukku...! Berkata Wira Pati dalam
hati. Tiba-tiba ia telah
beranjak
mendekati meja. Lengannya
menyambar
sebuah mangkuk yang telah
kosong.
Sekejap ia telah mencium
pinggiran
atas cawan itu seperti tengah
memeriksa dengan penciumannya.
Sesaat
ia telah letakkan lagi cawan
itu, dan
beranjak mendekati sang gadis.
Selanjutnya tiba-tiba ia telah
bungkukkan tubuh. Kepalanya
terjulur
ke dekat wajah gadis itu.
Ternyata ia
tengah mengendus ke atas bibir
sang
gadis. Lalu terlihat ia
tersenyum.
"He he... pantas! Ia telah
dijejali ramuan hebat dari si
paderi
bernama Kuti itu. Agaknya ia
memang
telah menyiapkan segalanya
untuk-
ku...!". Mendesis Wira
Pati. Dan tiba-
tiba ia telah segera meniadakan
apa
yang melekat di tubuhnya. Dan
membersihkannya sama sekali.
Terdengar
suara merintih tatkala gadis ini
menggeliat. Sepasang matanya
setengah
terkatup dan setengah terbuka.
Sementara desah angin telah
kembali menyibak tirai dengan
keras,
hingga terlepas. Seekor
laba-laba yang
tengah membuat sarang segera
bergerak
cepat menangkap mangsanya,
ketika
seekor lalat terjerat pada
perangkap
yang telah dibuatnya.
Senapati Wira Pati meneguk arak
yang telah disediakan di atas
meja.
Tampak ia bangkit berdiri dan
memanggil pembantu wanita tua
itu,
yang tampak tongolkan kepalanya
di
pintu ruangan belakang.
Bergegas dengan terbungkuk-
bungkuk wanita pelayan ini
mengha-
turkan sembah pada sang
Senapati, yang
segera berujar;
"Katakan pada Ndoromu bahwa aku
datang. Agaknya aku harus segera
kembali, karena ada tugas lain
senja
ini yang perlu kuselesaikan.
Sampaikan
terima kasihku padanya!"
"Baik, Ndoro Gusti
Senapati..!".
Menyahuti si wanita tua.
Selesai berkata, Wira Pati sudah
segera menyelipkan kembali
Tombak
pendeknya ke belakang punggung.
Dan
segera beranjak keluar.
Pembantu wanita ini mengantarnya
dari belakang. Lalu menutupkan
kembali
pintu ruangan. Seorang penjaga
yang
berdiri di muka pintu pendopo,
telah
melihat keluarnya sang Senapati
ini
segera cepat-cepat menjura hormat.
Wira Pati cuma anggukkan
kepalanya.
Lalu bergegas menuju keluar.
Seorang
penjaga telah membawakan ke
hadapannya
kuda tunggangannya. Sementara
seorang
lagi tetap berdiri di pintu
masuk
halaman gedung. Selang sesaat
sang
Senapati ini telah melompat ke
atas
kuda. Dan selanjutnya memacunya
dengan
cepat keluar dari halaman
Kadipaten.
Dua penjaga itu memberinya
jalan,
seraya lakukan penghormatan
dengan
bungkukkan tubuh mereka.
Sekejap antaranya Wira Pati
telah memacu kudanya dengan
cepat,
tanpa menoleh lagi ke belakang.
Pada
wajahnya tampak tampilkan senyum
kepuasan. Senyum yang hanya bisa
terlihat kalau hati sang
Pembesar
Kerajaan ini sedang mendapat
angin
baik. Tanpa memikirkan bahwa di
dalam
kesenangan dirinya itu, di pihak
lain
tenggelam dalam kesedihan dan
kesusa-
han. Bahkan jeritan yang
menyayat
hati. Namun mana manusia yang
tak
mengenai halusnya perasaan ini
dapat
mendengarnya?
Karena telinga dan hatinya telah
tertutup rapat-rapat dengan
dinding
nafsu angkara. Sehingga bathinnya
pun
menjadi kotor. Agaknya memang
telah
sulit untuk membasuh bathin
manusia
yang telah sedemikian. Karena
watak
manusia tak akan bisa berubah.
Kalau
tak manusia itu sendiri yang
meru-
bahnya.
Mandra yang berada di tempat
persembunyiannya, di sisi jalan
dekat
gedung itu, kembali melihat
kepula-
ngannya sang Senapati yang
kudanya
mencongklang dengan cepat. Tentu
saja
ia tak mengetahui keadaan di dalam.
Tapi tiba-tiba terlihat dari
arah yang
berlawanan seekor kuda
mendatangi ke
arah gedung. Dan segera
terdengar
ringkikan kuda sang Senapati,
ketika
laki-laki Pembesar Kerajaan itu
menghentikan kudanya. Ternyata
si
pendatang itu pun menghentikan
pula
kudanya. Sehingga kuda-kuda
perde-
ngarkan ringkikannya. Kiranya
yang
datang adalah sang Bupati Daeng
Panuluh. Terdengar Wira Pati
berkata
dengan tampilkan senyum di
wajahnya,
melihat kedatangan sahabatnya.
"Aha...! Dari mana
Daeng...?
Lama aku menunggumu. Sayang aku
ada
tugas lagi senja ini. Jadi aku
tak
dapat menemanimu berbincang-bincang.
Oh, ya...! Mengenai upeti
untukku,
biarlah untuk pekan ini tak usah
kau
setorkan. Asal kau harus
berhati-hati
kali ini. Terutama tiga orang
paderi
itu jangan sampai ia menyusahkan
kita...!". Berkata sang
Senapati.
Doting Panuluh tersenyum dan
manggut-manggut seraya berkata
dengan
nafas agak tersengal. Agaknya ia
tadi
melarikan kudanya dengan
sekencang-
kencangnya, seperti memburu
sesuatu.
"Te...terima kasih abang
Wira
Pati...!". Ujar Daeng
Panuluh yang
membahasakan sebutan abang, atau
kakak
pada laki-laki sahabatnya itu,
karena
sebenarnya Daeng adalah bukan
orang
asli tanah Jawa. Ia perantau
dari
seberang pulau, yang terletak
jauh di
sebelah timur laut Pulau Jawa.
Dan
hidup di pesisir laut. Boleh
dikatakan
Daeng Panuluh besar dan dewasa
di
tengah ombak lautan. Sayang
Daeng
terjerat dalam kehidupan sesat.
Dan
memilih beberapa tahun yang
lalu,
sejak Wira Pati menjabat sebagai
Tumenggung. Dari sahabatnya
inilah
Daeng dapat menduduki jabatan sebagai
Bupati.
"Tapi bagaimana mengenai
ancaman
seorang pemuda misterius
itu...?".
Daeng telah lanjutkan dengan
perta-
nyaan.
"Tenanglah...! Kelak aku
yang
mengurusinya. Bukankah kau tahu,
si
Sengkuti itu dengan mudah dapat
kusingkirkan. Tak perduli ia
seorang
Carik Desa. Kalau bakal
membahayakan,
terpaksa harus disingkirkan.
Walaupun
tadinya ia orang yang membantu
kita...!" Berkata Senapati
Wira Pati
dengan wajah tenang, namun
suaranya
terdengar tandas. Daeng Panuluh
manggut-manggut. Tapi tiba-tiba
wajahnya kembali berubah agak
pucat.
Dan tampak dengan gugup ia
berkata...
"Ng...te... terima kasih
saha-
batku! Akan tetapi maaf...aku
lelah
sekali, dan memerlukan
istirahat. Oh,
ya...tentu abang Wira Pati jemu
menungguku tadi...!".
Pembesar Kera-
jaan ini cuma tersenyum, seraya
ujarnya;
"Silahkan beristirahat,
Daeng..!
Memang akupun ada tugas yang
menantiku...! Dan... ha ha ha...
Terima kasihku padamu atas
hidangan
yang kau suguhkan itu. Tentu
saja
kelak akan ada imbalan
tersendiri yang
istimewa buatmu ...!"
Daeng Panuluh jadi melengak
mendengarnya. Akan tetapi sang
Senapati telah segera mengeprak
kudanya. Yang segera
mencongklang lari
dengan cepat. Adapun Daeng
Panuluh
setelah tercenung sesaat,
tiba-tiba
telah berteriak keras, dan
memacu
kudanya dengan cepat ke arah
gedungnya.
Baru saja sampai di halaman, ia
telah melompat dengan cepat, dan
berlari menuju pintu Pendopo.
Dua
pengawal tak sempat lagi
menjura,
karena sang Bupati bagaikan gila
telah
menerobos masuk. Dan secepat itu
pula
telah memasuki kamar, di mana
tergolek
sesosok tubuh yang telah
kehabisan
tenaga.
"Nurimah...!
Nurimaaaah...!?".
Suara teriakannya tersendat
seketika,
melihat ke hadapannya. Pembaringan
itu
telah kusut masai. Bantal dan
guling
telah berserakan tak keruan. Dan
sang
gadis tengah mengerang seperti
dalam
saat sekarat. Sekilas saja ia
telah
tahu apa yang telah terjadi.
Kenyataan
itu telah dibuktikan dengan
jelas
melalui penglihatannya.
Tiba-tiba
laki-laki ini telah berteriak
dengan
suara parau. Dan menubruk tubuh
gadis
itu serta memelukinya dengan
suara
tangis meraung.
Tampak sepasang mata Daeng telah
bercucuran air mata. Dan
terlontarlah
kata-kata yang sudah delapan
tahun
lebih itu tak pernah terucapkan
dari
bibirnya.
"Anakku... Nurimah...!
Anakku...
Oh...". Selanjutnya cuma
suara isak
tangis bagaikan anak kecil yang
terdengar. Tiba-tiba ia telah
lepaskan
pelukannya pada wanita yang
terbujur
itu. Wanita yang ternyata
memanglah
anak gadisnya sendiri.
Dan terdengarlah suara teria-
kannya memanggil sang pembantu
wanita.
Yang dengan tergopoh-gopoh segera
berlari menghampiri.
"Bodoh...!". Teriaknya
memaki.
"Mengapa kau biarkan semua
itu
terjadi. Dia ... dia anakku,
tahu...!
Keparrrat...!"
PLAK! Sebelah lengannya telah
bergerak menampar kepala sang
pembantu
wanita tua itu. Yang segera saja
terpelanting dengan suara
teriakan
menyayat hati. Namun Daeng
kembali
sudah memburunya. Lengannya
bergerak
menjambak rambut wanita yang
bernasib
sial itu. Akan tetapi terkejut
Daeng,
karena sudah tak terdengar lagi
jeritan kesakitan ketika
dijambak
rambutnya. Kiranya sang pembantu
yang
malang itu telah tewas. Dengan
geram
Daeng menghempaskannya ke
lantai.
Segera ia bergerak lagi melompat
untuk
mencegat seorang pembantu wanita
lagi,
yang menggigil ketakutan.
"Ampun, Ndoro...! Jangan
bunuh
hamba...! Hamba tidak bisa
mencegah-
nya... Ja... jangan bunuh hamba
Ndoro
..." Berkata wanita
pembantu itu
dengan meratap tangis.
"Aku takkan membunuhmu,
Mari-
yem...!" Membentak Daeng
Panuluh.
Tiba-tiba laki-laki ini telah
keluarkan sesuatu dari saku
bajunya.
"Berikan ini pada anakku.
Jejalkan di mulutnya. Ingat! Dua
butir
pel ini harus benar-benar
tertelan.
Kalau sampai gagal, nyawamu
sebagai
gantinya, mengerti...?!".
"Ba...baik Ngoro...! Akan
hamba
kerjakan...!". Menyahuti
sang pembantu
wanita seraya menerima dua butir
pel
itu dari tangan Daeng, dengan
lengan
gemetar dan wajah pucat bagaikan
mayat. Namun ia telah bersyukur
dalam
hati yang jiwanya selamat.
Sekejap
kemudian, Daeng telah kembali
melompat
ke dalam ruang tengah, dan
menyambar
sebuah pedang yang tergantung di
dinding. Lalu berkelebat cepat
menuju
kembali ke luar gedung.
Para penjaga cuma saling
pandang, ketika Daeng melompat
keluar,
dan dengan cepat melompat ke
atas
punggung kudanya. Kejap
selanjutnya,
ia telah berteriak keras
menghardik
sang kuda yang segera meringkik
keras.
Beberapa kali sang kuda
berputaran
seperti tak mau menurut perintah
sang
majikan. Namun akhirnya lari
mencongklang dengan cepat keluar
halaman. Dan selanjutnya telah
ter-
dengar derapnya semakin menjauh
dari
halaman gedung. Lagi-lagi Mandra
terkejut, melihat sang Bupati
Daeng
Panuluh telah keluar lagi dari
dalam
gedung. Dan kini memacu
kudanya
bagai dikejar setan. Merasa ada
sesuatu yang tidak beres, Mandra
segera tancap kakinya untuk
mengejar
melalui jalan semak. Ingin ia
mengetahui apa yang terjadi.
Lapat-lapat terdengar
suara
teriakan Daeng.
"Senapati Keparaaat...!
Tunggu
aku...!". Dan dengan derap
langkah
kuda yang menggebu, Daeng
Panuluh
memacu sang kuda
sekencang-kencangnya.
Beruntung Wira Pati telah
jalankan kudanya dengan tidak
terlalu
cepat, karena ia berfikir tak
perlu
terburu-buru. Tugas adalah
tugas. Tapi
rasa lelah di sekujur tubuhnya
belum
lagi hilang. Tentu saja tak lama
Daeng
dapat menyusulnya.
Terkejut Wira Pati mendengar
suara derap kuda di belakangnya,
yang
seperti berlari dengan cepat.
Segera
ia telah putar kudanya untuk
melihat.
Akan tetapi terlambat,
tahu-tahu...
DES...! perut kudanya telah kena
seruduk kuda Daeng Panuluh.
Sebenarnya
hal itu tak akan terjadi
seandainya
Wira Pati mengetahui Daeng
datang
dengan kemarahan meluap.
Sehingga tak
ampun lagi kedua kuda sudah
terjungkal
jatuh. Termasuk kedua
penunggangnya.
Namun Wira Pati dengan tangkas
telah
dapat jatuh dengan berdiri.
Karena sebagai seorang senapati
yang sudah terlatih, Wira Pati
bukanlah Wira Pati kalau ia
harus
jatuh ngusruk terguling-guling.
Lain halnya dengan Daeng, ia
telah jatuh bergulingan... Namun
segera sudah kembali bangun
berdiri.
Beruntung pedangnya tidak
terlepas
dari genggamannya.
Segera saja ia telah membentak
seraya menerjang langsung
menebas
batang tubuh si Senapati.
"Manusia
keparat...! Kau telah nodai
anakku...!
Dia anakku, manusia iblis!
Kubunuh
kau...!".
TRANG! TRANG ...! TRANG...! Tiga
serangan beruntun telah segera dapat
ditangkis oleh Wira Pati.
Laki-laki
ini terkesiap bukan main, karena
tahu-
tahu Daeng menerjangnya bagaikan
gila.
Namun ia sudah mencabut tombak
pendeknya, dan menangkis
serangan-
serangan ganas itu.
"Daeng...! Aku mana
mengetahui
dia anak gadismu...? Salahmu
sendiri,
mengapa tak menitahkan orang
untuk
menjaganya...?". Bentak
Senapati ini
dengan melotot gusar. Akan
tetapi
Daeng sudah tak perduli lagi. Ia
tak
akan puas kalau belum melihat
manusia
di hadapannya itu direncah lumat
dengan pedangnya.
Kembali ia menerjang. Pedangnya
berkelebatan dengan serabutan.
Agaknya
ia sudah terlalu emosi.
Kemarahannya
sudah melebihi takaran. Karena
siapa
yang takkan sakit hati jika
mengalami
nasib seperti si Bupati ini.
Walaupun
yang dihadapannya itu mertuanya
sendiri pun, tentu akan
dicincangnya
sampai lumat.
WUT! WUT! WUT...! Kembali pedang
di tangan Daeng berkelebatan,
Namun
Wira Pati telah berhasil
menghindar.
Tiba-tiba wajahnya tampak
menyeringai
sinis.
Dan ia telah keluarkan bentakan
keras.
"Baiklah Daeng, kalau kau
meng-
hendaki kematian...! Aku tak
akan
segan-segan untuk mencabut nya-
wamu...!".
Selesai berkata, tiba-tiba tubuh
Senapati Wira Pati telah
berkelebat di
antara sinar pedang Daeng
Panuluh yang
bagaikan tiada berhenti
menerjangnya.
Tombak pendek di lengan laki-
laki itu tampak membersitkan
sinar,
tatkala diputarkan dengan cepat
menghalau kilatan pedang Daeng.
TRANNG...! Terdengar suara
benturan senjata. Daeng
tersentak,
karena tiba-tiba pedangnya
terlepas
dari genggamannya. Belum lagi ia
sadar
akan kelanjutannya, tahu-tahu...
JROSS...! Laki-laki bertubuh
agak gemuk ini telah
perdengarkan
teriakannya ketika tombak pendek
yang
terbelit kain sutera merah itu
membenam ke jantungnya. Bagai
terpaku
Daeng berdiri terhuyung.
Sepasang
matanya seperti menyala menatap
sang
Senapati yang berdiri di
hadapannya.
Dan tampakkan senyum dingin pada
laki-
laki di hadapannya.
"Manusia keparatt...!
Kau...kau
kejam! Kau...ib...iblisss...".
Suara
Daeng seperti mendesis parau.
Akan
tetapi Wira Pati telah sentakkan
ujung
tombaknya yang membenam di
jantung
Daeng. Terdengar keluhan Bupati
yang
bernasib sial itu.
Darah segera memuncrat dan
memercik menyirami tubuhnya,
disertai
robohnya tubuh laki-laki itu.
Yang
selanjutnya telah berkelojotan
bagai
ayam disembelih. Namun sekejap
telah
terdiam, setelah menyentakkan
tubuhnya
sekali lagi seperti gerakan
terakhir
melepas nyawanya, untuk
berpindah ke
alam Akhirat.
Sang Senapati perdengarkan suara
dengusan di hidung, lalu dekati
tubuh
Daeng, dan bersihkan ujung
tombaknya
di baju laki-laki yang telah tak
bernyawa itu. Selanjutnya telah
selipkan kembali senjatanya ke
belakang punggungnya. Saat
berikutnya
ia telah putarkan tubuh dan
palingkan
kepala untuk mencari kudanya.
Ternyata
sang kuda tunggangannya tidak
pergi
jauh. Tampak dengan sekali
lompat,
Wira Pati telah berada di dekat
kudanya. Kejap berikutnya ia
telah
melompat cepat ke atas pelana,
dan
selanjutnya sudah terdengar
teria-
kannya menghardik binatang itu.
Seraya
hentakkan kaki ke perut kuda.
Maka
sekejap kemudian binatang itu
telah
mencongklang dengan cepat,
tinggalkan
tempat itu...
Begitu tubuh Senapati itu lenyap
di balik tikungan jalan, sesosok
tubuh
sudah melompat keluar dari
tempat
persembunyiannya. Ternyata
Mandra
adanya.
Tercenung pemuda itu menatap
tubuh sang Bupati yang
dibencinya.
Tuntutan hatinya telah
terlaksana.
Akan tetapi Mandra jadi berfikir
dalam
benaknya. Ternyata orang-orang
besar
yang punya kedudukanpun punya
masalah... Bahkan berbagai
masalah!
Dari masalah yang bersih dan
murni,
sampai masalah yang paling
kotor. Yang
kesemuanya juga meminta korban
darah
dan nyawa!
Terdengar pemuda pandai besi ini
menghela napas. Namun tak lama
ia
segera berlalu untuk tinggalkan
tempat
itu.
Tubuh Daeng cuma diam membisu.
Dia sudah tak lagi dapat
fikirkan
jabatannya. Tak dapat lagi
mengetahui
mana jalan lurus, dan mana jalan
sesat. Karena semasa hidupnya
pun dia
telah tak mau tahu ke mana arah
langkah perbuatannya
Yang dipentingkan hanyalah
melulu kepuasan duniawi.
Kepuasan yang
tak pernah ada habisnya...!
Juga Daeng tak akan pernah tahu,
kalau dua butir pel yang ia
berikan
untuk anak gadisnya itu, justru
telah
membawa kematian sang anak yang
dicintainya itu secara cepat.
Karena
dua butir pel pemberian paderi
Kuti
itu, bukanlah pel obat penawar
dari
ramuan yang telah ia berikan
pada anak
gadisnya. Melainkan dua butir
pel
racun. Karena tak ada obat
penawar
bagi ramuan yang telah ia
berikan atas
pesanan Bupati Daeng Panuluh
itu.
Kiranya waktu itu Daeng yang
telah bagaikan seekor serigala
yang
keranjingan daging mentah, telah
menerima datangnya seekor
kelinci
mulus.
Pesanan itu adalah khusus untuk
dirinya. Mana mungkin Daeng
sia-siakan
kesempatan baik itu dengan
percuma.
Tiada nikmat menyantap seekor
kelinci
tanpa bumbu masakan penyedap.
Sayang...di saat ia akan
menyantap,
laki-laki keranjingan ini telah
terhenyak bagaikan disambar
petir,
karena sang kelinci terlalu
mustahil
untuk dijadikan santapannya.
Seekor
harimau ganas pun tak akan
menerkam
anaknya sendiri.
Pepatah itu memang benar. Satu
tanda tahi lalat di bawah pusar
sang
kelinci itu membuat ia tak jadi
laksanakan maksudnya.
Terpaksa ia memanggil sang
pembantunya untuk menyediakan
santapan
nasi hangat dan sayur, serta
ikan rawa
yang disukainya. Dalam kepanikan
itu
ia segera mengisi perut
sekenyang-
kenyangnya.
Sementara ingatannya telah
terbayang pada seorang bocah
berusia
10 tahun yang telah lenyap
ditelan
gelombang, di saat perahunya
diserang
badai. Ia terdampar dan selamat
dari
maut. Namun sang bocah
perempuannya
telah lenyap tanpa diketahui
mati
hidupnya. Delapan tahun cukup
lama
untuk ia melupakannya. Akan
tetapi
pertemuan itu telah di luar
dugaan.
Sang bocah perernpuan itu telah
menjelma jadi seorang dara
rupawan.
Yang nyaris jadi korban
perbuatan
aibnya.
Tergesa Daeng menjumpai ketiga
sahabatnya si Tiga Paderi. Namun
kedatangannya sudah terlambat.
Karena
Senapati yang gagah perkasa itu
telah
menghancur leburkan
segala-galanya.
Bahkan nyawanya sendiri pun
telah
melayang pergi.
Sungguh suatu kehancuran total
yang amat mengenaskan ...
Mandra melangkah pergi dengan
langkah gontai. Tapi kini ia
sudah
merasa sedikit lega karena tak
lagi
mengurusi kemelut yang
menggebu-gebu
dalam jiwanya. Akan tetapi
tiba-tiba
terdengar bentakan keras yang
membuatnya terkejut.
"Hantikan langkahmu, pembunuh!".
Dan sekejap telah berkelebatan
muncul
tiga sosok tubuh. Belum lagi ia
sempat
menatap ketiga wajah sosok tubuh
itu,
salah seorang telah
menyerangnya.
BUK! Satu hantaman pukulan
dengan telak telah mengenai
dadanya.
Tak ampun lagi Mandra terjungkal
bergulingan dengan perdengarkan
keluhannya. Ternyata ketiga
sosok
tubuh itu tak lain dari si
ketiga
Paderi Lereng Gunung Wilis. Hantaman
keras itu dilakukan oleh Kuti.
Hingga
si pemuda itu tampak muntahkan
darah
segar yang menggelogok keluar
dari
mulutnya.
"He he he... Biar aku yang
menambahi dengan belaian Kipas
Maut
ku...!" Berkata Lembu Alas
si paderi
pendek. Yang segera saja sudah
melesat
untuk menghunjamkan ujung
kipasnya.
Akan tetapi pada saat itu
berkelebat
sebuah bayangan menyambar ujung
kipas.
TRANG...! Lembu Sura berteriak
tertahan karena rasakan
lengannya
kesemutan. Dan tanpa ia sadari
Kipas
bajanya telah terlepas dari
genggamannya. Dengan gerak cepat
ia
telah melompat mundur empat
tindak.
Dan dengan sebat telah gerakkan
lengan
untuk kembali menangkap
senjatanya.
Terkejut ketiga paderi itu
melihat sosok tubuh di
hadapannya.
Yang tak lain dari Roro Centil,
si
Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Sebelah lengannya tampak
memegang
senjata yang mirip mainan itu.
Yang
diayun-ayunkan di atas ujung
kakinya.
Dengan senjata anehnya itulah
Roro
Centil menggagalkan serangan
maut si
paderi pendek Lembu Alas. Ketiga
paderi menatap dengan terpaku
seperti
terkesima. Namun Kuti tiba-tiba
telah
perdengarkan suara tertawanya.
Walaupun diam-diam hatinya agak
gentar. Namun gengsi juga kalau
harus
jeri pada seorang gadis semua
itu. Apa
lagi Kuti masih berharap dapat
merebut
kembali Kitab Ularnya.
Ternyata suara tertawa Kuti
telah mengandung tenaga dalam
yang
hebat, yang ditujukan pada gadis
Pendekar. Terasa juga getaran
tenaga
suara tertawa itu yang seperti
membawa
pengaruh hebat. Karena tampak
tubuh
Roro seperti terhuyung mau
jatuh.
Melihat demikian si paderi berkulit
hitam alias Kebo Ireng, segera
meniup
Seruling Hitamnya. Hingga
membersit
keluar suara yang bagaikan
menusuk-
nusuk lubang telinga. Semakin
terhuyunglah tubuh Roro
Centil... Dan
pada saat itu dengan diam-diam,
Kuti
telah keluarkan sabuk suteranya.
Sementara suara tertawanya
seperti
terus menggema tiada henti. Roro
Centil tampak lagi-lagi
terhuyung
lemah, dengan sepasang mata
setengah
terkatup. Tertawa menyeringai si
paderi pendek. Segera ia telah
siapkan
tasbih hitam dan kipasnya untuk
menyerang. Ternyata Kuti telah
memberi
isyarat. Maka dengan berbareng
kedua
tubuh itu segera menerjang Roro.
Tasbih hitam bergerak ke arah
lengan
untuk menggubat. Dan kipas baja
meluncur deras untuk menotok.
Sementara Kuti luncurkan sabuk
suteranya merapas senjata, disertai
gerakan sebelah lengannya
manghantam
ke arah paha. Kuti memang
sengaja mau
melumpuhkannya. Karena walau
bagaimanapun tak tega ia
membunuh
gadis secantik itu. Kegagalannya
yang
dulu seperti membuat ia merawa
kecewa.
Kini ia berharap dapat
mengulangi
niatnya untuk yang kedua
kalinya.
Tampaknya Roro akan segera
terkena
beberapa serangan kilat itu.
Akan
tetapi kedua paderi ini jadi
melengak,... karena tubuh sang
pendekar itu tahu-tahu seperti
roboh
ke belakang. Aneh! Dalam keadaan
terhuyung demikian, ternyata
serangan
berbareng mereka telah mengalami
kegagalan total.
Segera saja Kuti merobah
serangan. Sabuk Suteranya telah
meluncur lagi ke beberapa bagian
tubuh
Roro. Namun lagi-lagi tubuh Roro
Centil terhuyung mau jatuh ke
kiri dan
ke kanan. Justru gerakan
demikian itu
telah pula membuat gagalnya
serangan
paderi jangkung itu. Gila...!
Teriak
Kuti dalam hati. Dan ia telah
sarangkan beberapa pukulan keras
bertenaga dalam secara beruntun.
Kali
ini Kuti sadar kalau ia sudah
kembali
terkecoh. Gadis Pendekar ini
banyak
akal bulusnya! Berfikir Kuti.
DUK! DUK! DES...! Tiga hantaman
itu ternyata telah disambuti
Roro,
seperti gerakan yang tak
disengaja.
Akan tetapi hebat akibatnya.
Paderi
Kuti ini telah perdengarkan
teriakan
kaget. Tubuhnya terjengkang ke
belakang lima-enam tombak.
Sedang
tubuh Roro Centil justru
melambung ke
atas. Ketika turun lagi telah
menukik
seperti burung alap-alap
menyambar
mangsanya. Senjata anehnya telah
berputar mendesing menyambar
kepala.
Sementara itu si paderi bernama
Kebo Ireng telah hentikan tiupan
serulingnya. Kini melihat
kakaknya
dalam bahaya, ia segera
hantamkan
Seruling Hitamnya untuk
menangkis
senjata aneh itu. THINGNG...!
Terdengar beradunya dua senjata.
Kepala Kuti lolos dari serangan
si
Rantai Genitnya Roro Centil.
Akan
tetapi sebuah tendangan kilat
telah
membuat Kuti kembali terlempar
beberapa tombak bergulingan.
Menggeram
laki-laki berkumis tebal ini. Ia
sudah
segera bangkit berdiri, walau
terasa
dadanya sesak. Tiba-tiba Kuti
telah
berikan isyarat untuk menerjang
berbareng pada kedua adiknya.
Segera
saja ketiga paderi palsu itu
saling
berlompatan menerjang Roro.
Berkele-
batanlah beberapa senjata ke
arah
tubuh si Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Namun Roro telah segera
pergunakan jurus Tarikan
Bidadari
Mabuk Kepayang. Segera saja
terlihat
tubuh gadis itu bagaikan tengah
menari-nari di antara
kelebatannya
senjata. Namun hebatnya, setiap
serangan telah berhasil
dihindarkan.
Bahkan Roro tidak cuma membisu
saja,
melainkan sambil perdengarkan
tertawa
mengikik, yang kedengarannya
membuat
orang jadi meremang bulu
tengkuknya.
Sementara itu Mandra dalam
keadaan yang amat parah. Karena
Kuti
telah menyerangnya dengan
serangan
pukulan bertenaga dalam penuh.
Hingga
lagi-lagi Mandra harus muntahkan
darah
segar. Pada saat itu telah
berkelebatan ke arahnya dua
sosok
tubuh seraya diiringi teriakan
terkejut.
"Mandra...!? Oh! Kau
kenapa-
kah...?". Teriakan itu
ternyata dari
suara seorang gadis berbaju
merah.
Yang tak lain dari Roro Dampit.
Sementara yang seorang lagi
adalah
Sentanu. Segera mereka lakukan
pertolongan pada pemuda itu.
Dengan
menggotongnya ke tempat yang
aman.
Sesaat kemudian Roro Dampit
telah
balikkan tubuh dan berdiri
memandang
pada tempat pertarungan.
Sepasang
matanya tampak seperti menyala
melihat
ketiga paderi yang tengah
mengerubuti
Roro Centil. Segera saja ia
telah
gerakkan lengan mencabut
senjatanya,
sepasang ruyung dari kedua belah
pinggangnya. Seraya berkata;
"Aku harus bantu menggempur
tiga
manusia durjana itu. Kau
bantulah
menolongnya sobat
Sentanu...!".
Sekejap ia telah melompat ke
arah
pertempuran. Dan selanjutnya
sudah
perdengarkan bentakan nyaring.
Sepasang ruyungnya yang terdiri
dari
tiga ruas besi yang terikat
rantai
segera berkelebatan menerjang
deras ke
arah dua orang paderi.
Kuti mendelik gusar. Nyaris saja
dadanya kena terhantam.
Sementara si
paderi bernama Kebo Ireng telah
menangkis dengan Seruling
besinya.
Lengan Kuti bergerak menghantam.
THAK...! Paderi ini menjerit
parau ketika sebuah kerikil
terlebih
dulu menghantam telak lengannya.
Hingga pukulannya telah ia tarik
kembali.
Sementara Roro Dampit melengak
heran, telah terdengar suara
tertawa
di atas pohon. Ternyata seorang
pemuda
berbaju putih. Siapa lagi pemuda
itu
kalau bukan Ginanjar, murid
mendiang
si Pendekar Bayangan Ki Bayu
Seta.
Mendengar suara tertawa gelak-
gelak itu membuat Kuti jadi
mendongak
ke atas. Akan tetapi justru
bandulan
si Rantai Genit hinggap telak di
kepalanya.
THOK...! Lagi-lagi Kuti ber-
teriak kesakitan. Tampak
kepalanya
kebulkan asap seperti uap putih.
Tak ampun lagi si Paderi
jangkung ini sudah berjingkrakan
memegangi kepalanya, sambil
berteriak-
teriak.
Ginanjar di atas pohon semakin
gelak terbahak-bahak.
"Ha ha ha ... ha ha...
Hebat kau
Roro...! Kepala orang kau buat
benjol
sebesar telur angsa! Ha ha
ha...lucu!
Lucu...! Ada monyet gundul
sedang
menari...!". Ginanjar
terpingkal-
pingkal melihat Kuti yang
berjing-
krakan. Akan tetapi suara
tertawa si
pemuda itu jadi terhenti, karena
sekonyong-konyong si paderi
jangkung
telah bergerak melompat
menyerudukkan
kepalanya ke batang pohon yang
dinaikinya.
KRAAKKK...! Batang pohon ber-
derak patah yang kemudian roboh
dengan
suara bergemuruh. Namun Ginanjar
telah
segera melompat turun, dan
jejakkan
kaki ke tanah. Terlihat tubuh
Kuti
terhuyung-huyung. Kepalanya
telah
mengalirkan darah. Akan tetapi
aneh...! Ternyata Kuti kembali
menyerudukkan kepalanya ke
batang
pohon lainnya.
Bahkan ke sebuah batu besar yang
tak jauh berada di tomput itu.
Berulang kali ia menumbukkan
kepalanya, hingga darah
bercucuran
kian banyak. Entah apa yang
terjadi
sehingga Kuti berlaku demikian.
Hingga
kemudian yang terlihat adalah
batok
kepala Kuti yang remuk, ketika
ia
menghantamkan sekali lagi pada
batu.
Tampak tubuh laki-laki itu
berkelo-
jotan mengerikan. Lalu sesaat
kemudian
telah diam untuk tak berkutik
lagi.
Terkejut Ginanjar, juga si
wanita baju merah. Yang segera
lompat
ke belakang. Sementara itu Roro
Centil
tetap sibuk bertarung. Tiba-tiba
terdengar teriakan Roro yang
meleng-
king tinggi. Suara lengkingan
yang
mengandung tenaga dalam hebat.
Membuat
Lembu Alas dan Kebo Ireng jadi
terpaku
terkesima. Pada saat itulah
tubuh Roro
melesat ke atas tujuh-delapan
tombak.
Ketika menukik lagi telah
meluncur
deras senjata si Rantai
Genitnya.
Segera saja terdengar suara
batok
kepala yang pecah.
PROK...! PROK...! Tak ampun lagi
robohlah tubuh kedua paderi
palsu itu
dengan berkelojotan, tanpa bisa
mengeluarkan teriakan lagi.
Sekejap
antaranya kedua manusia durjana
itu
telah tewas.
Kejadian itu berlalu dengan
cepat. Hingga ketika semua orang
tengah terkesiap, tubuh si
Pandekar
Wanita Pantai Selatan tahu-tahu
telah
berkelebat cepat... dan sekejap
telah
lenyap.
Tapi di kejauhan sudah terdengar
suara tertawanya yang mengikik
panjang.
Ginanjar baru tersentak dari
terkesimanya. Segera ia sudah
berke-
lebat mengejar seraya berteriak;
"ROROOOOOO...!
ROROOOOO...!".
Dan tubuh pemuda berbaju putih
itu pun
sekejap kemudian segera lenyap.
Keadaan di tempat itu kembali
sunyi. Si gadis baju merah
segera
tersadar dari terpakunya, ketika
mendengar suara keluhan Mandra.
Tampak
sepasang lengan pemuda itu
mencekal
erat lengan Sentanu. Keadaan
Mandra
semakin parah. Roro Dampit
segera
memburunya. Terlihat Sentanu
mendekat-
kan sebelah telinganya pada
bibir
Mandra yang tampak semakin
hilang
suaranya. Entah apa yang
dibisikkan
pemuda itu pada Sentanu. Cuma
yang
terlihat laki-laki tampan
berkumis
kecil itu manggut-manggut dengan
terharu.
Selang sesaat setelah pemuda itu
tampakkan senyumannya, segera
kepala-
nya terkulai... Sentanu
terkejut, dan
mengguncang-guncangkan tubuh
sahabat-
nya itu.
Akan tetapi Mandra telah wafat.
Nyawanya telah melayang, kembali
menghadap Tuhan. Tinggalkan
jasadnya
yang telah remuk isi dadanya
akibat
pukulan keji si paderi palsu
bernama
Kuti.
Roro Dampit mengusap air matanya
yang telah mengalir di kedua
pipinya.
Betapa ia merasa kehilangan.
Seolah
sahabatnya itu sudah bukan orang
lain
lagi. Karena mereka sudah sangat
akrab.
Tampak Sentanu pun menatap
sedih. Lengannya sudah lantas
bergerak
mengusap wajah pemuda itu. Yang
segera
sepasang matanya terpejam.
Tak lama kemudian laki-laki
bekas perwira Kerajaan Medang itu
sudah bangkit berdiri dengan
memondong
tubuh sahabatnya yang sudah
menjadi
mayat. Dan tindakkan kaki untuk
segera
tinggalkan tempat itu.
Di belakangnya mengikuti si
gadis baju merah yang
menundukkan
kepala dengan melangkah
gontai...
Senja semakin temaram. Cahaya
merah yang membersit di ujung
iangit,
sebentar lagi akan sirna.
Timbulkan
bayang-bayang yang memanjang,
dari
dahan-dahan pohon dan dua sosok
tubuh
itu... yang terus melangkah
menuju
arah pedesaan.
Pada sebuah persimpangan jalan,
terdengar ringkik seekor kuda
yang
segera berlari menghampiri ke
arah
laki-laki itu. Si gadis baju
merah
meraih tali kendalinya yang
terjuntai
di leher binatang itu. Lalu
menuntunnya di belakang
tubuhnya.
Cahaya mentari sebentar lagi
akan
lenyap ...
Akan tetapi mereka yakin akan
adanya cahaya yang membersit
lagi esok
pagi. Seperti juga harapan semua
txt oleh
http://www.mardias.mywapblog.com
makhiuk di atas bumi.
Makhluk-makhluk
yang rindukan kedamaian.
Rindukan
kesejahteraan. Walau Dunia terus
berubah dengan tingkah polah
dari
makhluk-makhluk isinya. Namun
keda-
maian akan tetap didambakan,
sebagai
perlambang cinta kasih yang
hakiki.
TAMAT
Emoticon